Hijaunya Lembah Hijaunya 21
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 21
para pemimpin padepokan itu kembali dengan hanya
beberapa orang yang sempat melarikan diri, maka mereka
telah mengungsi. Mereka memperhitungkan bahwa
kemungkinan pihak lain akan memburu ke padepokan ini
sehingga akan terjadi pertempuran di sekitar padepokan
ini." Ki Permita mengangguk-angguk. Namun kemudian ia
pun bertanya, "Apakah kau sudah lama berada di
padepokan ini?" "Kami datang dari padepokan lain. Kami mengisi
padepokan ini setelah penghuninya serta pemimpin
padepokan ini pergi bersama seorang yang dianggap akan
dapat menjadi tumpuan perjuangan mereka. Kami diminta
oleh pemimpin padepokan ini untuk berada di sini."
"Siapa pemimpinmu?" bertanya Ki Permita.
"Saudara tua pemimpin padepokan ini," jawab orang itu.
"maksudku saudara tua seperguruan."
Ki Permita termangu-mangu. Pemimpin padepokan itu
tentu bukan orang bertongkat yang dikenalnya sebagai
pemimpin dari perguruan Suriantal yang telah berubah.
Tetapi saudara tua seperguruan itu tentu saudara dari orang
yang mampu menguasai binatang untuk melakukan niatnya
terhadap musuh-musuhnya. "Jika orang itu adalah saudara tuanya, maka orang itu
agaknya memiliki ilmu yang lebih baik atau setidaktidaknya
sejajar dengan orang yang mempunyai ilmu
gendam itu," berkata Ki Permita di dalam hatinya.
Selain kemampuan yang tinggi, ternyata orang itu telah
membawa pula para pengikutnya.
Namun dalam pada itu, Ki Permita berkata kepada
orang itu. "pantas jika kalian orang baru di sini. Aku pernah
berada di padepokan ini. Tetapi kita belum pernah
bertemu." Orang itu mengangguk. Tetapi ia tidak menjawab.
Dipandanginya arah kawannya tadi pergi. Namun
sementara itu ia berdesis, "Ia memerlukan waktu beberapa
saat. Sementara itu, kita akan menunggu di sini."
Ki Permita mengangguk. Katanya, "Aku akan
menunggu. Aku yakin bahwa aku akan diijinkannya."
Orang itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak
menjawab. Bahkan ia pun telah bangkit dan berjalan
mondar-mandir di depan regol itu.
Sementara itu kawannya telah memasuki padepokan. Di
lapisan berikutnya dari pengamatan atas padepokan itu,
orang itu berkata terus terang, bahwa ia akan menanyakan
kemungkinan bagi orang yang bernama Palot.
"Bukankah perintah itu sudah tegas. Siapapun tidak
boleh memasuki padepokan ini," sahut kawannya di lapisan
berikutnya. "Tetapi orang ini lain. Orang ini pernah tinggal bersama
para pemimpin kita yang sempat melarikan diri itu dan
bekerja bersama dengan mereka untuk waktu yang lama,"
jawab orang yang akan menghadap itu.
"Terserahlah. Kau tentu mempunyai alasan tersendiri.
Tetapi jika alasanmu tidak masuk akal, maka kau justru
akan dimaki dan bahkan mungkin kau akan mengalami
perlakuan yang kurang baik," berkata kawannya.
Tetapi orang itu tidak mengurungkan niatnya, ia
langsung menuju ke padepokan untuk bertemu para
pemimpin padepokan itu. Ketika orang itu menyampaikan permintaan orang yang
disebut Palot untuk berlindung di padepokan itu, ternyata
permintaan itu memang menarik perhatian. Orang yang
memiliki kemampuan mengendalikan binatang dengan ilmu
gendamnya itu berkata, "Bawa orang itu kemari. Meskipun
sebenarnya aku tidak memerlukannya. Yang kita perlukan
adalah Panembahan yang memiliki ilmu tiada taranya itu
yang aku kira tidak terkalahkan oleh siapapun. Namun
ternyata melawan dua orang pemimpin yang datang dari
Kediri, Panembahan itu tidak mampu bertahan."
"Untuk apa sebenarnya orang itu dibawa kemari?"
bertanya saudara tua seperguruannya, "jika orang itu
memang tidak berarti kenapa orang itu tidak disingkirkan
saja daripada memperbanyak tanggungan kita di sini?"
"Orang itu adalah hamba yang setia dari Panembahan
yang kita harapkan akan dapat memberikan jalan bagi kita
menuju ke Kediri," jawab pemimpin padepokan itu.
"mungkin orang itu dapat banyak bercerita. Memang tidak
penting, tetapi agaknya cukup menarik jika ia berceritera
tentang kesetiaannya kepada Panembahan itu."
"Terserahlah," berkata orang bertongkat, "padepokan ini
padepokanmu. Apapun yang kau lakukan adalah tanggung
jawabmu. Tetapi bagiku orang itu tidak berarti lagi
sepeninggal Panembahan."
Pemimpin padepokan yang telah dipaksa kembali oleh
pasukan Lemah Warah dari padepokan Suriantal itu
tersenyum. Katanya, "Kita memang tidak memerlukannya.
Tetapi apa salahnya kita mempunyai seorang hamba yang
setia" Mudah-mudahan disini pun ia akan menjadi seorang
hamba yang setia pula, yang melakukan apa yang aku
perintahkan dan mengiakan apa yang aku katakan."
"Tetapi bagaimana mungkin ia dapat melarikan diri dari
tangan orang-orang Lemah Warah jika Panembahan itu
dapat dikalahkan," desis orang bertongkat itu.
"Kita tidak usah mempersoalkan bagaimana ia keluar
dari padepokan itu. Tetapi ia sekarang ada di sini," jawab
pemimpin padepokan itu. Sementara itu kakak seperguruan dari pemimpin
padepokan itupun berkata, "Sebetulnya buat apa kau
memelihara seekor tikus. Lebih baik memelihara seekor
kucing yang betapapun kecilnya akan dapat memberikan
arti pada kehadirannya."
"Bukan tikus," jawab pemimpin padepokan itu. "tetapi
seekor anjing yang setia dan penurut."
Kakak seperguruannya tertawa. Katanya, "Terserah
kepadamu. Tetapi ingat, jika kau kehabisan tulang, maka
anjing itu akan dapat menggigit kakimu sendiri."
Pemimpin padepokan itu pun tertawa pula. Tetapi ia
berkata, "Bawa budak itu kemari. Aku akan
mengangkatnya sebagai hambaku. Aku tahu ia setia
meskipun karena kesetiaannya itu, ia nampaknya seperti
seorang yang besar kepala. Ia memerintah atas nama
Panembahan. Tetapi justru karena kesetiaannya."
"Ia merasa lebih berkuasa dari Panembahan," berkata
orang bertongkat itu. "ia telah memerintah kita semaumaunya
saja." "Ia tidak bermaksud demikian," jawab pemimpin
padepokan itu. "Ia sekedar menunjukkan setianya kepada
Panembahan, bahwa ia telah melakukan perintah
Panembahan dengan sebaik-baiknya."
"Jika kau jadikan ia hambamu, maka ia akan merasa
lebih berkuasa dari kau sendiri di padepokan ini," berkata
orang bertongkat itu. "Aku akan mencekiknya," sahut kakak seperguruan
pemimpin padepokan itu. Tetapi pemimpin padepokan itu masih tertawa pula.
Katanya, "Kenapa kalian ributkan budak yang setia itu.
Nah, biarlah ia datang kemari untuk memohon
perlindungan kepadaku. Tetapi ia harus menjadi hambaku
yang setia." Orang yang datang menghadap itu termangu-mangu
sejenak. Namun pemimpin padepokan itu pun berkata,
"Bawa orang itu kemari. Ia tidak berbahaya. Ia lebih lunak
dari buah mentimun."
Orang yang menghadap itu pun kemudian meninggalkan
ruangan itu dan kembali kepada kawannya. Ia menemui
kawannya berjalan yang hilir mudik, sementara Ki Permita
menunggu dengan gelisah pula. Ia mencemaskan keempat
orang yang berusaha mencegahnya, tetapi yang telah
dibuatnya tidak berdaya. Jika mereka tiba-tiba
menyampaikan persoalan yang terjadi atas diri mereka,
maka persoalannya tentu akan berbeda.
Namun karena seorang di antara mereka yang pingsan
itu nampaknya masih memerlukan perawatan, maka tiga
orang kawannya masih belum meninggalkannya. Bahkan
mereka pun seakan-akan telah menyerahkan persoalannya
kepada para penjaga di lapisan berikutnya.
"Akhirnya ia akan dihentikan," berkata salah seorang
dari keempat orang itu. "Tetapi apakah kita tidak dianggap bersalah bahwa
mereka telah mampu melewati garis pengamatan kita,"
desis yang lain. "Ternyata kita tidak mampu menahannya," jawab yang
pertama, "bahkan seorang di antara kita telah pingsan."
"Setan," geram orang yang baru sadar dari pingsan, "aku
tidak tahu apa-apa demikian dadaku merasa tersentuh
tangannya." "Duduklah," berkata kawannya, "orang itu tentu akan
tertangkap. Dan kita akan dapat membalas sakit hati kita."
"Tetapi kita harus melaporkannya," berkata orang yang
pingsan itu. "Jika terjadi sesuatu karena kelengahan, maka
kita tentu dapat dianggap bersalah."
Keempat orang itu termangu-mangu sejenak. Namun
seorang di antara mereka yang tertua akhirnya berkata,
"Baiklah. Dua orang di antara kita akan melaporkan
peristiwa yang terjadi ini. Sementara dua orang akan tetap
bertugas di sini." Akhirnya mereka menentukan orang yang pingsan itu
bersama seorang yang lain akan melaporkan peristiwa yang
telah terjadi itu ke lapisan berikutnya, agar laporan itu
bertingkat merambat sampai kepada para pemimpin
padepokan. Atau orang itu sudah terbunuh sebelum
mendekati regol padepokan.
Namun ketika mereka sampai ke lapisan berikutnya,
mereka menjumpai hanya seorang penjaga. Seorang yang
berjambang dan berkumis lebat.
"Kau sendiri?" bertanya orang yang pingsan itu.
"Ya. Seorang kawanku sedang mengantarkan budak
yang setia itu ke padepokan," jawab orang berjambang itu.
Orang yang pingsan itu termangu-mangu. Namun
kemudian iapun telah menceriterakan apa yang terjadi.
"Aku menjadi pingsan tanpa tahu sebab-sebabnya,"
berkata orang itu kemudian.
Orang berjambang itu termangu-mangu. Namun tiba-tiba
iapun tertawa. Katanya, "Kalianlah yang keterlaluan.
Orang itu lunak seperti ranti, lamban seperti siput dan
merengek seperti anak-anak sakit-sakitan."
"Mula-mula ia memang berbuat seperti itu," berkata
orang yang pingsan itu. "Jika ia berlaku sebagaimana kau katakan di padepokan,
maka ia akan mengalami perlakuan yang sangat pahit. Ia
akan dihukum cincang atau picis," jawab orang berjambang
itu. "nah, kita akan melihat apa yang terjadi."
Orang yang telah pingsan itu termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian katanya, "Tetapi kita harus
melaporkannya. Para pemimpin padepokan itu harus
berhati-hati menghadapinya."
"Sebagian dari mereka sudah mengenalnya dengan
baik," jawab orang berjambang itu. Lalu, "He, bukankah
kau juga pernah berada di padepokan Suriantal?"
"Ya. Itulah agaknya kami mempunyai gambaran yang
keliru tentang orang itu," jawab orang yang telah pingsan
itu. Tetapi orang berkumis dan berjambang lebat itu tidak
banyak menaruh perhatian. Bahkan kemudian katanya,
"Tidak ada gunanya. Orang itu sekarang sudah
menghadap." "Tetapi untuk waktu yang akan datang. Nanti atau
hesok." berkata orang yang pingsan itu.
"Terserah kepadamu," jawab orang berjambang itu. "aku
tidak peduli. Aku menganggap bahwa orang itu tidak akan
berbahaya dihadapan para pemimpin."
"Tetapi jika ia licik?" berkata orang yang telah pingsan
itu. "Terserah kepadamu," tiba-tiba orang berjambang itu
membentak. Orang yang pingsan itu merenung sejenak. Tetapi iapun
kemudian tidak peduli lagi kepada orang berjambang itu.
Katanya, "Aku akan menghadap."
Orang berjambang itupun tidak menghiraukannya pula.
Karena itu ketika orang itu berlalu, maka orang berjambang
itu sama sekali tidak memperhatikannya lagi. Bahkan ia
telah melemparkan pandangannya ke pepohonan di
sekitarnya. Ketika orang yang pingsan itu bersama seorang
kawannya menuju ke padepokan, Ki Permita telah dibawa
memasuki regol. Orang yang bertugas di regol tidak dapat
mencegahnya, karena yang membawa Ki Permita itu
adalah seorang pengawal pula yang mendapat tugas justru
dari pemimpin padepokan itu untuk membawa hamba yang
setia itu menghadap. Ketika Ki Permita itu dibawa memasuki sebuah barak
yang menjadi tempat bertemu para pemimpin padepokan
itu, maka ia pun telah menjadi berdebar-debar. Ternyata di
ruang itu terdapat beberapa orang yang tidak dikenal.
Orang yang tidak ikut berada di padepokan Suriantal.
Ketika Ki Permita yang dikenal bernama Palot itu
memasuki ruangan, maka pemimpin padepokan itu, orang
yang memiliki ilmu gendam, telah menyapanya sambil
tertawa, "Ki Palot. Selamat datang di padeokan ini."
Ki Permita menjadi ragu-ragu. Ia berdiri termangumangu
di pintu ruangan yang agak luas itu.
"Duduklah," berkata pemimpin padepokan itu.
Ki Palot itu memandang berkeliling. Beberapa orang
duduk di amben panjang yang terletak di sekeliling ruangan
di bilik itu. Dengan ragu-ragu maka ia pun telah duduk pula di
sebuah amben yang berada di sudut ruangan itu.
Tetapi tiba-tiba pemimpin padepokan itu berkata, "He
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Palot. Kemarilah. Duduklah di sini."
Ki Permita menjadi ragu-ragu. Tetapi, pemimpin
padepokan itu minta Ki Permita duduk di dekatnya, di
sebuah amben yang berada di sebelah tempat duduknya.
Namun Ki Permita itu berkata, "Cukup di sini."
Pemimpin padepokan itu tertawa. Katanya, "Kau adalah
seorang hamba yang setia dari Panembahan yang
mengecewakan itu. Yang aku kira benar-benar akan dapat
menyelesaikan berbagai masalah yang timbul di padepokan.
Namun akhirnya ternyata bahwa Panembahan itu tidak
kuasa menghadapi prajurit Lemah Warah."
"Bukan sekedar prajurit Lemah Warah," jawab Ki
Permita. "tetapi ternyata di antara mereka hadir dua orang
dari Kediri." "Dari manapun datangnya, namun ternyata bahwa
Panembahan itu tidak lagi mampu bertahan," berkata
pemimpin padepokan itu. "Demikianlah agaknya. Tetapi Panembahan sudah
berusaha sejauh dapat dilakukan," berkata Ki Permita.
"Baiklah," berkata pemimpin padepokan itu. Lalu, "Nah
sekarang, apa yang akan kau lakukan sepeninggal
Panembahan?" "Aku akan memohon perlindungan di padepokan ini,"
jawab Ki Permita. "Ya. aku sudah mendengar permintaanmu. Tetapi untuk
memenuhi keinginanmu itu, kau harus memenuhi satu
syarat," berkata pemimpin padepokan itu.
"Syarat apakah yang harus aku penuhi itu?" bertanya Ki
Permita. "Palot. Selama ini kau adalah hamba yang setia dari
Panembahan. Namun dengan kesetiaanmu itu ternyata kau
telah membuat banyak kesalahan. Kau kadang-kadang
bersikap sebagaimana Panembahan itu sendiri. Bahkan
kadang-kadang kau merasa dirimu lebih berkuasa," berkata
pemimpin padepokan itu. "Tentu bukan maksudku," berkata Ki Permita, "aku
hanya sekedar menjalankan perintah. Tidak lebih."
"Baiklah Palot," berkata pemimpin padepokan itu.
"syarat yang aku kemukakan adalah, bahwa selama kau
berada di padepokan ini, maka kau harus menjadi hambaku
yang setia, sebagaimana kau lakukan terhadap
Panembahan. Kau harus menurut segala perintahku dan
mengiakan segala kata-kataku. Jika kau bersedia menjadi
hamba yang setia, maka aku akan memeliharamu."
Terasa jantung Ki Permita berguncang. Ia tidak mengira
bahwa ia akan menerima penghinaan sedalam itu. Agaknya
orang-orang di padepokan Suriantal itu mempunyai
anggapan yang buram terhadap dirinya yang menjadi
perantara perintah Panembahan. Kekecewaan orang-orang
padepokan itu kepada Panembahan, agaknya telah
ditumpahkannya kepadanya.
Namun penghinaan itu benar-benar sulit untuk
diterimanya. Apalagi beberapa orang yang berada di ruang
itu serentak tertawa berkepanjangan.
Namun Ki Permita masih berusaha untuk menahan diri.
Bahkan ia berusaha menyembunyikan kesan perasaannya
itu di wajahnya. Dengan nada rendah ia berkata,
"Sebenarnya aku tidak berkeberatan. Tetapi ada bedanya
antara kalian dengan Panembahan bagiku. Aku adalah abdi
Panembahan sejak aku masih muda dan Panembahan pun
masih sangat muda. Tetapi di sini kita bertemu pada saatsaat
kita sudah menjelang usia senja."
Ki Permita menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu
pemimpin padepokan itu berkata lagi, "kau mendapat
kesempatan untuk memikirkannya barang sehari. Selama
itu kau boleh berada di padepokan ini untuk melihat-lihat
cara hidup kami. Kau akan dapat membayangkan, tugas
apa yang bakal kau pikul jika kau menjadi hambaku yang
setia." Penghinaan itu sudah tidak tertanggungkan lagi. Namun
sebelum Ki Permita itu berbuat sesuatu, seorang pengawal
telah membawa masuk dua orang pengawal yang lain ke
dalam ruangan itu. Ki Permita mengerutkan keningnya. Ia mengenali kedua
orang itu. Mereka adalah orang-orang yang telah
menahannya di luar padepokan. Ki Permita pun sudah
menduga, apa yang akan dikatakannya.
Tetapi ia tidak berkeberatan. Ia pun hampir bertindak
karena tidak lagi dapat menahan diri karena penghinaan itu.
Pemimpin padepokan itu termangu-mangu melihat
kehadiran kedua orang pengawal itu. Dengan nada tinggi ia
bertanya, "Ada apa kalian menghadap?"
Orang yang telah pingsan itu pun berpaling ke arah Ki
Permita yang dikenalnya bernama Palot itu. Dengan raguragu
ia berkata, "orang itu."
"Kenapa dengan orang itu?" bertanya pemimpin
padepokan itu. "Ia memaksa untuk memasuki padepokan," jawab orang
yang pingsan itu. Pemimpin padepokan itu tertawa. Katanya, "Ia ada di
sini sekarang." "Ya. Aku melihat," jawab orang yang pernah pingsan
itu. "Tetapi jika ia sampai ke ruang ini, bukan karena kami
tidak melakukan tugas kami."
Pemimpin padepokan itu masih tertawa. Katanya,
"Sudahlah. Jangan hiraukan lagi orang itu. Ia sudah
bersedia menjadi hambaku yang setia. Ia akan menurut
segala perintahku dan ia akan bersedia mengikut di
belakang ke mana aku pergi sambil membawa barangbarangku."
Hampir saja Ki Permita itu berteriak mengumpat. Tetapi
orang yang pernah jatuh pingsan itu berkata, "Tetapi ia
adalah orang yang sangat berbahaya. Orang itu mempunyai
ilmu iblis." Pemimpin padepokan itu mengerutkan keningnya.
Namun ia pun kemudian tertawa, "Jangan cemaskan orang
itu. Jika ia garang seperti seekor harimau, maka karena ia
bersandar kepada orang yang disebut Panembahan itu."
"Tidak," jawab orang yang pernah pingsan itu. "ia bukan
sekedar bersandar pada Panembahan. Tetapi ia memang
memiliki ilmu iblis itu. Ia mampu memperlakukan kami
berempat sebagai bahan permainan."
Pemimpin padepokan itu mengerutkan keningnya.
Dipandanginya orang yang pernah pingsan itu dengan Palot
berganti-ganti. Sementara itu orang yang pernah pingsan itu
berkata, "Itulah yang ingin aku katakan, agar ia tidak
menjadi racun di padepokan ini."
Pemimpin padepokan itu termangu-mangu sejenak.
Namun ia pun kemudian bangkit berdiri sambil berkata,
"Apa yang dapat dilakukan oleh tikus kecil ini."
"Bagaimanapun juga ia cukup berbahaya," berkata orang
itu. "Terima kasih atas keteranganmu. Jika demikian, kami
akan bersikap lain terhadapnya."
Orang yang pernah pingsan itu menarik nafas dalamdalam.
Dipandanginya Ki Permita sambil berdesis, "Nah,
kau akan tahu akibat permainanmu yang kasar itu."
"Tinggalkan orang itu," berkata pemimpin padepokan
kepada orang yang pernah pingsan itu. "aku akan
mengurusnya." Demikianlah maka kedua orang yang datang untuk
melaporkan tentang Ki Permita itu telah meninggalkan
ruangan, sementara pemimpin padepokan itu
memandanginya dengan tegang.
"Palot," berkata pemimpin padepokan itu. "apa yang
telah kau lakukan" Apa pula yang telah kau pamerkan."
Ki Permita berusaha untuk mengatur nalarnya. Karena
itu maka dengan nada datar ia berkata, "Aku tidak tahu apa
yang dikatakannya. Aku memang memaksa untuk
memasuki padepokan ini, sementara orang yang
mengantarkan aku kemari sama sekali tidak menaruh
keberatan apapun juga sehingga aku sekarang ada di sini."
Pemimpin padepokan itu mengangguk-angguk. Tetapi
katanya sama sekali tidak diduga oleh Ki Permita, "Palot.
Ternyata kau memang pantas untuk dijerat di kandang
harimau." "Kenapa?" bertanya Ki Permita.
Namun sementara itu beberapa orang yang lain agaknya
tidak sabar lagi menunggu pembicaraan itu. Orang
bertongkat itu kemudian berkata, "Aku sudah
mengorbankan padepokanku. Sekarang kau datang untuk
berkhianat pula" Apa yang kami dapatkan dari
Panembahan selain kehancuran. Tetapi kami berusaha
untuk menerimanya sebagai satu akibat dari perjuangan
kami. Tetapi jika kau datang untuk mengacaukan
kedudukan kami di sini, maka kau memang harus
disingkirkan. Tidak sekedar diusir pergi."
"Ya," desis kakak seperguruan pemimpin padepokan itu.
"karena itu maka apa boleh buat. Kita tidak memerlukan
seorang hamba yang setia, atau seorang budak penurut."
"Tunggu," berkata Ki Permita, "apa yang sudah aku
lakukan selain memaksa masuk ke padepokan ini untuk
mencari perlindungan?"
"Kemampuanmu itu membuat kami tidak tenang,"
berkata pemimpin padepokan itu. "karena itu, maka kau
tidak aku perlukan lagi. Tetapi kau pun tidak boleh
berkhianat jika kau pergi. Sayang. Kau tidak mempunyai
pilihan." Ki Permita menjadi tegang. Dengan ragu-ragu ia berkata
memelas, "Kasihani aku. Apa salahku" Aku datang dengan
maksud baik. Mohon perlindungan."
"Persetan," geram pemimpin padepokan itu. "mungkin
kau benar-benar mencari perlindungan. Tetapi sikapmu
kepada orang-orangku menunjukkan bahwa kau tidak lagi
dapat dipercaya. Kau bagiku bukan seorang budak yang
setia." "Aku sungguh tidak mengerti," berkata Ki Permita.
"Sudahlah Palot. Nasibmu memang buruk. Kau akan
mati di sini. Kau tidak mempunyai pilihan lain.
Kehadiranmu mencurigakan kami semua. Apalagi bahwa
kau tetah memaksa menembus pengawalan dengan
kekerasan. Kau telah menunjukkan kemampuan yang tidak
terduga-duga. Dengan demikian kami memperhitungkan
kemungkinan bahwa kau masih memiliki kemampuan yang
lebih tinggi lagi," berkata pemimpin padepokan itu.
"Seandainya aku mempunyai kemampuan, kenapa
kalian mencurigai aku" Bukankah kemampuanku dapat
kalian pergunakan menurut kepentingan kalian dan sesuai
dengan tingkat kemampuanku," berkata Palot.
"Tetapi bahwa kau tidak menunjukkan sikap tidak jujur
membuat kami curiga," berkata orang bertongkat itu. "kau
sengaja memberikan kesan bahwa kau adalah abdi yang
bodoh dan dungu serta tidak berilmu sama sekali. Namun
ternyata kau mampu memaksa empat orang pengawal
memberikan jalan kepadamu dan mereka menilai
kemampuanmu cukup tinggi. Nah, ketidak jujuranmu itu
telah menyeretmu dalam kesulitan."
"Sudahlah," berkata kakak seperguruan pemimpin
padepokan itu. "selesaikan saja orang itu. Ia tidak berarti.
Seandainya ia memang seorang abdi, maka apa gunanya ia
di sini" Apalagi bahwa ia tidak jujur dan berusaha
berkhianat." "Baiklah. Aku akan memperintahkan orang-orangku
untuk menyelesaikannya," berkata pemimpin padepokan
itu. "Kematiannya tidak akan membuat kita kehilangan,
siapapun orang ini sebenarnya dan kita tidak akan lagi
terancam bermacam-macam kemungkinan yang dapat
dilakukannya." Pemimpin padepokan itu pun kemudian memberi isyarat
kepada pengawal kepercayaannya. Katanya dengan nada
rendah, "Sayang, bahwa kita harus menyelesaikannya. Aku
kira orang ini memang tidak diperlukan lagi. Ia hanya akan
memperbanyak tanggungan saja di sini, sehingga sebaiknya
orang ini kita selesaikan saja."
"Tetapi, aku datang dengan maksud baik," desis Ki
Permita. "Mungkin. Tetapi nasibmulah yang tidak baik. Kau akan
mati sia-sia. Terimalah nasib ini, hamba yang setia. Karena
kesetiaanmu pula agaknya maka kau tidak berkeberatan jika
kau kami bunuh. Dengan setia kau harus menjalaninya
tanpa mengadakan perlawanan apapun."
Ternyata jawaban orang yang dikenalnya bernama Palot
itu telah mengejutkan mereka. Dengan tenang ia tiba-tiba
berkata, "Siapa yang akan mendapat tugas membunuh
aku?" Semua orang memandanginya dengan tegang.
Sementara itu tiba-tiba orang yang disebut Palot itu bangkit
berdiri. Sambil berjalan hilir mudik ia berkata tanpa
menghiraukan pandangan mata yang mengikutinya,
"Baiklah aku berterus terang. Kecurigaan kalian memang
beralasan. Ternyata kalian mempunyai ketajaman
penggraita, sehingga kalian tidak segera mempercayai aku.
Apalagi setelah aku memaksa melampaui keempat orang
pengawal kalian itu."
Pemimpin padepokan yang masih terheran-heran itu
bertanya hampir di luar sadarnya, "Sekarang kau mau
apa?" "Akulah yang bertanya," berkata orang yang dikenal
bernama Palot itu. "kalian mau apa" Akan membunuhku"
Siapakah di antara kalian yang akan melakukannya?"
"Setan," geram kakak seperguruan pemimpin padepokan
itu. "aku yang akan membunuhmu."
Palot itu tertawa. Suara tertawanya mempunyai kesan
yang berbeda sekali dengan sikapnya sebelumnya.
"Baiklah. Lakukanlah. Tetapi biarlah aku berbicara lebih
dahulu," berkata Palot.
"Apa yang akan kau katakan?" bertanya pemimpin
padepokan itu. "Aku akan berterus terang. Aku datang atas nama
Akuwu Lemah warah," berkata orang yang disebut Palot
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu. "Pengkhianat," geram orang bertongkat.
"Terserahlah kau sebut apa," berkata Ki Permita yang
dikenal dengan nama Palot, "tetapi dengarlah. Kalian
sudah tidak mempunyai kesempatan lagi. Akuwu Lemah
Warah tentu akan memburu ke mana kalian pergi.
Sekarang, padepokan ini telah diketahui letaknya oleh
Akuwu Lemah Warah. Seandainya bukan aku yang
menunjukkannya, maka banyak orang-orang kalian yang
tertangkap." "Tetapi kita sekarang tidak lagi berada di Pakuwon
Lemah Warah," berkata pemimpin padepokan itu.
"Tetapi masih berada di tlatah Kediri, atau barangkali
jika di luar Kediri juga masih di daerah Singasari," jawab
Palot. "padepokan ini memang berada di perbatasan antara
Pakuwon Lemah Warah dan Pakuwon Panitikan. Tetapi
justru karena itu maka kalian akan menjadi semakin sulit,
karena Pakuwon Panitikan juga akan mengerahkan
prajuritnya bersama prajurit Lemah Warah."
Tetapi pemimpin padepokan itu menggeram, "Jangan
menganggap kami anak-anak yang mudah sekali menjadi
ketakutan. Kami sudah menentukan sikap. Sudahlah,
jangan banyak bicara. Kau harus mati."
"Tunggu," berkata Palot, "masih ada pesan yang harus
aku sampaikan." "Persetan," geram para pemimpin yang ada di tempat
itu. "Dengarlah dahulu," berkata Palot, "pesannya
mengandung persahabatan."
Orang-orang yang ada di ruang itu menjadi tegang.
Saudara seperguruan pemimpin padepokan itu menjadi
tidak sabar. Dengan nada tinggi ia berkata, "Tidak ada
waktu lagi. Matilah dengan cara yang paling baik yang kau
kehendaki." Tetapi orang yang disebut Palot itu berkata, "Tunggu.
