Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 4

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 4


menyambar tubuh Mahisa Murti namun yang dapat
dihindarinya, maka terdengar desing yang tajam seakanakan
menusuk langsung ke pusat jantung kedua anak muda
itu. "Luar biasa," desis Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
hampir berbareng. Namun keduanya telah meloncat mempersiapkan diri
menghadapi pertempuran yang lebih keras lagi melawan
orang bertubuh kecil itu.
Orang bertubuh kecil itupun merasa heran melihat
ketangkasan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Kedua anak
muda itu ternyata mampu bergerak cepat mengatasi
kecepatan gerak tongkatnya.
Namun demikian, orang bertubuh kecil itu masih
mampu meningkatkan kecepatan geraknya. Tongkatnya
berputar semakin cepat, sehingga Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat harus berloncatan semakin cepat pula. Bahkan
karena tongkat itu rasa-rasanya selalu memburunya, maka
pada satu saat, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
berusaha untuk menjajagi kekuatan yang sebenarnya dari
orang bertubuh kecil itu.
Dengan hati-hati dan tidak langsung, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat sekali-sekali telah membenturkan senjatanya.
Namun ternyata bahwa kekuatan orang bertubuh kecil
dengan ayunan tongkatnya itu bukannya tidak mungkin
untuk terlawan. Dengan mengerahkan kekuatan
cadangannya dan landasan ilmunya, maka kekuatan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menjadi berlipat,
sehingga ketika terjadi benturan kecil, maka orang yang
memutar tongkatnya itupun merasa heran. Ketika
tongkatnya membentur pedang pendek Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat, terasa olehnya bahwa kedua orang anak
muda itu memiliki kemampuan yang nggegirisi.
"Mana mungkin," berkata orang itu didalam dirinya.
Namun orang bertubuh kecil itu menghadapi satu
kenyataan, bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
memiliki kekuatan yang sangat besar. Bukan kekuatan
wajarnya, tetapi kekuatan ilmunya yang mendebarkan.
Dengan demikian maka pertempuran antara bertubuh
kecil itu melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi
semakin cepat. Benturan-benturan menjadi semakin sering
terjadi. Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyadari,
bahwa kekuatan orang bertongkat itu tidak terlalu
mengejutkan, maka mereka pun mulai semakin sering
membenturkan senjatanya menangkis serangan lawannya.
Mereka tidak lagi berloncatan dan diburu oleh ayunan
tongkat panjang itu. Tetapi sekali-sekali mereka dengan
tengadah telah memukul ayunan tongkat itu dengan
lambaran ilmu mereka. Sementara itu, Mahisa Bungalan dan Pangeran Singa
Narpada mulai menjadi cemas. Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat ternyata terlalu lama pergi. Bahkan keduanya pun
mulai menjadi cemas, bahwa telah terjadi sesuatu dengan
kedua anak muda itu. "Apakah aku harus mencarinya?" bertanya Mahisa
Bungalan. Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Namun
kemudian katanya, "Kita menunggu beberapa saat lagi. Jika
mereka tidak segera kembali, maka memang sebaiknya kau
mencarinya. Aku akan menunggui benda ini dan Adimas
Lembu Sabdata akan aku paksa untuk tidur, agar pada saatsaat
yang gawat tidak justru mengganggu."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia masih
berusaha menahan kegelisahannya. Karena itu, maka iapun
masih saja duduk bersandar sebatang pohon yang tidak
terlalu besar. Namun tatapan matanya terlempar ke
kejauhan, ke arah kedua adiknya meninggalkan tempat itu.
"Agaknya dari sana pula mereka akan datang," berkata
Mahisa Bungalan didalam hatinya.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
masih bertempur dengan sengitnya. Orang bertubuh kecil
itu memutar tongkat panjangnya semakin cepat. Tetapi
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah mewarisi ilmu
ayahnya justru menjadi semakin mapan, sehingga keduanya
berhasil menempatkan diri mereka sebaik-baiknya.
Keduanya bertempur berpasangan dalam hubungan yang
semakin mantap. Saling mengisi dan kadang-kadang
mampu membingungkan orang bertubuh kecil itu.
"Bukan main." terdengar orang bertubuh kecil itu
berdesis. Namun ia harus bergerak lebih cepat agar ia tidak
semakin terdesak oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Dengan demikian maka pertempuran itupun menjadi
semakin sengit. Orang bertubuh kecil itu ternyata tidak
membatasi kemampuan ilmunya pada ayunan tongkat
panjangnya. Namun tiba-tiba saja telah terjadi serangan
yang sangat mengejutkan bagi Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Dalam keadaan yang mulai terdesak, maka orang
bertubuh kecil itu telah menunjukkan kemampuannya yang
sangat tinggi. Ketika ia gagal menyentuh lawannya dengan
tongkatnya yang sudah dijalari dengan ilmunya, maka ia
mulai mempertimbangkan untuk mempergunakan ilmunya
yang lebih tinggi. Sementara itu, ranting-ranting dan cabang-cabang
pepohonan di pategalan itupun bagaikan ditebas oleh angin
pusaran. Sentuhan tongkat panjang itu benar-benar telah
merusakkan tanaman di pategalan itu. Bukan saja tanamantanaman
kecil, tetapi juga pepohonan yang tumbuh
menaungi pategalan itu serta pohon buah-buahan.
Meskipun demikian, ayunan demikian, ayunan tongkat
itu tidak dapat mematahkan ketahanan ilmu Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat. Dengan pedang pendeknya, keduanya
mampu menahan kekuatan lawannya dengan benturanbenturan.
Karena itu, maka dalam keadaan yang semakin terdesak,
tiba-tiba saja orang itu telah mengacungkan tongkatnya
Tidak diayunkan, tetapi dari ujung tongkat itu seakan-akan
lelah menyambar cahaya yang silau.
Mahisa Murti yang menjadi sasaran pertama, tidak
membiarkan dirinya disentuh oleh sesuatu yang tidak
dikenalnya. Karena itu maka iapun telah meloncat
menghindar. Karena itu, maka cahaya yang silau itu tidak
mengenainya. Ketika cahaya itu menyentuh sebongkah
batu padas, maka batu itu seakan-akan telah meledak.
Memang mendebarkan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
segera teringat akan serangan-serangan Panembahan
Bajang. Tetapi meskipun serangan-serangan itu juga
menimbulkan ledakan, namun berbeda karena serangan
orang bertubuh kecil itu langsung dihadapinya. Serangan itu
seakan-akan dilontarkan dari ujung tongkat panjang orang
bertubuh kecil itu, meskipun tentu saja bukan karena
tongkat panjang itulah yang dapat melontarkan serangan,
tetapi kemampuan ilmu orang yang memilikinya.
Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat harus berhati-hati. Keduanya tidak boleh lengah jika
orang bertubuh kecil itu mulai mengacungkan tongkatnya.
Namun ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
mampu bekerja bersama sebaik-baiknya, sehingga seakanakan
orang itu tidak mempunyai kesempatan untuk
melakukannya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat
menyerang bergantian dan saling mengisi. Kemampuan
keduanya memang seimbang pada tataran yang tinggi.
Meskipun demikian, sekali-kali orang bertubuh kecil itu
sempat juga melontarkan serangannya. Jika serangan itu
mengenai sebatang pohon, maka pohon itupun menjadi
tumbang karenanya. Dengan perhitungan yang mapan, maka Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat berusaha untuk dapat bertempur pada
jarak yang dekat, sehingga lawannya tidak sempat
menyerang dengan caranya yang mendebarkan itu. Kedua
pedang pendek Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bergantian
menyambar orang bertubuh kecil itu. Setiap kali terdengar
dentang senjata mereka beradu.
Ternyata orang bertubuh kecil itu benar-benar telah
membentur kekuatan yang tidak dikira sebelumnya. Ia tidak
menyangka bahwa kedua anak muda itu telah memiliki
ilmu puncak dari satu perguruan meskipun pengalaman
mereka masih belum terlalu luas. Tetapi keduanya adalah
pengembara yang pernah menjelajahi lembah dan lerenglereng
pegunungan. Namun agaknya orang bertubuh kecil itu masih mampu
meningkatkan kemampuannya. Ia masih mampu bergerak
lebih cepat dan tongkatnya berputaran dengan melontarkan
desing yang menyengat telinga.
Pada kesempatan-kesempatan tertentu, maka orang
bertubuh kecil itu masih mampu juga melepaskan diri dari
kurungan kemampuan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,
menyerang dengan cahaya yang silau yang seakan-akan
dilontarkan dari ujung tongkatnya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah berusaha
untuk bertempur semakin cepat pula. Namun ternyata
bahwa keduanya kadang-kadang mengalami kesulitan
karena serangan-serangan yang aneh itu justru dapat
dilakukan lebih cepat dan dari jarak yang lebih dekat.
Seakan-akan setiap ia menunjuk dengan ujung tongkatnya,
maka serangan cahaya yang menyilaukan itu telah
terlontar. Bahkan kadang-kadang susul menyusul.
"Gila," geram Mahisa Murti yang harus berloncatan
menghindar, bahkan Mahisa Pukat telah menjatuhkan
dirinya dan berguling dengan cepat.
Namun dengan demikian, maka pertempuran diantara
mereka pun menjadi semakin sengit. Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat harus mengerahkan kemampuan mereka
untuk mengatasi serangan-serangan yang seakan-akan
menjadi semakin cepat itu.
Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
berhasil mengatasi serangan-serangan yang semakin cepat.
Namun kemudian ternyata bahwa orang bertubuh kecil itu
mampu meningkatkan serangannya. Dengan demikian
maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menjadi
terdesak kembali. Namun kedua orang anak muda itu adalah anak dan
sekaligus murid Mahendra yang telah mencapai tingkat
tertinggi dari ilmunya meskipun masih harus
dikembangkannya. Karena itu, maka keduanya tidak ingin
untuk terdesak terus menerus dan kehilangan kesempatan
untuk keluar dari pertemuan itu. Karena itu, maka baik
Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat sampai pada satu
keputusan untuk mengimbangi kemampuan ilmu lawannya
dengan caranya. Dengan bekal ilmu yang ada pada mereka.
Dalam keadaan yang terdesak itu, maka hampir
berbareng Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sampai pada
satu keputusan untuk mempergunakan senjata mereka yang
lain. Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti telah
memindahkan pedang pendeknya di tangan kirinya. Mahisa
Pukat yang melihatnya tidak menunggu lebih lama lagi.
Iapun telah melakukan hal yang sama pula.
Orang bertubuh kecil yang mampu menyerang dengan
ilmunya yang menggetarkan itupun kedua lawannya
memindahkan senjata-senjata mereka ke tangan kirinya.
Karena itu, maka iapun segera menyadari, bahwa keduanya
tidak membiarkan diri mereka terus menerus terdesak.
Sebenarnyalah bahwa sejenak kemudian, baik Mahisa
Murti maupun Mahisa Pukat telah saling menjauhi.
Keduanya mengambil arah yang berbeda, sehingga orang
bertubuh kecil itu harus selalu berusaha menyesuaikan
dirinya. Namun selagi serangan-serangannya harus diarahkan
kepada dua sasaran yang terpisah, maka kedua anak muda
itu telah menyerangnya pula dengan serangan-serangan
yang mendebarkan pula. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mempergunakan
paser-paser kecilnya untuk mengimbangi serang-anserangan
yang seolah-olah melejit dari ujung tongkat
panjang lawannya. Orang bertubuh kecil itu mengumpat. Meskipun ujud
serangan itu berbeda, namun memiliki kemampuan yang
tidak terlalu jauh berbeda. Jika loncatan cahaya yang keluar
dari ujung tongkat panjang itu mampu meledakkan batu
padas, maka sentuhannya pada tubuh lawannya tentu akan
dapat memecahkan tulang belulang. Namun sentuhan paser
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, meskipun hanya segores
kecil akan dapat membinasakan lawannya pula karena
kekuatan bisanya yang hampir tidak terlawan.
Agaknya orang bertubuh kecil itupun menyadari. Karena
itu, maka ketika paser pertama mulai meluncur dari tangan
Mahisa Murti, jantung orang itupun telah menjadi
berdebaran. Apalagi kemudian disusul lontaran kedua dari
tangan Mahisa Pukat. Sejenak orang bertubuh kecil itu berusaha mengambil
jarak. Namun ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat tidak membiarkannya bergeser menjauh. Setiap
serangan dengan kekuatan ilmu yang terlontar dari ujung
tongkat panjang itu, selalu dibalas dengan lontaran paserpaser
kecil dengan kecepatan yang mampu
mengimbanginya. Orang bertubuh kecil itu ternyata harus mengakui
kemampuan kedua lawannya yang masih sangat muda.
Meskipun orang bertubuh kecil itu mengerti, bahwa jumlah
paser-paser kecil anak-anak muda itu tentu terbatas, tidak
sebagaimana dapat dilakukan dengan lontaran serangannya
dengan tongkat panjangnya, namun orang bertubuh kecil
itupun tidak berani meyakini dirinya, bahwa sampai
hitungan terakhir dari paser-paser itu dilontarkan, ia masih
mampu menghindarinya. Apabila menurut pengamatan orang bertubuh kecil itu,
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mampu memperhitungkan
keadaan sebaik-baiknya. Mereka tidak asal saja


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melontarkan senjata mereka. Tetapi baik Mahisa Murti
maupun Mahisa Pukat setiap kali melepaskan senjata
kecilnya itu, tentu dilambari dengan perhitungan yang
cermat, sehingga sedang lemparan senjata, hampir saja
menyentuh kulit lawannya. Dan setiap sentuhan, berarti
maut telah datang menjemputnya.
Beberapa saat mereka masih bertempur. Justru semakin
cepat dan semakin sengit.
Namun akhirnya orang bertubuh kecil itu tidak dapat
bertahan lebih lama lagi. Serangan-serangan Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat setiap kali berdesing di telinganya seperti
seekor kumbang yang siap menyengat tengkuknya.
Sementara itu, kesempatannya untuk menyerang dengan
tongkatnya pun menjadi semakin terbatas. Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat selain mempergunakan paser-paser
kecilnya, mereka pun telah berusaha menyerang dengan
pedang pendeknya, sehingga orang bertubuh kecil itu setiap
saat harus menghindar atau menangkis serangan-serangan
itu. Beruntun dan bahkan hampir tidak berhenti sama
sekali. Kedua anak muda itu meloncat menyerang silih
berganti dan susul menyusul antara ujung pedang
pendeknya dan paser-paser kecilnya.
"Bukan main," desis orang bertubuh kecil yang
kehilangan kesempatan untuk membalas menyerang.
Bahkan iapun menjadi cemas karena serangan-serangan
kedua lawannya yang semakin meningkat.
