Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 13

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 13


Semakin kau menjadi ketakutan, maka aku menjadi
semakin senang. Apalagi jika kami sudah mulai memasang
tali gantungan di dahan pepohonan itu, maka wajahmu
tentu akan menjadi semakin menarik."
"Kenapa kau menjadi senang jika aku ketakutan?"
bertanya Tatas Lintang. Satu pertanyaan yang tidak diduga. Namun orang
bertubuh kekar itu menjawab juga, "Aku memang ingin
membuat kau ketakutan untuk kepuasan hatiku yang sudah
kau sakiti. Melihat kau ketakutan menjelang mati, rasarasanya
sakit hatiku menjadi berkurang. Pada saat kau mati
itulah sakit hatiku menjadi sembuh."
Tatas Lintang termangu-mangu sejenak. Sementara itu
orang bertubuh kekar itu berkata kepada kawan-kawannya,
"Marilah. Kita bawa saja mereka ke pategalan yang akan
digarapnya. Kita beri kesempatan mereka melihatnya sekali
lagi. Kemudian kita terus membawa mereka ke kedung
yang sepi itu. Nah, kita akan dapat berbuat apa saja atas
mereka tanpa diketahui orang lain."
Kelima orang itu mulai bergerak. Dengan nada kasar
orang bertubuh kekar itu mulai berkata, "Kau tidak akan
dapat mengajukan permintaan apapun karena sudah
terlambat. Tetapi kami masih memberimu sedikit
kemurahan hati di saat matimu. Jika kau tidak melawan,
maka kau dan kemenakanmu itu akan kami gantung di
pinggir kedung. Tetapi jika kau menimbulkan kesulitan,
maka jalan kematianmu akan menjadi semakin sulit pula.
Mungkin kalian akan bertahan hidup untuk dua atau tiga
hari sambil menahan penderitaan yang sangat."
"Kau lucu sekali Ki Sanak," berkata Tatas Lintang tibatiba.
Namun kata-kata itu benar-benar mengejutkan. Bahkan
kemudian orang bertubuh kekar itu melihat Tatas Lintang
tertawa. "Orang itu menjadi gila karena ketakutan," desis salah
seorang dari kelima orang itu.
Orang bertubuh kekar itu mengerutkan keningnya.
Namun ia pun telah tertawa pula sambil berkata, "Jika
benar, menyenangkan sekali. Ia akan menjadi permainan
yang mengasyikkan." Tetapi orang itu terkejut ketika mendengar Tatas Lintang
berkata, "Jangan salah sangka Ki Sanak. Aku tidak menjadi
gila. Tetapi aku menjadi geli melihat kelakuan kalian."
"Apa katamu?" bentak orang bertubuh tinggi kekar.
"Maaf bahwa kali ini aku tidak ingin menyenangkan
hatimu. Jika kau senang melihat orang ketakutan, maka
sebaiknya aku tidak perlu menjadi ketakutan, karena aku
memang tidak ingin membuat kau senang seperti yang
sudah aku katakan," berkata Tatas Lintang.
Wajah orang bertubuh kekar itu menjadi tegang. Dengan
heran ia bertanya, "Aku tidak mengerti sikapmu. Tetapi
agaknya kau memang sudah menjadi gila."
"Ki Sanak," berkata Tatas Lintang, "sebaiknya aku
berterus terang. Aku memang tidak ingin mencabut
kesediaanku menggarap pategalan itu. Aku akan
melakukannya dan akan mempertahankan kesediaanku.
Seterusnya aku memang tidak menjadi takut melihat
sikapmu yang garang itu. Karena itu, maaf, bahwa agaknya
kau tidak akan mendapatkan kesenangan."
"Anak setan," geram orang bertubuh kekar itu, "kau
tahu siapa aku?" Tatas Lintang tidak segera menjawab. Tetapi ketika ia
melihat ketiga orang yang diakunya sebagai kemenakannya
itu, maka ketiga orang itu hampir bersamaan telah menarik
nafas panjang. Tatas Lintang tersenyum. Lalu ia pun baru menjawab,
"Aku tahu Ki Sanak. Aku mengenal kalian berlima
meskipun aku bukan orang padukuhan asli. Tetapi aku
sudah beberapa lama berada di sini, sehingga aku sudah
mengenal hampir semua orang di padukuhan ini."
"Jika demikian, kenapa kau berani berlaku deksura
kepadaku dan kepada kawan-kawanku?" bertanya orang
bertubuh kekar itu. "Aku tidak tahu," jawab Tatas Lintang, "tetapi karena
tingkah lakumu, aku justru menjadi tidak takut lagi
kepadamu." "Setan," geram orang itu, "jika demikian, maka kalian
benar-benar akan kami gantung di pinggir kedung itu."
"Kau atau kamilah yang akan melakukannya," berkata
Tatas Lintang, "jika kalian benar-benar ingin membunuh
kami, maka kami pun telah digelitik oleh keinginan yang
sama. Kami pun akan mampu menghilangkan jejak
sehingga tidak seorang pun yang akan menduga, bahwa
kamilah yang telah membunuh kalian."
"Anak iblis. Orang ini benar-benar telah menjadi gila."
Namun orang bertubuh kekar itu semakin terkejut ketika
salah seorang di antara mereka yang diaku sebagai
kemenakannya itu berkata, "Aku hampir tidak tahan
melihat tingkah lakumu sejak kemarin. Bukan karena
ketakutan, tetapi seperti paman Tatas Lintang, tingkah laku
kalian menang menggelikan."
"Kau juga anak iblis. Aku remas mulutmu," teriak salah
seorang kawan orang bertubuh kekar itu.
Tetapi Mahisa Murti masih tertawa. Katanya, "Jangan
berteriak-teriak. Nanti terdengar dari padukuhan sebelah."
Kelima orang itu benar-benar menjadi heran, marah dan
geram bercampur baur. Mereka sama sekali tidak menduga,
bahwa Tatas Lintang dan ketiga orang kemenakannya
justru bersikap demikian beraninya. Dan bahkan
menunjukkan ketenangan tanpa rasa takut sama sekali.
Tetapi mereka tidak dapat menganggap keempat orang
itu menjadi gila, karena agaknya akal mereka masih utuh.
Namun Tatas Lintang itu pun akhirnya sampai pada satu
kesimpulan bahwa ia akan segera bertindak. Bahkan jika
perlu benar-benar membunuh orang-orang yang tidak tahu
diri itu. Karena itu, maka ia pun telah memberikan isyarat
kepada kawan-kawannya sambil berkata, "Marilah, kita
giring mereka ke pategalan. Siapa di antara mereka yang
melawan, kita akan memaksa dengan kekerasan. Kemudian
kita bawa mereka ke tepi kedung. Kita dapat
membenamkan mereka seorang demi seorang meskipun
tidak sampai mati. Mengikatnya dan berbuat apa saja atas
mereka." Kawan-kawannya pun segera bergerak. Seorang di
antara mereka membentak, "Cepat, berjalan ke pategalan
sebelum kami memukuli kepalamu."
Yang menjawab adalah Mahisa Pukat, "jangan terlalu
kasar Ki Sanak. Jangan seperti menggiring lembu."
"Persetan. Cepat," orang itu berteriak pula.
Tetapi Mahisa Pukat justru telah bergeser dan duduk di
atas sebongkah batu padas sambil berdesis, "Segarnya udara
di halaman pondok kecil ini."
Orang yang membentaknya ternyata tidak sabar lagi.
Dengan serta merta orang itu telah mengayunkan kakinya
mengarah ke kening Mahisa Pukat.
Orang itu tidak melihat Mahisa Pukat bergerak. Tetapi
ternyata kakinya tidak menyentuhnya. Bahkan di luar
dugaannya, kakinya itu telah didorong dengan kuatnya,
sehingga orang itu terhuyung-huyung beberapa langkah.
Namun akhirnya ia tidak mampu lagi menguasai
keseimbangannya sehingga orang itu telah jatuh terguling di
tanah. Mahisa Pukat yang kemudian bangkit berdiri tertawa
pendek. Katanya, "berhati-hatilah. Halaman rumah ini
memang licin." "Persetan," geram orang itu. Kemarahannya tidak lagi
dapat dikekangnya sehingga demikian ia bangkit, maka ia
pun segera meloncat menerkam Mahisa Pukat. Namun
orang itu telah mendapatkan satu pengalaman sehingga
karena itulah, maka ia pun menjadi lebih berhati-hati.
Tetapi petani yang telah menjadi pengikut orang
bertubuh kekar itu sekali lagi membentur ilmu yang sama
sekali tidak dimengertinya. Karena itulah, maka tangannya
sama sekali tidak menyentuh sasaran. Tangannya itu
bagaikan menerkam angin. Namun di luar tangkapan nalarnya, bahwa ia pun tibatiba
telah terputar dan terbanting jatuh sekali lagi. Bahkan
justru punggungnya hampir menjadi patah karenanya.
Yang terjadi itu benar-benar telah membingungkan
kelima orang yang ingin memaksa Tatas Lintang dan ketiga
orang yang diakunya sebagai kemenakannya itu untuk
meninggalkan halaman pondoknya. Dan bahkan kelima
orang itu memang berniat untuk menyingkirkan mereka,
agar kelima orang itu mendapat kesempatan lebih banyak
untuk menggarap tanah di padukuhan itu.
Namun kelima orang itu masih belum yakin atas apa
yang terjadi. Karena itu, maka mereka pun kemudian
benar-benar telah menyiapkan diri untuk dengan segenap
kekuatan mereka memaksa keempat orang itu menurut
perintah mereka. "Jangan menganggap bahwa kalian mampu melawan
kami," berkata orang yang bertubuh kuat dan kekar itu,
"aku akan membuktikan bahwa kami akan dapat
melakukan apa yang kami kehendaki."
Tatas Lintanglah yang kemudian menjawab, "Sudahlah
Ki Sanak. Marilah kita sudahi permainan kita. Tinggalkan
kami dalam ketenangan. Biarlah kami tak saling
mengganggu." "Persetan," geram orang itu, "kami akan menunjukkan
kepadamu bahwa kami mampu melakukan sebagaimana
kami katakan." Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya kepada ketiga orang yang diakunya
sebagai kemenakannya itu, "Marilah kita layani tamu-tamu
kita. Kita lakukan sebagaimana mereka lakukan. Kita
hanya melayani saja, sehingga kita biarkan sampai seberapa
jauh mereka mampu berbuat atas kita."
"Tutup mulutmu," bentak orang bertubuh kekar itu.
Tetapi Tatas Lintang masih berbicara terus, "Pakailah
saja ilmu kalian yang paling dasar, karena jika kalian
mempergunakan selapis lebih tinggi dari kemampuan dasar
kalian, maka kelima orang itu akan terlalu cepat mati. Kita
ingin melihat mereka ketakutan, karena akan
menyenangkan sekali melihat wajah-wajah orang
ketakutan." Orang bertubuh tinggi tegap dan kekar itu tidak menahan
diri lagi. Ia pun dengan serta merta telah meloncat
menyerang Tatas Lintang. Tetapi Tatas Lintang yang dihadapinya itu bukan Tatas
Lintang yang kemarin. Seperti yang dikatakan, maka Tatas
Lintang pun hanya melayaninya. Dengan gerak yang
sederhana Tatas Lintang telah menghindarkan dirinya,
sehingga serangan itu sama sekali tidak mengenainya.
Namun Tatas Lintang tidak segera membalasnya
menyerang. Ia justru menunggu lawannya itu dengan
tergesa-gesa memperbaiki keadaannya. Bahkan sejenak
kemudian lawannya itu pun dibiarkannya bersiap untuk
menyerangnya. Seperti serangannya yang terdahulu, maka serangannya
yang kemudian pun lawannya itu tidak menyentuhnya.
Gerak Tatas Lintang nampaknya memang tidak
meyakinkan. Tetapi ternyata tidak dapat disentuhnya.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura yang
melihat tata gerak Tatas Lintang itu pun berusaha untuk
menyesuaikan diri. Mereka sama sekali tidak menyerang
lawan-lawan mereka, kawan-kawan orang bertubuh tinggi
tegap dan kekar itu yang telah bergerak pula serentak,
bahkan orang yang telah terbanting-banting jatuh.
Dengan demikian, maka Tatas Lintang dan ketiga orang
yang diakunya sebagai kemenakannya itu kemudian
hanyalah berloncat-loncatan menghindari serangan lawanlawan
mereka masing-masing. Dengan demikian maka pertempuran itu nampaknya
menjadi berat sebelah. Tatas Lintang dan ketiga orang yang
diakunya sebagai kemenakannya itu hanya berloncatloncatan
menghindari serangan lawan-lawannya. Namun
pada saat-saat tertentu, jika serangan-serangan lawan-lawan
mereka mengendor, maka mereka pun telah berusaha
memancing agar mereka mengerahkan lagi kemampuan
mereka untuk menyerang, namun yang sama sekali tidak
pernah mampu menyentuh sasaran.
Seperti yang diharapkan oleh Tatas Lintang, maka
kelima orang yang datang untuk memaksa mereka
meninggalkan tempat itu untuk pergi ke pategalan di ujung
padukuhan serta ke tepi kedung, telah mengerahkan
kemampuan mereka. Yang mereka lihat adalah lawanlawan
mereka yang nampaknya selalu terdesak dan tidak
sempat membalas menyerang, sehingga dengan demikian
mereka pun menjadi semakin yakin akan dapat memaksa
keempat orang itu untuk pergi. Bahkan orang yang telah
terbanting jatuh oleh Mahisa Pukat pun merasa bahwa
kedudukannya menjadi semakin baik.
Namun, seperti yang diperhitungkan oleh Tatas Lintang,
maka oleh pengerahan kekuatan yang berlebih-lebihan,
maka kelima orang itu telah kehilangan banyak sekali
keringat dan tenaganya. Bahkan tanpa mereka sadari, maka perlahan-lahan
mereka menjadi letih dan kegarangan mereka pun mulai
menjadi surut. Sementara itu, Tatas Lintang dan ketiga
orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu pun masih
selalu memancing mereka untuk bergerak lebih banyak.
Mahisa Murti yang berloncatan kian kemari melihat
lawannya telah kehilangan sebagian besar dari tenaganya,
sehingga kadang-kadang ia tidak lagi mampu menyerang
meskipun Mahisa Murti berada pada jarak jangkauannya.
Melihat keadaan lawannya, Mahisa Murti tersenyum.
Bahkan katanya dengan nada lunak, "Marilah Ki Sanak.
Bukankah kita masih mempunyai banyak waktu untuk
bermain-main."

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Persetan," geram lawannya, "kau akan digantung di
pinggir kedung." "Apakah kau tidak dapat mengucapkan kata-kata yang
lain?" bertanya Mahisa Murti, "Mungkin kita dapat
berbicara agak panjang jika kau tidak terikat kepada
inggauanmu itu." "Persetan," geram lawannya. Ia pun kemudian
memaksakan sisa tenaganya untuk menyerang. Karena
Mahisa Murti tidak pernah membalas menyerang, maka
orang itu pun telah melupakan kemungkinan itu terjadi.
