Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 23

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 23


saja telah mengoyak kulitnya. Anginnya yang menyambar
tubuhnya terasa berdesir sebagaimana jantungnya berdesir.
Namun dalam pada itu, sambil meloncat menghindari
serangan berikutnya, Mahisa Pukat telah menghentakkan
tangannya dengan telapak tangan yang terbuka.
Ternyata bahwa sikap itu telah membawa bencana
yang menentukan akhir dari pertempuran itu. Dari telapak
tangan Mahisa Pukat itu seakan-akan telah meluncur sinar
yang silau kebiru-biruan menyambar tubuh lawannya
dengan kecepatan petir di langit. Lawannya sama sekali
tidak mampu menghindarinya, sehingga karena itu yang
terdengar kemudian adalah teriakan yang menggetarkan
jantung. Lawan Mahisa Pukat itu telah terlempar beberapa
langkah. Kemudian tubuhnya terbanting jatuh di tanah.
Tubuh itu hanya sempat menggeliat. Namun kemudian
tubuh itu telah diam untuk selama-lamanya.
Sementara itu Mahisa Pukat berdiri tegak dengan kaki
renggang memandangi keadaan lawannya yang terbaring
diam itu. Pada saat yang demikian, Mahisa Murti masih juga
bertempur melawan lawannya yang membawa lingkaran
bergerigi. Satu-satu lawannya itu melontarkan cakranya.
Namun sama sekali tidak mengenai sasarannya.
Namun Mahisa Murti masih telaten menunggu
lawannya kehabisan senjatanya. Ia tidak dengan garang
menghancurkan lawannya sebagaimana dilakukan oleh
Mahisa Pukat. Tetapi ia ingin menundukkan lawannya dan
memaksanya untuk membawa orang-orangnya keluar dari
padepokan itu. Kemarahan yang memuncak membuat orang itu
justru kehilangan kemampuan bidiknya. Kegelisahan dan
kecemasan membuatnya semakin tidak dapat menguasai
diri. Senjatanya bertebaran semakin jauh dari sasaran.
Akhirnya, seperti yang diharapkan oleh Mahisa
Murti. Seberapa banyak senjata itu dapat dibawanya,
namun pada saatnya orang itu telah menggenggam
senjatanya yang terakhir.
Mahisa Murti melihat lawannya menjadi ragu-ragu
untuk melontarkan senjatanya. Karena itu, maka ia pun
dapat menebak, bahwa senjata di tangannya itu tinggal satusatunya
yang masih dimilikinya. Karena itu, maka ia pun
kemudian berkata dengan nada lunak, "Ki Sanak.
Bukankah Ki Sanak telah kehilangan semua senjata Ki
Sanak tanpa arti apa-apa. Jika senjata Ki Sanak yang
terakhir itu kau lemparkan, maka kau telah kehilangan
semua senjatamu." "Persetan," geram orang itu. "aku akan membidikkan
senjataku di depan hidungmu."
"Aku akan bergeser menjauh jika kau mendekat,"
berkata Mahisa Murti. "Aku akan mengejarmu sampai ke ujung bumi
sekalipun," berkata orang itu.
Mahisa Murti termangu-mangu. Jika benar yang
dikatakan, maka ia terpaksa mencegah orang itu untuk
mendekatinya. Semakin dekat jarak orang itu daripadanya,
maka lontaran lingkaran bergerigi itu menjadi semakin
berbahaya baginya. Ketika Mahisa Murti berpaling ke arah Mahisa Pukat,
maka dilihatnya Mahisa Pukat telah menyelesaikan
lawannya. Bahkan Mahisa Pukat kemudian sempat
memperhatikannya. Sementara lawannya terbaring diam.
Agaknya lawannya tidak dapat bertahan terhadap kekuatan
serangan ilmu Mahisa Pukat.
Sementara orang yang membawa senjata lingkaran
bergerigi itu benar-benar melangkah setapak maju. Justru
pada saat ia tidak mempunyai harapan lagi, maka ia telah
melakukan satu cara yang mendebarkan bagi lawannya.
"Jangan maju lagi," berkata Mahisa Murti, "kau
tahu, bahwa kawanmu itu terbunuh."
"Persetan," geram orang itu. "aku tidak peduli. Jika
kau menjadi ketakutan, panggil kawanmu itu. Bertempurlah
berpasangan. Aku tidak takut."
Mahisa Murti menjadi berdebar-debar. Ia tidak ingin
membunuh orang itu. Seorang di antara pemimpin
perguruan yang datang itu sudah tidak berdaya, bahkan
mungkin benar-benar telah mati. Karena itu, maka ia ingin
mengalahkan lawannya tanpa membunuhnya dan
memaksanya untuk membawa sisa orang-orangnya pergi.
Tetapi agaknya lawannya itu benar-benar seorang
yang keras kepala. Bahkan seperti yang dikatakan, ia benarbenar
melangkah maju dengan senjata yang tinggal sebuah
di tangannya. Ia akan membidik dari jarak yang dekat dan
melontarkannya, sehingga ia tidak akan luput lagi.
"Berhenti," berkata Mahisa Murti.
Ternyata Mahisa Pukat lah yang menjadi tidak
telaten. Sambil bergeser selangkah maju ia berkata, "Kaubiarkan
lawanmu tetap berkeras kepala, sehingga justru kau
sendiri yang terdesak?"
"Aku ingin ia tetap hidup," jawab Mahisa Murti.
"Kau tidak pantas memberi kesempatan orang itu
hidup," sahut Mahisa Pukat, "kecuali jika ia menyerah."
"Aku bukan pengecut," orang itu pun berteriak, "aku
akan membunuh kalian."
Orang itu justru telah melangkah maju mendekati
Mahisa Murti. Namun langkah orang itu tertegun. Tiba-tiba saja
tanah di depan kakinya bagaikan meledak.
"Bukan kau yang kuledakkan," geram Mahisa Murti,
"tetapi jika kau maju lagi, maka kaulah yang akan
terlempar dan terbanting jatuh. Mati."
"Aku tidak peduli," jawab orang itu. "jika kau
mampu membunuhku, lakukanlah."
Orang itu maju selangkah lagi. Sekali lagi ia tertegun.
Ledakkan itu terjadi dekat di ujung ibu jarinya. Bahkan
tanah yang terlempar dari ledakkan itu, serta batu-batu
kerikil telah mengenai tubuhnya.
Orang itu memang menjadi kesakitan. Tetapi ia benarbenar
bagaikan orang yang kehilangan akal. Ia maju lagi
selangkah. Namun setiap kali ia melangkah maju, langkahnya
terhenti. Sehingga karena itu, maka orang itulah yang tidak
telaten. Ketika ia sudah menjadi semakin dekat, maka ia
pun telah tidak menunggu lagi. Tiba-tiba saja ia telah
meloncat sambil melontarkan senjatanya dengan sepenuh
kekuatannya. Jaraknya memang jauh lebih dekat dari sebelumnya.
Namun Mahisa Murti yang sudah memperhitungkan
kemungkinan itu, melihat tangannya yang bergerak,
sehingga dengan kemampuannya yang tinggi, ia berhasil
melenting menghindarkan diri dari sambaran senjata itu.
Namun lawannya benar-benar telah menjadi liar.
Justru karena serangannya yang terakahir telah gagal, maka
ia telah meloncat menyerang Mahisa Murti dengan
garangnya. Mahisa Murti pun telah siap menghadapi serangan
itu. Bahkan ia memang telah menunggunya. Ia sadar,
bahwa kekuatan lawannya memang sangat besar, karena
berdua mampu memecahkan selarak gapura padepokan itu.
Tetapi Mahisa Murti pun telah menyiapkan puncak
dari daya tahan tubuhnya serta ilmunya yang diwarisinya
dari Pangeran Singa Narpada.
Sejenak kemudian telah terjadi benturan yang sangat
dahsyat. Mahisa Murti memang terpental beberapa langkah
surut. Tetapi ia masih tetap mampu mempertahankan
keseimbangannya. Sementara itu, lawannya yang merasa
berhasil mengenai lawannya dan akan menghancurkannya,
namun ternyata ia sendiri telah terpental pula beberapa
langkah surut. Kakinya yang mengenai tubuh lawannya
justru terasa sakit. Namun seperti Mahisa Murti ia pun
masih tetap tegak berdiri meskipun harus menyeringai.
Tetapi orang itu menjadi heran. Dalam pertempuran
yang sudah berlangsung cukup lama, ia sama sekali tidak
dapat mengenai tubuh lawannya. Namun tiba-tiba justru
pada saat ia sudah berputus asa, ia benar-benar mampu
menghantamnya. Meskipun ia juga menjadi sangat heran,
bahwa lawannya yang dikenainya itu tidak lumat menjadi
debu. Namun dengan demikian, maka gairah perjuangannya
telah tumbuh kembali. Ia merasa bahwa pada serangan
pertama ia hanya mampu mendorong lawannya beberapa
langkah surut. Namun jika ia mampu mengenainya
beberapa kali, lawannya itu tentu akan dapat
dihancurkannya pada akhirnya.
Karena itu, maka ia pun telah bersiap pula. Sekali lagi
ia telah menyerang dengan cara yang sama. Demikian
cepatnya, sehingga seolah-olah Mahisa Murti tidak siap
untuk mengelak. Sekali lagi benturan telah terjadi. Sekali lagi Mahisa
Murti tergeser dari tempatnya. Kakinya yang mengenai
lawannya justru menjadi semakin sakit.
Itulah sebabnya, maka ia telah berniat menyerang
Mahisa Murti dengan kakinya yang satu lagi. Dengan
demikian maka ia telah mengambil sikap yang berbeda.
Namun Mahisa Murti masih tetap berusaha untuk
membentur serangan orang itu. Karena itu, ketika serangan
itu datang lagi, ia masih juga tidak menghindar, tetapi justru
membenturnya, sehingga yang telah terjadi itu terulang
kembali. Tetapi Mahisa Murti tidak lagi tergeser beberapa
langkah. Ia hanya tergeser dua langkah saja, sementara
lawannya justru mengalami kesulitan yang lebih parah.
Kakinya yang sebelah itu pun menjadi sakit pula dan
bahkan rasa-rasanya kaki itu akan patah.
Mahisa Pukat yang mengetahui niat Mahisa Murti itu
menggeramang karenanya. Ia sebenarnya tidak telaten
menunggu. Tetapi ia tidak dapat mencegah niat Mahisa
Murti itu. Karea itu, yang dapat dilakukannya hanyalah sekedar
menunggu. Sementara itu, Mahisa Murti masih saja tetap
menunggu lawannya itu menyerang. Bukan berarti bahwa
ia tidak merasakan sengatan kesakitan. Namun ia memang
telah meningkatkan daya tahan tubuhnya sampai ke puncak
untuk mengatasi rasa sakit, karena ia yakin bahwa
pekerjaannya tidak akan terlalu lama lagi.
Sementara itu, lawannya berusaha untuk benar-benar
menghancurkannya dengan serangan-serangannya. Ia
yakin, betapapun kuatnya daya tubuhnya, namun perlahanlahan
tubuh itu tentu akan dapat dihancurkannya.
Tetapi kemudian orang itu merasakan satu kelainan
pada dirinya. Rasa-rasanya ilmunya tidak lagi sekuat
sebelumnya. Ketika ia kemudian menyerang sekali lagi dengan
puncak kemampuannya, maka Mahisa Murti sudah tidak
tergeser lagi dari tempatnya. Bahkan kemudian anak muda
itu berdiri sambil bertolak pinggang. Dipandanginya
lawannya sambil tersenyum dan berkata, "Marilah.
Lepaskan semua kekuatan dan kemampuan ilmumu."
Orang yang telah bangkit harapannya untuk menang
itu telah menjadi goyah kembali. Rasa-rasanya lawannya
itu menjadi semakin lama semakin perkasa. Seranganserangannya
sama sekali tidak menggoyahkannya.
Namun orang itu masih ingin mencobanya.
Diulanginya sekali lagi dan sekali lagi. Namun justru
benturan-benturan itulah yang telah menghancurkannya.
Tenaganya seakan-akan telah terhisap sehingga kemudian
ia menyadari, bahwa ia memang berhadapan dengan anak
muda yang luar biasa. "Pengecut," geram orang yang sudah hampir
kehabisan tenaga itu. "kau hisap kekuatanku sebagaimana
laku seorang pencuri. Kau tidak berani bertempur beradu
ilmu." Mahisa Murti tersenyum. Katanya, "Jangan marahmarah
begitu Ki Sanak. Kau tidak akan mendapat apa-apa
dengan sikapmu itu. Karena itu lebih baik kau menyerah
saja. Kau akan mendapat perlakuan yang baik dan mungkin
sangat menguntungkan bagimu."
"Persetan. Aku akan membunuhmu," geram orang
itu. Tetapi ia menjadi semakin lemah. Ia tidak lagi mampu
meloncat menyerang meskipun ia masih tetap berusaha
berdiri tegak. Namun Mahisa Murti lah yang yang datang
mendekat. Orang itu tidak dapat mengelak ketika Mahisa
Murti kemudian menangkap pergelangan tangannya.
Dalam waktu yang singkat, seluruh tenaganya sudah
terhisap habis. Karena itu, ketika Mahisa Murti
melepaskannya, maka orang itu telah terhuyung-huyung
sejenak. Namun kemudian ia pun telah berjatuh dan sama
sekali tidak mampu lagi untuk bangkit, karena seakan-akan
seluruh tenaganya telah terhisap habis. Bahkan untuk
mengumpat pun suaranya tidak lagi mampu meloncat dari
bibirnya kecuali sekedar seperti orang berbisik, "Setan kau.
Aku akan membunuhmu."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia
berpaling kearah Mahisa Pukat, sementara Mahisa Pukat
melangkah mendekatinya. "Kau telaten juga bermain-main dengan orang itu,"
berkata Mahisa Pukat. "Aku ingin ia tetap hidup," berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Mungkin ia memang masih diperlukan."
"Ya. Kita tidak akan memusnahkan semua orang
yang memasuki padepokan ini. Kita akan mengusir mereka
pergi. Dan orang ini akan dapat membawa mereka, karena
orang ini adalah salah seorang dari pemimpin mereka."
Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun
dilayangkannya pandangannya ke bagian lain dari
padepokan itu. Sebagian besar dari pertempuran sudah


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selesai. Orang-orang yang datang dengan penuh kepastian
akan dapat membantai seisi padepokan itu, ternyata harus
menyerah kalah, karena mereka memang sudah tidak
mempunyai kesempatan lagi untuk melawan.
Bahkan mereka pun telah pasrah jika leher mereka
akan ditebas putus dengan pedang. Orang-orang itu
memang menduga, bahwa mereka semuanya tentu akan
diselesaikan, sebagaimana mereka juga merencanakan
berbuat demikian atas isi padepokan itu.
Beberapa orang memang tidak bersedia untuk
menyerah. Mereka merasa lebih baik bertempur sampai
mati dari pada menyerah dan dibantai tanpa perlawanan.
