Pencarian

Si Walet Hitam 2

Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


main terkejutnya Lee Ing, dan dengan gugup ia mengangkat pedangnya membacok.
Juga Cin Han merasa tercengang ketika melihat bahwa orang yang tadi mengintai di balik pintu ternyata
adalah seorang gadis muda yang menutupi kepala dan mukanya di bagian bawah dengan saputangan,
sedangkan sepasang mata yang bening seperti mata burung Hong itu memandang dengan gugup dan terkejut.
Maka ia tidak mau menangkis dengan pedangnya, hanya berkelit ke samping saja, akan tetapi kembali Lee Ing
melanjutkan serangannya dengan mengayun pedang dari samping.
Melihat gerakan ini, terkejutlah Cin Han, karena ini adalah ilmu pedang yang bukan sembarangan. Tadi ketika
duduk menantikan Hek Li Suthai dengan isterinya, mereka berdua sudah tahu akan kedatangannya Lee Ing,
akan tetapi oleh karena menghadapi urusan yang lebih besar, mereka mendiamkan saja tamu yang tak
diundang itu. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa yang datang adalah gadis muda yang berusaha
menyembunyikan dirinya. Akan tetapi pada saat Lee Ing mengayunkan pedang, Cin Han melihat titik merah sebanyak dua buah di
pergelangan gadis itu, hingga ia terkesiap.
"Baiklah kalau kau tidak mau memperlihatkan diri, akan tetapi biar kuobati lukamu yang berbahaya itu,"
katanya. Akan tetapi Lee Ing yang merasa malu dan gugup sekali, sudah meloncati tembok pekarangan itu dan berlari
keluar. Cin Han mengejar dari belakang sambil berteriak-teriak,
"He, nona muda! Kau telah mendapat luka dengan Ang-jouw-ciam (Jarum Rumput Merah) dan kalau tidak
segera diobati dalam tiga hari, jarum itu akan menjalar ke jantung dan kau akan mati."
Mendengar ucapan ini, Lee Ing terkejut sekali, akan tetapi ia tidak berani berhenti. Yang sangat ditakutinya
ialah kalau-kalau Cin Han akan tahu bahwa ia adalah puteri Nyo Tiang Pek dan hal ini tentu saja akan
membuat ibu dan ayahnya merasa malu sekali.
Ia memegang pedang di tangan kanan dan menggunakan tangan kiri untuk menjaga agar saputangan penutup
mukanya jangan sampai terlepas, lalu berpaling sebentar. Ketika melihat bahwa Cin Han masih tetap mengejar
dengan pedang di tangan, gadis itu berlari
makin cepat lagi. "Baiklah, baiklah! Aku takkan mengejarmu! Terimalah bungkusan ini, makanlah obat bubuknya dengan air, lalu
urut-urutlah dengan keras urat di lengan tanganmu agar jarum itu dapat didesak keluar."
Kembali Lee Ing berpaling dan ia melihat sebuah benda kecil putih menyambarnya. Ia hendak berkelit, akan
tetapi mendengar kata-kata tadi ia ulurkan tangan kiri menyambuti dan benar saja, benda itu adalah
bungkusan kertas kecil dan ia melihat bahwa Cin Han tidak mengejar. Lee Ing berlari terus sambil
menggenggam bungkusan kertas itu.
Setelah jauh dan tiba di luar kota Tit-lee, ia berhenti sambil terengah-engah. Ia merasa malu sekali akan tetapi
hatinya lega karena Cin Han tidak mendesaknya, karena kalau Hwee-thian Kim-hong sengaja hendak
menangkapnya, biarpun ia dapat terbang ke langit tentu ia akan dapat dikejar. Ia teringat akan ucapan
pendekar itu yang membingungkannya. Ia menderita luka"
Di bawah sinar bulan yang kadang-kadang tertutup mendung hitam tebal, ia memeriksa lengan kanannya dan
alangkah terkejutnya ketika ia melihat bahwa di pergelangan tangannya benar-benar terdapat dua bintik
merah yang ketika dirabanya terasa sakit.
Ia lalu duduk di bawah sebatang pohon dan mengingat-ingat. Maka teringatlah ia akan ucapan Hek Li Suthai
yang berkata bahwa jika usianya panjang maka ia akan dapat bertemu dengan to-kouw itu. Ah, tentu to-
kouw siluman itu yang diam-diam melukainya dengan Ang-jouw-ciam ketika to-kouw itu merampas
pedangnya di kuil itu dulu.
Ia segera menggulung lengan bajunya dan sambil meraba-raba ia dapat merasa bahwa jarum yang halus dan
lihai itu telah menjalar sampai di bawah sikunya. Cepat ia membuka bungkusan obat pemberian Cin Han, dan
pada saat itu terdengar petir menyambar-nyambar dan mendung yang hitam bergulung-gulung tadi kini
berkumpul menjadi satu. Dengan mengeluarkan suara keras, angin besar datang bertiup dibarengi dengan
hujan yang besar-besar. Lee Ing lalu berteduh di bawah sebatang pohon dan mengambil air hujan dengan sehelai daun. Dicampurnya
obat itu dengan air hujan lalu diminumnya sampai habis. Terasa hawa panas memasuki seluruh tubuhnya. Ia
lalu duduk menanti redanya hujan di bawah pohon yang gelap itu sambil mengurut-urut lengannya.
Hujan turun makin deras dan kini bahkan datang angin badai yang keras hingga daun-daun pohon yang telah
tua tertiup rontok menerbitkan suara berisik. Pakaian dan rambut Lee Ing basah kuyup, akan tetapi biarpun
angin meniup kencang dan hawa udara menjadi dingin sekali, berkat obat bubuk pemberian Cin Han yang
telah ditelannya, Lee Ing tidak merasakan dingin, bahkan hawa hangat di seluruh tubuhnya menjalar makin
keras. Lengan di mana jarum rumput merah itu mengeram telah mulai terasa sakit ketika ia berhasil mengurut jarum
itu dan mendorongnya mundur dan kembali ke luka di pergelangan tangannya. Jarum-jarum rumput yang
melukainya ada dua buah dan dengan tekanan dua buah jari telunjuk dan jari tengah, perlahan-lahan ia dapat
mendorong dua benda itu keluar.
Jidat gadis itu sampai berpeluh karena menahan sakit dan peluhnya bercampuran dengan air hujan turun
membasahi mukanya. Akhirnya nampak ujung jarum yang warnanya merah itu tersembul keluar dari lubang
kecil di pergelangan tangannya.
Lee Ing merasa girang bercampur gemas dan menggunakan kukunya untuk mencabut keluar jarum-jarum itu.
Dengan hati-hati sekali ia membungkus kedua batang jarum rumput merah itu dengan sehelai saputangan dan
menyimpannya. Kemudian turunkan kembali lengan bajunya yang tadi digulung ke atas.
Pada saat itu terdengar suara kaki kuda mendatangi dari jauh. Lee Ing cepat bersembunyi di balik batang
pohon. Di dalam gelap ia melihat seorang penunggang kuda datang cepat sekali. Dan tiba-tiba dari jurusan lain
datang pula dua orang penunggang kuda lain.
Terkejutlah Lee Ing ketika melihat bahwa penunggang kuda yang dua orang ini bukan lain ialah Hek Li Suthai
dan muridnya, Bi Mo-li! Hati Lee Ing berdebar, penuh rasa kuatir dan gemas, akan tetapi ia tidak berani
memperlihatkan diri dan hanya mengintai di antara daun-daun pohon.
Juga kedua to-kouw itu melihat kedatangan penunggang kuda yang melarikan kudanya cepat sekali itu.
Mereka menahan kuda mereka dan menanti di tengah jalan.
Ketika penunggang itu telah datang dekat, Lee Ing melihat bahwa ia adalah seorang pemuda berpakaian hitam
yang gagah sekali. Pemuda ini juga merasa heran melihat dua orang to-kouw yang naik kuda dan
menghadang di tengah jalan itu maka dari jauh ia memperlambat larinya kuda dan segera menegur,
"Jiwi suthai diharap suka minggir!"
Hek Li Suthai waktu itu sedang marah dan mendongkol sekali karena kekalahan yang dideritanya dari suami
isteri pendekar yang baru saja dikunjunginya, maka melihat pemuda ini ia bermaksud hendak mengganggunya
untuk melampiaskan rasa mendongkolnya.
Sebaliknya Bi Mo-li ketika melihat wajah pemuda yang tampan sekali dan tubuhnya yang gagah, timbul pula
keinginannya untuk mempermainkan. Akan tetapi ketika dua to-kouw itu melihat perhiasan kepala pemuda itu,
mereka menjadi terkejut berbareng girang. Hek Li Suthai lalu bertanya.
"Pemuda di depan bukankah Ouw-yan-cu si Walet Hitam dan putera Ang Lian Lihiap?"
Pemuda ini memang benar Lo Sin yang baru saja kembali dari perjalanannya mencari Kong Sin Ek dan telah
tertimpa hujan badai di jalan hingga ingin buru-buru sampai ke rumah. Mendengar pertanyaan ini, ia
memandang dengan lebih teliti.
Ketika melihat sikap kedua to-kouw ini dan melihat bahwa to-kouw yang tua mempunyai tai lalat di ujung
hidungnya, hatinya bercekat.
"Apakah siauwte berhadapan dengan Hek Li Suthai?" tanyan
ya. "Ha-ha-ha! Kebetulan sekali, agaknya Thian (Tuhan) telah membantu kami hingga kebetulan sekali pinni
bertemu dengan kau! Ha-ha! Ouw-yan-cu, bersedialah untuk mati di tangan pinni!" Sambil berkata demikian, to-
kouw tua itu meloloskan pedang dan kebutannya, juga Bi Mo-li mencabut pedangnya!
Lee Ing ketika mendengar bahwa pemuda ini adalah putera Ang Lian Lihiap, memandang dengan penuh
perhatian dan hatinya tertarik sekali. Jadi inikah putera mereka itu" Kelihatannya memang gagah perkasa!
Akan tetapi dapatkah pemuda itu melawan Hek Li Suthai yang lihai"
Diam-diam ia merasa kuatir sekali akan keselamatan pemuda itu, akan tetapi apa dayanya" Kalau ia keluar
membantu, itu berarti hanya akan mencari bencana saja, maka ia hanya menonton dan tak terasa lagi keluar
dari balik pohon. Lo Sin maklum bahwa musuh orang tuanya ini tentu takkan memberi ampun, maka iapun cepat mencabut
pedang yang tergantung di punggungnya, lalu berkata dengan gagah.
"Hek Li Suthai, kaukira aku yang muda takut kepadamu?"
Hek Li Suthai didahului oleh muridnya oleh karena Bi Mo-li hendak membalas kekalahannya terhadap Ang Lian
Lihiap tadi dan ia kira bahwa betapapun juga pemuda ini tak mungkin memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi
ia salah duga karena ketika ia memajukan kudanya menyerang, terdengar Ouw-yan-cu berseru keras dan
tahu-tahu tubuh pemuda itu telah melayang dari atas kudanya dan siap sedia menghadapi pertempuran mati-
matian! Melihat gerakan pemuda ini, Hek Li Suthai maklum bahwa muridnya bukanlah lawan pemuda itu yang memiliki
kegesitan dan gin-kang seperti ibunya, maka to-kouw tua itupun lalu melompat turun diikuti oleh Bi Mo-li.
03.07. Gadis Kehujanan di Bawah Pohon
Sekali lagi Bi Moli menerjang dengan pedangnya, akan tetapi sekali memutar pedang menangkis, Bi Mo-li
merasa telapak tangannya sakit sekali dan hampir saja pedangnya terlepas! Ia terkejut dan jerih, lalu mundur
membiarkan gurunya menghadapi pemuda yang gagah perkasa itu.
Hek Li Suthai tidak tahu bahwa Lo Sin telah mewarisi kepandaian kedua orang tuanya hingga kepandaian
pemuda ini lihai sekali, oleh karena dari ayah dan ibunya ia mendapat gemblengan secara bergantian hingga ia
memiliki tenaga besar dan ketenangan ilmu silat ayahnya dan memiliki kelincahan dan gin-kang dari ibunya.
Bahkan ilmu pedang Hwie-sian-liong-kiam-sut telah ia pelajari dengan sempurna, hingga kalau hendak
dibandingkan dengan kepandaian ayah atau ibunya, mungkin ia takkan berada di bawah tingkat mereka.
Hal ini tentu saja sama sekali tak pernah disangka oleh Hek Li Suthai, dan setelah ia menyerang dan bentrok
dengan pemuda itu, barulah ia mengeluh di dalam hati karena ternyata bahwa gerakan pemuda ini gesit luar
biasa dan tenaga lweekangnya amat dahsyat.
Mereka berdua bertempur dengan sengit dan ramainya di dalam hujan badai itu dan perlahan-lahan Lo Sin
dapat mendesak lawannya dan mengurung to-kouw tua itu dengan ilmu pedangnya. Diam-diam pemuda ini
berpikir bahwa to-kouw ini tentu telah bertemu dengan orang tuanya dan telah dikalahkan, kalau tidak, tentu
ia takkan meninggalkan Tit-lee. Kalau orang tuanya melepaskan to-kouw ini tanpa melukainya, maka iapun
tidak mau menurunkan tangan jahat.
Setelah berpikir demikian, ia lalu mengeluarkan ilmu pedang Naga Sakti Mandi di Api, yakni ilmu pedang yang
tadi telah digunakan oleh Ang Lian Lihiap dan yang membuat Hek Li Suthai merasa pusing dan bingung. Kini
menghadapi pemuda yang menjalankan ilmu pedang itu sama baiknya dengan permainan Ang Lian Lihiap,
untuk kedua kalinya Hek Li Suthai dibikin pusing dan bingung hingga gerakannya menjadi lemah dan ilmu
pedangnya kalang kabut. Pada saat yang tepat, Lo Sin mengirim tendangan ke arah pergelangan tangan kanan to-kouw itu hingga
pedang yang dipegangnya terlempar ke atas tanah. Hek Li Suthai memang tidak mempergunakan sepasang
pedangnya, oleh karena tadinya ia memandang ringan kepada Lo Sin.
"Hek Li Suthai, pungutlah pedangmu dan jangan mengganggu aku lebih jauh. Kau mempunyai urusan dengan
kedua orang tuaku, kalau kau memang berani, mari ikut aku dan bertemu dengan mereka!" kata Lo Sin sambil
melompat ke atas kudanya pula.
Hek Li Suthai tidak menjawab, dan dengan hati panas terbakar ia menyuruh muridnya mengambil pedangnya
yang terlempar itu, kemudian tanpa berkata sesuatu ia lalu melompat ke atas kudanya, diturut oleh muridnya
dan kedua pendeta wanita itu mengaburkan kuda cepat-cepat dari tempat itu. Hati dan perasaan mereka pada
saat itu hanya setan yang tahu!