Tetapi Mahisa Murti memang tidak menyerangnya. Ia
hanya mengelak dan menghindar. Tetapi yang demikian itu
ternyata sudah cukup untuk memeras tenaga lawannya.
Mahisa Pukatlah yang sekali kali memang mengganggu
lawannya. Adalah kebetulan bahwa ia harus melawan dua
orang, seorang di antaranya adalah orang telah
dibantingnya jatuh. Namun karena ada seorang kawannya, maka ia telah
memberanikan diri untuk melawan Mahisa Pukat lagi.
Bahkan ia bermaksud apabila mungkin untuk membalas
dendam sakit hatinya. Tetapi kedua orang itu sama sekali tidak berhasil berbuat
sesuatu atas Mahisa Pukat. Bahkan sekali-sekali Mahisa
Pukat justru telah berhasil menyentuh tubuh mereka. Tidak
membuat tubuh mereka sakit, namun sentuhan-sentuhan
Mahisa Pukat kadang-kadang membuat mereka menjadi
sangat marah. Sekali-sekali Mahisa Pukat telah dengan
sengaja menyentuh lawannya di atas lehernya, yang dapat
dianggap sebagai penghinaan. Dengan demikian maka
lawannya yang menjadi semakin marah telah mengerahkan
kekuatan yang masih tersisa untuk menyerangnya. Namun
yang terjadi adalah sebagaimana dikehendaki oleh Mahisa
Pukat. Kedua lawannya itu benar-benar telah kehabisan
tenaga dan tidak lagi mampu berbuat apa-apa. Ketika
Mahisa Pukat bergeser ke dekat salah seorang di antara
kedua lawannya, maka dengan sisa tenaganya lawannya itu
telah mengayunkan tangannya ke arah kening Mahisa
Pukat. Namun ketika tangannya itu tidak menyentuh
lawannya, maka ia pun telah terhuyung-huyung dan bahkan
kemudian hampir saja terjatuh.
"Gila," geram orang itu, "kau jangan menghina aku
dengan cara ini." Tetapi orang itu menjadi semakin marah ketika justru
Mahisa Pukatlah yang telah menangkapnya dan
menjaganya untuk tidak terjerembab.
Mahisa Pukat melepaskannya meskipun orang itu masih
terhuyung-huyung. Katanya, "Jangan marah Ki Sanak.
Bukankah sudah menjadi kewajiban kita masing-masing
untuk saling menolong?"
"Persetan," geramnya, "aku sobek mulutmu."
"Jangan terlalu garang. Kau tidak pantas menyobek
mulut seseorang. Tetapi lebih baik mencangkul di sawah
atau menggembala kerbau di padang rumput."
Orang itu mengumpat, sementara kawannya yang
seorang lagi telah mendekati Mahisa Pukat. Dengan geram
ia mengayunkan tangannya pula untuk memukul dada anak
muda itu. Tetapi Mahisa Pukat bergeser selangkah, sehingga
pukulan itu tidak mengenainya. Dengan demikian, maka
orang itu pun telah terseret oleh kekuatannya sendiri pula.
Namun seperti lawannya yang pertama, maka Mahisa
Pukat pun telah menangkapnya, sehingga ia tidak jatuh
terjerembab. "Hati-hatilah," berkata Mahisa Pukat.
Orang itu pun mengumpat. Tetapi ketika Mahisa Pukat
melepaskannya ia pun telah memegangi lambungnya sambil
berdesis, "Anak yang sombong."
Mahisa Pukat tersenyum. Dengan nada tinggi ia
bertanya, "Kenapa pinggangmu?"
"Aku bunuh kau," geram orang itu.
Mahisa Pukat melangkah mendekat. Katanya, "Kau
sudah terlalu lemah. Demikian pula kawanmu itu. Ia pun
sudah terlalu lemah dan tidak berdaya lagi untuk
berkelahi." "Persetan," orang itu memandang Mahisa Pukat dengan
mata yang menyala. Tetapi tenaganya benar-benar telah
terkuras habis. Demikian pula kawannya yang seorang.
Yang bertempur melawan Mahisa Ura pun justru telah
jatuh terduduk. Mahisa Ura yang hanya dengan lemah
mendorong dadanya dengan ujung jari-jarinya, telah
membuat orang itu terhuyung-huyung dan jatuh, meskipun
kemudian ia berusaha untuk tidak terbaring di tanah.
Namun duduk pun kedua tangannya harus membantu
menahan agar tubuhnya tidak roboh.
Orang yang bertempur melawan Tatas Lintang yang
bertubuh tinggi, tegap dan kekar, sama sekali tidak mampu
berbuat sesuatu. Ketika kemudian Tatas Lintang memegang
tengkuknya, orang itu hanya dapat berdesah menahan sakit.
"Ingat, apa yang kau lakukan atas aku kemarin?"
bertanya Tatas Lintang, "kau genggam rambutku, kepalaku
kau benturkan pada tiang bambu petung. Nah, marilah, aku
juga akan mencoba membenturkan dahimu dengan bambu
wulung." "Jangan, jangan," minta orang bertubuh kekar itu, "aku
minta maaf." "Sesudah kau memperlakukan aku seperti
memperlakukan seekor anjing, kau minta maaf?" bertanya
Tatas Lintang. "Aku kemarin khilaf," jawab orang itu.
"Dan pagi ini kau akan menggiring kami ke padukuhan
di ujung pategalan, kemudian membawa kami ke tepi
kedung. Aku kira kau benar-benar ingin membunuhku.
Bahkan ketiga kemenakanku," bentak Tatas Lintang.
"Tidak. Aku tidak bersungguh-sungguh. Aku hanya
menakut-nakutimu saja," suara orang itu menjadi gemetar.
"Omong kosong," geram Tatas Lintang, "namun jika
kau tidak bersungguh-sungguh pun aku tidak peduli. Aku
ingin membawamu ke pinggir kedung. Aku dengar masih
ada buaya-buaya kerdil di kedung itu yang sering
menangkap ayam yang mencari minum di kedung itu. Nah,
aku ingin mengikatmu dan meninggalkanmu di pinggir
kedung. Aku tidak peduli apakah akan ada buaya kerdil
yang menemukanmu atau tidak."
"Jangan," minta orang itu.
Tetapi Tatas Lintang berkata, "Marilah anak-anakku.
Kita bawa mereka ke pinggir kedung. Bawa tali lulup atau
serat nanas. Kita akan mengikat mereka. Yang beruntung,
tentu akan selamat. Tetapi siapa di antara kalian yang
malang, tentu akan menjadi mangsa buaya-buaya kerdil
itu." "Jangan," kelima orang itu menjawab hampir
berbareng. "Aku tidak peduli. Seperti kemarin kalian juga tidak
peduli," jawab Tatas Lintang. Lalu katanya, "Cepat. Kita
akan membawa mereka. Jika mereka berkeberatan, kita
pukuli mereka biar punggung mereka patah. Aku yakin
bahwa mereka telah kehabisan tenaga dan tidak akan dapat
melawan." Wajah-wajah mereka pun menjadi tegang. Kelima orang
itu benar-benar menjadi ketakutan. Apalagi orang yang
bertubuh tinggi kekar yang merasa sudah memperlakukan
Tatas Lintang semena-mena.
Namun sejenak kemudian Tatas Lintang berkata sambil
tertawa, "Ternyata aku sependapat dengan kalian. Melihat
wajah-wajah yang ketakutan itu memang menyenangkan
sekali. Karena itu aku ingin melihat kalian lebih ketakutan
lagi dengan mengikat kalian di pinggir kedung."
"Jangan," minta orang bertubuh tinggi kekar itu, "aku
mohon." Tatas Lintang tertawa semakin keras. Sementara itu
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun tertawa
pula. Bahkan Mahisa Pukat pun berkata, "Aku dapat
menyeret kedua orang itu jika mereka menolak berjalan
sendiri sepanjang jalan pedukuhan. Aku pun sanggup
berjalan sambil berteriak menceritakan apa yang ingin
dilakukan kelima orang ini atas diri kita dalam
hubungannya dengan penggarapan tanah. Aku yakin,
bahwa banyak orang yang akan mengumpatinya dan
membenarkan sikap kita. Bahkan mungkin orang-orang
yang merasa dirugikan oleh sikapnya tetapi tidak berani
mengambil langlah-langkah yang perlu, akan membantu
kita, mengikatnya di pinggir kedung."
"Aku mohon. Jangan lakukan itu," minta orang
bertubuh kekar itu. "Semakin kau ketakutan, maka aku semakin senang aku
melihat wajahmu," berkata Tatas Lintang.
Orang itu mengumpat, tetapi hanya di dalam hatinya. Ia
sama sekali tidak berani berbuat apa-apa. Bahkan semacam
penyesalan telah bergejolak di dalam dadanya. Ia tidak
menyangka sama sekali, bahwa pada suatu saat ia akan
membentur kekuatan yang tidak dimengertinya. Apalagi
biasanya orang itu tidak pernah menunjukkan sikap yang
demikian. Tetapi Tatas Lintang memang tidak bermaksud
bersembunyi lagi. Seandainya dengan demikian orangorang
dari padepokan yang ingin diketahui isinya itu
mengetahui, ia pun tidak berkeberatan lagi. Bahkan dalam
waktu dekat ia sudah berniat untuk mendahului membuat
persoalan dengan padepokan itu, jika orang-orang
padepokan tidak melihat kehadirannya di padukuhan yang
tidak terlalu jauh dari padepokan itu.
Namun yang tidak diduganya telah terjadi. Ternyata
Tatas Lintang tidak melakukan sebagaimana dikatakannya.
Ketika kelima orang itu benar-benar telah menggigil
ketakutan dan tidak berpengharapan lagi, maka Tatas
Lintang pun berkata, "Nah Ki Sanak. Kini kalian telah
merasakan betapa pedihnya seseorang yang dicengkam
ketakutan itu, sementara kalian menganggap bahwa
ketakutan pada seseorang merupakan tontonan yang
menyenangkan." Kelima orang itu tidak menjawab. Tetapi mereka masih
saja menggigil. Ketika tangan Tatas Lintang menyentuh
orang bertubuh tinggi kekar itu, ia pun telah terkejut bukan
buatan, sehingga tergeser selangkah ke samping. Nafasnya
pun tiba-tiba menjadi serasa sesak di dalam dadanya.
Tatas Lintang tidak dapat menahan senyumnya.
Katanya, "Kenapa kalian tiba-tiba telah menjadi pengecut.
Padahal sebelumnya kalian datang sebagai pahlawan yang
menang di medan perang."
"Kami mohon maaf," berkata orang yang bertubuh
tinggi kekar. Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam sambil
berkata, "Baiklah. Kali ini kalian kami maafkan. Tetapi
kalian jangan membuat persoalan sekali lagi. Bukan hanya
dengan kami, tetapi dengan siapa pun di padukuhan ini.
Aku tahu apa yang pernah kau lakukan. Karena kau
seorang yang disegani dan ditakuti, maka kau telah berbuat
sewenang-wenang terhadap sesamamu. Orang-orang yang
bekerja dengan memeras tenaganya, telah kau peras
penghasilannya. Sementara kau hanya berjalan mondar
mandir dari pategalan dan persawahan di sebelah Utara
padukuhan ke sebelah Selatan, dari sebelah Barat ke sebelah
Timur. Namun kau telah mendapatkan penghasilan yang
terbesar." "Aku mengerti," jawab laki-laki itu, "aku berjanji untuk
tidak melakukannya lagi."
"Baiklah," berkata Tatas Lintang, "tinggalkan kami
hidup tenang di pondok kecil ini. Jangan ganggu kami dan
jangan ganggu orang-orang yang bekerja seperti kami.
Ingat, sejak besok aku akan lebih banyak memperhatikan
kalian. Jika kalian masih memeras tenaga orang-orang
seperti kami, maka kami akan bertindak atas kalian.
Mungkin dengan sikap yang lebih keras, bahkan kasar."
"Kami berjanji Ki Sanak," jawab orang itu, "kami tidak
akan mengganggu Ki Sanak lagi."
"Bukan hanya kami," jawab Tatas Lintang, "berjanjilah.
Bukan hanya kami berempat, tetapi orang-orang yang
bekerja seperti kami."
Orang itu termangu-mangu. Namun ketika Tatas Lintang
maju selangkah orang itu dengan tergesa-gesa menjawab,
"Baik. Baik Ki Sanak. Kami akan menghentikan tingkah
laku kami." "Terima kasih," berkata Tatas Lintang, "kami akan
melihat kebenaran kata-katamu. Jika ternyata kalian
berbohong dan masih ada orang yang mengeluh karena
tingkah laku kalian, maka jangan menyesal karena kami
akan benar-benar melakukan seperti yang kami katakan.
Dengan sikap yang lebih keras."
"Baik Ki Sanak. Kami akan membuktikan kata-kata
kami," berkata orang itu.
"Sekarang pergilah," berkata Tatas Lintang kemudian.
Kelima orang itu pun kemudian dengan wajah tunduk
telah meninggalkan tempat itu. Sebuah pondok kecil yang
terdapat di sudut pategalan, sehingga seakan-akan terpisah
dari rumah-rumah di padukuhan.
"Sial sekali," geram orang bertubuh tinggi kekar itu,
"seandainya kita tahu tentang mereka."
"Setan mereka," sahut yang lain. Lalu, "Tetapi
bukankah kemarin kau telah datang menemui mereka?"
"Mereka sengaja menghina kita," jawab orang bertubuh
tinggi kekar itu, "kemarin orang yang bernama Tatas
Lintang itu sama sekali tidak melawan. Aku telah
membenturkan kepalanya pada tiang bambu petung."
"Kau yang bodoh," geram kawannya yang lain.
"seharusnya kau dapat menjajagi kemampuan seseorang.
Sekarang kita telah terjebak ke dalam satu penghinaan yang
tidak mungkin ditebus lagi."
"Sudahlah," berkata orang yang agak lebih tua, "satu
pelajaran yang mahal dan sangat berharga. Kita harus
bersukur bahwa mereka adalah orang-orang baik dan tidak


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbuat sebagaimana pernah kita lakukan atas mereka."
Orang bertubuh tinggi kekar itu mengangguk. Katanya,
"Ya. Sebenarnya mereka dapat berbuat apa saja atas kita.
Mereka benar-benar memiliki kemampuan. Bukan sekedar
kesombongan. Mereka mengalahkan kita tanpa berbuat
sesuatu. Me reka membiarkan kita kehabisan tenaga dan
tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Dalam keadaan yang
demikian, maka sebenarnya mereka benar-benar dapat
menyeret kita ke kedung sekaligus dipertontonkan kepada
orang-orang padukuhan. Tentu banyak orang yang akan
menyoraki kita." "Ya. Kita memang telah terlalu banyak melakukan
kesalahan. Sehingga pada suatu saat kita akan membentur
batu," berkata kawannya, "tentu satu isyarat, bahwa kita
harus berhenti dengan cara-cara kita."
Yang lain tidak menjawab lagi. Namun mereka
semuanya telah menyesali peristiwa yang baru saja terjadi.
