Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 25

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 25


dengan sengitnya. Korban masih tetap berjatuhan
seorang demi seorang. Semakin lama semakin banyak
dari kedua belah pihak. Empu Sepada yang berhadapan dengan Mahisa
Murti telah mulai bergeser mendekat. Dengan nada
dalam ia berkata, "Sayang, bahwa kau harus mati muda."
"Bukan. Yang lebih tualah yang sepatutnya mati
lebih dahulu. Jangan menyesal," jawab Mahisa Murti.
Empu Sepada menggeram. Ia pun segera meloncat
menyerang Mahisa Murti. Namun Mahisa Murti cepat
mengelak, justru lebih cepat dari serangan Empu Sepada.
Empu Sepada menggeram. Tetapi ia tidak
melepaskan sasarannya. Ketika Mahisa Murti bergeser
mengelak, maka Empu Se-pada pun telah memburunya.
Serangannya datang beruntun dengan derasnya, lebih
cepat dari serangannya sebelumnya.
Tetapi Mahisa Murti pun dengan kecepatan yang
lebih tinggi pula telah mengelak dan dengan demikian
maka serangan-serangan itu pun sama sekali tidak
mengenai sasaran. Bahkan ketika Empu Sepada siap
untuk meloncat menyerangnya pula, Mahisa Murti telah
mendahuluinya. Serangannya datang bertumpu pada
satu kakinya, sementara kakinya yang lain berputar
mendatar, menyongsong lawannya.
Tetapi Empu Sepada pun tanggap akan serangan
lawannya. Ia pun segera menggeliat sehingga tubuhnya
bagaikan melenting ke samping. Dengan demikian, maka
serangan Mahisa Murti itu pun luput dari sasarannya.
Demikianlah pertempuran itu semakin lama
menjadi semakin cepat. Kedua belah pihak telah
meningkatkan tenaga cadangan di dalam tubuh mereka,
sehingga mereka seakan-akan menjadi lebih cepat dan
lebih kuat bergerak. Sementara itu, Ki Buyut Bapang pun menjadi marah
mengalami perlawanan yang keras dari Mahisa Pukat.
Adalah di luar dugaannya, bahwa anak muda itu ternyata
memiliki ilmu kanuragan yang mampu mengimbanginya.
Namun Ki Buyut yang marah itu pun kemudian
menggeram, "Anak muda yang tidak tahu diri. Kau
sangka kau benar-benar akan mampu mengimbangi aku
he" Jika aku mulai merambah pada ilmuku yang
sebenarnya, maka kau akan menyesal, bahwa kau akan
mengalami kesulitan yang tidak teratasi lagi."
"Jangan banyak bicara Ki Buyut tua," geram Mahisa
Pukat, "lakukan semuanya itu jika kau mampu."
"Persetan," geram Ki Buyut.
Sebenarnyalah Ki Buyut menjadi sangat marah.
Ketika usahanya untuk menyerang Mahisa Pukat dengan
tenaga wadagnya, meskipun didorong oleh kekuatan
tenaga cadangannya tidak berhasil, maka ia benar-benar
mulai merambah pada ilmunya. Ilmunya yang tinggi.
Mahisa Pukat yang melihat sikap Ki Buyut menjadi
berdebar-debar. Ia sadar, bahwa Ki Buyut Bapang itu
mulai mengetrapkan ilmunya yang nggegirisi. Dengan
ilmu itu pula ia dapat memecahkan pintu gerbang.
Itulah sebabnya, maka segala-galanya telah
berubah. Sikap dan tingkah laku Ki Buyut pun seakanakan
berubah pula. Semuanya telah terjadi dengan
sangat cepat. Tubuh Ki Buyut itu seakan-akan menjadi
sangat berat, tetapi loncatan-loncatannya bagaikan tanpa
bobot. Mahisa Pukat yang melihat perubahan itu pun
menjadi semakin berhati-hati. la sadar, bahwa Ki Buyut
telah mengetrapkan ilmunya. Namun yang masih belum
diketahui dengan pasti oleh Mahisa Pukat. Tetapi satu
hal yang pasti, bahwa ilmu itu adalah ilmu yang luar
biasa, yang mampu memecahkan pintu gerbang
padepokan itu. Beberapa saat kemudian, maka keduanya
bertempur semakin sengit. Mahisa Pukat yang berhatihati
berusaha untuk mengatasi kesulitan yang mungkin
timbul, dengan kecepatan geraknya.
Meskipun loncatan-loncatan kaki lawannya kadangkadang
mengejutkan, namun Mahisa Pukat masih
mampu mengatasinya. Dengan demikian maka pertempuran diantara
mereka menjadi semakin cepat. Sementara itu, seranganserangan
Ki Buyut nampak semakin berbahaya.
Namun bukan berarti bahwa Mahisa Pukat tidak
mendapat kesempatan. Ia pun dengan alas kecepatan
geraknya, telah membalas menyerang pula. Ketika
kesempatan itu didapatnya, maka ia pun telah melenting
dengan kaki terjulur lurus. Dengan kekuatan yang sangat
besar ia telah menghantam lawannya mengenai lambung.
Tetapi Mahisa Pukat terkejut sekali. Meskipun
orang itu terdorong beberapa langkah ke samping, tetapi
Mahisa Pukat sendiri telah mental beberapa langkah
pula. Bahkan hampir saja ia kehilangan
keseimbangannya. Untunglah dengan cepat ia menguasai
dirinya kembali dan berdiri tegak menyambut
kemungkinan yang akan datang.
Namun satu hal yang membuatnya menjadi
berdebar-debar menghadapi lawannya. Kakinya yang
menyentuh lambung itu justru menjadi sakit. Rasarasanya
kakinya telah menghantam sebongkah baja.
"Apa yang terjadi?" bertanya Mahisa Pukat didalam hatinya.
--ooo0dw0ooo- Jilid 042 PERTANYAAN itu telah membuatnya justru mengetahui lebih banyak tentang lawannya. Itulah sebabny a, maka pada saat berikutnya, Mahisa Pukat telah berusaha menangkis serangan lawannya. Meskipun ia tidak membentur serangan itu seutuhnya, namun dengan memukul serangan itu menyamping, Mahisa Pukat berhasil sekali lagi mengetahui satu kemampuan y ang luar biasa pada lawannya. Tubuh itu memang bagaikan menjadi sekeras batu hitam.
"Bukan main," geram Mahisa Pukat, "ternyata ia memiliki ilmu y ang mampu membuat dirinya bagaikan baja.
Itulah sebabny a ia mampu memecahkan pintu gerbang."
Dengan menyadari kemampuan lawannya, Mahisa Pukat
benar-benar harus berhati-hati. Tubuhnya jangan sampai
dihancurkan oleh kekuatan dan kekerasan tubuh lawannya itu.
Karena, itu maka Mahisa Pukat pun harus mengerahkan
kemampuannya untuk mengatasi lawannya.
Ketika serangan-serangan lawannya menjadi semakin
deras, maka Mahisa Pukat tidak dapat mengelak lagi. Ia harus
menahan arus serangan itu, agar ia tidak hancur dalam
pertempuran itu. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah
mempergunakan ilmunya pula. Sebagaimana pernah di
sadapnya dari Akuwu Lemah Warah. Ia harus berusaha agar
lawannya tidak mampu mendekatinya dan menghancurkan
tubuhnya. Dalam keadaan yang semakin sulit, maka Mahisa Pukatpun
kemudian telah menghentakkan tangannya. Kedua
telapak tangannya menghadap ke arah lawannya.
Sebuah getaran kekuatan bagaikan meloncat dari tangan
itu menyambar Ki Buyut Bapang.
Namun Ki Buyut benar-benar seorang yang memiliki
ilmu yang tinggi. Ia melihat gerak tangan Mahisa Pukat.
Karena itu, maka dengan kecepatan yang hampir tidak kasat
mata, Ki Buyut telah m elenting menghindar. Bahkan diluar
perhitungan Mahisa Pukat, tiba -tiba saja Ki Buyut telah
berguling justru m endekat. Demikian Ki Buyut m elenting, ia
tidak memberi kesempatan kepada Mahisa Pukat, untuk
menyerangnya sekali lagi. Bahkan tiba -tiba saja orang itu
sempat menyambar kaki Mahisa Pukat yang sedang bergeser
menyamping, dengan sapuan kaki pula.
Demikian kerasny a sehingga Mahisa Pukat ju stru telah
terpelanting dan jatuh berguling. Namun demikian ia
melenting berdiri, lawannya telah datang pula meny erangnya.
Tidak ada cara lain lagi bagi Mahisa Pukat, kecuali
menjatuhkan diri ketika tangan lawannya menyambar
keningnya dengan serangan mendatar.
Serangan itu berhasil dielakkan. Tetapi lawannya tidak
mau melepaskannya. Tetapi ketika ia siap meloncat
menyerang tubuh Mahisa Pukat y ang masih terbaring itu
dengan kakinya, Mahisa Pukat telah m engambil sikap yang
lain. Ia tidak berusaha untuk bangkit. Tetapi justru sambil
berbaring ia mengacukan tangannya menyerang lawannya
yang siap menerkamnya. Lawannya itu pun terkejut. Dengan serta merta ia
meloncat menghindar ketika kekuatan ilmu Mahisa Pukat
menyambarnya. Orang itu terlepas dari sambaran ilmu Mahisa Pukat.
Sambil mengumpat ia telah m empersiapkan diri menghadapi
segala kemungkinan. Sementara itu, Mahisa Pukat pun telah
berdiri pula menghadap ke arah lawannya itu.
Dalam pada itu, Mahisa Murti pun telah bertempur
dengan sengitnya. Ketika mereka mulai memasuki
kemampuan ilmu mereka, maka Empu Sepada telah
mempergunakan kekuatannya yang luar biasa yang
disadapnya dari kekuatan udara. Setiap kali angin yang
kencang telah menerpa tubuh Mahisa Murti sehingga ia harus
berjuang untuk tidak hanyut karenanya.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Empu Sepada itu
telah melenting m eny erang dengan wadagnya, selagi Mahisa
Murti sibuk bertahan atas dor ongan angin. Namun setiap kali
ia m emang terkecoh oleh lawannya. Dor ongan hampir jatuh
tertelungkup. Namun pada saat y ang demikian itu lawannya
telah meny erang dengan dahsyatnya.
Mahisa Murti harus berusaha untuk mengatasi
kecepatan gerak lawannya jika serangan itu datang. Bahkan
Mahisa Murti harus berguling beberapa kali dan dengan cepat
melenting berdiri. Namun setiap kali lawannya, Empu Sepada tidak mau
melepaskannya. Ia pun memburu ke mana Mahisa Murti
bergeser atau berguling. Untuk beberapa saat Mahisa Murti memang mengalami
kesulitan. Namun ketika angin itu datang lagi menghembus
dengan kekuatan raksasa, maka Mahisa Murti tidak
membiarkan kesempatan y ang mungkin akan dapat
ditemukannya. Mahisa Murti itu pun telah menjatuhkan diri dan
menelungkupkan badannya, sehingga angin itu tidak t erlalu
kuat mendorongnya sebagaimana jika ia berdiri.
Lawannya menjadi sangat marah melihat sikap Mahisa
Murti. Seolah-olah Mahisa Murti cukup dengan cara yang
memuakkan itu akan dapat menghindari serangannya.
Karena itu, Empu Sepada t elah menghentikan serangan
praharanya. Namun demikian serangannya itu berhenti, Empu
Sepada pun telah meloncat meny erang dengan garangnya.
Kakiny a terjulur lurus, siap menghancurkan tubuh Mahisa
Murti y ang terbaring itu.
Namun Mahisa Murti tidak menunggu lebih lama lagi.
Tiba-tiba saja ia memiringkan tubuhnya. Ketika ia
mengacukan tangannya, maka kemampuan ilmunya telah
meluncur lewat getar dari telapak tangannya menyambar
Empu Sepada. "Gila," Empu Sepada itu berteriak keras sekali sambil
menggeliat, menghindari serangan itu, "ternyata kau memiliki
ilmu iblis he?" Empu Sepada itu pun kemudian bagaikan terpelanting
oleh dorongan geraknya sendiri pada saat ia tergesa -gesa
melenting. Namun dengan cepat Empu Sepada telah bangkit
kembali. Tetapi pada saat yang demikian Mahisa Murti telah
berdiri tegak. Kedua tangannya tiba -tiba saja telah terjulur ke
depan dengan telapak tangannya menghadap ke sa saran.
Sekali lagi Empu Sepada harus meloncat menghindari
serangan itu. Namun ia tidak mau menjadi sasaran serangan
Mahisa Murti y ang datang beruntun. Karena itu, demikian ia
meletakkan kakinya, maka sekali lagi angin prahara telah
menghembus ke arah Mahisa Murti. Namun pada saat yang
bersamaan, Mahisa Murti telah menghentakkan kekuatan
ilmunya pula. Kedua ilmu itu ternyata bagaikan berbenturan. Memang
tidak terduga, bahwa ilmu dalam ujud y ang berbeda itu
ternyata telah saling membentur.
Satu ledakan telah terjadi. Angin prahara itu bagaikan
terangkat dan pecah berserakan di udara.
Mahisa Murti dan Empu Sepada itu untuk sesaat justru
termangu-mangu menyaksikan benturan y ang dahsyat itu.
Namun dengan demikian keduanya saling mengetahui bahwa
lawan masing-masing adalah orang y ang berilmu tinggi.
Dalam pada itu, pertempuran di padepokan itu pun
berlangsung semakin lama semakin menggetarkan jantung.
Darah semakin banyak m engalir, sementara erang kesakitan
terdengar dari segala sudut. Orang-orang terluka terbaring di
sepanjang dinding padepokan. Kawan-kawan mereka yang
sempat telah menarik mereka menepi. Sedangkan orang-orang
padepokan itu yang terluka telah dibawa k e serambi-serambi
barak yang menebar di seluruh padepokan itu.
Namun dalam pada itu, batu yang berwarna kehijauan
itu masih tetap berada di tempatnya. Tidak ada orang lain lagi
yang berani menyentuh batu itu. Mereka sadar, bahwa meraba
batu itu akan dapat berarti kematian.
Mahisa Pukat pun pada saat itu sedang bertempur
dengan sengitnya melawan Ki Buyut Bapang. Setiap kali ia
melontarkan serangannya, Ki Buyut Bapang selalu berhasil
menghindarinya. Ki Buyut pun selalu berusaha untuk selalu
dekat dengan lawannya. Ia menganggap bahwa
kemampuannya membuat tubuhnya sekeras baja itu akan
dapat mengakhiri per soalan.
Sebenarnyalah, setiap kali terjadi benturan langsung,
maka tulang-tulang Mahisa Pukat bagaikan berpatahan.
Karena itu, maka akhirnya Mahisa Pukat pun t erdesak.
Tubuhnya terasa sakit di bagian-bagian tertentu. Bahkan
menjadi merah biru. Dalam keadaan yang sulit itulah, m aka
Mahisa Pukat tidak mempunyai pilihan lain. Betapa berat
hatinya, karena beberapa orang menganggap ilmunya sebagai
ilmu y ang licik. Namun ia tidak mempunyai cara lain untuk
melawan Ki Buyut y ang menjadi bagaikan berkulit baja.
Demikianlah maka untuk selanjutnya, betapa tubuh dan
tulang-tulang Mahisa Pukat serasa patah sementara kulitnya
bagaikan terkelupas, namun Mahisa Pukat memang selalu
ingin membenturkan kekuatannya kepada lawannya yang


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang memiliki ilmu yang tinggi.
