Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 16

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 16


"Kalian adalah pembunuh-pembunuh yang keji," jawab
pemimpin kelompok itu. "Kami tidak membunuh," jawab Tatas Lintang, "hanya
seorang di antara kalian yang terbunuh. Dalam perkelahian
hal itu memang mungkin terjadi. Menurut pengertian kami,
yang lain masih tetap hidup meskipun mungkin pingsan
atau tidak berdaya."
"Tetapi di lingkungan ini banyak sekali ular," berkata
pemimpin kelompok itu. "Bukankah kalian tawar akan bisa?" bertanya Tatas
Lintang pula. "Tetapi penawar yang kami telan hanya berlaku untuk
beberapa lama, kecuali aku sendiri memang memiliki
penawar yang tetap." jawab pemimpin kelompok itu, "pada
saat mereka pingsan dan tidak berdaya, maka ular-ular itu
telah menggigit mereka, sementara kekuatan penawar
mereka telah lewat waktu berlakunya."
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Maaf. Aku tidak mengerti. Tetapi agaknya nasib kawankawanmulah
yang memang terlalu buruk, sehingga mereka
harus mendahuluimu."
Pemimpin kelompok itu memandang keempat orang itu
dengan penuh kebencian. Katanya, "Kali ini aku gagal
mencegah kalian. Tetapi sekali lagi aku peringatkan, jika
kalian tidak membunuh aku pula, maka kalian akan
menyesal, karena akulah yang akan membunuh kalian."
Tatas Lintang hanya menarik nafas saja. Ia pun
kemudian berpaling kepada tiga orang yang diakunya
sebagai kemanakannya itu dan mengisyaratkan kepada
mereka untuk meninggalkan tempat itu.
Sejenak kemudian, maka keempat orang itupun telah
meninggalkan keenam orang yang telah berusaha mencegah
mereka, namun dapat mereka atasinya, sehingga lima orang
telah, mati meskipun dengan sebab yang tidak langsung.
Seorang masih tetap selamat dan melepaskan keempat
orang itu pergi, namun dengan dendam yang membara di
dalam hati. Sekali-sekali Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa
Ura mengibaskan kaki-kaki mereka jika seekor ular
menyerang mereka bagaimanapun juga mereka tawar akan
racun, namun mereka lebih senang tidak digigit ular sama
sekali dari pada harus membunuh ular yang seakan-akan
lekat pada pergelangan kakinya pada waktu menggigit.
Keempat orang itupun kemudian telah berjalan di sisa
malam itu menuju langsung ke padukuhan mereka tinggal.
Jaraknya memang agak jauh dan mereka tidak akan dapat
menempuh perjalanan itu hanya pada saat hari gelap karena
itu, mereka namun harus berjalan juga setelah matahari
terbit dan bahkan sampai saatnya matahari turun ke sisi
Barat. Ketika mereka sampai ke tepi sebatang sungai, mereka
sempat berhenti dan membenahi diri. Mencuci muka, kaki
dan tangan. Kemudian duduk sejenak untuk melepaskan
lelah. Dari sebuah belik di tepi sungai itu mereka
mendapatkan air yang cukup bersih dan bening yang dapat
mereka minum untuk melepaskan haus.
"Biarlah untuk sementara kita mengobati haus kita,"
berkata Tatas Lintang, "nanti jika hari sudah pagi, kita akan
singgah di kedai untuk makan. Apakah kalian tidak lapar?"
Tidak ada yang menjawab. Tetapi nampaknya ketiganya
sependapat. Tatas Lintang pun tersenyum. Tetapi ia tidak bertanya
lagi. Setelah beristirahat sejenak. Merekapun kemudian telah
bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan. Sementara itu
langit pun menjadi kemerah-merahan.
Namun mereka telah tertegun ketika mereka mendengar
desir langkah beberapa orang mendekat.
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya
didalam hati, "ternyata mereka berusaha untuk menyusul.
Dendam orang itu agaknya benar-benar harus
ditumpahkan." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang juga mendengar
langkah itu mendekat. Merekapun mengira bahwa yang
datang itu adalah kawan-kawan dari pemimpin kelompok
yang mendendam itu. Namun yang kemudian muncul dari balik tanggul adalah
beberapa orang bertubuh garang dan berwajah kasar.
Mereka berloncatan turun ke tepian dengan parang di
tangan. Keempat orang itu menarik nafas dalam-dalam. Yang
datang tentu bukan orang-orang padepokan itu. Bahkan
para cantrik pun tidak. Tetapi yang datang itu agaknya
adalah penyamun yang melihat mereka turun ke sungai dan
beristirahat. Sebenarnyalah orang yang tertua diantara mereka, yang
rambutnya sudah berwarna rangkap maju selangkah sambil
mengayunkan senjatanya. Dengan kasar ia berkata, "Apa
yang kalian bawa dengan bersembunyi-sembunyi itu?"
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Kami tidak bersembunyi-sembunyi. Kami merasa haus
dan kami telah mencari belik di sini."
Orang yang tertua diantara mereka pun tertawa.
Katanya, "katakan, apakah yang kalian bawa dalam
bungkusan-bungkusan itu?"
"Bukan apa-apa Ki Sanak," jawab Tatas Lintang, "kami
membawa bahan obat-obatan yang kami ambil dari hutan."
"Omong kosong," geram orang itu. Lalu katanya,
"Kalian tentu telah menyamun seseorang. Tetapi menurut
pengamatan kami, kalian bukan orang yang berhak
melakukan di daerah ini. Daerah ini adalah daerah
kuasaku. Aku sendiri jarang sekali melakukan di daerah ini.
Tiba-tiba sekarang kau, orang yang tidak berhak telah
melakukannya. Meskipun aku menganggap bahwa kalian
terlalu berani telah merampok di sini, karena kalian akan
dapat dipenggal leher kalian oleh orang-orang bertongkat
yang tidak ada tandingnya itu."
"Siapakah yang kau maksud orang-orang bertongkat
itu?" bertanya Tatas Lintang.
"Orang-orang padepokan," jawab orang itu, "mereka
tidak menghendaki seseorang melakukan perampokan dan
penyamunan di daerah ini. Jika aku melakukan, aku
memilih tempat yang agak jauh. Namun kalian agaknya
telah melakukan di sini. Ada dua kemungkinan yang dapat
aku tangkap dari perbuatan kalian. Kalian memang tidak
mengetahui medan dan tidak mengenal orang-orang
bertongkat itu menghukum kami. Untunglah kami dapat
menjumpai kalian langsung sehingga kami pun dapat
menghindarkan diri dari kemungkinan yang buruk bagi
kami. Kamilah yang akan menangkap kalian dan
menyerahkan kepada orang-orang bertongkat. Atau kalian
menyerahkan barang-barang itu kepada kita. Seandainya
kita harus mempertanggung-jawabkan peristiwa
penyamunan ini, agaknya kami tidak akan berkeberatan
karena kami telah memetik hasilnya."
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Ada-ada saja
hambatan yang harus dihadapinya. Karena itu, maka
katanya, "Baiklah Ki Sanak. Jika kalian menghendaki
barang-barangku ini, ambillah. Tetapi aku minta kalian
melihat isinya lebih dahulu, agar barang-barang itu tidak
tersia-sia. Jika barang-barang yang terbungkus itu sudah
kalian bawa, tetapi ternyata kalian tidak memerlukannya,
sementara kami sangat membutuhkan, maka barang itu
akan terbuang tanpa arti. Sayang sekali, karena barang itu
dalam dunia obat-obatan mempunyai nilai kemanusiaan
yang tinggi." Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya,
"Kepada seorang kawannya, "Lihat apa yang mereka
bawa." Tatas Lintang pun telah menyerahkan sebuah bungkusan
kepada orang yang kemudian bergeser mendekat.
Kemudian Tatas Lintang pun beringsut mundur beberapa
langkah. Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun orang tertua
diantara mereka pun mendesaknya, "Lepaskan bungkusan
itu agar kita dapat melihat isinya."
"Berhati-hatilah," pesan Tatas Lintang.
Orang yang menerima bungkusan itu mulai menjadi
ragu-ragu. Diletakkannya bungkusan itu di atas tanah.
Kemudian perlahan-lahan ia mulai melepas ikatan sudutsudut
ikat kepala itu. Namun tiba-tiba saja orang itu meloncat surut. Dalam
keremangan fajar ia melihat berjenis-jenis binatang beracun
merayap keluar dari bungkusan yang dibukanya.
"Gila," orang itu berteriak, "binatang-binatang berbisa."
Orang-orang yang berwajah kasar itupun tertegun.
Sementara itu Tatas Lintang pun meloncat mendekat
sambil mengumpulkan binatang-binatang yang mulai
merayap berpencaran itu. "Kami memerlukan binatang-binatang ini," berkata
Tatas Lintang sambil membungkus kembali binatangbinatang
berbisa itu, meskipun ada juga beberapa di
antaranya yang sempat melarikan diri.
"Apa yang sudah kau lakukan?" bertanya orang tertua
diantara mereka yang datang itu dengan nada tinggi, "untuk
apa kau kumpulkan binatang-binatang berbisa itu?"
"Kami memerlukannya untuk perikemanusiaan," jawab
Tatas Lintang, "kami harus menawarkan racun yang
disebarkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab
di pategalan di padukuhan kami."
Orang tertua di antara mereka itupun menganggukangguk.
Katanya, "Jadi kau sendiri tawar akan racun?"
Tatas Lintang termangu-mangu. Namun kemudian
katanya, "Adalah kebetulan bahwa aku mendapat kurnia
terbebas dari racun dan bisa."
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, "Ternyata kau
memiliki juga barang berharga. Jika demikian maka tidak
sia-sia kami datang menemui kalian. Baiklah Ki Sanak. Jika
demikian, biarlah kita saling berbaik hati. Aku
menginginkan penawar racun itu."
Tatas Lintang mengerutkan keningnya. Lalu jawabnya,
"Mana mungkin aku memberikan penawar racun itu
kepada kalian. Penawar racun itu ada di dalam darah kami.
Kami mendapatkannya dengan laku yang berat. Berpuasa
dan pantang. Berendam dan menempa diri siang dan
malam, sehingga akhirnya terjadi sesuatu di dalam diri
kami. Darah kami pun kemudian telah berubah menjadi
darah yang tawar akan racun dan segala bisa. Bagaimana
mungkin kami dapat memberikan hal itu kepada prang lain
dengan serta merta."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Sementara Tatas
Lintang pun berkata pula, "Kecuali jika kau mau menjalani
laku yang berat itu, maka kau pun akan dapat menjadi
tawar akan racun dan bisa. Ular yang betatapun tajamnya,
tidak akan dapat membunuhmu dengan bisanya."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Aku tidak percaya. Kau tentu mempunyai bendabenda
yang dapat mempengaruhi keadaan tubuhmu dan
berkhasiat sebagai penawar racun. Nah, berikan bendabenda
itu kepadaku. Atau kami akan memaksamu."
"Ki Sanak," berkata Tatas Lintang, "kalian jangan
mencari perkara. Jika kalian memang mencari persoalan,
maka kami akan dapat mempergunakan binatang-binatang
berbisa itu sebagai senjata. Jika binatang-binatang berbisa
itu kami baurkan ke arah kalian, maka kalian tidak akan
mampu keluar dari tepian ini. Seekor-seekor binatang itu
mungkin tidak langsung membunuh. Tetapi jika lima enam
ekor binatang itu bersama-sama menyengat dan
menggigitmu dengan bisa dan racunnya, maka aku tidak
dapat membayangkan apa yang akan terjadi. Tubuhmu
akan menjadi bengkak-bengkak. Jantungmu akan berhenti
berdetak dan darahmu akan membeku dan kering."
-ooo0dw0ooo Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo Converter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : Uploader di Indozone : Dino
--ooo0dw0ooo- Jilid 034 ORANG itu mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba
saja ia berkata, "Jangan menakuti-nakuti kami. Kalian tidak
akan mendapat kesempatan untuk melakukannya. Dengan
sekali loncat, senjata-senjata kami akan membelah dada
kalian dan menukik langsung ke pusat jantung, karena itu
jangan banyak alasan. Berikan benda-benda yang dapat
membebaskan kalian dari bisa dan racun itu."
"Tidak ada benda yang dapat membebaskan kami dari
bisa dan racun," jawab Tatas Lintang.
Tiba-tiba orang itu telah meloncat maju sambil
mengacukan senjatanya, "Cepat sebelum matahari naik."
Tatas Lintang termangu-mangu. Sementara itu yang lainpun
telah bergerak pula mendekati ketiga orang anak muda
yang diakunya sebagai kemanakannya itu.
"Kami akan menghitung sampai sepuluh. Jika kalian
tidak memberikan benda itu, maka kami akan memenggal
leher kalian sebelum kalian sempat mengambil binatangbinatang
berbisa itu dan melemparkannya kepada kami."
Tatas Lintang masih saja termangu-mangu. Dengan
garang orang itupun kemudian memerintahkan, "Letakkan
bungkusan-bungkusan itu, atau parang kami menembus
jantung kalian."

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tatas Lintang memang menjadi bingung. Ketika ia
sempat menghitung, orang yang mengepungnya itu
berjumlah sepuluh orang. Jumlah yang baginya tidak begitu
banyak menilik tingkat kemampuan orang-orang itu. Tetapi
karena mereka belum menjajaginya, maka mungkin
dugaannya atas kekuatan orang-orang itu meleset.
Meskipun Tatas Lintang tidak memberikan aba-aba,
tetapi sikapnya telah memberikan perintah kepada ketiga
orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu untuk
bersiap. Agaknya sekali lagi mereka harus berkelahi. Orang
yang dilawannya memang lebih banyak, tetapi mereka tidak
tahu, apakah tugas mereka akan lebih berat atau tidak.
Dalam pada itu, pemimpin dari kelompok itu pun telah
berkata sekali lagi, "Jangan banyak tingkah. Lakukan yang
aku perintahkan agar kalian tidak mati di tepian ini. Usaha
kalian mencari berjenis-jenis binatang itu tentu tidak akan
ada gunanya jika kalian mati di sini Kalian tidak berhasil
melakukan langkah-langkah kemanusiaan sebagaimana
kalian katakan itu."
Tatas Lintang tidak segera menjawab. Ujung-ujung
parang itu agaknya memang telah siap untuk menusuk
tubuh-tubuh mereka. Ketegangan pun kemudian telah mencengkam. Ujungujung
parang telah mulai bergetar. Sementara orang tertua
di antara mereka itupun membentak sekali lagi, "Cepat."
Tatas Lintang menarik nafas panjang. Namun
jantungnya sama sekali tidak dapat digetarkan oleh
teriakan-teriakan itu. Meskipun ia masih berdiri diam,
namun ia sudah siap untuk berbuat sesuatu sebagaimana
ketiga orang yang disebutnya sebagai kemanakannya itu.
