Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 11

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 11


Keduanya pun kemudian berpaling ke arah batu yang
ada di atas gumuk, yang warnanya memang kehijauhijauan.
Namun yang belum mereka ketahui nilainya.
Sejenak keduanya termangu-mangu. Namun kemudian
hampir berbareng keduanya telah bergerak pula berputar
menghadap ke arah batu yang berwarna kehijauan itu.
"Kita kesana," berkata Mahisa Murti, "yang jelas warna
hijau itu bukan warna lumut, tetapi warna batu itu."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. "Marilah. Kita akan
melihat. Tetapi kemungkinan-kemungkinan yang lain
masih dapat terjadi atas kita."
"Kita memang harus berhati-hati," desis Mahisa Murti.
Keduanya pun kemudian melangkah kembali naik ke
atas gumuk kecil yang sudah menjadi gundul itu. Yang
kemudian terhambur oleh kaki keduanya adalah abu dari
rerumputan dan ilalang serta gerumbul perdu yang terbakar.
Semakin lama keduanya pun menjadi semakin dekat.
Bahkan keduanya pun kemudian telah mencapai batu yang
besar dan berwarna kehijauan itu.
Ketika seekor ular merayap dikaki mereka, maka mereka
sama sekali tidak beranjak. Bahkan kemudian seekor lagi
merayap menyilang dan bersembunyi di bawah batu itu.
"Tentu ada banyak ular yang bersembunyi di bawan
batu itu," berkata Mahisa Pukat, "ketika rumput dan ilalang
terbakar, maka yang sempat menyelamatkan diri akan
bersembunyi di bawah batu itu, karena hanya selingkar
kecil di seputar batu ini sajalah rerumputan dan ilalang
yang tidak terbakar."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi ular bukan
merupakan binatang yang menakutkan bagi keduanya.
Sejenak kemudian maka keduanya sempat
memperhatikan batu yang berwarna kehijauan itu. Ketika
mereka meraba dan menggosok pada satu sisi yang agak
bersih maka Mahisa Murti berdesis, "Sejenis batu yang
cukup berharga, meskipun bukan jenis yang sangat baik."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya,
"Nampaknya memang menarik sekali. Sayang sekali bahwa
tidak ada pecahan-pecahan kecil yang dapat kita bawa."
"Agaknya orang-orang yang lebih dahulu menemukan
tempat ini, telah membawa pecahan-pecahan kecil yang
mungkin pernah ada. Batu pecahan yang besarnya
segenggam tangan sudah akan dapat dibuat batu cincin
berapa saja," desis Mahisa Murti.
Mahisa Pukat pun kemudian mengelilingi batu itu.
Tangannya meraba celah-celah batu yang kotor dan retakretak.
Mahisa Pukat tiba-tiba saja mengibaskan jari-jarinya.
Ternyata seekor binatang sejenis labah-labah yang sangat
berbisa telah mengigitnya.
Mahisa Pukat meraba jari-jarinya. Untunglah bahwa ia
memiliki penangkal racun yang dapat melindunginya dari
segala macam bisa dan racun.
"Tentu tidak hanya seekor," berkata Mahisa Murti.
Sebenarnyalah, ketika keduanya memperhatikan celah
dan retak di tubuh batu itu, mereka telah melihat sejenis
binatang yang mendebarkan. Laba-laba beracun, kala dan
binatang berkaki seribu. Betapapun juga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
terlindung dari ketajaman bisa, namun tubuhnya meremang
juga melihat berpuluh-puluh bahkan beratus jenis binatang
berbisa di celah-celah retak batu yang berwarna kehijauan
itu. "Kita tidak dapat berbuat banyak dengan batu ini
sekarang," berkata Mahisa Murti, "Tetapi kita dapat
menduga, bahwa batu ini memang ada harganya."
"Ya. Jika mendapat perawatan dan penggarapan yang
baik, batu ini akan dapat menjadi batu akik yang digemari.
Keras dan membiaskan cahaya," sahut Mahisa Pukat.
Lalu katanya, "Tetapi jika kita menemukan
kemungkinannya, maka kita akan dapat membeli batu akik
ini dari yang berhak. Tentu tidak dari orang yang telah
berusaha mencegah kehadiran kita di sini."
"Kita akan berhubungan dengan Ki Bekel. Mungkin kita
memang harus berhubungan dengan Ki Buyut atau bahwa
Sang Akuwu," berkata Mahisa Murti kemudian. Namun ia
pun kemudian berkata, "Tetapi kita tidak boleh lupa akan
tugas kita yang sebenarnya, kenapa kita datang ke tempat
ini." Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Namun sebelum keduanya banyak berbuat atas batu
hijau itu, maka mereka pun telah dikejutkan oleh kehadiran
seekor harimau loreng yang besar di bawah gumuk.
Terdengar harimau itu meraung ketika harimau itu melihat
kedua orang yang berada di sebelah batu yang berwarna
kehijauan itu. "Harimau itu datang lagi," desis Mahisa Pukat,
"harimau itu mengira bahwa ia dapat berbuat sesuatu atas
kita dalam ujudnya sebagai harimau."
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Katanya dengan
nada datar, "Kita belum mengenal watak harimau jadijadian.
Mungkin memang ada kelebihan yang dapat
diandalkan dalam ujudnya sebagai harimau disamping
kemampuan ilmunya." "Secara wadag seekor harimau memandang memiliki
kekuatan yang sangat besar," berkata Mahisa Pukat, "tetapi
baiklah, kita akan menunggu, apa yang akan dikerjakan
oleh harimau itu." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian
menunggu. Harimau itu berjalan melingkari gumuk kecil itu
hilir mudik. Sekali-sekali terdengar harimau itu menggeram.
Karena harimau itu tidak berbuat apa-apa, maka Mahisa
Murti pun kemudian berkata, "Apakah kita akan
menangkap harimau itu" Mungkin kita akan dapat
menemukan seseorang yang akan sangat berarti bagi kita."
"Ya," jawab Mahisa Pukat, "jika tadi kita merasa
kehilangan, kini harimau itu sudah datang lagi."
"Bagus," berkata Mahisa Murti, "Marilah. Kau dan aku
akan berpisah dan kemudian menuruni tebing gumuk kecil
ini. Kita akan menangkap seekor harimau jadi-jadian yang
dapat terjadi di siang hari. Kau dari sisi yang satu aku akan
datang dari sisi yang lain. Mudah-mudahan kita akan dapat
berhasil, sehingga kita mendapat lebih banyak peluang
untuk mengambil langkah selanjutnya."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dipandanginya
harimau itu dengan saksama, sementara harimau itu masih
saja berjalan hilir mudik sambil memandangi kedua anak
muda itu. Meskipun harimau itu tidak segera menyerang, namun
agaknya harimau itu nampaknya memang tidak bersahabat.
Sekali-sekali harimau itu menampaknya taringnya yang
tajam sambil menggeram. Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai
melangkah turun, maka harimau itu menjadi semakin
garang. Bahkan harimau itu nampak menjadi gelisah.
"Harimau itu akan dapat lari lagi," berkata Mahisa
Murti. Mahisa Pukat mengangguk. Jawabnya, "Kita akan
mencobanya. Jika terpaksa harimau itu lari, apaboleh
buat." Mahisa Murti pun tidak berkeberatan. Karena itu, maka
keduanya pun segera berpisah dan memencar.
Tetapi seperti yang mereka duga, harimau itu surut ke
belakang. Semakin lama semakin menjauhi gumuk yang
gundul itu. Sekali-kali harimau itu menggeram dan
mengkais-kais batang-batang ilalang. Namun harimau itu
tetap memelihara jarak dengan kedua anak muda yang
menuruni gumuk kecil itu.
"Kau pengecut yang paling licik," Mahisa Pukat yang
marah tiba-tiba telah melontar kekuatan ilmunya lewat
getar suaranya, "berhenti. Jangan hanya memamerkan
kemampuannmu melarikan diri. Coba sambut kedatangan
kami. Atau jika kau takut menghadapi kami berdua, kita
akan berhadapan dalam perang tanding. Pilih di antara
kami, siapakah yang akan menjadi lawannya. Jika kami
berdua mendekatimu, semata-mata karena kami ingin
menangkapmu." Harimau itu menggeram keras sekali. Demikian kerasnya
sehingga gumuk kecil itu bagaikan terguncang. Tetapi itu
masih tetap bergeser surut menjauhi gumuk itu.
Mahisa Murti memandang Mahisa Pukat yang menjadi
semakin jauh daripadanya. Namun Mahisa Pukat itu
menggeleng. Agaknya Mahisa Murti mengetahui
maksudnya, bahwa sulit bagi mereka untuk dapat
menangkap harimau yang selalu menjauh itu.
Tetapi tiba-tiba saja Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
menjadi terkejut ketika tiba-tiba saja mereka melihat seekor
harimau lagi yang muncul dari balik sebuah gerumbul.
Harimau itu juga sebesar dan segarang harimau yang
terdahulu. Namun nampaknya harimau itu lebih mantap
menatap kedua anak muda yang bergeser turun dari gumuk
itu. Mahisa Murti tiba-tiba saja telah bergeser mendekati
Mahisa Pukat, sedangkan Mahisa Pukat yang melihat
saudaranya itu mendekatinya, ia pun telah mendekat pula.
"Agaknya harimau itu datang dengan kawannya,"
berkata Mahisa Murti, "kita harus berhati-hati sekali."
"Mudah-mudahan kita dapat mengatasi keadaan. Tetapi
jika mungkin jangan harimau-harimau itu terlepas lagi. Aku
yakin bahwa harimau itu adalah harimau jadi-jadian."
Mahisa Murti mengangguk. Dengan nada berat ia
berkata, "Jika kita dapat menangkapnya satu atau
keduanya, maka kita akan dapat menangkap seseorang."
"Jika harimau itu bukan harimau jadi-jadian?" bertanya
Mahisa Pukat. Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Apaboleh buat."
Demikianlah, maka kedua orang anak muda itu pun
kemudian telah menghadapi dua ekor harimau. Karena itu,
maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun tidak lagi ingin
menangkap salah seekor diantara keduanya, tetapi mereka
masing-masing menghadapi seekor harimau.
Ternyata harimau itu tidak lagi bergeser surut. Setelah
harimau itu menjadi dua, maka nampaknya keduanya pun
telah menantang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun saling
berpandangan. Ketika Mahisa Murti meraba pisau
belatinya, maka Mahisa Pukat pun melakukan hal yang
sama. Bahkan dirabanya juga pisau-pisau kecilnya yang
mengandung racun. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak tahu,
apakah racunnya akan berarti juga atas kedua ekor harimau
itu. Beberapa saat kemudian Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat masing-masing telah berhadapan dengan seekor
harimau. Keduanya menjadi semakin yakin bahwa
harimau-harimau itu adalah harimau jadi-jadian karena
sikapnya. Ketika Mahisa Murti berada beberapa langkah dari
harimau yang dihadapinya, maka ia pun bertanya, "He,
kenapa kau dan kawanmu bersikap tidak bersahabat
terhadap kami" Apakah kami telah merugikanmu"
Bukankah kami tidak berbuat apa-apa atas harimauharimau
yang ada di sini sebelumnya?"
Harimau itu menggeram marah. Kepalanya pun seakanakan
berpaling ke arah batu yang berwarna kehijau-hijauan
itu sambil mengibaskah ekornya. Kepalanya agak
merunduk dan matanya nampaknya menjadi merah.
"Persetan," geram Mahisa Murti, "siapapun kau,
namun jika kau dengan sengaja mengganggu aku, maka kau
akan aku binasakan."
Harimau itu tiba-tiba saja sudah menggeram keras sambil
meloncat menerkam. Namun Mahisa Murti sudah bersiap sepenuhnya.
Karena itu, maka ia pun telah bergeser selangkah, sehingga
terkaman harimau itu tidak mengenai sasaran. Meskipun
demikian ketika tubuh harimau itu meluncur di depan
tubuh Mahisa Murti, maka kaki harimau itu telah
menggeliat menggapai tubuh Mahisa Murti. Tetapi Mahisa
Murti telah surut lagi selangkah kecil. Sehingga dengan
demikian maka kaki harimau itu sama sekali tidak
menyentuhnya. Harimau itu mengaum keras-keras sambil dengan
sigapnya memutar tubuhnya. Sekali lagi harimau itu
merunduk dan siap untuk menerkam.
Tetapi Mahisa Murti pun sudah siap pula menghadapi
segala kemungkinan. Ia pun telah berdiri tegak menghadap
ke arah harimau itu. Tubuhnya agak miring dan merendah
pada lututnya. Sementara itu Mahisa Murti pun telah
berada pada puncak kemampuannya.
Sementara itu Mahisa Pukat telah bersiap pula.
Lawannya ternyata masih belum menyerang. Harimau itu
masih berjalan memutarinya, mengamatinya dari berbagai
arah. Dalam pada itu Mahisa Pukat masih berdesis, "Tingkah
lakumu bukan tingkah laku seekor harimau. Meskipun
ujudnya adalah ujud harimau yang besar dan garang, tetapi
ungkapan tingkah lakumu menunjukkan sifat licikmu."
Tiba-tiba saja harimau itu menggeram keras sekali.
Mahisa Pukat bergeser selangkah. Katanya, "Aku tidak
peduli apakah kau mengarti kata-kataku atau tidak. Tetapi
sifat penakutmu itu tidak serasi dengan ujudmu yang garang
dan mendebarkan jantung itu."
Sekali lagi harimau itu mengaum keras. Tiba-tiba saja
harimau itu meloncat menerkam Mahisa Pukat.
Tetapi Mahisa Pukat pun sudah siap menghadapi
kemungkinan itu. Sambil menghindar ia masih sempat
berkata, "Apakah kau mengerti kata-kataku" "
Aneh, harimau nampaknya tanggap mendengar
pembicaraan seseorang. Bahkan harimau jadi-jadian pun
tidak akan mengerti bahasa manusia dalam keadaannya.


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Harimau yang marah itu mengaum keras ketika kakinya
gagal mengkoyak kulit Mahisa Pukat. Namun harimau itu
menggeliat ketika Mahisa Pukat justru telah menyerangnya
dengan kecepatan yang sangat tinggi, tepat pada saat
harimau itu menjejakkan kakinya di tanah. Kaki Mahisa
Pukat telah menghantam lambung harimau itu sehingga
harimau yang besar dan kuat itu telah terdorong ke
samping, bahkan hampir saja harimau itu jatuh berguling.
Tetapi harimau yang garang itu dengan tangkasnya pula
telah berputar dan memperbaiki keseimbangannya Bahkan
dengan cepat pula melonjak menggapai tubuh lawannya.
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah terlibat dalam perkelahian melawan dua ekor harimau
yang besar dan garang. Namun ternyata bahwa kedua anak
muda itu memang memiliki ketangkasan dan kemampuan
melampaui orang kebanyakan.
Ketika harimau yang garang itu meloncat menyerang
Mahisa Murtilah yang kemudian dengan cepat meloncat ke
punggungnya dan justru telah berhasil melekat pada tubuh
harimau itu. Harimau yang marah itu menjadi semakin marah.
