Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 1

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 1


ta. Karena itu, kita sudah sepantasnya
menerima tanggung jawab ini dengan dada lapang."
Kawan-kawannya tidak menjawab. Mereka memang
tidak akan dapat berbuat apa-apa jika keputusan itu
memang harus demikian. Beberapa orang bebahu itupun kemudian berdiri di
halaman. Sementara itu Pangeran Singa Narpada berdiri di
bibir pendapa. Di belakangnya berdiri Mahisa Bungalan
yang menjadi tegang, sedangkan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat masih belum jelas apa yang terjadi.
Dalam pada itu, maka Pangeran Singa Narpada pun
berkata dengan suara lantang kepada orang-orang yang
berada di halaman. "Nah, orang-orang padukuhan yang kelam ini. Kalian
akan menjadi saksi. Untuk membersihkan padukuhan ini
dari langkah-langkah kejahatan maka para bebahu ini akan
mendapatkan hukuman mati sebagai tanggung jawab
mereka terhadap semua kejadian di padukuhan ini.
Seharusnya termasuk pula Ki Bekel yang justru mempunyai
tanggung jawab tertinggi. Tetapi Ki Bekel itu sudah
terbunuh, sehingga ia tidak akan dapat dibunuh untuk
kedua kalinya. Yang sekarang masih hidup adalah para
bebahu. Para bebahulah yang harus memikul tanggung
jawab." Semua orang menjadi tegang. Sementara itu para bebahu
itupun telah pasrah apa yang akan terjadi atas mereka.
"Berikan pedang itu," berkata Pangeran Singa Narpada
kepada Mahisa Murti sambil menunjuk sebilah pedang
yang terletak diantara setumpuk senjata dari mereka yang
telah menyerah. Mahisa Murti menjadi ragu-ragu. Tetapi iapun kemudian
mengambil pedang itu dan menyerahkannya kepada
Pangeran Singa Narpada. "Nah, sekarang aku akan melaksanakannya. Seorang
demi seorang aku harap maju untuk kemudian
menundukkan kepala sehingga aku akan dengan mudah
memenggal kepala itu," berkata Pangeran Singa Narpada.
Namun dalam pada itu, dukun yang datang untuk
mengobati orang-orang yang terluka telah bangkit berdiri
diantara orang-orang yang terbaring, "Apa yang akan kau
lakukan?" "Memenggal leher para bebahu. Jika hal ini tidak dapat
dilakukan karena sesuatu hal, maka aku justru akan
membunuh semua orang yang ada disini," jawab Pangeran
Singa Narpada. "Bagaimana mungkin hal itu kau lakukan," berkata
dukun itu, "disini aku kau suruh mengobati orang-orang
yang terluka sementara itu kau membunuh dengan
sewenang-wenang." Pangeran Singa Narpada memandang dukun itu dengan
sorot mata yang membara. Dengan lantang ia menjawab,
"Mereka adalah orang-orang yang bertanggung jawab atas
peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di padukuhan ini."
"Biarkan mereka mempertanggung-jawabkannya,"
berkata dukun itu, "Tetapi tidak dengan cara yang kejam
seperti yang akan kau lakukan."
"Yang akan aku lakukan jauh lebih baik daripada aku
membunuh semua laki-laki yang ada disini," jawab
Pangeran Singa Narpada. Dukun itu termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya,
"Jika demikian, tidak ada artinya aku mengobati orangorang
yang terluka itu jika kau ternyata ingin membunuh
para bebahu yang tersisa, karena yang lain telah mati
terbunuh pula termasuk Ki Bekel sendiri."
"Itu terserah kepadamu. Kau adalah orang padukuhan
ini. Jika kau ingin melihat tetangga-tetanggamu yang
terluka parah itu mati, maka kau dapat saja menolak untuk
mengobati mereka. Tetapi kau tidak akan dapat
mempengaruhi keputusanku untuk membunuh para bebahu
ini," jawab Pangeran Singa Narpada, "Karena itu, jika kau
tidak mau mengobati orang-orang yang terluka, kematian
akan bertambah-tambah lagi."
Dukun itu tidak menjawab. Tetapi terdengar giginya
gemeretak menahan gejolak didalam dadanya.
Namun demikian, ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia
tidak dapat mencegah apa yang dilakukan oleh orang-orang
yang dianggapnya sebagai pengembara. Namun
mempunyai kemampuan yang luar biasa, yang mampu
mengalahkan seisi padukuhan yang mempunyai kebiasaan
yang sangat buruk itu. Sementara itu, Mahisa Bungalan, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat pun menjadi berdebar-debar. Tetapi mereka
pun tidak dapat berbuat apa-apa. Karena itu, maka mereka
pun hanya dapat berdiri termangu-mangu memandang
Pangeran Singa Narpada yang sudah menggenggam pedang
di tangannya. Sementara itu, maka katanya, "Cepat. Siapakah yang
pertama akan mati." Para bebahu itu memang ragu-ragu sejenak. Namun
kemudian seorang diantara mereka, bebahu yang memang
sudah menyatakan kesediaannya untuk mati itupun
melangkah maju. Tetapi Pangeran Singa Narpada membentaknya, "Bukan
kau. Kau akan mati terakhir. Kau harus menyaksikan
kawan-kawanmu mati dengan kepala terpisah. Baru
kemudian kau akan dipenggal kepalamu pula."
Bebahu itu termangu-mangu sejenak. Namun Pangeran
Singa Narpada membentaknya, "Mundur."
Bebahu itu melangkah surut. Sementara itu Pangeran
Singa Narpada berkata pula, "Siapa yang akan mati lebih
dahulu?" Bebahu yang memang sudah pasrah akan kematiannya
itu memandang kawan-kawannya yang berdiri berjajar,
seolah-olah ingin mempersilahkan seorang diantara mereka
untuk mendahuluinya mati.
Sebenarnyalah, salah seorang diantara para bebahu itu
maju mendekati Pangeran Singa Narpada. Seorang bebahu
yang rambutnya sudah mulai ditumbuhi uban.
"Aku sudah tua." Katanya didalam hati, "Apalagi yang
aku tunggu jika kematian itu memang harus datang."
Dengan langkah yang sendat ia datang ke arah Pangeran
Singa Narpada yang menggenggam pedang di tangannya.
Ketika orang itu berdiri di muka Pangeran Singa
Narpada, maka iapun telah dengan pasrah berkata,
"Silahkan Ki Sanak. Apapun yang akan kalian lakukan, jika
ini dapat menyelamatkan orang-orang padukuhan ini yang
sebenarnya tidak banyak berbuat kesalahan."
"Bagus," jawab Pangeran Singa Narpada, "Tundukkan
kepalamu." Bebahu itu tidak membantah. Iapun kemudian
menundukkan kepalanya, siap untuk dipenggal lehernya.
Pangeran Singa Narpada memandang para bebahu yang
lain. Nampaknya mereka pun benar-benar telah pasrah
untuk mati, karena hanya dengan demikian mereka dapat
menyelamatkan orang-orang padukuhan itu.
Perlahan-lahan dengan pedang di tangan Pangeran Singa
Narpada mendekati bebahu yang sudah menundukkan
kepalanya itu. Sementara bebahu itupun telah memejamkan
matanya. Ia menunggu tajamnya pedang mengenai
lehernya dan memisahkan kepalanya dengan tubuhnya.
Karena itu, ketika ia merasakan sesuatu menyentuh kulit
lehernya, maka rasa-rasanya kepalanya sudah terpisah dari
tubuhnya. Namun ternyata bahwa kepalanya masih berada
di tempatnya. Ketika ia membuka matanya, ia masih
melihat sebagaimana sewajarnya. Bahkan ia tidak melihat
setetes darah pun yang menitik dan lehernya itu.
Dalam pada itu hampir tidak percaya ia mendengar
suara di sisinya, "Tegaklah."
Bebahu itu masih menundukkan kepalanya, sehingga
terdengar suara itu mengulangi, "Tegaklah."
Bebahu itu mengangkat kepalanya. Sementara itu orang
yang dianggapnya pengembara yang memegang pedang itu
berkata, "Aku percaya akan kesungguhan kalian. Karena
itu, maka aku percaya akan janji kalian, bahwa kalian tidak
akan mengulangi kejahatan yang pernah kalian lakukan."
Para bebahu itu termangu-mangu. Namun Pangeran
Singa Narpada yang dianggap sebagai pengembara itu
berkata, "Aku tidak akan menghukum kalian. Tetapi aku
menuntut bahwa kalian tidak akan melakukan kejahatan
lagi. Pada saat-saat tertentu aku akan memerintahkan
sekelompok prajurit melihat apakah kalian benar-benar
telah sembuh dari kejahatan yang sangat keji itu."
Para bebahu itu termangu-mangu. Namun bebahu yang
telah menyatakan kesediaannya untuk mati itu bertanya,
"Apakah yang Ki Sanak maksudkan dengan prajuritprajurit
untuk melihat apakah isi padukuhan ini benar-benar
telah sembuh dari tingkah lakunya itu?"
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi ia mengatakannya dengan sengaja. Bukan karena
sekedar salah ucap. Karena menurut perhitungannya,
dengan menakut-nakuti, maka orang-orang padukuhan itu
akan benar-benar menjadi sembuh.
Karena itu, maka jawabnya, "Kalian tidak usah tahu
siapakah aku. Tetapi aku memang berwenang
memerintahkan sekelompok prajurit. Atau anggap saja aku
akan melaporkan perbuatan kalian kepada para pemimpin
di Kediri dan Singasari. Nah pada saat-saat tertentu maka
akan dikirim peronda yang akan melihat keadaan
padukuhan ini. Tetapi yang lebih banyak dapat memberikan
laporan adalah para petugas sandi. Tanpa kalian sadari,
maka tingkah laku kalian telah diamati."
Para bebahu itu mengangguk-angguk. Tetapi semua
bebahu itu memang berkesimpulan bahwa pengembara itu
memang memiliki kuasa untuk memerintahkan sekelompok
prajurit untuk datang ke padukuhan mereka.
Dalam pada itu, dukun yang hampir saja kehilangan
kepercayaannya kepada para pengembara itu menarik nafas
dalam-dalam. Diluar sadarnya iapun berkata lantang, "Aku
minta maaf akan kedunguanku Ki Sanak."
Pangeran Singa Narpada memandanginya dengan tajam.
Lalu katanya kepada Mahisa Bungalan, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. "Marilah. Kita tinggalkan tempat ini."
"Apakah kalian tidak menunggu sampai esok pagi"
Kalian masih sempat beristirahat," berkata salah seorang
bebahu itu. "Aku tidak mungkin beristirahat dalam keadaan seperti
ini. Karena itu biarlah aku minta diri. Aku akan beristirahat
di bulak yang sepi," jawab Pangeran Singa Narpada.
Mahisa Bungalan dan kedua adiknya pun telah
membenahi diri. Kemudian mereka pun minta diri kepada
penghuni padukuhan itu untuk melanjutkan perjalanan.
"Terserah, apa yang akan kalian lakukan atas kawankawan
kalian yang mati dan yang terluka," berkata
Pangeran Singa Narpada. Dengan demikian, maka empat orang pengembara
itupun telah meninggalkan padukuhan itu tanpa dapat
dicegah lagi dengan meninggalkan kesan yang aneh. Orangorang
padukuhan itu menganggap bahwa mereka telah
mendapat satu peringatan yang sangat keras dengan
peristiwa yang baru saja terjadi. Beberapa orang diantara
mereka, termasuk Ki Bekel telah terbunuh oleh orang-orang
yang mengaku pengembara, namun yang menurut orangorang
padukuhan itu, tentu bukan sekedar pengembara,
sebagaimana melihat apa yang telah melihat apa mereka
lakukan di padukuhan itu.
Karena itu, maka para bebahu itu benar-benar telah
berjanji kepada diri sendiri, untuk mengakhiri cara hidup
yang kotor itu. Mereka tidak akan melakukannya lagi,
karena dengan demikian maka akan dapat timbul bencana
yang tentu lebih parah lagi bagi padukuhan itu. Jika malam
itu beberapa orang telah terbunuh dan terluka, maka pada
kesempatan lain, maka keadaan akan menjadi lebih parah.
Jika yang datang itu sekedar orang-orang yang mendapat
perintah, tanpa membuat pertimbangan-pertimbangan lebih
dalam, maka yang terbunuh tentu akan jauh lebih banyak
lagi. Mungkin pada bebahu itu benar-benar sudah mati.
Sementara itu. Pangeran Singa Narpada, Mahisa
Bungalan dan kedua adiknya telah berada diluar padukuhan
itu. Dengan ragu-ragu Mahisa Bungalan berkata, "Pangeran
telah membuat aku menjadi berdebar-debar. Aku mengira
bahwa Pangeran benar-benar akan membunuh."
Pangeran Singa Narpada tersenyum. Katanya, "Untuk
memberikan tekanan kepada orang-orang itu, maka aku
memerlukan satu langkah yang akan dapat menjadi sangat
berkesan. Dengan demikian mereka akan selalu teringat
akan kesan itu." Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Sementara itu
Mahisa Murti berkata. "Aku justru menjadi bingung dan
tidak tahu apa yang sebaiknya aku lakukan."
Pangeran Singa Narpada justru tertawa. Katanya,
"Ternyata aku berhasil. Jika aku gagal, entahlah apa yang
akan aku lakukan saat itu."
"Satu langkah yang sangat berbahaya," berkata Mahisa
Pukat, "Aku masih saja berdebar-debar sampai sekarang."
Mahisa Bungalan pun menyambung, "Tetapi
bagaimanapun juga, kita telah benar-benar harus
membunuh. Tetapi aku kira itu bukan salah kita."
"Biarlah itu dianggap sebagai hukuman atas padukuhan
itu. Terutama bagi Ki Bekel. Karena hukuman itu akan
dapat menumbuhkan pertimbangan-pertimbangan bagi
mereka yang mengalaminya," berkata Pangeran Singa
Narpada. Demikianlah maka keempat orang itupun menjadi
semakin jauh dari padukuhan yang aneh itu. Mereka
memang ingin melupakan apa yang pernah terjadi, karena
ketika mereka memasuki padukuhan itu, sama sekali tidak
terpercik niat didalam hati mereka untuk melakukan
pembunuhan. Tetapi kematian itu telah terjadi.
Dalam pada itu, keempat orang itu ternyata sudah tidak


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sempat beristirahat lagi. Langit sudah menjadi cerah.
Karena itu, mereka justru telah singgah dan turun sejenak
sebuah belik di tepi sebuah sungai.
Dari belik itu mereka mengambil air untuk mencuci
wajah dan sekedar membersihkan, diri. Kemudian mereka
pun melanjutkan perjalanan mereka.
Seperti yang telah mereka rencanakan, maka mereka pun
berniat untuk pergi ke padepokan mPu Lengkon di Ara-ara
Lawang. Mungkin orang yang mereka cari itu berada di
sana bersama Panembahan Bajang. Atau Lembu Sabdata
memang berada di padepokan itu.