Lo Sin tertawa bergelak, lalu memajukan kudanya hendak melanjutkan perjalanan pulang. Akan tetapi, tiba-
tiba ia melihat Lee Ing yang masih berdiri di bawah pohon. Melihat seorang gadis muda yang cantik berdiri
dengan pakaian basah, kuyup di bawah pohon, Lo Sin merasa heran dan menghentikan kudanya lalu maju
mendekati. "Eh, nona kau sedang bekerja apa di situ?" tegurnya karena mengira bahwa gadis itu tentu gadis kampung di
dekat situ. Akan tetapi setelah datang dekat Lo Sin tercengang melihat seorang gadis yang luar biasa cantiknya dengan
pakaian yang indah pula, sayang bahwa pakaian dan rambutnya basah kuyup, walaupun hal ini tidak
mengurangi kecantikannya.
"Aku?" sedang berteduh dari hujan," jawab Lee Ing gagap karena tak menyangka akan terlihat dan akan
ditanya. Lo Sin merasa kasihan. "Kalau kau suka, mari kuantar pulang, nona."
Ucapan ini sebenarnya adalah sewajarnya, timbul dari hati yang mengandung iba dan kuatir kalau-kalau gadis
itu yang berada seorang diri di situ akan bertemu dengan orang jahat dan akan terserang penyakit karena
kehujanan dan kedinginan.
Akan tetapi, bagi Lee Ing ucapan ini terdengar kurang ajar sekali, dan berubahlah pandangannya terhadap Lo
Sin. Pemuda ini memang gagah perkasa dan pantas menjadi putera Ang Lian Lihiap, akan tetapi mengapa
sikapnya begini ceriwis" Apalagi kalau diingat bahwa dia sudah beristeri!
Marahlah hati Lee Ing dan ia menjawab dengan ketus.
"Apakah kau hendak menggunakan kegagahanmu untuk menghina seorang gadis?"
Melihat kegalakan gadis ini, Lo Sin tersenyum dan ia bahkan melompat turun dari kudanya karena merasa
penasaran. "Eh, eh, mengapa menjadi marah" Kau siapakah, nona?" Kini ia melihat makin jelas wajah gadis itu, biarpun
keadaan di situ gelap. "Perlu apa kau tahu siapa aku" Akupun tidak perduli seujung rambut siapa adanya kau! Pergilah dan jangan
mengganggu aku!" Lo Sin makin merasa penasaran, bahkan agak marah karena melihat sikap permusuhan yang tiada alasan dari
gadis itu, Maka tertarik hatinya untuk mengetahui siapa adanya orang ini.
"Nona, aku hanya bermaksud menolongmu. Kau kedinginan dan pakaianmu basah kuyup, mari kuantar pulang
agar kau tidak menderita sakit. Pulanglah dan berganti pakaian kering."
Melihat desakan Lo Sin, makin teballah sangkaan Lee Ing bahwa pemuda ini benar-benar ceriwis dan mata
keranjang. Hatinya makin gemas dan marah, bercampur kecewa yang entah disebabkan oleh apa, dia sendiri
tidak tahu mengapa tiba-tiba hatinya menjadi tidak karuan dan ingin marah kepada putera Ang Lian Lihiap
yang tampan, gagah, dan berkepandaian tinggi ini.
"Keadaanku mempunyai sangkut-paut apakah dengan kau" Biar aku mati kedinginan di sini, kau tak perlu ikut
campur!" Setelah berkata demikian, Lee Ing lalu me
mbalikkan tubuh dan berjalan pergi.
Lo Sin tiba-tiba merasa terkejut karena baru sekarang ia melihat sebatang pedang tergantung di pinggang nona
itu. Ia hendak mengejar dan belajar kenal karena menyangka bahwa gadis itu tentulah seorang gagah, akan
tetapi Lee Ing telah melompat dan berlari cepat sekali di dalam gelap!
Lo Sin menghela napas. Ia merasa sayang sekali tak dapat berkenalan dengan dara jelita itu yang secara aneh
sekali telah dapat menarik perhatiannya.
Padahal biasanya ia tidak mengacuhkan gadis cantik, bahkan kalau orang tuanya membicarakan tentang gadis-
gadis cantik untuk dipilih sebagai isterinya, ia merasa sebal dan marah. Kini, gadis yang berdiri seorang diri di
bawah pohon dan yang muncul secara aneh sekali, telah berhasil menarik hatinya.
Ia lalu melompat ke atas kudanya dan berlari pulang. Lian Hwa dan Cin Han, kedua suami isteri pendekar itu
menyambutnya dengan girang dan ketika mendengar penuturan Lo Sin tentang Hek Li Suthai, Cin Han
menghela napas. "Hm, to-kouw itu tentu akan melatih diri lebih hebat lagi. Siapa tahu, ia akan bersekutu dengan orang-orang
pandai yang berhati jahat untuk mencari permusuhan dengan kita."
"Biar dia mendatangkan bala bantuan, asal kita berada di pihak benar, mengapa harus takuti dia?" kata Ang
Lian Lihiap dengan penuh semangat, hingga Lo Sin memandang kepada ibunya dengan kagum.
"Lo Sin, bagaimana dengan keadaan si Dewa Arak?" Cin Han bertanya setelah Lo Sin mengganti pakaiannya
dengan pakaian kering. Lo Sin lalu menceritakan pengalaman dan perjalanannya. Agar supaya lebih jelas, baiklah kita ikuti sendiri
perjalanan Lo Sin ketika mengunjungi Kong Sin Ek si Dewa Arak di Bukit Pek-ma-san di daerah utara.
"Y" Ketika menerima surat dari Nyo Tiang Pek yang mengabarkan bahwa Kong Sin Ek telah meningga l dunia
karena sesuatu penyakit, hati Lo Sin berkuatir sekali. Ia belum mau mempercayai berita ini dan hatinya yang
amat sayang kepada orang tua itu membuat ia tak dapat menahan diri lagi dan atas perkenan orang tuanya,
pada keesokan harinya ia lalu berangkat ke utara.
Lo Sin mempunyai seekor kuda yang berbulu putih dan bagus sekali, akan tetapi juga tinggi besar dan kuat
hingga dapat berlari cepat tanpa berhenti untuk setengah hari lamanya. Kuda ini adalah pemberian ayahnya
dan diberi nama Pek-liong atau Naga Putih.
Lo Sin menunggang kudanya ini dalam perjalanannya menuju ke utara, kalau ia melarikan kudanya terus
tanpa ada aral melintang, paling lama tiga hari saja ia sudah bisa sampai di Pek-ma-san tempat tinggal Si
Dewa Arak. Akan tetapi, terjadi sebuah peristiwa di tengah jalan yang memperlambat perjalanannya.
Ketika pada keesokan harinya ia tiba di kota Long-men di waktu senja, Lo Sin yang melarikan kudanya cepat
sekali, hampir saja bertabrakan, di sebuah tikungan dengan tiga orang penunggang kuda lain.
Pertemuan antara kudanya dan kuda orang yang berada di tengah, terjadi demikian tiba-tiba dan tabrakan
hampir tak dapat dihindarkan lagi. Akan tetapi Pek-liong adalah seekor kuda yang tangkas dan kuat. Tiba-tiba
saja karena kedutan kendali yang dilakukan oleh lo Sin, kuda itu berdiri di atas kedua kaki belakangnya sambil
meringkik keras. Kuda yang menubruk dari depan tidak mampu menahan kelajuan larinya dan terus menyeruduk ke depan,
akan tetapi Lo Sin telah membungkuk dan mengulurkan tangan kanannya dan dengan tangkas dan cepat ia
berhasil mendorong dada kuda yang hendak menubruk itu.
Dorongan ini kuat dan hebat sekali hingga kuda yang menubruk itu seakan-akan menabrak palang besi hingga
terguling ke kiri. Penumpangnya, seorang laki-laki berusia kurang-lebih empatpuluh tahun, ternyata pun bukan
orang sembarangan. Dengan gerak tipu Burung Hong Terbang Melayang, ia dapat melompat turun dari kudanya
dan berdiri di atas tanah dengan selamat, akan tetapi wajahnya menjadi pucat, oleh karena kalau ia sampai
ikut terbanting di atas kudanya, tentu setidaknya ia akan mendapat luka.
Lo Sin cepat melompat turun dari kudanya dan dengan hormat ia menjura kepada tiga orang itu yang
kesemuanya juga sudah melompat turun dari atas kuda.
"Sam-wi twako, harap maafkan padaku yang tidak sengaja telah mengagetkan sam-wi (tuan bertiga)."
Tiga orang itu berpakaian sebagai piauwsu (tukang pengawal barang berharga yang dikirimkan). Orang yang
hampir terbanting dari kudanya itu dengan muka merah memandang kepada Lo Sin yang berpakaian seperti
anak sekolah. Lo Sin memang memakai sebuah pakaian yang panjang dan lebar seperti yang biasa dipakai oleh para pelajar.
Hanya pakaian pelajar dan pakaian ringkas warna hitam yang disukai dan sering dipakai oleh Lo Sin. Di waktu
siang, apabila tak sedang mengurus sesuatu yang memerlukan tenaganya, ia lebih suka berpakaian sebagai
seorang siucai (pelajar).
Orang itu menuding dengan marah. "Siucai! Kalau aku tadi sampai terbanting dan mendapat luka, kau harus
mengganti dengan jiwamu!"
Lo Sin tersenyum dan menjura kepada orang itu "Twako, harap kau memberi maaf karena aku tidak sengaja."
Orang itu masih marah dan hendak membuka mulut pula, akan tetapi orang pertama dari ketiga piauwsu itu
yang berusia kurang lebih limapuluh tahun dan berwajah sabar, mengangkat tangan dan berkata.
"Sun-te (adik Sun), bersabarlah." Kemudian ia membalas pemberian hormat Lo Sin dan berkata, "Harap kau
sama-sama memaafkan kami, kongcu (tuan muda). Sebetulnya kami juga bersalah karena jalan kecil ini penuh
oleh kuda kami yang lari berendeng. Baiknya kau lihai sekali dan gerakanmu It-chiu-pai-san (Dengan Satu
tangan Mendorong Bukit) tadi sungguh membuat aku orang tua merasa kagum sekali."
Lo Sin terkejut. Tidak tahunya piauwsu tua
ini bermata tajam dan dapat melihat gerakan tangannya yang
mendorong dada kuda itu. "Lopeh, aku adalah seorang siucai yang lemah, mana aku mengerti tentang segala gerakan mendorong bukit."
Piauwsu tua itu tersenyum dan ketika melihat perhiasan di kepala Lo Sin yang berupa burung walet hitam,
wajahnya menjadi terheran dan jelas kelihatan bahwa ia terkejut. Dengan sangsi ia lalu berkata,


Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kongcu, kalau mataku yang sudah tua ini tidak salah melihat, bukankah kau ini Ouw-yan-cu si Walet Hitam
yang termashur?" Lo Sin makin tercengang, akan tetapi ia lalu teringat akan perhiasan di atas kepalanya, maka dengan hati sebal
ia lalu mencabut perhiasan itu dan dimasukan ke dalam saku bajunya yang lebar!
Piauwsu tua itu tertawa bergelak lalu menjura dengan hormat sekali.
"Tai-hiap, terhadap kami, kau tak perlu menyembunyikan dirimu yang sebenarnya! Bolehkah bertanya, taihiap
hendak pergi kemanakah?"
"Lo-enghiong, tak kusangka bahwa kau memiliki pandangan mata yang luar biasa tajamnya. Memang benar,
aku adalah Lo Sin yang disebut orang Ouw-yan-cu, dan aku hendak pergi ke Pek-ma-san mengunjungi seorang
sahabat tua." "Taihiap bukankah kau hendak mengunjungi si Dewa Arak?"
"Eh, bagaimana lo-enghiong dapat mengetahui" Memang benar, aku hendak menengok orang tua itu. Kenalkah
kau kepadanya?" Piauwsu tua itu menghela napas. "Taihiap, perkenalkanlah kami adalah tiga piauwsu dari Long-men dan aku
sendiri adalah ketuanya. Perusahaanku adalah Sam-eng Piauwkiok dan kami bertiga dikenal sebagai Long-men
Sam-eng (Tiga Pendekar dari Long-men). Aku kenal baik pada Kong-cianpwe (Orang Tua Gagah she Kong),
bukan kenal saja bahkan sehingga kini aku dapat memimpin perusahaanku adalah berkat pertolongan Kong-
cianpwe yang berkali-kali."
"Tiap kali aku mendapat kesukaran di jalan, selalu Kong-cianpwe yang membantuku. Kali inipun kami bertiga
mengharapkan bantuannya dan baru saja kami kembali dari Pek-ma-san, akan tetapi celaka, orang tua itu tak
dapat membantu." Piauwsu tua itu menghela napas dan wajahnya menjadi berduka sekali. "Kali ini, aku Lie Kwan, dan kedua
adikku ini, Lie Sun dan Lie Tiong, terpaksa mengerahkan tenaga sendiri untuk menjaga nama piauwkiok kami.".
Lo Sin terkejut sekali mendengar ini dan ia tidak pedulikan urusan mereka bertiga karena perhatiannya
dicurahkan kepada keadaan Kong Sin Ek. "Dia kenapakah" Bagaimana keadaannya?" tanyanya dengan penuh
kuatir. Lie Kwan kembali menghela napas. "Entahlah, taihiap ketika kami datang di sana, kami melihat Kong-cianpwe
duduk di dalam guanya sambil bersamadhi. Tubuhnya Kurus kering, pakaiannya tak karuan macamnya,
compang-camping wajahnya pucat sekali. Kami bertanya mengapa keadaannya demikian rupa, akan tetapi ia
hanya menggelengkan kepala saja.
"Ketika kami menawarkan bantuan untuk memanggil ahli obat, iapun menggelengkan kepala. Akhirnya kami
menyatakan tentang kesukaran kami, dan dia membuka matanya dan berkata bahwa menyesal sekali dia
tidak dapat menolong kami dan selanjutnya menyuruh kami segera pergi."
Mendengar ini teringatlah Lo Sin bahwa ketiga piauwsu yang menjadi kenalan baik Kong Sin Ek ini sedang
menghadapi kesukaran, maka bertanyalah dia.
"Sam-wi kesukaran apakah yang kalian hadapi" Mungkin aku dapat mewakili Kong-lopek untuk menolongmu."
Biarpun kedua adiknya masih memperlihatkan muka sangsi dan ragu-ragu karena mereka belum percaya akan
kelihaian Lo Sin, namun Lie Kwan nampak gembira sekali dan sebelum menceritakan kesukarannya, berkali-kali
ia menjura dan mengangguk-anggukkan kepala menyatakan terima kasihnya.
