Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 22

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 22


akan tetap tinggal di Pakuwon Lemah Warah.
Mahendra tidak memaksa mereka untuk kembali.
Keduanya menurut pendapatnya telah cukup dewasa. Ilmu
mereka-pun telah cukup sebagai bekal pengembaraan
mereka yang masih akan mereka lakukan.
Di perjalanan kembali Pangeran Singa Narpada telah
berkata kepada Mahendra, "Anak-anak itu telah
memberikan bantuan terbaik kepada Kediri. Sebenarnya
aku ingin mengajak mereka kembali ke Kediri karena
bagiku mereka akan dapat memberikan arti yang lebih besar
lagi bagi Kediri. Tetapi aku tidak ingin mengecewakan
mereka. Aku harap bahwa setelah pengembaraannya
selesai, anak-anak itu bersedia kembali ke Kediri."
Mahendra mengangguk. Katanya, "Aku akan
mengatakannya kelak jika mereka kembali."
"Terima kasih," jawab Pangeran Singa Narpada.
Kemudian katanya seolah-olah kepada diri sendiri,
"Mudah-mudahan mereka bersedia."
Mahendra tidak menjawab, meskipun ia tersenyum
sambil mengangguk-angguk.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
yang masih berada di Lemah Warah memang masih
mempunyai keinginan untuk melihat-lihat batu yang
berwarna kehijau-hijauan itu.
Namun dalam pada itu, Akuwu Lemah Warah telah
memperingatkan kepada mereka, "Mungkin ada orang lain
juga yang tertarik kepada batu itu selain pemimpin
perguruan Suriantal itu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menganguk-angguk.
Kemungkinan itu memang ada. Tetapi keduanya akan
berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya atas batu itu.
"Kalian langsung atau tidak langsung telah
membantu aku dalam hubungan Pakuwon ini dengan
padepokan itu," berkata Akuwu Lemah Warah, "karena
itu, maka aku berharap kalian untuk menganggap Pakuwon
ini sebagai tempat tinggal kalian sendiri, kampung halaman
sendiri dan mudah-mudahan tempat ini dapat memberikan
kesenangan kepada kalian."
Akuwu itu berhenti sejenak, lalu, "dengan demikian
maka kalian dapat mengamati atau menentukan langkahlangkah
kalian dari tempat ini atas batu itu. Jika kalian
memerlukan bantuan, maka kau akan mendapatkannya di
sini." Tetapi ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
berpendapat lain. Mereka ingin mendekati batu yang
berwarna kehijau-hijauan itu. Memang mungkin ada orang
lain yang ingin memilikinya. Tetapi keduanya telah siap
menghadapi akibat yang bagaimanapun juga.
"Jadi, ke mana kalian akan pergi?" bertanya Akuwu
Lemah Warah. "Kembali ke padepokan Suriantal," jawab Mahisa
Murti. Akuwu Lemah Warah menarik nafas dalam-dalam.
Namun iapun kemudian bertanya, "Apakah kalian
mempercayai orang-orang yang menyerah dan tertangkap
yang kini tinggal di padepokan itu?"
"Aku akan mengamati keadaan. Namun agaknya
mereka dapat dipercaya. Mereka tidak akan berani lagi
berbuat sesuatu yang dapat menjerat mereka ke dalam
kesulitan," jawab Mahisa Murti.
Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk. Katanya,
"Akupun berpendapat demikian. Tetapi jika perlu jangan
merasa segan untuk memberikan isyarat dengan cara
apapun, agar aku dapat memberikan bantuan yang kalian
perlukan." "Terima kasih," berkata Mahisa Murti kemudian.
"Kapan kau akan berangkat ke padepokan itu?"
bertanya Akuwu Lemah Warah.
"Besok atau lusa," jawab Mahisa Murti.
Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk pula.
Katanya, "Kalian harus mempersiapkan diri lahir dan
batin." "Satu pengembaraan yang mengasyikkan," berkata
Mahisa Pukat, "kami akan mengulangi peristiwa-peristiwa
yang telah pernah kami alami di sekitar batu itu. Mungkin
dengan pelaku yang lain."
Akuwu Lemah Warah menarik nafas dalam-dalam.
Agaknya anak-anak muda itu masih saja dipanasi oleh
gejolak darahnya yang hangat.
Demikianlah, maka dua hari kemudian, Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat telah benar-benar meninggalkan
Pakuwon Lemah Warah kembali ke padepokan Suriantal
yang telah ditinggalkan oleh sebagian besar dari
penghuninya. Perjalanan kembali itu bukan merupakan perjalanan
yang sulit bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sebagai
pengembara yang berpengalaman, maka keduanya segera
dapat menelusuri kembali jalan yang telah mereka tempuh
sebelumnya. Ketika mereka sampai di sebuah padukuhan
menjelang padepokan Suriantal, maka keduanya ternyata
telah memilih jalan lain. Mereka tidak langsung menuju ke
padepokan itu, tetapi mereka akan menuju ke tepi sebuah
hutan, untuk melihat apakah batu itu masih tetap berada di
tempatnya. Bagi keduanya tempat bermalam bukan merupakan
persoalan yang rumit. Mereka dapat tidur di mana saja
dalam keadaan yang bagaimanapun juga.
Namun mereka memang tidak ingin melihat batu itu
di malam hari. Karena itu, maka mereka telah mendekati
batu itu di siang hari. Seperti yang pernah mereka lakukan sebelumnya,
mereka telah mengamati batu yang berkilau karena
pantulan cahaya matahari. Meskipun tidak menyilaukan,
namun pantulan itu memang menarik perhatian.
Tetapi jarang orang yang berani mendekati batu itu.
Di sekitarnya banyak terdapat ular berbisa. Bahkan pada
celah-celah batu itu terdapat banyak sekali jenis binatang
berbisa lainnya. Beberapa jenis kala, kelabang dan jenisjenis
lainnya. Karena itu batu itu seakan-akan telah
memiliki penjaganya sendiri.
"Kenapa orang yang memiliki ilmu gendam itu tidak
menyingkirkan binatang-binatang itu dan mengambil batu
itu dengan aman?" desis Mahisa Murti.
"Orang itu dan barangkali juga para pengikutnya
masih belum memerlukan batu itu dengan tergesa-gesa.
Atau barangkali mereka memang tidak menaruh
perhatian," sahut Mahisa Pukat.
"Tetapi mungkin orang itu dengan sengaja
membiarkan berjenis-jenis binatang berbisa itu untuk
mengamankan batu itu," berkata Mahisa Murti kemudian.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Memang banyak
kemungkinan dapat terjadi. Agaknya orang yang memiliki
ilmu gendam itu berusaha untuk menyelamatkan batu itu
dari tangan orang-orang Suriantal. Orang-orang bertongkat
itu tentu juga menginginkan batu itu, karena pemimpin
mereka telah memasang batu serupa di pangkal tongkat
mereka. Tetapi agaknya mereka masih saling menyegani
sehingga untuk sementara mereka membiarkan saja batu itu
tetap ditempatnya tanpa diusik oleh siapapun juga.
Untuk beberapa lama keduanya masih saja
mengamati batu itu, seakan-akan mereka belum pernah
melihat sebelumnya. Di celah-celah batu itu memang
terdapat binatang berbisa yang tidak terhitung jumlahnya.
Jika batu itu disentuh, maka binatang-binatang berbisa itu
telah bergerak, bergeser dan siap untuk menyengat dan
menggigit. Tetapi kedua anak muda itu tidak merasa ngeri
melihat binatang-binatang berbisa itu. Bahkan ketika
beberapa ekor ular merambat dekat ujung jari kaki mereka
silang menyilang, mereka sama sekali tidak menjadi cemas.
"Kita akan membawa pecahan dari batu itu," berkata
Mahisa Murti. "Tetapi bagaimana kita mendapatkannya?" sahut
Mahisa Pukat, "nampaknya jika ada pecahan kepingannya
di sekitarnya, telah lebih dahulu diambil seseorang,
termasuk yang berada di pangkal tongkat orang Suriantal
itu." Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun ia pun
masih merenung bagaimana caranya mereka memecah batu
yang kehijau-hijauan sehingga mereka akan mendapat
pecahannya betapapun kecilnya. Dengan memiliki
pecahannya, mereka akan dapat menilai batu itu lebih
cermat. "Aku akan memecah batu itu," berkata Mahisa Pukat
dengan tiba-tiba, "aku memiliki kemampuan sebagaimana
kau. Atau kita akan melakukan bersama-sama."
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun
kemudian ia berkata, "jangan. Kita tidak akan memecahkan
batu itu menjadi berkeping-keping dan pecah berserakan.
Apalagi kita memang tidak tergesa-gesa."
Mahisa Pukat termangu-mangu. Namun kemudian ia
pun mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Kita masih
akan membiarkan batu itu dalam keadaannya. Tetapi
bagaimana jika pada satu hari orang lain mendahului kita"
Bukankah setiap orang mempunyai hak yang sama untuk
mengambilnya." Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi katanya,
"Batu itu dijaga oleh berbagai jenis binatang berbisa. Tidak
setiap orang dapat mengambilnya. Apalagi batu itu tentu
berat dan keras. Tidak ada alat yang dipakai untuk
memecah batu biasa dapat dipergunakan atas batu itu.
Sementara itu, ular berkeliaran di bawah kakinya."
Mahisa Pukat memandang berkeliling. Terasa daerah
itu memang sepi dan bahkan mencengkam. Meskipun
beberapa puluh langkah dari batu itu terdapat jalan setapak,
tetapi nampaknya jalan itu jarang sekali dilalui orang.
Setelah beberapa saat mereka berada di tempat itu dan
memperhatikan batu itu dengan saksama, seolah-olah
belum pernah dilihatnya sebelumnya, maka keduanya pun
sepakat untuk sementara meninggalkan batu itu tetap di
tempatnya. Ketika mereka mulai bergeser menjauh, tiba-tiba
seekor ular yang terkejut telah menyambar kaki Mahisa
Pukat. Mahisa Pukat pun terkejut. Tetapi ia hanya
mengibaskan ular itu. Karena agaknya ular itu tidak segera
melepaskan gigitannya, maka ular itu telah dicekiknya
sampai mati. "Bukan salahku," berkata Mahisa Pukat sambil
melemparkan ular itu jauh-jauh.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Ular-ular yang berkeliaran itu akan membantu kita."
Demikianlah, maka keduanya pun meninggalkan
tempat itu. Seperti yang mereka rencanakan, keduanya
telah menuju ke padepokan yang telah mereka tinggalkan
setelah mereka mengambilnya dari tangan orang-orang
Suriantal dan perguruan-perguruan lain yang pernah berada
di padepokan itu pula. Ternyata kedatangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah mengejutkan orang-orang yang berada di padepokan
itu. Orang yang untuk sementara memimpin padepokan itu
telah mempersilahkannya naik ke barak induk di padepokan
itu. Dengan nada cemas orang itu kemudian bertanya,
"Apakah yang kemudian yang harus kami lakukan?"
Mahisa Murti lah yang kemudian sambil tersenyum
menjawab, "Tidak Ki Sanak. Tidak ada hal yang penting
yang akan kami lakukan. Kami datang untuk sekedar
melihat-lihat keadaan."
"O..," orang itu menarik nafas dalam-dalam, "aku
sudah menjadi berdebar-debar. Aku kira kalian datang
untuk memanggil kami dan membawa kami ke Lemah
Warah untuk dimasukkan ke dalam penjara."
Mahisa Pukat sambil tertawa berkata, "Kalian hanya
akan menghabiskan beras di Lemah Warah."
"Syukurlah jika kami masih diberi kesempatan hidup
bebas di padepokan ini," berkata orang yang untuk
sementara memimpin padepokan itu. Namun kemudian ia
pun bertanya, "Jadi apakah keperluan kalian sebenarnya"
Apakah benar hanya sekedar melihat-lihat keadaan?"
"Aku akan tinggal di padepokan ini," berkata Mahisa
Murti, "apakah kalian berkeberatan?"
Pemimpin padepokan itu termangu-mangu. Hampir
tidak percaya ia bertanya, "Kalian akan tinggal di sini?"
Mahisa Pukat lah yang menjawab, "Hanya untuk
sementara. Nah, apakah kalian memang berkeberatan?"
"Tidak. Sama sekali tidak," jawab pemimpin
padepokan itu. Namun katanya kemudian dengan nada
ragu, "Tetapi benar yang kau katakan" Sekedar tinggal di
sini tanpa maksud apa-apa?"
"Kau tidak percaya" Buat apa kami harus berbohong
karena kami dapat berbuat apa saja sekehendak kami,"
jawab Mahisa Pukat, "karena itu jangan mudah
berprasangka. Jika kalian mencurigai kami, maka justru
kami akan dapat berbuat sesuatu di luar niat kami semula."
"Tidak. Kami tidak mencurigai kalian," jawab orang
yang untuk sementara memimpin padepokan itu dengan
serta merta. "Silahkan. Apa saja yang kalian kehendaki,"
orang itu berhenti sejenak, lalu, "sebenarnya jika kami
secara khusus menanyakan kepentingan kalian yang
sebenarnya, justru kami menaruh harapan atas kedatangan
kalian berdua." "Kenapa?" bertanya Mahisa Murti.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Lalu katanya,
"Kami telah dicemaskan oleh kehadiran orang yang tidak
kami kenal." "O..," Mahisa Murti mengerutkan keningnya,
"Untuk apa?" "Itulah," berkata pemimpin padepokan itu, "mereka
minta kesediaan kami untuk memberikan tempat kepada


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka." "Tempat untuk apa?" bertanya Mahisa Pukat.
"Mereka ingin tinggal bersama kami. Menurut
mereka, padepokan ini tidak ada lagi yang dapat mengaku
berhak atasnya. Setelah Suriantal dihancurkan dan
pemimpinnya dibawa ke Lemah Warah, maka padepokan
ini telah kehilangan pemiliknya. Siapapun boleh mengaku
dan ikut memilikinya," berkata pemimpin padepokan itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk
kecil. Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, "Satu
isyarat hadirnya persoalan baru di padepokan ini."
"Tetapi apakah kalian tidak yakin akan kemampuan
kalian menolak kehadiran mereka?" bertanya Mahisa
Pukat. Orang yang memimpin padepokan itu termangumangu
sejenak. Namun kemudian jawabnya, "Kekuatan
kami yang tinggal hanyalah sisa-sisa yang sudah tidak lagi
mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menganggukangguk.
