Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 26

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 26


padukuhan. " Jangan takut, bahwa mereka akan mengganggu,"
berkata Mahisa Murti, "mereka pun tidak perlu diberi makan
kecuali jika yang dihuni oleh prajurit itu kebetulan orang
berada. Para prajurit itu sudah dilengkapi dengan bekal
mereka masing-masing."
Ki Bekel di kedua padukuhan itu m engangguk-angguk.
Tetapi mereka percaya bahwa para prajurit itu memang tidak
akan mengganggu. Dengan demikian, maka disetiap rumah tinggal dua atau
tiga orang prajurit. Bahkan dirumah y ang besar dapat tinggal
lima orang bersama-sama. Mereka tidak akan tinggal terlalu
lama di padukuhan-padukuhan itu.
Sebenarnyalah bahwa Akuwu Sangling memang sudah
menugaskan orangnya untuk mengamati pintu gerbang.
Apakah ada pasukan yang baru datang memasuki padepokan.
Sampai saat terakhir, orang-orang yang bertugas untuk
mengamati pintu gerbang itu tidak m elihat hadirnya pasukan
baru. Mereka tidak melihat iring-iringan atau kelompokkelompok
kecil y ang memasuki pintu gerbang. Karena itu,
maka m ereka berkesimpulan bahwa tidak ada pasukan baru
yang datang ke padepokan Suriantal.
Karena itu, ketika kemudian pasukan Akuwu Sangling
datang mendekati padepokan Suriantal, maka orang-orang
yang b ertugas itu, telah datang kepadanya untuk melaporkan
hasil pengamatannya. "Apakah pintu gerbang, itu tidak pernah dibuka?"
bertanya Akuwu. "Tentu saja dibuka. Sekali-sekali satu dua orang keluar
masuk pintu itu. Mungkin mereka akan berbelanja atau untuk
keperluan lain bagi kebutuhan mereka sehari-hari," jawab
pengamat itu. "Apakah tidak mungkin mereka memasuki padepokan
itu seorang demi seorang," bertanya Akuwu.
"Tidak Akuwu," jawab pengamat itu, "jika demikian
maka akan berlangsung iring-iringan y ang panjang yang
memerlukan waktu yang lama. Itu pun jumlahnya tidak akan
banyak." Akuwu mengangguk-angguk. Tetapi ia masih bertanya,
"Apakah mungkin mereka memasuki padepokan dengan
meloncati dinding?" " Juga tidak," jawab pengamat itu, "jika demikian salah
seorang diantara kita akan melihatnya."
Akuwu Sangling mengangguk-angguk. Katanya,
"Baiklah. Agaknya Akuwu Lemah Warah memang sombong
sekali. Ia menganggap bahwa dengan pasukannya y ang kecil ia
akan dapat mengalahkan pasukanku. Biarlah ia meny esal. Jika
ia nanti m elihat pasukanku y ang m engepung padepokan itu,
maka ia akan m eny esali kesombongannya. Baru ia m enyadari
bahwa, aku tidak sekedar bermain-main. Aku benar-benar
akan m elakukan sesuatu untuk menegakkan harga diriku. Ki
Buyut Bapang akan aku ambil dalam keadaan y ang baik. Jika
ia mengalami cidera, maka biarlah Akuwu Lemah Warah
mempertanggung-jawabkannya. Aku akan menangkapnya dan
membawanya ke Sangling. Aku tidak takut bahwa pasukannya
akan datang menyusulnya ke Sangling. Pasukan itu harus,
menyerah dengan melepaskan segala senjatanya jika mereka
mengharap Akuwunya selamat."
Perwira yang mendapat tugas mengamati keadaan itu
mengangguk-angguk. Katanya, "Rencana selanjutnya terserah
kepada Akuwu. Namun ada baiknya jika Akuwu mulai
mengepung padepokan itu."
"Aku setuju," berkata Akuwu Sangling, "aku sudah
menunda keberangkatanku kemari. Menurut perhitunganku,
jika Lemah Warah memanggil pasukan, maka mereka tentu
sudah sampai dan sudah berada di dalam padepokan. Namun
agaknya Akuwu Lemah Warah memang merasa dirinya t erlalu
kuat. Bahkan secara pribadi, sehingga ia tidak memerlukan
pasukan dalam jumlah yang memadai."
Demikianlah, maka Akuwu Sangling pun telah
memerintahkan pasukannya untuk mengepung padepokan itu.
Meskipun belum ada perintah untuk bergerak, namun
kepungan itu harus m enutup padepokan itu sehingga mereka
tidak akan dapat berhubungan dengan siapapun.
Dengan wajah tengadah Akuwu Sangling melihat
pasukannya y ang menebar, mengelilingi padepokan itu. Dalam
kelompok-kelompok m aka pa sukan Akuwu Sangling itu telah
membangun semacam gubug-gubug kecil yang akan dapat
mereka pergunakan. Para prajurit itu pun telah menebangi bambu dan
kekayuan yang banyak terdapat di gerumbul-gerumbul dan
hutan perdu tidak terlalu jauh dari padepokan itu. Mereka
dapat mempergunakannya untuk membangun gubug-gubug
kecil yang kemudian diberi beratap ilalang yang banyak
terdapat di sekitar padepokan itu pula.
Prajurit-prajurit Sangling itu bekerja dengan tenang
tanpa menghiraukan orang-orang padepokan itu. Seakan-akan
mereka menganggap bahwa orang-orang padepokan itu sama
sekali tidak membahayakanya. Karena itu, hari-hari pertama
kehadiran mereka, mereka telah melakukan kerja itu.
Dalam waktu dua hari, telah dapat dibangun gubuggubug
kecil yang cukup untuk berteduh dari teriknya panas
dan dinginnya titik embun. Beberapa buah diantara gubuggubug
yang agak besar telah mereka pergunakan sebagai
dapur untuk menyiapkan makan dan minum seisi pasukan itu.
Sementara itu orang-orang y ang berada di dalam
padepokan itu hanya memperhatikan saja tingkah laku orangorang
Sangling itu. Namun demikian, mereka pun menjadi
berdebar-debar Jika pada suatu saat, orang-orang Sangling itu
mengetahui bahwa di dua padukuhan terdekat terdapat
pasukan Lemah Warah yang cukup kuat, y ang berbaur dengan
penduduk. Dalam pada itu, karena Akuwu Sangling masih belum
berbuat apa-apa, maka Akuwu Lemah Warah pun tetap
menduga. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang menunda
kepergiannya itu pun hampir kehilangan kesabaran. Apalagi
setelah memasuki hari keempat. Seakan-akan kedua belah
pihak sama sekali tidak saling berkepentingan.
Namun t ernyata dugaan Akuwu Sangling keliru. Akuwu
Lemah Warah sama sekali tidak menjadi cemas ketika ia
melihat kekuatan Sangling yang m engepung padepokan itu.
Ber sama Mahisa Muri dan Mahisa Pukat, maka Akuwu Lemah
Warah telah menyaksikan pasukan yang mengepung
padepokan itu di segala arah. Akuwu telah mengamati
pasukan induk dari Sangling dan berada di bagian depan dari
padepokan itu. Kemudian y ang berada di sisi kanan, di bagian
belakang dan di sebelah kiri.
Ternyata bagi Akuwu Lemah Warah, pasukan itu
memang tidak menggetarkan, meskipun tidak dapat dianggap
tidak berbahaya. Karena itu, maka Akuwu pun telah memerintahkan
pasukannya untuk bersiaga sebaik-baiknya.
Sementara itu, prajurit Lemah Warah y ang berada di
padepokan telah mengetahui kehadiran Akuwu Sangling.
Setiap kali mereka mengirimkan dua atau tiga orang yang
harus mengamati pasukan y ang mengepung padepokan itu.
Mereka kadang-kadang berpakaian sebagai gembala yang
sedang mencari rumput. Meskipun mereka berusaha untuk
tidak berurusan langsung dengan para prajurit Sangling.
Orang-orang Lemah Warah y ang berpakaian seperti
gembala itu mengamati padepokan dari jarak yang cukup jauh.
Hanya jika keadaan memaksa, maka orang-orang Sangling
mudah-mudahan akan menganggap m ereka sebagai gembala
yang sebenarnya. Namun sampai sekian jauh tidak ada seorang pun
diantara pengamat itu y ang langsung diketahui dan apalagi
ditangkap oleh prajurit Sangling.
Dalam pada itu, setelah beberapa hari pasukan Sangling
mengepung padepokan itu, maka Akuwu Sangling dengan
dikawal oleh beberapa orang prajurit terpilihnya telah datang
mendekati regol padepokan. Dengan pertanda khusus, m ijka
Akuwu itu menyatakan bahwa ia ingin berbicara dengan
Akuwu Lemah Warah. Regol itu memang dibuka. Akuwu Lemah Warah berdiri
di regol yang sudah terbuka itu menunggu Akuwu Sangling
yang mendekat. Sementara itu pada jarak beberapa puluh
langkah, pasukan Sangling telah bersiap untuk melakukan
perintah. Dalam pada itu Akuwu Sanglinglah yang lebih dahulu
berkata, "Yang mulia Akuwu Lemah Warah. Meskipun
barangkali Akuwu telah mengetahuinya, t etapi baiklah aku
sekarang mengatakannya lagi, bahwa aku datang untuk
mengambil Ki Buyut Bapang. Aku minta Akuwu meny erahkan
Ki Buyut Bapang dalam keadaan sebagaimana ia sehari-hari.
Tanpa cidera dan tanpa cacat. Aku berjanji untuk mengusut
persoalannya sebaik-baiknya sesuai dengan keadilan.
Kemudian aku minta Akuwu mencabut pernyataan Akuwu
bahwa letak batu itu semula tidak termasuk Pakuwon
Sangling. Atau Akuwu juga membuat pernyataan bahwa batu
itu juga tidak terletak di Pakuwon Lemah Warah."
Akuwu Lemah Warah menarik nafas dalam-dalam.
Namun kemudian jawabnya, "Aku tidak berkeberatan untuk
memenuhi permintaan Akuwu y ang kedua. Meskipun aku
tetap mengatakan bahwa batu itu tidak terletak di Sangling,
namun aku bersedia membuat pernyataan bahwa batu itu
tidak juga terletak di Lemah Warah. Karena itu, maka hak
Akuwu atas batu itu sama dengan hakku atas batu itu."
"Baik," jawab Akuwu Sangling. Namun kemudian,
"sekarang serahkan Ki Buyut Bapang."
" Itulah y ang aku berkeberatan," jawab Akuwu Lemah
Warah, "sebaiknya Akuwu tidak menuntut agar kami
mengembalikannya kepada Akuwu. Tetapi jika Akuwu
bersedia, maka kita akan bersama-sama mengusutnya.
Sebenarnyalah aku kecewa terhadap Akuwu. Aku mengira
Akuwu berterima kasih kepadaku, bahwa aku telah
memberikan keterangan yang berguna bagi Akuwu tentang
salah seorang Buyutnya y ang tidak berlaku pantas."
Tetapi Akuwu Sangling menggeleng sambil menjawab,
"Tidak. Buyut Bapang adalah orangku. Hitam putihnya ada di
tanganku." "Maaf Akuwu. Aku tetap pada pendirianku. Aku akan
mengadilinya dan akan menentukan hukuman apa yang
pantas dilakukannya, ia sudah m elakukan kesalahan dua kali.
Sebelum ia melarikan diri dari Lemah Warah dan atas
padepokan ini. Ia telah menimbulkan kematian dan
goncangan-goncangan atas padepokan ini," jawab Akuwu
Lemah Warah. "Akuwu," jawab Akuwu Sangling, "apakah Akuwu tidak
melihat bahwa aku datang dengan pasukanku" Seharusnya
Akuwu dapat m emperhitungkan kekuatan yang ada di dalam
padepokan ini dengan pasukan yang aku bawa. Karena itu aku
memperingatkan, sebaiknya Akuwu Lemah Warah tidak
menantang Sangling untuk melakukan kekerasan."
"Terima kasih atas peringatan itu," jawab Akuwu Lemah
Warah, "tetapi aku pun memperingatkan, bahwa di padepokan
ini terdapat kekuatan y ang terlalu besar bagi prajurit Sangling
yang ada di sekitar padepokan itu. Karena itu, sebaiknya
Akuwu Sangling tidak berbuat apa-apa disini y ang hanya akan
menjerat Akuwu sendiri. Sebab jika kekerasan telah dimulai,
maka akan sulit untuk dihentikan."
"Akuwu. Kita bukan baru berkenalan kemarin. Tetapi
ternyata aku salah duga. Aku kira Akuwu Lemah Warah bukan
seorang y ang sangat sombong. Kini ternyata bahwa Akuwu
adalah orang yang sangat sombong. Dan kesombongan itu
akan dapat menyeret Akuwu ke dalam kesulitan dan
peny esalan." "Apapun y ang kau katakan, tetapi aku akan
mempertahankan Ki Buyut. Bukan karena Ki Buyut adalah
orang besar y ang pantas dipertahankan dengan
mengorbankan beberapa orang y ang akan mati, t etapi sematamata
karena aku berpegang pada berlakunya paugeran di
Lemah Warah," berkata Akuwu Lemah Warah.
"Kita mempunyai dasar pegangan yang sama. Soalnya
adalah harga diri. Dan k ematian-kematian y ang bakal terjadi
bukannya harga Ki Buyut Bapang. Tetapi nilai dari harga diri
kami." sahut Akuwu Sangling.
"Nah," berkata Akuwu Lemah Warah, "jika demikian
kita bertolak dari dasar pendirian yang sama. Harga diri. Nah,
aku sudah siap mempertahankan harga diri Lemah Warah."
Akuwu Sangling itu menggeretakkan giginya.
Kemarahannya nampak pada wajahnya y ang merah dan sorot
matanya y ang m enyala. Dengan suara yang bergetar, Akuwu
itu berkata, "Baiklah kakanda Akuwu Lemah Warah. Jangan
salahkan aku y ang dianggap lebih muda jika aku berani
menentang keputusan Akuwu itu. Aku akan memasuki
padepokan ini besok dan mengambil Ki Buyut. Jika terpaksa
jatuh korban, sudah aku katakan, itu adalah nilai dari harga
diri kami." "Kami sudah siap," jawab Akuwu Lemah Warah.
Akuwu Sangling itu pun kemudian telah memberikan
isy arat kepada para pengawalnya untuk m eninggalkan regol
padepokan itu. Sementara itu Akuwu Lemah Warah masih
berdiri di regol untuk beberapa saat sambil memandangi
Akuwu Sangling y ang menjauh bersama para pengawalnya.
Namun terkesan pada wajah dan sikapnya, bahwa Akuwu
Sangling benar -benar menjadi marah dan akan melakukan
sebagaimana dikatakan. Akuwu Lemah Warah menarik nafas dalam-dalam.
Ketika ia kemudian surut beberapa langkah, m aka reg ol itu
pun telah ditutup dan diselarak.