Jarak yang harus mereka tempuh ternyata tidak terlalu
jauh lagi. Dengan demikian mereka pun menjadi semakin
berhati-hati. Mereka tidak ingin justru kedatangan mereka
diketahui lebih dahulu oleh mPu Lengkon atau oleh orangorangnya.
Untuk mengurangi kemungkinan itu, maka Pangeran
Singa Narpada telah menjadikan kelompok kecilnya dua
bagian. Ia sendiri bersama Mahisa Bungalan, dan yang lain
adalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Sebagaimana dikatakan oleh Arya Rumpit, maka
padepokan mPu Lengkon bukanlah padepokan yang
terpencil. Sebagaimana Penembahan Bajang, ia banyak
dikenal oleh orang di padukuhan-padukuhan di sekitarnya,
meskipun letaknya memang agak terpisah.
Namun justru karena itu, maka Pangeran Singa Narpada
pun harus berhati-hati. Untuk mengurangi kemungkinan buruk, maka mereka
sepakat untuk mendekati padepokan itu di malam hari.
Pangeran Singa Narpada telah berpesan agar Mahisa Pukat
tidak berusaha untuk ikut mendekati padepokan itu.
"Kau tunggu sajalah di hutan perdu itu," berkata
Pangeran Singa Narpada, "Aku dan kakakmu akan mencari
keterangan." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat mengelak.
Meskipun sebenarnya mereka lebih senang untuk ikut
melihat-lihat keadaan padepokan, namun Pangeran Singa
Narpada cukup berhati-hati menanggapi keadaan.
Demikianlah, ketika malam turun, Pangeran Singa
Narpada dan Mahisa Bungalan telah mendekati dinding
padepokan. Dengan kemampuan ilmunya mereka berusaha
untuk memastikan bahwa tidak ada orang melihatnya
waktu itu. Sehingga karena itu, maka keduanya telah
meloncat ke atas dinding padepokan.
Yang nampak didalam padepokan itu hanyalah tanamtanaman
yang hijau subur memenuhi halaman. Sambil
menelungkup melekat dinding keduanya mengamati
halaman yang hijau itu dengan saksama. Nampaknya
padepokan itu adalah padepokan yang tenang dan damai.
Tidak ada seorang pun yang berjaga-jaga mengamati
keadaan. Tidak ada tanda-tanda kegelisahan dan kesiagaan
untuk melindungi diri. Regol depan halaman padepokan
itupun tidak tertutup rapat. Sebuah lampu obor berada
didalam regol dan sebuah lagi diluar regol.
Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan saling
berpandangan. Namun mereka masih belum berbuat apaapa.
Dalam pada itu, selagi mereka masih termangu-mangu di
tempatnya, mereka telah dikejutkan oleh derit pintu regol.
Kemudian seleret bayangan bagaikan terbang dari regol itu
menuju ke pendapa padepokan.
Pangeran Singa Narpada memberikan isyarat kepada
Mahisa Bungalan. Namun agaknya Mahisa Bungalan pun
telah melihat bayangan itu pula.
"Tentu orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi,"
berkata keduanya didalam hatinya.
Sebenarnyalah bayangan itu menunjukkan banyak
kelebihan dari orang-orang kebanyakan. Bayangan itu
bagaikan tidak menyentuh tanah. Hampir saja keduanya
kehilangan bayangan itu, karena terhalang oleh dedaunan
dan pepohonan. Namun ternyata mereka berhasil melihat
bayangan itu berdiri di pendapa.
Hanya dengan ketajaman ilmu masing-masing, maka
keduanya dapat mengikuti orang yang naik ke pendapa itu.
Namun kemudian keduanya menjadi berdebar-debar.
Ternyata orang itu ada lah seorang yang bertubuh kerdil.
"Panembahan Bajang," kedua orang itu berdesis didalam
hati masing-masing. Untuk beberapa saat keduanya menunggu. Keduanya
harus benar-benar berhati-hati. Mereka harus menjaga agar
tarikan nafas mereka tidak terdengar oleh Panembahan
Bajang. Meskipun jarak mereka cukup jauh, namun
kemampuan pendengaran yang tajam sebagaimana
kemampuan penglihatan kedua orang yang menelungkup di
atas dinding itu akan dapat menangkapnya. Untunglah
bahwa kedua orang diatas dinding halaman itupun orangorang
yang berilmu tinggi, sehingga mereka mampu
menjaga, agar nafas mereka tidak melontarkan bunyi yang
mungkin dapat ditangkap oleh ketajaman pendengaran
Panembahan Bajang. Sejenak kemudian, maka terdengar satu isyarat di
pendapa itu. Agaknya Panembahan Bajang telah
melontarkan isyarat yang ditujukan kepada penghuni
padepokan itu. Sebenarnyalah, sejenak kemudian, maka terdengar pintu
berderit. Seorang telah keluar dari pintu pringgitan sambil
mengalungkan ikat kepalanya di lehernya. Sementara itu
rambutnya yang nampak memutih dibawah cahaya obor di
pendapa, nampak terurai di punggungnya.
"Apa kerjamu di sini Panembahan?" bertanya orang
yang baru keluar itu. "Empu, ternyata kau benar-benar seorang pemalas. He,
kau tidak punya kerja lain daripada tidur?" berkata
Panembahan Bajang. "Sudah tiga hari tiga malam aku tidak tidur," jawab
orang yang keluar dari pintu pringgitan itu.
"Kenapa?" bertanya Panembahan Bajang.
"Aku sedang menempuh laku. Aku akan tidak tidur
selama empat puluh hari empat puluh malam," jawab
penghuni padepokan itu. "Apa yang ingin kau capai" Wahyu keraton?" bertanya
Panembahan Bajang. Orang-orang rambutnya terurai itu tidak segera
menjawab. Namun yang menjadi berdebar debar adalah
Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan.
Karena itu, kedua orang itupun telah berusaha dengan
mengerahkan ilmunya untuk dapat menangkap, baik
dengan pendengarannya maupun penglihatannya, apa yang
terjadi di pendapa. Sementara itu. karena orang-orang yang
berada di pendapa itu sama sekali tidak menduga, bahwa
ada orang yang mengintainya, maka mereka sama sekali
tidak berusaha untuk mengatasinya, sehingga mereka
berbicara sebagaimana sewajarnya.
Dalam pada itu, maka pemilik padepokan itupun
menjawab, "Buat apa aku mencari Wahyu Keraton" Kau
sangka bahwa aku masih mempunyai keinginan untuk
menguasai tahta Kediri siapapun duduk di atasnya"
Sepeninggal Pengeran Kuda Permati, tidak ada lagi orang
yang berarti bagiku."
"Bagaimana dengan Pengeran Lembu Sabdata?"
bertanya Panembahan Bajang.
"Entahlah," jawab pemilik padepokan yang rambutnya
terurai. "Marilah, silahkan duduk."
Keduanya kemudian duduk di pendapa. Orang yang
rambutnya terurai itu adalah benar mPu Lengkon. Untuk
beberapa saat lamanya keduanya berbincang di pendapa.
Suara mereka kadang-kadang terdengar, tetapi kadangkadang
tidak. Sedangkan Pangeran Singa Narpada dan
Mahisa Bungalan sudah tidak dapat berusaha untuk
mendekat lagi. Mereka tidak yakin bahwa bila mereka
mendekat, kedua orang itu tidak akan mengetahuinya.
Lamat-lamat antara terdengar dan tidak, Pangeran Singa
Narpada mendengar Panembahan Bajang berkata, "Aku
telah pergi ke padepokan Ajar yang tamak itu."
"O." Terdengar mPu Lengkon menjawab, "Apa yang
kau ketemukan di sana?"
"Suara yang asing," jawab Panembahan Bajang, "rasarasanya
aku diterima dengan penuh kecurigaan."
"Mungkin ia sudah berubah," berkata mPu Lengkon.
"Ya. Ia sudah berubah," jawab Panembahan Bajang,
"namun akhirnya aku dapat menduga apa yang tersimpan
didalam padepokannya."
"Apa" Apakah kau berhasil menyusup memasuki bilikbilik
rahasianya?" bertanya mPu Lengkon.
"Ah, alangkah dangkalnya caramu berpikir," berkata
Panembahan Bajang. "O." MPu Lengkon tertawa. Katanya, "Hampir aku lupa
bahwa aku berhadapan dengan seseorang yang mempunyai
ketajaman penglihatan jiwani. Apa yang kau lihat dengan
jiwamu yang kecil sebagaimana tubuhmu."
"Jangan menghina," jawab Panembahan Bajang. "Aku
dapat menenungmu dan membuatmu gila."
"Mungkin kau dapat melakukannya atas orang-orang
dungu. Tetapi aku dapat menyusupkan keris masuk ke
dalam ususmu," jawab mPu Lengkon.
"Baiklah. Aku minta diri," berkata Panembahan Bajang
kemudian, "Kita mencoba siapakah yang lebih kuat
diantara kita. Kau yang menjadi gila, atau perutku yang
koyak oleh kerismu."
"Besok kita dapat mulai. Tetapi katakan, apa yang kau
lihat di rumah Ajar yang gila itu," berkata mPu Lengkon.
"Aku merasakan sesuatu yang asing. Dan pada malam
hari aku melihat teja yang memancar dari salah satu
ruangan di lingkungan padepokan Ajar yang tamak itu.
Menurut pengamatanku teja itu tentu bersumber dari
sesuatu yang sangat berharga. Bukan saja nilainya sebagai
benda, tetapi juga tuahnya."
mPu Lengkon mengangguk-angguk. Katanya, "Mungkin
kau memang melihat sesuatu yang berharga untuk
diperhatikan. He apakah yang kau lihat itu Wahyu
Keraton?" "Aku tidak dapat mengatakannya," jawab Panembahan
Bajang. mPu Lengkon tidak mendesaknya lagi. Untuk beberapa
saat mereka justru terdiam.
Namun kemudian mPu Lengkon itu bertanya, "Apakah
kau akan bermalam disini dan dengan ketajaman
penglihatan perasaanmu kau juga akan mencari Wahyu
Keraton disini." "Aku memang akan tinggal disini barang satu dua hari.
Mungkin kita bisa berbicara, apakah kita akan pergi ke
padepokan Ajar itu untuk menanyakan apakah ia memang
sedang berusaha untuk melanjutkan perjuangan Pangeran
Kuda Permati," jawab Panembahan Bajang.
"Aku tidak peduli. Aku sudah jemu dengan pembunuhpembunuhan
yang tidak berkeputusan. Akhirnya tidak ada
hasil yang dapat kita lihat. Kediri tetap berkiblat kepada
Singasari. Kekuatan Pangeran Singa Narpada tidak
terbendung. Dan penderitaan batin isteri Pangeran Kuda
Permati sendiri akhirnya menjadi alat untuk mengakhiri
pembunuhan yang terjadi hampir di seluruh tlatah Kediri,
terutama di sekitar Kota Raja itu," jawab mPu Lengkon.
Panembahan Bajang tidak banyak memberikan
tanggapan. Bahkan kemudian ia berkata, "Aku lapar.
Apakah kau masih mempunyai persediaan makan?"
"Marilah," mPu Lengkon mempersilahkan. "Masih ada
beberapa buah jagung muda. Kita dapat membakarnya
diatas perapian. Mungkin dapat menjadi penangkal
laparmu itu." Suara keduanya pun terhenti. Yang terdengar adalah
derit pintu yang kemudian tertutup. Akhirnya sepi.
Untuk beberapa saat lamanya, Pangeran Singa Narpada
dan Mahisa Bungalan masih tetap berada di atas dinding
halaman samping. Mereka menunggu sampai kedua orang
itu benar-benar tenggelam dalam kerja mereka diatas
perapian untuk membakar jagung muda.
Beberapa saat kemudian, maka Pangeran Singa Narpada
dan Mahisa Agni itupun meloncat turun, memasuki
kembali daerah kebun tanaman para cantrik. Kemudian
mereka pun hilang didalam kegelapan. Untuk beberapa saat
lamanya keduanya masih tetap berdiam diri. Meskipun
mereka sudah berada diluar dinding halaman, dan melintasi
kebun para cantrik padepokan mPu Lengkon, namun rasarasanya
suara mereka mungkin masih akan dapat didengar.
Mungkin oleh orang-orang yang berada didalam dinding
padepokan, mungkin satu dua orang cantrik yang berada di
antara tanaman-tanamannya. Baru setelah mereka terlepas
sama sekali dari lingkungan padepokan, maka Pangeran
Singa Narpada pun berkata, "Kita ternyata telah mendapat
satu petunjuk yang sangat berharga. Meskipun mungkin
bukan yang kita cari, tetapi setidak-tidaknya kita dapat
melakukan sesuatu yang pada saat ini paling mungkin kita
lakukan." Mahisa Bungalan mengangguk-angguk kecil. Jawabnya,
"Ya Pangeran. Kita condong untuk menduga, bahwa ada
hubungan antara ceritera yang dibawa oleh Penembahan
Bajang itu dengan kepentingan kita. Meskipun demikian,
kita belum dapat memastikan sesuatu."
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, "Bagaimanapun juga, sebagaimana yang sudah
kita rencanakan, kita akan pergi ke padepokan Ajar
Bomantara itu." "Menurut perhitunganku, Panembahan Bajang dan mPu
Lengkon akan pergi ke padepokan Ajar Bomantara,"
berkata Mahisa Bungalan. "Aku sependapat," jawab Pangeran Singa Narpada,
"Jadi, apakah kita akan mendahului mereka atau kita justru
akan datang sesudah mereka?"
"Bagaimana mungkin kita mengetahui saat
keberangkatan mereka?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Kita harus menunggui padepokan ini siang dan
malam," berkata Pengeran Singa Narpada, "Tetapi


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pekerjaan itu akan memakan waktu dan tenaga."
"Menurut pendapatku, apakah tidak lebih baik jika kita
menuju ke padepokan Lemah Teles?" bertanya Mahisa
Bungalan. "Kita akan menentukan langkah kita kemudian. Apakah
kita akan menunggu orang itu, atau kita akan mendahului
memasuki padepokan itu," Pangeran Singa Narpada
mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Kita akan
berbicara dengan kedua orang adikmu. Mungkin mereka
mempunyai pendapat yang dapat kita pertimbangkan."
Mahisa Bungalan menyahut, "Ya. Kita akan
mendengarkan pendapat mereka."
Keduanya pun kemudian kembali menuju ke hutan
perdu tempat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menunggu.
Dengan singkat Mahisa Bungalan telah menceriterakan apa
yang mereka lihat dan apa yang telah mereka dengar di
padepokan itu. "Bagaimana menurut pendapat kalian?" bertanya
Mahisa Bungalan. Dengan serta merta Mahisa Pukat menjawab, "Kita pergi
ke padepokan Lemah Teles."
"Untuk apa?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Kita lihat, apakah yang tersimpan didalam padepokan
itu. Panembahan Bajang tentu tidak sekedar berkhayal
tentang teja yang dilihatnya dengan ketajaman penglihatan
batinnya. Mungkin kita juga tidak akan dapat melihatnya.