Dengan sekuat tenaga harimau itu berusaha untuk
rrtenghibaskan orang yang telah melekat di punggungnya.
Namun pegangan tangan Mahisa Murti bagaikan lekat
pada kulitnya, sehingga Mahisa Murti itu tidak berhasil
dikibaskannya dari punggungnya.
Beberapa saat kemudian perkelahian itu pun menjadi
semakin seru. Namun kedua ekor harimau itu ternyata
tidak mampu menguasai kedua orang lawannya. Yang
seekor, yang justru telah berada di cengkeraman tangan
Mahisa Murti, menjadi bingung.
Meloncat, berputar, berguling dan dengan laku yang
dapat dilakukan untuk melemparkan orang yang berada di
punggungnya. Tetapi harimau itu tidak berhasil.
Sementara itu, harimau yang bertempur melawan
Mahisa Pukat telah beberapa kali terkena serangan yang
sangat keras. Bahkan harimau yang garang itu, telah
terdorong beberapa langkah dan jatuh berguling.
Sekali-sekali kuku-kuku harimau itu memang berhasil
menyentuh tubuh Mahisa Pukat sehingga terjadi goresangoresan
yang menitikkan darah. Namun luka-luka pada
tubuh Mahisa Pukat itu tidak cukup berbahaya dan tidak
mempengaruhi perlawanannya.
Sebagaimana Mahisa Pukat, Mahisa Murti pun telah
terluka pula. Harimau yang bagaikan gila itu telah
berguling-guling, meloncat dan membenturkan tubuhnya
pada batu-batu padas. Dengan demikian maka kulit Mahisa
Murti pun telah menyentuh tanah yang berbatu padas,
menyentuh ranting-ranting perdu dan duri-duri gerumbul
yang tajam. Namun luka-luka itu sama sekali tidak
mempengaruhi perlawanan Mahisa Murti.
Untuk beberapa saat lamanya, ternyata bahwa kedua
ekor harimau itu tidak mampu menunjukkan tanda-tanda
kemenangan. Bahkan semakin lama justru menjadi semakin
mengalami kesulitan. Baik yang melawan Mahisa Murti
maupun yang melawan Mahisa Pukat.
Dalam keadaan yang paling gawat dari kedua ekor
harimau yang semakin terdesak itu, maka Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat telah dikejutkan oleh suara yang
menggetarkan udara. "Bukan main anak-anak muda.
Kalian mampu memberikan perlawanan yang luar biasa
atas harimau-harimau yang garang itu."
"Persetan," geram Mahisa Murti, "licik kau."
Yang terdengar adalah suara tertawa. Di sela-sela suara
tertawanya terdengar kata-katanya, "Aku menguasai
binatang buas di hutan itu. Harimau itu adalah harimau
yang sebenarnya. Bukan harimau jadi-jadian seperti yang
kalian duga. Aku mempunyai ilmu gendam yang dapat
mempengaruhi binatang buas dan tunduk atas
kehendakku." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah yang kemudian
menjadi sangat marah. Ternyata mereka berdua telah
dihadapkan kepada salah satu kemampuan ilmu orang yang
tidak dikenal itu. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun tidak
sabar lagi untuk bertempur dengan puncak-puncak
kemampuannya. Dengan kemarahan yang menggelora di
dalam dadanya, maka Mahisa Pukat telah menggerakkan
ilmu pamungkasnya. Ilmu yang jarang sekali dipergunakan.
Ilmu yang diwarisinya dari ayahnya.
Dengan kekuatan ilmu yang jarang ada duanya, maka
Mahisa Pukat ingin mengakhiri perlawanan harimau yang
garang itu. Karena itu, maka tiba-tiba Mahisa Pukat itu pun telah
mengambil jarak dari lawannya. Dengan cepat dan sigap,
maka Mahisa Pukat pun telah bersiap dengan puncak
ilmunya. Pada saat yang demikian, maka harimau yang garang itu
mengaum keras sekali. Dengan kedua kakinya yang terjulur
ke depan, maka harimau itu telah meloncat menerkam
Mahisa Pukat. Mahisa Pukat telah memperhitungkan masak-masak.
Karena itu. maka ia pun dengan cepat telah bergeser
selangkah, sehingga kaki harimau itu tidak
mencengkamnya. Namun demikian harimau itu menyentuh tanah, maka
Mahisa Pukat lah yang kemudian meloncat dengan tidak
kalah garangnya. Tangannya yang sudah dipenuhi oleh
kekuatan ilmunya terayun dengan derasnya mengarah ke
tengkuk harimau itu. Sejenak kemudian, maka terdengarlah hentakkan ilmu
Mahisa Pukat. Tangannya itu pun telah menyambar
tengkuk harimau yang buas itu dengan lambaran ilmu
pamungkasnya. Yang terdengar kemudian adalah gemeretak tulang yang
patah. Harimau itu tidak sempat mengaum lagi. Sekali
harimau itu menggeliat, namun kemudian harimau itu telah
diam untuk selama-lamanya.
Berbeda dengan cara Mahisa Pukat mengakhiri
perlawanan harimau itu, maka Mahisa Murti telah
mempergunakan itu, maka Mahisa Murti telah
mempergunakan cara yang lain. Mahisa Murti yang berada
di punggung harimau itu, telah mencabut pisau belatinya.
Dengan pisau belatinya, maka Mahisa Murti berusaha
untuk membunuh harimau itu.
Beberapa kali Mahisa Murti telah menghunjamkan
pisaunya ke tubuh harimau itu. Darah pun telah memancar
dari tubuh harimau yang koyak itu.
Untuk beberapa saat harimau itu masih berusaha untuk
membebaskan diri. Namun kemudian terdengar aum
kesakitan yang menyayat, sehingga akhirnya harimau itu
pun roboh tidak berdaya. Mahisa Murti mengakhiri perlawanan harimau itu tidak
dengan ilmu pamungkasnya, tetapi dengan senjatanya,
pisau belatinya. Sejenak kedua anak muda itu termangu-mangu. Namun
kemudian setelah sempat mengatur perasaannya yang
bergejolak, Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam
sambil berkata, "Aku ingin membunuh harimau itu tanpa
melukainya. Bukankah dengan demikian kulitnya tidak
berbekas lubang-lubang luka itu. Harganya tentu lebih
mahal." Mahisa Murti tersenyum. Tetapi ia tidak sempat
menjawab. Yang terdengar kemudian adalah suara dari
orang yang tidak kelihatan itu, "Luar biasa. Benar-benar
luar biasa. Kalian berdua telah membunuh harimauharimau
itu dengan cara yang berbeda. Tetapi alasan kalian
yang sebenarnya bukan kulitnya berlubang atau tidak
berlubang. Tetapi kalian berdua ingin menunjukkan
kepadaku, bahwa kalian memiliki kemampuan yang dapat
saling mengisi. Ilmu yang tajam sekali yang jarang ada
bandingnya dan ketrampilan yang sangat tinggi dan luar
biasa sehingga dengan pisau belati harimau itu telah
terbunuh." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terdiam sejenak.
Keduanya justru berusaha untuk menemukan arah suara
orang itu. Namun sebelum mereka berhasil, maka tiba-tiba
saja mereka telah melihat seekor harimau meloncat dari
sebuah gerumbul dan berlari menjauh.
Mahisa Murti menggeram. Namun ia sempat
melontarkan kata-kata, "Kaulah harimau jadi-jadian itu.
Sungguh luar biasa, bahwa kau dapat melakukannya di
siang hari." Harimau itu sama sekali tidak berhenti. Tetapi harimau
itu sempat berpaling. Namun sejenak kemudian harimau itu
pun telah menyibak dan memasuki batang-batang ilalang
yang tumbuh lebat di antara gerumbul-gerumbul perdu di
sekitar gumuk kecil itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Mereka pun kemudian sadar, bahwa mereka
memang berhadapan dengan seorang yang berilmu tinggi
meskipun agak kecil. Namun keduanya tidak tahu, apakah
orang yang sempat menggerakkan dua ekor harimau itu
datang dari padepokan yang mereka cari atau dari tempat
lain. Dan apakah orang itu juga mengetahui bahwa batu
kehijauan itu memiliki harga yang cukup mahal atau karena
sebab-sebab lain. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak
mengejarnya. Mereka pun merasa bahwa mereka tidak akan
dapat mencapainya. Apalagi jika harimau itu sudah hilang
di lebatnya hutan ilalang.
Karena itu. maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu
pun telah berada kembali di antara kedua ekor harimau
yang terbunuh. Yang seekor mati tanpa luka seujung duri
pun, sedangkan yang lain tubuhnya telah dikoyak-koyak
oleh pisau belati Mahisa Murti.
"Kita apakan dengan harimau ini?" bertanya Mahisa
Pukat. "Aku tidak tahu, apakah orang-orang padukuhan itu
memerlukan kulitnya. Sebaiknya kita kembali ke
padukuhan dan mengatakannya kepada penjaga banjar itu,
apakah ia akan mau mengambil kulitnya atau tidak," jawab
Mahisa Murti. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
"Bagaimana dengan batu itu?"
"Kita akan membiarkannya," jawab Mahisa Murti,
"Mungkin lain kali kita akan memanfaatkannya."
Mahisa Pukat masih mengangguk-angguk. Katanya,
"Jika demikian sekarang kita kembali ke padukuhan."
"Ya. Tetapi kita akan singgah di sungai atau parit atau
belik yang manapun. Kita harus menghapus bekas-bekas
darah di tubuh kita. Apakah itu darah kita sendiri, atau
darah harimau yang telah kita bunuh," berkata Mahisa
Murti. Mahisa Pukat dan Mahisa Murti pun kemudian
meninggalkan kedua ekor harimau yang telah dibunuhnya
itu. Mereka sempat singgah disebatang parit yang berair
bersih sebelum mereka mulai memasuki sebuah bulak
panjang. Di parit itu keduanya sempat membersihkan diri
dan membenahi pakaian mereka.
Sementara itu di padukuhan, Mahisa Ura telah
dicengkam oleh kegelisahan yang sangat. Agaknya Mahisa
Ura sangat menyesal bahwa ia tidak ikut serta bersama
kedua orang anak muda yang diakunya sebagai adiknya itu.
Karena itu. maka ia tidak dapat tinggal diam di banjar.
Dalam kegelisahan maka Mahisa Ura pun telah menyusuri
jalan menuju ke gerbang padukuhan.
Dari gerbang itulah Mahisa Ura memandangi jalan
panjang yang terbentang di hadapannya. Bulak yang
panjang, yang diapit oleh sawah yang subur.
"Jika keduanya pulang, mereka akan datang melalui
jalan ini," berkata Mahisa Ura di dalam hatinya.
Karena itu, maka Mahisa Ura pun kemudian telah
berada di gardu di gerbang padukuhan itu berlama-lama.
Ketika ia merasa jemu duduk dan berjalan hilir mudik,
maka ia pun telah berbaring di dalam gardu.
Beberapa orang yang lewat, yang sudah mengenalnya
sebagai salah seorang pedagang batu akik dan wesi aji yang
berada di banjar sempat juga bertanya.
"Sekedar mencari udara sejuk," jawab Mahisa Ura
kepada setiap orang yang bertanya, "apa yang dilakukan di
gardu itu." "Apakah di tempat asalmu, kau meronda di siang hari?"
bertanya seorang anak muda sambil tertawa.
Mahisa Ura pun tertawa betapapun asamnya.
Tetapi Mahisa Ura tidak peduli. Ia berada saja di gardu
itu dalam kegelisahannya. Tetapi Mahisa Ura tidak
berusaha untuk menyusul. Mungkin justru akan dapat
berselisih jalan. Karena itu ia bertahan untuk tetap berada di gerbang itu.
Sekali ia bangkit dan berjalan hilir mudik. Sekali berjongkok
di dekat sebuah parit yang mengalirkan air yang jernih,
sekali berdiri bersandar tiang pintu gerbang dan sekali
berbaring di gardu sambil menyilangkan kakinya.
Pada saat Mahisa Ura hampir menjadi jemu, maka ia
pun sekali lagi berjalan hilir mudik di depan pintu gerbang.
Tiba-tiba saja jantungnya berdetak lebih cepat. Ternyata
Mahisa Ura melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
datang dari kejauhan. Tetapi Mahisa Ura menahan diri untuk tidak berlari
menyongsongnya. Bahkan ketika mereka menjadi semakin
dekat, maka Mahisa Ura itu pun telah duduk di bibir gerdu.
"Kau di sini?" bertanya Mahisa Murti ketika ia sampai
di pintu gerbang dan melihat Mahisa Ura berada di gardu.
"Udara panas sekali di banjar. Aku mencari kesejukan
dengan menghirup angin di bulak-bulak panjang."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menaruh
prasangka apapun. Karena itu, maka Mahisa Murti pun
berkata, "Marilah. Kita kembali ke banjar."
Mereka bertiga pun kemudian telah kembali ke banjar.
Di halaman mereka melihat penunggu banjar itu


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendatangi mereka. Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya, "Tetapi kita benar-benar mempunyai
oleh-oleh yang berharga buat orang itu."
"Apa," bertanya Mahisa Ura, "nampaknya kau tidak
membawa sesuatu." "Aku simpan ceriteraku sampai malam nanti. Tetapi
agaknya aku harus menyebutkan karena penunggu banjar
itu tentu bertanya tentang oleh-oleh itu," jawab Mahisa
Murti. Mahisa Ura tidak menyahut. Tetapi ia menunggu
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memberi jawaban kepada
penunggu banjar itu. Sebenarnyalah penunggu banjar itu memang bertanya,
"Apakah kalian membawa oleh-oleh."
"Kau masih saja memeras?" bertanya Mahisa Murti.
"Tidak. Aku tidak memeras. Aku hanya bertanya
apakah kau membawa oleh-oleh," jawab orang itu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya, "Aku mempunyai dua lembar kulit harimau.
Apakah kau mau?" "Dua lembar kulit harimau?" bertanya orang itu.
"Ya," jawab Mahisa Murti.
"Ah, yang benar sajalah," desis orang itu, "jangan
bergurau begitu. Aku akan menjadi sangat kecewa jika
ternyata yang kau katakan itu tidak benar."
"Aku memang mempunyai dua lembar kulit harimau,"
jawab Mahisa Pukat, "apakah kau mau mengambilnya
bersama kami berdua?"
"Tentu jika kau tidak berbohong," jawab orang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tersenyum. Sementara
itu Mahisa Pukat berkata, "Baiklah. Setelah aku beristirahat
sejenak, maka kita akan pergi ke tempat itu. Kau dapat
mengambil dua lembar kulit harimau langsung dari tubuh
harimau itu." "Ah, benar begitu?" bertanya penunggu banjar itu.
"Ya, kenapa tidak," jawab Mahisa Pukat.
"Baiklah," berkata penunggu banjar itu, "Tetapi sudah
tentu tidak akan dapat aku lakukan sendiri. Aku
memerlukan beberapa orang kawan untuk membawa
harimau itu kemari."
