Hijaunya Lembah Hijaunya 12
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 12
yang menyebut namanya Tatas Lintang itu ternyata
memiliki kekuatan yang sangat besar atas landasan tenaga
cadangan mereka. Bahkan tenaga cadangan mereka itu pun telah mampu
mendorong tubuh-tubuh mereka yang bertempur itu
sehingga tata gerak mereka pun nampaknya menjadi
semakin cepat. Tubuh-tubuh mereka menjadi ringan dan
kaki-kaki mereka bagaikan tidak lagi berpijak di atas tanah.
Mahisa Pukat mengamati pertempuran itu dengan
saksama, sementara itu Mahisa Ura menjadi semakin
tegang. Ia sudah melihat kekuatan yang terlontar dari kedua
belah pihak tidak lagi dapat diimbanginya. Apalagi jika
mereka sampai ke puncak ilmu mereka.
Dalam kegelapan malam keduanya saling menyambar
Penglihatan mereka atas lawan-lawan mereka tidak lagi
semata-mata atas dasar kemampuan mata wadag mereka,
tetapi juga atas dasar pengamatan batin mereka
berlandaskan kepada perhitungan dan unsur naluriah yang
sudah mendapat lambaran yang matang.
Karena itulah, maka betapapun gelapnya malam, namun
mereka mampu mengamati setiap langkah lawannya.
Dengan demikian maka pertempuran pun semakin lama
menjadi semakin cepat dan keras. Benturan-benturan telah
terjadi dan serangan pun dibalas pula dengan serangan.
Sebenarnyalah orang yang menyebut dirinya bernama
Tatas Lintang itu menjadi sangat heran. Anak yang
melawannya itu masih muda. Namun sudah memiliki
kekuatan dan ketrampilan yang sangat mengagumkan.
Bahkan dalam beberapa hal, Tatas Lintang itu merasa
dirinya tidak lagi dapat mengimbanginya. Ia tidak dapat
bergerak lebih cepat lagi, sementara itu Mahisa Murti masih
berusaha untuk meningkatkan kecepatan geraknya.
Namun pengalaman Tatas Lintang ternyata mampu
menutup kekurangannya. Sesuatu yang tidak terpikirkan
oleh Mahisa Murti sering kali telah mematahkan
perhitungannya. Namun demikian, Mahisa Murti berusaha
untuk dapat mengimbangi kemampuan lawannya dengan
tenaga dan kecepatan gerak.
Tenaga dan kekuatannya yang dipanasi oleh darah
mudanya, ternyata mempunyai kelebihan dari lawannya.
Tetapi Mahisa Murti pun menyadari, bahwa lawannya
yang jauh lebih tua daripadanya itu, pada suatu saat tentu
akan memasuki kekuatan ilmunya yang mungkin sangat
nggegirisi. Mahisa Murti memang harus berhati-hati. Tetapi ia tidak
menjadi gentar karenanya. Apapun yang terjadi, hal itu
merupakan bagian dari tugas yang dibebankan kepadanya.
Dalam pertempuran yang menjadi semakin keras itu,
Mahisa Murti nampaknya memang berhasil mendesak
lawannya. Namun seperti yang diperhitungkannya itu pun
terjadilah. Lawan Mahisa Murti tidak saja membiarkan dirinya
terdesak oleh kesegaran tenaga wadag Mahisa Murti yang
muda itu serta darahnya yang panas dan menggelegak di
dalam dirinya. Namun ia pun mulai merambah ke dalam
ilmunya yang perlahan-lahan dilepaskan.
Mahisa Murti mulai merasakan kekuatan ilmu lawannya
ketika mulai terasa gerak lawannya menjadi semakin
lamban. Sekali-sekali Tatas Lintang meloncat mengambil
jarak. Namun kemudian ketika Mahisa Murti menyerang,
orang itu sama sekali tidak menghindar. Tetapi dengan
lambaran ilmunya Tatas Lintang telah menangkis serangan
lawannya yang masih muda itu.
Mahisa Murti yang membentur kekuatan lawannya
merasakan perbedaannya. Bukan saja kekuatan wadag yang
dilandasi dengan tenaga cadangan yang ada di dalam diri
orang itu. Tetapi tubuh orang itu terasa seakan-akan mulai
mengeras. Sentuhan tubuh Mahisa Murti pada benturanbenturan
yang terjadi terasa justru menjadi sakit. Bahkan
ketika dengan kemampuan kecepatan geraknya Mahisa
Murti berhasil memukul lengan orang itu, rasa-rasanya
tangannya telah menyentuh batu hitam.
Mahisa Murti mengerti, bahwa ia tidak akan dapat
bertempur sekedar dengan tenaga wadag dan tenaga
cadangan di dalam dirinya. Meskipun demikian Mahisa
Murti tidak tergesa-gesa. Ia ingin mendapatkan kepastian,
apa yang terjadi pada lawannya itu.
Sebenarnyalah, tubuh lawannya benar-benar bagaikan
mengeras. Setiap kali, pada saat lawannya menangkis
serangannya, maka Mahisa Murti pun telah berdesis
menahan sakit. "Apakah kemampuannya itu sejalan dengan ilmu
kebal?" bertanya Mahisa Murti di dalam dirinya.
Namun ia masih harus mengujinya. Apakah orang itu
memang mampu membuat dirinya kebal, atau sekedar
membuat dirinya menjadi sekeras batu namun tanpa dapat
menghindari perasaan sakit dalam setiap benturan.
Namun Mahisa Murti merasa kelembutan sikap orang
itu. Orang itu tidak meningkatkan ilmunya dengan serta
merta dan berusaha menghabisinya dalam waktu dekat.
Tetapi yang dilakukan oleh orang itu rasa-rasanya memang
seperti yang dikatakannya, sekedar menjajagi
kemampuannya. "Tetapi sesudah menjajagi lalu bagaimana" " pertanyaan
itu telah timbul di dalam hatinya.
Tetapi sementara itu pertempuran itu pun masih
berlangsung terus. Mahisa Murti tidak banyak mendapat
kesempatan untuk merenung. Lawannya bukan saja
mampu menjadikan tubuhnya semakin keras sehingga
menjadi sekeras batu, namun rasa-rasanya orang itu pun
bergerak semakin cepat. Kakinya tidak lagi berpijak di atas
tanah. Satu sentuhan kecil, telah mampu melemparkan
tubuhnya beberapa langkah.
"Ada semacam pertentangan yang terjadi di dalam diri
orang itu," berkata Mahisa Murti, "Tubuhnya menjadi
sekeras batu, sehingga seharusnya ia menjadi semakin berat.
Tetapi menilik tata geraknya, seolah-olah orang itu menjadi
tidak berbobot lagi."
Dengan demikian maka Mahisa Murti pun harus bekerja
lebih keras lagi untuk mengimbangi peningkatan
kemampuan lawannya yang sudah mulai merambah ke
dalam ilmunya yang tinggi.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura yang
menyaksikan pertempuran itu pun menjadi berdebar-debar.
Sesaat mereka melihat Mahisa Murti mendesak lawannya.
Namun kemudian setiap kali mereka justru melihat Mahisa
Murti bergeser surut. "Apa yang terjadi?" bertanya Mahisa Ura di dalam
dirinya. Namun Mahisa Pukat telah melihat bahwa tata gerak
orang yang menyebut dirinya bernama Tatas Lintang itu
mulai berubah. Dengan demikian maka Mahisa Murti tidak dapat
bertahan untuk tetap beralaskan kemampuan wadagnya
serta kekuatan cadangan di dalam dirinya. Ia harus mulai
mempergunakan ilmu yang dikuasainya, baik yang
diterimanya dari ayahnya, maupun yang diterimanya dari
Pangeran Singa Narpada. Namun sebagaimana dilakukan oleh orang yang
tubuhnya menjadi semakin mengeras itu, Mahisa Murti pun
tidak melakukannya dengan serta merta. Ia meningkatkan
ilmunya perlahan-lahan. Ia tidak menghentakkan segenap
kemampuan ilmunya, menghantam lawannya dan
menghancurkannya. Tetapi ia justru mempergunakan
ilmunya dalam ujudnya yang lunak.
Ketika Mahisa Murti melontarkan ilmunya ke arah
lawannya yang tubuhnya mengeras itu, lawannya terkejut.
Ia bergeser surut. Betapapun tubuhnya keras bagaikan batu,
namun ilmu lawannya yang masih muda dalam ujudnya
yang lunak itu telah membuatnya dicengkam oleh udara
dingin. "Inti dari kekuatan api dalam bentuk yang berlawanan,"
berkata orang itu di dalam hatinya, "menurut dugaanku,
satu ujud dari ilmu Bajra Geni."
Orang itu harus bergeser lagi ketika serangan berikutnya
mengejarnya. Sambil meloncat menyamping orang itu berdesis, "Bagus
anak muda. Kau benar-benar seorang yang luar biasa. Kau
telah melepaskan satu jenis ilmu yang sulit dicari
bandingnya. Justru dalam bentuk yang berlawanan dari inti
kekuatan yang kau hisap."
"Darimana kau mengetahuinya Ki Tatas Lintang?"
bertanya Mahisa Murti. Orang itu tertawa. Namun ia pun harus meloncat
menghindari serangan Mahisa Murti yang bergulung
menghampirinya. Mahisa Murti memang menjadi heran. Ilmunya adalah
ilmu yang sangat khusus. Namun orang itu dapat
menebaknya meskipun tidak menyebut namanya. Bahkan
ia mampu menghindarkan diri dari inti kekuatan ilmunya
itu sehingga ia tidak membeku karenanya.
Ketika Mahisa Murti meningkatkan ilmunya, maka
udara-pun menjadi semakin dingin. Tidak saja terbatasnya
arus serangannya, namun udara di sekitarnya pun menjadi
terasa membeku. Namun Mahisa Murti telah siap dengan kekuatan dan
kemampuannya yang dilambari dengan ilmunya. Karena
itu, lawannya pun menjadi semakin berhati-hati.
Pada saat Mahisa Murti berhasil menembus kecepatan
gerak lawannya dengan memotong langkahnya, serta
berhasil menyentuh tubuh lawannya dengan ilmunya, maka
Mahisa Murti mendengar lawannya itu berdesah.
Mahisa Murti memang belum mempergunakan segenap
kekuatan ilmunya. Karena itu, maka sentuhannya pun
masih belum menentukan. Meskipun benturan dengan
lawannya yang bertubuh sekeras batu itu masih
membuatnya sakit, tetapi ia sadar, bahwa kekuatan ilmunya
pun mampu juga menyakiti lawannya meskipun belum
menunjukkan pengaruh yang nyata.
Dengan demikian maka Mahisa Murti pun telah
meningkatkan ilmunya pula selapis. Ia ingin sampai pada
satu tingkatan yang mungkin mampu menghentikan
pertempuran itu. Meskipun sentuhan-sentuhan yang terjadi
menyakitinya, tetapi lawannya pun harus merasakan
kesakitan melampuai dirinya.
Tetapi ternyata bahwa lawannya pun telah
mempergunakan kelebihannya yang lain untuk
mengimbangi kekuatan ilmu Mahisa Murti. Orang itu
mampu bergerak lebih cepat dari Mahisa Murti. Dengan
demikian maka serangan-serangan Mahisa Murti jarang
sekali, bahwa hampir tidak pernah dapat mengenainya.
Sebaliknya orang itu semakin lama semakin sering
menembus pertahanan Mahisa Murti dan menyakitinya.
"Bukan main," geram Mahisa Murti di dalam hatinya.
"Ia mampu bergerak seperti bayangan iblis."
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti memang
mengalami kesulitan untuk mengatasi kecepatan gerak
lawannya. Betapapun ia berusaha, namun lawannya selalu
berhasil mendahuluinya. Sekali-sekali serangannya
mengenai dadanya. Namun kemudian mengenai
punggungnya. Perasaan sakit pun semakin lama semakin
menghentak-hentak tubuhnya. Kemampuan serangan orang
itu ternyata melampaui kemampuan daya tahan ilmu
Mahisa Murti. Mahisa Pukat dan Mahisa Ura ikut menjadi cemas.
Mereka melihat bahwa Mahisa Murti agaknya semakin
terdesak. Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat pun
menjadi tegang. Mahisa Murti masih saja bertahan dalam
keadaannya. Meskipun ia meningkatkan ilmunya, tetapi
karena kemungkinan untuk mampu mengenai lawannya
dengan serangan yang dilambari dengan ilmunya semakin
kecil, maka Mahisa Murti seharusnya mulai menyesuaikan
dirinya. "Luar biasa," berkata orang itu, "aku kira
kemampuanmu masih terbatas pada kemampuan dasar.
Ternyata kau sudah mampu mengembangkannya, bahkan
jauh melampaui dugaanku. Tetapi baiklah. Biarlah aku
berusaha untuk menghangatkan tubuhku, agar aku tidak
menjadi beku karenanya."
Sebenarnyalah, orang itu mampu membuat dirinya
menjadi hangat. Tatas Lintang itu tidak membalas serangan
Mahisa Murti dengan jenis ilmu yang berlawanan, tetapi ia
sekedar menyelamatkan dirinya sendiri dengan ilmunya.
Namun dalam pada itu, maka Tatas Lintang itu pun
telah meningkatkan serangannya pula. Tubuhnya yang
menjadi ringan itu menjadi semakin ringan pula. Ia
bergerak sangat cepat dan yang meresahkan adalah
sentuhan tangan orang itu bagaikan sentuhan batu yang
sangat keras. Sementara itu, orang itu mampu menghindari seranganserangan
ilmu Mahisa Murti dalam bentuknya yang lunak.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun telah merubah ujud
serangan-serangannya. Ia tidak lagi mempergunakan
ilmunya dalam ujudnya yang lunak. Tetapi ia telah
mempergunakan ilmunya dalam bentuknya yang
sesungguhnya, dalam ujud yang keras.
Mahisa Murti menggosokkan kedua telapak tangannya
yang satu dengan yang lain. Sesaat ia terpaksa meloncat
surut untuk mengambil jarak.
Sementara itu Mahisa Pukat menjadi semakin berdebardebar.
Ia merasakan udara yang dingin, sehingga ia sadar,
bahwa Mahisa Murti telah meningkatkan ilmunya sampai
ketataran yang lebih tinggi. Namun kemudian udara yang
dingin itu dengan cepat menyusut. Ketika ia melihat tata
gerak Mahisa Murti, maka ia pun menyadari bahwa Mahisa
Murti telah merubah ujud ilmunya dari yang lunak ke
sebaliknya. Ujud yang keras.
Mahisa Ura kurang mengerti akan kekuatan ilmu itu.
Tetapi ia pun merasakan udara menjadi dingin membeku.
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun ti-ba-tiba udara telah berubah pula sebagaimana
tata gerak Mahisa Murti. "Agaknya Mahisa Murti mengalami kesulitan sehingga
ia harus merubah-rubah ujud ilmunya," berkata Mahisa
Pukat di dalam hatinya. Tetapi ia pun ikut cepat juga
menyaksikan kemampuan bergerak lawan Mahisa Murti
itu. Demikian cepatnya, melampaui kemampuan yang
dapat dicapai oleh Mahisa Murti.
Sebenarnyalah Mahisa Murti pun memang tidak
mempunyai jalan lain. Semakin lama ia semakin menyadari
bahwa ia tidak akan mampu mengatasi kemampuan
lawannya jika ia masih bertahan dalam tatarannya. Karena
itu, maka Mahisa Murti pun telah semakin meningkatkan
ilmunya. Dengan landasan kekuatan ilmunya, maka
Mahisa Murti pun telah memperhitungkan langkah dan
sikap yang harus diambilnya.
Dengan cermat Mahisa Murti memperhitungkan setiap
langkah lawannya yang mampu bergerak dengan sangat
cepat itu. Sekali dari sekian banyak serangan, Mahisa Murti
harus berhasil menangkisnya dan membenturkan kekuatan
ilmunya yang semakin meningkat.
Ternyata bahwa perhitungan Mahisa Murti yang cermat
itu telah berhasil dilakukan. Pada saat-saat Mahisa Murti
diburu oleh serangan lawannya yang meluncur dengan
cepatnya, Mahisa Murti sama sekali tidak berusaha untuk
menghindar. Namun dengan sengaja ia telah
membenturkan ilmunya yang tinggi kepada kekuatan
serangan lawannya. Yang terjadi adalah satu benturan yang dahsyat.
Kekuatan ilmu orang yang menyebut dirinya Tatas Lintang
itu telah membentur ilmu Mahisa Murti yang nggegirisi.
Dan kekuatan ilmu yang tinggi yang saling berbenturan itu
benar-benar telah berakibat dahsyat.
Orang yang mempergunakan ilmunya yang
menggetarkan itu ternyata terpental beberapa langkah surut.
Ilmu Mahisa Murti bagaikan telah memecahkan dadanya.
Udara panas telah menembus kulitnya dan merambat
sampai ke jantung, seakan-akan telah menghanguskan isi
dadanya, karena itulah, maka ia pun tiba-tiba saja telah
terduduk. Dengan serta merta ia telah menyilangkan
tangannya. Kemudian memusatkan nalar budinya dan
mengetrapkan daya tahan ilmunya setinggi-tingginya untuk
mengatasi benturan yang baru saja terjadi.
Sementara itu, Mahisa Murti pun telah terlempar pula
beberapa langkah surut dan bahkan hampir saja kehilangan
keseimbangannya. Dengan susah payah Mahisa Murti
bertahan agar ia tidak benar-benar lepas dari
keseimbangannya dan jatuh di tanah.
Meskipun kemudian Mahisa Murti berhasil
mempertahankan keseimbangannya, tetapi ia tidak dapat
segera menyerang lawannya yang sedang membenahi
dirinya dengan pemusatan nalar budinya, karena untuk
beberapa saat, tubuh Mahisa Mur-ti pun bagaikan telah
menjadi retak-retak dalam benturan ilmu itu.
Ternyata beberapa saat kemudian, hampir berbareng
pula keduanya mampu memperbaiki keadaan mereka.
Tatas lintang-pun telah bangkit berdiri pula. sementara
Mahisa Murti telah mempersiapkan diri menghadapi segala
kemungkinan. Namun Mahisa Murti tidak mau mengalami keadaan
yang serupa. Benturan dengan tubuh lawannya yang
mengeras bagaikan besi baja telah membuatnya hampir
tidak mampu menahan diri dari guncangan keseimbangan.
Karena itu, maka ia pun harus meningkatkan ilmunya
sampai ke puncak. Jika terjadi lagi benturan, maka biarlah
lawannya yang mengalami keadaan yang lebih parah.
Sementara itu, Tatas Lintang pun menarik nafas dalamdalam
Di dalam hati ia berkata, "anak ini benar-benar luar
biasa. Ia sudah memiliki ilmunya yang berkembang dengan
pesat. Bahkan agaknya anak itu masih mampu
meningkatkan lagi kemampuan ilmunya."
Karena itu, maka Tatas Lintang pun menjadi semakin
berhati-hati. Ia sadar, jika ia membentur kemampuan
puncak ilmu yang dimiliki oleh lawannya, maka ia akan
benar-benar mengalami kesulitan.
Karena itu, Tatas Lintang telah mempergunakan
kemampuannya untuk bergerak dengan kecepatan yang
sangat tinggi. Dengan kemampuannya itu, Tatas Lintang
tidak akan dapat membentur kekuatan lawannya. Meskipun
Mahisa Murti selalu berusaha, tetapi Tatas Lintang mampu
untuk selalu mengurungkan setiap benturan. Bahkan
dengan loncatan-loncatan yang melampaui kecepatan gerak
Mahisa Murti Tatas Lintang mampu mengenainya dari
arah samping bahkan arah belakang.
"Licik," geram Mahisa Murti, "kau tidak berani
membentur beradu dada."
"Kita sedang bertempur," jawab Tatas Lintang, "kita
tidak sedang binten atau jotosan, yang memberi kesempatan
kita berganti-ganti menyerang tanpa ada kesempatan untuk
menghindar atau menangkis serangan itu."
"Persetan," sahut Mahisa Murti sambil menyerang.
Tetapi lawannya telah meloncat mendahului serangannya.
Dalam keadaan yang demikian ipaka Mahisa Murti pun
sampai pada satu keputusan untuk mempergunakan
ilmunya yang lain. Meskipun setiap kali ia merasa ragu,
bahwa ilmunya itu akan dapat dianggap sebagai ilmu yang
licik, sebagaimana setiap kali selalu mengganggu perasaan
Pangeran Singa Narpada yang mewariskan ilmu itu
kepadanya. Namun menghadapi lawannya yang mampu bergerak
terlalu cepat itu, ia tidak mempunyai pilihan lain.
Lawannya itu pun akan dapat disebut licik, karena ia tidak
pernah membenturkan kekuatan dan kemampuan
berhadapan. Tetapi selalu menghindari benturan dan
kemudian dengan cepat berusaha menyerang dari arah
belakang atau dari sisi. Karena itu, maka sejenak kemudian Mahisa Murti pun
telah mengambil jarak dari lawannya untuk mendapat
kesempatan membangunkan ilmunya yang lain.
Mahisa Pukat dan Mahisa Ura benar-benar menjadi
cemas melihat keadaan Mahisa Murti. Namun bagi Mahisa
Pukat, usaha Mahisa Murti untuk mengambil jarak ternyata
telah sedikit melapangkan dadanya, meskipun bagi Mahisa
Ura, segala sesuatu masih belum jelas. Tetapi Mahisa Pukat
melihat kemungkinan bahwa Mahisa Murti akan
mempergunakan ilmunya yang lain.
"Ia harus segera mulai," berkata Mahisa Pukat di dalam
hatinya, "Jika ia terlambat, maka ia tidak akan mampu
menyusul lagi." Sebenarnyalah Mahisa Pukat sudah tidak sabar lagi.
Seandainya ia sendiri yang harus melawan orang yang
menyebut dirinya bernama Tatas Lintang itu, maka ia
sudah berada di dalam ilmunya sejak tadi. Namun agaknya
Mahisa Murti lebih cermat mengamati kemampuan
lawannya. Demikianlah, maka Mahisa Murti pun telah
mengetrapkan ilmunya yang lebih sesuai untuk melawan
kemampuan ilmu Tatas Lintang.
Dalam pada itu Tatas Lintang sendiri tidak mengetahui
apa yang terjadi di dalam diri lawannya yang masih muda
itu. Namun ketika ia melihat sesuatu yang berbeda pada
langkah lawannya itu, maka orang yang memiliki
pengalaman yang sangat luas itu, mulai mengerti, bahwa
Mahisa Murti akan mempergunakan kemampuannya yang
masih tersimpan. "Apa lagi yang dapat dilakukan oleh anak itu?" bertanya
Tatas Lintang di dalam hatinya.
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti telah dengan tidak
sadar, merubah sikap dan tata geraknya. Ia tidak lagi terlalu
berusaha untuk menghindari serangan lawannya.
Namun ketika Tatas Lintang berhasil menyentuh
pundaknya, maka Mahisa Murti menyeringai menahan
sakit. Meskipun demikian, ia sama sekali tidak merubah
langkah-langkahnya. Beberapa kali lawannya berhasil mengenainya,
sementara itu Mahisa Murti merasa seluruh tubuhnya
bagaikan menjadi memar. Namun pada saat yang demikian, maka Mahisa Murti
pun telah membangunkan kedua macam ilmunya sekaligus.
Pada saat-saat tulang-tulangnya bagaikan retak.
Yang terjadi kemudian adalah pertempuran yang sangat
seru. Mahisa Murti berusaha untuk dapat membentur
kekuatan lawannya. Namun lawannya selalu berusaha
menghindarinya. Lawannya berusaha untuk dapat mengenai tubuh
Mahisa Murti dari arah yang lain.
Meskipun orang itu berhasil karena kemampuannya
bergerak terlalu cepat, namun sesuatu telah terasa asing di
dalam dirinya. Ada yang terasa terlepas dari padanya.
Seakan-akan memang ada yang hilang.
Karena itulah, maka Tatas Lintang yang memiliki
pengalaman yang luas itu pun berusaha untuk mengetahui
apa yang sebenarnya telah terjadi.
Beberapa kali orang itu dengan sengaja menyentuh tubuh
Mahisa Murti, meskipun ia masih selalu berusaha
menghindari benturan. Namun dengan beberapa kali
sentuhan, maka Tatas Lintang pun segera mengetahui,
apakah sebenarnya yang terjadi.
Sejenak kemudian, maka Tatas Lintang itu pun telah
berusaha mengambil jarak. Sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya orang itu kemudian berkata, "Bukan main anak
muda. Kau memiliki seperangkat ilmu yang sangat dahsyat.
Kau mampu membentur kekuatan lawan dengan ilmumu
yang nggegirisi dalam bentuknya yang keras. Namun kau
mampu juga membuat lawanmu membeku jika ilmumu kau
lontarkan dalam bentuknya yang lunak. Di samping itu kau
ternyata juga memiliki kemampuan untuk menghisap
kekuatan ilmu lawanmu pada setiap sentuhan. Dengan
demikian semakin sering kau tersentuh oleh serangan
lawan, maka lawanmu itu pun akan menjadi semakin
lemah." Mahisa Murti berdiri termangu-mangu. Seluruh
tubuhnya terasa nyeri. Beberapa kali tubuhnya telah dikenai
oleh serangan lawannya yang tubuhnya bagaikan sekeras
batu, sehingga tulang-tulangnya bagaikan menjadi
berpatahan. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti pun merasa yakin,
bahwa kekuatan dan kemampuan ilmu lawannya pun telah
berkurang. Untuk beberapa saat orang yang menyebut dirinya Tatas
Lintang itu masih berdiri termangu-mangu. Bahkan ia pun
kemudian berkata, "Anak muda, kau memiliki satu jenis
ilmu yang mengalir dari perguruan yang jarang sekali
didengar namanya. Namun menurut pendengaranku, ilmu
itu pernah menjamah keluarga istana Kediri."
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Orang yang
menyebut dirinya Tatas Lintang itu tentu orang memiliki
pengalaman dan pengetahuan yang sangat luas. Seakanakan
ia mampu menebak ilmu yang ada di dalam diri
Mahisa Murti itu. Baik yang diwarisinya dari ayahnya,
maupun yang diwarisinya dari Pangeran Singa Narpada.
Namun dalam pada itu, maka Tatas Lintang itu pun
berkata, "Anak muda. Selama empat puluh hari aku akan
mengalami kesulitan, karena baru setelah itu kekuatan dan
kemampuan ilmuku akan pulih kembali setelah sebagian
berhasil kau hisap. Jika dalam waktu itu aku menjumpai
lawan yang berilmu tinggi, maka aku akan kehilangan
kesempatan untuk mengimbangi kemampuannya dan
bahkan mungkin aku akan digilasnya sampai mati."
Mahisa Murti menggeram. Dengan nada datar ia
menjawab, "Aku tidak mempunyai cara lain. Tetapi aku
tidak mau kau bunuh dengan cara apapun. Aku yakin,
bahwa kau tentu tidak sekedar menjajaki ilmuku. Tetapi
kau tentu akan membunuhku dengan atau tidak dengan
anak-anakmu dari padepokan itu."
"Bukan salahmu jika timbul kesan yang demikian.
Tetapi baiklah. Meskipun sebagian dari kekuatan dan
kemampuan ilmuku telah kau hisap, tetapi aku masih
memiliki kemampuan yang cukup untuk mengalahkanmu,"
berkata orang yang menyebut dirinya Tatas Lintang itu.
"Baiklah," berkata Mahisa Murti, "aku sudah siap.
Lakukan apa yang paling baik buatmu."
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya kepada diri sendiri, "Bagaimanapun juga
aku harus menunjukkan bahwa aku memiliki kelebihan dari
padanya." Karena itu, maka sejenak kemudian orang yang
menyebut dirinya Tatas Lintang itu pun segera bersiap.
Dengan suara bergetar ia berkata, "Aku akan menyerangmu
dengan tanpa menyentuh tubuhmu."
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia sudah bersiap
menghadapi segala kemungkinan.
Demikianlah, maka orang yang bernama Tatas Lintang
itu-pun telah menghentakkan tangannya terjulur ke depan.
Dengan ketajaman penglihatan batinnya, Mahisa Murti
melihat semacam getaran sinar yang meluncur dari telapak
tangan orang itu. Meskipun hampir di seluruh tubuh Mahisa Murti masih
terasa nyeri namun Mahisa Murti masih mampu bergerak
dengan tangkas menghindari serangan itu.
Demikian getaran itu menyentuh tanah, maka seakanakan
telah terjadi ledakan yang mengejutkan. Asap
bagaikan tersembur dari dalam bumi menghembus dan
bahkan memancar dengan garangnya.
Tetapi Mahisa Murti sama sekali tidak tersentuh
serangan itu. Namun yang terjadi itu benar-benar telah
menggetarkan jantungnya. Sementara itu, Tatas Lintang itu
pun mengeluh dengan nada berat, "Anak muda. Yang
terjadi benar-benar menyulitkan kedudukanku. Ternyata
seranganku datang terlalu lamban setelah sebagian tenagaku
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terhisap oleh ilmumu. Tidak seorang pun yang mampu
menghindari seranganku jika aku dalam keadaan yang
wajar. Aku menyesal bahwa aku tidak mempergunakan
ilmuku ini sebelum kau berhasil melumpuhkan sebagian
dari kekuatanku." Mahisa Murti memang menjadi berdebar-debar. Ia
dengan demikian harus memperhitungkan orang itu sebaikbaiknya.
Jika tenaganya yang terhisap itu masih mampu
menunjukkan kekuatan yang sedemikian besarnya, maka
Mahisa Murti dapat membayangkan, betapa besarnya
tenaga dan kemampuan ilmunya, jika ilmunya masih utuh
sepenuhnya. Namun dalam pada itu, Tatas Lintang tidak menunggu
lebih lama lagi. Sekali lagi ia menghentakkan tangannya
dengan kedua telapak tangannya menghadap ke depan. Ia
telah mengulangi serangannya kembali.
Sekali lagi Mahisa Murti meloncat menghindar, sehingga
serangan itu tidak menyentuhnya.
Meskipun demikian Mahisa Murti merasakan satu
kesulitan. Ia akan sukar sekali dapat membenturkan
serangannya sehingga menyentuh tubuh lawannya.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun telah
mempergunakan ilmunya dalam ujudnya yang lunak.