Dengarlah. Akuwu Lemah Warah menawarkan
kesempatan kepada kalian untuk menyerah. Jika kalian
bersedia menyerah, maka akan diadakan pembicaraan
dengan para pemimpin di Kediri agar kalian mendapat
pengampunan." "Gila," teriak pemimpin padepokan itu. "kau kira kami
sudah menjadi gila."
"Bukan. Justru karena Akuwu Lemah Warah
menganggap kalian masih tetap waras. Pertimbangkan.
Kalian tidak lagi mempunyai kesempatan. Padepokan
inipun akan dapat dihancurkan. Kalian tidak akan dapat
melarikan diri untuk kedua kalinya," berkata Ki Permita
yang disebut Palot itu. "Setan," teriak kakak seperguruan pemimpin padepokan
itu. "aku yang tidak terlibat dalam pertempuran itupun
hatiku menjadi panas. Apalagi mengingat janji
Panembahan yang tidak terpenuhi dengan alasan apapun
juga. Ternyata bahwa ilmunya tidak mampu melindungi
padepokan itu sebagaimana dijanjikannya. Karena itu,
maka kau harus mati. Sebut, cara yang paling terhormat
yang kau kehendaki."
"Ki Sanak," berkata Palot, "tenanglah sedikit.
Renungkan tawaran itu. Jika kau sudah membuat
pertimbangan-pertimbangan dengan nalar yang bening,
barulah mengambil keputusan. Sekarang kalian belum
sempat membuat pertimbangan itu, sehingga kalian dengan
serta merta telah menolak tawaran yang bersahabat itu."
"Tutup mulutmu," teriak kakak seperguruan pemimpin
padepokan itu. "sebut cara yang paling terhormat untuk
mati yang kau inginkan."
Ki Permita termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Apakah benar-benar tidak ada jalan lain?"
"Tidak," jawab kakak seperguruan pemimpin padepokan
itu. Palot menarik nafas dalam-dalam. Namun sementara itu
pemimpin padepokan itu pun berkata, "Biarlah anak-anak
membunuhnya. Mengikatnya pada tonggak kayu di
halaman padepokan. Biarlah ia menyebut cara yang paling
baik yang dikehendakinya."
"Tidak," jawab kakak seperguruan pemimpin padepokan
itu, "aku akan menyelesaikannya. Bukan orng lain. Biarlah
sekali-sekali aku membunuh kelinci yang deksura, yang
sombong dan tidak tahu diri."
"Jangan kotori tanganmu dengan darah hamba yang
setia dan dungu itu," berkata pemimpin padepokan itu.
"Mulutnya membuat darahku mendidih," berkata kakak
seperguruannya itu. "karena itu biarlah aku melakukannya
untuk mendapat kepuasan tersendiri. Di pertempuran
membunuh merupakan kebanggaan. Tetapi sikap orang itu
mendorong keinginanku untuk membunuhnya untuk
mendapatkan kepuasan."
Yang tidak disangka ternyata telah terjadi. Tiba-tiba saja
orang yang disebut Palot itu tertawa. Bahkan kemudian
dengan nada datar ia berkata, "Baiklah. Jika aku diberi
kesempatan memilih jalan kematian, aku memilih perang
tanding." Ruang itu telah dicengkam oleh ketegangan. Suara
tertawa Palot itu benar-benar telah mengguncang setiap
jantung. Mereka seakan-akan tidak percaya kepada
penglihatan dan pendengaran mereka masing-masing.
"He, kenapa kalian menjadi bingung. Marilah, siapa
yang akan membunuh aku dengan cara yang aku pilih?"
berkata Palot kemudian. Kakak seperguruan pemimpin padepokan itu
mengumpat. Dengan lantang iapun kemudian berkata,
"Aku akan membunuhnya. Aku tahu satu cara untuk
menggertak. Tetapi tidak ada gunanya. Aku akan tetap
membunuhnya seperti membunuh seekor kelinci."
"Marilah," berkata Palot, "kita akan mencoba."
"Siapkan arena di halaman. Bukan arena perang tanding.
Tetapi aku akan membantainya, agar ternyata bahwa aku
adalah orang yang melakukan apa yang aku katakan. Aku
akan membunuhnya sepengetahuannya, agar ia dapat
merasa bagaimana jalan kematiannya itu."
Tetapi Palot itu masih tertawa. Katanya, "Seperti yang
selalu aku dengar. Mengancam, menakut-nakuti dan segala
macam ceritera yang mengerikan. Tetapi aku sudah terbiasa
mendengarnya, dan karena itu aku sama sekali tidak
gentar." "Setan," kakak seperguruan pemimpin padepokan itu
hampir saja menerkamnya. Namun ia sudah
memerintahkan untuk menyiapkan arena, karena itu maka
ia pun segera berjalan meninggalkan ruangan itu ke
halaman sambil berkata, "Jika kau benar-benar jantan, aku
tunggu kau di luar. Aku akan menyayat tubuhmu dan
menghancurkan kepalamu sampai lumat."
"Tidak usah banyak berbicara," jawab Palot, "aku akan
memasuki arena sebagai seorang hamba yang setia.
Sekarang aku adalah abdi Sang Akuwu Lemah Warah yang
mengemban tugas untuk memaksa para pemimpin
padepokan ini menyerah atau membunuh mereka. Sebagai
hamba yang setia, maka aku harus melakukannya."
Darah kakak seperguruan pemimpin padepokan itu
bagaikan mendidih karenanya. Karena itu, maka dengan
tergesa-gesa iapun telah turun ke halaman dan memasuki
arena sambil berteriak, "Marilah. Semua orang di sekitar
arena ini akan menjadi saksi."
Ki Permita yang disebut Palot itu pun telah melangkah
keluar ruangan itu menuju ke halaman. Namun beberapa
orang pengawal mengamatinya agar orang itu tidak
melarikan diri. Tanpa ragu-ragu Palot pun kemudian turun pula ke
halaman. Dipandanginya orang-orang yang ada di
sekelilingnya. Dengan suara mantap ia berkata, "Nah,
kalian memang akan menjadi saksi kematian salah seorang
pemimpin kalian dalam perang tanding ini. Jangan tangisi
kepergiannya karena kesombongannya."
Beberapa orang yang ada di sekitar arena itu menjadi
heran melihat sikap orang yang disebut Palot itu. Seorang
yang berjambang lebat berkata, "Apa orang itu telah
menjadi gila karena ketakutan?"
Namun dalam pada itu, seorang yang termasuk orang
berilmu di antara pengikut kakak seperguruan pemimpin
padepokan itu berkata, "Ada dua kemungkinan. Ia menjadi
gila, atau orang itu memang memiliki ilmu."
Tetapi orang berjambang itu menyahut, "Orang itu tidak
lebih dari seorang hamba yang setia dan patuh. Ia tidak
pernah berbuat sesuatu selain atas nama tuannya yang
ternyata tidak mampu melawan orang-orng Kediri itu."
"Kita akan melihat apa yang terjadi," berkata lawannya
berbicara itu. Arena itu pun kemudian menjadi tegang. Kakak
seperguruan pemimpin padepokan itu pun kemudian
berkata lantang, "Lihatlah. Bagaimana aku membungkam
mulut orang gila itu. Ketakutan itu telah sampai ke puncak
sehingga ia telah kehilangan akalnya."
Orang berjambang itu telah menggamit kawannya
berbicara sambil berdesis, "Nah, bukankah dugaanku
benar." Yang digamit menjawab, "Bukan benar. Tetapi
dugaanmu sama dengan dugaan pemimpin kita itu."
Orang berjambang itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian iapun menjawab, "Ya. Memang sama."
Namun perhatian rnereka pun kemudian telah tertuju ke
arena itu sepenuhnya. Kedua orang yang berada di arena
itu sudah siap. Sementara itu, para pemimpin padepokan
itu yang berilmu tinggi menjadi berdebar-debar, karena
mereka melihat orang yang disebut bernama Palot itu pun
telah menunjukkan sikap yang meyakinkan.
"Palot," berkata kakak seperguruan pemimpin
padepokan itu. "kau masih mempunyai kesempatan untuk
menyebut nama ayah ibumu sebelum kau mati. Atau
mungkin kau mempunyai pesan terakhir yang perlu kau
katakan?" "Memang mungkin ada yang ingin aku katakan,"
berkata orang yang disebut Palot itu.
"Apa?" bertanya lawannya.
"Sebuah pertanyaan," jawab Palot.
"Sebut," lawannya menjadi geram.
"Di mana kau ingin dikubur setelah kau mati dalam
perang tanding ini?" bertanya Palot.
"Gila," orang itu berteriak sambil meloncat menyerang.
Ia tidak lagi mampu menahan hatinya karena kesombongan
sikap lawannya. Tetapi Palot telah bersiap menghadapi kemungkinan itu.
Karena itu, maka ia pun dengan tangkasnya telah meloncat
menghindari serangan itu.
Sambil tertawa ia berkata, "Inikah kemampuan seorang
pemimpin tertinggi yang di padepokan ini?"
Orang itu mengumpat. Namun ia berkata, "Apakah kau
menganggap bahwa yang aku lakukan adalah puncak dari
kemampuanku." "Tidak. Tentu tidak," jawab Palot, "baru pada tataran
pertama. Aku masih menunggu tingkat-tingkat berikutnya.
Baru jika kau sudah sampai ke puncak maka aku akan
membalas." Sangat menyakitkan hati. Tetapi justru karena itu, maka
lawannya itu pun berusaha menahan diri sambil berkata,
"Jangan kau kira aku tidak mengetahui caramu yang licik
itu. Kau sengaja membuat aku marah. Dengan demikian
maka sebagian kemenangan telah tergenggam di
tanganmu." "Jadi kau tidak marah?" bertanya Palot.
"Aku memang marah. Tetapi bukan marahnya anakanak,"
jawab kakak seperguruan pemimpin padepokan itu.
Palot mengangguk-angguk. Kemudian katanya, "Nah.
Jika demikian maka barulah aku mendapat lawan yang
sebenarnya." "Kau terlalau sombong. Tetapi aku tahu. Kau ingin
menolong dirimu sendiri dengan sikapmu. Jika kau berhasil
membuat aku marah dan tidak terkendali, maka kau
mengharap untuk dapat berbuat licik," berkata lawannya.
Tiba-tiba saja Palot tertawa. Katanya, "Kau menyadari
keadaan. Jika demikian tidak ada gunanya aku membuat
marah. Sekarang aku harus menghadapimu dalam arena,
benar-benar bertempur beradu ilmu."
Lawannya termangu-mangu sejenak. Tetapi ia melihat
sikap yang mantap pada Palot. Sangat berbeda dengan
sikap seorang hamba yang setia, patuh dan dungu.
Karena itu, maka lawannya itu pun menjadi semakin
berhati-hati. Agaknya Palot memang bukan sekedar dapat
membuatnya marah. Tetapi ia benar-benar memiliki
kemampuan untuk mempertahankan diri. Yang perlu
dijajaginya, seberapa tingkat kemampuan itu.
Sejenak kemudian, maka kakak seperguruan pemimpin
padepokan itu mulai menyerang. Meskipun ia menjadi lebih
berhati-hati, namun ia tetap merasa sebagai orang yang
memiliki ilmu tertinggi. Pemimpin padepokan itu adalah
adik seperguruannya yang ilmunya lebih muda
daripadanya. Tetapi orang itu ingin membunuh lawannya dengan
tangannya. Tidak dengan meminjam tangan atau mulut
binatang buas yang manapun juga, yang dapat
dipengaruhinya dengan ilmu gendam.
Demikianlah, maka pertempuran pun semakin lama
menjadi semakin meningkat. Kakak seperguruan pemimpin
padepokan itu mulai menjadi heran bahwa lawannya,
hamba yang setia dan dungu itu masih juga mampu
mengimbangi ilmunya. Sebenarnyalah bahwa Ki Permita justru sekedar
mengikuti tingkat kemampuan lawannya yang semakin
meningkat, ia tidak dengan serta merta mempergunakan
puncak kemampuannya. Jika ia melakukannya, maka
lawannya yang tidak menduga, akan dengan cepat
diselesaikan. Tetapi Ki Permita tidak berbuat demikian.
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jika ia berbuat dengan serta merta maka ia akan
dianggap sebagai seorang yang licik meskipun lawannyalah
yang sebenarnya telah merendahkannya.
Namun dengan demikian, lawannya, seorang yang
memang berilmu tinggi mulai menyadari kesalahannya.
Terpengaruh oleh sikap adik seperguruannya serta orang
bertongkat dari perguruan Suriantal yang menganggap
bahwa orang yang disebut Palot itu tidak lebih dari seorang
hamba yang setia, patuh tetapi dungu, sehingga ia
menganggap bahwa dengan sekedar kemampuan wajarnya
ia akan dapat membantai orang itu.
Tetapi ternyata bahwa setelah ia mulai merambah pada
tenaga cadangannya, orang itu masih juga tidak mengalami
kesulitan. Karena itu, maka kakak seperguruan pemimpin
padepokan itupun berkata, "Semakin lama aku semakin
menyadari kenyataan. Kau tidak hanya mampu memancing
kemarahan agar kau dapat berbuat licik. Tetapi kau
agaknya memang memiliki kemampuan yang tinggi
sehingga kau benar-benar merasa berani menghadapi aku.
Bukan sekedar didorong oleh sikap putus asa dan tanpa
harapan lagi, sehingga tingkah lakumu menjadi aneh."
"Sudah aku katakan sejak semula," berkata orang yang
disebut Palot itu. "bahwa kaulah yang akan dikubur setelah
perang tanding ini selesai."
"Baik. Aku sudah bersiap sekarang. Aku tidak akan
menganggap kau sebagai seorang hamba yang dungu.
Tetapi agaknya kau memang seorang yang pantas untuk
turun ke dalam arena perang tanding. Namun sayang,
bahwa pada kesempatan ini kau bertemu dengan aku,"
berkata kakak seperguruan pemimpin padepokan itu.
Tetapi orang yang disebut Palot itu tertawa. Katanya,
"Siapapun yang kau hadapi, bukan soal. Tetapi sekali lagi
aku menawarkan kepada kalian untuk menyerah. Dengan
demikian maka Akuwu Lemah Warah atas persetujuan
orang-orang Kediri akan dapat membuat pertimbanganpertimbangan
lain tentang kalian."
"Tutup mulutmu," geram kakak seperguruan pemimpin
padepokan itu. Palot masih akan menjawab lagi. Tetapi lawannya telah
mulai bergeser. Orang yang disebut Palot itu tidak lagi dapat sekedar
melayani lawannya. Ia sadar bahwa lawannya tentu mulai
mempergunakan kemampuannya dan ilmunya untuk
mengalahkannya. Sebenarnyalah bahwa ketika kakak seperguruan
pemimpin padepokan itu mulai menyerang, maka segalagalanya
telah berbeda. Angin yang menyambarnya ketika ia
mengelak terasa menampar tubuhnya. Demikian kerasnya,
sehingga kulitnya merasa pedih.
Palot menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar sepenuhnya,
jika anginnya cukup membuat kulitnya pedih, apalagi jika
ia tersentuh langsung oleh serangan itu.
Karena itu, maka Ki Permita yang disebut Palot itu pun
telah meningkatkan daya tahannya. Pertempuran yang akan
terjadi kemudian adalah pertempuran antara dua orang
yang berilmu tinggi. Bukan hanya Ki Permita yang disebut
Palot itu sajalah yang menyadari akan hal itu, tetapi
lawannya pun menyadarinya pula.
Ketika lawannya meloncat menyerangnya lagi, maka
Palot telah bergeser pula. Sekali lagi terasa angin menerpa
kulitnya. Namun Palot tidak membiarkan dirinya menjadi
sasaran. Demikian serangan lawannya meluncur sejengkal
dari kulitnya, maka Palot lah yang kemudian mengangkat
kakinya. Tubuhnya-pun menjadi semakin condong
sementara kakinya terayun lurus menyamping.
Lawannyalah yang kemudian meloncat menghindari
serangannya. Namun ternyata bahwa jantungnya pun telah
berdesir. Orang yang dikatakan hamba yang setia dan
dungu itu ternyata seorang yang memiliki ilmu yang sangat
tinggi. Meskipun kakinya tidak mengenai sasaran, tetapi
udara panas bagaikan berhembus menyertai ayunan kaki
itu. Dengan demikian maka ternyata bahwa hamba yang
setia itu mampu mengimbangi kemampuan lawannya, yang
mampu menampar tubuh lawannya dengan sambaran angin
oleh dorongan serangannya, sementara hamba yang setia
itu mampu menghembuskan udara panas.
Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu pun
menjadi berdebar-debar. Bahkan pemimpin padepokan itu
dan orang bertongkat dari perguruan Suriantal menjadi
berdebar-debar. Mereka tidak saja menyaksikan
pertempuran itu, tetapi mereka merasa betapa tajamnya
angin menyambar kulit mereka dan sentuhan udara panas
yang menyengat. Dengan demikian mereka dapat menduga, seberapa
tingkat kemampuan kedua orang yang bertempur itu.
Serangan demi serangan datang dan bahkan kadangkadang
saling menyusul. Namun keduanya memiliki
kemampuan yang luar biasa sehingga serangan-serangan itu
sama sekali tidak mengenai sasaran.
Meskipun demikian perasaan sakit pun telah menggigit
kulit oleh sambaran angin dan udara panas.
Namun ketahanan tubuh mereka yang tinggi, ternyata
telah mampu mengatasi perasaan sakit itu. Sementara itu
mereka yang bertempur itupun telah semakin meningkatkan
ilmu mereka sehingga pertempuran pun semakin lama
menjadi semakin seru. Tidak seorang pun yang dapat menduga, siapakah di
antara mereka yang akan memenangkan pertempuran itu.
Kakak seperguruan pemimpin padepokan itu memang
memiliki tataran ilmu yang lebih tinggi dan masak dari
pemimpin padepokan itu sendiri, sehingga dengan demikian
maka ia adalah orang yang jangat berbahaya bagi lawanlawannya
jika terlibat dalam pertempuran.
Namun ternyata bahwa lawannya, hamba yang setia dan
dungu itu memiliki tingkat ilmu yang mampu
mengimbanginya, sehingga dengan demikian pertempuran
pun menjadi betapa sengitnya.
Serangan dibalas dengan serangan. Namun keduanya
memiliki kecepatan gerak untuk saling menghindari.
Sehingga untuk beberapa lamanya, pertempuran itu
berlangsung tanpa dapat diduga apa yang akan terjadi.
Namun, karena tata gerak mereka menjadi semakin
cepat dan semakin kuat, maka mereka pun kemudian tidak
selalu sempat menghindarkan diri dari serangan demi
serangan. Namun mereka tidak ingin membiarkan tubuh
mereka dikenai oleh serangan lawannya.
Karena itu, maka ketika lawan Palet itu meloncat
menyerang dengan kecepatan yang tidak terduga,
sementara Palot masih baru meletakkan kakinya setelah
menghindari serangan sebelumnya, maka Palot itu tidak
sempat lagi menghindar. Ia sadar, bahwa serangan kakak seperguruan pemimpin
padepokan itu demikian dahsyatnya, jika benar-benar
mengenai lambungnya, maka tulang-tulang iganya akan
berpatahan. Karena itu, maka yang dapat dilakukannya adalah
melindungi lambungnya dari ujung serangan lawannya.
Demikianlah ketika telapak kaki lawannya itu meluncur ke
arah lambung, maka Palot telah merendahkan dirinya.
Dengan sikunya ia melindungi lambungnya itu. Namun ia
tidak sekedar bertahan. Dengan segenap kekuatan yang
sempat terhimpun ia pun mendorong serangan lawannya
pula Demikianlah telah terjadi benturan yang dahsyat sekali.
Sentuhan kaki kakak seperguruan pemimpin padepokan itu
terasa bagaikan menyayat lengan Ki Permita yang dikenal
bernama Palot itu. Sementara itu kekuatan yang sangat
besar telah mendorongnya sehingga Palot itu terlempar
beberapa langkah. Tubuhnya bagaikan terbanting. Beberapa
kali ia berguling. Baru kemudian sambil menyeringai ia
berusaha untuk bangkit. Namun Palot terpaksa berdiri pada sebelah lututnya,
sementara ia berusaha mengatur pernafasannya yang
menjadi terengah-engah. Bahkan rasa-rasanya lehernya
telah tersumbat oleh hentakan yang menyesak di dadanya.
Perlahan-lahan Palot berhasil menembus sesak nafasnya,
sehingga pernafasannya itu pun menjadi semakin teratur.
Darahnya yang bergejolak oleh degup jantungnya yang
melonjak-lonjak, dapat dikuasainya pula. Sementara Palot
berusaha untuk meningkatkan daya tahannya dengan alas
ilmunya yang mapan. Palot memang tidak tergesa-gesa. Ia sempat
melakukannya karena ia melihat keadaan lawannya yang
tidak lebih baik dari dirinya.
Kakak seperguruan pemimpin padepokan itu ternyata
telah terpental pula beberapa langkah. Kakinya yang
mengenai siku Palot yang melindungi lambungnya,
bagaikan menghantam besi yang membara. Betapa keras
dan panasnya, sehingga ia justru terpental oleh kekuatannya
sendiri beberapa langkah. Kecuali panas yang membakar
kakinya, tulang-tulang kakinya terasa bagaikan berpatahan.
Bahkan panas itu rasa-rasanya bagaikan merambat sampai
ke seluruh tubuhnya. Untuk beberapa saat lamanya kakak seperguruan
pemimpin padepokan itu terbaring diam. Dengan segenap
sisa kemampuannya, ia berusaha memperbaiki keadaannya.
Ditingkatkannya daya tahan tubuhnya, sehingga perasaan
sakitnya mulai berkurang.
Perlahan-lahan orang itu pun mulai bangkit. Ia menduga,
bahwa lawannya, hamba yang dungu yang bernama Palot
itu telah berhasil dibinasakan meskipun keadaannya sendiri
terasa sakit hampir di seluruh tubuhnya.
Namun ketika ia berhasil bangkit dan duduk sambil
menahan sakit, alangkah terkejutnya ketika ia melihat orang
yang disebut Palot itu sudah bangkit dan bahkan sedang
mencoba untuk berdiri tegak.
"Setan," geram kakak seperguruan pemimpin padepokan
itu. "Jadi kau belum mati?"
Palot justru mencoba tersenyum. Ketika ia sudah mampu
berdiri tegak, maka iapun telah bertolak pinggang sambil
berkata, "Marilah. Bangkitlah. Aku sudah menunggu."
Kakak seperguruan pemimpin padepokan itu
menggeretakkan giginya. Ia pun kemudian berusaha untuk
berdiri tegak meskipun tulang-tulangnya bagaikan
gemeretak. "Bagaimana Ki Sanak," suara Palot masih tetap
terdengar lantang. "Persetan," geram lawannya, "seharusnya kau sudah
mati." "Tetapi aku belum mati," berkata Palot, "karena bukan
akulah yang akan mati."
"Persetan. Persetan," lawannya itu berteriak, "kau harus
mati. Kau kira bahwa aku benar-benar sudah sampai pada
puncak kemampuanku."
"Tidak," jawab Palot, "aku tahu bahwa kau belum
sampai ke puncak ilmumu. Seharusnya kau sadar, bahwa
kau terlalu merendahkan aku. Kau menganggap bahwa
seorang hamba yang setia itu tentu dungu dan tidak berilmu
sama sekali. Ternyata bahwa dungaanmu itu salah Ki
Sanak. Meskipun aku hamba yang setia, tetapi aku bukan
orang yang dungu dan sama sekali tidak berilmu."
"Kau terlalu sombong. Sampai saat ini aku masih belum
menunjukkan kemampuanku yang sebenarnya. Tetapi
dalam keadaan seperti ini, maka kau akan mengalami nasib
yang paling buruk. Sebenarnya aku ingin membunuhmu
dalam keadaan wajar. Tetapi ternyata aku terpaksa
menghancurkan tubuhmu berkeping-keping. Aku tidak
mempunyai pilihan lain," geram orang itu.
Palot memandang orang itu dengan tajamnya. Namun
ia-pun sadar, bahwa orang itu tidak hanya sekedar
membual. Orang itu tentu memiliki kemampuan
melampaui pemimpin padepokan itu. Dengan demikian
maka banyak kemungkinan dapat terjadi. Salah satu ilmu
yang pantas diperhitungkan adalah ilmu penglimunannya.
Dengan ilmu itu, maka Palot tentu akan mengalami
kesulitan untuk melawannya.
Menurut perhitungan Ki Permita, sebagaimana
pemimpin padepokan itu, maka kakak seperguruannya pun
tentu memiliki ilmu yang sama. Jika Pemimpin padepokan
itu, yang pernah tinggal bersama Palot masih belum mampu
menyempurnakan ilmunya, maka kakak seperguruannya
agaknya akan berbeda. Karena itu, maka Palot pun telah mengetrapkan
kemampuan tertinggi dari daya tahannya. Ia akan
mendapat serangan yang memiliki kekuatan yang luar
biasa. Bukan sekedar kekuatan wadag sewajarnya. Tetapi
kekuatan ilmu yang dahsyat.
Untuk beberapa saat kedua orang itu masih saling
berdiam diri. Mereka tengah memusatkan segenap nalar
budi untuk memulihkan kekuatan dan kemampuan masingmasing.
Kemudian meningkatkannya sampai kepuncak.
Sejenak kemudian, maka kakak seperguruan pemimpin
padepokan itu pun mulai bergerak. Namun iapun kemudian
memandang berkeliling. Kepada orang-orang yang ada
disekitarnya dan menyaksikan perang tanding itu, ia
berkata, "Minggirlah. Jika kalian ikut terkena seranganku
bukan salahku." Orang-orang yang menyaksikan perang tanding itu pun
dengan serta merta telah menebar. Mereka tidak hanya
mundur ampat lima langkah. Tetapi mereka telah bergeser
sejauh-jauhnya dari arena. Namun mereka masih tetap
ingin melihat apa yang akan terjadi. Karena itu, ada di
antara mereka yang berdiri di belakang sebatang pohon
yang setiap saat akan dapat dijadikannya tempat untuk
berlindung. Karena itu, maka halaman padepokan itu pun kemudian
menjadi semakin lapang. Dengan demikian maka arena
pertempuran itupun tidak lagi terganggu oleh orang-orang
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang menyaksikan. Kedua orang yang berperang tanding itu
mendapat kesempatan dengan leluasa untuk mengerahkan
segenap ilmunya. Sejenak kemudian kedua orang itu agaknya telah bersiap
sepenuhnya. Ketika kakak seperguruan dari padepokan itu
bergeser, maka Palot pun telah bergeser pula.
Dalam pada itu, maka tiba-tiba saja kakak seperguruan
pemimpin padepokan itu telah menghentakkan tangannya
ke arah Palot yang telah bersiaga sepenuhnya pula.
Secercah sinar tiba-tiba telah menyambarnya. Sinar yang
meloncat dari telapak tangan orang itu.
Palot melihat sinar yang menyambar itu. Karena itu,
maka dengan serta merta, maka ia pun telah meloncat
menghindar, sehingga sinar itu meluncur sejengkal dari
tubuhnya. Namun akibatnya memang mendebarkan. Sinar yang
memancar itu yang tidak mengenai sasarannya ternyata
telah menyambar gerumbul-gerumbul perdu. Sinar yang
memancar itu seakan-akan merupakan senjata yang luar
biasa. Dedaunan dan ranting-ranting yang disambar
menurut garis lurus telah dihancurkannya, melampaui
meluncurnya sebatang tombak yang dilontarkan dengan
kekuatan yang sangat besar.
Jantung orang-orang yang menyaksikan dari jarak yang
agak jauh itu pun menjadi berdebar-debar. Jika serangan itu
mengenai sasarannya, maka tubuh yang ditembus oleh
kekuatan ilmu itu tentu akan hancur dan tulangnya pun
akan berpatahan. Palot sendiri memang menjadi berdebar-debar. Meskipun
ia tidak dikenai oleh serangan itu, namun sambaran
anginnya telah menyakitinya sebagaimana serangan
wadagnya. Namun Palot tidak sempat memperhatikan akibat
serangan itu untuk selanjutnya, karena tiba-tiba saja
lawannya telah melakukan gerakan yang sama pula.
Palot harus meloncat pula menghindar. Namun serangan
berikutnya ternyata telah menyusulnya, sehingga Palot yang
dalam kesulitan tidak dapat berbuat lain kecuali
menjatuhkan dirinya sambil berguling.
Serangan lawannya itu meluncur di atas tubuhnya yang
berguling, hampir saja menyambar pundaknya.
Namun Palot tidak membiarkan lawannya
menyerangnya terus menerus. Sambil berguling, maka
iapun telah mengacukan tangannya pula. Hanya sebelah.
Tetapi ternyata dari tangannya bagaikan meluncur
segumpal api yang menyambar ke arah lawannya.
Kakak seperguruan pemimpin padepokan itu terkejut. Ia
tidak mengira bahwa Palot mampu menyerangnya dalam
keadaan yang sulit itu. Karena itu, maka ia tidak dapat
menyusul serangannya dengan serangan berikutnya, karena
ia harus menghindari sambaran gumpalan api yang
meluncur dengan cepatnya.
"Gila," geram lawannya.
Sebenarnyalah gumpalan api yang dilontarkannya sambil
berguling itu bagaikan terbang karena tidak mengenai
sasarannya. Namun gumpalan api itu telah menyambar
sebatang pohon gayam. Akibatnya memang membuat kulit meremang. Daun
pohon gayam yang tersambar gumpalan api itu bagaikan
didera oleh api yang panasnya melampaui bara besi baja.
Terbakar dan menjadi abu.
Sekali lagi lawannya mengumpat. Ternyata Palot benarbenar
seorang yang memiliki ilmu yang luar biasa, yang
tidak disangka sebelumnya. Meskipun lawannya itu
menyadari bahwa Palot memiliki ilmu yang tinggi, tetapi
ternyata kenyataan yang dihadapinya jauh lebih berbahaya
dari yang diperkirakannya sebelumnya.
Demikianlah maka pertempuran itu pun menjadi
semakin sengit. Keduanya tidak berusaha untuk saling
mendekat dan mengenai lawanya dengan wadagnya.
Keduanya telah saling menyerang dari jarak tertentu
dengan mempergunakan ilmu mereka masing-masing yang
berimbang. Masing-masing mempunyai kelebihannya,
sehingga tidak seorangpun yang dapat memperhitungkan,
siapakah yang akan menang dan siapa yang akan kalah.