Baru sejenak kemudian Tatas Lintang itupun berkata,
"Ki Sanak. Sayang sekali, bahwa kami tidak dapat
memenuhi keinginan kalian. Karena itu, terserahlah, apa
yang kalian lakukan. Tetapi jangan bermimpi bahwa kalian
akan mendapatkan apa yang kalian inginkan. Jika kami
mati karena ujung senjata kalian, maka kemampuan
menawarkan racun itu akan membeku pula bersama darah
kami." "Persetan," geram orang yang sudah berambut warna
rangkap itu, "bersiaplah untuk mati. Aku lebih baik melihat
kalian mati daripada melihat kalian mampu menawarkan
racun pada tubuh kalian."
Tatas Lintang tidak menjawab lagi. Namun iapun telah
bersiap menghadapi lawan-lawannya.
Sementara itu, agaknya Mahisa Pukat ingin melakukan
permainan sendiri. Karena itu ia berdesis kepada Mahisa
Murti dan Mahisa Ura, "Lindungi aku."
Semula Mahisa Murti dan Mahisa Ura tidak tahu
maksudnya. Namun kemudian Mahisa Pukat telah
meletakkan bungkusannya dan mengambil bungkusan di
tangan Mahisa Murti dan Mahisa Ura dan diletakkannya di
dekat bungkusannya. Bahkan kemudian bungkusan Tatas
Lintang pun telah dijadikannya satu.
"Apa yang kau lakukan anak gila?" geram orang
berambut mulai ubanan itu.
"Tidak apa-apa," jawab Mahisa Pukat, "kami hanya
mengumpulkan barang-barang yang kami anggap berharga,
tetapi tidak bagi orang lain. Nah, selanjutnya kami siap
untuk bertempur." Wajah orang yang tertua di antara orang-orang yang
turuni ke tepian itupun menjadi tegang. Agaknya keempat
orang itu sama sekali tidak gentar menghadapi mereka.
Karena itu, maka orang tertua itupun mulai bergeser
sambil berkata, "Tidak ada pilihan lain. Kita akan
menghancurkan orang-orang yang sombong ini."
Mahisa Murti pun telah bersiap, sementara Mahisa Ura
telah mencabut sepasang pisau belati panjangnya.
Pertempuran tidak dapat dielakkan lagi. Mahisa Murti
dan Mahisa Ura pun telah bertempur pula. Sebagaimana
pesan Mahisa Pukat, maka mereka pun telah berusaha
untuk menahan serangan yang agaknya diarahkan kepada
Mahisa Pukat yang justru telah berjongkok di samping
bungkusan-bungkusan itu. "Gila," tiba-tiba saja orang tertua di antara para
penyerang itu berteriak, "jangan beri kesempatan kepada
anak itu untuk membuka bungkusannya."
Tetapi Mahisa Pukat mampu bertindak lebih cepat, ia
sudah mulai melepaskan ikatan salah satu di antara
keempat bungkusan itu. Namun seorang di antara sepuluh orang itupun telah
meloncat menyusup di antara pertahanan Mahisa Murti
dan Mahisa Ura. Parangnya terjulur lurus mengarah ke
punggung Mahisa Pukat. Mahisa Murti terkejut karenanya, ia melihat orang itu
meloncat. Namun ia tidak dapat berbuat sesuatu karena
jaraknya yang agak jauh. Demikian pula Mahisa Ura yang
sedang meloncat ke samping menghindari serangan seorang
lawannya. Karena itulah, maka tanpa berpikir panjang Mahisa
Murti telah melakukan sesuatu. Tiba-tiba saja ia telah
meloncat mengambil jarak dari lawannya. Demikian cepat.
Kemudian kedua tangannya telah terjulur lurus ke depan,
sementara kedua telapak tangannya yang terbuka mengarah
kepada orang yang sudah hampir saja menyentuh punggung
Mahisa Pukat dengan parangnya itu.
Yang terjadi adalah sangat mengejutkan. Orang itu
terlempar beberapa langkah dan jatuh terbanting di tanah.
Beberapa kali ia berguling menahan sakit. Namun
kemudian iapun terdiam. Pingsan. Sementara itu kakinya
yang disambar serangan Mahisa Murti yang bagaikan
seleret sinar memancar dari telapak tangannya, nampaknya
menjadi bagaikan hangus. Orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu menjadi
termangu-mangu. Jantung mereka terasa berdetak semakin
cepat, sementara Mahisa Murti sendiri pun menjadi tegang.
Bukan maksudnya untuk menghancurkan lawannya dengan
ilmunya itu. Melawan orang-orang bertongkat itupun ia
masih berusaha untuk menundukkan lawannya tanpa
membunuhnya. Namun ia tidak mempunyai kesempatan lagi. Ia telah
mempergunakan ilmu yang disadapnya dari Tatas Lintang
karena ia tidak ingin melihat punggung saudara laki-lakinya
itu tertusuk parang. Selagi orang-orang itu termangu-mangu, maka Mahisa
Pukat telah menggenggam sejumlah binatang-binatang
berbisa. Sambil berdiri tegak ia berkata, "Nah, apakah kita
akan meneruskan perkelahian ini?"
Orang-orang yang datang ke tepian itu menjadi raguragu.
Mereka sudah melihat bagaimana Mahisa Murti
menyerang lawannya sementara itu seorang yang lain telah
mampu melepaskan ikatan binatang-binatang berbisa itu
dan bahkan sudah menggenggam di tangan kiri dan
kanannya siap untuk dilemparkan.
Dalam ketegangan itu Tatas Lintang pun berkata, "Ikat
kembali bungkusan itu agar binatang itu tidak berlarian."
Mahisa Pukat mengangguk, iapun kemudian telah
mengembalikan binatang di genggamannya dan mengikat
kembali bungkusan binatang-binatang berbisa itu. Tetapi ia
masih tetap bersiap untuk menggenggam dan melemparkan
ke arah lawan-lawannya. Namun agaknya Tatas Lintang telah yakin, bahwa tidak
akan ada perlawanan lagi dari orang-orang itu.
Sebenarnyalah orang-orang itu bagaikan menjadi beku.
Tidak seorang pun yang bergerak. Bahkan parang-parang
mereka-pun telah merunduk.
Karena tidak seorang pun yang bergerak, maka Tatas
Lintang pun kemudian telah bertanya, "Nah, marilah.
Siapakah diantara kalian yang akan bangkit dengan parangparang
kalian. Aku yakin bahwa kalian adalah laki-laki
jantan yang tidak gentar melihat betapapun juga lawan yang
akan dihadapi." Orang-orang itu masih tetap membeku. Bahkan jantung
mereka terasa bergetar ketika Tatas Lintang berkata, "Kami
akan dapat membakar hangus kalian semuanya dengan cara
sebagaimana kau lihat. Tetapi kami pun akan mampu
menjadikan tubuh kalian kehilangan bentuk dengan
binatang-binatang beracun di dalam bungkusan kami ini.
Cepat, sebelum kami meninggalkan tempat ini."
Namun ternyata bahwa orang tertua di antara mereka
pun telah meletakkan parangnya di atas pasir tepian sambil
berkata, "ki Sanak. Kami harus melihat kenyataan. Kami
menyerah. Kami tidak akan mampu berbuat apa-apa di
hadapan kalian berempat. Kami telah melihat apa yang
terjadi. Aku mengerti, bahwa kalian tidak berniat untuk
memperlakukan salah seorang di antara kami dengan cara
itu. Tetapi karena tidak ada kesempatan lagi untuk
menyelamatkan salah seorang di antara kalian, maka telah
terjadi serangan yang dahsyat itu. Dengan demikian kami
pun harus menyadari kelemahan kami. Lebih dari itu, kami
berterima kasih atas kebaikan hati kalian, sehingga kalian
masih sempat memberikan peringatan kepada kami. Kalian
tidak dengan serta merta menghancurkan kami
sebagaimana biasa kami temui dalam dunia olah
kanuragan." "Tidak," jawab Tatas Lintang, "justru dalam dunia olah
kanuragan berlaku sifat padi. Semakin berisi seharusnya
kita menjadi semakin tunduk."
Orang itu mengangguk-angguk. Kemudian katanya,
"Nah, terserahlah apa yang akan kalian lakukan atas kami.
Kami akan menyerah."
"Kami tidak akan menghukum kalian," berkata Tatas
Lintang, "terserah kepada kalian sendiri. Apa yang pantas
kalian lakukan dalam keadaan seperti ini. Kalian akan
dapat menghukum diri kalian sendiri jika kalian benarbenar
menyesali perbuatan kalian."
"Kami mengerti," jawab orang itu, "justru sikap kalian
membuat kami melihat kenyataan tentang diri kami. Kami
ternyata telah menemui sekelompok orang yang asing bagi
kami. Jauh berbeda dengan orang-orang padepokan itu."
"Bagaimana dengan orang-orang di padepokan itu?"
bertanya Tatas Lintang. "Membingungkan," jawab orang itu, "ada yang
bertingkah laku wajar, tetapi ada yang keras sekeras batu
akik sebagaimana nampak pada senjata mereka atau
perhiasan mereka." "Di ujung tongkat?" bertanya Tatas Lintang.
"Ya. Dan kadang-kadang pada perhiasan di tubuh
mereka," jawab orang itu.
"Batu berwarna kehijauan itu?" bertanya Tatas Lintang
pula. "Ya. Mereka telah mempergunakannya," berkata orang
tu pula. "Apakah batu itu pernah dipecah atau diambil
sebagian?" bertanya Tatas Lintang pula.
"Tidak," jawab orang itu, "di sekitar batu itu dahulu
banyak pecahan-pecahan batu serupa. Tetapi sekarang
sudah habis sama sekali."
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Ki
Sanak. Pergilah. Bawalah kawanmu itu. Aku berharap
kalian dapat mengerti arti dari peristiwa ini. Sebenarnyalah
kami bukan orang yang baik hati sebagaimana kalian
sangka. Jika kali ini kami tidak berbuat apa-apa itu hanya
karena kami tidak sempat. Tetapi dalam kesempatan lain,
mungkin kami dapat berbuat jauh lebih keras dari pada
orang-orang yang kau sebut sekeras batu akik dari
padepokan itu. Kami dapat membunuh dengan cara apapun
juga. Dengan binatang berbisa yang akan dapat membunuh
seseorang dengan perlahan-lahan. Namun kami masih
cenderung percaya bahwa betapapun kecilnya, tetapi tentu
ada sepercik kesadaran di dalam diri tentang tingkah laku
dan perbuatan baik. Nah, kami ingin hal itu berkembang di
dalam dirimu, atau kami akan memperlakukan kalian jauh
lebih buruk pada kesempatan lain."
Orang itu tidak menjawab. Namun kemudian katanya,
"Kami minta diri."
Orang itupun kemudian melangkah mendekati
kawannya yang terbaring diam. Kepada kawan-kawannya
ia berkata, "Marilah, kita bawa kawan kita yang terluka."
Kawan-kawannya pun telah menyarungkan senjata
mereka dan mengusung tubuh yang diam itu. Sementara itu
seorang lain telah berbisik di telinga orang tertua itu,
"Senjatamu." Tetapi orang tua itu menjawab, "Aku tidak
memerlukannya lagi. Biarlah senjata itu akan tinggal di
tepian." "Tetapi bukankah kita harus melindungi diri kita dari
lawan-lawan kita seandainya kita tidak akan melakukan
kekerasan lagi," desis kawannya itu.
"Kalian akan dapat melindungi aku," jawabnya.
Kawan-kawannya tidak mempertanyakan lagi.
Merekapun kemudian telah meninggalkan keempat orang
itu di tepian. Sepeninggal orang-orang itu Tatas Lintang pun berkata,
"Kita pun akan pergi. Kita sudah terlalu lama berhenti di
sini." Namun Mahisa Pukat lah yang menyahut, "Tentu sudah
ada kedai yang dibuka. Justru nasinya masih mengepul dan
sayur lodeh keluwih yang sedikit pedas."
"Ah kau," desis Mahisa Murti.
Tatas Lintang tertawa. Katanya kemudian, "Aku
sependapat. Karena itu, marilah."
Sekali lagi mereka pun telah membenahi diri masingmasing.
Kemudian mereka pun telah meninggalkan tepian
dan berjalan menuju ke padukuhan tempat mereka tinggal.
Namun tujuan mereka masih cukup jauh.
Sebagaimana mereka rencanakan maka mereka pun
telah singgah di sebuah kedai nasi di pinggir pasar yang
mereka lalui. Ketika mereka memasuki kedai itu, maka
beberapa orang yang ada di dalamnya telah memperhatikan
mereka, karena sebenarnyalah mereka memang menarik


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perhatian. Mereka membawa bungkusan yang nampaknya
cukup berat sehingga agaknya orang-orang yang
menyaksikannya ingin mengetahui apakah yang ada
didalamnya. Tetapi keempat orang itu berpura-pura tidak mengetahui
perhatian banyak orang itu. Mereka meletakkan barangbarang
yang mereka bawa di bawah amben bambu tempat
mereka duduk. Ternyata orang-orang yang semula memperhatikan
mereka itupun telah berpaling pula ke makanan mereka
masing-masing. Agaknya orang-orang itu tidak menaruh
perhatian lebih besar lagi kepada keempat orang yang baru
memasuki kedai itu. Namun dalam pada itu, dua orang yang lain telah
memasuki kedai itu pula. Menurut penglihatan ketiga orang
yang diakunya sebagai kemanakan Tatas Lintang itu, maka
kedua orang itu agaknya berbeda dengan orang-orang lain
di dalam kedai itu. Tetapi sampai saatnya keempat orang itu meninggalkan
kedai makan itu, tidak terjadi sesuatu yang dapat
menghambat perjalanan mereka. Keempat orang itupun
kemudian telah meneruskan perjalanan mereka menuju ke
sebuah padukuhan yang masih cukup jauh.
Namun akhirnya perjalanan mereka pun telah mereka
lalui dengan selamat. Mereka menemukan rumah mereka
dalam keadaan baik. Tidak ada bekas kerusakan atau
perbuatan kekerasan yang lain.
Demikianlah, maka setelah beristirahat secukupnya,
maka Tatas Lintang pun telah mempersiapkan segalasegalanya.
Justru ketika malam datang, maka waktunya
tepat bagi Tatas Lintang untuk membuat ramuan penawar
racun. Namun sebagaimana yang terbaik dilakukan, maka pada
lewat tengah malam Tatas Lintang baru melakukannya. Ia
tidak memerlukan bantuan siapapun juga. Namun ia minta
ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu
untuk berjaga-jaga dan melindunginya jika terjadi sesuatu.
Karena itu, betapapun letihnya, namun ketiga orang itu
seakan-akan tidak tertidur semalam suntuk. Mereka hanya
mempergunakan waktu-waktu yang pendek untuk bergantiganti
sekedar memejamkan mata sambil duduk bersandar.
Namun tubuh mereka yang sudah mengalami tempaan
yang keras tidak terlalu banyak mengalami kesulitan.
Sekali-sekali mereka memang menguap. Tetapi perasaan
kantuk itu segera dapat diatasi.