Dengan demikian ia akan mampu mengurangi kemampuan
serangan lawannya. Sementara itu, ia masih tetap siap
mempergunakan kemampuan yang diwarisinya dari
Pangeran Singa Narpada. Ternyata usaha Mahisa Murti berpengaruh juga. Udara
yang dingin itu mampu menusuk ke dalam tubuh Tatas
Lintang yang kekuatan daya tahannya pun telah susut.
Sementara itu, lawannya pun tidak lagi mampu bergerak
secepat sebelum ia termakan oleh hisapan ilmu Mahisa
Murti. Meskipun demikian, namun serangan-serangan orang itu
masih saja sangat berbahaya bagi Mahisa Murti. Setiap kali
Mahisa Murti harus bergeser surut. Meloncat ke samping
dan sekali-sekali mengambil jarak.
Mahisa Pukat dan Mahisa Ura menyaksikan
pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran. Mahisa
Pukat pun kemudian mengerti bahwa Mahisa Murti telah
merubah lagi ujud ilmunya dengan ujud yang lunak,
sehingga udara pun terasa menjadi dingin. Apalagi jalur
serangan ilmu Mahisa Murti yang melihat lawannya.
Seandainya lawannya tidak memiliki ilmu yang sangat
tinggi dan daya tahan yang sangat kuat, maka ia pun tentu
telah membeku. Demikianlah pertempuran itu berlangsung dengan
sengitnya. Ilmu yang terpancar dari kedua belah pihak telah
beradu. Meskipun pada saat-saat terakhir Mahisa Murti masih
tetap merasa dalam kesulitan, tetapi ia masih mampu
menyelamatkan dirinya sendiri.
Bahkan kadang-kadang Mahisa Murti masih juga
mampu menembus ilmu lawannya dengan seranganserangan
wadagnya dan menyentuh lawannya itu. Namun
pada saat-saat terakhir, agaknya lawannya benar-benar
ingin mengakhiri pertempuran itu. Dengan demikian, maka
tiba-tiba saja ilmu lawannya itu bagaikan tercurah dari
dirinya. Bukan saja getaran cahaya yang meluncur dari
kedua telapak tangannya yang mengembang, namun tibatiba
semacam kabut yang berwarna keputih-putihan
bagaikan telah melibat tubuh Mahisa Murti.
Semula Mahisa Murti tidak merasakan akibat dari
libatan kabut putih yang tipis itu. Namun semakin lama
rasa-rasanya kabut itu telah membuat matanya menjadi
sangat pedas. Seakan-akan matanya itu telah tersentuh oleh
asap arang yang basah. "Gila," geram Mahisa Murti, "ilmu apa lagi yang
ditrapkan oleh orang itu?"
Namun Mahisa Murti tidak sempat berpikir terlalu
panjang. Serangan demi serangan datang beruntun.
Ketika matanya menjadi semakin pedih oleh asap yang
keputih-putihan maka ia pun merasa semakin sulit untuk
dapat menghindari serangan-serangan Tatas Lintang yang
lain, yang rasa-rasanya semakin cepat memburunya.
Dalam keadaan yang demikian, Mahisa Pukat pun
melihat kesulitan yang semakin mencengkam Mahisa
Murti. Bahkan kabut yang keputih-putihan itu agaknya
telah menebar dan menyentuhnya pula, sehingga Mahisa
Pukat dapat mengerti akibat yang ditimbulkan dari kabut
putih itu, karena matanya pun menjadi pedih.
Yang lebih cemas lagi adalah Mahisa Ura. Ia pun
melihat kesulitan yang dialami oleh Mahisa Murti. Bahkan
ia menjadi semakin berdebar-debar karena kabut putih itu.
Untuk beberapa saat Mahisa Pukat dan Mahisa Ura
menyaksikan pertempuran itu dengan jantung yang
berdegupan. Namun ketika Mahisa Murti menjadi semakin
terdesak, maka rasa-rasanya Mahisa Pukat tidak lagi dapat
berdiam diri. "Amati apa yang terjadi," desis Mahisa Pukat, "aku
akan turun ke arena. Orang itu memiliki ilmu yang luar
biasa. Kami akan menghadapinya berdua. Agaknya kami
masing-masing tidak akan mampu melawannya."
"Aku ikut bersama," berkata Mahisa Ura.
"Jangan. Kau harus mengamati keadaan. Siapa tahu
orang itu pun tidak sendiri," berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Ura mengangguk-angguk. Ia mengerti tugas
apakah yang harus dilakukannya.
Dalam pada itu, maka Mahisa Pukat pun telah bersiap
untuk memasuki arena. Ia tidak dapat membiarkan
saudaranya mengalami cidera dan bahkan mungkin parah,
bahkan lebih dari itu, Mahisa Murti akan dapat terbunuh di
dalam pertempuran itu. Sementara itu Mahisa Murti masih bertempur dengan
segenap kemampuan yang ada padanya. Lawannya itu
telah berhasil disentuhnya, justru pada saat-saat orang itu
menyerang dan mengenainya, sehingga kemampuannya
sebagian tentu saja sudah terhisap. Tetapi ternyata bahwa
dalam keadaan yang demikian, ia masih mampu
melontarkan ilmunya yang dahsyat dan nggegirisi.
Seandainya ilmunya itu masih utuh, maka tentu lebih
banyak lagi yang dapat dilakukannya.
Mahisa Murti tidak dapat mengingkari kenyataan itu.
Karena itu ketika melihat Mahisa Pukat bersiap, Mahisa
Murti sama sekali tidak mencegahnya. Ia memang masih
berada di bawah kemampuan orang yang menyebut dirinya
Tatas Lintang itu. Namun ketika Mahisa Pukat kemudian benar-benar
meloncat ke medan maka orang itu justru meloncat
menjauh. Dengan nada dalam ia bertanya, "Apakah kau
juga akan memasuki arena?"
"Ya," jawab Mahisa Pukat, "kami harus mengakui
kelebihanmu. Karena itu, kami telah memberikan satu
penghormatan yang sangat tinggi kepadamu. Kami akan
bertempur berpasangan."
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya dengan nada merendah, "Anak-anak
muda. Baiklah aku berterus terang aku tidak dapat
mengingkari satu kenyataan, bahwa aku tentu tidak akan
mampu melawan kalian berdua. Untuk melawan salah
seorang di antara kalian, aku sudah merasa sangat sulit,
apalagi jika aku harus berhadapan dengan dua orang
sekaligus. Karena itu, maka baiklah aku menghentikan
perlawananku." Mahisa Pukat termangu-mangu. Namun sebenarnyalah,
bahwa orang itu telah melepaskan serangan-serangannya.
Kabut yang berwarna keputih-putihan itu tidak lagi nampak
melibat Mahisa Murti atau bahkan menyentuh Mahisa
Pukat. Dalam keremangan malam, nampak orang itu
melangkah beberapa langkah maju. Namun sikapnya bukan
lagi sikap seseorang yang siap untuk bertempur.
"Sudahlah," berkata orang itu, "sejak semula aku sudah
mengatakan bahwa aku hanya sekedar menjajagi
kemampuan kalian bertiga. Kini aku tahu, bahwa kalian
memiliki ilmu yang sangat tinggi. Apalagi menilik umur
kalian yang masih sangat muda, sehingga dengan demikian
maka pada masa-masa mendatang, kalian akan dapat
menjadi orang yang jarang ada tandingnya."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu.
Sementara itu Mahisa Ura pun telah bergeser mendekat
pula. Namun dengan nada berat Mahisa Murti kemudian
bertanya, "Lalu, apa yang akan kau lakukan kemudian?"
"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin mengatakan bahwa
layaklah jika kalian berani mendekati padepokan itu dan
apalagi melihat apa yang terdapat di dalamnya," jawab
orang itu. "Dan kau akan memanggil anak-anakmu dan siap
mencincang kami bertiga?" bertanya Mahisa Pukat.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Aku sebenarnya orang lain. Aku tidak berasal
dari padepokan itu."
"Jadi siapakah sebenarnya kau?" bertanya Mahisa Pukat
dengan serta merta. Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya,
"Namaku memang Tatas Lintang. Memang nama yang
aneh. Tetapi itu memang namaku yang sebenarnya. Dan
aku memang tidak menjadi penghuni padepokan itu,
apalagi pemimpinnya."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura berdiri
mematung sejenak, namun kemudian Mahisa Pukat
melangkah maju sambil bertanya, "Jadi apakah maksudmu
sebenarnya?" Orang itu termangu-mangu. Lalu katanya, "Apakah aku
kalian perkenankan untuk bergabung dengan kalian"
Mungkin aku akan dapat berceritera serba sedikit tentang
padepokan itu." Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura tertegun
sejenak. Namun mereka melihat kesungguhan pada nada
bicara orang itu. "Aku dapat mengerti bahwa kalian menjadi ragu-ragu,"
berkata Tatas Lintang, "kita baru saja bertemu, justru
dengan cara yang mungkin tidak wajar. Namun dengan
demikian aku sempat mengetahui bahwa ilmu dari dua
perguruan yang besar mengalir di dalam tubuh kalian.
Meskipun sejak semula aku memang sudah menduga, tentu
kalian mempunyai bekal yang cukup, sehingga kalian
berani mendekati padepokan Wirabala."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat, dan Mahisa Ura terkejut
mendengar nama padepokan itu. Hampir diluar sadarnya
Mahisa Ura menyahut, "Apakah kau tidak salah menyebut
nama padepokan itu?"
Orang itu berpaling ke arah Mahisa Ura. Namun
kemudian ia-pun tersenyum sambil berkata, "Tidak. Aku
tidak salah sebut. Padepokan itu adalah padepokan
Wirabala. Mungkin yang kau maksud adalah padepokan
Suriantal, sehingga kau mengira aku salah sebut."
"Ya. Padepokan Suriantal," ulang Mahisa Ura.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Ada benturan terjadi di dalam padepokan itu.
Padepokan itu semula memang bernama Suriantal. Namun
kemudian yang berkuasa adalah orang-orang dari
padepokan Wirabala."
"O," Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun
kemudian ia pun bertanya, "Kau mengetahui banyak
tentang padepokan itu. Tetapi bagaimanakah peristiwa
pengambilan Mahkota yang gagal itu" Agaknya ceritera itu
akan sangat menarik."
"Tidak begitu jelas," jawab Tatas Lintang, "namun
Pangeran Singa Narpada bersama beberapa orang berhasil
menggagalkannya. Dan aku melihat ilmu Pangeran itu
mengalir di dalam dirimu."
Jantung Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi
semakin berdebar debar. Demikian pula Mahisa Ura.
Namun debar jantungnya justru karena ia semakin
mengenali kedua anak muda yang diakunya sebagai
adiknya itu. "Baiklah," berkata Mahisa Murti, "kau melihat bahwa
aku mewarisi ilmu sebagaimana dimiliki oleh Pangeran
Singa Narpada. Tetapi apakah maksudmu sebenarnya.
Kami akan mempertimbangkan niatmu untuk bergabung
dengan kami, jika kami dapat mengerti penjelasanmu
tentang sikapmu itu."
"Aku adalah seorang pengembara," berkata orang itu,
"Tetapi aku mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
orang-orang dari perguruan Suriantal. Sejak di padepokan
itu terjadi perpecahan, aku tidak mau mencampurinya. Aku
justru menjauhinya dan menunggu sampai terjadi satu
pengendapan atas persoalan yang terjadi sebagaimana
dikehendaki oleh orang-orang Suriantal sendiri. Namun
ternyata bahwa ada pihak lain yang ikut mencampurinya.
Orang-orang dari padepokan Wirabala telah mengambil
keuntungan dari perselisihan yang terjadi di padepokan
Suriantal itu." Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura
mengangguk-angguk. Sementara itu orang itu pun berkata,
"Bagaimana menurut pendapatmu" Apakah kalian setuju
aku bergabung dengan kalian?"
Mahisa Murti memandang Mahisa Pukat sekilas.
Mereka berdua ternyata merasakan kesungguhan
keterangan Tatas Lintang itu, sehingga ketika Mahisa Murti
mengangguk kecil, maka Mahisa Pukat pun mengangguk
pula. Dalam pada itu, Mahisa Ura tidak lagi terlalu banyak
menentukan sikap. Diserahkannya segala sesuatunya
kepada kedua orang kakak beradik itu yang ternyata
memiliki kelebihan dihampir segala hal daripadanya.
Karena itulah, maka Mahisa Murti pun kemudian
menjawab, "Baiklah Ki Sanak. Kami tidak berkeberatan.
Tetapi sebagaimana kau, kami pun pengembara yang tidak
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mempunyai tempat tinggal yang tetap."
"Aku justru ingin mempersilahkan kalian singgah di
pondokku," berkata orang yang menyebut dirinya Tatas
Lintang itu. "Kau mempunyai pondok di dekat tempat ini?"
bertanya Mahisa Pukat. "Ya Aku tinggal di sebuah gubug kecil di padukuhan
yang tidak terlalu jauh dari tempat ini," berkata Tatas
Lintang, "aku berhasil mendapatkan sebidang kecil tanah
karena aku sempat menolong seorang anak yang tergelincir
masuk ke dalam jurang yang tidak dapat memanjat naik.
Pertolonganku memang tidak seberapa. Aku
menggendongnya naik dan membawanya kembali
kekeluarganya. Namun keluarganya yang agaknya
berkecukupan itu telah memberikan hadiah kepadaku. Dan
aku minta untuk diperkenankan tinggal di sudut
pategalannya yang berhimpitan dengan dinding
padukuhan." "Kau mendapatkan apa yang kau inginkan?" bertanya
Mahisa Pukat. "Ya," jawab orang itu.
"Dan kau berhasil tinggal, dekat padepokan Suriantal?"
bertanya Mahisa Murti pula.
"Ya. Sebagaimana kau lihat," jawab orang itu.
Mahisa Murti mengangguk-angguk, Lalu katanya,
"Baiklah. Kami akan bersedia memenuhi undanganmu."
"Jika kau sudah melihat pondokku, maka kau tidak
akan mencurigai aku lagi. Aku berkata sebenarnya," desis
orang itu. "Baiklah. Aku akan membiasakan diri untuk tidak
curiga lagi kepadamu," jawab Mahisa Murti.
Dengan demikian maka mereka berempat pun
kemudian, meninggalkan lingkungan yang basah itu.
Mereka melintasi daerah berlumpur beberapa ratus langkah.
Kemudian mereka naik ke sebuah tebing yang tidak terlalu
tinggi. Setelah menyeberangi padang perdu, maka mereka
mulai merambah tanah persawahan.
Meskipun malam gelap, tetapi Mahisa Murti, Mahisa
Pukat dan Mahisa Ura berusaha untuk mengenali
lingkungan yang dilaluinya. Dengan ketajaman
pengamatan seorang pengembara, maka mereka dapat
mengingat beberapa ciri yang berkesan yang terdapat di
sepanjang perjalanan mereka.
Untuk beberapa saat mereka telah menelusuri jalan
bulak. Mereka menghindari padukuhan di hadapan mereka,
sehingga karena itu, maka mereka telah melalui pematang
yang menyilang di tengah sawah.
Baru beberapa saat kemudian, maka mereka telah
memasuki sebuah pategalan.
"Pategalan ini bergandengan dengan padukuhan,"
berkata orang yang menyebut dirinya Tatas Lintang, "tetapi
aliran air agak kurang baik, sehingga sawah di lingkungan
ini telah dirubah menjadi pategalan. Ada rencana untuk
perluasan padukuhan."
"Apakah tidak dikhawatirkan bahwa sumber bahan
makanan akan menjadi susut. Jika sawah berubah menjadi
pategalan, dan pategalan kemudian menjadi daerah
berpenghuni, maka akhirnya tidak ada lagi tempat untuk
menanam padi dan jagung," berkata Mahisa Murti.
"Tidak anak muda," jawab Tatas Lintang, "beberapa
orang telah menebang hutan dan menjadikannya tanah
persawahan." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan.
Mereka teringat kepada usaha beberapa pihak di Kediri
untuk menghancurkan masa depan dengan menebangi
pepohonan bahkan di lereng-lereng pegunungan sehingga
tidak ada lagi yang dapat menahan arus air jika hujan turun.
Kecuali banjir, maka kulit pegunungan akan terkelupas dan
di musim kering, maka tanah di kaki bukit akan kering dan
merekah. Agaknya orang yang bernama Tatas Lintang itu melihat
kebimbangan di wajah anak-anak muda itu menanggapi
keterangannya. Karena itu, maka katanya, "Tetapi orangorang
padukuhan itu melakukannya dengan cukup berhatihati.
Mereka tidak menebas hutan sehingga buminya
kehilangan nafas kesegarannya."
"Syukurlah," desis Mahisa Pukat, "mudah-mudahan
mereka tetap pada pendiriannya meskipun lingkungannya
menjadi semakin sempit. Jika mereka ingin membuka
hutan, maka sebaiknya mereka mengambil jarak."
"Aku kira mereka akan berbuat seperti itu," berkata
Tatas Lintang, "seseorang akan menjadi cikal bakal dan
akan selalu dikenang oleh anak keturunannya jika ia
berhasil mengembangkan satu lingkungan baru."
"Kau akan melakukannya?" bertanya Mahisa Pukat
tiba-tiba. "Tidak anak muda," jawab Tatas Lintang, "aku tinggal
di daerah yang sudah lama dibuka menjadi padukuhan.
Aku tidak akan disebut cikal bakal, justru karena aku tidak
lebih dari seorang yang mendapat belas kasihan dari salah
seorang penghuni padukuhan itu."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk, sementara itu
mereka menyuruk lebih dalam mendekati dinding
padukuhan. Sebenarnyalah, ketika mereka sampai di sudut pategalan,
mereka mendapatkan sebuah gubug yang tidak begitu besar.
Dibatasi oleh secabik halaman yang berpagar kayu dan
potongan dahan-dahan. Tidak ada regol halaman dan tidak
ada bagian-bagian yang biasanya terdapat pada lingkungan
sebuah rumah. "Inilah," berkata orang itu, "Bukankah benar-benar
sebuah gubug kecil, sebagaimana gubug untuk menunggui
burung di sawah." Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura tidak
menjawab. Mereka mengikuti saja orang itu memasuki
halamannya. Namun demikian mereka bertiga tidak
kehilangan kewaspadaan. Orang itulah yang kemudian membuka pintu dan
memasuki ruang rumahnya yang gelap.
"Tunggulah," katanya, "aku akan membuat api."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura menunggu
di halaman ketika Tatas Lintang membuat api dengan batu
thithikan yang digesek dengan potongan baja. Bunga api
yang timbul telah membakar amput aren yang dikeringkan.
Dengan menghembus-hembus amput aren itu membara
semakin besar sehingga ketika diletakkan biji jarak, maka
biji jarak itu pun kemudian menyala menerangi ruang yang
tidak terlalu luas. "Kemarilah," berkata Tatas Lintang kepada ketiga orang
yang menunggu di luar. Ia pun kemudian telah menyalakan
oncor biji jarak yang dirangkainya cukup panjang dengan
lidi dan diselipkan pada sebuah ajug-ajug bambu.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun telah
memasuki pondok orang yang menyebut dirinya Tatas
Litang itu. Sejenak mereka termangu-mangu memandang
sekeliling ruangan itu. Yang terdapat di ruang itu hanyalah
sebuah amben yang besar, sebuah sosok untuk
menempatkan gendi yang agaknya berisi air minum, sebuah
tudung kepala dari anyaman bambu yang lebar dan
beberapa alat untuk bekerja di sawah dan di pategalan.
"Aku adalah seorang petani yang bekerja untuk pemilik
pategalan ini. Aku sendiri tidak mempunyai tanah kecuali
halaman ini, yang merupakan pemberian dari orang yang
anaknya telah aku tolong itu," berkata Tatas Lintang.
Ketiga orang tamu Tatas Lintang itu menganggukangguk.
Mereka melihat kesederhanaan hidup Tatas
Lintang itu. Namun mereka pun telah melihat apa yang ada
di balik kesederhanaannya itu.
"Orang yang memberikan tanah ini tidak melihat apa
yang sebenarnya tersimpan di dalam diri Tatas Lintang ini,"
berkata Mahisa Murti di dalam hatinya.
Demikianlah maka mereka bertiga telah berada di rumah
seorang yang baru saja dikenalnya dengan cara yang aneh.
Dengan nada datar Tatas Lintang itu pun kemudian
berkata, "Aku hanya mempunyai sebuah amben yang besar
itu. Kita berempat akan tidur di amben itu. Apakah kalian
berkeberatan?" Mahisa Murti lah yang menjawab, "Kami adalah
pengembara. Kami terbiasa tidur di atas rerumputan kering.
Berselimut awan beratapkan langit."
Tatas Lintang tersenyum. Katanya, "Baiklah. Dengan
demikian maka tempat pembaringan tidak menjadi
persoalan kita. Nah, jika demikian, tidurlah. Atau
barangkali kalian akan pergi ke pakiwan lebih dahulu"
Masih ada sisa malam untuk beristirahat. Aku akan
merebus air. Mungkin kalian tidak terbiasa minum air putih
dari dalam gendi." "Sudah aku katakan, kami adalah pengembara. Kami
dapat meneguk air dari belik. Apalagi dari gendimu," jawab
Mahisa Murti pula. Tatas Lintang tersenyum. Katanya, "Bagus. Kalian
benar-benar pengembara yang baik."
Namun mereka masih juga pergi ke pakiwan untuk
mencuci kaki dan tangan sebelum mereka naik ke
pembaringan. Namun bagaimana pun juga, Mahisa Murti, Mahisa
Pukat dan Mahisa Ura tetap berhati-hati. Dengan
menggamit Mahisa Pukat, Mahisa Murti memberikan
isyarat, agar mereka bergantian tidur.
Pada sisa malam Mahisa Pukatlah yang tertidur lebih
dahulu. Baru menjelang pagi Mahisa Murti menggamitnya
dan kemudian bergantian tidur untuk sekejap.
Ketika udara menjadi terang, Mahisa Murti masih
dibiarkan saja tidur meskipun Mahisa Pukat dan Mahisa
Ura sudah terbangun. Mereka tidak melihat Tatas Lintang
di tempatnya. Namun mereka mendengar suara perapian
yang menyala di belakang rumah, sementara asap mengepul
menerobos lubang-lubang dinding.
"Agaknya Tatas Lintang sedang menjerang air," desis
Mahisa Ura. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan
pergi ke pakiwan. Kau kawani Mahisa Murti."
Mahisa Ura mengangguk. Namun ketika Mahisa Pukat
bangkit berdiri, derit amben telah membangunkan Mahisa
Murti. "Aku kesiangan," desis Mahisa Murti.
"Tidak. Matahari belum terbit," jawab Mahisa Pukat.
Dengan demikian, maka Mahisa Ura tidak lagi harus
menunggui Mahisa Murti yang sudah bangun. Bahkan
mereka bertiga pun segera keluar dari pondok itu untuk
pergi ke pakiwan. Di siang hari, mereka bertiga dapat melihat dengan jelas,
halaman rumah Tatas Lintang yang tidak terlalu luas.
Tetapi di bagian belakang, kebun Tatas Lintang itu penuh
ditanami jagung, sedang di sepanjang pagar halaman yang
hanya dibuat dari potongan-potongan dahan kayu itu telah
ditanami ketela pohon. Sejak hari itu, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan
Mahisa Ura telah menjadi tamu seorang yang bernama
Tatas Lintang, yang tinggal di sebuah pondok kecil di sudut
pategalan. Kepada ketiga orang itu Tatas Lintang berkata, "Kalian
mulai hari ini adalah tamu-tamuku. Jika orang-orang di
padukuhan itu bertanya, maka aku akan mengatakan,
bahwa kalian adalah kemanakanku dari padukuhan asalku,
sebelum aku pergi mengembara."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura
mengangguk. Tetapi pada wajah mereka nampak keraguraguan.
"Apakah ada sesuatu yang membuat kalian
berkeberatan?" "Kenapa aku?" bertanya Tatas Lintang.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian ia pun telah menceriterakan kepada Tatas
Lintang tentang orang bertongkat yang pernah
dijumpainya. Tentang harimau yang mencurigakan dan
kehadiran orang bertongkat itu di banjar tempat Mahisa
Murti tinggal untuk beberapa hari.
"Apakah kau tidak berkeberatan?" bertanya Mahisa
Murti, "Tempat ini terletak tidak terlalu jauh dari daerah
yang mungkin dijangkau oleh orang bertongkat itu atau
para pengikutnya." Tatas Lintang itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu
katanya, "orang itu adalah orang yang luar biasa."
"Aku tidak tahu kekuatan ilmunya yang sebenarnya,"
berkata Mahisa Murti, "Tetapi aku pun yakin bahwa ia
mempunyai kelebihan."
"Aku pernah juga bertemu dengan orang itu tanpa
menarik perhatiannya," berkata Tatas Lintang.
"Berbeda dengan kami," jawab Mahisa Murti, "kami
telah berdiri berseberangan. Antara lain karena batu yang
berwarna kehijauan itu."
"Biarlah," berkata Tatas Lintang, "jika kehadiran kalian
di tempat ini menarik perhatiannya. Bukankah kita sudah
bertekad untuk berbuat sesuatu" Tetapi mudah-mudahan
segalanya itu tidak terjadi sebelum ampat puluh hari ampat
puluh malam." "Kenapa dengan ampat puluh hari ampat puluh
malam?" bertanya Mahisa Pukat.
Orang itu menarik nafas. Namun kemudian ia pun
tersenyum sambil menjawab, "Salahku. Aku terlambat
menyadari, bahwa kalian memiliki ilmu yang sama dengan
ilmu Pangeran Singa Narpada. Meskipun masih dalam
hitungan sebagian kecil, tetapi kemampuanku benar-benar
telah susut. Baru setelah ampat puluh hari ampat puluh
malam, kekuatan dan kemampuan ilmuku itu akan pulih
kembali sebagaimana sebelumnya. Sehingga apabila aku
harus bertemu dengan orang bertongkat itu aku sudah
membawa bekal sepenuhnya. Jika dengan demikian aku
akan dikalahkannya, maka sebenarnyalah aku memang
belum mencapai tataran yang sama dengan orang
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertongkat itu. Namun saat ini aku mempunyai ganti dari
kekurangan di dalam diriku itu. Kehadiran kalian
memberikan ketenangan di dalam diriku, karena kalian
mempunyai kemampuan yang sangat tinggi."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura justru
termangu-mangu. Bahkan Mahisa Murti pun kemudian
menjawab, "Kau jangan memuji. Kau akan kecewa
menghadapi kenyataan tentang kami yang tidak memiliki
kemampuan apapun juga."
"Jangan kau kira aku sekedar berbasi-basi. Aku sudah
menjajagi ilmumu. Bahkan sehingga ilmuku sendiri susut
dan baru akan pulih kembali setelah ampat puluh hari
ampat puluh malam," sahut Tatas Lintang, "aku berkata
sebenarnya. Namun aku pun berpendapat, jika kalian setuju
dan tidak tergesa-gesa, selama ampat puluh hari ampat
puluh malam kita tidak mendahului mengambil langkah
atas padepokan itu. Biarlah kalian berada di sini dan
membantuku menggarap sawah. Sementara itu aku sempat
memulihkan kekuatan dan kemampuanku. Sokurlah jika
aku dapat mempercepat pemulihan itu sehingga kita pun
akan semakin cepat pula menyelesaikan tugas kita. Kecuali
jika pada waktu sebelum ampat puluh hari ampat puluh
malam, merekalah yang bertindak lebih dahulu. Apa boleh
buat." Mahisa Murti memandang Mahisa Pukat sejenak.
Kemudian dipandanginya Mahisa Ura yang termangumangu.
Agaknya mereka pun ternyata masing-masing tidak
mempunyai keberatan. Karena itu, maka ketika Mahisa
Murti bertanya, Mahisa Pukat pun dengan serta merta
menjawab, "Kita tidak tergesa-gesa."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah.
Aku akan menunggu sampai kau siap."
"Terima kasih," berkata Tatas Lintang, "dengan
demikian maka aku semakin yakin, bahwa kalian benarbenar
telah cukup masak untuk mengemban tugas yang
sangat berat ini. Kecuali bekal kalian yang cukup lengkap,
sikap jiwani kalian pun cukup meyakinkan."
"Sekali lagi aku minta, kau tidak usah memuji," jawab
Mahisa Murti, "apa yang aku lakukan adalah sekedar
didorong oleh keinginan untuk mendapatkan kawan dalam
tugas ini meskipun mungkin pada akhirnya, kita akan
berselisih jalan." "Tidak. Kita tidak akan berselisih jalan," berkata Tatas
Lintang, "kelak aku akan membuktikannya."
"Terima kasih," berkata Mahisa Murti, "kami adalah
saksi dari setiap kata-katamu."
"Sementara itu, biarlah kalian menyesuaikan diri
dengan cara hidupku. Aku adalah seorang petani yang tidak
memiliki tanah sendiri. Aku bekerja kepada orang lain,
kepada pemilik pategalan ini. Dengan kerja itu aku
mendapat upah yang dapat aku pergunakan untuk
menunjang hidupku di samping hasil tanamanku disecuwil
tanah ini," berkata Tatas Lintang.
"Aku tidak yakin," berkata Mahisa Pukat.
"Apa yang tidak meyakinkan?" bertanya Tatas Lintang.
"Kau tidak memerlukan upah itu. Juga hasil tanah yang
hanya setelapak kakimu itu," jawab Mahisa Pukat, "kau
tentu seorang yang berada di tempat ini dengan bekal,
selain ilmu, juga bekal kebutuhan hidupmu."
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun
tersenyum. Dengan nada datar ia pun bergumam,
"Dengan demikian aku pun yakin bahwa kalian melakukan
hal yang sama." "Kami adalah pedagang batu berharga dan wesi aji,
bahkan juga emas dan hasil kerajinan logam yang lain,"
jawab Mahisa Pukat, "karena itu, maka kami dapat hidup
dalam pengembaraan."
Tetapi Tatas Lintang tertawa. Katanya, "Selama kau
mengembara berapa buah barangmu yang laku" Wesi aji
atau batu berharga" Atau barangkali kau sudah berhasil
menjual batu berwarna kehijauan di bukit kecil itu?"
