Hijaunya Lembah Hijaunya 17
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 17
senjata yang ada padanya. Pisau belati panjang atau sebilah
pedang. Dalam pada itu. ternyata kapak lawannya itupun mulai
berdesing ditelinganya. Ke arah manapun kapak itu
terayun, maka rasa-rasanya tajamnya siap untuk membelah
kulit daging, justru karena kapak itu bermata rangkap.
Mahisa Ura melangkah surut untuk mengambil jarak.
Dicobanya untuk mengenali sifat senjata lawannya.
Sehingga dengan demikian maka iapun telah mengambil
sikap, bagaimana ia harus melawan senjata yang
menggetarkan jantung itu.
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Ura memiliki ilmu pedang
yang tinggi. Meskipun kapak lawannya berdesing dan
menyambar ke segenap arah, namun orang bertubuh tinggi
itu harus meloncat surut ketika ujung pedang Mahisa Ura
hampir saja menyentuh hidungnya.
"Gila," geram orang bertubuh tinggi itu.
Mahisa Ura tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Iapun
meloncat memburu sambil mengacukan pedangnya.
Namun lawannya telah sempat memperbaiki
kedudukannya. Karena itu, ia tidak lagi meloncat menjauh,
tetapi ia bergeser menyamping sambil memukul pedang
Mahisa Ura. Mahisa Ura yang tidak mengenai sasarannya itupun
menggeram. Namun lawannya pun tidak dapat mengenai
pedangnya, karena dengan cepat Mahisa Ura telah menarik
serangannya. Demikianlah, keduanya pun kemudian telah terlibat
dalam pertempuran yang seru. Keduanya memiliki
kemampuan yang tinggi serta menguasai senjata mereka
masing-masing. Dengan demikian, maka kedua jenis
senjata yang berbeda itu telah saling menyambar, berputar
dan mematuk dengan dahsyatnya.
Sementara itu, Mahisa Murti yang juga bersenjata
pedang masih juga bertempur melawan dua orang yang
bersenjata bertangkai panjang. Namun Mahisa Murti yang
mampu bergerak sangat cepat itupun berusaha untuk
bertempur pada jarak yang dekat, sehingga justru
pedangnya mempunyai keuntungan yang lebih besar dari
senjata yang bertangkai panjang. Dengan cepat dan tangkas
Mahisa Murti seakan-akan selalu melekat pada salah
seorang lawannya. Ia mampu mempengaruhi keadaan
sehingga seakan-akan lawannya yang seorang justru telah
melindunginya dari lawannya yang seorang lagi.
Karena itu. maka kedua orang lawannya itupun kadangkadang
telah mengalami kesulitan. Bahkan seorang
diantaranya telah mengumpat. Namun Mahisa Murti yang
memiliki kecepatan gerak melampaui orang kebanyakan itu,
masih mampu berloncatan dan berusaha bertempur pada
jarak yang pendek melawan salah seorang dari keduanya.
Kedua orang itupun terdengar beberapa kali mengumpat.
Namun pertempuran itu justru semakin lama menjadi
semakin seru. Orang yang bersenjata bertangkai panjang itu
berusaha untuk dapat mengambil jarak agar mata senjata
mereka yang tajam itu dapat mengoyak tubuh lawannya.
Tetapi ternyata mereka tidak mudah melakukannya.
Mahisa Murti yang menyadari sifat senjata lawannya pun
telah berusaha untuk menghindarinya.
Bahkan ternyata semakin lama pedang yang jauh lebih
pendek dari senjata kedua orang lawannya itu telah mampu
membuat keduanya semakin bingung. Mereka justru
merasa tangkai senjata mereka yang panjang itu telah
mengganggu. Sebenarnyalah Mahisa Murti memiliki tingkat ilmu yang
lebih tinggi dari kedua orang lawannya. Semakin lama
kedua orang itupun menjadi semakin bingung dan
kehilangan kesempatan. Agaknya justru karena senjata
panjang itu bermata tajam, kedua orang itu cenderung
untuk mengenai lawannya dengan mata senjata mereka.
Sehingga dengan demikian mereka kurang memanfaatkan
pangkal senjata mereka atau mempergunakannya sebagai
tongkat panjang dari orang-orang bertongkat yang juga
berada di padepokan itu. Orang-orang bertongkat itu tidak
sekedar mematuk dengan ujung tongkatnya, tetapi mereka
juga memukul dengan ayunan dan menyerang dengan
pangkal tongkatnya. Sifat yang berbeda itu agaknya dipahami oleh Mahisa
Murti, sehingga ia mampu mengatur cara untuk
melawannya. Ketika ia terlibat dalam pertempuran berjarak
sepanjang ujung pedangnya, maka ia telah berkisar dengan
cepat dan bertempur di arah yang berlawanan dari
lawannya yang seorang. Ia selalu berusaha untuk bergeser
melingkar, jika lawannya melingkar pula.
Ternyata kecepatan gerak Mahisa Murti mampu
memaksakan kedudukan sebagaimana diinginkan. Dengan
demikian maka lawannya kadang-kadang memang berada
dalam keadaan yang sulit.
Tetapi lawan-lawannya pun adalah orang-orang yang
berpengalaman pula. Karena itu, dalam kedudukan yang
serba sulit itu, maka orang bersenjata bertangkai panjang itu
telah mengambil langkah-langkah yang dianggapnya akan
dapat mengatasi cara yang ditempuh oleh Mahisa Murti.
Merekapun telah bertempur sambil berloncatan dengan
jarak panjang. Dengan demikian, maka mereka kadangkadang
memang mempunyai kesempatan untuk mengambil
jarak dan dengan gerak mematuk dengan ujung senjata
mereka yang mengerikan. Namun Mahisa Murti cukup tangkas untuk mengelak
dan menangkis dengan cepatnya. Bahkan kemudian seolaholah
ia selalu berhasil menyusup di antara ayunan senjata
bertangkai panjang itu dengan mengacukan ujung
pedangnya mengarah ke dada.
Keringat telah membasahi seluruh tubuh mereka yang
bertempur. Kedua orang bersenjata panjang itupun
bagaikan telah menyelam dengan seluruh pakaiannya di
dalam air. Namun demikian, keadaan mereka justru semakin lama
menjadi semakin sulit. Ujung pedang Mahisa Murti serasa
menjadi semakin dekat dengan kulit mereka, sehingga pada
suatu saat, salah seorang dari kedua orang yang bersenjata
panjang itu telah berdesah menahan sakit dan kemarahan
yang bagaikan meledakkan dadanya.
Adalah sangat menyakitkan hati, bahwa anak muda yang
bersenjata pedang itu tiba-tiba saja telah berhasil melukai
salah seorang dari lawannya. Ketika lawannya itu justru
telah menyerangnya dengan senjatanya yang terjulur lurus
ke arah lehernya, maka Mahisa Murti itu telah
merendahkan dirinya tanpa bergeser dari tempatnya. Pada
saat yang demikian, maka pedangnya telah terjulur lurus
dan menyentuh pundak lawannya, justru pada saat senjata
lawannya berdesing di atas kepadanya.
Dengan cepat orang yang terluka itu meloncat surut.
Mahisa Murti yang berusaha memburunya, harus
mengalihkan perhatiannya kepada lawannya yang seorang,
yang telah menyerangnya pula.
Mahisa Murti harus meloncat ke samping. Ketika senjata
lawannya itu terayun, maka Mahisa Murti telah
menangkisnya dengan pedangnya.
Dengan kemampuan ilmu pedang yang tinggi, didorong
oleh tenaga cadangannya yang mapan, maka Mahisa Murti
telah memutar pedangnya pada benturan di saat ia
menangkis serangan lawannya itu.
Senjata lawannya bertangkai panjang itu bagaikan
dihisap oleh tenaga yang kuat sekali. Hampir saja senjata
itu terlepas dari tangan lawan Mahisa Murti itu. Untunglah,
ia mampu berpegang kuat-kuat pada pangkalnya, sementara
kawannya yang terluka telah mampu menguasai diri dan
sambil menggeram menyerang Mahisa Murti, sehingga ia
masih belum sempat berhasil melemparkan senjata
lawannya yang seorang. "Hampir saja," desis Mahisa Murti, "jika aku mendapat
kesempatan sesaat lagi, agaknya aku akan berhasil
merenggut senjata itu."
"Omong kosong," lawannya berteriak, "kau jangan
terlalu merasa dirimu besar dengan kemenangankemenangan
kecil yang tidak berarti sama sekali itu."
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia mengambil
kesempatan untuk meloncat mendekatkan diri kepada
lawannya yang telah terluka dan mengambil tempat dan
kedudukan sebagaimana pernah terjadi. Mahisa Murti itu
berusaha berputaran berseberangan dengan lawannya yang
seorang lagi, sehingga sulit bagi lawannya itu untuk
menyerang bersama-sama. Namun sekali lagi lawannya berusaha pula untuk
memecahkan kedudukan yang tidak menguntungkan
mereka itu. Dengan tangkas orang bersenjata bertangkai
panjang itu berloncatan, sehingga mereka berada dalam
satu garis yang sepihak dengan Mahisa Murti.
Tetapi usaha keduanya selalu gagal. Bahkan kecepatan
pedang Mahisa Murti yang membingungkan itu sekali lagi
telah mematuk lengan lawannya yang seorang, sehingga
dengan demikian maka keduanya pun telah terluka
Luka itu telah membuat kedua orang lawannya
bertambah marah. Dengan demikian maka pertempuran
pun menjadi semakin cepat. Keduanya berusaha untuk
dengan cepat menghancurkan anak muda itu. Namun yang
terjadi justru sebaliknya. Kemarahan yang menghentakhentak
itu justru telah membuat pikiran keduanya menjadi
kabur. Keduanya lebih banyak menuruti perasaannya yang
marah saja, sehingga perhitungan mereka pun menjadi
tidak mapan lagi. Itulah sebabnya, maka yang terjadi kemudian sangat
mengejutkan. Ujung pedang Mahisa Murti telah sekali lagi
mengoyak lawannya justru di lambung.
"Gila," teriak orang itu.
Tetapi luka di lambung itu ternyata lebih parah dari
lukanya yang terdahulu. Meskipun tidak terlalu dalam,
namun darah telah mengalir dengan derasnya. Perasaan
pedih terasa menyengat sampai ke tulang.
Dengan demikian maka perlawanannya menjadi jauh
susut. Karena itulah, maka kawannya yang seorang harus
bertempur tanpa bersandar pada bantuan kawannya.
Dengan segenap tenaga ia berusaha untuk melindungi
dirinya sendiri dari ujung pedang lawannya yang kadangkadang
membingungkan. Namun orang itu tidak mampu lari dari kejaran ujung
pedang itu. Betapa dahsyatnya senjatanya, namun Mahisa
Murti-pun telah mendesaknya sehingga orang itu selalu
berusaha mengambil jarak dengan berloncatan surut.
Tetapi usahanya tidak selalu berhasil. Ujung pedang itu
telah menyentuhnya pula sehingga luka pun telah tergores
di dadanya. Tetapi luka itu hanyalah luka kecil meskipun panjang.
Karena itu orang padepokan itupun masih berusaha untuk
bertempur terus. Namun kawannya yang terkoyak
lambungnya, ternyata sudah tidak mampu lagi berbuat
banyak. Bahkan kemudian iapun telah terduduk dengan
lemahnya bersandar sebatang pohon.
Namun ketika Mahisa Murti sudah siap mengakhiri
pertempuran, ternyata Mahisa Murti dikejutkan oleh
kehadiran seorang yang bertubuh tegap berjambang dan
berjanggut panjang yang langsung menyambar Mahisa
Murti dengan senjatanya yang juga bertangkai panjang.
Bukan canggah dan tombak berkait, tetapi sebuah trisula
berujung tiga. Mahisa Murti lah yang kemudian harus berloncatan
mundur. Ayunan senjata itu terasa agak berbeda dengan
kedua senjata yang terdahulu. Karena itu, maka menurut
penilaian Mahisa Murti, orang itu tentu memiliki ilmu
melampaui kawan-kawannya.
Karena itu, justru pada saat yang gawat itu, Mahisa
Murti masih sempat membuat perhitungan. Dengan satu
gerakan yang sulit diikuti dengan mata telanjang, maka
iapun telah meloncat menyerang lawannya yang telah
dilukainya. Memukul senjatanya sehingga pertahanan
lawannya itu terbuka. Sebelum ia menyadari apa yang
terjadi, justru karena kehadiran kawannya yang
dianggapnya memiliki ilmu yang lebih tinggi itu, maka
senjatanya bagaikan disibakkan. Ujung pedang lawannya
itu menyusup dengan cepat dan sebelum orang itu sempat
mengelak, maka ujung pedang itu telah mematuknya.
Orang itu masih berusaha mengelak. Namun ia tidak
berhasil menghindari ujung pedang itu sepenuhnya.
Meskipun ujung pedang itu tidak menghunjam ke dadanya,
tetapi ujung pedang itu telah menembus pundaknya.
Orang itu sempat berteriak dan mengumpat kasar.
Namun Mahisa Murti telah memperhitungkan segala
sesuatunya. Tetap seperti yang diduganya, maka pada saat
itu, serangan lawannya yang baru itu telah menyambarnya.
Untunglah bahwa Mahisa Murti telah siap
menghadapinya. Ujung trisula bertangkai panjang itu
memang hampir saja menyambar punggungnya. Untunglah
bahwa Mahisa Murti sempat justru menjatuhkan irinya
menelungkup. Namun demikian ujung trisula itu berdesing,
maka iapun telah siap melenting berdiri tegak.
Dengan demikian kedua orang itu telah berhadapan lagi
dengan senjata siap di tangan.
Namun dalam pada itu, orang yang telah dilukainya di
pundaknya itu telah kehilangan tenaganya. Tangannya
bagaikan menjadi lumpuh sementara darah mengalir
dengan derasnya dari lukanya itu.
Karena itu, maka ia tidak lagi mampu untuk membantu
pertempuran yang kemudian terjadi antara Mahisa Murti
dengan orang bersenjata trisula itu.
Ternyata bahwa orang yang mempergunakan trisula
bertangkai panjang itu memang seorang yang memiliki ilmu
yang tinggi. Meskipun ia hanya seorang diri menghadapi
Mahisa Murti, namun putaran trisulanya terasa
menimbulkan pusaran angin yang menyentuh wajah
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mahisa Murti. Dengan demikian Mahisa Murti dapat menilai betapa
kuatnya tenaga orang itu.
Karena itu, maka Mahisa Murti harus berhati-hati.
Agaknya orang itu bukan saja orang yang bertenaga sangat
besar. Namun agaknya orang bertrisula itu memang seorang
yang berilmu tinggi. Keduanya pun kemudian bertempur semakin sengit.
Keduanya berloncatan semakin cepat dengan putaran
senjata semakin cepat pula.
Sementara itu. Mahisa Pukat ternyata telah kehilangan
lawannya pula, sehingga untuk sementara ia telah
melibatkan diri dalam benturan antara dua kelompok
prajurit dan penghuni padepokan itu. Kehadirannya
ternyata telah banyak mempengaruhi keadaan, sehingga
kelompok dari padepokan itupun telah terdesak.
Di bagian lain. Tatas Lintang masih berdiri tegak
mengamati seluruh medan. Sekali-sekali ia memang terlibat
langsung dalam pertempuran, namun kemudian ia telah
membebaskan diri untuk dapat bergeser ke tempat lain.
Dalam pada itu. Tatas Lintang menyadari, bahwa ada
beberapa orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Karena itu,
ia harus berhati-hati. Karena ia orang tertua di antara pihak
pasukan Lemah Warah, maka ia harus berusaha untuk
dapat berhadapan dengan orang yang memiliki ilmu
tertinggi di padepokan itu.
Namun agaknya ia belum menemukannya. Karena itu,
maka ia masih selalu melepaskan lawannya yang lain dan
kemudian bergeser dari medan yang satu ke medan yang
lain antar kelompok-kelompok. Di regol padepokan para
pemimpin padepokan itu nampaknya sudah berkumpul.
Namun ketika mereka menyadari bahwa pasukan Lemah
Warah masuk ke padepokan itu dari segala arah, maka para
pemimpin itu telah menyebar dan berada di seluruh sudut
padepokan itu. "Mudah-mudahan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
berhasil menemukan mereka," berkata Tatas Lintang di
dalam hatinya. Meskipun keduanya masih sangat muda,
tetapi Tatas Lintang percaya, bahwa keduanya akan dapat
mengatasi kesulitan. Bagi Tatas Lintang yang agak
mendebarkan adalah Mahisa Ura. Namun agaknya iapun
meningkatkan ilmunya sehingga meskipun padepokan itu
kemudian menjadi kancah peperangan yang mendebarkan,
namun agaknya ia akan dapat berusaha untuk menjaga
dirinya sendiri. Untuk beberapa saat Tatas Lintang masih menyusuri
arena yang sibuk. Sekali-sekali iapun harus mengelakkan
serangan. Namun prajurit Lemah Warah yang melihatnya
segera mengambil alih mereka yang telah menyerang Tatas
Lintang itu. Namun dalam pada itu, di bagian lain dari padepokan
itu, seorang yang bertongkat panjang dan di pangkalnya
terdapat batu berwarna kehijauan, telah menyapu lawanlawannya
tanpa ampun. Beberapa orang prajurit terpilih
harus bersama-sama menghadapinya untuk membatasi
geraknya. Namun tidak seorang pun di antara para prajurit
yang mampu menahannya untuk tidak berkeliaran.
Di bagian lain, seorang yang memiliki kemampuan
untuk mempengaruhi dan bahkan menyusup ke dalam diri
seseorang serta merampas pribadinya, tidak dapat terlalu
banyak memanfaatkan ilmunya. Lawan terlalu banyak
untuk dipergunakannya satu demi satu. Bahkan seandainya
ia ingin mengurangi jumlah lawannya dengan cara itu,
maka ia memerlukan waktu yang terlalu lama.
Karena itu, maka ia merasa dapat mempergunakan cara
lain yang lebih baik. Dengan langsung turun ke medan
maka ia akan dapat membunuh lawan-lawannya dengan
lebih cepat dan langsung. Dengan kemampuannya
mempermainkan senjata serta tenaga cadangan yang
mampu membuat kekuatannya berlipat ganda, telah
membuatnya menjadi orang yang menggemparkan di
medan pertempuran itu. Beberapa orang prajurit Lemah Warah telah menjadi
korbannya. Namun para prajurit yang memiliki
pengalaman cukup luas itu telah berusaha melawannya
dengan satu kelompok kecil orang-orang pilihan.
Bagaimanapun juga, maka orang yang berilmu tinggi itu
merasa geraknya terhambat oleh prajurit-prajurit Lemah
Warah yang melingkarinya, karena ujung-ujung senjata
mereka akan dapat menggoresnya.
Di bagian lain, seorang yang berwajah gelap ternyata
tidak sempat mempergunakan ilmu gendamnya untuk
menguasai binatang apapun juga untuk melawan para
prajurit Lemah Warah. Iapun tidak sempat
mempergunakan ilmunya untuk mengaburkan nalar lawanlawannya
karena ia langsung harus bertempur dengan
senjatanya. Meskipun ia mencoba berusaha tetapi
kesempatannya tidak pernah didapatkannya dalam hiruk
pikuk pertempuran itu. Tetapi orang itu tidak ingin menyerah. Ia mempunyai
sekotak ular yang akan dapat dikuasainya dengan ilmunya
dan menaburkannya ke medan. Bisa ular itu akan dapat
membunuh para prajurit Lemah Warah tanpa ampun,
sehingga dengan demikian, maka mereka pun akan segera
dapat dihancurkan. Karena itu, maka orang itupun telah berusaha untuk
melepaskan diri dari pertempuran yang ribut. Ketika
beberapa orang padepokan itu hadir pula di arena, maka ia
merasa mendapat kesempatan untuk meninggalkan arena
itu. Dengan diam-diam ia telah menyusup di antara barakbarak
yang ada di padepokan itu dan menuju ke barak yang
dipergunakannya untuk menyimpan ular-ularnya.
Dengan cepat ia menyelinap memasuki pintu baraknya
dan langsung menuju ke biliknya.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam ketika dilihatnya
kotak kayu yang cukup besar yang dipergunakannya untuk
menyimpan ular-ularnya masih berada di tempatnya.
Dengan serta merta iapun telah meloncat mendekat dan
kemudian duduk di depan peti yang penuh berisi ular itu. Ia
berniat untuk mengetrapkan ilmunya dan menggerakkan
ular-ularnya agar memasuki medan dan membunuh para
prajurit Lemah Warah. Dengan ilmunya ia akan
mempengaruhi ular-ularnya untuk mengetahui yang
manakah prajurit Lemah Warah yang harus dibinasakan.
Namun orang itu terkejut ketika ia mendengar desir
lembut ke arah pintu biliknya. Pendengarannya yang tajam
segera dapat mengenal bahwa suara itu tentu suara langkah
kaki seseorang. Sehingga karena itu, iapun menjadi sangat
berhati-hati. Sebenarnyalah langkah itu memang menuju ke pintu
biliknya yang ternyata masih terbuka. Tetapi orang itu tidak
mempunyai kesempatan untuk menutupnya, karena tibatiba
saja seseorang telah berdiri di depan pintu biliknya.
Orang itu menjadi tegang, sementara orang yang berdiri
di depan pintu itupun bersiap pula menghadapi segala
kemungkinan. "Setan," geram orang itu yang melihat salah seorang
dari tiga orang yang disebut kemanakan Tatas Lintang telah
mengikutinya. "Kenapa kau bersembunyi?" bertanya Mahisa Pukat
yang melihat orang itu menyelinap dan kemudian ia
memang mengikutinya. Orang itu termenung sejenak. Namun perlahan-lahan ia
telah membuka tutup kotaknya. Tanpa dilihat oleh Mahisa
Pukat tangannya telah meraih seekor ular dari kotak itu.
"Kenapa kau bersembunyi" " sekali lagi Mahisa Pukat
bertanya. Tetapi ternyata orang itu tidak menjawab. Yang
dilakukannya adalah melempar Mahisa Pukat dengan ular
yang dapat diraihnya tanpa memilih. Ternyata ular itu
adalah ular bandotan yang meskipun tidak begitu besar,
tetapi patukannya akan dapat membunuh seseorang dalam
waktu pendek. Mahisa Pukat memang terkejut. Secara naluriah ia telah
bersiap untuk menghindar.
Namun ketika ia melihat seekor ular yang dilemparkan
kepadanya, maka ia telah mengurungkan niatnya, ia tetap
saja berdiri di muka pintu dan membiarkan ular itu
mengenainya dan langsung melilit di tangannya yang
memang berusaha untuk menangkap ular itu.
Ular itu memang telah mematuknya dan membelitnya
dengan kuat. Untuk sesaat Mahisa Pukat tidak bergerak. Namun
kemudian tangannya yang lain telah mengurai ular itu,
memijit kepalanya sehingga gigitannya terlepas. Kemudian
dengan sekuat tenaga ular itu dibantingnya ke tanah
sehingga mati seketika. Orang yang melemparkan ular itu menarik nafas dalamdalam
ketika ia melihat ularnya telah menggigit orang yang
berdiri di muka pintu itu.
Namun ternyata orang yang berdiri di muka pintu itu
sama sekali tidak mengalami akibat dari gigitan ularnya.
Bahkan Mahisa Pukat itu telah melangkah perlahan-lahan
mendekatinya. "Gila," geram orang itu. Ia pun kemudian menyadari
bahwa Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakunya
sebagai kemanakannya itu sama sekali tidak dapat
terpengaruh oleh racun dan bisa. Beberapa kali hal itu telah
terjadi dan dialami oleh para penghuni padepokan itu dan
mereka pun telah pernah saling membicarakannya.
Karena itu. maka orang itu tidak akan dapat
mempergunakan ular-ularnya untuk melawan orang itu.
Iapun belum sempat pula mempengaruhi ular-ular itu
dengan ilmunya agar ular-ular itu menyerang para prajurit
Lemah Warah. Dengan demikian, maka ia tidak dapat berbuat lain
kecuali menghadapi Mahisa Pukat tanpa mempergunakan
ular-ularnya itu dan karena itu. maka ia telah menutup
kotaknya baik-baik dan berkata kepada diri sendiri, "Aku
harus menghancurkannya dengan cepat, agar aku sempat
mempergunakan ular-ular itu. Jika aku terlambat, maka
keadaan akan menjadi semakin sulit bagi orang-orang di
padepokan ini." Karena itu ketika Mahisa Pukat melangkah
mendekatinya, maka orang itupun telah melangkah pula
maju. "Ki Sanak," berkata orang itu, "aku tahu siapa kau dan
aku tahu untuk apa kau mengikuti aku. Karena itu, marilah,
kita akan keluar dari ruang sempit ini. Kita akan mengukur
kemampuan kita tanpa terganggu oleh isi bilik ini."
Mahisa Pukat termangu-mangu. Namun iapun
kemudian berkata, "Baiklah. Marilah kita keluar."
Orang itu tertawa. Katanya, "Kau terlalu berhati-hati
dan berprasangka. Jangan menduga buruk terhadap
seseorang. Kau kira aku telah menjebakmu dan akan
menyerangmu dari belakang pada saat kau keluar dari bilik
ini?" Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia menjawab, "Satu hal yang mungkin sekali
terjadi. Baru saja kau menyerangku dengan curang. Tanpa
peringatan apapun juga kau telah melemparkan seekor ular
untuk menyerangku. Kau kira serangan yang demikian
tidak sama nilainya dengan menyerang punggung?"
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Baiklah. Marilah kita keluar."
Orang itulah yang kemudian berjalan ke arah pintu dan
mendahului Mahisa Pukat keluar dari bilik itu dan
seterusnya keluar dari barak itu pula.
Di halaman orang itu berhenti langsung bersiap
menghadapi Mahisa Pukat yang telah keluar dari barak itu
pula. Mahisa Pukat terkejut melihat sikap orang itu. Kesiagaan
orang itu agak mencurigakan. Orang itu tidak berdiri tegak
dengan tangan yang siap mengayunkan senjata, atau
memiringkan tubuhnya sedikit pada kaki yang agak
merendah, atau cara-cara lain, tetapi orang itu justru berdiri
dengan tangan bersilang di dada.
Sementara itu, terasa angin yang bagaikan berhembus ke
arah wajah Mahisa Pukat. Perlahan-lahan. Namun terasa
satu pengaruh yang mulai mencengkam.
"Gila," geram Mahisa Pukat. Ia mulai menyadari apa
yang sedang dilakukan oleh orang itu. Agaknya orang itu
telah mengetrapkan ilmu gendamnya. Tidak untuk
mempengaruhi seekor atau dua ekor harimau atau beberapa
ekor orang hutan atau ular berbisa, tetapi orang itu
mencoba mengetrapkan ilmunya pada dirinya.
Mahisa Pukat benar-benar tersinggung. Ia pernah
melihat salah seorang yang tidak dikenal yang menurut
dugaannya adalah orang dari padepokan itu pula, telah
mampu menggetarkan udara dan bagaikan angin pusaran
menyusup ke dalam tubuh Mahisa Ura yang
kepribadiannya paling lemah di antara mereka berempat,
kemudian mempergunakan tubuh Mahisa Ura untuk
bertempur melawannya bertiga. Namun kini ternyata
lawannya itu telah mempersamakannya dengan derajad
seekor binatang untuk dapat dipengaruhi dengan ilmu
gendamnya. Namun ternyata bahwa pengaruh itu memang
dirasakannya meskipun tidak mampu mencengkamnya dan
menguasainya. Tetapi kemarahan Mahisa Pukat tidak dapat
dikendalikannya. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia
menjulurkan tangannya dengan kedua telapak tangannya
menghadap ke depan. Seleret sinar seakan-akan telah meluncur dari telapak
tangannya itu, langsung menyambar dua langkah dari
tempat orang yang diduga sedang mengetrapkan ilmu
gendamnya itu. Tanah yang tersentuh seleret sinar itu bagaikan meledak.
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang itu memang terkejut. Dengan serta merta iapun
telah terloncat surut beberapa langkah. Wajahnya menjadi
merah membara oleh kemarahan yang menghentak di
dadanya. "Kau sombong sekali," geram orang itu, "ternyata kaupun
licik sekali. Kau menyerang aku dengan tiba-tiba tanpa
memberikan peringatan lebih dahulu."
"Gila," geram Mahisa Pukat, "jika aku licik seperti kau,
maka aku tidak akan memberimu peringatan. Aku akan
langsung menyerang kepalamu sehingga kepalamu akan
pecah karenanya." "Persetan," orang itu hampir berteriak, "kenapa tidak
kau lakukan?" "Sudah aku katakan. Aku tidak selicik kau," jawab
Mahisa Pukat, "kita akan berhadapan sebagai laki-laki,
meskipun kau sudah dua kali menyerangku tanpa
peringatan. Bukan aku yang melakukannya, tetapi justru
kau. Kau telah melemparkan ular itu dan yang kedua kau
telah menyerangku dengan licik, bahkan menghinaku pula.
Kau anggap aku seekor kerbau dungu yang akan kau jerat
dengan ilmu gendammu he" Kau telah merendahkan
martabat manusiaku di samping kecuranganmu itu."
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba saja
ia telah tertawa, "Jadi kau merasakan pengaruh ilmuku.
Jika demikian maka kau memang mempunyai martabat
yang terlalu rendah sebagai manusia. Tidak seorang pun
yang dapat dipengaruhi oleh ilmu gendam jika pribadinya
cukup bernilai dalam tataran martabat manusia wajar. Jika
kau merasakan pengaruhnya, maka nilai martabat
manusiamu berada di bawah tataran martabat manusia
sewajarnya." Tetapi Mahisa Pukat justru berusaha untuk menguasai
dirinya. Ia sadar, bahwa lawannya telah membuatnya
marah, sehingga ia kehilangan penalarannya. Karena itu,
Mahisa Pukat itu justru tertawa. Katanya, "Ceriteramu
memang menarik. Mungkin kau benar, bahwa martabatku
tidak pada tataran martabat manusia seutuhnya. Tetapi itu
tidak apa. Kita akan membuktikan, apakah martabatmu
lebih rendah atau lebih tinggi dari martabatku."