Sehingga akhirnya, orang bertubuh kecil itupun sampai
pada satu kenyataan, bahwa ia tidak dapat bertahan lebih
lama lagi. Sementara itu, Mahisa Bungalan semakin lama menjadi
semakin cemas akan keadaan kedua adiknya. Mereka telah
terlalu lama pergi, sehingga menimbulkan dugaan yang
menggelisahkan. Pangeran Singa Narpada pun agaknya melihat
kegelisahan itu. Sehingga karena itu, maka iapun kemudian
berkata, "Mahisa Bungalan. Aku dapat merasakan
kegelisahan perasaanmu. Kedua adikmu memang sudah
terlalu lama pergi. Karena itu, maka biarlah kau
mencarinya. Aku akan menjaga benda ini sebaik-baiknya."
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ia
menjadi bimbang. Apakah ia dapat meninggalkan Pangeran
Singa Narpada dengan benda yang paling berharga itu.
Apalagi keadaan Pangeran Lembu Sabdata yang tidak
dapat dianggap wajar. Namun Pangeran Singa Narpada kemudian berkata,
"Pergilah. Mungkin kedua adikmu itu memang
memerlukanmu." Mahisa Bungalan pun kemudian bangkit. Sambil
memandang berkeliling ia bergumam, "Baiklah Pangeran.
Aku tidak akan pergi terlalu lama."
"Tetapi sementara ini, biarlah aku memersilahkan
adimas Lembu Sabdata untuk tidur," berkata Pangeran
Singa Narpada sambil mendekati Pangeran Lembu Sabdata
yang duduk memandang kehijauan dedaunan dengan
tatapan mata yang kosong.
"Marilah," berkata Pangeran Singa Narpada, "tidurlah."
Kata-kata itu seakan-akan merupakan perintah yang
tidak terlawan. Bahkan kemudian sebuah sentuhan telah
membuat Pangeran Lembu Sabdata benar-benar tertidur.
Mahisa Bungalan pun menjadi agak tenang melihat
Pangeran Lembu Sabdata yang telah tertidur. Dengan
demikian jika terjadi sesuatu, Pengeran Singa Narpada
dapat memusatkan perhatiannya kepada benda yang paling
berharga di Kediri itu, sehingga ia akan dapat menjaganya
dengan sebaik-baiknya. Karena sebenarnyalah Mahisa
Bungalan mempunyai perhitungan tersendiri.
"Pangeran," berkata Mahisa Bungalan, "Aku mohon
diri. Tetapi aku mempunyai dugaan bahwa mungkin sekali
seseorang memang telah memancing salah seorang diantara
kita untuk pergi." "Aku mengerti," berkata Pangeran Singa Narpada, "Kita
akan sangat berhati-hati."
Demikianlah, maka Mahisa Bungalan pun kemudian
meninggalkan tempat itu. Langkahnya perlahan-lahan.
Rasa-rasanya kedua kakinya masih dibebani oleh keraguraguannya,
sehingga ia tidak meloncat dan melangkah
dengan cepat. Namun akhirnya langkahnya itupun semakin lama
menjadi semakin cepat. Ketika ia berpaling dan tidak lagi
melihat Pangeran Singa Narpada, maka iapun berjalan
semakin cepat. Ketika Mahisa Bungalan meloncati sebatang sungai kecil
dan turun di sebuah jalan sempit, langkahnya terhenti. Ia
ragu-ragu memilih arah. Apakah sebaiknya ia ke kiri atau
kekanan. Tetapi selagi ia masih ragu-ragu, maka dilihatnya dua
orang yang berjalan tergesa-gesa ke arahnya. Keduanya
ternyata adalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam,
sementara kedua adiknya yang melihatnya justru telah
mempercepat langkah mereka.
"Kalian terlalu lama pergi," desis Mahisa Bungalan
ketika kedua adiknya menjadi semakin dekat.
Mahisa Murti lah yang kemudian berceritera apa yang
telah terjadi atas mereka. Sehingga akhirnya ia berkata,
"Ternyata bahwa orang bertubuh kecil dan bertongkat
panjang itu telah meninggalkan gelanggang. Kami semula
memang berusaha untuk memburunya. Namun dengan
ilmunya, orang itu berhasil lolos dari tangan kami dan
meningggalkan kami semakin jauh. Cahaya yang seakanakan
meloncat dari ujung tongkatnya itu banyak
menghalangi kami, apalagi kami memang merasa bahwa
jika kami terlalu lama pergi, kami akan dapat
menggelisahkan kakang dan Pangeran Singa Narpada."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba
ia berkata, "Jika demikian, kita harus cepat kembali.
Mungkin Pangeran Singa Narpada harus menghadapi orang
itu." "Tetapi apakah orang itu mengetahui tempat kita
berhenti dan beristirahat?" bertanya Mahisa Pukat.
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Namun
iapun kemudian meloncat sambil berkata, "Kita harus cepat
kembali." Kedua adiknya pun cepat menyusulnya. Ketiganya pun
kemudian berloncatan diatas tanah berbatu. Kemudian
mereka menyusup gerumbul-gerumbul kecil sehingga
akhirnya mereka sampai ke tempat Pangeran Singa
Narpada menunggu. Ketiga orang itu menjadi berdebar-debar. Ternyata
Pangeran Singa Narpada telah berdiri berhadapan dengan
orang bertubuh kecil dan bertongkat panjang. Sambil
memegang Mahkota yang dibungkusnya rapat-rapat,
Pangeran Singa Narpada siap menghadapi segala
kemungkinan. Tetapi orang bertubuh kecil itu kemudian berkata, "Aku
tidak akan berbuat sesuatu."
Pangeran Singa Narpada masih berhati-hati. Sementara
Mahisa Bungalan dan kedua adiknya telah datang
mendekat. "Nah," berkata Mahisa Pukat, "Kita bertemu lagi.
Marilah. Kita akan melanjutkan permainan kita. Jika kau
masih mampu melontarkan ilmumu yang nggegirisi itu,
maka aku pun masih mempunyai paser-paser kecil. Bahkan
sebagian yang telah kami lontarkan telah dapat kami
pungut kembali." Tetapi orang itu menggeleng. Katanya, "Tidak. Melawan
kalian berdua aku ternyata sudah kalah. Apalagi disini ada
empat orang yang tentu memiliki ilmu yang seimbang.
Bahkan aku yakin, bahwa yang lebih tua memiliki
pengalaman yang lebih luas."
"Lalu apa maksudmu datang kemari?" bertanya Mahisa
Pukat. Orang itu termangu-mangu, sementara Mahisa Murti
berkata kepada Mahisa Bungalan, "Orang inilah yang telah
aku katakan itu kakang."
Mahisa Bungalan memang sudah menduga ketika ia
melihat orang bersenjata tongkat itu. Selangkah ia
mendekati orang itu sambil berkata, "Kedua adikku sudah
berceritera tentang kau Ki Sanak. Tentang kemampuan
ilmumu yang sangat tinggi."
"Ah," desah orang itu, "Keduanya tentu hanya sekedar
memuji. Ternyata bahwa aku tidak mampu melawan
mereka berdua." "Kau tentu mengalah. Tetapi apakah maksudmu
sebenarnya?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Aku tidak mengalah," jawab orang bertongkat panjang
itu, "Aku memang kalah. Karena itu, maka aku telah
melarikan diri dari medan dan langsung menuju kemari."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk, sementara orang
bertubuh kecil itulah yang kemudian bertanya, "Jadi kedua
orang anak muda itu adalah adikmu?"
"Ya," jawab Mahisa Bungalan, "Keduanya adalah
adikku. Anak ingusan yang baru dapat bermain kucingkucingan."
Namun segera Mahisa Bungalan melanjutkan,
"Tetapi bukan berarti bahwa kakaknya mampu lebih baik
dari keduanya." "Tentu," sahut orang itu, "Aku yakin bahwa kakaknya
akan dapat berbuat lebih dari kedua adiknya. Tetapi
siapakah sebenarnya kalian?"
"Untuk apa kau bertanya tentang kami," Pangeran
Singa Narpada lah yang menyahut, "Kami adalah orang
kabur kanginan. Berkandang langit, berselimut embun."
"Ah, sebutan bagi mereka yang sengaja merendahkan
diri," berkata orang itu, "Tetapi apakah aku boleh
mengetahui, siapakah kalian."
Pangeran Singa Narpada menggeleng sambil menjawab.
"Tidak ada gunanya. Siapapun kami dan siapapun kau,
akan sama saja artinya dalam hubungan kita."
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya,
"Aku telah mulai dari sudut yang keliru. Aku tidak dapat
menyalahkan kalian jika kalian tidak lagi merasa perlu
untuk mengetahui siapa aku, dan tidak lagi menganggap
ada gunanya jika aku menanyakan siapakah kalian."
"Aku tidak tahu apa yang telah terjadi. Tetapi menilik
kehadiranmu dan sikap kedua anak muda itu, maka begitu,
kau bukan seorang yang dapat dianggap tidak bermaksud
apa-apa." "Itulah yang aku maksudnya, bahwa aku telah mulai
dari satu sudut yang salah dalam usahaku mendekati
kalian." berkata orang bertubuh kecil itu.
"Nah," berkata Mahisa Bungalan, "Sebaiknya kau
menyebut saja, apa maksudmu. Kau sudah menyerang
kedua adikku dan bertempur melawan mereka. Jika kau
benar-benar mengaku kalah, kau tentu tidak akan datang
kemari. Karena itu, agaknya kau ingin memilih lawan yang
mungkin kau anggap lebih tua dari sekedar anak-anak yang
terlalu muda." "Tidak," jawab orang itu, "Aku benar-benar merasa
kalah. Tetapi aku merasa wajib untuk datang menemui
kalian." Kerut di dahi Mahisa Bungalan menunjukkan gejolak di
hatinya. Namun orang bertubuh kecil itupun kemudian
berkata, "Baiklah, aku ingin minta maaf kepada kedua anak
muda itu. Aku mungkin telah menyakiti hati mereka dan
mengganggu mereka." "Katakan, apa maksudmu," geram Mahisa Pukat,
"Kami sudah terlalu letih menunggu pembicaraan yang
berputar-putar ini."
Orang bertubuh kecil dan bertongkat panjang itu menarik
nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Baiklah.
Aku akan berterus terang. Aku tahu bahwa kedua orang
anak muda itu termasuk dua orang diantara kalian
berempat. Karena itu, aku memang ingin menjajagi
kemampuan mereka. Sebenarnya yang aku inginkan bukan
keduanya. Tetapi siapapun diantara kalian." orang itu
berhenti sejenak, lalu, "Ternyata bahwa kemampuan kedua
anak muda itu, dan tentu juga kalian berdua yang lebih tua,
jauh lebih tinggi dari dugaanku."
"Hanya sekedar menjajagi tanpa maksud yang lain?"
bertanya Mahisa Murti. Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Ki Sanak. Sebenarnyalah aku memang terlalu
banyak mencampuri persoalan orang lain. Sebenarnya aku
tidak berkepentingan apapun juga dengan kalian.
Sebenarnyalah kita hanya berpapasan saja di jalan. Jika aku
tidak berpaling kepada kalian dan kalian tidak berpaling
kepadaku, maka tidak pernah akan timbul persoalan. Tetapi
dalam pengembaraan ini, tiba-tiba saja hatiku telah digelitik
oleh satu keinginan untuk mengetahui, apakah yang
sebenarnya terjadi. Ternyata bahwa benda yang aku
cemaskan itu dikawal oleh orang-orang yang memiliki
kemampuan yang sangat tinggi, sehingga tidak perlu
dicemaskan akan jatuh ke tangan orang lain. Tetapi tentu
aku ingin meyakinkan, bahwa benda itu sekarang telah
berada di tangan orang yang benar dan berhak."
"Benda apa yang kau maksud Ki Sanak?" bertanya
Mahisa Bungalan. "Jangan terlalu memperbodoh orang lain," berkata
orang bertubuh kecil dan bersenjata tongkat panjang itu,
"Meskipun kau bungkus dengan seribu lembar kain, namun
cahaya tejanya tidak akan tertutup karenanya. Menurut
pengamatanku, teja yang memancar dari benda yang kau
bawa itu adalah teja dari benda yang sangat berharga bagi
Kediri. Teja itu pernah aku lihat memancar di atas gedung
perbendaharaan di Kediri. Warna dan jenisnya. Tiba-tiba
saja aku melihat cahaya itu di sini. Bukankah dengan
demikian hal ini sangat menarik perhatian?"
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Sementara Mahisa Bungalan bertanya, "Kau melihat teja
memancar?"

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya. Mungkin memang tidak setiap orang melihatnya.
Tetapi adalah kebetulan bahwa aku mendapati kurnia
penglihatan mata batin untuk dapat menangkap cahaya teja
yang memang tidak setiap saat memancar," jawab orang
bertongkat itu. Mahisa Bungalan memandang orang itu dengan
tajamnya, sementara Pangeran Singa Narpada bergeser
selangkah maju. Dengan nada datar Pangeran Singa
Narpada bertanya, "Ki Sanak. Apakah kau yakin bahwa
memang melihat teja sebagaimana kau lihat di atas gedung
perbendaharaan?" Orang bertubuh kecil dan bersenjata tongkat itu menarik
nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Aku adalah orang
kebanyakan sebagaimana orang lain yang dapat berbuat
salah. Tetapi menurut penglihatanku, apa yang aku lihat di
sini adalah apa yang pernah aku lihat di gedung
perbendaharaan itu."
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Lalu
katanya, "Baiklah Ki Sanak. Seandainya kau benar, apakah
yang akan kau lakukan selanjutnya" Apakah kau
menginginkan benda yang memancarkan teja itu?"
"Tidak Ki Sanak. Tidak," jawab orang itu dengan serta
merta, "yang ingin aku yakini, apakah benda itu tidak
berada di tangan orang yang salah."
"Orang yang salah bagaimana maksudmu?" bertanya
Pangeran Singa Narpada. "Orang yang mempunyai pamrih dari tuah yang ada di
dalam pusaka itu," jawab orang bertubuh kecil itu,
"Sehingga dengan demikian maka benda yang sangat
berharga itu berada di tangan orang yang tidak berhak."
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Dengan nada datar ia bertanya, "Bagaimana kau dapat
mengetahui bahwa orang yang membawa benda ini orang
yang berhak atau bukan?"
"Aku mengandalkan penglihatan mata batinku atas
orang itu," jawab orang bertubuh kecil itu. "Karena itu,
maka aku memerlukan bertemu dengan orang-orang yang
bertanggung-jawab atas benda itu. Ketika aku bertemu
dengan kedua orang anak muda itu, aku memang kurang
yakin. Meskipun demikian aku memang berniat menjajagi
kemampuan mereka." Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Lalu iapun
bertanya, "Jika demikian, maka kau sekarang akan
dapat mengatakan, apakah kau berhadapan dengan orang
yang berhak atau tidak?"
Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya
dengan nada dalam, "Sekali lagi aku katakan bahwa aku
dapat saja berbuat salah. Tetapi setelah berbicara dengan
kalian, maka aku berharap bahwa kalian adalah orangorang
yang memang berhak. Apalagi kalian ternyata
memang memiliki kemampuan yang memadai untuk
mengamankan benda itu."