Pemimpin padepokan itu serta pemimpin perguruan
Suriantal yang ada dipadepokan itu pula, hanya dapat
menahan nafas mereka, ketika mereka melihat pertempuran
dari dua raksasa ilmu yang nggegirisi.
Apalagi para pengikut mereka, rasa-rasanya mereka
melihat pertempuran itu bagaikan mimpi. Rasanya-rasanya
apa yang terjadi itu di luar jangkauan nalar mereka.
Para pengikut kakak seperguruan pemimpin padepokan
itu yang yakin akan kemampuan pimpinan mereka,
ternyata merasa heran dan kagum melihat pemimpin
mereka sampai ke puncak ilmunya. Mereka belum pernah
menyaksikan pertempuran dalam benturan ilmu sedahsyat
itu. Kekuatan yang terlontar dari diri masing-masing oleh
dorongan ilmu yang sangat tinggi, membuat udara di
padepokan itu penuh dengan sambaran-sambaran maut.
Karena itulah maka orang-orang yang menyaksikan
pertempuran itu semakin lama menjadi semakin memencar.
Bahkan sebagian besar dari mereka pun kemudian mencari
tempat untuk dapat berlindung pada saat-saat yang gawat,
karena serangan yang tidak mengenai sasaran.
Sementara itu, sambaran-sambaran ilmu dari kedua
orang yang sedang bertempur itu telah mematahkan dan
membakar ranting dan cabang-cabang pepohonan. Suara
retaknya cabang-cabang yang dibarengi dengan gumpalangumpalan
api yang membakar reruntuhan gerumbul
dedaunan merupakan peristiwa yang sangat mendebarkan
jantung. Dalam pada itu, pemimpin padepokan itu menjadi
semakin berdebar-debar melihat api yang menyambarnyambar.
Sedangkan kakak seperguruannya tidak segera
mampu menguasai hamba yang setia dari seorang yang
disebutnya Panembahan. Tetapi pemimpin padepokan itu masih mempunyai
harapan. Ia tahu bahwa saudara seperguruannya itu juga
memiliki ilmu Panglimunan yang cukup mapan, sehingga
jika ilmu itu diuapkan, maka ia tentu akan dapat membuat
lawannya menjadi bingung.
Namun kakak seperguruannya masih belum
mempergunakannya. Ia masih berusaha menghancurkan
lawannya dengan kemampuannya yang lain. Serangan yang
meluncur bagaikan lembing yang dilontarkan dengan
kekuatan yang tiada taranya.
Meskipun serangan itu tidak tertangkap oleh mata
wadag. Namun akibatnyalah yang dapat dilihat. Ranting
dan cabang pepohonan yang terkena serangan itu telah
berderak patah dan jatuh ke tanah.
Semakin lama pertempuran itu menjadi semakin dahsyat
dan semakin sulit untuk diikuti.
Kakak seperguruan pemimpin padepokan itu dan Ki
Permita yang disebut Palot itupun telah mengerahkan
segenap kemampuan pada jenis ilmunya itu. Namun
ternyata keduanya masih belum mampu mengalahkan
lawannya. Karena itulah maka kakak seperguruan pemimpin
padepokan itu telah mempertimbangkan untuk
mempergunakan ilmunya yang terakhir. Puncak
kemampuannya yang jarang dipergunakannya, kecuali pada
saat dan keadaan yang tidak teratasi.
Sementara itu, ia masih belum menemukan cara yang
dapat dipergunakan untuk mengalahkan lawannya.
Sehingga karena itu, maka ilmu pamungkasnya itulah satusatunya
kemungkinan yang paling baik dipergunakannya.
Palot yang mampu mengimbangi iimu lawannya itu
melihat perubahan sikap pada lawannya itu. Karena itu.
maka ia pun harus menyiapkan diri menghadapi segala
kemungkinan, karena ia memang menduga bahwa
lawannya itu menguasai ilmu panglimunan yang dapat
dipergunakan setiap saat.
Karena itu, maka Ki Permita pun harus menyiapkan
ilmunya yang mungkin akan dapat dipergunakannya untuk
melawan ilmu itu, karena ia sendiri tidak menguasai Aji
Panglimunan. Namun Ki Permita pernah mendengar serba sedikit
tentang ciri-ciri dari Aji Panglimunan itu. Karena itu, maka
ia harus melawan kemampuan ilmu itu dengan ilmu yang
dikuasainya. Sebenarnyalah maka kakak seperguruan pemimpin
padepokan itu sudah bersiap memasuki dunia panglimunan.
Karena itu, maka ia berusaha untuk menghentakkan
lawannya untuk mendapat kesempatan mengetrapkan
ilmunya. Palot yang tanggap akan rencana lawannya, telah
mengatur diri pula. Ketika lawannya menyerangnya dengan
kemampuan tertinggi dari ilmu yang dipergunakannya itu,
Palot telah melenting menghindarinya dengan loncatan
yang jauh. Demikianlah, maka tiba-tiba saja lawannya telah
bergeser surut. Dalam kesiagaan tertinggi untuk
menghadapi serangan, Palot dengan gumpalan apinya,
maka bayangan orang itu semakin lama menjadi semakin
kabur, sehingga akhirnya kakak seperguruan pemimpin
padepokan itu telah hilang dan tangkapan mata wadag.
Namun adalah di luar dugaan, bahwa pada saat itu tibatiba
saja kabut yang tebal bagaikan turun menyelimuti
halaman padepokan itu. Demikian cepat sehingga tiba-tiba
saja halaman itu telah menjadi gelap.
Demikianlah, maka dua orang yang sedang bertempur
itu memang telah hilang. Kakak seperguruan pemimpin
padepokan itu telah mempergunakan ilmu pamungkasnya,
sementara Ki Permita yang dikenal dengan nama Palot itu
telah menyelubungi dirinya dengan kabut tidak hanya di
sekitar tubuhnya saja, tetapi hampir di seluruh halaman
padepokan. "Gila," tiba-tiba terdengar umpatan kasar, "kenapa kau
bersembunyi di balik kabutmu."
"Aku mempunyai Aji Panglimunan yang sah dapat aku
pergunakan dalam perang tanding," jawab kakak
seperguruan pemimpin padepokan itu.
"Kau kira ilmuku tidak sah dipergunakan?" bertanya
Palot. Sejenak kemudian sekali lagi terdengar umpatan kasar.
Namun meskipun lawan Palot itu berada di dunia
panglimunan, namun ia tidak segera dapat menemukan
Palot yang terselubung kabut tebal.
Demikianlah terjadi pertempuran antara dua orang
lawan yang tidak saling melihat. Kakak seperguruan dari
pemimpin padepokan itu telah mempergunakan Aji
Panglimunan yang sudah dalam tataran yang cukup tinggi,
sehingga ia benar-benar berhasil untuk tidak dapat dilihat
oleh mata wadag orang lain betapapun tajamnya. Namun
ternyata bahwa lawannya yang dikenalnya bernama Palot
telah berhasil menyelubungi dirinya dengan kabut yang
tebal, sehingga dalam dunia panglimunan kakak
seperguruan pemimpin padepokan itu tidak juga berhasil
melihat, di mana Palot itu berada.
Namun dengan sekedar menduga-duga, maka kakak
seperguruan pemimpin padepokan itu telah meluncurkan
serangannya, menembus pusat dari Kabut yang gelap itu.
Namun serangan itu meluncur tanpa mengenai sasarannya.
Karena ternyata Palot tidak berada di pusat kabut yang
meliputi seluruh padepokan itu.
Namun orang yang tidak nampak itu berkali-kali
melontarkan serangan ke beberapa arah. Ia berharap bahwa
pada satu saat, serangannya itu akan mengenai sasarannya.
Tetapi ternyata bahwa serangannya tidak pernah
menyentuh orang yang disebut Palot itu.
Karena itu, maka kakak seperguruan pemimpin
padepokan itu telah bertekad untuk menemukan lawannya.
Dengan tanpa ujud menurut penglihatan wadag, maka
kakak seperguruan pemimpin padepokan itu telah
memasuki daerah kabut yang gelap. Tetapi orang itu merasa
seolah-olah ia telah berada di dalam sebuah goa yang gelap
yang tidak dapat ditembus oleh ketajaman pandangan
matanya. Namun tiba-tiba saja orang itu terkejut ketika ia
mendengar suara bergulung-gulung, "Nah, marilah. Kenapa
kau berhenti menyerang" Jika kau dapat menembus setiap
titik pada kabutku, maka kau baru akan dapat mengenai
aku." Orang yang menyusup di antara kabut dengan tidak
menampakkan ujudnya itu menggeram. Dengan nada berat
ia berkata, "Setan licik. Kemanapun kau bersembunyi. Aku
akan menemukannya." Namun belum lagi getar kata-katanya hilang dari udara
berkabut itu, tiba-tiba terdengar sebuah gumpalan api
bagaikan bergaung tidak lebih sejengkal dari tubuhnya.
Saudara tua seperguruan pemimpin padepokan itu
terkejut bukan kepalang. Meskipun dalam dunia
panglimunan, namun serangan ilmu orang yang dikenalnya
bernama Palot itu akan dapat menghancurkannya apabila
tepat mengenai tubuhnya. Sebab tubuhnya masih tetap
sebagaimana wadagnya sewajarnya. Hanya karena
pengaruh Aji Panglimunan wadagnya itu tidak nampak
oleh penglihatan wajar orang lain.
Karena itu maka saudara seperguruan pemimpin
padepokan itu harus lebih berhati-hati menghadapi lawan
yang seorang ini. Jika lawan-lawannya yang berilmu tinggi,
namun pernah dihancurkannya dengan ilmu
panglimunannya, ternyata ia tidak segera dapat
melakukannya atas Palot. Pada saat ia hilang dari pandangan Palot, maka Palot itu
pun hilang pula dari pandangan matanya.
Sejenak kemudian, maka kakak seperguruan pemimpin
padepokan itu telah mengulangi serangan-serangannya ke
segala arah. Tanpa tahu pasti di mana sasaran yang
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ditujunya, ia asal saja melepaskan serangan. Namun Palot
pun ternyata telah berbuat serupa. Gumpalan apinya pun
berterbangan mencari sasaran yang tidak dilihatnya.
Beberapa saat terjadi lontaran-lontaran ilmu tanpa arah.
Keduanya berusaha memperhatikan sumber dari serangan
lawannya. Tetapi hal itu telah diperhitungkan pula,
sehingga setiap pihak yang melepaskan serangannya, segera
meloncat dari tempatnya karena serangan lawannya dengan
cepat akan menyambar tempat itu.
Orang-orang yang berada di sekeliling halaman
padepokan itu menjadi bingung. Mereka tidak melihat
apapun juga. Mereka yang pernah berada di padepokan
Suriantal segera mengenali ilmu yang dilontarkan oleh
Palot. Ilmu yang pernah dilepaskan pula oleh orang yang
disebutnya Panembahan. Bahkan dengan ilmu itu
Panembahan pernah menyelamatkan padepokan Suriantal
dari kehancuran karena serangan para prajurit Lemah
Warah. Namun pada serangan yang kedua, pasukan Lemah
Warah yang diperkuat oleh orang-orang Kediri mampu
melawan Panembahan yang berilmu sangat tinggi itu
bahkan menghancurkannya. Pemimpin padepokan itu dan pemimpin perguruan
Suriantal hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Meskipun mereka orang yang termasuk berilmu tinggi,
namun ternyata bahwa mereka merasa ketinggalan
menyaksikan pertempuran yang dahsyat itu. Namun yang
kemudian ternyata tidak dapat dilihatnya sama sekali.
Namun yang mengerikan adalah setiap kali mereka
melihat pepohonan di halaman padepokan itu berguncang.
Ranting dan dahan berpatahan, sementara daunpun
terbakar dan berguguran, seolah-olah di halaman
padepokan itu akan terjadi bencana yang maha dahsyat
yang akan menghancurkan seluruh padepokan itu.
"Ternyata Palot memiliki kemampuan sebagaimana
Panembahan," berkata pemimpin perguruan Suriantal.
"Kita salah menilai orang itu," berkata pemimpin
padepokan itu. "kita menganggapnya tidak lebih dari
seorang hamba yang setia tetapi dungu. Hamba yang
dengan sombong menyampaikan perintah tuannya karena
merasa tuannya itu berkuasa. Namun ternyata bahwa
hamba yang setia itu sendiri memiliki kemampuan yang
sama, atau setidak-tidaknya hampir sana dengan orang
yang disebutnya Panembahan itu."
Pemimpin padepokan itu mengangguk-angguk. Kabut
yang memencar itu benar-benar telah meliputi seluruh
halaman padepokan. Karena itu, maka mereka yang
menyaksikan kedahsyatan pertempuran itu harus menebar
lebih luas, dan bahkan sebagian di antara mereka telah naik
ke atas dinding halaman. Sementara itu pertempuran yang dahsyat itu masih
berlangsung meskipun tidak dapat diikuti dengan mata
wadag. Tetapi kesan dan akibatnya sajalah yang nampak
oleh mereka menggetarkan seluruh halaman.
Semakin lama kedua belah pihak menjadi semakin
gelisah. Mereka tidak segera dapat menyelesaikan
pertempuran itu. Serangan-serangan mereka yang tidak
terarah dengan baik tidak segera dapat mengenai sasaran,
sehingga dengan demikian mereka telah banyak
menghamburkan tenaga. Dengan demikian maka kakak seperguruan pemimpin
padepokan itu mulai mengurangi serangan-serangannya. Ia
ingin memasuki lagi daerah berkabut itu dan mencarinya.
Bukan ilmunya yang dilontarkannya ke segala arah. Tetapi
ia sendiri akan mencarinya meskipun ada kemungkinan
terkena serangan Palot juga dilontarkan tanpa arah dan
sasaran, selain sekedar menduga-duga.
Untuk beberapa saat kakak seperguruan pemimpin
padepokan itu berusaha. Namun ia tidak segera
menemukannya meskipun ia sudah menjelajahi hampir
seluruh bagian berkabut itu. Terutama di halaman karena
dari halaman itulah serangan-serangan Palot dilontarkan.
Tetapi semuanya gelap semata-mata.
Sementara itu Palot pun telah tidak telaten lagi. Ia ingin
cepat menyelesaikan pertempuran itu. Karena itu maka ia
telah berusaha memancing lawannya untuk melepaskan
serangan agar ia dapat menduga di mana lawannya itu
berada. Sejenak kemudian, serangan Palot itu terlontar lagi ke
beberapa arah. Sebenarnyalah lawannya telah dengan serta
merta membalasnya ke arah sumber serangan itu.
Palot tidak menyerang dengan gumpalan-gumpalan
apinya lagi. Tetapi ia ingin menyelesaikan pertempuran itu
segera. Karena itu ketika ia yakin bahwa lawannya yang tidak
dapat dilihatnya itu masih tetap berada di tengah halaman,
maka ia pun telah mengambil langkah yang menentukan, ia
tidak melepaskan gumpalan apinya, namun tiba-tiba
halaman itu telah diguncang oleh prahara yang dahsyat.
Angin pusaran yang keras dan mengandung tenaga yang
dahsyat sekali telah berputaran hampir di seluruh halaman.
Demikian cepatnya, sehingga tidak mungkin bagi seseorang
yang berada di halaman itu melepaskan diri, kecuali yang
berada di tepi melekat dinding.
Beberapa orang yang duduk di atas dinding halaman
telah terlempar keluar, sementara itu, satu dua orang yang
masih berada di halaman telah berusaha melekat dinding
halaman. Satu dua di antara mereka sempat meloncat.
Namun di luar keinginan Palot. ternyata ada juga yang
terlempar ke udara dan terbanting jatuh tanpa ampun lagi.
Apalagi mereka yang berada di bagian tengah halaman.
Pepohonan telah tercabut dan dengan suara yang berderak
bagaikan dilontarkan dan terbang di udara.
Bahkan barak-barak yang terdekat dengan halaman
padepokan itupun telah terputar dan runtuh berserakan.
Sesuatu yang sangat dahsyat telah terjadi. Apalagi di
pusat angin prahara itu.Tidak akan ada orang yang akan
mampu bertahan betapapun tinggi ilmunya.
Demikian pula dengan kakak seperguruan pemimpin
padepokan itu. Ia sama sekali tidak mengira bahwa ia akan
mendapat serangan yang sangat dahsyat itu. Karena itu
maka ia tidak bersedia untuk melawannya.
Ketika ia mulai terputar dengan kerasnya dan terlempar
ke udara maka kakak seperguruan pemimpin padepokan itu
baru menyadari bahwa ia sudah terputar oleh ilmu Palot
yang sangat dahsyat. Ilmu pamungkas yang jarang ada
duanya di seluruh Kediri bahkan Singasari.
Dalam keadaan yang sulit itu, maka kakak seperguruan
pemimpin padepokan itu sama sekali tidak mempunyai
kesempatan untuk melawannya. Tubuhnya yang tidak
nampak oleh mata wadag itu bagaikan tidak berdaya sama
sekali. Seperti sebatang kayu yang terperosok ke dalam
pusaran air yang sangat dahsyat di ujung banjir.
Untuk beberapa saat tubuh itu berputaran di udara.
Kemudian bagaikan hanyut melambung tinggi. Namun
tiba-tiba tubuh itu telah meluncur dan terbanting jatuh di
atas tanah yang keras di halaman.
Kakak seperguruan pemimpin padepokan itu memang
sempat meningkatkan daya tahannya. Namun ketika ia
terbanting dari ketinggian maka tubuhnya bagaikan remuk.
Tulang-tulangnya seakan-akan berpatahan dan isi dadanya
bagaikan rontok dari tangkainya.
Kakak seperguruan pemimpin padepokan itu mengeluh.
Namun ia tidak kuasa lagi mengetrapkan ilmunya, sehingga
tubuhnya pun perlahan-lahan mulai nampak oleh mata
wadag. Sementara itu kabut pun mulai menipis dan hilang
dihembus sisa-sisa angin yang masih berputar perlahanlahan.
Semua mata yang sempat menyaksikan terbelalak
melihat keadaan halaman padepokan yang berserakan.
Pepohonan tumbang, dan barak-barakpun bertebaran.
Sementara itu ada tiga sosok tubuh yang terbaring diam.
Sementara lebih dari sepuluh orang yang berdiri terlambat
melekat dinding telah terlempar dan hampir pingsan.
Bahkan di luar dinding halaman-pun beberapa orang telah
kesakitan karena terlempar dari atas dinding.
Kakak seperguruan pemimpin padepokan itupun
terbaring diam. Namun nafasnya masih nampak
menggerakkan dadanya. Perlahan-lahan Palot melangkah mendekatinya. Bahkan
kemudian berjongkok di sisinya.
"Ternyata kau luar biasa," berkata orang yang sudah
kehilangan hampir segenap tenaganya itu.
"Aku terpaksa melakukannya," sahut Palot.
"Aku mengaku kalah," desis lawannya sambil
tersenyum, "kau adalah orang terbesar sampai saat ini.
Karena itu, kau harus bertindak sebagaimana dilakukan
oleh Panembahan, melawan orang-orang Kediri."
Tetapi Palot menjawab, "ternyata bahwa orang-orang
Kediri apalagi orang Singasari lebih besar dari
Panembahan. Apalagi aku. Aku tidak akan mampu berbuat
apa-apa." Tiba-tiba saja senyumnya lenyap dari bibirnya. Dengan
nada dalam ia berkata, "Kau tidak boleh menjadi
pengkhianat. Kau mampu melawan orang-orang Kediri."
Palot termangu-mangu sejenak. Namun menghadapi
orang yang sedang dalam kesulitan itu, Palot tidak sampai
hati untuk menolak kata-katanya. Karena itu maka iapun
berkata, "Baiklah Ki Sanak. Barangkali aku memang
memiliki sekedar ilmu untuk meneruskan perlawanan
Panembahan terhadap orang-orang Kediri."
"Bagus," orang itu seakan-akan ingin bangkit. Namun
iapun kemudian terbaring lagi. Bahkan orang itupun lelah
terdiam untuk selama-lamanya.
Palot menarik nafas dalam-dalam. Ia menunduk sejenak.
Bagaimanapun juga orang itu pantas dihormati. Ilmunya
bertimbun di dalam dirinya sehingga orang itu merupakan
orang yang sangat disegani.
Perlahan-lahan Palot itupun bangkit berdiri. Diamatinya
orang-orang yang berada di sekeliling halaman depan
padepokan itu melekat dinding. Bahkan beberapa orang
yang telah berada di atas dinding halaman itu pula.
Dengan sikap seorang yang telah memenangkan perang
Palot memandang berkeliling. Memandang wajah-wajah
yang gelisah dan cemas. Sementara itu pemimpin padepokan itu dan orang
bertongkat, pemimpin perguruan Suriantal berdiri
termangu-mangu memandang Palot yang tegak di tengahtengah
halaman, di sebelah tubuh kakak seperguruan
pemimpin padepokan itu. Palot mengangkat wajahnya dan menengadahkan
dadanya. Ia benar-benar seorang pahlawan yang telah
berhasil mengalahkan lawannya di arena perang tanding.
Kemudian katanya kepada semua orang yang
memandanginya itu. "Marilah. Siapa lagi yang akan
menantang aku untuk berperang tanding" Atau jika tidak,
siapakah yang masih akan menangkap aku" Marilah,
majulah beramai-ramai. Aku akan menggilas kalian dengan
angin praharaku. Bukan salahku jika di halaman ini akan
berserakkan mayat kalian yang dihancurkan oleh angin
pusaran." Tidak seorangpun yang bergerak. Mata mereka yang
memandang Palot itu memancarkan ketegangan yang
sangat. Ketika Palot memandang kedua orang pemimpin
tertinggi dari padepokan itu, ia pun telah berkata, "Marilah.
Apakah kalian akan menuntut balas kematian saudaramu?"
Jantung pemimpin padepokan itu berdebaran. Tetapi
peristiwa yang baru saja terjadi itu benar-benar telah
mengguncangkan dadanya. Bagaimanapun juga ia tidak
dapat mengingkari kenyataan bahwa saudara tua
seperguruannya telah dikalahkan oleh hamba yang
dianggapnya setia dan dungu itu. Bukan sekedar
dikalahkan, tetapi sudah disaksikannya satu pertempuran
yang sangat dahsyat. Kakak seperguruannya yang berilmu
sangat tinggi, bahkan memiliki Aji Panglimunan ternyata
telah dihancurkan dan terbunuh oleh orang yang
disangkanya tidak lebih dari hamba yang setia itu.
Karena itu, untuk menanggapi tantangan itu ia harus
berpikir dua tiga kali lagi.
Karena tidak ada yang menjawab, maka Palot pun
berkata, "Ki Sanak. Para pemimpin padepokan ini serta
pemimpin perguruan lain yang ada di sini. Sekali lagi aku
memberikan tawaran Akuwu Lemah Warah serta para
pemimpin Kediri itu. Menyerahlah. Kalian akan aku bawa
menghadap. Aku akan membawa kalian ke padepokan
yang telah kalian tinggalkan itu. Namun jika Akuwu telah
kembali ke Lemah Warah, maka kita pun akan menyusul
ke Lemah Warah, atau bahkan ke Kediri."
Pemimpin padepokan itu termangu-mangu. Demikian
pula orang bertongkat dari perguruan Suriantal itu.
"Cepat, ambil keputusan atau aku akan menggulung
seluruh padepokan ini dengan prahara. Semua orang akan
mati dan padepokan ini akan aku terbangkan ke udara.
Tidak satu pun isi padepokan yang masih akan diambil
gunanya. Dan tidak pula seorang pun yang akan luput dari
kematian." Ancaman itu benar-benar mendebarkan jantung. Sejenak
kedua orang pemimpin itu saling berpandangan. Namun
sorot mata mereka memancarkan keputus-asaan.
"Tidak ada harapan lagi," berkata orang bertongkat itu.
Pemimpin padepokan itu menarik nafas dalam-dalam.
Dipandanginya padepokannya itu dengan padangan iba.
"Aku tidak pernah membayangkan bahwa ada orang
yang memiliki kemampuan seperti itu. Terhadap kakak
seperguruanku itu aku sudah mengaguminya. Apalagi
orang yang semula bagiku tidak lebih dari hamba yang setia
itu. Ternyata ia memiliki ilmu sebagaimana dimiliki oleh
Panembahan itu," berkata pemimpin padepokan itu.
Orang bertongkat itu menarik nafas dalam-dalam.
Dengan nada dalam ia berkata, "Tidak ada ilmu yang dapat
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melawan arus praharanya. Namun bagaimana mungkin
Panembahan itu dapat dikalahkan oleh orang-orang Kediri"
Jika demikian seberapa tinggi tingkat ilmu orang Kediri
itu?" "Kita tidak mempunyai pilihan lain," berkata pemimpin
padepokan itu. "jika kita berkeras hati, maka semua orang
yang ada sekarang akan mati oleh pusaran praharanya itu."
Pemimpin perguruan Suriantal itu mengangguk kecil.
Katanya, "Ya. Kita tidak dapat membiarkan sekian banyak
orang itu terbunuh. Karena itu, maka kita memang tidak
mempunyai pilihan lain. Sementara itu, orang yang paling
bersalah dalam hubungan kita dengan Kediri adalah
Panembahan itu. Ialah yang mengingini Mahkota Kediri
sebagai benda yang sangat berharga dan bertuah bagi
usahanya merebut kekuasaan di Kediri."
Pemimpin padepokan itu mengangguk-angguk. Suaranya
merendah, "Memang tidak ada pilihan lain. Orang ini lebih
dahsyat dari Akuwu Lemah Warah atau kedua orang anak
muda yang disebutnya sebagai kemanakannya itu."
Pemimpin perguruan Suriantal itu menarik nafas dalamdalam.
Namun ia pun kemudian bergeser mendekati hamba
yang setia itu, diikuti oleh pemimpin padepokan itu.
"Aku menyerah," berkata pemimpin perguruan Suriantal
itu. Palot menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Terima
kasih atas kesediaanmu itu. Tetapi bagaimana dengan yang
lain?" "Aku tidak dapat berbuat lain," berkata pemimpin
padepokan itu. "aku tidak ingin para pengikutku di
padepokan ini mati seperti tebasan ilalang, tanpa hitungan."
Palot mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku tahu
bahwa kalian memang akan menyerah. Dengan demikian
maka tugas yang dibebankan kepadaku telah dapat aku
selesaikan." "Lalu apa yang harus kami lakukan?" bertanya
pemimpin perguruan Suriantal itu.
"Kita akan menghadap Akuwu Lemah Warah," berkata
Palot, "mudah-mudahan ia bersama pasukannya masih
berada di padepokan yang pernah kita tinggalkan itu."
"Apakah kita seisi padepokan ini harus pergi padepokan
itu?" bertanya pemimpin padepokan itu.
Palot menggelengkan kepalanya. Katanya, "Tidak. Aku
tidak akan membawa semuanya bersamaku. Tetapi orangorang
tertentu sajalah yang akan pergi ke padepokan itu
bersamaku." --ooo0dw0ooo- Jilid 039 PEMIMPIN padepokan itu mengangguk-angguk.
Lalu katanya, "Baiklah. Siapakah di antara kita yang harus
pergi?" Palot termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Tentu kalian berdua. Aku berharap bahwa
sepeninggal kalian, akan terjadi perubahan di padepokan
ini. Kecuali jika para pengikut kalian memang sudah jemu
hidup dengan tenang."
Kedua pemimpin itu termangu-mangu sejenak.
Sementara itu pemimpin perguruan Suriantal itu bertanya,
"Jadi, kalian biarkan para pengikut kami bebas?"
"Tidak," jawab Palot, "tetapi aku tidak akan
membawa mereka. Mungkin aku akan mengalami kesulitan
di perjalanan. Aku hanya akan membawa kalian berdua
saja. Namun kalian harus mampu mengendalikan dengan
pesan dan perintah, bahwa para pengikutmu tidak akan
berbuat sesuatu yang dapat mengeruhkan suasana. Karena,
jika terjadi demikian maka akan terjadi tindak kekerasan
lagi atas padepokan ini."
Kedua pemimpin perguruan itu saling berpandangan
sejenak. Namun kemudian pemimpin perguruan Suriantal
itu berkata, "Terima kasih. Biarlah orang-orang kami tetap
berada di padepokan dengan cara hidup yang baru. Percaya
atau tidak, sebenarnya kami bukan sejenis perampok ternak
yang sering mengganggu orang-orang pedukuhan."
Orang yang disebut Palot itu mengangguk kecil.
Katanya. "Aku mengerti. Tetapi segala kemungkinan dapat
terjadi. " Pemimpin perguruan Suriantal itu menarik nafas
dalam-dalam. Ia pun mengerti maksud Palot. Dalam
kesulitan maka orang-orang yang memiliki kekuatan
kadang-kadang lupa diri. Dan hal itu memang sudah terjadi. Karena itu, maka
katanya, "Baiklah. Aku akan berpesan, agar orang-orangku
dan isi padepokan ini berusaha untuk berbuat sebaikbaiknya
agar mereka tidak digilas sekali lagi dengan
kekerasan." "Baiklah," berkata Palot, "lakukanlah. Kalian masih
mempunyai kesempatan untuk membenahi padepokan ini.
Menyelenggarakan kawan-kawan kalian yang terbunuh,
sengaja atau tidak aku sengaja."
Kedua pemimpin perguruan yang ada di padepokan
itu mengangguk kecil. Ternyata sikap Palot cukup lunak
sehingga kesan mereka terhadap orang itu ternyata telah
terguncang-guncang. Mula-mula mereka menganggap orang
itu tidak lebih dari seorang hamba yang mencari
perlindungan. Kemudian mereka menghadapi satu
kenyataan bahwa orang itu memiliki ilmu yang sangat
tinggi. Namun akhirnya mereka menyadari, bahwa orang
yang berilmu tinggi itu bukan orang yang kasar dan keras
sebagaimana mereka juga sebelumnya.
Dengan demikian maka kedua orang pemimpin yang
akan ikut bersama Palot ke padepokan yang telah mereka
tinggalkan dan menyerahkan diri itu, masih mempunyai
kesempatan untuk berbuat sesuatu atas padepokannya.
