Api Di Bukit Menoreh 22
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 22
masalah yang harus dihadapinya di Jati Anom, sehingga
mereka pun minta diri kepada Untara dan Widura untuk
kembali ke Sangkal Putung.
"Kenapa di Sangkal Putung?" Tetapi Untara masih saja
bertanya, "Bukankah bagi Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar,
Sangkal Putung dan Jati Anom tidak ada bedanya, dan
bahkan bagi Agung Sedayu, Jati Anom adalah kampung
kelahirannya sedang Swandaru pun tidak akan berkeberatan
untuk hilir-mudik karena gurunya berada di sini, dan jaraknya
pun tidak begitu jauh?"
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Sebenarnyalah bahwa
bagiku tidak ada bedanya. Apakah aku berada di Sangkal
Putung, Jati Anom, atau kembali kepondokku yang barangkali
sekarang sudah hampir roboh di Dukuh Pakuwon. Tetapi
sebaiknya aku pergi ke Sangkal Putung lebih dahulu.
Seterusnya, Dukuh Pakuwon adalah tempat yang paling baik
bagiku. Ada sebidang tanah, sebuah gubug kecil dan
tetangga-tetangga yang baik. Mereka mengenal aku sebagai
seorang dukun bernama Tanu Metir."
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tetapi pada suatu saat, Agung Sedayu tentu akan
memerlukan Anakmas Untara dan Widura. Ia pun sudah
menjadi dewasa sekarang."
"Tentu kami tidak akan berkeberatan. Adalah kuwajibanku
untuk melayani kepentingan Agung Sedayu, apalagi setelah
aku berpengalaman. Paman Widura pun pasti akan dengan
senang hati melakukannya, karena Agung Sedayu dan aku
tidak ada bedanya bagi Paman Widura dalam hubungan
keluarga." Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu,
"Tetapi di samping Agung Sedayu, masih ada lagi yang harus
kami selesaikan dalam hal yang serupa."
"Siapa?" "Swandaru." "He, kau juga?"
"Kami harus pergi ke Menoreh."
"Jauh sekali. Itulah sebabnya kalian berada di sana dalam
waktu yang lama. Aku memang pernah mendengar, tetapi
sekedar desas-desus. Kini Adi Swandaru tidak membantah."
Swandaru hanya menarik nafas dalam-dalam.
"Selain hal itu," berkata Kiai Gringsing, "jika aku pergi ke
Menoreh, maka aku akan dapat singgah menemui Ki Lurah
Branjangan. Tetapi mungkin sebelum aku menemuinya ia
sudah datang kembali ke Jati Anom. Seperti yang
dipesankannya, ia ingin membawa satu atau dua orang
tawanan itu. Ia harus meyakinkan kepada Raden Sutawijaya
bahwa hal itu telah benar-benar terjadi."
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu ia pun
bertanya, "Jadi menurut Kiai, ada gunanya jika satu dua orang
dari mereka dibawa ke Mataram?"
"Ada. Kedua belah pihak menyadari bahwa ada pihak
ketiga yang sengaja menjauhkan jarak antara Pajang dan
Mataram. Dan hal itu sangat berbahaya, baik bagi Mataram
mau pun bagi Pajang."
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun
mengakui bahwa yang terjadi itu berbahaya sekali seandainya
tidak seorang pun yang dapat menjelaskan apa yang
sebenarnya mereka hadapi. Karena itu maka katanya,
"Baiklah Kiai. Jika demikian, apabila Ki Lurah Branjangan
segera kembali, aku akan menyerahkan satu dua orang
kepadanya, agar ia dapat membawanya kepada Raden
Sutawijaya." "Ya. Mudah-mudahan Sutawijaya pun menyadari, sehingga
ia ikut menjaga agar antara Pajang dan Mataram pada suatu
saat akan terjalin pengertian yang mendalam."
"Ya," sahut Untara.
"Dengan demikian maka Mataram dan Pajang akan
menghormati kedudukan mereka masing-masing."
Untara mengerutkan keningnya. Lalu katanya, "Ya.
Mataram dan Pajang harus menghormati kedudukan mereka
masing-masing. Mataram harus merasa bahwa Mataram
berada di bawah lingkungan kesatuan Pajang yang besar, dan
Pajang pun merasa wajib melindungi kesatuan itu. Itulah yang
disebut saling menghormati dalam kedudukan masing-masing.
Sikap yang lain daripada itu, tidak akan dapat diterima."
Sesuatu berdesir di dada Kiai Gringsing. Namun ia pun
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, "Ya
begitulah." "Tidak ada kemungkinan lain, Kiai. Demikian juga jika
orang-orang itu dibawa menghadap Raden Sutawijaya. Orangorang
itu akan meyakinkan bahwa sebenarnya ada pihak yang
ingin mendorong Mataram untuk menjauh dari Pajang.
Dengan tidak langsung mereka membuat kesan bahwa
Mataram sudah memberontak. Karena itu Mataram harus
dapat menunjukkan kesetiaannya kepada Pajang, agar usaha
pihak ketiga untuk menumbuhkan kesan pemberontakan itu
dapat dilenyapkan." Kiai Gringsing mengangguk-angguk pula. Ia tidak dapat
bersikap lain di hadapan Untara. Untara adalah seorang
Senapati yang berdiri di atas segala macam sikap. Ia adalah
seorang prajurit yang utuh. Karena itu, maka Kiai Gringsing
tidak akan dapat berbicara dengan Untara selain
mendengarkan pendapatnya sebagai seorang Senapati.
"Kiai," berkata Untara kemudian, "alangkah besar jasa Kiai
Gringsing, jika Kiai dapat mempergunakan pengaruh Kiai
untuk memberikan kesadaran kepada Raden Sutawijaya
bahwa sikapnya selama ini memang dapat menimbulkan
kesan yang kurang baik bagi Pajang. Menurut keterangan
yang aku dengar, karena ia terlampau sibuk maka Raden
Sutawijaya itu belum sempat menghadap Sultan di Pajang
yang kebetulan adalah ayah angkatnya sendiri. Ayah angkat
yang sangat mengasihinya. Selain hal itu kurang baik bagi
seorang pejabat tinggi di Pajang yang mendapat wewenang
atas Mataram, juga kurang baik bagi seorang anak yang setia
dan mengenal terima kasih kepada ayahnya."
Kiai Gringsing masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun terasa dadanya menjadi berdebar-debar. Ketika ia
memandang kedua muridnya dengan sudut matanya, maka
dilihatnya wajah Swandaru yang agak berkerut, sedang Agung
Sedayu berusaha untuk tidak memberikan kesan apa pun
mendengar kata-kata Untara itu.
Kiai Gringsing tidak mengetahui, perasaan apakah yang
bergejolak di dada Sumangkar. Seorang tua yang pernah
berada di pihak Jipang ketika perang antara Jipang dan
Pajang pecah. Namun yang kemudian mendapat
pengampunan dan bahkan seluruh kebebasannya kembali,
karena ternyata ia tidak begitu banyak terlibat dalam
perlawanan atas Pajang. Apalagi setelah pasukan Jipang
tercerai berai. "Baiklah, Anakmas Untara," berkata Kiai Gringsing, "aku
akan menyampaikan semua pesan itu jika kelak aku pergi ke
Menoreh. Atau jika aku diminta ikut pergi ke Menoreh. Yang
penting harus pergi ke Menoreh adalah ayah Swandaru.
Mungkin ia tidak dapat pergi berdua dengan Nyai Demang
karena perjalanan yang jauh dan sulit. Sehingga Ki Demang
agaknya akan mengajak kawan lain selama perjalanan."
"Terima kasih, Kiai. Aku kira Raden Sutawijaya adalah
seorang yang berjiwa besar. Demikian juga Ki Gede
Pemanahan. Kelambatan saat menyerahkan Alas Mentaok
yang dijanjikan tentu tidak akan menimbulkan kegusaran di
dalam hati. Sedang sebenarnya kelambatan itu pun didasari
pada perasaan kasih Sultan Pajang kepada putera angkatnya
itu. Sultan Pajang akan menyerahkan bumi Mentaok kepada
Raden Sutawijaya setelah bumi Mentaok menjadi ramai.
Tetapi Ki Gede Pemanahan agaknya salah paham dan
memaksa Sultan untuk segera menyerahkannya."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya Kiai Gringsing berkata,
"Aku akan berusaha mengatakan hal ini langsung kepada
Raden Sutawijaya kelak."
"Terima kasih, Kiai. Hormatku kepada Ki Gede Pemanahan
dan Raden Sutawijaya disertai ucapan terima kasih yang tidak
terhingga atas pemberiannya. Mudah-mudahan Mataram tidak
menyulitkan kedudukanku sebagai seorang senapati yang
langsung beradu hidung dengan daerah baru yang dibuka itu.
Pada saat yang tepat tentu kami akan datang ke Mataram
memberikan perlindungan jika Mataram benar-benar ada di
dalam bahaya. Selama ini Mataram masih mampu
mengatasinya sendiri, dan membinasakan Kiai Damar dan
Kiai Telapak Jalak dengan bantuan Kiai. Jika perlu kami akan
ikut menyingkirkan bahaya yang lebih besar dan berada di luar
kemampuan Mataram untuk mengatasinya."
Kiai Gringsing masih juga mengangguk, "Baiklah,
Anakmas. Aku akan menyampaikan semua pesan itu. Dan
aku pun mengharap agar semua persoalan dapat teratasi
dengan baik. Soal yang menyangkut kepentingan bagi kedua
belah pihak dalam kedudukannya masing-masing."
Demikianlah maka akhirnya Kiai Gringsing dan kedua
muridnya dan Sumangkar pun mohon diri. Mereka minta diri
pula untuk pergi ke Menoreh pada suatu saat yang baik. Jika
mereka tidak ada waktu, maka mereka tidak akan singgah
dahulu ke Jati Anom. "Kau harus segera kembali, Agung Sedayu," berkata
Untara. "Jika kau memang akan segera kawin, kau jangan
terus-menerus bertualang. Isterimu tentu tidak akan cukup kau
tinggal menjelajahi tanah ini. Kau harus mapan dan
mempunyai kedudukan yang baik. Bukan berarti kau harus
menjadi seorang perwira tinggi sekaligus, tetapi kedudukan
yang bagaimana pun rendahnya, asal kau mempunyai
kemungkinan yang terang di hari mendatang."
"Baik, Kakang," sahut Agung Sedayu, setuju atau tidak
setuju. "Dan Adi Swandaru pun aku harapkan agar segera berada
di kademangannya kembali. Sangkal Putung akan tetap
merupakan daerah yang penting dipandang dari segala segi
sesuai dengan letaknya dan daerahnya yang subur."
"Ya, ya," sahut Swandaru pula, "aku akan segera kembali."
"Apakah Ki Sumangkar akan ikut pergi Ke Menoreh?"
bertanya Untara kemudian.
"Aku tidak tahu, Anakmas. Tergantung Ki Demang di
Sangkal Putung. Apakah aku akan dibawanya atau tidak."
"Apakah Ki Sumangkar sudah menjadi bebahu
Kademangan Sangkal Putung?"
Ki Surnangkar mengerutkan keningnya. Namun sambil
mengangkat wajahnya ia berkata, "Bukan, Anakmas, tetapi
aku sekarang sudah dianggap keluarga sendiri oleh Ki
Demang, apalagi aku memang sudah lama berada di
rumahnya." Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, "Baiklah.
Selamat jalan. Jangan lupa, apabila kalian singgah di
Mataram, hormatku bagi Ki Gede Pemanahan dan Raden
Sutawijaya serta ucapan terima kasih yang tidak terhingga.
Dan sebagai seorang senapati aku akan selalu bersedia
melindungi daerah itu dari kesulitan apabila diperlukan."
"Baiklah, Anakmas," berkata Kiai Gringsing, "mudahmudahan
Jati Anom pun selalu aman dan tenteram. Mudahmudahan
peristiwa yang mengejutkan itu tidak terulang
kembali." "Kami akan selalu bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Tetapi kami mengucapkan terima kasih atas
segala bantuan Kiai, dan terutama bahwa Kiai seolah-olah
telah menyelamatkan Jati Anom dalam suasana yang tetap
tenang, karena di Jati Anom sedang berlangsung perhelatan.
Tanpa perhelatan itu, Jati Anom tidak akan gentar dilanda oleh
huru-hara yang bagaimana pun ricuh dan ributnya. Namun
demikian, mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu apa pun lagi
di daerah ini. Tidak terganggu oleh orang yang mengaku
berasal dari Mataram dan oleh orang-orang Mataram yang
sebenarnya." Orang-orang yang mendengarkan kata-kata Untara itu
hanya menarik nafas dalam-dalam. Mereka sadar bahwa
mereka berbicara dengan seorang prajurit. Setelah beberapa
hari Untara melampaui hari-hari perkawinannya, ia telah
berdiri di atas landasannya semula. Seorang senapati yang
bertugas di daerah Selatan dari Kerajaan Pajang.
Demikianlah maka Kiai Gringsing bersama kedua muridnya
dan Ki Sumangkar pun meninggalkan Jati Anom. Meskipun
Untara sudah menjadi semakin banyak tertawa dan bergurau,
tetapi ia masih tetap seorang perwira.
Kedatangan Kiai Gringsing dan rombongan kecilnya di
Sangkal Putung telah disambut dengan gembira oleh Ki
Demang. Dengan serta-merta mereka pun segera
dipersilahkan naik ke pendapa.
"Aku kira Kiai berdua serta kedua anak-anak muda itu akan
segera kembali," berkata Ki Demang.
"Kami terpaksa memenuhi permintaan Anakmas Untara
untuk tinggal di Jati Anom beberapa hari Ki Demang."
"Ketika aku pulang dari Jati Anom, aku tidak segera pergi
melakukan tugas hari itu, karena aku menyangka bahwa
kalian akan segera menyusul. Ternyata kalian kembali
beberapa hari kemudian."
Kiai Gringsing hanya tersenyum saja. Sedang Swandaru
berkata, "Sebenarnya kami juga akan segera pulang, Ayah.
Tetapi ternyata dapur Paman Widura masih terus berasap."
"Pantas," desis seseorang dari dalam pintu. Swandaru
berpaling. Meskipun ia tidak melihat seseorang tetapi ia tahu
bahwa suara itu suara Sekar Mirah.
"He, kau iri ya?"
Sekar Mirah menjengukkan kepalanya, katanya, "Kenapa
aku iri" Apa yang aku irikan" Jika aku tidak mengingat sopan
santun aku pulang sebelum pengantin didudukkan di depan
sentong tengah." "Kenapa?" "Tidak seorang pun menghiraukan kedatangan kami seperti
yang aku duga. Hanya isteri-isteri perwira sajalah yang
dipersilahkan duduk. Ayah pun tidak mendapat tempat yang
baik meskipun Ayah datang jauh sebelum pengantin siap."
"Ah," sahut ayahnya, "aku duduk bersama Ki Demang di
Jati Anom. Dalam perhelatan, semua orang sibuk dan sudah
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
barang tentu mereka tidak dapat menemui tamunya seorang
demi seorang." "Ki Demang tidak jadi bermalam di Jati Anom," bertanya
Agung Sedayu memotong. "Aku sibuk sekali dengan pekerjaan yang bertimbuntimbun.
Bendungan yang belum selesai, perluasan tanah
pertanian mendesak hutan sebelah Barat karena terasa
daerah kami menjadi semakin padat, dan gangguan-gangguan
keamanan yang mulai terasa meskipun tidak
menggelisahkan." Swandaru mengerutkan keningnya. Jawaban ayahnya
terasa aneh di telinganya. Apakah hal yang dikatakan oleh
ayahnya itu tiba-tiba saja telah tumbuh menjadi sesuatu
persoalan yang gawat di Sangkal Putung. Semua yang
dikatakan oleh ayahnya itu memang pernah didengarnya.
Tetapi kini ayahnya menyebut bahwa persoalan itu merupakan
persoalan yang membuatnya terlampau sibuk.
"Agaknya Sekar Mirah-lah yang memaksa ayah tidak
bermalam di Jati Anom. Mungkin Paman Widura tidak sempat
mempersilahkan mereka karena kesibukannya menerima
tamu-tamu yang lain," berkata Swandaru di dalam hatinya.
"Tetapi bukankah hal itu wajar di dalam suatu perhelatan?"
Tetapi Swandaru tidak mengatakannya. Bahkan kemudian
ia berkata kepada diri sendiri, "Untunglah bahwa ayah pun
menyadari hal itu. Tetapi yang penting bagi Sekar Mirah,
Kakang Agung Sedayu yang sibuk pula mengatur jamuan di
belakang, tidak sempat menemui Sekar Mirah dan
mempertemukannya dengan mempelai perempuan."
Namun Swandaru itu pun tersenyum di dalam hati. Ia
sadar, bahwa dalam tingkat hubungan antara Agung Sedayu
dan Sekar Mirah dapat menimbulkan persoalan-persoalan
yang aneh-aneh, seperti ceritera anak-anak muda yang
kemudian sudah berkeluarga, di dalam pertemuan-pertemuan
dan di dalam pembicaraan sambil bergurau di gardu-gardu
perondan. "Mungkin aku akan menghadapi persoalan yang serupa.
Jika Pandan Wangi merajuk karena aku terlampau lama tidak
datang ke Menoreh, aku akan menjadi pening," gumam
Swandaru di dalam hati. Dan tiba-tiba saja ia menjadi gelisah. Sudah terlampau
lama tidak mendengar berita tentang Menoreh. Dan sudah
terlalu lama hubungannya dengan Menoreh seakan-akan
terputus. "Hantu-hantu di Mentaok itulah yang gila, sehingga aku
tertahan di sana untuk waktu yang cukup lama. Mungkin
Pandan Wangi menganggap aku tidak datang lagi kepadanya,
atau ayahnya mengambil keputusan lain. Mungkin ada anak
muda Menoreh sendiri yang berhasil mengambil alih
persoalanku dengan Pandan Wangi," Swandaru menjadi
berdebar-debar memikirkan masalahnya itu. Namun ia tidak
segera dapat mengatakannya pada saat itu.
"Tetapi semuanya sudah selesai. Tidak ada lagi persoalan
yang akan menghambat. Mudah-mudahan Ki Gede Menoreh
tidak menganggap bahwa aku sudah mati di perjalanan."
Demikianlah, persoalan itu pun merupakan persoalan yang
selalu mendebarkan hati Swandaru. Seolah-olah ia tidak sabar
lagi menunggu hari-hari berikutnya untuk pergi ke Menoreh.
Bahkan ia berkata di dalam hatinya, "Jika ayah merasa
terlampau sibuk dan tidak dapat bermalam di Jati Anom untuk
semalam saja, apakah ayah juga akan berkeberatan untuk
segera pergi ke Menoreh."
Tetapi Swandaru tidak dapat mengatakan hal itu langsung
kepada ayahnya. Karena itu, ketika mereka kemudian
beristirahat di gandok, Swandaru mengatakan hal itu kepada
gurunya. Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Baiklah, aku akan mengatakannya kepada ayahmu.
Mudah-mudahan ayahmu dapat meninggalkan kesibukannya
barang dua pekan untuk pergi ke Menoreh menghadap Ki
Gede Menoreh itu. Kau benar, jika hubungan ini terlalu lama
terputus, mungkin Ki Argapati mengambil sikap lain."
"Terima kasih, Guru. Aku segan mengatakannya kepada
ayah langsung. Lagipula, ayah tentu akan lebih
memperhatikan kata-kata Guru daripada permintaanku
sendiri." Kiai Gringsing hanya mengangguk-anggukkan kepalanya
saja. Tetapi ia tidak dapat ingkar, bahwa hal itu merupakan
kuwajibannya pula, karena muridnya bagi Kiai Grmgsing tidak
ada bedanya dengan anaknya sendiri. Sedang kedua
muridnya itu kini sedang menghadapi masalah yang serupa.
"Tetapi persoalan Agung Sedayu sudah lebih jelas dari
persoalan Swandaru. Meskipun secara resmi Anakmas Untara
dan Widura belum datang menemui Ki Demang dan
membicarakan masalah anaknya, namun agaknya orang tua
Sekar Mirah sudah menerima persoalan itu seluruhnya.
Persoalan yang menyusul adalah sekedar hubungan resmi,"
berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
Karena itu, maka Kiai Gringsing pun berusaha untuk
mendapatkan waktu yang sebaik-baiknya. Di sore hari, ketika
mereka sudah menyelesaikan semua pekerjaan, dan sesudah
membersihkan diri, mereka pun duduk di pendapa bersama Ki
Demang dan Ki Sumangkar, di bawah nyala lampu minyak
yang berkeredipan disentuh angin.
Sejenak mereka berbicara tentang Kademangan Sangkal
Putung, tentang musim dan tentang tanaman yang subur di
sawah dan pategalan. Barulah pembicaraan mereka mulai merayap kepada anakanak
muda di Sangkal Putung, dan kemudian mereka pun
berbicara tentang Swandaru.
Kiai Gringsing tidak mau kehilangan kesempatan itu.
Karena itu, maka ia pun segera mengulangi pembicaraan
yang pernah disampaikan meskipun hanya sepintas, bahwa
Swandaru telah membuat hubungan dengan seorang gadis di
Menoreh, putera Ki Argapati, kepala Tanah Perdikan
Menoreh. Ki Demang pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
Persoalan itu sedikit banyak sudah pernah didengarnya.
Namun ia masih memerlukan banyak sekali penjelasan.
"Apakah Ki Argapati benar-benar tidak berkeberatan, Kiai?"
bertanya Ki Demang. "Hal itu harus aku yakini sebelum aku
berangkat, agar aku tidak sia-sia pergi menempuh jarak yang
jauh, meninggalkan kademangan yang sedang berusaha
mengembangkan diri di segala bidang ini?"
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Alasan Ki
Demang sebenarnya tentu bukan kesibukannya di segala
bidang karena perkembangan Sangkal Putung, tetapi jika Ki
Argapati menolak lamaran yang disampaikannya, maka
hatinya pasti akan menjadi sangat sakit. Apalagi ia datang dari
jauh. Kiai Gringsing itu pun kemudian mengangguk-anggukkan
kepalanya sambil berkata, "Pertanyaan itu wajar tumbuh pada
Ki Demang. Apabila kedatangan kita tidak membawa hasil,
maka alangkah sakitnya hati ini. Namun jika kita tilik dari
kewajaran hidup, kita memang mempunyai dua kemungkinan
untuk setiap permintaan. Diterima atau ditolak. Sudah barang
tentu Ki Demang baru dapat mengambil kepastian setelah
menyatakan permintaan itu dan mendapat jawaban. Bahkan
kadang-kadang datang lamaran bagi seorang gadis oleh dua
tiga orang sekaligus. Dan sudah barang tentu tidak semua
akan dapat diterima."
Ki Demang pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya kemudian, "Ya, Kiai. Demikianlah memang
seharusnya. Maksudku, apakah sebelum aku datang melamar
kepada Ki Gede Menoreh, sudah ada tanda bahwa lamaranku
akan diterima?" "Pada saat itu Ki Demang, ketika aku meninggalkan
Menoreh, agaknya tanda-tanda itu memang sudah ada.
Sedang anak-anak yang bersangkutan pun tampaknya sudah
sejalan. Tetapi aku tidak tahu perkembangan yang terjadi
kemudian. Namun menilik bahwa Ki Argapati adalah orang
yang cukup dewasa, aku kira ia tidak akan dengan mudah
menarik kembali sikapnya. Tentu juga mengenai puterinya itu.
Kecuali jika ada keadaan yang sangat memaksa. Pandan
Wangi adalah seorang gadis yang memang sedang mekar."
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Karena itu, Ki Demang, sebaiknya hal ini memang harus
segera dilakukan. Apakah lamaran ini diterima atau tidak, kita
tidak mempersoalkannya sekarang. Kedua-duanya memang
mungkin dan kedua-duanya pun wajar. Meskipun demikian
menurut penilaianku, lamaran Ki Demang hampir dapat
dipastikan akan diterima oleh Ki Argapati sesuai dengan
hubungan yang pernah ada, jika tidak ada persoalan yang
mendesak seperti yang aku katakan tadi."
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Memang hal itu
adalah kuwajiban yang harus dilakukan. Karena itu, maka ia
pun menganggukkan kepalanya sambil menyahut, "Baiklah
Kiai. Aku akan segera pergi ke Menoreh. Tetapi karena Kiailah
yang dahulu pernah datang kepada Ki Argapati, maka
sudah barang tentu aku minta Kiai ikut bersamaku. Apalagi
Kiai adalah guru Swandaru yang tentu juga sekaligus akan
ikut berkepentingan dengan persoalan anak itu."
"Tentu aku tidak berkeberatan, Ki Demang. Aku akan pergi
ke Menoreh." "Bagaimana dengan Ki Sumangkar?" bertanya Ki Demang.
Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia
pun menyahut, "Terserahlah kepada Ki Demang. Apakah aku
perlu menyertainya atau tidak. Aku tidak mempunyai pilihan
sendiri untuk itu." Ki Demang merenung sejenak, lalu, "Mengingat perjalanan
yang jauh, alangkah baiknya jika Ki Sumangkar pergi bersama
kami. Banyak kemungkinan dapat terjadi di perjalanan.
Apalagi suasana yang kini hampir tidak menentu. Di
perbatasan yang kabur antara Pajang dan Mataram, akan
dapat ditemui banyak persoalan-persoalan di luar dugaan.
Seperti yang aku dengar, hantu-hantu Alas Mentaok yang
ternyata terjadi dari orang-orang yang mempunyai
kepentingan tertentu. Orang-orang yang menyerang rumah
Anakmas Untara yang dihuni oleh para perwira dan barangkali
banyak lagi hal yang serupa meskipun bentuknya berbeda."
"Jika demikian kita akan berjalan dalam sebuah rombongan
kecil," sahut Ki Sumangkar. "Sudah barang tentu Anakmas
Agung Sedayu akan ikut serta bersama kita. Dan bagaimana
dengan Sekar Mirah?"
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Sebaiknya Sekar Mirah menunggu ibunya di rumah. Sudah
barang tentu bahwa ibunya tidak akan dapat ikut menempuh
perjalanan begitu panjang dan terbahaya."
Ki Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Aku sependapat dengan Ki Demang. Tetapi menilik
sifatnya, bagaimana jika ia memaksa juga."
"Kita akan mencoba meyakinkan, bahwa ibunya
memerlukan seorang pelindung. Sudah tentu bukan orang lain
yang paling dapat dipercaya. Dan sudah barang tentu aku dan
Swandaru kali ini harus pergi meninggalkannya."
Ki Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Meskipun demikian ia masih meragukan, apakah Sekar Miiah
yang keras hati itu dapat dibujuknya untuk tinggal.
"Kita besok akan bersiap-siap," berkata Ki Demang. "Aku
menyadari bahwa hal ini harus segera dilaksanakan agar
persoalannya tidak berkembang ke arah yang tidak kita
kehendaki. Kita tidak tahu apakah yang sudah terjadi di
Menoreh akhir-akhir ini dan kita juga tidak tahu apa yang
terjadi di daerah yang sedang tumbuh itu. Mudah-mudahan
kita masih dapat lewat tanpa dihalang-halangi oleh keadaan
dan suasana yang bagaimana pun juga."
"Baiklah, Ki Demang," berkata Kiai Gringsing. "Kita pun
akan segera mendapat penyelesaian. Jika pembicaraan telah
bulat, maka pelaksanaanya pun sebaiknya di lakukan dengan
cepat." Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya
kemudian, "Aku akan berbicara dengan Nyai Demang dan
Sekar Mirah. Silahkan Kiai memberitahukan kedua anak-anak
muda itu agar mereka pun mempersiapkan diri menempuh
perjalanan yang panjang ini, Kiai. Meskipun keduanya pernah
pergi ke Menoreh, namun mereka pun harus membuat
ancang-ancang untuk perjalanan ini."
Demikianlah maka malam itu juga Ki Demang di Sangkal
Pulung telah berbicara dengan isterinya tentang rencana
kepergiannya ke Menoreh. "Kapan Ki Demang akan pergi?" bertanya isterinya.
"Besok aku akan menyerahkan pengamatan dan pimpinan
kademangan ini kepada bebahu Kademangan Sangkal
Putung. Mereka akan menjalankan tugasku sehari-hari, tetapi
mereka tidak akan mengambil tindakan yang sangat penting
yang menyangkut perubahan apa pun di Sangkal Putung.
Besok lusa aku akan menyiapkan bekal dan minta diri kepada
orang-orang tua bersama Swandaru. Jadi hari berikutnyalah
aku akan berangkat."
"Begitu tergesa-gesa?" isterinya menjadi heran. "Tentu
tidak mungkin. Jika kau mengikat seorang gadis, tentu harus
membawa barang-barang yang umumnya dipergunakan
sebagai pengikat. Pakaian sepengadeg, dan beberapa jenis
barang lainnya." "Aku belum akan membelikan peningset. Bukankah kita
belum pernah melamarnya dengan resmi" Jika semua
persoalan telah selesai, barulah aku akan pergi lagi membawa
peningset itu." Nyai Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu ia
pun bertanya, "Siapa saja yang akan pergi bersama Ki
Demang?" "Kiai Gringsing yang pernah merintis pembicaraan dengan
Ki Gede Menoreh, kemudian sudah tentu Swandaru sendiri,
Angger Agung Sedayu dan Ki Sumangkar."
"Bagaimana dengan Sekar Mirah?"
"Biarlah ia tinggal di rumah mengawanimu. Ia bukan saja
anak kita, tetapi ia adalah pelindung yang dapat dipercaya.
Sekar Mirah sekarang memiliki kemampuan yang jauh lebih
besar dari kemampuan Ki Jagabaya jika di rumah ini datang
sesuatu yang membahayakan."
"Bagaimana jika ia ingin ikut, karena Ki Demang pergi
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersama dengan Anakmas Agung Sedayu dan gurunya Ki
Sumangkar?" "Aku akan berbicara. Panggillah anak itu sebentar jika ia
belum tidur." Sejenak kemudian maka Sekar Mirah pun telah duduk
bersama ayah dan ibunya. Tampaklah bahwa ia menjadi
gelisah. Bahkan Sekar Mirah menyangka bahwa ayahnya
akan berbicara tentang dirinya sendiri.
Tetapi ketika ayahnya sudah mengatakan maksudnya, tibatiba
saja ia tidak lagi menjadi gelisah, tetapi sepercik
kekecewaan telah melonjak di hatinya. Sebenarnya ada
keinginan di dalam hatinya, bahwa persoalannya pun
sebaiknya segera diselesaikan. Tetapi sudah barang tentu,
sebagai seorang gadis ia tidak dapat mengatakannya.
"Kau tinggal di rumah Mirah," berkata ayahnya.
"Aku ikut," Sekar Mirah bersungut-sungut.
"Kau tinggal di rumah."
"Semua orang pergi, dan aku tinggal di rumah."
"Justru karena semua orang pergi. Kau mengawani ibumu.
Jika kau juga pergi, maka ibumu akan tinggal di rumah tanpa
seorang kawan pun." "Kenapa Ibu tidak pergi sama sekali" Bukankah akan lebih
baik jika Ayah datang berdua bersama Ibu?"