Ketika fajar menyingsing, maka Tatas Lintang telah
selesai dengan pekerjaannya. Ia telah mendapatkan
penawar racun dalam jumlah yang cukup. Untunglah
bahwa ia masih memiliki beberapa jenis campuran
reramuan, sehingga ia dapat berhasil dengan baik.
Agaknya Tatas Lintang tidak mau menunggu terlalu
lama membiarkan pategalan itu menjadi tanah yang sangar
dan berbahaya. Karena itulah, maka pada hari yang baru itu
segalanya ingin dilakukan.
Berempat mereka telah menemui Ki Bekel dan kemudian
orang yang memiliki tanah itu, sehingga sebelum tengah
hari, maka Tatas Lintang telah mulai dengan kerjanya,
menawarkan pategalan itu dari cengkaman racun yang
berbahaya. Ki Bekel, pemilik tanah pategalan itu dan beberapa orang
lain telah menungguinya bekerja. Mereka menjadi kagum
melihat keempat orang itu berusaha menawarkan racun.
Meskipun mereka tidak tahu siapakah sebenarnya mereka,
tetapi ternyata yang telah mereka lakukan itu rasa-rasanya
memang satu tanggung jawab. Bahwa pategalan itu
mengalami usaha untuk menjadikan sangar dengan racun,
seakan-akan merupakan tantangan yang ditujukan kepada
keempat orang itu tidak langsung tertuju kepada pemilik
tanah dan apalagi penghuni padukuhan itu. Demikian juga
datangnya beberapa ekor harimau dan ular di halaman
banjar. Namun keempat orang itu cukup bertanggung jawab,
sehingga mereka tidak begitu saja membiarkan semuanya
itu terjadi di padukuhan itu.
Tetapi sebenarnyalah, bahwa ketika usaha mereka
menawarkan racun di pategalan itu selesai, maka rasarasanya
tanggung jawab yang besar telah dilakukan.
Ki Bekel, pemilik tanah itu dan orang-orang padukuhan
yang tidak berkepentingan pun telah mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada keempat orang itu.
"Kami hanya melakukan apa yang memang harus kami
pertanggung jawabkan," berkata Tatas Lintang.
"Kami tahu," sahut Ki Bekel, "tetapi kalian memang
mempunyai rasa tanggung jawab yang besar. Mungkin
orang lain tidak akan melakukannya seperti kalian
meskipun seandainya mereka mampu. Orang lain akan
dapat meninggalkan padukuhan ini sebagaimana sebelum
kalian lakukan penawaran racun itu."
"Kami hanya berusaha untuk berlaku wajar," jawab
Tatas Lintang. Namun yang kemudian berkata, "Tetapi Ki Bekel,
sebenarnyalah sekaligus kami beritahukan bahwa kami
tidak akan berada di padukuhan ini lebih lama. Kami ingin
mohon diri meskipun mungkin pada kesempatan lain kami
akan singgah lagi di padukuhan ini. Kami mohon diri justru
setelah kami merasa tanggung jawab kami atas padukuhan
ini kami selesaikan."
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia
masih ingin menahan. Tetapi nampaknya sudah tidak
mungkin lagi. Karena itu, maka baik Ki Bekel, maupun pemilik
pategalan itupun kemudian harus melepaskan keempat
orang itu pergi. "Kami mohon maaf," berkata Tatas Lintang, "kami
tidak dapat menyelesaikan tugas kami menanam
pepohonan di pategalan ini. Tetapi lubang-lubang itu besok
sudah tidak beracun lagi dan orang lain akan dapat
menggantikan kami, menanam bibit pohon buah-buahan
itu." "Jangan pikirkan itu," jawab pemilik pategalan itu,
"sejak semula kami sudah menyadari, bahwa sebenarnya
kalian bukan orang yang pantas melakukannya."
"Bukan begitu," jawab Tatas Lintang, "kami memang
bersedia melakukannya. Tetapi agaknya kehadiran kami di
padukuhan ini telah membuat pategalan ini dimusuhinya.
Karena itu, biarlah kami datang kepada mereka, sehingga
kami akan dapat membuat penyelesaian sewajarnya. Tanpa
harus mengorbankan orang lain yang tidak berkepentingan
sama sekali." Ki Bekel lah yang kemudian menyahut, "Doa kami
mengiringi kalian. Kami sudah menduga, bahwa kalian
sebenarnya mengemban tugas. Kami tidak dapat menutup
mata, bahwa batu kehijauan itu memang merupakan
persoalan." "Apakah Ki Bekel hanya sekedar menduga-duga atau
ada petunjuk tertentu tentang batu yang berwarna kehijauan
itu?" bertanya Tatas Lintang.
"Aku tidak tahu apa-apa tentang batu itu. Tetapi hampir
setiap orang percaya bahwa batu itu adalah batu yang jatuh
dari langit," berkata Ki Bekel.
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Sementara
itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang mengenali
berbagai jenis batu sebagaimana diajari oleh ayahnya
memang menganggap bahwa batu itu cukup baik, meskipun
menurut mereka bukan yang terbaik. Namun justru karena
anggapan orang padukuhan itu sebagaimana dikatakan oleh
Ki Bekel, bahwa batu itu jatuh dari langit, maka keduanya
merasa perlu untuk mengamatinya lebih jauh.
"Menurut beberapa orang tua, batu itu semula tidak
berada di situ," berkata Ki Bekel kemudian.
"Di mana?" bertanya Tatas Lintang.
"Batu itu berada jauh di bawah permukaan dataran di
puncak bukit itu. Sebuah goa telah menganga menusuk
masuk ke jantung bukit itu. Namun tiba-tiba saja batu itu
muncul di lambung bukit dan berguling ke bawah dan
berhenti di tempatnya yang sekarang." jawab Ki Bekel.
Namun katanya kemudian, "Itu menurut ceritera. Tetapi
sejak aku kecil, menurut pengetahuanku, batu itu sudah ada
di sana. Aku juga seorang anak yang nakal dan sering pergi
ke tempat yang jauh. Dan aku juga pernah lewat di dekat
batu itu, tanpa sempat mendekatinya karena dicegah oleh
rasa takut." Tatas Lintang mengangguk-angguk. Keterangan Ki Bekel
itu telah melengkapi pengetahuannya tentang batu yang
berwarna kehijauan itu. Demikianlah, maka setelah keempat orang itu bermalam
semalam lagi di padukuhan itu, maka mereka pun telah
meninggalkannya betapapun berat hati mereka. Namun
mereka sadar, bahwa kewajiban itu memang telah
menunggunya. Sementara itu, semakin lama mereka berada
di padukuhan itu, maka padukuhan itulah yang akan
menjadi sasaran dari orang-orang yang agaknya memang
datang dari padepokan itu.
Tetapi keempat orang itu tidak perlu berjalan tergesagesa.
Mereka adalah pengembara yang terbiasa berada di
tempat terbuka siang maupun malam.
"Kita akan mendekati padepokan itu di malam hari,"
berkata Tatas Lintang, "tetapi kita harus menyadari, bahwa
di padepokan itu agaknya telah tinggal beberapa orang yang
semula bukan berasal dari satu perguruan sebagaimana aku
katakan. Dan ini agaknya diperkuat oleh orang-orang yang
datang ke tepian itu. Menurut mereka orang-orang
padepokan itu ada yang wajar saja sebagaimana
kebanyakan orang, tetapi ada yang tingkah lakunya terasa
asing. Justru kasar dan buas. Namun jika kita berniat
memasuki padukuhan itu, maka kita akan berhadapan
dengan siapapun yang ada di padukuhan itu. Mungkin
orang bertongkat dengan kepala batu yang berwarna
kehijauan itu. Tetapi mungkin kita akan berhadapan
dengan orang yang memiliki pengetahuan dan ilmu gendam
yang dapat mempengaruhi jenis binatang apapun juga.
Namun mungkin juga kita akan sekaligus berhadapan
dengan orang yang mampu mempengaruhi dan menyusup
ke dalam wadag kita, jika kita tidak benar-benar bertahan."
Ketiga orang yang dianggapnya sebagai kemanakannya
itu mengangguk-angguk. Namun dengan demikian mereka
mulai menggambarkan bahwa isi padepokan itu adalah
campur baur dari bermacam-macam ilmu dan jumlah
orangnya pun cukup banyak dibandingkan dengan mereka
berempat. "Apakah yang sebenarnya telah terjadi dan apakah yang
kemudian berada di dalam padepokan itu?" pertanyaan
itulah yang ada di dalam hati keempat orang yang ingin
melihat isi dari padepokan itu.
Keempatnya pun kemudian sepakat, bahwa mereka akan
mengamati padepokan itu untuk beberapa malam.
Kemudian baru akan menentukan sikap lebih lanjut.
"Tetapi kita harus berhati-hati. Kita sudah dapat
menjajagi beberapa orang di antara mereka yang memiliki
ilmu yang luar biasa," berkata Tatas Lintang.
Ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya
itupun mengangguk-angguk. Mereka menyadari apa yang
sebenarnya mereka hadapi. Mereka tidak dapat dengan
serta merta saja meloncat masuk ke dalam dinding
padepokan dan mengamati keadaannya tanpa mengetahui
sebelumnya serba sedikit tentang padepokan itu.
Karena itulah, maka mereka berempat harus benar-benar
bersiap lahir dan batin untuk melakukan tugas mereka itu.
Pada malam yang pertama, mereka mendekati
padepokan itu, dari arah belakang. Namun mereka
memelihara jarak sebagaimana pernah dilakukan baik oleh
Tatas Lintang, maupun oleh Mahisa Murti, Mahisa Pukat
dan Mahisa Ura. Namun dari arah itu mereka sama sekali tidak melihat
sesuatu yang-dapat mereka jadikan petunjuk tentang
padepokan itu. Karena itu maka pada kesempatan lain,
mereka telah mencoba untuk melihat padepokan itu dari
arah depan. Dengan sangat berhati-hati mereka menyusup di antara
gerumbul-gerumbul liar mengambil tempat yang
memungkinkan mereka dapat mengamati regol padepokan
itu. Namun dimalam hari, mereka tidak dapat banyak
melihat. Memang ada satu dua orang yang keluar masuk
regol. Tetapi sama sekali tidak menunjukkan sesuatu yang
berarti. "Kita tidak akan dapat melakukannya siang hari,"
berkata Tatas Lintang dengan suara sangat lambat, "mereka
sudah mengenali wajah-wajah kita. Kita tidak dapat
menunggu di pasar yang terdekat untuk melihat-lihat
apakah orang-orang padepokan ini hilir mudik juga di
pasar, karena mereka akan lebih dahulu melihat kita dari
pada kita melihat mereka."
Ketiga orang anak-anak muda yang diakunya sebagai
kemanakannya itu dengan mengangguk-angguk. Namun
kemudian Mahisa Murti-pun berdesis, "Kita sudah
mendapat beberapa keterangan. Sebagian dari mereka
bersikap wajar. Namun sebagian yang lain nampak asing.
Kita pun sudah melihat di antara satu dua orang yang
masuk dan keluar regol. Ada di antara mereka yang
bersenjata tongkat. Tetapi ada juga yang tidak."
"Kita memang dapat menarik kesimpulan." berkata
Tatas Lintang, "padepokan ini memang padepokan
Suriantal. Tetapi perguruan lain telah hadir pula didalam
padepokan ini, justru mereka ternyata sangat berpengaruh."
"Bahkan mungkin lebih dari satu padepokan," jawab
Mahisa Murti, "namun menilik sikap orang tua yang
bersenjata tongkat dan terdapat batu berwarna kehijauan itu
di pangkalnya, ia masih tetap seorang yang memiliki
kekuasaan dan wibawa. Aku kira orang itu termasuk orang


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari perguruan Suriantal."
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Namun akhirnya ia
berkata, "Memang tidak ada jalan lain daripada memasuki
padepokan itu." Sejenak keempat orang itu terdiam. Yang kemudian
bertanya adalah Mahisa Ura, "Mungkin aku adalah seorang
yang paling pengecut di antara kita. Tetapi aku pun seorang
petugas yang terbiasa memperhitungkan langkah-langkah
yang aku ambil. Karena itu aku ingin mendapat penjelasan.
Jika kami berempat memasuki padepokan itu, sementara itu
kita tahu bahwa didalam padepokan itu terdapat sejumlah
orang yang memiliki kemampuan tinggi serta sepasukan
murid-murid mereka yang tentu juga memiliki ilmu, apakah
kita akan dapat mencapai hasil sebagaimana kita harapkan.
Aku yakin bahwa kalian bertiga, kecuali aku. memiliki ilmu
yang tinggi. Tetapi kalian hanya bertiga. Jika ikut dihitung
pula dengan aku, kita hanya berempat. Jika kita memasuki
padepokan itu, apakah bukan berarti kita akan terjun ke
dalam kandang dari segerombolan besar singa dan naga.
Betatapun tinggi kemampuan kita namun akhirnya kita
akan terbenam ke dalam mulut singa dan naga itu."
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Namun sebelumnya
ia menjawab Mahisa Murti telah berkata, "Bukan hanya
kau Mahisa Ura. Aku pun mempunyai pertanyaan seperti
itu. Bukan berarti kau pengecut. Tetapi kita berpikir wajar."
"Aku mengerti," berkata Tatas Lintang, "aku pun
sependapat dengan pikiran itu. Namun agaknya kita tidak
akan dapat kembali dengan sekedar keterangan bahwa kita
sudah menemukan padepokan Suriantal. Di dalamnya
berisi campur baur antara perguruan Suriantal sendiri
dengan perguruan yang kemudian datang, tanpa dapat
memberikan penjelasan, seberapa jauh pengaruh dari
perguruan yang datang kemudian dan tentu ada persoalan
lain, dalam hubungan dengan tugas kalian. Nah, apakah
kalian telah mendapat jawab dari pertanyaan yang kalian
bawa kemari dari tempat kalian berangkat?"
Ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu
hanya dapat mengangguk-angguk saja. Mereka memang
belum mendapat hasil apapun dari tugas mereka kecuali
sedikit gambaran tentang Suriantal. Namun dengan
demikian, maka Mahisa Murti pun berkata, "Mungkin
jawab itu memang belum aku dapatkan. Tetapi mungkin
kami dapat menempuh jalan lain meskipun agak lama.
Kami mencari dukungan pasukan untuk memasuki
padepokan itu." "Satu pemecahan yang bagus sekali," jawab Tatas
Lintang, "namun jika itu kau lakukan, yang tentu akan
memerlukan waktu yang lama, maka perubahan mungkin
telah terjadi. Mungkin padepokan ini telah kosong atau
mungkin padepokan ini telah berubah menjadi padepokan
yang diisi dengan kewajaran orang menuntut ilmu lahir dan
batin tanpa nafsu yang berlebihan untuk menguasai
masalah keduniawian."
Ketiga orang itu masih saja mengangguk-angguk.
Sementara itu Tatas Lintang pun berkata, "Baiklah.
Mungkin aku dapat menawarkan satu pemecahan."