Ternyata Palot seakan-akan sama sekali tidak
menaruh curiga bahwa kedua orang pemimpin itu akan
berbuat curang dan licik. Karena itu, maka ia sama sekali
tidak berusaha untuk membatasi tingkah laku kedua
pemimpin itu. Bahkan sekali lagi berpesan, "Kalian harus
mempergunakan sisa-sisa wibawa kalian dan pengaruh
kalian untuk mengarahkan hidup mereka untuk
selanjutnya." Demikianlah seperti yang dipesankan oleh Palot,
maka kedua orang pemimpin itu telah berbuat sebagaimana
dikehendaki. Mula-mula mereka mengatur orang-orangnya
untuk menyelenggarakan kawan-kawan mereka dan kakak
seperguruan pemimpin padepokan itu yang terbunuh di
pertempuran itu. Kemudian kedua orang itu telah
mengumpulkan para pengikutnya yang tersisa, serta para
pengikut kakak seperguruan pemimpin padepokan itu.
Dengan penuh kesungguhan mereka memberikan
pesan bagi kehidupan para penghuni padepokan itu untuk
selanjutnya. Sementara itu, kedua orang itu menganjurkan
agar para pengikut kakak seperguruan pemimpin
padepokan itu tetap tinggal untuk sementara.
"Di Lemah Warah atau di Kediri, kami tentu
mendapat perintah bagi kalian. Karena itu, kalian sebaiknya
tetap tinggal saja di sini. Agar tidak timbul salah paham
dikemudian hari, sehingga dapat memancing tindakantindakan
yang seharusnya tidak perlu dilakukan."
Pesan itu memang terasa asing di telinga para
penghuni padepokan itu. Mereka yang sebelumnya selalu
ditempa dengan sifat-sifat kejantanan, tiba-tiba mereka
harus menghadapi satu kenyataan, bahwa mereka tidak
dapat berbuat sesuatu hanya menghadapi satu orang saja.
Bahkan mereka harus menyerah bukan saja dihadapannya,
sepeninggal orang itu, seisi padepokan masih harus
melakukan sebagaimana dikehendakinya.
Apa artinya tindakan kekerasan bagi mereka, jika
mereka tetap pada sikap dan pendirian mereka sebelumnya.
Tetapi ternyata bahwa para pemimpin mereka telah
memerintahkan mereka untuk mengekang diri dan menjadi
jinak. Namun mereka memang tidak dapat ingkar dari
kekalahan yang berturut-turut mereka alami. Bahkan di
padepokan itu mereka tidak akan mampu melawan lawan
yang hanya seorang tetapi mampu menggerakkan prahara
yang sangat dahsyat. Apalagi mereka menyadari, bahwa di belakang orang
itu terdapat kekuatan yang tidak akan dapat dilawan
dengan cara apapun juga. Demikianlah, maka para penghuni padepokan itu
tidak dapat berbuat lain daripada menyatakan kesediaan
mereka. Seorang di antara mereka yang dianggap paling tua
bukan saja umurnya, tetapi juga kemampuannya telah
ditunjuk untuk memimpin kawan-kawan mereka di
padepokan itu, siapa pun mereka dan dari perguruan yang
manapun. "Masih banyak jalan yang dapat kalian tempuh,"
berkata pemimpin padepokan itu, "masih ada hutan yang
dapat kalian tebang untuk memperluas tanah persawahan.
Dengan kerja kalian akan dapat memenuhi kebutuhan
mereka sewajarnya. Selanjutnya kalian dapat menunggu.
Seandainya aku tidak lagi kembali ke padepokan ini, maka
tentu ada perintah dari Kediri apa yang harus kalian
lakukan." Demikianlah, maka kedua orang pemimpin
padepokan itu telah ikut bersama Ki Permita yang
dikenalnya bernama Palot. Mereka tidak langsung pergi ke
Pakuwon Lemah Warah. Tetapi mereka akan pergi ke
padepokan yang telah dikalahkan oleh Lemah Warah
bersama Senapati dari Kediri itu. Ki Permita berharap
bahwa Akuwu Lemah Warah atau yang ditugaskannya
masih berada di padepokan itu.
Sepanjang perjalanan Ki Permita menuju ke
padepokan itu, maka sepanjang itu pula perjalanan mereka
kembali ke padepokan orang-orang Suriantal.
Tetapi ternyata bahwa Akuwu Lemah Warah telah
kembali ke Pakuwon. Namun padepokan itu ternyata tidak
menjadi kosong. Orang-orang yang menyerah dan
tertangkap, ternyata oleh Akuwu Lemah Warah telah
dibiarkan tinggal di padepokan itu.
Ki Permita yang datang bersama pemimpin perguruan
Suriantal dan seorang pemimpin dari padepokan yang telah
mereka tinggalkan itu, telah diterima dengan baik oleh
orang yang diserahi untuk sementara memimpin padepokan
Suriantal itu. Semula Ki Permita memang merasa heran bahwa
padepokan itu telah ditinggalkan begitu saja. Namun iapun
telah melakukannya pula atas padepokan yang lain. Tetapi
ia telah membawa dua orang pemimpin perguruan yang
sangat berpengaruh. Kepada orang yang memimpin padepokan Suriantal
itu Ki Permita bertanya, "Apakah ada pesan untuk aku?"
"Ya Ki Sanak," jawab orang yang memimpin
padepokan itu, "Jika Ki Palot berhasil menghubungi kedua
pemimpin perguruan kita yang pernah tinggal di padepokan
ini, maka Ki Palot diharap untuk mengajaknya langsung ke
Pakuwon Lemah Warah. Mungkin Pangeran Singa
Narpada masih dapat kau jumpai di Pakuwon itu."
Palot menarik nafas dalam-dalam. Dari orang yang
memimpin padepokan itu pula ia pun kemudian mendengar
tentang orang yang disebut Panembahan itu. Dari orang
yang diserahi memimpin padepokan itu ia mendengar
bahwa Panembahan memang sudah tidak dapat
diselamatkan lagi. "Aku memang sudah menduga sebelumnya.
Keadaannya sudah sangat gawat ketika aku berangkat,"
berkata Ki Permita yang disebut Palot.
Sehari Palot berada di padepokan itu. Ia sama sekali
tidak menunjukkan kecurigaannya. Ia biarkan saja kedua
orang tawanannya bebas berkeliaran di padepokan itu.
Selama ia di padepokan, maka Palot telah mendengar
sikap Akuwu Lemah Warah tentang padepokan itu
sepengetahuan Pangeran Singa Narpada.
"Semua persoalan nampaknya telah dikembalikan
kepada Panembahan," berkata orang yang diserahi
pimpinan di padepokan itu, "dengan demikian, seakan-akan
orang lain telah dibebaskan dari segala kesalahan yang telah
dibuatnya menurut pandangan Akuwu Lemah Warah."
Palot menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian
Pangeran Singa Narpada sebenarnya telah mengembalikan
semua persoalan pada sumbernya. Pangeran Singa Narpada
agaknya telah memperhitungkan bahwa yang
menggerakkan orang-orang dari berbagai perguruan itu
adalah Pangeran Gagak Branang yang disebutnya
Panembahan. Dengan demikian maka sepeninggal
Pangeran Gagak Branang, Pangeran Singa Narpada
menganggap bahwa persoalannya akan dapat dibatasi.
Bahkan para pengikutnya tidak akan bergerak lebih jauh.
Orang-orang dari berbagai perguruan itu tentu akan
menghentikan kegiatan mereka dalam hubungan mereka
dengan persoalan Kediri dan Singasari.
Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada telah
mengambil kebijaksanaan untuk membiarkan saja orangorang
yang masih tersisa di padepokan itu. Namun dengan
demikian Ki Permita pun merasa bahwa langkah yang telah
dilakukannya pun merupakan langkah yang benar.
Demikianlah, ternyata yang semalam itu tidak terjadi
sesuatu. Meskipun Palot pun tidak lepas dari sikap berhatihati.
Kedua orang pemimpin perguruan yang menjadi
tawanannya itu sama sekali tidak diawasinya. Seandainya
mereka berniat untuk melarikan diri, maka agaknya hal itu
dapat dilakukannya. Namun kedua orang itu harus memperhitungkan
kemungkinan yang sangat buruk yang dapat terjadi di
padepokan itu dan padepokan yang ditinggalkan. Orang
yang disebut Palot itu dalam kemarahannya akan mampu
membunuh korban yang tidak terhitung jumlahnya
meskipun ia hanya sendiri.
Pagi-pagi Palot sudah bersiap. Demikian pula kedua
orang tawanannya. Mereka akan segera pergi ke Pakuwon
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lemah Warah untuk menghadap.
Di perjalanan tidak ada kesan bahwa kedua orang itu
adalah tawanan Ki Permita. Mereka berjalan beriringan
sebagaimana tiga orang yang bersama-sama menempuh
perjalanan. Namun dalam pada itu tiba-tiba saja orang bertongkat
dari perguruan Suriantal itu pun bertanya, "Apakah kau
kenal dengan tiga orang anak muda yang diaku kemanakan
Akuwu Lemah Warah itu?"
Palot mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
menggeleng, "Kenal benar tidak. Kenapa?"
Pemimpin perguruan Suriantal itu menjawab,
"Mereka tertarik kepada batu di pinggir hutan yang
berwarna kehijau-hijauan itu. Nampaknya mereka memiliki
pengetahuan tentang batu-batuan. Mereka mengaku
pedagang batu akik dan wesi aji."
"Mungkin mereka memang memiliki pengetahuan
itu," berkata Ki Permita, "tetapi aku kurang
mendalaminya." Orang bertongkat itu mengangguk-angguk.
Sebenarnyalah baginya batu itu memang sangat berharga.
Tetapi ia tidak dapat mengatakannya kepada Palot. Tetapi
ia berkata di dalam hatinya, "Jika ada kesempatan di
kemudian hari, aku akan mengambilnya." Tetapi ia berkata
selanjutnya, "Namun agaknya anak-anak muda itu tentu
akan mengambilnya lebih dahulu. Batu itu tentu sangat
berharga jika jatuh ke tangan orang yang benar-benar
mampu menggosoknya. Batu itu akan dipecah menjadi
berkeping-keping. Setiap keping akan dapat digosok
menjadi puluhan batu yang berharga mahal. Bahkan
pecahan-pecahannya yang berserakan pun akan dapat
digosok menjadi batu akik yang berharga."
Namun akhirnya orang itu menarik nafas dalamdalam.
Agaknya ia memang harus melupakannya. Ia harus
puas pada segumpal yang telah dipasangnya di tongkatnya
itu. Demikianlah, seperti tiga orang pengembara, mereka
memasuki Pakuwon Lemah Warah. Mereka memasuki
gerbang kota dan langsung menuju ke istana Akuwu yang
terletak di pusat kota yang tidak terlalu luas.
Para pengawal di regol halaman memang bertanya
dengan cermat, siapakah mereka. Namun akhirnya Palot
berhasil meyakinkan, bahwa mereka memang dipanggil
oleh Akuwu menghadap. "Kalian menunggu di gardu pengawal," berkata
pemimpin pengawal, "kehadiran kalian akan dilaporkan."
Seorang pengawal pun kemudian telah
menyampaikan kehadirannya seorang yang bernama Palot
kepada seorang Pelayan Dalam, agar disampaikan kepada
Akuwu Lemah Warah. "Namanya Palot yang juga disebut Permita," berkata
pengawal itu. "Ooo," Akuwu Lemah Warah pun kemudian telah
turun sendiri ke halaman depan untuk menyongsong orang
yang bernama Permita dan disebut Palot itu.
"Marilah," berkata Akuwu Lemah Warah ketika ia
melihat Ki Permita di depan gardu bersama dua orang yang
harus ditangkapnya. Akuwu Lemah Warah tidak perlu bertanya lagi. Ia
pun segera mengerti bahwa Ki Permita telah berhasil
dengan tugasnya, menangkap atau membujuk kedua orang
itu untuk menyerah. Demikianlah, maka Ki Permita dan kedua orang yang
datang bersamanya itu telah dipersilahkan masuk ke ruang
dalam. Baru setelah mereka duduk, maka Akuwu Lemah
Warah itu telah memanggil Pangeran Singa Narpada dan
Mahendra. Bahkan juga Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan
Mahisa Ura yang ternyata masih berada di Pakuwon itu
pula. Sejenak kemudian, maka orang-orang yang masih
berada di Pakuwon itu pun telah duduk pula bersama Ki
Permita dan kedua orang pemimpin perguruan yang
menyerah itu. Sementara itu, maka Ki Permita pun telah
menyatakan, bahwa kedua orang pemimpin perguruan itu
memang sudah menyerah. "Syukurlah," berkata Pangeran Singa Narpada,
"dengan demikian kalian telah bertindak bijaksana. Kalian
ternyata termasuk pemimpin yang bertanggung jawab,
sehingga kalian tidak ingin melihat korban berjatuhan lebih
banyak lagi." "Kami memang tidak mempunyai harapan lagi,"
berkata pemimpin perguruan Suriantal yang bertongkat itu,
"karena itu, maka kami telah memilih jalan yang kami
anggap terbaik ini. Menyerah."
"Itulah yang aku maksudkan," sahut Pangeran Singa
Narpada, "dengan demikian kalian sudah membantu
penyelesaian yang lebih baik daripada saling
menghancurkan." Kedua orang tawanan itu menarik nafas dalam-dalam.
Pemimpin padepokan itupun kemudian berkata, "Ternyata
sikap Palot dan Pangeran tidak berbeda. Tetapi kenapa
Palot dan Pangeran telah membiarkan para pengikut kami
tetap berada di padepokan?"
"Mungkin orang-orang yang aku tinggalkan pernah
mengatakan kepada kalian, apa sebabnya," jawab Pangeran
Singa Narpada. "Yaa. Kalian membebankan semua kesalahan kepada
Panembahan, karena itu, maka yang lain bagi kalian dapat
dianggap tidak bersalah lagi," berkata pemimpin padepokan
yang telah mereka tinggalkan itu.
"Bukan begitu," berkata Pangeran Singa Narpada,
"tetapi kami sudah tahu pasti, apa yang telah terjadi dan
siapakah sumber dari segala peristiwa itu. Nah, apakah
dugaanku salah, bahwa kesalahan utama ada pada
Panembahan itu?" Kedua orang pemimpin perguruan itu menganggukangguk.
Meskipun mereka tidak mengharap bebas sama
sekali dari hukuman yang mungkin akan dijatuhkan oleh
Kediri atau Lemah Warah, namun rasa-rasanya kesalahan
mereka tidak lagi menentukan.
Sebenarnyalah maka Pangeran Singa Narpada pun
berkata, "Meskipun demikian, kami tidak dapat
membebaskan kalian dari tuntutan. Kalian adalah para
pemimpin yang bertanggung jawab sebuah perguruan.
Keterlibatan perguruan kalian tergantung kepada kalian."
Kedua orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun
sementara itu Pangeran Singa Narpada pun berkata,
"Tetapi seperti yang aku katakan, letak kesalahan utama
dari segala peristiwa yang telah terjadi tentu pada
Panembahan. Tetapi apakah kalian mengenal siapakah
orang yang disebutnya Panembahan itu?"
Kedua orang pemimpin perguruan itu menggeleng.
Sementara itu orang bertongkat dari perguruan Suriantal itu
justru bertanya, "Apakah Pangeran dapat menjelaskan
siapakah Panembahan itu" Bagiku Panembahan adalah
orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Orang yang
memiliki pengetahuan yang luas dan mempunyai
pandangan tentang masa depan yang bagi kami
memberikan banyak harapan daripada masa depan yang
kami lihat sekarang, yang dikemudikan oleh para pemimpin
di Kediri yang berkiblat kepada Singasari."
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, "orang itu memang orang yang luar biasa. Ia
memiliki ilmu yang tidak ada bandingnya."
Dalam pada itu, ketika Pangeran Singa Narpada
memandang kepada Ki Permita yang dikenal bernama
Palot itu, maka orang itu telah menundukkan kepalanya
dalam-dalam. Sementara itu Pangeran Singa Narpadapun berkata,
"Ki Sanak. Ternyata bukan saja orang itu yang memiliki
ilmu yang nggegirisi. Tetapi hambanya yang setia pun
memiliki tingkat ilmu yang sulit dicari bandingnya."
Pangeran Singa Narpada pun berhenti sejenak, lalu,
"sebenarnyalah kalian dapat bertanya kepada hambanya
yang setia itu, siapakah sebenarnya orang yang kalian kenal
dengan sebutan Panembahan itu."
Kedua orang pemimpin perguruan itupun telah
berpaling ke arah Palot. Mereka mengakui bahwa Palot
adalah orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi pula.
Namun dalam pada itu, dengan nada rendah Palot
pun berkata, "Pangeran, sebaiknya bukan akulah yang
harus menyampaikannya. Bukankah lebih baik Pangeran
saja sama sekali yang berceritera tentang Panembahan dan
barangkali tentang hambanya yang setia itu pula."
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk kecil.
Katanya, "Baiklah jika kau tidak bersedia." Kemudian
sambil memandang kedua orang pemimpin perguruan itu
berganti-ganti Pangeran Singa Narpadapun berkata, "Ki
Sanak. Sebenarnyalah bahwa orang yang kalian sebut
Panembahan itu adalah masih keluargaku sendiri. Orang itu
adalah pamanku." Kedua orang itu terkejut. Hampir di luar sadar, orang
bertongkat itu bertanya, "jadi, Panembahan itu juga seorang
dari lingkungan istana di Kediri sendiri?"
"Ya. Yang disebut Panembahan itu adalah paman
Pangeran Gagak Branang," berkata Pangeran Singa
Narpada. Kedua orang itu mengangguk-angguk. Hampir di luar
sadarnya mereka telah berpaling ke arah Ki Permita yang
mereka kenal bernama Palot.
Bahkan orang yang memiliki ilmu gendam itu berkata,
"Jika demikian, siapa pula sebenarnya Palot yang memiliki
ilmu yang jarang ada bandingnya itu?"
"Bertanyalah kepadanya," berkata Pangeran Singa
Narpada. Namun dalam pada itu Palot pun berkata, "Tidak ada
yang aneh pada diriku. Aku adalah hamba yang setia itu.
Dan aku adalah hamba yang setia dari Pangeran Gagak
Branang." Kedua orang pemimpin perguruan itu menganggukangguk.
Namun dalam pada itu Pangeran Singa Narpada
telah membenarkannya. Katanya, "Memang demikian.
Palot adalah seorang hamba yang setia. Namun barangkali
kami lebih mengenalnya bernama Ki Permita daripada
Palot. Tetapi apakah artinya nama. Yang penting, kalian
dapat menilai sendiri kemampuannya."
Kedua orang itu mengangguk-angguk pula. Memang
tidak banyak yang dapat dijelaskan tentang Palot yang
dikenal dengan nama Ki Permita itu selain ia memang
seorang hamba yang setia.
Namun keterangan tentang Panembahan itu telah
memberikan arah berpikir kepada kedua orang itu. Itulah
sebabnya maka baik Pangeran Singa Narpada maupun
Palot menganggap bahwa beban kesalahan terbesar ada
pada orang yang disebut Panembahan yang tidak lain
adalah keluarga Kediri sendiri. Itulah sebabnya maka
Panembahan itu mengingini Mahkota Kediri yang
dianggapnya sebagai benda yang menjadi tempat
bersemayam wahyu keraton.
Tetapi meskipun demikian, maka mereka tidak dapat
ingkar dari tanggung jawab, karena keduanya adalah
pemimpin perguruan yang langsung ikut serta mendukung
gerakan Pangeran yang disebutnya Panembahan itu.
Sebenarnyalah maka Pangeran Singa Narpada pun
kemudian berkata, "Baiklah Ki Sanak. Pada saatnya kita
akan meninggalkan Pakuwon ini dan menuju ke Kediri."
Pemimpin perguruan Suriantal itu menarik nafas
dalam-dalam sambil bergumam, "Batu itu."
Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya
sambil bertanya, "Batu apa?"
"Batu yang ada di pinggir hutan itu. Batu yang
berwarna kehijau-hijauan," berkata orang bertongkat itu,
"tetapi aku menyadari, bahwa aku tidak akan dapat
memilikinya." Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak.
Sementara itu orang bertongkat itu berkata, "Terserahlah
kepada ketiga orang anak muda itu."
Pangeran Singa Narpada memandang wajah orang
bertongkat yang kecewa itu. Dengan nada berat ia bertanya,
"Kenapa dengan ketiga orang anak muda itu?"
"Agaknya mereka juga tahu nilai dari batu kehijauhijauan
itu," jawab orang bertongkat itu.
Pangeran Singa Narpada berpaling ke arah Mahendra
yang termangu-mangu. Namun ia tidak mengatakan
sesuatu. Sementara itu, Pangeran Singa Narpada telah
berketetapan untuk membawa kedua orang itu ke Kediri,
agar mereka tidak menjadi beban bagi Akuwu Lemah
Warah. Demikianlah maka Pangeran Singa Narpada pun
telah melakukan persiapan untuk segera kembali ke Kediri
bersama kedua orang tawanan itu. Pangeran Singa Narpada
merencanakan untuk meninggalkan Pakuwon itu dihari
berikutnya. Meskipun Akuwu Lemah Warah masih berusaha
menahannya agar Pangeran Singa Narpada bersedia tinggal
di Pakuwon itu barang dua tiga hari lagi, namun agaknya
Pangeran Singa Narpada ingin segera kembali dan
melakukan pemeriksaan yang lebih teliti atas kedua orang
tawanannya. Namun dalam kesempatan tersendiri ia juga berkata
kepada Ki Permita, "Kau juga sebaiknya ikut aku ke
Kediri." Ki Permita mengangguk kecil. Katanya, "Aku sudah
menyadari bahwa kedudukanku tidak ada bedanya dengan
kedua orang itu." "Ah, tentu tidak," berkata Pangeran Singa Narpada,
"kau telah membantuku, menyelesaikan tugas ini dengan
baik." Ki Permita menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tetapi semuanya sudah lewat bagiku. Pangeran, aku
memang tidak berkeberatan untuk pergi bersama Pangeran
dan kedua orang tawanan itu ke Kediri. Namun setelah itu,
maka aku mempunyai permohonan kepada Pangeran dan
para pemimpin di Kediri lainnya."
"Apa permohonanmu?" bertanya Pangeran Singa
Narpada. "Pangeran, aku adalah hamba yang setia dari
Pangeran Gagak Branang. Sementara itu, Pangeran Gagak
Branang telah tidak ada lagi. Karena itu, maka tidak ada
gunanya lagi bagiku untuk hidup lebih lama lagi. Apalagi
sebenarnyalah bahwa aku sudah terlalu lama hidup
sebagaimana Pangeran Gagak Branang. Aku sudah terlalu
tua untuk dapat berbuat sesuatu," berkata Ki Permita.
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak.
Sebagaimana Pangeran Gagak Branang, maka Ki Permita
pun tentu sudah sangat tua. Sementara itu sebagaimana
juga Pangeran Gagak Branang, maka Ki Permita pun telah
minum sejenis getah yang dapat menahan gerak jaringan
tubuhnya untuk menjadi lebih tua dari saat obat itu mulai
berpengaruh pada dirinya.
"Jadi apa yang kau inginkan?" bertanya Pangeran
Singa Narpada. "Menyusul Pangeran Gagak Branang," jawab Ki
Permita. Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Namun dengan ragu ia bertanya, "Untuk itu apa yang harus
aku lakukan?" "Pangeran," berkata Ki Permita, "banyak cara yang
dapat ditempuh. Selagi Pangeran dan Mahendra masih
berada di sini." "Maksudmu?" bertanya Pangeran Singa Narpada.
"Pangeran dapat melakukannya dengan cara yang
sama sebagaimana pangeran lakukan atas Pangeran Gagak
Branang." jawab Ki Permita.
"Membunuhmu dengan benturan ilmu atau dengan
benang lawe itu?" bertanya Pangeran Singa Narpada.
"Pangeran tidak perlu menggunakan lawe itu
terhadap diriku. Aku tidak memiliki ilmu sebagaimana
dimiliki oleh Pangeran Gagak Branang didalam hal seperti
itu. Karena itu, maka jika terjadi benturan ilmu itu, maka
aku akan langsung mati." jawab Ki Permita.
Tetapi Pangeran Singa Narpada menggeleng.
Katanya, "Itu merupakan satu pembunuhan," berkata
Pangeran Singa Narpada, "Sementara itu bagaimana
mungkin aku dapat ikut bersama kami ke Kediri jika kau
mati di sini?" "Pangeran," jawab Ki Permita, "sudah aku katakan,
bahwa aku akan ikut bersama Pangeran ke Kediri.
Kemudian Pangeran dapat melakukannya."
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Namun kemudian ia berkata, "Ki Permita, baiklah kita
akan pergi ke Kediri. Kita akan menyelesaikan tugas ini
dengan tuntas. Kemudian aku akan menentukan sendiri,
jalan yang paling baik yang akan kau tempuh. Tetapi tidak
ada cara yang paling baik daripada cara yang sewajarnya.
Kau tidak dapat dengan syah mempercepat kematianmu
hanya karena kejemuan, atau mungkin kesetiaan."
Nampak keragu-raguan di wajah Ki Permita. Sekilas
ia memandang kedua tangannya dengan jari-jari yang
mengembang. "Ki Permita," berkata Pangeran Singa Narpada,
"tidak ada cara untuk menunda dan mempercepat kematian
yang syah dihadapan Yang Maha Agung. Semua akan
berjalan sebagaimana seharusnya. Pangeran Gagak
Branang pun telah kembali ke asalnya sebagaimana harus
berlaku. Seandainya ia tidak mempergunakan ilmu apapun
juga, maka umurnya memang akan cukup panjang
sebagaimana terjadi atas dirinya. Pangeran Gagak Branang
memang dapat hidup lebih dari seratus tahun. Tetapi ia
bukan orang satu-satunya. Aku mengenal seorang petani
yang tidak pernah memiliki ilmu apapun juga yang dapat
hidup sampai seratus tahun pula. Bahkan masih mampu
memilih gabah di antara beras yang akan ditanaknya."
Ki Permita menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Aku mengerti Pangeran. Umur yang terlalu panjang
memang dapat menjemukan bagi beberapa orang termasuk
aku. Tetapi tentu orang yang tidak tahu diri dihadapan
Yang Maha Agung itu."
"Mudah-mudahan kau tidak dicengkam oleh
kejemuan itu," berkata Pangeran Singa Narpada,
"meskipun getah itu dapat menghambat pertumbuhan
jaringan tubuhmu, tetapi tidak akan dapat menjerat
nyawamu untuk tetap berada didalam tubuhmu itu. Tetapi
kau harus tabah, sehingga saat yang wajar itu datang."
Ki Permita menarik nafas dalam-dalam. Namun ia
menyadari bahwa yang dikatakan oleh Pangeran Singa
Narpada itu bukan sekedar petunjuk untuk menenangkan
hatinya yang bergejolak, tetapi sebenarnyalah memang
demikian. Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk.
Katanya, "Baiklah. Aku yakin, bahwa hatimu tidak
selemah itu sehingga kau menyerahkan dirimu pada
keputus-asaan dan memasuki jalan pintas yang terkutuk
itu." Ki Permita tidak menjawab. Hanya kepalanya sajalah
yang mengangguk-angguk kecil.
"Bagus," berkata Pangeran Singa Narpada, "besok
kita akan kembali ke Kediri. Kita akan membawa dua orang
tawanan kita bersama-sama dengan kita. Kita tidak perlu
mempersulit tugas Akuwu Lemah Warah ini dengan kedua
orang tawanan yang berilmu tinggi itu."
Ki Permita hanya mengangguk-angguk saja tanpa
menjawab. Dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada tidak lagi
menaruh curiga kepada Ki Permita. Ia adalah seorang yang
setia kepada sikapnya, sebagaimana telah dibuktikannya
ketika ia mengabdi kepada Pangeran Gagak Branang.
Orang yang memiliki kesetiaan seperti Ki Permita itu
tidak akan berkhianat. Jika ia sudah menyatakan
kesediaannya, maka yang dikatakan itu akan dilakukannya.
Tetapi jika ia mengatakan tidak maka apapun yang terjadi
akan ditempuhnya. Seperti yang direncanakan, maka di hari berikutnya,
maka Pangeran Singa Narpada telah bersiap untuk kembali
ke Kediri. Ternyata bahwa Mahendra pun telah ikut pula
bersama mereka. Bahkan Mahisa Ura juga menyatakan diri
untuk kembali ke Singasari.
"Bagaimana dengan kedua orang anak muda itu?"
bertanya Pangeran Singa Narpada.
"Mereka akan tinggal," berkata Mahendra.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Dengan nada rendah ia bertanya perlahan-lahan kepada
Mahendra, "Apakah ada hubungannya dengan batu yang
disebut-sebut oleh orang bertongkat itu?"
Mahendra tersenyum. Katanya, "Batu itu berada di
pinggir hutan. Tidak ada yang memilikinya. Anak-anak itu
menganggap batu itu memang menarik. Aku tidak tahu,
apakah mereka merasa perlu untuk memilikinya. Tetapi
sekali lagi aku tegaskan, batu itu terletak di pinggir hutan
tanpa seorang pun yang memilikinya, sehingga jika kedua
anak-anak itu mengambilnya ia tidak merugikan siapapun
juga. Agaknya orang-orang di sekitarnya tidak menganggap
penting atas batu itu."
"Mereka mungkin tidak tahu bahwa batu itu adalah
batu yang berharga meskipun bukan yang terbaik," desis
Pangeran Singa Narpada. Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, "Dengan
demikian mereka tidak merasa kehilangan jika batu itu
dimiliki oleh siapapun juga."
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Tetapi
ia tidak mempersoalkannya lagi.