"Tentu. Tetapi perjalanan ke Menoreh bukan perjalanan
yang pendek. Bukankah kau pernah pergi ke sana" Kau dapat
membayangkan, bagaimanakah sulitnya jika ibumu juga pergi
bersama kami." Sekar Mirah merenung sejenak. Tetapi tampak
membayang kekecewaan di wajahnya.
"Aku tidak akan pergi terlalu lama, Mirah. Kau tahu bahwa
kini aku sedang sibuk dengan Sangkal Putung yang sedang
berkembang ini." "Kenapa aku tidak boleh ikut, Ayah?"
"Sudah aku katakan. Ibumu tidak ada pelindungnya. Kau
adalah pelindung yang paling baik baginya."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam.
"Ya, Mirah," berkata ibunya, "tanpa kau aku menjadi sendiri.
Bagaimana pun juga tenteramnya kademangan ini, tetapi aku
pasti masih juga selalu cemas jika aku sekedar menyandarkan
keselamatan isi rumah ini kepada peronda."
Sekar Mirah tidak menyahut. Kepalanya sajalah yang
kadang-kadang menengadah, kadang-kadang tunduk.
Sebenarnya ia ingin sekali turut menempuh perjalanan. Selain
ia dapat pergi bersama gurunya dan Agung Sedayu, ia pun
dapat melihat keadaan yang berbeda dari yang dilihatnya
sehari-hari. Tetapi ketika terpandang wajah ibunya yang suram, maka
ia pun berkata, "Baiklah, Ayah. Aku akan mengawani Ibu di
rumah." "Terima kasih, Sekar Mirah. Aku akan pergi dengan tenang
jika kau bersedia menjaga ibumu."
Demikianlah maka Ki Demang sudah mendapat keputusan
untuk berangkat besok tiga hari lagi. Ketika Sekar Mirah
bertemu dengan gurunya, maka gurunya pun memberinya
nasehat seperti yang dikatakan oleh ayahnya.
"Jagalah ibumu baik-baik. Meskipun kau seorang gadis,
tetapi kau adalah gadis yang lain dari gadis-gadis kawanmu
bermain. Kau tidak saja dapat bermain nini towong di terang
bulan, tetapi kau dapat melindungi ibumu dari bahaya yang
sebenarnya." Kesempatan yang singkat sebelum mereka berangkat,
dipergunakan oleh Ki Demang untuk menyerahkan pimpinan
kademangan kepada para bebahunya, kemudian minta diri
kepada orang-orang tua agar lamarannya dapat diterima oleh
Ki Gede Menoreh. "Hati-hatilah," pesan seorang yang rambutnya telah
menjadi putih seluruhnya, "perjalanan ini sangat jauh dan
berbahaya karena kalian harus melewati Alas Tambak Baya,
Alas Mentaok, menyeberang sungai yang besar dan deras,
dan perjalanan di daerah yang asing bagi kalian."
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun
ia pergi bersama beberapa orang yang dapat dipercaya,
namun setiap pesan diperhatikannya juga. Meskipun kadangkadang
orang-orang tua yang memberinya pesan mawantiwanti
itu sama sekali belum pernah melihat Alas Tambak Baya
dan Alas Mentaok, namun tanggapan naluriah mereka
kadang-kadang berguna baginya.
Dan atas pesan orang tua yang rambutnya sudah memutih
itu Ki Demang menyahut, "Terima kasih, Paman. Perjalanan
ini memang perjalanan yang jauh."
"Dengan siapa kau akan pergi?"
"Dengan Swandaru dan beberapa orang lagi."
"Kau tidak membawa Ki Jagabaya?"
"Tidak, Paman."
"O, bawalah dia. Orang itu akan dapat memberikan
perlindungan kepadamu dan kepada anakmu."
Ki Demang mengerutkan keningnya. Tetapi orang itu
memang tidak tahu bahwa Swandaru sendiri mempunyai
kemampuan melampaui Ki Jagabaya, karena orang tua itu
sudah jarang-jarang keluar rumahnya. Tetapi Ki Demang
menjawab, "Tenaga Ki Jagabaya diperlukan di kademangan
ini, Paman. Ia harus melindungi tidak hanya satu dua orang,
tetapi beratus-ratus, bersama-sama anak-anak muda Sangkal
Putung." "Tidak ada apa-apa di sini. Kademangan ini cukup aman.
Tetapi Alas Tambak Baya dan Alas Mentaok itu sangat wingit.
Bukan saja hantu-hantu penunggu pepohonan yang besarbesar
dan batu-batu yang angker, tetapi juga penyamunpenyamun
dan perampok-perampok yang masih banyak
berkeliaran." Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
Jawabnya, "Aku akan sangat hati-hati. Meskipun aku tidak
pergi bersama Ki Jagabaya, namun aku pergi bersama
beberapa orang kawan yang dapat dipercaya."
"Tetapi mereka tidak akan memberi ketenangan seperti Ki
Jagabaya." "Mudah-mudahan mereka dapat melindungi aku seperti Ki
Jagabaya." Orang tua itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
berkata, "Jika kau yakin mereka dapat melindungi kau seperti
Ki Jagabaya, terserahlah. Aku hanya dapat berdoa, mudahmudahan
kau selamat, dan Cucu Swandaru dapat
menemukan jodohnya." Ia berhenti sejenak, lalu, "Tetapi
kenapa ia mengambil perempuan yang begitu jauh?"
"Hati mereka telah bertaut."
"Di mana mereka bertemu?"
"Di Menoreh." "Apakah Swandaru pernah pergi ke Menoreh"-"
"Pernah. Belum lama ia kembali."
"O," orang tua itu mengangguk-angguk. Lalu, "Anak-anak
sekarang. Masih ingusan sudah sampai ke ujung bumi.
Sokurlah ia kembali dengan selamat. Dan mudah-mudahan
perjalananmu pun selamat pula."
"Terima kasih, Paman. Kami yang akan berangkat mohon
pengestu." Demikianlah orang-orang tua yang lain pun berpesan
serupa. Bahkan para bebahu Kademangan Sangkal Putung
yang mengetahui siapa Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, Agung
Sedayu, dan Swandaru sendiri pun berpesan agar mereka
berhati-hati. "Menurut pendengaran kami," Ki Jagabaya berkata,
"perampokan dan penyamun di sepanjang jalan menjadi
semakin meningkat. Mungkin hal ini disebabkan kegagalan
mereka di Mataram dan juga di Jati Anom serta di tempattempat
lain, mendorong mereka untuk mengambil jalan lain.
Semua jalan yang menuju ke Mataram tidak tenteram sama
sekali. Ada dugaan bahwa orang-orang yang tidak senang
melihat Mataram berdiri itu berusaha untuk membendung arus
manusia yang tidak henti-hentinya memasuki daerah baru itu."
"Memang masuk akal," berkata Kiai Gringsing yang hadir
juga di antara mereka, "orang-orang yang kecewa itu dapat
berbuat apa saja. Tetapi mungkin mereka tidak sekedar
melepaskan kekecewaannya. Tetapi semuanya itu dilakukan
atas suatu dasar pertimbangan dan perhitungan yang masak."
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun
Kiai Gringsing melanjutkan, "Tetapi kita akan berhati-hati. Kita
akan mencari jalan yang paling aman, yang jauh dari
kemungkinan perampokan dan penyamun."
Ki Demang masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dalam pada itu Ki Jagabaya berkata, "Tetapi kita percaya
kepada Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. Apalagi mereka
sudah pernah pergi ke Menoreh. Bahkan Sekar Mirah pun
pernah. Bedanya, sekarang perampok-perampok itu bagaikan
semut yang diusir dari sarangnya. Bertebaran ke mana pun di
seluruh hutan." "Pasti ada jalan yang tidak mereka awasi. Justru jalan-jalan
sempit dan yang jarang dilalui orang. Meskipun kemungkinan
untuk bertemu dengan mereka masih ada juga."
Para bebahu Sangkal Putung itu pun menganggukanggukkan
kepala. Tetapi mereka percaya bahwa Ki Demang
akan dapat sampai ke tempat tujuan dan kembali ke Sangkal
Putung, meskipun ada juga perasaan was-was di dalam hati.
Jika terjadi sesuatu atasnya, maka orang yang berhak
mewarisi ikut serta bersamanya. Yang tinggal adalah Sekar
Mirah. Sedang anak muda yang agaknya dipilihnya menjadi
sisihannya, pergi juga bersama Ki Demang itu.
Namun demikian, rencana Ki Demang tetap dilaksanakan.
Setelah hari yang ditentukan tiba, maka semuanya pun telah
siap. Mereka kini tidak sekedar berjalan kaki, tetapi mereka
akan pergi berkuda, supaya perjalanan mereka tidak
terlampau lama. "Cepatlah pulang, Ayah," pesan Sekar Mirah dengan suara
yang tersangkut di kerongkongan.
Ki Demang memandang wajah Sekar Mirah yang muram.
Seakan-akan ia melihat wajah gadis itu semasa kanak-kanak
apabila ia ingin ikut pergi bersamanya keliling kademangan.
"Kau tinggal bersama ibu."
"Tidak, aku ikut Ayah."
"Kau lelah." "Tidak." Dan jika ia tidak mengijinkannya, maka gadis kecil itu akan
menangis. Tetapi sekarang Sekar Mirah berusaha menahan air mata
yang sebenarnya hampir pecah dari pelupuknya. Namun,
Sekar Mirah itu menyadari bahwa ia bukan anak-anak lagi,
dan bahkan ia kini adalah pelindung ibunya di dalam segala
hal. Ia harus melayani ibunya sebagai seorang gadis, tetapi
jika perlu ia harus melindungi ibunya sebagai seorang yang
memiliki ilmu kanuragan. Bukan saja Ki Demang yang memandang Sekar Mirah
dengan iba, tetapi juga Kiai Gringsing, Sumangkar, Swandaru,
dan Agung Sedayu. Mereka mengerti betapa perasaan gadis
itu. Sekaligus beberapa orang yang tersangkut di hatinya telah
pergi. Ayahnya, kakaknya, gurunya, dan seorang anak muda
yang telah merampas hatinya.
Karena itu, maka wajah-wajah itu pun menjadi muram dan
berkesan dalam. Namun akhirnya mereka pun berangkat juga meninggalkan
Kademangan Sangkal Putung. Di regol halaman berdiri Nyai
Demang bersama Sekar Mirah dan beberapa bebahu
kademangan beserta beberapa orang tua tetangga terdekat.
"Mudah-mudahan kalian selamat di perjalanan," seorang
perempuan tua berdoa sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya, "dan kalian akan pulang membawa seorang
menantu yang cantik bagi Nyai Demang."
Demikianlah, mereka mulai dengan sebuah perjalanan
yang jauh. Perjalanan yang mereka sadari sebagai perjalanan
yang cukup berat. Tetapi Ki Demang tidak merasa cemas sama sekali, karena
lima orang yang menempuh perjalanan itu, empat di antaranya
sudah pernah melakukannya.
Beberapa saat lamanya mereka masih menyusuri jalan di
Kademangan Sangkal Putung. Beberapa orang yang sudah
mendengar bahwa Ki Demang akan pergi ke Menoreh yang
mereka jumpai, mengucapkan juga beberapa ucapan selamat
jalan, sedang satu dua orang yang masih belum jelas
bertanya, "Apakah Ki Demang akan menempuh perjalanan
jauh?" "Ya," jawab Ki Demang.
"Jadi benar kata orang bahwa Ki Demang akan pergi ke
Menoreh?" "Ya." "Sebuah perjalanan yang jauh dan berbahaya. Ki Demang
akan melintasi hutan yang penuh dengan binatang buas."
Demang mengerutkan keningnya. Yang dikatakan orang ini
agak berbeda dengan yang pernah diucapkan oleh orang lain.
Yang terdahulu selalu memperingatkan, agar kelompok kecil
yang bersamanya pergi ke Menoreh itu berhati-hati
menghadapi penyamun, perampok, atau sekelompok orangorang
yang sekedar ingin mengacau dan membendung orangorang
yang mengalir ke Mataram dan sebangsanya. Tetapi
yang seorang ini memperingatkan agar mereka berhati-hati
terhadap binatang buas. Namun sambil tersenyum Ki Demang
berkata, "Tentu. Kami akan berhati-hati menghadapi apa dan
siapa pun." "Alas Mentaok adalah sarang binatang buas," katanya.
"Ada lebih dari lima jenis harimau yang hidup di hutan itu. Dan
yang tidak kalah ganasnya adalah anjing hutan. Meskipun
seekor demi seekor anjing hutan itu tidak begitu berbahaya,
tetapi jika mereka datang dalam kelompok yang terdiri dari
puluhan dan bahkan ratusan ekor, maka sebenarnyalah kalian
bertemu dengan bahaya maut."
"Kami dapat memanjat," jawab Ki Demang.
"Kuda-kuda kalianlah yang akan tinggal menjadi kerangka
tidak lebih dari seratus hitungan."
Ki Demang mengerutkan keningnya. Namun Kiai Gringsinglah
yang menyahut, "Mudah-mudahan kami tidak bertemu
dengan segerombolan anjing hutan yang berbahaya itu."
"Mudah-mudahan. Anjing hutan itu sama sekali tidak dapat
didekati. Sekelompok banteng pun akan menepi jika mereka
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyadari bahwa mereka berada di dalam lingkungan anjingKang
Zusi - http://kangzusi.com/
anjing hutan, meskipun anjing-anjing hutan itu tidak
menyerang mereka." "Terima kasih," Ki Sumangkar-lah yang kemudian
menyahut. Ketika mereka melanjutkan perjalanan, maka tampak wajah
Ki Demang agak berkerut, sehingga sambil tersenyum Kiai
Gringsing berkata, "Peringatan yang baik. Tetapi kita tidak
perlu cemas. Anjing-anjing hutan yang liar itu hidup beberapa
tahun yang lampau, sebelum Mentaok dihuni oleh hantu-hantu
yang menakut-nakuti orang-orang Mataram yang membuka
hutan itu. Hantu-hantu itu agaknya mempunyai cara yang baik
untuk membunuh anjing-anjing liar itu, sehingga jumlahnya
cepat sekali susut."
"Bagaimana cara mereka membunuh anjing-anjing liar itu?"
bertanya Ki Demang. "Dengan racun. Mereka adalah orang-orang yang ahli
dalam hal bermain-main dengan racun. Seekor lembu dilumuri
racun hampir diseluruh tubuhnya. Kemudian lembu itu di
lepaskan di antara anjing-anjing liar. Nah, sekaligus mereka
dapat membunuh berpuluh-puluh anjing liar itu."
Ki Demang Sangkal Putung itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Perlahan-lahan wajahnya yang mulai berkerut itu
pun menjadi cerah kembali.
Dalam pada itu kuda mereka berjalan terus. Semakin lama
semakin jauh meninggalkan Kademangan Sangkal Putung.
Di perjalanan itu Ki Demang justru merasa dirinya sebagai
anak-anak yang berjalan di antara pemomongnya. Meskipun
di antara mereka terdapat anaknya yang masih muda dan
Agung Sedayu, namun ia merasa bahwa mereka itu adalah
pelindung-pelindingnya yang baik. Ia merasa bahwa ia adalah
orang yang paling lemah di antara sekelompok kecil orangorang
yang akan pergi ke Menoreh itu.
Demikianlah mereka berjalan terus. Dengan mengendarai
kuda, mereka maju lebih cepat daripada berjalan kaki. Tetapi
apabila mereka sampai ke daerah-daerah yang berhutan
lebat, maka mereka akan maju lebih lambat daripada jika
mereka tidak membawa kuda. Di dalam hutan yang lebat,
kuda bukannya tunggangan. Bahkan kadang-kadang kuda
merudang menikmati bekal mereka.
Namun selagi mereka masih berada di luar hutan, maka
perjalanan mereka sama sekali tidak terhambat. Kuda mereka
berlari kencang, seakan-akan berpacu dengan matahari yang
semakin lama menjadi semakin tinggi.
Ketika matahari mencapai nuncak langit, maka mereka pun
beristirahat sejenak. Mereka memberi kesempatan kepada
kuda mereka untuk makan rumput yang hijau, sedang
penunggang-penunggangnya pun duduk di bawah pohon yang
rindang menikmati bekal mereka.
Selagi mereka duduk sambil menyuapi mulut mereka,
mereka melihat seseorang datang mendekat. Dengan raguragu
orang itu bertanya, "Apakah Ki Sanak sedang dalam
perjalanan?" Ki Demang yang duduk di paling tepi menjawab, "Ya, kami
sedang dalam perjalanan."
"Apakah Ki Sanak akan menyeberang hutan Tambak Baya
dan Mentaok?" Ki Demang menjadi ragu-ragu sejenak, lalu dipandanginya
Kiai Gringsing yang duduk di sampingnya
"Kami akan pergi ke Menoreh Ki Sanak," jawab Kiai
Gringsing. "O, apakah kalian tidak akan pergi ke Mataram yang
sekarang sedang tumbuh?"
Kiai Gringsing menggeleng.
"Sayang," desisnya.
"Kenapa?" "Aku ingin pergi ke Mataram."
"Kenapa kau tidak pergi?"
"Aku menunggu beberapa orang yang akan bersama-sama
menyeberangi Alas Tambak Baya ini."
"Kenapa harus menunggu?"
Orang itu mengerutkan keningnya. Katanya, "Jalan
terlampau berbahaya. Jika kita ingin menyeberangi hutan,
biasanya beberapa orang pergi bersama."
"Siapakah yang mengatakan kepada Ki Sanak?"
"Orang-orang yang tinggal di sebelah hutan itu. Jika Ki
Sanak singgah pada sebuah warung, maka orang-orang itu
akan memberitahukan kepada Ki Sanak."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu
katanya, "Jika Ki Sanak ingin pergi bersama dengan kami
sampai ke seberang Alas Tambak Baya, kami tidak
berkeberatan sama sekali. Tetapi selanjutnya Ki Sanak pergi
sendiri ke Mataram."
"Aku tidak berani."
"Jika demikian, kami akan mengantar Ki Sanak sampai ke
Mataram. Kami akan singgah di Mataram sejenak."
Tiba-tiba saja orang itu menjadi ragu-ragu. Lalu katanya,
"Apakah Ki Sanak siap menghadapi kemungkinan yang dapat
terjadi di perjalanan?"
"Apakah yang mungkin terjadi?"
"Perampokan." "Kami tidak membawa apa-apa. Mungkin bekal makan kami
inilah yang akan dirampoknya. Nasi jagung dan gembrot
sembukan. Selebihnya tidak ada."
Orang itu mengerutkan keningnya. Katanya, "Kuda kalian
adalah kuda-kuda yang tegar."
"Kuda padesan. Sekedar dapat menyambung perjalanan."
Orang itu masih ragu-ragu. Namun kemudian ia
menggeleng, "Tidak usah, Ki Sanak. Aku tidak akan
mengganggu Ki Sanak. Silahkan berjalan terus ke Menoreh."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi katanya
kemudian, "Sebenarnya arah perjalanan kami masih belum
pasti. Kami mungkin akan langsung pergi ke Menoreh, tetapi
ada juga niat kami pergi ke Mataram." Ia berhenti sejenak,
lalu, "Tetapi di mana bekal dan barang-barang Ki Sanak
disimpan?" "Ada diwarung itu. Di pinggir Alas Tambak Baya."
"Kenapa Ki Sanak ada di sini" Kenapa Ki Sanak tidak
menunggu saja di pinggir hutan itu?"
Orang itu termangu-mangu sejenak, namun kemudian
jawabnya, "Aku sedang berjalan-jalan di sini ketika aku melihat
kalian berhenti dan beristirahat di sini."
"O," Kiai Gringsing mengangguk-angguk, "jika Ki Sanak
berubah pendirian dan ingin pergi bersama kami, beritahukan
hal itu kepada kami."
"Apakah kalian akan berjalan terus?"
"Ya. Kami akan bermalam di seberang Alas Tambak Baya
jika kami dapat mencapainya."
"Tetapi kemana sebenarnya kalian akan pergi?"
"Kami belum tahu. Mungkin kami dapat berganti haluan
dengan tiba-tiba." "Tetapi kalian tentu mempunyai rencana."
"Rencana kami masih belum pasti. Tetapi jika kau akan
pergi bersamaku, kami akan memastikan rencana kami. Kami
pergi ke Mataram, karena kami mempunyai saudara yang
tinggal di sana." Orang itu menjadi termangu-mangu. Namun katanya
kemudian, "Terima kasih. Pergilah ke Menoreh. Aku akan
menunggu orang lain."
Kiai Gringsing tidak segera menyahut. Dipandanginya
orang itu tajam-tajam, sehingga ketika tatapan mata mereka
beradu, orang itu memalingkan wajahnya.
"Kenapa kau tiba-tiba mengurungkan niatmu pergi bersama
kami?" bertanya Kiai Gringsing.
"Aku tidak mau mengganggu kalian, selamat jalan."
Orang itu tidak menunggu Kiai Gringsing menjawab. Tetapi
ia pun segera meninggalkannya. Namun ia sama sekali tidak
pergi ke padesan di pinggir hutan Tambak Baya.
Sepeninggal orang itu Ki Demang di Sangkal Putung
berkata, "Aku menjadi bingung. Orang itu pun agaknya
menjadi bingung mendengar keterangan Kiai."
Kiai Gringsing memandang orang yang semakin lama
menjadi semakin jauh itu. Gumamnya kemudian seakan-akan
kepada diri sendiri, "Aku menjadi curiga kepadanya."
"Kenapa Kiai menjadi curiga?"
"Mula-mula hanya sekedar firasat, tetapi semakin lama aku
melihat tanda-tanda itu. Kenapa ia tidak mau pergi bersama
kami ke Mataram?" "Mungkin ia menjadi curiga juga kepada Kiai, karena tibatiba
saja Kiai berputar haluan."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian, "Mungkin aku terlampau berprasangka, Tetapi
mudah-mudahan orang itu sama sekali tidak berniat buruk."
"Ia seorang diri."
"Seharusnya ia tidak berada di sini, tetapi di padesan itu.
Tetapi mungkin juga ia mempunyai beberapa orang kawan
yang menunggui barang-barangnya."
"Marilah kita pergi ke padesan itu," tiba-tiba saja Ki
Sumangkar menyela. "Di sana ada orang yang menjual
makanan, barangkali kita dapat membeli tambahan bekal di
perjalanan." Kiai Gringsing merenung sejenak, lalu, "Baiklah. Kita pergi
ke padesan yang kecil itu."
Demikianlah mereka pun segera pergi kepadesan itu.
Dilihatnya beberapa orang duduk di sebuah gardu. Tetapi
mereka adalah orang-orang yang beristirahat setelah bekerja
di sawah, ternyata dari alat-alat yang masih ada pada mereka.
"Hanya ada sebuah warung kecil," berkata Ki Sumangkar,
"agaknya jalan ini memang sepi."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Marilah kita membeli bekal."
"Bekal kita sudah cukup," berkata Ki Demang.
"Sekedar berbicara dengan penjual itu."
"Baiklah. Aku menunggu di sini."
Kiai Gringsing dan Sumangkar-lah yang kemudian
mendekat. Sambil membeli beberapa macam makanan Ki
Gringsing berkata, "Apakah jalan ini menjadi sepi sekarang?"
"Ya, Ki Sanak," jawab penjual makanan yang sudah agak
lanjut itu, "jalan sangat sepi."
"Kenapa?" "Aku tidak tahu. Tetapi menurut pendengaranku jalan
sekarang menjadi tidak aman. Banyak orang yang terpaksa
melepaskan barang-barangnya karena mereka tidak mau
kehilangan nyawanya."
"Perampok?" Orang itu menarik nafas dalam-dalam.
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar berpandangan sejenak.
Ternyata apa yang mereka dengar selagi mereka masih di
Sangkal Putung itu tidak jauh dari keadaan yang sebenarnya.
Bagi Kiai Gringsing, perampokan yang terjadi itu bukan
semata-mata untuk mendapatkan barang-barang dan
kekayaan, tetapi tentu suatu usaha untuk memisahkan
Mataram dari lingkungan disekitarnya.
"Tetapi apakah masih ada orang yang kadang-kadang
lewat?" "Ya, kadang-kadang. Beberapa orang kadang-kadang
berkumpul di sini. Mereka membentuk semacam kelompok
kecil untuk menyeberangi Alas Tambak Baya dan kemudian
masuk ke Alas Mentaok yang sedang dibuka itu."
"Kau tahu segala-galanya," berkata Ki Sumangkar.
Orang itu mengerutkan keningnya. Lalu suaranya menjadi
terputus-putus, "Tidak. Aku tidak tahu apa-apa."
Tetapi Sumangkar tersenyum, "Jangan takut. Aku bukan
ingin menakut-nakutimu. Tetapi apakah di dalam kelompokkelompok
kecil orang tidak takut dirampok" Bagaimana jika
perampoknya berjumlah besar?"
"Kadang-kadang ada prajurit Mataram yang datang kemari.
Hampir setiap tiga hari, sehingga orang-orang itu sabar
menunggu. Jika ada prajurit Mataram datang menyongsong
mereka, maka mereka pun pergi dengan aman ke Mataram.
Tetapi akhir-akhir ini sering timbul kerusuhan tidak di tengahtengah
hutan, tetapi di sekitar tempat ini."
"Maksudmu perampok-perampok itu datang kemari?"
Orang itu tidak segera menjawab. Tetapi dipandanginya
kedua orang yang berdiri di muka barang-barang
dagangannya itu. Sekali-sekali ia memandang Ki Demang,
Agung Sedayu yang berdiri beberapa langkah dari tempatnya
sambil memegangi kuda. "Tetapi siapakah kalian?" bertanya penjual makanan itu.
"Yang berdiri itu adalah Demang Sangkal Putung," sahut
Kiai Gringsing, "jangan takut. Kami hanyalah sekedar lewat."
"Ya. Aku dapat mengenal dari wajah dan sikap kalian,
bahwa kalian bukan dari golongan mereka. Tetapi "." orang
itu tidak melanjutkan kata-katanya.
"Apakah kau melihat seseorang yang kau curigai?"
Orang itu tidak menyahut. Tetapi diedarkannya pandangan
matanya berkeliling. Kiai Gringsing dan Sumangkar mengikuti arah pandangan
mata orang itu. Tetapi mereka tidak melihat seseorang pun.
"Dinding-dinding sekarang mempunyai telinga," berkata
orang itu, "aku tidak berani mengatakan apa pun."
"Jangan takut. Tidak ada orang lain yang mendengar."
Orang itu masih ragu-ragu. Lalu, "Apakah Ki Sanak yakin?"
"Ya. Aku yakin, tidak ada orang lain yang mendengar."
"Tetapi siapakah sebenarnya Ki Sanak berdua?"
"Kami adalah saudara-saudara Ki Demang. Kami adalah
paman-pamannya." "Dan kedua anak-anak muda itu?"
"Yang seorang anaknya, yang seorang kemanakannya."
"Kalian tinggal di Sangkal Putung?"
"Ya." "Baiklah. Aku ingin mengiakan pertanyaan Ki Sanak. Para
perampok itu kadang-kadang datang kemari, karena semakin
sedikit orang yang lewat menyeberang hutan Tambak Baya
dan hutan Mentaok." Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu
bertanya, "Apakah hari ini tidak ada seorang pun yang akan
menyeberang hutan ini?"
"Ada seorang. Ia menunggu kawan."
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Di mana ia sekarang. "
"Berjalan-jalan. Ia sangat gelisah karena belum ada kawan
yang akan pergi bersamanya."
"Bukankah sering ada pengawal-pengawal Mataram yang
kau sebut sebagai prajurit-prajurit itu?"
"Ia menjadi gelisah karena perampok-perampok itu
sekarang tidak sekedar menunggu, tetapi mereka
menyongsong korban-korban mereka kemari."
Kiai Gringsing menjadi gelisah. Dipandanginya Sumangkar
dengan wajah yang tegang. Lalu, "Jadi, jadi mereka akan
datang kemari." "Ya." "Kalau begitu aku tidak akan beristirahat di sini. Aku akan
pergi seperti orang itu. Atau sebaiknya aku kembali saja ke
Sangkal Putung." "Kenapa kembali?"
"Aku tidak dapat menyediakan diri untuk dibantai oleh para
perampok." "Bukankah kalian akan pergi ke Mataram?"
"Tidak, kami belum pasti pergi ke Mataram. Mungkin ke
Mataram, mungkin ke Menoreh."
"Kenapa?" Kiai Gringsing yang gelisah menggeleng, "Tetapi aku kira
kita tidak akan pergi ke mana-mana."
Penjual makanan itu tiba-tiba tersenyum, katanya, "Kenapa
kalian menjadi ketakutan?"
Sumangkar yang gemetar berkata, "Kita kembali saja."
Tetapi orang setengah tua di belakang barang-barang
jualannya itu tertawa. Katanya, "Kalian tidak usah takut."
"Kenapa?" "Aku tahu jalan yang paling baik yang dapat kau lalui."
"Maksudmu?" "Jalan yang jarang-jarang dilalui orang, tetapi justru karena
itu kalian tidak akan menjumpai seorang perampok pun.
Mereka tidak akan telaten duduk berhari-hari tanpa
mendapatkan seorang korban pun."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Jadi, ada jalan yang Ki Sanak anggap tidak akan ada
seorang perampok pun yang mengganggu perjalanan kami?"
"Ya." "Tetapi jalan itu menuju ke Menoreh atau ke Mataram?"
"Kedua-duanya. Kau dapat menempuh jalan itu, kemudian
kau dapat memilih jika kalian sampai pada sebuah jalan
simpang setelah kalian melewati Alas Tambak Baya.
"Maksudmu jalan itu adalah jalan lurus satu-satunya
sehingga kami akan menjumpai jalan simpang?"
"Ya." "Terima kasih. Kami harus segera pergi."
"Ya. Kalian harus segera berangkat sebelum perampokperampok
itu datang." "Kapankah kira-kira para pengawal dari Mataram itu akan
datang kemari?" "Baru kemarin mereka datang, tiga hari lagi paling cepat.
Mungkin lebih lagi, karena jalan semakin sepi."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak
ia memandang beberapa orang yang ada di gardu. Seorang di
antaranya ternyata memperhatikannya baik-baik. Tetapi Kiai
Gringsing tidak menghiraukannya.
"Jika demikian kami akan segera pergi. Terima kasih atas
petunjuk Ki Sanak. Tetapi jalan manakah yang akan kami
tempuh?" "Melingkarlah. Lewat di belakang padukuhan ini kalian akan
sampai jalan sempit yang menjelujur masuk ke dalam hutan.
Jalan itulah yang akan kalian lalui."
"Tetapi jalan itu justru menjauhi arah yang kami tuju. Jalan
itu menuju ke Utara, baru ke Barat."
"Tetapi setelah masuk ke dalam hutan, jalan itu akan
melingkar ke Selatan. Memang ada simpang empat pada
persilangan jalan itu dengan jalan yang biasa dilalui orang,
tetapi kalian dapat berhati-hati dan dengan menyusup
gerumbul-gerumbul perdu, kalian dapat menyilang jalan yang
sering ditunggui para penyamun itu."