"Apalagi kesukaran yang timbul bagi seorang piauwsu?" akhirnya ia mulai menuturkan dengan singkat. "Seperti
biasa, kali inipun barang antaran yang dipercayakan kepada kami telah dirampas orang jahat. Yang mengawal
adalah adikku Lie Tiong ini. Akan tetapi kali ini yang merampas bukanlah orang sembarangan, karena dia
adalah perampok wanita tunggal yang berjuluk Kim-gan-eng (Garuda Bermata Emas) dan bernama Coa Bwee
Hwa." Lo Sin mengangguk-angguk. "Sudah lama aku mendengar nama ini, akan tetapi selanjutnya bagaimana?"
"Celakanya bahwa perampok wanita ini bukan sengaja menginginkan harta benda yang kami kirimkan, akan
tetapi sengaja mengganggu kami oleh karena seorang sahabatnya, yakni kepala perampok yang bernama
Giam Cong pada sebulan yang lalu pernah merampok kami dan dapat kami lukai. Dia sengaja datang hendak
membalaskan sakit hati kawannya itu.
"Kami pernah bertemu dengan Kim-gan-e ng dan pernah menyaksikan kelihaiannya, maka kami t ahu bahwa
kami bertiga takkan dapat menangkan dia. Dia tidak mengganggu adikku, hanya memesan bahwa apabila
kami menghendaki kembalinya barang-barang itu kami harus datang bertiga mengambilnya sendiri dalam
hutan di selatan itu. "Kami hendak minta pertolongan Kong-cianpwe, akan tetapi karena orang tua itu tak dapat membantu,
terpaksa kami memberanikan diri dan pergi sendiri. Maka kalau taihiap sudi mencapaikan diri membantu kami,
alangkah girangnya hati kami dan budi ini tentu takkan kami lupakan oleh karena barang berharga itu adalah
milik seorang pembesar dan kalau tidak dapat dirampas kembali, akan berarti hancurnya perusahaan kami
bahkan kami tentu ditangkap dan dijatuhi hukuman!"
"Kalau begitu, marilah kita berangkat sekarang juga," kata Lo Sin.
Mereka berempat lalu menuju ke selatan, hingga Lo Sin kembali ke jalan yang dilalui tadi. Setelah melalui
kurang lebih tigapuluh lie mereka membelok ke kanan dan memasuki sebuah hutan yang liar.
Ketika tiba di tengah hutan, tiba-tiba mereka menghentikan kuda karena di sebuah tempat terbuka dihadapan
m ereka telah menanti banyak anggauta perampok. Ini adalah para anak buah perampok Giam Cong yang
telah menanti di situ. Dengan tindakan gagah Lo Sin dan Long-men Sam-eng melompat turun dari kuda lalu menghampiri mereka.
Dari sebuah bangunan yang terbuat dari pada kayu hutan, keluarlah seorang laki-laki tinggi besar yang
bermuka hitam dan berusia sedikitnya empatpuluh tahun. Wajahnya buruk dan kejam dan matanya bersinar
liar. Inilah kepala perampok Giam Cong yang ditakuti oleh para pelancong dan perantau. Akan tetapi di sebelahnya
berjalan seorang gadis berpakaian serba hijau yang berwajah cantik dan manis sekali. Terutama sepasang
matanya yang lebar itu bersinar tajam dan lincah sekali.
Usia gadis ini paling banyak sembilanbelas tahun, akan tetapi tindakan kakinya yang gesit itu menunjukkan
bahwa ia memiliki ilmu ginkang yang tinggi. Gagang sebatang pedang tersembul di belakang pundak kirinya.
Rambutnya yang hitam itu digelung ke atas dan diikat dengan sutera merah hingga wajahnya nampak manis
sekali. Karena berjalan di dekat Giam Cong yang buruk rupa dan bengis, maka mereka ini kelihatannya bagaikan
seorang bidadari berdampingan dengan seorang iblis.
Ketika melihat bahwa ketiga piauwsu itu datang bersama seorang pemuda pelajar, gadis baju hijau yang
bukan lain adalah Kim-gan-eng Coa Bwee Hwa sendiri, tersenyum mengejek.
"Tiga pendekar dari Long-men datang membawa pengawal seorang pelajar! Apakah dia itu bertugas untuk
membuat syair duka untuk kematian atau kekalahanmu?" Kim-gan-eng tertawa dan suara ketawanya merdu
sekali, sedangkan ketika ia tertawa, giginya yang berderet rata dan berwarna putih bersih itu berkilauan.
"Mana si tua Kong Sin Ek" Bukankah dia itu pembelamu" Panggillah Kong Sin Ek ke sini agar ia mengenal
adanya Kim-gan-eng dan tidak berlaku sewenang-wenang terhadap kami kaum liok-lim (perampok)!"
Lo Sin merasa tercengang dan heran melihat bahwa Kim-gan-eng yang tersohor sebagai perampok tunggal
yang berani dan lihai itu ternyata hanya seorang gadis muda yang cantik jelita! Dan alangkah sombongnya
gadis ini, pikirnya. 03.08. Penderitaan Si Dewa Arak
Akan tetapi ia diam saja dan menanti ke tiga piauwsu itu menjawab. Lie Kwan melangkah maju dan
mengangkat kedua tangan sebagai penghormatan.
"Kim-gan-eng, kami bertiga tak berani mengharapkan bantuan Kong-cianpwe dan saudara kami ini
memberanikan diri datang mewakilinya untuk minta kau bermurah hati dan mengembalikan barang-barang
yang menjadi tanggung jawab kami."
Terang sekali bahwa piauwsu tua ini hendak membujuk karena ia merasa jerih terhadap nona muda itu!
Kim-gan-eng tertawa lagi. "Enak saja bicara! Kalian sudah tahu bahwa pekerjaan kaum liok-lim ialah minta
uang jalan dari mereka yang lewat di daerahnya. Akan tetapi kalian memperlihatkan kegagahan dan
bukannya membantu pamanku Giam Cong ini, bahkan telah berlancang melukainya! Apakah ini namanya
mengingat perhubungan baik di dunia kang-ouw" Oleh karena itu, aku sengaja mengambil barang-barangmu
untuk dipakai sebagai biaya pengobatan luka pamanku ini. Kalau kalian mempunyai kepandaian, cobalah kalian
mengambil kembali barang itu melalui pedangku. Kalau kalian tidak berani, boleh kalian mendatangkan bala
bantuan, kedatangan Kong Sin Ek ke sini telah kutunggu-tunggu!"
Bukan main mendongkolnya hati Lo Sin mendengar kesombongan ini. Ia segera bertindak maju menghadapi
Kim-gan-eng. "Nona, dengan alasan apakah maka kau menantang-nantang Kong Sin Ek Dewa Arak" Kesalahan apakah yang
telah diperbuat oleh orang tua itu hingga kau menjadi marah kepadanya?"
Kim-gan-eng memandang pemuda yang tampan ini dengan mata tajam. Biarpun ia mengagumi kegagahan dan
ketampanan Lo Sin, namun ia memandang rendah kepandaian pemuda pelajar ini.
"Kong Sin Ek terlampau mengandalkan kegagahannya dan belakangan ini dia dan terutama muridnya berlaku
sewenang-wenang dan membinasakan banyak kawan dari kalangan liok-lim, seakan-akan dia tidak
menghargai sama sekali kami kaum liok-lim. Hendak kulihat, sampai di mana kegagahannya. Kau ini siapa dan
mau apa datang ke sini?"
"Kebetulan sekali aku boleh dibilang keponakan Kong Sin Ek dan karena orang tua itu tidak dapat datang
sendiri, biarlah aku mewakili dia menerima pengajaranmu."
Kim-gan-eng tercengang, lalu tersenyum dan berkata, "Eh, eh, agaknya kaupun memiliki sedikit kepandaian.
Keluarkanlah senjatamu hendak kulihat."
Akan tetapi, Giam Cong yang telah sembuh dari lukanya ketika melihat bahwa Kim-gan-eng hendak dilayani
oleh seorang pemuda lemah lembut itu, lalu membentak.
"Pemuda kutu busuk yang ingin mampus! Bwee Hwa, biarlah aku memberi hajaran kepadanya!"
Kim-gan-eng tersenyum dan mengundurkan diri membiarkan pamannya menghadapi Lo Sin, karena pikirnya
bahwa pemuda ini tak mungkin merupakan lawan yang tangguh.
"Anak muda, majulah kalau kau ingin merasakan bagaimana rasanya pukulan keras!" kata Giam Cong dengan
wajah bengis. Melihat lagak yang galak dari Giam Cong yang buruk rupa itu, Lo Sin tersenyum dan berkata. "Bukankah kau
sudah dirobohkan oleh para piauwsu" Mengapa kau masih ada muka dan berani maju pula" Mundurlah, agar
jangan sampai kau roboh untuk kedua kalinya!"
Merahlah wajah Giam Cong mendengar sindiran ini. Ia membentak marah. "Cacing buku! Jangan membuka
mulut besar. Aku Giam Cong si Tangan Besi biarpun pernah dikalahkan oleh piauwsu-piauwsu pengecut itu
akan tetapi mereka bertempur secara keroyokan. Majulah kalian semua seorang demi seorang, jangan main
keroyokan dan lehermu akan kupatahkan semua. Apalagi kau ini, anak muda lemah yang tertiup oleh angin
saja akan terguling, kutanggung dalam lima jurus, aku akan berhasil mengantar nyawamu menghadap Giam-
ong (Malaikat Pencabut Nyawa)!"
Terdengar suara ketawa riuh rendah dari para anggauta perampok yang telah mengurung tempat itu dan
bersikap sebagai penonton, padahal mereka ini siap sedia untuk menerima komando kepala mereka untuk
maju menyerbu dan mengeroyok.
Panas juga hati Lo Sin mendengar kesombongan ini. Ia mengeluarkan perhiasan kepalanya berupa burung
walet hitam yang tadi ditanggalkan dan dimasukkan ke dalam sakunya, lalu dikenakan pada pengikat
kepalanya bagian depan. "Eh, eh, kau hendak berkelahi atau hendak bersolek?" Giam Cong mengejek lagi hingga kembali anak buahnya
tertawa. Akan tetapi Lo Sin segera membuka baju luarnya hingga kini nampaklah pakaiannya serba hitam yang ringkas
dan gagah. Semua orang termasuk Kim-gan-eng, tercengang melihat ini dan diam-diam ia mulai
memperhatikan anak muda yang gagah ini.
"Berkelahi boleh, bersolek pun perlu," jawab Lo Sin dengan suara memandang rendah sekali, "menghadapi kau
saja, perlu apa tergesa-gesa dan ribut-ribut?"
"Keparat sombong. Cabut pedangmu kalau kau memang berani berkelahi!"
"Tak usah, kau maju dan pergunakanlah senjatamu, aku cukup melayanimu dengan tangan kosong saja."
Giam Cong makin marah karena merasa dihina dan dipandang rendah sekali. "Bocah sombong. Kaukira aku
Giam Cong seorang pengecut" Aku tidak sudi menghadapi seorang selemah engkau ini dengan bersenjata
sedangkan kau bertangan kosong, dan tidak mau mendapat nama buruk apabila pedangku membikin kau
mampus dalam keadaan bertangan kosong. Kulihat kau membawa pedang, hayo cabutlah! Atau kau memang
tidak berani?" "Kau agaknya sudah ingin sekali dirobohkan, "Baiklah, tapi ingat, kau sendiri yang minta aku mencabut pedang
dan jangan kaupersalahkan aku kalau dalam dua jurus saja kau akan jatuh bangun!"
Sambil berkata demikian, tangan Lo Sin bergerak dan sebatang pedang yang tajam dan berkilauan telah
tercabut dan berada di tangan kanannya. Pemuda ini lalu berdiri dengan kedua kaki terpentang di kanan kiri,
tangan kiri berto lak pinggang, dan tangan kanan memegang pedang itu lurus-lurus ke depan ditodongkan ke
arah dada Giam Cong. "Nah, tai-ong (sebutan untuk kepala rampok), dengarlah baik-baik! Aku masih menaruh hati kasihan kepadamu,
maka aku hanya akan memegang pedangku seperti ini. Kau boleh maju menyerang dengan senjatamu dan
apabila aku sampai merobah kedudukan tangan atau kakiku, anggap saja aku kalah terhadapmu!"
"Pemuda gila yang bosan hidup!" Giam Cong membentak marah, akan tetapi oleh karena pemuda itu sudah
mencabut pedangnya dan sudah bersiap, ia merasa sudah cukup memberi waktu kepada pemuda aneh ini
maka sambil berseru keras ia lalu menggunakan pedangnya menubruk ke depan dan menyerang ke arah
kepala Lo Sin dengan gerak tipu Macan Kelaparan Menubruk Kelinci.
Giam Cong memang memiliki tenaga besar dan pedang yang digerakkan untuk menyerang ini mengeluarkan
suara dan menyambar dengan cepat sekali.
Akan tetapi Lo Sin tetap tenang dan tidak mengubah kedudukannya sama sekali. Ketika pedang Giam Cong
sudah menyambar dekat, si Walet Hitam lalu menggerakkan sedikit pedang di tangannya untuk membentur
pedang lawan yang menyambar dekat.
"Trang!" Terdengar suara keras dari kedua pedang yang beradu dan tahu-tahu Giam Cong berteriak kaget oleh
karena pedangnya telah terlempar dan terlepas dari pegangannya. Pedang itu terlempar jauh dan jatuhnya
menancap di atas tanah. Semua orang memandang kejadian ini dengan mulut ternganga dan mata terbelalak. Bahkan Giam Cong
sendiri tidak mengerti mengapa pedangnya tahu-tahu terlepas dari pegangannya dan bagaimana pemuda itu
dapat melakukan hal yang aneh ini. Ia merasa amat penasaran dan kemarahannya memuncak, oleh karena ia
menganggap bahwa hal ini kebetulan saja dan barang kali gagang pedangnya yang licin hingga terlepas dari
pegangannya. Ia segera mengambil pedangnya yang menancap di atas tanah itu, lalu maju lagi menyerang, kini dengan lebih
hebat karena ia menggunakan gerak tipu Kilat Menyambar di Atas Kepala. Pedangnya berkelebat cepat dan
hendak membelah kepala Lo Sin dari atas sedangkan tangan kirinya tidak tinggal diam akan tetapi mengirim
pukulan keras ke arah dada Lo Sin.
Semua piauwsu merasa terkejut, oleh karena diserang dengan dua tangan ini, bagaimana pemuda ini dapat
menghindarkan diri" Mereka menduga bahwa kali ini pemuda pembelanya itu pasti terpaksa mengubah
kedudukan kakinya untuk mengelak dari serangan pukulan.
Akan tetapi mereka ini belum kenal betul kelihaian Lo Sin. Si Walet Hitam tetap tenang saja bahkan bibirnya
tersenyum menghadapi serangan ini. Tadi ia bilang bahwa ia akan merobohkan Giam Cong dalam dua jurus,
maka kali ini ia harus merobohkan kepala perampok sombong ini.