Demikianlah, maka sebuah iring-iringan kecil telah
meninggalkan Pakuwon Lemah Warah. Mereka tidak lagi
berjalan kaki. Tetapi mereka telah mendapat kuda dari
Akuwu Lemah Warah, agar perjalanan mereka menjadi
agak cepat. Seperti yang dikatakan, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat tidak ikut bersama mereka. Tetapi keduanya
Dewa Mata Maut 1 Pendekar Rajawali Sakti 105 Istana Gerbang Neraka Istana Langit Perak 1
para pemimpin padepokan itu kembali dengan hanya
beberapa orang yang sempat melarikan diri, maka mereka
telah mengungsi. Mereka memperhitungkan bahwa
kemungkinan pihak lain akan memburu ke padepokan ini
sehingga akan terjadi pertempuran di sekitar padepokan
ini." Ki Permita mengangguk-angguk. Namun kemudian ia
pun bertanya, "Apakah kau sudah lama berada di
padepokan ini?" "Kami datang dari padepokan lain. Kami mengisi
padepokan ini setelah penghuninya serta pemimpin
padepokan ini pergi bersama seorang yang dianggap akan
dapat menjadi tumpuan perjuangan mereka. Kami diminta
oleh pemimpin padepokan ini untuk berada di sini."
"Siapa pemimpinmu?" bertanya Ki Permita.
"Saudara tua pemimpin padepokan ini," jawab orang itu.
"maksudku saudara tua seperguruan."
Ki Permita termangu-mangu. Pemimpin padepokan itu
tentu bukan orang bertongkat yang dikenalnya sebagai
pemimpin dari perguruan Suriantal yang telah berubah.
Tetapi saudara tua seperguruan itu tentu saudara dari orang
yang mampu menguasai binatang untuk melakukan niatnya
terhadap musuh-musuhnya. "Jika orang itu adalah saudara tuanya, maka orang itu
agaknya memiliki ilmu yang lebih baik atau setidaktidaknya
sejajar dengan orang yang mempunyai ilmu
gendam itu," berkata Ki Permita di dalam hatinya.
Selain kemampuan yang tinggi, ternyata orang itu telah
membawa pula para pengikutnya.
Namun dalam pada itu, Ki Permita berkata kepada
orang itu. "pantas jika kalian orang baru di sini. Aku pernah
berada di padepokan ini. Tetapi kita belum pernah
bertemu." Orang itu mengangguk. Tetapi ia tidak menjawab.
Dipandanginya arah kawannya tadi pergi. Namun
sementara itu ia berdesis, "Ia memerlukan waktu beberapa
saat. Sementara itu, kita akan menunggu di sini."
Ki Permita mengangguk. Katanya, "Aku akan
menunggu. Aku yakin bahwa aku akan diijinkannya."
Orang itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak
menjawab. Bahkan ia pun telah bangkit dan berjalan
mondar-mandir di depan regol itu.
Sementara itu kawannya telah memasuki padepokan. Di
lapisan berikutnya dari pengamatan atas padepokan itu,
orang itu berkata terus terang, bahwa ia akan menanyakan
kemungkinan bagi orang yang bernama Palot.
"Bukankah perintah itu sudah tegas. Siapapun tidak
boleh memasuki padepokan ini," sahut kawannya di lapisan
berikutnya. "Tetapi orang ini lain. Orang ini pernah tinggal bersama
para pemimpin kita yang sempat melarikan diri itu dan
bekerja bersama dengan mereka untuk waktu yang lama,"
jawab orang yang akan menghadap itu.
"Terserahlah. Kau tentu mempunyai alasan tersendiri.
Tetapi jika alasanmu tidak masuk akal, maka kau justru
akan dimaki dan bahkan mungkin kau akan mengalami
perlakuan yang kurang baik," berkata kawannya.
Tetapi orang itu tidak mengurungkan niatnya, ia
langsung menuju ke padepokan untuk bertemu para
pemimpin padepokan itu. Ketika orang itu menyampaikan permintaan orang yang
disebut Palot untuk berlindung di padepokan itu, ternyata
permintaan itu memang menarik perhatian. Orang yang
memiliki kemampuan mengendalikan binatang dengan ilmu
gendamnya itu berkata, "Bawa orang itu kemari. Meskipun
sebenarnya aku tidak memerlukannya. Yang kita perlukan
adalah Panembahan yang memiliki ilmu tiada taranya itu
yang aku kira tidak terkalahkan oleh siapapun. Namun
ternyata melawan dua orang pemimpin yang datang dari
Kediri, Panembahan itu tidak mampu bertahan."
"Untuk apa sebenarnya orang itu dibawa kemari?"
bertanya saudara tua seperguruannya, "jika orang itu
memang tidak berarti kenapa orang itu tidak disingkirkan
saja daripada memperbanyak tanggungan kita di sini?"
"Orang itu adalah hamba yang setia dari Panembahan
yang kita harapkan akan dapat memberikan jalan bagi kita
menuju ke Kediri," jawab pemimpin padepokan itu.
"mungkin orang itu dapat banyak bercerita. Memang tidak
penting, tetapi agaknya cukup menarik jika ia berceritera
tentang kesetiaannya kepada Panembahan itu."
"Terserahlah," berkata orang bertongkat, "padepokan ini
padepokanmu. Apapun yang kau lakukan adalah tanggung
jawabmu. Tetapi bagiku orang itu tidak berarti lagi
sepeninggal Panembahan."
Pemimpin padepokan yang telah dipaksa kembali oleh
pasukan Lemah Warah dari padepokan Suriantal itu
tersenyum. Katanya, "Kita memang tidak memerlukannya.
Tetapi apa salahnya kita mempunyai seorang hamba yang
setia" Mudah-mudahan disini pun ia akan menjadi seorang
hamba yang setia pula, yang melakukan apa yang aku
perintahkan dan mengiakan apa yang aku katakan."
"Tetapi bagaimana mungkin ia dapat melarikan diri dari
tangan orang-orang Lemah Warah jika Panembahan itu
dapat dikalahkan," desis orang bertongkat itu.
"Kita tidak usah mempersoalkan bagaimana ia keluar
dari padepokan itu. Tetapi ia sekarang ada di sini," jawab
pemimpin padepokan itu. Sementara itu kakak seperguruan dari pemimpin
padepokan itupun berkata, "Sebetulnya buat apa kau
memelihara seekor tikus. Lebih baik memelihara seekor
kucing yang betapapun kecilnya akan dapat memberikan
arti pada kehadirannya."
"Bukan tikus," jawab pemimpin padepokan itu. "tetapi
seekor anjing yang setia dan penurut."
Kakak seperguruannya tertawa. Katanya, "Terserah
kepadamu. Tetapi ingat, jika kau kehabisan tulang, maka
anjing itu akan dapat menggigit kakimu sendiri."
Pemimpin padepokan itu pun tertawa pula. Tetapi ia
berkata, "Bawa budak itu kemari. Aku akan
mengangkatnya sebagai hambaku. Aku tahu ia setia
meskipun karena kesetiaannya itu, ia nampaknya seperti
seorang yang besar kepala. Ia memerintah atas nama
Panembahan. Tetapi justru karena kesetiaannya."
"Ia merasa lebih berkuasa dari Panembahan," berkata
orang bertongkat itu. "ia telah memerintah kita semaumaunya
saja." "Ia tidak bermaksud demikian," jawab pemimpin
padepokan itu. "Ia sekedar menunjukkan setianya kepada
Panembahan, bahwa ia telah melakukan perintah
Panembahan dengan sebaik-baiknya."
"Jika kau jadikan ia hambamu, maka ia akan merasa
lebih berkuasa dari kau sendiri di padepokan ini," berkata
orang bertongkat itu. "Aku akan mencekiknya," sahut kakak seperguruan
pemimpin padepokan itu. Tetapi pemimpin padepokan itu masih tertawa pula.
Katanya, "Kenapa kalian ributkan budak yang setia itu.
Nah, biarlah ia datang kemari untuk memohon
perlindungan kepadaku. Tetapi ia harus menjadi hambaku
yang setia." Orang yang datang menghadap itu termangu-mangu
sejenak. Namun pemimpin padepokan itu pun berkata,
"Bawa orang itu kemari. Ia tidak berbahaya. Ia lebih lunak
dari buah mentimun."
Orang yang menghadap itu pun kemudian meninggalkan
ruangan itu dan kembali kepada kawannya. Ia menemui
kawannya berjalan yang hilir mudik, sementara Ki Permita
menunggu dengan gelisah pula. Ia mencemaskan keempat
orang yang berusaha mencegahnya, tetapi yang telah
dibuatnya tidak berdaya. Jika mereka tiba-tiba
menyampaikan persoalan yang terjadi atas diri mereka,
maka persoalannya tentu akan berbeda.
Namun karena seorang di antara mereka yang pingsan
itu nampaknya masih memerlukan perawatan, maka tiga
orang kawannya masih belum meninggalkannya. Bahkan
mereka pun seakan-akan telah menyerahkan persoalannya
kepada para penjaga di lapisan berikutnya.
"Akhirnya ia akan dihentikan," berkata salah seorang
dari keempat orang itu. "Tetapi apakah kita tidak dianggap bersalah bahwa
mereka telah mampu melewati garis pengamatan kita,"
desis yang lain. "Ternyata kita tidak mampu menahannya," jawab yang
pertama, "bahkan seorang di antara kita telah pingsan."
"Setan," geram orang yang baru sadar dari pingsan, "aku
tidak tahu apa-apa demikian dadaku merasa tersentuh
tangannya." "Duduklah," berkata kawannya, "orang itu tentu akan
tertangkap. Dan kita akan dapat membalas sakit hati kita."
"Tetapi kita harus melaporkannya," berkata orang yang
pingsan itu. "Jika terjadi sesuatu karena kelengahan, maka
kita tentu dapat dianggap bersalah."
Keempat orang itu termangu-mangu sejenak. Namun
seorang di antara mereka yang tertua akhirnya berkata,
"Baiklah. Dua orang di antara kita akan melaporkan
peristiwa yang terjadi ini. Sementara dua orang akan tetap
bertugas di sini." Akhirnya mereka menentukan orang yang pingsan itu
bersama seorang yang lain akan melaporkan peristiwa yang
telah terjadi itu ke lapisan berikutnya, agar laporan itu
bertingkat merambat sampai kepada para pemimpin
padepokan. Atau orang itu sudah terbunuh sebelum
mendekati regol padepokan.
Namun ketika mereka sampai ke lapisan berikutnya,
mereka menjumpai hanya seorang penjaga. Seorang yang
berjambang dan berkumis lebat.
"Kau sendiri?" bertanya orang yang pingsan itu.
"Ya. Seorang kawanku sedang mengantarkan budak
yang setia itu ke padepokan," jawab orang berjambang itu.
Orang yang pingsan itu termangu-mangu. Namun
kemudian iapun telah menceriterakan apa yang terjadi.
"Aku menjadi pingsan tanpa tahu sebab-sebabnya,"
berkata orang itu kemudian.
Orang berjambang itu termangu-mangu. Namun tiba-tiba
iapun tertawa. Katanya, "Kalianlah yang keterlaluan.
Orang itu lunak seperti ranti, lamban seperti siput dan
merengek seperti anak-anak sakit-sakitan."
"Mula-mula ia memang berbuat seperti itu," berkata
orang yang pingsan itu. "Jika ia berlaku sebagaimana kau katakan di padepokan,
maka ia akan mengalami perlakuan yang sangat pahit. Ia
akan dihukum cincang atau picis," jawab orang berjambang
itu. "nah, kita akan melihat apa yang terjadi."
Orang yang telah pingsan itu termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian katanya, "Tetapi kita harus
melaporkannya. Para pemimpin padepokan itu harus
berhati-hati menghadapinya."
"Sebagian dari mereka sudah mengenalnya dengan
baik," jawab orang berjambang itu. Lalu, "He, bukankah
kau juga pernah berada di padepokan Suriantal?"
"Ya. Itulah agaknya kami mempunyai gambaran yang
keliru tentang orang itu," jawab orang yang telah pingsan
itu. Tetapi orang berkumis dan berjambang lebat itu tidak
banyak menaruh perhatian. Bahkan kemudian katanya,
"Tidak ada gunanya. Orang itu sekarang sudah
menghadap." "Tetapi untuk waktu yang akan datang. Nanti atau
hesok." berkata orang yang pingsan itu.
"Terserah kepadamu," jawab orang berjambang itu. "aku
tidak peduli. Aku menganggap bahwa orang itu tidak akan
berbahaya dihadapan para pemimpin."
"Tetapi jika ia licik?" berkata orang yang telah pingsan
itu. "Terserah kepadamu," tiba-tiba orang berjambang itu
membentak. Orang yang pingsan itu merenung sejenak. Tetapi iapun
kemudian tidak peduli lagi kepada orang berjambang itu.
Katanya, "Aku akan menghadap."
Orang berjambang itupun tidak menghiraukannya pula.
Karena itu ketika orang itu berlalu, maka orang berjambang
itu sama sekali tidak memperhatikannya lagi. Bahkan ia
telah melemparkan pandangannya ke pepohonan di
sekitarnya. Ketika orang yang pingsan itu bersama seorang
kawannya menuju ke padepokan, Ki Permita telah dibawa
memasuki regol. Orang yang bertugas di regol tidak dapat
mencegahnya, karena yang membawa Ki Permita itu
adalah seorang pengawal pula yang mendapat tugas justru
dari pemimpin padepokan itu untuk membawa hamba yang
setia itu menghadap. Ketika Ki Permita itu dibawa memasuki sebuah barak
yang menjadi tempat bertemu para pemimpin padepokan
itu, maka ia pun telah menjadi berdebar-debar. Ternyata di
ruang itu terdapat beberapa orang yang tidak dikenal.
Orang yang tidak ikut berada di padepokan Suriantal.
Ketika Ki Permita yang dikenal bernama Palot itu
memasuki ruangan, maka pemimpin padepokan itu, orang
yang memiliki ilmu gendam, telah menyapanya sambil
tertawa, "Ki Palot. Selamat datang di padeokan ini."
Ki Permita menjadi ragu-ragu. Ia berdiri termangumangu
di pintu ruangan yang agak luas itu.
"Duduklah," berkata pemimpin padepokan itu.
Ki Palot itu memandang berkeliling. Beberapa orang
duduk di amben panjang yang terletak di sekeliling ruangan
di bilik itu. Dengan ragu-ragu maka ia pun telah duduk pula di
sebuah amben yang berada di sudut ruangan itu.
Tetapi tiba-tiba pemimpin padepokan itu berkata, "He
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Palot. Kemarilah. Duduklah di sini."
Ki Permita menjadi ragu-ragu. Tetapi, pemimpin
padepokan itu minta Ki Permita duduk di dekatnya, di
sebuah amben yang berada di sebelah tempat duduknya.
Namun Ki Permita itu berkata, "Cukup di sini."
Pemimpin padepokan itu tertawa. Katanya, "Kau adalah
seorang hamba yang setia dari Panembahan yang
mengecewakan itu. Yang aku kira benar-benar akan dapat
menyelesaikan berbagai masalah yang timbul di padepokan.
Namun akhirnya ternyata bahwa Panembahan itu tidak
kuasa menghadapi prajurit Lemah Warah."
"Bukan sekedar prajurit Lemah Warah," jawab Ki
Permita. "tetapi ternyata di antara mereka hadir dua orang
dari Kediri." "Dari manapun datangnya, namun ternyata bahwa
Panembahan itu tidak lagi mampu bertahan," berkata
pemimpin padepokan itu. "Demikianlah agaknya. Tetapi Panembahan sudah
berusaha sejauh dapat dilakukan," berkata Ki Permita.
"Baiklah," berkata pemimpin padepokan itu. Lalu, "Nah
sekarang, apa yang akan kau lakukan sepeninggal
Panembahan?" "Aku akan memohon perlindungan di padepokan ini,"
jawab Ki Permita. "Ya. aku sudah mendengar permintaanmu. Tetapi untuk
memenuhi keinginanmu itu, kau harus memenuhi satu
syarat," berkata pemimpin padepokan itu.
"Syarat apakah yang harus aku penuhi itu?" bertanya Ki
Permita. "Palot. Selama ini kau adalah hamba yang setia dari
Panembahan. Namun dengan kesetiaanmu itu ternyata kau
telah membuat banyak kesalahan. Kau kadang-kadang
bersikap sebagaimana Panembahan itu sendiri. Bahkan
kadang-kadang kau merasa dirimu lebih berkuasa," berkata
pemimpin padepokan itu. "Tentu bukan maksudku," berkata Ki Permita, "aku
hanya sekedar menjalankan perintah. Tidak lebih."
"Baiklah Palot," berkata pemimpin padepokan itu.
"syarat yang aku kemukakan adalah, bahwa selama kau
berada di padepokan ini, maka kau harus menjadi hambaku
yang setia, sebagaimana kau lakukan terhadap
Panembahan. Kau harus menurut segala perintahku dan
mengiakan segala kata-kataku. Jika kau bersedia menjadi
hamba yang setia, maka aku akan memeliharamu."
Terasa jantung Ki Permita berguncang. Ia tidak mengira
bahwa ia akan menerima penghinaan sedalam itu. Agaknya
orang-orang di padepokan Suriantal itu mempunyai
anggapan yang buram terhadap dirinya yang menjadi
perantara perintah Panembahan. Kekecewaan orang-orang
padepokan itu kepada Panembahan, agaknya telah
ditumpahkannya kepadanya.
Namun penghinaan itu benar-benar sulit untuk
diterimanya. Apalagi beberapa orang yang berada di ruang
itu serentak tertawa berkepanjangan.
Namun Ki Permita masih berusaha untuk menahan diri.
Bahkan ia berusaha menyembunyikan kesan perasaannya
itu di wajahnya. Dengan nada rendah ia berkata,
"Sebenarnya aku tidak berkeberatan. Tetapi ada bedanya
antara kalian dengan Panembahan bagiku. Aku adalah abdi
Panembahan sejak aku masih muda dan Panembahan pun
masih sangat muda. Tetapi di sini kita bertemu pada saatsaat
kita sudah menjelang usia senja."
Ki Permita menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu
pemimpin padepokan itu berkata lagi, "kau mendapat
kesempatan untuk memikirkannya barang sehari. Selama
itu kau boleh berada di padepokan ini untuk melihat-lihat
cara hidup kami. Kau akan dapat membayangkan, tugas
apa yang bakal kau pikul jika kau menjadi hambaku yang
setia." Penghinaan itu sudah tidak tertanggungkan lagi. Namun
sebelum Ki Permita itu berbuat sesuatu, seorang pengawal
telah membawa masuk dua orang pengawal yang lain ke
dalam ruangan itu. Ki Permita mengerutkan keningnya. Ia mengenali kedua
orang itu. Mereka adalah orang-orang yang telah
menahannya di luar padepokan. Ki Permita pun sudah
menduga, apa yang akan dikatakannya.
Tetapi ia tidak berkeberatan. Ia pun hampir bertindak
karena tidak lagi dapat menahan diri karena penghinaan itu.
Pemimpin padepokan itu termangu-mangu melihat
kehadiran kedua orang pengawal itu. Dengan nada tinggi ia
bertanya, "Ada apa kalian menghadap?"
Orang yang telah pingsan itu pun berpaling ke arah Ki
Permita yang dikenalnya bernama Palot itu. Dengan raguragu
ia berkata, "orang itu."
"Kenapa dengan orang itu?" bertanya pemimpin
padepokan itu. "Ia memaksa untuk memasuki padepokan," jawab orang
yang pingsan itu. Pemimpin padepokan itu tertawa. Katanya, "Ia ada di
sini sekarang." "Ya. Aku melihat," jawab orang yang pernah pingsan
itu. "Tetapi jika ia sampai ke ruang ini, bukan karena kami
tidak melakukan tugas kami."
Pemimpin padepokan itu masih tertawa. Katanya,
"Sudahlah. Jangan hiraukan lagi orang itu. Ia sudah
bersedia menjadi hambaku yang setia. Ia akan menurut
segala perintahku dan ia akan bersedia mengikut di
belakang ke mana aku pergi sambil membawa barangbarangku."
Hampir saja Ki Permita itu berteriak mengumpat. Tetapi
orang yang pernah jatuh pingsan itu berkata, "Tetapi ia
adalah orang yang sangat berbahaya. Orang itu mempunyai
ilmu iblis." Pemimpin padepokan itu mengerutkan keningnya.
Namun ia pun kemudian tertawa, "Jangan cemaskan orang
itu. Jika ia garang seperti seekor harimau, maka karena ia
bersandar kepada orang yang disebut Panembahan itu."
"Tidak," jawab orang yang pernah pingsan itu. "ia bukan
sekedar bersandar pada Panembahan. Tetapi ia memang
memiliki ilmu iblis itu. Ia mampu memperlakukan kami
berempat sebagai bahan permainan."
Pemimpin padepokan itu mengerutkan keningnya.
Dipandanginya orang yang pernah pingsan itu dengan Palot
berganti-ganti. Sementara itu orang yang pernah pingsan itu
berkata, "Itulah yang ingin aku katakan, agar ia tidak
menjadi racun di padepokan ini."
Pemimpin padepokan itu termangu-mangu sejenak.
Namun ia pun kemudian bangkit berdiri sambil berkata,
"Apa yang dapat dilakukan oleh tikus kecil ini."
"Bagaimanapun juga ia cukup berbahaya," berkata orang
itu. "Terima kasih atas keteranganmu. Jika demikian, kami
akan bersikap lain terhadapnya."
Orang yang pernah pingsan itu menarik nafas dalamdalam.
Dipandanginya Ki Permita sambil berdesis, "Nah,
kau akan tahu akibat permainanmu yang kasar itu."
"Tinggalkan orang itu," berkata pemimpin padepokan
kepada orang yang pernah pingsan itu. "aku akan
mengurusnya." Demikianlah maka kedua orang yang datang untuk
melaporkan tentang Ki Permita itu telah meninggalkan
ruangan, sementara pemimpin padepokan itu
memandanginya dengan tegang.
"Palot," berkata pemimpin padepokan itu. "apa yang
telah kau lakukan" Apa pula yang telah kau pamerkan."
Ki Permita berusaha untuk mengatur nalarnya. Karena
itu maka dengan nada datar ia berkata, "Aku tidak tahu apa
yang dikatakannya. Aku memang memaksa untuk
memasuki padepokan ini, sementara orang yang
mengantarkan aku kemari sama sekali tidak menaruh
keberatan apapun juga sehingga aku sekarang ada di sini."
Pemimpin padepokan itu mengangguk-angguk. Tetapi
katanya sama sekali tidak diduga oleh Ki Permita, "Palot.
Ternyata kau memang pantas untuk dijerat di kandang
harimau." "Kenapa?" bertanya Ki Permita.
Namun sementara itu beberapa orang yang lain agaknya
tidak sabar lagi menunggu pembicaraan itu. Orang
bertongkat itu kemudian berkata, "Aku sudah
mengorbankan padepokanku. Sekarang kau datang untuk
berkhianat pula" Apa yang kami dapatkan dari
Panembahan selain kehancuran. Tetapi kami berusaha
untuk menerimanya sebagai satu akibat dari perjuangan
kami. Tetapi jika kau datang untuk mengacaukan
kedudukan kami di sini, maka kau memang harus
disingkirkan. Tidak sekedar diusir pergi."
"Ya," desis kakak seperguruan pemimpin padepokan itu.
"karena itu maka apa boleh buat. Kita tidak memerlukan
seorang hamba yang setia, atau seorang budak penurut."
"Tunggu," berkata Ki Permita, "apa yang sudah aku
lakukan selain memaksa masuk ke padepokan ini untuk
mencari perlindungan?"
"Kemampuanmu itu membuat kami tidak tenang,"
berkata pemimpin padepokan itu. "karena itu, maka kau
tidak aku perlukan lagi. Tetapi kau pun tidak boleh
berkhianat jika kau pergi. Sayang. Kau tidak mempunyai
pilihan." Ki Permita menjadi tegang. Dengan ragu-ragu ia berkata
memelas, "Kasihani aku. Apa salahku" Aku datang dengan
maksud baik. Mohon perlindungan."
"Persetan," geram pemimpin padepokan itu. "mungkin
kau benar-benar mencari perlindungan. Tetapi sikapmu
kepada orang-orangku menunjukkan bahwa kau tidak lagi
dapat dipercaya. Kau bagiku bukan seorang budak yang
setia." "Aku sungguh tidak mengerti," berkata Ki Permita.
"Sudahlah Palot. Nasibmu memang buruk. Kau akan
mati di sini. Kau tidak mempunyai pilihan lain.
Kehadiranmu mencurigakan kami semua. Apalagi bahwa
kau tetah memaksa menembus pengawalan dengan
kekerasan. Kau telah menunjukkan kemampuan yang tidak
terduga-duga. Dengan demikian kami memperhitungkan
kemungkinan bahwa kau masih memiliki kemampuan yang
lebih tinggi lagi," berkata pemimpin padepokan itu.
"Seandainya aku mempunyai kemampuan, kenapa
kalian mencurigai aku" Bukankah kemampuanku dapat
kalian pergunakan menurut kepentingan kalian dan sesuai
dengan tingkat kemampuanku," berkata Palot.
"Tetapi bahwa kau tidak menunjukkan sikap tidak jujur
membuat kami curiga," berkata orang bertongkat itu. "kau
sengaja memberikan kesan bahwa kau adalah abdi yang
bodoh dan dungu serta tidak berilmu sama sekali. Namun
ternyata kau mampu memaksa empat orang pengawal
memberikan jalan kepadamu dan mereka menilai
kemampuanmu cukup tinggi. Nah, ketidak jujuranmu itu
telah menyeretmu dalam kesulitan."
"Sudahlah," berkata kakak seperguruan pemimpin
padepokan itu. "selesaikan saja orang itu. Ia tidak berarti.
Seandainya ia memang seorang abdi, maka apa gunanya ia
di sini" Apalagi bahwa ia tidak jujur dan berusaha
berkhianat." "Baiklah. Aku akan memperintahkan orang-orangku
untuk menyelesaikannya," berkata pemimpin padepokan
itu. "Kematiannya tidak akan membuat kita kehilangan,
siapapun orang ini sebenarnya dan kita tidak akan lagi
terancam bermacam-macam kemungkinan yang dapat
dilakukannya." Pemimpin padepokan itu pun kemudian memberi isyarat
kepada pengawal kepercayaannya. Katanya dengan nada
rendah, "Sayang, bahwa kita harus menyelesaikannya. Aku
kira orang ini memang tidak diperlukan lagi. Ia hanya akan
memperbanyak tanggungan saja di sini, sehingga sebaiknya
orang ini kita selesaikan saja."
"Tetapi, aku datang dengan maksud baik," desis Ki
Permita. "Mungkin. Tetapi nasibmulah yang tidak baik. Kau akan
mati sia-sia. Terimalah nasib ini, hamba yang setia. Karena
kesetiaanmu pula agaknya maka kau tidak berkeberatan jika
kau kami bunuh. Dengan setia kau harus menjalaninya
tanpa mengadakan perlawanan apapun."
Ternyata jawaban orang yang dikenalnya bernama Palot
itu telah mengejutkan mereka. Dengan tenang ia tiba-tiba
berkata, "Siapa yang akan mendapat tugas membunuh
aku?" Semua orang memandanginya dengan tegang.
Sementara itu tiba-tiba orang yang disebut Palot itu bangkit
berdiri. Sambil berjalan hilir mudik ia berkata tanpa
menghiraukan pandangan mata yang mengikutinya,
"Baiklah aku berterus terang. Kecurigaan kalian memang
beralasan. Ternyata kalian mempunyai ketajaman
penggraita, sehingga kalian tidak segera mempercayai aku.
Apalagi setelah aku memaksa melampaui keempat orang
pengawal kalian itu."
Pemimpin padepokan yang masih terheran-heran itu
bertanya hampir di luar sadarnya, "Sekarang kau mau
apa?" "Akulah yang bertanya," berkata orang yang dikenal
bernama Palot itu. "kalian mau apa" Akan membunuhku"
Siapakah di antara kalian yang akan melakukannya?"
"Setan," geram kakak seperguruan pemimpin padepokan
itu. "aku yang akan membunuhmu."
Palot itu tertawa. Suara tertawanya mempunyai kesan
yang berbeda sekali dengan sikapnya sebelumnya.
"Baiklah. Lakukanlah. Tetapi biarlah aku berbicara lebih
dahulu," berkata Palot.
"Apa yang akan kau katakan?" bertanya pemimpin
padepokan itu. "Aku akan berterus terang. Aku datang atas nama
Akuwu Lemah warah," berkata orang yang disebut Palot
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu. "Pengkhianat," geram orang bertongkat.
"Terserahlah kau sebut apa," berkata Ki Permita yang
dikenal dengan nama Palot, "tetapi dengarlah. Kalian
sudah tidak mempunyai kesempatan lagi. Akuwu Lemah
Warah tentu akan memburu ke mana kalian pergi.
Sekarang, padepokan ini telah diketahui letaknya oleh
Akuwu Lemah Warah. Seandainya bukan aku yang
menunjukkannya, maka banyak orang-orang kalian yang
tertangkap." "Tetapi kita sekarang tidak lagi berada di Pakuwon
Lemah Warah," berkata pemimpin padepokan itu.
"Tetapi masih berada di tlatah Kediri, atau barangkali
jika di luar Kediri juga masih di daerah Singasari," jawab
Palot. "padepokan ini memang berada di perbatasan antara
Pakuwon Lemah Warah dan Pakuwon Panitikan. Tetapi
justru karena itu maka kalian akan menjadi semakin sulit,
karena Pakuwon Panitikan juga akan mengerahkan
prajuritnya bersama prajurit Lemah Warah."
Tetapi pemimpin padepokan itu menggeram, "Jangan
menganggap kami anak-anak yang mudah sekali menjadi
ketakutan. Kami sudah menentukan sikap. Sudahlah,
jangan banyak bicara. Kau harus mati."
"Tunggu," berkata Palot, "masih ada pesan yang harus
aku sampaikan." "Persetan," geram para pemimpin yang ada di tempat
itu. "Dengarlah dahulu," berkata Palot, "pesannya
mengandung persahabatan."
Orang-orang yang ada di ruang itu menjadi tegang.
Saudara seperguruan pemimpin padepokan itu menjadi
tidak sabar. Dengan nada tinggi ia berkata, "Tidak ada
waktu lagi. Matilah dengan cara yang paling baik yang kau
kehendaki." Tetapi orang yang disebut Palot itu berkata, "Tunggu.