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun iapun
tersenyum " Syukurlah jika kau menyadarinya. Dengan
demikian maka kau tidak akan menyesali apa yang dapat
terjadi atasmu nanti."
"Tidak Ki Sanak," berkata Mahisa Pukat, "aku tidak
akan menyesali apapun juga yang mungkin terjadi atas
diriku. Di sekitar barak ini pertempuran menjadi semakin
seru. Korban akan jatuh di kedua belah pihak. Dan kita pun
tidak akan luput dari paugeran perang. Salah seorang di
antara kita akan mati, kecuali jika kau menyerah, karena
kami tengah mengemban perintah Sri Maharaja di Kediri."
"Kaulah yang kini menghinaku. Kau sangka bahwa
kami mengenal menyerang menghadapi siapapun juga?"
jawab orang itu. "Jika demikian bersiaplah untuk mati." jawab Mahisa
Pukat, "aku tidak akan membiarkan kau memberikan
perlawanan terlalu lama. Aku dapat membunuhmu saat ini
juga." "Jangan terlalu sombong anak muda." jawab orang itu.
Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun iapun telah
melangkah mendekat. Pedangnya yang telah
digantungkannya di lambungnya telah berada di tangannya
kembali. Bahkan mulai bergetar dan teracu ke arah
lawannya. Sementara iapun melangkah maju perlahanlahan.
"Kau telah menghina aku lagi," geram orang itu,
"kenapa kau tidak menyerangku dengan ilmumu yang dapat meledakkan tanah tempat aku berpijak."
--ooo0dw0ooo- Jilid 035 "SAMA SAJA," jawab Mahisa Pukat, "yang penting kau akan mati."
Orang itu tertawa. Namun iapun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Bahkan iapun telah mencabut kerisnya yang besar yang tergantung di punggungnya.
"Aku tidak biasa mempergunakannya," berkata orang
itu, "tetapi karena kau bersenjata pedang, maka aku akan
melawanmu dengan kerisku ini. Keris yang barangkali tidak
begitu baik. Tetapi cukup mempunyai naluri yang disegani
oleh setiap orang yang berani melawan aku."
"Aku ternyata terlepas dari naluri itu," jawab Mahisa
Pukat sambil melangkah semakin dekat, "aku sama sekali
tidak merasakan pengaruhnya. Karena itu kerismu itu lebih
jelek dari ilmu gendammu yang buruk itu."
Orang itu menggeram. Namun iapun kemudian dengan
tiba-tiba saja telah meloncat menyerang. Kerisnya yang
besar itu terayun mendatar langsung menebas ke arah leher
Mahisa Pukat. Namun Mahisa Pukat sudah cukup bersiaga. Dengan tangkas ia bergeser. Namun pedangnyalah yang kemudian terjulur mematuk dada.
Tetapi serangan Mahisa Pukat itupun tidak berhasil.
Lawannya pun dengan cepat menghindar, bahkan orang itu telah meloncat pula menyerang.
Demikianlah keduanya telah terlibat ke dalam pertempuran yang sengit. Keduanya ternyata mampu mempergunakan senjata masing-masing dengan baik.Karena itulah maka kedua senjata itu berputaran bagaikan
gumpalan-gumpalan awan di seputar tubuh masing-masing.
Pedang Mahisa Pukat yang berputar dengan cepat sekali,telah melindungi tubuhnya dengan gumpalan asap yang berwarna putih kebiru-biruan. Sementara itu putaran keris lawannya telah menjadi perisai di seputar dirinya dengan kabut yang berwarna kehitam-hitaman.Dalam pertempuran itu, sekali-sekali kedua senjata itu memang bersentuhan, sehingga menimbulkan percikan bunga api yang berloncatan.Lawan Mahisa Pukat itu mengumpat di dalam hati.
Ternyata anak muda itu memang memiliki kelebihan. Pada
awal pertemuan mereka, anak muda itu telah melontarkan
serangan yang mengejutkan, sehingga tanah tempat mereka
berpijak itu dapat meledak. Untunglah serangan itu tidak
langsung ditujukan kepadanya, tetapi justru di hadapannya.
"Tetapi ia tidak akan mampu melakukannya lagi dalam
pertempuran berjarak pendek ini," berkata lawan Mahisa
Pukat itu di dalam hati, "anak itu tidak akan sempat barang
sekejap pun untuk membangunkan ilmunya itu."
Sebenarnyalah, Mahisa Pukat akan mengalami kesulitan
jika ia masih saja terlibat dalam pertempuran yang seakanakan
tidak berjarak itu. Tetapi Mahisa Pukat memang belum memerlukannya. Ia
memang berusaha untuk dapat menyelesaikan lawannya itu
tanpa mempergunakan ilmunya yang disadapnya dari Tatas
Lintang yang ternyata adalah Akuwu dari Lemah Warah.
Yang terjadi kemudian adalah pertempuran yang sengit
dengan mengandalkan ilmu masing-masing dalam
mempergunakan senjata. Pedang Mahisa Pukat yang
berputar itu sekali-sekali telah terayun mendatar. Namun
kemudian mematuk dengan cepat ke arah dada.
Tetapi setiap kali lawannya mampu mengelak. Bahkan
kerisnya yang besar itulah yang kemudian dengan
garangnya bagaikan menerkam lawannya. Ujungnya yang
berwarna kehitaman itu nampak betapa mendebarkan.
Namun Mahisa Pukat cukup tangkas menghadapi keris
itu. Pada saat-saat yang gawat, Mahisa Pukat masih selalu
dapat mengatasinya dengan kecepatan gerak dan
kemampuannya bermain pedang.
Dengan demikian maka keduanya yang bertempur
terpisah dari lingkungan pertempuran yang lain itu, seakanakan
memang telah disediakan waktu dan tempat yang
tidak terbatas. Keduanya berloncatan saling menyerang dengan
langkah-langkah yang panjang. Ayunan pedang Mahisa
Pukat dan tebasan ujung keris lawannya, telah mendorong
keduanya bergeser sedikit demi sedikit dari tempat semula.
Namun keduanya masih tetap bertempur di antara barakbarak
di padepokan itu. Desak mendesak, sekali-sekali
berloncatan surut untuk mengambil jarak.
Semakin lama keduanya pun telah meningkatkan ilmu
mereka sampai ke tataran tertinggi. Pedang dan keris di
tangan itu berputar semakin cepat. Menebas, terayun
mendatar, mematuk dan sekali-sekali terdengar benturan
yang kuat. Kecuali memercikkan bunga api di udara, maka dalam
benturan itu keduanya seolah-olah mampu saling menjajagi.
Namun semakin sering benturan itu terjadi, maka tangan
mereka-pun semakin terasa sakitnya.
Namun kemudaan Mahisa Pukat agaknya memberikan
keuntungan kepadanya. Darahnya yang panas dan tekad di
dalam dadanya yang menyala, membuatnya menjadi
semakin garang. Keyakinannya dalam mengemban tugas
serta kesadaran pengabdiannya telah membuat kekuatannya
bagaikan berlipat. Daya tahan tubuhnya pun seolah-olah
menjadi tanpa batas. Betapapun juga, Mahisa Pukat memiliki bekal yang
cukup dengan menempa dirinya untuk waktu yang lama di
bawah bimbingan orang-orang berilmu sangat tinggi.
Dengan demikian maka Mahisa Pukat pun telah
mengerahkan segenap kemampuannya karena ia ingin
menyelesaikan pertempuran itu lebih cepat.
Hentakan kekuatan dan kemampuan Mahisa Pukat itu
telah membuat lawannya mulai terdesak. Darah Mahisa
Pukat yang mendidih oleh kesadaran pengabdiannya benarbenar
menjadi dorongan yang luar biasa sehingga tenaga
cadangan di dalam dirinya yang dialirkan lewat ilmu
pedangnya menjadi seakan-akan berlipat.
Lawan Mahisa Pukat itu menjadi heran. Kekuatan anak
muda itu semakin lama tidak menjadi semakin susut. Tetapi
justru semakin berlipat. Sedikit demi sedikit, tetapi pasti,
lawan Mahisa Pukat itu merasa semakin terdesak.
Kemampuannya mempermainkan kerisnya terasa semakin
lamban dibandingkan dengan putaran pedang Mahisa
Pukat. Karena itu, lawan Mahisa Pukat itu tidak mempunyai
cara lain untuk mengatasi lawannya kecuali dengan
mempergunakan kemampuannya yang jarang sekali
dipergunakan, jika tidak terpaksa sebagaimana dialaminya
pada waktu itu. Jika ia tidak mempergunakannya, maka
kemungkinan yang paling buruk akan dapat terjadi atasnya.
Mungkin sekali ujung pedang anak muda itu akan
menembus dada dan membelah jantungnya, sehingga
semua rencana yang telah disusun di padepokan itu akan
hancur berantakan. Sejenak pertempuran itu masih berlangsung terus. Lawan
Mahisa Pukat itu semakin terdesak. Sehingga orang itu
akhirnya tidak lagi dapat berbuat lain.
Pada saat ia terdorong mundur, selagi ujung pedang
Mahisa Pukat hampir menyentuh dadanya, maka orang itu
telah mengetrapkan ilmunya yang jarang dipergunakannya.
Mahisa Pukat yang mendesaknya, memang tidak mau
melepaskannya lagi. Setiap kali lawannya meloncat surut,
Mahisa Pukat itu selalu memburunya.
Namun ketika Mahisa Pukat merasa yakin, bahwa
lawannya itu tidak akan mampu menghindar lagi, serta
pada saat ujung pedangnya mematuk dengan satu
keyakinan akan menyelesaikan pertempuran itu, maka tibatiba
saja lawannya telah lenyap dari pandangan matanya.
Mahisa Pukat menjadi bingung sejenak. Namun iapun
segera meloncat justru ke depan, dan dengan tangkas
berbalik. Sebenarnyalah lawannya telah berada beberapa
langkah dari padanya, siap untuk menyerangnya.
Mahisa Pukat memang menjadi berdebar-debar. Namun
iapun segera menyadari bahwa lawannya memiliki ilmu
panglimunan. Namun ia masih belum tahu, dari jenis yang
manakah ilmu yang dimiliki oleh lawannya itu. Apakah
ilmu itu sempurna sehingga lawannya itu benar-benar dapat
menghilang dan bertindak dalam ketiadaan menurut
pengamatan mata wadag. Namun mungkin ilmu yang
dimilikinya itu masih dalam jenis yang wungkul. Sehingga
lawannya itu hanya memiliki sebagian unsur dari jenis ilmu
panglimunan. Namun kenyataan tentang lawannya itu memang
membuat Mahisa Pukat menjadi berdebar-debar. Ia akan
mengalami pertempuran yang berat jika lawannya memiliki
ilmu Panglimunan yang sempurna. Sehingga dengan
demikian ia tidak akan dapat mempergunakan mata
wadagnya untuk mengikuti tata gerak lawannya.
Sejenak kemudian terdengar lawannya itu justru tertawa.
Pada saat Mahisa Pukat siap menunggunya, orang itu justru
berkata lantang, "Jangan cemas anak muda. Mungkin
memang sudah menjadi nasibmu, bahwa kau akan
mengalami kematian yang pahit. Kau akan bertempur tanpa
mengetahui apa yang dapat kau perbuat."
Mahisa Pukat tidak segera menjawab. Namun ia ingin
membiarkan lawannya itu membual, sehingga ia sempat
untuk menemukan cara yang lebih baik untuk melawannya.
Dalam pada itu orang itupun berkata pula, "Bersiaplah
untuk mati. Sebentar lagi, aku akan hilang dari pandangan
matamu. Tiba-tiba saja ujung kerisku sudah menggores di
kulitmu. Sebuah goresan kecil akan dapat membunuh
seseorang. Tetapi aku tahu, bahwa kau tawar akan racun
dan segala macam bisa, sehingga dengan demikian, maka
racun kerisku tidak akan membunuhmu. Tetapi pada suatu
saat kerisku akan menghunjam ke perutmu."
Mahisa Pukat berusaha untuk tetap menguasai
perasaannya. Dengan nada rendah iapun berkata, "Satu
permainan yang buruk. Marilah kita lihat, apakah benarbenar
kau dapat menghindari tatapan mata wadagku."
Orang itu tertawa. Katanya, "Bukankah sudah terbukti
bahwa kau merasa kehilangan lawanmu?"
"Hanya karena tiba-tiba saja terjadi. Tetapi untuk
selanjutnya kau tidak akan dapat berbuat seperti itu lagi,"
berkata Mahisa Pukat. Orang itu masih tertawa. Namun kemudian iapun telah
menggerakkan kerisnya yang besar. Dengan tangkasnya ia
meloncat menyerang Mahisa Pukat.
Mahisa Pukat sempat menghindar. Tetapi ia berusaha
untuk tetap berdiri dekat dengan dinding barak. Ia akan
melihat, apakah lawannya dapat melenyapkan diri dan
menyerangnya dalam keadaannya itu.
Sejenak mereka bertempur. Namun seperti yang sudah
terjadi, maka Mahisa Pukat segera dapat mengatasi
kemampuan lawannya. Namun Mahisa Pukat tidak
berusaha untuk mendesaknya. Ia justru lebih banyak
bertahan meskipun kemampuannya berada di atas
kemampuan lawannya pada tataran tertinggi ilmu
pedangnya. Lawannya memang memancing Mahisa Pukat untuk
memburunya. Tetapi Mahisa Pukat berusaha untuk tetap di
tempatnya.
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lawannya yang merasa bahwa ia tidak akan mampu
berbuat banyak dengan kerisnya, tiba-tiba saja telah
berusaha membuat lawannya kebingungan. Dengan serta
merta, maka iapun telah bergeser surut. Namun tiba-tiba
saja iapun telah lenyap. Mahisa Pukat justru bergeser surut melekat dinding
barak di belakangnya. Dengan hati-hati ia bersiap untuk
menghadapi ilmu lawannya yang menyulitkan itu.
Mahisa Pukat memang tidak perlu menunggu terlalu
lama. Ketajaman pendengarannya segera memberitahukan
kepadanya, bahwa lawannya berdiri di sebelah kirinya.
Karena itulah, maka Mahisa Pukat pun segera memusatkan
perhatiannya ke arah lawannya.
Sebenarnyalah tiba-tiba saja lawannya telah menjulurkan
kerisnya. Namun dengan tangkas Mahisa Pukat berhasil
mempergunakan ilmu pedangnya untuk menangkis
serangan lawannya. Ketika kemudian terjadi pula hal seperti itu, sekejap dari
saat lenyapnya tubuh lawannya, maka ia sudah nampak lagi
berdiri di sebelah lain dengan keris teracu. Kadang-kadang
lawannya itu dengan cepat langsung menyerangnya.
Namun kadang-kadang ia masih menunggu.
Dengan demikian, maka Mahisa Pukat berhasil
mengenali jenis ilmunya, ia tidak perlu memusatkan
segenap nalar budinya untuk mengetahui di mana lawannya
berada jika lawannya mampu mempergunakan ilmu
panglimunan dengan sempurna. Namun dengan
pengamatan nalar dan ketajaman penglihatannya, Mahisa
Pukat dapat memperhitungkan, ke mana lawannya akan
muncul, karena menurut uraian Mahisa Pukat atas
pengenalannya terhadap ilmu lawannya itu adalah, pada
saat lawannya itu lenyap dari tangkapan mata wadagnya, ia
hanya mempunyai kesempatan untuk sekedar meloncat dari
tempatnya ke tempat yang lain.
Namun demikian jika lawannya itu mampu
memanfaatkannya dengan baik maka Mahisa Pukat benarbenar
akan kebingungan. Tetapi memang jarang sekali seseorang yang mampu
memiliki ilmu panglimunan yang sempurna, sehingga ia
benar-benar dapat melenyapkan diri untuk waktu yang
tidak terbatas dan berbuat sesuatu dengan sentuhan
wadagnya dengan orang yang tidak berada pada keadaan
seperti dirinya. Adapun lawan Mahisa Pukat itu berada pula pada satu
tataran ilmu panglimunan yang belum sempurna, ia hanya
dapat lenyap untuk sekejap saja. Dan agaknya ia
mempergunakan waktu yang sekejap itu untuk melenting
dari tempatnya ke tempat yang lain. Kemudian dengan tibatiba
ia menyergap lawannya dengan ujung senjatanya.
Meskipun demikian pada permulaannya Mahisa Pukat
memang agak kebingungan menghadapi lawannya.
Serangannya tidak akan pernah dapat mengenai
sasarannya, karena jika lawannya terdesak, orang itu akan
segera mempergunakan ilmunya. Ia dengan tiba-tiba saja
muncul di tempat lain dan langsung menyerangnya dengan
ujung keris teracu. Hanya dengan ketangkasan dan kecepatan gerak sajalah
Mahisa Pukat mampu bertahan untuk beberapa saat,
meskipun setiap kali ia harus bergeser dengan loncatan
panjang. Namun untuk menghindari serangan dari arah
belakang, maka Mahisa Pukat berusaha untuk tetap melekat
pada dinding barak di belakangnya.
"Licik," teriak lawannya, "ayo, kita bertempur di tempat
yang luas dan tidak terganggu."
"Aku senang bertempur di sini," jawab Mahisa Pukat.
"Kau pergunakan dinding barak sebagai perisai," berkata
lawannya. "Apa boleh buat," jawab Mahisa Pukat, "kau telah
mempergunakan ilmu yang kurang aku kenal."
"Karena itu sadari kedunguanmu. Menyerah sajalah."
berkata orang itu. "Aku memasuki padepokan bukan sekedar untuk
menyerah," berkata Mahisa Pukat, "aku datang untuk
menangkapmu." "Persetan," geram orang itu. Iapun kemudian dengan
serta merta telah meloncat menyerang. Namun Mahisa
Pukat-pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Karena itu. maka iapun dengan tangkas telah menangkis
serangan itu dengan pedangnya.
Namun menghadapi ilmu lawannya Mahisa Pukat pun
telah mempergunakan ilmunya pula, ilmunya yang semula
memang agak meragukannya karena seakan-akan ilmunya
ini telah dipergunakan untuk mengambil milik orang lain
tanpa diketahuinya. Tetapi Mahisa Pukat tidak dapat berbuat lain.
Lawannya-pun telah mempergunakan ilmu yang
mendebarkan pula. Karena serangannya yang beruntun tidak dapat
menembus pertahanan Mahisa Pukat, maka tiba-tiba saja
lawannya itu telah lenyap untuk sesaat. Ia muncul di tempat
yang lain dengan ujung keris yang terjulur. Bahkan tiba-tiba
iapun telah meloncat sambil mengayunkan kerisnya yang
besar itu. Menghadapi sikap yang demikian Mahisa Pukat
memang kadang-kadang harus berdesah. Ia harus dengan
cepat berputar mengarah ke lawannya yang muncul dengan
tiba-tiba. Kemudian menghadapi serangannya yang datang
dengan cepat pula. Sementara itu, Mahisa Pukat sulit untuk
memperhitungkan, di mana lawannya itu akan muncul.
Namun Mahisa Pukat pun bukannya melawan dengan
wantah. Iapun telah mengetrapkan ilmunya pula.
Pertempuran itupun kemudian menjadi semakin seru dan
tegang. Denyut jantung di dada Mahisa Pukat rasa-rasanya
menjadi semakin cepat. Kadang-kadang ia kehilangan
lawannya yang muncul di tempat yang tidak diduganya
sama sekali. Mahisa Pukat terkejut ketika tiba-tiba saja lawannya
menyerang dari arah yang sama sekali tidak diduganya.
Ketika lawannya itu lenyap, maka Mahisa Pukat
memperhitungkan bahwa lawannya itu akan muncul di sisi
yang lain dari tempatnya berdiri. Namun tiba-tiba lawannya
itu muncul di tempatnya semula. Bahkan tiba-tiba saja satu
loncatan yang panjang datang demikian cepatnya
sementara ujung keris itu terayun menebas ke arah
lehernya. Mahisa Pukat yang terkejut itu bergeser mundur. Namun
ia sempat menangkis serangan itu meskipun karena sangat
tergesa-gesa, maka ujung keris itu masih menggores di
kulitnya. Goresan yang memanjang di pundaknya
menyilang ke arah dada. Goresan itu memang tidak begitu dalam. Tetapi dari
goresan itu telah mengalir darah yang semula nampak
kehitam-hitaman. Namun kemudian menjadi merah segar.
Mahisa Pukat mengaduh tertahan. Luka itu terasa pedih.
Racun di ujung keris itu telah membentur penawarnya di
tubuh Mahisa Pukat, sehingga luka itu menjadi pedih
meskipun tidak terlalu lama.
Lawan Mahisa Pukat itu tertawa berkepanjangan, ia
melihat luka di pundak anak muda itu. Katanya, "Jangan
menyesal anak muda. Kau memang akan mati di
padepokan ini." Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi ujung
pedangnyalah yang terjulur. Hampir saja menyentuh kening
lawannya. Tetapi lawannya itu sempat mengelak dan ketika
Mahisa Pukat memburunya, lawannya itupun telah lenyap
dan muncul di arah yang lain.
Tetapi lawannya itu tidak langsung menyerangnya, ia
masih tertawa sepuas-puasnya menikmati kemenangan
kecilnya. Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat lah yang telah
menyerangnya. Tetapi Mahisa Pukat telah membuat
perhitungan tersendiri menghadapi lawannya yang
membingungkannya itu. Ternyata serangan-serangan Mahisa Pukat selanjutnya
tidak lagi begitu garang. Geraknya menjadi lamban dan
kadang-kadang nampak keragu-raguannya.
Karena itu, maka dengan mudah lawannya itu
menangkis setiap serangan. Bahkan untuk beberapa lama ia
merasa tidak perlu melenyapkan dirinya untuk mengelabui
lawannya yang menurut penilaiannya, tidak lagi segarang
sebelum dilukainya. Dengan demikian maka untuk beberapa saat lamanya
keduanya bertempur dalam keadaan wajar. Mahisa Pukat
nampaknya tidak lagi mampu mendesak lawannya.
Meskipun serangan-serangannya masih nampak berbahaya,
tetapi lawannya tidak melihat lagi kelebihan yang
menekannya. Namun beberapa saat kemudian, lawan Mahisa Pukat
itu menjadi heran atas dirinya sendiri. Ia menilai lawannya
bergerak semakin lamban. Namun dirinya sendiri rasarasanya
tidak juga mampu berbuat lebih cepat dari
lawannya. Beberapa kali ia hanya berloncatan mundur,
menangkis serangan lawan dan serasa tidak lagi mampu
menyerang. "Apa yang telah terjadi atas diriku," bertanya orang itu
kepada diri sendiri. Namun tiba-tiba saja ia menyadari, bahwa tenaganya
sudah menjadi jauh susut. Bahkan tiba-tiba saja rasarasanya
sangat berat mengangkat dan mengayunkan
kerisnya yang sangat besar.
"Gila," geram orang itu.
Ketika kemudian Mahisa Pukat mendesaknya, iapun
telah mempergunakan ilmu Panglimunannya dan meloncat
menjauh. Orang it masih mampu melenyapkan diri dari tangkapan
mata wadag Mahisa Pukat. Namun ketika ia nampak lagi di
tempat lain, nafasnya menjadi terengah-engah. Rasarasanya
tenaganya benar-benar sudah terkuras habis.
"Bagaimana Ki Sanak." tiba-tiba saja Mahisa Pukat
bertanya, "waktu kita masih banyak."
Orang itu mengumpat. Dengan nada geram ia berkata,
"Kau licik. Kau pergunakan ilmu yang sama sekali tidak
bersifat jantan. Kau curi kekuatan lawanmu dengan laku
yang sangat pengecut."
"Jangan mengumpat-umpat," berkata Mahisa Pukat,
"kita sama-sama licik. Bukankah aji panglimunanmu itu
bukan cara yang licik dalam pertempuran apalagi perang
tanding. Kau berusaha untuk melarikan diri dari
penglihatan lawan. Apa salahnya jika aku pun telah
mencuri kekuatanmu dengan caraku. Karena aku
sebenarnya dapat menghancurkanmu dengan ilmuku yang
lain." "Omong kosong," geram orang itu, "jika benar
demikian, kenapa tidak kau lakukan?"
"Aku dapat menghancurkan tubuhmu menjadi sewalangwalang,"
Mahisa Pukat pun menggeram.
Namun lawannya tidak menjawab. Tiba-tiba saja ia telah
melenyapkan diri dan muncul di jarak yang lebih jauh.
Mahisa Pukat meloncat memburu. Tetapi ia kehilangan
lagi lawannya. Tiba-tiba saja lawannya itu sudah berada di
tempat lain. Mahisa Pukat sadar, bahwa lawannya tentu berusaha
melarikan diri. Karena itu maka iapun telah berusaha untuk
mengejarnya. Tetapi kemampuan lawannya setiap kali melepaskan diri
meskipun hanya sesaat memang telah membuat Mahisa
Pukat bingung. Karena itu jarak antara dirinya dan
lawannya itupun menjadi semakin lama semakin jauh.
Meskipun lawannya tidak lagi memiliki kekuatan dan
kemampuan yang utuh. Namun dengan caranya ternyata
bahwa akhirnya ia benar-benar tidak lagi dapat dikejar oleh
Mahisa Pukat dan hilang di antara barak-barak di
padepokan itu. Mahisa Pukat yang kemudian kehilangan lawannya itu
berdiri termangu-mangu. Namun justru karena ia berdiri
seorang diri di antara barak-barak di padepokan itu. Ia
mulai memperhatikan keadaan di sekitarnya. Ia mulai
mendengar teriakan-teriakan yang riuh di sisi lain dari
padepokan itu. Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam, ia mulai
menyadari kembali bahwa ia tidak hanya berhadapan
dengan orang yang melarikan diri itu saja. Tetapi di
padepokan itu telah terjadi pertempuran yang sengit antara
pasukan Lemah Warah dan orang-orang yang berada di
padepokan itu. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah berniat untuk
terjun kembali ke pertempuran. Ia menganggap bahwa
lawannya itu tidak akan mampu memasuki medan karena
untuk beberapa lama ia telah kehilangan kekuatan dan
kemampuannya. Tatapi ketika Mahisa Pukat siap untuk meloncat
meninggalkan tempatnya, tiba-tiba saja ia teringat pada
sekotak ular yang tersimpan di dalam barak. Jika ular itu
kemudian dipergunakan di bawah kuasa ilmu gendam,
maka ular-ular itu akan dapat menimbulkan kesulitan bagi
prajurit Lemah Warah, karena ular yang berada di bawah
pengaruh ilmu itu akan mampu berbuat sebagaimana
diperintahkan oleh orang yang mempengaruhinya, sehingga
ular-ular itupun seakan-akan dapat memilih yang manakah
prajurit Lemah Warah dan yang manakah kawan-kawan
mereka, penghuni padepokan itu.
Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah berlari-lari
menuju ke barak itu. Namun Mahisa Pukat terkejut
karenanya, ketika ia melihat seekor ular merambat di
tangga barak itu. Demikian ia melihat Mahisa Pukat, maka
ular itupun langsung menyerangnya.
Meskipun Mahisa Pukat memiliki kekuatan yang dapat
menawarkan bisa ular, tetapi ia tidak senang ular itu
menggigitnya. Karena itu, maka iapun telah menebas leher
ular itu sehingga putus.
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun ternyata bahwa seekor ular telah menelusur di
bawah barak itu dan menghilang di rerumputan.
"Gila," geram Mahisa Pukat, "ternyata orang itu telah
berhasil melakukannya."
Dengan serta merta Mahisa Pukat meloncat masuk ke
dalam barak itu. Tetapi ia tidak melihat seorang pun lagi.
Namun ia melihat kotak tempat ular berbisa itu sudah
terbuka. Sementara itu beberapa ekor ular masih
berkeliaran. Namun ular-ular yang berada di bawah pengaruh
lawannya itu telah menganggap bahwa Mahisa Pukat harus
dibunuh sebagaimana kebencian orang yang memiliki ilmu
gendam itu. Karena itu, maka tiba-tiba beberapa ekor ular
yang berkeliaran itu telah berbalik ke arah Mahisa Pukat
dan siap untuk menyerangnya.
Mahisa Pukat memang memiliki penawar bisa. Tetapi
menghadapi ular yang cukup banyak, apakah penawar bisa
itu akan mampu melawan bisa yang terlalu banyak
menusuk ke dalam tubuhnya.
Mahisa Pukat tidak mendapat kesempatan untuk terlalu
lama berpikir. Beberapa ekor ular telah merayap semakin
dekat. Namun agaknya Mahisa Pukat lebih senang berkelahi
melawan ular-ular itu di tempat yang lapang. Karena itu,
maka ia-pun telah melenting ke pintu dan meloncat keluar
dari bilik dan barak itu.
Namun demikian ia berdiri di atas tanah yang ditumbuhi
rerumputan, beberapa ekor ular yang garang telah
mengepungnya. Beberapa di antaranya telah mengangkat
kepalanya dan berdiri pada bagian depan tubuhnya.
Lidahnya yang bercabang terjulur-julur mendebarkan.
Suaranya yang berdesis-desis dan membuat tengkuk Mahisa
Pukat meremang. Tetapi di tangan Mahisa Pukat tergenggam pedang,
sementara ia masih mempunyai perisai yang lain jika ada
satu dua di antara ular-ular itu yang lolos dari ujung
pedangnya. Bahkan kemudian ia merasa wajib untuk
menghancurkan ular-ular itu daripada ular-ular itu merayap
memasuki arena dan mematuk para prajurit Lemah Warah.
Dalam pada itu, Mahisa Murti telah berdiri bebas pula.