"Agaknya Akuwu Sangling tetap tidak mau mengerti,
"desis Akuwu Lemah Warah.
"Dan akan terjadi lagi seperti yang pernah terjadi."
sahut Mahisa Murti, "sekelompok pasukan bersiap disebelah
menyebelah regol dan dibeberapa panggungan. Mereka
bersiap dengan anak panah dan busur. Kemudian y ang lain
akan melontarkan lembing ke arah pasukan y ang datang
mendekati dinding." "Mahisa Murti," berkata Akuwu Lemah Warah, "jika kau


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengar keterangan Akuwu Sangling, maka kau tentu akan
sependapat. Soalnya adalah harga diri. Karena itu, maka kita
pun harus mempertahankan harga diri itu. Bukan sekedar
batu itu." Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, "Aku
mengerti. Tetapi seandainya kami tidak mengambil batu itu,
maka aku kira Ki Buyut yang menjadi sasaran Akuwu Sangling
itu tidak akan berada di sini."
"Tetapi batu itu sudah ada di sini. Dan Ki Buyut itu pun
sudah berada di sini pula," jawab Akuwu.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara itu
Mahisa Pukat pun berkata, "Apa boleh buat. Kita harus
mempertanggung jawabkan apa yang telah kita lakukan."
Mahisa Murti memandang Mahisa Pukat sekilas.
Sementara itu Mahisa Pukat berkata selanjutnya, "Kita tidak
dapat sekedar meny esali langkah-langkah y ang sudah kita
ambil. Tetapi kita harus menentukan langkah selanjutnya."
(Bersambung ke 43) Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo Converter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : Uploader di Indozone : Dino
--ooo0dw0ooo- Jilid 043 MAHISA Murti mengangguk-angguk. Katanya, "Aku
mengerti. Tetapi aku hanya sekedar m eny esali bahwa hal ini
harus terjadi." "Sudahlah," potong Akuwu Lemah Warah, "kita
memang sudah menentukan sikap. Kita tidak akan dapat
melangkah surut. Apapun y ang terjadi."
"Lalu bagaimanakah dengan pasukan yang berada di
padukuhan?" bertanya Mahisa Pukat.
"Memang sulit untuk menghubungi atau memberikan
isy arat," berkata Akuwu Lemah Warah, "tetapi kami berharap
jika pertempuran terjadi, mereka sempat mengetahui.
Seharusnya mereka selalu mengirimkan beberapa orang untuk
selalu mengawasi keadaan padepokan ini."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Desisny a, "Jarak
padukuhan itu tidak terlalu jauh. Agaknya mereka akan
mengikuti perkembangan y ang terjadi di padepokan ini."
" Jika pertempuran telah terjadi, m aka kita akan dapat
melepaskan isyarat dengan panah sendaren," berkata Akuwu
Lemah Warah. Mahisa Pukat mengangguk kecil. Lalu katanya, "Tetapi
bagaimanapun juga, kita harus benar-benar bersiap
menghadapi kemungkinan y ang bakal datang."
"Sudah tentu," sahut Akuwu, "apalagi menurut
pengetahuanku Akuwu Sangling adalah seorang y ang memiliki
ilmu yang luar biasa. Rasa-rasanya ilmu y ang ada di dalam
dirinya sulit untuk dicari bandingnya."
Demikianlah pada hari itu Akuwu Lemah Warah telah
mempersiapkan segala-galanya. Ia harus berbuat sesuatu
untuk mengurangi dan bahkan melenyapkan setiap
kemungkinan, bahwa pasukan Akuwu Sangling akan
memasuki padepokan. Seperti yang sudah terjadi, maka sepa sukan y ang sudah
ditentukan m emang akan berada di panggungan seperti yang
dikatakan oleh Mahisa Murti. Mereka sudah mempersiapkan
anak panah dan lembing dalam jumlah yang tidak terhitung.
Mereka akan m elontarkannya ke arah pasukan Sangling yang
mendekat. Tetapi sudah tentu seperti yang pernah t erjadi juga
pasukan Sangling yang berada di depan adalah pasukan yang
bersenjata pedang dan peri sai di tangan kiri.
Tetapi itu memang harus terjadi.
Ber sama Akuwu Lemah Warah, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah mengelilingi padepokan itu sambil
melihat-lihat persiapan y ang dilakukan oleh para penghuni
padepokan serta para prajurit Lemah Warah y ang sudah ada
di padepokan itu. Jumlah mereka memang kurang memadai jika hanya
mereka sajalah y ang harus bertempur melawan pasukan
Sangling y ang kuat. Tetapi Akuwu yakin, bahwa pasukannya
yang berada di padepokan akan dapat ikut menentukan akhir
dari pertempuran itu. Akuwu Lemah Warah dan Mahisa Murti serta Mahisa
Pukat setelah menyaksikan persiapan y ang dilakukan oleh
para penghuni padepokan itu serta para prajurit Lemah
Warah, merasa bahwa persiapan y ang mereka lakukan itu
adalah kemungkinan yang tertinggi. Karena itu ia berharap
bahwa mereka akan dapat mengatasi kesulitan sampai saatnya
para prajurit di padukuhan itu datang membantu.
Menj elang senja Akuwu telah memanggil semua
pemimpin kelompok. Baik pimpinan kelompok dari para
penghuni padepokan itu maupun pemimpin kelompok dari
para prajurit Lemah Warah. Dengan singkat Akuwu telah
memberikan beberapa petunjuk dan pesan. Menurut Akuwu,
tidak seorang pun di antara orang -orang Sangling yang akan
mendapat kesempatan untuk memasuki padepokan.
"Kita harus bertahan. Berapa pun korban di antara
mereka akan jatuh," berkata Akuwu, "tanggungjawab tidak
terletak pada kita, tetapi pada Akuwu Sangling."
Para pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk.
Namun Mahisa Murti lah y ang kemudian berkata, "Akuwu.
Kita memang harus bertahan sejauh dapat kita lakukan. Tetapi
sulit bagi kita untuk tetap m empertahankan pintu gerbang.
Pa da saat Ki Buyut dan Empu Sepada m eny erang padepokan
ini, maka dengan kemampuan ilmu mereka, maka mereka
telah memecahkan pintu gerbang tanpa dapat dicegah lagi."
Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk. Katanya,
"Memang sulit untuk mencegahnya. Tetapi kita akan bertahan
di depan pintu gerbang, jika pintu gerbang itu dipecahkannya.
Kita akan bertahan agar tidak seorang pun yang dapat masuk
ke dalam padepokan ini. Apalagi Akuwu Sangling sendiri. Aku
akan menahannya agar ia tetap berada di pintu. Baru j ika ia
sudah kehilangan kemampuan untuk m elawan, ia akan aku
bawa masuk, atau akulah y ang telah terkapar mati di regol ini.
Sehingga biarlah Akuwu Sangling itu masuk ke dalam
padepokan ini setelah melangkahi mayatku."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam
agaknya Akuwu Lemah Warah benar-benar marah
menghadapi sikap Akuwu Sangling. Akuwu Lemah Warah
merasa umurnya dan kedudukannya lebih tua dari Akuwu
Sangling. Namun agaknya Akuwu Sangling dengan sengaja
sudah menandinginya. Sementara Akuwu Lemah Warah
sedang berusaha untuk mencari jalan y ang baik bagi
peny elesaian yang tuntas, terutama atas Ki Buyut Bapang.
Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak
mengatakan sesuatu. Mereka tidak ingin meny inggung
perasaan Akuwu Lemah Warah y ang sedang marah itu.
"Nah," berkata Akuwu Lemah Warah itu selanjutnya,
"kembalilah kepada kelompok kalian masing-masing.
Ber siaplah. Besok kila akan bertempur mempertahankan
padepokan ini." Para pemimpin kelompok itu pun menyadari, apa y ang
bergejolak di dada Akuwu Lemah Warah. Karena itu, m aka
mereka pun segera kembali ke kelompok masing-masing.
Mereka pun telah menyampaikan perintah Akuwu itu k epada
setiap penghuni padepokan itu dan para prajurit Lemah
Warah. "Akuwu benar-benar marah," berkata para pemimpin
kelompok itu, "karena itu maka sikapnya menjadi keras.
Tetapi marah atau tidak marah, maka sudah menjadi
kewajiban kita untuk mempertahankan padepokan ini."
Para pemimpin kelompok pun telah menguraikan
sebagaimana dikatakan oleh Akuwu, kenapa mereka harus
bertahan dengan segenap kemampuan mereka.
Para penghuni padepokan itu rasa-rasanya darahnya
menjadi semakin bergelora. Perintah Akuwu tegas. Mereka
harus mempertahankan padepokan itu dengan tanpa
mengenal surut. Mereka harus bertahan sampai kemungkinan
terakhir. Tidak seorang pun dari para prajurit Sangling yang
boleh masuk tanpa meloncati mayat-mayat penghuni
padepokan itu serta para prajurit Lemah Warah.
Dengan demikian, maka para penghuni padepokan itu
serta prajurit Lemah Warah yang ada di padepokan itu telah
benar-benar bersiap lahir dan batin.
Namun dalam pada itu, waktu y ang tersisa itu masih
dapat dipergunakan sebaik-baiknya. Mereka harus cukup
beristirahat agar besok, menghadapi perang yang tidak
mengenal surut, tenaga mereka dapat mereka pergunakan
sepenuhnya. Hanya mereka y ang bertugas sajalah y ang m asih tetap
terbangun dan tetap berada di panggungan untuk mengawasi
setiap gerak dari mereka yang mengepung padepokan itu.
Menj elang dini hari, m aka di dapur dari kedua belah
pihak telah mengepul asap. Mereka harus mempersiapkan
makan bagi mereka y ang akan bertempur setelah fajar.
Dalam pada itu, baik Akuwu Lemah Warah, maupun
Akuwu Sangling sendiri hanya sempat tidur beberapa saat.
Bagaimanapun juga, perasaan mereka selalu menggelitik
sehingga mereka tidak dapat tidur ny enyak dan cukup lama.
Menj elang dini. Akuwu Sangling maupun Akuwu Lemah
Warah telah bersiap, sementara pasukannya pun telah
bersiap-siap pula. Para pemimpin kelompok tengah m engatur
kelompok masing-masing. Pa sukan Sangling pun telah menyusun barisan untuk
memasuki Padepokan itu yang disangkanya tidak akan terlalu
sulit. Pasukan Sangling akan menggempur padepokan itu dari
segala arah. Yang dari depan harus memecahkan pintu
gerbang. Bahkan Akuwu pun berkata, "Aku sendiri akan
menggempur pintu gerbang itu. Tidak ada yang dapat
menghalangi aku untuk memasuki padepokan itu. Aku tidak
akan berbuat banyak. Aku hanya akan m engambil Ki Buyut
Bapang. Tetapi jika orang-orang Lemah Warah benar-benar
ingin mempertahankan, maka aku akan menyapu mereka
sampai debu y ang terakhir. Bahkan Akuwu Lemah Warah
sendiri jika ia berkeras, maka aku akan m enghancurkannya,
meskipun sebenarnya aku lebih muda kedudukanku
daripadanya." Demikianlah ketika semua persiapan sudah selesai,
maka terdengar suara bende y ang menggema di seputar
padepokan. Akuwu Lemah Warah y ang m endengar suara bende itu
dengan tergesa-gesa telah memanjat panggungan. Dilihatnya
dari sebelah regol padepokan, bahwa pasukan Sangling telah
mulai bergerak. Pertanda kebesaran telah mulai m enggeletar.
Tunggul, panji-panji dan kelebet.
Ketika suara bende terdengar untuk kedua kalinya, maka
pasukan-pasukan itu benar-benar telah maju dengan cepat.
Dengan cepat pula kepungan atas padepokan itu semakin
menyempit. Akuwu Lemah Warah menggeretakkan giginya.
Kemarahannya benar-benar telah membakar jantungnya.
Namun demikian Akuwu Lemah Warah tidak mau kehilangan
penalaran, ia berusaha untuk tetap berpikir jernih menghadapi
pasukan Sangling yang kuat.
Karena itu, maka ia pun telah menjatuhkan perintah
kepada semua pasukan y ang ada di dalam padepokan itu
bersiap meny ongsong pasukan yang datang.
Tetapi Akuwu Lemah Warah tidak terlalu banyak
mempercayakan hambatan pasukan Sangling oleh lontaran
anak panah dan lembing meskipun hal itu dilakukan juga.
Tetapi Akuwu lebih percaya kepada ketrampilan pasukan di
padepokan itu untuk memutar pedang atau tombak di
tangannya. S etiap orang y ang berusaha untuk memanjat dan
meloncat dinding padepokan harus didor ong kembali keluar
dengan ujung tombak. Demikianlah, maka pasukan Sangling itu memang
menjadi semakin mendekati dinding padepokan. Seperti yang
sudah diperhitungkan, maka y ang paling depan tentu pasukan
yang bersenjata pedang dan perisai untuk m elindungi kawankawan
mereka dari tusukan anak panah dan lembing.
Kemudian di belakang mereka adalah para prajurit yang
bersenjata anak panah pula untuk melindungi kawankawannya
dan mengurangi derasny a anak panah yang
meluncur dari atas dinding.
Tetapi Akuwu Lemah Warah tidak terlalu terikat oleh
benturan pertama. Yang penting bagi Akuwu adalah
bagaimana para penghuni padepokan itu dan para prajurit
Lemah Warah menahan arus orang-orang Sangling yang akan
masuk ke padepokan. Dalam pada itu, pasukan Sangling pun semakin lama
sudah m enjadi semakin dekat. Karena itu, maka mereka pun
mulai menyiapkan perisai di tangan kiri dan pedang di tangan
kanan. Namun orang-orang Lemah Warah dan isi padepokan
itu tidak seperti biasanya, dengan serta menghujani mereka
dengan anak panah. Pa sukan Sangling itu dibiarkannya
berjalan semakin dekat. Bukan saja y ang berada di depan
pintu gerbang. Tetapi di seluruh lingkaran pasukan Sangling.
Akuwu Sangling memang agak heran, bahwa pasukan
Lemah Warah dan orang-orang padepokan itu tidak
melakukan sebagaimana diperhitungkan. Meskipun demikian
Akuwu Sangling tidak menghiraukannya. Ia sudah y akin
bahwa ia akan berhasil menghancurkan pasukan Lemah
Warah dan mengambil Ki Buyut Bapang. Bahkan jika
kemudian dapat dilakukannya, maka ia pun akan mengambil
batu itu pula. Demikianlah, maka Akuwu Sangling pun langsung
menuju ke pintu gerbang. Sementara itu, Akuwu Lemah
Warah tidak merasa perlu ikut memanjat panggungan. Ia telah
bersiap di belakang pintu gerbang. Demikian Akuwu Sangling
memecahkan pintu, m aka ia harus segera bersiap di depan


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pintu. Yang memimpin pasukan di panggungan sebelah
menyebelah pintu gerbang itu adalah Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Untuk beberapa saat, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
memang hanya menunggu. Namun ketika pasukan Akuwu
Sangling m enjadi semakin dekat, maka barulah Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat memberi isy arat untuk meny erang.