"Baiklah. Terima kasih. Kami akan segera pergi."
"Tentu Ki Demang Sangkal Putung membawa bekal banyak
sekali. (***) Buku 68 KIAI GRINGSING termangu-mangu sejenak. Sekilas ia
me"mandang Ki Sumangkar. Dan jawabnya kemudian, "Tidak
banyak. Hanya sekedar hadiah untuk bakal menantunya."
"O, jadi Ki Demang Sangkal Putung akan pergi ke bakal
menantunya di Menoreh?"
"Ya." Penjual itu tertawa. Katanya, "Kenapa kau membuat dirimu
sendiri bingung, dengan ceritera bahwa kau akan per"gi ke
Mataram" Mungkin kau mencoba untuk menghilang"kan jejak
kepergianmu. Jika di sini ada perampok atau setidak-tidaknya
orang-orangnya, mereka tidak tahu pasti kemana kau akan
pergi." Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
ia mengangguk, "Ya, ya, begitulah."
"Nah, sekarang pergilah dengan aman. Turutlah nasehat
kami." "Terima kasih. Jika kau tidak berbaik hati membe"ritahukan
hal itu kepada kami, maka kami tentu akan melewati jalan
yang berbahaya itu, dan kami akan terje"bak ke dalam sarang
para penyamun. Barang-barang Ki Demang yang tidak
seberapa nilainya, yang akan diberikan kepada bakal
menantunya itu, tentu akan dirampasnya."
"Ya. Sekarang, pergilah lewat jalan yang aku kata"kan."
"Terima kasih."
"Tetapi, apakah kalian memerlukan bekal di perjalanan
kalian?" "O, hanya sedikit, karena kami sudah membawanya."
"Ambillah." Kiai Gringsing menjadi heran, sehingga ia pun berta"nya,
"Apakah maksudmu, aku membeli bekal padamu?"
"Ambillah. Kau tidak usah membeli. Jualanku tinggal
sisanya. Aku sudah mendapat banyak untung sampai hari ini."
"Ah, jangan begitu."
"Ambillah menurut kebutuhanmu."
Kiai Gringsing menjadi ragu-ragu. Tetapi ia pun
mengam"bil beberapa macam makanan. Lalu sambil
mengangguk-angguk ia berkata, "Kau baik sekali. Mudahmudahan,
kebaikanmu akan berbuah sesuai menurut
nilainya." Kiai Gringsing dan Sumangkar pun kemudian
mening"galkan penjual itu. Tetapi, Kiai Gringsing-lah yang
mem"bawa makanan yang diambilnya dari dagangan orang
yang memberinya banyak petunjuk itu.
Ketika ia kemudian mendapatkan Ki Demang, maka
dikatakanlah semua pesan penjual makanan dan beberapa
macam bahan yang sering dibutuhkan di dalam perja"lanan
yang panjang, apalagi lewat hutan yang lebat.
Ki Demang termangu-mangu sejenak mendengar semua
pesan itu. Namun kemudian katanya, "Jadi, kita akan
ber"jalan lewat jalan yang ditunjukkan itu?"
Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya. "Ya. Ki"ta akan
pergi lewat jalan yang ditunjukkan itu."
"Dan bekal itu?" Ki Demang ragu-ragu. "Maksudku, orang
itu terlampau baik hati kepada kita."
"Ya. Ia tahu bahwa Ki Demang akan pergi ke Me"noreh,
dan aku katakan kepadanya bahwa Ki Demang membawa
sekedar hadiah buat bakal menantunya."
"Ah," Ki Demang berdesah.
"Sudahlah, marilah kita berangkat sebelum ada se"orang
perampok yang datang kemari."
Ki Demang, Agung Sedayu dan Swandaru menjadi raguragu.
Tetapi mereka tidak bertanya lagi. Mereka pun segera
meloncat ke atas punggung kuda masing-masing dan
meneruskan perjalanan, lewat jalan yang ditunjukkan oleh
penjual di warung itu. "Guru," tiba-tiba Agung Sedayu berkata, "aku merasakan
sesuatu yang tidak wajar pada perjalanan kita ini. Apakah
benar jalan yang kita lalui ini, jalan yang paling aman?"
"Padukuhan ini terlampau lengang," desis Swandaru,
"Apakah padukuhan ini masih dihuni orang?"
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Itulah yang me"narik.
Dan karena hal yang tidak wajar, dan kelengangan padukuhan
inilah aku mau mendengarkan petunjuk orang itu."
"Maksud Guru, menghindari penyamun?"
Kiai Gringsing tertawa. Katanya, "Kita adalah pe"tualang
yang gatal tangan. Tetapi bukan itu maksudku. Jika kita
bertemu dengan penyamun, maka kita akan men-dapat
keterangan tentang mereka."
"Aku tidak mengerti, bagaimana maksud Kiai
sebe"narnya?" bertanya Ki Demang.
Kiai Gringsing pun mengamat-amati makanan yang
diba"wanya sejenak. Namun makanan itu pun kemudian
dilem"parkannya jauh-jauh.
"Aku tidak yakin bahwa makanan itu tidak mengan"dung
racun yang sangat lemah, dan dapat memberikan pengaruh
atas tenaga kita, sehingga pada suatu saat kita akan
kehilangan segenap kemampuan kita."
"O," "Jelasnya, Ki Demang. Aku berprasangka, mudahmudahan
prasangka ini keliru," Kiai Gringsing berhenti
sejenak. Lalu, "Bahwa orang itu telah menjerumuskan kita ke
dalam sarang perampok. Padukuhan ini adalah padukuhan
yang kosong. Rumah, halaman dan kebun tampak kotor dan
tidak terpelihara. Aku tidak melihat seorang pun yang ada di
dalam rumahnya. Sawah yang berada di dekat padu"kuhan ini
pun menjadi bera dan tidak ditanami lagi. Tentu padukuhan ini
sudah dikosongkan oleh penduduknya dan mereka mengungsi
ke padukuhan-padukuhan lain, meskipun mereka masih
bekerja di sawah yang agak jauh dari padukuhan ini."
"O. Dan kita sengaja menjerumuskan diri?"
"Sekedar didorong oleh perasaan ingin tahu. Tetapi
mungkin gunanya lebih dari itu."
Ki Demang termangu-mangu sejenak. Dipandanginya
wajah Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar berganti-ganti, dan
kemudi-an wajah Agung Sedayu dan Swandaru. Namun
sebelum ia berkata sesuatu, Swandaru sudah mendahuluinya,
"Kita akan mendapat mainan, Ayah. Apa salahnya kita
mencari perampok-perampok itu?"
"Ah, bukankah kita akan melamar seorang gadis" Marilah
kita hindari semua kemungkinan yang dapat meng"hambat
perjalanan. Aku bukannya menjadi takut terhadap perampok.
Aku lebih takut kepada anjing-anjing liar itu seandai"nya
masih ada. Ketika aku mendengar ceritera tentang anjing liar,
aku benar-benar menjadi gemetar. Alangkah sakitnya digigit
oleh berpuluh-puluh anjing tanpa berbuat sesuatu. Tetapi
terhadap para perampok, seandainya terpaksa kita bertemu,
apa boleh buat. Aku juga membawa senjata," Ki Demang
berhenti sejenak. Tanpa disadarinya dirabanya hulu
pedang"nya yang tersangkut di bawah sehelai kain di
punggung kuda di bawah pelana, sehingga senjata itu tidak
begitu tampak dari kejauhan. Lalu katanya, "Tetapi jika kita
tahu benar bahwa kita akan bertemu dengan sekelompok
perampok, apa gunanya kita berjalan terus lewat jalan ini"
Apakah tidak lebih baik jika kita mengambil jalan lain yang
lebih aman dan tidak mengganggu kepergian kita, untuk suatu
keperluan yang sangat penting ini?"
Swandaru yang merasa berkepentingan itu pun
menge"rutkan keningnya. Tetapi ia masih juga ragu-ragu.
Sebenarnya ia ingin juga cepat-cepat sampai ke Menoreh
tanpa gangguan apa pun. Tetapi perampok-perampok itu pun
tentu sangat menarik hati. Apalagi apabila di antara mereka
ada orang-orang yang da"pat dianggap penting dari antara
mereka. Kiai Gringsing yang mengangguk-angguk, kemudian
menja"wab setelah merenung sejenak, "Ki Demang memang
be"nar. Tetapi bagi kita, persoalan perampok itu bukannya
sekedar perampok biasa. Perampok itu tentu ada
hubung"annya dengan berdirinya Mataram. Sebagai daerah
yang baru tumbuh, ternyata Mataram menghadapi banyak
sekali tantangan. Dimana-mana, orang-orang yang tidak
senang terhadap Mataram dengan serentak telah melakukan
kegiatannya. Sudah barang tentu semuanya dijalin dalam satu
puncak kekuasaan dari mereka itu. Terlebih-lebih lagi,
beberapa orang senapati tertinggi Pajang benar-benar tidak
mau melihat kehadiran Mataram sebagai suatu daerah yang
kuat. Tentu banayak alasan yang dapat dikemukakan.
Sebagian dari mere"ka adalah orang-orang yang tidak ingin
melihat Raden Sutawijaya memiliki kekuasaan, karena ia
adalah orang yang besar. Jika ia mempunyai bekal kekuasaan
atas suatu daerah yang betapa kecilnya, maka ia pasti akan
dapat mengembangkan kekuasaan itu dengan baik. Ada pula
di antara mereka adalah prajurit-prajurit, yang semata-mata
mengemban tugas. Di antara mereka adalah Untara. Ia
merasa ikut membina Pajang se-jak berdirinya. Karena itu,
maka ia tidak akan dapat dengan mudah melepaskan diri dari
ikatan yang terjalin, antara dirinya dengan Pajang. Yang lain
adalah orang-orang yang ber"jiwa kerdil dan dengki, sehingga
mereka menjadi iri meli"hat perkembangan Mataram, sedang
yang masih harus di cari sebabnya adalah orang-orang yang
langsung merintangi pembukaan hutan itu, di hutan itu sendiri.
Mungkin mereka adalah orang-orang yang sebelumnya sudah
bertempat tinggal di daerah itu atau di padukuhan-padukuhan
di sekitar Alas Mentaok dan sudah mempersiapkan diri untuk
membuka hutan itu. Teta"pi, sudah barang tentu mereka
merasa dihalangi oleh usaha Raden Sutawijaya. Namun
semua itu barulah sekedar du"gaan."
Ki Demang mengerutkan keningnya. Tetapi seperti
Swandaru, ia menjadi ragu-ragu. ia berdiri di antara
kepenting"annya sendiri dan kepentingan yang lebih besar.
"Nah, apakah Ki Demang dapat sepakat dengan
per"jalanan ini?"
Ki Demang tidak segera menyahut. Di antara, mereka
terdapat Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. Sudah tentu
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bahwa keduanya adalah pelindung yang baik. Apalagi Ki
Demang sendiri bukan sekedar seorang yang harus pasrah
diri dalam perlindungan orang lain, karena ia pun mampu pula
berkelahi. Tetapi setiap kali ia menjadi gelisah. Jika sesuatu
terjadi di perjalanan, apakah yang akan dilakukan kemudian"
Namun akhirnya, Ki Demang tidak dapat mengelak lagi.
Meskipun Agung Sedayu dan Swandaru tidak menyatakan
pendapatnya lagi, tetapi menurut tatapan mata mereka,
keduanya ingin mencoba untuk meneruskan perjalanan lewat
jalan sempit itu. "Baiklah," berkata Ki Demang, "aku akan mengi"kuti kalian.
Aku percaya bahwa kalian sudah membuat perhitungan yang
sebaik-baiknya." "Mudah-mudahan semua angan-angan dan prasangka
kami tidak benar, Ki Demang."
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun
kemu"dian mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Marilah, ki"ta melihat apa yang ada di depan kita."
Kiai Gringsing memandang Ki Demang sejenak. Lalu
katanya, "Kita akan berusaha, bahwa apa yang kita la"kukan
ini tidak mengganggu perjalanan kita, karena pada pokoknya
kita sedang pergi ke Menoreh. Apa yang terjadi ini hanyalah
sekedar gejolak di permukaan air saja. Tetapi arusnya tetap
menuju ke muara." Ki Demang memandang wajah Kiai Gringsing sejenak.
Namun ia pun kemudian tersenyum sambil berkata, "Aku
sudah terlalu tua untuk bertualang."
"Umurku lebih tua."
"Bukan umur. Tetapi jiwa kita masing-masing. Aku adalah
seorang Demang yang biasa bekerja di satu tempat yang ajeg,
tidak berkeliling kemana-mana. Dan cara hidup yang demikian
itulah, yang agaknya membuat jiwaku lebih tua dari Kiai
Gringsing dan Ki Sumangkar."
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar tersenyum, sedang
Swandaru tertawa pendek. Dipandanginya wajah ayahnya
yang memang masih nampak lebih muda dari Kiai Gring"sing
dan Ki Sumangkar. Bahkan katanya, "Kebiasaan Ayah
memang hanya menunggui banjar dan bendungan di Sangkal
Putung." "Bukan begitu, Ki Demang," berkata Ki Sumang"kar, "kita
memang mempunyai pekerjaan dan kebiasaan kita masingmasing.
Itulah justru yang membuat kehidupan ini menjadi
sangat menarik." Ki Demang pun tersenyum pula. Tetapi ia tidak menya"hut
lagi. Demikianlah, mereka meneruskan perjalanan melingkar
padukuhan yang sepi, kemudian menyusuri jalan sempit di
bulak yang tidak ditanami. Tetapi bulak itu pun tidak begi"tu
luas. Kemudian, mereka mengikuti jalan itu berbelok menuju
ke Alas Tambak Bayu. Tetapi jalan yang mereka lalui itu agaknya memang hampir
tidak pernah disentuh kaki. Rerumputan liar dan dedaunan
yang dilemparkan oleh pepohonan di sebelah-menyebelah
jalan itu, sama sekali tidak menyibak.
Meskipun demikian, agaknya sesuatu telah menarik
perhatian Kiai Gringsing, Dilihatnya batang-batang rumput
yang" patah, dan di antara dedaunan kuning yang runtuh,
kadang-kadang tampak juga bekas kaki yang belum terlalu
lama pada tanah yang gembur lembab.
Karena itu, maka Kiai Gringsing pun kemudian meng"gamit
Ki Sumangkar dan memperlihatkan bekas-bekas yang
menarik perhatiannya itu, sambil berjalan terus perlahanlahan.
Ki Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Ya. Aku juga melihat."
Kedua orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Se"kilas dipandanginya wajah Ki Demang yang tampak
bersungguh-sungguh dan wajah kedua anak-anak muda yang
justru men"jadi cerah. Ternyata udara terbuka membuat
mereka men"jadi gembira. Mereka dapat melihat alam yang
luas dan rasa-rasanya hati mereka pun menjadi lapang,
selapang bulak yang tidak ditanami itu.
Tetapi kedua anak-anak muda itu beserta Ki Demang
ter"tegun, ketika mereka melihat Kiai Gringsing dan Ki
Sumang"kar yang berkuda di paling depan berhenti sejenak.
Tam"paknya mereka sedang mengamat-amati jalan di depan
kaki-kaki kuda mereka. "Ada apa, Kiai?" bertanya Ki Demang.
Kiai Gringsing berpaling. Namun ia pun kemudian
ter"senyum. Katanya, "Tidak apa-apa. Aku hanya melihat
bah"wa dekat sebelum kita, ada juga orang yang lewat jalan
ini. Tentu atas petunjuk penjual itu."
"O." "Aku semakin yakin, bahwa orang yang menunggui warung
itu bukan orang yang baik hati seperti kita duga semula.
Padukuhan yang berubah cepat sekali sejak kami lewat
terakhir kalinya, memberikan kesan yang menarik, sehingga
kita memang harus berhati-hati.
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak
ke"mudian ia pun menyahut, "Baiklah. Aku akan berhati-hati.
Tetapi mudah-mudahan jika terjadi sesuatu, tidak akan
meng"ganggu rencana perjalanan kita yang sebenarnya."
"Aku rasa memang tidak, Ki Demang."
"Ki Demang tidak menyahut lagi. Namun sekali ia
ber"paling. Di belakangnya, Agung Sedayu dan Swandaru
menengadahkan kepalanya sambil memandang ke kejauhan.
Memandang sinar matahari yang menjadi semakin terik,
membakar wajah bulak yang tidak ditanami.
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya ia
me"mang sudah dipagari oleh kekuatan yang dapat
dipercaya. Namun demikian, baginya lebih baik tidak bertemu
dan berkelahi dengan siapa pun daripada harus terganggu,
mes"kipun tidak terlalu lama.
"Tetapi bagaimanakah jika kekuatan perampok itu
melampaui kekuatan kami?" ia berdesah di dalam hati. Tetapi
Ki Demang tidak mau memikirkannya lagi. Bukan karena ia
menjadi ketakutan. Tetapi, ia tidak ingkar bahwa ia menjadi
cemas. "Jika aku tidak sedang dalam perjalanan yang pen"ting,"
katanya di dalam hati, Ki Demang bukannya orang yang
menjadi ketakutan dan bersembunyi ketika Tohpati
mengancam kademangannya. Bahkan bersama para
pengawal kademangan yang masih muda-muda dan beberapa
orang laki-laki yang tidak ingin melihat kademangannya ditelan
oleh pasukan Tohpati, Ki Demang maju juga ke medan.
Tetapi yang mencemaskannya kini, adalah justru
ke"pentingan perjalanannya itu. Namun agaknya kawankawannya
seperjalanan adalah petualang-petualang yang
selalu tertarik pada persoalan-persoalan yang mendebarkan.
Termasuk anaknya yang menjadi murid Kiai Gringsing.
Bahkan jika diijinkan, anak"nya perempuan akan berbuat
serupa pula. Namun sebenarnya, jika Kiai Gringsing tertarik kepa"da
perampok-perampok itu, bukan semata-mata karena darah
petualangannya. Sebenarnya ia pun telah dicengkam oleh
kecemasan. Betapa beratnya tantangan yang harus dihadapi
oleh daerah yang sedang tumbuh itu.
"Kenapa aku ikut berprihatin atas Mataram?" ka"dang ia
bertanya kepada diri sendiri.
Namun, betapa pun ia mencoba menyembunyikan
perasaannya, tetapi terhadap dirinya sendiri ia harus berkata
dengan jujur, bahwa sebenarnyalah ia kecewa terhadap
Pajang sekarang. Pajang yang dahulu diharapkan dapat
menjadi pelita dan pemersatu daerah-daerah yang bertebaran
di tanah ini. Tetapi agaknya Sultan Pajang tidak akan berhasil,
karena kemudian ia terbenam dalam kamukten yang
berlebih-lebihan, meskipun di masa mudanya ia adalah
anak muda yang sangat prihatin. Seorang anak muda yang
seakan-akan selalu tidur berselimut embun di sawah, yang
beratapkan langit yang luas.
Tetapi Kiai Gringsing selalu mencoba menghindarkan diri
dari setiap dorongan untuk berbuat lebih jauh lagi. Bahkan
kadang-kadang ia mencoba menasehati dirinya sendiri,
"Apakah artinya kau seorang diri. Seorang dukun tua, yang
tersisih dari percaturan pemerintah sejak Demak masih
berdiri?" Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dan ia
terperan"jat ketika ia mendengar suara sawangan berdesing
di atas kepalanya. Dengan serta-merta Kiai Gringsing menengadahkan
wajahnya. Tetapi dedaunan di sebelah-menyebelah jalan yang
rimbun menutup pandangannya, sehingga ia tidak dapat
melihat seekor merpati yang terbang dengan sawangan itu.
Ketika ia maju beberapa langkah dan berhenti di tempat
terbuka, suara sawangan itu telah menjadi sema"kin jauh.
"Merpati dengan sawangan," ia berdesis.
"Ya," sahut Ki Sumangkar, "ketika aku masih kanak-kanak,
aku senang juga bermain dengan burung merpati yang diberi
sawangan, sehingga seolah-olah kita mendengar desing yang
tiada putus-putusnya di udara."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling,
di"lihatnya Ki Demang menjadi heran dan bertanya, "Apakah
Kiai juga senang bermain sawangan?"
Kiai Gringsing tersenyum. Sebelum ia menjawab Swandaru
pun berkata pula, "Aku mempunyai banyak sawangan di
rumah. Tetapi burung merpatiku sudah hampir habis
disembelih. Ayah dan Ibu ternyata benci kepada burung
merpati, karena merusak genting dan mengotori dinding."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali
la"gi ia menengadahkan kepalanya karena suara itu
terde"ngar lagi, semakin lama semakin dekat.
"Aku pernah mendengar isyarat semacam ini." ka"tanya.
"Isyarat?" bertanya Ki Demang.
"Aku kira di padukuhan yang kosong, tidak ada anak-anak
yang bermain sawangan."
Ki Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
Ka"tanya, "Memang agak aneh bahwa di sini ada seekor
mer"pati dengan sebuah sawangan."
"Maksud, Kiai, apakah merpati ini suatu isyarat ba"gi para
perampok itu?" "Boleh jadi. Orang-orang di pinggir padukuhan itulah yang
melepaskannya, untuk memberitahukan bahwa di jalan ini
lewat beberapa orang yang dapat dijadikan korban"nya."
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Sambil
mengerutkan keningnya ia berkata, "Jadi menurut dugaan,
Kiai, kita sudah hampir berpapasan dengan perampokperampok
itu?" "Sekedar dugaan. Sebentar lagi kita memasuki hutan yang
semakin lebat. Memang mungkin sekali kita ditung"gu oleh
para perampok itu di mulut hutan.
Ki Demang memandang hutan yang terbentang di
hadapannya. Kemudian ia pun berdesah, "Jika memang jalan
itu yang harus kita tempuh, apa boleh buat."
Hampir di luar sadarnya, disentuhnya tangkal pedang"nya
yang mencuat dari balik sehelai kain di punggung ku"danya,
di bawah pelana. Kiai Gringsing dapat membaca perasaan Ki Demang.
Sebagai orang tua yang membawa anak laki-lakinya melamar,
maka sudah barang tentu bahwa ia tidak ingin menjumpai
gangguan berupa apa pun juga. Tetapi bagi Kiai Gringsing,
rasa-rasanya orang-orang itu perlu ditemuinya. Jika mungkin
untuk sekedar bertanya-jawab apabila mereka mengetahui
serba sedikit tentang diri mereka dan orang-orang yang berdiri
di belakang mereka. Menurut perhitungannya, maka para
pe"rampok itu tidak akan mengganggu perjalanannya ke
Me"noreh dan apalagi merintanginya. Mungkin memang ada
persoalan yang harus di atasinya, tetapi persoalan-persoalan
itu tidak akan banyak mempunyai arti.
Meskipun demikian, Kiai Gringsing tetap berhati-hati.
Memang mungkin sekali, bahwa perampok yang dijumpai"nya
adalah segerombolan orang-orang yang kuat dan yang
men"dapat kepercayaan untuk memagari Mataram, agar
Mata"ram tidak lagi dapat terlalu banyak menarik perhatian
orang, sehingga dalam waktu yang singkat akan dapat
menjadi sebuah negeri yang ramai.
Demikianlah, maka bagi Kiai Gringsing suara sawangan
merpati itu adalah meyakinkan sekali. Ia pernah men"dengar
isyarat yang sama. Dan kini dihubungkan dengan
kecurigaaannya kepada orang-orang yang pernah ditemuinya,
maka suara sawangan itu adalah suara yang merupakan
isyarat juga baginya, agar ia berhati-hati.
Karena itu, ketika mereka menjadi semakin dekat de"ngan
mulut lorong yang menyusup ke dalam hutan, maka Kiai
Gringsing pun kemudian merubah urut-urutan perjalan"an
mereka. Yang di paling depan dari mereka adalah Kiai
Gringsing. Tetapi mereka tidak lagi berjajar dua, tetapi
beriringan seorang demi seorang.
Di belakang Kiai Gringsing adalah Swandaru, kemudian Ki
Demang Sangkal Putung. Di belakang Ki Demang adalah
Agung Sedayu dan di paling belakang dari iring-iringan itu
ada"lah Ki Sumangkar.
"Urut kacang," desis Swandaru.
Agung Sedayu yang berada di belakang Ki Demang
menjawab, "Jalan memang terlampau sempit."
"Mungkin kita harus turun dari punggung kuda," sahut Ki
Sumangkar yang ada di paling belakang.
Kiai Gringsing sama sekali tidak berkata apa pun. De"ngan
penuh perhatian dipandanginya hutan yang lebat di
hadapannya. Beberapa langkah lagi mereka akan menyusu"ri
hutan perdu yang sempit, kemudian mereka akan sege"ra
memasuki hutan yang pepat.
"Berhati-hatilah," desis Kiai Gringsing ketika mereka telah
berada di antara gerumbul-gerumbul perdu.
Swandaru yang berkuda di belakang Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Ada semacam kegembiraan yang
tidak dikenalnya di dalam hatinya. Ternyata bahwa anak muda
itu memang memiliki jiwa petualangan. Kemungkin"ankemungkinan
yang berbahaya dan keras seakan-akan
membuatnya se"makin gairah menghadapi perjalanan itu.
Bagi Swandaru ternyata petualangan dan seorang isteri
memiliki daya ta"riknya masing-masing, sehingga ia ingin
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menempuh kedua-duanya. Ki Demang yang berada di belakang Swandaru menjadi
berdebar-debar. Di dalam setiap benturan kekerasan, sesuatu
dapat terjadi atas setiap orang yang terlibat di dalamnya.
Mungkin dirinya sendiri, mungkin Swandaru, atau keduaduanya.
Dengan demikian maka perjalanan ini adalah
per"jalanan yang sia-sia. Namun ia tidak dapat menentang
kematian setiap orang di dalam rombongannya yang kecil itu.
Karena itu, sebagai seorang yang memiliki kepercaya"an
kepada Yang Menjadikannya, maka Ki Demang itu pun berdoa
di dalam hatinya, agar perjalanan itu mendapat perlindungan-
Nya, Dalam pada itu, wajah Agung Sedayu pun nampak
bersungguh-sungguh. Berbeda dengan Swandaru, maka yang
diper"soalkan oleh Agung Sedayu di dalam hatinya adalah,
kesulitan-kesulitan yang banyak dihadapi oleh Mataram.
Apakah sebab"nya maka orang-orang itu masih saja
berusaha menggagalkan usaha Raden Sutawijaya untuk
membina daerah yang se"dang tumbuh ini" Apakah salahnya
jika Mataram menjadi ramai seperti kota-kota lain di dalam
wilayah Pajang" Masih terngiang di telinganya keterangan gurunya, bahwa
Pajang memusatkan perhatiannya kepada perkembang"an
Mataram, dan yang justru beberapa orang menganggap"nya
sebagai lawan, karena Mataram memiliki seorang Ra"den
Sutawijaya. Pengaruh Raden Sutawijaya akan dapat
menyuramkan kebesaran cahaya yang pernah dipancarkan
oleh seorang anak, yang bernama Jaka Tingkir dan disebut
Mas Karebet, yang kemudian menduduki tahta Pajang.
Di luar kehendaknya sendiri, ternyata Agung Sedayu
tertarik sekali pada perkembangan Mataram. Ia bahkan
menjadi kagum melihat kemauan yang keras dari Raden
Sutawijaya yang didorong oleh ayahnya, Ki Gede
Pemana"han, untuk mengatasi setiap kesulitan. Bahkan
menurut penilaian Agung Sedayu, setiap kesulitan yang
dihadapi"nya, merupakan pendorong yang kuat bagi Raden
Sutawi"jaya. Di paling belakang dari iring-iringan itu adalah Sumangkar.
Persoalan yang dihadapinya di saat-saat terakhir,
membuatnya kehilangan gairah untuk memikirkan masalahmasalah
yang menyangkut pemerintahan. Yang ada di dalam
hatinya ke"mudian adalah, jika benar mereka akan
menghadapi sege"rombolan perampok yang mengganggu
kemungkinan per"tumbuhan Mataram, maka perampokperampok
itu harus dimusnahkan. Baik Mataram maupun
Pajang tentu tidak akan men"dapat keuntungan dari sikap
keras yang tidak dilandasi oleh kepentingan yang luas dan
jauh, selain kepentingan bagi diri sendiri dan gerombolannya.
Bahkan di sejajari dengan usaha-usaha untuk mengadu
domba antara Pajang dan Mataram.
Demikianlah, maka sejenak kemudian iring-iringan itu
su"dah sampai ke mulut lorong yang menghunjam ke dalam
hu"tan Tambak Baya. Lorong itu adalah lorong yang agaknya
memang jarang sekali dilalui orang, selain mereka yang
terjerumus karena petunjuk orang-orang yang memang
dipasang oleh para perampok, atau satu dua orang-orang
yang men"cari kayu baka di hutan-hutan.
Dengan angan-angan dan persoalan yang berbeda-beda di
dalam hati masing-masing, maka mereka pun mulai memasuki
hutan itu. Meskipun di bagian tepi dari hutan Tambak Baya itu
masih belum merupakan hutan yang lebat pepat, namun
sudah terasa bahwa udara mulai menjadi lembab.
Sekali-sekali mereka masih mendengar sawangan merpati
yang terbang melingkar-lingkar di atas mereka. Sehingga
karena itu, maka mereka pun menjadi semakin berhati-hati.
Namun dugaan Kiai Gringsing, bahwa dihadapan iringiringan
kecil itu sudah ada sekelompok orang yang
mendahului menjadi semakin kuat, karena bekas-bekasnya
tampak semakin nyata. Ranting-ranting yang patah dan
batang-batang rerumputan liar yang terinjak kaki di sepanjang
jalan itu. "Agaknya sudah ada pula orang yang terjerumus ke" dalam
neraka ini," berkata Kiai Gringsing di dalam hati"nya. Namun
ia sama sekali tidak mengatakannya, meski-pun menurut
dugaan Kiai Gringsing, kawan-kawan seperjalanan"nya
mengetahui pula bekas-bekas itu, terutama Ki Sumangkar.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja Swandaru bertanya, "Gu"ru,
apakah Guru sudah mengenal jalan ini?"
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Aku
baru kali ini melalui jalan ini, meskipun jalan ini agaknya sudah
lama ada, dan bahkan sekarang sudah tidak dipergunakan
lagi. Tetapi aku kira jalan ini bukan jalan yang harus dilalui
untuk pergi ke Mataram."
"Jadi, apakah kita akan dapat menemukan jalan ke"luar
dari hutan ini" Meskipun hutan ini tidak seluas Mentaok, tetapi
hutan ini cukup lebat."
"Asal kita tidak kehilangan kiblat. Selagi matahari masih
ada di langit, kita akan dapat mengetahui arah."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia
ma"sih bertanya, "Tetapi bagaimana jika jalan ini kemudian
terputus. Apakah kita harus menyusup hutan di antara sulursulur
kayu dan menyibakkan dedaunan yang rimbun" Dengan
demikian, maka seperti kata Paman Sumangkar, bu"kan
kita naik punggung kuda, tetapi kuda-kuda itu akan men"jadi
beban selama perjalanan ini."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, ia
me"ngerti pertanyaan muridnya itu. Namun jawabnya, "Kita
melihat keadaan yang akan kita hadapi."