Lawannya terpaksa diselesaikannya sebagaimana paugeran
perang berbicara. Jika ia tidak membunuh lawannya, maka
ialah yang akan terbunuh atau prajurit-prajurit Lemah
Warah yang lain akan mati jika lawannya itu berhasil lepas
dari tangannya dan memasuki medan di sudut lain dari
pertempuran itu. Namun Mahisa Murti tidak sempat beristirahat. Tibatiba
saja ia telah terperosok ke dalam lingkaran
pertempuran yang mendebarkan. Ia melihat sebatang
tongkat yang terayun-ayun mengerikan. Tongkat yang pada
pangkalnya terdapat sebuah batu yang berwarna kehijauhijauan
itu. Mahisa Murti melihat bagaimana seorang
prajurit Lemah Warah terlempar keluar dari arena,
sementara yang lain berloncatan menghindari ayunan
tongkat yang berputar mengerikan.
Dengan pedang di tangan, Mahisa Murti pun telah
memasuki arena itu. Orang bertongkat itu tertegun melihat kehadiran Mahisa
Murti. Namun iapun telah bergeser beberapa langkah
meninggalkan arena, sementara itu orang-orang padepokan
itu telah menggantikannya melawan para prajurit Lemah
Warah yang sudah susut karena tongkat yang pada
pangkalnya terdapat batu yang kebiru-biruan itu.
Mahisa Murti menyadari, bahwa orang itu sengaja
keluar dari arena untuk menghindarinya. Karena itu, maka
Mahisa Murti pun telah mengikutinya dengan pedang
teracu. "Akhirnya kita sempat juga berbicara," berkata orang itu,
"siapakah sebenarnya kau pedagang batu akik?"
"Kau sudah tahu jawabnya, di mana aku berdiri
sekarang," jawab Mahisa Murti.
"Apakah kau benar kemanakan Akuwu Lemah Warah
itu?" bertanya orang bertongkat itu.
"Ya. Kenapa?" Mahisa Murti ganti bertanya.
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, "Satu
pengakuan yang sudah aku duga sebelumnya. Tetapi kau
kira aku begitu saja percaya" Mungkin kalian mempunyai
kepentingan yang sama dengan Akuwu itu atau setidaktidaknya
mempunyai persamaan. Mungkin atas batu hijau
itu, tetapi mungkin persoalan lain yang tidak kau katakan.
Tetapi menilik tingkah lakumu dan perhatianmu terhadap
batu hijau itu sehingga kau pertaruhkan nyawamu, serta
penyamaranmu sebagai penjual batu akik, maka
kepentinganmu tentu berkisar kepada batu hijau itu.
Sedangkan hal yang lain agaknya merupakan kepentingan
Akuwu Lemah Warah itu. Mungkin kalian telah membuat
perjanjian saling membantu meskipun mungkin sekali
kalian akan berebut hasil yang mungkin dapat kalian capai
dengan kerja sama ini."
"Satu ceritera yang menarik," desis Mahisa Murti,
"apakah kau masih mempunyai ceritera yang lain?"
"Persetan," geram orang bertongkat itu, "tetapi aku
yakin bahwa kau berkepentingan dengan batu itu. Bukan
karena kau juga mengemban tugas sebagaimana Akuwu
Lemah Warah ." "Aku tidak membantah," berkata Mahisa Murti, "namun
mungkin dapat aku tanyakan serba sedikit tentang
padepokan Suriantal?"
Orang itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja ia
menggeram, "Persetan dengan pertanyaanmu itu."
"Aku mendengar nama padepokan itu justru sebelum
aku melihat padepokan itu," jawab Mahisa Murti,
"sebenarnyalah kami ingin berbicara dengan baik. Atas
nama kuasa yang lebih tinggi, Akuwu Lemah Warah
memerintahkan kalian menyerah. Tetapi kalian ternyata
memilih untuk melawan."
"Aku tidak tahu arah bicaramu," berkata orang
bertongkat itu, "alasan apakah yang dapat dipergunakan
oleh Akuwu itu untuk memaksa kami menyerah?"
"Sebenarnya alasan itu tidak perlu disebut," berkata
Mahisa Murti, "meskipun agaknya orang-orang bertongkat
yang berada di padepokan inilah yang paling
berkepentingan." "Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan," jawab orang
bertongkat itu, "karena itu, kita sudah terlanjur membuka
medan. Kita akan menyelesaikannya sebagaimana kita
mulai." "Baik," jawab Mahisa Murti, "tetapi apakah
kepentinganmu dengan Mahkota Kediri?"
Pertanyaan itu mengejutkan orang bertongkat itu.
Namun iapun kemudian menarik nafas dalam-dalam sambil
berkata, "Itukah tugas Akuwu Lemah Warah?"
"Salah satu saja," jawab Mahisa Murti, "masih banyak
alasan lain, meskipun masih meragukan. Agaknya isi
padepokan ini bukan lagi diwarnai oleh satu cabang
perguruan." "Ternyata kau memang harus mati," geram orang
bertongkat itu, "aku memang sudah berniat untuk
menempuh cara ini menghadapi kuasa Kediri."
"Kediri pun telah memerintahkan untuk menempuh cara
ini untuk membuat penyelesaian meskipun Kediri masih
menawarkan langkah-langkah yang lebih lembut dan
kekeluargaan," berkata Mahisa Murti.
Orang bertongkat itu menggeram. Sejenak ia berpaling ke
arah pertempuran yang menyala di sebelahnya. Orangorangnya
telah bertempur dengan keras melawan para
prajurit Lemah Warah. Tongkat-tongkat panjang terayunayun
mendebarkan. Namun tidak setiap ayunan itu mampu
mengenai lawan mereka. Orang bertongkat itu menggeram. Katanya kemudian,
"Baiklah, akhirnya kita berhadapan dalam arena seperti ini.
Aku memang mengharap bahwa kita akan dapat bertemu
dalam kesempatan seperti ini. Meskipun aku merasa
tersinggung bahwa aku harus berhadapan dengan anak
ingusan seperti ini, namun apa boleh buat. Agaknya Kediri
memang tidak mempunyai orang yang lebih baik dari
kanak-kanak dan Akuwu Lemah Warah."
"Kita akan melihat, siapakah yang lebih baik di antara
kita," jawab Mahisa Murti.
Orang itu mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja
tongkatnya telah terayun-ayun sambil menggeram,
"Marilah agar aku cepat menyelesaikanmu. Kemudian aku
harus mencari Akuwu Lemah Warah itu untuk
membunuhnya pula. Prajurit-prajuritnya tidak akan berarti
apa-apa lagi bagiku."
Mahisa Murti pun segera mempersiapkan diri. Ketika
tongkat itu terayun, maka Mahisa Murti pun telah meloncat
surut. Namun lawannya itu tidak membiarkannya. Dengan
tangkasnya orang itu telah meloncat memburunya. Sekali
lagi tongkatnya terayun deras.
Ketika Mahisa Murti meloncat lagi menghindar, maka
terasa angin berdesing lebih keras.
Mahisa Murti tidak membiarkan dirinya menjadi
sasaran. Iapun kemudian telah memutar pedangnya pula.
Namun ia tidak mau langsung membentur tongkat
lawannya dengan pedangnya sebelum ia sempat
menjajaginya. Demikian pertempuran antara Mahisa Murti dan orang
bertongkat itu menjadi semakin lama semakin sengit.
Keduanya adalah orang-orang berilmu tinggi. Mereka
memiliki kekuatan melampaui orang kebanyakan.
Sekali-sekali Mahisa Murti dengan hati-hati mencoba
menjajagi kekuatan lawannya. Sekali-sekali ia telah
menyentuh ayunan tongkat itu meskipun tidak
membenturkannya langsung. Dengan demikian maka
Mahisa Murti dapat sekedar menjajagi, apakah kekuatan
orang itu akan dapat diimbangi atau tidak.
Sementara itu lawannya yang bertongkat itu agaknya
memang ingin segera dapat menyelesaikan pertempuran.
Agaknya ia mulai menyadari, bahwa prajurit Lemah Warah
menjadi semakin mendesak orang-orang padepokan itu.
Sehingga orang-orang padepokan itupun semakin lama
menjadi semakin terhimpit oleh tekanan para prajurit
Lemah Warah. "Gila," geram orang itu, "prajurit-prajurit Lemah Warah
licik sekali." "Kenapa?" bertanya Mahisa Murti.
"Mereka datang dalam jumlah yang jauh lebih banyak
dari orang-orangku," jawab orang bertongkat itu.
"Itu adalah hak dari Akuwu Lemah Warah yang
mendapat perintah untuk menangkap kalian," jawab
Mahisa Murti, "karena itu menyerah sajalah. Kau dan
orang-orangmu akan mendapat perlakuan yang baik."
"Tidak ada seorang pun yang akan mampu memaksa
aku untuk menyerah. Apalagi anak-anak ingusan seperti
kau," geram orang bertongkat itu.
"Bukan aku, tetapi Akuwu Lemah Warah," jawab
Mahisa Murti. "Jangankan Akuwu Lemah Warah, Sri Baginda Kediri
sekalipun tidak akan aku dengar perintahnya untuk
menyerah," jawab orang itu.
"Kau terlalu sombong," jawab Mahisa Murti,
"seharusnya kau menyadari, apakah usahamu dengan
orang-orangmu pilihan untuk mengambil mahkota itu
berhasil" Mereka telah mati terbunuh sebelum mereka
mendapat apa yang mereka cari. Nah, jika kau bersedia
untuk menyerah, maka persoalannya hanya berkisar pada
usahamu untuk mendapatkan mahkota itu saja."
"Persetan," geram orang itu, "sebentar lagi kau akan
mati." "Jika demikian, maka kita benar-benar akan sampai
kepada batas terakhir dari sebuah perang tanding," berkata
Mahisa Murti. "Kita tidak sedang berperang tanding," jawab orang itu,
"karena itu jika kau merasa perlu untuk memanggil
beberapa orang prajurit dan bertempur bersamamu, aku
tidak berkeberatan."
"Ah, pada saatnya tentu akan aku lakukan," jawab
Mahisa Murti, "tetapi agaknya aku akan dapat
menyelesaikan tugas ini tanpa bantuan orang lain."
"Kau terlalu sombong anak muda," jawab orang itu.
Mahisa Murti terkejut. Tongkat itu hampir saja mematuk
dahinya. Untunglah ia cepat menyadari keadaan, sehingga
ia sempat meloncat ke samping, sehingga ujung tongkat itu
tidak menyentuhnya. Mahisa Murti sadar sepenuhnya
bahwa patukan ujung tongkat itu akan dapat melubangi
dahinya dalam keadaan wajar.
Orang itu tiba-tiba saja tertawa. Katanya, "Kau terkejut
anak muda. Namun bagaimanapun juga aku tetap merasa
heran, bahwa kau mampu bertahan sekian lama."
"Kenapa kau heran?" bertanya Mahisa Murti, "kau akan
menjadi semakin heran jika kau sempat menyadari akhir
dari pertempuran ini. Tetapi agaknya kau tidak akan sempat
melihatnya secara wadag apa yang akan terjadi di akhir
perang tanding ini."
"Gila," geram orang itu. Tongkatnya pun menjadi
semakin cepat berputaran sehingga menimbulkan desing
yang semakin lama semakin keras.
Namun Mahisa Murti pun telah bersiap sepenuhnya
menghadapinya. Karena itu, apapun yang dilakukan oleh
lawannya. Mahisa Murti mampu mengimbanginya."
Dengan demikian maka pertempuran antara Mahisa
Murti dan orang bertongkat itupun menjadi semakin sengit.
Tongkat itu menyambar-nyambar dengan dahsyatnya
sehingga menimbulkan angin yang berdesing berputaran,
semakin lama semakin keras sehingga bagaikan angin
pusaran. Tetapi Mahisa Murti tidak menjadi bingung karenanya,
ia dengan penuh kesadaran menghadapi lawannya yang
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memiliki kekuatan yang luar biasa itu. Ketahanan tubuhnya
yang besar telah mengikatnya pada bumi tempatnya
berpijak sehingga ia tidak menjadi goyah oleh dorongan
angin pusaran. Sekali-sekali kedua senjata di tangan kedua orang
berilmu tinggi itu telah bersentuhan. Ternyata bahwa
tongkat yang ujudnya terbuat dari kayu itu memiliki
kekuatan yang mampu beradu dengan pedang di tangan
Mahisa Murti yang terbuat dari baja yang keras.
Mahisa Murti menjadi kagum akan kekuatan tongkat itu.
sehingga ia menyadari bahwa kekuatan tongkat itu
bukannya kekuatan kayu sewajarnya, tetapi tentu karena
kemampuan dan kekuatan orang yang mempergunakannya.
Tetapi sebaliknya orang itupun heran mengalami
benturan yang keras dengan pedang Mahisa Murti. Anak
muda itu ternyata memiliki kekuatan yang mampu
mengimbangi kekuatannya. Sehingga dalam setiap
benturan, pedang anak muda itu sama sekali tidak
terguncang di pegangan tangannya.
Dengan demikian maka pertempuran antara keduanya
semakin lama menjadi semakin dahsyat. Pengaruhnya pun
terasa di sekitar putaran pertempuran. Namun ternyata
keduanya telah bergeser semakin jauh dari arena
pertempuran yang riuh antara para prajurit Lemah Warah
dan isi padepokan itu. "Anak itu harus segera mati," geram orang bertongkat
itu. Namun ternyata bahwa ia tidak sanggup membunuh
lawannya itu. Apalagi dalam waktu singkat. Bahkan terasa
bahwa kekuatan dan kemampuan anak muda itu semakin
lama menjadi semakin meningkat.
Dalam pada itu, di tempat lain, Mahisa Pukat masih
berjuang melawan sekelompok ular berbisa. Ia dengan
sengaja membiarkan dirinya menjadi sasaran ular-ular
berbisa itu daripada para prajurit Lemah Warah. Agar
dengan demikian maka bisa ular itu tidak akan
berhamburan di medan. Karena ular itu akan dapat
mematuk beberapa orang prajurit sekaligus sehingga seekor
ular akan dapat membunuh dua tiga orang sekaligus.
Namun membunuh ular-ular itu bukannya satu
pekerjaan yang mudah. Ular-ular itu seakan-akan telah
mendapat latihan untuk bertempur. Mereka mampu
menyerang dari arah yang berlainan, sehingga dapat
menimbulkan kebingungan pada lawan yang dikepungnya.
Beberapa saat Mahisa Pukat bertempur dengan
pedangnya. Beberapa ekor ular yang berusaha
menyerangnya sambil tegak pada bagian kepalanya telah
tertebas pedang. Beberapa saat Mahisa Pukat bertempur dengan
pedangnya. Beberapa ekor ular yang berusaha
menyerangnya sambil tegak pada bagian kepalanya telah
tertebas putus. Namun yang lain tetap merayap perlahan-lahan
mendekatinya sambil berdesis mengerikan.
"Gila," geram Mahisa Pukat, "ilmu setan ini benar-benar
membuat kepalaku menjadi pening."
Ternyata Mahisa Pukat tidak membiarkan dirinya terlalu
lama dikepung oleh segerombolan ular berbisa. Meskipun ia
dengan sengaja memang menempatkan diri memancing
perhatian ular-ular itu. Karena itu maka iapun justru telah menyarungkan
pedangnya. Kemudian dibangunkannya ilmunya yang
disadapnya dari Tatas Lintang yang ternyata adalah Akuwu
Lemah Warah itu. Dengan demikian maka Mahisa Pukat itupun telah
mengembangkan kedua telapak tangannya yang terjulur ke
depan. Dari sepasang telapak tangannya itu telah
memancar sinar yang menyambar ke arah segerombolan
ular di satu sisi dari kepungan yang rapat.
Tanah di arah sambaran sinar yang memancar dari
telapak tangan Mahisa Pukat itupun bagaikan meledak.
Sekelompok ular berbisa itupun bagaikan terlempar dari
ledakan itu dan berhamburan jatuh beberapa langkah dari
tempatnya. Mahisa Pukat masih melihat beberapa ekor di antara
ular-ular itu menggelepar. Namun yang lain telah tergolek
diam. Mati. Serangan yang demikian itu telah diulanginya ke arah
yang lain. Sehingga terjadi pulalah ledakkan yang telah
melemparkan segerombolan ular yang lain.
Serangan yang demikian telah diulanginya beberapa kali
sehingga akhirnya, ular yang merambat keluar dari kotak
yang besar itu telah habis berhamburan sampai beberapa
langkah di sekitar Mahisa Pukat.
Namun tidak semua ular telah terbunuh. Masih ada
beberapa yang menelusur di antara rerumputan dan selasela
barak meninggalkan tempat itu dan menuju ke arena
pertempuran. Namun karena ular itu tidak terlalu banyak,
maka agaknya ular itu tidak lagi berbahaya bagi para
prajurit Lemah Warah. Dalam pada itu, lawan Mahisa Pukat yang memiliki
ilmu gendam dan aji panglimunan yang belum sempurna
itu terpaksa, menyingkir jauh-jauh. Ketika ia mendapat
kesempatan untuk mengetrapkan ilmu gendamnya dan
melepaskan ular-ularnya, maka ia berharap bahwa dengan
demikian pertempuran itupun akan segera berakhir karena
ularnya tentu akan membunuh banyak prajurit Lemah
Warah. Namun ternyata bahwa ular-ularnya tidak banyak
dapat membantunya, karena sebagian besar dari ular-ular
itu telah terbunuh oleh Mahisa Pukat.
Tetapi orang itu tidak melihat kehancuran ularnya,
karena ia sendiri telah berusaha untuk bersembunyi. Ia
tidak lagi memiliki kemampuan untuk bertempur secara
langsung. Tenaganya bagaikan telah terkuras habis terhisap
oleh ilmu Mahisa Pukat yang luar biasa. Sehingga dengan
demikian orang itu telah bersembunyi sambil berusaha
untuk menumbuhkan kembali kemampuan di dalam
dirinya. Namun ia sadar sepenuhnya, bahwa untuk itu ia
memerlukan waktu. Sementara itu pertempuran berlangsung terus. Di segala
sudut padepokan itu senjata saling beradu. Namun telah
banyak diantara mereka yang terbaring diam atau harus
mengerang kesakitan. Mahisa Pukat yang telah menghabiskan lawan itupun
mulai memperhatikan keadaan di sekitarnya. Ia masih
melihat di jarak yang agak jauh seekor ular merayap
diantara rerumputan. Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun
iapun segera melenting ke arah ular itu. Ketika ular itu
kemudian berbalik dan mengangkat kepalanya, maka
pedang Mahisa Pukat-pun telah terayun. Agaknya Mahisa
Pukat tidak lagi terlalu banyak mempertimbangkan
tindakannya dalam perang yang semakin keras itu.
Menggunakan kekuatan dan kecepatan gerak mereka
untuk mencoba menghancurkan lawan masing-masing.
Namun pertempuran yang demikian itu tentu hanya
akan menelan waktu yang berkepanjangan.
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti maupun orang
bertongkat itu tidak akan mampu mengalahkan lawan
mereka. Keduanya memiliki kekuatan dan ketrampilan
yang tinggi mempermainkan senjata mereka. Benturan
demi benturan telah terjadi. Keduanya saling mendesak dan
memburu. Namun keduanya-pun kemudian menyadari,
bahwa mereka harus meningkatkan ilmu mereka jika
mereka memang ingin dengan cepat menyelesaikan
pertempuran itu. Karena itulah, maka orang bertongkat itu kemudian
telah berusaha untuk benar-benar menghancurkan
lawannya dengan ilmunya yang mendebarkan.
Pertempuran antara keduanya yang menjadi semakin
seru dan cepat itu memang telah bergeser semakin jauh dari
hiruk pikuk pertempuran antara para prajurit Lemah Warah
dan isi padepokan itu. Dengan demikian maka keduanya
telah mendapat kesempatan untuk bertempur beralaskan
kemampuan masing-masing tanpa bantuan dan ikut campur
orang lain. Untuk beberapa saat kedua senjata itu masih beradu.
Namun jantung Mahisa Murti berdesir ketika ia melihat
lawannya meloncat menjauh dan tiba-tiba saja telah
mengangkat tongkatnya teracu ke arahnya.
Dengan cepat Mahisa Murti telah meloncat tepat pada
saat tongkat itu memancarkan seleret cahaya
menyambarnya. Karena itu, maka serangan itu tidak mengenainya.
Meskipun demikian, Mahisa Murti tidak mendapat banyak
kesempatan. Orang itu telah mengarahkan tongkatnya
sekali lagi ke arah Mahisa Murti.
Mahisa Murti menyadari bahwa serangan pun akan
segera datang lagi. Iapun tidak menunggu ilmu lawannya
itu menyambarnya. Karena itu maka dengan cepat pula
Mahisa Murti telah meloncat menghindar.
Sekali lagi serangan orang bertongkat itu tidak
mengenainya. Cahaya yang menyambar dan tidak
mengenainya itu telah menghantam tanah tempat Mahisa
Murti semula berpijak, sehingga tanah itu seakan-akan telah
meledak. Kegagalan itu telah membuat orang bertongkat itu
semakin marah. Karena itu, maka ia tidak mau melepaskan
lawannya yang berloncatan menghindari serangannya itu.
Sekali lagi ujung tongkat itu telah terangkat mengarah
kepada tubuh Mahisa Murti.
Tetapi Mahisa Murti tidak mau sekedar menjadi sasaran.
Dengan demikian maka iapun telah bersiap menghadapi
serangan itu dengan kemampuan ilmunya pula.
Namun Mahisa Murti tidak dapat berbuat lain ketika
sekali lagi seleret sinar menyambar dari ujung tongkat itu.
Mahisa Murti bahkan telah meloncat dan berguling
beberapa kali di tanah. Demikian Mahisa Murti melenting berdiri, maka sekali
lagi ia harus menjatuhkan dirinya karena serangan itu
menyambarnya lagi. Namun Mahisa Murti tidak dengan tergesa-gesa
meloncat berdiri. Sambil berbaring tiba-tiba saja ia telah
menjulurkan tangannya dengan telapak tangan terbuka ke
arah lawannya. Lawannyalah yang kemudian terkejut, iapun melihat
sinar yang menyala di telapak tangan anak muda itu.
Karena itu, maka iapun harus dengan cepat menghindar.
Sebenarnyalah seleret sinar telah menyambar orang itu.
Namun orang bertongkat itupun dengan cepat meloncat
pula ke samping, sehingga sambaran sinar itu tidak
mengenainya. Tetapi jantung orang itu berdebar ketika sinar itu
menembus dan menebas dahan dan ranting sebatang pohon
yang tumbuh di halaman padepokan itu. Suaranya
gemeretak dan berderak, sehingga dengan demikian maka
hampir separuh dari rimbunnya dahan dan dedaunan
pohon itu runtuh di tanah.
Dengan demikian maka kedua orang itupun harus
semakin berhati-hati. Mereka menyadari bahwa masingmasing
memang memiliki kemampuan yang sangat tinggi.
Mahisa Murti yang kemudian berdiri tegak justru masih
mengacukan pedangnya. Dengan suara gemetar ia berkata,
"Marilah. Manakah yang kau pilih. Kau mampu
meluncurkan serangan lewat ujung tongkatmu sementara
aku mampu membalasmu dengan sebelah telapak tanganku.
Kita akan dapat saling menyerang dari jarak tertentu.
Namun kita dapat bertempur dengan cara lain,
sebagaimana pernah kita lakukan sebelumnya."
Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia telah mengangkat
ujung tongkatnya. Ketika sinar itu meluncur. Mahisa Murti
sempat menghindar ke samping. Sementara itu dengan
menjulurkan tangannya, maka serangan balasannya pun
telah menyambar orang bertongkat itu.
Tetapi orang bertongkat itupun mampu bergerak secepat
Mahisa Murti. Karena itu maka serangannya pun tidak
mengenai sasarannya. Namun dengan demikian Mahisa Murti mendapat
kesempatan untuk meloncat mendekati lawannya. Sebelum
lawannya siap mengangkat tongkatnya, sekali lagi Mahisa
Murti meluncurkan serangannya. Tetapi sekali lagi pula
lawannya berhasil bergeser menghindar.
Namun dengan demikian, Mahisa Murti telah mendapat,
kesempatan lagi untuk meloncat mendekat. Sehingga
dengan demikian maka ujung pedang Mahisa Murti telah
hampir dapat menjangkau tubuh lawannya.
"Gila," geram orang bertongkat itu. Tetapi ia tidak
sempat mengangkat tongkatnya dan menyerang Mahisa
Murti dengan loncatan sinar dari ujung tongkatnya itu.
Mahisa Murti dengan kecepatan yang mungkin dilakukan
berusaha untuk memaksa lawannya bertempur pada jarak
dekat dengan beradu senjata.
Dengan demikian, maka lawannya tidak mempunyai
pilihan lain. Keduanya kembali terlibat ke dalam
pertempuran jarak dekat dengan mengandalkan
kemampuan mereka beradu senjata.
Sementara itu, Tatas Lintang yang berusaha untuk dapat
mengamati seluruh arena pertempuran melihat, bahwa
prajuritnya mendapat kemajuan di beberapa tempat.
Kecuali jumlahnya memang lebih banyak, para prajurit
Lemah Warah itu benar-benar terpilih. Karena itu
meskipun mereka harus berhadapan dengan para pengikut
orang-orang berilmu tinggi dengan bekal yang cukup pula,
namun para prajurit itu tidak terlalu banyak mengalami
kesulitan. Untuk menghadapi orang-orang yang memiliki
kemampuan yang melampaui kemampuan mereka, maka
para prajurit itu telah bertempur berpasangan.
Dalam pada itu, maka Tatas Lintang pun akhirnya
merasa bahwa ia tidak perlu mencemaskan keadaan
prajuritnya. Bahkan ketika ia bergeser lagi, dilihatnya
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mahisa Pukat yang muncul dari antara barak orang-orang
padepokan itu seorang diri pula.
"Kau terluka?" bertanya Tatas Lintang.
"Ya." jawab Mahisa Pukat. "Tetapi tidak seberapa."
"Meskipun begitu, kau harus mengobatinya sebelum kau
terjun ke lingkungan pertempuran yang lebih sibuk,"
berkata Tatas Lintang. Mahisa Pukat termangu-mangu. Namun iapun tidak
menolak ketika Tatas Lintang kemudian mengobatinya.
Sementara itu Mahisa Pukat sempat berceritera tentang
perkelahiannya melawan salah seorang pemimpin
padepokan itu. "Tetapi aku telah kehilangan orang itu," berkata Mahisa
Pukat. "Orang itu tetap berbahaya," berkata Tatas Lintang,
"meskipun ia sendiri tidak akan mampu memasuki arena
karena kekuatannya telah terhisap, tetapi ilmu gendamnya
masih mampu dipergunakannya."
"Aku sudah membunuh hampir semua ular-ularnya,"
berkata Mahisa Pukat, "ular adalah binatang yang paling
berbahaya. Seandainya ia sempat melepaskan dua tiga ekor
harimau, maka persoalannya tidak akan segawat jika ia
melepaskan tiga atau empat ekor ular di medan."
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Katanya,
"Syukurlah jika kau sudah menghabiskan ular-ular itu."
"Masih ada satu dua yang terlepas," jawab Mahisa
Pukat, "tetapi yang sekotak sudah aku bunuh semuanya."
"Jika demikian, sebaiknya kita pergi ke medan. Kita
harus menyelesaikan pertempuran ini sesegera mungkin,"
berkata Tatas Lintang. Keduanya pun kemudian telah meninggalkan tempat itu.
Namun keduanya tidak selalu bersama-sama. Tatas Lintang
telah memilih arah tersendiri, sementara Mahisa Pukat pun
telah menentukan tujuannya sendiri pula.
"Jika pertempuran ini tidak segera berakhir sampai
petang, maka orang yang memiliki ilmu gendam itu akan
mampu muncul lagi di medan. Bahkan jika ia sempat
memanfaatkan waktu yang semalam untuk mendapatkan
jenis-jenis binatang yang akan dapat dipergunakannya,
maka arena akan menjadi semakin gawat. Apalagi jika ia
mempergunakan ular lagi," berkata Mahisa Pukat di dalam
hatinya. Sementara itu Tatas Lintang yang muncul di bagian lain
dari padepokan itu, melihat pertempuran yang semakin
seru. Namun seperti di bagian lain, agaknya para prajurit
Lemah Warah semakin mendesak lawan-lawan mereka.
Dalam pada itu, Mahisa Murti yang telah bertempur
pada jarak pendek, telah mempergunakan ilmunya
sebagaimana telah dipergunakan oleh Mahisa Pukat. Ia
telah memanfaatkan setiap benturan untuk melemahkan
kekuatan lawannya. Namun ternyata sesuatu di luar pengetahuan Mahisa
Murti telah terjadi. Orang bertongkat itu ternyata telah
mendapat peringatan dengan pesan langsung dengan aji
pameling yang hanya dapat didengarnya.
Ternyata orang yang telah dikalahkan oleh Mahisa Pukat
itu sempat menyaksikan pertempuran antara Mahisa Murti
dan lawannya, orang yang bersenjata tongkat.
Untuk dapat memahami pesan itu, maka orang
bertongkat itu telah berusaha melenting menjauhi Mahisa
Murti. Ia mendapat kesempatan sekejap untuk
mendengarkan pesan itu, bahwa lawannya mungkin
mempergunakan ilmu yang mampu menghisap tenaga
sebagaimana pernah dialami.
"Karena itu, hindari benturan," bisik pesan itu.
Orang bertongkat itu mampu memahaminya karena ia
memang sudah mendengar bahwa ada semacam ilmu yang
mampu menghisap tenaga dan kemampuan lawannya.
Karena itu, maka iapun menjadi semakin berhenti-hati
menghadapi Mahisa Murti. Bahkan benturan-benturan yang satu dua kali telah
terjadi, sempat dinilainya, sehingga iapun kemudian
berkesimpulan bahwa lawannya memang memiliki ilmu itu.
Karena itu, maka iapun berusaha untuk berbuat
sebaliknya dari yang dilakukan oleh Mahisa Murti. Orang
bertongkat itu kemudian telah berusaha untuk bertempur
pada jarak tertentu dengan mempergunakan
kemampuannya melontarkan serangan dari ujung
tongkatnya. Setiap kali ia berusaha untuk menghindar jika
Mahisa Marti memancingnya bertempur pada jarak dekat.