"Apa yang mungkin kita lakukan?" bertanya Mahisa
Murti. Tatas Lintang tidak segera menjawab. Tetapi diamatinya
regol padepokan itu dari kejauhan. Sejenak ia justru
merenung, seolah-olah sedang mengendapkan persoalan
yang bergejolak di dalam dadanya.
Mahisa Murti. Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun diluar
sadar mereka telah ikut menatap regol itu. Meskipun malam
gelap namun ketajaman penglihatan mereka mampu
menembus selubung malam di seputar padepokan itu.
Namun Tatas Lintang agaknya masih merenungi katakata
yang akan diucapkan. Untuk beberapa saat mereka hanya berdiam diri sambil
mengamati regol. Mereka tidak melihat lagi orang-orang
yang bergerak ke luar masuk regol. Namun penglihatan
batin mereka melihat, bahwa di balik regol itu tentu ada
beberapa orang yang berjaga-jaga.
Yang terdengar kemudian adalah desah Tatas Lintang
menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian telah
memusatkan kemampuan untuk melihat dan mendengar
keadaan di sekitarnya. Namun Tatas Lintang pun kemudian
yakin, bahwa tidak ada orang yang ada di sekitar tempat
itu. Sementara itu, ia sudah sampai pada satu batas yang
tidak dapat ditembus lagi. Sampai kapan pun ia menunggu,
maka seorang diri dan bahkan bersama ketiga orang yang
disebutnya kemanakannya itupun, ia tidak akan mampu
menguasai padepokan yang isinya ternyata sulit untuk
diperhitungkan sebelumnya. Keterangan tentang padepokan
itu sangat beraneka macam. Namun pada umumnya
mengatakan, bahwa padepokan itu tidak hanya dihuni oleh
satu perguruan saja. Dengan pengertian, bahwa masingmasing
pihak disertai dengan pengikutnya masing-masing.
Karena itu, maka agaknya iapun sudah sampai pada
waktunya untuk melepaskan kemungkinannya yang
terakhir, yang memungkinkannya untuk dapat
menyelesaikan tugasnya. Sehingga dengan demikian maka
Tatas Lintang pun sampai pada satu langkah yang selama
ini belum pernah dibayangkannya.
"Anak-anak muda," desis Tatas Lintang kemudian,
"sebaiknya kita tinggalkan tempat ini. Mungkin besok atau
pada kesempatan lain kita akan dapat menemukan tempat
yang lebih baik untuk mengamati keadaan. Seandainya
sekarang kita lanjutkan pengintaian ini, maka aku kira
sampai esok menjelang dini, kita tidak menemukan sesuatu
yang menarik." Ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu
mengangguk. Mereka memang sependapat, sehingga karena
itu, maka Mahisa Murti pun menjawab, "Baiklah. Kita
akhiri kerja kita malam ini. Kita menyingkir ke tempat yang
lebih tenang dan lebih jauh dari kemungkinan untuk
diketahui oleh orang-orang padepokan itu."
Mahisa Pukat dan Mahisa Ura tidak membantah.
Mereka-pun kemudian dengan hati-hati telah bergeser
meninggalkan tempat mereka.
Keempat orang itupun kemudian telah menyingkir ke
tepi sebuah hutan kecil yang tidak terlalu lebat, tetapi jarang
disentuh kaki manusia. Di tempat ini mereka sempat tidur bergantian meskipun
masing-masing hanya sekejap.
Ketika mereka sudah membenahi diri setelah matahari
terbit. maka Mahisa Murti pun telah bertanya, "Semalam
kau mengatakan untuk menawarkan satu pemecahan
tentang padepokan itu. Tetapi kau belum menyebutnya."
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Katanya, "Di sini
kita lebih leluasa berbincang."
Mahisa Murti mengiakannya sambil mendesak, "Jika
demikian, katakan." Tatas Lintang termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya, "Anak-anak muda. Biarlah aku berterus
terang. Dalam keadaan seperti ini kita telah membentur
pada satu keharusan untuk melakukan langkah terakhir
yang dapat kita laksanakan untuk kepentingan tugas kita.
Karena itu baiklah aku katakan, bahwa selama kita bergaul,
maka aku telah mempercayai kalian sepenuhnya, bahwa
kalian telah mengemban satu tugas tertentu untuk
mengenali dan mengetahui lebih banyak tentang padepokan
itu. Dengan demikian maka aku pun yakin bahwa tugas kita
memang ketemu. Jika aku telah dengan suka rela
memberikan kesempatan kepada kalian untuk menguasai
salah satu kemampuanku yang kebetulan berarti bagi
kalian, itu adalah sebagian dari ujud kepercayaanku. Dan
kini kepercayaanku kepada kalian telah utuh, sehingga
untuk kepentingan tugas ini, aku akan melakukan sesuatu
yang barangkali tidak kalian duga sebelumnya."
"Apa yang akan kau lakukan?" bertanya Mahisa Pukat
yang tidak sabar. "Seperti yang kau pikirkan. Aku akan memanggil
pasukan yang cukup kuat untuk memasuki padepokan itu,"
jawab Tatas Lintang. Ketiga orang muda itu tertegun. Namun kemudian
Mahisa Pukat pun bertanya, "Pasukan apa dan dari mana"
Apakah kau mempunyai pasukan" Jika yang kau lakukan
itu seperti yang ingin kami lakukan, pergi ke Kediri atau
Singasari, maka jawabnya akan sama saja dengan jawaban
yang pernah kau berikan kepada kami."
"Aku dapat mengambil pasukan dari jarak yang lebih
dekat," berkata Tatas Lintang.
"Siapakah kau sebenarnya?" bertanya Mahisa Murti,
"pertanyaan ini belum kau jawab, sementara itu kau sudah
dapat meraba kedudukan kami. "
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya,
"Jika kalian sependapat, aku akan mengambil pasukan dari
Pakuwon Lemah Warah."
"Pakuwon Lemah Warah telatah Kediri?" bertanya
Mahisa Murti. "Ya. Lemah Warah telatah Kediri. Pasukan Lemah
Warah akan dapat membantu kita memasuki padepokan ini
sementara Pakuwon itu tidak terlalu jauh dari tempat ini.
Jika kita berjalan terus dengan waktu beristirahat
seperlunya, sehari-semalam kita akan sampai. Dengan
demikian, maka pasukan itu akan sampai di sini dalam
waktu dua hari dua malam. Tetapi jika kita harus ke Kediri
atau ke Singasari, maka jaraknya akan berlipat ganda."
jawab Tatas Lintang. "Apakah kau salah seorang Senapati dari Pakuwon
Lemah Warah?" bertanya Mahisa Pukat.
Tatas Lintang termangu-mangu sejenak. Dipandangi
ketiga orang anak muda itu berganti-ganti, ia memang
nampak ragu-ragu. Namun akhirnya ia menemukan
kepercayaan yang utuh itu kembali.
Karena itu, maka ia merasa tidak perlu untuk ragu-ragu
lagi. Untuk menghadapi tugas yang penting dan berbahaya
itu ia memang memerlukan orang-orang seperti ketiga
orang anak muda itu, yang nampaknya dengan ikhlas telah
melakukan satu pengabdian tanpa menghiraukan bahaya
yang dapat mengancam jiwa mereka.
Dengan demikian, maka akhirnya Tatas Lintang itupun
berkata, "Aku memang seorang di antara para pemimpin
Pakuwon Lemah Warah. Aku adalah Akuwu di Lemah
Warah." Wajah ketiga anak muda itu berubah. Memang
ketegangan telah mencengkam jantung mereka. Sementara
itu, untuk meyakinkan kata-katanya, maka Tatas Lintang
itupun telah menunjukkan sebuah cincin di jari-jari tangan
kanannya, "Lihat, ini adalah cincin pertanda kuasa tertinggi
di Pakuwon Lemah Warah. Jika kalian masih ingin
meyakinkannya, maka kita akan dapat pergi ke Lemah
Warah. Kita akan menyiapkan satu pasukan yang memadai
untuk menguasai padepokan itu."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura itupun
mengangguk hormat. "Maafkan kami Akuwu," desis Mahisa Murti dengan
nada berat, "kami sama sekali tidak mengerti, bahwa kami
telah berhadapan dengan Akuwu dari Lemah Warah."
"Kalian tidak bersalah. Aku memang menghendaki
demikian," jawab Akuwu, "yang penting kemudian, apakah
yang harus kita lakukan."
"Ternyata Akuwu telah melakukan langkah-langkah
yang langsung, turun ke medan yang berat ini." berkata
Mahisa Murti, "agaknya sesuatu yang jarang dilakukan
oleh seorang Akuwu."
"Nah." berkata Tatas Lintang, "biarlah kita sisihkan
persoalan siapa aku. Sekarang, langkah apakah yang paling
baik kita lakukan." "Akuwu," sahut Mahisa Murti, "Akuwu telah
menawarkan satu langkah penyelesaian. Kami menduga,
bahwa tidak ada jalan lain yang lebih baik dari jalan itu."
"Baiklah," berkata Tatas Lintang, "jika demikian, maka
agaknya kita harus segera menyiapkan pasukan itu."
"Apakah Akuwu akan menempuh perjalanan kembali ke
Lemah Warah?" bertanya Mahisa Murti.
"Aku akan berbicara dengan orang-orangku," jawab
Tatas Lintang. "Jadi Akuwu tidak sendiri?" bertanya Mahisa Pukat.
"Sekarang aku sendiri. Tetapi ada saatnya aku tidak
sendiri," jawab Tatas Lintang.
"Jadi demikian, segala sesuatunya terserah kepada
Akuwu," berkata Mahisa Murti, "bahkan kami pun akan
menempatkan diri kami di bawah perintah Akuwu pula.
Namun hendaknya Akuwu mengetahui bahwa kami pun
sedang mengemban tugas dari Sri Baginda."
"Aku juga menjalankan tugas yang sama. Pangeran
Singa Narpada telah memberikan perintah yang sama
kepadaku dan mungkin juga kepada kalian. Aku pun telah
mendapat keterangan dari Pangeran Singa Narpada tentang
kalian. Tetapi Pangeran Singa Narpada menyebut bahwa
kalian hanya berdua saja. Namun tidak mustahil bahwa
kalian telah datang bertiga. Dua di antara kalian kemudian
aku ketahui memenuhi ciri-ciri yang disebutkan oleh
Pangeran Singa Narpada. Meskipun ada juga keraguraguan,
bahkan kadang-kadang timbul niat untuk menolak
kalian, tetapi akhirnya aku mulai percaya. Dan bahkan aku
telah mempercayai kalian sepenuhnya."
Ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya
itupun mengangguk-angguk. Merekapun percaya
sepenuhnya dengan keterangan Tatas Lintang yang
kemudian mengaku sebagai Akuwu dari Lemah Warah itu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian mereka pun telah
bersiap meninggalkan tempat itu ketika Tatas Lintang
mengajaknya. Katanya, "Kita akan pergi ke pasar. Kita
tidak akan mengamati orang-orang padepokan ini. Tetapi
seandainya orang-orang padepokan ini justru melihat kita,
maka kita pun tidak akan merasa keberatan."


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Keempat orang itupun kemudian telah meninggalkan
hutan itu menuju ke pasar terdekat. Mereka singgah di
sebuah mata air kecil untuk membersihkan diri.
Ketika mereka sampai di padukuhan, maka mereka pun
telah mengamati orang-orang yang lewat di jalan-jalan yang
masuk dan keluar dari padukuhan itu, sehingga akhirnya
mereka melihat satu kemungkinan untuk mengikuti arah
menuju ke pasar atau semacamnya.
"Agaknya orang-orang itu menuju ke pasar dengan
barang-barang dagangan mereka," berkata Tatas Lintang.
Ketiga orang anak muda itu mengangguk. Hari memang
masih pagi sehingga mereka memperkirakan bahwa orangorang
itu memang sedang menuju ke pasar.
Ketika mereka mengikuti jalan itu pula, maka akhirnya
mereka pun telah sampai ke pasar pula. Pasar yang cukup
ramai dikunjungi orang. Untuk sesaat Tatas Lintang memandang berkeliling.
Namun akhirnya dilihatnya dua orang berdiri beberapa
langkah dari padanya. Tatas Lintang menggamit Mahisa Murti sambil berkata,
"Dua orang itu adalah dua orang Senapati Pakuwon Lemah
Warah." Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Beberapa kali
ia melihat orang-orang yang mirip atau mungkin juga orang
itu selalu nampak dalam keadaan tertentu. Tetapi tidak
pernah langsung melibatkan diri. Mereka hanya melihat,
memperhatikan dan bahkan kemudian pergi.
Namun ternyata bahwa orang-orang itu mempunyai
hubungan dengan Tatas Lintang.
Tetapi ketiganya sadar, bahwa selain orang-orang yang
berhubungan dengan Tatas Lintang, tentu ada pihak lain
yang juga melakukannya. Karena itu. maka tidak semua orang yang pernah
dilihatnya berada di sekitar mereka tanpa berbuat sesuatu,
adalah orang-orang Tatas Lintang sendiri.
Tetapi yang jelas, bahwa kedua orang itu adalah
Senapati dari Pakuwon Lemah Warah.
Untuk beberapa saat lamanya Tatas Lintang tidak
beranjak dari tempatnya. Namun kemudian Tatas Lintang
itupun berkata, "Marilah. Kita akan pergi ke kedai itu."
Keempat orang itupun kemudian telah memasuki sebuah
kedai. Ternyata kedua orang yang disebut Tatas Lintang
sebagai Senapatinya itupun telah memasuki kedai itu pula
dan duduk tidak terlalu jauh dari padanya.
Tatas Lintang tidak memperhatikan kedua orang itu.
Apalagi ketika ada orang lain yang memasuki kedai itu
pula. Meskipun demikian Tatas Lintang sempat memberi
isyarat kepada kedua orang itu untuk menemuinya.
Karena itu, setelah mereka selesai makan dan minum,
maka mereka pun telah meninggalkan kedai itu. Baru
beberapa saat kemudian kedua orang Senapati itupun
membayar makanan dan minuman mereka dan
meninggalkan kedai itu. Ternyata kedua orang Senapati itu memang mengamati
dari kejauhan kemana Tatas Lintang pergi. Namun setelah
ia mendapat keyakinan, maka mereka pun berusaha untuk
mengambil jalan lain agar tidak ada orang lain lagi yang
memperhatikan mereka. Ketika Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakunya
sebagai kemanakannya itu sudah berada di sebuah tempat
yang terpencil, di tepian sebuah sungai yang curam dan
menjorok ke dekat pinggir hutan, maka Tatas Lintang telah
membuat api. "Banyak orang membuat api di pategalan. Mudahmudahan
asapnya tidak menarik perhatian secara khusus,"
berkata Tatas Lintang. Ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya itu
mengikutinya dengan tegang. Mereka sempat membantu
mengumpulkan dedaunan dan rerumputan kering.
Kemudian menyulutnya. Asap pun segera mengepul ke udara. Membubung.
