Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 19

03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 19


dirampas oleh orang-orang jahat di sepanjang jalan.
Dengan dikawal oleh para prajurit Pajang yang bertugas di
Kademangan Jati Anom, maka iring-iringan itu pun menuju ke
rumah Widura yang sedang sibuk.
Widura yaug diberi tahu oleh Agung Sedayu pun dengan
tergesa-gesa membenahi pakaiannya. Tetapi justru karena itu,
ia tidak segera mengerti siapakah yang sebenarnya telah
datang itu. "Dari mana?" bertanya Widura sekali lagi. "Apakah aku
tidak salah dengar?"
"Dari Mataram, menurut keterangan orang yang
menyampaikan berita itu kepada Kakang Untara."
"Mataram, maksudmu dari Raden Sutawijaya?"
"Masih belum jelas, Paman."
Widura mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian
segera pergi ke pendapa. Widura menjadi semakin berdebar-debar, ketika dua orang
prajurit datang menemuinya. Hampir berbisik salah seorang
berkata, "Mereka benar-benar datang dari Mataram."
Widura menarik nafas dalarn-dalam. Katanya, "Siapakah
yang telah menyampaikan berita perkawinan Untara kepada
Raden Sutawijaya?" Prajurit-prajurit itu menggelengkan kepalanya.
"Di mana mereka sekarang?" bertanya Widura pula.
"Sebentar lagi mereka akan memasuki halaman ini. Kini
mereka sudah menyelusuri jalan padukuhan ini. Agaknya
mereka sudah melampaui simpang empat dan gardu
penjagaan itu." Widura mengerutkan keningnya. Sejenak ia merenung.
Apakah sebenarnya yang telah menggerakkan orang-orang
Mataram mengirimkan sekelompok orang-orangnya dengan
membawa beberapa buah jodang" Apakah di dalam jodang itu
berisi barang-barang untuk kelengkapan pengantin atau
barang-barang lain" Selagi Widura masih termangu-mangu, maka tampaklah
iring-iringan itu mendekati regol rumahnya, sehingga karena
itu, maka dengan tergopoh-gopoh ia pun segera
menyongsongnya diikuti oleh Agung Sedayu dan Swandaru.
Widura terperanjat, ketika ia memandang wajah orang yang
berjalan di paling depan sambil tersenyum kepadanya. Orang
itu dikenalnya benar-benar. Ia adalah kawan di dalam
perjuangan menegakkan Pajang selagi Demak mulai runtuh.
"Ki Lurah Branjangan?" tanpa sesadarnya ia berdesis.
Orang yang dipanggilnya Ki Lurah Branjangan itu tertawa.
Katanya, "Kau masih ingat kepadaku Kakang Widura.
Memang, para prajurit waktu itu memanggil aku Branjangan."
"Tentu, aku tidak akan lupa kepadamu."
Orang itu masih tertawa. Katanya, "Aku masih tetap tidak
dapat berkembang. Pendek, kecil, dan seperti ini."
"Tetapi kau benar-benar seekor burung branjangan. Lincah
dan lebih dari itu tidak terkendali."
Ki Lurah Branjangan dan mereka yang mendengarnya
tertawa. Agung Sedayu dan Swandaru pun tersenyum pula.
"Marilah, marilah," baru Widura sadar, bahwa ia harus
mempersilahkan tamunya. Tamunya tertawa pula. Katanya, "Aku kira kau akan
menerima aku di halaman."
"Marilah, silahkan." Lalu dipersilahkannya pula para
pengiringnya, "Marilah Ki Sanak, silahkanlah naik ke
pendapa." Ki Lurah Branjangan bersama kawan-kawannya pun
segera naik ke pendapa. Beberapa orang prajurit Pajang yang
mengawal mereka dari ujung kademangan segera memencar
dan duduk di halaman, di bawah rimbunnya pepohonan.
Mereka yang naik ke pendapa itu pun segera dipersilahkan
duduk setelah mereka meletakkan jodang-jodang yang
mereka bawa dihiasi dengan kain beraneka warna dan ditutup
pula dengan kain lurik berwarna cerah.
Setelah mereka duduk melingkar di atas tikar yang putih,
yang baru saja dibentangkan di pendapa itu, maka Widura
segera bertanya tentang keselamatan perjalanan mereka.
"Perjalanan yang melelahkan," jawab Ki Lurah Branjangan,
"tetapi kami semuanya selamat."
"Kedatangan kalian sangat mengejutkan. Apalagi aku
mendengar keterangan, bahwa kalian datang dari Mataram,
bukan dari Pajang." Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Namun
kemudian ia berkata, "Ya, aku memang datang dari Mataram."
"Aku menjadi lebih terkejut lagi, bahwa yang memimpin
iring-iringan dari Mataram itu adalah kau, Ki Lurah
Branjangan." "O, kenapa kau terkejut?"
Widura tidak segera menyahut. Sejenak ia mencoba
merenungi tamunya dan mengenang beberapa waktu yang
lampau selagi mereka bersama-sama berada dalam satu
medan menghadapi keretakan yang terjadi setelah Demak
pecah. Tetapi Widura tidak ingin mempersoalkannya selagi
tamunya baru saja duduk. Ia tidak ingin merusak seluruh
suasana dari pertemuan itu, meskipun ia termasuk salah
seorang perwira Pajang yang tidak mengambil sikap yang
tajam terhadap persoalan Mataram.
Karena itu, maka Widura itu pun berkata, "Ah, baiklah kita
tidak berbicara tentang kau. Tetapi aku ingin berbicara tentang
jodang-jodang itu." Ki Lurah Branjangan tertawa, seperti biasanya ia adalah
seorang yang suka tertawa, "Aku mendapat perintah dari
Raden Sutawijaya untuk membawa jodang-jodang itu kemari.
He, di mana Ki Untara?"
Widura mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling kepada
Agung Sedayu, maka kemanakannya itu berkata, "Kakang
Untara baru masuk ke dalam biliknya. Sebentar lagi ia akan
datang." "Ke bilik pengantin?" Ki Lurah Branjangan tertawa. Namun
tiba-tiba suara tertawanya terputus, "Siapakah anak muda
ini?" "Kemanakanku, adik Untara. Dan yang seorang adalah
sahabatnya, putera Ki Demang di Sangkal Putung."
Ki Lurah Branjangan memandang Agung Sedayu dan
Swandaru berganti-ganti. Ada kesan yang khusus terbayang
di wajahnya. Sejenak kemudian sambil menganggukanggukkan
kepalanya ia berkata, "Baru sekarang aku
berkesempatan bertemu muka dengan anak muda yang
bernama Agung Sedayu dan Swandaru."
Widura mengerutkan keningnya. Tanpa sesadarnya ia
Bertanya, "Apakah kau pernah mengenal namanya?"
"Hampir semua orang Mataram mengenal namanya. Agung
Sedayu, Swandaru, Kiai Gringsing, dan Ki Sumangkar."
"Ah," Agung Sedayu segera menyahut, "adalah kebetulan
kami lewat bagian hutan yang sedang dibuka itu. Dan adalah
kebetulan, bahwa Raden Sutawijaya hadir pada daerah
penebangan yang sulit. Sebelum itu, aku sudah mengenal
Raden Sutawijaya justru di sini. Di garis perang antara
Sangkal Putung dan Jati Anom pada saat Tohpati masih
berada di sekitar daerah ini."
Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya, "Tetapi
kita belum pernah bertemu. Ketika Ki Widura mendapat tugas
di daerah Selatan, aku justru pergi ke Timur. Tetapi daerah
Timur tidak seberat yang dihadapi oleh pasukan di daerah
Selatan ini." Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu Ki
Lurah itu berkata pula, "Karena itu aku baru mendengar
namamu, ketika aku sudah berada di Mataram. Setiap mulut
menyebut namamu. Apalagi Wanakerti."
"Terima kasih. Tetapi barangkali pujian itu agak berlebihlebihan.
Aku tidak berbuat apa-apa di Mataram."
Ki Lurah Branjangan tertawa. Lalu katanya, "Baiklah. Kau
memang rendah hati. Kawanmu yang gemuk itu pun menjadi
buah bibir. Setiap orang menjadi heran, meskipun tubuhnya
gemuk, namun lincahnya melampaui kijang di medan
pertempuran." "Kami tidak bertempur," potong Swandaru. "Memang kami
pernah bermain hantu-hantuan. Tetapi itu bukan
pertempuran." Sekali lagi Ki Lurah Branjangan tertawa. Katanya, "Baiklah.
Sekarang aku sempat memperkenalkan diriku. Orang-orang
menyebutku Branjangan. Tetapi namaku bukan itu. Salah
pamanmu Widura. Ialah yang pertama-tama menyebutku
Branjangan. Kalau kau ingin mengetahui, namaku yang
sebenarnya adalah Mudal. Eh, nama yang sebenarnya lebih
jelek dari nama yang diberikan oleh pamanmu. Karena itu, aku
lebih senang dipanggil Ki Lurah Branjangan daripada Ki Lurah
Mudal." Agung Sedayu dan Swanfaru tertawa pula. Ternyata orang
yang bertubuh pendek dan kecil ini senang juga berkelakar.
Namun tiba-tiba Branjangan bertanya, "He, di mana Ki
Untara" Bukankah pengantin perempuannya belum ada di
sini." "Tentu belum. Perkawinan belum berlangsung."
"Sokurlah. Jadi aku masih belum terlambat," sahut
Branjangan. "Tetapi, kenapa ia lama sekali belum juga keluar
dari biliknya?" Dan tiba-tiba saja terdengar suara Untara, "Selamat datang
Ki Lurah Branjangan."
Ki Lurah Branjangan berpaling. Dilihatnya Untara sudah
berdiri di muka pintu, "Ha, inilah pengantinnya. Alangkah
tampannya Ki Untara sekarang, menjelang hari
perkawinannya." Untara tersenyum. Jawabnya, "Aku berpakaian rapi bukan
karena aku akan kawin lusa. Tetapi aku harus menghormati
tamu-tamuku dengan pakaian kebesaran yang
mengagumkan." "Ah," Ki Lurah Branjangan tertawa pula. Sambil
mengangguk dalam-dalam, ia kemudian berkata, "Aku
sekedar mengemban tugas dari Raden Sutawijaya di
Mataram." Untara mengangguk-angguk. Kemudian ia pun duduk di
hadapan Ki Lurah Branjangan, di samping pamannya, Widura.
"Aku tidak mengira, bahwa akan ada utusan dari Mataram
menjelang perkawinanku. Dan aku tidak mengira, bahwa Ki
Lurah Branjangan akan datang pula hari ini."
Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Ia sadar,
bahwa baik Untara mau pun Widura menjadi heran, bahwa
tiba-tiba saja ia menjadi seorang utusan dari Mataram. Tetapi
ia tidak akan mempersoalkannya lebih dahulu seperti yang
dikehendaki Widura. Lebih baik mempersoalkan jodangjodang
itu dahulu daripada dirinya sendiri.
Karena itu, setelah mereka berbicara sejenak, tentang
perjalanan Ki Lurah Branjangan dari Mataram, maka ia pun
berkata, "Ki Untara. Kali ini aku adalah utusan Raden
Sutawijaya yang direstui oleh ayahandanya Ki Gede
Pemanahan, untuk menyampaikan beberapa buah kenangKang
Zusi - http://kangzusi.com/
kenangan, atau katakanlah sumbangan, bagi hari
perkawinanmu. Raden Sutawijaya dan Ki Gede Pemanahan
minta maaf, bahwa keduanya tidak dapat hadir, baik di hari
perkawinanmu di Pengging beberapa hari mendatang,
maupun dalam upacara sepekan di rumah ini."
Untara menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, "Aku
menjadi sangat berbesar hati. Hampir di luar kemungkinan
yang aku perhitungkan, bahwa Raden Sutawijaya dan
ayahandanya Ki Gede Pemanahan masih juga ingat
kepadaku. Apalagi aku sengaja tidak memohon kehadiran
mereka berdua, karena di dalam suasana prihatin ini, kami
tidak akan menyelenggarakan upacara selengkapnya.
Semuanya asal dapat terlaksana dengan syah sesuai dengan
keharusan dan kepercayaan kita."
"Ya," Branjangan mengangguk-angguk, "ternyata kau
bijaksana." Branjangan berhenti sejenak, lalu, "Juga aku
mendapat pesan dari Ki Gede Pemanahan, agar
menyampaikan salam dan ucapan selamat kepada bakal ayah
mertuamu, Rangga Parasta. Juga kepadanya, Ki Gede
Pemanahan minta maaf, bahwa Ki Gede tidak dapat
menghadiri perkawinan puterinya."
Dada Untara berdesir mendengarnya. Ia tahu benar, kedua
orang itu mempunyai sikap yang hampir berlawanan. Apalagi
ketika Ki Gede Pemanahan mengambil sikap yang tajam
terhadap Sultan Pajang dengan meninggalkan istana dan
kembali ke Sela, bahkan kemudian langsung membuka Alas
Mentaok sebelum mendapat persetujuan resmi dari Sultan
Adiwijaya. Tetapi Untara mencoba untuk menyembunyikan
perasaannya agar tidak menampakkan kesan di wajahnya.
Bahkan kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya
sambil berkata, "Ya, ya. Aku akan menyampaikannya. Rangga
Parasta pasti akan senang sekali mendapat pesan dari Ki
Gede, meskipun Ki Gede Pemanahan tidak dapat hadir."
Ki Lurah Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dicobanya untuk menangkap kesan di wajah Untara, tetapi
yang tampak kemudian adalah sebuah senyum yang cerah.
"Demikianlah," berkata Branjangan pula, "aku datang untuk
menyerahkan isi dari jodang-jodang ini. Barangkali dapat kau
pergunakan pada hari perkawinanmu. Jangan dinilai ujud
barang-barangnya yang barangkali tidak berharga, tetapi
keinginan Raden Sutawijaya untuk memberikan tanda
kekeluargaan bagimu."
"Aku mengucapkan berbu-ribu terima kasih. Harap kau
sampaikan kepada Raden Sutawijaya, bahwa aku menerima
dengan sepenuh hati." Lalu katanya kepada pamannya,
"Paman, aku persilahkan Paman menerimanya."
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Baiklah, Ki Lurah Branjangan. Jodang-jodang ini akan aku
terima dan akan aku bawa masuk ke dalam. Apakah jodangjodangnya
nanti akan kalian bawa kembali setelah isinya aku
terima?" Ki Lurah Branjangan tertawa sambil menjawab, "Tidak.
Tidak. Kami tidak akan membawa jodangnya kembali ke
Mataram. Kami menyerahkan semuanya beserta tempatnya."
Widura pun tersenyum pula, katanya, "Terima kasih.


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terlebih-lebih lagi terima kasih."
Kemudian bersama Agung Sedayu, Swandaru, dan
beberapa orang pembantu, yang sebenarnya adalah prajuritprajurit
Pajang, jodang-jodang itu dibawa masuk ke dalam.
Swandaru yang mengusung sebuah jodang bersama Agung
Sedayu, setelah meletakkannya di ruang dalam, menyingkap
tutup jodang itu sedikit. Katanya, "Bukan main, kau lihat
setumpuk kain panjang dalam satu jodang?"
"Sst," Agung Sedayu berdesis, "jangan."
"Aku hanya ingin melihat. Mungkin di jodang yang lain kau
akan menemukan segulung kain sutera. Yang lain lagi
beberapa puluh lembar ikat kepala, sabuk, kamus, dan
timang. Yang lain lagi, yang lain lagi. Tentu bermacam-macam
sekali." "Sudahlah. Tentu banyak sekali. Yang memberikan
sumbangan adalah Raden Sutawijaya. Sampai saat ini ia
masih Putera Sultan Pajang."