Mahisa Pukat pun tertawa. Bahkan Mahisa Murti dan
Mahisa Ura pun tertawa pula.
Demikianlah, maka sejak hari itu, ketiga orang tamu
Tatas Lintang yang diakunya sebagai kemanakannya itu
telah diperkenalkan kepada orang yang memberinya
sebidang tanah di sudut pategalan itu, dan memberi
tahukan bahwa mereka untuk beberapa pekan akan tinggal
bersamanya. "Mereka adalah anak-anak petani. Mereka akan dapat
membantu aku mengerjakan pategalan dan sawah di
sebelah pategalan," berkata Tatas Lintang.
"Aku tidak mempunyai keberatan," berkata pemilik
tanah, "jika ternyata mereka juga mampu bekerja dengan
baik, aku akan memberikan upah sebagaimana aku berikan
kepadamu." "Terima kasih," jawab Tatas Lintang sambil
mengangguk hormat, "jika ada kemurahan itu, maka
mereka tidak akan menjadi beban yang sangat berat bagiku,
karena mereka akan dapat makan dari kerja mereka
sendiri." "Beruntunglah mereka, karena justeru pada musim
tanam palawija seperti ini mereka berada di rumahmu,"
berkata pemilik tanah itu.
Sejak saat itu, maka Mahisa Murti, dan Mahisa ura telah
ikut bersama Tatas Lintang pergi ke sawah di siang hari.
Namun di malam hari Tatas Lintang telah melakukan
pemusatan nalar budi untuk memulihkan kekuatan dan
kemampuan ilmunya yang terhisap oleh ilmu Mahisa
Murti. Namun pada hari yang ketiga, Tatas Lintang itu pun
berkata, "Anak-anak muda. Sebenarnyalah bahwa aku
ingin pertemuan ini bukanlah satu peristiwa kebetulan yang
sia-sia. Aku mengerti, bahwa kalian adalah murid dari
seorang yang mewarisi ilmu Bajra Geni dan murid dari
pewaris ilmu sebagaimana dimiliki oleh Pangeran Singa
Narpada. Aku mengerti bahwa kedua ilmu itu apabila telah
berkembang dan menjadi masak di dalam diri kalian, maka
kalian akan menjadi orang yang jarang ada bandingnya,"
orang itu berhenti sejenak, lalu, "tetapi meskipun demikian,
jika kalian tidak berkeberatan, apakah kalian bersedia untuk
menerima beberapa petunjukku untuk mengembangkan
ilmu yang telah ada di dalam diri kalian. Waktu yang
tersedia adalah ampat puluh hari ampat puluh malam
dikurangi beberapa hari yang telah kita lewati. Aku kira,
kita mempunyai waktu yang cukup. Sementara itu,
sebenarnyalah bahwa aku sudah tidak mempunyai siapasiapa
lagi." Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura saling
berpandangan sejenak. Namun kemudian Mahisa Murti
pun bertanya, "Apakah kau berkata dengan jujur?"
"Aku berkata dengan jujur," jawab orang itu, "Biarlah
kita akan saling menguntungkan. Jika kalian bersedia, maka
mudah-mudahan aku dapat memberikan arti bagi masa
depan kalian bertiga."
"Apakah yang akan kami dapatkan?" bertanya Mahisa
Pukat. "Mudah-mudahan aku akan dapat ikut membuka
kemungkinan bagi ilmu kalian. Kalian telah mampu
mengembangkan ilmu kalian dalam ujudnya yang lunak
dan yang keras. Namun kalian masih belum
memperlihatkan, atau barangkali belum saja kalian
pergunakan, bahwa kalian mampu mengetrapkan
kemampuan ilmu itu untuk sasaran yang dipisahkan oleh
jarak beberapa langkah dari kalian," jawab orang itu.
"bukan saja ilmu kalian dalam ujudnya yang lunak, tetapi
juga dalam ujudnya yang keras. Kalian dapat melontarkan
kekuatan ilmu kalian untuk menyerang lawan kalian
dengan kemampuan dan kekuatan sebagaimana wadag
kalian langsung menyentuhnya."
"Apakah yang kau maksud, kemampuan melakukannya
sebagaimana kau lakukan?" bertanya Mahisa Pukat.
"Ya. Namun dengan lambaran ilmu yang berbeda,
sehingga dengan demikian akan mempunyai akibat yang
berbeda pula. Jika kalian mampu melakukannya, maka
ilmu yang kalian miliki akan mempunyai akibat yang lebih
dahsyat dari dasar ilmu yang aku miliki. Baik dalam
ujudnya yang lunak, maupun dalam ujudnya yang keras,"
jawab orang itu. Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi ia pun
bertanya, "Apakah dengan demikian ilmu yang telah ada di
dalam diriku itu tidak akan terpengaruh?"
"Aku tidak akan menyentuh ilmu dan kemampuan yang
telah ada di dalam dirimu. Aku hanya ingin menunjukkan
satu cara sehingga kau dapat mengetrapkan ilmumu atas
sasaran yang berjarak dari kemungkinan sentuhan
wadagmu. Kau telah mempunyai dasar dengan melepaskan
ilmumu dalam ujudnya yang lunak. Namun kau belum
mengetrapkannya pada ujudnya yang keras sebagaimana
menurut penglihatanku. Mungkin kau mampu
memancarkan jalur panas dari dalam dirimu sebagaimana
jalur yang dapat melibat seseorang dalam kebekuan. Tetapi
kemampuannya masih belum memadai, sehingga bagi
mereka yang memiliki daya tahan yang kuat, maka
serangan itu tidak akan banyak berarti. Namun jika kalian
mampu mempergunakan kemampuan dan ilmu itu menurut
kemungkinan yang dapat kau kembangkan sebagaimana
aku lakukan, maka kemungkinannya akan menjadi lebih
baik. Sedangkan jika ternyata kalian tidak merasa perlu
untuk memperdalam lagi, maka apapun yang terjadi, tidak
akan mempengaruhi apa yang telah ada di dalam dirimu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu.
Namun ternyata bahwa Mahisa Ura tidak tahan lagi
menekan perasaannya, sehingga karena itu, maka tiba-tiba
saja ia berkata, "Ki Sanak, aku tidak akan dapat ikut dalam
pengembangan ilmu itu. Aku mempunyai dasar ilmu dan
kemampuan yang jauh berbeda."
Tatas Lintang mengerutkan keningnya. Dilihatnya
kegelisahan yang sangat telah mencengkam perasaan
Mahisa Ura. "Apa sebenarnya yang terjadi?" bertanya Tatas Lintang.
Mahisa Murtilah yang menjawab, "Kakakku yang tertua
itu tidak sempat memiliki ilmu sebagaimana aku miliki. Ia
tidak berguru pada guru yang sama, sehingga karena itu, ia
membawa bekal yang berbeda dari bekal yang ada pada diri
kami berdua." Tatas Lintang mengangguk-angguk. Namun ia pun
kemudian menjawab, "Tidak apa-apa. Pada dasarnya
dengan bekal ilmu yang manapun juga, serangan
sebagaimana aku lakukan itu dapat dilakukan. Yang
berbeda adalah kekuatan serangan itu sendiri."
Sebelum Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyahut,
Mahisa Ura telah mendahuluinya, "bekal ilmuku jauh
berada di bawah kemampuan kedua adikku itu. Aku sama
sekali tidak memiliki dan mewarisi ilmu sebagaimana
diwarisinya." Tatas Lintang mengangguk-angguk. Katanya, "Kita akan
mencoba, apa saja yang mungkin kau lakukan."
Mahisa Ura masih tidak puas mendengar jawaban Tatas
Lintang. Itulah sebabnya maka ia pun telah mengatakan
apa yang ada di dalam dirinya. Batas kemampuan yang
dimilikinya dan kelemahan-kelemahan yang ada padanya.
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Namun dengan
keterangan itu, ternyata bahwa Mahisa Ura pun memiliki
kemampuan ilmu betapapun panjang jaraknya dengan
kemampuan dan ilmu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Namun dengan bekal yang kecil itu, Mahisa Ura pun akan
dapat melakukannya. "Tetapi daya dan kekuatan serangan itu pun tidak akan
dapat sama dan seimbang dengan daya dan kekuatan ilmu
kedua saudaramu," berkata Tatas Lintang.
Mahisa Ura mengangguk-angguk. Katanya, "Jika
memang aku mendapat kesempatan, maka aku akan sangat
berterima kasih. Tentu saja aku harus menyadari alas yang
ada di dalam diriku."
"Kita akan mencobanya," berkata Tatas Lintang.
Demikianlah, maka untuk malam-malam berikutnya,
Tatas Lintang tidak saja menghabiskan waktunya untuk
bersamadi agar mendapatkan kemampuannya kembali
seutuhnya. Namun ia pun telah membawa ketiga orang
tamunya ke tempat yang tidak pernah didatangi oleh
seseorang. "Lakukanlah," berkata Tatas Lintang kepada ketiga
orang itu. Perlahan-lahan Tatas Lintang telah memberikan
beberapa petunjuk kepada ketiga orang itu. Setapak demi
setapak. Bahkan tidak terasa adanya kesulitan sama sekali.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahira Ura pun
mengikuti segala petunjuk orang yang menyebut dirinya
Tatas Lintang itu. Namun terutama Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat, melangkah dengan sangat berhati-hati.
Setiap laku diperhitungkannya baik-baik. Jika mereka yakin
tidak akan mempengaruhi ilmu yang telah ada di dalam
dirinya apalagi kemungkinan terjadinya benturan, maka
mereka baru melakukannya.
Pada hari pertama keduanya telah menemukan
keyakinan di dalam diri, bahwa Tatas Lintang
melakukannya dengan jujur. Tidak ada persoalan sama
sekali dengan ilmu yang ada di dalam dirinya. Yang
diberikan oleh Tatas Lintang adalah laku untuk
memusatkan kemampuan ilmunya untuk dengan satu
hentakan kekuatan melepaskannya ke arah satu sasaran.
Meskipun demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
tetap berhati-hati pada hari-hari berikutnya.
Dengan tuntunan Tatas Lintang, maka setapak demi
setapak mereka bertiga mengalami kemajuan dari ke hari ke
hari. Terutama Mahisa Murti dan Mahisa-Pukat. Pada hari
ke lima belas, mereka telah mampu melontarkan kekuatan
ilmunya, baik dalam ujudnya yang lunak, maupun dalam
ujudnya yang keras ke arah sasaran tertentu.
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pada saat yang sama, mulai nampak pula kemampuan
Mahisa Ura meskipun baru pada tataran permulaan.
Namun tanda-tandanya telah nampak, bahwa ia pun akan
berhasil untuk melakukannya.
Demikianlah, tanpa mengenal lelah, ketiga orang itu
menempa diri dalam laku yang ditunjukkan oleh Tatas
Lintang. Sejak matahari terbenam, sampai saatnya matahari
akan terbit lagi. Sementara pada hari-hari berikutnya, Tatas Lintang
sudah tidak perlu menuntun mereka lagi. Tatas Lintang
telah membiarkan ketiga orang itu menyempurnakan laku
mereka untuk mencapai satu tataran yang mapan dari
penguasaan ilmu yang diajarkan oleh Tatas Lintang itu.
Sedangkan Tatas Lintang sendiri dapat memusatkan waktuwaktu
yang tertinggal untuk memulihkan tingkat
kemampuannya pada tataran sebagaimana dimiliki semula.
Meskipun pada malam hari mereka mempergunakan
hampir seluruh waktu mereka untuk kepentingan
penempaan diri, namun di siang hari mereka pun bekerja
dengan baik sebagaimana seharusnya, sehingga sama sekali
tidak menumbuhkan kesan, bahwa di malam hari mereka
hampir semalam suntuk tidak penah tidur selama ampat
puluh malam. Hanya menjelang senja, kadang-kadang mereka sempat
tidur barang sejenak bergantian. Setelah kerja di sawah
selesai, maka mereka dapat beristirahat sebelum pada
malam harinya, begitu matahari terbenam mereka akan
tenggelam di dalam laku yang berat.
Namun setelah hari ke ampat puluh mereka lewati,
ternyata Tatas Lintang masih memerlukan waktu beberapa
hari lagi untuk memulihkan kemampuannya sepenuhnya.
Waktu yang ampat puluh malam baginya telah disusut bagi
kepentingan Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura.
Namun dengan senang hati Mahisa Murti, Mahisa Pukat
dan Mahisa Ura pun memenuhinya, karena mereka
menganggap bahwa kehadiran Tatas Lintang di dalam
lingkungan mereka, telah memberikan kemajuan yang
sangat berarti bagi ilmu mereka. Meskipun yang mereka
sadap dari Tatas Lintang tidak meningkatkan ilmu yang ada
di dalam diri mereka, tetapi mereka telah mendapatkan satu
kemungkinan baru dalam penguasaan ilmu mereka. Mereka
memiliki kemampuan untuk melontarkan ilmu pada
sasaran yang terpisah dari sentuhan wadag mereka.
Meskipun pada saat-saat tertentu, Mahisa Murti, Mahisa
Pukat dan Mahisa Ura teringat pula kepada batu yang
berwarna kehijauan serta orang tua bertongkat, namun
karena mereka justru sedang meningkatkan penguasaan
ilmu yang mereka sadap dari Tatas Lintang, maka mereka
seolah-olah telah melupakannya.
Namun pada satu saat Mahisa Pukat pun sempat
bertanya, "Bagaimana dengan batu itu?"
"Jika batu itu telah disingkirkan, apa boleh buat.
Sasaran utama kita adalah padepokan orang-orang
bertongkat serta orang tua itu yang ternyata memiliki
ceritera yang sangat menarik sebagaimana dikatakan oleh
Tatas Lintang," berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Kita
tidak terlalu berkepentingan dengan batu itu, meskipun jika
mungkin dapat kita manfaatkan."
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, "Sebagai pedagang
batu berharga, maka batu itu sangat menarik. Tetapi sebagai
seorang petugas yang mendapat beban tugas dari Kediri,
kita harus dapat memalingkan kepentingan kita."
Mahisa Pukat tidak menjawab. Ia memang sependapat
dengan Mahisa Murti. Dalam pada itu, setelah lima puluh malam lewat,
barulah Tatas Lintang berkata kepada ketiga orang yang
tinggal di dalam pondoknya itu, "Nah, agaknya aku telah
mencapai puncak kemampuanku kembali. Sementara itu,
aku lihat, kalian pun telah menguasai kemampuan
sebagaimana aku tunjukkan kepada kalian. Karena waktu
kita telah cukup tersita untuk kepentingan kita masingmasing,
maka kita harus segera kembali kepada tugas kita."
"Aku sependapat," berkata Mahisa Murti, "selebihnya
aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas
nama kami bertiga." "Kita akan saling mendapat keuntungan," jawab Tatas
Lintang, "kalian beruntung karena kalian mendapatkan
yang belum kalian miliki, sementara.aku pun beruntung
bahwa aku mendapat kawan yang benar-benar tangguh
menghadapi segala kemungkinan. Bagiku padepokan itu
adalah sarang kekuatan dan ilmu yang garang dan tanpa
belas kasihan. Karena itu, kita harus benar-benar
mempersiapkan diri untuk memasukinya."
"Terima kasih," jawab Mahisa Murti, "Terserah
kepadamu, kapan kita akan mulai."
"Malam nanti kita kita akan menguji kemampuan kita.
Semalam lagi kita akan pergi ke tempat kita berlatih di
setiap malam," berkata Tatas Lintang kemudian.
Demikianlah, seperti yang dikatakan oleh Tatas Lintang,
maka pada malam harinya, mereka berempat telah pergi ke
tempat mereka menempa diri. Mereka masih akan menguji
kemampuan mereka dan mereka masih harus melakukan
laku terakhir untuk mematangkan keyakinan mereka,
bahwa mereka benar-benar telah menguasai ilmu yang
sedang mereka dalami. Demikian malam menjadi semakin gelap, maka merekapun
mulai dengan laku yang terakhir yang harus mereka
jalani, yang juga akan merupakan ujian bagi mereka yang
sedang menekuni ilmu yang diturunkan oleh Tatas Lintang
kepada ketiga orang yang mengaku bersaudara itu.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura telah
duduk berjajar pada jarak beberapa langkah. Mereka telah
menempatkan sasaran yang akan mereka jadikan alat
penguji kemampuan mereka. Pada jarak beberapa langkah,
mereka menempatkan batu-batu padas yang cukup besar.
Tatas Lintang sudah mengetahui bahwa akibat dari
hentakkan ilmu yang dilontarkan oleh Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat akan berbeda dari Mahisa Ura, karena Tatas
Lintang memang sudah mengetahui latar belakang
kemampuan mereka masing-masing.
"Marilah," berkata Tatas Lintang, "kita akan mulai
dengan pemusatan nalar budi. Kita akan memandang
sasaran serta mulai membangkitkan ilmu di dalam diri kita
masing-masing, memusatkannya pada tangan kita dan
dengan daya kekuatan getaran di dalam diri kita maka ilmu
itu kita lontarkan. Getaran itu akan merambat lewat udara
dan akan membentur sasaran. Dengan demikian, maka kita
telah memanfaatkan kekuatan yang ada di dalam udara di
sekitar kita untuk meniti ilmu yang kita trapkan mencapai
sasaran itu. Namun getaran itu tidak merambat sebagai
seekor siput merambat. Tetapi kecepatan gerak getaran itu
melampaui kecepatan mata wadag kita."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun segera
bersiap. Latihan-latihan yang mereka lakukan selama itu
dengan mengenali diri mereka sendiri, mengenali ilmu
mereka lebih dalam serta menguasai sifat serta wataknya,
mengenali udara di sekitarnya serta getaran yang akan
merambat mencapai sasaran, merupakan kemampuan dasar
untuk menguasai ilmu yang diturunkan oleh Tatas Lintang.
Demikianlah, setelah memusatkan segenap nalar budi
serta mengetrapkan ilmunya, maka mereka mulai dengan
memusatkan kekuatan ilmu mereka pada tangan mereka..
Pada telapak tangan sebagaimana latihan latihan selama
mereka menjalani laku. Pada tataran pertama dari
penguasaan ilmu itu, rasa-rasanya mereka masih harus
berbuat terlalu banyak untuk mencapai satu pemusatan
kekuatan ilmunya pada telapak tangannya. Namun
akhirnya mereka pun mencapainya juga. Sejenak mereka
mengungkit inti kekuatan ilmu yang telah terpusat di
telapak tangannya itu, kemudian dengan getaran yang
bagaikan memancar dari dalam diri oleh kekuatan ilmu itu
pula, maka mereka pun telah menghentakkan inti kekuatan
ilmunya dengan mengembangkan telapak tangannya dan
menghadap ke arah sasaran.
Sejenak kemudian, maka dari telapak tangan ketiga
orang itu telah meluncur getaran yang tidak dapat dilihat
oleh mata wadag, namun dapat ditangkap oleh kekuatan
pengamatan mata orang berilmu. Karena itu, tnaka orang
yang memiliki ilmu yang memadai, mampu menghindarkan
diri dari serangan yang demikian, sebagaimana dilakukan
oleh Mahisa Murti, pada saat ia bertempur melawan Tatas
Lintang ketika Tatas Lintang itu menjajagi ilmunya.
Tingkat kepekaan naluripun dapat mempengaruhi gerak
yang serta merta pula dari orang-orang yang me miliki ilmu
yang tinggi, sehingga dengan demikian maka mereka
mempunyai peluang untuk membebaskan diri dari serangan
yang demikian. Namun tingkat kecepatan serangan itu pun dapat
bergerak pula. Semakin mapan seseorang menguasai
ilmunya, maka ia-pun akan mampu semakin cepat
mengungkit dan melontarkan kekuatan ilmu itu lewat
telapak tangannya, merambat meniti udara dan
menghantam sasaran. Ternyata bahwa kemampuan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat benar-benar nggegirisi. Sasaran serangan mereka,
gumpalan batu padas, ternyata telah hancur berserakan.
Sebuah ledakan telah terjadi meskipun tidak menimbulkan
bunyi yang terlalu keras. Tetapi justru percikan kekuatan
yang meledakkan batu pada itu bagaikan percikan bunga
api yang memancar di sekitarnya.
Sementara itu, Mahisa Ura pun berhasil pula
melontarkan ilmunya. Meskipun ilmunya ketinggalan dari
ilmu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, namun Mahisa Ura
pun berhasil menghantam batu padas itu sehingga pecah di
beberapa bagian. Namun dalam pada itu, meskipun ternyata hasilnya
masih beberapa lapis di bawah Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, namun Mahisa Ura merasa bahwa dirinya telah
mendapatkan satu keberuntungan yang sangat besar.
Dengan demikian ia telah memiliki satu kemampuan untuk
melakukan serangan tanpa menyentuh dengan wadagnya.
Tatas Lintang yang menyaksikan ketiga orang itu
menguji kemampuan mereka mengangguk-angguk.
Beberapa kali ia melihat hal yang serupa dilakukan oleh
mereka bertiga dalam latihan-latihan yang berat. Namun
pada saat ia menyaksikan ketiga orang itu mempergunakan
segenap kemampuan yang ada pada diri mereka, maka
Tatas Lintang itu pun menjadi sangat kagum.
"Kalian ternyata berhasil melakukannya melampaui
kekuatan yang dapat aku lontarkan. Seandainya aku harus
beradu kekuatan dengan membenturkan ilmuku dengan
ilmu kalian berdua, seorang demi seorang, maka kekuatan
ilmuku akan kalah," berkata Tatas Lintang.
"Ah, jangan begitu," sahut Mahisa Murti, "agaknya
yang aku kuasai belum seberapa."
"Aku berkata sebenarnya. Yang perlu kau lakukan
adalah mempercepat arus pemusatan kekuatan ilmumu
serta mengungkit getaran di dalam dirimu, sebelum kau
menghentakkan," berkata Tatas Lintang kemudian. "Jika
kalian berhasil, maka kalian akan dapat mendahului usaha
lawan kalian untuk menghindari serangan-serangan kalian,
meskipun mereka mampu melihat atau memperhitungkan
arah serangan kalian."
Ketiga orang yang sedang menguji kemampuannya itu
mengangguk-angguk. Namun untuk mengembangkan
kemampuannya itu tentu memerlukan waktu, bukan
dengan serta merta. Sementara itu tugas mereka yang berat
telah menunggu. Namun dalam pada itu, Tatas Lintang pun berkata,
"Malam ini kalian mendapat kesempatan untuk melakukan
beberapa kali. Dengan demikian maka kalian akan semakin
mengenali kemungkinan yang ada di dalam diri kalian,
sehingga memungkinkan pelepasan ilmu kalian akan
menjadi semakin rancak."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun
mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Mahisa Pukat
berkata, "Aku akan mengulanginya. Terus menerus hingga
menjelang dini hari."
"Baiklah. Lakukankah. Aku pun akan melihat, apakah
keadaanku benar-benar sudah mapan," berkata Tatas
Lintang. Dengan demikian maka orang-orang itu pun seakan-akan
telah berpencar. Mereka mencari tempat yang paling baik
bagi diri mereka sendiri. Baru sejenak kemudian, maka
mereka pun telah mulai menenggelamkan diri ke dalam
latihan-latihan yang berat. Mereka dengan teliti melihat apa
yang terjadi dalam gejolak ilmu mereka. Tingkatantingkatan
dalam perkembangan kemampuan mereka untuk
melontarkan kekuatan ilmu mereka lewat getaran yang
meniti udara. Serta kemungkinan-kemungkinan lain yang
mendukung kekuatan ilmu mereka itu.
Ternyata bahwa kemampuan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat untuk melakukannya, memang terpaut dengan apa
yang dapat dilakukan oleh Mahisa Ura. Namun meskipun
demikian, pada Mahisa Ura itu pun terdapat pula kemajuan
atas pengenalannya sendiri terhadap kemampuannya yang
diperolehnya itu, serta meningkatkannya.
Bagi Mahisa Ura, apa yang diterimanya dari petunjukpetunjuk
Tatas Lintang itu sudah cukup banyak. Bahkan ia
pun merasa akan dapat berbangga jika ia sempat kembali
dan berada di antara kawan-kawannya.
Ternyata bahwa mereka berempat telah mempergunakan
waktu hampir semalam suntuk. Dalam waktu yang singkat
itu, maka mereka telah mengenali diri masing-masing
beserta perkembangan ilmunya lebih dalam lagi. Mereka
sempat mengatur dan meningkatkan kemungkinankemungkinan
sejauh dapat mereka jangkau. Namun yang
semalam itu, ternyata telah memberikan manfaat yang
sangat besar bagi mereka.
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi dalam pada itu, ketika malam mendekati dini
hari, mereka seakan-akan telah kehabisan tenaga. Mahisa
Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura telah berhenti dengan
sendirinya. Bukan karena langit menjadi merah, tetapi
mereka seakan-akan telah terkapar tanpa tenaga.
Tatas Lintang mendekati mereka seorang demi seorang
dan membantunya berkumpul di dekat sebuah batu yang
besar. Ketiga orang itu diletakkannya duduk bersandar batu
yang besar itu. Sementara sambil tersenyum Tatas Lintang
itu berkata, "Kalian telah memaksa diri untuk berlatih.
Mungkin kalian mencapai satu tingkat sebagaimana kalian
kehendaki dalam usaha kalian mengenali ilmu yang baru
saja kalian pahami. Tetapi dengan demikian kalian telah
kehabisan tenaga. Coba, bayangkan, apa yang akan terjadi
jika pada saat yang demikian ini datang seorang musuh
yang betapapun lemahnya. Kalian yang seakan-akan telah
tidak mampu lagi untuk duduk tegak, tentu tidak akan
mampu melawan. Musuh itu akan dengan mudah
mendekati kalian seorang demi seorang dan
menghunjamkan pedang ke dada kalian."
Wajah Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura
menjadi tegang. Dipandanginya wajah Tatas Lintang yang
berdiri tegak di hadapan mereka bertiga. Sebenarnyalah jika
Tatas Lintang yang kekuatan ilmunya sudah pulih kembali
ingin membunuh mereka, maka ia telah mendapat
kesempatan itu. Sebagaimana dikatakan oleh Tatas
Lintang, mereka benar-benar telah lebih dan kehabisan
tenaga, sehingga anak-anak pun akan dapat membunuh
mereka jika dikehendakinya.
"Apakah ini satu cara Tatas Lintang memperlemah
kami bertiga, sehingga kami tidak akan mampu melawan
sama sekali?" berkata mereka bertiga di dalam hati.
Namun ternyata Tatas Lintang berkata, "Mudahmudahan
sebagaimana yang pernah kita jalani, bahwa
sampai sekarang tidak seorang pun yang melihat tempat ini
dan mengetahui latihan-latihan yang kita jalani. Meskipun
demikian kalian telah membebani aku dengan tanggung
jawab yang sangat besar. Keselamatan kalian."
Tidak seorang pun yang menjawab. Rasa-rasanya mulut
ketiga orang itu menjadi sangat berat untuk mengucapkan
kata-kata. Tetapi Tatas Lintang itu pun kemudian berkata pula,
"Baiklah. Masih ada kesempatan untuk memusatkan nalar
budi serta mengatur pernafasan kalian sebaik-baiknya. Aku
akan menunggu sampai tenaga kalian pulih kembali."
Ketiga orang itu masih tetap berdiam diri. Namun Tatas
Lintanglah yang kemudian bergeser menjauh. Ia pun
kemudian duduk di sebuah batu untuk mengamati keadaan.
Sementara itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa
Ura-pun telah berusaha dengan sisa tenaganya untuk
memusatkan nalar budinya, mengatur pernafasan mereka
untuk mendapatkan kekuatan mereka kembali.
Ketiganya pun kemudian duduk bersila, tanpa bersandar
lagi betapapun beratnya. Dengan tangan bersilang di dada,
mereka mulai mengatur pernafasan mereka sebaik-baiknya.
Dengan bekal ilmu yang ada di dalam diri mereka, maka
perlahan-perlahan pernafasan mereka pun mulai teratur.
Darah mereka pun mengalir dengan wajar dan dada mereka
tidak lagi bergejolak. Meskipun demikian kekuatan mereka
masih belum pulih kembali. Tetapi perlahan-lahan rasarasanya
tubuh mereka mulai menjadi segar. Angin dini hari,
pernafasan yang mengalir lancar, ketenangan dan titik-titik
embun agaknya membantu mereka untuk perlahan-lahan
mendapatkan kekuatannya kembali.
Dengan demikian, maka sebelum fajar, keadaan mereka
pun telah berangsur baik. Bahkan ketiga orang itu telah
mampu meskipun agak memaksa diri untuk berdiri.
"Kita harus segera kembali sebelum matahari terbit,"
berkata Tatas Lintang. Ketiga orang itu tidak dapat menunda waktu. Mereka
memang sebaiknya berada di rumah kecil itu sebelum
matahari terbit, sehingga mereka tidak akan banyak
berpapasan dengan, orang-orang yang pergi ke pasar.
Meskipun keadaan mereka masih lemah, namun Mahist
Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun terpaksa
mengayunkan langkah kembali ke sudut pategalan di
sebelah padukuhan. Jalan yang sulit kadang-kadang memaksa Tatas Lintang
membantu mereka seorang demi seorang, sehingga
akhirnya, mereka berempat dapat mencapai jalan datar
yang rata. Namun akhirnya mereka berempat pun mencapai
pondok kecil itu pada saat matahari telah mulai mengintip
di balik punggung bukit. Beberapa orang telah menelusuri
jalan menuju ke pasar sambil membawa hasil kebun dan
pategalan mereka. Ketika seorang yang berpapasan bertanya, maka dengan
senyum di bibir Tatas Lintang menjawab, "Dari sungai Ki
Sanak. Mandi mumpung masih pagi."
Yang bertanya itu pun tersenyum pula. Orang itu
mengenal Tatas Lintang sebagai seorang petani yang rajin,
yang menjual tenaganya untuk menggarap tanah orang lain,
karena ia sendiri tidak memiliki tanah garapan.
Demikian mereka berempat sampai di dalam pondpk
kecil itu, maka Tatas Lintang pun telah mempersilahkan
ketiga orang yang masih lemah itu untuk beristirahat.