Seandainya benda yang bertuah itu telah dipindahkannya
atau bahkan telah disingkirkan dari padepokan itu, kita
tidak akan dapat mengetahuinya," jawab Mahisa Pukat.
Jadi bagaimana menurut pendapatmu untuk mengetahui
dimana benda itu disimpan jika kita tidak dapat melihat
dengan penglihatan batin kita teja yang memancar dari
benda itu?" bertanya Mahisa Bungalan.
Kita bongkar seluruh padepokan jika Ajar Bomantara
tidak mau menunjukkan dimana benda itu disimpannya,"
jawab Mahisa Pukat. Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya.
"Cobalah berpikir. Jangan menjawab dengan serta merta.
Meskipun kau masih muda, tetapi kau sudah memiliki ilmu
puncak yang diturunkan oleh ayah kita. Karena itu, maka
kau harus mencoba merubah caramu berpikir. Menangkap
persoalannya, mencernakannya dan kemudian mengurai
sebelum jalan pemecahannya."
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun iapun
kemudian tersenyum sambil berkata, "Aku melihat cara
yang paling cepat." "Dalam beberapa hal, kita memang dapat menempuh
jalan pintas seperti itu," jawab Mahisa Bungalan, "Tetapi
menghadapi lingkungan orang-orang berilmu tinggi, kita
harus memikirkan banyak pertimbangan."
"Ya. Aku mengerti," berkata Mahisa Pukat kemudian.
Sambil berpaling kepada Mahisa Murti ia bertanya,
"Bagaimana menurut pendapatmu?"
"Hampir saja aku juga menjawab sebagaimana kau
katakan," berkata Mahisa Murti, "untunglah bahwa kaulah
yang mengucapkannya lebih dahulu."
"Nah, setelah itu, kau mau berbicara apa?" desak Mahisa
Pukat. "Aku tidak akan berbicara apa-apa," jawab Mahisa
Murti. "Mungkin kau berpendapat lain daripada yang hampir
saja kau ucapkan itu," berkata Mahisa Bungalan.
Mahisa Murti berpikir sejenak. Namun kemudian
katanya, "Aku tidak dapat mengatakan sesuatu. Tetapi aku
kira, kita harus segera sampai di padepokan itu. Jika terjadi
perubahan atau hal-hal lain, mudah-mudahan kita dapat
melihatnya." Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, "Aku
kira langkah pertama adalah, kita pergi ke Lemah Teles.
Kemudian kita akan merencanakan langkah-langkah
berikutnya. Ternyata bahwa semuanya pun sepakat untuk segera
pergi ke Padepokan Lemah Teles. Langkah-langkah
berikutnya akan ditentukan kemudian.
Tetapi mereka masih akan menunggu sampai fajar.
Menurut pendengaran Pangeran Singa Narpada dan
Mahisa Bungalan, Panembahan Bajang akan berada di
padepokan itu barang satu dua hari. Namun mereka tidak
dapat berpegangan kepada kata-kata yang dilontarkan
dengan serta merta itu. Mungkin Panembahan Bajang
merubah keputusannya dan tiba-tiba saja berniat untuk
pergi ke Padepokan Lemah Teles.
Pada sisa malam itu, mereka berempat masih sempat
beristirahat meskipun seorang diantara mereka harus tetap
berjaga-jaga. Namun bergantian mereka mendapat
kesempatan meskipun hanya sekejap untuk memenjamkan
matanya. Ketika langit menjadi merah, maka keempat orang
itupun telah bersiap-siap. Merekapun kemudian membenahi
diri dan mencuci muka di sebuah anak sungai yang kecil,
namun berair sangat jernih.
Seperti biasanya, maka keempat orang itu tidak berjalan
beriringan. Tetapi dua orang berjalan agak ke depan dan
beberapa langkah kemudian baru Pangeran Singa Narpada
dan Mahisa Bungalan. Bahkan kadang-kadang di tempat
yang ramai, jarak diantara mereka itupun diperpanjang
menjadi beberapa langkah lebih jauh.
Dengan ketajaman pengamatan mereka, maka
berdasarkan atas petunjuk dari Arya Rumput, maka mereka
telah menemukan jalur jalan yang benar. Namun mereka
tidak akan dapat mencapai jarak yang akan mereka tempuh
dalam sehari perjalanan. Mereka harus bermalam di
perjalanan meskipun hal itu tidak akan menjadi persoalan
bagi mereka, sebagaimana makan dan minum mereka
selama mereka menempuh perjalanan itu. Bekal uang yang
mereka bawa cukup banyak untuk membeli makanan dan
minuman di kedai-kedai dan di warung-warung.
Sementara itu, ketika mereka melintasi hutan di lereng
pegunungan, hati mereka menjadi berdebar-debar. Ternyata
hutan di lereng pegunungan itu telah pernah mengalami
bencana karena pokal para pengikut Pangeran Kuda
Permati. Beberapa puluh patok hutan itu telah
digundulinya. Beberapa pokok pohon-pohon yang tumbang mulai semi
kembali, sementara jenis-jenis pohon yang baru telah
tumbuh pula menjadi semak-semak.
"Untunglah bahwa usaha ini dapat dicegah dan
dihentikan," berkata Mahisa Bungalan, "Jika usaha ini
tidak dapat dibatasi dan dihentikan, maka bencana tentu
benar-benar akan melanda bukan saja lereng gunung ini.
Tetapi daerah di sekitar bukit ini dalam lingkungan yang
luas." Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi iapun menjadi ngeri membayangkan, apa yang akan
terjadi jika usaha untuk menebangi pepohonan di hutanhutan
di lereng pegunungan itu tidak dapat dihentikan.
Demikianlah keempat orang itu berjalan bagaikan
sebuah tamasya. Sekali-sekali mereka menyusuri tepi-tepi
hutan. Kemudian mereka melintas di bulak-bulak panjang,
menyusup hutan. Kemudian mereka melintas di bulakbulak
panjang, menyusup diantara pepohonan di
padukuhan-padukuhan serta menyeberangi sungai besar
dan kecil. Mendaki bukit, menuruni jurang, dan lerenglereng
pegunungan. Jika mereka merasa haus dan lapar, maka mereka pun
singgah di warung-warung untuk membeli minuman dan
makanan. Meskipun kadang-kadang, di tempat yang sangat
jauh dengan kedai atau warung, mereka dapat minum titiktitik
air dari belik. Ketika malam turun, maka mereka berempat telah
mencari tempat untuk bermalam. Mereka ternyata telah
menemukan satu tempat yang paling baik. Di pinggir hutan
perdu, agak jauh dari jalan yang ramai, tetapi dekat dengan
sebuah mata air. Semalam penuh mereka dapat beristirahat, meskipun
bergantian mereka berjaga-jaga. Tetapi rasa-rasanya mereka
mempunyai waktu terlalu banyak untuk tidur.
Mereka melanjutkan perjalanan menjelang matahari
terbit. Mereka berjalan cepat meskipun tidak sampai
menarik perhatian orang yang berpapasan dengan mereka.
Semakin dekat, mereka justru menjadi semakin ingin segera
mencapai padepokan Ajar Bomantara.
Seperti yang pernah mereka lakukan, maka mereka akan
mendekati padepokan itu di malam hari.
Dalam pada itu, beberapa puluh patok dari padepokan
itu, Mahisa Bungalan minta Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat menunggu. Tetapi agaknya kedua anak yang sudah
merasa menjadi dewasa itu pada satu saat telah
membantah. Dengan nada yang dalam Mahisa Murti berkata,
"Kakang, kenapa kakang tidak memberi kesempatan sama
sekali kepada kami berdua. Jika demikian apakah artinya
kami sampai ke tempat ini."
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.
Sementara itu, Pangeran Singa Narpada menyahut,
"Meskipun kehadiran kalian disini adalah atas keinginan
kalian sendiri, tetapi baiklah jika dengan demikian kalian
akan kehilangan kejemuan kalian."
"Jadi kami berdua diijinkan mendekat?" bertanya
Mahisa Pukat. "Tetapi kita harus sangat berhati-hati," berkata Pangeran
Singa Narpada, "Kalian harus menyadari, bahwa jika kita
salah langkah, maka persoalan akan menjadi semakin
rumit. Akibat lain yang dapat terjadi adalah, kita tidak akan
keluar lagi dari tempat ini bersama wadag kita."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Dengan sungguh-sungguh Mahisa Murti berkata, "Kami
akan berusaha untuk tidak mengecewakan Pangeran dan
kakang Mahisa Bungalan."
Pangeran Singa Narpada memandangi kedua anak muda
itu. Namun sebenarnyalah bahwa mereka sudah bukan
kanak-kanak lagi. Menilik ujud dan sikapnya, keduanya benar-benar telah
menjadi anak-anak muda yang dewasa sepenuhnya. Yang
sudah sepantasnya untuk mendapatkan kepercayaan dalam
saat-saat yang penting. Demikianlah, maka keempat orang itupun telah
mendekati padepokan yang disebut padepokan Lemah
Teles, ketika malam telah turun. Keempat orang itu tidak
bersama-sama berada di satu tempat. Tetapi telah membagi
diri. Karena keadaan-yang mereka hadapi adalah keadaan
yang gawat, maka mereka tidak lagi membagi sebagaimana
yang pernah mereka lakukan. Tetapi Mahisa Murti berada
di sisi kiri bersama Pangeran Singa Narpada, sementara
Mahisa Pukat bersama Mahisa Bungalan berada di sisi
kanan. Dengan sangat berhati-hati mereka mendekati
padepokan, melintasi pategalan yang agaknya diusahakan
oleh para cantrik. Namun agak berbeda dengan padepokan
mPu Lengkon, padepokan ini dibatasi oleh dinding
padepokan berlapis dua. Selapis membatasi kebun buah dan
bunga yang tumbuh mengitari padepokan. Kemudian
selapis membatasi halaman padepokan yang gilar-gilar di
muka pendapa. Halaman yang bersih dan tidak ditanami
apapun juga, sehingga terbuka seperti sebuah lapangan yang
cukup luas. Seperti yang pernah mereka lakukan, maka baik mereka
yang di sisi kiri maupun yang berada di sisi kanan telah
meloncati dinding dilapis pertama. Kemudian mereka pun
berusaha untuk mendekati dinding dilapis kedua. Baru
setelah mereka yakin bahwa tidak ada orang yang ada di
sekitar mereka, maka mereka pun berusaha untuk
memanjat. Mereka harus lebih berhati-hati daripada
memanjat dinding halaman yang mempunyai batang-batang
pohon buah-buahan dan bunga-bungaan, sehingga mereka
dapat berlindung dibalik bayangan pepohonan.
Karena itu, maka mereka tidak dapat meloncat dan
hinggap diatas dinding. Tetapi mereka dengan sangat hatihati
berusaha untuk memanjat dan menjengukkan kepala
mereka. Ternyata bahwa halaman yang luas dan bersih itu
kosong sama sekali. Tidak ada seorang pun yang nampak.
Untuk beberapa saat mereka bertahan di tempat mereka
dengan tangan yang bergantung pada bibir dinding yang
untuk tidak terlalu tinggi. Kaki mereka mencari alas untuk
dapat bertahan beberapa lama dalam keadaan yang
demikian. Namun mereka pun menjadi berdebar-debar ketika
mereka tiba-tiba melihat tiga orang keluar lewat pintu
pringgitan. Dua diantara mereka adalah orang-orang yang
pernah mereka kenal sebelumnya, terutama Pangeran Singa
Narpada dan Mahisa Bungalan. Kedua orang itu adalah
Panembahan Bajang dan mPu Lengkon.
"Gila," desis Pangeran Singa Narpada didalam hatinya,
"Kedua orang iblis itu telah berada disini pula."
Namun keempat orang yang berada di sebelah
menyebelah halaman itu tidak dapat mendengar apa yang
mereka bicarakan. Mereka berbicara perlahan-lahan, tidak
sebagaimana dilakukan oleh mPu Lengkon dan
Panembahan Bajang di padepokan Empu Lengkon. Tetapi
dengan Ki Ajar Bomantara mereka seakan-akan hanya
berbisik-bisik saja. Tetapi agaknya mereka berbicara dengan sungguhsungguh.
Bahkan seakan-akan telah terjadi perselisihan
diantara mereka. Namun akhirnya mereka bertiga pun
terdiam beberapa saat. Keempat orang yang mengintip keadaan padepokan itu
masih bertahan di tempatnya. Untunglah bahwa mereka
mempunyai bekal kekuatan yang dapat mengikat mereka
dalam keadaan yang sulit itu, sehingga mereka berempat
sempat untuk melihat peristiwa yang terjadi di pendapa,


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dibawah cahaya lampu minyak yang tidak begitu terang.
Dalam keadaan yang demikian, maka tiba-tiba saja mPu
Lengkon berdiri sambil berkata lantang, sehingga lamatlamat
keempat orang itu sempat mendengarnya, "Aku tidak
ikut campur. Aku akan kembali ke padepokan."
Ki Ajar Bomantara berusaha untuk mencegahnya.
Katanya, "Tunggu. Kita dapat berbicara."
"Tidak," suara mPu Lengkon tetap lantang.
Panembahan Bajang termangu-mangu sejenak. Agaknya
ia menjadi bingung, apakah yang sebaiknya dilakukan.
Namun ketika mPu Lengkon telah turun di halaman,
maka Panembahan Bajang pun berkata, "Tunggu. Aku
mempunyai pendapat."
mPu Lengkon berhenti. Pembicaraan mereka menjadi
keras sehingga Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Murti
serta Mahisa Bungalan dan Mahisa Pukat pun dapat
mendengarnya. "Bukankah kita akan dapat tetap bersama-sama," berkata
Panembahan Bajang. "Tetapi kau tidak mau lagi melihat kematian-kematian
yang tidak berarti melanda Tanah ini," berkata mPu
Lengkon. "Baiklah," berkata Panembahan Bajang, lalu, "Tetapi
kemarilah. Duduklah."
"Aku akan pulang," jawab mPu Lengkon.
"Jangan pergi," suara Ki Ajar lantang. "Kau harus tetap
tinggal disini. Ikut atau tidak ikut."
"Kau takut aku berkhianat?" bertanya mPu Lengkon.
"Sudah aku katakan, bahwa aku tidak akan mencampuri
persoalan kalian dan persoalan yang akan dapat
menumbuhkan kembali pembunuhan-pembunuhan disini."
"Bukankah kita baru akan membicarakannya," berkata
Panembahan Bajang. "Kita belum yakin bahwa kita akan
melangkah, karena banyak masalah yang harus kita
perhitungkan. Nah, dalam keadaan yang demikian kami
memerlukan kau." mPu Lengkon termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya. Aku akan pulang. Jika kalian
memerlukan aku, cari aku di Ara-ara Amba."
"Setan kau," geram Ki Ajar.
Tetapi mPu Lengkon ternyata tidak berhenti. Ia berjalan.
