Hijaunya Lembah Hijaunya 5
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 5
pula," jawab Mahisa Agni.
"Itulah yang sulit," berkata Witantra, "Biasanya bekasbekas
lahiriah lebih cepat dapat diatasi. Tetapi yang
tersembunyi didasar jantunglah yang sulit untuk diketahui."
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Namun kemudian
katanya, "Tetapi kesan yang tenang dan damai seperti ini
juga berpengaruh. Betapapun panasnya hati, lambat-laun
akan menjadi sejuk pula."
"Mudah-mudahan," jawab Witantra, "Namun mungkin
juga yang terjadi sebaliknya. Langkah-langkah akan diatur
jika keadaan sudah menjadi tenang."
Mahisa Agni tersenyum. Katanya, "Memang mungkin.
Untuk itu maka Pangeran Singa Narpada tidak boleh
menjadi lengah. Ia justru harus membentuk orang lain
untuk dapat menggantikan kedudukannya pada saat-saat ia
menjadi semakin tua seperti kita dan tidak dapat berbuat
banyak lagi. Untunglah bahwa kita sudah meninggalkan
jejak ilmu kepada anak-anak muda, meskipun segala
sesuatunya tergantung kepada anak-anak itu sendiri. Tetapi
mudah-mudahan yang kita miliki ini tidak akan terkubur
bersama kita." Witantra mengangguk-angguk. Namun sebenarnyalah
bahwa kedua orang tua itu rasa-rasanya sudah menjadi
lapang, karena mereka telah mewariskan milik mereka
kepada anak-anak muda. Demikianlah maka di sepanjang jalan mereka sama
sekali tidak menemukan yang dapat menghambat
perjalanan mereka. Jika mereka berjalan melalui pasar,
maka pasar-pasar itupun telah menjadi ramai. Jika mereka
melewati gardu-gardu dimalam hari, nampak anak-anak
muda yang gembira bergurau didalamnya. Sementara yang
lain bermain macanan atau bas-basan.
Dengan demikian, maka padukuhan-padukuhan-pun
nampaknya sudah benar-benar menjadi tenang. Orangorang
yang mengambil keuntungan dari kekeruhan
peperangan pun agaknya sudah tidak banyak lagi, karena
anak-anak mudanya telah siap mengamankan padukuhan
masing-masing. Dalam pada itu, Mahisa Agni dan Witantra memang
tidak langsung menuju Kediri. Mereka melingkari daerah
yang panjang untuk melihat keadaan lebih banyak lagi.
Namun, agaknya pada suatu kali, mereka memang
menjumpai satu keadaan yang menarik. Ketika mereka
sedang berada di sebuah warung, maka tiba-tiba saja dua
orang telah memasuki warung itu pula. Dua orang bertubuh
tinggi besar namun keduanya juga membawa tongkat
panjang. Agak lebih panjang sedikit dari tongkat yang
dibawa oleh Witantra. Kedua orang itu memperhatikan Mahisa Agni dan
Witantra dengan seksama. Namun kemudian mereka
duduk beberapa jengkal di sebelah Witantra.
Dengan kasar keduanya minta disediakan makan dan
minuman. Sementara itu, tangan-tangan mereka telah
menggapai makanan yang ada di depan mereka, pada
sebuah pagar bambu yang rendah.
Sekali-sekali kedua orang itu berpaling dan memandang
tongkat Witantra. Namun ternyata memang ada perbedaan.
Tongkat kedua orang itu adalah tongkat yang memang
dibuat dengan cermat. Kayu terpilih yang dibubut rapi dan
halus. Pada alas dan ujungnya terdapat selut yang berwarna
tembaga. Sedangkan tongkat Witantra adalah tidak lebih
dari sepotong kayu yang dihilangkan kulitnya, sehingga
baik ujudnya maupun bentuknya adalah alami,
sebagaimana tongkat Mahisa Agni yang lebih pendek lagi.
Namun agaknya kedua orang itu ingin tahu juga tentang
dua orang tua yang membawa tongkat itu. Karena itu, salah
seorang diantara mereka bertanya, "Ki sanak. Siapakah
kalian berdua he?" Witantra yang duduk lebih dekat dari merekalah yang
menjawab, "Kami berdua adalah pengembara yang tidak
berharga Ki Sanak." "O." orang itu mengangguk-angguk. Lalu ia masih
bertanya lagi, "Tetapi sempat juga kau membeli makan,
makanan dan minuman di sebuah kedai. Bukankah itu
sangat berlebih-lebihan bagi kalian" Kalian dapat minta
belas kasihan kepada para bebahu padukuhan atau
kabuyutan. Atau jika kalian bermalam di sebuah banjar,
maka biasanya kau akan mendapat makan dan minum."
"Ya, ya Ki Sanak. Memang demikianlah yang terjadi di
setiap hari. Tetapi pagi ini secara kebetulan ada dua orang
dermawan yang memberi kami uang. Kami berpapasan di
jalan. Dua orang berkuda itu tiba-tiba saja berhenti dan
bertanya kepada kami, apakah kami sudah makan," jawab
Witantra. "Kalian tentu menjawab belum meskipun seandainya
kalian telah mendapat sepotong ketela rebus dari penunggu
banjar tempat kau bermalam semalam," geram orang itu.
Witantra tidak menyahut. Tetapi ia menundukkan
kepalanya. "Kau tentu mendapat uang dari penunggang kuda itu.
Dan sekarang dengan semena-mena kau belikan makan,
makanan dan minuman. Kenapa uang itu tidak kau belikan
ketela pohon saja, atau ubi jalar atau semacamnya?"
Witantra menjadi bingung. Bagaimana ia harus
menjawab pertanyaan itu. Karena itu beberapa saat ia justru
terdiam, sementara Mahisa Agni pun tidak segera
menemukan jawabnya. Karena kedua orang pengembara itu tidak menjawab,
maka orang bertongkat itu berkata, "Ternyata kalian bukan
orang yang baik. Jika uang itu kau belikan ketela pohon
atau ubi rambat, maka yang kau makan sekali ini, akan
dapat kau jadikan bekal untuk dua atau tiga hari."
Dalam pada itu, Witantra kemudian mencoba juga untuk
menjawab, "Ki Sanak, Terus-terang, kami jarang sekali
mendapat kesempatan seperti ini. Karena itu, maka biarlah
kami sekali ini melakukannya. Nanti dan besok, kami
berharap untuk mendapatkan belas kasihan dari orangorang
lain, khususnya para penunggu banjar yang pada
umumnya selalu berbaik hati memberikan makan dan
minum kepada kami." Orang bertongkat itu tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba
saja seorang diantaranya berdiri dan mendekati Witantra.
Diamatinya semangkuk nasi yang ada di depan Witantra.
Sejenak orang itu mengerutkan keningnya. Namun
kemudian katanya, "Yang kalian makan ternyata sangat
berlebihan bagi seorang pengembara."
Witantra menjadi berdebar-debar. Dipandanginya
Mahisa Agni sekilas. Namun agaknya Mahisa Agni pun
sangat tertarik kepada kata-kata orang itu.
Tetapi ternyata kedua orang bertongkat itu tidak
bertanya lebih banyak lagi. Keduanya pun kemudian justru
telah sibuk dengan makan mereka sendiri.
Namun dalam pada itu, meskipun perlahan-lahan dan
tidak jelas, tetapi Mahisa Agni dan Witantra sempat
mendengar orang-orang itu menyebut tentang seekor kerbau
bertanduk dungkul dengan kulit berwarna bule.
"Bagaimana jika kerbau yang demikian tidak
didapatkannya di seluruh Kediri?" bertanya salah seorang
diantara mereka. "Tentu saja akan didapatkannya. Kediri cukup luas
sehingga yang aneh-aneh sekalipun akan terdapat juga
didalamnya," jawab yang lain.
Namun pembicaraan berikutnya, Mahisa Agni dan
Witantra tidak sempat mendengarnya lagi dengan jelas,
sehingga mereka tidak dapat menangkap pengertiannya.
Meskipun kemudian Mahisa Agni dan Witantra telah
selesai, namun mereka tidak segera meninggalkan tempat
itu. Mereka menunggu sehingga kedua orang itulah yang
lebih dahulu meninggalkan warung itu.
"Siapakah mereka?" bertanya Witantra kepada pemilik
Warung itu. Pemilik warung itu termangu-mangu. Namun kemudian
jawabnya. "Aku tidak tahu sebelumnya. Tetapi sudah dua
tiga kali ini mereka membeli makan dan makanan disini.
Agaknya mereka orang yang datang dari jauh."
"Jika demikian, dimana mereka menginap?" bertanya
Mahisa Agni. "Aku tidak tahu," jawab pemilik warung itu.
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Namun kemudian
tiba-tiba saja pemilik warung itu berkata, "Tetapi
sebenarnya aku sependapat dengan kedua orang itu. Jika Ki
Sanak ini pengembara, maka apa yang Ki Sanak beli di
warung ini memang terlalu berlebihan. Tetapi aku pun
dapat mengerti, bahwa jika ada orang-orang yang baik hati
memberikan uang cukup, maka sekali-sekali seseorang
memang ingin makan yang lain dari kebiasaannya."
"Agaknya memang demikian," berkata Mahisa Agni,
"Kami selama dalam pengembaraan hanya makan
seadanya. Belas kasihan orang-orang yang melihat kami
menginap di banjar-banjar, yang pada umumnya adalah
penunggu banjar. Mereka sering memberi makan dan
minum. Mungkin beberapa kerat ketela pohon ubi jalar atau
bahkan nasi serta lauk-pauknya. Namun ketika beberapa
orang penunggang kuda yang dermawan memberi kami
uang, maka ada keinginan kami untuk makan dan minum
yang berbeda dengan yang kami dapat selama ini."
Pemilik warung itu mengangguk-angguk, Katanya,
"Seperti yang sudah aku katakan, aku memang dapat
mengerti keinginan kalian. Dan agaknya kalian benar-benar
sudah menikmati yang kalian anggap lain itu."
Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk.
Sementara itu pemilik warung itupun berkata, "Karena itu
Ki Sanak, maka biarlah apa yang sudah kalian makan dan
minum, tidak usah kalian bayar. Jika kalian mendapat uang
dari penunggang kuda seperti yang kalian katakan itu,
biarlah uang itu kalian simpan untuk menjadi bekal dalam
perjalanan kalian. He, kalian sebenarnya akan pergi ke
mana" Apakah kalian mempunyai tujuan dalam
pengembaraan kalian?"
"Sebenarnya kami memang tidak mempunyai tujuan.
Tetapi bukan pula tidak bertujuan sama sekali. Sambil
mengembara kami memang ingin menemukan seseorang.
Kemanakan kami yang tinggal di Kediri. Tetapi sudah
terlalu lama kami tidak berhubungan. Dalam
pengembaraan kami yang terdahulu, kami tidak berhasil
menemukannya. Tetapi kami masih berharap bahwa kami
akan berhasil kali ini."
"Apakah kalian mendapatkan keterangan baru tentang
kemenakan kalian?" bertanya pemilik warung itu.
"Tidak. Tetapi waktu itu Kediri terasa terlalu panas
karena pertentangan yang timbul. Kini agaknya Kediri telah
menjadi dingin kembali," jawab Witantra. Namun
kemudian, "Tetapi Ki Sanak, bukankah makanan dan
minuman ini Ki Sanak perjual belikan, sehingga rasarasanya
janggal sekali jika Ki Sanak merelakannya kepada
kami tanpa membayar sama sekali."
"Ah sudahlah," berkata pemilik warung itu, "Jangan
kalian risaukan. Yang kalian makan dan minum tidak akan
membuat aku rugi bahkan menjadi melarat."
Mahisa Agni dan Witantra saling berpandangan sejenak.
Kemudian Mahisa Agni pun berkata, "Terima kasih Ki
Sanak. Semoga untuk selanjutnya warung ini akan menjadi
bertambah ngrembaka."
"Doakan saja," jawab pemilik warung itu.
Mahisa Agni dan Witantra kemudian meninggalkan
warung itu. Sebenarnya bahwa mereka tidak perlu
membayarkan makanan dan minuman dari warung itu,
meskipun seandainya mereka harus membayar dua tiga kali
lipat, maka mereka tidak akan merasa keberatan.
Sejenak kemudian maka kedua orang itupun telah
berjalan menyusuri jalan bulak yang menuju ke padukuhan
sebelah. Di sebelah menyebelah tampak tanaman yang
berwarna segar. Hijau bercahaya terkena sinar matahari.
Namun langkah keduanya itupun tertegun ketika mereka
melihat dua orang bertongkat yang mereka ketemukan
didalam warung itu berdiri dibawah sebatang pohon randu.
Agaknya mereka memang sedang menunggu.
"Berhati-hatilah," berkata Witantra, "Aku memang
merasa curiga kepada keduanya."
"Apakah yang mereka kehendaki," desis Mahisa Agni,
"Satu-satunya sebab ialah karena kau juga membawa
tongkat seperti mereka. Mungkin mereka ingin menelusuri
apakah kita mempunyai alas ilmu yang sama meskipun
dalam perkembangan menjadi berbeda."
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kita
adalah pengembara yang bodoh dan tidak berilmu."
Mahisa Agni tersenyum. Namun ia tidak menjawab lagi.
Dengan jantung yang berdebaran, maka kedua orang itu
berjalan semakin dekat dengan kedua orang yang
menunggu di pinggir jalan itu.
Namun keduanya justru menjadi heran. Ternyata kedua
orang itu tidak berbuat apa-apa. Ketika Mahisa Agni dan
Witantra berjalan di hadapan mereka, salah seorang
diantara mereka menyapa, "He, bukankah kalian adalah
orang yang kami jumpai di warung itu?"
"Ya," jawab Mahisa Agni.
"Kalian mau kemana?" bertanya orang itu.
"Kami tidak mempunyai tujuan," jawab Mahisa Agni.
Keduanya itu memperhatikan lagi ketika Mahisa Agni
dan Witantra berjalan menjauh menyusuri jalan bulak itu.
"Kita salah duga," berkata Witantra.
"Ya," jawab Mahisa Agni, "Tetapi justru karena itu,
mereka menjadi semakin menarik perhatian."
"Mungkin kita masih akan bertemu lagi. Mereka berada
di tempat ini secara khusus," berkata Witantra kemudian,
"bukanlah tempat ini sudah terlalu dekat dengan kota
Raja." Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling,
maka dilihatnya kedua orang itu masih berada di
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tempatnya. Namun Mahisa Agni dan Witantra tidak berminat lagi
untuk memperhatikan mereka pada saat itu. Namun
keduanya seakan-akan mempunyai satu keyakinan bahwa
pada suatu saat mereka akan dapat bertemu lagi.
Namun jantung Mahisa Agni dan Witantra menjadi
berdebar-debar ketika mereka kemudian bertemu dengan
dua orang lain lagi. Setelah mereka berjalan agak jauh,
ternyata mereka telah bertemu lagi dengan dua orang yang
juga bersenjata tongkat panjang.
"Kita bertemu lagi dengan orang-orang bertongkat,"
berkata Witantra. Mahisa Agni mengangguk-angguk. Bahkan kemudian ia
berdesis, "Seorang diantara mereka bertubuh kecil. Orang
itu mempunyai ciri-ciri sebagaimana dikatakan oleh Mahisa
Bungalan dan kedua adiknya."
Witantra mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Aku kira
memang orang itulah yang dimaksud."
"Mudah-mudahan orang itu tidak memancing persoalan
sehingga kami harus berbuat sesuatu," berkata Mahisa
Agni. Witantra tidak menjawab. Tetapi ia memang menjadi
sangat berhati-hati. Sejak semula ia memang sudah sangat
tertarik kepada orang yang diceriterakan oleh Mahisa
Bungalan dan kedua adiknya.
Kedua orang itupun ternyata telah tertarik pula kepada
Mahisa Agni dan Witantra. Bahkan keduanya ternyata
ingin mengetahui serba sedikit dengan dua orang yang juga
bertongkat meskipun tongkatnya berbeda dengan tongkat
yang dibawanya. Ketika jarak mereka menjadi semakin dekat, maka kedua
orang bertongkat itu telah dengan sengaja menyongsong
langkah-langkah Mahisa Agni dan Witantra. Beberapa
langkah di hadapan mereka maka kedua orang bertongkat
itupun telah berhenti. Sejenak kedua orang itu mengamati tongkat yang dibawa
oleh Mahisa Agni dan Witantra. Dengan nada datar orang
yang bertubuh kecil itu bertanya, "Ki Sanak. Siapakah
kalian berdua yang juga bersenjata tongkat?"
Mahisa Agni dan Witantra saling berpandangan sejenak.
Dengan wajah tegang Mahisa Agni menjawab, "Kami sama
sekali tidak bersenjata. Tongkat ini adalah sekedar untuk
menopang tubuh kami yang sudah tua. Kami memotong
dahan kayu yang ada di halaman. Itu saja."
"Bagaimana jika tongkat kalian kami tukar dengan
tongkat kami?" bertanya orang itu, "Tongkat kami lebih
baik dari tongkat kalian. Baik dari segi ujudnya, maupun
dari manfaatnya." Mahisa Agni termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia melangkah maju sambil tersenyum, "Terima
kasih Ki Sanak. Terima kasih."
Tetapi Mahisa Agni terkejut ketika orang itu
membentaknya, "Gila. Seandainya saja. Hanya
seandainya." Mahisa Agni dengan serta merta melangkah surut.
Dengan kecewa ia berkata, "Jadi Ki Sanak tidak
bersungguh-sungguh?"
"Kau memang dungu," bentak orang yang bertubuh
kecil. "Kau sangka kami dapat melepaskan tongkat kami
begitu saja." "Tetapi bukankah, menurut pendengaran telingaku, Ki
Sanak minta tongkat kita dipertukarkan?" bertanya Mahisa
Agni. "Sekali lagi kau sebut, aku patahkan batang lehermu
dengan tongkatku ini," bentak yang seorang.
Mahisa Agni pun bergeser semakin menjauh. Wajahnya
nampak ketakutan. Sementara Witantra pun melangkah
surut pula. Sementara itu, orang bertongkat itupun bertanya, "Jadi
tongkat kalian bukan merupakan senjata?"
"Tidak Ki Sanak. Sudah aku katakan, bahwa aku tidak
pernah membawa senjata karena aku tidak dapat
mempergunakannya. Sementara itu aku tidak pernah
mempunyai persoalan dengan siapapun juga, sehingga aku
kira, aku dan saudaraku ini tidak memerlukan senjata
apapun juga," jawab Mahisa Agni.
"Bagaimanakah jika kalian bertemu dengan orang jahat
yang ingin merampas semua milik yang kau bawa?"
bertanya orang bertubuh kecil itu.
"Aku tidak membawa apa-apa. Jika ada orang yang
ingin merampas apa yang kami bawa, maka kami tidak
akan berkeberatan," jawab Mahisa Agni.
Kedua orang itu masih mengamati Mahisa Agni dan
Witantra, Namun kemudian orang bertubuh kecil itu
berkata, "Pergilah. Jangan bertemu aku lagi. Mungkin
sikapku lain kali agak berbeda."
"Terima kasih Ki Sanak," jawab Mahisa Agni. Tetapi ia
masih bertanya, "Tetapi siapakah Ki Sanak berdua ini?"
"Buat apa kau bertanya," jawab orang bertubuh kecil
itu, "sebut saja nama kami sekehendak hatimu. Bagi kami
tidak ada bedanya sama sekali."
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ia tidak bertanya
lagi. Tetapi bersama Witantra iapun kemudian
meninggalkan kedua orang bersenjata tongkat yang masih
berdiri termangu-mangu itu.
Beberapa langkah kemudian barulah Mahisa Agni
berkata, "Nampaknya kedua orang ini seperguruan dengan
kedua orang yang kita temui lebih dahulu. Tetapi menarik
sekali bahwa mereka telah berkumpul disini. Tentu ada satu
keperluan dari perguruan mereka dengan daerah ini,
ternyata beberapa orang diantara mereka telah berkumpul."
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian, "Apakah kita perlu mengamati mereka?"
"Untuk sementara belum. Sebaiknya kita pergi saja ke
Kediri. Kita mencoba melihat, apakah benar cahaya yang
memancar dari benda yang sangat berharga itu nampak
diatas gedung perbendaharaan."
Witantra mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Kita
akan pergi ke Kediri. Namun pada saat yang lain kita akan
dapat kembali lewat tempat ini."
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Jawabnya, "Ya. Kita
memang ingin mengetahui apa yang akan dilakukan oleh
orang-orang bertongkat itu."
Dengan demikian maka Mahisa Agni dan Witantra telah
melanjutkan perjalanan mereka. Mereka ternyata akan
langsung pergi ke Kediri untuk melihat cahaya teja yang
memancar dari benda yang paling berharga itu.
Sementara itu, kedua orang yang bersenjata tongkat itupun
telah meneruskan perjalanan mereka pula. Ternyata
kedua orang itu memang sudah berjanji untuk bertemu
dengan kedua orang yang telah menunggu dibawah pohon
randu itu. Ternyata bahwa ketika keempat orang itu bertemu dan
saling berbincang, mereka telah menyebut-nyebut dua orang
yang juga bertongkat yang lewat di jalan itu pula.
"Pengembara yang malas itu," berkata salah seorang
dari kedua orang bertongkat yang bertemu dengan Mahisa
Agni di warung. "Aku kira tongkat itu merupakan senjata mereka,"
berkata orang yang bertubuh kecil. "Aku telah mengujinya.
Ketika aku berkata bahwa aku minta tongkatnya aku tukar,
ternyata dengan serta merta mereka memberikannya."
Kawan-kawannya tertawa. Katanya, "Untunglah, bahwa
mereka tidak menuntut untuk melakukan tukar menukar
itu." "Gila. Ia tidak akan melakukannya," berkata orang
bertubuh kecil itu, "Aku akan dapat membungkamnya."
Yang lain mengangguk-angguk. Orang bertubuh kecil itu
memang akan dapat melakukannya apa saja yang
dikatakannya. Sementara itu, maka orang bertubuh kecil itupun
kemudian berkata, "Jadi, apakah yang akan kita lakukan
kemudian?" "Sampai sekarang memang belum diketemukan seekor
kerbau dungkul berkulit bule," jawab seorang kawannya.
Orang bertubuh kecil itu mengangguk-angguk. Tetapi
katanya, "Aku minta terlalu sulit. Seharusnya aku minta
seekor kerbau dungkul saja, sehingga peti dari perak itu
akan segera siap. Dengan demikian, dimana mahkota itu
disimpan didalam gedung perbendaharaan akan segera
dapat diketahui. Seorang diantara kita yang paling mungkin
untuk memasuki gedung perbendaharaan tidak dapat
melihat cahaya teja yang memancar dari benda itu.
Sebaliknya, aku yang mampu melihatnya, tidak memiliki
alas kemampuan untuk memasuki gedung perbendaharaan
itu." "Bukankah kalian dapat pergi bersama-sama," berkata
salah seorang kawannya. "Memang mungkin. Tetapi jika ada cahaya yang mirip
memancar dari satu dua pusaka yang lain dan sangat sulit
untuk membedakannya, maka kita akan segera mengetahui,
dimana mahkota itu disimpan, sehingga kita tidak usah
memilikinya lagi." Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun seorang
diantara mereka bertanya, "Jika ada cahaya itu, maka
bukanlah kau sudah melihatnya."
"Ya. Dari gedung perbendaharaan terpancar beberapa
jenis cahaya. Bahkan ada yang sangat mirip, meskipun
hanya pada saat-saat tertentu. Namun itu akan dapat
membingungkan. Karena itu, seandainya aku tidak dapat
pergi, maka seorang diantara kita yang memiliki
kemampuan untuk memasuki gedung itu akan dengan
segera mengetahui dimanakah mahkota itu disimpan."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Sementara itu
salah seorang yang lain berkata, "Bagaimana mungkin kau
dapat menipu Pangeran Singa Narpada yang memiliki
nama yang besar. Bukan saja karena ilmunya yang tinggi,
tetapi juga karena kecerdikannya yang tidak dapat diatasi
oleh Pangeran Kuda Permati."