"Bagaimana jika kau salah menilai kami?" bertanya
Pangeran Singa Narpada. "Sudah aku katakan, bahwa mungkin sekali aku berbuat
salah. Dan jika itu terjadi, apa boleh buat," jawab orang itu,
"Bukankah aku tidak akan dapat mengalahkan kalian"
Sehingga seandainya aku salah menilai, maka aku tidak
akan dapat menolong benda itu sekarang. Namun
pertemuan ini akan dapat aku jadikan bahan dan petunjuk
jika, pada suatu saat aku mendengar bahwa Kediri
kehilangan benda yang sangat berharga dari gedung
perbendaharaan." Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Namun dalam pada itu, orang bertubuh kecil itupun
bertanya sambil menunjuk kepada Pangeran Lembu
Sabdata yang terbaring diam-diam, "Siapakah orang ini?"
"Ia adalah adikku," jawab Pangeran Singa Narpada.
"Kenapa" Menurut penglihatanku, orang itu pulas."
"Kau benar," jawab Pangeran Singa Narpada, "Aku
telah menidurkannya, karena hal itu akan sangat berarti
baginya. Adikku memang mempunyai kelainan."
Orang itu termangu-mangu. Dipandanginya Pangeran
Lembu Sabdata yang tertidur nyenyak. Namun kemudian
iapun mengangguk-angguk. Katanya, "Ki Sanak. Aku
ternyata harus mempercayai kalian meskipun aku belum
tahu dengan pasti, siapakah kalian. Namun justru karena
itu, maka biarlah aku mengucapkan selamat bahwa benda
itu sudah berada di tangan kalian. Mudah-mudahan
penglihatanku atas kalian tidak salah."
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak.
Namun iapun kemudian bertanya, "Siapakah sebenarnya
kau Ki Sanak?" "Aku bukan orang yang pantas untuk dikenal. Bukan
karena aku ingin merahasiakan diri. Tetapi sebenarnyalah
aku tidak berarti apa-apa bagi kalian. Namun demikian
baiklah aku menyebutkan namaku jika itu pantas kau
dengar." orang itu berhenti sejenak, lalu katanya, "Aku
adalah seorang pertapa yang asing. Yang menyebut namaku
adalah Wantingan. Ki Ajar Wantingan."
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian ia bertanya, "Apakah kau pernah datang
ke istana Kediri?" Orang itu menggeleng. Katanya, "Tidak Ki Sanak. Aku
belum pernah datang ke istana Kediri, karena aku memang
tidak pernah mempunyai kepentingan apapun. Apalagi
ketika kemudian Kediri diaduk oleh pertentangan diantara
keluarga sendiri. Aku merasa semakin jauh dari setiap
hubungan dengan istana Kediri, meskipun aku pernah
berada di Kota Raja."
"Jika demikian apa artinya dengan langkah yang kau
ambil sekarang?" bertanya Pangeran Singa Narpada.
"Tidak lebih dari sikap seorang hamba yang wajib ikut
berusaha melindungi keselamatan Kediri dan segala
perlengkapan wibawanya termasuk benda yang kau bawa
itu," berkata orang bertubuh kecil itu, "Karena itu, maka
setelah aku bertemu dengan kalian, terutama Ki Sanak yang
membawa benda itu, maka aku yakin bahwa kalian
memang berhak membawa benda itu. Namun yang aneh
bagiku adalah kenapa benda itu justru kalian bawa sampai
ke tempat ini." Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak.
Namun jawabnya, "Aku memang sedang menyelamatkan
untuk mengembalikannya ke istana."
Orang bertubuh kecil itu mengangguk-angguk.
Dipandanginya Pangeran Singa Narpada dengan tajamnya.
Kemudian Mahisa Bungalan dan kedua adiknya. Dengan
nada datar ia berkata, "Aku percaya kepada kalian. Ketika
aku mulai melihat teja ini untuk pertama kalinya di bulak
panjang, aku mengikuti kalian dari jarak yang cukup jauh.
Kemudian ketika kedua orang diantara kalian memisahkan
diri, maka aku mencoba untuk menjajagi kemampuan
kalian. Dan ternyata kemampuan masih berada di lapisan
yang lebih rendah seperti yang aku katakan jujur. Tetapi
siapakah sebenarnya kalian?"
Pangeran Siang Narpada memandang orang itu pula
dengan tajam. Namun iapun mulai mempercayai orang itu.
Agaknya orang itu memang tidak mempunyai pamrih
apapun juga. Namun untuk menyatakan dirinya, Pangeran
Singa Narpada masih merasa segan. Karena itu maka
katanya, "Ki Ajar. Melihat sikap dan sorot mata Ki Ajar,
aku dapat meyakinkan diriku, bahwa Ki Ajar memang tidak
bermaksud buruk. Tetapi sebaliknya Ki Ajar
menyempatkan diri untuk datang ke Kediri. Mudahmudahan
kita akan dapat bertemu."
"Bagaimana aku dapat mencari kalian di Kota Raja?"
bertanya Ki Ajar. "Mungkin Ki Ajar akan dapat meyakinkan diri bahwa
pada suatu saat Ki Ajar akan dapat melihat teja yang sama
memancar lagi dari gedung perbendaharaan. Kemudian Ki
Ajar akan dapat mendengar dari orang-orang dalam,
siapakah yang Ki Ajar cari. Bertanyalah kepada orang yang
bertanggung jawab atas kembalinya pusaka ini. Ia akan
dapat menunjukkan kepada Ki Ajar, siapakah kami
sebenarnya." "Siapakah orang yang harus aku jumpai untuk
menanyakan sekelompok orang yang telah mengembalikan
benda yang sangat berharga ini?" bertanya Ki Ajar.
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian katanya, "Datanglah kepada Pangeran
Singa Narpada. Ia akan dapat menyebut nama kami
seorang demi seorang, karena kepadanyalah kami akan
menyerahkan benda yang sangat berharga ini."
Ki Ajar Wantingan mengangguk-angguk. Namun ada
sesuatu yang aneh di pandangan matanya meskipun tidak
diucapkannya. "Baiklah," berkata Ki Ajar Wantingan, "pada suatu saat
aku akan pergi ke Kota Raja. Jika aku tidak melihat teja itu
memancar dari gedung perbendaharaan dan jika aku
menghadap Pangeran Singa Narpada aku tidak mendapat
keterangan sebagaimana kau katakan, maka aku akan
menyesali kepercayaanku kepada kalian kali ini, meskipun
aku sadar, bahwa bagaimanapun juga sikapku, aku tidak
akan dapat berbuat apapun juga terhadap kalian."
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, "Baiklah Ki Ajar. Mudah-mudahan Ki Ajar tidak
perlu menyesal. Dan aku mohon Ki Ajar berdoa agar
perjalananku selamat sampai ke Kediri dan menyerahkan
benda ini kepada Pangeran Singa Narpada. Karena jika aku
bertemu dengan seseorang yang memiliki kemampuan
untuk melihat bahwa benda yang aku bawa ini memiliki
nilai yang sangat tinggi, baik sebagai benda dalam ujud
kewadagannya, maupun nilai-nilainya sebagai benda yang
dikeramatkan di Kediri, karena sebagian orang percaya
bahwa benda itu mempunyai pengaruh langsung atas
wahyu keraton, sedangkan orang itu mempunyai ilmu yang
tidak dapat kami atasi, maka satu kemungkinan akan
terjadi, bahwa benda ini tidak akan pernah kembali ke
Kediri, dan bahkan kamipun mungkin tidak akan pernah
melihat Kediri lagi."
Orang bertubuh kecil itu mengangguk-angguk. Lalu
kalanya, "Aku akan ikut berdoa bagi keselamatan kalian.
Mudah-mudahan kalian tidak bertemu dengan orang-orang
sebagaimana kau katakan. Tetapi baiklah kalian berhati hati
meskipun aku yakin bahwa tidak ada seorang pun yang
akan dapat mengalahkan kalian berempat sekaligus.
Panembahan Bajang pun tentu tidak."
Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya.
Bahkan Mahisa Bungalan pun bertanya, "Bagaimana
dengan Panembahan Bajang?"
Orang yang menyebut dirinya Ki Ajar Wantingan itu
menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya. "Orang itu
memiliki ilmu yang tinggi pula. Tetapi aku pun yakin,
bahwa ia tidak akan dapat mengambil benda itu dari kalian
jika ia sendiri dan bertempur dengan jujur. Panembahan
Bajang memiliki penglihatan sebagaimana dapat aku lihat.
Ia sebenarnya bukan seorang yang sejak semula memang
seorang yang jahat. Tetapi ia memiliki kelemahan pada
sikap dan keputusan yang diambilnya, sehingga ia mudah
sekali terpengaruh oleh orang lain."
"Apakah jika ia melihat benda ini ia akan berusaha
merampasnya?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Mungkin demikian," jawab Ki Ajar Wantingan,
"Kelebihannya adalah bahwa ia seorang yang licik dan
mempunyai kemampuan menyerang dari jarak jauh."
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ia
menggamit Mahisa Pukat yang ingin berbicara. Agaknya
Mahisa Pukat ingin mengatakan, bahwa orang yang disebut
itu sudah terbunuh dengan cara yang kurang dimengerti.
Namun niatnya itu harus diurungkannya.
Sementara itu, maka orang bertubuh kecil yang
menyebut dirinya Ki Ajar Wantingan itupun kemudian
telah minta diri. Dengan nada datar ia berkata, "Tunggulah.
Pada waktunya aku akan mengunjungimu."
"Terima kasih," berkata Pangeran Singa Narpada.
Ki Ajar itupun kemudian bergeser surut. Dipandanginya
keempat orang itu berganti-ganti. Kemudian iapun
melangkah meninggalkan mereka yang termangu-mangu.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Dengan nada rendah ia berkata, "Agaknya orang ini
memang lain dengan Panembahan Bajang."
Mahisa Bungalan kemudian berdesis, "Aku
mempercayainya. Tetapi bagaimanapun juga, kita memang
harus berhati-hati. Mungkin suatu saat ia benar-benar akan
mencari Pangeran Singa Narpada untuk menanyakan,
siapakah yang telah membawa benda yang nilainya sangat
tinggi bagi Kediri itu kembali ke istana."
"Mudah-mudahan ia tidak dapat mengenali aku," desis
Pangeran Singa Narpada. "Aku kira ia akan dapat mengenali Pangeran,
pengenalan orang-orang berilmu, sebagaimana Pangeran
sendiri, agaknya akan cukup tajam," desis Mahisa
Bungalan. Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk.
Kemudian katanya, "Nah, sekarang, apakah yang akan kita
lakukan?" "Kita masih akan menunggu hari mendekati senja."
jawab Pangeran Singa Narpada.
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun
kemudian Mahisa Pukat lah yang berkata, "Kita
mempunyai waktu terlalu banyak."
"Beristirahatlah sebaik-baiknya agar malam nanti, kita
akan dapat menempuh perjalanan semalam suntuk,"
berkata Mahisa Bungalan, "Kehadiran Ki Ajar Wantingan
merupakan peringatan bagi kita, bahwa ternyata meskipun
benda keramat itu dibungkus rangkap seratus, namun
pembungkusnya tidak dapat menahan pancaran teja yang
keluar dari benda itu, yang ternyata dapat dilihat oleh
orang-orang tertentu seperti Panembahan Bajang dan Ki
Ajar Wantingan."

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukanlah kakang pernah juga berusaha melihatnya?"
bertanya Mahisa Murti. "Tetapi dengan satu perjuangan yang cukup berat. Aku
dan agaknya juga Pangeran Singa Narpada tidak dapat
dengan serta merta melihat sebagaimana Ki Ajar dan
mungkin juga Panembahan Bajang," jawab Mahisa
Bungalan. Mahisa Murti pun mengangguk-angguk. Namun rasarasanya
ia segan sekali untuk duduk-duduk, berbaring dan
apalagi tidur tanpa berbuat apa-apa.
Namun setiap kali kakaknya memperingatkannya,
bahwa keduanya harus beristirahat. Merasa letih atau tidak,
mereka harus berusaha menghemat tenaga bagi malam hari,
karena di malam hari mereka akan menempuh perjalanan
yang cukup panjang. Betapapun juga menjemukannya, namun Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat memang harus menunggu, sementara
Pangeran Singa Narpada telah berusaha untuk
membangunkan adiknya. Tetapi setiap usaha untuk
mengadakan hubungan dengan adiknya, ternyata ia selalu
mengalami kegagalan. Pangeran Lembu Sabdata benarbenar
telah mengalami satu keadaan yang parah. Meskipun
secara wadag ia nampak tetap sehat, apalagi dengan segala
usaha Pangeran Lembu Sabdata dapat juga menyuapi
mulutnya sendiri, namun secara jiwani Pangeran Lembu
Sabdata telah kehilangan dirinya sendiri.
Demikianlah, setelah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
merasa jemu menunggu, barulah matahari turun ke Barat.
Dalam pada itu, maka Pangeran Singa Narpada dan
kelompok kecilnya telah mulai bersiap-siap. Menjelang
matahari tenggelam maka mereka pun segera meninggalkan
tempat itu untuk meneruskan perjalanan.
Namun keempat orang itu menyadari, bahwa mereka
memang harus sangat berhati-hati.
Ternyata bahwa selanjutnya mereka tidak lagi
menjumpai hambatan yang berarti. Mereka dapat
menempuh sisa perjalanan mereka dengan selamat sampai
di Kediri. Meskipun demikian Pengeran Singa Narpada tidak
langsung menuju ke istana. Tetapi ia membawa benda yang
dikeramatkan itu ke istananya bersama Mahisa Bungalan
dan kedua adiknya serta Pangeran Lembu Sabdata.
"Aku baru akan menyerahkannya besok," berkata
Pangeran Singa Narpada. Lalu, "Namun kau minta kalian
tinggal di rumah ini sampai benda itu kembali ke gedung
perbendaharaan." Mahisa Bungalan mengangguk. Katanya, "Sudah tentu
kami tidak akan berkeberatan."
"Sebagaimana saat aku pergi, maka tidak akan banyak
orang yang tahu bahwa aku telah kembali. Juga tentang
benda yang aku bawa itu. Tidak banyak orang yang tahu
bahwa benda itu pernah hilang. Pada saat yang dekat,
benda itu sudah akan kembali lagi ke tempatnya. Rakyat
Kediri tidak mengetahui, bahwa pada saat tertentu benda
pernah hilang dari gedung perbendaharaan," berkata
Pangeran Singa Narpada. Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Sambil
mengangguk-angguk ia berkata, "Biarlah masa-masa
pengembaraan mahkota itu tetap tidak diketahui oleh
rakyat Kediri. Meskipun ada satu dua orang yang
mengetahuinya yang agaknya sulit untuk tetap berusaha,
apalagi setelah benda itu kembali ke tempatnya."
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Namun
kemudian katanya, "Setelah benda itu kembali, justru tidak
terlalu berbahaya lagi jika berita hilangnya itu tersebar.