Serangan yang datang itu memang mengejutkan.
Seakan-akan orang-orang padepokan itu terlambat bertindak,
justru karena lawan telah terlalu dekat.
Namun serangan orang -orang Lemah Warah dan isi
padepokan itu memang tidak ditujukan kepada orang-orang
yang berperi sai y ang telah terlalu dekat dengan dinding
padepokan. Tetapi justru kepada para prajurit di belakangnya.
Pertempuran pun segera telah berkobar. Orang-orang
padepokan itu memang meny erang para prajurit Sangling
dengan anak panah. Tetapi tidak dengan cara yang biasa
dilakukan, sehingga serangan itu agak mengejutkan juga.
Sementara itu, pasukan Sangling pun segera m embalas.
Tetapi mereka agaknya lebih mengarahkan sasaran mereka
untuk memanjat dinding. Karena itu, maka sebagian dari para
prajurit itu telah berusaha untuk melekat pada dinding
padepokan. Tetapi agaknya memang tidak mudah untuk memanjat.
Dinding itu cukup tinggi. Karena itu, untuk meloncati dinding
mereka memerlukan persiapan yang baik.
Hal itu memang sudah mereka perhitungkan. Karena itu
maka di antara para prajurit itu memang telah membawa
beberapa batang bambu. Dengan menyandarkan bambu pada
dinding, maka mereka akan mendapatkan alas untuk
meloncat. Sementara itu, kawan-kawan mereka akan
melindungi mereka dengan lontaran anak panah.
Namun seperti y ang diperintahkan oleh Akuwu Lemah
Warah, tidak seorang pun yang boleh memasuki padepokan
tanpa m elangkahi m ayat-mayat mereka yang mempertahankannya.
Ternyata bahwa setiap orang di dalam padepokan itu
benar-benar menjunjung perintah itu. Karena itu, apapun
yang akan terjadi, maka tidak seorang pun boleh memasuki
halaman padepokan. Dalam pada itu, para prajurit Sangling pun telah
berusaha untuk memperlemah pertahanan orang -orang yang
berada di dalam dinding padepokan. Merekalah yang ju stru
melontarkan anak panah dengan derasny a. Namun para
penghuni padepokan itu pun tidak tinggal diam. Mereka pun
membalas setiap anak panah dengan anak panah.
Namun yang paling m enegangkan adalah pintu gerbang
padepokan itu. Akuwu Sangling benar-benar tidak mau
mengekang diri lagi. Ia ingin memecahkan pintu gerbang itu
dan m asuk ke dalamnya. Mengambil Ki Buyut Bapang dan
menghancurkan isi padepokan itu jika mereka berusaha untuk
mencegahnya. Karena itu, maka Akuwu Sangling itu pun telah
memerintahkan para pengawalnya untuk melindunginya. Ia
akan meloncat dan memecahkan pintu gerbang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat sikap Akuwu.
Mereka pun segera teringat, serangan yang pernah dilakukan
oleh Empu Sepada dan Ki Buyut Bapang.
Namun bedanya, sekarang di belakang pintu gerbang itu
berdiri Akuwu Lemah Warah. Meskipun pintu gerbang itu
akan pecah, tetapi Akuwu Lemah Warah akan berada di
belakang pintu itu dan menahan Akuwu Sangling untuk
memasuki padepokan. Namun bagaimanapun juga, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat harus m emperhitungkan segala kemungkinan. Pasukan
Sangling y ang datang itu jauh lebih banyak dari pasukan
Lemah Warah dan penghuni padepokan itu.
"Banyak kemungkinan dapat terjadi," berkata Mahisa
Murti, "kita tidak dapat mengabaikan jumlah prajurit Sangling
yang banyak itu." Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja ia
memandang ke kejauhan menembus hutan perdu di sekeliling
padepokan itu. Seolah -olah ia ingin memandang ke sebuah
padukuhan y ang tidak terlalu jauh dari padepokan itu.
"Kita tidak sempat memberitahukan kepada mereka,"
berkata Mahisa Murti. "Tetapi akan sia -siakah kehadiran mereka di sini?" desis
Mahisa Pukat. "Mudah-mudahan t idak," jawab Mahisa Murti, "tetapi
kita akan bertumpu kepada kekuatan yang ada di padepokan
ini." "Kita tidak boleh berpura-pura. Jika kita sudah tahu,
bahwa kekuatan padepokan ini tidak akan dapat menahan
arus serangan para prajurit Sangling, maka kita tidak perlu
menunggu berpuluh korban jatuh lebih dahulu."
"Ya. Tetapi bagaimana" Apa yang harus kita lakukan,"
sahut Mahisa Pukat. "Mungkin pada saatnya kita akan menemukan cara. Jika
gerbang itu telah terbuka, maka perhatian akan terpusat pada
pintu gerbang itu. Akan terjadi perang yang dahsy at sekali
antara ilmu Akuwu Sangling dan Akuwu Lemah Warah,"
berkata Mahisa Murti. "Tetapi dalam pada itu, maka pasukan Sangling akan
mengalir memasuki padepokan ini dan melakukan
pembunuhan y ang tidak terhitung jumlahnya," berkata Mahisa
Pukat. "Mungkin kita akan dapat melepaskan diri dari
kematian dengan cara apapun juga. Bahkan mungkin dengan
membunuh lawan tanpa dihitung lagi. Tetapi bagaimana
dengan yang lain." Mahisa Murti termangu -mangu. Namun ia memang
tidak segera menemukan cara untuk berbuat sesuatu.
Tetapi sementara itu, perhatian Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat segera tertarik kepada para prajurit Sangling
yang telah melontarkan anak panah ke arah para prajurit
Lemah Warah dan penghuni padepokan y ang ada di sebelahmenyebelah
pintu gerbang. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
segera mengetahui, bahwa Akuwu Sangling telah siap untuk
meloncat dan memasuki padepokan setelah memecahkan
pintu regol. Namun, kedua orang anak muda itu tidak begitu saja
membiarkan semuanya itu terjadi. Mereka harus menghambat
usaha Akuwu Sangling untuk memecahkan regol.
Namun dalam pada itu, arus serangan para prajurit
Sangling memang sulit untuk dibendung. Di seputar
padepokan itu, para penghuni padepokan harus berjuang
mati-matian untuk menahan arus serangan y ang datang
bergelombang. Orang-orang Sangling berusaha memanjat
bambu-bambu y ang mereka sandarkan pada dinding. Mereka
mencoba untuk memakainya sebagai landasan untuk
meloncat. Namun ternyata bahwa di seputar dinding itu telah
dipagari dengan ujung senjata.
Meskipun demikian, maka serangan y ang datang
bergelombang tanpa henti-hentinya itu sedikit demi sedikit
telah m eretakkan pertahanan orang-orang Lemah Warah dan
penghuni padepokan itu. Tetapi para penghuni padepokan itu, lebih -lebih para
prajurit Lemah warah benar-benar berpegang pada pesan
Akuwu, bahwa orang-orang Sangling hanya akan dapat
memasuki padepokan itu dengan melangkahi mayat-mayat.
Di regol padepokan Akuwu telah siap untuk melangkah
menuju ke regol. Dengan sedikit ancang-ancang maka Akuwu
akan memecahkan regol itu dengan kemampuan ilmunya.
Namun selagi Akuwu sudah siap untuk meloncat, tibatiba
saja Mahisa Murti telah m enjulurkan tangannya. Ia tidak
menyerang Akuwu langsung ke tubuhnya, tetapi loncatan sinar
yang meluncur dari tangannya telah menghantam tanah di
depan kakinya. Sehingga telah t erjadi ledakan yang
menghamburkan tanah dan debu.
Akuwu Sangling telah meloncat surut. Namun wajahnya
menjadi merah. Dengan garangnya ia menggeram, "Kaukah
yang telah menunjukkan permainan y ang buruk itu?"
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia pun berkata, "Akuwu. Sebaiknya kau tidak
berbuat seperti seorang perampok y ang ingin memecah pintu
korbannya. Sebaiknya kau berpikir ulang, apakah y ang akan
kau lakukan itu berarti?"
"Gila," geram Akuwu Sangling, "apakah kau kira dengan
permainanmu itu kau akan dapat menahan aku?"
Mahisa Murti masih belum menjawab. Namun y ang
terdengar adalah suara Akuwu Lemah Warah, " Jangan tahan
orang itu. Biarlah ia m emecahkan regol. Aku akan melihat,
apakah Akuwu Sangling benar-benar memiliki kemampuan
sebagaimana disebut-sebut orang."
"Aku dan Mahisa Pukat akan menahannya, Akuwu,"
jawab Mahisa Murti, "Akuwu Sangling tidak akan sempat
mendekati reg ol itu."
Namun Akuwu Lemah Warah itu pun berteriak,
"Tinggalkan tempat itu. Cepat, sampai pintu regol itu terbuka."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi bingung.
Tetapi mereka tidak berani menahan sekali lagi. Agaknya
Akuwu Lemah Warah benar -benar ingin m enghadapi Akuwu
Sangling untuk bertempur berhadapan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian
mengurungkan niatnya untuk menahan Akuwu Sangling.
Namun ternyata suara Akuwu Lemah Warah itu
terdengar oleh Akuwu Sangling, sehingga dari luar regol ia
berkata, "Sayang Akuwu. Kau kekang orang-orangmu y ang gila
itu. Jika kau biarkan ia m enggangguku, maka m ereka adalah
orang-orang pertama yang akan mati."
"Sudahlah," berkata Akuwu Lemah Warah, "sekarang
bukalah pintu itu. Aku sudah siap."
Akuwu Sangling m emandang pintu gerbang itu dengan
sor ot mata yang bagaikan menyala. Namun seperti Akuwu
Lemah Warah, maka Akuwu Sangling pun telah sampai pada
puncak kemarahannya. Karena itu, maka tiba-t iba Akuwu
Sangling itu telah berdiri tegak. Satu kakinya ditarik kedepan,
kemudian kedua kakinya sedikit merendah pada lututnya.
Dengan segenap kekuatan dan kemampuan ilmunya, maka
Akuwu Sangling pun telah mendor ong pintu gerbang yang
tertutup itu dengan hembusan angin prahara yang luar biasa
besarnya. Akuwu sendiri tetap berada di tempatnya. Namun
kemudian dari kedua tangannya y ang seakan-akan mendorong
pintu itu dari jarak yang cukup panjang, telah memancar
kekuatan y ang telah mengguncang pintu itu dengan
dahsy atnya. Semakin lama semakin keras.
Beberapa orang y ang melihat peristiwa itu pun menjadi
berdebar-debar. Pintu itu benar-benar telah menggelepar,
terguncang-guncang dan kemudian berderak-derak.
"Gila," geram Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang
berdiri di sebelah pintu gerbang diatas panggungan.
Sebenarnyalah mereka hampir tidak dapat menahan diri
untuk menyerang Akuwu itu dengan ilmu mereka pula. Tetapi
Akuwu Lemah Warah telah menahannya.
Dalam pada itu, pancaran kekuatan Akuwu Sangling itu
menjadi semakin keras mengguncang pintu gerbang itu. Kayukayunya
mulai retak dan berpatahan.
Sementara itu, para prajurit Sangling pun telah siap
untuk meny erbu demikian pintu itu terbuka.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah memberi
isy arat kepada para prajurit Lemah Warah untuk bersiap.
Demikian para prajurit Sangling meny erbu masuk, mereka
akan menahan dengan anak panah dan lembing. Para prajurit
Sangling tentu akan kehilangan pertimbangan, terdesak oleh
dor ongan perasaan mereka.
Namun dalam pada itu, terdengar di beberapa tempat di
luar dinding sorak gemuruh para prajurit Sangling. Sorak yang
bukan sekedar mengguncang pintu gerbang, tetapi telah
mengguncang jantung para prajurit Lemah Warah dan para
penghuni padepokan itu. Semakin lama serangan-serangan y ang datang
bergelombang itu rasa -rasanya menjadi semakin deras,
dilindungi oleh lontaran anak panah dan lembing. Meskipun
dari dalam dinding itu telah diluncurkan serangan-serangan
balasan, namun keadaan memang menjadi semakin gawat.
Sementara itu, papan-papan kayu pintu gerbang pun
telah berpatahan sehingga sebentar lagi dapat dipastikan,
bahwa pintu gerbang itu akan pecah.
Akuwu Lemah Warah y ang marah itu menunggu dengan
tangan gemetar. Ia pun telah siap melawan, ilmu apapun yang
akan dipergunakan oleh Akuwu Sangling.
Namun pemusatan nalar budinya kadang-kadang
memang terganggu ketika ia mendengar sorak yang
mengguntur diluar dinding di seputar padepokan itu.
Bagaimanapun juga Akuwu Lemah Warah tidak dapat
melepaskan sama sekali perhatiannya kepada seluruh pasukan
di padepokan itu. Tetapi ketika pintu gerbang itu mulai runtuh, maka
segenap perhatian Akuwu ditujukan k epada pintu yang akan
terbuka itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi berdebardebar.
Ia t idak dapat tinggal diam. Apalagi ketika ia m elihat
seorang yang selalu dekat dengan Akuwu, y ang nampaknya
memiliki wibawa y ang sama meskipun ia tidak mengenakan
pakaian keprajuritan sebagaimana Akuwu.
"Orang itu harus mendapat perhatian," berkata Mahisa
Murti. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun dalam
keseluruhan, padepokan itu memang mencemaskannya.
Namun, pada saat pintu gerbang itu pecah, pada saat
ketegangan sampai kepuncak, maka tiba-tiba saja Mahisa
Pukat memandang kekejauhan sambil berbisik, "Mahisa
Murti. Lihatlah." "Apa?" desis Mahisa Murti y ang perhatiannya
sepenuhnya tertuju kepada Akuwu Sangling dan orang yang
berdiri di sebelahnya, yang agaknya siap membantu jika
Akuwu gagal memecahkan pintu itu dari kejauhan.
"Lihatlah dibelakang gerumbul-gerumbul perdu itu,"
desis Mahisa Pukat. Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun ia pun


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sempat melihat beberapa orang y ang bergerak-gerak.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun
perhatiannya segera tertuju kembali kearah pasukan Sangling.
Demikian pintu itu pecah, maka seperti y ang diduganya, maka
pasukan Sangling pun telah siap untuk menyerbu.
Namun langkah mereka justru tertahan. Tiba-tiba saja
terdengar keluh tertahan. Beberapa orang y ang berusaha
mendekati pintu gerbang y ang sudah terbuka itu bagaikan
membentur batas y ang tidak kasat m ata. Dengan serta m erta
mereka berdesakan surut. "Bodoh kalian," teriak Akuwu Sangling, "minggir.
Biarlah aku y ang pertama-tama memasuki pintu gerbang itu."