Ia berjalan terus meninggalkan Ki Ajar dan Panembahan
Bajang, melintasi halaman menuju ke regol.
"MPu, barangkali " " berkata Panembahan Bajang.
mPu Lengkon memang berhenti dan berpaling.
Sementara itu Panembahan Bajang pun berkata, "Apakah
kau benar-benar akan meninggalkan aku disini?"
"Ya. Kecuali jika kau mau meninggalkan tempat ini pula
sekarang," jawab mPu Lengkon.
"Jadi untuk apa kau kemari?" bertanya Panembahan
Bajang. "Untuk mencoba meyakinkan kalian, bahwa usaha
berikutnya akan sia-sia kecuali hanya menambah kematian
saja," berkata mPu Lengkon.
"Tetapi ingat," berkata Panembahan Bajang. "Jika kau
berkeras, aku dapat membuatmu gila."
"Lakukanlah jika kau dapat," tantang mPu Lengkon.
"Tetapi kau pun harus sadar, jika kau mencoba, maka aku
akan dapat mengoyak perutmu dari padepokanku
dimanapun kau berada, dan dimanapun kau berusaha
bersembunyi, kerisku mempunyai ketajaman penglihatan
melampaui ketajaman penglihatanmu."
Panembahan Bajang tidak menjawab lagi. Sementara
mPu Lengkon benar-benar meninggalkan padepokan Ki
Ajar Bomantara. "Biarlah," berkata Ki Ajar, "Kita tidak
memerlukannya." Panembahan Bajang termangu-mangu.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Ki Ajar berkata,
"Atau kita akan menyelesaikannya sama sekali?"
Panembahan Bajang menggeleng. Katanya, "Tidak
mungkin. Kecuali Empu Lengkon memiliki ilmu yang
sangat tinggi, maka kita tidak akan sampai hati
melakukannya." "Jika demikian, baiklah. Kita biarkan saja orang itu
pergi. Bukankah kita akan dapat berbuat banyak tanpa
orang itu. Kecuali jika mPu Lengkon berkhianat," berkata
Ki Ajar. "Aku yakin, bahwa ia tidak akan berkhianat, meskipun
ia tidak mau melibatkan diri," berkata Panembahan Bajang.
Ki Ajar mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Kita
tidak akan mempersoalkannya lagi."
Panembahan Bajang pun mengangguk-angguk.
Sementara itu Ki Ajar mempersilahkannya, "Marilah. Kita
masuk." Keduanya pun kemudian memasuki rumah induk dari
padepokan Ki Ajar yang bersih itu.
Dalam pada itu Pangeran Singa Narpada, Mahisa Murti,
Mahisa Bungalan dan Mahisa Pukat menunggu sejenak.
Baru kemudian mereka dengan hati-hati telah
meninggalkan tempat masing-masing di sebelah
menyebelah halaman. Beberapa saat kemudian, maka mereka pun telah berada
di tempat yang mereka sepakati. Mereka ternyata melihat
dan mendengar sebagian besar dari pembicaraan ketiga
orang di dalam lingkungan padepokan itu, sehingga mereka
pun mengerti, apa yang ternyata telah terjadi di padepokan
itu dan terutama bagi kegentingan Kediri.
"Ki Ajar Bomantara telah bertekad untuk menumbuhkan
kembali pertentangan itu," berkata Pangeran Singa
Narpada. "Ya," jawab Mahisa Bungalan, "Agaknya Ki Ajar yakin
akan mendapat dukungan kekuatan dari beberapa pihak.
Tetapi agaknya mPu Lengkon lebih melihat kenyataan
daripada Ki Ajar dan Panembahan Bajang."
"Kita harus mengambil langkah sekarang," berkata
Mahisa Pukat, "Memang mereka belum sempat
menghimpun kekuatan."
"Kita tidak dapat tergesa-gesa," berkata Mahisa
Bungalan kemudian, "Kita belum tahu, apa yang tersimpan
didalam padepokan itu. Kita tidak tahu, apakah
didalamnya terdapat sejumlah pasukan atau tidak."
Mahisa Murti lah yang menjawab, "Tidak terdapat
penjagaan-penjagaan. Jika padepokan itu menyimpan
kekuatan, maka tentu akan nampak penjagaan-penjagaan
yang ketat dimana-mana di seputar padepokan itu."
"Menurut penglihatan kita yang baru sekilas," berkata
Mahisa Bungalan, "Kita tidak tahu bahwa penjagaan yang
ketat itu berada dibalik-balik dinding."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara itu
Pangeran Singa Narpada pun berkata, "Memang sebaiknya
kita harus berhati-hati. Kita akan menunggu beberapa lama
untuk meyakinkan diri atas isi padepokan itu. Baru
kemudian kita akan berbicara apa yang akan kita lakukan.
Bukankah sejak berangkat kita sudah berpendirian
demikian." "Ya," jawab Mahisa Bungalan, "Namun ternyata bahwa
perjalanan kita terlalu lamban. Kita yang ingin mendahului
kedua orang itu, justru mereka telah berada di padepokan
ini." "Orang-orang seperti kedua orang itu memang sulit
untuk diperhitungkan sikap dan pendiriannya," jawab
Pangeran Singa Narpada. "Jadi, apa yang akan kita lakukan?" bertanya Mahisa
Pukat. "Kita harus melangkah dengan hati-hati," berkata
Mahisa Bungalan, "Kita harus menemukan benda yang
paling berharga bagi Kediri sekaligus tempat
persembunyian Pangeran Lembu Sabdata. Menurut
perhitungan kita, ada hubungan yang erat antara hilangnya
Pangeran Lembu Sabdata dan benda berharga itu. Apalagi
cara yang dipergunakan oleh orang-orang yang
mengambilnya ternyata sama."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah.
Tetapi untuk menunggu terlalu lama agaknya akan menjadi
beban perasaan yang sangat berat."
"Kau bukan saja harus menempa kemampuan ilmumu,
tetapi kau juga harus menempa ketahanan batinmu
menghadapi persoalan-persoalan yang rumit, termasuk
kejemuan," berkata Mahisa Bungalan.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia
memandang Mahisa Murti, maka Mahisa Murti pun
tersenyum kepadanya. Dengan demikian maka kedua orang anak muda itupun
saling berdiam diri. Mereka dapat mengerti sepenuhnya
pendapat Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan,
sehingga mereka tidak merasa terpaksa untuk
melakukannya. Sementara itu, Pangeran Singa Narpada pun berkata,
"Dengan demikian, maka kita memerlukan satu tempat
yang akan dapat kita tempati untuk waktu yang agak lama.
Mungkin kita akan berada di tempat itu untuk satu bahkan
dua pekan." Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, "Ya.
Kita harus mencarinya. Tempat itu harus dijaga agar tidak
diketemukan sengaja atau tidak oleh kedua orang berilmu
tinggi itu, maupun cantrik-cantrik dari padepokan Ki Ajar.
"Besok pagi-pagi kita harus sudah menemukannya.
Mungkin kita harus bergeser ke tempat yang agak jauh,"
berkata Pangeran Singa Narpada.
Malam itu, mereka masih dapat beristirahat di tempat
itu. Namun mereka pun harus tetap berhati-hati. Bergantian
mereka harus berjaga-jaga.
Sebagaimana mereka rencanakan, maka ketika matahari
terbit, mereka pun membenahi diri. Mereka meninggalkan
tempat itu untuk menemukan tempat yang lebih baik, yang
dapat mereka pergunakan untuk waktu yang lebih lama dari
satu atau dua malam saja.
Namun sebagai pengembara-pengembara yang
berpengalaman, mereka tidak banyak mengalami kesulitan.
Setelah menelusuri hutan dan sungai, maka akhirnya
mereka menemukan suatu tempat yang terlindung oleh
bukit-bukit kecil, namun tidak terlalu jauh dari sebatang
anak sungai yang tidak begitu besar.
"Tetapi ingat," berkata Pangeran Singa Narpada,
"Meskipun tempat ini terlindung, tetapi jika kita membuat
api disini, maka asapnya akan kelihatan dari jarak yang
jauh." "Jadi kita tidak akan membuat api" Jika malam
dinginnya menggigit kulit sampai menembus tulang?"
bertanya Mahisa Murti. "Kita akan mempergunakan selimut kain panjang kita,"
jawab Pangeran Singa Narpada, "Atau jika malam telah
larut kita dapat membuat perapian. Tetapi tidak terlalu
besar, agar cahaya apinya tidak nampak membayangi
pekatnya malam." Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun iapun sadar,
bahwa mereka memang tidak begitu perlu untuk membuat
api. Udara yang dingin dapat mereka hindari dengan
selimut rangkap, sementara jika mereka lapar, mereka dapat
membeli makanan apa saja yang mereka kehendaki di pasar
terdekat. Karena itu, maka mereka tidak akan menemui
kesulitan apa pun juga selama mereka berada di tempat itu.
Namun ketika malam datang, mereka pun segera
mempersiapkan diri untuk mengamati padepokan Ki Ajar.
Mereka ingin melihat apa yang ada didalam padepokan itu.
Namun seperti yang direncanakan, maka mereka
memang tidak tergesa-gesa. Mereka ingin tidak melakukan
kesalahan sehingga usaha mereka gagal sama sekali.
Bahkan mungkin akan dapat membayangi jiwa mereka.
Karena itu, maka yang mereka lakukan adalah langkahlangkah
yang sangat berhati-hati. Seperti pada malam
mereka melakukan pengintaian dan mendengarkan
pembicaraan Panembahan Bajang. Empu Lengkong dan Ki
Ajar, maka malam itupun mereka hanya sekedar melihatlihat
dari luar dinding halaman.
Tetapi mereka tidak melihat sesuatu. Malam itu
padepokan Ki Ajar nampak terlalu sepi. Jika mereka
melihat satu dua orang cantrik lewat di halaman. maka para
cantrik itupun tidak berbuat apa-apa.
Dengan demikian, maka di malam pertama itu, mereka
tidak melihat orang yang mereka cari. Sehingga setelah
mereka berada beberapa lama di sekitar padepokan itu,
maka mereka pun telah kembali ke tempat mereka
bersembunyi. "Kita akan beristirahat saja," berkata Pangeran Singa
Narpada, "Tetapi besok siang kita akan bekerja. Kita akan
mengamati pintu gerbang padepokan itu. Tetapi karena
padepokan itu agak terpencil, maka kita harus berhati-hati.
Mula-mula kita dapat mengamati keadaan dari jarak yang
agak jauh. Kita akan lewat di jalan yang membujur
melintasi bulak di dekat padepokan itu. Tetapi kita tidak
menelusuri jalan yang melalui padepokan itu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah mengetahui
maksud Pangeran Singa Narpada. Mereka harus
mengamati kemungkinan-kemungkinan yang dapat diambil
dengan memperhatikan lingkungan di sekitar padepokan
itu. Baru kemudian dapat diambil langkah-langkah
berikutnya. "Nah, agaknya orang yang paling tepat disini adalah
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, seandainya didalam
padepokan itu tinggal Pangeran Lembu Sabdata. Meskipun
kalian pernah bertemu, tetapi Lembu Sabdata tidak akan
mengira bahwa kalian akan berada disini. Jika kebetulan
kalian berpapasan di jalan, atau bersama-sama membeli
apapun juga di warung dan di kedai-kedai, maka kalian
harus berusaha untuk tidak dikenal oleh Pangeran itu."
pesan Mahisa Bungalan. "Mudah mudahan," jawab Mahisa Murti, "Tetapi aku
pernah bertempur melawannya. Mudah-mudahan ia


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang tidak akan teringat aku lagi." Mahisa Murti
berhenti sejenak, namun kemudian, "Tetapi jika kita
berpapasan dan Pangeran Lembu Sabdata mengenal kami?"
Sebelum Mahisa Bungalan menjawab, Mahisa Pukat
telah mendahului. "Tidak ada jalan lain kecuali
menangkapnya. Bukankah begitu kakang?"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam,
sementara Mahisa Pukat berusaha menjelaskan, "Bukankah
tujuan akhir kita menangkap Pangeran itu" Jika kita yakin
bahwa yang mengambil benda berharga itu juga orang yang
mengambil Pangeran Sabdata maka kita akan dapat
bertanya kepadanya."
Pangeran Singa Narpada tersenyum. Katanya, "Aku
dapat mengerti. Jika kita berhasil menangkap Pangeran
Lembu Sabdata, maka ia tentu akan dapat berbicara,
siapakah yang telah membebaskannya. Orang yang
membebaskannya itu pulalah yang dapat dipastikan, bahwa
ia pulalah yang telah mengambil benda berharga itu dari
gedung perbendaharaan."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya,
"Memang dapat dimengerti. Tetapi harus diingat. Tidak
mudah untuk menangkapnya. Jika ia berada di padepokan
orang yang berilmu tinggi dan berniat untuk memperalatnya
sebagaimana Pangeran Kuda Permati, maka Pangeran
Lembu Sabdata tentu sudah menjalani laku, sehingga ia
akan menjadi seorang yang pilih tanding."
"Kami akan berusaha menangkapnya," berkata Mahisa
Pukat, "Tetapi jika ternyata kamilah yang justru tertangkap
atau bahkan terbunuh, itu merupakan salah satu akibat
yang harus sudah diperhitungkan sebelumnya."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya,
"Baiklah. Tetapi aku masih berpesan, jika terjadi sesuatu
diluar kemampuan kalian, maka kalian segera memberikan
isyarat." "Isyarat apa?" bertanya Mahisa Pukat, "Mungkin kami
dapat memberikan isyarat dengan suitan. Tetapi apakah
kakang pasti dapat mendengarnya?"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya,
"Memang tidak mudah untuk memberikan isyarat. Karena
itu, maka setiap kalian pergi kalian harus memberi tahukan
tujuan kalian. Jika kami merasakan gejolak didalam
perasaan kami, maka kami akan segera dapat mencari
kalian. Mungkin kalian tidak berjumpa hanya dengan
Pangeran Lembu Sabdata saja jika ia memang berada disini.
Tetapi mungkin Pangeran Lembu Sabdata itu bersamasama
dengan Ki Ajar Bomantara atau bersama-sama mPu
Lengkon. Nah, kalian dapat membayangkan, jika Pangeran
Lembu Sabdata itu mengenali kalian dan bersama-sama
dengan Ki Ajar dan mPu Lengkon berusaha menangkap
kalian, maka yang terjadi tentu sebaliknya dari yang kita
kehendaki." "Kami menyadari," berkata Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, "Tetapi sudah tentu bahwa kami tidak akan
menjerit-jerit seperti seorang anak perempuan dijalari seekor
ulat ditengkuknya." Mahisa Bungalan pun tersenyum pula. Katanya,
"Baiklah. Kalian tentu juga terikat oleh harga diri. Tetapi
seandainya hal seperti itu terjadi, maka aku kira bukan
salah kalian, jika kalian berusaha memancing mereka
mendekati tempat kita ini, sehingga apabila aku dan
Pangeran Singa Narpada melihat, maka kami dapat ikut
serta menangkap mereka."