Lawannya memang menjadi heran melihat perubahan
cara Mahisa Pukat bertempur. Jarang sekali ia mengelak, dan
bahkan semakin sering pula ia menyerang dan mengenainya.
Tetapi Ki Buyut itu setiap kali terkena serangan Mahisa
Pukat hanya tersenyum saja. Tubuhnya y ang sekeras baja itu
tidak mudah ditembus oleh kekuatan y ang bagaimanapun
besarnya. Bahkan setiap kali terjadi benturan, Mahisa Pukat
harus menyeringai kesakitan.
Namun Mahisa Pukat tidak merubah cara
bertempurnya. Benturan demi benturan telah terjadi. Setiap
kali Mahisa Pukat harus meny eringai menahan sakit.
"Tetapi anak ini benar-benar anak iblis," geram Ki
Buyut di Bapang, "ia sama sekali tidak bergeser dari arena
betapapun ia didera oleh perasaan sakit. Tetapi agaknya ia
memang menunggu sampai tulangnya patah."
Tetapi pertempuran itu masih belum berubah. Benturan
demi benturan telah terjadi. Tubuh Mahisa Pukat benar-benar
bagaikan menjadi retak tulang-tulangnya. Namun Mahisa
Pukat sama sekali tidak menjadi jera.
Meskipun demikian, Mahisa Pukat itu bergumam,
"Ternyata orang ini memiliki ketahanan y ang sangat tinggi."
Demikianlah maka pertempuran itu masih berlangsung
dengan sengitnya. Serangan demi serangan. Dan benturan
demi benturan. Namun dalam k eadaan yang paling sulit, maka Mahisa
Pukat kadang-kadang masih juga mempergunakan
kemampuannya untuk menyerang dari jarak jauh. Tetapi
orang yang disebut Ki Buyut Bapang itu ternyata cukup
tangkas untuk menghindarinya.
Sementara itu pertempuran antara Mahisa Murti dan
Empu Sepada pun berlangsung dengan sengitnya. Mahisa
Murti ternyata telah berusaha pula untuk bertempur pada
jarak jangkau wadagnya. Ia tidak lagi menyerang dengan
kekuatan ilmunya y ang meluncur dari telapak tangannya.
Empu Sepada memang agak menjadi heran. Tetapi ia
menduga bahwa Mahisa Murti ingin mempergunakan ilmunya
yang dahsyat, y ang akan langsung dikenakan kepada
tubuhnya. Sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti m emiliki ilmu y ang
luar biasa. Berlandaskan pada ilmu itu pulalah maka Mahisa
Murti mampu meny erang pada jarak tertentu, karena
tuntunan Akuwu Lemah Warah. Namun dengan ilmu itu
pulalah maka Mahisa Murti, anak Mahendra ini, menjadi
seorang y ang disegani. Tetapi lawannya adalah orang berilmu tinggi pula. Itulah
sebabnya, maka Mahisa Murti tidak mudah untuk
mengetrapkan ilmunya dan memenangkan pertempuran itu.
Pertempuran diantara mereka pun berlangsung semakin
seru. Sekali-sekali Empu Sepada meny erang Mahisa Murti
dengan angin praharanya sebagaimana Mahisa Murti sering
pula meny erang dengan melontarkan ilmunya dengan
menghentakkan tangannya. Namun dalam pertempuran y ang semakin sengit, maka
keduanya kadang-kadang telah membenturkan wadag mereka.
Sementara Mahisa Murti sedang berjuang untuk
mengatasi lawannya, maka Mahisa Pukat benar-benar menjadi
semakin lemah karena tulang-tulangnya bagaikan menjadi
berpatahan. Namun sebagaimana diperhitungkannya, bahwa
tubuhnya masih akan lebih baik dari keadaan lawannya
meskipun lawannya mampu membuat dirinya sekeras baja.
Setelah keduanya bertempur beberapa lama, dan tulangtulang
Mahisa Pukat bagaikan berpatahan, maka ia mulai
melihat perubahan terjadi pada lawannya. Namun ia m asih
harus bertempur terus, membenturkan tubuhnya. Dengan
lambaran ilmunya yang diwarisinya dari ayahnya, maka
pukulan Mahisa Pukat benar-benar merupakan lontaran
kekuatan y ang luai biasa. Namun tubuh lawannya menjadi
sekeras baja, sehingga tubuh Mahisa Pukat sendiri menjadi
kesakitan karenanya. Tetapi ia juga mewarisi ilmu dari
Pangeran Singa Narpada dan sekaligus dari Akuwu Lemah
Warah yang mula-mula dikenalnya bernama Tatas Lintang.
Karena itu, maka beberapa saat kemudian, Mahisa Pukat
itu melihat hasil dari lontaran -lontaran ilmunya. Baik yang
disadapnya dari ayahnya dengan benturan wadag, maupun
dilontarkannya sebagaimana ia m ewarisi ilmu Akuwu Lemah
Warah, namun juga dengan ilmu y ang diterimanya dari
Pangeran Singa Narpada. Ki Buyut Bapang itu pun lambat laun mulai merasa
perubahan di dalam dirinya. Tubuhnya memang masih sekeras
baja. Tetapi kemampuannya terasa dengan cepat su sut. Bukan
karena kelelahan. Tetapi sesuatu memang tidak wajar telah
terjadi pada diriny a. Ketika Ki Buyut menyadari apa yang telah terjadi pada
dirinya, maka agaknya memang sudah terlambat. Ia sudah
kehilangan sebagian besar dari kekuatan dan kemampuannya.
Ia tidak lagi mampu bergerak dengan cepat, dan bahkan
ilmunya y ang mampu membuat tubuhnya sekeras baja itu pun
telah jauh susut pula. Meskipun Mahisa Pukat k emudian juga menjadi lemah
dan merasa ny eri di seluruh tubuhnya, bahkan sendi-sendinya
rasa-rasanya hampir saling terlepas, namun pada suatu saat, ia
benar-benar mampu menguasi Ki Buyut y ang tidak berdaya
lagi berbuat sesuatu. Pada saat Mahisa Pukat membenturkan
kekuatan ilmunya terakhir, maka Ki Buyut tidak mampu lagi
bertahan. Ia telah t erhuyung-huyung beberapa langkah surut
dan k ehilangan keseimbangannya pula. Sehingga akhirnya Ki
Buyut itu pun telah terjatuh.
Mahisa Pukat tidak melepaskan kesempatan untuk
meyakinkan apakah Ki Buyut itu benar-benar tidak berdaya.
Karena itu, m aka ia pun telah berjongkok di sisiny a sambil
memegang tangannya. Karena ia masih tetap m engetrapkan
ilmunya, maka untuk beberapa saat terakhir, Ki Buyut benarbenar
telah kehilangan segenap kekuatannya.
Namun demikian Mahisa Pukat yakin akan keadaan
lawannya, maka ia pun telah menjatuhkan dirinya pula duduk
di sebelah Ki Buyut itu. Sambil menyeringai Mahisa Pukat
sempat merasa beberapa bagian dari tubuhnya y ang bagaikan
pecah itu. Perasaan sakit dan ny eri masih saja
mencengkamnya. Sementara itu, Mahisa Murti pun telah mengetrapkan
ilmunya y ang sama dengan Mahisa Pukat. Pada saat ia tidak
berpengharapan untuk dapat mengalahkan lawannya dengan
ilmunya yang lain, maka ia pun harus mengetrapkan ilmu yang
diwarisinya dari Pangeran Singa Narpada. Meskipun Pangeran
Singa Narpada sendiri merasa ragu jika seseorang
menyebutnyam bahwa ilmu itu adalah ilmu y ang licik.
"Tidak," geram Mahisa Murti, "bukan langkah licik,
karena ilmu itu ditrapkan sebagaimana ilmu yang lain."
Sebenarnyalah, Empu Sepada ketika menyadari apa y ang
terjadi atas dirinya telah m engumpat, "Kau pergunakan ilmu
iblis yang licik itu?"
Mahisa Murti memang m enjadi berdebar -debar. Tetapi
ia pun kemudian menggeram, "Apa salahnya" Apakah kau juga
tidak licik bahwa kau telah menghembus wajahku dengan
debu sehingga mataku telah kemasukan pasir?"
"Persetan," geram Empu Sepada sambil menyerang.
Tetapi tenaganya memang sudah terlalu lemah. Itulah
sebabnya, maka ia pun ju stru telah tersandar pada tubuh
Mahisa Murti yang memang tidak menghindar. Namun
dengan demikian akibatnya menjadi semakin parah bagi
Empu Sepada. Tenaganya bagaikan terhisap habis, sehingga
akhirnya hampir saja ia terjatuh seperti sebatang pohon pisang
yang ditebang. Namun Mahisa Murti telah menahannya. Ia
memang bermaksud menolong Empu Sepada dengan
membaringkannya perlahan-lahan.
Namun di luar sadarnya, bahwa Mahisa Murti masih
mengetrapkan ilmunya, sehingga karena itu, keadaan Empu
Sepada justru menjadi semakin parah.
Baru kemudian, tiba-tiba saja Mahisa Murti telah
melepaskannya. Namun tubuh Empu Sepada itu terbaring
diam dengan mata terkatub rapat.
"Pingsan," desis Mahisa Murti.
Namun Mahisa Murti tidak mempunyai kesempatan
untuk menungguinya lebih lama lagi. Beberapa orang lawan,
dipimpin oleh murid-murid Empu Sepada t iba-tiba sudah
mengurungnya. "Setan," geram murid Empu Sepada, "kau ciderai
guruku," "Bukan maksudku," jawab Mahisa Murti, "tetapi kita
berada di medan perang. Kemungkinan seperti itu memang
dapat saja terjadi."
"Baik," jawab murid Empu Sepada, "kita memang
berada di medan perang. Karena itu, maka cara yang aku
pergunakan untuk membunuhmu juga sah. Pasukan kecil ini
akan membuat tubuhmu arang keranjang."
Mahisa Murti termangu-mangu. Ia memang melihat
sekelompok orang m engepungnya. Karena itu, maka Mahisa
Murti harus melawan mereka dengan segenap kemampuan
yang ada di dalam diriny a.
"Ki Sanak," berkata Mahisa Murti, "aku sudah
menciderai gurumu. Jika ia sampai t erlanjur kehilangan
nyawanya, aku ikut menyesal. Hanya satu nyawa. Tetapi jika
kita berhadapan dengan cara ini, m aka aku akan membunuh
banyak nyawa." "Kau mulai menjadi ketakutan. Tetapi kami tidak akan
dapat kau kelabui. Kau sudah membunuh, setidak -tidaknya
melukai guruku. Karena itu, maka kau harus mati," geram
murid Empu Sepada itu. Mahisa Murti memang tidak dapat mengelak. Ia
bertanggung jawab atas tindakannya terhadap Empu Sepada.
Karena itu, maka ia pun telah siap melontarkan ilmunya yang
paling dahsy at. Dengan satu hentakkan, maka beberapa orang
tentu akan terbunuh seketika. Apalagi para pengikut Empu
Sepada yang tidak memiliki landasan ilmu. Tetapi jika Mahisa
Murti tidak mempergunakan ilmunya itu, maka mungkin
sekali ia sendirilah yang akan tersapu dalam pertempuran itu.
Namun selagi Mahisa Murti dalam keragu-raguan, maka
tiba -tiba beberapa orang nampak berlari-lari mendekati.
Mereka terdiri dari tiga orang prajurit Lemah Warah dan
beberapa orang penghuni padepokan itu.
" Biarlah, kami yang meny elesaikannya," berkata salah
seorang di antara orang-orang padepokan itu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Bukan
karena ia merasa m endapat kawan cukup banyak meskipun
tidak sebanyak lawannya. Tetapi dengan demikian ia tidak
harus membunuh sekelompok orang sebagaimana ia
menginjak sarang semut dengan tumitnya.
Karena itu, maka sejenak kemudian telah terjadi
pertempuran y ang sengit antara dua kelompok yang
bermusuhan. Meskipun Mahisa Murti juga melibatkan diri,
namun ia telah mempergunakan pula sebatang pedang. Ia
tidak merasa perlu mempergunakan kemampuannya untuk
menghadapi lawan-lawannya itu.
Sementara itu, Mahisa Pukat pun telah berusaha untuk
mengatasi kesulitan di dalam dirinya. Tulang-tulangnya
memang terasa retak. Tetapi dengan pemusatan nalar budi,
maka Mahisa Pukat telah berusaha mengatasi keadaannya.
Namun Mahisa Pukat itu menjadi berdebar-debar ketika
ia melihat dua orang y ang berlari-lari k e arahnya justru pada
saat ia masih berusaha memperbaiki keadaannya.
Namun Mahisa Pukat itu m enarik nafas dalam-dalam
ketika ia melihat bahwa dua orang itu adalah dua orang
prajurit Lemah Warah. "Apa y ang terjadi?" bertanya salah seorang diantara
kedua orang prajurit itu.
Mahisa Pukat memandang keduanya dengan tatapan
matanya yang tajam. Dengan nada dalam ia berkata, "Luar
biasa. Ki Buyut mampu meremukkan tubuhku. Mudahmudahan
aku cepat menjadi baik. Apakah kalian mau
membantu?" "Membantu apa?" bertanya prajurit itu.
" Jagalah aku sejenak. Hanya untuk mengatasi perasaan
sakit. Mudah-mudahan aku sempat berbuat sesuatu
kemudian," berkata Mahisa Pukat.
"Silahkan, kami akan tetap di sini," jawab prajurit itu.
Demikianlah, maka Mahisa Pukat pun telah m engatur
pernafasannya. Dipusatkannya nalar budinya dan
disempurnakannya jalan darahnya.
Ia memang tidak memerlukan waktu y ang lama.
Beberapa saat kemudian maka keadaan dirinya menjadi
berangsur baik. Perasaan sakitnya perlahan-lahan bagaikan
terdesak keujung-ujung rambutnya untuk didorong m eloncat
keluar dari tubuhnya. Namun kedua orang prajurit itu menjadi berdebardebar.
Beberapa orang murid Ki Buyut telah berlarian datang
kepada kedua orang prajurit itu.
"Kita lindungi anak muda itu," desis salah seorang
diantara kedua prajurit itu.
Sebenarnyalah beberapa orang telah datang dengan
wajah y ang tegang. Apalagi ketika mereka melihat Ki Buyut
terbaring diam . Dengan kemarahan yang membakar jantung, seorang
diantara mereka berkata lantang, "Apa y ang kalian lakukan di
sini" Dan apa pula yang telah terjadi dengan Ki Buyut?"
Kedua orang prajurit itu tidak menyahut. Namun
mereka telah bersiaga sepenuhnya untuk m enghadapi segala
kemungkinan. Dalam pada itu, para pengikut Ki Buyut itu pun telah
mengepung keduanya. Seorang diantara mereka berkata
lantang, "Jika kedua orang itu tidak mau mengatakan sesuatu,
maka mereka sajalah y ang harus kita bantai di sini. Kemudian
orang yang duduk tepekur itu akan k ita bunuh juga bersama
kedua orang ini. Agaknya anak m uda itu sudah kehilangan
kemampuannya untuk berbuat sesuatu."
Kedua orang prajurit itu masih tetap diam. Namun
senjata mereka telah merunduk, siap untuk m enebas orang
yang bergerak mendekati mereka atau mendekati Mahisa
Pukat.

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena kedua orang itu masih tetap berdiam diri, maka
para pengikut Ki Buyut itu pun telah kehilangan kesabaran
mereka. Sejenak mereka berputaran. Namun sejenak
kemudian, mereka telah mulai meloncat meny erang.