Rakyat tidak lagi menjadi gelisah, karena mereka percaya
bahwa mahkota itu adalah tempat bersemayamnya Wahyu
Keraton. Meskipun benda itu hilang, tetapi karena sudah
kembali, maka rakyat akan menjadi yakin, bahwa Wahyu
Keraton masih tetap berada di Kediri."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Karena itu,
katanya, "Mudah-mudahan rakyat Kediri akan menemukan
ketenangannya kembali."
"Ya," desis Pangeran Singa Narpada, "Namun masih
ada satu hal yang harus diperhatikan. Adimas Lembu
Sabdata. Kita harus berusaha menyembuhkannya. Tetapi
apakah jika ia menjadi sembuh, ia tidak lagi dibayangi oleh
keinginan-keinginan gilanya itu" Sehingga ketenangan
rakyat Kediri akan terguncang kembali sebagaimana yang
telah terjadi pada masa kegarangan Pangeran Kuda
Permati." Mahisa Bungalan termangu-mangu. Pangeran Lembu
Sabdata memang akan menjadi satu masalah yang harus
mendapatkan pemecahan. Tetapi untuk sementara
keadaannya tidak membahayakan. Meskipun demikian
bukan berarti bahwa kemungkinan-kemungkinan yang
dapat terjadi itu diabaikan.
Demikianlah, setelah bermalam di istana Pangeran Singa
Narpada, maka mahkota yang untuk beberapa saat lamanya
tidak ada di gedung perbendaharaan Kediri telah
diserahkan kembali oleh Pangeran Singa Narpada. Seperti
dikatakannya, maka sebagaimana saat ia meninggalkan
Kediri, maka tidak banyak orang yang tahu dan
membicarakannya pada saat ia kembali. Namun di
lingkungan istana Kediri, kehadirannya bersama mahkota
yang hilang itu merupakan satu hal yang dianggap sebagai
pertanda yang baik bagi masa depan Kediri.
"Aku mengucapkan terima kasih," berkata Sri Baginda.
"Seharusnya aku menyambut kedatanganmu dengan
upacara kebesaran." "Tidak Baginda," jawab Pangeran Singa Narpada,
"yang tidak mengetahui bahwa aku pergi, biarlah tetap
tidak mengetahuinya."
"Akhirnya semua orang, terutama orang-orang dalam,
mengetahui juga bahwa kau telah pergi, setelah untuk
waktu yang cukup lama aku tidak kelihatan," berkata Sri
Baginda. "bahkan beberapa orang langsung bertanya
kepadaku. Agaknya bagiku lebih baik mengatakan bahwa
aku sedang pergi daripada mereka menyangka bahwa kau
pun sedang mempersiapkan sebuah pemberontakan."
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Namun
kemudian iapun mohon diri untuk beristirahat setelah
menempuh perjalanan yang panjang dan berliku.
"Hamba mohon agar mahkota itu mendapat penjagaan
yang memadai," berkata Pangeran Singa Narpada.
"Ya. Aku tentu tidak akan membiarkannya hilang untuk
kedua kalinya," jawab Sri Baginda. Namun tiba-tiba saja Sri
Baginda bertanya, "Apakah orang yang kau katakan pergi
bersamaan itu tidak akan kau bawa menghadap?"
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, "Orang itu masih ada di rumah hamba Sri
Baginda. Jika Sri Baginda menghendaki, maka biarlah pada
kesempatan lain, hamba akan membawanya menghadap."
"Sudah sepantasnya kau bawa orang itu kemari. Aku
akan mengucapkan terima kasih kepadanya," berkata Sri
Baginda. "Orang itu adalah seorang perwira dari Singasari,"
berkata Pangeran Singa Narpada kemudian.
Sri Baginda mengangguk-angguk. Namun kemudian
katanya, "Apa salahnya jika ia seorang perwira dari
Singasari" Aku ingin berbicara dengan orang itu dan
menyatakan terima kasih bukan saja aku pribadi, tetapi
Kediri pada umumnya."
"Baiklah Sri Baginda," jawab Pangeran Singa Narpada,
"Sebenarnyalah ada juga keinginan hamba untuk
membawanya menghadap. Tetapi setelah ada perintah Sri
Baginda, maka rasa-rasanya ia akan menjadi semakin
mantap." Dengan demikian, maka Pangeran Singa Narpada telah
mohon diri. Namun keinginan Sri Baginda untuk bertemu
Mahisa Bungalan menahan Mahisa Bungalan untuk tetap
tinggal di Kediri lebih lama lagi, meskipun sebenarnya ia
ingin segera kembali ke Singasari setelah sekian lamanya ia
meninggalkan tugasnya sebagai prajurit.
"Besok kita menghadap," berkata Mahisa Bungalan,
"Selanjutnya aku akan dapat segera meninggalkan Kediri
kembali ke kesatuanku."
"Kenapa tergesa-gesa" Bukankah kau tidak pergi begitu
saja" Bukankah kau sudah mendapat ijin untuk waktu yang
tidak terbatas," jawab Pangeran Singa Narpada.
"Tetapi rasa-rasanya aku sudah terlalu lama pergi,"
jawab Mahisa Bungalan. "Baiklah. Tetapi jangan kau sia-siakan kesempatan ini,"
berkata Pangeran Singa Narpada, "Bukan karena kau akan
menerima hadiah. Tetapi dengan demikian kau akan dapat
menjadi jalur hubungan antara Kediri dan Singasari."
"Bukankah jalur itu sudah ada?" bertanya Mahisa
Bungalan. "Jalur yang resmi memang sudah ada," jawab Pangeran
Singa Narpada, "Tetapi kehadiranmu dengan kemenangan
yang pernah kau berikan kepada Kediri tentu akan
membuat jalur yang lain, yang barangkali akan menjadi
lebih akrab dari jalur yang sudah ada."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun sekali
lagi ia berkata, "Baiklah. Besok kita menghadap."
Pangeran Singa Narpada mengangguk pula. Tetapi ia
tidak memberikan keterangan lebih panjang, meskipun
sebenarnya didalam hatinya terbersit kecemasan tentang
sikap Sri Baginda yang dibayangi oleh kebimbangan. Ia
berharap bahwa jasa yang telah diberikan oleh seorang
perwira Singasari akan meyakinkan Sri Baginda sehingga
sikapnya tidak lagi samar-samar.
Sebenarnyalah, di hari berikutnya, Mahisa Bungalan
telah ikut bersama Pangeran Singa Narpada menghadap.
Dengan ramah Sri Baginda telah menerima Mahisa
Bungalan yang telah ikut serta bersama Pangeran Singa
Narpada menemukan kembali benda yang paling berharga
bagi Kediri itu. Dengan tulus Sri Baginda menyatakan
terima kasihnya yang tidak terhingga.
"Langsung atau tidak langsung, Singasari telah ikut
mempertahankan hadirnya wahyu keraton di Kediri,"
berkata Sri Baginda. "Itu adalah bagian dari kewajiban hamba Sri Baginda."
jawab Mahisa Bungalan, "Keberhasilan usaha Pangeran
Singa Narpada untuk menemukan kembali benda yang
sangat berharga bagi Kediri itu, telah memberikan
kebanggaan pula bagi Singasari, karena sebenarnyalah
Kediri adalah salah satu dari anggauta keluarga Singasari."
Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Apa
yang dapat aku berikan sebagai pernyataan terima kasih
Kediri?" Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Ia tidak
segera menangkap maksud Sri Baginda. Bahkan diluar
sadarnya Mahisa Bungalan telah berpaling kepada
Pangeran Singa Narpada. "Mahisa Bungalan," berkata Pangeran Singa Narpada.
"Sri Baginda ingin menyatakan terima kasih yang tulus.
Mungkin sama sekali tidak kau kehendaki. Tetapi agaknya
Sri Baginda ingin memberikan sedikit kenangan sebagai
pernyataan terima kasihnya itu."
"O," Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, "Ampun Sri Baginda. Bukan berarti bahwa
hamba menolak pernyataan tulus Sri Baginda. Tetapi apa
yang aku lakukan tidak lebih dari mengemban kewajiban.
Seandainya Sri Baginda ingin memberikan kenangkenangan
atas hasil yang hamba capai meskipun sama
sekali tidak banyak berarti itu, maka sebaiknya Baginda
menegaskan sikap Kediri sebagaimana selama ini dijadikan.
Bukankah ikatan yang lebih mantap antara Kediri dan
Singasari itu merupakan pertanda terima kasih yang tidak
ada taranya." Sri Baginda justru mengerutkan keningnya. Memang
nampak perubahan pada wajah Sri Baginda. Namun
sejenak kemudian Sri Baginda berhasil menguasai
perasaannya. Bahkan iapun kemudian tersenyum sambil
berkata, "Kau memang seorang Senapati yang pantas
menjadi tauladan. Baiklah. Aku akan mencoba melakukan
sebagaimana kau katakan."
"Terima kasih Baginda," jawab Mahisa Bungalan,
"untuk selanjutnya, maka sekaligus hamba akan mohon
diri. Besok hamba akan meninggalkan Kediri kembali ke
Singasari." "Begitu tergesa-gesa?" bertanya Sri Baginda.
"Hamba sudah terlalu lama meninggalkan tugas-tugas
hamba," berkata Mahisa Bungalan.
Sri Baginda tidak dapat menahannya. Ketika Mahisa
Bungalan meninggalkan bangsal penghadapan, maka sekali
lagi Sri Baginda mengucapkan terima kasihnya.
"Baginda ingin memberikan sesuatu kepadamu,"
berkata Pangeran Singa Narpada.
"Aku sudah menyatakan terima kasih," jawab Mahisa
Bungalan, "Sebaiknya tidak menerima pernyataan terima
kasih dalam ujud benda. Tetapi dalam ujud sikap
sebagaimana Pangeran sendiri mengharapkan."
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya,
"Baiklah. Aku mengerti maksudmu. Dan Sri Baginda pun
agaknya mengerti juga. Tetapi aku harap kau tidak tergesagesa
pergi. Kau dan kedua adikmu akan aku minta untuk
tetap berada di rumahku untuk beberapa hari."
"Pangeran sudah mengetahui, bahwa aku ingin segera
kembali ke Singasari. Aku bukannya orang yang tidak
mempunyai keluarga yang menunggu kedatanganku.
Mungkin Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat
melakukannya. Atau mungkin mereka pun ingin menengok
ayah di rumah." Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Katanya kemudian, "Aku mengerti. Memang aku tidak
akan dapat menahanmu terlalu lama. Tetapi tentu kau
masih perlu melepaskan lelah barang satu dua hari."
"Baiklah," berkata Mahisa Bungalan, "Aku akan


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bermalam dua malam lagi. Aku tentu merasa letih lagi
untuk menempuh perjalanan kembali ke Singasari."
Demikianlah, maka sesuai dengan permintaan Pangeran
Singa Narpada maka Mahisa Bungalan masih tetap berada
di Kediri setelah ia bermalam lagi. Ia masih akan bermalam
satu malam lagi. Baru di keesokan harinya ia akan
meninggalkan istana Pangeran Singa Narpada.
Dalam pada itu, di istana Pangeran Singa Narpada,
Mahisa Bungalan dan kedua adiknya telah mendapat
perlakuan yang baik sekali, karena Pangeran Singa Narpada
rasa-rasanya memang berhutang budi kepada Mahisa
Bungalan. Tanpa Mahisa Bungalan dan kedua adiknya,
maka ia tentu tidak akan berhasil membawa mahkota itu
kembali. Bahkan mungkin ia sendiri untuk seterusnya tidak
akan pernah kembali ke Kediri.
Sementara itu, ketika senja turun, Mahisa Bungalan
sempat berbicara dengan kedua adiknya, apakah keduanya
akan kembali ke Singasari atau tidak.
"Memang ada keinginan untuk pulang," berkata Mahisa
Pukat, "Sudah lama aku tidak bertemu dengan ayah."
"Bagaimana dengan kau Mahisa Murti?" bertanya
Mahisa Bungalan. "Rasa-rasanya aku ingin juga kembali barang satu dua
hari sebelum kami akan mulai dengan pengembaraan
baru." jawab Mahisa Murti.
"Jika demikian maka kita akan kembali bersama-sama,"
berkata Mahisa Bungalan, "Namun ada baiknya juga untuk
berjalan bertiga pada jarak yang cukup panjang daripada
berjalan seorang diri."
Dalam pada itu Pangeran Singa Narpada pun menyebut.
"Kalian akan dapat membawa tiga ekor kuda."
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Namun
Mahisa Pukat lah yang mendahului menjawab, "Terima
kasih. Menyenangkan sekali menempuh perjalanan dengan
berkuda." Mahisa Bungalan tersenyum. Adiknya ternyata lebih
senang menempuh perjalanan kembali diatas punggung
kuda. Agaknya karena tidak ada lagi kepentingan mereka di
perjalanan, maka perjalanan yang terlalu lama akan
menjadi sangat menjemukan. Karena itu, setiap usaha
mempercepat perjalanan akan sangat menyenangkan.
"Baiklah," berkata Pangeran Singa Narpada, "Besok
akan disediakan tiga ekor kuda yang baik. Mudah-mudahan
kuda-kuda itu tidak justru memperlambat perjalanan
kalian." "Kuda-kuda itu kelak kami pelihara dengan baik,"
berkata Mahisa Pukat. Pangeran Singa Narpada pun tersenyum pula. Meskipun
kedua anak muda itu telah menunjukkan kemampuan yang
tinggi, serta puncak ilmu yang mengagumkan, namun
pengaruh kemudaan masih nampak pada sikap mereka.
Dalam pada itu, selagi mereka berbincang tentang kuda,
maka seorang pengawal telah menghadap Pangeran Singa
Narpada untuk menyampaikan permohonan seseorang
yang akan menghadap. "Siapa?" bertanya Pangeran Singa Narpada.
"Orang itu mengaku bernama Ki Ajar Wantingan,"
jawab pengawal itu. "Ajar Wantingan," ulang Pangeran Singa Narpada.
"Ya Pangeran," jawab pengawal itu.
"Apakah kau melihat ciri-ciri dari orang itu?" bertanya
Pangeran Singa Narpada pula.
"Orang itu bertubuh kecil dengan membawa sebatang
tongkat yang panjang," jawab pengawal itu.
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Lalu
katanya, "Silahkan Ki Ajar menunggu aku di serambi. Aku
akan segera datang."
Pengawal itupun kemudian telah bergeser meninggalkan
ruangan itu untuk mempersilahkan Ki Ajar Wantingan
duduk di serambi. "Sebentar lagi Pangeran akan datang," berkata
pengawal itu. "Tetapi bukankah Pangeran sudah bersedia menerima
kedatanganku?" bertanya Ki Ajar.
"Ya. Pangeran sudah memerintahkan aku untuk
mempersilahkan Ki Ajar menunggu," jawab pengawal itu.
"Terima kasih," desis Ki Ajar yang kemudian duduk
menunggu dengan hati berdebar-debar. Ia belum pernah
berkenalan dengan Pangeran Singa Narpada. Namun
menurut pesan orang yang membawa benda yang akan
dikembalikan itu adalah, agar ia menemui Pangeran Singa
Narpada. Untuk beberapa saat lamanya Ki Ajar menunggu.