"Kakang menganjurkan kami untuk melarikan diri dari
medan meskipun dengan istilah memancing mereka
mendekati tempat ini," berkata Mahisa Pukat.
"Sulit berbicara dengan kalian," berkata Mahisa
Bungalan, "Apapun kehendak kalian sebut, tetapi sebaiknya
kita berbuat berdasarkan nalar. Jangan perasaan sematamata.
Jika aku dan Pangeran Singa Narpada dapat ikut
melibatkan diri, maka setidak-tidaknya kami akan dapat
menempatkan diri melawan orang-orang tua itu, meskipun
masih juga merupakan pertanyaan, apakah kami akan dapat
bertahan atau tidak. Tetapi bagaimanapun juga
pengalamanku dan pengalaman Pangeran Singa Narpada
tentu lebih banyak dari pengalamanmu berdua meskipun
kalian juga pernah mengembara."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab.
Meskipun demikian mereka telah mengangguk-angguk
kecil. Memang ada semacam pertentangan antara
pengertiannya atas pendapat kakaknya dengan harga
dirinya sebagai seorang laki-laki.
"Kita akan lihat, apa yang akan terjadi." Katanya di
dalam hati. Bahkan kemudian ia berkata kepada diri
sendiri. "Persoalan ini memang dapat dibicarakan tiga hari
tiga malam tanpa berkesudahan. Tetapi tahu-tahu Pangeran
Lembu Sabdata tidak berada di padepokan ini."
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah mendapatkan tugas untuk mengamati padepokan itu,
tidak dari jarak yang terlalu dekat. Bahkan agar mereka
berada di tempat-tempat yang ramai, mungkin di pasar atau
tempat-tempat lain yang dapat memberikan kemungkinan
melihat atau bertemu dengan penghuni padepokan itu,
terutama jika Pangeran Lembu Sabdata berada di tempat
itu. Untuk beberapa saat lamanya, maka keduanya berjalan,
menyusuri jalan yang melalui padukuhan yang berada di
seberang bulak padepokan Ki Ajar yang memang agak
terpencil. Dari padukuhan itu mereka melihat, padepokan
seakan-akan sebuah daerah pemukiman yang terpisah dari
lingkungan di seputarnya, meskipun tidak menutup
kemungkinan penghuninya saling berhubungan dengan
orang-orang di padukuhan-padukuhan sekitarnya.
"Kita tidak melihat apa-apa dari padukuhan ini," berkata
Mahisa Pukat. Mahisa Murti termangu-mangu. Namun mereka melihat
sebuah anak sungai yang mengalir melalui gumuk kecil di
sebelah padepokan itu. "Kita menelusuri sungai itu. Tebingnya cukup tinggi, apa
lagi jika kita sampai di balik gumuk itu," berkata Mahisa
Murti. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, "Ada
baiknya kita agak mendekat. Setidak-tidaknya kita dapat
melihat, bagaimana para cantrik bersikap dan berpakaian.
Jika kita bertemu dengan mereka, maka kita akan dapat
mengenalinya." "Dengan demikian maka kedua anak muda itu telah
sepakat untuk pergi ke gumuk kecil lewat anak sungai yang
tebingnya cukup tinggi melindungi tubuh mereka.
Namun bagaimanapun juga mereka harus berhati-hati.
Tidak mustahil mereka bertemu dengan satu dua orang
cantrik yang sedang berada di sungai. Bahkan mencari ikan.
Untunglah bahwa saat kedua anak muda itu menelusuri
sungai, tidak dijumpainya seorang pun juga, sehingga
mereka kemudian telah mencapai gumuk kecil diatas
tebing. Perlahan-lahan mereka memanjat tebing dan kemudian
mereka telah berada di belakang semak-semak di gumuk
kecil yang ternyata ditumbuhi pepohonan perdu yang lebat.
Ada satu dua batang pohon yang agak besar dan rimbun,
dijalari oleh sulur-sulur liar yang bergayutan.
Kedua anak muda itu terkejut ketika mereka hampir saja
menginjak seekor ular berwarna loreng. Setapak mereka
surut. Namun dengan pengamatan yang tajam, mereka-pun
menyadari, bahwa gumuk itu tentu jarang sekali di sentuh
kaki manusia, karena tempat itu nampak terlalu liar dan
terlalu banyak ular yang berkeliaran.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak
mencemaskan dirinya terhadap bisa yang betapapun
tajamnya. Mereka telah memiliki penangkal bisa yang dapat
melindungi tubuh mereka dari bisa dan racun setajam
apapun juga. Meskipun demikian keduanya masih juga
berusaha agar mereka tidak digigit ular ataupun sejenis
serangga yang mempunyai bisa yang sangat tajam.
Untuk beberapa saat mereka melintasi gerumbulgerumbul
liar yang mendebarkan. Betapapun juga keduanya
berusaha menghindar, namun ternyata Mahisa Pukat telah
digigit seekor ular berleher merah yang bisanya sangat
tajam. Untuk melepaskan gigitan ular itu memang agak sulit.
Jika ular itu ditariknya dengan paksa, maka tentu akan
menimbulkan luka pada kulit Mahisa Pukat.
Namun kedua anak muda itu telah membawa semacam
serbuk yang dapat membunuh ular-ular yang menggigit
mereka. Dengan menaburkan serbuk itu pada tempat ular
itu menggigit, maka ular itupun kemudian bagaikan
menjadi mabuk. Lambat laun gigitannya pun terlepas dan
ular itu mati lemas. Dalam pada itu, maka kedua anak muda itupun telah
menemukan sebongkah batu besar yang dapat mereka
pergunakan untuk melindungi diri mereka, sementara itu,
mereka dapat melihat-lihat dengan agak jelas ke arah
padepokan Ki Ajar yang terpencil itu.
Tetapi ternyata mereka tidak melihat sesuatu. Namun
demikian keduanya tidak segera menjadi jemu dan
meninggalkan tempat itu. Meskipun setiap kali mereka
melihat seekor ular yang menelusur dekat dibawah kaki
mereka, namun mereka tetap bertahan untuk beberapa saat.
Agar mereka tidak lagi diganggu oleh ular-ular itu, maka
mereka telah menaburkan serbuk yang mereka bawa itu di
seputar tempat mereka duduk.
Ternyata usaha mereka itu tidak sia-sia. Beberapa saat
kemudian mereka melihat dua orang keluar dari regol
padepokan. Keduanya tidak memakai ikat kepala, tetapi
ikat kepalanya disangkutkan melingkar leher mereka.
Bertelanjang dada dan mengenakan kain panjang yang
tinggi sekali. Bahkan diatas lututnya. Ikat pinggang mereka
terbuat dari kulit yang lebar dengan dua kantong di bagian
depan, sebelah menyebelah.
"Mungkin keduanya secara kebetulan mengenakan
pakaian dengan cara yang sama," desis Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Namun dalam pada itu, beberapa saat kemudian mereka
melihat seorang yang memasuki regol dengan mengenakan
pakaian yang sama pula. "Kau lihat," desis Mahisa Pukat.
"Ya. Mungkin ciri para cantrik di padepokan itu," sahut
Mahisa Murti, "Tetapi kita tidak tahu, apakah jika mereka
pergi ke padukuhan lain atau ke tempat ramai seperti pasar
dan lain-lain mereka berpakaian seperti itu juga."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Lalu katanya,
"Besok kita pergi ke pasar. Kita menunggu apakah kita
menjumpai seseorang dalam pakaian seperti itu."
"Kita dapat saja mengamati untuk dua tiga hari. Tetapi
apakah hal itu akan mengarah kepada kemungkinan kita
bertemu dengan Pangeran Lembu Sabdata?" bertanya
Mahisa Murti. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada datar
ia berkata, "Ya. Kadang-kadang kita melupakan, bahwa
yang dicari adalah Pangeran Lembu Sabdata. Tetapi siapa
tahu, bahwa diantara para cantrik itu memang terdapat
Pangeran Lembu Sabdata."
"Jika ia berada di padepokan itu, agaknya ia tidak akan
dipersamakan dengan para cantrik," jawab Mahisa Murti.
Sekali lagi Mahisa Pukat mengangguk-angguk sambil
bergumam, "Yang aku katakan, selalu terdapat kelemahankelemahannya."
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, "Aku hanya
memberikan pertimbangan."
"Ya. Karena itu, sebaiknya kita berada disini untuk dua
tiga hari. Mungkin Pangeran Lembu Sabdata akan keluar
juga sekali-sekali dari regol padepokan. Jika dalam dua tiga
hari kita tidak melihatnya keluar atau masuk, maka orang
itu tentu tidak ada di padepokan itu," berkata Mahisa
Pukat. Mahisa Murti tidak membantah lagi. Sambil tersenyum
ia berkata, "Aku setuju. Tetapi besok kita akan membawa
bekal makanan yang dapat kita makan disini."
Mahisa Pukat mengangguk kecil. Katanya, "Hari ini kita
tidak akan menunggui regol itu sehari penuh."
Mahisa Murti tidak menjawab. Namun mereka melihat
seorang lagi di regol. Hanya berdiri di regol. Tetapi orang
itu-pun mengenakan ikat kepalanya sebagaimana yang lain.
Disangkutkan di lehernya, sementara rambutnya
digelungnya diatas ubun-ubun.
Dengan demikian mereka mengambil satu kesimpulan,
bahwa orang-orang yang menghuni padepokan itu
mengenakan pakaian sebagaimana dilihatnya.
Tetapi seperti yang sudah mereka pertanyakan
sebelumnya, apakah jika mereka pergi ke tempat yang agak
jauh atau ke tempat orang lain berkumpul, misalnya di
pagar, mereka juga mengenakan pakaian seperti itu.
Dalam pada itu, ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
sudah yakin bahwa para cantrik dari padepokan itu
mempunyai ciri tersendiri dalam mengenakan pakaian,
maka mereka pun bersepakat untuk meninggalkan tempat
itu. Mereka merasa sangat terganggu oleh jenis-jenis
binatang di gumuk itu. Diantaranya beracun sangat tajam.
Meskipun keduanya tidak lagi akan dipengaruhi oleh racun
dan bisa, namun rasa-rasanya binatang-binatang itu
membuat mereka merasa terganggu juga.
Karena itu maka sejenak kemudian mereka pun telah
meninggalkan tempat itu dan kembali ke tempat mereka
bersembunyi. Tetapi yang ada di tempat itu hanyalah
Pangeran Singa Narpada, sementara Mahisa Bungalan
pergi mencari makanan ke warung atau kedai yang
terdekat. Kepada Pangeran Singa Narpada, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat melaporkan apa yang telah dilihatnya,
namun mereka pun mempertanyakan pula, apakah pakaian
itu juga dikenakan jika mereka berada di tempat banyak
orang. "Cobalah besok kalian melihat-lihat ke tempat-tempat


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang banyak berkumpul. Jika kalian menemukan seorang
saja dalam pakaian seperti itu, maka ternyata bahwa
mereka mempergunakan pakaian seperti itu dimanapun
juga," berkata Pangeran Singa Narpada.
Demikianlah, ketika Mahisa Bungalan kembali sambil
membawa makanan, iapun sependapat sebagaimana
dikatakan oleh Pangeran Singa Narpada. Besok Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat sebaiknya pergi ke pasar sebelum
mereka kembali ke gumuk yang penuh dengan binatang
berbisa itu. Namun dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada dan
Mahisa Bungalan telah bersepakat untuk berusaha melihat
sesuatu yang asing di padepokan itu. Jika benar
dipadepokan itu ada sebuah benda yang keramat dan
memancarkan teja, maka keduanya akan berusaha dengan
memusatkan nalar budi, agar dengan mata batin mereka
dapat melihat cahaya itu.
"Jika Panembahan Kerdil itu melihatnya, kita pun akan
dapat melihatnya. Aku yakin, bahwa yang dikatakan oleh
Panembahan kerdil itu tidak sekedar dicari-cari. Bukankah
dalam percakapan mereka dengan mPu Lengkon sudah
membayangkan apa yang akan mereka lakukan" Menurut
dugaanku, mereka tidak akan berani merencanakannya
tanpa Pangeran Lembu Sabdata dan tanpa benda keramat
itu," berkata Pangeran Singa Narpada.
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk sehingga mereka
pun kemudian telah mengambil keputusan, bahwa malam
nanti, mereka akan mendekati padepokan itu dan berusaha
untuk melihat ke dalam lapisan dinding-dinding yang telah
membatasi ruangan-ruangan.
Demikianlah, ketika matahari kemudian turun dan
bersembunyi di balik perbukitan, maka keempat orang
itupun telah bersiap. Mereka mulai meninggalkan tempat
mereka dan berjalan dengan hati-hati ke padepokan yang
memang agak terpencil itu.
Beberapa tonggak dari padepokan itu mereka berhenti.
Setelah mendapatkan tempat yang baik, maka mereka pun
telah mengatur tugas yang akan mereka lakukan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus mengamati
keadaan, sementara Pangeran Singa Narpada dan Mahisa
Bungalan akan mencoba untuk mempergunakan
penglihatan batin mereka, mengamati isi dari padepokan
itu. Untuk beberapa saat Pangeran Singa Narpada dan
Mahisa Bungalan duduk tepekur sambil memandangi
padepokan yang sudah diselubungi oleh gelapnya malam.
Mereka tengah mempersiapkan diri dalam usaha mereka
mengamati dengan kekuatan dan ketajaman penglihatan
batin mereka. Setapak demi setapak mereka menarik diri ke
dalam batasan kekuatan jiwani, sehingga dengan demikian,
maka perlahan-lahan mereka seolah-olah telah terpisah dari
lingkungan mereka secara kewadagan.
Kedua orang itu tidak terbiasa mempergunakan tenaga
cadangan yang ada di dalam diri mereka untuk mengungkit
ketajaman pengamatan jiwani atas sasaran yang berada
dibalik tirai kewadagan. Tetapi kedua percaya sepenuhnya,
bahwa mereka akan mampu melakukannya. Mereka pernah
mencapai tataran tertinggi dari laku mereka tempuh untuk
menyerap kekuatan puncak dari ilmu masing-masing,
sehingga dengan demikian mereka seakan-akan telah
mampu membuka pintu jiwani sebagaimana pernah mereka
lakukan. Namun untuk kepentingan yang berbeda.
Tetapi ternyata bahwa keduanya benar-benar orang yang
mampu menguasai diri mereka lahir dan batin. Ketika saatsaat
puncak pengamatan mereka sampai pada batas
penglihatan batin, maka rasa-rasanya mereka tidak lagi
berhubungan dengan wadag mereka yang masih duduk
tepekur dibawah pengawasan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Dua orang anak muda yang juga pernah mengalami
satu laku untuk menyerap puncak ilmu mereka. Tetapi
keduanya tidak berani melakukannya, karena mereka harus
menjaga kedua wadag yang sedang mesu diri memasuki
batas kekuatan penglihatan jiwani.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang mengawasi tubuhtubuh
yang duduk diam itu menjadi berdebar-debar.