"Anak angkat." "Ya, tetapi kedudukan itu masih tetap."
Keduanya pun kemudian kembali ke pendapa dan duduk di
antara tamu-tamunya. Beberapa orang pelayan telah
menyuguhkan hidangan bagi tamu-tamunya. Minuman panas
dan beberapa macam makanan.
Sejenak mereka masih sempat berbicara tentang hari-hari
perkawinan. Tentang rencana yang akan dilaksanakan dalam
urut-urutan upacara sampai upacara terakhir di rumah Widura.
Namun kemudian, terasa bahwa pembicaraan Ki Lurah
Branjangan mulai tidak lancar lagi. Kadang-kadang ia
mendehem, dan kadang-kadang ia tampak gelisah. Sejenak
dipandanginya Agung Sedayu, kemudian Swandaru yang
duduk di antara mereka. Mereka yang menemui Ki Lurah Branjangan melihat
perubahan sikap itu. Untara, yang meskipun masih muda,
tetapi ia sudah cukup matang menanggapi berbagai macam
persoalan segera bertanya, "Apakah ada sesuatu yang ingin
kau katakan" Aku kira selain isi jodang yang telah kami terima
dengan perasaan terima kasih yang tidak terhingga itu, kau
tentu menerima beberapa pesan pula untuk kami."
Ki Lurah Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi sekali lagi ia memandang Agung Sedayu dan
Swandaru. "Katakanlah. Mereka adalah anak-anak baik. Mereka tidak
akan mengganggu. Jika yang kau katakan itu suatu rahasia
yang besar, mereka tidak akan membocorkannya, kecuali
kalau kau memang minta agar mereka meninggalkan
pertemuan ini." Ki Lurah Branjangan ragu-ragu sejenak. Namun kemudian,
"Biarlah mereka di sini. Mereka sudah mengenal Raden
Sutawijaya, dan mereka agaknya belum lama meninggalkan
Alas Mentaok yang sedang dibuka itu."
"Ya, mereka baru datang dari Mentaok. Menurut
keterangannya, ia ikut membuka hutan, meskipun hanya
beberapa lama." "Ya. Raden Sutawijaya juga mengatakan demikian."
"Kalau kau tidak berkeberatan, aku tidak akan menyuruh
mereka pergi." Ki Lurah Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Biar sajalah mereka mendengar. Aku pun yakin,
bahwa mereka bukan orang lain bagi kita."
"Bagi kita?" bertanya Widura.
"Ya. Bagi orang-orang Pajang dan orang-orang Mataram."
Untara dan Widura saling berpandangan sejenak. Namun
mereka pun tidak berkata apa pun juga. Yang berkata
selanjutnya adalah Branjangan, "Baiklah aku sedikit berbicara
tentang diriku sendiri lebih dahulu." Ia berhenti sejenak, lalu
berpaling kepada kawan-kawannya, "Mereka pun tidak perlu
dicurigai. Aku percaya kepada kawan-kawanku."
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Sekarang aku berada di Mataram. Aku mengikuti Raden
Sutawijaya sejak ia mulai menetap di daerah baru itu."
"Kenapa kau pergi ke Mataram?" tiba-tiba Untara bertanya.
"Tidak apa-apa. Sama saja bagiku. Mataram adalah
kelanjutan dari Pajang, karena Raden Sutawijaya adalah
putera angkat Sultan Pajang."
"Kalau sama saja, kenapa kau tinggalkan Pajang dan pergi
ke Mataram, suatu daerah baru" Kalau sama saja kenapa kau
menentukan suatu perubahan dan menjatuhkan pilihan?"
Ki Lurah Branjangan tertawa. Jawabnya, "Bukan pilihan
yang mutlak." Untara mengerutkan keningnya. Ketika ia memandang
wajah Widura, maka dilihatnya, bahwa pada wajah itu pun
tersirat kesan yang aneh.
Dan sejenak kemudian, Untara pun bertanya, "Apakah
yang kau maksudkan, Ki Lurah Branjangan?"
"Maksudku, bahwa pilihanku bukan karena sesuatu. Bukan
karena yang baru lebih baik dari yang lama. Tetapi aku hanya
ingin suasana yang bergerak. Maju terus tidak berhenti,
seperti yang terjadi di Pajang sekarang."
Untara memandang wajah Ki Lurah Branjangan sejenak,
lalu, "Apakah menurut penilaianmu, Pajang tidak akan
berkembang?" "Aku tidak melihat sesuatu yang bergerak di Pajang.
Semuanya berjalan seperti yang telah berjalan. Seakan-akan
Pajang adalah sebuah sungai di satu musim. Airnya mengalir
dengan tenangnya. Pagi, siang, sore dan malam." Branjangan
berhenti sejenak, lalu, "Tetapi Mataram yang baru adalah
sebatang sungai di musim pancaroba. Kadang-kadang airnya
hampir kering, tetapi kadang-kadang banjir bandang. Gerak
yang demikianlah yang menarik hati. Kemungkinan masa
depan dari Mataram bagiku akan lebih baik dari Pajang.
Mungkin hal ini disebabkan karena Raden Sutawijaya adalah
seorang anak muda. Sedang Sultan Pajang telah menjadi
semakin tua dan semakin jauh tenggelam ke dalam
kamukten." "Mungkin kau benar. Tetapi kau lupa, bahwa di Pajang ada
juga seorang anak muda yang akan mampu menggerakkan
Pajang nanti pada saatnya."
"Pangeran Benawa maksudmu?"
"Ya." Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku
tidak dapat mengatakan sesuatu tentang Pangeran Benawa
yang baik hati. Seorang yang ramah dan tidak pernah
mendendam seseorang, betapa pun besar kesalahan orang
itu atasnya. Yang tidak sampai hati menjatuhkan hukuman
kepada orang yang bersalah, dan yang tidak berani
memandang seekor kucing menerkam seekor tikus. Ia
mengampuni semua orang yang mengaku bersalah, dan yang
tidak mengaku sekalipun. Bahkan ia tidak akan
mempertahankan miliknya, jika ia melihat seorang pencuri
mengambilnya." Untara menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat kebenaran
dari tanggapan Branjangan atas Pangeran Benawa. Tetapi itu
bukan berarti bahwa Pajang harus ditinggalkan. Sebagai
seorang perwira yang ikut berjuang membina Pajang sejak
berdirinya, maka Untara tidak akan dapat membiarkan Pajang
jatuh ke dalam kelemahannya sendiri, justru karena kebaikan
hati yang melimpah ruah. Tetapi sebelum Untara menjawab, Ki Lurah Branjangan
telah mendahuluinya, "Tetapi bukan maksudku untuk
mempersoalkan apakah kita harus memilih Pajang atau
Mataram. Sudah aku katakan, keduanya sama, karena arah
perkembangannya seharusnya akan menemukan titik
sentuhan. Tetapi kini aku melihat Mataram bergolak lebih
dahsyat. Hanya itu. Dan memang bukan maksudku untuk
mempersoalkan, kenapa aku berada di sana, dan kalian di
sini." Ki Lurah Branjangan berhenti sejenak, lalu, "Ada pesan
yang lebih penting dari itu, Ki Untara. Meskipun aku belum
pernah, dan itu hanyalah suatu kebetulan, berada di bawah
pimpinanmu sebagai seorang senapati, tetapi aku sudah
mendengar, bahwa kau adalah seorang senapati yang
mumpuni." Untara dan Widura tidak menyahut. Tetapi mereka menjadi
berdebar-debar. "Jangan takut, bahwa aku akan membujukmu setelah aku
menyerahkan sumbangan itu," Ki Lurah Branjangan masih
sempat tertawa Dan Untara pun menjawab, "Hanya anak-anak yang diam
menangis jika diberi sebongkah gula."
Branjangan mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
menarik nafas sambil berkata, "Hampir aku lupa, bahwa aku
berbicara dengan Ki Untara."
"Katakan pesan yang penting itu," Untara menjadi tidak
sabar. "He, aku sekarang adalah seorang tamu menjelang
perhelatan perkawinanmu. Bukan seorang prajurit di medan."
Untara menggigit bibirnya. Tetapi ia tidak menyahut.
"Baiklah," berkata Ki Lurah Brajangan, "bagaimanapun
juga, aku memilih cara yang paling lunak untuk berbicara. Aku
tidak biasa mempersoalkan sesuatu yang bagaimanapun
besarnya dengan tegang."
"Baik, baik. Katakanlah, ini bukan perintah."
Branjangan tertawa. Jawabnya, "Baiklah," ia berhenti pula
sambil memandang Agung Sedayu dan Swandaru bergantiganti.
Tetapi keduanya tidak berbuat apa pun juga.
"Ki Untara," suara Ki Lurah Branjangan merendah,
"bagaimanapun juga, harus kita akui, bahwa ada ketegangan
antara Pajang dan Mataram."
"Ya," sahut Untara pendek.
"Dan kau adalah seorang senapati tertinggi di daerah
Selatan ini, daerah yang langsung berhadapan dengan garis
ketegangan itu." "Ya." "Itulah sebabnya, aku harus menemuimu atas perintah
Raden Sutawijaya, selain menyerahkan sumbangan. Kita
masing-masing harus menjaga, agar kesibukanmu mengurus
hari perkawinanmu ini tidak dimanfaatkan orang yang ingin
mengail di air yang keruh. Bukankah di hari-hari
perkawinanmu itu nanti, Jati Anom dan Banyu Asri akan
penuh dengan prajurit, terutama perwira-perwira tinggi" Aku
tahu, kau pasti sudah menyiapkan penjagaan. Tetapi sekedar
untuk melindungi keselamatan para perwira itu. Namun di
samping itu, kita harus berusaha untuk menghapus setiap
kesan buruk yang timbul selama kesibukanmu itu."
Untara mengerutkan keningnya. Ia masih belum jelas atas
maksud Ki Lurah Branjangan, meskipun ia mengerti arah
pembicaraanya itu. Tetapi Untara tidak bertanya. Ia menunggu saja Branjangan
melanjutkan kata-katanya. Dan sejenak kemudian Braniangan
pun berkata, "Tugasku adalah menyampaikan permintaan
kepadamu, agar kami, dari Mataram diperkenakan ikut serta
mengawasi keamanan selama berlangsung perkawinanmu."
Untara mengerutkan keningnya. Ia menjadi heran
mendengar permintaan itu, sehingga ia bertanya, "Ki Lurah,
bagaimana mungkin Mataram akan ikut menjaga keamanan di
daerah ini. Aku sudah mempercayakan semuanya kepada
anak buahku. Dan Pajang tidak kekurangan prajurit untuk
menjaga keamanan, jangankan Jati Anom dan Banyu Asri,
bahkan prajurit Pajang masih sanggup menjaga keamanan di
seluruh Pajang." "Aku mengerti, aku mengerti. Tetapi maksudku, bukannya
karena kami menganggap Pajang tidak mempunyai kekuatan.
Tetapi sekedar menjaga agar tidak terjadi salah paham." Ki
Lurah Branjangan berhenti sejenak, lalu, "Ki Untara. Di
Mataram telah terjadi peristiwa yang pahit. Beberapa orang
telah membuat para pekerja menjadi ketakutan dengan hantuhantuannya.
Kemudian tersebar desas-desus, bahwa hantuhantu
itu sebenarnya adalah usaha dari orang-orang Pajang
yang tidak ingin melihat Mataram berkembang. Dan tentu saja
kami tidak mempercayainya. Jika Pajang tidak ingin melihat
Mataram berkembang, maka para pemimpin di Pajang tidak
perlu membuat hantu-hantuan. Mereka dapat datang dengan
pasukan segelar sepapan. Maka Mataram akan hapus dalam
waktu satu hari saja."
Untara mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih tetap diam
saja. Dan Ki Lurah Branjangan pun meneruskan, "Yang kami
cemaskan Ki Untara, jika ada orang-orang yang dengan
sengaja membakar ketegangan yang memang telah ada.
Sekelompok orang-orang yang tidak bertanggung jawab,
mengacaukan acara perkawinanmu, dan mengaku sebagai
orang-orang Mataram."
"Kami tidak berkeberatan. Kami akan menumpas mereka
karena kami mempunyai pasukan yang cukup."
"Kami percaya. Tetapi soalnya bukan sekedar menumpas.
Tetapi, bahwa Pajang harus yakin, bahwa Mataram tidak akan
berbuat demikian. Tugas yang dibebankan kepada kami,
bukannya ikut membantu menumpas kejahatan serupa itu.
Tetapi untuk mengenal, apakah mereka benar-benar orang
Mataram. Jika benar, maka kami tidak akan segan-segan
mengambil tindakan. Tetapi jika tidak, maka kami akan dapat
mengatakan kepada mereka, bahwa Mataram tidak
bertanggung jawab atas tindakan mereka, sehingga dengan
demikian, mereka akan tersudut pada sebuah pengakuan,
siapakah sebenarnya mereka, karena mereka tidak mengenal
kami." Untara menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya Widura
sejenak. Ternyata, permintaan Ki Lurah Branjangan itu
memang masuk akal. Orang-orang Mataram sendiri
mencemaskan jika ada segolongan orang yang memancing
kekeruhan. Jika mereka menamakan diri orang-orang
Mataram dan mengacaukan perhelatan yang dikunjungi oleh
sejumlah perwira, apalagi jika mereka berhasil menjatuhkan
korban, maka pembalasan pasti akan di tujukan kepada
Mataram. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Untara berkata,
"Apakah kau mencemaskan hal itu dapat terjadi?"
"Kita wajib berjaga-jaga. Ada banyak pihak yang tidak
senang melihat perkembangan Mataram. Antara lain orangorang
yang ingin membuka hutan itu untuk kepentingan
mereka sendiri. Mereka tidak senang melihat Raden
Sutawijaya berhasil membuat Alas Mentaok menjadi suatu


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

negeri yang ramai. Contoh yang jelas, yang diketahui pula
oleh Agung Sedayu dan Swandaru, usaha Kiai Damar dan
Kiai Telapak Jalak. Tetapi kami tidak yakin, bahwa Kiai Damar
dan Kiai Telapak Jalak itu orang puncak yang menggerakkan
usaha untuk menggagalkan pembukaan Alas Mentaok. Kami
memperhitungkan, bahwa masih ada orang-orang lain di
belakang mereka, sehingga kemungkinan-kemungkinan yang
tidak kita kehendaki itu tidak terjadi."
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia
memandang Widura, seolah-olah minta pertimbangan
daripadanya. Tetapi Widura tidak memberikan kesan apa pun.
Namun demikian, agaknya Widura juga tidak menolak pesan
dari Raden Sutawijaya itu.
"Kau dapat mempertimbangkan, Ki Untara," berkata Ki
Lurah Branjangan, "aku tidak tergesa-gesa. Jika kau setuju,
maka akulah yang mendapat tugas untuk itu, beserta orangorang
yang sekarang bersamaku membawa barang-barang
dari Raden Sutawijaya. Selain kami, menurut pesan Raden
Sutawijaya, Agung Sedayu dan Swandaru akan dapat
membantu, karena ia mengenal beberapa orang Mataram dan
beberapa orang perwira Pajang. Sementara penghubung
antara kami di sini dan pimpinan kami di Mataram adalah
Wanakerti dan dua orang kawannya."
Untara mengangguk-angguk. Ketika ia memandang Agung
Sedayu dan Swandaru, tampaklah kedua anak-anak muda itu
mengerutkan keningnya. Mereka belum mengenal Ki Lurah
Branjangan. Apakah pesan itu benar-benar datang dari Raden
Sutawijaya, apakah sekedar atas kehendaknya sendiri, karena
Ki Lurah Branjangan itu pernah mendengar namanya dan tibatiba
saja ditemukannya mereka di sini.