Beberapa orang pun bergerak surut. Sementara itu
Akuwu Sangling diikuti oleh orang y ang selalu menjadi
perhatian Mahisa Murti melangkah ke arah pintu gerbang.
"Panas," desis seorang prajurit.
Akuwu sangling tidak m enghiraukannya. Namun ia pun
kemudian telah berdiri di depan gerbang beralaskan pecahan
kayu pintu gerbang yang pecah berserakan itu.
Kedua Akuwu itu sudah saling berhadapan. Sementara
itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengambil
kesempatan. Mereka memerintahkan para penghuni itu serta
para prajurit Lemah Warah untuk m eny erang para prajurit
Sangling, dengan anak panah.
Serangan itu datang begitu tiba-tiba dan di luar dugaan.
Karena untuk pada mulanya, para prajurit Sangling harus
mengorbankan beberapa orang diantara mereka.
Akuwu Sangling sendiri tidak menghiraukannya. Ia
sudah berdiri berhadapan dengan Akuwu Lemah Warah.
Keduanya telah menjadi marah dan seakan-akan tidak lagi
mempunyai kesempatan untuk berpikir lebih jauh.
Sebagaimana Akuwu Sangling tidak menghiraukan lagi
para prajuritnya y ang dianggapnya sudah cukup dewasa untuk
menempatkan diri mereka sendiri, maka Akuwu Lemah
Warah-pun tidak menghiraukan lagi kemungkinankemungkinan
y ang dapat terjadi atas padepokan itu. Seperti
Akuwu Sangling maka Akuwu Lemah Warah m empercayakan
sepenuhnya kepada para prajuritnya dan para penghuni
padepokan itu y ang sudah memiliki pengalaman yang luas
untuk mempertahankan padepokannya, karena serangan yang
demikian telah berulang kali t erjadi.
Namun yang tertarik atas serangan orang-orang y ang
berada di panggungan, sebelah menyebelah regol itu adalah
justru yang berada semula di dekat Akuwu Sangling. Namun
karena Akuwu Sangling siap berhadapan dengan Akuwu
Lemah Warah, maka orang itu telah berdiri diantara para
prajurit Sangling. "Setan," geram orang itu, "kalian agaknya ingin
dibinasakan. Bukan salahku jika kalian akan runtuh bersama
dinding padepokan di sebelah regol itu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun tiba-tiba telah
melihat orang itu bersiap. Sikapnya tidak bedanya dengan
sikap Akuwu Sangling di saat melontarkan serangannya untuk
mengguncang pintu gerbang.
Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
melihat keadaan y ang gawat. Karena itu, maka m ereka pun
segera bersiap. Mereka tidak dapat meloncat meninggalkan
tempat itu dan membiarkan orang-orang -lain menjadi korban.
Karena itu, maka apapun y ang terjadi, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat harus menghadapinya.
"Anak-anak," orang itu menggeram, "kau kira
permainanmu itu dapat mengguncangkan kepercayaan kami
atas kemampuan kami. Jika kau mampu menghamburkan
debu di tanah, maka bukan berarti bahwa ilmumu itu cukup
berarti." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab.
Namun Mahisa Murti sempat memberi peringatan kepada
orang-orang y ang ada di sekitarnya untuk berlindung di
belakang dinding padepokan.
Sebenarnyalah, maka sejenak kemudian orang itu telah
melontarkan serangan langsung mengarah kepada Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Kekuatannya bagaikan arus angin
prahara yang dahsy at telah melanda ke arah Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat itu. Pa da saat yang hampir bersamaan, maka atas isy arat
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah siap. Demikian
serangan itu terlontar ke arah mereka, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah m elontarkan kekuatan ilmu mereka pula.
Ilmu y ang m ereka pelajari dan k emudian mereka warisi dari
Akuwu Lemah Warah, namun y ang berisi bukan saja kekuatan
kewadagan, tetapi kedua anak muda itu memiliki ilmu yang
dahsy at yang mereka warisi dari ayah dan paman mereka.
Kedahsy atan ilmu itulah yang telah terlontar membentur
kekuatan ilmu orang y ang berada di antara prajurit Sangling
itu, yang memiliki kedahsyatan ilmu sebagaimana Akuwu
Sangling. Sejenak kemudian telah terjadi ledakan y ang dahsyat
sekali. Dua kekuatan telah berbenturan. Kekuatan saudara
seperguruan Akuwu Sangling itu telah berbenturan dengan
kekuatan bersama dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Demikian dahsyatnya benturan ilmu itu sehingga kedua
belah pihak telah terguncang.
Namun betapapun dahsy atnya kekuatan ilmu saudara
seperguruan Akuwu Sangling, namun menghadapi benturan
kekuatan yang tersusun dari dua kekuatan raksasa anak-anak
muda anak Mahendra itu, terasa dadanya bagaikan
terguncang. Kekuatan y ang terlontar itu telah m embentur kekuatan
lawannya dan menghantam kembali ke dalam dirinya.
Saudara seperguruan Akuwu Sangling itu terdor ong
beberapa langkah surut. Sesaat rasa-rasanya matanya menjadi
gelap dan ia pun telah kehilangan keseimbangan. Untunglah
seorang prajurit cepat menangkapnya sehingga orang itu tidak
terjatuh. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
mengalami goncangan y ang gemuruh di dalam dadanya.
Namun ternyata mereka masih mampu bertahan dengan
kekuatan mereka sendiri, sehingga mereka tidak terdorong
jatuh. Benturan yang dahsyat itu benar-benar telah
mempengaruhi sikap kedua belah pihak. Akuwu Sangling yang
berdiri tegak di pintu gerbang terkejut bukan buatan ketika ia
sempat berpaling dan melihat saudara seperguruannya
terhuyung-huyung. Sementara itu Akuwu Lemah Warah pun menarik nafas
dalam-dalam. Ternyata bahwa kedua anak muda itu telah
memiliki ilmu yang sangat tinggi meskipun umur mereka
masih muda. Meskipun mereka berhadapan dengan ilmu yang
dahsy at, namun keduanya mampu m engimbanginya dengan
kekuatan yang justru lebih besar, meskipun harus bekerja
bersama. Dalam keadaan y ang demikian maka Akuwu Lemah
Warah pun berkata, "Nah, apa katamu?"
"Persetan," geram Akuwu Sangling, "kau kira anak-anak
itu tidak mengalami luka parah di dalam dirinya" Marilah, kita
akan menyelesaikan persoalan ini dengan tuntas."
Namun sebelum Akuwu Lemah Warah menjawab,
Akuwu Sangling telah memberikan isyarat kepada prajuritprajuritnya
untuk bergerak, sementara ia akan mencegah
Akuwu Lemah Warah untuk mengetrapkan ilmunya yang
seakan-akan mampu menutup gerbang y ang sudah terbuka itu
dengan udara panas. Akuwu Lemah Warah pun menyadari apa yang akan
dilakukan oleh Akuwu Sangling dengan para prajuritnya.
Namun Akuwu Lemah Warah sama sekali tidak gentar. Ia
mempercayakan segala sesuatunya kepada para prajuritnya
untuk mengatasiny a. Sementara itu, Akuwu Lemah Warah
menjadi semakin tenang karena ia tahu pasti, bahwa orang
yang terkuat sesudah Akuwu Sangling sendiri, akan dapat
dihadapi oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang mengalami
goncangan yang keras di dalam dadanya memang harus
berusaha untuk memperbaiki keadaannya. Mereka terpaksa
menyingkir sejenak, mencari tempat y ang paling baik untuk
dapat memusatkan nalar budinya. Mengatur pernafasannya
untuk memulihkan keadaannya.
Beberapa orang prajurit Lemah Warah menyadari
keadaan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Karena itu m aka
beberapa orang prajurit telah berusaha untuk melindunginya.
Sementara itu, prajurit yang lain serta orang-orang
padepokan itu, masih saja m eny erang para prajurit Sangling
dengan derasnya. Mereka tidak lagi merasa cemas, bahwa
mereka akan mendapat serangan dari jarak jauh, karena
menurut pengamatan mereka, tidak ada lagi orang yang
bersikap sebagaimana Akuwu Sangling dan orang yang
ternyata telah membentur kekuatan bersama antara Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat itu.
Namun pada saat itu, para prajurit Sangling telah
merayap mendekat. Bukan saja di pintu gerbang itu yang
menjadi gawat. Tetapi di seputar padepokan itu pun keadaan
menjadi gawat pula. Kekuatan Sangling yang lebih besar telah
semakin menekan sehingga sejenak lagi mereka tidak akan
tertahankan lagi. Mereka akan segera meloncat masuk dan
melangkahi mayat-mayat yang berserakan di dalam dinding
padepokan. Tetapi pada saat yang demikian, maka bay angan y ang
dilihat oleh Mahisa Pukat dan Mahisa Murti dibalik gerumbulgerumbul
perdu itu nampak bergerak-gerak lagi. Mereka
merayap nenyebar dan bahkan kemudian hampir m engitari
seluruh lingkaran di sekeliling padepokan meskipun hanya
sebaris tipis. Namun dengan demikian, maka mereka akan
segera membuat perubahan yang penting pada keseimbangan
yang hampir terguncang itu.
Namun dengan demikian mereka tidak lagi dapat
menyembuny ikan diri dalam keseluruhan. Ketika di luar
sengaja di beberapa bagian prajurit Sangling memandang
keadaan di sekeliling mereka, maka mereka pun telah melihat
bay angan yang berloncatan dari balik gerumbul ke balik
gerumbul y ang lain. Dengan demikian, maka tiba -tiba saja prajurit itu
berteriak, "Awas. Ada sesuatu di belakang kita."
Ketika seorang pemimpin kelompok memandang ke
gerumbul-gerumbul itu, maka perintah pun diteriakkannya.
"Hati-hati. Bagi kekuatan. Sebagian dari kalian harus
menghadapi cara y ang licik y ang ditempuh oleh orang-orang
Lemah Warah atau isi padepokan ini yang lain."
Teriakan itu pun telah menjalar. Setiap pemimpin
kelompok telah memerintahkan orang-orangnya untuk
berhati-hati menghadapi sergapan y ang akan datang dari arah
belakang. Teriakan-teriakan itu akhirnya didengar oleh Akuwu
Sangling. Sejenak ia pun berpaling. Dan Akuwu Sangling itu
pun telah melihat pula orang-orang y ang bergerak di belakang
gerumbul. Namun karena orang-orang itu pun menyadari
bahwa mereka telah dilihat oleh para prajurit Sangling, maka
mereka pun tidak lagi menganggap perlu untuk tetap berada di
balik gerumbul, apalagi menurut perhitungan m ereka, maka
tebaran pasukan Lemah Warah itu telah mengelilingi
padepokan itu. Sehingga dengan demikian, maka telah
terdengar isy arat dari panglima pasukan Lemah Warah itu.
Juga suara bende yang melengking susul-menyusul.
"Gila," geram Akuwu Sangling, "itukah caramu, Sang
Akuwu Lemah Warah?" "Kenapa?" bertanya Akuwu Lemah Warah.
"Satu gelar yang licik," geram Akuwu Sangling.
"Mereka baru datang dari Lemah Warah. Nampaknya
mereka lebih senang berada di luar padepokan karena
padepokan ini telah kalian kepung sejak beberapa hari," jawab
Akuwu Lemah Warah. "Ketakutanmu telah memaksamu memanggil
prajuritmu," desis Akuwu Sangling.
"Kau juga membawa prajurit dari Sangling. Apa
salahnya" Atau kita berdua akan mengambil jalan lain?"
tantang Akuwu Lemah Warah. "Jika kau menghendaki, maka
aku bersedia meny elesaikan persoalan ini tanpa
mengorbankan seorang prajuritpun. Kita berdua adalah lakilaki.
Kita berdua adalah prajurit dan kita berdua adalah orang
yang dianggap panutan di Pakuwon kita masing -masing."
"Satu usaha untuk menutupi kelemahan pasukan Lemah
Warah," geram Akuwu Sangling. Lalu, "Aku tidak mau
kehilangan waktu. Aku akan menghancurkan padepokan ini,
sekarang." Sekali lagi Akuwu Sangling memberikan isy arat.
Pa sukan Sangling pun kemudian telah menghambur
menyerbu ke pintu gerbang. Mereka telah melindungi diri
dengan perisai, sementara y ang lain dengan tangkas telah
menangkis serangan-serangan anak panah dan lembing.
Namun diantara mereka ada juga y ang jatuh terjerembab
karena tidak mampu menghindar dan tidak trampil menangkis
serangan y ang menghujan itu.
Tetapi prajurit-prajurit Sangling itu pun menyadari,
bahwa sebagian dari mereka harus menghadapi prajurit
Lemah Warah y ang ternyata telah meny ergap dari belakang.
Kehadiran prajurit Lemah Warah itu benar-benar telah
merubah keadaan. Para prajurit Sangling yang hampir saja
dapat m emecahkan pertahanan dan penghuni padepokan itu
bersama prajurit Lemah Warah, harus membagi kekuatannya,
sehingga dengan demikian maka untuk saat-saat berikutnya,
prajurit Sangling harus menghadapi lawan dari dua arah yang
berlawanan. Kehadiran pasukan Lemah Warah itu telah disambut
dengan sorak sorai para prajurit y ang sudah berada di dalam
padepokan serta para penghuni padepokan itu. Mereka merasa
seakan-akan telah hidup lagi setelah kematian mulai
membayang. Kedatangan pasukan Lemah Warah itu
merupakan satu harapan baru untuk meny elesaikan per soalan
mereka dengan para prajurit Sangling.
Demikianlah, maka pasukan Lemah Warah y ang datang
itu telah membentur pasukan Sangling yang harus membagi
diri. Sebagian dari m ereka meneruskan usaha mereka untuk


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memasuki padepokan, sementara y ang lain harus bertahan
dari serangan para prajurit Lemah Warah y ang baru datang
itu. Pertempuran di seputar padepokan itu pun menjadi
semakin gemuruh. Kedua belah pihak telah bersorak-sorak
dengan gempitanya jika mereka m endapatkan kemenangankemenangan
kecil. Bahkan kadang-kadang mereka bersorak
tanpa sebab, sekedar untuk meledakkan perasaan yang
bergetar di dalam diri mereka.
Di pintu gerbang, Akuwu Lemah Warah telah bersiap
sepenuhnya untuk melawan Akuwu Sangling.
Namun bagaimanapun juga, Akuwu Sangling telah
terhambat oleh kehadiran pasukan Lemah Warah. Mereka
memang menempatkan pasukan mereka y ang terbesar di
depan reg ol padepokan Suriantal itu. Sementara itu dari
sebelah menyebelah reg ol, para penghuni padepokan itu serta
para prajurit Lemah Warah telah m enghujankan anak panah
dan lembing. Meskipun para prajurit Sangling juga berusaha
membalas, namun kedudukan para prajurit Lemah Warah
ternyata menjadi lebih baik.