Namun ia menjadi ragu-ragu, apakah benar bahwa
Pangeran Singa Narpada bersedia menerimanya. Orang
yang belum pernah dikenalnya.
Dalam kegelisahannya menunggu, Ki Ajar itu melihat
seseorang melintasi halaman menuju ke serambi itu. Orang
itu adalah orang yang sudah dikenalnya. Orang yang
membawa benda yang dikeramatkan di Kediri.
"Ki Ajar," orang itu tertegun. "Kenapa Ki Ajar berada
disini?" "O." Ki Ajar telah melangkah turun dari serambi
menemui orang itu, "Aku memenuhi pesanmu. Aku akan
menghadap Pangeran Singa Narpada."
"Dan kau sudah diterima?" bertanya orang itu.
"Belum. Aku sudah mohon kepada seorang pengawal
untuk disampaikan. Menurut pengawal itu, aku
diperintahkan untuk menunggu di serambi," jawab orang
itu. "O." orang itu mengangguk-angguk. "Jika demikian,
maka sebentar lagi Pangeran Singa Narpada tentu akan
datang. Marilah. Silahkan duduk. Aku akan menemani Ki
Ajar menunggu." "Terima kasih," jawab Ki Ajar.
Sejenak kemudian, maka keduanya telah duduk di
serambi. Orang yang menemani Ki Ajar itupun bertanya
tentang Ki Ajar yang demikian cepatnya menyusulnya.
"Aku tidak terpisah jauh dari kalian," berkata Ki Ajar.
"Maaf Ki Sanak. Meskipun aku mempercayaimu dan
kawan-kawanmu, namun ada juga sedikit kecemasan,
bahwa kau akan mengalami kesulitan di perjalanan."
"Atau Ki Ajar mencurigai kami, bahwa kami tidak akan
sampai ke istana," jawab orang itu.
Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Sejak
kalian memasuki istana ini aku dapat mengenalinya."
"Cahaya teja itu," potong orang itu.
"Ya. Aku menjadi sedikit gelisah karena benda itu tidak
langsung diserahkan kepada Sri Baginda. Tetapi bermalam
di istana ini semalam," berkata Ki Ajar.
"Aku adalah utusan Pangeran Singa Narpada," jawab
orang yang menemaninya duduk. "Karena itu aku akan
melaporkan diri sambil membawa bukti bahwa aku telah
menyelesaikan tugasku dengan baik."
Ki Ajar mengangguk-angguk sambil berguman. "Kau
benar. Ternyata di hari berikutnya benda itu sudah berada
di gedung perbendaharaan."
"Ya. Benda itu sudah kembali ke tempatnya, sehingga
agaknya sudah tidak ada persoalan lagi," berkata Pangeran
Singa Narpada. "Syukurlah," Ki Ajar itu mengangguk-angguk. Namun
tiba-tiba saja ia berkata, "Ah, jika demikian, maka aku kira,
aku tidak perlu menghadap Pangeran Singa Narpada,
karena kepentingan menemui Pangeran adalah untuk
menanyakan siapakah orangnya yang tengah
mengembalikan benda itu. tetapi ternyata bahwa aku telah
menemuinya di sini Ki Sanak. Sebaiknya aku datang
berkunjung ke rumahku. Dimanakah ketiga orang
kawanmu itu" Anak-anak muda yang luar biasa yang telah
memiliki ilmu melampui ilmuku?"
"Apakah Ki Ajar akan menemui mereka?" bertanya
Pangeran Singa Narpada. "Ya, tentu. Aku ingin bertemu dengan kalian berempat.
Berbincang tanpa dibayangi oleh kecurigaan. Berbicara
tentang hidup dan kehidupan sebagai orang kebanyakan."
Orang yang menemaninya itu menarik nafas dalamdalam.
Lalu katanya, "Marilah, kita menghadap Pangeran
Singa Narpada." "Aku mendapat perintah untuk menunggu. Aku tidak
berani. Atau seperti yang aku katakan, aku urungkan niatku
menghadap karena aku sudah bertemu Ki Sanak," berkata
Ki Ajar. Orang yang menemaninya duduk itu termangu-mangu.
Namun kemudian katanya, "Baiklah. Marilah kita
menghadap Pangeran Singa Narpada. Ki Ajar dapat
mengatakan bahwa Ki Ajar tidak jadi menghadap karena
orang yang Ki Ajar cari telah diketemukan."
"Apakah perlu?" bertanya Ki Ajar.
"Tentu," jawab orang yang menemaninya itu, "Agar
Pangeran Singa Narpada yang sudah terlanjur mendapat
pemberitahuan tentang kedatanganmu tidak justru
mencarimu." Ki Ajar mengangguk-angguk. Lalu katanya,
"Terserahlah kepada Ki Sanak. Tetapi segala sesuatunya
tergantung kepadamu."
"Marilah," jawab orang itu, "Aku sudah terbiasa
menghadap Pangeran Singa Narpada didalam."
Ki Ajar memandang orang itu dengan tajamnya. Namun
kemudian iapun mengangguk sambil menjawab, "Marilah.
Tetapi aku hanya sekedar itu."
Keduanya pun kemudian memasuki pintu samping
langsung menuju ke ruang dalam. Mereka terhenti ketika
mereka melihat Mahisa Bungalan dan kedua adiknya duduk
di sudut ruangan sambil berbincang diantara mereka.
"O," Mahisa Bungalan dan kedua adiknya pun bergeser.
"Marilah. Silahkan Ki Ajar."
"Kalian semuanya berada disini?" bertanya Ki Ajar.
"Ya. Kami masih tinggal disini untuk hari ini. Besok
kami sudah meninggalkan tempat ini," jawab Mahisa
Bungalan. "Untunglah bahwa aku datang hari ini. Jika aku
menunda sampai besok, apalagi lusa, maka aku tidak akan
dapat bertemu lagi dengan Ki Sanak semuanya," berkata Ki
Ajar. "Ya. Sebagai utusan Pangeran Singa Narpada kami
sudah melaporkan hasilnya. Karena itu, maka tugas kami
pun telah selesai sampai disini," berkata Mahisa Bungalan.
"Jika aku terlambat, maka kemana aku harus mencari
kalian?" bertanya Ki Ajar.
"Kami bertiga berada di Singasari," jawab Mahisa
Bungalan. "Tetapi kawan kami yang seorang itu akan tetap
tinggal disini." "O," Ki Ajar mengangguk-angguk. "Apakah ia memang
keluarga Pangeran Singa Narpada."
"Silahkan Ki Ajar bertanya saja langsung," jawab
Mahisa Bungalan. "Ki Ajar itu memandang orang yang membawanya
masuk dengan sorot mata yang memancarkan berbagai
pertanyaan didalam hatinya. Namun kemudian iapun
bertanya, "Aku ulangi pertanyaanku, apakah Ki Sanak
memang keluarga Pangeran Singa Narpada?"
"Ya," jawab orang itu, yang lalu mempersilahkan
tamunya, "Duduklah Ki Ajar. Mungkin kita dapat
berbincang sebentar sambil menunggu Pangeran Singa
Narpada. Ketiga orang ini juga akan mohon diri, karena
besok mereka akan meninggalkan Kediri."
Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun
kemudian telah duduk pula bersama Mahisa Bungalan dan
kedua adiknya, sementara orang yang membawanya masuk
untuk sekejap masih tetap berdiri di tempatnya. Namun
iapun kemudian telah duduk pula bersama mereka.
Untuk beberapa saat mereka masih berbincang tentang
benda yang sudah mereka kembalikan ke istana. Orang
yang membawa Ki Ajar itu masuk, agaknya tidak banyak
lagi berahasia tentang benda yang sudah diketemukannya
lagi. "Mahkota itu memang merupakan benda yang sangat
berharga, karena menurut kepercayaan beberapa pihak,
mahkota itu merupakan tempat bersemayam wahyu
keraton." berkata orang itu kemudian.
Ki Ajar mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja Ki
Ajar bertanya, "Jadi, apakah kita akan menghadap
Pangeran Singa Narpada?"
"Ya," jawab orang itu, "Tunggulah barang sebentar."
Orang itu termangu-mangu. Sementara Mahisa
Bungalan berkata, "berapa lama lagi ia harus menunggu?"
Orang yang membawa Ki Ajar itu masuk, tersenyum.
Tetapi sebelum ia menjawab, Ki Ajar berkata dengan suara
datar. "Aku minta maaf Pangeran. Sebenarnya sudah sejak
semula aku menduga, bahwa aku berhadapan dengan
seorang Pangeran, meskipun baru kemudian aku yakin
bahwa Pangeran adalah Pangeran Singa Narpada itu
sendiri." "O." orang yang membawanya itu mengerutkan
keningnya, "Apa yang Ki Ajar katakan?"
"Sejak aku melihat Pangeran membawa benda yang
dikeramatkan itu aku sudah mengira bahwa orang yang
memegang benda itu adalah orang yang sudah sewajarnya
membawanya. Menurut penglihatan batinku, orang yang
membawa benda itu tentu seorang Pangeran. Demikian
pula orang yang pada saat itu tertidur nyenyak." Ki Ajar itu
berkata selanjutnya, "Dan sekarang aku yakin, bahwa orang
itu adalah Pangeran Singa Narpada sendiri."
Pangeran Singa Narpada tersenyum. Lalu katanya, "Aku
lupa bahwa aku berhadapan dengan seseorang yang
memiliki penglihatan batin yang sangat tajam. Sebenarnya
aku ingin membuat Ki Ajar terkejut."
Ki Ajar tersenyum. Lalu katanya, "Sejak Pangeran
membawa aku memasuki ruangan ini, aku sudah pasti, jika
semula aku masih ragu-ragu."


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maaf Ki Ajar," berkata Pangeran Singa Narpada,
"Bukan maksudku mempermainkan Ki Ajar. Tetapi aku
hanya sekedar ingin membuat pertemuan kita menjadi lebih
akrab." "Aku mengerti," jawab Ki Ajar, "Karena itu, aku
berusaha untuk bertahan, seakan-akan aku belum yakin,
dengan siapa aku berhadapan. Namun akhirnya aku tidak
tahan lagi untuk tetap berpura-pura."
"Aku kira, akulah yang bertahan berpura-pura. Tetapi
ternyata Ki Ajar sudah melihat yang sebenarnya tanpa aku
sadari," berkata Pangeran Singa Narpada sambil
tersenyum. Mahisa Bungalan pun tersenyum pula. Ternyata Ki Ajar
Wantingan memang memiliki penglihatan batin yang
tajam. Agaknya bukan saja penglihatan batinnya, tetapi
juga panggraitanya sangat tajam.
Dengan demikian maka pertemuan selanjutnya memang
menjadi sangat akrab. Ki Ajar Wantingan yang belum
banyak dikenal sebelumnya oleh Pangeran Singa Narpada
rasa-rasanya bagaikan keluarga sendiri. Mereka dapat
berbincang dan berbicara tentang apa saja dengan hati
terbuka. Namun dalam pada itu, maka Ki Ajar Wantingan itupun
berkata diantara pembicaraan mereka tentang berbagai hal
yang tidak penting. "Pangeran, sebenarnya aku ingin
memberikan sedikit pesan bagi Pangeran."
"Tentang apa?" bertanya Pangeran Singa Narpada.
"Selagi aku masih ingat," berkata Ki Ajar Wantingan.
"Aku ingin sedikit memberikan pesan tentang benda yang
sangat berharga itu. Aku kira orang yang mampu melihat
cahaya yang terpancar dari benda itu bukannya hanya aku
dan Panembahan Bajang. Karena itu, maka benda itu
memerlukan perlindungan yang sangat kuat."
"Aku sudah mohon kepada Sri Baginda, agar
pengamanan atas benda itu diperkuat. Pengawal yang
bertugas di gedung perbendaharaan harus berlipat
jumlahnya," jawab Pangeran Singa Narpada.
"Itu tidak cukup Pangeran," berkata Ki Ajar Wantingan.
"Jadi bagaimana?" bertanya Pangeran Singa Narpada,
"Apakah harus ada satu dua orang yang memiliki ilmu
yang tinggi untuk mengawasi benda itu?"
"Penjagaan yang kuat dengan jumlah pengawal yang
berlipat tidak akan banyak menolong," jawab Ki Ajar
Wantingan, "cobalah Pangeran menceriterakan, bagaimana
maka benda itu dapat hilang sebelumnya."
"Yang mengambil pusaka itu memiliki kemampuan
untuk melontarkan ilmu sirep," jawab Pangeran Singa
Narpada. Ki Ajar Wantingan mengangguk-angguk. Katanya,
"Nah, bukankah dengan cara itu, meskipun para
pengawalnya menjadi berlipat, namun para pengawal itu
tidak akan banyak berarti."
"Jadi bagaimana menurut Ki Ajar?" bertanya Pangeran
Singa Narpada. "Pangeran," berkata Ki Ajar Wantingan. "Menurut
pengetahuanku yang picik, sebaiknya benda itu diletakkan
ke dalam satu kotak yang khusus."
"Kotak yang khusus yang bagaimana maksud Ki Ajar?"
bertanya Pangeran Singa Narpada.
"Kotak yang tidak terbuat dari kayu biasa," jawab Ki
Ajar, "Kotak itu harus terbuat dari perak dan dilapisi
dengan kulit seekor kerbau dungkul berwarna bule."
Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya. Lalu
iapun bertanya, "Jika benda itu disimpan dalam kotak dari
perak dan dilapisi dengan kulit kerbau bule dan dungkul,
apakah benda itu tidak akan dapat diambil orang?"
"Bukan begitu Pangeran," jawab Ki Ajar, "Dengan
kotak itu maka teja yang memancar dari benda itu tidak
akan dapat lolos, karena cahaya teja itu dapat diserap oleh
kotak perak yang berlapis kulit kerbau dungkul berwarna
bule." Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya.
"Jadi dengan demikian benda itu tidak mudah diketahui
tempatnya karena tidak dapat dilihat oleh orang-orang yang
berpandangan batin yang tajam sekalipun."
"Demikianlah Pangeran," jawab Ki Ajar, "Jika tidak
ditempatkan dalam kotak yang demikian, maka beberapa
orang khusus akan dapat melihatnya. Jika ada diantara
mereka tergelitik hatinya, maka kemungkinan yang buruk
dapat terjadi, sebagaimana pernah terjadi."
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya.
"Terima kasih Ki Ajar. Aku akan menyampaikannya
kepada Sri Baginda. Aku akan mohon agar benda itu
dibuatkan kotak dari perak, dan dicarikan seekor kerbau
bule yang bertanduk dungkul."
"Tentu tidak sulit dicari di seluruh Kediri," berkata Ki
Ajar. "Kotak dari perak tentu akan dapat dengan mudah
dibuat betapapun besarnya. Ada segerobag perak yang
dapat disiapkan dalam satu hari. Tetapi seekor kerbau bule
yang bertanduk dungkul itulah yang perlu dicari," berkata
Pangeran Singa Narpada, "Mungkin memerlukan waktu
yang cukup lama meskipun mungkin ada juga satu dua ekor
di seluruh Kediri ini."