Mereka menyadari bahwa orang-orang yang ada di
padepokan itu adalah orang-orang yang pernah dikalahkan,
sehingga seakan-akan mereka tidak lagi merasa memiliki
kekuatan untuk berlindung kepada kemampuan mereka
sendiri. Apalagi di antara mereka terdapat orang-orang yang
cacat setelah perang melawan para prajurit Lemah Warah,
atau bahkan yang terluka parah dan belum sembuh dan
pulih kembali. Namun demikian Mahisa Murti masih berkata,
"Sebaiknya kalian melihat kembali kepada diri sendiri.
Menilai kemampuan yang kalian miliki. Karena
kemampuan yang pernah kalian miliki itu masih tetap ada
di dalam diri kalian."
Tetapi orang yang untuk sementara memimpin
padepokan itu berkata, "Kami sudah kehilangan semuanya.
Kami tidak lagi mampu bangkit lagi."
Tetapi Mahisa Pukat berkata, "Kalian telah
mengalami goncangan perasaan yang dahsyat sekali,
sehingga kalian merasa seakan-akan kalian tidak lagi
mempunyai kekuatan sama sekali."
Pemimpin padepokan itu menarik nafas dalam-dalam.
Namun kemudian katanya, "Mungkin pendapat kalian
benar. Tetapi tidak ada lagi yang dapat membangkitkan
orang-orang di padepokan ini agar mereka mampu melihat
kedalam diri sendiri. Apalagi sebagian dari mereka memang
merasa bahwa mereka bukan penghuni padepokan ini sejak
semula, sehingga merekapun merasa asing di sini dan tidak
merasa mempunyai kewajiban untuk
mempertahankannya." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menganggukangguk.
Dengan nada rendah Mahisa Murti pun kemudian
berkata, "Baiklah. Kami akan berusaha untuk
membangunkan kalian yang jumlahnya tinggal sedikit ini."
"Itulah yang membuat aku berpengharapan atas
kedatangan kalian berdua," berkata pemimpin padepokan
itu. Dalam pada itu kehadiran Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat itu pun telah diketahui oleh semua orang yang masih
tertinggal di padepokan itu. Bahkan pemimpin padepokan
itupun telah memanggil semua orang yang tersisa di
padepokan itu untuk berkumpul.
Hal itu memang membuat penghuni padepokan itu
menjadi berdebar-debar. Mereka mengenal kedua anak
muda itu sebagai dua orang anak muda yang memiliki ilmu
yang sangat tinggi, yang pernah ikut menundukkan
padepokan itu dan seakan-akan membuat lingkungan
padepokan itu menjadi bagaikan terbenam ke dalam arus
pusaran. Namun ketika mereka melihat wajah dan sorot mata
kedua anak muda itu, maka rasa-rasanya hati mereka
menjadi tenang. Tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan
bahwa kedua orang anak muda itu akan melakukan
kekerasan terhadap mereka.
Bahkan ternyata pemimpin mereka itupun berkata,
"Kehadiran kedua anak muda ini sama sekali tidak
membawa perintah untuk menjatuhkan hukuman kepada
kita, tetapi kedua anak muda ini ingin tinggal bersama kita
di sini." Beberapa orang di antara mereka itupun saling
berpandangan. Tanpa mereka sadari terpercik harapan di
hati para penghuni padepokan itu. Meskipun demikian,
mereka masih dibayangi oleh kecemasan, bahwa
kedatangan kedua orang itu akan semakin menyulitkan
kedudukan mereka. Namun dalam pada itu, pemimpin padepokan itu
berkata, "Saudara-saudaraku yang tinggal di padepokan ini.
Aku telah memberitahukan kepada kedua anak muda ini
tentang kedatangan orang asing yang menuntut tempat di
padepokan ini. Untuk itulah maka kedua anak muda itu
ingin berbicara kepada kalian."
Orang-orang yang masih tinggal di padepokan itu
termangu-mangu. Sementara itu Mahisa Murti lah yang
kemudian berbicara, "kami telah mendengar semuanya
tentang padepokan ini. Sebagaimana diputuskan oleh
Akuwu Lemah Warah dan disetujui oleh Pangeran Singa
Narpada dari Kediri, maka padepokan ini telah diserahkan
kepada kalian. Kalian yang barangkali memang berasal dari
perguruan yang berbeda-beda, namun saat ini kalian telah
berada di satu tempat. Kalian harus berusaha menyesuaikan
diri kalian dengan keadaan baru yang sekarang ini
merupakan kenyataan bagi kalian."
Orang-orang yang berada di padepokan itu pun
mendengarkan penjelasan Mahisa Murti dengan saksama.
Sementara itu, Mahisa Murti telah mempergunakan
kesempatan itu sebaik-baiknya. Banyak penjelasan yang
diberikan, sehingga hati mereka yang mendengarkannya
telah tersentuh karenanya.
Akhirnya Mahisa Murti itupun berkata, "Kalianlah
pemilik padepokan ini. Kalian harus mempertahankannya.
Padepokan ini adalah hak kalian yang sah sesuai dengan
ketetapan Akuwu Lemah Warah yang sudah disetujui oleh
Pangeran Singa Narpada."
Para penghuni padepokan itu pun menganggukangguk.
Sementara itu Mahisa Pukatpun berkata, "Kalian
harus kembali ke dalam keadaan kalian sewajarnya. Kalian
adalah orang-orang perguruan yang memiliki kemampuan
yang cukup. Namun demikian, kalian memang harus
dibangunkan dari pingsan. Untuk itu, kita akan berusaha
untuk bangkit kembali. Mulai besok kita akan mengadakan
latihan olah kanuragan, sesuai dengan dasar kemampuan
yang kita peroleh dari perguruan kita masing-masing."
Kata-kata Mahisa Pukat memang terdengar hangat di
telinga orang-orang yang sudah kehilangan kepercayaan diri
sendiri itu. Sebagian di antara mereka rasa-rasanya tidak
lagi mampu untuk berbuat sesuatu. Kemampuan mereka
yang sedikit itu seakan-akan telah menguap dan tidak
tersisa sama sekali. Namun Mahisa Pukat yakin, jika mereka mulai
bergerak dan mengingat kembali unsur-unsur dari ilmu
kanuragan yang pernah mereka kuasai, maka segalanya
akan berjalan lancar. Demikianlah, maka kedatangan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat di padepokan itu telah menumbuhkan satu
suasana yang baru. Jika semula semakin lama kehidupan di
padepokan itu terasa menjadi semakin lesu, maka Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat telah membangunkan mereka
dengan kehangatang olah kanuragan.
Demikianlah, di hari-hari berikutnya, sejak Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat berada di padepokan itu. maka isi
padepokan itupun telah mulai dengan latihan-latihan
kanuragan. Semula sebagian di antara mereka memang merasa
segan. Seakan-akan mereka telah melakukan sesuatu yang
tidak akan ada gunanya sama sekali. Meskipun demikian
mereka terpaksa melakukannya juga serba sedikit.
Tetapi ketika mereka memasuki hari ketiga, maka
Mahisa Murti pun berkata, "Ki Sanak. Orang-orang di
sekitar padepokan ini telah melihat bahwa kalian telah
memasuki lagi latihan-latihan olah kanuragan. Dengan
demikian maka orang-orang itu menganggap bahwa kalian
telah memiliki kembali kemampuan kalian. Karena itu,
maka setiap orang yang ingin memiliki padepokan ini selain
kalian akan datang dengan kekuatan-kekuatan yang
dianggapnya akan dapat mengalahkan kalian. Karena itu,
jika kalian tidak bersungguh-sungguh, maka kalian justru
akan menjadi korban yang sia-sia. Kalian akan dibantai
tanpa dapat membalas, apalagi mempertahankan diri.
Kalian akan diperlakukan seperti seekor kerbau yang akan
disembelih. Padahal seekor kerbau memiliki kekuatan yang
akan mampu melindungi dirinya sendiri."
Orang-orang padepokan itu termangu-mangu. Mereka
yang berlatih dengan segan, tiba-tiba merasa bahwa mereka
telah berbuat salah dengan sikapnya itu. Seperti yang
dikatakan oleh Mahisa Murti maka orang lain akan datang
menggilas padepokan itu tanpa tahu siapa yang telah
dengan sungguh-sungguh berlatih dan siapa yang tidak.
Bahkan yang sungguh-sungguh berlatih, mungkin masih
mempunyai kesempatan melindungi dirinya.
Dengan demikian maka di hari-hari berikutnya maka
isi padepokan itu ternyata telah memasuki hari-hari latihan,
dengan bersungguh-sungguh.
Meskipun mereka terdiri dari orang-orang perguruan
yang berbeda, namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
mampu memberikan unsur-unsur gerak yang dapat
dipergunakan secara umum oleh mereka dari perguruan
yang berbeda, karena pada dasarnya mereka telah
memahami tata gerak dasar yang tidak jauh berbeda dari
perguruan yang satu dengan perguruan yang lain.
"Justru kalian dari perguruan yang berbeda, telah
memberi kesempatan kalian masing-masing untuk
memperkaya tata gerak dalam menghadapi pertempuran
yang sebenarnya," berkata Mahisa Pukat ketika ia
memimpin latihan yang diselenggarakan oleh penghuni
padepokan itu dari perguruan yang berbeda.
Dengan diamati oleh Mahisa Pukat, maka mereka
yang memiliki ilmu dari perguruan yang berbeda telah
dipertemukan. Dengan demikian latihan-latihan yang
diselenggarakan itu seakan-akan telah menjadi bersungguhsungguh.
Namun seperti yang dikatakan oleh Mahisa
Pukat, dengan demikian maka mereka telah menggali
pengalaman di antara mereka sendiri.
Dengan alas yang berbeda, maka mereka memiliki
unsur-unsur gerak yang berbeda pada perkembangan ilmu
dasar mereka. Sementara itu dengan kemampuannya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berusaha untuk
memanfaatkan perbedaan-perbedaan yang ada di antara
mereka justru untuk memperkaya kemampuan unsur gerak
di antara para penghuni padepokan itu.
Ternyata usaha Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak
sia-sia. Hari demi hari, latihan-latihan itupun berlangsung
semakin mantap. Para penghuni padepokan itu mulai
merasakan kembali kemampuan ilmu yang mereka miliki.
Latihan-latihan yang kadang-kadang benar-benar membuat
tubuh mereka merah biru itu telah membangkitkan kembali
gelora di dalam diri para penghuni padepokan itu.
Latihan-latihan yang terus menerus di antara mereka,
seperti yang dikehendaki Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,
benar-benar telah memperkaya kemampuan mereka. Unsur
gerak yang saling mempengaruhi telah membuat mereka
semakin mapan. Di samping itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
telah berusaha untuk memperdalam pengertian para
penghuni padepokan itu terhadap unsur-unsur gerak yang
telah mereka miliki. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak hanya sekedar
menyuruh para penghuni padepokan itu menirukan unsurunsur
gerak baru yang diperkenalkannya. Tetapi keduanya
telah memberikan pengertian arti dan gunanya sehingga
unsur gerak itu benar-benar berarti bagi mereka.
Dengan demikian, maka para penghuni padepokan
yang berasal dari perguruan yang berbeda itu bukan saja
telah berada kembali dalam tingkat kemampuan mereka,
tetapi meskipun serba sedikit, ternyata kemampuan mereka
telah memanjat naik. Mereka telah memahami kemampuan
yang mereka miliki bukan sekedar mampu
mempergunakan. Tetapi mereka mengerti sifat dan watak
unsur gerak itu sehingga mereka mampu
mempergunakannya dengan tepat. Dengan landasan
kemampuan mereka yang mereka dapat dari perguruan
mereka masing-masing, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah berhasil membuat mereka menjadi orang-orang
yang mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri dan
mengenali kemampuan mereka masing-masing.
Itulah sebabnya, maka latihan-latihan yang diadakan
di setiap hari kemudian merupakan latihan-latihan yang
semakin meningkat, sejalan dengan peningkatan
kemampuan mereka masing-masing.
Sementara itu, pemimpin padepokan itu pun merasa
semakin tenang menghadapi kemungkinan-kemungkinan
yang mengancam padepokan itu, sehingga pada suatu saat,
ketika ia sempat berbincang dengan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat, ia-pun berkata, "Kau telah membangkitkan
kemampuan hidup kami yang telah hampir padam sama
sekali." "Segalanya terserah kepada kalian sendiri," jawab
Mahisa Murti, "namun agaknya kalian memang masih
memiliki kemampuan yang patut dibanggakan untuk
melindungi padepokan kalian ini."
"Kami baru menyadari kemudian," berkata
pemimpin padepokan itu.

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menganggukangguk.
Dengan senyum di bibir, Mahisa Murti berkata,
"Nah, bukankah tidak sia-sia usaha kita selama ini untuk
menumbuhkan kembali harga diri kita?"
"Aku sekarang percaya," berkata pemimpin
padepokan itu, "dengan keadaan kita sekarang, maka
orang-orang yang akan merebut kedudukan kita itu tidak
akan mendapat kesempatan lagi."
"Tetapi jika mereka datang," berkata Mahisa Murti,
"jangan merubah sikap. Kau harus tetap bersikap seperti
sikap kalian sebelumnya."
"Sikap kami waktu itu ragu," berkata pemimpin
padepokan itu, "bahkan kami telah menyatakan bahwa
terserah saja apa yang akan mereka lakukan jika mereka
kehendaki, meskipun kami merasa bahwa padepokan ini
tetap milik kami." "Sikapmu tetap. Hanya isi pernyataanmu sajalah
yang harus berbeda," berkata Mahisa Pukat.
Pemimpin padepokan itu mengangguk-angguk.
Sementara itu ia yakin bahwa orang yang pernah datang itu
akan datang lagi dengan dada tengadah, memasuki
padepokan itu dan kemudian memilikinya.
Namun bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
kedatangan mereka dan usaha mereka tinggal di padepokan
itu telah dihubungkannya dengan batu yang berwarna
kehijau-hijauan itu. Karena itu. maka mereka ikut merasa
berkepentingan dengan orang-orang itu.
Sambil menunggu, padepokan itu rasa-rasanya
menjadi hangat oleh gejolak yang mulai bergelora. Hampir
setiap saat, pagi, siang, sore dan bahkan malam, terdapat di
sana-sini orang yang sedang berlatih.
Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat di tempat
yang terpisah, lebih senang menunggui latihan-latihan yang
diadakan antara dua orang dari landasan perguruan yang
berbeda. Dengan demikian mereka dapat saling menyadap
unsur gerak dari perguruan yang berbeda dan memperkaya
unsur gerak sendiri. Bahkan kadang-kadang Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah memberikan tuntunan dengan unsur-unsur
gerak yang baru bagi mereka. Bahkan di samping
kemampuan dan kelengkapan tata gerak mereka, Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat juga memberikan tuntunan kepada
mereka untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan gerak
keseimbangan. Di padepokan itu telah ditanam patok-patok yang
besar yang dibuat dari pokok-pokok kayu dengan ketinggian
yang tidak sama. Sebagian setinggi tubuh, namun yang lain
lebih tinggi dan bahkan ada yang tingginya dua kali setinggi
tubuh. Untuk meningkatkan ketrampilan gerak kaki dan
keseimbangan serta daya tahan, maka setiap pagi, hampir
semua orang di padepokan itu telah berlari-lari dan
berloncatan di atas patok-patok itu. Ternyata bahwa usaha
itu telah memberikan banyak pengaruh pada mereka.