Akuwu Sangling y ang m emerintahkan para prajuritnya
untuk memasuki pintu gerbang itu pun harus berpikir pula
dua kali. Sementara pasukan Lemah Warah y ang datang di
belakang pasukannya telah mulai menyergap prajuritprajuritnya.
Sedangkan prajurit Lemah Warah dan para
penghuni padepokan yang lain, yang ada di dalam gerbang
pun telah bersiap menyambut mereka.
"Omong kosong," geram Akuwu Sangling, "aku telah
memutuskan untuk menyapu orang-orangmu yang licik, yang
menyerang dari belakang. Baru aku akan menyelesaikan
orang-orangmu yang bersembuny i di balik dinding padepokan
itu." Namun akhirnya Akuwu Sangling tidak mau terjebak
dalam medan yang terlalu luas. Karena itu, maka ia tidak
segera mengulang perintahnya agar pasukannya meny erang
masuk regol padepokan. Dengan demikian, maka sebagian besar dari pasukannya
justru telah berbalik melawan prajurit Lemah Warah yang
menyerang mereka dari belakang. Sementara itu, Akuwu
Lemah Warah pun berkata dengan suara datar, "Nah,
bukankah kau menjadi kebingungan" Nampaknya kau tidak
tahu lagi, apa y ang seharusny a kau lakukan lebih dahulu."
" Jangan m embual. Katakanlah sebagaimana kenyataan
yang kau hadapi. Nampaknya saudara seperguruanmu, yang
memiliki ciri ilmu seperti y ang pernah kau tunjukkan saat kau
memecahkan pintu gerbang itu sudah kehilangan arti di
pertempuran ini." "Kau salah," geram Akuwu Sangling, "sebentar lagi,
orang itu akan merupakan orang sangat berbahaya. Ia sedang
menempa kekuatannya agar menjadi lebih besar dari yang
pernah kau lihat." Tetapi Akuwu Lemah Warah justru tertawa. Katanya,
"Bukan saatnya untuk membual. Tetapi kita berhadapan
dalam satu medan pertempuran yang keras sekarang ini.
Marilah kita tunjukkan kemampuan kita bertempur, bukan
kemampuan kita membual."
Akuwu Sangling tidak menyahut. Namun ia pun segera
mempersiapkan diri. Namun dalam pada itu, Akuwu Lemah Warah pun
dengan cepat memberi isy arat, agar para prajuritnya dan para
penghuni padepokan itu y ang ada di sekitarnya agar
menyingkir dengan cepat. Sebenarnyalah, sejenak kemudian Akuwu Sangling itu
pun telah menghempaskan kekuatannya. Seperti ketika ia
menerpa pintu gerbang dengan kekuatannya. Maka ia telah
melontarkan serangan angin prahara meny erang Akuwu
Lemah Warah. Tetapi Akuwu Lemah Warah telah bersiap. Dengan cepat
ia meloncat menghindar. Serangan itu tidak mengenai
sa sarannya. Untunglah bahwa para prajurit dan para penghuni
padepokan itu telah berloncatan menghindar, sehingga
mereka pun luput dari sentuhan serangan Akuwu Sangling.
Namun seorang yang terlambat meloncat, ternyata
masih juga tersentuh kekuatan itu, sehingga ia pun telah
terlempar beberapa langkah dan terbanting jatuh.
Ternyata orang y ang malang itu telah m engalami nasib
yang sangat buruk. Ia adalah korban yang pertama dari
kegarangan ilmu Akuwu Sangling.
Sekali lagi Akuwu Lemah Warah m emberi isyarat agar
para prajurit dan para penghuni padepokan itu menjauh.
Serangan-serangan itu sangat berbahaya bagi para prajurit
dan penghuni padepokan itu.
Akuwu Lemah Warah m enjadi tegang ketika ia melihat
Akuwu Sangling memandangi para prajuritnya dan para
penghuni padepokan yang telah menyingkir itu. Ketika
kecurigaannya memuncak maka ia pun berkata, "Jika kau
tujukan seranganmu kepada mereka, maka aku pun akan
melakukan hal yang sama atas prajurit-prajuritmu."
Akuwu Sangling menggeram. Sementara itu, hampir di
luar sadarnya ia berpaling ke arah saudaranya
seperguruannya. Sebenarnyalah seperti Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
maka saudara seperguruan Akuwu Sangling itu pun sedang
berusaha untuk memperbaiki keadaan tubuhnya yang
mengalami kesulitan setelah berbenturan ilmu dengan Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Beberapa orang prajurit Sangling telah melindungi
saudara seperguruan Akuwu Sangling itu sampai saatnya ia
akan dapat mengatasi kesulitan didalam dirinya.
Namun dalam pada itu, pertempuran telah terjadi
dengan serunya dimana -mana di sekitar padepokan. Setiap
orang di dalam padepokan telah berpegang pada perintah
Akuwu. Tidak seorang pun boleh memasuki padepokan itu
tanpa melangkahi mayat-mayat para penghuni itu lebih
dahulu. Apalagi ketika prajurit Lemah Warah telah m eny ergap
mereka. Maka kemungkinan pasukan Sangling meloncati
dinding padepokan itu pun menjadi semakin sulit.
Sementara itu Akuwu Sangling telah berhadapan dengan
Akuwu Lemah Warah. Selangkah demi selangkah Akuwu
Sangling bergerak memasuki padepokan. Namun langkahnya
itu terhenti, ketika Akuwu Lemah Warah telah melontarkan
serangan pula. Bukan angin prahara y ang melontarkan
kekuatan y ang luar biasa, tetapi panasny a api telah meluncur
dari telapak tangan Akuwu Sangling.
Seperti y ang dilakukan oleh Akuwu Lemah Warah, maka
Akuwu Sangling pun telah m eloncat pula. Namun serangan
Akuwu Lemah Warah telah meluncur nratas mengarah ke
belakang Akuwu Sangling semula berdiri.
Beberapa orang prajurit sejak semula memang telah
berloncatan minggir. Karena itu, maka serangan itu sama
sekali tidak mengenai seorangpun. Namun ketika serangan itu
kemudian meny entuh tanah, maka serangan yang seolah-olah
gumpalan api itu telah meledak dengan kerasnya
menghamburkan pasir dan debu.
Demikianlah, maka kedua orang itu telah saling
menyerang dengan kekuatan m ereka y ang luar biasa. Namun
tidak seorang pun m enghindar namun dengan cepat mereka
dapat membalas meny erang.
Bahkan pada satu saat, keduanya tiba -tiba saja ingin
membenturkan kekuatan ilmu mereka. Karena itu, maka
ketika Akuwu Sangling meny erang dengan praharanya, Akuwu
Lemah Warah tidak dengan serta merta meloncat. Tetapi ia
pun telah membentur serangan itu dengan ilmunya pula.
Telah terjadi lagi benturan y ang dahsyat antara dua
kekuatan ilmu. Ternyata seperti yang telah terjadi dengan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta lawannya.
Kedua orang Akuwu itu telah terguncang. Betatapun
tinggi day a tahan mereka, tetapi kemampuan ilmu mereka pun
sangat tinggi pula. Karena itu, maka keduanya bagaikan telah
terhempas tanpa dapat bertahan untuk tegak.
Para prajurit pun dengan serta merta telah menyerbu ke
arah para pemimpin mereka masing-masing. Dengan cepat
mereka berusaha untuk meny ingkirkan pemimpin mereka
menyisih untuk meny embuhkan kesulitan yang dideritanya.
Pa da saat yang demikian, maka para prajurit Sangling
pun telah berlari-lari dan berusaha m emasuki pintu gerbang.
Namun para prajurit dan penghuni padepokan itu pun dengan
cepat telah berusaha untuk menutup pintu itu dengan tebaran
prajurit y ang ber senjata telanjang ditangan.
Sejenak kemudian pertempuran y ang sengit pun telah
terjadi pula dipintu gerbang. Para prajurit Lemah Warah dan
para penghuni padepokan itu telah bertahan dengan segenap
kemampuan y ang ada pada mereka. Akuwu Lemah Warah
memang telah memerintahkan y ang ada pada mereka. Akuwu
Lemah Warah memang telah memerintahkan agar tidak
seorang-puri dapat memasuki padepokan itu lewat mana pun
juga. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih berada di
tempatnya. Namun mereka sudah tidak terlalu gelisah lagi.
Dimana-mana keseimbangan prajurit masih belum
menyulitkan kedudukan padepokan Suriantal y ang dibantu
oleh para prajurit Lemah Warah. Baik y ang telah berada di
dalam padepokan itu, m au pun yang berada di sekelilingnya,
yang bertempur melawan pasukan y ang mengepung
padepokan itu. Sementara itu, baik Akuwu Lemah Warah, maupun
Akuwu Sangling y ang telah membenturkan ilmu mereka,
ternyata memerlukan waktu beberapa saat untuk memulihkan
keadaan mereka seperti sebelumnya. Benturan itu benarbenar
bagaikan telah meremukkan isi dada. Namun karena
keduanya adalah orang-orang berilmu tinggi, maka k eduanya
pun mampu mengatasi kesulitan y ang terjadi pada diri mereka
masing-masing. Dengan m emusatkan nalar budi, maka keduanya telah
mengatur pernafasan mereka. Sambil duduk bersila dan
tangan bersilang didada mereka dengan perlahan-lahan
berhasil mengusir kesulitan dari diri mereka masing-masing.
Perlahan-lahan keadaan mereka pun mulai membaik.
Baik Akuwu Sangling maupun Akuwu Lemah Warah. Namun
untuk sementara keduanya masih harus mendapat
perlindungan dari para perwira mereka yang terbaik.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah berhasil
mengatasi kesulitan didalam dirinya, telah berada di antara
para penghuni padepokan itu. Dari panggungan ia pun telah
melihat bahwa saudara seperguruan Akuwu Sangling itu pun
telah berhasil mengatasi kesulitan didalam diriny a pula.
Bahkan ia pun telah mulai bergerak ke arah regol padepokan
yang seakan-akan telah tertutup oleh pertempuran yang
sengit. "Apa y ang akan dilakukannya," desis Mahisa Pukat.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya, "Kita tidak dapat tinggal diam."
Keduanya pun segera turun dari panggungan. Mereka
telah meny ibak para prajurit Lemah Warah dan para penghuni
padepokan itu yang sedang mempertahankan regol
padepokan, agar seperti perintah Akuwu tidak seorang pun
boleh masuk. Sesaat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tertegun melihat
keadaan Akuwu Lemah Warah. Namun tiba -tiba Mahisa Murti
berdesis, "orang itu tentu ingin menghancurkan Akuwu selagi
Akuwu belum sempat memperbaiki keadaannya sebagaimana
Akuwu Sangling." "Marilah," desis Mahisa Pukat, "kita tidak boleh
terlambat." Kedua anak muda itu pun dengan tergesa-gesa telah
menyusup langsung menuju ke garis benturan antara kedua
pasukan itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi berdebar-debar
ketika mereka mendengar seseorang berteriak, "Minggir. Biar
aku hancurkan mereka yang menyumbat regol itu."
Beberapa orang prajurit Sangling yang mendengar suara
itu pun telah meneriakkannya pula. Hampir berbareng,
"Minggir, minggir."
Para prajurit Sangling pun dengan cepat menyibak.
Mereka harus dapat memberi kesempatan kepada saudara
seperguruan Akuwu itu. Jika mereka dengan cepat menyingkir
dari medan, maka saudara seperguruan Akuwu itu,
sebagaimana Akuwu Sangling sendiri, akan dapat melontarkan
serangan ilmunya dan menghancurkan selapis pasukan lawan.
Namun demikian pasukan Sangling menyibak,
sementara para prajurit Lemah Warah dan para penghuni
padepokan itu masih belum tahu pasti apa yang akan terjadi,
maka saudara seperguruan Akuwu Sangling itu telah meloncat
ke depan siap melontarkan kekuatan ilmunya y ang nggegirisi.
Barulah para prajurit Lemah Warah dan para penghuni
padepokan itu sadar, apa y ang akan terjadi. Namun mereka
sudah tidak mempunyai kesempatan lagi untuk menyingkir.
Karena itu, m aka merupakan harus merelakan dirinya
dihancurkan oleh angin prahara sebagaimana pintu gerbang
padepokan itu. Namun dalam pada itu, selagi medan itu dicengkam oleh
ketegangan, telah muncul pula Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat! Demikian mereka melewati lapisan terdepan, maka
mereka pun segera mempersiapkan diri pula.
"Ki Sanak," geram Mahisa Murti, "apakah kau akan
mengarahkan ilmumu kepada para penghuni padepokan ini"
Apakah dengan demikian kau akan merasa dirimu menjadi
pahlawan" Namun demikian, baiklah. Kita berada di medan
perang. Lakukan apa y ang ingin kau lakukan. Dan aku akan
melakukan apa yang ingin aku lakukan."
"Anak iblis," geram orang itu, "baiklah. Kita akan
berhadapan. Tetapi kita tidak akan m embenturkan ilmu kita.
Tidak ada gunanya. Yang t erjadi tentu hanya seperti yang
pernah terjadi." "Lalu apa yang akan kita lakukan" Apakah kita akan
berlomba untuk membunuh" Siapakah di antara kita yang
lebih banyak membunuh orang-orang yang tidak berdaya?"
bertanya Mahisa Pukat. "Tidak anak-anak," jawab saudara seperguruan Akuwu


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sangling itu, "kita akan bermain-main. Aku sendiri, dan kalian
berdua karena kalian masih anak-anak."
"Kita akan bermain-main apa" " pertanyaan Mahisa
Pukat memang tidak diduga oleh saudara seperguruan Akuwu
itu. Namun ia masih juga menjawab, "Apa saja y ang kau
kehendaki?" "Baik," jawab Mahisa Pukat, "tetapi kita harus berlaku
jujur. Kita tidak boleh dengan licik mencuri kesempatan
melepaskan ilmu kita. Kita akan berkelahi dengan kemampuan
wadag kita." "Bersiaplah," berkata saudara seperguruan Akuwu itu.
Demikianlah maka m ereka pun segera bersiap. Saudara
seperguruan Akuwu itu disatu pihak, sementara Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat dilain pihak.
Sejenak kemudian, maka saudara seperguruan Akuwu
Sangling itu telah m eloncat menyerang. Meskipun tubuhnya
yang meluncur itu menimbulkan hempasan angin, tetapi ia
benar-benar mempergunakan tenaga wajarnya.
Mahisa Murti yang m enjadi sasaran serangan itu pun
dengan cepat pula melenting, sehingga serangan lawannya
sama sekali tidak meny entuhnya. Namun sementara itu
Mahisa Pukat lah yang telah bergerak selangkah maju dengan
tangan terjulur lurus. Telapak tangannya terbuka dengan jarijari
merapat menusuk ke arah lambung.