Orang bertubuh kecil itu temangu-mangu sejenak.
Namun kemudian katanya, "Aku yakin, bahwa ilmuku
tidak akan melampaui ilmu Pangeran Singa Narpada.
Tetapi ia adalah seorang kesatria yang tidak pernah terpikir
didalam benaknya untuk menipu orang lain. Karena itu,
maka ia mempunyai anggapan demikian pula terhadap
orang lain yang belum terbukti pernah menipunya. Karena
itu menghadapi sikap yang licik, Pangeran Singa Narpada
agaknya menjadi lengah."
Kawan-kawan orang bertubuh kecil itu tertawa. Katanya,
"Jadi kau menyadari, bahwa yang kau lakukan itu adalah
satu langkah yang licik?"
"Jika kita tidak berbuat licik, mana mungkin kita akan
berhasil menguasai sesuatu yang sangat berharga itu.
Betapapun besarnya perguruan kita, namun kita bukanlah
trah keraton. Isi dari perguruan kita, memang bukan apaapa
dibanding dengan kekuatan Kediri. Karena itu, maka
kita harus melakukan sesuatu untuk mengatasi kelemahan
kita. Mudah-mudahan kita berhasil, karena ternyata
Pangeran Singa Narpada telah memerintahkan orangorangnya
untuk mencari apa yang aku katakan."
"Jika saja pada saat pusaka itu dibawa oleh Pangeran
Singa Narpada kita sempat berkumpul," berkata salah
seorang dari mereka. "Jika kita hanya berempat ini, maka kita tentu akan
gagal," berkata orang bertubuh kecil. "Kekuatan mereka,
empat orang yang membawa pusaka itu lebih besar dari kita
berempat. Kecuali jika kita sempat menyampaikannya
kepada guru dan beberapa kawan kita yang lain."
Yang lain mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Baiklah.
Segalanya terserah kepadamu. Kau adalah orang tertua
diantara saudara-saudara kita seperguruan. Jika tidak ada
guru, maka kata-katamulah yang kami jadikan pegangan."
"Baiklah," berkata orang bertubuh kecil itu, "Kita harus
mengamati terus, apakah Pangeran Singa Narpada sudah
berhasil mendapatkan seekor kerbau dungkul berkulit bule.
Jika sudah maka akan kita perhitungkan, bahwa peti itu
akan segera siap. Dan kita akan dengan mudah
mengambilnya di gedung perbendaharaan dengan cara
sebagaimana pernah terjadi. Ketika orang yang pernah
mengambilnya lebih dahulu sudah tidak ada, maka mereka
tentu tidak akan mengira, bahwa cara itu akan terulang oleh
orang lain." "Tetapi bukanlah kita masih harus menunggu," berkata
salah seorang diantara mereka.
"Tentu. Setelah benda itu ada di tangan kita pun, kita
akan menunggu. Kita tidak tahu pasti apa yang kelak akan
terjadi. Tetapi api perjuangan yang pernah dinyalakan oleh
beberapa orang Kediri berurutan, akan menyala terus. Yang
terakhir kebetulan adalah Pangeran Kuda Permati. Namun
sementara itu orang-orang diluar istana seperti kita
bukannya tidak mempunyai kewajiban yang sama. Bahkan
dengan benda keramat yang menjadi tempat
bersemayamnya wahyu keraton itu, maka tidak mustahil
bahwa yang kecil seperti kita akan dapat memegang
pimpinan pemerintahan sebagaimana pernah ditunjukkan
kenyataannya oleh seorang terbuang dipadang Karautan
yang bernama Ken Arok, yang telah membangunkan
Singasari dan menempatkan Kediri dibawah pengaruh
Singasari itu," jawab orang bertubuh kecil itu.
Saudara-saudara seperguruannya hanya menganggukangguk
saja. Namun kemudian katanya, "Tetapi tidak baik
kita berkumpul dengan ciri senjata kita yang memang agak
menyolok ini. Kita sebaiknya berpisah. Jika kita bertemu
seperti ini, maka kita tidak usah membawa jenis senjata
yang menarik perhatian mi."
Saudara-saudara seperguruannya mengangguk-angguk.
Seorang diantara mereka tiba-tiba saja bertanya,
"Bagaimana pendapat kalian dengan kedua orang
bertongkat yang lewat di jalan ini?"
Tetapi seorang yang lain menyahut, "Mereka benarbenar
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pengembara. Kita tidak perlu menghiraukannya."
"Ya," jawab yang seorang lagi. "Tidak ada tanda-tanda
bahwa mereka perlu diperhatikan. Dua orang yang sudah
tua itu tentu dua orang yang kesepian karena tidak
mempunyai sanak kadang."
Keempat orang itu sependapat, bahwa dua orang
bertongkat yang sudah terlalu tua itu memang bukan orang
yang dapat dianggap berbahaya.
Sejenak kemudian maka keempat orang itupun telah
berpisah, masing-masing berdua dengan tujuan yang tidak
sama. Namun mereka ternyata tidak akan meninggalkan
tempat itu terlalu jauh. Mereka akan selalu berusaha
mendengar kabar, apakah Kediri telah mendapatkan seekor
kerbau sebagaimana dikehendaki oleh Pangeran Singa
Narpada. Tetapi Pangeran Singa Narpada sendiri tidak pernah
merasa gelisah karena kesulitannya untuk menemukan
kerbau dungkul berkulit bule. Ia menekankan kepada
kesiagaan yang tinggi atas para pengawal gedung
perbendaharaan. Meskipun demikian bukan berarti bahwa Pangeran Singa
Narpada menghentikan usahanya untuk mendapatkan
seekor kerbau sebagaimana yang disebut oleh seseorang
yang mengaku bernama Ki Ajar Wantingan.
Tetapi menurut pendapat Pangeran Singa Narpada,
adalah tidak mutlak bahwa yang dicarinya itu akan dapat
mengamankan pusaka yang sangat berharga. Yang akan
terjadi hanyalah sekedar usaha agar mahkota itu tidak
selalu menarik perhatian bagi orang-orang yang memiliki
ketajaman penglihatan atas cahaya yang memancar dari
benda-benda yang keramat.
Namun memang sebenarnyalah Pangeran Singa
Narpada tidak menaruh kecurigaan sama sekali kepada Ki
Ajar Wantingan, meskipun Mahisa Bungalan agak bersikap
lain. Sementara itu, Mahisa Agni dan Witantra telah berada
didalam Kota Raja pula. Pada satu malam, mereka telah
memerlukan untuk melihat dari luar dinding istana, apakah
benar ada cahaya teja yang memancar dari benda-benda
keramat didalam gedung perbendaharaan.
Ketika keduanya menyaksikan sendiri, maka Witantra
pun berkata, "Ternyata yang dikatakan oleh Mahisa
Bungalan dan kedua adiknya itu benar."
Mahisa Agni yang juga melihat cahaya itupun
mengangguk-angguk. Katanya, "Memang menarik
perhatian bagi mereka yang dapat menyaksikannya. Tetapi
tentu bukan hanya sekarang."
"Itulah sebabnya maka seseorang telah menggerakkan
beberapa tataran untuk melakukan perlawanan terhadap
Singasari. Yang terakhir adalah Pangeran Kuda Permati
dan Pangeran Lembu Sabdata yang tertawan dalam
keadaan kurang lengkap kesadarannya itu," jawab
Witantra. Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
"Sebaiknya kita tinggal untuk sementara sambil mengamati,
apakah sebenarnya masih ada sisa-sisa sikap dari Pangeran
Kuda Permati di Kediri. Sementara itu, kita juga ingin
mendengar apakah Pangeran Singa Narpada sudah
menemukan seekor kerbau sebagaimana dikehendaki."
"Ya. Tetapi orang-orang bertongkat itu sangat menarik
perhatian," jawab Witantra, "Sayang, bahwa kita tidak
mempunyai tempat untuk tinggal di Kediri."
"Kita dapat berada dimana saja," desis Mahisa Agni.
Witantra mengangguk-angguk. Namun kemudian
katanya, "Tetapi akan lebih baik bagi kita jika kita
mempunyai landasan di Kediri."
"Kita pernah berada di Kediri. Apakah tidak ada
seorang pun diantara orang-orang yang pernah kita kenal
yang akan dapat membantu kita?" desis Mahisa Agni.
"Soalnya adalah, siapa diantara mereka yang dapat kita
percaya" Setelah beberapa lama kita tidak pernah membuat
hubungan dengan mereka, tentu kita memerlukan waktu
untuk mengingat-ingat," sahut Witantra.
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, "Kita tidak
tergesa-gesa. Kita masih mempunyai waktu cukup untuk
menemukan seseorang yang kita kehendaki. Jika pada
saatnya peti itu siap dan ternyata cahaya itu masih dapat
kita lihat, maka orang yang menganjurkan untuk membuat
peti perak itu tentu mempunyai maksud tersendiri."
"Ya. Dan kita patut menilai maksud itu," berkata
Witantra kemudian. Demikianlah kedua orang tua itu telah bertekad untuk
tinggal beberapa lama di Kediri. Sebelum mereka
menemukan tempat yang layak bagi landasan rencana
mereka, maka mereka akan berada dimana saja sebagai dua
orang pengembara sejati kita tidak akan tergantung kepada
tempat. Dari sehari, maka kedua orang itu memang berusaha
untuk dapat berhubungan dengan seseorang yang
dikenalnya dengan baik. Bukan seorang Pangeran. Bukan
pula seorang Tumenggung. Tetapi justru seorang pekatik
yang pernah berada di istana Mahisa Agni pada saat ia
memegang kuasa Singasari di Kediri.
Pekatik yang juga sudah tua itu terkejut sekali ketika ia
menyadari bahwa orang yang datang kepadanya itu adalah
Mahisa Agni dan Witantra. Dua orang yang pernah
dikenalnya sebagai dua orang pejabat tertinggi Singasari di
Kediri. Bahkan yang kuasanya berada di sisi Sri Baginda
pada waktu itu. Namun yang kedudukan itu kemudian
telah dihapuskan ketika Singasari telah menganggap bahwa
Kediri sudah dapat sepenuhnya dipercaya.
"Sudahlah," berkata Mahisa Agni, "Kami datang tidak
dalam jabatan kami. Tetapi kami adalah pengembara yang
singgah untuk mencari air."
"Ah," desis pekatik itu, "Jangan begitu. Tuanku berdua
dapat singgah di istana."
"Tidak," jawab Mahisa Agni dengan serta merta. Lalu
katanya, "Aku memang sedang dalam penyamaran."
"O." pekatik itu termangu-mangu.
"Aku sedang bermain-main dengan satu persoalan yang
ingin kami pecahkan," berkata Mahisa Agni, "Karena itu,
aku memerlukan bantuanmu. Aku ingin berada di rumah
ini sebagai saudaramu."
"Bagaimana mungkin tuanku berdua berada di rumahku
yang kecil dan kotor ini?" desis pekatik itu.
"Ingat. Kami berdua adalah pengembara," jawab
Mahisa Agni, "Kami berdua memerlukan bantuanmu bagi
kepentingan Kediri dan Singasari. Kami dapat berada
dimana saja. Bahkan selama ini kami tidur dibawah
pepohonan, diatas rerumputan kering."
Pekatik itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Segala sesuatunya terserah kepada tuanku, jika memang
tuanku kehendaki. Apapun yang tuanku inginkan dapat
tuanku lakukan disini."
Ternyata Witantra dan Mahisa Agni dapat diterima
dengan baik oleh pekatik itu. Sementara itu, pekatik itupun
tahu benar maksud Witantra dan Mahisa Agni.
Karena itu, ketika Mahisa Agni minta agar ia
memanggilnya dengan sebutan yang akrab pekatik itu
berkata, "Sebenarnya memang demikian seharusnya. Tetapi
rasa-rasanya sulit bagiku untuk mengucapkannya."
"Panggil kami kakang," berkata Mahisa Agni,
"Bukankah menurut pengamatan lahiriah kami lebih tua
dari padamu, meskipun mungkin umur kita hampir
bersamaan." "Baiklah," berkata pekatik itu, "Tetapi hendaknya
jangan kelak kena kutuk karena aku telah berani memanggil
tuanku berdua dengan sebutan kakang."
"Kamilah yang menghendakinya," berkata Witantra,
"Dan sebenarnyalah bahwa kami adalah orang-orang
kebanyakan yang tidak akan dapat membuat orang lain
mengalami kesulitan."
Dengan demikian maka Witantra dan Mahisa Agni telah
berada di tempat pekatik itu pula, sebagaimana pernah
mereka lakukan sebelumnya dalam penyamaran dan
pengembaraan, meskipun pada orang yang berbeda.
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa betapapun
sulitnya, akhirnya usaha Pangeran Singa Narpada untuk
menemukan seekor kerbau dungkul berkulit bule itupun
berhasil. Ketika kerbau itu kemudian dibawa ke alun-alun,
maka orang-orang di sekitarnya telah berkerumun untuk
melihat seekor kerbau yang jarang ada itu. Bahkan mungkin
di seluruh Kediri tidak dapat diketemukan genap lima ekor
kerbau yang bertanduk dungkul dan berkulit bule.
Dengan satu upacara khusus maka kerbau yang jarang
sekali terdapat itu, terpaksa dikorbankan untuk memenuhi
nasehat seorang yang bersikap sangat baik kepada Pangeran
Singa Narpada, yang dikenalnya dengan nama Ki Ajar
Wantingan. Meskipun Pangeran Singa Narpada tidak meletakkan
segenap usaha pengamanan kepada ketiadaan cahaya yang
dapat memancar dari benda yang paling berharga itu
dengan menempatkannya didalam sebuah peti perak
berlapis kulit kerbau yang jarang sekali terdapat itu, namun
Pangeran Singa Narpada sama sekali tidak menaruh
kecurigaan, bahwa ada maksud tertentu pada orang yang
bersikap sangat baik itu.
Namun demikian, Pangeran Singa Narpada telah
berusaha memenuhi nasehat itu yang mungkin memang
akan dapat membantu mengamankan benda yang memang
sangat berharga bagi Kediri itu.
Peristiwa yang termasuk aneh itu ternyata telah diikuti
oleh beberapa pihak. Pangeran Singa Narpada tidak
berhasil merahasiakan usahanya untuk melakukan
pengamanan itu dengan diam-diam, karena sejak kerbau itu
memasuki pintu gerbang, ternyata telah banyak sekali,
menarik perhatian orang. Namun tidak banyak diantara
mereka yang mengetahui, maksud sebenarnya dari
Pangeran Singa Narpada yang telah mengorbankan kerbau
dungkul berkulit bule itu.
Sebagian dari orang-orang Kediri itu menganggap bahwa
korban kerbau dungkul itu dimaksud untuk menghindarkan
Kediri dari perang saudara yang dapat merenggut jiwa yang
tidak terhitung jumlahnya. Apalagi mereka itu adalah putraputra
terbaik dari Kediri. Namun diantara mereka beberapa orang dari sebuah
perguruan telah mengikuti perkembangan keadaan itu
dengan saksama. Beberapa orang diantara mereka telah
melihat di alun-alun pada saat kerbau itu dikorbankan.
"Kita akan segera memastikan bahwa mahkota itu akan
berada didalam sebuah peti yang dibuat dari perak dan
dilapisi dengan kulit kerbau yang dikorbankan itu. Kasihan.
Binatang yang langka," berkata seorang yang bertubuh
kecil. "Kau yang bersalah," berkata kawannya, "Sebenarnya
kau dapat menyebut yang lain. Seekor kerbau bule saja
misalnya, atau apapun yang lebih banyak terdapat di Kediri
daripada seekor kerbau dungkul berkulit bule."
"Tetapi aku sudah terlanjur menyebutnya," jawab orang
bertubuh kecil yang ternyata telah meninggalkan
tongkatnya di penginapannya. Lalu, "Tetapi sudahlah.
Ternyata Pangeran Singa Narpada telah berhasil
mendapatkannya. Semakin sulit syarat itu didapatkannya,
maka dianggapnya bahwa syarat itu akan semakin berarti."
Kawannya mengangguk-angguk. Namun ia tidak
menjawab lagi. Yang penting bagi mereka adalah mengikuti
perkembangan usaha Pangeran Singa Narpada untuk
membuat sebuah peti yang cukup besar dari perak dan
dilapisi kulit kerbau yang dikorbankan itu.
Tetapi selain sekelompok murid dari sebuah perguruan
itu, maka Mahisa Agni dan Witantra pun telah mengikuti
perkembangan keadaan. Sekali lagi mereka memperhatikan
cahaya teja yang terdapat di gedung perbendaharaan dari
benda-benda yang paling berharga. Jika peti itu siap dan
salah satu dari cahaya teja itu lenyap, maka apa yang
dikatakan oleh orang yang menyebut dirinya Ki Ajar
Wantingan itu benar-benar petunjuk yang sangat berarti.
Tetapi jika ternyata tidak, maka tentu ada maksud yang lain
dari orang yang menyebut dirinya Ajar Wantingan itu.
Namun mereka tidak dapat mengetahui dengan segera.
Mereka harus menunggu kapan peti dan lapisannya itu siap.
Pangeran Singa Narpada tentu tidak akan mengemukakan,
bahwa ia telah menyimpan benda yang paling berharga itu
didalam sebuah peti untuk menyerap cahaya tejanya,
karena itu, maka Mahisa Agni dan Witantra harus berusaha
mencari berita, apakah benda itu memang sudah disimpan.
Ternyata apa yang dilakukan oleh Mahisa Agni dan
Witantra tidak banyak berbeda dengan apa yang telah
dilakukan oleh murid-murid dari sebuah perguruan yang
ternyata juga menginginkan mahkota yang dianggap
menjadi tempat bersemayam Wahyu Keraton itu, sehingga
siapa yang memilikinya akan dapat menjadi pemegang
Wahyu Keraton itu pula, dan akan dapat pada suatu saat
menjadi raja atau menurunkan raja-raja di Kediri.
Sementara itu, Pangeran Singa Narpada memang sudah
memerintahkan untuk membuat sebuah peti dari perak yang
kemudian akan dilapisi oleh kulit kerbau yang jarang sekali
terdapat di Kediri itu. Bagaimana juga rahasia itu disimpan, namun ternyata
bahwa terbetik juga berita yang dapat ditangkap oleh
Mahisa Agni dan Witantra lewat pekatik yang memberikan
tempat tinggal kepada mereka, tetapi juga didengar oleh
orang-orang yang memang telah menjerumuskan Pangeran
Singa Narpada. "Kotak itu sudah jadi," berkata seseorang kepada orang
yang bertubuh kecil dan bersenjata tongkat panjang itu,
"Kulit kerbau itupun telah kering dan siap dipasang."
"Kita akan menunggu beberapa hari lagi," berkata orang
bertubuh kecil, "usahakan untuk mendengar perkembangan
keadaan."
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam pada itu, pekatik yang masih juga bekerja di
istana itupun mendengar juga bahwa kotak yang terbuat
dari perak itu sudah selesai. Bahkan kulit kerbau itupun
telah dipasang pula untuk melapisinya.
"Tetapi kemudian peti yang sudah dilapisi itu telah
berada kembali di tangan Pangeran Singa Narpada," kata
pekatik itu. Lalu katanya, "Tidak seorang pun tahu, apa
yang akan dilakukan dengan peti perak dan kulit kerbau
itu." Mahisa Agni dan Witantra hanya mengangguk-angguk
saja. Tetapi kepada pekatik itu mereka tidak mengatakan,
apakah gunanya peti perak dan kulit kerbau dungkul
berkulit bule itu. Untuk meyakinkan kebenaran petunjuk tentang peti yang
berlapis kulit kerbau itu, maka Mahisa Agni dan Witantra
telah menunggu pula untuk beberapa lama. Ketika pada
suatu malam mereka melihat gedung perbendaharaan,
maka cahaya teja yang pernah dilihatnya itu masih tetap
nampak. "Mungkin Pangeran Singa Narpada masih belum
mempergunakan peti itu," berkata Mahisa Agni.
"Mungkin," jawab Witantra, "Karena itu, kita akan
menunggu lagi beberapa lamanya."
Namun pekatik itu tiba-tiba pada suatu saat berkata
kepada Mahisa Agni dan Witantra, "Menurut
pendengaranku dari orang-orang di lingkungan istana dan
yang bertugas membersihkan Gedung Perbendaharaan,
bahwa peti-perak itu berada di gedung perbendaharaan."
Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk.
Katanya, "Terima kasih."
"Tetapi buat apa sebenarnya tuanku, eh, kakang
memperhatikan peti perak itu?" bertanya pekatik itu.
Mahisa Agni lah yang menjawab, "Tidak apa-apa.
Tetapi peti itu sangat menarik perhatianku."
Tetapi pekatik itu tersenyum. Meskipun ia sekedar
seorang pekatik, tetapi ia bukannya orang yang dungu.
Karena itu maka katanya, "Tuanku tentu merahasiakan
sesuatu. Tetapi baiklah. Aku percaya bahwa setiap usaha
tuanku tentu mengarah kepada sesuatu yang baik bagi
Kediri." "Panggil aku kakang," berkata Mahisa Agni.
"Ya. Maksudku memang demikian," jawab pekatik itu.
Namun dengan keterangan itu, maka Mahisa Agni dan
Wintantra telah mengulangi penglihatannya. Namun
ternyata bahwa mereka masih melihat cahaya teja yang
pernah dilihatnya itu. Merekapun yakin, bahwa orangorang
yang memiliki ketajaman penglihatan akan dapat
mengetahui bahwa di gedung perbendaharaan itu masih
terdapat beberapa pusaka yang keramat, diantaranya adalah
tempat bersemayam Wahyu Keraton. Bagi orang yang tidak
dapat mengenali cahaya itu, akan segera mengetahui bahwa
benda yang sangat berharga itu berada di sebuah peti perak
yang dilapisi oleh kulit seekor kerbau. Kulit kerbau apapun
juga, akan mudah dibedakannya.
Tiba-tiba saja Mahisa Agni itupun berkata, "Jika
Pangeran Singa Narpada memenuhi anjuran orang yang
menyebut dirinya Ki Ajar Wantingan, bukankah itu berarti
bahwa Pangeran Singa Narpada telah menempatkan benda
yang paling berharga itu di tempat yang siap untuk
diambilnya?" "Jika orang-orang seperti Ajar Wantingan itu sendiri
yang memasuki Gedung Perbendaharaan, maka ia tidak
memerlukan tempat seperti itu, karena ia akan segera
mengetahui, dimanakah dan yang manakah pusaka yang
sangat berharga itu," sahut Witantra.
"Jika orang lain yang melakukannya?" sahut Mahisa
Agni. "Pada kesempatan yang terdahulu, Pangeran Lembu
Sabdata ikut melibatkan diri, sehingga sebagai seorang
Pangeran, maka ia tentu banyak mengenal letak dan ujud
dari benda yang diinginkan. Karena itu, maka dengan bekal
keterangan daripadanya, maka benda itu dapat diambil dari
Gedung Perbendaharaan. Tetapi tanpa petunjuk apapun,
seseorang yang memang belum mengetahuinya dan tidak
memiliki ketajaman penglihatan akan sulit untuk dengan
cepat menemukannya."
Witantra mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Aku
mengerti. Agaknya maksud orang yang menyebut dirinya
Ajar Wantingan itu memang demikian, meskipun aku tidak
mutlak menuduhnya." Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, "Sesuatu
yang sangat menarik."
Dalam pada itu, bahwa peti yang terbuat dari perak
berlapis kulit seekor kerbau dungkul berkulit bule telah
berada di Gedung perbendaharaan, telah di dengar pula
oleh orang-orang bertongkat yang dipimpin orang yang
menyebut dirinya Ki Ajar Wantingan. Dengan segera
mereka-pun telah mengadakan pembicaraan tentang
langkah-langkah akan mereka ambil.