Secara tidak langsung, latihan itu telah meningkatkan
kemampuan seisi padepokan itu.
Bahkan bukan saja patok-patok yang terbuat dari
pokok kayu itu. Pada kesempatan lain, setelah latihan
dengan pokok-pokok kayu yang besar itu berjalan lancar,
maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membuat
patok-patok dari bahan yang lebih kecil. Patok-patok
bambu. Ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
tidak berhenti sampai sekian. Bukan saja latihan
keseimbangan dan berloncatan di atas patok-patok bambu,
tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memberikan latihan
kepada penghuni padepokan itu untuk bertempur di atas
patok-patok bambu itu. Pada saat isi padepokan itu sedang dalam gelora
untuk menemukan harga diri mereka kembali di atas
landasan perjuangan yang berbeda, maka orang yang telah
menyatakan akan datang kembali itu benar-benar telah
datang. Pemimpin padepokan itu telah menerima dua orang
tamunya di barak induk padepokan itu. Sikapnya dan
caranya menerima kedua tamunya sama sekali tidak
berubah. Sambil mengangguk-angguk hormat orang yang
diserahi memimpin padepokan itu telah mempersilahkan
tamunya duduk. Seorang penghuni padepokan itu telah
menyuguhkan minuman dan makanan kepada kedua orang
tamu itu. Kedua orang tamu yang merasa diterima dengan
penuh kehormatan itu menjadi semakin menengadahkan
wajahnya. Di pandanginya halaman padepokan itu dari
ujung sampai ke ujung. Kemudian dengan senyum di bibir,
salah seorang di antara mereka berkata, "Halaman ini
cukup luas untuk mengadakan latihan-latihan olah
kanuragan. Orang-orangku tidak terlalu banyak. Tidak lebih
banyak dari orang-orangmu di sini. Kemampuan kamilah
yang lebih besar dari kemampuan kalian. Karena itu, maka
sudah sewajarnya jika kami akan mendapat kesempatan
lebih besar untuk mengurus padepokan yang sudah tidak
bertuan ini," orang itu berhenti sejenak, lalu, "aku sudah
menyiapkan segala-galanya. Pada saatnya orang-orangku
akan datang kemari."
"Di manakah mereka sekarang?" bertanya pemimpin
padepokan itu. Kedua orang itu tertawa. Seorang di antaranya
menjawab, "Kau tidak perlu mengetahuinya. Besok jika
mereka datang, kau akan mengenal mereka tanpa
mengetahui asal-usul mereka."
"Apakah sebenarnya yang akan kalian lakukan?"
bertanya pemimpin padepokan itu.
"Kenapa kau masih juga bertanya?" salah seorang
dari kedua orang itu justru ganti bertanya, "apakah yang
aku katakan beberapa saat yang lalu masih kurang jelas"
Kami akan datang dan tinggal di padepokan ini. Kami akan
memilikinya karena padepokan ini memang tidak bertuan."
Orang yang diserahi memimpin padepokan itupun
mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya,
"Apakah kalian telah mempertimbangkan kemungkinankemungkinan
dari banyak segi?" "Pertimbangan apa lagi?" bertanya salah seorang dari
kedua orang yang datang itu, "kami datang untuk
mempersiapkan tempat bagi orang-orang kami. Kami akan
memilih barak-barak yang pantas untuk kami, sedangkan
yang tersisa untuk sementara dapat kalian pergunakan bagi
orang-orang yang sekarang masih ada di sini untuk
sementara. Namun kemudian persoalannya masih akan kita
bicarakan lebih lanjut."
Pemimpin padepokan itu mengangguk-angguk.
Namun kemudian katanya, "Baiklah. Marilah aku antarkan
kalian melihat-lihat padepokan ini."
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Namun
keduanyapun kemudian tersenyum. Agaknya tidak ada
hambatan yang akan mereka hadapi untuk memasuki
padepokan itu bersama para pengikutnya.
Sesaat kemudian, maka kedua orang itupun telah
turun pula ke halaman. Diantar oleh pemimpin padepokan
itu, maka keduanya telah melihat-lihat isi padepokan.
Mereka melihat barak-barak yang tidak terlalu bersih
meskipun nampak juga dipelihara. Sedangkan barak-barak
itu sendiri bukannya barak-barak yang baik. Tidak lebih
dari bangunan-bangunan bambu yang sederhana dengan
ikatan tali ijuk dan atap ilalang. Sementara barak induk di
padepokan itu secara khusus mendapat atap dari ijuk.
Meskipun padepokan itu dibangun dengan sederhana,
apalagi barak-barak yang nampaknya ditambahkan dengan
tergesa-gesa, namun bagi kedua orang itu, segalanya cukup
memadai. "Menyenangkan," berkata salah seorang di antara
kedua orang itu, "kami dapat dengan leluasa memilih.
Meskipun sederhana tetapi padepokan ini cukup memadai."
Yang lainpun tersenyum. Katanya, "Kita akan
mempergunakan sayap bangunan pada padepokan ini di
samping bangunan induk. Tetapi kita akan menentukan
yang manakah yang boleh dipakai untuk sementara oleh
orang-orang yang sekarang berada di padepokan ini."
"Kenapa untuk sementara?" bertanya pemimpin
padepokan itu. "Kami akan membuat pertimbangan-pertimbangan,
apakah kami akan membiarkan perguruan kami berbaur
dengan perguruan lain," berkata salah seorang dari kedua
orang itu. "Tetapi sekarang kami berada di padepokan ini,"
desis pemimpin padepokan itu.
"Sudah kami katakan," jawab orang itu, "kalian
tinggal di sini dengan cara yang tidak syah. Padepokan ini
sudah tidak bertuan. Dan kamilah yang mengambil alih
kepemimpinan di sini dan menentukan segala-galanya.
Mudah-mudahan kami dapat membuat keputusan yang
paling baik bagi kalian."
Pemimpin padepokan itu menarik nafas dalam-dalam.
Beberapa orang penghuni padepokan yang lewat berpaling
ke arah ketiga orang itu. Tetapi mereka tidak banyak
menaruh perhatian. "Banyak juga orang yang masih ada di padepokan
ini," desis salah seorang dari kedua orang itu, "tetapi
mereka tidak berarti apa-apa."
Pemimpin padepokan itu tidak menjawab. Tetapi ia
telah mempersilahkannya untuk melanjutkan
pengamatannya atas padepokan itu.
"Marilah," berkata pemimpin padepokan itu, "kita
akan melihat bagian belakang dari padepokan ini."
Kedua orang itu mengangguk-angguk. Selangkah
demi selangkah mereka menyusuri lorong-lorong di dalam
padepokan itu, di antara barak-barak yang sudah dibangun
bersama padepokan itu, namun ada juga barak-barak yang
dibangun kemudian. Namun ketika mereka memasuki bagian belakang dari
halaman padepokan itu yang luas, di sebelah kebun yang
ditanami dengan berbagai macam pohon buah-buahan yang
berhubungan dengan pategalan yang cukup luas, kedua
orang itu terkejut. Mereka melihat beberapa orang penghuni
padepokan itu sedang berlatih di atas patok-patok bambu.
Beberapa orang sedang bertempur di atas patok-patok
bambu itu dengan mempergunakan tongkat kayu
sebagaimana ciri mereka yang termasuk para cantrik dari
perguruan Suriantal. "Apa yang mereka lakukan?" bertanya salah seorang
dari kedua orang itu. "Sebagaimana biasa dilakukan oleh para penghuni
padepokan," jawab pemimpin padepokan itu.
"Apa?" desak orang itu.
"Mereka sedang berlatih. Mereka sedang
memperdalam pengetahuan mereka tentang olah
kanuragan," jawab pemimpin padepokan itu.
Kedua orang itu saling berpandangan. Mereka sama
sekali tidak menduga bahwa orang-orang padepokan itu
masih tetap menempa diri dalam latihan-latihan yang berat.
Bahkan hampir di luar sadarnya, salah seorang dari
mereka bertanya, "Untuk apa mereka dengan tekun berlatih
olah kanuragan?" "Pertanyaan Ki Sanak terdengar aneh," desis
pemimpin padepokan itu, "kami merasa perlu untuk
memperkuat kedudukan kami. Kami yang merasa mewarisi
padepokan ini, merasa perlu untuk berbuat sesuatu, agar
kedudukan kami tidak tergeser."
Wajah kedua orang itu menjadi tegang. Dengan nada
tinggi seorang di antaranya berkata, "jadi kalian merasa
wajib bertahan di sini?"
"Kami adalah sisa-sisa dari beberapa perguruan yang
memiliki padepokan ini. Karena itu, maka kami akan
mempertahankannya." Kedua orang itu menjadi tegang. Namun kemudian
seorang di antaranya bertanya, "jadi kalian menantang
kami?" "Bukan menantang. Kami sekedar menghargai milik
kami," jawab pemimpin padepokan itu.
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Sekilas
mereka menyaksikan latihan-latihan yang dilakukan oleh
dua orang yang kebetulan sama-sama dari perguruan
Suriantal. Mereka mempergunakan tongkat panjang sebagai
senjata dan sekaligus ciri mereka. Dengan tangkas
keduanya saling berloncatan di atas tonggak bambu yang
tidak sama tingginya. Ada yang kurang dari tinggi tubuh,
namun ada yang sampai dua kali.
Bagaimanapun juga keduanya tidak dapat
mengabaikan apa yang dilihatnya. Mereka terpaksa
membayangkan kembali para pengikutnya. Apakah mereka
memiliki kemampuan berbuat sebagaimana kedua orang
yang sedang berlatih itu.
Namun hampir bersamaan mereka berpikir, "Tentu
hanya dua orang itu sajalah yang mampu berbuat
demikian." Karena itu, maka salah seorang di antara keduanya itu
bertanya, "Ki Sanak. Jadi apakah artinya kesediaanmu
beberapa saat yang lalu untuk menyerahkan padepokan ini
kepada kami?" "Siapakah yang menyatakan demikian?" bertanya
pemimpin padepokan itu, "bukankah pada waktu itu kami
sekedar minta waktu untuk berpikir" Nah, hasil dari
renungan kami adalah, bahwa sebenarnyalah padepokan ini
milik kami." "Jadi kau tidak lagi memberikan kesempatan kepada
kami untuk menguasai padepokan ini dengan cara yang
baik?" bertanya salah seorang dari kedua orang itu.
"Ki Sanak," berkata pemimpin padepokan itu, "kau
memang aneh. Seandainya padepokan ini memang tidak
bertuan, bukankah kami telah ada di dalamnya lebih


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dahulu" Apalagi kami merasa bahwa kami adalah orangorang
yang memang pernah menguasai padepokan ini."
"Ternyata sikapmu berubah," berkata salah seorang
dari kedua orang itu, "agaknya yang kau lakukan adalah
sekedar menunda waktu, agar kau dapat mempersiapkan
diri sebaik-baiknya. Mungkin berlatih untuk meningkatkan
kemampuan. Namun apa yang dapat kalian capai dalam
waktu dekat ini?" "Yang penting adalah harga diri," jawab pemimpin
padepokan itu, "dengan memantapkan harga diri, maka
kami telah bertekad untuk mempertahankan padepokan
ini." Kedua orang itu menjadi tegang. Seorang di antaranya
berkata, "jadi dengan meloncat-loncat di atas patok-patok
bambu itu kalian merasa akan dapat mempertahankan
padepokan ini?" "Seperti yang aku katakan. Harga diri, meskipun
kami akan binasa," jawab pemimpin padepokan itu.
Kedua orang itu menggeram. Seorang yang hampir
tidak sabar berkata, "Sebaiknya kalian menyadari, bahwa
kalian bukan apa-apa buat kami."
Sebelum pemimpin padepokan itu menjawab, maka
seorang di antara mereka berdesis, "Marilah, kita
hancurkan sanggar mereka yang gila-gilaan itu."
Tetapi pemimpin padepokan itu berkata, "jangan
membuat persoalan. Jika anak-anakku tidak mampu
mengendalikan diri, maka apa artinya kalian hanya berdua.
Sementara itu kami sudah siap menunggu kehadiran kalian
bersama para pengikut kalian."
Kedua orang itu menggeretakkan gigi. Namun mereka
yang sedang berlatih itu sama sekali tidak
menghiraukannya. Bahkan setelah kedua orang dari
perguruan Suriantal itu meloncat turun, maka telah
meloncat naik ke atas patok-patok bambu itu dua orang dari
perguruan yang berbeda. Dengan bersenjata bindi kayu dan
landean tombak pendek tanpa ujung runcing, keduanya
telah bertempur di atas patok-patok bambu itu.
"Gila," geram salah seorang dari kedua orang itu,
"penghinaan ini akan membuat kalian menyesal. Kami
akan tetap pada pendirian kami. Datang ke padepokan ini
dan memilikinya. Kalian bahkan tidak akan mendapat
tempat lagi di padepokan ini. Kalian akan kami usir seperti
mengusir anjing sakit-sakitan."
"Kami akan menutup pintu gerbang dan menghalau
orang-orang yang ingin datang merebutnya seperti
menghalau burung di sawah," jawab pemimpin padepokan.
Lalu, "Bukankah itu masih lebih sopan daripada menghalau
anjing sakit-sakitan."
"Persetan," orang itu pun kemudian telah
mengumpat kasar. Tanpa minta diri kedua orang itupun
segera meninggalkan padepokan itu. Keduanya benar-benar
merasa terhina oleh sikap orang yang untuk sementara
memimpin padepokan itu. Orang itu pada mulanya
nampaknya sama sekali tidak akan menentangnya. Bahkan
nampak pasrah dan putus asa. Namun ternyata bahwa para
penghuni padepokan itu telah melakukan latihan-latihan
yang berat untuk menghadapi kehadiran mereka.
"Mereka agaknya memang ingin membunuh diri,"
geram salah seorang di antara keduanya, "karena itu, maka
kita harus membuktikan bahwa kita akan dapat
melumatkan padepokan ini, membunuh semua
penghuninya, selain pemimpin itu, dan kemudian
mendudukinya." "Kenapa pemimpin padepokan itu justru tidak kita
bunuh?" bertanya kawannya.