Namun betapapun mereka mengadakan perlawanan,
namun mereka memang tidak memiliki kekuatan untuk
bertahan. Ternyata lawan mereka tidak berusaha untuk
membunuh mereka. Namun orang-orang padepokan yang
telah kehilangan lawannya, berusaha membantu kawankawannya
melumpuhkan lawannya tanpa membunuhnya.
Hanya karena tidak lagi dapat dihindari, dengan terpaksa
sekali orang padepokan itu telah membunuh.
Ternyata dalam waktu singkat, selama Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat memberikan tuntunan oleh kanuragan,
mereka-pun telah berhasil menyisipkan olah kajiwan,
sehingga sifat-sifat orang-orang padepokanku menjadi
berubah. Mereka tidak lagi termabuk orang-orang yang
kasar dan apalagi buas. Meskipun demikian masih ada juga orang yang tidak
mau menyerah dalam keadaan yang betapapun sulitnya.
Dengan liar orang itu melawan. Mereka tidak lagi
memikirkan, apakah lawannya akan membunuhnya atau
tidak. Beberapa orang penghuni padepokan itu memang
menjadi bingung. Namun pada saat-saat terakhir, mereka
tidak mempunyai pilihan lain. Orang-orang yang keras hati
itu terpaksa dilumpuhkan dengan kasar, meskipun mungkin
akan membunuhnya. Namun pada saat yang demikian. Mahisa Pukat telah
datang mendekat, ia telah meninggalkan Mahisa Murti
yang masih menunggui lawannya yang tidak berdaya.
Ketika dilihatnya orang-orang yang keras hati dan
tidak mau menyerah pada keadaan yang bagaimanapun
juga itu, maka ia pun telah teringat apa yang dilakukan oleh
Mahisa Murti. Karena itu maka ia pun telah menyusup
diantara orang-orang padepokan itu yang mengepung
beberapa orang yang tidak mau menyerah.
Mahisa Pukat memperhatikan orang-orang itu
sejenak. Kemudian maka ia pun telah terjun ke arena
bertempur di antara orang-orang padepokan itu.
Namun Mahisa Pukat tidak membunuh lawanlawannya.
Ia memperlakukan lawan-lawannya seperti
Mahisa Murti. Dengan cekatan ia berloncatan, menyusup
diantara desing senjata. Sekali-sekali ia berhasil menyentuh
lawannya di bagian yang manapun juga dari tubuhnya.
Sementara itu, keseimbangan pertempuran pun segera
berubah. Orang-orang yang bertekad untuk mati itu benarbenar
telah tidak mampu berbuat sesuatu. Namun dalam
keadaan yang demikian, maka Mahisa Pukat pun
memerintahkan agar orang-orang padepokan itu
menghentikan perlawanan mereka.
"Kenapa?" bertanya salah seorang di antara mereka
yang telah mengambil jarak karena pertempuran itu telah
terhenti. "Mereka akan menyerah," berkata Mahisa Pukat.
"Persetan," geram salah seorang di antara mereka,
"untuk apa aku menyerah. Jika kau ingin membunuhku,
bunuhlah aku." Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun tibatiba
ia telah mengambil sebilah pedang dari salah seorang
penghuni padepokan itu yang kebetulan bukan dari
perguruan Suriantal. Dengan pedang itu, maka Mahisa Pukat telah
menyerang orang-orang yang menjadi lemah karena
sentuhan-sentuhannya, sehingga senjata-senjata mereka
berloncatan dari tangan. Kemudian Mahisa Pukat telah memasuki kelompok
orang-orang yang telah kehilangan senjata mereka, setelah
ia sendiri mengembalikan pedang yang dipinjamnya.
Bagaimanapun juga orang-orang itu masih berusaha
melawan. Mereka telah menyerang Mahisa Pukat yang
menyusup di antara mereka.
Mahisa Pukat sama sekali tidak membalas. Ia berdiam
diri saja di antara beberapa orang yang mengerumuninya
dalam memukulinya dengan tangan mereka, karena senjata
mereka telah terlepas dari tangan mereka. Mahisa Pukat
hanya meningkatkan saja daya tahan tubuhnya, sehingga ia
mampu mengatasi perasaan sakit karena serangan-serangan
itu. Namun satu hal yang tidak dimengerti oleh orangorang
itu telah terjadi. Orang-orang yang beramai-ramai
memukuli Mahisa Pukat itu, semakin lama justru menjadi
semakin lemah. Pukulan-pukulan mereka semakin tidak
berarti lagi. Bahkan akhirnya mereka tidak lagi berdaya
untuk berbuat sesuatu. Mahisa Pukat lah yang kemudian mulai meraba
mereka seorang demi seorang, sehingga akhirnya, maka
orang-orang itu pun telah terjatuh dan tidak berdaya sama
sekali. Dengan demikian, maka pertempuran pun telah
berakhir. Bagaimanapun juga tidak dapat dihindarkan
korban pada kedua belah pihak. Namun orang-orang yang
datang ke padepokan itu dengan rencana yang paling buruk
di kepala mereka untuk membantai semua orang yang ada
di padepokan, benar-benar telah mengalami kegagalan,
bahkan orang-orang merekalah yang justru lebih banyak
menjadi korban, karena lawan mereka yang pada saat-saat
terakhir sempat menempa diri, ternyata memiliki
kemampuan yang lebih besar dari mereka.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah
mengumpulkan para pemimpin kelompok dari orang-orang
padepokan itu. Mereka telah memberikan petunjukpetunjuk
untuk mengatasi persoalan yang timbul kemudian.
"Orang-orang yang terluka harus dikumpulkan,
sementara yang meninggal di peperangan harus
diselenggarakannya dengan baik," berkata Mahisa Murti.
Orang yang diserahi memimpin padepokan itu
nampak muram. Dengan nada rendah ia berkata,
"Penghuni padepokan ini tinggal sedikit. Hari ini harus
berkurang lagi." "Kita tidak dapat menghindari kemungkinan itu,"
berkata Mahisa Pukat, "bukan salah kita karena kita sudah
berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya. Namun apa yang
terjadi ini masih terlalu baik dibandingkan dengan apabila
padepokan ini jatuh ke tangan mereka."
Pemimpin padepokan itu mengangguk kecil. Katanya,
"Aku percaya. Keadaan ini masih jauh lebih baik daripada
jika padepokan ini jatuh ke tangan mereka. Namun
sekarang, apa yang harus kita lakukah terhadap mereka?"
"Itu akan kita pikirkan kelak. Tetapi kita harus
merawat lebih dahulu orang-orang yang terluka dalam
pertempuran ini. Yang terbunuh agaknya memang sudah
nasibnya. Tetapi yang masih hidup dalam keadaan payah
itulah yang harus dengan cepat mendapat perawatan,"
berkata Mahisa Murti kemudian.
Pemimpin padepokan itu mengangguk. Katanya,
"Anak-anak telah melakukannya. Aku minta para
pemimpin kelompok akan mengaturnya sebaik-baiknya."
Para pemimpin kelompok itu pun telah kembali ke
kelompok masing-masing. Hampir semua orang di antara
mereka yang datang ke padepokan itu mengalami keadaan
yang payah. Selebihnya justru telah terbunuh karena
kekerasan hati mereka. Sepeninggal para pemimpin kelompok, Mahisa Murti
telah berkata lirih kepada pemimpin padepokan itu.
"Bagaimana jika kau mencoba memikirkan untuk
memperkuat kedudukan padepokanmu dengan orang-orang
baru?" Pemimpin padepokan itu termangu-mangu. Namun
kemudian katanya dengan ragu, "Apa maksudmu" Jika
demikian, darimana datangnya orang-orang baru itu?"
Mahisa Murti memandang Mahisa Pukat sejenak.
Memang ada keragu-raguan membayang di wajahnya.
Namun kemudian katanya, "Bagaimana dengan orangorang
yang telah datang dengan sendirinya itu" Mereka
bemaksud memiliki padepokan ini. Tetapi jika kita dapat
mengadakan pendekatan secara baik, apakah tidak mungkin
kalian tinggal bersama-sama di padepokan ini?"
Pemimpin padepokan itu mengerutkan keningnya.
Dengan wajah yang tegang ia berkata, "Bagaimana
mungkin hal itu akan dapat dilakukan. Mereka datang
dengan senjata di tangan. Mereka berniat untuk bukan
sekedar mengusir kami, tetapi membunuh kami semuanya.
Selebihnya, seorang di antara pemimpin mereka yang
berilmu tinggi itu masih ada, sehingga akhirnya merekalah
yang benar-benar akan berkuasa."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas
dalam-dalam. Mereka dapat mengerti alasan pemimpin
padepokan itu. Jika pemimpin perguruan yang datang itu
masih tetap hidup, maka ia akan mempunyai kesempatan
lebih besar dari siapa pun di padepokan itu.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun berkata,
"Bagaimana jika tanpa pemimpin mereka" Seorang di
antara kedua orang pemimpin mereka telah terbunuh.
Seorang lagi tidak berdaya sama sekali sekarang ini."
"Namun orang itu akan menjadi pulih kembali dan ia
adalah orang terkuat di antara kami semuanya," jawab
pemimpin padepokan itu. Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun katanya,
"Aku akan dapat membawanya pergi. Aku dapat
menyerahkannya kepada Akuwu Lemah Warah untuk
ditelusuri asal-usulnya. Itulah sebabnya salah seorang di
antara kedua orang pemimpin perguruan itu sebaiknya tetap
hidup, agar dapat diketahui siapakah mereka sebenarnya
beserta perguruannya."
Pemimpin perguruan itu termangu-mangu. Namun
kemudian jawabnya, "Aku akan membicarakan dengan
para pemimpin kelompok. Namun perasaan kami agaknya
masih sulit untuk menerima kenyataan, bahwa mereka akan
menjadi bagian dari kami."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mendesaknya
untuk mengambil keputusan. Namun sementara itu,
pemimpin perguruan yang datang yang telah kehilangan
kekuatannya itu pun terdengar mengeluh tertahan.
Ketika Mahisa Pukat kemudian mendekati orang itu,
Mahisa Murti pun berkata, "Baiklah. Kita tidak tergesagesa.
Kau mempunyai waktu untuk membicarakannya
dengan para pemimpin kelompok. Mungkin mereka
mempunyai pendapat yang lebih baik dari yang aku katakan
itu." "Aku akan mencobanya," jawab pemimpin kelompok
itu. "tetapi aku tidak akan dapat memaksakan kehendakku
kepada para pemimpin kelompok itu. Aku harus
menghargai pendapat mereka karena meskipun kami
berasal dari perguruan yang berbeda, tetapi kami sudah
merasa seakan-akan kami ini satu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menganggukangguk,
ia mengerti, bahwa orang yang diserahi untuk
memimpin padepokan itu tidak akan dapat mengambil
keputusan. Dan bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
pun menyadari, bahwa kehadiran pemimpin perguruan
yang menginginkan untuk memiliki padepokan itu akan
dapat mendesak orang-orang yang sudah lebih dahulu
berada di tempat itu. Karena itu, maka sikap Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat memang menunggu, bagaimana keputusan orangorang
padepokan itu. Dalam pada itu, pemimpin padepokan itu pun akan
mengumpulkan para pemimpin kelompoknya sekali lagi.
Tetapi ia tidak tergesa-gesa. Ia ingin memberikan
kesempatan kepada para pemimpin kelompok itu untuk
melakukan tugas mereka. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun juga tidak
tergesa-gesa. Ia tahu bahwa semua orang sedang sibuk di
padepokan itu, sehingga mereka membiarkan orang-orang
padepokan itu bekerja dengan tenang.
Dalam pada itu, semua orang yang terluka telah
mendapat perawatan. Meskipun demikian letak mereka
telah dipisahkan. Orang-orang padepokan itu sendiri
ditempatkan pada satu barak, sementara orang-orang yang
datang ke padepokan itu, pada barak yang lain.
Tetapi, di samping mereka terdapat seorang yang
harus mendapat perawatan khusus. Orang itu adalah
pemimpin perguruan yang datang kemudian untuk
memiliki padepokan itu, namun gagal.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyadari, bahwa,
orang itu adalah orang yang berilmu sangat tinggi, karena
itu orang itu harus mendapat pengawasan langsung dari
Mahisa Murti atau Mahisa Pukat.
Demikianlah dari waktu ke waktu, keadaan tubuh
orang itu menjadi semakin baik. Luka-lukanya di luar
tubuhnya maupun di dalam dirinya sudah berangsur
sembuh, sehingga ia mulai membiasakan diri untuk
melakukan apapun juga yang memang dapat dikerjakannya.
Namun dengan demikian tugas Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat menjadi semakin berat karena mereka harus
mengawasi hal-hal yang mungkin dapat terjadi.
Sementara itu, maka tugas para penghuni padepokan
itu-pun akhirnya telah selesai. Mereka telah mengumpulkan
orang-orang yang terluka dan merawatnya dengan baik.
Yang meninggal pun telah diselenggarakannya sebagai
mestinya.

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat pun kemudian mengadakan semacam pembicaraan
dengan pemimpin padepokan itu. Sementara itu
pengawasan terhadap para tawanan itu pun telah diperketat
pula. Orang yang berilmu tinggi itu pun telah ditempatkan
ditempat yang khusus. Ampat orang penghuni padepokan
itu mengawasi mereka bergantian. Tugas mereka adalah
memberikan isyarat jika mereka melihat sesuatu yang
mencurigakan. Mereka tidak akan mungkin berbuat sesuatu jika
orang itu memang ingin melarikan diri.
Kepada pemimpin padepokan itu, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat ingin mengulangi pendapatnya,
bagaimanakah kiranya jika orang.-orang dari perguruan
yang datang itu diterima saja menjadi keluarga mereka.
Pemimpin padepokan itu termangu-mangu. Namun
kemudian katanya, "Marilah. Kita akan berbicara langsung
saja dengan para pemimpin kelompok. Aku akan
mengumpulkan mereka."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak berkeberatan.
Karena itu, maka sejenak kemudian, mereka telah
berhadapan dengan para pemimpin kelompok dari
padepokan itu. Kepada mereka Mahisa Murti telah mengatakan
berterus terang niatnya, apabila disetujui, maka biarlah
orang-orang yang datang kepadepokan itu menjadi satu
dengan mereka. "Jumlah kalian telah semakin berkurang. Sementara
itu, ada sekelompok kecil orang yang memerlukan tempat
tinggal. Nah, apakah bukan satu kebetulan telah terjadi ?"
bertanya Mahisa Murti. Tetapi semua pemimpin kelompok itu menggelengkan
kepalanya. Seorang diantara mereka berkata, "Bagaimana
mungkin kita dapat hidup bersama. Kita sudah saling
membunuh?" "Kami berdua dan kalian pada waktu itu telah berada
pada tempat sebagaimana kalian dengan orang-orang itu,"
berkata Mahisa Pukat. "Ada bedanya," berkata pemimpin padepokan itu.