Mereka yang selama itu merasa orang-orang yang paling
disegani, tiba-tiba harus melihat kenyataan bahwa mereka
adalah orang-orang yang tidak berarti di hadapan Tatas
Lintang dan tiga orang kemenakannya.
Namun orang yang bertubuh tinggi kekar itu bukan
orang yang dungu. Kehadiran orang yang memiliki ilmu
yang sangat tinggi, dan tingal di sebuah pondok kecil di
sudut pategalan tentu bukannya tidak mempunyai maksud.
Tetapi orang itu tidak merasa perlu untuk
mencampurinya karena ia merasa tidak mempunyai
kemampuan untuk melindungi dirinya jika ia harus terlibat
dalam persoalan orang yang tinggal di sudut pategalan itu.
Dalam pada itu, sepeninggalan orang yang bertubuh
tingg kekar itu Tatas Lintang berkata, "Kita sudah mulai.
Ada banyak kemungkinan terjadi. Tetapi kita sudah siap.
Bukankah begitu?" "Ya. Orang itu tentu akan berceritera tentang
pengalamannya," berkata Mahisa Murti, "Tetapi biarlah.
Mungkin orang-orang itu justru akan membuka persoalan
yang menghubungkan kita dengan padepokan yang kita
kehendaki." "Ya," sahut Mahisa Pukat, "namun itu merupakan
isyarat, bahwa kita harus bersiap-siap. Mungkin mereka
akan datang kepada kita. Tetapi mungkin dengan tiba-tiba
mereka menyerang." Tatas Lintang mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
"Kau benar. Karena itulah, maka kita harus
mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Kita masih belum tahu
pasti kekuatan yang tersimpan di dalam padepokan itu."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian ia bergumam seakan-akan kepada diri sendiri,
"Tetapi kami masih belum tahu, dalam persoalan apa kau
ingin mengetahui isi dan barangkali malahan menjajagi isi
padepokan itu?" "Kita memang belum mengetahui kenapa kita masingmasing
menaruh perhatian atas padepokan itu, "jawab
Tatas Lintang, "tetapi apakah hal itu perlu kita persoalkan
sekarang?" Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya, "Baiklah. Kita sepakat untuk tidak
mempersoalkannya sekarang."
"Terima kasih," desis Tatas Lintang, "kita akan berada
dalam keadaan seperti sekarang, sehingga langkah-langkah
kita tidak akan terganggu. Meskipun kita tidak akan dapat
menghindari prasangka baik maupun buruk di antara kita."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
"Mudah-mudahan kita akan dapat bersama-sama
menyelesaikan kewajiban kita masing-masing tanpa
berbenturan kepentingan."
Tatas Lintang tidak menjawab. Namun kemudian
katanya, "Nah kita sudah membenahi pondok kita yang
rusak. Marilah kita memperbaikinya sama sekali. Kita
memerlukan sebuah amben yang baru untuk menggantikan
amben yang rusak itu."
"Apakah kita boleh mengambil bambu di sudut
pategalan itu?" bertanya Mahisa Ura.
"Boleh saja. Lingkungan kecil ini sudah diserahkan
kepadaku termasuk rumpun bambu apus itu. Kita dapat
menebangnya seberapa kita butuhkan untuk membuat
amben baru," berkata Tatas Lintang.
"Dan sebuah lincak yang dapat kita letakkan di emper
depan. Di sore hari mungkin kita mendapat waktu untuk
duduk-duduk sambil menikmati waktu-waktu istirahat,"
berkata Mahisa Pukat. "Tentu," jawab Tatas Lintang. Namun kemudian
katanya, "Tetapi bukankah kita akan pergi ke pasar pagi ini
untuk membelanjakan uang kita yang kita terima dari
pemilik tanah ini?" Mahisa Pukatlah yang menjawab pertama-tama,
"Baiklah. Ada juga keinginanku untuk melihat-lihat pasar.
Nanti sesudah dari pasar kita baru akan membuat amben
dan lincak." Ternyata semuanya sependapat, sehingga mereka pun
kemudian telah membersihkan diri di pakiwan serta
membenahi pakaian mereka yang kusut.
Baru beberapa saat kemudian mereka berempat keluar
dari halaman rumah kecil mereka menuju ke pasar.
"Kita sudah kesiangan," berkata Mahisa Pukat, "apa
masih ada orang berjualan nasi kuluban."
"Tentu masih ada kedai yang buka," jawab Tatas
Lintang, "jika tidak ada kuluban tentu masih ada nasi asemasem
dengan serundeng kelapa yang belum terlalu tua."
Mahisa Pukat tersenyum. Sambil mengangguk-angguk
ia-pun berkata, "Kedai yang biasanya itu tentu masih buka.
Marilah. Kita akan dapat membeli wedang sere dengan gula
kelapa." "Atau legen aren," sahut Mahisa Murti.
Tatas Lintang hanya tertawa. Namun mereka pun telah
bersiap-siap untuk pergi ke pasar sebagaimana mereka
rencanakan. Sebenarnyalah bahwa mereka memang agak kesiangan.
Pasar yang cukup ramai itu pun sudah mulai berkurang
riuhnya. Beberapa orang yang berbelanja telah pulang
sementara beberapa orang penjual hasil kebun pun telah
kembali karena barang dagangan mereka telah habis terjual.
Tetapi kedai yang biasanya dikunjungi oleh keempat
orang itu memang masih buka. Karena itu, maka mereka
berempat-pun langsung menuju ke kedai yang tidak begitu
banyak lagi dikunjungi pembeli.
Namun keempat orang itu terkejut. Demikian mereka
sampai di pintu maka pemilik kedai itu tidak bersikap
sebagaimana kebiasaannya. Dengan ramah yang berlebihlebihan
pemilik kedai itu mempersilahkan keempat orang
itu masuk dan duduk di amben panjang.
"Silahkan. Silahkan Ki Sanak," berkata pemilik kedai
itu. Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakunya sebagai
kemenakannya itu pun saling berpandangan sejenak. Bukan
kebiasaan pemilik kedai itu bersikap demikian ramahnya.
Sebagai penjual makanan pemilik itu memang banyak
tersenyum. Tetapi tidak melampaui kewajaran. Bahkan
keempat orang itu di anggap sebagai orang-orang yang tidak
banyak memberikan keuntungan kepadanya, sehingga
sikapnya kepada keempat orang itu terasa agak dingin.
Namun tiba-tiba sikap itu telah berubah sama sekali.
"Apakah yang Ki Sanak inginkan" Minuman panas"
Wedang sere atau wedang jahe" Masih ada beberapa jenis
makanan yang sengaja kami simpan, karena kami sudah
menduga bahwa kalian akan datang ke warung kami,"
berkata pemilik kedai itu.
-ooo0dw0ooo- Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo Converter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : Uploader di Indozone : Dino
--ooo0dw0ooo- JILID 032 TATAS LINTANG dan ketiga orang yang diakunya
sebagai kemenakannya itu justru menjadi canggung.
Namun mereka pun kemudian duduk juga di amben
panjang itu. Ternyata sebagaimana dikatakan pemilik kedai itu telah
mengambil beberapa jenis makanan yang disimpannya.
Kemudian dihidangkannya kepada keempat orang yang
baru saja duduk di amben panjang itu.
Memang merupakan satu sikap yang terasa asing bagi
keempat orang itu. Sehingga karena itu maka mereka
berempat terpaksa menduga-duga apakah sebabnya.
Tetapi minuman hangat memang telah menggoda
mereka. Karena itu maka Mahisa Pukat tidak
memikirkannya lebih lanjut. Iapun kemudian berpesan,
"Beri kami wedang jahe saja."
"Baik Ki Sanak. Kami akan menyediakannya," jawab
pemilik kedai itu. Namun pemilik kedai itu, maupun Tatas Lintang beserta
ketiga orang kemanakannya itu terkejut ketika tiba-tiba saja
seorang di antara para tamu itu telah bertindak kasar.
Sebelum pemilik kedai itu sempat melangkah
menyediakan minuman panas, maka seorang di antara para
tamu telah bangkit berdiri dan mengambil makanan yang
disediakan bagi Tatas Lintang dan ketiga orang
kemanakannya. "Ki Sanak," berkata pemilik kedai itu, "makanan itu
memang kami sediakan bagi keempat tamuku itu."
"Persetan," geram tamu yang mengambil makanan itu,
"kau sangka derajatnya lebih tinggi dari derajatku. Kenapa
bukan aku yang kau tunggu dan makanan itu tidak kau
sediakan untuk aku."
Pemilik warung itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia menjawab, "Ki Sanak. Aku tidak tahu bahwa
Ki Sanak akan datang kemari, sehingga karena itu, maka
aku tidak menyediakannya untuk Ki Sanak."
"Persetan," bentak orang itu, "tetapi kau lihat bahwa aku
sekarang sudah ada di sini. Aku datang lebih dahulu dari
orang itu." Pemilik kedai itu memandang wajah Tatas Lintang
sejenak. Namun Tatas Lintang masih belum berbuat apaapa.
Karena itu, pemilik kedai itu dengan sengaja telah
memancing agar Tatas Lintang melibatkan dirinya ke
dalam persoalan itu. Katanya, "Ki Sanak. Jika aku
menyediakan hidangan untuk keempat orang ini karena
keempat orang ini adalah orang-orang yang paling
terhormat di padukuhan kami. Kebetulan bahwa aku
tinggal sepadukuhan dengan keempat orang itu. Setelah
kedai ini tutup, maka aku pun telah pulang ke padukuhan
yang sama dengan padukuhan mereka."
"Kenapa orang itu paling terhormat di padukuhanmu"
Apakah salah seorang di antara mereka, atau yang tertua di
antara mereka itu Bekel dari padukuhanmu."
"Bukan," jawab pemilik kedai itu, "tetapi mereka adalah
orang-orang yang berilmu tinggi."
Tatas Lintang terkejut. Dengan serta merta ia menyahut,
"Siapa yang mengatakan kepadamu tentang hal itu?"
"Orang yang bertubuh tinggi kekar yang selalu mengaku
menggarap tanah orang." jawab pemilik kedai itu, "tetapi ia
mengeluh bahwa ia telah terbentur kepada kelebihan kalian
berempat, sehingga orang itu sudah menyatakan tidak akan
mengulangi lagi kesalahan-kesalahan yang telah
dilakukannya itu." Tamu yang kasar itu mengangguk-angguk sambil
mengeram, "O, jadi keempat orang ini adalah orang-orang
yang berilmu tinggi, sehingga kau menjadi ketakutan dan
memperlakukan mereka sebagai tamu yang paling
terhormat he?" Wajah pemilik kedai itu menjadi tegang. Sementara itu
Tatas Lintang dan tiga orang yang diakunya sebagai
kemanakannya itu duduk termangu-mangu.
"Baik," berkata tamu itu, "jika demikian maka aku akan
mengembalikan makanan ini."
Hampir di luar dugaan. Tiba-tiba saja orang itu telah
melemparkan tambir kecil tempat makanan itu ke arah
Tatas Lintang yang duduk termangu-mangu.
Namun Tatas Lintang yang melihat tambir itu terlontar
ke arahnya dengan tangkas telah bergeser ke samping.
Sementara itu Mahisa Murti yang duduk di sebelah Tatas
Lintang pun bergeser pula mendesak Mahisa Pukat,
sehingga Mahisa Pukat-pun telah mendesak Mahisa Ura.
Sebenarnyalah orang-orang yang berada di dalam kedai
itu terkejut. Ternyata tambir yang berisi makanan itu
berdesing seperti gasing. Karena tambir yang berputar dan
melayang itu tidak menyentuh Tatas Lintang, maka tambir
itu telah mengenai dinding warung itu. Jantung pemilik
kedai itu rasa-rasanya telah berhenti berdenyut ketika ia
melihat tambir itu telah membentur dinding warungnya
yang terbuat dari kayu, memecahkannya dan meluncur
keluar membentur sebatang pohon. Betapa kecut hati
pemilik warung itu, ketika ternyata pohon itupun telah
terguncang meskipun tambir itu tertahan karenanya.
Namun adalah di luar nalar, bahwa tambir yang terbuat
dari anyaman bambu itu telah menancap dan mengiris
hampir seperempat dari batang-batang pohon itu.
Tatas Lintang pun kemudian menyadari, bahwa orang
itu memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Karena itu,
maka Tatas Lintang pun harus berhati-hati menghadapinya.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun
menyadari dengan siapa mereka berhadapan. Karena itu,


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maka mereka pun telah bersiaga sepenuhnya. Hampir
serentak mereka bangkit berdiri menghadap ke arah orang
yang telah melemparkan tambir bambu itu.
"Luar biasa," desis Tatas Lintang, "kau telah melakukan
satu permainan yang luar biasa. Dengan anyaman bambu
kau mampu menebang sebatang pohon yang besar."
"Persetan," geram orang itu, "ternyata kalian pun telah
menyombongkan diri dengan tingkah lakumu. Kau
menunjukkan kemampuanmu bergerak dengan kecepatan
yang sangat tinggi."
"Jadi, apakah aku harus berdiam diri dan membiarkan
leherku patah karena permainanmu itu," bertanya Tatas
Lintang. "Aku tidak peduli apa alasanmu," berkata orang itu,
"tetapi sikapmu menyatakan, bahwa kau telah menantang
aku." "Bukan maksudku Ki Sanak," jawab Tatas Lintang,
"bukankah aku hanya berdiam diri saja, tetapi kau yang
telah mendahului menyerang aku" Yang kau lakukan
memang sangat berbahaya. Jika aku tidak sempat
mengelak, atau yang kau serang adalah orang kebanyakan,
maka seranganmu tentu telah membunuh."
"Aku tidak peduli," jawab orang itu, "seandainya aku
telah membunuh, tidak ada orang yang akan dapat
menghukumku. Orang-orang padukuhan tidak akan
mampu menangkap aku."
"Bagaimana jika Ki Buyut atau mungkin Sang Akuwu?"
bertanya Tatas Lintang. "Aku tidak peduli dengan siapapun juga. Jika kau
merasa terganggu dengan tingkah lakuku, kau mau apa?"
geram orang itu. "Siapakah Ki Sanak sebenarnya?" bertanya Tatas
Lintang. "Untuk apa kau mengetahuinya?" bertanya orang itu,
"jika kau ingin berbuat sesuatu dengan bekal ilmumu,
lakukan?" Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam.
Dipandanginya orang-orang lain yang ada di warung itu.
Menilik sikapnya, ternyata mereka adalah kawan-kawan
dari orang yang marah itu. Hampir di luar sadarnya Tatas
Lintang pun menghitung mereka.
"Lima orang," desis Tatas Lintang. Namun masih ada
dua orang yang duduk terpisah. Tatas Lintang tidak dapat
menebak, apakah kedua orang itu termasuk kawan orang
yang marah itu atau bukan. Namun keduanya nampak
menjadi tegang. Sementara sebelumnya Tatas Lintang juga
tidak melihat kedua orang itu berbicara atau berkelakar
dengan kelima orang yang duduk berjajar itu.