Dengan serangan-serangan beruntun orang bertongkat itu
berusaha dengan sungguh-sungguh mempertahankan jarak
di antara mereka. Mahisa Murti memang merasa heran akan perubahan
itu. Jika semua orang itu tidak merasa gentar bertempur
dengan cara apapun, namun tiba-tiba saja ia telah
menghindari kemungkinan sentuhan senjata di antara
mereka dengan memelihara jarak dan bertempur dengan
senjata ilmunya yang membentur dari tongkatnya.
Untuk beberapa saat Mahisa Murti berusaha untuk
meyakinkan. Ia telah menempuh cara yang sama seperti
pernah dilakukannya untuk mendapat kesempatan
bertempur pada jarak dekat. Tetapi orang bertongkat itu
selalu berusaha untuk menghindari cara sebagaimana
dikehendaki oleh Mahisa Murti.
Akhirnya Mahisa Murti pun sadar, bahwa agaknya
lawannya itu mengerti, bahwa sentuhan senjata dengan
senjata Mahisa Murti adalah pertanda bahwa nasibnya akan
menjadi sangat buruk. "Siapakah yang telah memberitahukan hal itu
kepadanya," geram Mahisa Murti di dalam dirinya.
Namun sebenarnyalah bahwa lawannya tidak mau lagi
bertempur pada jarak dekat yang memungkinkan senjata
mereka saling beradu. Namun demikian Mahisa Murti pun tidak menjadi
gentar. Untunglah bahwa iapun telah memiliki satu
kemampuan untuk bertempur dalam jarak tertentu.
Karena itu, maka pertempuran antara keduanya pun
menjadi semakin seru. Namun mereka ternyata
memerlukan arena yang cukup luas agar serangan-serangan
mereka yang luput dari sasaran tidak justru membunuh
orang-orang yang baru bertempur dengan sengitnya, karena
mungkin justru kawan-kawan sendirilah yang akan
dikuasainya. Namun bagaimanapun juga, agaknya Mahisa Murti
memang memiliki kelebihan. Umurnya yang masih muda
telah mempengaruhi dorongan kekuatannya. Namun dalam
usianya yang muda itu, Mahisa Murti telah memiliki ilmu
dan pengalaman yang sangat luas.
Itulah sebabnya maka perlahan-lahan tetapi pasti,
Mahisa Murti telah mendesak lawannya.
Sementara itu Tatas Lintang yang mengambil arah
sendiri dan berpisah dengan Mahisa Pukat, telah melihat di
sudut padepokan itu, pertempuran yang kurang seimbang.
Seorang yang agaknya memiliki ilmu yang tinggi telah
menyapu lawan-lawannya yang mengepungnya.
Namun karena lawannya cukup banyak, maka ia tidak
mendapat banyak kesempatan untuk melepaskan ilmunya
yang luar biasa. Namun ketika sekali ia mendapat
kesempatan itu, maka ia telah mengacukan tangannya.
Seleret sinar telah menyambar. Sekaligus tiga orang telah
terlempar dan seakan-akan meledak dengan akibat yang
mengerikan sekali. Serangan itu memang mengejutkan. Tetapi para prajurit
Lemah Warah justru menyadari bahwa serangan yang
demikian sangat berbahaya. Karena itu maka mereka pun
segera meloncat menyerang dari beberapa arah. Mereka
harus bertempur pada jarak dekat, sehingga lawannya itu
tidak sempat melepaskan serangannya yang mengerikan itu.
Namun ternyata orang itupun memiliki ketrampilan yang
sangat tinggi. Apalagi dalam keadaan yang demikian ia
sempat berloncatan menghindar dan memberi isyarat
kepada orang-orang padepokan itu untuk memasuki arena.
Dengan demikian maka iapun telah mendapat
kesempatan untuk memasuki pertempuran yang lain yang
memungkinkannya untuk menebas lawannya dengan
ilmunya yang nggegirisi. Namun dalam pada itu, ketika ia melenting keluar dari
arena, tiba-tiba saja seseorang telah menandinginya sambil
tersenyum. Bahkan orang itu telah bertepuk tangan sambil
berkata lantang, "luar biasa. Kau benar-benar seorang yang
pilih tanding." Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian
iapun segera mengenali orang yang datang itu.
"Ha, kau Sang Akuwu yang Agung," sapa orang itu
sambil melangkah mendekat, "Aku memang menunggu
kesempatan seperti ini."
"Kita sudah pernah mendapat kesempatan," berkata
Tatas Lintang, "tetapi kesempatan itu telah kau
tinggalkan." "Di mana kemanakanmu itu?" bertanya orang itu, "aku
pernah meminjam wadag seorang di antara mereka. Sayang
aku tidak mendapat kesempatan sekarang ini. Sebenarnya
aku dapat menyembunyikan wadagku dan kemudian
mengoyak pasukan Lemah Warah dengan caraku.
Memasuki tubuh mereka seorang demi seorang dan
membunuhnya dengan mudah."
"Kenapa mudah?" bertanya Tatas Lintang.
"Aku memang bodoh," berkata orang itu, "kenapa aku
baru teringat sekarang. Aku dapat memasuki wadag prajurit
Lemah Warah dan membiarkan orang-orang padepokan ini
menghunjamkan senjatanya di dada. Dengan cepat aku
harus melepaskan diri dan memasuki tubuh yang lain.
Dengan cara yang sama aku akan dapat banyak membunuh
orang-orang Lemah Warah."
"Kenapa tidak kau lakukan?" bertanya Akuwu Lemah
Warah. "Sudah aku katakan, itulah kebodohanku." jawab orang
itu. "Kau masih mendapat kesempatan," berkata Akuwu
Lemah Warah. "Tentu tidak Sang Akuwu," jawab orang itu, "kau tentu
akan menemukan tubuhku dan mencincangnya dengan
geram." "Karena itu, maka kesempatanmu sekarang adalah
bertempur melawan aku," berkata Akuwu Lemah Warah,
"tidak sepantasnya kau membunuh prajurit-prajurit itu."
"Di peperangan aku boleh membunuh lawanku yang
manapun," jawab orang itu.
"Tetapi aku tidak melakukannya," jawab Tatas Lintang,
"aku masih mempunyai harga diri, sehingga aku sempat
memilih lawan. Nah, sekarang aku telah menemukan lawan
itu." "Salahmu sendiri," berkata orang itu, "kenapa kau harus
mempertahankan harga dirimu."
"Baiklah. Kita tidak mempersoalkannya lagi. Kita
sekarang sudah mendapat kesempatan untuk bertemu lagi.
Apakah kau akan lari lagi?"
Orang itu tertawa. Katanya, "Tentu tidak Sang Akuwu
yang mulia. Aku tidak akan lari. Tetapi aku akan
membunuhmu." Akuwu Lemah Warah itu menarik nafas dalam-dalam.
Namun iapun telah bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Sejenak mereka saling berhadapan. Keduanya telah
bersiap dalam kesiagaan tertinggi. Mereka masing-masing
mengerti bahwa lawannya memiliki ilmu yang nggegirisi,
yang mampu menyambar lawannya pada jarak tertentu.
Namun selagi keduanya telah bersiap, terdengar lawan
Tatas Lintang itupun berkata, "Kita menyadari, bahwa kita
tidak akan dapat dengan cepat menyelesaikan pertempuran
di antara kita. Jika kita mempergunakan kemampuan kita
sebagaimana pernah terjadi, maka kita hanya akan
berkejaran dan saling berloncatan. Karena itu aku tantang
kau bertempur dengan cara yang lain."
"Cara apakah yang kau maksud?" bertanya Tatas
Lintang. "Kita akan beradu ilmu pedang," berkata orang itu.
Tatas lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Aku tidak berkeberatan. Kita akan melakukannya dengan
jujur. Di antara kita tidak akan dengan tiba-tiba dan curang
menyerang dari jarak jauh."
"Aku setuju," jawab orang itu.
Demikianlah maka keduanya pun telah bersiap dengan
pedang. Keduanya, akan mengukur kemampuan mereka
dalam ilmu pedang. Sejenak kemudian maka pedang mereka pun telah
terjulur. Ujung-ujungnya itupun mulai mematuk dengan
cepatnya. Keduanya ternyata memang memiliki kemampuan ilmu
pedang yang tinggi. Kedua pedang di tangan kedua orang
yang sedang bertempur itupun kemudian berputar dengan
cepatnya, sehingga yang nampak hanyalah gulungan awan
putih yang menyelubungi keduanya masing-masing.
Namun sekali-sekali kedua senjata itupun telah beradu
sehingga bunga api pun telah memercik ke udara.
Semakin lama pertempuran antara kedua orang itupun
menjadi semakin cepat. Benturan-benturan telah
memperingatkan kepada mereka, bahwa lawan mereka
adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan
kemampuan yang tinggi. Namun dalam pada itu, pertempuran yang bertebaran di
seluruh padepokan itu telah menjadi semakin kehilangan
keseimbangan. Prajurit Lemah Warah yang memang lebih
banyak, ternyata menjadi semakin mapan. Orang-orang
dari padepokan itu, betapapun mereka telah mengerahkan
segenap kemampuan mereka, namun mereka benar-benar
sulit untuk mengimbangi kemampuan prajurit Lemah
Warah. Karena itulah, maka lambat laun orang-orang padepokan
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itupun bagaikan telah tergiring ke sudut-sudut padepokan.
Mereka tidak mempunyai kesempatan untuk menentukan
dan memilih medan. Para pemimpin padepokan itu menyadari kesulitan yang
terjadi pada para pengikut mereka. Namun mereka tidak
segera mendapat cara untuk mengatasinya. Para pemimpin
itu ternyata telah mendapat lawan yang seimbang. Bahkan
ternyata mereka, memiliki beberapa kelebihan sehingga
para pemimpin dari padepokan itupun telah terdesak
sebagaimana para pengikutnya.
Dalam keadaan yang demikian, maka rasa-rasanya tidak
akan ada harapan lagi bagi orang-orang padepokan itu.
Satu-satunya kemungkinan bagi mereka, jika tidak ada
perubahan keadaan, adalah melarikan diri dari padepokan
itu. Namun di luar padepokan sebagian kecil pasukan
Lemah Warah telah menunggu.
Karena itu, maka sebenarnyalah keadaan orang-orang
padepokan itu benar-benar menjadi sangat gawat.
Sedangkan pertempuran telah terjadi sedemikian lamanya
dan benar-benar telah menghisap tenaga.
Di sudut-sudut padepokan, orang-orang padepokan itu
bertempur dalam keadaan putus asa. Namun justru karena
itu, maka mereka seakan-akan menjadi keras, kasar dan
bahkan liar. Mereka tidak lagi sempat membuat
perhitungan-perhitungan. Apapun telah mereka lakukan
bukan untuk mempertahankan diri lagi, tetapi mereka telah
bertempur untuk mencari kawan sebanyak-banyaknya
untuk terjun ke daerah maut.
Namun dalam keadaan yang demikian, mereka masih
mengharapkan sesuatu terjadi, meskipun hanya sepercik
kecil. Harapan yang semakin lama menjadi semakin pudar.
Tetapi dalam pada itu, di tengah-tengah padepokan itu,
suasananya memang agak berbeda. Suasana tetap lengang
dan sepi. Tidak seorang pun yang nampak. Seakan-akan
tempat itu menjadi terlarang bagi siapapun.
Dalam keadaan yang sepi lengang itu, ternyata sesuatu
telah terjadi. Di dalam barak yang tertutup rapat, seorang
sedang duduk di atas sebuah amben yang besar. Tangannya
bersilang di dadanya. Sementara kepalanya menunduk dan
matanya separuh terpejam.
Dengan ketajaman panggraitanya ia telah mengikuti
pertempuran yang terjadi di padepokan itu. Dengan jantung
yang berdebaran ia melihat orang-orang padepokan itu
semakin terdesak. Bahkan para pemimpinnya yang
diandalkannya pun telah terdesak pula. Bahkan seorang di
antara mereka benar-benar telah dilumpuhkan oleh
lawannya. Hanya karena ia memiliki ilmu panglimunan
meskipun belum sempurna sajalah maka ia dapat
membebaskan dirinya dan harus bersembunyi, karena
tenaganya hampir seluruhnya telah terhisap habis!
Kekalahan-kekalahan itu tidak dapat dibiarkannya begitu
saja. Semula ia memang berharap bahwa segalanya akan
terselesaikan tanpa ia sendiri ikut campur. Namun ternyata
bahwa orang-orang padepokan itu telah terdesak dan
hampir kehilangan kesempatan sama sekali.
Karena itu, maka orang itupun akhirnya merasa bahwa
ia tidak akan dapat tinggal diam. Ia harus berbuat sesuatu
untuk membantu orang-orang padepokan itu, agar mereka
tidak dihancurkan sama sekali oleh para prajurit dari
Lemah Warah. Untuk beberapa saat orang itu masih memperhatikan
keadaan dengan saksama sebelum mengambil langkahlangkah
tertentu. Sementara itu, orang-orang yang telah memasuki
padepokan itu memang menjadi bingung. Mereka tidak
melihat apapun pada jarak selangkah di hadapan mereka.
Karena itu yang mereka lihat adalah bayangan-bayangan
kabur yang tidak begitu jelas, apakah mereka kawan atau
lawan. Orang-orang padepokan itupun merasa sulit untuk
menyerang. Tetapi mereka mempunyai kesempatan untuk
bergeser dari tempatnya. Mereka dengan pengenalan
mereka yang baik atas padepokan itu, seorang demi seorang
telah berhasil lolos dari himpitan pasukan dari Lemah
Warah. Dengan demikian maka pertempuran pun pada dasarnya
telah berhenti. Kedua belah pihak tidak mau menanggung
akibat buruk karena kesalahan mereka menentukan lawan
dan kawan. Jika mereka hanya melihat bayangan yang
sepintas lewat di depan mereka, maka mereka tidak akan
segera dapat mengenalinya.
Tatas Lintang yang memimpin langsung para prajurit
Lemah Warah itupun semula tidak segera dapat
menentukan langkah-langkah yang perlu diambil oleh
pasukannya. Namun akhirnya Tatas Lintang tidak dapat
berbuat lain daripada untuk sementara menyelamatkan
prajurit-prajuritnya yang terjebak oleh kabut yang semakin
tebal itu. Karena itu, maka dengan suaranya yang bergaung
memenuhi, udara padepokan itu Tatas Lintang berkata,
"Kita lebih baik keluar dari padepokan ini. Kita akan
mengepung padepokan ini diluar dinding."
Para prajuritnya mendengar suara Tatas Lintang itu.
Meskipun mula-mula mereka ragu-ragu, namun akhirnya
mereka menyadari, bahwa perintah itu memang datang dari
Akuwu Lemah Warah. Karena itu, maka para prajurit itupun telah berusaha
untuk mencapai dinding padepokan. Mereka yang sempat
menemukan kawan-kawan mereka yang terluka dan
terbaring di padepokan itu, dengan susah payah telah
mereka bawa keluar. Mereka sadar, bahwa mereka tidak
akan mungkin keluar lewat pintu gerbang, karena pintu
gerbang itu tentu telah ditutup dan dijaga oleh para
penghuni padepokan itu. Dalam pada itu, para penghuni padepokan itupun telah
berusaha untuk mencegah para prajurit Lemah Warah
keluar dari padepokan itu, namun terlalu sulit bagi mereka
untuk dapat berbuat demikian, karena mereka pun tidak
dapat melihat pada jarak selangkah.
Para prajurit Lemah Warah yang berusaha mencapai
dinding padepokan harus mengamati setiap tubuh yang
terbaring yang mereka jumpai. Jika ternyata tubuh itu
adalah tubuh prajurit Lemah Warah hidup atau mati, maka
prajurit itu telah berusaha membawanya.
Betapapun sulit dan lambatnya, namun akhirnya para
prajurit Lemah Warah itupun telah berhasil keluar dari
dinding padepokan itu. Padepokan yang semula dikenal
sebagai padepokan orang-orang bertongkat. Namun
ternyata yang memenuhi padepokan itu bukannya hanya
orang-orang bertongkat saja.
Ternyata beberapa perguruan telah bergabung menjadi
satu. Atau mungkin salah satu perguruan yang mempunyai
kekuatan tidak terlawan oleh yang lain telah memaksakan
kehendaknya atas perguruan yang lain yang ada di
padepokan itu. Ketiga orang anak muda yang disebut kemanakan Tatas
Lintang itupun telah berada di luar padepokan pula,
sementara Tatas Lintang adalah orang yang terakhir yang
meloncati dinding padepokan.
Diluar padepokan, tidak ada selembar kabut pun yang
menghalangi pandangan mereka. Tidak ada angin yang
tidak ada suasana apapun yang mempengaruhi mereka.
Langit cerah dan dedaunan pun bergerak dihembus oleh
angin yang tidak begitu kencang.
"Luar Biasa," geram Tatas Lintang, "ternyata didalam
padepokan itu terdapat seorang yang memiliki ilmu yang
sangat tinggi. Ilmu yang telah berhasil menghentikan
pertempuran. Kemenangan yang perlahan-lahan telah
diraih oleh para prajurit itu, ternyata tidak dapat mereka
selesaikan dengan tuntas."
Namun bagi Tatas Lintang, menarik pasukannya keluar
dari padepokan adalah jalan yang paling baik yang dapat
ditempuh. Jika tidak, maka orang-orang padepokan itu
yang kemudian menjadi mapan akan sangat berbahaya bagi
mereka. Jika kabut itu dibuatnya sedikit menipis setelah
orang-orang dari padepokan itu berhasil bebas dari
himpitan dan tekanan pasukan Lemah Warah, maka
mereka akan mendapat banyak kesempatan untuk
menyerang dan kemudian menghilang diantara kabut dan
sudut-sudut barak di padepokan itu.
Karena itu, maka satu-satunya kemungkinan yang dapat
ditempuh adalah sebagaimana dilakukan oleh Tatas
Lintang. Setelah mereka berada di luar padepokan, maka Tatas
Lintang pun segera mengumpulkan para pemimpin
kelompok serta ketiga orang yang disebutnya sebagai
kemanakannya, serta Panglima pasukan khusus itu. Mereka
berusaha untuk memecahkan teka-teki yang mereka hadapi
di padepokan itu. Namun akhirnya Tatas Lintang pun memerintahkan
kepada para pemimpin kelompok untuk kembali ke
kelompok masing-masing dengan pesan, "Jangan ada
seorang pun yang lolos. Kita tetap mengepung padepokan
ini. Pada saatnya nanti kita akan berbicara lebih mendalam.
Mungkin kita mendapat petunjuk apa yang harus kita
lakukan. Para pemimpin kelompok itupun segera kembali ke
pasukan masing-masing. Mereka telah mengatur
kelompoknya serta menyampaikan perintah Akuwu agar
mereka tetap mengepung padepokan itu dengan ketat.
"Tidak seorang pun boleh lolos dari kepungan," berkata
setiap pemimpin kelompok kepada pasukannya.
Dalam kesempatan itu, Tatas Lintang sempat berbicara
secara khusus dengan Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa
Ura dan Panglima pasukan khususnya.
"Sayang, kita tidak menemukan orang itu dan tidak
mengetahui di mana orang itu berada," berkata Tatas
Lintang. Ketiga orang yang pernah diaku sebagai kemanakan
Tatas Lintang itu serta Panglima khususnya menganggukangguk.
Mereka sebenarnya tidak gentar menghadapinya
seandainya mereka mendapat kesempatan. Tetapi agaknya
mereka sulit untuk menemukan orang itu di antara para
penghuni padepokan itu. "Pada waktu ia melepaskan ilmunya, mungkin ia berada
di salah satu barak di padepokan itu," berkata Mahisa
Murti. "Mungkin," sahut Tatas Lintang, "tetapi bagaimana
menemukan barak yang satu itu."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun baginya
tidak segera nampak satu cara untuk memecahkan teka-teki
itu. "Kita akan menunggu sampai kita menemukan satu
cara. Selama itu kita akan mengepung padepokan ini,"
berkata Tatas Lintang. Lalu, "Sementara itu kita dapat
menghitung berapa orang kita yang gugur, yang terluka dan
yang hilang. Namun kita yakin, bahwa jumlah korban di
antara kita dan orang-orang padepokan itu, tentu lebih
banyak di antara mereka."
"Ya. Aku yakin," desis Mahisa Pukat.
Dengan demikian, maka mereka tidak melanjutkan
pembicaraan itu. Mereka justru telah mengelilingi pasukan
Lemah Warah yang mengepung padepokan itu dalam
kelompok-kelompok kecil yang tersebar. Seperti
diperintahkan oleh Akuwu Lemah Warah, maka tidak
boleh seorang pun lolos. Untuk menjaga agar pasukan Lemah Warah itu tidak
dikoyak-koyak oleh orang-orang yang berilmu tinggi dari
padepokan itu yang dengan sengaja dan diam-diam
meloncati dinding untuk menyerang, maka para kelompok
harus mempunyai alat untuk menyampaikan isyarat.
Karena itu, maka mereka harus berusaha mencari batang
bambu di rumpun-rumpun bambu di luar padepokan itu
untuk membuat kentongan. Dengan isyarat itu, maka mereka akan dapat memanggil
para pemimpin dari Lemah Warah untuk menghadapi
orang-orang berilmu tinggi dari padepokan itu apabila
mereka dengan diam-diam keluar dari padepokannya untuk
mengacaukan kepungan para prajurit Lemah Warah.
Kepada setiap pemimpin kelompok Akuwu Lemah
Warah yang datang kepada kelompok-kelompok itu telah
memberikan pesan agar pasukan Lemah Warah tidak justru
terjebak. "Kita harus berhasil," berkata Akuwu Lemah Warah,
"yang perlu dicari pemecahannya adalah kabut yang
membuat padepokan itu menjadi gelap. Apalagi jika dalam
gelapnya kabut itu, orang-orang padepokan itu sempat
mempergunakan ular-ular mereka. Maka kita benar-benar
akan dihancurkan, karena ular itu akan dapat menelusur ke
seluruh medan dengan bekal pengenalan atas lawan-lawan
dari orang yang mempengaruhinya dengan Ilmu Gendam."
Para pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk.
Mereka memang dapat membayangkan, betapa ngerinya
jika di dalam kabut yang gelap itu, di bawah kaki mereka
berkeliaran ular-ular berbisa yang setiap saat dapat
mematuk mereka. Dengan demikian maka mereka akan
dibantai oleh lawan mereka tanpa mampu memberikan
perlawanan apapun juga. Dengan demikian maka yang harus dilakukan oleh
pasukan itu adalah sekedar menunggu perintah lebih lanjut.
Sementara itu mereka harus mengawasi padepokan itu
dengan ketat, sehingga mereka tidak akan terjerumus ke
dalam keadaan yang tiba-tiba saja menjadi gawat.
Namun di antara mereka yang terluka itu ternyata ada
juga yang telah digigit oleh ular berbisa. Untunglah bahwa
mereka pada umumnya membawa obat penawar bisa,
sehingga meskipun untuk sementara, mereka berhasil
menahan menjalarnya bisa di dalam tubuh mereka, sampai
saatnya Akuwu Lemah Warah sendiri memberikan
pengobatan kepada mereka.
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di malam hari, pengawasan di sekitar padepokan itu
tidak mengendor. Setiap kelompok telah membagi orangorangnya
untuk mengamati keadaan dengan saksama.
Sementara itu, setiap kelompok pun harus menghitung
dengan teliti, berapa orang yang terbunuh, hilang atau
terluka. Sambil mengamati keadaan, maka beberapa orang
prajurit telah menyelenggarakan persiapan penguburan
kawan-kawan mereka yang terbunuh, yang akan dilakukan
besok. Sedangkan yang lain merawat kawan-kawan mereka
yang terluka. Di hari berikutnya kesibukan para prajurit Lemah Warah
ditandai dengan beberapa gundukan tanah basah. Mereka
telah menguburkan kawan-kawan mereka yang terbunuh di
peperangan. Meskipun demikian, pengawasan terhadap padepokan
itu sama sekali tidak diabaikan. Setiap jengkal mendapat
pengawasan secermat-cermatnya.
Tatas Lintang, Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa
Ura dan Panglima pasukan khusus dari Lemah Warah itu
agaknya masih belum mendapatkan cara untuk menembus
padepokan itu. Ketika mereka berbicara tentang
kemungkinan itu, maka Mahisa Pukat pun berkata, "Kita
bakar saja padepokan itu."
"Kita tidak akan mendapatkan apa-apa. Mungkin barakbarak
itu akan terbakar, tetapi orang-orangnya masih akan
tetap bertahan," jawab Tatas Lintang.
"Jika persediaan makan mereka juga terbakar?" berkata
Mahisa Pukat pula. "Kita tidak tahu di manakah mereka menyimpan
persediaan makanan mereka. Tetapi membakar padepokan
itu mempunyai kesan yang terlalu kasar, meskipun kita
tidak melanggar paugeran apapun juga," jawab Akuwu
Tatas Lintang, "namun jika kita mempunyai cara lain yang
lebih baik untuk memaksa menyerah, aku kira kita akan
menempuhnya." Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara
itu, yang lain pun berpikir juga untuk mencari satu
kemungkinan yang lebih baik dari yang diusulkan oleh
Mahisa Pukat itu. Namun tidak mudah untuk menemukan cara itu. Karena
itu Tatas Lintang pun telah memerintahkan agar
pasukannya mengepung padepokan itu dengan rapat.
"Kita akan berada di sini untuk waktu yang tidak
ditentukan," berkata Tatas Lintang kepada para pemimpin
kelompok, "kita harus mencari jalan yang sebaik-baiknya
agar korban tidak terlalu banyak jatuh. Karena itu kita tidak
boleh tergesa-gesa."
Para pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk.
Mereka mengerti bahwa Akuwu Lemah Warah itu harus
berbuat dengan sangat berhati-hati tanpa mengorbankan
prajurit-prajuritnya tanpa arti. Namun demikian mereka
juga mulai memandang hari-hari berikutnya yang tidak
pasti. Meskipun dihadapan mereka masih tetap berdiri
dinding padepokan yang garang yang menyimpan orangorang
berilmu tinggi. Namun dalam pada itu, peristiwa lain telah terjadi.
Beberapa orang prajurit telah menangkap tiga orang yang
tidak dikenal. Tetapi ketiga orang itu tidak melakukan
perlawanan. Ketika para prajurit mengacukan senjata mereka, maka
salah seorang dari ketiga orang itu berkata, "Kami justru
ingin bertemu dengan Panglima pasukan kalian."
"Kami dipimpin langsung oleh Panglima kami dan
Akuwu kami," jawab prajurit itu.
"Bawa kami kepada keduanya," jawab salah seorang
dari ketiga orang itu. Para prajurit itu memang ragu-ragu. Tetapi ketiga orang
itu nampaknya memang tidak ingin melakukan sesuatu.
Bahkan seandainya mereka ingin berbuat curang, maka
biarlah mereka berhadapan dengan Akuwu dan tiga orang
anak muda yang disebut kemanakannya itu. Orang-orang
yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Sebenarnyalah maka ketiga orang itu telah dibawa
menghadap Akuwu Lemah Warah yang sedang berbincang
dengan tiga orang yang disebut kemanakannya itu serta
Panglima pasukan khususnya. Perbincangan yang panjang
yang masih belum menemukan kesimpulan yang
meyakinkan untuk mengatasi kesulitan di dalam padepokan
itu. Seorang di antara para prajurit itu telah menghadap
Akuwu Lemah Warah yang berada di dalam sebuah gubug
kecil yang telah dibangun oleh para prajurit Lemah Warah
untuk sekedar berlindung dari terik matahari basahnya
embun malam. "Kami telah menangkap tiga orang yang tidak dikenal,
Akuwu," berkata prajurit itu.
"Apa yang mereka lakukan?" bertanya Akuwu.
"Mereka tidak berbuat apa-apa. Dan mereka sama sekali
tidak melakukan perlawanan. Bahkan mereka mohon untuk
dapat menghadap Akuwu Lemah Warah," jawab prajurit
itu. Akuwu Lemah Warah termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya, "Baiklah. Bawa mereka kemari."
Para prajurit itupun kemudian telah membawa ketiga o
rang itu memasuki gubug menghadap Akuwu Lemah
Warah. Namun ketika Akuwu Lemah Warah, Mahisa Murti,
Mahisa Pukat, Mahisa Ura dan Panglima pasukan khusus
melihat orang yang datang itu, mereka pun serentak telah
bangkit berdiri sambil mengangguk hormat.
Prajurit yang membawa ketiga orang itu termangumangu
sejenak. Namun mereka pun menjadi jelas ketika
Akuwu Lemah Warah kemudian mempersilahkan,
"Marilah pangeran Singa Narpada. Silahkan duduk di
perkemahan kami yang besar ini."
Salah seorang dari ketiga orang yang datang itu
mengangguk sambil menjawab, "Terima kasih." Lalu
sambil berpaling kepada kedua orang yang lain ia berkata,
"Akuwu, kedua orang ini adalah Ki Mahendra, ayah dari
kedua orang anak muda yang sudah ada di sini, dan yang
lain adalah Senapati dari Kediri yang memang aku bawa
untuk kawan berjalan."
"Oo," Akuwu Lemah Warah itu mengangguk. Katanya,
"Syukurlah, Pangeran dari kedua orang saudara kita ini
telah datang. Tetapi maksud Pangeran, Ki Mahendra
adalah ayah dari ketiga orang yang selama ini aku sebut
sebagai kemanakanku ini."
"Hanya dua," jawab Pangeran Singa Narpada. Lalu iapun
bertanya kepada Mahendra, "Bukankah anak Ki
Mahendra yang seorang lagi adalah Mahisa Bungalan.
Apakah Ki Mahendra masih mempunyai anak yang lain."