"Tentu ada," berkata Ki Ajar, "Mungkin aku dapat
membantu. Jika pada satu saat aku bertemu dengan seekor
kerbau yang demikian, maka aku akan menyampaikannya
kepada Pangeran. Mungkin Pangeran sudah mendapatkan
sebelumnya, atau kerbau itu tidak akan boleh aku ambil.
Berbeda agaknya jika perintah itu datang dari Sri Baginda."
"Baiklah Ki Ajar," berkata Pangeran Singa Narpada,
"Jika Ki Ajar menjumpainya, ambillah jika diperbolehkan.
Jika tidak maka cepat-cepatlah sampaikan kepadaku."
Ki Ajar mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa
Bungalan tiba-tiba saja bertanya, "Apakah ada kekuatan
khusus pada selapis perak dan kulit kerbau bule bertanduk
dungkul?" "Ya. Sudah aku katakan kemampuannya menyerap
cahaya teja. Tetapi jika kau bertanya apa sebabnya, maka
aku tidak akan dapat menjelaskan. Aku mendengarnya dari
seorang pertapa. Dan sebenarnyalah, pada saat-saat aku
sempat membuktikan, maka ternyata keterangan itu benar,"
jawab Ki Ajar Wantingan. "Apakah Ki Ajar pernah menyimpan pusaka yang juga
memancarkan teja?" bertanya Mahisa Bungalan
selanjutnya. "Bukan aku. Tetapi pertapa itu," jawab Ki Ajar
Wantingan. Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya.
Dipandanginya Ki Ajar itu dengan tajamnya. Namun
kemudian ia bertanya, "Pertapa yang mana" Apakah Ki
Ajar sendiri bukan seorang pertapa?"
"Aku juga seorang yang berusaha menjauhkan diri dari
kepentingan duniawi. Tetapi apakah aku dapat disebut
seorang pertapa masih harus dipertanyakan. Seorang
pertapa adalah seseorang yang memiliki gegayuhan yang
tinggi disertai dengan laku yang berat dan tidak mengenal
lelah. Tetapi bukannya gegayuhan duniawi. Gegayuhan
yang berhubungan langsung dengan Maha Penciptanya.
Sementara itu, aku masih kadang-kadang mengeluh karena
keletihan dalam laku yang belum seberapa berat."
"Bagaimanapun juga, tetapi seseorang yang telah
menjauhkan diri dari kepentingan duniawi adalah orangorang
yang pantas mendapat kehormatan khusus, karena ia
adalah orang-orang yang dekat dengan Yang Maha
Agung," berkata Mahisa Bungalan.
Ki Ajar itu tersenyum. Dengan nada rendah ia berkata,
"Terima kasih Ki Sanak. Tetapi sebutan yang demikian
masih terlalu tinggi bagiku. Aku adalah sekedar orang yang
sedang mencoba menempuh laku itu."
Mahisa Bungalan tidak mempersoalkan lagi. Bahkan
pembicaran mereka pun kemudian justru telah bergeser ke
persoalan-persoalan lain yang tidak penting dan tidak ada
hubungannya dengan benda yang baru saja diselamatkan
oleh Pangeran Singa Narpada itu.
Malam itu Pangeran Singa Narpada telah
mempersilahkan Ki Ajar untuk bermalam di istananya.
Dengan demikian maka mereka dapat lebih banyak
berbicara tentang bermacam-macam persoalan. Sementara
itu, di keesokan harinya, Mahisa Bungalan dan kedua
adiknya pun akan kembali ke Singasari.
Ketika fajar menyingsing, maka para tamu Pangeran
Singa Narpada itupun telah bersiap-siap. Ketika Ki Ajar
telah selesai berbenah diri, maka ia adalah orang yang
pertama minta diri. Meskipun matahari belum terbit,
namun Ki Ajar itu telah meninggalkan halaman istana
Pangeran Singa Narpada. Sejenak kemudian maka Mahisa Bungalan dan kedua
adiknya pun telah bersiap pula. Merekapun kemudian
minta diri untuk meninggalkan Kediri setelah ketiganya
membantu melakukan satu tugas yang berat dan berbahaya.
Namun yang ternyata telah mencapai hasil yang memadai.
"Tidak ada cara yang tepat untuk menyatakan terima
kasih kami dan bahkan seluruh Kediri kepada kalian,"
berkata Pangeran Singa Narpada, "pada suatu saat maka
aku tentu akan datang ke Singasari untuk menyampaikan
laporan itu kepada Sri Maharaja di Singasari."
"Kami menunggu," sahut Mahisa Bungalan, "Mudahmudahan
untuk selanjutnya, tidak terjadi seperti yang baru
saja mengguncang Kediri."
Pangeran Singa Narpada tersenyum. Jawabnya,
"Mudah-mudahan. Kami akan berusaha sebaik-baiknya."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Sementara itu,
kuda-kuda mereka pun telah bersiap, sehingga sejenak
kemudian maka mereka pun telah bersiap pula untuk
berangkat. Namun dalam pada itu, ketika Mahisa Bungalan itu
sudah berada di pintu gerbang halaman istana iapun sempat
bertanya, "Pangeran. Apakah Pangeran percaya
sepenuhnya kepada Ki Ajar Wantingan?"
"Bukan percaya sepenuhnya, tetapi aku ingin mencoba.
Mungkin yang dikatakannya itu benar, sehingga benda
yang bagi Kediri mempunyai nilai yang tidak terhingga itu
tidak setiap kali memanggil orang-orang yang memiliki
pengamatan hati yang tajam, dan ingin memilikinya," sahut
Pangeran Singa Narpada. Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya,
"Tetapi setiap persoalan harus dikaji dengan cermat. Aku
memang sedikit mempercayai. Tetapi tidak lepas dari sikap
berhati-hati." Pangeran Singa Narpada tersenyum. Katanya, "Terima
kasih, Mahisa Bungalan. Pesanmu akan selalu aku
perhatikan agar aku tidak membuatmu sekali lagi
menempuh perjalanan berat dan berbahaya."
Mahisa Bungalan tersenyum. Namun iapun kemudian
minta diri bersama kedua adiknya meninggalkan Kediri
yang telah menemukan cahayanya kembali.
Sejenak kemudian maka ketiga orang anak muda itu
telah berpacu meninggalkan Kota Raja. Mereka tidak
berpacu terlalu cepat, sehingga perjalanan mereka tidak
banyak menarik perhatian. Sementara itu jalan-jalan pun
menjadi ramai meskipun hari baru saja terang.
Orang-orang yang pergi ke pasar berjalan berurutan di
jalan-jalan raya. Ada yang membawa barang-barang jualan,
tetapi ada yang justru ingin membeli kebutuhan mereka
masing-masing. Mahisa Bungalan dan kedua adiknya telah menjadi
semakin jauh dari Kota Raja. Mereka memasuki daerah
persawahan yang hijau subur. Orang-orang Kediri yang
sudah beberapa lama mengalami goncangan karena perang
diantara keluarga sendiri, merasa telah menemukan
ketenangannya kembali. Mereka dapat bekerja di sawah
dan ladang. Sementara itu pasar pun menjadi ramai. Suara
pande besi melengking diantara hiruk pikuknya orang-orang
yang berjual beli. Buah-buahan, ubi-ubian dan gerabah
memenuhi pasar-pasar yang terdapat hampir di setiap
padukuhan yang besar. Dengan demikian maka kehidupan di Kediri telah
menjadi hampir pulih kembali. Sebagian besar dari orangorang
itu sama sekali tidak tahu, bahwa benda yang paling
berharga di Kediri telah hilang dan baru saja diketemukan
kembali. Dalam pada itu, perjalanan Mahisa Bungalan dan kedua
adiknya sama sekali tidak menemui hambatan. Ketika
mereka menghirup udara Singasari, rasa-rasanya nafas di
kerongkongan mereka menjadi segar. Sudah agak lama
mereka meninggalkan kampung halaman menempuh
perjalanan yang berat dan berbahaya. Namun ketika
semuanya telah selesai, maka rasa-rasanya hati ini menjadi
bertambah lapang. Kedatangan ketiga orang bersaudara itu telah disambut
dengan gembira oleh keluarga yang untuk beberapa lama
mereka tinggalkan. Mahendra yang telah menjadi semakin tua itupun
merasa berbangga ketika ia mendengarkan kedua anaknya
yang masih muda itu berceritera dengan nada tinggi,
dengan gairah dan bahkan kadang-kadang saling berebut.
Sementara Mahisa Bungalan yang lebih tua lebih banyak
mendengarkan sambil tersenyum-senyum.
"Orang yang bertubuh kecil dan bertongkat panjang itu
ternyata memiliki ilmu iblis," berkata Mahisa Pukat, "Dari
ujung tongkatnya telah meloncat cahaya yang menyambarnyambar.
Jika cahaya yang keluar dari tongkatnya itu
mengenai bongkah-bongkahan batu padas, maka bongkahbongkah
batu padas itu hancur berserakan. Untunglah
bahwa kami berdua masih mendapat perlindungan dari
Yang Maha Agung, sehingga kami berdua berhasil
meskipun tidak mengalahkannya, tetapi setidak-tidaknya
melindungi diri kami."
Mahendra mengerutkan keningnya. Ceritera kedua


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anaknya itu sangat menarik perhatiannya. Justru ketika
kedua anaknya itu berceritera tentang kemampuan seorang
yang bertubuh kecil dan bersenjatakan tongkat panjang.
"Kau sudah menyebut sebuah nama bukan?" bertanya
Mahendra. "Ya. Ia menyebut dirinya Ki Ajar Wantingan," jawab
Mahisa Murti. Mahendra mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia
berkata, "Ia dapat menyebut nama apa saja. Tetapi rasarasanya
aku pernah berhubungan dengan satu perguruan
yang memiliki ciri seperti itu. Dan agaknya aku memang
pernah mengenal seorang yang bertubuh kecil dan
bertongkat panjang."
Mahisa Bungalan yang mendengar pembicaraan itu,
yang semula hanya tersenyum-senyum saja, tiba-tiba telah
mengerutkan keningnya. Dengan sungguh-sungguh ia
berkata, "Ayah. Coba sebutkan. Ciri-ciri yang ayah kenal
itu. Apakah perguruan itu termasuk perguruan yang bersih
atau tidak?" Mahendra termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Rasa-rasanya perguruan itu bukan perguruan
yang bersih. Tetapi sudah barang tentu, bahwa didalam
telur di satu sarang, sering terdapat ayam yang berwarna
lain." Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun
kemudian dengan nada sungguh-sungguh berkata, "Tetapi
orang itu dengan tidak langsung telah melibatkan diri bagi
penyimpanan benda yang paling berharga di Kediri itu."
Mahendra termangu-mangu sejenak. Dengan ragu ia
bertanya, "Apa yang dilakukannya?"
Mahisa Bungalan pun kemudian berceritera tentang
pendapat orang itu, bahwa sebaiknya benda itu disimpan
didalam sebuah peti yang dibuat dari perak dan dilapisi
dengan kulit seekor kerbau dungkul yang bule.
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Tetapi bukankah peti kemudian tetap disimpan didalam
gedung perbendaharaan?"
"Ya," jawab Mahisa Bungalan.
"Dengan penjagaan yang diperkuat?" bertanya
Mahendra pula. "Ya," jawab Mahisa Bungalan seterusnya, "Pangeran
Singa Narpada sudah minta agar penjagaan dilipatkan.
Sedangkan kegunaan peti itu hanya sekedar untuk
menyerap cahaya teja yang memancar dari benda itu."
Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, "Memang
mungkin sekali bahwa seseorang dapat melihat cahaya teja
yang memancar dari satu benda atau seseorang. Kau harus
tahu juga bahwa seseorang pada saat-saat tertentu akan
dapat memancarkan teja dari dalam dirinya. Bahkan
menurut kepercayaan, seorang yang besar dan memiliki
pribadi yang kuat, pada saat meninggal akan nampak teja di
langit, meskipun pada saat hidupnya ia tidak melepaskan
teja itu. Teja yang menandai meninggalkan seorang besar
adalah teja yang paling melintang di langit sejajar dengan
cakrawala." Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun
kemudian ia bertanya, "Bagaimana menurut pendapat ayah
tentang peti itu?" "Kita dapat menunggu. Jika peti itu tetap berada di
gedung perbendaharaan maka agaknya peti itu masih tetap
didalam pengawasan para penjaga. Kecuali jika ia
menyarankan agar peti itu disimpan di tempat lain," jawab
ayahnya. "Baik ayah," jawab Mahisa Bungalan, "Kita memang
akan dapat menunggu. Sementara itu Pangeran Singa
Narpada juga tidak akan terlalu mudah untuk menemukan
kerbau bertanduk dungkul dan berwarna bule."
"Tetapi pada satu saat jika kau bertemu dengan
Pangeran Singa Narpada, kau dapat memberikan pesan
kepadanya, agar ia tetap berhati-hati," berkata Mahendra.
Kemudian, "Mahisa Bungalan. Jika kau ingin mendapat
penjelasan lebih lanjut, cobalah nanti kau bertanya kepada
pamanmu Mahisa Agni dan Witantra. Mungkin keduanya
pernah juga bertemu dengan orang yang memiliki ciri
seperti itu dengan ilmu yang nggegirisi itu pula. Setidaktidaknya
pamanmu Witantra agaknya akan dapat
berceritera juga tentang orang yang memiliki ilmu
demikian." "Baiklah ayah," berkata Mahisa Bungalan, "Aku pun
akan segera pulang ke Kota Raja."
"Isterimu tentu sudah menunggumu," sahut ayahnya.
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Dengan nada
rendah ia berkata, "Aku kira isteriku ada disini."
"Ia berada disini beberapa hari. Tetapi kemudian
kembali ke Kota Raja," jawab ayahnya.
Setelah bermalam satu malam, maka Mahisa Bungalanpun
segera kembali ke Kota Raja. Isterinya menyambutnya
dengan gembira, setelah beberapa lama ia mengalami
ketegangan oleh kecemasan. Namun Mahisa Agni dan
Witantra yang semakin tua itu dapat selalu
menenangkannya. Ketika Mahisa Agni dan Witantra mengetahui bahwa
Mahisa Bungalan telah datang, maka mereka pun ikut
menjadi gembira. Mahisa Bungalan setelah beristirahat di
rumahnya sejenak, iapun telah mengunjungi Mahisa Agni
dan Witantra, untuk memberikan laporan tentang
perjalanannya. "Syukurlah," berkata Mahisa Agni, "perjalanan
membawa hasil. Untunglah bahwa kedua adikmu itu
menyusulmu." "Anak-anak nakal," desis Mahisa Bungalan, "Ternyata
mereka mempunyai pertanda sebagai petugas sandi
Singasari di Kediri. Karena itu, maka ia telah mengenal
jalur tugas-tugas rahasia di Kediri meskipun hanya sebagian
kecil." Namun yang menarik perhatian Mahisa Agni dan
Witantra adalah orang bertubuh kecil dan bersenjata
tongkat panjang sebagaimana diceritakan oleh Mahisa
Bungalan. "Benar kata ayah," desis Witantra, "Aku memang
pernah mengenali satu cabang perguruan dengan ciri-ciri
seperti itu. Bukan tongkat panjangnya, tetapi kemampuan
melontarkan serangan dengan semacam cahaya yang dapat
memecahkan batu-batu padas. Murid-murid perguruan itu
dapat mempergunakan tongkat panjang, atau tongkat
pendek, pedang atau pisau belati sekalipun."