Apalagi angin memang tidak sedang bertiup.
Tanpa diketahui maksudnya oleh ketiga orang yang
diakunya sebagai kemanakannya itu, Tatas Lintang telah
melepaskan kain panjangnya dan membasahinya.
Kemudian katanya kepada Mahisa Murti, "Bantu aku.
Pegang ujung kain itu."
Mahisa Murti pun telah melakukannya tanpa
mengetahui maksudnya. Dipeganginya kedua ujung kain
panjang Tatas Lintang, sedang dua sudut di ujung lain
dipegang oleh Tatas Lintang sendiri.
"Ikuti gerak tanganku," berkata Tatas Lintang.
Mahisa Murti mengangguk. Ternyata Tatas Lintang telah menyelubungi asap api
dedaunan dan rerumputan itu sejenak. Kemudian membuka
kembali. Demikian dilakukannya beberapa kali bersama
Mahisa Murti, sehingga asap yang mengepul pun telah
terputus-putus. Barulah Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura
mengerti maksud Tatas Lintang. Agaknya kepulan asap itu
merupakan bahaya syarat yang ditujukan kepada kedua
orang yang telah dipanggilnya untuk menemuinya.
Sebenarnyalah, kedua orang Senapati yang mendapat
pesan untuk menemuinya telah dituntun oleh asap itu.
Mereka yang memang sudah mengamati arah kepergian
Tatas Lintang itupun dengan segera melihat syarat itu,
sehingga beberapa saat kemudian keduanya telah turun pula
ke tepian. Ketika mereka sampai di tempat Tatas Lintang
menunggu, maka keduanya pun segera diperkenalkannya
dengan ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya.
Sementara itu dari pembicaraan itu Mahisa Murti,
Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun yakin, bahwa Tatas
Lintang memang Akuwu dari Lemah Warah.
"Kembalilah," perintah Akuwu Lemah Warah, "bawa
pasukan kemari. Kalian harus membawa orang-orang
terbaik untuk menguasai padepokan itu. Padepokan yang
ternyata dihuni oleh beberapa kelompok perguruan dengan
para pengikutnya yang jumlahnya cukup banyak. Jangan
kurang dari lima ratus orang. Meskipun aku yakin jumlah
orang di Padepokan itu hanya sekitar separuhnya, tetapi
kita tidak mau gagal. Kita harus menangkap semuanya.
Tidak seorang pun boleh lolos. Selebihnya kami juga
memperhitungkan orang-orang yang berilmu tinggi di
antara mereka. Seorang yang berilmu tinggi harus dihadapi
oleh sekelompok prajurit yang mempunyai bekal cukup.
Karena itu kita memang harus membawa prajurit
secukupnya." Kedua Senapati itu mengangguk. Kemudian Tatas
Lintang pun berpesan, "Dalam waktu empat hari lagi, aku
akan menunggu kalian di bukit kembar itu. Kami berada di
antara keduanya. Kami akan berangkat dari tempat itu
lewat tengah malam. Menjelang dini hari kami akan
mengepung padepokan itu. Hanya jika terjadi sesuatu yang
khusus, rencana ini akan berubah."
"Kami akan melakukannya Akuwu," sahut salah
seorang dari kedua orang itu.
"Berhati-hatilah," pesan Akuwu.
"Hamba Akuwu," jawab keduanya hampir berbareng.
"Kita berhadapan dengan kekuatan yang sangat besar
meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak. Ada bermacammacam
ilmu tersimpan di padepokan itu. Karena itu, bawa
orang-orang terbaik. Perintahku kepada Panglima Pasukan
Pengawal Khusus, ia sendiri harus berangkat dengan
sebagian besar dari para pengawal khusus. Tenaga mereka
sangat diperlukan dalam arena seperti yang akan kita
hadapi." berkata Tatas Lintang.
Kedua Senapatinya itupun menangkap semua pesannya.
Kemudian mereka pun telah minta diri untuk melakukan
tugas mereka. Sedangkan dari pembicaraan itu Mahisa
Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura mengetahui, bahwa
masih ada enam orang Senapati yang ada di sekitar
padepokan itu. Ternyata bahwa Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan
Mahisa Ura tidak dapat menangkap apa yang sebenarnya
ada di dekatnya. Ternyata bahwa Tatas Lintang yang
nampaknya sendiri itu memang tidak sendiri, meskipun
pada saat-saat yang penting ia justru memang hanya sendiri.
Kepada Senapati yang memanggil prajurit-prajuritnya
Tatas Lintang pun telah berpesan agar perjalanan mereka
tidak menarik perhatian sehingga orang-orang padepokan
itu tidak mencium rencana itu lebih dahulu, sehingga
mereka akan dapat mengambil langkah-langkah yang tidak
dikehendaki. Sepeninggal kedua orang Senapatinya itu, Tatas Lintang
dan ketiga orang yang disebut kemanakannya itu dengan
sengaja tidak banyak melakukan kegiatan. Mereka lebih
banyak diam dan menyingkir agar tidak memancing
persoalan. Mereka berusaha untuk sekedar mengamati dari
kejauhan dan mempertahankan agar keadaan tetap seperti
itu bagi padepokan yang menjadi sasaran pengintaian
mereka, agar pada saat prajurit mereka datang, padepokan
itu masih tetap dalam keadaannya.
Sementara itu, kedua orang Senapati yang diperintahkan
untuk memanggil pasukan di Pakuwon itupun telah
berusaha dengan bersungguh-sungguh untuk melaksanakan
tugas mereka. Pada saatnya mereka harus sudah kembali
bersama pasukannya dan langsung menuju lembah di
antara dua buah bukit yang disebut sepasang Bukit Kembar.
Ketika keduanya sampai di Pakuwon, maka beberapa
orang Senapati memang menjadi terkejut karena mereka
tidak mengiringkan Akuwu.
Namun yang datang ternyata adalah perintah Akuwu
untuk membawa sedikitnya lima ratus orang langsung di
bawah pimpinan Panglima pasukan Khusus Pakuwon
Lemah Warah. Panglima yang mendapat perintah itupun menyadari,
bahwa tugas itu tentu gawat. Namun sudah menjadi
tugasnya bahwa ia harus melakukannya sebaik-baiknya.
Karena itu, maka tugas itupun dilaksanakannya dengan
cepat dan bersungguh-sungguh, iapun memilih lima ratus
orang terbaik dan kemudian membekali mereka dengan
senjata dan bekal-bekal lain secukupnya.
Tanpa menunggu hari berikutnya, maka pasukan itupun
segera berangkat. Dua orang prajurit yang menjemput
pasukan itupun tidak merasa, letih karena tanggung
jawabnya atas tugas yang dipikulnya.
Meskipun belum dipasang namun pasukan itu juga
membawa tanda-tanda kebesaran Pakuwon Lemah Warah.
Mungkin tanda-tanda itu akan berguna jika mereka telah
berada di lingkungan padepokan Suriantal.
Dalam waktu menunggu. Mahisa Murti, Mahisa Pukat
dan Mahisa Ura telah mengisi waktu mereka dengan
mempertajam kemampuan mereka. Mereka mengadakan
latihan-latihan di tempat yang terasing untuk menghadapi
tugas-tugas mereka, yang berat.
Ternyata dalam waktu menunggu itu, tidak terjadi
sesuatu yang penting yang dapat merubah keadaan. Di
malam hari, keempat orang itu masih berusaha untuk dapat
mengamati padepokan yang menyimpan rahasia yang sulit
untuk dipecahkan. Namun pengamatan mereka itu meyakinkan, bahwa
kekuatan di padepokan itu tidak akan lebih dari lima ratus
orang. Menjelang hari terakhir yang ditentukan, dua orang
Senapati Lemah Warah yang masih berada di sekitar
padepokan itu-pun telah menghubungi Tatas Lintang dan
memberikan laporan kegiatan yang meningkat dari orangorang
padepokan itu. "Nampaknya mereka sedang mencari seseorang,"
berkata Salah seorang Senapati itu.
"Mereka mencari kami," jawab Tatas Lintang itu,
"mereka tentu menganggap bahwa tiba-tiba saja kami telah
menghilang. Namun dengan demikian mereka tentu akan
menjadi curiga. Mungkin mereka akan mengambil langkahlangkah
yang tidak kita perhitungkan sebelumnya. Karena
itu, maka pengawasan atas mereka harus diperluas."
Namun hari yang mereka tunggu itupun telah datang.
Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakunya sebagai
kemanakannya itupun telah pergi ke lembah di antara dua
bukit kembar. Mereka akan menjemput pasukan yang
datang dari Pakuwon Lemah Warah.
Tatas Lintang mengangguk-angguk ketika ia melihat
pasukannya. Benar-benar pasukan sebagaimana
dikehendaki yang dipimpin langsung oleh Panglima
pasukan Pengawal Khusus yang memang memiliki ilmu
yang tinggi. Tatas Lintang telah memperkenalkan ketiga orang anak
muda itu. Namun kepada pasukannya Tatas Lintang tetap
menyebut mereka sebagai kemanakannya.
"Aku memang telah memanggilnya dari Kediri untuk
membantuku," berkata Tatas Lintang.
"Apakah mereka prajurit Kediri?" bertanya Panglima itu.
"Ya. Mereka memang prajurit Kediri," jawab Tatas
Lintang, "karena itu kebetulan sekali, bahwa kita sedang
bersiap-siap untuk menyelesaikan tugas ini, karena ketiga
orang kemanakanku ini pun sedang menangani persoalan
yang sama, juga atas perintah Pangeran Singa Narpada."
Panglima pasukan Pengawal Khusus itu menganggukangguk.
Namun karena Akuwu Lemah Warah
mempercayai ketiga anak muda yang disebut
kemanakannya itu, Panglimanya tentu mempercayainya
juga. Dengan cepat Akuwu Lemah Warah itu menyiapkan
pasukannya. Namun ternyata bahwa sergapan kepada atas
padepokan itu ditunda sehari untuk memberi kesempatan
kepada pasukan itu untuk beristirahat.
Pada saat pasukannya beristirahat, di malam hari Tatas
Lintang telah membawa Panglimanya untuk melihat


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padepokan. Mereka akan mengatur cara yang terbaik untuk
memecahkan pertahanan padepokan itu dan mencegah
orang-orang yang berusaha untuk melarikan diri.
Bersama dengan ketiga orang yang diakunya sebagai
kemanakannya itu, maka mereka telah menentukan
beberapa hal tentang arah pasukan Lemah Warah yang
akan mengepung padepokan itu.
"Sebagian dari pasukan kita akan memasuki padepokan
itu," berkata Tatas Lintang, "sebagian yang lain akan
berada di luar." Panglima pasukan pengawalnya mengangguk-angguk, ia
sependapat dengan Akuwunya. Jika ada di antara orangorang
padepokan yang berusaha melarikan diri, maka para
prajurit yang ada di luar padepokan akan dapat menangkap
mereka." "Kita jangan mengguncang sarang lebah," berkata Tatas
Lintang selanjutnya, "jika orang-orang padepokan itu
sempat melarikan diri berpencaran, maka orang-orang itu
merupakan orang yang sangat berbahaya. Mereka akan
melepaskan dendam mereka kepada siapapun juga dan
barangkali juga untuk hidup mereka, maka mereka akan
menjadi benalu yang justru akan dapat membunuh tempat
yang dilekatinya. Selanjutnya, setelah menjadi kebiasaan,
mereka akan dapat menjadi perampok-perampok yang
sangat garang." "Hamba Akuwu," jawab panglima itu, "hamba akan
berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya agar tidak seorang
pun dapat melepaskan diri. Seandainya itu tidak mungkin,
maka kita akan berusaha sedikit mungkin orang yang dapat
lepas dari tangan kami."
"Nah, terserah kepadamu, siapakah yang akan
memasuki padepokan dan siapa yang akan berada di luar.
Demikian juga perbandingan jumlah. Sementara itu, kita
harus memperhitungkan bahwa orang-orang di padepokan
itu akan dapat melarikan diri lewat jalan yang manapun
juga," berkata Tatas Lintang.
"Hamba Akuwu," jawab Panglimanya, "hamba akan
mengaturnya. Namun sesuai dengan keterangan yang
hamba terima bahwa yang ada di dalam padepokan itu
jumlahnya kira-kira hanya separuh dari pasukan kita, maka
yang akan memasuki padepokan itupun kira-kira hanya
separuh pula. Yang lain akan berada di luar mengelilingi
padepokan itu, dan sekelompok pasukan cadangan akan
berada di sebelah dalam gerbang. Pasukan cadangan ini
akan dapat dipergunakan di dalam dan di luar jika
diperlukan sekali dengan isyarat tertentu."
Akuwu Lemah Warah itu mengangguk-angguk.
Katanya, "Aku sependapat. Tetapi aku perintahkan orangorang
terbaik akan memasuki padepokan itu bersama kami
berempat. Sebaiknya kalian tahu, bahwa di dalam
padepokan itu terdapat beberapa orang berilmu tinggi.
Karena itu, maka setiap prajurit harus menyadari apa yang
akan mereka hadapi. Mungkin mereka harus
mempersiapkan kelompok-kelompok kecil dari dua orang
sampai sepuluh orang. Mungkin mereka akan bertemu
dengan orang-orang yang berilmu tinggi itu."
"Hamba akan mengaturnya Akuwu. Hamba akan
berbicara dengan para pemimpin kelompok agar mereka
memperhatikan setiap pesan sebaik-baiknya," jawab
panglima itu. "Jika kita gagal, maka sama artinya dengan kita akan
menyebar bencana. Aku harus mempertanggung jawabkan
kepada pemimpin pemerintahan di Kediri. Dengan
hadirnya ketiga orang kemanakanku ini maka aku tidak
dapat mengingkari setiap tanggung jawab itu."
Panglima itu tidak menjawab. Tetapi pada wajahnya
nampak kesungguhan tekadnya untuk melaksanakan
perintah Akuwu itu sebaik-baiknya.
Setelah beberapa lama mereka mengamati tempat itu,
maka mereka pun telah meninggalkannya kembali ke
tempat pasukan mereka beristirahat. Di lembah di antara
Sepasang Bukit Kembar. Daerah yang seakan-akan tertutup
bagi orang lain. Di hari berikutnya, pasukan itu telah mendapat pesan
yang lengkap tentang sasaran yang akan mereka masuki.
Mereka telah mendapat gambaran yang jelas, apa yang
akan mereka hadapi serta kemungkinan yang paling buruk
sekalipun. Karena itu, maka para pemimpin kelompok harus
memegang peran yang hidup di setiap medan. Mereka
harus cepat mengambil langkah jika dihadapi persoalanpersoalan
yang gawat. Sisa waktu yang ada telah dipergunakan oleh pasukan itu
untuk beristirahat secukupnya. Mereka harus menyimpan
tenaga untuk pertempuran yang mungkin akan memerlukan
waktu yang lama. Menjelang malam hari, maka semua persiapan telah
mapan. Semua senjata telah diteliti dan benar.-benar siap
untuk dipergunakan. Yang ragu-ragu telah mengganti dan
senjatanya dengan yang baru. Namun senjata yang
memiliki nilai tersendiri, betapapun juga ujudnya, senjata
itu tidak akan terlepas dari tangan meskipun pemiliknya
mungkin membawa senjata lain sebagai rangkapannya.
