Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 18

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 18


hanya dua." Mahisa Ura termangu-mangu. Namun iapun kemudian
tersenyum, "Aku adalah anak angkatnya."
Mahendra lah yang kemudian tersenyum, sementara
Mahisa Ura berkata, "Aku adalah sahabat Mahisa
Bungalan. Aku telah mendapat beban dari padanya untuk
menyertai kedua adiknya yang sudah aku anggap sebagai
adikku sendiri. Namun bedanya, Mahisa Bungalan akan
mampu melindungi kedua adiknya, sementara aku justru
menjadi bebannya." "Ahh," desah Mahendra, "tentu bukan begitu."
"Mahisa Ura telah memberikan banyak sekali petunjuk
sehingga kami sempat sampai ke tempat ini," berkata
Mahisa Murti. Mahendra pun mengangguk-angguk, sementara Akuwu
Lemah Warah pun berkata, "Baiklah. Marilah silahkan
duduk. Kita akan berbicara banyak. Aku yakin kehadiran
Pangeran tentu ada hubungannya dengan tugas yang harus
aku laksanakan. Namun yang membentur kesulitan ini."
"Kesulitan?" bertanya Pangeran Singa Narpada.
"Ya. Kesulitan yang belum terpecahkan," jawab Akuwu
Lemah Warah. Lalu, "Tetapi nanti sajalah jika Pangeran
telah beristirahat, kita akan membicarakannya."
Dalam pada itu, maka para petugas di perkemahan itu
telah menyiapkan hidangan bagi ketiga orang tamu itu,
meskipun dengan gaya makanan di medan perang.
Namun ketiga orang tamu itupun adalah tiga orang
prajurit, sehingga suguhan itupun cukup baik bagi mereka.
Baru kemudian setelah mereka menghirup minuman
hangat dari sepotong bumbung pring wulung, barulah
mereka mulai berbicara tentang kesulitan yang dialami oleh
Tatas Lintang. Namun demikian, Pangeran Singa Narpada sempat
berceritera kenapa ia bertiga sampai ke padepokan orangorang
bertongkat itu. "Kepergian kedua anak Ki Mahendra itu sudah terlalu
lama, sehingga ayahnya menjadi cemas," berkata Pangeran
Singa Narpada, "tetapi karena ayahnya juga seorang
pengembara di masa mudanya maka ia tidak tinggal
menunggu sambil meratap. Tetapi Ki Mahendra telah
mencari anaknya. Agaknya Ki Mahendra telah datang ke
Kediri untuk menanyakan kedua anaknya. Dalam pada itu
aku ikut merasa bertanggung jawab, karena akulah yang
telah memberikan mereka tugas, sehingga karena itu maka
kami berdua telah sepakat untuk mencarinya. Karena itulah
maka kami berdua telah mengajak seorang Senopati untuk
menyusul. Sementara itu aku pun ingin tahu apa yang telah
dilakukan oleh Akuwu Lemah Warah. Ternyata bahwa
Akuwu Lemah Warah telah memanggil sepasukan prajurit
untuk pergi ke padepokan ini. Dengan keterangan yang
kami peroleh dari Lemah Warah maka kami telah sampai
pula ke tempat ini."
Akuwu Lemah Warah itu mengangguk-angguk.
Sementara itu Mahendra pun berkata, "Ternyata aku pun
telah menemukan kedua orang anakku di sini dan seorang
yang telah menjadi saudaranya pula."
Mahisa Ura tersenyum. Katanya, "Namaku Mahisa Ura
sekedar untuk meyakinkan bahwa aku adalah saudaranya."
Mahendra tertawa. Katanya, "Kau pantas disebut kakak
oleh anak-anakku." Pangeran Singa Narpada pun mengangguk-angguk,
iapun kemudian mengetahui bahwa Singasari pun telah
mengirimkan pula seorang petugas sandinya untuk
menyertai Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, namun
agaknya Mahisa Bungalan menghendaki orang itu mampu
memberikan beberapa petunjuk arah kepada kedua adiknya.
Dalam pada itu maka Akuwu Tatas Lintang pun
kemudian melaporkan kesulitan yang dialaminya karena
seorang yang berilmu sangat tinggi telah mempengaruhi
medan pada saat pasukannya hampir menguasai padepokan
itu. "Kami tidak dapat bertahan dalam kegelapan kabut itu,"
berkata Akuwu Tatas Lintang, "kami masih dapat melihat
beberapa langkah di hadapan kami dalam gelapnya malam.
Tetapi di dalam gelapnya kabut kami sama sekali tidak
melihat sesuatu. Di malam hari kami masih sanggup untuk
bertempur terus. Tetapi di dalam kabut kami mengalami
kesulitan, sementara itu orang-orang padepokan itu jauh
lebih mengenal medan dari kami sehingga mereka yang
telah tersudut pun lolos dari tangan kami. Mereka
kemudian memencar dan tidak lagi dapat kami cari dalam
gelapnya kabut yang semakin padat. Apalagi jika kemudian
ternyata di bawah kaki kami beberapa ekor ular dalam
kuasa ilmu gendam menyerang kami."
Pangeran Singa Narpada, Mahendra dan Senapati yang
menyertai mereka itupun mengangguk-angguk. Mereka
sudah mendapat gambaran jelas dari kesulitan yang dialami
oleh Tatas Lintang beserta pasukannya.
Sementara itu Tatas lintang melanjutkan, "untuk
mengatasi kesulitan tersebut, kami sudah berbicara banyak
sekali. Namun kami masih belum menemukan cara yang
paling baik untuk mengatasinya."
"Baiklah," berkata Pangeran Singa Narpada, "kita harus
memperhitungkan setiap kemungkinan. Kami yang baru
datang akan mencoba untuk melihat-lihat keadaan.
Kemudian kita bersama-sama akan mencoba lagi untuk
menentukan langkah yang paling baik yang dapat kita
tempuh." "Segala sesuatunya terserah kepada Pangeran karena
Pangeran sudah ada di sini," berkata Tatas Lintang!
"Kita akan menentukan bersama-sama," jawab
Pangeran Singa Narpada. Demikianlah, maka Pangeran Singa Narpada, Mahendra
dan seorang Senapati Kediri telah bergabung dengan
pasukan Pakuwon Lemah Warah. Namun ternyata mereka
pun tidak dengan tergesa-gesa menentukan langkah-langkah
yang akan mereka ambil. Di hari berikutnya, maka Pangeran Singa Narpada dan
Mahendra diiringi oleh Senapati Kediri yang bersama
keduanya datang ke tempat itu. Akuwu Lemah Warah serta
tiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya serta
Panglima pasukan khususnya diiringi oleh sekelompok kecil
pasukan khususnya telah mendekati padepokan itu.
Para penjaga yang bertugas mengamati keadaan di
padepokan itu, yang berdiri di atas panggung di dalam
lingkungan dinding padepokan telah melihat mereka
mendekat. Karena itu mereka pun telah memberikan isyarat
kepada para pemimpin padepokan itu.
Para pemimpin padepokan itupun segera mengambil
langkah. Mereka segera naik pula ke panggung pengamatan
untuk melihat sendiri, siapa sajakah yang telah datang
mendekati padepokan itu. Namun orang-orang padepokan itu tidak melihat orang
lain di antara mereka kecuali Akuwu Tatas Lintang dan
ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya.
Mereka tidak melihat Pangeran Singa Narpada, Mahendra
dan seorang Senapati Kediri sebagai orang-orang penting,
karena mereka tidak mengenakan tanda-tanda khusus dan
sikap tertentu sehingga mereka dapat dikenali sebagai
orang-orang penting. Karena itu maka para pemimpin dari padepokan itupun
tidak menentukan sikap-sikap khusus pula. Bahkan mereka
menjadi tidak acuh saja karena mereka menganggap
kehadiran mereka tidak lebih dari usaha untuk menentukan
langkah-langkah yang masih gelap bagi para pemimpin dari
Lemah Warah itu. "Biar saja mereka dalam kebingungan," berkata para
pemimpin padepokan itu. Para pengawas dari padepokan itu tidak menjawab.
Tetapi mereka juga menganggap sebagaimana para
pemimpin mereka. Orang-orang Lemah Warah benar-benar dalam
kebingungan. Mereka memerlukan melihat-lihat untuk
mencari kemungkinan. Karena itu, maka salah seorang di antara mereka tibatiba
saja berteriak, "He, apa yang kalian cari?"
Orang-orang Lemah Warah itu memperhatikan orangorang
yang berada di atas panggungan di dalam dinding
padepokan. Mereka melihat beberapa orang sedang
memperhatikan mereka. Namun kemudian para pemimpin
dari padepokan itu telah turun sambil berpesan, "Amati saja
mereka. Hanya jika mereka menunjukkan sikap yang
membahayakan, beri kami isyarat. Sementara itu, orangorang
yang berada di gardu-gardu pengawas di sisi lain dari
padepokan ini akan mengawasi mereka jika mereka
mengelilingi padepokan ini."
Sebenarnyalah bahwa orang-orang Lemah Warah
bersama Pangeran Singa Narpada, Mahendra dan Senapati
yang baru datang dari Kediri itu telah mengelilingi
padepokan. Mereka mencoba menilai betapa tingginya ilmu
orang yang mampu memenuhi padepokan yang seluas itu
dengan kabut. "Memang luar biasa," berkata Pangeran Singa Narpada.
"Jarang ada duanya," sahut Mahendra. Namun
kemudian katanya, "Tetapi jika kita sempat
menghadapinya, belum tentu ia memiliki kemampuan ilmu
kanuragan yang tidak terkalahkan. Mungkin ia akan dapat
menyelubungi dirinya dengan kabut. Namun mungkin pula
ada kesempatan untuk menembus kepadatan kabut itu
dengan daya penglihatan khusus atau dengan kekuatan
untuk menghembus kabut itu sehingga menyibak meskipun
tidak seluruhnya." Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya,
"Menurut Akuwu Lemah Warah, maka kesulitannya
adalah menemukan orang yang melepaskan ilmu itu. Jika
kita sempat menemukannya, maka mungkin kita akan
memancingnya dalam pertempuran sebelum ia sempat
melepaskan kabutnya."
"Kita sebaiknya memasuki padepokan itu," berkata
Mahendra. Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya.
Namun iapun kemudian mengangguk-angguk sambil
berkata, "Ya. Sebaiknya kita memasuki padepokan itu
malam nanti." Ternyata para pemimpin Lemah Warah itu sepakat
untuk memasuki padepokan itu jika malam turun. Karena
itu maka, mereka pun telah berusaha untuk melihat dengan
cermat tempat-tempat pengawasan. Gardu-gardu dan
panggungan untuk melihat keadaan di luar padepokan.
Namun orang-orang yang berada di gardu-gardu dan
panggungan-panggungan itu tidak dapat mengamati setiap
jengkal dinding padepokan. Tetapi hal itu disadari oleh para
pemimpin padepokan, sehingga mereka mengadakan
pengawasan di dalam dinding. Dua orang secara teratur
harus meronda nganglang mengitari bagian dalam dinding
padepokan, sehingga jika ada seseorang yang meloncat
memasuki padepokan itu tanpa dilihat oleh para pengawas
di gardu-gardu dan panggungan-panggungan, akan dapat
ditemukan oleh para peronda dan pengawas-pengawas yang
berada di dalam dinding padepokan.
Namun orang-orang Lemah Warah pun telah
memperhitungkan hal itu pula. Karena itu, maka mereka
pun telah membuat rencana yang sebaik-baiknya untuk
memasuki padepokan itu dan mencoba untuk mengetahui,
di manakah orang yang dianggap memiliki ilmu tertinggi itu
berada. Orang-orang Lemah Warah itupun kemudian
memutuskan, bahwa yang akan memasuki padepokan itu
adalah Pangeran Singa Narpada sendiri, Mahendra, Tatas
Lintang serta Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sementara
itu, yang lain harus bersiap-siap di luar dinding dan
bergerak setiap saat jika diperlukan. Selain itu maka semua
prajurit Lemah Warah pun harus berada dalam kesiagaan
tertinggi. Karena mereka pun mungkin akan terlibat di
dalam pertempuran jika keadaan memaksa.
Demikianlah maka setelah mengelilingi padepokan itu,
para pemimpin Lemah Warah itu mempunyai sedikit
gambaran apa yang harus mereka kerjakan malam nanti.
Namun demikian Mahisa Pukat sempat juga
mengacukan genggaman tangannya ketika orang-orang
padepokan itu berteriak, "Marilah. Singgahlah barang
sejenak di padepokan kami."
Mahendra yang melihat sikap Mahisa Pukat tersenyum.
Katanya, "satu sambutan yang ramah. Karena itu jangan
marah." Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun wajahnya masih
berkerut. Demikianlah, ketika mereka telah berada kembali dalam
sebuah gubug kecil yang menjadi tempat para pemimpin
Lemah Warah mengatur dan membicarakan langkahlangkah
mereka, Pangeran Singa Narpada pun telah
memberikan pesan-pesan kepada orang-orang yang akan
bersamanya memasuki padepokan itu. Sebaliknya, Akuwu
Tatas Lintang telah memberikan beberapa keterangan
tentang isi padepokan itu. Memberikan sedikit gambaran
tentang barak-barak yang bertebaran dan halaman serta
kebun bahkan pategalan yang memiliki banyak tanaman
dan bahkan rumpun-rumpun bambu.
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya,
"Baiklah. Kita akan melakukan dengan sangat berhati-hati.
Mudah-mudahan kita tidak usah terlibat dalam kekerasan.
Jika orang-orang padepokan itu sempat melihat kehadiran
kita, maka usaha pertama kita adalah meninggalkan
padepokan itu dan keluar dengan meloncati dinding. Hanya
dalam keadaan yang memaksa kita akan mempergunakan
kekerasan. Namun kita harus menyadari, jika demikian
maka mungkin sekali akan terjadi pertempuran dan akan
terulang lagi apa yang pernah terjadi."
Yang lain pun mengangguk-angguk. Namun mereka


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyadari sepenuhnya pesan Pangeran Singa Narpada.
Karena itu, maka mereka pun siap untuk melaksanakan.
Ketika malam pun kemudian turun, maka para
pemimpin Lemah Warah pun telah bersiap pula untuk
melakukan tugas mereka yang berat.
Namun Pangeran Singa Narpada menyadari bahwa
segalanya harus dilakukan dengan hati-hati. Pasukan
Lemah Warah harus belajar dari pengalaman, apa yang
pernah terjadi di padepokan itu.
Semakin dalam malam menukik ke pusatnya, maka
orang-orang Lemah Warah pun menjadi semakin bersiaga,
karena Pangeran Singa Narpada telah siap pula untuk
memasuki padepokan itu bersama dengan beberapa orang
yang telah ditunjuknya. "Ternyata bahwa kita masih mendapat kesempatan
untuk ikut menyelesaikan tugas ini," berkata Pangeran
Singa Narpada, "karena itu, hendaknya kita dapat
menyelesaikan dengan baik."