"Menurut ayah, perguruan yang memiliki ciri yang
demikian itu bukannya perguruan yang terhitung bersih,"
berkata Mahisa Bungalan. "Aku sependapat. Tetapi sudah tentu kau tidak akan
dapat menyebut bahwa semua orang yang memiliki ciri
ilmu yang demikian adalah orang yang kurang bersih
hatinya. Mungkin ia orang baik, karena itu diterimanya
dengan cara yang lain dari orang-orang di perguruan yang
pernah aku katakan," berkata Witantra.
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya,
"Memang begitu paman. Orang itu nampaknya juga sangat
meragukan. Menilik sikap dan tutur katanya, ia memang
orang yang baik dan dapat dipercaya. Tetapi hanya
kecurigaan sajalah agaknya yang membuat aku ragu-ragu."
"Mungkin demikian. Tetapi kau harus belajar
mendengarkan suara penggraitamu," berkata Mahisa Agni,
"Mungkin kau tidak sekedar menjadi curiga. Tetapi justru
kau mempunyai daya pengamatan yang sangat tajam.
Persoalannya kemudian adalah belajar mengenalinya dan
menguranginya, sehingga kau dapat menangkap
maknanya." Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun katanya,
"mudah-mudahan yang kita miliki ini tidak akan terkubur
bersama kita." "Tetapi kali ini aku tidak akan dapat menentukan
apakah aku harus mencurigainya atau tidak."
"Tetapi baik kau maupun Pangeran Singa Narpada
harus berhati-hati. Memang banyak sekali kemungkinan
yang dapat terjadi. Aku sependapat dengan ayahmu, justru
karena peti dari perak itu masih akan disimpan didalam
gedung perbendaharaan, sehingga dengan demikian, maka
peti itu masih berada didalam daerah pengamanan yang
akan ditingkatkan itu. Seperti kata ayahmu pula, jika orang
sudah menasehatkan untuk menyimpan mahkota itu di
tempat tertentu, maka kau memang harus menjadi semakin
mencurigainya. Apalagi tentu masih dibutuhkan waktu
untuk menemukan kulit seekor kerbau bertanduk dungkul
dan berkulit bule itu."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Kedua
pamannya itu pendapatnya sama sebagaimana pendapat
ayahnya. Karena itu maka Mahisa Bungalan pun menjadi
agak tenang pula. Apalagi agaknya masih ada waktu
apabila ia ingin berbicara lagi dengan Pangeran Singa
Narpada tentang benda-benda yang memancarkan teja yang
dapat diserap oleh peti yang dibuat dari perak dan dilapisi
dengan kulit seekor kerbau dungkul dan berkulit bule.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Mahisa Agni
berkata, "Mahisa Bungalan, sebenarnya aku juga tertarik
atas keterangan tentang teja itu. Sebenarnyalah bahwa
dengan sedikit laku, mungkin aku juga akan dapat
melihatnya. Pada masa kecilku, aku adalah anak
padepokan mPu Purwa. Dengan sisa ilmu yang sedikit,
maka agaknya aku akan dapat mengembangkan
pengenalanku atas cahaya teja sebagaimana dilakukan oleh
orang yang menyebut dirinya Ajar Wantingan dan
Panembahan Bajang yang sudah tidak ada itu. Sebelum
benda itu disimpan didalam peti aku ingin melihatnya,
apakah benar bahwa saat-saat tertentu mahkota itu
memancarkan cahaya teja atau sebangsanya. Kemudian
setelah benda itu disimpan didalam peti, apa benar cahaya
itu dapat diserapnya."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Lalu katanya,
"Kapan paman akan pergi ke Kediri" Pangeran Singa
Narpada tentu akan dengan senang hati menerimanya."
"Aku tidak akan pergi ke Kediri sebagai seorang tamu.
Aku akan pergi dengan diam-diam dan melihat cahaya itu
dengan diam-diam pula," berkata Mahisa Agni, "Kecuali
aku dapat dengan leluasa berbuat, aku pun tidak akan
dikungkung oleh segala macam adat dan basa basi, justru
karena kau, juga pamanmu Witantra pernah mendapat
tugas di Kediri." Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun ia tidak
menentang keinginan Mahisa Agni. Bahkan Mahisa
Bungalan menganggap bahwa cara itu adalah cara yang
terbaik. Namun mereka memang tidak tergesa-gesa. Pangeran
Singa Narpada tidak akan mendapatkan kulit yang
dikehendakinya dalam satu dua hari. Bahkan satu dua
bulan. Karena itu, maka Mahisa Bungalan akan
mendapatkan kesempatan cukup untuk beristirahat dan
mempertimbangkan semua persoalan yang sedang dihadapi
oleh Kediri. Tetapi sebagaimana dikatakan oleh Mahisa Agni, maka
lebih baik untuk mengikuti perkembangannya dengan diamdiam,
agar ia tidak terlibat langsung ke dalam persoalan
yang berkembang di Kediri.
"Yang harus juga mendapat perhatian adalah justru
sikap ragu-ragu Sri Baginda," berkata Mahisa Bungalan
kemudian. "Ya," jawab Mahisa Agni, "Justru karena itu, maka
lebih baik kita melangkah dengan diam-diam. Masa tugasku
dan pamanmu Witantra di Kediri telah lewat lama sekali.
Mungkin kami tidak dapat mengenali perkembangan yang
terjadi sekarang. Namun mungkin dalam umurku yang
sudah semakin tua ini, masih dapat berbuat sesuatu sebelum
akhir itu datang menjemput."
"Jangan berkata begitu paman," jawab Mahisa
Bungalan. "Kemana lagi kita akan pergi," berkata Mahisa Agni,
"orang yang sudah setua aku dan pamanmu Witantra,
sebentar lagi sudah tidak akan berarti bagi kehidupan ini.
Aku, pamanmu Witantra dan kemudian yang sedikit lebih
muda adalah ayahmu, telah berusaha untuk menyalurkan
apa yang kami miliki kepada tataran berikutnya. Karena itu,
maka kami memang sudah bersiap memasuki lorong
menuju ke jaman langgeng itu."
"Tetapi bukan berarti bahwa paman sudah tidak berarti
lagi," berkata Mahisa Bungalan.
"Aku pun tidak bermaksud berkata demikian. Karena
itu, aku masih ingin pergi ke Kediri. Tetapi apa yang dapat
aku lakukan sekarang bersama pamanmu Witantra, tentu
sudah jauh dibawah kemungkinan yang dapat aku lakukan
kemudian. Namun kekurangan itu pada saatnya akan terisi
dan berkembang pada dirimu dan adik-adikmu," jawab
Mahisa Agni. Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya, "Tetapi bukankah pengalamanku jauh
lebih kurang daripada paman berdua."
"Mahisa Bungalan," berkata Witantra, "pada saatnya
seseorang masih akan kalah dari orang lain tentang
beberapa hal. Tetapi pada suatu saat kemudian pada
seseorang dapat berkembang. Nah, karena itulah, maka
seandainya kau sekarang mengaku pengalamanmu masih
jauh dibawah pengalaman orang-orang tua, namun
pengalamanmu bukannya terhenti sampai disini."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia mengerti
sepenuhnya keterangan kedua pamannya itu.
"Nah, untuk beberapa saat kau tentu mendapat
kesempatan untuk beristirahat setelah kau melaporkan
perjalanan. Mungkin kami akan dapat berusaha agar kau
dapat langsung menghadap Sri Maharaja. Sehingga dengan
demikian, maka persoalan yang menyangkut Kediri dalam
keseluruhan, bukan sekedar mengenai mahkota yang hilang
itu akan dapat diketahui oleh Sri Maharaja."


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terima kasih paman," jawab Mahisa Bungalan, "Jika
aku dapat menghadap Sri Maharaja, maka kau akan
mendapat kesempatan untuk menceriterakan segalanya
sampai tuntas." Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan pun
kemudian mohon diri dan menanti kapan ia dapat
menghadapi Sri Maharaja. "Aku menunggu paman," berkata Mahisa Bungalan.
"Ya. Tetapi kau harus lapor kepada Panglimamu lebih
dahulu. Katakan kepada Panglimamu, bahwa pamanmu
tengah berusaha untuk mendapat waktu menghadap Sri
Maharaja," berkata Mahisa Agni.
"Baiklah paman," berkata Mahisa Bungalan yang
kemudian meninggalkan kedua pamannya dan kembali
pulang ke rumah yang disediakan baginya di lingkungan
pasukannya untuk beristirahat setelah menempuh
perjalanan yang berat. Mahisa Bungalan berniat untuk
besok saja menghadap dan melaporkan kehadirannya
kepada Panglimanya. Sementara itu, di Kediri, kehidupan berangsur menjadi
semakin baik, dan bahkan telah hampir menjadi pulih
kembali. Para petani telah berani bekerja di sawah. Bahkan
di malam hari mengairi sawahnya. Para pedagang dan
saudagar telah dengan tenang menempuh perjalanan dalam
tugas perdagangannya. Sedangkan para prajurit tidak lagi
selalu dicengkam oleh ketegangan bahwa pagi atau sore
nyawanya akan direnggut oleh peperangan diantara
keluarga sendiri-sendiri.
Dalam masa yang semakin baik itulah, maka Pangeran
Singa Narpada telah memerintahkan beberapa orang untuk
mencari seekor kerbau bertanduk dungkul dan berkulit bule.
"Jarang sekali Pangeran," berkata seorang prajurit yang
diperintahkannya. "Aku tahu," berkata Pangeran Singa Narpada, "Tetapi
kita harus menemukannya. Kerbau itu akan dapat
membantu membuat Kediri menjadi semakin tenang."
Prajurit itu akan mengangguk-angguk. Bagaimanapun
juga ia harus menjalankan tugas itu. Dapat atau tidak dapat.
"Bukan tugas yang berat dibanding dengan usaha
Pangeran Singa Narpada untuk menemukan mahkota yang
hilang," berkata prajurit itu didalam hatinya, "Aku harus
menemukannya. Apalagi tugas itu sama sekali tidak
mengandung bahaya apapun juga. Sedangkan menemukan
mahkota itu, tentu saja dibayangi oleh nafsu maut setiap
saat." Prajurit itu ternyata bukan prajurit satu-satunya yang
mendapat tugas. Beberapa orang prajurit yang lain telah
mendapat tugas yang sama pula. Bahkan mereka wajib
mengemukakan, siapa yang menemukan seekor kerbau
sebagaimana yang dimaksud harus diserahkan kepada
Pangeran Singa Narpada. "Usahakan secepatnya," berkata Pangeran Singa
Narpada. Dengan janji kesanggupan didalam hati, maka para
prajurit itupun segera berangkat ke segala penjuru Kediri
untuk menemukan kerbau yang dimaksud.
Tetapi sebagaimana sudah diduga, untuk menemukan
jenis kerbau bertanduk dungkul dan berkulit bule tidak
terlalu mudah. Meskipun Kediri cukup luas, namun yang
dicari adalah seekor kerbau yang memang jarang sekali ada.
Meskipun demikian para prajurit yang mendapat tugas
itupun tidak menjadi jemu. Apalagi Pangeran Singa
Narpada tidak membatasi waktu. Pangeran Singa Narpada
yang tahu benar, bahwa jarang sekali terdapat kerbau yang
sebagaimana dicarinya, maka iapun memberikan keleluasan
waktu kepada para prajurit.
"Jika kalian telah terlalu lama pergi dan tidak
mendapatkan kerbau itu, maka kalian dapat kembali
menengok keluarga kalian. Setelah satu dua pekan, maka
kalian dapat meneruskan usaha kalian mencari kerbau itu.
Kapan pun kerbau itu kau dapatkan bukannya soal bagiku,
karena meskipun lambat, tetapi itu akan lebih baik daripada
tidak sama sekali." Para prajurit yang mendapat tugas itupun menganggukangguk.
Sikap lunak Pangeran Singa Narpada tidak
membuat mereka menjadi malas dan bekerja asal saja
memenuhi perintah tanpa melakukan usaha dan kerja keras.
Namun karena yang mereka cari adalah benar-benar
langka, maka usaha mereka pun memerlukan waktu yang
lama. Sementara itu, Mahisa Agni dan Witantra benarbenar
ingin melakukan sebagaimana telah mereka katakan.
Keduanya ingin pergi ke Kediri untuk melihat cahaya teja
sebagaimana yang dimaksud. Mahisa Agni dan Witantra
sudah pernah berada di Kediri untuk waktu yang cukup
lama meskipun tidak bersamaan. Namun mereka tidak
sempat memperhatikan, apakah dari gedung
perbendaharaan telah memancar teja.
"Mungkin kemampuan kita tidak setajam kemampuan
orang-orang yang pernah dengan serta merta melihatnya,"
berkata Mahisa Agni. Witantra mengangguk-angguk. Katanya, "Mungkin.
Sekarang pun kemampuan kita untuk melihat sesuatu yang
gaib seperti itu tidak cukup tajam untuk dapat dengan serta
merta menangkapnya."
"Kita memerlukan waktu untuk membangunkan
kemampuan melihat cahaya teja seperti itu," sahut Mahisa
Agni, "Mungkin sekejap tetapi mungkin sepenginang."
"Bukankah itu bukan masalah," berkata Mahisa
Bungalan, "Jika kita melakukannya malam hari, maka kita
mempunyai banyak waktu tanpa menarik perhatian orang
lain. Karena kita akan dapat memilih tempat yang sepi."
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, "Kita akan
segera pergi ke Kediri."
"Baiklah," berkata Mahisa Bungalan, "Tetapi apakah
aku harus minta ijin lagi?"
Mahisa Agni tersenyum. Katanya, "Biarlah kami, orangorang
tua ini pergi sendiri. Jika kau minta ijin lagi, maka
agaknya akan dapat memberikan kesan yang kurang baik.
Apalagi jika tiba-tiba karena sesuatu hal pada waktu yang
dekat, kau diperlukan lagi oleh Kediri, sehingga kau harus
minta ijin lagi untuk meninggalkan kesatuanmu."
"Tetapi bukankah aku tidak minta ijin untuk
bertamasya?" jawab Mahisa Bungalan, "Bukankah
panglima mengetahui apa yang aku lakukan?"
"Ya. Untuk menemukan mahkota itu," jawab Witantra,
"Tetapi untuk mengantar kami ke Kediri dengan rencana
yang tidak dapat disebut, maka agaknya pimpinanmu akan
berpikir lain." Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya, "Jadi paman berdua tidak akan
mengajak siapapun juga?"