"kalian memang tidak mempunyai nafsu untuk memiliki
padepokan ini." Mahisa Murti lah yang menyahut, "Ki Sanak. Jumlah
orang-orang itu yang masih hidup dan terluka sudah tidak
begitu banyak lagi. Kalian tentu akan menguasai mereka.
Apalagi jika lambat laun hubungan kalian menjadi
bertambah baik dengan saling pengertian dan saling
menyesuaikan diri." "Tetapi pemimpinnya sangat berbahaya bagi kami,"
berkata pemimpin padepokan itu.
"Jika kalian berkeberatan, sebagaimana pernah aku
katakan, biarlah aku menyingkirkan pemimpinnya itu. Aku
dapat membawanya ke Lemah Warah. Ia memang
sebaiknya ditangkap dan harus mempertanggungjawabkan
kesalahannya," berkata Mahisa Murti.
Para pemimpin kelompok itu termangu-mangu.
Sementara Mahisa Murti berkata, "Kalian akan
merenungkannya. Kalian masih mempunyai banyak waktu
sampai saatnya orang-orang yang terluka itu sembuh."
Pemimpin padepokan itu mengangguk. Tetapi ia tidak
segera menjawab. Demikian para pemimpin kelompok.
Mereka tertunduk diam. Mamun mereka merenungkan apa
yang dikatakan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Tetapi bagaimanapun juga, rasa-rasa perasaan mereka
sulit untuk dapat mengerti, bagaimanapun juga mereka
berusaha untuk mempergunakan nalar.
"Baiklah," berkata Mahisa Murti, "pikirkan untuk
satu dua hari. Apakah kalian akan berjiwa besar, atau
kalian memang tetap berjiwa kecil."
Pemimpin padepokan itu hanya menarik nafas dalamdalam.
Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
mempersilahkan mereka membicarakannya dengan tidak
tergesa-gesa. "Langkah ini akan menentukan satu bentuk baru dari
padepokan ini," berkata Mahisa Murti, "karena itu kalian
harus memikirkannya masak-masak. Bagiku, padepokan ini
tetap milik kalian. Karena itu kalianlah yang akan
menentukan, apakah kalian akan dapat menerima mereka
di antara kalian." Pemimpin pengawal itu mengangguk kecil. Katanya,
"Baiklah Mahisa Murti. Kita akan membicarakannya
dengan mendalam." Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
pun telah mempersilahkan para pemimpin kelompok itu
kembali ke kelompok-kelompok masing-masing. Hanya
pemimpin padepokan itu sajalah yang masih tinggal
bersama mereka untuk berbicara tentang beberapa hal yang
menyangkut padepokan itu.
Di hari berikutnya, pemimpin padepokan itu mulai
membicarakan persoalan padepokan itu dengan sungguhsungguh.
Ia minta agar setiap pemimpin kelompok
menyatakan pendapatnya dengan jujur. Namun pada
umumnya, para pemimpin kelompok itu memang
berkeberatan. "Saudara-saudaraku," berkata pemimpin padepokan
itu, "jumlah orang-orang itu memang tidak banyak lagi
dibanding dengan kawan-kawan kita. Agaknya kita
terpaksa membunuh mereka untuk melindungi diri kita
sendiri. Mula-mula jumlah mereka lebih banyak dari kita.
Kini ternyata jumlah mereka telah susut jauh sekali. Karena
itu, dipandang dari satu segi, mereka memang tidak lagi
membahayakan kedudukan kita."
"Tetapi bagaimana dengan pemimpin mereka?"
bertanya salah seorang pemimpin kelompok, "orang itu
memiliki ilmu yang sebagaimana kita saksikan, benar-benar
nggegirisi. Adalah kebetulan bahwa di sini ada dua orang
anak muda kemenakan Akuwu Lemah Warah itu."
"Aku tidak tahu, apakah benar mereka kemenakan
Akuwu Lemah Warah, karena ternyata semuanya lain
dengan kenyataannya. Namun kita dapat mengajukan
syarat kepada mereka, jika pemimpin orang-orang
pendatang itu ada di sini, maka keduanya harus tetap
tinggal di sini pula. Jika mereka akan pergi, biarlah orang
itu dibawanya," berkata pemimpin padepokan itu.
"Aku masih sulit untuk mengerti tentang sikapku
sendiri," desis seorang pemimpin kelompok yang lain.
Pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk.
Katanya, "Apakah kita harus belajar dari sikap kedua anak
muda itu" Keduanya sama sekali tidak nampak bekas-bekas
permusuhan dengan kita. Keduanya benar-benar telah
melupakannya. Bahkan keduanya bersedia membantu
kita." Para pemimpin kelompok itu termangu-mangu.
Namun kemudian seorang di antara mereka berkata, "Aku
sependapat. Mereka kita minta tinggal di sini. Jika
keduanya pergi, biarlah orang itu dibawanya."
Ternyata pendapat itu disetujui oleh para pemimpin
kelompok. Mereka menerima orang-orang yang datang itu
menjadi keluarga mereka kecuali pemimpinnya yang
memiliki ilmu yang tinggi. Orang itu hanya disetujui tinggal
di padepokan itu selama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
juga berada di padepokan itu.
Hal itulah yang kemudian disampaikan kepada
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Orang-orang di
padepokan yang sebenarnya memang berasal dari beberapa
perguruan itu dapat menerima orang baru di antara mereka,
kecuali seorang. Seorang yang dianggap memiliki
kemampuan jauh melampaui kemampuan mereka,
sehingga orang itu akan dapat membahayakan kedudukan
mereka. Bukan sekedar kedudukan pemimpin padepokan
yang akan dengan mudah dapat diambilnya. Tetapi orang
itu akan dapat meneruskan niatnya untuk mengambil
seluruh padepokan." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menganggukangguk.
Mereka pun mengerti sikap orang-orang padepokan
itu. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
tidak akan menuntut lebih dari itu.
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bertemu lagi
dengan para pemimpin kelompok, maka para pemimpin
kelompok itu, termasuk orang yang diserahi untuk
memimpin padepokan itu, minta agar Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat lah yang akan menjadi pemimpin padepokan
itu. Dengan demikian maka kedudukan padepokan itu akan
menjadi kuat dan tidak mudah diguncang oleh kekuatan
dari manapun. Tetapi sambil tersenyum Mahisa Murti berkata,
"Kami mengucapkan terima kasih atas kepercayaan itu.
Tetapi itu bukan hak kami."
"Anak-anak muda," berkata pemimpin padepokan
itu. "di setiap padepokan, yang biasanya terdiri dari satu
perguruan, maka pemimpin padepokan itu adalah guru dari
para penghuni padepokan itu. Ia memiliki ilmu yang tinggi
dan dapat melindungi padepokan itu dari berbagai ancaman
dan bahaya. Tanpa orang kuat di sebuah padepokan, maka
padepokan itu tidak akan mampu berdiri untuk waktu yang
lama. Setiap saat akan datang orang lain yang dengan
mudah mengambil padepokan itu dengan paksa."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menganggukangguk.
Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata, "Ki
Sanak. Memang ada cara yang barangkali dapat ditempuh.
Jika padepokan ini memang sudah tidak mempunyai
sandaran lagi, kenapa padepokan ini tidak dirubah saja
menjadi sebuah padukuhan yang bergantung pada
kelompok padukuhan di sekitar tempat ini. Mungkin pada
Kabuyutan yang meliputi lingkungan di sekitar padepokan
ini. Dengan demikian, maka padepokan ini akan memiliki
ujud yang berbeda." "Kami masih bermimpi tentang sebuah padepokan
anak muda," berkata pemimpin padepokan itu. "entahlah
waktu yang akan datang. Namun sementara ini kami
mengharap kalian berdua berada di padepokan ini."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas
dalam-dalam. Mereka tidak ingin mengecewakan para
penghuni padepokan itu. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah sepakat untuk tetap berada di padepokan ituhntuk
waktu yang tidak ditentukan.
Namun dalam pada itu, pemimpin dari orang-orang
yang menginginkan padepokan itu pun telah berangsur
baik. Kekuatannya perlahan-lahan tumbuh kembali di
dalam dirinya, yang untuk beberapa saat seakan-akan telah
terhisap kering oleh kemampuan ilmu lawannya.
Tetapi untuk sementara orang itu masih tetap terpisah
dari orang lain. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih
tetap menempatkannya di ruang tersendiri.
Sementara itu, sesuai dengan keputusan orang-orang
dari padepokan itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
serta pemimpin padepokan itu telah mengumpulkan orangorang
yang datang ke padepokan itu untuk memilikinya,
namun yang ternyata telah dihancurkan oleh kekuatan yang
masih tersisa di padepokan itu, yang sebelumnya tidak
diduga sama sekali. Kepada mereka, maka pemimpin padepokan itu telah
menyatakan bahwa padepokan itu akan tetap
dipertahankan sampai kemungkinan yang terakhir. Tidak
ada orang lain yang akan dapat mengambilnya.
"Kecuali jika kami mengorbankan orang terakhir,"
berkata pemimpin padepokan itu. Tetapi ia masih
meneruskan, "Namun demikian ada sesuatu yang dapat
kami berikan kepada kalian. Satu kesempatan yang
mungkin akan sama-sama berarti bagi kita."
Orang-orang yang tersisa itu termangu-mangu.
Mereka yang pada umumnya dibebani oleh perasaan
bersalah karena niat buruk mereka untuk membunuh semua
orang di padepokan itu, selalu dibayangi oleh ketakutan,
bahwa mereka akan diperlakukan sangat buruk oleh orangorang
padepokan itu. Mereka sama-sekali tidak akan
berdaya untuk melawan seandainya mereka setiap hari
dengan kaki tangan terikat harus bekerja untuk kepentingan
orang-orang di padepokan itu. Mereka tidak akan dapat
menolak seandainya mereka diperlakukan seperti seekor
binatang sekalipun.. Tetapi pemimpin padepokan itu berkata, "Ki Sanak.
Jumlah kalian susut tajam setelah pertempuran selesai.
Kalian telah menjadi tawanan kami, sementara kawankawan
kalian terpaksa terbunuh di peperangan. Sekarang,
pada keadaan seperti ini, apakah kira-kira yang akan kalian
lakukan?" Orang-orang itu menundukkan kepalanya. Sementara
itu sebagian dari mereka masih dalam keadaan terluka.
Meskipun mereka mendapat perawatan dan pengobatan
yang baik, namun luka yang cukup parah tidak akan dapat
dengan cepat disembuhkan.
Bahkan ada di antara mereka yang merasa lebih
senang jika luka-lukanya tidak segera sembuh, karena
mereka membayangkan bahwa apabila keadaan mereka
menjadi baik, maka mereka akan diperlakukan dengan
buruk. Dengan demikian maka ketika mereka mendengar
pertanyaan pemimpin padepokan itu, jantung mereka
menjadi berdebaran. Mereka menduga, bahwa saat-saat yang pahit itu akan
datang. Pemimpin padepokan itu akan membagi mereka
yang masih tersisa hidup itu untuk melakukan kerja yang
sulit dan berat. Tetapi orang-orang itu justru menjadi bingung ketika
pemimpin padepokan itu bertanya kepada mereka, "Ki
Sanak. Menilik keadaan kalian yang parah, maka apakah
kalian masih berniat untuk kembali ke perguruan kalian dan
menghimpun kekuatan untuk berusaha merebut padepokan
ini" Kenapa kita tidak menempuh cara yang lebih baik.


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Misalnya, kita akan membangun padepokan ini bersamasama.
Kami, penghuni padepokan ini pernah juga
kehilangan sanak-kadang kami dalam jumlah yang besar
pada saat kami menghadapi langkah keras dari Akuwu
Lemah Warah. Namun ternyata bahwa keadaan kami
masih jauh lebih baik dari keadaan kalian. Karena itu kami
justru menawarkan kepada kalian untuk tinggal saja
bersama kami. Kalian tidak perlu merebut padepokan ini
dengan kekerasan, bahkan dengan niat yang paling buruk
untuk menyingkirkan kami semua. Tetapi kami justru
menawarkan, marilah padepokan ini bersama-sama kita
miliki. Kita bangun dan kita jadikan satu tempat yang baik
dan tenang tanpa saling mencurigai dan saling mendengki."
Melihat keragu-raguan di wajah-wajah mereka, maka
Mahisa Murti pun kemudian berkata, "Kalian harus yakin,
bahwa apa yang kami katakan itu benar sebagaimana kami
katakan. Kami tidak berniat buruk sebagaimana niat yang
kalian bawa pada saat kalian datang ke padepokan ini.
Kami ingin memberi kesempatan kepada kalian untuk ikut
bersama kami memiliki padepokan ini. Kami tidak akan
dapat menyerahkan padepokan ini kepada siapa pun juga.
Kami akan mempertahankannya sampai akhir hayat kami.
Namun kami tidak menutup pintu untuk menerima sikap
persahabatan jika memang kalian kehendaki."
Orang-orang itu masih termangu-mangu. Sementara
Mahisa Pukat berkata dengan nada yang lebih keras,
"Singkatnya, apakah kalian mau bergabung dengan kami
atau kami harus tetap memperlakukan kalian sebagai
tawanan kami." Orang-orang itu seperti terbangun dari mimpi yang
buram, yang tidak jelas dan mengambang dalam kehidupan
semu. Namun tiba-tiba mereka merasa benar-benar berpijak
di atas tanah. Mereka kemudian merasa yakin, bahwa
memang mereka mendengar satu tawaran yang tidak
pernah mereka duga sebelumnya.
Karena itu, maka mereka pun kemudian mendengar
dengan jelas keterangan pemimpin padepokan itu. "Ki
Sanak. Kami memang ingin menawarkan satu kesempatan.
Jika kalian mau menerima, maka kita akan hidup bersama
dalam padepokan ini, sudah tentu dengan ketentuan dan
paugeran yang sudah berlaku di sini. Kita akan bersamasama
membina padepokan ini asal kita bersikap jujur."
Terasa Jantung mereka tergetar. Mereka yang sudah
berputus asa justru karena dibebani oleh warna yang kotor
di dalam hati yang ditujukan kepada penghuni padepokan
itu, tiba-tiba telah mendapatkan satu tawaran yang justru
memberikan tempat kepada mereka.
Namun karena hal yang tidak terduga-duga itu, maka
mereka justru terdiam. Tetapi dada mereka terasa
bergejolak. Ada semacam keragu-raguan, apakah yang
didengar itu benar-benar sebagaimana arti kata-katanya
atau orang-orang itu sekedar menjebaknya dan kemudian
menjerumuskan mereka ke dalam bencana yang
menentukan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat keraguraguan
itu. Karena itu Mahisa Murti pun berkata, "Ki
Sanak, jangan melihat niat kami dengan prasangka buruk.
Kami benar-benar memberi kesempatan kepada kalian.