"Baiklah Ki Lurah. Kami minta kalian tinggal di sini. Kami
akan mempertimbangkan. Karena aku tidak sendiri, maka aku
akan memanggil beberapa orang perwira untuk
membicarakannya." "Silahkan. Kami akan menunggu keputusan. Apa pun yang
akan kalian putuskan, kami akan tunduk."
"Ya, kamilah yang memegang tanggung jawab keamanan,
bukan saja di daerah Jati Anom dan Banyu Asri, tetapi juga di
daerah Mataram sendiri. Karena itu, keputusan kami memang
mengikat bagi kalian dan bagi Mataram yang sampai saat ini
masih belum mendapat bentuk yang pasti."
Ki Lurah Branjangan mengangkat wajahnya dan bergeser
setapak. Tetapi kemudian menarik nafas sambil berkata, "Ya.
Demikianlah, Mataram memang belum mempunyai bentuk
yang jelas." Widura hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Di dalam
keadaan yang demikian sifat-sifat keprajuritan Untara-lah yang
melonjak. Sebagai seorang senapati yang langsung
berhadapan dengan batas yang samar dari daerah baru, yang
memang belum mempunyai bentuk, Untara harus mempunyai
sikap. Dan sikapnya ternyata jelas di dalam hubungan yang
resmi. "Mataram adalah daerah tanggung jawabnya, meskipun
di Mataram ada Raden Sutawijaya, putera angkat Sultan
Pajang dan Ki Gede Pemanahan yang pernah menjadi
panglima pasukan Pajang. Tetapi di Mataram, mereka tidak
lagi berada pada kedudukannya itu."
Ki Lurah Branjangan yang mengenal Untara tidak juga
mengingkarinya. Sebab dari segi tata pemerintahan, Mataram
memang berada di bawah Pajang, sehingga kekuasaan
senapati di daerah Selatan ini pun masih juga mencakup
daerah yang kemudian disebut Mataram, di Alas Mentaok. Ki
Lurah Branjangan pun sadar, bahwa setiap perdebatan
mengenai kekuasaan di Mataram, hanya akan mendorong
Untara bersikap lebih keras. Menurut pengamatan orangorang
Mataram, sebenarnya Untara bukannya orang yang
dengan kekuasaannya berusaha menindas perkembangan
Mataram. Untara sendiri tidak berkeberatan melihat Mataram
berkembang, namun sudah pasti, bahwa Mataram yang
berkembang itu adalah bagian dari Pajang, kecuali Jika Sultan
Pajang memberikan bentuk yang lain kelak. Sehingga karena
itu, maka ia pun hanya sekedar mengangguk-angguk saja.
Dalam pada itu, maka Untara pun sejenak kemudian
mempersilahkan tamu-tamunya untuk beristirahat.
"Silahkan beristirahat di gandok Wetan," berkata Widura
pula kepada para tamunya. Lalu kepada Agung Sedayu,
"Antarkan Ki Lurah beserta kawan-kawannya ke gandok."
Agung Sedayu menganggukkan kepalanya. Bersama
Swandaru maka mereka pun mempersilahkan Ki Lurah
Branjangan bersama para pengiringnya pergi ke gandok
Wetan. Namun ketika Agung Sedayu dan Swandaru akan kembali
lagi ke pendapa setelah Ki Lurah Branjangan duduk di amben
bambu yang besar di gandok itu, langkahnya tertegun. Ki
Lurah itu memanggilnya hampir berbisik, "Kemarilah.
Duduklah di sini." Kedua anak-anak muda itu menjadi heran. Tetapi ketika
mereka melihat Ki Lurah Branjangan tertawa, mereka pun
segera duduk di sampingnya.
"Aku membawa pesan dari Raden Sutawijaya bagi kalian,"
berkata ki Lurah Branjangan. "Bukan apa-apa, sekedar salam
dan ucapan selamat atas perkawinan kakakmu."
"O, terima kasih," sahut Agung Sedayu.
"Dan barangkali Raden Sutawijaya tahu pasti, bahwa aku
akan bertemu dengan kalian berdua di sini. Maka Raden
Sutawijaya menyampaikan harapannya, agar kalian suka
membantu tugasku di sini dan dalam waktu yang dekat
berkunjung ke Mataram."
Agung Sedayu dan Swandaru saling berpandangan
sejenak, lalu, "Kami tidak berkeberatan," sahut Agung Sedayu.
"Kami mengerti, bahwa Mataram tidak ingin terjerumus ke
dalam kesulitan menghadapi Pajang. Jika ada orang yang
memancing persoalan dan dengan sengaja membenturkan
Mataram atas Pajang, dalam keadaan seperti sekarang,
Mataram memang akan mengalami banyak kesulitan."
Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Katanya,
"Kau terlampau banyak mengetahui tentang Mataram.
Siapakah yang mengatakan kepadamu?"
"Tidak ada. Dan aku hanya menduga-duga."
Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Kini ia melihat
sendiri, betapa tangkasnya anak muda itu berpikir, sehingga
karena itu ia tidak dapat bersikap sebagaimana ia menghadapi
anak-anak. Sebelum Ki Lurah Branjangan berkata lebih lanjut, Agung
Sedayu sudah berdiri dan berkata, "Silahkan Ki Lurah
beristirahat. Ruang dan bilik gandok ini akan segera
dibersihkan. Jika Kakang Untara sependapat, maka Ki Lurah
akan berada di sini secepat-cepatnya sepuluh hari sampai
Kakang Untara selesai dengan upacara ngunduh penganten."
"Terima kasih," sahut Ki Lurah Branjangan.
Agung Sedayu dan Swandaru pun kemudian meninggalkan
Ki Lurah itu duduk termangu-mangu. Seorang pembantunya
yang terdekat segera duduk di sampingnya sambil berkata,
"Anak ini ternyata cukup matang untuk menanggapi setiap
persoalan. Ki Lurah tidak dapat menganggapnya sebagai
anak-anak lagi. Sikap Ki Lurah kurang bersungguh-sungguh."
"Aku keliru. Ketika aku memperkenalkan diri, aku
menganggap keduanya masih terlalu muda, sehingga aku
bersikap sekenanya. Ternyata kedua anak-anak muda itu
telah mentertawakan aku di dalam hati. Mereka bersikap
matang, meskipun agaknya dapat juga dibawa bergurau."
"Tentu mereka merasa geli mendengar pujian-pujian bagi
mereka, seperti anak-anak yang sedang belajar berdiri."
"Ya, aku kira mereka aka senang dengan pujian-pujian itu
seperti kebanyakan anak-anak muda di masa pancaroba.
Bukankah menilik umur mereka, mereka adalah anak-anak
yang menginjak masa gelisah dan mendambakan kebanggaan
dan pujian" Tetapi tidak bagi mereka. Hampir saja aku minta
mereka menyingkir, ketika aku akan berbicara dengan Untara
setelah aku memujinya."
"Itulah sebabnya, maka Raden sutawijaya memanggil
mereka, atau setidak-tidaknya mengharap kedatangan
mereka. Bukan sekedar anak-anak muda yang kebetulan
mampu berkelahi, tetapi mereka mampu juga berpikir," desis
Ki Lurah Branjangan lebih lanjut. Lalu tiba-tiba suaranya
merendah, "Lalu betapa kemampuan yang dimiliki oleh guru
mereka. Kemampuan lahir dan kemampuan berpikir."
Pembantunya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Gumamnya, "Agaknya memang ada tetesan darah orang
besar pada keduanya, Untara dan adiknya. Jika Agung
Sedayu terjun ke dalam lingkungan keprajuritan, maka ia akan
memiliki kemampuan seperti Untara di medan mau pun
menanggapi keseluruhan keadaan dan suasana."
Dalam pada itu, sepeninggal Ki Lurah Branjangan dan para
pengiringnya, serta setelah Agung Sedayu dan Swandaru
kembali ke pendapa, maka Untara pun mulai minta pendapat
mereka tentang pesan Raden Sutawijaya.
"Aku dapat mengerti," berkata Widura, "agar tidak semua
noda-noda hitam dilemparkan kepada orang-orang Mataram."
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, "Apakah
itu bukan sekedar usaha untuk mencuci tangan?"
"Aku rasa bukan maksudnya," berkata Widura pula, "orangorang
Mataram pun menyadari ketegangan yang seakan-akan
semakin lama menjadi semakin runcing. Tetapi kita semuanya
tidak mengerti, apakah sebabnya. Sultan Adiwjaya sudah
menyerahkan tanah Mentaok kepada Pemanahan.
Sebenarnya tidak ada persoalan lagi yang perlu menambah
ketegangan." "Tetapi tindakan Ki Gede Pemanahan sudah menimbulkan
kesan yang tegang." Widura mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Memang kebangkitan Mataram dapat diurai dalam banyak
arti. Terlebih-lebih lagi usaha-usaha yang sengaja
membenturkan daerah yang baru berkembang itu agar hancur
sama sekali," desis Widura.
"Adalah wajar, bahwa perkembangan Mataram yang
dimulai dengan ketegangan itu akan selalu dibayangi oleh
ketegangan pula," desis Untara.
Dalam pada itu, Agung Sedayu yang mendengarkan
pembicaraan itu tergerak juga hatinya untuk ikut berbicara.
Betapapun ia ragu-ragu, namun akhirnya ia berkata pula,
"Kakang Untara, menurut penglihatanku, Mataram
berkembang dengan wajar. Kenapa Pajang tidak pernah
mempersoalkan perkembangan daerah-daerah lain kecuali
Mataram?" Untara mengerutkan keningnya. Sambil memandang wajah
Agung Sedayu dengan kerut-merut di kening, Untara
bertanya, "Misalnya?"
Agung Sedayu menjadi semakin ragu-ragu melihat
tanggapan kakaknya. Tetapi karena ia sudah terlanjur
mengatakannya, maka ia pun harus manjawabnya,
"Sependengaranku, Pati. Jika tidak yang terlalu besar, daerah
Mangir, dan daerah Tanah Perdikan Menoreh."
Untara menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tidak ada
persoalan yang mendahului perkembangan daerah itu.
Menoreh telah mendapatkan bentuknya. Karena Argapati
pernah berjasa kepada pimpinan pemerintahan pada waktu
itu. Menoreh mendapatkan bentuk Tanah Perdikan. Mangir
adalah sebuah kademangan yang besar di daerah Selatan.
Tidak pernah ada persoalan apa-apa dengan Mangir. Juga
Pati diterima oleh Ki Penjawi dengan wajar. Sedangkan
daerah pesisir masih harus ditertibkan, karena ada beberapa
orang Adipati yang merasa tidak lagi berada di bawah
kekuasaan Pajang setelah Demak lenyap. Nah, bukankah
tidak hanya Mataram saja yang menjadi persoalan kini?"
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
merasa, bahwa pengetahuannya tentang Pajang memang
hanya terlampau sedikit dibandingkan dengan kakaknya,
Untara. Bahkan Swandaru pun ikut mengangguk-anggukkan
kepalanya pula. Perhatiannya terhadap pemerintahan
sebenarnya cukup besar. Tetapi ia tidak sempat
mempersoalkannya dengan orang-orang yang mempunyai
pengetahuan yang luas tentang hal itu.
"Mataram adalah salah satu persoalan di antara banyak
persoalan yang di hadapi oleh Pajang," berkata Untara
selanjutnya, "Pajang masih harus meneruskan usaha Demak
untuk mempersatukan seluruh daerah yang pernah menjadi
suatu ikatan negara yang besar."
Agung Sedayu dan Swandaru masih menganggukanggukkan
kepalanya. "Baiklah," berkata Untara kemudian, "kita kembali kepada
persoalan semula. Kita sebaiknya memang menerima tawaran
itu tanpa prasangka. Jika ternyata mereka menyalah-gunakan
kepercayaan yang kita berikan, mereka pasti akan menyesal."
Lalu katanya kepada Agung Sedayu, "Sedayu, agaknya
Raden Sutawijaya masih teringat kepadamu. Kau dapat
membantu kami dan orang-orang Mataram. Kau dapat berdiri
di tengah, agar kami tidak saling menyalahi. Kau mengerti?"
Agung Sedayu menganggukkan kepalanya sambil
menjawab, "Baik Kakang. Aku bersedia."
"Tetapi sebaiknya kau minta gurumu datang bersama Ki
Sumangkar. Orang-orang tua mempunyai pendapat yang baik,
yang kadang-kadang melampaui pendapat para pemimpin
pemerintahan. Katakanlah, bahwa aku mengundang mereka
sebelum aku pergi ke Pengging. Aku minta keduanya
mengawani paman Widura di sini. Namun demikian, aku akan
bertemu dengan beberapa orang perwira untuk
menyampaikan maksud Ki Lurah Branjangan. Aku kira
kebanyakan dari mereka tidak pula akan menolak. Mungkin
ada satu dua orang yang berpendirian terlampau tajam. Tetapi
aku dapat memerintahkan kepada mereka untuk melunakkan
sikapnya, atau aku bawa saja mereka sebagai pengiringku ke
Pengging." Untara berhenti sejenak, lalu, "Bukankah begitu,
Paman?" "Aku sependapat Untara, dan aku senang sekali mendapat
kawan Ki Tanu Metir dan Ki Sumangkar."
"Jika demikian, biarlah Agung Sedayu menjemput mereka.
Ia dapat segera pergi dan segera pula kembali. Sangkal
Putung tidak terlampau jauh. Tetapi aku tidak minta Ki
Demang datang sekarang. Aku tahu, bahwa ia tidak dapat
meninggalkan kuwajibannya begitu saja. Bukankah begitu,


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Swandaru?" Swandaru tersenyum sambil mengangguk, "Ya, begitulah."
"Tetapi tentu kau akan memberitahukan kepada Demang di
Jati Anom," potong Widura.
"Ia akan datang malam nanti untuk ikut tirakatan di sini,"
sahut Untara. Ternyata bahwa Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar tidak
usah menunggu sampai menjelang hari sepasaran dan
ngunduh penganten. Sebenarnya kedua orang tua itu akan
datang menjelang hari-hari penjemputan sepasang penganten
dan upacara di rumah Widura. Namun agaknya karena
persoalan yang tiba-tiba itu. Agung Sedayu dan Swandaru
harus mempercepat kehadiran mereka, sementara Untara
akan berbicara dengan para perwira.
Seperti yang diduga oleh Untara, maka beberapa orang
perwira sama sekali tidak berkeberatan, ketika Untara
menyampaikan permintaan Ki Lurah Branjangan atas pesan
Raden Sutawijaya di dalam pertemuan yang segera diadakan
di rumah Untara. Tetapi juga seperti yang diduga oleh Untara,
ada juga beberapa orang di antara mereka yang sambil
mencibirkan bibirnya bergumam di antara mereka.
"Sebenarnya aku tidak sependapat."
Tetapi pengaruh Untara terlalu besar atas mereka,
sehingga tidak seorang pun yang langsung berani menolak.
Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Swandaru telah
berpacu ke Sangkal Putung. Mereka harus menyampaikan
permintaan Untara agar Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar
bersedia untuk datang ke Jati Anom menjelang keberangkatan
Untara ke Pengging, bukan menjelang upacara
kedatangannya dari Pengging bersama isterinya kelak.