Bagaimanapun juga kedua orang prajurit itu pun
menjadi berdebar-debar. Bukan karena mereka mencemaskan
nasib mereka. Sebagai seorang prajurit, keduanya sudah
menyadari bahwa kemungkinan yang paling buruk itu akan
dapat terjadi atas diri mereka.
Namun keduanya justru mencemaskan nasib Mahisa
Pukat. Kedua orang prajurit itu mengerti, bahwa Mahisa Pukat
adalah seorang anak muda y ang berilmu tinggi. Keduanya
mengagumi anak muda yang dapat mengalahkan Ki Buyut
Bapang itu. Karena itu, adalah say ang sekali, bahwa justru
pada saat ia tidak sempat melawan, maka sekelompok orang
telah membunuhnya. Karena itu, maka kedua orang prajurit itu pun kemudian
telah bertempur dengan segenap kemampuan mereka untuk
mengatasi sekelompok orang yang meny erang itu.
Tetapi ternyata bahwa pekerjaan itu sangat berat bagi
mereka berdua. Semakin lama ujung-ujung senjata
sekelompok orang itu rasa-rasanya menjadi semakin dekat ke
tubuhnya. Namun bagaimanapun juga kedua orang itu telah
bertempur dengan sengitnya.
Pa da saat yang sangat gawat itu Mahisa Pukat selesai
dengan pemusatan nalar budinya untuk memulihkan
kekuatannya. Pernafasannya pun telah berjalan teratur,
sementara urat nadinya terasa telah menjadi pulih kembali.
Meskipun tulang-tulangnya masih terasa ny eri -ny eri sedikit,
tetapi sebagian besar keadaannya telah pulih kembali.
Karena itu, m aka ketika ia membuka matanya, maka ia
pun segera melihat apa yang telah terjadi di sekitarnya. Dua
orang prajurit yang bertempur melawan sekelompok orang
yang tidak dikenalnya, yang tentu para pengikut Ki Buyut atau
Empu Sepada y ang akan m erampas batu itu bahkan dengan
seluruh padepokannya. Karena itu, maka ia pun kemudian bergegas
mempersiapkan dirinya dan berdiri. Dengan lantang ia pun
kemudian berkata, kepada kedua prajurit itu, "Kita bertempur
bersama-sama." Kedua prajurit itu menarik nafas lega. Rasa-rasanya
beban yang terberat telah dapat mereka letakkan. Karena itu ia
tidak lagi merasa sangat tegang menghadapi lawan-lawannya."
Dalam pada itu Mahisa Pukat pun t elah terjun pula ke
arena. Ternyata seperti Mahisa Murti, ia tidak dengan serta
merta mempergunakan ilmu pamungkasny a meskipun ia
harus berhadapan dengan sekelompok orang. Namun dengan
meningkatkan tenaga cadangan di dalam dirinya, maka ia
mampu bergerak sangat cepat. Dengan tangkasnya, tiba-tiba
sa ja ia telah m erampas sebatang tombak bertangkai pendek.
Kemudian dengan tombak itu ia pun telah bertempur dengan
sangat dahsyatnya. Tombak itu telah berputaran dan melanda
sekelompok lawannya itu sebagai angin prahara yang
menakutkan. Demikianlah, maka kedua orang prajurit y ang hampir
sa ja terhimpit oleh kekuatan para pengikut Ki Buyut itu
merasa terbebas dari kematian. Namun belum b erarti bahwa
mereka telah terbebas sama sekali, karena pertempuran masih
terjadi di mana-mana. Namun dalam pada itu, ternyata bahwa prajurit Lemah
Warah dan isi padepokan itu lambat laun mampu mendesak
lawan-lawan mereka. Meskipun orang-orang yang m eny erang
padepokan itu jumlahnya lebih banyak, tetapi t ernyata bahwa
mereka tidak memiliki kemampuan setingkat dengan isi
padepokan itu dan apalagi para prajurit Lemah Warah,
sehingga semakin lama mereka pun menjadi semakin
mengalami kesulitan. Apalagi ketika mereka menyadari bahwa Ki Buyut
Bapang dan Empu Sepada telah tidak berdaya sama sekali.
Bahkan Empu Sepada telah terluka diluar kemauan Mahisa
Murti, Empu Sepada telah m enderita karena tenaganya yang
terhisap habis, sementara itu keadaannya benar-benar telah
menjadi sangat lemah. Para pengikutnya m enyadari bahwa mereka tidak lagi
mempunyai pemimpin y ang dapat mereka banggakan, bahkan
para pengikut Ki Buyut Bapang dan Sempada pun merasa
kesulitan untuk mengatasi mereka y ang juga terbunuh di
peperangan itu. Mereka merasa kehilangan pegangan. Itulah
sebabnya, maka bagi mereka tidak ada jalan lain yang dapat
mereka tempuh daripada berusaha untuk mencari hidup
mereka masing-masing. Itulah sebabnya, maka sejenak kemudian maka para
prajurit Lemah Warah dan seisi padepokan itu telah berhasil
mendesak dan bahkan memecahkan perlawanan para
pengikut Empu Sepada dan Ki Buyut Bapang. Mereka pun
berlarian bercerai berai untuk mencari hidup mereka masingmasing.
Dengan demikian, maka mereka pun telah berlarian
meninggalkan padepokan itu secepat dapat mereka lakukan.
Namun beberapa orang terpaksa mereka tinggalkan.
Bukan saja y ang terluka dan terbunuh di peperangan, tetapi
ada di antara mereka y ang tertangkap dan memang tidak
mempunyai kesempatan untuk melarikan diri.
Ketika mereka y ang meny erah dan tertangkap itu
dikumpulkan, maka di wajah mereka telah m embayang sikap
pasrah. Tidak ada pikiran lain pada mereka kecuali bahwa
mereka harus menjalani hukuman mati. Yang mereka lakukan
kemudian tidak lebih dari berharap agar cara untuk
membunuh mereka adalah cara yang terbaik. Bukan cara yang
pernah dilakukan oleh beberapa orang di antara mereka
terhadap tawanan-tawanan mereka.
Ternyata bahwa isi padepokan itu cukup berhati-hati.
Para tawanan itu telah diikat tangannya dan dibawa ke
pendapa. Kepada mereka diperintahkan untuk duduk berjajar
sal ing membelakangi. "Maaf Ki Sanak," berkata Mahisa Murti, "untuk
sementara kalian terpaksa kami minta untuk bersikap
demikian." Orang-orang itu tidak m enjawab. Tetapi satu diantara
mereka telah mengumpat kasar, meskipun hanya didengarnya
sendiri. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, serta
para Senapati dari Lemah Warah dan pemimpin padepokan
itu telah memimpin langsung pembenahan atas padepokan
yang menjadi berserakkan karena pertempuran. Sementara itu
yang lain tengah sibuk mengumpulkan kawan-kawan m ereka
mau pun lawan yang terluka dan terbunuh dipeperangan.
Empu Sepada ternyata benar-benar telah terbunuh oleh
ilmu Mahisa Murti yang masih muda itu. Nampaknya Empu
Sepada memang m enganggap anak muda itu terlalu rendah
tataran ilmunya, sehingga ia terlambat menyadari apakah yang
sebenarnya dihadapinya. Ketika timbul kesadaran tentang
keny ataan y ang dihadapinya, ia sudah terlambat.
Beberapa orang telah mengangkut tubuh Empu Sepada
itu ke pendapa. Beberapa pengikutnya hampir tidak percaya
bahwa Empu Sepada terbunuh oleh anak y ang m asih muda
itu. Sementara itu tubuh y ang lain pun telah dibawa pula ke
pendapa. Namun ternyata di dalam tubuh itu masih mengalir
nafas. Seorang tua y ang sebay a dengan Empu Sepada.
Seperti para pengikut Empu Sepada, maka para pengikut
Ki Buyut pun hanya dapat m enundukkan kepalanya. Namun
mereka masih mempunyai harapan, bahwa Ki Buyut akan
sembuh dan dapat membantu m ereka berbuat sesuatu, atau
justru Ki Buyut itu adalah orang y ang pertama kali akan
dipenggal kepalanya. "Baginya lebih baik, bahwa ia tidak sadar lagi sampai
saat pemenggalan itu tiba," berkata salah seorang pengikutnya
di dalam hatinya, "atau ia justru mati sebelum sadarkan diri.
Itu jauh lebih baik daripada ia akan menjadi permainan kedua
anak muda itu apabila kelak ia menjadi sadar."
Dengan demikian maka para pengikut Ki Buyut dan
Empu Sepada itu hanya dapat menunggu. Apapun y ang akan
terjadi atas diri mereka.
Namun bagaimanapun juga, jantung mereka pun terasa
berdebaran. Sementara itu, maka orang-orang y ang terluka pun telah
dikumpulkan. Para pengikut Empu Sepada dan pengikut Ki
Buyut dikumpulkan dalam satu barak. Beberapa orang
menjaganya dengan senjata di tangan. Meskipun mereka
terluka, tetapi dalam keadaan tertentu mereka masih
merupakan orang-orang yang berbahaya.
Demikianlah, maka padepokan itu pun kemudian
menjadi sibuk. Bukan sibuknya pertempuran, tetapi ju stru
sebaliknya. Orang -orang yang ada di padepokan itu m enjadi
sibuk merawat akibat perang yang garang.
Beberapa orang y ang dianggap memiliki pengetahuan
tentang pengobatan telah bekerja dengan segenap kemampuan
mereka untuk merawat mereka yang terluka. Bukan hanya
kawan-kawan m ereka saja, tetapi juga para pengikut Empu
Sepada dan Ki Buyut Bapang.
Sebenarnyalah para pengikut Empu Sepada dan Ki
Buyut Bapang merasa heran. Kenapa mereka masih juga
dikumpulkan kemudian dirawat luka-luka mereka.
Namun beberapa orang diantara mereka justru m enjadi
sangat cemas. Mungkin orang-orang padepokan itu dengan
sengaja membuat mereka sembuh atau agak sembuh, agar
mereka mempunyai kepuasan untuk memperlakukan m ereka
menurut kehendak mereka. Sebab jika mereka menghukum
atau membunuh orang yang m emang sudah terluka apalagi
parah, mereka tidak akan mendapat kepuasan karenanya.
Tetapi orang-orang itu memang tidak dapat menentukan
pilihan. Mereka harus menurut saja perlakuan y ang diberikan
kepada mereka. Apapun y ang dilakukan oleh orang-orang
padepokan yang pernah disebut sebagai perguruan Suriantal
itu, mereka tinggal menjalani.
Sementara itu, orang-orang y ang terbunuh pun telah
dikumpulkan pula. Pada dasarnya tubuh-tubuh m embeku itu
juga mendapat perlakuan y ang sama. Tetapi bagaimana pun
juga, orang-orang padepokan itu telah memberikan
penghormatan khusus bagi kawan-kawan mereka yang gugur.
Bahkan termasuk beberapa orang prajurit Lemah Warah.
Semuanya itu mereka selesaikan tanpa mengingat
waktu. Meskipun malam telah turun, namun mereka
menyelesaikan tugas itu. Mereka telah memasang oncor di
beberapa tempat. Juga ditempat mereka menguburkan kawankawan
mereka dan beberapa puluh langkah disebelah lain
adalah orang-orang y ang telah meny erang padepokan mereka.
Sebagaimana jumlah mereka y ang datang berlipat, maka
ternyata korban pun berlipat pula. Orang-orang padepokan
itu, apalagi para prajurit memang memiliki ketrampilan yang
lebih tinggi dari lawan-lawan mereka.
Namun lambat laun, ketika semua kerja telah
diselesaikan, padepokan itu mulai menjadi lengang. Para
penghuni padepokan itu pun kemudian tinggal merasakan
kelelahan yang sangat mencengkam tubuh mereka.
Tetapi semua kerja sudah selesai. Mereka tidak mau
menunda, karena mereka menyadari, jika ada kerja yang
tersisa, maka mereka akan menjadi sangat malas untuk
memulainya kembali. Karena itu, maka mereka telah meny elesaikan tugastugas
mereka sehingga mereka dapat beristirahat tanpa
terganggu ke-' cuali yang bertugas berjaga-jaga. Baik yang
bertugas di dinding-dinding padepokan, di regol y ang rusak,
maupun mereka yang mengawasi para tawanan.
Sementara itu, y ang lain benar-benar beristirahat
sepenuhnya. Mereka begitu saja menjatuhkan dirinya dan
tidur ny enyak. Jarang di antara mereka y ang sempat
membersihkan dirinya dari keringat dan debu.
Namun ada juga di antara mereka yang sibuk di dapur.
Setelah kerja keras, maka perut pun terasa menjadi sangat
lapar. Demikian perut mereka merasa keny ang, maka m ereka
pun mendengkur seperti tidak akan mempunyai keinginan
untuk bangun lagi. Dalam keadaan y ang demikian, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat tetap dalam keadaan siaga lahir maupun batin.
Apalagi nereka menyadari, bahwa pada suatu saat Ki Buyut itu
akan menjadi baik lagi dan mungkin akan melakukan satu
perbuatan y ang dapat merugikan mereka.
Karena itu, m aka di antara m ereka yang harus diawasi,
yang paling banyak mendapat perhatian adalah Ki Buyut
Bapang. Namun nampaknya keadaannya memang cukup
parah. Meskipun orang y ang dianggap memiliki pengetahuan
tentang obat -obatan sudah bekerja keras, tetapi ternyata
bahwa orang itu masih juga belum sadarkan diri.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian
telah membagi tugas. Di malam yang tersisa, maka
sebagaimana para prajurit Lemah Warah dan para penghuni
padepokan, maka keduanya telah menentukan untuk
beristirahat bergantian. Seandainya mereka tidak lagi sempat
tidur, setidak-tidaknya m ereka sempat membaringkan tubuh
mereka y ang memang terlalu penat. Apalagi Mahisa Pukat,
yang tulang-tulangnya serasa menjadi retak.
Karena itu, maka Mahisa Murti telah memberikan
kesempatan kepada Mahisa Pukat untuk beristirahat lebih
dahulu, sementara itu, ia berada diantara para petugas yang
mengawasi para tawanan di pendapa.
Ternyata ketika padepokan itu tidak lagi terasa sangat
kisruh, maka ikatan pada tangan para tawanan itu pun telah
dilepas. Namun itu berarti bahwa para petugas harus benarbenar
mengawasi mereka sebaik-baiknya. Di antara para
petugas itu adalah Mahisa Murti. Justru karena di antara para
tawanan itu terdapat Ki Buyut Bapang.
Dengan demikian maka para tawanan itu pun telah
mendapat kesempatan untuk berbaring di atas tikar di
pendapa itu. Bagaimanapun juga mereka juga merasa sangat
lelah. Tetapi karena tekanan perasaan maka mereka tidak
mudah untuk dapat tidur ny enyak. Sesaat-sesaat saja m ereka
lelap oleh kelelahan. Tetapi mereka pun segera terbangun
kembali. Jika mereka lelap lagi sejenak, maka mereka pun


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan segera terbangun lagi.
Di hari berikutnya, maka segala sesuatunya mulai diakui
menjadi lebih baik. Para tawanan telah dimasukkan ke dalam
satu barak yang telah dipersiapkan lebih dahulu.
Namun dalam pada itu, Ki Buyut Bapang pun telah
mendapat tempat yang khusus. Perlahan-lahan keadaan Ki
Buyut itu berangsur baik. Ketika ia sadar, maka ia pun telah
mengumpat kasar. Apalagi ketika ia melihat Mahisa Pukat
mendekatinya. "Anak setan kau," berkata Ki Buyut, "ilmu iblis itu telah
kau pergunakan untuk melawan aku."