Mahendra tersenyum. Katanya, "Anakku memang
Pendekar Pemetik Harpa 26 Wiro Sableng 084 Wasiat Dewa Menuntut Balas 17
senjata yang ada padanya. Pisau belati panjang atau sebilah
pedang. Dalam pada itu. ternyata kapak lawannya itupun mulai
berdesing ditelinganya. Ke arah manapun kapak itu
terayun, maka rasa-rasanya tajamnya siap untuk membelah
kulit daging, justru karena kapak itu bermata rangkap.
Mahisa Ura melangkah surut untuk mengambil jarak.
Dicobanya untuk mengenali sifat senjata lawannya.
Sehingga dengan demikian maka iapun telah mengambil
sikap, bagaimana ia harus melawan senjata yang
menggetarkan jantung itu.
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Ura memiliki ilmu pedang
yang tinggi. Meskipun kapak lawannya berdesing dan
menyambar ke segenap arah, namun orang bertubuh tinggi
itu harus meloncat surut ketika ujung pedang Mahisa Ura
hampir saja menyentuh hidungnya.
"Gila," geram orang bertubuh tinggi itu.
Mahisa Ura tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Iapun
meloncat memburu sambil mengacukan pedangnya.
Namun lawannya telah sempat memperbaiki
kedudukannya. Karena itu, ia tidak lagi meloncat menjauh,
tetapi ia bergeser menyamping sambil memukul pedang
Mahisa Ura. Mahisa Ura yang tidak mengenai sasarannya itupun
menggeram. Namun lawannya pun tidak dapat mengenai
pedangnya, karena dengan cepat Mahisa Ura telah menarik
serangannya. Demikianlah, keduanya pun kemudian telah terlibat
dalam pertempuran yang seru. Keduanya memiliki
kemampuan yang tinggi serta menguasai senjata mereka
masing-masing. Dengan demikian, maka kedua jenis
senjata yang berbeda itu telah saling menyambar, berputar
dan mematuk dengan dahsyatnya.
Sementara itu, Mahisa Murti yang juga bersenjata
pedang masih juga bertempur melawan dua orang yang
bersenjata bertangkai panjang. Namun Mahisa Murti yang
mampu bergerak sangat cepat itupun berusaha untuk
bertempur pada jarak yang dekat, sehingga justru
pedangnya mempunyai keuntungan yang lebih besar dari
senjata yang bertangkai panjang. Dengan cepat dan tangkas
Mahisa Murti seakan-akan selalu melekat pada salah
seorang lawannya. Ia mampu mempengaruhi keadaan
sehingga seakan-akan lawannya yang seorang justru telah
melindunginya dari lawannya yang seorang lagi.
Karena itu. maka kedua orang lawannya itupun kadangkadang
telah mengalami kesulitan. Bahkan seorang
diantaranya telah mengumpat. Namun Mahisa Murti yang
memiliki kecepatan gerak melampaui orang kebanyakan itu,
masih mampu berloncatan dan berusaha bertempur pada
jarak yang pendek melawan salah seorang dari keduanya.
Kedua orang itupun terdengar beberapa kali mengumpat.
Namun pertempuran itu justru semakin lama menjadi
semakin seru. Orang yang bersenjata bertangkai panjang itu
berusaha untuk dapat mengambil jarak agar mata senjata
mereka yang tajam itu dapat mengoyak tubuh lawannya.
Tetapi ternyata mereka tidak mudah melakukannya.
Mahisa Murti yang menyadari sifat senjata lawannya pun
telah berusaha untuk menghindarinya.
Bahkan ternyata semakin lama pedang yang jauh lebih
pendek dari senjata kedua orang lawannya itu telah mampu
membuat keduanya semakin bingung. Mereka justru
merasa tangkai senjata mereka yang panjang itu telah
mengganggu. Sebenarnyalah Mahisa Murti memiliki tingkat ilmu yang
lebih tinggi dari kedua orang lawannya. Semakin lama
kedua orang itupun menjadi semakin bingung dan
kehilangan kesempatan. Agaknya justru karena senjata
panjang itu bermata tajam, kedua orang itu cenderung
untuk mengenai lawannya dengan mata senjata mereka.
Sehingga dengan demikian mereka kurang memanfaatkan
pangkal senjata mereka atau mempergunakannya sebagai
tongkat panjang dari orang-orang bertongkat yang juga
berada di padepokan itu. Orang-orang bertongkat itu tidak
sekedar mematuk dengan ujung tongkatnya, tetapi mereka
juga memukul dengan ayunan dan menyerang dengan
pangkal tongkatnya. Sifat yang berbeda itu agaknya dipahami oleh Mahisa
Murti, sehingga ia mampu mengatur cara untuk
melawannya. Ketika ia terlibat dalam pertempuran berjarak
sepanjang ujung pedangnya, maka ia telah berkisar dengan
cepat dan bertempur di arah yang berlawanan dari
lawannya yang seorang. Ia selalu berusaha untuk bergeser
melingkar, jika lawannya melingkar pula.
Ternyata kecepatan gerak Mahisa Murti mampu
memaksakan kedudukan sebagaimana diinginkan. Dengan
demikian maka lawannya kadang-kadang memang berada
dalam keadaan yang sulit.
Tetapi lawan-lawannya pun adalah orang-orang yang
berpengalaman pula. Karena itu, dalam kedudukan yang
serba sulit itu, maka orang bersenjata bertangkai panjang itu
telah mengambil langkah-langkah yang dianggapnya akan
dapat mengatasi cara yang ditempuh oleh Mahisa Murti.
Merekapun telah bertempur sambil berloncatan dengan
jarak panjang. Dengan demikian, maka mereka kadangkadang
memang mempunyai kesempatan untuk mengambil
jarak dan dengan gerak mematuk dengan ujung senjata
mereka yang mengerikan. Namun Mahisa Murti cukup tangkas untuk mengelak
dan menangkis dengan cepatnya. Bahkan kemudian seolaholah
ia selalu berhasil menyusup di antara ayunan senjata
bertangkai panjang itu dengan mengacukan ujung
pedangnya mengarah ke dada.
Keringat telah membasahi seluruh tubuh mereka yang
bertempur. Kedua orang bersenjata panjang itupun
bagaikan telah menyelam dengan seluruh pakaiannya di
dalam air. Namun demikian, keadaan mereka justru semakin lama
menjadi semakin sulit. Ujung pedang Mahisa Murti serasa
menjadi semakin dekat dengan kulit mereka, sehingga pada
suatu saat, salah seorang dari kedua orang yang bersenjata
panjang itu telah berdesah menahan sakit dan kemarahan
yang bagaikan meledakkan dadanya.
Adalah sangat menyakitkan hati, bahwa anak muda yang
bersenjata pedang itu tiba-tiba saja telah berhasil melukai
salah seorang dari lawannya. Ketika lawannya itu justru
telah menyerangnya dengan senjatanya yang terjulur lurus
ke arah lehernya, maka Mahisa Murti itu telah
merendahkan dirinya tanpa bergeser dari tempatnya. Pada
saat yang demikian, maka pedangnya telah terjulur lurus
dan menyentuh pundak lawannya, justru pada saat senjata
lawannya berdesing di atas kepadanya.
Dengan cepat orang yang terluka itu meloncat surut.
Mahisa Murti yang berusaha memburunya, harus
mengalihkan perhatiannya kepada lawannya yang seorang,
yang telah menyerangnya pula.
Mahisa Murti harus meloncat ke samping. Ketika senjata
lawannya itu terayun, maka Mahisa Murti telah
menangkisnya dengan pedangnya.
Dengan kemampuan ilmu pedang yang tinggi, didorong
oleh tenaga cadangannya yang mapan, maka Mahisa Murti
telah memutar pedangnya pada benturan di saat ia
menangkis serangan lawannya itu.
Senjata lawannya bertangkai panjang itu bagaikan
dihisap oleh tenaga yang kuat sekali. Hampir saja senjata
itu terlepas dari tangan lawan Mahisa Murti itu. Untunglah,
ia mampu berpegang kuat-kuat pada pangkalnya, sementara
kawannya yang terluka telah mampu menguasai diri dan
sambil menggeram menyerang Mahisa Murti, sehingga ia
masih belum sempat berhasil melemparkan senjata
lawannya yang seorang. "Hampir saja," desis Mahisa Murti, "jika aku mendapat
kesempatan sesaat lagi, agaknya aku akan berhasil
merenggut senjata itu."
"Omong kosong," lawannya berteriak, "kau jangan
terlalu merasa dirimu besar dengan kemenangankemenangan
kecil yang tidak berarti sama sekali itu."
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia mengambil
kesempatan untuk meloncat mendekatkan diri kepada
lawannya yang telah terluka dan mengambil tempat dan
kedudukan sebagaimana pernah terjadi. Mahisa Murti itu
berusaha berputaran berseberangan dengan lawannya yang
seorang lagi, sehingga sulit bagi lawannya itu untuk
menyerang bersama-sama. Namun sekali lagi lawannya berusaha pula untuk
memecahkan kedudukan yang tidak menguntungkan
mereka itu. Dengan tangkas orang bersenjata bertangkai
panjang itu berloncatan, sehingga mereka berada dalam
satu garis yang sepihak dengan Mahisa Murti.
Tetapi usaha keduanya selalu gagal. Bahkan kecepatan
pedang Mahisa Murti yang membingungkan itu sekali lagi
telah mematuk lengan lawannya yang seorang, sehingga
dengan demikian maka keduanya pun telah terluka
Luka itu telah membuat kedua orang lawannya
bertambah marah. Dengan demikian maka pertempuran
pun menjadi semakin cepat. Keduanya berusaha untuk
dengan cepat menghancurkan anak muda itu. Namun yang
terjadi justru sebaliknya. Kemarahan yang menghentakhentak
itu justru telah membuat pikiran keduanya menjadi
kabur. Keduanya lebih banyak menuruti perasaannya yang
marah saja, sehingga perhitungan mereka pun menjadi
tidak mapan lagi. Itulah sebabnya, maka yang terjadi kemudian sangat
mengejutkan. Ujung pedang Mahisa Murti telah sekali lagi
mengoyak lawannya justru di lambung.
"Gila," teriak orang itu.
Tetapi luka di lambung itu ternyata lebih parah dari
lukanya yang terdahulu. Meskipun tidak terlalu dalam,
namun darah telah mengalir dengan derasnya. Perasaan
pedih terasa menyengat sampai ke tulang.
Dengan demikian maka perlawanannya menjadi jauh
susut. Karena itulah, maka kawannya yang seorang harus
bertempur tanpa bersandar pada bantuan kawannya.
Dengan segenap tenaga ia berusaha untuk melindungi
dirinya sendiri dari ujung pedang lawannya yang kadangkadang
membingungkan. Namun orang itu tidak mampu lari dari kejaran ujung
pedang itu. Betapa dahsyatnya senjatanya, namun Mahisa
Murti-pun telah mendesaknya sehingga orang itu selalu
berusaha mengambil jarak dengan berloncatan surut.
Tetapi usahanya tidak selalu berhasil. Ujung pedang itu
telah menyentuhnya pula sehingga luka pun telah tergores
di dadanya. Tetapi luka itu hanyalah luka kecil meskipun panjang.
Karena itu orang padepokan itupun masih berusaha untuk
bertempur terus. Namun kawannya yang terkoyak
lambungnya, ternyata sudah tidak mampu lagi berbuat
banyak. Bahkan kemudian iapun telah terduduk dengan
lemahnya bersandar sebatang pohon.
Namun ketika Mahisa Murti sudah siap mengakhiri
pertempuran, ternyata Mahisa Murti dikejutkan oleh
kehadiran seorang yang bertubuh tegap berjambang dan
berjanggut panjang yang langsung menyambar Mahisa
Murti dengan senjatanya yang juga bertangkai panjang.
Bukan canggah dan tombak berkait, tetapi sebuah trisula
berujung tiga. Mahisa Murti lah yang kemudian harus berloncatan
mundur. Ayunan senjata itu terasa agak berbeda dengan
kedua senjata yang terdahulu. Karena itu, maka menurut
penilaian Mahisa Murti, orang itu tentu memiliki ilmu
melampaui kawan-kawannya.
Karena itu, justru pada saat yang gawat itu, Mahisa
Murti masih sempat membuat perhitungan. Dengan satu
gerakan yang sulit diikuti dengan mata telanjang, maka
iapun telah meloncat menyerang lawannya yang telah
dilukainya. Memukul senjatanya sehingga pertahanan
lawannya itu terbuka. Sebelum ia menyadari apa yang
terjadi, justru karena kehadiran kawannya yang
dianggapnya memiliki ilmu yang lebih tinggi itu, maka
senjatanya bagaikan disibakkan. Ujung pedang lawannya
itu menyusup dengan cepat dan sebelum orang itu sempat
mengelak, maka ujung pedang itu telah mematuknya.
Orang itu masih berusaha mengelak. Namun ia tidak
berhasil menghindari ujung pedang itu sepenuhnya.
Meskipun ujung pedang itu tidak menghunjam ke dadanya,
tetapi ujung pedang itu telah menembus pundaknya.
Orang itu sempat berteriak dan mengumpat kasar.
Namun Mahisa Murti telah memperhitungkan segala
sesuatunya. Tetap seperti yang diduganya, maka pada saat
itu, serangan lawannya yang baru itu telah menyambarnya.
Untunglah bahwa Mahisa Murti telah siap
menghadapinya. Ujung trisula bertangkai panjang itu
memang hampir saja menyambar punggungnya. Untunglah
bahwa Mahisa Murti sempat justru menjatuhkan irinya
menelungkup. Namun demikian ujung trisula itu berdesing,
maka iapun telah siap melenting berdiri tegak.
Dengan demikian kedua orang itu telah berhadapan lagi
dengan senjata siap di tangan.
Namun dalam pada itu, orang yang telah dilukainya di
pundaknya itu telah kehilangan tenaganya. Tangannya
bagaikan menjadi lumpuh sementara darah mengalir
dengan derasnya dari lukanya itu.
Karena itu, maka ia tidak lagi mampu untuk membantu
pertempuran yang kemudian terjadi antara Mahisa Murti
dengan orang bersenjata trisula itu.
Ternyata bahwa orang yang mempergunakan trisula
bertangkai panjang itu memang seorang yang memiliki ilmu
yang tinggi. Meskipun ia hanya seorang diri menghadapi
Mahisa Murti, namun putaran trisulanya terasa
menimbulkan pusaran angin yang menyentuh wajah
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mahisa Murti. Dengan demikian Mahisa Murti dapat menilai betapa
kuatnya tenaga orang itu.
Karena itu, maka Mahisa Murti harus berhati-hati.
Agaknya orang itu bukan saja orang yang bertenaga sangat
besar. Namun agaknya orang bertrisula itu memang seorang
yang berilmu tinggi. Keduanya pun kemudian bertempur semakin sengit.
Keduanya berloncatan semakin cepat dengan putaran
senjata semakin cepat pula.
Sementara itu. Mahisa Pukat ternyata telah kehilangan
lawannya pula, sehingga untuk sementara ia telah
melibatkan diri dalam benturan antara dua kelompok
prajurit dan penghuni padepokan itu. Kehadirannya
ternyata telah banyak mempengaruhi keadaan, sehingga
kelompok dari padepokan itupun telah terdesak.
Di bagian lain. Tatas Lintang masih berdiri tegak
mengamati seluruh medan. Sekali-sekali ia memang terlibat
langsung dalam pertempuran, namun kemudian ia telah
membebaskan diri untuk dapat bergeser ke tempat lain.
Dalam pada itu. Tatas Lintang menyadari, bahwa ada
beberapa orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Karena itu,
ia harus berhati-hati. Karena ia orang tertua di antara pihak
pasukan Lemah Warah, maka ia harus berusaha untuk
dapat berhadapan dengan orang yang memiliki ilmu
tertinggi di padepokan itu.
Namun agaknya ia belum menemukannya. Karena itu,
maka ia masih selalu melepaskan lawannya yang lain dan
kemudian bergeser dari medan yang satu ke medan yang
lain antar kelompok-kelompok. Di regol padepokan para
pemimpin padepokan itu nampaknya sudah berkumpul.
Namun ketika mereka menyadari bahwa pasukan Lemah
Warah masuk ke padepokan itu dari segala arah, maka para
pemimpin itu telah menyebar dan berada di seluruh sudut
padepokan itu. "Mudah-mudahan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
berhasil menemukan mereka," berkata Tatas Lintang di
dalam hatinya. Meskipun keduanya masih sangat muda,
tetapi Tatas Lintang percaya, bahwa keduanya akan dapat
mengatasi kesulitan. Bagi Tatas Lintang yang agak
mendebarkan adalah Mahisa Ura. Namun agaknya iapun
meningkatkan ilmunya sehingga meskipun padepokan itu
kemudian menjadi kancah peperangan yang mendebarkan,
namun agaknya ia akan dapat berusaha untuk menjaga
dirinya sendiri. Untuk beberapa saat Tatas Lintang masih menyusuri
arena yang sibuk. Sekali-sekali iapun harus mengelakkan
serangan. Namun prajurit Lemah Warah yang melihatnya
segera mengambil alih mereka yang telah menyerang Tatas
Lintang itu. Namun dalam pada itu, di bagian lain dari padepokan
itu, seorang yang bertongkat panjang dan di pangkalnya
terdapat batu berwarna kehijauan, telah menyapu lawanlawannya
tanpa ampun. Beberapa orang prajurit terpilih
harus bersama-sama menghadapinya untuk membatasi
geraknya. Namun tidak seorang pun di antara para prajurit
yang mampu menahannya untuk tidak berkeliaran.
Di bagian lain, seorang yang memiliki kemampuan
untuk mempengaruhi dan bahkan menyusup ke dalam diri
seseorang serta merampas pribadinya, tidak dapat terlalu
banyak memanfaatkan ilmunya. Lawan terlalu banyak
untuk dipergunakannya satu demi satu. Bahkan seandainya
ia ingin mengurangi jumlah lawannya dengan cara itu,
maka ia memerlukan waktu yang terlalu lama.
Karena itu, maka ia merasa dapat mempergunakan cara
lain yang lebih baik. Dengan langsung turun ke medan
maka ia akan dapat membunuh lawan-lawannya dengan
lebih cepat dan langsung. Dengan kemampuannya
mempermainkan senjata serta tenaga cadangan yang
mampu membuat kekuatannya berlipat ganda, telah
membuatnya menjadi orang yang menggemparkan di
medan pertempuran itu. Beberapa orang prajurit Lemah Warah telah menjadi
korbannya. Namun para prajurit yang memiliki
pengalaman cukup luas itu telah berusaha melawannya
dengan satu kelompok kecil orang-orang pilihan.
Bagaimanapun juga, maka orang yang berilmu tinggi itu
merasa geraknya terhambat oleh prajurit-prajurit Lemah
Warah yang melingkarinya, karena ujung-ujung senjata
mereka akan dapat menggoresnya.
Di bagian lain, seorang yang berwajah gelap ternyata
tidak sempat mempergunakan ilmu gendamnya untuk
menguasai binatang apapun juga untuk melawan para
prajurit Lemah Warah. Iapun tidak sempat
mempergunakan ilmunya untuk mengaburkan nalar lawanlawannya
karena ia langsung harus bertempur dengan
senjatanya. Meskipun ia mencoba berusaha tetapi
kesempatannya tidak pernah didapatkannya dalam hiruk
pikuk pertempuran itu. Tetapi orang itu tidak ingin menyerah. Ia mempunyai
sekotak ular yang akan dapat dikuasainya dengan ilmunya
dan menaburkannya ke medan. Bisa ular itu akan dapat
membunuh para prajurit Lemah Warah tanpa ampun,
sehingga dengan demikian, maka mereka pun akan segera
dapat dihancurkan. Karena itu, maka orang itupun telah berusaha untuk
melepaskan diri dari pertempuran yang ribut. Ketika
beberapa orang padepokan itu hadir pula di arena, maka ia
merasa mendapat kesempatan untuk meninggalkan arena
itu. Dengan diam-diam ia telah menyusup di antara barakbarak
yang ada di padepokan itu dan menuju ke barak yang
dipergunakannya untuk menyimpan ular-ularnya.
Dengan cepat ia menyelinap memasuki pintu baraknya
dan langsung menuju ke biliknya.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam ketika dilihatnya
kotak kayu yang cukup besar yang dipergunakannya untuk
menyimpan ular-ularnya masih berada di tempatnya.
Dengan serta merta iapun telah meloncat mendekat dan
kemudian duduk di depan peti yang penuh berisi ular itu. Ia
berniat untuk mengetrapkan ilmunya dan menggerakkan
ular-ularnya agar memasuki medan dan membunuh para
prajurit Lemah Warah. Dengan ilmunya ia akan
mempengaruhi ular-ularnya untuk mengetahui yang
manakah prajurit Lemah Warah yang harus dibinasakan.
Namun orang itu terkejut ketika ia mendengar desir
lembut ke arah pintu biliknya. Pendengarannya yang tajam
segera dapat mengenal bahwa suara itu tentu suara langkah
kaki seseorang. Sehingga karena itu, iapun menjadi sangat
berhati-hati. Sebenarnyalah langkah itu memang menuju ke pintu
biliknya yang ternyata masih terbuka. Tetapi orang itu tidak
mempunyai kesempatan untuk menutupnya, karena tibatiba
saja seseorang telah berdiri di depan pintu biliknya.
Orang itu menjadi tegang, sementara orang yang berdiri
di depan pintu itupun bersiap pula menghadapi segala
kemungkinan. "Setan," geram orang itu yang melihat salah seorang
dari tiga orang yang disebut kemanakan Tatas Lintang telah
mengikutinya. "Kenapa kau bersembunyi?" bertanya Mahisa Pukat
yang melihat orang itu menyelinap dan kemudian ia
memang mengikutinya. Orang itu termenung sejenak. Namun perlahan-lahan ia
telah membuka tutup kotaknya. Tanpa dilihat oleh Mahisa
Pukat tangannya telah meraih seekor ular dari kotak itu.
"Kenapa kau bersembunyi" " sekali lagi Mahisa Pukat
bertanya. Tetapi ternyata orang itu tidak menjawab. Yang
dilakukannya adalah melempar Mahisa Pukat dengan ular
yang dapat diraihnya tanpa memilih. Ternyata ular itu
adalah ular bandotan yang meskipun tidak begitu besar,
tetapi patukannya akan dapat membunuh seseorang dalam
waktu pendek. Mahisa Pukat memang terkejut. Secara naluriah ia telah
bersiap untuk menghindar.
Namun ketika ia melihat seekor ular yang dilemparkan
kepadanya, maka ia telah mengurungkan niatnya, ia tetap
saja berdiri di muka pintu dan membiarkan ular itu
mengenainya dan langsung melilit di tangannya yang
memang berusaha untuk menangkap ular itu.
Ular itu memang telah mematuknya dan membelitnya
dengan kuat. Untuk sesaat Mahisa Pukat tidak bergerak. Namun
kemudian tangannya yang lain telah mengurai ular itu,
memijit kepalanya sehingga gigitannya terlepas. Kemudian
dengan sekuat tenaga ular itu dibantingnya ke tanah
sehingga mati seketika. Orang yang melemparkan ular itu menarik nafas dalamdalam
ketika ia melihat ularnya telah menggigit orang yang
berdiri di muka pintu itu.
Namun ternyata orang yang berdiri di muka pintu itu
sama sekali tidak mengalami akibat dari gigitan ularnya.
Bahkan Mahisa Pukat itu telah melangkah perlahan-lahan
mendekatinya. "Gila," geram orang itu. Ia pun kemudian menyadari
bahwa Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakunya
sebagai kemanakannya itu sama sekali tidak dapat
terpengaruh oleh racun dan bisa. Beberapa kali hal itu telah
terjadi dan dialami oleh para penghuni padepokan itu dan
mereka pun telah pernah saling membicarakannya.
Karena itu. maka orang itu tidak akan dapat
mempergunakan ular-ularnya untuk melawan orang itu.
Iapun belum sempat pula mempengaruhi ular-ular itu
dengan ilmunya agar ular-ular itu menyerang para prajurit
Lemah Warah. Dengan demikian, maka ia tidak dapat berbuat lain
kecuali menghadapi Mahisa Pukat tanpa mempergunakan
ular-ularnya itu dan karena itu. maka ia telah menutup
kotaknya baik-baik dan berkata kepada diri sendiri, "Aku
harus menghancurkannya dengan cepat, agar aku sempat
mempergunakan ular-ular itu. Jika aku terlambat, maka
keadaan akan menjadi semakin sulit bagi orang-orang di
padepokan ini." Karena itu ketika Mahisa Pukat melangkah
mendekatinya, maka orang itupun telah melangkah pula
maju. "Ki Sanak," berkata orang itu, "aku tahu siapa kau dan
aku tahu untuk apa kau mengikuti aku. Karena itu, marilah,
kita akan keluar dari ruang sempit ini. Kita akan mengukur
kemampuan kita tanpa terganggu oleh isi bilik ini."
Mahisa Pukat termangu-mangu. Namun iapun
kemudian berkata, "Baiklah. Marilah kita keluar."
Orang itu tertawa. Katanya, "Kau terlalu berhati-hati
dan berprasangka. Jangan menduga buruk terhadap
seseorang. Kau kira aku telah menjebakmu dan akan
menyerangmu dari belakang pada saat kau keluar dari bilik
ini?" Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia menjawab, "Satu hal yang mungkin sekali
terjadi. Baru saja kau menyerangku dengan curang. Tanpa
peringatan apapun juga kau telah melemparkan seekor ular
untuk menyerangku. Kau kira serangan yang demikian
tidak sama nilainya dengan menyerang punggung?"
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Baiklah. Marilah kita keluar."
Orang itulah yang kemudian berjalan ke arah pintu dan
mendahului Mahisa Pukat keluar dari bilik itu dan
seterusnya keluar dari barak itu pula.
Di halaman orang itu berhenti langsung bersiap
menghadapi Mahisa Pukat yang telah keluar dari barak itu
pula. Mahisa Pukat terkejut melihat sikap orang itu. Kesiagaan
orang itu agak mencurigakan. Orang itu tidak berdiri tegak
dengan tangan yang siap mengayunkan senjata, atau
memiringkan tubuhnya sedikit pada kaki yang agak
merendah, atau cara-cara lain, tetapi orang itu justru berdiri
dengan tangan bersilang di dada.
Sementara itu, terasa angin yang bagaikan berhembus ke
arah wajah Mahisa Pukat. Perlahan-lahan. Namun terasa
satu pengaruh yang mulai mencengkam.
"Gila," geram Mahisa Pukat. Ia mulai menyadari apa
yang sedang dilakukan oleh orang itu. Agaknya orang itu
telah mengetrapkan ilmu gendamnya. Tidak untuk
mempengaruhi seekor atau dua ekor harimau atau beberapa
ekor orang hutan atau ular berbisa, tetapi orang itu
mencoba mengetrapkan ilmunya pada dirinya.
Mahisa Pukat benar-benar tersinggung. Ia pernah
melihat salah seorang yang tidak dikenal yang menurut
dugaannya adalah orang dari padepokan itu pula, telah
mampu menggetarkan udara dan bagaikan angin pusaran
menyusup ke dalam tubuh Mahisa Ura yang
kepribadiannya paling lemah di antara mereka berempat,
kemudian mempergunakan tubuh Mahisa Ura untuk
bertempur melawannya bertiga. Namun kini ternyata
lawannya itu telah mempersamakannya dengan derajad
seekor binatang untuk dapat dipengaruhi dengan ilmu
gendamnya. Namun ternyata bahwa pengaruh itu memang
dirasakannya meskipun tidak mampu mencengkamnya dan
menguasainya. Tetapi kemarahan Mahisa Pukat tidak dapat
dikendalikannya. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia
menjulurkan tangannya dengan kedua telapak tangannya
menghadap ke depan. Seleret sinar seakan-akan telah meluncur dari telapak
tangannya itu, langsung menyambar dua langkah dari
tempat orang yang diduga sedang mengetrapkan ilmu
gendamnya itu. Tanah yang tersentuh seleret sinar itu bagaikan meledak.
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang itu memang terkejut. Dengan serta merta iapun
telah terloncat surut beberapa langkah. Wajahnya menjadi
merah membara oleh kemarahan yang menghentak di
dadanya. "Kau sombong sekali," geram orang itu, "ternyata kaupun
licik sekali. Kau menyerang aku dengan tiba-tiba tanpa
memberikan peringatan lebih dahulu."
"Gila," geram Mahisa Pukat, "jika aku licik seperti kau,
maka aku tidak akan memberimu peringatan. Aku akan
langsung menyerang kepalamu sehingga kepalamu akan
pecah karenanya." "Persetan," orang itu hampir berteriak, "kenapa tidak
kau lakukan?" "Sudah aku katakan. Aku tidak selicik kau," jawab
Mahisa Pukat, "kita akan berhadapan sebagai laki-laki,
meskipun kau sudah dua kali menyerangku tanpa
peringatan. Bukan aku yang melakukannya, tetapi justru
kau. Kau telah melemparkan ular itu dan yang kedua kau
telah menyerangku dengan licik, bahkan menghinaku pula.
Kau anggap aku seekor kerbau dungu yang akan kau jerat
dengan ilmu gendammu he" Kau telah merendahkan
martabat manusiaku di samping kecuranganmu itu."
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba saja
ia telah tertawa, "Jadi kau merasakan pengaruh ilmuku.
Jika demikian maka kau memang mempunyai martabat
yang terlalu rendah sebagai manusia. Tidak seorang pun
yang dapat dipengaruhi oleh ilmu gendam jika pribadinya
cukup bernilai dalam tataran martabat manusia wajar. Jika
kau merasakan pengaruhnya, maka nilai martabat
manusiamu berada di bawah tataran martabat manusia
sewajarnya." Tetapi Mahisa Pukat justru berusaha untuk menguasai
dirinya. Ia sadar, bahwa lawannya telah membuatnya
marah, sehingga ia kehilangan penalarannya. Karena itu,
Mahisa Pukat itu justru tertawa. Katanya, "Ceriteramu
memang menarik. Mungkin kau benar, bahwa martabatku
tidak pada tataran martabat manusia seutuhnya. Tetapi itu
tidak apa. Kita akan membuktikan, apakah martabatmu
lebih rendah atau lebih tinggi dari martabatku."