Kami merasa bahwa padepokan dan tanah garapan yang
tersedia terlalu luas bagi kami. Karena itu, jika kalian
bersedia bekerja sama dengan kami atas dasar paugeran
yang telah ada di padepokan ini, maka seperti yang
dikatakan tadi, kita akan saling mendapat keuntungan.
Apalagi jika kelak kita benar-benar dapat merasa satu
keluarga." Seorang di antara mereka yang ragu-ragu itu tiba-tiba
saja telah bertanya, "Apakah yang aku dengar ini benar?"
"Aku tahu bahwa kau menjadi ragu-ragu," sahut
Mahisa Pukat, "kau tentu membayangkan, bahwa kau dan
kawan-kawanmu sepantasnya dihukum mati atau dihukum
kerja paksa seumur hidup. Atau hukuman-hukuman lain
yang pantas menurut ukuran kalian. Tetapi dengan
demikian kalian harus terbangun dan melihat kenyataan,
bahwa di dunia ini isinya bukan hati-hati yang kelam seperti
hati kalian seluruhnya. Bahkan tidak semua orang
menganggap bahwa seseorang atau sekelompok orang
pantas untuk memaksakan kehendaknya atas orang lain,
apalagi dengan kekerasan dan usaha pembunuhan."
Orang-orang itu saling berpandangan. Hati mereka
memang tersentuh oleh kata-kata itu. Bagi mereka,
kekerasan adalah jalan yang paling mereka banggakan
untuk memaksakan kehendak atas orang lain. Bahkan
mereka sudah berniat untuk membunuh semua orang di
padepokan itu. Ketika mereka mendapat penjelasan bahwa
mereka harus merebut padepokan itu dengan kekerasan,
mereka justru merasa gembira bahwa mereka akan
mendapat kesempatan untuk membunuh sebanyakbanyaknya
tanpa harus bertanggung jawab kepada siapa
pun juga, bahkan semakin banyak mereka membunuh,
namanya akan semakin banyak disebut-sebut.
Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Justru
pasukan merekalah yang dihancurkan. Jika orang-orang
padepokan itu berpikir sebagaimana mereka pikirkan, maka
tentu tidak ada seorang pun yang masih akan tetap hidup.
Tetapi orang-orang padepokan itu tidak membunuh
mereka. Bahkan mereka diberi kesempatan untuk ikut
tinggal bahkan ikut memiliki padepokan itu. Padepokan
yang dipertahankan mati-matian.
Orang-orang yang ingin merebut padepokan itu
memang sulit untuk mengerti jalan pikiran para penghuni
padepokan itu. Apalagi para pemimpinnya. Dua orang anak
muda yang ada di padepokan itu membuat sifat yang sulit
untuk mereka pahami. Namun adalah satu kenyataan,
bahwa isi padepokan itu telah menerima mereka.
Demikianlah, maka orang-orang yang semula telah
menyerang dan bahkan berusaha untuk membinasakan
seluruh isi padepokan itu mulai mencoba untuk hidup
bersama di dalam satu padepokan. Karena jumlah mereka
tidak terlalu banyak, maka mereka tidak terasa mengganggu
putaran kehidupan di padepokan itu. Bahkan perlahanlahan
mereka berusaha untuk menyesuaikan diri dan
mencoba mengerti, apakah yang telah mendorong orangorang
padepokan itu menerima mereka.
Memang tidak mudah untuk memahami apa yang
sebenarnya telah terjadi. Namun lambat-laun, dalam
pembicaraan, pesan-pesan dan petunjuk-petunjuk yang
banyak diberikan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,
orang-orang itu akhirnya mampu melihat sisi lain dari
kehidupan sebagaimana yang pernah mereka jalani.
Ternyata tidak semua orang berhati kelam sebagaimana
pernah membakar dada mereka.
Demikianlah, maka ternyata kemudian kehidupan di
padepokan itu telah menemukan keseimbangannya. Orangorang
yang datang ke padepokan itu akhirnya berhasil
menyesuaikan diri mereka.
Namun dalam pada itu, seorang di antara mereka
yang datang ke padepokan itu, masih harus tersisih dari
kehidupan isi padepokan itu. Pemimpin perguruan yang
telah membawa orang-orangnya memasuki padepokan itu,
justru merasa terhina atas sikap para pengikutnya. Dengan
sikapnya yang keras ia masih tetap menentang usaha
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk membuat
kehidupan di padepokan itu tenang.
"Kau sudah tidak berdaya," berkata Mahisa Murti,
"kau tidak dapat menentukan apa pun juga disini."
"Aku tetap pada pendiriannya. Aku menuntut
padepokan ini untuk aku miliki. Aku tidak akan memberi
tempat kepada satu orang pun selain orang-orangku
sendiri," berkata orang itu.
"Apakah kau tidak menyadari, bahwa kau tidak
mampu berbuat apa-apa lagi?" bentak Mahisa Pukat, "atau
kau ingin kami membunuhmu."
"Itu lebih baik," berkata orang itu. "tetapi aku tidak
mau surut dari rencanaku. Hanya kematian yang dapat
mencegah rencanaku."
"Bagus," Mahisa Pukat berteriak, "aku masih
sanggup membunuhmu."
"Persetan," geram orang itu.
Namun Mahisa Pukat benar-benar menjadi marah.
Tiba-tiba saja ia meloncat menerkam orang itu dengan
kemampuannya yang luar biasa, meskipun ia memang tidak
ingin membunuh lawannya. Namun sejenak kemudian
kekuatan lawannya itu bagaikan terhisap oleh sentuhan
tangan Mahisa Pukat, pada saat ia mencoba melawan.
Pada waktu Mahisa Pukat melepaskan orang yang
menjadi tawannya itu, maka orang itu sama sekali sudah
tidak mampu berbuat apa pun lagi. Tubuhnya terkulai di
pembaringannya, sementara nafasnya menjadi terengahengah.
Namun kedua matanya masih tetap memancarkan
hatinya yang bagaikan membara. Bahkan dari sela-sela
bibirnya masih terdengar suaranya berdesis, "Pada satu
saat, akulah yang akan membunuhmu jika kau tidak
membunuhku sekarang."
Mahisa Pukat menggeram. Namun Mahisa Murti
berkata, "Sudahlah. Jangan kau dengar suara orang yang
berputus asa itu." "Aku memang ingin membunuhnya," berkata
Mahisa Pukat, "buat apa sebenarnya orang itu" Para
pengikutnya sudah menyesuaikan dirinya dalam kehidupan
padepokan ini. Mereka telah berusaha menyatukan diri.
Perlahan-lahan mereka sudah berhasil berbaur dengan para
penghuni padepokan ini. Namun orang gila ini masih
menganggap bahwa ia akan dapat berbuat sesuatu atas kita
di sini." "Itu adalah pertanda bahwa ia benar-benar berputusasa.
Kita tidak akan bersedia diperalat untuk membunuh
diri. Kelak jika ia ingin membunuh diri, jika kekuatannya
pulih kembali, biarlah ia melakukan dengan caranya
sendiri. Tetapi kita bukan budaknya, bukan pula hambanya
yang dapat diperintahnya untuk membantunya membunuh
diri," jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat tercenung sejenak. Namun orang itulah
yang mengumpat, "Anak setan, iblis. Kau anggap aku apa
he" Bunuh aku sekarang."
Mahisa Murti pun kemudian membetulkan letak
orang yang dalam keadaan yang sangat lemah itu, sehingga
ia terbaring lurus di pembaringannya sambil berkata,
"Tidurlah anak manis. Tidurlah dengan nyenyak. Besok
kau boleh bangun lagi setelah kau mimpi indah."
Orang itu menggeram. Kemarahan yang membara di
dadanya rasa-rasanya membuat jantungnya hampir
meledak. Dengan demikian ia merasa semakin tersiksa justru
karena ia tidak dapat berbuat apa-apa sama sekali. Ia tidak
lagi mempunyai tenaga lagi meskipun hanya sekedar untuk
menggerakkan ujung jarinya.
Sementara itu, Mahisa Murti pun kemudian berkata,
"Marilah. Kita tinggalkan orang itu. Ia tidak akan dapat
bangkit untuk sehari semalam. Besok perlahan-lahan sekali
tenaganya baru akan mulai tumbuh lagi, sehingga jika
sehari ini orang itu kita biarkan saja di pembaringannya, ia
tidak akan dapat berbuat apa-apa. Biarlah ia merenungi
kekalahannya. Kelemahannya dan kenyataan bahwa kita
memang lebih perkasa dibanding dengan dirinya."
Rasa-rasanya orang itu ingin meloncat menerkam
Mahisa Murti. Kata-katanya lebih menyiksanya dari
kemarahan Mahisa Pukat. Namun ia tidak mampu berbuat apa-apa, sehingga
yang terdengar adalah sekedar umpatan-umpatan kasar dari
mulutnya. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
telah meninggalkan bilik itu diiringi oleh umpatan kasar,
namun dilontarkan dengan tenaga yang sangat kecil.
Ketika mereka sampai di luar bilik itu. maka ia pun
telah menyerahkan tawanannya kepada para pengawal.
Namun bagaimanapun juga, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat masih belum dapat melenyapkan sama sekali
kecurigaannya kepada para pengikut orang yang terbaring
di dalam bilik itu. Karena itu, maka Mahisa Murti pun
berpesan, "Hati-hatilah. Jangan ada seorang pun yang boleh
mendekatinya, lebih-lebih para pengikutnya. Kalian berhak
untuk mengambil langkah-langkah yang perlu. Jika kalian
mengalami kesulitan, laporkan kepada pemimpin
padepokan ini." Orang yang diserahinya itu termangu-mangu sejenak.
Ia merasa bahwa ia telah mendapat beban yang berat,
namun yang memang harus dilaksanakan.
Tetapi Mahisa Pukat pun kemudian berpesan,
"Namun terhadap orang di dalam bilik itu kalian tidak usah
cemas. Orang itu sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa
lagi. Ia hanya dapat berbaring seperti beberapa hari yang
lalu." Pengawal itu mengangguk. Sementara itu, Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah melangkah
pergi. Di luar, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat
kehidupan yang mulai serasi. Orang-orang yang datang
kemudian itu benar-benar telah luluh di dalam kehidupan di
padepokan itu. Karena itu, maka yang penting kemudian adalah
memberikan tekanan terhadap mereka agar mereka untuk
selanjutnya selalu berpegang pada alas kehidupan itu.
Namun untuk selanjutnya Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat-pun harus memikirkan orang-orang yang tidak
nampak di padepokan itu, tetapi tersangkut pada kehidupan
yang ada di dalamnya. Orang-orang yang tinggal di
padepokan itu ternyata sebagian mempunyai keluarga dan
sanak kadang yang mereka tinggalkan di padukuhanpadukuhan,
bahkan padukuhan yang jauh. Bukan saja
mereka yang telah lama tinggal di padepokan itu, tetapi


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka yang baru datang pun mempunyai persoalan yang
sama. Sebelumnya, orang-orang itu telah memberikan uang
atau barang apa pun juga untuk hidup sanak kadang itu
dengan cara yang tidak sepantasnya dilakukan. Karena itu,
jika mereka tidak melakukannya lagi, maka harus ada jalan
untuk mengatasinya. Tetapi hal itu tidak tergesa-gesa dipecahkan. Untuk
sementara, yang penting bagi padepokan itu adalah
keseimbangan kehidupan, karena goncangan-goncangan
yang telah terjadi. Termasuk orang yang keras kepala, yang
tidak mau melihat kenyataan tentang dirinya dan orangorangnya.
Namun demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
tidak menganggap bahwa persoalan itu tidak akan teratasi.
Masih banyak jalan yang dapat ditempuh untuk
menentukan, apa yang akan dilakukan atas orang itu.
Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat-pun telah menemui pemimpin padepokan itu.
Kepada pemimpin padepokan itu mereka memberitahukan
apa yang telah terjadi. Karena itu, maka pemimpin
padepokan itu pun berkata, "Karena itu, maka orang itu
kami serahkan kepada kalian berdua. Selain keras kepala,
ternyata orang itu berilmu tinggi, sehingga dengan
demikian, maka diperlukan orang yang dapat
mengendalikannya." "Kami menyadari akan hal itu." jawab Mahisa Murti,
"tetapi hari ini orang itu tidak akan dapat berbuat apa pun
juga. Ia akan berbaring di pembaringannya. Kekuatannya
akan pulih perlahan-lahan sekali. Baru besok ia akan dapat
bangkit." Pemimpin padepokan itu mengangguk-angguk.
Meskipun demikian ia berkata, "Jangan tinggalkan orang
itu terlalu lama. Bagaimanapun juga di sini terdapat
beberapa orang pengikutnya. Mungkin masih ada satu dua
orang yang setia kepadanya."
"Seandainya ada yang setia kepada orang itu, tidak
ada yang dapat dilakukan. Orang itu tidak akan dapat
menolong pemimpinnya yang telah kehilangan kekuatan
dan kemampuannya itu," berkata Mahisa Pukat, "untuk
membawanya pergi diperlukan paling sedikit dua orang,
sementara itu, yang lain tidak akan mampu melindungi
kedua orang itu. Bukankah kau yakin?"
Pemimpin kelompok itu mengangguk. Jika orang
yang memiliki ilmu yang tinggi itu dalam keadaan tidak
berdaya, maka memang tidak ada persoalan yang perlu
dicemaskan. Tetapi jika orang yang berilmu tinggi itu
kemudian mendapatkan kekuatannya kembali, maka seisi
padepokan itu tidak akan mampu mengalahkannya.
Dalam pada itu, setelah minta diri kepada pemimpin
padepokan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun
untuk beberapa saat akan meninggalkan padepokan itu.
Tidak ada orang yang diberitahukannya, ke mana ia akan
pergi. Sebenarnyalah bahwa keduanya telah pergi ke tempat
batu yang berwarna kehijauan itu. Seperti hari-hari yang
lewat, mereka hanya melihat-lihat saja batu itu. Ketika
mereka mendekat, maka di sela-sela retak-retak batu itu,
mereka masih melihat binatang berbisa yang tidak terhitung
jumlahnya. Jika mereka mengguncang batu itu dengan
kekuatan mereka yang sangat besar, maka getar batu itu
telah menggerakkan berbagai jenis binatang berbisa itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah orang-orang
yang memiliki ketahanan tubuh dari sengatan bisa yang
betapapun tajamnya. Namun melihat berjenis-jenis binatang
berbisa dalam jumlah yang tidak terhitung di sela-sela retak
batu yang berwarna kehijauan itu, kulitnya terasa
meremang juga. Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
masih belum mendapat cara untuk mengambil batu itu,
seluruhnya atau sebagian. Sementara itu, mereka yakin,
bahwa selain pemimpin padepokan Suriantal tentu ada
orang lain yang telah memiliki pecahan batu itu
sebagaimana dipasang di pangkal tongkat pemimpin
perguruan Suriantal itu. Dengan demikian, maka lambat
atau cepat, tentu akan datang orang lain lagi untuk
mengambilnya. "Perguruan yang ingin memiliki padepokan itu tentu
ada juga hubungannya dengan batu itu," berkata Mahisa
Pukat. Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun
kemudian katanya, "Apakah mungkin kita menarik batu itu
ke padepokan?" "Kita berusaha untuk mendapatkan sepuluh ekor
lembu yang kuat dan besar. Kita akan mengikat batu itu
dengan tambang yang kuat dan kemudian menyeret batu itu
ke padepokan. Di padepokan kita akan dapat memecah
batu itu, sementara batu itu sudah terlindung," berkata
Mahisa Murti. "Bagaimana jika seperti yang pernah kita sebut-sebut,
batu itu kita pecahkan dengan kemampuan ilmu kita,"
berkata Mahisa Pukat. "Agaknya tidak akan menguntungkan," jawab
Mahisa Murti, "batu itu akan berserakan. Binatangbinatang
berbisa itu akan terbunuh dan kita tidak akan
dapat sekaligus mengumpulkan dan membawa pecahan
batu itu." Mahisa Murti terdiam sejenak, "namun lebih
daripada itu. jika kita dapat membawa batu itu utuh.
sebenarnya bukan semata-mata karena kita ingin memiliki.