Mahendra mengangguk kecil. Diamatinya dari kejauhan
dinding padepokan yang tegak membeku. Namun ia sadar
bahwa dibalik dinding itu tersimpan kekuatan ilmu yang
sangat tinggi. Dalam pada itu, ketika saatnya telah datang, maka
Pangeran Singa Narpada pun telah memberikan pesan
terakhir kepada Panglima pasukan khusus Lemah Warah
serta Mahisa Ura. Dalam keadaan tertentu maka mereka
memang harus menggerakkan pasukan.
Sejenak kemudian, maka Pangeran Singa Narpada telah
meninggalkan gubug kecil itu bersama dengan Akuwu
Tatas Lintang, Mahendra dan kedua orang anaknya.
Dengan sangat berhati-hati mereka telah mendekati dinding
padepokan. Mereka menyusuri tempat-tempat gelap di
bawah bayangan pepohonan. Di siang hari sebelumnya
mereka telah mengamati keadaan padepokan itu, sehingga
mereka dapat memperhitungkan tempat-tempat yang tidak
terlalu tajam mendapat pengawasan. Namun mereka pun
menyadari, bahwa yang mereka lihat adalah pengawasan
yang nampak dari luar dinding. Di belakang dinding itu
tentu terdapat penjagaan yang kuat sebagaimana yang
mereka lihat dari luar padepokan. Bahkan mungkin di balik
dinding itu, orang-orang padepokan itu berdiri berjajar rapat
berjarak sepanjang langkah mereka.
Karena itu, maka mereka harus berhati-hati. Mereka
harus memperhitungkan setiap langkah yang mereka ambil.
Beberapa langkah dari dinding padepokan, mereka telah
berhenti seorang di antara mereka, Pangeran Singa Narpada
sendiri telah bergeser mendekat. Dengan ketajaman
pendengarannya ia berusaha untuk mengetahui apakah di
balik dinding kayu itu terdapat seseorang atau bahkan lebih.
Namun Pangeran Singa Narpada tidak mendengar desah
nafas. Bahkan yang didengarnya adalah justru desir
langkah. Namun langkah yang semula mendekat itu justru
telah menjauh. Dengan demikian Pangeran Singa Narpada
memperhitungkan bahwa di dalam dinding padepokan itu
tidak terdapat penjaga yang berjaga-jaga di setiap jengkal,
tetapi para perondalah yang mengamatinya, yang lewat
pada saat-saat tertentu saja.
Beberapa saat Pangeran Singa Narpada menunggu.
Dengan demikian maka Pangeran Singa Narpada mampu
memperkirakan jarak waktu para peronda yang nganglang
itu. Sejenak Pangeran Singa Narpada masih menunggu, di
beberapa langkah nampak sebuah gardu panggungan.
Meskipun dalam keremangan malam, namun ketajaman
penglihatan Pangeran Singa Narpada mampu melihat,
bahwa ada tiga orang yang bertugas di gardu itu.
Dengan demikian maka Pangeran Singa Narpada telah
dapat menentukan di mana mereka harus mencoba
memanjat masuk. Dengan isyarat Pangeran Singa Narpada telah
memanggil Mahendra. Dengan hati-hati Mahendra telah
merayap mendekati Pangeran Singa Narpada.
Dengan bahasa isyarat pula mereka berdua berniat untuk
melihat apa yang ada di balik dinding itu.
Sejenak kemudian mereka menunggu. Merekapun
mendengar langkah para peronda pula.
Namun demikian peronda itu berlalu, maka kedua orang
itu dengan sigapnya telah meloncat keatas dinding.
Keduanya kemudian telah menelungkup melekat dinding
padepokan itu, di bawah bayangan sebatang pohon yang
tumbuh justru di dalam padepokan itu, namun daunnya
yang rimbun telah membayangi bagian dari dinding
padepokan itu. Untuk beberapa saat keduanya menunggu. Seperti yang
mereka perhitungkan, maka para peronda pun telah lewat
pula dengan langkah yang pasti namun tidak tergesa-gesa.
Para peronda itu nampaknya memang mendapat perintah
untuk mengamati keadaan dengan saksama.
Tetapi kemampuan kedua orang itu memang sangat
tinggi. Mereka mampu menahan pernafasan mereka dan
menyerap bunyi yang timbul karena diri mereka. Sehingga
dengan demikian maka para peronda itu tidak mendengar
sama sekali kehadiran mereka di atas dinding padepokan.
Dengan mengamati keadaan secara langsung, maka
mereka pun dapat menentukan, kapan orang-orang yang
bersama dengan mereka itu dapat meloncat masuk.
Dengan perhitungan yang cermat, maka keduanya telah
memberikan isyarat kepada Mahisa Murti, Mahisa Pukat
dan Akuwu Lemah Warah agar mereka segera memasuki
padepokan. Seorang demi seorang di antara mereka telah meloncat
masuk. Demikian mereka berada di dalam, maka mereka
pun segera menempatkan diri di balik pohon-pohon perdu.
Mereka berusaha untuk bukan saja tidak dapat dilihat oleh
para peronda, tetapi juga tidak didengar.
Dengan penuh kewaspadaan, maka orang-orang itupun
mulai menebar, sampai saatnya Pangeran Singa Narpada
dan Mahendra sendiri meloncat masuk pula.
Seperti yang mereka rencanakan, maka orang-orang itu
telah memecah diri menjadi dua kelompok. Tatas Lintang
bersama Pangeran Singa Narpada, sementara Mahendra
bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereda akan
menentukan langkah-langkah mereka masing-masing untuk
menentukan di mana orang terpenting dari padepokan itu
berada. Dengan sangat berhati-hati kedua kelompok itu mulai
bergerak. Mereka harus mengamati setiap barak. Mungkin
mereka mendapat isyarat atau pertanda atau apapun juga
yang dapat menunjukkan kepada mereka di mana orang
yang mereka cari itu berada.
Karena itulah, maka kedua kelompok itu selalu bergerak
di sekitar barak-barak. Mereka bergeser dari balik gerumbul
yang satu ke balik gerumbul yang lain. Mereka berusaha
mencapai setiap dinding barak meskipun mereka tidak
boleh lengah karena ternyata di dalam padepokan itu, telah
dilakukan pengawasan yang sangat ketat.
Mahendra. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bergeser ke
barak-barak yang berada di sisi depan dari padepokan itu,
sementara Pangeran Singa Narpada dan Tatas Lintang
mengamati di bagian belakang.
Namun dalam pada itu selagi beberapa orang Lemah
Warah berhasil menembus dinding penjagaan isi padepokan
itu, ternyata orang-orang padepokan itupun berhasil
melakukan hal yang sama. Ternyata malam itu beberapa orang telah meninggalkan
padepokan. Dua di antara mereka adalah orang terbaik dari
padepokan itu. Dengan kemampuan mereka yang tinggi,
mereka berhasil menyusup di antara para pengawas dari
Lemah Warah menembus kepungan.
Ketika mereda sudah berada pada jarak yang aman maka
seorang di antara mereka berkata sambil tertawa, "ternyata
kemampuan pengamatan para prajurit Lemah Warah tidak
setajam seperti yang kita duga. Mereka, tidak dapat melihat
sama sekali kita menyusup kepungan mereka."
"Ya. Mereka akan terkejut jika tiba-tiba saja mereka
menghadapi bahaya," berkata seorang yang lain.
Orang yang pertama itu tertawa. Katanya, "Aku akan
membuktikan bahwa kemampuan kita melampaui
kemampuan orang-orang Lemah Warah. Jika aku pernah
kehilangan kesempatan untuk melawan, karena waktu itu
aku memang lengah, sehingga aku tidak menyadari bahwa
sedikit demi sedikit kekuatanku telah dicurinya dengan
licik. Kini aku telah mengetahuinya sehingga dalam waktu
yang akan datang, jika aku bertemu lagi dengan anak muda
yang licik itu, aku sudah dapat menempatkan diriku
menghadapi ilmu pengecutnya itu."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Seorang yang
lain. yang ternyata adalah orang memiliki kemampuan
menyusup ke dalam wadag orang lain itupun berkata,
"Baiklah. Kita akan mencari binatang jenis apapun yang
dapat menjadi berbahaya. Aku sependapat bahwa kita akan
mencari ular berapa karung pun yang dapat kita peroleh.
Nanti ular-ular itu kita lepaskan di perkemahan prajurit
Lemah Warah sementara sebagian yang lain akan kita
pergunakan untuk melawan mereka jika mereka berani
memasuki padepokan lagi. Sementara kabut meliputi
padepokan, ular-ular itu akan mematuk kaki para prajurit
Lemah Warah." Orang-orang yang lain itupun masih menganggukangguk.
Mereka memang mempunyai keyakinan bahwa
orang-orang Lemah Warah itu tidak akan dapat
menundukkan mereka. Demikianlah, maka sekelompok kecil orang-orang itu
telah memasuki hutan yang tidak terlalu jauh dari
padepokan mereka. Dalam gelapnya malam mereka
langsung menuju ke bongkahan-bongkahan padas yang
terdapat pada lereng rendah sebuah sungai yang tidak
begitu besar. Namun di tempat itu memang terdapat banyak
sekali ular. Ternyata mereka adalah orang-orang yang memiliki
ketrampilan untuk menguasai ular. Kecuali itu, mereka pun
telah minum obat penawar bisa meskipun hanya akan dapat
bertahan untuk beberapa lama. Namun waktu itu tentu
sudah cukup lama untuk mengumpulkan ular sebanyak
yang mereka butuhkan. Demikianlah, mereka telah menangkap ular sebanyakbanyaknya
dan mereka masukkan ke dalam karung. Ularular
itu akan sangat berarti jika pasukan Lemah Warah
menyerang lagi padepokan mereka.
Tetapi orang-orang itu tidak sekedar menangkap ular.
Dengan kemampuan yang tinggi untuk menguasai binatang
dengan lambaran ilmu gendam maka beberapa ekor
harimau berhasil dikumpulkan. Orang yang memiliki ilmu
gendam itu duduk di paling depan, sementara beberapa
orang yang bersamanya duduk di belakangnya. Dalam
puncak samadi sesuai dengan laku ilmu gendamnya maka
empat ekor harimau yang terjangkau oleh ilmunya itu telah
datang. Sejenak keempat ekor harimau itu berjalan hilir
mudik. Namun kemudian keempatnya telah mendekam di
hadapan orang yang memiliki ilmu gendam itu.
Agaknya telah terjadi hubungan getar di dalam diri orang
yang berilmu gendam itu dengan getar di dalam diri
harimau-harimau itu. Dalam ketiadaan kesadaran
berpribadi dan penalaran maka harimau itu telah menerima
getaran yang telah mempengaruhi nalurinya untuk berbuat
sesuatu. Karena itu, ketika getaran itu telah benar-benar
menguasai dirinya, maka harimau itupun telah bangkit dan
mulai bergerak berdasarkan tuntunan dan perintah
kekuatan ilmu gendam atas nalurinya.
"Satu cara untuk sekedar menghalau dingin bagi para
prajurit Lemah Warah itu," berkata orang yang memiliki
ilmu gendam itu setelah dilepaskannya samadinya.
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka sadar
bahwa keempat ekor harimau itu tentu akan menuju ke
perkemahan para prajurit Lemah Warah dan menimbulkan
kekisruhan. Pada saat yang demikian, maka mereka akan lebih
mudah berusaha menerobos kepungan itu kembali
memasuki lingkungan padepokan dengan membawa
beberapa karung ular. Dalam pada itu Pangeran Singa Narpada dan Tatas
Lintang telah menyusup semakin dalam. Namun mereka
tidak menemukan orang yang mereka cari atau tanda-tanda
tentang orang itu. Demikian pula Mahendra bersama kedua anaknya.
Mereka telah memasuki lorong-lorong di antara barak-barak
dengan kemungkinan bertemu dengan para peronda.
Namun mereka tidak melihat tanda-tanda tentang orang
yang memiliki ilmu yang paling tinggi di padepokan itu,
yang mampu menyelimuti padepokan itu dengan kabut
yang tebal. Namun mereka justru telah sampai di belakang sebuah
barak yang khusus. Mereka melihat beberapa orang penjaga
yang berada di depan pintu barak itu. Nampaknya barak itu
memang mendapat penjagaan lebih baik dari barak-barak
yang lain. Dengan sangat hati-hati Mahendra mendekati barak itu,
sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus
mengawasi dari dua sudut barak itu jika ada peronda yang
mengitari pondok itu. Dari belakang pondok itu, Mahendra berhasil mengintai
ke dalam. Yang dilihatnya adalah beberapa orang yang
terluka terbaring di sebuah amben yang besar. Orang-orang
terluka yang agaknya mendapat perawatan dengan baik.
Namun mereka mendapat penjagaan yang kuat pula.
"Agaknya mereka bukan orang-orang padepokan ini,"
berkata Mahendra kepada diri sendiri.
Beberapa saat ia memperhatikan ruangan itu. Namun
kemudian iapun telah bergeser menjauh dan mengajak


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kedua anaknya menyingkir ke belakang gerumbul perdu.
"Apa yang ayah lihat?" bertanya Mahisa Murti.
"Beberapa orang yang terluka. Namun agaknya mereka
telah mendapat perawatan yang baik," jawab Mahendra.
"Maksud ayah orang-orang padepokan ini yang
terluka?" bertanya Mahisa Pukat pula.
"Aku tidak jelas. Tetapi menilik sikap dan pelayanan
orang-orang yang ada di ruang itu, mereka bukan orangorang
padepokan ini. Ketika seorang bangkit dan duduk di
pembaringannya, menurut penglihatanku ia nampak lain
dari orang-orang yang merawat orang-orang yang terluka
itu," jawab Mahendra.
"Mungkin orang-orang Lemah Warah yang terhitung
hilang. Karena kami tidak dapat membawa semua orang
yang gugur atau terluka saat kami meninggalkan medan di
padepokan ini," berkata Mahisa Murti.
"Apakah kalian mengalami tekanan yang demikian
beratnya, sehingga kalian harus melarikan diri dengan
sangat tergesa-gesa?" bertanya Mahendra.
"Bukan tekanan para penghuni padepokan ini dalam
pertempuran. Tetapi dalam kabut yang gelap itu kita tidak
mampu untuk mencari kawan-kawan kita yang terluka dan
gugur dengan cermat," jawab Mahisa Murti.
Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, "jika benar
orang-orang yang dirawat itu para prajurit Lemah Warah,
ternyata orang-orang padepokan ini adalah orang-orang
yang baik." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu
sejenak. Namun mereka tidak dapat menjawab. Namun
mereka memang pernah mendengar bahwa isi padepokan
ini memang merupakan campur baur dari beberapa
perguruan, sehingga mungkin ada perbedaan sikap di antara
para penghuni yang berasal dari beberapa padepokan itu.
Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
terdiam, sementara Mahendra memperhatikan keadaan di
sekitarnya. "Hari ini kita gagal menemukan yang kita cari," berkata
Mahendra. "mudah-mudahan Pangeran Singa Narpada
menemukannya. Namun jika Pangeran Singa Narpada juga
gagal, kita masih mempunyai waktu untuk mengulanginya
atau mencari jalan lain yang lebih baik."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Namun dalam pada itu, waktu pun berjalan terus.
Sebagaimana mereka sepakati sebelumnya, maka mereka
pun segera kembali ke tempat mereka memasuki padepokan
itu untuk bersama-sama meninggalkannya.
Namun untuk beberapa saat Mahendra dan kedua
anaknya menunggu. Baru beberapa waktu kemudian,
Pangeran Singa Narpada dan Tatas Lintang telah datang
pula. Dengan sangat berhati-hati mereka telah meloncat keluar
dinding padepokan dengan memperhatikan para peronda
yang setiap waktu mengelilingi lingkungan padepokan itu.
Demikian mereka sampai di luar, maka mereka pun telah
berusaha untuk menghindari pengamatan orang-orang
padepokan itu yang berada di gardu-gardu di panggungan.
"Kita harus mencari cara lain," berkata Pangeran Singa
Narpada kemudian setelah, mereka merasa lepas dari setiap
pengamatan. "Ya Pangeran," jawab Mahendra, "dengan cara ini kita
sulit menemukannya."
Yang lain pun mengangguk-angguk. Sementara itu Tatas
Lintang pun berkata, "Kita harus memancing agar orang itu
melepaskan ilmunya. Mungkin kita akan dapat melihat,
sesuatu yang menjadi pertanda lepasnya ilmu itu."
Pangeran Singa Narpada dan Mahendra agaknya setuju
dengan pendapat itu. Dengan nada datar Pangeran Singa
Narpada berkata, "Mungkin kita harus mempergunakan
semua kekuatan seperti yang pernah kita lakukan."
Yang lain pun mengangguk-angguk.
Namun dalam pada itu, kelima orang itupun terkejut.
Mereka yang hampir sampai ke perkemahan melihat
keributan terjadi di antara para prajurit Lemah Warah.
"Apa yang terjadi?" bertanya Pangeran Singa Narpada.
Yang lain tidak segera menjawab. Namun mereka telah
mempercepat langkah mereka menuju ke perkemahan.
Semakin dekat mereka dengan perkemahan, maka
mereka pun lelah melihat para prajurit yang sedang
berkelahi. Beberapa orang prajurit telah mengacukan
senjata mereka dan memutarnya. Kemudian sekelompoksekelompok
prajurit yang lain juga sedang sibuk.
Pangeran Singa Narpada dan mereka yang bersamanya
telah mempercepat langkah mereka. Namun mereka pun
kemudian mengetahui bahwa keributan itu tidak hanya
terjadi di gubug yang dipergunakan oleh Akuwu Tatas
Lintang. Tetapi juga di bagian-bagian lain dari perkemahan
itu. Ketika mereka menjadi semakin dekat, maka mereka pun
kemudian melihat bahwa para prajurit itu sedang berkelahi
melawan seekor harimau. Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Kepada seorang prajurit ia bertanya, "Hanya seekor?"
"Ya Pangeran. Disini. Tetapi ada lagi di tempat lain."
jawab prajurit itu. Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Namun
baik Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah
maupun yang lain tidak merasa perlu untuk ikut dalam
perkelahian itu. Para prajurit pun segera dapat mengatasi
harimau yang mengamuk itu. Termasuk Mahisa Ura.
Namun tiba-tiba saja terdengar beberapa orang prajurit
yang berteriak tentang ular. Mereka melihat beberapa ekor
ular tiba-tiba saja telah merayap mendekati arena
pertarungan itu. Demikian para prajurit berhasil membunuh
harimau yang bagaikan gila itu, maka mereka pun telah
terdesak mundur oleh beberapa ekor ular yang melata
mendekati mereka. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang melihat ular-ular
itu mendekat segera meloncat maju. Namun Mahendra pun
kemudian berteriak, "gunakan senjata kalian. Tusuk tepat di
belakang kepalanya, jika kalian tidak sempat menghindar."
Namun Mahendra mulai mencemaskan kelompokkelompok
prajurit yang lain. Meskipun dengan ujung
tombak dan pedang mereka akan membunuh ular yang
merayap mendekat, tetapi jika ular itu terlalu banyak, maka
tentu saja ada diantara mereka yang akan dapat dipatuknya.
Namun di kelompok lain, Mahendra melihat obor yang
menyala. Sambil menarik nafas ia berkata, "Bagus. Ular itu
akan menjadi ketakutan melihat api."
"Tetapi mereka dikuasai ilmu gendam sebagaimana
harimau itu," berkata Mahisa Murti.
"Tetapi bagaimanapun juga naluri binatang itu sendiri
masih akan tetap berperan pada tingkah lakunya.
Seandainya karena pengaruh ilmu gendam ular itu tidak
lagi takut terhadap api, namun mereka tidak akan dapat
menembus lidah api yang menyala dan diayun-ayunkan di
hadapan ular-ular itu. Panas api itu akan membakarnya
karena ular yang dipengaruhi ilmu gendam itu tidak
menjadi kebal api. "Mahendra menjelaskan.
Mahisa Murti tidak menyahut lebih lanjut. Iapun
kemudian disibukkan oleh ular-ular yang datang
kepadanya. Namun ia tidak lagi mencemaskan para prajurit
dalam kelompok-kelompok yang lain. Karena api yang
semula hanya nampak pada sekelompok prajurit, kemudian
nampak pada kelompok-kelompok yang lain, yang agaknya
telah terpengaruh pula untuk melawan ular yang
menyerang mereka dengan cara yang sama. Dengan api.
Keributan itu tidak terlalu lama berlangsung. Para
prajurit itu segera menguasai beberapa ekor harimau dan
ular yang menyerang mereka.
Dengan demikian maka beberapa saat kemudian, maka
keadaan pun lelah menjadi tenang kembali.
Para panglima dan pemimpin kelompok pun menarik
nafas lega. Sambil menyeka peluh yang membasahi pakaian
mereka, para prajurit itu merasa bahwa mereka telah
berhasil mengatasi kesulitan yang datang karena serangan
orang-orang berilmu tinggi di padepokan itu.
Namun sebenarnyalah mereka tidak menyadari bahwa
yang terjadi itu hanyalah sekedar cara orang-orang
padepokan itu mengalihkan perhatian. Pada saat para
prajurit Lemah Warah sibuk dengan harimau dan ular yang
menyerang, maka beberapa orang telah menembus
kepungan memasuki padepokan itu sambil membawa
beberapa karung ular. Orang-orang padepokan yang dari tempat mereka
menembus kepungan melihat dalam keremangan malam
orang-orang yang sibuk melawan harimau dan ular, bahkan
dengan menyalakan obor-obor belarak dan ranting-ranting
kering, tidak dapat menahan tertawa mereka. Demikian
mereka memasuki regol padepokan, maka mereka pun telah
tertawa berkepanjangan. Namun sebaliknya, mereka pun tidak mengetahui,
bahwa orang-orang Lemah Warah dan Kediri pun telah
berhasil memasuki padepokan itu pula.
Demikianlah, maka semalam suntuk para prajurit Lemah
Warah hampir tidak sempat beristirahat. Mereka dengan
hati-hati selalu bersiaga menghadapi kemungkinankemungkinan
yang mungkin akan datang. Setiap saat,
beberapa ekor ular dapat meluncur dan mematuk kaki
mereka. Jika ular itu sangat berbisa, maka jika terlambat
beberapa kejap saja, maka nyawa mereka yang dipatuknya
tidak akan dapat tertolong lagi.
"Dalam pada itu, Akuwu Tatas Lintang pun telah
memberikan pesan kepada setiap pemimpin kelompok
untuk tetap berhati-hati menghadapi beberapa unsur ilmu
yang ada didalam padepokan itu, karena padepokan itu
memang terisi oleh beberapa perguruan.
Ternyata sampai saatnya fajar menyingsing, tidak ada
lagi peristiwa yang mengejutkan. Tidak ada lagi seekor ular
pun yang datang ke perkemahan para prajurit Lemah
Warah. Tidak ada pula seekor harimau atau binatang lain
yang menyerang para prajurit Lemah Warah.
Dengan demikian maka suasana di perkemahan terasa
menjadi tenang. Para prajurit telah mendapat kesempatan
untuk beristirahat. Sementara yang lain telah pergi ke
sumber air di sebuah belik kecil. Lainnya lagi pergi ke
sungai yang tidak terlalu jauh. Sedangkan dari gubug yang
dipergunakan sebagai dapur telah mengepul asap. Mereka
yang bertugas di dapur telah menyiapkan minuman panas
dan makanan bagi para prajurit Lemah Warah.
Para pemimpin prajurit Lemah Warah pun sempat pula
beristirahat. Namun dalam pada itu, Pangeran Singa
Narpada dan Mahendra masih membicarakan perlakuan
orang-orang padepokan itu terhadap para prajurit Lemah
Warah yang terluka. "Mudah-mudahan mereka memang memperlakukan
para prajurit itu dengan baik," berkata Tatas Lintang pula.
"Mudah-mudahan," berkata Mahendra, "namun dalam
pada itu kita masih juga belum berhasil menemukan yang
kita cari." "Kita tidak tergesa-gesa," berkata Pangeran Singa
Narpada kita masih mempunyai waktu. Kita akan mencoba
sekali lagi memasuki padepokan itu. Namun jika kita tidak
berhasil, maka kita akan memakai cara lain."
"Cara itulah yang harus kita persiapkan," berkata Tatas
Lintang. "Mungkin kita akan mengulangi serangan ke dalam
padepokan itu," berkata Pangeran Singa Narpada,
"sementara itu, di antara kita akan mengamati seluruh
padepokan itu. Kita harus menemukan saat-saat permulaan
dari pelepasan ilmu yang menggetarkan jantung itu. Kita
harus melihat, di manakah kabut itu mulai nampak."
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Namun iapun telah
siap dengan pasukannya untuk kembali menyerang isi
padepokan itu. Karena itulah maka Tatas Lintang selalu
memelihara keadaan pasukannya, agar setiap saat dapat
digerakkan dengan cepat dan mampu memenuhi harapan
para pemimpinnya, apalagi telah hadir Pangeran Singa
Narpada. Sebab itu, para prajurit Lemah Warah memang tidak
mempunyai tugas khusus. Namun mereka yang bertugas
sajalah yang tetap dengan waspada mengamati keadaan.
Kepungan mereka tidak boleh ditembus oleh orang-orang
dari padepokan itu. Sebenarnyalah bahwa para prajurit Lemah Warah masih
belum mengetahui bahwa sebenarnya orang-orang
padepokan itu telah mampu menembus kepungan para
prajurit itu di malam hari.
Hari itu tidak terjadi sesuatu yang menarik perhatian.
Keadaan padepokan itu masih tetap tenang. Sementara para
petugas masih tetap mengamati keadaan dengan waspada.
Demikian juga di malam hari. Para pemimpin dari
Lemah Warah tidak berusaha memasuki padepokan,
sementara orang-orang padepokan itupun tidak
mengganggu para prajurit dari Lemah Warah yang
mengepung mereka dengan jenis binatang apapun.
Namun ketika matahari terbit di pagi hari, para prajurit
Lemah Warah telah melihat seorang dari kawannya yang
tiba-tiba saja telah berlari-lari dari arah padepokan. Para
prajurit Lemah Warah mengenalinya sebagai salah seorang
kawan mereka yang telah hilang.
Karena itu, kedatangannya telah disambut oleh kawankawannya
dengan gembira. Beberapa orang
menyongsongnya dan kemudian ketika kawan-kawannya
itu melihat tubuhnya yang terluka, mereka pun telah
membantunya berjalan menuju ke gubug-gubug kecil.
"Kau terluka?" bertanya salah seorang prajurit.
"Ya. Aku terluka," katanya dengan nada rendah.
Kawan-kawannya telah membawanya ke sebuah amben
bambu yang sederhana, yang mereka buat sendiri. Seorang
di antara para prajurit itu berkata," beristirahatlah.


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagaimana kau dapat keluar dari padepokan itu?"
"Aku melarikan diri dengan meloncat dinding ketika
aku merasa lukaku agak baik. Namun karena itu, maka
rasa-rasanya lukaku menjadi kambuh lagi."
"Berbaringlah. Beristirahat sebaik-baiknya. Syukurlah
bahwa kau sempat melepaskan diri dari padepokan itu,"
berkata prajurit yang lain, "namun apakah dengan
demikian kawan-kawan kita yang tertangkap tidak
mengalami kesulitan?"
"Mudah-mudahan tidak," jawab prajurit itu, "kami
mendapat perlakuan baik di padepokan itu. Meskipun
demikian, aku merasa bahwa jika kesempatan itu datang,
aku lebih baik keluar dari padepokan."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun dalam
pada itu, tiba-tiba seorang di antara para prajurit itu
menyibakkan kawan-kawannya. Dengan nada tinggi penuh
kegembiraan ia mengguncang tubuh prajurit yang berhasil
kembali itu, "He, kau berhasil meloloskan diri. Bagaimana
hal itu kau lakukan he" Bagaimana mungkin kau dapat
meloncati dinding yang diamati dengan ketat. Nah, dengan
demikian kita mendapat kesempatan lagi untuk bermain
macanan. He, kau masih hutang kepadaku. Kau harus
membayarnya." -ooo0dw0ooo Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoy o Conv erter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : Uploader di Indozone : Din o
--ooo0dw0ooo- Jilid 036 PRAJURIT itu termangu-mangu. Namun dengan kurang
meyakinkan ia menjawab, "Ya. Ya. Aku masih berhutang
kepadamu." "Nah, di mana cincinku itu he" Apakah sudah kau jual
sementara kau belum membayar aku?" berkata prajurit
yang menyambut kedatangan kawannya itu.
Tetapi prajurit yang baru datang itu memang menjadi
agak kebingungan. Tiba-tiba saja ia menunjukkan cincin di
jarinya, "Ini cincinmu itu."
"Cincin itu cincin emas dengan mata akik yang
terpilih," berkata kawannya, "bukan cincin tembaga yang
karatan itu." Kawannya yang baru datang itu menjadi agak bingung.
Namun ia berusaha menjawab, "Aku ingat sekarang.
Cincin itu memang diambil oleh orang-orang padepokan,
karena cincin itu emas bermata batu akik yang sangat baik."
Kawannya yang mempunyai cincin itu terbelalak.
Dengan nada tinggi ia bertanya, "He, jadi cincin emas
dengan mata akik yang mahal itu cukup kau jawab hilang
begitu saja?" "Bukan salahku. Aku tertawan dalam peperangan,"
jawab prajurit yang luka itu.
Pemilik cincin itu masih akan bertanya lagi. Tetapi
kawannya mencegahnya, "Ia terluka dan ia baru saja
menempuh usaha pelarian yang berat. Biarkan ia
beristirahat." Pemilik cincin itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
jawaban kawannya itu tidak memuaskan. Meskipun
alasannya dapat dimengerti, tetap justru bahwa kawannya
itu mula-mula nampak lupa terhadap miliknya yang
berharga itu, telah membuatnya agak tersinggung.