" Jika ilmu itu kau sebut ilmu iblis, lalu apakah nama
ilmumu yang mampu membuat tubuhmu sekeras batu?"
bertanya Mahisa Pukat. "Persetan," geram Ki Buyut, "jika aku mendapat
kesempatan sekali lagi melawanmu dan tahu pasti, bahwa kau
memiliki ilmu iblis itu, maka aku tentu akan mempergunakan
kemampuanku untuk menghancurkanmu."
"Tidak ada gunanya Ki Buyut," berkata Mahisa Pukat,
"aku sudah mengalahkanmu. Kau tidak akan dapat berbuat
apapun juga." "Pada saatnya aku akan bangkit, dan kau akan
menyesal. Kecuali jika dengan penuh ketakutan kau bunuh
aku sekarang," berkata Ki Buyut.
Mahisa Pukat justru t ertawa. Katanya, "jangan anehaneh
Ki Buyut. Meny erahlah kepada nasib dan kau harus
mengakui kenyataan yang terjadi atas dirimu."
Ki Buyut menggeretakkan giginy a. Namun tubuhnya
memang masih sangat lemah. Hanya tiba-tiba saja ia bertanya,
"Di mana Empu Sepada" Jika ia sempat menghindar dari
medan, maka ia akan datang lagi dengan kekuatan y ang jauh
lebih besar dari y ang pernah dibawanya."
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya, "Maaf Ki Buyut. Aku terpaksa
mengatakannya. Empu Sepada terbunuh di medan."
Wajah Ki Buyut berkerut. Nampak perasaannya menjadi
tegang. Tetapi kemudian katanya, "jangan kelabui aku seperti
anak-anak." "Kenapa?" bertanya Mahisa Pukat, "untuk apa aku
harus berbohong" Bukankah wajar, bahwa seseorang mati di
medan perang dalam pertempuran y ang seru?"
"Tetapi tidak Empu Sepada," jawab Ki Buyut Bapang,
" Ia tidak akan mati di sini."
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Dengan nada
datar ia berkata, "Kenapa Empu Sepada tidak akan mati di
sini?" "Tidak ada orang y ang mampu membunuhnya," berkata
Ki Buyut Bapang. "Empu Sepada bukan orang y ang berilmu tinggi," jawab
Mahisa Pukat, "ternyata keny ataan tentang dirinya dan
namanya berjarak terlalu jauh. Namanya y ang besar sama
sekali tidak didukung oleh kemampuannya."
"Tidak," Ki Buyut y ang lemah itu membentak, "ia
berilmu tinggi. Kemampuannya tidak berada di bawah
kemampuanku. Aku mengenalnya dengan baik."
" Jadi kemampuannya setingkat dengan
kemampuanmu?" bertanya Mahisa Pukat.
"Ya," jawab Ki Buyut pendek.
"Karena itukah ia tidak akan mati di sini?" bertanya
Mahisa Pukat pula. "Ya. Ia akan m ampu menggulung padepokan ini jika ia
mau," geram Ki Buyut.
" Jika kemampuannya seimbang dengan kemampuan Ki
Buyut, bagaimana dengan Ki Buyut sendiri?" bertanya Mahisa
Pukat. Wajah Ki Buyut menegang. Katanya, "Gila. Aku pun
akan mampu menggulung padepokan ini nanti jika
kekuatanku sudah pulih kembali. Kita akan berhadapan lagi,
setelah aku menyadari bahwa kau memiliki ilmu iblis. Karena
itu, maka aku akan mampu menghancurkan ilmu iblismu itu."
Mahisa Pukat menggeleng. Katanya, "Tidak Ki Buyut.
Kau tidak akan m ampu m engalahkan aku dengan jenis ilmu
apapun. Kau kira disamping ilmuku yang mampu m enghisap
tenagamu itu, aku tidak mempunyai landasan ilmu y ang lain?"
"Persetan," Ki Buyut itu hampir berteriak, "mari kita
lihat." Ki Buyut itu berusaha untuk bangkit. Tetapi tenaganya
masih lemah sekali. Bahkan dadanya terasa semakin sesak dan
pedih. "Umurmu sudah mencapai tataran pengendapan. Tetapi
kau masih mudah dibakar oleh perasaanmu," berkata Mahisa
Pukat, "sebenarnya kau mau apa?"
Ki Buyut itu menggeram. Tubuhnya yang lemah itu telah
terbaring lagi di pembaringannya. Rasa-rasanya ju stru
menjadi semakin lemah. "Sudahlah," berkata Mahisa Pukat, "berbaringlah
dengan tenang." Ki Buyut tidak menjawab. Tetapi ia pun telah
mengumpat kasar. Dalam pada itu, di seluruh padepokan itu, para
penghuninya tengah sibuk memperbaiki kerusakan-kerusakan
yang terjadi setelah pertempuran itu. Beberapa orang telah
memperbaiki pagar di sekitar batu y ang berwarna kehijauan
itu. Yang lain memperbaiki bagian-bagian dinding y ang rusak,
sementara beberapa orang telah membuat pintu gerbang yang
baru untuk nenggantikan pintu gerbang yang telah dirusakkan
oleh Ki Buyut Bapang. Bukan hanya selaraknya yang patah, tetapi daun
pintunya yang besar dan kuat itu pun telah pecah pula.
Dengan demikian, m aka di padepokan itu telah terjadi
kesibukan y ang lain dari kesibukan perang y ang meny ita
banyak kerugian. Bukan saja harta benda dan perlengkapan
yang ada di padepokan itu, tetapi juga korban jiwa.
Namun dalam pada itu, lima orang berkuda telah
mendekati padepokan itu. Lima orang yang membawa
pertanda keprajuritan Lemah Warah. Mereka memakai
pertanda y ang lengkap sehingga justru m enunjukkan bahwa
mereka adalah dalam tugas keprajuritannya. Siapa yang berani
mengganggu mereka, berarti akan berhadapan dengan
Pakuwon Lemah Warah. Beberapa saat kemudian, maka kelima orang prajurit itu
menjadi semakin dekat. Meskipun kuda m ereka tidak dapat
berlari kencang karena jalan y ang sulit di beberapa bagian,
namun berkuda m ereka m enempuh jarak dari Lemah Warah
ke padepokan Suriantal itu lebih cepat dari perjalanan
pasukan yang tidak berkuda.
Kedatangan kelima orang prajurit itu memang
mengejutkan. Ketika para petugas y ang mengawasi keadaan di
luar dinding padepokan melihat lima orang berkuda, maka
mereka-pun segera memberikan isyarat.
Pemimpin padepokan itu pun segera menghubungi
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta para Senapati prajurit
Lemah Warah. Namun ketika mereka naik ke atas panggung,
pada dinding padepokan ternyata bahwa mereka telah melihat
kelima orang berkuda itu adalah prajurit Lemah Warah.
Dengan serta merta para Senapati Lemah Warah y ang
telah berada di padepokan itu pun telah meny ongsong mereka
Pintu yang dibangun untuk sementara itu pun telah dibuka.
Kelima orang prajurit itu pun kemudian diper silahkan
memasuki padepokan. Seorang Senapati yang memimpin
kelima orang itu, berdesis, "Sesuatu agaknya telah terjadi."
"Ya," jawab salah seorang Senapati y ang sudah ada di
padepokan itu. "Perang," desis Senapati yang baru datang.
"Ya," jawab Senapati y ang datang terdahulu.
Kelima orang prajurit yang baru datang itu menganggukangguk.
Ketika mereka sudah naik ke pendapa, maka merekapun
telah bertemu pula dengan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Dengan singkat kelima orang prajurit itu mendengarkan
laporan tentang peri stiwa yang telah terjadi. Baru kemudian
Senapati y ang baru datang itu berkata, "Aku memang
mendapat tugas untuk melihat, apa yang telah terjadi.
Seharusnya pasukan y ang diganti dengan pasukan yang baru
sudah kembali ke Lemah Warah. Akuwu memang menjadi
cemas, bahwa sesuatu telah terjadi di sini. Dan ternyata
dugaan itu benar. Di sini telah terjadi perang yang sengit."
"Ya. Untunglah bahwa segalanya telah lewat. Yang Maha
Agung masih melindungi padepokan ini." sahut Mahisa Murti.
Para prajurit itu mengangguk-angguk. Tetapi sebagai
prajurit yang berpengalaman, maka m ereka dapat membaca
apa yang telah terjadi di padepokan itu. Kerusakan pada
beberapa bagian dan terutama pada pintu gerbang,
menunjukkan, bahwa kekuatan y ang besar telah melanda
padepokan itu. Namun kelima orang prajurit itu juga
mengetahui, bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah
anak-anak muda yang memiliki ilmu y ang tinggi. Adalah
jarang sekali bahwa anak muda seumur mereka telah
menyimpan ilmu di dalam dirinya sebagaimana kedua anak
muda itu. "Syukurlah jika semuanya telah teratasi," berkata
Senapati yang datang berlima itu, "Akuwu memang
mencemaskan kemungkinan sebagaimana telah terjadi."
"Kemungkinan seperti ini masih dapat terjadi lagi,"
berkata Mahisa Murti, "tetapi kita akan selalu siap."
" Jika kami kembali ke Lemah Warah, maka segala
sesuatunya akan kami laporkan," berkata Senapati itu.
"Tetapi apakah satu di antara kedua kelompok pa sukan
yang ada di sini harus kembali?" bertanya Mahisa Murti.
"Tidak tergesa -gesa," berkata Senapati itu, "jika keadaan
di sini sebagaimana y ang aku l ihat, maka pasukan itu masih
diperlukan di sini."
"Bagaimana dengan mereka y ang sudah terlalu lama
bertugas di sini?" bertanya Mahisa Murti.
"Sebenarnya mereka belum terhitung terlalu lama
bertugas di padepokan ini. Tetapi biarlah aku mohon Akuwu
mengirimkan sekelompok pa sukan baru untuk m enggantikan
kelompok y ang sudah terdahulu berada di sini," jawab
Senapati itu. "Batu itu," berkata Mahisa Pukat kemudian,
"nampaknya memang masih akan mengundang orang-orang
baru. Tetapi batu itu tidak akan kita lepaskan."
"Ya," jawab Senapati itu, "agaknya Akuwu pernah
menyinggungnya." "Yang menjadi per soalan kemudian adalah, kami berdua
memerlukan waktu untuk mencari seorang atau dua orang
pemahat yang baik untuk membentuk batu itu menjadi sebuah
patung," berkata Mahisa Pukat.
"Baiklah," berkata Senapati itu, "jika besok kami
kembali, m aka hal itu akan kami sampaikan kepada Akuwu.
Mungkin Akuwu dapat memberikan jalan sehingga kalian
akan mendapat kesempatan untuk itu."
"Terima kasih," berkata Mahisa Murti, "kami
memerlukan waktu barang satu bulan untuk menghubungi
seorang pemahat. Aku belum tahu, siapakah yang dapat dan
sanggup melakukannya di tempat yang terpencil ini. Seorang
pemahat y ang biasa hidup di tempat y ang ramai, agaknya
harus berpikir ulang untuk bersedia datang ke tempat ini.
Bukan saja karena tempat ini sepi dan terpencil, namun
tempat ini akan selalu menjadi sasaran orang-orang yang
menginginkan batu itu pula."
Senapati itu mengangguk-angguk. Katanya, "mudahmudahan
Akuwu dapat memberikan jalan y ang paling baik
yang dapat kita tempuh."
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Agaknya
mereka benar-benar mengharapkan kesempatan itu.
Sementara itu mereka sempat melaporkah pula tentang Ki
Buyut Bapang y ang dalam keadaan lemah.
"Tetapi jika keadaannya menjadi baik, maka ia
merupakan orang y ang berbahaya," berkata Mahisa Murti.
Senapati itu mengangguk-angguk. Katanya, "Kita
serahkan saja kepada Akuwu. Seperti orang y ang terdahulu,
maka ia telah kehilangan sebagian besar dari ilmunya.
Mungkin Akuwu dapat atau mempertimbangkan untuk
berbuat demikian jika orang itu memang tidak mungkin lagi
diharapkan untuk menjadi seorang yang baik."
" Jadi, apakah menurut pertimbangan Ki Sanak, Ki
Buyut sebaiknya dibawa ke Pakuwon Lemah Warah?" bertanya
Mahisa Pukat. "Sebaiknya demikian. Jika ia tetap berada di sini, maka
seisi padepokan ini akan mengalami kesulitan untuk tetap
menahannya. Apapun y ang akan dilakukan oleh Akuwu,
terserahlah kepadanya," berkata Senapati itu.
"Kami akan menunggu," berkata Mahisa Pukat.
"Besok kami akan kembali. Akuwu menunggu laporan
kami, karena selama ini Akuwu memang merasa gelisah,"
berkata Senapati itu, "di Lemah Warah, aku akan sempat
melaporkan semuanya, termasuk Ki Buyut Bapang."
Demikianlah kelima orang prajurit itu tetap berada di
padepokan sampai hari berikutnya. Mereka sempat tinggal di
padepokan itu dan m erasakan betapa sepinya di malam hari.
Meskipun demikian panasnya peperangan masih membekas di
padepokan itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan tetap menunggu di
padepokan itu sampai saatnya Akuwu memberikan jalan
kepada mereka untuk meninggalkan padepokan itu barang
sebulan. Seperti yang direncanakan maka di hari berikutnya
kelima orang prajurit itu telah meninggalkan padepokan
Suriantal kembali ke Lemah Warah. Mereka telah m embawa
beberapa persoalan y ang harus segera mereka sampaikan
kepada Akuwu Lemah Warah.
Beberapa saat sebelum berangkat, mereka sempat
bertemu dengan Ki Buyut Bapang. Agaknya Ki Buyut pun
seorang y ang keras kepala seperti tawanan sebelumnya.
Dengan demikian, maka Senapati y ang memimpin kawankawannya
y ang sekelompok kecil itu berdesis, "Sebaiknya ia
mengalami perlakuan seperti orang y ang terdahulu. Orang
seperti Ki Buyut ini memang tidak akan mungkin dapat
dirubah lagi."

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tetapi ia adalah seorang Buyut," berkata Mahisa Murti,
"ia memerintah satu daerah tertentu. Kabuyutan Bapang."
"Apalagi ia seorang Buyut," berkata Senapati itu,
"Namun Bapang tidak termasuk Pakuwon Lemah Warah."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Namun mereka masih juga m emperhitungkan kemungkinankemungkinan
lain y ang dapat terjadi.
Dengan nada datar Mahisa Murti berkata, "Tetapi,
karena Ki Buyut Bapang adalah seorang pemimpin dari satu
lingkungan, apakah persoalannya tidak akan mekar"
Permusuhan ini akan menjadi permusuhan antara Kabuyutan
Bapang dengan padepokan ini. Sementara itu apakah Ki Buyut
tidak akan meny eret lingkungan y ang lebih luas untuk
melibatkan diri dalam per soalan ini" Jika demikian maka
Akuwu Lemah Warah akan dapat bermusuhan dengan Akuwu
yang memerintah daerah Bapang."
Tetapi Senapati itu menggeleng. Katanya, "Mudahmudahan
tidak. Akuwu y ang memerintah Ki Buyut Bapang
tentu mempunyai kebijak sanaan. Mungkin ia justru akan
menghukum Ki Buyut y ang telah meny impang dari jalan yang
benar itu." " Jika Akuwu mendengar keny ataan tentang Ki Buyut
itu," sahut Mahisa Pukat.
"Adalah menjadi kewajibannya untuk mengetahui
persoalan yang sebenarnya itu, "jawab Senapati itu.
Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
menjadi semakin tenang menghadapi kemungkinankemungkinan
buruk y ang berkem bang karena keterlibatan Ki
Buyut di Bapang. Namun demikian, keduanya harus bertanggung jawab
jika terjadi sesuatu kemudian. Seandainya di luarperhitungnan
mereka, Akuwu y ang memerintah Ki Buyut Bapang
melibatkan diri, m aka apapun y ang terjadi, kedua anak muda
itu tidak akan ingkar. Dalam pada itu kelima orang prajurit Lemah Warah itupun
telah m enempuh perjalanan kembali ke Lemah Warah.
Jalan yang mereka tempuh bukan jalan y ang lapang. Tetapi
kuda kuda mereka kadang-kadang harus justru dituntun
melintasi jalan setapak yang sulit.
Tetapi bagaimanapun juga perjalanan berkuda itu
menjadi lebih cepat dari pada jika mereka berjalan kaki.
Demikianlah, ketika m ereka kemudian t elah sampai ke
Pakuwon Lemah Warah, setelah perjalanan yang berat dan
panjang maka m ereka mendapat kesempatan pertama untuk
menghadap Akuwu, agar mereka segera dapat beristirahat.
Senapati y ang m emimpin kelompok kecil itu pun telah
memberikan laporan terperinci tentang padepokan Suriantai
sehingga sekelompok pasukan Lemah Warah y ang seharusnya
kembali, terpaksa t ertahan di padepokan itu untuk beberapa
lama. Senapati itu juga sempat menyampaikan keinginan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk meninggalkan
padepokan itu untuk kira-kira sebulan untuk dapat
berhubungan dengan seorang pemahat yang baik dan yang
bersedia untuk tinggal di padepokan itu.
Akuwu Lemah Warah yang mendengar laporan itu
mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, "Kedua
anak muda itu tidak sampai hati meninggalkan padepokan itu.
Keduanya merasa bahwa keduanya bertanggung jawab atas
padepokan itu. Apalagi setelah m ereka membawa batu yang
kehijauan itu ke padepokan. Dengan demikian mereka telah
terikat oleh padepokan itu. Sehingga mereka tidak sempat
berbuat yang lain." "Hamba Akuwu. Mereka selalu dibay angi oleh
kemungkinan-kemungkinan buruk, bahwa seseorang atau
sekelompok orang datang untuk mengambil batu itu. Mereka
bukan saja cemas kehilangan batu itu. tetapi mereka juga
memikirkan nasib orang -orang yang tinggal di padepokan itu,"
jawab Senapati itu. Akuwu Lemah Warah itu pun mengangguk-angguk. Lalu
katanya, "Baiklah. Kita akan memikirkannya. Kita akan
mengambil jalan y ang paling baik untuk memberinya
kesempatan pergi barang sebulan untuk menghubungi seorang
pemahat atau lebih."
"Apakah kita akan mengirimkan pasukan yang kuat
untuk melindungi padepokan itu?" bertanya Senapati itu,
"Mahisa Murti dan Mahisa Pukat juga mencemaskan
kemungkinan ikut campurnya Pakuwon yang memerintah Ki
Buyut di Bapang." Akuwu Lemah Warah mengerutkan keningnya. Namun
ia -pun kemudian tersenyum sambil berkata, "Tentu tidak.
Seandainya ada seorang Buyut di lingkungan Pakuwon Lemah
Warah ada y ang berbuat seperti Ki Buyut Bapang, maka aku
kira aku tidak akan melindunginya."
"Tetapi jika Akuwu itu tidak mengetahui latar belakang
dari tingkah lakunya" Memang di antara pengikutnya terdapat
orang-orang Bapang. Namun belum tentu bahwa rahasia
kehidupannya yang kelam itu diketahui oleh Akuwu," jawab
Senapati itu. Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk. Katanya,
"Memang banyak kemungkinan dapat terjadi. Tetapi biarlah
kita m emikirkan cara itu, sehingga Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat dapat dengan tenang meninggalkan padepokan itu dan
kembali bersama seorang pemahat y ang baik."
"Semuanya terserah kepada Akuwu," jawab Senapati itu.
Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk. Namun
tiba -tiba saja ia bergumam, "Aku pun telah pernah tinggal di
sekitar padepokan itu untuk waktu y ang lama. Karena itu, apa
salahnya jika aku berada di padepokan itu untuk sebulan lagi."
Senapati itu mengerutkan keningnya. Dengan ragu ia
bertanya, "Lalu, bagaimana dengan pemerintahan di Pakuwon
ini?" "Bagaimana dengan saat aku pergi dahulu" " justru
Akuwu pun bertanya pula. Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
mengenal sifat Akuwunya. Sehingga karena itu maka katanya,
"Semuanya terserah kepada Akuwu."
" Jika aku berada di padepokan itu sementara Akuwu
yang memerintah meliputi Bapang itu akan mengambil
langkah-langkah penting, aku dapat berbicara dengannya. Aku
kira Bapang termasuk daerah Pakuwon Sangling."
Senapati itu tidak menjawab Akuwu Lemah Warah
memang pernah meninggalkan Pakuwon itu untuk waktu yang
cukup lama, karena Akuwu Lemah Warah mengemban tugas
dari Sri Baginda di Kediri melalui Pangeran Singa Narpada
untuk menyelesaikan padepokan Suriantal bersama dua orang
anak muda y ang juga dikirim oleh Pangeran Singa Narpada
langsung dari Kediri tanpa saling mengenal lebih dahulu.
Namun demikian Akuwu Lemah Warah itu masih juga
berkata, "Tetapi aku tidak mengambil keputusan sekarang.
Besok aku akan berbicara dengan para pemimpin Pakuwon
ini." Senapati itu pun kemudian telah mohon diri.
Bagaimanapun juga setelah m elakukan perjalanan y ang lama
dan berat, mereka menjadi letih, sehingga mereka
memerlukan waktu untuk beristirahat.
Demikianlah, maka Akuwu Lemah Warah telah
merenungkan laporan Senapati itu. Namun semakin dalam ia
merenunginya, maka keinginannya untuk pergi ke padepokan
itu m enjadi semakin besar. Apalagi jika ia mengingat Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat yang pernah diakunya sebagai
kemenakannya. Kedua anak muda itu benar-benar sangat
menarik baginya, sehingga keduanya benar-benar
diperlakukan sebagai kemenakannya sendiri.
Di hari berikutnya Akuwu telah memanggil para
pemimpin Lemah Warah. Diutarakannya niatnya untuk
meninggalkan Lemah Warah dan berada di sebuah padepokan
terpencil untuk waktu y ang tidak terlalu lama.
"Sekitar dua bulan saja," berkata Akuwu Lemah Warah.
Para pemimpin Lemah Warah y ang sudah mengenal
watak dan sifat Akuwu, serta hubungan Akuwu dengan Kediri
dan Padepokan Suriantal tidak m encegah keinginan Akuwu.
Namun yang penting mereka bicarakan, apa y ang harus
mereka lakukan di Lemah Warah sendiri sepeninggal Akuwu.
Namun ternyata tidak t erlalu sulit untuk menemukan
pemecahannya, karena hal seperti itu pernah terjadi
sebelumnya. "Aku akan segera berangkat," berkata Akuwu.
"Berapakah hamba harus meny iapkan pasukan?"
bertanya Panglima prajurit dan pengawal Lemah Warah.
"Aku hanya memerlukan pasukan pengawal khusus,"
jawab Akuwu, "mereka akan meny ertai aku."
"Hamba Akuwu," sembah Panglima itu, "hamba akan
memerintahkan Panglima pasukan pengawal khusus itu."
" Ia pernah pergi ke padepokan itu pula," berkata
Akuwu. Demikianlah maka di hari berikutnya, sepa sukan
prajurit pengawal khusus telah disiapkan, sementara Akuwu
berbenah diri. Sebelum Akuwu meninggalkan istana, maka ia
pun telah menyampaikan beberapa pesan khusus. Juga
tentang pengawasan para tawanan.
"Aku tidak akan pergi terlalu lama sebagaimana pernah
aku lakukan," berkata Akuwu.
Ketika segalanya telah disiapkan, maka Akuwu pun siap
pula untuk berangkat. Di pagi hari, sebelum matahari terbit, maka sepa sukan
pasukan pengawal khusus Lemah Warah telah siap. Beberapa
saat kemudian, maka Akuwu pun telah siap pula berangkat.
Sebagian dari pasukan itu memang berkuda. Tetapi hanya
sebagian kecil saja. Yang lain m enempuh perjalanan dengan
berjalan kaki m eskipun mereka harus menempuh perjalanan
di malam hari atau bermalam di perjalanan.
Namun mereka adalah prajurit yang terlatih.
Sebagaimana juga Akuwu sendiri, maka perjalanan y ang berat
dan panjang itu bukannya masalah bagi mereka.
Pa da saatnya, maka iring-iringan itu telah mendekati
padepokan Lemah Warah. Kehadiran iring-iringan itu benarbenar
mengejutkan bagi seisi padepokan. Ketika para petugas
di dinding padepokan memberikan isy arat, maka dengan serta
merta, para pemimpin padepokan itu telah naik ke atas
panggungan di sebelah menyebelah pintu gerbang.
"Akuwu," Mahisa Murti hampir berteriak.
"Buka pintu gerbang," Mahisa Pukat lah yang benarbenar
berteriak. Pintu gerbang y ang sudah diperbaiki itu pun kemudian
telah dibuka. Iring-iringan dari Lemah Warah itu pun telah
memasuki padeookan Suriantal, disambut oleh Mahisa Murti.
Mahisa Pukat dan para Senapati prajurit Lemah Warah yang
berada di padepokan itu serta pemimpin padepokan itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang muda itu, tiba -tiba
menjadi sangat gembira, seolah-olah benar-benar paman
mereka telah datang. Hari itu padepokan Suriantal m enjadi sangat gembira.
Kedatangan Akuwu Lemah Warah rasa-rasanya telah
menitikkan embun di teriknya m atahari. Dalam kegelisahan,
ketidak pastian bahwa rencana Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat untuk menghubungi seorang pemahat dapat terujut
serta keragu-raguan y ang lain, maka Akuwu telah datang.
Namun mereka tidak segera membicarakan masalahmasalah
y ang penting bagi padepokan itu. Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat ingin mempersilahkan tamunya untuk
beristirahat. Akuwu pun tidak tergesa -gesa, ia tanggap akan
keinginan kedua orang anak m uda itu, sehingga Akuwu pun
tidak dengan serta merta mengatakan kepentingannya datang
ke padepokan itu. Tetapi agaknya semua pihak sudah dapat menduga,
apakah sebenarnya keinginan Akuwu. Apalagi Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat sendiri.
Setelah beristirahat, maka Akuwu telah melihat-lihat isi
padepokan itu. terutama batu y ang berwarna kehijauan itu. Di
sekitar batu itu telah dibuat pagar y ang baru setelah pagar
yang lama rusak pada saat peperangan terjadi di padepokan
itu. Meskipun di sana-sini telah dibenahi, namun Akuwu
masih m elihat bekas-bekas dari pertempuran y ang seru itu.
Sehingga serba sedikit Akuwu dapat membayangkan apa yang
telah terjadi. "Kau simpan Ki Buyut itu?" bertanya Akuwu kepada
Mahisa Murti. "Ya Akuwu," jawab Mahisa Murti, "keadaannya sudah
membaik. Setiap kali kami masih harus mengurangi
memperlemah kekuatannya yang tumbuh kembali."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun sempat
menceriterakan apa yang dapat dilakukan oleh Ki Buyut itu,
sehingga mereka harus memperlakukannya secara khusus.
"Tanpa perlakuan demikian, maka kami berdua terikat
sekali pada bilik Ki Buyut itu," berkata Mahisa Pukat.
Akuwu pun tertawa. Sambil mengangguk-angguk ia
berkata, "Aku mengerti. Tetapi apakah aku dapat
menemuinya?" "Silahkan Akuwu. Orang itu akan menyadari
kekecilannya jika ia bertemu dengan Akuwu," berkata Mahisa
Murti. " Jika Ki Buyut itu belum mengenal aku, maka aku kira
ia tidak mempunyai tanggapan apapun atasku" berkata
Akuwu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Apalagi jika mereka mengingat kesombongan Ki Buyut itu
sehingga agaknya ia akan bersikap sombong pula dihadapan
Akuwu. Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat pun telah membawa Akuwu Lemah Warah itu ke sebuah
bilik khusus. Ketika m ereka membuka pintu bilik itu, m aka
mereka melihat seorang y ang duduk terpekur. Kehadiran
orang-orang itu sama sekali tidak menarik perhatiannya.
Bahkan berpaling-pun Ki Buyut itu merasa segan.
"Ki Buyut," panggil Mahisa Murti y ang sudah berada di
dalam bilik itu pula, sementara Mahisa Pukat dan Akuwu
masih berdiri di pintu. Ki Buyut sama sekali tidak berpaling, la masih tetap


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

duduk tepekur di atas amben bambu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
dipersilahkannya Akuwu untuk masuk pula ke dalam bilik itu
diikuti oleh Mahisa Pukat.
"Aku ingin mempekenalkan diri Ki Buyut," berkata
Akuwu Lemah Warah. Ki Buyut itu menarik nafas dalam-dalam. Perlahanlahan
ia pun telah berpaling. Dilihatnya Mahisa Murti berdiri
bersilang tangan di dada. Kemudian seorang lagi y ang sangat
dibencinya. Mahisa Pukat. Namun kemudian dilihatnya
seorang y ang lain y ang tidak dilihatnya sebelumnya.
"Kau," tiba -tiba Akuwu Lemah Warah itu berdesis.
Ki Buyut Bapang itu mengerutkan keningnya. Namun
kemudian desisnya, "Apakah benar aku telah bertemu dengan
Akuwu Lemah Warah?" "Ya," jawab Akuwu Lemah Warah, "aku memang Akuwu
Lemah Warah. Jadi kaulah agaknya y ang telah meny ebut
dirimu Buyut di Bapang itu?"
"Ampun Akuwu," tiba-tiba saja Ki Buyut itu turun dari
amben bambu dan berjongkok sambil berdesis lemah, "hamba
memang telah menjadi Buyut di Bapang."
"Satu jabatan y ang baik bagimu he?" bertanya Akuwu
Lemah Warah, "bagaimana mungkin kau dapat menjadi Buyut
di Bapang?" "Satu perjalanan yang panjang. Tetapi hamba memang
telah menjadi Buyut di Bapang," jawab Ki Buyut.
"Apakah benar Bapang termasuk daerah Sangling?"
bertanya Akuwu. Ternyata Ki Buyut menjadi ragu-ragu. Namun keraguraguan
itu telah memastikan bagi Akuwu Lemah Warah,
bahwa Kabuyutan Bapang itu termasuk lingkungan Pakuwon
Sangling. Karena itu, maka Akuwu itu pun berkata, "Ki Buyut, aku
dapat mengambil beberapa langkah untuk menyelesaikan
persoalanmu. Aku dapat m enghubungi Akuwu Sangling atau
aku dapat bertindak sendiri atasmu, karena kau pernah berada
di Pakuwon Lemah Warah."
Ki Buyut itu menundukkan kepalanya. Dengan nada
berat ia berkata, "Hamba mohon ampun Sang Akuwu. Hamba
tidak tahu, bahwa Akuwu akan datang ke tempat ini."