"Kita harus membuktikan kepadanya, bahwa yang
kita katakan itu dapat kita lakukan," sahut yang pertama,
"baru setelah ia melihat kenyataan itu, ia akan kita bunuh
dengan cara kita. Kita akan mengikatnya di halaman.
Biarlah kulitnya dibakar panas matahari di waktu siang dan
dan direndam embun di waktu malam."
"Sampai mati?" bertanya kawannya.
"Sampai mati. Kita tidak perlu mempercepat
kematiannya," jawab orang yang pertama, "kesalahannya
memang terlalu besar terhadap kita."
Kawannya mengangguk-angguk saja. Tetapi tidak
menjawab. Demikianlah keduanya menjadi semakin jauh
meninggalkan padepokan itu. Tetapi dengan dendam yang
membara di hati mereka, sehingga mereka benar-benar
ingin kembali dan menghancurkan isi padepokan itu.
Apalagi kedua orang itu merasa memiliki kekuatan
yang memadai. Mereka tahu bahwa para pemimpin dari
perguruan yang ada di padepokan itu sudah tidak ada di
tempat. Selain yang terbunuh, maka mereka telah dibawa
oleh Akuwu Lemah Warah atau orang yang ditugaskannya.
Karena itu, maka mereka yakin, bahwa mereka akan
datang dan dengan tidak terlalu banyak kesulitan akan
dapat menghancurkan orang-orang yang sombong yang
merasa akan mampu mempertahankan padepokan itu.
Sementara itu, di padepokan yang ditinggalkan oleh
kedua orang itu, pemimpin mereka telah memanggil semua
orang yang tinggal di padepokan itu bersama Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat. Dengan singkat orang yang diserahi memimpin
padepokan itu pun telah menguraikan apa yang telah
terjadi. Apa yang dikatakan oleh kedua orang yang datang
kepadanya itu dan apa pula yang telah dikatakannya
kepada mereka. "Aku mohon kesediaan kalian membantuku,
menyelamatkan padepokan ini meskipun kita berasal dari
perguruan yang berbeda. Peristiwa yang telah mengguncang
padepokan ini, serta pemimpin-pemimpin perguruan kita
masing-masing yang tidak ada lagi di antara kita, serta nasib
yang buruk yang telah menghimpit kehidupan kita,
seharusnya dapat membuat kita merasa senasib dan
sepenanggungan. Kita pun akan merasa berkewajiban untuk
mempertahankan apa yang masih tinggal pada kita
sekarang. Kita tidak lagi menganggap diri kita berasal dari
perguruan yang berbeda, tetapi kita harus merasa satu."
Para penghuni padepokan itu memang merasa tidak
mempunyai pilihan lain. Mereka sudah merasa bersyukur
bahwa mereka tidak di seret di belakang kaki kuda menuju
ke Lemah Warah dan kemudian diikat di alun-alun. Karena
itu, maka telah menyala tekad dihati mereka, bahwa
mereka memang harus berjuang untuk mempertahankan
padepokan itu. Karena itulah, maka dihari-hari berikutnya isi
padepokan itu justru telah menjadi semakin gigih berlatih.
Mereka seakan-akan tidak lagi mengingat waktu. Mereka
ingin mempergunakan waktu yang tidak terlalu banyak itu
untuk menjangkau kemampuan sebanyak-banyaknya,
karena mereka sadar, bahwa yang akan datang tentu
kekuatan yang cukup besar bagi padepokan itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah bekerja
sejauh dapat mereka lakukan. Mereka berusaha untuk
mematangkan setiap kemampuan yang telah dikuasai oleh
para penghuni padepokan itu. Namun dalam waktu yang
sempit itu, mereka pun berusaha memperkenalkan berbagai
macam unsur yang sebelumnya terasa asing. Bukan untuk
dipelajari dan dikuasai, tetapi sekedar untuk dikenal,
sehingga jika dalam benturan kekerasan kelak mereka
bertemu dengan unsur-unsur gerak seperti itu, mereka tidak
akan terkejut dan kebingungan. Mereka akan dapat
berusaha mencari jalan untuk mengatasinya.
Ternyata usaha mereka tidak sia-sia. Para penghuni
padepokan itu menjadi semakin matang untuk menghadapi
kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi.
Mereka bukan lagi orang-orang yang putus asa dan
kehilangan harga diri. Tetapi mereka adalah para pengawal
dari sebuah padepokan yang kemudian benar-benar terasa
sebagai milik mereka, sehingga dengan demikian maka
mereka harus mempertahankannya dengan segala
kemampuan yang ada pada mereka.
Dengan gelora yang menggetarkan jantung, serta
darah yang menjadi hangat, para penghuni padepokan itu
telah memperbaiki dinding padepokan mereka yang rusak.
Memperbaiki pintu gerbang dan beberapa panggungan
untuk mengamati keadaan di sekitar padepokan itu. Mereka
pun telah mempersiapkan lembing bambu yang akan dapat
menghambat pasukan yang dalam waktu dekat tentu akan
datang ke padepokanku. Mereka pun telah telah
menyediakan anak panah yang tidak terhitung jumlahnya
yang terbuat dari bambu beruas panjang dengan bedor besi
yang dapat mereka buat sendiri. Di padepokan itu ada
beberapa perapian pande besi untuk membuat bermacammacam
kelengkapan. Kelengkapan untuk bekerja di sawah
dan pategalan, sampai dengan perlengkapan perang.
Untuk menghadapi berbagai kemungkinan, maka
lumbung-lumbung pun telah mereka penuhi. Mereka harus
bersiap-siap untuk bertahan dalam waktu yang lama jika
padepokan itu kemudian akan di kepung.
Para penghuni padepokan itu telah mempunyai
pengalaman yang pahit pada saat pasukan Lemah Warah
mengepung mereka. Karena itu, maka mereka harus belajar
dari pengalaman itu. Apalagi mereka sama sekali tidak
mengetahui kekuatan dari orang-orang yang akan datang
menyerang padepokan mereka.
Dalam keadaan yang menegangkan itu, maka
penjagaan di dalam padepokan itu telah diatur sebaikbaiknya.
Dipanggungan yang telah disiapkan, sekelompok
kecil bergantian mengamati keadaan. Mereka tidak boleh
lengah barang sekejap pun, sehingga karena itu, maka setiap
kelompok yang bertugas harus benar-benar mampu
membagi waktu sebaik-baiknya.
Sementara itu, pintu gerbang padepokan itu pun tidak
lagi terbuka seperti biasanya. Pintunya yang tertutup telah
diselarak dengan sebatang kayu yang cukup besar dan kuat.
Sementara itu di sebelah menyebelah, panggungannya pun
telah diperbaiki. Di panggungan itu selalu bersiap beberapa
orang pemanah yang terbaik, sehingga dalam saat-saat yang
tiba-tiba mereka akan dapat menghambat lawan.
Pengalaman para penghuni padepokan itu,
digabungkan dengan kemampuan berpikir Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat, ternyata telah mampu melahirkan
jaringan pertahanan yang sangat kuat. Jika lawan itu benarbenar
datang, maka mereka akan menjumpai perlawanan
yang tidak terbayangkan sebelumnya, karena kedua orang
yang pernah datang itu menganggap bahwa kekuatan di
padepokan itu sama sekali sudah tidak mempunyai arti apaapa.
Sebenarnyalah bahwa sekelompok orang dari sebuah
perguruan yang hidup seakan-akan tidak menetap telah
memutuskan untuk mengambil alih padepokan itu. Ketika
pemimpin mereka mendengar peristiwa yang terjadi di
padepokan Suriantal, maka mereka telah mengirimkan
beberapa orang untuk mengetahui apa yang telah terjadi.
"Kita telah menemukan tempat yang baik tanpa
bersusah payah membangunnya," berkata salah seorang
dari pemimpin mereka. Beberapa orang terpenting dari perguruan yang
dikenal sebagai sebuah perguruan yang berpindah-pindah
sarang itu, telah mengadakan pembicaraan. Mereka sepakat
untuk merubah tata cara hidup mereka.
Kemalasan mereka untuk membuka sebuah
padepokan dengan kelengkapannya, tanah persawahan,
ladang dan pategalan membuat mereka lebih senang tinggal
di goa-goa atau mengusir orang-orang dari padukuhanpadukuhan
kecil yang tidak berdaya. Tetapi mereka tidak
tinggal terlalu lama. Mereka segera berpindah lagi dari satu
tempat ke tempat yang lain.
Namun para pengikut dari perguruan itu, pada
umumnya mempunyai keluarga di tempat yang menetap.
Di kampung halaman yang ditinggalkannya untuk waktu
tidak menentu. Kadang-kadang saja mereka pulang ke
rumah orang tua mereka, atau bahkan ada yang
mempunyai isteri dan anak, untuk memberikan uang dan
barang-barang yang dapat untuk menyambung hidup
mereka. Sesungguhnya, mereka hidup dalam sekelompok
perguruan yang tidak menentu. Seperti segerombolan
burung-burung liar mereka terbang dari satu tempat ke
tempat yang lain untuk mencari tempat yang memberikan
makanan bagi mereka. Namun demikian, para pengikut dari perguruan itu
adalah orang-orang yang setia dalam kedunguan mereka.
Sambil berpindah-pindah tempat, mereka masih saja sempat
menempa diri dalam latihan-latihan yang cukup berat.
Kini mereka mendapat kesempatan untuk melakukan
satu kerja yang belum pernah mereka lakukan. Mereka
tidak akan merampok harta benda, tetapi mereka akan
merebut dan menduduki sebuah padepokan yang bagi
mereka tentu lebih baik dari sebuah padukuhan kecil. Di
padepokan itu terdapat berbagai kelengkapan yang memang
mereka perlukan. Bahkan termasuk sumber kehidupan bagi
mereka sehari-hari, sehingga apa yang mereka dapatkan
dari kerja mereka yang kasar dan liar itu, akan dapat
mereka simpan sebagai kekayaan mereka.
Karena itulah, maka ketika para pemimpin mereka
mempersiapkan para pengikutnya untuk pergi mengambil
padepokan itu dengan kekerasan, maka mereka pun telah
bersiap-siap dengan penuh gairah yang menggelora.
"Semula mereka sama sekali tidak berusaha untuk
mempertahankannya," berkata salah seorang yang kembali
dari padepokan Suriantal itu, "mereka telah kehilangan
kepercayaan diri." "Jika demikian maka kita tidak akan bertempur,"
berkata seorang di antara para pengikutnya.
"Tetapi agaknya pemimpin padepokan itu telah
berubah pendirian. Agaknya selama kami bersiap-siap
untuk berangkat ke padepokan itu, ia telah berusaha untuk


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membangunkan orang-orangnya yang menjadi putus asa
dan tidak mempunyai pegangan lagi. Mereka berusaha
untuk mendapatkan kepercayaan kepada diri sendiri dengan
mengadakan latihan-latihan yang berat. Namun aku yakin,
bahwa hati mereka yang telah susut sampai sebiji sawi itu
tidak akan mampu bertahan. Jika kita datang
menggertaknya, maka mereka akan segera kehilangan lagi
kepercayaan diri lagi. Mereka akan menjadi ketakutan dan
dengan serta merta mereka akan segera menyerah," berkata
salah seorang dari kedua orang yang telah mengunjungi
padepokan Suriantal itu. Namun yang tidak dikatakannya kepada para
pengikutnya, tetapi hanya diketahui oleh kedua orang yang
datang ke padepokan itu, adalah tentang batu yang
berwarna kehijau-hijauan itu.
Dalam kesempatan terpisah, kedua orang itu sepakat
untuk sementara tidak membicarakannya lebih dahulu.
"Jika kita sudah berhasil tinggal di padepokan itu,
maka kita tentu akan mendapat banyak kesempatan datang
ke tepi hutan untuk mengamati batu itu lebih saksama.
Mungkin kita harus memecahkannya atau dengan cara
lain," berkata seorang di antara mereka.
"Biarlah kita tentukan kelak," jawab kawannya.
Demikianlah, maka para pengikut perguruan itupun
telah bersiap-siap seluruhnya. Mereka akan berangkat
meninggalkan sarang mereka terakhir di sebuah hutan yang
tidak terlalu lebat, namun berbukit-bukit padas. Beberapa
buah goa terdapat di bukit-bukit itu, yang dapat mereka
pergunakan sebagai sarang mereka.
"Namun bagaimanapun juga kita harus bersiap
sepenuhnya," berkata salah seorang di antara kedua orang
pemimpin yang pernah datang ke padepokan Suriantal,
"mereka bekas orang-orang dari sebuah perguruan yang
besar. Meskipun mereka telah dihancurkan oleh Akuwu
Lemah Warah, namun sisa-sisanya, apabila mereka berhasil
membangun diri mereka kembali, akan merupakan
kekuatan yang harus diperhitungkan pula."
Tetapi berpegang kepada keterangan sebelumnya,
maka orang-orang di bukit-bukit padas itu menganggap
bahwa yang akan mereka lakukan bukannya satu pekerjaan
yang berat. Mereka akan dengan mudah memecahkan pintu
gerbang padepokan, memasukinya dan menghancurkan
perlawanan yang sia-sia. Membantai orang-orang yang
keras kepala dan kemudian tinggal di sebuah padepokan
yang baik dan memberikan kenyamanan bagi mereka.
Dengan mimpi-mimpi yang menyenangkan, maka
mereka-pun kemudian telah berangkat ke padepokan
Suriantal. Untuk sementara mereka memang tidak
membawa kekayaan mereka selain senjata.
Namun sementara itu, orang-orang yang berada di
padepokan Suriantal pun telah bersiap pula. Kekuatan
mereka dibanding pada saat mereka menghadapi pasukan
Akuwu Lemah Warah memang tidak lebih dari
sepertiganya, setelah yang lain terbunuh dan melarikan diri.
Tetapi yang akan datang menyerang pun tidak sekuat dan
sebesar pasukan Lemah Warah.
Meskipun kekuatan mereka jauh susut, namun
berdasarkan atas pengalaman mereka, maka orang-orang di
padepokan itu dapat membagi tenaga mereka sebaikbaiknya.
Mereka tidak menghamburkan tenaga tanpa arti
yang hanya akan membuat kelelahan saja, sehingga justru
pada saatnya, mereka tidak lagi mempunyai tenaga yang
segar untuk melawan. Dengan demikian, maka mereka tidak lagi dalam
kelompok-kelompok yang besar berada di panggungan di
belakang dinding padepokan untuk mengamati keadaan.
Jika mereka sekelompok petugas berada di panggungan,
maka tidak lebih dari dua orang di antara mereka sajalah
yang bergantian mengamati keadaan, sedangkan yang lain
sempat beristirahat dan tidur di panggungan yang memang
dibuat agak besar. Cara itu ternyata lebih baik dari cara yang telah
pernah mereka lakukan dengan kelompok-kelompok yang
besar bersama-sama mengawasi keadaan.
