Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 21

03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 21


itu menyusulnya. Pedang mereka telah teracu lurus ke dada Ki
Ranadana, sehingga hampir tidak ada kesempatan baginya
untuk menghindarkan diri dari bencana. Apalagi ketika
dilihatnya dua orang lawannya tetap berdiri di pintu untuk
menjaga agar tidak ada seorang pun yang dapat
membantunya. Meskipun demikian Ki Ranadana tidak menyerah begitu
saja. Ia tahu, salah seorang dari keempat lawannya itu adalah
orang yang pilih tanding. Karena itu, maka perlawanannya
dipusatkan kepadanya. Namun hatinya berdebar-debar ketika ia mendengar orang
itu berkata, "Aku akan membunuhnya. Bantulah kawankawanmu
yang lain. Aku menunggu kesempatan untuk
berkelahi dengan leluasa seperti ini. Di dalam perkelahian
yang kisruh aku justru merasa terganggu. Sekarang aku
mendapat kesempatan untuk mengetahui dengan pasti,
betapa tinggi ilmu seorang perwira Pajang."
Hati Ranadana menjadi berdebar-debar. Apalagi ketika
ketiga orang yang lain benar-benar menarik dirinya dari
perkelahian itu. "Jaga pintu itu," berkata pemimpin gerombolan itu, "jangan
seorang pun boleh masuk. Setelah orang ini mati, biarlah aku
menyelesaikan yang lain. Jaga mereka agar mereka tidak
sempat lari." Ketiganya mengangguk-anggukkan kepalanya. Seorang
dari mereka langsung pergi ke pintu, sedang yang dua orang
lainnya masih termangu-mangu.
Sejenak kemudian perkelahian seorang lawan seorang
telah terjadi. Tetapi seperti yang dikatakan oleh pemimpin
gerombolan itu, rasa-rasanya ia kini mendapat kesempatan
lebih banyak, sehingga dengan demikian, meskipun ia hanya
seorang diri, maka perwira itu pun tidak dapat
mengimbanginya. Selangkah demi selangkah ia terdesak.
Apalagi tenaganya yang telah diperas di depan pintu itu pun
telah menjadi semakin susut.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing pun menjadi cemas karena
Ki Ranadana terdesak. Tetapi ia tidak dapat meninggalkan
lingkaran perkelahiannya. Ternyata seorang lawannya adalah
orang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Ditambah lagi
dengan dua orang yang membantunya. Orang itu adalah
orang yang langsung diperbantukan dari pemimpin
gerombolan yang lebih tinggi lagi tingkatnya.
Tetapi ternyata yang dihadapinya kini adalah Kiai
Gringsing. Karena itu, maka orang yang telah mendapat
kepercayaan itu menjadi berdebar-debar. Ia memang pernah
mendengar tentang orang-orang bercambuk. Tetapi kini ia
harus menghadapinya sendiri.
"Orang ini telah membunuh Kiai Damar dan Kiai Telapak
Jalak," berkata orang itu di dalam hatinya. Dengan demikian ia
dapat menilai, betapa tinggi ilmu orang bercambuk itu.
"Tetapi aku tidak sebodoh Kiai Telapak Jalak," berkata
orang itu di dalam hatinya pula, "aku harus dapat
mengumpankan cucurut-cucurut bodoh ini, sementara aku
mengambil keuntungan dan kemudian membinasakan."
Ternyata berbeda dengan pemimpin gerombolan
penyerang itu sendiri, yang ingin membinasakan Ranadana
dengan tangannya dan kemampuannya sebagai suatu
kebanggaan bahwa ternyata perwira Pajang tidak lebih
daripada dirinya sendiri, maka orang yang sedang bertempur
dengan Kiai Gringsing itu mempunyai caranya sendiri.
Meskipun ia memiliki kemampuan melampaui kawankawannya
namun ia sama sekali tidak berusaha melindungi
mereka. Bahkan dibiarkannya kawan-kawannya menyerang
dan memancing perhatian Kiai Gringsing sementara ia
berusaha menyerang dengan diam-diam. Ia sama sekali tidak
menghiraukan jika ada satu dua orang kawannya yang
tersentuh senjata lawan atau bahkan terbunuh sekalipun.
Namun bahwa kesempatan itu masih juga belum terbuka
baginya membuatnya semakin marah. Bukan saja kepada Kiai
Gringsing tetapi kepada kawan-kawannya sendiri yang tidak
mampu menarik perhatian lawannya sebanyak-banyaknya
sehingga memberi kesempatan kepadanya untuk menikam
lawannya dengan kecepatan yang dimilikinya.
"Hmm. Orang bercambuk ini memang gila," ia menggeram.
Namun ketika ia sadar, bahwa masih ada beberapa orang lain
yang harus diselesaikan, maka ia pun bertempur semakin
sengit pula. "Jangan berkelahi seperti pengecut," ia menggeram, "aku
dikirim untuk membantu kalian, untuk menyelesaikan tugas
yang dibebankan oleh Sutawijaya kepada kita. Karena itu,
jangan bertempur seperti seorang gadis yang sedang
menerima lamaran." Mendengar sindiran itu, kawan-kawannya menjadi
berdebar-debar. Tetapi usaha orang itu berhasil karena
kawan-kawannya bertempur semakin gigih dan kadangkadang
benar-benar berhasil menarik perhatian Kiai Gringsing
sepenuhnya. Namun dengan demikian, Kiai Gringsing menyadari betapa
liciknya lawannya yang seorang ini. Meskipun kemampuannya
jauh lebih besar dari kawan-kawannya, namun ia justru
berlindung kepada mereka dan kemudian jika ia berhasil,
maka dirinyalah yang akan mendapat pujian, seakan-akan
ialah yang telah mampu menyelesaikan tugas itu.
Karena itu, kemarahan Kiai Gringsing justru ditujukan
kepada orang itu, sehingga ada yang telah dilupakannya. Jika
ia dapat menangkap orang itu hidup-hidup, maka ia akan
mendapat penjelasan lebih banyak tentang orang itu dan
gerombolannya, bahkan pemimpin-pemimpin yang lebih tinggi.
Tetapi Kiai Gringsing tidak mengerti susunan dan tingkatan
dari lawannya. Yang ia ketahui, lawannya yang seorang ini
sangat licik dan pengecut meskipun dengan demikian ia justru
menjadi sangat berbahaya.
Sejenak kemudian, maka serangan-serangan Kiai
Gringsing telah dipusatkan kepada orarg yang licik itu.
Betapapun ia berusaha berlindung di punggung kawankawannya,
namun ujung cambuk Kiai Gringsing seakan-akan
selalu mengejarnya. Tetapi orang itu masih juga sempat berteriak, "Ayo, jangan
lari. Aku ada di antara kalian."
Namun bagaimanapun juga, serangan-serangan Kiai
Gringsing tidak juga dapat dihindarinya. Sekali-sekali ujung
cambuk orang tua itu telah menyentuhnya, dan membuat jalur
yang pedih dikulitnya. Akhirnya orang itu pun menyadari keadaannya. Ternyata
lawannya memusatkan serangan-serangannya kepadanya.
Karena itu, maka ia tidak dapat ingkar lagi, bahwa ia harus
bertempur sebaik-baiknya.
"Tetapi orang bercambuk ini benar-benar gila," katanya di
dalam hati. "Kenapa ia berada juga di tempat ini" Jika yang
ada di dalam rumah ini benar-benar empat atau lima orang
perwira prajurit Pajang, maka aku kira tugas akan cepat
selesai." Dalam pada itu ia sempat juga bertanya-tanya tentang
pemimpin gerombolannya. Ia mengetahui bahwa
pemimpinnya itu sedang mengejar seorang perwira yang
terdesak ke dalam bilik. Tetapi sampai berapa lamanya ia
masih belum dapat menyelesaikannya pula.
Dalam pada itu, perkelahian di dalam ruangan itu pun
menjadi semakin sengit. Lawan-lawan yang tidak terduga
ternyata telah dijumpai oleh gerombolan penyerang itu. Yang
kemudian menjadi paling parah adalah sekelompok orang
yang bertempur melawan Sumangkar. Sejenak kemudian
maka seorang demi seorang telah dijatuhkannya. Mati atau
terluka berat. Sumangkar memang ingin segera
menyelesaikan tugasnya untuk dapat menolong Ki Ranadana
yang agaknya terdesak. Swandaru, yang bertempur dengan segenap
kemampuannya, tidak dapat berbuat secepat Sumangkar.
Menghadapi beberapa orang sekaligus, Swandaru masih
harus berjuang sekuat-kuatnya, sekedar untuk bertahan.
Namun ia masih mendapatkan kesulitan untuk memecahkan
kepungan dan membantu Ki Ranadana.
Sejenak kemudian dada Swandaru berdesir ketika ia tidak
melihat lagi Agung Sedayu bertempur di tempatnya. Ia tidak
melihat ke mana saudara seperguruannya itu pergi. Yang
paling mungkin adalah bahwa Agung Sedayu telah digiring
oleh lawan-awannya seperti Ki Ranadana masuk ke dalam
bilik yang lain, karena Agung Sedayu berdiri tidak begitu jauh
dari pintu bilik itu. Ketika Swandaru sempat melihat perkelahian antara
gurunya dengan lawannya maka dadanya menjadi berdebardebar.
Ia dapat melihat, bahwa seorang dari lawan-lawan
gurunya adalah seorang yang berilmu tinggi.
Dengan demikian, maka Swandaru pun menjadi semakin
garang. Cambuknya menjadi semakin cepat berputar dan
menggelegar seperti patuk seekor burung sikatan.
Sementara itu, lawan Ki Sumangkar seorang demi seorang
telah berjatuhan. Namun setiap kali orang baru telah
menyerangnya pula. Bahkan orang-orang yang semula
berkelahi melawan Ki Ranadana di dalam bilik itu pun telah
membantu kawan-kawannya mengepung Ki Sumangkar yang
bersenjata trisula itu. Dalam pada itu Agung Sedayu benar-benar telah masuk ke
dalam bilik di sebelah. Tetapi ia tidak mempunyai lawan
seberat Ki Ranadana. Bahkan sebagian lawannya yang lain
telah melepaskan dirinya dan membantu bertempur melawan
Sumangkar. Ternyata bahwa sejenak kemudian ketika cambuknya
meledak, seorang dari lawannya telah meloncat surut sambil
menyeringai. Kemudian disusul oleh ledakan-ledakan yang
kedua dan yang ketiga. Ledakan-ledakan itu telah memberitahukan kepada
Swandaru bahwa Agung Sedayu memang berada di dalam
bilik itu. Tetapi Swandaru tidak dapat membayangkan, apa
yang telah terjadi atas kakak seperguruannya itu.
Demikianlah maka akhirnya Agung Sedayu berhasil
melumpuhkan lawan-lawannya, karena sebagian yang lain
telah bertempur melawan Sumangkar, namun yang seorang
demi seorang terlempar dari gelanggang.
Pada saat yang gawat itulah Agung Sedayu mencoba
melihat bilik yang lain yang dibatasi dengan dinding bambu.
Sambil mematahkan satu dua anyaman ia melihat bahwa
keadaan Ki Ranadana benar-benar gawat. Kini ia sudah
terjepit di sudut bilik. Sejenak kemudian maka lawannya pasti
akan dapat membinasakannya.
"Inikah nilai dari perwira-perwira Pajang?" berkata
pemimpin penyerang itu. "Pada saatnya, Mataram pasti akan
segera menguasai. Mataram mempunyai pasukan yang jauh
lebih kuat. Baik jumlahnya maupun kemampuan seorang demi
seorang. Kami sedang membujuk Mangir untuk ikut bersama
kami dan juga Menoreh. Nah, sampailah saatnya Pajang akan
runtuh." "Persetan," Ki Ranadana menggeram, "kau jangan
mengigau. Pajang akan tetap tegak. Dan kau sama sekali
bukan orang Mataram."
"He?" pemimpin penyerang itu mengerutkan keningnya.
"Kau sama sekali tidak berasal dari Mataram. Di sini ada
seorang perwira dari Mataram yang akan menentukan,
apakah kau benar-benar seorang Mataram atau bukan."
"Gila. Kau masih juga mengigau di saat matimu."
Ki Ranadana tidak menjawab. Tetapi serangan lawannya
menjadi semakin garang, sehingga akhirnya Ki Ranadana
benar-benar telah kehilangan kesempatan untuk berbuat
sesuatu. Namun pada saat itulah, tiba-tiba dinding yang menyekat
antara kedua bilik di rumah itu pecah oleh dorongan kekuatan
yang besar. Seorang anak muda muncul dengan cambuk di
tangan. Anak muda itu adalah Agung Sedayu.
"Gila," geram pemimpin penyerang itu. Tetapi ketika
cambuk Agung Sedayu meledak, ia terpaksa berusaha
menghindar. Ternyata bahwa Agung Sedayu memburunya
terus, dengan ledakan-ledakan yang dahsyat.
Namun lawannya adalah seorang yang pilih tanding. Itulah
sebabnya, sejenak kemudian ia berhasil menguasai dirinya
dan dengan mantap melawan serangan-serangan Agung
Sedayu. "Licik," ia berteriak.
Tetapi Agung Sedayu dan Ki Ranadana tidak menjawab.
Keduanya segera menempatkan diri untuk melawan pemimpin
penyerang itu. "Sisihkan anak muda ini," teriak pemimpin penyerang itu
kepada orang yang berdiri di muka pintu.
Tetapi orang yang berdiri di muka pintu itu sudah tidak
mampu berbuat apa-apa, karena ujung trisula Ki Sumangkar
telah menyentuhnya. Demikianlah lambat laun, para penyerang itu pun menjadi
semakin berkurang. Seorang demi seorang mereka telah
terbunuh. Jika bukan, oleh Ki Sumangkar, maka cambuk Kiai
Gringsing-lah yang telah melemparkan lawannya.
Namun orang yang berilmu tinggi, yang bersama-sama
dengan beberapa orang berkelahi melawan Kiai Gringsing itu
pun masih juga berusaha untuk menang. Namun agaknya
kesempatannya semakin lama menjadi semakin tipis.
Dalam pada itu, di halaman keadaan para penyerang itu
menjadi lebih parah. Prajurit-prajurit Pajang mendesaknya ke
satu sudut di halaman sehingga mereka hampir tidak
mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu.
"Tentu ada pengkhianatnya di antara kita," geram salah
seorang dari para penyerang itu.
Namun mereka tidak sempat lagi mencari, siapakah
pengkhianatnya yang ada di antara mereka itu.
Sementara itu, dua orang utusan yang berpacu dari
Pengging sama sekali tidak sempat mencegah kawankawannya.
Dari kejauhan mereka mendengar hiruk pikuk
pertempuran. Namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa.
Dan mereka pun tidak berani terjun langsung ke dalam
pertempuran itu jika keduanya tidak ingin binasa pula.
Perkelahian itu pun semakin lama menjadi semakin jelas
akan segera sampai ke akhirnya. Kiai Gringsing sudah


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berhasil mengurangi lawannya seorang demi seorang,
sehingga akhirnya, Kiai Gringsing harus berhadapan dengan
dua orang saja. Yang seorang justru orang yang paling licik
yang pernah dijumpainya. Demikianlah dalam keadaan terdesak, maka ternyata orang
yang licik itu sama sekali tidak bertanggung jawab lagi
terhadap apa yang terjadi. Ketika kawannya mencoba
menyerang Kiai Gringsing dari lambung, dan berhasil menarik
perlawanan orang tua itu, maka tiba-tiba saja ia meloncat
berlari meninggalkan lawannya.