Namun prajurit yang memiliki cincin itu tidak mendesak
lagi ia memang harus membiarkan kawannya itu
beristirahat. Tetapi dalam pembicaraan selanjutnya dengan para
prajurit yang lain, bahkan dengan kawan-kawannya
terdekat, orang itu kadang-kadang tidak dapat menanggapi.
Beberapa pertanyaan telah membuatnya gagap dan
akhirnya orang itu berkata, "Maaf saudara-saudaraku.
Betapa baiknya orang-orang padepokan itu, namun aku pun
mengalami perlakuan yang keras dan kasar. Pada saat aku
ditangkap, dengan tubuhku yang terluka parah, kepalaku
telah dipukul dengan landean tombak. Dengan demikian
maka aku menjadi pingsan. Ketika aku sadar, maka ada
sesuatu yang tidak wajar di kepalaku. Aku kadang-kadang
melupakan sesuatu yang pernah aku ketahui. Bahkan
melupakan orang-orang yang pernah aku kenal. Mula-mula
aku tidak tahu di mana aku berada pada waktu itu. Dan
kenapa aku berada di tempat itu. Namun perlahan-lahan
aku berhasil mengingatnya kembali. Dan kini banyak yang
agaknya aku lupakan dan tidak dapat aku kenali lagi.
Namun mudah-mudahan dalam dua tiga hari aku sudah
dapat mengingat seluruhnya."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Seorang
pemimpin kelompok berkata, "Baiklah beristirahatlah
sebaik-baiknya meskipun di tempat yang sederhana ini."
"Terima kasih. Bagaimanapun juga aku telah merasa
tenang berada di tengah-tengah kawan sendiri." berkata
prajurit yang baru datang itu.
"Ya." sahut kawannya, "dalam ketenangan maka
ingatanmu akan segera pulih kembali."
Sementara itu maka kehadiran orang itupun telah
dilaporkan kepada Akuwu Tatas Lintang. Seorang prajurit
yang terluka yang tertinggal di padepokan. Namun yang
kemudian berhasil meloloskan diri meskipun ia berada
dalam keadaan yang khusus.
Akuwu Tatas Lintang diikuti oleh Pangeran Singa
Narpada telah datang menengok orang yang terluka itu.
Namun pembicaraan mereka ternyata sebagian besar tidak
dapat pula ditanggapi oleh prajurit yang terluka itu. Namun
dengan alasan yang sama maka prajurit itu mengatakan,
bahwa benturan di kepalanya telah membuatnya tidak
dapat mengingat-ingat lagi dengan baik. Banyak kejadian
yang telah dilupakannya. Banyak kawan-kawannya yang
tidak dapat dikenalinya lagi.
Akuwu Tatas Lintang mengangguk-angguk. Namun ia
menjadi agak heran, bahwa tidak nampak sama sekali
kelainan di dalam sikap dan perbuatannya selain
kelupaannya itu. "Baiklah," berkata Akuwu Tatas Lintang,
"beristirahatlah, Mudah-mudahan kau menjadi lekas
sembuh." Ketika kemudian Tatas Lintang meninggalkan orang itu,
maka iapun berkata kepada Pangeran Singa Narpada,
"Sikap dan keadaan orang itu sangat menarik perhatian."
"Ya," jawab Pangeran Singa Narpada, "aku justru
sedang berpikir, apakah orang itu dapat juga dipengaruhi
oleh semacam ilmu gendam, sehingga ia telah kehilangan
kepribadiannya. Bukan sekedar kendali nalurinya yang
dirusakkannya." Akuwu Lemah Warah itupun mengangguk-angguk.
Tiba-tiba saja ia teringat kepada kemampuan salah seorang
pemimpin dari Tanah Perdikan itu. Katanya, "Salah
seorang dari mereka memiliki ilmu yang luar biasa. Orang
itu dapat melepaskan pribadinya dari wadagnya dan
mempergunakan wadag orang lain yang memiliki
kepribadian yang tidak sekuat pribadi orang itu. Dengan
mendesak pribadi seseorang yang lemah, maka orang itu
dapat menguasai dan mempergunakan wadag itu."
Pangeran Singa Narpada sangat tertarik kepada
keterangan itu. Dengan nada dalam ia berkata, "Apakah hal
itu terjadi pada prajurit yang terluka itu" Agaknya orangorang
padepokan itu telah menangkap dan berusaha
mengobati luka-luka prajurit Lemah Warah. Namun wadag
itu kemudian telah dipergunakannya untuk kepentingan
tugas sandi atau tugas-tugas yang lain. Dengan wadag
prajurit Lemah Warah, maka ia akan dapat berada di
lingkungan pasukan Lemah Warah ini sendiri tanpa
dicurigai. Namun karena itu, maka pengenalannya atas
lingkungan prajurit itu sendiri ternyata tidak dapat
diingatnya lagi, justru karena pribadi yang menguasai
wadag itu adalah pribadi yang lain."
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Kemudian katanya,
"Kita akan membicarakannya dengan Mahendra. Ia belum
dikenal oleh orang yang memiliki kemampuan menguasai
wadag orang lain. Biarlah ia mengawasi prajurit yang aneh
itu. Mungkin ia dapat menangkap sesuatu.
Pangeran Singa Narpada menyetujuinya pula. Karena
itu, maka keduanya pun kemudian telah menemui
Mahendra dan menyampaikan persoalan yang dihadapi
oleh para prajurit Lemah Warah.
"Baiklah," berkata Mahendra, "aku akan
mengawasinya." Tatas Lintang pun kemudian memberitahukan
kemampuan yang dimiliki oleh orang yang dapat
menguasai wadag orang lain itu jika mereka harus terlibat
ke dalam satu pertempuran melawannya.
Mahendra mengangguk-angguk. Dengan demikian maka
ia mempunyai gambaran betapa beratnya melawan orang
itu jika ia pada suatu saat harus menghadapinya.
Namun sebagai seorang yang berilmu tinggi pula
Mahendra tidak akan mengingkari tugas-tugas yang berat
itu. Dengan demikian, maka disertai dengan kedua orang
anaknya Mahendra telah mendatangi gubug yang
dipergunakan oleh prajurit yang terluka itu.
Ketika orang itu melihat Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, ia nampak menjadi tegang sejenak. Namun
ketegangan itu pun segera tidak nampak lagi di wajahnya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian
mendekati orang yang terluka itu. Beberapa saat mereka
berbincang. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak
mempertanyakan terlalu banyak hal yang dapat membuat
orang itu menjadi bingung. Sementara itu Mahendra yang
belum banyak dikenal oleh orang-orang Lemah Warah
telah berada di tempat itu untuk mengawasi orang yang
masih terbaring untuk beristirahat itu.
Namun dalam kesempatan itu Mahendra dapat
berbincang agak banyak dengan para prajurit Lemah
Warah. Mahendra tidak menyembunyikan dirinya, bahwa
ia adalah ayah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
"Jadi Ki Sanak adalah saudara Akuwu?" bertanya salah
seorang prajurit. "Kenapa?" bertanya Mahendra.
"Bukankah kedua anak muda itu kemanakan Akuwu
Lemah Warah?" sahut salah seorang di antara para prajurit.
Mahendra mengerutkan keningnya. Namun iapun telah
tersenyum sambil berkata, "Ya. Kami masih bersaudara
meskipun bukan saudara kandung."
Para prajurit itu mengangguk-angguk. Tetapi mereka
tidak bertanya lebih banyak lagi. Namun demikian para
prajurit itu agaknya telah membuat penilaian terhadap
Mahendra yang rambutnya telah mulai memutih itu.
"Agaknya ia memang memiliki kelebihan, ia berada di
sisi Pangeran Singa Narpada sebagai di sisi saudaranya
pula. Mungkin ia saudara seperguruan dengan Pangeran
Singa Narpada." desis seorang prajurit di telinga kawannya.
Demikianlah maka Mahendra telah berada di antara
para prajurit Lemah Warah dengan akrab. Sementara itu
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah lebih dahulu
berada di antara para prajurit itupun tidak lagi merasa
canggung. Dalam tugasnya, maka Mahendra pun telah berada di
dalam kelompok prajurit yang merawat kawannya yang
terluka itu. Namun para prajurit itu memang merasa heran,
bahwa prajurit yang terluka itu tidak lagi tahu di mana
kelompoknya dan siapakah pemimpin kelompoknya pada
saat ia ikut menyerang padepokan itu. Ketika pemimpin
kelompoknya itu datang kepadanya dan mengatakan bahwa
ialah memimpin kelompok termasuk prajurit yang terluka
itu, maka prajurit itu tidak segera dapat mengenalinya.
Kecurigaan-kecurigaan memang telah timbul. Namun
setiap orang yakin bahwa orang itu adalah prajurit yang
terluka dan tertinggal di padepokan.
Namun sebagian dari mereka percaya bahwa benturan di
kepala orang itulah yang menyebabkan ia menjadi
kehilangan ingatannya. Tetapi tiba-tiba saja seorang prajurit bertanya, "Tetapi
kenapa ia dapat mengingat pada saat kepalanya terkena
benturan" Dan kenapa ia teringat bahwa ia adalah prajurit
Lemah Warah." Tidak seorang pun yang menjawab. Mereka menunggu
beberapa lama sehingga akhirnya pada suatu saat orang itu
akan menunjukkan kesadarannya atau justru ia tetap
menjadi orang asing. Beberapa orang prajurit tidak lagi memperhatikannya
meskipun masih ada juga yang merasa heran. Namun
Mahendra yang bertugas mengawasinya dengan hati-hati
berusaha melakukan tugasnya tanpa diketahui oleh prajurit
yang terluka yang diawasinya itu.
Demikianlah ketika kemudian malam tiba, para prajuritpun
telah beristirahat di tempat yang menebar. Mereka
tidak seluruhnya berada di dalam gubug. Sebagian dari para
prajurit itu justru telah berada di tempat terbuka dan tidur di
atas ketepe yang terbuat dari daun kelapa. Sementara yang
lain bertugas di sekitar tempat itu. Yang bertugas bukan saja
mengamati kemungkinan orang-orang padepokan berlaku
curang, tetapi mereka juga harus mengamati jika beberapa
ekor ular atau binatang lain memasuki lingkaran para
prajurit yang tertidur nyenyak itu.
Dengan bergantian, para prajurit itu telah mengatur diri
dalam kelompok masing-masing. Sementara prajurit yang
terluka itu masih juga berbaring ditempatinya dan tidak ada


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

niatnya dengan segera kembali ke kelompoknya. Bahkan
pemimpin kelompoknya pun tidak memerintahkannya
untuk segera kembali karena prajurit itu nampaknya masih
lemah. Di antara para prajurit yang berada di tempat terbuka,
diamati oleh beberapa orang petugas. Mahendra berbaring
di atas ketepe sebagaimana para prajurit yang lain. Ia telah
memerintahkan kedua anaknya kembali ke gubug mereka
semula. Namun setiap saat Mahendra mungkin akan
memberikan isyarat untuk memanggil mereka.
Ketika malam menjadi semakin kelam, tidak nampak
tanda-tanda yang mencurigakan. Prajurit yang terluka itu
masih berbaring di tempatnya. Sekali-sekali ia bangkit
untuk minum. Nampaknya keadaannya telah membuatnya
selalu merasa haus. Sementara itu, malam pun menjadi semakin sepi.
Beberapa orang yang bertugas sudah tidak lagi terdengar
suaranya. Mereka duduk sambil bertahan dari kantuk yang
kadang-kadang datang mengganggu. Bahkan kadangkadang
menjadi hampir tidak terlawan lagi. Namun dalam
keadaan yang demikian, maka para petugas itu telah
bangkit dan berjalan-jalan mengitari kawan-kawannya yang
tertidur di tempat terbuka.
Pada saat yang demikian, ternyata orang yang terluka itu
telah bangkit. Ketika ia melangkah ke pintu, seorang
prajurit yang kebetulan terbangun bertanya, "Kau akan ke
mana?" "Udara panas sekali," jawab prajurit itu, "aku akan
keluar sebentar untuk menghirup udara segar."
Prajurit yang terbangun itu tidak bertanya lebih lanjut.
Ia-pun kemudian telah tertidur lagi. Malam itu tidak
mendapat giliran bertugas, sehingga karena itu, maka ia
dapat tidur sepuas-puasnya.
Ketika prajurit yang terluka itu kemudian keluar dari
gubugnya, maka prajurit yang bertugas di luar pun bertanya
pula, "Kau akan pergi ke mana malam-malam begini?"
"Perutku sakit. Aku akan pergi ke sungai kecil sebelah,"
jawab prajurit yang terluka itu.
Prajurit yang bertugas itupun tidak bertanya lebih lanjut.
Tetapi justru prajurit yang bertugas yang lain bertanya,
"Kau perlu kawan?"
"Tidak. Kenapa harus dikawani?" ia justru bertanya.
"Nanti kau bingung. Kau lupa jalan kembali," berkata
prajurit yang bertugas itu.
"Tidak. Mudah-mudahan ingatanku menjadi lebih baik,"
jawabnya. Prajurit itupun kemudian telah meninggalkan gubug itu
menuju ke sungai kecil. Sementara itu, Mahendra pun tiba-tiba telah bangkit pula
dan berkata kepada prajurit yang bertugas, "Mumpung ada
kawannya, aku juga akan pergi ke sungai."
Para prajurit yang bertugas tidak menaruh curiga sama
sekali. Baik kepada prajurit yang terluka itu maupun kepada
Mahendra yang juga akan pergi ke sungai.
Namun dalam pada itu, ternyata Mahendra tidak
menyusul prajurit itu dan bersama-sama pergi ke sungai, ia
justru berusaha mengamati prajurit itu dari kejauhan.
Dalam gelapnya malam Mahendra mempunyai banyak
kesempatan. Juga karena ilmunya yang tinggi, maka ia
mampu melakukannya dengan baik tanpa diketahui oleh
prajurit yang diikutinya.
Sementara itu Mahendra sudah menempatkan dirinya
seakan-akan ia berhadapan dengan orang yang berilmu
tinggi. Jika benar dugaannya sebagaimana diduga oleh
Tatas Lintang dan Pangeran Singa Narpada, maka orang
yang diikutinya itu tentu juga orang yang berilmu tinggi.
Namun agaknya orang yang diikutinya itu sama sekali
tidak menduga bahwa telah timbul kecurigaan di antara
orang-orang Lemah Warah. Nampaknya beberapa orang
prajurit dapat diyakinkannya, bahwa benturan di kepalanya
telah membuatnya menjadi pelupa.
Beberapa langkah di belakang orang itu, Mahendra
dengan hati-hati mengikutinya. Ternyata orang itu memang
tidak pergi ke sungai, tetapi ia telah menuju ke satu tempat
yang banyak ditumbuhi pohon-pohon perdu.