Dengan menghemat tenaga, maka mereka dapat
menyimpan kekuatan. Jika terpaksa harus
dipergunakannya, maka mereka memilih mempergunakan
tenaga mereka untuk mengadakan latihan-latihan.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
kemudian telah membatasi latihan-latihan itu pula, agar
mereka tidak kehabisan tenaga justru pada saat diperlukan.
Dalam pada itu, maka orang-orang yang mengingini
padepokan itu, semakin lama menjadi dekat pula dengan
padepokan Suriantal, sehingga akhirnya, pada satu saat,
seorang pengawas di sisi pintu gerbang melihat kehadiran
mereka. Tetapi yang dilihatnya jauh berbeda dengan kehadiran
pasukan Akuwu Lemah Warah yang memperlihatkan
tanda-tanda kebesaran dari sebuah Pakuwon sehingga
kehadiran pasukan Lemah Warah itu dapat membuat
tengkuk mereka meremang. Namun yang datang itu adalah sekelompok orang
dalam sebuah iring-iringan yang tidak teratur. Mereka
menebar begitu saja dihadapan padepokan Suriantal tanpa
terdengar aba-aba, orang-orang itu telah menghambur
mencari tempat mereka masing-masing untuk duduk
beristirahat. Kelompok-kelompok kecil dari orang-orang itu,
membuat lingkaran-lingkaran pembicaraan. Agaknya
mereka memang sedang memperbincangkan padepokan
Suriantal yang mereka hadapi.
"Menarik," desis salah seorang di antara mereka.
"Dindingnya cukup kuat," desis yang lain.
"Bukan apa-apa," sahut kawannya, "kita akan
memecahkan pintu gerbang dan memasuki padepokan itu
dengan penuh kebanggaan atas kebesaran pasukan kita.
Pasukan yang sekuat ini tentu belum pernah dilihat oleh
orang-orang padepokan yang dungu itu."
Yang lain tidak menjawab. Namun kemudian mereka
telah mendapat perintah, bahwa mereka memang harus
beristirahat. "Utusan kita akan menemui pemimpin padepokan
itu. Setelah mereka melihat kekuatan kita, mungkin mereka
berubah pendirian, sehingga kita akan memasuki
padepokan itu tanpa bertempur. Kita akan mengusir
beberapa orang di antara mereka yang kita anggap tidak
berbahaya. Tetapi orang-orang yang sudah bersiap-siap
menentang kita akan tetap mendapat hukuman yang
sepantasnya. Mereka harus mati. Tetapi hal itu akan kita
lakukan kelak," berkata salah seorang di antara para
pemimpin mereka. Dengan demikian, maka orang-orang yang berada di
depan padepokan itu memang telah menebar. Agaknya
mereka memang mendapat tugas untuk mengawasi seputar
padepokan itu, sehingga tidak ada orang yang akan dapat
lolos. Sambil berbaring, duduk-duduk dengan bersandar
pepohonan, memeluk lutut dan menguap, mereka
menunggu perintah yang bakal datang selanjutnya.
Bahkan banyak di antara mereka yang kemudian jatuh
tertidur. Namun ternyata bahwa mereka telah melakukan
pembagian pekerjaan cukup baik pula. Sementara pasukan
itu beristirahat, beberapa orang telah membuat tungku
perapian dan menyiapkan makan dan minum bagi mereka.
Ternyata dalam waktu yang pendek, hampir semua
orang di antara mereka telah tertidur kecuali orang-orang
yang bekerja di dapur. Bahkan yang kemudian mengawasi
keadaan adalah justru orang-orang yang sedang memasak
itu. Namun para pemimpin mereka sama sekali tidak
menghiraukannya. Siapapun yang mengawasi keadaan
tidak penting, karena para pemimpin mereka memang
sudah menduga, bahwa orang-orang padepokan itu pada
mulanya akan berusaha untuk mempertahankan padepokan
mereka, sehingga mereka tidak akan melarikan diri.
Hanya dengan menakut-nakuti mereka, maka orangorang
di padepokan itu mungkin akan kembali kepada
sikapnya semula, meskipun akibatnya bagi mereka akan
berbeda. Selagi orang-orangnya beristirahat, dua orang
pemimpin dari perguruan yang datang untuk mengambil
alih padepokan itu memang telah memasuki padepokan
untuk bertemu sekali lagi dengan orang yang untuk
sementara memimpin padepokan itu.
Sekali lagi mereka menjelaskan bahwa mereka
memerlukan padepokan itu.
"Kau lihat, betapa kekuatan kami telah berada di
seputar padepokan ini," berkata salah seorang dari kedua
orang itu. "Ya," jawab pemimpin padepokan itu, "tetapi kami
sudah siap pula." Tetapi kedua orang itu tertawa. Seorang di antara
mereka berkata, "Apa yang telah berhasil kalian siapkan di
padepokan yang sudah lumat menjadi debu ini" Jika kami
datang, maka kami masih harus membangunnya kembali
menjadi sebuah padepokan yang besar dan berwibawa."
"Ki Sanak," berkata pemimpin padepokan itu,
"ketika kami menerima Ki Sanak beberapa waktu
berselang, kami memang sudah bertekad bulat untuk
mempertahankan padepokan ini. Tekad itu pun tetap
menyala di dalam hati kami sampai hari ini."
"Jangan mengelabui diri sendiri," berkata salah
seorang dari kedua orang pemimpin perguruan yang datang
itu, "aku yakin bahwa ketika kalian melihat pasukan kami
datang, maka hati kalian telah kuncup."
Tetapi pemimpin padepokan itu tersenyum. Katanya,
"Kau memang seorang pemimpin perguruan yang senang
berkelakar." "Apa maksudmu?" bertanya orang itu.
"Ketika kalian datang, ternyata bahwa bayangan
kami tentang kalian telah rusak sama sekali," berkata
pemimpin padepokan itu, "kami pernah melihat pasukan
Lemah Warah datang mengepung padepokan ini. Kami
kagum melihat pasukan itu menempatkan diri. Belum lagi
bagaimana setiap prajurit di antara mereka berbuat sesuatu,
kami sudah digetarkan oleh kehadiran mereka dalam gelar
kebesaran pasukan sebuah Pakuwon. Tanda-tanda
kebesaran yang menandai setiap kelompok prajurit
membuat hati ini menjadi berdebar-debar," pemimpin
padepokan itu berhenti sejenak. Namun kemudian ia
berkata lebih lanjut, "Tetapi ketika kami melihat kalian
datang, kemudian orang-orang kalian bertebaran dan
berbaring di atas rerumputan kering, maka yang terbayang
oleh kami adalah sekelompok orang kelaparan yang
menunggu kemurahan hati seorang dermawan yang akan
membagikan makan bagi mereka."
"Gila," geram kedua orang pemimpin perguruan
yang datang itu hampir berbareng. Seorang di antara
mereka kemudian berkata, "kau jangan mencoba
membesarkan hatimu dengan cara yang tidak wajar. Aku
percaya bahwa Akuwu Lemah Warah dapat menunjukkan
tanda-tanda kebesaran seperti yang kau katakan. Tetapi
tidak lebih dari sekedar rontek dan umbul-umbul. Tetapi
bukan ujung senjata yang dapat membelah lambung kalian
sebagaimana dibawa oleh orang-orangku."
Tetapi pemimpin padepokan itu masih saja
tersenyum. Katanya, "Kau kira para prajurit Lemah Warah
itu hanya membawa rontek dan umbul-umbul serta
kelebet?" "Persetan," pemimpin perguruan yang ingin memiliki
padepokan itu mulai marah, "sebaiknya kau mengerti apa
yang sebenarnya kau hadapi. Atau kau memang sedang
berpura-pura?" "Ki Sanak," berkata pemimpin padepokan itu,
"pengalaman telah mengajarkan kepada kami, bagaimana
kami harus mempertahankan padepokan ini. Kekalahan
kami dari pasukan Lemah Warah, merupakan pelajaran
yang sangat mahal bagi kami."
"Kekalahan kalian dari Pakuwon Lemah Warah telah
menghancurkan semua kekuatan yang tersisa. Tidak ada
lagi yang dapat kalian banggakan sekarang ini. Semuanya
sudah hancur. Karena itu, kalian jangan mencoba
bersembunyi di balik reruntuhan yang sudah tidak berarti
apa-apa ini," berkata salah seorang dari kedua orang yang
datang itu, "cobalah melihat kenyataan dengan jujur.
Kemudian kalian akan dapat mengambil keputusan yang
tepat tanpa mengorbankan orang-orang kalian yang sudah
tinggal beberapa orang itu."
Tetapi pemimpin pengawal itu menyahut, "Sudahlah.
Apa maumu sebenarnya" Membunuh diri atau karena
kebodohan kalian sehingga kalian tidak tahu siapakah yang
kalian hadapi?" "Gila," geram orang itu, "baiklah jika kau tidak
mampu menilai dirimu sendiri. Kami akan menunggu
sampai esok. Kalian masih mempunyai kesempatan untuk
menentukan langkah apa yang akan kalian ambil."
"Tidak ada gunanya," jawab pemimpin padepokan
itu, "kami sudah siap sejak lama. Karena itu, kami tidak
perlu waktu sampai esok sebagaimana kau katakan. Kecuali
jika kalian sendirilah yang memang belum siap. Sebaiknya
kalian mempersiapkan diri baik-baik menghadapi kekuatan
yang tidak kau duga sebelumnya."
"Kau terlalu sombong," sahut salah seorang dari
kedua orang itu, "tetapi kau akan segera menyesal."
Pemimpin padepokan itu masih akan menjawab.
Tetapi kedua orang itu sudah bangkit dan melangkah
meninggalkan barak induk dari padepokan itu.
Di pintu gerbang, sekelompok orang padepokan itu
mengangguk. Tetapi kedua orang itu sama sekali tidak
menghiraukannya. Bahkan terdengar seorang di antara


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kedua orang itu mengumpat.
Tetapi para penjaga di pintu gerbang itu tidak menjadi
marah. Bahkan ketika kedua orang itu melangkah menjauh,
terdengar gelak tertawa yang meledak di pintu gerbang itu,
sehingga kedua orang itu telah berpaling ke arah mereka.
Kemarahan telah menghentak di jantung keduanya.
Tetapi keduanya masih harus menahan diri betapapun sakit
hati mereka. Demikianlah, ketika keduanya telah kembali ke dalam
lingkungan mereka, maka keduanya telah memanggil
semua pemimpin kelompok. Dengan tegas keduanya
memerintahkan agar semua orang bersiaga sepenuhnya.
Ternyata mereka harus merebut padepokan itu dengan
kekerasan. "Bukankah hal itu lebih baik?" desis salah seorang
dari pemimpin kelompok itu.
"Mungkin memang demikian," sahut pemimpin
kelompok yang lain, "kematian bukan lagi menjadi
persoalan. Berapapun kita membunuh, perbuatan kami itu
dapat dianggap sah."
Beberapa orang yang lain ternyata telah
membenarkan, sehingga keputusan untuk merebut dengan
kekerasan itu justru disambut dengan gembira.
Karena itulah, maka orang-orang yang datang itu pun
telah mempersiapkan diri. Besok, jika matahari terbit,
mereka akan memasuki padepokan itu, menghabisi semua
isinya dan mendudukinya sebagai milik mereka.
Namun orang-orang padepokan itu pun telah
mempersiapkan diri pula sebaik-baiknya. Meskipun
pimpinan tertinggi tetap dipercayakan kepada orang yang
sedang memimpin padepokan itu, namun sesungguhnya
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah yang mengatur
mereka, disesuaikan dengan pengalaman orang-orang
padepokan itu pada saat pasukan Lemah Warah menyerang
mereka. "Tetapi nampaknya orang-orang ini mempunyai cara
yang lain untuk menyerang," berkata pemimpin padepokan
itu. "Mereka tidak mempunyai ikatan sebagaimana
sekelompok prajurit. Mereka akan dengan liar menyerang
padepokan ini dari arah yang disukai oleh setiap orang.
Karena itu, maka pertahanan kita pun harus
menyesuaikannya." Pemimpin padepokan itu pun telah menebarkan
orang-orangnya yang sudah tidak terlalu banyak. Namun
sebagian terbesar di antara mereka tetap berada di bagian
depan padepokan. Menilik cara mereka memilih tempat
untuk beristirahat, maka sebagian dari mereka memang
berada di bagian depan dari padepokan itu. Tetapi bukan
berarti bahwa tidak ada di antara mereka yang tidur
mendekur di bagian belakang padepokan.
Tetapi baik Mahisa Murti, Mahisa Pukat maupun
pemimpin padepokan itu tidak berniat untuk pada malam
itu keluar dari padepokan dan menyerang orang-orang yang
nampaknya bertebaran tidak teratur sama sekali.
"Kita tidak tahu cara mereka mempersiapkan diri,"
berkata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kepada orangorang
padepokan itu. Sebenarnyalah, menjelang pagi, orang-orang yang
bertugas menyiapkan makan dan minumpun telah menjadi
sibuk. Baik yang berada di luar maupun di dalam
padepokan. Mereka tidak boleh membiarkan orang-orang
mereka maju ke medan pertempuran sebelum makan lebih
dahulu. Jika demikian, maka kawan-kawan mereka itu
tidak akan mampu bertahan cukup lama.
Ketika langit menjadi merah, maka orang-orang yang
berada di luar padepokan telah bersiap. Mereka tetap
menebar di sekitar padepokan. Tetapi seperti yang
diperhitungkan, maka sebagian besar di antara mereka
memang berada di depan padepokan.
Dalam pada itu, ternyata orang-orang yang
menyerang padepokan itu tidak memiliki persiapan
sebagaimana sepasukan prajurit. Hanya beberapa orang saja
di antara mereka yang membawa perisai yang akan dapat
melindungi mereka dari serangan anak panah.
Namun orang-orang itu yakin akan kemampuan
mereka, bahwa dengan senjata di tangan mereka, maka
mereka akan dapat menangkis serangan anak panah.
Pada saat-saat terakhir, pemimpin mereka yang
menyerang padepokan itu masih memanggil setiap
pemimpin kelompok dan memberikan pesan-pesan terakhir.
"Hancurkan dengan segala cara. Jangan menahan
diri lagi. Kematian tidak akan berarti apa-apa. Dalam
pertempuran, maka membunuh merupakan pekerjaan yang
wajar. Dan kalian harus melakukannya sebanyakbanyaknya.
Bahkan semua orang di padepokan itu harus
mati. Tetapi ingat, jika mungkin tangkap pemimpin
padepokan itu hidup-hidup. Aku ingin melihat bagaimana
ia mati di hadapan kita."