"Kau menghitung jumlah kami?" bertanya orang yang
melempar itu, "kami memang berlima. Sementara itu kalian
hanya berempat. Jika seorang di antara kami mampu
membunuh dua orang sekaligus, maka hanya dua orang di
antara kami yang diperlukan untuk turun ke arena jika
kalian mencoba untuk melawan. Sementara tiga orang
kawan kami masih akan sempat makan dan minum."
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Sementara
itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat mengamati
mereka. Tidak seorang pun di antara mereka yang
bertongkat. Ketika di luar sadarnya keduanya memandang
dua orang duduk terpisah itu, maka mereka pun tidak
melihat tongkat di antara mereka.
Dengan demikian untuk sementara Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat mengambil kesimpulan bahwa mereka tidak
berhadapan dengan orang-orang dari padepokan yang
menjadi sasaran pengamatan mereka.
"Tetapi siapa?" pertanyaan itu tidak segera dapat
dijawab, karena orang-orang itu tentu tidak akan mudah
menyebut nama dan kedudukan mereka.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
menyadari bahwa di padepokan itu telah hadir kekuatan
lain di samping orang-orang yang sejak lama menghuni
padepokan itu. Sejenak mereka termangu-mangu. Namun dalam pada
itu, orang yang telah melemparkan tambir anyaman bambu
serta makanan yang ada di dalamnya membentak, "cepat.
Apa yang akan kalian lakukan" Kalian mau marah" Mau
menuntut karena perlakuanku atasmu" Atau mau apa?"
Tetapi jawaban Tatas Lintang mengejutkan, "Kami tidak
ingin berbuat apa-apa."
"Pengecut," orang itu hampir berteriak, "kenapa kalian
tidak ingin berbuat apa-apa?"
"Memang kami tidak ingin berbuat apa-apa." jawab
Tatas Lintang pula. Ternyata orang itu menjadi semakin marah. Dengan
kemampuannya yang sangat tinggi, maka iapun telah
menepuk bibir mangkuknya sehingga minumannya menjadi
tumpah. Tetapi ternyata bahwa kelebihan orang itu telah
menyebabkan minuman yang memercik dari mangkuknya
mengarah kepada Tatas Lintang.
Tatas Lintang mengerutkan keningnya. Tetapi iapun
cepat bertindak. Dengan kemampuannya pula maka iapun
telah menghembus minuman yang memercik ke arahnya.
Akibatnya memang luar biasa. Minuman itu seakan-akan
telah didorong dan memercik kembali ke arah orang yang
marah itu. Orang itu agaknya sama sekali tidak menduganya.
Karena itu maka ia tidak sempat melawan percikan
minuman itu. Yang dapat dilakukannya adalah bergeser
menghindarinya. Tetapi kawannya yang masih duduk di sampingnya
sambil memperhatikan apa yang terjadi itu agaknya kurang
bersiap. Karena itu, maka percikan minuman yang masih
hangat dan mengandung gula itu telah terpercik ke arahnya
membasahi pakaiannya. "Gila," orang itupun telah meloncat bangkit dan bahkan
berdiri di atas lincak tempatnya duduk. Dengan mata yang
hampir meloncat dari pelupuknya ia memandangi Tatas
Lintang yang berdiri termangu-mangu.
"Kau tantang aku he" Kau salah menilai Ki Sanak. Kau
kira aku cucurut yang tidak berani menghancurkan
kepalamu yang dungu itu" Aku memang tidak ikut campur
sebelumnya. Tetapi kau sudah menyerang aku pula."
Tatas Lintang memperhatikan orang itu. Kemudian
katanya, "Maaf Ki Sanak. Jangan marah kepadaku. Kau
dapat marah kepada kawanmu sendiri."
"Persetan," geramnya, "kita memang tidak dapat sekedar
marah kepada mereka. Kita harus berbuat sesuatu."
Kawannya yang telah marah lebih dahulu itupun
menyahut, "Kita hancurkan mereka."
Kelima orang itupun telah bangkit. Kemudian orang
yang marah pertama kali itupun menggeram, "Kami
menunggu di luar, atau warung ini akan kami bakar."
Kelima orang itu tidak menunggu jawaban. Merekapun
kemudian melangkah keluar sambil mengumpat-umpat.
Pemilik kedai itu menjadi gemetar. Ia tidak menyangka
bahwa persoalan itu akan berkembang menjadi demikian
tajamnya, bahkan mungkin akan terjadi sesuatu yang sangat
tidak diharapkan. Jika Tatas Lintang mampu mengalahkan
orang bertubuh tinggi kekar, namun mereka tidak lebih dari
petani-petani, maka belum tentu ia akan dapat berhadapan
dengan orang-orang yang tidak dikenal itu. Apalagi ternyata
kelima orang itu telah membawa pedang di lambung.
Sejenak kemudian Tatas Lintang itupun termangumangu.
Ketika ia berpaling ke arah ketiga orang yang
dianggapnya sebagai kemanakannya itu, maka iapun
melihat sorot mata yang mulai menyala pada mereka.
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya di
dalam hati, "Anak-anak muda itu benar-benar telah siap
menghadapi segala kemungkinan. Mereka tidak lagi
membiarkan diri mereka menjadi sasaran tanpa berbuat
sesuatu." Karena itu, maka Tatas Lintang pun kemudian bertanya,
"Apakah kita akan melayani mereka?"
Mahisa Murti termangu-mangu. Tetapi Mahisa Pukat
menjawab, "Satu cara pemanasan yang barangkali
bermanfaat." Tatas Lintang mengangguk kecil. Katanya, "Baiklah.
Kita akan keluar agar kedai ini tidak dibakar."
Lalu katanya kepada pemilik kedai itu, "Bukan salah
kami. Kami sama sekali tidak menghendaki keributan
seperti ini. Tetapi apa boleh buat. Kami tidak dapat
mengelak." Pemilik kedai itu hanya berdiam diri saja. Tetapi
jantungnya bergejolak semakin keras. Ia tidak tahu apakah
yang sebenarnya telah terjadi dan siapakah yang dapat
dianggap bersalah. Ketika Tatas Lintang dan ketiga orang yang dianggapnya
sebagai kemanakannya itu keluar dari warung, maka dua
orang yang lain, yang ada di warung itupun telah keluar
pula. Tetapi seorang di antara mereka sempat bertanya
kepada pemilik warung itu, berapa mereka harus
membayar. "Aku akan pergi. Aku tidak mau terlibat dalam persoalan
yang tidak kami ketahui. Menjadi saksi pun kami tidak
ingin," berkata orang yang bertanya berapa ia harus
membayar itu. Tetapi pemilik warung yang bingung itu tidak dapat
menghitung dengan benar. Karena itu, mulutnya seakanakan
asal saja mengucapkan angka. Tetapi orang yang
membeli makanan dan minuman itupun tidak bertanya
lebih banyak. Iapun kemudian segera membayar dan
kemudian keduanya benar-benar telah meninggalkan
tempat itu. Dalam pada itu, kelima orang yang telah berada di luar
itu-pun telah bersiap. Sementara itu, orang yang tersisa di
pasar, yang memang sudah tidak terlalu banyak itupun
telah berlarian meninggalkan tempat mereka berjualan.
Sambil membawa sisa barang-barang mereka dan uang hasil
dari penjualan barang-barang mereka, orang-orang di pasar
itupun merasa lebih baik menghindar daripada terlibat
dalam pertikaian itu. Sejenak kemudian maka Tatas Lintang pun telah berdiri
berhadapan dengan orang yang telah melemparnya di
dalam warung. Ketiga orang anak muda yang diakunya
sebagai kemenakannya itupun berdiri berjajar di
belakangnya. Sementara itu kelima orang yang
menunggunya berdiri tegak dalam kesiagaan sepenuhnya.
"Kalian merasa diri kalian orang-orang berilmu tinggi,"
geram orang yang telah melempar Tatas Lintang, "tetapi
dihadapan kami kalian tidak akan dapat berlagak apapun
juga. Kami akan dengan tanpa belas kasihan
menghancurkan kesombongan kalian itu."
"Ki Sanak," berkata Tatas Lintang, "bukan maksudku
mencari lawan. Tetapi jika lawan itu datang, kami pantang
menepi. Tetapi perkenankan aku bertanya, siapakah Ki
Sanak berlima dan mungkin Ki Sanak datang dari sebuah
padepokan atau pertapaan atau tempat-tempat untuk
menempa diri lahir batin yang lain."
"Jangan pedulikan siapa kami," jawab orang itu,
"sekarang lakukan perintah kami. Berjongkok dan ciumlah
telapak kaki kami. Dengan demikian maka kesalahan kalian
kami ampuni. Kalian akan boleh pergi kemana kalian
suka." Tetapi Tatas Lintang tersenyum sambil menjawab,
"Kalian boleh merendahkan kami. Tetapi jangan menghina
kami terlalu tajam. Betapa dungunya kami, tetapi kami
masih juga mempunyai harga diri. Coba bayangkan,
bagaimanakah perasaanmu jika akulah yang berkata
kepadamu, berjongkoklah dan cium kakiku agar aku
memaafkan kesalahanmu."
"Aku bunuh orang yang menghinaku," jawab orang
yang marah itu. "Bagus," jawab Tatas Lintang, "aku pun akan
melakukan hal yang sama."
"Persetan," geram orang itu, "kenapa tidak kau lakukan
jika kau mampu he" Orang-orang yang tidak tahu diri. Apa
yang telah kalian lakukan bukan apa-apa. Dan kalian sudah
merasa bangga, bahkan berani menantang aku?"
"Sudahlah Ki Sanak," berkata Tatas Lintang, "kami
tidak akan berjongkok dan mencium kaki kalian. Bahkan
kamilah yang menuntut kalian melakukannya, karena
kalian yang telah mendahului menimbulkan pertengkaran
di warung itu." Orang yang marah itu agaknya memang tidak dapat
mengekang dirinya. Tetapi ia masih berpesan kepada
kawan-kawannya, "Jangan ganggu aku. Aku akan
menyelesaikan persoalan ini sendiri."
"Aku juga terhina. Justru akulah yang telah terpercik
minuman panas itu," sahut kawannya.
"Tunggulah pada kesempatan lain," jawab kawannya,
"jika mereka akan bertempur mengeroyokku berempat, biar
saja. Baru jika aku memberikan isyarat, kau boleh ikut
campur. Atau aku akan menyisakan seorang jika kau benarbenar
ingin berkelahi untuk menumpahkan kemarahanmu
atas penghinaan itu."
Orang itu menggeram. Tetapi agaknya kawannya yang
marah itu memiliki pengaruh yang besar atas keempat
kawan-kawannya. Karena itu, maka iapun tidak
mendesaknya lagi. Tetapi Tatas Lintang memang memiliki harga diri yang
tinggi pula. Ketika hanya seorang diantara lawan-lawannya
yang melangkah maju, maka iapun berkata kepada ketiga
orang yang disebutnya sebagai kemanakannya, "Tunggu
sajalah di luar arena. Jika aku mati, maka singkirkan
mayatku. Baru kemudian kalian boleh berbuat sesuatu."
"Setan," geram orang yang marah, "kau akan
menghadapi aku seorang lawan seorang?"
"Bukankah itu lebih baik" Dengan demikian akan
menjadi jelas siapakah di antara kita yang lebih baik. Kau
atau aku?" bertanya Tatas Lintang.


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang itu benar-benar tersinggung.
Karena itu, maka iapun menggeram, "Baiklah. Marilah.
Aku antar kau ke pelukan maut. Mungkin kau akan
mendapat tempat yang lebih baik dari tempatmu sekarang."
Tatas Lintang tidak menjawab. Tetapi iapun telah
bersiap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.
Kedua orang itupun kemudian melangkah semakin
mendekat. Empat orang kawan dari orang yang marah itu
berdiri termangu-mangu. Tetapi seperti pesan kawannya
yang akan menghadapi Tatas Lintang itu, maka mereka
tidak turun ke arena sebagaimana Mahisa Murti, Mahisa
Pukat dan Mahisa Ura. Dengan demikian maka Tatas Lintang telah terlibat
dalam perang tanding melawan orang yang tidak
dikenalnya. Namun seperti juga ketiga orang yang diakuinya sebagai
kemenakannya itu, maka orang itu tentu bukan orang
kebanyakan. Tetapi agaknya ia tidak dapat mengekang
dirinya sehingga ia telah melibatkan diri ke dalam
pertentangan dengan orang yang dijumpainya di jalan tanpa
mengkaitkannya dengan kepentingannya.
Tatas Lintang pun menghadapi lawannya dengan
bersungguh-sungguh. Ia belum mengenal sama sekali
keadaan lawannya. Yang dilihatnya baru kekuatan
lawannya yang mengejutkan, ketika ia melemparkan tambir
bambu ke arahnya dan yang ternyata mampu memecahkan
dinding dan hinggap pada sebatang pohon sebagaimana
sebilah parang yang tajam.
Namun menilik bahwa orang itu begitu saja melontarkan
tambir itu, sehingga orang itu masih belum mengerahkan
segenap kemampuannya, maka tentu orang itu memiliki
kekuatan dan ilmu yang tinggi.
Karena itu maka Tatas Lintang pun harus menghadapi
lawannya dengan sangat berhati-hati.
Sejenak keduanya masih mencari kesempatan. Mereka
melangkah semakin dekat. Ketika tangan mereka mulai
bergerak, maka tiba-tiba saja orang yang marah itu telah
meloncat menyerang dengan kakinya mengarah ke dada
Tatas Lintang. Tetapi Tatas Lintang sudah bersiap sepenuhnya. Dengan
bergeser ke samping ia telah membebaskan diri dari garis
serangan itu. Bahkan Tatas Lintang sempat mengayunkan
tangannya memukul kaki lawannya. Namun lawannya pun
dengan cepat memutar kakinya, sehingga Tatas Lintang
pun mengurungkan serangannya pula.
Serangan pertama orang itu telah membuka pertempuran
yang menjadi seru sekali. Keduanya memang memiliki
kemampuan yang tinggi. Pada gerakan-gerakan pertama
keduanya memang berusaha menjajagi kemampuan
lawannya masing-masing. Dengan hati-hati Tatas Lintang mencoba untuk
menyentuh kekuatan lawannya pada tataran yang masih
belum sampai ke puncak. Dengan demikian maka Tatas
Lintang mempunyai sedikit takaran atas kekuatan lawannya
itu. Namun ternyata bahwa sedikit demi sedikit keduanya
telah meningkatkan kemampuannya, sehingga pertempuran
itupun menjadi semakin lama semakin keras. Mereka
bergerak semakin cepat dan sekali-sekali terdengar orang
yang marah itu menggeram dan bahkan berteriak.
Tatas Lintang lebih banyak melayani tata gerak
lawannya meskipun tidak semata-mata, karena iapun telah
berusaha untuk menyerang pula. Namun Tatas Lintang
yang tidak diburu oleh gejolak perasaannya dapat berpikir
lebih bening dari lawannya.
Karena itu, maka Tatas Lintang menjadi lebih banyak
mendapat kesempatan untuk mengamati tata gerak
lawannya. Untuk beberapa saat Tatas Lintang berusaha untuk
mengambil jarak dari lawannya. Ia berusaha untuk dapat
mengamatinya lebih cermat lagi. Namun dalam keadaan
yang demikian lawannya menganggap bahwa Tatas Lintang
mulai terdepak. Sehingga karena itu maka lawannya pun
telah berusaha untuk semakin mendesaknya dan bahkan
berusaha untuk menguasainya.