Swandaru mengerutkan keningnya. Gurunya ternyata tidak
menjawab pertanyaannya. Dan mereka bersama-sama
ma"sih harus menunggu dan melihat, apa yang mereka
hadapi kemudian. Dengan demikian, maka Swandaru tidak bertanya lagi.
Sambil maju terus ia memandang keadaan di sekitarnya, rasarasanya
memang ada sesuatu di perjalanan itu. Bahkan
nalurinya mengatakan bahwa beberapa pasang mata seakanakan
sedang mengintip di balik dedaunan.
Belum lagi mereka menusuk jauh ke dalam, tiba-tiba saja
mereka telah dikejutkan oleh suara yang aneh, tidak jauh
dihadapan mereka. Karena itu, maka Kiai Gringsing pun
memperlambat langkah kudanya. Didengarnya suara itu
dengan saksama. Seperti yang pernah dikenalnya dalam
keadaan yang tidak dapat diketahuinya dengan pasti itu,
orang-orang yang bersembunyi di hutan Mentaok dan
mungkin juga yang bersembunyi di hutan Tambak Baya ini
telah membuat berbagai macam keadaan yang membuat
sese"orang menjadi bingung.
Semakin dekat, ternyata bahwa suara itu adalah sua"ra
merintih seseorang. Semakin lama semakin dekat. Bahkan
bukan saja seseorang yang merintih-rintih, tetapi orang itu
benar-benar berteriak minta tolong.
Sejenak kemudian mereka pun melihat seseorang ber"larilari
terhuyung-huyung dari arah yang berlawanan. Di tubuhnya
terdapat noda-noda darah yang masih basah.
"Lihat!" Ki Demang hampir berteriak pula.
"Tunggu," cegah Kiai Gringsing, "kami pernah tertipu oleh
keadaan yang serupa. Kita pernah melihat orang, yang luka
parah dengan darah di seluruh tubuhnya, ternyata orang itu
sama sekali tidak terluka. Dan darah itu sama sekali bukan
darah yang sebenarnya."
Orang yang berlari-lari itu ketika melihat iring-iringan orang
berkuda, maka seakan-akan mendapatkan tenaga baru untuk
berlari-lari mendekat. Suaranya yang telah parau masih
ter"dengar, "Tolong, tolonglah kami."
"Ia tidak sendiri," desis Swandaru. Kiai Gringsing pun justru
telah berhenti. Dengan, sigap"nya ia meloncat turun. Ketika
orang yang berlari-lari itu mendekatinya sambil memegangi
lambungnya. Kiai Gring-sing berkata, "Berhenti di situ."
Orang itu terkejut. Tetapi ia berkata terputus-putus,
"Tolong. Tolonglah kami."
"Apakah kau terluka?"
"Ya, Ki Sanak. Aku terluka parah. Tiga orang ka"wanku
masih terjebak. Mereka berkelahi melawan bebera"pa orang
penyamun." "Jangan mendekat," cegah Kiai Gringsing pula. "Berdiri di
situ. Akulah yang akan mendekat."
Orang yang pucat itu menjadi semakin heran. Tetapi ia
berhenti juga sambil berpegangan sebatang pohon.
Kiai Gringsing pun segera melangkah mendekatinya. Di
amat-amatinya orang itu sejenak. Kemudian, "Tunjukkan
luka"mu." Orang itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia
menun"juk lambungnya,
"Singsingkan bajumu."
Orang itu menjadi semakin termangu-mangu. Tetapi ia
me"nyingsingkan bajunya pula.
Dari balik baju itu Kiai Gringsing melihat lambung"nya
tergores oleh ujung senjata tajam. Kali ini ia tidak akan tertipu
lagi. Dari luka itu pula darahnya telah menitik. Benar-benar
darahnya. Bukan sekedar warna merah.
Karena itu maka Kiai Gringsing pun segera mendekati"nya.
Diamatinya luka itu sejenak. Dan ia pun yakin bahwa kali ini ia
tidak tertipu lagi. Orang yang dihadapinya itu adalah benarbenar
orang yang terluka. Dan ia tidak mengang"gap bahwa
orang itu telah dengan sengaja melukai dirinya sendiri begitu
parah untuk menjebaknya. "Kenapa kau, Ki Sanak?" bertanya Kiai Gringsing.
"Penyamun. Kami telah dicegat di balik tikungan itu."
"Kau bertempur melawan mereka?"
"Kami ingin menyelamatkan barang kami. Tetapi kami tidak
dapat bertahan. Aku terluka dan melarikan diri. Mungkin aku
sedang mereka cari sekarang."
"Tidak sulit mencarimu. Tetesan darah di tubuhmu
membawa mereka segera datang kemari."
"Lindungi kami."
"Kami harus berkelahi melawan mereka?"
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
tatap"an matanya yang pasrah itu pun menjadi redup.
Katanya, "Apa boleh buat. Jika kalian tidak dapat melindungi
aku kare"na kalian tidak ingin terlibat dalam perkelahian, aku
tidak dapat memaksa. Nasibku sebentar lagi akan ditentukan
oleh mereka, apabila mereka menemukan jejakku."
"Mereka pasti akan menemukan. Bagaimana, Ki Sanak
dapat lari?" bertanya Kiai Gringsing.
"Kami tiba-tiba saja telah disergap. Beberapa orang dari
kami telah berkelahi. Meskipun kami berusaha keras, tetapi
kami tidak akan mampu melawan mereka. Karena itu, kami
berlari-larian ke segala arah mencari keselamatan diri kami
masing-masing. Beberapa orang penyamun telah mengejar
kami berpencaran. Sedang tiga orang di antara kami tidak
sem"pat berlari. Dan mereka masih bertahan melawan
seorang penyamun. Sedang penyamun-penyamun yang lain
mengejar kami yang berpencaran. Aku dapat menyelipkan
diriku di antara dedaunan dan kemudian lari sampai ke tempat
ini. Aku tidak tahu bagaimana nasib kawan-kawanku yang
lain." "Ada berapa orang penyamun yang mencegatmu" "
"Empat orang. Tetapi tiga orang dari kami tidak dapat
mengalahkan seorang dari mereka."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ternyata jumlah penyamun itu tidak banyak.
"Berapa jumlah kawan Ki Sanak seluruhnya?" bertanya Kiai
Gringsing kemudian. "Kami berlima, sedang rombongan yang lain berem"pat."
"Maksudmu rombongan yang lain?"
"Kami terdiri dari dua rombongan yang bersama-sama akan
pergi ke Mataram. Jumlah kami seluruhnya sembilan orang."
Kiai Gringsing masih mengangguk-angguk. Lalu ia pun
ber"tanya pula, "Kalian sembilan orang tidak dapat melawan
hanya empat orang?" "Tetapi yang empat orang itu adalah orang-orang yang luar
biasa. Ketika aku bersembunyi, aku masih melihat tiga orang
di antara kami yang terikat dalam suatu perkelahian, melawan
seorang saja dari antara mereka, karena yang tiga dari
mereka sedang berpencaran mengejar kami. Tetapi, tiga
orang kawan kami itu tidak berdaya. Mungkin mereka kini
sudah berlari pula. Atau mati."
Sejenak Kiai Gringsing memandangi wajah yang pucat itu.
Kemudian berpaling kepada Sumangkar sambil berkata, "Di
hadapan kita ada empat orang penyamun."
Sumangkar yang ada di paling belakangpun kemudian
maju mendekati Kiai Gringsing. Ia pun mengamati orang yang
terluka itu dengan saksama. Lalu katanya kepada Kiai
Gringsing, "Marilah kita berjalan terus."
"Kalian akan berjalan terus?" bertanya orang yang terluka
itu. "Ya. Kami akan berjalan terus," sahut Ki Sumangkar.
"Kalian akan membantu kami?"
"Tergantung kepada keadaan yang akan kita hadapi."
"O," orang itu menjadi sedikit kecewa.
"Sekarang," berkata Kiai Gringsing kemudian, "cobalah
mengobati lukamu itu."
"Obat apakah yang harus aku pergunakan sekarang" Aku
sama sekali tidak membawa obat apa pun juga."
Kiai Gringsing pun kemudian mengambil sebuah bum"bung
kecil, berisi obat bagi luka-luka baru. Kemudian ditaburkannya
serbuk dari bumbung itu pada luka di lambung yang cukup
panjang. Meskipun goresan itu tidak terlalu dalam, namun jika
tidak segera mendapat pengobatan, maka luka itu akan dapat
berbahaya bagi orang itu.
Orang itu menjadi terheran-heran, bahwa tanpa disangkasangka
ia telah bertemu dengan seseorang yang dapat
mengobati lukanya. Dengan demikian ia mulai bertanya-tanya
kepada diri sendiri, "Siapakah orang-orang berkuda ini?"
Namun, baru saja Kiai Gringsing selesai mengobati orang
itu, dilihatnya sesosok bayangan di kejauhan. Hanya sekilas,
karena bayangan itu segera berlindung di balik dedaunan.
Karena itu, maka Kiai Gringsing kemudian berkata, "Kita
diamati oleh beberapa orang."
"Siapa?" bertanya Ki Sumangkar yang kebetulan tidak
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melihat bayangan itu. "Apakah adi Sumangkar memperhatikan para petani yang
ada di gardu?" "Ya." "Apakah kesan yang kau dapat?"
"Aku mencurigainya. Petani-petani itu seakan-akan sedang
berisirahat. Tetapi tidak ada sawah yang dikerjakan di dekat
gardu itu." Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu
katanya, "Kita akan berhadapan dengan orang-orang yang
akan mengejar orang yang terluka ini, dan orang-orang yang
memang ditugaskan mengikuti kita."
"Ya." "Nah, tempatkan diri kalian masing-masing," berkata Kiai
Gringsing. Lalu, "Tidak menguntungkan jika kita berada di
punggung kuda di daerah yang pepat seperti ini."
Ki Sumangkar menganggukkan kepalanya.
Sejenak kemudian, maka mereka pun telah berloncatan
turun. Agung Sedayu, Swandaru dan Ki Demang Sangkal
Putung pun segera menambatkan kuda mereka, seperti juga
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar.
"Mau tidak mau perjalanan ini akan terganggu," desis Ki
Demang. "Maaf, Ki Demang," berkata Kiai Gringsing, "mudahmudahan
tidak memerlukan waktu terlalu lama."
Ki Demang pun menganggukkan kepalanya. Ia masih saja
berdiri di sisi kudanya, karena senjatanya tersangkut pada
pelana kudanya, terlindung oleh selembar kain di bawah
pelana itu. Sejenak mereka menunggu, sedang orang yang terluka itu
duduk sambil menyeringai menahan panas oleh obat yang
diberikan Kiai Gringsing pada lukanya. Namun kegelisahan di
hatinya bahkan telah mengurangi rasa sakit yang dideritanya.
"Ternyata kami tidak dapat maju lagi," bisik Ki Sumangkar
kepada orang itu, "Kami menghadapi persoal"an kami sendiri.
Mudah-mudahan kawan-kawanmu selamat."
Orang itu dapat mengerti. Karena itu maka ia pun
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun sejenak kemudian, mereka terkejut ketika mereka
mendengar derap orang berlari-lari kejar mengejar. Kemudian
muncullah seseorang yang berlari sekencang-kencangnya,
menuju ke arah mereka. "Itu seorang dari kawan kami," desis orang yang terluka itu.
Lalu sambil melambaikan tangannya ia me"manggil, "Aku di
sini." "Sst," desis Kiai Gringsing.
Orang itu terkejut mendengar desis Kiai Gringsing. Tetapi
dalam pada itu kawannya sudah mendengar dan melihatnya,
sehingga karena itu, maka dengan serta-merta ia pun berlari
mendatanginya. Sejenak kemudian muncullah orang yang mengejarnya.
Ketika orang itu melihat buruannya berlari di antara bebe"rapa
orang, maka ia pun segera berhenti.
Orang yang baru saja datang sambil berlari-lari itu
ber"henti di samping kawannya yang terluka dengan nafas
terengah-engah. Tanpa menghiraukan orang lain ia bertanya,
"Kau sudah ada di sini?"
"Ya. Aku bertemu dengan orang-orang ini."
"Ia berteriak-teriak," sahut Kiai Gringsing, "untunglah bahwa
yang mendengar suaranya adalah kami bukan orang-orang
yang mencarinya." "Aku bingung dan ketakutan."
"Kau terluka?" bertanya kawannya. Orang yang terluka itu
mengangguk. Namun dalam pada itu, orang yang mengejarnya terta"wa
sambil berkata, "Tidak ada jalan untuk lari. Karena itu, dengan
telaten kami mencari kalian seorang demi seorang."
Semua orang memandanginya dengan tajamnya. Tetapi
tidak seorang pun yang segera menyahut.
"Jika kalian keluar dari hutan ini, kalian bukan berarti
terlepas dari tangan kami," orang yang mengejar itu berkata
selanjutnya. Lalu, "Bahkan bukan saja kalian yang sudah
terlanjur berada di tangan kami, tetapi orang-orang yang baru
datang dengan mengendarai kuda itu pun tidak akan dapat
meninggalkan kami dengan selamat. Jangan menyesal bahwa
kalian telah berada di dalam kekuasaan kami. Hutan Tambak
Baya dan Mentaok adalah kerajaan kami."
"Siapakah sebenarnya kalian, Ki Sanak?" bertanya Kiai
Gringsing. "Tidak ada yang dapat mengenal kami dengan tepat. Kami
adalah orang-orang yang tidak bernama dan tidak bertempat
tinggal. Istana kami adalah hutan ini. Dan kalian telah masuk
ke dalam lingkungan kami, sehingga kalian tidak akan dapat
keluar lagi. Mungkin masih ada cara bagi kalian antuk
menyelamatkan diri, tetapi barangkali memerlukan suatu
perjanjian yang matang."
"Apa maksudmu?"
"Apakah kalian membawa harta benda" Mungkin bekal
kalian atau mungkin barang dagangan?"
"Jika tidak?" "Nyawa kalian-lah yang kami perlukan. Atau, dua orang di
antara kalian menjadi tawanan kami. Keduanya akan kami
bebaskan kemudian, jika yang lain dapat mene"busnya
dengan uang atau emas atau apa pun yang kami tentukan."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sejenak
dipan"danginya Ki Sumangkar yang berdiri sambil
menyilangkan tangan di dadanya. Sedang Agung Sedayu dan
Swandaru berdiri sebelah-menyebelah Ki Demang yang
termangu-mangu di sisi kudanya.
"Nah, apakah yang akan kalian pilih" Atau, barang"kali
kalian sekarang sudah membawa barang-barang yang
cukup?" "Jika kami membawa barang-barang yang cukup, apakah
kami dapat meneruskan perjalanan kami ke Mataram?"
bertanya Kiai Gringsing. "Tidak. Kalian boleh pergi, tetapi kalian harus kem"bali,
tidak terus ke Mataram atau kemana pun juga. Kalian hanya
dapat kembali tanpa pilihan yang lain. Sedangkan apabila
kalian tidak membawa apa-apa, dan tidak bersedia
menyerahkan dua orang sebagai tanggungan, maka kalian
semuanya akan kami bunuh."
"Apakah keberatan kalian jika kami pergi ke Mata"ram?"
"Tentu tidak ada. Tetapi kami berhak untuk menentukan
kemana kalian harus pergi, karena daerah ini adalah kerajaan
kami. Apa yang kami katakan harus kalian laku"kan."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas
di pandanginya dua orang yang berhasil melepaskan diri dari
tangan para perampok itu, dan kini ada di antara
rombong"annya. Namun sekilas terbayang tiga orang yang
berusaha berkelahi mati-matian, tetapi tidak berhasil
mengalahkan hanya seorang lawan.
Tetapi menurut perhitungan Kiai Gringsing, jika orangorang
itu berhasil melarikan diri, maka mereka pasti akan
sampai ke tempat ini karena jalan ini adalah jalan keluar dari
hu"tan Tambak Baya, kecuali mereka yang tersesat dan
kehilangan arah. Karena itu, maka Kiai Gringsing sengaja
memperpanjang waktu sambil menunggu orang-orang lain
yang mungkin akan berdatangan.
"Ki Sanak," berkata Kiai Gringsing, "kenapa kalian
mengganggu perjalanan kami dan perjalanan rombonganrombongan
yang lebih dahulu dari kami" Jika kalian sekedar
penyamun yang memerlukan harta benda, maka kalian tentu
akan berkeberatan jika kami berjalan terus ke Mataram."
"Kami bukan orang yang paling bodoh di muka bumi,"
jawab orang itu, "tentu kalian dapat berceritera kepa"da
orang-orang Mataram tentang kami."
"Apakah jika kami kembali ke asal kami, kami tidak dapat
berceritera tentang kalian?"
"Aku tidak peduli. Dan mereka yang mendengar ceriteramu
itu, tidak akan berani lewat jalan ini pergi ke Mata"ram."
"Apakah dengan demikian kalian tidak kehilangan mata
pencaharian" Bukankah semakin banyak orang yang lewat,
rejeki kalian menjadi semakin banyak?"
Wajah orang itu menegang sejenak. Namun kemudian ia
pun tertawa, "Kalian cukup cerdas. Tetapi sayang, bahwa aku
tidak peduli pada pendapat kalian itu."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dipandanginya wajah orang yang belum dikenalnya itu
sejenak. Ternyata wajah itu menyimpan ungkapan sikap yang
ke"ras dan kasar. "Ki Sanak," berkata Kiai Gringsing kemudian, "apakah
sebenarnya maksud kalian dengan tingkah laku ka"lian di
hutan Tambak Baya ini" Manakah yang lebih penting bagi
kalian, menyamun untuk mendapatkan harta benda, atau
menahan arus manusia yang mengalir ke Mataram?"
Orang itu mengerutkan keningnya. Dan kembali wajah"nya
menegang. Katanya, "Terlalu banyak yang ingin kau ketahui.
Sekarang, apakah kau membawa barang-barang berhar"ga?"
Kiai Gringsing memandang ke tikungan. Masih belum ada
orang lain yang datang. Karena itu ia masih menco"ba
memperpanjang waktu, "Apakah sebenarnya yang kau
maksud dengan barang-barang berharga" Pakaian atau
uang." "Apa saja. Pakaian, uang, emas atau intan berlian atau
kuda-kudamu yang tegar itu."
"Yang jelas dapat kau lihat adalah kuda-kuda kami. Tetapi
sayang, bahwa kuda kami akan kami pakai untuk
me"neruskan perjalanan. Apakah ada yang lain yang kau
ke"hendaki?" "Nyawa kalian. Memang sebaiknya nyawa kalian. Ji"ka
kalian mati terbunuh, maka semua barang yang kalian bawa
akan menjadi milik kami. Juga kuda-kuda itu."
"Kau hanya seorang diri. Kami berlima dan sekarang
bertujuh, meskipun yang seorang telah terluka. Tetapi, ia
masih mampu berkelahi melawanmu."
Tiba-tiba saja orang itu tertawa terbahak-bahak. Katanya,
"Kau sangka aku hanya seorang diri?"
Kiai Gringsing masih belum menjawab ketika tiba-tiba saja
ia melihat seseorang berlari-lari. Tetapi langkahnya tertegun
sejenak ketika ia melihat sekelompok orang yang berdiri di
jalan sempit itu. Dan ternyata orang itu adalah salah seorang dari kawankawan
orang yang terluka itu, sehingga sekali lagi ia
memanggil sambil melambaikan tangannya, "Aku di sini."
Dengan ragu-ragu orang itu mendekat. Ternyata di
belakangnya diikuti oleh seorang lagi.
"Kemarilah," berkata orang yang terluka itu. Penyamun
yang mengejar orang-orang itu pun memandang kedua orang
yang datang itu. Katanya kemudian, "Baik"lah, kalian
berkumpul di sini. Dengan demikian kami akan lebih mudah
menyelesaikannya." Kiai Gringsing memandang kedua orang yang datang itu
sejenak. Ketika keduanya sudah dekat, ia pun bertanya,
"Dimana kawan-kawanmu?"
Kedua orang itu menggeleng. Salah seorang menjawab,
"Aku tidak tahu."
"Kami akan mencari mereka," penyamun itulah yang
menyahut. Lalu diletakkannya jari-jarinya ke dalam mu-lutnya.
Ketika ia meniup, terdengarlah suara suitan yang nyaring,
yang gemanya seakan-akan memenuhi Hutan Tambak Baya.
"Apa yang akan kau lakukan?" bertanya Kiai Gringsing.
"Aku memanggil kawan-kawanku."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Ketika ia
me"nebarkan pandangannya, dilihatnya beberapa sosok
baya"ngan yang bergerak-gerak. Kemudian muncullah
beberapa orang mendekati mereka. Empat orang lagi.
Tetapi selain empat orang itu, masih ada lagi seorang yang
datang sambil mendorong dua orang yang sudah ti"dak
berdaya. Bahkan yang seorang agaknya telah terluka,
meskipun tidak parah. "Itu kawan kami," desis orang yang terluka.
"Ya." sahut yang lain.
"Mereka adalah kawan-kawanmu," berkata penyamun itu.
Lalu, "Kumpulkan mereka di sini," katanya lantang ke"pada
kawannya yang mendorong kedua orang itu dengan
Punggung tombak pendeknya.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Lalu, "Mereka akan
berkumpul lagi dan kami harus berkelahi lagi."
"Kumpulkan mereka. Kami tidak akan membuat kesalahan
serupa, membiarkan orang-orang semacam mereka itu berlari
bercerai-berai. Kami akan mengepung mereka dan
membunuh mereka di dalam lingkaran kepungan kami.
Ke"cuali jika mereka dapat memenuhi syarat-syarat kami."
"Tidak akan dapat mereka penuhi," berkata yang baru
datang sambil mendorong kedua tawanannya, "sebaiknya
mereka dibunuh saja."
"Kami akan membunuh mereka beramai-ramai. Ada
bera"pa orang yang sudah terkumpul?"
Tidak ada seorang pun yang menjawab. Tetapi orang itu
telah menghitungnya dan bergumam, "Enam orang. Masih ada
tiga orang yang belum kami ketemukan."
"Yang seorang sudah mati. Aku berkelahi melawan tiga di
antara mereka. Inilah yang dua. Hampir saja aku
membunuhnya. Tetapi aku mendengar isyaratmu."
"Apakah kau berada dekat sekali dari tempat ini?"
"Aku menggiring orang ini. Maksudku, mereka akan kami
bawa keluar hutan ini dan menggantungkan tubuh"nya di
mulut lorong, sampai keduanya mati dengan sendiri"nya.
Keduanya adalah orang yang paling sombong yang pernah
aku temui." Yang mendengar kata-kata itu menjadi ngeri. Agaknya
me"reka adalah orang-orang yang dapat membunuh dengan
hati yang dingin, seperti mereka sedang menebas pohon
pisang yang sedang berbuah.
"Nah," berkata penyamun yang bersuit itu, "kum"pulkan
mereka. Apa masih ada yang lain?"
"Mudah-mudahan yang lain belum terbunuh. Kawan-kawan
ka"mi sedang mencari mereka."
Penyamun itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak
ia memandang ke tikungan. Seakan-akan ia pun sedang
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menunggu kawan-kawannya yang lain. Karena tidak seorang
pun yang tam"pak, maka sekali lagi ia bersuit lebih keras lagi.
Dari kejauhan terdengar suara suitan yang serupa.
Agaknya kawan-kawannya mendengar isyaratnya dan
menjawab isyarat itu dengan suitan pula.
Beberapa saat mereka menunggu. Kiai Gringsing ma"sih
tetap berdiri di tempatnya. Demikian pula Ki Sumangkar, Ki
Demang, Agung Sedayu dan Swandaru. Sedang orang-orang
yang berdatangan kemudian menjadi semakin gelisah
ka"renanya. Sejenak kemudian, muncullah dua orang yang lain,
ham"pir berbareng. Yang seorang menggiring seorang
tawanan yang sudah hampir tidak dapat berjalan lagi, sedang
yang lain datang seorang diri.
"Nah, kumpulkan mereka," berkata penyamun yang
pertama-tama datang, yang agaknya adalah pemimpin
mereka. "Buat apa?" bertanya yang menggiringnya.
"Kami akan membunuh beramai-ramai. Semuanya ada
tu"juh orang ditambah dengan lima. Dua belas orang." orang
itu berhenti sejenak. Lalu, "Manakah yang seorang?"
"Belum kami ketemukan. Ia pasti bersembunyi di dalam
hutan. Tersesat atau keluar lewat belukar. Tetapi ia tidak akan
dapat hidup. Jika ia keluar hutan, maka ia akan ditangkap
juga, sedang apabila ia masih tetap ada di dalam hutan yang
lebat, maka ia akan menjadi mangsa binatang buas nanti
malam." Pemimpin penyamun itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Lalu katanya, "Jika demikian, kita tidak
menunggunya. Berapa orangkah kita semuanya?"
Para penyamun itu menghitung jumlah mereka sendi"ri.
Lalu, "Delapan orang."
Pemimpin penyamun itu masih meng-angguk-anggukkan
ke"palanya. Katanya, "Baiklah. Kami semua ada delapan
orang. Yang kita hadapi lima orang, dengan tujuh orang yang
sudah hampir mati." "Yang sudah lelah silahkan beristirahat," berkata seorang
penyamun yang lain, "kami masih segar dan sen"jata kami
belum bernoda darah. Kami berempatlah yang akan
menyelesaikan semuanya."
"Aku belum membunuh!" teriak yang lain, yang da"tang
seorang diri. "Aku akan ikut beramai-ramai sekarang."
"Semua akan ikut," jawab pemimpin penyamun itu, "tetapi
aku ingin kepastian, apakah orang-orang berkuda itu mau
memenuhi permintaan kami?"
Para penyamun itu terdiam.
"Bagaimana, Ki Sanak?" bertanya pemimpin penya"mun itu
kepada Kiai Gringsing, "Bawalah kepada kami beberapa
keping emas dan perak. Kami memberi waktu dua hari dengan
dua orang tanggungan. Tanggungan yang ka"mi pilih adalah
kedua anak-anak muda itu."
"Ah," desah Kiai Gringsing, "tentu tidak mungkin. Mereka
adalah cucu-cucu kami yang akan melanjutkan
kelang"sungan hidup nama kami."
"Terserahlah kepada kalian. Jika kalian membawa emas
itu, maka keduanya akan kami bebaskan."
"Kami agak kurang percaya menilik sikap dan kata-kata
kalian. Jika kami datang membawa tebusan, maka kami pun
pasti akan kalian bunuh."
Pemimpin penyamun itu mengerutkan keningnya. Na"mun
ia pun kemudian tertawa berkepanjangan. Katanya, "Kau
terlampau berprasangka, kakek tua. Jika demikian, maka tidak
ada pilihan lagi dari kalian selain mati. Kami, yang delapan
orang ini akan beramai-ramai membunuh kalian. Melawan
atau tidak melawan."
"Itu tidak berperikemanusiaan."
"Kami memang tidak berperikemanusiaan. Tetapi tidak
apalah. Agaknya cukup menyenangkan berburu manusia
seperti kalian. Nah, apakah kalian bersenjata?"
Kiai Gringsing menggeleng. Jawabnya, "Kami tidak
bersenjata." "Kalau begitu, kami akan memberi kalian senjata. Pedang
atau tombak atau senjata apakah yang kalian pi"lih?"
Kiai Gringsing terdiam sejenak. Namun tiba-tiba ia
ber"kata, "Bukankah yang berdiri di sana itu, petani yang
du"duk di gardu ketika aku lewat?"
Orang yang ditunjuk Kiai Gringsing itu tersenyum.
Ka"tanya, "Kau masih dapat mengenali aku. Ingatanmu baik
sekali, Kakek. Aku memang yang tadi duduk di gardu itu.
Tetapi aku bukan petani seperti yang kau sangka. Aku
ada"lah salah seorang dari penyamun-penyamun yang
kebetulan sudah lama ingin memiliki seekor kuda yang tegar
seperti kuda"mu itu."
"Kalian adalah penjahat-penjahat yang licik. Tentu penjual
makanan itu pun kawanmu pula. Ia-lah yang menjerumuskan
kami lewat jalan ini. Ternyata kalian sudah menunggu kami di
sini. Orang itu memang berusaha menjebak kami."
Hampir berbareng penyamun-penyamun itu tertawa,
Pemimpin"nya berkata, "Kau menyenangkan sekali, Kakek
tua. Sayang sebentar lagi kau akan mati. Tetapi sebaiknya
kau mati paling akhir. Aku senang mendengar kau berkicau
seperti seekor burung."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Tetapi tanpa
diduga-duga, ternyata Swandaru tidak lagi dapat menahan
perasaannya. Tiba-tiba saja dengan lantang ia menjawab.
"Ka"lian akan kecewa. Meskipun Kakek ini sebangsa burung,
te-tapi bukan jenis burung berkicau. Kakek ini adalah se"ekor
burung kedasih, yang suaranya menggemakan kematian.
Nah, apakah kalian siap untuk mati?"
Kata-kata Swandaru itu memang mengejutkan sekali.
Bah"kan Kiai Gringsing sendiri pun terkejut karenanya. Tetapi
sifat-sifat itulah memang yang menonjol pada muridnya yang
gemuk itu. Sejenak, para penyamun yang berdiri bertebaran itu
menjadi termangu-mangu. Seakan-akan mereka tidak percaya
pada pendengarannya, bahwa anak muda yang gemuk itu
telah berkata tentang kematian. Bukan kematian orang-orang
yang ketakutan itu, tetapi kematian para penyamun.
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar sudah tidak dapat
mencegah lagi. Agaknya benturan yang keras akan segera
terjadi. Salah seorang dari penyamun itu ternyata tidak dapat
dilawan oleh tiga orang sekaligus, bahkan salah se"orang dari
ketiga lawannya itu telah terbunuh dan yang dua lainnya,
dikuasainya dengan mutlak. Dan sekarang yang ada di
sekitarnya adalah delapan orang penyamun. Sedang
rombongan Kiai Gringsing bersama orang-orang yang seakanakan
sudah tidak berdaya lagi itu berjumlah lima dan tujuh
orang. Namun yang tujuh orang itu sama sekali sudah tidak
bersenjata. Dalam pada itu, penyamun-penyamun itu pun telah
bergeger maju. Ternyata kata-kata Swandaru itu membuat
mereka marah. Pemimpin penyamun itu pun kemudian
berkata, "Ja"di kalian benar-benar akan melawan?"
Kiai Gringsing-lah yang cepat-cepat menjawab, "Apakah
kalian benar-benar akan memberi senjata kepada kami, agar
kalian mendapat perlawanan yang kalian kehendaki" Berilah
senjata itu jika benar-benar kalian ingin berkelahi."
Wajah pemimpin penyamun itu menjadi merah. Tiba-tiba ia
berteriak, "Hati-hatilah! Orang-orang ini ternyata lebih
sombong dari orang-orang yang baru saja kalian hancurkan
itu.?" "Berikan kami senjata, terutama orang-orang yang baru
saja kalian kalahkan. Agaknya kalian telah melucuti
Jago Kelana 14 Cinta Aishah Karya Mohd Faizul Bin Ali Misteri Elang Hitam 2
masalah yang harus dihadapinya di Jati Anom, sehingga
mereka pun minta diri kepada Untara dan Widura untuk
kembali ke Sangkal Putung.