Tetapi lawannya menggeliat. Serangan itu pun tidak
mengenainya. Bahkan saudara seperguruan Akuwu Sangling
itu sempat mengangkat kakinya dan berputar pada tumit
kakinya yang lain. Dengan demikian maka putaran kakinya
yang mendatar itu telah menyambar perut.
Mahisa Pukat y ang mendapat serangan itu meloncat
selangkah mundur. Namun demikian kaki lawannya yang
berputar itu meny entuh tanah, maka ia pun telah m elenting
dengan kaki mendatar mengarah ke dada Mahisa Murti.
Mahisa Murti meloncat kesamping sambil merendah.
Kakiny alah y ang kemudian menyapu kaki lawannya,
sementara kakinya yang lain telah diangkatnya pula.
Demikianlah m aka pertempuran antara kedua saudara
anak Mahendra melawan saudara seperguruan Akuwu
Sangling itu berlangsung dengan dahsyatnya. Kedua belah
pihak telah mengerahkan segenap kekuatan tenaganya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mematuhi perjanjian
sebagaimana laku seorang kesatria.
Lawannya pun sama sekali tidak merambah ke ilmunya.
Dengan segenap kekuatan tenaganya dan tenaga cadangannya
ia telah berusaha menjatuhkan kedua lawannya yang masih
muda itu. Tetapi, ternyata bahwa kedua anak muda itu memiliki
ilmu y ang luar biasa. Bahkan ketrampilan menggerakkan
tangan dan kakinya, didorong oleh tenaga cadangannya pula.
Dengan demikian maka pertempuran antara mereka
semakin lama menjadi semakin seru. Tenaga cadangan yang
telah mereka lepaskan, telah m embuat m ereka seakan-akan
menjadi semakin kuat. Gerak mereka pun menjadi semakin
cepat, dan tangkas. Sementara itu, maka para prajurit Sangling dan Lemah
Warah telah bergerak pula. Ketika mereka menyadari, bahwa
kedua belah pihak ternyata tidak mempergunakan
kedahsyatan ilmu m ereka, maka mereka pun telah memasuki
arena pula. Demikian pula para penghuni padepokan itu.
Sehingga sejenak kemudian, maka pertempuran di
depan regol itu pun telah m enyala kembali. Sementara paja
prajurit Lemah Warah y ang datang dari belakang pasukan
Sangling pun telah semakin mendesak, sehingga dengan
demikian, maka para prajurit Sangling harus bekerja keras
agar m ereka tidak terdesak dari dua arah dan terhimpit di
dalamnya, terutama di sekitar regol padepokan.
Di bagian lain dari pertempuran yang semakin seru itu,
pasukan Lemah Warah mulai merebut kedudukan setapak
demi setapak. Sementara itu, dari atas dinding padepokan,
para prajurit Lemah Warah dan para penghuni padepokan itu
masih juga menyerang dengan derasnya. Anak panah dan
lembing. Karena itulah, m aka di beberapa bagian, para prajurit
Sangling memang m engalami kesulitan. Mereka didesak dari
luar kepungan mereka. Namun mereka pun tertahan oleh
dinding padepokan dan orang-orang y ang berada di
panggungan di dalam dinding itu.
Tetapi para prajurit Sangling ingin menunjukkan kepada
pimpinannya, bahwa mereka adalah prajurit -prajurit yang
baik. Dengan demikian, maka mereka telah mengerahkan
segenap kemampuan mereka untuk m enghancurkan pasukan
Lemah Warah. Namun agaknya mereka telah membentur sikap y ang
sama. Para prajurit Lemah Warah pun telah ditempa oleh
Akuwu Lemah Warah untuk menjadi prajurit y ang baik.
Apalagi mereka yang berada di dalam padepokan itu telah
mendapat pesan, bahwa tidak seorang pun yang boleh
memasuki padepokan itu tanpa melangkahi mayat mereka.
Karena itu, maka pertempuran antara prajurit Sangling
melawan prajurit Lemah Warah merupakan pertempuran
yang sangat sengit. Kedua belah pihak sama sekali tidak ingin
terdesak surut. Dalam saat-saat y ang demikian, m aka Akuwu Sangling
dan Akuwu Lemah Warah telah m encapai tataran y ang lebih
baik bagi keadaan diri mereka. Namun mereka masih harus
memusatkan nalar budi mereka, mengatur pernafasan dan
berusaha mencapai keadaan wajar sehingga kekuatan dan
kemampuan mereka akan pulih kembali.
Sementara itu, saudara seperguruan Akuwu Sangling
masih bertempur dengan sengitnya melawan dua orang anak
muda anak Mahendra y ang memiliki bekal y ang lengkap untuk
memasuki arena yang berat seperti itu.
Kedua belah pihak masih saling meny erang dan
mendesak. Betapapun tingginya kemampuan dan ketrampilan
saudara seperguruan Akuwu Sangling, namun melawan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, ia pun akhirnya harus
mengerahkan segenap tenaga dan tenaga cadangannya.
Kedua anak muda itu telah bertempur berpasangan
dengan tangkasnya. Saling mengisi dengan cepatnya, sehingga
serangan-serangan mereka pun telah datang beruntun
bagaikan gelombang yang berurutan m eny entuh batu karang
di pinggir lautan. Tetapi saudara seperguruan Akuwu Sangling itu
memang seperti batu karang y ang berdiri tegak menentang
sergapan gelombang dan badai. Kekuatannya bagaikan tidak
tergoyahkan. Tetapi sebenarnyalah tidak ada kemampuan y ang tidak
berbatas. Jika untuk beberapa saat lamanya, saudara
seperguruan Akuwu Sangling itu mampu bertahan, namun
kemudian tenaga dan tenaga cadangannya pun mulai menjadi
su sut. Pa da saat y ang demikian, maka saudara seperguruan
Akuwu Sangling itu m ulai menjadi gelisah. Ia tidak mengira
sama sekali, bahwa kedua orang anak muda itu ternyata
memiliki kekuatan y ang demikian besarnya. Bahkan jika
terpaksa terjadi benturan kekuatan, maka kekuatan saudara
seperguruan Akuwu Sangling itu tidak terpaut banyak dengan
kekuatan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Dalam benturan yang terjadi, pada saat Mahisa Murti
tidak sempat lagi menghindari serangan lawannya yang
mengarah ke dadanya, sehingga Mahisa Murti harus
menangkisnya, ternyata bahwa Mahisa Murti terdesak dua
langkah surut. Namun tidak terjadi kesulitan di dalam diri
Mahisa Murti. Namun ketika lawannya siap untuk memburunya, dan
menyerangnya sekali lagi, maka y ang datang adalah serangan
Mahisa Pukat. Demikian cepatnya kaki Mahisa Pukat terjulur
menyamping mengarah lambung. Karena itu, m aka lawannya
terpaksa memiringkan tubuhnya, sedikit merendah dan
menangkis serangan itu dengan lengannya.
Dalam benturan itu pun Mahisa Pukat terdorong pula
surut dua langkah. Namun dengan cepat ia siap menghadapi
segala kemungkinan. Tetapi lawannya tidak sempat memburunya pula, karena
Mahisa Murti telah bergeser mendekat.
Saudara seperguruan Akuwu Sangling itu harus
memperhatikan Mahisa Murti pula. Karena itu, ia harus
melepaskan Mahisa Pukat yang berdiri beberapa langkah dari
padanya. Sejenak kemudian, maka pertempuran pun telah
menjadi semakin cepat. Namun terasa oleh saudara
seperguruan Akuwu Sangling, bahwa ia tidak akan dapat
bertahan dalam keadaannya. Ia merasa bahwa perlahan-lahan
namun pasti, kecepatannya akan susut, dan kemampuannya
akan mengendor. "Anak-anak iblis," geramnya di dalam hati, "aku harus
menghancurkannya tanpa mengganggu pertempuran ini
dalam keseluruhan." Itulah sebabnya, maka saudara seperguruan Akuwu
Sangling itu mulai menilai keadaan di seputarnya.
Sebenarnyalah bahwa pertempuran yang terjadi di
sekitarnya merupakan pertempuran y ang sengit. Kedua belah
pihak sama sekali tidak terikat pada gelar apapun, sehingga
yang terjadi adalah perang brubuh yang ribut.
Setiap kesempatan telah dipergunakan sebaik-baiknya
oleh kedua belah pihak untuk mengurangi jumlah lawan.
Namun karena m ereka masing-masing memiliki k emampuan
prajurit, maka tidak terlalu mudah bagi kedua belah pihak
untuk menghunjamkan ujung senjata masing-masing.
Dalam pertempuran yang seakan-akan berdesakan itu,
apalagi menghadap kedua arah bagi prajurit Sangling, m aka
saudara seperguruan Akuwu Sangling itu tidak dapat
mempergunakan ilmu praharanya. Ia tidak dapat
menghentakkan kemampuannya itu untuk menghantam kedua
anak muda y ang ternyata mampu mengimbangi kecepatan
gerak dan kekuatan tenaga dan tenaga cadangannya. Bahkan
ternyata karena mereka berdua masih muda, maka mereka
memiliki day a tahan y ang lebih besar. Pada saat saudara
seperguruan Akuwu Sangling m erasa bahwa tenaganya telah
su sut, maka kedua anak muda itu sama sekali belum nampak
dipengaruhi oleh kelelahan, sehingga tenaga cadangan mereka
masih tetap utuh. Karena itu, m aka saudara seperguruan Akuwu Sangling
itu berniat untuk mempergunakan ilmunya y ang lain. Ia tidak
akan melepaskan ilmu praharanya.
Untuk beberapa saat kedua belah pihak masih
bertempur dengan tenaga cadangannya. Mereka masih
mengadu kemampuan dan kecepatan gerak serta ketrampilan
mereka. Namun setiap kali saudara seperguruan Akuwu Sangling
itu telah berusaha untuk mengambil jarak.
Meskipun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih muda
namun ternyata bahwa mereka telah memiliki
perbendaharaan pengalaman y ang luas. Karena itu, maka
mereka pun menjadi curiga melihat sikap saudara
seperguruan Akuwu Sangling.
Tetapi ternyata bahwa saudara seperguruan Akuwu
Sangling itu juga seorang laki -laki jantan. Ia tidak ingin
berbuat licik, apalagi terhadap dua orang y ang masih
dianggapnya terlalu kanak-kanak.
Karena itu, maka ia pun segera berteriak, "Anak-anak.
Aku sudah jemu bermain-main. Siapkan ilmumu, kita akan
membenturkan kemampuan ilmu kita tanpa melukai orang
lain di seputar kita."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menjadi berdebardebar.
Mereka tidak dapat dengan serta merta melepaskan
kemampuannya lewat telapak tangannya y ang terbuka. Jika
mereka tidak dapat mengenai sasaran karena sa sarannya
sempat menghindar, maka y ang akan m enjadi korban adalah
orang y ang ada di belakang sasaran itu.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih belum
tahu, kemampuan apakah y ang akan ditampilkan oleh lawan
mereka. Ketika saudara seperguruan Akuwu itu bergeser surut
serta menggosokkan kedua telapak tangannya, Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat memperhatikan dengan tegang.
Tiba-tiba saja saudara seperguruan Akuwu itu berteriak
nyaring. Dengan loncatan kecil maka ia pun telah berdiri
dengan kaki yang bagaikan menghunjam bumi. Lututnya
sedikit merendah sementara kedua tangannya sejajar dan
tegak pada sikunya, mendatar ke depan. Telapak tangannya
terbuka dengan kelima jari-jarinya lurus merapat.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang menjadi
tegang. Namun mereka pun dengan serta merta telah
mengerahkan segenap kemampuannya. Tetapi mereka
memang tidak ingin m elepaskan lontaran ilmu lewat telapak
tangannya. Tetapi mereka akan mempergunakan kekuatan
ilmunya lantaran wadagnya sebagaimana pernah diajarkan
oleh ay ahnya. Meskipun keduanya tidak memiliki kemampuan ilmu
Gundala Sasra, sebagaimana kakak mereka Mahisa Bungalan,
namun mereka mewarisi ilmu Bajra Geni.
Karena itu, maka kedua anak muda itu pun segera
bersiap. Mereka ingin melawan saudara seperguruan Akuwu
Sangling itu dalam puncak ilmu y ang akan mereka lontarkan
dengan perantaraan ujud kewadagan mereka.
Sesaat kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
telah bersiap. Mereka harus beradu kecepatan gerak dan
ketrampilan mengetrapkan unsur-unsur gerak dari
kemampuan olah kanuragan mereka, didukung oleh k ekuatan
ilmu mereka y ang sulit ada bandingnya.
Dalam pada itu, para prajurit di segala medan di seputar
padepokan itu telah bertempur semakin seru. Ketika tubuh
mereka telah dibasahi oleh k eringat, maka darah m ereka pun
rasa-rasanya menjadi semakin deras mengalir.
Dentang senjata menjadi semakin keras terdengar,
sedangkan sorak dan teriakan-teriakan pun menjadi semakin
gemuruh. Kedua belah pihak bukan saja memiliki kemampuan
bermain senjata y ang mantap, namun tekad mereka pun


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seakan-akan telah menyala di dalam dada mereka untuk
memenangkan setiap benturan.
Namun agaknya kehadiran pasukan Lemah Warah telah
menjadikan jumlah para prajurit Lemah Warah dan penghuni
padepokan itu berganti menjadi lebih banyak. Namun
demikian, para prajurit Sangling pun sama sekali tidak
menjadi berkecil hati. Di regol, sejenak kemudian, maka saudara seperguruan
Akuwu Sangling itu pun telah bertempur dengan dahsy atnya
melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Meskipun mereka
tidak melontarkan serangan mereka, namun pertempuran
yang terjadi diantara mereka telah membuat arena itu
bagaikan meny ibak. Pukulan tangan saudara seperguruan Akuwu Sangling
dengan jari-jari mengembang dan saling merapat itu telah
mendebarkan jantung lawannya. Setiap pukulan mendatar,
ayunan meny ilang dan hentakkan y ang datang mematuk, rasarasanya
tidak kalah dengan tajamnya ujung pedang.
Pukulan-pukulan yang sempat dihindari oleh Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat, telah membuat darah mereka
tersirap. Meskipun tangan lawan mereka itu tidak m eny entuh
tubuh mereka, tetapi terasa angin yang keras berdesing
menampar kulit tubuh mereka.
Namun sebaliknya kedua anak muda itu pun tidak
kurang garangnya. Pukulan mereka pun bagaikan telah
mengguncang udara di sekitar lawannya. Aji Bajra Geni
ternyata memiliki kekuatan y ang luar biasa, sehingga jantung
saudara seperguruan Akuwu Sangling itu pun tergetar.
"Anak-anak iblis," geramnya.
" Jangan bergeramang," desis Mahisa Pukat, "kita
sedang bertempur." "Gila," geram orang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab.