Keempat kawan orang itupun menganggap demikian
pula. Karena itu maka mereka pun menjadi berdebar-debar.
Jika kawannya mampu mengalahkan orang tertua di antara
keempat orang itu, maka akan datang giliran mereka
mendapat kesempatan untuk melawan ketiga orang yang
diakuinya sebagai kemenakan orang yang dikalahkan itu.
"Tanganku sudah gatal," berkata seorang di antara
mereka. Yang lain pun menggeretakkan giginya. Rasa-rasanya
mereka tidak sabar lagi untuk menunggu kesempatan itu.
Untuk sesaat Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa
Ura pun menjadi berdebar-debar. Merekapun semula
menduga bahwa Tatas Lintang mulai terdesak. Namun
ketika mereka sempat berpikir, maka mereka pun mulai
mengerti apa yang terjadi.
Mereka bertiga yang mengetahui tingkat kemampuan
Tatas Lintang masih belum melihat ilmu puncak yang
nggegirisi itu. Karena itulah mereka mengetahui bahwa
sebenarnya Tatas Lintang masih belum terdesak. Jika Tatas
Lintang mengambil jarak dari lawannya, tentu ia
mempunyai perhitungan yang lain.
Sebenarnyalah, maka ketika lawannya mendesaknya
terus, maka Tatas Lintang pun mulai meningkatkan lagi
kemampuannya. Ia bergerak cepat sekali, melampaui
kecepatan gerak lawannya.
Dengan demikian, maka kesan bahwa keempat kawan
orang yang bertempur melawan Tatas Lintang itu terkejut
melihat perubahan keseimbangan yang tiba-tiba saja terjadi.
Tatas Lintang yang bergerak semakin cepat itu telah
semakin sering pula membalas setiap serangan dengan
serangan, dengan penuh kesadaran bahwa lawannya adalah
seseorang yang memiliki kekuatan yang sangat besar dan
kemampuan untuk menyalurkan ilmu pada benda-benda
yang disentuhnya. Namun demikian, Tatas Lintang pun bukannya tidak
memiliki kekuatan yang tinggi. Itulah sebabnya, maka
setelah menjajagi kemampuan ilmu lawannya dengan
sentuhan-sentuhan yang tidak langsung, maka Tatas
Lintang pun telah bertekad untuk membenturkan
kekuatannya. Itulah sebabnya, iapun telah bersiap untuk menerima
serangan lawannya. Tatas Lintang telah mempersiapkan diri dengan sebagian
besar dari kekuatan tenaga cadangannya didasari dengan
kemampuan ilmunya ketika ia melihat lawannya telah
bersiap untuk menyerangnya dengan garangnya.
Sebenarnyalah bahwa lawan Tatas Lintang benar-benar
telah bersiap untuk menyerang dengan kekuatannya yang
sangat besar. Ketika ia melihat kesempatan terbuka, maka
iapun telah meloncat menerkam lawannya. Tangan
kanannya yang terayun mengarah ke kepala Tatas Lintang
merupakan himpunan kekuatannya yang telah terpusat.
Tetapi Tatas Lintang tidak membiarkan kepalanya
dikenai oleh serangan lawannya yang terpusat pada
tangannya, namun Tatas Lintang pun tidak ingin
menghindari serangan itu.
Karena itulah, maka Tatas Lintang pun telah
menyilangkan kedua tangannya di atas kepalanya untuk
menangkis serangan lawannya itu.
Lawannya yang marah itu melihat Tatas Lintang tetap
berdiri di tempatnya. Karena itulah maka ia menduga
bahwa Tatas Lintang memang tidak sempat menghindarkan
dirinya, sehingga ia terpaksa melindungi kepalanya dengan
menyilangkan tangannya. Lawannya yang telah meloncat itu sempat menggeram
sambil berkata kepada dirinya sendiri, "Kau akan hancur
sekarang orang dungu. Tidak ada orang yang dapat
melawan kekuatanku."
Sebenarnyalah sesaat kemudian telah terjadi benturan
yang dahsyat. Kekuatan orang yang marah itu benar-benar
kekuatan yang luar biasa besarnya. Ketika tangannya
menghantam tangan Tatas Lintang yang bersilang, maka
terasa tangan Tatas Lintang bagaikan akan patah. Iapun
telah terdorong beberapa langkah surut. Bahkan Tatas
Lintang harus berusaha untuk bertahan karena
keseimbangannya telah terguncang. Untunglah bahwa
meskipun Tatas Lintang terhuyung-huyung, namun ia tetap
berdiri di atas kedua kakinya.
Tetapi akibat yang gawat itu tidak hanya terjadi atas
Tatas Lintang. Lawannya yang telah menghantam tangan
Tatas Lintang yang bersilang itupun telah tergetar. Tangan
lawannya itu terasa bagaikan hancur membentur sekeping
baja pilihan. Sementara itu oleh kekuatannya sendiri yang
terpantul pada benturan yang dahsyat itu, maka lawan
Tatas Lintang itupun telah terlempar beberapa langkah.
Kepalanya terasa berputar dan pandangannya menjadi
berputaran. Tubuhnya yang kekar telah terbanting jatuh dan
berguling di tanah. Untuk sekejap orang itu bagaikan kehilangan nalar.
Namun nalurinya sebagai seorang yang berilmu tinggi telah
mendorongnya untuk meloncat bangkit.
Tetapi iapun telah terhuyung-huyung pula. Bahkan
ternyata orang itu tampak tidak mampu bertahan karena
pandangannya yang berputar-putar. Sehingga sejenak
kemudian, maka orang itupun telah jatuh berlutut. Namun
kedua tangannya sempat bertelekan di tanah sehingga
tubuhnya tidak berguling lagi.
Untuk sesaat ia berusaha memperbaiki keadaannya.
Dengan memusatkan nalar budinya, maka orang itu
berjuang untuk memulihkan keadaannya. Orang itu telah
mengatur pernafasannya sambil berlutut dan bertelekan
dengan tangannya. Ternyata Tatas Lintang berhasil menguasai dirinya lebih
cepat dari lawannya. Ketika ia sudah berdiri tegak, maka
dilihatnya lawannya masih tetap berlutut dan bertelekan
kedua tangannya. Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Namun ia
tidak ingin memanfaatkan kesempatan itu untuk menguasai
lawannya. Ia ingin memberi kesempatan kepada lawannya
untuk memperbaiki keadaannya. Kemudian terserah
kepada lawannya, apa yang akan dilakukannya.
Dalam pada itu kedua orang kawan dari orang yang
jatuh berlutut itu dengan tergesa-gesa mendekatinya,
sementara dua orang yang lain berdiri tegak dalam
kesiagaan penuh untuk menghadapi segala kemungkinan.
Tetapi Tatas Lintang tidak berbuat apa-apa. Justru ia
berkata, "Nah, selanjutnya terserah kepada Ki Sanak."
Orang yang berlutut itupun menggeram. Perlahan-lahan
keadaannya menjadi semakin baik. Ketika pernafasannya
pulih kembali, maka rasa-rasanya kekuatannya pun telah
pulih pula. Karena itu ketika kedua orang kawannya akan
menolongnya, ia mengibaskan tangannya sambil
membentak, "Aku dapat berdiri sendiri."
Sebenarnyalah orang itupun telah tegak kembali. Dengan
mata yang menyala ia memandang Tatas Lintang yang
telah berdiri tegak. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun telah
mempersiapkan diri pula. Jika keempat orang kawan orang
yang marah itu melibatkan diri, maka mereka pun akan
melibatkan diri pula. Tetapi orang yang terbanting jatuh itu benar-benar telah
merasa mampu untuk meneruskan perlawanannya. Bahkan
kemudian iapun menggeram, "Ternyata aku harus benarbenar
berusaha membunuhmu. Benturan ini seolah-olah
menunjukkan bahwa kau mempunyai kelebihan dari aku.
Sementara itu, aku telah dipengaruhi oleh perasaan belas
kasihanku kepadamu. Sekarang, kau akan menyesali
kesombonganmu itu." Orang itu tiba-tiba saja telah mempersiapkan diri untuk
mulai bertempur kembali. Tatas Lintang pun telah mempersiapkan dirinya pula.
Akibat benturan yang terjadi itupun seakan-akan telah tidak
terasa. Apalagi Tatas Lintang masih belum mengerahkan
segenap kekuatannya. "Jika orang itu telah mempergunakan segenap
kekuatannya, maka aku masih mempunyai kelebihan,"
berkata Tatas Lintang di dalam hatinya, "tetapi aku harus
melihat apa yang akan dilakukannya kemudian."
Bahkan Tatas Lintang pun bersiap-siap jika ia harus
mempergunakan ilmunya yang masih tersimpan
sebagaimana pernah ditularkan kepada Mahisa Murti,
Mahisa Pukat dan Mahisa Ura. Namun ia masih harus
menunggu perkembangan ilmu lawannya, karena Tatas
Lintang tidak ingin dengan serta merta mengalahkan
lawannya yang masih belum diketahui asal usulnya itu.
Beberapa saat kemudian keduanya telah bersiap lagi.
Lawan Tatas Lintang itupun maju beberapa langkah.
Kemudian tiba-tiba saja ia telah mengurai senjatanya seutas
rantai besi yang tidak begitu panjang dari balik ikat
pinggangnya. Tatas Lintang termangu-mangu. Ia sadar, bahwa rantai
di tangan orang itu tentu akan menjadi senjata yang sangat
berbahaya. Sebuah tambir yang dianyam dari bambu telah
mampu menancap pada sebatang pohon. Apalagi yang
dipegang oleh orang itu adalah seutas rantai besi.
Lawan Tatas Lintang itu tidak menunggu lebih lama.
Iapun segera memutar rantainya sambil melangkah
mendekat. Sejenak Tatas Lintang berdiri tegang. Namun ketika
lawannya mulai menyerang, maka iapun harus berloncatan
menghindar. Rantai itupun ternyata telah menimbulkan desing yang
memekakkan telinga. Suaranya menjadi seolah-olah
menderu melampaui kewajaran.
Tatas Lintang menjadi berdebar-debar. Seperti yang


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diduganya bahwa rantai itu tidak saja merupakan senjata
lentur yang berbahaya sekali, tetapi dengan memusatkan
kekuatan dan kemampuan ilmunya, rantai itu dapat
berubah bagaikan sepotong tongkat besi baja dan bahkan
dengan rantai itu lawannya seakan-akan telah menusuk
mengarah ke lambungnya. "Gila," geram Tatas Lintang.
Meskipun Tatas Lintang sudah menduga, tetapi
kemampuan orang itu mempermainkan senjatanya telah
mendebarkan jantung. Karena itu, beberapa saat kemudian Tatas Lintang pun
benar-benar mulai terdesak. Kecepatan geraknya kadangkadang
memang mengejutkan lawannya dan bahkan
mampu menerobos memasuki putaran senjatanya. Namun
langkah-langkah yang demikian akan menjadi sangat
berbahaya jika diulanginya beberapa kali.
Karena itu, maka ketika Tatas Lintang itu benar-benar
terdesak, ia telah meloncat ke pagar pasar yang sudah
menjadi sepi itu. Dengan cepat ia telah mencabut sebuah
tiang pagar yang terbuat dari kayu utuh yang tidak begitu
besar, tidak lebih dari lengan Tatas Lintang itu sendiri.
Sedangkan tingginya pun tidak lebih dari tubuh Tatas
Lintang itu pula. Dengan kayu itu Tatas Lintang pun kemudian siap
menghadapi lawannya. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura ternyata
telah terkejut melihat Tatas Lintang bersenjata tongkat.
Apalagi ketika ia melihat bagaimana Tatas Lintang itu
menggerakkan tongkatnya. "Kemampuannya mempermainkan tongkat sangat
mengagumkan," desis Mahisa Murti.
"Ya," sahut Mahisa Pukat, "namun juga mendebarkan.
Meskipun ia tidak membawa tongkat, tetapi ia benar-benar
menguasai permainan tongkat."
"Apakah ia sebenarnya seorang di antara orang-orang
bertongkat dari padepokan itu?" bertanya Mahisa Ura.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terdiam karenanya.
Namun mereka telah memperhatikan pertempuran itu
dengan saksama. Namun kemudian Mahisa Pukat itu berdesis. Kenapa ia
tidak mempergunakan ilmunya yang sudah ditangkarkan
kepada kita" Ia justru telah mempergunakan sebatang
tongkat. Jika ia mempergunakan kemampuannya
menyerang pada jarak tertentu, maka lawannya pun akan
mengalami kesulitan. Mahisa Murti termangu-mangu. Jawabnya, "Semuanya
masih terasa asing dan rahasia. Kita memang harus berhatihati."
Dalam pada itu, pertempuran antara Tatas Lintang
dengan lawannya itupun semakin lama menjadi semakin
sengit. Rantai itupun berputar semakin cepat, sementara itu
kadang-kadang rantai itu mematuk dengan cepat. Tetapi
kemudian berubah terayun mendatar bagaikan tongkat baja.
Namun tongkat kayu yang dicabutnya dari pagar pasar
di tangan Tatas Lintang itupun tidak kalah berbahaya.
Meskipun tongkat itu tidak lebih dari sebatang kayu sebesar
lengan, namun tongkat itu agaknya menjadi sangat
berbahaya. Tongkat itu terayun-ayun cepat sekali. Suaranya
telah mengimbangi deru putaran rantai lawannya.
Seperti juga rantai lawannya itu, maka tongkat Tatas
Lintang pun sekali terayun menyambar kepala, namun
kemudian menjelujur mematuk ke arah dada.
Namun ketangkasan keduanya mampu saling
menghindari setiap serangan. Baik tongkat Tatas Lintang
maupun rantai di tangan lawannya masih belum berhasil
menyentuh sasaran. Dengan demikian maka pertempuran itupun semakin
lama menjadi semakin seru. Tatas Lintang yang masih
belum mempergunakan kemampuan puncaknya ternyata
mulai diganggu oleh kejemuannya melayani lawannya.
Ketika sekilas ia melihat Mahisa Murti, Mahisa Pukat
dan Mahisa Ura yang berwajah tegang, maka Tatas Lintang
pun menjadi berdebar-debar. Barulah kemudian ia sadar,
bahwa ia telah mempergunakan tongkat sebagai senjatanya,
sementara itu Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura
sedang sibuk dengan orang-orang yang disebutnya
bertongkat. Tetapi Tatas Lintang tidak melepaskan senjatanya. Iapun
justru telah meningkatkan kemampuan ilmunya untuk
mulai dengan sungguh-sungguh menekan lawannya.
Dengan demikian maka tongkat Tatas Lintang pun telah
berputar semakin cepat. Melampaui kecepatan putaran
rantai lawannya. Dalam gerak yang cepat dan saling mengarah ke tubuh
lawan, maka kadang-kadang kedua jenis senjata itu
memang bersentuhan. Meskipun tidak langsung, namun
keduanya mampu mendapat kesan dari kekuatan masingmasing.