"Kenapa di Sangkal Putung?" Tetapi Untara masih saja
bertanya, "Bukankah bagi Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar,
Sangkal Putung dan Jati Anom tidak ada bedanya, dan
bahkan bagi Agung Sedayu, Jati Anom adalah kampung
kelahirannya sedang Swandaru pun tidak akan berkeberatan
untuk hilir-mudik karena gurunya berada di sini, dan jaraknya
pun tidak begitu jauh?"
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Sebenarnyalah bahwa
bagiku tidak ada bedanya. Apakah aku berada di Sangkal
Putung, Jati Anom, atau kembali kepondokku yang barangkali
sekarang sudah hampir roboh di Dukuh Pakuwon. Tetapi
sebaiknya aku pergi ke Sangkal Putung lebih dahulu.
Seterusnya, Dukuh Pakuwon adalah tempat yang paling baik
bagiku. Ada sebidang tanah, sebuah gubug kecil dan
tetangga-tetangga yang baik. Mereka mengenal aku sebagai
seorang dukun bernama Tanu Metir."
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tetapi pada suatu saat, Agung Sedayu tentu akan
memerlukan Anakmas Untara dan Widura. Ia pun sudah
menjadi dewasa sekarang."
"Tentu kami tidak akan berkeberatan. Adalah kuwajibanku
untuk melayani kepentingan Agung Sedayu, apalagi setelah
aku berpengalaman. Paman Widura pun pasti akan dengan
senang hati melakukannya, karena Agung Sedayu dan aku
tidak ada bedanya bagi Paman Widura dalam hubungan
keluarga." Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu,
"Tetapi di samping Agung Sedayu, masih ada lagi yang harus
kami selesaikan dalam hal yang serupa."
"Siapa?" "Swandaru." "He, kau juga?"
"Kami harus pergi ke Menoreh."
"Jauh sekali. Itulah sebabnya kalian berada di sana dalam
waktu yang lama. Aku memang pernah mendengar, tetapi
sekedar desas-desus. Kini Adi Swandaru tidak membantah."
Swandaru hanya menarik nafas dalam-dalam.
"Selain hal itu," berkata Kiai Gringsing, "jika aku pergi ke
Menoreh, maka aku akan dapat singgah menemui Ki Lurah
Branjangan. Tetapi mungkin sebelum aku menemuinya ia
sudah datang kembali ke Jati Anom. Seperti yang
dipesankannya, ia ingin membawa satu atau dua orang
tawanan itu. Ia harus meyakinkan kepada Raden Sutawijaya
bahwa hal itu telah benar-benar terjadi."
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu ia pun
bertanya, "Jadi menurut Kiai, ada gunanya jika satu dua orang
dari mereka dibawa ke Mataram?"
"Ada. Kedua belah pihak menyadari bahwa ada pihak
ketiga yang sengaja menjauhkan jarak antara Pajang dan
Mataram. Dan hal itu sangat berbahaya, baik bagi Mataram
mau pun bagi Pajang."
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun
mengakui bahwa yang terjadi itu berbahaya sekali seandainya
tidak seorang pun yang dapat menjelaskan apa yang
sebenarnya mereka hadapi. Karena itu maka katanya,
"Baiklah Kiai. Jika demikian, apabila Ki Lurah Branjangan
segera kembali, aku akan menyerahkan satu dua orang
kepadanya, agar ia dapat membawanya kepada Raden
Sutawijaya." "Ya. Mudah-mudahan Sutawijaya pun menyadari, sehingga
ia ikut menjaga agar antara Pajang dan Mataram pada suatu
saat akan terjalin pengertian yang mendalam."
"Ya," sahut Untara.
"Dengan demikian maka Mataram dan Pajang akan
menghormati kedudukan mereka masing-masing."
Untara mengerutkan keningnya. Lalu katanya, "Ya.
Mataram dan Pajang harus menghormati kedudukan mereka
masing-masing. Mataram harus merasa bahwa Mataram
berada di bawah lingkungan kesatuan Pajang yang besar, dan
Pajang pun merasa wajib melindungi kesatuan itu. Itulah yang
disebut saling menghormati dalam kedudukan masing-masing.
Sikap yang lain daripada itu, tidak akan dapat diterima."
Sesuatu berdesir di dada Kiai Gringsing. Namun ia pun
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, "Ya
begitulah." "Tidak ada kemungkinan lain, Kiai. Demikian juga jika
orang-orang itu dibawa menghadap Raden Sutawijaya. Orangorang
itu akan meyakinkan bahwa sebenarnya ada pihak yang
ingin mendorong Mataram untuk menjauh dari Pajang.
Dengan tidak langsung mereka membuat kesan bahwa
Mataram sudah memberontak. Karena itu Mataram harus
dapat menunjukkan kesetiaannya kepada Pajang, agar usaha
pihak ketiga untuk menumbuhkan kesan pemberontakan itu
dapat dilenyapkan." Kiai Gringsing mengangguk-angguk pula. Ia tidak dapat
bersikap lain di hadapan Untara. Untara adalah seorang
Senapati yang berdiri di atas segala macam sikap. Ia adalah
seorang prajurit yang utuh. Karena itu, maka Kiai Gringsing
tidak akan dapat berbicara dengan Untara selain
mendengarkan pendapatnya sebagai seorang Senapati.
"Kiai," berkata Untara kemudian, "alangkah besar jasa Kiai
Gringsing, jika Kiai dapat mempergunakan pengaruh Kiai
untuk memberikan kesadaran kepada Raden Sutawijaya
bahwa sikapnya selama ini memang dapat menimbulkan
kesan yang kurang baik bagi Pajang. Menurut keterangan
yang aku dengar, karena ia terlampau sibuk maka Raden
Sutawijaya itu belum sempat menghadap Sultan di Pajang
yang kebetulan adalah ayah angkatnya sendiri. Ayah angkat
yang sangat mengasihinya. Selain hal itu kurang baik bagi
seorang pejabat tinggi di Pajang yang mendapat wewenang
atas Mataram, juga kurang baik bagi seorang anak yang setia
dan mengenal terima kasih kepada ayahnya."
Kiai Gringsing masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun terasa dadanya menjadi berdebar-debar. Ketika ia
memandang kedua muridnya dengan sudut matanya, maka
dilihatnya wajah Swandaru yang agak berkerut, sedang Agung
Sedayu berusaha untuk tidak memberikan kesan apa pun
mendengar kata-kata Untara itu.
Kiai Gringsing tidak mengetahui, perasaan apakah yang
bergejolak di dada Sumangkar. Seorang tua yang pernah
berada di pihak Jipang ketika perang antara Jipang dan
Pajang pecah. Namun yang kemudian mendapat
pengampunan dan bahkan seluruh kebebasannya kembali,
karena ternyata ia tidak begitu banyak terlibat dalam
perlawanan atas Pajang. Apalagi setelah pasukan Jipang
tercerai berai. "Baiklah, Anakmas Untara," berkata Kiai Gringsing, "aku
akan menyampaikan semua pesan itu jika kelak aku pergi ke
Menoreh. Atau jika aku diminta ikut pergi ke Menoreh. Yang
penting harus pergi ke Menoreh adalah ayah Swandaru.
Mungkin ia tidak dapat pergi berdua dengan Nyai Demang
karena perjalanan yang jauh dan sulit. Sehingga Ki Demang
agaknya akan mengajak kawan lain selama perjalanan."
"Terima kasih, Kiai. Aku kira Raden Sutawijaya adalah
seorang yang berjiwa besar. Demikian juga Ki Gede
Pemanahan. Kelambatan saat menyerahkan Alas Mentaok
yang dijanjikan tentu tidak akan menimbulkan kegusaran di
dalam hati. Sedang sebenarnya kelambatan itu pun didasari
pada perasaan kasih Sultan Pajang kepada putera angkatnya
itu. Sultan Pajang akan menyerahkan bumi Mentaok kepada
Raden Sutawijaya setelah bumi Mentaok menjadi ramai.
Tetapi Ki Gede Pemanahan agaknya salah paham dan
memaksa Sultan untuk segera menyerahkannya."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya Kiai Gringsing berkata,
"Aku akan berusaha mengatakan hal ini langsung kepada
Raden Sutawijaya kelak."
"Terima kasih, Kiai. Hormatku kepada Ki Gede Pemanahan
dan Raden Sutawijaya disertai ucapan terima kasih yang tidak
terhingga atas pemberiannya. Mudah-mudahan Mataram tidak
menyulitkan kedudukanku sebagai seorang senapati yang
langsung beradu hidung dengan daerah baru yang dibuka itu.
Pada saat yang tepat tentu kami akan datang ke Mataram
memberikan perlindungan jika Mataram benar-benar ada di
dalam bahaya. Selama ini Mataram masih mampu
mengatasinya sendiri, dan membinasakan Kiai Damar dan
Kiai Telapak Jalak dengan bantuan Kiai. Jika perlu kami akan
ikut menyingkirkan bahaya yang lebih besar dan berada di luar
kemampuan Mataram untuk mengatasinya."
Kiai Gringsing masih juga mengangguk, "Baiklah,
Anakmas. Aku akan menyampaikan semua pesan itu. Dan
aku pun mengharap agar semua persoalan dapat teratasi
dengan baik. Soal yang menyangkut kepentingan bagi kedua
belah pihak dalam kedudukannya masing-masing."
Demikianlah maka akhirnya Kiai Gringsing dan kedua
muridnya dan Sumangkar pun mohon diri. Mereka minta diri
pula untuk pergi ke Menoreh pada suatu saat yang baik. Jika
mereka tidak ada waktu, maka mereka tidak akan singgah
dahulu ke Jati Anom. "Kau harus segera kembali, Agung Sedayu," berkata
Untara. "Jika kau memang akan segera kawin, kau jangan
terus-menerus bertualang. Isterimu tentu tidak akan cukup kau
tinggal menjelajahi tanah ini. Kau harus mapan dan
mempunyai kedudukan yang baik. Bukan berarti kau harus
menjadi seorang perwira tinggi sekaligus, tetapi kedudukan
yang bagaimana pun rendahnya, asal kau mempunyai
kemungkinan yang terang di hari mendatang."
"Baik, Kakang," sahut Agung Sedayu, setuju atau tidak
setuju. "Dan Adi Swandaru pun aku harapkan agar segera berada
di kademangannya kembali. Sangkal Putung akan tetap
merupakan daerah yang penting dipandang dari segala segi
sesuai dengan letaknya dan daerahnya yang subur."
"Ya, ya," sahut Swandaru pula, "aku akan segera kembali."
"Apakah Ki Sumangkar akan ikut pergi Ke Menoreh?"
bertanya Untara kemudian.
"Aku tidak tahu, Anakmas. Tergantung Ki Demang di
Sangkal Putung. Apakah aku akan dibawanya atau tidak."
"Apakah Ki Sumangkar sudah menjadi bebahu
Kademangan Sangkal Putung?"
Ki Surnangkar mengerutkan keningnya. Namun sambil
mengangkat wajahnya ia berkata, "Bukan, Anakmas, tetapi
aku sekarang sudah dianggap keluarga sendiri oleh Ki
Demang, apalagi aku memang sudah lama berada di
rumahnya." Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, "Baiklah.
Selamat jalan. Jangan lupa, apabila kalian singgah di
Mataram, hormatku bagi Ki Gede Pemanahan dan Raden
Sutawijaya serta ucapan terima kasih yang tidak terhingga.
Dan sebagai seorang senapati aku akan selalu bersedia
melindungi daerah itu dari kesulitan apabila diperlukan."
"Baiklah, Anakmas," berkata Kiai Gringsing, "mudahmudahan
Jati Anom pun selalu aman dan tenteram. Mudahmudahan
peristiwa yang mengejutkan itu tidak terulang
kembali." "Kami akan selalu bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Tetapi kami mengucapkan terima kasih atas
segala bantuan Kiai, dan terutama bahwa Kiai seolah-olah
telah menyelamatkan Jati Anom dalam suasana yang tetap
tenang, karena di Jati Anom sedang berlangsung perhelatan.
Tanpa perhelatan itu, Jati Anom tidak akan gentar dilanda oleh
huru-hara yang bagaimana pun ricuh dan ributnya. Namun
demikian, mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu apa pun lagi
di daerah ini. Tidak terganggu oleh orang yang mengaku
berasal dari Mataram dan oleh orang-orang Mataram yang
sebenarnya." Orang-orang yang mendengarkan kata-kata Untara itu
hanya menarik nafas dalam-dalam. Mereka sadar bahwa
mereka berbicara dengan seorang prajurit. Setelah beberapa
hari Untara melampaui hari-hari perkawinannya, ia telah
berdiri di atas landasannya semula. Seorang senapati yang
bertugas di daerah Selatan dari Kerajaan Pajang.
Demikianlah maka Kiai Gringsing bersama kedua muridnya
dan Ki Sumangkar pun meninggalkan Jati Anom. Meskipun
Untara sudah menjadi semakin banyak tertawa dan bergurau,
tetapi ia masih tetap seorang perwira.
Kedatangan Kiai Gringsing dan rombongan kecilnya di
Sangkal Putung telah disambut dengan gembira oleh Ki
Demang. Dengan serta-merta mereka pun segera
dipersilahkan naik ke pendapa.
"Aku kira Kiai berdua serta kedua anak-anak muda itu akan
segera kembali," berkata Ki Demang.
"Kami terpaksa memenuhi permintaan Anakmas Untara
untuk tinggal di Jati Anom beberapa hari Ki Demang."
"Ketika aku pulang dari Jati Anom, aku tidak segera pergi
melakukan tugas hari itu, karena aku menyangka bahwa
kalian akan segera menyusul. Ternyata kalian kembali
beberapa hari kemudian."
Kiai Gringsing hanya tersenyum saja. Sedang Swandaru
berkata, "Sebenarnya kami juga akan segera pulang, Ayah.
Tetapi ternyata dapur Paman Widura masih terus berasap."
"Pantas," desis seseorang dari dalam pintu. Swandaru
berpaling. Meskipun ia tidak melihat seseorang tetapi ia tahu
bahwa suara itu suara Sekar Mirah.
"He, kau iri ya?"
Sekar Mirah menjengukkan kepalanya, katanya, "Kenapa
aku iri" Apa yang aku irikan" Jika aku tidak mengingat sopan
santun aku pulang sebelum pengantin didudukkan di depan
sentong tengah." "Kenapa?" "Tidak seorang pun menghiraukan kedatangan kami seperti
yang aku duga. Hanya isteri-isteri perwira sajalah yang
dipersilahkan duduk. Ayah pun tidak mendapat tempat yang
baik meskipun Ayah datang jauh sebelum pengantin siap."
"Ah," sahut ayahnya, "aku duduk bersama Ki Demang di
Jati Anom. Dalam perhelatan, semua orang sibuk dan sudah
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
barang tentu mereka tidak dapat menemui tamunya seorang
demi seorang." "Ki Demang tidak jadi bermalam di Jati Anom," bertanya
Agung Sedayu memotong. "Aku sibuk sekali dengan pekerjaan yang bertimbuntimbun.
Bendungan yang belum selesai, perluasan tanah
pertanian mendesak hutan sebelah Barat karena terasa
daerah kami menjadi semakin padat, dan gangguan-gangguan
keamanan yang mulai terasa meskipun tidak
menggelisahkan." Swandaru mengerutkan keningnya. Jawaban ayahnya
terasa aneh di telinganya. Apakah hal yang dikatakan oleh
ayahnya itu tiba-tiba saja telah tumbuh menjadi sesuatu
persoalan yang gawat di Sangkal Putung. Semua yang
dikatakan oleh ayahnya itu memang pernah didengarnya.
Tetapi kini ayahnya menyebut bahwa persoalan itu merupakan
persoalan yang membuatnya terlampau sibuk.
"Agaknya Sekar Mirah-lah yang memaksa ayah tidak
bermalam di Jati Anom. Mungkin Paman Widura tidak sempat
mempersilahkan mereka karena kesibukannya menerima
tamu-tamu yang lain," berkata Swandaru di dalam hatinya.
"Tetapi bukankah hal itu wajar di dalam suatu perhelatan?"
Tetapi Swandaru tidak mengatakannya. Bahkan kemudian
ia berkata kepada diri sendiri, "Untunglah bahwa ayah pun
menyadari hal itu. Tetapi yang penting bagi Sekar Mirah,
Kakang Agung Sedayu yang sibuk pula mengatur jamuan di
belakang, tidak sempat menemui Sekar Mirah dan
mempertemukannya dengan mempelai perempuan."
Namun Swandaru itu pun tersenyum di dalam hati. Ia
sadar, bahwa dalam tingkat hubungan antara Agung Sedayu
dan Sekar Mirah dapat menimbulkan persoalan-persoalan
yang aneh-aneh, seperti ceritera anak-anak muda yang
kemudian sudah berkeluarga, di dalam pertemuan-pertemuan
dan di dalam pembicaraan sambil bergurau di gardu-gardu
perondan. "Mungkin aku akan menghadapi persoalan yang serupa.
Jika Pandan Wangi merajuk karena aku terlampau lama tidak
datang ke Menoreh, aku akan menjadi pening," gumam
Swandaru di dalam hati. Dan tiba-tiba saja ia menjadi gelisah. Sudah terlampau
lama tidak mendengar berita tentang Menoreh. Dan sudah
terlalu lama hubungannya dengan Menoreh seakan-akan
terputus. "Hantu-hantu di Mentaok itulah yang gila, sehingga aku
tertahan di sana untuk waktu yang cukup lama. Mungkin
Pandan Wangi menganggap aku tidak datang lagi kepadanya,
atau ayahnya mengambil keputusan lain. Mungkin ada anak
muda Menoreh sendiri yang berhasil mengambil alih
persoalanku dengan Pandan Wangi," Swandaru menjadi
berdebar-debar memikirkan masalahnya itu. Namun ia tidak
segera dapat mengatakannya pada saat itu.
"Tetapi semuanya sudah selesai. Tidak ada lagi persoalan
yang akan menghambat. Mudah-mudahan Ki Gede Menoreh
tidak menganggap bahwa aku sudah mati di perjalanan."
Demikianlah, persoalan itu pun merupakan persoalan yang
selalu mendebarkan hati Swandaru. Seolah-olah ia tidak sabar
lagi menunggu hari-hari berikutnya untuk pergi ke Menoreh.
Bahkan ia berkata di dalam hatinya, "Jika ayah merasa
terlampau sibuk dan tidak dapat bermalam di Jati Anom untuk
semalam saja, apakah ayah juga akan berkeberatan untuk
segera pergi ke Menoreh."
Tetapi Swandaru tidak dapat mengatakan hal itu langsung
kepada ayahnya. Karena itu, ketika mereka kemudian
beristirahat di gandok, Swandaru mengatakan hal itu kepada
gurunya. Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Baiklah, aku akan mengatakannya kepada ayahmu.
Mudah-mudahan ayahmu dapat meninggalkan kesibukannya
barang dua pekan untuk pergi ke Menoreh menghadap Ki
Gede Menoreh itu. Kau benar, jika hubungan ini terlalu lama
terputus, mungkin Ki Argapati mengambil sikap lain."
"Terima kasih, Guru. Aku segan mengatakannya kepada
ayah langsung. Lagipula, ayah tentu akan lebih
memperhatikan kata-kata Guru daripada permintaanku
sendiri." Kiai Gringsing hanya mengangguk-anggukkan kepalanya
saja. Tetapi ia tidak dapat ingkar, bahwa hal itu merupakan
kuwajibannya pula, karena muridnya bagi Kiai Grmgsing tidak
ada bedanya dengan anaknya sendiri. Sedang kedua
muridnya itu kini sedang menghadapi masalah yang serupa.
"Tetapi persoalan Agung Sedayu sudah lebih jelas dari
persoalan Swandaru. Meskipun secara resmi Anakmas Untara
dan Widura belum datang menemui Ki Demang dan
membicarakan masalah anaknya, namun agaknya orang tua
Sekar Mirah sudah menerima persoalan itu seluruhnya.
Persoalan yang menyusul adalah sekedar hubungan resmi,"
berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
Karena itu, maka Kiai Gringsing pun berusaha untuk
mendapatkan waktu yang sebaik-baiknya. Di sore hari, ketika
mereka sudah menyelesaikan semua pekerjaan, dan sesudah
membersihkan diri, mereka pun duduk di pendapa bersama Ki
Demang dan Ki Sumangkar, di bawah nyala lampu minyak
yang berkeredipan disentuh angin.
Sejenak mereka berbicara tentang Kademangan Sangkal
Putung, tentang musim dan tentang tanaman yang subur di
sawah dan pategalan. Barulah pembicaraan mereka mulai merayap kepada anakanak
muda di Sangkal Putung, dan kemudian mereka pun
berbicara tentang Swandaru.
Kiai Gringsing tidak mau kehilangan kesempatan itu.
Karena itu, maka ia pun segera mengulangi pembicaraan
yang pernah disampaikan meskipun hanya sepintas, bahwa
Swandaru telah membuat hubungan dengan seorang gadis di
Menoreh, putera Ki Argapati, kepala Tanah Perdikan
Menoreh. Ki Demang pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
Persoalan itu sedikit banyak sudah pernah didengarnya.
Namun ia masih memerlukan banyak sekali penjelasan.
"Apakah Ki Argapati benar-benar tidak berkeberatan, Kiai?"
bertanya Ki Demang. "Hal itu harus aku yakini sebelum aku
berangkat, agar aku tidak sia-sia pergi menempuh jarak yang
jauh, meninggalkan kademangan yang sedang berusaha
mengembangkan diri di segala bidang ini?"
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Alasan Ki
Demang sebenarnya tentu bukan kesibukannya di segala
bidang karena perkembangan Sangkal Putung, tetapi jika Ki
Argapati menolak lamaran yang disampaikannya, maka
hatinya pasti akan menjadi sangat sakit. Apalagi ia datang dari
jauh. Kiai Gringsing itu pun kemudian mengangguk-anggukkan
kepalanya sambil berkata, "Pertanyaan itu wajar tumbuh pada
Ki Demang. Apabila kedatangan kita tidak membawa hasil,
maka alangkah sakitnya hati ini. Namun jika kita tilik dari
kewajaran hidup, kita memang mempunyai dua kemungkinan
untuk setiap permintaan. Diterima atau ditolak. Sudah barang
tentu Ki Demang baru dapat mengambil kepastian setelah
menyatakan permintaan itu dan mendapat jawaban. Bahkan
kadang-kadang datang lamaran bagi seorang gadis oleh dua
tiga orang sekaligus. Dan sudah barang tentu tidak semua
akan dapat diterima."
Ki Demang pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya kemudian, "Ya, Kiai. Demikianlah memang
seharusnya. Maksudku, apakah sebelum aku datang melamar
kepada Ki Gede Menoreh, sudah ada tanda bahwa lamaranku
akan diterima?" "Pada saat itu Ki Demang, ketika aku meninggalkan
Menoreh, agaknya tanda-tanda itu memang sudah ada.
Sedang anak-anak yang bersangkutan pun tampaknya sudah
sejalan. Tetapi aku tidak tahu perkembangan yang terjadi
kemudian. Namun menilik bahwa Ki Argapati adalah orang
yang cukup dewasa, aku kira ia tidak akan dengan mudah
menarik kembali sikapnya. Tentu juga mengenai puterinya itu.
Kecuali jika ada keadaan yang sangat memaksa. Pandan
Wangi adalah seorang gadis yang memang sedang mekar."
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Karena itu, Ki Demang, sebaiknya hal ini memang harus
segera dilakukan. Apakah lamaran ini diterima atau tidak, kita
tidak mempersoalkannya sekarang. Kedua-duanya memang
mungkin dan kedua-duanya pun wajar. Meskipun demikian
menurut penilaianku, lamaran Ki Demang hampir dapat
dipastikan akan diterima oleh Ki Argapati sesuai dengan
hubungan yang pernah ada, jika tidak ada persoalan yang
mendesak seperti yang aku katakan tadi."
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Memang hal itu
adalah kuwajiban yang harus dilakukan. Karena itu, maka ia
pun menganggukkan kepalanya sambil menyahut, "Baiklah
Kiai. Aku akan segera pergi ke Menoreh. Tetapi karena Kiailah
yang dahulu pernah datang kepada Ki Argapati, maka
sudah barang tentu aku minta Kiai ikut bersamaku. Apalagi
Kiai adalah guru Swandaru yang tentu juga sekaligus akan
ikut berkepentingan dengan persoalan anak itu."
"Tentu aku tidak berkeberatan, Ki Demang. Aku akan pergi
ke Menoreh." "Bagaimana dengan Ki Sumangkar?" bertanya Ki Demang.
Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia
pun menyahut, "Terserahlah kepada Ki Demang. Apakah aku
perlu menyertainya atau tidak. Aku tidak mempunyai pilihan
sendiri untuk itu." Ki Demang merenung sejenak, lalu, "Mengingat perjalanan
yang jauh, alangkah baiknya jika Ki Sumangkar pergi bersama
kami. Banyak kemungkinan dapat terjadi di perjalanan.
Apalagi suasana yang kini hampir tidak menentu. Di
perbatasan yang kabur antara Pajang dan Mataram, akan
dapat ditemui banyak persoalan-persoalan di luar dugaan.
Seperti yang aku dengar, hantu-hantu Alas Mentaok yang
ternyata terjadi dari orang-orang yang mempunyai
kepentingan tertentu. Orang-orang yang menyerang rumah
Anakmas Untara yang dihuni oleh para perwira dan barangkali
banyak lagi hal yang serupa meskipun bentuknya berbeda."
"Jika demikian kita akan berjalan dalam sebuah rombongan
kecil," sahut Ki Sumangkar. "Sudah barang tentu Anakmas
Agung Sedayu akan ikut serta bersama kita. Dan bagaimana
dengan Sekar Mirah?"
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Sebaiknya Sekar Mirah menunggu ibunya di rumah. Sudah
barang tentu bahwa ibunya tidak akan dapat ikut menempuh
perjalanan begitu panjang dan terbahaya."
Ki Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Aku sependapat dengan Ki Demang. Tetapi menilik
sifatnya, bagaimana jika ia memaksa juga."
"Kita akan mencoba meyakinkan, bahwa ibunya
memerlukan seorang pelindung. Sudah tentu bukan orang lain
yang paling dapat dipercaya. Dan sudah barang tentu aku dan
Swandaru kali ini harus pergi meninggalkannya."
Ki Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Meskipun demikian ia masih meragukan, apakah Sekar Miiah
yang keras hati itu dapat dibujuknya untuk tinggal.
"Kita besok akan bersiap-siap," berkata Ki Demang. "Aku
menyadari bahwa hal ini harus segera dilaksanakan agar
persoalannya tidak berkembang ke arah yang tidak kita
kehendaki. Kita tidak tahu apakah yang sudah terjadi di
Menoreh akhir-akhir ini dan kita juga tidak tahu apa yang
terjadi di daerah yang sedang tumbuh itu. Mudah-mudahan
kita masih dapat lewat tanpa dihalang-halangi oleh keadaan
dan suasana yang bagaimana pun juga."
"Baiklah, Ki Demang," berkata Kiai Gringsing. "Kita pun
akan segera mendapat penyelesaian. Jika pembicaraan telah
bulat, maka pelaksanaanya pun sebaiknya di lakukan dengan
cepat." Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya
kemudian, "Aku akan berbicara dengan Nyai Demang dan
Sekar Mirah. Silahkan Kiai memberitahukan kedua anak-anak
muda itu agar mereka pun mempersiapkan diri menempuh
perjalanan yang panjang ini, Kiai. Meskipun keduanya pernah
pergi ke Menoreh, namun mereka pun harus membuat
ancang-ancang untuk perjalanan ini."
Demikianlah maka malam itu juga Ki Demang di Sangkal
Pulung telah berbicara dengan isterinya tentang rencana
kepergiannya ke Menoreh. "Kapan Ki Demang akan pergi?" bertanya isterinya.
"Besok aku akan menyerahkan pengamatan dan pimpinan
kademangan ini kepada bebahu Kademangan Sangkal
Putung. Mereka akan menjalankan tugasku sehari-hari, tetapi
mereka tidak akan mengambil tindakan yang sangat penting
yang menyangkut perubahan apa pun di Sangkal Putung.
Besok lusa aku akan menyiapkan bekal dan minta diri kepada
orang-orang tua bersama Swandaru. Jadi hari berikutnyalah
aku akan berangkat."
"Begitu tergesa-gesa?" isterinya menjadi heran. "Tentu
tidak mungkin. Jika kau mengikat seorang gadis, tentu harus
membawa barang-barang yang umumnya dipergunakan
sebagai pengikat. Pakaian sepengadeg, dan beberapa jenis
barang lainnya." "Aku belum akan membelikan peningset. Bukankah kita
belum pernah melamarnya dengan resmi" Jika semua
persoalan telah selesai, barulah aku akan pergi lagi membawa
peningset itu." Nyai Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu ia
pun bertanya, "Siapa saja yang akan pergi bersama Ki
Demang?" "Kiai Gringsing yang pernah merintis pembicaraan dengan
Ki Gede Menoreh, kemudian sudah tentu Swandaru sendiri,
Angger Agung Sedayu dan Ki Sumangkar."
"Bagaimana dengan Sekar Mirah?"
"Biarlah ia tinggal di rumah mengawanimu. Ia bukan saja
anak kita, tetapi ia adalah pelindung yang dapat dipercaya.
Sekar Mirah sekarang memiliki kemampuan yang jauh lebih
besar dari kemampuan Ki Jagabaya jika di rumah ini datang
sesuatu yang membahayakan."
"Bagaimana jika ia ingin ikut, karena Ki Demang pergi
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersama dengan Anakmas Agung Sedayu dan gurunya Ki
Sumangkar?" "Aku akan berbicara. Panggillah anak itu sebentar jika ia
belum tidur." Sejenak kemudian maka Sekar Mirah pun telah duduk
bersama ayah dan ibunya. Tampaklah bahwa ia menjadi
gelisah. Bahkan Sekar Mirah menyangka bahwa ayahnya
akan berbicara tentang dirinya sendiri.
Tetapi ketika ayahnya sudah mengatakan maksudnya, tibatiba
saja ia tidak lagi menjadi gelisah, tetapi sepercik
kekecewaan telah melonjak di hatinya. Sebenarnya ada
keinginan di dalam hatinya, bahwa persoalannya pun
sebaiknya segera diselesaikan. Tetapi sudah barang tentu,
sebagai seorang gadis ia tidak dapat mengatakannya.
"Kau tinggal di rumah Mirah," berkata ayahnya.
"Aku ikut," Sekar Mirah bersungut-sungut.
"Kau tinggal di rumah."
"Semua orang pergi, dan aku tinggal di rumah."
"Justru karena semua orang pergi. Kau mengawani ibumu.
Jika kau juga pergi, maka ibumu akan tinggal di rumah tanpa
seorang kawan pun." "Kenapa Ibu tidak pergi sama sekali" Bukankah akan lebih
baik jika Ayah datang berdua bersama Ibu?"