Katanya, "berbaringlah. Tenaga kalian akan cepat pulih
kembali. Sementara itu, aku akan merebus air."
Ketiga orang itu tidak menolak. Keletihan yang
mencengkam tubuh mereka memang mendorong mereka
untuk bermalas-malasan. Sementara Tatas Lintang berada
di dapur merebus air. Ketika air menjadi masak dan dihidangkan sebagai air
sere yang panas dengan gula kelapa, maka Tatas Lintang itu
pun berkata, "Minumlah. Kita menyanggupi untuk
menyelesaikan dua kotak sawah hari ini. Kita masih harus
mencangkul betapapun letihnya tubuh kita."
Ketiga orang yang sempat berbaring beberapa saat itu
pun kemudian bangkit. Saat yang sejenak itu ternyata
sangat berarti bagi mereka. Apalagi setelah mereka
meneguk air sere dengan gula kelapa. Sementara itu, Tatas
Lintang berkata, "Nasi jagung kita yang kemarin masih
ada. Kita sempat makan sejenak, sebelum turun ke sawah.
Matahari sudah menjadi semakin tinggi."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura itu pun
sem pat pula makan pagi. Nasi jagung dengan sambal
bawang, meskipun hari masih terasa dingin. Tetapi
panasnya air sere telah membuat mereka berkeringat,
sehingga tajamnya gigitan sambal di perut mereka tidak
terasa mengganggu. Setelah makan pagi, maka tubuh mereka terasa benarbenar
menjadi segar. Meskipun tenaga mereka masih belum
pulih sepenuhnya, tetapi rasa-rasanya sudah cukup kuat
untuk bekerja di sawah menyelesaikan kesanggupan
mereka. Sejenak kemudian, maka mereka berempat telah
meninggalkan pondok kecil itu menuju ke sawah. Seorang
yang bertemu mereka di jalan bertanya, "He, apa kerja
kalian semalam sehingga kalian agak terlambat" Biasanya
kalian berangkat ke sawah lebih pagi."
Karena itu, maka asal saja Tatas Lintang menjawab,
"Kayu di rumah masih basah, sehingga rasa-rasanya terlalu
lama untuk menyalakannya. Bahkan setiap kali api pun
mati, sehingga air lambat mendidih. Padahal sebelum
minum minuman panas, aku belum dapat pergi ke sawah."
Tatas Lintang tertawa. Ketika ia menengadahkan
wajahnya memandang matahari, maka terasa matahari
memang sudah agak tinggi dibanding dengan kebiasaan
mereka berangkat ke sawah.
Orang yang bertanya itu sempat tertawa juga. Katanya,
"Bohong. Agaknya semalam kalian ikut adu cengkerik
sampai menjelang pagi."
Hari itu, ke empat orang itu telah berhasil menyelesaika
kesanggupan mereka meskipun Mahisa Murti, Mahisa Puka
dan Mahisa Ura harus mengerahkan sisa-sisa tenaga
mereka. Namun keletihan yang timbul karena kerja mereka
di sawah tidak terasa mencengkam sebagaimana keletihan
mereka setelah mengerahkan tenaga dan kemampuan
mereka, melontarkar kekuatan ilmu untuk membentur
sasaran tanpa sentuhan wadag.
Tengah hari, mereka sempat berbaring di bawah gubug
di sudut sawah yang sedang mereka kerjakan. Dari pemilik
sawah itu, mereka mendapat kiriman minum air dingin di
dalam gendi yang terasa sangat segar di saat terik matahari
membakar tengkuk. Nasi kuluban dan teri goreng gelepung.
Di belahan kedua hari itu, kerja mereka menjadi semakin
cepat, sehingga tugas mereka pun dapat terselesaikan.
"Kita akan menerima upah kerja kita," berkata Tatas
Lintang, "tetapi tentu upahku yang paling banyak, karena
aku adalah orang yang paling berpengalaman di antara
kalian." Mahisa Murti tertawa. Katanya, "Upahku tentu akan
terpotong untuk membayar makan dan minumku selama
aku tinggal di rumahmu."
Yang lain pun tertawa pula. Namun kemudian Tatas
Lintang berkata, "Kita masih sempat tertawa hari ini. Entah
besok pagi." "Mudah-mudahan kita masih sempat tertawa untuk
hari-hari yang panjang," sahut Mahisa Pukat.
Tatas Lintang tertawa pula. Sementara Mahisa Ura
nampak agak termangu-mangu. Setiap kali ia merasa bahwa
ilmunyalah yang paling rendah di antara mereka berempat.
Kemungkinan yang paling buruk akan dapat terjadi
atasnya, dibandingkan dengan mereka yang memiliki ilmu
yang lebih tinggi. Namun yang kadang-kadang mengganggu perasaannya
bukan kemungkinan yang paling buruk itulah. Tetapi justru
ia mencemaskan bahwa ketiga orang itu justru terganggu
pemusatan nalar budinya dalam keadaan tertentu karena
berusaha untuk melindunginya.
"Aku harus meyakinkan mereka, bahwa mereka harus
lebih memperhatikan keberhasilan tugas mereka daripada
memperhatikan keadaanku," berkata Mahisa Ura di dalam
hatinya. Dalam pada itu, selagi Mahisa Ura masih termangumangu,
Tatas Lintang pun berkata, "Marilah. Kita akan
pergi ke rumah pemilik tanah itu. Kita akan mengambil
uang upah kerja kita. Mungkin sejak besok kita akan
mendapatkan kerja yang lain, karena besok tanah itu sudah
akan ditanami. Beberapa hari lagi, kita tentu akan
mendapat tugas untuk menyiangi tanaman itu. Namun
sementara itu, aku tidak tahu, apa yang harus kita
lakukan." "Jadi, apakah kita harus melakukan kerja itu di samping
tugas kita terhadap padepokan yang asing itu?" bertanya
Mahisa Pukat. "Tergantung sekali akan keadaan padepokan itu," jawab
Tatas Lintang. "Tetapi untuk sementara tugas-tugas itu
harus kita sanggupi. Apalagi dalam hari-hari yang dekat,
kalian masih harus mempersiapkan diri. Keletihan yang
kalian alami hari ini tentu belum pulih seutuhnya."
"Tetapi malam nanti tentu sudah," berkata Mahisa
Pukat. "Jika malam nanti keadaan kita benar-benar telah pulih,
maka besok kita dapat menentukan sikap," berkata Tatas
Lintang, "mudah-mudahan kita tidak terjebak ke dalam
mulul seekor harimau yang garang."
"Apakah kau takut berhadapan dengan harimau?"
bertanya Mahisa Pukat. "Seekor harimau yang mempunyai landasan ilmu yang
tinggi memang perlu diperhitungkan," jawab Tatas Lintang.
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Ketika ia
berpaling ke arah Mahisa Murti, maka Mahisa Murti pun
berkata, "Memang kita akan sampai ke mulut harimau.
Tetapi jika harimau itu menggigit, maka kita pun akan
menggigit pula. Mudah-mudahan kita mempunyai gigi yang
cukup tajam. Sokur melampaui tajamnya gigi harimau."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk, sementara Tatas
Lintang pun menarik nafas dalam-dalam. Suasana tiba-tiba
telah berubah menjadi sungguh-sungguh.
"Tetapi kita sudah bertekad," berkata Tatas Lintang,
"namun kita masih belum saling mengetahui kepentingan
kita masing-masing. Apakah kalian tidak curiga bahwa
kepentingan kita kelak akan bertentangan sehingga kita
akan saling berbenturan?"
"Apakah perlu kita bicarakan sebelumnya, atau kita
akan membiarkan terjadi kelak?" bertanya Mahisa Murti.
Tatas Lintang termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya, "Kalian mempunyai kelebihan dari aku.
Apalagi jika kalian bertindak bersama-sama, maka aku
tidak akan berarti apa-apa bagi kalian. Karena itu, maka
segalanya biarlah ditentukan oleh keadaan kita kelak. Yang
penting, kita akan melihat padepokan itu dalam ujudnya
yang sekarang." Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun terdapat
kesan di dalam hatinya, sebagaimana pada Mahisa Pukat
dan Mahisa Ura, bahwa Tatas Lintang bukanlah orang
yang berniat buruk. Dalam pada itu, maka tiba-tiba saja Tatas Lintang telah
berubah suasana dan berkata, "Sudahlah. Jangan menjadi
gelisah. Tidak ada gunanya kita memikirkannya sekarang.
Yang penting kita akan pergi ke rumah pemilik tanah itu
dan minta upah kerja kita. Sesudah itu kita akan pergi ke
kedai di ujung padukuhan. Kita akan sempat makan dan
minum sepuas-puasnya."
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, "Marilah. Kita akan
pergi sekarang. Jangan menunggu kedai itu tutup."
Demikianlah, maka mereka berempat pun telah pergi ke
rumah pemilik tanah yang mereka garap. Sebelum mereka
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengatakan sesuatu, pemilik tanah garapan itu sudah
mengetahui maksud kedatangan mereka.
"Marilah. Duduklah," pemilik tanah itu
mempersilahkan. Keempat orang itu pun kemudian duduk di atas tikar
panan yang dibentangkan di pringgitan, sementara pemilik
rumah itu masuk untuk berbenah diri.
Ternyata pemilik tanah itu adalah orang yang ramah dan
baik hati. Sebelum orang itu keluar lagi, maka yang lebih
dahulu muncul di pintu adalah anaknya laki-laki yang
membawa minuman panas dan beberapa potong makanan.
"Silahkan paman," anak itu mempesilahkan, "ayah baru
berpakaian sebentar."
Ketika anak itu masuk, Mahisa Murti berdesis, "Apakah
kita ini dianggap tamu terhormat?"
"Bukan begitu. Ia sama sekali tidak membenahi
pakaiannya untuk menghormati kita. Tetapi yang benar
adalah, bahwa ia baru menghitung uang untuk kita," sahut
Tatas Lintang. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun
tertawa tertahan. Tetapi mereka pun percaya, bahwa orang
itu tentu baru mengambil uang dan menghitungnya.
"Marilah," desis Tatas Lintang, "bukankah kita sudah
dipersilahkan?" Tetapi sebelum Tatas Lintang meraih sepotong
makanan, maka mereka pun mendengar desir langkah kaki
di dalam dinding rumah itu, sehingga tangannya pun telah
ditariknya kembali. "Sial," desisnya.
Yang lain tertawa. Namun mereka pun telah menahan
diri, karena langkah itu pun telah sampai di pintu.
Sebenarnyalah, maka sejenak kemudian pemilik tanah
yang dikerjakan oleh Tatas Lintang itu pun telah keluar dari
ruang dalam. Sambil tertawa ia pun berkata, "Nah,
silahkan. Minuman dan makanan telah tersedia."
Tatas Lintang memandang Mahisa Murti, Mahisa Pukat
dan Mahisa Ura. Sambil tersenyum ia pun berkata,
"Marilah. Silahkanlah."
Tatas Lintanglah yang pertama-tama mengambil
mangkuk minumannya. Baru kemudian Mahisa Murti,
Mahisa Pukat dan Mahisa Ura.
Setelah meneguk minuman dan mengunyah makanan,
barulah pemilik tanah itu memberikan uang sebagai upah
kerja Tatas Lintang. "Aku tidak akan memerinci berapa bagian kalian
masing-masing. Aku akan menyerahkan uang dengan
perhitungan luas tanah yang kalian garap. Berapa kalian
masing-masing akan menerima, terserahlah kepada kalian,
karena aku tidak tahu, berapa bagian kerja yang telah kalian
lakukan masing-masing," berkata pemilik tanah itu.
Tatas Lintang pun telah mengira bahwa memang
demikianlah yang akan diterimanya. Karena itu, maka ia
pun menjawab, "Terima kasih. Kami akan menentukan
bagian kami masing-masing."
"Aku yakin bahwa tidak akan timbul persoalan di antara
kalian," berkata pemilik tanah itu.
Tatas Lintang tertawa. Katanya, "Tentu tidak. Mereka
adalah kemenakan-kemenakanku. Jika mereka nakal, maka
aku akan menarik telinganya."
Pemilik tanah serta mereka yang ada dipringgitan itu pun
telah tertawa pula. Namun dalam pada itu, maka pemilik tanah itu pun
kemudian berkata, "Dengan demikian kerja kalian di sawah
sudah selesai. Jika kalian tidak berkeberatan, maka aku
akan minta tolong kalian untuk mengerjakan pategalan.
Bukan pategalan yang kalian tempati, karena di pategalan
itu baru saja ditanam ketela pohon, tetapi pategalan di
ujung padukuhan. Aku ingin menanam beberapa jenis
pohon di pategalan itu. Terutama pohon buah-buahan."
"Tentu kami tidak berkeberatan. Mumpung kemenakankemenakanku
masih ada di sini. Jika kerja itu cukup
banyak, aku akan menahan mereka, agar mereka tidak
tergesa-gesa meninggalkan aku," jawab Tatas Lintang.
"Pategalan di ujung padukuhan itu akan aku tanami
beberapa jenis pohon buah-buahan, di samping pohon
melinjo, kelapa dan gori yang sudah ada," berkata pemilik
tanah itu. "Kapan kami akan mulai?" bertanya Tatas Lintang.
"Dalam dua tiga hari ini aku akan mencari bibitnya.
Baru kemudian kalian akan menanamnya," jawab pemilik
tanah itu, "karena itu kalian akan menunggu sampai aku
memberikan kabar selanjutnya."
"Baiklah," berkata Tatas Lintang, "kami akan sempat
beristirahat dalam dua atau tiga hari ini."
Demikianlah, maka sejenak kemudian Tatas Lintang
telah minta diri bersama orang-orang yang diakunya
sebagai kemenakannya itu.
"Kami akan memanfaatkan uang yang baru saja kami
terima," berkata Tatas Lintang.
Orang itu tertawa. Katanya, "Sebaiknya besok pagi saja.
Jika kalian sempat pergi ke pasar, maka apa yang kalian
perlukan akan kalian dapatkan."
"Ya. Sebaiknya memang besok pagi saja," desis Tatas
Lintang. Namun sejenak kemudian Tatas Lintang bersama ketiga
orang yang diakunya sebagai kemenakannya itu pun telah
meninggalkan rumah pemilik tanah yang dianggap Tatas
Lintang cukup baik itu. Mungkin karena ia dianggap pernah
menolong dan menyelamatkan anaknya. Namun agaknya
ia memang menghargai tenaga orang lain yang telah bekerja
kepadanya. Dengan uang yang mereka terima, maka keempat orang
itu pun kemudian meninggalkan rumah pemilik tanah itu.
Beberapa saat kemudian mereka telah berada di jalan
padukuhan menuju ke pondok Tatas Lintang di sudut
pategalan di pinggir padukuhan itu.
"Nah," berkata Tatas Lintang, "aku sekarang
mempunyai uang." "Termasuk uangku," sahut Mahisa Murti.
Tatas Lintang tertawa. Katanya, "Akan kita pergunakan
untuk apa uang ini?"
Mahisa Pukat lah yang menyahut, "beli tanah."
"Ah," desah Tatas Lintang, "kau kira uang ini cukup
untuk membeli sejengkal tanah?"
"Kau tambah dengan sepuluh kali lipat," jawab Mahisa
Pukat, "uangmu tentu lebih dari seribu kali lipat dari uang
yang kau terima itu."
"Dan uang kalian tentu lebih banyak lagi," sahut Tatas
Lintang sambil tersenyum.
Mahisa Pukat tidak menyahut. Tetapi ia pun tersenyum
pula. Namun tiba-tiba saja Mahisa Murti berkata, "Kedai yang
mana yang kau sebut?"
"Besok kita pergi ke pasar saja," berkata Tatas Lintang,
"sekarang kita akan beristirahat. Tubuh kalian masih belum
pulih kembali, sementara hari ini kita telah bekerja keras.
Sementara itu agaknya kedai itu pun sudah tutup pula."
Ternyata ketiga orang yang diakunya sebagai
kemenakannya itu pun setuju. Mereka akan langsung
kembali ke pondok di sudut pategalan itu.
Namun ketika mereka sampai ke pondok itu, mereka
menjadi sangat terkejut. Mereka melihat isi pondok mereka
yang tidak seberapa banyak itu berserakkan. Amben bambu
yang besar satu-satunya telah rusak. Galarnya berpatahan
dan wewatonnya telah terlepas yang satu dengan yang lain.
Gendi yang selalu berisi air bersih itu pun telah pecah pula.
"Apa yang telah terjadi?" bertanya Tatas Lintang.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya.
"Apakah hal ini ada hubungannya dengan padepokan
orang-orang bertongkat itu?"
Sebelum Tatas Lintang menjawab, mereka tertegun
karena mereka mendengar langkah di belakang rumah kecil
itu. Untuk beberapa saat keempat orang yang berada di
dalam pondok yang berserakan itu menunggu. Baru sejenak
kemudian muncul dari pintu butulan dua orang yang
bertubuh tegap kekar. Namun Tatas Lintang itu pun kemudian menarik nafas
dalam-dalam. Hampir tidak terdengar ia berdesis lambat,
"Mereka adalah petani dari padukuhan ini."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun
mengangguk-angguk kecil. Ketegangan di hati mereka pun
mulai mereda. Meskipun mungkin memang ada persoalan
sehingga pondok mereka itulah menjadi berserakan.
"Nah kau itu Tatas Lintang," geram salah seorang di
antara kedua orang itu. "Ki Sanak," suara Tatas Lintang terdengar gemetar,
"apa yang telah terjadi" "
"Jangan berpura-pura," geram orang itu pula, "kau
sudah merampas sumber penghidupanku."
"Aku tidak mengerti," jawab Tatas Lintang.
"Sejak kau tinggal di gubugmu ini, sebagian dari
penghasilanku sudah kau rampas. Dan aku tidak
menegurmu. Tetapi kini kesabaranku sudah habis. Semua
tanah garapanku sudah kau rampas. Pategalan di ujung
padukuhan itu pun ternyata telah dicadangkan bagimu dan
cindil-cindilmu itu. Dengan demikian maka habislah tanah
garapanku itu," berkata salah seorang dari kedua orang
yang bertubuh tinggi tegap itu.
"Ki Sanak," berkata Tatas Lintang, "jika aku menerima
pekerjaan itu, sebenarnya karena aku mengira bahwa kau
telah menolaknya. Bukankah kau sudah mempunyai tanah
garapan yang luas, bahkan sebagian telah dikerjakan oleh
orang lain pula?" "Persetan," geram orang itu, "aku memang mengambil
beberapa orang pembantu. Seharusnya kau juga aku
perlakukan seperti itu. Akulah yang disebut penggarap
tanah itu, meskipun kalian yang mengerjakan. Dengan
demikian maka upah yang akan kau terima terserah kepada
kebijaksanaanku." Tatas Lintang mengangguk-angguk. Katanya, "Aku
mengerti sekarang. Kau akan dapat mengambil keuntungan
dari tanah garapan itu."
"Nah, ternyata kau cukup cerdas juga," desis orang itu.
Lalu katanya pula, "Jika demikian, maka sebaiknya kau
urungkan kesangupanmu jika kau sudah menyatakannya.
Akulah yang akan menggarapnya, meskipun kalian yang
akan mengerjakan." "Aku sudah terlanjur menyanggupinya Ki Sanak,"
jawab Tatas Lintang, "aku tidak tahu bahwa kau berminat
untuk mengambilnya meskipun hanya sekedar namanya
saja." "Terlanjur atau belum terlanjur," geram orang itu,
"nanti, meskipun sudah gelap, kau harus datang kepadanya
untuk mencabut kesediaanmu itu."
Tatas Lintang termangu-mangu. Namun kemudian
katanya, "Tetapi dengan demikian, kata-kataku untuk
selanjutnya akan sulit dipercaya."
"Aku tidak peduli," bentak orang itu.
Tatas Lintang menjadi gemetar. Tetapi ia menjawab.
"Maaf Ki Sanak. Jangan paksa aku berbuat demikian.
Biarlah aku tetap melaksanakan kesanggupanku. Jika kau
memerlukan uang pungutan dari hasil itu, aku tidak
berkeberatan." "Diam," bentak orang itu.
Tatas Lintang terkejut. Bahkan Mahisa Murti, Mahisa
Pukat dan Mahisa Ura pun terkejut pula.
Ketika orang itu kemudian maju selangkah, Tatas
Lintang-pun telah bergeser surut. Dengan nada keras orang
bertubuh tegap kekar itu bertanya, "Kau mau mencabut
kesanggupanmu atau tidak?"
"Maaf Ki Sanak. Aku sudah terlanjur," jawab Tatas
Lintang. Namun tiba-tiba saja Tatas Lintang telah terdorong
selangkah mundur. Hampir saja ia jatuh terjerembab ketika
tangan orang bertubuh tinggi tegap itu memukulnya.
"Jawab," bentak orang itu, "kau bersedia mencabut atau
tidak." Tatas Lintang tidak menjawab. Namun sekali lagi orang
itu memukulnya pada perutnya, sehingga Tatas Lintang
terbungkuk karenanya. Sebelum ia tegak, maka orang itu
telah memukul tengkuk Tatas Lintang, sehingga Tatas
Lintang telah jatuh terjerembab.
Mahisa Ura yang tidak tahan melihat perlakukan itu
hampir saja meloncat. Tetapi Mahisa Murti yang tanggap
akan keadaan itu telah menggamitnya dan memberi isyarat
agar Mahisa Ura tidak melakukan sesuatu.
"Ayo, bangkit," bentak orang itu.
Tetapi Tatas Lintang tidak mampu untuk segera bangkit
berdiri. Pada waktu ia mulai berjongkok, orang bertubuh
tinggi itu telah menggenggam rambutnya sambil berkata,
"Kau bersedia atau tidak?"
Tatas Lintang tidak segera menjawab. Namun tiba-tiba
saja orang itu telah menggucang kepala Tatas Lintang dan
membenturkannya pada tiang bambu pondoknya yang kecil
itu. Bagaimanapun juga ketiga orang yang diakunya sebagai
kemenakannya itu pun tergetar juga hatinya. Namun
sementara itu, orang yang bertubuh kekar yang seorang lagi
telah mendekati mereka sambil berkata, "Ayo, siapa yang
akan ikut serta?" "Jangan perlakukan mereka dengan kasar," suara Tatas
Lintang semakin bergetar, "biarlah aku yang
menanggungnya." "Kau harus menjawab, apakah kau akan pergi untuk
mencabut kesanggupanmu atau tidak" Atau kepalamu akan
aku pecahkan sekarang juga," orang itu menggeram
semakin kasar. Ketika orang itu mengguncang kepala Tatas Lintang
sekali lagi, maka Tatas Lintang pun mengeluh, "Ampun Ki
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sanak. Kepalaku menjadi pening dan perutku menjadi
mual." "Tidak hanya pening dan mual," jawab orangitu,
"Tetapi kepalamu benar-benar akan aku pecahkan jika kau
menolak untuk mencabut kesediaanmu menggarap tanah
pategalan di ujung padukuhan."
Untuk sesaat suasana menjadi tegang. Mahisa Murti,
Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun menjadi termangumangu.
Mereka mulai goyah untuk tidak berbuat sesuatu melihat
keadaan Tatas Lintang. "Aku harus yakin, bahwa Tatas Lintang adalah seorang
yang berilmu tinggi," geram Mahisa Murti di dalam
dirinya, sebagaimana Mahisa Pukat dan Mahisa Ura
meyakinkan diri mereka sendiri. Sehingga dengan demikian
mereka masih dapat mengekang diri untuk tidak berbuat
sesuatu. Ketika orang bertubuh tinggi kekar itu menggapai
rambut Tatas Lintang dan mengangkatnya sehingga wajah
Tatas Lintang menengadah, maka terdengar Tatas Lintang
itu merintih, "Ampun. Jangan kau patahkan leherku."
"Katakan, apakah kau akan mencabut kesediaanmu
menggarap tanah itu atau tidak?" bentak orang bertubuh
tinggi kekar itu. "Ya, ya. Aku akan mencabutnya," jawab Tatas Lintang.
Orang bertubuh tinggi kekar itu menarik nafas dalamdalam.
Namun masih sekali lagi ia menghentakkan kepala
Tatas Lintang ke tiang bambu petung. Sekali lagi terdengar
Tatas Lintang merintih. "Aku akan menunggu," berkata orang itu, "jika sampai
besok kau tidak memenuhi janjimu, maka kau akan aku
gantung di sudut padukuhan. Kau tahu, bahwa tidak
seorang pun yang berani melawan aku."
Tatas Lintang menjawab dengan suara gemetar, "Aku
akan memenuhinya." Orang itu pun kemudian melepaskan rambut Tatas
Lintang. Dengan kakinya ia menendang lambung Tatas
Lintang sambil berkata, "Aku akan pergi. Tetapi ingat,
jangan membuat aku marah dan menggantungmu serta
membakar gubugmu ini."
Tatas Lintang tidak menjawab. Sementara itu kedua
orang itu pun melangkah meninggalkan ruang pondok
Tatas Lintang yang telah berserakan itu.
Demikian kedua orang itu hilang dibalik pintu, Tatas
Lintang pun bangkit berdiri sambil tersenyum, "Gila orang
itu." "Kau biarkan dirimu diperlakukan seperti itu?" bertanya
Mahisa Ura. "Biarlah untuk kali ini," jawab Tatas Lintang, "Aku
masih ingin bersembunyi di sini. Tetapi ini untuk yang
terakhir kali. Nanti malam kalian telah pulih seutuhnya,
sehingga sejak besok, kita akan membuka diri. Seandainya
dengan demikian kehadiran kita diketahui oleh orang
padepokan itu, kita tidak akan berkeberatan."
Mahisa Ura mengangguk-angguk kecil. Ia pun mengerti
maksud Tatas Lintang. Karena itu katanya, "Jadi kau tidak
akan mencabut kesediaan kita menggarap tanah itu?"
Tatas Lintang tersenyum sambil menjawab, "Tentu
tidak. Biar saja mereka datang kemari. Seperti yang aku
katakan, sejak besok kita tidak akan bersembunyi lagi
meskipun kita akan tetap tinggal di pondok ini."
Mahisa Mtitti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura menarik
nafas dalam-dalam. Tetapi dengan nada geram Mahisa Ura
berkata kepada diri sendiri, "orang-orang seperti itu perlu
mendapat sedikit pelajaran."
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat
dan Mahisa Ura yang ingin beristirahat, harus membenahi
isi pondok itu lebih dahulu bersama Tatas Lintang. Amben
besar yang rusak itu pun telah dilepas sama sekali dan
dibawa keluar. Hanya tikarnya sajalah yang kemudian
dibentangkannya dilantai.
"Di manapun aku dapat tidur nyenyak," desis Mahisa
Pukat. Sebenarnyalah ketika malam menjadi gelap, maka
mereka pun telah berbaring di atas tikar pandan yang
dibentangkan dilantai pondok kecil yang masih berserakan
itu. Namun demikian mereka masih juga merasa perlu
untuk menutup dan menyelarak pintu.
Malam itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa
Ura benar-benar sempat beristirahat, sehingga segenap
kekuatan dan kemampuan mereka pun telah pulih kembali.
Karena itu, ketika kemudian matahari terbit, tubuh
mereka pun telah terasa cukup segar dan utuh.
Berganti-ganti mereka mandi di pakiwan, sehingga ketika
matahari mulai naik, mereka pun telah selesai. Dengan
demikian maka mereka pun mulai membenahi seluruh isi
pondok mereka. Namun dalam pada itu, mereka pun menyadari, bahwa
kedua orang itu, bahkan mungkin bersama kawankawannya
yang lain tentu akan datang lagi, karena Tatas
Lintang tidak benar-benar mencabut kesediaannya
menggarap tanah pategalan di ujung padukuhan.
Sebenarnyalah seperti yang mereka tunggu, baru saja
mereka selesai membenahi isi rumah kecil mereka yang
berserakan, maka orang yang bertubuh tinggi kekar itu telah
nampak memasuki pintu pagar. Bukan hanya dua orang.
Tetapi lima orang. Tatas Lintang memberi isyarat kepada ketiga orang yang
diakuinya sebagai kemenakannya itu. Sambil
menggelengkan kepalanya ia berdesis, "Biarlah aku
mengurusi mereka." "Sendiri?" bertanya Mahisa Murti.
Tatas Lintang termangu-mangu. Namun ia pun
kemudian tersenyum. Sementara itu, kelima orang itu telah berada di depan
pondok kecil itu. Dengan nada geram orang bertubuh kekar
itu berkata, "Kau mencoba menipu aku he?"
"Maaf Ki Sanak," berkata Tatas Lintang, "aku baru
memperbaiki pondok kecilku yang rusak, sehingga aku
belum sempat menemui pemilik pategalan itu."
"Persetan," geram orang itu, "kau tidak akan dapat
menyebut alasan apapun juga. Kesabaranku sudah habis,
sehingga hukuman itu akan kau terima sekarang tanpa
ampun." "Tetapi, bukan maksudku menentangmu," jawab Tatas
Lintang. "Aku tidak peduli," jawab orang itu.
Tatas Lintang termangu-mangu. Sementara kelima orang
itu pun kemudian telah menebar.
Keadaan pun menjadi semakin tegang. Wajah orang
yang bertubuh tegap kekar itu benar-benar bagaikan
menyala. Dengan geram ia berkata, "Kau bukan orang asli
dari padukuhan ini Tatas Lintang. Kau adalah pendatang.
Jika kau hilang dari padukuhan ini, maka orang-orang
padukuhan ini tidak akan merasa kehilangan. Lihat, orangorang
yang datang bersamaku. Mereka adalah orang-orang
asli dari padukuhan ini. Mereka telah sepakat untuk
menyingkirkan kau dan kemenakan-kemenakanmu.
Seadainya bangkaimu hanyut di sungai atau menjadi
makanan anjing liar, tidak seorang pun yang akan
mempersoalkannya." "Tetapi, apakah tindakan itu tidak bertentangan dengan
perikemanusiaan?" bertanya Tatas Lintang.
"Ooo. Kau mulai merajuk he?" orang bertubuh tinggi
kekar itu tertawa, "aku mulai senang melihat keadaanmu.