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun iapun
tersenyum " Syukurlah jika kau menyadarinya. Dengan
demikian maka kau tidak akan menyesali apa yang dapat
terjadi atasmu nanti."
"Tidak Ki Sanak," berkata Mahisa Pukat, "aku tidak
akan menyesali apapun juga yang mungkin terjadi atas
diriku. Di sekitar barak ini pertempuran menjadi semakin
seru. Korban akan jatuh di kedua belah pihak. Dan kita pun
tidak akan luput dari paugeran perang. Salah seorang di
antara kita akan mati, kecuali jika kau menyerah, karena
kami tengah mengemban perintah Sri Maharaja di Kediri."
"Kaulah yang kini menghinaku. Kau sangka bahwa
kami mengenal menyerang menghadapi siapapun juga?"
jawab orang itu. "Jika demikian bersiaplah untuk mati." jawab Mahisa
Pukat, "aku tidak akan membiarkan kau memberikan
perlawanan terlalu lama. Aku dapat membunuhmu saat ini
juga." "Jangan terlalu sombong anak muda." jawab orang itu.
Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun iapun telah
melangkah mendekat. Pedangnya yang telah
digantungkannya di lambungnya telah berada di tangannya
kembali. Bahkan mulai bergetar dan teracu ke arah
lawannya. Sementara iapun melangkah maju perlahanlahan.
"Kau telah menghina aku lagi," geram orang itu,
"kenapa kau tidak menyerangku dengan ilmumu yang dapat meledakkan tanah tempat aku berpijak."
--ooo0dw0ooo- Jilid 035 "SAMA SAJA," jawab Mahisa Pukat, "yang penting kau akan mati."
Orang itu tertawa. Namun iapun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Bahkan iapun telah mencabut kerisnya yang besar yang tergantung di punggungnya.
"Aku tidak biasa mempergunakannya," berkata orang
itu, "tetapi karena kau bersenjata pedang, maka aku akan
melawanmu dengan kerisku ini. Keris yang barangkali tidak
begitu baik. Tetapi cukup mempunyai naluri yang disegani
oleh setiap orang yang berani melawan aku."
"Aku ternyata terlepas dari naluri itu," jawab Mahisa
Pukat sambil melangkah semakin dekat, "aku sama sekali
tidak merasakan pengaruhnya. Karena itu kerismu itu lebih
jelek dari ilmu gendammu yang buruk itu."
Orang itu menggeram. Namun iapun kemudian dengan
tiba-tiba saja telah meloncat menyerang. Kerisnya yang
besar itu terayun mendatar langsung menebas ke arah leher
Mahisa Pukat. Namun Mahisa Pukat sudah cukup bersiaga. Dengan tangkas ia bergeser. Namun pedangnyalah yang kemudian terjulur mematuk dada.
Tetapi serangan Mahisa Pukat itupun tidak berhasil.
Lawannya pun dengan cepat menghindar, bahkan orang itu telah meloncat pula menyerang.
Demikianlah keduanya telah terlibat ke dalam pertempuran yang sengit. Keduanya ternyata mampu mempergunakan senjata masing-masing dengan baik.Karena itulah maka kedua senjata itu berputaran bagaikan
gumpalan-gumpalan awan di seputar tubuh masing-masing.
Pedang Mahisa Pukat yang berputar dengan cepat sekali,telah melindungi tubuhnya dengan gumpalan asap yang berwarna putih kebiru-biruan. Sementara itu putaran keris lawannya telah menjadi perisai di seputar dirinya dengan kabut yang berwarna kehitam-hitaman.Dalam pertempuran itu, sekali-sekali kedua senjata itu memang bersentuhan, sehingga menimbulkan percikan bunga api yang berloncatan.Lawan Mahisa Pukat itu mengumpat di dalam hati.
Ternyata anak muda itu memang memiliki kelebihan. Pada
awal pertemuan mereka, anak muda itu telah melontarkan
serangan yang mengejutkan, sehingga tanah tempat mereka
berpijak itu dapat meledak. Untunglah serangan itu tidak
langsung ditujukan kepadanya, tetapi justru di hadapannya.
"Tetapi ia tidak akan mampu melakukannya lagi dalam
pertempuran berjarak pendek ini," berkata lawan Mahisa
Pukat itu di dalam hati, "anak itu tidak akan sempat barang
sekejap pun untuk membangunkan ilmunya itu."
Sebenarnyalah, Mahisa Pukat akan mengalami kesulitan
jika ia masih saja terlibat dalam pertempuran yang seakanakan
tidak berjarak itu. Tetapi Mahisa Pukat memang belum memerlukannya. Ia
memang berusaha untuk dapat menyelesaikan lawannya itu
tanpa mempergunakan ilmunya yang disadapnya dari Tatas
Lintang yang ternyata adalah Akuwu dari Lemah Warah.
Yang terjadi kemudian adalah pertempuran yang sengit
dengan mengandalkan ilmu masing-masing dalam
mempergunakan senjata. Pedang Mahisa Pukat yang
berputar itu sekali-sekali telah terayun mendatar. Namun
kemudian mematuk dengan cepat ke arah dada.
Tetapi setiap kali lawannya mampu mengelak. Bahkan
kerisnya yang besar itulah yang kemudian dengan
garangnya bagaikan menerkam lawannya. Ujungnya yang
berwarna kehitaman itu nampak betapa mendebarkan.
Namun Mahisa Pukat cukup tangkas menghadapi keris
itu. Pada saat-saat yang gawat, Mahisa Pukat masih selalu
dapat mengatasinya dengan kecepatan gerak dan
kemampuannya bermain pedang.
Dengan demikian maka keduanya yang bertempur
terpisah dari lingkungan pertempuran yang lain itu, seakanakan
memang telah disediakan waktu dan tempat yang
tidak terbatas. Keduanya berloncatan saling menyerang dengan
langkah-langkah yang panjang. Ayunan pedang Mahisa
Pukat dan tebasan ujung keris lawannya, telah mendorong
keduanya bergeser sedikit demi sedikit dari tempat semula.
Namun keduanya masih tetap bertempur di antara barakbarak
di padepokan itu. Desak mendesak, sekali-sekali
berloncatan surut untuk mengambil jarak.
Semakin lama keduanya pun telah meningkatkan ilmu
mereka sampai ke tataran tertinggi. Pedang dan keris di
tangan itu berputar semakin cepat. Menebas, terayun
mendatar, mematuk dan sekali-sekali terdengar benturan
yang kuat. Kecuali memercikkan bunga api di udara, maka dalam
benturan itu keduanya seolah-olah mampu saling menjajagi.
Namun semakin sering benturan itu terjadi, maka tangan
mereka-pun semakin terasa sakitnya.
Namun kemudaan Mahisa Pukat agaknya memberikan
keuntungan kepadanya. Darahnya yang panas dan tekad di
dalam dadanya yang menyala, membuatnya menjadi
semakin garang. Keyakinannya dalam mengemban tugas
serta kesadaran pengabdiannya telah membuat kekuatannya
bagaikan berlipat. Daya tahan tubuhnya pun seolah-olah
menjadi tanpa batas. Betapapun juga, Mahisa Pukat memiliki bekal yang
cukup dengan menempa dirinya untuk waktu yang lama di
bawah bimbingan orang-orang berilmu sangat tinggi.
Dengan demikian maka Mahisa Pukat pun telah
mengerahkan segenap kemampuannya karena ia ingin
menyelesaikan pertempuran itu lebih cepat.
Hentakan kekuatan dan kemampuan Mahisa Pukat itu
telah membuat lawannya mulai terdesak. Darah Mahisa
Pukat yang mendidih oleh kesadaran pengabdiannya benarbenar
menjadi dorongan yang luar biasa sehingga tenaga
cadangan di dalam dirinya yang dialirkan lewat ilmu
pedangnya menjadi seakan-akan berlipat.
Lawan Mahisa Pukat itu menjadi heran. Kekuatan anak
muda itu semakin lama tidak menjadi semakin susut. Tetapi
justru semakin berlipat. Sedikit demi sedikit, tetapi pasti,
lawan Mahisa Pukat itu merasa semakin terdesak.
Kemampuannya mempermainkan kerisnya terasa semakin
lamban dibandingkan dengan putaran pedang Mahisa
Pukat. Karena itu, lawan Mahisa Pukat itu tidak mempunyai
cara lain untuk mengatasi lawannya kecuali dengan
mempergunakan kemampuannya yang jarang sekali
dipergunakan, jika tidak terpaksa sebagaimana dialaminya
pada waktu itu. Jika ia tidak mempergunakannya, maka
kemungkinan yang paling buruk akan dapat terjadi atasnya.
Mungkin sekali ujung pedang anak muda itu akan
menembus dada dan membelah jantungnya, sehingga
semua rencana yang telah disusun di padepokan itu akan
hancur berantakan. Sejenak pertempuran itu masih berlangsung terus. Lawan
Mahisa Pukat itu semakin terdesak. Sehingga orang itu
akhirnya tidak lagi dapat berbuat lain.
Pada saat ia terdorong mundur, selagi ujung pedang
Mahisa Pukat hampir menyentuh dadanya, maka orang itu
telah mengetrapkan ilmunya yang jarang dipergunakannya.
Mahisa Pukat yang mendesaknya, memang tidak mau
melepaskannya lagi. Setiap kali lawannya meloncat surut,
Mahisa Pukat itu selalu memburunya.
Namun ketika Mahisa Pukat merasa yakin, bahwa
lawannya itu tidak akan mampu menghindar lagi, serta
pada saat ujung pedangnya mematuk dengan satu
keyakinan akan menyelesaikan pertempuran itu, maka tibatiba
saja lawannya telah lenyap dari pandangan matanya.
Mahisa Pukat menjadi bingung sejenak. Namun iapun
segera meloncat justru ke depan, dan dengan tangkas
berbalik. Sebenarnyalah lawannya telah berada beberapa
langkah dari padanya, siap untuk menyerangnya.
Mahisa Pukat memang menjadi berdebar-debar. Namun
iapun segera menyadari bahwa lawannya memiliki ilmu
panglimunan. Namun ia masih belum tahu, dari jenis yang
manakah ilmu yang dimiliki oleh lawannya itu. Apakah
ilmu itu sempurna sehingga lawannya itu benar-benar dapat
menghilang dan bertindak dalam ketiadaan menurut
pengamatan mata wadag. Namun mungkin ilmu yang
dimilikinya itu masih dalam jenis yang wungkul. Sehingga
lawannya itu hanya memiliki sebagian unsur dari jenis ilmu
panglimunan. Namun kenyataan tentang lawannya itu memang
membuat Mahisa Pukat menjadi berdebar-debar. Ia akan
mengalami pertempuran yang berat jika lawannya memiliki
ilmu Panglimunan yang sempurna. Sehingga dengan
demikian ia tidak akan dapat mempergunakan mata
wadagnya untuk mengikuti tata gerak lawannya.
Sejenak kemudian terdengar lawannya itu justru tertawa.
Pada saat Mahisa Pukat siap menunggunya, orang itu justru
berkata lantang, "Jangan cemas anak muda. Mungkin
memang sudah menjadi nasibmu, bahwa kau akan
mengalami kematian yang pahit. Kau akan bertempur tanpa
mengetahui apa yang dapat kau perbuat."
Mahisa Pukat tidak segera menjawab. Namun ia ingin
membiarkan lawannya itu membual, sehingga ia sempat
untuk menemukan cara yang lebih baik untuk melawannya.
Dalam pada itu orang itupun berkata pula, "Bersiaplah
untuk mati. Sebentar lagi, aku akan hilang dari pandangan
matamu. Tiba-tiba saja ujung kerisku sudah menggores di
kulitmu. Sebuah goresan kecil akan dapat membunuh
seseorang. Tetapi aku tahu, bahwa kau tawar akan racun
dan segala macam bisa, sehingga dengan demikian, maka
racun kerisku tidak akan membunuhmu. Tetapi pada suatu
saat kerisku akan menghunjam ke perutmu."
Mahisa Pukat berusaha untuk tetap menguasai
perasaannya. Dengan nada rendah iapun berkata, "Satu
permainan yang buruk. Marilah kita lihat, apakah benarbenar
kau dapat menghindari tatapan mata wadagku."
Orang itu tertawa. Katanya, "Bukankah sudah terbukti
bahwa kau merasa kehilangan lawanmu?"
"Hanya karena tiba-tiba saja terjadi. Tetapi untuk
selanjutnya kau tidak akan dapat berbuat seperti itu lagi,"
berkata Mahisa Pukat. Orang itu masih tertawa. Namun kemudian iapun telah
menggerakkan kerisnya yang besar. Dengan tangkasnya ia
meloncat menyerang Mahisa Pukat.
Mahisa Pukat sempat menghindar. Tetapi ia berusaha
untuk tetap berdiri dekat dengan dinding barak. Ia akan
melihat, apakah lawannya dapat melenyapkan diri dan
menyerangnya dalam keadaannya itu.
Sejenak mereka bertempur. Namun seperti yang sudah
terjadi, maka Mahisa Pukat segera dapat mengatasi
kemampuan lawannya. Namun Mahisa Pukat tidak
berusaha untuk mendesaknya. Ia justru lebih banyak
bertahan meskipun kemampuannya berada di atas
kemampuan lawannya pada tataran tertinggi ilmu
pedangnya. Lawannya memang memancing Mahisa Pukat untuk
memburunya. Tetapi Mahisa Pukat berusaha untuk tetap di
tempatnya.
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lawannya yang merasa bahwa ia tidak akan mampu
berbuat banyak dengan kerisnya, tiba-tiba saja telah
berusaha membuat lawannya kebingungan. Dengan serta
merta, maka iapun telah bergeser surut. Namun tiba-tiba
saja iapun telah lenyap. Mahisa Pukat justru bergeser surut melekat dinding
barak di belakangnya. Dengan hati-hati ia bersiap untuk
menghadapi ilmu lawannya yang menyulitkan itu.
Mahisa Pukat memang tidak perlu menunggu terlalu
lama. Ketajaman pendengarannya segera memberitahukan
kepadanya, bahwa lawannya berdiri di sebelah kirinya.
Karena itulah, maka Mahisa Pukat pun segera memusatkan
perhatiannya ke arah lawannya.
Sebenarnyalah tiba-tiba saja lawannya telah menjulurkan
kerisnya. Namun dengan tangkas Mahisa Pukat berhasil
mempergunakan ilmu pedangnya untuk menangkis
serangan lawannya. Ketika kemudian terjadi pula hal seperti itu, sekejap dari
saat lenyapnya tubuh lawannya, maka ia sudah nampak lagi
berdiri di sebelah lain dengan keris teracu. Kadang-kadang
lawannya itu dengan cepat langsung menyerangnya.
Namun kadang-kadang ia masih menunggu.
Dengan demikian, maka Mahisa Pukat berhasil
mengenali jenis ilmunya, ia tidak perlu memusatkan
segenap nalar budinya untuk mengetahui di mana lawannya
berada jika lawannya mampu mempergunakan ilmu
panglimunan dengan sempurna. Namun dengan
pengamatan nalar dan ketajaman penglihatannya, Mahisa
Pukat dapat memperhitungkan, ke mana lawannya akan
muncul, karena menurut uraian Mahisa Pukat atas
pengenalannya terhadap ilmu lawannya itu adalah, pada
saat lawannya itu lenyap dari tangkapan mata wadagnya, ia
hanya mempunyai kesempatan untuk sekedar meloncat dari
tempatnya ke tempat yang lain.
Namun demikian jika lawannya itu mampu
memanfaatkannya dengan baik maka Mahisa Pukat benarbenar
akan kebingungan. Tetapi memang jarang sekali seseorang yang mampu
memiliki ilmu panglimunan yang sempurna, sehingga ia
benar-benar dapat melenyapkan diri untuk waktu yang
tidak terbatas dan berbuat sesuatu dengan sentuhan
wadagnya dengan orang yang tidak berada pada keadaan
seperti dirinya. Adapun lawan Mahisa Pukat itu berada pula pada satu
tataran ilmu panglimunan yang belum sempurna, ia hanya
dapat lenyap untuk sekejap saja. Dan agaknya ia
mempergunakan waktu yang sekejap itu untuk melenting
dari tempatnya ke tempat yang lain. Kemudian dengan tibatiba
ia menyergap lawannya dengan ujung senjatanya.
Meskipun demikian pada permulaannya Mahisa Pukat
memang agak kebingungan menghadapi lawannya.
Serangannya tidak akan pernah dapat mengenai
sasarannya, karena jika lawannya terdesak, orang itu akan
segera mempergunakan ilmunya. Ia dengan tiba-tiba saja
muncul di tempat lain dan langsung menyerangnya dengan
ujung keris teracu. Hanya dengan ketangkasan dan kecepatan gerak sajalah
Mahisa Pukat mampu bertahan untuk beberapa saat,
meskipun setiap kali ia harus bergeser dengan loncatan
panjang. Namun untuk menghindari serangan dari arah
belakang, maka Mahisa Pukat berusaha untuk tetap melekat
pada dinding barak di belakangnya.
"Licik," teriak lawannya, "ayo, kita bertempur di tempat
yang luas dan tidak terganggu."
"Aku senang bertempur di sini," jawab Mahisa Pukat.
"Kau pergunakan dinding barak sebagai perisai," berkata
lawannya. "Apa boleh buat," jawab Mahisa Pukat, "kau telah
mempergunakan ilmu yang kurang aku kenal."
"Karena itu sadari kedunguanmu. Menyerah sajalah."
berkata orang itu. "Aku memasuki padepokan bukan sekedar untuk
menyerah," berkata Mahisa Pukat, "aku datang untuk
menangkapmu." "Persetan," geram orang itu. Iapun kemudian dengan
serta merta telah meloncat menyerang. Namun Mahisa
Pukat-pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Karena itu. maka iapun dengan tangkas telah menangkis
serangan itu dengan pedangnya.
Namun menghadapi ilmu lawannya Mahisa Pukat pun
telah mempergunakan ilmunya pula, ilmunya yang semula
memang agak meragukannya karena seakan-akan ilmunya
ini telah dipergunakan untuk mengambil milik orang lain
tanpa diketahuinya. Tetapi Mahisa Pukat tidak dapat berbuat lain.
Lawannya-pun telah mempergunakan ilmu yang
mendebarkan pula. Karena serangannya yang beruntun tidak dapat
menembus pertahanan Mahisa Pukat, maka tiba-tiba saja
lawannya itu telah lenyap untuk sesaat. Ia muncul di tempat
yang lain dengan ujung keris yang terjulur. Bahkan tiba-tiba
iapun telah meloncat sambil mengayunkan kerisnya yang
besar itu. Menghadapi sikap yang demikian Mahisa Pukat
memang kadang-kadang harus berdesah. Ia harus dengan
cepat berputar mengarah ke lawannya yang muncul dengan
tiba-tiba. Kemudian menghadapi serangannya yang datang
dengan cepat pula. Sementara itu, Mahisa Pukat sulit untuk
memperhitungkan, di mana lawannya itu akan muncul.
Namun Mahisa Pukat pun bukannya melawan dengan
wantah. Iapun telah mengetrapkan ilmunya pula.
Pertempuran itupun kemudian menjadi semakin seru dan
tegang. Denyut jantung di dada Mahisa Pukat rasa-rasanya
menjadi semakin cepat. Kadang-kadang ia kehilangan
lawannya yang muncul di tempat yang tidak diduganya
sama sekali. Mahisa Pukat terkejut ketika tiba-tiba saja lawannya
menyerang dari arah yang sama sekali tidak diduganya.
Ketika lawannya itu lenyap, maka Mahisa Pukat
memperhitungkan bahwa lawannya itu akan muncul di sisi
yang lain dari tempatnya berdiri. Namun tiba-tiba lawannya
itu muncul di tempatnya semula. Bahkan tiba-tiba saja satu
loncatan yang panjang datang demikian cepatnya
sementara ujung keris itu terayun menebas ke arah
lehernya. Mahisa Pukat yang terkejut itu bergeser mundur. Namun
ia sempat menangkis serangan itu meskipun karena sangat
tergesa-gesa, maka ujung keris itu masih menggores di
kulitnya. Goresan yang memanjang di pundaknya
menyilang ke arah dada. Goresan itu memang tidak begitu dalam. Tetapi dari
goresan itu telah mengalir darah yang semula nampak
kehitam-hitaman. Namun kemudian menjadi merah segar.
Mahisa Pukat mengaduh tertahan. Luka itu terasa pedih.
Racun di ujung keris itu telah membentur penawarnya di
tubuh Mahisa Pukat, sehingga luka itu menjadi pedih
meskipun tidak terlalu lama.
Lawan Mahisa Pukat itu tertawa berkepanjangan, ia
melihat luka di pundak anak muda itu. Katanya, "Jangan
menyesal anak muda. Kau memang akan mati di
padepokan ini." Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi ujung
pedangnyalah yang terjulur. Hampir saja menyentuh kening
lawannya. Tetapi lawannya itu sempat mengelak dan ketika
Mahisa Pukat memburunya, lawannya itupun telah lenyap
dan muncul di arah yang lain.
Tetapi lawannya itu tidak langsung menyerangnya, ia
masih tertawa sepuas-puasnya menikmati kemenangan
kecilnya. Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat lah yang telah
menyerangnya. Tetapi Mahisa Pukat telah membuat
perhitungan tersendiri menghadapi lawannya yang
membingungkannya itu. Ternyata serangan-serangan Mahisa Pukat selanjutnya
tidak lagi begitu garang. Geraknya menjadi lamban dan
kadang-kadang nampak keragu-raguannya.
Karena itu, maka dengan mudah lawannya itu
menangkis setiap serangan. Bahkan untuk beberapa lama ia
merasa tidak perlu melenyapkan dirinya untuk mengelabui
lawannya yang menurut penilaiannya, tidak lagi segarang
sebelum dilukainya. Dengan demikian maka untuk beberapa saat lamanya
keduanya bertempur dalam keadaan wajar. Mahisa Pukat
nampaknya tidak lagi mampu mendesak lawannya.
Meskipun serangan-serangannya masih nampak berbahaya,
tetapi lawannya tidak melihat lagi kelebihan yang
menekannya. Namun beberapa saat kemudian, lawan Mahisa Pukat
itu menjadi heran atas dirinya sendiri. Ia menilai lawannya
bergerak semakin lamban. Namun dirinya sendiri rasarasanya
tidak juga mampu berbuat lebih cepat dari
lawannya. Beberapa kali ia hanya berloncatan mundur,
menangkis serangan lawan dan serasa tidak lagi mampu
menyerang. "Apa yang telah terjadi atas diriku," bertanya orang itu
kepada diri sendiri. Namun tiba-tiba saja ia menyadari, bahwa tenaganya
sudah menjadi jauh susut. Bahkan tiba-tiba saja rasarasanya
sangat berat mengangkat dan mengayunkan
kerisnya yang sangat besar.
"Gila," geram orang itu.
Ketika kemudian Mahisa Pukat mendesaknya, iapun
telah mempergunakan ilmu Panglimunannya dan meloncat
menjauh. Orang it masih mampu melenyapkan diri dari tangkapan
mata wadag Mahisa Pukat. Namun ketika ia nampak lagi di
tempat lain, nafasnya menjadi terengah-engah. Rasarasanya
tenaganya benar-benar sudah terkuras habis.
"Bagaimana Ki Sanak." tiba-tiba saja Mahisa Pukat
bertanya, "waktu kita masih banyak."
Orang itu mengumpat. Dengan nada geram ia berkata,
"Kau licik. Kau pergunakan ilmu yang sama sekali tidak
bersifat jantan. Kau curi kekuatan lawanmu dengan laku
yang sangat pengecut."
"Jangan mengumpat-umpat," berkata Mahisa Pukat,
"kita sama-sama licik. Bukankah aji panglimunanmu itu
bukan cara yang licik dalam pertempuran apalagi perang
tanding. Kau berusaha untuk melarikan diri dari
penglihatan lawan. Apa salahnya jika aku pun telah
mencuri kekuatanmu dengan caraku. Karena aku
sebenarnya dapat menghancurkanmu dengan ilmuku yang
lain." "Omong kosong," geram orang itu, "jika benar
demikian, kenapa tidak kau lakukan?"
"Aku dapat menghancurkan tubuhmu menjadi sewalangwalang,"
Mahisa Pukat pun menggeram.
Namun lawannya tidak menjawab. Tiba-tiba saja ia telah
melenyapkan diri dan muncul di jarak yang lebih jauh.
Mahisa Pukat meloncat memburu. Tetapi ia kehilangan
lagi lawannya. Tiba-tiba saja lawannya itu sudah berada di
tempat lain. Mahisa Pukat sadar, bahwa lawannya tentu berusaha
melarikan diri. Karena itu maka iapun telah berusaha untuk
mengejarnya. Tetapi kemampuan lawannya setiap kali melepaskan diri
meskipun hanya sesaat memang telah membuat Mahisa
Pukat bingung. Karena itu jarak antara dirinya dan
lawannya itupun menjadi semakin lama semakin jauh.
Meskipun lawannya tidak lagi memiliki kekuatan dan
kemampuan yang utuh. Namun dengan caranya ternyata
bahwa akhirnya ia benar-benar tidak lagi dapat dikejar oleh
Mahisa Pukat dan hilang di antara barak-barak di
padepokan itu. Mahisa Pukat yang kemudian kehilangan lawannya itu
berdiri termangu-mangu. Namun justru karena ia berdiri
seorang diri di antara barak-barak di padepokan itu. Ia
mulai memperhatikan keadaan di sekitarnya. Ia mulai
mendengar teriakan-teriakan yang riuh di sisi lain dari
padepokan itu. Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam, ia mulai
menyadari kembali bahwa ia tidak hanya berhadapan
dengan orang yang melarikan diri itu saja. Tetapi di
padepokan itu telah terjadi pertempuran yang sengit antara
pasukan Lemah Warah dan orang-orang yang berada di
padepokan itu. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah berniat untuk
terjun kembali ke pertempuran. Ia menganggap bahwa
lawannya itu tidak akan mampu memasuki medan karena
untuk beberapa lama ia telah kehilangan kekuatan dan
kemampuannya. Tatapi ketika Mahisa Pukat siap untuk meloncat
meninggalkan tempatnya, tiba-tiba saja ia teringat pada
sekotak ular yang tersimpan di dalam barak. Jika ular itu
kemudian dipergunakan di bawah kuasa ilmu gendam,
maka ular-ular itu akan dapat menimbulkan kesulitan bagi
prajurit Lemah Warah, karena ular yang berada di bawah
pengaruh ilmu itu akan mampu berbuat sebagaimana
diperintahkan oleh orang yang mempengaruhinya, sehingga
ular-ular itupun seakan-akan dapat memilih yang manakah
prajurit Lemah Warah dan yang manakah kawan-kawan
mereka, penghuni padepokan itu.
Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah berlari-lari
menuju ke barak itu. Namun Mahisa Pukat terkejut
karenanya, ketika ia melihat seekor ular merambat di
tangga barak itu. Demikian ia melihat Mahisa Pukat, maka
ular itupun langsung menyerangnya.
Meskipun Mahisa Pukat memiliki kekuatan yang dapat
menawarkan bisa ular, tetapi ia tidak senang ular itu
menggigitnya. Karena itu, maka iapun telah menebas leher
ular itu sehingga putus.
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun ternyata bahwa seekor ular telah menelusur di
bawah barak itu dan menghilang di rerumputan.
"Gila," geram Mahisa Pukat, "ternyata orang itu telah
berhasil melakukannya."
Dengan serta merta Mahisa Pukat meloncat masuk ke
dalam barak itu. Tetapi ia tidak melihat seorang pun lagi.
Namun ia melihat kotak tempat ular berbisa itu sudah
terbuka. Sementara itu beberapa ekor ular masih
berkeliaran. Namun ular-ular yang berada di bawah pengaruh
lawannya itu telah menganggap bahwa Mahisa Pukat harus
dibunuh sebagaimana kebencian orang yang memiliki ilmu
gendam itu. Karena itu, maka tiba-tiba beberapa ekor ular
yang berkeliaran itu telah berbalik ke arah Mahisa Pukat
dan siap untuk menyerangnya.
Mahisa Pukat memang memiliki penawar bisa. Tetapi
menghadapi ular yang cukup banyak, apakah penawar bisa
itu akan mampu melawan bisa yang terlalu banyak
menusuk ke dalam tubuhnya.
Mahisa Pukat tidak mendapat kesempatan untuk terlalu
lama berpikir. Beberapa ekor ular telah merayap semakin
dekat. Namun agaknya Mahisa Pukat lebih senang berkelahi
melawan ular-ular itu di tempat yang lapang. Karena itu,
maka ia-pun telah melenting ke pintu dan meloncat keluar
dari bilik dan barak itu.
Namun demikian ia berdiri di atas tanah yang ditumbuhi
rerumputan, beberapa ekor ular yang garang telah
mengepungnya. Beberapa di antaranya telah mengangkat
kepalanya dan berdiri pada bagian depan tubuhnya.
Lidahnya yang bercabang terjulur-julur mendebarkan.
Suaranya yang berdesis-desis dan membuat tengkuk Mahisa
Pukat meremang. Tetapi di tangan Mahisa Pukat tergenggam pedang,
sementara ia masih mempunyai perisai yang lain jika ada
satu dua di antara ular-ular itu yang lolos dari ujung
pedangnya. Bahkan kemudian ia merasa wajib untuk
menghancurkan ular-ular itu daripada ular-ular itu merayap
memasuki arena dan mematuk para prajurit Lemah Warah.
Dalam pada itu, Mahisa Murti telah berdiri bebas pula.