"Tentu. Tetapi perjalanan ke Menoreh bukan perjalanan
yang pendek. Bukankah kau pernah pergi ke sana" Kau dapat
membayangkan, bagaimanakah sulitnya jika ibumu juga pergi
bersama kami." Sekar Mirah merenung sejenak. Tetapi tampak
membayang kekecewaan di wajahnya.
"Aku tidak akan pergi terlalu lama, Mirah. Kau tahu bahwa
kini aku sedang sibuk dengan Sangkal Putung yang sedang
berkembang ini." "Kenapa aku tidak boleh ikut, Ayah?"
"Sudah aku katakan. Ibumu tidak ada pelindungnya. Kau
adalah pelindung yang paling baik baginya."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam.
"Ya, Mirah," berkata ibunya, "tanpa kau aku menjadi sendiri.
Bagaimana pun juga tenteramnya kademangan ini, tetapi aku
pasti masih juga selalu cemas jika aku sekedar menyandarkan
keselamatan isi rumah ini kepada peronda."
Sekar Mirah tidak menyahut. Kepalanya sajalah yang
kadang-kadang menengadah, kadang-kadang tunduk.
Sebenarnya ia ingin sekali turut menempuh perjalanan. Selain
ia dapat pergi bersama gurunya dan Agung Sedayu, ia pun
dapat melihat keadaan yang berbeda dari yang dilihatnya
sehari-hari. Tetapi ketika terpandang wajah ibunya yang suram, maka
ia pun berkata, "Baiklah, Ayah. Aku akan mengawani Ibu di
rumah." "Terima kasih, Sekar Mirah. Aku akan pergi dengan tenang
jika kau bersedia menjaga ibumu."
Demikianlah maka Ki Demang sudah mendapat keputusan
untuk berangkat besok tiga hari lagi. Ketika Sekar Mirah
bertemu dengan gurunya, maka gurunya pun memberinya
nasehat seperti yang dikatakan oleh ayahnya.
"Jagalah ibumu baik-baik. Meskipun kau seorang gadis,
tetapi kau adalah gadis yang lain dari gadis-gadis kawanmu
bermain. Kau tidak saja dapat bermain nini towong di terang
bulan, tetapi kau dapat melindungi ibumu dari bahaya yang
sebenarnya." Kesempatan yang singkat sebelum mereka berangkat,
dipergunakan oleh Ki Demang untuk menyerahkan pimpinan
kademangan kepada para bebahunya, kemudian minta diri
kepada orang-orang tua agar lamarannya dapat diterima oleh
Ki Gede Menoreh. "Hati-hatilah," pesan seorang yang rambutnya telah
menjadi putih seluruhnya, "perjalanan ini sangat jauh dan
berbahaya karena kalian harus melewati Alas Tambak Baya,
Alas Mentaok, menyeberang sungai yang besar dan deras,
dan perjalanan di daerah yang asing bagi kalian."
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun
ia pergi bersama beberapa orang yang dapat dipercaya,
namun setiap pesan diperhatikannya juga. Meskipun kadangkadang
orang-orang tua yang memberinya pesan mawantiwanti
itu sama sekali belum pernah melihat Alas Tambak Baya
dan Alas Mentaok, namun tanggapan naluriah mereka
kadang-kadang berguna baginya.
Dan atas pesan orang tua yang rambutnya sudah memutih
itu Ki Demang menyahut, "Terima kasih, Paman. Perjalanan
ini memang perjalanan yang jauh."
"Dengan siapa kau akan pergi?"
"Dengan Swandaru dan beberapa orang lagi."
"Kau tidak membawa Ki Jagabaya?"
"Tidak, Paman."
"O, bawalah dia. Orang itu akan dapat memberikan
perlindungan kepadamu dan kepada anakmu."
Ki Demang mengerutkan keningnya. Tetapi orang itu
memang tidak tahu bahwa Swandaru sendiri mempunyai
kemampuan melampaui Ki Jagabaya, karena orang tua itu
sudah jarang-jarang keluar rumahnya. Tetapi Ki Demang
menjawab, "Tenaga Ki Jagabaya diperlukan di kademangan
ini, Paman. Ia harus melindungi tidak hanya satu dua orang,
tetapi beratus-ratus, bersama-sama anak-anak muda Sangkal
Putung." "Tidak ada apa-apa di sini. Kademangan ini cukup aman.
Tetapi Alas Tambak Baya dan Alas Mentaok itu sangat wingit.
Bukan saja hantu-hantu penunggu pepohonan yang besarbesar
dan batu-batu yang angker, tetapi juga penyamunpenyamun
dan perampok-perampok yang masih banyak
berkeliaran." Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
Jawabnya, "Aku akan sangat hati-hati. Meskipun aku tidak
pergi bersama Ki Jagabaya, namun aku pergi bersama
beberapa orang kawan yang dapat dipercaya."
"Tetapi mereka tidak akan memberi ketenangan seperti Ki
Jagabaya." "Mudah-mudahan mereka dapat melindungi aku seperti Ki
Jagabaya." Orang tua itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
berkata, "Jika kau yakin mereka dapat melindungi kau seperti
Ki Jagabaya, terserahlah. Aku hanya dapat berdoa, mudahmudahan
kau selamat, dan Cucu Swandaru dapat
menemukan jodohnya." Ia berhenti sejenak, lalu, "Tetapi
kenapa ia mengambil perempuan yang begitu jauh?"
"Hati mereka telah bertaut."
"Di mana mereka bertemu?"
"Di Menoreh." "Apakah Swandaru pernah pergi ke Menoreh"-"
"Pernah. Belum lama ia kembali."
"O," orang tua itu mengangguk-angguk. Lalu, "Anak-anak
sekarang. Masih ingusan sudah sampai ke ujung bumi.
Sokurlah ia kembali dengan selamat. Dan mudah-mudahan
perjalananmu pun selamat pula."
"Terima kasih, Paman. Kami yang akan berangkat mohon
pengestu." Demikianlah orang-orang tua yang lain pun berpesan
serupa. Bahkan para bebahu Kademangan Sangkal Putung
yang mengetahui siapa Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, Agung
Sedayu, dan Swandaru sendiri pun berpesan agar mereka
berhati-hati. "Menurut pendengaran kami," Ki Jagabaya berkata,
"perampokan dan penyamun di sepanjang jalan menjadi
semakin meningkat. Mungkin hal ini disebabkan kegagalan
mereka di Mataram dan juga di Jati Anom serta di tempattempat
lain, mendorong mereka untuk mengambil jalan lain.
Semua jalan yang menuju ke Mataram tidak tenteram sama
sekali. Ada dugaan bahwa orang-orang yang tidak senang
melihat Mataram berdiri itu berusaha untuk membendung arus
manusia yang tidak henti-hentinya memasuki daerah baru itu."
"Memang masuk akal," berkata Kiai Gringsing yang hadir
juga di antara mereka, "orang-orang yang kecewa itu dapat
berbuat apa saja. Tetapi mungkin mereka tidak sekedar
melepaskan kekecewaannya. Tetapi semuanya itu dilakukan
atas suatu dasar pertimbangan dan perhitungan yang masak."
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun
Kiai Gringsing melanjutkan, "Tetapi kita akan berhati-hati. Kita
akan mencari jalan yang paling aman, yang jauh dari
kemungkinan perampokan dan penyamun."
Ki Demang masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dalam pada itu Ki Jagabaya berkata, "Tetapi kita percaya
kepada Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. Apalagi mereka
sudah pernah pergi ke Menoreh. Bahkan Sekar Mirah pun
pernah. Bedanya, sekarang perampok-perampok itu bagaikan
semut yang diusir dari sarangnya. Bertebaran ke mana pun di
seluruh hutan." "Pasti ada jalan yang tidak mereka awasi. Justru jalan-jalan
sempit dan yang jarang dilalui orang. Meskipun kemungkinan
untuk bertemu dengan mereka masih ada juga."
Para bebahu Sangkal Putung itu pun menganggukanggukkan
kepala. Tetapi mereka percaya bahwa Ki Demang
akan dapat sampai ke tempat tujuan dan kembali ke Sangkal
Putung, meskipun ada juga perasaan was-was di dalam hati.
Jika terjadi sesuatu atasnya, maka orang yang berhak
mewarisi ikut serta bersamanya. Yang tinggal adalah Sekar
Mirah. Sedang anak muda yang agaknya dipilihnya menjadi
sisihannya, pergi juga bersama Ki Demang itu.
Namun demikian, rencana Ki Demang tetap dilaksanakan.
Setelah hari yang ditentukan tiba, maka semuanya pun telah
siap. Mereka kini tidak sekedar berjalan kaki, tetapi mereka
akan pergi berkuda, supaya perjalanan mereka tidak
terlampau lama. "Cepatlah pulang, Ayah," pesan Sekar Mirah dengan suara
yang tersangkut di kerongkongan.
Ki Demang memandang wajah Sekar Mirah yang muram.
Seakan-akan ia melihat wajah gadis itu semasa kanak-kanak
apabila ia ingin ikut pergi bersamanya keliling kademangan.
"Kau tinggal bersama ibu."
"Tidak, aku ikut Ayah."
"Kau lelah." "Tidak." Dan jika ia tidak mengijinkannya, maka gadis kecil itu akan
menangis. Tetapi sekarang Sekar Mirah berusaha menahan air mata
yang sebenarnya hampir pecah dari pelupuknya. Namun,
Sekar Mirah itu menyadari bahwa ia bukan anak-anak lagi,
dan bahkan ia kini adalah pelindung ibunya di dalam segala
hal. Ia harus melayani ibunya sebagai seorang gadis, tetapi
jika perlu ia harus melindungi ibunya sebagai seorang yang
memiliki ilmu kanuragan. Bukan saja Ki Demang yang memandang Sekar Mirah
dengan iba, tetapi juga Kiai Gringsing, Sumangkar, Swandaru,
dan Agung Sedayu. Mereka mengerti betapa perasaan gadis
itu. Sekaligus beberapa orang yang tersangkut di hatinya telah
pergi. Ayahnya, kakaknya, gurunya, dan seorang anak muda
yang telah merampas hatinya.
Karena itu, maka wajah-wajah itu pun menjadi muram dan
berkesan dalam. Namun akhirnya mereka pun berangkat juga meninggalkan
Kademangan Sangkal Putung. Di regol halaman berdiri Nyai
Demang bersama Sekar Mirah dan beberapa bebahu
kademangan beserta beberapa orang tua tetangga terdekat.
"Mudah-mudahan kalian selamat di perjalanan," seorang
perempuan tua berdoa sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya, "dan kalian akan pulang membawa seorang
menantu yang cantik bagi Nyai Demang."
Demikianlah, mereka mulai dengan sebuah perjalanan
yang jauh. Perjalanan yang mereka sadari sebagai perjalanan
yang cukup berat. Tetapi Ki Demang tidak merasa cemas sama sekali, karena
lima orang yang menempuh perjalanan itu, empat di antaranya
sudah pernah melakukannya.
Beberapa saat lamanya mereka masih menyusuri jalan di
Kademangan Sangkal Putung. Beberapa orang yang sudah
mendengar bahwa Ki Demang akan pergi ke Menoreh yang
mereka jumpai, mengucapkan juga beberapa ucapan selamat
jalan, sedang satu dua orang yang masih belum jelas
bertanya, "Apakah Ki Demang akan menempuh perjalanan
jauh?" "Ya," jawab Ki Demang.
"Jadi benar kata orang bahwa Ki Demang akan pergi ke
Menoreh?" "Ya." "Sebuah perjalanan yang jauh dan berbahaya. Ki Demang
akan melintasi hutan yang penuh dengan binatang buas."
Demang mengerutkan keningnya. Yang dikatakan orang ini
agak berbeda dengan yang pernah diucapkan oleh orang lain.
Yang terdahulu selalu memperingatkan, agar kelompok kecil
yang bersamanya pergi ke Menoreh itu berhati-hati
menghadapi penyamun, perampok, atau sekelompok orangorang
yang sekedar ingin mengacau dan membendung orangorang
yang mengalir ke Mataram dan sebangsanya. Tetapi
yang seorang ini memperingatkan agar mereka berhati-hati
terhadap binatang buas. Namun sambil tersenyum Ki Demang
berkata, "Tentu. Kami akan berhati-hati menghadapi apa dan
siapa pun." "Alas Mentaok adalah sarang binatang buas," katanya.
"Ada lebih dari lima jenis harimau yang hidup di hutan itu. Dan
yang tidak kalah ganasnya adalah anjing hutan. Meskipun
seekor demi seekor anjing hutan itu tidak begitu berbahaya,
tetapi jika mereka datang dalam kelompok yang terdiri dari
puluhan dan bahkan ratusan ekor, maka sebenarnyalah kalian
bertemu dengan bahaya maut."
"Kami dapat memanjat," jawab Ki Demang.
"Kuda-kuda kalianlah yang akan tinggal menjadi kerangka
tidak lebih dari seratus hitungan."
Ki Demang mengerutkan keningnya. Namun Kiai Gringsinglah
yang menyahut, "Mudah-mudahan kami tidak bertemu
dengan segerombolan anjing hutan yang berbahaya itu."
"Mudah-mudahan. Anjing hutan itu sama sekali tidak dapat
didekati. Sekelompok banteng pun akan menepi jika mereka
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyadari bahwa mereka berada di dalam lingkungan anjingKang
Zusi - http://kangzusi.com/
anjing hutan, meskipun anjing-anjing hutan itu tidak
menyerang mereka." "Terima kasih," Ki Sumangkar-lah yang kemudian
menyahut. Ketika mereka melanjutkan perjalanan, maka tampak wajah
Ki Demang agak berkerut, sehingga sambil tersenyum Kiai
Gringsing berkata, "Peringatan yang baik. Tetapi kita tidak
perlu cemas. Anjing-anjing hutan yang liar itu hidup beberapa
tahun yang lampau, sebelum Mentaok dihuni oleh hantu-hantu
yang menakut-nakuti orang-orang Mataram yang membuka
hutan itu. Hantu-hantu itu agaknya mempunyai cara yang baik
untuk membunuh anjing-anjing liar itu, sehingga jumlahnya
cepat sekali susut."
"Bagaimana cara mereka membunuh anjing-anjing liar itu?"
bertanya Ki Demang. "Dengan racun. Mereka adalah orang-orang yang ahli
dalam hal bermain-main dengan racun. Seekor lembu dilumuri
racun hampir diseluruh tubuhnya. Kemudian lembu itu di
lepaskan di antara anjing-anjing liar. Nah, sekaligus mereka
dapat membunuh berpuluh-puluh anjing liar itu."
Ki Demang Sangkal Putung itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Perlahan-lahan wajahnya yang mulai berkerut itu
pun menjadi cerah kembali.
Dalam pada itu kuda mereka berjalan terus. Semakin lama
semakin jauh meninggalkan Kademangan Sangkal Putung.
Di perjalanan itu Ki Demang justru merasa dirinya sebagai
anak-anak yang berjalan di antara pemomongnya. Meskipun
di antara mereka terdapat anaknya yang masih muda dan
Agung Sedayu, namun ia merasa bahwa mereka itu adalah
pelindung-pelindingnya yang baik. Ia merasa bahwa ia adalah
orang yang paling lemah di antara sekelompok kecil orangorang
yang akan pergi ke Menoreh itu.
Demikianlah mereka berjalan terus. Dengan mengendarai
kuda, mereka maju lebih cepat daripada berjalan kaki. Tetapi
apabila mereka sampai ke daerah-daerah yang berhutan
lebat, maka mereka akan maju lebih lambat daripada jika
mereka tidak membawa kuda. Di dalam hutan yang lebat,
kuda bukannya tunggangan. Bahkan kadang-kadang kuda
merudang menikmati bekal mereka.
Namun selagi mereka masih berada di luar hutan, maka
perjalanan mereka sama sekali tidak terhambat. Kuda mereka
berlari kencang, seakan-akan berpacu dengan matahari yang
semakin lama menjadi semakin tinggi.
Ketika matahari mencapai nuncak langit, maka mereka pun
beristirahat sejenak. Mereka memberi kesempatan kepada
kuda mereka untuk makan rumput yang hijau, sedang
penunggang-penunggangnya pun duduk di bawah pohon yang
rindang menikmati bekal mereka.
Selagi mereka duduk sambil menyuapi mulut mereka,
mereka melihat seseorang datang mendekat. Dengan raguragu
orang itu bertanya, "Apakah Ki Sanak sedang dalam
perjalanan?" Ki Demang yang duduk di paling tepi menjawab, "Ya, kami
sedang dalam perjalanan."
"Apakah Ki Sanak akan menyeberang hutan Tambak Baya
dan Mentaok?" Ki Demang menjadi ragu-ragu sejenak, lalu dipandanginya
Kiai Gringsing yang duduk di sampingnya
"Kami akan pergi ke Menoreh Ki Sanak," jawab Kiai
Gringsing. "O, apakah kalian tidak akan pergi ke Mataram yang
sekarang sedang tumbuh?"
Kiai Gringsing menggeleng.
"Sayang," desisnya.
"Kenapa?" "Aku ingin pergi ke Mataram."
"Kenapa kau tidak pergi?"
"Aku menunggu beberapa orang yang akan bersama-sama
menyeberangi Alas Tambak Baya ini."
"Kenapa harus menunggu?"
Orang itu mengerutkan keningnya. Katanya, "Jalan
terlampau berbahaya. Jika kita ingin menyeberangi hutan,
biasanya beberapa orang pergi bersama."
"Siapakah yang mengatakan kepada Ki Sanak?"
"Orang-orang yang tinggal di sebelah hutan itu. Jika Ki
Sanak singgah pada sebuah warung, maka orang-orang itu
akan memberitahukan kepada Ki Sanak."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu
katanya, "Jika Ki Sanak ingin pergi bersama dengan kami
sampai ke seberang Alas Tambak Baya, kami tidak
berkeberatan sama sekali. Tetapi selanjutnya Ki Sanak pergi
sendiri ke Mataram."
"Aku tidak berani."
"Jika demikian, kami akan mengantar Ki Sanak sampai ke
Mataram. Kami akan singgah di Mataram sejenak."
Tiba-tiba saja orang itu menjadi ragu-ragu. Lalu katanya,
"Apakah Ki Sanak siap menghadapi kemungkinan yang dapat
terjadi di perjalanan?"
"Apakah yang mungkin terjadi?"
"Perampokan." "Kami tidak membawa apa-apa. Mungkin bekal makan kami
inilah yang akan dirampoknya. Nasi jagung dan gembrot
sembukan. Selebihnya tidak ada."
Orang itu mengerutkan keningnya. Katanya, "Kuda kalian
adalah kuda-kuda yang tegar."
"Kuda padesan. Sekedar dapat menyambung perjalanan."
Orang itu masih ragu-ragu. Namun kemudian ia
menggeleng, "Tidak usah, Ki Sanak. Aku tidak akan
mengganggu Ki Sanak. Silahkan berjalan terus ke Menoreh."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi katanya
kemudian, "Sebenarnya arah perjalanan kami masih belum
pasti. Kami mungkin akan langsung pergi ke Menoreh, tetapi
ada juga niat kami pergi ke Mataram." Ia berhenti sejenak,
lalu, "Tetapi di mana bekal dan barang-barang Ki Sanak
disimpan?" "Ada diwarung itu. Di pinggir Alas Tambak Baya."
"Kenapa Ki Sanak ada di sini" Kenapa Ki Sanak tidak
menunggu saja di pinggir hutan itu?"
Orang itu termangu-mangu sejenak, namun kemudian
jawabnya, "Aku sedang berjalan-jalan di sini ketika aku melihat
kalian berhenti dan beristirahat di sini."
"O," Kiai Gringsing mengangguk-angguk, "jika Ki Sanak
berubah pendirian dan ingin pergi bersama kami, beritahukan
hal itu kepada kami."
"Apakah kalian akan berjalan terus?"
"Ya. Kami akan bermalam di seberang Alas Tambak Baya
jika kami dapat mencapainya."
"Tetapi kemana sebenarnya kalian akan pergi?"
"Kami belum tahu. Mungkin kami dapat berganti haluan
dengan tiba-tiba." "Tetapi kalian tentu mempunyai rencana."
"Rencana kami masih belum pasti. Tetapi jika kau akan
pergi bersamaku, kami akan memastikan rencana kami. Kami
pergi ke Mataram, karena kami mempunyai saudara yang
tinggal di sana." Orang itu menjadi termangu-mangu. Namun katanya
kemudian, "Terima kasih. Pergilah ke Menoreh. Aku akan
menunggu orang lain."
Kiai Gringsing tidak segera menyahut. Dipandanginya
orang itu tajam-tajam, sehingga ketika tatapan mata mereka
beradu, orang itu memalingkan wajahnya.
"Kenapa kau tiba-tiba mengurungkan niatmu pergi bersama
kami?" bertanya Kiai Gringsing.
"Aku tidak mau mengganggu kalian, selamat jalan."
Orang itu tidak menunggu Kiai Gringsing menjawab. Tetapi
ia pun segera meninggalkannya. Namun ia sama sekali tidak
pergi ke padesan di pinggir hutan Tambak Baya.
Sepeninggal orang itu Ki Demang di Sangkal Putung
berkata, "Aku menjadi bingung. Orang itu pun agaknya
menjadi bingung mendengar keterangan Kiai."
Kiai Gringsing memandang orang yang semakin lama
menjadi semakin jauh itu. Gumamnya kemudian seakan-akan
kepada diri sendiri, "Aku menjadi curiga kepadanya."
"Kenapa Kiai menjadi curiga?"
"Mula-mula hanya sekedar firasat, tetapi semakin lama aku
melihat tanda-tanda itu. Kenapa ia tidak mau pergi bersama
kami ke Mataram?" "Mungkin ia menjadi curiga juga kepada Kiai, karena tibatiba
saja Kiai berputar haluan."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian, "Mungkin aku terlampau berprasangka, Tetapi
mudah-mudahan orang itu sama sekali tidak berniat buruk."
"Ia seorang diri."
"Seharusnya ia tidak berada di sini, tetapi di padesan itu.
Tetapi mungkin juga ia mempunyai beberapa orang kawan
yang menunggui barang-barangnya."
"Marilah kita pergi ke padesan itu," tiba-tiba saja Ki
Sumangkar menyela. "Di sana ada orang yang menjual
makanan, barangkali kita dapat membeli tambahan bekal di
perjalanan." Kiai Gringsing merenung sejenak, lalu, "Baiklah. Kita pergi
ke padesan yang kecil itu."
Demikianlah mereka pun segera pergi kepadesan itu.
Dilihatnya beberapa orang duduk di sebuah gardu. Tetapi
mereka adalah orang-orang yang beristirahat setelah bekerja
di sawah, ternyata dari alat-alat yang masih ada pada mereka.
"Hanya ada sebuah warung kecil," berkata Ki Sumangkar,
"agaknya jalan ini memang sepi."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Marilah kita membeli bekal."
"Bekal kita sudah cukup," berkata Ki Demang.
"Sekedar berbicara dengan penjual itu."
"Baiklah. Aku menunggu di sini."
Kiai Gringsing dan Sumangkar-lah yang kemudian
mendekat. Sambil membeli beberapa macam makanan Ki
Gringsing berkata, "Apakah jalan ini menjadi sepi sekarang?"
"Ya, Ki Sanak," jawab penjual makanan yang sudah agak
lanjut itu, "jalan sangat sepi."
"Kenapa?" "Aku tidak tahu. Tetapi menurut pendengaranku jalan
sekarang menjadi tidak aman. Banyak orang yang terpaksa
melepaskan barang-barangnya karena mereka tidak mau
kehilangan nyawanya."
"Perampok?" Orang itu menarik nafas dalam-dalam.
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar berpandangan sejenak.
Ternyata apa yang mereka dengar selagi mereka masih di
Sangkal Putung itu tidak jauh dari keadaan yang sebenarnya.
Bagi Kiai Gringsing, perampokan yang terjadi itu bukan
semata-mata untuk mendapatkan barang-barang dan
kekayaan, tetapi tentu suatu usaha untuk memisahkan
Mataram dari lingkungan disekitarnya.
"Tetapi apakah masih ada orang yang kadang-kadang
lewat?" "Ya, kadang-kadang. Beberapa orang kadang-kadang
berkumpul di sini. Mereka membentuk semacam kelompok
kecil untuk menyeberangi Alas Tambak Baya dan kemudian
masuk ke Alas Mentaok yang sedang dibuka itu."
"Kau tahu segala-galanya," berkata Ki Sumangkar.
Orang itu mengerutkan keningnya. Lalu suaranya menjadi
terputus-putus, "Tidak. Aku tidak tahu apa-apa."
Tetapi Sumangkar tersenyum, "Jangan takut. Aku bukan
ingin menakut-nakutimu. Tetapi apakah di dalam kelompokkelompok
kecil orang tidak takut dirampok" Bagaimana jika
perampoknya berjumlah besar?"
"Kadang-kadang ada prajurit Mataram yang datang kemari.
Hampir setiap tiga hari, sehingga orang-orang itu sabar
menunggu. Jika ada prajurit Mataram datang menyongsong
mereka, maka mereka pun pergi dengan aman ke Mataram.
Tetapi akhir-akhir ini sering timbul kerusuhan tidak di tengahtengah
hutan, tetapi di sekitar tempat ini."
"Maksudmu perampok-perampok itu datang kemari?"
Orang itu tidak segera menjawab. Tetapi dipandanginya
kedua orang yang berdiri di muka barang-barang
dagangannya itu. Sekali-sekali ia memandang Ki Demang,
Agung Sedayu yang berdiri beberapa langkah dari tempatnya
sambil memegangi kuda. "Tetapi siapakah kalian?" bertanya penjual makanan itu.
"Yang berdiri itu adalah Demang Sangkal Putung," sahut
Kiai Gringsing, "jangan takut. Kami hanyalah sekedar lewat."
"Ya. Aku dapat mengenal dari wajah dan sikap kalian,
bahwa kalian bukan dari golongan mereka. Tetapi "." orang
itu tidak melanjutkan kata-katanya.
"Apakah kau melihat seseorang yang kau curigai?"
Orang itu tidak menyahut. Tetapi diedarkannya pandangan
matanya berkeliling. Kiai Gringsing dan Sumangkar mengikuti arah pandangan
mata orang itu. Tetapi mereka tidak melihat seseorang pun.
"Dinding-dinding sekarang mempunyai telinga," berkata
orang itu, "aku tidak berani mengatakan apa pun."
"Jangan takut. Tidak ada orang lain yang mendengar."
Orang itu masih ragu-ragu. Lalu, "Apakah Ki Sanak yakin?"
"Ya. Aku yakin, tidak ada orang lain yang mendengar."
"Tetapi siapakah sebenarnya Ki Sanak berdua?"
"Kami adalah saudara-saudara Ki Demang. Kami adalah
paman-pamannya." "Dan kedua anak-anak muda itu?"
"Yang seorang anaknya, yang seorang kemanakannya."
"Kalian tinggal di Sangkal Putung?"
"Ya." "Baiklah. Aku ingin mengiakan pertanyaan Ki Sanak. Para
perampok itu kadang-kadang datang kemari, karena semakin
sedikit orang yang lewat menyeberang hutan Tambak Baya
dan hutan Mentaok." Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu
bertanya, "Apakah hari ini tidak ada seorang pun yang akan
menyeberang hutan ini?"
"Ada seorang. Ia menunggu kawan."
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Di mana ia sekarang. "
"Berjalan-jalan. Ia sangat gelisah karena belum ada kawan
yang akan pergi bersamanya."
"Bukankah sering ada pengawal-pengawal Mataram yang
kau sebut sebagai prajurit-prajurit itu?"
"Ia menjadi gelisah karena perampok-perampok itu
sekarang tidak sekedar menunggu, tetapi mereka
menyongsong korban-korban mereka kemari."
Kiai Gringsing menjadi gelisah. Dipandanginya Sumangkar
dengan wajah yang tegang. Lalu, "Jadi, jadi mereka akan
datang kemari." "Ya." "Kalau begitu aku tidak akan beristirahat di sini. Aku akan
pergi seperti orang itu. Atau sebaiknya aku kembali saja ke
Sangkal Putung." "Kenapa kembali?"
"Aku tidak dapat menyediakan diri untuk dibantai oleh para
perampok." "Bukankah kalian akan pergi ke Mataram?"
"Tidak, kami belum pasti pergi ke Mataram. Mungkin ke
Mataram, mungkin ke Menoreh."
"Kenapa?" Kiai Gringsing yang gelisah menggeleng, "Tetapi aku kira
kita tidak akan pergi ke mana-mana."
Penjual makanan itu tiba-tiba tersenyum, katanya, "Kenapa
kalian menjadi ketakutan?"
Sumangkar yang gemetar berkata, "Kita kembali saja."
Tetapi orang setengah tua di belakang barang-barang
jualannya itu tertawa. Katanya, "Kalian tidak usah takut."
"Kenapa?" "Aku tahu jalan yang paling baik yang dapat kau lalui."
"Maksudmu?" "Jalan yang jarang-jarang dilalui orang, tetapi justru karena
itu kalian tidak akan menjumpai seorang perampok pun.
Mereka tidak akan telaten duduk berhari-hari tanpa
mendapatkan seorang korban pun."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Jadi, ada jalan yang Ki Sanak anggap tidak akan ada
seorang perampok pun yang mengganggu perjalanan kami?"
"Ya." "Tetapi jalan itu menuju ke Menoreh atau ke Mataram?"
"Kedua-duanya. Kau dapat menempuh jalan itu, kemudian
kau dapat memilih jika kalian sampai pada sebuah jalan
simpang setelah kalian melewati Alas Tambak Baya.
"Maksudmu jalan itu adalah jalan lurus satu-satunya
sehingga kami akan menjumpai jalan simpang?"
"Ya." "Terima kasih. Kami harus segera pergi."
"Ya. Kalian harus segera berangkat sebelum perampokperampok
itu datang." "Kapankah kira-kira para pengawal dari Mataram itu akan
datang kemari?" "Baru kemarin mereka datang, tiga hari lagi paling cepat.
Mungkin lebih lagi, karena jalan semakin sepi."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak
ia memandang beberapa orang yang ada di gardu. Seorang di
antaranya ternyata memperhatikannya baik-baik. Tetapi Kiai
Gringsing tidak menghiraukannya.
"Jika demikian kami akan segera pergi. Terima kasih atas
petunjuk Ki Sanak. Tetapi jalan manakah yang akan kami
tempuh?" "Melingkarlah. Lewat di belakang padukuhan ini kalian akan
sampai jalan sempit yang menjelujur masuk ke dalam hutan.
Jalan itulah yang akan kalian lalui."
"Tetapi jalan itu justru menjauhi arah yang kami tuju. Jalan
itu menuju ke Utara, baru ke Barat."
"Tetapi setelah masuk ke dalam hutan, jalan itu akan
melingkar ke Selatan. Memang ada simpang empat pada
persilangan jalan itu dengan jalan yang biasa dilalui orang,
tetapi kalian dapat berhati-hati dan dengan menyusup
gerumbul-gerumbul perdu, kalian dapat menyilang jalan yang
sering ditunggui para penyamun itu."
"Baiklah. Terima kasih. Kami akan segera pergi."