"Mahkota itu tentu telah berada di dalam peti itu,"
berkata orang bertubuh kecil itu.
"Ya. Satu kesempatan sudah terbuka," sahut yang lain.
"Tetapi kita jangan tergesa-gesa. Menurut pengamatan
orang-orang yang dapat kita percaya, meskipun mereka
tidak menyadari, namun mereka telah memberikan
beberapa keterangan tentang penjagaan atas gedung
perbendaharaan itu. Agaknya masih ada kecemasan di hati
Pangeran Singa Narpada, sehingga penjagaan di Gedung
Perbendaharaan itu masih terlalu kuat," berkata orang
bertubuh kecil itu. Namun demikian seorang kawannya tersenyum sambil
menjawab, "Kita akan memberikannya kepada Kerbau
dungkul kita. Ia tidak akan dapat dicegah oleh penjagaan
yang betapapun kuatnya sebagaimana pernah terjadi. Ia
memiliki ilmu sirep yang sangat kuat. Jauh lebih kuat dari
ilmu orang yang menyebut dirinya Ajar Bomantara itu.
Meskipun ada juga Senapati yang bertugas, tetapi ia tidak
akan terlepas dari kekuatan sirep itu. Kecuali jika Pangeran
Singa Narpada sendiri yang berada di Gedung
perbendaharaan, mungkin ia akan dapat lolos dari pengaruh
sirep itu." "Kita memang akan menghubungi paman Kebo Sarik,"
berkata orang bertubuh kecil. "Jangan hinakan paman kita
itu dengan istilah-istilah yang menyakitkan hati. Ia adalah
adik seperguruan guru kita, yang memiliki kemampuan
sebagaimana guru kita. Seandainya terpaut serba sedikit, itu
adalah wajar karena ia lebih muda dari guru kita."
"Maaf, aku agak terlanjur menyebutnya," jawab saudara
seperguruannya, "Tetapi ujudnya memang mengingatkan
kita kepada seekor kerbau. Aku kira paman Kebo Sarik
tidak akan marah meskipun kau berkata seperti itu di
hadapannya." ia berhenti sejenak, lalu, "Tetapi kita harus
kembali ke Parang Gantungan, atau ke Parang Wedang
untuk menemuinya." "Guru akan memerintahkannya menemui kita. Kita
akan mencarinya di sekitar Hutan Wentar sebagaimana
yang pernah guru katakan," berkata orang bertubuh kecil
itu, "Mudah-mudahan paman sudah datang."
"Apakah kira-kira paman bersedia," bertanya seorang
diantara adik-adik seperguruannya itu.
"Jika guru memerintahkannya," jawab orang bertubuh
kecil itu. "Tetapi paman bukannya orang yang rajin. Ia seorang
pemalas meskipun sebenarnya ia memiliki ilmu yang sangat
tinggi sebagaimana guru sendiri," berkata yang lain lagi.
Tetapi saudara seperguruannya yang lebih tua berkata,
"Ia akan datang. Kita akan mengatakan kepada paman,
bahwa tugasnya telah menunggu."
Orang bertubuh kecil itu kemudian berkata, "Ya. Paman
akan memasuki Gedung Perbendaharaan dan mengambil
peti yang terbuat dari perak itu. Meskipun paman tidak
memiliki ketajaman penglihatan batin yang akan dapat
melihat cahaya teja yang memancar dari benda yang sangat
berharga itu, namun ia akan dapat langsung menemukan
peti yang kita perlukan itu."
"Bukankah kau akan dapat menyertainya?" bertanya
salah seorang saudara seperguruannya.
"Memang mungkin. Tetapi semakin banyak orang yang
memasuki halaman istana, maka kemungkinan untuk dapat
diketahui menjadi semakin besar pula," jawab orang
bertubuh kecil itu, "Tetapi kita akan berbicara dengan
paman. Apakah ia akan sendiri memasuki halaman istana
atau ia memerlukan seorang kawan. Paman dan aku samasama
belum mengenali isi istana itu. Lorong-lorong dan
longkangan-longkangan serta bangsal-bangsal yang ada.
Yang aku ketahui, dan yang juga akan dapat diketahui oleh
paman, adalah keterangan-keterangan tentang itu. Dan aku
yakin, sebagaimana aku dan kalian, maka paman tentu
akan dapat mengenalinya jika ia mendapat kesempatan
untuk memasuki halaman istana itu."
Saudara-saudara seperguruannya mengangguk-angguk.
Lalu seorang diantara mereka berkata, "Jika demikian, kita
akan pergi ke Hutan Wentar. Mudah-mudahan kita akan
dapat menemuinya." Dengan demikian, maka keempat orang itupun telah siap
untuk pergi ke Hutan Wentar. Sementara itu, orang
bertubuh kecil itu tidak mencemaskan bahwa mahkota yang
akan diambilnya itu telah diambil lebih dahulu oleh orang
lain. Pada saat keempat orang itu meninggalkan daerah
perbatasan Kota Raja Kediri, maka dua orang anak muda
justru telah memasuki Kota Raja. Adalah diluar dugaan,
bahwa ketika mereka berada di sebuah kedai, dua orang
justru sedang membicarakan empat orang bertongkat yang
berjalan beriringan. "Tongkat mereka panjang?" bertanya salah seorang dari
kedua anak muda itu. "Ya. Tongkat mereka terlalu panjang," jawab orang itu.
Sementara pemilik kedai itupun menyahut, "Dua
diantaranya sering datang dan makan dikedai ini dengan
tongkat-tongkat mereka. Tetapi ketika kemudian mereka
datang berempat, mereka tidak lagi membawa tongkattongkat
panjang mereka." "Kenapa?" bertanya salah seorang dari kedua anak
muda itu. "Aku tidak tahu," pemilik warung itu menggeleng.
Anak-anak muda itupun mengangguk-angguk. Namun
kemudian salah seorang diantara mereka berbisik, "Mereka
tidak ingin menarik perhatian. Jika keempat-empatnya
membawa tongkat panjang, maka akan segera diketahui,
bahwa mereka adalah sekelompok orang dari satu
perguruan." "Tetapi ketika mereka meninggalkan tempat ini, mereka
juga membawa tongkat-tongkat mereka," sahut yang lain.
"Tidak ada kemungkinan lain. Mereka tentu tidak akan
meninggalkan tongkat-tongkat mereka, karena tongkattongkat
mereka itu adalah senjata mereka," jawab yang
lain. Yang seorang mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak
membicarakannya lagi. Ketika kedua orang anak muda itu kemudian
meninggalkan kedai itu, maka seorang diantaranya berkata,
"Kita akan langsung mencari paman Mahisa Agni dan
paman Witantra. Mungkin keduanya menaruh perhatian
atas keempat orang pembawa tongkat panjang itu."
Demikianlah, maka sebagaimana dikatakan, kedua anak
muda itu telah memasuki Kota Raja Kediri dan berusaha
untuk mencapai tempat yang sudah dijanjikan. Ketika
mereka belum menemukan Mahisa Agni dan Witantra di
tempat itu, maka keduanya telah menunggu.
"Sampai kapan?" bertanya Mahisa Pukat.
"Setiap saat kita datang ke tempat ini," jawab Mahisa
Murti, "Kita tidak harus selalu berada disini. Memang
mungkin kita berselisih waktu. Pada saat kita datang kedua
paman itu baru saja meninggalkan tempat ini atau
sebaliknya. Tetapi pada suatu saat kita tentu akan
bertemu." Sebenarnyalah keduanya tidak perlu menunggu terlalu
lama. Di hari berikutnya, ketika kedua orang anak muda itu
mengawasi tempat yang mereka janjikan untuk bertemu
dengan Mahisa Agni dan Witantra dari tempat yang agak
jauh, mereka telah melihat dua orang tua berjalan melewati
tempat itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian
mengikuti Mahisa Agni dan Witantra ke rumah pekatik
yang telah memberi kesempatan kedua orang tua itu tinggal
selama mereka berada di Kediri.
Di rumah pekatik itulah maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat sempat berceritera tentang keempat orang bertongkat
yang meninggalkan daerah perbatasan.
"Mereka pergi kemana?" bertanya Mahisa Agni.
"Itulah," berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat pun kemudian bangkit berdiri dan
melangkah mendekat. "He, kau sudah datang," desis Witantra.
"Aku sudah sehari disini," berkata Mahisa Pukat.
"Marilah, ikut kami. Kami tinggal di rumah seorang
sahabat yang baik."Ajak Witantra.
"Tidak seorang pun yang mengetahuinya," jawab
Mahisa Murti. Mahisa Agni mengangguk-angguk. Namun kepergian
keempat orang itu justru menjadi teka-teki baginya.
"Mungkin tugas mereka sudah selesai," berkata
Witantra. "Tugas yang mana?" bertanya Mahisa Agni.
"Mereka hanya bertugas untuk berusaha agar benda
yang sangat berharga itu ditempatkan pada satu tempat
yang mudah dikenal. Sementara itu akan ada petugas lain
yang datang untuk mengambilnya," jawab Witantra.
"Memang masuk akal," berkata, Mahisa Agni
kemudian, "tetapi apakah mereka pergi begitu saja dan
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak akan ikut campur dalam usaha pengambilan benda
berharga itu" Atau mereka memang bermaksud baik.
Mereka benar-benar ingin membantu Pangeran Singa
Narpada, agar mahkota itu tidak terlalu menarik perhatian.
Tetapi usaha itu tidak berhasil, sehingga dengan demikian
maka mereka pun tidak lagi merasa mempunyai tugas
apapun lagi." "Banyak kemungkinan dapat terjadi," sahut Witantra,
"Tetapi sebaiknya kita tetap berhati-hati. Kita dapat saja
mencurigai langkah-langkah seseorang meskipun akhirnya
ternyata bahwa kitalah yang keliru."
"Jadi bagaimana menurut pendapatmu?" bertanya
Mahisa Agni. "Kita ikut mengawasi gedung perbendaharaan itu,"
jawab Witantra, "Kita sudah mengetahui letaknya dan kita
mengetahui kemungkinan yang paling besar, jalan yang
akan dilalui seseorang apabila ia ingin memasuki istana dan
menuju ke Gedung Perbendaharaan."
"Paman sudah mengetahui letak bangsal-bangsal di
istana Kediri?" bertanya Mahisa Pukat.
"Aku dan paman Mahisa Agni pernah berada di Kediri
dalam tugas kami yang berat. Karena itu, maka kami serba
sedikit dapat mengetahui tentang istana Kediri," jawab
Witantra. "Tetapi apapun kita tidak usah menyampaikan kepada
Pangeran Singa Narpada?" bertanya Mahisa Pukat.
"Kita menunggu perkembangan keadaan," jawab
Mahisa Agni, "Mungkin kitalah yang salah menilai."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah.
Kita akan menunggu perkembangan keadaan."
"Namun sementara ini, kita akan selalu mengawasi
jalan yang menuju ke Gedung Perbendaharaan itu.
Maksudku, jalan yang paling mungkin dilalui dengan diamdiam,
diluar pengamatan atau kemungkinan pengamatan
yang paling kecil dari para pengawal," berkata Mahisa
Agni. Dengan demikian, maka Mahisa Agni, Witantra dan
kedua orang kakak beradik itu sudah menempatkan diri
mereka dibawah tugas yang mereka letakkan di pundak
mereka sendiri. Namun menurut perhitungan mereka, jika seseorang
ingin memasuki Gedung Perbendaharaan Istana itu, maka
tentu akan dilakukannya dimalam hari.
Dengan demikian maka bagi Mahisa Agni, pengawasan
yang paling cermat justru harus dilakukan pada malam hari.
"Kita akan mengamati Gedung Perbendaharaan itu di
malam hari," berkata Mahisa Agni, "Kita akan membagi
diri menjadi dua kelompok. Aku dengan Mahisa Murti dan
Witantra dengan Mahisa Pukat. Kita akan berganti-ganti
melakukan tugas pengamatan itu, sehingga kita tidak akan
menjadi terlalu letih. Meskipun kita berempat akan berada
di satu tempat, tetapi yang bertugas akan kita tentukan
bergantian." Witantra sependapat dengan Mahisa Agni, sehingga
dengan demikian maka mereka pun telah membagi harihari
yang akan mereka lalui dengan tugas yang mereka
sandang atas kehendak mereka sendiri.
Beberapa hari hal itu telah mereka lakukan. Namun
mereka sama sekali tidak menjumpai peristiwa yang
menarik perhatian. Namun pada hari-hari berikutnya,
keempat Orang itu merasa bahwa seseorang telah melihat
kehadiran mereka dan mengawasinya.
"Apakah kita perlu berbuat sesuatu atasnya?" bertanya
Mahisa Murti yang sedang bertugas bersama Mahisa Agni.
"Jangan," jawab Mahisa Agni, "Biarlah terjadi sesuatu.
Baru kita tahu, apa yang akan dilakukannya."
Sementara itu, orang yang sedang mengawasi mereka
itupun tidak pula berbuat apa-apa, sehingga untuk
sementara mereka saling berdiam diri dan tidak mengambil
langkah-langkah apapun juga. Ternyata Witantra pun telah
mencegah Mahisa Pukat untuk mengamati orang itu dekat
lagi. "Kita harus berhati-hati," berkata Witantra, "Bukankah
kita tidak akan berbuat jahat dan tidak akan memasuki
Gedung Perbendaharaan" Dengan demikian, maka tidak
akan ada orang yang bertindak atas kita, karena kita tidak
berbuat apa-apa disini."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi iapun sudah
bersiaga. Seandainya ada juga orang yang berbuat apa-apa,
maka ia sudah siap menghadapinya.
Ternyata dari hari ke hari mereka tidak menemui
persoalan yang penting selain malam yang dingin dan angin
yang basah bagaikan meresap sampai ke tulang. Sekalisekali
mereka masih melihat seseorang yang kadang-kadang
bergerak dengan cepat melintas dalam jarak pengamatan.
Tetapi orang itupun tidak berbuat apa-apa sebagaimana
keempat orang itupun tidak berbuat apa-apa juga.
Sementara itu, keempat orang bertongkat yang pergi ke
Hutan Wentar ternyata telah sampai ketujuan. Setelah
berada beberapa saat di hutan Wentar, ternyata mereka
telah menemukan orang yang mereka cari.
"Paman," berkata orang yang bertubuh kecil. "Aku
sudah berhasil membujuk Pangeran Singa Narpada untuk
menempatkan pusaka itu di sebuah peti dari perak."
"Dan kau berharap mengambilnya," sahut seorang yang
bertubuh gemuk dan berambut panjang terurai dibawah ikat
kepalanya berjuntai dengan kasar sampai ke bahunya.
"Ya paman," jawab orang bertubuh kecil itu.
"Anak-anak dungu," geram orang bertubuh gemuk itu,
"Ternyata kalian adalah anak-anak yang tidak berarti sama
sekali. Umur kalian yang semakin tua itu tidak
menumbuhkan kemampuan didalam diri kalian selain
kesombongan dan ketamakan saja."
Orang bertubuh kecil itu tersenyum. Katanya, "Paman
jangan menganggap kami masih terlalu bodoh. Kami sudah
menjadi semakin tua paman. Dan pengalaman kami pun
telah menjadi cukup panjang."
"Tetapi kalian masih memerlukan aku untuk mengambil
benda itu," jawab pamannya, "Jika bukan gurumu yang
memerintahkan aku kemari, aku sebenarnya sangat segan
melakukannya. Bukan karena aku merasa takut. Tetapi cara
begini akan membuat kalian tetap manja dalam umur kalian
yang semakin tua. Bahkan rambut kalian sudah mulai
ubanan." "Paman," berkata orang bertubuh kecil itu mewakili
saudara-saudara seperguruannya, "paman memang
mempunyai kelebihan dari kami di samping kekurangan
paman." "Kekurangan?" mata orang bertubuh gemuk itu
terbelalak. "Kau menganggap bahwa padaku masih
terdapat kekurangan?"
"Ya, sebagaimana kami masih belum menguasai benarbenar
ilmu sirep, paman pun tidak mempunyai ketajaman
penglihatan atas cahaya-cahaya gaib dari benda-benda yang
keramat dan bertuah."
"Apa artinya cahaya-cahaya gaib itu?" geram orang
bertubuh gemuk. "Karena itulah maka paman harus mendapat petunjuk.
Benda yang harus paman ambil berada di sebuah peti perak
berlapis kulit. Kulit apapun itu tidak penting. Tetapi
diantara benda-benda yang ada, yang berada di peti perak
itulah yang paling harga. Karena didalam peti itulah
Wahyu Keraton bersemayam," sahut orang bertubuh kecil
itu. "Persetan," geram orang bertubuh gemuk itu, "Kalian
masih juga dapat menyombongkan diri. Tetapi baiklah.
Aku akan menolong kalian karena guru kalian juga akan
datang kemari. Jika aku tidak melakukannya, kakang itu
tentu akan marah kepadaku."
Orang bertubuh kecil itu tidak peduli apapun alasannya.
Tetapi yang penting baginya pamannya itu bersedia
mengambil benda yang sangat berharga itu di Gedung
Perbendaharaan. "Tetapi apakah paman akan memasuki Gedung itu
sendiri, atau memerlukan satu dua orang kawan?" bertanya
orang bertubuh kecil itu.
"Kau mulai menghina aku lagi," geram orang gemuk
itu, "Sejak kapan aku memerlukan kawan dalam satu tugas
betapapun beratnya?"
Orang bertubuh kecil itu tidak menjawab. Demikian pula
adik-adik seperguruannya. Namun mereka mendapat satu
keyakinan bahwa pamannya benar-benar akan
melakukannya. Karena itu, maka mereka tidak
mempersoalkannya lagi. Tetapi yang kemudian ditanyakan oleh orang bertubuh
kecil itu adalah, "Kapan guru akan datang?"
"Aku tidak tahu waktunya," berkata orang gemuk itu,
"Tetapi gurumu akan datang?"
"Baiklah paman. Jika demikian maka semua persoalan
sudah menjadi jelas. Namun demikian, agaknya paman
tidak usah tergesa-gesa. Kita mempunyai kesempatan untuk
beristirahat serta mempersiapkan segala sesuatu yang
perlu," berkata orang yang bertubuh kecil itu. "Dalam tiga
empat hari kita sempat tidur nyenyak sambil menunggu
guru." Dengan demikian, maka orang-orang itupun sempat
berbicara tentang istana. Tentang letak Gedung
Perbendaharaan dan tentang orang-orang yang tidak
menyadari, telah diperalat untuk memberikan beberapa
keterangan tentang keadaan istana itu. Tetapi ternyata guru
orang-orang bertongkat itu tidak segera datang, sehingga
orang bertubuh gemuk itu pada suatu hari berkata,
"Bagaimana jika gurumu tidak jadi datang?"
"Apakah paman sanggup melakukan sebelum guru
hadir?" bertanya orang bertubuh kecil itu.
"Sekali lagi kau menghina aku, aku akan kembali ke
Padepokan," geram orang gemuk itu.
"Kenapa aku menghina?" bertanya orang bertubuh kecil
itu. "Kau menganggap bahwa yang dapat aku lakukan
sangat tergantung kepada gurumu," jawab orang itu.
"Bukan maksudku paman," jawab orang bertubuh kecil
itu, "Tetapi jika paman akan melakukannya kami pun tidak
berkeberatan." "Kalian mau apa?" bertanya orang gemuk itu.
"Setidak-tidaknya kami dapat membantu paman diluar
dinding istana. Jika paman sudah berhasil, maka kami
berempat akan dapat menemani paman menyusuri jalanjalan
Kediri, karena kami mengenali jalan-jalan di Kediri
seperti mengenali halaman rumah kami sendiri," jawab
orang bertubuh kecil itu.
Orang yang gemuk itu mengangguk-angguk. Katanya,
"Kita tunggu sampai besok. Jika gurumu tidak datang, aku
akan melakukannya. Aku sudah terlalu lama berada disini."
"Terserah kepada paman. Tetapi kami hanya ingin
memperingatkan, bahwa di Kediri ada orang-orang yang
memiliki ilmu yang tinggi, yang mungkin dapat terlepas
dari ilmu sirep paman."
Berbeda dengan kebiasaannya, orang bertubuh gemuk itu
menanggapinya dengan sungguh-sungguh, "Kita memang
harus berhati-hati. Aku tidak mengingkari kemungkinan
bahwa ada orang yang memiliki kelebihan. Tetapi apakah
setiap hari orang-orang memiliki ilmu yang tinggi itu selalu
ada diantaranya para prajurit pengawal?"
"Itulah yang akan kami selidiki lebih dahulu," jawab
orang bertubuh kecil itu, "Karena itu, agaknya lebih baik
bagi kita untuk mendekati Kediri setelah besok guru tidak
datang." Dengan demikian maka mereka telah menunggu satu
hari lagi. Tetapi guru orang-orang bertongkat itu memang
tidak datang. Karena itu, maka mereka pun telah sepakat
untuk pergi ke Kediri. Mereka akan mulai merintis jalan
untuk menyelesaikan tugas mereka yang berat itu.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
mulai menjadi gelisah. Meskipun demikian, mereka sama
sekali tidak menunjukkan perasaannya itu kepada Mahisa
Agni dan Witantra, betapapun mereka membicarakannya
diantara keduanya. -ooo0dw0ooo Jilid 027 NAMUN satu perkembangan baru telah terjadi. Orang
yang nampak sekali-sekali melintas dalam garis pengamatan
itu tidak lagi nampak. Sehingga dengan demikian, maka
seolah-olah orang itu telah melepaskan pengamatannya atas
keempat orang dari Singasari itu.
"Apa sebabnya?" bertanya Mahisa Pukat kepada
Mahisa Agni. "Aku tidak tahu," jawab Mahisa Agni, "mungkin orang
itu telah mendapat keyakinan bahwa kita tidak akan
berbuat apa-apa." "Tetapi ada kemungkinan lain," berkata Witantra,
"Mungkin orang itu mengenali salah seorang di antara kita
sehingga orang itu tidak perlu meneruskan
pengamatannya." "Ya," Mahisa Agni mengangguk-angguk, "tetapi
menilik jarak pengamatan dan cara yang dipergunakan,
sulit baginya untuk dapat mengenali salah seorang dari kita.
Hal itu hanya mungkin karena orang itu mengenali tabiat
salah seorang di antara kita yang dapat dilihatnya dari
kejauhan." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Tetapi mereka tidak menyatakan sesuatu. Bahkan Mahisa
Agni pun kemudian berkata, "Tetapi kita masih harus tetap
berhati-hati. Bagaimana pun juga, ada seribu kemungkinan
masih dapat terjadi."
Sebenarnyalah bahwa mereka memang tidak
meninggalkan kewaspadaan. Semakin lama rasa-rasanya
mereka justru merasa bahwa mereka harus bersiap
menghadapi sesuatu. Namun dalam pada itu, di siang hari ketika Mahisa
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Murti dan Mahisa Pukat pergi ke pasar yang ramai di
Kediri, dengan berusaha untuk tidak bertemu dengan orangorang
yang mengenalinya, terutama orang-orang di seputar
Pangeran Singa Narpada, telah dikejutkan dengan
kehadiran seorang pedagang besi-besi bertuah, wesi aji dan
bebatuan memiliki nilai-nilai yang khusus. Nampaknya
orang itu mendapat perhatian dari isi pasar yang memang
ramai itu. "Apa kerja ayah disini?" bisik Mahisa Murti.
"Seperti seorang dukun yang memamerkan berbagai
wesi aji," sahut Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi kemudian
katanya, "Tetapi bukankah memang pekerjaan ayah
berdagang wesi aji dan batu akik di samping kadang-kadang
juga permata intan berlian di musim tidak ada kerja di
sawah?" "Tetapi bukankah ayah tidak pernah memakai cara itu"
Menarik perhatian orang banyak dengan ceritera yang
kadang-kadang membual?" sahut Mahisa Pukat.