Mahendra menjadi semakin curiga. Dan ternyata
kecurigaannya itu beralasan. Beberapa saat kemudian, di
antara batang-batang perdu, prajurit yang terluka itu telah
menemui seseorang. Mahendra yang berada beberapa langkah dari orangorang
itu bersembunyi di belakang sebatang pohon perdu
yang rimbun. Ia telah berusaha untuk tidak menimbulkan
bunyi yang dapat menarik perhatian, karena ia yakin, yang
dihadapinya itu adalah orang-orang berilmu tinggi.
Dalam pada itu, maka dengan ketajaman
pendengarannya Mahendra sempat mendengar percakapan
mereka. Dengan berdebar-debar Mahendra mendengar
prajurit itu tertawa dan kemudian berkata, "Orang-orang
Lemah Warah memang orang-orang yang dungu."
"Mereka tidak mencurigaimu?" bertanya suara yang lain.
"Tidak. Memang mula-mula timbul kesulitan dengan
pertanyaan-pertanyaan mereka. Namun akhirnya mereka
dapat aku yakinkan, bahwa pukulan landean tombak itu
telah membuatku lupa segala-galanya."
Keduanya tertawa. Orang yang menunggu prajurit itu
telah bertanya pula, "Apa kata mereka, pada saat kau
meninggalkan mereka sekarang ini?"
"Aku mengatakan kepada mereka, bahwa aku akan pergi
ke sungai kecil di sebelah," jawab prajurit itu.
"Baiklah, kemudian apa rencanamu?" bertanya orang
yang menunggu di gerumbul itu.
"Aku akan memasuki gubug yang dihuni oleh Akuwu
Tatas Lintang," berkata prajurit itu, "bahkan ternyata
dalam pembicaraan yang aku dengar kemudian, Pangeran
Singa Narpada ada juga di sini. Aku akan membunuh
keduanya dalam satu gerakan yang cepat sebelum mereka
menyadari apa yang terjadi. Jika kemudian wadag ini
dibunuh, apa peduliku. Aku akan dengan segera
meninggalkan wadag ini dan kembali ke wadagku sendiri."
Beberapa saat tidak terdengar jawaban. Namun
kemudian terdengar suara orang yang telah menunggunya
itu, "Baiklah. Terserah kepadamu. Mana yang baik kau
lakukan, lakukanlah. Tetapi sebaiknya kau memilih waktu
yang paling baik yang akan dapat mencapai hasil yang
setinggi-tingginya."
"Besok aku akan pergi ke gubug itu. Aku akan mencari
alasan yang paling baik untuk menemui Akuwu. Mungkin
aku dapat mengatakan bahwa ada sesuatu yang ingin aku
laporkan secara langsung kepada Akuwu, sehingga dengan
demikian, maka aku harap bahwa aku dapat diterima oleh
Akuwu dan orang-orang terpenting dari Lemah Warah.
Dengan demikian, mungkin sekali aku dapat membunuh
beberapa orang sekaligus."
"Baiklah," berkata orang yang menunggunya, "besok
aku akan datang ke tempat ini lagi jika wadagmu masih
belum bangun. Tetapi juga jangan terlalu lama. Kasihan
wadagmu sendiri." "Baiklah. Mudah-mudahan cara ini dapat berhasil,"
jawab prajurit itu. Demikianlah maka prajurit yang terluka itupun
kemudian meninggalkan tempat itu dan kembali ke
gubugnya. Sementara itu, orang yang telah menunggunya
di padang itupun telah kembali pula ke padepokan.
Sejenak Mahendra termangu-mangu. Siapakah yang
akan diikuti selanjutnya. Namun ternyata Mahendra lebih
tertarik untuk mengikuti orang yang telah menunggu di
padang perdu itu dari pada prajurit yang terluka yang jelas
akan kembali ke gubugnya dan masih tidak akan
melakukan sesuatu malam itu.
Seperti orang yang mempergunakan wadag prajurit yang
terluka itu, maka orang yang kembali ke padepokan itupun
tidak mengetahui bahwa seseorang telah mengikutinya.
Orang itu sendiri harus sangat berhati-hati, karena ia harus
menembus kepungan prajurit Lemah Warah.
Namun agaknya, daerah yang banyak ditumbuhi perdu
itu memberikan banyak kemungkinan untuk menyusup
menembus kepungan yang memang tidak serapat anjanganjang
kacang panjang. Namun Mahendra pun telah ikut pula menyusup
kepungan dan memasuki lingkungan di sekitar dinding
padepokan. Namun Mahendra harus berhenti beberapa
langkah di belakang orang itu, ketika ternyata ada tiga
orang lain yang menunggunya.
"Apa yang terjadi dengan orang itu?" bertanya salah
seorang dari ketiga orang yang menunggunya.
Orang yang baru saja menemui prajurit yang terluka itu
tertawa. Katanya, "Semuanya akan berjalan baik. Setidaktidaknya
Akuwu Lemah Warah yang disebut Tatas Lintang
itu akan terbunuh. Bahkan karena di tempat itu hadir juga
Pangeran Singa Narpada, maka Pangeran Singa Narpada
itupun harus mati pula."
"Pangeran Singa Narpada adalah orang yang paling
berbahaya di Kediri. Ia adalah orang yang setia kepada Sri
Baginda sebagai Raja Kediri, yang justru takluk kepada
Singasari. Kesetiaan Pangeran Singa Narpada kepada
Kediri yang takluk kepada Singasari adalah kesetiaan yang
beku, yang tidak mengingat pergolakan jiwa Rakyat Kediri
sendiri," berkata orang itu.
"Kebetulan sekali jika ia berada di sini," berkata yang
lain, "kita akan menghancurkannya. Cara yang ditempuh
untuk membunuh Tatas Lintang dan apabila mungkin
Pangeran Singa Narpada itu adalah cara yang sangat baik.
Ia akan dapat langsung memasuki satu lingkungan bersama
dengan sasaran. Agaknya lebih baik ia mempergunakan
senjata daripada ilmunya karena sulit baginya untuk
mengetrapkan ilmunya dalam pertempuran yang kecuali
sempit, juga keadaan wadag yang mendukungnya tidak
menguntungkannya, karena wadag itu adalah wadag
seorang prajurit yang terluka meskipun lukanya sudah
menjadi agak baik." "Ya," berkata orang yang baru datang menemui prajurit
yang terluka itu, "jika besok pembunuhan itu belum terjadi,
ia akan menjumpai aku di tempat yang tadi."
Tetapi kawannya yang menunggunya itu menyahut,
"Kau memang bodoh. Kau lebih senang meniti bahaya
daripada mengambil jalan yang paling mudah."
"Jalan apa?" bertanya orang yang baru menemui prajurit
yang terluka itu. "Kau tunggu saja wadag yang tidur itu terbangun
beberapa saat. Kau tidak usah merayap di antara gerumbulgerumbul
dan alang-alang seperti malam ini. Kau tinggal
menunggu di dalam bilik pada saat yang dijanjikan," jawab
kawannya. "Justru itu jalan yang sangat gawat," jawab orang yang
baru datang itu, "jika pada saat wadag prajurit yang terluka
itu ditinggalkan, maka ia akan dapat berbuat lain karena
pribadi prajurit yang terluka itu akan hadir lagi menguasai
wadagnya setelah beberapa lamanya ia terdesak dan tidak
mampu mengatasi pribadi yang mendesaknya ke pinggir.
Dalam keadaan yang demikian, maka segala rahasia akan
dapat terungkap." Ketiga orang yang menunggu itu mengangguk-angguk.
Seorang di antara mereka berkata, "Ya. Agaknya memang
begitu." "Baiklah," berkata yang lain, "kita akan memasuki
padepokan. Kita akan berbicara lagi di dalam."
Keempat orang itupun kemudian meninggalkan
tempatnya. Mereka melangkah menuju ke gerbang
padepokan. Sejenak kemudian, maka keempat orang itupun
telah hilang di balik regol yang kemudian tertutup rapatrapat.
Mahendra termangu-mangu sejenak. Dipandanginya
regol yang tertutup rapat itu. Namun kemudian dengan
sangat berhati-hati iapun telah bergeser surut, berlindung di
balik gerumbul-gerumbul perdu dan menghilang di
gelapnya malam. Dengan tergesa-gesa Mahendra kembali ke lingkungan
kelompok yang berada di sekitar gubug tempat prajurit yang
terluka itu beristirahat. Ketika ia kembali dan duduk di atas
ketepe daun kelapanya, maka seorang bertanya, "Kau lama
sekali" Kawan yang terluka itu sudah dari tadi kembali."
"Aku tidak menemukannya," jawab Mahendra.
Sebenarnyalah prajurit yang terluka, dan berbaring di
dalam gubug itu mendengar pembicaraan itu. Iapun
kemudian keluar dan meyakinkan, "Kau tadi mencari aku?"
"Ya," jawab prajurit yang lain, "sesaat setelah kau pergi,
orang ini pun ikut pergi mumpung ada kawannya ke
sungai." "Tetapi akhirnya aku tetap sendiri, karena aku tidak
menemukanmu," sahut Mahendra.
Prajurit itu tertawa. Katanya, "Sungai itu begitu panjang.
Aku pergi agak ke udik."
"Pasti tidak ketemu," desis Mahendra, "aku agak ke
hulu." Keduanya tertawa. Yang lain pun tertawa pula.
Namun akhirnya prajurit yang terluka itupun kembali ke
pembaringannya untuk beristirahat.
Pada sisa malam itu, memang tidak terjadi sesuatu.
Prajurit yang terluka itu tidur dengan nyenyak tanpa
merubah kedudukan pribadi yang ada di dalamnya.
Mahendra lah yang tidak segera dapat tidur. Ia tidak
dapat dengan serta merta melaporkan kepada para
pemimpin Lemah Warah, karena hal itu akan dapat
menimbulkan kecurigaan prajurit yang terluka itu apabila ia
mengetahuinya. Karena itu, maka Mahendra akan melaporkannya pagipagi,
tetapi ia tidak boleh terlambat.
Meskipun prajurit itu nampaknya tertidur nyenyak,
namun jika terbangun dan mengetahuinya tidak ada di
tempat, persoalannya akan dapat menjadi lain.
Ketika kemudian langit menjadi merah, maka prajurit


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang terluka itu sudah terbangun. Dengan sengaja
Mahendra mengatakan kepada prajurit yang berada di
dalam gubug agar didengar oleh prajurit yang terluka itu,
bahwa ia akan pergi ke sungai.
"Semalam kau sudah pergi ke sungai," berkata prajurit
itu. "Semalam aku tidak mandi," jawab Mahendra.
Prajurit itu tersenyum. Tetapi ia tidak mengatakan
sesuatu lagi. Sementara itu ketika Mahendra telah melangkah
menjauhi gubug itu dan sempat berpaling, ia melihat
prajurit yang terluka itu berdiri di depan pintu.
Sebenarnyalah kehadiran Mahendra di tempat itu
memang menarik perhatian prajurit yang terluka itu.
Seolah-olah ada firasat padanya, bahwa Mahendra sengaja
mengawasinya. "Apakah semalam orang itu mengikuti aku?" bertanya
prajurit yang terluka itu di dalam hatinya. Namun iapun
kemudian menggeleng, "Aku sudah lama memasuki gubug,
ia baru datang. Jika ia memang mengikuti dan menemukan
aku, jarak yang diperlukan tidak akan memakan waktu
yang demikian panjangnya."
Sementara itu, Mahendra memang pergi ke arah sungai.
Namun ia tidak pergi ke sungai. Ketika ia sudah menjadi
semakin jauh dari tempat sekelompok prajurit yang
merawat prajurit yang terluka itu, maka iapun segera
mengambil jalan lain menuju ke gubug yang dihuni oleh
para pemimpin prajurit Lemah Warah.
Kepada Akuwu Lemah Warah dan Pangeran Singa
Narpada, Mahendra menceriterakan apa yang ditemuinya
semalam. Para pemimpin Lemah Warah itu mengangguk-angguk.
Dengan nada datar Tatas Lintang berkata, "Terima kasih.
Mudah-mudahan kami dapat mengatasinya."
"Berhati-hatilah. Agaknya orang itu memang orang yang
berilmu tinggi," berkata Mahendra.
"Aku pernah menemuinya dan sedikit bermain-main
dengan orang itu dalam wadagnya sendiri. Tetapi waktu itu
aku belum dapat meyakini kemampuannya yang
sebenarnya," sahut Tatas Lintang.
"Baiklah," berkata Mahendra, "aku akan kembali ke
gubug itu sebelum orang itu mencurigai aku bahwa aku
mengamatinya atau bahkan mengetahui rahasianya."
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Demikian pula
Pangeran Singa Narpada. "Kita memang harus berhati-hati," berkata Pangeran
Singa Narpada. Mahendra pun kemudian meninggalkan gubug itu dan
kembali ke gubug tempat prajurit itu berbaring. Namun
Mahendra sempat juga membasahi dirinya di sungai kecil di
sebelah padang perdu itu.
Sebenarnyalah ketika ia kembali, prajurit itu
mendekatinya dan bertanya, "Kau benar-benar mandi?"
Orang itu menjadi yakin ketika ia melihat tubuh dan
rambut, bahkan sebagian pakaian Mahendra menjadi basah.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian iapun
kembali untuk berbaring, karena luka-lukanya yang masih
belum sembuh sepenuhnya. Meskipun ia sudah dapat pergi
ke sungai pula, tetapi ia masih memerlukan perawatan
seperlunya. Namun ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka
prajurit yang terluka itu telah menemui pemimpin
kelompok prajurit Lemah Warah itu, bahwa ia ingin
menghadap Akuwu Tatas Lintang atau Pangeran Singa
Narpada. "Untuk apa?" bertanya pemimpin kelompok itu.
"Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan," jawab prajurit
yang terluka itu. "Katakan, nanti aku akan menyampaikannya," jawab
pemimpin kelompok itu. Tetapi prajurit itu menggeleng. Katanya, "Aku ingin
menyampaikannya sendiri. Keterangan ini sangat rahasia.
Bukan aku tidak percaya kepadamu, tetapi agar keterangan
yang ingin aku sampaikan tidak salah ucap."
Pemimpin kelompok itu termangu-mangu. Namun
akhirnya iapun menyahut, "Baiklah. Akan aku sampaikan
permohonanmu itu kepada Akuwu."
Prajurit itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya,
"Marilah. Aku ikut bersamamu, sementara kau
menyampaikan permohonan itu kepada Akuwu, aku akan
menunggunya di luar."
Pemimpin kelompok itu termenung sejenak. Namun
kemudian katanya, "Baiklah. Agar aku tidak mondarmandir.
Tetapi jika permohonanmu ditolak jangan
menyalahkan aku." "Aku tidak akan menyalahkan siapa-siapa," berkata
prajurit yang masih luka itu.