"Terserahlah," berkata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
"Tunggulah. Aku memanggil kawan-kawan itu,"
berkata penunggu banjar itu kemudian sambil dengan
tergesa-gesa meninggalkan banjar itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian setelah
membersihkan diri telah duduk di serambi untuk sekedar
beristirahat sambil minum, karena tidak ada minuman
panas, maka mereka telah meneguk air dari kendi yang
terasa sangat segar dikerongkongan mereka.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
menceriterakan apa yang telah mereka alami.
Mahisa Ura mendengarkan ceritera Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat itu dengan saksama. Namun sekali-sekali ia
pun menarik nafas dalam-dalam karena kekagumannya
kepada kedua orang anak muda itu.
"Kami tidak sedang menyombongkan diri," berkata
Mahisa Pukat, "Kami hanya ingin mengatakan yang
sebenarnya." Mahisa Ura mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia
berkata, "Aku mengerti bahwa kalian bukan anak-anak
muda yang senang menyombongkan diri. Jika kalian
menceriterakan apa yang kalian alami, semata-mata karena
kalian ingin menunjukkan apa yang kalian alami itu sejelasjelasnya."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, "Terima
kasih. Sokurlah jika kau mempunyai pengertian tentang
kami berdua." "Ceriterakanlah selanjutnya," berkata Mahisa Ura.
"Sebentar lagi kami akan pergi lagi ke gumuk itu,"
berkata Mahisa Pukat. "Untuk apa?" bertanya Mahisa Ura, "apakah kalian
berjanji untuk bertemu lagi dengan orang itu sebentar lagi?"
"Bukankah kita telah berjanji dengan penunggu banjar
ini?" sahut Mahisa Pukat.
Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ya.
Kalian akan mengambil kulit harimau itu."
"Nampaknya penunggu banjar ini lebih senang
mengambil harimau itu dan mengulitinya di padukuhan
daripada mengulitinya di tempat itu," berkata Mahisa
Murti. Mahisa Ura mengangguk-angguk. Namun ternyata
mereka tidak menunggu terlalu lama. Sejenak kemudian,
maka penunggu banjar itu bersama tiga orang kawannya
telah datang dengan membawa sepotong bambu yang
cukup besar dan panjang serta beberapa helai tali ijuk.
"Inilah kawan-kawanku," berkata penunggu banjar itu,
"Marilah, kita mengambil harimau itu."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun ia
pun kemudian bangkit sambil berdesis, "Kami akan pergi ke
banjar." "Aku ikut bersamamu," berkata Mahisa Ura.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun ia pun
tidak menolaknya. Demikianlah, mereka bertujuh pun telah berjalan
beriringan menuju ke gumuk kecil yang sudah menjadi
gundul itu. Di sepanjang jalan penunggu banjar itu sempat
bertanya beberapa hal tentang harimau itu.
"Bagaiamana kau mendapatkan dua ekor harimau itu,"
bertanya penunggu banjar itu, "apakah kau menemukan
bangkai dua ekor harimau atau apa saja yang telah kau
lakukan?" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun kemudian Mahisa Murtilah yang
menjawab, "Kamilah yang membunuh dua ekor harimau
itu." "Bukan main," penunggu banjar itu menjadi sangat
heran, "bagaimana mungkin kalian melakukannya."
"Harimau-harimau itu akan mengganggu sekelompok
orang yang sedang mencari daun pandan berduri
sungsang," berkata Mahisa Murti.
"Kalian berdua tiba-tiba datang menolong mereka dan
membunuh harimau itu," potong penunggu banjar itu.
"Siapa bilang?" bertanya Mahisa Murti.
Penunggu banjar itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia pun menarik nafas dalam-dalam ketika Mahisa
Murti berkata, "Kami memang datang. Tetapi yang
membunuh harimau itu bukan hanya kami berdua. Tetapi
kami bersama-sama. Orang-orang yang akan mencari daun
pandan berduri sungsang dan kami berdua."
Penunggu banjar itu mengerutkan keningnya. Namun
kemudian ia pun berkata, "Ternyata kalian hanya
menemukan bangkai harimau itu. Dan sekarang kau
menawarkannya kepadaku."
"Darimana pun aku dapatkan, tetapi bukankah kau mau
mengambil kulit harimau itu?" bertanya Mahisa Murti.
Penunggu banjar itu tidak menyahut lagi.
Demikianlah maka mereka pun telah menempuh
perjalanan menuju ke gumuk kecil. Sementara itu langit
pun telah mulai menjadi buram, karena matahari telah
menjadi sangat rendah di langit sebelah barat.
Semakin jauh mereka dari padukuhan, maka penunggu
banjar bersama dengan ketiga orang kawannya itu merasa
mulai diajari oleh perasaan takut di dalam hati.
"Kita akan pergi ke mana?" bertanya penunggu banjar
itu. "Ke gumuk kecil itu, bukankah kita akan mengambil
kedua ekor harimau yang telah mati itu?" sahut Mahisa
Murti. Penunggu banjar itu tidak menjawab. Tetapi
sebenarnyalah ia menjadi ketakutan. Apalagi matahari
semakin pudar di sisi langit sebelah barat.
Namun ternyata seorang di antara kawan-kawannya
tidak dapat lagi menahan perasaan takut itu sehingga
dengan nada tinggi ia berkata, "Apakah kita akan pergi ke
hutan." "Tidak," jawab Mahisa Murti, "ke gumuk. Apakah kau
belum pernah melihat gumuk itu."
"Tetapi tidak pada saat seperti ini," sahut orang itu,
"jika hari menjadi gelap, maka rasa-rasanya kami berada di
pintu sarang hantu."
"Bukankah sebentar lagi kita akan sampai?" bertanya
Mahisa Pukat. Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia harus menahan
perasaan takutnya. Namun beberapa saat kemudian, sebelum langit menjadi
benar-benar gelap, mereka telah sampai ke dekat gumuk itu.
Mahisa Pukat yang berjalan dipaling depan telah
mempercepat langkahnya menuju ke dua bangkai harimau
yang mereka tinggalkan. Tetapi wajah Mahisa Pukat menjadi tegang. Ketika ia
sampai ke tempat itu, ternyata ia tidak menemukan lagi
bangkai dua ekor harimau yang telah dibunuhnya dan
dibunuh oleh Mahisa Murti.
Mahisa Murti melihat sikap Mahisa Pukat menjadi
curiga. Ia-pun telah meloncat dan berlari mendekatinya.
"Harimau itu telah hilang," desis Mahisa Pukat.
"Hilang?" ulang Mahisa Murti.
"Kita tidak menemukan lagi di sini," sahut Mahisa
Pukat. Wajah Mahisa Murti pun menjadi tegang pula,
sementara itu Mahisa Ura dan keempat orang yang
menyertai mereka menjadi semakin dekat.
Dalam keremangan senja, maka orang-prang yang
mendatangani padang perdu di dekat gumuk kecil itu
menjadi berdebar-debar. Ketika penunggu banjar itu
mengetahui bahwa kedua bangkai harimau yang dikatakan
itu tidak ada, maka ketakutannya pun menjadi semakin
mencengkam. "Kau membohongi kami," berkata penunggu banjar itu
dengan suara bergetar. "Tidak. Kami tidak berniat untuk berbohong. Kami
memang meninggalkan kedua tubuh harimau itu di sini.
Tetapi di luar pengetahuan kami agaknya ada orang lain
yang telah menemukannya dan membawanya," jawab
Mahisa Murti. "Omong kosong," penunggu banjar itu menjadi marah
bercampur ketakutan, "jangan permainkan kami."
"Kalian mau mencoba-coba kami?" Kawan penunggu
banjar itu pun marah pula.
"Sudah aku katakan, bahwa kami tidak berniat untuk
membohongi kalian. Kami berkata sesungguhnya. Tetapi di
luar pengetahuan kami dua ekor harimau yang mati itu
hilang," sahut Mahisa Pukat.
"Yang pasti bagi kami, di sini kita tidak menemukan
apapun juga," berkata penunggu banjar itu.
Tiba-tiba Mahisa Murti pun menjawab, "Baiklah. Kami
harus bertanggung jawab atas keterangan kami. Karena itu,
tunggulah di sini, kami bertiga akan mencarinya."
"Mencari ke mana?" bertanya penunggu banjar itu.
"Ke hutan dan di sekitar gumuk itu," jawab Mahisa
Murti, "Mungkin bangkai itu masih disembunyikan di
sana." "Kalian akan meninggalkan kami di sini dalam keadaan
seperti ini?" bertanya penunggu banjar itu.
"Bukankah kami harus menemukan kedua tubuh
harimau yang mati itu" Jika kami tidak menemukannya,
maka kami harus mencarikan gantinya di tengah-tengah
hutan itu. Kami harus berburu sehingga kami mendapatkan
dua ekor harimau sebagai pertanggungan jawab kami,"
jawab Mahisa Murti. "Tetapi kami jangan ditinggalkan di sini," berkata
penunggu banjar itu. "Kami tidak mau," berkata seorang kawannya.
"Ooo," Mahisa Murti mengangguk-angguk, "jadi kalian
akan ikut kami ke hutan?"
"Tidak," hampir berbareng keempat orang itu
menjawab. "Lalu bagaimana?" bertanya Mahisa Murti, "kami harus
mempertanggung jawabkan keterangan kami. Karena itu
kami harus mencari ganti yang hilang. Tetapi kalian tidak
membiarkan kami berburu harimau di hutan karena kalian
tidak mau ditinggal, tetapi juga tidak mau pergi bersama
kami. Lalu apa yang harus kami lakukan sekarang?"
Keempat orang itu termangu-mangu. Sementara langitpun
semakin lama menjadi semakin gelap. Matahari telah
berlindung di balik bukit, dan gumuk yang ada di hadapan
mereka mulai menjadi remang-remang.
Dengan demikian keempat orang itu pun menjadi
semakin ketakutan. Karena itu, maka salah seorang di
antara mereka berkata, "Marilah. Kita kembali ke
padukuhan." "Silahkan," berkata Mahisa Murti, "jika kalian ingin
kembali, silahkan kembali. Nanti kami akan datang dengan
membawa dua ekor harimau itu."
"Kami tidak dapat kembali hanya berempat," jawab
penunggu banjar. "Kenapa" Bukankah hari belum malam. Kalian tidak
akan melalui pinggiran hutan sehingga kalian tidak usah
takut bertemu dengan seekor harimau. Kalian juga tidak
akan mengalami gangguan yang lain di perjalanan pulang
yang tidak terlalu jauh itu," berkata Mahisa Murti.
"Antar kami pulang. Kami tidak memerlukan harimau
itu lagi," berkata penunggu banjar.
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun ia pun
kemudian menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Baiklah
jika demikian. Marilah, kami antar kalian pulang. Tetapi
bukankah kalian sudah tidak akan menuntut kami lagi?"
"Tidak," jawab penunggu banjar itu, "asal kami segera
kalian antar pulang."
Mahisa Murti pun kemudian berkata kepada Mahisa


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pukat dan Mahisa Ura, "Marilah. Kita kembali ke banjar."
Mereka pun kemudian dengan tergesa-gesa
meninggalkan tempat itu. Dengan langkah yang panjang
dan cepat, mereka berjalan semakin lama bagaikan orang
yang berlari-lari. Tetapi ketika keempat orang itu sadar,
bahwa jarak mereka dengan ketiga orang pedagang batu
akik itu menjadi semakin jauh, maka mereka pun telah
menunggu betapapun jantung mereka berdebaran.
"Nampaknya tempat ini menakutkan," berkata Mahisa
Murti. "Ya," jawab Mahisa Ura. "tetapi kalian telah bebas dari
tuntutan tentang dua ekor harimau yang mati itu."
Mahisa Murti mengangjguk-angguk. Namun Mahisa
Pukat pun berkata, "Tetapi siapakah yang telah mengambil
tubuh harimau yang mati itu?"
"Mungkin ada hubungannya dengan orang yang
memusuhi kita itu," jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu
keempat orang yang mendahului mereka itu pun telah
berjalan pula, sementara hari pun menjadi semakin gelap.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura yang
nampaknya tidak begitu menghiraukan hilangnya kedua
tubuh harimau itu, namun sebenarnyalah bahwa hal itu
telah menjadi pikiran pula bagi mereka.
Ketika mereka menjadi semakin jauh dari gumuk kecil
itu, maka keempat orang padukuhan itu pun menjadi
semakin berani, sehingga mereka tidak lagi begitu banyak
menghiraukan, apakah ketiga orang pedagang batu akik dan
wesi aji itu ada di belakang mereka atau masih berjarak
beberapa langkah. Dalam pada itu, ternyata Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah salah hitung terhadap keempat orang yang
berjalan di hadapan mereka. Ketika mereka sampai di
banjar, ternyata penunggu banjar itu masih
mempersoalkannya. "Kalian telah mempermainkan kami," berkata
penunggu banjar itu, "sebenarnyalah kami akan dapat
menyelesaikan beberapa pekerjaan jika kami tidak kau
bawa ke gumuk itu." "Pekerjaan apa?" bertanya Mahisa Pukat.
"Dua orang di antara kawan-kawanku ini adalah
blandong. Mereka tentu akan sempat menyelesaikan
beberapa balok kayu jika ia tidak pergi mengikut kalian.
Seorang lagi adalah seorang penganyam bambu yang
membuat barang-barang anyaman yang akan dijual besok
ke pasar. Ia juga harus menghentikan pekerjaannya karena
kalian menawarkan dua lembar kulit harimau. Tetapi
ternyata kalian telah mempermainkan kami, sementara itu,
kami mengalami kerugian karena kami tidak dapat
melakukan kerja kami pada saat kami mengikuti kalian
pergi ke gumuk itu," berkata penunggu banjar.
"Jadi, apakah maksudmu?" bertanya Mahisa Pukat.
Penunggu banjar itu termangu-mangu. Namun Mahisa
Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura telah mengetahui
maksudnya. "Ki Sanak," berkata Mahisa Pukat, "bukankah tadi
kami sudah bersedia untuk mencarikan gantinya yang
hilang itu. Tetapi kalian justru berkeberatan. Karena itu,
maka niat itu kami urungkan."
"Sekarang pergilah," berkata penunggu banjar itu,
"carikan ganti dua lembar kulit harimau sebagai ganti dari
dua ekor harimau sebagaimana kalian katakan."
"Kenapa baru sekarang?" bertanya Mahisa Pukat,
"bukankah aku harus menempuh perjalanan kembali ke
hutan?" "Terserah kepada kalian. Tetapi itu adalah tanggung
jawab kalian," berkata penunggu banjar itu.
"Kau mulai memeras kami lagi?" bertanya Mahisa
Pukat, "apakah kami harus berhubungan dengan Ki Bekel?"
"Ah," desah penunggu banjar itu, "jangan begitu. Kami
hanya ingin kalian ketahui kesulitan yang terjadi karena
kami telah kalian permainkan."
"Kami tidak mempermainkan kalian," jawab Mahisa
Pukat. Namun dalam pada itu, Mahisa Ura pun telah
mengambil beberapa keping uang dari kantong ikat
pinggangnya. Katanya, "Marilah. Aku akan mengganti
kalian dengan uang. Bukan seharga dua lembar kulit
harimau, tetapi sekedar pengganti upah yang kalian dapat
atau nilai barang yang dapat kau hasilkan selama kalian
mengikut kami ke gumuk itu."