Lawannya terpaksa diselesaikannya sebagaimana paugeran
perang berbicara. Jika ia tidak membunuh lawannya, maka
ialah yang akan terbunuh atau prajurit-prajurit Lemah
Warah yang lain akan mati jika lawannya itu berhasil lepas
dari tangannya dan memasuki medan di sudut lain dari
pertempuran itu. Namun Mahisa Murti tidak sempat beristirahat. Tibatiba
saja ia telah terperosok ke dalam lingkaran
pertempuran yang mendebarkan. Ia melihat sebatang
tongkat yang terayun-ayun mengerikan. Tongkat yang pada
pangkalnya terdapat sebuah batu yang berwarna kehijauhijauan
itu. Mahisa Murti melihat bagaimana seorang
prajurit Lemah Warah terlempar keluar dari arena,
sementara yang lain berloncatan menghindari ayunan
tongkat yang berputar mengerikan.
Dengan pedang di tangan, Mahisa Murti pun telah
memasuki arena itu. Orang bertongkat itu tertegun melihat kehadiran Mahisa
Murti. Namun iapun telah bergeser beberapa langkah
meninggalkan arena, sementara itu orang-orang padepokan
itu telah menggantikannya melawan para prajurit Lemah
Warah yang sudah susut karena tongkat yang pada
pangkalnya terdapat batu yang kebiru-biruan itu.
Mahisa Murti menyadari, bahwa orang itu sengaja
keluar dari arena untuk menghindarinya. Karena itu, maka
Mahisa Murti pun telah mengikutinya dengan pedang
teracu. "Akhirnya kita sempat juga berbicara," berkata orang itu,
"siapakah sebenarnya kau pedagang batu akik?"
"Kau sudah tahu jawabnya, di mana aku berdiri
sekarang," jawab Mahisa Murti.
"Apakah kau benar kemanakan Akuwu Lemah Warah
itu?" bertanya orang bertongkat itu.
"Ya. Kenapa?" Mahisa Murti ganti bertanya.
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, "Satu
pengakuan yang sudah aku duga sebelumnya. Tetapi kau
kira aku begitu saja percaya" Mungkin kalian mempunyai
kepentingan yang sama dengan Akuwu itu atau setidaktidaknya
mempunyai persamaan. Mungkin atas batu hijau
itu, tetapi mungkin persoalan lain yang tidak kau katakan.
Tetapi menilik tingkah lakumu dan perhatianmu terhadap
batu hijau itu sehingga kau pertaruhkan nyawamu, serta
penyamaranmu sebagai penjual batu akik, maka
kepentinganmu tentu berkisar kepada batu hijau itu.
Sedangkan hal yang lain agaknya merupakan kepentingan
Akuwu Lemah Warah itu. Mungkin kalian telah membuat
perjanjian saling membantu meskipun mungkin sekali
kalian akan berebut hasil yang mungkin dapat kalian capai
dengan kerja sama ini."
"Satu ceritera yang menarik," desis Mahisa Murti,
"apakah kau masih mempunyai ceritera yang lain?"
"Persetan," geram orang bertongkat itu, "tetapi aku
yakin bahwa kau berkepentingan dengan batu itu. Bukan
karena kau juga mengemban tugas sebagaimana Akuwu
Lemah Warah ." "Aku tidak membantah," berkata Mahisa Murti, "namun
mungkin dapat aku tanyakan serba sedikit tentang
padepokan Suriantal?"
Orang itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja ia
menggeram, "Persetan dengan pertanyaanmu itu."
"Aku mendengar nama padepokan itu justru sebelum
aku melihat padepokan itu," jawab Mahisa Murti,
"sebenarnyalah kami ingin berbicara dengan baik. Atas
nama kuasa yang lebih tinggi, Akuwu Lemah Warah
memerintahkan kalian menyerah. Tetapi kalian ternyata
memilih untuk melawan."
"Aku tidak tahu arah bicaramu," berkata orang
bertongkat itu, "alasan apakah yang dapat dipergunakan
oleh Akuwu itu untuk memaksa kami menyerah?"
"Sebenarnya alasan itu tidak perlu disebut," berkata
Mahisa Murti, "meskipun agaknya orang-orang bertongkat
yang berada di padepokan inilah yang paling
berkepentingan." "Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan," jawab orang
bertongkat itu, "karena itu, kita sudah terlanjur membuka
medan. Kita akan menyelesaikannya sebagaimana kita
mulai." "Baik," jawab Mahisa Murti, "tetapi apakah
kepentinganmu dengan Mahkota Kediri?"
Pertanyaan itu mengejutkan orang bertongkat itu.
Namun iapun kemudian menarik nafas dalam-dalam sambil
berkata, "Itukah tugas Akuwu Lemah Warah?"
"Salah satu saja," jawab Mahisa Murti, "masih banyak
alasan lain, meskipun masih meragukan. Agaknya isi
padepokan ini bukan lagi diwarnai oleh satu cabang
perguruan." "Ternyata kau memang harus mati," geram orang
bertongkat itu, "aku memang sudah berniat untuk
menempuh cara ini menghadapi kuasa Kediri."
"Kediri pun telah memerintahkan untuk menempuh cara
ini untuk membuat penyelesaian meskipun Kediri masih
menawarkan langkah-langkah yang lebih lembut dan
kekeluargaan," berkata Mahisa Murti.
Orang bertongkat itu menggeram. Sejenak ia berpaling ke
arah pertempuran yang menyala di sebelahnya. Orangorangnya
telah bertempur dengan keras melawan para
prajurit Lemah Warah. Tongkat-tongkat panjang terayunayun
mendebarkan. Namun tidak setiap ayunan itu mampu
mengenai lawan mereka. Orang bertongkat itu menggeram. Katanya kemudian,
"Baiklah, akhirnya kita berhadapan dalam arena seperti ini.
Aku memang mengharap bahwa kita akan dapat bertemu
dalam kesempatan seperti ini. Meskipun aku merasa
tersinggung bahwa aku harus berhadapan dengan anak
ingusan seperti ini, namun apa boleh buat. Agaknya Kediri
memang tidak mempunyai orang yang lebih baik dari
kanak-kanak dan Akuwu Lemah Warah."
"Kita akan melihat, siapakah yang lebih baik di antara
kita," jawab Mahisa Murti.
Orang itu mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja
tongkatnya telah terayun-ayun sambil menggeram,
"Marilah agar aku cepat menyelesaikanmu. Kemudian aku
harus mencari Akuwu Lemah Warah itu untuk
membunuhnya pula. Prajurit-prajuritnya tidak akan berarti
apa-apa lagi bagiku."
Mahisa Murti pun segera mempersiapkan diri. Ketika
tongkat itu terayun, maka Mahisa Murti pun telah meloncat
surut. Namun lawannya itu tidak membiarkannya. Dengan
tangkasnya orang itu telah meloncat memburunya. Sekali
lagi tongkatnya terayun deras.
Ketika Mahisa Murti meloncat lagi menghindar, maka
terasa angin berdesing lebih keras.
Mahisa Murti tidak membiarkan dirinya menjadi
sasaran. Iapun kemudian telah memutar pedangnya pula.
Namun ia tidak mau langsung membentur tongkat
lawannya dengan pedangnya sebelum ia sempat
menjajaginya. Demikian pertempuran antara Mahisa Murti dan orang
bertongkat itu menjadi semakin lama semakin sengit.
Keduanya adalah orang-orang berilmu tinggi. Mereka
memiliki kekuatan melampaui orang kebanyakan.
Sekali-sekali Mahisa Murti dengan hati-hati mencoba
menjajagi kekuatan lawannya. Sekali-sekali ia telah
menyentuh ayunan tongkat itu meskipun tidak
membenturkannya langsung. Dengan demikian maka
Mahisa Murti dapat sekedar menjajagi, apakah kekuatan
orang itu akan dapat diimbangi atau tidak.
Sementara itu lawannya yang bertongkat itu agaknya
memang ingin segera dapat menyelesaikan pertempuran.
Agaknya ia mulai menyadari, bahwa prajurit Lemah Warah
menjadi semakin mendesak orang-orang padepokan itu.
Sehingga orang-orang padepokan itupun semakin lama
menjadi semakin terhimpit oleh tekanan para prajurit
Lemah Warah. "Gila," geram orang itu, "prajurit-prajurit Lemah Warah
licik sekali." "Kenapa?" bertanya Mahisa Murti.
"Mereka datang dalam jumlah yang jauh lebih banyak
dari orang-orangku," jawab orang bertongkat itu.
"Itu adalah hak dari Akuwu Lemah Warah yang
mendapat perintah untuk menangkap kalian," jawab
Mahisa Murti, "karena itu menyerah sajalah. Kau dan
orang-orangmu akan mendapat perlakuan yang baik."
"Tidak ada seorang pun yang akan mampu memaksa
aku untuk menyerah. Apalagi anak-anak ingusan seperti
kau," geram orang bertongkat itu.
"Bukan aku, tetapi Akuwu Lemah Warah," jawab
Mahisa Murti. "Jangankan Akuwu Lemah Warah, Sri Baginda Kediri
sekalipun tidak akan aku dengar perintahnya untuk
menyerah," jawab orang itu.
"Kau terlalu sombong," jawab Mahisa Murti,
"seharusnya kau menyadari, apakah usahamu dengan
orang-orangmu pilihan untuk mengambil mahkota itu
berhasil" Mereka telah mati terbunuh sebelum mereka
mendapat apa yang mereka cari. Nah, jika kau bersedia
untuk menyerah, maka persoalannya hanya berkisar pada
usahamu untuk mendapatkan mahkota itu saja."
"Persetan," geram orang itu, "sebentar lagi kau akan
mati." "Jika demikian, maka kita benar-benar akan sampai
kepada batas terakhir dari sebuah perang tanding," berkata
Mahisa Murti. "Kita tidak sedang berperang tanding," jawab orang itu,
"karena itu jika kau merasa perlu untuk memanggil
beberapa orang prajurit dan bertempur bersamamu, aku
tidak berkeberatan."
"Ah, pada saatnya tentu akan aku lakukan," jawab
Mahisa Murti, "tetapi agaknya aku akan dapat
menyelesaikan tugas ini tanpa bantuan orang lain."
"Kau terlalu sombong anak muda," jawab orang itu.
Mahisa Murti terkejut. Tongkat itu hampir saja mematuk
dahinya. Untunglah ia cepat menyadari keadaan, sehingga
ia sempat meloncat ke samping, sehingga ujung tongkat itu
tidak menyentuhnya. Mahisa Murti sadar sepenuhnya
bahwa patukan ujung tongkat itu akan dapat melubangi
dahinya dalam keadaan wajar.
Orang itu tiba-tiba saja tertawa. Katanya, "Kau terkejut
anak muda. Namun bagaimanapun juga aku tetap merasa
heran, bahwa kau mampu bertahan sekian lama."
"Kenapa kau heran?" bertanya Mahisa Murti, "kau akan
menjadi semakin heran jika kau sempat menyadari akhir
dari pertempuran ini. Tetapi agaknya kau tidak akan sempat
melihatnya secara wadag apa yang akan terjadi di akhir
perang tanding ini."
"Gila," geram orang itu. Tongkatnya pun menjadi
semakin cepat berputaran sehingga menimbulkan desing
yang semakin lama semakin keras.
Namun Mahisa Murti pun telah bersiap sepenuhnya
menghadapinya. Karena itu, apapun yang dilakukan oleh
lawannya. Mahisa Murti mampu mengimbanginya."
Dengan demikian maka pertempuran antara Mahisa
Murti dan orang bertongkat itupun menjadi semakin sengit.
Tongkat itu menyambar-nyambar dengan dahsyatnya
sehingga menimbulkan angin yang berdesing berputaran,
semakin lama semakin keras sehingga bagaikan angin
pusaran. Tetapi Mahisa Murti tidak menjadi bingung karenanya,
ia dengan penuh kesadaran menghadapi lawannya yang
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memiliki kekuatan yang luar biasa itu. Ketahanan tubuhnya
yang besar telah mengikatnya pada bumi tempatnya
berpijak sehingga ia tidak menjadi goyah oleh dorongan
angin pusaran. Sekali-sekali kedua senjata di tangan kedua orang
berilmu tinggi itu telah bersentuhan. Ternyata bahwa
tongkat yang ujudnya terbuat dari kayu itu memiliki
kekuatan yang mampu beradu dengan pedang di tangan
Mahisa Murti yang terbuat dari baja yang keras.
Mahisa Murti menjadi kagum akan kekuatan tongkat itu.
sehingga ia menyadari bahwa kekuatan tongkat itu
bukannya kekuatan kayu sewajarnya, tetapi tentu karena
kemampuan dan kekuatan orang yang mempergunakannya.
Tetapi sebaliknya orang itupun heran mengalami
benturan yang keras dengan pedang Mahisa Murti. Anak
muda itu ternyata memiliki kekuatan yang mampu
mengimbangi kekuatannya. Sehingga dalam setiap
benturan, pedang anak muda itu sama sekali tidak
terguncang di pegangan tangannya.
Dengan demikian maka pertempuran antara keduanya
semakin lama menjadi semakin dahsyat. Pengaruhnya pun
terasa di sekitar putaran pertempuran. Namun ternyata
keduanya telah bergeser semakin jauh dari arena
pertempuran yang riuh antara para prajurit Lemah Warah
dan isi padepokan itu. "Anak itu harus segera mati," geram orang bertongkat
itu. Namun ternyata bahwa ia tidak sanggup membunuh
lawannya itu. Apalagi dalam waktu singkat. Bahkan terasa
bahwa kekuatan dan kemampuan anak muda itu semakin
lama menjadi semakin meningkat.
Dalam pada itu, di tempat lain, Mahisa Pukat masih
berjuang melawan sekelompok ular berbisa. Ia dengan
sengaja membiarkan dirinya menjadi sasaran ular-ular
berbisa itu daripada para prajurit Lemah Warah. Agar
dengan demikian maka bisa ular itu tidak akan
berhamburan di medan. Karena ular itu akan dapat
mematuk beberapa orang prajurit sekaligus sehingga seekor
ular akan dapat membunuh dua tiga orang sekaligus.
Namun membunuh ular-ular itu bukannya satu
pekerjaan yang mudah. Ular-ular itu seakan-akan telah
mendapat latihan untuk bertempur. Mereka mampu
menyerang dari arah yang berlainan, sehingga dapat
menimbulkan kebingungan pada lawan yang dikepungnya.
Beberapa saat Mahisa Pukat bertempur dengan
pedangnya. Beberapa ekor ular yang berusaha
menyerangnya sambil tegak pada bagian kepalanya telah
tertebas pedang. Beberapa saat Mahisa Pukat bertempur dengan
pedangnya. Beberapa ekor ular yang berusaha
menyerangnya sambil tegak pada bagian kepalanya telah
tertebas putus. Namun yang lain tetap merayap perlahan-lahan
mendekatinya sambil berdesis mengerikan.
"Gila," geram Mahisa Pukat, "ilmu setan ini benar-benar
membuat kepalaku menjadi pening."
Ternyata Mahisa Pukat tidak membiarkan dirinya terlalu
lama dikepung oleh segerombolan ular berbisa. Meskipun ia
dengan sengaja memang menempatkan diri memancing
perhatian ular-ular itu. Karena itu maka iapun justru telah menyarungkan
pedangnya. Kemudian dibangunkannya ilmunya yang
disadapnya dari Tatas Lintang yang ternyata adalah Akuwu
Lemah Warah itu. Dengan demikian maka Mahisa Pukat itupun telah
mengembangkan kedua telapak tangannya yang terjulur ke
depan. Dari sepasang telapak tangannya itu telah
memancar sinar yang menyambar ke arah segerombolan
ular di satu sisi dari kepungan yang rapat.
Tanah di arah sambaran sinar yang memancar dari
telapak tangan Mahisa Pukat itupun bagaikan meledak.
Sekelompok ular berbisa itupun bagaikan terlempar dari
ledakan itu dan berhamburan jatuh beberapa langkah dari
tempatnya. Mahisa Pukat masih melihat beberapa ekor di antara
ular-ular itu menggelepar. Namun yang lain telah tergolek
diam. Mati. Serangan yang demikian itu telah diulanginya ke arah
yang lain. Sehingga terjadi pulalah ledakkan yang telah
melemparkan segerombolan ular yang lain.
Serangan yang demikian telah diulanginya beberapa kali
sehingga akhirnya, ular yang merambat keluar dari kotak
yang besar itu telah habis berhamburan sampai beberapa
langkah di sekitar Mahisa Pukat.
Namun tidak semua ular telah terbunuh. Masih ada
beberapa yang menelusur di antara rerumputan dan selasela
barak meninggalkan tempat itu dan menuju ke arena
pertempuran. Namun karena ular itu tidak terlalu banyak,
maka agaknya ular itu tidak lagi berbahaya bagi para
prajurit Lemah Warah. Dalam pada itu, lawan Mahisa Pukat yang memiliki
ilmu gendam dan aji panglimunan yang belum sempurna
itu terpaksa, menyingkir jauh-jauh. Ketika ia mendapat
kesempatan untuk mengetrapkan ilmu gendamnya dan
melepaskan ular-ularnya, maka ia berharap bahwa dengan
demikian pertempuran itupun akan segera berakhir karena
ularnya tentu akan membunuh banyak prajurit Lemah
Warah. Namun ternyata bahwa ular-ularnya tidak banyak
dapat membantunya, karena sebagian besar dari ular-ular
itu telah terbunuh oleh Mahisa Pukat.
Tetapi orang itu tidak melihat kehancuran ularnya,
karena ia sendiri telah berusaha untuk bersembunyi. Ia
tidak lagi memiliki kemampuan untuk bertempur secara
langsung. Tenaganya bagaikan telah terkuras habis terhisap
oleh ilmu Mahisa Pukat yang luar biasa. Sehingga dengan
demikian orang itu telah bersembunyi sambil berusaha
untuk menumbuhkan kembali kemampuan di dalam
dirinya. Namun ia sadar sepenuhnya, bahwa untuk itu ia
memerlukan waktu. Sementara itu pertempuran berlangsung terus. Di segala
sudut padepokan itu senjata saling beradu. Namun telah
banyak diantara mereka yang terbaring diam atau harus
mengerang kesakitan. Mahisa Pukat yang telah menghabiskan lawan itupun
mulai memperhatikan keadaan di sekitarnya. Ia masih
melihat di jarak yang agak jauh seekor ular merayap
diantara rerumputan. Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun
iapun segera melenting ke arah ular itu. Ketika ular itu
kemudian berbalik dan mengangkat kepalanya, maka
pedang Mahisa Pukat-pun telah terayun. Agaknya Mahisa
Pukat tidak lagi terlalu banyak mempertimbangkan
tindakannya dalam perang yang semakin keras itu.
Menggunakan kekuatan dan kecepatan gerak mereka
untuk mencoba menghancurkan lawan masing-masing.
Namun pertempuran yang demikian itu tentu hanya
akan menelan waktu yang berkepanjangan.
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti maupun orang
bertongkat itu tidak akan mampu mengalahkan lawan
mereka. Keduanya memiliki kekuatan dan ketrampilan
yang tinggi mempermainkan senjata mereka. Benturan
demi benturan telah terjadi. Keduanya saling mendesak dan
memburu. Namun keduanya-pun kemudian menyadari,
bahwa mereka harus meningkatkan ilmu mereka jika
mereka memang ingin dengan cepat menyelesaikan
pertempuran itu. Karena itulah, maka orang bertongkat itu kemudian
telah berusaha untuk benar-benar menghancurkan
lawannya dengan ilmunya yang mendebarkan.
Pertempuran antara keduanya yang menjadi semakin
seru dan cepat itu memang telah bergeser semakin jauh dari
hiruk pikuk pertempuran antara para prajurit Lemah Warah
dan isi padepokan itu. Dengan demikian maka keduanya
telah mendapat kesempatan untuk bertempur beralaskan
kemampuan masing-masing tanpa bantuan dan ikut campur
orang lain. Untuk beberapa saat kedua senjata itu masih beradu.
Namun jantung Mahisa Murti berdesir ketika ia melihat
lawannya meloncat menjauh dan tiba-tiba saja telah
mengangkat tongkatnya teracu ke arahnya.
Dengan cepat Mahisa Murti telah meloncat tepat pada
saat tongkat itu memancarkan seleret cahaya
menyambarnya. Karena itu, maka serangan itu tidak mengenainya.
Meskipun demikian, Mahisa Murti tidak mendapat banyak
kesempatan. Orang itu telah mengarahkan tongkatnya
sekali lagi ke arah Mahisa Murti.
Mahisa Murti menyadari bahwa serangan pun akan
segera datang lagi. Iapun tidak menunggu ilmu lawannya
itu menyambarnya. Karena itu maka dengan cepat pula
Mahisa Murti telah meloncat menghindar.
Sekali lagi serangan orang bertongkat itu tidak
mengenainya. Cahaya yang menyambar dan tidak
mengenainya itu telah menghantam tanah tempat Mahisa
Murti semula berpijak, sehingga tanah itu seakan-akan telah
meledak. Kegagalan itu telah membuat orang bertongkat itu
semakin marah. Karena itu, maka ia tidak mau melepaskan
lawannya yang berloncatan menghindari serangannya itu.
Sekali lagi ujung tongkat itu telah terangkat mengarah
kepada tubuh Mahisa Murti.
Tetapi Mahisa Murti tidak mau sekedar menjadi sasaran.
Dengan demikian maka iapun telah bersiap menghadapi
serangan itu dengan kemampuan ilmunya pula.
Namun Mahisa Murti tidak dapat berbuat lain ketika
sekali lagi seleret sinar menyambar dari ujung tongkat itu.
Mahisa Murti bahkan telah meloncat dan berguling
beberapa kali di tanah. Demikian Mahisa Murti melenting berdiri, maka sekali
lagi ia harus menjatuhkan dirinya karena serangan itu
menyambarnya lagi. Namun Mahisa Murti tidak dengan tergesa-gesa
meloncat berdiri. Sambil berbaring tiba-tiba saja ia telah
menjulurkan tangannya dengan telapak tangan terbuka ke
arah lawannya. Lawannyalah yang kemudian terkejut, iapun melihat
sinar yang menyala di telapak tangan anak muda itu.
Karena itu, maka iapun harus dengan cepat menghindar.
Sebenarnyalah seleret sinar telah menyambar orang itu.
Namun orang bertongkat itupun dengan cepat meloncat
pula ke samping, sehingga sambaran sinar itu tidak
mengenainya. Tetapi jantung orang itu berdebar ketika sinar itu
menembus dan menebas dahan dan ranting sebatang pohon
yang tumbuh di halaman padepokan itu. Suaranya
gemeretak dan berderak, sehingga dengan demikian maka
hampir separuh dari rimbunnya dahan dan dedaunan
pohon itu runtuh di tanah.
Dengan demikian maka kedua orang itupun harus
semakin berhati-hati. Mereka menyadari bahwa masingmasing
memang memiliki kemampuan yang sangat tinggi.
Mahisa Murti yang kemudian berdiri tegak justru masih
mengacukan pedangnya. Dengan suara gemetar ia berkata,
"Marilah. Manakah yang kau pilih. Kau mampu
meluncurkan serangan lewat ujung tongkatmu sementara
aku mampu membalasmu dengan sebelah telapak tanganku.
Kita akan dapat saling menyerang dari jarak tertentu.
Namun kita dapat bertempur dengan cara lain,
sebagaimana pernah kita lakukan sebelumnya."
Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia telah mengangkat
ujung tongkatnya. Ketika sinar itu meluncur. Mahisa Murti
sempat menghindar ke samping. Sementara itu dengan
menjulurkan tangannya, maka serangan balasannya pun
telah menyambar orang bertongkat itu.
Tetapi orang bertongkat itupun mampu bergerak secepat
Mahisa Murti. Karena itu maka serangannya pun tidak
mengenai sasarannya. Namun dengan demikian Mahisa Murti mendapat
kesempatan untuk meloncat mendekati lawannya. Sebelum
lawannya siap mengangkat tongkatnya, sekali lagi Mahisa
Murti meluncurkan serangannya. Tetapi sekali lagi pula
lawannya berhasil bergeser menghindar.
Namun dengan demikian, Mahisa Murti telah mendapat,
kesempatan lagi untuk meloncat mendekat. Sehingga
dengan demikian maka ujung pedang Mahisa Murti telah
hampir dapat menjangkau tubuh lawannya.
"Gila," geram orang bertongkat itu. Tetapi ia tidak
sempat mengangkat tongkatnya dan menyerang Mahisa
Murti dengan loncatan sinar dari ujung tongkatnya itu.
Mahisa Murti dengan kecepatan yang mungkin dilakukan
berusaha untuk memaksa lawannya bertempur pada jarak
dekat dengan beradu senjata.
Dengan demikian, maka lawannya tidak mempunyai
pilihan lain. Keduanya kembali terlibat ke dalam
pertempuran jarak dekat dengan mengandalkan
kemampuan mereka beradu senjata.
Sementara itu, Tatas Lintang yang berusaha untuk dapat
mengamati seluruh arena pertempuran melihat, bahwa
prajuritnya mendapat kemajuan di beberapa tempat.
Kecuali jumlahnya memang lebih banyak, para prajurit
Lemah Warah itu benar-benar terpilih. Karena itu
meskipun mereka harus berhadapan dengan para pengikut
orang-orang berilmu tinggi dengan bekal yang cukup pula,
namun para prajurit itu tidak terlalu banyak mengalami
kesulitan. Untuk menghadapi orang-orang yang memiliki
kemampuan yang melampaui kemampuan mereka, maka
para prajurit itu telah bertempur berpasangan.
Dalam pada itu, maka Tatas Lintang pun akhirnya
merasa bahwa ia tidak perlu mencemaskan keadaan
prajuritnya. Bahkan ketika ia bergeser lagi, dilihatnya
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mahisa Pukat yang muncul dari antara barak orang-orang
padepokan itu seorang diri pula.
"Kau terluka?" bertanya Tatas Lintang.
"Ya." jawab Mahisa Pukat. "Tetapi tidak seberapa."
"Meskipun begitu, kau harus mengobatinya sebelum kau
terjun ke lingkungan pertempuran yang lebih sibuk,"
berkata Tatas Lintang. Mahisa Pukat termangu-mangu. Namun iapun tidak
menolak ketika Tatas Lintang kemudian mengobatinya.
Sementara itu Mahisa Pukat sempat berceritera tentang
perkelahiannya melawan salah seorang pemimpin
padepokan itu. "Tetapi aku telah kehilangan orang itu," berkata Mahisa
Pukat. "Orang itu tetap berbahaya," berkata Tatas Lintang,
"meskipun ia sendiri tidak akan mampu memasuki arena
karena kekuatannya telah terhisap, tetapi ilmu gendamnya
masih mampu dipergunakannya."
"Aku sudah membunuh hampir semua ular-ularnya,"
berkata Mahisa Pukat, "ular adalah binatang yang paling
berbahaya. Seandainya ia sempat melepaskan dua tiga ekor
harimau, maka persoalannya tidak akan segawat jika ia
melepaskan tiga atau empat ekor ular di medan."
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Katanya,
"Syukurlah jika kau sudah menghabiskan ular-ular itu."
"Masih ada satu dua yang terlepas," jawab Mahisa
Pukat, "tetapi yang sekotak sudah aku bunuh semuanya."
"Jika demikian, sebaiknya kita pergi ke medan. Kita
harus menyelesaikan pertempuran ini sesegera mungkin,"
berkata Tatas Lintang. Keduanya pun kemudian telah meninggalkan tempat itu.
Namun keduanya tidak selalu bersama-sama. Tatas Lintang
telah memilih arah tersendiri, sementara Mahisa Pukat pun
telah menentukan tujuannya sendiri pula.
"Jika pertempuran ini tidak segera berakhir sampai
petang, maka orang yang memiliki ilmu gendam itu akan
mampu muncul lagi di medan. Bahkan jika ia sempat
memanfaatkan waktu yang semalam untuk mendapatkan
jenis-jenis binatang yang akan dapat dipergunakannya,
maka arena akan menjadi semakin gawat. Apalagi jika ia
mempergunakan ular lagi," berkata Mahisa Pukat di dalam
hatinya. Sementara itu Tatas Lintang yang muncul di bagian lain
dari padepokan itu, melihat pertempuran yang semakin
seru. Namun seperti di bagian lain, agaknya para prajurit
Lemah Warah semakin mendesak lawan-lawan mereka.
Dalam pada itu, Mahisa Murti yang telah bertempur
pada jarak pendek, telah mempergunakan ilmunya
sebagaimana telah dipergunakan oleh Mahisa Pukat. Ia
telah memanfaatkan setiap benturan untuk melemahkan
kekuatan lawannya. Namun ternyata sesuatu di luar pengetahuan Mahisa
Murti telah terjadi. Orang bertongkat itu ternyata telah
mendapat peringatan dengan pesan langsung dengan aji
pameling yang hanya dapat didengarnya.
Ternyata orang yang telah dikalahkan oleh Mahisa Pukat
itu sempat menyaksikan pertempuran antara Mahisa Murti
dan lawannya, orang yang bersenjata tongkat.
Untuk dapat memahami pesan itu, maka orang
bertongkat itu telah berusaha melenting menjauhi Mahisa
Murti. Ia mendapat kesempatan sekejap untuk
mendengarkan pesan itu, bahwa lawannya mungkin
mempergunakan ilmu yang mampu menghisap tenaga
sebagaimana pernah dialami.
"Karena itu, hindari benturan," bisik pesan itu.
Orang bertongkat itu mampu memahaminya karena ia
memang sudah mendengar bahwa ada semacam ilmu yang
mampu menghisap tenaga dan kemampuan lawannya.
Karena itu, maka iapun menjadi semakin berhenti-hati
menghadapi Mahisa Murti. Bahkan benturan-benturan yang satu dua kali telah
terjadi, sempat dinilainya, sehingga iapun kemudian
berkesimpulan bahwa lawannya memang memiliki ilmu itu.
Karena itu, maka iapun berusaha untuk berbuat
sebaliknya dari yang dilakukan oleh Mahisa Murti. Orang
bertongkat itu kemudian telah berusaha untuk bertempur
pada jarak tertentu dengan mempergunakan
kemampuannya melontarkan serangan dari ujung
tongkatnya. Setiap kali ia berusaha untuk menghindar jika
Mahisa Marti memancingnya bertempur pada jarak dekat.