Ketika pedang Giam Cong menyambar turun, Lo Sin mencokelkan pedangnya ke atas dengan gerakan
menggetar yang hanya dilakukan dengan pergelangan tangannya sedangkan lengan yang diluruskan itu sama
sekali tidak berubah kedudukannya. Akan tetapi ketika pedangnya membentur dan menangkis pedang Giam
Cong yang menyambar turun, pedang kepala rampok itu kini terpental keras sekali dan melayang ke arah
daun-daun pohon di atas mereka dan tidak turun kembali. Ternyata pedang itu telah menancap di cabang
pohon tersebut. Sementara itu, ketika kepalan tangan kiri Giam Cong menyambar ke arah dada, Lo Sin tidak mengelak, bahkan
lalu mengangkat dadanya dan mengerahkan tenaga lweekang sepenuhnya ke tempat yang akan menerima
pukulan. "Dukk!" kepalan itu menghantam dada dan Giam Cong meringis kesakitan lalu terhuyung ke belakang dan
jatuh terduduk sambil mengeluh karena selain tangan kirinya, juga seluruh tubuhnya kesemutan dan sakit-
sakit. Ia telah kena pukulannya sendiri yang tenaganya dibentur kembali oleh tenaga lweekang Lo Sin yang
tinggi. Lo Sin masih tetap berdiri dan pukulan tadi tak membuat tubuhnya bergerak sedikitpun, bagaikan lalat
menyambar batu besar. Kini Lo Sin menundukkan ujung pedangnya menodong ke arah dada Giam Cong, dan
pemuda yang gagah perkasa ini masih berdiri seperti tadi. Kaki kanan kiri dipentang sedikit, tangan kiri bertolak
pinggang dan tangan kanan memegang pedang yang lurus menodong ke depan, sedangkan bibirnya tetap
tersenyum. Melihat kelihaian sehebat itu, semua orang melongo dan tak terdengar suara sedikitpun untuk beberapa lama.
Kemudian terdengar tepuk tangan riuh dari para piauwsu yang merasa girang dan bangga.
Sebaliknya Kim-gan-eng segera maju menghampiri Giam Cong yang masih terduduk sambil meringis kesakitan
tanpa berani berdiri lagi. Gadis bermata indah itu berpaling memandang kepada Lo Sin dengan pandang mata
aneh, heran, dan kagum. Kim-gan-eng lalu memegang tangan pamannya dan setelah beberapa kali mengurut tangan kiri yang telah
bengkak itu dan menotok pundak kiri untuk memulihkan jalan darah pamannya hingga Giam Cong dapat
berdiri lagi dan cepat-cepat berdiri di pinggir. Gadis cantik itu lalu maju menghadapi Lo Sin yang kini
menyimpan kembali pedang di dalam sarung pedangnya. Melihat cara penyembuhan yang dilakukan oleh Kim-
gan-eng, Lo Sin dapat menduga bahwa gadis itupun adalah seorang ahli lweekeh yang tak boleh dipandang
ringan. Sebaliknya, Kim-gan-eng Bwee Hwa juga maklum bahwa anak muda yang kelihatan lemah itu ternyata adalah
seorang berkepandaian tinggi sekali dan gadis ini semenjak tadi sudah menduga-duga dengan kagum siapa
adanya pemuda yang lihai dan yang memakai hiasan kepala aneh ini.
Tiba-tiba ia terkejut sekali karena teringat akan sesuatu, maka setelah ia maju dan berhadapan dengan Lo Sin,
ia bertanya. "Orang gagah di depan ini apakah bukan Ouw-yan-cu?"
Lo Sin tersenyum dan ia tidak merasa heran bahwa orang telah mengenalinya. "Benar, perhiasan kepalaku ini
memang walet hitam," jawabnya sederhana.
Kim-gan-eng memandang kagum. "Kalau begitu, benar kata suhuku bahwa Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian
Kim-hong adalah pendekar-pendekar tua yang gagah. Melihat kepandaian puteranya sedemikian tinggi tentu
mereka itu lihai sekali!"
Kini Lo Sin merasa heran juga. Bagaimana gadis ini mengenal nama ayah ibunya" "Li-tai-ong, siapakah suhumu
itu yang mengenal nama-nama orang tuaku?"
Kini Kim-gan-eng juga tersenyum dan lenyaplah sikapnya yang bermusuhan tadi.
"Suhuku adalah Pat-chiu Koai-hiap Oei Gan si Pendekar Aneh Kepalan Delapan! Tentu saja kau tidak mengenal
dia, oleh karena suhu memang tidak mempunyai nama tersohor dan besar seperti nama kedua orang tuamu!"
Memang sesungguhnya Lo Sin belum pernah mendengar nama Oei Gan ini, maka ia, lalu menyimpangkan
pembicaraan mereka kepada urusan yang sedang mereka bereskan.
"Sekarang bagaimana" Apakah kau berkukuh hendak menahan barang-barang yang berada di bawah
pertanggungan jawab para piauwsu ini dan tidak hendak mengembalikannya, Li-tai-ong?"
Kim-gan-eng Bwee Hwa memainkan senyum pada bibirnya. "Dengarlah, Ouw-yan-cu! Pertama-tama jangan
kau menyebut aku Li-tai-ong oleh karena aku bukanlah kepala perampok dan aku hanya membantu pamanku
saja. Aku bukan kepala perampok oleh karena aku tak pernah mempunyai anak buah, maka jangan kau
menyebut aku kepala perampok. Tak enak sekali sebutan itu memasuki telingaku.
"Dan kedua, setelah kau bercampur tangan dan mengangkat diri sebagai pembela piauwsu-piauwsu itu,
betapapun juga aku Kim-gan-eng takkan mundur setapak. Marilah kita mencoba kepandaian kita dan apabila
aku kalah, sudah seharusnya aku mengembalikan barang-barang itu, akan tetapi kalau kau kalah olehku, lain
kali kau jangan lancang menjadi pembela orang lain!"
Lo Sin tersenyum dan ia tidak marah oleh karena kata-kata yang dikeluarkan oleh Kim-gan-eng ini biarpun
mengandung nada menantang, akan tetapi terdengar halus.
"Baiklah, Kim-gan-eng, kalau kau ingin mengukur tenaga, marilah kita main-main sebentar."


Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kim-gan-eng mencabut pedang dari punggung dengan gerakan cepat dan Lo Sin juga telah menghunus
pedangnya pula. Keduanya menjura sebagai penghormatan, lalu berbareng menggerakkan tangan yang
memegang pedang. Dalam benturan pertama, Kim-gan-eng maklum bahwa tenaga lweekang pemuda ini masih setingkat lebih
tinggi daripada tenaganya sendiri dan sebaliknya Lo Sin juga kagum oleh karena maklum bahwa gadis ini
bukanlah lawan yang ringan. Maka tanpa ragu-ragu dan sungkan-sungkan lagi Lo Sin lalu mengeluarkan ilmu
pedangnya yang tangguh dan hebat, yakni Hwie-sian-liong-kiam-sut.
Pedangnya berkelebat dan sebentar saja gundukan sinar pedangnya menyelimuti seluruh tubuhnya dan
bagaikan gelombang samudera yang dahsyat bergulung-gulung menyerang ke arah Bwee Hwa! Kim-gan-eng
terkejut sekali dan iapun lalu mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling berbahaya, yakni ilmu pedang
warisan suhunya yang disebut Pat-kwa-hoan-kiam-hoat.
Keduanya bertempur seru dan hebat, akan tetapi sebentar saja Kim-gan-eng harus mengakui keunggulan ilmu
pedang ciptaan Beng San Siansu. Ia hanya kuat bertahan sampai limapuluh jurus dan inipun telah
membuktikan Pat-kwa-hoan-kiam-hoat bukanlah ilmu pedang sembarangan saja.
Oleh karena ilmu silat dari lain cabang agaknya takkan kuat menahan serangan Hwie-sian-liong-kiam-sut yang
dahsyat itu. Setelah bertempur limapuluh jurus Kim-gan-eng merasa pusing sekali dan ujung pedang di tangan
Lo Sin agaknya telah mengurung tubuh nya tanpa dapat dielakkan pula.
Para penonton tidak melihat tubuh kedua orang yang bertempur itu oleh karena sinar pedang yaag
berkelebatan telah menutup kedua tubuh itu dan tahu-tahu mereka melihat Kim-gan-eng melompat tinggi
berjungkir balik beberapa kali di udara dan kemudian turun di tempat yang agak jauh.
"Ah, benar-benar nama Walet Hitam bukanlah nama kosong belaka!" katanya menghela napas, kemudian ia
berpaling kepada Giam Cong dan berkata. "Giam siok-hu, terpaksa kita harus mengembalikan barang-barang
para piauwsu itu dan keponakanmu tak dapat membelamu lebih lama lagi."
Mendengar suara gadis yang agaknya bersedih itu, Lo Sin lalu berkata dengan suara menghibur.
"Kim-gan-eng, ilmu pedangmu benar-benar hebat dan bukan bohong kalau aku menyatakan bahwa belum
pernah aku bertemu dengan ilmu pedang yang lebih tangguh dan lihai daripada ilmu pedangmu. Sampaikanlah
hormatku kepada suhumu, karena biarpun aku belum pernah bertemu dengannya, akan tetapi kepandaiannya
telah membuat aku merasa kagum sekali!"
"Ouw-yan-cu, kau memang bukanlah bangsa rendah yang suka mengagulkan kepandaian. Terima kasih atas
pengajaranmu kali ini, Ouw-yan-cu. Biarlah lain kali aku minta pengajaran lagi."
Setelah berkata demikian, gadis yang bermata indah itu lalu melompat pergi meninggal?kan tempat itu.
Setelah keponakannya yang lihai itu pergi meninggalkannya, maka Giam Cong tak berdaya lagi. Tanpa banyak
membantah ia lalu mengembalikan barang-barang yang dirampas oleh Kim-gan-eng kepada para piauwsu
yang menerimanya sambil mengucapkan banyak terima kasih.
Demikianlah, peristiwa ini membuat para piauwsu dan Giam Cong menjadi baik kembali hubungannya dan
mereka mengadakan perjanjian untuk tidak saling mengganggu dan bahkan saling membantu sebagai
sahabat. Dengan hati puas Lo Sin melihat perkembangan ini dan iapun lalu meninggalkan mereka dan mengaburkan
kudanya menuju ke Pek-ma-san. Kudanya Pek-liong-ma dengan gembira membalap bagaikan terbang menuju
ke utara. "Y" Ketika ia ti ba di Pek-ma-san dan menuju ke gua tempat tinggal Kong Sin Ek si Dewa Arak, benar saja
sebagaimana penuturan piauwsu, ia melihat tubuh orang tua itu bersila tanpa bergerak bagaikan patung batu.
Akan tetapi tubuh itu demikian kurus kering dan pucat seperti mayat, sedangkan pakaiannya compang-
camping tidak karuan. Lo Sin menjadi terharu sekali oleh karena ia memang menyinta orang tua yang menjadi sahabat baik kedua
orang tuanya itu. Ia menubruk maju dan memeluk tubuh Kong Sin Ek sambil berseru.
"Kong peh-peh. Kau mengapakah sampai begini rupa?"
Akan tetapi, alangkah terkejutnya tiba-tiba tubuh yang dipeluknya itu roboh dengan lemas ternyata bahwa
kakek ini telah pingsan dalam keadaan duduk bersila. Pucatlah wajah Lo Sin yang menyangka bahwa kakek
itu telah mati, akan tetapi ketika ia meraba dada kiri si Dewa Arak ia menjadi lega.
Cepat-cepat Lo Sin melakukan pertolongan dan menyadarkan kakek itu dengan pencetan-pencetan pada jalan-
jalan darah tertentu. Ketika ia meraba-raba dan mengurut-urut ini, Lo Sin mendapat kenyataan yang membuat
dadanya berdebar keras dan air matanya mengucur tanpa terasa lagi. Ternyata oleh sentuhan-sentuhan
tangannya bahwa sepasang kaki tangan kakek gagah ini telah lumpuh. Urat-urat besar pada kaki tangannya
telah diputuskan orang. "Kong peh-peh?" bagaimana kau sampai menjadi begini?" beberapa kali Lo Sin mengeluh dan meratap.
Akhirnya Kong Sin Ek membuka kedua matanya. Ketika melihat wajah Lo Sin yang membungkuk di atasnya,
kakek ini tersenyum sedih.
"Lo Sin, anakku yang baik. Akhirnya kau datang juga?""
"Kong peh-peh. Katakanlah, siapa yang membuat kau sampai menjadi begini" Akan kupatahkan kaki
tangannya! Akan kuputar batang lehernya! Bilanglah, siapa keparat itu?" tanya Lo Sin dengan marah dan sakit
hati melihat Kong Sin Ek dianiaya orang sampai begini macam.
"Terima kasih, anakku, sikapmu ini saja sudah cukup untuk membikin aku Kong Sin Ek mati dengan puas. Tak
percuma aku berteman dengan Lian Hwa dan Cin Han. Kau seperti puteraku sendiri!"
"Kong peh-peh, kau tahu aku memang menganggap kau sebagai orang tua sendiri. Sekarang katakanlah, siapa
orangnya yang membikin kau begini rupa?"
"Dia?" dia adalah?" muridku sendiri!"
Tercengang Lo Sin mendengar pengakuan ini. Sepanjang pengetahuannya, Kong Sin Ek tak pernah mempunyai
murid dan kepandaian si Dewa Arak ini hanya pernah diturunkan kepadanya seorang! Bahkan pada dua tahun
yang lalu ketika ia berkunjung ke sini, orang tua ini masih tinggal seorang diri di dalam gua dan tidak
mempunyai murid. 04.09. Persetujuan Sebagai Pengabdian Anak
"Kong peh-peh, siapakah muridmu itu" Dan bagaimana seorang murid dapat berlaku begini terhadap kau?"
Melihat keadaan orang tua itu, Lo Sin lalu berlari ke kudanya dan mengeluarkan sebotol arak yang dibawanya
bekal serta sedikit roti kering. Kong Sin Ek menolak roti itu akan tetapi arak yang berada di botol segera
ditenggaknya sampai habis! Setelah Dewa Arak ini kemasukan arak sebotol, maka mukanya menjadi agak
merah dan keadaannya tidak begitu lemas lagi.
Harus diketahui bahwa selain menderita luka parah yang membuatnya lumpuh, kakek ini telah berpekan-
pekan tidak makan atau minum! Kalau lain orang yang menderita seperti ini, ia pasti telah mati kelaparan.