Bahkan ketika keduanya bergerak semakin cepat, maka
benturan-benturan pun tidak dapat dihindarinya lagi.
Namun akhirnya orang yang bersenjata rantai itupun
menjadi jemu pula. Rasa-rasanya tenaganya justru mulai
menjadi susut. Apalagi setelah terjadi benturan kekuatan
sehingga ia telah jatuh terguling di tanah.
Dengan demikian maka lawan Tatas Lintang itupun
telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada di dalam
dirinya dilambari dengan kemampuan ilmu puncaknya,
sehingga iapun telah siap untuk menghancurkan Tatas
Lintang yang bersenjata tongkat kayu yang hanya
diambilnya dari pagar pasar.
Karena itu, selagi kekuatan dan kemampuan ilmunya
masih dapat dianggap utuh, maka iapun akan
mempergunakannya. Tatas Lintang yang melihat lawannya mempersiapkan
hentakkan terakhir dari ilmunya itupun telah bersiap pula.
Ia tidak mau dihancurkan oleh kekuatan lawannya
meskipun ia masih belum mempergunakan ilmunya yang
nggegirisi. Yang akan dilakukan adalah membentur ilmu
lawannya dengan lambaran kekuatan dan ilmunya.
Sebenarnyalah sejenak kemudian, maka lawannya
itupun telah mengambil jarak. Memutar rantai di tangannya
sambil menggeram dan siap untuk meloncat, ia lebih
percaya kepada rantainya sebagai senjatanya yang khusus
daripada pedangnya yang tergantung di lambung.
Tatas Lintang telah mempersiapkan tongkatnya pula. Ia
sadar, bahwa tongkat kayu itu secara wajar tidak akan
mampu menahan benturan kekuatan dengan rantai yang
juga akan dilandasi dengan kekuatan dan kemampuan ilmu
lawannya, Karena itu, maka Tatas Lintang telah menyalurkan
getaran kekuatannya pada tongkatnya, sehingga tongkat itu
akan mampu menahan benturan yang sangat kuat.
Pada saat Tatas Lintang sampai kepada puncak kekuatan
dan kemampuan ilmunya, maka lawannya pun telah
meloncat sambil mengayunkan rantainya yang seakan-akan
telah berubah menjadi sebatang tongkat besi baja yang kuat
dan berat. Sejenak kemudian benturan yang dahsyat pun telah
terjadi. Benturan kekuatan dan kemampuan ilmu yang
sangat tinggi. Rantai yang seakan-akan berubah menjadi
besi baja yang kokoh kuat telah berbenturan dengan
sebatang tongkat kayu yang dialiri oleh getaran kekuatan
dan kemampuan ilmu yang jarang ada bandingnya,
sehingga tongkat kayu itupun bagaikan telah berubah pula
menjadi wesi gligen. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura menjadi
berdebar-debar. Ia sadar bahwa Tatas Lintang tentu tidak
akan membenturkan tongkatnya dalam keadaan wajarnya.
Meskipun demikian, melihat ayunan rantai di tangan
lawannya itu, ketiganya menjadi cemas.
Benturan yang terjadi ternyata benar-benar dahsyat.
Sama sekali tidak menunjukkan bahwa yang berbenturan
itu adalah seutas rantai dan sebatang tongkat kayu yang
dicabut dari pagar pasar. Yang berbenturan seolah-olah dua
batang tongkat baja yang kuat dan berat dalam ayunan yang
sangat besar. Akibatnya pun dahsyat pula. Tatas Lintang terdorong
beberapa langkah surut. Tongkatnya menjadi retak
meskipun belum patah. Sekali lagi ia terhuyung-huyung.
Namun iapun masih mampu bertahan meskipun harus
bertelekan pada tongkat kayunya.
Namun akibat yang terjadi pada lawannya ternyata jauh
lebih parah. Ternyata bahwa kekuatan dan kemampuan
ilmu Tatas Lintang benar-benar melampaui lawannya.
Kekuatan dari ilmu lawan Tatas Lintang yang kemudian
bagaikan telah dipusatkan pada rantai besinya yang terayun
bagaikan sebatang tongkat baja ternyata dipecahkan oleh
kekuatan dari ilmu Tatas Lintang dalam benturan yang
terjadi. Rantai besi yang terayun dengan kekuatan sebatang
tongkat baja itu telah kehilangan kekuatannya sehingga
karena itu, maka rantai besi itu tidak lagi dapat tegak
sebagai batang tongkat baja, tetapi kekuatannya dan
kemampuan ilmu yang pecah itu telah menjadi rantai itu
sebagaimana seutas rantai.
Karena itu, maka rantai itu telah membelit tongkat kayu
Tatas Lintang yang retak pada benturan itu meskipun tidak
patah. Pada saat Tatas Lintang menghentakkan tongkatnya,
maka rantai yang membelit itu telah terlepas dari tangan
lawannya dan yang kemudian telah terurai pula dari
belitannya dan jatuh di tanah.
Sementara itu, kekuatan dan ilmunya yang telah
dipecahkan oleh Tatas Lintang itu seakan-akan telah
berbalik menghantam bagian dalam tubuhnya sendiri
sehingga terasa seolah-seolah isi dadanya telah dirontokkan
karenanya. Terdengar sebuah keluhan tertahan, sementara tubuh
lawan Tatas Lintang itu telah terlempar oleh kekuatannya
sendiri yang memantul pada benturan yang dahsyat yang
justru telah memecahkan kekuatan dari ilmunya itu.
Sekali lagi orang itu terbanting jatuh tidak saja berguling
sebagaimana yang pernah terjadi, tetapi tubuhnya benarbenar
bagaikan dihentakkan dengan kuat.
Karena itulah, maka orang itu tidak sempat bangkit sama
sekali sebagaimana dilakukan sebelumnya. Matanya bukan
saja terasa berputar, tetapi kesadarannya pun telah
terenggut oleh benturan itu. Orang itu ternyata telah
menjadi pingsan sementara bagian dalamnya telah terluka
parah. Keempat kawannya dengan serentak meloncat
mendekatinya. Seperti yang mereka lakukan sebelumnya,
dua orang telah berjongkok di sisi tubuh yang terbaring itu,
sementara dua orang yang lain telah bersiap menghadapi
segala kemungkinan. Ternyata orang itu tidak bergerak. Kedua kawannya
telah mengguncang-guncang tubuh yang pingsan itu.
Namun untuk beberapa lamanya mata orang itu tetap
terpejam. Tatas Lintang yang masih bertelekan pada tongkatnya
itu-pun menarik nafas dalam-dalam. Sekali, dua kali
sehingga nafasnya pun telah mengalir semakin lancar dan
wajar. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun
mendekatinya. Dengan nada datar Mahisa Murti bertanya,
"Bagaimana keadaanmu?"
Tatas Lintang tersenyum. Katanya, "Tidak apa-apa. Aku
baik-baik saja." Mahisa Murti mengangguk-angguk kecil, sementara itu
Tatas Lintang telah mengangkat tongkatnya sambil
berdesis, "Lihat, tongkat ini retak. Orang itu memang
mempunyai kekuatan yang luar biasa."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura
mengamati tongkat kayu yang dicabut dari pagar pasar itu.
Tongkat itu memang retak. Namun Mahisa Murti berkata,
"Kami tahu, kau belum mempergunakan ilmumu yang kau
tularkan kepadaku, menyerang dari jarak tertentu. Dan
sekarang kami menyaksikan tongkat kayu yang kau cabut
dari pagar itu hanya retak dan tidak patah dalam benturan
yang demikian kerasnya. Bahkan tongkat ini telah mampu
memecahkan kekuatan dan kemampuan ilmu lawanmu
yang tersalur pada rantai besinya yang jauh lebih kuat dari
sekedar sebatang kayu pagar saja."
Tatas Lintang mengerutkan keningnya. Namun
kemudian iapun tersenyum pula sambil menjawab, "Tetapi
ingat. Orang itupun tentu bukan orang terbaik dari
kelompoknya. Namun aku yakin, bahwa kalian bertiga
akan mampu bertahan melawan orang-orang yang memiliki
kemampuan setataran dengan orang itu. Seandainya orang
itu memilih salah seorang di antara kalian untuk
melawannya, aku yakin bahwa kalian akan mampu
memenangkannya." "Kecuali aku," desis Mahisa Ura.
"Jangan merasa diri terlalu kecil," jawab Tatas Lintang.
Sementara itu, kedua orang kawan dari orang yang
pingsan itu berusaha untuk membangunkan kawannya.
Namun untuk beberapa saat orang itu masih tetap diam
dengan mata terpejam. "Cari air," desis Tatas Lintang tiba-tiba, "ia akan sadar,
meskipun barangkali ia akan mengalami kesulitan."
Kawan-kawannya termangu-mangu. Namun kemudian
seorang di antara mereka telah melangkah ke warung yang
mereka tinggalkan sebelumnya. Ketika ia keluar maka ia
telah membawa air di dalam mangkuk kecil. Sambil
berjongkok di samping kawannya yang pingsan itu, maka
iapun telah menitikkan air ke dalam mulutnya. Setetessetetes.
Sehingga beberapa saat kemudian, iapun mulai
berdesah. Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakunya sebagai
kemenakannya itupun melangkah mendekat. Namun
kawan-kawan orang yang pingsan itu telah bersiaga
sepenuhnya untuk melawan mereka.
"Aku tidak akan berbuat apa-apa," berkata Tatas
Lintang, "jika kalian berbuat bodoh, maka nasib kalian


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semuanya akan sama seperti kawanmu itu. Bahkan
mungkin menjadi lebih parah. Karena itu jangan berbuat
apa-apa." Keempat orang itu termangu-mangu. Namun mereka
pun menyadari, bahwa yang dikatakan orang bertongkat
sebatang kayu yang dicabutnya dari pagar pasar itu bukan
sekedar menakut-nakutinya. Kawan mereka yang mereka
anggap memiliki kemampuan tertinggi di antara mereka
pun tidak mampu melawannya. Apalagi mereka berempat.
Sebenarnyalah sejenak kemudian orang itu benar-benar
telah sadar. Matanya mulai terbuka. Namun yang terdengar
adalah keluhan yang tertahan-tahan.
Punggung orang itu serasa patah. Isi dadanya yang
terguncang itupun terasa betapa sakitnya. Darahnya tidak
mengalir sewajarnya sebagaimana pernafasannya.
Karena itu, maka tubuhnya masih tetap terbaring dengan
lemahnya. Bahkan untuk menggerakkan ujung jarinya pun
rasa rasanya ia masih belum mampu.
Tatas Lintang berdiri tegak beberapa langkah dari
keempat orang yang sedang menunggui kawannya yang
terluka parah itu. Dengan nada datar iapun kemudian
berkata, "Ki Sanak. Aku tidak akan melanjutkan
permusuhan saat ini. Aku tidak tahu, mungkin pada
kesempatan lain kita akan bertemu lagi. Aku tahu bahwa
kalian tentu mendendam, sementara kalian tidak akan
mengalami kesulitan untuk menemukan pondokku. Namun
aku sudah siap menunggu jika kalian memang bermaksud
untuk datang. Karena sebenarnyalah aku ingin berkenalan
lebih akrab dengan kalian. Sampai saat ini aku masih belum
tahu siapakah kalian, karena kalian tidak mau berterus
terang." "Tidak ada gunanya," geram salah seorang di antara
keempat orang itu. "Aku sudah mengira. Karena itu, aku tidak bertanya
tentang kalian lebih jauh. Sekarang, aku minta diri.
Demikian, juga ketiga orang kemanakanku ini." berkata
Tatas Lintang kemudian, "sekali lagi aku katakan, bahwa
kami sudah siap menunggu kehadiran kalian yang tentu
mendendam. Tetapi jika kalian sekali lagi menjumpai aku,
maka sikapku akan berubah. Aku bukan lagi orang yang
baik hati yang mengampuni kalian seperti yang aku lakukan
kali ini. Tetapi jika kalian datang lagi kepadaku, maka
kalian akan mengalami nasib yang paling buruk, karena
kami akan membunuh kalian."
"Persetan," geram salah seorang dari keempat orang itu.
"Jangan terlalu kasar Ki Sanak," Mahisa Pukat lah yang
menyahut, "jika kau tidak menjaga mulutmu, maka kau
akan kembali tanpa mulut."
Wajah orang itu menjadi merah padam. Tetapi melihat
sikap Mahisa Pukat yang bersungguh-sungguh, maka orang
itu tidak mengatakan sepatah katapun lagi. Namun
tangannyalah yang meraba pedang di lambungnya.
Sejenak kemudian, maka Tatas Lintang pun telah
meninggalkan kelima orang itu. Sekilas Mahisa Murti,
Mahisa Pukat dan Mahisa Ura masih berpaling ke arah
orang-orang yang mereka tinggalkan. Orang yang terbaring
sambil mengaduh tertahan itu masih juga dalam
keadaannya, sementara yang lain pun kemudian telah
mengerumuninya. Beberapa langkah dari mereka berlima, Tatas Lintang
berkata, "senjata orang itu memang luar biasa. Ia
menganggap bahwa rantainya jauh lebih berbobot dari
pedang di lambungnya. Pedang itu hanya untuk menakutnakuti
orang saja. Namun dalam keadaan yang gawat,
ternyata ia mempergunakan rantainya."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura
mengangguk-angguk. Sebenarnyalah orang yang pingsan itu
sebagaimana kawan-kawannya membawa pedang di
lambung. Namun agaknya ia lebih percaya kepada
rantainya yang lentur, yang memiliki kemungkinan yang
lebih banyak dari sebilah pedang.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti pun berkata,
"Kau ternyata memiliki kemampuan bermain tongkat yang
sangat tinggi. Bahkan kau telah mampu menjadikan
tongkatmu menjadi senjata yang mampu mengimbangi
kekuatan rantai baja yang dilambari pula dengan ilmu yang
tinggi." Tatas Lintang memperhatikan tongkatnya. Namun
kemudian katanya, "Kau pun akan mampu
melakukannya." Namun Tatas Lintang itupun tiba-tiba telah
menyandarkan tongkat yang telah retak itu pada pagar
pasar. Sementara itu, ia-pun berkata sambil memandang
warung yang masih terbuka namun sudah menjadi benarbenar
sepi. "Kita memberi bantuan kepada pemilik warung itu jika
terjadi kerusakan. Karena kerusakan itu antara lain
disebabkan karena kehadiran kita di warung itu.
Dindingnya yang pecah dan setambir makanan tertumpah.
Bahkan mungkin lebih banyak lagi." berkata Tatas Lintang.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura
mengikutinya saja di belakang, ketika Tatas Lintang
kemudian berbelok menuju ke kedai yang masih tetap
terbuka, ditunggui oleh pemiliknya yang gemetar.