Mereka bertempur semakin lama semakin sengit. Gerak
mereka menjadi semakin cepat, sementara kekuatan mereka
yang telah merambah pada kemampuan ilmu mereka pun
menjadi semakin besar. Ternyata bahwa bukan saja kekuatan saudara
seperguruan Akuwu Sangling sajalah yang telah menggetarkan
lawan-lawannya. Tetapi kekuatan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat pun ternyata sulit untuk dicari bandingnya. Lawan
mereka itu pun m enjadi heran, bahwa anak-anak m uda itu
ternyata telah memiliki kekuatan ilmu y ang demikian
dahsy atnya. Bahkan ketika mereka bergerak semakin cepat, maka
benturan-benturan kekuatan ilmu pun tidak dapat dihindari
lagi. Namun kedua belah pihak masih selalu berusaha untuk
menghindari benturan langsung y ang akan dapat berakibat
buruk bagi bagian dalam tubuh mereka masing-masing.
Namun karena untuk beberapa lama saudara
seperguruan Akuwu Sangling itu ternyata masih belum
mampu mengalahkan kedua lawannya yang masih muda itu,
maka ia pun semakin meningkatkan kemampuan ilmunya
sehingga sampai ke puncak.
Dengan demikian, tangannya tidak saja merupakan
senjata yang sangat berbahaya bagi lawan-lawannya, yang
mampu mengoyak seperti tajamnya senjata, namun jarijarinya
yang m erapat itu kemudian bagaikan telah dipanasi
dengan arus darah yang mendidih. Setiap sentuhan, terasa
bagaikan membakar kulit lawan-lawannya yang masih muda
itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang merasakan,
bahwa telah terjadi perubahan pada lawannya. Tangan
lawannya itu tidak saja sangat berbahaya karena kekuatannya
yang mampu mengoy ak lambungnya, tetapi sentuhansentuhannya
pun semakin lama rasa-rasanya menjadi semakin
panas. Sementara itu, keadaan Akuwu Sangling dan Akuwu
Lemah Warah pun menjadi berangsur baik. Pemusatan nalar
budi dan pengaturan pernafasan, telah membuat mereka
menemukan kembali kekuatan dan keseimbangan di dalam
diri mereka. Darah dan nafas mereka mengalir semakin
teratur dan mencapai tataran kewajaran.
Namun mereka masih harus benar-benar m encapai kesiagaan
tertinggi karena masing -masing menyadari bahwa
lawannya adalah orang y ang memiliki ilmu y ang sangat tinggi.
Karena itu, untuk beberapa saat keduanya masih tetap
pada sikap mereka. Beberapa orang pengawal yang paling
terpercaya masih saja berada di sekitar mereka.
Akuwu Lemah Warah y ang masih dalam sikap samadi,
telah m emerintahkan seorang pengawalnya untuk mengamati
keadaan. Apakah keadaan m edan m enuntutnya untuk segera
hadir. Namun sejenak kemudian pengawal itu telah
menghadap lagi untuk memberikan laporan, "Sang Akuwu.
Hamba telah melihat keadaan medan. Akuwu Sangling masih
belum nampak berada di antara pasukannya. Namun yang
tampil adalah seorang y ang memiliki kemampuan yang sangat
tinggi. Namun orang itu telah dihadapi oleh Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Kedua belah pihak tengah bertempur pada
tataran ilmu y ang sangat tinggi, sehingga pertempuran di
sekitarnya pun seakan-akan telah menyibak. Sementara itu
keseimbangan antara kekuatan Sangling dan Lemah Warah
serta isi padepokan ini agaknya lehih menguntungkan pasukan
Lemah Warah dan padepokan ini. Pa sukan Sangling yang
harus bertempur dengan dua garis benturan itu agaknya
berpengaruh juga pada ketahanan jiwa mereka. Sorak yang
gemuruh dari dua sisi itu membuat orang-orang Sangling
cepat menjadi marah dan kehilangan pengamatan diri."
Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk. Katanya,
"Baiklah. Seseorang harus tetap bergantian mengamati
keadaan dengan sak sama. Laporan -laporannya sangat aku
perlukan pada setiap saat. Apalagi jika Akuwu Sangling telah
hadir di medan, maka aku pun akan berada di medan pula."
Demikianlah, maka para pengawal Akuwu itu telah
bergantian, hilir mudik m engamati m edan. Bahkan kemudian
seorang di antara mereka telah m elihat bukan saja m edan di
pintu gerbang, tetapi di sekitar dinding padepokan.
Namun menurut pengamatan mereka, maka keadaan
pasukan Lemah Warah agaknya menjadi semakin baik.
Kedudukan mereka menjadi semakin mantap dan landasan
mereka pun menjadi semakin kuat. Pasukan Sangling benarbenar
hampir terhimpit dinding padepokan, m eskipun dalam
perang brubuh pasukan Lemah Warah dan orang-orang
padepokan itu tidak lagi dapat dengan leluasa membantu
meluncurkan anak panah dan lembing. Agaknya orang-orang
Sangling sengaja membuat pertempuran itu semakin berbaur.
Karena dengan demikian maka orang-orang y ang berada di
dalam dinding itu harus berpikir lagi untuk begitu saja
melontarkan anak panah dan lembing m ereka ke arena. Jika
mereka melakukan juga, maka akan ada kemungkinan bahwa
senjata itu dapat mengenai kawan-kawan mereka sendiri.
Dengan demikian maka untuk beberapa saat, orangorang
yang berada di dalam dinding padepokan menjadi
termangu-mangu. Mereka tidak segera dapat berbuat sesuatu.
Namun m ereka telah bersiap untuk berbuat apa saja untuk
mempertahankan padepokan itu.
Namun dalam pada itu, ternyata Akuwu Sangling lah
yang telah lebih dahulu bersiap. Ia tidak menunggu Akuwu
Lemah Warah hadir di medan. Tetapi ia telah bangkit dan
kepada para pengawal y ang menjaganya ia berkata, "Aku
sudah siap untuk bertempur."
Para pengawalnya pun kemudian mengantar Akuwu
melangkah m endekati m edan. Bahkan k etika Akuwu m elihat
kedudukan prajuritnya yang berada dalam kesulitan, maka
Akuwu pun m enggeram, "Aku akan m enghancurkan Akuwu
Lemah Warah. Kemudian membakar seisi padepokan itu
seperti membakar batang-batang ilalang kering."
Namun kehadirannya ke m edan, ternyata telah terlihat
oleh pengamat dari Lemah Warah. Karena itu, maka ia pun
telah dengan tergesa -gesa memberikan laporan kepada Akuwu
Lemah Warah. " Jadi Akuwu Sangling telah tampil ke medan?" bertanya
Akuwu Lemah Warah. "Ya Akuwu," jawab pengamat itu, "nampaknya ia
tergesa -gesa." Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk. Katanya,
"Baiklah. Aku juga akan turun ke medan. Tetapi bagaimana
dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat?"
"Mereka bertempur pada jarak pendek. Mereka agaknya
mempergunakan tubuh m ereka untuk lantaran lontaran ilmu
masing-masing," jawab pengamat itu, "Mereka sama sekali
tidak mempergunakan lontaran-lontaran ilmu dari jarak jauh."
Akuwu Lemah Warah m engangguk-angguk. Namun ia
yakin bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak akan
mudah dikalahkan oleh saudara seperguruan Akuwu Sangling
itu. Akuwu Sangling pun kemudian melihat bagaimana
saudara seperguruannya telah membentur kekuatan anakanak
muda itu. Karena itu, maka ia pun menjadi marah.
Sejenak ia berdiri tegak memandang tata gerak dari kedua
belah pihak. Akuwu mengerti, bahwa saudara seperguruannya
telah berusaha untuk melepaskan ilmunya. Kekuatannya
bukan saja pada ayunan tangannya, tetapi juga kekuatan jarijari
tangannya y ang akan dapat mengkoy ak lambung. Bahkan
agaknya saudara seperguruannya itu juga melepaskan
kekuatan panas dari dalam diriny a lewat sentuhan wadagnya.
Tetapi agaknya kedua anak muda itu masih saja
bertahan. Karena itu, tiba -tiba saja timbul niatnya untuk
menghancurkan anak-anak muda itu. Karena itu, ia pun telah
siap turun mendampingi saudara seperguruannya itu.
Tetapi sebelum ia turun ke arena, tiba-tiba terdengar
suara, "Apakah kau akan ikut bermain-main dengan anakanak?"
Akuwu Sangling berpaling. Dilihatnya Akuwu Lemah
Warah berdiri bertolak pinggang.
"Kau," desis Akuwu Sangling, "jadi dadamu belum
hancur?" Akuwu Lemah Warah terseny um. Jawabnya, "Aku
menunggu kesempatan untuk bertempur lebih lama. He, kau
lihat, bagaimana kedua kemenakanku itu bertempur melawan
saudara seperguruanmu?"
Akuwu Sangling itu termangu-mangu. Ternyata mereka
telah bertempur dengan cara tersendiri. Mereka tidak saling
melontarkan serangan ilmu dari jarak jauh.
"Mereka ternyata lebih jantan daripada kita," berkata
Akuwu Lemah Warah yang selangkah mendekat, "m ereka
tidak mau m engganggu orang lain. Mereka tidak ingin salah
sa saran jika mereka mempergunakan serangan dari jarak yang
jauh." "Mak sudmu?" bertanya Akuwu Sangling.
"Kita bertempur seperti anak-anak dungu itu?" bertanya
Akuwu Sangling. "Kita akan mencoba. Kita tidak akan melepaskan
serangan seperti y ang telah kita lakukan di antara para prajurit
yang bertempur dalam medan seperti ini. Dalam perang
brubuh mungkin kita akan melukai orang y ang bukan sasaran
yang sebenarnya," berkata Akuwu Lemah Warah.
"Kau tidak perlu menjelaskan panjang lebar. Aku sudah
tahu maksudmu," sahut Akuwu Sangling. Lalu, "Nah,
bersiaplah. Kita akan bertempur dengan cara yang kau ingini.
Tetapi kita bukan orang-orang dungu yang tidak berilmu. Kita
akan mempergunakan kekuatan ilmu apapun juga yang akan
kita lontarkan dengan lantaran wadag kita."
Akuwu Lemah Warah pun telah bersiap. Selangkah demi
selangkah ia bergeser mendekat. Beberapa orang pengawalnya
mengikutinya. Mereka akan segera bertindak, jika ada lawan
yang meny erang Akuwu Lemah Warah selain Akuwu Sangling
sendiri. Sejenak kemudian, keduanya telah saling berhadapan.
Keduanya adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang sangat
tinggi. Namun keduanya akan bertempur dengan cara yang
telah ditempuh oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melawan
saudara seperguruan Akuwu Sangling.
Akuwu Sangling lah yang telah m endahului meny erang
Akuwu Lemah Warah. Ternyata telapak tangannya bagaikan
berdesing mengayunkan kekuatan yang luar biasa.
Akuwu Lemah Warah menyadari, bahwa jika ia
tersentuh jari-jari Akuwu Sangling yang terbuka dan lurus
merapat itu, maka kulitnya akan dapat terkoy ak. Pada jari-jari
yang rapat itu tersalur kekuatan ilmu yang luar biasa,
sebagaimana dilakukan oleh saudara seperguruannya.
Namun sebelum lawannya m enarik serangannya, maka
kaki Akuwu pun telah berputar melingkar menyambar
lambung lawannya. Namun lawannya itu pun sempat
meloncat menghindar. Dengan demikian maka kedua orang Akuwu itu telah
sal ing melontarkan kekuatan mereka masing-masing.
Kekuatan ilmu yang jarang ada bandingnya. Namun karena
masing-masing mampu bergerak cepat, maka seranganserangan
mereka tidak segera dapat mengenai lawannya.
Seperti yang terjadi pada Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat serta lawan mereka yang bertempur dengan garangnya.
Maka para prajurit y ang bertempur di sekitar mereka pun
seakan-akan telah meny ibak.
Kedua Akuwu itu meskipun tidak melepaskan serangan
jarak jauh, namun dengan ilmu y ang mereka miliki maka
serangan-serangan mereka telah mengungkapkan tingkat
tataran ilmu mereka. Baik Akuwu Sangling maupun Akuwu Lemah Warah
ternyata memiliki kemampuan untuk membangkitkan
kekuatan panasnya api dari diri mereka. Getaran ilmu mereka
membuat darah mereka bagaikan mendidih. Sehingga setiap
sentuhan dari wadag mereka bagaikan membakar kulit lawan.
Tetapi karena keduanya memiliki ilmu y ang sama-sama
mampu menyadap kekuatan api, maka setiap sentuhan
memang memiliki akibat y ang hampir sama pula bagi kedua
belah pihak. Keduanya bagaikan menyentuh bara, sehingga
mereka harus membangunkan kekuatan daya tahan tubuh


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka untuk mengatasiny a.
Namun y ang agak berbeda adalah akibat hentakan dari
pukulan itu. Jika serangan salah seorang diantara mereka
mengenai sasaran, maka selain panasnya bara api, sasaran itu
pun merasakan seakan-akan tulang belulangnya menjadi
berpatahan. Tetapi keduanya memang memiliki daya tahan y ang
sangat tinggi sehingga mereka m ampu mengatasi rasa sakit
dan panas itu meskipun terasa juga pedihnya pada saat
benturan terjadi. Demikianlah pertempuran diantara mereka pun
berlangsung semakin lama semakin sengit. Mereka telah
meningkatkan kemampuan ilmu mereka, sehingga pada
keadaan terakhir, keduanya benar -benar mengalami kesulitan.
Kulit m ereka menjadi seakan-akan tersentuh bara. Kemerahmerahan
dan bahkan menjadi kehitam-hitaman. Bukan hanya
di satu dua tempat. Tetapi di beberapa tempat. Di punggung,
di lengan, di pundak dan di beberapa tempat y ang lain.
Namun keduanya tidak akan surut selangkah. Keduanya
telah dibakar oleh kemarahan y ang memuncak, sehingga
apapun yang terjadi, mereka akan tetap bertempur. Sementara
itu mereka pun telah berpegang pada janji seorang kesatria.
Mereka tidak akan mempergunakan ilmu y ang akan mampu
menyerang mereka dari jarak yang jauh. Karena jika m ereka
tidak mengenai sasaran, akan terjadi bencana pada para
prajurit y ang memang bukan lawan mereka.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
masih bertempur dengan keras dan bahkan kasar. Seperti
Akuwu Sangling, maka saudara seperguruannya itu pun
memiliki ilmu y ang sama. Tubuhnya semakin lama menjadi
semakin panas. Jika Mahisa Murti atau Mahisa Pukat mampu
menembus kecepatan gerak lawannya dan mengenainya, maka
kulitnya sendiri menjadi kesakitan sebagaimana mereka
menyentuh api, meskipun dengan demikian mereka dapat
menyakiti lawannya pula dengan pukulan mereka.
Namun dengan demikian, kedudukan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat menjadi semakin terasa lemah. Jika mereka
menyakiti lawannya, maka mereka sendiri mengalami
kesakitan. Untuk beberapa saat keduanya bertahan terus. Namun
kemudian keadaan mereka pun menjadi semakin terdesak.