"Mustahil," berkata Akuwu, "kau tentu tahu, bahwa aku
pernah memecahkan perlawanan orang-orang Suriantal dan
beberapa perguruan y ang ada di padepokan ini belum lama
berselang." "Hamba memang mendengarnya Akuwu," jawab Ki
Buyut, "tetapi hamba tidak mengira, bahwa demikian erat
hubungan Akuwu dengan padepokan ini, sehingga pada satu
saat Akuwu telah kembali lagi ke padepokan ini. Apalagi
setelah beberapa waktu y ang lalu, beberapa pihak menganggap
bahwa padepokan ini merupakan lingkungna y ang tidak ada
pemiliknya." "Kau tidak usah mengada-ada," berkata Akuwu,
"bagaimanapun juga agar tidak timbul salah paham, maka aku
harus berhubungan dengan Akuwu Sangling. Aku akan
mengatakan bahwa seorang Buyut di wilayahnya telah berada
di padepokan ini." " Jangan Akuwu," minta Ki Buyut, "dengan demikian
maka hamba akan kehilangan semuanya."
Akuwu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ki Buyut.
Kau adalah seorang y ang memiliki ilmu y ang tinggi. Tetapi
ternyata sejak semula kau telah menyalah gunakan ilmumu
itu. Bahkan setelah kau mendapat kedudukan y ang baik
sebagai Buyut di Bapang. Kau m asih saja hidup dalam dunia
gelapmu itu. Adalah kebetulan sekali bahwa kau telah bertemu
dengan kedua kemenakanku, sehingga mereka dapat
mengatasi semua. Seandainya kedua kemenakanku itu tidak
ada di sini, apakah yang kira-kira akan kau lakukan?"
"Hamba sama sekali tidak tertarik kepada padepokan
ini. Jetapi batu itu m emang sangat hamba kagumi," jawab Ki
Buyut. Akuwu Lemah Warah menarik nafas dalam-dalam.
Sementara itu Ki Buyut masih berkata, "Tetapi sebenarnya
hamba tidak akan terlibat langsung dalam persoalan ini
seandainya Empu Sepada tidak memaksa hamba untuk
menyertai orang-orang hamba."
"Langsung atau tidak langsung tidak banyak bedanya Ki
Buyut. Sebenarnya sekarang aku mendapat kesempatan
menyelesaikan per soalan y ang terjadi di Lemah Warah itu,
karena memang sudah lama orang-orang Lemah Warah
mencarimu," berkata Akuwu.
"Ampun Akuwu. Hamba sudah merasa ber salah. Hamba
tidak pernah mengulangi kesalahan hamba. Sementam itu
hamba memilih untuk meninggalkan Lemah Warah," berkata
Ki Buyut. "Tetapi ditempat lain kau berlaku sebagaimana di
Lemah Warah." sahut Akuwu, "jika kau tidak melakukan
sesuatu, aku kira kau tidak akan mungkin dapat menjadi
Buyut di Bapang." Ki Buyut menundukkan kepalanya. Sementara itu
Akuwu Lemah Warah berkata, "Aku akan menghubungi
Akuwu Sangling." " Jangan, jangan Akuwu," minta Ki Buyut Bapang.
"Hamba mohon." "Kenapa?" bertanya Akuwu Lemah Warah. "aku ingin
meyakinkan Akuwu Sangling agar ia selalu mengamati tingkah
lakumu." "Ampun Akuwu. Hamba berjanji untuk tidak
melakukannya lagi. Jangan singkirkan hamba dari kedudukan
hamba y ang sekarang," minta Ki Buyut Bapang.
Akuwu Lemah Warah termangu-mangu. Namun
kemudian katanya, "Ma sih ada waktu untuk memikirkannya.
Untuk sementara kau tetap m enjadi tawanan di sini. Ingat Ki
Buyut, aku memiliki kemampuan untuk menghancurkan
simpul-simpul syarafmu, sehingga kau tidak akan memiliki
kemampuan apapun lagi jika kau berkeras melakukan
langkah-langkah sebagaimana kau tempuh sampai saat ini."
"Aku berjanji," desis Ki Buyut Bapang.
Akuwu Lemah Warah pun kemudian bersama-sama
dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meninggalkan bilik
itu. Sementara itu Ki Buyut telah membanting dirinya duduk
di pembaringan. "Gila," geramnya, "kenapa Akuwu itu datang lagi ke
padepokan ini" Demikian besar perhatiannya kepada kedua
orang anak muda itu yang diakunya sebagai kemanakannya,
sehingga ia meninggalkan tugasny a untuk berada dipadepokan
ini." Namun Ki Buyut itu pun mempunyai dugaan lain.
Menurut pendapatnya Akuwu Lemah Warah itu tentu sangat
tertarik pula kepada batu yang berwarna kehijauan itu.
Namun ia tidak dapat m engingkari keny ataan, bahwa ia
dalam keadaan yang lemah dan tidak mampu berbuat apa-apa.
Itu akan berlangsung terus, karena dalam keadaan yang
demikian ia tidak dapat mencegah kedua anak muda itu
berganti-ganti meny entuh tubuhnya dengan kekuatan ilmunya
yang dapat menghisap tenaga dan kemampuannya.
Dalam pada itu, Akuwu yang kemudian berada di barak
induk b ersama dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta
beberapa orang pemimpin prajurit Lemah Warah serta
pemimpin padepokan itu, telah mulai membicarakan rencanarencana
yang akan dilakukan oleh Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Namun sementara itu, kedua anak muda itu masih
sempat bertanya serba sedikit tentang Ki Buyut Bapang yang
ternyata telah dikenal oleh Akuwu Lemah Warah.
" Ia memang seorang y ang berilmu tinggi," berkata
Akuwu Lemah Warah, "tetapi ia justru mengagungkan
ilmunya itu untuk tindakan-tindakan y ang tidak bertanggung
jawab. Ia banyak merugikan orang-orang Lemah Warah.
Namun ketika sekelompok orang datang kepadanya untuk
minta pertanggungan jawab, maka ia telah menunjukkan
bahwa ia adalah orang y ang berilmu tinggi."
"Apa y ang dilakukannya?" bertanya Mahisa Pukat.
" Ia banyak merugikan orang lain. Bahkan kadangkadang
ia dengan terang-terangan merampas milik tetanggatetangganya
sendiri," berkata Akuwu Lemah Warah, "namun
yang paling m enyakitkan hati orang adalah bahwa ia m erasa
berkuasa di sebuah Kabuyutan. Ia memaksa Ki Buyut untuk
tunduk kepada perintahnya dan melakukan apa saja sesuai
dengan keinginannya. Sehingga akhirnya laporan itu sampai
kepadaku. Dengan cepat aku mengambil tindakan. Namun ia
sempat melarikan diri, meskipun ia masih juga sempat
membawa sejumlah harta bendanya yang didapatkannya
dengan cara y ang tidak sewajarnya."
"Apakah ia menyadari bahwa ia tidak akan mampu
mengalahkan Akuwu meskipun ia m erasa bahwa ia berilmu
tinggi?" bertanya Mahisa Pukat.
"Mungkin ia sempat memperbandingkan
kemampuannya dengan kemampuanku secara tidak
langsung," jawab Akuwu, "namun tidak mustahil bahwa ia
tidak pernah merasa dapat aku kalahkan sampai saat ini. Jika
waktu itu ia menghindar, bukan karena ia merasa ilmunya
dibawah tingkat ilmuku. Tetapi semata-mata karena ia
menyadari bahwa aku tentu tidak datang sendiri. Mungkin ia
akan bersikap lain jika ia benar-benar berhadapan dengan aku
seorang dengan seorang."
"Tetapi ia nampaknya demikian takutnya kepada
Akuwu," desis Mahisa Murti.
"Karena orang itu berada dalam keadaan lemah. Ia tidak
akan dapat berbuat apa -apa jika saat ia melakukan kejahatan,
pada saat-saat ia berbuat berbagai macam kesalahan di Lemah
Warah. Tetapi tentu berbeda jika ia dalam kedudukan yang
lebih baik dari saat ini," sahut Akuwu Lemah Warah.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Keduanya sadar bahwa sikap Ki Buyut itu masih perlu
diragukan, apakah ia bersikap jujur atau tidak terhadap
Akuwu Lemah Warah. Namun dalam pada itu, Akuwu Lemah Warah itu pun
kemudian berkata, "Sudahlah. Biarlah aku mengurus orang
itu. Aku memang ingin berhubungan dengan Akuwu Sangling
untuk berbicara tentang Ki Buyut Bapang. Jika bagi Sangling
ia merupakan orang yang berarti, maka aku hanya ingin
memberikan peringatan bagi Akuwu, agar ia lebih banyak
mengawasi Ki Buyut Bapang itu, serta memberikan sedikit
contoh tingkah lakunya. Antara lain di padepokan ini."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya menganggukangguk
saja. Sementara itu Akuwu Lemah Warah pun
bertanya, "Nah, sekarang bagaimana dengan rencanamu?"
"Kami akan meninggalkan padepokan ini barang satu
bulan Akuwu," berkata Mahisa Murti, "kami akan
menghubungi seorang pemahat yang bersedia bekerja bersama
kami. Selain kemampuannya juga kesediaannya tinggal di
tempat yang terasing ini untuk waktu yang cukup lama. Baru
setelah patung itu siap, kami akan membawanya ke Singasari."
Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk. Namun
kemudian katanya, "Tetapi aku minta kalian bersedia
menunda kepergian kalian barang sepekan. Selama itu aku
akan pergi ke Sangling untuk membicarakan persoalan Ki
Buyut Bapang dengan Akuwu di Sangling. Aku mengenal
Akuwu Sangling dengan baik. Secara pribadi, maupun karena
kami sering berhubungan dalam tugas-tugas kami meskipun
tidak terlalu akrab."
"Baiklah Akuwu," berkata Mahisa Murti, "kami akan
menunggu sampai Akuwu meny elesaikan persoalan Ki Buyut
Bapang itu." "Terima kasih," jawab Akuwu, "sesudah aku bertemu
dengan Ki Buyut Bapang, maka kalian dapat pergi dengan
tenang dan tidak tergesa -gesa. Aku akan menunggu sampai
sebulan. Tetapi jika dalam waktu y ang disediakan kalian
belum dapat kembali, maka aku akan menunggu kalian di sini.
Menurut perhitunganku, Lemah Warah sekarang dalam
keadaan tenang. Tidak ada gejolak yang perlu dicemaskan.
Karena itu, m aka aku-pun dapat m eninggalkan Pakuwon itu
dengan tenang pula."
Demikianlah, maka m ereka telah m engambil satu sikap
tentang rencana yang akan mereka lakukan. Yang justru akan
meninggalkan padepokan adalah Akuwu Lemah Warah,
karena dengan tidak terduga-duga, ia telah bertemu dengan Ki
Buyut Bapang yang sebelumnya pernah berada di Pakuwon
Lemah Warah dan melakukan perbuatan y ang tercela.
Setelah Akuwu beristirahat sehari di padepokan itu,
maka ia pun telah bersiap-siap untuk pergi ke Pakuwon
Sangling. Dari beberapa orang pengikut Ki Buyut yang
tertangkap, maka Akuwu Lemah Warah telah mendapat
beberapa petunjuk tentang jalan yang harus dilaluinya menuju
ke Pakuwon Sangling. Diiringi oleh sekelompok pengawal maka Akuwu Lemah
Warah pun telah meninggalkan padepokan itu menuju ke
Pakuwon Sangling. Jaraknya memang cukup jauh
sebagaimana Akuwu menempuh perjalanan dari Lemah
Warah. Namun sebagai seorang prajurit maka Akuwu telah
menempuh perjalanan itu dengan cepat. Meskipun jalan agak
sulit, tetapi Akuwu dan pengiringnya memilih berkuda
daripada berjalan kaki. Selain sedikit menghemat waktu, maka
perjalanan berkuda itu pun sedikit mengurangi keletihan.
Kedatangan Akuwu Lemah Warah di Pakuwon Sangling
memang mengejutkan. Bagi Akuwu Sangling kedatangan
Akuwu Lemah Warah itu merupakan satu peri stiwa yang tidak
diduganya, karena Akuwu Lemah Warah telah datang tanpa
pemberitahuan lebih dahulu.
Dengan berdebar -debar Akuwu Sangling telah
mempersilahkan Akuwu Lemah Warah untuk naik ke
pendapa. Beberapa orang pengiringnya telah dipersilahkan
untuk beristirahat di serambi gandok.
Setelah serba sedikit mereka saling mempertanyakan
keselamatan dan kesejahteraan masing-masing, m aka Akuwu
Sangling y ang ingin segera m engetahui m aksud kedatangan
Akuwu Lemah Warah itu pun bertanya, "Kakanda Akuwu di
Lemah Warah. Kedatangan Sang Akuwu sangat mengejutkan


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hatiku. Kakanda tidak terlebih dahulu memberikan kabar atau
pesan akan kedatangan kakanda itu."
Akuwu Lemah Warah tersenyum. Katanya, "Sebenarnya
aku tidak khusus datang ke Pakuwon Sangling. Aku sedang
berada di padepokan Suriantal. Tiba-tiba timbul keinginanku
untuk datang berkunjung ke Pakuwon Sangling."
"Terima kasih," jawab Akuwu Sangling, "sokurlah jika
kakanda masih sempat mengunjungi adinda di sini. Namun
demikian, rasa-rasanya aku ingin tahu niat kakanda
sebenarnya. Apakah memang benar kakanda hanya sekedar
menengok Pakuwon Sangling atau kakanda mempunyai
maksud y ang barangkali kakanda bawa beserta kunjungan
kakanda ini?" Akuwu Lemah Warah termangu-mangu. Namun
kemudian katanya, "Memang ada sedikit persoalan y ang ingin
aku sampaikan." "Tentang padepokan Suriantal?" bertanya Akuwu
Sangling, "aku memang sudah mendapat laporan lengkap
tentang serbuan kakanda ke padepokan Suriantal mengemban
perintah Sri Baginda di Kediri. Kakanda melakukannya atas
nama Sri Baginda di Kediri."
"Tentu, karena bersamaku hadir Pangeran Singa
Narpada y ang datang atas nama Sri Baginda di Kediri," jawab
Akuwu di Lemah Warah. "Syukurlah." sang Akuwu Sangling menganggukangguk,
"jadi laporan yang aku dengar itu b enar. Laporan itu
tidak dibuat-buat sekedar untuk menghangatkan suasana."
"Benar adinda. Aku datang bersama Pangeran Singa
Narpada. Dan adinda pun mengenal siapa Pangeran Singa
Narpada itu, "sahut Akuwu Lemah Warah.
Akuwu Sangling menarik nafas dalam-dalam. Dengan
nada datar ia berkata, "begitu besar perhatian Pangeran Singa
Narpada terhadap padepokan itu, sehingga ia memerlukan
untuk datang sendiri. Kenapa Pangeran Singa Narpada tidak
memerintahkan satu atau dua Senapatinya untuk datang ke
padepokan itu" Apakah di padepokan itu terdapat orang yang
berilmu sangat tinggi sehingga tidak ada orang lain yang akan
mampu mengatasiny a?"
"Bukan begitu," jawab Akuwu Lemah Warah, "tetapi
agaknya Pangeran Singa Narpada ingin melihat sendiri apa
yang ada di padepokan itu."
Akuwu Sangling mengangguk-angguk. Tetapi pada
bibirnya nampak senyum yang aneh.
"Baiklah," berkata Akuwu Sangling, "mungkin Pangeran
Singa Narpada memang tertarik sekali terhadap padepokan
itu. T etapi sekarang Pangeran Singa Narpada t elah tidak ada
lagi di padepokan itu. Sementara itu Akuwu Lemah Warah lah
yang menguasai padepokan Suriantal."
"Bukan aku," jawab Akuwu Lemah Warah, "tetapi dua
kemenakanku tinggal di padepokan itu."
Akuwu Sangling tersenyum. Katanya, "Apa bedanya
dengan Akuwu sendiri?"