Demikianlah, maka prajurit itupun telah pergi bersama
dengan pemimpin kelompok menuju ke gubug Akuwu
Lemah Warah. Namun ia ternyata menjadi berdebar-debar
juga, karena ia mengetahui bahwa di gubug itu berkumpul
orang-orang yang berilmu tinggi. Di samping Akuwu
Lemah Warah terdapat Pangeran Singa Narpada dan ketiga
orang anak muda yang diakunya sebagai kemanakan
Akuwu Lemah Warah. Ketika mereka mendekati gubug itu, maka jantungnya
menjadi semakin berdebar-debar karena kesiagaan prajurit
Lemah Warah yang sangat tinggi.
Beberapa orang prajurit yang pernah mendengar
kedatangan prajurit yang terluka itu, tetapi belum pernah
menemuinya, segera mengerumuninya. Namun mereka
sudah mendengar bahwa prajurit itu telah kehilangan
ingatannya. Karena itu, maka yang mereka tanyakan bukan
hal-hal yang memerlukan pengenalan kembali.
Sementara itu pemimpin kelompok yang membawanya,
telah meninggalkannya di antara para prajurit, sementara
pemimpin kelompok itu sendiri telah memasuki gubug
untuk menghadap Akuwu Tatas Lintang.
"Ampun Akuwu," berkata pemimpin kelompok itu,
"hamba datang untuk menyampaikan permohonan prajurit
yang terluka, yang berhasil melarikan diri dari padepokan
itu, untuk menghadap."
Di luar sadar Akuwu dan Pangeran Singa Narpada telah
saling berpandangan. Mereka segera teringat pada laporan
yang telah disampaikan oleh Mahendra tentang prajurit
yang terluka itu. Beberapa saat Akuwu termangu-mangu. Namun
akhirnya ia bertanya, "Di manakah orang itu sekarang?"
"Orang itu ada di luar, Akuwu," jawab pemimpin
kelompok itu. Akuwu mengangguk-angguk. Kemudian katanya,
"Baiklah. Suruh orang itu masuk jika ia memang
mempunyai satu kepentingan yang tidak dapat dipesankan
kepada orang lain." "Ia ingin menyampaikan langsung kepada Akuwu,"
berkata pemimpin kelompok itu.
"Sementara itu, kau jangan kembali ke kelompok lebih
dahulu. Kau sebaiknya menunggu saja di luar," perintah
Akuwu. "Hamba Akuwu," berkata pemimpin kelompok itu yang
kemudian bergeser keluar.
Di luar, prajurit yang terluka itu menunggunya dengan
gelisah. Semakin lama ia berbicara dengan para prajurit,
maka semakin banyak kejanggalan-kejanggalan yang
terjadi. Namun ia tetap berpegangan kepada keterangannya,
bahwa keadaan itu disebabkan karena benturan yang telah
terjadi di kepalanya. Ketika pemimpin kelompok itu kemudian keluar dari
gubug yang dipergunakan oleh para pemimpin pasukan
Lemah Warah itu, maka dengan tergesa-gesa ia
menyongsongnya. "Bagaimana dengan permohonanku" Apakah kau
mengatakan bahwa ada rahasia yang ingin aku
sampaikan?" bertanya prajurit itu.
"Ya," jawab pemimpin kelompok itu, "kau sudah
mendapat ijin untuk menghadap."
Prajurit itu merasa gembira. Tetapi bagaimanapun juga,
ia merasa cemas juga karena ia tahu, bahwa di dalam gubug
itu terdapat orang-orang berilmu tinggi.
"Tetapi kenapa aku harus cemas," berkata prajurit itu di
dalam hatinya, "jika ia ingin membunuh, biar wadag inilah
yang mati. Aku tidak akan tersentuh sama sekali."
Namun kemudian iapun mengerti, bahwa kecemasannya
disebabkan karena ia tidak mau gagal dalam tugasnya. Ia
tidak mau kehilangan kesempatan untuk membunuh
Akuwu Lemah Warah dan bahkan Pangeran Singa
Narpada. Karena itu maka dengan hati yang berdebar-debar
prajurit itu memasuki gubug itu. Namun ia sadar, bahwa
yang berdegupan itu adalah hati wadag yang dipergunakan
meskipun oleh pengaruh kegelisahannya yang mendesak
pribadi prajurit yang terluka itu.
Demikian prajurit itu masuk, maka iapun segera
berjongkok di hadapan para pemimpin Lemah Warah.
Sambil berjongkok ia bergeser maju dan duduk bersila
beberapa langkah dihadapan Akuwu Lemah Warah yang
duduk berjajar dengan Pangeran Singa Narpada. Namun di
dalam hati prajurit itu mengumpat, karena dua orang anak
muda yang diketahuinya juga berilmu tinggi itupun duduk
justru agak di depan kedua orang pemimpin tertinggi itu,
sementara seorang lagi yang disebut Mahisa Ura ada pula di
antara mereka, duduk agak di belakang Akuwu Lemah
Warah. Di sampingnya Panglima pasukan khusus Lemah
Warah duduk dengan kesiagaan yang tinggi.
Prajurit yang terluka itu mengumpat di dalam hati. Ia
tidak mendapat kesempatan untuk lebih mendekat lagi
kepada Akuwu Lemah Warah atau Pangeran Singa
Narpada. Meskipun demikian, prajurit itu tidak kehilangan
harapan. Meskipun dalam jarak yang agak jauh, namun ia
akan mampu membunuh kedua orang itu. Ia akan bergerak
dengan serta merta tanpa diduga oleh siapapun. Karena itu,
maka semua usaha untuk mencegah tentu terlambat.
Dengan hati-hati, tanpa diketahui oleh siapapun juga,
prajurit itu meraba kain panjangnya. Ia menyimpan pisau di
bawah kain panjangnya itu. Setiap saat ia dapat mencabut
pisau itu dan mempergunakannya. Baginya lebih baik
mempergunakan pisau itu dari pada mengetrapkan ilmunya
dengan meminjam wadag prajurit yang luka itu. Apalagi
prajurit itu tentu belum pernah mengalami tempaan
kewadagan untuk mendukung lontaran ilmunya. Karena itu
jika ia melontarkan ilmunya, mungkin sekali tidak akan
berhasil, bahkan justru wadagnya itulah yang lebih dahulu
akan dirusakkannya. Dalam pada itu, terdengar Akuwu Lemah Warah
bertanya, "Menurut pemimpin kelompok itu, kau ingin
mengatakan sesuatu. Nah, jika hal itu memang perlu sekali,
katakanlah." Prajurit itu termangu-mangu. Ia tidak mempunyai
rahasia apapun yang ingin dikatakannya. Namun ia harus
menjawab pertanyaan itu. Karena itu, maka katanya,
"Ampun Akuwu. Hamba mendengar pembicaraan orangorang
padepokan itu, bahwa justru merekalah yang akan
menyerang kedudukan kita di luar padepokan ini. Begitu
tiba-tiba dan di luar dugaan."
Akuwu Lemah Warah itu mengangguk-angguk.
"Kapan hal itu akan dilakukan?" bertanya Akuwu
Lemah Warah. "Hamba kurang tahu Akuwu. Tetapi tentu dalam waktu
dekat ini. Telah diselenggarakan persiapan-persiapan untuk
itu." Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk. Namun ia
masih juga bertanya," benarkah kekuatan orang-orang di
padepokan itu seluruhnya" Bagaimanakah
perbandingannya dengan para prajurit kita di sini?"
Prajurit itu menjadi bingung. Namun ia berusaha untuk
menjawab, "Jumlah mereka lebih banyak Akuwu. Para
cantrik, serta para pengikut orang-orang berilmu tinggi di
padepokan itu telah siap untuk mengorbankan apa saja
yang mereka miliki. Mereka ternyata adalah orang-orang
yang seakan-akan telah kehilangan penalaran mereka.
Mereka berbuat apa saja yang diperintahkan oleh para
pemimpin mereka. Mereka tidak pernah
mempertimbangkan apakah yang mereka lakukan itu
berbahaya atau tidak."
Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk. Katanya,
"Luar biasa. Tetapi aku menjadi kasihan kepada mereka."
"Kenapa kasihan ?" bertanya prajurit itu.
"Ternyata para pemimpin padepokan itu tidak lagi
menganggap para cantrik dan para pengikut mereka sebagai
manusia," jawab Akuwu Lemah Warah.
Prajurit itu termangu-mangu. Dengan ragu-ragu ia
bertanya, "Kenapa begitu Akuwu ?"
"Ternyata para cantrik dan para pengikut mereka telah
berubah. Mereka tidak lagi dapat mempergunakan perasaan
dan penalaran mereka yang bening. Yang mereka lakukan
kemudian adalah sekedar naluri kesetiaan tanpa
keyakinan." "Mereka justru melakukannya dengan penuh
keyakinan," jawab prajurit itu, "bukan sekedar naluri.
Akuwu tidak dapat menganggap mereka tidak lebih dari
seekor binatang." "Tetapi mereka tidak menyadari, apa yang sebenarnya
mereka lakukan" Setiap orang yang mampu
mempergunakan nalar budinya akan membuat
pertimbangan-pertimbangan sebelum mengambil langkah.
Tetapi seperti yang kau katakan sendiri, bahwa mereka
seakan-akan telah kehilangan penalaran mereka dan
berbuat apa saja yang diperintahkan oleh para pemimpin
mereka."

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Prajurit yang terluka itu mengerutkan keningnya.
Jawaban Akuwu itu memang mengejutkannya. Ia memang
telah mengatakannya sebagai prajurit Lemah Warah. Tetapi
sebagai salah seorang pemimpin dari padepokan itu yang
kebetulan meminjam wadag prajurit Lemah Warah ia
memang merasa tersinggung.
Namun ia harus menahan perasaannya jika ia tidak ingin
terbuka rahasianya. Karena itu, maka iapun telah mengangguk-angguk.
Dengan nada rendah ia berkata, "Hamba Akuwu. Agaknya
memang demikian." "Nah, bukankah mereka termasuk orang-orang yang
paling malang di dunia ini?" bertanya Akuwu Lemah
Warah, "karena itu kita harus menghentikan kerja para
pemimpin padepokan yang tidak mengenal
perikemanusiaan itu, yang telah memperlakukan sesamanya
sebagai seekor binatang saja."
Prajurit yang menghadap Akuwu Lemah Warah itu
termangu-mangu. Ternyata justru Akuwu mempunyai niat
untuk membebaskan orang-orang yang disebutnya
diperlakukan diluar perikemanusiaan.
Namun prajurit itu harus menahan diri. Ia tidak boleh
melakukan langkah yang salah, sehingga rahasianya
terbuka. Jika demikian maka usaha selanjutnya akan
menjadi semakin sulit. Untuk beberapa saat, prajurit itu harus membuat
perhitungan. Apakah ia akan melakukannya saat itu atau
pada kesempatan lain. Namun ia sudah terlalu lama
meninggalkan wadagnya, sehingga dapat terjadi
kemungkinan-kemungkinan buruk atas wadag yang
ditinggalkannya itu. Karena itu, maka prajurit itupun telah mengambil
keputusan, ia harus bertindak pada saat itu. Ia harus dengan
cepat menarik pisaunya dan meloncat menyerang Akuwu,
menikamnya dan kemudian menikam Pangeran Singa
Narpada. Pada saat yang demikian, maka ia harus dengan
cepat meninggalkan wadag itu dan kembali ke wadagnya.
Ia tidak peduli apa yang akan terjadi dengan wadag yang
ditinggalkannya itu. Setelah ia bulat dengan niatnya, maka iapun telah
mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Namun demikian
terasa juga jantungnya berdebaran.
Pada saat itu, Akuwu Lemah Warah, Pangeran Singa
Narpada, serta orang-orang yang ada di ruang itu, yang
sebenarnya telah mengetahui rencana kedatangan prajurit
itu menjadi semakin berhati-hati. Mereka melihat
kebimbangan sesaat memancar di wajah prajurit itu, sudah
memperhitungkan bahwa saat yang mereka tunggu itupun
akan segera datang. Sebenarnyalah, prajurit itu tidak mau menunggu lebih
lama lagi. Dikuatkannya hatinya dan diperhitungkannya
keadaan dengan cermat. Kemana ia harus meloncat dan
bagaimana ia harus menikam kedua orang pemimpin
tertinggi dari pasukan Lemah Warah itu.
Ketika saat yang diperhitungkan paling baik itu datang,
maka prajurit itupun telah bangkit. Dengan cepat ia
menarik pisau belatinya dan dengan cepat pula ia meloncat
menikam Akuwu Tatas Lintang. Tidak menembus jarak
antara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tetapi ia telah
meloncat ke samping dan menerkam Akuwu dari sisi pula.
Satu serangan yang memang tidak terduga. Tetapi
karena Akuwu Lemah Warah telah memperhitungkannya
bahwa serangan itu akan datang, iapun sempat berguling di
tanah untuk menghindari serangan itu.
Prajurit itu terkejut. Serangannya ternyata telah gagal.
Karena itu maka iapun telah meloncat sambil mengacukan
pisau itu ke dada Pangeran Singa Narpada yang masih
duduk di tempatnya seakan-akan keheranan melihat apa
yang telah terjadi. Sementara itu Mahisa Murti, Mahisa
Pukat, Mahisa Ura dan panglima pasukan Khusus Lemah
Warah itupun segera tanggap apa yang telah terjadi.
Namun prajurit itu bergerak sangat cepat. Sebelum
orang-orang itu sempat berbuat sesuatu, ia telah meloncat
menerkam Pangeran Singa Narpada.
Namun Pangeran Singa Narpada pun seorang yang
memiliki kemampuan yang tinggi. Apalagi sebelumnya ia
memang sudah mengetahui bahwa serangan yang demikian
itu mungkin akan datang. Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada itu cepat
bergeser. Pisau itu hanya meluncur selapis tipis dekat
keningnya. Namun Pangeran Singa Narpada cukup sigap.
Ia sempat menangkap pergelangan tangan prajurit itu.
Kemudian diputarnya tangan itu dengan cepat sehingga
tangan itu terpilin kebelakang. Pisau itu sempat terlepas dari
tangannya. Namun sebenarnyalah pribadi yang mempergunakan
wadag itupun seorang yang berilmu tinggi pula. Karena itu
ia membiarkan tangannya terputar, namun putaran itupun
kemudian justru dihentakkannya. Pangeran Singa Narpada
tidak menduganya. Karena itu, tangan itu terlepas dari
genggamannya. Tetapi Pangeran Singa Narpada tidak membiarkannya.
Dengan tangkas pula ia telah menyapu kaki prajurit yang
terlepas dari tangannya itu. Demikian kerasnya sehingga
prajurit itu jatuh berguling. Namun dengan cepat pula ia
mencoba melenting berdiri.
Tetapi pada saat yang demikian, beberapa orang yang
lain telah siap pula. Mereka hampir bersamaan telah
meloncat menangkap prajurit itu.
Pribadi yang berada di dalam wadag itu memang berilmu
tinggi. Tetapi ternyata bahwa wadag yang dipergunakannya
tidak akan mampu mendukung tingkat ilmunya yang tinggi.
Wadag itu adalah wadag seorang prajurit yang terluka.
yang masih belum sembuh benar meskipun mengalami
perawatan yang sungguh-sungguh.