Kita akan dapat berhubungan dengan seorang pemahat
yang paling baik yang kita kenal. Batu itu akan dapat dibuat
menjadi sebuah patung yang bagus sekali. Sementara itu,
pecahan-pecahannya tentu sudah terlalu banyak untuk
dibuat batu akik dan batu perhiasan. Berapa ratus batu akik
akan dapat dibuat dari pecahan-pecahannya, jika batu itu
dipahat, sementara itu kita dapat juga membuat untaian
batu-batu perhiasan yang sudah kita asah dan kita rangkai.
Ayah akan dapat menjual barang-barang itu. Tetapi kita
tidak semata-mata sekedar mencari keuntungan bagi kita,
atau keluarga kita sendiri. Jika batu itu benar-benar dapat
dibuat sebuah patung yang baik, maka nilai patung itu akan
menjadi sangat tinggi. Mungkin kita akan dapat
mempersembahkan patung itu kepada Sri Maharaja di
Singasari sebagai satu persembahan yang berarti."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, "Ya.
Aku sependapat. Patung itu akan menjadi benda yang
berharga jika orang yang membuatnya berhasil
menciptakan patung yang baik."
"Kita dapat bertanya kepada kakang Mahisa
Bungalan atau kepada ayah atau paman Mahisa Agni atau
paman Witantra atau kepada siapapun juga, siapakah
pemahat terbaik di Singasari."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, "Jika
demikian, maka batu ini harus kita selamatkan lebih
dahulu. Aku setuju untuk mencari sepuluh ekor kerbau
terkuat. Tetapi apakah ada pedati yang kuat untuk
membawa batu ini" "
"Tanpa pedati," jawab Mahisa Murti, "kita tarik batu
itu begitu saja." Mahisa Pukat termangu-mangu. Bahkan kemudian
katanya, "Satu kerja yang sulit dibayangkan."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia
memang dapat mengerti pendapat Mahisa Pukat itu. Kerja
itu adalah kerja yang sangat berat. Tetapi Mahisa Murti
kemudian berkata, "Kita akan mencoba."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, "Kita
memang dapat mencobanya. Tetapi darimana kita
mendapatkan sepuluh ekor kerbau?"
"Kita dapat mencarinya di padukuhan. Jika perlu kita
akan menyewanya," jawab Mahisa Murti.
"Ya. Kita dapat menyewanya di padukuhan
diseberang padang perdu sebelah padepokan," berkata
Mahisa Pukat. Keduanya pun kemudian bergeser menjauh. Masih
saja seekor ular menelusur dibawah kaki mereka. Tetapi
ular itu tidak menggigit.
Demikianlah, maka kedua anak muda itu telah
kembali ke padepokan. Namun mereka telah singgah di
sebuah padukuhan. Padukuhan yang terletak diseberang
padang perdu. Orang-orang padukuhan itu memang menjadi
ketakutan. Mereka tidak terbiasa berhubungan dengan
orang-orang padepokan. Meskipun orang-orang padepokan
sejak semula tidak pernah mengganggu mereka, namun
peristiwa-peristiwa yang terjadi kemudian, yang
mengguncang-guncang padepokan itu, telah membuat
orang-orang padukuhan menjadi ragu-ragu dan bahkan
ketakutan berhubungan dengan mereka.
Orang-orang padukuhan itu sudah menduga, bahwa
kedua orang itu memang orang padepokan, sementara
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak ingkar, bahwa
mereka memang berasal dari padepokan yang semula hanya
dihuni oleh orang-orang Suriantal.
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat
melihat seseorang di halaman, maka mereka pun telah
mendekatinya. Orang itu memang menjadi gemetar. Namun Mahisa
Murti telah mendahului berkata dengan nada lunak, "Ki
Sanak. Kami tidak bermaksud buruk. Bukankah kawankawan
kami dari padepokan itu tidak pernah berbuat
sesuatu yang menyulitkan kalian. Memang kadang-kadang
kami datang untuk mencari kebutuhan sehari-hari. Dan
bukankah kami telah membelinya?"
"Ya, ya Ki Sanak," jawab orang itu dengan suara
bergetar, "selama ini kalian memang tidak menyulitkan
kami." "Sekarang pun kami tidak akan menyulitkan kalian.
Kami hanya ingin menemui Ki Bekel. Dimanakah rumah
Ki Bekel?" bertanya Mahisa Murti.
"Apakah kalian belum pernah pergi kerumah Ki
Bekel" Bukankah orang-orang padepokan itu sering
menemui Ki Bekel," bertanya orang itu.
"Ya. Tetapi aku belum," jawab Mahisa Pukat.
Orang itu memang tidak mempunyai pilihan lain. Ia
pun telah menunjukkan jalan untuk pergi kerumah Ki
Bekel. Demikianlah maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
pun telah pergi ke rumah Ki Bekel. Sementara itu, ternyata
Ki Bekel pun menjadi berdebar-debar pula menerima
kedatangan kedua orang dari padepokan di seberang
padang perdu. Peristiwa yang terjadi di padepokan pada
saat-saat terakhir, telah mengaburkan pengertian orangorang
padukuhan itu tentang padepokan yang tidak terlalu
banyak diketahui itu. "Silahkan Ki Sanak," berkata Ki Bekel.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian
duduk dipendapa rumah Ki Bekel yang tidak terlalu besar.
Namun keduanya kemudian mengerutkan kening ketika
mereka melihat beberapa orang anak muda berada di
halaman itu. Agaknya Ki Bekel terlalu berhati-hati menghadapi
orang-orang padepokan, sehingga ia pun telah menyiapkan
anak-anak muda di halaman dan di luar regol rumahnya.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak banyak
terpengaruh oleh kehadiran anak-anak muda itu. Mereka
akan dapat berbuat apa saja seandainya anak-anak muda itu
berbuat sesuatu atas mereka.
Dalam pada itu maka setelah Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat duduk bersama Ki Bekel di pendapa, maka
Ki Bekel pun telah bertanya, "Apakah angger berdua
mempunyai kepentingan, sehingga angger berdua telah
datang ke padukuhan ini " Bukankah angger berdua
penghuni padepokan yang terpencil itu?"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk.
Sementara itu Mahisa Murti pun menyahut, "Ki Bekel.
Kami memang datang dari padepokan itu. Ada sesuatu
yang ingin kami sampaikan kepada Ki Bekel. Tetapi kami
tidak bermaksud merugikan Ki Bekel dan penghuni
padukuhan ini." "Apakah yang kalian perlukan ," bertanya Ki Bekel.
"Kami memerlukan sepuluh ekor kerbau yang besar
dan kuat," jawab Mahisa Murti.
Wajah Ki Bekel menjadi tegang. Sejenak ia termangumangu.
Namun kemudian jawabnya, "Kami bukan orangorang
kaya Ki Sanak, Jika kalian ingin mendapatkan
sepuluh ekor kerbau dari padukuhan kami, maka
padukuhan ini akan mengalami banyak kesulitan. Sawah
kami akan banyak yang tidak dikerjakan karena kekurangan
tenaga. Akibatnya dapat kalian bayangkan. Karena itu,
kerbau bagi kami merupakan binatang yang sangat berarti.
Karena itu, agaknya kami tidak akan dapat memenuhinya
jika kalian memerlukan sepuluh ekor kerbau kami."
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun
kemudian ia menyadari kesalahannya. Karena itu maka
katanya, "Ki Bekel. Kami tidak bermaksud mengambil
sepuluh ekor kerbau dan membawanya ke padepokan.
Tetapi kami ingin meminjam atau bahkan menyewa
sepuluh ekor kerbau untuk mengambil dan kemudian
menarik sesuatu dari tempatnya ke padepokan itu."
Wajah Ki Bekel justru menjadi tegang. Ia tidak segera
menangkap maksud yang sebenarnya dari kedua orang anak
muda yang datang kepadanya itu.
Karena itu, maka Ki Bekel tidak segera memberikan
jawaban. Bahkan Ki Bekel itu pun bertanya, "Anak-anak
muda. Apakah yang sebenarnya ingin kalian lakukan."
"Kami belum dapat mengatakannya Ki Bekel," jawab
Mahisa Murti, "tetapi jika Ki Bekel tidak berkeberatan,
kami akan membawa sepuluh ekor kerbau itu ke
padepokan." Ki Bekel termangu-mangu. Ia tidak dapat segera
mengiakan atau menolak. Ternyata orang-orang padepokan


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu tidak sekedar akan merampas kerbau yang ada di
padukuhan itu. Tetapi mereka akan memberikan imbalan
atas sepuluh ekor kerbau itu.
Dengan demikian maka Ki Bekel pun kemudian
berkata, "Anak-anak muda. Baiklah persolan ini kami
perhatikan. Tetapi aku sendiri tidak mempunyai sepuluh
ekor kerbau. Aku sendiri hanya mempunyai sepasang yang
sering aku pergunakan untuk mengerjakan sawah.
Padukuhan ini pun bukan padukuhan yang kaya, sehingga
untuk mengumpulkan sepuluh ekor kerbau, kami memang
harus menghitung lebih dahulu untuk satu padukuhan ini."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menganggukangguk.
Kemudian Mahisa Murti pun berkata, "Baiklah Ki
Bekel. Kami akan menunggu. Dalam waktu dua hari
mendatang, kami akan datang lagi. Mudah-mudahan Ki
Bekel setuju. Jika Ki Bekel setuju, maka kami akan
membawa sepuluh ekor kerbau itu ke padepokan.
Kemudian dalam waktu selambat-lambatnya sepekan, kami
akan mengembalikannya dalam keadaan baik dan utuh.
Jika ada cacat atau mungkin mati, maka aku akan
menggantinya." "Mudah-mudahan aku dapat memenuhinya. Tetapi
sebaiknya, dalam waktu dua hari lagi, aku persilahkan
kalian datang lagi. Aku akan membicarakannya dengan
para penghuni padukuhan ini. Tetapi jika ternyata di
padukuhan ini tidak ada sepuluh ekor kerbau, maka kami
tidak akan dapat memenuhinya," berkata Ki Bekel.
"Terima kasih Ki Bekel," berkata Mahisa Murti, "aku
yakin bahwa di satu padukuhan ini terdapat sepuluh ekor
kerbau. Jika tidak, maka aku harap di padukuhan sebelah
kami mendapatkan genapnya. Bahkan mungkin Ki Bekel
dapat membantu menyampaikan persoalan ini kepada Ki
Bekel di padukuhan sebelah."
"Aku tidak berjanji. Tetapi aku akan mencobanya,"
berkata Ki Bekel. Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat-pun telah meninggalkan padukuhan itu. Mereka telah
mulai menempuh satu jalan untuk menangani batu yang
berwarna kehijau-hijauan itu.
"Tetapi apakah jika batu itu berada di padepokan,
akan menjadi lebih aman?" bertanya Mahisa Pukat.
"Mudah-mudahan," jawab Mahisa Murti, "setidaktidaknya
kita mempunyai sejumlah kawan untuk membantu
kita mengawasi batu itu. Sementara jika dapat
dipertahankan maka pada batu itu masih tetap ditunggui
oleh binatang-binatang yang dapat menjadi pengaman dari
batu itu sendiri." Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun
kemudian ia-pun berkata, "Jika demikian, kita harus benarbenar
mempersiapkan padepokan kita."
"Ya. Kita akan membuat padepokan itu sebagai satu
lingkungan yang dapat menjadi tempat penyimpanan batu
itu. Selama ini, batu itu masih berada di tempat terbuka,
sehingga orang-orang yang tertarik padanya, masih belum
merasa perlu untuk mengambil langkah-langkah yang
tergesa-gesa. Tetapi jika kita sudah berbuat sesuatu atas
batu itu, apalagi menyimpannya di padepokan ini, maka
sudah tentu orang-orang yang merasa berkepentingan
dengan batu itu akan dengan serta merta
mempertimbangkan sikap yang akan mereka ambil.
Mungkin mereka telah mempertimbangkan pula langkahlangkah
kekerasan," berkata Mahisa Murti.
"Itulah yang aku maksud," berkata Mahisa Pukat,
"bukankah dengan demikian kita harus siap menghadapi
kekerasan?" "Orang-orang padepokan itu cukup baik," berkata
Mahisa Murti, "sedangkan orang-orang baru itu pun benarbenar
dapat memperkuat kedudukan padepokan ini.
Mereka nampaknya benar-benar menyadari apa yang
sebaiknya mereka lakukan, sementara pemimpinnya
memang masih harus diasingkan. Ia keras kepala dan tidak
mudah ditundukkan." "Orang itu memang berniat membunuh diri," berkata
Mahisa Pukat. Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya,
"Memang mungkin demikian. Tetapi agaknya kita memang
harus menaruh perhatian yang sangat besar atas dirinya."
"Bagaimana jika orang itu kita singkirkan saja ke
Lemah Warah," berkata Mahisa Pukat, "di sana ada tempat
yang pantas bagi orang itu. Sementara itu, kita justru akan
mendapat kesempatan untuk memusatkan perhatian kita
kepada batu itu." Mahisa Murti termangu-mangu. Namun kemudian
katanya, "Ada juga baiknya. Jika demikian, maka setelah
kita mendapat kepastian dari padukuhan itu, kita akan pergi
ke Lemah Warah untuk membawa orang itu ke sana,
sekaligus menyampaikan rencana kita dengan batu itu
kepada Akuwu Lemah Warah. Jika Akuwu sependapat,
maka Akuwu tentu bersedia membantunya."
Demikianlah, maka kedua orang anak muda itu
sependapat untuk menghubungi lagi Akuwu Lemah Warah.
Mereka akan menyampaikan rencana mereka dengan
penuh harapan, bahwa Akuwu itu akan sependapat dengan
mereka. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih
belum memberitahukan tentang batu kehijauan itu kepada
orang-orang padepokan. Mereka masih menunggu
keterangan Ki Bekel dan pendapat Akuwu Lemah Warah.