Dengarlah. Akuwu Lemah Warah menawarkan
kesempatan kepada kalian untuk menyerah. Jika kalian
bersedia menyerah, maka akan diadakan pembicaraan
dengan para pemimpin di Kediri agar kalian mendapat
pengampunan." "Gila," teriak pemimpin padepokan itu. "kau kira kami
sudah menjadi gila."
"Bukan. Justru karena Akuwu Lemah Warah
menganggap kalian masih tetap waras. Pertimbangkan.
Kalian tidak lagi mempunyai kesempatan. Padepokan
inipun akan dapat dihancurkan. Kalian tidak akan dapat
melarikan diri untuk kedua kalinya," berkata Ki Permita
yang disebut Palot itu. "Setan," teriak kakak seperguruan pemimpin padepokan
itu. "aku yang tidak terlibat dalam pertempuran itupun
hatiku menjadi panas. Apalagi mengingat janji
Panembahan yang tidak terpenuhi dengan alasan apapun
juga. Ternyata bahwa ilmunya tidak mampu melindungi
padepokan itu sebagaimana dijanjikannya. Karena itu,
maka kau harus mati. Sebut, cara yang paling terhormat
yang kau kehendaki."
"Ki Sanak," berkata Palot, "tenanglah sedikit.
Renungkan tawaran itu. Jika kau sudah membuat
pertimbangan-pertimbangan dengan nalar yang bening,
barulah mengambil keputusan. Sekarang kalian belum
sempat membuat pertimbangan itu, sehingga kalian dengan
serta merta telah menolak tawaran yang bersahabat itu."
"Tutup mulutmu," teriak kakak seperguruan pemimpin
padepokan itu. "sebut cara yang paling terhormat untuk
mati yang kau inginkan."
Ki Permita termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Apakah benar-benar tidak ada jalan lain?"
"Tidak," jawab kakak seperguruan pemimpin padepokan
itu. Palot menarik nafas dalam-dalam. Namun sementara itu
pemimpin padepokan itu pun berkata, "Biarlah anak-anak
membunuhnya. Mengikatnya pada tonggak kayu di
halaman padepokan. Biarlah ia menyebut cara yang paling
baik yang dikehendakinya."
"Tidak," jawab kakak seperguruan pemimpin padepokan
itu, "aku akan menyelesaikannya. Bukan orng lain. Biarlah
sekali-sekali aku membunuh kelinci yang deksura, yang
sombong dan tidak tahu diri."
"Jangan kotori tanganmu dengan darah hamba yang
setia dan dungu itu," berkata pemimpin padepokan itu.
"Mulutnya membuat darahku mendidih," berkata kakak
seperguruannya itu. "karena itu biarlah aku melakukannya
untuk mendapat kepuasan tersendiri. Di pertempuran
membunuh merupakan kebanggaan. Tetapi sikap orang itu
mendorong keinginanku untuk membunuhnya untuk
mendapatkan kepuasan."
Yang tidak disangka ternyata telah terjadi. Tiba-tiba saja
orang yang disebut Palot itu tertawa. Bahkan kemudian
dengan nada datar ia berkata, "Baiklah. Jika aku diberi
kesempatan memilih jalan kematian, aku memilih perang
tanding." Ruang itu telah dicengkam oleh ketegangan. Suara
tertawa Palot itu benar-benar telah mengguncang setiap
jantung. Mereka seakan-akan tidak percaya kepada
penglihatan dan pendengaran mereka masing-masing.
"He, kenapa kalian menjadi bingung. Marilah, siapa
yang akan membunuh aku dengan cara yang aku pilih?"
berkata Palot kemudian. Kakak seperguruan pemimpin padepokan itu
mengumpat. Dengan lantang iapun kemudian berkata,
"Aku akan membunuhnya. Aku tahu satu cara untuk
menggertak. Tetapi tidak ada gunanya. Aku akan tetap
membunuhnya seperti membunuh seekor kelinci."
"Marilah," berkata Palot, "kita akan mencoba."
"Siapkan arena di halaman. Bukan arena perang tanding.
Tetapi aku akan membantainya, agar ternyata bahwa aku
adalah orang yang melakukan apa yang aku katakan. Aku
akan membunuhnya sepengetahuannya, agar ia dapat
merasa bagaimana jalan kematiannya itu."
Tetapi Palot itu masih tertawa. Katanya, "Seperti yang
selalu aku dengar. Mengancam, menakut-nakuti dan segala
macam ceritera yang mengerikan. Tetapi aku sudah terbiasa
mendengarnya, dan karena itu aku sama sekali tidak
gentar." "Setan," kakak seperguruan pemimpin padepokan itu
hampir saja menerkamnya. Namun ia sudah
memerintahkan untuk menyiapkan arena, karena itu maka
ia pun segera berjalan meninggalkan ruangan itu ke
halaman sambil berkata, "Jika kau benar-benar jantan, aku
tunggu kau di luar. Aku akan menyayat tubuhmu dan
menghancurkan kepalamu sampai lumat."
"Tidak usah banyak berbicara," jawab Palot, "aku akan
memasuki arena sebagai seorang hamba yang setia.
Sekarang aku adalah abdi Sang Akuwu Lemah Warah yang
mengemban tugas untuk memaksa para pemimpin
padepokan ini menyerah atau membunuh mereka. Sebagai
hamba yang setia, maka aku harus melakukannya."
Darah kakak seperguruan pemimpin padepokan itu
bagaikan mendidih karenanya. Karena itu, maka dengan
tergesa-gesa iapun telah turun ke halaman dan memasuki
arena sambil berteriak, "Marilah. Semua orang di sekitar
arena ini akan menjadi saksi."
Ki Permita yang disebut Palot itu pun telah melangkah
keluar ruangan itu menuju ke halaman. Namun beberapa
orang pengawal mengamatinya agar orang itu tidak
melarikan diri. Tanpa ragu-ragu Palot pun kemudian turun pula ke
halaman. Dipandanginya orang-orang yang ada di
sekelilingnya. Dengan suara mantap ia berkata, "Nah,
kalian memang akan menjadi saksi kematian salah seorang
pemimpin kalian dalam perang tanding ini. Jangan tangisi
kepergiannya karena kesombongannya."
Beberapa orang yang ada di sekitar arena itu menjadi
heran melihat sikap orang yang disebut Palot itu. Seorang
yang berjambang lebat berkata, "Apa orang itu telah
menjadi gila karena ketakutan?"
Namun dalam pada itu, seorang yang termasuk orang
berilmu di antara pengikut kakak seperguruan pemimpin
padepokan itu berkata, "Ada dua kemungkinan. Ia menjadi
gila, atau orang itu memang memiliki ilmu."
Tetapi orang berjambang itu menyahut, "Orang itu tidak
lebih dari seorang hamba yang setia dan patuh. Ia tidak
pernah berbuat sesuatu selain atas nama tuannya yang
ternyata tidak mampu melawan orang-orng Kediri itu."
"Kita akan melihat apa yang terjadi," berkata lawannya
berbicara itu. Arena itu pun kemudian menjadi tegang. Kakak
seperguruan pemimpin padepokan itu pun kemudian
berkata lantang, "Lihatlah. Bagaimana aku membungkam
mulut orang gila itu. Ketakutan itu telah sampai ke puncak
sehingga ia telah kehilangan akalnya."
Orang berjambang itu telah menggamit kawannya
berbicara sambil berdesis, "Nah, bukankah dugaanku
benar." Yang digamit menjawab, "Bukan benar. Tetapi
dugaanmu sama dengan dugaan pemimpin kita itu."
Orang berjambang itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian iapun menjawab, "Ya. Memang sama."
Namun perhatian rnereka pun kemudian telah tertuju ke
arena itu sepenuhnya. Kedua orang yang berada di arena
itu sudah siap. Sementara itu, para pemimpin padepokan
itu yang berilmu tinggi menjadi berdebar-debar, karena
mereka melihat orang yang disebut bernama Palot itu pun
telah menunjukkan sikap yang meyakinkan.
"Palot," berkata kakak seperguruan pemimpin
padepokan itu. "kau masih mempunyai kesempatan untuk
menyebut nama ayah ibumu sebelum kau mati. Atau
mungkin kau mempunyai pesan terakhir yang perlu kau
katakan?" "Memang mungkin ada yang ingin aku katakan,"
berkata orang yang disebut Palot itu.
"Apa?" bertanya lawannya.
"Sebuah pertanyaan," jawab Palot.
"Sebut," lawannya menjadi geram.
"Di mana kau ingin dikubur setelah kau mati dalam
perang tanding ini?" bertanya Palot.
"Gila," orang itu berteriak sambil meloncat menyerang.
Ia tidak lagi mampu menahan hatinya karena kesombongan
sikap lawannya. Tetapi Palot telah bersiap menghadapi kemungkinan itu.
Karena itu, maka ia pun dengan tangkasnya telah meloncat
menghindari serangan itu.
Sambil tertawa ia berkata, "Inikah kemampuan seorang
pemimpin tertinggi yang di padepokan ini?"
Orang itu mengumpat. Namun ia berkata, "Apakah kau
menganggap bahwa yang aku lakukan adalah puncak dari
kemampuanku." "Tidak. Tentu tidak," jawab Palot, "baru pada tataran
pertama. Aku masih menunggu tingkat-tingkat berikutnya.
Baru jika kau sudah sampai ke puncak maka aku akan
membalas." Sangat menyakitkan hati. Tetapi justru karena itu, maka
lawannya itu pun berusaha menahan diri sambil berkata,
"Jangan kau kira aku tidak mengetahui caramu yang licik
itu. Kau sengaja membuat aku marah. Dengan demikian
maka sebagian kemenangan telah tergenggam di
tanganmu." "Jadi kau tidak marah?" bertanya Palot.
"Aku memang marah. Tetapi bukan marahnya anakanak,"
jawab kakak seperguruan pemimpin padepokan itu.
Palot mengangguk-angguk. Kemudian katanya, "Nah.
Jika demikian maka barulah aku mendapat lawan yang
sebenarnya." "Kau terlalau sombong. Tetapi aku tahu. Kau ingin
menolong dirimu sendiri dengan sikapmu. Jika kau berhasil
membuat aku marah dan tidak terkendali, maka kau
mengharap untuk dapat berbuat licik," berkata lawannya.
Tiba-tiba saja Palot tertawa. Katanya, "Kau menyadari
keadaan. Jika demikian tidak ada gunanya aku membuat
marah. Sekarang aku harus menghadapimu dalam arena,
benar-benar bertempur beradu ilmu."
Lawannya termangu-mangu sejenak. Tetapi ia melihat
sikap yang mantap pada Palot. Sangat berbeda dengan
sikap seorang hamba yang setia, patuh dan dungu.
Karena itu, maka lawannya itu pun menjadi semakin
berhati-hati. Agaknya Palot memang bukan sekedar dapat
membuatnya marah. Tetapi ia benar-benar memiliki
kemampuan untuk mempertahankan diri. Yang perlu
dijajaginya, seberapa tingkat kemampuan itu.
Sejenak kemudian, maka kakak seperguruan pemimpin
padepokan itu mulai menyerang. Meskipun ia menjadi lebih
berhati-hati, namun ia tetap merasa sebagai orang yang
memiliki ilmu tertinggi. Pemimpin padepokan itu adalah
adik seperguruannya yang ilmunya lebih muda
daripadanya. Tetapi orang itu ingin membunuh lawannya dengan
tangannya. Tidak dengan meminjam tangan atau mulut
binatang buas yang manapun juga, yang dapat
dipengaruhinya dengan ilmu gendam.
Demikianlah, maka pertempuran pun semakin lama
menjadi semakin meningkat. Kakak seperguruan pemimpin
padepokan itu mulai menjadi heran bahwa lawannya,
hamba yang setia dan dungu itu masih juga mampu
mengimbangi ilmunya. Sebenarnyalah bahwa Ki Permita justru sekedar
mengikuti tingkat kemampuan lawannya yang semakin
meningkat, ia tidak dengan serta merta mempergunakan
puncak kemampuannya. Jika ia melakukannya, maka
lawannya yang tidak menduga, akan dengan cepat
diselesaikan. Tetapi Ki Permita tidak berbuat demikian.
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jika ia berbuat dengan serta merta maka ia akan
dianggap sebagai seorang yang licik meskipun lawannyalah
yang sebenarnya telah merendahkannya.
Namun dengan demikian, lawannya, seorang yang
memang berilmu tinggi mulai menyadari kesalahannya.
Terpengaruh oleh sikap adik seperguruannya serta orang
bertongkat dari perguruan Suriantal yang menganggap
bahwa orang yang disebut Palot itu tidak lebih dari seorang
hamba yang setia, patuh tetapi dungu, sehingga ia
menganggap bahwa dengan sekedar kemampuan wajarnya
ia akan dapat membantai orang itu.
Tetapi ternyata bahwa setelah ia mulai merambah pada
tenaga cadangannya, orang itu masih juga tidak mengalami
kesulitan. Karena itu, maka kakak seperguruan pemimpin
padepokan itupun berkata, "Semakin lama aku semakin
menyadari kenyataan. Kau tidak hanya mampu memancing
kemarahan agar kau dapat berbuat licik. Tetapi kau
agaknya memang memiliki kemampuan yang tinggi
sehingga kau benar-benar merasa berani menghadapi aku.
Bukan sekedar didorong oleh sikap putus asa dan tanpa
harapan lagi, sehingga tingkah lakumu menjadi aneh."
"Sudah aku katakan sejak semula," berkata orang yang
disebut Palot itu. "bahwa kaulah yang akan dikubur setelah
perang tanding ini selesai."
"Baik. Aku sudah bersiap sekarang. Aku tidak akan
menganggap kau sebagai seorang hamba yang dungu.
Tetapi agaknya kau memang seorang yang pantas untuk
turun ke dalam arena perang tanding. Namun sayang,
bahwa pada kesempatan ini kau bertemu dengan aku,"
berkata kakak seperguruan pemimpin padepokan itu.
Tetapi orang yang disebut Palot itu tertawa. Katanya,
"Siapapun yang kau hadapi, bukan soal. Tetapi sekali lagi
aku menawarkan kepada kalian untuk menyerah. Dengan
demikian maka Akuwu Lemah Warah atas persetujuan
orang-orang Kediri akan dapat membuat pertimbanganpertimbangan
lain tentang kalian."
"Tutup mulutmu," geram kakak seperguruan pemimpin
padepokan itu. Palot masih akan menjawab lagi. Tetapi lawannya telah
mulai bergeser. Orang yang disebut Palot itu tidak lagi dapat sekedar
melayani lawannya. Ia sadar bahwa lawannya tentu mulai
mempergunakan kemampuannya dan ilmunya untuk
mengalahkannya. Sebenarnyalah bahwa ketika kakak seperguruan
pemimpin padepokan itu mulai menyerang, maka segalagalanya
telah berbeda. Angin yang menyambarnya ketika ia
mengelak terasa menampar tubuhnya. Demikian kerasnya,
sehingga kulitnya merasa pedih.
Palot menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar sepenuhnya,
jika anginnya cukup membuat kulitnya pedih, apalagi jika
ia tersentuh langsung oleh serangan itu.
Karena itu, maka Ki Permita yang disebut Palot itu pun
telah meningkatkan daya tahannya. Pertempuran yang akan
terjadi kemudian adalah pertempuran antara dua orang
yang berilmu tinggi. Bukan hanya Ki Permita yang disebut
Palot itu sajalah yang menyadari akan hal itu, tetapi
lawannya pun menyadarinya pula.
Ketika lawannya meloncat menyerangnya lagi, maka
Palot telah bergeser pula. Sekali lagi terasa angin menerpa
kulitnya. Namun Palot tidak membiarkan dirinya menjadi
sasaran. Demikian serangan lawannya meluncur sejengkal
dari kulitnya, maka Palot lah yang kemudian mengangkat
kakinya. Tubuhnya-pun menjadi semakin condong
sementara kakinya terayun lurus menyamping.
Lawannyalah yang kemudian meloncat menghindari
serangannya. Namun ternyata bahwa jantungnya pun telah
berdesir. Orang yang dikatakan hamba yang setia dan
dungu itu ternyata seorang yang memiliki ilmu yang sangat
tinggi. Meskipun kakinya tidak mengenai sasaran, tetapi
udara panas bagaikan berhembus menyertai ayunan kaki
itu. Dengan demikian maka ternyata bahwa hamba yang
setia itu mampu mengimbangi kemampuan lawannya, yang
mampu menampar tubuh lawannya dengan sambaran angin
oleh dorongan serangannya, sementara hamba yang setia
itu mampu menghembuskan udara panas.
Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu pun
menjadi berdebar-debar. Bahkan pemimpin padepokan itu
dan orang bertongkat dari perguruan Suriantal menjadi
berdebar-debar. Mereka tidak saja menyaksikan
pertempuran itu, tetapi mereka merasa betapa tajamnya
angin menyambar kulit mereka dan sentuhan udara panas
yang menyengat. Dengan demikian mereka dapat menduga, seberapa
tingkat kemampuan kedua orang yang bertempur itu.
Serangan demi serangan datang dan bahkan kadangkadang
saling menyusul. Namun keduanya memiliki
kemampuan yang luar biasa sehingga serangan-serangan itu
sama sekali tidak mengenai sasaran.
Meskipun demikian perasaan sakit pun telah menggigit
kulit oleh sambaran angin dan udara panas.
Namun ketahanan tubuh mereka yang tinggi, ternyata
telah mampu mengatasi perasaan sakit itu. Sementara itu
mereka yang bertempur itupun telah semakin meningkatkan
ilmu mereka sehingga pertempuran pun semakin lama
menjadi semakin seru. Tidak seorang pun yang dapat menduga, siapakah di
antara mereka yang akan memenangkan pertempuran itu.
Kakak seperguruan pemimpin padepokan itu memang
memiliki tataran ilmu yang lebih tinggi dan masak dari
pemimpin padepokan itu sendiri, sehingga dengan demikian
maka ia adalah orang yang jangat berbahaya bagi lawanlawannya
jika terlibat dalam pertempuran.
Namun ternyata bahwa lawannya, hamba yang setia dan
dungu itu memiliki tingkat ilmu yang mampu
mengimbanginya, sehingga dengan demikian pertempuran
pun menjadi betapa sengitnya.
Serangan dibalas dengan serangan. Namun keduanya
memiliki kecepatan gerak untuk saling menghindari.
Sehingga untuk beberapa lamanya, pertempuran itu
berlangsung tanpa dapat diduga apa yang akan terjadi.
Namun, karena tata gerak mereka menjadi semakin
cepat dan semakin kuat, maka mereka pun kemudian tidak
selalu sempat menghindarkan diri dari serangan demi
serangan. Namun mereka tidak ingin membiarkan tubuh
mereka dikenai oleh serangan lawannya.
Karena itu, maka ketika lawan Palet itu meloncat
menyerang dengan kecepatan yang tidak terduga,
sementara Palot masih baru meletakkan kakinya setelah
menghindari serangan sebelumnya, maka Palot itu tidak
sempat lagi menghindar. Ia sadar, bahwa serangan kakak seperguruan pemimpin
padepokan itu demikian dahsyatnya, jika benar-benar
mengenai lambungnya, maka tulang-tulang iganya akan
berpatahan. Karena itu, maka yang dapat dilakukannya adalah
melindungi lambungnya dari ujung serangan lawannya.
Demikianlah ketika telapak kaki lawannya itu meluncur ke
arah lambung, maka Palot telah merendahkan dirinya.
Dengan sikunya ia melindungi lambungnya itu. Namun ia
tidak sekedar bertahan. Dengan segenap kekuatan yang
sempat terhimpun ia pun mendorong serangan lawannya
pula Demikianlah telah terjadi benturan yang dahsyat sekali.
Sentuhan kaki kakak seperguruan pemimpin padepokan itu
terasa bagaikan menyayat lengan Ki Permita yang dikenal
bernama Palot itu. Sementara itu kekuatan yang sangat
besar telah mendorongnya sehingga Palot itu terlempar
beberapa langkah. Tubuhnya bagaikan terbanting. Beberapa
kali ia berguling. Baru kemudian sambil menyeringai ia
berusaha untuk bangkit. Namun Palot terpaksa berdiri pada sebelah lututnya,
sementara ia berusaha mengatur pernafasannya yang
menjadi terengah-engah. Bahkan rasa-rasanya lehernya
telah tersumbat oleh hentakan yang menyesak di dadanya.
Perlahan-lahan Palot berhasil menembus sesak nafasnya,
sehingga pernafasannya itu pun menjadi semakin teratur.
Darahnya yang bergejolak oleh degup jantungnya yang
melonjak-lonjak, dapat dikuasainya pula. Sementara Palot
berusaha untuk meningkatkan daya tahannya dengan alas
ilmunya yang mapan. Palot memang tidak tergesa-gesa. Ia sempat
melakukannya karena ia melihat keadaan lawannya yang
tidak lebih baik dari dirinya.
Kakak seperguruan pemimpin padepokan itu ternyata
telah terpental pula beberapa langkah. Kakinya yang
mengenai siku Palot yang melindungi lambungnya,
bagaikan menghantam besi yang membara. Betapa keras
dan panasnya, sehingga ia justru terpental oleh kekuatannya
sendiri beberapa langkah. Kecuali panas yang membakar
kakinya, tulang-tulang kakinya terasa bagaikan berpatahan.
Bahkan panas itu rasa-rasanya bagaikan merambat sampai
ke seluruh tubuhnya. Untuk beberapa saat lamanya kakak seperguruan
pemimpin padepokan itu terbaring diam. Dengan segenap
sisa kemampuannya, ia berusaha memperbaiki keadaannya.
Ditingkatkannya daya tahan tubuhnya, sehingga perasaan
sakitnya mulai berkurang.
Perlahan-lahan orang itu pun mulai bangkit. Ia menduga,
bahwa lawannya, hamba yang dungu yang bernama Palot
itu telah berhasil dibinasakan meskipun keadaannya sendiri
terasa sakit hampir di seluruh tubuhnya.
Namun ketika ia berhasil bangkit dan duduk sambil
menahan sakit, alangkah terkejutnya ketika ia melihat orang
yang disebut Palot itu sudah bangkit dan bahkan sedang
mencoba untuk berdiri tegak.
"Setan," geram kakak seperguruan pemimpin padepokan
itu. "Jadi kau belum mati?"
Palot justru mencoba tersenyum. Ketika ia sudah mampu
berdiri tegak, maka iapun telah bertolak pinggang sambil
berkata, "Marilah. Bangkitlah. Aku sudah menunggu."
Kakak seperguruan pemimpin padepokan itu
menggeretakkan giginya. Ia pun kemudian berusaha untuk
berdiri tegak meskipun tulang-tulangnya bagaikan
gemeretak. "Bagaimana Ki Sanak," suara Palot masih tetap
terdengar lantang. "Persetan," geram lawannya, "seharusnya kau sudah
mati." "Tetapi aku belum mati," berkata Palot, "karena bukan
akulah yang akan mati."
"Persetan. Persetan," lawannya itu berteriak, "kau harus
mati. Kau kira bahwa aku benar-benar sudah sampai pada
puncak kemampuanku."
"Tidak," jawab Palot, "aku tahu bahwa kau belum
sampai ke puncak ilmumu. Seharusnya kau sadar, bahwa
kau terlalu merendahkan aku. Kau menganggap bahwa
seorang hamba yang setia itu tentu dungu dan tidak berilmu
sama sekali. Ternyata bahwa dungaanmu itu salah Ki
Sanak. Meskipun aku hamba yang setia, tetapi aku bukan
orang yang dungu dan sama sekali tidak berilmu."
"Kau terlalu sombong. Sampai saat ini aku masih belum
menunjukkan kemampuanku yang sebenarnya. Tetapi
dalam keadaan seperti ini, maka kau akan mengalami nasib
yang paling buruk. Sebenarnya aku ingin membunuhmu
dalam keadaan wajar. Tetapi ternyata aku terpaksa
menghancurkan tubuhmu berkeping-keping. Aku tidak
mempunyai pilihan lain," geram orang itu.
Palot memandang orang itu dengan tajamnya. Namun
ia-pun sadar, bahwa orang itu tidak hanya sekedar
membual. Orang itu tentu memiliki kemampuan
melampaui pemimpin padepokan itu. Dengan demikian
maka banyak kemungkinan dapat terjadi. Salah satu ilmu
yang pantas diperhitungkan adalah ilmu penglimunannya.
Dengan ilmu itu, maka Palot tentu akan mengalami
kesulitan untuk melawannya.
Menurut perhitungan Ki Permita, sebagaimana
pemimpin padepokan itu, maka kakak seperguruannya pun
tentu memiliki ilmu yang sama. Jika Pemimpin padepokan
itu, yang pernah tinggal bersama Palot masih belum mampu
menyempurnakan ilmunya, maka kakak seperguruannya
agaknya akan berbeda. Karena itu, maka Palot pun telah mengetrapkan
kemampuan tertinggi dari daya tahannya. Ia akan
mendapat serangan yang memiliki kekuatan yang luar
biasa. Bukan sekedar kekuatan wadag sewajarnya. Tetapi
kekuatan ilmu yang dahsyat.
Untuk beberapa saat kedua orang itu masih saling
berdiam diri. Mereka tengah memusatkan segenap nalar
budi untuk memulihkan kekuatan dan kemampuan masingmasing.
Kemudian meningkatkannya sampai kepuncak.
Sejenak kemudian, maka kakak seperguruan pemimpin
padepokan itu pun mulai bergerak. Namun iapun kemudian
memandang berkeliling. Kepada orang-orang yang ada
disekitarnya dan menyaksikan perang tanding itu, ia
berkata, "Minggirlah. Jika kalian ikut terkena seranganku
bukan salahku." Orang-orang yang menyaksikan perang tanding itu pun
dengan serta merta telah menebar. Mereka tidak hanya
mundur ampat lima langkah. Tetapi mereka telah bergeser
sejauh-jauhnya dari arena. Namun mereka masih tetap
ingin melihat apa yang akan terjadi. Karena itu, ada di
antara mereka yang berdiri di belakang sebatang pohon
yang setiap saat akan dapat dijadikannya tempat untuk
berlindung. Karena itu, maka halaman padepokan itu pun kemudian
menjadi semakin lapang. Dengan demikian maka arena
pertempuran itupun tidak lagi terganggu oleh orang-orang
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang menyaksikan. Kedua orang yang berperang tanding itu
mendapat kesempatan dengan leluasa untuk mengerahkan
segenap ilmunya. Sejenak kemudian kedua orang itu agaknya telah bersiap
sepenuhnya. Ketika kakak seperguruan dari padepokan itu
bergeser, maka Palot pun telah bergeser pula.
Dalam pada itu, maka tiba-tiba saja kakak seperguruan
pemimpin padepokan itu telah menghentakkan tangannya
ke arah Palot yang telah bersiaga sepenuhnya pula.
Secercah sinar tiba-tiba telah menyambarnya. Sinar yang
meloncat dari telapak tangan orang itu.
Palot melihat sinar yang menyambar itu. Karena itu,
maka dengan serta merta, maka ia pun telah meloncat
menghindar, sehingga sinar itu meluncur sejengkal dari
tubuhnya. Namun akibatnya memang mendebarkan. Sinar yang
memancar itu yang tidak mengenai sasarannya ternyata
telah menyambar gerumbul-gerumbul perdu. Sinar yang
memancar itu seakan-akan merupakan senjata yang luar
biasa. Dedaunan dan ranting-ranting yang disambar
menurut garis lurus telah dihancurkannya, melampaui
meluncurnya sebatang tombak yang dilontarkan dengan
kekuatan yang sangat besar.
Jantung orang-orang yang menyaksikan dari jarak yang
agak jauh itu pun menjadi berdebar-debar. Jika serangan itu
mengenai sasarannya, maka tubuh yang ditembus oleh
kekuatan ilmu itu tentu akan hancur dan tulangnya pun
akan berpatahan. Palot sendiri memang menjadi berdebar-debar. Meskipun
ia tidak dikenai oleh serangan itu, namun sambaran
anginnya telah menyakitinya sebagaimana serangan
wadagnya. Namun Palot tidak sempat memperhatikan akibat
serangan itu untuk selanjutnya, karena tiba-tiba saja
lawannya telah melakukan gerakan yang sama pula.
Palot harus meloncat pula menghindar. Namun serangan
berikutnya ternyata telah menyusulnya, sehingga Palot yang
dalam kesulitan tidak dapat berbuat lain kecuali
menjatuhkan dirinya sambil berguling.
Serangan lawannya itu meluncur di atas tubuhnya yang
berguling, hampir saja menyambar pundaknya.
Namun Palot tidak membiarkan lawannya
menyerangnya terus menerus. Sambil berguling, maka
iapun telah mengacukan tangannya pula. Hanya sebelah.
Tetapi ternyata dari tangannya bagaikan meluncur
segumpal api yang menyambar ke arah lawannya.
Kakak seperguruan pemimpin padepokan itu terkejut. Ia
tidak mengira bahwa Palot mampu menyerangnya dalam
keadaan yang sulit itu. Karena itu, maka ia tidak dapat
menyusul serangannya dengan serangan berikutnya, karena
ia harus menghindari sambaran gumpalan api yang
meluncur dengan cepatnya.
"Gila," geram lawannya.
Sebenarnyalah gumpalan api yang dilontarkannya sambil
berguling itu bagaikan terbang karena tidak mengenai
sasarannya. Namun gumpalan api itu telah menyambar
sebatang pohon gayam. Akibatnya memang membuat kulit meremang. Daun
pohon gayam yang tersambar gumpalan api itu bagaikan
didera oleh api yang panasnya melampaui bara besi baja.
Terbakar dan menjadi abu.
Sekali lagi lawannya mengumpat. Ternyata Palot benarbenar
seorang yang memiliki ilmu yang luar biasa, yang
tidak disangka sebelumnya. Meskipun lawannya itu
menyadari bahwa Palot memiliki ilmu yang tinggi, tetapi
ternyata kenyataan yang dihadapinya jauh lebih berbahaya
dari yang diperkirakannya sebelumnya.
Demikianlah maka pertempuran itu pun menjadi
semakin sengit. Keduanya tidak berusaha untuk saling
mendekat dan mengenai lawanya dengan wadagnya.
Keduanya telah saling menyerang dari jarak tertentu
dengan mempergunakan ilmu mereka masing-masing yang
berimbang. Masing-masing mempunyai kelebihannya,
sehingga tidak seorangpun yang dapat memperhitungkan,
siapakah yang akan menang dan siapa yang akan kalah.