Mereka melihat tubuh-tubuh itu bagaikan gemetar. Dalam
ujud kewadagan mereka melihat kedua sosok tubuh itu
bagaikan terhimpit oleh kekuatan yang tidak kasat mata.
Namun kemudian keduanya mampu mengatasi sesak nafas
mereka, sehingga pernafasan mereka seakan-akan sama
sekali tidak terganggu. Dalam pada itu, ternyata kedua orang yang memiliki
kemampuan ilmu yang tinggi itu, akhirnya berhasil
mempergunakan penglihatan batin mereka untuk
menangkap satu getaran yang memancar dari sebuah benda
yang dianggap memiliki kekuatan yang mampu dihuni oleh
wahyu keraton. Dalam rabaan penglihatan batin mereka, maka mereka
melihat cahaya yang berwarna kebiru-biruan seakan-akan
memancar naik sampai ke langit. Tidak terlalu besar dan
terang. Hanya sebesar jari.
Kedua orang itu untuk beberapa saat berada dalam
keadaannya. Namun kemudian, mereka pun mulai
melepaskan diri dari pengamatan batin mereka dan kembali
memasuki dunia kewadagan, meskipun tidak tepat
bersamaan waktunya. Demikian mereka kembali dalam kesadaran kewadagan,
maka mereka pun merasakan betapa tubuh mereka menjadi
sangat letih. Keringat mereka mengalir di seluruh tubuh
membasahi pakaian mereka.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Dengan nada berat ia berkata, "Tentu Panembahan Bajang
tidak memerlukan laku seperti ini."
"Ya," jawab Mahisa Bungalan, "Kita belum terbiasa
melakukannya. Karena itu, maka kita mengalami sedikit
kesulitan. Kita harus mengarahkan segenap kemampuan
yang ada didalam diri kita. Namun akhirnya kita berhasil.
Justru dengan pengalaman ini kita akan dapat berbuat lebih
banyak lagi dengan penglihatan batin kita."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang bergeser
mendekat, ingin mengetahui, apa yang telah mereka lihat,
sehingga karena itu, maka Mahisa Murti pun bertanya,
"Apa yang nampak olehmu kakang?"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian jawabnya, "Aku melihat sesuatu yang dapat
menjadi petunjuk. Mudah-mudahan Pangeran Singa
Narpada juga melihatnya. Cahaya yang memancar naik ke
udara, tegak sebesar jari berwarna kebiru-biruan. Tidak
terlalu terang, tetapi cukup meyakinkan, bahwa cahaya itu
memiliki getar kewibawaan sehingga memang sewajarnya
jika Panembahan Bajang menyebutnya sebagai teja dari
benda yang keramat."
"Apakah benda itu yang kita cari," bertanya Mahisa
Pukat. "Aku belum dapat mengatakannya," jawab Mahisa
Bungalan. "Tetapi mungkin Pangeran Singa Narpada dapat
menyebutkannya." Tetapi Pangeran Singa Narpada pun menggeleng sambil
menyahut, "Aku tidak dapat mengatakan sesuatu kecuali
sebagaimana kau katakan. Yang aku lihat tidak lebih dari
yang kau lihat. Tetapi kita dapat mengurai hasil penglihatan
kita dengan perhitungan-perhitungan."
"Bagaimana menurut perhitungan Pangeran tentang
hasil penglihatan kita?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Apakah ada benda keramat yang lain yang hilang dari
gedung perbendaharaan" Jika demikian, kita dapat
mempertanyakan, benda yang manakah yang kita lihat itu."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, "Aku
mengerti. Menurut jalan pikiran itu, maka tidak ada lain
yang kita lihat cahaya tejanya itu adalah benda yang kita
cari." Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya,
"Kemungkinan yang paling besar."
"Jika demikian, maka kemungkinan yang paling besar
pula adalah bahwa Pangeran Lembu Sabdata ada disini
pula. Setidak-tidaknya tempatnya diketahui oleh Ki Ajar
dan Penembahan Bajang," berkata Pengeran Singa
Narpada. Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Kemudian
katanya kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, "Nah,
adalah kewajiban kalian untuk melihat-lihat padepokan ini
sebagaimana sudah kalian mulai. Kalian harus berusaha
untuk melihat bahwa Pangeran Lembu Sabdata ada disini."
"Jika menurut keyakinan kita memang demikian maka
kenapa kita tidak memasuki saja padepokan itu?" bertanya
Mahisa Pukat. "Kita tidak tahu pasti, apakah Pangeran Lembu Sabdata
memang berada di padepokan ini atau tidak. Baru setelah
kita yakin kita akan bertindak," jawab Mahisa Bungalan.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud
Mahisa Bungalan. Jika Pangeran Lembu Sabdata tidak
berada di padepokan itu, maka mungkin sekali ia justru
melarikan diri ke tempat yang lebih sulit lagi untuk dicapai.
Dengan demikian ia akan tetap menjadi api didalam
sekam, yang setiap saat akan dapat membakar seluruh
lumbung. Karena itu, maka jalan yang akan mereka tempuh adalah
memastikan, apakah Pangeran Lembu Sabdata ada di
padepokan itu. "Kita akan mengawasi padepokan itu untuk waktu yang
mungkin cukup lama," berkata Mahisa Murti.
"Mungkin. Tetapi bukanlah kita tidak tergesa-gesa?"
bertanya Mahisa Bungalan.
Kedua adiknya mengangguk-angguk. Mereka sadar,
bahwa tugas itu adalah tugas mereka.
Dengan demikian, maka keempat orang itupun segera
meninggalkan padepokan yang sepi itu. Mereka merasa
semakin dekat dengan sasaran perjalanan mereka. Bahkan
mereka sudah setengah memastikan, bahwa yang mereka
cari memang berada di padepokan itu. Namun tanpa
keyakinan, maka mereka masih mungkin akan gagal.
Malam itu, sebagaimana malam-malam sebelumnya,
keempat orang itu sempat beristirahat, meskipun tidak
terlalu lama. Bergantian mereka mengambil keadaan,
karena bagaimanapun juga mereka harus berhati-hati.
Ketika cahaya pagi mulai membayang, maka mereka
pun telah terbangun dan bersiap-siap, terutama Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Mereka telah mandi di sungai
kecil yang mengalir dekat tempat mereka tinggal untuk
beberapa saat. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan pergi
ke tempat-tempat yang banyak dikunjungi orang. Pasarpasar
atau warung-warung dan kedai-kedai. Mungkin
mereka akan bertemu dengan Pangeran Lembu Sabdata
yang membeli sesuatu bagi padepokan itu atau bagi dirinya
sendiri, atau mungkin keperluan-keperluan lain.
"Aku kira Pangeran Lembu Sabdata tidak akan berada di
pasar membeli keperluan sehari-hari. Tentu para cantrik
yang akan melakukannya," berkata Mahisa Murti.
"Ya. Tetapi mungkin Pangeran Lembu Sabdata akan
membeli alat-alat pertanian di pande-pande besi atau
mungkin berbuat apa saja di pasar. Aku kira ia tidak akan
selalu mengurung diri di padepokan. Apalagi Pangeran
Lembu Sabdata tentu tidak akan mengira bahwa kita akan
berada disini," berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia sependapat
dengan Mahisa Pukat. Namun untuk dapat melihat
langsung kehadiran Pangeran Lembu Sabdata di padepokan
itu tentu memerlukan waktu.
Namun mereka harus berbuat. Kapan pun tugas itu
dapat mereka selesaikan, namun mereka memang harus
segera memulainya. Setelah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat selesai
berkemas dan berbenah diri lahir dan batin, maka mereka
pun segera meninggalkan tempat tinggal mereka di celahcelah
perbukitan itu, menuju ke padukuhan.
Sebagaimana yang mereka rencanakan, maka Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat berusaha untuk dapat bertemu
dengan Pangeran Lembu Sabdata di tempat-tempat orang
banyak berkumpul. Yang menjadi sasaran pengamatan
mereka adalah pande-pande besi yang berada di sudut-sudut
pasar. Mungkin Pangeran Lembu Sabdata dengan seorang
dua orang cantrik memerlukan alat-alat pertanian atau alatalat
besi yang lain bagi padepokan mereka.
Namun di hari itu, keduanya sama sekali tidak melihat
seseorang yang dapat mereka hubungkan dengan Pangeran
Lembu Sabdata. Namun demikian, mereka telah bertemu dengan seorang
cantrik dari padepokan Ki Ajar karena ciri-ciri pakaian yang
mereka kenali sebagaimana mereka lihat di depan regol
padepokan. "Ternyata mereka mengenakan pakaian seperti itu
dimanapun mereka berada," berkata Mahisa Pukat ketika
mereka berpapasan dengan cantrik itu.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Meskipun mereka
belum bertemu dengan Pangeran Lembu Sabdata, namun
mereka mengetahui dengan pasti, bahwa orang-orang
padepokan yang meskipun agak terpencil, namun
mempunyai hubungan dengan orang-orang di padukuhanpadukuhan
di sekitarnya. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
menjadi semakin bersungguh-sungguh untuk menemukan
Pangeran Lembu Sabdata apabila ia berada di padepokan
itu. Namun akhirnya kedua orang itu telah berusaha
mengamati lingkungan yang lebih luas. Bukan saja di
tempat-tempat yang ramai dikunjungi orang. Tetapi pada
saat-saat tertentu mereka telah mengamati pintu gerbang
padepokan itu. Demikianlah tugas itu mereka lakukan dari hari ke hari.
Tanpa mengenal lelah dan kejemuan. Bahkan mereka telah


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

didorong oleh satu harapan untuk dapat menyelesaikan
tugas mereka dengan baik.
"Kita harus menunjukkan bahwa kepergian kita bersama
dengan Pangeran Singa Narpada dan kakang Mahisa
Bungalan , bukan sekedar karena kita ingin mengikutinya
saja. Tetapi kita ternyata mampu berbuat sesuatu, sehingga
kepergian kita bukanlah sia-sia berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Iapun ingin
menunjukkan, bahwa mereka mampu melakukan sesuatu
sebagaimana dilakukan oleh orang-orang dewasa. Tidak
sebagai anak-anak yang sekedar ingin ikut tanpa
memberikan arti apapun juga.
Demikianlah keduanya telah berbuat dengan penuh
kemauan untuk menemukan Pangeran Lembu Sabdata.
Dengan kekerasan tekad itulah, maka keduanya ternyata
tidak mengenal kejemuan. Dari gumuk kecil mereka
melihat Panembahan Bajang keluar dari regol padepokan
bersama Ki Ajar. Tetapi tidak lama. Keduanya pun segera
Kembali memasuki padepokan mereka.
Namun pada kesempatan yang lain, keduanya telah
melihat dua orang yang berdiri di regol itu. Seorang cantrik
keluar mendahuluinya dan pergi menuju ke kebun di
sebelah padepokan itu. Jantung Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi
berdebar-debar. Dua orang yang didahului oleh cantrik itu
ternyata diikuti oleh dua orang cantrik yang lain.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengamati mereka
dengan jantung yang berdebar-debar. Dua orang cantrik
yang di belakang membawa masing-masing sebuah bakul.
Agaknya mereka akan mengambil beberapa batang ketela
pohon dari petegalan di sebelah padepokan itu.
Sebenarnyalah, mereka telah mencabut beberapa batang
ketela pohon yang berakar lebat, yang kemudian mereka
masukkan ke dalam bakul yang dibawa oleh dua orang
cantrik. "Satu usaha untuk mengatasi kejemuan," berkata
Mahisa Murti. "Siapa" Kita?" bertanya Mahisa Pukat.
"Bukan. Kedua orang itu tentu bukan cantrik-cantrik.
Mereka berusaha mengisi kejemuan tinggal di padepokan
tanpa berbuat sesuatu selain berada di sanggar. Agaknya
mereka adalah murid-murid terpilih dari Ki Ajar."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Diperhatikannya
kedua orang yang sedang sibuk bekerja dengan para cantrik,
mencabuti batang ketela pohon di pategalan, diluar dinding
halaman padepokan. Ternyata ketela pohon itu menghasilkan akar yang lebat
dan besar, sehingga beberapa batang saja, kedua bakul itu
telah penuh. Untuk beberapa saat kedua orang itu dengan
ketiga orang cantrik yang bersamanya, sempat mengamati
pohon-pohon ketela di pategalan itu. Bahkan mereka
sempat melintasi beberapa bujur pematang mencapai
pategalan yang ditanami batang-batang ketimun. Mereka
sempat memetik beberapa buah ketimun yang masih muda
dan alangkah segarnya ketika mereka mengunyah ketimunketimun
itu, sambil berjalan kembali ke padepokan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menelan ludahnya.
Bahkan Mahisa Pukat pun bergumam, "Aku akan memetik
ketimun itu juga nanti."
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, "Nanti malam kita
mencuri ketimun." "Ah, kenapa nanti malam" Mumpung matahari terik.
Alangkah segarnya," jawab Mahisa Pukat.
"Tetapi kau akan segera diburu oleh para cantrik karena
kau mencuri ketimun," berkata Mahisa Murti kemudian.
"Aku kira mereka tidak akan memburu seseorang yang
mencuri ketimun. Mereka tentu akan berbaik hati dengan
memberikan berapa saja ketimun yang dibutuhkan oleh
seseorang yang kehausan," jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Murti tertawa. Namun tiba-tiba saja ia
mengerutkan keningnya. Orang-orang dari padepokan itu
telah berjalan mendekati regol halaman padepokannya.
Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
dapat melihat lebih jelas lagi ke arah orang-orang itu.
Sambil mengusap dahinya Mahisa Murti pun berkata,
"Rasa-rasanya aku pernah melihat salah seorang dari kedua
orang itu." "Yang mana?" bertanya Mahisa Pukat.
"Yang berjambang, berkumis, dan berjenggot. Wajahnya
nampak menyeramkan. Tetapi tingkah lakunya tidak
menunjukkan watak sebagaimana yang nampak pada
wajahnya itu," berkata Mahisa Murti.
Kedua orang anak muda itupun kemudian mengerahkan
segenap kemampuannya pada ketajaman penglihatannya.
Meskipun mereka tidak memiliki ilmu Sapta Pandulu,
tetapi mereka mampu serba sedikit mempertajam
penglihatan mereka. Dalam pada itu, tiba-tiba saja Mahisa Murti berdesis,
"Pukat. Cobalah kau membayangkan, bagaimanakah
rupanya orang itu jika jambang, kumis dan janggutnya
dihilangkan." Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Sejenak ia
memusatkan perhatiannya kepada wajah itu dan dengan
ketajaman angan-angannya ia melihat wajah itu seakanakan
tidak berjambang, berkumis dan berjenggot. Dengan
kemampuan tanggapannya atas ujud yang direkanya, maka
tiba-tiba saja ia berdesis, "Pangeran Lembu Sabdata."
"Kau masih mengenalinya meskipun kita belum
mengenalinya dengan akrab?" bertanya Mahisa Murti.