Kemudian dengan singkat Kong Sin Ek menuturkan kepada Lo Sin tentang pengalamannya dalam dua tahun
yang lalu ini. Pada dua tahun yang lalu, sepeninggal Lo Sin yang mengunjungi orang tua ini, Kong Sin Ek sering termenung
dengan murung memikirkan nasibnya. Ia sudah tua dan lemah, tidak mempunyai murid. Siapakah yang akan
mengurusi jenazahnya kalau ia meninggal kelak" Memang benar di situ ada Lo Sin, pemuda yang dicintainya
seperti anak sendiri dan yang juga mencintai kepadanya, tetapi pemuda ini telah mempunyai tugas sebagai
putera Cin Han dan Lian Hwa sehingga ia tidak berhak untuk menariknya.
Pada suatu hari ketika ia sedang termenung memikirkan nasibnya, tiba-tiba dari bawah bukit berlari seorang
pemuda yang dikejar oleh tiga orang hwesio. Pemuda itu lalu berbalik dan melawan dengan pedangnya, akan
tetapi ketiga orang hwesio itu ternyata berkepandaian tangguh dan tinggi hingga sebentar saja pemuda itu
terkurung rapat dan tak berdaya.
Melihat hal ini, Kong Sin Ek lalu turun tangan membantu dan dengan mudah saja ia memukul mundur ketiga
orang hwesio itu. Pemuda itu berwajah tampan dan sambil berlutut ia menghaturkan terima kasih kepada Kong Sin Ek. Si Dewa
Arak suka melihat pemuda tampan ini dan menerimanya sebagai murid.
Oleh karena pemuda ini memang telah memiliki ilmu silat cabang Go-bi-pai yang lumayan, maka selama dua
tahun ia mempelajari ilmu silat dari Kong Sin Ek, kepandaiannya sudah maju pesat dan hampir semua
kepandaian Kong Sin Ek telah diwariskan kepadanya! Ternyata pemuda ini berotak cerdik sekali dan dapat
menerima pelajaran silat dengan cepat.
Kong Sin Ek merasa puas dan ia mencinta sekali kepada pemuda yang selalu tunduk dan taat kepadanya ini.
Cita-citanya tercapailah dan ia merasa senang sekali oleh karena kini ia mempunyai seorang murid yang boleh
diandalkan. Akan tetapi, kebagusan di luar itu tidak selamanya mencerminkan keadaan di dalam. Siapakah yang akan
menduga bahwa pemuda yang tampan dan selalu menurut serta halus dan sopan tutur katanya itu,
mempunyai pikiran jahat dan memelihara setan di dalam hatinya"
Pada suatu hari, dengan marah sekali Kong Sin Ek menerima laporan dari seorang petani bahwa muridnya itu
telah mengganggu anak perempuan petani itu hingga anaknya itu saking malu dan sedihnya telah
menggantung diri! Berita ini tentu saja diterima oleh Kong Sin Ek bagaikan kilat menyambar di siang hari.
Setelah petani itu pulang dengan menangis sedih, Kong Sin Ek lalu memanggil muridnya dan setelah memaksa
muridnya mengaku, Kong Sin Ek lalu memukul muridnya itu sampai bergulingan di atas tanah! Tadinya ia
hendak menghabisi nyawanya murid itu, akan tetapi ketika melihat wajah muridnya dan melihat pemuda itu
mengeluh dan merintih-rintih, hatinya menjadi tidak tega dan ia mengurungkan niatnya membunuh murid
murtad itu. Ia lalu memaki-maki dan memberi peringatan serta ancaman keras, sedangkan muridnya dengan
suara memilukan lalu menangis, berlutut di depannya dan memohon ampun disertai janji-janji hendak
mengubah adatnya. Oleh karena marah dan kecewa, hati Kong Sin Ek sedih sekali dan ia lalu menghibur dirinya dengan minum
arak sampai mabok dan akhirnya roboh di lantai dalam keadaan tidur pulas bagaikan mati! Dan ketika ia
terjaga daripada tidurnya, ia mendapatkan dirinya telah lumpuh dan sepasang kaki tangannya tidak dapat
digerakkan lagi. Ternyata bahwa murid murtad itu telah memutuskan urat kaki tangannya selagi ia berada dalam keadaan tidur
dan mabok tak ingat orang. Dan murid yang melakukan pembalasan dendam kepada guru sendiri dan
menganiaya gurunya tanpa mengenal kasihan dan secara keji telah lama minggat dari tempat itu!
Mendengar penuturan Kong Sin Ek ini, bukan main marahnya Lo Sin. Ia bangun berdiri sambil mengepalkan
kedua tangannya. "Bangsat rendah, manusia berhati binatang! Kong peh-peh, kauberitahukan di mana adanya bangsat rendah itu!
Sekarang juga akan kuseret dia ke sini untuk menerima hukuman!"
Akan tetapi pada saat itu terdengar Kong Sin Ek mengeluh dan tubuh yang telah lumpuh itu terguling. Lo Sin
cepat memeluknya dan ternyata bahwa napas kakek gagah itu telah empas-empis menanti datangnya maut.
Lo Sin bingung sekali, tidak tahu harus berbuat apa. Kemudian ia ingat bahwa kakek ini belum
memberitahukan nama murid murtad itu, maka ia lalu bertanya keras-keras.
"Kong peh-peh, siapakah nama muridmu itu?"
Bibir Kong Sin Ek bergerak hendak menjawab, akan tetapi agaknya ia telah terlampau lemah sehingga tidak
ada suara yang keluar dari bibir itu.
Lo Sin menggoyang-goyangkan tubuh si Dewa Arak dan sekali lagi bertanya sambil mendekatkan mulutnya
pada telinga Kong Sin Ek. "Peh-peh, aku mohon padamu, tinggalkan nama muridmu itu kepadaku!"
Sekali lagi bibir Kong Sin Ek bergerak dan Lo Sin mendekatkan telinganya kepada mulut kakek itu. Ia
mendengar kakek itu berbisik lemah perlahan sekali.
"Ia?" ia she Lui dan?" ber".. nama....
..." Akan tetapi nama itu takkan pernah dapat terdengar dari mulut kakek
yang telah membuat dunia kang-ouw tergetar karena kegagahannya itu telah meninggal dunia.
Lo Sin memeluki tubuh Kong Sin Ek dan pemuda ini menangis keras dengan hati berduka terharu. Kemudian ia
menggali sebuah lubang di tanah depan gua dan mengubur jenazah Kong Sin Ek. Sebelum meninggalkan
tempat itu, ia bersembahyang di depan kuburan si Dewa Arak dan berkata perlahan.
"Kong peh-peh, mengasolah dengan tenang dan tenteram. Aku bersumpah untuk membalaskan sakit hatimu
dan percayalah bahwa pada suatu hari aku pasti akan menggunakan pedangku menabas putus leher anjing
rendah she Lui itu."
Kemudian Lo Sin lalu meninggalkan tempat itu dan dengan hati berduka kembali ke kota Tit-lee. Ia diserang
hujan badai dan kebetulan sekali bertemu dengan Hek Li Suthai hingga bertempur dan semua ini dilihat oleh
Lee Ing yang mengintai di balik pohon. Hal ini sudah diceritakan pada bagian depan cerita ini.
"Y" Mendengar penuturan Lo Sin tentang keadaan Kong Sin Ek yang menyedihkan itu, Lian Hwa menangis tersedu-
sedu sedangkan Cin Han lalu mengertak gigi dan membanting-banting kaki.
"Akan kuhancurkan kepala murid murtad itu," geram jago tua itu.
"Awas?" awas kau, bangsat she Lui"... akan kucabut keluar hatimu yang kotor itu dari dadamu!" berkata Ang
Lian Lihiap setelah ia dapat bicara.
Demikianlah keluarga pendekar ini diliputi kesedihan dan Cin Han bersama isterinya lalu mengatur meja
sembahyang untuk memperingati kematian sahabat yang tercinta itu. Dalam beberapa hari selanjutnya,
seakan-akan hilang kegembiraan mereka tertutup mendung kedukaan karena kematian Kong Sin Ek yang
benar-benar menghancurkan hati mereka itu.
Pada hari keempat Lian Hwa dan Cin Han memanggil putera mereka dan ketika Lo Sin datang menghadap,
pemuda ini melihat bahwa sebagian besar kedukaan telah menghilang dari wajah ayah bundanya, akan tetapi
tidak seperti biasa, kali itu wajah kedua orang tua itu memperlihatkan sikap bersungguh-sungguh.
"Sin-ji, ayahmu dan aku telah mengambil keputusan untuk mengutusmu pergi menemui peh-pehmu Nyo Tiang
Pek di Bong-kee-san. Nyo-pekhu harus diberitahu tentang kematian Kong peh-pehmu."
Sebelum Lo Sin menjawab, Cin Han berka ta. "Juga Nyo-twako harus diberi peringatan bahwa He k Li Suthai
telah berkeliaran di luar dan hendak mencari kita semua untuk membalas dendam. Aku tidak khawatirkan hal
ini oleh karena kepandaian Nyo-twako cukup kuat untuk menghadapi seorang lawan seperti Hek Li Suthai,
akan tetapi ada baiknya bila berjaga diri."
Lo Sin merasa gembira dan menerima perintah ini dengan baik. "Memang telah lama aku ingin sekali bertemu
dengan Nyo-pekhu, yang ayah berkali-kali memujinya sebagai seorang gagah itu," katanya.
"Dia memang gagah perkasa," kata Cin Han, "siapakah yang tidak menjadi kagum mendengar nama Kim-
jiauw-eng Nyo Tiang Pek, si Garuda Berkuku Emas?"
"Dan isterinya adalah sumoiku sendiri!" kata Ang Lian Lihiap memperingatkan kepada anaknya.
Lo Sin mendengarkan dengan gembira dan makin besar keinginan hatinya untuk cepat-cepat berangkat
menemui mereka. Sampai dimanakah kepandaian mereka" Apakah lebih tinggi dari kepandaian ayah ibunya"
Demikian ia berpikir, akan tetapi ia tidak berani menanyakan hal ini kepada ayah ibunya.
Diluar tahunya Lo Sin, suami isteri pendekar itu bertukar pandang dan memberi isyarat dengan mata. Dengan
pandangan matanya Cin Han menyuruh isterinya yang berbicara, maka Ang Lian Lihiap lalu berkata dengan
suara halus kepada Lo Sin.
"Sin-ji, kau tentu sudah cukup maklum betapa inginnya hati ayah ibumu melihat kau mengikat jodoh dengan
seorang gadis yang berbudi dan bijaksana."
Lenyap kegembiraan yang tadi membayang di wajah Lo Sin ketika ia mendengar ucapan ibunya itu. Ia
mengangkat muka memandang kepada ibunya dengan tajam.
"Sin-ji, sudah kuberitahukan padamu dulu bahwa Nyo-twako yang gagah perkasa itu mempunyai seorang
anak perempuan yang tidak hanya cantik jelita, akan tetapi juga gagah sekali."
Baru saja ibunya bicara sampai di situ, tahulah sudah Lo Sin ke mana tujuan percakapan ini, maka ia segera
memotong, "Ibu, bagaimana ibu tahu akan kecantikan dan kegagahan puteri Nyo-pekhu sedangkan ibu atau
ayah sendiri belum pernah melihatnya?"
Ang Lian Lihiap adalah seorang wanita cerdik maka tentu saja serangan anaknya ini tidak membuat ia menjadi
bingung. Dengan tersenyum ia berkata, "Mudah saja, anakku. Gadis itu adalah puteri Giok Lie, maka tidak
dapat tidak ia harus cantik jelita seperti ibunya. Dan iapun anak Nyo-twako, maka sudah sewajarnya kalau ia
gagah seperti ayahnya!"
Lo Sin hanya menundukkan kepala dan Lian Hwa mempergunakan kesempatan ini untuk memberi tanda
dengan matanya kepada suaminya agar Cin Han suka melanjutkan keterangan ini.
"Sin-ji," kata Cin Han, "benar kata ibumu. Puteri Nyo-twako tentu cantik, gagah dan berbudi mulia. Maka, kami
berdua telah mengambil keputusan untuk menjodohkan kau dengan gadis puteri kawan-kawan baik kita itu!"
Lo Sin memandang dan menatap wajah ayahnya dengan terkejut. Akan tetapi Cin Han melanjutkan kata-
katanya dengan suara tetap, seakan-akan hendak menyatakan bahwa ia tidak ingin dibantah oleh anaknya.
"Sin-ji, dengarlah, ketika utusan Nyo-twako datang ke sini, ibumu dan aku telah mengambil keputusan itu, dan
kami telah mengirim surat lamaran kepada Nyo-twako!"
"Ayah!" "Diam, dan dengar kata-kataku, kali ini kau tidak boleh membantah lagi. Apakah kau selamanya akan
membujang saja dan membiarkan kedua orang tuamu kecewa hati" Dan selain puteri Nyo-twako, gadis mana
lagi di dunia ini yang sesuai untuk menjadi ka
04.10. Pencarian Murid Durhaka
Selama menanti datangnya hari perkawinan, Lee Ing hanya mengeram di dalam kamarnya saja dan tidak mau
keluar. Wajahnya murung dan hatinya berduka, akan tetapi di depan kedua orang tuanya ia tidak berani
menyatakan ketidaksukaan hatinya. Ia menerima nasib oleh karena ia berpikir bahwa ia harus berbakti dan
taat kepada ayah ibunya. Sementara itu, Tiang Pek lalu membuat surat-surat undangan untuk mewartakan berita baik ini kepada seluruh
kenalannya. Ia tidak lupa untuk mengirim surat undangan kepada Lo Cin Han dan Han Lian Hwa di Tit-lee,
bahkan menyuruh seorang pengantar istimewa untuk menyampaikan surat itu.
Persiapan dilakukan dan kedua suami isteri itu setiap hari sibuk sekali dan bekerja dengan penuh kegembiraan.
Betapa mereka takkan gembira, hari baik puteri tunggal mereka menjelang datang, hari yang mereka impi-
impikan, hari yang mereka tunugu-tunggul
Juga di pihak Lui Tik Kong telah membuat persiapan. Anak muda ini tidak lupa mengundang kawan-kawannya
untuk menghadiri perayaan hari perkawinannya dengan puteri Nyo Tiang Pek, Garuda Berkuku Emas yang
telah amat terkenal namanya.
"Y" "Sin-ji, biarpun di luarmu kau tunduk dan tidak membantah kedua orang tuamu, akan tetapi aku tahu apa yang
terkandung di dalam hatimu. Anakku, jangan kaukira bahwa ayahmu dan aku tidak tahu aka n hal yang kau
susahkan. Pada hakekatnya kau tentu tidak setuju dengan lamaran kami terhadap puteri Nyo-twako, bukan?"
tanya Lian Hwa kepada puteranya di dalam kamar Lo Sin yang kini jarang sekali keluar.
"Ayah dan ibu terlalu tergesa-gesa," jawab pemuda itu sambil tundukkan mukanya.