Kedatangannya di Sangkal Putung memang agak
menimbulkan berbagai pertanyaan di dalam hati. Baik pada
Kiai Gringsing dan Sumangkar, maupun pada Ki Demang
Sangkal Putung. Mereka akan berada di Jati Anom sampai
upacara pengantin selesai seluruhnya. Namun tiba-tiba
mereka telah muncul, justru sebelum Untara berangkat ke
Pengging. Tetapi ketika Agung Sedayu dan Swandaru melihat kesan
di wajah-wajah itu, maka mereka pun segera menyampakan
kepentingan mereka kepada orang-orang tua itu. Agung
Sedayu pun segera berceritera kepada gurunya dan Ki
Sumangkar, sedang Swandaru segera menemui ayahnya.
"Jadi kami diminta segera datang ke Jati Anom?" bertanya
Kiai Gringsing. "Ya," jawab Agung Sedayu.
"Kapan kita akan berangkat?"
"Hari ini." Kiai Gringsing mengerutkan keningnya Namun kemudian
sambil tersenyum ia berkata, "Tetapi jangan hari ini. Besok
pagi-pagi benar kita berangkat. Udaranya tentu segar dan
perjalanan kita akan menyenangkan."
Agung Sedayu merenung sejenak. Tetapi ia ragu-ragu
untuk mengambil keputusan.
"Tentu Angger Untara akan memakluminya."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia berkata,
"Aku akan berbicara dengan Swandaru lebih dahulu."
Ternyata Swandaru yang berada di dalam rumahnya
bersama ayah dan ibunya pun menggeliat sambil berkata,
"Memang sebaiknya besok saja, Kakang. Aku malas untuk
kembali sekarang." "Tetapi mereka menunggu kita," sahut Agung Sedayu.
Sebelum Swandaru menyahut, terdengar dari balik pintu
ruang dalam suara seorang perempuan, "Biar sajalah kalau
Kakang Sedayu akan kembali sendiri. Kau, Kiai Gringsing, dan
Guru pasti akan pergi paling cepat besok pagi."
Agung Sedayu memandang ke arah daun pintu yang
separo terbuka, tetapi ia tidak melihat orang yang menyahut
kata-katanya meskipun ia tahu, bahwa suara itu adalah suara
Sekar Mirah. Karena itu, Agung Sedayu pun menarik nafas dalam-dalam.
Ia tidak dapat membantah lagi.
Swandaru yang sudah hampir menjawab sebelum Sekar
Mirah, tersenyum sambil mencibirkan bibirnya. Bahkan
kemudian ia berbisik, "Nah, apakah Kakang Agung Sedayu
masih akan membantah lagi."
Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Sekilas ia melihat
wajah Ki Demang dan Nyai Demang tersenyum pula.
"Baiklah," Agung Sedayu pun kemudian berdesis lambat,
seolah-olah hanya ingin didengarnya sendiri, "kita akan
kembali besok saja ke Jati Anom."
Demikianlah, di sore hari, Agung Sedayu sempat juga
bercakap-cakap dengan Sekar Mirah, meskipun Agung
Sedayu masih saja dibatasi oleh perasaannya yang kurang
terbuka. Ragu-ragu dan kebimbangan masih selalu
membayanginya. Bukan tentang Sekar Mirah sendiri, tetapi
tentang sikap yang dianggapnya baik terhadap Sekar Mirah.
"Jadi, banyak sekali perwira-perwira yang akan datang?"
bertanya Sekar Mirah. "Ya, beberapa orang perwira tinggi kawan-kawan Kakang
Untara akan datang."
"Juga isteri-isteri mereka?"
"Tentu. Mereka yang sudah beristeri akan datang bersama
isteri-isteri mereka."
"Dan anak-anak gadis mereka?"
Agung Sedayu mengerutkan keningnva. Dengan ragu-ragu
ia menjawab, "Aku tidak tahu. Dan aku pun tidak tahu apakah
ada perwira kawan-kawan Kakang Untara yang sudah
mempunyai anak gadis."
"Tentu ada. Dan jika demikian, sebaiknya aku tidak usah
datang." "Kenapa?" "Ayah dan ibu juga tidak usah datang."
"Kenapa" Kenapa, he?" Agung Sedayu menjadi bingung.
"Aku tentu tidak akan mendapat tempat. Ayah dan ibu pun
pasti hanya akan tersisih. Jika tamu-tamunya adalah para
perwira, maka ayah, sekedar seorang Demang, pasti hanya
akan mendapat tempat di sudut yang paling gelap."
"Ah, ada-ada saja kau, Mirah."
Sekar Mirah tidak segera menyahut. Tetapi sambil
bersungut-sungut ia menatap ke kejauhan. Memang
terbayang di rongga matanya, ayah dan ibunya duduk di sudut
yang tersendiri. Ayahnya yang berada di pendapa sama sekali
tidak dihiraukan oleh para perwira yang hadir karena ayahnya
hanyalah seorang Demang, sedang ibunya yang duduk di
pringgitan pun sama sekali tidak mendapat perhatian di antara
isteri-isteri perwira tinggi dari Pajang. Sedang dirinya sendiri
pun sama sekali tidak mendapat tempat, karena Agung
Sedayu sibuk melayani para tamu dan persiapan jamuan di
belakang. Sedang gadis-gadis dari kota tidak akan
menghiraukannya. Agung Sedayu yang melihat Sekar Mirah bersungut-sungut
menarik nafas sambil berkata, "Kau jangan membayangkan
jamuan yang diselenggarakan kelak sebagai jamuan yang
besar sekali, dan yang akan dihadiri oleh para tamu tertinggi
dari Pajang. Sama sekali tidak, Sekar Mirah. Memang ada
beberapa orang perwira tinggi yang akan hadir. Tetapi
sebagian besar tamu Kakang Untara adalah sanak kadang
sendiri. Tetangga-tetangga di Jati Anom dan para bebahu.
Justru para perwira dan isteri-isterinyalah yang akan
disediakan tempat tersendiri."
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Lalu, "Benar?"
"Tentu." "Dan aku?" "Ada saudara-saudaraku yang akan mengawanimu. Sanak
kadang yang masih dekat dalam hubungan keluarga. Mereka
akan senang sekali melihat kau, karena sebagian dari mereka
telah mendengar namamu."
"Dari mana mereka mendengar namaku?"
"Bukankah Paman Widura pernah mengenalmu. Dan
bukankah Kakang Untara juga pernah berada di Sangkal
Putung" Seperti Kakang Untara, maka Paman Widura-lah
yang akan menjadi pengganti ibu bapaku."
"Bukan Kakang Untara?"
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Lalu, "Ya, mungkin
Kakang Untara dan Paman Widura sekaligus."
"Kakang Untara sudah mempunyai sisihan. Ia akan dapat
bertindak sebagai ibu dan ayahmu. Dan itu adalah
kuwajibannya. Kecuali jika Paman Widura menghendaki."
"Kita serahkan saja kepada keduanya."
"Tetapi tentu kita akan lebih berbangga, bahwa yang akan
menerima kita di dalam lingkungan keluarga adalah Kakang
Untara." "Kenapa?" "Bukankah Kakang Untara seorang senapati besar, lebih
besar dari Paman Widura" Bukankah dengan demikian, akan
memberikan kebanggaan yang lebih besar pula kepada kita?"
Terasa sesuatu berdesir di dada Agung Sedayu.
Pengenalannya tentang Sekar Mirah menjadi semakin
bertambah. Sekar Mirah bukan saja seorang gadis yang tinggi
hati, tetapi di antara orang-orang yang dianggapnya lebih
besar, ia merasa rendah diri. Dan Agung Sedayu tidak ingkar,
bahwa sifat-sifat yang demikian memang ada juga padanya.
Namun dalam pada itu, tercetus juga suatu imbangan yang
meledak di hatinya. Untuk mengatasi rasa rendah diri itu,
Sekar Mirah ingin tampak menjadi seorang yang besar. Yang
agung, di samping pada dasarnya ia seorang yang
mempunyai keinginan dan cita-cita yang melonjak-lonjak.
Tetapi Agung Sedayu tidak mengatakannya. Bahkan ia
berusaha menyembunyikan kesan itu jauh-jauh. Sambil
tersenyum ia berkata, "Aku akan minta kepada Kakang
Untara, agar aku pun mendapat kesempatan mencicipi
kebesarannya." Ketika kemudian malam menjadi gelap, maka Agung
Sedayu dan Swandaru berada di gandok bersama gurunya
dan Ki Sumangkar. Ketika sekar Mirah datang pula ke gandok
itu, Swandaru segera mengusirnya, "He, masuk ke dalam.
Jangan berada di sini."
"Kenapa?" bertanya Sekar Mirah, "aku akan bertemu
dengan guruku." "Macammu. Kau pasti mencari Kakang Agung Sedayu."
Sekar Mirah menjadi merah sejenak. Diambilnya ajuk-ajuk
lampu di atas bancik dan dilemparkannya kepada Swandaru.
Tetapi Swandaru sempat menghindar. "Jangan, jangan Mirah.
Kau merusak barang-barang saja."
Kini Sekar Mirah memegang kendi berisi air. Katanya, "Ayo,
sekali lagi kau ulangi."
Swandaru kini berdiri di belakang Agung Sedayu. Katanya,
"Jawablah, Kakang. Ternyata Sekar Mirah tidak mencari kau."
Sekar Mirah meletakkan kendi itu sambil bergeramang.
Tetapi ia pun segera meninggalkan gandok dan masuk ke
dalam. Sepeninggal Sekar Mirah, Swandaru tidak dapat menahan
tertawanya. "Jangan kau ganggu Sekar Mirah itu lagi," berkata gurunya,
"ia sedang dipengaruhi oleh angan-angannya. Angan-angan
tentang dirinya sendiri, justru karena Untara akan segera
kawin." "Kenapa" Apa hubungannya dengan perkawinan Kakang
Untara." Ki Sumangkar tersenyum sambil menjawab, "Gadis itu
sudah berangan-angan tentang dirinya. Setelah Untara, maka
akan segera datang saatnya, Agung Sedayu kawin."
"O," Swandaru mengangguk-angguk. Namun sebelum ia
berkata lebih lanjut, Agung Ssdayu mendahului, "Tetapi
apakah Sekar Mirah akan kawin mendahului kakaknya?"
"Apa salahnya," Swandaru mengerutkan keningnya.
"Tidak ada salahnya. Tetapi alangkah baiknya, jika
kakaknya akan kawin lebih dahulu. Dan itu berarti kita akan
segera pergi ke Menoreh. Kita akan menempuh perjalanan
yang jauh dan melintasi garis tegang antara Pajang dan
Mataram, meskipun garis itu tidak dapat ditentukan di mana."
Swandaru mengerutkan keningnya. Namun ia tidak
menjawab lagi. Bahkan tangannya segera menutup mulutnya
yang sedang menguap. "Aku akan tidur. Biarlah semuanya itu terjadi di dalam
mimpi. Agaknya menyenangkan juga."
Agung Sedayu memandanginya sejenak. Tetapi ia tidak
berkata apa pun lagi. Demikianlah, di pagi hari berikutnya, Agung Sedayu dan
Swandaru bersama gurunya dan Ki Sumangkar pun segera
bersiap memenuhi undangan Untara. Langsung atau tidak
langsung, rasa-rasanya ada juga kuwajiban mereka untuk ikut
berbicara tentang Pajang dan Mataram. Dan Untara yang
akan meninggalkan Jati Anom kini memerlukannya.
"Jika Kakang Agung Sedayu tidak menjemputku, kelak
menjelang upacara sepasaran di rumah Paman Widura, aku
segan untuk datang," Sekar Mirah bersungut-sungut.
"Apabila mungkin, aku akan menjemputmu dan menjemput
Ki dan Nyi Demang di Sangkal Putung," berkata Agung
Sedayu ketika ia sudah siap untuk berangkat.
Sejenak kemudian, maka mereka pun telah melintasi bulak
persawahan di luar padukuhan Sangkal Putung. Mereka
memilih jalan di sisi sebelah Timur, menyusuri hutan-hutan
yang rindang di ujung bulak. Semakin jauh hutan itu masih
juga agak lebat dan kadang-kadang seekor harimau yang
lapar sampai juga di jalan di pinggir hutan itu.
Tetapi keempat orang itu sama sekali tidak mencemaskan
diri mereka, meskipun mereka bertemu empat ekor harimau
sekaligus. Yang menarik perhatian ketika mereka menyusuri pinggir
hutan itu adalah suara burung-burung liar di saat-saat
matahari memanjat naik. Riang bersahut-sahutan, seakanakan
mereka benar-benar telah menikmati kedamaian yang
mantap. Kiai Gringsing yang berkuda di paling depan tiba-tiba saja
terhenti, sehingga mereka yang berada di belakangnya pun
terhenti pula. Bahkan orang tua itu kemudian meloncat turun
sambil mengamat-amati keadaan di sekitarnya, dan menyusup
masuk beberapa langkah ke dalam hutan rindang itu.
Ki Sumangkar, Agung Sedayu, dan Swandaru pun


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian berloncatan turun pula. Hampir berbareng perhatian
mereka pun segera tertarik pula oleh seonggok abu yang di
perhatikan oleh Kiai Gringsing.
"Perapian," desis Kiai Gringsing.
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya," ia
menyahut, "agaknya ada beberapa orang yang membuat
perapian di sini." Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dilihatnya ranting-ranting perdu di sekitarnya berpatahan dan
rumput-rumput pun roboh terinjak kaki orang, dan bahkan
agaknya ada di antara mereka yang berbaring. Beberapa
lembar daun pembungkus makanan bertebaran pula di sekitar
tempat itu. "Ada beberapa orang yang semalam bermalam di sini,"
berkata Kiai Gringsing, "dan itu sangat menarik perhatian."
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak
kemudian ia bergumam, "Orang-orang asing bagi daerah ini.
Agaknya mereka membawa bekal makanan."
Agung Sedayu dan Swandaru pun mengangguk-angguk
pula. Meskipun mereka tidak memberikan tanggapannya,
namun mereka mulai berpikir dan menghubungkan hal itu
dengan kemungkinan yang dikatakan oleh Ki Lurah
Branjangan. "Memang ada sesuatu yang harus kita perhatikan," berkata
Kiai Gringsing kemudian, "baiklah hal ini dapat kita jadikan
bahan persoalan dengan Angger Untara dan Ki Lurah
Branjangan itu." Agung Sedayu yang masih saja mengangguk-angguk
kemudian bertanya, "Jadi, di manakah kira-kira mereka
sekarang?" Kiai Gringsing dan Sumangkar berbareng menggeleng.
Yang menjawab kemudian adalah Kiai Gringsing, "Kita tidak
tahu, ke mana mereka pergi. Mungkin mereka berkeliaran di
sekitar Jati Anom untuk mendapat bahan yang lebih lengkap
tentang daerah itu, dan kemungkinan yang akan dilakukan di
dalam upacara penganten itu."
"Dan di malam hari mereka akan berkumpul lagi di sini,"
sahut Agung Sedayu. Kiai Gringsing tidak menyahut. Tetapi seperti yang
diduganya, Agung Sedayu kemudian berkata, "Kita dapat
mengintainya di sini, di malam hari."
"Ya," Swandaru menyambung, "kita dapat mengetahui,
siapakah mereka itu. Jika perlu, kita akan menghancurkan
mereka sebelum mereka berbuat apa-apa."
"Kau selalu tergesa-gesa," potong Agung Sedayu, "kita
harus yakin dahulu tentang mereka."
"Tentu, kita harus yakin dahulu. Karena itu, baiklah nanti
malam kita lihat. Siapakah yang ada di sekitar hutan ini?"
"Mungkin mereka tidak kembali ke tempat ini, tetapi mereka
akan berada di tempat lain," berkata Kiai Gringsing.