Meskipun mereka mampu mengatasi kecepatan gerak
lawannya, tetapi bagi keduanya panasnya tubuh lawan itu
tetap menjadi per soalan bagi mereka.
Ketika seorang perwira Lemah Warah yang mencoba
ikut serta menyerang saudara seperguruan Akuwu Sangling
itu, maka malapetaka telah terjadi atas dirinya. Telapak tangan
saudara seperguruan Akuwu Sangling itu telah m embekas di
lengannya ketika lawannya sempat mencengkam lengan itu.
Untunglah bahwa Mahisa Murti dengan tangkasnya
menyerang saudara seperguruan Akuwu Sangling. Demikian
kerasnya tumit Mahisa Murti m engenai lambung lawannya,
sehingga lawannya itu terdorong surut. Lambungnya memang
merasa sakit dan perutnya menjadi mual.
Di luar sadarnya, maka pegangannya pun telah terlepas,
sehingga perwira itu sempat menghindarkan diri dari
kesulitan. Namun demikian, pada lengannya telah m embekas
luka bakar. Sedangkan tumit Mahisa Murti pun seakan-akan
telah menginjak api pula.
"Minggir," teriak Mahisa Pukat, "jangan cam puri
pertempuran ini." Perwira itu berdiri termangu-mangu. Ketika ia sempat
memandangi tubuh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, m aka
pada mereka terdapat juga luka-luka bakar itu, meskipun tidak
separah luka di lengannya.
Sebenarnyalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang
mengalami kesulitan menghadapi lawannya. Sementara itu
mereka terikat pada janji jantan untuk tidak mempergunakan
serangan jarak jauh. Karena itu, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat masih tetap tidak meny erang lawannya pada
jarak tertentu. Untuk beberapa saat, dengan pukulan ilmunya yang luar
biasa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengguncang
lawannya. Tetapi lawannya pun memiliki ilmu yang luar bia sa.
Bahkan agaknya saudara seperguruan Akuwu Sangling itu
memiliki pengalaman dan pengembangan ilmu yang lebih luas
dari kedua anak muda itu. Sehingga dengan demikian, maka
pantaslah bahwa orang itu telah dipercaya untuk
mendampingi Akuwu Sangling dalam tugas y ang berat ini.
Dalam pada itu, dalam keadaan y ang sulit, maka Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat memang tidak m empunyai pilihan
lain. Dengan isyarat Mahisa Murti mengajak Mahisa Pukat
untuk mempergunakan ilmunya y ang lain, y ang tidak
melanggar janji mereka menghadapi lawan mereka, meskipun
mereka akan mengalami akibat yang pahit. Setiap sentuhan
akan meninggalkan bekas luka bakar pada kulit mereka,
sementara itu, keduanya akan memerlukan kesempatan untuk
selalu meny entuh atau disentuh lawannya.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak
mempunyai pilihan lain. Lawannya adalah seorang yang
memang memiliki kematangan ilmu sehingga sulit bagi
keduanya untuk dapat menundukkannya.
Karena itulah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
pun kemudian tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun segera
telah mengetrapkan ilmu mereka yang telah mereka warisi
dari Pangeran Singa Narpada.
Namun sementara itu, kemajuan prajurit Lemah Warah
tidak dapat disangkal lagi. Perlahan-lahan mereka telah
mendesak prajurit Sangling. Yang bertahan ditempatnya tanpa
mengenal surut, terpaksa disingkirkan dengan ujung pedang,
meskipun korban di antara prajurit Lemah Warah pun telah
berjatuhan. Baik Akuwu Sangling m aupun saudara seperguruannya
melihat keadaan itu. Karena itulah maka mereka telah
terdorong untuk mempercepat pekerjaan mereka,
menyelesaikan lawan-lawan mereka. Terutama saudara
seperguruan Akuwu Sangling itu. Ia merasa bahwa dengan
menghentakkan ilmunya, maka keadaan kedua lawannya yang
masih sangat muda itu akan segera dapat dikalahkannya.
Sebenarnyalah, saudara seperguruan Akuwu itu telah
berusaha menghentakkan ilmu mereka pada saat-saat
terakhir. Orang itu masih ingin memaksakan diri untuk
meningkatkan pengaruh panasnya kepada kedua lawannya itu.
Jika kedua anak muda itu sudah diselesaikan, m aka ia pun
akan m endapat kesempatan untuk menghancurkan pasukan
Lemah Warah. Dengan kekuatannya atau dengan
kemampuannya bergerak cepat, maka ia akan dapat
membunuh seberapa dikehendaki.
Bahkan jika ia sempat menyusup memasuki padepokan,
maka ia akan membunuh semua orang yang ada di padepokan
itu. Tetapi kedua anak muda itu benar-benar liat. Betapapun
saudara seperguruan Akuwu Sangling itu mengerahkan
kemampuannya, namun kedua anak muda itu masih saja
mampu melawannya. Pada saat-saat terakhir dari pertempuran itu, maka
saudara seperguruan Akuwu Sangling itu benar -benar telah
menghentakkan semua yang ada pada dirinya. Panas yang
memancar dari tubuhnya pun semakin meningkat, sehingga
sentuhan tangannya akan mampu mengelupas kulit.
Namun ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
bersiap sepenuhnya. Bukan saja untuk melawan, tetapi mereka
pun telah siap untuk menghancurkan lawannya pula,
sebagaimana sebalikny a. Pertempuran yang t erjadi pun menjadi semakin cepat.
Serangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin
cepat. Mereka semakin sering berhasil mengenai tubuh
lawannya dengan serangan-serangan y ang cepat dan kuat, dan
bahkan hampir tidak masuk akal bahwa lawannya mampu
bertahan atas kekuatan ilmunya yang luar biasa yang
diwarisinya dari ay ahnya.
Meskipun setiap sentuhan, kulit Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat seakan-akan telah terbakar, namun kedua anak
muda itu sama sekali tidak beranjak dari tempatnya.
Bahkan pertempuran pun menjadi semakin lama
semakin cepat. Serangan disusul dengan serangan dan dibalas
pula dengan serangan. Keduanya menjadi semakin sering
berbenturan, sehingga luka di tubuh Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat pun seakan-akan telah menjadi merata di seluruh tubuh
mereka. Lengan, kening, punggung dan bahkan betis mereka
pun telah terbakar oleh panasny a ilmu lawannya. Bahkan di
beberapa bagian kulit mereka telah mulai terkelupas.
Kedua anak muda itu m erasakan betapa sakitnya tubuh
mereka. Bahkan sekali-sekali terdengar kedua anak muda itu
mengaduh. Sekali-sekali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
kehilangan keseimbangannya dan memerlukan waktu
beberapa saat untuk memperbaiki keadaannya.
Tetapi keduanya masih saja tetap membenturkan ilmu
mereka melawan saudara seperguruan Akuwu Sangling itu.
Sehingga pada satu saat, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
mulai terhuyung-huyung apabila benturan itu terjadi.
Perasaan sakit telah benar-benar terasa menggigit seluruh
tubuhnya. Apalagi jika keringat mereka meny entuh luka-luka
bakar di tubuhnya. Namun pada saat tubuh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
terasa menjadi semakin lemah, serta perasaan sakitnya hampir
tidak dapat diatasinya lagi, maka lawannya pun menjadi agak
kebingungan. Tenaganya yang memang mulai su sut itu dengan
cepat sekali bagaikan larut. Semakin ia berusaha
menghentakkan ilmunya untuk menghancurkan lawannya,
sehingga terjadi benturan ilmu, maka rasa-rasanya kelelahan
itu tidak tertahankan lagi. Bahkan kemampuannya menjadi
semakin surut dengan cepat pula sebagaimana susutnya
kemampuannya. "Apa y ang terjadi?" orang itu berdesis.
Namun ia masih tetap bertempur terus. Mula-mula
saudara seperguruan Akuwu itu merasapan keadaannya
dirinya sebagai satu kewajaran setelah ia menghentakkan
seluruh kekuatan dan kemampuannya. Tetapi ketika hal itu
terjadi terlalu cepat, maka rasa-rasanya ada sesuatu y ang tidak
wajar di dalam dirinya. Mahisa Murti dan Miaisa Pukat y ang masih harus
berjuang mengatasi rasa sakit itu melihat keadaan lawan.
Karena itu, maka mereka berusaha semakin sering meny erang
dan menyentuh tubuh lawannya betapapun mereka sendiri
mengalami kesakitan. Pa da saat-saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat seakanakan
tidak mampu lagi untuk bertahan, maka mereka melihat
lawan mereka pun bagaikan telah kehilangan tempat untuk
bertumpu. Ayunan tangan dan kakinya tidak lagi garang
mengena. Tetapi sentuhan-sentuhan kecil itu pun telah
memberikan arti tersendiri bagi Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Dalam pada itu, sejalan dengan tingkat kemunduran
keadaan lawannya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah menyadari, bahwa permainan mereka yang
mengasy ikan, yang hampir saja mengelupas seluruh kulit
kedua anak muda itu, akan segera sampai ke puncaknya.
Sebenarnyalah maka saudara seperguruan Akuwu
Sangling itu telah kehilangan sebagian besar dari kekuatannya.
Karena itu pulalah maka pemusatan nalar budiny a telah
menjadi semakin terkoy ak pula. Orang itu tidak lagi mampu
mempertahankan pancaran ilmunya, sehingga panasnya pun
telah memudar. Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
menjadi semakin sering m enyentuh orang itu. Bukan sekedar
menyakiti dengan pukulan-pukulan, tetapi keduanya telah
mengetrapkan ilmunya. Setiap sentuhan berarti susutnya
kekuatan dan kemampuan ilmu lawannya.
Tidak ada orang yang mampu melawan hisapan
kekuatan ilmu itu. Jika seseorang tersentuh oleh ilmu itu,
maka tidak akan dapat menghindarkan diri dari susutnya
kekuatan dari ilmunya. Saudara seperguruan Akuwu Sangling itu adalah seorang
yang memiliki ilmu yang m apan. Jarang sekali bandingnya.
Namun ia pun tidak mampu bertahan atas hisapan kekuatan
ilmu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Demikianlah, maka akhirnya saudara seperguruan
Akuwu Sangling itu benar-benar telah kehilangan seluruh
tenaganya. Ketika ia masih berusaha menyerang, maka ia pun
telah terhuyung-huyung. Karena serangannya tidak
menyentuh lawannya, maka ia pun justru telah terdorong oleh
tarikan tenaganya sendiri. Betapapun kecilnya tenaganya yang
tersisa, namun keseimbangan orang itu m emang sudah tidak
mapan lagi, sehingga akhirnya orang itu telah jatuh
terjerembab. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berdiri selangkah
daripadanya. Sesaat mereka menunggu. Namun lawannya
hanya mampu m enggeliat. Dengan wajah y ang geram orang
itu memandanginya sambil berdesis, " Iblis y ang licik."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu.
Mereka masih m endengar sorak y ang mengguntur bagaikan
menggapai langit. Namun Mahisa Pukat tidak lagi dapat
mendengarnya lebih lama lagi. Ia pun terhuyung-huyung pula.
Seluruh kulitnya telah luka terbakar, sehingga akhirnya ia pun
terjatuh pula. Beberapa orang prajurit Lemah Warah segera
mendekatinya. Mahisa Murti pun kemudian berjongkok di
sampingnya. Tetapi pandangan matanya sudah menjadi kabur
pula, sehingga akhirnya ia pun telah terbaring pingsan
sebagaimana Mahisa Pukat.
Tiga orang terbaring. Namun keadaan mereka berbeda.
Saudara seperguruan Akuwu Sangling bukan saja kehilangan
kekuatan dan kemampuan ilmunya, tetapi setiap tarikan
nafasnya bagaikan tusukan di jantungnya. Sementara Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat pingsan karena perasaan sakit oleh
luka-luka bakar di tubuhnya serta kelelahan setelah
mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuannya.


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Para prajurit Lemah Warah sempat memindahkan ketiga
tubuh y ang lemah itu. Sementara itu, para prajurit Lemah
Warah y ang lain telah menekan prajurit Sangling semakin
kuat, sehingga prajurit Sangling itu akhirnya benar-benar
terhimpit oleh kekuatan yang datang dari dua sisi, sementara
di t empat lain, prajurit Lemah Warah telah m enekan prajurit
Sangling sehingga mereka menjadi semakin melekat dinding.
Dalam pada itu, Akuwu Sangling dan Akuwu Lemah
Warah masih bertempur dengan dahsyatnya. Apalagi ketika
mereka kemudian mengetahui bahwa saudara seperguruan
Akuwu Sangling telah kehilangan kemampuannya untuk
bertempur. Mereka justru telah jatuh ke tangan para prajurit
Lemah Warah. Prajurit Sangling memang sudah berusaha untuk
merebutnya. Tetapi mereka tertahan oleh prajurit Lemah
Warah yang ternyata jumlahnya menjadi lebih banyak.
Dalam pada itu, Akuwu Lemah Warah pun sempat
berkata, "Nah, apakah katamu sekarang. Saudara
seperguruanmu telah dihancurkan."
"Tidak. Mereka justru saling menghancurkan. Kedua
belah pihak menjadi tidak berday a sama sekali," berkata
Akuwu Sangling. Akuwu Lemah Warah tidak membantah. Ia pun
mengetahui bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah
jatuh pula. Karena itu, maka ia pun juga menjadi cemas.
Namun bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih sempat
melihat lawannya terjatuh dan tidak berdaya lagi, maka
Akuwu Lemah Warah berharap bahwa keadaan mereka masih
lebih baik dari keadaan lawannya.
Sementara itu Akuwu Sangling menjadi tidak sabar lagi.
Karena itu, maka katanya, "Aku tidak m au m elanggar janji
seorang kesatria. Kita tidak mempergunakan ilmu y ang dapat
kita lontarkan dari jarak jauh. Tetapi dengan demikian
persoalan kita tidak akan segera selesai. Karena itu, maka kita
dapat merubah janji kita. Kita dapat mempergunakan ilmu
kita apa saja." Akuwu Lemah Warah pun termangu-mangu sejenak.
Namun Akuwu Sangling berkata, "Kita meny isih dari arena
ini." "Bagus," berkata Akuwu Lemah Warah, "apa pun y ang
kau kehendaki, aku tidak akan gentar."
Demikianlah maka keduanya pun kemudian telah
beringsut dari tempat mereka bertempur. Mereka telah keluar
dari lingkaran pertempuran. Meskipun para prajurit dari
kedua belah pihak telah meny ibak, namun masih dalam garis
yang berbahaya jika kedua Akuwu itu m empergunakan ilmu
raksasa mereka. Karena itu, maka keduanya telah beringsut.
Para prajurit melihat apa yang telah dikerjakan oleh
kedua Akuwu itu. Mereka pun segera mengerti, apa yang akan
Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 3 Cinta Seorang Copellia Karya Lisa Andriyana Pedang Tetesan Air Mata 3
^