"Tidak salah lagi. Aku masih yakin akan kekuatan
ingatanku atas sasaran penglihatanku, apalagi yang sangat
menarik perhatian seperti Pangeran Lembu Sabdata.
Meskipun ia menyamar wajahnya dan mengenakan pakaian
padepokan, namun aku yakin, bahwa orang itu adalah
Pangeran Lembu Sabdata," jawab Mahisa Pukat.
"Kau yakin, atau sekedar karena kau dipengaruhi oleh
penglihatan Pangeran Singa Narpada dan kakang Mahisa
Bungalan atas teja yang katanya memancar dari padepokan
itu. Sehingga menurut perhitunganmu, jika benda keramat
yang hilang itu berada di padepokan itu, maka Pangeran
Lembu Sabdata pun tentu berada di padepokan itu pula,"
berkata Mahisa Murti. "Tidak. Aku yakin," jawab Mahisa Pukat. Lalu iapun
bertanya, "Tetapi bagaimana pendapatmu sendiri?"
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun
kemudian katanya, "Aku sependapat Aku ingin
menyesuaikan pendapatku dengan pendapatmu."
"Nah, jika demikian, maka semuanya sudah pasti. Di
padepokan itu terdapat Ki Ajar Bomantara, Panembahan
Bajang, benda yang dikeramatkan dan memancarkan teja
itu dan Pangeran Lembu Sabdata," berkata Mahisa Pukat.
"Ya," desis Mahisa Murti, "Sesudah sekian lama kita
disiksa di lingkungan padukuhan di sekitar padepokan dan
di gumuk kecil ini, akhirnya kita melihat Pangeran Lembu
Sabdata. Agaknya orang itu pernah kita lihat satu dua kali
sebelumnya di jalan-jalan yang ramai, tetapi kita tidak
menghiraukannya." "Tidak. Aku merasa belum pernah melihatnya," jawab
Mahisa Pukat, "Bahkan seandainya kita pernah
berpapasan, maka tentu orang itu akan mengenali kita
pula." Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya,
"Meskipun demikian kita harus mengatakan kepada
Pangeran Singa Narpada dan kakang Mahisa Bungalan,
bahwa yang kita lihat adalah orang berjambang, berkumis
dan berjenggot." "Apakah kau ingin mereka menunggu juga sampai pada
suatu saat mereka keluar dari regol" Sampai pada suatu saat
mereka melihat sendiri?" bertanya Mahisa Pukat.
Mahisa Murti termangu-mangu. Sementara itu Mahisa
Pukat berkata selanjutnya, "Jika demikian, sampai kapan
kita harus menunggu. Belum tentu sepekan lagi orang itu
keluar dari padepokan."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Kita
memerlukan pertimbangan Pangeran Singa Narpada dan
kakang Mahisa Bungalan."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, "Marilah,
kita menemui mereka."
Kedua orang itupun kemudian, meninggalkan tempatnya
dan kembali ke tempat mereka tinggal untuk sementara
disela-sela bebatuan di bukit.
Ketika apa yang telah dilihat oleh kedua orang anak
muda itu disampaikan kepada Pangeran Singa Narpada dan
Mahisa Bungalan, maka keduanya benar-benar terkejut.
Meskipun mereka memang berharap sejak semula untuk
menemukan Pangeran Lembu Sabdata di tempat itu,
namun ketika kedua anak muda itu benar-benar
melaporkan maka rasa-rasanya jantung mereka berdetak
semakin cepat. Dengan nada dalam Pangeran Singa
Narpada bertanya, "Apakah kalian yakin bahwa orang itu
adalah Lembu Sabdata?"
"Kami yakin," jawab Mahisa Murti.
Pengeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Namun
demikian kepada Mahisa Bungalan ia bertanya,
"Bagaimana pendapatmu?"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Bagaimana jika kita berusaha untuk membuktikannya?"
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian iapun mengangguk-angguk.
Tetapi dalam pada itu, Mahisa Pukat lah yang
menyahut, "Jika demikian, sampai berapa hari lagi kita
harus menunggu. Apakah dalam waktu sepekan dua pekan
Pangeran Lembu Sabdata itu akan keluar dari padepokan?"
"Ah, ia tentu sering keluar dari padepokan," jawab
Mahisa Bungalan. "Tetapi baru kali ini kami menjumpainya setelah
beberapa lama kami mengadakan pengamatan," jawab
Mahisa Pukat. "Tetapi kau tidak selalu berada di gumuk itu. Kau justru
berpindah-pindah," jawab Mahisa Bungalan, "Jika kita
tekun berada di gumuk itu, maka dalam satu dua hari, kita
melihatnya keluar dari padepokan untuk satu keperluan."
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun
kemudian iapun bertanya, "Kakang akan pergi juga ke
gumuk itu?" "Ya. Kita semuanya akan pergi ke gumuk itu sampai
saatnya kita benar-benar yakin bahwa yang kalian lihat itu
adalah Pangeran Lembu Sabdata," jawab Mahisa
Bungalan. Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun Mahisa
Murti lah yang kemudian berkata, "Tetapi di gumuk itu
banyak sekali terdapat binatang berbisa. Kami telah
mendapatkan kesempatan untuk memiliki benda-benda
penangkal racun dan bisa."
Pangeran Singa Narpada tersenyum. Katanya, "Kami
memang tidak memilikinya. Tetapi kami mempunyai
obatnya untuk menolak bisa dan racun. Jika kami
menelannya sebelumnya, maka untuk jangka waktu
tertentu, kami pun akan terbebas dari gigitan racun dan
bisa." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun keduanya tidak dapat mengelak. Baik
Pangeran Singa Narpada maupun Mahisa Bungalan
agaknya condong untuk lebih dahulu membuktikan bahwa
orang berjambang, berkumis dan berjanggut itu benar-benar
Pangeran Lembu Sabdata. "Kita tidak boleh salah langkah," berkata Pangeran
Singa Narpada, "lebih baik agak lambat daripada gagal
sama sekali. Seperti yang sudah beberapa kali aku katakan.
Jika kita kali ini gagal, dan kemudian didengar oleh
Pangeran Lembu Sabdata, maka ia akan bersembunyi di
tempat yang lebih sulit untuk dicari.
"Jika Pangeran Lembu Sabdata tidak berada di tempat
ini?" bertanya Mahisa Pukat.
"Kita memang masih harus mencari," jawab Pangeran
Singa Narpada, "Tetapi ia tidak akan berpindah "pindah
tempat sehingga menurut pertimbanganku, agaknya lebih
baik daripada jika ia menyadari, bahwa ia sedang dicari.
Seandainya ia sudah merasa aman untuk berada di satu
tempat, maka ia akan berusaha untuk berada di tempat
yang lebih tersembunyi."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat
mengangguk-angguk saja. Sehingga sebenarnyalah seperti
yang direncanakan, maka di hari berikutnya Mahisa
Bungalan dan Pangeran Singa Narpada telah ikut pula
berada di gumuk kecil yang tidak pernah didatangi orang,
namun banyak sekali dihuni oleh binatang-binatang berbisa
termasuk beberapa jenis ular.
Sebagaimana diduga oleh Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, maka tidak setiap saat mereka akan dapat melihat
orang yang berjambang, berkumis dan berjanggut itu.
Sehari mereka berada di gumuk itu. Namun orang yang
mereka tunggu benar-benar tidak keluar dari regol.
Demikian pula pada hari kedua.
Namun pada hari ketiga, dalam kejemuan yang mulai
mencengkam Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, mereka
telah melihat orang yang berjambang, berkumis dan
berjanggut itu. Pangeran Singa Narpada yang
memperhatikan orang itu dengan mata tanpa berkedip
akhirnya berkata, "Ya. Orang itu adalah Adimas Lembu
Sabdata. Jambang, kumis dan janggut itu membuatnya
nampak jauh lebih tua dari umurnya yang sebenarnya."
Untuk beberapa saat lamanya keempat orang itu justru
terdiam. Mereka mengamati tingkah laku Pangeran Lembu
Sabdata. Sebagaimana yang pernah dilihat oleh Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat, maka Pangeran Lembu Sabdata
telah pergi ke pategalan. Namun ia tidak terlalu lama
berada di pategalan itu. Beberapa saat kemudian, Pangeran
Lembu Sabdata telah masuk ke dalam padepokannya.
"Ia lebih banyak berada didalam padepokan," berkata


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pangeran Singa Narpada yang tidak mengetahuinya, bahwa
dengan penyamarannya Pangeran Lembu Sabdata telah
pernah memasuki Kota Raja Kediri.
Namun dengan demikian, maka keempat orang itu akan
dapat mengambil sikap yang lebih mantap.
Beberapa saat mereka berempat masih tetap berada di
gumuk kecil.itu. Mereka menunggu apabila masih ada
perkembangan yang akan terjadi. Namun ternyata
padepokan itu nampaknya menjadi sepi-sepi saja.
"Marilah, kita kembali," desis Pangeran Singa Narpada.
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Merekapun
kemudian berempat meninggalkan gumuk itu, menelusuri
sungai dan hilang dikelokan. Keempat orang itu semakin
menjadi semakin jauh dari padepokan Ki Ajar.
Ketika mereka telah berada di tempat mereka tinggal
untuk sementara, maka mereka mulai berbicara tentang
padepokan itu. "Yang kita cari agaknya berada di padepokan itu,"
berkata Pangeran Singa Narpada.
"Ya. Sementara itu Ki Ajar dan Panembahan Bajang
serta Pangeran Singa Narpada sendiri belum mengambil
langkah-langkah yang menunjukkan bahwa mereka akan
mengulangi perlawanan Pangeran Kuda Permati," berkata
Mahisa Bungalan. "Mereka tentu lebih berhati-hati. Bukankah yang
dilakukan Ki Ajar selama ini cukup meyakinkan?" bertanya
Pangeran Singa Narpada. Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Iapun
mendengar bahwa Ki Ajar bertindak dengan penuh
perhitungan dan pertimbangan. Ia mengambil Pengeran
Lembu Sabdata pada saat-saat Kediri telah menjadi lengah.
Hilangnya Pangeran Lembu Sabdata membuat Kediri
kembali bergejolak. Sementara itu Ki Ajar tidak berbuat
apa-apa untuk waktu yang lama. Baru kemudian, setelah
Kediri kembali terlena, terjadi pula kegemparan karena
sebuah benda yang dikeramatkan telah hilang. Dengan
nada rendah Mahisa Bungalan pun kemudian bergumam.
"Ki Ajar melangkah dengan perhitungan yang sangat
cermat. Meskipun terasa lambat."
"Justru pada ketelatenan Ki Ajar untuk merayap dengan
lambat itulah letak kekuatan rencana Ki Ajar. Pada saatsaat
lawannya menjadi lengah, maka ia mulai melangkah,"
sahut Pangeran Singa Narpada, "Agaknya iapun akan
berbuat seperti itu pula nanti. Pada saat Kediri masih
dipanaskan oleh hilangnya pusaka itu, Ki Ajar sama sekali
tidak bergerak. Baru kemudian, setelah hal itu dilupakan
oleh Kediri, dan apabila orang-orang Kediri merasa bahwa
kehilangan itu tidak berpengaruh, barulah Ki Ajar
melangkah. Ia mempergunakan Pangeran Lembu Sabdata
sebagaimana Pangeran Kuda Permati. Tetapi tentu dengan
lebih cermat. Jika wahyu keraton benar berada di benda
yang berada di padepokan itu, sementara darah keturunan
keraton ada pula disini, maka tahta Kediri benar-benar akan
beralih." Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun
kemudian katanya, "Kedua-duanya harus kita ambil."
"Ya. Tetapi kita harus menyadari, bahwa dibalik dinding
padepokan terdapat Ki Ajar, Panembahan Bajang dan
setidak-tidaknya Pangeran Lembu Sabdata yang tentu
sudah ditempa menjadi seorang yang pilih tanding.
Mungkin ada satu dua murid Ki Ajar yang sudah mencapai
tataran tertinggi sehingga memiliki kemampuan yang harus
diperhitungkan," berkata Pangeran Singa Narpada.
"Jadi bagaimana menurut pertimbangan Pangeran"
Apakah kita harus kembali dan mencari dukungan
kekuatan untuk memasuki padepokan itu?" bertanya
Mahisa Bungalan. Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Namun
kemudian katanya, "Jika kita tempuh cara yang demikian
maka kita mungkin akan terlambat."
"Ya," tiba-tiba saja Mahisa Pukat menyahut, "Kita harus
bertindak cepat. Memang mungkin kita akan menemui
kesulitan. Tetapi kita harus berusaha untuk mengatasinya."
"Kita tidak mempunyai banyak waktu," berkata Mahisa
Murti, "Apakah kita yakin bahwa Pangeran Lembu Sabdata
tidak akan berpindah tempat, atau bahkan pusaka itu akan
dipindahkannya ke tempat yang lain?"
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya,
"Agaknya memang demikian. Namun kita harus bertanya
kepada diri kita sendiri, apakah kita mampu untuk
menembus memasuki padepokan itu dan menangkap
Pangeran Lembu Sabdata, sekaligus menemukan kembali
pusaka yang tersembunyi di padepokan itu?"
Mahisa Bungalan termangu-mangu. Namun katanya,
"Tidak ada alat yang dapat untuk menjajagi. Kita harus
melakukannya sekali dan berhasil atau gagal sama sekali.
Mungkin buruan kita terlepas. Tetapi mungkin nyawa
kitalah yang terlepas."
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya.
"Malam ini kita masih sempat merenungkan apakah yang
sebaiknya kita lakukan. Besok kita akan mengambil
keputusan." "Kita tidur dengan nyenyak," desis Mahisa Pukat,
"Mungkin mimpi kita dapat memberi petunjuk."
"Ah kau," desis Mahisa Bungalan, "Namun dengan
ketenangan berpikir kita akan mendapatkan jalan yang
paling baik." Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi baginya semakin
cepat semakin baik. Apapun yang terjadi atas mereka.
Namun kesempatan itu tidak boleh mereka lewatkan.
Mahisa Pukat menyadari bahwa di padepokan itu ada Ki
Ajar dan Panembahan Bajang. Tetapi Pangeran Singa
Narpada yang memiliki ilmu dan pengalaman yang luas,
serta kakaknya Mahisa Bungalan yang selain pengalaman
juga telah mencapai tataran puncak ilmu pamannya Mahisa
Agni yang nggegirisi akan merupakan tandingan dari Ki
Ajar dan Panembahan Bajang.
Namun demikian, segala sesuatunya terserah kepada
Mahisa Bungalan dan Pangeran Singa Narpada, Tetapi
menilik gelagatnya, maka keduanya pun akan mengambil
sikap sebagaimana diinginkan oleh Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Demikianlah, maka malam yang kemudian turun,
merupakan malam yang terasa sangat panjang oleh anganangan.