Dan Sumangkar menyahut, "Tetapi tidak akan jauh dari
tempat ini." Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu
katanya, "Baiklah, marilah kita meneruskan perjalanan yang
pendek ini. Mungkin kita dapat menemukan jawab di Jati
Anom. Siapa tahu, mereka justru para prajurit yang sedang
nganglang untuk mengawasi keadaan."
Setelah sekali lagi mereka meneliti tempat itu, dan tidak
menemukan tanda-tanda baru, mereka pun segera
meneruskan perjalanan mereka ke Jati Anom, dengan
membawa sebuah laporan tentang perapian di hutan kecil
agak menjorok masuk dari jalan setapak di pinggir hutan itu.
Demikianlah, maka perjalanan ke Jati Anom itu tidak
memakan waktu terlalu lama. Ketika Matahari naik di atas
ujung pepohonan, mereka pun telah sampai ke daerah
kademangan itu. Meskipun Jati Anom yang sudah mulai miring karena
letaknya di lereng Merapi itu tidak sesubur Sangkal Putung,
namun sawahnya pun tampak hijau sejauh mata memandang.
Pematang-pematang yang bagaikan tangga raksasa
memanjat semakin lama menjadi semakin tinggi di lereng
Gunung Merapi. Namun demikian masih juga tampak datarandataran
yang rata seluas jangkauan mata.
Derap beberapa ekor kuda di tengah-tengah bulak itu
memang menarik perhatian para petani yang bekerja di
sawah. Namun mereka pun mengetahui bahwa seorang
senapati dari Pajang yang kebetulan berasal dan kini berada
di Jati Anom akan melangsungkan perkawinannya, sehingga
dengan demikian Jati Anom telah menjadi semakin ramai.
Bukan saja orang-orang yang berkepentingan dengan hari
perkawinan Untara, tetapi juga prajurit-prajurit memperpendek
gelombang pengamatan mereka. Setiap kali dua orang prajurit
berkuda melintasi bulak-bulak panjang yang memisahkan
padukuhan yang satu dengan padukuhan yang lain. Bahkan
mereka mengawasi juga pinggiran hutan di atas padukuhan
Jati Anom dan di daerah sebelah Timur.
Kedatangan Kiai Gringsing dan Sumangkar di rumah
Widura telah disambut dengan akrab. Sebagai orang yang
meskipun bukan berasal dan berada di dalam lingkungan
pemerintahan dan pimpinan keprajuritan, namun keduanya
adalah orang-orang yang memiliki kelebihan. Bahkan Untara
tahu benar, bahwa sebenarnya Sumangkar bukan sekedar
seorang yang tidak berarti di Kepatihan Jipang pada masa
pemerintahan Adipati Penangsang yang diembani oleh Patih
Mantahun. Setelah duduk sejenak sambil berbicara tentang
keselamatan masing-masing serta meneguk air panas,
barulah Untara mengatakan maksudnya mempersilahkan
keduanya hadir di Jati Anom lebih cepat dari rencana mereka.
"Justru selagi aku tidak berada di tempat, Paman Widura
memerlukan kawan yang dapat dibawa berbincang," berkata
Untara kemudian. "Bahkan aku mengharap Kiai berdua hadir
kemarin di Jati Anom. Aku sudah gelisah, apakah Kiai berdua
agak berkeberatan meninggalkan Sangkal Putung."
Kiai Gringsing tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia
berkata, "Bukan berkeberatan. Tetapi kami ingin berkuda di
pagi hari yang segar seperti ini"
Untara tersenyum. Sambi mengangguk-angguk ia pun
kemudian mulai mengatakan maksudnya.
"Di gandok itulah Ki Lurah Branjangan beserta pengiringnya
beristirahat." Kiai Gringsing pun mengangguk-angguk pula, "Agung
Sedayu sudah mengatakan serba sedikit. Dan sekarang aku
menjadi semakin jelas." Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu,
"Tetapi kita memang terus berhati-hati. Dan bukankah
Anakmas Untara sudah memperhitungkan semua
kemungkinan dan mempersiapkan para prajurit?"
"Ya," Untara mengangguk-angguk pula, "tetapi prajurit
Pajang telah bersikap. Bahkan sebagian dari mereka
terlampau keras menentang Mataram. Barangkali Agung
Sedayu pernah berceritera apa yang dialaminya karena
kecurigaan prajurit Pajang yarg berlebih-lebihan. Karena itu, di
dalam persoalan yang terlalu lembut dan licin, mereka kurang
dapat menanggapinya. Juga Ki Lurah Branjangan yang datang
dan Mataram itu sudah bersikap, meskipun ia masih berusaha
untuk berbuat sebaik-baiknya. Karena itu, aku memerlukan
pihak yang dapat menguasai keadaan ini sebaik-baiknya di
samping kedua belah pihak akan berjalan sesuai dengan garis
tugas masing-masing."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Agaknya
Untara telah menemukan pengalaman baru di dalam
sikapnya, sehingga ia bukan lagi Untara yang terlampau
tajam. Meskipun demikian, masih tampak pada sikap dan
kata-katanya, Untara adalah seorang senapati perang, yang
pada saat-saat tertentu pasti akan tampil dalam sikap dan
tindakan-tindakan seorang senapati.
"Apakah Kiai bersedia membantu kami dan Paman Widura
di dalam hal ini?" desak Untara.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Aku tidak berkeberatan. Aku akan membantu
Anakmas." Kiai Gringsing berhenti sejenak. Ditatapnya wajah
Sumangkar yang juga sedang mengangguk-angguk, lalu
katanya, "Dan kami sudah mulai melihat sesuatu, yang
barangkali penting Anakmas ketahui."
Untara menjadi tegang sejenak, lalu, "Maksud Kiai, sesuatu
yang menyangkut persoalan yang kita bicarakan ini?"
Kiai Gringsing pun mengangguk. Lalu dikatakannya apa
yang dilihatnya di dalam perjalanannya ke Jati Anom.
"Apakah mungkin para prajurit yang sedang nganglang
berhenti dan membuat perapian?" Kiai Gringsing mencoba
bertanya. "Tidak, tentu tidak mungkin," Untara merenung sejenak.
"Itulah yang penting. Memang persoalan-persoalan yang
kadang-kadang tidak pernah kita duga sebelumnya. Aku akan
memerintahkan para prajurit untuk menelitinya."
"Jangan tergesa-gesa, Anakmas. Seperti yang kau
katakan, bahwa prajurit-prajurit itu sebegian telah bersikap
keras menghadapi ketegangan antara Pajang dan Mataram.
Ketegangan yang justru tumbuhnya dari atas."
"Jadi?" "Biarlah kami melihatnya. Nanti malam kami akan mencoba
meyakinkan, apakah sebenarnya yang telah kami lihat itu."
Untara mengerutkan keningnya. Namun ia pun
mengangguk-angguk sambil berkata, "Baiklah. Jika Kiai
memerlukan, kami dapat menyediakan beberapa orang
prajurit." Tetapi Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya.
Jawabnya, "Jangan menimbulkan kesan yang tegang, agar
upacara perkawinan Anakmas dapat berjalan dengan tenang.
Kami hanya memerlukan ijin Anakmas. Dan kami akan
mencoba berbuat dengan hati-hati, karena kami sadari, di
mana kami sedang berdiri."
Untara menarik nafas dalam-dalam. Adalah di luar
kebiasaannya untuk begitu saja mempercayakan tugas yang
berat kepada orang lain, bukan kepada lingkungannya. Ia
mempunyai sekelompok petugas sandi yang dapat melakukan
tugas-tugas serupa itu. Namun demikian, benar juga kata Kiai
Gringsing. Jika ia memerintahkan pasukan sandinya dan
menemukan sesuatu yang dianggapnya penting, maka akan
timbul ketegangan dalam lingkungan prajurit Pajang.
Ketegangan itu tentu akan berpengaruh pada hari
perkawinannya yang segera akan berlangsung.
Sejenak Untara merenungi kata-kata Kiai Gringsing.
Namung kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya
sambil berkata, "Aneh sekali. Tiba-tiba saja aku setuju dengan
pendapat Kiai. Namun hal itu justru karena aku sudah
mengenal Kiai berdua bersama murid-murid Kiai."
"Terima kasih atas kepercayaan ini. Nanti malam kami akan
mencoba mengetahui apa yang sebenarnya telah dilakukan
oleh orang-orang yang membuat perapian di hutan itu."
"Silahkan Kiai. Tetapi kami berharap, bahwa tidak akan
timbul salah paham dengan petugas-petugas sandi dari
Pajang. Jika kalian terpaksa berselisih pendapat, maka kalian
harus berkata berterus terang, bahwa kalian mendapat tugas
khusus dari aku, dari senapati di daerah Selatan ini, supaya
persoalan kalian dikembalikan kepadaku. Aku berharap, agar
kalian tidak bertindak langsung terhadap petugas sandi itu,
karena aku yakin bahwa tidak ada seorang pun dari petugaspetugas
sandi Pajang yang dapat berbuat seperti Kiai."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Memang tugas di
medan yang sedang dibayangi oleh ketegangan ini
memerlukan kewaspadaan yang tinggi, karena kadangkadang
petugas-petugas khusus semacam yang akan mereka
jalani itu dapat mengakibatkan, justru mereka harus
berhadapan dengan berbagai pihak.
Namun Kiai Gringsing memahami pesan itu, sehingga
karena itu, maka ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya
sambil berkata, "Baiklah, Anakmas. Kami akan melakukan
semua pesan Anakmas. Dan karena itulah, maka sore nanti
kami minta diri untuk kembali ke Sangkal Putung, agar
kepergian kami tidak menimbulkan kecurigaan."
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Silahkan. Kiai dapat menempuh jalan yang mana pun yang
baik bagi Kiai. Namun sebelumnya, Kiai dapat bertemu
dengan Ki Lurah Branjangan, sekedar memperkenalkan diri."
Kiai Gringsing memandang Sumangkar sejenak, namun
kemudian ia mengangguk pula sambil berkata, "Baiklah. Aku
akan memperkenalkan diri dengan salah seorang petugas dari
Mataram. Aku kira Mataram memang perlu menyusun jaringan
pengamanan bagi diri mereka sendiri."
"Ya, tetapi Mataram masih berada di dalam lingkungan
Pajang, sehingga tanggung jawab keamanannya seluruhnya
masih menjadi tanggung jawabku."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya, namun kemudian ia
pun menyahut, "Ya, ya. Memang segala sesuatunya, Mataram
harus mempertanggung-jawabkannya kepada Pajang, dalam
hal ini kepada senapati yang mendapat tanggung jawab di
daerah Selatan, yang langsung berhadapan dengan
Mataram." "Bukan yang berhadapan dengan Mataram," sahut Untara,
"tetapi yang kekuasaannya meliputi Mataram."
"O," sekali lagi Kiai Gringsing mengangguk-angguk, "ya,
yang kekuasaannya meliputi daerah Selatan sampai ke Alas
Mentaok." Tampak wajah Untara menegang sedikit. Namun ia pun
kemudian berusaha untuk menghilangkan segala kesan itu.
Sambil tersenyum Untara berkata, "Kiai benar. Kekuasaanku
sampai ke Alas Mentaok dengan segala isi dan
perkembangan yang terjadi atasnya, karena bentuk
penyerahan Sultan Pajang kepada Ki Gede Pemanahan
masih belum jelas." Kiai Gringsing tidak menyahut lagi, selain menganggukanggukkan
kepalanya. Sekilas ia memandang Sumangkar,
dan Sumangkar pun ternyata baru mengangguk-angguk.
Mereka tidak dapat berbuat lain daripada menangkap siratan
sikap Untara yang sebenarnya sebagai seorang prajurit
Pajang. Demikianlah, maka sejenak kemudian kedua orang tua itu
pun diperkenalkan dengan Ki Lurah Branjangan. Namun
ternyata pertemuan Ki Lurah Branjangan dengan Ki


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sumangkar telah menumbuhkan keheranan sejenak. Tetapi
sejenak kemudian Ki Lurah Branjangan tersenyum sambil
tertawa, "Ki Sumangkar, aku sudah mendengar pengampunan
khusus dari Sultan Pajang atasmu."
Sumangkar hanya tersenyum saja, sementara Kiai
Gringsing bertanya, "Jadi kalian sudah saling mengenal?"
Sumangkar mengangguk. Katanya, "Aku mengenalnya
sebagai Ki Lurah Mudal."
"Nama itu terlalu jelek. Ki Widura lebih senang menyebut
aku Ki Lurah Branjangan."
Demikianlah, mereka sempat berbicara sejenak dengan
akrabnya, seolah-olah mereka bertemu dengan kawan sendiri
dari lingkungan yang sama.
Ketika kemudian matahari menjadi semakin rendah, maka
Kiai Gringsing dan Sumangkar pun segera minta diri. Mereka
berpura-pura akan kmbali ke Sangkal Putung bersama Agung
Sedayu dan Swandaru. Hanya Untara dan Widura sajalah
yang mengetahui, bahwa mereka berniat untuk mengintai
orang-orang yang tidak dikenal yang telah membuat perapian
di hutan yang terbentang di pinggir jalan, antara Sangkal
Putung dan Jati Anom. "Bagaimana dengan kuda-kuda ini?" bertanya Swandaru
ketika mereka mendekati hutan rindang itu. "Apakah kudakuda
ini tidak justru mengganggu?"
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya, lalu, "Kita ikat kudakuda
itu agak jauh dari hutan."
Mereka berempat pun kemudian menuju ke sebuah
pategalan di ujung hutan. Mereka mengikat kuda-kuda mereka
di tengah pategalan dan tersembunyi, sehingga tidak mudah
diketahui oleh orang-orang yang lewat di pinggir pategalan itu.
"Bagaimana kalau pemiliknya menengok pategalan ini di
malam nanti?" bertanya Swandaru.
"Jarang sekali seseorang pergi ke pategalan yang
kebetulan sedang mulai ditanami. Jika pohung ini menjelang
mengambil buahnya, barulah setiap kali mereka menengok di
malam hari." "Kita menunggu gelap di sini?" bertanya Agung Sedayu
tiba-tiba. "Ya, kita menunggu gelap di sini. Tempat ini terlindung oleh
pepohonan yang cukup rimbun," sahut gurunya.
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil
berjalan hilir-mudik, dicobanya untuk membayangkan apa
yang akan mereka lakukan, apabila hari menjadi gelap.
Tiba-tiba saja ia berhenti dan bertanya kepada gurunya,
"Apakah mungkin orang yang membuat perapian itu orangorang
yang tidak dikenal di daerah ini, Guru?"
Gurunya menganggukkan kepalanya. "Ya," jawabnya,
"agaknya mereka orang asing di sini."
"Jika mereka orang asing, apakah perapian itu tidak
mengundang para peronda untuk mendekatinya?"
"Bukankah mereka berada di tempat yang terlindung agak
menjorok masuk. Dan menurut perhitungan mereka, para
peronda dari Jati Anom tidak akan sampai ke tempat mereka
membuat perapian itu."
"Agaknya memang demikianlah," sambung Sumangkar.
"Ternyata tidak seorang peronda pun yang pernah melaporkan
tentang perapian kepada Untara."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
"Dan sebentar lagi kita akan melihat, siapakah sebenarnya
mereka itu." Ketika matahari menjadi semakin rendah dan hilang di balik
cakrawala, maka mereka pun segera mulai bersiap-siap.
Mereka harus mendahului orang-orang yang ingin mereka
ketahui keadaannya itu. Karena itu, ketika malam mulai turun, mereka berempat
pun segera meninggalkan kuda-kuda mereka. Dengan hatihati
mereka berjalan menuju ke hutan yang tidak begitu lebat,
yang membentang di sebelah jalan ke Sangkal Putung.