Pemimpin padepokan itu serta pemimpin perguruan
Suriantal yang ada dipadepokan itu pula, hanya dapat
menahan nafas mereka, ketika mereka melihat pertempuran
dari dua raksasa ilmu yang nggegirisi.
Apalagi para pengikut mereka, rasa-rasanya mereka
melihat pertempuran itu bagaikan mimpi. Rasanya-rasanya
apa yang terjadi itu di luar jangkauan nalar mereka.
Para pengikut kakak seperguruan pemimpin padepokan
itu yang yakin akan kemampuan pimpinan mereka,
ternyata merasa heran dan kagum melihat pemimpin
mereka sampai ke puncak ilmunya. Mereka belum pernah
menyaksikan pertempuran dalam benturan ilmu sedahsyat
itu. Kekuatan yang terlontar dari diri masing-masing oleh
dorongan ilmu yang sangat tinggi, membuat udara di
padepokan itu penuh dengan sambaran-sambaran maut.
Karena itulah maka orang-orang yang menyaksikan
pertempuran itu semakin lama menjadi semakin memencar.
Bahkan sebagian besar dari mereka pun kemudian mencari
tempat untuk dapat berlindung pada saat-saat yang gawat,
karena serangan yang tidak mengenai sasaran.
Sementara itu, sambaran-sambaran ilmu dari kedua
orang yang sedang bertempur itu telah mematahkan dan
membakar ranting dan cabang-cabang pepohonan. Suara
retaknya cabang-cabang yang dibarengi dengan gumpalangumpalan
api yang membakar reruntuhan gerumbul
dedaunan merupakan peristiwa yang sangat mendebarkan
jantung. Dalam pada itu, pemimpin padepokan itu menjadi
semakin berdebar-debar melihat api yang menyambarnyambar.
Sedangkan kakak seperguruannya tidak segera
mampu menguasai hamba yang setia dari seorang yang
disebutnya Panembahan. Tetapi pemimpin padepokan itu masih mempunyai
harapan. Ia tahu bahwa saudara seperguruannya itu juga
memiliki ilmu Panglimunan yang cukup mapan, sehingga
jika ilmu itu diuapkan, maka ia tentu akan dapat membuat
lawannya menjadi bingung.
Namun kakak seperguruannya masih belum
mempergunakannya. Ia masih berusaha menghancurkan
lawannya dengan kemampuannya yang lain. Serangan yang
meluncur bagaikan lembing yang dilontarkan dengan
kekuatan yang tiada taranya.
Meskipun serangan itu tidak tertangkap oleh mata
wadag. Namun akibatnyalah yang dapat dilihat. Ranting
dan cabang pepohonan yang terkena serangan itu telah
berderak patah dan jatuh ke tanah.
Semakin lama pertempuran itu menjadi semakin dahsyat
dan semakin sulit untuk diikuti.
Kakak seperguruan pemimpin padepokan itu dan Ki
Permita yang disebut Palot itupun telah mengerahkan
segenap kemampuan pada jenis ilmunya itu. Namun
ternyata keduanya masih belum mampu mengalahkan
lawannya. Karena itulah maka kakak seperguruan pemimpin
padepokan itu telah mempertimbangkan untuk
mempergunakan ilmunya yang terakhir. Puncak
kemampuannya yang jarang dipergunakannya, kecuali pada
saat dan keadaan yang tidak teratasi.
Sementara itu, ia masih belum menemukan cara yang
dapat dipergunakan untuk mengalahkan lawannya.
Sehingga karena itu, maka ilmu pamungkasnya itulah satusatunya
kemungkinan yang paling baik dipergunakannya.
Palot yang mampu mengimbangi iimu lawannya itu
melihat perubahan sikap pada lawannya itu. Karena itu.
maka ia pun harus menyiapkan diri menghadapi segala
kemungkinan, karena ia memang menduga bahwa
lawannya itu menguasai ilmu panglimunan yang dapat
dipergunakan setiap saat.
Karena itu, maka Ki Permita pun harus menyiapkan
ilmunya yang mungkin akan dapat dipergunakannya untuk
melawan ilmu itu, karena ia sendiri tidak menguasai Aji
Panglimunan. Namun Ki Permita pernah mendengar serba sedikit
tentang ciri-ciri dari Aji Panglimunan itu. Karena itu, maka
ia harus melawan kemampuan ilmu itu dengan ilmu yang
dikuasainya. Sebenarnyalah maka kakak seperguruan pemimpin
padepokan itu sudah bersiap memasuki dunia panglimunan.
Karena itu, maka ia berusaha untuk menghentakkan
lawannya untuk mendapat kesempatan mengetrapkan
ilmunya. Palot yang tanggap akan rencana lawannya, telah
mengatur diri pula. Ketika lawannya menyerangnya dengan
kemampuan tertinggi dari ilmu yang dipergunakannya itu,
Palot telah melenting menghindarinya dengan loncatan
yang jauh. Demikianlah, maka tiba-tiba saja lawannya telah
bergeser surut. Dalam kesiagaan tertinggi untuk
menghadapi serangan, Palot dengan gumpalan apinya,
maka bayangan orang itu semakin lama menjadi semakin
kabur, sehingga akhirnya kakak seperguruan pemimpin
padepokan itu telah hilang dan tangkapan mata wadag.
Namun adalah di luar dugaan, bahwa pada saat itu tibatiba
saja kabut yang tebal bagaikan turun menyelimuti
halaman padepokan itu. Demikian cepat sehingga tiba-tiba
saja halaman itu telah menjadi gelap.
Demikianlah, maka dua orang yang sedang bertempur
itu memang telah hilang. Kakak seperguruan pemimpin
padepokan itu telah mempergunakan ilmu pamungkasnya,
sementara Ki Permita yang dikenal dengan nama Palot itu
telah menyelubungi dirinya dengan kabut tidak hanya di
sekitar tubuhnya saja, tetapi hampir di seluruh halaman
padepokan. "Gila," tiba-tiba terdengar umpatan kasar, "kenapa kau
bersembunyi di balik kabutmu."
"Aku mempunyai Aji Panglimunan yang sah dapat aku
pergunakan dalam perang tanding," jawab kakak
seperguruan pemimpin padepokan itu.
"Kau kira ilmuku tidak sah dipergunakan?" bertanya
Palot. Sejenak kemudian sekali lagi terdengar umpatan kasar.
Namun meskipun lawan Palot itu berada di dunia
panglimunan, namun ia tidak segera dapat menemukan
Palot yang terselubung kabut tebal.
Demikianlah terjadi pertempuran antara dua orang
lawan yang tidak saling melihat. Kakak seperguruan dari
pemimpin padepokan itu telah mempergunakan Aji
Panglimunan yang sudah dalam tataran yang cukup tinggi,
sehingga ia benar-benar berhasil untuk tidak dapat dilihat
oleh mata wadag orang lain betapapun tajamnya. Namun
ternyata bahwa lawannya yang dikenalnya bernama Palot
telah berhasil menyelubungi dirinya dengan kabut yang
tebal, sehingga dalam dunia panglimunan kakak
seperguruan pemimpin padepokan itu tidak juga berhasil
melihat, di mana Palot itu berada.
Namun dengan sekedar menduga-duga, maka kakak
seperguruan pemimpin padepokan itu telah meluncurkan
serangannya, menembus pusat dari Kabut yang gelap itu.
Namun serangan itu meluncur tanpa mengenai sasarannya.
Karena ternyata Palot tidak berada di pusat kabut yang
meliputi seluruh padepokan itu.
Namun orang yang tidak nampak itu berkali-kali
melontarkan serangan ke beberapa arah. Ia berharap bahwa
pada satu saat, serangannya itu akan mengenai sasarannya.
Tetapi ternyata bahwa serangannya tidak pernah
menyentuh orang yang disebut Palot itu.
Karena itu, maka kakak seperguruan pemimpin
padepokan itu telah bertekad untuk menemukan lawannya.
Dengan tanpa ujud menurut penglihatan wadag, maka
kakak seperguruan pemimpin padepokan itu telah
memasuki daerah kabut yang gelap. Tetapi orang itu merasa
seolah-olah ia telah berada di dalam sebuah goa yang gelap
yang tidak dapat ditembus oleh ketajaman pandangan
matanya. Namun tiba-tiba saja orang itu terkejut ketika ia
mendengar suara bergulung-gulung, "Nah, marilah. Kenapa
kau berhenti menyerang" Jika kau dapat menembus setiap
titik pada kabutku, maka kau baru akan dapat mengenai
aku." Orang yang menyusup di antara kabut dengan tidak
menampakkan ujudnya itu menggeram. Dengan nada berat
ia berkata, "Setan licik. Kemanapun kau bersembunyi. Aku
akan menemukannya." Namun belum lagi getar kata-katanya hilang dari udara
berkabut itu, tiba-tiba terdengar sebuah gumpalan api
bagaikan bergaung tidak lebih sejengkal dari tubuhnya.
Saudara tua seperguruan pemimpin padepokan itu
terkejut bukan kepalang. Meskipun dalam dunia
panglimunan, namun serangan ilmu orang yang dikenalnya
bernama Palot itu akan dapat menghancurkannya apabila
tepat mengenai tubuhnya. Sebab tubuhnya masih tetap
sebagaimana wadagnya sewajarnya. Hanya karena
pengaruh Aji Panglimunan wadagnya itu tidak nampak
oleh penglihatan wajar orang lain.
Karena itu maka saudara seperguruan pemimpin
padepokan itu harus lebih berhati-hati menghadapi lawan
yang seorang ini. Jika lawan-lawannya yang berilmu tinggi,
namun pernah dihancurkannya dengan ilmu
panglimunannya, ternyata ia tidak segera dapat
melakukannya atas Palot. Pada saat ia hilang dari pandangan Palot, maka Palot itu
pun hilang pula dari pandangan matanya.
Sejenak kemudian, maka kakak seperguruan pemimpin
padepokan itu telah mengulangi serangan-serangannya ke
segala arah. Tanpa tahu pasti di mana sasaran yang
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ditujunya, ia asal saja melepaskan serangan. Namun Palot
pun ternyata telah berbuat serupa. Gumpalan apinya pun
berterbangan mencari sasaran yang tidak dilihatnya.
Beberapa saat terjadi lontaran-lontaran ilmu tanpa arah.
Keduanya berusaha memperhatikan sumber dari serangan
lawannya. Tetapi hal itu telah diperhitungkan pula,
sehingga setiap pihak yang melepaskan serangannya, segera
meloncat dari tempatnya karena serangan lawannya dengan
cepat akan menyambar tempat itu.
Orang-orang yang berada di sekeliling halaman
padepokan itu menjadi bingung. Mereka tidak melihat
apapun juga. Mereka yang pernah berada di padepokan
Suriantal segera mengenali ilmu yang dilontarkan oleh
Palot. Ilmu yang pernah dilepaskan pula oleh orang yang
disebutnya Panembahan. Bahkan dengan ilmu itu
Panembahan pernah menyelamatkan padepokan Suriantal
dari kehancuran karena serangan para prajurit Lemah
Warah. Namun pada serangan yang kedua, pasukan Lemah
Warah yang diperkuat oleh orang-orang Kediri mampu
melawan Panembahan yang berilmu sangat tinggi itu
bahkan menghancurkannya. Pemimpin padepokan itu dan pemimpin perguruan
Suriantal hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Meskipun mereka orang yang termasuk berilmu tinggi,
namun ternyata bahwa mereka merasa ketinggalan
menyaksikan pertempuran yang dahsyat itu. Namun yang
kemudian ternyata tidak dapat dilihatnya sama sekali.
Namun yang mengerikan adalah setiap kali mereka
melihat pepohonan di halaman padepokan itu berguncang.
Ranting dan dahan berpatahan, sementara daunpun
terbakar dan berguguran, seolah-olah di halaman
padepokan itu akan terjadi bencana yang maha dahsyat
yang akan menghancurkan seluruh padepokan itu.
"Ternyata Palot memiliki kemampuan sebagaimana
Panembahan," berkata pemimpin perguruan Suriantal.
"Kita salah menilai orang itu," berkata pemimpin
padepokan itu. "kita menganggapnya tidak lebih dari
seorang hamba yang setia tetapi dungu. Hamba yang
dengan sombong menyampaikan perintah tuannya karena
merasa tuannya itu berkuasa. Namun ternyata bahwa
hamba yang setia itu sendiri memiliki kemampuan yang
sama, atau setidak-tidaknya hampir sana dengan orang
yang disebutnya Panembahan itu."
Pemimpin padepokan itu mengangguk-angguk. Kabut
yang memencar itu benar-benar telah meliputi seluruh
halaman padepokan. Karena itu, maka mereka yang
menyaksikan kedahsyatan pertempuran itu harus menebar
lebih luas, dan bahkan sebagian di antara mereka telah naik
ke atas dinding halaman. Sementara itu pertempuran yang dahsyat itu masih
berlangsung meskipun tidak dapat diikuti dengan mata
wadag. Tetapi kesan dan akibatnya sajalah yang nampak
oleh mereka menggetarkan seluruh halaman.
Semakin lama kedua belah pihak menjadi semakin
gelisah. Mereka tidak segera dapat menyelesaikan
pertempuran itu. Serangan-serangan mereka yang tidak
terarah dengan baik tidak segera dapat mengenai sasaran,
sehingga dengan demikian mereka telah banyak
menghamburkan tenaga. Dengan demikian maka kakak seperguruan pemimpin
padepokan itu mulai mengurangi serangan-serangannya. Ia
ingin memasuki lagi daerah berkabut itu dan mencarinya.
Bukan ilmunya yang dilontarkannya ke segala arah. Tetapi
ia sendiri akan mencarinya meskipun ada kemungkinan
terkena serangan Palot juga dilontarkan tanpa arah dan
sasaran, selain sekedar menduga-duga.
Untuk beberapa saat kakak seperguruan pemimpin
padepokan itu berusaha. Namun ia tidak segera
menemukannya meskipun ia sudah menjelajahi hampir
seluruh bagian berkabut itu. Terutama di halaman karena
dari halaman itulah serangan-serangan Palot dilontarkan.
Tetapi semuanya gelap semata-mata.
Sementara itu Palot pun telah tidak telaten lagi. Ia ingin
cepat menyelesaikan pertempuran itu. Karena itu maka ia
telah berusaha memancing lawannya untuk melepaskan
serangan agar ia dapat menduga di mana lawannya itu
berada. Sejenak kemudian, serangan Palot itu terlontar lagi ke
beberapa arah. Sebenarnyalah lawannya telah dengan serta
merta membalasnya ke arah sumber serangan itu.
Palot tidak menyerang dengan gumpalan-gumpalan
apinya lagi. Tetapi ia ingin menyelesaikan pertempuran itu
segera. Karena itu ketika ia yakin bahwa lawannya yang tidak
dapat dilihatnya itu masih tetap berada di tengah halaman,
maka ia pun telah mengambil langkah yang menentukan, ia
tidak melepaskan gumpalan apinya, namun tiba-tiba
halaman itu telah diguncang oleh prahara yang dahsyat.
Angin pusaran yang keras dan mengandung tenaga yang
dahsyat sekali telah berputaran hampir di seluruh halaman.
Demikian cepatnya, sehingga tidak mungkin bagi seseorang
yang berada di halaman itu melepaskan diri, kecuali yang
berada di tepi melekat dinding.
Beberapa orang yang duduk di atas dinding halaman
telah terlempar keluar, sementara itu, satu dua orang yang
masih berada di halaman telah berusaha melekat dinding
halaman. Satu dua di antara mereka sempat meloncat.
Namun di luar keinginan Palot. ternyata ada juga yang
terlempar ke udara dan terbanting jatuh tanpa ampun lagi.
Apalagi mereka yang berada di bagian tengah halaman.
Pepohonan telah tercabut dan dengan suara yang berderak
bagaikan dilontarkan dan terbang di udara.
Bahkan barak-barak yang terdekat dengan halaman
padepokan itupun telah terputar dan runtuh berserakan.
Sesuatu yang sangat dahsyat telah terjadi. Apalagi di
pusat angin prahara itu.Tidak akan ada orang yang akan
mampu bertahan betapapun tinggi ilmunya.
Demikian pula dengan kakak seperguruan pemimpin
padepokan itu. Ia sama sekali tidak mengira bahwa ia akan
mendapat serangan yang sangat dahsyat itu. Karena itu
maka ia tidak bersedia untuk melawannya.
Ketika ia mulai terputar dengan kerasnya dan terlempar
ke udara maka kakak seperguruan pemimpin padepokan itu
baru menyadari bahwa ia sudah terputar oleh ilmu Palot
yang sangat dahsyat. Ilmu pamungkas yang jarang ada
duanya di seluruh Kediri bahkan Singasari.
Dalam keadaan yang sulit itu, maka kakak seperguruan
pemimpin padepokan itu sama sekali tidak mempunyai
kesempatan untuk melawannya. Tubuhnya yang tidak
nampak oleh mata wadag itu bagaikan tidak berdaya sama
sekali. Seperti sebatang kayu yang terperosok ke dalam
pusaran air yang sangat dahsyat di ujung banjir.
Untuk beberapa saat tubuh itu berputaran di udara.
Kemudian bagaikan hanyut melambung tinggi. Namun
tiba-tiba tubuh itu telah meluncur dan terbanting jatuh di
atas tanah yang keras di halaman.
Kakak seperguruan pemimpin padepokan itu memang
sempat meningkatkan daya tahannya. Namun ketika ia
terbanting dari ketinggian maka tubuhnya bagaikan remuk.
Tulang-tulangnya seakan-akan berpatahan dan isi dadanya
bagaikan rontok dari tangkainya.
Kakak seperguruan pemimpin padepokan itu mengeluh.
Namun ia tidak kuasa lagi mengetrapkan ilmunya, sehingga
tubuhnya pun perlahan-lahan mulai nampak oleh mata
wadag. Sementara itu kabut pun mulai menipis dan hilang
dihembus sisa-sisa angin yang masih berputar perlahanlahan.
Semua mata yang sempat menyaksikan terbelalak
melihat keadaan halaman padepokan yang berserakan.
Pepohonan tumbang, dan barak-barakpun bertebaran.
Sementara itu ada tiga sosok tubuh yang terbaring diam.
Sementara lebih dari sepuluh orang yang berdiri terlambat
melekat dinding telah terlempar dan hampir pingsan.
Bahkan di luar dinding halaman-pun beberapa orang telah
kesakitan karena terlempar dari atas dinding.
Kakak seperguruan pemimpin padepokan itupun
terbaring diam. Namun nafasnya masih nampak
menggerakkan dadanya. Perlahan-lahan Palot melangkah mendekatinya. Bahkan
kemudian berjongkok di sisinya.
"Ternyata kau luar biasa," berkata orang yang sudah
kehilangan hampir segenap tenaganya itu.
"Aku terpaksa melakukannya," sahut Palot.
"Aku mengaku kalah," desis lawannya sambil
tersenyum, "kau adalah orang terbesar sampai saat ini.
Karena itu, kau harus bertindak sebagaimana dilakukan
oleh Panembahan, melawan orang-orang Kediri."
Tetapi Palot menjawab, "ternyata bahwa orang-orang
Kediri apalagi orang Singasari lebih besar dari
Panembahan. Apalagi aku. Aku tidak akan mampu berbuat
apa-apa." Tiba-tiba saja senyumnya lenyap dari bibirnya. Dengan
nada dalam ia berkata, "Kau tidak boleh menjadi
pengkhianat. Kau mampu melawan orang-orang Kediri."
Palot termangu-mangu sejenak. Namun menghadapi
orang yang sedang dalam kesulitan itu, Palot tidak sampai
hati untuk menolak kata-katanya. Karena itu maka iapun
berkata, "Baiklah Ki Sanak. Barangkali aku memang
memiliki sekedar ilmu untuk meneruskan perlawanan
Panembahan terhadap orang-orang Kediri."
"Bagus," orang itu seakan-akan ingin bangkit. Namun
iapun kemudian terbaring lagi. Bahkan orang itupun lelah
terdiam untuk selama-lamanya.
Palot menarik nafas dalam-dalam. Ia menunduk sejenak.
Bagaimanapun juga orang itu pantas dihormati. Ilmunya
bertimbun di dalam dirinya sehingga orang itu merupakan
orang yang sangat disegani.
Perlahan-lahan Palot itupun bangkit berdiri. Diamatinya
orang-orang yang berada di sekeliling halaman depan
padepokan itu melekat dinding. Bahkan beberapa orang
yang telah berada di atas dinding halaman itu pula.
Dengan sikap seorang yang telah memenangkan perang
Palot memandang berkeliling. Memandang wajah-wajah
yang gelisah dan cemas. Sementara itu pemimpin padepokan itu dan orang
bertongkat, pemimpin perguruan Suriantal berdiri
termangu-mangu memandang Palot yang tegak di tengahtengah
halaman, di sebelah tubuh kakak seperguruan
pemimpin padepokan itu. Palot mengangkat wajahnya dan menengadahkan
dadanya. Ia benar-benar seorang pahlawan yang telah
berhasil mengalahkan lawannya di arena perang tanding.
Kemudian katanya kepada semua orang yang
memandanginya itu. "Marilah. Siapa lagi yang akan
menantang aku untuk berperang tanding" Atau jika tidak,
siapakah yang masih akan menangkap aku" Marilah,
majulah beramai-ramai. Aku akan menggilas kalian dengan
angin praharaku. Bukan salahku jika di halaman ini akan
berserakkan mayat kalian yang dihancurkan oleh angin
pusaran." Tidak seorangpun yang bergerak. Mata mereka yang
memandang Palot itu memancarkan ketegangan yang
sangat. Ketika Palot memandang kedua orang pemimpin
tertinggi dari padepokan itu, ia pun telah berkata, "Marilah.
Apakah kalian akan menuntut balas kematian saudaramu?"
Jantung pemimpin padepokan itu berdebaran. Tetapi
peristiwa yang baru saja terjadi itu benar-benar telah
mengguncangkan dadanya. Bagaimanapun juga ia tidak
dapat mengingkari kenyataan bahwa saudara tua
seperguruannya telah dikalahkan oleh hamba yang
dianggapnya setia dan dungu itu. Bukan sekedar
dikalahkan, tetapi sudah disaksikannya satu pertempuran
yang sangat dahsyat. Kakak seperguruannya yang berilmu
sangat tinggi, bahkan memiliki Aji Panglimunan ternyata
telah dihancurkan dan terbunuh oleh orang yang
disangkanya tidak lebih dari hamba yang setia itu.
Karena itu, untuk menanggapi tantangan itu ia harus
berpikir dua tiga kali lagi.
Karena tidak ada yang menjawab, maka Palot pun
berkata, "Ki Sanak. Para pemimpin padepokan ini serta
pemimpin perguruan lain yang ada di sini. Sekali lagi aku
memberikan tawaran Akuwu Lemah Warah serta para
pemimpin Kediri itu. Menyerahlah. Kalian akan aku bawa
menghadap. Aku akan membawa kalian ke padepokan
yang telah kalian tinggalkan itu. Namun jika Akuwu telah
kembali ke Lemah Warah, maka kita pun akan menyusul
ke Lemah Warah, atau bahkan ke Kediri."
Pemimpin padepokan itu termangu-mangu. Demikian
pula orang bertongkat dari perguruan Suriantal itu.
"Cepat, ambil keputusan atau aku akan menggulung
seluruh padepokan ini dengan prahara. Semua orang akan
mati dan padepokan ini akan aku terbangkan ke udara.
Tidak satu pun isi padepokan yang masih akan diambil
gunanya. Dan tidak pula seorang pun yang akan luput dari
kematian." Ancaman itu benar-benar mendebarkan jantung. Sejenak
kedua orang pemimpin itu saling berpandangan. Namun
sorot mata mereka memancarkan keputus-asaan.
"Tidak ada harapan lagi," berkata orang bertongkat itu.
Pemimpin padepokan itu menarik nafas dalam-dalam.
Dipandanginya padepokannya itu dengan padangan iba.
"Aku tidak pernah membayangkan bahwa ada orang
yang memiliki kemampuan seperti itu. Terhadap kakak
seperguruanku itu aku sudah mengaguminya. Apalagi
orang yang semula bagiku tidak lebih dari hamba yang setia
itu. Ternyata ia memiliki ilmu sebagaimana dimiliki oleh
Panembahan itu," berkata pemimpin padepokan itu.
Orang bertongkat itu menarik nafas dalam-dalam.
Dengan nada dalam ia berkata, "Tidak ada ilmu yang dapat
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melawan arus praharanya. Namun bagaimana mungkin
Panembahan itu dapat dikalahkan oleh orang-orang Kediri"
Jika demikian seberapa tinggi tingkat ilmu orang Kediri
itu?" "Kita tidak mempunyai pilihan lain," berkata pemimpin
padepokan itu. "jika kita berkeras hati, maka semua orang
yang ada sekarang akan mati oleh pusaran praharanya itu."
Pemimpin perguruan Suriantal itu mengangguk kecil.
Katanya, "Ya. Kita tidak dapat membiarkan sekian banyak
orang itu terbunuh. Karena itu, maka kita memang tidak
mempunyai pilihan lain. Sementara itu, orang yang paling
bersalah dalam hubungan kita dengan Kediri adalah
Panembahan itu. Ialah yang mengingini Mahkota Kediri
sebagai benda yang sangat berharga dan bertuah bagi
usahanya merebut kekuasaan di Kediri."
Pemimpin padepokan itu mengangguk-angguk. Suaranya
merendah, "Memang tidak ada pilihan lain. Orang ini lebih
dahsyat dari Akuwu Lemah Warah atau kedua orang anak
muda yang disebutnya sebagai kemanakannya itu."
Pemimpin perguruan Suriantal itu menarik nafas dalamdalam.
Namun ia pun kemudian bergeser mendekati hamba
yang setia itu, diikuti oleh pemimpin padepokan itu.
"Aku menyerah," berkata pemimpin perguruan Suriantal
itu. Palot menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Terima
kasih atas kesediaanmu itu. Tetapi bagaimana dengan yang
lain?" "Aku tidak dapat berbuat lain," berkata pemimpin
padepokan itu. "aku tidak ingin para pengikutku di
padepokan ini mati seperti tebasan ilalang, tanpa hitungan."
Palot mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku tahu
bahwa kalian memang akan menyerah. Dengan demikian
maka tugas yang dibebankan kepadaku telah dapat aku
selesaikan." "Lalu apa yang harus kami lakukan?" bertanya
pemimpin perguruan Suriantal itu.
"Kita akan menghadap Akuwu Lemah Warah," berkata
Palot, "mudah-mudahan ia bersama pasukannya masih
berada di padepokan yang pernah kita tinggalkan itu."
"Apakah kita seisi padepokan ini harus pergi padepokan
itu?" bertanya pemimpin padepokan itu.
Palot menggelengkan kepalanya. Katanya, "Tidak. Aku
tidak akan membawa semuanya bersamaku. Tetapi orangorang
tertentu sajalah yang akan pergi ke padepokan itu
bersamaku." --ooo0dw0ooo- Jilid 039 PEMIMPIN padepokan itu mengangguk-angguk.
Lalu katanya, "Baiklah. Siapakah di antara kita yang harus
pergi?" Palot termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Tentu kalian berdua. Aku berharap bahwa
sepeninggal kalian, akan terjadi perubahan di padepokan
ini. Kecuali jika para pengikut kalian memang sudah jemu
hidup dengan tenang."
Kedua pemimpin itu termangu-mangu sejenak.
Sementara itu pemimpin perguruan Suriantal itu bertanya,
"Jadi, kalian biarkan para pengikut kami bebas?"
"Tidak," jawab Palot, "tetapi aku tidak akan
membawa mereka. Mungkin aku akan mengalami kesulitan
di perjalanan. Aku hanya akan membawa kalian berdua
saja. Namun kalian harus mampu mengendalikan dengan
pesan dan perintah, bahwa para pengikutmu tidak akan
berbuat sesuatu yang dapat mengeruhkan suasana. Karena,
jika terjadi demikian maka akan terjadi tindak kekerasan
lagi atas padepokan ini."
Kedua pemimpin perguruan itu saling berpandangan
sejenak. Namun kemudian pemimpin perguruan Suriantal
itu berkata, "Terima kasih. Biarlah orang-orang kami tetap
berada di padepokan dengan cara hidup yang baru. Percaya
atau tidak, sebenarnya kami bukan sejenis perampok ternak
yang sering mengganggu orang-orang pedukuhan."
Orang yang disebut Palot itu mengangguk kecil.
Katanya. "Aku mengerti. Tetapi segala kemungkinan dapat
terjadi. " Pemimpin perguruan Suriantal itu menarik nafas
dalam-dalam. Ia pun mengerti maksud Palot. Dalam
kesulitan maka orang-orang yang memiliki kekuatan
kadang-kadang lupa diri. Dan hal itu memang sudah terjadi. Karena itu, maka
katanya, "Baiklah. Aku akan berpesan, agar orang-orangku
dan isi padepokan ini berusaha untuk berbuat sebaikbaiknya
agar mereka tidak digilas sekali lagi dengan
kekerasan." "Baiklah," berkata Palot, "lakukanlah. Kalian masih
mempunyai kesempatan untuk membenahi padepokan ini.
Menyelenggarakan kawan-kawan kalian yang terbunuh,
sengaja atau tidak aku sengaja."
Kedua pemimpin perguruan yang ada di padepokan
itu mengangguk kecil. Ternyata sikap Palot cukup lunak
sehingga kesan mereka terhadap orang itu ternyata telah
terguncang-guncang. Mula-mula mereka menganggap orang
itu tidak lebih dari seorang hamba yang mencari
perlindungan. Kemudian mereka menghadapi satu
kenyataan bahwa orang itu memiliki ilmu yang sangat
tinggi. Namun akhirnya mereka menyadari, bahwa orang
yang berilmu tinggi itu bukan orang yang kasar dan keras
sebagaimana mereka juga sebelumnya.
Dengan demikian maka kedua orang pemimpin yang
akan ikut bersama Palot ke padepokan yang telah mereka
tinggalkan dan menyerahkan diri itu, masih mempunyai
kesempatan untuk berbuat sesuatu atas padepokannya.