Karena itu, maka pribadi yang ada di dalam wadag
itupun akhirnya harus mengakui, bahwa ia tidak akan
mungkin dapat mengatasi orang-orang yang ada di ruang
itu yang kemudian berusaha menangkapnya. Karena itu,
maka betapa penyesalan dendam dan kebencian bergejolak
di dalam dada itu karena kegagalannya, maka mau tidak
mau, ia harus mengakui kenyataan yang dihadapinya.
Demikianlah, maka akhirnya pribadi yang ada di dalam
wadag itupun memutuskan untuk melepaskan diri
meninggalkan wadag itu dan kembali ke dalam wadagnya
sendiri. Karena itu, maka orang-orang yang menangkap prajurit
yang terluka itu terkejut ketika prajurit itu tiba-tiba menjadi
lemah. Tenaganya bagaikan lenyap dan sama sekali tidak
berdaya. Dengan serta merta Akuwu Tatas Lintang yang telah
ikut pula menangkapnya berkata, "Kendorkan. Orang itu
telah pergi." Orang-orang yang semula memegangi tubuh itupun
kemudian melepaskannya. Justru mereka menjadi hati-hati
meletakkannya dan dibaringkannya di atas tanah.
Beberapa saat tubuh itu terbaring diam. Namun
kemudian tubuh itu mulai bergerak perlahan-lahan. Namun
yang terdengar kemudian adalah keluhan tertahan.
Akuwu Lemah Warah menarik nafas dalam-dalam.
Namun iapun kemudian berjongkok dekat di sisi prajurit
yang terbaring diam itu sambil berdesis, "Bagaimana
keadaanmu?" Prajurit itu kemudian membuka matanya. Ketika
dilihatnya Akuwu Lemah Warah, maka ia berusaha untuk
bangkit. Tetapi Akuwu itu menahannya sambil berkata,
"Kau masih terlalu lemah. Berbaring sajalah."
Prajurit itu memang berbaring. Bahkan kemudian iapun
berdesis, "Di mana aku sekarang?"
"Kau berada di antara kita, di antara para prajurit Lemah
Warah, "jawab Akuwu.
"Oo, ampun Akuwu. Hamba tidak mengerti, bagaimana
hamba dapat sampai di sini?" bertanya orang itu.
Akuwu Lemah Warah menarik nafas dalam-dalam.
Namun kemudian katanya, "Sudahlah. Jangan kau
pikirkan. Kelak kau akan dapat mendengar ceriteranya."
Prajurit itu mencoba memperbaiki letak tubuhnya.
Namun semua sendi-sendinya terasa nyeri sekali.
"Marilah. Kau beristirahat di tempat yang lebih baik,"
berkata Akuwu. Panglima pasukan khusus itupun kemudian memanggil
beberapa orang prajurit. Mereka harus mengangkat prajurit
yang terluka itu dan meletakkan di pembaringan di dalam
gubug itu pula. Sementara itu Mahendra telah datang pula ke tempat itu.
Dari Mahisa Murti ia mendengar apa yang telah terjadi.
Karena itu, maka Mahendra pun telah memanggil
pemimpin kelompok yang membawa prajurit itu
menghadap dan memberitahukan pula apa yang telah
dilakukannya." "Jadi prajurit itu palsu" Bagaimana mungkin seseorang
dapat membuat dirinya mirip sekali dengan orang lain yang
bukan saudara kembarnya," bertanya pemimpin kelompok
itu. "Bukan palsu," jawab Mahendra, "orang itu
sebenarnyalah prajurit Lemah Warah. Ia sekarang terbaring
di dalam gubug itu dalam keadaan yang nampaknya jauh
lebih parah daripada sebelumnya."
"Jadi yang benar bagaimana?" bertanya pemimpin
kelompok itu. Mahendra tersenyum, ia berusaha menjelaskan apa yang
sebenarnya telah terjadi dengan prajurit itu.
Pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Ia baru
sadar, bahwa prajurit Lemah Warah telah berhadapan
dengan ilmu yang sangat tinggi.
"Nah," berkata Mahendra, "kita harus sangat berhatihati."
"Ya." "Kita memang harus sangat berhati-hati," jawab
Mahendra. Sementara itu, di padepokan, wadag yang terbaring di
dalam sebuah bilik dan dijaga oleh pengikutnya yang paling
terpercaya itupun telah bangkit. Ketika tubuh itu kemudian
keluar dari dalam biliknya, maka kepercayaannya itupun
dengan serta merta telah bertanya, "Bagaimana Ki Lurah"
Apakah Ki Lurah berhasil?"
Orang yang keluar dari dalam bilik itu tidak segera
menjawab. Tetapi iapun bertanya, "Di mana pemimpinpemimpin
padepokan ini yang lain?"
Mereka berada di rumah induk," jawab kepercayaannya
yang menjaga tubuh itu. Orang yang baru bangkit itupun kemudian telah pergi ke
induk padepokan itu. Beberapa orang pemimpin yang lain
memang berada di sana. Ketika mereka melihat
kedatangannya, maka dengan serta merta mereka pun telah
menyambutnya. "He, siapa saja yang berhasil kau bunuh?" bertanya
orang bertongkat itu. Orang itu mengumpat kasar. Kemudian sambil duduk di
antara para pemimpin itu ia telah menceriterakan
kegagalannya. Para pemimpin yang lain termangu-mangu. Namun
orang bertongkat itupun telah tertawa pula.
"Kenapa kalian tertawa" Apakah kalian menganggap
permainanku lucu?" bertanya orang itu.
Orang yang mampu mempengaruhi binatang dengan
ilmunya itupun berkata, "Apakah artinya rencana yang kau
susun dengan banyak membuang waktu dan tenaga itu he?"
"Setiap usaha memang mempunyai kemungkinan
berhasil atau tidak berhasil. Dan sekarang aku tidak
berhasil" He, apakah harimau atau ular-ularmu itu juga
selalu berhasil" Bahkan pada saat Tatas Lintang masih
belum bersama pasukannya" Dan apa arti tongkatmu itu,
serta batu yang berwarna kebiru-biruan atau kehijau-hijauan
itu" Apapula artinya para pemimpin yang lain dengan ilmu
mereka yang dahsyat."
"Apakah kau juga menyebut tentang kabut itu?"
bertanya orang yang memiliki ilmu gendam.
Orang yang mampu menyusup pada pribadi wadag yang
lain itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku tidak
mengatakannya. Tetapi bukankah kalian yang telah
mencemoohkan rencanaku" Dengar, meskipun aku gagal
membunuh Tatas Lintang yang sebenarnya adalah Akuwu
Lemah Warah itu, serta Pangeran Singa Narpada, namun
aku dapat membunuh semua prajurit Lemah Warah."
"He?" orang-orang yang mendengarnya menjadi heran.
Sementara orang itu berkata selanjutnya, "Lihat saja.
Aku akan menghancurkan pasukan Lemah Warah
perlahan-lahan, tetapi pasti."
Sebelum para pemimpin yang lain menyahut, maka
orang itu telah bangkit dari tempatnya dan meninggalkan
tempat itu. Katanya, "Aku letih. Aku akan beristirahat."
"Kau biarkan wadagmu tertidur terus. Bagaimana
mungkin kau merasa letih?"
"Jangan seperti kanak-kanak. Apakah letih hanya berarti
kewadagan?" orang itu justru bertanya.
Kawan-kawannya tidak bertanya lagi. Dibiarkannya
orang yang kecewa itu pergi. Namun orang bertongkat itu
kemudian berkata dengan sungguh-sungguh, "Satu rencana
yang dahsyat. Aku percaya bahwa ia akan dapat
membunuh prajurit-prajurit Lemah Warah. Mungkin sehari
ia akan dapat membunuh lebih dari satu dua orang. Jika itu
dilakukan setiap hari, maka akibatnya akan sangat
mengerikan bagi orang-orang Lemah Warah."
"Kenapa kita tidak membuat rencana bersama" Aku
mengerti maksudnya. Ia akan memasuki tubuh para prajurit
untuk saling membunuh. Pada saat-saat yang demikian, aku
dapat melepaskan ular-ularku."
"Bicarakan dengan orang itu," berkata orang bertongkat
itu, "mungkin ia setuju."
"Ialah yang harus membicarakannya dengan aku. Bukan


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku yang datang kepadanya menawarkan rencanaku,"
jawab orang itu. Orang bertongkat itu menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, "Kesombongan kalianlah yang telah membuat
semua rencana kita banyak yang pecah tanpa menghasilkan
sesuatu." "Bukan aku yang sombong. Tetapi bukan berarti bahwa
aku tidak mempunyai harga diri," jawab orang yang
memiliki ilmu gendam itu.
Orang bertongkat itu tidak mengatakan sesuatu. Tetapi ia
justru bangkit dan melangkah pergi, "terserah kepada
kalian. Bagiku, tidak ada persoalan apapun dengan
siapapun." Orang yang memiliki ilmu gendam itu tidak menjawab.
Sebenarnyalah bahwa orang yang mampu menyusup ke
dalam wadag orang itu menaruh dendam yang luar biasa. Ia
memang merasa sulit untuk dapat mengulangi kesempatan
yang sangat baik itu. Sejak saat itu, orang-orang yang
berada di sekitar Akuwu Lemah Warah tentu hanya orangorang
yang berkepribadian tinggi. Orang yang tidak akan
mungkin didesak kepribadiannya untuk berbuat sesuatu
dengan keinginannya. Namun dendam orang itu akan dilimpahkannya kepada
para prajurit Lemah Warah.
Memang satu rencana yang sangat bengis dari seorang
yang telah dibakar oleh dendam dan kebencian.
Sementara itu Akuwu Lemah Warah telah
memerintahkan kepada para prajuritnya untuk berhati-hati.
Lewat para pemimpin kelompok mereka mendapat
penjelasan apa yang dapat dilakukan oleh para pemimpin
padepokan itu. Di hari berikutnya setelah peristiwa yang
menggemparkan itu, tidak terjadi sesuatu. Orang yang
mampu menyusup ke wadag orang lain itu masih ingin
beristirahat dan tidur sehari-harian. Ia tidak mau diganggu
oleh siapapun juga. Sementara para prajurit Lemah Warah telah
mempertinggi kesiagaan. Segala sesuatu dapat terjadi
dengan tiba-tiba dan tidak terduga sebelumnya. Bahkan
ketika matahari mulai menyusup di balik punggung bukit,
para prajurit masih tetap dalam kesiapan tertinggi.
Namun agaknya malam itupun tidak terjadi sesuatu.
Tidak ada seekor ular pun yang menyerang para prajurit,
apalagi seekor harimau. Tetapi para prajurit di satu sisi
telah dikejutkan karena dari dalam semak-semak muncul
beberapa ekor kera yang bersikap bermusuhan. Kera-kera
itu berteriak-teriak dengan riuhnya. Namun kera-kera itu
tidak menyerang. Pemimpin kelompok prajurit yang berada di sisi terdekat
telah memerintahkan semua prajurit untuk siap dengan
senjata mereka. Yang mendapat giliran beristirahat pun harus siap
bertempur setiap saat. "Jika kera itu datang lagi dengan kawan-kawan mereka,
maka kita akan mendapat tugas yang sangat berat," berkata
pemimpin kelompok itu. "Tentu kera-kera itu tidak berbuat sewajarnya," berkata
salah seorang prajurit, "seperti harimau dan mungkin akan
terjadi jenis-jenis binatang yang lain lagi."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Seorang yang
berwajah buram berdesis, "Satu pengalaman yang menarik.
Selama menjadi prajurit baru kali ini aku merasa terancam
oleh garangnya seekor binatang."
Tidak seorang pun yang menjawab. Namun kawankawannya
pun mengiakan didalam hati.
Tetapi ternyata sampai saatnya matahari terbit tidak
terjadi pula sesuatu yang penting. Menjelang pagi, para
prajurit bahkan sempat beristirahat dengan tenang. Yang
bertugas pun tidak lagi merasa sangat tegang karena
dugaan-dugaan yang sangat mengganggu.
Namun ketika matahari terbit, terdapat pula keteganganketegangan
yang lain. Mungkin orang-orang padepokan
itukah yang justru berloncatan keluar padepokan, dan
menyerang kedudukan para prajurit Lemah Warah.
Tetapi sampai matahari sepenggalah tidak nampak
seorang pun yang keluar dari padepokan.
Namun ternyata hari itu telah terjadi sesuatu yang sangat
mengejutkan. Dalam ketegangan itu, tiba-tiba seorang
prajurit di salah satu kelompok prajurit Lemah Warah, saja
telah mengamuk tanpa sebab. Tiba-tiba saja ia menarik
pedangnya dan menyerang kawannya yang tidak menduga
sama sekali akan mendapat serangan yang tidak pernah
diperhitungkan sebelumnya.
Dua orang telah ditikamnya. Namun ketika ia menikam
orang ketiga, maka orang yang ditikamnya sempat
mengelak. Sementara itu, kawan-kawannya yang lain, yang
memang dalam kesiagaan sepenuhnya dengan cepat
berusaha untuk melerai. Tetapi prajurit yang mengamuk itu
justru telah menyerang siapa saja tanpa kekangan.
Kawan-kawannya yang menjadi kehilangan cara untuk
menjinakkannya, akhirnya telah mengambil langkahlangkah
kekerasan pula. Beberapa ujung senjata akhirnya
telah menghunjam ke dalam tubuhnya, sehingga akhirnya
orang itu telah terjatuh dengan darah yang memerah di
tubuhnya. Beberapa orang kawannya yang marah hampir saja tidak
dapat menahan diri lagi. Tetapi pemimpin kelompok
mereka telah berusaha mencegah ketika beberapa pucuk
senjata hampir saja menghunjam lagi ke dalam tubuh yang
sudah tidak berdaya itu. Sejenak kemudian terdengar orang itu mengerang.
Bahkan kemudian terdengar suaranya gemetar tersendatsendat,
"Kenapa dengan aku ini" Kenapa aku?"
Pemimpin kelompok itu telah berjongkok di sisinya.
Dengan nada rendah ia justru bertanya, "Apa yang kau
maui, he" Kenapa tiba-tiba saja kau mengamuk?"
"Siapa yang mengamuk?" orang itu justru bertanya.
"Kau telah membunuh dua orang diantara kawan-kawan
kita dan hampir saja membunuh orang ketiga," jawab
pemimpin kelompok itu. "Membunuh " Aku tidak membunuh. Aku tidak
membunuh," suaranya meninggi. Namun kemudian
menurun dan bergetar. Peristiwa itu memang telah menggemparkan. Dengan
cepat pemimpin kelompok itu telah melaporkan hal itu
kepada Akuwu Lemah Warah.
"Gila," geram Akuwu Lemah Warah, "tentu orang itu
yang telah mempergunakan wadagnya untuk membunuh
kawan-kawannya. Pemimpin kelompok itu tidak segera mengerti. Namun
Akuwu pun segera berbicara dengan Pangeran Singa
Narpada, Mahendra dan kedua anaknya serta Mahisa Ura.