Keempat orang itu saling berpandangan. Namun
akhirnya mereka pun menerima uang itu.
"Terima kasih," berkata penunggu banjar itu.
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak
mencegahnya karena dengan demikian maka persoalan di
antara mereka pun segera dapat dianggap selesai. Penunggu
banjar itu tidak akan mengejar lagi, sehingga mereka pun
akan dapat beristirahat. Ketika penunggu banjar dan kawan-kawannya telah
pergi, maka ketiga orang itu pun segera membersihkan diri
mereka ke pakiwan. Baru kemudian mereka duduk di
sebuah amben besar di banjar itu.
Adalah di luar dugaan ketika penunggu banjar itu pun
kemudian datang sambil membawa minuman hangat.
Wedang sere dengan gula kelapa.
"Nyaman sekali," desis Mahisa Ura.
"Silahkan, mumpung masih hangat," katanya sambil
bergeser keluar. Tetapi masih terdengar kata-katanya, "Aku
akan membawa ketela pohon rebus."
"Ah, terima kasih sekali. Kenapa kau tiba-tiba saja telah
menyibukkan dirimu?" bertanya Mahisa Pukat.
"Tidak apa-apa," jawab penunggu banjar itu semakin
jauh. Sebenarnyalah sejenak kemudian ia telah kembali sambil
membawa ketela pohon rebus. Asapnya masih mengepul,
sementara baunya mengusik hidung.
Ketika penunggu banjar itu pergi, maka Mahisa Murti
pun berdesis, "orang ini menyatakan terima kasihnya
karena pemberianmu Mahisa Ura."
"Sebenarnyalah aku memberikan uang tidak terlalu
banyak," jawab Mahisa Ura, "tetapi biar sajalah. Ketela
pohon dan wedang sere dengan gula kelapa ini nampaknya
akan membuat tubuh kita menjadi segar."
Demikianlah, maka mereka bertiga pun telah menikmati
hidangan yang tidak mereka duga sebelumnya. Biasanya
mereka hanya minum air dari kendi dan membeli makanan
di sebuah kedai menjelang senja. Tetapi kedai itu telah
ditutup ketika mereka kembali. Namun tiba-tiba mereka
telah mendapat suguhan yang segar.
Dalam pada itu, sambil makan ketela rebus dan meneguk
air sere panas, mereka bertiga telah membicarakan lagi
tentang harimau yang hilang itu.
"Memang ada beberapa kemungkinan," berkata Mahisa
Ura, "mungkin orang yang menggerakkan harimau itulah
yang telah mengambilnya. Tetapi mungkin orang lain yang
menemukan harimau mati, yang menurut dugaannya tidak
ada orang yang memerlukannya."
"Memang banyak kemungkinan dapat terjadi," berkata
Mahisa Murti, "Tetapi seandainya orang itu yang
menggerakkan harimau itu, apakah kepentingannya dengan
dua ekor harimau yang telah mati?"
"Mungkin tidak ada hubungan apa-apa. Tetapi orang itu
merasa kasihan bahwa bangkai kedua ekor harimau yang
telah dipergunakannya itu ditinggalkan begitu saja tanpa
ada yang memungutnya. Mungkin orang itu pun telah
memberitahukan kepada orang lain untuk mengambilnya,
"sahut Mahisa Pukat.
Yang lain mengangguk-angguk kecil. Tetapi mereka
tidak dapat mengambil kesimpulan apa yang sebenarnya
telah terjadi dengan bangkai harimau itu.
Namun dalam pada itu, maka Mahisa Murti pun
berkata, "besok kita tidak akan pergi ke gumuk itu. Kita
sudah melihat batu itu dan mengetahuinya serba sedikit,
bahwa batu itu memang batu yang berharga meskipun
bukan yang paling baik. Tetapi kita pun harus menyediakan
waktu untuk mereka yang telah datang ke banjar ini untuk
melihat-lihat wcsi aji dan batu-batu akik."
Mahisa Pukat dan Mahisa Ura mengangguk-angguk.
Dengan nada datar Mahisa Pukat pun berkata, "Baiklah.
Besok kita tinggal di banjar ini sehari penuh. Aku juga ingin
tahu apa yang akan dilakukan oleh orang bertongkat itu."
Demikianlah, maka akhirnya pembicaraan mereka pun
berakhir untuk malam itu. Mereka pun kemudian
menyingkirkan mangkuk-mangkuk minuman dan makanan.
Baru kemudian mereka membaringkan diri untuk tidur.
Di hari berikutnya mereka benar-benar tidak
meninggalkan banjar. Ki Bekel yang datang ke banjar itu
dapat menemuinya dan melihat-lihat beberapa buah batu
akik. Tetapi Ki Bekel masih belum mendapatkan yang
paling sesuai dengan keinginannya, meskipun ia pun
kemudian menyisihkan tiga buah akik yang dianggapnya
terbaik. Namun ternyata yang mengejutkan telah terjadi. Yang
datang di banjar itu kemudian adalah seorang yang
rambutnya telah berwarna rangkap, meskipun nampaknya
tubuhnya masih tegap dan kekar. Membawa sebatang
tongkat bersisik dengan sebuah batu yang terdapat di
ujungnya. Batu yang berwarna kehijauan sebesar
genggaman tangan dicengkeram oleh kaki seekor naga yang
berwarna kekuningan. Namun betapapun juga, Mahisa Murti, Mahisa Pukat
dan Mahisa Ura harus menahan diri. Sebagaimana seorang
pedagang, maka mereka telah mempersilahkan orang itu
duduk dan dengan ramah mempertanyakan keperluannya.
"Menurut pendengaranku, kalian adalah pedagang batubatu
berharga dan wesi aji," jawab orang itu.
"Benar Ki Sanak," jawab Mahisa Murti, "apakah Ki
Sanak memerlukan Wesi aji atau batu akik?"
"Apakah aku dapat melihatnya?" bertanya orang itu.
"Tentu," jawab Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hampir
berbareng. Mereka pun kemudian telah menyiapkan beberapa buah
akik dan tiga batang wesi aji yang paling baik yang ada
pada mereka. Sejenak orang itu mengamatinya. Namun kemudian
orang itu pun tertawa kecil sambil berdesis, "Ki Sanak
nampaknya hanya membuang-buang waktu saja. Apakah
yang sebenarnya Ki Sanak bawa ini" Potongan-potongan
besi yang kau temukan sisa kerja pande besi di pasarpasar?"
Wajah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi panas.
Tetapi Mahisa Murti dengan cepat menguasai perasaannya
dan menjawab, "Inilah yang dapat kami tunjukkan Ki
Sanak. Menurut pendapatku barang-barang ini adalah
barang-barang yang paling baik yang dapat aku tunjukkan
kepada Ki Sanak." Orang itu tertawa. Katanya, "Untunglah bahwa aku
serba sedikit mampu mengenali wesi aji dan batu-batu
berharga. Jika tidak, mungkin aku pun akan tertipu seperti
barangkali telah terjadi atas banyak orang."
"Kami tidak pernah menipu siapapun. Kami
menunjukkan barang-barang yang kami bawa sebelum
seseorang menawar. Mungkin orang itu melakukan tayuh.
Mungkin tidak karena orang itu sudah dapat mengenalinya,
yang manakah yang baik dan yang manakah yang tidak
baik," jawab Mahisa Murti.
"Nilai wesi ajimu yang hanya sekecil kuku kelingking
itu tidak sebanding dengan wesi aji yang aku buat menjadi
tongkatku ini. Tongkatku yang mempunyai bobot berpuluh
kali dibanding dengan wesi aji yang kau perdagangkan ini
tentu mempunyai nilai yang beratus kali lipat dari wesi
ajimu itu," berkata orang itu.
Tetapi Mahisa Pukat lah yang menyahut, "O, kau kira
tongkatmu itu mempunyai harga" Ujudnya memang bagus.
Bahkan mungkin kau telah mempergunakan logam
berharga untuk membuatnya. Mungkin ada bagian yang
kau buat dari emas dan mungkin batu berharga. Tetapi
tongkatmu itu tidak bernilai sama sekali jika dibandingkan
dengan batu besar yang berwarna kehijauan di gumuk kecil
itu. Kami telah menemukannya, menilainya dan kami
sudah siap untuk mengambilnya. Kami sudah berbicara
dengan Ki Bekel yang tidak berkeberatan untuk
memberikannya kepada kami, sudah tentu dengan harga
yang pantas." Wajah orang itulah yang menegang. Tetapi ia pun telah
tersenyum pula sambil berkata, "Apa hubungannya antara
tongkatku dengan batu di gumuk itu" Jika kau menganggap
bahwa batu itu berharga, maka ternyata bahwa kalian
memang belum mengenali batu-batu berharga dengan
baik." "Mungkin kami keliru. Tetapi kami menganggap bahwa
batu itu adalah batu berharga. Karena itu maka kami telah
membelinya," jawab Mahisa Pukat.
"Kepada siapa kau membelinya?" bertanya orang itu,
"Tidak ada seorang pun yang berhak menjualnya. Batu itu
biarlah berada di tempatnya."
"Itu bukan persoalanmu Ki Sanak," jawab Mahisa
Pukat, "biar saja orang yang berhak mengambil keputusan,
menentukan sikapnya. Mungkin dengan uang hasil
penjualan batu itu, maka Ki Bekel akan dapat membangun
padukuhan ini menjadi lebih baik."
Orang itu termangu-mangu. Namun wajahnya nampak
menjadi tegang. Sementara itu katanya, "Biarlah kita tidak
membicarakan batu itu. Sebenarnyalah aku ingin membeli
wesi aji yang benar-benar mempunyai bobot yang murwat
bagi wesi aji yang sebenarnya. Bukan sekedar potongan
kejen bajak yang patah."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan.
Namun nampaknya keduanya masih harus mengekang diri,
justru karena mereka berada di banjar padukuhan itu.


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak sepantasnya
mengganggu ketenangan padukuhan itu dengan benturan
kekerasan. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian
menjawab, "Ki Sanak. Inilah yang dapat aku tunjukkan
kepadamu. Mungkin kau menilai barang-barangku ini
terlalu buruk. Tetapi aku tidak mempunyai barang yang
lebih baik dengan harga yang pantas. Tetapi jika kau ingin
benar-benar membeli wesi aji sebagaimana kau kehendaki,
maka kau harus menyediakan uang yang sangat banyak.
Nah, jika kau bersedia, maka aku akan Sanggup
mengusahakannya." "Aku tidak pernah ingkar untuk membayar barangbarang
yang aku sukai," berkata orang itu, "jika kau dapat
menunjukkannya, maka aku akan membayarnya."
"Tidak seorang pun akan dapat menjamin, apakah
sesuatu kau sukai atau tidak kau sukai," jawab Mahisa
Pukat. Namun tiba-tiba saja ia pun menggeram, "Apakah
yang sebenarnya kau kehendaki" Kau mencela benda-benda
yang ada pada kami sekarang, sementara itu kau mengigau
tentang barang-barang yang kau sukai."
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
pun tertawa sambil berkata, "Jangan marah Ki Sanak.
Kalian adalah penjual wesi aji dan batu-batu berharga.
Sementara aku adalah salah seorang calon pembeli. Kau
tidak dapat memaksakan penilaianmu atas barangbarangmu
sendiri terhadap calon-calon pembelimu. Kau
juga tidak dapat menipu calon-calon pembelimu dengan
mengatakan bahwa barang-barangmu adalah barang-barang
yang paling baik." "Baiklah kita bersikap jujur," berkata Mahisa Pukat
yang hampir kehilangan kesabaran, "apakah yang
sebenarnya kau kehendaki" Mungkin kita akan dapat
membicarakannya di tempat lain."
Kata-kata Mahisa Pukat itu memang dapat dinilai
sebagai satu tantangan, meskipun orang lain tidak
mengetahuinya. Namun bagi orang bertongkat itu, sikap
Mahisa Pukat sudah jelas.
Tetapi justru karena itu ia tertawa sambil berkata,
"Kenapa kita harus membicarakannya di tempat lain"
Bukankah kau membawa barang-barangmu kemari dan aku
datang untuk melihatnya" Biar saja aku menilainya di sini.
Jika ada orang lain yang mendengarnya bahwa barangbarangmu
jelek, bukankah kalian tidak berkeberatan"
Karena itu demikian kalian akan bersikap jujur."
Wajah Mahisa Pukat menjadi merah. Namun dalam
pada itu Mahisa Murti herkata, "Terima kasih atas
penilaianmu Ki Sanak. Tetapi aku sangsi apakah kau
sebenarnya mengerti tentang wesi aji. Kami adalah
pedagang vvesi aji sejak kami masih kanak-kanak.
Kesangsian kami atas pengenalan Ki Sanak terhadap wesi
aji itu adalah sebagaimana kami lihat pada tongkat Ki
Sanak yang sangat bagus dan barangkali mahal. Bukan
karena bobot wesi ajinya. Tetapi karena pada tongkat itu
terdapat emas dan segumpal batu yang merupakan pecahan
batu yang berwarna kehijauan itu."
Orang itu mengerutkan keningnya. Sementara Mahisa
Murti berkata selanjutnya, "Jangan kau kira kami tidak
mengenalinya. Itulah sebabnya kau tunggui batu hijau itu.
Jika sekecil genggaman tangan pada tongkatmu itu sudah
kau anggap memiliki nilai yang sangat tinggi, berapa besar
nilai batu yang sebesar kepalamu atau bahkan batu yang
berada di gumuk itu."
"Persetan," geram orang itu, "kau sama sekali tidak
sopan Ki Sanak. Sebagai seorang pedagang kau akan
menjauhkanmu dari para calon pembeli."
"Ada beberapa macam calon pembeli. Ada yang
bersungguh-sungguh ingin membeli, tetapi ada yang sekedar
ingin menunjukkan kemampuannya mengenali wesi aji dan
batu-batu berharga. Dan kau adalah jenis orang dalam
kelompok kedua. Tetapi sayang, bahwa kau tidak memiliki
kemampuan pengenalan sama sekali," jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia
hampir terpancing ke dalam satu sikap yang keras dan akan
menimbulkan kesan yang kurang baik bagi padukuhan itu.
Untunglah bahwa Mahisa Murti masih dapat mengekang
diri dan bahkan menyesuaikan sikapnya dengan sikap orang
bertongkat itu. Untuk beberapa saat orang bertongkat itu berdiam diri.
Namun pembicaraan itu ternyata telah mendebarkan
jantung Mahisa Ura. Ia melihat satu kemungkinan bahwa
kedua belah pihak tidak lagi dapat mengekang diri.
Tetapi Mahisa Ura tidak mencemaskan kedua anak
muda itu. Yang dipikirkannya adalah Ki Bekel dari
padukuhan itu. Jika kehadiran mereka di banjar itu
menimbulkan kekerasan dan mengguncangkan suasana
tenang di padukuhan itu, maka Ki Bekel tentu akan
mempunyai pertimbangan lain.