Beberapa orang pemimpin kelompok itu tertawa.
Seorang di antara mereka berkata, "Baiklah. Satu hal yang
akan sangat menyenangkan. Setelah kita bertempur matimatian,
maka kita akan mendapatkan satu tontonan yang
mengasyikan." "Kita tidak akan bertempur mati-matian. Semuanya
akan berlangsung cepat. Yang kita lakukan adalah
membantai orang-orang padepokan itu," berkata yang lain.
Para pemimpin kelompok itu tertawa berbareng.
Mereka memang terlalu yakin bahwa mereka akan dapat
melakukan tugas mereka dengan mudah berdasarkan
keterangan kedua orang pemimpin mereka yang pernah
datang ke padepokan itu. Namun tiba-tiba seorang di antara pemimpin mereka
itu memperingatkan, "Tetapi dengar. Pada saat terakhir
mereka telah menempa diri, sehingga mungkin kemampuan
mereka akan pulih kembali. Karena itu, maka kalian harus
berhati-hati." Para pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk.
Namun seorang di antara mereka berkata, "Kita akan
melihat, apa yang dapat mereka lakukan."
Demikianlah, ketika para pemimpin kelompok itu
kembali ke kelompok mereka masing-masing, ternyata
mereka telah menyampaikan pesan pemimpin mereka,
bahwa mereka harus berhati-hati, karena orang-orang
padepokan itu telah melatih diri mereka kembali.
Ketika matahari mulai memancarkan sinarnya, maka
terdengar pemimpin perguruan yang menyerang padepokan
itu memberikan isyarat. Ternyata mereka mengenal juga
isyarat panah sendaren. Demikian panah sendaren
mengaum di udara, maka orang-orang yang mengepung
padepokan itu mulai bergerak.
Sebagian besar dari orang-orang yang menyerang
padepokan itu memang berada di bagian depan. Mereka
maju dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur, seperti
kelompok anak-anak muda yang pergi menonton wayang
beber. Nainun di antara mereka yang berada di paling
depan memang mereka yang mempergunakan perisai untuk
melawan serangan anak panah dari orang-orang yang
berada di sebelah-menyebelah regol.
"Sulit untuk memecahkan regol," gumam seorang
pemimpin kelompok. "Kita memang tidak akan memecahkan regol," sahut
seorang kawannya yang berjalan di sebelahnya. Lalu
katanya, "Kita berpegang pada rencana kita."
Pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Ia
sadar sepenuhnya bahwa mereka tidak akan mungkin dapat
memasuki padepokan itu lewat regol yang berat dan kuat.
Apalagi di panggungan di sebelah menyebelah regol itu
dijaga oleh orang-orang bersenjata panah.
Hal itu memang sudah disadari sebelumnya. Karena
itu, maka sebenarnyalah orang-orang yang menyerang
padepokan itu sudah mempunyai rencana yang tidak
pernah diperhitungkan oleh orang-orang padepokan itu.
Justru tidak pula dilakukan oleh para prajurit dari Lemah
Warah. Demikian orang-orang itu mendekati regol, maka
orang-orang yang berada di sebelah-menyebelah regol itu
telah melepaskan anak panah mereka. Namun pada saat
yang demikian, dua buah anak panah sendaren telah
terbang dan mengaum di udara.
Isyarat itu merupakan teka-teki bagi orang-orang
padepokan. Mereka tidak segera tahu, apa yang akan
dilakukan oleh orang-orang yang telah mulai menyerang
itu. Namun, yang berlangsung adalah terlalu cepat.
Orang-orang itu dengan serta merta telah berlari menyusuri
dinding padepokan. Untuk beberapa saat orang-orang padepokan itu justru
tercenung. Mereka tidak tahu apa yang akan mereka
lakukan. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat cepat
tanggap. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
berteriak hampir berbareng, "Mereka akan memasuki
padepokan dengan meloncati dinding."
Sebenarnyalah pertahanan di beberapa bagian dari
dinding padepokan itu agak lemah. Bagian yang sama
sekali nampaknya tidak menjadi sasaran serangan, dianggap
tidak perlu untuk dipertahankan. Sehingga dengan
demikian, hanya di beberapa tempat saja berjaga-jaga
kelompok-kelompok kecil yang akan menahan beberapa
orang yang nampaknya memang akan berusaha meloncati
dinding. Namun ternyata orang-orang yang berkerumun di
depan regol itu telah berlari memencar. Peristiwa yang
terjadi begitu cepatnya itu telah membuat orang-orang di
padepokan itu menjadi agak gugup.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat
berkata," jangan menjadi bingung. Atasi segala kejadian
yang tiba-tiba. Cepat ambil sikap."
Orang-orang padepokan yang hampir saja kehilangan
arah itu tiba-tiba telah menemukan diri mereka kembali.
Dengan cepat, mereka pun menebar. Meskipun mereka
tidak sempat mencegah orang-orang yang datang itu
meloncat ke atas dinding. Namun mereka sempat bersiap
menunggu orang-orang itu meloncat.
Dengan cara itu, maka orang-orang yang menyerang
padepokan itu telah sempat memasukinya. Meskipun
mereka yang berada di luar, di depan regol, masih harus
melawan hujan anak panah, tetapi sebagian di antara
mereka telah berhasil masuk ke dalam padepokan.
Meskipun demikian bukan berarti bahwa mereka
dapat berbuat menurut keinginan mereka. Tetapi dihadapan
mereka orang-orang padepokan itu telah siap menunggu
dengan senjata terhunus. Dengan demikian, maka pertempuran pun telah
terjadi dengan sengitnya. Untunglah bahwa orang-orang
padepokan itu cepat menebar sehingga mereka yang telah
meloncat masuk tidak mendapat kesempatan untuk
langsung menyerang ke arah pintu gerbang dan membuka
dari dalam. Karena itu, maka pintu gerbang itu masih tetap
tertutup meskipun sebagian dari orang-orang itu telah
memasuki padepokan. Di bagian lain, beberapa orang telah meloncat pula.
Tetapi orang-orang padepokan itu telah menunggu,
sehingga mereka tidak dapat melakukannya dengan mudah
sebagaimana mereka harapkan.
Dengan demikian, maka pertempuranpun telah terjadi
di beberapa bagian dari padepokan itu. Orang-orang yang
memasuki padepokan itu dengan dada tengadah, ternyata
telah membentur kekuatan yang tidak mereka duga
sebelumnya. Ternyata orang-orang padepokan itu, yang
mereka sangka tidak lagi mempunyai keberanian untuk
berbuat apapun juga menghadapi ujung senjata, ternyata
adalah orang-orang yang telah menempa dirinya dengan
latihan-latihan yang keras dan pengalaman yang sangat
pahit. Dalam pada itu, orang-orang yang menunggu di luar
regol padepokan itu menjadi tidak sabar lagi. Regol itu
masih tetap tertutup sementara orang-orang di sebelah
menyebelah regol itu, di atas sebuah panggungan telah
menyerang mereka dengan anak panah. Mereka yang
berperisai berusaha untuk melindungi dirinya dan kawankawannya
dengan perisai, sementara yang lain, yang
memiliki kemampuan bermain pedang telah berusaha
menangkis anak panah yang meluncur tidak terhitung itu.
Dalam pada itu, kedua orang pemimpin padepokan
itu menjadi tidak sabar menunggu. Agaknya mereka merasa
sudah terlalu lama menunggu, sementara orang-orangnya
yang memasuki padepokan itu masih belum berhasil
membuka pintu gerbang itu dari dalam.
Karena itu, maka kedua orang itu pun telah
bersepakat untuk membuka pintu itu dengan cara mereka.
"Marilah," berkata salah seorang di antara keduanya
kepada para pengikutnya, "kita akan memecahkan pintu
itu. Bantu aku. Lindungi kami dari serangan anak panah
itu. Kalian harus melontarkan lembing, pisau atau apapun
yang dapat kalian lontarkan. Lima orang di antara kalian
yang terbaik, bantu aku dengan kekuatan ilmu yang yang
ada padamu. Berikan perisai itu kepada kami."
Beberapa orang yang masih berada di depan pintu
itupun dengan cepat telah mengatur diri. Dua orang
pemimpin padepokan itu bersama dengan lima orang
terbaik, telah mengambil ancang-ancang.
Sebenarnyalah kedua orang pemimpin padepokan itu
tidak memerlukan lima orang kawan. Namun dengan
demikian, sasaran dari orang-orang yang berada di sebelah
menyebelah regol di panggungan itu menjadi lebih banyak.
Demikianlah kedua orang pemimpin dari perguruan
yang ingin merampas padepokan itu telah mempersiapkan
ilmu puncak mereka. Mereka akan menyalurkan kekuatan


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

puncak itu pada kaki mereka, sehingga bersama-sama
mereka akan memecahkan pintu gerbang itu dengan
kekuatan ilmu mereka yang sangat besar.
Dengan melindungi diri dengan perisai, maka kedua
orang itu bersama kelima orang yang lain, telah siap
sepenuhnya. Ketika salah seorang di antara kedua
pemimpin itu memberikan aba-aba, maka mereka pun telah
meloncat berlari ke arah pintu gerbang. Sementara itu,
orang-orangnya yang lain telah berusaha untuk mengurangi
serangan dari panggungan di sebelah-menyebelah pintu
gerbang itu. Dengan lembing, pisau dan bahkan bandil,
orang-orang di luar pintu gerbang itu telah menyerang
orang-orang yang berusaha menghalangi ketujuh orang itu
dengan anak panah. Bagaimanapun juga ternyata usaha itu berarti pula.
Beberapa orang yang menyerang ketujuh orang itu dengan
anak panah, harus memperhatikan serangan-serangan yang
datang dari luar padepokan.
Sementara itu, kedua orang pemimpin padepokan
yang berlari ke pintu gerbang sambil melindungi diri mereka
dengan perisai, telah menyalurkan segenap kekuatan ilmu
mereka pada kaki kanan mereka. Serentak keduanya telah
meloncat dengan kaki terjulur menyamping. Sementara itu,
kelima orang yang bersama mereka juga telah melakukan
hal yang sama, meskipun mereka tidak memiliki ilmu
setinggi kedua orang pemimpin mereka.
Ternyata bahwa kekuatan ilmu kedua orang itu
memang luar biasa. Ketika kaki mereka menghantam pintu
gerbang, maka dua kekuatan yang sangat besar, ditambah
dengan kekuatan lima orang, ternyata telah mampu
meretakkan selarak pintu gerbang padepokan itu.
Karena itu, maka ketika mereka kemudian
mendorong pintu itu, maka pintu gerbang itu pun telah
terbuka. Beberapa orang penghuni padepokan yang
menyaksikan hal itu menjadi berdebar-debar. Demikian
pula pemimpin padepokan itu. Mereka dapat menduga,
seberapa besar kekuatan kedua orang pemimpin padepokan
yang telah mampu meretakkan selarak pintu gerbang yang
besar itu. Namun mereka tidak dapat tinggal diam dan
membiarkan orang-orang yang masih berada di luar itu
begitu saja memasuki padepokan. Karena itu, maka
pemimpin padepokan itupun telah meneriakkan aba-aba,
agar orang-orangnya segera menghambat gerak maju orangorang
itu. Demikianlah, pertempuran yang sengit telah terjadi di
mana-mana. Orang-orang yang ingin memiliki padepokan
itu telah berusaha melakukan sebagaimana mereka
rencanakan. Mereka akan membinasakan semua orang di
padepokan itu, kecuali seorang. Pemimpin padepokan itu.
Tetapi ketika mereka telah terlibat dalam pertempuran
dengan para penghuni padepokan itu, maka gambaran
mereka tentang rencana itu telah menjadi kabur. Mereka
tidak dapat dengan mudah mengalahkan orang-orang
padepokan itu. Bahkan dalam pertempuran yang terjadi
kemudian, mereka mulai merasakan bahwa orang-orang
padepokan itu ternyata memiliki kemampuan yang tidak
kalah dari kemampuan mereka yang datang untuk merebut
padepokan itu. Bukan saja kemampuan mereka yang tinggi, tetapi
mereka pun telah bertempur dengan tekad yang menyala di
dalam setiap dada karena mereka merasa wajib untuk
mempertahankan padepokan mereka.
Di antara mereka yang bertahan itu adalah orangorang
Sunan tal yang tersisa. Mereka masih tetap
mempergunakan tongkat-tongkat mereka sebagai senjata.
Dengan kemampuan dasar yang mereka miliki serta
tuntunan yang mereka terima dari Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat, maka mereka ternyata mampu mengatasi
lawan-lawan mereka yang semula menganggap mereka
tidak lagi memiliki keberanian untuk melawan.
Demikianlah, maka pertempuran itu pun ternyata
merupakan pertempuran yang semakin seru. Orang-orang
yang memasuki padepokan itu merasa bahwa mereka telah
terjerumus ke dalam sarang serigala, sama sekali bukan
sarang domba-domba yang jinak, yang dengan suka rela
menyerahkan leher mereka untuk dibantai.
Di regol padepokan, dua orang pemimpin dari
perguruan yang menghendaki padepokan itu, telah
bertempur dengan garangnya. Orang-orang padepokan yang
mencoba menghalanginya telah disapunya tanpa ampun
sebagaimana memang ingin dilakukannya.
Dengan demikian, maka orang-orang yang
mempertahankan padepokan itu di regol mulai terdesak.
Beberapa orang pendatang sempat menerobos masuk
mengikuti kedua orang pemimpinnya itu.
Dalam pada itu, pemimpin padepokan itu tidak dapat
tinggal diam. Meskipun ia sadar, bahwa kemampuannya
tentu tidak akan dapat mengimbangi pemimpin perguruan
yang datang itu, tetapi ia merasa bertanggung jawab atas
padepokan itu. Karena itu, apapun yang terjadi, maka
iapun telah siap untuk melawan.
Namun ketika ia melangkah maju, terasa seseorang
menggamitnya. Bahkan dengan nada datar terdengar orang
yang menggamitnya itu berkata, "Mereka bukan lawanmu,
apalagi berdua. Serahkan mereka kepada kami."
Pemimpin padepokan itu termangu-mangu. Yang
menggamitnya itu adalah Mahisa Murti.
Pemimpin padepokan itu menarik nafas dalam-dalam.
Mereka menurut penilaian pemimpin padepokan itu, adalah
anak-anak muda yang memiliki ilmu yang sangat tinggi
pula. Karena itu, maka dengan jantung yang berdebaran ia
berdesis, "Terima kasih. Semoga Yang Maha Agung
melindungi kalian." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah
menyiapkan dirinya untuk menghadapi dua orang yang
tentu berilmu tinggi. Namun mereka sudah menyatakan
kesediaannya untuk membantu orang-orang padepokan itu.