Ikat Pinggang Kemala 4 Dewa Arak 43 Garuda Mata Satu Memburu Manusia Harimau 1
yang menyebut namanya Tatas Lintang itu ternyata
memiliki kekuatan yang sangat besar atas landasan tenaga
cadangan mereka. Bahkan tenaga cadangan mereka itu pun telah mampu
mendorong tubuh-tubuh mereka yang bertempur itu
sehingga tata gerak mereka pun nampaknya menjadi
semakin cepat. Tubuh-tubuh mereka menjadi ringan dan
kaki-kaki mereka bagaikan tidak lagi berpijak di atas tanah.
Mahisa Pukat mengamati pertempuran itu dengan
saksama, sementara itu Mahisa Ura menjadi semakin
tegang. Ia sudah melihat kekuatan yang terlontar dari kedua
belah pihak tidak lagi dapat diimbanginya. Apalagi jika
mereka sampai ke puncak ilmu mereka.
Dalam kegelapan malam keduanya saling menyambar
Penglihatan mereka atas lawan-lawan mereka tidak lagi
semata-mata atas dasar kemampuan mata wadag mereka,
tetapi juga atas dasar pengamatan batin mereka
berlandaskan kepada perhitungan dan unsur naluriah yang
sudah mendapat lambaran yang matang.
Karena itulah, maka betapapun gelapnya malam, namun
mereka mampu mengamati setiap langkah lawannya.
Dengan demikian maka pertempuran pun semakin lama
menjadi semakin cepat dan keras. Benturan-benturan telah
terjadi dan serangan pun dibalas pula dengan serangan.
Sebenarnyalah orang yang menyebut dirinya bernama
Tatas Lintang itu menjadi sangat heran. Anak yang
melawannya itu masih muda. Namun sudah memiliki
kekuatan dan ketrampilan yang sangat mengagumkan.
Bahkan dalam beberapa hal, Tatas Lintang itu merasa
dirinya tidak lagi dapat mengimbanginya. Ia tidak dapat
bergerak lebih cepat lagi, sementara itu Mahisa Murti masih
berusaha untuk meningkatkan kecepatan geraknya.
Namun pengalaman Tatas Lintang ternyata mampu
menutup kekurangannya. Sesuatu yang tidak terpikirkan
oleh Mahisa Murti sering kali telah mematahkan
perhitungannya. Namun demikian, Mahisa Murti berusaha
untuk dapat mengimbangi kemampuan lawannya dengan
tenaga dan kecepatan gerak.
Tenaga dan kekuatannya yang dipanasi oleh darah
mudanya, ternyata mempunyai kelebihan dari lawannya.
Tetapi Mahisa Murti pun menyadari, bahwa lawannya
yang jauh lebih tua daripadanya itu, pada suatu saat tentu
akan memasuki kekuatan ilmunya yang mungkin sangat
nggegirisi. Mahisa Murti memang harus berhati-hati. Tetapi ia tidak
menjadi gentar karenanya. Apapun yang terjadi, hal itu
merupakan bagian dari tugas yang dibebankan kepadanya.
Dalam pertempuran yang menjadi semakin keras itu,
Mahisa Murti nampaknya memang berhasil mendesak
lawannya. Namun seperti yang diperhitungkannya itu pun
terjadilah. Lawan Mahisa Murti tidak saja membiarkan dirinya
terdesak oleh kesegaran tenaga wadag Mahisa Murti yang
muda itu serta darahnya yang panas dan menggelegak di
dalam dirinya. Namun ia pun mulai merambah ke dalam
ilmunya yang perlahan-lahan dilepaskan.
Mahisa Murti mulai merasakan kekuatan ilmu lawannya
ketika mulai terasa gerak lawannya menjadi semakin
lamban. Sekali-sekali Tatas Lintang meloncat mengambil
jarak. Namun kemudian ketika Mahisa Murti menyerang,
orang itu sama sekali tidak menghindar. Tetapi dengan
lambaran ilmunya Tatas Lintang telah menangkis serangan
lawannya yang masih muda itu.
Mahisa Murti yang membentur kekuatan lawannya
merasakan perbedaannya. Bukan saja kekuatan wadag yang
dilandasi dengan tenaga cadangan yang ada di dalam diri
orang itu. Tetapi tubuh orang itu terasa seakan-akan mulai
mengeras. Sentuhan tubuh Mahisa Murti pada benturanbenturan
yang terjadi terasa justru menjadi sakit. Bahkan
ketika dengan kemampuan kecepatan geraknya Mahisa
Murti berhasil memukul lengan orang itu, rasa-rasanya
tangannya telah menyentuh batu hitam.
Mahisa Murti mengerti, bahwa ia tidak akan dapat
bertempur sekedar dengan tenaga wadag dan tenaga
cadangan di dalam dirinya. Meskipun demikian Mahisa
Murti tidak tergesa-gesa. Ia ingin mendapatkan kepastian,
apa yang terjadi pada lawannya itu.
Sebenarnyalah, tubuh lawannya benar-benar bagaikan
mengeras. Setiap kali, pada saat lawannya menangkis
serangannya, maka Mahisa Murti pun telah berdesis
menahan sakit. "Apakah kemampuannya itu sejalan dengan ilmu
kebal?" bertanya Mahisa Murti di dalam dirinya.
Namun ia masih harus mengujinya. Apakah orang itu
memang mampu membuat dirinya kebal, atau sekedar
membuat dirinya menjadi sekeras batu namun tanpa dapat
menghindari perasaan sakit dalam setiap benturan.
Namun Mahisa Murti merasa kelembutan sikap orang
itu. Orang itu tidak meningkatkan ilmunya dengan serta
merta dan berusaha menghabisinya dalam waktu dekat.
Tetapi yang dilakukan oleh orang itu rasa-rasanya memang
seperti yang dikatakannya, sekedar menjajagi
kemampuannya. "Tetapi sesudah menjajagi lalu bagaimana" " pertanyaan
itu telah timbul di dalam hatinya.
Tetapi sementara itu pertempuran itu pun masih
berlangsung terus. Mahisa Murti tidak banyak mendapat
kesempatan untuk merenung. Lawannya bukan saja
mampu menjadikan tubuhnya semakin keras sehingga
menjadi sekeras batu, namun rasa-rasanya orang itu pun
bergerak semakin cepat. Kakinya tidak lagi berpijak di atas
tanah. Satu sentuhan kecil, telah mampu melemparkan
tubuhnya beberapa langkah.
"Ada semacam pertentangan yang terjadi di dalam diri
orang itu," berkata Mahisa Murti, "Tubuhnya menjadi
sekeras batu, sehingga seharusnya ia menjadi semakin berat.
Tetapi menilik tata geraknya, seolah-olah orang itu menjadi
tidak berbobot lagi."
Dengan demikian maka Mahisa Murti pun harus bekerja
lebih keras lagi untuk mengimbangi peningkatan
kemampuan lawannya yang sudah mulai merambah ke
dalam ilmunya yang tinggi.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura yang
menyaksikan pertempuran itu pun menjadi berdebar-debar.
Sesaat mereka melihat Mahisa Murti mendesak lawannya.
Namun kemudian setiap kali mereka justru melihat Mahisa
Murti bergeser surut. "Apa yang terjadi?" bertanya Mahisa Ura di dalam
dirinya. Namun Mahisa Pukat telah melihat bahwa tata gerak
orang yang menyebut dirinya bernama Tatas Lintang itu
mulai berubah. Dengan demikian maka Mahisa Murti tidak dapat
bertahan untuk tetap beralaskan kemampuan wadagnya
serta kekuatan cadangan di dalam dirinya. Ia harus mulai
mempergunakan ilmu yang dikuasainya, baik yang
diterimanya dari ayahnya, maupun yang diterimanya dari
Pangeran Singa Narpada. Namun sebagaimana dilakukan oleh orang yang
tubuhnya menjadi semakin mengeras itu, Mahisa Murti pun
tidak melakukannya dengan serta merta. Ia meningkatkan
ilmunya perlahan-lahan. Ia tidak menghentakkan segenap
kemampuan ilmunya, menghantam lawannya dan
menghancurkannya. Tetapi ia justru mempergunakan
ilmunya dalam ujudnya yang lunak.
Ketika Mahisa Murti melontarkan ilmunya ke arah
lawannya yang tubuhnya mengeras itu, lawannya terkejut.
Ia bergeser surut. Betapapun tubuhnya keras bagaikan batu,
namun ilmu lawannya yang masih muda dalam ujudnya
yang lunak itu telah membuatnya dicengkam oleh udara
dingin. "Inti dari kekuatan api dalam bentuk yang berlawanan,"
berkata orang itu di dalam hatinya, "menurut dugaanku,
satu ujud dari ilmu Bajra Geni."
Orang itu harus bergeser lagi ketika serangan berikutnya
mengejarnya. Sambil meloncat menyamping orang itu berdesis, "Bagus
anak muda. Kau benar-benar seorang yang luar biasa. Kau
telah melepaskan satu jenis ilmu yang sulit dicari
bandingnya. Justru dalam bentuk yang berlawanan dari inti
kekuatan yang kau hisap."
"Darimana kau mengetahuinya Ki Tatas Lintang?"
bertanya Mahisa Murti. Orang itu tertawa. Namun ia pun harus meloncat
menghindari serangan Mahisa Murti yang bergulung
menghampirinya. Mahisa Murti memang menjadi heran. Ilmunya adalah
ilmu yang sangat khusus. Namun orang itu dapat
menebaknya meskipun tidak menyebut namanya. Bahkan
ia mampu menghindarkan diri dari inti kekuatan ilmunya
itu sehingga ia tidak membeku karenanya.
Ketika Mahisa Murti meningkatkan ilmunya, maka
udara-pun menjadi semakin dingin. Tidak saja terbatasnya
arus serangannya, namun udara di sekitarnya pun menjadi
terasa membeku. Namun Mahisa Murti telah siap dengan kekuatan dan
kemampuannya yang dilambari dengan ilmunya. Karena
itu, lawannya pun menjadi semakin berhati-hati.
Pada saat Mahisa Murti berhasil menembus kecepatan
gerak lawannya dengan memotong langkahnya, serta
berhasil menyentuh tubuh lawannya dengan ilmunya, maka
Mahisa Murti mendengar lawannya itu berdesah.
Mahisa Murti memang belum mempergunakan segenap
kekuatan ilmunya. Karena itu, maka sentuhannya pun
masih belum menentukan. Meskipun benturan dengan
lawannya yang bertubuh sekeras batu itu masih
membuatnya sakit, tetapi ia sadar, bahwa kekuatan ilmunya
pun mampu juga menyakiti lawannya meskipun belum
menunjukkan pengaruh yang nyata.
Dengan demikian maka Mahisa Murti pun telah
meningkatkan ilmunya pula selapis. Ia ingin sampai pada
satu tingkatan yang mungkin mampu menghentikan
pertempuran itu. Meskipun sentuhan-sentuhan yang terjadi
menyakitinya, tetapi lawannya pun harus merasakan
kesakitan melampuai dirinya.
Tetapi ternyata bahwa lawannya pun telah
mempergunakan kelebihannya yang lain untuk
mengimbangi kekuatan ilmu Mahisa Murti. Orang itu
mampu bergerak lebih cepat dari Mahisa Murti. Dengan
demikian maka serangan-serangan Mahisa Murti jarang
sekali, bahwa hampir tidak pernah dapat mengenainya.
Sebaliknya orang itu semakin lama semakin sering
menembus pertahanan Mahisa Murti dan menyakitinya.
"Bukan main," geram Mahisa Murti di dalam hatinya.
"Ia mampu bergerak seperti bayangan iblis."
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti memang
mengalami kesulitan untuk mengatasi kecepatan gerak
lawannya. Betapapun ia berusaha, namun lawannya selalu
berhasil mendahuluinya. Sekali-sekali serangannya
mengenai dadanya. Namun kemudian mengenai
punggungnya. Perasaan sakit pun semakin lama semakin
menghentak-hentak tubuhnya. Kemampuan serangan orang
itu ternyata melampaui kemampuan daya tahan ilmu
Mahisa Murti. Mahisa Pukat dan Mahisa Ura ikut menjadi cemas.
Mereka melihat bahwa Mahisa Murti agaknya semakin
terdesak. Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat pun
menjadi tegang. Mahisa Murti masih saja bertahan dalam
keadaannya. Meskipun ia meningkatkan ilmunya, tetapi
karena kemungkinan untuk mampu mengenai lawannya
dengan serangan yang dilambari dengan ilmunya semakin
kecil, maka Mahisa Murti seharusnya mulai menyesuaikan
dirinya. "Luar biasa," berkata orang itu, "aku kira
kemampuanmu masih terbatas pada kemampuan dasar.
Ternyata kau sudah mampu mengembangkannya, bahkan
jauh melampaui dugaanku. Tetapi baiklah. Biarlah aku
berusaha untuk menghangatkan tubuhku, agar aku tidak
menjadi beku karenanya."
Sebenarnyalah, orang itu mampu membuat dirinya
menjadi hangat. Tatas Lintang itu tidak membalas serangan
Mahisa Murti dengan jenis ilmu yang berlawanan, tetapi ia
sekedar menyelamatkan dirinya sendiri dengan ilmunya.
Namun dalam pada itu, maka Tatas Lintang itu pun
telah meningkatkan serangannya pula. Tubuhnya yang
menjadi ringan itu menjadi semakin ringan pula. Ia
bergerak sangat cepat dan yang meresahkan adalah
sentuhan tangan orang itu bagaikan sentuhan batu yang
sangat keras. Sementara itu, orang itu mampu menghindari seranganserangan
ilmu Mahisa Murti dalam bentuknya yang lunak.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun telah merubah ujud
serangan-serangannya. Ia tidak lagi mempergunakan
ilmunya dalam ujudnya yang lunak. Tetapi ia telah
mempergunakan ilmunya dalam bentuknya yang
sesungguhnya, dalam ujud yang keras.
Mahisa Murti menggosokkan kedua telapak tangannya
yang satu dengan yang lain. Sesaat ia terpaksa meloncat
surut untuk mengambil jarak.
Sementara itu Mahisa Pukat menjadi semakin berdebardebar.
Ia merasakan udara yang dingin, sehingga ia sadar,
bahwa Mahisa Murti telah meningkatkan ilmunya sampai
ketataran yang lebih tinggi. Namun kemudian udara yang
dingin itu dengan cepat menyusut. Ketika ia melihat tata
gerak Mahisa Murti, maka ia pun menyadari bahwa Mahisa
Murti telah merubah ujud ilmunya dari yang lunak ke
sebaliknya. Ujud yang keras.
Mahisa Ura kurang mengerti akan kekuatan ilmu itu.
Tetapi ia pun merasakan udara menjadi dingin membeku.
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun ti-ba-tiba udara telah berubah pula sebagaimana
tata gerak Mahisa Murti. "Agaknya Mahisa Murti mengalami kesulitan sehingga
ia harus merubah-rubah ujud ilmunya," berkata Mahisa
Pukat di dalam hatinya. Tetapi ia pun ikut cepat juga
menyaksikan kemampuan bergerak lawan Mahisa Murti
itu. Demikian cepatnya, melampaui kemampuan yang
dapat dicapai oleh Mahisa Murti.
Sebenarnyalah Mahisa Murti pun memang tidak
mempunyai jalan lain. Semakin lama ia semakin menyadari
bahwa ia tidak akan mampu mengatasi kemampuan
lawannya jika ia masih bertahan dalam tatarannya. Karena
itu, maka Mahisa Murti pun telah semakin meningkatkan
ilmunya. Dengan landasan kekuatan ilmunya, maka
Mahisa Murti pun telah memperhitungkan langkah dan
sikap yang harus diambilnya.
Dengan cermat Mahisa Murti memperhitungkan setiap
langkah lawannya yang mampu bergerak dengan sangat
cepat itu. Sekali dari sekian banyak serangan, Mahisa Murti
harus berhasil menangkisnya dan membenturkan kekuatan
ilmunya yang semakin meningkat.
Ternyata bahwa perhitungan Mahisa Murti yang cermat
itu telah berhasil dilakukan. Pada saat-saat Mahisa Murti
diburu oleh serangan lawannya yang meluncur dengan
cepatnya, Mahisa Murti sama sekali tidak berusaha untuk
menghindar. Namun dengan sengaja ia telah
membenturkan ilmunya yang tinggi kepada kekuatan
serangan lawannya. Yang terjadi adalah satu benturan yang dahsyat.
Kekuatan ilmu orang yang menyebut dirinya Tatas Lintang
itu telah membentur ilmu Mahisa Murti yang nggegirisi.
Dan kekuatan ilmu yang tinggi yang saling berbenturan itu
benar-benar telah berakibat dahsyat.
Orang yang mempergunakan ilmunya yang
menggetarkan itu ternyata terpental beberapa langkah surut.
Ilmu Mahisa Murti bagaikan telah memecahkan dadanya.
Udara panas telah menembus kulitnya dan merambat
sampai ke jantung, seakan-akan telah menghanguskan isi
dadanya, karena itulah, maka ia pun tiba-tiba saja telah
terduduk. Dengan serta merta ia telah menyilangkan
tangannya. Kemudian memusatkan nalar budinya dan
mengetrapkan daya tahan ilmunya setinggi-tingginya untuk
mengatasi benturan yang baru saja terjadi.
Sementara itu, Mahisa Murti pun telah terlempar pula
beberapa langkah surut dan bahkan hampir saja kehilangan
keseimbangannya. Dengan susah payah Mahisa Murti
bertahan agar ia tidak benar-benar lepas dari
keseimbangannya dan jatuh di tanah.
Meskipun kemudian Mahisa Murti berhasil
mempertahankan keseimbangannya, tetapi ia tidak dapat
segera menyerang lawannya yang sedang membenahi
dirinya dengan pemusatan nalar budinya, karena untuk
beberapa saat, tubuh Mahisa Mur-ti pun bagaikan telah
menjadi retak-retak dalam benturan ilmu itu.
Ternyata beberapa saat kemudian, hampir berbareng
pula keduanya mampu memperbaiki keadaan mereka.
Tatas lintang-pun telah bangkit berdiri pula. sementara
Mahisa Murti telah mempersiapkan diri menghadapi segala
kemungkinan. Namun Mahisa Murti tidak mau mengalami keadaan
yang serupa. Benturan dengan tubuh lawannya yang
mengeras bagaikan besi baja telah membuatnya hampir
tidak mampu menahan diri dari guncangan keseimbangan.
Karena itu, maka ia pun harus meningkatkan ilmunya
sampai ke puncak. Jika terjadi lagi benturan, maka biarlah
lawannya yang mengalami keadaan yang lebih parah.
Sementara itu, Tatas Lintang pun menarik nafas dalamdalam
Di dalam hati ia berkata, "anak ini benar-benar luar
biasa. Ia sudah memiliki ilmunya yang berkembang dengan
pesat. Bahkan agaknya anak itu masih mampu
meningkatkan lagi kemampuan ilmunya."
Karena itu, maka Tatas Lintang pun menjadi semakin
berhati-hati. Ia sadar, jika ia membentur kemampuan
puncak ilmu yang dimiliki oleh lawannya, maka ia akan
benar-benar mengalami kesulitan.
Karena itu, Tatas Lintang telah mempergunakan
kemampuannya untuk bergerak dengan kecepatan yang
sangat tinggi. Dengan kemampuannya itu, Tatas Lintang
tidak akan dapat membentur kekuatan lawannya. Meskipun
Mahisa Murti selalu berusaha, tetapi Tatas Lintang mampu
untuk selalu mengurungkan setiap benturan. Bahkan
dengan loncatan-loncatan yang melampaui kecepatan gerak
Mahisa Murti Tatas Lintang mampu mengenainya dari
arah samping bahkan arah belakang.
"Licik," geram Mahisa Murti, "kau tidak berani
membentur beradu dada."
"Kita sedang bertempur," jawab Tatas Lintang, "kita
tidak sedang binten atau jotosan, yang memberi kesempatan
kita berganti-ganti menyerang tanpa ada kesempatan untuk
menghindar atau menangkis serangan itu."
"Persetan," sahut Mahisa Murti sambil menyerang.
Tetapi lawannya telah meloncat mendahului serangannya.
Dalam keadaan yang demikian ipaka Mahisa Murti pun
sampai pada satu keputusan untuk mempergunakan
ilmunya yang lain. Meskipun setiap kali ia merasa ragu,
bahwa ilmunya itu akan dapat dianggap sebagai ilmu yang
licik, sebagaimana setiap kali selalu mengganggu perasaan
Pangeran Singa Narpada yang mewariskan ilmu itu
kepadanya. Namun menghadapi lawannya yang mampu bergerak
terlalu cepat itu, ia tidak mempunyai pilihan lain.
Lawannya itu pun akan dapat disebut licik, karena ia tidak
pernah membenturkan kekuatan dan kemampuan
berhadapan. Tetapi selalu menghindari benturan dan
kemudian dengan cepat berusaha menyerang dari arah
belakang atau dari sisi. Karena itu, maka sejenak kemudian Mahisa Murti pun
telah mengambil jarak dari lawannya untuk mendapat
kesempatan membangunkan ilmunya yang lain.
Mahisa Pukat dan Mahisa Ura benar-benar menjadi
cemas melihat keadaan Mahisa Murti. Namun bagi Mahisa
Pukat, usaha Mahisa Murti untuk mengambil jarak ternyata
telah sedikit melapangkan dadanya, meskipun bagi Mahisa
Ura, segala sesuatu masih belum jelas. Tetapi Mahisa Pukat
melihat kemungkinan bahwa Mahisa Murti akan
mempergunakan ilmunya yang lain.
"Ia harus segera mulai," berkata Mahisa Pukat di dalam
hatinya, "Jika ia terlambat, maka ia tidak akan mampu
menyusul lagi." Sebenarnyalah Mahisa Pukat sudah tidak sabar lagi.
Seandainya ia sendiri yang harus melawan orang yang
menyebut dirinya bernama Tatas Lintang itu, maka ia
sudah berada di dalam ilmunya sejak tadi. Namun agaknya
Mahisa Murti lebih cermat mengamati kemampuan
lawannya. Demikianlah, maka Mahisa Murti pun telah
mengetrapkan ilmunya yang lebih sesuai untuk melawan
kemampuan ilmu Tatas Lintang.
Dalam pada itu Tatas Lintang sendiri tidak mengetahui
apa yang terjadi di dalam diri lawannya yang masih muda
itu. Namun ketika ia melihat sesuatu yang berbeda pada
langkah lawannya itu, maka orang yang memiliki
pengalaman yang sangat luas itu, mulai mengerti, bahwa
Mahisa Murti akan mempergunakan kemampuannya yang
masih tersimpan. "Apa lagi yang dapat dilakukan oleh anak itu?" bertanya
Tatas Lintang di dalam hatinya.
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti telah dengan tidak
sadar, merubah sikap dan tata geraknya. Ia tidak lagi terlalu
berusaha untuk menghindari serangan lawannya.
Namun ketika Tatas Lintang berhasil menyentuh
pundaknya, maka Mahisa Murti menyeringai menahan
sakit. Meskipun demikian, ia sama sekali tidak merubah
langkah-langkahnya. Beberapa kali lawannya berhasil mengenainya,
sementara itu Mahisa Murti merasa seluruh tubuhnya
bagaikan menjadi memar. Namun pada saat yang demikian, maka Mahisa Murti
pun telah membangunkan kedua macam ilmunya sekaligus.
Pada saat-saat tulang-tulangnya bagaikan retak.
Yang terjadi kemudian adalah pertempuran yang sangat
seru. Mahisa Murti berusaha untuk dapat membentur
kekuatan lawannya. Namun lawannya selalu berusaha
menghindarinya. Lawannya berusaha untuk dapat mengenai tubuh
Mahisa Murti dari arah yang lain.
Meskipun orang itu berhasil karena kemampuannya
bergerak terlalu cepat, namun sesuatu telah terasa asing di
dalam dirinya. Ada yang terasa terlepas dari padanya.
Seakan-akan memang ada yang hilang.
Karena itulah, maka Tatas Lintang yang memiliki
pengalaman yang luas itu pun berusaha untuk mengetahui
apa yang sebenarnya telah terjadi.
Beberapa kali orang itu dengan sengaja menyentuh tubuh
Mahisa Murti, meskipun ia masih selalu berusaha
menghindari benturan. Namun dengan beberapa kali
sentuhan, maka Tatas Lintang pun segera mengetahui,
apakah sebenarnya yang terjadi.
Sejenak kemudian, maka Tatas Lintang itu pun telah
berusaha mengambil jarak. Sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya orang itu kemudian berkata, "Bukan main anak
muda. Kau memiliki seperangkat ilmu yang sangat dahsyat.
Kau mampu membentur kekuatan lawan dengan ilmumu
yang nggegirisi dalam bentuknya yang keras. Namun kau
mampu juga membuat lawanmu membeku jika ilmumu kau
lontarkan dalam bentuknya yang lunak. Di samping itu kau
ternyata juga memiliki kemampuan untuk menghisap
kekuatan ilmu lawanmu pada setiap sentuhan. Dengan
demikian semakin sering kau tersentuh oleh serangan
lawan, maka lawanmu itu pun akan menjadi semakin
lemah." Mahisa Murti berdiri termangu-mangu. Seluruh
tubuhnya terasa nyeri. Beberapa kali tubuhnya telah dikenai
oleh serangan lawannya yang tubuhnya bagaikan sekeras
batu, sehingga tulang-tulangnya bagaikan menjadi
berpatahan. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti pun merasa yakin,
bahwa kekuatan dan kemampuan ilmu lawannya pun telah
berkurang. Untuk beberapa saat orang yang menyebut dirinya Tatas
Lintang itu masih berdiri termangu-mangu. Bahkan ia pun
kemudian berkata, "Anak muda, kau memiliki satu jenis
ilmu yang mengalir dari perguruan yang jarang sekali
didengar namanya. Namun menurut pendengaranku, ilmu
itu pernah menjamah keluarga istana Kediri."
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Orang yang
menyebut dirinya Tatas Lintang itu tentu orang memiliki
pengalaman dan pengetahuan yang sangat luas. Seakanakan
ia mampu menebak ilmu yang ada di dalam diri
Mahisa Murti itu. Baik yang diwarisinya dari ayahnya,
maupun yang diwarisinya dari Pangeran Singa Narpada.
Namun dalam pada itu, maka Tatas Lintang itu pun
berkata, "Anak muda. Selama empat puluh hari aku akan
mengalami kesulitan, karena baru setelah itu kekuatan dan
kemampuan ilmuku akan pulih kembali setelah sebagian
berhasil kau hisap. Jika dalam waktu itu aku menjumpai
lawan yang berilmu tinggi, maka aku akan kehilangan
kesempatan untuk mengimbangi kemampuannya dan
bahkan mungkin aku akan digilasnya sampai mati."
Mahisa Murti menggeram. Dengan nada datar ia
menjawab, "Aku tidak mempunyai cara lain. Tetapi aku
tidak mau kau bunuh dengan cara apapun. Aku yakin,
bahwa kau tentu tidak sekedar menjajaki ilmuku. Tetapi
kau tentu akan membunuhku dengan atau tidak dengan
anak-anakmu dari padepokan itu."
"Bukan salahmu jika timbul kesan yang demikian.
Tetapi baiklah. Meskipun sebagian dari kekuatan dan
kemampuan ilmuku telah kau hisap, tetapi aku masih
memiliki kemampuan yang cukup untuk mengalahkanmu,"
berkata orang yang menyebut dirinya Tatas Lintang itu.
"Baiklah," berkata Mahisa Murti, "aku sudah siap.
Lakukan apa yang paling baik buatmu."
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya kepada diri sendiri, "Bagaimanapun juga
aku harus menunjukkan bahwa aku memiliki kelebihan dari
padanya." Karena itu, maka sejenak kemudian orang yang
menyebut dirinya Tatas Lintang itu pun segera bersiap.
Dengan suara bergetar ia berkata, "Aku akan menyerangmu
dengan tanpa menyentuh tubuhmu."
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia sudah bersiap
menghadapi segala kemungkinan.
Demikianlah, maka orang yang bernama Tatas Lintang
itu-pun telah menghentakkan tangannya terjulur ke depan.
Dengan ketajaman penglihatan batinnya, Mahisa Murti
melihat semacam getaran sinar yang meluncur dari telapak
tangan orang itu. Meskipun hampir di seluruh tubuh Mahisa Murti masih
terasa nyeri namun Mahisa Murti masih mampu bergerak
dengan tangkas menghindari serangan itu.
Demikian getaran itu menyentuh tanah, maka seakanakan
telah terjadi ledakan yang mengejutkan. Asap
bagaikan tersembur dari dalam bumi menghembus dan
bahkan memancar dengan garangnya.
Tetapi Mahisa Murti sama sekali tidak tersentuh
serangan itu. Namun yang terjadi itu benar-benar telah
menggetarkan jantungnya. Sementara itu, Tatas Lintang itu
pun mengeluh dengan nada berat, "Anak muda. Yang
terjadi benar-benar menyulitkan kedudukanku. Ternyata
seranganku datang terlalu lamban setelah sebagian tenagaku
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terhisap oleh ilmumu. Tidak seorang pun yang mampu
menghindari seranganku jika aku dalam keadaan yang
wajar. Aku menyesal bahwa aku tidak mempergunakan
ilmuku ini sebelum kau berhasil melumpuhkan sebagian
dari kekuatanku." Mahisa Murti memang menjadi berdebar-debar. Ia
dengan demikian harus memperhitungkan orang itu sebaikbaiknya.
Jika tenaganya yang terhisap itu masih mampu
menunjukkan kekuatan yang sedemikian besarnya, maka
Mahisa Murti dapat membayangkan, betapa besarnya
tenaga dan kemampuan ilmunya, jika ilmunya masih utuh
sepenuhnya. Namun dalam pada itu, Tatas Lintang tidak menunggu
lebih lama lagi. Sekali lagi ia menghentakkan tangannya
dengan kedua telapak tangannya menghadap ke depan. Ia
telah mengulangi serangannya kembali.
Sekali lagi Mahisa Murti meloncat menghindar, sehingga
serangan itu tidak menyentuhnya.
Meskipun demikian Mahisa Murti merasakan satu
kesulitan. Ia akan sukar sekali dapat membenturkan
serangannya sehingga menyentuh tubuh lawannya.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun telah
mempergunakan ilmunya dalam ujudnya yang lunak.