Karena itu maka mereka baru akan mengatakannya apabila
mereka telah kembali menghadap Sang Akuwu.
Seperti yang dijanjikan oleh Ki Bekel, maka dua hari
kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah pergi
menemuinya. Sementara itu mereka terpaksa membuat
tawanannya tidak berdaya, agar sepeninggal mereka,
tawanan itu tidak berbuat sesuatu yang sulit diatasi oleh
orang-orang padepokan. Ternyata Ki Bekel merasa, tidak mempunyai pilihan
lain kecuali menerima permintaan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Ia sudah berbicara dengan tiga orang Bekel
dari padukuhan-padukuhan yang terdekat. Ternyata mereka
tidak dapat menolaknya. Mereka mencemaskan akibatnya
jika mereka menolak untuk meminjamkan, bahkan dengan
istilah menyewakan kerbau mereka.
"Jika kerbau itu kembali dengan utuh, kita sudah
merasa beruntung," berkata salah seorang di antara para
bekel itu. "apalagi jika anak-anak muda yang kau katakan
itu benar-benar membayar sewanya."
Karena itulah, maka ketika Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat ditemui oleh Ki Bekel, maka pembicaraan mereka
pun menjadi cepat. Ki Bekel telah menyediakan sepuluh
ekor kerbau, yang dikumpulkannya dari ampat padukuhan.
"Terima kasih Ki Bekel," berkata Mahisa Murti,
"dalam waktu sepekan lagi, kerbau-kerbau itu akan kami
ambil. Kami akan meminjam selama kira-kira sepekan.
Bahkan tidak sampai selama itu."
"Baiklah Ki Sanak," berkata Ki Bekel, "dalam
sepekan aku akan mengumpulkan kerbau-kerbau itu di sini.
Kalian tinggal mengambilnya di sini. Tidak usah ke
padukuhan-padukuhan yang lain."
"Terima kasih," berkata Mahisa Murti, "mudahmudahan
kerja kami dapat selesai."
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
pun telah meninggalkan Ki Bekel dan kembali ke
padepokan. Mereka pun segera berkemas untuk menempuh
perjalanan ke Lemah Warah. Ketika ia mengatakan hal itu
kepada pemimpin padepokan, maka dengan wajah cemas
pemimpin padepokan itu bertanya, "Lalu bagaimana
dengan tawanan yang seorang itu?"
"Kami akan membawanya," jawab Mahisa Murti,
"karena itu kami baru akan berangkat besok, jika orang itu
telah mampu berjalan sendiri."
"Bukankah kalian akan kembali lagi kemari?"
bertanya pemimpin padepokan itu..
"Tentu. Kami akan kembali kemari," berkata Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat, "kami mempunyai rencana
khusus untuk menjadikan rawa-rawa di sebelah padang
perdu itu untuk dijadikan tanah garapan yang akan dapat
membuat daerah ini lebih baik. Karena itu, kami tentu
kembali. Dan tentu tidak terlalu lama."
Demikianlah, di hari berikutnya Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah meninggalkan padepokan itu menuju ke
Pakuwon Lemah Warah. Tawanannya yang merasa
berilmu tinggi itu telah dibawanya serta. Meskipun orang
itu mengumpat-umpat, namun Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah memaksanya untuk berangkat.
"Aku tidak mau," bentak orang itu tanpa bangkit dari
pembaringannya. "Jangan membuat kami marah," geram Mahisa
Murti. "Aku tidak peduli," jawab orang itu.
Mahisa Pukat menggeram. Ia tidak telaten melihat
sikap orang itu. Tiba-tiba saja telah menyengat lawannya
dengan ilmunya, sekedar untuk menyakitinya.
"Setan," geram orang itu. "bunuh jika kau ingin
membunuh." "Hanya ada dua pilihan," berkata Mahisa Pukat,
"kau ikut kami, atau kau akan dihukum picis di halaman
depan padepokan ini. Kau tahu, betapa bencinya orangorang
yang pernah menjadi pengikutmu itu kepadamu.
Mereka merasa telah kau tipu, bahkan kau jebak dalam
kesulitan." "Omong kosong," geram orang itu.
"Kau kira aku hanya dapat menakut-nakutimu,"
bentak Mahisa Pukat. "Tidak ada tali yang dapat mengikat aku untuk
menjalani hukum picis," berkata orang itu.
"Jangan kau kira kami terlalu dungu. Kami
mempunyai jangat rangkap tiga. Tidak seorang pun dengan
ilmu apa pun yang dapat memutuskannya," berkata Mahisa
Pukat. "Coba, ikatkan janget tinatelon itu. Aku sanggup
memutuskannya," jawab orang itu.
"Baik," berkata Mahisa Pukat, "jika demikian, separo
dari kekuatanmu harus dihisap lebih dahulu."
Wajah orang itu tiba-tiba menjadi pucat. Ketika
Mahisa Pukat bergeser mendekat orang itu berdesis,
"Jangan." "Kau menjadi ketakutan. Kau akan dihukum picis
selagi kau tidak berada di puncak kekuatan ilmumu,"
berkata Mahisa Pukat. Orang itu memandang Mahisa Pukat dengan penuh
kebencian. Tetapi terbayang juga kecemasan di hatinya.
Karena itu, yang terjadi adalah campur baurnya perasaan di
dalam dadanya. Namun Mahisa Pukat tidak telaten. Dicengkamnya
pundak orang itu. Tidak dengan kemampuannya menghisap
kekuatan lawan. Tetapi justru mengerahkan tenaga
cadangannya, hingga cengkamannya itu terasa sakit.
"Jangan main-main dengan apimu," bentak Mahisa
Pukat, "jika aku kehilangan kesabaran, aku benar-benar
akan menghisap tenagamu dan membunuhmu dengan
hukum picis. Sesudah itu aku bebas dari gangguanmu,
meskipun aku harus menunggumu mati dalam tiga atau
ampat hari." "Setan," geram orang itu.
"Pilih. Pergi bersama kami atau mati," bertanya
Mahisa Pukat. Orang itu tidak mempunyai pilihan. Ia ngeri juga
menghadapi Mahisa Pukat yang nampaknya sikapnya lebih
keras dari Mahisa Murti. Karena itu, maka ia tidak dapat
berbuat lain kecuali ikut bersama Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat menuju ke Lemah Warah.
Para pengikutnya yang tinggal ternyata tidak merasa
kehilangan lagi, kesetiaan mereka telah surut setelah
mereka berusaha menyesuaikan diri dengan kehidupan di
padepokan itu. Karena itu ketika mereka melihat orang
yang pernah menjadi pemimpin perguruannya itu dibawa
pergi, mereka tidak berkeberatan sama sekali.
Justru bekas pemimpin perguruan itu, yang melihat
orang-orangnya memandanginya dengan acuh tak acuh,
terdengar ia mengumpat kasar.
Tetapi Mahisa Pukat berkata, "Kau harus menerima
kenyataan itu. Lihat, orang-orangmu kini hatinya sudah
terbuka." "Kalian telah menenung mereka dengan ilmu iblis,"
geram orang itu. "Dalam keadaan putus asa, apapun dapat saja kau
katakan," sahut Mahisa Pukat, "tetapi ingat, bahwa
kesabaran seseorang itu terbatas. Jika di perjalanan aku
kehabisan kesabaran itu, maka aku akan menggantungimu
dengan batu dan menenggelamkanmu ke dalam kedung
setelah sebagian kemampuanmu aku hisap lebih dahulu.
Dengan kemampuanmu yang tersisa kau tidak akan segera
mati, karena secara naluriah kau akan berusaha
menyelamatkan diri."
"Kau memang iblis," orang itu masih mengumpat.
Mahisa Pukat hampir saja kehilangan kesabaran.
Namun Mahisa Murti kemudian berkata, "Biarlah ia
menikmati kenyataan tentang para pengikutnya yang
terbuka hatinya. Biarlah ia kemudian melihat, betapa dunia
ini tidak selalu dihuni oleh orang-orang berhati kelam
seperti dirinya sendiri. Karena itu kita tidak akan segera
membunuhnya, kecuali jika terpaksa."
Jantung orang itu terasa bagaikan meledak. Tetapi ia
memang tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa ia
berada di bawah kekuasaan kedua anak muda itu.
Demikianlah, maka betapapun segannya, orang itu
berjalan meninggalkan padepokan yang diinginkannya itu
menuju ke Lemah Warah. Memang satu perjalanan yang
panjang dan berat bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang harus mengawasi tawanannya di sepanjang
perjalanan. Apalagi mereka memang harus bermalam. Di
malam hari, dapat terjadi banyak kemungkinan.
Karena itu, ketika mereka terpaksa beristirahat di
sebuah gumuk kecil, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah membagi tugas. Namun orang itu masih sempat juga membakar hati
Mahisa Pukat, "Jaga aku baik-baik he. Usir jika ada
nyamuk yang menggigit kulitku."
Mahisa Pukat yang telah menyimpan kemarahan di
hatinya, tidak lagi dapat mengendalikan dirinya. Tiba-tiba
tangannya yang kuat didorong oleh tenaga cadangannya
telah terayun dan memukul mulut orang itu.
Sebenarnyalah bahwa orang itu pun telah menduga.
Karena itu, ia telah meningkatkan daya tahan tubuhnya.
Meskipun demikian ternyata sebagaimana terjadi, orang itu
telah menyeringai menahan sakit. Tenaga cadangan Mahisa
Pukat yang dikerahkannya karena kemarahannya, benarbenar
telah memecahkan bibir orang itu, sehingga berdarah.
Orang itu mengumpat sejadi-jadinya. Namun Mahisa
Pukat telah menantangnya, "Balas kalau mau membalas."
Tetapi orang itu tidak membalas. Ia sadar, jika ia
membalas maka ia akan mengalami keadaan yang lebih
buruk lagi. Namun demikian ia sama sekali tidak menunjukkan
perasaan cemasnya. Ia tahankan gejolak di dadanya bahkan
sempat menengadahkan kepalanya sambil berkata, "Bunuh
aku jika kau mampu."
Tetapi Mahisa Murti lah yang kemudian menyahut,
"Membunuhmu sama sekali tidak ada kesulitannya. Tetapi
kami ingin membiarkan kau hidup sampai batas tertentu.
Kecuali jika kau ingin membunuh dirimu sendiri. Kami
tidak akan mencegahnya jika kau membenturkan kepalamu
di batu yang besar itu. Atau dengan kemampuanmu yang
lain kau berbuat sesuatu sehingga kau mati. Tetapi bukan
kami yang melakukannya."
"Jangan menyesal jika datang saatnya akulah yang
membunuh kalian berdua," geram orang itu.
Tetapi tiba-tiba saja Mahisa Murti tertawa. Katanya,
"Kau mimpi atau menggigau atau sekedar ingin
memanaskan hati kami he?"
Wajah orang itu menjadi merah seperti bara api.
Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu.
Demikianlah, malam itu, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah berganti-ganti menjaga tawanan mereka.
Sementara itu, orang itu berusaha untuk dapat tidur
nyenyak untuk memanaskan hati kedua anak muda itu.
Tetapi ternyata bahwa orang itu tidak juga dapat tidur
sebagaimana dikehendaki. Apalagi ketika Mahisa Pukat
yang sedang mendapat giliran menjaganya.
Ada saja yang dilakukan sehingga menimbulkan
bunyi yang mengejutkan, sementara Mahisa Murti
berbaring ditempat yang agak jauh.
"Kau jangan membuat gaduh he?" bentak orang itu.
"aku mau tidur. Jika kau ingin tidur, tidur sajalah. Tetapi
jangan ribut di situ."
Tetapi Mahisa Pukat menjawab, "aku sengaja
membuat gaduh agar kau tidak dapat tidur. Aku benci
melihat kau tidur, sementara itu aku harus berjaga-jaga
karena kau." "Bukankah itu salahmu," geram orang itu. "kenapa
kau tidak tidur saja dan tidak usah mengurusi aku."
"Aku sengaja mengurusimu. Karena itu aku harus
berjaga-jaga. Supaya aku tidak menjadi semakin sakit hati
melihat kau mendekur, maka aku sengaja membuatmu
tidak tidur. Jika kau keberatan, aku dapat membuat kau
lebih sulit lagi," berkata Mahisa Pukat.
Orang itu memandang Mahisa Pukat dengan sorot
mata yang menyala. Tetapi ia tidak dapat melepaskan
kemampuannya, karena jika demikian, ia harus bertempur
melawan anak muda itu, sementara anak muda itu jelas
memiliki kelebihan daripadanya, sehingga ia tidak akan
mungkin dapat mengalahkannya.
Karena itu, agar anak muda itu tidak semakin ribut,
maka orang itu pun segera terdiam. Ia pun kemudian
mencoba berbaring lagi di atas rerumputan kering. Namun
ia terpaksa membiarkan apa saja yang dilakukan oleh
Mahisa Pukat. Ternyata orang itu benar-benar tidak bisa tidur selama
Mahisa Pukat yang bertugas menjaganya.
Tetapi ternyata bukan hanya orang itu sajalah yang
tidak dapat tidur selain Mahisa Pukat. Mahisa Murti pun
telah terpengaruh pula keributan itu meskipun ia berada di
tempat yang agak jauh. Tetapi Mahisa Murti sama sekali tidak menegurnya.
Demikianlah, ketika matahari mulai membayangkan
cahaya fajar, maka ketiga orang itu telah bersiap. Mereka
telah menemukan sebuah parit kecil, namun berair jernih.
Hari itu ketiganya berjalan tanpa berhenti, meskipun
mereka berjalan perlahan-lahan. Di luar sebuah pasar,
Mahisa Pukat telah membeli makanan yang dapat mereka
makan sambil berjalan. Kecuali beberapa potong ketela
pohon, maka Mahisa Pukat juga membeli beberapa potong
ubi panjang. Tetapi sekali lagi Mahisa Pukat hampir tidak dapat
menahan dirinya ketika orang yang dibawanya itu berkata,
"Itukah jenis makananmu" Aku tidak biasa makan seperti
itu. Aku makan nasi dengan lauk pauk yang pantas. Daging
binatang buruan atau daging burung tekukur."
"Setan," geram Mahisa Pukat.
Jantungnya serasa telah membengkak. Namun
Mahisa Murti berkata, "Makanlah, agar kau tidak
kelaparan. Hari ini hanya inilah yang kita punya. Kita tidak
punya beras dan tidak punya daging apapun."
Orang itu menarik bibirnya ke bawah sambil berdesis,
"Beli nasi buat aku dengan daging atau telur."
Mahisa Pukat menjadi tidak sabar lagi. Ketika tibatiba
saja ia melihat seekor ular menelusur di tanggul parit di
pinggir jalan tiba-tiba saja ia telah menerkamnya. Mahisa
Pukat sama sekali tidak menghiraukan ketika ular itu
mematuk tangannya. Bahkan dengan tangannya yang lain
Mahisa Pukat telah menekan lehernya sehingga mulut ular
itu terbuka dan gigitannya terlepas.