Namun agaknya orang itu pun berpikir dua tiga kali
untuk bertindak lebih jauh. Ia sadar, bahwa kedua anak
muda itu memiliki kemampuan dan ilmu yang cukup tinggi,
karena sebenarnyalah menurut perhitungan Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat, orang itu melihat bagaimana keduanya
telah membunuh harimau dengan caranya masing-masing.
Sementara itu, maka Mahisa Murti pun berkata, "Nah
Ki Sanak. Apa yang ingin kau lakukan di sini" Jika kau
memang tidak senang atas wesi aji yang aku bawa, maka
apa lagi yang kau tunggu di sini?"
Orang itu mengatupkan giginya. Tetapi ia pun masih
juga harus menjaga diri. Katanya, "Baiklah. Aku akan
pergi. Tetapi jangan mencoba menipu orang lain dengan
barang-barangmu yang tidak berharga. Jika demikian maka
aku akan mengadukanmu kepada Ki Bekel, sehingga Ki
Bekel tentu tidak akan membiarkan banjar ini kalian
pergunakan untuk menipu penghuni padukuhan ini."
"Pergilah. Mungkin aku akan mendapatkan batu yang
paling berharga. Batu yang kehijauan itu," jawab Mahisa
Murti. Wajah orang itu menegang. Tetapi ia tidak menjawab
sama sekali. Bahkan ia pun kemudian beringsut dan
meninggalkan banjar itu. Namun kedatangan orang itu ke banjar, benar-benar
merupakan satu langkah yang pantas dipuji. Orang
bertongkat itu tentu orang yang memiliki keberanian yang
sangat tinggi. Meskipun ia menyadari, siapakah yang
dihadapinya, namun ia tidak segan-segan untuk datang.
Tetapi kemudian dapat diketahui oleh Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat menurut ceritera beberapa orang yang
kemudian menemuinya, bahwa orang itu tidak sendiri.
Ketika ia memasuki padukuhan, maka tiga orang kawannya
telah menunggunya di luar regol padukuhan itu.
"Kami sama sekali tidak mencurigai mereka," berkata
salah seorang di antara orang-orang yang melihat tiga orang
kawan orang bertongkat itu menunggu di luar padukuhan,
"tetapi ketika kemudian kami ketahui orang bertongkat itu
pergi ke banjar, maka kami pun menjadi tertarik akan
kehadirannya serta para pengikutnya yang ditinggalkannya
di luar regol. Tetapi ternyata mereka tidak berbuat sesuatu
dan kemudian meninggalkan regol padukuhan itu."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura yang
mendapat keterangan itu mengangguk-angguk. Sementara
itu Mahisa Murti pun bertanya, "Apakah orang-orang yang
ditinggal di regol itu juga membawa tongkat?"
Orang yang memberikan keterangan itu merenung
sejenak, mengingat-ingat, apakah orang-orang yang berada
di luar regol padukuhan itu bertongkat.
Baru kemudian orang itu berkata, "Aku tidak melihat
tongkat. Tetapi entahlah jika tongkat itu mereka tinggalkan
di manapun." Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
"Terima kasih. Keterangan kalian penting bagi kami. Orang
itu agaknya memang bukan seorang calon pembeli yang
baik. Ia mencela semua barang-barang yang aku perlihatkan
kepadanya, sedangkan Ki Bekel pun menganggap bahwa
masih ada juga yang baik dari barang-barangku itu. Hanya
saja di antara barang-barangku masih belum ada yang
sesuai bagi Ki Bekel. Bukannya kurang baik. Bahkan Ki
Bekel sudah menyisihkan di antara barang-barangku yang
mungkin kemudian diketahui sesuai dengan keinginan Ki
Bekel." Orang yang memberitahukan itu mengangguk-angguk.
Katanya, "Aku sudah mengira."
"Apakah kau mengetahui, kemana mereka pergi?"
bertanya Mahisa Murti. "Mereka menuju ke Barat lewat jalan bulak ini," jawab
orang yang memberikan keterangan itu.
"Aku ingin mengetahui, kemana mereka pergi. Karena
itu, maka aku akan menelusurinya, bertanya kepada orangorang
di padukuhan sebelah apabila mereka mengetahui
orang bertongkat itu lewat bersama kawan-kawannya,"
berkata Mahisa Murti. "Baiklah," berkata orang yang memberikan keterangan
itu, "Aku akan membantu. Aku akan memberikan kabar
baru jika aku mendengarnya. Mungkin seseorang
memberitahukan kepadaku, kemana mereka pergi."
"Terima kasih. Kalian amat baik terhadap kami,"
berkata Mahisa Murti kemudian.
Dengan demikian, maka perhatian Mahisa Murti,
Mahisa Pukat dan Mahisa Ura, sepenuhnya ditujukan
kepada orang bertongkat itu, dalam hubungannya dengan
batu yang berwarna kehijauan. Mereka pun telah
mengalami langkah kekerasan dari orang bertongkat itu
menurut perhitungan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Namun yang tidak menemukan penyelesaian yang tuntas.
Karena itulah, maka akhirnya Mahisa Murti, Mahisa
Pukat dan Mahisa Ura telah menentukan satu langkah,
bahwa mereka harus membuat perhitungan dengan orang
bertongkat itu. Tetapi sebelumnya Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat ingin mengetahui jalan menuju ke padepokan
yang mereka cari. "Jika terjadi sesuatu, kita sudah pernah menemukan
padepokan dari orang-orang bertongkat itu," berkata
Mahisa Pukat. "Baiklah," jawab Mahisa Murti, "kita memang harus
menyelesaikan tugas pokok kita. Kita akan melihat
padepokan itu. Mungkin ada sesuatu yang menarik yang
dapat kita bawa sebagai laporan, atau jika salah seorang
saja di antara kita yang sempat kembali, maka keterangan
itu akan dapat sampai juga kepada yang seharusnya
menerima." "Jangan berkata begitu," sahut Mahisa Ura, "kita sudah
menentukan langkah bersama. Jika kita gagal keluar dari
lingkungan padepokan itu, maka kita bertiga akan tinggal.
Hidup atau mati. Jika kita dapat keluar, maka kita
bertigalah yang akan bersama-sama membawa laporan ini."
"Tidak begitu," berkata Mahisa Pukat, "salah seorang di
antara kita harus kembali. Kau harus kembali ke Singasari.
Kau sampaikan hasil perjalanan kita kepada kakang Muhisa
Bungalan. Biarlah Kakang Mahisa Bungalan
menyampaikannya kepada Panglima di Singasari tetapi
juga kepada Pangeran Singa Narpada di Kediri, agar
Pangeran Singa Narpada dapat merencanakan langkahlangkah
yang dapat diambil untuk menghadapi orang-orang
bertongkat itu." Mahisa Ura termangu-mangu. Sementara Mahisa Murtipun
berkata, "Rahasia padepokan itu harus sampai kepada
Pangeran Singa Narpada. Itu adalah persoalan yang paling
penting yang harus kita selesaikan. Karena itu, maka aku
sependapat. Salah seorang di antara kita harus tetap hidup."
Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya,
"Seandainya demikian, maka biarlah salah seorang dari
kalian berdua sajalah yang akan kembali ke Kediri atau
kalian berdua. Aku bukan orang yang utama dalam tugas
ini, karena kalianlah yang memang sedang mengemban
tugas ini dari Pangeran Singa Narpada."
Tetapi Mahisa Murti tersenyum sambil menjawab,
"Siapapun yang akan menyampaikannya kepada Pangeran
Singa Narpada bukan soal. Tetapi kita harus memilih
kemungkinan yang paling baik yang dapat kita lakukan."
Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu
Mahisa Pukat pun berkata, "Kakang Mahisa Ura.
Sebenarnya kita dapat mempergunakan waktu sedikit untuk
kepentinganmu mengatasi suara-suara yang dilontarkan
dengan lambaran ilmu itu."
Mahisa Ura termangu-mangu. Namun ia pun kemudian
bertanya, "Apakah benar begitu" Berapa lama waktu yang
aku perlukan untuk itu?"
"Kau bukan anak ingusan di dalam olah kanuragan.
Kau memiliki bekal yang cukup. Namun agaknya satu pintu
masih tertutup. Marilah, kami bantu membuka pintu itu
sehingga dengan demikian kau mampu menyalurkan
kemampuanmu untuk meningkatkan daya tahanmu.
Sebenarnya kekuatan itu ada di dalam dirimu. Namun
agaknya kau belum dapat memanfaatkannya sebaikbaiknya."
Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah
harga dirinya agak tersinggung. Kedua anak muda itu jauh
lebih muda daripadanya. Seharusnya ia lah yang membantu
keduanya untuk menelusuri ilmunya. Tetapi yang terjadi
ternyata sebaliknya. Anak-anak muda itu yang melihat
bahwa ia masih belum mampu memanfaatkan sesuatu yang
sebenarnya ada di dalam dirinya.
Tetapi dalam keadaan yang gawat itu Mahisa Ura harus
mengesampingkan harga dirinya yang berlebih-lebihan.
Meskipun keduanya masih terlalu muda dibandingkan
dengan umurnya, namun adalah satu kenyataan bahwa
keduanya memiliki kelebihan daripadanya.
Karena itu, maka Mahisa Ura itu pun berkata, "Apakah
kalian melihat kemungkinan sebagaimana kau katakan itu?"
"Kita dapat mencoba," jawab Mahisa Pukat.
"Tetapi bukankah dengan demikian, tugas kalian akan


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terhambat?" bertanya Mahisa Ura.
"Kami tidak dibatasi waktu. Meskipun kami berharap
bahwa kami akan dapat menyelesaikan tugas kami
secepatnya, namun jika yang kita lakukan akan
memperlancar tugas-tugas kita selanjutnya, maka hal itu
tentu baik untuk dilakukan," berkata Mahisa Murti.
Mahisa Ura masih saja dibayangi oleh kebimbangan.
Namun ketika dilihatnya wajah-wajah anak-anak muda itu
bersungguh-sungguh, maka ia tidak dapat bertahan pada
harga dirinya. Karena itu katanya kemudian, "Baiklah. Jika
kalian benar-benar menghendaki membantu aku, maka aku
akan mengucapkan terima kasih."
"Tetapi kau tahu, bahwa ilmu yang ada pada kami pun
masih terlalu sempit, sehingga mungkin yang kami lakukan
kurang memberimu kepuasan. Namun kami akan mencoba
sejauh dapat kami lakukan" berkata Mahisa Murti.
Mahisa Ura mengangguk kecil.
"Kita akan memerlukan waktu sekitar tiga hari. Pada
malam berikutnya kita akan pergi padepokan itu. Mungkin
terjadi sesuatu pada tiga hari yang kita sisihkan itu. Namun
biarlah aku dan Mahisa Pukat menyelesaikannya," berkata
Mahisa Murti. Mahisa Ura mengangguk-angguk, meskipun ia sadar,
bahwa yang dilakukan oleh Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat itu lebih banyak ditujukan kepada keselamatannya
dari pada keberhasilan tugas mereka. Meskipun demikian,
Mahisa Ura tidak dapat menolak keiklasan hati kedua anak
muda itu. Tetapi mereka tidak akan dapat melakukannya di banjar
itu apalagi di siang hari. Mereka berada di banjar itu sebagai
pedagang batu-batu berharga dan wesi aji. Meskipun tidak
banyak orang yang memerlukan mereka, tetapi sekali-sekali
ada juga orang yang datang untuk melihatnya.
Karena itu, maka ketiga orang itu harus membuat
rencana mereka dalam hubungan usaha mereka membuka
kemungkinan Mahisa Ura mampu mengurai daya tahannya
untuk melawan getaran yang dipancarkan lewat suara
seseorang yang didorong oleh kekuatan ilmu yang tinggi.
Di siang hari mereka harus berada di banjar itu,
sementara di malam hari mereka akan mengadakan latihanlatihan
khusus di tempat yang tersembunyi. Sudah tentu
mereka harus menghindarkan diri dari pengamatan orangorang
bertongkat itu. Namun di siang hari, Mahisa Ura harus mempergunakan
waktunya untuk menegaskan sikapnya di malam hari.
Karena itu, maka ia harus tetap berada di pembaringannya,
selalu dalam pemusatan nalar budi.
"Biarlah kau dianggap orang lain sedang sakit," berkata
Mahisa Pukat. "Bagaimana jika orang-orang padukuhan ini, terutama
yang pernah berhubungan dengan kita ingin menengok?"
bertanya Mahisa Ura. "Aku akan mengatakan bahwa sakitmu dapat menular
meskipun tidak berbahaya jawab Mahisa Pukat, "mudahmudahan
tidak ada seorang pun di antara mereka yang
dengan berani membiarkan dirinya kejangkitan penyakit
seperti yang sedang kau derita. Pusing-pusing kepala,
menggigil dan hidung tersumbat."
Mahisa Ura mengangguk-angguk. Katanya, "Cerdik juga
kau agaknya. Baiklah. Aku akan menjalankan apa saja yang
harus aku lakukan." Ketiganya pun kemudian telah menyusun rencana
mereka. Pada malam pertama, maka mereka pun telah
berpesan kepada penunggu banjar itu, bahwa mereka akan
bangun pagi-pagi. "Jika kami belum bangun pada saat fajar menyingsing,
tolong bangunkan kami," berkata Mahisa Murti.
"Jadi aku harus bangun pagi-pagi sekali" Satu hal yang
tidak pernah aku lakukan kecuali jika terpaksa sekali,"
jawab penunggu banjar itu.
"Aku tahu maksudmu. Kau perlu uang?" bertanya
Mahisa Murti. Orang itu tersenyum. Sementara itu Mahisa Murti pun
berkata, "Aku akan memberimu uang besok jika kau
benara-benar melakukan pesan itu. Jika kau lupa atau jika
kau terlambat bangun, maka aku tidak akan memberimu
apapun juga." Orang itu tersenyum. Katanya, "Jangan takut. Setiap
hari aku bangun menjelang dini hari."
"Satu hal yang tidak pernah kau lakukan kecuali
terpaksa sekali. Apakah kau setiap hari mendapat tekanan
sehingga terpaksa bangun menjelang dini hari?" bertanya
Mahisa Murti. Penunggu banjar itu mengerutkan keningnya. Namun ia
pun kemudian tersenyum sambil berkata, "Aku akan
membangunkan kalian."
Demikianlah, maka penunggu banjar itu pun tidak lagi
berniat mengusik ketiga orang itu di malam hari, karena
menurut pesan mereka, maka mereka minta untuk
dibangunkan pagi-pagi sekali.
Namun sebenarnyalah bahwa ketiga orang itu sama
sekali tidak tidur di banjar. Ketika malam menjadi sepi,
maka mereka telah meninggalkan banjar itu dengan
meloncati dinding. Tidak seorang pun yang melihat mereka
keluar. Orang-orang yang berada di gardu dan penunggu
banjar itu tidak mengira bahwa ketiga orang itu telah
meninggalkan banjar. Malam itu ketiga orang itu telah berada di tempat yang
tidak pernah dikunjungi seorangpun. Mereka telah menyepi
untuk memberikan kesempatan kepada Mahisa Ura
menjalani laku bagi peningkatan daya tahan tubuhnya.