Akuwu Lemah Warah mengerutkan keningnya.
Nampaknya sikap Akuwu Sangling tidak bersahabat. Ra sarasanya
ada sesuatu yang telah m embatasi mereka m eskipun
Akuwu Lemah Warah masih belum mengatakan keperluannya.
Akuwu Sangling melihat sesuatu telah meny entuh
perasaan Akuwu Lemah Warah. Karena itu, maka sebelum
Akuwu Lemah Warah mengatakan per soalannya, maka Akuwu
Sangling telah mendahului berkata, "Agaknya padepokan
Suriantal kini telah berubah menjadi sebuah tempat yang
gawat. Tidak ubahnya seperti sebuah barak tempat orang yang
tidak disukai disimpan sebagai tawanan."
"Apa maksud adinda?" bertanya Akuwu Lemah Warah.
"Tentu kakanda sudah mengetahuinya," jawab Akuwu
Sangling, "bukankah Akuwu baru saja singgah di padepokan
itu." Akuwu Lemah Warah menjadi ragu-ragu. Apakah y ang
dimaksud Akuwu Sangling itu adalah justru Ki Buyut Bapang"
Mungkin Akuwu telah mendengar laporan tentang Ki Buyut
Bapang yang berada di padepokan Suriantal.
Sebenarnyalah sebelum Akuwu Lemah Warah
mengatakan sesuatu, maka Akuwu Sangling telah
meneruskannya, "Kakanda, kenapa salah seorang Buyut dari
Sangling telah berada di padepokan Suriantal?"
Akuwu Lemah Warah menarik nafas dalam-dalam.
Dengan nada datar ia berkata, " Itukah sebabny a, maka sikap
adinda terasa a sing?"
"Aku sudah m engira bahwa kedatangan Akuwu adalah
dalam hubungannya dengan Ki Buyut di Bapang."
"Ya," jawab Akuwu Lemah Warah, "aku memang datang
untuk berbicara tentang Buyut di Bapang itu."
"Bukankah Ki Buyut sekarang ada di padepokan
Suriantal?" berkata Akuwu Sangling.
"Ya. Apakah y ang Akuwu dengar tentang Ki Buyut di
Bapang" Atau laporan y ang barangkali sampai kepada
adinda?" bertanya Akuwu Lemah Warah.
" Biasa saja," jawab Akuwu Sangling, "kecurigaan dan
barangkali semacam dendam."
Akuwu Lemah Warah menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, "Baiklah aku mengatakan apa y ang aku ketahui
tentang Ki Buyut di Bapang."
"Tentu sebagaimana kakanda dengar dari orang-orang
yang menangkap Ki Buyut," berkata Akuwu Sangling.
"Dari siapapun, tetapi sebaiknya Akuwu
mempertimbangkannya," Akuwu Lemah Warah mulai digelitik
oleh perasaan jengkel. Sikap Akuwu Sangling telah
menyinggung perasaannya meskipun ia masih berusaha untuk
menahan diri. Akuwu Sangling m engerutkan keningnya. Namun tanpa
menunggu lagi Akuwu Lemah Warah itu pun segera
menceriterakan tentang Ki Buyut Bapang. Sejak ia masih
berada di Lemah Warah serta usahanya untuk mengambil batu
yang telah lebih dahulu dikuasai oleh padepokan Suriantal.
Tiba-tiba saja Akuwu Sangling tertawa. Katanya,
"Bagaimana mungkin Ki Buyut Bapang itu pernah tinggal di
Lemah Warah. Ia sudah lama berada di Kabuyutannya,
sehingga ia mendapat kepercayaan untuk memegang jabatan
itu." " Itulah yang aku heran," berkata Akuwu Lemah Warah,
"bagaimana mungkin orang itu dapat menjadi Buyut di
Bapang. Apakah tidak ada keturunan yang pantas
menggantikan kedudukan Buyut di Bapang itu?"
"Sudahlah," jawab Akuwu Sangling, "Akuwu tidak perlu
mempersoalkan kedudukannya. Ia adalah tanggung jawabku
karena aku telah mengesahkannya."
"Apakah maksud Akuwu juga ingin mengatakan bahwa
yang dilakukan di padepokan Suriantal itu juga tanggung
jawab Akuwu?" bertanya Akuwu Lemah Warah.
Akuwu Sangling menjadi tegang. Namun ia pun
kemudian tersenyum. Katanya, "Tidak semua yang
dilakukannya adalah tanggung jawabku. Tetapi ia adalah
orangku. Aku wajib untuk berbuat sesuatu untuk mey akinkan
setiap kejadian y ang menyangkut orang-orangku."
"Aku sudah mencoba untuk meyakinkan," jawab Akuwu
Lemah Warah. "Tetapi agaknya Akuwu tidak percaya."
"Kakanda," berkata Akuwu Sangling, "apakah
sebenarnya hak orang-orang Suriantal atas siapa pun juga
untuk mengambil batu yang berwarna kehijauan itu?"
"Bukankah batu itu tidak ada pemiliknya?" jawab
Akuwu Lemah warah. Akuwu Sangling memandang Akuwu Lemah Warah
dengan tajamnya. Dengan nada datar ia berkata, "Batu itu
memang tidak ada pemiliknya. Jadi orang-orang Suriantal
juga tidak berhak memilikinya. Sebenarnya biarlah batu itu
berada di tempatnya. Semua orang akan dapat m elihat dan
mendapatkan kesan tersendiri daripadanya."
"Tetapi orang-orang yang berada di padepokan
Suriantal itu akan memberikan arti yang lebih besar pada batu
itu. Mereka akan membuat sesuatu yang dapat mereka
persembahkan kepada Sri Maharaja di Singasari. Bukankah
dengan demikian batu itu tidak hanya sekedar terletak di
pinggir hutan dikerumuni oleh berbagai jeni s ular dan
binatang berbisa?" "Berbagai jeni s ular dan binatang berbisa itu justru telah
mengamankan batu itu. Jika aku m au, maka sebenarnya aku
dapat mengambilnya lebih dahulu. Tetapi aku membiarkan
batu itu berada di tempatnya," berkata Akuwu Sangling.
"Kenapa kita kemudian berbicara tentang batu itu?"
bertanya Akuwu Lemah Warah, "semula aku hanya ingin
berbicara tentang Ki Buyut Bapang."
Akuwu Sangling itu termangu-mangu sejenak. Namun
ia -pun kemudian menjawab, "Jika kita berbicara tentang Ki
Buyut Bapang, maka kaitannya adalah karena ia
menginginkan batu itu y ang telah berada di padepokan
Suriantal. Itulah sebabnya aku ingin menanyakan, apakah
yang dilakukan oleh Ki Buyut itu terlalu salah?"
"Apakah maksud Akuwu?" bertanya Akuwu Lemah
Warah, "tetapi bukankah kehadiran Ki Buyut itu bukan atas
restu Akuwu?" "Tidak," jawab Akuwu Sangling, "aku tidak m empunyai
sangkut paut dengan kepergiannya untuk mengambil batu itu.
Tetapi aku mempunyai sangkut paut dengan kedudukannya.
Bagaimanapun juga ia adalah salah seorang diantara Buyut di
Sangling ini." "Aku mengerti. Itulah sebabnya aku datang kemari. Aku
justru ingin bertanya, apakah y ang akan Akuwu lakukan
terhadap salah seorang diantara para Buyut yang telah
melakukan satu tindakan yang salah," bertanya Akuwu Lemah
Warah. "Aku akan menghukumnya," berkata Akuwu Sangling,
"tetapi jika Akuwu bertanya sikapku atas Ki Buyut di Bapang,
maka aku tidak dapat menyalahkannya."
"Mungkin dalam hubungannya dengan batu itu," sahut
Akuwu Lemah Warah, "tetapi langkah-langkah y ang telah
dilakukannya" Mungkin juga apa yang pernah dilakukan oleh
para pengikutnya. Kali ini para pengikutnya yang kemudian
menyeret Ki Buyut serta, bertindak kasar terhadap padepokan
Suriantal. Mungkin di kesempatan lain Ki Buyut melakukan di
tempat lain pula." "Akuwu jangan terlalu mudah berprasangka." sahut
Akuwu Sangling, "Sudah aku katakan, bahwa Ki Buyut Bapang
bukan orang seperti y ang Akuwu maksudkan. Ia orang yang
baik bagiku dan orang y ang sangat aku perlukan di sini.
Karena itu Akuwu, hamba justru mohon agar Ki Buyut itu
dilepaskan." Akuwu Lemah Warah menjadi tegang. Dengan ragu-ragu
ia bertanya, "jadi, Akuwu tidak mau melihat kenyataan tentang
Ki Buyut itu" Akuwu, coba Akuwu bayangkan, bahwa
kematian yang tidak berarti telah terjadi di padepokan
Suriantal itu. Sekelompok kuat orang-orang bersenjata
menyerangnya tanpa mengekang diri. Dengan demikian maka
orang-orang padepokan harus bertahan. Juga terhadap Ki
Buyut Bapang. Dan jika Akuwu ingin tahu, siapakah kawan Ki
Buyut Bapang saat ia memasuki padepokan itu, maka agaknya
Akuwu telah mengenalnya, setidak-tidaknya pernah
mendengar namanya, Empu Sepada."
"Empu Sepada?" ulang Akuwu Sangling.
"Ya. Bukankah Akuwu pernah m engenalnya?" b ertanya
Akuwu Lemah Warah pula. "Aku tidak banyak mengenalnya," jawab Akuwu
Sangling, "aku hanya pernah mendengar namanya. Tidak
lebih." Akuwu Lemah Warah menarik nafas dalam-dalam. Lalu
katanya, "Apakah Akuwu baru mendengar bahwa Ki Buyut
datang ber sama Empu Sepada?"
"Ya. Aku baru mendengarnya," jawab Akuwu Sangling.
"Apakah laporan itu tidak meny ebut nama Empu
Sepada?" bertanya Akuwu Lemah Warah pula.
Akuwu Sangling termangu-mangu sejenak. Namun ia
pun kemudian berkata, "Mungkin akulah y ang kurang
memperhatikan laporan itu."
Akuwu Lemah Warah menarik nafas dalam-dalam.
Dengan nada datar ia berkata, "Kau menyembuny ikan sesuatu.
Ada yang tidak Akuwu sebut meskipun Akuwu
mengetahuinya." " Jangan terlalu curiga begitu," sahut Akuwu Sangling,
"tetapi baiklah. Itu adalah hak Akuwu untuk mencurigai siapapun.
Namun sekali lagi aku minta, agar Ki Buyut Bapang itu
dilepaskan." " Itulah y ang sulit aku lakukan," jawab Akuwu Lemah
Warah, "bagaimana pertanggungjawaban Ki Buyut dengan
kematian yang telah terjadi di padepokan itu?"
"Apakah kita harus menelusur siapakah yang harus
bertanggungjawab?" bertanya Akuwu Sangling, "coba
pikirkan, seandainya batu itu tidak diambil dan dibawa ke
padepokan Suriantal."
" Jadi dari sanalah Akuwu berpikir" Jika demikian, maka
pembicaraan kita sulit untuk bertaut. Baiklah, aku mohon diri.
Aku akan memberitahukan sikap Akuwu kepada seisi
padepokan Suriantal," jawab Akuwu Lemah Warah,
"semuanya terserah kepada isi padepokan itu. Namun satu hal
yang harus Akuwu sadari, bahwa letak batu itu tidak berada di
daerah Pakuwon Sangling."
Wajah Akuwu Sangling menjadi tegang. Sementara itu
Akuwu Lemah Warah berkata, "Renungkan itu. Dan Akuwu
tahu, di mana batu itu terletak."
Tanpa menunggu lagi, Akuwu Lemah Warah telah
bangkit dan berkata, "Aku mohon diri."
Akuwu Sangling tidak mendapat kesempatan untuk
berkata lebih banyak karena Akuwu Lemah Warah benarbenar
telah meninggalkan istana Akuwu Sangling itu.
Tetapi Sikap Akuwu Lemah Warah itu tidak
melemahkan pendirian Akuwu Sangling. Bahkan ia merasa
dirinya direndahkan. Seakan-akan ia tidak berhak sama sekali
berbicara tentang Ki Buyut Bapang. Salah seorang Buyut di
Pakuwon Sangling. Padahal menurut penilaiannya, Ki Buyut di
Bapang adalah seorang Buyut yang baik, y ang selalu
memberikan upeti lebih banyak dari Buyut-buyut y ang lain.
Memang terber sit satu pertanyaan di dalam dirinya


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa apakah kemampuan Ki Buyut memberikan upeti itu
berasal dari usahanya y ang sesat sebagaimana dikatakan oleh
Akuwu Lemah Warah. "Tetapi Ki Buyut adalah orangku," berkata Akuwu
Sangling, "biarlah aku yang mengadiliny a. Akuwu Lemah
Warah tidak m empunyai hak untuk menahannya dan apalagi
memutuskan hukuman baginya."
Meskipun demikian, Akuwu Sangling harus menyadari,
bahwa di padepokan itu tentu ada seorang y ang m empunyai
ilmu y ang tinggi, sehingga penghuni padepokan itu dapat
mengalahkan Ki Buyut Bapang dan Empu Sepada sekaligus.
Hanya orang-orang berilmu tinggi sajalah yang dapat
melakukannya. Tetapi Akuwu Sangling tidak gentar menghadapi
kemungkinan itu. Ia memiliki kemampuan y ang tidak kalah
dari Ki Buyut Bapang. Bahkan seorang saudara
seperguruannya yang memiliki ilmu y ang setingkat dengan
Akuwu Sangling akan dapat membantunya.
Akuwu Sangling pun merasa sakit hati atas pernyataan
Akuwu Lemah Warah, bahwa batu itu tidak t eletak di daerah
Sangling. "Persetan," geram Akuwu Sangling, "tidak ada y ang
dapat mengatakan batas Pakuwon Sangling secara pasti,
sebagaimana tidak ada orang yang dapat mengatakan batas
Pakuwon Lemah Warah secara pasti pula. Karena itu, apa pula
hak Akuwu Lemah Warah atas padepokan Suriantal" Apakah
hanya karena waktu itu Pangeran Singa Narpada bersama
dengannya" Sehingga dengan demikian ia berhak untuk
merambah sampai ke mana pun juga?"
Kemarahan Akuwu Sangling itu ternyata tidak dapat
diendapkannya. Bahkan kemudian telah timbul niatnya untuk
dengan sengaja menantang Akuwu Lemah Warah dengan
menuntut dikembalikannya Ki Buyut Bapang.
"Aku tidak akan mengulangi kesalahan Ki Buyut
Bapang. Aku harus tahu, berapa besar kekuatan Ki Buyut
Bapang dan Empu Sepada y ang gagal itu, dan seberapa besar
kekuatan padepokan Suriantal itu," geram Akuwu Sangling.
Lalu, "Kepada Sri Baginda di Kediri aku akan
mempertanggung jawabkannya. Aku akan menerima akibat
apapun yang terjadi."
Tetapi Kediri tentu tidak akan berani bertindak, karena
Kediri sendiri tentu sudah m enjadi semakin lemah. Ia tidak
akan menambah lawan, apalagi Pakuwon yang kuat seperti
Sangling. Tentu Kediri akan selalu ingat, bahwa Pakuwon
Tumapel y ang nampaknya kecil itu pada suatu saat mampu
memecahkan kebesarannya dan berdirilah Singasari yang
kemudian telah justru menguasai Kediri. Pengalaman itu tentu
akan m embuat Kediri tidak akan berbuat sewenang-wenang
terhadap Pakuwon yang manapun juga. Apalagi Pakuwon yang
besar seperti Pakuwon Sangling ini."