Beberapa saat mereka berbicara. Namun kemudian
mereka pun telah mengambil langkah yang paling cepat
untuk mengatasi persoalan meskipun hanya untuk
sementara. Akuwu telah memerintahkan bahwa semua prajurit
Lemah Warah harus bergerombol sedikitnya lima orang.
Mereka harus saling mengawasi dan saling menjaga.
Akuwu pun menjelaskan lewat para pemimpin kelompok,
bahwa persoalannya bukannya tidak ada kepercayaan lagi
diantara mereka. Tetapi lawan yang berilmu tinggi mampu
mempergunakan wadag diantara para prajurit itu untuk
membunuh kawan-kawannya. Karena itu, hal itu harus
segera dicegahnya. Perintah itupun dengan cepat telah menjalar pula beserta
penjelasannya, sehingga karena itu, maka para prajurit pun
segera telah menempatkan diri ke dalam kelompokkelompok
yang lebih kecil. Mereka saling mengawasi dan
menjaga agar tidak terjadi peristiwa yang mengerikan itu
lagi. Prajurit itupun telah melakukan dengan penuh
kesadaran, sehingga mereka tidak merasa tersinggung
karenanya. Setiap lima orang telah berkelompok dengan penuh
pengertian. Mereka masing-masing telah menyerahkan diri
mereka untuk mendapat pengawasan dari kawankawannya,
karena mereka telah mendapat keterangan apa
yang mungkin terjadi atas diri mereka. Pada satu saat yang
tidak terduga, maka setiap orang akan dapat kehilangan
kesadaran dan melakukan sesuatu di luar kehendak mereka
sendiri. Ternyata usaha itu dapat mengurangi kemungkinan
buruk antara para prajurit itu. Sebenarnyalah telah terjadi
yang dicemaskan itu. Dalam salah satu di antara kelompokkelompok
kecil itu, tiba-tiba salah seorang di antara mereka
telah meloncat bangkit sambil menarik pedang mereka.
Namun karena mereka memang berkelompok, maka
keempat kawannya pun serentak melihat gelagat itu.
Karena itu, maka serentak mereka telah menerkam dan
memegangi orang itu, sehingga akhirnya orang itupun jatuh
lemah dan tidak berdaya. Namun karena yang terjadi itu hanya beberapa saat,
maka keadaan orang itupun cepat menjadi pulih kembali
dan segera iapun bangkit sambil mengusap keringat di
dahinya. "Aku telah merasakannya," desis orang itu, "tiba-tiba
saja aku memang telah kehilangan ingatan."
"Kami melihat seolah-olah angin yang lembut lamatlamat
berputar di atas kepalamu," berkata yang lain.
"Pertanda itulah yang harus kita sebar luaskan. Dengan
demikian maka jika kita melihat pertanda itu, maka kita
cepat dapat mengambil langkah-langkah pengamanan,"
berkata yang lain. "Pertanda itu tidak jelas. Tetapi jika kita mengenalinya,
itu lebih baik daripada tidak sama sekali," berkata yang
lain. Dengan demikian, maka suasana para prajurit Lemah
Warah memang selalu dalam ketegangan. Setiap saat
mereka diintai oleh kemungkinan yang tiba-tiba dan tidak
diketahui lebih dahulu. Usaha yang bersifat sementara itu, memang dapat
mengurangi kemungkinan buruk. Tetapi tidak memecahkan
persoalan dan tidak menghapuskan ketegangan yang
mencengkam. Karena itu, para pemimpin Lemah Warah itupun telah
berusaha untuk dapat mencari jalan keluar yang paling baik
untuk mengatasi kesulitan itu.
"Kita harus menemukan orang yang mampu membuat
kabut itu," berkata Akuwu Lemah Warah, "aku tidak
yakin, bahwa di balik kemampuannya itu ia akan dapat
mengalahkan salah seorang di antara kita dalam perang
tanding." Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Namun
kemudian katanya, "Sebaiknya kita memang mencoba
untuk sekali lagi menyerang padepokan itu. Tetapi kita
harus memperhitungkan semua kemungkinan yang dapat
terjadi. Kita tidak boleh terjebak ke dalam kesulitan karena
kita kurang berhati-hati."
"Kabut, ular dan mungkin jenis binatang-binatang lain,"
berkata Akuwu Lemah Warah. Namun kemudian katanya,
"Baiklah Pangeran. Aku akan mempersiapkan pasukanku.
Ternyata tidak terlalu mudah untuk memecahkan
padepokan itu." Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi memang tidak ada pilihan lain. Bahkan katanya
kemudian, "Kalian akan bertempur sebagaimana terjadi
sebelumnya. Biarlah aku mencari arah kabut sebagaimana
kau katakan. Memang mungkin aku tidak menemukannya.
Namun kita sudah berusaha. Jika usaha itu gagal, apa boleh
buat." "Besok pasukanku sudah siap Pangeran," jawab Akuwu
Lemah Warah. "Kita akan tetap merahasiakannya sampai saatnya
pasukan ini berangkat, meskipun aku dapat
mempersiapkannya dengan alasan apapun juga," berkata
Pangeran Singa Narpada. "Kenapa harus dirahasiakan?" bertanya Akuwu Lemah
Warah. "Siapa tahu, di antara para prajurit itu terdapat seseorang
yang hanya wadagnya saja," jawab Pangeran Singa
Narpada. Akuwu Lemah Warah menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, "Aku mengerti Pangeran."
Demikianlah, maka Akuwu Lemah Warah pun telah
mempersiapkan pasukannya. Namun setiap kali alasannya
tidak lebih dari kemungkinan pasukan dari padepokan itu
menyerang. Dengan cara yang kasar, atau dengan cara yang
halus. Namun pada saat yang ditentukan oleh para pemimpin
pasukan Lemah Warah, maka mereka akan benar-benar
menyerang. Di hari berikutnya, orang yang mampu menyusup ke
dalam wadag orang lain itupun merasa segan untuk
melakukannya. Ketika seorang pengikutnya bertanya, maka
iapun menjawab, "Orang-orang Lemah Warah memang
licik. Mereka bergerombol dalam kelompok-kelompok kecil
yang terdiri dari lima orang. Dengan demikian mereka
dapat saling mengawasinya," jawab orang yang memiliki
ilmu yang tinggi itu. "Apakah rahasia Ki Lurah sudah diketahui?" bertanya
pengikutnya. "Sudah sejak lama," jawab orang itu.
Pengikutnya hanya mengangguk-angguk saja. Namun
orang berilmu tinggi itu berkata, "Aku akan memikirkan
cara yang terbaik besok. Aku akan tidur."
Tetapi ketika matahari mulai melemparkan cahaya
pertamanya, pasukan Lemah Warah telah berbaris dengan
senjata terhunus mendekati padepokan itu. Para prajurit
memang telah mendapat perintah dengan tiba-tiba untuk


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyerang. Pada saat dini hari, para pemimpin Lemah
Warah telah memerintahkan para prajurit untuk makan
pagi. "Makan sudah siap sepagi ini?" bertanya salah seorang
prajurit. Sebenarnyalah bahwa para petugas di dapur telah
mendapat tugas khusus untuk menyiapkan makan para
prajurit pagi-pagi, karena ada tanda-tanda bahwa pasukan
dari padepokan akan menyerang. Agar para prajurit tidak
bertempur dengan perut lapar, maka makan mereka harus
dipersiapkan. Namun ternyata bahwa bukan orang-orang padepokan
yang menyerang kedudukan para prajurit Lemah Warah,
tetapi justru sebaliknya.
Kehadiran mereka memang mengejutkan. Para
pengawas di padepokan itupun telah dengan serta merta
membunyikan isyarat ketika mereka melihat kehadiran
prajurit Lemah Warah dari segala penjuru.
"Gila," geram orang-orang padepokan itu, "agaknya
orang-orang Lemah Warah itu tidak juga mau melihat
kenyataan, bahwa mereka tidak akan mampu berbuat
banyak di padepokan ini."
Namun adalah satu kenyataan bahwa pasukan Lemah
Warah itu telah berada di hadapan hidung mereka.
Suara isyarat yang memenuhi padepokan itu memang
telah mengejutkan para pemimpin di padepokan itu.
Dengan tergesa-gesa mereka memberikan perintah kepada
para pengikut masing-masing untuk mengambil tempat
yang sudah ditentukan. Isi padepokan itu sengaja tidak
membagi diri, siapakah di antara mereka yang harus berada
di sisi sebelah timur, siapa di sebelah barat dan sebagainya,
karena mereka menganggap bahwa pengikut mereka telah
menjadi satu. Jika kedudukan mereka dibagi-bagi, maka
setiap kegagalan di satu sisi tentu akan menimbulkan
persoalan antara para pengikut itu. Mereka tentu akan
saling menyalahkan dan akan timbul permusuhan.
Ternyata bahwa isi padepokan itupun memiliki
kemampuan yang cukup. Dalam waktu singkat mereka
telah menempatkan diri mereka di tempat yang sudah
ditentukan. Mereka telah siap dengan senjata telanjang
sehingga mereka pun telah siap untuk bertempur kapan pun
juga. Sejenak kemudian, maka para prajurit Lemah Warah
itupun telah mulai mendekati dinding. Mereka mulai
menyerang para pengamat di sudut-sudut padepokan di atas
panggungan dengan anak panah.
Namun dalam pada itu, orang-orang padepokan itupun
telah berloncatan pula ke atas panggungan itu dan di atas
dinding padepokan. Merekapun telah membalas serangan
anak panah itu dengan anak panah pula.
Untuk beberapa saat kedua belah pihak telah bertempur
dengan anak panah. Namun pada saat yang demikian
beberapa orang prajurit Lemah Warah telah berusaha untuk
memasuki padepokan itu dengan cara lain. Di depan pintu
gerbang beberapa orang telah menggotong sebatang kayu
yang besar. Bersama-sama mereka berlari dan
membenturkan batang kayu itu ke pintu gerbang
padepokan. Beberapa kali para prajurit Lemah Warah
melakukannya. Membawa batang kayu itu di atas pundak
mereka dan menjauh untuk mengambil ancang-ancang.
Namun kemudian mereka pun telah berlari-lari dan
membenturkan balok itu ke pintu gerbang. Demikian
mereka lakukan berkali-kali, sementara beberapa orang
kawannya melindunginya dengan serangan-serangan anak
panah pula atas orang-orang padepokan itu yang
menghujani orang-orang yang memanggul kayu itu dengan
anak panah pula. Perlahan-lahan selarak pintu yang besar itu menjadi
semakin longgar. Dan bahkan akhirnya selarak itu sendiri
telah menjadi retak. "Awas," teriak seseorang, "selarak pintu gerbang akan
patah." Para penghuni padepokan yang berada di atas dinding
sebelah menyebelah pintu gerbang itupun telah
memperderas serangan anak panah mereka atas orangorang
yang telah memanggul kayu dan berusaha
memecahkan regol. Namun di luar padepokan, prajurit
Lemah Warah pun telah menyerang semakin deras pula.
Anak-anak panah yang terlepas dari busur telah menghujani
orang-orang yang berada di atas dinding.
Ketika dua kali lagi, balok kayu yang besar itu
membentur pintu gerbang, maka selarak itupun telah patah.
Para prajurit Lemah Warah pun segera mendesak pintu
gerbang itu sehingga terbuka.
Maka kedua pasukan itupun segera saling berbenturan.
Para prajurit Lemah Warah dengan cepat telah mendesak
para penghuni padepokan itu. Sementara itu, beberapa
kelompok prajurit pun telah meloncati dinding pula.
Dengan demikian maka para prajurit Lemah Warah pun
telah berhasil memasuki padepokan itu. Mereka cepat
menyusun diri dan menyerang kubu-kubu pertahanan para
penghuni padepokan itu. Seperti yang pernah terjadi, maka pertempuran pun
segera membakar padepokan itu.
Para pemimpin padepokan itupun segera mengambil
sikap. Merekapun telah mempergunakan kemampuan
mereka masing-masing. Yang memiliki kemampuan
bertempur dan memiliki kelebihan dalam olah kanuragan
telah membawa senjata dan melangkah menuju ke arena
pertempuran. Sementara itu, orang yang mempunyai
kemampuan untuk mempengaruhi binatang dengan ilmu
gendamnya telah dengan tergesa-gesa menuju ke biliknya.
Di dalam bilik itu tersimpan sekotak ular berbisa yang akan
dapat dipergunakannya untuk melawan para prajurit
Lemah Warah. Yang memiliki kemampuan untuk mempergunakan
wadag orang lain, tidak dapat mempergunakannya dalam
perang brubuh. Lebih baik ia turun sendiri ke medan dan
membunuh lebih banyak daripada meminjam wadag orang
lain yang belum tentu mampu mendukung kemampuan
ilmunya. Demikianlah pertempuran itu menyala di seluruh
padepokan. Para prajurit Lemah Warah telah memencar.
Dan sebagaimana terdahulu maka jumlah para prajurit
yang lebih besar itu dengan cepat telah membuat mereka
berhasil di beberapa bagian mendesak lawannya.
Namun di beberapa bagian, ternyata bahwa orang-orang
padepokan itu telah mampu mempertahankan diri. Dengan
keberanian yang luar biasa mereka mampu menahan arus
para prajurit dari Lemah Warah sehingga para prajurit itu
tidak dapat mendesak mereka. Namun para prajurit itu
telah menghadapi perlawanan yang gigih, sehingga
pertempuran pun menjadi semakin lama semakin dahsyat.
Yang pernah terjadi itu agaknya telah terulang kembali.
Sementara itu, orang-orang padepokan ternyata mempunyai
kesempatan lebih baik, karena mereka sempat menyiapkan
binatang berbisa untuk diterjunkan ke medan perang.
Demikianlah beberapa ekor ular telah menelusuri keluar
dari sebuah bilik menuju ke medan. Ular-ular itu seakanakan
mampu mengenali, yang manakah kawan mereka dan
yang manakah lawan mereka. Mereka seakan-akan dapat
mengenali pakaian para prajurit Lemah Warah yang turun
ke medan perang. Ketika beberapa ekor ular itu sampai ke medan, maka
binatang berbisa itu ternyata mempunyai pengaruh yang
sangat besar. Para prajurit Lemah Warah harus
menghadapi dua jenis lawan yang sama-sama
berbahayanya. Orang-orang padepokan itu dengan ujung
senjata yang siap menusuk dada dan bisa ular yang akan
dapat membuat darah mereka menjadi beku.
Namun tentang ular yang sempat menggemparkan
medan itu telah terdengar pula Mahisa Pukat, dan Mahisa
Murti dan Mahisa Ura yang telah sempat minum obat
penawar racun meskipun hanya untuk sementara. Karena
itu, maka mereka pun dengan sigap telah turun pula ke
medan. Mereka terutama telah berusaha untuk menangkap
Gondoruwo Patah Hati 1 Tujuh Pedang Tiga Ruyung Karya Gan K L Salam Terakhir Sherlock 4
^