"Pengecut," Kiai Gringsing menggeram. Namun ia tidak
melepaskannya Ditinggalkannya lawannya yang seorang lagi
dan dengan marahnya ia mengejar lawannya yang melarikan
diri itu. Ternyata bahwa lawannya berhasil keluar dari pintu butulan
dan turun ke longkangan samping. Namun ia tidak dapat lari
lebih jauh lagi. Tiba-tiba saja ia mendengar cambuk Kiai
Gringsing meledak, dan terasa segores luka yang pedih di
lambungnya. Dengan serta-merta ia memutar diri. Dengan sekuat tenaga
dilemparkannya sebuah pisau belati ke arah Kiai Gringsing.
Tetapi Kiai Gringsing sempat melihat pisau belati yang
meluncur itu, sehingga ia masih sempat menghindarinya.
Sejenak kemudian maka orang itu pun mencoba untuk
sekali lagi melepaskan diri dari tangan Kiai Gringsing. Bukan
saja karena ia memang licik, tetapi ia sadar, bahwa jika ia
tertangkap hidup-hidup, maka ia pasti akan diperas oleh
orang-orang Pajang untuk memberikan keterangan tentang
para pemimpinnya yang sebagian memang berada di Pajang.
Namun Kiai Gringsing yang marah karena kelicikannya itu
tidak membiarkannya meninggalkan halaman itu. Ketika orang
itu mencoba meloncati dinding batu, maka sekali lagi
terdengar cambuk Kiai Gringsing menggelepar dan membelit
kakinya. Dengan suatu hentakan maka orang itu pun terseret
jatuh di hadapan Kiai Gringsing yang sedang marah.
Tetapi orang itu ternyata tidak menyerah. Sekali lagi
sebuah pisau belati meluncur cepat sekali.
Kali ini Kiai Gringsing tidak menyangka, bahwa orang yang
masih terbaring di tanah itu mampu melemparkan pisau
sekeras dan secepat itu, sehingga dengan demikian, maka
Kiai Gringsing menjadi agak lemah. Karena itu, maka
usahanya untuk menghindari pisau itu tidak sepenuhnya
berhasil. Meskipun pisau itu tidak menghunjam di arah
jantungnya, namun pisau itu telah menyobek bahunya.
Kemarahan Kiai Gringsing benar-benar tidak dapat
dikendalikannya. Karena itu, maka tiba-tiba saja cambuknya
meledak dua kali. Dua kali ledakan cambuk yang digerakkan
oleh tenaga Kiai Gringsing. Bukan saja karena kemarahannya
melihat kelicikan lawannya, tetapi juga karena pisau lawannya
yang menyobek dan bahkan masih melekat di bahunya.
Orang itu masih sempat menggeliat sesaat. Sebuah luka
yang mengerikan telah menganga di dadanya dan hampir di
lehernya. Ternyata bahwa orang itu tidak dapat menahan
perasaan sakit dan darah yang tidak habis-habisnya mengalir
dari lukanya itu, sehingga sejenak kemudian maka ia pun
telah melepaskan napasnya yang terakhir.
Sejenak Kiai Gringsing memandang mayat yang terbujur di
tanah. Baru kemudian ia sadar, bahwa pisau belati lawannya
masih menancap di bahunya, sehingga dengan demikian
maka perlahan-lahan pisau itu ditariknya.
Demikian pisau itu terlepas, maka darah pun seakan-akan
telah menyembur dari luka itu.
Namun Kiai Gringsing adalah seorang dukun yang baik.
Sebelum ia sempat mengobati lukanya, maka dipetiknya
beberapa genggam daun metir. Setelah dikunyahnya, maka
daun metir itu pun segera dilekatkannya pada lukanya,
sehingga sejenak kemudian lukanya telah tidak mencucurkan
darah terlalu banyak lagi.
Setelah sekali lagi mengawasi lawannya, Kiai Gringsing
pun kemudian melangkah kembali ke dalam. Di dalam,
beberapa orang masih berkelahi dengan gigihnya. Apalagi Ki
Ranadana. Tetapi ketika ia memasuki rumah itu, dilihat Ki Sumangkar
sudah tidak ada di tempatnya lagi. Ia telah berhasil memasuki
bilik tempat Ki Ranadana dan Agung Sedayu bertempur
melawan pemimpin penyerang itu.
"Menyerah sajalah," berkata Sumangkar.
Tetapi orang itu menggelengkan kepalanya sambil
menggeram, "Kalian sajalah yang menyerah. Aku mengemban
tugas dari Raden Sutawijaya untuk membinasakan kalian.
Karena itulah maka kalian harus binasa."
"Apakah dalam keadaan seperti ini kau masih merasa
mampu untuk membinasakan kami?" bertanya Sumangkar.
"Kenapa tidak. Kau semuanya harus mati. Semua perwira
Pajang di Jati Anom harus mati."
"Ki Sanak," berkata Sumangkar, "sebaiknya kau menyadari
keadaanmu. Di luar, orang-orangmu telah terkepung oleh
prajurit Pajang. Tidak seorang pun dari kalian yang akan
berhasil lolos dari halaman rumah ini, karena sebenarnyalah
kalian telah terjebak. Kami telah mengetahui rencana kalian,
bahwa kalian akan membunuh para perwira yang ada di Jati
Anom dan mengatasnamakan diri kalian sebagai petugas dari
Raden Sutawijaya. Tetapi kalian keliru."
"Persetan," geram pemimpin penyerang itu. Tiba-tiba saja
ia telah menyerang Ranadana dengan garangnya. Hampir
tidak dapat dicegah lagi, ujung senjatanya telah siap
menembus dada perwira yang sedang lengah itu.
Agung Sedayu yang berdiri di samping Ki Ranadana
segera meloncat ke samping sambil meledakkan cambuknya
ke arah hulu pedang pemimpin penyerang itu dengan
hentakan sendal pancing. Maksudnya agar ujung pedang
orang itu bergeser dari dada Ki Ranadana.
Sementara itu Ki Ranadana sendiri terkejut bukan
kepalang. Karena itu yang dapat dilakukannya hanyalah
sekedar menangkis serangan itu dengan pedangnya.
Tetapi untunglah bahwa usaha Agung Sedayu berhasil,
sehingga hentakan cambuknyaa telah menarik serangan
orang itu ke samping, sehingga sama sekali tidak mengenai
sasarannya. Namun ternyata yang lebih parah dari itu, adalah
tindakan Sumangkar yang terkejut. Hampir di luar sadarnya,
tangannya telah bergerak dan ujung trisulanya telah meluncur
dan menghunjam ke lambung orang yang sedang menyerang
Ki Ranadana. Akibat dari serangan Sumangkar itu ternyata
tidak dapat dihindarkan lagi dari sentuhan maut.
"Ki Sanak," berkata Sumangkar yang kemudian berjongkok
di samping orang itu, "aku tidak sengaja membunuhmu. Tetapi
barangkali seorang kawanku akan dapat mengobati lukalukamu."
"Persetan," orang itu menggeram sambil meyeringai
menahan sakit. Sumangkar masih melihat wajah orang itu menegang
menahan sakit. Namun agaknya lukanya benar-benar telah
parah, sehingga kemungkinan untuk mengobatinya pun tidak
ada sama sekali. Dengan demikian Sumangkar, Agung Sedayu, dan Ki
Ranadana tanpa dapat berbuat apa-apa menyaksikan
perlahan orang itu dijemput oleh maut. Ketika ia membuka
matanya sekali lagi, dipandanginya Sumangkar sejenak.
Masih tampak keheranan membayang di sorot mata yang
sudah redup itu. Seakan-akan ia tidak percaya bahwa di
rumah itu, di rumah yang didiami para perwira Pajang, ada
seseorang tua yang memiliki senjata yang mengerikan itu.
Pada saat itulah Kiai Gringsing masuk ke dalam rumah itu
lewat pintu butulan. Ia masih melihat Swandaru bertempur
sejenak. Namun ketika ia melangkah masuk pintu butulan itu,
beberapa orang yang berkelahi melawan Swandaru itu pun
berloncatan mundur. "Kami menyerah," berkata salah seorang dari mereka.
Kiai Gringsing memandang mereka sejenak. Kemudian ia
pun memberi isyarat kepada Swandaru agar orang-orang
yang menyerah itu diberi kesempatan untuk hidup.
"Siapa pemimpinmu," bertanya Kiai Gringsing kepada salah
seorang dari mereka. Orang itu menunjuk sesosok mayat yang terbaring di dalam
bilik itu. Kiai Gringsing pun kemudian berdiri di muka pintu sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. Jika demikian ada dua
orang yang memiliki kelebihan dari kawan-kawannya. Karena
itu, maka ia pun bertanya pula, "Siapakah yang mencoba
melarikan diri itu?"
"Seseorang yang langsung dikirim oleh pemimpin kami di
Mataram." "Jangan sebut Mataram," bentak Swandaru, "kau kira kami
tidak mengetahui bahwa kalian bukan orang-orang Mataram."
"Kami orang-orang Mataram."
"Coba ulangi," sekali lagi Swandaru membentak sambil
mengangkat cambuknya. Orang itu menjadi pucat, lalu katanya tergagap, "Tetapi,
tetapi kami mendapat perintah untuk mengaku orang
Mataram." "Nah, jika demikian masih mungkin. Kalian memang
mendapat perintah demikian," sahut Kiai Gringsing, lalu,
"siapa orang yang mencoba melarikan diri itu?"
"Ia adalah seseorang yang diperbantukan kepada kami
oleh pimpinan kami yang lebih tinggi lagi, yang, yang
sepengetahuan kami memang berada di Mataram dan
Pajang." "Jika demikian orang itu termasuk orang yang penting."
Orang itu menganggukkan kepalanya.
Barulah Kiai Gringsing sadar, bahwa ia telah terseret oleh
gejolak perasaannya, justru karena orang itu telah melukainya,
selain orang itu memang orang yang licik.
Dalam pada itu pemimpin penyerang itu pun telah terbunuh
pula, sehingga sulitlah bagi Kiai Gringsing untuk menyelusur
orang-orang yang telah menggerakkan mereka.
Namun demikian ia berkata kepada orang-orang itu, "Kalian
tawanan prajurit Pajang. Ki Ranadana akan mengurus kalian."
(***) Buku 67 KI RANADANA seakan-akan tersadar dari mimpi buruknya.
Tiba-tiba saja ia menengadahkan kepalanya. Ia adalah
perwira Pajang yang mengemban tugas langsung dari
Senapati di daerah Selatan ini. Karena itu, maka katanya,
"Kalian harus tunduk pada perintah kami."
Orang-orang itu tidak membantah lagi. Beriringan mereka
digiring ke luar pintu butulan setelah mereka meletakkan
senjata mereka, sedang Swandaru dan Agung Sedayu telah
mendahului turun dan menunggu mereka di longkangan.
Sementara itu, mereka yang bertempur di halaman pun
telah dapat dikuasai sepenuhnya. Ada juga di antara mereka
yang terbunuh, namun ada juga yang tertawan hidup-hidup,
meskipun ada beberapa orang prajurit yang terluka yang
kehilangan pengamatan diri dan akan membunuh mereka
semuanya. "Kita memerlukan sebagian dari mereka yang hidup,"
berkata perwira yang bertugas di halaman. "Jika mereka
terbunuh semuanya, kita akan kehilangan jejak sama sekali."
"Tetapi apa yang diketahui oleh cucurut-cucurut semacam
ini. Mungkin orang-orang yang ada di dalam rumah itulah yang
pantas dihidupi sekedar untuk mendapatkan keterangannya
.Tetapi orang-orang ini tidak pantas sama sekali."
"Aku perintahkan, yang masih hidup biarlah tetap hidup,"
berkata perwira itu dengan tegas.
Tidak ada seorang pun yang membantah lagi. Bersamasama
tawanan yang ada di dalam rumah, mereka
dikumpulkan di sudut halaman belakang di bawah penjagaan
yang ketat. Sejenak kemudian, Ki Ranadana pun mulai memberikan
perintah agar semuanya kembali ke tempatnya.
"Usahakan, selain yang bertugas di sini, seolah-olah tidak
terjadi sesuatu." "Ada beberapa orang peronda telah melihat perkelahian di
sini. Agaknya mereka memberikan laporan kepada perwira
yang ada di banjar."
"Kau yakin?" "Ya." "Susul mereka. Katakan bahwa tidak terjadi sesuatu.
Cegah agar mereka tidak sampai membunyikan isyarat apa
pun juga." Dua orang prajurit yang bertugas di regol depan pun segera
mengambil kudanya dan berpacu menyusul dua orang
peronda yang lewat jalan depan.
Untunglah bahwa belum ada tanda apa pun yang
dibunyikan. Kedua prajurit itu sempat memberikan penjelasan
apa yang telah terjadi. Agung Sedayu dan Swandaru pun kemudian siap
menjalankan tugas itu. Namun Sumangkar masih
memperingatkan, "Sebaiknya biarlah keduanya dikawani oleh
satu atau dua orang prajurit Pajang agar perjalanan yang
meskipun hanya pendek ini tidak terganggu."
"O," Ki Ranadana mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Benar. Dalam keadaan yang serba samar-samar
memang mudah timbul salah paham. Biarlah dua orang
prajurit mengawaninya sampai ke Banyu Asri."
Dengan demikian maka perjalanan Agung Sedayu dan
Swandaru pun disertai dua orang prajurit yang mendapat
pesan, agar keduanya tidak memberikan keterangan kepada
siapa pun juga supaya tidak terjadi salah paham.
"Katakan kepada siapa pun juga, bahwa besok mereka
akan mengetahui dengan pasti apa yang sudah terjadi di sini,"
berkata Ki Ranadana. "Baiklah," jawab prajurit-prajurit itu. Dan mereka pun
mengerti bahwa keterangan-keterangan yang tidak lengkap,
hanya akan menambah bahan pembicaraan yang kadangkadang
semakin jauh dari kenyataan yang sebenarnya.
Sejenak kemudian maka keempat orang itu pun segera
pergi ke Banyu Asri. Meskipun jarak itu tidak dapat disebut
jauh, namun mereka telah mempergunakan kuda untuk
mempercepat perjalanan. Untunglah bahwa di antara mereka terdapat dua orang
prajurit Pajang seperti yang diusulkan oleh Sumangkar


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sehingga di setiap gardu, mereka dapat segera lolos tanpa
banyak persoalan, meskipun di setiap gardu mereka benarbenar
telah dihentikan dan dicurigai.
Tanpa kedua prajurit itu, Agung Sedayu dan Swandaru
justru pasti sudah ditahan. Ada di antara para prajurit yang
masih saja mencurigai Agung Sedayu sejak Agung Sedayu
datang dan berkelahi dengan seorang perwira yang kebetulan
kali ini dibawa serta oleh Untara dengan sengaja, meskipun
alasannya adalah alasan hari-hari perkawinannya. Tetapi
Untara memang berusaha memisahkan perwira muda itu dari
adiknya, tanpa hadirnya dirinya sendiri.
Ketika mereka memasuki rumah Widura, ternyata rumah itu
masih terang benderang dan semua pintu tampaknya masih
belum tertutup. Agaknya seperti yang direncanakan, Widura
mengadakan jamuan semalam suntuk untuk keselamatan
kemanakannya Untara yang sedang menjalani hari-hari
perkawinannya Kedatangan Agung Sedayu, Swandaru, dan kedua prajurit
itu telah menimbulkan persoalan-persoalan di setiap hati.
Ternyata bahwa desas-desus tentang sesuatu yang terjadi itu
telah sampai di telinga para petugas sandi di rumah Untara
meskipun hal itu masih belum begitu jelas bagi mereka.