Mahisa Murti tertawa. Katanya, "Kau tahu kenapa
begitu?" Mahisa Pukat merenung. Namun tiba-tiba ia berdesis,
"Ayah sedang mencari perhatian."
"Ya. Ayah memang sedang mencari kita," sahut Mahisa
Murti, "satu hal yang tidak direncanakan, sehingga
sebelumnya ayah tidak bertanya kepada kita, dimana ayah
dapat menemui kita."
"Tetapi ayah tahu, dimana kita dapat menemui paman
Mahisa Agni dan paman Witantra," desis Mahisa Pukat.
"Ayah tentu sudah mencari kita di sana. Tetapi
bukankah kita tidak pernah lagi ke tempat itu sejak kita
berada di tempat pekatik yang baik hati itu?" jawab Mahisa
Murti. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja
diluar pengertian Mahisa Murti, Mahisa Pukat telah
menyibakkan beberapa orang yang mengerumuni
Mahendra yang sedang menjajagi beberapa jenis wesi aji
dan batu-batu yang dianggap bertuah.
Dengan kasar tiba-tiba saja Mahisa Pukat membentak,
"He orang tua. Kenapa kau berusaha menipu orang
banyak." Mahendra terkejut. Tetapi ketika ia mengangkat
wajahnya, tiba-tiba saja ia menarik nafas dalam-dalam.
Dengan suara merendah ia bertanya, "Apa yang kau
maksud anak muda." "Omong kosong dengan segala bualanmu tentang wesi
aji dan batu akik. Kau kira ada orang yang akan percaya
kepadamu" Kau anggap orang-orang Kediri itu masih
terlalu bodoh seperti orang-orang dari daerah asalmu?"
bentak Mahisa Pukat. Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Maaf,
anak muda. Jadi apa yang harus aku lakukan."
"Simpan barang-barangmu dan ikut aku," berkata
Mahisa Pukat. Mahisa Murti mengumpat. Mahisa Pukat telah
melakukan kesalahan karena gejolak kemanjaannya. Tetapi
ternyata Mahendra tidak membantah. Ia pun kemudian
menyimpan barang-barangnya dan kemudian berkata
kepada orang-orang yang berkerumun, "Maaf Ki Sanak.
Permainanku terpaksa aku hentikan. Aku akan mengikuti
anak muda ini dan menyelesaikan persoalan kami."
Mahisa Pukat pun kemudian meninggalkan tempat itu
diikuti oleh Mahendra dan Mahisa Murti.
Diluar pasar, ketika mereka tidak lagi berada di antara
banyak orang Mahisa Murti berdesis, "Apakah pantas
seorang pengembara berbuat seperti yang kau lakukan?"
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun
Mahendra lah yang menjawab, "Biarlah. Mudah-mudahan
tidak ada orang yang menghiraukan. Satu cara Mahisa
Pukat untuk mengajak aku mengikutinya keluar dari pasar
itu." Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun
kemudian bertanya, "Tetapi bagaimana tanggapan mereka
jika besok kita nampak lagi di pasar itu?"
"Aku memang kurang memikirkan akibatnya," berkata
Mahisa Pukat. Namun Mahendra pun berkata, "Aku mengerti. Karena
itu, untuk beberapa hari kalian tidak usah pergi ke pasar
itu." Mahisa Murti mengangguk-angguk. Jawabnya, "Baik
ayah." "Nah, sekarang, aku akan kalian bawa kemana?"
bertanya Mahendra. "Ke paman Mahisa Agni dan paman Witantra," jawab
Mahisa Pukat. "Jadi kalian telah bertemu dengan pamanmu Mahisa
Agni dan pamanmu Witantra," bertanya Mahendra.
"Bukankah kami sudah berjanji untuk bertemu?" sahut
Mahisa Murti. "Bagus. Dengan demikian mungkin kalian memerlukan
petunjuk-petunjuk mereka dalam hal tertentu," berkata
Mahendra, "tetapi apakah sudah terjadi sesuatu dengan
kalian?" "Belum ayah," jawab Mahisa Pukat, "tetapi nampaknya
keadaan menjadi semakin meningkat. Namun kami belum
dapat mengatakan, apa yang akan terjadi."
Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, "Syukurlah.
Agaknya aku memang ingin terlibat seandainya akan terjadi
sesuatu. Rasa-rasanya ingin juga sekali-sekali mengenang
pada masa muda sebagaimana dilakukan oleh pamanpamanmu
itu." "Tetapi belum tentu akan terjadi sesuatu ayah," jawab
Mahisa Murti. "Tentu saja aku tidak ingin memaksakan terjadi
sesuatu," jawab Mahendra. "Tetapi baiklah, mungkin dari
paman-pamanmu aku akan mendapat kesan tentang
Kediri." Kedua anak muda itu tidak menjawab lagi. Mereka pun
semakin lama menjadi semakin dekat dengan rumah
pekatik yang memang agak tersembunyi karena rumah itu
bukan rumah yang baik dan besar.
Kedatangan Mahendra memang mengejutkan Mahisa
Agni dan Witantra. Namun merekapun kemudian menjadi
gembira karena mereka mendapat seorang kawan lagi
dalam tugas mereka yang agak menjemukan.
"Kita akan menghadapi satu permainan yang
menjemukan. Bahkan mungkin tidak akan terjadi apa-apa
setelah kita menunggu beberapa lama sehingga Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat menjadi hampir kehabisan
kesabaran," berkata Mahisa Agni.
Mahendra mengangguk-angguk. Namun kemudian
katanya, "Mungkin yang kita tunggu sekarang ini
merupakan ujian kesabaran dan ketabahan bagi Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat."
Mahisa Agni dan Witantra mengerutkan keningnya.
Namun kemudian merekapun tersenyum. Sementara
Mahisa Agnipun berkata, "Memang mungkin akan
bermanfaat bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dan bagi
perkembangan ilmu mereka."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendiri hanya terdiam.
Tetapi sebenarnyalah mereka memang sudah menjadi jemu
menunggu. Tidak terjadi sesuatu di Gedung
Perbendaharaan. Pekatik itu pun mengatakan bahwa peti
perak itu masih berada didalam gedung.
Tetapi Mahisa Agni dan Witantra, bahkan kemudian
juga Mahendra yang baru datang, berpendapat, bahwa
mungkin memang akan terjadi sesuatu meskipun tidak
segera. Namun setiap kali mereka selalu minta agar pekatik itu
berusaha mencari keterangan tentang peti perak berlapis
kulit kerbau dungkul yang berwarna bule.
Sementara itu, orang yang bertubuh gemuk, yang
menamakan dirinya Kebo Sarik beserta keempat orang
bertongkat itu pun telah berada di Kediri pula. Dari orangorang
yang tidak menyadari bahwa dirinya telah diperalat,
maka orang bertubuh kecil itu mengerti, bahwa peti perak
itu masih tetap berada di Gedung Perbendaharaan.
Karena guru ke empat orang bertongkat itu tidak juga
segera datang, maka Kebo Sarik tidak sabar lagi
menunggunya. Katanya kemudian kepada ke empat orang
bertongkat itu, "Gurumu tidak dapat dipastikan, kapan ia
akan datang. Karena itu, maka aku tidak dapat disuruh
menunggunya tanpa batas. Aku akan segera melakukan
tugas yang ingin kau bebankan kepadaku itu."
"Baiklah paman," berkata orang yang bertubuh kecil,
"tetapi aku mohon paman melakukannya menunggu satu
dua malam. Aku harus meyakinkan bahwa tidak ada
seorang pun di antara para penjaga yang berilmu tinggi,
yang akan mampu menolak atau melawan ilmu paman
yang dahsyat itu." Kebo Sarik mengangguk-angguk. Katanya, "Terserahlah
kepadamu. Tetapi ada juga baiknya kita berhati-hati."
Dengan demikian, maka orang bertubuh kecil itu
berusaha untuk meyakinkan, bahwa penjagaan yang kuat di
Gedung Perbendaharaan adalah penjagaan dalam keadaan
wajar. Apalagi setelah pusaka itu ditempatkan di dalam peti
yang menurut pengertian orang bertubuh kecil itu, dianggap
bahwa Pangeran Singa Narpada percaya bahwa cahaya teja
dari benda yang paling berharga itu telah diserap oleh peti
dan lapisannya. Dari beberapa orang pelayan dalam yang tidak
menyadari dengan siapa ia berbicara, dan dengan beberapa
keping uang, maka orang bertubuh kecil itu mendapat
keterangan tentang Gedung Perbendaharaan.
"Yang bertugas setiap malam hanyalah para prajurit.
Para Pelayan Dalampun kadang-kadang harus juga bertugas
malam. Tetapi sekedar untuk melayani kebutuhan para
petugas di Gedung Perbendaharaan yang jarang sekali
terjadi melakukan sesuatu di malam hari," berkata seorang
Pelayan Dalam kepada orang bertongkat yang bertubuh
kecil itu. "Bagaimana dengan Pangeran Singa Narpada?"
bertanya orang bertubuh kecil itu.
"Jarang sekali Pangeran Singa Narpada mengunjungi
Gedung perbendaharaan itu. Pangeran itu agaknya terlalu
percaya kepada para prajurit yang sudah berlipat dua dari
para prajurit yang bertugas mengawal Gedung
Perbendaharaan itu sebelumnya," jawab Pelayan Dalam
itu. Orang bertubuh kecil itu mengangguk-angguk. "Jumlah
yang berlipat limapuluh tidak merupakan hambatan bagi
paman. Tetapi meskipun hanya seorang tetapi memiliki
kemampuan untuk melawan sirep, maka barulah
persoalannya harus dipecahkan," berkata orang bertubuh
kecil itu di dalam hatinya.
Keterangan itulah yang disampaikannnya kepada
pamannya. Yang kemudian berkata, "Baiklah. Jika
demikian, aku akan mengambilnya. Aku akan membuat
semua orang tertidur dan mengambil barang itu
sebagaimana aku mengambil di rumahku sendiri."
"Tetapi hati-hatilah paman," berkata orang bertubuh
kecil itu, "Benda itu adalah benda yang sangat keramat.
Karena itu, maka aku mohon paman agak mengenakan
sedikit subasita. Mungkin paman harus menyembah benda
yang akan paman ambil itu."
"Aku harus menyembah?" mata Kebo Sarik terbelalak.
"Menurut pendengaranku, benda itu memiliki kekuatan
diluar kewajaran," jawab orang bertubuh kecil itu.
"Omong kosong," jawab Kebo Sarik, "yang penting bagi
kalian adalah, bahwa benda itu aku bawa kepada kalian
bersama petinya." "Baik paman," jawab orang bertubuh kecil itu.
"Jangan hiraukan apa yang aku lakukan," jawab Kebo
Sarik, "sementara adalah persoalanku. Dan aku akan
mengatasinya." "Baiklah paman," jawab orang bertubuh kecil itu, "kami
akan menunggu paman diluar. Kami akan membantu
paman agar paman dengan cepat meninggalkan istana dan
tidak tersesat, karena jalan di Kediri yang bersimpang siur."
"Kalian curiga bahwa aku akan membawa benda itu
lari?" bertanya Kebo Sarik.
"Tidak paman, sama sekali tidak," jawab orang
bertubuh kecil itu, "aku tahu paman sangat baik terhadap
kami. Apalagi terhadap guru yang merupakan saudara
seperguruan paman itu. Karena itu, paman tidak akan
sampai hati melarikan benda itu."
"Terima kasih," jawab Kebo Sarik, "mudah-mudahan
aku dapat menahan diri."
Orang bertubuh kecil itu termangu-mangu sejenak.
Namun ia pun kemudian tersenyum sambil berkata, "Sekali
lagi kami nyatakan, bahwa kami percaya kepada paman."
Kebo Sarik tidak menjawab lagi. Tetapi katanya, "besok
malam aku akan memasuki Gedung Perbendaharaan itu."
Ke empat orang bertongkat itu mengangguk-angguk.
Namun rasa-rasanya jatung mereka menjadi tegang.
Meskipun sudah menjadi rencana mereka, tetapi ketika
Kebo Sarik mengatakan bahwa ia benar-benar akan
memasuki Gedung Perbendaharaan itu, rasa-rasanya
mereka akan memasuki satu arena yang sangat gawat
karena bagaimanapun juga mereka menyadari, bahwa di
Kediri ada orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Yang paling mereka cemaskan adalah kemungkinan
Pangeran Singa Narpada dapat mencium rencana mereka
atau menangkap tebaran ilmu sirep itu.
"Aku yakin bahwa paman Kebo Sarik memiliki
kemampuan untuk mengimbangi ilmu Pangeran Singa
Narpada," berkata orang bertubuh kecil itu kepada saudarasaudara
seperguruannya, "tetapi jika kedatangannya
diketahui, maka seluruh kekuatan Kediri akan
melawannya."
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kita percaya bahwa paman Kebo Sarik akan dapat
mengatasinya," jawab saudara seperguruannya, "jika
sesuatu terjadi diluar istana, maka kita akan dapat
membantunya, setidak-tidaknya untuk membawa benda itu
lari." Orang bertubuh kecil itu mengangguk-angguk. Katanya,
"Kita memang harus mempergunakan umpan yang besar
untuk mengambil ikan raksasa."
Saudara seperguruannya mengangguk-angguk pula.
Bahkan orang bertubuh kecil itu berkata didalam hatinya,
"Jika umpan itu tertelan sekalipun, asal ikannya dapat kita
tangkap, maka kita harus merelakannya."
Demikianlah, maka keempat orang bertongkat itu
menunggu dalam ketegangan sampai hari berikutnya.
Namun Kebo Sarik sendiri justru tidak menghiraukannya.
Ia makan apa saja yang ingin ia makan sebagaimana
kebiasaannya. Ia tidur hampir sehari suntuk disela-sela
waktu makannya. Namun ketika senja mulai membayang, maka Kebo
Sarik mulai mempersiapkan diri. Ia mandi di sungai untuk
waktu yang cukup lama berendam didalam air. Demikian ia
naik ke darat, maka mulutnya tidak boleh lagi dilalui
makanan dan minuman apapun juga. Untuk beberapa saat
ia berdiri diatas batu memandang arah matahari terbenam
dengan tangan bersilang di dada dan wajah tengadah.
Kemudian, Kebo Sarik itu pun duduk di sebuah batu
yang besar ditempat yang terasing dari kunjungan seseorang
sambil memusatkan nalar budinya. Ia berpesan kepada
orang-orang bertongkat, bahwa sebelum tengah malam, ia
jangan diusik dari samadinya.
Karena itu, maka keempat orang bertongkat itu justru
telah berjaga-jaga di dekat tempat Kebo Sarik bersamadi.
Mereka menunggu sampai bintang Gubug Penceng berada
diatas puncak langit, sehingga dengan demikian mereka
tahu, bahwa hari telah tengah malam.
"Kita bangunkan paman Kebo Sarik," berkata orang
bertubuh kecil itu, "waktunya telah menjadi terlalu sempit."
"Masih separo malam. Paman tentu sudah
memperhatikan," jawab saudara seperguruannya.
Namun demikian mereka pun segera mendekati Kebo
Sarik yang sedang bersamadi. Dengan sangat hati-hati maka
orang bertubuh kecil itu menyebut namanya.
"Paman, paman Kebo Sarik. Hari telah sampai tengah
malam." Perlahan-lahan Kebo Sarik membuka matanya.
Kemudian dipandanginya lingkaran kegelapan disekitarnya.
Namun ketajaman matanya telah melihat keadaan
disekelilingnya dengan jelas. Demikian pula keempat orang
bertongkat itu. Kebo Sarik kemudian mengangkat wajahnya melihat
bintang-bintang di langit. Maka ia pun kemudian berdesis.
"Terima kasih. Kalian memenuhi permintaannya
membiarkan aku duduk disini sampai tengah malam."
Kebo Sarik kemudian bangkit sambil berkata, "Marilah.
Kita pergunakan yang tengah malam ini dengan sebaikbaiknya."
Demikianlah keempat orang itu pun telah meninggalkan
sungai itu dan menuju ke istana Kediri, bersama pamannya.
Dengan sangat berhati-hati maka kelima orang itu pun telah
mendekati istana. Seperti yang diperhitungkan oleh Mahisa
Agni dan Witantra, maka mereka telah memilih jalan
sebagaimana yang diduga, yang paling mudah untuk dilalui
memasuki halaman istana dan langsung menuju ke Gedung
perbendaharaan. Mahisa Agni dan Mahisa Murtilah yang sedang bertugas
mengatasi jalan itu. Dengan jantung yang berdebar-debar
mereka telah melihat ke empat orang bertongkat itu
mendekati. Kemudian seorang yang bertubuh gemuk
memberikan pesan-pesannya sebelum orang itu meloncat
masuk. "Luar biasa," desis Mahisa Agni.
Cara Kebo Sarik meloncat dan masuk ke halaman,
benar-benar telah mendebarkan jantung.
"Beritahu pamanmu Witantra," berkata Mahisa Agni,
"aku mengawasi mereka di sini. Cepat, kalian harus sudah
berada di sini sebelum orang-orang itu pergi."
Mahisa Murti pun kemudian telah meniggalkan Mahisa
Agni yang mengawasi kelima orang yang telah berusaha
untuk mendapatkan benda yang paling berharga di Kediri
itu. Bahkan seorang diantaranya telah memasuki halaman
istana. Namun beberapa puluh langkah kemudian Mahisa Murti
terkejut ketika tiba-tiba sesosok tubuh telah meloncat
menghentikan langkahnya. Mahisa Murti bersingsut setapak surut. Dengan
tangkasnya ia pun segera bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Namun Mahisa Murti itu pun menarik nafas dalamdalam.
Dengan wajah yang masih tegang ia berdesis,
"Pangeran Singa Narpada."
"Ya," jawab orang yang telah menghentikan langkahnya
itu. "Apakah ada yang penting Pangeran, bahwa Pangeran
telah menghentikan langkahku?" bertanya Mahisa Murti.
"Aku ingin bertemu dengan orang yang datang
bersamamu. Siapakah orang itu?" bertanya Pangeran Singa
Narpada. Mahisa Murti termangu-mangu. Namun kemudian
katanya, "Silahkan menemuinya. Aku mendapat perintah
untuk melakukan sesuatu."
"Antar aku kepadanya agar tidak terjadi salah paham,"
berkata Pangeran Singa Narpada.
"Aku harus melakukan perintahnya segera," jawab
Mahisa Murti. "Aku hanya memerlukan waktu sejenak. Aku akan
mengatakan kepadanya, bahwa aku memerlukan
bantuanmu dan bantuan orang yang datang bersamamu
itu," berkata Pangeran Singa Narpada.
Mahisa Murti termangu-mangu. Namun kemudian
katanya, "Marilah Pangeran. Tetapi jika terjadi kelambatan,
maka itu adalah tanggung jawab Pangeran."
"Ya. Aku bertanggung jawab," jawab Pangeran Singa
Narpada. Mahisa Murti pun kemudian telah membawa Pangeran
Singa, Narpada kembali. Ia menganggap bahwa Pangeran
Singa Narpada adalah orang yang paling berkepentingan
dengan benda yang dianggap sangat berharga itu.
Ketika Mahisa Murti datang kembali dengan seseorang,
Mahisa Agni pun terkejut. Ia pun segera bersiap pula untuk
menghadapi segala kemungkinan.
Namun Mahisa Murti dan Pangeran Singa Narpada pun
dengan tergesa-gesa telah menempatkan diri untuk
menghadapi agar orang-orang yang sedang mereka aman
tak dapat mengetahui kehadiran mereka.
"Kenapa kau kembali Mahisa Murti?" bertanya Mahisa
Agni. Mahisa Murti memang tidak ingin terjadi salah paham.
Karena itu maka dengan segera Mahisa Murti menjelaskan.
"Aku datang bersama Pangeran Singa Narpada."
"Pangeran Singa Narpada," ulang Mahisa Agni.
"Ya paman," jawab Mahisa Murti.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara
datar Mahisa Agni berkata, "Selamat bertemu kembali
Pangeran." Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian ia berdesis, "Kakang Mahisa Agni dari
Singasari?" Mahisa Agni termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia menjawab, "Ya Pangeran. Inilah aku."
"O," Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk.
Katanya kemudian, "Aku tidak menyangka bahwa kau
telah memberikan perhatianmu untuk hal-hal yang tidak
berarti seperti ini."
"Jangan memperkecil arti benda-benda yang paling
berharga di Kediri, sehingga kau tidak akan bersusah payah
mencarinya jika benar benda itu tidak berarti."
"Maksudku bagi Singasari," jawab Pangeran Singa
Narpada. "Tetapi sudahlah. Biarlah Mahisa Murti menemui
pamannya dan membawanya kemari. Ia tidak boleh
terlambat," berkata Mahisa Agni.
"Siapakah yang akan dipanggil?" bertanya Pangeran
Singa Narpada. "Orang-orang tua telah berkumpul di sini untuk melihat
sesuatu yang mungkin sangat berharga bagi sisa-sisa
usianya," jawab Mahisa Agni.
"Siapa?" bertanya Pangeran Singa Narpada.
"Witantra," jawab Mahisa Agni.
"Kakang Witantra juga berada disini?" bertanya
Pangeran Singa Narpada, "tetapi dimana kalian tinggal?"
"Kita jangan terlalu banyak kehilangan waktu," jawab
Mahisa Agni, "biarlah Mahisa Murti pergi."
"Baiklah," jawab Pangeran Singa Narpada, "panggil
kakang Witantra. Aku juga ingin bertemu dengannya."
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak, namun
kemudian ia pun segera beringsut dan pergi meninggalkan
tempat itu. "Apa yang akan kau lakukan bersama kakang
Witantra?" bertanya Pangeran Singa Narpada.
"Aku mendengar bahwa Mahkota Kediri pernah hilang.
Itulah sebabnya, bahwa ketika seseorang memasuki
halaman istana maka aku segera tertarik kepada peristiwa
itu?" jawab Mahisa Agni.
"Tentu sesuatu yang benar-benar akan dilakukan,"
berkata Pangeran Singa Narpada didalam hatinya, "bukan
waktunya untuk bergurau."
Namun dalam pada itu, maka Pangeran Singa Narpada
berkata, "Kakang Mahisa Agni. Aku minta kakang tidak
berbuat apa-apa. Juga kakang Witantra," berkata Pangeran
Singa Narpada selanjutnya.
"Kenapa?" bertanya Mahisa Agni, "seseorang telah siap
untuk mengambil benda yang paling berharga dari Kediri,
dan kini kau minta kepadaku untuk tidak berbuat apa-apa?"
"Ya," jawab Pangeran Singa Narpada, "biarlah orang
itu mengambil Mahkota yang dianggap dapat menjadi
tempat bersemayam Wahyu Keraton."
Mahisa Agni menjadi heran. Dengan nada ragu ia
bertanya, "Kau aneh Pangeran. Kenapa begitu?"
Pangeran Singa Narpada tersenyum. Katanya,
"Sebaiknya kau tidak usah melibatkan dirimu terlalu jauh
dalam hal ini. Karena itu, maka cobalah melupakan apa
yang kau lihat." "Aku tidak mengerti Pangeran," desis Mahisa Agni.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Namun kemudian katanya, "Terima kasih atas
perhatianmu. Tetapi kami minta, biarkan saja orang-orang
itu melakukan apa saja yang diinginkannya."
Mahisa Agni masih saja merasa heran. Namun
kemudian katanya, "Jika demikian, baiklah. Yang
menghendaki adalah Pangeran Singa Narpada, sehingga
aku tidak mempunyai wewenang untuk berbuat lain."