Ketika saatnya para prajurit yang merangkap menjadi
juru masak mempersiapkan makan mereka, maka
diperintahkan kepada mereka untuk berhati-hati. Bukan
saja agar api yang mereka pergunakan tidak nampak dari
kejauhan, juga jangan sampai menimbulkan kebakaran
hutan di sekitarnya. Setelah semua siap, maka pasukan itupun telah
menyusun diri men jelang tengah malam. Mereka telah
makan dan mengisi kantong-kantong mereka dengan
makanan yang dapat mereka bawa ke medan. Jika mereka
bertempur sampai sehari penuh, maka mereka tidak akan
kehabisan tenaga. Di dalam kantong-kantong kecil mereka
membawa jenis-jenis makanan yang tahan lama.
Demikianlah, lewat tengah malam pasukan itupun mulai
bergerak. Dengan sangat berhati-hati mereka telah
mendekati padepokan. Sebagaimana mereka rencanakan,
maka ketika pasukan itu mendekati sasaran, maka mereka
telah membagi diri. Separuh lebih sedikit akan memasuki
padepokan. Namun mereka tidak akan mengambil jalan
pintu gerbang seluruhnya. Sebagian di antara mereka akan
meloncati dinding. Hanya sebagian sajalah yang akan
memasuki pintu gerbang, sementara sekelompok akan
merupakan pasukan cadangan yang bersiap di pintu
gerbang. Perlahan-lahan tetapi pasti pasukan itu menjadi semakin
dekat dari beberapa arah. Kelompok-kelompok itu telah
merayap mendekat, sementara belum ada pertanda apapun
yang nampak. Panji-panjipun masih digulung meskipun
pada tunggulnya. Ketika mereka telah berada di seputar padepokan itu,
maka pasukan itupun terhenti. Mereka menunggu saatnya
untuk menyerang. Namun sementara itu Tatas Lintang
telah memerintahkan pasukan yang berada di depan pintu
gerbang padepokan itu bersiaga sepenuhnya sebagaimana
sepasukan prajurit dari sebuah Pakuwon.
Menjelang fajar, maka Tatas Lintang telah
memerintahkan untuk mengurai segala macam pertanda.
Umbul-umbul, rontek dan panji-panji. Kemudian
terdengarlah sangkala yang berbunyi nyaring.
Seisi padepokan itu terkejut. Merekapun berloncatan
bangun dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Ketika beberapa orang sempat menengok lewat pintu
gerbang, mereka pun terkejut.
Dalam keremangan pagi mereka melihat sekelompok
pasukan dengan berbagai pertanda kebesaran berada
dihadapan padepokan mereka.
Sementara itu, Tatas Lintang yang berdiri di paling
depan dihadapan tunggul pertanda kebesaran Pakuwon
Lemah Warah berdiri sambil bertolak pinggang. Dengan
lantang iapun kemudian berkata, "Saudara-saudaraku seisi
padepokan. Aku. Akuwu Lemah Warah, atas nama
Kekuasaan Kerajaan Kediri memerintahkan kepada kalian
untuk menyerah. Tidak ada pembicaraan yang akan
dilakukan sebelumnya selain bahwa kalian harus
menyerah." Para pemimpin padepokan itu mengumpat sejadijadinya.
Mereka merasa heran, bahwa mereka tidak tahu
sebelumnya hal seperti itu akan terjadi. Mereka sebelumnya
selalu mengamati orang-orang yang mereka curigai. Tetapi
bahwa orang-orang itu tiba-tiba saja membawa sepasukan
dalam jumlah yang cukup banyak serta pertanda kebesaran
sebuah pakuwon, tidak pernah mereka bayangkan.
Seorang diantara para pemimpin itu bergumam, "Satu
kelengahan yang gawat."
Seorang yang lain menyahut, "Kita tidak mempunyai
dugaan sama sekali bahwa salah seorang diantara mereka
adalah Akuwu dari salah satu Pakuwon, yang ternyata
kuasa mendatangkan pasukan yang cukup besar dengan
pertanda kebesaran. Menilik kemampuan orang-orang yang
kita jumpai, kita menduga bahwa mereka adalah orangorang
dari perguruan-perguruan yang memiliki dasar ilmu
yang tinggi. Biasanya para prajurit dan Senapati tidak
memiliki kemampuan secara pribadi yang mampu
mencapai tataran itu."
"Mereka agaknya memang bukan prajurit. Tetapi mereka
adalah orang-orang yang mendapat tugas, mungkin dengan
upah yang sangat tinggi selain Akuwu itu sendiri," sahut
yang lain lagi. "Baiklah," berkata seorang yang berjambang keputihan,
"kita sudah tidak mempunyai waktu lagi. Kita harus
menghadapi mereka. Menurut perhitunganku, jumlah
mereka tidak terlalu banyak. Kita akan menerima mereka
dengan senang hati siapapun mereka. Biarlah mereka
masuk. Kemudian kita akan melumatkannya disini."
Para pemimpin padepokan itu mengangguk-angguk.
Sebenarnyalah bahwa mereka terdiri dari beberapa orang
yang memiliki dasar ilmu yang berbeda-beda. Seorang
diantara mereka adalah orang bertongkat dan pada tongkat
itu terdapat batu yang berwarna kehijauan itu. Sementara
yang lain adalah orang yang mampu menguasai binatang
dengan ilmu gendamnya. Seorang lagi memiliki
kemampuan untuk menyusup ke dalam diri seseorang yang
tidak memiliki ketahanan jiwani yang tinggi dan beberapa
orang pemimpin lainnya yang berilmu tinggi pula.
Karena tidak segera terdengar jawaban, maka Tatas
Lintang pun, berteriak lagi, "Aku masih memberi
kesempatan kepada kalian untuk menyerah. Sebenarnya,
kami dapat menghancurkan kalian dalam kelengahan. Jika
kami menghendaki, kami dapat memasuki padepokan
kalian dan dengan kasar membunuh sebanyak-banyaknya.
Tetapi hal itu tidak kami lakukan. Kami justru telah
membangunkan kalian dan mempersilahkan kalian bersiap
menghadapi kedatangan kami. Dengan demikian, prajurit
dari Pakuwon Lemah Warah adalah prajurit jantan yang
tidak merunduk musuhnya selagi mereka lengah."
Yang kemudian menjawab adalah orang bertongkat.
Sambil mengacukan tongkatnya yang di kepalanya terdapat
batu yang berwarna kehijauan itu ia menjawab, "He, orangorang
Lemah Warah. Meskipun kami tidak mengira akan
kedatangan kalian, maka kami boleh memuji kejantanan
kalian yang telah membangunkan kami. Kalian agaknya
tidak mau menyerang kami sambil merunduk. Tetapi
agaknya itu sama sekali bukan sifat kejantanan
sebagaimana yang kami kira sebelumnya, karena
sebenarnyalah hal itu kalian lakukan karena kesombongan
kalian." Tatas Lintang mengerutkan keningnya. Namun iapun
kemudian berkata pula, "Apapun yang kalian katakan, aku
memerintahkan kalian menyerah. Jika tidak, maka kami
akan mempergunakan kekerasan untuk memaksa kalian
menyerah. Mungkin diantara kita akan jatuh korban. Dan
kalianlah yang harus bertanggung jawab atas korban-korban
itu, karena jika kalian tidak melawan, maka korban itu
tidak akan timbul." "Gila," teriak orang bertongkat itu, "enak sekali. Kalian
dengan sewenang-wenang menjatuhkan tanggung jawab di
tangan kami. He, orang-orang Lemah Warah. Katakan,
seandainya kalian tidak mengganggu kami, apakah akan
jatuh korban?" "Menggulung isi padepokan ini termasuk tugas kami.
Karena itu harus kami laksanakan atas perintah Sri Baginda
di Kediri," jawab Tatas Lintang.
"Omong kosong," teriak orang bertongkat itu. Namun
sebelum ia melanjutkan kata-katanya Tatas Lintang telah
berkata lantang pula, "Kau lihat pertanda kebesaran kami.
Kami adalah pasukan yang dilindungi oleh kekuasaan
Kediri yang sah. Nah, sekali lagi aku perintahkan kalian
menyerah. Kediri tidak akan berbuat apa-apa selain sekedar
mengetahui dan memastikan, siapakah kalian sebenarnya
dan apakah langkah-langkah yang kalian lakukan di Kediri
itu mempunyai latar belakang tertentu yang berakar pada
satu keyakinan yang mapan."
Orang bertongkat itu mengumpat. Namun orang-orang
didalam padepokan itu mulai mengetahui apakah
sebenarnya yang mereka hadapi. Dengan demikian mereka
pun menyadari, bahwa mereka telah langsung berhadapan
dengan kekuasaan Kediri lewat Akuwu Lemah Warah.
"Kami memang telah menunggu," berkata orang
bertongkat itu lantang, "tetapi kenapa kalian datang hanya
dengan sekelompok kecil prajurit Pakuwon Lemah Warah"
Apakah kalian memang dengan sengaja membunuh diri."
"Tidak ada kesempatan untuk berbuat apapun," berkata
Tatas Lintang, "kalian harus membiarkan kami
melaksanakan tugas kami menangkap kalian dan
menghadapkan kalian kepada Sri Baginda untuk
memastikan, apakah sebenarnya pernah kalian lakukan,
sehingga kalian berani menyentuh Gedung Perbendaharaan


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kediri." "Fitnah apa lagi yang telah dilancarkan orang terhadap
padepokan ini," berkata orang bertongkat itu, "tetapi
persetan dengan segala macam igauan itu. Aku berharap
tinggalkan padepokan kami dalam keadaan tenang dan
damai." "Jangan ingkar dengan cara yang kasar seperti itu,"
berkata Tatas Lintang, "jika kalian tidak merasa bersalah,
kenapa kalian dengan segala macam cara menolak
kehadiran kami dilingkungan ini" Kalian ternyata telah
mencurigai setiap orang yang baru datang di tempat ini.
Kalian telah mencurigai tiga orang pedagang batu akik dan
besi bertuah yang berada di sekitar tempat ini, sejak di
padukuhan yang masih agak jauh. Kalian mencurigai aku
yang tinggal di padukuhan yang juga tidak terlalu dekat."
Dan apalagi ketika diantara kami mendekati batu
berwarna kehijauan itu" He, apakah hubungan antara batu
yang berwarna kehijauan itu dengan benda yang paling
berharga dari Kediri itu?"
"Persetan," geram orang yang memiliki kemampuan
menguasai tubuh orang lain dan mempergunakannya,
"jangan banyak bicara. Kami memang sudah menduga, dari
manapun asalnya, kalian tentu akan mengganggu kami.
Karena itu, maka sudah sepantasnya jika kami berusaha
mengusir kalian dengan cara-cara yang mampu kami
lakukan. Sekarang ternyata kalian telah bertindak dengan
langkah-langkah yang lebih kasar lagi. Seolah-olah kalian
mempunyai wewenang untuk menangkap kami. Tetapi
yang akan kalian lakukan tidak lebih dari membunuh diri."
"Sekali lagi aku perintahkan, atas nama Sri Baginda di
Kediri, menyerahlah. Segala sesuatu yang menyangkut
dengan kalian, akan dilakukan oleh Sri Baginda sendiri,"
berkata Tatas Lintang. "Baiklah," berkata Tatas Lintang kemudian karena sama
sekali tidak ada tanggapan, "aku beri kesempatan kepada
kalian untuk membicarakan agar keputusan yang kalian
ambil tidak akan kalian sesali di kemudian."
Orang-orang yang berada di padepokan itu masih tetap
berdiam diri. Tetapi sebenarnyalah bahwa mereka tidak
sekedar diam. Para pemimpin di padepokan itu telah
memerintahkan semua orang didalam padepokan itu untuk
bersiap. Sementara itu, dua orang diantara para pemimpin di
regol itu telah dengan langkah yang cepat menuju ke barak
induk dari padepokan itu. Seorang diantara keduanya
berpesan dengan kawannya yang tinggal, "Usahakan untuk
menunda gerakan mereka beberapa saat. Aku akan
berhubungan dengan Panembahan."
Kawannya mengangguk. Sementara itu, kedua orang
yang lain berusaha untuk menemui seseorang yang
disebutnya sebagai Panembahan.
Orang yang disebut Panembahan itupun kemudian
berkata, "Tidak ada cara lain. Hancurkan mereka. Aku
akan bertanggung jawab jika Kediri akan mengambil
tindakan balasan. Masih ada waktu untuk memikirkannya."
"Baik Panembahan," jawab salah seorang dari kedua
pemimpin itu, "jika demikian kita memang akan
menghancurkan mereka."
Demikianlah maka para pemimpin dipadepokan itu telah
mendapatkan satu keputusan. Mereka akan menghancurkan
para prajurit Pakuwon Lemah Warah yang akan memasuki
padepokan itu. Karena orang-orang padepokan itu sama sekali tidak
menghiraukan perintah Tatas Lintang, maka Akuwu
Lemah Warah itupun telah mengambil satu keputusan
untuk menyerang padepokan itu. Dengan kelompokkelompok
yang berada di depan padepokan itu, maka Tatas
Lintang telah bersiap sepenuhnya.
Sementara itu. sebenarnyalah pasukan Tatas Lintang
yang berada di seputar padepokan itu hampir tidak sabar
lagi. Mereka tidak banyak mendengar pembicaraan antara
Tatas Lintang dengan orang-orang di padepokan itu.
Namun akhirnya Tatas Lintang pun sampai kepada batas
kesabarannya. Katanya, "Aku tidak mempunyai waktu lagi.
Jawablah sekarang perintahku. Menyerahlah."
"Persetan," teriak orang bertongkat di padepokan itu
setelah mendapat kepastian sikap Panembahan, "marilah.
Jika kalian ingin membunuh diri biarlah kami
membantunya." Tatas Lintang tidak bertanya lagi. Diperintahkannya dua
orang diantara prajuritnya untuk meniup sangkakala.
Pertanda bahwa pasukan Tatas Lintang itu harus bersiap
untuk menyerang." Semua prajurit pun telah bersiap pula. Suara sangkakala
telah menggema melingkari padepokan itu sehingga semua
prajurit telah mendengarnya. Dengan tegang mereka
menunggu isyarat berikutnya, sebagai pertanda untuk
menyerang. Ketegangan pun segera telah meningkat. Semua senjata
telah bergetar di tangan. Dan kaki pun telah bersiap untuk
meloncat. Tatas Lintang masih menunggu sejenak, ia memberi
kesempatan semua prajuritnya berada pada kesiagaan
tertinggi sebelum isyarat menyerang dibunyikan.