Namun sebagai seorang prajurit, maka setiap keterangan
tetap merupakan bahan yang harus dicernakkannya.
Itulah sebabnya maka ketika mereka melihat Agung
Sedayu dan Swandaru datang diiringi oleh dua orang prajurit,
maka mereka pun telah bersiap pula di dalam keadaan
masing-masing. Mereka yang berada di bagian belakang pun
segera duduk di serambi sambil berbicara yang seorang
dengan yang lain. Sedang yang ada di bagian depan pun
segera naik pula ke pendapa dan duduk di atas tikar yang
terbentang dalam pakaian lengkap dengan sebilah keris di
lambung. Agung Sedayu dan Swandaru pun mengerti, bahwa di
antara sekian orang yang duduk tirakatan itu terdapat
beberapa prajurit Pajang.
Meskipun demikian, maka ternyata bahwa pamannya
cukup mengerti akan keadaannya, sehingga ketika ia melihat
kemanakannya itu datang, langsung dibawanya masuk ke
ruang dalam, "Mari, marilah Agung Sedayu dan Angger
Swandaru. Kalian tentu belum makan. Kami mempersilahkan
kalian langsung saja untuk mengambil makan kalian berdua."
Sedang kepada kedua prajurit Pajang ia berkata, "Duduklah di
pringgitan. Kalian pun harus makan lebih dahulu. Yang lain
agaknya baru saja mendahului karena kami tidak tahu bahwa
kalian akan datang."
Agung Sedayu dan Swandaru tidak membantah. Kedua
prajurit yang menyertainya pun tidak. Ternyata meskipun
Widura sudah bukan prajurit lagi, namun ia masih tetap
bersikap seperti seorang prajurit.
Kedua prajurit itu pun segera duduk di pringgitan.
Seseorang kemudian menghidangkan makan dan minuman
hangat kepada mereka. "Silahkanlah," berkata Widura yang kemudian datang
kepada kedua orang prajurit itu.
Keduanya ragu-ragu sejenak, namun salah seorang
kemudian berkata, "Apakah kami diperkenankan mencuci diri
sebentar." "O," Widura tertawa. Ia tahu bahwa keduanya pasti baru
saja berkelahi. Bahkan salah seorang dari padanya masih
tampak sangat payah dan bahkan sepercik darah telah
menodai bajunya. Baru setelah keduanya duduk kembali setelah
membersihkan tangan dan kaki, mereka pun makan dengan
lahapnya. Memang terasa nyaman sekali makan dan minum
setelah mereka memeras tenaga dalam perkelahian yang
cukup berat. "Ada juga untungnya," gumam salah seorang dari
keduanya. "Semula aku menggerutu ketika aku ditunjuk untuk
pergi. Rasa-rasanya terlalu malas berkuda di malam hari
setelah berkelahi mati-matian. Tetapi ternyata kitalah yang
paling beruntung." Kawannya tersenyum. Katanya, "Yang lain akan ganti
meggerutu jika mereka tahu, di sini kita mendapat makan yang
lengkap dan yang tidak kita temui sehari-hari. Bagaimana pun
juga kita berada di tempat perhelatan."
Keduanya pun mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak
lagi berbicara karena mulut mereka sedang sibuk mengunyah.
Dalam pada itu di ruang dalam, Agung Sedayu dan
Swandaru pun sudah dipersilahkan makan oleh pamannya.
Setelah mereka membersihkan diri pula. Sedangkan Widura
sendiri telah duduk pula di hadapan mereka.
Ketika Agung Sedayu dan Swandaru mulai menyuapi
mulutnya, maka mulailah pamannya bertanya, "Apakah
mereka benar-benar datang ke rumah itu?"
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk hampir
bersamaan. "Mereka telah datang," sahut Agung Sedayu. "Kami datang
kepada Paman untuk menyampaikan pemberitahuan itu."
Ki Widura mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Dan kalian harus bertempur?" ia bertanya pula.
"Ya, kami harus bertempur," jawab Agung Sedayu pula,
"Guru terluka."
"He," Widura terkejut, "Kiai Gringsing terluka" Siapakah
lawannya?" "Tetapi tidak apa-apa. Maksudku, hanya luka ringan. Ia
harus melawan beberapa orang pilihan. Salah seorang dari
mereka mempunyai kemampuan yang tinggi, tetapi sangat
licik. Ternyata orang itu adalah orang yang dikirim langsung
oleh pimpinan mereka untuk membinasakan para perwira.
Tetapi ia langsung bertemu dengan guru."
"Bagaimana Kiai Gringsing dapat terluka?"
Agung Sedayu pun kemudian menceriterakan serba sedikit
apa yang telah terjadi atas gurunya. Hampir di luar dugaan,
bahwa orang itu masih mampu melemparkan sebilah pisau
dengan cepat sekali. Dan agaknya gurunya pun lengah waktu
itu. "Ia termasuk salah seorang yang sedikit jumlahnya yang
pernah berhasil melukai Kiai Gringsing," berkata Widura. "Aku
hampir tidak pernah melihat ia terluka di dalam pertempuran
yang bagaimana pun juga, melawan orang-orang yang paling
terpuji kemampuannya."
Agung Sedayu dan Swandaru tidak menjawab. Dan Widura
berkata seterusnya. "Namun bagaimana pun juga itu
merupakan suatu gambaran, bahwa yang datang ke rumah itu
bukannya sekedar orang-orang yang berani dan terpilih saja
antara mereka, tetapi benar-benar orang yang berkemampuan
tinggi. Jika yang dihadapinya bukan Kiai Gringsing, maka akan
dapat digambarkan, apa akibatnya."
Agung Sedayu pun menceriterakan bahwa ada dua orang
yang sebenarnya memiliki kemampuan yang tinggi. Yang
seorang hampir saja berhasil membinasakan Ki Ranadana.
Untunglah, bahwa masih ada kesempatan untuk
menyelamatkannya. Ki Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Benar-benar suatu rencana yang tersusun rapi. Jika tidak
diketahui sebelumnya oleh Kiai Gringsing, maka para perwira
itu akan benar-benar ditumpas oleh mereka, dengan kesan
bahwa orang-orang Mataram-lah yang melakukannya. Suatu
usaha yang berani dan hampir saja berhasil menghancurkan
Pajang dan Mataram sekaligus."
Agung Sedayu dan Swandaru masih saja menganggukangguk
sambil mengunyah makanan di dalam mulutnya.
Mereka pun menyadari betapa bahaya yang sebenarnya
dapat mengancam keselamatan para perwira Pajang, dan
lebih dari itu, kelangsungan hidup Pajang dan Mataram
sendiri, karena jika usaha orang-orang itu berhasil, Pajang dan
Mataram pasti akan terlibat dalam suatu benturan yang
dahsyat, sedang kedua-duanya masih belum siap untuk
melakukannya. Apalagi sebenarnya pada mereka tidak
terkandung maksud sama sekali untuk saling berbenturan
meskipun agaknya hubungan antara keduanya tidak begitu
baik lagi. "Kita akan berhubungan dengan Ki Lurah Branjangan. Ialah
yang akan memaksa orang-orang yang tertangkap itu untuk
tidak lagi menyebut dirinya orang-orang Mataram."
"Sayang, Paman," berkata Agung Sedayu, "tidak ada
orang-orang penting yang tersisa. Dua orang yang agaknya
dapat memberikan keterangan telah terbunuh, sedang yang
lain adalah sekedar pelaksana yang tidak banyak mengerti
tentang tugas mereka sendiri."
"Baiklah. Tetapi mereka tetap merupakan tawanan yang
penting bagi kita." "Mereka dijaga baik-baik, Paman."
"Besok kita akan melihat mereka," berkata Widura,
"sekarang makanlah banyak-banyak, lalu kembalilah kepada
Ki Ranadana. Katakanlah bahwa besok kami akan datang
pagi-pagi benar." "Baiklah, Paman," jawab Agung Sedayu.
"Teruskanlah. Aku akan pergi menemui Ki Lurah
Branjangan." Widura pun kemudian meninggalkan kedua anak-anak
muda itu pergi ke gandok menemui tamunya yang datang dari
Mataram. Sepeninggal Ki Wudura. Swandaru justru menyendok nasi
lebih banyak lagi sambil bergumam, "Tidak ada yang disegani
lagi sekarang. Makanlah seperti biasa. Daging ayam
lembaran, bubuk dele, pecel lele. Sedap sekali."
Agung Sedayu tidak menyahut, tetapi ia hanya tersenyum
saja melihat mangkuk nasi Swandaru justru menjadi semakin
penuh meskipun yang dikunyahnya sudah sebanyak yang
tersisa itu pula. Ketika Widura turun ke longkangan di sebelah gandok,
ternyata langit telah menjadi kemerah-merahan. Fajar sudah
mulai membayang. Karena itu, maka ia berkata kepada diri
sendiri, "Sebentar lagi kami harus sudah berangkat ke rumah
Untara itu." Ternyata Ki Lurah Branjangan yang berada di gandok
masih tidur mendekur. Tetapi bagaimana pun juga mereka
serombongan adalah sepasukan prajurit Mataram meskipun
belum menyebut dirinya demikian, sehingga ada di antara
mereka yang seolah-olah bertugas jaga di antara mereka
sendiri. Ketika Widura memasuki gandok dilihatnya dua orang
di antara mereka duduk bersila di belakang pintu bilik. Dua
helai pedang tersandar di dinding dekat di samping mereka,
sedang keris mereka masing-masing tetap berada di lambung.
Ketika mereka melihat Widura memasuki ruangan itu, maka
mereka pun segera bergeser dan mempersilahkan, "Marilah Ki
Widura." Widura tersenyum. Kemudian sambil duduk di antara
mereka ia berkata, "Ki Lurah masih tidur?"
"Ya. Ia tidur nyenyak sekali tampaknya."
"Aku memerlukannya."
"O," kedua orang itu mengerutkan keningnya. Salah
seorang di antara mereka pun kemudian berkata, "Aku akan
membangunkannya, Ki Widura."
Sejenak kemudian sambil mengusap matanya Ki Lurah
Branjangan pun segera duduk menemui Widura. Tampak dari
wajahnya bahwa ia sudah mulai meraba-raba, apakah kiranya
yang telah terjadi. "Ki Lurah," berkata Widura," ada sekelompok orang-orang
Mataram yang datang menyerang rumah para perwira Pajang
dengan diam-diam." "He" Orang Mataram?"
"Seperti yang kau cemaskan Ki Lurah. Tetapi sebaiknya Ki
Lurah melihatnya. Mungkin di antaranya benar-benar ada
orang Mataram. Maksudku, orang-orang yang dengan sengaja
menyusup ke Mataram untuk sekedar membuat hubungan
yang keruh ini menjadi semakin keruh. Aku yakin bahwa ada
di antara mereka yang memasuki tubuh Mataram, dan ada
yang tinggal di Pajang."
Ki Lurah Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Aku juga berpendapat demikian. Itulah sebabnya
aku berada di sini."
"Silahkan berkemas Ki Lurah. Kita akan pergi ke Jati Anom
sejenak, untuk melihat orang-orang yang mengaku dirinya
orang-orang Mataram itu."
"Baiklah. Aku akan mandi sebentar."
Ki Lurah Branjangan pun segera mandi dan berpakaian
rapi, seperti ketika ia datang menyampaikan sumbangan dari
Raden Sutawijaya untuk Untara.
"Aku ingin mempersilahkan kalian makan lebih dahulu,"
berkata Widura ketika Ki Lurah Branjangan telah siap.
"Ah, sepagi ini?"
"Mungkin Ki Lurah akan sibuk dan tidak sempat makan pagi
nanti." "Aku makan kapan saja ada kesempatan. Aku tidak mudah
menjadi lapar meskipun sehari aku tidak makan."
"Dan kesempatan itu ada sekarang."
Ki Lurah. Branjangan mengerutkan keningnya, lalu sambil
tertawa ia berkata, "Baiklah. Bukankah rumah ini sedang
mengadakan perhelatan" Tentu makan dan minuman panas
tersedia setiap saat. Siang dan malam. Juga di pagi-pagi buta
ini." Demikianlah setelah Ki Lurah Branjangan makan pagi,
maka mereka pun segera pergi ke rumah Untara yang
dipergunakan oleh para perwira itu. Widura, Agung Sedayu,
Swandaru, Ki Lurah Branjangan bersama beberapa orang
pengiringnya, dan kedua prajurit Pajang yang datang bersama
Agung Sedayu dan Swandaru. Sedang para perwira yang
sedang berada di rumah Widura justru dipersilahkan untuk
tinggal sejenak. Demikianlah beberapa saat kemudian mereka pun telah
sampai. Ki Ranadana segera menyambut kedatangan mereka.
Dipersilahkannya mereka duduk di pendapa, di sebelah
beberapa sosok mayat yang terbujur diam.
"Inilah sebagian dari mereka," berkata Ki Ranadana,
"sayang bahwa orang-orang terpenting dari mereka telah
terbunuh." Ki Lurah Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya.


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Katanya, "Ya, sayang. Jika mereka tertangkap hidup, maka
mereka akan dapat diperas untuk mengatakan sesuatu
tentang diri mereka."
"Aku tidak ingin membunuh," berkata Sumangkar
kemudian, "tetapi sayang, begitu cepat dan tiba-tiba hal itu
terjadi." "Ya, Ki Sumangkar tidak dapat berbuat lain daripada
membunuhnya," sahut Ki Ranadana. "Jika tidak, akulah yang
terbunuh saat itu." Ki Lurah Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya.
Lalu, "Di manakah di antara mereka yang masih hidup?"
"Di belakang. Di kebun belakang."
"Apakah aku boleh menemui mereka."
"Marilah." Ki Lurah Branjangan bersama Ki Ranadana, Kiai Gringsing
dan Ki Sumangkar pun segera pergi ke kebun belakang.
Agung Sedayu dan Swandaru pun mengikuti mereka pula.
Sejenak kemudian Ki Lurah Branjangan telah berada di
hadapan para tawanan itu. Sejenak ia mengamat-amati
mereka seorang demi seorang, selagi langit menjadi semakin
cerah. "Aku adalah seorang Lurah prajurit dari Pajang," berkata Ki
Lurah Branjangan, "kalian harus menjawab pertanyaanku
sebaik-baiknya. Kau harus tahu, bahwa di hadapan seorang
perwira, seseorang tidak boleh berbohong."
Para tawanan itu menjadi ragu-ragu sejenak. Namun
jantung mereka terasa berdebaran.
Sambil menunjuk seseorang yang berkumis lebat, Ki Lurah
Branjangan berkata, "Jawab pertanyaanku. Dari manakah
kalian datang dan untuk apa?"
Orang itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian jawabnya,
"Kami adalah prajurit-prajurit Mataram yang mendapat tugas
untuk membunuh para perwira Pajang di sini."
"Kenapa?" bertanya Ki Lurah Branjangan. "Kenapa perwira
Pajang harus dibunuh" Jika berkesempatan kalian tentu akan
membunuh aku juga." "Pajang harus dimusnakan."
Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Katanya, "Jadi
kau prajurit Mataram?"
"Ya." "Siapakah pemimpinmu" Pemimpinmu yang terbunuh itu?"
Orang berkumis itu ragu-ragu sejenak. Dipandanginya
beberapa orang kawannya sebelum ia menjawab. Namun
sebuah tarikan pada bajunya membuatnya tergagap, "Ya, ya.
Ia pemimpin kami." "Siapa namanya?"
"Yang kami tahu, namanya Soma Katik."
"Kau dapat menyebut seribu nama. Tetapi siapakah orang
itu sebenarnya?" "Soma Katik. Aku tidak tahu lebih dari namanya."