"Bagaimana jika ada harimau yang sampai ke pategalan
itu, Guru?" bertanya Swandaru.
"Kemungkinan itu kecil sekali. Terlalu jauh bagi seekor
harimau. Kecuali apabila harimau itu benar-benar kelaparan.
Tetapi mudah-mudahan tidak ada seekor harimau yang pergi
ke pategalan, karena biasanya mereka tidak akan menjumpai
apa pun di sana. Agaknya harimau-harimau yang kelaparan
lebih senang pergi ke padesan untuk mencuri ternak."
Demikianlah, maka mereka berempat pun segera masuk ke
dalam daerah hutan yang sudah menjadi gelap. Mereka
menempatkan diri mereka di tempat yang cukup terlindung,
tetapi mereka dapat melihat lapangan rumput yang diselingi
oleh pohon-pohon perdu di luar hutan sampai ke pinggir jalan.
Dari kegelapan mereka akan dapat melihat bayangan yang
bergerak-gerak di tempat yang terbuka, apabila orang-orang
itu benar-benar datang lagi ke sekitar tempat itu.
Untuk memperluas jarak jangkau pengamatan mereka,
maka mereka berempat tidak berada di tempat yang sama.
Kiai Gringsing dan Swandaru memanjat sebatang pohon yang
tidak jauh dari bekas perapian yang mereka ketemukan agak
menjorok ke dalam, sedang Ki Sumangkar dan Agung Sedayu
berada di dalam semak-semak, justru di bibir hutan itu.
"Apakah mereka akan kembali, Guru?" bertanya Swandaru.
"Kita tidak tahu," jawab gurunya, "tetapi aku mengharap
mereka akan kembali. Mereka akan membuat perapian lagi,
dan berbicara tentang tugas-tugas mereka."
Swandaru menganggukkan kepalanya.
"Tetapi memang mungkin pula mereka menemukan tempat
lain yang lebih baik. Dan apabila demikian, kita akan sia-sia
semalam suntuk di tempat ini," sambung gurunya.
Swandaru mengerutkan keningnya Tetapi ia hanya
berdesah di dalam dirinya, "Jika demikian, kamilah yang lebih
bodoh dari orang-orang itu."
Namun keduanya tidak terbicara lagi. Swandaru duduk di
atas dahan yang besar, bersandar batangnya yang condong,
sedang gurunya duduk sambil berjuntai, seperti sedang duduk
di sebuah ayunan yang tergantung tinggi-tinggi.
Agung Sedayu dan Sumangkar pun tidak banyak berbicara.
Mereka lebih memusatkan perhatian mereka kepada keadaan
di sekitarnya, sehingga mereka tidak ubahnya seperti patungpatung
yang membeku. Mereka mulai menjadi geisah, ketika malam menjadi
semakin malam, namun tidak seorang pun yang tampak lewat
di dekat mereka, apalagi berhenti dan membuat perapian.
Tetapi meskipun demikian, mereka masih tetap menahan hati,
karena mereka masih berpengharapan, bahwa mereka tidak
akan gagal. Selagi mereka termangu-mangu menunggu orang-orang
yang belum mereka ketahui dengan pasti itu, tiba-tiba Kiai
Gringsing yang duduk berjuntai di atas sebatang dahan itu
mengerutkan keningnya. Kemudian digamitnya Swandaru
yang duduk terkantuk-kantuk.
"Ssst, jangan tidur," desisnya.
Swandaru menggelengkan kepalanya, "Tidak, aku tidak
tidur." "Lihatlah," bisik gurunya kemudian.
Swandaru mengangkat wajahnya mencari sesuatu di dalam
rimbunnya dedaunan. "Bukan di sana, tetapi lihat itu."
"Api," desis Swandaru dengan serta merta sambil
membelalakkan matanya. Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Di selasela
batang pepohonan mereka melihat samar-samar nyala
api di dalam kegelapan. Meskipun tidak tepat di tempat yang
kemarin, tetapi perapian itu tidak berada terlalu jauh.
"Marilah kita melihat," bisik Swandaru.
"Jangan tergesa-gesa. Kita belum tahu, siapakah mereka
itu. Jika mereka memiliki kemampuan indra yang melampaui
manusia biasa, maka kita harus sangat berhati-hati. Tetapi
mudah-mudahan mereka orang-orang biasa seperti kita."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun di
dalam hatinya ia berkata, "Guru juga orang yang melampaui
kewajaran manusia yang lain."
Sejenak Kiai Gringsing masih tetap berada di tempatnya.
Perapian yang mereka lihat sedikit bertambah besar, namun
kemudian susut kembali. Agaknya orang-orang yang
mengerumuninya berusaha agar perapian itu tidak menjadi
begitu besar. "Apakah Kakang Agung Sedayu juga melihatnya?"
bertanya Swandaru. Kiai Gringsing menggeleng. Jawabnya, "Mungkin tidak.
Tempatnya tidak memungkinkan."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu,
"Apakah kita akan memberitahukan kepadanya dan Paman
Sumangkar?" "Ya. Aku akan memberitahukan. Tunggulah kau di sini. Jika
ada sesuatu yang penting, kau dapat memberitahukan
kepadaku dengan isyarat."
"Apakah isyarat itu?"
"Kau dapat menirukan suara burung kedasih seperti orangorang
di Alas Tambak Baya?"
"Ya." "Nah, itulah isyaratnya jika perlu sekali. Tetapi aku tidak
akan lama, karena mereka berada tidak jauh dari tempat ini,
asal saja mereka tidak berpindah tempat."
Kiai Gringsing kemudian, turun dengan hati-hati. Ketika ia
sudah berdiri di tanah, ia tidak segera bergeser. Dengan
ketajaman panca indranya ia meyakinkan lebih dahulu, bahwa
tidak ada orang yang berada di sekitar tempat itu.
Baru setelah ia yakin benar-benar bahwa tidak ada seorang
pun yang melihatnya, maka Kiai Gringsing itu mulai bergeser
mendekati tempat Sumangkar dan Agung Sedayu
bersembunyi. Ternyata mereka berdua tidak beranjak dari tempatnya.
Namun karena Sumangkar tidak tahu, bahwa Kiai Gringsing
akan datang kepadanya, maka desir dedaunan yang tersentuh
oleh tubuh Kiai Gringsing membuatnya bersiap-siap. Bahkan
digamitnya Agung Sedayu yang duduk di sampingnya.
Agung Sedayu pun kemudian mempersiapkan dirinya pula.
Suara desir itu lambat laun didengarnya pula.
Namun mereka berdua itu menarik nafas, ketika mereka
mendengar suara Kiai Gringsing lirih, "Adi Sumangkar?"
"Kiai Gringsing?" Sumangkar menyahut.
"Ya. Aku." Sumangkar pun kemudian bergeser ketika Kiai Gringsing
menjadi semakin dekat di luar gerumbul tempatnya
bersembunyi. Sambil menjenguk keluar ia berkata, "Apakah
Kiai melihat sesuatu?"
"Ya. Aku sudah melihat sesuatu."
"O, adakah mereka lewat di dekat tempat Kiai bersembunyi
di hutan itu?" Kiai Gringsing menggeleng, "Tidak. Aku tidak melihat
mereka lewat. Mungkin mereka mengambil jalan lain. Tetapi
aku sudah melihat perapian itu."
"Jika demikian, mereka sudah ada di tempatnya."
"Perapian itu bergeser sedikit."
"Jadi, maksud Kiai?"
"Marilah, kita melihat apa yang mereka lakukan."
Sumangkar pun kemudian menggamit Agung Sedayu dan
memberinya isyarat untuk mengikutinya.
"Agung Sedayu," berkata Kiai Gringsing kemudian, "Kau
mengawani Swandaru di atas dahan pohon itu. Aku dan
pamanmu Sumangkar akan melihat, siapakah yang telah
membuat perapian itu?"
"Kenapa kami tidak ikut melihatnya pula, Guru?" bertanya
Agung Sedayu yang menjadi kecewa karenanya. Ia sudah
sampai ke tempat itu dan duduk di dalam semak-semak.
Tetapi tiba-tiba ia tidak diperbolehkan ikut mengetahui
siapakah sebenarnya yang berada di sekitar perapian itu.
Kiai Gringsing dapat membaca perasaan kecewa itu.
Karena itu maka katanya, "Baiklah. Tetapi hati-hatilah. Kau
dan Swandaru berada di belakang. Jangan mendekat sebelum
aku memberikan isyarat. Kita masih belum tahu ketajaman
indra orang-orang di sekitar perapian itu."
Demikianlah, setelah mereka singgah sejenak untuk
memanggil Swandaru, mereka berempat pun segera pergi
mendekati perapian yang samar-samar. Tetapi Agung Sedayu
dan Swandaru berada beberapa langkah di belakang Kiai
Gringsing dan Sumangkar. Dengan hati-hati sekali, kedua orang tua itu merayap
semakin dekat. Setiap langkah, mereka perhitungkan baikbaik,
agar tidak menimbulkan suara yang dapat mengejutkan
atau menunjukkan kepada orang-orang di sekitar perapian itu,
bahwa ada orang yang sedang mengintai. Sementara Agung
Sedayu dan Swandaru mengikuti saja dari jarak yang agak
jauh, namun tidak sampai kehilangan arah, karena malam
yang serasa menjadi semakin gelap di dalam rimbunnya hutan
yang meskipun tidak begitu lebat.
Demikianlah, akhirnya kedua orang tua-tua itu berhasil
mendekati perapian itu. Mereka berdiri di balik pepohonan
sambil mengatur pernafasan, agar orang-orang di sekitar
perapian itu tidak mengetahui kehadiran mereka.
Beberapa saat Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar berada di
tempatnya, mereka masih belum mendengar orang-orang itu
berbicara satu patah kata pun. Mereka duduk sambil
menundukkan kepala di sekeliling perapian sambil memanasi
badannya. "Tidak, bukan hanya badannya," berkata Kiai Gringsing dan
Sumangkar di dalam hatinya ketika mereka melihat semakin
jelas, bahwa dua orang di antara mereka sedang
memanggang beberapa potong daging binatang.
"Apakah mereka beberapa orang pemburu yang sedang
berburu di hutan ini?" bertanya kedua orang tua-tua itu di
dalam hati pula. Namun mereka mengerutkan keningnya, ketika mereka
melihat kulit domba teronggok di samping lingkaran itu.
"Tentu bukan pemburu," keduanya mendapat kepastian.
"Pemburu-pemburu tidak akan menyembelih kambing di hutan
perburuannya." Karena itu, maka keduanya menjadi semakin bernafsu
untuk mengetahui siapakah mereka itu.
Agung Sedayu dan Swandaru duduk beberapa langkah dari


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gurunya. Mereka pun melihat merahnya api di dedaunan dan
pepohonan. Namun mereka tidak dapat melihat dengan jelas,
siapa saja yang berada di sekitar perapian itu dan apa saja
yang sedang mereka lakukan.
Ketika Swandaru akan berbisik sesuatu, Agung Sedayu
meletakkan jari telunjuknya di bibir anak muda yang gemuk
itu, sehingga Swandaru mengurungkan loncatan kata-katanya
yang sudah ada di tenggorokan.
Baru setelah daging yang mereka panggang di perapian itu
masak, terdengar salah seorang dari mereka berbicara, "Kita
makan sekarang." Tidak seorang pun yang menjawab. Tetapi mereka pun
kemudian bergeser sedikit. Salah seorang dari orang-orang
yang mengelilingi perapian itu pun berdiri dan melangkah
beberapa langkah untuk mengambil beberapa bungkus nasi.
Kiai Gringsing dan Sumangkar harus menahan hati
mereka. Dengan demikian keduanya harus duduk menunggu
sampai orang-orang itu selesai makan dan berbicara sesuatu,
sehingga keduanya mendapatkan suatu kesimpulan tentang
orang-orang itu. Sementara itu yang dapat dilakukan adalah
sekedar menghitung orang-orang itu. Meskipun agak sulit,
namun akhirnya Kiai Gringsing berdesis di dalam hati, "Tujuh
orang." Sambil menunggu mereka makan, maka Kiai Gringsing
memberi isyarat kepada Sumangkar untuk mendapat
pertimbangan memanggil murid-muridnya. Menurut
penilaiannya, orang-orang yang berada di perapian itu
bukanlah orang-orang yang memiliki kemampuan melampuii
orang kebanyakan. Ki Sumangkar yang mengerti isyarat itu pun mengangguk,
karena ia pun sependapat dengan Kiai Gringsing.
Dengan demikian, maka Agung Sedayu dan Swandaru
yang sudah mulai menjadi jemu, kini dapat ikut serta
menunggui orang-orang yang sedang makan itu. Namun
dengan demikian mereka pun menemukan kejemuan baru.
Orang-orang yang sedang makan itu membuat Agung Sedayu
dan Swandaru menjadi tidak sabar lagi menunggu.
Tetapi mereka harus memaksa diri duduk saja merenung.
Bahkan Swandaru sudah mulai terkantuk-kantuk, bersandar
sebatang pohon, justru membelakangi. orang-orang yang
sedang makan itu. Namun tiba-tiba saja mereka terkejut ketika terdengar,
derap kaki kuda di kejauhan. Semakin lama menjadi semakin
dekat. Dan ternyata, bahwa bukan saja Kiai Gringsing dan
muridnya serta Ki Sumangkar sajalah yang terkejut, tetapi juga
orang-orang yang sedang mengelilingi perapian itu. Tiba-tiba
saja terdengar perintah, "Padamkan api."
Beberapa orang segera berdiri dan mencakup tanah kering
dan dihamburkannya di atas perapian, sehingga sejenak
kemudian api itu pun menjadi padam, meskipun masih juga
tampak asap yang mengepul. Namun ketika angin berhembus,
asap itu pun segera pecah berserakan.
Derap kaki kuda itu pun menjadi semakin dekat. Tetapi
ternyata, bahwa kuda-kuda itu sama sekali tidak berhenti.
Agaknya beberapa orang peronda telah lewat di jalan yang
membujur di pinggir hutan itu.
"Anak setan," terdengar salah seorang dari orang-orang
yang mengitari perapian yang telah padam itu mengumpat.
"Malam kemarin tidak ada seorang pun yang lewat. Sekarang
peronda-peronda itu berkeliling sampai ke tempat ini."
"Apakah ada orang yang berhasil mencium kehadiran kita
di sini?" bertanya yang lain.
"Aku belum mendapatkan tanda-tanda itu," sahut yang
mula-mula berbicara, yang agaknya adalah pemimpin mereka.
"Makanlah," desis suara yang lain, "kita akan segera pergi."
"Sudah habis," terdengar jawaban.
Namun tiba-tiba yang lain lagi berkata, "Nasiku tumpah.
Aku tergesa-gesa berdiri, ketika api perapian itu harus
dipadamkan." "Tinggal daunnya," jawab yang lain, "aku tahu, kau makan
daging kambing, serta tulangnya sekali. Biasanya kau makan
nasi serta daunnya."
"Sst," desis pemimpin mereka, "kita masih harus
mengawasi kesiagaan Untara semalam ini. Besok kita dapat
memastikan, di mana kita akan mulai, karena besok lusa,
Untara sudah harus pergi ke Pengging. Sepeninggal Untara
kita harus bertindak dengan cepat, supaya kesan yang kita
timbulkan tidak sempat mendapatkan penyelidikannya
langsung. Hanya Untara-lah yang masih dapat berpikir bening
menghadapi Mataram. Pada umumnya, para prajurit sudah
diracuni oleh kecurigaan."
"Bagaimana dengan Widura?"