Dengan kemarahan yang memuncak Mahisa Pukat
telah mendorong mulut ular itu ke mulut orang yang keras
kepala itu sambil berkata, "Makan ular ini. Ini pun daging
yang barangkali kau sukai. Makan atau kau akan
dimakannya." Orang itu benar-benar menjadi berdebar-debar, ular
itu dapat menggigit mulutnya. Jika pada saat ular itu
menggigit Mahisa Pukat racun di mulutnya belum tuntas,
maka gigitan berikutnya akan dapat membunuhnya, tanpa
menunggu terbentuknya bisa yang baru di kelenjar bisanya.
Mahisa Murti yang melihat kemarahan Mahisa Pukat
itu-pun kemudian berkata, "Sudahlah. Jangan hiraukan
mulut orang yang sedang berputus asa itu."
"Aku ingin melihat, bisa yang manakah yang lebih
tajam antara mulutnya dan mulut ular ini," geram Mahisa
Pukat. "Orang itu sudah menjadi pucat," berkata Mahisa
Murti. Orang itu tidak menjawab. Ia sadar, bahwa Mahisa
Pukat benar-benar sudah marah. Orang itu akan dapat
menyentuh mulutnya dengan mulut ular. Satu cara
kematian yang tidak menyenangkan.
Mahisa Pukat yang marah itu telah menarik kepala
ular itu. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian
dilemparkannya ular di tangannya itu ke tanah.
Sejenak ketiga orang itu termangu-mangu. Namun
tiba-tiba saja orang yang dibawa oleh Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat itu tersenyum. Katanya, "Kaulah yang telah
dipatuk oleh ular itu. Sebentar lagi, maka bisa ular itu tentu
akan membuat jantungmu membeku."
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun
seolah-olah tidak mendengar kata-kata itu Mahisa Murti
berkata, "Kita berjalan terus. Kita akan makan apa yang
ada pada kita. Jika ada di antara kita yang tidak mau
makan, kemudian menjadi kelaparan, itu karena salahnya
sendiri." Orang yang dibawa oleh Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat itu termangu-mangu. Anak muda itu telah dipatuk
ular. Ia sendiri melihatnya. Tetapi anak muda itu sama
sekali tidak menghiraukannya.
Sebenarnyalah bisa ular itu sama sekali tidak
berpengaruh. Mahisa Pukat masih saja berjalan dengan
wajar. Bahkan kemudian sambil menyuapi mulutnya
dengan ketela pohon rebus.
Orang yang dibawa oleh kedua anak muda itu
termangu-mangu. Namun kemudian ia pun telah
mengambil pula sepotong ketela rebus yang nampaknya
telah direbus dengan santan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak
mengatakan sesuatu. Mereka berjalan sambil makan, tanpa
berhenti. Demikianlah, maka perjalanan mereka pun semakin
lama menjadi semakin mendekati Pakuwon Lemah Warah.
Mereka yang berjalan tidak tergesa-gesa itu tidak perlu
bermalam lagi. Sebelum matahari sampai ke batas
cakrawala, mereka telah sampai ke regol Pakuwon.
Kedatangan mereka telah disambut baik oleh Akuwu
Lemah Warah. Benar-benar sebagai kemenakannya sendiri.
Keduanya pun langsung diterima di serambi samping
sebagaimana Akuwu menerima keluarganya sendiri.
"Siapakah Ki Sanak ini?" bertanya Akuwu kepada
kedua orang anak muda yang dianggapnya sebagai
kemenakannya itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun kemudian Mahisa Murtilah yang
menjawab, "Ampun Akuwu. Kami telah membawa saudara
kami ini, karena ada sedikit persoalan yang telah
menyangkut dalam hubungan kami dengan padepokan
Suriantal." Akuwu Lemah Warah mengerutkan keningnya.
Namun kemudian katanya, "Persoalan apa lagi yang
tumbuh di padepokan itu?"
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun ia
pun terpaksa menceriterakan apa yang telah terjadi, dan
memperkenalkan orang yang telah dibawanya itu.
Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk.
Dipandanginya orang itu sejenak. Lalu katanya, "Sayang
Ki Sanak. Sebenarnya padepokan itu memerlukan
seseorang. Jika Ki Sanak bersikap lain, mungkin kedua
orang anak muda itu tidak akan membawa Ki Sanak
kemari." "Aku mengerti," jawab orang itu. "tetapi aku tidak
mau menjadi seorang pemimpin yang masih berada di
bawah perintah. Aku memerlukan padepokan itu. Kalian
harus memenuhi tuntutanku itu tanpa syarat."
Akuwu Lemah Warah mengerutkan keningnya.
Dengan nada rendah ia berkata, "ternyata yang dikatakan
oleh anak-anak muda itu benar tentang kau. Sikapmu
seharusnya berubah. Aku menerimamu dengan baik,
bahkan aku kira kau adalah kawan dari kedua orang
kemenakanku itu. Tetapi kau tidak mengimbangi sikapku."
"Apa yang harus aku lakukan" Aku tidak mau
berpura-pura. Aku mengatakan dan berbuat sesuai dengan
nuraniku. Diterima atau tidak oleh orang lain, itu bukan
persoalanku," jawab orang itu.
Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk. Katanya,
"kalian benar anak-anak. Orang ini memang harus kau
bawa kemari. Baru kau berbuat lebih banyak lagi bagi
padepokan itu. Jika orang ini masih juga berada di
padepokan, maka ia akan dapat menjadi penghambat, atau
bahkan penghalang sama sekali."
"Itulah sebabnya aku membawanya kemari," berkata
Mahisa Murti, "aku ingin menitipkan orang itu di sini. Atau
barangkali Akuwu mengambil sikap lain."
"Aku akan melihatnya lebih dahulu, apa yang akan
dilakukannya di sini," berkata Akuwu.
"Jangan memberikan kesempatan kepadanya,"
berkata Mahisa Pukat, "orang ini benar-benar berbahaya.
Sebenarnya kami sudah ingin memperlakukannya dengan
baik. Tetapi orang ini dengan sengaja selalu memancing
persoalan." "Aku akan berusaha melarikan diri dan membunuh
kalian," geram orang itu.
Akuwu Lemah Warah memandang orang itu dengan
tajamnya. Ia sadar bahwa orang itu memang berbahaya.
Karena itu, maka katanya, "Aku sendiri akan
mengurusnya. Jangan cemas, ia tidak akan sempat
melarikan diri." Tiba-tiba saja orang itu tertawa. Katanya, "Kau belum
tahu siapa aku." "Tidak ada artinya dihadapan Akuwu," desis Mahisa
Pukat. "Aku tidak yakin. Jika kalian berdua meninggalkan
aku di sini, maka isi istana Pakuwon Lemah Warah ini
akan aku hancurkan," berkata orang itu.
"Jadi apa sebenarnya yang kau inginkan," bertanya
Akuwu. "Padepokan itu harus diserahkan kepadaku tanpa
syarat," jawab orang itu.
Mahisa Pukat yang sudah terlalu lama menahan diri,
hampir saja telah bertindak lagi. Namun Akuwu yang
melihat sikap itu cepat berkata, "Jangan. Orang itu harus
diyakinkan dengan cara lain, bahwa aku akan dapat
menjinakkannya." "Tidak ada seorang pun yang akan mampu
menjinakkan aku. Mungkin kalian dapat membunuhku
beramai-ramai. Tetapi aku tidak akan dapat menjadi jinak,"


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jawab orang itu. Namun orang itu terkejut ketika tiba-tiba saja Akuwu
itu berkata, "Baiklah. Kita akan melihat, apakah aku akan
dapat menjinakkannya atau tidak."
"Apa maksud Akuwu?" bertanya Mahisa Murti.
"Kita akan pergi ke sanggar," jawab Akuwu, "kita
akan melihat, apakah orang itu akan dapat bertahan."
"Persetan," geram orang itu. "jika terjadi sesuatu
atasmu, bukan salahku."
"Ya. Memang bukan salahmu," jawab Akuwu.
Demikianlah maka Akuwu telah membawa orang itu
ke sanggar bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Demikian mereka berada di dalam Sanggar maka Akuwu
berkata, "terhadap orang yang demikian, kita harus
mempunyai cara khusus untuk menundukkannya. Cara
sebagaimana dikehendakinya."
"Cara mati yang paling menyedihkan dari seorang
Akuwu. Sebaiknya kau kerahkan Senapatimu yang
terpilih," berkata orang itu.
Akuwu itu mengerutkan keningnya. Tetapi menurut
ceritera Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang dapat
ditangkapnya meskipun tidak berterus terang, orang itu
dapat dikalahkan oleh anak-anak muda itu, sehingga
dengan demikian, maka Akuwu Lemah Warah itu pun
dapat menduga seberapa jauh dan seberapa tinggi ilmu yang
dimilikinya. Demikianlah, maka setelah mereka berada di sanggar,
maka Akuwu itu pun berkata, "Aku tidak akan berbuat
curang. Aku akan bertempur sebagai seorang laki-laki agar
kau yakin bahwa kau tidak akan dapat berbuat apa-apa di
sini. Kau di bawah pengawasanku dan orang-orangku tidak
ubahnya sebagaimana kau berada di bawah pengawasan
kedua orang kemenakanku itu."
"Persetan," geram orang itu. "jika kau mati di sini,
sama sekali bukan salahku. Kaulah yang telah
menantangku untuk berperang tanding. Bukan aku."
"Bersiaplah," desis Akuwu, "Jangan terlalu banyak
bicara." Demikianlah keduanya pun telah bersiap. Dari
Mahisa Murti Akuwu menyadari, bahwa orang itu memiliki
ilmu yang dapat membakar udara di sekitarnya. Tetapi
orang itu pun memiliki senjata yang dapat dilontarkannya,
meskipun jenis yang pernah dipergunakannya untuk
bertempur melawan Mahisa Murti sudah habis.
Sejenak kemudian keduanya telah bersiap. Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat memang berdebar-debar juga.
Tetapi mereka pun menyadari bahwa Akuwu Lemah
Warah memiliki ilmu yang tinggi. Keduanya pernah
mendapat tuntunannya, dan mewarisinya salah satu dari
ilmunya yang nggegirisi. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pernah
mendapatkan kesempatan penajaman ilmu dari seorang
Pangeran yang mendekati masa ajalnya, namun justru
menemukan cahaya di saat-saat terakhirnya.
Demikianlah, maka kedua orang itu telah saling
bergeser. Orang yang dibawa oleh Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat itu ternyata benar-benar menjadi liar. Orang
itu sama sekali tidak dapat dijinakkan sebagaimana
dikatakannya sendiri. Para pengikutnya yang mendapatkan
perlakuan baik di luar dugaannya, telah menjadi lunak pula
dan perlahan-lahan berubah untuk menyesuaikan diri
dengan kehidupan di padepokan sebagai tempat tinggalnya
yang baru. Namun orang itu sama sekali tidak mengenal
kebaikan sikap orang lain.
Hal itulah yang telah dilihat oleh Akuwu Lemah
Warah. Karena itu, maka ia telah mempunyai cara
tersendiri untuk membuat penyelesaian dengan orang itu.
Sejenak kemudian, maka orang yang merasa dirinya
pemimpin dari sebuah perguruan dan berilmu tinggi itu
telah menyerang. Meskipun belum menentukan, namun
Akuwu harus meloncat surut.
Pemimpin perguruan yang gagal memiliki padepokan
Suriantal itu pun kemudian meloncat pula menyerang.
Lebih keras dan bahkan serangan-serangan berikutnya pun
menyusul dengan derasnya.
Akuwu Lemah Warah sudah menduga, bahwa orang
itu akan bersikap demikian. Ia akan menjadi kasar, keras
dan bahkan liar. Namun Akuwu Lemah Warah sudah siap
menghadapi kemungkinan itu. Karena itu, maka ia sama
sekali tidak terkejut mengalami perlawanan yang demikian.
Sejenak kemudian pertempuran itu pun menjadi
semakin seru. Akuwu justru menunggu lawannya
mempergunakan ilmu puncaknya. Karena sebagaimana
dikatakan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahwa
orang itu memiliki ilmu yang cukup tinggi.
Namun sebelum orang itu sampai ke puncak ilmunya,
agaknya ia ingin mengetahui, apakah benar Akuwu
memiliki kekuatan kewadagan yang tinggi. Serangannyalah
yang kemudian menjadi semakin cepat dengan kekuatan
tenaga cadangan yang besar.
Namun Akuwu justru telah membenturkan
kekuatannya melawan kekuatan orang itu. Ternyata Akuwu
Lemah Warah benar-benar seorang yang memiliki ilmu
yang tinggi. Karena itu, apapun yang dilakukan oleh
lawannya, Akuwu mampu mengimbanginya.
Dalam keadaan yang tersudut, maka lawan Akuwu
itu pun segera merambah sampai ke puncak ilmunya.
Seperti yang dikatakan oleh Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, maka orang itu memang memiliki kekuatan untuk
seakan-akan membakar udara di sekitarnya. Karena itu,
untuk melemahkan ketahanan tubuh lawannya, maka udara
di dalam sanggar itu menjadi berangsur panas.
"Aku bakar seisi sanggarmu, termasuk kau dan kedua
anak ingusan itu," geram orang itu. Dihentakkannya
ilmunya sampai ke batas kemampuannya.
Udara di dalam sanggar itu memang dengan cepat
meningkat panasnya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
meningkatkan daya tahan tubuh mereka, agar mereka tidak
justru menjadi lemah oleh udara yang panas itu.
Akuwu Lemah Warah memang agak terkejut ketika ia
mengalami serangan udara panas yang demikian cepat
meningkat. Namun Akuwu Lemah Warah tidak dapat
dengan serta merta menghentikannya.
Tetapi Akuwu juga bukan orang kebanyakan. Ketika
udara sampai pada batas yang membahayakan, maka
Akuwu pun telah bersiap untuk menghentikannya.
Tetapi Akuwu juga harus menjaga, agar serangannya
jika lepas dari sasaran tidak justru merusakkan sanggarnya
sendiri. Karena itu, maka tiba-tiba saja Akuwu telah meloncat
naik ke atas sebuah patok bambu yang tinggi, yang terbiasa
dipergunakannya untuk berlatih. Dengan sigapnya ia
meloncat dari satu patok ke patok yang lain.
"Jangan lari," geram orang yang ingin merebut
Suriantal. Akuwu tidak menjawab. Tetapi ia telah meloncat
menjauh di atas patok-patok batang bambu itu.
"Kau kira aku tidak dapat mengejarmu?" berteriak
orang itu. Akuwu tidak menjawab. Ia justru berbalik dan
menghadapi orang itu. Akhirnya waktu yang ditunggu itu pun datang. Tepat
pada saat orang itu meloncat naik ke atas patok bambu
untuk mengejarnya, maka Akuwu Lemah Warah telah
melontarkan serangan ilmunya yang dahsyat. Kedua
tangannya telah terangkat dengan telapak tangan
menghadap, ke arah lawannya. Sebuah sinar yang silau
seolah-olah telah meluncur dari telapak, tangannya itu.