"Bohong!" Ki Lurah Branjangan telah mengguncang baju
orang itu sehingga ia turut terguncang pula.
"Ya, ya. Aku tidak tahu lebih dari itu."
"Bagaimana mungkin kau berada di dalam pasukannya?"
"Kami memang orang-orang Mataram."
"Tutup mulutmu!" bentak Ki Lurah Branjangan. "Jadi kau
masih menyebut dirimu orang Mataram" Orang-orang
Mataram dapat mengenal pemimpinnya dengan baik. Seorang
demi seorang, karena jumlahnya memang belum banyak."
Orang itu memandang Ki Lurah Branjangan dengan raguragu.
Kemudian katanya, "Maksudku, kami adalah orangorang
Mataram dari kerajaan yang kami susun sendiri."
"Eh, jadi kau ikut juga menyusun Kerajaan Mataram?"
"Maksudku, pemimpin-pemimpin kami. Dan kami adalah
prajurit-prajuritnya yang harus mengabdi sejauh-jauh dapat
kami lakukan, agar kelak kami dapat menjadi seorang yang
berkedudukan baik apabila kerajaan kami itu benar-benar
sudah berdiri." "Jadi apa hubungannya dengan Mataram yang ada
sekarang, maksudku dengan Raden Sutawijaya."
"Pemimpin kami adalah Raden Sutawijaya."
Ki Lurah Branjangan tidak dapat menahan dirinya,
sehingga tiba-tiba saja ia sudah menampar mulut orang
berkumis itu. "Gila kau!" teriaknya.
"Jangan, jangan," orang berkumis itu pun berteriak, sedang
kawan-kawannya menjadi sangat berdebar-debar pula.
Tetapi tiba-tiba Ki Lurah Branjangan itu tersenyum, lalu,
"Raden Sutawijaya. Ya, Raden Sutawijaya memang pemimpin
tertinggi Mataram. Jadi kau mengabdi kepada Raden
Sutawijaya?" Orang itu ragu-ragu sejenak, lalu perlahan-lahan ia
mengangguk. "Sutawijaya pulalah yang membuka hutan Mentaok itu. Jadi
kau seorang di antara orang-orang yang menebas hutan itu?"
Orang itu masih tampak ragu-ragu. Tetapi sekali lagi ia
mengangguk. "Jadi bagaimana dengan hantu-hantu" Aku dengar di Alas
Mentaok banyak hantu-hantu?"
"O, ya. Di Alas Mentaok memang banyak terdapat hantuhantu."
"Kau tidak takut hantu?"
"Kami bekerja bersama dengan hantu-hantu."
Ki Lurah Branjangan yang tersenyum-senyum itu tiba-tiba
menggeram. Dengan suara yang serak ia bertanya, "Kalian
pernah datang ke Mataram yang kau sebut-sebut itu?"
Pertanyaan itu membuat orang berkumis itu menjadi pucat.
"Jawablah, apakah kau pernah datang ke Mataram seperti
yang kau sebutkan itu" Jika kau orang Mataram, kau pasti
dapat mengatakan sesuatu tentang Mataram itu"
Orang itu menjadi gemetar.
Dengan sekali dorong, orang itu pun jatuh, terlentang di
antara kawan-kawannya. Ki Lurah Branjangan yang masih
berwajah merah itu berkata, "Siapakah yang masih akan
menjawab bahwa kalian adalah orang-orang Mataram?"
Tidak seorang pun lagi yang menyahut.
"Siapa?" ulang Ki Lurah Branjangan.
"Tidak ada?" Ki Lurah Branjangan memandang mereka
seorang demi seorang dalam cahaya matahari pagi yang
sudah mulai naik di atas cakrawala.
"Kalian memang orang-orang gila. Kalian mengatakan apa
yang tidak kalian ketahui sama sekali. Hantu-hantu, Kerajaan
Mataram dan Sutawijaya." Ki Lurah Branjangan berhenti
sejenak, lalu, "Untunglah bahwa kalian segera mengaku, dan
aku tahu bahwa kalian memang tidak tahu apa-apa, karena
kalian hanyalah orang-orang yang tidak punya nalar, sekedar
mendapat perintah dari orang yang tidak kau kenal pula.
Apakah keuntungan kalian berbuat demikian" Janji untuk
menjadi tumenggung, atau bupati atau mantri dan lurah?"
Sekali lagi Ki Lurah Branjangan berhenti berbicara. Wajahnya
masih juga merah, seperti langit di ujung gunung Merapi.
"Ketahuilah, bahwa aku adalah Ki Lurah Branjangan dari
Mataram." Pengakuan itu telah mendebarkan jantung orang-orang
yang tertawan itu. Sejenak mereka saling berpandangan, lalu
dengan mata yang seakan-akan tidak berkedip mereka
memandang Ki Lurah Branjangan yang berdiri tegak seperti
patung. "Pandanglah aku baik-baik. Aku datang dari Mataram
bersama beberapa orang pengiring. Dan kau harus yakin,
bahwa usahamu telah gagal sama sekali untuk membenturkan
Pajang dan Mataram dengan cara yang sangat licik ini,"
suaranya menjadi semakin keras. "Sayang, aku hanya
berbicara dengan cucurut-cucurut kecil. Aku ingin suaraku
didengar oleh pemimpin-pemimpin tertinggimu. Mereka harus
tahu, seperti Pajang, Mataram juga sudah siap menghadapi
orang-orang macam mereka itu. Macam kalian dan hantuhantu
yang sudah dapat kami ketahui sarangnya, dan yang
kini sudah kamanungsan."
Tidak seorang pun dari antara mereka yang mengucapkan
kata-kata, bahkan kepala mereka pun segera tertunduk
dalam-dalam. "Aku akan membawa mereka ke Mataram," berkata Ki
Lurah Branjangan kepada Ki Ranadana,
Tetapi Ki Ranadana menggelengkan kepalanya. Katanya,
"Pajang masih memerlukan mereka. Mudah-mudahan ada
jalur yang dapat kami pergunakan untuk menemukan
pemimpin mereka." Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Tetapi ia
tidak membantah. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya
sekali lagi ia memandang orang-orang itu satu demi satu.
"Sayang," katanya, "orang-orang penting di antara kalian
telah meninggal." Tidak ada jawaban apa pun juga.
"Aku sudah cukup Ki Ranadana," berkata Ki Lurah
Branjangan. "Aku kira aku sudah dapat meyakinkan, bahwa
orang-orang ini memang benar-benar bukan orang Mataram.
Meskipun aku kira di antara mereka yang menjadi pimpinan
dari kelompok ini ada yang berada di Mataram dan ada yang
berada di Pajang. Kita akan sama-sama dapat membuat
laporan kepada atasan kita, agar kita tidak terjerumus ke
dalam keadaan yang sama-sama tidak kita kehendaki."
"Ya," Ki Ranadana mengangguk-anggukkan kepalanya,
"kehadiran Ki Lurah Branjangan ternyata tidak sia-sia. Apa
yang kau cemaskan telah terjadi di sini. Dan kau dapat
meyakinkan kami bahwa mereka memang benar-benar bukan
orang Mataram." Ki Lurah Branjangan tidak menjawab. Hanya kepalanya
sajalah yang terangguk-angguk.
"Baiklah," berkata Ki Ranadana, "biarlah mereka berada di
situ. Marilah kita kembali ke pendapa. Sebentar lagi kita harus
menyelenggarakan penguburan mayat-mayat itu."
Mereka pun kemudian duduk kembali di pendapa. Tetapi
rasa-rasanya mereka tidak tenang duduk di sebelah mayatmayat
yang berjajar-jajar meskipun mereka adalah prajuritprajurit
yang berpengalaman di medan perang.
"Ki Ranadana," berkata Ki Lurah Branjangan, "aku tidak
mempersoalkannya di hadapan orang-orang yang tertawan
itu. Tetapi sebenarnya aku ingin membawa orang itu ke
Mataram karena mereka mengaku orang-orang Mataram. Aku
ingin membuktikan kepada Raden Sutawijaya bahwa
kedudukannya benar-benar dalam keadaan yang goyah.
Bukan karena ayahanda Sultan Pajang sendiri, tetapi oleh
orang-orang yang tidak menyukainya. Yang mencoba
mempergunakan hubungan yang memang agak kurang baik
pada permulaan kerja kami membuka hutan-hutan di Mentaok,
tetapi yang tidak berarti bahwa untuk selanjutnya hubungan itu
akan bertambah keruh."
"Maaf, Ki Lurah Branjangan," jawab Ki Ranadana, "yang
terjadi ini adalah di daerah kami. Daerah yang diserahkan
kepada kami, dalam hal ini sebagai wakil Ki Untara. Aku harus
menyelesaikan semua persoalan. Aku harus melaporkan apa
yang terjadi bersama orang-orangnya sama sekali. Jika
semuanya sudah diterima oleh atasanku, dan mereka
mengijinkan Ki Lurah Branjangan untuk membawanya, aku
sama sekali tidak berkeberatan. Jika tidak semua, mungkin
dua tiga orang. Tetapi terserahlah kepada para senapati
tertinggi di Pajang yang akan mengambil keputusan terakhir,
termasuk Ki Untara sendiri."
Ki Lurah Brajangan mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
dapat mengerti, bahwa Ki Ranadana memang tidak dapat
melepaskan orang-orang itu. Karena itu, maka ia pun berniat
untuk menunggu sampai Untara datang.
Setelah berpikir sejenak, maka ia pun kemudian berkata,
"Jadi apakah menurut Ki Ranadana, aku sebaiknya menunggu
Ki Untara?" "Jika Ki Lurah Branjangan dapat menunggu, aku kira tidak
ada jeleknya, meskipun sudah tentu Ki Lurah tidak akan dapat
mempersoalkannya setelah Ki Untara datang tanpa
memberinya kesempatan untuk beristirahat dan melepaskan
diri dan kesibukan pekerjaannya."
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Benar
juga kata-kata Ki Ranadana. Ia tidak akan dapat langsung
membicarakannya begitu Untara datang, karena ia tidak
datang seorang diri. Ia akan datang bersama isterinya.
"Jadi, bagaimanakah sebaiknya, Ki Ranadana?" bertanya
Ki Lurah Branjangan. "Persoalannya sudah jelas. Ki Lurah ingin membawa bukti
kepada Raden Sutawijaya, bahwa sejenis bahaya yang tidak
dapat diabaikan sebenarnyalah memang ada, seperti hantuhantu
yang pernah mengganggu pembukaan hutan Mataram,
meskipun dalam ujud yang berbeda. Tetapi Ki Lurah
Branjangan tidak dapat tergesa-gesa. Dengan demikian, maka
terserah kepada Ki Lurah, apakah Ki Lurah Branjangan akan
menunggu di sini atau akan mengambil suatu tindakan lain."
Ki Lurah menjadi ragu-ragu sejenak. Dipandanginya wajahwajah
yang ada di sekitarnya. Wajah Kiai Gringsing, Ki
Sumangkar, dan para perwira yang lain.
"Aku akan memikirkannya. Tetapi setidak-tidaknya Ki
Ranadana sudah mengetahui persoalannya dan dapat
menyampaikannya kepada Ki Untara. Mungkin aku akan
mengambil jalan lain. Aku akan kembali ke Mataram, dan
pada suatu saat aku akan datang lagi. Mungkin orang-orang
ini sudah tidak ada di sini dan aku harus mengambilnya di
Pajang." Ki Ranadana menarik nafas dalam-dalam. Jika Ki Lurah
Branjangan benar-benar pergi ke Pajang, maka ia akan
mendapat kesan yang lain. Bahkan seandainya saat itu di Jati
Anom ada Ki Ranajaya seorang perwira muda yang
mempunyai sikap yang keras terhadap Mataram, dan sempat
banyak bertemu dan berbicara, persoalannya pun akan
berbeda. Sedangkan di Pajang sikap yang berbeda-beda
banyak ditemui di kalangan para perwira, di antaranya adalah
mertua Ki Untara. "Tetapi Ki Lurah Branjangan sendiri adalah bekas seorang
perwira Pajang," berkata Ki Ranadana di dalam hatinya. Dan
bagi Ki Ranadana, tidak perlu diingkari, bahwa memang
banyak di antara para perwira yang tidak puas melihat
perkembangan Pajang di saat-saat terakhir.
Tetapi Ki Ranadana tidak mengatakannya. Ia akan
menyerahkan hal itu sepenuhnya kepada Ki Untara, apakah
yang akan dilakukannya jika pada suatu saat Ki Lurah


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Branjangan kembali untuk mendapatkan tawanan itu,
meskipun hanya seorang. Sejenak Ki Lurah Branjangan berpikir. Akhirnya ia merubah
keputusannya untuk menunggu Untara, karena dirasakan
akan memakan waktu terlalu lama. Karena itu, agaknya lebih
baik baginya kembali saja ke Mataram, dan di saat yang lain
kembali ke Jati Anom. "Aku akan meninggalkan pesan saja," berkata Ki Lurah
Branjangan. "Jika aku menunggu, maka Raden Sutawijaya
pasti akan menjadi gelisah. Disangkanya aku menjumpai
halangan di sini. Karena itu, aku akan memilih jalan yang
kedua. Kembali ke Mataram dan beberapa waktu kemudian
datang lagi ke Jati Anom. Aku minta persoalannya telah
diketahui oleh Ki Untara, dan akan lebih baik jika beberapa
orang yang dapat kami bawa ke Mataram itu tetap tinggal di
sini." "Tugas yang berat bagi kami," sahut Ki Ranadana,
"bukankah selama itu kita harus menjaganya?"
Ki Lurah Branjangan tersenyum. Jawabnya, "Hanya dua
tiga orang saja. Aku kira bukan tugas yang sulit bagi prajurit
Pajang yang kuat yang berada di Jati Anom."
Ki Ranadana pun tertawa. Katanya, "Aku akan
menyampaikannya. Keputusan terakhir tidak ada padaku,
tetapi ada pada Ki Untara."
"Aku mengerti," Ki Lurah Branjangan pun menganggukkan
kepalanya, lalu, "dengan demikian maka aku kira persoalan ini
menjadi jelas. Aku akan kembali ke rumah Ki Widura untuk
berkemas. Aku masih menunggu perkembangan keadaan
sehari ini. Besok pagi-pagi aku akan kembali ke Mataram."
Ki Ranadana mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya,
"Silahkan. Tetapi setiap saat kami akan minta Ki Lurah datang
meskipun hanya hari ini, selama kami mengadakan
pemeriksaan pendahuluan atas para tawanan itu."
"Aku bersedia sampai malam nanti. Aku akan datang setiap
saat aku dipanggil."
Demikianlah Ki Lurah Branjangan pun kembali bersama Ki
Widura ke Banyu Asri. Ternyata Ki Widura sudah tidak ingin
mencampuri persoalan para prajurit itu terlampau banyak.
Hanya dalam keadaan yang penting sajalah ia bersedia untuk
berbuat sesuatu yang berada di dalam lingkungan
keprajuritan. Demikianlah mereka berdua hampir tidak berbicara apa
pun di sepanjang perjalanan. Ki Lurah Branjangan sedang
mereka-reka tindakan apakah yang sebaiknya dilakukan oleh
Mataram menghadapi kenyataan itu, sedang Widura
dipengaruhi oleh gambaran-gambaran yang buram yang dapat
membatasi hubungan Pajang dan Mataram, sehingga jarak
antara kedua kekuasaan resmi atau tidak resmi itu, menjadi
semakin jauh. Meskipun demikian ternyata Ki Lurah Branjangan masih
mengharap kelak akan dapat membawa seorang atau dua
orang dari antara para tawanan itu sebagai bahan yang
langsung dapat didengar oleh pemimpin tertinggi di Mataram.