"Lo Sin! Kau kurang percaya kepada pilihan orang tuamu dan hal ini hanya terjadi apabila kau telah
mempunyai pilihan sendiri. Oleh karena ini, ayahmu minta padaku supaya bertanya kepadamu. Apakah benar
dugaan kami bahwa kau telah mempunyai pilihan hati sendiri dan jika sudah, siapakah gadis itu?" Lian Hwa
menatap wajah puteranya dengan pandang mata tajam, seakan-akan hendak menembus hati pemuda itu.
Untuk beberapa lama Lo Sin tidak menjawab. Bagaimana ia harus menjawab" Kalau saja gadis di seberang
jalan yang kehujanan itu telah ia ketahui nama dan tempat tinggalnya, tentu ia akan berani berterus terang
kepada ibunya ini. Akan tetapi, gadis itu hanya dilihatnya sekejap saja, maka ia malu untuk mengaku bahwa
hatinya telah tercuri oleh seorang gadis yang tidak diketahui asal usulnya.
"Tidak, ibu, aku tidak tertarik kepada siapa-siapa. Hanya aku merasa sangsi oleh karena ibu dan ayah
menjatuhkan pilihan pada seorang gadis yang belum pernah dilihat sendiri. Bagaimana kalau pilihan ini ternyata
keliru?" Ang Lian Lihiap menghela napas lega. Mas ih baik kalau puteranya ini tidak menaruh hati kepada gadis lain.
Adapun tentang puteri Nyo Tiang Pek, biarpun belum pernah dilihatnya, ia percaya dan yakin akan kegagahan
dan kecantikan gadis itu. Maka ia hanya tersenyum dan berkata dengan suara gembira. "Kau percayalah
kepada orang tuamu, anakku."
Pada saat itu mereka tiba-tiba mendengar suara Cin Han di ruang depan yang berseru keras, "Kurang ajar!"
Suara ini keras sekali dan mengandung penyesalan hati besar, maka baik Ang Lian Lihiap maupun puteranya
menjadi terkejut dan keduanya lalu lari keluar. Di ruang depan mereka melihat Cin Han duduk di sebuah kursi,
diam bagaikan patung dan memandang kepada sehelai surat yang masih terpegang di tangannya. Wajah jago
tua ini kelihatan marah sekali.
"Han-ko, kau kenapakah?" tanya isterinya.
Cin Han berpaling kepada mereka, kemudian berkata dengan suara gemas kepada Lo Sin yang memandang
padanya dengan penuh pertanyaan.
"Dasar kau anak sial!"
"Eh, eh, ada apakah kau marah-marah seperti kebakaran jenggot?" Lian Hwa bertanya sambil berkelakar.


Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lihat dan baca sendiri surat ini!" kata Cin Han sambil memberikan surat yang dipegangnya kepada Lian Hwa.
Ang Lian Lihiap menerima surat yang berwarna merah itu dan membaca cepat. Tiba-tiba mukanya menjadi
pucat sekali dan ia berkata marah.
"Sungguh terlalu sekali Nyo-twako! Mengapa ia berubah begini tak tahu adat dan berani menghina kami"
Apakah ini bukan satu kekeliruan?"
"Apanya yang keliru?" Cin Han mengulang kata-kata isterinya. "Sudah terang mereka tak pandang mata
kepada kita. Tiang Pek?" kau benar-benar menyakiti hatiku!"
Lo Sin mendengar dan melihat ini semua dengan heran dan khawatir. Ibunya lalu memberikan surat
kepadanya dan berkata, "Kau bacalah sendiri, dan ayahmu berkata benar ketika memakimu sebagai anak sial!"
Lo Sin terima surat itu dan dengan tangan gemetar penuh kekhawatiran ia membaca surat itu. Sehabis
membaca, berbeda dengan kedua orang tuanya, tiba-tiba pemuda itu tertawa bergelak-gelak hingga kedua
orang tuanya memandang dengan heran.
"Bagus, bagus! Perjodohan batal dan ini bukan karena penolakanku, ayah! Sudahlah, ayah dan ibu jangan
marah-marah seperti itu. Bukan hanya seorang saja puteri yang patut menjadi menantu ayah ibu di dunia ini!
Dan bukan Nyo-pekhu saja yang mempunyai anak perempuan! Sekarang anak hendak menyatakan
kehendakku yang telah beberapa hari ini kusimpan dan kutahan saja. Aku ingin sekali menunaikan tugas yang
telah kujanjikan kepada mendiang Kong peh-peh, yakni pergi mencari keparat she Lui itu!"
Memang dalam saat seperti itu, lebih baik puteranya melakukan sesuatu untuk melupakan urusan memalukan
ini, maka baik Cin Han maupun Lian Hwa tidak melarang anaknya. Lo Sin yang sudah bersiap sedia lalu
berpamit dan setelah mendapat banyak nasihat dari kedua orang tuanya supaya berhati-hati, ia lalu menaiki
kudanya Pek-liong-ma dan mulai melakukan perantauan mencari mu
rid murtad dari mendiang Kong Sin Ek si
Dewa Arak. Sementara itu, Cin Han dan Lian Hwa membicarakan tentang isi surat yang membuat mereka penasaran,
marah dan malu itu. Surat ini ternyata adalah surat undangan dari Nyo Tiang Pek yang mewartakan tentang
perayaan hari pernikahan puteri tunggalnya yang bernama Nyo Lee Ing dan yang akan diselenggarakan tiga
pekan kemudian. "Yang masih kuherankan, mengapa Nyo-twako tidak menjawab surat lamaran kita?" tanya Lian Hwa dengan
ragu-ragu. "Bukankah undangan ini berarti sebagai jawaban juga" Mungkin Nyo-twako merasa tidak enak hati kalau
harus menjawab surat lamaran kita dengan sebuah penolakan, maka ia lalu mengirim surat undangan ini yang
tentu saja sudah sangat jelas bagi kita!"
"Tentu saja pada saat Nyo-twako menerima lamaran kita, puterinya telah dipertunangkan dengan orang lain,
dan penolakan terhadap lamaran kita adalah hal sewajarnya. Kita tidak boleh marah kepadanya," kata pula
Lian Hwa yang masih belum mau percaya bahwa Nyo Tiang Pek berani menghina mereka.
Cin Han bersungut-sungut. "Apakah kaukira aku juga sudi memaksanya untuk menerima anak kita sebagai
mantunya" Bukan penolakannya yang kujengkelkan, akan tetapi caranya menyambut lamaran kita. Kalau saja
ia menjawab dengan surat penolakan, sungguhpun puterinya andaikata masih bebas, aku takkan merasa sakit
hati atau tidak enak hati. Di mana ada orang melamar dengan paksaan"
"Akan tetapi, mengapa surat lamaran kita tidak diperdulikan dan tahu-tahu ia mengirim surat undangan ini.
Bukankah ini amat memandang rendah kepada kita" Apakah yang diandalkan oleh Nyo-twako maka ia
menjadi tinggi hati seperti ini?"
"Sudahlah, untuk apa kita pusingkan hal ini" Benar kata Sin-ji tadi. Di dunia masih banyak gadis yang baik dan
bukan Nyo-twako saja yang mempunyai anak perempuan! Mungkin hal ini mereka lakukan tanpa disengaja.
Kita tak usah datang memenuhi undangan ini dan tinggal diam saja, habis perkara. Kalau kita tidak ingat
kepada kebaikan Nyo-twako, kita harus pandang muka adikku Giok Lie dan biarlah kita habiskan perkara
sampai di sini." Cin Han mengangguk-angguk dan menghela napas. "Baiknya memang Sin-ji sudah tidak setuju dengan
lamaran itu hingga hal ini diterima olehnya dengan tenang bahkan merasa lucu. Kalau saja tadinya ia telah
menyetujui dan suka kepada puteri Nyo-twako bukankah hal ini akan menyakiti hatinya dan membuat ia
marah sekali?" Demikianlah, kedua suami isteri ini membicarakan persoalan itu dengan hati tidak puas dan perasaan murung.
Mereka mengambil keputusan untuk melawan sikap Nyo Tiang Pek ini dengan keangkuhan dan tidak akan
menghubungi bekas sahabat baik yang telah menyinggung perasaan mereka itu.
"Y" Cin Han dan Lian Hwa keliru apabila mereka menyangka bahwa Lo Sin tidak ambil perduli akan sikap Nyo
Tiang Pek itu. Ketika tadi ia tertawa setelah membaca surat, memang hatinya bergirang oleh karena ia
terbebas daripada paksaan menikah dengan seorang gadis yang belum pernah dilihatnya.
Akan tetapi, disamping kegirangannya, iapun merasa panas hati dan mendongkol akan sikap Nyo Tiang Pek,
bukan oleh karena merasa diri sendiri direndahkan, akan tetapi oleh karena merasa bahwa Garuda Kuku Emas
itu telah memandang rendah dan berlaku kurang ajar atau kurang menghargai kedua orang tuanya. Inilah
yang membuat ia merasa sakit hati. Dianggapnya Nyo Tiang Pek terlalu menghina kedua orang tuanya dan
penghinaan macam ini tak layak didiamkan saja!
"Awas, Kim-jiauw-eng! Kalau sudah tiba saatnya kita bertemu, hendak kulihat sampai di mana kegagahanmu
yang telah berani berlaku kurang ajar kepada kedua orang tuaku!" katanya di dalam hati. Akan tetapi pada
saat itu ia lebih mementingkan tugasnya mencari murid Kong Sin Ek untuk memenuhi sumpahnya membunuh
pemuda kejam dan curang itu.
Lo Sin mengaburkan kudanya menuju ke kota Long-men mencari Long-men Sam-eng, yakni ketiga orang tua
gagah yang memimpin Sam-eng Piauwkiok di kota itu. Ketiga orang piauwsu tua itu menerima kedatangan Lo
Sin yang mereka anggap sebagai tuan penolong dalam menghadapi Kim-gan-eng dulu itu dengan penuh
kegirangan dan penghormatan. Mereka mempersilakan Lo Sin duduk dan menghidangkan teh wangi.
"Taihiap, kami telah mendengar tentang meninggalnya Kong lo-enghiong di Pek-ma-san," kata mereka dengan
muka sedih, "dan kami merasa menyesal sekali sungguhpun kami masih merasa heran apakah yang
menyebabkan orang tua itu meninggal dalam keadaan demikian sengsara."
Lo Sin menghela napas dan menindas rasa terharunya ketika teringat kepada kakek yang malang nasibnya itu.
"Karena inilah maka siauwte datang mengganggu sam-wi di sini. Kong peh-peh telah teraniaya orang dan kini
siauwte hendak mencari orang itu untuk membalas dendam."
Terkejut sekali ketiga piauwsu itu mendengar ini. "Siapakah yang menganiaya Kong lo-enghiong?" tanya
mereka. Dengan singkat Lo Sin lalu menceritakan riwayat Kong Sin Ek dan akhirnya ia bertanya, "Barang kali diantara
sam-wi ada yang pernah melihat anak muda itu?"
Untuk beberapa lama, ketiga piauwsu itu tak dapat berkata-kata hanya saling memandang dengan muka
terkejut dan heran. "Memang kami telah melihatnya. Ia adalah seorang she Lui bernama Tik Kong, seorang pemuda yang tampan
dan sopan santun. Sungguh hampir tak percaya kami bahwa ia dapat berbuat demikian kejam dan jahat."
Lo Sin girang sekali mendengar ini. "Di mana dia" Tahukah sam-wi di mana adanya orang itu sekarang?"
"Kami tidak tahu, taihiap. Pernah dulu kami mendengar bahwa anak muda itu berkeinginan memasuki ujian
perwira. Mungkin sekali setelah melakukan perbuatan jahat itu ia lalu melarikan diri d
an melanjutkan cita- citanya untuk menjadi seorang perwira tentara kerajaan."
Keterangan ini biarpun cukup berharga, akan tetapi masih belum dapat menolongnya hingga Lo Sin tetap
mencari-cari dengan membuta, tanpa ada tujuan tertentu. Ia lalu meninggalkan Long-men dan merantau
sampai jauh ke timur mencari-cari pemuda yang bernama Lui Tik Kong ini.
Banyak markas-markas tentara kerajaan ia masuki, bahkan ia telah bertanya kepada perwira kerajaan
barangkali mengenal kepada pemuda itu. Akan tetapi oleh karena ,jumlah perwira banyak sekali dan
andaikata pemuda itu benar menjadi perwira, tentu seorang perwira yang masih baru dan belum terkenal,
maka tak seorangpun mengenal seorang perwira bernama Lui Tik Kong.
Hal ini tidak mengherankan, oleh karena Lui Tik Kong begitu lulus ujian dan diangkat menjadi perwira, terus
ditugaskan di daerah Pegunungan Bong-kee-san hingga perwira-perwira lain jarang ada yang mengenalnya.
Memang pada masa itu, banyak sekali diangkat perwira-perwira baru dalam usaha pemerintah untuk
memperkuat pertahanan karena perlu menjaga datangnya serangan bangsa Turki yang dipimpin oleh Jengar
Khan yang telah menyerang di berbagai tempat di tapal batas kerajaan sebelah utara.
Sampai dua pekan lebih Lo Sin mencari-cari tanpa hasil sedikitpun hingga ia menjadi gemas dan kesal.
Akhirnya ia mengambil keputusan untuk mengunjungi kampung Pek-se-chung di lereng Gunung Bong-kee-san
itu dan menjumpai Nyo Tiang Pek.
Ia teringat bahwa pernikahan puteri Nyo Tiang Pek akan dilangsungkan sepekan lagi dan ia membuat
perhitungan bahwa masih ada waktu baginya untuk datang sebelum perkawinan berlangsung.
Hendak dilihatnya sampai di mana "kehebatan" gadis yang telah dipuji-puji kedua orang tuanya tanpa melihat
rupanya lebih dulu dan hendak dilihatnya pula di mana kelihaian Nyo Tiang Pek si Garuda Kuku Emas yang
berani menghina Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong, kedua orang tuanya.
Demikianlah, untuk pertama kalinya kuda Pek-liong-ma dibalapkan cepat sekali ke arah tempat tertentu. Kuda
itu memang mempunyai kegemaran membalap, maka begitu penunggangnya memberi tanda supaya ia
bergerak secepatnya, ia lalu pentang ke empat kakinya dan tubuhnya meluncur cepat bagaikan sebatang anak
panah terlepas dari busurnya.
Tubuh si Walet Hitam yang berpakaian hitam tampak jelas sekali di atas kudanya yang berbulu putih
mengkilap, sedangkan perhiasan kepala yang berupa seekor burung walet hitam itu bergoyang-goyang
bagaikan hidup dan sepasang mata burung yang terbuat daripada mutiara itu berkilau tertimpa cahaya
matahari. Sungguh gagah sekali pemuda ini di atas kudanya yang gagah pula. Tiap orang yang melihatnya tentu
memandang dengan kagum dan penuh perhatian, akan tetapi Lo Sin tidak memperdulikan semua itu dan terus
saja membalapkan kudanya. Makin dekat dengan tempat tinggal Nyo Tiang Pek, ia merasa makin panas
hatinya. Ketika tiba di kaki bukit Bong-kee-san, Lo Sin melihat banyak orang mendaki bukit itu. Melihat gerakan-gerakan
orang-orang yang mendaki bukit, ia dapat menduga bahwa mereka ini adalah orang-orang kang-ouw yang
memiliki kepandaian, sungguhpun diantara mereka banyak pula terdapat orang-orang yang tak mengerti ilmu
silat. Tadinya ia merasa heran akan tetapi kemudian ia teringat bahwa mereka ini tentu para tamu yang hendak
menghadiri perayaan perkawinan puteri Garuda Berkuku Emas yang tersohor itu.