Dengan demikian, maka luapan kemarahannya itu pun
telah melahirkan perintah dari Akuwu Sangling kepada
Panglima pasukannya untuk mempersiapkan diri.
"Kita akan pergi ke Suriantal," berkata Akuwu Sangling,
"kita akan membuktikan, bahwa Sangling tidak dapat
dikesampingkan begitu saja oleh Lemah Warah. Kita akan
memaksa Akuwu Lemah Warah untuk meny erahkan Ki Buyut
Bapang. Seandainya memang benar Ki Buyut melakukan
kesalahan, maka biarlah aku y ang menjatuhkan hukuman
kepadanya." Perintah itu disambut dengan berbagai tanggapan. Para
prajurit Sangling sudah terlalu lama tidak turun ke medan.
Karena itu, maka rasa-rasanya mereka m endapat kesempatan
untuk berlaku sebagai prajurit yang sebenarnya. Bukan
sekedar duduk-duduk di barak terkantuk-kantuk, latihan dan
berjaga-jaga di pintu gerbang atau di istana Pakuwon.
Dengan demikian maka perintah itu telah dilaksanakan
dengan cepat. Pa sukan Sangling telah bersiap-siap untuk
melakukan perintah Akuwu kapan pun datangnya.
Sementara itu Akuwu Lemah Warah pun merasa
kedatangannya di Pakuwon Sangling tidak disambut dengan
wajar. Kekecewaan Akuwu Lemah Warah membuatnya
semakin curiga kepada Akuwu Sangling. Bahkan Akuwu
Lemah Warah menduga, bahwa Akuwu Sangling tidak akan
tinggal diam. Itulah sebabnya, maka Akuwu Lemah Warah telah
memerintahkan beberapa orang diantara pengawalnya untuk
mendahului dan langsung menuju ke Lemah Warah.
"Siapkan prajurit. Bawa pasukan segelar sepapan ke
padepokan Suriantal. Tetapi jangan semata-mata," berkata
Akuwu Lemah Warah. "Mak sud Akuwu?" bertanya prajurit y ang mendapat
tugas itu. "Jika kalian sudah mendekati Suriantal, maka
pasukan itu harus berhenti. Satu atau dua orang supaya segera
memberitahukan kepadaku. Biarlah Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat mengatur mereka," jawab Akuwu Lemah Warah.
Demikianlah maka beberapa orang prajurit y ang
mengawalnya itu telah m emacu kudanya m endahului Akuwu
Lemah Warah. Betapapun sulitnya jalan, namun mereka
secepatnya harus sampai di Pakuwon dan menyampaikan
perintah itu kepada para pemimpin prajurit Lemah Warah.
"Nampaknya persoalannya telah berkembang," berkata
salah seorang diantara para prajurit itu.
"Apa boleh buat." sahut yang lain, "tetapi Akuwu Lemah
Warah y ang sudah terlanjur melangkah, tentu pantang surut.
Apa pun y ang terjadi. Dan kita harus memantapkan keputusan
Akuwu." Demikianlah, maka para prajurit itu pun berusaha untuk
secepatnya mencapai Lemah Warah. Tetapi jarak itu cukup
jauh, sehingga mereka harus menempuh perjalanan yang
berat. Bahkan sekali-sekali jalan menjadi sangat sulit untuk
dilalui. Dengan demikian maka perjalan pun m enjadi sangat
lambat, bagaikan siput yang merayap di pematang.
Sementara itu Akuwu Lemah Warah telah kembali ke
padepokan Suriantal. Ia pun dengan segera m emberitahukan
hasil perjalanannya kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
serta pemimpin padepokan itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Meskipun mereka tidak mengatakan sesuatu, Akuwu
dapat menangkap getaran kekecewaan hatinya, karena dengan
demikian mereka tidak sampai hati meninggalkan padepokan
itu. Tetapi Akuwu pun berkata, "Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Aku kira kalian t idak terikat dengan persoalan ini. Aku
kira aku sendiri akan dapat m enangani persoalan yang akan
timbul di padepokan ini. Aku sudah memerintahkan beberapa
orang prajurit untuk kembali k e Lemah Warah. Mereka harus
mengambil sepasukan prajurit untuk dibawa ke padepokan
ini." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Rasa-rasanya peri stiwa seperti itu harus terulang
beberapa kali sejak pasukan Lemah Warah menyergap isi
padepokan itu. Pertempuran demi pertempuran susul menyusul. Dan
kini agaknya Akuwu Sangling pun akan meny erang padepokan
ini, sehingga sebagaimana pernah terjadi, maka pertempuran
pun akan berkobar lagi. Pertempuran antara orang-orang yang
mengepung padepokan itu dan orang-orang yang berada di
dalam padepokan itu. "Akuwu," berkata Mahisa Murti, "kenapa hal seperti ini
akan terjadi lagi. Apakah batu itu memang memiliki kekuatan
yang mengutuk orang-orang yang dianggap mengganggunya
sehingga akan timbul bencana atau semacamnya. Jika
pertempuran itu terjadi lagi, maka korban akan jatuh pula
sebagaimana pertempuran yang baru saja berakhir itu. Orang
yang bernama Empu Sepada itu pun harus menjadi korban
dan beberapa ny awa y ang lain pun telah lepas dari wadagnya,
karena batu y ang berwarna kehijauan itu. Apakah memang
sedemikian mahal harga batu itu?"
"Persoalannya tidak semata-mata terletak pada batu
itu," jawab Akuwu Lemah Warah, "tetapi juga karena harga
diri. Jika Akuwu Sangling itu memindahkan tugu yang
memuat ketentuan batas antara Pakuwon Sangling dan
Pakuwon Lemah Warah di ujung bukit itu dipindah, meskipun
hanya sejengkal, maka persoalannya bukan harga sejengkal
tanah. Tetapi harga diri Pakuwon Lemah Warah telah
tersinggung. Sedumuk bathuk, seny ari bumi, maka akan
dipertahankan sampai mati. Juga seperti batu itu. Batu itu
sudah kita ambil dan kita simpan di padepokan ini.
Persoalannya bukan lagi harga batu itu. Atau bukan pula
karena batu itu dapat mengutuk orang yang dianggap
mengganggunya. Tetapi per soalannya sudah bergeser pada
harga diri. Jika Akuwu Sangling tidak berpegang pada harga
diri, maka ia tidak akan menuntut Ki Buyut Bapang
dilepaskan. Akuwu Sangling tentu m erasa berhak mengambil
keputusan atas Ki Buyut itu. Apapun yang akan
diputuskannya." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Tetapi ternyata bahwa mereka tidak akan dapat
menghindarkan diri dari perselisihan y ang m enjadi semakin
luas. Namun Mahisa Murti masih bertanya, "Apakah Kediri
tidak dapat mencegahnya, atau barangkali Singasari?"
" Jika ada waktu mungkin bisa melakukan," jawab
Akuwu Lemah Warah, "tetapi agaknya kita sudah tidak
mempunyai waktu lagi kecuali berbenah diri. Mempersiapkan
pasukan y ang kuat dan cara yang pating baik untuk melawan
pasukan Sangling." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Agaknya mereka memang tidak mempunyai pilihan lain
kecuali bersiap untuk menghadapi Akuwu Sangling yang
ternyata m empunyai harga diri yang berlebihan, yang tidak
mau mengerti kenyataan tentang Ki Buyut Bapang itu.
Demikianlah, sebelum pasukan Lemah Warah itu
datang, maka isi padepokan itu harus bersiap-siap dengan
kekuatan y ang ada, sementara itu, mereka masih harus
mengamati beberapa orang tawanan mereka, termasuk Ki
Buyut Bapang itu sendiri.
Namun sebagaimana dipesankan oleh Akuwu, bahwa Ki
Buyut Bapang tidak boleh mengetahui rencana Akuwu
Sangling untuk mengambilnya. Karena Ki Buyut Bapang
sendiri ternyata memang merasa telah bersalah, sehingga ia
menjadi ketakutan di saat Akuwu Lemah Warah m engatakan
akan pergi menemui Akuwu Sangling.
Jika ia mengetahui sikap Akuwu Sangling, maka ia akan
merasa diriny a mendapat dukungan yang kuat, sehingga ia
akan menjadi sombong meskipun keadaannya sangat sulit.
Dalam pada itu maka ternyata Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat tidak sampai hati untuk meninggalkan padepokan itu.
Meskipun ia tidak tahu pasti, kapan Akuwu Sangling dan
pasukannya akan datang. Atau apakah Akuwu Sangling benarbenar
akan datang seperti yang dikatakannya. Namun menilik
sikapnya sebagaimana dikatakan oleh Akuwu Lemah Warah,
maka Akuwu Sangling benar-benar merasa tersinggung karena
seorang diantara Buyut di lingkungan Pakuwon Sangling telah
ditangkap dan ditawan di dalam padepokan Suriantal.
Dengan demikian m aka ketegangan telah m encengkam
Pa depokan Suriantal itu. Kekuatan di padepokan itu t erlalu
kecil jika dibanding dengan kekuatan Pakuwon Sangling.
Tetapi apakah Sangling akan mengerahkan prajuritnya, atau
sekedar mempergunakan kekuatan secukupnya untuk
mengatasi kekuatan di padepokan itu, masih merupakan tekateki
sebagaimana kebenaran perhitungan mereka, bahwa
Akuwu Sangling itu akan datang ke padepokan Suriantal.
Namun sementara itu, maka utusan Akuwu Lemah
Warah y ang kembali ke Lemah Warah telah mencapai dinding
kota. Dengan tergesa -gesa m ereka telah langsung menuju ke
rumah Panglima pasukan berkuda Lemah Warah. Panglima
itu akan membicarakan dengan orang -orang y ang ditugaskan
melaksanakan pemerintahan di Lemah Warah.
Perintah Akuwu y ang dibawa oleh beberapa orang
prajurit itu memang m engejutkan. Tetapi Panglima pasukan
berkuda itu t idak mempunyai banyak waktu. Karena itu, maka
ia pun telah bertemu dengan beberapa orang Panglima dari
berbagai pasukan yang ada di Lemah Warah.
Mereka kemudian harus memperhitungkan seluruh
kekuatan y ang ada di Lemah Warah. Berapa bagian di antara
mereka y ang akan pergi ke padepokan Suriantal dan berapa
bagian y ang harus tetap berada di pusat pemerintahan Lemah
Warah. Namun para pemimpin di Lemah Warah itu bertindak
cepat sebagaimana dikehendaki oleh Akuwu. Dalam waktu
dekat, mereka telah berhasil menentukan, pasukan yang
manakah yang akan menuju ke padepokan Suriantal. Para
pemimpin di Lemah Warah, termasuk para Panglima prajurit,
pada umumnya memahami nilai prajurit Sangling y ang tinggi.
Karena itulah, maka y ang akan berangkat ke padepokan
Suriantal adalah orang-orang terpilih. Jumlahnya tidak perlu
terlalu banyak. Tetapi dengan satu key akinan bahwa secara
pribadi masing-masing memiliki kemampuan diatas
kebanyakan prajurit. "Kita akan segera siap untuk berangkat," berkata
Panglima pasukan berkuda.
"Berkuda?" bertanya prajurit yang membawa perintah
Akuwu. "Tidak," jawab panglima itu, "kita berjalan kaki.
Bukankah Akuwu berpesan sebagaimana kau katakan?"
"Ya. Pasukan ini harus berhenti sebelum mencapai
padepokan itu sendiri. Mungkin Akuwu m empunyai rencana
lain dengan pasukan ini," jawab prajurit itu.
Demikianlah, maka ketika segala persiapan telah
diselesaikan dengan cepat, serta bekal yang sudah disediakan,
maka pasukan pilihan itu pun segera berangkat.
Ternyata pasukan itu benar-benar pasukan y ang pilihan.
Mereka berjalan tanpa berhenti meskipun malam turun.
Dalam kegelapan pasukan itu tetap berjalan mendekati
padepokan Suriantal. Pa da saat yang bersamaan, sepa sukan yang kuat pula
telah dipersiapkan di Pakuwon Sangling. Ternyata Akuwu


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sangling tidak hanya mengancam. Ia benar-benar
mempersiapkan pasukannya. Akuwu Sangling memang
merasa tersinggung. Seorang Buyut yang dianggapnya cukup
baik telah ditangkap dan ditahan di padepokan Suriantal.
Kemudian Akuwu Lemah Warah telah mengatakan, bahwa
batu itu tidak terletak di daerah Pakuwon Sangling.
Dari beberapa orang y ang pernah melaporkan tentang
pertempuran di padepokan, Akuwu mampu m enilai kekuatan
yang ada di padepokan itu. Namun Akuwu Sangling sudah
memperhitungkan bahwa saat itu Akuwu Lemah Warah masih
belum hadir. Sehingga dengan demikian maka Akuwu
Sangling harus memperhitungkan tambahnya kekuatan di
padepokan itu. Namun Akuwu pun harus yakin bahwa
kekuatannya benar-benar akan mampu mengalahkan
kekuatan yang ada di padepokan Suriantal itu.
Pa da saat y ang ditentukan, maka Akuwu Sangling
sendirilah yang memimpin pasukannya menuju ke padepokan
yang telah meny impan batu berwarna kehijauan itu. Seorang
saudara seperguruannya telah ikut serta pula bersama Akuwu
Sangling. Karena menurut perhitungan mereka, Akuwu Lemah
Warah tentu masih berada di padepokan itu pula. Bahkan
mungkin sengaja menunggu kedatangannya.
Namun ternyata bahwa pasukan Lemah Warah lah y ang
lebih dahulu sampai di padepokan itu. Tetapi seperti perintah
Akuwu, maka pasukan itu tidak langsung memasuki
padepokan, selain dua orang penghubung.
"Kenapa?" bertanya Mahisa Murti.
Akuwu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Aku yakin bahwa sejak saat ini Akuwu Sangling
tentu sudah memasang orang-orangnya untuk mengamati
padepokan ini. Karena itu, m aka kita harus mengambil satu
langkah yang akan dapat menjebaknya."
"Mak sud Akuwu?" desis Mahisa Pukat.
"Apakah mungkin untuk menitipkan para prajurit itu di
padukuhan terdekat?" bertanya Akuwu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera mengetahui
maksudnya. Karena itu, maka Mahisa Murti pun berkata,
"Mungkin dapat dicoba. Aku akan menghubungi Ki Bekel yang
pernah meminjamkan sepuluh ekor kerbau itu. Mudahmudahan
ia dapat menerima para prajurit itu tinggal untuk
beberapa lama diantara mereka."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun tidak membuang
waktu. Mereka segera menemui Ki Bekel di padukuhan
terdekat. Ki Bekel memang tidak dapat menolak. Apalagi ketika ia
mendapat keterangan bahwa y ang akan datang itu adalah
sepasukan prajurit Lemah Warah. Bukan sekelompok
perampok atau peny amun, atau sebagaimana penghuni
padepokan Suriantal itu sebelumnya.
Ki Bekel lah yang kemudian mengatur, m enempatkan
para prajurit itu di rumah-rumah sepadukuhan. Semuanya itu
dilakukan dengan cepat. "Mereka akan datang berurutan. Tidak bersama-sama
dalam barisan," berkata Mahisa Murti kepada Ki Bekel.
Semuanya itu dilakukan dimalam hari. Sekelompoksekelompok
kecil telah memasuki padukulten terdekat,
ternyata tidak hanya di satu padukuhan. Tetapi di dua
Menyelamatkan Pesawat Pemalite 3 Lupus Bunga Untuk Poppi Tangan Geledek 15
^