Dengan serangan-serangan beruntun orang bertongkat itu
berusaha dengan sungguh-sungguh mempertahankan jarak
di antara mereka. Mahisa Murti memang merasa heran akan perubahan
itu. Jika semua orang itu tidak merasa gentar bertempur
dengan cara apapun, namun tiba-tiba saja ia telah
menghindari kemungkinan sentuhan senjata di antara
mereka dengan memelihara jarak dan bertempur dengan
senjata ilmunya yang membentur dari tongkatnya.
Untuk beberapa saat Mahisa Murti berusaha untuk
meyakinkan. Ia telah menempuh cara yang sama seperti
pernah dilakukannya untuk mendapat kesempatan
bertempur pada jarak dekat. Tetapi orang bertongkat itu
selalu berusaha untuk menghindari cara sebagaimana
dikehendaki oleh Mahisa Murti.
Akhirnya Mahisa Murti pun sadar, bahwa agaknya
lawannya itu mengerti, bahwa sentuhan senjata dengan
senjata Mahisa Murti adalah pertanda bahwa nasibnya akan
menjadi sangat buruk. "Siapakah yang telah memberitahukan hal itu
kepadanya," geram Mahisa Murti di dalam dirinya.
Namun sebenarnyalah bahwa lawannya tidak mau lagi
bertempur pada jarak dekat yang memungkinkan senjata
mereka saling beradu. Namun demikian Mahisa Murti pun tidak menjadi
gentar. Untunglah bahwa iapun telah memiliki satu
kemampuan untuk bertempur dalam jarak tertentu.
Karena itu, maka pertempuran antara keduanya pun
menjadi semakin seru. Namun mereka ternyata
memerlukan arena yang cukup luas agar serangan-serangan
mereka yang luput dari sasaran tidak justru membunuh
orang-orang yang baru bertempur dengan sengitnya, karena
mungkin justru kawan-kawan sendirilah yang akan
dikuasainya. Namun bagaimanapun juga, agaknya Mahisa Murti
memang memiliki kelebihan. Umurnya yang masih muda
telah mempengaruhi dorongan kekuatannya. Namun dalam
usianya yang muda itu, Mahisa Murti telah memiliki ilmu
dan pengalaman yang sangat luas.
Itulah sebabnya maka perlahan-lahan tetapi pasti,
Mahisa Murti telah mendesak lawannya.
Sementara itu Tatas Lintang yang mengambil arah
sendiri dan berpisah dengan Mahisa Pukat, telah melihat di
sudut padepokan itu, pertempuran yang kurang seimbang.
Seorang yang agaknya memiliki ilmu yang tinggi telah
menyapu lawan-lawannya yang mengepungnya.
Namun karena lawannya cukup banyak, maka ia tidak
mendapat banyak kesempatan untuk melepaskan ilmunya
yang luar biasa. Namun ketika sekali ia mendapat
kesempatan itu, maka ia telah mengacukan tangannya.
Seleret sinar telah menyambar. Sekaligus tiga orang telah
terlempar dan seakan-akan meledak dengan akibat yang
mengerikan sekali. Serangan itu memang mengejutkan. Tetapi para prajurit
Lemah Warah justru menyadari bahwa serangan yang
demikian sangat berbahaya. Karena itu maka mereka pun
segera meloncat menyerang dari beberapa arah. Mereka
harus bertempur pada jarak dekat, sehingga lawannya itu
tidak sempat melepaskan serangannya yang mengerikan itu.
Namun ternyata orang itupun memiliki ketrampilan yang
sangat tinggi. Apalagi dalam keadaan yang demikian ia
sempat berloncatan menghindar dan memberi isyarat
kepada orang-orang padepokan itu untuk memasuki arena.
Dengan demikian maka iapun telah mendapat
kesempatan untuk memasuki pertempuran yang lain yang
memungkinkannya untuk menebas lawannya dengan
ilmunya yang nggegirisi. Namun dalam pada itu, ketika ia melenting keluar dari
arena, tiba-tiba saja seseorang telah menandinginya sambil
tersenyum. Bahkan orang itu telah bertepuk tangan sambil
berkata lantang, "luar biasa. Kau benar-benar seorang yang
pilih tanding." Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian
iapun segera mengenali orang yang datang itu.
"Ha, kau Sang Akuwu yang Agung," sapa orang itu
sambil melangkah mendekat, "Aku memang menunggu
kesempatan seperti ini."
"Kita sudah pernah mendapat kesempatan," berkata
Tatas Lintang, "tetapi kesempatan itu telah kau
tinggalkan." "Di mana kemanakanmu itu?" bertanya orang itu, "aku
pernah meminjam wadag seorang di antara mereka. Sayang
aku tidak mendapat kesempatan sekarang ini. Sebenarnya
aku dapat menyembunyikan wadagku dan kemudian
mengoyak pasukan Lemah Warah dengan caraku.
Memasuki tubuh mereka seorang demi seorang dan
membunuhnya dengan mudah."
"Kenapa mudah?" bertanya Tatas Lintang.
"Aku memang bodoh," berkata orang itu, "kenapa aku
baru teringat sekarang. Aku dapat memasuki wadag prajurit
Lemah Warah dan membiarkan orang-orang padepokan ini
menghunjamkan senjatanya di dada. Dengan cepat aku
harus melepaskan diri dan memasuki tubuh yang lain.
Dengan cara yang sama aku akan dapat banyak membunuh
orang-orang Lemah Warah."
"Kenapa tidak kau lakukan?" bertanya Akuwu Lemah
Warah. "Sudah aku katakan, itulah kebodohanku." jawab orang
itu. "Kau masih mendapat kesempatan," berkata Akuwu
Lemah Warah. "Tentu tidak Sang Akuwu," jawab orang itu, "kau tentu
akan menemukan tubuhku dan mencincangnya dengan
geram." "Karena itu, maka kesempatanmu sekarang adalah
bertempur melawan aku," berkata Akuwu Lemah Warah,
"tidak sepantasnya kau membunuh prajurit-prajurit itu."
"Di peperangan aku boleh membunuh lawanku yang
manapun," jawab orang itu.
"Tetapi aku tidak melakukannya," jawab Tatas Lintang,
"aku masih mempunyai harga diri, sehingga aku sempat
memilih lawan. Nah, sekarang aku telah menemukan lawan
itu." "Salahmu sendiri," berkata orang itu, "kenapa kau harus
mempertahankan harga dirimu."
"Baiklah. Kita tidak mempersoalkannya lagi. Kita
sekarang sudah mendapat kesempatan untuk bertemu lagi.
Apakah kau akan lari lagi?"
Orang itu tertawa. Katanya, "Tentu tidak Sang Akuwu
yang mulia. Aku tidak akan lari. Tetapi aku akan
membunuhmu." Akuwu Lemah Warah itu menarik nafas dalam-dalam.
Namun iapun telah bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Sejenak mereka saling berhadapan. Keduanya telah
bersiap dalam kesiagaan tertinggi. Mereka masing-masing
mengerti bahwa lawannya memiliki ilmu yang nggegirisi,
yang mampu menyambar lawannya pada jarak tertentu.
Namun selagi keduanya telah bersiap, terdengar lawan
Tatas Lintang itupun berkata, "Kita menyadari, bahwa kita
tidak akan dapat dengan cepat menyelesaikan pertempuran
di antara kita. Jika kita mempergunakan kemampuan kita
sebagaimana pernah terjadi, maka kita hanya akan
berkejaran dan saling berloncatan. Karena itu aku tantang
kau bertempur dengan cara yang lain."
"Cara apakah yang kau maksud?" bertanya Tatas
Lintang. "Kita akan beradu ilmu pedang," berkata orang itu.
Tatas lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Aku tidak berkeberatan. Kita akan melakukannya dengan
jujur. Di antara kita tidak akan dengan tiba-tiba dan curang
menyerang dari jarak jauh."
"Aku setuju," jawab orang itu.
Demikianlah maka keduanya pun telah bersiap dengan
pedang. Keduanya, akan mengukur kemampuan mereka
dalam ilmu pedang. Sejenak kemudian maka pedang mereka pun telah
terjulur. Ujung-ujungnya itupun mulai mematuk dengan
cepatnya. Keduanya ternyata memang memiliki kemampuan ilmu
pedang yang tinggi. Kedua pedang di tangan kedua orang
yang sedang bertempur itupun kemudian berputar dengan
cepatnya, sehingga yang nampak hanyalah gulungan awan
putih yang menyelubungi keduanya masing-masing.
Namun sekali-sekali kedua senjata itupun telah beradu
sehingga bunga api pun telah memercik ke udara.
Semakin lama pertempuran antara kedua orang itupun
menjadi semakin cepat. Benturan-benturan telah
memperingatkan kepada mereka, bahwa lawan mereka
adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan
kemampuan yang tinggi. Namun dalam pada itu, pertempuran yang bertebaran di
seluruh padepokan itu telah menjadi semakin kehilangan
keseimbangan. Prajurit Lemah Warah yang memang lebih
banyak, ternyata menjadi semakin mapan. Orang-orang
dari padepokan itu, betapapun mereka telah mengerahkan
segenap kemampuan mereka, namun mereka benar-benar
sulit untuk mengimbangi kemampuan prajurit Lemah
Warah. Karena itulah, maka lambat laun orang-orang padepokan
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itupun bagaikan telah tergiring ke sudut-sudut padepokan.
Mereka tidak mempunyai kesempatan untuk menentukan
dan memilih medan. Para pemimpin padepokan itu menyadari kesulitan yang
terjadi pada para pengikut mereka. Namun mereka tidak
segera mendapat cara untuk mengatasinya. Para pemimpin
itu ternyata telah mendapat lawan yang seimbang. Bahkan
ternyata mereka, memiliki beberapa kelebihan sehingga
para pemimpin dari padepokan itupun telah terdesak
sebagaimana para pengikutnya.
Dalam keadaan yang demikian, maka rasa-rasanya tidak
akan ada harapan lagi bagi orang-orang padepokan itu.
Satu-satunya kemungkinan bagi mereka, jika tidak ada
perubahan keadaan, adalah melarikan diri dari padepokan
itu. Namun di luar padepokan sebagian kecil pasukan
Lemah Warah telah menunggu.
Karena itu, maka sebenarnyalah keadaan orang-orang
padepokan itu benar-benar menjadi sangat gawat.
Sedangkan pertempuran telah terjadi sedemikian lamanya
dan benar-benar telah menghisap tenaga.
Di sudut-sudut padepokan, orang-orang padepokan itu
bertempur dalam keadaan putus asa. Namun justru karena
itu, maka mereka seakan-akan menjadi keras, kasar dan
bahkan liar. Mereka tidak lagi sempat membuat
perhitungan-perhitungan. Apapun telah mereka lakukan
bukan untuk mempertahankan diri lagi, tetapi mereka telah
bertempur untuk mencari kawan sebanyak-banyaknya
untuk terjun ke daerah maut.
Namun dalam keadaan yang demikian, mereka masih
mengharapkan sesuatu terjadi, meskipun hanya sepercik
kecil. Harapan yang semakin lama menjadi semakin pudar.
Tetapi dalam pada itu, di tengah-tengah padepokan itu,
suasananya memang agak berbeda. Suasana tetap lengang
dan sepi. Tidak seorang pun yang nampak. Seakan-akan
tempat itu menjadi terlarang bagi siapapun.
Dalam keadaan yang sepi lengang itu, ternyata sesuatu
telah terjadi. Di dalam barak yang tertutup rapat, seorang
sedang duduk di atas sebuah amben yang besar. Tangannya
bersilang di dadanya. Sementara kepalanya menunduk dan
matanya separuh terpejam.
Dengan ketajaman panggraitanya ia telah mengikuti
pertempuran yang terjadi di padepokan itu. Dengan jantung
yang berdebaran ia melihat orang-orang padepokan itu
semakin terdesak. Bahkan para pemimpinnya yang
diandalkannya pun telah terdesak pula. Bahkan seorang di
antara mereka benar-benar telah dilumpuhkan oleh
lawannya. Hanya karena ia memiliki ilmu panglimunan
meskipun belum sempurna sajalah maka ia dapat
membebaskan dirinya dan harus bersembunyi, karena
tenaganya hampir seluruhnya telah terhisap habis!
Kekalahan-kekalahan itu tidak dapat dibiarkannya begitu
saja. Semula ia memang berharap bahwa segalanya akan
terselesaikan tanpa ia sendiri ikut campur. Namun ternyata
bahwa orang-orang padepokan itu telah terdesak dan
hampir kehilangan kesempatan sama sekali.
Karena itu, maka orang itupun akhirnya merasa bahwa
ia tidak akan dapat tinggal diam. Ia harus berbuat sesuatu
untuk membantu orang-orang padepokan itu, agar mereka
tidak dihancurkan sama sekali oleh para prajurit dari
Lemah Warah. Untuk beberapa saat orang itu masih memperhatikan
keadaan dengan saksama sebelum mengambil langkahlangkah
tertentu. Sementara itu, orang-orang yang telah memasuki
padepokan itu memang menjadi bingung. Mereka tidak
melihat apapun pada jarak selangkah di hadapan mereka.
Karena itu yang mereka lihat adalah bayangan-bayangan
kabur yang tidak begitu jelas, apakah mereka kawan atau
lawan. Orang-orang padepokan itupun merasa sulit untuk
menyerang. Tetapi mereka mempunyai kesempatan untuk
bergeser dari tempatnya. Mereka dengan pengenalan
mereka yang baik atas padepokan itu, seorang demi seorang
telah berhasil lolos dari himpitan pasukan dari Lemah
Warah. Dengan demikian maka pertempuran pun pada dasarnya
telah berhenti. Kedua belah pihak tidak mau menanggung
akibat buruk karena kesalahan mereka menentukan lawan
dan kawan. Jika mereka hanya melihat bayangan yang
sepintas lewat di depan mereka, maka mereka tidak akan
segera dapat mengenalinya.
Tatas Lintang yang memimpin langsung para prajurit
Lemah Warah itupun semula tidak segera dapat
menentukan langkah-langkah yang perlu diambil oleh
pasukannya. Namun akhirnya Tatas Lintang tidak dapat
berbuat lain daripada untuk sementara menyelamatkan
prajurit-prajuritnya yang terjebak oleh kabut yang semakin
tebal itu. Karena itu, maka dengan suaranya yang bergaung
memenuhi, udara padepokan itu Tatas Lintang berkata,
"Kita lebih baik keluar dari padepokan ini. Kita akan
mengepung padepokan ini diluar dinding."
Para prajuritnya mendengar suara Tatas Lintang itu.
Meskipun mula-mula mereka ragu-ragu, namun akhirnya
mereka menyadari, bahwa perintah itu memang datang dari
Akuwu Lemah Warah. Karena itu, maka para prajurit itupun telah berusaha
untuk mencapai dinding padepokan. Mereka yang sempat
menemukan kawan-kawan mereka yang terluka dan
terbaring di padepokan itu, dengan susah payah telah
mereka bawa keluar. Mereka sadar, bahwa mereka tidak
akan mungkin keluar lewat pintu gerbang, karena pintu
gerbang itu tentu telah ditutup dan dijaga oleh para
penghuni padepokan itu. Dalam pada itu, para penghuni padepokan itupun telah
berusaha untuk mencegah para prajurit Lemah Warah
keluar dari padepokan itu, namun terlalu sulit bagi mereka
untuk dapat berbuat demikian, karena mereka pun tidak
dapat melihat pada jarak selangkah.
Para prajurit Lemah Warah yang berusaha mencapai
dinding padepokan harus mengamati setiap tubuh yang
terbaring yang mereka jumpai. Jika ternyata tubuh itu
adalah tubuh prajurit Lemah Warah hidup atau mati, maka
prajurit itu telah berusaha membawanya.
Betapapun sulit dan lambatnya, namun akhirnya para
prajurit Lemah Warah itupun telah berhasil keluar dari
dinding padepokan itu. Padepokan yang semula dikenal
sebagai padepokan orang-orang bertongkat. Namun
ternyata yang memenuhi padepokan itu bukannya hanya
orang-orang bertongkat saja.
Ternyata beberapa perguruan telah bergabung menjadi
satu. Atau mungkin salah satu perguruan yang mempunyai
kekuatan tidak terlawan oleh yang lain telah memaksakan
kehendaknya atas perguruan yang lain yang ada di
padepokan itu. Ketiga orang anak muda yang disebut kemanakan Tatas
Lintang itupun telah berada di luar padepokan pula,
sementara Tatas Lintang adalah orang yang terakhir yang
meloncati dinding padepokan.
Diluar padepokan, tidak ada selembar kabut pun yang
menghalangi pandangan mereka. Tidak ada angin yang
tidak ada suasana apapun yang mempengaruhi mereka.
Langit cerah dan dedaunan pun bergerak dihembus oleh
angin yang tidak begitu kencang.
"Luar Biasa," geram Tatas Lintang, "ternyata didalam
padepokan itu terdapat seorang yang memiliki ilmu yang
sangat tinggi. Ilmu yang telah berhasil menghentikan
pertempuran. Kemenangan yang perlahan-lahan telah
diraih oleh para prajurit itu, ternyata tidak dapat mereka
selesaikan dengan tuntas."
Namun bagi Tatas Lintang, menarik pasukannya keluar
dari padepokan adalah jalan yang paling baik yang dapat
ditempuh. Jika tidak, maka orang-orang padepokan itu
yang kemudian menjadi mapan akan sangat berbahaya bagi
mereka. Jika kabut itu dibuatnya sedikit menipis setelah
orang-orang dari padepokan itu berhasil bebas dari
himpitan dan tekanan pasukan Lemah Warah, maka
mereka akan mendapat banyak kesempatan untuk
menyerang dan kemudian menghilang diantara kabut dan
sudut-sudut barak di padepokan itu.
Karena itu, maka satu-satunya kemungkinan yang dapat
ditempuh adalah sebagaimana dilakukan oleh Tatas
Lintang. Setelah mereka berada di luar padepokan, maka Tatas
Lintang pun segera mengumpulkan para pemimpin
kelompok serta ketiga orang yang disebutnya sebagai
kemanakannya, serta Panglima pasukan khusus itu. Mereka
berusaha untuk memecahkan teka-teki yang mereka hadapi
di padepokan itu. Namun akhirnya Tatas Lintang pun memerintahkan
kepada para pemimpin kelompok untuk kembali ke
kelompok masing-masing dengan pesan, "Jangan ada
seorang pun yang lolos. Kita tetap mengepung padepokan
ini. Pada saatnya nanti kita akan berbicara lebih mendalam.
Mungkin kita mendapat petunjuk apa yang harus kita
lakukan. Para pemimpin kelompok itupun segera kembali ke
pasukan masing-masing. Mereka telah mengatur
kelompoknya serta menyampaikan perintah Akuwu agar
mereka tetap mengepung padepokan itu dengan ketat.
"Tidak seorang pun boleh lolos dari kepungan," berkata
setiap pemimpin kelompok kepada pasukannya.
Dalam kesempatan itu, Tatas Lintang sempat berbicara
secara khusus dengan Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa
Ura dan Panglima pasukan khususnya.
"Sayang, kita tidak menemukan orang itu dan tidak
mengetahui di mana orang itu berada," berkata Tatas
Lintang. Ketiga orang yang pernah diaku sebagai kemanakan
Tatas Lintang itu serta Panglima khususnya menganggukangguk.
Mereka sebenarnya tidak gentar menghadapinya
seandainya mereka mendapat kesempatan. Tetapi agaknya
mereka sulit untuk menemukan orang itu di antara para
penghuni padepokan itu. "Pada waktu ia melepaskan ilmunya, mungkin ia berada
di salah satu barak di padepokan itu," berkata Mahisa
Murti. "Mungkin," sahut Tatas Lintang, "tetapi bagaimana
menemukan barak yang satu itu."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun baginya
tidak segera nampak satu cara untuk memecahkan teka-teki
itu. "Kita akan menunggu sampai kita menemukan satu
cara. Selama itu kita akan mengepung padepokan ini,"
berkata Tatas Lintang. Lalu, "Sementara itu kita dapat
menghitung berapa orang kita yang gugur, yang terluka dan
yang hilang. Namun kita yakin, bahwa jumlah korban di
antara kita dan orang-orang padepokan itu, tentu lebih
banyak di antara mereka."
"Ya. Aku yakin," desis Mahisa Pukat.
Dengan demikian, maka mereka tidak melanjutkan
pembicaraan itu. Mereka justru telah mengelilingi pasukan
Lemah Warah yang mengepung padepokan itu dalam
kelompok-kelompok kecil yang tersebar. Seperti
diperintahkan oleh Akuwu Lemah Warah, maka tidak
boleh seorang pun lolos. Untuk menjaga agar pasukan Lemah Warah itu tidak
dikoyak-koyak oleh orang-orang yang berilmu tinggi dari
padepokan itu yang dengan sengaja dan diam-diam
meloncati dinding untuk menyerang, maka para kelompok
harus mempunyai alat untuk menyampaikan isyarat.
Karena itu, maka mereka harus berusaha mencari batang
bambu di rumpun-rumpun bambu di luar padepokan itu
untuk membuat kentongan. Dengan isyarat itu, maka mereka akan dapat memanggil
para pemimpin dari Lemah Warah untuk menghadapi
orang-orang berilmu tinggi dari padepokan itu apabila
mereka dengan diam-diam keluar dari padepokannya untuk
mengacaukan kepungan para prajurit Lemah Warah.
Kepada setiap pemimpin kelompok Akuwu Lemah
Warah yang datang kepada kelompok-kelompok itu telah
memberikan pesan agar pasukan Lemah Warah tidak justru
terjebak. "Kita harus berhasil," berkata Akuwu Lemah Warah,
"yang perlu dicari pemecahannya adalah kabut yang
membuat padepokan itu menjadi gelap. Apalagi jika dalam
gelapnya kabut itu, orang-orang padepokan itu sempat
mempergunakan ular-ular mereka. Maka kita benar-benar
akan dihancurkan, karena ular itu akan dapat menelusur ke
seluruh medan dengan bekal pengenalan atas lawan-lawan
dari orang yang mempengaruhinya dengan Ilmu Gendam."
Para pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk.
Mereka memang dapat membayangkan, betapa ngerinya
jika di dalam kabut yang gelap itu, di bawah kaki mereka
berkeliaran ular-ular berbisa yang setiap saat dapat
mematuk mereka. Dengan demikian maka mereka akan
dibantai oleh lawan mereka tanpa mampu memberikan
perlawanan apapun juga. Dengan demikian maka yang harus dilakukan oleh
pasukan itu adalah sekedar menunggu perintah lebih lanjut.
Sementara itu mereka harus mengawasi padepokan itu
dengan ketat, sehingga mereka tidak akan terjerumus ke
dalam keadaan yang tiba-tiba saja menjadi gawat.
Namun di antara mereka yang terluka itu ternyata ada
juga yang telah digigit oleh ular berbisa. Untunglah bahwa
mereka pada umumnya membawa obat penawar bisa,
sehingga meskipun untuk sementara, mereka berhasil
menahan menjalarnya bisa di dalam tubuh mereka, sampai
saatnya Akuwu Lemah Warah sendiri memberikan
pengobatan kepada mereka.
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di malam hari, pengawasan di sekitar padepokan itu
tidak mengendor. Setiap kelompok telah membagi orangorangnya
untuk mengamati keadaan dengan saksama.
Sementara itu, setiap kelompok pun harus menghitung
dengan teliti, berapa orang yang terbunuh, hilang atau
terluka. Sambil mengamati keadaan, maka beberapa orang
prajurit telah menyelenggarakan persiapan penguburan
kawan-kawan mereka yang terbunuh, yang akan dilakukan
besok. Sedangkan yang lain merawat kawan-kawan mereka
yang terluka. Di hari berikutnya kesibukan para prajurit Lemah Warah
ditandai dengan beberapa gundukan tanah basah. Mereka
telah menguburkan kawan-kawan mereka yang terbunuh di
peperangan. Meskipun demikian, pengawasan terhadap padepokan
itu sama sekali tidak diabaikan. Setiap jengkal mendapat
pengawasan secermat-cermatnya.
Tatas Lintang, Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa
Ura dan Panglima pasukan khusus dari Lemah Warah itu
agaknya masih belum mendapatkan cara untuk menembus
padepokan itu. Ketika mereka berbicara tentang
kemungkinan itu, maka Mahisa Pukat pun berkata, "Kita
bakar saja padepokan itu."
"Kita tidak akan mendapatkan apa-apa. Mungkin barakbarak
itu akan terbakar, tetapi orang-orangnya masih akan
tetap bertahan," jawab Tatas Lintang.
"Jika persediaan makan mereka juga terbakar?" berkata
Mahisa Pukat pula. "Kita tidak tahu di manakah mereka menyimpan
persediaan makanan mereka. Tetapi membakar padepokan
itu mempunyai kesan yang terlalu kasar, meskipun kita
tidak melanggar paugeran apapun juga," jawab Akuwu
Tatas Lintang, "namun jika kita mempunyai cara lain yang
lebih baik untuk memaksa menyerah, aku kira kita akan
menempuhnya." Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara
itu, yang lain pun berpikir juga untuk mencari satu
kemungkinan yang lebih baik dari yang diusulkan oleh
Mahisa Pukat itu. Namun tidak mudah untuk menemukan cara itu. Karena
itu Tatas Lintang pun telah memerintahkan agar
pasukannya mengepung padepokan itu dengan rapat.
"Kita akan berada di sini untuk waktu yang tidak
ditentukan," berkata Tatas Lintang kepada para pemimpin
kelompok, "kita harus mencari jalan yang sebaik-baiknya
agar korban tidak terlalu banyak jatuh. Karena itu kita tidak
boleh tergesa-gesa."
Para pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk.
Mereka mengerti bahwa Akuwu Lemah Warah itu harus
berbuat dengan sangat berhati-hati tanpa mengorbankan
prajurit-prajuritnya tanpa arti. Namun demikian mereka
juga mulai memandang hari-hari berikutnya yang tidak
pasti. Meskipun dihadapan mereka masih tetap berdiri
dinding padepokan yang garang yang menyimpan orangorang
berilmu tinggi. Namun dalam pada itu, peristiwa lain telah terjadi.
Beberapa orang prajurit telah menangkap tiga orang yang
tidak dikenal. Tetapi ketiga orang itu tidak melakukan
perlawanan. Ketika para prajurit mengacukan senjata mereka, maka
salah seorang dari ketiga orang itu berkata, "Kami justru
ingin bertemu dengan Panglima pasukan kalian."
"Kami dipimpin langsung oleh Panglima kami dan
Akuwu kami," jawab prajurit itu.
"Bawa kami kepada keduanya," jawab salah seorang
dari ketiga orang itu. Para prajurit itu memang ragu-ragu. Tetapi ketiga orang
itu nampaknya memang tidak ingin melakukan sesuatu.
Bahkan seandainya mereka ingin berbuat curang, maka
biarlah mereka berhadapan dengan Akuwu dan tiga orang
anak muda yang disebut kemanakannya itu. Orang-orang
yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Sebenarnyalah maka ketiga orang itu telah dibawa
menghadap Akuwu Lemah Warah yang sedang berbincang
dengan tiga orang yang disebut kemanakannya itu serta
Panglima pasukan khususnya. Perbincangan yang panjang
yang masih belum menemukan kesimpulan yang
meyakinkan untuk mengatasi kesulitan di dalam padepokan
itu. Seorang di antara para prajurit itu telah menghadap
Akuwu Lemah Warah yang berada di dalam sebuah gubug
kecil yang telah dibangun oleh para prajurit Lemah Warah
untuk sekedar berlindung dari terik matahari basahnya
embun malam. "Kami telah menangkap tiga orang yang tidak dikenal,
Akuwu," berkata prajurit itu.
"Apa yang mereka lakukan?" bertanya Akuwu.
"Mereka tidak berbuat apa-apa. Dan mereka sama sekali
tidak melakukan perlawanan. Bahkan mereka mohon untuk
dapat menghadap Akuwu Lemah Warah," jawab prajurit
itu. Akuwu Lemah Warah termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya, "Baiklah. Bawa mereka kemari."
Para prajurit itupun kemudian telah membawa ketiga o
rang itu memasuki gubug menghadap Akuwu Lemah
Warah. Namun ketika Akuwu Lemah Warah, Mahisa Murti,
Mahisa Pukat, Mahisa Ura dan Panglima pasukan khusus
melihat orang yang datang itu, mereka pun serentak telah
bangkit berdiri sambil mengangguk hormat.
Prajurit yang membawa ketiga orang itu termangumangu
sejenak. Namun mereka pun menjadi jelas ketika
Akuwu Lemah Warah kemudian mempersilahkan,
"Marilah pangeran Singa Narpada. Silahkan duduk di
perkemahan kami yang besar ini."
Salah seorang dari ketiga orang yang datang itu
mengangguk sambil menjawab, "Terima kasih." Lalu
sambil berpaling kepada kedua orang yang lain ia berkata,
"Akuwu, kedua orang ini adalah Ki Mahendra, ayah dari
kedua orang anak muda yang sudah ada di sini, dan yang
lain adalah Senapati dari Kediri yang memang aku bawa
untuk kawan berjalan."
"Oo," Akuwu Lemah Warah itu mengangguk. Katanya,
"Syukurlah, Pangeran dari kedua orang saudara kita ini
telah datang. Tetapi maksud Pangeran, Ki Mahendra
adalah ayah dari ketiga orang yang selama ini aku sebut
sebagai kemanakanku ini."
"Hanya dua," jawab Pangeran Singa Narpada. Lalu iapun
bertanya kepada Mahendra, "Bukankah anak Ki
Mahendra yang seorang lagi adalah Mahisa Bungalan.
Apakah Ki Mahendra masih mempunyai anak yang lain."
Mahendra tersenyum. Katanya, "Anakku memang
Pendekar Pemetik Harpa 26 Wiro Sableng 084 Wasiat Dewa Menuntut Balas 17