Widura sudah bukan prajurit lagi. Ia sudah jemu, karena
ketuaannya yang semakin mengganggu tugas-tugas
keprajuritannya." "Ia belum terlalu tua."
Terdengar suara tertawa pendek. Namun untuk beberapa
lamanya tidak terdengar suara yang lain.
Maka sejenak kemudian, hutan itu telah dicengkam oleh
kesenyapan. Yang terdengar adalah suara binatang malam di
kejauhan. Suara burung hantu dan bilalang yang berdelik di
rerumputan. Yang mula-mula terdengar adalah suara pemimpin dari
orang-orang yang duduk di sekitar perapian yang sudah
padam itu, "Tidak seorang pun yang dapat membaca pikiran
orang lain dengan tepat. Tetapi agaknya Widura itu pun sudah
jemu mengabdikan diri kepada Sultan Adiwijaya. Tetapi
karena ia tidak mau berkhianat, maka lebih baik baginya untuk
mengundurkan diri saja dari lingkungannya."
"Apakah Ki Lurah yakin?" tiba-tiba terdengar suara yang
berat. "Aku yakin. Banyak prajurit yang lari ke Mataram. Lurah
Branjangan lari pula di samping Ki Lurah Mahoni dan Ki Lurah
Sarimpat." "Tetapi hubungan Mataram dengan Pajang masih belum
dapat diambil kesimpulan apa pun juga," suara yang berat itu
terdengar lagi. "Ternyata menurut beberapa orang petugas
kami, Raden Sutawijaya telah mengirimkan beberapa jodang
sumbangan kepada Untara."
"Kau bodoh sekali," berkata pemimpinnya, "itu sekedar
suatu cara untuk menahan, agar Pajang jangan terlalu cepat
bertindak, sebelum Mataram siap."
"Begitu?" "Ya. Dan adalah tugas kita untuk memancing tindakan
Pajang terhadap Mataram. Tepat setelah Untara
meninggalkan Jati Anom."
Sejenak kemudian tidak terdengar jawaban sama sekali.
Yang terdengar hanyalah nafas-nafas yang berdesah.
Kiai Gringsing dan Sumangkar yang duduk berdekatan
saling memandang sejenak. Tanpa disadarinya keduanya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata yang mereka
duga telah benar-benar terjadi. Orang-orang itu adalah orangorang
yang dengan sengaja ingin menimbulkan benturan
langsung antara Pajang dan Mataram secepatnya.
Namun keduanya masih belum dapat menyatakan
pendapatnya. Mereka masih harus menunggu sejenak, untuk
melihat perkembangan yang bakal terjadi.
"Marilah kita pergi," terdengar suara pemimpinnya, "kita
melihat keadaan di Jati Anom. Kita masih mempunyai waktu
sampai malam besok. Di dalam waktu itu kita harus sudah
dapat menentukan, apakah yang akan kita lakukan dan di
mana?" "Sekarang kita sudah mendapat gambaran itu," sahut suara
yang lain. Kiai Gringsing dan Sumangkar bersama kedua anak-anak
muda yang mengikutinya itu menjadi berdebar-debar. Namun
mereka menjadi kecewa, karena ternyata orang-orang itu tidak
mengatakan apa pun tentang rencana itu. Bahkan salah
seorang dari mereka berkata, "Marilah kita pergi."
"Kita memutari Jati Anom dari sebelah Timur. Kita akan
mencari kemungkinan yang lebih baik dari yang telah kita
dapatkan apabila mungkin. Kita lewati Lemah Cengkar dan
melihat hutan kecil di sebelahnya."
"Arah itu tidak menguntungkan," sahut yang lain.
"Marilah kita coba melihatnya."
Tidak seorang pun yang menjawab. Di dalam kegelapan,
Kiai Gringsing dan Sumangkar hampir tidak dapat melihat
orang-orang itu. Namun pandangan mata mereka yang tajam,
masih juga dapat menangkap bayangan-bayangan yang
bergerak-gerak dan kemudian berjalan meninggalkan tempat
itu. Sejenak kemudian, mereka telah benar-benar hilang di
dalam kegelapan terlindung oleh pepohonan. Bahkan langkah
kaki mereka serta desih dedaunan telah tidak terdengar lagi.
Sejenak kemudian, Kiai Gringsing menarik nafas dalamdalam.
Namun ia masih harus berbisik, "Mereka pergi ke
sebelah Timur Jati Anom."
"Ya. Orang-orang itulah yang diperhitungkan oleh Ki Lurah
Branjangan," sahut Sumangkar.
"Tetapi mereka mengetahui, bahwa Raden Sutawijaya
mengirimkan orang ke Jati Anom."
"Tetapi mereka tidak memperhitungkan sejauh Ki Lurah
Branjangan dan para pemimpin Mataram. Mereka hanya
sekedar menduga, bahwa Mataram yang agaknya tidak
mereka ketahui siapa orangnya itu telah menyerahkan sebuah
bingkisan yang banyak kepada Untara."
"Tetapi siapakah mereka sebenarnya, Guru?" bertanya
Agung Sedayu. "Kami belum tahu pasti."
"Apakah mereka bukan justru orang-orang Pajang sendiri
yang menghendaki agar segera mendapat perintah untuk
menghancurkan Mataram."
Kiai Gringsing menggeleng, "Nadanya bukan orang Pajang.
Dan agaknya Untara telah berbicara dengan beberapa orang
senapati yang lain, sehingga para pemimpin prajurit di Pajang
mengetahui rencana Ki Lurah Brajangan. Dan mereka tidak
akan dengan membabi buta meneruskan rencananya untuk
mengaku orang-orang Mataram, karena mereka akan segera
dikenal oleh Ki Lurah Branjangan itu."
"Jadi kesimpulan Guru?" sahut Swandaru.
"Bukan orang-orang Pajang, tetapi pasti juga bukan orang
Mataram." "Apakah mungkin mereka pengikut-pengikut Kiai Damar
dan Kiai Telapak Jalak?"
"Bahkan mungkin kedudukan mereka lebih tinggi dari para
hantu di Alas Mentaok itu," sahut Kiai Gringsing. "Mungkin di
antara mereka terdapat orang yang sebenarnya berada di
belakang tabir dan menggerakkan kendali atas Kiai Damar
dan Kiai Telapak Jalak serta orang-orang yang lain lagi."
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun tiba-tiba saja Swandaru bertanya, "Tetapi,
jika mereka adalah orang-orang yang memiliki kelebihan dari
Kiai Telapak Jalak, apakah mereka tidak sangat berbahaya,
Guru" Dan apakah kita akan dapat mengikutinya dan
menyadap pembicaraan mereka?"
"Tentu bukan orang-orang yang duduk di perapian itu.
Maksudku, yang akan memimpin mereka. Yang memimpin
keseluruhan gerak dari orang-orang yang tidak mau melihat
Mataram menjadi tempat yang ramai, seperti juga sebagian
orang-orang Pajang yang tidak mau melihat Mataram menjadi
sebuah kota." Kedua murid Kiai Gringsing itu mengangguk-angguk. Tetapi
Agung Sedayu masih juga bertanya, "Guru, apakah sebabnya
Pajang berkeberatan" Bukankah Pati, dan kota-kota di pesisir
berkembang dengan pesat pula" Adipati-adipati di daerah
Timur juga menumbuhkan persoalan-persoalan tersendiri.
Tetapi mengapa perhatian Sultan Adiwijaya justru ditujukan
kepada daerah yang baru berkembang. Daerah yang masih
terlalu lemah, dibandingkan dengan daerah para adipati yang
sudah tumbuh semakin kuat itu" Atau barangkali akulah yang
sama sekali tidak dapat membayangkan kesiagaan prajurit
Pajang di daerah-daerah lain yang dianggapnya juga
bergolak?" "Tidak, Agung Sedayu. Perhatian Pajang kini terutama
tertuju kepada Mataram."
"Jika demikian, kenapa, Guru?"
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian, "Meskipun kadipaten yang lain lebih kuat dari
Mataram sekarang, Agung Sedayu, tetapi di daerah-daerah itu
tidak ada sebuah nama yang mempunyai pengaruh sebesar
Raden Sutawijaya dan Ki Gede Pemanahan. Di daerah pesisir
tidak ada seorang pun yang sangat dihormati oleh Sultan
Adiwijaya seperti Ki Gede Pemanahan dan yang memiliki
kemampuan mengemudikan pemerintahan seperti orang tua
itu. Itulah sebabnya, beberapa orang di Pajang menjadi sangat
cemas melihat perkembangan Mataram. Terutama para
senapati yang masih tetap menganggap, Pajang sebagai
pusat dari perkembangan tanah ini."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
dapat mengerti keterangan gurunya itu. Ternyata, bahwa
seseorang memang dapat menjadi sangat berpengaruh atas
suatu persoalan yang sedang berkembang.
Namun sebelum Agung Sedayu bertanya lebih lanjut, maka
Kiai Gringsing pun berkata, "Kita mengikutinya sampai ke
Lemah Cengkar." "Bagaimana dengan kuda-kuda itu, Guru?" bertanya
Swandaru. "Biar saja ia berada di pategalan itu. Tidak akan terjadi apaapa
atas mereka. Mungkin kuda-kuda itu sekarang sedang
tidur dengan nyenyak."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
tidak bertanya lagi. "Kita akan memintas, sehingga kita akan mendahului
mereka sampai ke Lemah Cengkar," berkata Kiai Gringsing
kemudian. "Apakah mereka tidak juga memilih jalan memintas?"
bertanya Agung Sedayu. "Agaknya mereka bukan orang yang tinggal di sekitar
daerah ini. Mereka tidak mengenal jalan-jalan sempit di tengah


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hutan ini." "Apakah Guru mengenalnya?"
"He, bukankah aku orang Dukuh Pakuwon."
"O," Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Gurunya, yang juga bernama Tami Metir, itu memang
pernah tinggal di Pakuwon untuk waktu yang cukup lama,
sehingga tidak mustahil, jika dukun tua dari Dukuh Pakuwon
itu mengenal jalan-jalan setapak di daerah ini.
Demikianlah, maka mereka berempat pun segera
berangkat menyusuri pinggiran hutan. Namun kemudian
mereka pun segera memotong, setelah mereka menemukan
sebuah jalan sempit yang memintas. Mereka menyusup
pepohonan dan pohon-pohon perdu. Tetapi hutan ini tidak
seganas Alas Tambak Baya, apalagi Alas Mentaok. Karena
itu, bagi keempat orang itu, perjalanan mereka bukannya
perjalanan yang terlampau sulit.
Meskipun demikian, terbersit juga sebuah kenangan di
dalam hati Agung Sedayu. Sejak kecil ia mendengar ceritera
tentang Lemah Cengkar yang angker. Menurut kata orang, di
daerah Lemah Cengkar terdapat seekor harimau putih yang
jauh lebih besar dari harimau kebanyakan. Bahkan lebih besar
dari Macan Gembong sekalipun. Sudah tentu, bahwa menurut
ceritera macan putih itu sama sekali bukan harimau
sebenarnya, tetapi harimau jadi-jadian.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Terkenang pula
ketika ia untuk pertama kali mengikuti kakaknya, Untara.
Betapa ia dibayangi oleh wajah-wajah hantu yang
menakutkan. Untunglah, ketika ia berada di Alas Mentaok,
hatinya sudah tabah menghadapi wajah-wajah hantu yang
menakutkan itu. Jika sekiranya ia dilepaskan di daerah Alas
Mentaok selagi ia masih dibelenggu oleh perasaan takutnya,
maka ia tidak akan lebih baik dari orang-orang yang ketakutan
di daerah yang sedang dibuka itu.
Tetapi kini, Agung Sedayu tidak lagi dihantui oleh ceritera
tentang Macan Putih di Lemah Cengkar. Bahkan sejenak
kemudian, pikirannya sudah beralih kepada orang-orang yang
sedang diikutinya itu. Setelah beberapa lama mereka berjalan, maka mereka pun
menjadi semakin dekat dengan daerah Lemah Cengkar.
Sebuah hutan kecil terbentang di sebelah Utara daerah yang
masih liar itu. Beberapa batang pohon yang besar tumbuh di
antara kekerdilan semak-semak. Dan di atas sebuah puntuk
kecil terdapat sebuah batu yang aneh. Seolah-olah batu itu
diatur oleh tangan manusia dan diletakkannya di atas gumuk
kecil itu. "Kita menunggu di sini. Mereka pasti akan melintas jalan
ini," berkata Kiai Gringsing.
Kedua muridnya dan Ki Sumangkar hanya menganggukkan
kepalanya. Mereka percaya, bahwa Kiai Gringsing seakanakan
memiliki firasat yang sangat tajam.
Demikianlah, mereka kemudian bersembunyi di balik
semak-semak untuk menunggu orang-orang yang semula
mengelilingi perapian dan yang kemudian berusaha untuk
menemukan pangkal yang baik bagi usaha mereka
mengacaukan Jati Anom. Ternyata bahwa perhitungan Kiai Gringsing tidak salah.
Sejenak kemudian, mereka telah mendengar suara rantingranting
perdu yang berpatahan. "Kalian di sini, Agung Sedayu dan Swandaru. Kali ini kita
tidak sekedar mengintai orang-orang yang duduk mengelilingi
perapian. Tetapi kita akan mengikuti mereka bergeser dari
satu tempat ke tempat yang lain. Jangan pergi ke mana pun.
Aku berdua bersama Ki Sumangkar akan mengikuti mereka
dan akan mencari kalian ke tempat ini jika kami sudah merasa
cukup." Ia melihat kekecewaan membayang di wajah kedua
muridnya. Namun kali ini Kiai Gringsing tidak dapat
mempertimbangkan kemungkinan lain yang lebih baik.
Betapa pun kecewa bergejolak di dalam hatinya, namun
kedua murid Kiai Gringsing itu harus mematuhi kata-kata
gurunya, karena hal itu pasti sudah dipertimbangkannya baikbaik.
Sesaat kemudian, maka ketujuh orang yang sedang
mereka tunggu itu pun lewat beberapa langkah di hadapan
Kiai Gringsing menuju ke rumpun-rumpun perdu yang lebih
lebat di pinggir hutan kecil agak ke Utara.
Dengan isyarat, Kiai Gringsing mengajak Ki Sumangkar
untuk segera mengikuti mereka Tetapi untuk sementara
keduanya tidak berani mendekat, karena mereka masih
berada di tempat yang agak terbuka.
Namun ketika kemudian mereka memasuki hutan perdu
yang liar, barulah keduanya berusaha untuk mengikutinya dari
jarak yang semakin dekat.
"Ternyata tempat ini cukup baik," desis salah seorang dari
mereka. Tidak ada yang segera menanggapi. Tetapi mereka
berjalan terus menelusuri rumpun-rumpun perdu yang menjadi
semakin lebat, dan kemudian sampai di daerah hutan kecil
yang gelap. Sesaat kemudian, pemimpin mereka itu pun berkata, "Kita
berhenti sebentar. Kita pertimbangkan tempat ini."
Orang-orang itu pun kemudian berhenti. Mereka berdiri
menghadap ke Jati Anom. "Kita akan membuat pertimbangan-pertimbangan," berkata
pemimpinnya, "apakah tempat ini lebih menguntungkan atau
tidak, dibandingkan dengan hutan mlandingan sebelah Barat
Jati Anom?" Kawan-kawannya tidak segera menyahut.