Dengan demikian ia akan mampu mengurangi kemampuan
serangan lawannya. Sementara itu, ia masih tetap siap
mempergunakan kemampuan yang diwarisinya dari
Pangeran Singa Narpada. Ternyata usaha Mahisa Murti berpengaruh juga. Udara
yang dingin itu mampu menusuk ke dalam tubuh Tatas
Lintang yang kekuatan daya tahannya pun telah susut.
Sementara itu, lawannya pun tidak lagi mampu bergerak
secepat sebelum ia termakan oleh hisapan ilmu Mahisa
Murti. Meskipun demikian, namun serangan-serangan orang itu
masih saja sangat berbahaya bagi Mahisa Murti. Setiap kali
Mahisa Murti harus bergeser surut. Meloncat ke samping
dan sekali-sekali mengambil jarak.
Mahisa Pukat dan Mahisa Ura menyaksikan
pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran. Mahisa
Pukat pun kemudian mengerti bahwa Mahisa Murti telah
merubah lagi ujud ilmunya dengan ujud yang lunak,
sehingga udara pun terasa menjadi dingin. Apalagi jalur
serangan ilmu Mahisa Murti yang melihat lawannya.
Seandainya lawannya tidak memiliki ilmu yang sangat
tinggi dan daya tahan yang sangat kuat, maka ia pun tentu
telah membeku. Demikianlah pertempuran itu berlangsung dengan
sengitnya. Ilmu yang terpancar dari kedua belah pihak telah
beradu. Meskipun pada saat-saat terakhir Mahisa Murti masih
tetap merasa dalam kesulitan, tetapi ia masih mampu
menyelamatkan dirinya sendiri.
Bahkan kadang-kadang Mahisa Murti masih juga
mampu menembus ilmu lawannya dengan seranganserangan
wadagnya dan menyentuh lawannya itu. Namun
pada saat-saat terakhir, agaknya lawannya benar-benar
ingin mengakhiri pertempuran itu. Dengan demikian, maka
tiba-tiba saja ilmu lawannya itu bagaikan tercurah dari
dirinya. Bukan saja getaran cahaya yang meluncur dari
kedua telapak tangannya yang mengembang, namun tibatiba
semacam kabut yang berwarna keputih-putihan
bagaikan telah melibat tubuh Mahisa Murti.
Semula Mahisa Murti tidak merasakan akibat dari
libatan kabut putih yang tipis itu. Namun semakin lama
rasa-rasanya kabut itu telah membuat matanya menjadi
sangat pedas. Seakan-akan matanya itu telah tersentuh oleh
asap arang yang basah. "Gila," geram Mahisa Murti, "ilmu apa lagi yang
ditrapkan oleh orang itu?"
Namun Mahisa Murti tidak sempat berpikir terlalu
panjang. Serangan demi serangan datang beruntun.
Ketika matanya menjadi semakin pedih oleh asap yang
keputih-putihan maka ia pun merasa semakin sulit untuk
dapat menghindari serangan-serangan Tatas Lintang yang
lain, yang rasa-rasanya semakin cepat memburunya.
Dalam keadaan yang demikian, Mahisa Pukat pun
melihat kesulitan yang semakin mencengkam Mahisa
Murti. Bahkan kabut yang keputih-putihan itu agaknya
telah menebar dan menyentuhnya pula, sehingga Mahisa
Pukat dapat mengerti akibat yang ditimbulkan dari kabut
putih itu, karena matanya pun menjadi pedih.
Yang lebih cemas lagi adalah Mahisa Ura. Ia pun
melihat kesulitan yang dialami oleh Mahisa Murti. Bahkan
ia menjadi semakin berdebar-debar karena kabut putih itu.
Untuk beberapa saat Mahisa Pukat dan Mahisa Ura
menyaksikan pertempuran itu dengan jantung yang
berdegupan. Namun ketika Mahisa Murti menjadi semakin
terdesak, maka rasa-rasanya Mahisa Pukat tidak lagi dapat
berdiam diri. "Amati apa yang terjadi," desis Mahisa Pukat, "aku
akan turun ke arena. Orang itu memiliki ilmu yang luar
biasa. Kami akan menghadapinya berdua. Agaknya kami
masing-masing tidak akan mampu melawannya."
"Aku ikut bersama," berkata Mahisa Ura.
"Jangan. Kau harus mengamati keadaan. Siapa tahu
orang itu pun tidak sendiri," berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Ura mengangguk-angguk. Ia mengerti tugas
apakah yang harus dilakukannya.
Dalam pada itu, maka Mahisa Pukat pun telah bersiap
untuk memasuki arena. Ia tidak dapat membiarkan
saudaranya mengalami cidera dan bahkan mungkin parah,
bahkan lebih dari itu, Mahisa Murti akan dapat terbunuh di
dalam pertempuran itu. Sementara itu Mahisa Murti masih bertempur dengan
segenap kemampuan yang ada padanya. Lawannya itu
telah berhasil disentuhnya, justru pada saat-saat orang itu
menyerang dan mengenainya, sehingga kemampuannya
sebagian tentu saja sudah terhisap. Tetapi ternyata bahwa
dalam keadaan yang demikian, ia masih mampu
melontarkan ilmunya yang dahsyat dan nggegirisi.
Seandainya ilmunya itu masih utuh, maka tentu lebih
banyak lagi yang dapat dilakukannya.
Mahisa Murti tidak dapat mengingkari kenyataan itu.
Karena itu ketika melihat Mahisa Pukat bersiap, Mahisa
Murti sama sekali tidak mencegahnya. Ia memang masih
berada di bawah kemampuan orang yang menyebut dirinya
Tatas Lintang itu. Namun ketika Mahisa Pukat kemudian benar-benar
meloncat ke medan maka orang itu justru meloncat
menjauh. Dengan nada dalam ia bertanya, "Apakah kau
juga akan memasuki arena?"
"Ya," jawab Mahisa Pukat, "kami harus mengakui
kelebihanmu. Karena itu, kami telah memberikan satu
penghormatan yang sangat tinggi kepadamu. Kami akan
bertempur berpasangan."
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya dengan nada merendah, "Anak-anak
muda. Baiklah aku berterus terang aku tidak dapat
mengingkari satu kenyataan, bahwa aku tentu tidak akan
mampu melawan kalian berdua. Untuk melawan salah
seorang di antara kalian, aku sudah merasa sangat sulit,
apalagi jika aku harus berhadapan dengan dua orang
sekaligus. Karena itu, maka baiklah aku menghentikan
perlawananku." Mahisa Pukat termangu-mangu. Namun sebenarnyalah,
bahwa orang itu telah melepaskan serangan-serangannya.
Kabut yang berwarna keputih-putihan itu tidak lagi nampak
melibat Mahisa Murti atau bahkan menyentuh Mahisa
Pukat. Dalam keremangan malam, nampak orang itu
melangkah beberapa langkah maju. Namun sikapnya bukan
lagi sikap seseorang yang siap untuk bertempur.
"Sudahlah," berkata orang itu, "sejak semula aku sudah
mengatakan bahwa aku hanya sekedar menjajagi
kemampuan kalian bertiga. Kini aku tahu, bahwa kalian
memiliki ilmu yang sangat tinggi. Apalagi menilik umur
kalian yang masih sangat muda, sehingga dengan demikian
maka pada masa-masa mendatang, kalian akan dapat
menjadi orang yang jarang ada tandingnya."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu.
Sementara itu Mahisa Ura pun telah bergeser mendekat
pula. Namun dengan nada berat Mahisa Murti kemudian
bertanya, "Lalu, apa yang akan kau lakukan kemudian?"
"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin mengatakan bahwa
layaklah jika kalian berani mendekati padepokan itu dan
apalagi melihat apa yang terdapat di dalamnya," jawab
orang itu. "Dan kau akan memanggil anak-anakmu dan siap
mencincang kami bertiga?" bertanya Mahisa Pukat.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Aku sebenarnya orang lain. Aku tidak berasal
dari padepokan itu."
"Jadi siapakah sebenarnya kau?" bertanya Mahisa Pukat
dengan serta merta. Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya,
"Namaku memang Tatas Lintang. Memang nama yang
aneh. Tetapi itu memang namaku yang sebenarnya. Dan
aku memang tidak menjadi penghuni padepokan itu,
apalagi pemimpinnya."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura berdiri
mematung sejenak, namun kemudian Mahisa Pukat
melangkah maju sambil bertanya, "Jadi apakah maksudmu
sebenarnya?" Orang itu termangu-mangu. Lalu katanya, "Apakah aku
kalian perkenankan untuk bergabung dengan kalian"
Mungkin aku akan dapat berceritera serba sedikit tentang
padepokan itu." Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura tertegun
sejenak. Namun mereka melihat kesungguhan pada nada
bicara orang itu. "Aku dapat mengerti bahwa kalian menjadi ragu-ragu,"
berkata Tatas Lintang, "kita baru saja bertemu, justru
dengan cara yang mungkin tidak wajar. Namun dengan
demikian aku sempat mengetahui bahwa ilmu dari dua
perguruan yang besar mengalir di dalam tubuh kalian.
Meskipun sejak semula aku memang sudah menduga, tentu
kalian mempunyai bekal yang cukup, sehingga kalian
berani mendekati padepokan Wirabala."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat, dan Mahisa Ura terkejut
mendengar nama padepokan itu. Hampir diluar sadarnya
Mahisa Ura menyahut, "Apakah kau tidak salah menyebut
nama padepokan itu?"
Orang itu berpaling ke arah Mahisa Ura. Namun
kemudian ia-pun tersenyum sambil berkata, "Tidak. Aku
tidak salah sebut. Padepokan itu adalah padepokan
Wirabala. Mungkin yang kau maksud adalah padepokan
Suriantal, sehingga kau mengira aku salah sebut."
"Ya. Padepokan Suriantal," ulang Mahisa Ura.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Ada benturan terjadi di dalam padepokan itu.
Padepokan itu semula memang bernama Suriantal. Namun
kemudian yang berkuasa adalah orang-orang dari
padepokan Wirabala."
"O," Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun
kemudian ia pun bertanya, "Kau mengetahui banyak
tentang padepokan itu. Tetapi bagaimanakah peristiwa
pengambilan Mahkota yang gagal itu" Agaknya ceritera itu
akan sangat menarik."
"Tidak begitu jelas," jawab Tatas Lintang, "namun
Pangeran Singa Narpada bersama beberapa orang berhasil
menggagalkannya. Dan aku melihat ilmu Pangeran itu
mengalir di dalam dirimu."
Jantung Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi
semakin berdebar debar. Demikian pula Mahisa Ura.
Namun debar jantungnya justru karena ia semakin
mengenali kedua anak muda yang diakunya sebagai
adiknya itu. "Baiklah," berkata Mahisa Murti, "kau melihat bahwa
aku mewarisi ilmu sebagaimana dimiliki oleh Pangeran
Singa Narpada. Tetapi apakah maksudmu sebenarnya.
Kami akan mempertimbangkan niatmu untuk bergabung
dengan kami, jika kami dapat mengerti penjelasanmu
tentang sikapmu itu."
"Aku adalah seorang pengembara," berkata orang itu,
"Tetapi aku mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
orang-orang dari perguruan Suriantal. Sejak di padepokan
itu terjadi perpecahan, aku tidak mau mencampurinya. Aku
justru menjauhinya dan menunggu sampai terjadi satu
pengendapan atas persoalan yang terjadi sebagaimana
dikehendaki oleh orang-orang Suriantal sendiri. Namun
ternyata bahwa ada pihak lain yang ikut mencampurinya.
Orang-orang dari padepokan Wirabala telah mengambil
keuntungan dari perselisihan yang terjadi di padepokan
Suriantal itu." Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura
mengangguk-angguk. Sementara itu orang itu pun berkata,
"Bagaimana menurut pendapatmu" Apakah kalian setuju
aku bergabung dengan kalian?"
Mahisa Murti memandang Mahisa Pukat sekilas.
Mereka berdua ternyata merasakan kesungguhan
keterangan Tatas Lintang itu, sehingga ketika Mahisa Murti
mengangguk kecil, maka Mahisa Pukat pun mengangguk
pula. Dalam pada itu, Mahisa Ura tidak lagi terlalu banyak
menentukan sikap. Diserahkannya segala sesuatunya
kepada kedua orang kakak beradik itu yang ternyata
memiliki kelebihan dihampir segala hal daripadanya.
Karena itulah, maka Mahisa Murti pun kemudian
menjawab, "Baiklah Ki Sanak. Kami tidak berkeberatan.
Tetapi sebagaimana kau, kami pun pengembara yang tidak
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mempunyai tempat tinggal yang tetap."
"Aku justru ingin mempersilahkan kalian singgah di
pondokku," berkata orang yang menyebut dirinya Tatas
Lintang itu. "Kau mempunyai pondok di dekat tempat ini?"
bertanya Mahisa Pukat. "Ya Aku tinggal di sebuah gubug kecil di padukuhan
yang tidak terlalu jauh dari tempat ini," berkata Tatas
Lintang, "aku berhasil mendapatkan sebidang kecil tanah
karena aku sempat menolong seorang anak yang tergelincir
masuk ke dalam jurang yang tidak dapat memanjat naik.
Pertolonganku memang tidak seberapa. Aku
menggendongnya naik dan membawanya kembali
kekeluarganya. Namun keluarganya yang agaknya
berkecukupan itu telah memberikan hadiah kepadaku. Dan
aku minta untuk diperkenankan tinggal di sudut
pategalannya yang berhimpitan dengan dinding
padukuhan." "Kau mendapatkan apa yang kau inginkan?" bertanya
Mahisa Pukat. "Ya," jawab orang itu.
"Dan kau berhasil tinggal, dekat padepokan Suriantal?"
bertanya Mahisa Murti pula.
"Ya. Sebagaimana kau lihat," jawab orang itu.
Mahisa Murti mengangguk-angguk, Lalu katanya,
"Baiklah. Kami akan bersedia memenuhi undanganmu."
"Jika kau sudah melihat pondokku, maka kau tidak
akan mencurigai aku lagi. Aku berkata sebenarnya," desis
orang itu. "Baiklah. Aku akan membiasakan diri untuk tidak
curiga lagi kepadamu," jawab Mahisa Murti.
Dengan demikian maka mereka berempat pun
kemudian, meninggalkan lingkungan yang basah itu.
Mereka melintasi daerah berlumpur beberapa ratus langkah.
Kemudian mereka naik ke sebuah tebing yang tidak terlalu
tinggi. Setelah menyeberangi padang perdu, maka mereka
mulai merambah tanah persawahan.
Meskipun malam gelap, tetapi Mahisa Murti, Mahisa
Pukat dan Mahisa Ura berusaha untuk mengenali
lingkungan yang dilaluinya. Dengan ketajaman
pengamatan seorang pengembara, maka mereka dapat
mengingat beberapa ciri yang berkesan yang terdapat di
sepanjang perjalanan mereka.
Untuk beberapa saat mereka telah menelusuri jalan
bulak. Mereka menghindari padukuhan di hadapan mereka,
sehingga karena itu, maka mereka telah melalui pematang
yang menyilang di tengah sawah.
Baru beberapa saat kemudian, maka mereka telah
memasuki sebuah pategalan.
"Pategalan ini bergandengan dengan padukuhan,"
berkata orang yang menyebut dirinya Tatas Lintang, "tetapi
aliran air agak kurang baik, sehingga sawah di lingkungan
ini telah dirubah menjadi pategalan. Ada rencana untuk
perluasan padukuhan."
"Apakah tidak dikhawatirkan bahwa sumber bahan
makanan akan menjadi susut. Jika sawah berubah menjadi
pategalan, dan pategalan kemudian menjadi daerah
berpenghuni, maka akhirnya tidak ada lagi tempat untuk
menanam padi dan jagung," berkata Mahisa Murti.
"Tidak anak muda," jawab Tatas Lintang, "beberapa
orang telah menebang hutan dan menjadikannya tanah
persawahan." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan.
Mereka teringat kepada usaha beberapa pihak di Kediri
untuk menghancurkan masa depan dengan menebangi
pepohonan bahkan di lereng-lereng pegunungan sehingga
tidak ada lagi yang dapat menahan arus air jika hujan turun.
Kecuali banjir, maka kulit pegunungan akan terkelupas dan
di musim kering, maka tanah di kaki bukit akan kering dan
merekah. Agaknya orang yang bernama Tatas Lintang itu melihat
kebimbangan di wajah anak-anak muda itu menanggapi
keterangannya. Karena itu, maka katanya, "Tetapi orangorang
padukuhan itu melakukannya dengan cukup berhatihati.
Mereka tidak menebas hutan sehingga buminya
kehilangan nafas kesegarannya."
"Syukurlah," desis Mahisa Pukat, "mudah-mudahan
mereka tetap pada pendiriannya meskipun lingkungannya
menjadi semakin sempit. Jika mereka ingin membuka
hutan, maka sebaiknya mereka mengambil jarak."
"Aku kira mereka akan berbuat seperti itu," berkata
Tatas Lintang, "seseorang akan menjadi cikal bakal dan
akan selalu dikenang oleh anak keturunannya jika ia
berhasil mengembangkan satu lingkungan baru."
"Kau akan melakukannya?" bertanya Mahisa Pukat
tiba-tiba. "Tidak anak muda," jawab Tatas Lintang, "aku tinggal
di daerah yang sudah lama dibuka menjadi padukuhan.
Aku tidak akan disebut cikal bakal, justru karena aku tidak
lebih dari seorang yang mendapat belas kasihan dari salah
seorang penghuni padukuhan itu."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk, sementara itu
mereka menyuruk lebih dalam mendekati dinding
padukuhan. Sebenarnyalah, ketika mereka sampai di sudut pategalan,
mereka mendapatkan sebuah gubug yang tidak begitu besar.
Dibatasi oleh secabik halaman yang berpagar kayu dan
potongan dahan-dahan. Tidak ada regol halaman dan tidak
ada bagian-bagian yang biasanya terdapat pada lingkungan
sebuah rumah. "Inilah," berkata orang itu, "Bukankah benar-benar
sebuah gubug kecil, sebagaimana gubug untuk menunggui
burung di sawah." Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura tidak
menjawab. Mereka mengikuti saja orang itu memasuki
halamannya. Namun demikian mereka bertiga tidak
kehilangan kewaspadaan. Orang itulah yang kemudian membuka pintu dan
memasuki ruang rumahnya yang gelap.
"Tunggulah," katanya, "aku akan membuat api."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura menunggu
di halaman ketika Tatas Lintang membuat api dengan batu
thithikan yang digesek dengan potongan baja. Bunga api
yang timbul telah membakar amput aren yang dikeringkan.
Dengan menghembus-hembus amput aren itu membara
semakin besar sehingga ketika diletakkan biji jarak, maka
biji jarak itu pun kemudian menyala menerangi ruang yang
tidak terlalu luas. "Kemarilah," berkata Tatas Lintang kepada ketiga orang
yang menunggu di luar. Ia pun kemudian telah menyalakan
oncor biji jarak yang dirangkainya cukup panjang dengan
lidi dan diselipkan pada sebuah ajug-ajug bambu.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun telah
memasuki pondok orang yang menyebut dirinya Tatas
Litang itu. Sejenak mereka termangu-mangu memandang
sekeliling ruangan itu. Yang terdapat di ruang itu hanyalah
sebuah amben yang besar, sebuah sosok untuk
menempatkan gendi yang agaknya berisi air minum, sebuah
tudung kepala dari anyaman bambu yang lebar dan
beberapa alat untuk bekerja di sawah dan di pategalan.
"Aku adalah seorang petani yang bekerja untuk pemilik
pategalan ini. Aku sendiri tidak mempunyai tanah kecuali
halaman ini, yang merupakan pemberian dari orang yang
anaknya telah aku tolong itu," berkata Tatas Lintang.
Ketiga orang tamu Tatas Lintang itu menganggukangguk.
Mereka melihat kesederhanaan hidup Tatas
Lintang itu. Namun mereka pun telah melihat apa yang ada
di balik kesederhanaannya itu.
"Orang yang memberikan tanah ini tidak melihat apa
yang sebenarnya tersimpan di dalam diri Tatas Lintang ini,"
berkata Mahisa Murti di dalam hatinya.
Demikianlah maka mereka bertiga telah berada di rumah
seorang yang baru saja dikenalnya dengan cara yang aneh.
Dengan nada datar Tatas Lintang itu pun kemudian
berkata, "Aku hanya mempunyai sebuah amben yang besar
itu. Kita berempat akan tidur di amben itu. Apakah kalian
berkeberatan?" Mahisa Murti lah yang menjawab, "Kami adalah
pengembara. Kami terbiasa tidur di atas rerumputan kering.
Berselimut awan beratapkan langit."
Tatas Lintang tersenyum. Katanya, "Baiklah. Dengan
demikian maka tempat pembaringan tidak menjadi
persoalan kita. Nah, jika demikian, tidurlah. Atau
barangkali kalian akan pergi ke pakiwan lebih dahulu"
Masih ada sisa malam untuk beristirahat. Aku akan
merebus air. Mungkin kalian tidak terbiasa minum air putih
dari dalam gendi." "Sudah aku katakan, kami adalah pengembara. Kami
dapat meneguk air dari belik. Apalagi dari gendimu," jawab
Mahisa Murti pula. Tatas Lintang tersenyum. Katanya, "Bagus. Kalian
benar-benar pengembara yang baik."
Namun mereka masih juga pergi ke pakiwan untuk
mencuci kaki dan tangan sebelum mereka naik ke
pembaringan. Namun bagaimana pun juga, Mahisa Murti, Mahisa
Pukat dan Mahisa Ura tetap berhati-hati. Dengan
menggamit Mahisa Pukat, Mahisa Murti memberikan
isyarat, agar mereka bergantian tidur.
Pada sisa malam Mahisa Pukatlah yang tertidur lebih
dahulu. Baru menjelang pagi Mahisa Murti menggamitnya
dan kemudian bergantian tidur untuk sekejap.
Ketika udara menjadi terang, Mahisa Murti masih
dibiarkan saja tidur meskipun Mahisa Pukat dan Mahisa
Ura sudah terbangun. Mereka tidak melihat Tatas Lintang
di tempatnya. Namun mereka mendengar suara perapian
yang menyala di belakang rumah, sementara asap mengepul
menerobos lubang-lubang dinding.
"Agaknya Tatas Lintang sedang menjerang air," desis
Mahisa Ura. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan
pergi ke pakiwan. Kau kawani Mahisa Murti."
Mahisa Ura mengangguk. Namun ketika Mahisa Pukat
bangkit berdiri, derit amben telah membangunkan Mahisa
Murti. "Aku kesiangan," desis Mahisa Murti.
"Tidak. Matahari belum terbit," jawab Mahisa Pukat.
Dengan demikian, maka Mahisa Ura tidak lagi harus
menunggui Mahisa Murti yang sudah bangun. Bahkan
mereka bertiga pun segera keluar dari pondok itu untuk
pergi ke pakiwan. Di siang hari, mereka bertiga dapat melihat dengan jelas,
halaman rumah Tatas Lintang yang tidak terlalu luas.
Tetapi di bagian belakang, kebun Tatas Lintang itu penuh
ditanami jagung, sedang di sepanjang pagar halaman yang
hanya dibuat dari potongan-potongan dahan kayu itu telah
ditanami ketela pohon. Sejak hari itu, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan
Mahisa Ura telah menjadi tamu seorang yang bernama
Tatas Lintang, yang tinggal di sebuah pondok kecil di sudut
pategalan. Kepada ketiga orang itu Tatas Lintang berkata, "Kalian
mulai hari ini adalah tamu-tamuku. Jika orang-orang di
padukuhan itu bertanya, maka aku akan mengatakan,
bahwa kalian adalah kemanakanku dari padukuhan asalku,
sebelum aku pergi mengembara."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura
mengangguk. Tetapi pada wajah mereka nampak keraguraguan.
"Apakah ada sesuatu yang membuat kalian
berkeberatan?" "Kenapa aku?" bertanya Tatas Lintang.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian ia pun telah menceriterakan kepada Tatas
Lintang tentang orang bertongkat yang pernah
dijumpainya. Tentang harimau yang mencurigakan dan
kehadiran orang bertongkat itu di banjar tempat Mahisa
Murti tinggal untuk beberapa hari.
"Apakah kau tidak berkeberatan?" bertanya Mahisa
Murti, "Tempat ini terletak tidak terlalu jauh dari daerah
yang mungkin dijangkau oleh orang bertongkat itu atau
para pengikutnya." Tatas Lintang itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu
katanya, "orang itu adalah orang yang luar biasa."
"Aku tidak tahu kekuatan ilmunya yang sebenarnya,"
berkata Mahisa Murti, "Tetapi aku pun yakin bahwa ia
mempunyai kelebihan."
"Aku pernah juga bertemu dengan orang itu tanpa
menarik perhatiannya," berkata Tatas Lintang.
"Berbeda dengan kami," jawab Mahisa Murti, "kami
telah berdiri berseberangan. Antara lain karena batu yang
berwarna kehijauan itu."
"Biarlah," berkata Tatas Lintang, "jika kehadiran kalian
di tempat ini menarik perhatiannya. Bukankah kita sudah
bertekad untuk berbuat sesuatu" Tetapi mudah-mudahan
segalanya itu tidak terjadi sebelum ampat puluh hari ampat
puluh malam." "Kenapa dengan ampat puluh hari ampat puluh
malam?" bertanya Mahisa Pukat.
Orang itu menarik nafas. Namun kemudian ia pun
tersenyum sambil menjawab, "Salahku. Aku terlambat
menyadari, bahwa kalian memiliki ilmu yang sama dengan
ilmu Pangeran Singa Narpada. Meskipun masih dalam
hitungan sebagian kecil, tetapi kemampuanku benar-benar
telah susut. Baru setelah ampat puluh hari ampat puluh
malam, kekuatan dan kemampuan ilmuku itu akan pulih
kembali sebagaimana sebelumnya. Sehingga apabila aku
harus bertemu dengan orang bertongkat itu aku sudah
membawa bekal sepenuhnya. Jika dengan demikian aku
akan dikalahkannya, maka sebenarnyalah aku memang
belum mencapai tataran yang sama dengan orang
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertongkat itu. Namun saat ini aku mempunyai ganti dari
kekurangan di dalam diriku itu. Kehadiran kalian
memberikan ketenangan di dalam diriku, karena kalian
mempunyai kemampuan yang sangat tinggi."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura justru
termangu-mangu. Bahkan Mahisa Murti pun kemudian
menjawab, "Kau jangan memuji. Kau akan kecewa
menghadapi kenyataan tentang kami yang tidak memiliki
kemampuan apapun juga."
"Jangan kau kira aku sekedar berbasi-basi. Aku sudah
menjajagi ilmumu. Bahkan sehingga ilmuku sendiri susut
dan baru akan pulih kembali setelah ampat puluh hari
ampat puluh malam," sahut Tatas Lintang, "aku berkata
sebenarnya. Namun aku pun berpendapat, jika kalian setuju
dan tidak tergesa-gesa, selama ampat puluh hari ampat
puluh malam kita tidak mendahului mengambil langkah
atas padepokan itu. Biarlah kalian berada di sini dan
membantuku menggarap sawah. Sementara itu aku sempat
memulihkan kekuatan dan kemampuanku. Sokurlah jika
aku dapat mempercepat pemulihan itu sehingga kita pun
akan semakin cepat pula menyelesaikan tugas kita. Kecuali
jika pada waktu sebelum ampat puluh hari ampat puluh
malam, merekalah yang bertindak lebih dahulu. Apa boleh
buat." Mahisa Murti memandang Mahisa Pukat sejenak.
Kemudian dipandanginya Mahisa Ura yang termangumangu.
Agaknya mereka pun ternyata masing-masing tidak
mempunyai keberatan. Karena itu, maka ketika Mahisa
Murti bertanya, Mahisa Pukat pun dengan serta merta
menjawab, "Kita tidak tergesa-gesa."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah.
Aku akan menunggu sampai kau siap."
"Terima kasih," berkata Tatas Lintang, "dengan
demikian maka aku semakin yakin, bahwa kalian benarbenar
telah cukup masak untuk mengemban tugas yang
sangat berat ini. Kecuali bekal kalian yang cukup lengkap,
sikap jiwani kalian pun cukup meyakinkan."
"Sekali lagi aku minta, kau tidak usah memuji," jawab
Mahisa Murti, "apa yang aku lakukan adalah sekedar
didorong oleh keinginan untuk mendapatkan kawan dalam
tugas ini meskipun mungkin pada akhirnya, kita akan
berselisih jalan." "Tidak. Kita tidak akan berselisih jalan," berkata Tatas
Lintang, "kelak aku akan membuktikannya."
"Terima kasih," berkata Mahisa Murti, "kami adalah
saksi dari setiap kata-katamu."
"Sementara itu, biarlah kalian menyesuaikan diri
dengan cara hidupku. Aku adalah seorang petani yang tidak
memiliki tanah sendiri. Aku bekerja kepada orang lain,
kepada pemilik pategalan ini. Dengan kerja itu aku
mendapat upah yang dapat aku pergunakan untuk
menunjang hidupku di samping hasil tanamanku disecuwil
tanah ini," berkata Tatas Lintang.
"Aku tidak yakin," berkata Mahisa Pukat.
"Apa yang tidak meyakinkan?" bertanya Tatas Lintang.
"Kau tidak memerlukan upah itu. Juga hasil tanah yang
hanya setelapak kakimu itu," jawab Mahisa Pukat, "kau
tentu seorang yang berada di tempat ini dengan bekal,
selain ilmu, juga bekal kebutuhan hidupmu."
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun
tersenyum. Dengan nada datar ia pun bergumam,
"Dengan demikian aku pun yakin bahwa kalian melakukan
hal yang sama." "Kami adalah pedagang batu berharga dan wesi aji,
bahkan juga emas dan hasil kerajinan logam yang lain,"
jawab Mahisa Pukat, "karena itu, maka kami dapat hidup
dalam pengembaraan."
Tetapi Tatas Lintang tertawa. Katanya, "Selama kau
mengembara berapa buah barangmu yang laku" Wesi aji
atau batu berharga" Atau barangkali kau sudah berhasil
menjual batu berwarna kehijauan di bukit kecil itu?"