Sementara itu, sepeninggal Ki Lurah Branjangan, Ki
Ranadana pun segera memerintahkan anak buahnya untuk
berbuat sesuatu atas mayat-mayat yang masih terbaring di
pendapa. Sedang yang lain mendapat tugas untuk mengurus
para tawanan dan menempatkan dalam ruang yang dapat
diawasi. Selain tugas-tugas itu, maka Ki Ranadana pun segera
memberitahukan kepada semua perwira dan pemimpin
pasukan yang ada di Jati Anom tentang apa yang sebenarnya
telah terjadi. Mereka tidak boleh mengadakan tanggapan yang
dapat mengeruhkan suasana damai di Jati Anom.
"Biarlah rakyat Jati Anom menunggu pengantin mereka
dengan tenang. Jika satu dua orang mengetahui apa yang
terjadi, mereka harus yakin, bahwa yang terjadi itu bukan
suatu yang perlu menggelisahkan hati. Yang terjadi hanyalah
sekedar pengacauan saat-saat Ki Untara melewati hari-hari
pengantinnya. Pengacauan yang tidak berarti. Mereka sengaja
membuat hari-hari yang penting bagi Ki Untara ini menjadi
keruh. Karena itu, janganlah menambah dengan kekeruhankekeruhan
baru. Prajurit-prajurit Pajang telah siap menjaga
segala kemungkinan yang dapat terjadi. Seandainya hal
seperti ini akan terulang, maka akibatnya pun sama sekali
tidak akan menyentuh rakyat Jati Anom. Dan jangan sekalisekali
menghubungkan kekacauan ini dengan daerah mana
pun juga di wilayah kekuasaan Pajang. Yang datang
mengacau itu adalah sekelompok orang yang datang dari
banyak penjuru," pesan Ki Ranadana kepada setiap prajurit
lewat pemimpin-pemimpin mereka.
Meskipun masih banyak pertanyaan yang timbul di hati
setiap prajurit dan rakyat di Jati Anom, namun pesan Ki
Ranadana itu telah sedikit memberikan ketenangan di hati
mereka. Mereka percaya bahwa Ki Ranadana berkata
sebenarnya. Bukan sekedar untuk menenangkan mereka saja.
Apalagi mereka melihat kenyataan bahwa tidak ada seorang
perwira pun yang terbunuh, meskipun ada juga beberapa
prajurit yang terluka. Namun jelas, bahwa prajurit Pajang
dalam waktu singkat berhasil menguasai kekacauan yang
terjadi itu. Dengan demikian maka kepercayaan rakyat Jati Anom
kepada prajuritnya menjadi semakin kuat.
Dalam pada itu, ketika mayat yang berjajar di pendapa itu
sudah dikuburkan sebagaimana seharusnya, mulailah Ki
Ranadana bersama beberapa orang perwira memeriksa
seorang demi seorang dari para tawanannya. Namun
sebagian terbesar dari jawaban mereka sama sekali tidak
dapat memberikan gambaran yang pasti tentang usaha
mereka yang sebenarnya. Tentang pemimpin mereka dan
tentang kekuatan yang ada pada mereka. Satu dua di antara
mereka pernah mendengar nama Ki Damar dan Ki Telapak
Jalak selagi pemimpin mereka berbicara dengan orang-orang
yang tidak dikenal. Tetapi mereka seakan-akan sengaja
dipisahkan dari jalur yang menghubungkan mereka dengan
pemimpin-pemimpin tertinggi mereka.
Karena itu, maka Ki Ranadana tidak merasa perlu untuk
menghubungi Ki Lurah Branjangan lagi. Biarlah ia beristirahat
dan menyiapkan perjalanannya kembali bersama pengiringnya
ke Mataram. Demikianlah maka Ki Lurah Branjangan pun menyadari,
agaknya ia memang tidak diperlukan lagi. Apa yang
dilakukannya sudah cukup meyakinkan, bahwa orang-orang
itu benar-benar bukan orang Mataram. Bahkan mungkin ada
di antara mereka yang sudah mengaku, asal dan daerah
tempat tinggal masing-masing.
Malam berikutnya, adalah malam yang terlampau sepi bagi
Jati Anom. Bagaimana pun juga ada semacam perasaan ngeri
merayap setiap hati. Meskipun mereka percaya bahwa prajurit
Pajang akan melindungi mereka, tetapi bagi mereka, lebih
baik berbaring di pembaringan dari pada berada di jalan-jalan
yang senyap. Bahkan ada juga satu dua orang yang
menyediakan senjata di bawah tikar, atau digantungkan pada
dinding di samping pembaringan. Seandainya ada juga
bahaya yang datang, mereka harus berbuat sesuatu untuk
kampung halaman mereka. Namun pada malam itu, sebenarnya adalah malam yang
paling aman bagi Jati Anom. Di setiap gardu jumlah peronda
ditambah menjadi dua kali lipat. Peronda-peronda yang
berjalan berkeliling padukuhan diperbanyak pula dan
hubungan prajurit berkuda antara padukuhan yang satu dan
padukuhan yang lain menjadi semakin sering dilakukan.
Bahkan prajurit-prajurit yang biasanya tidur di banjar dan di
kademangan, telah berpencar di beberapa tempat untuk
menjaga setiap kemungkinan yang dapat terjadi.
Tetapi semua itu dilakukan setelah senja turun, sehingga
kesibukan para prajurit itu tidak justru menimbulkan
kegelisahan pada hati rakyat Jati Anom.
Namun agaknya malam itu benar-benar malam yang sepi.
Meskipun ada juga ketegangan di hati para prajurit yang
bertugas, namun ternyata bahwa tidak seorang pun yang
lewat memasuki Kademangan Jati Anom. Jalan-jalan menjadi
lengang, dan lampu-lampu di setiap rumah cahayanya
seakan-akan menjadi redup. Bahkan tidak ada seorang pun
yang keluar dari rumahnya pergi ke sawah meskipun
mendapat giliran menerima air di malam itu. Hati mereka
masih dibayangi oleh peristiwa semalam. Meskipun mereka
tidak melihat apa yang terjadi, namun mereka melihat iringiringan
mayat yang dibawa ke kuburan, dan mereka juga
melihat prajurit Pajang yang terluka, bahkan ada yang cukup
parah. Prajurit Pajang sendiri menyadari, seandainya mereka
belum mengetahui sebelumnya apa yang akan terjadi,
mungkin serangan itu sebagian besar akan berhasil. Meskipun
seandainya mereka sempat memukul isyarat, namun pasti
sudah jatuh korban di rumah kediaman Untara yang
dipergunakan oleh para perwira itu. Dan korban-korban itu
akan menuntut jatuhnya korban-korban berikutnya, karena
tentu orang-orang Pajang akan marah dan menganggap
bahwa orang-orang Mataram-lah yang telah melakukannya.
Dan karena itulah maka Ki Ranadana bersyukur di dalam
hati. Ternyata orang tua bercambuk itu telah berhasil
mencegah suatu benturan yang dahsyat yang dapat terjadi
akibat dari peristiwa yang tidak terduga-duga itu seandainya
benar-benar terjadi. Karena itu, diucapkan atau tidak
diucapkan, maka Ki Ranadana dan setiap prajurit Pajang yang
mengetahui persoalan itu selengkapnya akan mengucapkan
terima kasih kepada Kiai Gringsing, yang pada malam itu juga
terluka meskipun tidak berarti, karena luka itu pasti akan
segera sembuh. Demikianlah perlahan-lahan malam itu pun akhirnya
sampai juga pada ujungnya. Ketika langit menjadi merah,
maka setiap prajurit yang tegang sepanjang malam menjadi
agak lapang. Malam itu ternyata telah mereka lalui tanpa
terjadi sesuatu peristiwa yang dapat mengguncangkan
ketenteraman Kademangan Jati Anom.
Namun para prajurit itu sadar, bahwa bahaya itu dapat
datang bukan saja malam yang lewat. Tetapi masih akan
datang lagi malam-malam berikutnya. Bahkan mungkin di
siang hari, justru di siang hari prajurit-prajurit Pajang tidak
begitu bersiaga seperti di malam hari.
Dalam pada itu, di rumah Ki Widura, Ki Lurah Branjangan
telah selesai berkemas. Mereka telah siap meninggalkan
rumah Ki Widura kembali ke Mataram.
"Aku mengucapkan terima kasih bahwa Prajurit Pajang
telah berhasil mencegah usaha yang keji itu," berkata Ki Lurah
Branjangan kepada Ki Widura. "Jika tidak maka akibatnya
akan sangat parah bagi hubungan antara Pajang dan
Mataram." "Ki Lurah telah melihat sendiri apa yang terjadi di sini,"
sahut Widura. "Mudah-mudahan hal ini akan menjadi bahan
pertimbangan bagi Raden Sutawijaya yang seakan-akan
mengasingkan dirinya dari keluarga istana Pajang."
Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Namun tibatiba
ia menganggukkan kepalanya, "Ki Widura benar. Memang
Raden Sutawijaya di tengah-tengah hutan belantara yang
sedang dibuka. Tetapi aku kira bukan itu soalnya. Raden
Sutawijaya dan ayahnya, Ki Gede Pemanahan, terlampau
sibuk dengan kerja itu, sehingga masih belum sempat datang
menghadap Ayahanda Sultan Pajang. Tetapi tentu bukan
maksudnya untuk memisahkan dirinya dari keluarga Sultan
Pajang, karena Raden Sutawijaya adalah putera angkatnya
yang terkasih, hampir tidak ada bedanya dengan putera
Sultan sendiri. Pangeran Benawa."
Ki Widura tidak menyahut, meskipun kepalanya teranggukangguk.
Yang dikatakan oleh Ki Lurah Branjangan itu adalah
sudut pandangan orang-orang Mataram. Namun adalah
mustahil bahwa Raden Sutawijaya benar-benar tidak
mempunyai waktu sama sekali.
Tetapi Ki Widura tidak mau berbantah dengan seorang
perwira Mataram yang pernah menjadi kawannya di dalam
lingkungan keprajuritan Pajang. Apalagi kini ia adalah
tamunya. Karena itu maka ia pun tidak berusaha membantah
meskipun apa yang dikatakan oleh Ki Lurah Branjangan itu
tidak sesuai di hatinya. Ki Lurah Branjangan pun kemudian tidak lagi
memperbincangkan Raden Sutawijaya. Sekali lagi ia minta diri
untuk segera kembali ke Mataram.
"Selamat jalan, Ki Lurah. Mudah-mudahan tidak ada apaapa
di sepanjang jalan."
Ki Lurah Branjangan tertawa. Jawabnya, "Mudah-mudahan
tidak ada orang Mataram yang menyamun aku di perjalanan."
Ki Widura pun tertawa pula.
"Aku akan singgah sejenak, untuk minta diri kepada Ki
Ranadana. Tetapi aku akan terus melakukan perjalanan tanpa
kembali lagi kemari."
"Silahkan, Ki Lurah," sahut Widura. "Ki Ranadana akan
senang sekali menerimamu. Marilah, aku akan menyertaimu
sampai ke rumah Untara itu."
Demikianlah Ki Lurah Branjangan itu pun singgah sejenak
di rumah Untara untuk minta diri kepada orang-orang yang
ada di sana. Ki Ranadana, Kiai Gringsing dengan kedua
muridnya, Ki Sumangkar, dan perwira-perwira Pajang yang
lain. Demikianlah maka Ki Lurah Branjangan segera mulai
dengan perjalanannya menuju ke Mataram. Ke daerah yang
baru dibuka dan masih merupakan suatu kerja yang sangat
berat, sebelum Mataram menjadi kota yang cukup besar.
Ternyata bahwa daerah yang sedang tumbuh itu harus
menghadapi tantangan-tantangan yang cukup berat, yang
seakan-akan tersebar di segala penjuru tanah Pajang.
Hambatan-hambatan itu ada di Alas Mentaok yang sedang
dibuka itu, di daerah perbatasan yang tidak nyata antara
Pajang dan Mataram. Bahkan di Pajang dan di Mataram
sendiri. Sepeninggal Ki Lurah Branjangan, maka Kiai Gringsing dan
kedua muridnya bersama Ki Sumangkar pun segera minta diri
kepada Ki Ranadana. Mereka akan tinggal saja di rumah
Widura. Terasa di sana lebih nyaman dan tidak terikat oleh
keseganan seperti tinggal bersama para perwira itu.


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau juga Agung Sedayu?" bertanya Ki Ranadana.
"Ya. Bukankah aku sedang menyelenggarakan perhelatan
perkawinan kakakku."
Ki Ranadana tersenyum. Katanya, "Tetapi rumah ini adalah
rumahmu. Jika kau ingin tinggal di sini kau berada di rumahmu
sendiri." Agung Sedayu tertawa. Tetapi sebelum ia menjawab,
Swandaru sudah mendahuluinya, "Di sini tidak ada asap di
dapur seperti di rumah Paman Widura sekarang. Jika asap itu
sudah lenyap, kami pun akan segera berpindah tempat lagi."
Semua yang mendengar kata-kata Swandaru itu tertawa. Ki
Ranadana tertawa pula. Ia senang melihat anak muda yang
gemuk itu. Selain berkelakar, ia pandai juga menggerakkan
senjatanya yang aneh itu seperti senjata gurunya. Bahkan ia
kagum melihat hasil yang telah dicapai oleh Kiai Gringsing.
Ternyata ia telah membentuk kedua muridnya menjadi anakanak
muda yang mengagumkan. Demikianlah maka Kiai Gringsing beserta murid-muridnya
dan Ki Sumangkar segera meninggalkan rumah itu. Sebelum
mereka melangkah ke luar regol, Ki Ranadana berkata, "Kami
masih selalu memerlukan bantuan Kiai berdua dan kedua
anak-anak muda itu."
Kiai Gringsing tersenyum, "Tentu. Kami akan berusaha
sejauh dapat kami lakukan. Kami tidak akan tinggal jauh. Kami
masih akan tinggal di rumah Ki Widura menunggu pengantin
itu datang." "Terima kasih," sahut Ki Ranadana, "mungkin untuk waktu
yang lama sekali setelah Ki Untara hadir di sini, kalian masih
tetap kami minta tinggal di sini."
Kiai Gringsing tidak menjawab. Ia hanya tertawa saja
sambil mengangguk-angguk kecil.
Sejenak kemudian, maka mereka pun telah meninggalkan
rumah itu. Di sepanjang jalan yang tidak begitu panjang,
mereka tidak terlalu banyak berbicara. Mereka melihat prajuritprajurit
Pajang yang selalu siap menghadapi setiap
kemungkinan. Siang dan malam. Namun mereka tampaknya
berhasil membuat penduduk Jati Anom tidak gelisah, justru
merasa tenang melihat kesiagaan para prajurit.
Ternyata bahwa setelah peristiwa yang berhasil
disederhanakan oleh para perwira dan prajurit Pajang itu
sehingga tidak menegangkan hati orang-orang Jati Anom tidak
ada lagi yang terjadi. Kedua orang yang mencoba mencegah
kawan-kawannya menyerang rumah itu tetapi terlambat,
masih sempat melaporkan kehancuran kawan-kawannya
kepada pemimpin-pemimpin mereka yang lebih tinggi di
Pajang. "Gila," berkata salah seorang dari pemimpin itu, "kita telah
terjebak. Siapakah yang dapat ditangkap?"
"Tidak ada yang dapat lepas. Sebagian terbunuh dan
sebagian tertangkap hidup."