Sebenarnyalah bahwa bukan maksudnya untuk tidak
menutup warungnya. Tetapi karena kebingungan dan
ketakutan, maka ia tidak lagi mampu berlaku dan berbuat
sesuatu. Karena itulah maka pintu warungnya tetap
terbuka. Di pintu warung, Tatas Lintang berhenti. Dipanggilnya
pemilik itu mendekat. Tubuh pemilik warung yang sudah gemetar itu menjadi
semakin gemetar. Ia merasa takut mendekati Tatas Lintang.
Pemilik warung itu merasa bersalah telah dengan sengaja
menyeret Tatas Lintang ke dalam keadaan yang sulit.
"Kenapa tidak kau tutup warungmu?" bertanya Tatas
Lintang. Orang itu tergagap. Dengan suara sendat ia menjawab,
"Ya. Ya. Aku akan menutupnya."
Namun di luar dugaan orang itu, maka tiba-tiba saja
Tatas Lintang telah menjulurkan beberapa keping uang
sambil berkata, "Kau dapat memperbaiki dinding
warungmu." "Oo," orang itu tidak segera menerima uang itu justru
karena kebingungan. Namun Tatas Lintang telah
mendesaknya, "Cepat, atau aku mengurungkan niatku
untuk membantu kerusakan pada warungmu?"
"Oo, terima kasih," orang itu tergagap. Tetapi ia
menerima uang itu dari Tatas Lintang.
"Nah, aku minta diri. Kau tidak perlu menyesali apa
yang telah terjadi," berkata Tatas Lintang, "jika orangorang
itu menanyakan tempat tinggalku. Kau tidak usah
merahasiakannya. Aku sudah siap menerimanya. Katakan
saja di mana aku tinggal bersama ketiga orang
kemanakanku ini. Aku dan tiga kemenakanku memang
sudah siap menerimanya."
Wajah pemilik kedai itu menjadi bingung. Namun Tatas
Lintang menjelaskan, "Aku berkata sebenarnya. Tetapi jika
kau tidak mau menunjukkan, maka kau akan mengalami
banyak kesulitan." Pemilik kedai itu masih belum menjawab, sementara
Tatas Lintang berkata lebih lanjut, "Orang-orang itu
agaknya akan mendendam. Mereka akan mencari aku.
Sementara itu kau sudah mengatakan bahwa kau tinggal
sepedukuhan dengan aku. Karena itu maka mereka tentu
akan menanyakannya kepadamu."
Pemilik kedai itu termangu-mangu. Namun iapun telah
mengerti maksud Tatas Lintang. Karena itu, maka iapun
telah mengangguk kecil tanpa mengucapkan kata-kata
sepatah pun. "Baiklah," berkata Tatas Lintang, "sekarang kami akan
pulang ke pondokku. Setiap saat aku dapat menerima siapa
saja yang akan menjumpai aku."
Pemilik warung itu nasih tetap diam. Namun sorot
matanya menunjukkan campur baur perasaan di dalam
hatinya. Antara menyesal, kecemasan dan ketakutan.
Tatas Lintang tidak menungguinya terlalu lama. Tapi ia
kemudian meninggalkan pemilik warung itu diikuti oleh
ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya.
Sementara itu, keempat orang yang masih menunggui
kawannya yang baru saja sadar dari pingsannya, namun
masih terlalu lemah untuk dapat bangkit itu, memandangi
keempat orang yang berjalan semakin lama semakin jauh.
Sebenarnyalah dendam memang telah membakar jantung
mereka. Tetapi mereka juga merasa heran, bahwa keempat
orang itu pergi begitu saja setelah kawannya itu menjadi
pingsan. "Tetapi itu adalah ujud dari kesombongan yang tidak
ada taranya," berkata salah seorang di antara mereka.
Kawannya mengangguk-angguk, sedang orang yang
berbicara itu berbicara terus, "Mereka terlalu yakin akan
kemampuan mereka. Mereka tentu bermaksud untuk
memancing orang, yang lebih baik dari kita untuk datang ke
pondok mereka." "Kita akan melakukannya," sahut kawannya, "kita akan
melaporkan semua yang telah terjadi. Maka orang itu tentu
akan dihukum, sesuai dengan kesombongan mereka."
Tetapi yang lain menarik nafas dalam-dalam. Dengan
nada datar ia berkata, "Kita akan menilai dengan wajar
kemampuan orang itu."
"Aku mengerti," jawab kawannya, "tetapi kita yakin
bahwa orang itu akan dapat dihukum."
Pembicaraan itupun terhenti ketika mereka mendengar
kawannya yang baru sadar dari pingsannya itu merintih.
Perhatian mereka pun kemudian tertuju kepada kawannya
yang pingsan itu. Sementara itu, Tatas Lintang dan ketiga orang yang
diakunya seperti kemanakannya itupun telah menuju ki
pondok mereka. Sementara itu Mahisa Murti masih juga
bertanya kepada Tatas Lintang, "Apakah kau memang
terbiasa mempergunakan tongkat sebagai senjata" Dengan
tongkat yang kau ambil dari pagar kau sudah mampu
mengalahkan lawanmu yang berilmu tinggi. Apalagi jika
kau mempergunakan tongkat yang khusus, yang memang
dibuat sebagai senjata."
Tatas Lintang mengerutkan keningnya, ia mengerti arah
bicara Mahisa Murti. Karena itu, maka katanya Mahisa
Murti, aku tidak terbiasa bersenjatakan tongkat. Tetapi aku
memang dapat mempergunakan segala macam senjata.
Senjata yang memang disediakan buat senjata, atau apapun
yang aku dapatkan di arena jika lawanku memang
bersenjata. Aku dapat bersenjata tongkat, maksudku
sepotong kayu, mungkin dahan yang harus aku patahkan
dari pepohonan, kayu pagar seperti yang telah aku
pergunakan, atau sulur-sulur pepohonan, tambang atau
apapun juga. Bahkan batu dan pasir. Aku kira bukan aku
saja yang dapat melakukan hal yang demikian jika perlu.
Kalian pun akan dapat melakukannya."
"Tetapi caramu memutar tongkat memang menakjubkan
sekali," desak Mahisa Murti.
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Aku mengerti apa yang tersirat pada kata-katamu. Kau
menghubungkan tongkat yang kebetulan saja aku ambil dari
pagar itu dengan tongkat yang selalu dibawa oleh
sekelompok orang dari salah satu padepokan. Tegasnya,
kau cemas bahwa aku adalah satu di antara orang-orang
bertongkat di padepokan itu."
Mahisa Murti lah yang kemudian menarik nafas. Namun
ia tidak menjawab. Sementara itu Tatas Lintang pun
berkata, "Nampaknya masih ada kesangsian di hati kalian.
Tetapi hal itu dapat dimengerti, meskipun aku ingin
memperingatkan, bahwa aku telah berusaha untuk
membantu kalian, menemukan satu cara untuk
melontarkan serangan ilmu kalian yang luar biasa dalam
jarak tertentu. Aku memang bermaksud agar dengan
demikian kalian tidak mencurigai aku lagi, sehingga kita
akar dapat bekerja bersama-sama. Jika aku termasuk orang
yang akan berdiri berseberangan dengan kalian, maka
apakah artinya aku berusaha membantu kalian
meningkatkan kemampuan kalian dalam olah kanuragan."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura
mengangguk-angguk di luar sadarnya. Namun mereka pun
merasa bahwa Tatas Lintang telah berbuat sebaik-baiknya
untuk kepentingan mereka.
Karena itu, maka untuk sementara mereka akan dapat
menghapus perasaan curiga itu.
Dengan demikian maka Mahisa Murti pun tidak
bertanya apapun lagi. Sedangkan Mahisa Pukat dan Mahisa
Ura pun kemudian berjalan saja dengan kepala tunduk di
sebelah Mahisa Murti. Keempat orang itupun kemudian berjalan dengan tanpa
mengucapkan kata-kata. Mereka semakin mendekati
padukuhan mereka. Sejenak kemudian, maka mereka berempat pun telah
berada di pondok kecil Tatas Lintang. Untuk
menghilangkan kekakuan suasana, maka Tatas Lintang pun
berkata, "Marilah kita membuat sebuah amben bambu
untuk mengganti amben kita yang rusak."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun
kemudian telah sibuk memotong dan membelah bambu
untuk membuat amben dan sebuah lincak yang akan
diletakkan di serambi pondok kecil itu.
Hampir sehari mereka bekerja keras. Namun akhirnya
mereka telah dapat menyelesaikan sebuah amben besar dan
lincak bambu yang mereka letakkan di serambi.
"Besok kita tinggal membuat galarnya," berkata Tatas
Lintang, "namun dengan demikian malam nanti kita belum
dapat mempergunakannya."
Namun adalah di luar dugaan, ketika seseorang lewat di
depan rumah kecil mereka, maka sikap orang itu jauh


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbeda dengan sikap yang sebelumnya. Orang itu
mengangguk sambil menyapa dengan ramah, "Marilah Ki
Sanak. Apakah kalian tidak keluar?"
"Kami sedang menyiapkan sebuah amben," jawab Tatas
Lintang. "Oo." orang itu berkata selanjutnya, "di halamanku ada
pring tutul. Mungkin dapat kalian buat lincak yang akan
menjadi lebih baik dari pring wulung."
"Terima kasih," berkata Tatas Lintang, "ini sudah cukup
buat kami." Orang itu mengangguk hormat sambil berkata,
"Sudahlah Ki Sanak Aku minta diri."
Sepeninggal orang itu, Tatas Lintang mengerutkan
keningnya. Kemudian katanya, "Ceritera tentang kita tentu
sudah tersebar. Orang-orang padukuhan ini sebagian tentu
sudah mendengar. Mungkin tentang orang-orang yang
memeras para petani yang tidak mempunyai sawah seperti
kita. Tetapi mungkin juga peristiwa yang terjadi di pasar."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura
mengangguk-angguk. Tetapi seperti yang dikatakan oleh
Tatas Lintang, bahwa mereka harus benar-benar telah siap
untuk menghadapi segala kemungkinan.
Ketika kemudian senja turun, keempat orang itu sudah
membenahi dirinya. Mereka mulai menyalakan lampu
minyak di dalam pondok mereka.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti yang menyalakan
sebuah lampu minyak di regol pagar halaman terkejut
ketika dilihatnya dua orang lewat dengan tergesa-gesa.
Semula Mahisa Murti tidak begitu memperhatikan
keduanya. Apalagi senja telah menjadi semakin suram.
Namun iapun kemudian menjadi berdebar-debar. Dua
orang itu menurut penglihatannya adalah dua orang yang
dilihatnya juga berada di warung pada saat perselisihan
terjadi. Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Kepada
dirinya sendiri ia berkata, "Ternyata di daerah ini terdapat
banyak kekuatan yang diliputi oleh rahasia. Mungkin
karena padepokan itu mengundang banyak pihak untuk
mengetahuinya lebih dalam. Tetapi mungkin juga dalam
hubungannya dengan batu yang berwarna itu."
Untuk beberapa saat Mahisa Murti masih berdiri di
regol. Namun kemudian iapun tidak melihat lagi kedua
orang yang berjalan tergesa-gesa itu, setelah keduanya
berbelok pada sebuah tikungan.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun
iapun kemudian melangkah kembali masuk ke dalam
pondok kecil yang dihuninya bersama dengan tiga orang
lainnya. Ketika mereka kemudian berkumpul, maka Mahisa
Murti-pun telah mengatakan apa yang dilihatnya.
"Dua orang yang berada di warung bersama kita?"
bertanya Mahisa Pukat. "Ya," jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, "Aku
sudah menduga bahwa keduanya bukan orang kebanyakan.
Sikap mereka menunjukkan bahwa mereka mempunyai
landasan yang kuat sehingga mereka tetap tenang."
"Agaknya mereka pun menaruh perhatian atas kita,"
berkata Mahisa Ura. Mahisa Murti mengangguk. Katanya, "Agaknya
memang demikian. Aku menduga, bahwa keduanya
mengamati saat-saat kita berhadapan dengan kelima orang
itu. Tetapi kita tidak mengetahuinya, di mana mereka
berada waktu itu." "Aku sependapat," sahut Mahisa Pukat, "karena itu
maka kita harus lebih berhati-hati menghadapi setiap
kemungkinan. Agaknya di tempat ini berkeliaran orangorang
dari banyak pihak. Termasuk kita."
Ketika Mahisa Pukat berpaling ke arah Tatas Lintang,
maka Tatas Lintang itupun menyahut, "Ya. Di sini sudah
ada dua pihak yang berbeda. Tetapi mudah-mudahan kita
dapat bekerja bersama untuk seterusnya, sedangkan pihakpihak
yang lain tidak dapat bekerja bersama sebagaimana
kita lakukan." Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara
itu Mahisa Murti pun berkata, "Kita memang harus berhatihati
menghadapi keadaan apapun juga. Saat-saat yang
paling gawat itu akan segera datang. Bukankah kita tidak
akan terlalu lama menunggu?"
"Ya," jawab Tatas Lintang, "kita tidak akan membiarkan
diri kita membeku di sini. Apalagi aku. Aku sudah cukup
lama tinggal di sini."
"Kau kira aku belum cukup lama mengembara," sahut
Mahisa Pukat, "tetapi kami mempunyai kerja sambilan.
Sesekali kami sempat menjual barang-barang dagangan
kami." Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Kita harus mulai merencanakan mengamati padepokan itu
lagi sebagaimana pernah kita lakukan. Tetapi kemudian aku
tidak akan sendiri lagi."
"Kita akan melakukannya segera," berkata Mahisa
Murti, "jika kita terlalu lama mungkin sesuatu telah terjadi
di Singasari atau di Kediri."
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Kita
akan bersiap mulai besok. Kita akan merencanakan kapan
kita akan mulai bergerak mengamati padepokan itu.
Apakah kita harus pergi bersama-sama, atau kita akan
bergiliran." Tetapi Mahisa Pukat menyahut, "Mungkin kita sempat
bergerak. Tetapi mungkin justru orang-orang dari
padepokan itulah yang datang kemari."
Tatas Lintang termenung sejenak. Namun iapun berkata,
"Memang mungkin sekali. Jika kelima orang itu berasal
dari padepokan itu maka mungkin sekali merekalah yang
datang mencari kita di sini."
Ketiga orang yang disebut kemenakan Tatas Lintang itupun
mengangguk-angguk. Namun Mahisa Murti lah yang
berkata, "Kita sudah siap sejak semula. Apakah kita yang
datang, atau mereka yang datang kepada kita. Tetapi satu
keinginan yang harus terpenuhi, melihat padepokan itu dan
mengetahui isinya." Yang lain pun mengangguk-angguk pula. Namun tidak
lagi berbicara dengan sungguh-sungguh, karena Tatas
Lintang pun berkata, "Aku menjerang air. Tentu sudah
mendidih." Mahisa Pukat pun kemudian membantu Tatas Lintang
membuat minuman panas. Wedang sere dengan gula
kelapa. Namun ketika mereka duduk kembali bersama-sama.
Tatas Lintang pun berkata, "Sudah waktunya kita mengatur
diri. Setiap saat bahaya dapat mengancam kita. Nah, karena
itu, maka kita harus bergantian berjaga-jaga. Setiap saat di
antara kita harus ada yang tidak sedang tidur di malam hari.