Mahisa Pukat pun tertawa. Bahkan Mahisa Murti dan
Mahisa Ura pun tertawa pula.
Demikianlah, maka sejak hari itu, ketiga orang tamu
Tatas Lintang yang diakunya sebagai kemanakannya itu
telah diperkenalkan kepada orang yang memberinya
sebidang tanah di sudut pategalan itu, dan memberi
tahukan bahwa mereka untuk beberapa pekan akan tinggal
bersamanya. "Mereka adalah anak-anak petani. Mereka akan dapat
membantu aku mengerjakan pategalan dan sawah di
sebelah pategalan," berkata Tatas Lintang.
"Aku tidak mempunyai keberatan," berkata pemilik
tanah, "jika ternyata mereka juga mampu bekerja dengan
baik, aku akan memberikan upah sebagaimana aku berikan
kepadamu." "Terima kasih," jawab Tatas Lintang sambil
mengangguk hormat, "jika ada kemurahan itu, maka
mereka tidak akan menjadi beban yang sangat berat bagiku,
karena mereka akan dapat makan dari kerja mereka
sendiri." "Beruntunglah mereka, karena justeru pada musim
tanam palawija seperti ini mereka berada di rumahmu,"
berkata pemilik tanah itu.
Sejak saat itu, maka Mahisa Murti, dan Mahisa ura telah
ikut bersama Tatas Lintang pergi ke sawah di siang hari.
Namun di malam hari Tatas Lintang telah melakukan
pemusatan nalar budi untuk memulihkan kekuatan dan
kemampuan ilmunya yang terhisap oleh ilmu Mahisa
Murti. Namun pada hari yang ketiga, Tatas Lintang itu pun
berkata, "Anak-anak muda. Sebenarnyalah bahwa aku
ingin pertemuan ini bukanlah satu peristiwa kebetulan yang
sia-sia. Aku mengerti, bahwa kalian adalah murid dari
seorang yang mewarisi ilmu Bajra Geni dan murid dari
pewaris ilmu sebagaimana dimiliki oleh Pangeran Singa
Narpada. Aku mengerti bahwa kedua ilmu itu apabila telah
berkembang dan menjadi masak di dalam diri kalian, maka
kalian akan menjadi orang yang jarang ada bandingnya,"
orang itu berhenti sejenak, lalu, "tetapi meskipun demikian,
jika kalian tidak berkeberatan, apakah kalian bersedia untuk
menerima beberapa petunjukku untuk mengembangkan
ilmu yang telah ada di dalam diri kalian. Waktu yang
tersedia adalah ampat puluh hari ampat puluh malam
dikurangi beberapa hari yang telah kita lewati. Aku kira,
kita mempunyai waktu yang cukup. Sementara itu,
sebenarnyalah bahwa aku sudah tidak mempunyai siapasiapa
lagi." Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura saling
berpandangan sejenak. Namun kemudian Mahisa Murti
pun bertanya, "Apakah kau berkata dengan jujur?"
"Aku berkata dengan jujur," jawab orang itu, "Biarlah
kita akan saling menguntungkan. Jika kalian bersedia, maka
mudah-mudahan aku dapat memberikan arti bagi masa
depan kalian bertiga."
"Apakah yang akan kami dapatkan?" bertanya Mahisa
Pukat. "Mudah-mudahan aku akan dapat ikut membuka
kemungkinan bagi ilmu kalian. Kalian telah mampu
mengembangkan ilmu kalian dalam ujudnya yang lunak
dan yang keras. Namun kalian masih belum
memperlihatkan, atau barangkali belum saja kalian
pergunakan, bahwa kalian mampu mengetrapkan
kemampuan ilmu itu untuk sasaran yang dipisahkan oleh
jarak beberapa langkah dari kalian," jawab orang itu.
"bukan saja ilmu kalian dalam ujudnya yang lunak, tetapi
juga dalam ujudnya yang keras. Kalian dapat melontarkan
kekuatan ilmu kalian untuk menyerang lawan kalian
dengan kemampuan dan kekuatan sebagaimana wadag
kalian langsung menyentuhnya."
"Apakah yang kau maksud, kemampuan melakukannya
sebagaimana kau lakukan?" bertanya Mahisa Pukat.
"Ya. Namun dengan lambaran ilmu yang berbeda,
sehingga dengan demikian akan mempunyai akibat yang
berbeda pula. Jika kalian mampu melakukannya, maka
ilmu yang kalian miliki akan mempunyai akibat yang lebih
dahsyat dari dasar ilmu yang aku miliki. Baik dalam
ujudnya yang lunak, maupun dalam ujudnya yang keras,"
jawab orang itu. Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi ia pun
bertanya, "Apakah dengan demikian ilmu yang telah ada di
dalam diriku itu tidak akan terpengaruh?"
"Aku tidak akan menyentuh ilmu dan kemampuan yang
telah ada di dalam dirimu. Aku hanya ingin menunjukkan
satu cara sehingga kau dapat mengetrapkan ilmumu atas
sasaran yang berjarak dari kemungkinan sentuhan
wadagmu. Kau telah mempunyai dasar dengan melepaskan
ilmumu dalam ujudnya yang lunak. Namun kau belum
mengetrapkannya pada ujudnya yang keras sebagaimana
menurut penglihatanku. Mungkin kau mampu
memancarkan jalur panas dari dalam dirimu sebagaimana
jalur yang dapat melibat seseorang dalam kebekuan. Tetapi
kemampuannya masih belum memadai, sehingga bagi
mereka yang memiliki daya tahan yang kuat, maka
serangan itu tidak akan banyak berarti. Namun jika kalian
mampu mempergunakan kemampuan dan ilmu itu menurut
kemungkinan yang dapat kau kembangkan sebagaimana
aku lakukan, maka kemungkinannya akan menjadi lebih
baik. Sedangkan jika ternyata kalian tidak merasa perlu
untuk memperdalam lagi, maka apapun yang terjadi, tidak
akan mempengaruhi apa yang telah ada di dalam dirimu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu.
Namun ternyata bahwa Mahisa Ura tidak tahan lagi
menekan perasaannya, sehingga karena itu, maka tiba-tiba
saja ia berkata, "Ki Sanak, aku tidak akan dapat ikut dalam
pengembangan ilmu itu. Aku mempunyai dasar ilmu dan
kemampuan yang jauh berbeda."
Tatas Lintang mengerutkan keningnya. Dilihatnya
kegelisahan yang sangat telah mencengkam perasaan
Mahisa Ura. "Apa sebenarnya yang terjadi?" bertanya Tatas Lintang.
Mahisa Murtilah yang menjawab, "Kakakku yang tertua
itu tidak sempat memiliki ilmu sebagaimana aku miliki. Ia
tidak berguru pada guru yang sama, sehingga karena itu, ia
membawa bekal yang berbeda dari bekal yang ada pada diri
kami berdua." Tatas Lintang mengangguk-angguk. Namun ia pun
kemudian menjawab, "Tidak apa-apa. Pada dasarnya
dengan bekal ilmu yang manapun juga, serangan
sebagaimana aku lakukan itu dapat dilakukan. Yang
berbeda adalah kekuatan serangan itu sendiri."
Sebelum Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyahut,
Mahisa Ura telah mendahuluinya, "bekal ilmuku jauh
berada di bawah kemampuan kedua adikku itu. Aku sama
sekali tidak memiliki dan mewarisi ilmu sebagaimana
diwarisinya." Tatas Lintang mengangguk-angguk. Katanya, "Kita akan
mencoba, apa saja yang mungkin kau lakukan."
Mahisa Ura masih tidak puas mendengar jawaban Tatas
Lintang. Itulah sebabnya maka ia pun telah mengatakan
apa yang ada di dalam dirinya. Batas kemampuan yang
dimilikinya dan kelemahan-kelemahan yang ada padanya.
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Namun dengan
keterangan itu, ternyata bahwa Mahisa Ura pun memiliki
kemampuan ilmu betapapun panjang jaraknya dengan
kemampuan dan ilmu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Namun dengan bekal yang kecil itu, Mahisa Ura pun akan
dapat melakukannya. "Tetapi daya dan kekuatan serangan itu pun tidak akan
dapat sama dan seimbang dengan daya dan kekuatan ilmu
kedua saudaramu," berkata Tatas Lintang.
Mahisa Ura mengangguk-angguk. Katanya, "Jika
memang aku mendapat kesempatan, maka aku akan sangat
berterima kasih. Tentu saja aku harus menyadari alas yang
ada di dalam diriku."
"Kita akan mencobanya," berkata Tatas Lintang.
Demikianlah, maka untuk malam-malam berikutnya,
Tatas Lintang tidak saja menghabiskan waktunya untuk
bersamadi agar mendapatkan kemampuannya kembali
seutuhnya. Namun ia pun telah membawa ketiga orang
tamunya ke tempat yang tidak pernah didatangi oleh
seseorang. "Lakukanlah," berkata Tatas Lintang kepada ketiga
orang itu. Perlahan-lahan Tatas Lintang telah memberikan
beberapa petunjuk kepada ketiga orang itu. Setapak demi
setapak. Bahkan tidak terasa adanya kesulitan sama sekali.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahira Ura pun
mengikuti segala petunjuk orang yang menyebut dirinya
Tatas Lintang itu. Namun terutama Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat, melangkah dengan sangat berhati-hati.
Setiap laku diperhitungkannya baik-baik. Jika mereka yakin
tidak akan mempengaruhi ilmu yang telah ada di dalam
dirinya apalagi kemungkinan terjadinya benturan, maka
mereka baru melakukannya.
Pada hari pertama keduanya telah menemukan
keyakinan di dalam diri, bahwa Tatas Lintang
melakukannya dengan jujur. Tidak ada persoalan sama
sekali dengan ilmu yang ada di dalam dirinya. Yang
diberikan oleh Tatas Lintang adalah laku untuk
memusatkan kemampuan ilmunya untuk dengan satu
hentakan kekuatan melepaskannya ke arah satu sasaran.
Meskipun demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
tetap berhati-hati pada hari-hari berikutnya.
Dengan tuntunan Tatas Lintang, maka setapak demi
setapak mereka bertiga mengalami kemajuan dari ke hari ke
hari. Terutama Mahisa Murti dan Mahisa-Pukat. Pada hari
ke lima belas, mereka telah mampu melontarkan kekuatan
ilmunya, baik dalam ujudnya yang lunak, maupun dalam
ujudnya yang keras ke arah sasaran tertentu.
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pada saat yang sama, mulai nampak pula kemampuan
Mahisa Ura meskipun baru pada tataran permulaan.
Namun tanda-tandanya telah nampak, bahwa ia pun akan
berhasil untuk melakukannya.
Demikianlah, tanpa mengenal lelah, ketiga orang itu
menempa diri dalam laku yang ditunjukkan oleh Tatas
Lintang. Sejak matahari terbenam, sampai saatnya matahari
akan terbit lagi. Sementara pada hari-hari berikutnya, Tatas Lintang
sudah tidak perlu menuntun mereka lagi. Tatas Lintang
telah membiarkan ketiga orang itu menyempurnakan laku
mereka untuk mencapai satu tataran yang mapan dari
penguasaan ilmu yang diajarkan oleh Tatas Lintang itu.
Sedangkan Tatas Lintang sendiri dapat memusatkan waktuwaktu
yang tertinggal untuk memulihkan tingkat
kemampuannya pada tataran sebagaimana dimiliki semula.
Meskipun pada malam hari mereka mempergunakan
hampir seluruh waktu mereka untuk kepentingan
penempaan diri, namun di siang hari mereka pun bekerja
dengan baik sebagaimana seharusnya, sehingga sama sekali
tidak menumbuhkan kesan, bahwa di malam hari mereka
hampir semalam suntuk tidak penah tidur selama ampat
puluh malam. Hanya menjelang senja, kadang-kadang mereka sempat
tidur barang sejenak bergantian. Setelah kerja di sawah
selesai, maka mereka dapat beristirahat sebelum pada
malam harinya, begitu matahari terbenam mereka akan
tenggelam di dalam laku yang berat.
Namun setelah hari ke ampat puluh mereka lewati,
ternyata Tatas Lintang masih memerlukan waktu beberapa
hari lagi untuk memulihkan kemampuannya sepenuhnya.
Waktu yang ampat puluh malam baginya telah disusut bagi
kepentingan Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura.
Namun dengan senang hati Mahisa Murti, Mahisa Pukat
dan Mahisa Ura pun memenuhinya, karena mereka
menganggap bahwa kehadiran Tatas Lintang di dalam
lingkungan mereka, telah memberikan kemajuan yang
sangat berarti bagi ilmu mereka. Meskipun yang mereka
sadap dari Tatas Lintang tidak meningkatkan ilmu yang ada
di dalam diri mereka, tetapi mereka telah mendapatkan satu
kemungkinan baru dalam penguasaan ilmu mereka. Mereka
memiliki kemampuan untuk melontarkan ilmu pada
sasaran yang terpisah dari sentuhan wadag mereka.
Meskipun pada saat-saat tertentu, Mahisa Murti, Mahisa
Pukat dan Mahisa Ura teringat pula kepada batu yang
berwarna kehijauan serta orang tua bertongkat, namun
karena mereka justru sedang meningkatkan penguasaan
ilmu yang mereka sadap dari Tatas Lintang, maka mereka
seolah-olah telah melupakannya.
Namun pada satu saat Mahisa Pukat pun sempat
bertanya, "Bagaimana dengan batu itu?"
"Jika batu itu telah disingkirkan, apa boleh buat.
Sasaran utama kita adalah padepokan orang-orang
bertongkat serta orang tua itu yang ternyata memiliki
ceritera yang sangat menarik sebagaimana dikatakan oleh
Tatas Lintang," berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Kita
tidak terlalu berkepentingan dengan batu itu, meskipun jika
mungkin dapat kita manfaatkan."
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, "Sebagai pedagang
batu berharga, maka batu itu sangat menarik. Tetapi sebagai
seorang petugas yang mendapat beban tugas dari Kediri,
kita harus dapat memalingkan kepentingan kita."
Mahisa Pukat tidak menjawab. Ia memang sependapat
dengan Mahisa Murti. Dalam pada itu, setelah lima puluh malam lewat,
barulah Tatas Lintang berkata kepada ketiga orang yang
tinggal di dalam pondoknya itu, "Nah, agaknya aku telah
mencapai puncak kemampuanku kembali. Sementara itu,
aku lihat, kalian pun telah menguasai kemampuan
sebagaimana aku tunjukkan kepada kalian. Karena waktu
kita telah cukup tersita untuk kepentingan kita masingmasing,
maka kita harus segera kembali kepada tugas kita."
"Aku sependapat," berkata Mahisa Murti, "selebihnya
aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas
nama kami bertiga." "Kita akan saling mendapat keuntungan," jawab Tatas
Lintang, "kalian beruntung karena kalian mendapatkan
yang belum kalian miliki, sementara.aku pun beruntung
bahwa aku mendapat kawan yang benar-benar tangguh
menghadapi segala kemungkinan. Bagiku padepokan itu
adalah sarang kekuatan dan ilmu yang garang dan tanpa
belas kasihan. Karena itu, kita harus benar-benar
mempersiapkan diri untuk memasukinya."
"Terima kasih," jawab Mahisa Murti, "Terserah
kepadamu, kapan kita akan mulai."
"Malam nanti kita kita akan menguji kemampuan kita.
Semalam lagi kita akan pergi ke tempat kita berlatih di
setiap malam," berkata Tatas Lintang kemudian.
Demikianlah, seperti yang dikatakan oleh Tatas Lintang,
maka pada malam harinya, mereka berempat telah pergi ke
tempat mereka menempa diri. Mereka masih akan menguji
kemampuan mereka dan mereka masih harus melakukan
laku terakhir untuk mematangkan keyakinan mereka,
bahwa mereka benar-benar telah menguasai ilmu yang
sedang mereka dalami. Demikian malam menjadi semakin gelap, maka merekapun
mulai dengan laku yang terakhir yang harus mereka
jalani, yang juga akan merupakan ujian bagi mereka yang
sedang menekuni ilmu yang diturunkan oleh Tatas Lintang
kepada ketiga orang yang mengaku bersaudara itu.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura telah
duduk berjajar pada jarak beberapa langkah. Mereka telah
menempatkan sasaran yang akan mereka jadikan alat
penguji kemampuan mereka. Pada jarak beberapa langkah,
mereka menempatkan batu-batu padas yang cukup besar.
Tatas Lintang sudah mengetahui bahwa akibat dari
hentakkan ilmu yang dilontarkan oleh Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat akan berbeda dari Mahisa Ura, karena Tatas
Lintang memang sudah mengetahui latar belakang
kemampuan mereka masing-masing.
"Marilah," berkata Tatas Lintang, "kita akan mulai
dengan pemusatan nalar budi. Kita akan memandang
sasaran serta mulai membangkitkan ilmu di dalam diri kita
masing-masing, memusatkannya pada tangan kita dan
dengan daya kekuatan getaran di dalam diri kita maka ilmu
itu kita lontarkan. Getaran itu akan merambat lewat udara
dan akan membentur sasaran. Dengan demikian, maka kita
telah memanfaatkan kekuatan yang ada di dalam udara di
sekitar kita untuk meniti ilmu yang kita trapkan mencapai
sasaran itu. Namun getaran itu tidak merambat sebagai
seekor siput merambat. Tetapi kecepatan gerak getaran itu
melampaui kecepatan mata wadag kita."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun segera
bersiap. Latihan-latihan yang mereka lakukan selama itu
dengan mengenali diri mereka sendiri, mengenali ilmu
mereka lebih dalam serta menguasai sifat serta wataknya,
mengenali udara di sekitarnya serta getaran yang akan
merambat mencapai sasaran, merupakan kemampuan dasar
untuk menguasai ilmu yang diturunkan oleh Tatas Lintang.
Demikianlah, setelah memusatkan segenap nalar budi
serta mengetrapkan ilmunya, maka mereka mulai dengan
memusatkan kekuatan ilmu mereka pada tangan mereka..
Pada telapak tangan sebagaimana latihan latihan selama
mereka menjalani laku. Pada tataran pertama dari
penguasaan ilmu itu, rasa-rasanya mereka masih harus
berbuat terlalu banyak untuk mencapai satu pemusatan
kekuatan ilmunya pada telapak tangannya. Namun
akhirnya mereka pun mencapainya juga. Sejenak mereka
mengungkit inti kekuatan ilmu yang telah terpusat di
telapak tangannya itu, kemudian dengan getaran yang
bagaikan memancar dari dalam diri oleh kekuatan ilmu itu
pula, maka mereka pun telah menghentakkan inti kekuatan
ilmunya dengan mengembangkan telapak tangannya dan
menghadap ke arah sasaran.
Sejenak kemudian, maka dari telapak tangan ketiga
orang itu telah meluncur getaran yang tidak dapat dilihat
oleh mata wadag, namun dapat ditangkap oleh kekuatan
pengamatan mata orang berilmu. Karena itu, tnaka orang
yang memiliki ilmu yang memadai, mampu menghindarkan
diri dari serangan yang demikian, sebagaimana dilakukan
oleh Mahisa Murti, pada saat ia bertempur melawan Tatas
Lintang ketika Tatas Lintang itu menjajagi ilmunya.
Tingkat kepekaan naluripun dapat mempengaruhi gerak
yang serta merta pula dari orang-orang yang me miliki ilmu
yang tinggi, sehingga dengan demikian maka mereka
mempunyai peluang untuk membebaskan diri dari serangan
yang demikian. Namun tingkat kecepatan serangan itu pun dapat
bergerak pula. Semakin mapan seseorang menguasai
ilmunya, maka ia-pun akan mampu semakin cepat
mengungkit dan melontarkan kekuatan ilmu itu lewat
telapak tangannya, merambat meniti udara dan
menghantam sasaran. Ternyata bahwa kemampuan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat benar-benar nggegirisi. Sasaran serangan mereka,
gumpalan batu padas, ternyata telah hancur berserakan.
Sebuah ledakan telah terjadi meskipun tidak menimbulkan
bunyi yang terlalu keras. Tetapi justru percikan kekuatan
yang meledakkan batu pada itu bagaikan percikan bunga
api yang memancar di sekitarnya.
Sementara itu, Mahisa Ura pun berhasil pula
melontarkan ilmunya. Meskipun ilmunya ketinggalan dari
ilmu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, namun Mahisa Ura
pun berhasil menghantam batu padas itu sehingga pecah di
beberapa bagian. Namun dalam pada itu, meskipun ternyata hasilnya
masih beberapa lapis di bawah Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, namun Mahisa Ura merasa bahwa dirinya telah
mendapatkan satu keberuntungan yang sangat besar.
Dengan demikian ia telah memiliki satu kemampuan untuk
melakukan serangan tanpa menyentuh dengan wadagnya.
Tatas Lintang yang menyaksikan ketiga orang itu
menguji kemampuan mereka mengangguk-angguk.
Beberapa kali ia melihat hal yang serupa dilakukan oleh
mereka bertiga dalam latihan-latihan yang berat. Namun
pada saat ia menyaksikan ketiga orang itu mempergunakan
segenap kemampuan yang ada pada diri mereka, maka
Tatas Lintang itu pun menjadi sangat kagum.
"Kalian ternyata berhasil melakukannya melampaui
kekuatan yang dapat aku lontarkan. Seandainya aku harus
beradu kekuatan dengan membenturkan ilmuku dengan
ilmu kalian berdua, seorang demi seorang, maka kekuatan
ilmuku akan kalah," berkata Tatas Lintang.
"Ah, jangan begitu," sahut Mahisa Murti, "agaknya
yang aku kuasai belum seberapa."
"Aku berkata sebenarnya. Yang perlu kau lakukan
adalah mempercepat arus pemusatan kekuatan ilmumu
serta mengungkit getaran di dalam dirimu, sebelum kau
menghentakkan," berkata Tatas Lintang kemudian. "Jika
kalian berhasil, maka kalian akan dapat mendahului usaha
lawan kalian untuk menghindari serangan-serangan kalian,
meskipun mereka mampu melihat atau memperhitungkan
arah serangan kalian."
Ketiga orang yang sedang menguji kemampuannya itu
mengangguk-angguk. Namun untuk mengembangkan
kemampuannya itu tentu memerlukan waktu, bukan
dengan serta merta. Sementara itu tugas mereka yang berat
telah menunggu. Namun dalam pada itu, Tatas Lintang pun berkata,
"Malam ini kalian mendapat kesempatan untuk melakukan
beberapa kali. Dengan demikian maka kalian akan semakin
mengenali kemungkinan yang ada di dalam diri kalian,
sehingga memungkinkan pelepasan ilmu kalian akan
menjadi semakin rancak."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun
mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Mahisa Pukat
berkata, "Aku akan mengulanginya. Terus menerus hingga
menjelang dini hari."
"Baiklah. Lakukankah. Aku pun akan melihat, apakah
keadaanku benar-benar sudah mapan," berkata Tatas
Lintang. Dengan demikian maka orang-orang itu pun seakan-akan
telah berpencar. Mereka mencari tempat yang paling baik
bagi diri mereka sendiri. Baru sejenak kemudian, maka
mereka pun telah mulai menenggelamkan diri ke dalam
latihan-latihan yang berat. Mereka dengan teliti melihat apa
yang terjadi dalam gejolak ilmu mereka. Tingkatantingkatan
dalam perkembangan kemampuan mereka untuk
melontarkan kekuatan ilmu mereka lewat getaran yang
meniti udara. Serta kemungkinan-kemungkinan lain yang
mendukung kekuatan ilmu mereka itu.
Ternyata bahwa kemampuan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat untuk melakukannya, memang terpaut dengan apa
yang dapat dilakukan oleh Mahisa Ura. Namun meskipun
demikian, pada Mahisa Ura itu pun terdapat pula kemajuan
atas pengenalannya sendiri terhadap kemampuannya yang
diperolehnya itu, serta meningkatkannya.
Bagi Mahisa Ura, apa yang diterimanya dari petunjukpetunjuk
Tatas Lintang itu sudah cukup banyak. Bahkan ia
pun merasa akan dapat berbangga jika ia sempat kembali
dan berada di antara kawan-kawannya.
Ternyata bahwa mereka berempat telah mempergunakan
waktu hampir semalam suntuk. Dalam waktu yang singkat
itu, maka mereka telah mengenali diri masing-masing
beserta perkembangan ilmunya lebih dalam lagi. Mereka
sempat mengatur dan meningkatkan kemungkinankemungkinan
sejauh dapat mereka jangkau. Namun yang
semalam itu, ternyata telah memberikan manfaat yang
sangat besar bagi mereka.
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi dalam pada itu, ketika malam mendekati dini
hari, mereka seakan-akan telah kehabisan tenaga. Mahisa
Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura telah berhenti dengan
sendirinya. Bukan karena langit menjadi merah, tetapi
mereka seakan-akan telah terkapar tanpa tenaga.
Tatas Lintang mendekati mereka seorang demi seorang
dan membantunya berkumpul di dekat sebuah batu yang
besar. Ketiga orang itu diletakkannya duduk bersandar batu
yang besar itu. Sementara sambil tersenyum Tatas Lintang
itu berkata, "Kalian telah memaksa diri untuk berlatih.
Mungkin kalian mencapai satu tingkat sebagaimana kalian
kehendaki dalam usaha kalian mengenali ilmu yang baru
saja kalian pahami. Tetapi dengan demikian kalian telah
kehabisan tenaga. Coba, bayangkan, apa yang akan terjadi
jika pada saat yang demikian ini datang seorang musuh
yang betapapun lemahnya. Kalian yang seakan-akan telah
tidak mampu lagi untuk duduk tegak, tentu tidak akan
mampu melawan. Musuh itu akan dengan mudah
mendekati kalian seorang demi seorang dan
menghunjamkan pedang ke dada kalian."
Wajah Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura
menjadi tegang. Dipandanginya wajah Tatas Lintang yang
berdiri tegak di hadapan mereka bertiga. Sebenarnyalah jika
Tatas Lintang yang kekuatan ilmunya sudah pulih kembali
ingin membunuh mereka, maka ia telah mendapat
kesempatan itu. Sebagaimana dikatakan oleh Tatas
Lintang, mereka benar-benar telah lebih dan kehabisan
tenaga, sehingga anak-anak pun akan dapat membunuh
mereka jika dikehendakinya.
"Apakah ini satu cara Tatas Lintang memperlemah
kami bertiga, sehingga kami tidak akan mampu melawan
sama sekali?" berkata mereka bertiga di dalam hati.
Namun ternyata Tatas Lintang berkata, "Mudahmudahan
sebagaimana yang pernah kita jalani, bahwa
sampai sekarang tidak seorang pun yang melihat tempat ini
dan mengetahui latihan-latihan yang kita jalani. Meskipun
demikian kalian telah membebani aku dengan tanggung
jawab yang sangat besar. Keselamatan kalian."
Tidak seorang pun yang menjawab. Rasa-rasanya mulut
ketiga orang itu menjadi sangat berat untuk mengucapkan
kata-kata. Tetapi Tatas Lintang itu pun kemudian berkata pula,
"Baiklah. Masih ada kesempatan untuk memusatkan nalar
budi serta mengatur pernafasan kalian sebaik-baiknya. Aku
akan menunggu sampai tenaga kalian pulih kembali."
Ketiga orang itu masih tetap berdiam diri. Namun Tatas
Lintanglah yang kemudian bergeser menjauh. Ia pun
kemudian duduk di sebuah batu untuk mengamati keadaan.
Sementara itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa
Ura-pun telah berusaha dengan sisa tenaganya untuk
memusatkan nalar budinya, mengatur pernafasan mereka
untuk mendapatkan kekuatan mereka kembali.
Ketiganya pun kemudian duduk bersila, tanpa bersandar
lagi betapapun beratnya. Dengan tangan bersilang di dada,
mereka mulai mengatur pernafasan mereka sebaik-baiknya.
Dengan bekal ilmu yang ada di dalam diri mereka, maka
perlahan-perlahan pernafasan mereka pun mulai teratur.
Darah mereka pun mengalir dengan wajar dan dada mereka
tidak lagi bergejolak. Meskipun demikian kekuatan mereka
masih belum pulih kembali. Tetapi perlahan-lahan rasarasanya
tubuh mereka mulai menjadi segar. Angin dini hari,
pernafasan yang mengalir lancar, ketenangan dan titik-titik
embun agaknya membantu mereka untuk perlahan-lahan
mendapatkan kekuatannya kembali.
Dengan demikian, maka sebelum fajar, keadaan mereka
pun telah berangsur baik. Bahkan ketiga orang itu telah
mampu meskipun agak memaksa diri untuk berdiri.
"Kita harus segera kembali sebelum matahari terbit,"
berkata Tatas Lintang. Ketiga orang itu tidak dapat menunda waktu. Mereka
memang sebaiknya berada di rumah kecil itu sebelum
matahari terbit, sehingga mereka tidak akan banyak
berpapasan dengan, orang-orang yang pergi ke pasar.
Meskipun keadaan mereka masih lemah, namun Mahist
Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun terpaksa
mengayunkan langkah kembali ke sudut pategalan di
sebelah padukuhan. Jalan yang sulit kadang-kadang memaksa Tatas Lintang
membantu mereka seorang demi seorang, sehingga
akhirnya, mereka berempat dapat mencapai jalan datar
yang rata. Namun akhirnya mereka berempat pun mencapai
pondok kecil itu pada saat matahari telah mulai mengintip
di balik punggung bukit. Beberapa orang telah menelusuri
jalan menuju ke pasar sambil membawa hasil kebun dan
pategalan mereka. Ketika seorang yang berpapasan bertanya, maka dengan
senyum di bibir Tatas Lintang menjawab, "Dari sungai Ki
Sanak. Mandi mumpung masih pagi."
Yang bertanya itu pun tersenyum pula. Orang itu
mengenal Tatas Lintang sebagai seorang petani yang rajin,
yang menjual tenaganya untuk menggarap tanah orang lain,
karena ia sendiri tidak memiliki tanah garapan.
Demikian mereka berempat sampai di dalam pondpk
kecil itu, maka Tatas Lintang pun telah mempersilahkan
ketiga orang yang masih lemah itu untuk beristirahat.