Ketika menurut perhitungan Tatas Lintang semuanya
telah bersiap, maka ia telah memerintahkan untuk sekali
lagi meniup sangkakala. Demikianlah ketika suara sangkakala itu menggema,
maka pasukan dari Lemah Warah itupun telah meloncat
menyerang. Yang bergerak lebih dahulu adalah mereka
yang berada di depan pintu gerbang Padepokan itu.
Beberapa kelompok kecil dengan kelengkapan pertanda
kebesaran Pakuwon Lemah Warah, serta pelimpahan kuasa
Kediri telah bergerak dengan cepat menuju ke pintu
gerbang. Namun di pintu gerbang itu para penghuni padepokan
itupun telah bersiap pula. Bahkan di sebelah menyebelah
gerbang, beberapa orang telah siap diatas dinding dengan
busur dan anak panah. Orang-orang padepokan itu sama sekali tidak merasa
gentar melihat kehadiran pasukan yang tidak begitu banyak
itu. Bahkan beberapa orang diantara mereka sempat
menjadi heran, bahwa pasukan yang itu telah membawa
pertanda kebesaran Lemah Warah, dan bahkan Kediri.
Sejenak kemudian maka di depan pintu gerbang itupun
telah terjadi benturan antara kedua pasukan. Orang-orang
padepokan itu menunggu dengan tenang di pintu gerbang.
Mereka yakin, jika pasukan Lemah Warah itu tidak
menyingkir, maka mereka akan membunuh sampai orang
yang terakhir. Dalam pertempuran itu, Tatas Lintang, Mahisa Murti
Mahisa Pukat, Mahisa Ura dan Panglima pasukan
Pengawal Khusus dari Lemah Warah telah langsung
melibatkan diri. Untuk memasuki pertempuran, mereka
masih belum mempergunakan kemampuan ilmu mereka
yang nggegirisi. Tetapi mereka masih mempergunakan
senjata sewajarnya sebagaimana para prajurit yang lain.
Di tangan Tatas Lintang digenggam sebatang tombak
pendek, sementara Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan
Mahisa Ura telah mempergunakan pedang pilihan
sedangkan Panglima Pasukan Khusus Pakuwon Lemah
Warah itu telah mempergunakan sebilah luwuk yang besar
dengan perisai di tangan kiri.
Dengan kemampuan olah senjata yang tinggi, maka
mereka telah berusaha untuk memecahkan pertahanan
orang-orang Padepokan itu, sementara para pemimpin
padepokan itupun belum sempat mempergunakan
kemampuan ilmu mereka karena benturan yang hiruk
pikuk. Namun akhirnya, pemimpin padepokan itu telah
memerintahkan agar orang-orangnya menahan agar
pasukan Lemah Warah tidak sempat memasuki padepokan.
"Usir mereka keluar." teriak orang bertongkat, "kita
akan membunuh mereka diluar padepokan. Jangan kotori
padepokan ini dengan darah mereka."
Orang-orang padepokan itu telah berusaha justru
mendesak pasukan Lemah Warah. Orang-orang yang
berdiri diatas dinding padepokan sebelah menyebelah regol
telah berusaha untuk mendesak pasukan Lemah Warah
dengan anak panah. Namun para prajurit Lemah Warah mampu melawan
anak panah yang meluncur seperti hujan. Sebagian dari
mereka mempergunakan perisai sementara yang lain
mampu menangkis anak panah yang meluncur itu dengan
senjata-senjata mereka. Pertempuran di pintu gerbang itupun semakin lama
menjadi semakin sengit. Para pemimpin padepokan itupun
telah berada di pintu gerbang pula. Jika para pemimpin dari
Lemah Warah itu mendesak orang-orang padepokan itu,
maka para pemimpin merekalah yang akan menahannya.
Namun orang-orang padepokan itu terkejut ketika
mereka mendengar sekali lagi suara sangkakala. Suara yang
nyaring memekik menggetarkan udara.
"Apalagi yang akan terjadi?" bertanya orang-orang
padepokan itu. Sebenarnyalah perintah itu diperuntukkan bagi para
prajurit yang berada di seputar padepokan. Tatas Lintang
telah memerintahkan dua orang peniup sangkakala, bahwa
mereka harus membunyikannya pada saat pasukan di pintu
gerbang itu sudah terlibat dalam pertempuran.
Sejenak kemudian orang-orang padepokan itu tercenung.
Mereka mendengar sorak yang mengguntur di sekitar
padepokan mereka. Namun mereka terlambat menyadari,
bahwa serangan dapat saja datang melalui segala arah.
Karena itulah, maka orang-orang padepokan itu tidak
siap menerima serangan itu. Orang-orang yang bertugas
berjaga-jaga di sudut padepokan. memang melihat orangorang
yang kemudian berloncatan dari balik gerumbulgerumbul
dan langsung meloncati dinding padepokan.
Pertempuran memang telah terjadi. Orang-orang
padepokan yang lain, yang sempat menarik diri dari sekitar
pintu gerbang telah berusaha untuk menyongsong mereka.
Tetapi para prajurit Lemah Warah sebagian telah berhasil
memasuki padepokan. Sejenak kemudian memang terjadi kekacauan didalam
padepokan. Beberapa orang pemimpin yang berada di
sekitar regol memang telah menarik diri untuk mengatasi
keributan yang terjadi. Namun para prajurit Lemah Warah
yang berada didalam padepokan telah memencar dan
menyerang isi barak-barak yang tersisa.
Dengan demikian maka pertempuran telah merata.
Sebagian dari prajurit Lemah Warah telah menuju ke pintu
gerbang. Mereka telah menyerang orang-orang padepokan
yang berkumpul di belakang pintu gerbang untuk
menunggu pasukan Lemah Warah.
Namun ternyata bahwa mereka telah mendapat serangan
justru dari arah belakang mereka.
Sementara itu, sebagian dari prajurit Lemah Warah
memang masih berada diluar padepokan. Mereka mendapat
tugas untuk menjaga agar tidak ada seorang pun yang dapat
lolos. Namun jika diperlukan mereka akan dapat ditarik
untuk memasuki padepokan itu juga.
Untuk beberapa saat yang terjadi adalah perang brubuh.
Perang yang hiruk pikuk. Semakin lama maka arena pun menjadi semakin luas.
Bahkan kemudian pertempuran pun terjadi di scluruh sudut
padepokan. Orang-orang padepokan yang semula berada di
sekitar pintu gerbang telah memencar pula untuk melawan
para prajurit Lemah Warah.
Demikian pula para pemimpin padepokan itu. Mercka
pun telah berpencar untuk mengatasi kebingungan yang
untuk sementara terjadi di padepokan.
Namun dalam hiruk pikuk itu. terdapat sebuah bangunan
yang sepi. Tidak seorang pun mengerti, kenapa di sekitar
dan didalam rumah yang satu itu tidak terjadi pertempuran.
Pasukan Lembah Warah yang bertempur di seluruh
lingkungan padepokan, tanpa sadar telah menghindari
rumah itu. Orang-orang padepokan itu sendiri, yang melawan para
prajurit Lemah Warah dimanapun mereka bertemu, tidak
pula berada di sekitar rumah itu, karena di tempat itu tidak
terdapat prajurit Lemah Warah. Mereka bertempur diantara
dinding-dinding barak dan diantara pepohonan di halaman
dan kebun padepokan. Menyusup diantara gerumbulgerumbul
perdu dan rumpun bambu, berkejaran di antara
lorong-lorong sempit. Sekelompok prajurit yang menghadapi sekelompok
orang-orang padepokan itu telah bertempur dengan
garangnya. Ternyata seperti yang telah diperhitungkan,
bahwa orang-orang di padepokan itu memiliki kemampuan
yang memadai. Mereka adalah murid-murid terpercava dari
beberapa perguruan yang telah berada di satu padepokan.
Namun seperti perintah Tatas Lintang, yang dibawa oleh
Panglima Pasukan Pengawal Khusus itupun prajuritprajurit
yang terpilih pula. Seandainya Tatas Lintang tidak
memanggil orang-orang terbaik dari Lemah Warah. maka
keadaannya akan berbeda. Korban akan berjatuhan. Dan
prajurit Lemah Warah pun akan merasa bahwa mereka
tidak akan mampu mengimbangi lawan mereka.
Tetapi para prajurit terpilih itu telah mendapat latihan
khusus, sehingga tubuh dan jiwa mereka telah ditempa
dengan laku yang berat. Ketika seorang prajurit yang tergeser dari kelompoknya
menyuruk diantara rumpun bambu yang lebat, tiba-tiba saja
dihadapannya telah berdiri seorang laki-laki yang
berjambang lebat. Rambutnya yang keriting terurai di
pundaknya. Seutas tali melilit di dahinya, sementara di
lehernya bergantungan berbagai macam benda yang
dianggapnya memiliki kekuatan yang akan dapat
mempertebal tataran kemampuan dan ilmunya.


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Prajurit Lemah Warah itu memang menjadi berdebardebar
melihat ujud orang itu. Tetapi ketika ia diluar
sadarnya melihat ujung pedangnya. maka hatinya mulai
mapan, ia menyadari kedudukannya, ia adalah prajurit
pilihan dari Lemah Warah.
Sesaat keduanya saling berpandangan. Namun kemudian
terdengar orang itu menggeram, "Kau tidak mempunyai
kesempatan untuk lari tikus kecil."
Jantung prajurit itu memang berguncang mendengar
kata-kata orang itu. Namun sekali lagi ia memandang ujung
pedangnya yang runcing melampui ujung duri landak.
Kemudian terdengar suaranya dengan nada rendah, "Kau
mencoba untuk menyembunyikan rasa takutmu dengan
ancaman-ancaman seperti itu?"
Orang itu mengerutkan keningnya. Hampir diluar
sadarnya ia berdesis, "Takut" Apa artinya takut he" Apalagi
menghadapi tikus kecil seperti kau ini?"
Tetapi prajurit itupun tertawa, "Kau sadar, bahwa kau
berhadapan dengan prajurit pilihan dari Pakuwon Lemah
Warah. Itulah sebabnya kau harus berusaha untuk
membesarkan hatimu sendiri."
"Gila," orang itu mengumpat, "bagaimana mungkin kau
dapat berkata seperti itu" Apa artinya bagiku, prajurit
pilihan dari Lemah Warah. Kenapa bukan Akuwu itu
sendiri yang datang ke hadapanku."
"Kita berada di arena pertempuran Ki Sanak," jawab
prajurit itu sambil mengacukan ujung pedangnya yang
runcing tajam, "jangan mengigau seperti itu."
Orang berjambang itu mengangguk kecil. Senjatanya pun
mulai terangkat. Sebuah bindi yang besar.
"Kau akan aku lumatkan sebelum kau sempat berteriak
minta tolong kepada kawan-kawanmu," geram orang itu.
Prajurit Lemah Warah itu tidak menjawab. Tetapi
pedangnya pun mulai bergetar. Perlahan-lahan ujungnya
telah bergeser mengarah ke dada orang berjambang itu.
Namun tiba-tiba prajurit itu harus meloncat surut.
Lawannya telah mulai menyerangnya dengan
mengayunkan bindinya yang besar dan berat, namun yang
nampaknya tidak lebih berat dari sepotong lidi saja
ditangannya. Karena bindi itu tidak mengenai sasarannya, maka yang
terdengar kemudian adalah suara, gemerasak batang-batang
bambu yang berpatahan. Prajurit itu menjadi berdebar-debar. Kekuatan orang itu
memang luar biasa. Namun ia tidak mau dianggap lebih
lemah. Karena itu, maka iapun telah mempergunakan
kesempatan yang terbuka untuk menyerang lawannya justru
pada saat bindi itu sedang terayun mematahkan pohonpohon
bambu. Orang berjambang itu memang tidak sempat menangkis
serangan yang datang begitu cepatnya. Karena itu, maka
iapun telah meloncat pula surut.
Yang terjadi juga mengejutkan. Ketajaman pedang itu
ternyata telah sempat menebas putus beberapa batang
pohon bambu. Keduanya pun kemudian telah berhadapan lagi dalam
kesiagaan penuh. Namun keduanya telah melihat kelebihan
masing-masing, sehingga karena itu, maka mereka pun
menjadi semakin berhati-hati.
Prajurit pilihan dari Lemah Warah itu menyadari bahwa
bindi lawannya itu akan dapat mematahkan tulangtulangnya
jika ia tersentuh ayunannya. Sebaliknya orang
berjambang itu sadar sepenuhnya bahwa goresan ujung
pedang prajurit itu akan dapat mengoyak kulit dagingnya.
Karena itu, ketika keduanya kemudian bertempur, maka
keduanya menjadi semakin berhati-hati. Orang yang
memegang bindi itu tidak lagi dapat sekedar
mempercayakan diri kepada kekuatannya, karena
kecepatan gerak prajurit itu ternyata sangat berbahaya
baginya. Dengan demikian maka pertempuran antara keduanya
pun menjadi semakin seru. Meskipun keduanya tidak lagi
berloncatan dengan cepat dan selalu berusaha mengekang
diri, namun ternyata bahwa keduanya telah mengguncang
rumpun-rumpun bambu di sekitar mereka.
Dibagian lain, sekelompok kecil orang-orang padepokan
itu telah mencoba menjebak beberapa orang prajurit yang
terperosok ke dalam kolam. Namun dengan cepat para
prajurit itu berhasil membebaskan diri. Ketika orang-orang
padepokan yang berusaha menjebaknya itu berloncatan
menyerang, sebagian dari para prajurit itu telah berada didarat,
sehingga mereka mampu untuk sementara
melindungi kawan-kawannya yang berusaha naik pada
dinding kolam yang licin.
Namun dengan pertolongan senjata mereka, maka
akhirnya mereka berhasil mencapai tanggul kolam itu dan
dengan serta merta telah terjun ke dalam pertempuran pula.
Ternyata bahwa sekelompok orang-orang padepokan itu
memiliki ilmu yang memadai. Dengan senjata mereka yang
khusus berupa tongkat-tongkat panjang, mereka telah
melawan beberapa orang prajurit yang bersenjata pedang
dan tombak pendek. Ketika para prajurit yang yakin akan kemampuan diri itu
berpencar, maka orang-orang bertongkat itupun berpencar
pula. Sehingga akhirnya, pertempuran itupun telah menebar
di arena yang luas. Dibagian lain, orang-orang padepokan itu yang tidak
bersenjata tongkat, tetapi bersenjata parang-parang yang
besar merasa bahwa mereka sempat menyergap beberapa
orang prajurit Lemah Warah yang jumlahnya lebih sedikit.
Mereka merasa bahwa dalam waktu singkat mereka akan
sempat menghancurkan para prajurit itu.
Namun para prajurit yang tersudut itu tidak membiarkan
diri mereka menjadi umpan pembantaian orang-orang
padepokan itu. Dengan segenap kemampuan mereka telah
mempertahankan diri meskipun jumlah mereka lebih
sedikit. Tetapi sejenak kemudian, maka keadaan pun cepat
berubah. Sekelompok lain para prajurit Lemah Warah telah
datang pula dan membantu kawan-kawannya yang terjebak
itu. Keseimbangan pun segera berbalik. Orang-orang
padepokan itulah yang telah terdesak. Namun mereka pun
telah bertempur dengan segenap kemampuan mereka.