Pangeran Singa Narpada memandang Mahisa Agni
dengan tajamnya. Namun kemudian ia berdesis, "Aku
minta maaf." Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi diperhitungkannya
keempat orang bertongkat yang juga berusaha untuk berada
didalam tempat yang terlindung. Namun karena Mahisa
Agni dan Pangeran Singa Narpada tengah mengawasi
mereka, maka keempat orang itu tidak terlepas dari
penglihatan mereka. Dalam pada itu, maka sejenak kemudian dengan sangat
berhati-hati, Witantra, Mahisa Pukat dan Mahendra pun
telah datang pula bersama Mahisa Murti. Sebagaimana
Mahisa Agni, maka Witantra pun sudah mengenal pula
Pangeran Singa Narpada. Hanya Mahendra lah yang
kemudian diperkenalkan kepada Pangeran itu.
Sementara itu, maka Mahisa Agni lah yang kemudian
menjelaskan, "Pangeran Singa Narpada tidak menghendaki
kita berbuat sesuatu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah yang paling terkejut
mendengarnya. Karena itu, maka Mahisa Murtilah telah
bertanya, "Kenapa?"
"Tidak ada penjelasan," jawab Mahisa Agni.
Mahisa Murti memandang Pangeran Singa Narpada
dengan tajamnya. Dengan nada dalam ia pun bertanya,
"Apakah benar Pangeran menghendaki demikian?"
"Ya," jawab Pangeran Singa Narpada.
"Kenapa Pangeran?" bertanya Mahisa Murti,
"Bukankah dengan susah payah selama ini kita berusaha
untuk menemukan kembali benda berharga itu."
"Ya. Sudah aku katakan, bahwa aku mengucapkan
terima kasih yang tidak terhingga atas bantuan Mahisa
Bungalan dan kalian berdua," berkata Pangeran Singa
Narpada, "namun biarlah kali ini, aku memohon, agar
kalian tidak berbuat sesuatu."
Mahisa Murti masih menjawab. Tetapi tiba-tiba saja
mereka merasa sesuatu yang terasa bukannya dalam
kewajaran. Udara terasa semakin sejuk dan rasa-rasanya
mereka bagaikan dibelai oleh kantuk yang mulai
menyentuh perasaan. "Sebagaimana dilakukan oleh orang yang terdahulu,"
berkata Mahisa Agni, "menurut pendengaranku, orang
yang melakukannya terdahulu mempergunakan ilmu sirep
pula seperti ini." "Ya. Mereka mempergunakan ilmu sirep," jawab
Pangeran Singa Narpada. Mahisa Pukat dan Mahisa Murti adalah diantara mereka
yang paling gelisah. Tetapi sementara itu Mahisa Agni
berkata, "Pangeran. Biarlah kami tidak berbuat apa-apa.
Tetapi apakah kami boleh menyaksikan, apa yang akan
terjadi kemudian" Mungkin Pangeran telah memasang
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pasukan yang sangat kuat, yang lepas dari pengamatan
orang-orang itu, atau jebakan lain yang mungkin tidak lagi
memerlukan kita semuanya."
"Marilah kita lihat," berkata Pangeran Singa Narpada,
"aku tidak berkeberatan."
Mahisa Agni pun tidak bertanya lagi. Mereka berenampun
kemudian memperhatikan orang-orang yang sedang
berjaga-jaga di luar pada saat seorang di antara mereka
berada di dalam. Ternyata ilmu sirep Kebo Sarik memang terlalu kuat.
Ketika ia sudah berada di dalam dinding istana, maka ilmu
sirepnya pun mulai menebar. Para petugas tidak seorang
pun yang mampu melepaskan diri dari cengkaman ilmu
sirep itu, sehingga dengan demikian maka para petugas itu
pun seorang demi seorang telah tertidur nyenyak.
Kebo Sarik pun kemudian sesuai dengan petunjuk orangorang
bertongkat itu, telah menemukan pintu Gedung
Perbendaharaan. Dengan hati-hati ia mengangkat selarak
dan meletakkan disamping dua orang penjaga yang tertidur
dengan nyenyaknya, sementara tombaknya masih tersandar
pada dinding. Perlahan-lahan Kebo Sarik membuka pintu Gedung
Perbendaharaan itu. Ketika ia melihat isinya, maka
jantungnya menyadi berdebar-debar. Kebo Sarik itu melihat
sebuah peti yang berwarna putih berkilat-kilat.
"Tentu peti itu," berkata Kebo Sarik didalam hatinya.
Dengan tanpa ragu-ragu Kebo Sarik telah melangkah
memasuki Gedung Perbendaharaan itu. Namun tiba-tiba
terasa tubuhnya bagaikan diguncang oleh angin prahara.
Dengan kekuatan yang tidak terlawan Kebo Sarik telah
terdorong keluar. "Gila," geram Kebo Sarik, "siapakah yang bermain
hantu-hantuan di sini he?"
Tidak ada jawaban. Semua orang yang bertugas telah
tertidur nyenyak. Sekali lagi Kebo Sarik mencobanya. Namun sekali lagi ia
terdesak keluar. Tiba-tiba saja Kebo Sarik itu teringat akan pesan salah
seorang murid kakak seperguruannya. Betapapun segannya,
namun Kebo Sarik itu pun kemudian telah berjongkok dan
kemudian menyembah tiga kali ke arah pintu yang sudah
terbuka itu. Ketika ia melangkah masuk, maka ternyata ia tidak lagi
mengalami goncangan dan terdorong keluar. Tidak ada
kekuatan apapun yang telah mengganggunya, sehingga
dengan langkah yang tetap ia memasuki Gedung
Perbendaharaan itu. Sejenak, Kebo Sarik itu berdiri termangu-mangu
dihadapan peti yang berwarna putih berkilat-kilat itu.
Dengan dada tengadah Kebo Sarik memperhatikan peti
itu. Lalu dengan suara berat ia bergumam, "Inilah Kebo
Sarik. Semua yang dilakukan akan dapat diselesaikan
dengan sempurna." Tanpa berjongkok dan menyembah lagi, maka Kebo
Sarik itu pun telah meraih peti perak itu dan dengan bangga
telah membawanya keluar dari Gedung Perbendaharaan.
Para penjaga masih juga tertidur dengan nyenyaknya.
Ilmu Sirep Kebo Sarik ternyata lebih baik dari ilmu Sirep Ki
Ajar Bomantara, sehingga karena itu, prajurit yang
jumlahnya berlipat itu pun tidak ada yang mampu bertahan
atas kekuatan sirep itu. Sementara itu, Pangeran Singa Narpada bersama kelima
orang dari Singasari itu pun masih mengawasi orang-orang
bertongkat di luar dinding. Beberapa lama mereka
menunggu. Namun sejenak kemudian jantung mereka
menjadi berdebar-debar. Mereka melihat seseorang
meloncat keluar dari lingkungan dinding istana.
"Itulah," desis Mahisa Pukat.
"Ya," sahut Mahisa Murti, "dan kita berdiam diri tanpa
berbuat sesuatu." "Sudahlah," berkata Pangeran Singa Narpada, "sekali
lagi aku minta. Lupakan peti perak itu."
Tetapi tiba-tiba saja Mahisa Pukat berdesis, "Pangeran.
Apakah justru Pangeran yang telah mengatur semuanya ini"
Dan pada saat terakhir Pangeran sendiri menghendaki
mahkota itu bagi Pangeran?"
"Mahisa Pukat," hampir berbareng Mahisa Agni,
Witantra dan Mahendra memotong.
Tetapi Mahisa Pukat berkata selanjutnya, "Jika bukan
demikian apakah artinya, bahwa Pangeran Singa Narpada
sama sekali tidak mengambil langkah-langkah tertentu
untuk mencegahnya" "
Pangeran Singa Narpada memandang Mahisa Pukat
dengan tajamnya. Namun kemudian ia menarik nafas
dalam-dalam sambil berkata, "Ternyata kau masih terlalu
muda untuk mengetahui."
Mahisa Pukat termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja
Mahisa Agni menggamit Witantra sambil bertanya, "Kau
lihat cahaya itu?" "Ya," jawab Witantra yang kemudian berkata kepada
Mahendra, "kau juga melihat?"
"Apa yang kau maksud" Cahaya yang memancar dari
pusaka yang paling berharga di Kediri?" bertanya
Mahendra. "Ya," jawab Witantra.
Mahendra termangu-mangu. Namun kemudian katanya,
"beri aku kesempatan sebentar."
Witantra dan Mahisa Agni tidak bertanya lebih lanjut.
Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi
bingung. Mereka tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh
orang-orang tua itu. Namun kemudian Witantra itu pun berkata, "Ya. Aku
mulai melihatnya meskipun tidak jelas."
"Dimana?" bertanya Mahisa Agni.
"Didalam lingkungan istana," jawab Mahendra.
"Tepat," jawab Witantra, "Dan kau tidak melihat
sesuatu dari peti itu?"
"Tidak," jawab Witantra.
"Nah, sekarang jawablah Pangeran. Apakah Pangeran
telah menjebak orang-orang itu?" bertanya Mahisa Agni.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian katanya, "Ya. Aku telah menjebak mereka. Peti
itu tidak berisi mahkota sebagaimana mereka bayangkan.
Tetapi yang ada didalamnya adalah benda lain yang tidak
berarti sama sekali."
"O," Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian katanya, "Aku mohon maaf Pangeran."
Pangeran Singa Narpada tersenyum. Namun sebelum ia
menjawab, maka terdengar suara tertawa nyaring.
Suara tertawa itu begitu mencengkam sehingga orangorang
yang sedang memperhatikan orang-orang bertongkat
itu pun tergetar karenanya.
Dalam pada itu, maka terdengar orang yang tertawa itu
berkata, "Ternyata kalian tidak lebih dari anak-anak yang
dungu. He, kau Kerbau buntung. Kau kira kau telah
berhasil?" "Guru," berkata salah seorang dari orang-orang
bertongkat itu, "paman telah salah mengambil benda yang
kita inginkan." "Tidak," jawab Kebo Sarik, "bukankah yang kau
maksud adalah peti perak ini?"
"Kalian semua memang dungu. Kau juga," berkata
orang yang baru saja datang itu kepada orang bertubuh
kecil, "kau tahu pamanmu tidak tahu menahu tentang
cahaya teja yang memancar dari benda itu. Ia pun tidak
tahu, bahwa peti ini kosong atau mungkin hanya berisi
sepotong kayu lapuk atau apa."
"Gila," geram Kebo Sarik, "jadi orang-orang Kediri
telah mengelabui aku?"
"Dan kau memang merupakan sasaran yang
menyenangkan untuk melakukan permainan seperti ini,"
jawab orang yang baru datang itu.
"Aku akan kembali ke Gedung Perbendaharaan itu. Aku
akan membakarnya. Bahkan seisi istana ini akan aku bakar
sampai menjadi abu," geram Kebo Sarik.
"Kau akan menjadi semakin dungu," berkata orang
yang baru datang itu, yang ternyata adalah guru orangorang
bertongkat itu, "kau tidak akan dapat melakukan
apapun juga." "Kenapa?" bertanya Kebo Sarik.
"Guru. Aku akan memasuki Gedung Perbendaharaan
itu bersama paman Kebo Sarik. Aku tahu, dimana pusaka
itu disembunyikan. Aku akan mencari dan
menemukannya," berkata orang bertubuh kecil itu.
"Tidak mungkin," jawab gurunya, "kita tidak hanya
berenam disini." "Maksud guru?" bertanya orang bertubuh kecil.
"Kita mempunyai kawan. Karena itu, maka kita tidak
akan mungkin berbuat sesuatu tanpa diketahui oleh orangorang
Kediri," jawab orang itu.
Murid-muridnya serta Kebo Sarik termangu-mangu
sejenak. Sementara itu orang yang baru datang itu berkata
selanjutnya, "Kalian memang dungu. Kalian sama sekali
tidak tahu, bahwa apa yang kalian lakukan itu selalu diikuti
oleh orang-orang Kediri. Lihat kesana."
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Ternyata orang itu telah menunjuk ke tempat Pangeran
Singa Narpada dan orang-orang Singasari itu mengamati
orang-orang yang telah mengambil peti perak itu.
Sementara itu orang-orang bertongkat serta orang yang
telah memasuki Gedung Perbendaharaan dan mengambil
peti perak itu memandang ke arah yang ditunjuk oleh guru
mereka. Namun mereka tidak segera melihat sesuatu,
karena Pangeran Singa Narpada dan kawan-kawannya
berlindung di balik batang-batang perdu.
Namun gurunya itu pun kemudian berkata, "Marilah.
Kita dekati mereka."
Orang itu tidak menunggu lebih lama. Ia pun kemudian
berjalan di paling depan diikuti oleh adik seperguruannya
dan murid-muridnya. "Luar biasa," desis Pangeran Singa Narpada, "orang itu
mengetahui bahwa kita berada di sini."
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, "Ternyata
bukan kita yang berusaha menangkap mereka. Tetapi
akhirnya merekalah yang akan menangkap kita."
"Satu permainan yang mengasyikkan," sahut
Mahendra, "untunglah aku menyusul kalian sehingga aku
dapat ikut serta dalam permainan seperti ini."
"Ah, kau," sahut Witantra, "Kau masih lebih muda dari
aku. Agaknya masih ada sisa-sisa kemudaanmu. Tetapi
agaknya anak-anak mudalah yang menjadi paling gembira
menghadapi keadaan seperti ini."
"Ya," desis Pangeran Singa Narpada, "kemampuan kita
akan benar-benar diuji oleh orang-orang yang memiliki
kemampuan yang sangat tinggi. Tetapi aku kira ada juga
baiknya untuk sekali-sekali membenturkan ilmu pada
kemampuan yang pilih tanding. Tanpa diasah maka pisau
tidak akan menjadi tajam."
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Namun
sebenarnyalah ia mengagumi ketajaman perasaan orang
yang datang terakhir itu.
Dengan demikian maka yang dapat dilakukan oleh
Pangeran Singa Narpada dan kawan-kawannya adalah
sekedar menunggu. Namun mereka merasa tidak ada
gunanya lagi berlindung dibalik pohon-pohon perdu
sehingga mereka pun telah bergeser dan berdiri ditempat
terbuka. "Selamat malam Ki Sanak," sapa orang yang datang
terakhir itu. Pangeran Singa Narpada lah yang menjawab, "Selamat
Ki Sanak. Kedatangan kalian memang menarik perhatian."
Orang yang bertubuh kecil dan bertongkat itu terkejut
ketika dilihatnya Pangeran Singa Narpada sedang
mengamatinya. Namun kemudian orang itu pun tersenyum
sambil berkata, "Selamat bertemu kembali Pangeran."
"O, kau Ki Ajar Wantingan," desis Pangeran Singa
Narpada, "terima kasih atas segala petunjuk yang telah kau
berikan." "Ah jangan begitu Pangeran," jawab orang bertubuh
kecil itu yang menyebut dirinya Ki Ajar Wantingan,
"ternyata bahwa Pangeran tidak dengan sungguh-sungguh
memenuhinya, sehingga kami terpaksa datang untuk
melihatnya." "Apakah aku tidak dengan sungguh-sungguh memenuhi
pesan-pesanmu" Aku sudah dengan susah payah mencari
seekor kerbau bertanduk dungkul dan berkulit bule," jawab
Pangeran Singa Narpada, "betapapun sulitnya. Akhirnya
aku telah mendapatkannya. Sementara itu, aku pun telah
membuat sebuah peti dari perak dan melapisnya dengan
kulit kerbau sebagaimana kau maksudkan."
"Terima kasih Pangeran. Tetapi ternyata bahwa hal itu
tidak Pangeran lakukan," jawab orang bertubuh kecil itu.
"Mungkin Pangeran benar-benar membuat peti dengan
lapisan kulit itu.Tetapi mahkota itu tidak Pangeran
masukkan kedalamnya. Hal itu kami ketahui karena cahaya
yang memancar dari Gedung Perbendaharaan itu. Jika
Pangeran melakukannya sebagaimana aku katakan, maka
cahaya itu tentu sudah lenyap. Karena itulah maka kami
telah terdorong untuk melihat, apakah benar Pangeran telah
melakukan seperti yang aku pesankan."
"Apa yang kalian temukan di dalam peti itu?" bertanya
Pangeran Singa Narpada. Orang bertubuh kecil itu tersenyum. Katanya, "Apapun
yang ada didalamnya bukanlah yang kami maksudkan."
"Baiklah aku berterus terang Ki Sanak," berkata
Pangeran Singa Narpada, "aku memang sudah mencoba
memasukkan benda yang paling berharga itu kedalam peti
perak yang kau anjurkan itu. Tetapi ternyata peti perak
dengan lapisannya sama sekali tidak menyerap cahaya
sebagaimana kau katakan. Ketika mahkota itu aku
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masukkan kedalamnya, maka cahaya itu masih juga
memancar sebagaimana biasanya menembus lapisan perak
dan kulit kerbau yang sulit dicari itu. Sejak itulah aku
mempunyai dugaan yang lain dari petunjukmu. Aku mulai
curiga, bahwa aku telah terjebak oleh sikap dan, katakatamu
yang nampak bersungguh-sungguh itu."
"Jadi Pangeran juga dapat melihat cahaya itu?" bertanya
orang bertubuh kecil itu.
"Tidak selalu. Hanya dalam keadaan tertentu,
sebagaimana orang lain yang menghendakinya," jawab
Pangeran Singa Narpada. Orang bertubuh kecil itu mengangguk-angguk. Lalu
katanya kepada gurunya, "Guru, agaknya kita memang
tidak mempunyai pilihan lain. Kita akan memasuki Gedung
itu lagi dan memilih sendiri di antara isinya."
Gurunya tersenyum. Dipandanginya Pangeran Singa
Narpada sambil berkata, "Baiklah. Aku sependapat untuk
kembali memasuki gedung itu dan memilih isinya. Tetapi
sebagai seorang yang mengenal unggah-ungguh, maka aku
akan minta ijin dahulu kepada Pangeran ini, yang
barangkali termasuk salah seorang di antara para pemimpin
Kediri yang ikut mempunyai wewenang atas gedung itu."
"O," orang bertubuh kecil itu mengangguk-angguk.
Katanya, "Agaknya aku melupakannya guru. Mungkin aku
terlalu bernafsu untuk segera memiliki benda yang sangat
berharga itu." "Nah Pangeran," berkata gurunya, "Pangeran sudah
mendengar keinginan kami. Karena itu, kami mohon agar
Pangeran tidak berkeberatan bahwa kami akan mengambil
benda yang kami ingini. Kami akan berterima kasih jika
Pangeran justru bersedia untuk membantu kami sehingga
usaha kami akan cepat kami selesaikan."
"O. Tentu dengan senang hati Ki Sanak," jawab
Pangeran Singa Narpada, "aku akan dengan senang hati
menunjukkan benda yang kalian inginkan. Tetapi sudah
tentu, aku minta upah atas hasil jerih payahku. Agaknya
mahkota itu memang bukan milikku. Jika aku menjualnya
sekarang, maka aku tidak akan kehilangan."
Guru dan orang-orang bertongkat itu mengerutkan
keningnya. Mereka justru menjadi heran mendengar
jawaban itu. Bahkan dengan ragu-ragu guru itu bertanya,
"Apakah yang Pangeran inginkan sebagai upah menurut
istilah Pangeran sendiri."
Pangeran Singa Narpada termenung sejenak. Sementara
itu orang-orang Singasari yang ada ditempat itu pun
menjadi termangu-mangu. Pangeran Singa Narpada sendiri kemudian tersenyum
sambil menjawab, "Ki Sanak. Aku minta upah yang
memadai. Karena benda itu nilainya tidak terhingga, maka
upah yang aku minta adalah kepala kalian."
"Gila," Kebo Sarik berteriak.
Tetapi guru orang-orang bertongkat itu justru tertawa.
Katanya, "Kau memang dungu Kerbau Gila. Aku sudah
menduga, bahwa Pangeran yang suka berkelakar ini akan
sampai kepada permintaan yang demikian. Selain Pangeran
ini tentu tidak akan terpikir olehnya untuk benar-benar
membuat peti dan mengisinya dengan benda lain serta
menempatkannya di tempat yang terhormat. Dalam
kesibukan yang mendesak, Pangeran Singa Narpada masih
sempat meluangkan waktunya untuk bermain-main dengan
kita. Karena itu, kita jangan lekas marah. Kita harus
menghadapi sikap Pangeran Singa Narpada dengan
caranya." Kebo Sarik itu menggeram. Katanya, "Aku tidak telaten.
Jika kita harus bertempur, marilah kita lakukan sekarang."
"Ya. Sebentar lagi. Kecuali jika Pangeran Singa
Narpada menginginkan waktu yang lain di tempat yang lain
pula," jawab guru orang-orang bertongkat itu.
Kebo Sarik benar-benar tidak telaten dengan sikap
saudara seperguruannya. Tetapi ia tidak berbuat apa-apa
kecuali menggeram. Namun dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada
menjawab, "Ki Sanak, biarlah pekerjaan kita lekas selesai.
Marilah, berikan upah itu sekarang. Baru kalian dapat
mengambil benda berharga itu."
"Baiklah Pangeran," berkata guru orang-orang
bertongkat itu, "kita akan mempertahankan kepala kita
masing-masing. Mahkota itu letaknya memang di kepala.
Jika kepalaku harus aku berikan kepada Pangeran, dimana
aku akan memakai mahkota itu?"
Pangeran Singa Narpada dan orang-orang tua dari
Singasari itu sempat tersenyum. Namun Kebo Sarik justru
berteriak, "Jangan bergurau lagi. Aku sudah menjadi jemu.
Ayo, siapa yang akan menjadi lawanku."
"Kenapa kau begitu tergesa-gesa?" bertanya Pangeran
Singa Narpada, "menurut pengamatanku, kaulah yang
telah menyebarkan ilmu sirep yang sangat tajam. Dengan
demikian, maka agaknya kau juga memiliki ilmu yang lain
yang cukup tinggi. Karena itu, maka biarlah salah seorang
dari orang-orang tua yang ada disini melawanmu. Karena
aku yang bertanggung jawab atas pusaka itu, maka akulah
yang akan berhadapan dengan orang yang agaknya tertua di
antara kalian." "Ya," jawab guru orang-orang bertongkat itu, "aku
adalah saudara seperguruan orang yang bernama Kebo
Sarik ini. Aku adalah guru dari orang-orang yang membawa
kayu bakar yang barangkali perlu jika mereka kedinginan."
"Nah, apakah kau memilih lawan yang lain" Mungkin
aku bukan orang terbaik didalam kelompokku. Tetapi
sekedar karena kewajibanku maka aku menempatkan diri
sebagai lawanmu," berkata Pangeran Singa Narpada pula.
"Bagus," jawab orang itu, "agaknya memang satu
kehormatan bahwa aku akan bertempur melawan seorang
Pangeran yang berilmu tinggi."
"Siapa bilang aku berilmu tinggi?" bertanya Pangeran
Singa Narpada. Tetapi Kebo Sarik lah yang menjawab, "Yang mana
lawanku. Aku akan segera menyelesaikannya dan kembali
memasuki Gedung Perbendaharaan."
Diantara orang-orang tua dari Singasari ternyata
Mahendra lah yang menjawab, "Baiklah. Aku terima kau
sebagai lawanku. Aku sudah terhitung tua. Tetapi belum
setua saudara-saudaraku ini. Karena itu, agaknya akulah
orang yang paling pantas melawan seseorang yang oleh
saudara seperguruannya disebut Kerbau Gila."
"Jangan ikut-ikutan menyebut aku Kerbau Gila," bentak
Kebo Sarik, "sebentar lagi kau akan mati disini. Mintalah
maaf agar jalan kematianmu menjadi terang."
Mahendra tertawa. Katanya, "Kau memang cepat
marah. Jika aku menyebutmu Kerbau Gila adalah sekedar
menirukan saudara seperguruanmu. Tetapi jika kau tidak
mau, katakan, bagaimana aku harus memanggilmu."
"Cukup," bentak Kebo Sarik, "jangan banyak bicara
lagi. Aku tidak terbiasa berbicara tanpa ujung pangkal. Jika
kau memang siap melawan aku, marilah."