Namun akhirnya mereka mendapat keterangan juga,
bahwa kedua orang yang justru paling terpercaya dari
pasukan itu telah terbunuh. Mereka pun mengetahui pula,
bahwa di dalam pertempuran yang terjadi itu terdengar bunyi
cambuk yang meledak-ledak.
"Orang bercambuk itu benar-benar berbahaya. Seakanakan
ia berada di segala tempat untuk merintangi tugas-tugas
kita. Tetapi kita tidak akan berhenti. Kita akan menyingkirkan
Sutawijaya dari Mataram, bagaimana pun juga caranya."
Kawan-kawannya mengangguk-anggukan kepalanya.
Mereka tetap sependapat bahwa Mataram harus dilebur.
Barulah akan bangkit suatu kekuatan baru di Mataram,
meskipun tidak dengan tiba-tiba. Perlahan-lahan Mataram
akan bangun dengan wajah yang baru sama sekali.
Tetapi di antara mereka ternyata menghendaki lebih
daripada itu. Bukan saja Mataram, tetapi Pajang pun harus
hancur. Tanpa Pajang yang sekarang, tidak akan ada
kekuatan yang dapat mengikat kesatuan tanah ini.
Kesempatan untuk bangkit bagi Mataram akan menjadi
semakin luas. Tetapi satu hal yang masih menjadi persoalan, bahwa di
antara para pemimpin gerombolan itu, tidak ada seorang yang
bernama Raden Sutawijaya atau Ki Gede Pemanahan, atau Ki
Penjawi atau Ki Juru Martani, atau nama-nama lain yang
mempunyai pengaruh yang cukup. Yang ada hanyalah namanama
yang tidak dikenal oleh rakyat Pajang pada umumnya,
meskipun ada di antara mereka yang memiliki kemampuan
seperti Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak. Bahkan perwira
Pajang yang terlibat dalam rencana ini pun bukanlah perwira
yang namanya lebih besar dari Untara yang muda itu.
Meskipun demikian mereka berusaha terus. Namun mereka
mulai curiga di antara mereka sendiri. Jika tidak ada seorang
pengkhianat, maka pasukan mereka yang menyerang rumah
kediaman para perwira di Jati Anom itu tidak akan terjebak.
Demikianlah, untuk beberapa saat Jati Anom masih tetap
tenang. Menjelang hari kelima dari hari perkawinan Untara,
maka Jati Anom telah menjadi pulih kembali. Peristiwa yang
pernah terjadi di kediaman para perwira itu sudah hampir
dilupakan. Baik oleh rakyat Jati Anom mau pun oleh para
prajurit Pajang, meskipun mereka tetap berada di dalam
kesiap-siagaan. Di hari yang sudah ditentukan, genap sepasar hari
perkawinan Untara, maka rumah Widura pun menjadi ramai.
Hari itu, kedua pengantin akan datang ke Banyu Asri. Di
malam harinya akan diadakan upacara sekali lagi
mempertemukan pengantin itu dalam upacara ngunduh
pengantin. Di hari yang penting itu, bertebaranlah prajurit
Pajang memenuhi kademangan. Bahkan di sawah-sawah pun
bertebaran prajurit sandi yang ikut bekerja bersama para
petani. Mereka memakai pakaian petani dan membawa
cangkul di pundak. Tetapi di lambung mereka tergantung
sebuah pedang pendek di bawah kain yang mereka
singsingkan. Dengan demikian maka Jati Anom pun menjadi sibuk. Di
hari itu, tampaknya sawah yang menebar di seputar
padukuhan induk Jati Anom menjadi lebih ramai dari biasanya.
Tampaknya petani di Jati Anom menjadi bertambah banyak.
Di gubug-gubug di tengah sawah. Di pematang, di tanggul
parit, dan di tengah-tengah tanaman jagung yang hampir
berbuah. Namun tidak banyak orang yang menghiraukannya, ada
juga satu dua orang lewat yang merasa melihat sesuatu yang
agak lain di daerah persawahan itu. Begitu banyak orang yang
turun ke sawah pada hari itu. Tetapi mereka tidak
menghiraukannya lagi. Sedang bagi orang Jati Anom hal yang
serupa itu sudah tidak mengejutkan lagi. Mereka sudah sering
melihat prajurit-prajurit sandi yang berkeliaran dalam pakaian
seorang petani. Namun agaknya memang tidak sebanyak
menjelang datangnya Untara bersama isterinya.
Kesiagaan di hari kelima itu memang agak luar biasa.
Mereka bukan semata-mata menjaga keselamatan Untara.
Tetapi lebih dari pada itu, mereka menjaga agar peristiwa
yang mungkin terjadi itu tidak membakar hati para perwira
Pajang dan melemparkan kesalahan kepada orang-orang
Mataram. Menurut utusan yang mendahului, kedua pengantin itu
akan datang menjelang sore hari. Mereka beristirahat sejenak,
kemudian di malam harinya mereka langsung akan
dipersandingkan. Untara sendiri berharap agar semuanya
segera selesai, sehingga ia segera dapat melangsungkan
tugasnya lagi. Meskipun barangkali ia masih harus beristirahat
beberapa hari setelah upacara sepekan itu, namun apabila
semuanya sudah selesai, maka ia akan dapat melakukan
sebagian tugasnya selagi ia masih beristirahat.
"Pengantin itu berangkat di pagi-pagi benar," berkata
utusan itu, "pengantin laki-laki naik kuda bersama para
pengiring, sedang pengantin perempuan naik tandu.
Perjalanan mereka tidak akan dapat terlalu cepat. Apalagi di
sepanjang jalan, banyak orang yang melihat dan tentu
mengganggu perjalanan mereka pula."
Widura pun segera mempersiapkan penyambutan sebaikbaik
dapat dilakukan. Beberapa orang tamu sudah siap di
pendapa sejak tengah hari. Bahkan Ki Demang Jati Anom pun
telah berada di rumah Widura sejak pagi.
Agung Sedayu dan Swandaru yang menunggu kedatangan
pengantin itu pun menjadi tegang pula. Masih terbayang
orang-orang yang dengan tiba-tiba saja menyerbu rumah
kediaman para perwira. Jika hal itu belum diketahui
sebelumnya, maka akibatnya pasti akan mengerikan.
Barangkali, demikian Untara datang, maka ia akan segera
memimpin pasukan ke Mataram.
"Untunglah, hal itu tidak terjadi," desis Agung Sedayu.
"Apa?" "Orang-orang yang malam itu datang menyerbu."
"O," Swandaru pun mengerti apa yang dipikirkan oleh
Agung Sedayu, karena ia sendiri setiap kali juga
memikirkannya. "Tetapi penjagaan kali ini cukup, bahkan terlalu kuat. Kapan
dan dari mana pun datangnya pengacauan, pasti akan
diketahui dan dapat dihentikan jauh dari Banyu Asri dan
kademangan induk." Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Memang Jati Anom saat itu sudah berpagar prajurit. Dalam
pakaian keprajuritan mau pun yang dalam pakaian sandi.
Namun bagi Agung Sedayu, bahaya yang dapat timbul
bukan sekedar di Jati Anom. Jalan yang ditempuh oleh Untara
cukup panjang sehingga banyak kemungkinan yang dapat
terjadi di sepanjang perjalanan itu.
"Apa yang kau pikirkan?" bertanya Swandaru karena Agung
Sedayu justru merenung. "Perjalanan Kakang Untara."
"Tetapi bagaimana pun juga, tidak ada lagi orang yang
dapat melemparkan kesalahan kepada Mataram. Kakang
Untara sendiri sudah mengetahuinya, bahwa yang datang
mengacau itu sama sekali bukan orang Mataram."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Memang bukan orang Mataram. Tetapi persoalan
Mataram sendiri akan semakin berkembang."
"Ya," sahut Swandaru, "Mataram akan berkembang sejalan
dengan persoalan-persoalannya."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya
daerah yang sedang tumbuh itu akan banyak mengalami
tantangan yang harus dijawab. Tidak dengan ledakan
perasaan, tetapi dengan hati yang dingin dan sikap yang
dewasa. Namun dalam pada itu, orang-orang Jati Anom sendiri
hampir tidak menghiraukan lagi persoalan-persoalan yang
tumbuh di antara dua pusat kepemimpinan Pajang yang
seakan-akan terpecah. Jika yang terjadi itu seperti
berkembangnya daerah Pati, maka tidak akan banyak
menimbulkan persoalan-persoalan yang rumit. Tetapi
Mataram lahir dalam suasana yang tegang.
Lewat tengah hari, telah banyak anak-anak yang berkumpul
di pinggir padukahan, di tepi-tepi jalan yang akan dilewati oleh
Untara. Bahkan beberapa orang anak-anak muda dudukduduk
di gardu sambil bergurau dan menunggu kedatangan
pengantin yang agak lain dari pengantin yang sering mereda
saksikan di Jati Anom. Pengantin yang akan datang adalah
seorang senapati yang memiliki pengaruh yang besar di dalam
dan di luar istana. Tetapi seperti yang sudah diperkirakan, Untara akan
datang ke rumah pamannya menjelang sore hari. Ketika
matahari ada di puncak langit iring-iringan itu masih berada di
perjalanan. Seperti kesiagaan para prajurit Pajang di Jati Anom,
demikian pula kesiagaan iring-iringan itu. Apalagi Untara yang
sedang kawin itu mengerti, bahwa di Jati Anom telah terjadi
kerusuhan, meskipun ia belum mengetahui secara terperinci
apakah yang sudah terjadi. Jika orang-orang yang gagal itu
kehilangan akal, dapat saja mereka mencegat iring-iringan
yang sedang berada di perjalanan.
Karena itulah, maka di antara iring-iringan itu terdapat
sepasukan kecil prajurit. Namun di antara para pengiring yang
memakai pakaian lengkap, untuk mengunjungi perhelatan itu
pun terdapat beberapa orang perwira kawan-kawan Untara.
Sedang sebagian lagi adalah juga prajurit-prajurit sandi yang
bertugas mengawal pengantin.
Namun sebenarnya Untara sendiri tidak mencemaskan
perjalanan itu. Setiap orang, juga orang-orang yang ingin
mengacau, tentu sudah mempunyai perhitungan, bahwa iringiringan
ini pasti merupakan iring-iringan bukan saja orang tua
yang mengantar pengantin, tetapi juga sepasukan prajurit
yang siap untuk bertempur di setiap saat. Hanya apa bila
mereka mempunyai kekuatan yang besar sekali, mereka akan
berani mengganggunya. Demikianlah iring-iringan pengantin itu berjalan lewat
padukuhan-padukuhan yang penuh dengan orang-orang yang
ingin menyaksikannya di sebelah-menyebelah jalan. Bahkan
anak-anak sudah mulai bersorak-sorak sejak mereka melihat
debu mengepul di kejauhan.
Di dalam terik sinar matahari, tampaklah warna-warna yang
cerah seakan-akan berkeredipan di antara debu yang
terlempar dari kaki-kaki kuda. Bagi mereka yang menunggu,
rasa-rasanya perjalanan itu terlampau lambat.
Namun bukan saja bagi yang menunggu, baik di sepanjang
jalan mau pun di Jati Anom, tetapi bagi Untara dan isterinya
yang duduk di dalam tandu itu pun terasa, perjalanan ini
terlampau lambat. Meskipun demikian, mereka pun menjadi semakin dekat
pula dengan tujuan. Semakin lama semakin dekat, dan hati
Untara pun menjadi semakin berdebar-debar. Bukan hanya
karena ia akan disambut oleh orang-orang tua di Jati Anom
sebagai mempelai yang dihormati, tetapi ia ingin segera
mendengar dengan pasti apa yang sudah terjadi
sepeninggalnya. Untara tersenyum di dalam hati, ketika ia memasuki daerah
Jati Anom. Di antara mereka yang menunggunya di pinggirpinggir
jalan, dilihatnya beberapa orang prajuritnya. Bahkan
ketika ia menebarkan pandangan matanya ke tanah
persawahan, dilihatnya beberapa orang yang kotor oleh


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lumpur berdiri di pematang, Untara menarik nafas dalamdalam.
"Tentu sesuatu telah benar-benar terjadi di sini," katanya di
dalam hati. "Penjagaan tampaknya diperkuat. Petugaspetugas
sandi bertebaran di segala tempat, bahkan di bulakbulak
yang masih agak jauh dari Jati Anom."
Dengan demikian hati Untara menjadi kian berdebar-debar.
Perjalanan itu terasa seakan-akan menjadi semakin lambat.
Tetapi terhadap para pengiring, ia tidak dapat membentak
seperti kepada para prajurit, agar perjalanan ini dipercepat.
Ternyata meskipun Untara sedang diiringi oleh orang-orang
tua dalam pakaian pengantin, namun ia tidak dapat
melepaskan tanggung jawabnya. Justru yang paling
menggelisahkan adalah keadaan Jati Anom daripada tentang
dirinya sendiri. "Tetapi di sana ada Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar,"
Untara mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Bagaimana pun lambatnya, namun akhirnya iring-iringan
pengantin itu pun memasuki dan berjalan menyelusur jalan
padukuhan menuju ke rumah Ki Widura. Seorang utusan
dengan tergesa-gesa mendahului dan mengabarkan kepada
mereka yang sudah menunggu, bahwa rombongan pengantin
telah datang. Maka anak-anak yang sudah berkerumun di muka regol
pun segera berteriak-teriak. Mereka berdesak-desakan untuk
melihat, alangkah gagahnya Untara yang mengendarai seekor
kuda yang tegar di samping sebuah tandu yang bertabir kain
yang mengkilap. Ketika iring-iringan itu memasuki regol, maka mereka pun
segera berhenti. Untara meloncat turun dari kudanya,
sementara tandunya pun diturunkan pula dari pundak para
pengusungnya. Demikianlah maka Widura segera menerima sepasang
mempelai itu, dan mengiringkannya masuk ke dalam.
Tetapi kedua pengantin itu tidak naik lewat pendapa.
Mereka berjalan di sisi pendapa, lewat longkangan naik di
pintu samping. Mereka masih belum memasuki pendapa,
karena upacara itu masih akan dilakukan malam nanti.
Dengan demikian maka kedua mempelai itu langsung
dibawa ke dalam bilik yang sudah disediakan untuk
beristirahat. Namun demikian, setelah berganti pakaian dan minum
seteguk Untara pun segera keluar dari biliknya menemui para
tamu yang menunggunya di pendapa. Tetapi pertemuan itu
masih belum merupakan pertemuan yang resmi.
Ki Demang dan beberapa orang tua pun kemudian
menyapanya dan menanyakan keselamatannya. Kemudian
mereka menanyakan apakah selama ini keadaannya dan
isterinya baik-baik saja.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Untara
menjawab sambil tersenyum. Seperti kebiasaan pula, maka
jawabnya, "Baik. Keadaan kami selalu baik."
Setelah mereka berbicara sejenak, maka hati Untara rasarasanya
sudah tidak sabar lagi. Setiap kali dipandanginya Kiai
Gringsing, Ki Sumangkar, pamannya Widura, dan Ki
Ranadana. Seakan-akan ia tidak sabar lagi menunggu
datangnya suatu saat untuk bertanya kepada mereka, apakah
yang sudah terjadi di Jati Anom.
Agaknya Kiai Gringsing dapat menebak isi hati Untara,
sehingga katanya, "Untuk berapa hari Anakmas Untara akan
beristirahat tanpa memikirkan tugas keprajuritan. Agaknya
perlu juga bagi Anakmas untuk melupakan semua persoalan
yang setiap hari membebani badan dan pikiran. Agaknya
untuk beberapa lamanya, tidak akan terjadi apa-apa di Jati
Anom. Sampai saat ini Jati Anom aman dan tenteram."