Ternyata Palot seakan-akan sama sekali tidak
menaruh curiga bahwa kedua orang pemimpin itu akan
berbuat curang dan licik. Karena itu, maka ia sama sekali
tidak berusaha untuk membatasi tingkah laku kedua
pemimpin itu. Bahkan sekali lagi berpesan, "Kalian harus
mempergunakan sisa-sisa wibawa kalian dan pengaruh
kalian untuk mengarahkan hidup mereka untuk
selanjutnya." Demikianlah seperti yang dipesankan oleh Palot,
maka kedua orang pemimpin itu telah berbuat sebagaimana
dikehendaki. Mula-mula mereka mengatur orang-orangnya
untuk menyelenggarakan kawan-kawan mereka dan kakak
seperguruan pemimpin padepokan itu yang terbunuh di
pertempuran itu. Kemudian kedua orang itu telah
mengumpulkan para pengikutnya yang tersisa, serta para
pengikut kakak seperguruan pemimpin padepokan itu.
Dengan penuh kesungguhan mereka memberikan
pesan bagi kehidupan para penghuni padepokan itu untuk
selanjutnya. Sementara itu, kedua orang itu menganjurkan
agar para pengikut kakak seperguruan pemimpin
padepokan itu tetap tinggal untuk sementara.
"Di Lemah Warah atau di Kediri, kami tentu
mendapat perintah bagi kalian. Karena itu, kalian sebaiknya
tetap tinggal saja di sini. Agar tidak timbul salah paham
dikemudian hari, sehingga dapat memancing tindakantindakan
yang seharusnya tidak perlu dilakukan."
Pesan itu memang terasa asing di telinga para
penghuni padepokan itu. Mereka yang sebelumnya selalu
ditempa dengan sifat-sifat kejantanan, tiba-tiba mereka
harus menghadapi satu kenyataan, bahwa mereka tidak
dapat berbuat sesuatu hanya menghadapi satu orang saja.
Bahkan mereka harus menyerah bukan saja dihadapannya,
sepeninggal orang itu, seisi padepokan masih harus
melakukan sebagaimana dikehendakinya.
Apa artinya tindakan kekerasan bagi mereka, jika
mereka tetap pada sikap dan pendirian mereka sebelumnya.
Tetapi ternyata bahwa para pemimpin mereka telah
memerintahkan mereka untuk mengekang diri dan menjadi
jinak. Namun mereka memang tidak dapat ingkar dari
kekalahan yang berturut-turut mereka alami. Bahkan di
padepokan itu mereka tidak akan mampu melawan lawan
yang hanya seorang tetapi mampu menggerakkan prahara
yang sangat dahsyat. Apalagi mereka menyadari, bahwa di belakang orang
itu terdapat kekuatan yang tidak akan dapat dilawan
dengan cara apapun juga. Demikianlah, maka para penghuni padepokan itu
tidak dapat berbuat lain daripada menyatakan kesediaan
mereka. Seorang di antara mereka yang dianggap paling tua
bukan saja umurnya, tetapi juga kemampuannya telah
ditunjuk untuk memimpin kawan-kawan mereka di
padepokan itu, siapa pun mereka dan dari perguruan yang
manapun. "Masih banyak jalan yang dapat kalian tempuh,"
berkata pemimpin padepokan itu, "masih ada hutan yang
dapat kalian tebang untuk memperluas tanah persawahan.
Dengan kerja kalian akan dapat memenuhi kebutuhan
mereka sewajarnya. Selanjutnya kalian dapat menunggu.
Seandainya aku tidak lagi kembali ke padepokan ini, maka
tentu ada perintah dari Kediri apa yang harus kalian
lakukan." Demikianlah, maka kedua orang pemimpin
padepokan itu telah ikut bersama Ki Permita yang
dikenalnya bernama Palot. Mereka tidak langsung pergi ke
Pakuwon Lemah Warah. Tetapi mereka akan pergi ke
padepokan yang telah dikalahkan oleh Lemah Warah
bersama Senapati dari Kediri itu. Ki Permita berharap
bahwa Akuwu Lemah Warah atau yang ditugaskannya
masih berada di padepokan itu.
Sepanjang perjalanan Ki Permita menuju ke
padepokan itu, maka sepanjang itu pula perjalanan mereka
kembali ke padepokan orang-orang Suriantal.
Tetapi ternyata bahwa Akuwu Lemah Warah telah
kembali ke Pakuwon. Namun padepokan itu ternyata tidak
menjadi kosong. Orang-orang yang menyerah dan
tertangkap, ternyata oleh Akuwu Lemah Warah telah
dibiarkan tinggal di padepokan itu.
Ki Permita yang datang bersama pemimpin perguruan
Suriantal dan seorang pemimpin dari padepokan yang telah
mereka tinggalkan itu, telah diterima dengan baik oleh
orang yang diserahi untuk sementara memimpin padepokan
Suriantal itu. Semula Ki Permita memang merasa heran bahwa
padepokan itu telah ditinggalkan begitu saja. Namun iapun
telah melakukannya pula atas padepokan yang lain. Tetapi
ia telah membawa dua orang pemimpin perguruan yang
sangat berpengaruh. Kepada orang yang memimpin padepokan Suriantal
itu Ki Permita bertanya, "Apakah ada pesan untuk aku?"
"Ya Ki Sanak," jawab orang yang memimpin
padepokan itu, "Jika Ki Palot berhasil menghubungi kedua
pemimpin perguruan kita yang pernah tinggal di padepokan
ini, maka Ki Palot diharap untuk mengajaknya langsung ke
Pakuwon Lemah Warah. Mungkin Pangeran Singa
Narpada masih dapat kau jumpai di Pakuwon itu."
Palot menarik nafas dalam-dalam. Dari orang yang
memimpin padepokan itu pula ia pun kemudian mendengar
tentang orang yang disebut Panembahan itu. Dari orang
yang diserahi memimpin padepokan itu ia mendengar
bahwa Panembahan memang sudah tidak dapat
diselamatkan lagi. "Aku memang sudah menduga sebelumnya.
Keadaannya sudah sangat gawat ketika aku berangkat,"
berkata Ki Permita yang disebut Palot.
Sehari Palot berada di padepokan itu. Ia sama sekali
tidak menunjukkan kecurigaannya. Ia biarkan saja kedua
orang tawanannya bebas berkeliaran di padepokan itu.
Selama ia di padepokan, maka Palot telah mendengar
sikap Akuwu Lemah Warah tentang padepokan itu
sepengetahuan Pangeran Singa Narpada.
"Semua persoalan nampaknya telah dikembalikan
kepada Panembahan," berkata orang yang diserahi
pimpinan di padepokan itu, "dengan demikian, seakan-akan
orang lain telah dibebaskan dari segala kesalahan yang telah
dibuatnya menurut pandangan Akuwu Lemah Warah."
Palot menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian
Pangeran Singa Narpada sebenarnya telah mengembalikan
semua persoalan pada sumbernya. Pangeran Singa Narpada
agaknya telah memperhitungkan bahwa yang
menggerakkan orang-orang dari berbagai perguruan itu
adalah Pangeran Gagak Branang yang disebutnya
Panembahan. Dengan demikian maka sepeninggal
Pangeran Gagak Branang, Pangeran Singa Narpada
menganggap bahwa persoalannya akan dapat dibatasi.
Bahkan para pengikutnya tidak akan bergerak lebih jauh.
Orang-orang dari berbagai perguruan itu tentu akan
menghentikan kegiatan mereka dalam hubungan mereka
dengan persoalan Kediri dan Singasari.
Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada telah
mengambil kebijaksanaan untuk membiarkan saja orangorang
yang masih tersisa di padepokan itu. Namun dengan
demikian Ki Permita pun merasa bahwa langkah yang telah
dilakukannya pun merupakan langkah yang benar.
Demikianlah, ternyata yang semalam itu tidak terjadi
sesuatu. Meskipun Palot pun tidak lepas dari sikap berhatihati.
Kedua orang pemimpin perguruan yang menjadi
tawanannya itu sama sekali tidak diawasinya. Seandainya
mereka berniat untuk melarikan diri, maka agaknya hal itu
dapat dilakukannya. Namun kedua orang itu harus memperhitungkan
kemungkinan yang sangat buruk yang dapat terjadi di
padepokan itu dan padepokan yang ditinggalkan. Orang
yang disebut Palot itu dalam kemarahannya akan mampu
membunuh korban yang tidak terhitung jumlahnya
meskipun ia hanya sendiri.
Pagi-pagi Palot sudah bersiap. Demikian pula kedua
orang tawanannya. Mereka akan segera pergi ke Pakuwon
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lemah Warah untuk menghadap.
Di perjalanan tidak ada kesan bahwa kedua orang itu
adalah tawanan Ki Permita. Mereka berjalan beriringan
sebagaimana tiga orang yang bersama-sama menempuh
perjalanan. Namun dalam pada itu tiba-tiba saja orang bertongkat
dari perguruan Suriantal itu pun bertanya, "Apakah kau
kenal dengan tiga orang anak muda yang diaku kemanakan
Akuwu Lemah Warah itu?"
Palot mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
menggeleng, "Kenal benar tidak. Kenapa?"
Pemimpin perguruan Suriantal itu menjawab,
"Mereka tertarik kepada batu di pinggir hutan yang
berwarna kehijau-hijauan itu. Nampaknya mereka memiliki
pengetahuan tentang batu-batuan. Mereka mengaku
pedagang batu akik dan wesi aji."
"Mungkin mereka memang memiliki pengetahuan
itu," berkata Ki Permita, "tetapi aku kurang
mendalaminya." Orang bertongkat itu mengangguk-angguk.
Sebenarnyalah baginya batu itu memang sangat berharga.
Tetapi ia tidak dapat mengatakannya kepada Palot. Tetapi
ia berkata di dalam hatinya, "Jika ada kesempatan di
kemudian hari, aku akan mengambilnya." Tetapi ia berkata
selanjutnya, "Namun agaknya anak-anak muda itu tentu
akan mengambilnya lebih dahulu. Batu itu tentu sangat
berharga jika jatuh ke tangan orang yang benar-benar
mampu menggosoknya. Batu itu akan dipecah menjadi
berkeping-keping. Setiap keping akan dapat digosok
menjadi puluhan batu yang berharga mahal. Bahkan
pecahan-pecahannya yang berserakan pun akan dapat
digosok menjadi batu akik yang berharga."
Namun akhirnya orang itu menarik nafas dalamdalam.
Agaknya ia memang harus melupakannya. Ia harus
puas pada segumpal yang telah dipasangnya di tongkatnya
itu. Demikianlah, seperti tiga orang pengembara, mereka
memasuki Pakuwon Lemah Warah. Mereka memasuki
gerbang kota dan langsung menuju ke istana Akuwu yang
terletak di pusat kota yang tidak terlalu luas.
Para pengawal di regol halaman memang bertanya
dengan cermat, siapakah mereka. Namun akhirnya Palot
berhasil meyakinkan, bahwa mereka memang dipanggil
oleh Akuwu menghadap. "Kalian menunggu di gardu pengawal," berkata
pemimpin pengawal, "kehadiran kalian akan dilaporkan."
Seorang pengawal pun kemudian telah
menyampaikan kehadirannya seorang yang bernama Palot
kepada seorang Pelayan Dalam, agar disampaikan kepada
Akuwu Lemah Warah. "Namanya Palot yang juga disebut Permita," berkata
pengawal itu. "Ooo," Akuwu Lemah Warah pun kemudian telah
turun sendiri ke halaman depan untuk menyongsong orang
yang bernama Permita dan disebut Palot itu.
"Marilah," berkata Akuwu Lemah Warah ketika ia
melihat Ki Permita di depan gardu bersama dua orang yang
harus ditangkapnya. Akuwu Lemah Warah tidak perlu bertanya lagi. Ia
pun segera mengerti bahwa Ki Permita telah berhasil
dengan tugasnya, menangkap atau membujuk kedua orang
itu untuk menyerah. Demikianlah, maka Ki Permita dan kedua orang yang
datang bersamanya itu telah dipersilahkan masuk ke ruang
dalam. Baru setelah mereka duduk, maka Akuwu Lemah
Warah itu telah memanggil Pangeran Singa Narpada dan
Mahendra. Bahkan juga Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan
Mahisa Ura yang ternyata masih berada di Pakuwon itu
pula. Sejenak kemudian, maka orang-orang yang masih
berada di Pakuwon itu pun telah duduk pula bersama Ki
Permita dan kedua orang pemimpin perguruan yang
menyerah itu. Sementara itu, maka Ki Permita pun telah
menyatakan, bahwa kedua orang pemimpin perguruan itu
memang sudah menyerah. "Syukurlah," berkata Pangeran Singa Narpada,
"dengan demikian kalian telah bertindak bijaksana. Kalian
ternyata termasuk pemimpin yang bertanggung jawab,
sehingga kalian tidak ingin melihat korban berjatuhan lebih
banyak lagi." "Kami memang tidak mempunyai harapan lagi,"
berkata pemimpin perguruan Suriantal yang bertongkat itu,
"karena itu, maka kami telah memilih jalan yang kami
anggap terbaik ini. Menyerah."
"Itulah yang aku maksudkan," sahut Pangeran Singa
Narpada, "dengan demikian kalian sudah membantu
penyelesaian yang lebih baik daripada saling
menghancurkan." Kedua orang tawanan itu menarik nafas dalam-dalam.
Pemimpin padepokan itupun kemudian berkata, "Ternyata
sikap Palot dan Pangeran tidak berbeda. Tetapi kenapa
Palot dan Pangeran telah membiarkan para pengikut kami
tetap berada di padepokan?"
"Mungkin orang-orang yang aku tinggalkan pernah
mengatakan kepada kalian, apa sebabnya," jawab Pangeran
Singa Narpada. "Yaa. Kalian membebankan semua kesalahan kepada
Panembahan, karena itu, maka yang lain bagi kalian dapat
dianggap tidak bersalah lagi," berkata pemimpin padepokan
yang telah mereka tinggalkan itu.
"Bukan begitu," berkata Pangeran Singa Narpada,
"tetapi kami sudah tahu pasti, apa yang telah terjadi dan
siapakah sumber dari segala peristiwa itu. Nah, apakah
dugaanku salah, bahwa kesalahan utama ada pada
Panembahan itu?" Kedua orang pemimpin perguruan itu menganggukangguk.
Meskipun mereka tidak mengharap bebas sama
sekali dari hukuman yang mungkin akan dijatuhkan oleh
Kediri atau Lemah Warah, namun rasa-rasanya kesalahan
mereka tidak lagi menentukan.
Sebenarnyalah maka Pangeran Singa Narpada pun
berkata, "Meskipun demikian, kami tidak dapat
membebaskan kalian dari tuntutan. Kalian adalah para
pemimpin yang bertanggung jawab sebuah perguruan.
Keterlibatan perguruan kalian tergantung kepada kalian."
Kedua orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun
sementara itu Pangeran Singa Narpada pun berkata,
"Tetapi seperti yang aku katakan, letak kesalahan utama
dari segala peristiwa yang telah terjadi tentu pada
Panembahan. Tetapi apakah kalian mengenal siapakah
orang yang disebutnya Panembahan itu?"
Kedua orang pemimpin perguruan itu menggeleng.
Sementara itu orang bertongkat dari perguruan Suriantal itu
justru bertanya, "Apakah Pangeran dapat menjelaskan
siapakah Panembahan itu" Bagiku Panembahan adalah
orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Orang yang
memiliki pengetahuan yang luas dan mempunyai
pandangan tentang masa depan yang bagi kami
memberikan banyak harapan daripada masa depan yang
kami lihat sekarang, yang dikemudikan oleh para pemimpin
di Kediri yang berkiblat kepada Singasari."
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, "orang itu memang orang yang luar biasa. Ia
memiliki ilmu yang tidak ada bandingnya."
Dalam pada itu, ketika Pangeran Singa Narpada
memandang kepada Ki Permita yang dikenal bernama
Palot itu, maka orang itu telah menundukkan kepalanya
dalam-dalam. Sementara itu Pangeran Singa Narpadapun berkata,
"Ki Sanak. Ternyata bukan saja orang itu yang memiliki
ilmu yang nggegirisi. Tetapi hambanya yang setia pun
memiliki tingkat ilmu yang sulit dicari bandingnya."
Pangeran Singa Narpada pun berhenti sejenak, lalu,
"sebenarnyalah kalian dapat bertanya kepada hambanya
yang setia itu, siapakah sebenarnya orang yang kalian kenal
dengan sebutan Panembahan itu."
Kedua orang pemimpin perguruan itupun telah
berpaling ke arah Palot. Mereka mengakui bahwa Palot
adalah orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi pula.
Namun dalam pada itu, dengan nada rendah Palot
pun berkata, "Pangeran, sebaiknya bukan akulah yang
harus menyampaikannya. Bukankah lebih baik Pangeran
saja sama sekali yang berceritera tentang Panembahan dan
barangkali tentang hambanya yang setia itu pula."
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk kecil.
Katanya, "Baiklah jika kau tidak bersedia." Kemudian
sambil memandang kedua orang pemimpin perguruan itu
berganti-ganti Pangeran Singa Narpadapun berkata, "Ki
Sanak. Sebenarnyalah bahwa orang yang kalian sebut
Panembahan itu adalah masih keluargaku sendiri. Orang itu
adalah pamanku." Kedua orang itu terkejut. Hampir di luar sadar, orang
bertongkat itu bertanya, "jadi, Panembahan itu juga seorang
dari lingkungan istana di Kediri sendiri?"
"Ya. Yang disebut Panembahan itu adalah paman
Pangeran Gagak Branang," berkata Pangeran Singa
Narpada. Kedua orang itu mengangguk-angguk. Hampir di luar
sadarnya mereka telah berpaling ke arah Ki Permita yang
mereka kenal bernama Palot.
Bahkan orang yang memiliki ilmu gendam itu berkata,
"Jika demikian, siapa pula sebenarnya Palot yang memiliki
ilmu yang jarang ada bandingnya itu?"
"Bertanyalah kepadanya," berkata Pangeran Singa
Narpada. Namun dalam pada itu Palot pun berkata, "Tidak ada
yang aneh pada diriku. Aku adalah hamba yang setia itu.
Dan aku adalah hamba yang setia dari Pangeran Gagak
Branang." Kedua orang pemimpin perguruan itu menganggukangguk.
Namun dalam pada itu Pangeran Singa Narpada
telah membenarkannya. Katanya, "Memang demikian.
Palot adalah seorang hamba yang setia. Namun barangkali
kami lebih mengenalnya bernama Ki Permita daripada
Palot. Tetapi apakah artinya nama. Yang penting, kalian
dapat menilai sendiri kemampuannya."
Kedua orang itu mengangguk-angguk pula. Memang
tidak banyak yang dapat dijelaskan tentang Palot yang
dikenal dengan nama Ki Permita itu selain ia memang
seorang hamba yang setia.
Namun keterangan tentang Panembahan itu telah
memberikan arah berpikir kepada kedua orang itu. Itulah
sebabnya maka baik Pangeran Singa Narpada maupun
Palot menganggap bahwa beban kesalahan terbesar ada
pada orang yang disebut Panembahan yang tidak lain
adalah keluarga Kediri sendiri. Itulah sebabnya maka
Panembahan itu mengingini Mahkota Kediri yang
dianggapnya sebagai benda yang menjadi tempat
bersemayam wahyu keraton.
Tetapi meskipun demikian, maka mereka tidak dapat
ingkar dari tanggung jawab, karena keduanya adalah
pemimpin perguruan yang langsung ikut serta mendukung
gerakan Pangeran yang disebutnya Panembahan itu.
Sebenarnyalah maka Pangeran Singa Narpada pun
kemudian berkata, "Baiklah Ki Sanak. Pada saatnya kita
akan meninggalkan Pakuwon ini dan menuju ke Kediri."
Pemimpin perguruan Suriantal itu menarik nafas
dalam-dalam sambil bergumam, "Batu itu."
Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya
sambil bertanya, "Batu apa?"
"Batu yang ada di pinggir hutan itu. Batu yang
berwarna kehijau-hijauan," berkata orang bertongkat itu,
"tetapi aku menyadari, bahwa aku tidak akan dapat
memilikinya." Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak.
Sementara itu orang bertongkat itu berkata, "Terserahlah
kepada ketiga orang anak muda itu."
Pangeran Singa Narpada memandang wajah orang
bertongkat yang kecewa itu. Dengan nada berat ia bertanya,
"Kenapa dengan ketiga orang anak muda itu?"
"Agaknya mereka juga tahu nilai dari batu kehijauhijauan
itu," jawab orang bertongkat itu.
Pangeran Singa Narpada berpaling ke arah Mahendra
yang termangu-mangu. Namun ia tidak mengatakan
sesuatu. Sementara itu, Pangeran Singa Narpada telah
berketetapan untuk membawa kedua orang itu ke Kediri,
agar mereka tidak menjadi beban bagi Akuwu Lemah
Warah. Demikianlah maka Pangeran Singa Narpada pun
telah melakukan persiapan untuk segera kembali ke Kediri
bersama kedua orang tawanan itu. Pangeran Singa Narpada
merencanakan untuk meninggalkan Pakuwon itu dihari
berikutnya. Meskipun Akuwu Lemah Warah masih berusaha
menahannya agar Pangeran Singa Narpada bersedia tinggal
di Pakuwon itu barang dua tiga hari lagi, namun agaknya
Pangeran Singa Narpada ingin segera kembali dan
melakukan pemeriksaan yang lebih teliti atas kedua orang
tawanannya. Namun dalam kesempatan tersendiri ia juga berkata
kepada Ki Permita, "Kau juga sebaiknya ikut aku ke
Kediri." Ki Permita mengangguk kecil. Katanya, "Aku sudah
menyadari bahwa kedudukanku tidak ada bedanya dengan
kedua orang itu." "Ah, tentu tidak," berkata Pangeran Singa Narpada,
"kau telah membantuku, menyelesaikan tugas ini dengan
baik." Ki Permita menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tetapi semuanya sudah lewat bagiku. Pangeran, aku
memang tidak berkeberatan untuk pergi bersama Pangeran
dan kedua orang tawanan itu ke Kediri. Namun setelah itu,
maka aku mempunyai permohonan kepada Pangeran dan
para pemimpin di Kediri lainnya."
"Apa permohonanmu?" bertanya Pangeran Singa
Narpada. "Pangeran, aku adalah hamba yang setia dari
Pangeran Gagak Branang. Sementara itu, Pangeran Gagak
Branang telah tidak ada lagi. Karena itu, maka tidak ada
gunanya lagi bagiku untuk hidup lebih lama lagi. Apalagi
sebenarnyalah bahwa aku sudah terlalu lama hidup
sebagaimana Pangeran Gagak Branang. Aku sudah terlalu
tua untuk dapat berbuat sesuatu," berkata Ki Permita.
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak.
Sebagaimana Pangeran Gagak Branang, maka Ki Permita
pun tentu sudah sangat tua. Sementara itu sebagaimana
juga Pangeran Gagak Branang, maka Ki Permita pun telah
minum sejenis getah yang dapat menahan gerak jaringan
tubuhnya untuk menjadi lebih tua dari saat obat itu mulai
berpengaruh pada dirinya.
"Jadi apa yang kau inginkan?" bertanya Pangeran
Singa Narpada. "Menyusul Pangeran Gagak Branang," jawab Ki
Permita. Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Namun dengan ragu ia bertanya, "Untuk itu apa yang harus
aku lakukan?" "Pangeran," berkata Ki Permita, "banyak cara yang
dapat ditempuh. Selagi Pangeran dan Mahendra masih
berada di sini." "Maksudmu?" bertanya Pangeran Singa Narpada.
"Pangeran dapat melakukannya dengan cara yang
sama sebagaimana pangeran lakukan atas Pangeran Gagak
Branang." jawab Ki Permita.
"Membunuhmu dengan benturan ilmu atau dengan
benang lawe itu?" bertanya Pangeran Singa Narpada.
"Pangeran tidak perlu menggunakan lawe itu
terhadap diriku. Aku tidak memiliki ilmu sebagaimana
dimiliki oleh Pangeran Gagak Branang didalam hal seperti
itu. Karena itu, maka jika terjadi benturan ilmu itu, maka
aku akan langsung mati." jawab Ki Permita.
Tetapi Pangeran Singa Narpada menggeleng.
Katanya, "Itu merupakan satu pembunuhan," berkata
Pangeran Singa Narpada, "Sementara itu bagaimana
mungkin aku dapat ikut bersama kami ke Kediri jika kau
mati di sini?" "Pangeran," jawab Ki Permita, "sudah aku katakan,
bahwa aku akan ikut bersama Pangeran ke Kediri.
Kemudian Pangeran dapat melakukannya."
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Namun kemudian ia berkata, "Ki Permita, baiklah kita
akan pergi ke Kediri. Kita akan menyelesaikan tugas ini
dengan tuntas. Kemudian aku akan menentukan sendiri,
jalan yang paling baik yang akan kau tempuh. Tetapi tidak
ada cara yang paling baik daripada cara yang sewajarnya.
Kau tidak dapat dengan syah mempercepat kematianmu
hanya karena kejemuan, atau mungkin kesetiaan."
Nampak keragu-raguan di wajah Ki Permita. Sekilas
ia memandang kedua tangannya dengan jari-jari yang
mengembang. "Ki Permita," berkata Pangeran Singa Narpada,
"tidak ada cara untuk menunda dan mempercepat kematian
yang syah dihadapan Yang Maha Agung. Semua akan
berjalan sebagaimana seharusnya. Pangeran Gagak
Branang pun telah kembali ke asalnya sebagaimana harus
berlaku. Seandainya ia tidak mempergunakan ilmu apapun
juga, maka umurnya memang akan cukup panjang
sebagaimana terjadi atas dirinya. Pangeran Gagak Branang
memang dapat hidup lebih dari seratus tahun. Tetapi ia
bukan orang satu-satunya. Aku mengenal seorang petani
yang tidak pernah memiliki ilmu apapun juga yang dapat
hidup sampai seratus tahun pula. Bahkan masih mampu
memilih gabah di antara beras yang akan ditanaknya."
Ki Permita menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Aku mengerti Pangeran. Umur yang terlalu panjang
memang dapat menjemukan bagi beberapa orang termasuk
aku. Tetapi tentu orang yang tidak tahu diri dihadapan
Yang Maha Agung itu."
"Mudah-mudahan kau tidak dicengkam oleh
kejemuan itu," berkata Pangeran Singa Narpada,
"meskipun getah itu dapat menghambat pertumbuhan
jaringan tubuhmu, tetapi tidak akan dapat menjerat
nyawamu untuk tetap berada didalam tubuhmu itu. Tetapi
kau harus tabah, sehingga saat yang wajar itu datang."
Ki Permita menarik nafas dalam-dalam. Namun ia
menyadari bahwa yang dikatakan oleh Pangeran Singa
Narpada itu bukan sekedar petunjuk untuk menenangkan
hatinya yang bergejolak, tetapi sebenarnyalah memang
demikian. Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk.
Katanya, "Baiklah. Aku yakin, bahwa hatimu tidak
selemah itu sehingga kau menyerahkan dirimu pada
keputus-asaan dan memasuki jalan pintas yang terkutuk
itu." Ki Permita tidak menjawab. Hanya kepalanya sajalah
yang mengangguk-angguk kecil.
"Bagus," berkata Pangeran Singa Narpada, "besok
kita akan kembali ke Kediri. Kita akan membawa dua orang
tawanan kita bersama-sama dengan kita. Kita tidak perlu
mempersulit tugas Akuwu Lemah Warah ini dengan kedua
orang tawanan yang berilmu tinggi itu."
Ki Permita hanya mengangguk-angguk saja tanpa
menjawab. Dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada tidak lagi
menaruh curiga kepada Ki Permita. Ia adalah seorang yang
setia kepada sikapnya, sebagaimana telah dibuktikannya
ketika ia mengabdi kepada Pangeran Gagak Branang.
Orang yang memiliki kesetiaan seperti Ki Permita itu
tidak akan berkhianat. Jika ia sudah menyatakan
kesediaannya, maka yang dikatakan itu akan dilakukannya.
Tetapi jika ia mengatakan tidak maka apapun yang terjadi
akan ditempuhnya. Seperti yang direncanakan, maka di hari berikutnya,
maka Pangeran Singa Narpada telah bersiap untuk kembali
ke Kediri. Ternyata bahwa Mahendra pun telah ikut pula
bersama mereka. Bahkan Mahisa Ura juga menyatakan diri
untuk kembali ke Singasari.
"Bagaimana dengan kedua orang anak muda itu?"
bertanya Pangeran Singa Narpada.
"Mereka akan tinggal," berkata Mahendra.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Dengan nada rendah ia bertanya perlahan-lahan kepada
Mahendra, "Apakah ada hubungannya dengan batu yang
disebut-sebut oleh orang bertongkat itu?"
Mahendra tersenyum. Katanya, "Batu itu berada di
pinggir hutan. Tidak ada yang memilikinya. Anak-anak itu
menganggap batu itu memang menarik. Aku tidak tahu,
apakah mereka merasa perlu untuk memilikinya. Tetapi
sekali lagi aku tegaskan, batu itu terletak di pinggir hutan
tanpa seorang pun yang memilikinya, sehingga jika kedua
anak-anak itu mengambilnya ia tidak merugikan siapapun
juga. Agaknya orang-orang di sekitarnya tidak menganggap
penting atas batu itu."
"Mereka mungkin tidak tahu bahwa batu itu adalah
batu yang berharga meskipun bukan yang terbaik," desis
Pangeran Singa Narpada. Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, "Dengan
demikian mereka tidak merasa kehilangan jika batu itu
dimiliki oleh siapapun juga."
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Tetapi
ia tidak mempersoalkannya lagi.
Demikianlah, maka sebuah iring-iringan kecil telah
meninggalkan Pakuwon Lemah Warah. Mereka tidak lagi
berjalan kaki. Tetapi mereka telah mendapat kuda dari
Akuwu Lemah Warah, agar perjalanan mereka menjadi
agak cepat. Seperti yang dikatakan, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat tidak ikut bersama mereka. Tetapi keduanya
Dewa Mata Maut 1 Pendekar Rajawali Sakti 105 Istana Gerbang Neraka Istana Langit Perak 1