Tetapi ternyata keempat orang itu tidak melihat cara
yang lain yang sebaiknya ditempuh daripada memasuki
padepokan itu apapun yang terjadi. Jika mereka segera
melakukannya, mungkin terjadi perubahan yang dapat
menggagalkan semua usaha yang sudah dirintis sekian
lamanya. Meskipun demikian menyadari, bahwa kemungkinan
gagal pada usaha yang akan mereka lakukan itupun tetap
ada. Jika isi padepokan itu ternyata memiliki kekuatan yang
lebih besar dari kekuatan mereka berempat, maka usaha
mereka bukan saja akan gagal, tetapi mereka tidak akan
sempat lagi keluar dari padepokan itu.
Tetapi jika memang harus terjadi demikian, maka
mereka tidak akan dapat ingkar. Itu adalah akibat dari satu
perjuangan bagi tegaknya Kediri dalam hubungan
sebagaimana sedang berlaku dengan Singasari.
Karena itu, ketika malam hari perlahan-lahan tersingkap
oleh cahaya fajar, keempat orang itu telah menemukan
ketetapan didalam hati masing-masing.
Setelah membenahi diri, maka keempat orang itu telah
mengadakan pembicaraan yang mendalam tentang rencana
mereka menghadapi Ki Ajar, Panembahan Bajang, dan
orang-orang yang berada di padepokan itu.
"Kita tidak tahu apa yang ada didalam padepokan itu,"
berkata Pangeran Singa Narpada, "Tetapi kita pun tidak
boleh tenggelam ke dalam ketidak tahuan itu."
"Kami mengerti," jawab Mahisa Bungalan, "itu akan
meloncat ke dalam kegelapan. Mudah-mudahan kita tidak
masuk ke dalam mulut harimau yang kelaparan."
"Tetapi bukan tidak berperhitungan," tiba-tiba saja
Mahisa Pukat memotong. "Tetapi bukan maksudku untuk
menyombongkan diri. Jika kita memasuki padepokan itu,
kita yakin bahwa kita sudah membekali diri. Jika dengan
demikian kita harus dihancurkan oleh isi padepokan itu,
maka kita memang bernasib buruk."
Mahisa Bungalan tersenyum. Katanya, "Baiklah. Kita
bersama-sama telah bertekad untuk memasuki padepokan
itu. Dan kita sudah bersiap sejauh dapat kita lakukan.
Beruntunglah kami karena kalian berdua mengikut kami."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab.
Namun dengan demikian mereka merasa bahwa mereka
benar-benar mendapat kepercayaan sebagai orang-orang
yang telah dewasa. Mereka akan menghadapi tugas yang
sangat berat. "Tetapi kita tidak akan memasuki padepokan itu hari
ini," berkata Pangeran Singa Narpada.
"Kenapa?" Mahisa Pukat menjadi heran.
"Hari ini kita mempersiapkan diri lahir dan batin. Besok
sebelum fajar kita akan memasuki padepokan itu dan
bertindak sesuai dengan rencana. Aku akan mencoba
menghadapi Ki Ajar Bomantara. Mahisa Bungalan akan
berusaha untuk mengimbangi kemampuan Panembahan
Bajang. Salah seorang diantara kalian berdua harus
menghadapi Pangeran Lembu Sabdata, sementara itu yang
lain akan mengamati keadaan. Mungkin ada diantara para
cantrik yang memiliki kemampuan yang tinggi, sehingga
cantrik itu harus mendapat perhatian secara khusus."
Demikian hari itu keempat orang itu telah
mempersiapkan diri lahir dan batin. Mereka berusaha untuk
berada dalam puncak kemampuannya, sehingga pada
saatnya mereka tidak akan merasa kecewa.
Namun hari itu terasa sangat panjang. Mereka merasa
seakan-akan matahari memang beredar dengan sangat
malasnya. Tetapi akhirnya malam pun turun. Tempat keempat
orang itu tinggal untuk sementara, lelah diselubungi oleh
kegelapan, sehingga dengan demikian maka keempat orang
itupun menempatkan dirinya di pembaringan yang telah
mereka siapkan. Namun sebagaimana biasa, salah seorang
diantara mereka harus tetap jaga untuk mengamati keadaan
berganti-ganti. Saat yang mereka tunggu-tunggu itupun akhirnya tiba
juga. Sebelum fajar keempat orang itu telah bangun.
Mereka tidak boleh lengah sehingga pada saatnya, ternyata
senjata mereka tidak dapat membantu.
Ternyata keempat orang itu tidak membawa senjata yang
lebih panjang daripada pedang-pedang pendek yang dapat
mereka sembunyikan dibawah kain mereka. Namun
demikian. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata telah
bersiap pula dengan paser-paser kecil yang dapat mereka
pergunakan pada saat-saat yang paling gawat.
"Jika kita harus melawan seluruh isi padepokan maka
paser-paser ini akan berguna sekali," berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Bungalan tersenyum. Katanya, "Bagus. Kau
benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Dengan demikian maka kita tidak perlu cemas lagi
menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi."
Mahisa Pukat tidak menjawab. Sementara itu Pangeran
Singa Narpada pun lelah bersiap pula. Katanya, "Marilah.
Kita akan pergi ke medan perang. Kita adalah pasukan
yang tidak bertunggul dan tidak berpanji-panji. Tetapi
didalam dada kita terpancang beban pengabdian yang
bergelora." Ketiga orang yang lain tidak menjawab. Tetapi terasa
kata-kata itu menyentuh perasaan mereka. Sehingga dengan
demikian, rasa-rasanya mereka benar-benar menjalankan
satu tugas yang akan memberikan arti yang sangat besar
bagi Kediri dan Singasari. Demikianlah sejenak kemudian
keempat orang itupun telah berangkat. Sisa malam masih
cukup gelap. Namun langit di ujung Timur telah mulai
nampak kemerah-merahan. "Jangan terlambat," berkata Pangeran Singa Narpada,
"Kita buka hari ini dengan tantangan."
Keempat orang itu berjalan semakin cepat, seakan-akan
mereka benar-benar menuju ke medan yang sudah siap,
sehingga mereka tidak mau datang terlambat dan tidak
mendapat tempat di barisan paling depan.
Sejenak kemudian, maka padepokan itu telah nampak
dalam keremangan cahaya fajar. Dikelilingi oleh sebuah
pategalan, padepokan itu nampaknya tenang dan tidak
terusik. Tetapi dengan laku yang khusus, Pangeran Singa
Narpada dan Mahisa Bungalan berhasil melihat cahaya teja
yang memancar dari padepokan itu.
Mereka berempat yang sudah bertekad untuk memasuki
padepokan itu tidak lagi ingin mengendap-endap dari
belakang dan memanjat dinding. Tetapi mereka ingin
memasuki padepokan itu lewat pintu depan.
Meskipun demikian mereka tidak ingin langsung dikenal
pada saat mereka memasuki padepokan itu. Jika demikian
maka ada kemungkinan Pangeran Lembu Sabdata akan
bersembunyi. Karena itu, maka mereka pun telah mengenakan pakaian
yang paling sederhana yang ada pada mereka. Mereka
mengenakan ikat kepala tidak sebagaimana seharusnya,
tetapi asal saja ikat kepala itu tersangkut di kepala mereka.
Sementara itu mereka telah berjalan berurutan seorang
demi seorang, sehingga kedatangan mereka menimbulkan
kesan yang khusus bagi isi padepokan itu jika mereka
menyaksikannya. Namun Pangeran Singa Narpada yakin bahwa tentu
sudah ada yang bangun diantara para cantrik. Mungkin
menyapu halaman, mungkin kerja yang lain.
Sebenarnyalah, ketika mereka memasuki regol halaman
dengan belaian berurutan seorang demi seorang, maka
seorang cantrik yang sedang menyapit halaman telah
melihatnya.

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam keremangan fajar, terasa tengkuk cantrik itu
meremang. Mereka melihat empat orang berjalan
berurutan. Tanpa berpaling dan tanpa kesan apapun juga.
Mereka berjalan seperti tubuh-tubuh tidak berjiwa
memasuki halaman dan langsung menuju ke rumah induk
padepokan itu. "He, Ki Sanak," sapa cantrik itu.
Tidak ada jawaban. Bahkan berpaling pun tidak.
Keempat orang itu masih berjalan dengan langkah-langkah
kaku menuju ke pendapa. "Ki Sanak," cantrik itu mengulangi.
Tetapi masih saja tidak ada jawaban dan orang-orang
yang berjalan berurutan itu masih saja berjalan tanpa
berpaling sama sekali. "Apakah masih ada sosok hantu menjelang fajar begini,"
desis cantrik itu. Namun ia tidak ingin menunggu lagi. Iapun kemudian
berlari-lari menuju ke rumah induk itu melewati pintu
butulan. "Ki Ajar," berkata cantrik itu ketika ia bertemu dengan
Ki Ajar, "Ada empat sosok bayangan memasuki halaman
padepokan ini. Mereka bagaikan patung-patung yang
berjalan. Sama sekali tidak mendengar ketika aku
menyapanya." "Siapakah mereka," bertanya Ki Ajar.
"Kami tidak tahu," jawab cantrik itu.
Ki Ajar termangu-mangu. Sementara itu Panembahan
Bajang pun telah keluar dari biliknya. Bahkan Pangeran
Lembu Sabdata pula. "Siapa?" bertanya Pangeran Lembu Sabdata.
"Tidak tahu," jawab cantrik itu.
Namun sementara itu, tiba-tiba saja diluar terdengar
suara, "He, seisi padepokan ini. Dengar kata-kataku. Aku
ingin berbicara dengan panembahan Kerdil yang ada di
padepokan ini. Menurut keterangan mPu Lengkon,
Panembahan Kerdil itu bersembunyi di padepokan ini
karena menghindari tangan-tangan kami. Dengar isi
padepokan ini. Persoalan ini adalah persoalan kami dengan
panembahan Kerdil. Karena itu, jangan ikut campur. Kami
datang berempat dengan perhitungan, bahwa Panembahan
Bajang itu mempunyai empat orang kawan yang ikut
bersembunyi disini."
Panembahan Bajang benar-benar terkejut, ia sama sekali
merasa tidak pernah mempunyai persoalan yang sungguhsungguh.
Jika mPu Lengkon telah sampai hati berbuat
sesuatu yang mencelakakannya, itu tentu karena salah
paham saja. Namun ternyata Panembahan Bajang bukan seorang
pengecut. Meskipun ia tidak merasa mempunyai persoalan,
namun iapun kemudian berdesis, "Biarlah aku lihat,
siapakah yang telah datang itu."
"Mereka berempat," desis Pangeran Lembu Sabdata.
"Meskipun mereka bersepuluh, aku tidak akan lari,"
jawab Panembahan Bajang. Sementara itu terdengar lagi suara, "He, Panembahan
Bajang. Kau harus segera mengembalikan keris itu. Keris
itu harganya lebih mahal dari nyawamu. Keluarlah bersama
tiga orang pengawalmu yang paling kau banggakan. Kami
akan melawan kalian dalam perkelahian seorang lawan
seorang secara adil dan jujur. Jika kau kalah, maka sebelum
kau mati, kau harus menunjukkan dimana keris itu kau
sembunyikan." "Keris apa," desis Panembahan Bajang didalam rumah,
"Aku tidak pernah mempunyai persoalan dengan sebilah
keris. Mungkin terjadi salah paham atau Lengkon memang
gila. Lengkon lah yang banyak bermain dengan keris.
Bukan aku." "Jangan keluar sendiri," berkata Ki Ajar.
"Aku tidak peduli," jawab Panembahan Bajang. "Kau
sangka aku tidak berani menghadapi empat orang
sekaligus." Tetapi mereka sudah memperhitungkan kemampuanmu
sementara mereka berani menyatakan dalam tantangannya,
seorang lawan seorang," jawab Pangeran Lembu Sabdata.
Panembahan Bajang termangu-mangu. Namun
kemudian katanya, "Terserahlah. Tetapi kalian tidak perlu
ikut campur persoalanku."
Sejenak kemudian, maka Panembahan Bajang itu-pun
telah bersiap-siap untuk keluar. Ternyata Ki Ajar dan
Pangeran Lembu Sabdata tidak membiarkannya. Bahkan
Putut yang paling terpercaya dari padepokan itu, yang
mendengar suara diluar segera berlari-lari ke ruang dalam
rumah induk di padepokan itu.
Demikian ia berada didalam, maka dilihatnya
Panembahan Bajang sudah siap untuk keluar.
"Apa sebenarnya yang telah terjadi Panembahan,"
bertanya Putut itu. "Entahlah," jawab panembahan Bajang. "Mungkin ada
orang gila yang datang ke padepokan ini. Aku tidak pernah
mempunyai persoalan apapun juga dengan siapapun juga.
Apalagi persoalan sebilah keris. Aku tidak pernah merasa
memerlukan sebilah keris. Karena itu, menurut dugaanku,
semua ini adalah kesalah pahaman dengan Lengkon yang
gila itu. Tentu orang itulah yang mengigau tentang keris,
sehingga keempat orang itu datang dan langsung berbicara
tentang keris itu pula."
"Lalu apa kehendaknya" Apakah ia bersungguhsungguh"
Menurut keterangannya, ia tidak akan
mencampuri persoalan kita. Tiba-tiba saja ia datang atau
setidak-tidaknya mengupah orang atau mungkin muridmuridnya
untuk datang menemui Panembahan," berkata
Putut itu. "Ia benar-benar sudah gila jika ia berani memerintahkan
murid-muridnya. Ia mengenal aku dan ia tahu
kemampuanku," jawab Panembahan Bajang.
"Jika demikian, tentu bukan mPu Lengkon," desis Ki
Ajar. "Persetan, siapapun mereka," jawab Panembahan
Bajang. "Aku akan menemui mereka. Jika hanya karena
salah paham, maka aku akan dapat meluruskannya. Tetapi
jika keempat orang itu benar-benar gila, maka aku tidak
tahu, apa yang akan terjadi. Mungkin aku harus membunuh
keempatnya disini. Mungkin aku harus membasahi
halaman padepokan dengan darah orang-orang yang tidak
tahu diri itu." "Bagaimanapun juga, aku ingin melihat, apa yang akan
terjadi," desis Pangeran Lembu Sabdata.
Selagi mereka berbincang, terdengar lagi suara diluar,
"He Panembahan Bajang. Apakah kau sedang lari lewat
pintu butulan. Jika kau memang takut menghadapi kami,
kau harus berterus terang. Kami akan mengampunimu.
Tetapi barang yang kau curi itu harus kau kembalikan."
"Setan alas," geram Panembahan Bajang. "ia tidak
berpikir panjang lagi. Dengan tergesa-gesa iapun segera
melangkah menuju ke pintu.
Namun seperti yang dikatakannya, maka Pangeran
Lembu Sabdata pun telah mengikutinya pula bersama Ki
Ajar Bomantara serta seorang pututnya yang sudah putus
segala macam ilmu sebagaimana telah dimiliki pula oleh
Pangeran Lembu Sabdata, meskipun belum matang
Pengemis Bintang Emas 2 Pendekar Rajawali Sakti 158 Pasukan Alis Kuning Satria Terkutuk Kaki Tunggal 1
^