Makin panaslah hati Lo Sin mengingat hal ini. Dia merantau untuk mencari musuh besar Kong Sin Ek dan
membalaskan sakit hati kakek ini, sebaliknya Nyo Tiang Pek yang menurut orang tuanya juga menjadi kawan
baik Kong Sin Ek, pada saat ini sedang bergembira dan berpesta pora merayakan hari perkawinan puterinya.
Kalau Lo Sin sedang sadar pikirannya, tentu ia akan mengerti bahwa pikiran yang terkandung di dalam
kepalanya ini benar-benar tidak sehat dan tidak adil, akan tetapi pada waktu itu memang ia sedang jengkel
dan marah karena usahanya mencari murid murtad itu belum berhasil, ditambah lagi dengan perasaan
penasaran dan sakit hati teringat akan perlakuan Nyo Tiang Pek terhadap kedua orang tuanya.
Perasaaan marah memang selalu mendatangkan pertimbangan-pertimbangan tidak sehat dan menyeleweng,
oleh karena itulah maka orang-orang bijaksana di jaman purba mengharamkan perasaan atau nafsu itu.
Semua orang yang mendaki Bukit Bong-kee-san memang benar orang-orang yang hendak menghadiri pesta
perkawinan puteri Nyo Tiang Pek. Diantara mereka ada pula yang hendak menghadiri tempat Lui-ciangkun
yang kini berada dalam markas yang dibangun di lereng pertama dari bukit itu.
Sebagian besar dari mereka ini adalah orang dari kalangan persilatan yang nampak dari sikap mereka dan dari
gagang-gagang pedang yang menghias pinggang atau punggung mereka. Ketika kuda Pek-liong-ma meluncur
lewat semua mata memandang dan mereka menduga-duga siapa adanya pemuda gagah ini. Mereka hanya
menduga bahwa pemuda ini tentulah seorang tamu juga, hanya entah tamu pihak pengantin wanita, entah
pihak pengantin pria. Lui-ciangkun menerima para tamunya yang datang dari segala penjuru oleh karena pemuda inipun mempunyai
banyak sekali sahabat, terutama di kalangan liok-lim, oleh karena pemuda yang halus dan tampan ini diluar
persangkaan orang, sebelum menjadi murid Kong Sin Ek, telah pernah menjadi seorang perampok tunggal.
Pada saat itu, Lui Tik Kong sedang menerima kedatangan dua orang sahabat baiknya den gan ramah tamah dan
gembira. Kedua orang sahabat ini adalah Thio Kun dan Thio Kiat, dua orang kakak beradik yang menjadi bajak
di Sungai Yang-ce-kiang dan yang memiliki kepandaian tinggi hingga mereka dijuluki Mo-kiam Heng-te atau
Kakak Beradik Pedang Siluman.
Dari julukan ini saja sudah dapat diduga. bahwa mereka adalah ahli pedang yang lihai. Tubuh, kedua orang ini
tegap dan kuat, sedangkan muka mereka juga menunjukkan kegagahan, sungguhpun dari kedua pasang mata
mereka menyinarkan kebuasan dan kekejaman.
Pada saat mereka berkelakar dan bergembira sebagai sahabat-sahabat lama yang baru bertemu setelah lama
berpisah, di luar benteng itu terjadi keributan. Ternyata ketika Lo Sin bersama orang-orang lain lewat di depan
benteng itu, penjaga-penjaga pintu benteng yang mengira bahwa Lo Sin juga seorang tamu yang hendak
mengunjungi perwira ini, segera menghadang untuk menerima dan merawat kuda tamunya.
"Minggir!" seru Lo Sin dengan heran hingga penjaga yang tidak menyangka bahwa kuda putih itu hendak lewat
saja, hampir tertubruk kuda kalau ia tidak cepat-cepat melompat ke samping.
"Bangsat!" penjaga itu memaki marah.
Pada saat itu Lo Sin memang sedang dipengaruhi kemarahan dan kejengkelan hingga telinganya perasa sekali.
Begitu mendengar suara makian ini, cepat ia menahan kudanya dan memutar kuda itu kembali untuk
menghampiri si penjaga yang berdiri bertolak pinggang.
"Kau tadi memaki, siapa?" tanya Lo Sin dengan suara tenang sambil memandang tajam.
"Siapa lagi kalau bukan kau! Kudamu hampir menubrukku!"
Belum juga mulut penjaga itu tertutup setelah mengeluarkan kata-kata ini, ujung cambuk kuda di tangan Lo
Sin menyambar dan tepat mengenai pipinya hingga penjaga itu terlempar dan jatuh bergulingan dan berteriak-
teriak karena sabetan itu telah membuat beberapa buah giginya copot! Masih baik baginya bahwa Lo Sin tidak
mengerahkan tenaganya, kalau demikian halnya, tentu kini ia tak dapat berteriak lagi!
Para penjaga lain menjadi marah sekali dan dengan golok di tangan mereka maju menyerbu.
"Bangsat dari manakah berani mengacau dan mengganggu perayaan yang sedang berlangsung" Apakah kau
sudah bosan hidup?" Akan tetapi dengan tenang Lo Sin lalu menanggalkan jubahnya dan dengan pakaian ringkas ini ia melompat
turun dari kudanya. Kini nampak sebatang suling terselip pada ikat pinggangnya dan pedang menempel di
punggung. Memang tiap kali melakukan perantauan, Lo Sin tak pernah lupa membawa sulingnya untuk ditiup
dan melepaskan kesunyian di waktu ia berada seorang diri di tempat sunyi.
Ia menghadapi para penjaga yang tujuh orang banyaknya itu dengan sikap tenang dan bertolak pinggang.
"Kalian ini perajurit-perajurit penjaga mau apakah" Aku lewat di sini menunggang kudaku dan kawanmu itu
secara sembrono menghadang di jalan hingga hampir tertubruk kudaku, akan tetapi mulutnya yang kotor lalu
memaki. Aku memberi hajaran pada mulut kotor itu, kalian mau apa?"
"Bangsat, hayo kau menghadap ciang-kun untuk memohon maaf!"
"Ah, memang mulutmu semua kotor dan perlu dihajar!"
Setelah berkata demikian, tiba-tiba tubuh Lo Sin bergerak dan menyambar-nyambar. Terdengar teriakan-
teriakan kesakitan dan sebentar saja ke tujuh orang penjaga itu rebah malang melintang dan menjerit-jerit
kesakitan sambil memegang pipi mereka yang kena ditempiling oleh telapak tangan Lo Sin!
04.11. Pertemuan Tak Terduga
"Manusia-manusia sombong! Jangan mengandalkan ciang-kun mu untuk menghina orang!" Bentak Lo Sin dan ia
segera berjalan perlahan dan tenang ke arah Pek-liong-ma yang menjauhi mereka ketika terjadi keributan tadi
dan kini sedang enak-enak makan rumput.
Semua tamu yang kebetulan baru tiba dan melihat pertengkaran ini, berdiri memandang dengan mata
terbelalak, bahkan beberapa orang lalu berlari ke dalam untuk memberi tahu kepada Tik Kong.
Ketika itu Tik Kong sedang minum arak dan bersenda-gurau dengan kedua saudara Thio. Tiba-tiba datang
seorang perajurit yang melaporkan bahwa di luar ada seorang pemuda mengamuk dan memukuli para
penjaga. Tik Kong marah sekali, dan demikian juga Thio Kun dan Thio Kiat. Mereka bertiga lalu bertindak cepat keluar
untuk melihat siapa adanya orang yang berani mengacau itu.
Pada saat mereka bertiga tiba di luar, Lo Sin telah menghampiri kudanya dan siap menunggang kudanya lagi,
akan tetapi tiba-tiba ia mendengar suara yang nyaring sekali membentak dari belakangnya.
"Berhenti dan turun!"
Lo Sin sudah menaikkan kakinya ke atas itu lalu menahan gerakannya. Ia mendongkol sekali oleh karena
suara orang yang berseru ini mengandung perintah yang keras, seakan-akan orang ini sudah biasa memerintah.
Ia menurunkan kakinya dan dengan perlahan menengok. Maka mengertilah dia ketika melihat pakaian seorang
pemuda tampan yang berdiri sambil bertolak pinggang. Orang ini tentu perwira yang berkuasa di markas itu,
maka Lo Sin dengan tindakan perlahan lalu menghampirinya.
"Kau mau apa?" tanyanya sambil mengangkat kedua tangannya bertolak pinggang pula menghadapi perwira
muda yang gagah itu. "Kau orang kurang ajar dari manakah berani sekali mengacau di sini?"
"Anak buahmu yang mengacau, bukan ak u! Kau kurang pandai mendidik mereka hingga mereka berani
berlaku kurang ajar dan tidak sopan kepada orang lewat, seharusnya kau menegur mereka itu, bukannya
menegur aku!" jawab Lo Sin dengan sikap seperti seorang guru mengajar murid.
Melihat kegagahan anak muda baju hitam ini, Lui Tik Kong sudah dapat menduga bahwa anak muda ini tentu
memiliki kepandaian tinggi, maka timbul kegembiraannya hendak mencoba. Ia lalu tersenyum sabar dan
berkata. "Harap dimaafkan kalau anak buahku yang berlaku kurang hormat. Akan tetapi kaupun lancang sekali turun
tangan, agaknya untuk memperlihatkan kepandaian. Mari, marilah, orang gagah, kita main-main sebentar
sekedar perkenalan!"
Sambil berkata demikian Lui Tik Kong mengejapkan matanya kepada kedua saudara Thio itu, lalu ia mencabut
keluar pedangnya. Melihat sikap yang tabah dan kata-kata, yang halus dari perwira muda itu, kemarahan Lo Sin agak mereda.
"Kau hendak menguji kepandaian" Boleh, boleh!" Iapun lalu menghunus pedangnya dan bersiap menghadapi
perwira itu. "Lihat pedang!" Tik Kong berseru keras dan maju menyerang dengan lagak sombong oleh karena ia
memandang rendah kepada pemuda baju hitam yang tampan ini.
Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa Lo Sin telah merasa suka kepadanya hingga pemuda ini tidak mau
membuatnya malu dan sengaja menangkis dengan perlahan. Kalau Si Walet Hitam menghendaki, dalam dua-
tiga gebrakan saja mungkin Tik Kong akan dapat dirobohkan!
Mereka lalu bertempur dengan ramai dan cepat hingga membuat kagum semua yang menonton. Akan tetapi,
tiba-tiba Lo Sin menjadi pucat ketika mengenal bahwa ilmu pedang yang dimainkan oleh perwira ini adalah
ilmu pedang Kong Sin Ek! Ia melompat ke belakang dan bertanya.
"Tahan dulu! Bolehkah aku mengetahui she dan nama Ciang-kun yang gagah?"
Lui Tik Kong tidak menyangka apa-apa dan hanya menduga bahwa pemuda baju hitam yang gagah ini merasa
kagum kepadanya. Maka sambil tersenyum ia berkata.
"Aku bernama Lui Tik Kong dan siapakah?"?"
Belum juga habis ia bicara, Lo Sin sudah melompat maju dan mengulur tangan hendak menangkapnya sambil
berseru. "Keparat rendah! Akhirnya aku dapat juga menangkapmu! Hayo kau ikut menghadap makam Kong Sin Ek
untuk mengakui dosa-dosamu!"
Lui Tik Kong cepat mengelak dan menyerang dengan pedangnya "Kau siapakah?" tanyanya.
"Tak perlu kau yang hina mengetahui siapa adanya aku. Aku adalah utusan Kong Sin Ek untuk menabas
batang lehermu dan menamatkan riwayatmu yang kotor dan jahat. Pembunuh rendah, manusia tak kenal
budi!" Sambil memaki-maki Lo Sin menyerang lagi dengan pedangnya dan kali ini ia tidak berlaku sungkan lagi
hingga dalam segebrakan saja pedangnya telah hampir, menembusi leher Lui Tik Kong. Baiknya perwira ini
berlaku cepat dan miringkan tubuhnya hingga ujung pedang Lo Sin hanya menyerempet pundaknya dan
mendatangkan luka ringan saja!
Melihat kelihaian pemuda baju hitam ini, Tik Kong terkejut sekali, apalagi ketika Lo Sin mengaku sebagai
utusan suhunya, ia menjadi ketakutan dan melompat ke belakang.
"Bangsat she Lui, jangan kau lari!" teriak Lo Sin yang segera mengejar dengan pedang di tangan.


Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akan tetapi pada saat itu, dari kanan kiri berkelebat dua batang pedang yang berbareng menyerangnya. Kedua
pedang ini adalah pedang saudara Thio yang menyerang Lo Sin dalam usaha mereka membela Lui Tik Kong.
"Pengacau jahat, jangan kau kurang ajar!" Bentak Mo-kiam Heng-te sambil menggerakkan pedang mereka.
Lo Sin cepat menangkis dengan pedangnya dan ketika ia melihat tubuh Lui Tik Kong melompat ke atas pagar
yang tinggi, cepat tangan kiri Lo Sin mengeluarkan dua batang piauw hitam dan menyambitkannya ke arah
tubuh Lui Tik Kong itu. Akan tetapi, gerakan Tik Kong cukup gesit dan telinganya cukup tajam hingga sebelum
dua batang piauw menyambar ke arah leher dan pungg
ungnya itu mengenai sasaran, ia telah menjatuhkan
dirinya ke belakang tembok hingga terhindar dari bahaya maut.
Melihat lenyapnya tubuh musuh besarnya ke belakang tembok, Lo Sin menjadi marah sekali. Pedangnya
diputar cepat dalam gerakan-gerakan terhebat dari Hwie-sian-liong-kiam-sut hingga berubah menjadi sinar
pedang berkelebat cepat yang menyambar bagaikan kilat kepada Mo-kiam Heng-te hingga kedua saudara ini
terkejut sekali dan melompat mundur. Akan tetapi terlambat, pedang Lo Sin telah diputar sedemikian rupa
sehingga mengurung tubuh Thio Kun dan Thio Kiat dan sejurus kemudian kedua saudara itu berteriak kesakitan
dan pedang mereka terlepas dari tangan oleh pedang Lo Sin.