Terutama menghadapi ilmu yang dipancarkan lewat
getaran suara. "Sadarilah, bahwa kau telah memiliki ilmu yang cukup
tinggi," berkata Mahisa Murti, "kemudian, marilah. Aku
dan Mahisa Pukat akan membantumu, menuntun
pemusatan nalar budimu sehingga kau akan dapat
menemukan jalan di dalam dirimu untuk mengungkapkan
kemampuanmu bagi peningkatan daya tahanmu."
Mahisa Ura pun mengikuti saja petunjuk kedua anak
muda yang memiliki ilmu dan pengalaman yang ternyata
jauh lebih luas dari dirinya.
Ketiga orang itu pun kemudian telah menentukan
langkah yang akan mereka lakukan. Mahisa Murtilah yang
pertama-tama akan membantu Mahisa Ura di dalam laku
itu, sementara Mahisa Pukat akan mengamati keadaan.
Ketika malam menjadi semakin malam, maka Mahisa
Murti dan Mahisa Ura telah duduk di atas sebuah batu
padas yang datar dan cukup luas. Mahisa Ura
membelakangi Mahisa Murti yang memegangi kedua
pundaknya. Dengan cara itu, maka keduanya telah
berusaha untuk menemukan jalan bagi Mahisa Ura, agar ia
mampu menyalurkan ilmunya bagi menopang daya
tahannya. Keduanya pun kemudian duduk tanpa bergerak sama
sekali. Keduanya telah memusatkan nalar budi mereka,
sebagai laku yang harus dijalani oleh Mahisa Ura.
Ternyata bahwa Mahisa Ura memang telah memiliki
bekal yang cukup. Kekuatan yang seolah-olah mengalir dari
diri Mahisa Murti ternyata dengan serta merta telah
membuka kemungkinan bagi Mahisa Ura untuk
melakukannya. Perlahan-lahan, tetapi pasti. Kekuatan yang
seakan-akan menjalar melalui pundaknya telah
menggetarkan seluruh tubuhnya. Namun Mahisa Ura
sendiri telah membuka dirinya seluas-luasnya, sehingga
karena itulah, maka seolah-olah gejolak yang terjadi di
dalam dirinya telah dituntun ke satu arah yang berpusar di
dalam dadanya. Demikianlah, Mahisa Murti dan Mahisa Ura
menjalaninya sampai menjelang dini hari. Ketika Mahisa
Pukat memberikan isyarat maka keduanya telah mengurai
pemusatan nalar budinya itu.
Menjelang diri hari, maka mereka pun segera kembali ke
Banjar. Seperti saat mereka pergi, maka mereka pun
memasuki banjar dengan cara yang sama. Dengan diamdiam
mereka segera kembali ke pembaringan mereka yang
gelap, karena lampu sengaja tidak dipasang.
Dengan hati-hati mereka bertiga telah berada kembali di
pembaringan. Mahisa Ura pun segera meneruskan laku
yang dijalaninya tanpa bantuan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat sekedar untuk mendalami laku yang telah dijalaninya
di tempat yang terasing itu.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
duduk di tangga banjar sambil menunggu, sebagaimana
disang-gupkan, penunggu banjar itu akan membangunkan
mereka. Ternyata penunggu banjar itu memenuhi
kesanggupannya. Ia pun kemudian datang pada saat yang
dijanjikan. Pada saat fajar menyingsing.
"Ooo," orang itu tertegun ketika dilihatnya Mahisa
Murti dan Mahias Pukat telah duduk di tangga banjar.
"Ternyata kalian telah bangun."
"Kami tidak dapat tidur semalaman," sahut Mahisa
Murti. "Kenapa?" bertanya penunggu banjar itu.
"Saudaraku telah sakit," jawab Mahisa Murti.
"Oo, sakit apa?" bertanya penunggu banjar itu, "apakah
aku dapat menengoknya?"
"Jangan, sakitnya dapat menular?" jawab Mahisa Murti.
"Sakit apa?" wajah penunggu banjar itu menegang.
"Tubuhnya menggigil kedinginan. Namun kemudian
terasa menjadi panas. Hidungnya bagaikan tersumbat dan
lehernya terasa pedih," jawab Mahisa Murti, "Menurut
pengalaman kami, jika salah seorang dari kami bertiga
dihinggapi penyakit seperti itu, maka yang lain pun akan
ditularinya pula, jika kami terlalu dekat atau tidur di
sampingnya." "Oo," penunggu banjar itu mengangguk-angguk. Lalu,
"Jadi apakah yang dapat aku lakukan untuk membantu
meringankan sakitnya?"
"Apakah kau mempunyai pohon ketela gerandel?"
bertanya Mahisa Murti. "Ya. Ada. Aku tahu maksudmu. Apakah aku harus
membuat reramuan dari ketela gerandel dari ujung akar
sampai ke ujung daun" Aku memang mendengar bahwa
obat seperti itu memang sangat baik bagi orang yang sakit
kedinginan seperti kakakmu itu," jawab penunggu banjar
itu. "Ya. Buatkanlah untuk kakang Mahisa Ura," jawab
Mahisa Murti. Orang itu mengangguk-angguk. Namun ia tidak segera
berbuat sesuatu, sehingga Mahisa Pukat pun berdesis, "Aku
akan memperhitungkan harga batang ketela gerandel itu
sekaligus tenagamu."
"Ah, bukan maksudku," berkata penunggu banjar itu
sambil melangkah pergi. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menggelengkan
kepalanya. Namun kemudian mereka pun telah
membicarakan langkah-langkah yang akan mereka ambil
selanjutnya. Ketika kemudian matahari terbit, maka penunggu banjar
itu benar-benar telah membawa pipisan ketela gerandel dari
ujung akarnya sampai ke ujung daunnya, termasuk bunga,
buahnya dan tangkainya, meskipun masing-masing hanya
sepotong kecil. Sejenis reramuan obat yang pahit sekali.
Di hari itu, maka orang-orang yang pergi ke banjar itu
pun mendapat pemberitahuan bahwa Mahisa Ura sedang
sakit. Bahkan sakit menular sehingga tidak seorang pun
yang dibenarkan untuk menengoknya.
Namun dalam pada itu, maka Mahisa Ura pun masih
saja berada dalam pendalaman dari apa yang telah
dilakukan semalam. Ketika malam turun, maka ketiga orang itu pun kembali
meninggalkan banjar dengan laku yang sama. Mereka
berada di tempat yang semalam mereka pergunakan.
Mahisa Ura telah kembali berada dalam pemusatan nalar
budinya. Mahisa Pukatlah yang kemudian membantunya
membuka pintu urat nadinya, untuk meningkatkan daya
tahan, tubuhnya. Tetapi Mahisa Pukat tidak memegangi
kedua pundak Mahisa Ura dengan kedua tangannya. Tetapi
Mahisa Pukat hanya memegangi sisi pundak Mahisa Ura
dengan sebelah tangannya.
Segala sesuatunya terasa semakin lancar di dalam diri
Mahisa Ura. Setelah urat nadinya terasa terbuka semalam
dan dengan kemampuan sendiri berusaha untuk
memperlebarnya, maka malam itu rasa-rasanya segala
sesuatunya menjadi semakin mudah.
Tidak ada hambatan, baik yang datang dari dalam diri
Mahisa Ura sendiri maupun yang datang dari luar dirinya.
Demikian pula ketika mereka kembali ke banjar menjelang
dini hari. Kemudian sehari penuh Mahisa Ura berada di
atas pembaringannya. Namun ia memang sedang menjalani
laku. Dan Mahisa Ura pun benar-benar tidak makan dan
minum kecuali pipisan seluruh bagian dari ketela gerandel
dengan diberi sedikit garam.
Pada malam ketiga, Mahisa Ura tidak lagi duduk bersila
dengan dibantu oleh Mahisa Murti atau Mahisa Pukat
membuka urat nadinya untuk dapat membangunkan dan
meningkatkan daya tahannya. Tetapi ia sudah mulai
menempa peningkatan itu dengan kekuatan-kekuatan yang
dilontarkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Dengan demikian, maka ketiga orang itu pun merasa
bahwa yang mereka lakukan itu telah membawa hasil.
Mahisa Ura yang memang telah memiliki ilmu yang tinggi
di dalam dirinya, seakan-akan mendapatkan saluran yang
tidak dikenal sebelumnya untuk meningkatkan daya
tahannya dari serangan-serangan getaran suara yang
dilontarkan berlandaskan ilmu yang tinggi.
Ketika kemudian langit mulai dibayangi oleh warna-warna


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merah, ketiga orang itu pun segera kembali ke banjar.
Mahisa Ura yang sudah berhasil membuka ilmunya untuk
meningkatkan daya tahan tubuhnya terutama terhadap
serangan-serangan yang lebih bersifat langsung kebagian
dalam tubuhnya, bukan sekedar pada wadagnya, merasa
dirinya telah menemukan sesuatu yang baru. Meskipun
pada dasarnya bekal itu sudah ada di dalam dirinya, namun
dibantu oleh dua orang yang meskipun jauh lebih muda
daripadanya, maka ia dapat mengetrapkan ilmunya lebih
mapan. Ketika malam ketiga telah lewat, maka yang dilakukan
oleh Mahisa Ura tinggallah menempatkan segala sesuatu di
dalam dirinya agar lebih mapan. Ia masih harus membenahi
beberapa gejolak di dalam dirinya yang tidak begitu sulit
dilakukannya. Namun di hari itu Mahisa Ura masih juga
tidak turun dari pembaringannya. Ia pun masih belum
makan dan minum selain pipisan seluruh bagian dari batang
ketela gerandel. Dengan demikian, maka yang sedang bergejolak di
dalam diri Mahisa Ura itu pun telah mapan kembali.
Seolah-olah tidak terjadi perubahan apapun di dalam
dirinya. Namun demikian, ternyata bahwa ia telah mampu
membangunkan ilmunya serta mempergunakan tenaga
cadangan di dalam dirinya untuk membangkitkan daya
tahan yang semakin meningkat.
Ketika hari-hari yang penuh dengan laku itu telah lewat,
maka Mahisa Ura pun telah mulai keluar dan turun dari
pembaringannya. Penunggu banjar yang melihatnya,
mendekatinya sambil bertanya, "Apakah kau sudah
sembuh?" Mahisa Ura tersenyum. Katanya, "Sudah Ki Sanak. Aku
sudah berangsur baik.Tetapi selama aku sakit, kenapa kau
tidak mau menjengukku. Bukankah kau tinggal melangkahi
tangga saja?" "Ah," jawab penunggu banjar itu, "Bukankah sakitmu
menular?" "Siapa yang mengatakannya?" bertanya Mahisa Ura.
"Adik-adikmu," jawab penunggu banjar itu.
Mahisa Ura tersenyum. Katanya, "Sakitku memang
menular. Tetapi sama sekali tidak berbahaya. Adik-adikku
adalah penakut. Mereka tidak berani tidur di sebelahku.
Mereka lebih senang tidur di lantai atau bahkan duduk saja
semalam suntuk di tangga pendapa."
"Tetapi lebih baik begitu daripada mereka harus
dijangkiti penyakit yang serupa. Jika kalian bertiga sakit,
siapakah yang akan melayani kalian. Siapakah yang akan
membeli nasi ke warung sebelah.
"Bukankah kau yang membelikannya?" bertanya
Mahisa Ura. "Ya. Tetapi jika kalian bertiga sakit, aku tidak mau
mendekat. Kalian tidak akan dapat menyuruh aku membeli
nasi atau membeli apapun juga. Aku pun tidak mau
membuat minuman panas dan menyediakan obat ketela
gerandel." Mahisa Ura tersenyum. Katanya, "Tetapi aku sudah
sembuh. Aku tidak akan menyulitkan adik-adikku lagi. Juga
tidak akan menyulitkanmu. Segala sesuatunya kini sudah
dapat aku lakukan sendiri."
Penunggu banjar itu mengangguk-angguk. Katanya,
"Aku sudah enam kali membuat obat ketela gerandel,
masing-masing semangkuk penuh."
"Terima kasih," jawab Mahisa Ura.
"Karena itu maka kau telah disembuhkannya," berkata
orang itu lagi. "Terima kasih," jawab Mahisa Ura pula.
Penunggu banjar itu mengerutkan keningnya. Dengan
kesal ia berkata, "Setelah kau sembuh, bukankah kau dapat
melakukan pekerjaanmu lagi?"
"Ya. Tentu" jawab Mahisa Ura.
"Akulah yang menyebabkannya" berkata penunggu
banjar itu. "Terima kasih" jawab Mahisa Ura.
"Terima kasih, terima kasih. Hanya terima kasih?"
penunggu banjar itu benar-benar menjadi jengkel.
Mahisa Ura mengerutkan keningnya. Ia tidak begitu
mengerti, kenapa tiba-tiba saja penunggu banjar itu marah
kepadanya. Namun dalam pada itu, terdengar suara tertawa. Tidak
begitu keras tetapi suara itu telah menarik perhatian Mahisa
Ura dan penunggu banjar itu, sehingga keduanya telah
berpaling. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berdiri di bawah tangga
pendapa. Ketika penunggu banjar itu memandanginya,
maka ia pun berkata, "Sudah aku katakan, akulah yang
akan membayarnya. Kakang Mahisa Ura tidak tahu
menahu tentang perjanjian itu."
Wajah penunggu banjar itu menjadi merah. Dengan
gagap ia berkata, "Bukan maksudku. Aku sudah senang
melihat kesembuhannya."
Mahisa Ura termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
ia pun tersenyum sambil berkata, "Terima kasih."
Penunggu banjar itu tidak menjawab. Bahkan sambil
melangkah pergi ia menirukan, "Terima kasih."
Mahisa Ura pun tertawa. Namun ia tidak berkata
sesuatu. Demikianlah, hari itu, Mahisa Ura sempat membenahi
dirinya. Setelah tiga hari ia tidak makan dan minum selain
pipisan ketela gerandel. Hari itu ia mendapat kesempatan
untuk memulihkan segenap tenaganya menurut ukuran
kewadagan. Dengan demikian, maka setelah Mahisa Ura selesai
menjalani laku, ketiga orang itu pun telah melanjutkan
rencana mereka untuk mendekati lingkungan sebuah
padepokan yang dihuni oleh sekelompok orang-orang
bertongkat. "Kita akan pergi ke padepokan itu," berkata Mahisa
Ura, "kita akan mendekatinya di malam hari. Apapun yang
akan terjadi, kita sudah menentukan satu langkah."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Sementara itu Mahisa Murti pun berkata, "Kita akan pergi
besok malam. Tetapi bagaimana dengan Ki Bekel
padukuhan ini" Apakah kita akan minta diri atau kita pergi
dengan diam-diam." "Apakah kita yakin bahwa kita akan kembali di hari
berikutnya sebelum pagi?" bertanya Mahisa Pukat.