Karena itu maka mereka harus membuktikan, apa yang
dapat mereka lakukan sesuai dengan kesediaannya itu.
Untuk beberapa saat orang yang diserahi memimpin
padepokan itu masih termangu-mangu. Rasa-rasanya berat
baginya untuk melepaskan begitu saja anak-anak yang
masih sangat muda itu untuk turun melawan orang-orang
yang berilmu tinggi, yang tentu sudah memiliki pengalaman
yang sangat luas. Namun pemimpin padepokan itu mengerti, bahwa
kedua anak muda itu adalah anak-anak muda yang
memiliki ilmu yang tinggi.
Tetapi pemimpin padepokan itu tidak sempat
termangu-mangu terlalu lama. Orang-orang yang
menyerang padepokan itu melanda seperti banjir. Karena
itu, maka ia pun harus segera turun ke dalam pertempuran.
Kedua orang pemimpin perguruan yang
datangmenyerang padepokan itu telah mendera orangorangnya
untuk memasuki padepokan lewat regol yang
telah terbuka. Jika mereka menjumpai hambatan, maka
kedua orang itulah yang membuka jalan, sehingga orangorangnya
mendesak maju. Tetapi kedua orang itu pun kemudian termangumangu
ketika mereka melihat dua orang anak muda berada
di arus orang-orangnya yang memasuki padepokan itu.
Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak
membiarkan orang-orang padepokan itu menjadi gentar
melihat sikap dan kelebihan kedua orang pemimpin dari
perguruan yang telah mendatangi padepokan mereka.
Beberapa kawan mereka telah terlempar dari arena dengan
luka parah jika mereka berani menghalangi kedua orang itu.
Untuk memulihkan ketabahan hati orang-orang
padepokan itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
telah melakukan hal yang sama. Keduanya memang
mampu melemparkan orang-orang yang berlari-larian
memasuki padepokan itu. Siapa yang dekat dengan kedua
anak muda itu, maka ia akan terlempar dan terbanting
jatuh. Bahkan luka parah di tubuh mereka, telah membuat
mereka tidak mampu lagi untuk bangkit.
Orang-orang padepokan itu yang menjadi gentar
melihat kegarangan kedua orang pemimpin perguruan
lawan itu, hatinya telah menjadi kembang kembali.
Ternyata di antara mereka, terdapat pula seorang yang
berilmu tinggi, sebagaimana kedua orang yang datang
bersama seluruh perguruannya itu.
Kedua orang pemimpin perguruan yang datang ke
padepokan itu pun menjadi tegang pula melihat dua orang
anak muda yang ternyata memiliki kelebihan dari orangorangnya.
Sebagaimana dilakukan, maka kedua orang anak
muda itupun telah melemparkan beberapa orang dari
perguruannya keluar arena.
Karena itu, maka kedua orang itu pun sadar, bahwa
kedua orang anak muda itu tentu dengan sengaja telah
berusaha untuk menghadapinya.
Karena itu, dengan isyarat kedua orang itu telah
berpencar. Mereka mengambil jarak beberapa langkah dari
yang satu dengan yang lain.
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
melakukan hal yang sama, maka kedua orang itu pun telah
menjadi yakin karenanya. Dengan demikian, maka
keduanya pun telah bersiap menghadapinya. Namun
demikian, kedua.orang itu dianggapnya masih terlalu muda
untuk turun di medan menghadapinya.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak
memberinya banyak kesempatan. Keduanya segera telah
menempatkan dirinya menghadapi kedua orang itu,
masing-masing seorang. Namun berbeda dengan lawannya, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat sama sekali tidak merendahkan lawanlawannya
itu. Bahkan mereka menjadi sangat berhati-hati
karena menurut perhitungannya keduanya memang orangorang
yang mumpuni. Orang yang kemudian berhadapan dengan Mahisa
Murti ternyata masih sempat bertanya, "Siapa kau anak
muda?" "Aku adalah salah seorang penghuni padepokan ini,"
jawab Mahisa Murti. "Siapakah namamu?" desak lawannya.
"Apa artinya sebuah nama," jawab Mahisa Murti,
"atau barang kali kau mau juga menyebut namamu?"
"Persetan," geram orang itu, "sebenarnya aku merasa
sayang, bahwa dalam umurmu yang masih sangat muda
itu, kau harus mati."
"Jangan cemas bahwa aku akan mati. Cemaskan
dirimu sendiri. Kau sajalah yang mati karena kau sudah
lebih tua dari aku," jawab Mahisa Murti, "kau tentu sudah
mengalami kehidupan yang lebih panjang dari aku."
"Persetan," geram orang itu, "ternyata bahwa kau
memang pantas untuk dibunuh. Mulutmu harus dikoyak
dan jantungmu harus dihancurkan."
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, "Jangan terlalu
garang Ki Sanak. Kita masih belum saling berkenalan,
meskipun aku yakin bahwa kau memiliki ilmu yang sangat
tinggi." Orang itu tidak berbicara lagi. Namun iapun segera
bersiap. Dengan garang ia telah menerkam Mahisa Murti.
Namun ia masih mempergunakan gerak wajarnya
sebagaimana ia melemparkan orang-orang lain di
padepokan itu. Tetapi Mahisa Murti bukannya orang kebanyakan
seperti orang-orang yang pernah terlemar dari arena. Jika
serangan itu, datang ke arahnya, maka dengan sigapnya
iapun telah berkisar menghindarinya, sehingga dengan
demikian serangan itu sama sekali tidak menyentuhnya.
Tetapi lawan Mahisa Murti itu tidak menghentikan
serangannya. Ketika ia gagal mengenai anak muda itu.
maka serangan berikutnya pun telah datang pula. Demikian
cepatnya. Tetapi Mahisa Murti pun mampu bergerak
secepat serangan lawannya.
"Anak iblis," geram orang itu, "ternyata kau memang
mampu bertempur dengan baik. Kau dapat bergerak cepat
menghindari serangan-seranganku. Tetapi jangan kau kira.
bahwa aku hanya mampu bertempur dengan cara ini."
"Aku tahu," jawab Mahisa Murti, "kau mampu
memecahkan pintu gerbang itu."
Orang itu menggeram. Katanya, "Jika demikian kau
tentu merasa memiliki ilmu yang tinggi, yang akan mampu
mengatasi kekuatan yang kau kenali itu he?"
"Bukan begitu," jawab Mahisa Murti, "tetapi sudah
tentu harus ada orang yang bersedia menghadapimu."
"Persetan," geram orang itu, "tetapi jika yang kau
dapatkan adalah kematian bukan salahku."
"Sudah aku katakan, jangan cemas bahwa aku akan
mati," jawab Mahisa Murti.
Orang itu menjadi semakin marah. Karena itu. maka
ia pun telah menyerang lagi dengan garangnya.
Tetapi Mahisa Murti yang meinadari kekuatan orang
itu. berusaha untuk tidak tersentuh oleh serangannya,
karena sentuhan itu akan berbahaya baginya.
Sejenak kemudian maka pertempuran itu pun telah
menjadi semakin seru. Orang itu telah meningkatkan
kemampuannya. Namun Mahisa Murti pun telah berbuat
sebagaimana dilakukan oleh lawannya. Dengan demikian
maka pertempuran itu pun semakin lama benar-benar
menjadi semakin dahsyat pula.
Di tempat lain, Mahisa Pukat pun telah bertempur
dengan sengitnya. Ternyata lawannya mempunyai darah
yang lebih cepat mendidih dari lawan Mahisa Murti.
Karena itu. maka pertempuran di antara Mahisa Pukat dan
lawannya telah meningkat menjadi keras bahkan kasar.
Mereka telah mulai mengetrapkan kemampuan ilmu


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka. Lawannya yang memiliki kekuatan yang sangat
besar, yang mampu memecahkan pintu regol bersama
seorang kawannya itu. rasa-rasanya memang ingin segera
melumatkan Mahisa Pukat. Tetapi Mahisa Pukat pun termasuk seorang anak
muda yang tidak terlalu banyak membuat pertimbangan
untuk mengambil langkah. Itulah sebabnya, maka
pertempuran yang terjadi telah meningkat lebih cepat dari
lingkaran pertempuran antara Mahisa Murti dan lawannya.
Namun dengan demikian, kedua ora; ng pemimpin
dari sebuah perguruan yang ingin memiliki padepokan itu
telah terikat oleh dua orang lawan mereka. Meskipun
keduanya masih muda, tetapi ternyata bahwa keduanya
benar-benar mampu menghambat gerak maju kedua orang
pemimpin perguruan itu. Bahkan apa saja yang dilakukan oleh kedua orang
pemimpin itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mampu
mengimbangi. Sementara itu, pertempuran telah terjadi dimanamana.
Hampir tersebar diseluruh halaman dan kebun di
padepokan itu. Namun apa yang dibayangkan oleh orangorang
yang datang untuk mengambil padepokan itu
ternyata berbeda dengan apa yang mereka hadapi.
Orang-orang yang masih tinggal di padepokan itu
ternyata tidak dengan cepat dapat dikuasai Mereka tidak
menjadi ketakutan dan dengan serta merta kehilangan
keberanian untuk melawan.
--ooo0dw0ooo- Jilid 040 MEREKA tidak dengan gemetar melemparkan
senjatanya untuk menyerah. Sehingga dengan demikian,
maka orang-orang yang datang untuk menduduki
padepokan itu tidak dapat dengan sesuka hati melakukan
apa yang telah mereka angan-angankan. Mereka tidak dapat
mendera orang-orang mereka untuk dipenggal. Mereka
tidak dapat membunuh sebanyak-banyaknya dengan sah,
karena itu dilakukan di dalam pertempuran.
Tetapi yang terjadi adalah justru bertentangan sama
sekali dengan yang mereka angankan itu. Orang-orang
padepokan itu ternyata telah bertempur dengan gigihnya.
Mereka mempertahankan setiap jengkal tanah di
padepokan itu tanpa mengenal surut.
Dalam pertempuran yang menjadi semakin sengit itu,
ternyata bahwa kemampuan orang-orang padepokan itu
tidak berada di bawah tataran kemampuan orang-orang
yang ingin merampas padepokan mereka. Latihan-latihan
yang berat yang mereka lakukan, telah banyak memberikan
arti dalam pertempuran yang keras dan bahkan kasar.
Ternyata bahwa usaha Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat memperkenalkan unsur-unsur gerak yang
dianggapnya masih asing itu banyak pula artinya. Dalam
keadaan yang tiba-tiba dan mendesak, mereka mampu
mengambil sikap. Dan sikap itu banyak menolong dan
menyelamatkan mereka dari ujung senjata lawan. Bahkan
kemudian ternyata bahwa perlahan-lahan orang-orang
padepokan itu berhasil mendesak lawannya.
Meskipun jumlah orang-orang vang datang untuk
merebut padepokan itu lebih banyak, namun tekad yang
membaja di hati para penghuni padepokan itu untuk
mempertahankannya, maka mereka telah berhasil
menguasai hampir di semua sudut pertempuran. Apalagi
karena kedua orang pemimpin dari perguruan yang datang
itu telah terikat dalam pertempuran melawan Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat. Karena itu, maka semakin lama para penghuni
padepokan itu pun menjadi semakin yakin, bahwa mereka
akan dapat mengusir lawan mereka untuk meninggalkan
padepokan itu. Kecuali jika orang-orang itu memang ingin
membunuh dirinya. Seorang pemimpin kelompok dari orang-orang yang
datang untuk merebut padepokan itu, telah bertempur
dengan salah seorang dari perguruan Suriantal yang
bersenjata tongkat panjang. Semula orang itu mengira
bahwa orang yang bersenjata tongkat panjang itu tidak akap
mampu bertahan sepenginang. Namun ketika mereka telah
bertempur maka ternyata bahwa orang bertongkat itu
memiliki kemampuan jauh melampaui dugaannya.
Ketika usahanya untuk dengan cepat mengakhiri
perlawanan orang Suriantal itu gagal, maka orang itu pun
telah mengumpat kasar. "Kenapa kau mengumpat-umpat?" bertanya orang
Suriantal itu sambil mengayunkan tongkat panjangnya
mendatar. Lawannya meloncat surut selangkah. Sekali lagi ia
justru mengumpat. Namun kemudian katanya, "Iblis
manakah yang telah membantumu, sehingga kau mampu
bertahan?" Orang Suriantal yang telah memiliki keyakinan akan
dirinya setelah ia berlatih bersama dengan Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat itu menjawab, "Kaulah yang tidak
mampu menilai ilmu seseorang. Kau dan barangkali juga
kawan-kawanmu menganggap kami tidak berkemampuan
sama sekali, justru karena padepokan ini telah dihancurkan
oleh pasukan dari Lemah Warah. Tetapi yang perlu kau
ingat adalah, bahwa kekuatan prajurit Lemah Warah jauh
lebih besar dari kekuatan perguruanmu. Bahkan
kemampuan secara pribadi, prajurit Lemah Warah jauh di
atas tataran kemampuan kalian."
"Persetan," geram orang itu. "bagaimanapun juga,
kemampuan kami berada di atas kemampuanmu. Karena
itu, menyerahlah. Juga kawan-kawanmu. Dengan demikian
maka kalian masih akan mendapat kesempatan untuk ikut
memiliki padepokan ini."
Tetapi orang bertongkat itu tersenyum. Sekali lagi
tongkatnya menyambar hampir mengenai kepala lawannya.
Ketika lawannya itu meloncat menghindar, maka orang
Suriantal itu menjawab, "Kami sadar, bahwa kami akan
dihancurkan mutlak pada saat ini. Tidak seorang pun di
antara kami akan hidup. Aku sudah mendengar salah
seorang kawanmu tadi berteriak, bahwa isi padepokan ini
akan dimusnahkan." "Tentu tidak," jawab orang itu. "itu hanya ungkapan
kemarahan saja." "Bagaimana jika ungkapan kemarahan itu diujudkan
dalam tingkah laku dan tindakan. Bukan sekedar pada katakata?"
bertanya orang Suriantal itu.
"Baiklah. Aku benar-benar akan melakukannya.
Sebentar lagi kau dan kawan-kawanmu yang tersisa pada
perang melawan para prajurit Lemah Warah akan musnah
sekarang ini," berkata orang itu.
Orang Suriantal itu tidak sempat menjawab.
Lawannya menerkamnya dengan pedang terjulur lurus ke
arah dada. Tetapi orang Suriantal itu cepat mengelak. Bahkan
kemudian tongkatnya pun berputar. Ujungnya dengan cepat
mematuk orang yang menerkamnya dengan pedang itu.