Mereka cepat menjatuhkan diri ke belakang dan bergulingan, tetapi sebetulnya gerakan ini sia-sia saja oleh
karena memang Lo Sin tidak bermaksud mengejar mereka. Kalau Lo Sin memang menghendaki jiwa mereka,
tentu ujung pedangnya tidak hanya menggores di lengan tangan mereka dan mengarah sasaran yang lebih
tepat. Setelah mengalahkan Mo-kiam Heng-te, Lo Sin lalu secepat kilat melayang naik ke atas tembok di mana tubuh
Lui Tik Kong menghilang tadi lalu langsung masuk ke dalam markas itu. Ia tidak melihat Tik Kong, akan tetapi
sebaliknya melihat banyak sekali anggauta tentara dan para tamu yang berkepandaian menyerbu ke arahnya.
Ia putar-putar pedangnya melakukan perlawanan dan sebentar saja banyak pengeroyoknya dibikin terpental
senjata mereka dan dirobohkan oleh dorongan tangan kiri atau tendangan kedua kakinya.
Orang-orang yang mengeroyoknya biarpun berjumlah banyak, akan tetapi merasa jerih juga melihat sepak
terjang pemuda yang luar biasa lihainya itu. Akan tetapi oleh karena para anggauta tentara itu harus membela
komandan mereka, maka mereka berlaku nekad dan terus maju mengeroyok.
Jumlah mereka ratusan orang, maka Lo Sin berpikir apabila ia terus mengamuk, tidak saja ia akan membunuh
banyak orang tidak berdosa, bahkan ia akan membuang-buang waktu dan memberi kesempatan kepada Lui
Tik Kong untuk kabur. Maka ia lalu mengulur tangannya menangkap seorang perajurit dan melompat keluar
tembok secepat kilat. Sambil mengempit tubuh perajurit itu, Lo Sin berlari ke arah kudanya dan melompat ke atas punggung Pek-
liong-ma yang segera berlari cepat sekali ke depan hingga para pengejar tak dapat mengejar terus.
"Kau bilang saja terus terang. Ke mana perginya perwira she Lui itu tadi" Awas, kalau kau membohong,
pedangku akan menabas batang lehermu!!" Lo Sin mengancam tawanannya.
Perajurit itu menggigil ketakutan.
"Lui-ciangkun lari ke dusun Pek-se-chung," katanya dengan suara gemetar.
"Di mana ia bersembunyi?"
"Entahlah, tapi kalau tidak salah tentu di rumah kepala kampung dusun itu mencari perlindungan ."
Setelah mendengar keterangan ini, Lo Sin melemparkan tubuh tawanannya ke atas tanah dan ia terus
menghamburkan kudanya menuju ke kampung Pek-se-chung.
Sementara itu hari telah mulai menjadi gelap, akan tetapi kebetulan sekali pada malam itu bulan keluar
sepenuhnya hingga keadaan terang dan indah sekali. Lo Sin terus menghamburkan kudanya dengan hati girang
dan kecewa. Girang oleh karena tanpa diduga-duga ia telah dapat menemukan Lui Tik Kong, kecewa oleh
karena ia tidak berhasil membekuk pemuda keparat itu.
Mudah saja bagi Lo Sin untuk mencari keterangan di mana adanya rumah Chung-cu atau kepala kampung
dusun Pek-se-chung. Setiap orang, wanita maupun pria, anak-anak maupun kakek-kakek, tahu belaka di mana
rumah gedung kepala kampung itu.
Setelah mendapat tahu, Lo Sin lalu meninggalkan kudanya di sebuah rumah penginapan di dusun itu, dan ia
lalu berlari cepat menuju ke rumah kepala kampung, sama sekali tidak mengira bahwa kepala kampung itu
adalah Nyo Tiang Pek. Bahkan ia lupa pula akan bunyi surat Nyo Tiang Pek kepada orang tuanya dulu bahwa si
Garuda Kuku Emas ini menjadi kepala kampung di Pek-se-chung.
"Y" Lui Tik Kong yang ketakutan memang melarikan diri ke Pek-se-chung dan dengan napas terengah-engah ia
menghadap calon mertuanya. Kebetulan sekali Lee Ing berada dalam kamarnya dan sedang dirias oleh karena
besok pagi akan dirayakan pertemuannya dengan calon suaminya.
Gadis ini semenjak pagi tadi telah menangis saja dengan sedihnya, dan ini dianggap biasa oleh para tamu
wanita yang menjenguk ke dalam. Oleh karena ini Lee Ing tidak melihat dan tak tahu akan kedatangan calon
suaminya yang menghadap Nyo Tiang Pek di dalam kamarnya dengan wajah pucat.
"Gak-hu (ayah mertua), celaka!" katanya dan Nyo Tiang Pek terkejut sekali melihat pundak calo n mantunya
mengucurkan darah. "Eh, eh, apa yang terjadi, Hian-sai?" tanyanya dengan heran.
"Celaka, musuh besarku telah mengejarku dan hampir saja aku binasa dalam tangannya."
"Siapakah dia?" tanya Nyo Tiang Pek dengan penasaran. "Dan mengapa dia hendak membunuhmu?"
"Dia adalah seorang perampok muda yang dulu pernah bentrok denganku ketika ia mencoba merampok dan
kuhalang-halangi. Celaka, kepandaiannya sekarang tinggi sekali hingga aku tak kuat melawannya. Harap Gak-
hu sudi menolongku!"
Nyo Tiang Pek menjadi marah sekali. "Biarlah kau bersembunyi saja di sini dan kalau ia berani datang,
pedangku akan menyambutnya."
Oleh karena ia harus melayani tamu-tamu yang sudah banyak terdapat di situ, terpaksa biarpun dengan hati
tidak enak dan bingung, Nyo Tiang Pek lalu memberi sebuah kamar untuk calon mantunya dan meninggalkan
mantunya ini dengan kata-kata hiburan yang membesarkan hati.
Dan pada malam hari itu, bayangan Lo Sin berkelebat cepat di atas genteng rumah keluarga Nyo itu. Karena di
bawah sangat ramai dengan suara para tamu, maka geraka
n Lo Sin yang ringan ini tidak ada yang mendengar
atau mengetahuinya. Pada saat itu Nyo Tiang Pek sedang sibuk melayani tamu-tamunya sedangkan Giok Lie sebagaimana biasanya
kaum wanita, sedang sibuk sekali mengatur barisan dapur untuk keperluan esok hari, maka Lee Ing ditinggal
seorang diri dalam kamarnya. Gadis ini merasa panas sekali ditinggal di kamar dan ingin keluar menikmati
angin malam. Oleh karena tak mungkin baginya untuk keluar dari kamar tanpa terlihat oleh para tamu yang memenuhi
ruang depan yakni tamu-tamu laki-laki dan ruang belakang pun penuh dengan tamu wanita yang membantu
ibunya, maka gadis ini lalu membuka jendela kamarnya dan melompat keluar dari jendela itu ke atas genteng.
Ketika ia tiba di atas genteng, ia melihat bayangan hitam sedang berjongkok di belakang wuwungan. Inilah
bayangan Lo Sin yang sedang terheran melihat banyaknya tamu di rumah ini. Akan tetapi pemuda itu tidak
mau ambil pusing dan matanya mencari-cari kalau-kalau diantara tamu di ruang depan itu terdapat Lui Tik Kong
yang dicari-carinya. Tiba-tiba ia mendengar suara angin di belakang. Cepat ia melompat dan membalikkan tubuh dan?" ia
berhadapan dengan gadis cantik jelita yang berdiri dengan matanya yang lebar terbelalak memandangnya.
Kebetulan sekali Lee Ing berdiri menghadapi bulan hingga cahaya bulan menyinari mukanya yang cantik.
Melihat wajah ini, Lo Sin lalu menuding dengan telunjuknya.
"Kau?"" Kau?"" Eh, nona kembali kita bertemu di tempat yang tak disangka-sangka. Kau siapakah nona, dan
ada apa kau bisa berkeliaran sampai ke sini?"
Marahlah Lee Ing mendengar dirinya disebut "berkeliaran" dan dengan muka cemberut ia menjawab, "Aku tak
perIu memperkenalkan diriku kepada segala maling!"
"Eh, eh, mengapa tiba-tiba kau menyebutku maling" Barangmu yang manakah pernah kucuri?"
"Kalau kau bukan pencuri, mengapa kau mengintai di atas rumah orang lain?"
Gadis ini merasa heran sekali melihat putera Ang Lian Lihiap mengintai di atas rumahnya, diam-diam ia teringat
kepada diri sendiri yang dulu pernah juga mengintai seperti maling di rumah keluarga Lo Sin.
"Kau salah sangka, nona. Aku bukan mengintai untuk mencuri, akan tetapi aku mencari bangsat she Lui!"
"Apa" Siapa katamu tadi?"
"Aku mencari Lui Tik Kong, hendak kutabas batang lehernya dan kubawa kepalanya!"
Pucat wajah Lee Ing mendengar ini.
"Mengapa kau mencari dia di sini?"
"Karena kata orang dia berlari ke sini! Eh, nona, kau tahu-tahu muncul di depanku, apakah kau tinggal di rumah
ini?" Lo Sin bertanya penuh harapan oleh karena mungkin dari gadis ini ia akan mendapat keterangan tentang
Lui Tik Kong. "Memang aku tinggal di sini dan pemilik rumah ini adalah ayahku!"
Lo Sin terkejut dan air mukanya berseri. "Jadi, benar-benarkah Lui Tik Kong berada di sini?"
Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu."
Lo Sin menjadi marah. "Nona, jangan kau main-main dalam hal ini. Aku perlu sekali mengetahui hal ini. Apakah
kau mengenal kepada orang she Lui itu?"
"Tentu saja kenal padanya."
"Dan kau tidak melihat dia datang di sini?" Ingat, nona, jangan kau membelanya."
Kedua mata dara itu mengeluarkan sinar marah. "Siapa hendak membela dia?"
"Nah, janganlah marah dulu, nona. Dengarlah pemuda perwira yang gagah itu sebenarnya adalah seorang
pembunuh kejam dan seorang yang berjiwa rendah! Dia telah membunuh Kong Sin Ek yang menjadi gurunya
sendiri dan Kong Sin Ek adalah peh-peh ku. Maka aku harus menangkapnya untuk membalas dendam ini,
katakanlah terus terang."
"Kau jangan mencari di sini, akan sia-sia saja dan kau lekas pergilah! Kalau ayah mengetahui kau datang
hendak membunuh Lui Tik Kong, kau akan mendapat celaka!"
"Aku tidak takut! Bagaimanapun juga, Lui Tik Kong harus mampus dalam tanganku!" seru Lo Sin dengan geram.
Tiba-tiba terdengar bentakan kasar. "Bangsat perampok kurang ajar! Kau berani bermain gila di sini?"
Dan berbareng dengan bentakan ini, Nyo Tiang Pek dengan pedang di tangan tahu-tahu telah melompat dan
menyambar ke arah Lo Sin dengan serangan pedangnya yang lihai! Lo Sin terkejut sekali melihat seorang
setengah tua tiba-tiba menyerang dengan gerakan demikian kuat dan cepat, maka ia cepat mengelak samping
dan menangkis dengan pedangnya.
"Ayah!" teriak Lee Ing. "Dia...... dia adalah si Walet Hitam?" dan".. dan?" Tik Kong?""
Akan tetapi oleh karena Nyo Tiang Pek telah yakin betul bahwa pemuda ini adalah musuh yang mengejar dan
hendak membunuh Tik Kong, ia tidak memperhatikan seruan anaknya, lalu langsung menyerang lagi terlebih
hebat pula. Lo Sin kaget ketika mendengar bahwa orang tua yang gagah ini adalah ayah si nona, maka ia tidak mau
melayani lebih lama lagi. Dengan cepat ia melompat turun dan berkata.
"Maaf dan sampai bertemu lagi, nona!"
Akan tetapi, mendengar kata-kata ini yang ditujukan kepada puterinya makin marahlah Nyo Tiang Pek yang
mengira bahwa pemuda itu berlaku kurang ajar dan berani berkenalan dengan puterinya, maka secepat kilat ia
mengejar turun sambil membentak.
"Bangsat perampok, kau hendak lari ke mana?"
"Ayah?"!" Lee Ing berseru lagi sambil melompat turun juga, akan tetapi pada saat itu, di bawah tembok Nyo
Tiang Pek sudah menyerang lagi dengan gerak tipu Malaikat Menyambar Nyawa!
Gerakan ini bukan main cepat dan hebatnya hingga Lo Sin makin terkejut saja. Tidak disangkanya bahwa di
tempat ini terdapat orang yang begini tinggi ilmu pedangnya! Ia berkelit lagi secepatnya dan belum berani
membalas oleh karena ia merasa segan untuk melawan ayah gadis yang menarik hatinya itu.
Sementara itu, Lee Ing berdiri di dekat tembok menyaksikan pertempuran itu dengan tak berdaya dan bingung.
Ia tak tahu harus berbuat apa dan hanya memandang dengan hati sedih dan tidak karuan, oleh karena ia
masih terpukul oleh kata-kata Lo Sin yang menerangkan bahwa bakal suaminya adalah seorang penjahat
rendah dan kejam yang telah menganiaya Kong Sin Ek, si Dewa Arak yang namanya telah seringkali didengar
dari ayah ibunya sebagai seorang gagah perkasa dan kawan baik kedua orang itu!
Melihat betapa dua kali serangannya yang paling berbahaya dengan mudah dapat dielakkan oleh pemuda baju
hitam itu, diam-diam Nyo Tiang Pek merasa terkejut juga dan mengertilah ia mengapa Lui Tik Kong tidak dapat
melawan dan takut kepada pemuda lihai ini. Ia berseru keras dan menyerang lagi dengan sebuah tusukan Kera
Putih Memetik Bunga. Serangan ini ditujukan ke arah perut Lo Sin sambil melompat maju dengan kaki kiri melangkah ke depan, kaki
kanan terangkat dan bersiap mengirim tendangan susulan, sedangkan tangan kiri diangkat ke belakang tinggi-
tinggi untuk mengimbangi tenaga tusukan pedangnya!
Lo Sin terkejut lagi. Inilah sebuah serangan maut yang benar-benar berbahaya oleh karena pemuda ini maklum
bahwa serangan ini akan disusul dengan tendangan dan pukulan tangan kiri. Maka tidak ada lain jalan baginya
selain mempergunakan kelincahan dan ginkangnya yang tinggi.
05.12. Tidak Bisa! Harus Dihalangi . . . . .
Sambil berseru nyaring tiba-tiba tubuh Lo Sin telah melayang ke atas dengan kaki ke atas dan kepala di bawah
ia berjungkir balik dan menggunakan pedangnya untuk menangkis pedang lawan dan berbareng gerakannya
ini telah mematahkan kehendak lawan yang hendak menyusul dengan sebuah tendangan.
Jejak Di Balik Kabut 42 Kembang Kecubung Karya S H Mintardja Muridku Macho 1
^