"Kita akan menyerang Jati Anom dan berusaha membuat
kegaduhan sejauh-jauh mungkin. Kita mengharap betapapun
mereka bersiaga, namun mereka akan lengah juga
sepeninggal Untara, karena pengamanan mereka pasti
sebagian terbesar mereka tujukan bagi Untara dan para
perwira yang hadir di Jati Anom dan akan membawa Untara
ke Pengging. Kegaduhan yang timbul pasti akan segera
membuat Rangga Parasta marah dan mempengaruhi Untara
untuk segera bertindak setelah hari-hari pertamanya
dilewatinya. Dari tempat ini, kita dapat mencapai Sendang
Gabus tanpa kesulitan. Kita akan menghindari jalan langsung
ke Banyu Asri. Yang harus kita lakukan adalah memasuki
rumah Untara. Bukan rumah Widura."
"Tetapi prajurit Pajang sebagian terbesar ada di banjar
kademangan. Jika kita tidak segera mencapai rumah Untara,
maka para peronda akan sempat membangunkan para prajurit
yang ada di banjar dan juga yang berpencaran di sekitarnya,"
sahut seseorang. "Kita akan berputar lewat sebelah Selatan. Justru di
sebelah Timur Banyu Asri."
"Jika demikian, apakah tidak lebih baik kita berada di
sebelah Barat. Jika kita terpaksa harus secepatnya
menghilang, kita dapat naik ke lereng Merapi, dan
bersembunyi di sekitar bekas padepokan Tambak Wedi."
"Tetapi untuk mencapai rumah Untara yang dipergunakan
sebagai tempat tinggal para perwira itu, kita lebih baik datang
dari arah ini. Kita akan membunuh beberapa orang perwira,
kemudian kita dapat menghilang ke Barat, karena jika ada
kesempatan membangunkan para prajurit di banjar, mereka
akan datang dari arah Timur.
"Jadi kenapa kita harus datang dari arah Timur juga?"
"Supaya tidak menimbulkan kemungkinan ada persiapan
lebih dahulu di bagian Barat, jika memang ada satu dua orang
peronda yang melihat salah seorang dari kita yang akan
menyusup masuk. Dan jarak untuk mencapai rumah Untara
agaknya lebih aman, karena pengamanan daerah ini pasti
akan ditekankan di daerah Barat, karena mereka masih harus
mengawasi rumah Widura."
"Jadi kenapa kita tidak menghindar ke Timur juga?"
bertanya yang lain. "Sudah aku katakan, jika ada satu dua orang yang sempat
membunyikan tengara, prajurit-prajurit yang ada di banjar
akan bangun dan mereka akan datang dari arah Timur.
Namun kita berharap, bahwa mereka masih tetap nyenyak
ketika kita datang."
Sejenak tidak ada seorang pun yang segera menyahut.
Agaknya mereka sedang merenungi rencana itu. Daerah ini
memang baik mereka jadikan daerah persiapan. Sedang
daerah lereng Merapi adalah daerah yang baik untuk mereka
jadikan tempat menghindar. Batu-batu padas yang besar dan
liku-liku lereng yang berselimut batang-batang perdu
memberikan kemungkinan lolos yang sebesar-besarnya.
Apalagi mereka sempat meninggalkan Kademangan Jati
Anom, kemudian memasuki alas mlandingan yang meskipun
tidak begitu luas, mereka akan dapat hampir memastikan
untuk berhasil menyelamatkan diri di lereng-lereng yang
berbatu padas. Untuk beberapa saat lamanya orang-orang itu masih
berdiam diri sambil mengawasi keadaan di sekitarnya. Tetapi
gelap malam rasa-rasanya menjadi semakin pepat, sehingga
sejenak kemudian, salah seorang dari mereka berkata, "Aku
kira kita dapat mengajukan rencana ini. Tetapi sebaiknya
besok siang kita melihat keadaan ini untuk mendapatkan
kepastian." "Di siang hari?"
"Ya." "Berbahaya sekali."
"Tentu tidak perlu kita semua berbareng datang kemari.
Aku akan datang dengan seorang dari kalian."
"Hanya dua orang?"
"Ya, tentu tidak akan menumbuhkan kecurigaan. Adalah
merupakan hal yang biasa bila dua orang berjalan bersamasama.
Apakah yang aneh" Jika kita datang bertujuh, memang
hal itu akan dapat menumbuhkan persoalan."
Kawan-kawannya hanya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Memang mereka harus melihat keadaan ini di
siang hari supaya mereka dapat memastikan apa yang harus
mereka lakukan. "Marilah, kita sekarang pergi."
"Apakah kita tidak melihat Jati Anom?"
"Tidak ada yang baru di Jati Anom. Besok pun tidak ada.
Tetapi besok kita dapat melihat Banyu Asri yang sepi, setelah
Untara pergi. Lusa kita akan melakukan rencana kita
memasuki Jati Anom itu."
Tidak ada seorang pun yang menyahut.
"Marilah," gumam pemimpinnya itu sambil melangkah.
Sejenak kemudian mereka pun berjalan berurutan
meninggalkan tempat itu. Dalam pada itu, Sumangkar dan Kiai Gringsing yang
mengintip mereka, membiarkan mereka pergi. Mereka sama
sekali tidak berbuat sesuatu, selain memandang bayangan
yang kehitam-hitaman itu hilang di dalam kelam.
Sejenak kemudian, barulah mereka berdiri sambil
menggeliat. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, Kiai
Gringsing berdesis, "Rencana yang baik."
Sumangkar pun mengangguk-angguk pula, katanya, "Tentu
rencana ini di susun oleh orang yang cukup berpengalaman."
"Ya," sahut Kiai Gringsing, "kita harus berhati-hati. Kita
tidak dapat menghadapi mereka tanpa orang lain."
"Prajurit-prajurit itu?"
"Kita harus berhati-hati. Siapa tahu, bahwa ada orangorang
mereka yang menyusup di dalam lingkungan
keprajuritan." Sumangkar mengangguk-angguk dan menganggukangguk.
Tetapi ia tidak segera menemukan sesuatu untuk
mengatasi persoalan itu. "Marilah, kita kembali kepada Agung Sedayu dan
Swandaru. Barangkali kita akan menemukan sikap sambil
berjalan." Keduanya pun segera kembali ke tempat mereka
meninggalkan Agung Sedayu dan Swandaru. Kiai Gringsing
menggeleng-gelengkan kepalanya, ketika dilihatnya Swandaru
sedang tidur dengan nyenyaknya.
"Dapat juga ia tidur nyenyak," desis Kiai Gringsing.
Agung Sedayu tersenyum sambil menjawab, "Ia kecewa
sekali karena kami tidak boleh ikut serta. Karena itu, lebih baik
baginya untuk tidur saja daripada menggerutu tidak habishabisnya."
Kedua orang tua-tua itu pun tersenyum.
Ternyata percakapan itu telah membangunkan Swandaru,
sehingga sambil menggeliat ia berkata, "Apakah sekarang
sudah fajar pagi?" "Sudah lewat," jawab Agung Sedayu.
Swandaru pun kemudian berdiri sambil bertanya, "Di mana
orang-orang iti, Guru?"
"Sudah pergi." "Pergi" Dan kita membiarkan mereka pergi tanpa berbuat
apa-apa?" "Kita tidak berbuat apa-apa."
"Kenapa guru?" Agung Sedayu pun bertanya, "bukankah
mereka orang-orang yang berbahaya?"
"Ya. Mereka memang orang-orang yang berbahaya. Tetapi
kita tidak dapat berbuat sesuatu atas mereka itu sekarang.
Dengan demikian, kita tidak akan dapat menemukan
kepalanya, kecuali ekornya saja, seperti seekor cicak,
meskipun kita mematahkan ekornya, maka ekor itu akan
segera tumbuh kembali."
Kedua murid-muridnya tidak menjawab, meskipun mereka
belum mengerti alasan gurunya itu yang sebenarnya.
"Mereka bukannya orang-orang terpenting dari lingkungan
mereka," berkata Kiai Gringsing. "Mereka hanyalah semacam
penunjuk jalan, atau petugas-petugas sandi."
"Tetapi jika kita menangkap mereka, maka mereka tidak
akan dapat memberikan keterangan lebih jauh kepada atasan
mereka." "Ya, karena mereka tidak kembali kepadanya. Tetapi,
bahwa mereka tidak kembali ke pangkalan itu pasti
menimbulkan persoalan bagi mereka. Jika mereka bukan
orang-orang yang sangat dungu, maka mereka pasti akan
segera merubah rencana mereka. Perubahan rencana itu
sangat merugikan bagi kita. Sekarang kita sudah dapat
mengetahui rencana ini. Agaknya mereka mendapat
kepercayaan penuh untuk menentukan dari mana mereka
datang dan kemana mereka akan pergi. Jika rencana itu


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berubah, kita tidak akan dapat mengerti, apakah yang akan
mereka lakukan kemudian."
"Tetapi apakah kita dapat memastikan, bahwa pendapat
orang-orang itu akan diterima oleh atasannya?"
"Menilik pembicaraan mereka, mereka adalah satu-satunya
kelompok yang mendapat tugas untuk menentukan garis
serangan," jawab gurunya, namun kemudian, "tetapi memang
tidak mustahil, bahwa mereka hanya dapat memberikan
bahan dan pertimbangan. Meskipun demikian inti dari rencana
itu sudah kita ketahui, sehingga kita dapat menentukan sikap."
(***) Buku 66 KEDUA murid Kiai Gringsing itu mengangguk-angguk.
Meskipun agak lambat, namun alasan itu akhirnya
dimengertinya pula. Rencana yang sudah mereka mengerti
itulah yang sebaiknya berjalan, karena rencana yang lain tidak
akan dapat mereka sadap dengan mudah, apalagi jika pernah
terjadi, orang-orang mereka hilang di daerah Jati Anom.
"Apakah kita akan bertindak sendiri?" bertanya Agung
Sedayu tiba-tiba. Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Dipandanginya
wajah Sumangkar yang berkerut-merut.
"Kita tidak akan dapat bertindak sendiri," berkata
Sumangkar. "Bukankah begitu?"
Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya. Jawabnya, "Kita
memang tidak akan dapat berbuat sendiri."
"Jadi, apakah yang harus kita lakukan?"
"Kita harus berbicara dengan Ki Widura. Kita memerlukan
pertimbangannya. Orang-orang yang akan melakukan
rencana yang sudah tersusun itu pasti tidak hanya satu dua
orang. Dan sesuai dengan rencananya, yang datang pasti
bukan orang-orang kebanyakan."
"Apakah inti dari rencana mereka, Guru?" bertanya
Swandaru. "Rencana mereka sangat mengerikan. Membunuh para
perwira yang tinggal di rumah Untara untuk membangkitkan
kemarahan prajurit-prajurit Pajang. Dengan demikian maka
Pajang pasti tidak akan dapat menahan hati lagi. Sedang para
penyerang itu akan meninggalkan kesan bahwa orang-orang
Mataram-lah yang telah melakukannya,"
"Seperti yang diperhitungkan Ki Lurah Branjangan. Orang
itu memang mempunyai pandangan yang tajam."
"Bukan sekedar perhitungan. Tentu orang-orang Mataram
telah mencium rencana ini dari petugas-petugas sandinya,
meskipun samar-samar. Karena itulah agaknya Ki Lurah
Branjangan bertugas untuk menjaga, jika penciuman yang
samar-samar itu benar-benar akan terjadi. Dan ternyata
bahwa yang didengar oleh orang-orang Mataram itu bukan
sekedar mimpi yang buruk.
"Jadi, apakah kita akan berbicara pula dengan Untara?"
bertanya Sumangkar kemudian.
"Biarlah Untara menjalani hari-harinya dengan tenang.
Meskipun kita memberitahukan kepadanya, tetapi kita jangan
memberikan kesan, bahwa masalah yang dihadapinya adalah
masalah yang terlalu berat."
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Kiai
Gringsing berkata selanjutnya "Marilah kita kembali ke rumah
Widura." "He, bukankah kita pergi ke Sangkal Putung sore tadi?"
Kiai Gringsing tersenyum Jawabnya, "Ya, kita kembali ke
Sangkal Putung sore tadi, sehingga baru besok pagi kita dapat
mengunjungi Widura. Tetapi untuk benar-benar pergi ke
Sangkal Putung menjelang pagi ini, agaknya akan sangat
mengejutkan." "Lalu?" "Marilah kita pergi ke tempat kuda kita tertambat. Kita
beristirahat di pategalan itu sebentar, kemudian menjelang
terang tanah kita mencari sumber air untuk membersihkan
diri." Sumangkar dan kedua murid Kiai Gringsing itu pun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Betapapun malasnya,
Swandaru terpaksa juga berjalan di belakang Agung Sedayu
menuju ke hutan kecil di sebelah jalan ke Sangkal Putung,
kemudian ke pategalan tempat kuda mereka tertambat.
Ternyata ketika mereka sampai ke pategalan itu, langit
sudah menjadi merah. Sehingga karena itu, mereka hanya
mempunyai sedikit sekali kesempatan untuk beristirahat.
"Aku akan tidur sehari penuh," desis Swandaru.
"Tentu tidak mungkin," jawab Agung Sedayu, "kita berada
di tempat perhelatan. Semua orang akan sibuk dengan
persiapan keberangkatan Kakang Untara."
"Aku akan bersembunyi di atas kandang, di belakang. Tidak
ada orang yang akan mencari aku, karena aku tidak banyak
dikenal oleh keluarga Kakang Untara."
"Aku yang mengenalmu dan aku akan mencarimu."
Swandaru memandang Agung Sedayu dengan dahi yang
berkerut, lalu gumamnya, "Aku akan mendekur terus."
Ternyata di sepanjang jalan dan selagi mereka duduk di
atas kuda mereka, Kiai Gringsing dan Sumangkar masih saja
membicarakan segenap kemungkinan yang akan terjadi.
Namun mereka berkesimpulan, bahwa suasana tidak boleh
dikacaukan karena peristiwa yang bakal terjadi setelah Untara
pergi. Untara harus tetap tenang dan tidak terganggu
karenanya, meskipun ia mengetahui serba sedikit apa yang
terjadi. Demikianlah setelah cahaya merah menjadi semakin
merah, dan menjadi semburat kuning, maka mereka pun
segera meninggalkan tempat itu.
"Hapuskan Jejak sejauh mungkin," berkata Kiai Gringsing.
Agung Sedayu dan Swandaru pun berusaha untuk
melakukannya. Meskipun tidak sempurna, tetapi tidak segera
menimbulkan kesan yang mencurigakan bagi pemilik
pategalan itu. "Belum tentu dua tiga hari sekali pategalan ini di kunjungi
pemiliknya," gumam Swandaru, "biar saja begitu."
"Hus," desis Agung Sedayu, "jangan terlampau malas."
Ketika matahari terbit, mereka masih berada di sebuah
belik kecil untuk mencuci muka. Kemudian mereka pun segera
melanjutkan perjalanan kembali ke Jati Anom.
Kedatangan mereka yang masih terlalu pagi memang
menimbulkan berbagai pertanyaan, tetapi sebagian dari
orang-orang yang ada di rumah Widura menjadi acuh tidak
acuh karena kesibukan mereka. Hanya beberapa orang
pekerja yang sebenarnya adalah petugas sandi yang memang
dipergunakan oleh Untara sajalah yang memperhatikan
mereka berempat agak lebih banyak dari orang lain.
Untara yang sedang sibuk dengan kepentingan
perajalannya, memerlukan menemui Kiai Gringsing bersama
Widura. Mereka ingin tahu hasil dari kerja yang dilakukannya
semalam. "Tidak banyak yang aku ketahui," berkata Kiai Gringsing,
"namun pada dasarnya, rencana pengacauan itu memang
Pertarungan Di Bukit Setan 1 Pendekar Bloon 9 Anak Langit Dan Pendekar Lugu Imbauan Pendekar 12
^