"Tentu Ki Demang Sangkal Putung membawa bekal banyak
sekali. (***) Buku 68 KIAI GRINGSING termangu-mangu sejenak. Sekilas ia
me"mandang Ki Sumangkar. Dan jawabnya kemudian, "Tidak
banyak. Hanya sekedar hadiah untuk bakal menantunya."
"O, jadi Ki Demang Sangkal Putung akan pergi ke bakal
menantunya di Menoreh?"
"Ya." Penjual itu tertawa. Katanya, "Kenapa kau membuat dirimu
sendiri bingung, dengan ceritera bahwa kau akan per"gi ke
Mataram" Mungkin kau mencoba untuk menghilang"kan jejak
kepergianmu. Jika di sini ada perampok atau setidak-tidaknya
orang-orangnya, mereka tidak tahu pasti kemana kau akan
pergi." Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
ia mengangguk, "Ya, ya, begitulah."
"Nah, sekarang pergilah dengan aman. Turutlah nasehat
kami." "Terima kasih. Jika kau tidak berbaik hati membe"ritahukan
hal itu kepada kami, maka kami tentu akan melewati jalan
yang berbahaya itu, dan kami akan terje"bak ke dalam sarang
para penyamun. Barang-barang Ki Demang yang tidak
seberapa nilainya, yang akan diberikan kepada bakal
menantunya itu, tentu akan dirampasnya."
"Ya. Sekarang, pergilah lewat jalan yang aku kata"kan."
"Terima kasih."
"Tetapi, apakah kalian memerlukan bekal di perjalanan
kalian?" "O, hanya sedikit, karena kami sudah membawanya."
"Ambillah." Kiai Gringsing menjadi heran, sehingga ia pun berta"nya,
"Apakah maksudmu, aku membeli bekal padamu?"
"Ambillah. Kau tidak usah membeli. Jualanku tinggal
sisanya. Aku sudah mendapat banyak untung sampai hari ini."
"Ah, jangan begitu."
"Ambillah menurut kebutuhanmu."
Kiai Gringsing menjadi ragu-ragu. Tetapi ia pun
mengam"bil beberapa macam makanan. Lalu sambil
mengangguk-angguk ia berkata, "Kau baik sekali. Mudahmudahan,
kebaikanmu akan berbuah sesuai menurut
nilainya." Kiai Gringsing dan Sumangkar pun kemudian
mening"galkan penjual itu. Tetapi, Kiai Gringsing-lah yang
mem"bawa makanan yang diambilnya dari dagangan orang
yang memberinya banyak petunjuk itu.
Ketika ia kemudian mendapatkan Ki Demang, maka
dikatakanlah semua pesan penjual makanan dan beberapa
macam bahan yang sering dibutuhkan di dalam perja"lanan
yang panjang, apalagi lewat hutan yang lebat.
Ki Demang termangu-mangu sejenak mendengar semua
pesan itu. Namun kemudian katanya, "Jadi, kita akan
ber"jalan lewat jalan yang ditunjukkan itu?"
Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya. "Ya. Ki"ta akan
pergi lewat jalan yang ditunjukkan itu."
"Dan bekal itu?" Ki Demang ragu-ragu. "Maksudku, orang
itu terlampau baik hati kepada kita."
"Ya. Ia tahu bahwa Ki Demang akan pergi ke Me"noreh,
dan aku katakan kepadanya bahwa Ki Demang membawa
sekedar hadiah buat bakal menantunya."
"Ah," Ki Demang berdesah.
"Sudahlah, marilah kita berangkat sebelum ada se"orang
perampok yang datang kemari."
Ki Demang, Agung Sedayu dan Swandaru menjadi raguragu.
Tetapi mereka tidak bertanya lagi. Mereka pun segera
meloncat ke atas punggung kuda masing-masing dan
meneruskan perjalanan, lewat jalan yang ditunjukkan oleh
penjual di warung itu. "Guru," tiba-tiba Agung Sedayu berkata, "aku merasakan
sesuatu yang tidak wajar pada perjalanan kita ini. Apakah
benar jalan yang kita lalui ini, jalan yang paling aman?"
"Padukuhan ini terlampau lengang," desis Swandaru,
"Apakah padukuhan ini masih dihuni orang?"
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Itulah yang me"narik.
Dan karena hal yang tidak wajar, dan kelengangan padukuhan
inilah aku mau mendengarkan petunjuk orang itu."
"Maksud Guru, menghindari penyamun?"
Kiai Gringsing tertawa. Katanya, "Kita adalah pe"tualang
yang gatal tangan. Tetapi bukan itu maksudku. Jika kita
bertemu dengan penyamun, maka kita akan men-dapat
keterangan tentang mereka."
"Aku tidak mengerti, bagaimana maksud Kiai
sebe"narnya?" bertanya Ki Demang.
Kiai Gringsing pun mengamat-amati makanan yang
diba"wanya sejenak. Namun makanan itu pun kemudian
dilem"parkannya jauh-jauh.
"Aku tidak yakin bahwa makanan itu tidak mengan"dung
racun yang sangat lemah, dan dapat memberikan pengaruh
atas tenaga kita, sehingga pada suatu saat kita akan
kehilangan segenap kemampuan kita."
"O," "Jelasnya, Ki Demang. Aku berprasangka, mudahmudahan
prasangka ini keliru," Kiai Gringsing berhenti
sejenak. Lalu, "Bahwa orang itu telah menjerumuskan kita ke
dalam sarang perampok. Padukuhan ini adalah padukuhan
yang kosong. Rumah, halaman dan kebun tampak kotor dan
tidak terpelihara. Aku tidak melihat seorang pun yang ada di
dalam rumahnya. Sawah yang berada di dekat padu"kuhan ini
pun menjadi bera dan tidak ditanami lagi. Tentu padukuhan ini
sudah dikosongkan oleh penduduknya dan mereka mengungsi
ke padukuhan-padukuhan lain, meskipun mereka masih
bekerja di sawah yang agak jauh dari padukuhan ini."
"O. Dan kita sengaja menjerumuskan diri?"
"Sekedar didorong oleh perasaan ingin tahu. Tetapi
mungkin gunanya lebih dari itu."
Ki Demang termangu-mangu sejenak. Dipandanginya
wajah Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar berganti-ganti, dan
kemudi-an wajah Agung Sedayu dan Swandaru. Namun
sebelum ia berkata sesuatu, Swandaru sudah mendahuluinya,
"Kita akan mendapat mainan, Ayah. Apa salahnya kita
mencari perampok-perampok itu?"
"Ah, bukankah kita akan melamar seorang gadis" Marilah
kita hindari semua kemungkinan yang dapat meng"hambat
perjalanan. Aku bukannya menjadi takut terhadap perampok.
Aku lebih takut kepada anjing-anjing liar itu seandai"nya
masih ada. Ketika aku mendengar ceritera tentang anjing liar,
aku benar-benar menjadi gemetar. Alangkah sakitnya digigit
oleh berpuluh-puluh anjing tanpa berbuat sesuatu. Tetapi
terhadap para perampok, seandainya terpaksa kita bertemu,
apa boleh buat. Aku juga membawa senjata," Ki Demang
berhenti sejenak. Tanpa disadarinya dirabanya hulu
pedang"nya yang tersangkut di bawah sehelai kain di
punggung kuda di bawah pelana, sehingga senjata itu tidak
begitu tampak dari kejauhan. Lalu katanya, "Tetapi jika kita
tahu benar bahwa kita akan bertemu dengan sekelompok
perampok, apa gunanya kita berjalan terus lewat jalan ini"
Apakah tidak lebih baik jika kita mengambil jalan lain yang
lebih aman dan tidak mengganggu kepergian kita, untuk suatu
keperluan yang sangat penting ini?"
Swandaru yang merasa berkepentingan itu pun
menge"rutkan keningnya. Tetapi ia masih juga ragu-ragu.
Sebenarnya ia ingin juga cepat-cepat sampai ke Menoreh
tanpa gangguan apa pun. Tetapi perampok-perampok itu pun
tentu sangat menarik hati. Apalagi apabila di antara mereka
ada orang-orang yang da"pat dianggap penting dari antara
mereka. Kiai Gringsing yang mengangguk-angguk, kemudian
menja"wab setelah merenung sejenak, "Ki Demang memang
be"nar. Tetapi bagi kita, persoalan perampok itu bukannya
sekedar perampok biasa. Perampok itu tentu ada
hubung"annya dengan berdirinya Mataram. Sebagai daerah
yang baru tumbuh, ternyata Mataram menghadapi banyak
sekali tantangan. Dimana-mana, orang-orang yang tidak
senang terhadap Mataram dengan serentak telah melakukan
kegiatannya. Sudah barang tentu semuanya dijalin dalam satu
puncak kekuasaan dari mereka itu. Terlebih-lebih lagi,
beberapa orang senapati tertinggi Pajang benar-benar tidak
mau melihat kehadiran Mataram sebagai suatu daerah yang
kuat. Tentu banayak alasan yang dapat dikemukakan.
Sebagian dari mere"ka adalah orang-orang yang tidak ingin
melihat Raden Sutawijaya memiliki kekuasaan, karena ia
adalah orang yang besar. Jika ia mempunyai bekal kekuasaan
atas suatu daerah yang betapa kecilnya, maka ia pasti akan
dapat mengembangkan kekuasaan itu dengan baik. Ada pula
di antara mereka adalah prajurit-prajurit, yang semata-mata
mengemban tugas. Di antara mereka adalah Untara. Ia
merasa ikut membina Pajang se-jak berdirinya. Karena itu,
maka ia tidak akan dapat dengan mudah melepaskan diri dari
ikatan yang terjalin, antara dirinya dengan Pajang. Yang lain
adalah orang-orang yang ber"jiwa kerdil dan dengki, sehingga
mereka menjadi iri meli"hat perkembangan Mataram, sedang
yang masih harus di cari sebabnya adalah orang-orang yang
langsung merintangi pembukaan hutan itu, di hutan itu sendiri.
Mungkin mereka adalah orang-orang yang sebelumnya sudah
bertempat tinggal di daerah itu atau di padukuhan-padukuhan
di sekitar Alas Mentaok dan sudah mempersiapkan diri untuk
membuka hutan itu. Teta"pi, sudah barang tentu mereka
merasa dihalangi oleh usaha Raden Sutawijaya. Namun
semua itu barulah sekedar du"gaan."
Ki Demang mengerutkan keningnya. Tetapi seperti
Swandaru, ia menjadi ragu-ragu. ia berdiri di antara
kepenting"annya sendiri dan kepentingan yang lebih besar.
"Nah, apakah Ki Demang dapat sepakat dengan
per"jalanan ini?"
Ki Demang tidak segera menyahut. Di antara, mereka
terdapat Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. Sudah tentu
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bahwa keduanya adalah pelindung yang baik. Apalagi Ki
Demang sendiri bukan sekedar seorang yang harus pasrah
diri dalam perlindungan orang lain, karena ia pun mampu pula
berkelahi. Tetapi setiap kali ia menjadi gelisah. Jika sesuatu
terjadi di perjalanan, apakah yang akan dilakukan kemudian"
Namun akhirnya, Ki Demang tidak dapat mengelak lagi.
Meskipun Agung Sedayu dan Swandaru tidak menyatakan
pendapatnya lagi, tetapi menurut tatapan mata mereka,
keduanya ingin mencoba untuk meneruskan perjalanan lewat
jalan sempit itu. "Baiklah," berkata Ki Demang, "aku akan mengi"kuti kalian.
Aku percaya bahwa kalian sudah membuat perhitungan yang
sebaik-baiknya." "Mudah-mudahan semua angan-angan dan prasangka
kami tidak benar, Ki Demang."
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun
kemu"dian mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Marilah, ki"ta melihat apa yang ada di depan kita."
Kiai Gringsing memandang Ki Demang sejenak. Lalu
katanya, "Kita akan berusaha, bahwa apa yang kita la"kukan
ini tidak mengganggu perjalanan kita, karena pada pokoknya
kita sedang pergi ke Menoreh. Apa yang terjadi ini hanyalah
sekedar gejolak di permukaan air saja. Tetapi arusnya tetap
menuju ke muara." Ki Demang memandang wajah Kiai Gringsing sejenak.
Namun ia pun kemudian tersenyum sambil berkata, "Aku
sudah terlalu tua untuk bertualang."
"Umurku lebih tua."
"Bukan umur. Tetapi jiwa kita masing-masing. Aku adalah
seorang Demang yang biasa bekerja di satu tempat yang ajeg,
tidak berkeliling kemana-mana. Dan cara hidup yang demikian
itulah, yang agaknya membuat jiwaku lebih tua dari Kiai
Gringsing dan Ki Sumangkar."
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar tersenyum, sedang
Swandaru tertawa pendek. Dipandanginya wajah ayahnya
yang memang masih nampak lebih muda dari Kiai Gring"sing
dan Ki Sumangkar. Bahkan katanya, "Kebiasaan Ayah
memang hanya menunggui banjar dan bendungan di Sangkal
Putung." "Bukan begitu, Ki Demang," berkata Ki Sumang"kar, "kita
memang mempunyai pekerjaan dan kebiasaan kita masingmasing.
Itulah justru yang membuat kehidupan ini menjadi
sangat menarik." Ki Demang pun tersenyum pula. Tetapi ia tidak menya"hut
lagi. Demikianlah, mereka meneruskan perjalanan melingkar
padukuhan yang sepi, kemudian menyusuri jalan sempit di
bulak yang tidak ditanami. Tetapi bulak itu pun tidak begi"tu
luas. Kemudian, mereka mengikuti jalan itu berbelok menuju
ke Alas Tambak Bayu. Tetapi jalan yang mereka lalui itu agaknya memang hampir
tidak pernah disentuh kaki. Rerumputan liar dan dedaunan
yang dilemparkan oleh pepohonan di sebelah-menyebelah
jalan itu, sama sekali tidak menyibak.
Meskipun demikian, agaknya sesuatu telah menarik
perhatian Kiai Gringsing, Dilihatnya batang-batang rumput
yang" patah, dan di antara dedaunan kuning yang runtuh,
kadang-kadang tampak juga bekas kaki yang belum terlalu
lama pada tanah yang gembur lembab.
Karena itu, maka Kiai Gringsing pun kemudian meng"gamit
Ki Sumangkar dan memperlihatkan bekas-bekas yang
menarik perhatiannya itu, sambil berjalan terus perlahanlahan.
Ki Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Ya. Aku juga melihat."
Kedua orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Se"kilas dipandanginya wajah Ki Demang yang tampak
bersungguh-sungguh dan wajah kedua anak-anak muda yang
justru men"jadi cerah. Ternyata udara terbuka membuat
mereka men"jadi gembira. Mereka dapat melihat alam yang
luas dan rasa-rasanya hati mereka pun menjadi lapang,
selapang bulak yang tidak ditanami itu.
Tetapi kedua anak-anak muda itu beserta Ki Demang
ter"tegun, ketika mereka melihat Kiai Gringsing dan Ki
Sumang"kar yang berkuda di paling depan berhenti sejenak.
Tam"paknya mereka sedang mengamat-amati jalan di depan
kaki-kaki kuda mereka. "Ada apa, Kiai?" bertanya Ki Demang.
Kiai Gringsing berpaling. Namun ia pun kemudian
ter"senyum. Katanya, "Tidak apa-apa. Aku hanya melihat
bah"wa dekat sebelum kita, ada juga orang yang lewat jalan
ini. Tentu atas petunjuk penjual itu."
"O." "Aku semakin yakin, bahwa orang yang menunggui warung
itu bukan orang yang baik hati seperti kita duga semula.
Padukuhan yang berubah cepat sekali sejak kami lewat
terakhir kalinya, memberikan kesan yang menarik, sehingga
kita memang harus berhati-hati.
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak
ke"mudian ia pun menyahut, "Baiklah. Aku akan berhati-hati.
Tetapi mudah-mudahan jika terjadi sesuatu, tidak akan
meng"ganggu rencana perjalanan kita yang sebenarnya."
"Aku rasa memang tidak, Ki Demang."
"Ki Demang tidak menyahut lagi. Namun sekali ia
ber"paling. Di belakangnya, Agung Sedayu dan Swandaru
menengadahkan kepalanya sambil memandang ke kejauhan.
Memandang sinar matahari yang menjadi semakin terik,
membakar wajah bulak yang tidak ditanami.
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya ia
me"mang sudah dipagari oleh kekuatan yang dapat
dipercaya. Namun demikian, baginya lebih baik tidak bertemu
dan berkelahi dengan siapa pun daripada harus terganggu,
mes"kipun tidak terlalu lama.
"Tetapi bagaimanakah jika kekuatan perampok itu
melampaui kekuatan kami?" ia berdesah di dalam hati. Tetapi
Ki Demang tidak mau memikirkannya lagi. Bukan karena ia
menjadi ketakutan. Tetapi, ia tidak ingkar bahwa ia menjadi
cemas. "Jika aku tidak sedang dalam perjalanan yang pen"ting,"
katanya di dalam hati, Ki Demang bukannya orang yang
menjadi ketakutan dan bersembunyi ketika Tohpati
mengancam kademangannya. Bahkan bersama para
pengawal kademangan yang masih muda-muda dan beberapa
orang laki-laki yang tidak ingin melihat kademangannya ditelan
oleh pasukan Tohpati, Ki Demang maju juga ke medan.
Tetapi yang mencemaskannya kini, adalah justru
ke"pentingan perjalanannya itu. Namun agaknya kawankawannya
seperjalanan adalah petualang-petualang yang
selalu tertarik pada persoalan-persoalan yang mendebarkan.
Termasuk anaknya yang menjadi murid Kiai Gringsing.
Bahkan jika diijinkan, anak"nya perempuan akan berbuat
serupa pula. Namun sebenarnya, jika Kiai Gringsing tertarik kepa"da
perampok-perampok itu, bukan semata-mata karena darah
petualangannya. Sebenarnya ia pun telah dicengkam oleh
kecemasan. Betapa beratnya tantangan yang harus dihadapi
oleh daerah yang sedang tumbuh itu.
"Kenapa aku ikut berprihatin atas Mataram?" ka"dang ia
bertanya kepada diri sendiri.
Namun, betapa pun ia mencoba menyembunyikan
perasaannya, tetapi terhadap dirinya sendiri ia harus berkata
dengan jujur, bahwa sebenarnyalah ia kecewa terhadap
Pajang sekarang. Pajang yang dahulu diharapkan dapat
menjadi pelita dan pemersatu daerah-daerah yang bertebaran
di tanah ini. Tetapi agaknya Sultan Pajang tidak akan berhasil,
karena kemudian ia terbenam dalam kamukten yang
berlebih-lebihan, meskipun di masa mudanya ia adalah
anak muda yang sangat prihatin. Seorang anak muda yang
seakan-akan selalu tidur berselimut embun di sawah, yang
beratapkan langit yang luas.
Tetapi Kiai Gringsing selalu mencoba menghindarkan diri
dari setiap dorongan untuk berbuat lebih jauh lagi. Bahkan
kadang-kadang ia mencoba menasehati dirinya sendiri,
"Apakah artinya kau seorang diri. Seorang dukun tua, yang
tersisih dari percaturan pemerintah sejak Demak masih
berdiri?" Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dan ia
terperan"jat ketika ia mendengar suara sawangan berdesing
di atas kepalanya. Dengan serta-merta Kiai Gringsing menengadahkan
wajahnya. Tetapi dedaunan di sebelah-menyebelah jalan yang
rimbun menutup pandangannya, sehingga ia tidak dapat
melihat seekor merpati yang terbang dengan sawangan itu.
Ketika ia maju beberapa langkah dan berhenti di tempat
terbuka, suara sawangan itu telah menjadi sema"kin jauh.
"Merpati dengan sawangan," ia berdesis.
"Ya," sahut Ki Sumangkar, "ketika aku masih kanak-kanak,
aku senang juga bermain dengan burung merpati yang diberi
sawangan, sehingga seolah-olah kita mendengar desing yang
tiada putus-putusnya di udara."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling,
di"lihatnya Ki Demang menjadi heran dan bertanya, "Apakah
Kiai juga senang bermain sawangan?"
Kiai Gringsing tersenyum. Sebelum ia menjawab Swandaru
pun berkata pula, "Aku mempunyai banyak sawangan di
rumah. Tetapi burung merpatiku sudah hampir habis
disembelih. Ayah dan Ibu ternyata benci kepada burung
merpati, karena merusak genting dan mengotori dinding."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali
la"gi ia menengadahkan kepalanya karena suara itu
terde"ngar lagi, semakin lama semakin dekat.
"Aku pernah mendengar isyarat semacam ini." ka"tanya.
"Isyarat?" bertanya Ki Demang.
"Aku kira di padukuhan yang kosong, tidak ada anak-anak
yang bermain sawangan."
Ki Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
Ka"tanya, "Memang agak aneh bahwa di sini ada seekor
mer"pati dengan sebuah sawangan."
"Maksud, Kiai, apakah merpati ini suatu isyarat ba"gi para
perampok itu?" "Boleh jadi. Orang-orang di pinggir padukuhan itulah yang
melepaskannya, untuk memberitahukan bahwa di jalan ini
lewat beberapa orang yang dapat dijadikan korban"nya."
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Sambil
mengerutkan keningnya ia berkata, "Jadi menurut dugaan,
Kiai, kita sudah hampir berpapasan dengan perampokperampok
itu?" "Sekedar dugaan. Sebentar lagi kita memasuki hutan yang
semakin lebat. Memang mungkin sekali kita ditung"gu oleh
para perampok itu di mulut hutan.
Ki Demang memandang hutan yang terbentang di
hadapannya. Kemudian ia pun berdesah, "Jika memang jalan
itu yang harus kita tempuh, apa boleh buat."
Hampir di luar sadarnya, disentuhnya tangkal pedang"nya
yang mencuat dari balik sehelai kain di punggung ku"danya,
di bawah pelana. Kiai Gringsing dapat membaca perasaan Ki Demang.
Sebagai orang tua yang membawa anak laki-lakinya melamar,
maka sudah barang tentu bahwa ia tidak ingin menjumpai
gangguan berupa apa pun juga. Tetapi bagi Kiai Gringsing,
rasa-rasanya orang-orang itu perlu ditemuinya. Jika mungkin
untuk sekedar bertanya-jawab apabila mereka mengetahui
serba sedikit tentang diri mereka dan orang-orang yang berdiri
di belakang mereka. Menurut perhitungannya, maka para
pe"rampok itu tidak akan mengganggu perjalanannya ke
Me"noreh dan apalagi merintanginya. Mungkin memang ada
persoalan yang harus di atasinya, tetapi persoalan-persoalan
itu tidak akan banyak mempunyai arti.
Meskipun demikian, Kiai Gringsing tetap berhati-hati.
Memang mungkin sekali, bahwa perampok yang dijumpai"nya
adalah segerombolan orang-orang yang kuat dan yang
men"dapat kepercayaan untuk memagari Mataram, agar
Mata"ram tidak lagi dapat terlalu banyak menarik perhatian
orang, sehingga dalam waktu yang singkat akan dapat
menjadi sebuah negeri yang ramai.
Demikianlah, maka bagi Kiai Gringsing suara sawangan
merpati itu adalah meyakinkan sekali. Ia pernah men"dengar
isyarat yang sama. Dan kini dihubungkan dengan
kecurigaaannya kepada orang-orang yang pernah ditemuinya,
maka suara sawangan itu adalah suara yang merupakan
isyarat juga baginya, agar ia berhati-hati.
Karena itu, ketika mereka menjadi semakin dekat de"ngan
mulut lorong yang menyusup ke dalam hutan, maka Kiai
Gringsing pun kemudian merubah urut-urutan perjalan"an
mereka. Yang di paling depan dari mereka adalah Kiai
Gringsing. Tetapi mereka tidak lagi berjajar dua, tetapi
beriringan seorang demi seorang.
Di belakang Kiai Gringsing adalah Swandaru, kemudian Ki
Demang Sangkal Putung. Di belakang Ki Demang adalah
Agung Sedayu dan di paling belakang dari iring-iringan itu
ada"lah Ki Sumangkar.
"Urut kacang," desis Swandaru.
Agung Sedayu yang berada di belakang Ki Demang
menjawab, "Jalan memang terlampau sempit."
"Mungkin kita harus turun dari punggung kuda," sahut Ki
Sumangkar yang ada di paling belakang.
Kiai Gringsing sama sekali tidak berkata apa pun. De"ngan
penuh perhatian dipandanginya hutan yang lebat di
hadapannya. Beberapa langkah lagi mereka akan menyusu"ri
hutan perdu yang sempit, kemudian mereka akan sege"ra
memasuki hutan yang pepat.
"Berhati-hatilah," desis Kiai Gringsing ketika mereka telah
berada di antara gerumbul-gerumbul perdu.
Swandaru yang berkuda di belakang Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Ada semacam kegembiraan yang
tidak dikenalnya di dalam hatinya. Ternyata bahwa anak muda
itu memang memiliki jiwa petualangan. Kemungkin"ankemungkinan
yang berbahaya dan keras seakan-akan
membuatnya se"makin gairah menghadapi perjalanan itu.
Bagi Swandaru ternyata petualangan dan seorang isteri
memiliki daya ta"riknya masing-masing, sehingga ia ingin
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menempuh kedua-duanya. Ki Demang yang berada di belakang Swandaru menjadi
berdebar-debar. Di dalam setiap benturan kekerasan, sesuatu
dapat terjadi atas setiap orang yang terlibat di dalamnya.
Mungkin dirinya sendiri, mungkin Swandaru, atau keduaduanya.
Dengan demikian maka perjalanan ini adalah
per"jalanan yang sia-sia. Namun ia tidak dapat menentang
kematian setiap orang di dalam rombongannya yang kecil itu.
Karena itu, sebagai seorang yang memiliki kepercaya"an
kepada Yang Menjadikannya, maka Ki Demang itu pun berdoa
di dalam hatinya, agar perjalanan itu mendapat perlindungan-
Nya, Dalam pada itu, wajah Agung Sedayu pun nampak
bersungguh-sungguh. Berbeda dengan Swandaru, maka yang
diper"soalkan oleh Agung Sedayu di dalam hatinya adalah,
kesulitan-kesulitan yang banyak dihadapi oleh Mataram.
Apakah sebab"nya maka orang-orang itu masih saja
berusaha menggagalkan usaha Raden Sutawijaya untuk
membina daerah yang se"dang tumbuh ini" Apakah salahnya
jika Mataram menjadi ramai seperti kota-kota lain di dalam
wilayah Pajang" Masih terngiang di telinganya keterangan gurunya, bahwa
Pajang memusatkan perhatiannya kepada perkembang"an
Mataram, dan yang justru beberapa orang menganggap"nya
sebagai lawan, karena Mataram memiliki seorang Ra"den
Sutawijaya. Pengaruh Raden Sutawijaya akan dapat
menyuramkan kebesaran cahaya yang pernah dipancarkan
oleh seorang anak, yang bernama Jaka Tingkir dan disebut
Mas Karebet, yang kemudian menduduki tahta Pajang.
Di luar kehendaknya sendiri, ternyata Agung Sedayu
tertarik sekali pada perkembangan Mataram. Ia bahkan
menjadi kagum melihat kemauan yang keras dari Raden
Sutawijaya yang didorong oleh ayahnya, Ki Gede
Pemana"han, untuk mengatasi setiap kesulitan. Bahkan
menurut penilaian Agung Sedayu, setiap kesulitan yang
dihadapi"nya, merupakan pendorong yang kuat bagi Raden
Sutawi"jaya. Di paling belakang dari iring-iringan itu adalah Sumangkar.
Persoalan yang dihadapinya di saat-saat terakhir,
membuatnya kehilangan gairah untuk memikirkan masalahmasalah
yang menyangkut pemerintahan. Yang ada di dalam
hatinya ke"mudian adalah, jika benar mereka akan
menghadapi sege"rombolan perampok yang mengganggu
kemungkinan per"tumbuhan Mataram, maka perampokperampok
itu harus dimusnahkan. Baik Mataram maupun
Pajang tentu tidak akan men"dapat keuntungan dari sikap
keras yang tidak dilandasi oleh kepentingan yang luas dan
jauh, selain kepentingan bagi diri sendiri dan gerombolannya.
Bahkan di sejajari dengan usaha-usaha untuk mengadu
domba antara Pajang dan Mataram.
Demikianlah, maka sejenak kemudian iring-iringan itu
su"dah sampai ke mulut lorong yang menghunjam ke dalam
hu"tan Tambak Baya. Lorong itu adalah lorong yang agaknya
memang jarang sekali dilalui orang, selain mereka yang
terjerumus karena petunjuk orang-orang yang memang
dipasang oleh para perampok, atau satu dua orang-orang
yang men"cari kayu baka di hutan-hutan.
Dengan angan-angan dan persoalan yang berbeda-beda di
dalam hati masing-masing, maka mereka pun mulai memasuki
hutan itu. Meskipun di bagian tepi dari hutan Tambak Baya itu
masih belum merupakan hutan yang lebat pepat, namun
sudah terasa bahwa udara mulai menjadi lembab.
Sekali-sekali mereka masih mendengar sawangan merpati
yang terbang melingkar-lingkar di atas mereka. Sehingga
karena itu, maka mereka pun menjadi semakin berhati-hati.
Namun dugaan Kiai Gringsing, bahwa dihadapan iringiringan
kecil itu sudah ada sekelompok orang yang
mendahului menjadi semakin kuat, karena bekas-bekasnya
tampak semakin nyata. Ranting-ranting yang patah dan
batang-batang rerumputan liar yang terinjak kaki di sepanjang
jalan itu. "Agaknya sudah ada pula orang yang terjerumus ke" dalam
neraka ini," berkata Kiai Gringsing di dalam hati"nya. Namun
ia sama sekali tidak mengatakannya, meski-pun menurut
dugaan Kiai Gringsing, kawan-kawan seperjalanan"nya
mengetahui pula bekas-bekas itu, terutama Ki Sumangkar.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja Swandaru bertanya, "Gu"ru,
apakah Guru sudah mengenal jalan ini?"
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Aku
baru kali ini melalui jalan ini, meskipun jalan ini agaknya sudah
lama ada, dan bahkan sekarang sudah tidak dipergunakan
lagi. Tetapi aku kira jalan ini bukan jalan yang harus dilalui
untuk pergi ke Mataram."
"Jadi, apakah kita akan dapat menemukan jalan ke"luar
dari hutan ini" Meskipun hutan ini tidak seluas Mentaok, tetapi
hutan ini cukup lebat."
"Asal kita tidak kehilangan kiblat. Selagi matahari masih
ada di langit, kita akan dapat mengetahui arah."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia
ma"sih bertanya, "Tetapi bagaimana jika jalan ini kemudian
terputus. Apakah kita harus menyusup hutan di antara sulursulur
kayu dan menyibakkan dedaunan yang rimbun" Dengan
demikian, maka seperti kata Paman Sumangkar, bu"kan
kita naik punggung kuda, tetapi kuda-kuda itu akan men"jadi
beban selama perjalanan ini."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, ia
me"ngerti pertanyaan muridnya itu. Namun jawabnya, "Kita
melihat keadaan yang akan kita hadapi."