Mahendra tidak menjawab lagi. Ia pun bergeser beberapa
langkah dan siap menghadapi segala kemungkinan.
Ternyata Kebo Sarik memang tidak banyak bicara.
Ketika mereka sudah memisahkan diri, maka tiba-tiba saja
ia telah menyerang dengan garangnya.
Tetapi Mahendra telah memperhitungkannya. Karena
itu, maka dengan tangkas ia pun menghindar. Bahkan
dengan tidak kalah garangnya Mahendra pun telah
menyerang lawannya pula. "Mereka telah mulai," berkata Pangeran Singa Narpada,
"nah, bagaimana dengan yang lain" Sudah aku katakan,
bahwa aku telah memilih lawanku, sehingga selebihnya
akan dihadapi oleh orang-orang tua dan anak-anak muda.
Memang dua angkatan yang jauh. Tetapi meskipun
demikian, mereka akan dapat menyelesaikan tugas mereka
dengan baik." Dalam pada itu, maka orang yang bertubuh kecil itu pun
berkata, "Nah, siapakah yang akan bertempur melawan
aku?" "Kau pernah melawan kedua anak muda itu. Apakah
kau akan mengulanginya" Keduanya masih menyimpan
bahkan telah melengkapi kembali paser-paser kecilnya,"
bertanya Pangeran Singa Narpada.
Orang bertubuh kecil itu mengerutkan keningnya. Lalu
katanya, "Sebenarnya aku ingin menebus kekalahan. Tetapi
sekarang aku tidak sendiri. Karena itu, maka aku tidak
merasa perlu untuk bertempur melawan kedua anak-anak
itu." "Jika demikian kau harus memilih lawan lain. Jika
bukan yang anak-anak, kau dapat memilih yang sudah tuatua,"
berkata Pangeran Singa Narpada.
Orang bertubuh kecil itu termangu-mangu. Menurut
Kembang Lembah Darah 1 Rajawali Emas 08 Gerhana Gunung Siguntang Pernikahan Dengan Mayat 1
pula," jawab Mahisa Agni.
"Itulah yang sulit," berkata Witantra, "Biasanya bekasbekas
lahiriah lebih cepat dapat diatasi. Tetapi yang
tersembunyi didasar jantunglah yang sulit untuk diketahui."
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Namun kemudian
katanya, "Tetapi kesan yang tenang dan damai seperti ini
juga berpengaruh. Betapapun panasnya hati, lambat-laun
akan menjadi sejuk pula."
"Mudah-mudahan," jawab Witantra, "Namun mungkin
juga yang terjadi sebaliknya. Langkah-langkah akan diatur
jika keadaan sudah menjadi tenang."
Mahisa Agni tersenyum. Katanya, "Memang mungkin.
Untuk itu maka Pangeran Singa Narpada tidak boleh
menjadi lengah. Ia justru harus membentuk orang lain
untuk dapat menggantikan kedudukannya pada saat-saat ia
menjadi semakin tua seperti kita dan tidak dapat berbuat
banyak lagi. Untunglah bahwa kita sudah meninggalkan
jejak ilmu kepada anak-anak muda, meskipun segala
sesuatunya tergantung kepada anak-anak itu sendiri. Tetapi
mudah-mudahan yang kita miliki ini tidak akan terkubur
bersama kita." Witantra mengangguk-angguk. Namun sebenarnyalah
bahwa kedua orang tua itu rasa-rasanya sudah menjadi
lapang, karena mereka telah mewariskan milik mereka
kepada anak-anak muda. Demikianlah maka di sepanjang jalan mereka sama
sekali tidak menemukan yang dapat menghambat
perjalanan mereka. Jika mereka berjalan melalui pasar,
maka pasar-pasar itupun telah menjadi ramai. Jika mereka
melewati gardu-gardu dimalam hari, nampak anak-anak
muda yang gembira bergurau didalamnya. Sementara yang
lain bermain macanan atau bas-basan.
Dengan demikian, maka padukuhan-padukuhan-pun
nampaknya sudah benar-benar menjadi tenang. Orangorang
yang mengambil keuntungan dari kekeruhan
peperangan pun agaknya sudah tidak banyak lagi, karena
anak-anak mudanya telah siap mengamankan padukuhan
masing-masing. Dalam pada itu, Mahisa Agni dan Witantra memang
tidak langsung menuju Kediri. Mereka melingkari daerah
yang panjang untuk melihat keadaan lebih banyak lagi.
Namun, agaknya pada suatu kali, mereka memang
menjumpai satu keadaan yang menarik. Ketika mereka
sedang berada di sebuah warung, maka tiba-tiba saja dua
orang telah memasuki warung itu pula. Dua orang bertubuh
tinggi besar namun keduanya juga membawa tongkat
panjang. Agak lebih panjang sedikit dari tongkat yang
dibawa oleh Witantra. Kedua orang itu memperhatikan Mahisa Agni dan
Witantra dengan seksama. Namun kemudian mereka
duduk beberapa jengkal di sebelah Witantra.
Dengan kasar keduanya minta disediakan makan dan
minuman. Sementara itu, tangan-tangan mereka telah
menggapai makanan yang ada di depan mereka, pada
sebuah pagar bambu yang rendah.
Sekali-sekali kedua orang itu berpaling dan memandang
tongkat Witantra. Namun ternyata memang ada perbedaan.
Tongkat kedua orang itu adalah tongkat yang memang
dibuat dengan cermat. Kayu terpilih yang dibubut rapi dan
halus. Pada alas dan ujungnya terdapat selut yang berwarna
tembaga. Sedangkan tongkat Witantra adalah tidak lebih
dari sepotong kayu yang dihilangkan kulitnya, sehingga
baik ujudnya maupun bentuknya adalah alami,
sebagaimana tongkat Mahisa Agni yang lebih pendek lagi.
Namun agaknya kedua orang itu ingin tahu juga tentang
dua orang tua yang membawa tongkat itu. Karena itu, salah
seorang diantara mereka bertanya, "Ki sanak. Siapakah
kalian berdua he?" Witantra yang duduk lebih dekat dari merekalah yang
menjawab, "Kami berdua adalah pengembara yang tidak
berharga Ki Sanak." "O." orang itu mengangguk-angguk. Lalu ia masih
bertanya lagi, "Tetapi sempat juga kau membeli makan,
makanan dan minuman di sebuah kedai. Bukankah itu
sangat berlebih-lebihan bagi kalian" Kalian dapat minta
belas kasihan kepada para bebahu padukuhan atau
kabuyutan. Atau jika kalian bermalam di sebuah banjar,
maka biasanya kau akan mendapat makan dan minum."
"Ya, ya Ki Sanak. Memang demikianlah yang terjadi di
setiap hari. Tetapi pagi ini secara kebetulan ada dua orang
dermawan yang memberi kami uang. Kami berpapasan di
jalan. Dua orang berkuda itu tiba-tiba saja berhenti dan
bertanya kepada kami, apakah kami sudah makan," jawab
Witantra. "Kalian tentu menjawab belum meskipun seandainya
kalian telah mendapat sepotong ketela rebus dari penunggu
banjar tempat kau bermalam semalam," geram orang itu.
Witantra tidak menyahut. Tetapi ia menundukkan
kepalanya. "Kau tentu mendapat uang dari penunggang kuda itu.
Dan sekarang dengan semena-mena kau belikan makan,
makanan dan minuman. Kenapa uang itu tidak kau belikan
ketela pohon saja, atau ubi jalar atau semacamnya?"
Witantra menjadi bingung. Bagaimana ia harus
menjawab pertanyaan itu. Karena itu beberapa saat ia justru
terdiam, sementara Mahisa Agni pun tidak segera
menemukan jawabnya. Karena kedua orang pengembara itu tidak menjawab,
maka orang bertongkat itu berkata, "Ternyata kalian bukan
orang yang baik. Jika uang itu kau belikan ketela pohon
atau ubi rambat, maka yang kau makan sekali ini, akan
dapat kau jadikan bekal untuk dua atau tiga hari."
Dalam pada itu, Witantra kemudian mencoba juga untuk
menjawab, "Ki Sanak, Terus-terang, kami jarang sekali
mendapat kesempatan seperti ini. Karena itu, maka biarlah
kami sekali ini melakukannya. Nanti dan besok, kami
berharap untuk mendapatkan belas kasihan dari orangorang
lain, khususnya para penunggu banjar yang pada
umumnya selalu berbaik hati memberikan makan dan
minum kepada kami." Orang bertongkat itu tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba
saja seorang diantaranya berdiri dan mendekati Witantra.
Diamatinya semangkuk nasi yang ada di depan Witantra.
Sejenak orang itu mengerutkan keningnya. Namun
kemudian katanya, "Yang kalian makan ternyata sangat
berlebihan bagi seorang pengembara."
Witantra menjadi berdebar-debar. Dipandanginya
Mahisa Agni sekilas. Namun agaknya Mahisa Agni pun
sangat tertarik kepada kata-kata orang itu.
Tetapi ternyata kedua orang bertongkat itu tidak
bertanya lebih banyak lagi. Keduanya pun kemudian justru
telah sibuk dengan makan mereka sendiri.
Namun dalam pada itu, meskipun perlahan-lahan dan
tidak jelas, tetapi Mahisa Agni dan Witantra sempat
mendengar orang-orang itu menyebut tentang seekor kerbau
bertanduk dungkul dengan kulit berwarna bule.
"Bagaimana jika kerbau yang demikian tidak
didapatkannya di seluruh Kediri?" bertanya salah seorang
diantara mereka. "Tentu saja akan didapatkannya. Kediri cukup luas
sehingga yang aneh-aneh sekalipun akan terdapat juga
didalamnya," jawab yang lain.
Namun pembicaraan berikutnya, Mahisa Agni dan
Witantra tidak sempat mendengarnya lagi dengan jelas,
sehingga mereka tidak dapat menangkap pengertiannya.
Meskipun kemudian Mahisa Agni dan Witantra telah
selesai, namun mereka tidak segera meninggalkan tempat
itu. Mereka menunggu sehingga kedua orang itulah yang
lebih dahulu meninggalkan warung itu.
"Siapakah mereka?" bertanya Witantra kepada pemilik
Warung itu. Pemilik warung itu termangu-mangu. Namun kemudian
jawabnya. "Aku tidak tahu sebelumnya. Tetapi sudah dua
tiga kali ini mereka membeli makan dan makanan disini.
Agaknya mereka orang yang datang dari jauh."
"Jika demikian, dimana mereka menginap?" bertanya
Mahisa Agni. "Aku tidak tahu," jawab pemilik warung itu.
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Namun kemudian
tiba-tiba saja pemilik warung itu berkata, "Tetapi
sebenarnya aku sependapat dengan kedua orang itu. Jika Ki
Sanak ini pengembara, maka apa yang Ki Sanak beli di
warung ini memang terlalu berlebihan. Tetapi aku pun
dapat mengerti, bahwa jika ada orang-orang yang baik hati
memberikan uang cukup, maka sekali-sekali seseorang
memang ingin makan yang lain dari kebiasaannya."
"Agaknya memang demikian," berkata Mahisa Agni,
"Kami selama dalam pengembaraan hanya makan
seadanya. Belas kasihan orang-orang yang melihat kami
menginap di banjar-banjar, yang pada umumnya adalah
penunggu banjar. Mereka sering memberi makan dan
minum. Mungkin beberapa kerat ketela pohon ubi jalar atau
bahkan nasi serta lauk-pauknya. Namun ketika beberapa
orang penunggang kuda yang dermawan memberi kami
uang, maka ada keinginan kami untuk makan dan minum
yang berbeda dengan yang kami dapat selama ini."
Pemilik warung itu mengangguk-angguk, Katanya,
"Seperti yang sudah aku katakan, aku memang dapat
mengerti keinginan kalian. Dan agaknya kalian benar-benar
sudah menikmati yang kalian anggap lain itu."
Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk.
Sementara itu pemilik warung itupun berkata, "Karena itu
Ki Sanak, maka biarlah apa yang sudah kalian makan dan
minum, tidak usah kalian bayar. Jika kalian mendapat uang
dari penunggang kuda seperti yang kalian katakan itu,
biarlah uang itu kalian simpan untuk menjadi bekal dalam
perjalanan kalian. He, kalian sebenarnya akan pergi ke
mana" Apakah kalian mempunyai tujuan dalam
pengembaraan kalian?"
"Sebenarnya kami memang tidak mempunyai tujuan.
Tetapi bukan pula tidak bertujuan sama sekali. Sambil
mengembara kami memang ingin menemukan seseorang.
Kemanakan kami yang tinggal di Kediri. Tetapi sudah
terlalu lama kami tidak berhubungan. Dalam
pengembaraan kami yang terdahulu, kami tidak berhasil
menemukannya. Tetapi kami masih berharap bahwa kami
akan berhasil kali ini."
"Apakah kalian mendapatkan keterangan baru tentang
kemenakan kalian?" bertanya pemilik warung itu.
"Tidak. Tetapi waktu itu Kediri terasa terlalu panas
karena pertentangan yang timbul. Kini agaknya Kediri telah
menjadi dingin kembali," jawab Witantra. Namun
kemudian, "Tetapi Ki Sanak, bukankah makanan dan
minuman ini Ki Sanak perjual belikan, sehingga rasarasanya
janggal sekali jika Ki Sanak merelakannya kepada
kami tanpa membayar sama sekali."
"Ah sudahlah," berkata pemilik warung itu, "Jangan
kalian risaukan. Yang kalian makan dan minum tidak akan
membuat aku rugi bahkan menjadi melarat."
Mahisa Agni dan Witantra saling berpandangan sejenak.
Kemudian Mahisa Agni pun berkata, "Terima kasih Ki
Sanak. Semoga untuk selanjutnya warung ini akan menjadi
bertambah ngrembaka."
"Doakan saja," jawab pemilik warung itu.
Mahisa Agni dan Witantra kemudian meninggalkan
warung itu. Sebenarnya bahwa mereka tidak perlu
membayarkan makanan dan minuman dari warung itu,
meskipun seandainya mereka harus membayar dua tiga kali
lipat, maka mereka tidak akan merasa keberatan.
Sejenak kemudian maka kedua orang itupun telah
berjalan menyusuri jalan bulak yang menuju ke padukuhan
sebelah. Di sebelah menyebelah tampak tanaman yang
berwarna segar. Hijau bercahaya terkena sinar matahari.
Namun langkah keduanya itupun tertegun ketika mereka
melihat dua orang bertongkat yang mereka ketemukan
didalam warung itu berdiri dibawah sebatang pohon randu.
Agaknya mereka memang sedang menunggu.
"Berhati-hatilah," berkata Witantra, "Aku memang
merasa curiga kepada keduanya."
"Apakah yang mereka kehendaki," desis Mahisa Agni,
"Satu-satunya sebab ialah karena kau juga membawa
tongkat seperti mereka. Mungkin mereka ingin menelusuri
apakah kita mempunyai alas ilmu yang sama meskipun
dalam perkembangan menjadi berbeda."
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kita
adalah pengembara yang bodoh dan tidak berilmu."
Mahisa Agni tersenyum. Namun ia tidak menjawab lagi.
Dengan jantung yang berdebaran, maka kedua orang itu
berjalan semakin dekat dengan kedua orang yang
menunggu di pinggir jalan itu.
Namun keduanya justru menjadi heran. Ternyata kedua
orang itu tidak berbuat apa-apa. Ketika Mahisa Agni dan
Witantra berjalan di hadapan mereka, salah seorang
diantara mereka menyapa, "He, bukankah kalian adalah
orang yang kami jumpai di warung itu?"
"Ya," jawab Mahisa Agni.
"Kalian mau kemana?" bertanya orang itu.
"Kami tidak mempunyai tujuan," jawab Mahisa Agni.
Keduanya itu memperhatikan lagi ketika Mahisa Agni
dan Witantra berjalan menjauh menyusuri jalan bulak itu.
"Kita salah duga," berkata Witantra.
"Ya," jawab Mahisa Agni, "Tetapi justru karena itu,
mereka menjadi semakin menarik perhatian."
"Mungkin kita masih akan bertemu lagi. Mereka berada
di tempat ini secara khusus," berkata Witantra kemudian,
"bukanlah tempat ini sudah terlalu dekat dengan kota
Raja." Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling,
maka dilihatnya kedua orang itu masih berada di
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tempatnya. Namun Mahisa Agni dan Witantra tidak berminat lagi
untuk memperhatikan mereka pada saat itu. Namun
keduanya seakan-akan mempunyai satu keyakinan bahwa
pada suatu saat mereka akan dapat bertemu lagi.
Namun jantung Mahisa Agni dan Witantra menjadi
berdebar-debar ketika mereka kemudian bertemu dengan
dua orang lain lagi. Setelah mereka berjalan agak jauh,
ternyata mereka telah bertemu lagi dengan dua orang yang
juga bersenjata tongkat panjang.
"Kita bertemu lagi dengan orang-orang bertongkat,"
berkata Witantra. Mahisa Agni mengangguk-angguk. Bahkan kemudian ia
berdesis, "Seorang diantara mereka bertubuh kecil. Orang
itu mempunyai ciri-ciri sebagaimana dikatakan oleh Mahisa
Bungalan dan kedua adiknya."
Witantra mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Aku kira
memang orang itulah yang dimaksud."
"Mudah-mudahan orang itu tidak memancing persoalan
sehingga kami harus berbuat sesuatu," berkata Mahisa
Agni. Witantra tidak menjawab. Tetapi ia memang menjadi
sangat berhati-hati. Sejak semula ia memang sudah sangat
tertarik kepada orang yang diceriterakan oleh Mahisa
Bungalan dan kedua adiknya.
Kedua orang itupun ternyata telah tertarik pula kepada
Mahisa Agni dan Witantra. Bahkan keduanya ternyata
ingin mengetahui serba sedikit dengan dua orang yang juga
bertongkat meskipun tongkatnya berbeda dengan tongkat
yang dibawanya. Ketika jarak mereka menjadi semakin dekat, maka kedua
orang bertongkat itu telah dengan sengaja menyongsong
langkah-langkah Mahisa Agni dan Witantra. Beberapa
langkah di hadapan mereka maka kedua orang bertongkat
itupun telah berhenti. Sejenak kedua orang itu mengamati tongkat yang dibawa
oleh Mahisa Agni dan Witantra. Dengan nada datar orang
yang bertubuh kecil itu bertanya, "Ki Sanak. Siapakah
kalian berdua yang juga bersenjata tongkat?"
Mahisa Agni dan Witantra saling berpandangan sejenak.
Dengan wajah tegang Mahisa Agni menjawab, "Kami sama
sekali tidak bersenjata. Tongkat ini adalah sekedar untuk
menopang tubuh kami yang sudah tua. Kami memotong
dahan kayu yang ada di halaman. Itu saja."
"Bagaimana jika tongkat kalian kami tukar dengan
tongkat kami?" bertanya orang itu, "Tongkat kami lebih
baik dari tongkat kalian. Baik dari segi ujudnya, maupun
dari manfaatnya." Mahisa Agni termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia melangkah maju sambil tersenyum, "Terima
kasih Ki Sanak. Terima kasih."
Tetapi Mahisa Agni terkejut ketika orang itu
membentaknya, "Gila. Seandainya saja. Hanya
seandainya." Mahisa Agni dengan serta merta melangkah surut.
Dengan kecewa ia berkata, "Jadi Ki Sanak tidak
bersungguh-sungguh?"
"Kau memang dungu," bentak orang yang bertubuh
kecil. "Kau sangka kami dapat melepaskan tongkat kami
begitu saja." "Tetapi bukankah, menurut pendengaran telingaku, Ki
Sanak minta tongkat kita dipertukarkan?" bertanya Mahisa
Agni. "Sekali lagi kau sebut, aku patahkan batang lehermu
dengan tongkatku ini," bentak yang seorang.
Mahisa Agni pun bergeser semakin menjauh. Wajahnya
nampak ketakutan. Sementara Witantra pun melangkah
surut pula. Sementara itu, orang bertongkat itupun bertanya, "Jadi
tongkat kalian bukan merupakan senjata?"
"Tidak Ki Sanak. Sudah aku katakan, bahwa aku tidak
pernah membawa senjata karena aku tidak dapat
mempergunakannya. Sementara itu aku tidak pernah
mempunyai persoalan dengan siapapun juga, sehingga aku
kira, aku dan saudaraku ini tidak memerlukan senjata
apapun juga," jawab Mahisa Agni.
"Bagaimanakah jika kalian bertemu dengan orang jahat
yang ingin merampas semua milik yang kau bawa?"
bertanya orang bertubuh kecil itu.
"Aku tidak membawa apa-apa. Jika ada orang yang
ingin merampas apa yang kami bawa, maka kami tidak
akan berkeberatan," jawab Mahisa Agni.
Kedua orang itu masih mengamati Mahisa Agni dan
Witantra, Namun kemudian orang bertubuh kecil itu
berkata, "Pergilah. Jangan bertemu aku lagi. Mungkin
sikapku lain kali agak berbeda."
"Terima kasih Ki Sanak," jawab Mahisa Agni. Tetapi ia
masih bertanya, "Tetapi siapakah Ki Sanak berdua ini?"
"Buat apa kau bertanya," jawab orang bertubuh kecil
itu, "sebut saja nama kami sekehendak hatimu. Bagi kami
tidak ada bedanya sama sekali."
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ia tidak bertanya
lagi. Tetapi bersama Witantra iapun kemudian
meninggalkan kedua orang bersenjata tongkat yang masih
berdiri termangu-mangu itu.
Beberapa langkah kemudian barulah Mahisa Agni
berkata, "Nampaknya kedua orang ini seperguruan dengan
kedua orang yang kita temui lebih dahulu. Tetapi menarik
sekali bahwa mereka telah berkumpul disini. Tentu ada satu
keperluan dari perguruan mereka dengan daerah ini,
ternyata beberapa orang diantara mereka telah berkumpul."
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian, "Apakah kita perlu mengamati mereka?"
"Untuk sementara belum. Sebaiknya kita pergi saja ke
Kediri. Kita mencoba melihat, apakah benar cahaya yang
memancar dari benda yang sangat berharga itu nampak
diatas gedung perbendaharaan."
Witantra mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Kita
akan pergi ke Kediri. Namun pada saat yang lain kita akan
dapat kembali lewat tempat ini."
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Jawabnya, "Ya. Kita
memang ingin mengetahui apa yang akan dilakukan oleh
orang-orang bertongkat itu."
Dengan demikian maka Mahisa Agni dan Witantra telah
melanjutkan perjalanan mereka. Mereka ternyata akan
langsung pergi ke Kediri untuk melihat cahaya teja yang
memancar dari benda yang paling berharga itu.
Sementara itu, kedua orang yang bersenjata tongkat itupun
telah meneruskan perjalanan mereka pula. Ternyata
kedua orang itu memang sudah berjanji untuk bertemu
dengan kedua orang yang telah menunggu dibawah pohon
randu itu. Ternyata bahwa ketika keempat orang itu bertemu dan
saling berbincang, mereka telah menyebut-nyebut dua orang
yang juga bertongkat yang lewat di jalan itu pula.
"Pengembara yang malas itu," berkata salah seorang
dari kedua orang bertongkat yang bertemu dengan Mahisa
Agni di warung. "Aku kira tongkat itu merupakan senjata mereka,"
berkata orang yang bertubuh kecil. "Aku telah mengujinya.
Ketika aku berkata bahwa aku minta tongkatnya aku tukar,
ternyata dengan serta merta mereka memberikannya."
Kawan-kawannya tertawa. Katanya, "Untunglah, bahwa
mereka tidak menuntut untuk melakukan tukar menukar
itu." "Gila. Ia tidak akan melakukannya," berkata orang
bertubuh kecil itu, "Aku akan dapat membungkamnya."