Katanya, "berbaringlah. Tenaga kalian akan cepat pulih
kembali. Sementara itu, aku akan merebus air."
Ketiga orang itu tidak menolak. Keletihan yang
mencengkam tubuh mereka memang mendorong mereka
untuk bermalas-malasan. Sementara Tatas Lintang berada
di dapur merebus air. Ketika air menjadi masak dan dihidangkan sebagai air
sere yang panas dengan gula kelapa, maka Tatas Lintang itu
pun berkata, "Minumlah. Kita menyanggupi untuk
menyelesaikan dua kotak sawah hari ini. Kita masih harus
mencangkul betapapun letihnya tubuh kita."
Ketiga orang yang sempat berbaring beberapa saat itu
pun kemudian bangkit. Saat yang sejenak itu ternyata
sangat berarti bagi mereka. Apalagi setelah mereka
meneguk air sere dengan gula kelapa. Sementara itu, Tatas
Lintang berkata, "Nasi jagung kita yang kemarin masih
ada. Kita sempat makan sejenak, sebelum turun ke sawah.
Matahari sudah menjadi semakin tinggi."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura itu pun
sem pat pula makan pagi. Nasi jagung dengan sambal
bawang, meskipun hari masih terasa dingin. Tetapi
panasnya air sere telah membuat mereka berkeringat,
sehingga tajamnya gigitan sambal di perut mereka tidak
terasa mengganggu. Setelah makan pagi, maka tubuh mereka terasa benarbenar
menjadi segar. Meskipun tenaga mereka masih belum
pulih sepenuhnya, tetapi rasa-rasanya sudah cukup kuat
untuk bekerja di sawah menyelesaikan kesanggupan
mereka. Sejenak kemudian, maka mereka berempat telah
meninggalkan pondok kecil itu menuju ke sawah. Seorang
yang bertemu mereka di jalan bertanya, "He, apa kerja
kalian semalam sehingga kalian agak terlambat" Biasanya
kalian berangkat ke sawah lebih pagi."
Karena itu, maka asal saja Tatas Lintang menjawab,
"Kayu di rumah masih basah, sehingga rasa-rasanya terlalu
lama untuk menyalakannya. Bahkan setiap kali api pun
mati, sehingga air lambat mendidih. Padahal sebelum
minum minuman panas, aku belum dapat pergi ke sawah."
Tatas Lintang tertawa. Ketika ia menengadahkan
wajahnya memandang matahari, maka terasa matahari
memang sudah agak tinggi dibanding dengan kebiasaan
mereka berangkat ke sawah.
Orang yang bertanya itu sempat tertawa juga. Katanya,
"Bohong. Agaknya semalam kalian ikut adu cengkerik
sampai menjelang pagi."
Hari itu, ke empat orang itu telah berhasil menyelesaika
kesanggupan mereka meskipun Mahisa Murti, Mahisa Puka
dan Mahisa Ura harus mengerahkan sisa-sisa tenaga
mereka. Namun keletihan yang timbul karena kerja mereka
di sawah tidak terasa mencengkam sebagaimana keletihan
mereka setelah mengerahkan tenaga dan kemampuan
mereka, melontarkar kekuatan ilmu untuk membentur
sasaran tanpa sentuhan wadag.
Tengah hari, mereka sempat berbaring di bawah gubug
di sudut sawah yang sedang mereka kerjakan. Dari pemilik
sawah itu, mereka mendapat kiriman minum air dingin di
dalam gendi yang terasa sangat segar di saat terik matahari
membakar tengkuk. Nasi kuluban dan teri goreng gelepung.
Di belahan kedua hari itu, kerja mereka menjadi semakin
cepat, sehingga tugas mereka pun dapat terselesaikan.
"Kita akan menerima upah kerja kita," berkata Tatas
Lintang, "tetapi tentu upahku yang paling banyak, karena
aku adalah orang yang paling berpengalaman di antara
kalian." Mahisa Murti tertawa. Katanya, "Upahku tentu akan
terpotong untuk membayar makan dan minumku selama
aku tinggal di rumahmu."
Yang lain pun tertawa pula. Namun kemudian Tatas
Lintang berkata, "Kita masih sempat tertawa hari ini. Entah
besok pagi." "Mudah-mudahan kita masih sempat tertawa untuk
hari-hari yang panjang," sahut Mahisa Pukat.
Tatas Lintang tertawa pula. Sementara Mahisa Ura
nampak agak termangu-mangu. Setiap kali ia merasa bahwa
ilmunyalah yang paling rendah di antara mereka berempat.
Kemungkinan yang paling buruk akan dapat terjadi
atasnya, dibandingkan dengan mereka yang memiliki ilmu
yang lebih tinggi. Namun yang kadang-kadang mengganggu perasaannya
bukan kemungkinan yang paling buruk itulah. Tetapi justru
ia mencemaskan bahwa ketiga orang itu justru terganggu
pemusatan nalar budinya dalam keadaan tertentu karena
berusaha untuk melindunginya.
"Aku harus meyakinkan mereka, bahwa mereka harus
lebih memperhatikan keberhasilan tugas mereka daripada
memperhatikan keadaanku," berkata Mahisa Ura di dalam
hatinya. Dalam pada itu, selagi Mahisa Ura masih termangumangu,
Tatas Lintang pun berkata, "Marilah. Kita akan
pergi ke rumah pemilik tanah itu. Kita akan mengambil
uang upah kerja kita. Mungkin sejak besok kita akan
mendapatkan kerja yang lain, karena besok tanah itu sudah
akan ditanami. Beberapa hari lagi, kita tentu akan
mendapat tugas untuk menyiangi tanaman itu. Namun
sementara itu, aku tidak tahu, apa yang harus kita
lakukan." "Jadi, apakah kita harus melakukan kerja itu di samping
tugas kita terhadap padepokan yang asing itu?" bertanya
Mahisa Pukat. "Tergantung sekali akan keadaan padepokan itu," jawab
Tatas Lintang. "Tetapi untuk sementara tugas-tugas itu
harus kita sanggupi. Apalagi dalam hari-hari yang dekat,
kalian masih harus mempersiapkan diri. Keletihan yang
kalian alami hari ini tentu belum pulih seutuhnya."
"Tetapi malam nanti tentu sudah," berkata Mahisa
Pukat. "Jika malam nanti keadaan kita benar-benar telah pulih,
maka besok kita dapat menentukan sikap," berkata Tatas
Lintang, "mudah-mudahan kita tidak terjebak ke dalam
mulul seekor harimau yang garang."
"Apakah kau takut berhadapan dengan harimau?"
bertanya Mahisa Pukat. "Seekor harimau yang mempunyai landasan ilmu yang
tinggi memang perlu diperhitungkan," jawab Tatas Lintang.
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Ketika ia
berpaling ke arah Mahisa Murti, maka Mahisa Murti pun
berkata, "Memang kita akan sampai ke mulut harimau.
Tetapi jika harimau itu menggigit, maka kita pun akan
menggigit pula. Mudah-mudahan kita mempunyai gigi yang
cukup tajam. Sokur melampaui tajamnya gigi harimau."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk, sementara Tatas
Lintang pun menarik nafas dalam-dalam. Suasana tiba-tiba
telah berubah menjadi sungguh-sungguh.
"Tetapi kita sudah bertekad," berkata Tatas Lintang,
"namun kita masih belum saling mengetahui kepentingan
kita masing-masing. Apakah kalian tidak curiga bahwa
kepentingan kita kelak akan bertentangan sehingga kita
akan saling berbenturan?"
"Apakah perlu kita bicarakan sebelumnya, atau kita
akan membiarkan terjadi kelak?" bertanya Mahisa Murti.
Tatas Lintang termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya, "Kalian mempunyai kelebihan dari aku.
Apalagi jika kalian bertindak bersama-sama, maka aku
tidak akan berarti apa-apa bagi kalian. Karena itu, maka
segalanya biarlah ditentukan oleh keadaan kita kelak. Yang
penting, kita akan melihat padepokan itu dalam ujudnya
yang sekarang." Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun terdapat
kesan di dalam hatinya, sebagaimana pada Mahisa Pukat
dan Mahisa Ura, bahwa Tatas Lintang bukanlah orang
yang berniat buruk. Dalam pada itu, maka tiba-tiba saja Tatas Lintang telah
berubah suasana dan berkata, "Sudahlah. Jangan menjadi
gelisah. Tidak ada gunanya kita memikirkannya sekarang.
Yang penting kita akan pergi ke rumah pemilik tanah itu
dan minta upah kerja kita. Sesudah itu kita akan pergi ke
kedai di ujung padukuhan. Kita akan sempat makan dan
minum sepuas-puasnya."
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, "Marilah. Kita akan
pergi sekarang. Jangan menunggu kedai itu tutup."
Demikianlah, maka mereka berempat pun telah pergi ke
rumah pemilik tanah yang mereka garap. Sebelum mereka
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengatakan sesuatu, pemilik tanah garapan itu sudah
mengetahui maksud kedatangan mereka.
"Marilah. Duduklah," pemilik tanah itu
mempersilahkan. Keempat orang itu pun kemudian duduk di atas tikar
panan yang dibentangkan di pringgitan, sementara pemilik
rumah itu masuk untuk berbenah diri.
Ternyata pemilik tanah itu adalah orang yang ramah dan
baik hati. Sebelum orang itu keluar lagi, maka yang lebih
dahulu muncul di pintu adalah anaknya laki-laki yang
membawa minuman panas dan beberapa potong makanan.
"Silahkan paman," anak itu mempesilahkan, "ayah baru
berpakaian sebentar."
Ketika anak itu masuk, Mahisa Murti berdesis, "Apakah
kita ini dianggap tamu terhormat?"
"Bukan begitu. Ia sama sekali tidak membenahi
pakaiannya untuk menghormati kita. Tetapi yang benar
adalah, bahwa ia baru menghitung uang untuk kita," sahut
Tatas Lintang. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun
tertawa tertahan. Tetapi mereka pun percaya, bahwa orang
itu tentu baru mengambil uang dan menghitungnya.
"Marilah," desis Tatas Lintang, "bukankah kita sudah
dipersilahkan?" Tetapi sebelum Tatas Lintang meraih sepotong
makanan, maka mereka pun mendengar desir langkah kaki
di dalam dinding rumah itu, sehingga tangannya pun telah
ditariknya kembali. "Sial," desisnya.
Yang lain tertawa. Namun mereka pun telah menahan
diri, karena langkah itu pun telah sampai di pintu.
Sebenarnyalah, maka sejenak kemudian pemilik tanah
yang dikerjakan oleh Tatas Lintang itu pun telah keluar dari
ruang dalam. Sambil tertawa ia pun berkata, "Nah,
silahkan. Minuman dan makanan telah tersedia."
Tatas Lintang memandang Mahisa Murti, Mahisa Pukat
dan Mahisa Ura. Sambil tersenyum ia pun berkata,
"Marilah. Silahkanlah."
Tatas Lintanglah yang pertama-tama mengambil
mangkuk minumannya. Baru kemudian Mahisa Murti,
Mahisa Pukat dan Mahisa Ura.
Setelah meneguk minuman dan mengunyah makanan,
barulah pemilik tanah itu memberikan uang sebagai upah
kerja Tatas Lintang. "Aku tidak akan memerinci berapa bagian kalian
masing-masing. Aku akan menyerahkan uang dengan
perhitungan luas tanah yang kalian garap. Berapa kalian
masing-masing akan menerima, terserahlah kepada kalian,
karena aku tidak tahu, berapa bagian kerja yang telah kalian
lakukan masing-masing," berkata pemilik tanah itu.
Tatas Lintang pun telah mengira bahwa memang
demikianlah yang akan diterimanya. Karena itu, maka ia
pun menjawab, "Terima kasih. Kami akan menentukan
bagian kami masing-masing."
"Aku yakin bahwa tidak akan timbul persoalan di antara
kalian," berkata pemilik tanah itu.
Tatas Lintang tertawa. Katanya, "Tentu tidak. Mereka
adalah kemenakan-kemenakanku. Jika mereka nakal, maka
aku akan menarik telinganya."
Pemilik tanah serta mereka yang ada dipringgitan itu pun
telah tertawa pula. Namun dalam pada itu, maka pemilik tanah itu pun
kemudian berkata, "Dengan demikian kerja kalian di sawah
sudah selesai. Jika kalian tidak berkeberatan, maka aku
akan minta tolong kalian untuk mengerjakan pategalan.
Bukan pategalan yang kalian tempati, karena di pategalan
itu baru saja ditanam ketela pohon, tetapi pategalan di
ujung padukuhan. Aku ingin menanam beberapa jenis
pohon di pategalan itu. Terutama pohon buah-buahan."
"Tentu kami tidak berkeberatan. Mumpung kemenakankemenakanku
masih ada di sini. Jika kerja itu cukup
banyak, aku akan menahan mereka, agar mereka tidak
tergesa-gesa meninggalkan aku," jawab Tatas Lintang.
"Pategalan di ujung padukuhan itu akan aku tanami
beberapa jenis pohon buah-buahan, di samping pohon
melinjo, kelapa dan gori yang sudah ada," berkata pemilik
tanah itu. "Kapan kami akan mulai?" bertanya Tatas Lintang.
"Dalam dua tiga hari ini aku akan mencari bibitnya.
Baru kemudian kalian akan menanamnya," jawab pemilik
tanah itu, "karena itu kalian akan menunggu sampai aku
memberikan kabar selanjutnya."
"Baiklah," berkata Tatas Lintang, "kami akan sempat
beristirahat dalam dua atau tiga hari ini."
Demikianlah, maka sejenak kemudian Tatas Lintang
telah minta diri bersama orang-orang yang diakunya
sebagai kemenakannya itu.
"Kami akan memanfaatkan uang yang baru saja kami
terima," berkata Tatas Lintang.
Orang itu tertawa. Katanya, "Sebaiknya besok pagi saja.
Jika kalian sempat pergi ke pasar, maka apa yang kalian
perlukan akan kalian dapatkan."
"Ya. Sebaiknya memang besok pagi saja," desis Tatas
Lintang. Namun sejenak kemudian Tatas Lintang bersama ketiga
orang yang diakunya sebagai kemenakannya itu pun telah
meninggalkan rumah pemilik tanah yang dianggap Tatas
Lintang cukup baik itu. Mungkin karena ia dianggap pernah
menolong dan menyelamatkan anaknya. Namun agaknya
ia memang menghargai tenaga orang lain yang telah bekerja
kepadanya. Dengan uang yang mereka terima, maka keempat orang
itu pun kemudian meninggalkan rumah pemilik tanah itu.
Beberapa saat kemudian mereka telah berada di jalan
padukuhan menuju ke pondok Tatas Lintang di sudut
pategalan di pinggir padukuhan itu.
"Nah," berkata Tatas Lintang, "aku sekarang
mempunyai uang." "Termasuk uangku," sahut Mahisa Murti.
Tatas Lintang tertawa. Katanya, "Akan kita pergunakan
untuk apa uang ini?"
Mahisa Pukat lah yang menyahut, "beli tanah."
"Ah," desah Tatas Lintang, "kau kira uang ini cukup
untuk membeli sejengkal tanah?"
"Kau tambah dengan sepuluh kali lipat," jawab Mahisa
Pukat, "uangmu tentu lebih dari seribu kali lipat dari uang
yang kau terima itu."
"Dan uang kalian tentu lebih banyak lagi," sahut Tatas
Lintang sambil tersenyum.
Mahisa Pukat tidak menyahut. Tetapi ia pun tersenyum
pula. Namun tiba-tiba saja Mahisa Murti berkata, "Kedai yang
mana yang kau sebut?"
"Besok kita pergi ke pasar saja," berkata Tatas Lintang,
"sekarang kita akan beristirahat. Tubuh kalian masih belum
pulih kembali, sementara hari ini kita telah bekerja keras.
Sementara itu agaknya kedai itu pun sudah tutup pula."
Ternyata ketiga orang yang diakunya sebagai
kemenakannya itu pun setuju. Mereka akan langsung
kembali ke pondok di sudut pategalan itu.
Namun ketika mereka sampai ke pondok itu, mereka
menjadi sangat terkejut. Mereka melihat isi pondok mereka
yang tidak seberapa banyak itu berserakkan. Amben bambu
yang besar satu-satunya telah rusak. Galarnya berpatahan
dan wewatonnya telah terlepas yang satu dengan yang lain.
Gendi yang selalu berisi air bersih itu pun telah pecah pula.
"Apa yang telah terjadi?" bertanya Tatas Lintang.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya.
"Apakah hal ini ada hubungannya dengan padepokan
orang-orang bertongkat itu?"
Sebelum Tatas Lintang menjawab, mereka tertegun
karena mereka mendengar langkah di belakang rumah kecil
itu. Untuk beberapa saat keempat orang yang berada di
dalam pondok yang berserakan itu menunggu. Baru sejenak
kemudian muncul dari pintu butulan dua orang yang
bertubuh tegap kekar. Namun Tatas Lintang itu pun kemudian menarik nafas
dalam-dalam. Hampir tidak terdengar ia berdesis lambat,
"Mereka adalah petani dari padukuhan ini."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun
mengangguk-angguk kecil. Ketegangan di hati mereka pun
mulai mereda. Meskipun mungkin memang ada persoalan
sehingga pondok mereka itulah menjadi berserakan.
"Nah kau itu Tatas Lintang," geram salah seorang di
antara kedua orang itu. "Ki Sanak," suara Tatas Lintang terdengar gemetar,
"apa yang telah terjadi" "
"Jangan berpura-pura," geram orang itu pula, "kau
sudah merampas sumber penghidupanku."
"Aku tidak mengerti," jawab Tatas Lintang.
"Sejak kau tinggal di gubugmu ini, sebagian dari
penghasilanku sudah kau rampas. Dan aku tidak
menegurmu. Tetapi kini kesabaranku sudah habis. Semua
tanah garapanku sudah kau rampas. Pategalan di ujung
padukuhan itu pun ternyata telah dicadangkan bagimu dan
cindil-cindilmu itu. Dengan demikian maka habislah tanah
garapanku itu," berkata salah seorang dari kedua orang
yang bertubuh tinggi tegap itu.
"Ki Sanak," berkata Tatas Lintang, "jika aku menerima
pekerjaan itu, sebenarnya karena aku mengira bahwa kau
telah menolaknya. Bukankah kau sudah mempunyai tanah
garapan yang luas, bahkan sebagian telah dikerjakan oleh
orang lain pula?" "Persetan," geram orang itu, "aku memang mengambil
beberapa orang pembantu. Seharusnya kau juga aku
perlakukan seperti itu. Akulah yang disebut penggarap
tanah itu, meskipun kalian yang mengerjakan. Dengan
demikian maka upah yang akan kau terima terserah kepada
kebijaksanaanku." Tatas Lintang mengangguk-angguk. Katanya, "Aku
mengerti sekarang. Kau akan dapat mengambil keuntungan
dari tanah garapan itu."
"Nah, ternyata kau cukup cerdas juga," desis orang itu.
Lalu katanya pula, "Jika demikian, maka sebaiknya kau
urungkan kesangupanmu jika kau sudah menyatakannya.
Akulah yang akan menggarapnya, meskipun kalian yang
akan mengerjakan." "Aku sudah terlanjur menyanggupinya Ki Sanak,"
jawab Tatas Lintang, "aku tidak tahu bahwa kau berminat
untuk mengambilnya meskipun hanya sekedar namanya
saja." "Terlanjur atau belum terlanjur," geram orang itu,
"nanti, meskipun sudah gelap, kau harus datang kepadanya
untuk mencabut kesediaanmu itu."
Tatas Lintang termangu-mangu. Namun kemudian
katanya, "Tetapi dengan demikian, kata-kataku untuk
selanjutnya akan sulit dipercaya."
"Aku tidak peduli," bentak orang itu.
Tatas Lintang menjadi gemetar. Tetapi ia menjawab.
"Maaf Ki Sanak. Jangan paksa aku berbuat demikian.
Biarlah aku tetap melaksanakan kesanggupanku. Jika kau
memerlukan uang pungutan dari hasil itu, aku tidak
berkeberatan." "Diam," bentak orang itu.
Tatas Lintang terkejut. Bahkan Mahisa Murti, Mahisa
Pukat dan Mahisa Ura pun terkejut pula.
Ketika orang itu kemudian maju selangkah, Tatas
Lintang-pun telah bergeser surut. Dengan nada keras orang
bertubuh tegap kekar itu bertanya, "Kau mau mencabut
kesanggupanmu atau tidak?"
"Maaf Ki Sanak. Aku sudah terlanjur," jawab Tatas
Lintang. Namun tiba-tiba saja Tatas Lintang telah terdorong
selangkah mundur. Hampir saja ia jatuh terjerembab ketika
tangan orang bertubuh tinggi tegap itu memukulnya.
"Jawab," bentak orang itu, "kau bersedia mencabut atau
tidak." Tatas Lintang tidak menjawab. Namun sekali lagi orang
itu memukulnya pada perutnya, sehingga Tatas Lintang
terbungkuk karenanya. Sebelum ia tegak, maka orang itu
telah memukul tengkuk Tatas Lintang, sehingga Tatas
Lintang telah jatuh terjerembab.
Mahisa Ura yang tidak tahan melihat perlakukan itu
hampir saja meloncat. Tetapi Mahisa Murti yang tanggap
akan keadaan itu telah menggamitnya dan memberi isyarat
agar Mahisa Ura tidak melakukan sesuatu.
"Ayo, bangkit," bentak orang itu.
Tetapi Tatas Lintang tidak mampu untuk segera bangkit
berdiri. Pada waktu ia mulai berjongkok, orang bertubuh
tinggi itu telah menggenggam rambutnya sambil berkata,
"Kau bersedia atau tidak?"
Tatas Lintang tidak segera menjawab. Namun tiba-tiba
saja orang itu telah menggucang kepala Tatas Lintang dan
membenturkannya pada tiang bambu pondoknya yang kecil
itu. Bagaimanapun juga ketiga orang yang diakunya sebagai
kemenakannya itu pun tergetar juga hatinya. Namun
sementara itu, orang yang bertubuh kekar yang seorang lagi
telah mendekati mereka sambil berkata, "Ayo, siapa yang
akan ikut serta?" "Jangan perlakukan mereka dengan kasar," suara Tatas
Lintang semakin bergetar, "biarlah aku yang
menanggungnya." "Kau harus menjawab, apakah kau akan pergi untuk
mencabut kesanggupanmu atau tidak" Atau kepalamu akan
aku pecahkan sekarang juga," orang itu menggeram
semakin kasar. Ketika orang itu mengguncang kepala Tatas Lintang
sekali lagi, maka Tatas Lintang pun mengeluh, "Ampun Ki
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sanak. Kepalaku menjadi pening dan perutku menjadi
mual." "Tidak hanya pening dan mual," jawab orangitu,
"Tetapi kepalamu benar-benar akan aku pecahkan jika kau
menolak untuk mencabut kesediaanmu menggarap tanah
pategalan di ujung padukuhan."
Untuk sesaat suasana menjadi tegang. Mahisa Murti,
Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun menjadi termangumangu.
Mereka mulai goyah untuk tidak berbuat sesuatu melihat
keadaan Tatas Lintang. "Aku harus yakin, bahwa Tatas Lintang adalah seorang
yang berilmu tinggi," geram Mahisa Murti di dalam
dirinya, sebagaimana Mahisa Pukat dan Mahisa Ura
meyakinkan diri mereka sendiri. Sehingga dengan demikian
mereka masih dapat mengekang diri untuk tidak berbuat
sesuatu. Ketika orang bertubuh tinggi kekar itu menggapai
rambut Tatas Lintang dan mengangkatnya sehingga wajah
Tatas Lintang menengadah, maka terdengar Tatas Lintang
itu merintih, "Ampun. Jangan kau patahkan leherku."
"Katakan, apakah kau akan mencabut kesediaanmu
menggarap tanah itu atau tidak?" bentak orang bertubuh
tinggi kekar itu. "Ya, ya. Aku akan mencabutnya," jawab Tatas Lintang.
Orang bertubuh tinggi kekar itu menarik nafas dalamdalam.
Namun masih sekali lagi ia menghentakkan kepala
Tatas Lintang ke tiang bambu petung. Sekali lagi terdengar
Tatas Lintang merintih. "Aku akan menunggu," berkata orang itu, "jika sampai
besok kau tidak memenuhi janjimu, maka kau akan aku
gantung di sudut padukuhan. Kau tahu, bahwa tidak
seorang pun yang berani melawan aku."
Tatas Lintang menjawab dengan suara gemetar, "Aku
akan memenuhinya." Orang itu pun kemudian melepaskan rambut Tatas
Lintang. Dengan kakinya ia menendang lambung Tatas
Lintang sambil berkata, "Aku akan pergi. Tetapi ingat,
jangan membuat aku marah dan menggantungmu serta
membakar gubugmu ini."
Tatas Lintang tidak menjawab. Sementara itu kedua
orang itu pun melangkah meninggalkan ruang pondok
Tatas Lintang yang telah berserakan itu.
Demikian kedua orang itu hilang dibalik pintu, Tatas
Lintang pun bangkit berdiri sambil tersenyum, "Gila orang
itu." "Kau biarkan dirimu diperlakukan seperti itu?" bertanya
Mahisa Ura. "Biarlah untuk kali ini," jawab Tatas Lintang, "Aku
masih ingin bersembunyi di sini. Tetapi ini untuk yang
terakhir kali. Nanti malam kalian telah pulih seutuhnya,
sehingga sejak besok, kita akan membuka diri. Seandainya
dengan demikian kehadiran kita diketahui oleh orang
padepokan itu, kita tidak akan berkeberatan."
Mahisa Ura mengangguk-angguk kecil. Ia pun mengerti
maksud Tatas Lintang. Karena itu katanya, "Jadi kau tidak
akan mencabut kesediaan kita menggarap tanah itu?"
Tatas Lintang tersenyum sambil menjawab, "Tentu
tidak. Biar saja mereka datang kemari. Seperti yang aku
katakan, sejak besok kita tidak akan bersembunyi lagi
meskipun kita akan tetap tinggal di pondok ini."
Mahisa Mtitti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura menarik
nafas dalam-dalam. Tetapi dengan nada geram Mahisa Ura
berkata kepada diri sendiri, "orang-orang seperti itu perlu
mendapat sedikit pelajaran."
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat
dan Mahisa Ura yang ingin beristirahat, harus membenahi
isi pondok itu lebih dahulu bersama Tatas Lintang. Amben
besar yang rusak itu pun telah dilepas sama sekali dan
dibawa keluar. Hanya tikarnya sajalah yang kemudian
dibentangkannya dilantai.
"Di manapun aku dapat tidur nyenyak," desis Mahisa
Pukat. Sebenarnyalah ketika malam menjadi gelap, maka
mereka pun telah berbaring di atas tikar pandan yang
dibentangkan dilantai pondok kecil yang masih berserakan
itu. Namun demikian mereka masih juga merasa perlu
untuk menutup dan menyelarak pintu.
Malam itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa
Ura benar-benar sempat beristirahat, sehingga segenap
kekuatan dan kemampuan mereka pun telah pulih kembali.
Karena itu, ketika kemudian matahari terbit, tubuh
mereka pun telah terasa cukup segar dan utuh.
Berganti-ganti mereka mandi di pakiwan, sehingga ketika
matahari mulai naik, mereka pun telah selesai. Dengan
demikian maka mereka pun mulai membenahi seluruh isi
pondok mereka. Namun dalam pada itu, mereka pun menyadari, bahwa
kedua orang itu, bahkan mungkin bersama kawankawannya
yang lain tentu akan datang lagi, karena Tatas
Lintang tidak benar-benar mencabut kesediaannya
menggarap tanah pategalan di ujung padukuhan.
Sebenarnyalah seperti yang mereka tunggu, baru saja
mereka selesai membenahi isi rumah kecil mereka yang
berserakan, maka orang yang bertubuh tinggi kekar itu telah
nampak memasuki pintu pagar. Bukan hanya dua orang.
Tetapi lima orang. Tatas Lintang memberi isyarat kepada ketiga orang yang
diakuinya sebagai kemenakannya itu. Sambil
menggelengkan kepalanya ia berdesis, "Biarlah aku
mengurusi mereka." "Sendiri?" bertanya Mahisa Murti.
Tatas Lintang termangu-mangu. Namun ia pun
kemudian tersenyum. Sementara itu, kelima orang itu telah berada di depan
pondok kecil itu. Dengan nada geram orang bertubuh kekar
itu berkata, "Kau mencoba menipu aku he?"
"Maaf Ki Sanak," berkata Tatas Lintang, "aku baru
memperbaiki pondok kecilku yang rusak, sehingga aku
belum sempat menemui pemilik pategalan itu."
"Persetan," geram orang itu, "kau tidak akan dapat
menyebut alasan apapun juga. Kesabaranku sudah habis,
sehingga hukuman itu akan kau terima sekarang tanpa
ampun." "Tetapi, bukan maksudku menentangmu," jawab Tatas
Lintang. "Aku tidak peduli," jawab orang itu.
Tatas Lintang termangu-mangu. Sementara kelima orang
itu pun kemudian telah menebar.
Keadaan pun menjadi semakin tegang. Wajah orang
yang bertubuh tegap kekar itu benar-benar bagaikan
menyala. Dengan geram ia berkata, "Kau bukan orang asli
dari padukuhan ini Tatas Lintang. Kau adalah pendatang.
Jika kau hilang dari padukuhan ini, maka orang-orang
padukuhan ini tidak akan merasa kehilangan. Lihat, orangorang
yang datang bersamaku. Mereka adalah orang-orang
asli dari padukuhan ini. Mereka telah sepakat untuk
menyingkirkan kau dan kemenakan-kemenakanmu.
Seadainya bangkaimu hanyut di sungai atau menjadi
makanan anjing liar, tidak seorang pun yang akan
mempersoalkannya." "Tetapi, apakah tindakan itu tidak bertentangan dengan
perikemanusiaan?" bertanya Tatas Lintang.
"Ooo. Kau mulai merajuk he?" orang bertubuh tinggi
kekar itu tertawa, "aku mulai senang melihat keadaanmu.
Ikat Pinggang Kemala 4 Dewa Arak 43 Garuda Mata Satu Memburu Manusia Harimau 1