"Kita tidak yakin," jawab Mahisa Murti, "karena itu,
bukankah sebaiknya kita berbicara dengan Ki Bekel, bahwa
kita akan melanjutkan perjalanan kita mencari daerah baru
untuk memasarkan barang-barang kita. Bukan berarti
bahwa kita kecewa karena di sini barang-barang kita tidak
banyak yang laku." "Aku kira itu adalah cara yang lebih baik daripada kita
pergi dengan diam-diam. Pada kesempatan lain, kita akan
dapat datang lagi jika kita perlukan tanpa merasa cangung,"
berkata Mahisa Ura. Demikianlah, maka mereka bertiga pun sepakat untuk
pergi ke rumah Ki Bekel. Bukan untuk mendesak agar Ki
Bekel segera menentukan pilihan, batu akik yang mana
yang dikehendakinya. Tetapi mereka akan minta diri.
Ketika mereka benar-benar datang ke rumah Ki Bekel
setelah senja, Ki Bekel terkejut. Sebelum ketiga orang itu
mengatakan maksudnya, maka Ki Bekel telah
mendahuluinya, "Maaf Ki Sanak, Aku belum sempat
datang untuk menentukan yang manakah yang ingin aku
ambil dari batu-batu akik yang aku sisihkan itu."
Mahisa Ura mengangguk sambil tersenyum. Katanya,
"Maaf Ki Bekel. Bukan maksudku untuk mempersoalkan
tentang batu-batu berharga itu. Tetapi kami ingin minta diri,
bahwa kami akan melanjutkan perjalanan."
"Kemana?" bertanya Ki Bekel.
"Aku akan mendatangi padukuhan-padukuhan.
Mungkin aku mendapat kesempatan untuk menawarkan
barang-barangku. Sementara itu, aku pun dapat mengenali
daerah yang lebih luas lagi," jawab Mahisa Ura.
Ki Bekel mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa
Ura pun berkata, "Batu-batu akik yang Ki Bekel sisihkan itu
akan kami tinggalkan. Kami berniat dalam waktu yang
tidak lama, kami akan datang lagi ke padukuhan ini."
Ki Bekel tersenyum sambil berkata, "Baiklah. Kami akan
menunggu kedatangan kalian kembali. Tetapi sebenarnya
batu-batu akik itu tidak usah kalian tinggalkan."
"Tidak apa-apa Ki Bekel. Kami masih membawa
beberapa yang akan dapat kami jual di sepanjang perjalanan
kami," jawab Mahisa Ura.
Ki Bekel tidak dapat menolak. Karena itu, maka ia
hanya dapat mengucapkan terima kasih dan benar-benar
mengharap ketiganya untuk datang kembali.
Demikianlah, maka ketiga orang itu pun telah
meninggalkan banjar padukuhan. Mereka sama sekali tidak
mengatakan, kemana mereka akan pergi. Mereka hanya
mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ki
Bekel dan orang-orang padukuhan itu yang ramah dan baik
hati. Namun dalam pada itu, ketiga orang itu pun telah
memasuki tugas mereka yang berbahaya. Mereka benarbenar
telah mendekati padepokan orang-orang bertongkat
yang sangat berbahaya. Namun mereka harus menunggu sampai matahari
terbenam. Jika malam menjadi gelap, maka mereka akan
merayap mendekati padepokan itu untuk melihat, apakah
mereka akan dapat berbuat lebih jauh lagi daripada sekedar
melihat-lihat. Untuk beberapa lamanya, mereka masih mempunyai
waktu untuk beristirahat dan mempersiapkan diri
menghadapi tugas yang sangat berbahaya itu.
Mahisa Ura yang pernah sampai ke lingkungan yang
mereka datangi itu, berusaha untuk mengingat kembali, apa
yang pernah dilihatnya sebelumnya.
"Tetapi yang aku ketahui tidak begitu banyak," berkata
Mahisa Ura. "Kita akan melihat nanti," jawab Mahisa Murti, "Tetapi
bahwa kita telah mendekati sasaran itu adalah satu hasil
yang besar. Terserah kepada kita, apakah kita akan dapat
menyelesaikan atau tidak."
Untuk menunggu waktu yang paling baik, maka mereka
bertiga telah menunggu sebuah tikungan sungai kecil yang
agaknya tidak pernah didatangi orang. Mereka berada di
atas bebatuan, di balik gerumbul-gerumbul liar. Dari tempat
itu, mereka harus merayap beberapa puluh tonggak lagi.
"Malam ini kita akan melihat, apakah yang dapat kita
lakukan kemudian," berkata Mahisa Murti, "Namun
mungkin kita harus melihatnya pula di siang hari setelah
kita mendapat gambaran yang lebih utuh dari padepokan
ini. Di siang hari mungkin kita akan mendapat beberapa
keterangan dari lingkungan di sekitarnya yang harus kita
amati pula sebelumnya."
Mahisa Ura mengangguk-angguk. Katanya, "Kita akan
memanfaatkan kehadiran kita di sini sebaik-baiknya. Kita
harus mendapat keterangan sebanyak-banyaknya. Dengan
bahan-bahan itu maka kita akan menentukan sikap.
Mungkin langkah kita terbatas dengan sekedar memberikan
laporan kepada Pangeran Singa Narpada. Tetapi mungkin
kita akan mengambil langkah-langkah lebih jauh tanpa
berhubungan dengan Pangeran Singa Narpada lebih
dahulu." Mahisa Ura mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa
Pukat pun berkata, "Padepokan itu sampai saat ini masih
merupakan bayangan dikegelapan bagi kita. Kita tidak tahu
apa yang ada di dalamnya dan kita belum tahu lingkungan
di sekitarnya. Dengan demikian maka kita akan mulai dari
permulaan sekali." "Ya," jawab Mahisa Ura, "sebelumnya memang tidak
ada keterangan yang dapat aku berikan, selain arah dari
padepokan ini." "Itu sudah cukup," desis Mahisa Murti, "adalah
kewajiban kita untuk mengumpulkan keterangan lebih
banyak lagi." Ketiga orang itu membiarkan malam berlalu perlahanlahan.
Langit yang membentang digayuti oleh bintangbintang
yang berkeredipan. Mahisa Murti pun kemudian bangkit sambil menarik
nafas dalam-dalam. Katanya, "Marilah. Agaknya waktunya
telah tiba." Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun kemudian bangkit
pula. Dengan nada datar Mahisa Pukat berkata, "Aku
mempunyai dugaan, bahwa letak padepokan ini ada
hubungannya dengan batu besar yang berwarna kehijauhijauan
itu. Batu itu adalah batu yang berharga meskipun
bukan yang terbaik. Tetapi dalam ujud yang sangat besar,
maka batu itu mempunyai nilai yang sangat mahal. Apalagi
menilik orang bertongkat yang pada ujungnya terdapat
pecahan batu itu pula yang setelah digosok nampak menjadi
sangat bagus." Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia sependapat
dengan Mahisa Pukat. Bahkan katanya, "Aku yakin, orang
bertongkat itu keluar dari padepokan ini pula. Karena itu,
maka tidak mustahil bahwa kita pun harus berhadapan lagi
dengan harimau. Mungkin harimau yang sebenarnya.
Tetapi mungkin harimau jadi-jadian."
Mahisa Pukat bahkan telah berkata pula, "orang itu
mempunyai ilmu gendam. Mungkin ilmu itu ditujukan
untuk menggerakkan harimau. Tetapi mungkin pula untuk
yang lain. Ilmu itu adalah ilmu yang mampu menguasai
tingkah laku binatang yang buas sekalipun."
Mahisa Murti dan mengangguk-angguk pula. Katanya,
"Kita memang harus berhati-hati."
Demikianlah mereka bertiga telah dengan sangat hati-hati
melangkah menuju ke padepokan dari orang-orang
bertongkat itu. Mereka menyadari bahwa orang bertongkat
yang dijumpainya di tepi hutan dan yang kemudian datang


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke banjar, tentu sudah memperhitungkan kemungkinan
kehadirannya di padepokan itu. Dengan demikian maka
mungkin sekali bahwa orang bertongkat itu telah
menyiapkan sejenis penyambutan yang sangat menarik.
Karena itulah, maka mereka bertiga telah benar-benar
mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.
Bahkan Mahisa Murti yang menjadi tegang itu pun
berdesis, "Kita akan berbuat sebaik-baiknya. Tetapi segala
sesuatu akan kita serahkan kepada Yang Maha Agung. Jika
tugas kita ini dires-tuinya, maka kita tentu akan berhasil
apapun yang kita hadapi."
Mahisa Pukat dan Mahisa Ura mengangguk-angguk.
Me-reka pun telah melambari usaha mereka dengan sikap
yang sama, dengan kesadaran yang tinggi, bahwa yang
mereka lakukan adalah usaha semata-mata.
Selangkah demi selangkah ketiga orang itu menuju ke
sebuah padepokan yang tidak mereka ketahui sebelumnya,
ujud serta sifat dari lingkungannya. Dengan kemampuan
serta ketajaman pengamatan mereka, maka mereka
berusaha untuk mendekati dinding padepokan di bagian
samping. Tetapi langkah mereka tertegun ketika mereka
mendengar suara tertawa seseorang. Perlahan sekali. Tetapi
suara itu rasa-rasanya tajam menusuk sampai ke pusat
jantung. Ketiga orang itu pun kemudian telah berjongkok di
antara batang-batang ilalang. Mereka memusatkan daya
tahan mereka untuk melindungi jantung mereka dari
serangan suara tertawa itu.
Meskipun Mahisa Ura sudah berhasil membuka
kemungkinan untuk meningkatkan daya tahan di dalam
dirinya, namun masih terasa jantungnya bagaikan akan
meledak. Tetapi untunglah bahwa suara itu pun kemudian
menjadi lenyap. "Gila," geram Mahisa Ura, "kedatangan kita telah
diketahuinya." Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun katanya,
"orang ini bukan orang bertongkat itu. Serangannya
mempunya bobot yang berbeda."
Mahisa Ura termangu-mangu. Ia tidak dapat
membedakan serangan itu dengan serangan yang pernah
dialaminya di dekat batu yang berwarna kehijauan itu.
Namun pada waktu itu, ia masih belum memiliki
kemampuan dasar sekalipun untuk meningkatkan daya
tahannya terhadap serangan semacam itu.
Namun dalam pada itu Mahisa Pukat menyahut, "Ya.
Aku merasakan bahwa serangan ini memiliki tingkat yang
lebih berbahaya. Karena itu kita memang harus berhatihati."
Mahisa Ura menjadi berdebar-debar. Ia baru saja sampai
pada satu tingkat di tataran pertama. Jika serangan itu
datang dengan bobot yang terlalu berat, maka dadanya pun
tentu akan pecah karenanya.
Meskipun demikian Mahisa Ura itu berkata kepada diri
sendiri, "Aku sudah mampu menginjak tataran pertama.
Aku tentu mampu meningkatkannya dalam keadaan yang
memaksa." Namun serangan itu tidak datang lagi. Yang terdengar
kemudian adalah suara lembut, "Luar biasa. Kalian masih
sangat muda. Namun kalian telah memiliki kemampuan
yang sangat tinggi. Jarang sekali terjadi keanehan seperti
ini." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi
mereka dengan hati-hati telah mengetrapkan semua ilmu
dan kemampuannya sampai tataran tertinggi untuk
menghadapi segala kemungkinan.
Mahisa Ura pun telah bersiap-siap pula. Tetapi ia masih
saja dibayangi oleh perasaan rendah diri di hadapan kedua
anak muda itu. Apalagi jika mereka harus berhadapan
dengan orang yang berilmu tinggi.
"Anak-anak muda," berkata suara itu perlahan-lahan,
"aku ingin menguji kemampuanmu. Tetapi tidak di dekat
padepokan ini. Kita harus sedikit menjauh, agar kita tidak
menarik perhatian orang-orang padepokan itu."
"Apakah kau bukan orang padepokan itu?" bertanya
Mahisa Murti. "Aku adalah pemimpin padepokan itu," jawab orang
yang tidak menampakkan dirinya itu, "Tetapi jika kita
menarik perhatian para penghuninya, maka kalian akan
mati dibantai oleh anak-anakku sehingga kau tidak akan
berujud lagi. Tetapi jika kita menyingkir dan bertempur di
tempat lain, kita akan mendapat kesempatan untuk menguji
kemampuan kita. Mungkin kalian yang ingin mengetahui
sampai di mana tingkat kemampuan kalian. Tetapi
mungkin juga aku. Nah, apakah kalian bersedia"
Sebenarnyalah kalian memang tidak mempunyai pilihan
lain. Seandainya kalian menolak, dan kalian jatuh ke
tangan anak-anakku, maka adalah salahmu sendiri."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu.
Ketika mereka berpaling ke arah Mahisa Ura, maka Mahisa
Ura sama sekali tidak memberikan kesan apapun juga.
"Namun dalam pada itu sejenak kemudian Mahisa
Pukatlah yang menjawab," Ki Sanak. Jika aku memenuhi
permintaanmu, sama sekali bukan karena kami takut
dicincang oleh anak-anakmu. Jika kami menjauhi
padepokan ini, karena kami sebenarnya memang ingin
menjajagi ilmu dari pemimpin padepokan ini."
"Bagus," jawab suara itu, "aku akan menyingkir. Aku
akan pergi ke arah tanah berawa-rawa di hutan sebelah."
"Aku belum pernah melihat tempat itu," jawab Mahisa
Pukat. "Pergilah ke Barat. Kalian akan sampai ke hutan perdu
yang basah. Jika kalian masuk lebih dalam, maka kalian
akan sampai ke sebuah rawa yang ditumbuhi pepohonan
air. Di tempat itu kalian akan menjumpai sebatang pohon
besar yang sudah sangat tua. Aku menunggu di sekitar
pohon itu," jawab suara itu.
"Kau menantang kami bertempur di dalam air?"
bertanya Mahisa Murti. "Tidak. Kita akan bertempur di atas tanah meskipun jika
perlu aku tidak akan mengelak jika kalian ingin bertempur
di dalam rawa-rawa?" jawab suara itu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sementara
itu suara itu berkata lagi, "Aku akan mendahului kalian."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab.
Namun sejenak kemudian Mahisa Murti itu pun berdesis,
"Marilah. Kita akan menjajagi kemampuan orang yang
mengaku sebagai pemimpin padepokan ini."
"Ia sangat sombong," berkata Mahisa Pukat.
"Ya. Tetapi mungkin orang itu benar-benar memiliki
ilmu yang tinggi, sehingga ia berani menantang orang yang
kurang dikenalnya justru pada saat ia dengan mudah dapat
memanggil anak-anaknya, yang barangkali yang dimaksud
adalah murid-muridnya," berkata Mahisa Murti pula.
"Kita memang harus berhati-hati," jawab Mahisa Pukat.
Demikianlah mereka bertiga pun segera bersiap. Mahisa
Murti yang melihat kekecutan hati Mahisa Ura berkata,
"Kau tidak usah berkecil hati. Kau j anganmerasa dirimu
terlalu kecil. Jauh lebih kecil dari yang sebenarnya.