Yang lain mengangguk-angguk. Orang bertubuh kecil itu
memang akan dapat melakukannya apa saja yang
dikatakannya. Sementara itu, maka orang bertubuh kecil itupun
kemudian berkata, "Jadi, apakah yang akan kita lakukan
kemudian?" "Sampai sekarang memang belum diketemukan seekor
kerbau dungkul berkulit bule," jawab seorang kawannya.
Orang bertubuh kecil itu mengangguk-angguk. Tetapi
katanya, "Aku minta terlalu sulit. Seharusnya aku minta
seekor kerbau dungkul saja, sehingga peti dari perak itu
akan segera siap. Dengan demikian, dimana mahkota itu
disimpan didalam gedung perbendaharaan akan segera
dapat diketahui. Seorang diantara kita yang paling mungkin
untuk memasuki gedung perbendaharaan tidak dapat
melihat cahaya teja yang memancar dari benda itu.
Sebaliknya, aku yang mampu melihatnya, tidak memiliki
alas kemampuan untuk memasuki gedung perbendaharaan
itu." "Bukankah kalian dapat pergi bersama-sama," berkata
salah seorang kawannya. "Memang mungkin. Tetapi jika ada cahaya yang mirip
memancar dari satu dua pusaka yang lain dan sangat sulit
untuk membedakannya, maka kita akan segera mengetahui,
dimana mahkota itu disimpan, sehingga kita tidak usah
memilikinya lagi." Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun seorang
diantara mereka bertanya, "Jika ada cahaya itu, maka
bukanlah kau sudah melihatnya."
"Ya. Dari gedung perbendaharaan terpancar beberapa
jenis cahaya. Bahkan ada yang sangat mirip, meskipun
hanya pada saat-saat tertentu. Namun itu akan dapat
membingungkan. Karena itu, seandainya aku tidak dapat
pergi, maka seorang diantara kita yang memiliki
kemampuan untuk memasuki gedung itu akan dengan
segera mengetahui dimanakah mahkota itu disimpan."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Sementara itu
salah seorang yang lain berkata, "Bagaimana mungkin kau
dapat menipu Pangeran Singa Narpada yang memiliki
nama yang besar. Bukan saja karena ilmunya yang tinggi,
tetapi juga karena kecerdikannya yang tidak dapat diatasi
oleh Pangeran Kuda Permati."
Orang bertubuh kecil itu temangu-mangu sejenak.
Namun kemudian katanya, "Aku yakin, bahwa ilmuku
tidak akan melampaui ilmu Pangeran Singa Narpada.
Tetapi ia adalah seorang kesatria yang tidak pernah terpikir
didalam benaknya untuk menipu orang lain. Karena itu,
maka ia mempunyai anggapan demikian pula terhadap
orang lain yang belum terbukti pernah menipunya. Karena
itu menghadapi sikap yang licik, Pangeran Singa Narpada
agaknya menjadi lengah."
Kawan-kawan orang bertubuh kecil itu tertawa. Katanya,
"Jadi kau menyadari, bahwa yang kau lakukan itu adalah
satu langkah yang licik?"
"Jika kita tidak berbuat licik, mana mungkin kita akan
berhasil menguasai sesuatu yang sangat berharga itu.
Betapapun besarnya perguruan kita, namun kita bukanlah
trah keraton. Isi dari perguruan kita, memang bukan apaapa
dibanding dengan kekuatan Kediri. Karena itu, maka
kita harus melakukan sesuatu untuk mengatasi kelemahan
kita. Mudah-mudahan kita berhasil, karena ternyata
Pangeran Singa Narpada telah memerintahkan orangorangnya
untuk mencari apa yang aku katakan."
"Jika saja pada saat pusaka itu dibawa oleh Pangeran
Singa Narpada kita sempat berkumpul," berkata salah
seorang dari mereka. "Jika kita hanya berempat ini, maka kita tentu akan
gagal," berkata orang bertubuh kecil. "Kekuatan mereka,
empat orang yang membawa pusaka itu lebih besar dari kita
berempat. Kecuali jika kita sempat menyampaikannya
kepada guru dan beberapa kawan kita yang lain."
Yang lain mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Baiklah.
Segalanya terserah kepadamu. Kau adalah orang tertua
diantara saudara-saudara kita seperguruan. Jika tidak ada
guru, maka kata-katamulah yang kami jadikan pegangan."
"Baiklah," berkata orang bertubuh kecil itu, "Kita harus
mengamati terus, apakah Pangeran Singa Narpada sudah
berhasil mendapatkan seekor kerbau dungkul berkulit bule.
Jika sudah maka akan kita perhitungkan, bahwa peti itu
akan segera siap. Dan kita akan dengan mudah
mengambilnya di gedung perbendaharaan dengan cara
sebagaimana pernah terjadi. Ketika orang yang pernah
mengambilnya lebih dahulu sudah tidak ada, maka mereka
tentu tidak akan mengira, bahwa cara itu akan terulang oleh
orang lain." "Tetapi bukanlah kita masih harus menunggu," berkata
salah seorang diantara mereka.
"Tentu. Setelah benda itu ada di tangan kita pun, kita
akan menunggu. Kita tidak tahu pasti apa yang kelak akan
terjadi. Tetapi api perjuangan yang pernah dinyalakan oleh
beberapa orang Kediri berurutan, akan menyala terus. Yang
terakhir kebetulan adalah Pangeran Kuda Permati. Namun
sementara itu orang-orang diluar istana seperti kita
bukannya tidak mempunyai kewajiban yang sama. Bahkan
dengan benda keramat yang menjadi tempat
bersemayamnya wahyu keraton itu, maka tidak mustahil
bahwa yang kecil seperti kita akan dapat memegang
pimpinan pemerintahan sebagaimana pernah ditunjukkan
kenyataannya oleh seorang terbuang dipadang Karautan
yang bernama Ken Arok, yang telah membangunkan
Singasari dan menempatkan Kediri dibawah pengaruh
Singasari itu," jawab orang bertubuh kecil itu.
Saudara-saudara seperguruannya hanya menganggukangguk
saja. Namun kemudian katanya, "Tetapi tidak baik
kita berkumpul dengan ciri senjata kita yang memang agak
menyolok ini. Kita sebaiknya berpisah. Jika kita bertemu
seperti ini, maka kita tidak usah membawa jenis senjata
yang menarik perhatian mi."
Saudara-saudara seperguruannya mengangguk-angguk.
Seorang diantara mereka tiba-tiba saja bertanya,
"Bagaimana pendapat kalian dengan kedua orang
bertongkat yang lewat di jalan ini?"
Tetapi seorang yang lain menyahut, "Mereka benarbenar
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pengembara. Kita tidak perlu menghiraukannya."
"Ya," jawab yang seorang lagi. "Tidak ada tanda-tanda
bahwa mereka perlu diperhatikan. Dua orang yang sudah
tua itu tentu dua orang yang kesepian karena tidak
mempunyai sanak kadang."
Keempat orang itu sependapat, bahwa dua orang
bertongkat yang sudah terlalu tua itu memang bukan orang
yang dapat dianggap berbahaya.
Sejenak kemudian maka keempat orang itupun telah
berpisah, masing-masing berdua dengan tujuan yang tidak
sama. Namun mereka ternyata tidak akan meninggalkan
tempat itu terlalu jauh. Mereka akan selalu berusaha
mendengar kabar, apakah Kediri telah mendapatkan seekor
kerbau sebagaimana dikehendaki oleh Pangeran Singa
Narpada. Tetapi Pangeran Singa Narpada sendiri tidak pernah
merasa gelisah karena kesulitannya untuk menemukan
kerbau dungkul berkulit bule. Ia menekankan kepada
kesiagaan yang tinggi atas para pengawal gedung
perbendaharaan. Meskipun demikian bukan berarti bahwa Pangeran Singa
Narpada menghentikan usahanya untuk mendapatkan
seekor kerbau sebagaimana yang disebut oleh seseorang
yang mengaku bernama Ki Ajar Wantingan.
Tetapi menurut pendapat Pangeran Singa Narpada,
adalah tidak mutlak bahwa yang dicarinya itu akan dapat
mengamankan pusaka yang sangat berharga. Yang akan
terjadi hanyalah sekedar usaha agar mahkota itu tidak
selalu menarik perhatian bagi orang-orang yang memiliki
ketajaman penglihatan atas cahaya yang memancar dari
benda-benda yang keramat.
Namun memang sebenarnyalah Pangeran Singa
Narpada tidak menaruh kecurigaan sama sekali kepada Ki
Ajar Wantingan, meskipun Mahisa Bungalan agak bersikap
lain. Sementara itu, Mahisa Agni dan Witantra telah berada
didalam Kota Raja pula. Pada satu malam, mereka telah
memerlukan untuk melihat dari luar dinding istana, apakah
benar ada cahaya teja yang memancar dari benda-benda
keramat didalam gedung perbendaharaan.
Ketika keduanya menyaksikan sendiri, maka Witantra
pun berkata, "Ternyata yang dikatakan oleh Mahisa
Bungalan dan kedua adiknya itu benar."
Mahisa Agni yang juga melihat cahaya itupun
mengangguk-angguk. Katanya, "Memang menarik
perhatian bagi mereka yang dapat menyaksikannya. Tetapi
tentu bukan hanya sekarang."
"Itulah sebabnya maka seseorang telah menggerakkan
beberapa tataran untuk melakukan perlawanan terhadap
Singasari. Yang terakhir adalah Pangeran Kuda Permati
dan Pangeran Lembu Sabdata yang tertawan dalam
keadaan kurang lengkap kesadarannya itu," jawab
Witantra. Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
"Sebaiknya kita tinggal untuk sementara sambil mengamati,
apakah sebenarnya masih ada sisa-sisa sikap dari Pangeran
Kuda Permati di Kediri. Sementara itu, kita juga ingin
mendengar apakah Pangeran Singa Narpada sudah
menemukan seekor kerbau sebagaimana dikehendaki."
"Ya. Tetapi orang-orang bertongkat itu sangat menarik
perhatian," jawab Witantra, "Sayang, bahwa kita tidak
mempunyai tempat untuk tinggal di Kediri."
"Kita dapat berada dimana saja," desis Mahisa Agni.
Witantra mengangguk-angguk. Namun kemudian
katanya, "Tetapi akan lebih baik bagi kita jika kita
mempunyai landasan di Kediri."
"Kita pernah berada di Kediri. Apakah tidak ada
seorang pun diantara orang-orang yang pernah kita kenal
yang akan dapat membantu kita?" desis Mahisa Agni.
"Soalnya adalah, siapa diantara mereka yang dapat kita
percaya" Setelah beberapa lama kita tidak pernah membuat
hubungan dengan mereka, tentu kita memerlukan waktu
untuk mengingat-ingat," sahut Witantra.
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, "Kita tidak
tergesa-gesa. Kita masih mempunyai waktu cukup untuk
menemukan seseorang yang kita kehendaki. Jika pada
saatnya peti itu siap dan ternyata cahaya itu masih dapat
kita lihat, maka orang yang menganjurkan untuk membuat
peti perak itu tentu mempunyai maksud tersendiri."
"Ya. Dan kita patut menilai maksud itu," berkata
Witantra kemudian. Demikianlah kedua orang tua itu telah bertekad untuk
tinggal beberapa lama di Kediri. Sebelum mereka
menemukan tempat yang layak bagi landasan rencana
mereka, maka mereka akan berada dimana saja sebagai dua
orang pengembara sejati kita tidak akan tergantung kepada
tempat. Dari sehari, maka kedua orang itu memang berusaha
untuk dapat berhubungan dengan seseorang yang
dikenalnya dengan baik. Bukan seorang Pangeran. Bukan
pula seorang Tumenggung. Tetapi justru seorang pekatik
yang pernah berada di istana Mahisa Agni pada saat ia
memegang kuasa Singasari di Kediri.
Pekatik yang juga sudah tua itu terkejut sekali ketika ia
menyadari bahwa orang yang datang kepadanya itu adalah
Mahisa Agni dan Witantra. Dua orang yang pernah
dikenalnya sebagai dua orang pejabat tertinggi Singasari di
Kediri. Bahkan yang kuasanya berada di sisi Sri Baginda
pada waktu itu. Namun yang kedudukan itu kemudian
telah dihapuskan ketika Singasari telah menganggap bahwa
Kediri sudah dapat sepenuhnya dipercaya.
"Sudahlah," berkata Mahisa Agni, "Kami datang tidak
dalam jabatan kami. Tetapi kami adalah pengembara yang
singgah untuk mencari air."
"Ah," desis pekatik itu, "Jangan begitu. Tuanku berdua
dapat singgah di istana."
"Tidak," jawab Mahisa Agni dengan serta merta. Lalu
katanya, "Aku memang sedang dalam penyamaran."
"O." pekatik itu termangu-mangu.
"Aku sedang bermain-main dengan satu persoalan yang
ingin kami pecahkan," berkata Mahisa Agni, "Karena itu,
aku memerlukan bantuanmu. Aku ingin berada di rumah
ini sebagai saudaramu."
"Bagaimana mungkin tuanku berdua berada di rumahku
yang kecil dan kotor ini?" desis pekatik itu.
"Ingat. Kami berdua adalah pengembara," jawab
Mahisa Agni, "Kami berdua memerlukan bantuanmu bagi
kepentingan Kediri dan Singasari. Kami dapat berada
dimana saja. Bahkan selama ini kami tidur dibawah
pepohonan, diatas rerumputan kering."
Pekatik itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Segala sesuatunya terserah kepada tuanku, jika memang
tuanku kehendaki. Apapun yang tuanku inginkan dapat
tuanku lakukan disini."
Ternyata Witantra dan Mahisa Agni dapat diterima
dengan baik oleh pekatik itu. Sementara itu, pekatik itupun
tahu benar maksud Witantra dan Mahisa Agni.
Karena itu, ketika Mahisa Agni minta agar ia
memanggilnya dengan sebutan yang akrab pekatik itu
berkata, "Sebenarnya memang demikian seharusnya. Tetapi
rasa-rasanya sulit bagiku untuk mengucapkannya."
"Panggil kami kakang," berkata Mahisa Agni,
"Bukankah menurut pengamatan lahiriah kami lebih tua
dari padamu, meskipun mungkin umur kita hampir
bersamaan." "Baiklah," berkata pekatik itu, "Tetapi hendaknya
jangan kelak kena kutuk karena aku telah berani memanggil
tuanku berdua dengan sebutan kakang."
"Kamilah yang menghendakinya," berkata Witantra,
"Dan sebenarnyalah bahwa kami adalah orang-orang
kebanyakan yang tidak akan dapat membuat orang lain
mengalami kesulitan."
Dengan demikian maka Witantra dan Mahisa Agni telah
berada di tempat pekatik itu pula, sebagaimana pernah
mereka lakukan sebelumnya dalam penyamaran dan
pengembaraan, meskipun pada orang yang berbeda.
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa betapapun
sulitnya, akhirnya usaha Pangeran Singa Narpada untuk
menemukan seekor kerbau dungkul berkulit bule itupun
berhasil. Ketika kerbau itu kemudian dibawa ke alun-alun,
maka orang-orang di sekitarnya telah berkerumun untuk
melihat seekor kerbau yang jarang ada itu. Bahkan mungkin
di seluruh Kediri tidak dapat diketemukan genap lima ekor
kerbau yang bertanduk dungkul dan berkulit bule.
Dengan satu upacara khusus maka kerbau yang jarang
sekali terdapat itu, terpaksa dikorbankan untuk memenuhi
nasehat seorang yang bersikap sangat baik kepada Pangeran
Singa Narpada, yang dikenalnya dengan nama Ki Ajar
Wantingan. Meskipun Pangeran Singa Narpada tidak meletakkan
segenap usaha pengamanan kepada ketiadaan cahaya yang
dapat memancar dari benda yang paling berharga itu
dengan menempatkannya didalam sebuah peti perak
berlapis kulit kerbau yang jarang sekali terdapat itu, namun
Pangeran Singa Narpada sama sekali tidak menaruh
kecurigaan, bahwa ada maksud tertentu pada orang yang
bersikap sangat baik itu.
Namun demikian, Pangeran Singa Narpada telah
berusaha memenuhi nasehat itu yang mungkin memang
akan dapat membantu mengamankan benda yang memang
sangat berharga bagi Kediri itu.
Peristiwa yang termasuk aneh itu ternyata telah diikuti
oleh beberapa pihak. Pangeran Singa Narpada tidak
berhasil merahasiakan usahanya untuk melakukan
pengamanan itu dengan diam-diam, karena sejak kerbau itu
memasuki pintu gerbang, ternyata telah banyak sekali,
menarik perhatian orang. Namun tidak banyak diantara
mereka yang mengetahui, maksud sebenarnya dari
Pangeran Singa Narpada yang telah mengorbankan kerbau
dungkul berkulit bule itu.
Sebagian dari orang-orang Kediri itu menganggap bahwa
korban kerbau dungkul itu dimaksud untuk menghindarkan
Kediri dari perang saudara yang dapat merenggut jiwa yang
tidak terhitung jumlahnya. Apalagi mereka itu adalah putraputra
terbaik dari Kediri. Namun diantara mereka beberapa orang dari sebuah
perguruan telah mengikuti perkembangan keadaan itu
dengan saksama. Beberapa orang diantara mereka telah
melihat di alun-alun pada saat kerbau itu dikorbankan.
"Kita akan segera memastikan bahwa mahkota itu akan
berada didalam sebuah peti yang dibuat dari perak dan
dilapisi dengan kulit kerbau yang dikorbankan itu. Kasihan.
Binatang yang langka," berkata seorang yang bertubuh
kecil. "Kau yang bersalah," berkata kawannya, "Sebenarnya
kau dapat menyebut yang lain. Seekor kerbau bule saja
misalnya, atau apapun yang lebih banyak terdapat di Kediri
daripada seekor kerbau dungkul berkulit bule."
"Tetapi aku sudah terlanjur menyebutnya," jawab orang
bertubuh kecil yang ternyata telah meninggalkan
tongkatnya di penginapannya. Lalu, "Tetapi sudahlah.
Ternyata Pangeran Singa Narpada telah berhasil
mendapatkannya. Semakin sulit syarat itu didapatkannya,
maka dianggapnya bahwa syarat itu akan semakin berarti."
Kawannya mengangguk-angguk. Namun ia tidak
menjawab lagi. Yang penting bagi mereka adalah mengikuti
perkembangan usaha Pangeran Singa Narpada untuk
membuat sebuah peti yang cukup besar dari perak dan
dilapisi kulit kerbau yang dikorbankan itu.
Tetapi selain sekelompok murid dari sebuah perguruan
itu, maka Mahisa Agni dan Witantra pun telah mengikuti
perkembangan keadaan. Sekali lagi mereka memperhatikan
cahaya teja yang terdapat di gedung perbendaharaan dari
benda-benda yang paling berharga. Jika peti itu siap dan
salah satu dari cahaya teja itu lenyap, maka apa yang
dikatakan oleh orang yang menyebut dirinya Ki Ajar
Wantingan itu benar-benar petunjuk yang sangat berarti.
Tetapi jika ternyata tidak, maka tentu ada maksud yang lain
dari orang yang menyebut dirinya Ajar Wantingan itu.
Namun mereka tidak dapat mengetahui dengan segera.
Mereka harus menunggu kapan peti dan lapisannya itu siap.
Pangeran Singa Narpada tentu tidak akan mengemukakan,
bahwa ia telah menyimpan benda yang paling berharga itu
didalam sebuah peti untuk menyerap cahaya tejanya,
karena itu, maka Mahisa Agni dan Witantra harus berusaha
mencari berita, apakah benda itu memang sudah disimpan.
Ternyata apa yang dilakukan oleh Mahisa Agni dan
Witantra tidak banyak berbeda dengan apa yang telah
dilakukan oleh murid-murid dari sebuah perguruan yang
ternyata juga menginginkan mahkota yang dianggap
menjadi tempat bersemayam Wahyu Keraton itu, sehingga
siapa yang memilikinya akan dapat menjadi pemegang
Wahyu Keraton itu pula, dan akan dapat pada suatu saat
menjadi raja atau menurunkan raja-raja di Kediri.
Sementara itu, Pangeran Singa Narpada memang sudah
memerintahkan untuk membuat sebuah peti dari perak yang
kemudian akan dilapisi oleh kulit kerbau yang jarang sekali
terdapat di Kediri itu. Bagaimana juga rahasia itu disimpan, namun ternyata
bahwa terbetik juga berita yang dapat ditangkap oleh
Mahisa Agni dan Witantra lewat pekatik yang memberikan
tempat tinggal kepada mereka, tetapi juga didengar oleh
orang-orang yang memang telah menjerumuskan Pangeran
Singa Narpada. "Kotak itu sudah jadi," berkata seseorang kepada orang
yang bertubuh kecil dan bersenjata tongkat panjang itu,
"Kulit kerbau itupun telah kering dan siap dipasang."
"Kita akan menunggu beberapa hari lagi," berkata orang
bertubuh kecil, "usahakan untuk mendengar perkembangan
keadaan."
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam pada itu, pekatik yang masih juga bekerja di
istana itupun mendengar juga bahwa kotak yang terbuat
dari perak itu sudah selesai. Bahkan kulit kerbau itupun
telah dipasang pula untuk melapisinya.
"Tetapi kemudian peti yang sudah dilapisi itu telah
berada kembali di tangan Pangeran Singa Narpada," kata
pekatik itu. Lalu katanya, "Tidak seorang pun tahu, apa
yang akan dilakukan dengan peti perak dan kulit kerbau
itu." Mahisa Agni dan Witantra hanya mengangguk-angguk
saja. Tetapi kepada pekatik itu mereka tidak mengatakan,
apakah gunanya peti perak dan kulit kerbau dungkul
berkulit bule itu. Untuk meyakinkan kebenaran petunjuk tentang peti yang
berlapis kulit kerbau itu, maka Mahisa Agni dan Witantra
telah menunggu pula untuk beberapa lama. Ketika pada
suatu malam mereka melihat gedung perbendaharaan,
maka cahaya teja yang pernah dilihatnya itu masih tetap
nampak. "Mungkin Pangeran Singa Narpada masih belum
mempergunakan peti itu," berkata Mahisa Agni.
"Mungkin," jawab Witantra, "Karena itu, kita akan
menunggu lagi beberapa lamanya."
Namun pekatik itu tiba-tiba pada suatu saat berkata
kepada Mahisa Agni dan Witantra, "Menurut
pendengaranku dari orang-orang di lingkungan istana dan
yang bertugas membersihkan Gedung Perbendaharaan,
bahwa peti-perak itu berada di gedung perbendaharaan."
Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk.
Katanya, "Terima kasih."
"Tetapi buat apa sebenarnya tuanku, eh, kakang
memperhatikan peti perak itu?" bertanya pekatik itu.
Mahisa Agni lah yang menjawab, "Tidak apa-apa.
Tetapi peti itu sangat menarik perhatianku."
Tetapi pekatik itu tersenyum. Meskipun ia sekedar
seorang pekatik, tetapi ia bukannya orang yang dungu.
Karena itu maka katanya, "Tuanku tentu merahasiakan
sesuatu. Tetapi baiklah. Aku percaya bahwa setiap usaha
tuanku tentu mengarah kepada sesuatu yang baik bagi
Kediri." "Panggil aku kakang," berkata Mahisa Agni.
"Ya. Maksudku memang demikian," jawab pekatik itu.
Namun dengan keterangan itu, maka Mahisa Agni dan
Wintantra telah mengulangi penglihatannya. Namun
ternyata bahwa mereka masih melihat cahaya teja yang
pernah dilihatnya itu. Merekapun yakin, bahwa orangorang
yang memiliki ketajaman penglihatan akan dapat
mengetahui bahwa di gedung perbendaharaan itu masih
terdapat beberapa pusaka yang keramat, diantaranya adalah
tempat bersemayam Wahyu Keraton. Bagi orang yang tidak
dapat mengenali cahaya itu, akan segera mengetahui bahwa
benda yang sangat berharga itu berada di sebuah peti perak
yang dilapisi oleh kulit seekor kerbau. Kulit kerbau apapun
juga, akan mudah dibedakannya.