Swandaru mengerutkan keningnya. Gurunya ternyata tidak
menjawab pertanyaannya. Dan mereka bersama-sama
ma"sih harus menunggu dan melihat, apa yang mereka
hadapi kemudian. Dengan demikian, maka Swandaru tidak bertanya lagi.
Sambil maju terus ia memandang keadaan di sekitarnya, rasarasanya
memang ada sesuatu di perjalanan itu. Bahkan
nalurinya mengatakan bahwa beberapa pasang mata seakanakan
sedang mengintip di balik dedaunan.
Belum lagi mereka menusuk jauh ke dalam, tiba-tiba saja
mereka telah dikejutkan oleh suara yang aneh, tidak jauh
dihadapan mereka. Karena itu, maka Kiai Gringsing pun
memperlambat langkah kudanya. Didengarnya suara itu
dengan saksama. Seperti yang pernah dikenalnya dalam
keadaan yang tidak dapat diketahuinya dengan pasti itu,
orang-orang yang bersembunyi di hutan Mentaok dan
mungkin juga yang bersembunyi di hutan Tambak Baya ini
telah membuat berbagai macam keadaan yang membuat
sese"orang menjadi bingung.
Semakin dekat, ternyata bahwa suara itu adalah sua"ra
merintih seseorang. Semakin lama semakin dekat. Bahkan
bukan saja seseorang yang merintih-rintih, tetapi orang itu
benar-benar berteriak minta tolong.
Sejenak kemudian mereka pun melihat seseorang ber"larilari
terhuyung-huyung dari arah yang berlawanan. Di tubuhnya
terdapat noda-noda darah yang masih basah.
"Lihat!" Ki Demang hampir berteriak pula.
"Tunggu," cegah Kiai Gringsing, "kami pernah tertipu oleh
keadaan yang serupa. Kita pernah melihat orang, yang luka
parah dengan darah di seluruh tubuhnya, ternyata orang itu
sama sekali tidak terluka. Dan darah itu sama sekali bukan
darah yang sebenarnya."
Orang yang berlari-lari itu ketika melihat iring-iringan orang
berkuda, maka seakan-akan mendapatkan tenaga baru untuk
berlari-lari mendekat. Suaranya yang telah parau masih
ter"dengar, "Tolong, tolonglah kami."
"Ia tidak sendiri," desis Swandaru. Kiai Gringsing pun justru
telah berhenti. Dengan, sigap"nya ia meloncat turun. Ketika
orang yang berlari-lari itu mendekatinya sambil memegangi
lambungnya. Kiai Gring-sing berkata, "Berhenti di situ."
Orang itu terkejut. Tetapi ia berkata terputus-putus,
"Tolong. Tolonglah kami."
"Apakah kau terluka?"
"Ya, Ki Sanak. Aku terluka parah. Tiga orang ka"wanku
masih terjebak. Mereka berkelahi melawan bebera"pa orang
penyamun." "Jangan mendekat," cegah Kiai Gringsing pula. "Berdiri di
situ. Akulah yang akan mendekat."
Orang yang pucat itu menjadi semakin heran. Tetapi ia
berhenti juga sambil berpegangan sebatang pohon.
Kiai Gringsing pun segera melangkah mendekatinya. Di
amat-amatinya orang itu sejenak. Kemudian, "Tunjukkan
luka"mu." Orang itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia
menun"juk lambungnya,
"Singsingkan bajumu."
Orang itu menjadi semakin termangu-mangu. Tetapi ia
me"nyingsingkan bajunya pula.
Dari balik baju itu Kiai Gringsing melihat lambung"nya
tergores oleh ujung senjata tajam. Kali ini ia tidak akan tertipu
lagi. Dari luka itu pula darahnya telah menitik. Benar-benar
darahnya. Bukan sekedar warna merah.
Karena itu maka Kiai Gringsing pun segera mendekati"nya.
Diamatinya luka itu sejenak. Dan ia pun yakin bahwa kali ini ia
tidak tertipu lagi. Orang yang dihadapinya itu adalah benarbenar
orang yang terluka. Dan ia tidak mengang"gap bahwa
orang itu telah dengan sengaja melukai dirinya sendiri begitu
parah untuk menjebaknya. "Kenapa kau, Ki Sanak?" bertanya Kiai Gringsing.
"Penyamun. Kami telah dicegat di balik tikungan itu."
"Kau bertempur melawan mereka?"
"Kami ingin menyelamatkan barang kami. Tetapi kami tidak
dapat bertahan. Aku terluka dan melarikan diri. Mungkin aku
sedang mereka cari sekarang."
"Tidak sulit mencarimu. Tetesan darah di tubuhmu
membawa mereka segera datang kemari."
"Lindungi kami."
"Kami harus berkelahi melawan mereka?"
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
tatap"an matanya yang pasrah itu pun menjadi redup.
Katanya, "Apa boleh buat. Jika kalian tidak dapat melindungi
aku kare"na kalian tidak ingin terlibat dalam perkelahian, aku
tidak dapat memaksa. Nasibku sebentar lagi akan ditentukan
oleh mereka, apabila mereka menemukan jejakku."
"Mereka pasti akan menemukan. Bagaimana, Ki Sanak
dapat lari?" bertanya Kiai Gringsing.
"Kami tiba-tiba saja telah disergap. Beberapa orang dari
kami telah berkelahi. Meskipun kami berusaha keras, tetapi
kami tidak akan mampu melawan mereka. Karena itu, kami
berlari-larian ke segala arah mencari keselamatan diri kami
masing-masing. Beberapa orang penyamun telah mengejar
kami berpencaran. Sedang tiga orang di antara kami tidak
sem"pat berlari. Dan mereka masih bertahan melawan
seorang penyamun. Sedang penyamun-penyamun yang lain
mengejar kami yang berpencaran. Aku dapat menyelipkan
diriku di antara dedaunan dan kemudian lari sampai ke tempat
ini. Aku tidak tahu bagaimana nasib kawan-kawanku yang
lain." "Ada berapa orang penyamun yang mencegatmu" "
"Empat orang. Tetapi tiga orang dari kami tidak dapat
mengalahkan seorang dari mereka."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ternyata jumlah penyamun itu tidak banyak.
"Berapa jumlah kawan Ki Sanak seluruhnya?" bertanya Kiai
Gringsing kemudian. "Kami berlima, sedang rombongan yang lain berem"pat."
"Maksudmu rombongan yang lain?"
"Kami terdiri dari dua rombongan yang bersama-sama akan
pergi ke Mataram. Jumlah kami seluruhnya sembilan orang."
Kiai Gringsing masih mengangguk-angguk. Lalu ia pun
ber"tanya pula, "Kalian sembilan orang tidak dapat melawan
hanya empat orang?" "Tetapi yang empat orang itu adalah orang-orang yang luar
biasa. Ketika aku bersembunyi, aku masih melihat tiga orang
di antara kami yang terikat dalam suatu perkelahian, melawan
seorang saja dari antara mereka, karena yang tiga dari
mereka sedang berpencaran mengejar kami. Tetapi, tiga
orang kawan kami itu tidak berdaya. Mungkin mereka kini
sudah berlari pula. Atau mati."
Sejenak Kiai Gringsing memandangi wajah yang pucat itu.
Kemudian berpaling kepada Sumangkar sambil berkata, "Di
hadapan kita ada empat orang penyamun."
Sumangkar yang ada di paling belakangpun kemudian
maju mendekati Kiai Gringsing. Ia pun mengamati orang yang
terluka itu dengan saksama. Lalu katanya kepada Kiai
Gringsing, "Marilah kita berjalan terus."
"Kalian akan berjalan terus?" bertanya orang yang terluka
itu. "Ya. Kami akan berjalan terus," sahut Ki Sumangkar.
"Kalian akan membantu kami?"
"Tergantung kepada keadaan yang akan kita hadapi."
"O," orang itu menjadi sedikit kecewa.
"Sekarang," berkata Kiai Gringsing kemudian, "cobalah
mengobati lukamu itu."
"Obat apakah yang harus aku pergunakan sekarang" Aku
sama sekali tidak membawa obat apa pun juga."
Kiai Gringsing pun kemudian mengambil sebuah bum"bung
kecil, berisi obat bagi luka-luka baru. Kemudian ditaburkannya
serbuk dari bumbung itu pada luka di lambung yang cukup
panjang. Meskipun goresan itu tidak terlalu dalam, namun jika
tidak segera mendapat pengobatan, maka luka itu akan dapat
berbahaya bagi orang itu.
Orang itu menjadi terheran-heran, bahwa tanpa disangkasangka
ia telah bertemu dengan seseorang yang dapat
mengobati lukanya. Dengan demikian ia mulai bertanya-tanya
kepada diri sendiri, "Siapakah orang-orang berkuda ini?"
Namun, baru saja Kiai Gringsing selesai mengobati orang
itu, dilihatnya sesosok bayangan di kejauhan. Hanya sekilas,
karena bayangan itu segera berlindung di balik dedaunan.
Karena itu, maka Kiai Gringsing kemudian berkata, "Kita
diamati oleh beberapa orang."
"Siapa?" bertanya Ki Sumangkar yang kebetulan tidak
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melihat bayangan itu. "Apakah adi Sumangkar memperhatikan para petani yang
ada di gardu?" "Ya." "Apakah kesan yang kau dapat?"
"Aku mencurigainya. Petani-petani itu seakan-akan sedang
berisirahat. Tetapi tidak ada sawah yang dikerjakan di dekat
gardu itu." Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu
katanya, "Kita akan berhadapan dengan orang-orang yang
akan mengejar orang yang terluka ini, dan orang-orang yang
memang ditugaskan mengikuti kita."
"Ya." "Nah, tempatkan diri kalian masing-masing," berkata Kiai
Gringsing. Lalu, "Tidak menguntungkan jika kita berada di
punggung kuda di daerah yang pepat seperti ini."
Ki Sumangkar menganggukkan kepalanya.
Sejenak kemudian, maka mereka pun telah berloncatan
turun. Agung Sedayu, Swandaru dan Ki Demang Sangkal
Putung pun segera menambatkan kuda mereka, seperti juga
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar.
"Mau tidak mau perjalanan ini akan terganggu," desis Ki
Demang. "Maaf, Ki Demang," berkata Kiai Gringsing, "mudahmudahan
tidak memerlukan waktu terlalu lama."
Ki Demang pun menganggukkan kepalanya. Ia masih saja
berdiri di sisi kudanya, karena senjatanya tersangkut pada
pelana kudanya, terlindung oleh selembar kain di bawah
pelana itu. Sejenak mereka menunggu, sedang orang yang terluka itu
duduk sambil menyeringai menahan panas oleh obat yang
diberikan Kiai Gringsing pada lukanya. Namun kegelisahan di
hatinya bahkan telah mengurangi rasa sakit yang dideritanya.
"Ternyata kami tidak dapat maju lagi," bisik Ki Sumangkar
kepada orang itu, "Kami menghadapi persoal"an kami sendiri.
Mudah-mudahan kawan-kawanmu selamat."
Orang itu dapat mengerti. Karena itu maka ia pun
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun sejenak kemudian, mereka terkejut ketika mereka
mendengar derap orang berlari-lari kejar mengejar. Kemudian
muncullah seseorang yang berlari sekencang-kencangnya,
menuju ke arah mereka. "Itu seorang dari kawan kami," desis orang yang terluka itu.
Lalu sambil melambaikan tangannya ia me"manggil, "Aku di
sini." "Sst," desis Kiai Gringsing.
Orang itu terkejut mendengar desis Kiai Gringsing. Tetapi
dalam pada itu kawannya sudah mendengar dan melihatnya,
sehingga karena itu, maka dengan serta-merta ia pun berlari
mendatanginya. Sejenak kemudian muncullah orang yang mengejarnya.
Ketika orang itu melihat buruannya berlari di antara bebe"rapa
orang, maka ia pun segera berhenti.
Orang yang baru saja datang sambil berlari-lari itu
ber"henti di samping kawannya yang terluka dengan nafas
terengah-engah. Tanpa menghiraukan orang lain ia bertanya,
"Kau sudah ada di sini?"
"Ya. Aku bertemu dengan orang-orang ini."
"Ia berteriak-teriak," sahut Kiai Gringsing, "untunglah bahwa
yang mendengar suaranya adalah kami bukan orang-orang
yang mencarinya." "Aku bingung dan ketakutan."
"Kau terluka?" bertanya kawannya. Orang yang terluka itu
mengangguk. Namun dalam pada itu, orang yang mengejarnya terta"wa
sambil berkata, "Tidak ada jalan untuk lari. Karena itu, dengan
telaten kami mencari kalian seorang demi seorang."
Semua orang memandanginya dengan tajamnya. Tetapi
tidak seorang pun yang segera menyahut.
"Jika kalian keluar dari hutan ini, kalian bukan berarti
terlepas dari tangan kami," orang yang mengejar itu berkata
selanjutnya. Lalu, "Bahkan bukan saja kalian yang sudah
terlanjur berada di tangan kami, tetapi orang-orang yang baru
datang dengan mengendarai kuda itu pun tidak akan dapat
meninggalkan kami dengan selamat. Jangan menyesal bahwa
kalian telah berada di dalam kekuasaan kami. Hutan Tambak
Baya dan Mentaok adalah kerajaan kami."
"Siapakah sebenarnya kalian, Ki Sanak?" bertanya Kiai
Gringsing. "Tidak ada yang dapat mengenal kami dengan tepat. Kami
adalah orang-orang yang tidak bernama dan tidak bertempat
tinggal. Istana kami adalah hutan ini. Dan kalian telah masuk
ke dalam lingkungan kami, sehingga kalian tidak akan dapat
keluar lagi. Mungkin masih ada cara bagi kalian antuk
menyelamatkan diri, tetapi barangkali memerlukan suatu
perjanjian yang matang."
"Apa maksudmu?"
"Apakah kalian membawa harta benda" Mungkin bekal
kalian atau mungkin barang dagangan?"
"Jika tidak?" "Nyawa kalian-lah yang kami perlukan. Atau, dua orang di
antara kalian menjadi tawanan kami. Keduanya akan kami
bebaskan kemudian, jika yang lain dapat mene"busnya
dengan uang atau emas atau apa pun yang kami tentukan."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sejenak
dipan"danginya Ki Sumangkar yang berdiri sambil
menyilangkan tangan di dadanya. Sedang Agung Sedayu dan
Swandaru berdiri sebelah-menyebelah Ki Demang yang
termangu-mangu di sisi kudanya.
"Nah, apakah yang akan kalian pilih" Atau, barang"kali
kalian sekarang sudah membawa barang-barang yang
cukup?" "Jika kami membawa barang-barang yang cukup, apakah
kami dapat meneruskan perjalanan kami ke Mataram?"
bertanya Kiai Gringsing. "Tidak. Kalian boleh pergi, tetapi kalian harus kem"bali,
tidak terus ke Mataram atau kemana pun juga. Kalian hanya
dapat kembali tanpa pilihan yang lain. Sedangkan apabila
kalian tidak membawa apa-apa, dan tidak bersedia
menyerahkan dua orang sebagai tanggungan, maka kalian
semuanya akan kami bunuh."
"Apakah keberatan kalian jika kami pergi ke Mata"ram?"
"Tentu tidak ada. Tetapi kami berhak untuk menentukan
kemana kalian harus pergi, karena daerah ini adalah kerajaan
kami. Apa yang kami katakan harus kalian laku"kan."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas
di pandanginya dua orang yang berhasil melepaskan diri dari
tangan para perampok itu, dan kini ada di antara
rombong"annya. Namun sekilas terbayang tiga orang yang
berusaha berkelahi mati-matian, tetapi tidak berhasil
mengalahkan hanya seorang lawan.
Tetapi menurut perhitungan Kiai Gringsing, jika orangorang
itu berhasil melarikan diri, maka mereka pasti akan
sampai ke tempat ini karena jalan ini adalah jalan keluar dari
hu"tan Tambak Baya, kecuali mereka yang tersesat dan
kehilangan arah. Karena itu, maka Kiai Gringsing sengaja
memperpanjang waktu sambil menunggu orang-orang lain
yang mungkin akan berdatangan.
"Ki Sanak," berkata Kiai Gringsing, "kenapa kalian
mengganggu perjalanan kami dan perjalanan rombonganrombongan
yang lebih dahulu dari kami" Jika kalian sekedar
penyamun yang memerlukan harta benda, maka kalian tentu
akan berkeberatan jika kami berjalan terus ke Mataram."
"Kami bukan orang yang paling bodoh di muka bumi,"
jawab orang itu, "tentu kalian dapat berceritera kepa"da
orang-orang Mataram tentang kami."
"Apakah jika kami kembali ke asal kami, kami tidak dapat
berceritera tentang kalian?"
"Aku tidak peduli. Dan mereka yang mendengar ceriteramu
itu, tidak akan berani lewat jalan ini pergi ke Mata"ram."
"Apakah dengan demikian kalian tidak kehilangan mata
pencaharian" Bukankah semakin banyak orang yang lewat,
rejeki kalian menjadi semakin banyak?"
Wajah orang itu menegang sejenak. Namun kemudian ia
pun tertawa, "Kalian cukup cerdas. Tetapi sayang, bahwa aku
tidak peduli pada pendapat kalian itu."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dipandanginya wajah orang yang belum dikenalnya itu
sejenak. Ternyata wajah itu menyimpan ungkapan sikap yang
ke"ras dan kasar. "Ki Sanak," berkata Kiai Gringsing kemudian, "apakah
sebenarnya maksud kalian dengan tingkah laku ka"lian di
hutan Tambak Baya ini" Manakah yang lebih penting bagi
kalian, menyamun untuk mendapatkan harta benda, atau
menahan arus manusia yang mengalir ke Mataram?"
Orang itu mengerutkan keningnya. Dan kembali wajah"nya
menegang. Katanya, "Terlalu banyak yang ingin kau ketahui.
Sekarang, apakah kau membawa barang-barang berhar"ga?"
Kiai Gringsing memandang ke tikungan. Masih belum ada
orang lain yang datang. Karena itu ia masih menco"ba
memperpanjang waktu, "Apakah sebenarnya yang kau
maksud dengan barang-barang berharga" Pakaian atau
uang." "Apa saja. Pakaian, uang, emas atau intan berlian atau
kuda-kudamu yang tegar itu."
"Yang jelas dapat kau lihat adalah kuda-kuda kami. Tetapi
sayang, bahwa kuda kami akan kami pakai untuk
me"neruskan perjalanan. Apakah ada yang lain yang kau
ke"hendaki?" "Nyawa kalian. Memang sebaiknya nyawa kalian. Ji"ka
kalian mati terbunuh, maka semua barang yang kalian bawa
akan menjadi milik kami. Juga kuda-kuda itu."
"Kau hanya seorang diri. Kami berlima dan sekarang
bertujuh, meskipun yang seorang telah terluka. Tetapi, ia
masih mampu berkelahi melawanmu."
Tiba-tiba saja orang itu tertawa terbahak-bahak. Katanya,
"Kau sangka aku hanya seorang diri?"
Kiai Gringsing masih belum menjawab ketika tiba-tiba saja
ia melihat seseorang berlari-lari. Tetapi langkahnya tertegun
sejenak ketika ia melihat sekelompok orang yang berdiri di
jalan sempit itu. Dan ternyata orang itu adalah salah seorang dari kawankawan
orang yang terluka itu, sehingga sekali lagi ia
memanggil sambil melambaikan tangannya, "Aku di sini."
Dengan ragu-ragu orang itu mendekat. Ternyata di
belakangnya diikuti oleh seorang lagi.
"Kemarilah," berkata orang yang terluka itu. Penyamun
yang mengejar orang-orang itu pun memandang kedua orang
yang datang itu. Katanya kemudian, "Baik"lah, kalian
berkumpul di sini. Dengan demikian kami akan lebih mudah
menyelesaikannya." Kiai Gringsing memandang kedua orang yang datang itu
sejenak. Ketika keduanya sudah dekat, ia pun bertanya,
"Dimana kawan-kawanmu?"
Kedua orang itu menggeleng. Salah seorang menjawab,
"Aku tidak tahu."
"Kami akan mencari mereka," penyamun itulah yang
menyahut. Lalu diletakkannya jari-jarinya ke dalam mu-lutnya.
Ketika ia meniup, terdengarlah suara suitan yang nyaring,
yang gemanya seakan-akan memenuhi Hutan Tambak Baya.
"Apa yang akan kau lakukan?" bertanya Kiai Gringsing.
"Aku memanggil kawan-kawanku."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Ketika ia
me"nebarkan pandangannya, dilihatnya beberapa sosok
baya"ngan yang bergerak-gerak. Kemudian muncullah
beberapa orang mendekati mereka. Empat orang lagi.
Tetapi selain empat orang itu, masih ada lagi seorang yang
datang sambil mendorong dua orang yang sudah ti"dak
berdaya. Bahkan yang seorang agaknya telah terluka,
meskipun tidak parah. "Itu kawan kami," desis orang yang terluka.
"Ya." sahut yang lain.
"Mereka adalah kawan-kawanmu," berkata penyamun itu.
Lalu, "Kumpulkan mereka di sini," katanya lantang ke"pada
kawannya yang mendorong kedua orang itu dengan
Punggung tombak pendeknya.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Lalu, "Mereka akan
berkumpul lagi dan kami harus berkelahi lagi."
"Kumpulkan mereka. Kami tidak akan membuat kesalahan
serupa, membiarkan orang-orang semacam mereka itu berlari
bercerai-berai. Kami akan mengepung mereka dan
membunuh mereka di dalam lingkaran kepungan kami.
Ke"cuali jika mereka dapat memenuhi syarat-syarat kami."
"Tidak akan dapat mereka penuhi," berkata yang baru
datang sambil mendorong kedua tawanannya, "sebaiknya
mereka dibunuh saja."
"Kami akan membunuh mereka beramai-ramai. Ada
bera"pa orang yang sudah terkumpul?"
Tidak ada seorang pun yang menjawab. Tetapi orang itu
telah menghitungnya dan bergumam, "Enam orang. Masih ada
tiga orang yang belum kami ketemukan."
"Yang seorang sudah mati. Aku berkelahi melawan tiga di
antara mereka. Inilah yang dua. Hampir saja aku
membunuhnya. Tetapi aku mendengar isyaratmu."
"Apakah kau berada dekat sekali dari tempat ini?"
"Aku menggiring orang ini. Maksudku, mereka akan kami
bawa keluar hutan ini dan menggantungkan tubuh"nya di
mulut lorong, sampai keduanya mati dengan sendiri"nya.
Keduanya adalah orang yang paling sombong yang pernah
aku temui." Yang mendengar kata-kata itu menjadi ngeri. Agaknya
me"reka adalah orang-orang yang dapat membunuh dengan
hati yang dingin, seperti mereka sedang menebas pohon
pisang yang sedang berbuah.
"Nah," berkata penyamun yang bersuit itu, "kum"pulkan
mereka. Apa masih ada yang lain?"
"Mudah-mudahan yang lain belum terbunuh. Kawan-kawan
ka"mi sedang mencari mereka."
Penyamun itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak
ia memandang ke tikungan. Seakan-akan ia pun sedang
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menunggu kawan-kawannya yang lain. Karena tidak seorang
pun yang tam"pak, maka sekali lagi ia bersuit lebih keras lagi.
Dari kejauhan terdengar suara suitan yang serupa.
Agaknya kawan-kawannya mendengar isyaratnya dan
menjawab isyarat itu dengan suitan pula.
Beberapa saat mereka menunggu. Kiai Gringsing ma"sih
tetap berdiri di tempatnya. Demikian pula Ki Sumangkar, Ki
Demang, Agung Sedayu dan Swandaru. Sedang orang-orang
yang berdatangan kemudian menjadi semakin gelisah
ka"renanya. Sejenak kemudian, muncullah dua orang yang lain,
ham"pir berbareng. Yang seorang menggiring seorang
tawanan yang sudah hampir tidak dapat berjalan lagi, sedang
yang lain datang seorang diri.
"Nah, kumpulkan mereka," berkata penyamun yang
pertama-tama datang, yang agaknya adalah pemimpin
mereka. "Buat apa?" bertanya yang menggiringnya.
"Kami akan membunuh beramai-ramai. Semuanya ada
tu"juh orang ditambah dengan lima. Dua belas orang." orang
itu berhenti sejenak. Lalu, "Manakah yang seorang?"
"Belum kami ketemukan. Ia pasti bersembunyi di dalam
hutan. Tersesat atau keluar lewat belukar. Tetapi ia tidak akan
dapat hidup. Jika ia keluar hutan, maka ia akan ditangkap
juga, sedang apabila ia masih tetap ada di dalam hutan yang
lebat, maka ia akan menjadi mangsa binatang buas nanti
malam." Pemimpin penyamun itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Lalu katanya, "Jika demikian, kita tidak
menunggunya. Berapa orangkah kita semuanya?"
Para penyamun itu menghitung jumlah mereka sendi"ri.
Lalu, "Delapan orang."
Pemimpin penyamun itu masih meng-angguk-anggukkan
ke"palanya. Katanya, "Baiklah. Kami semua ada delapan
orang. Yang kita hadapi lima orang, dengan tujuh orang yang
sudah hampir mati." "Yang sudah lelah silahkan beristirahat," berkata seorang
penyamun yang lain, "kami masih segar dan sen"jata kami
belum bernoda darah. Kami berempatlah yang akan
menyelesaikan semuanya."
"Aku belum membunuh!" teriak yang lain, yang da"tang
seorang diri. "Aku akan ikut beramai-ramai sekarang."
"Semua akan ikut," jawab pemimpin penyamun itu, "tetapi
aku ingin kepastian, apakah orang-orang berkuda itu mau
memenuhi permintaan kami?"
Para penyamun itu terdiam.
"Bagaimana, Ki Sanak?" bertanya pemimpin penya"mun itu
kepada Kiai Gringsing, "Bawalah kepada kami beberapa
keping emas dan perak. Kami memberi waktu dua hari dengan
dua orang tanggungan. Tanggungan yang ka"mi pilih adalah
kedua anak-anak muda itu."
"Ah," desah Kiai Gringsing, "tentu tidak mungkin. Mereka
adalah cucu-cucu kami yang akan melanjutkan
kelang"sungan hidup nama kami."
"Terserahlah kepada kalian. Jika kalian membawa emas
itu, maka keduanya akan kami bebaskan."
"Kami agak kurang percaya menilik sikap dan kata-kata
kalian. Jika kami datang membawa tebusan, maka kami pun
pasti akan kalian bunuh."
Pemimpin penyamun itu mengerutkan keningnya. Na"mun
ia pun kemudian tertawa berkepanjangan. Katanya, "Kau
terlampau berprasangka, kakek tua. Jika demikian, maka tidak
ada pilihan lagi dari kalian selain mati. Kami, yang delapan
orang ini akan beramai-ramai membunuh kalian. Melawan
atau tidak melawan."
"Itu tidak berperikemanusiaan."
"Kami memang tidak berperikemanusiaan. Tetapi tidak
apalah. Agaknya cukup menyenangkan berburu manusia
seperti kalian. Nah, apakah kalian bersenjata?"
Kiai Gringsing menggeleng. Jawabnya, "Kami tidak
bersenjata." "Kalau begitu, kami akan memberi kalian senjata. Pedang
atau tombak atau senjata apakah yang kalian pi"lih?"
Kiai Gringsing terdiam sejenak. Namun tiba-tiba ia
ber"kata, "Bukankah yang berdiri di sana itu, petani yang
du"duk di gardu ketika aku lewat?"
Orang yang ditunjuk Kiai Gringsing itu tersenyum.
Ka"tanya, "Kau masih dapat mengenali aku. Ingatanmu baik
sekali, Kakek. Aku memang yang tadi duduk di gardu itu.
Tetapi aku bukan petani seperti yang kau sangka. Aku
ada"lah salah seorang dari penyamun-penyamun yang
kebetulan sudah lama ingin memiliki seekor kuda yang tegar
seperti kuda"mu itu."
"Kalian adalah penjahat-penjahat yang licik. Tentu penjual
makanan itu pun kawanmu pula. Ia-lah yang menjerumuskan
kami lewat jalan ini. Ternyata kalian sudah menunggu kami di
sini. Orang itu memang berusaha menjebak kami."
Hampir berbareng penyamun-penyamun itu tertawa,
Pemimpin"nya berkata, "Kau menyenangkan sekali, Kakek
tua. Sayang sebentar lagi kau akan mati. Tetapi sebaiknya
kau mati paling akhir. Aku senang mendengar kau berkicau
seperti seekor burung."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Tetapi tanpa
diduga-duga, ternyata Swandaru tidak lagi dapat menahan
perasaannya. Tiba-tiba saja dengan lantang ia menjawab.
"Ka"lian akan kecewa. Meskipun Kakek ini sebangsa burung,
te-tapi bukan jenis burung berkicau. Kakek ini adalah se"ekor
burung kedasih, yang suaranya menggemakan kematian.
Nah, apakah kalian siap untuk mati?"
Kata-kata Swandaru itu memang mengejutkan sekali.
Bah"kan Kiai Gringsing sendiri pun terkejut karenanya. Tetapi
sifat-sifat itulah memang yang menonjol pada muridnya yang
gemuk itu. Sejenak, para penyamun yang berdiri bertebaran itu
menjadi termangu-mangu. Seakan-akan mereka tidak percaya
pada pendengarannya, bahwa anak muda yang gemuk itu
telah berkata tentang kematian. Bukan kematian orang-orang
yang ketakutan itu, tetapi kematian para penyamun.
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar sudah tidak dapat
mencegah lagi. Agaknya benturan yang keras akan segera
terjadi. Salah seorang dari penyamun itu ternyata tidak dapat
dilawan oleh tiga orang sekaligus, bahkan salah se"orang dari
ketiga lawannya itu telah terbunuh dan yang dua lainnya,
dikuasainya dengan mutlak. Dan sekarang yang ada di
sekitarnya adalah delapan orang penyamun. Sedang
rombongan Kiai Gringsing bersama orang-orang yang seakanakan
sudah tidak berdaya lagi itu berjumlah lima dan tujuh
orang. Namun yang tujuh orang itu sama sekali sudah tidak
bersenjata. Dalam pada itu, penyamun-penyamun itu pun telah
bergeger maju. Ternyata kata-kata Swandaru itu membuat
mereka marah. Pemimpin penyamun itu pun kemudian
berkata, "Ja"di kalian benar-benar akan melawan?"
Kiai Gringsing-lah yang cepat-cepat menjawab, "Apakah
kalian benar-benar akan memberi senjata kepada kami, agar
kalian mendapat perlawanan yang kalian kehendaki" Berilah
senjata itu jika benar-benar kalian ingin berkelahi."
Wajah pemimpin penyamun itu menjadi merah. Tiba-tiba ia
berteriak, "Hati-hatilah! Orang-orang ini ternyata lebih
sombong dari orang-orang yang baru saja kalian hancurkan
itu.?" "Berikan kami senjata, terutama orang-orang yang baru
saja kalian kalahkan. Agaknya kalian telah melucuti
Jago Kelana 14 Cinta Aishah Karya Mohd Faizul Bin Ali Misteri Elang Hitam 2