Seharusnya kau bangkit dan berdiri di atas kenyataanmu
yang sebenarnya. Kau bukannya tidak berilmu. Jika kau
merasa dirimu terlalu kecil, maka kau akan benar-benar
menjadi kerdil dan kehilangan gelar yang pernah kau capai
pada masa-masa lampaumu. Kau seorang diri mampu
memburu orang yang dikehendaki oleh Singasari. Bahkan
pada saat kita berangkat, kau telah menunjukkan
kelebihanmu." Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku
akan mencobanya." "Kau tidak usah mencoba," berkata Mahisa Murti, "kau
tinggal mempergunakannya. Kau harus dapat berbuat
sebagaimana kau lakukan sebelumnya. Sekarang kau justru
telah bertambah. Bukan berkurang. Sadari itu."
Mahisa Ura mengangguk-angguk kecil. Ia merasa dirinya
justru menjadi paling muda di antara anak-anak muda itu.
Ia tidak dapat menyingkirkan rasa rendah dirinya setelah ia
melihat kenyataan bahwa kedua anak muda itu memiliki
ilmu yang sangat tinggi. Namun ia benar-benar ingin mencoba untuk
memulihkan kehangatan darahnya sebagai seorang petugas
sandi yang mempunyai nama di Singasari.
Demikianlah maka mereka bertiga pun telah bergeser
dari tempatnya menuju ke tempat yang telah ditunjuk oleh
suara yang tidak dilihat siapa orangnya itu.
Beberapa saat kemudian, maka ketiga orang itu pun telah
memasuki hutan perdu yang basah. Kemudian dalam
kegelapan mereka sampai ke tempat yang berlumpur.
"Kita sudah sampai ke daerah yang berawa-rawa itu,"
desis Mahisa Pukat. Mahisa Murti mengangguk-angguk. Hanya karena
ketajaman penglihatan mereka sajalah, maka mereka
mengetahui apa yang ada di sekitarnya.
"Kita mencari pohon benda yang disebutkannya itu,"
desis Mahisa Murti. "Kita harus berhati-hati. Mungkin ini merupakan satu
jebakan yang dapat menyeret kita ke dalam kesulitan,"
berkata Mahisa Ura. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Namun dalam pada itu, mereka pun telah tertegun. Dalam
kegelapan mereka melihat sebatang pohon benda yang
besar dan berdaun rimbun, sehingga dahan-dahannya
menebar melindungi daerah yang cukup luas.
Untuk beberapa saat ketiga orang itu termangu-mangu.
Namun kemudian mereka pun segera bersiap ketika mereka
mendengar suara tertawa perlahan-lahan.
"Luar biasa," berkata suara itu, "kalian adalah orangorang
yang sangat berani. Kemarilah, aku berada di sini."
Mahisa Murti memberi isyarat kepada Mahisa Pukat
untuk menjawab. Sebagaimana pernah mereka lakukan,
selagi mereka berbicara, maka salah seorang di antaranya
akan memusatkan pendengarannya untuk mengetahui arah
suara itu. Dengan nada datar maka Mahisa Pukat pun menjawab,
"Baiklah Ki Sanak. Apakah tempat itu cukup luas untuk
menjajagi kemampuan kita masing-masing."
"Lebih dari cukup," terdengar pula jawaban, "aku sudah
terlalu lama menunggu."
"Sudah kami katakan, bahwa kami masih harus mencari
tempat ini," berkata Mahisa Pukat, "untunglah, bahwa
kami segera menemukannya."
"Bukahkah aku sudah memberikan ancar-ancar?"
bertanya suara itu. "Ya. Bukankah kami masih harus mencarinya?"
bertanya Mahisa Pukat pula.
"Baiklah," jawab suara itu, "sekarang, kemarilah. Aku
ada di sini. Apakah kau belum menemukan tempatku?"
Mahisa Pukat termangu-mangu. Sementara itu Mahisa
Murti pun berkata, "Marilah. Kita akan mendekat."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Kata-kata
Mahisa Murti itu adalah pertanda bahwa ia telah
menemukan arah suara yang tidak mereka lihat orangnya
itu. Namun keduanya yakin, bahwa orang itu bukannya
orang bertongkat yang pernah mereka jumpai dan yang
pernah datang ke banjar. Bahkan mereka menduga bahwa
orang itu mempunyai landasan ilmu yang berbeda pula
menilik sentuhan getar suaranya yang berbeda. Juga cara
orang itu menyinggung sasarannya. Meskipun getaran itu
terasa, tetapi sama sekali bukanlah merupakan serangan
yang menyakitkan jantung. Getaran yang menyentuh
sasaran terasa lunak yang tidak bersifat permusuhan
meskipun kata-kata yang terlontar merupakan tantangan
bagi mereka. Meskipun demikian ketiga orang itu tidak kehilangan
kewaspadaan. Segala kemungkinan dapat terjadi pada
keadaan seperti itu. Mungkin yang,mereka hadapi termasuk
sejenis jebakan yang berbahaya, sebagaimana tempatnya
yang nampak sangat asing.
-ooo0ZHERAF.NET0ooo- (Bersambung ke Jilid 31).JILID
KE 031 "BAIKLAH," jawab suara itu, "sekarang kemarilah.
Aku ada di sini. Apakah kau belum menemukan
tempatku?" Mahisa Pukat termangu-mangu. Sementara itu Mahisa
Murti pun berkata, "Marilah. Kita akan mendekat."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Kata-kata
Mahisa Murti itu adalah pertanda bahwa ia telah
menemukan arah suara yang tidak mereka lihat orangnya
itu. Namun keduanya yakin, bahwa orang itu bukannya
orang bertongkat yang pernah mereka jumpai dan yang
pernah datang ke banjar. Bahkan mereka menduga bahwa
orang itu mempunyai landasan ilmu yang berbeda pula
menilik sentuhan getar suaranya yang berbeda. Juga cara
orang itu menyinggung sasarannya. Meskipun getaran itu
terasa, tetapi sama sekali bukanlah merupakan serangan
yang menyakitkan jantung. Getaran yang menyentuh
sasaran terasa lunak yang tidak bersifat permusuhan
meskipun kata-kata yang terlontar merupakan tantangan
bagi mereka. Meskipun demikian, ketiga orang itu tidak kehilangan
kewaspadaan. Segala kemungkinan dapat terjadi pada
keadaan seperti itu. Mungkin yang mereka hadapi termasuk
sejenis jebakan yang berbahaya, sebagaimana tempatnya
yang nampak sangat asing.
Mahisa Murtilah yang kemudian berjalan dipaling
depan. Agak di belakang di sisi kanan berjalan Mahisa
Pukat, sementara di sisi lain Mahisa Ura yang telah
mengerahkan segenap kemampuan di dalam diri, yang
setiap saat akan dapat dilepaskannya.


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan sangat berhati-hati ketiganya maju selangkah
demi selangkah. Mahisa Murti telah menemukan arah suara
itu. Di bawah pohon benda raksasa itu, agak di sebelah
kanan, di dekat sebongkah batu yang sangat besar.
Beberapa langkah dari batu itu ketiganya berhenti.
Dengan suara datar Mahisa Murti berkata, "Silahkan Ki
Sanak. Kami telah datang."
Yang terdengar adalah desah nafas. Dalam kegelapan
malam mereka melihat seseorang yang bergeser keluar dari
balik batu yang besar itu.
"Luar biasa," berkata orang itu yang masih belum
nampak jelas wajahnya, "kalian mampu menemukan
tempatku bersembunyi."
Mahisa Murtilah yang menjawab, "Kami tidak dapat
mengerti, bagaimana kalian dapat melihat kehadiran kami
dalam gelap seperti ini pada jarak yang cukup jauh."
Orang itu tertawa lembut. Beberapa langkah ia maju,
sehingga jarak di antara mereka pun menjadi semakin
dekat. Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
pun melihat bahwa orang itu sama sekali tidak membawa
tongkat sebagaimana orang pernah dijumpainya dan yang
bahkan telah datang ke banjar.
"Aku melihat kalian datang," berkata orang itu, "Baru
kemudian aku bersembunyi di balik batu ini. Bukan sesuatu
yang aneh yang dapat menjadi pangeram-eram."
"Baiklah," berkata Mahisa Murti, "kami telah datang.
Apakah yang Ki Sanak kehendaki?"
Orang itu memandang ketiga orang yang datang itu
berganti-ganti. Dalam kegelapan malam, Mahisa Murti,
Mahisa Pukat dan Mahisa Ura dapat melihat, orang itu
memang bukan orang yang pernah dijumpainya dan yang
kemudian datang ke banjar.
Justru karena itu, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat
dan Mahisa Ura masih harus meraba-raba. Apa saja yang
dikehendaki oleh orang ini, yang agaknya mempunyai sifat
dan watak yang berbeda dengan orang yang datang
bertongkat dan bersikap kasar itu.
Dalam pada itu, maka orang itu pun kemudian bertanya,
"Nah, Ki Sanak. Seperti aku katakan, aku ingin menjajagi
kemampuan kalian. Sebelum kalian memasuki padepokan
itu, maka kalian harus menunjukkan kepadaku, bahwa
kalian memang pantas untuk memasukinya. Karena jika
tidak, maka kalian akan dibantai anak-anakku dan kalian
akan kehilangan segala-galanya, mati sia-sia sama sekali
tidak berarti." Mahisa Murti lah yang kemudian melangkah maju
sambil menjawab, "Baiklah Ki Sanak. Aku tidak
berkeberatan. Aku sadari bahwa kau tentu tidak sekedar
menjajagi. Jika anak-anakmu berbuat sebagaimana kau
katakan, maka segalanya itu dilakukan atas tuntutanmu.
Mustahil bahwa mereka melakukannya tidak sebagimana
dilakukan oleh pemimpinnya. Apalagi gurunya. Dengan
demikian, maka kau pun akan berbuat sebagaimana kau
katakan itu." Orang itu nampak termangu-mangu sejenak. Lalu
katanya, "Apakah kau mendapat kesan bahwa aku akan
berbuat seperti itu?"
"Ya." berkata Mahisa Murti tegas, "menilik sikap dan
perbuatan anak-anakmu sebagaimana kau katakan sendiri."
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya, "Baiklah. Mungkin aku memang akan
berbuat seperti itu. Karena itu bersiapkah. Aku akan mulai
dengan orang pertama. Tetapi jika kemudian kalian merasa
perlu, maka aku tidak akan berkeberatan jika kalian
bersama-sama bertempur melawan aku."
"Baiklah," sahut Mahisa Murti, "sebelum kita mulai,
aku sudah mulai merendahkan kami. Tetapi kami memang
ingin menghormati orang-orang yang lebih tua dari kami.
Karena itu, maka apa pun yang kau katakan, kami tidak
akan pernah merasa sakit hati."
"Bagus," berkata orang itu, "satu permulaan yang baik
bagimu anak muda. Kau memang tidak boleh cepat marah.
Orang yang marah kadang-kadang kehilangan
kecermatannya menghadapi satu persoalan."
"Nah, sekarang akulah orang yang pertama akan
menghadapimu," berkata Mahisa Murti.
"Bagaimana jika aku memilih yang lain?" bertanya
orang itu. "Kalau kau silau melihat aku berdiri di sini, silahkan.
Tidak ada perbedaan di antara kami bersaudara," jawab
Mahisa Murti. Yang terdengar adalah suara tertawa yang lunak. Orang
itu pun kemudian berkata, "Kau memang seorang anak
muda yang masak menghadapi keadaan yang manapun.
Aku senang kepadamu. Karena itu, biarlah kau akan
menjadi lawanku yang pertama. Seandainya kau dapat
membunuhku, maka kau tidak akan menyesalinya, justru
karena kau memiliki kematangan jiwa seorang kesatria."
"Jangan memuji," berkata Mahisa Murti, "aku tahu.
Ada dua hal yang harus aku perhatikan. Apakah lawanku
berusaha membuatku marah, atau ia akan memujiku
sehingga aku menjadi lengah."
"Bagus," sahut orang itu, "kau memiliki bekal yang
cukup. Bukan saja ilmu, tetapi juga ketahanan nalar
budimu." "Aku sudah siap Ki Sanak," berkata Mahisa Murti,
"apakah kita akan mulai."
Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya,
"Baiklah. Aku juga sudah siap."
Mahisa Murti pun bergeser beberapa langkah. Ia memilih
tempat yang tidak terlalu dekat dengan lumpur yang basah.
Meskipun jika ia terpaksa harus bertempur di dalam
rawa-rawa ia pun tidak akan ingkar, meskipun bukan
kebiasaannya. Sesaat kemudian kedua orang itu pun telah bersiap.
Namun sebelum benturan terjadi, Mahisa Murti bertanya,
"Siapa namamu?"
"Ooo," orang itu tertawa, "kau sempat bertanya tentang
nama?" "Mungkin ada gunanya," jawab Mahisa Murti.
"Namaku Tatas Lintang," berkata orang itu kemudian.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Desisnya,
"Nama yang aneh."
"Jangan terpancang pada nama," berkata orang itu pula,
"namaku memang aneh. Tetapi marilah, apakah kau
sudaha benar-benar siap."
"Ya," jawab Mahisa Murti pendek.
Orang itu pun kemudian bergeser pula. Ketika ia
kemudian mulai menyerang, maka Mahisa Murti pun
meloncat menghindarinya. Namun ia pun kemudian mulai
menggapai lawannya dengan serangan kakinya.
Tetapi serangan Mahisa Murti pun belum bersungguhsungguh
sehingga karena itu, ketika lawannya memiringkan
tubuhnya kaki Mahisa Murti tidak mengenainya.
Demikianlah, maka pertempuran antara keduanya pun
telah mulai. Semakin lama semakin cepat. Namun masih
terbatas pada kekuatan dan kemampuan wadag. Meskipun
keduanya telah mengerahkan tenaga cadangan mereka,
tetapi pertempuran itu masih belum merambah pada
kekuatan dan kemampuan ilmu mereka yang paling dalam.
Mahisa Murti dengan sengaja masih belum melepaskan
ilmunya. Ia berusaha untuk mempergunakan kemampuan
olah kanuragan yang beralaskan pada ketrampilan wadag
dan landasan kekuatan cadangan di dalam dirinya.
Namun dalam pada itu, maka tata gerak mereka pun
semakin lama menjadi semakin cepat. Keduanya
berloncatan menyerang dan menghindar.
Mahisa Pukat dan Mahisa Ura menyaksikan
pertempuran itu dengan tegang. Keduanya melihat, bahwa
baik Mahisa Murti maupun lawannya masih dalam tataran
permulaan. Namun justru pada tataran itu, keduanya nampak
mengerahkan segenap kekuatan dan kecepatan gerak pada
landasan unsur kewadagan dan tenaga cadangan yang
diungkit dari dalam diri mereka masing-masing. Benturanbenturan
yang terjadi terasa keras sekali. Keduanya
berloncatan berputaran. Serang menyerang dan desak
mendesak. Semakin lama pertempuran itu pun menjadi semakin
cepat. Di luar kesadaran mereka, arena pertempuran itu pun
telah bergeser. Pohon-pohon perdu dan batang-batang kayu
yang tumbuh di sekitar arena itu pun telah berguncang
terbentur kekuatan kedua orang yang sedang bertempur itu.
Dalam pada itu, baik Mahisa Murti maupun lawannya
Sumpit Nyai Loreng 2 Senja Jatuh Di Pajajaran Trilogi Pajajaran Karya Aan Merdeka The Chronos Sapphire 1
^