"Agaknya kali ini tidak Mahisa Bungalan," jawab
Witantra. Namun Mahisa Bungalan berkata, "Bagaimana dengan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat" Jika paman berdua
menghubungi ayah, maka agaknya ayah tidak akan
berkeberatan memberikan ijin kepada Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Apalagi bersama paman berdua, sedangkan
mereka berdua saja pergi ke Kediri, ayah telah
melepaskannya setelah keduanya menyelesaikan laku untuk
menerima warisan ilmu ayah."
Witantra mengerutkan keningnya. Namun kemudian
sambil memandang Mahisa Agni ia bertanya, "Apakah kita
perlu membawa kedua orang anak itu?"
"Ada baiknya paman," Mahisa Bungalan lah yang
menjawab, "mungkin paman berdua memerlukan sesuatu
yang tidak pantas paman lakukan sendiri. Misalnya
membeli makanan atau kebutuhan-kebutuhan kecil
lainnya." Mahisa Agni tersenyum. Katanya, "Kita adalah
pengembara. Aku dan pamanmu Witantra adalah
pengembara pula sejak muda. Karena itu, biarlah kali ini
kita pergi berdua. Suatu ketika yang tua-tua ini ingin
mengenang kembali masa penjelajahan diantara lembah
dan lereng pegunungan. Sementara itu, biarlah Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat beristirahat."
"Mereka tidak akan istirahat," berkata Mahisa
Bungalan, "Seandainya tidak paman bawa, mereka pun
tentu akan pergi sendiri karena mereka mempunyai
pertanda petugas sandi."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Jika demikian mungkin aku dapat menghubunginya.
Mungkin kita akan bertemu pada suatu saat."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Tetapi agaknya
kedua pamannya benar-benar ingin berdua saja. Tetapi
agaknya memang sudah cukup seandainya keduanya
menentukan satu kemungkinan untuk dapat bertemu
dengan kedua adiknya di Kediri.
Namun demikian, Mahisa Agni dan Witantra minta
beberapa petunjuk kepada Mahisa Bungalan, apa saja yang
perlu diperhatikan oleh mereka di perjalanan.
"Kami sudah terlalu tua untuk dapat berbuat
sebagaimana pernah kami lakukan," berkata Mahisa Agni,
"Karena itu kami memang harus berhati-hati."
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Namun
iapun kemudian telah memberikan keterangan apa saja
yang diketahuinya tentang Kediri. Tentang Mahkota yang
hilang, tentang Pangeran Lembu Sabdata yang kemudian
berada didalam bilik tahanan khusus. Tentang Pangeran
Singa Narpada dan tentang beberapa hal yang lain, yang
perlu diketahui oleh kedua pamannya. Bahkan Mahisa
Bungalan pun telah memberitahukan kepada kedua
pamannya itu, bahwa ia bersama Pangeran Singa Narpada
telah mencoba pula melihat cahaya teja. Dan sesungguhnya
ia dapat berhasil. Tetapi dengan laku yang sungguhsungguh
dan memerlukan waktu. "Terima kasih," berkata Mahisa Agni kemudian, "Besok
kami berdua akan singgah di rumah ayahmu Mahendra.
Mungkin Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan dapat
memberikan beberapa petunjuk pula. Yang penting, kami
ingin dapat berhubungan dengan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat jika mereka memang akan pergi juga ke Kediri."
"Silahkan paman," berkata Mahisa Bungalan,
"Sebenarnya aku ingin ikut dengan paman. Tetapi jika hal
ini paman hanya ingin pergi berdua, maka betapapun aku
menyesal, namun aku terpaksa tidak dapat ikut pula."
Witantra tersenyum. Katanya, "Mungkin lain kali kau
memerlukan kau. Biarkan kali ini dua orang tua berjalan
terbungkuk-bungkuk. menempuh satu jarak yang agak
panjang. Tetapi dengan perjalanan itu kami justru ingin
mendapat kesegaran baru didalam akhir perjalanan hidup
ini. Kami ingin melihat sawah yang terbentang di ngarai.
Hutan yang hijau di lembah-lembah dan lereng
pegunungan." Sebenarnyalah, maka di keesokan harinya, Mahisa Agni
dan Witantra telah meninggalkan Kota Raja: Mereka ingin
singgah lebih dahulu di rumah Witantra. Selain untuk
minta diri. mereka pun ingin berbicara serba sedikit dengan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Mahisa Agni dan Witantra ingin menempuh perjalanan
mereka dengan berjalan kaki saja. Mereka agaknya tidak
ingin mempergunakan kuda yang pada saat-saat tertentu
justru akan dapat mengganggu.
Kedatangan mereka di rumah Mahendra, keduanya telah
disambut dengan gembira. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
yang baru datang dari perjalanan itupun kemudian sempat
berceritera panjang lebar tentang perjalanan mereka.
"Ternyata anak-anak telah melakukan satu tugas yang
sangat berat bersama Pangeran Singa Narpada," berkata
Mahendra. Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk. Namun
mereka pun kemudian menceriterakan niat mereka untuk
pergi ke Kediri. "Sikap orang yang bertubuh kecil dan bersenjata tongkat
panjang itu agaknya menarik perhatian," berkata Mahisa
Agni. "Apalagi sesuai dengan pengenalan kita atas ciri-ciri
orang itu," berkata Witantra.
"Paman akan mengajak kami berdua?" bertanya Mahisa
Murti. Tetapi sambil tersenyum Mahisa Agni berkata, "Kami
akan pergi berdua saja. Kami ingin sekali-sekali berjalanjalan
berdua dengan gaya orang-orang tua."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat merasa kecewa. Namun
sementara itu Witantra berkata, "Bukankah kau baru saja
kembali dari tugasnya yang berat itu?"
"Ya paman. Tetapi kami memang tidak berniat untuk
tinggal di rumah terlalu lama," berkata Mahisa Pukat.
"Kakakmu Mahisa Bungalan juga mengatakan
demikian, bahwa kalian tentu tidak akan betah tinggal di
rumah," jawab Mahisa Agni, "Namun jika demikian maka
kita akan dapat berjanji, dimana kita kira-kira dapat
bertemu." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu.
"Sementara masih memerlukan istirahat barang satu dua
pekan. Sementara itu, kami yang tua-tua ini akan mulai
perjalanan besok pagi. Tetapi kecepatan yang dapat kami
tempuh tentu sudah jauh berbeda dengan kemungkinan
yang dapat kalian lakukan."
"Kami tidak akan beristirahat terlalu lama," berkata
Mahisa Murti, "Jika perlu besok pun kami dapat
berangkat." "Jangan," berkata Witantra, "Kalian harus beristirahat
untuk mengendapkan pengalaman yang baru saja kalian
dapatkan dari perjalanan yang lalu. Dengan demikian maka
pengalaman itu akan dapat memberikan arti yang sebesarbesarnya
bagi kalian dan pengembangan ilmu kalian."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih akan menjawab.
Tetapi ayahnya berkata, "Aku sependapat dengan pamanpamanmu.
Kalian memang harus beristirahat. Bukan dalam


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengertian kewadagan saja. Tetapi seperti yang dikatakan
oleh pamanmu, kau perlu mengendapkan pengalamanmu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Sementara itu ayahnya berkata, "Kita akan dapat
mengurangi peristiwa-peristiwa yang telah terjadi dan
memberikan arti bagi kepentingan kalian. Mungkin aku
akan dapat membantu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk kecil. Jika
ayahnya sudah bersikap demikian, maka mereka pun tidak
akan dapat berbuat lain. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat
menentukan tempat-tempat yang mungkin akan dapat
mereka pergunakan untuk saling menunggu. Mungkin
mereka akan saling memerlukan kelak.
Malam itu, Mahisa Agni dan Witantra bermalam di
rumah Mahendra. Mereka sudah bersiap-siap untuk
berangkat di keesokan harinya sebagai dua orang perantau.
Mereka sengaja mengenakan pakaian dan perlengkapan
bagi perantau tua yang tidak banyak menarik perhatian.
Di keesokan harinya Mahendra tersenyum melihat
keduanya siap untuk berangkat. Dengan nada datar
Mahendra berkata, "Aku masih nampak lebih gagah di
perjalanan, karena aku adalah seorang saudagar."
Mahisa Agni tersenyum pula. Katanya, "Tetapi
perjalanan kami tentu lebih aman daripada perjalananmu."
"Ternyata aku juga tidak pernah diganggu orang,"
jawab Mahendra. Mahisa Agni dan Witantra tertawa. Namun mereka pun
kemudian minta diri. Adalah diluar kebiasaannya, bahwa
Mahisa Agni dan Witantra telah membawa tongkat. Tetapi
jenis kedua tongkat itu berbeda. Tongkat Mahisa Agni
adalah tongkat yang pendek setinggi lambung. Sedangkan
tongkat Witantra adalah tongkat yang lebih panjang,
setinggi pundaknya. Namun seperti perjalanan Mahisa Bungalan, atau
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka keduanya pun telah
membawa bekal uang. Meskipun ujud mereka benar-benar
sebagai dua orang pengembara, tetapi mereka tidak akan
kekurangan bekal di perjalanan.
Dengan berjalan sewajarnya mereka menempuh jalanjalan
bulak yang hijau. Sekali-sekali mereka memasuki
padukuhan-padukuhan besar dan kecil.
Keduanya benar-benar tidak menarik perhatian.
Karena itu, maka perjalanan mereka pun sama sekali
tidak terganggu. Sekali-sekali mereka melalui lereng-lereng
pegunungan yang mulai ditumbuhi semak-semak belukar
dan pepohonan yang semakin tinggi. Hutan yang pada satu
saat hampir saja menjadi gundul. Untunglah bahwa usaha
itu dapat dicegah, sehingga dengan demikian maka lerenglereng
pegunungan itu masih tetap hijau.
Ternyata di sepanjang perjalanan menuju ke Kediri,
keduanya sama sekali tidak mengalami kesulitan. Jika
malam datang, maka dengan senang hati para penunggu
banjar memberi tempat kepada kedua orang tua itu untuk
bermalam. Bahkan mereka kadang-kadang memberi makan
dan minum secukupnya kepada kedua orang tua yang
nampaknya menempuh perjalanan yang sangat jauh.
"Kemana sebenarnya kalian akan pergi?" bertanya salah
seorang penunggu banjar tempat kedua orang tua itu
menginap. "Kami adalah pengembara," jawab Mahisa Agni,
"Kadang-kadang kami merasa kebingungan juga, kemana
kami harus pergi." "Apakah kau tidak mempunyai sanak kadang?"
bertanya penunggu banjar itu.
"Kami memang mempunyai seorang kemenakan. Ia
tinggal di Kediri. Sudah pernah kami pergi mencarinya.
Tetapi kami tidak menemukannya. Kali ini kami mencoba
sekali lagi. Mudah-mudahan kami dapat bertemu dengan
>rang yang kami cari itu," jawab Mahisa Agni.
Penunggu banjar itu mengangguk-angguk. Katanya, "ya,
mudah-mudahan Kalian sebenarnya sudah terlalu tua untuk
menempuh perjalanan yang se demikian jauhnya. Tetapi
kenapa kalian harus mencari kemenakan kalian?"
"Kami merasa hidup kami menjadi semakin sulit.
Sawah dan ladang kami yang sempit tidak lagi dapat kami
kerjakan dengan baik. Sehingga pada suatu saat kami
memikirkan hidup kami yang sudah menjadi terlalu tua
ini," jawab Mahisa Agni.
Penunggu banjar itu mengangguk-angguk. Ia merasa iba
kepada kedua orang tua itu. Sehingga malam itu, Mahisa
Agni dan Witantra telah mendapat suguhan makan dan
minuman hangat secukupnya.
"Makanlah," berkata penunggu banjar itu, "Tidak ada
yang pantas aku suguhkan."
Mahisa Agni dan Witantra pun mengucapkan terima
kasih. Makanan dan minuman itu memang dapat
menyegarkan tubuhnya setelah seharian berjalan.
Menjelang pagi, maka Mahisa Agni dan Witantra telah
mohon diri. Mereka mengucapkan terima kasih ketika
penunggu banjar itu minta mereka menunggu sampai dapat
disiapkan makan pagi untuk mereka.
"Terima kasih. Sudah terbiasa bagi kami untuk tidak
makan di pagi hari. Kami kadang-kadang memang hanya
makan sekali sehari. Dan itu sudah terlalu cukup bagi
kami." "Apakah kalian ingin membawa beras?" bertanya
penunggu banjar itu, "Ada sejemput beras yang dapat
kalian bawa. Mungkin kalian memerlukannya di
perjalanan." "Terima kasih Ki Sanak," jawab Witantra, "tetapi
biarlah kami tidak usah membawanya. Kami masih
mempunyai keyakinan bahwa kami akan mendapatkan
belas kasihan di sepanjang perjalanan kami sebagaimana
kami dapat sampai disini."
Penunggu banjar itu mengangguk-angguk. Sekali lagi ia
berkata, "Mudah-mudahan kalian dapat menemukannya."
Demikianlah maka Mahisa Agni dan Witantra
meninggalkan banjar itu. Dengan nada datar Witantra
berkata, "Mereka pada umumnya adalah orang-orang baik.
Hampir setiap penunggu banjar menganggap bahwa orangorang
seperti kita ini harus mendapatkan pertolongan."
Witantra mengangguk-angguk. Katanya, "Sebenarnya
menilik sikap mereka, maka di Kediri dan di Singasari akan
dapat ditemukan satu suasana damai dan penuh
kerukunan." "Namun kadang-kadang orang-orang yang
berkedudukan yang membuat suasana menjadi demikian
buruknya, sehingga sifat-sifat yang jernih itu tidak dapat
diketemukan lagi," sahut Mahisa Agni.
Witantra mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak dapat
ingkar, bahwa pertentangan demi pertentangan itu telah
mengusik kedamaian di Kediri dan Singasari.
Demikianlah maka keduanya perlahan-lahan menjadi
semakin mendekati Kota Raja di Kediri. Suasana di Kediri
memang sudah menjadi wajar kembali. Semua segi
kehidupan telah hampir pulih kembali.
Bekas-bekas peperangan yang dahsyat antara pasukan
Pangeran Singa Narpada dan pasukan Pangeran Kuda
Permati sudah tidak nampak lagi. Rumah-rumah yang
hancur dan terbuka, telah berdiri lagi meskipun mungkin
belum seperti yang telah rusak. Pintu-pintu gerbang yang
roboh dan dinding-dinding yang runtuh, telah diperbaiki
pula, sehingga Kediri telah nampak utuh kembali.
"Sisa-sisa pertentangan itu telah hampir hilang sama
sekali," berkata Witantra.
"Ya. Menilik ujud kewadagannya. Mudah-mudahan
pertentangan yang membakar jantung telah menjadi padam
Pendekar Guntur 5 Roro Centil 03 Rahasia Kitab Ular Legenda Kelelawar 4
^