Orang itu terkejut. Tetapi justru pada saat ia melayang
meloncat ke atas patok bambu itu, ia tidak sempat
menghindar. Ia memang berusaha menggeliat. Namun
ternyata bahwa sinar yang tajam itu telah mengenainya.
Orang itu telah terlempar dengan kerasnya,
menghantam dinding sanggar, dan kemudian terbanting
jatuh di tanah. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas
dalam-dalam. Sementara itu, Akuwu Lemah Warah pun
segera meloncat turun. Perlahan-lahan ia melangkah
mendekati orang yang terbanting diam itu. Pingsan.
"Agaknya Akuwu tidak mempergunakan seluruh
kekuatan dan kemampuan Akuwu," desis Mahisa Murti.
"Kenapa kau menduga demikian?" bertanya Akuwu.
"Orang itu tidak menjadi lumat," jawab Mahisa
Murti. Akuwu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun
kemudian menjawab, "Aku memang tidak ingin
membunuhnya. Ia harus menjadi jera. Aku ingin
menjinakkannya dengan paksa. Sebagian besar dari
kekuatan dan ilmunya harus dimusnahkan dari dalam
dirinya," berkata Akuwu Lemah Warah.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menganggukangguk.
Itulah agaknya yang dikehendaki oleh Akuwu
dengan perang tanding itu. Ia sengaja menantang orang itu
untuk mendapatkan kesempatan melakukan rencananya
dengan cara yang jantan. Akuwu Lemah Warah tidak mau
bertindak sebagai seorang pengecut untuk menjinakkan
orang yang sombong dan tidak tahu diri itu.
"Marilah, para pengawal akan membawanya
ketempat yang diperuntukkan baginya. Aku akan
memerintahkan mereka itu untuk mempersiapkannya,"
berkata Akuwu Lemah Warah.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menganggukangguk.
Mereka pun kemudian mengikuti Akuwu keluar
dari sanggar. Keduanya kemudian menyaksikan, bagaimana
Akuwu memerintahkan kepada pemimpin pasukan
pengawal khususnya untuk mengambil orang yang pingsan
didalam sanggar. Kepada pemimpin pengawal itu Akuwu
telah memberikan beberapa pesan khusus.
Demikianlah, maka pemimpin pengawal khusus itu
telah membawa ampat orang pengawal kedalam sanggar
dan membawa orang yang pingsan itu keluar, serta
menempatkannya di sebuah bilik yang kuat dan diawasi
oleh beberapa orang pengawal pilihan.
Namun Akuwu Lemah Warah menyadari betapa
berbahayanya orang itu. Karena itu, maka setelah
beristirahat sejenak untuk minum minuman hangat bersama
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka Akuwu itu pun
kemudian berkata, "Marilah, kita akan melakukan rencana
kita. Keadaan orang itu agak parah. Agaknya ia belum
sempat menumbuhkan seluruh kekuatannya kembali. Aku
ingin memaksanya menjadi jinak."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian
mengikutinya ke bilik bagi orang itu. Ternyata seperti yang
dikatakan oleh Akuwu, orang itu masih terbaring diam.
Orang itu masih belum sadar sama sekali.
Akuwu Lemah Warah pun kemudian duduk di
pembaringan, di sisi orang itu. Sejenak ia memandang
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun kemudian ia telah
mengambil satu keputusan untuk melakukannya.
"Untuk kebaikan, maka aku harus melakukannya,"
berkata Akuwu Lemah Warah, "kadang-kadang kita
memang harus mempertimbangkan kemungkinan atas
seseorang. Jika masih ada kemungkinan jalan kembali,
maka aku tidak akan mengambil langkah yang paling tajam
untuk menghukumnya. Tetapi aku tidak melihat
kemungkinan itu pada orang ini. Karena itu aku
memutuskan untuk memaksanya dengan cara yang keras
ini." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya menarik nafas
saja. Tetapi keduanya sama sekali tidak menyahut.
Demikianlah, maka Akuwu Lemah Warah itu pun
telah menelungkupkan tubuh yang masih lemah itu.
Dengan jari-jarinya yang kuat dan berpengalaman, maka
Akuwu Lemah Warah telah menekan beberapa bagian di
sebelah menyebelah tulang belakangnya.
Meskipun orang itu masih pingsan, tetapi sentuhan itu
ternyata berakibat demikian dahsyatnya sehingga orang itu
menggeliat tanpa sadarnya.
Akuwu Lemah Warah menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian ia-pun telah membalikkan kembali tubuh itu dan
membiarkannya terbaring diam.
Akuwu Lemah Warah yang kemudian bangkit dan
melangkah keluar diikuti Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
itu pun kemudian telah memerintahkan para pengawal
untuk berusaha menyadarkannya.
"Titikkan air dibibirnya. Jangan hanya sekali dua
kali. Tetapi ulangi lagi. Namun jangan sampai semangkuk
penuh," pesan Akuwu kepada seorang pengawal.
Pengawal itu mengangguk hormat. Sepeninggal
Akuwu. Maka ia-pun telah mencoba untuk menitikkan air
dingin dibibir orang yang pingsan itu.
Ternyata bahwa titik-titik air itu telah mempengaruhi
kesegaran tubuh orang yang pingsan itu. Perlahan-lahan
darahnya yang seolah-olah membeku telah mengalir.
Ketika orang itu membuka matanya, maka dilihatnya
pengawal yang duduk sebelahnya. Agaknya orang itulah
yang telah menitikkan air dibibirnya.
Perlahan-lahan terasa kesegaran itu menjalar di
seluruh tubuhnya. Kekuatannya pun agaknya terasa mulai
menelusuri urat-urat nadinya. Bahkan dengan nada rendah
orang itu berkata, "beri aku setitik lagi."
Pengawal itu memang menjadi ragu-ragu. Tetapi
agaknya orang itu masih sangat lemah, sehingga ia tidak
akan mampu berbuat sesuatu. Karena itu, maka ia pun
telah menitikkan air itu lagi dibibirnya.
Orang yang merasa tubuhnya menjadi semakin segar
itu masih berbaring diam. Ia masih berusaha menunjukkan
kesan, bahwa ia masih terlalu lemah untuk berbuat sesuatu.


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun ketika setitik air diteguknya lagi, maka ia
merasa bahwa ia akan mampu untuk berbuat sesuatu,
meskipun tenaganya tentu belum pulih sebagaimana
sebelumnya. Namun untuk melawan seorang prajurit,
agaknya ia tidak akan mengalami kesulitan.
Orang itu berpikir sejenak untuk menilai keadaan.
Ketika prajurit itu akan meninggalkannya, maka ia pun
berkata, "Tunggu. Mungkin aku masih memerlukan air itu
lagi." Prajurit pengawal itu tercenung sejenak. Tetapi ia
tidak segera keluar. Ia masih membawa mangkuk berisi air
jernih yang telah dititikkan dibibir orang yang pingsan itu.
Namun dalam pada itu, orang yang pingsan itu
berusaha untuk mendapatkan waktu lebih banyak, sehingga
ia mendapatkan tenaganya kembali lebih besar lagi.
Jika pengawal itu masih berada di dalam biliknya,
tentu tidak ada orang yang melihatnya, apa yang telah
dilakukannya. Dengan demikian, lewat pintu yang memang
sudah terbuka itu, ia akan dapat keluar dari bilik itu dan
melarikan diri. Sebenarnyalah perlahan-lahan orang itu
menggerakkan tubuhnya untuk mengetahui, apakah ia
sudah mampu berbuat sesuatu.
Ketika ternyata bahwa anggauta tubuhnya telah
mampu bergerak dengan wajar, maka orang itu pun
kemudian telah bangkit dan duduk. Namun ia masih
berusaha untuk nampak lemah sekali dan tidak berdaya.
-ooo0dw0ooo Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo Converter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : Uploader di Indozone : Dino
--ooo0dw0ooo- Jilid 041 PRAJURIT yang membawa air itu mulai ragu-ragu.
Sekali lagi melihat pintu yang terbuka. Namun kemudian
ia berpaling kepada orang yang sudah mulai dapat duduk
itu. Orang yang duduk itu diam-diam mengepalkan
tinjunya. Ternyata bahwa kekuatannya rasa-rasanya
sudah mulai mantap. Sementara itu yang dihadapinya
hanyalah seorang prajurit. Karena itu, maka timbullah
niatnya untuk melumpuhkan prajurit itu dan kemudian
berusaha melarikan diri dari istana Akuwu Lemah
Warah. Dengan sikap seorang yang masih sangat lemah
maka ia-pun berkata perlahan-lahan, "Air. Tolong, beri
aku air." Prajurit itu memang ragu-ragu. Namun melihat
keadaan tawanan itu, maka rasa-rasanya ia masih belum
akan dapat berbuat sesuatu. Karena itu, maka prajurit itu
pun melangkah mendekat. "Aku haus sekali," berkata tawanan itu.
Prajurit itu pun kemudian memberikan mangkuk
air itu kepada tawanan yang nampak kehausan itu.
Namun yang terjadi benar-benar di luar dugaan.
Tiba-tiba saja tawanan itu telah menangkap pergelangan
tangan prajurit itu. Prajurit itu terkejut. Suatu kekuatan yang besar
telah menariknya dan melemparkannya ke arah dinding
kayu yang kuat. Benturan itu benar-benar menyakitinya. Namun
nalurinya sebagai seorang prajurit segera mengguncang
dadanya. Tiba-tiba pula ia telah meloncat bangkit dan
siap menghadapi segala kemungkinan.
Orang yang melemparkannya itu pun telah berdiri
pula. Tetapi ia merasa heran bahwa prajurit itu masih
sempat bangkit dan bersiap untuk bertempur
melawannya. "Setan alas," geram tawanan itu.
Tetapi ia tidak mau gagal. Karena itu, maka ia pun
segera menyerang prajurit itu dengan mengerahkan
kekuatannya. Ia akan membunuh prajurit itu secepat
dapat dilakukan agar ia segera dapat meninggalkan
tempat terkutuk itu. Ketika ia meloncat menyerang, maka prajurit itu
tidak mempunyai kesempatan untuk menghindar. Bilik
tahanan itu tidak terlalu luas sehingga karena itu, maka
ia hanya mampu melindungi tubuhnya dengan
tangannya. Serangan tawanan itu telah menghantam tangan
prajurit yang bersilang di dadanya. Terdengar keluhan
tertahan. Namun prajurit itu sempat memperbaiki
keadaannya. Ketika tawanan itu siap mengayunkan
tangannya pula, maka prajurit itu telah memiringkan
tubuhnya. Kakinya terjulur dengan cepat menghantam
lawannya yang berdiri pada jarak yang terlalu dekat.
Sementara itu, tubuhnya telah tersandar pada
dinding kayu yang kuat, sehingga justru menjadi tempat
bertumpu. Dengan demikian maka dorongan kakinya
seakan-akan menjadi semakin kuat.
Tawanan itu telah terdorong demikian kerasnya
sehingga ia telah terlempar dan terbanting melintang di
pembaringannya. Punggungnya terasa betapa sakitnya.
Namun ia merasa seorang yang memiliki
kemampuan yang sangat tinggi. Karena itu, maka ia pun
telah menghentakkan ilmunya. Ia tidak mau menundanunda
waktu lagi. Jika orang itu dan bahkan seluruh
bangunan itu akan terbakar menjadi hangus ia tidak
mempedulikannya lagi. Karena itulah, maka ia pun telah
menghentakkan ilmu puncaknya yang nggegirisi.
Dalam pada itu beberapa orang prajurit pengawal
yang berada diluar telah mendengar keributan yang
terjadi. Mereka segera menyadari, bahwa tawanan itu
tentu berusaha untuk memberontak. Karena itu, maka
mereka pun telah meloncat menuju ke pintu bilik yang
tidak terlalu luas itu. Namun mereka terkejut, ketika mereka melihat
beberapa langkah dari pintu itu, Akuwu Lemah Warah
bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berdiri
bagaikan membeku. Bahkan kemudian mereka pun telah
memberi isyarat kepada para prajurit itu agar mereka
mengurungkan niatnya. Prajurit-prajurit itu kebingungan. Seorang di antara
mereka dengan tergesa-gesa telah berlari mendekati
Akuwu sambil berdesis, "Ampun Akuwu. Bukankah
kawan hamba itu akan mati dicekik oleh tawanan yang
mempunyai kemampuan tidak terbatas itu?"
"Kita akan melihatnya," berkata Akuwu.
Prajurit itu menjadi heran. Namun ia menjadi
terkejut ketika sesosok tubuh kemudian terlempar keluar
dari bilik itu. Selagi tubuh yang terlempar keluar itu
berusaha untuk bangkit, maka yang lain telah meloncat
keluar dari pintu itu pula.
Ternyata mereka telah melanjutkan pertempuran di
luar bilik yang sempit, yang agaknya kurang memberikan
kesempatan mereka untuk bergerak.
Di luar bilik, pertempuran itu menjadi sangat seru.
Keduanya saling menyerang dan bertahan. Sekali-sekali
keduanya telah membenturkan kekuatan mereka dan
keduanya terdorong beberapa langkah surut.
Adalah di luar dugaan, bahwa dalam pertempuran
yang keras itu, prajurit Lemah Warah itu mampu
mengimbangi kemampuan tawanan yang pernah disebut
sebagai seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Namun ternyata bahwa tawanan itu sama sekali
tidak lagi dapat bertahan lebih lama lagi. Perlahan-lahan
ia menjadi semakin terdesak. Ketika sekali lagi ia
menghentakkan kemampuan ilmunya, ternyata lawannya
sama sekali tidak terpengaruh karenanya. Bahkan sebuah
serangan yang kuat telah mengenai dadanya. Kaki
lawannya yang tiba-tiba terjulur, sama sekali tidak
mampu dihindarinya, sehingga karena itu, maka ia pun
telah terlempar dan terbanting jatuh.
Betapa perasaan sakit telah menyumbat dadanya.
Jantungnya rasa-rasanya telah retak karenanya.
Ketika ia bangkit sambil menyeringai, maka ia
melihat lawannya, seorang prajurit yang tadi membawa
air untuknya itu, telah siap pula untuk menyerangnya.
Sejenak orang yang pernah memimpin satu
perguruan itu termangu-mangu. Namun ia pun
kemudian menyadari, bahwa jika serangan itu datang
lagi, maka ia tidak akan dapat berbuat apa-apa.
Sebenarnyalah, serangan berikutnya datang
membadai. Orang itu memang tidak dapat berbuat
banyak. Kaki yang terjulur sekali lagi menghantam
dadanya dan mendorongnya bahkan membantingnya
jatuh di tanah. Prajurit itu sudah siap menghancurkannya sebelum
Rumah Tanpa Dosa 2 Sapta Siaga 09 Tuduhan Palsu Interpretation Murder 4
^