Untara mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun
menarik nafas dalam-dalam. Meskipun demikian terloncat juga
pertanyaannya, "Apakah tidak terjadi sesuatu selama ini?"
"Ada peristiwa-peristiwa kecil yang tidak berarti. Yang sama
sekali tidak mengganggu sendi-sendi kehidupan di Jati Anom,"
jawab Kiai Gringsing. "Bagaimana dengan para perwira?"
Kiai Gringsing tidak menjawab. Dipandanginya saja Ki
Ranadana yang mengangguk-anggukkan kepalanya, dan
katanya kemudian, "Para perwira tetap menjalankan tugas
mereka dengan baik. Tidak terjadi sesuatu atas mereka. Dan
mereka saat ini lengkap menyambut kedatangan Ki Untara
berdua, selain yang sedang bertugas."
Sekali lagi Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
mengerti, bahwa para perwira yang menjadi sasaran para
penyerang itu ternyata selamat. Agaknya Ki Ranadana
bersama Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar berhasil
menyergap mereka sebelum jatuh korban.
"Lalu bagaimana dengan para prajurit?" ia bertanya pula.
"Tidak ada apa-apa dengan mereka. Ki Untara memang
dapat melupakan mereka sejenak di hari-hari perkawinan itu.
Mereka tetap dalam keadaan yang baik."
Hati Untara menjadi agak lega. Tidak langsung Ki
Ranadana sudah memberikan laporan kepadanya. Meskipun
belum terperinci, tetapi pada pokoknya para perwira dan
prajurit yang ada di Jati A"om selamat semuanya.
Demikianlah maka Untara pun dapat melepaskan
ketegangan di hatinya. Ia pun kemudian dapat menanggapi
pembicaraan tamu-tamunya yang lain. Orang tua-tua dan
sanak kadang. Tetapi sebentar kemudian ia pun sudah harus masuk lagi
ke dalam biliknya, untuk segera ditempatkan di gandok,
karena dalam upacara nanti, ia akan datang ke pendapa dari
gandok, sedang isterinya akan menyongsongnya dari
pringgitan. Sementara itu, tamu-tamunya masih saja berdatangan.
Semakin lama semakin banyak sehingga pendapa rumah Ki
Widura itu hampir menjadi penuh karenanya. Juga tamu-tamu
dari Sangkal Putung. Selama itu Untara memang dapat melupakan tugasnya
sehari-hari. Apalagi ketika ia sedang sibuk mengenakan
pakaian kebesaran seorang pengantin. Bukan saja pengantin
seorang anak muda padukuhan. Tetapi pengantin seorang
yang terpandang. Namun dalam pada itu di antara orang-orang yang
berdesak-desakan di halaman, yang ingin melihat upacara
yang akan berlangsung di depan pendapa, terdapat orangorang
yang tidak dikenal di Jati Anom. Orang-orang yang tidak
hanya sekedar ingin menyaksikan pengantin itu, tetapi juga
ingin menyaksikan suasana yang meliputi padukuhan dan
seluruh Kademangan Jati Anom.
Tetapi di antara mereka yang asing, maka ada pula anakanak
muda Jati Anom yang ikut berdesak-desakan di antara
para penonton. Meskipun sebenarnya mereka telah menjadi
seorang prajurit, tetapi kali ini ia sama sekali tidak dalam
pakaian seorang praiurit. Sebagai anak Jati Anom mereka
dapat mengenal orang-orang Jati Anom sendiri.
Dengan demikian maka anak-anak muda itu mengenal pula
orang yang sama sekali asing baginya. Sedangkan orangorang
dari padukuhan di sekitarnya pada umumnya pernah
juga dilihatnya selagi mereka pergi ke sawah, ke pasar dan
kadang-kadang mereka saling kunjung-mengunjungi. Karena
itu wajah-wajah yang asing itu pun segera mendapat
perhatian. Mungkin mereka benar-benar datang dari tempat
yang jauh sekedar melihat pengantin yang agak lain dari
pengantin yang biasa mereka saksikan. Tetapi bagi petugaspetugas
sandi dari Pajang itu, setiap yang asing harus
mendapat pengawasan. Apalagi setelah terjadi serangan atas
rumah Untara yang dihuni oleh para perwira.
Agaknya kedua belah pihak sudah saling mengetahui
bahwa mereka saling mengawasi. Tetapi selagi mereka yang
asing bagi anak-anak muda Jati Anom yang mendapat tugas
sandi itu tidak berbuat apa-apa, maka tidak akan ada alasan
untuk bertindak atas mereka.
"Penjagaan benar-benar ketat sekali," desis seseorang di
telinga kawannya yang berdiri di sisinya.
"Sst, aku curiga pada anak muda di belakang kita.
Meskipun ia berpakaian bukan seperti seorang prajurit dan
tampaknya ia memang anak Jati Anom karena ia mengenal
hampir setiap orang, namun agaknya ia mendapat tugas
khusus untuk mengawasi orang-orang yang bertebaran di
halaman ini, termasuk kita."
Kawannya tidak berpaling, tetapi kepalanya terangguk
kecil. "Dimana Bubut dan Kandar?"
"Di ujung Barat. Tetapi tentu ada pula yang mengawasi
mereka." "Kita tidak peduli. Kita tidak akan berbuat apa-apa di sini.
Kita hanya sekedar nonton pengantin dan melihat suasana."
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sejenak kemudian, ketika di depan gandok terjadi desakmendesak,
maka tahulah orang-orang di halaman bahwa
pengantin sudah siap untuk dipertemukan dalam upacara.
Karena itu, maka orang-orang yang lain pun mulai berdesakdesakan
pula, terutama anak-anak. Mereka berebut dahulu
berdiri di depan. Apabila pengantin nanti telah lewat setelah
selesai dengan berbagai macam upacara di halaman,
membasuh kaki, lempar-melempar sadak, berdiri di atas
pasangan dan kemudian bersama-sama memasuki pendapa,
maka semua kelengkapan di tiang depan dapat diperebutkan
oleh anak-anak. Dua tandan pisang raja, dua jenjang kelapa,
padi, dan masih ada beberapa macam buah-buahan yang lain.
Orang-orang yang berwajah asing itu pun dengan
sendirinya terdesak pula ke depan. Tetapi anak-anak muda
Jati Anom dalam tugas sandinya sebagai seorang prajurit,
mendesak maju pula di belakang mereka.
Demikianlah, maka upacara pun segera berlangsung.
Seperangkat gamelan mengiringi dengan gending-gending
yang agung. Beberapa orang-orang tua duduk di paling depan
memberikan restunya dengan nasehat-nasehat dan petunjukpetunjuk.
Karena Untara sudah tidak mempunyai orang tua, maka
upacara pangkon dilakukan oleh pamannya Widura, yang
duduk bersila di tengah-tengah ruang dalam, di muka sentong
tengah. Pengantin laki-laki duduk di ujung lutut kanannya dan
pengantin perempuan duduk di ujung lutut kirinya.
"Bagaimana?" seorang laki-laki tua bertanya.
"Seimbang," jawab Widura sambil menyeringai. Lututnya
terasa agak sakit juga menahan berat tubuh Untara dan
isterinya. "Turunlah," berkata laki-laki tua itu.
Kedua pengantin itu pun kemudian turun dari lutut Widura
dan Widura pun menarik nafas.
Upacara itu pun kemudian disusul dengan upacara-upacara
lain, asok kaya, menyuapi isterinya dengan nasi kepelan dan
upacara-upacara yang lain sesuai dengan kedudukannya
sebagai seorang senapati yang besar.
Namun perhelatan itu sendiri sama sekali bukan suatu
perhelatan yang berlebih-lebihan. Bahkan terlalu sederhana
bagi seorang senapati yang namanya sudah dikenal oleh
setiap prajurit di belahan Selatan Kerajaan Pajang.
Dalam pada itu, selagi di Jati Anom berlangsung upacara
ngunduh pengantin, maka di Mataram Raden Sutawijaya
duduk menghadap ayahandanya Ki Gede Pemanahan. Pada
wajahnya nampak bahwa keduanya sedang
memperbincangkan suatu masalah dengan bersungguhKang
Zusi - http://kangzusi.com/
sungguh. "Kali ini mereka gagal mengumpankan nama Mataram,
Ayah, tetapi lain kali?"
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Kita harus memperhatikan masalah ini dengan
sungguh-sungguh. Aku puji kegigihan sekelompok orang yang
berusaha mengusir kita dari tanah yang sudah kita buka ini.
Mereka gagal bermain hantu-hantuan. Kini mereka
mempergunakan cara lain yang tidak kalah berbahayanya.
Bahkan mungkin akan berakibat sangat jauh apabila orangorang
Pajang tidak selalu berusaha mengendalikan diri. Aku
tahu, beberapa orang yang tidak dapat mengendalikan diri
berusaha menggagalkan usaha kita. Tampaknya usaha
mereka berhasil sebagian, karena sampai saat ini, Sultan
Pajang tidak juga memberikan ketetapan yang tegas atas
tanah yang sudah terbuka ini. Berbeda dengan Pati, kita
masih harus menunggu apakah daerah ini akan diakui sebagai
suatu daerah yang dapat berdiri sendiri dalam bentuk yang
mana pun." Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dengan ragu-ragu ia berkata, "Ki Lurah Branjangan
menyarankan agar ada hubungan langsung antara kita
dengan Ayahanda Sultan di Pajang. Tetapi aku berkeberatan
sebelum ada pengakuan yang tegas atas tanah ini."
Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam.
Meskipun tidak terlampau dalam, namun ada juga kecemasan
yang merayapi hatinya. Ternyata bahwa Raden Sutawijaya
adalah seorang anak muda yang keras hati. Ia sadar, bahwa
ada ketimpangan pada sikap Sultan Pajang, sehingga dengan
demikian hubungan batin antara Sutawiiaya dan Sultan
Paiahg itu pun agaknya semakin lama menjadi semakin jauh
dan bahkan seolah-olah tidak akan dapat dipertautkan
kembali. Tetapi selain kecemasan, ada juga sedikit penyesalan di
hati Ki Gede Pemanahan. Ialah yang mula-mula meninggalkan
istana Pajang dan kembali ke Sela. Ia tidak mau menerima
sikap Sultan Pajang yang menunda-nunda hadiah yang sudah
dijanjikan, sedang kawannya, seorang senapati yang lain telah
menerima bagiannya. Apalagi Ki Gede Pemanahan merasa
bahwa tanah yang diperuntukkan baginya adalah sebuah
hutan belantara yang masih memerlukan penggarapan yang
lama dan tekun. "Jika aku tidak bersikap keras, maka daerah ini pasti masih
belum diserahkan dengan resmi," berkata Pemanahan di
dalam hati, namun, "tetapi sikap itu agaknya mempengaruhi
pendirian Sutawijaya yang tidak kalah kerasnya dari sikapku
sendiri." Ki Gede Pemanahan mengangkat wajahnya ketika ia
mendengar anaknya berkata, "Ayah, kenapa Ayahanda Sultan
Pajang tidak segera mengakui kedudukan kita?"


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak
mau membakar hati anaknya lagi. Bagaimana pun juga,
pertentangan yang berkepanjangan tidak akan
menguntungkan bagi kedua belah pihak. Tetapi ia pun tidak
ingin menganjurkan agar anaknya merendahkan dirinya,
memohon dan memohon kemurahan hati Sultan Pajang atas
kedudukannya di Mataram. Kedudukan itu adalah haknya
sebagaimana hak Ki Penjawi atas Pati, Dan sikapnya itu sama
sekali bukan meloncat dari perasaan iri dan dengki. Ki Gede
Pemanahan merasa senang bahwa sahabatnya telah berada
dalam kedudukan yang wajar, sesuai dengan pengabdiannya
kepada Pajang. Namun ia mengharap bahwa haknya pun
akan segera diakui. "Kenapa Ayah?" desak Sutawijaya. "Apakah Ayah mengerti
alasan yang sebenarnya" Jika keadaan kita masih saja tetap
seperti sekarang, maka kemungkinan-kemungkinan yang
buruk itu memang dapat terjadi. Usaha orang-orang yang tidak
bertanggung jawab dan berusaha untuk mendapat
keuntungan bagi dirinya sendiri akan menjadi semakin
berbahaya bagi kita dan bagi Pajang sendiri."
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Aku tidak mengerti, Sutawijaya. Aku pun selalu
menunggu, kapan kita mempunyai kedudukan yang pasti.
Bahkan aku pun menjadi hampir tidak sabar." Ki Gede
Pemanahan berhenti sejenak, "Tetapi jangan terlampau
banyak dipengaruhi oleh pengakuan dari Pajang. Kita bekerja
terus membuka daerah ini dan menjadikannya suatu daerah
yang ramai. Jika kita sudah membuktikan bahwa kita mampu
berbuat banyak atas daerah ini, maka pengakuan itu akan
segera menyusul. Kita akan mendapat batasan yang tegas
atas daerah ini." "Tetapi selama itu terjadi, banyak sekali kemungkinan.
Mungkin orang-orang yang dengki dan barangkali lebih dari
itu, karena mereka sendiri ingin memiliki tanah ini, atau
barangkali kecurigaan dan kecemasan orang-orang Pajang
atau apa pun yang menyebabkannya sehingga Ayahanda
Sultan Pajang justru mengambil sikap lain."
"Kita memang dapat berprasangka, Sutawijaya. Tetapi kita
jangan terlampau dihantui oleh prasangka itu. Sekarang
berbuatlah sesuatu. Jadikanlah tanah ini menjadi tanah yang
ramai dan kuat. Maka tidak akan ada kemungkinan lain
daripada pengakuan, bahwa Mataram sebagai suatu
kenyataan telah ada dan mampu mengurus dirinya sendiri,
meskipun kita masih ada di dalam lingkungan kesatuan
dengan Pajang dan daerah-daerah yang lain."
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
sependapat dengan ayahnya Tetapi yang menjadi pusat
perhatiannya adalah membuat Mataram suatu daerah yang
kuat. Dengan demikian maka tidak akan ada orang lain yang
dapat memaksakan kehendaknya atasnya dan atas Mataram,
meskipun ia sadar akan bahayanya. Jika Mataram merasa
kuat, mungkin bukan Sultan Pajang-lah yang berubah
pendirian dan sikap, tetapi Mataram sendiri.
"Aku akan menjaga diriku sendiri," berkata Sutawijaya di
dalam hatinya, "aku akan tetap menganggap bahwa Mataram
adalah bagian dari Pajang yang satu dan mudah-mudahan
akan tumbuh menjadi besar seperti kerajaan-kerajaan yang
terdahulu." Ki Gede Pemanahan yang seakan-akan dapat membaca
kata-kata hati anaknya menarik nafas dalam-dalam. Ia pun
mengharap Pajang menjadi besar. Tetapi ia kadang-kadang
tidak dapat lari dari kenyataan bahwa Sultan Pajang yang
bernama Mas Karebet dan bergelar Sultan Adiwijaya itu
ternyata telah banyak berubah. Dan Pajang yang baru tumbuh
itu seakan-akan justru menjadi pudar.
"Baiklah, Ayah," berkata Sutawijaya, "aku akan membuat
Mataram mampu mengurus dirinya sendiri dalam segala
bidang. Mataram memang harus menjadi kuat. Bukan untuk
menakut-nakuti orang lain, tetapi Mataram harus dapat
melindungi dirinya sendiri. Di Jati Anom telah terjadi suatu
usaha untuk mencemarkan nama Mataram. Untunglah orang
tua bercambuk itu ada di sana, sehingga tugas Ki Lurah
Branjangan banyak dipengaruhi justru oleh kerja Kiai
Gringsing. Jika tidak, maka kita akan menjadi lontaran cacimaki,
dan barangkali Untara telah membawa pasukan segelar
sepapan memasuki daerah ini bersama mertuanya itu."