Tetapi orang itu masih sempat menangkis serangan orang
bertongkat itu. Namun ketika benturan terjadi, sekali lagi pemimpin
kelompok dari orang-orang yang ingin merebut padepokan
itu terkejut. Ia tidak menyangka bahwa orang bertongkat itu
memiliki kekuatan yang besar sekali, bahkan hampir saja
melemparkan pedangnya. Dengan demikian maka pemimpin kelompok itu
dapat menduga apa yang telah terjadi di padepokan itu.
Kawan-kawannya tentu menghadapi kekuatan yang sama
sekali tidak diduganya. Harapan mereka satu-satunya
terletak pada jumlah mereka yang lebih banyak serta kepada
kedua orang pemimpin perguruan mereka.
Namun pemimpin kelompok itu harus berjuang matimatian
untuk melindungi dirinya dari serangan tongkat
panjang yang semakin lama justru bergerak semakin cepat.
Di bagian lain, orang-orang yang datang dengan dada
tengadah itu pun telah membentur kekuatan yang tidak
diduganya sebelumnya. Jika mereka menganggap bahwa
merebut padepokan itu dengan kekerasan justru akan lebih
menyenangkan, karena mereka akan dapat membantai
penghuni padepokan itu dengan sah, ternyata telah
menghadapi perlawanan yang sulit untuk ditembus. Bahkan
perlahan-lahan orang-orang yang datang memasuki
padepokan itu telah semakin terdesak.
Dalam pada itu, sebagian besar dari mereka memang
menunggu pemimpin mereka mengakhiri pertempurannya.
Dan kemudian datang menghancurkan orang-orang
padepokan itu. Namun ternyata kedua pemimpin mereka itu masih
belum nampak di antara para pengikutnya.
Tetapi mereka yang bertempur di halaman depan
melihat, apa yang sebenarnya telah terjadi. Kedua orang
pemimpin yang mereka harapkan akan dapat menolong
mereka itu telah terikat dalam pertempuran melawan anakanak
muda. Namun ternyata bahwa kedua pemimpin
mereka itu tidak segera dapat mengalahkan kedua anak
muda itu. Bahkan semakin lama nampaknya kedua orang
pemimpin mereka itu menjadi semakin terdesak.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun kemudian
nampaknya tidak lagi terlalu tergesa-gesa. Ketika ia melihat
bahwa orang-orang padepokan itu mampu
mempertahankan diri. Bahkan di halaman depan, penghuni
padepokan yang jumlahnya lebih kecil itu mampu bertahan
dan mendesak lawannya meskipun sejengkal demi
sejengkal. Kenyataan itu telah membuat kedua orang pemimpin
perguruan yang datang ke padepokan itu menjadi berdebardebar.
Seakan-akan mereka tidak dapat mempercayai
penglihatan mereka atas kejadian itu, karena mereka masih
tetap beranggapan bahwa kemampuan orang-orang
padepokan itu tidak setinggi orang-orangnya. Apalagi tekad
perjuangan mereka telah runtuh pada saat orang-orang
padepokan itu dikalahkan oleh prajurit Lemah Warah.
Namun ternyata yang terjadi adalah sebaliknya.
Orang-orang padepokan itu sama sekali tidak
digentarkan oleh kehadiran lawan yang garang dalam
jumlah yang lebih banyak dari jumlah mereka. Bahkan
setelah pertempuran itu terjadi, terbukti bahwa kemampuan
orang-orang padepokan itu lebih baik dari mereka yang
datang menyerang dan ingin menguasai padepokan itu.
Karena itu, maka kedua orang pemimpin itu
menyadari, bahwa orang-orangnya tentu menyandarkan
diri kepada mereka berdua. Jika mereka berdua tidak dapat
menolong para pengikutnya, maka para pengikutnya itu
tentu akan mengalami kesulitan.
Dengan demikian maka kedua orang itu telah
bertekad untuk segera menyelesaikan pertempuran itu, agar
mereka segera dapat membantu para pengikutnya.
Namun lawan mereka, anak-anak yang masih muda
itu, memiliki ilmu yang mendebarkan.
Lawan Mahisa Murti yang telah menghentakkan
kekuatannya, ternyata tidak dengan segera dapat
mengalahkan anak muda itu. Ketika dengan sigap dan cepat
orang itu melanda lawannya, Mahisa Murti pun mampu
mengimbangi kecepatan geraknya. Dengan demikian maka
serangan-serangan orang itu sama sekali tidak mengenai
sasarannya. Betapa kemarahan menghentak-hentak di dalam dada
orang itu. Ia merasa memiliki kekuatan yang sangat tinggi.
Jika ia berhasil mengenai lawannya, maka orang itu
menduga, bahwa tubuh anak muda itu akan dapat
dihancurkannya. Tulang-tulangnya akan dapat
dipatahkannya sehingga anak muda itu akan terkapar di
halaman padepokan itu. Kekuatannya yang sangat besar, bergabung dengan
pemimpin perguruan yang lain, telah dapat mematahkan
selarak pintu gerbang yang besar dan kuat. Sehingga dengan
demikian maka betapapun tubuh anak muda itu tentu akan
dapat dihancurkannya pula.
Tetapi anak muda itu mampu bergerak terlalu cepat
melampaui kecepatan serangan-serangannya. Karena itu, ia
sama sekali masih belum dapat menyentuhnya sama sekali.
Karena itulah, maka orang itu telah menghentakkan
segenap kemampuannya. Seperti badai ia menyerang. Jika
serangannya gagal, maka serangan berikutnya telah
menyusul pula. Mahisa Murti memang menyadari, bahwa lawannya
mempunyai kekuatan yang sangat besar. Tetapi lawannya
tidak mampu bergerak melampaui kecepatan geraknya.
Karena itu, maka dengan demikian, lawan-lawannya tidak
akan pernah mampu mengenainya.
Sebaliknya Mahisa Murti yang memiliki kemampuan
bergerak lebih cepat, telah memanfaatkan kemampuan itu
sebaik-baiknya. Ia tidak hanya selalu menghindari serangan
lawannya yang memiliki kekuatan yang sangat besar, tetapi
ia justru telah mempergunakan kesempatan yang baik untuk
menyerang kembali lawannya itu.
Justru karena itu, maka bukannya lawannya yang
telah mengenainya, tetapi Mahisa Murtilah yang telah
berhasil menyentuh lawannya yang garang itu.
Kemarahan orang itu menjadi semakin memuncak
ketika serangan Mahisa Murti telah mulai menyentuhnya.
Meskipun sentuhan itu tidak berakibat parah, tetapi orang
itu merasakan sentuhan itu telah menyakitinya.
Karena itu, maka ia pun telah menghentakkan
segenap kemampuan untuk mengimbangi kecepatan gerak
Mahisa Murti. Bahkan ketika kemudian Mahisa Murti
menyerangnya, orang itu sama sekali tidak berusaha untuk
menghindar. Ia justru berusaha membentur kekuatan
Mahisa Murti dengan lambaran segenap kekuatannya.
Orang itu berusaha bahwa dengan demikian, maka
benturan itu akan berakibat buruk bagi Mahisa Murti.
Demikianlah seperti yang diperhitungkan oleh


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lawannya, maka benar-benar telah terjadi benturan. Dengan
sigapnya orang itu dengan sengaja telah membiarkan
serangan Mahisa Murti yang mengarah ke lambungnya.
Orang itu hanya berusaha melindungi lambungnya dengan
sikunya. Mahisa Murti yang melihat sikap orang itu, segera
mengetahui bahwa orang itu sama sekali tidak akan
menghindari serangannya, tetapi justru akan menangkisnya
sehingga terjadi benturan. Namun Mahisa Murti memang
tidak mengerahkan segenap kekuatannya, sehingga ketika
terjadi benturan itu, justru Mahisa Murti lah yang bergeser
selangkah surut. Sementara orang itu masih tetap tegak di
tempatnya meskipun kakinya tergetar pula.
Namun dengan benturan itu, Mahisa Murti berusaha
semakin menyesatkan pendapat orang itu tentang dirinya.
Orang itu menganggap bahwa Mahisa Murti memang tidak
memiliki kekuatan cukup untuk bertahan atas benturan itu.
Tetapi ternyata orang itu menjadi curiga. Meskipun
anak muda itu tergeser surut, tetapi di wajahnya sama sekali
tidak nampak perasaan cemas atau getaran perasaan
apapun juga. Karena itu, maka orang itu pun menyadari,
bahwa anak muda itu tentu masih belum sampai pada
puncak kemampuannya. Karena itu, maka tidak ada cara lam untuk
melawannya selain mempergunakan senjatanya yang
dianggapnya sebagai satu cara terakhir. Jarang sekali ia
mempergunakan senjatanya yang satu itu. Tetapi
menghadapi anak muda yang memiliki kemampuan yang
sangat tinggi, maka ia tidak mempunyai cara lain.
Dengan demikian, ketika ia mendapat kesempatan, ia
pun telah dengan cepat mengambil senjata itu dari kantong
ikat pinggangnya. Dengan cepatnya, maka sebuah lingkaran
bergerigi telah terbang menyambar Mahisa Murti.
Mahisa Murti yang sempat melihat tangan orang itu
memang sudah menduga, bahwa orang itu akan
menyerangnya dengan senjata. Ternyata bahwa sebuah
cakra telah benar-benar menyambarnya.
Namun lingkaran bergerigi itu sama sekali tidak
mengenai sasarannya, karena Mahisa Murti dengan cepat
sempat bergeser mengelak.
Tetapi orang itu tidak membiarkan lawannya terlepas.
Ia sudah terlanjur mempergunakan senjata andalannya.
Karena itu maka satu di antara lingkaran bergeriginya harus
mengenai sasarannya. Tubuh lawannya harus dapat
dikoyakannya dengan Senjata itu.
Karena itu, maka lontaran pertama itu segera disusul
dengan lontaran kedua. Lontaran yang dilambari dengan
segenap kekuatannya yang sangat besar.
Namun sekali lagi lawannya mampu mengelak,
sehingga lingkaran bergerigi itu tidak mengenainya. Namun
ternyata lingkaran bergerigi itu telah membabat dahandahan
pepohonan dengan suara gemersak. Bahkan bukan
saja dahan-dahannya berpatahan, tetapi pohon-pohon itu
bagaikan telah diguncang oleh angin yang kencang.
Mahisa Murti menjadi berdebar-debar. Tetapi
lawannya benar-benar berusaha untuk membinasakannya.
Karena itu maka serangannya telah datang beruntun saling
menyusul. Sehingga dengan demikian, maka pepohonan
pun bagaikan telah dirampas dahan serta daun-daunnya.
Ternyata bahwa di dalam kantong ikat pinggangnya
terdapat senjata seperti itu dalam jumlah yang banyak.
Lingkaran bergerigi yang memang tidak terlalu besar itu
terbuat dari baja yang tipis.
Dalam pada itu, pertempuran antara Mahisa Pukat
dan lawannya pun menjadi semakin sengit. Lawannya yang
merasa memiliki kekuatan yang sangat besar itu pun tidak
segera mampu mengalahkan Mahisa Pukat, karena Mahisa
Pukat mampu bergerak lebih cepat dari serangan-serangan
yang datang membanjir. Kegagalan-kegagalan itu pun telah membuat lawan
Mahisa Pukat itu menjadi marah. Apalagi ketika ia
menyadari, bahwa orang-orangnya ternyata justru telah
terdesak. Semua dugaan dan perhitungan yang telah
dibuatnya agaknya telah meleset dari kenyataan yang
dihadapinya. Ternyata orang-orang padepokan itu memiliki
kelebihan dari orang-orangnya, sehingga meskipun
jumlahnya lebih kecil dari jumlah orang-orangnya, namun
mereka mampu bertahan, bahkan mendesak mundur.
Karena itu, maka orang itu pun tidak mempunyai
pilihan lain. Ia harus mempergunakan apa yang ada
padanya untuk membinasakan lawannya secepatnya.
Jika pemimpin perguruan itu yang seorang
mempergunakan lingkaran bergerigi untuk menyerang
Mahisa Murti, maka orang itu mempergunakan jenis
senjata yang lain. Namun sebagaimana saudara
seperguruannya, maka ia pun telah mempergunakan senjata
yang dilontarkannya untuk membunuh lawan.
Orang itu telah melemparkan pisau-pisau kecil ke arah
Mahisa Pukat dengan kekuatan yang sangat besar.
Terdengar siul angin yang mengikuti arah terbang pisaupisau
kecil itu menggetarkan jantung. Pisau-pisau yang
luput dari sasarannya itu telah menghunjam ke dalam
pokok-pokok kayu sedalam panjang pisau itu sendiri.
Jika pisau itu sempat mengenai dada Mahisa Pukat,
maka kekuatannya yang besar akan mampu mendorong
pisau itu sehingga tembus sampai ke punggung.
Namun Mahisa Pukat menyadarinya, sehingga karena
itu ia menjadi sangat berhati-hati menghadapi pisau-pisau
itu. Tetapi lawannya seakan-akan tidak memberinya
kesempatan sama sekali. Pisau-pisau itu menyambarnya
susul menyusul tidak henti-hentinya. Ternyata orang itu
memiliki sejumlah pisau yang terselip diikat pinggangnya
melingkar penuh. Karena itu, maka ia dapat melontarkan
pisau-pisau itu yang kadang-kadang bahkan dua buah pisau
sekaligus. Mahisa Pukat ternyata lebih cepat kehabisan
kesabaran dari Mahisa Murti. Ia tidak mau menjadi sasaran
tanpa membalas. Kesalahan kecil yang dilakukannya akan mampu
menyeretnya ke dalam kubur.
Karena itu, ketika serangan-serangan itu
menyambarnya semakin deras, maka Mahisa Pukat telah
bertekad untuk membalasnya. Ia tidak telaten menunggu
sampai pisau-pisau itu habis, karena dengan demikian,
kemungkinan yang pahit akan dapat terjadi.
Demikianlah, ketika lawannya itu mengurungnya
dengan lontaran-lontaran pisau sambil berusaha mendekat
untuk memperpendek dan mempersempit arah bidik.
Mahisa Pukat telah membalasnya. Tetapi ia tidak
mempunyai senjata yang dapat dilontarkan.
Namun seandainya ia memilikinya, maka tentu akan
berakibat lebih baik bagi lawannya, karena Mahisa Pukat
tidak perlu mempergunakan ilmunya yang dahsyat.
Tetapi justru karena ia tidak bersenjata sebagaimana
dimiliki oleh lawannya, maka Mahisa Pukat itu pun telah
berusaha untuk membalas serangan-serangan lawannya itu
dengan ilmunya. Ketika lawannya sempat melontarkan dua buah pisau
ke arah Mahisa Pukat, maka sebuah diantaranya hampir
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 18 Goosebumps - Pembalasan Di Malam Halloween Hati Budha Tangan Berbisa 9
^