Sepanjang malam." Mahisa Murti mengangguk-angguk sambil menyahut,
"Aku sependapat. Kita berempat di rumah ini. Jika
semalam berdua di antara kita berjaga-jaga bergantian,
maka kita akan mendapat giliran setengah malam dalam
dua hari." "Kau tentu memilih hari kedua," berkata Mahisa Pukat.
"Kenapa dengan hari kedua," bertanya Mahisa Murti.
"Malam ini kita masih berada di pondok ini. Mungkin
besok malam kita semuanya sudah berada di sekitar
padepokan." jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Murti tersenyum. Namun yang lain pun
kemudian tertawa pula. Dengan demikian, maka mereka pun kemudian
mengambil keputusan lain. Setiap malam mereka akan
membagi diri. Dua orang di belahan malam pertama dan
dua orang di bagian kedua setelah lewat tengah malam.
Mahisa Murti akan berjaga-jaga bersama Tatas Lintang,
sementara Mahisa Pukat dan Mahisa Ura akan berjaga-jaga
menjelang dini hari. "Dua orang yang lewat setelah senja itu harus menjadi
perhatian," berkata Mahisa Murti, "mungkin ia hanya
sekedar ingin melihat pondok ini. Tetapi mungkin mereka
mempunyai maksud tertentu. Apalagi jika kedua orang itu
sebenarnya merupakan satu kelompok dengan kelima orang
yang kita hadapi itu."
"Ya," sahut Mahisa Pukat, "banyak kemungkinan dapat
terjadi. Kita memang harus berhati-hati."
Mahisa Murti mengangguk. Katanya kemudian, "Nah.
kalian dapat tidur sekarang. Biarlah kami berdua berjagajaga,
mumpung masih ada minuman tersisa. Wedang sere
ini akan membuat tubuh kami hangat."
"Nanti, kami pun akan menjelang air dan membuat
wedang sere pula." jawab Mahisa Pukat, yang kemudian
berkata kepada Mahisa Ura, "marilah. Kita akan tidur lebih
dahulu." Demikianlah, seperti yang sudah mereka sepakati, maka
Mahisa Pukat dan Mahisa Ura lah yang di bagian pertama
malam itu mendapat giliran untuk tidur lebih dahulu.
Merekapun ternyata dapat menyisihkan segala macam
persoalan sehingga mereka, segera dapat tidur dengan
tenang. Apalagi Mahisa Murti dan Tatas Lintang akan tetap
berjaga-jaga. Untuk menghilangkan kantuk dan kejemuan, maka
Mahisa Murti dan Tatas Lintang masih juga berbicara
tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.
Namun mereka pun kemudian telah bermain macanan.
Permainan yang ternyata dapat melupakan kejemuan yang
kadang-kadang terasa mencengkam.
Menjelang tengah malam, maka Mahisa Murti pun
berkata, "udara panas sekali. Aku akan keluar sebentar."
Tatas Lintang mengerutkan keningnya. Namun
kemudian katanya, "berhati-hatilah."
Mahisa Murti mengangguk. Perlahan-lahan iapun
bangkit dan melangkah ke pintu. Namun ketika pintu
berderit, ternyata Mahisa Pukat telah terbangun. Sambil
menggeliat iapun bertanya, "Kau akan ke mana?"
"Udara panas sekali," jawab Mahisa Murti, "mungkin
pengaruh wedang sere itu."
Tatas Lintang yang melihat Mahisa Pukat terbangun
itupun berkata, "Aku juga akan keluar sebentar. Jangan
tidur dahulu sebelum kami berdua masuk kembali."
Mahisa Pukat pun kemudian telah bangkit dan duduk
sambil menjawab, "Aku akan menunggu. Tetapi waktunya
harus diperhitungkan."
Tatas Lintang tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab.
Ketika Mahisa Murti dan Tatas Lintang sudah berada di
luar, maka mereka pun telah menutup pintu kembali,
sementara Mahisa Pukat pun justru telah menepi dan
duduk di bibir pembaringan. Sekali ia masih menguap.
Namun kemudian ia merasa telah sadar sepenuhnya.
Seperti yang dikatakan oleh Tatas Lintang, maka iapun
menunggu sampai keduanya masuk kembali. Mahisa Pukat
pun sebenarnya juga merasa panas. Tetapi ia tidak
menyusul keduanya keluar.
Namun ternyata Mahisa Pukat itu telah tertarik oleh
suara yang asing di telinganya. Bukan desah nafas
seseorang. Bukan pula langkah yang berdesir di tanah.
Perlahan-lahan terdengar dinding di bagian belakang
pondok itu bergetar. Kemudian seolah-olah gesekan yang
halus menelusuri dinding bambu yang tidak terlalu kuat itu.
Mahisa Pukat telah memusatkan perhatiannya kepada
bunyi yang tidak segera diketahui itu. Namun kemudian
nafasnya bagaikan terhenti ketika ia mendengar derik kukukuku
yang tajam berusaha untuk mengoyak dinding.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Dengan
berdebar-debar iapun mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
Ia sadar, bahwa suara itu tentu ditimbulkan oleh seekor
binatang buas yang berusaha untuk mencari jalan
memasuki pondok kecil itu.
"Seekor harimau," berkata Mahisa Pukat kepada diri
sendiri. Menurut perhitungannya tidak ada jenis binatang lain
yang akan berbuat seperti yang sedang dilakukan di
belakang rumah itu. Tetapi ternyata binatang itu tidak segera memecah
dinding dan meloncat masuk. Namun ketika terdengar
binatang itu menggeram, Mahisa Pukat pun menjadi
semakin yakin, bahwa di belakang rumah itu terdapat
seekor harimau. Untuk beberapa saat Mahisa Pukat telah menunggu.
Iapun telah mempersiapkan diri dengan kekuatan Aji
Pamungkasnya. Jika harimau itu muncul, maka ia akan
membakarnya dengan pukulan Aji Bajra Geni nya. Sekali
pukul Mahisa Pukat yakin, bahwa harimau itu tentu akan
mati. Sementara itu, Mahisa Murti dan Tatas Lintang yang
berada di halaman di depan pondok kecil itu memang
merasa tubuh mereka menjadi sejuk. Sentuhan angin
malam dan embun yang menitik dari dedaunan terasa
sangat segar. Namun keduanya pun tiba-tiba telah terkejut. Mereka
melihat sesuatu bergerak di luar pagar. Merangkak dan
hilang di kegelapan. Namun keduanya pun segera
mengetahui, bahwa yang lewat itu adalah seekor harimau.
"Tidak hanya seekor," desis Mahisa Murti sambil
memberikan isyarat, bahwa di samping pondok mereka pun
nampak seekor harimau yang melintas.
"Kita sudah melihat dua ekor," berkata Mahisa Murti.
Tatas Lintang mengangguk. Katanya, "Mereka masih
saja mempergunakan harimau jadi-jadian."
"Mungkin bukan jadi-jadian," sahut Mahisa Murti
perlahan-lahan, "harimau itu adalah harimau sebenarnya,
tetapi sudah dikuasai ilmu gendam yang dapat mengatur
perilaku harimau-harimau itu."
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Katanya, "Agaknya
memang demikian. Tetapi kita sudah siap siapapun dan


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apapun yang akan kita hadapi."
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya, "Kita biarkan saja harimau-harimau itu
jika mereka tidak menyerang. Sebaiknya kita beritahu
Mahisa Pukat dan Mahisa Ura agar mereka bersiap-siap."
Keduanya pun kemudian masuk ke dalam pondok.
Namun mereka terkejut melihat sikap Mahisa Pukat.
Dengan nada ragu Mahisa Murti pun bertanya, "Ada
apa Pukat?" Mahisa Pukat meletakkan jari telunjuknya di bibirnya.
Tetapi iapun kemudian menjadi kecewa ketika ia
mendengar desir langkah harimau itu berlari menjauh.
"Apa yang sedang kau lakukan?" bertanya Tatas
Lintang. Mahisa Pukat menarik dalam-dalam. Katanya dengan
nada kecewa, "Aku sedang menunggu sesuatu."
"Apa?" Mahisa Ura yang sudah terbangun pula
bertanya. "Ternyata ada seekor harimau yang ingin mengoyak
dinding bambu yang lemah ini," desis Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk sambil berkata,
"Agaknya ada tiga ekor harimau di sekitar pondok ini."
"Tiga?" Mahisa Pukat lah yang bertanya.
"Ya. Di depan pondok ini, di samping dan kau dengar di
belakang pondok ini ada pula seekor." jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ketika
mereka telah duduk bersama dan menyelarak pintu, maka
Mahisa Pukat pun berkata, "Agaknya harimau itu bukan
harimau sewajarnya."
"Harimau itu mungkin harimau sewajarnya. Tetapi yang
sudah dipengaruhi oleh kekuatan pribadi seseorang,
sehingga harimau itu dapat diperalat sesuai dengan
keinginan orang yang mempengaruhinya," sahut Mahisa
Murti. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka pernah
bertemu dengan harimau yang diliputi oleh rahasia yang
belum terpecahkan. Bahkan ketika mereka ingin mengambil
bangkai harimau yang terbunuh untuk diambil kulitnya,
ternyata bangkai itu sudah tidak ada di tempatnya dan tidak
diketahui ke mana perginya.
Karena itu katanya, "Kita akan berhadapan lagi dengan
harimau-harimau itu."
"Satu permainan yang menjemukan," berkata Mahisa
Murti, "kita harus membunuhnya dengan cepat pada
perjumpaan kita di kemudian. Aku benar-benar sudah
muak dengan permainan itu."
"Aku setuju," desis Mahisa Murti, "Itulah sebabnya aku
sudah bersiap untuk memukul pecah kepala harimau itu
pada ayunan pertama. Dengan demikian maka orang gila
itu akan menghentikan permainannya yang menjemukan
itu." Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah.
Kita akan menghadapinya dengan sungguh-sungguh.
Sekarang, kita akan melanjutkan waktu istirahat kita.
Bukankah sudah lewat tengah malam dan kita mendapat
giliran untuk tidur?"
"Aku terbangun sebelum saatnya," sahut Mahisa Pukat.
"Aku pun belum tidur lewat saatnya," jawab Mahisa
Murti. Yang lain pun tertawa pula.
"Baiklah," berkata Mahisa Pukat kemudian. Lalu,
"Sekarang datang giliran kita Mahisa Ura."
Mahisa Ura pun mengangguk-angguk. Jawabnya, "Aku
pun sudah merasa terlalu lama tidur."
"Hati-hatilah dengan harimau-harimau itu," pesan Tatas
Lintang, "sebaiknya kalian tidak pergi keluar. Seandainya
harimau itu ingin menyerang kita, biarlah mereka berusaha
masuk." "Ya," sahut Mahisa Pukat, "demikian kepalanya
tersembul, maka kepala itu akan kita pecahkan."
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Tatas Lintang
pun membaringkan dirinya, sementara Mahisa Pukat dan
Mahisa Ura mendapat giliran untuk berjaga-jaga.
"Minuman itu sudah habis," desis Mahisa Murti sambil
memejamkan matanya. "Aku akan merebusnya," berkata Mahisa Pukat.
Sebenarnyalah, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun
kemudian bersama-sama berada di sebuah bilik kecil yang
dipergunakan oleh Tatas Lintang sebagai dapur.
"Kita merebus air," desis Mahisa Pukat, "masih ada sere
dan gula kelapa." Dengan demikian maka keduanya telah mendapat
kesibukan untuk mencegah kantuk. Namun demikian
mereka selalu berhati-hati menghadapi kemungkinan yang
dapat terjadi dengan kehadiran beberapa ekor harimau.
Namun sampai dini hari, harimau itu tidak datang lagi
ke halaman pondok mereka. Tidak lagi terdengar dengus
nafasnya atau suara kuku-kukunya yang tajam mengorek
dinding. Mahisa Pukat dan Mahisa Ura sempat menikmati
minuman yang mereka buat sendiri. Segar sekali di
dinginnya malam. Bahkan ketika cahaya fajar mulai
membayang, minuman mereka masih terasa hangat.
Mahisa Murti dan Tatas Lintang pun ternyata terbangun
sebelum matahari terbit. Mereka melihat Mahisa Pukat dan
Mahisa Ura masih saja duduk di dapur bersandar tiang.
"Apa yang kalian lakukan di situ?" bertanya Mahisa
Murti. Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun diteguknya
minumannya yang segar sambil berdesah.
Mahisa Murti hanya menarik nafas saja sambil
melangkah keluar dan pergi ke pakiwan. Sejenak kemudian
maka Tatas Lintang pun telah pergi keluar pula.
Keduanya telah menghirup udara pagi yang segar.
Sementara itu langit pun menjadi semakin terang.
"Kita lihat, apakah ada bekas-bekas harimau itu," desis
Tatas Lintang kemudian. Ternyata mereka memang menemukan bekas kaki dan
kuku harimau di belakang rumah kecil itu. Dinding pun
nampak membekas kuku-kuku yang tajam.
Dengan demikian, maka mereka pun telah mendapat
kepastian ada usaha untuk menyerang mereka dengan cara
seperti yang pernah terjadi.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya, "Memang menjemukan. Cara itu pernah
ditempuhnya dan tidak berhasil. Seharusnya mereka
menyadari, bahwa kami pernah mengalahkan harimauharimau
itu." "Apakah mereka sudah mengetahui, bahwa yang ada di
sini adalah aku dan kalian yang pernah mengalahkan
harimau-harimau itu?" bertanya Tatas Lintang.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian, "Aku tidak tahu. Mungkin mereka tidak
menyadari, bahwa yang berada di sini adalah aku dan
Mahisa Pukat." Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya, "Tahu atau tidak tahu siapakah kita di
sini, kita memang harus sangat berhati-hati."
Belum lagi mulut Tatas Lintang terkatub rapat, mereka
terkejut atas kedatangan beberapa orang memasuki
halaman rumah mereka. Tatas Lintang dan Mahisa Murti
yang berada di belakang rumah kecil itu bergegas pergi ke
halaman depan. Sementara itu Mahisa Pukat dan Mahisa
Ura ternyata telah menerima orang-orang yang datang itu.
"Kami mohon pertolongan," berkata salah seorang di
antara mereka. "Kenapa?" bertanya Mahisa Pukat, "apakah kami harus
membantu mengerjakan sawah?"
"Kami tahu, bahwa ternyata kalian bukan orang
kebanyakan. Apa yang terjadi di rumah ini atas orang yang
sewenang-wenang terhadap sesama kami yang menjual
tenaga mengerjakan sawah orang lain, serta apa yang terjadi
di pasar, telah mengatakan kepada kami bahwa kalian
bukannya orang kebanyakan seperti yang kami duga
semula." berkata orang yang datang itu.
"Lalu bantuan apa yang kau kehendaki?" bertanya
Mahisa Pukat. "Tiga ekor kambing dari padukuhan ini sudah dimakan
harimau. Yang tersisa hanya bagian-bagian yang tidak
berarti." jawab orang itu.
"Tiga ekor kambing?" bertanya Mahisa Pukat yang
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 6 Wiro Sableng 161 Perjodohan Berdarah Jingga Dan Senja 4
^