Ki Gede Pemanahan hanya dapat menarik nafas dalamdalam.
Ia tidak dapat menyalahkan anaknya, karena agaknya
Mataram memang harus menyiapkan diri menghadapi setiap
kemungkinan. Jika terjadi fitnah seperti yang baru saja
dilakukan di Jati Anom, dan fitnah itu benar-benar berhasil,
maka Mataram memang harus melindungi dirinya sendiri.
"Mudah-mudahan hal semacam itu tidak terjadi," berkata Ki
Gede Pemanahan di dalam hatinya. "Ngabehi Loring Pasar
adalah seorang anak muda yang paling dikasihi oleh Sultan
Pajang di samping anak laki-lakinya sendiri, Pangeran
Benawa. Segala sesuatu pasti akan dipikirnya masak-masak
sebelum bertindak." Tetapi selain kemungkinan-kemungkinan yang pahit itu,
Mataram pasti harus bersiap pula menghadapi gerombolangerombolan
itu sendiri. Dalam keadaan yang penuh
kebimbangan dan ketiadaan harapan, mereka mungkin akan
berbuat di luar dugaan karena di antara mereka pasti terdapat
orang-orang kuat seperti Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak.
Bahkan mungkin di belakang kedua orang itu masih terdapat
seseorang yang melampaui kemampuan keduanya di dalam
nalar dan olah kanuragan, sehingga ia mampu mengendalikan
kedua orang yang cukup mumpuni itu.
Karena itulah, maka Ki Gede Pemanahan membiarkan
puteranya untuk melakukan rencananya. Bersiap-siap
menghadapi segala kemungkinan dengan membuat daerah
yang sedang tumbuh ini menjadi daerah yang kuat.
Dalam pada itu di Jati Anom, Untara yang masih ada di
dalam suasana yang lain dari hidupnya sehari-hari, kadangkadang
masih juga malas untuk berbicara tentang tugastugasnya.
Hanya karena ia adalah seorang yang penuh
dengan tanggung jawab sajalah, ia memerlukan juga bertemu
dengan Ki Ranadana dan perwira-perwira yang lain, meskipun
hanya sekali di dalam satu hari, sedang Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar masih tetap menjadi tamu Ki Widura bersama
Agung Sedayu dan Swandaru.
Agaknya Ki Ranadana yang sudah menginjak usia
pertengahan, cukup mengerti tentang keadaan Untara,
sehingga ia pun selalu membatasi persoalan-persoalan yang
dibicarakan. Bahkan ia masih belum menyinggung-nyinggung
tentang tawanan-tawanan yang ada di dalam pengamatannya.
Tetapi Untara tidak memerlukan banyak waktu untuk
beristirahat. Ia pun segera mulai lagi dengan tugas-tugasnya
yang berat. Namun kemudian ia tidak lagi tinggal bersama
para perwira di rumahnya. Namun untuk sementara ia tinggal
bersama pamannya. Karena itulah, maka Kiai Gringsing bersama kedua
muridnya dan Ki Sumangkar pun merasa bahwa kehadirannya
hanya akan mengganggu saja. Tetapi ketika mereka minta diri
untuk pergi ke Sangkal Putung, ternyata bahwa Untara dan
Widura menahannya. "Tinggallah di sini untuk beberapa lama Kiai," berkata
Untara. "Di saat-saat ini aku masih terlampau malas untuk
berbuat sesuatu. Kehadiran Kiai berdua di sini rasa-rasanya
membuat aku tenteram."
"Tetapi di sini ada sepasukan prajurit yang kuat dengan
beberapa orang perwira yang cakap," sahut Kiai Gringsing.
Untara tertawa. Jawabnya, "Sepasukan prajurit yang kuat,
beberapa orang perwira yang cakap akan lebih meyakinkan
lagi jika ditambah dengan dua orang tua yang pilih tanding
bersama dua orang muridnya. Ingat, bahwa Agung Sedayu itu
nilainya tidak kalah dengan seorang perwira muda prajurit
Pajang. Ketika ia berkelahi di dalam lumpur, ternyata bahwa
aku menganggap, Agung Sedayu mempunyai banyak
kelebihan. Bukan karena ia adikku. Dan aku pun yakin bahwa
Swandaru pun memiliki kemampuan serupa."
"Ah, Kakang Untara terlampau memuji," jawab Swandaru.
"Tetapi jika aku dinilai dengan seorang perwira, pasti aku akan
melampauinya. Tetapi dalam bidang yang khusus."
Untara tertawa semakin keras. Swandaru memang pandai
menanggapi gurau siapa pun juga.
"Terutama menanggapi isi jodang," Swandaru
menyambung. Widura pun tertawa pula. Katanya, "Itulah agaknya yang
membuat Angger Swandaru menjadi gemuk."
"Ya, Paman. Aku tidak pernah menolak rejeki."
"Maksudku bukan itu," berkata Widura, "hatimu terbuka.
Itulah soalnya. Bukan karena kau terlampau banyak makan,
meskipun agaknya hal itu benar."
Suara tertawa Swandaru meledak. Ternyata Widura pandai
bergurau juga. Namun dengan demikian Kiai Gringsing, kedua muridnya
dan Ki Sumangkar terpaksa tinggal untuk sementara di rumah
itu. "Kakang Untara pandai juga memanfaatkan kita di sini,"
berkata Swandaru kepada Agung Sedayu ketika mereka
berada di gandok. "Kenapa?" "Penjagaan kita tentu akan lebih rapat dari para prajurit
yang hanya berada di regol dan halaman. Kita berada di
dalam rumah. Bersama Paman Widura kita merupakan
pengawal yang baik selama malam-malam yang suram bagi
Kakang Untara." "Ah kau." "Besok, jika datang saatnya aku kawin, aku akan menahan
Kakang Untara barang tiga sampai lima hari untuk mengawal
aku." Agung Sedayu tidak mendengarkannya lagi. Bahkan ia pun
kemudian membaringkan dirinya di pembaringan yang besar.
Swandaru tertawa sendiri. Katanya, "Aku sudah rindukan
Sangkal Putung. Dan sudah barang tentu ayah dan ibu
menunggu aku pula. Apalagi Sekar Mirah."
Agung Sedayu berpaling menatap wajah Swandaru
sejenak. Namun kemudian ia kembali acuh tidak acuh.
Bahkan ia pun kemudian memejamkan matanya.
Swandaru pun tidak menghiraukannya. Ia masih berbicara
terus, "Sekar Mirah tentu hampir kehilangan kesabaran. Ia
mengira bahwa kami tidak akan berada di Jati Anom lebih dari
sepekan. Ternyata sudah hampir sepuluh hari kami berada di
sini." "Kita berada di Menoreh berbulan-bulan," sahut Agung
Sedayu tanpa berpaling. Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ya. Kita
berada di Menoreh berbulan-bulan. Dan dengan demikian
Sekar Mirah menyusul dan mencari kita."
Agung Sedayu tidak menyahut lagi. Matanya justru menjadi
semakin rapat. Namun tiba-tiba Swandaru bertanya, "Kau sudah
mendengar laporan prajurit sandi yang berada di halaman
rumah Paman Widura ini ketika upacara ngunduh pengantin
berlangsung?" Agung Sedayu menggeleng lemah.
"Ada beberapa orang yang tidak dikenal menyaksikan
upacara itu. Mereka adalah orang-orang yang mencurigakan."
Kini Agung Sedayu membuka matanya. Dengan kerutmerut
di dahinya ia bertanya, "Dari siapa kau dengar hal itu?"
"Dari prajurit Pajang." Ia berhenti sejenak, lalu, "Bukan,
bukan dari prajurit itu, tetapi dari Paman Widura."
"Benar dari Paman Widura?"
"Juga bukan," Swandaru mengingat-ingat.
"Aku yang memberi tahukan hal itu kepadamu. Kakang
Untara telah menerima laporan itu."
"He," Swandaru membelalakkan matanya, lalu, "o, ya.
Kaulah yang memberitahukan kepadaku. Kakang Untara
mengatakan hal itu kepadamu. Ya, aku ingat sekarang."
Kembali Agung Sedayu memejamkan matanya. Sedang
Swandaru masih saja duduk di pembaringan yang besar itu
sambil tersenyum-senyum sendiri.
"Sampai kapan kita akan tetap di sini?" ia bertanya.
Tetapi Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab.
"Keluarga di Sangkal Putung pasti sudah menunggu. Juga
keluarga Ki Argapati di Menoreh. Kita di sini merasakan
bahwa waktu berjalan terlampau cepat. Tetapi bagi orang
yang menunggu, rasa-rasanya matahari tidak bergeser dari
tempatnya." "Siapa yang menunggu?" desis Agung Sedayu masih
sambil memejamkan matanya.
"Paman Argapati."
"Kenapa Paman Argapati menunggu kita?"
Swandaru tidak menyahut. Ia hanya menarik nafas saja
dalam-dalam. Keduanya pun kemudian terdiam sejenak. Swandaru yang
duduk di pembaringan itu pun kemudian menguap. Setelah
menarik nafas dalam-dalam ia pun segera merebahkan dirinya
di sisi Agung Sedayu. Namun ternyata yang mendekur lebih
dahulu adalah Swandaru. Agung Sedayu justru tidak segera dapat tertidur. Kata-kata
Swandaru ternyata telah menyentuh hatinya. Orang-orang
yang menunggu itu pasti jauh lebih gelisah dari yang
ditunggunya. Bagi orang yang sedang menunggu, waktu
seakan-akan sama sekali tidak bergerak.
"Apakah setelah Kakang Untara aku akan segera
menyusul?" bertanya Agung Sedayu kepada diri sendiri.
Namun setiap kali pertanyaan itu tumbuh, Agung Sedayu
menjadi berkerut. Katanya di dalam hati, "Apakah isteriku
kelak akan aku beri makan batu" Aku masih belum
mempunyai pegangan apa pun sekarang."
Lalu terngiang kata-kata kakaknya dan pamannya, "Kenapa
kau tidak menjadi seorang prajurit" Kau mempunyai beberapa
kelebihan dari perwira-perwira yang masih muda."
Tetapi untuk menjadi prajurit Pajang Agung Sedayu sama
sekali tidak menginginkannya.
Pendengarannya tentang Pajang yang kurang lengkap itu
sempat menimbulkan perasaan yang kurang mapan baginya
untuk bekerja bagi Pajang. Ia mendengar bahwa Sultan


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pajang kini hampir tidak sempat lagi menghiraukan daerah
dan rakyatnya. Ia adalah seorang raja yang mudah sekali
dipengaruhi oleh kecantikan seorang perempuan, sehingga
waktunya benar-benar terampas habis oleh perempuanperempuan
itu. Semakin lama penghuni keputrennya menjadi
semakin banyak, sedang di daerah-daerah, kesulitan pun
menjadi semakin bertimbun pula. Sultan Pajang yang
bernama Mas Karebet dan yang disebut Jaka Tingkir itu sudah
kehilangan gairah petualangannya untuk menyaksikan Pajang
seisinya dari dekat. Para Adipati di pesisir sudah hampir
kehilangan ikatan dan berbuat sendiri-sendiri sesuai dengan
keinginan masing-masing. Sesudah Pajang berhasil mengalahkan Jipang, maka
seakan-akan Pajang sudah waktunya mengenyam hasil jerih
payahnya tanpa ada yang mengganggu gugat.
Meskipun demikian, Agung Sedayu harus berhati-hati
mengambil kesimpulan bahwa sebenarnyalah yang terjadi
demikian. Ia belum mengenal sultan dari dekat. Namun jika
hal itu benar terjadi, maka seluruh rakyat Pajang seharusnya
menjadi berprihatin. "Apakah pantas jika seseorang menaiki jenjang perkawinan
tetapi masih belum mempunyai pegangan apa pun seperti aku
ini" Jika aku ingin menjadi petani, aku tidak tahu lagi, apakah
sawah dan ladang ayah masih ada. Apakah Kakang Untara
pernah memikirkannya dan menyatakan menjadi hak kami
berdua." Tetapi Agung Serlayu menggeleng. Sambil menarik nafas
dalam-dalam ia berdesah, "Sekar Mirah tidak akan bersedia
menjadi isteri seorang petani biasa. Kini ia adalah putera
seorang Demang yang cukup kaya."
Namun dengan demikian Agung Sedayu menjadi semakin
gelisah karenanya. Ia sadar, bahwa ia masih belum memiliki
masa depan yang mantap meskipun ia memiliki bekal yang
cukup. Selama ia berada di dalam asuhan Kiai Gringsing, ia
tidak hanya sekedar belajar oleh kanuragan, tetapi ia masih
juga mempelajari beberapa macam ilmu yang lain. Dari Kiai
Gringsing Agung Sedayu mengenal ilmu kesusasteraan, ilmu
bintang-bintang dan sedikit tentang tata hubungan
masyarakat. Bahkan Ki Sumangkar pun memberinya
beberapa macam ilmu pengetahuan tentang hubungan dan
sangkut pautnya penjabat-penjabat yang ada di dalam
susunan pemerintahan dan ilmu tata pemerintahan itu sendiri.
Hukum-hukum yang terdapat di dalam kitab-kitab yang ada
dan hukum-hukum yang tidak tertulis tetapi berlaku dan
dipatuhi oleh segala pihak di dalam masyarakat.
Tetapi sampai saat ia menjelang hari-hari yang penting itu,
ia masih belum menempatkan dirinya pada suatu kedudukan
yang dapat memberinya jaminan hidup di hari-hari mendatang.
"Selama ini aku hanyalah seorang petualang. Guru
agaknya seorang petualang juga yang tidak berpikir tentang
keluarga dan peri kehidupan ini sebagai manusia biasa. Justru
karena Guru sendiri tidak berkeluarga," berkata Agung Sedayu
di dalam hatinya. "Tetapi meskipun bertualang bersama,
namun Swandaru mempunyai kedudukan lain. Ia sudah pasti
akan memasuki hari depan yang jauh lebih baik dari hari
depanku, karena ia seorang yang akan menerima warisan
kedudukan ayahnya. Seorang Demang di daerah yang
sesubur Sangkal Putung."
Agung Sedayu yang gelisah itu hanya dapat menarik nafas
dalam-dalam. Dicobanya untuk mengusir kegelisahan itu
dengan mengenang peristiwa dan persoalan yang
memberinya kegembiraan dan kebanggaan. Tetapi setiap kali
ia selalu gagal, sehingga karena itu, ia masih saja tidak dapat
tidur senyenyak Swandaru.
Demikianlah, maka setiap kali keduanya berbincang
tentang diri mereka sendiri dan tentang masa depan mereka,
Agung Sedayu selalu dipacu oleh kegelisahan yang
mencengkam. Namun ia selalu berusaha menyembunyikan
perasaan itu, dan menanggapi persoalan-persoalan yang
dilontarkan oleh Swandaru.
Di hari-hari berikutnya, maka Untara pun mulai
menjalankan tugasnya seperti biasa. Tetapi ia tidak lagi tinggal
di rumahnya yang dihuni oleh para perwira. Meskipun setiap
hari ia datang juga ke rumah itu, tetapi di sore hari ia kembali
ke rumah Widura yang untuk sementara dipergunakannya
sebagai tempat tinggal. Dalam pada itu, selagi Untara sudah mulai menjalankan
tugasnya seperti biasa, maka Kiai Gringsing dan kedua
muridnya beserta Sumangkar merasa bahwa tidak ada lagi
Rahasia Kampung Garuda 8 Lima Sekawan 07 Petualangan Di Sirkus Asing Relikui Kematian 8
^