Ternyata orang-orang padepokan itu yang tidak bersenjata
tongkat pun, memiliki kemampuan yang cukup tinggi.
Sehingga dengan demikian maka pertempuran itupun
menjadi semakin seru. Demikianlah pertempuran telah tersebar dimana-mana
didalam padepokan itu. Orang-orang padepokan itu tidak
menyangka, bahwa pasukan Lemah Warah pun semakin
lama terasa menjadi semakin banyak. Bahkan rasa-rasanya
telah mengimbangi jumlah para penghuni padepokan yang
terdiri dari beberapa perguruan itu.
Namun orang-orang padepokan itu merasa diri mereka
murid dari perguruan yang linuwih, yang jarang ada
duanya di seluruh Kediri, bahkan Singasari. Karena itu,
maka mereka pun merasa akan mampu mengatasi
kedatangan para prajurit dari Lemah Warah.
Tetapi kenyataan yang terjadi telah mendebarkan
jantung orang-orang padepokan itu. Ternyata prajuritprajurit
Lemah Warah adalah benar-benar prajurit pilihan
yang secara pribadi mampu mengimbangi orang-orang
padepokan yang terdiri dari beberapa perguruan itu.
Bahkan semakin lama tekanan para prajurit itu menjadi
semakin berat, sehingga di beberapa bagian dari padepokan
itu, mereka telah mulai terdesak.
Namun para pemimpin dari padepokan itu selalu
meneriakkan aba-aba, agar orang-orangnya tidak perlu
gentar menghadapi para prajurit. Mereka memang memiliki
kemampuan dalam pertempuran gelar. Tetapi sendirisendiri
mereka tidak berarti apa-apa.
Orang-orang padepokan itu mencoba untuk
mempercayainya. Namun yang mereka jumpai adalah lain.
Seorang-seorang para prajurit itu tetap merupakan orang
yang sangat berbahaya bagi orang-orang padepokan itu.
Sementara itu, para pemimpin dari kedua belah pihak
masih belum terlibat langsung ke dalam pertempuran,
apalagi diantara mereka. Kedua belah pihak masih
berusaha untuk mengatur orang-orang mereka masingmasing
sehingga tidak terjadi kesalahan yang dapat
mengakibatkan kesulitan bagi pasukannya.
Di beberapa tempat, pertempuran terjadi dalam bentuk
yang berbeda. Orang berjambang lebat dan bersenjata bindi
itu masih bertempur dengan seorang prajurit yang
bersenjata pedang yang sangat tajam.
Sementara sekelompok orang-orang padukuhan itu
mencoba bertahan dari sergapan sekelompok prajurit yang
lebih banyak jumlahnya. Dibagian lain seorang prajurit yang lengah telah
terlempar karena sebatang tongkat yang mengenai
tengkuknya. Namun di dekatnya seorang penghuni
padepokan itu memekik tertahan ketika ujung pedang
seorang prajurit mengoyak dadanya.
Seorang yang bertubuh tinggi besar dan berdada bidang
tiba-tiba saja sudah berdiri dihadapan Mahisa Pukat.
Senjata orang itu yang berupa tongkat besi yang panjang
terayun-ayun mengerikan. Dengan suara bergetar ia
berkata, "Tundukkan kepalamu. Aku akan memecahkan
kepalamu." Mahisa Pukat termangu-mangu. Yang berdiri
dihadapannya adalah orang yang bertubuh raksasa.
Tongkat besi yang besar dan panjang itu seolah-olah tidak
berbobot di tangannya yang besar dan berbulu lebat.
Beberapa saat lamanya Mahisa Pukat bagaikan
membeku. Dipandanginya saja orang bertubuh tinggi besar
itu. Namun agaknya orang itu benar-benar menjadi buas.
"Cepat," teriak orang itu, "aku masih berbaik hati untuk
membunuhmu. Atau aku akan memperlakukan kau dengan
cara yang khusus mengulitimu dan kemudian merendammu
di air garam?" Mahisa Pukat masih belum menjawab, sehingga orang
itu menjadi marah, "Apa kau bisu he?"
Mahisa Pukat tetap terdiam.
Karena itu, maka orang itupun menjadi marah. Dengan
serta merta maka iapun telah menyerang. Diayunkannya
tongkat besinya yang besar dan berat itu ke arah leher
Mahisa Pukat. Dengan sigapnya Mahisa Pukat merendahkan dirinya, ia
masih mendengar orang bertubuh raksasa itu mengumpat.
Namun umpatan itu tiba-tiba telah terdiam. Ternyata
sambil menghindari ayunan tongkat besi yang besar dan
panjang itu. Mahisa Pukat telah menjulurkan pedangnya, langsung
mengenai dada orang itu dan menembus membelah
jantung. Yang terdengar kemudian adalah tubuh yang besar itu
roboh di tanah dan tidak bergerak sama sekali.
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya, ia sendiri merasa
heran. Demikian cepatnya ia menyelesaikan raksasa yang
berteriak-teriak itu. Namun yang ternyata lebih banyak
mempergunakan mulutnya daripada otaknya.
Dengan demikian Mahisa Pukat telah kehilangan
lawannya. Ia pun segera bergeser menuju ke arena yang
hiruk pikuk. Pertempuran antara kelompok-kelompok
pasukan yang ada di padepokan itu.
Mahisa Murti telah terdampar ke sudut yang lain. Dua
orang telah menyergapnya dengan senjata yang
mengerikan. Seorang membawa canggah bertangkai
panjang, yang lain membawa tombak berkait. Senjata yang
tidak banyak dipergunakan.
Ketika kedua orang itu menyerangnya dengan garang,
Mahisa Murti sempat bertanya, "Darimana kau dapat
senjata seperti itu he?"
"Persetan," geram orang yang membawa canggah
bertangkai panjang. "Apakah kalian mendapatkannya dari orang-orang asing
yang pernah datang ke pasisir dan mudik di bengawan?"
bertanya Mahisa Murti. "Apa pedulimu," geram orang yang bersenjata tombak
berkait. Mahisa Murti tidak bertanya lebih jauh. Ia harus
berloncatan menghindari serangan kedua orang yang
bersenjata bertangkai panjang itu. Canggah yang
dipergunakan oleh lawannya adalah canggah yang tajam di
bagian dalamnya. Sementara tombak berkait itu tajam di
segala sisinya. Namun Mahisa Murti memiliki kemampuan yang tinggi
dalam ilmu pedang, sehingga ia mampu mengimbangi
kedua senjata lawannya yang bertangkai panjang itu.
Namun dalam pada itu, tiga orang prajurit telah
bertempur dengan seorang yang bersenjata tongkat yang di
pangkalnva terdapat batu yang berwarna kehijauan. Tiga
orang prajurit yang bersenjata pedang itu sama sekali tidak
mampu menahan ayunan tongkat yang berkepala batu itu.
Sekali-sekali batu itu bagaikan bercahaya menyilaukan.
Namun tiba-tiba saja batu itu telah menyambar kepalanya.
Seorang di antara ketiga prajurit itu telah mengalami
nasib yang buruk. Ketika pangkal tongkat itu terayun ke
arah kepalanya, matanya yang silau masih belum sempat
melihat dengan jelas apa yang sedang dihadapinya. Namun
yang terdengar kemudian adalah benturan yang keras dan
pekik tertahan. Prajurit itu terlempar beberapa langkah dan
mati di tempatnya terbaring.
Kedua orang kawannya menggeram. Namun orang
bertongkat itu memang orang yang memiliki ilmu yang
tinggi. Di bagian lain pertempuran menjadi semakin sengit.
Kedua belah pihak masih belum sempat mencari orangorang
terpenting dari kedua belah pihak. Mereka masih


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melawan siapa saja yang bertemu di medan. Jika sekiranya
lawannya memiliki ilmu yang tinggi, maka setiap kelompok
berusaha untuk melawan berpasangan atau lebih.
Ketika pertempuran mulai merata, maka para pemimpin
dari kedua belah pihak pun mulai memperhatikan
keseluruhan arena. Mereka mulai mengamati
kemungkinan-kemungkinan yang pantas untuk memilih
lawan. Mahisa Ura yang sedang bertempur melawan dua orang
penghuni padepokan itupun mulai menjadi sasaran
pengamatan para pemimpin padepokan itu. Namun Mahisa
Ura memang memiliki kemampuan ilmu pedang yang
memadai. Pedangnya berputaran dengan cepatnya bagaikan
baling-baling. Bahkan kemudian semakin cepat mengitari
dirinya, seolah-olah bagaikan gumpalan asap yang
menyelubungi tubuhnya yang bergeser-geser dengan
cepatnya. Seorang yang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan
memandanginya dengan kening yang berkerut. Dengan
suara yang datar ia berkata kepada seorang kawannya,
"Orang itu agaknya memiliki kelebihan dari prajurit-prajurit
yang lain, meskipun ia tidak mengenakan pakaian prajurit."
"Ia salah seorang dari empat orang yang tinggal
bersama-sama di pategalan itu. Seorang di antaranya
ternyata adalah Akuwu Lemah Warah," jawab kawannya.
"Aku akan mencoba menghadapinya," desis orang
bertubuh tinggi itu, "aku adalah murid terpercaya dari
perguruanku. Akulah wakil guru jika guru tidak ada."
"Tetapi berhati-hatilah," desis kawannya.
Orang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan itupun
kemudian melangkah mendekati Mahisa Ura. Ia sadar,
bahwa orang itu adalah salah seorang dari tiga orang yang
berada bersama-sama dengan Tatas Lintang yang
sebenarnya adalah Akuwu Lemah Warah, yang oleh
kawannya yang lain disebut, sebelum orang itu berada
bersama Tatas Lintang, ia telah berada di beberapa banjar
padukuhan untuk memperdagangkan wesi aji dan batu-batu
bertuah. Namun orang itupun sadar, bahwa yang
dilakukannya tentu hanya sekedar cara untuk melakukan
tugas yang terselubung. Mungkin bersangkutan dengan batu
yang berwarna kehijauan itu tetapi mungkin juga
berhubungan dengan keberadaan orang-orang dari beberapa
perguruan di padepokan itu.
Tetapi orang yang bertubuh tinggi agak ke kurus-kurusan
itupun kemudian berkata kepada diri sendiri, "Aku
membawa bekal yang cukup. Aku akan menyelesaikannya
dengan baik sebagaimana tugas-tugasku yang lain."
Sejenak kemudian, maka orang yang bertubuh tinggi
kekurus-kurusan itupun dengan langkah tetap mendekati
Mahisa Ura. Langkahnya tertegun ketika ia melihat seorang lawan
Mahisa Ura itu terlempar jatuh. Sekali ia berguling sambil
mengaduh. Senjatanya telah terlepas dari tangannya dan
terhempas beberapa langkah dari padanya.
Dengan demikian yang seorang lagi menjadi ragu-ragu.
Meskipun orang itu tidak melarikan diri, tetapi ia masih
berusaha untuk tetap mengambil jarak.
Namun selagi orang itu masih ragu-ragu, orang yang
bertubuh tinggi ke kurus-kurusan itupun telah
mendekatinya sambil berkata, "Minggir. Biarlah orang itu
aku selesaikan." Orang yang kehilangan kawannya itu termangu-mangu.
Namun ia mengerti bahwa orang yang bertubuh tinggi
kekurus kurusan itu adalah seorang yang berilmu tinggi.
Karena itu, maka iapun tidak membantah. Bahkan ada
semacam rasa terima kasih di dalam hatinya, bahwa dengan
demikian ia sudah terlepas dari lawannya yang
mendebarkan itu. Mahisa Ura pun tertegun sejenak. Dipandanginya orang
yang melangkah mendekatinya. Dengan bekal pengetahuan
tentang olah kanuragan, maka Mahisa Ura pun dapat
mengenali, bahwa orang itu tentu memiliki kelebihan dari
orang kebanyakan. Sehingga karena itu, maka iapun merasa
harus berhati-hati menghadapinya.
Sambil menarik nafas dalam-dalam orang bertubuh
tinggi itu bertanya dengan nada berat, "Siapakah kau
sebenarnya Ki Sanak."
"Namaku Mahisa Ura," jawab Mahisa Ura itu.
"Kau berasal dari mana dan apakah tujuanmu yang
sebenarnya memasuki padepokan ini dengan tingkah yang
kasar?" bertanya orang bertubuh tinggi itu pula.
"Pertanyaan yang tidak perlu," jawab Mahisa Ura,
"pemimpinku telah mengatakan segalanya. Dan kau pun
harus tahu, bahwa aku adalah salah seorang dari prajurit
Lemah Warah." Orang bertubuh tinggi itu mengangguk-angguk. Namun
ia-pun menggeram, "Baiklah. Aku percaya. Tetapi jangan
menyesal jika kau kemudian mati dan tidak seorang pun
yang dapat menyebut tentang kau yang sebenarnya lagi."
"Aku sudah mengatakan yang sebenarnya," jawab
Mahisa Ura, "sekarang, apa maumu" Aku tidak akan
bertanya siapa namamu dan dari perguruan mana kau
datang sebelum berada di padepokan ini, karena kau tentu
akan mengatakan yang tidak sebenarnya sebagaimana kau
menganggap demikian pula yang aku lakukan."
"Baiklah," berkata orang bertubuh tinggi itu, "kita akan
bertempur. Siapakah diantara kita yang akan mati di sini.
Kau atau aku." Mahisa Ura mengangguk-angguk. Katanya, "Aku tidak
datang untuk sekedar mati di sini. Karena itu, aku akan
memilih membunuhmu."
Orang bertubuh tinggi itu menggeram. Kemudian
diacungkannya senjatanya, sebuah kapak bermata rangkap
sambil berkata, "Baiklah. Marilah kita buktikan, siapakah
yang akan mati." Mahisa Ura tidak menjawab. Diamatinya senjata
lawannya yang tidak banyak dipergunakan orang itu.
Namun agaknya orang-orang padepokan itu lebih senang
mempergunakan senjata yang khusus.
Sejenak kemudian kapak bermata dua itupun mulai
terayun. Mula-mula perlahan saja. Sekedar ancang-ancang.
Namun kemudian gerak itupun menjadi semakin cepat.
Tetapi Mahisa Ura memegang pedang di tangannya.
Sebelum ia yakin bahwa ia mengalami kesulitan dengan
pedangnya dan karena watak senjata lawannya, maka ia
menjadi terdesak, maka ia akan bertempur dengan bekal
ilmu pedangnya yang memang tinggi. Sebelum ia mendapat
tuntunan dari Tatas Lintang yang sebenarnya adalah
Akuwu Lemah Warah itu, maka Mahisa Ura memang
mempercayakan kemampuannya pada ilmunya dan kepada
Ilusi Scorpio 8 Pendekar Rajawali Sakti 96 Penghuni Lembah Neraka Midnight Sun 4
^