Tiba-tiba saja Mahisa Agni itupun berkata, "Jika
Pangeran Singa Narpada memenuhi anjuran orang yang
menyebut dirinya Ki Ajar Wantingan, bukankah itu berarti
bahwa Pangeran Singa Narpada telah menempatkan benda
yang paling berharga itu di tempat yang siap untuk
diambilnya?" "Jika orang-orang seperti Ajar Wantingan itu sendiri
yang memasuki Gedung Perbendaharaan, maka ia tidak
memerlukan tempat seperti itu, karena ia akan segera
mengetahui, dimanakah dan yang manakah pusaka yang
sangat berharga itu," sahut Witantra.
"Jika orang lain yang melakukannya?" sahut Mahisa
Agni. "Pada kesempatan yang terdahulu, Pangeran Lembu
Sabdata ikut melibatkan diri, sehingga sebagai seorang
Pangeran, maka ia tentu banyak mengenal letak dan ujud
dari benda yang diinginkan. Karena itu, maka dengan bekal
keterangan daripadanya, maka benda itu dapat diambil dari
Gedung Perbendaharaan. Tetapi tanpa petunjuk apapun,
seseorang yang memang belum mengetahuinya dan tidak
memiliki ketajaman penglihatan akan sulit untuk dengan
cepat menemukannya."
Witantra mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Aku
mengerti. Agaknya maksud orang yang menyebut dirinya
Ajar Wantingan itu memang demikian, meskipun aku tidak
mutlak menuduhnya." Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, "Sesuatu
yang sangat menarik."
Dalam pada itu, bahwa peti yang terbuat dari perak
berlapis kulit seekor kerbau dungkul berkulit bule telah
berada di Gedung perbendaharaan, telah di dengar pula
oleh orang-orang bertongkat yang dipimpin orang yang
menyebut dirinya Ki Ajar Wantingan. Dengan segera
mereka-pun telah mengadakan pembicaraan tentang
langkah-langkah akan mereka ambil.
"Mahkota itu tentu telah berada di dalam peti itu,"
berkata orang bertubuh kecil itu.
"Ya. Satu kesempatan sudah terbuka," sahut yang lain.
"Tetapi kita jangan tergesa-gesa. Menurut pengamatan
orang-orang yang dapat kita percaya, meskipun mereka
tidak menyadari, namun mereka telah memberikan
beberapa keterangan tentang penjagaan atas gedung
perbendaharaan itu. Agaknya masih ada kecemasan di hati
Pangeran Singa Narpada, sehingga penjagaan di Gedung
Perbendaharaan itu masih terlalu kuat," berkata orang
bertubuh kecil itu. Namun demikian seorang kawannya tersenyum sambil
menjawab, "Kita akan memberikannya kepada Kerbau
dungkul kita. Ia tidak akan dapat dicegah oleh penjagaan
yang betapapun kuatnya sebagaimana pernah terjadi. Ia
memiliki ilmu sirep yang sangat kuat. Jauh lebih kuat dari
ilmu orang yang menyebut dirinya Ajar Bomantara itu.
Meskipun ada juga Senapati yang bertugas, tetapi ia tidak
akan terlepas dari kekuatan sirep itu. Kecuali jika Pangeran
Singa Narpada sendiri yang berada di Gedung
perbendaharaan, mungkin ia akan dapat lolos dari pengaruh
sirep itu." "Kita memang akan menghubungi paman Kebo Sarik,"
berkata orang bertubuh kecil. "Jangan hinakan paman kita
itu dengan istilah-istilah yang menyakitkan hati. Ia adalah
adik seperguruan guru kita, yang memiliki kemampuan
sebagaimana guru kita. Seandainya terpaut serba sedikit, itu
adalah wajar karena ia lebih muda dari guru kita."
"Maaf, aku agak terlanjur menyebutnya," jawab saudara
seperguruannya, "Tetapi ujudnya memang mengingatkan
kita kepada seekor kerbau. Aku kira paman Kebo Sarik
tidak akan marah meskipun kau berkata seperti itu di
hadapannya." ia berhenti sejenak, lalu, "Tetapi kita harus
kembali ke Parang Gantungan, atau ke Parang Wedang
untuk menemuinya." "Guru akan memerintahkannya menemui kita. Kita
akan mencarinya di sekitar Hutan Wentar sebagaimana
yang pernah guru katakan," berkata orang bertubuh kecil
itu, "Mudah-mudahan paman sudah datang."
"Apakah kira-kira paman bersedia," bertanya seorang
diantara adik-adik seperguruannya itu.
"Jika guru memerintahkannya," jawab orang bertubuh
kecil itu. "Tetapi paman bukannya orang yang rajin. Ia seorang
pemalas meskipun sebenarnya ia memiliki ilmu yang sangat
tinggi sebagaimana guru sendiri," berkata yang lain lagi.
Tetapi saudara seperguruannya yang lebih tua berkata,
"Ia akan datang. Kita akan mengatakan kepada paman,
bahwa tugasnya telah menunggu."
Orang bertubuh kecil itu kemudian berkata, "Ya. Paman
akan memasuki Gedung Perbendaharaan dan mengambil
peti yang terbuat dari perak itu. Meskipun paman tidak
memiliki ketajaman penglihatan batin yang akan dapat
melihat cahaya teja yang memancar dari benda yang sangat
berharga itu, namun ia akan dapat langsung menemukan
peti yang kita perlukan itu."
"Bukankah kau akan dapat menyertainya?" bertanya
salah seorang saudara seperguruannya.
"Memang mungkin. Tetapi semakin banyak orang yang
memasuki halaman istana, maka kemungkinan untuk dapat
diketahui menjadi semakin besar pula," jawab orang
bertubuh kecil itu, "Tetapi kita akan berbicara dengan
paman. Apakah ia akan sendiri memasuki halaman istana
atau ia memerlukan seorang kawan. Paman dan aku samasama
belum mengenali isi istana itu. Lorong-lorong dan
longkangan-longkangan serta bangsal-bangsal yang ada.
Yang aku ketahui, dan yang juga akan dapat diketahui oleh
paman, adalah keterangan-keterangan tentang itu. Dan aku
yakin, sebagaimana aku dan kalian, maka paman tentu
akan dapat mengenalinya jika ia mendapat kesempatan
untuk memasuki halaman istana itu."
Saudara-saudara seperguruannya mengangguk-angguk.
Lalu seorang diantara mereka berkata, "Jika demikian, kita
akan pergi ke Hutan Wentar. Mudah-mudahan kita akan
dapat menemuinya." Dengan demikian, maka keempat orang itupun telah siap
untuk pergi ke Hutan Wentar. Sementara itu, orang
bertubuh kecil itu tidak mencemaskan bahwa mahkota yang
akan diambilnya itu telah diambil lebih dahulu oleh orang
lain. Pada saat keempat orang itu meninggalkan daerah
perbatasan Kota Raja Kediri, maka dua orang anak muda
justru telah memasuki Kota Raja. Adalah diluar dugaan,
bahwa ketika mereka berada di sebuah kedai, dua orang
justru sedang membicarakan empat orang bertongkat yang
berjalan beriringan. "Tongkat mereka panjang?" bertanya salah seorang dari
kedua anak muda itu. "Ya. Tongkat mereka terlalu panjang," jawab orang itu.
Sementara pemilik kedai itupun menyahut, "Dua
diantaranya sering datang dan makan dikedai ini dengan
tongkat-tongkat mereka. Tetapi ketika kemudian mereka
datang berempat, mereka tidak lagi membawa tongkattongkat
panjang mereka." "Kenapa?" bertanya salah seorang dari kedua anak
muda itu. "Aku tidak tahu," pemilik warung itu menggeleng.
Anak-anak muda itupun mengangguk-angguk. Namun
kemudian salah seorang diantara mereka berbisik, "Mereka
tidak ingin menarik perhatian. Jika keempat-empatnya
membawa tongkat panjang, maka akan segera diketahui,
bahwa mereka adalah sekelompok orang dari satu
perguruan." "Tetapi ketika mereka meninggalkan tempat ini, mereka
juga membawa tongkat-tongkat mereka," sahut yang lain.
"Tidak ada kemungkinan lain. Mereka tentu tidak akan
meninggalkan tongkat-tongkat mereka, karena tongkattongkat
mereka itu adalah senjata mereka," jawab yang
lain. Yang seorang mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak
membicarakannya lagi. Ketika kedua orang anak muda itu kemudian
meninggalkan kedai itu, maka seorang diantaranya berkata,
"Kita akan langsung mencari paman Mahisa Agni dan
paman Witantra. Mungkin keduanya menaruh perhatian
atas keempat orang pembawa tongkat panjang itu."
Demikianlah, maka sebagaimana dikatakan, kedua anak
muda itu telah memasuki Kota Raja Kediri dan berusaha
untuk mencapai tempat yang sudah dijanjikan. Ketika
mereka belum menemukan Mahisa Agni dan Witantra di
tempat itu, maka keduanya telah menunggu.
"Sampai kapan?" bertanya Mahisa Pukat.
"Setiap saat kita datang ke tempat ini," jawab Mahisa
Murti, "Kita tidak harus selalu berada disini. Memang
mungkin kita berselisih waktu. Pada saat kita datang kedua
paman itu baru saja meninggalkan tempat ini atau
sebaliknya. Tetapi pada suatu saat kita tentu akan
bertemu." Sebenarnyalah keduanya tidak perlu menunggu terlalu
lama. Di hari berikutnya, ketika kedua orang anak muda itu
mengawasi tempat yang mereka janjikan untuk bertemu
dengan Mahisa Agni dan Witantra dari tempat yang agak
jauh, mereka telah melihat dua orang tua berjalan melewati
tempat itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian
mengikuti Mahisa Agni dan Witantra ke rumah pekatik
yang telah memberi kesempatan kedua orang tua itu tinggal
selama mereka berada di Kediri.
Di rumah pekatik itulah maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat sempat berceritera tentang keempat orang bertongkat
yang meninggalkan daerah perbatasan.
"Mereka pergi kemana?" bertanya Mahisa Agni.
"Itulah," berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat pun kemudian bangkit berdiri dan
melangkah mendekat. "He, kau sudah datang," desis Witantra.
"Aku sudah sehari disini," berkata Mahisa Pukat.
"Marilah, ikut kami. Kami tinggal di rumah seorang
sahabat yang baik."Ajak Witantra.
"Tidak seorang pun yang mengetahuinya," jawab
Mahisa Murti. Mahisa Agni mengangguk-angguk. Namun kepergian
keempat orang itu justru menjadi teka-teki baginya.
"Mungkin tugas mereka sudah selesai," berkata
Witantra. "Tugas yang mana?" bertanya Mahisa Agni.
"Mereka hanya bertugas untuk berusaha agar benda
yang sangat berharga itu ditempatkan pada satu tempat
yang mudah dikenal. Sementara itu akan ada petugas lain
yang datang untuk mengambilnya," jawab Witantra.
"Memang masuk akal," berkata, Mahisa Agni
kemudian, "tetapi apakah mereka pergi begitu saja dan
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak akan ikut campur dalam usaha pengambilan benda
berharga itu" Atau mereka memang bermaksud baik.
Mereka benar-benar ingin membantu Pangeran Singa
Narpada, agar mahkota itu tidak terlalu menarik perhatian.
Tetapi usaha itu tidak berhasil, sehingga dengan demikian
maka mereka pun tidak lagi merasa mempunyai tugas
apapun lagi." "Banyak kemungkinan dapat terjadi," sahut Witantra,
"Tetapi sebaiknya kita tetap berhati-hati. Kita dapat saja
mencurigai langkah-langkah seseorang meskipun akhirnya
ternyata bahwa kitalah yang keliru."
"Jadi bagaimana menurut pendapatmu?" bertanya
Mahisa Agni. "Kita ikut mengawasi gedung perbendaharaan itu,"
jawab Witantra, "Kita sudah mengetahui letaknya dan kita
mengetahui kemungkinan yang paling besar, jalan yang
akan dilalui seseorang apabila ia ingin memasuki istana dan
menuju ke Gedung Perbendaharaan."
"Paman sudah mengetahui letak bangsal-bangsal di
istana Kediri?" bertanya Mahisa Pukat.
"Aku dan paman Mahisa Agni pernah berada di Kediri
dalam tugas kami yang berat. Karena itu, maka kami serba
sedikit dapat mengetahui tentang istana Kediri," jawab
Witantra. "Tetapi apapun kita tidak usah menyampaikan kepada
Pangeran Singa Narpada?" bertanya Mahisa Pukat.
"Kita menunggu perkembangan keadaan," jawab
Mahisa Agni, "Mungkin kitalah yang salah menilai."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah.
Kita akan menunggu perkembangan keadaan."
"Namun sementara ini, kita akan selalu mengawasi
jalan yang menuju ke Gedung Perbendaharaan itu.
Maksudku, jalan yang paling mungkin dilalui dengan diamdiam,
diluar pengamatan atau kemungkinan pengamatan
yang paling kecil dari para pengawal," berkata Mahisa
Agni. Dengan demikian, maka Mahisa Agni, Witantra dan
kedua orang kakak beradik itu sudah menempatkan diri
mereka dibawah tugas yang mereka letakkan di pundak
mereka sendiri. Namun menurut perhitungan mereka, jika seseorang
ingin memasuki Gedung Perbendaharaan Istana itu, maka
tentu akan dilakukannya dimalam hari.
Dengan demikian maka bagi Mahisa Agni, pengawasan
yang paling cermat justru harus dilakukan pada malam hari.
"Kita akan mengamati Gedung Perbendaharaan itu di
malam hari," berkata Mahisa Agni, "Kita akan membagi
diri menjadi dua kelompok. Aku dengan Mahisa Murti dan
Witantra dengan Mahisa Pukat. Kita akan berganti-ganti
melakukan tugas pengamatan itu, sehingga kita tidak akan
menjadi terlalu letih. Meskipun kita berempat akan berada
di satu tempat, tetapi yang bertugas akan kita tentukan
bergantian." Witantra sependapat dengan Mahisa Agni, sehingga
dengan demikian maka mereka pun telah membagi harihari
yang akan mereka lalui dengan tugas yang mereka
sandang atas kehendak mereka sendiri.
Beberapa hari hal itu telah mereka lakukan. Namun
mereka sama sekali tidak menjumpai peristiwa yang
menarik perhatian. Namun pada hari-hari berikutnya,
keempat Orang itu merasa bahwa seseorang telah melihat
kehadiran mereka dan mengawasinya.
"Apakah kita perlu berbuat sesuatu atasnya?" bertanya
Mahisa Murti yang sedang bertugas bersama Mahisa Agni.
"Jangan," jawab Mahisa Agni, "Biarlah terjadi sesuatu.
Baru kita tahu, apa yang akan dilakukannya."
Sementara itu, orang yang sedang mengawasi mereka
itupun tidak pula berbuat apa-apa, sehingga untuk
sementara mereka saling berdiam diri dan tidak mengambil
langkah-langkah apapun juga. Ternyata Witantra pun telah
mencegah Mahisa Pukat untuk mengamati orang itu dekat
lagi. "Kita harus berhati-hati," berkata Witantra, "Bukankah
kita tidak akan berbuat jahat dan tidak akan memasuki
Gedung Perbendaharaan" Dengan demikian, maka tidak
akan ada orang yang bertindak atas kita, karena kita tidak
berbuat apa-apa disini."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi iapun sudah
bersiaga. Seandainya ada juga orang yang berbuat apa-apa,
maka ia sudah siap menghadapinya.
Ternyata dari hari ke hari mereka tidak menemui
persoalan yang penting selain malam yang dingin dan angin
yang basah bagaikan meresap sampai ke tulang. Sekalisekali
mereka masih melihat seseorang yang kadang-kadang
bergerak dengan cepat melintas dalam jarak pengamatan.
Tetapi orang itupun tidak berbuat apa-apa sebagaimana
keempat orang itupun tidak berbuat apa-apa juga.
Sementara itu, keempat orang bertongkat yang pergi ke
Hutan Wentar ternyata telah sampai ketujuan. Setelah
berada beberapa saat di hutan Wentar, ternyata mereka
telah menemukan orang yang mereka cari.
"Paman," berkata orang yang bertubuh kecil. "Aku
sudah berhasil membujuk Pangeran Singa Narpada untuk
menempatkan pusaka itu di sebuah peti dari perak."
"Dan kau berharap mengambilnya," sahut seorang yang
bertubuh gemuk dan berambut panjang terurai dibawah ikat
kepalanya berjuntai dengan kasar sampai ke bahunya.
"Ya paman," jawab orang bertubuh kecil itu.
"Anak-anak dungu," geram orang bertubuh gemuk itu,
"Ternyata kalian adalah anak-anak yang tidak berarti sama
sekali. Umur kalian yang semakin tua itu tidak
menumbuhkan kemampuan didalam diri kalian selain
kesombongan dan ketamakan saja."
Orang bertubuh kecil itu tersenyum. Katanya, "Paman
jangan menganggap kami masih terlalu bodoh. Kami sudah
menjadi semakin tua paman. Dan pengalaman kami pun
telah menjadi cukup panjang."
"Tetapi kalian masih memerlukan aku untuk mengambil
benda itu," jawab pamannya, "Jika bukan gurumu yang
memerintahkan aku kemari, aku sebenarnya sangat segan
melakukannya. Bukan karena aku merasa takut. Tetapi cara
begini akan membuat kalian tetap manja dalam umur kalian
yang semakin tua. Bahkan rambut kalian sudah mulai
ubanan." "Paman," berkata orang bertubuh kecil itu mewakili
saudara-saudara seperguruannya, "paman memang
mempunyai kelebihan dari kami di samping kekurangan
paman." "Kekurangan?" mata orang bertubuh gemuk itu
terbelalak. "Kau menganggap bahwa padaku masih
terdapat kekurangan?"
"Ya, sebagaimana kami masih belum menguasai benarbenar
ilmu sirep, paman pun tidak mempunyai ketajaman
penglihatan atas cahaya-cahaya gaib dari benda-benda yang
keramat dan bertuah."
"Apa artinya cahaya-cahaya gaib itu?" geram orang
bertubuh gemuk. "Karena itulah maka paman harus mendapat petunjuk.
Benda yang harus paman ambil berada di sebuah peti perak
berlapis kulit. Kulit apapun itu tidak penting. Tetapi
diantara benda-benda yang ada, yang berada di peti perak
itulah yang paling harga. Karena didalam peti itulah
Wahyu Keraton bersemayam," sahut orang bertubuh kecil
itu. "Persetan," geram orang bertubuh gemuk itu, "Kalian
masih juga dapat menyombongkan diri. Tetapi baiklah.
Aku akan menolong kalian karena guru kalian juga akan
datang kemari. Jika aku tidak melakukannya, kakang itu
tentu akan marah kepadaku."
Orang bertubuh kecil itu tidak peduli apapun alasannya.
Tetapi yang penting baginya pamannya itu bersedia
mengambil benda yang sangat berharga itu di Gedung
Perbendaharaan. "Tetapi apakah paman akan memasuki Gedung itu
sendiri, atau memerlukan satu dua orang kawan?" bertanya
orang bertubuh kecil itu.
"Kau mulai menghina aku lagi," geram orang gemuk
itu, "Sejak kapan aku memerlukan kawan dalam satu tugas
betapapun beratnya?"
Orang bertubuh kecil itu tidak menjawab. Demikian pula
adik-adik seperguruannya. Namun mereka mendapat satu
keyakinan bahwa pamannya benar-benar akan
melakukannya. Karena itu, maka mereka tidak
mempersoalkannya lagi. Tetapi yang kemudian ditanyakan oleh orang bertubuh
kecil itu adalah, "Kapan guru akan datang?"
"Aku tidak tahu waktunya," berkata orang gemuk itu,
"Tetapi gurumu akan datang?"
"Baiklah paman. Jika demikian maka semua persoalan
sudah menjadi jelas. Namun demikian, agaknya paman
tidak usah tergesa-gesa. Kita mempunyai kesempatan untuk
beristirahat serta mempersiapkan segala sesuatu yang
perlu," berkata orang yang bertubuh kecil itu. "Dalam tiga
empat hari kita sempat tidur nyenyak sambil menunggu
guru." Dengan demikian, maka orang-orang itupun sempat
berbicara tentang istana. Tentang letak Gedung
Perbendaharaan dan tentang orang-orang yang tidak
menyadari, telah diperalat untuk memberikan beberapa
keterangan tentang keadaan istana itu. Tetapi ternyata guru
orang-orang bertongkat itu tidak segera datang, sehingga
orang bertubuh gemuk itu pada suatu hari berkata,
"Bagaimana jika gurumu tidak jadi datang?"
"Apakah paman sanggup melakukan sebelum guru
hadir?" bertanya orang bertubuh kecil itu.
"Sekali lagi kau menghina aku, aku akan kembali ke
Padepokan," geram orang gemuk itu.
"Kenapa aku menghina?" bertanya orang bertubuh kecil
itu. "Kau menganggap bahwa yang dapat aku lakukan
sangat tergantung kepada gurumu," jawab orang itu.
"Bukan maksudku paman," jawab orang bertubuh kecil
itu, "Tetapi jika paman akan melakukannya kami pun tidak
berkeberatan." "Kalian mau apa?" bertanya orang gemuk itu.
"Setidak-tidaknya kami dapat membantu paman diluar
dinding istana. Jika paman sudah berhasil, maka kami
berempat akan dapat menemani paman menyusuri jalanjalan
Kediri, karena kami mengenali jalan-jalan di Kediri
seperti mengenali halaman rumah kami sendiri," jawab
orang bertubuh kecil itu.
Orang yang gemuk itu mengangguk-angguk. Katanya,
"Kita tunggu sampai besok. Jika gurumu tidak datang, aku
akan melakukannya. Aku sudah terlalu lama berada disini."
"Terserah kepada paman. Tetapi kami hanya ingin
memperingatkan, bahwa di Kediri ada orang-orang yang
memiliki ilmu yang tinggi, yang mungkin dapat terlepas
dari ilmu sirep paman."
Berbeda dengan kebiasaannya, orang bertubuh gemuk itu
menanggapinya dengan sungguh-sungguh, "Kita memang
harus berhati-hati. Aku tidak mengingkari kemungkinan
bahwa ada orang yang memiliki kelebihan. Tetapi apakah
setiap hari orang-orang memiliki ilmu yang tinggi itu selalu
ada diantaranya para prajurit pengawal?"
"Itulah yang akan kami selidiki lebih dahulu," jawab
orang bertubuh kecil itu, "Karena itu, agaknya lebih baik
bagi kita untuk mendekati Kediri setelah besok guru tidak
datang." Dengan demikian maka mereka telah menunggu satu
hari lagi. Tetapi guru orang-orang bertongkat itu memang
tidak datang. Karena itu, maka mereka pun telah sepakat
untuk pergi ke Kediri. Mereka akan mulai merintis jalan
untuk menyelesaikan tugas mereka yang berat itu.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
mulai menjadi gelisah. Meskipun demikian, mereka sama
sekali tidak menunjukkan perasaannya itu kepada Mahisa
Agni dan Witantra, betapapun mereka membicarakannya
diantara keduanya. -ooo0dw0ooo Jilid 027 NAMUN satu perkembangan baru telah terjadi. Orang
yang nampak sekali-sekali melintas dalam garis pengamatan
itu tidak lagi nampak. Sehingga dengan demikian, maka
seolah-olah orang itu telah melepaskan pengamatannya atas
keempat orang dari Singasari itu.
"Apa sebabnya?" bertanya Mahisa Pukat kepada
Mahisa Agni. "Aku tidak tahu," jawab Mahisa Agni, "mungkin orang
itu telah mendapat keyakinan bahwa kita tidak akan
berbuat apa-apa." "Tetapi ada kemungkinan lain," berkata Witantra,
"Mungkin orang itu mengenali salah seorang di antara kita
sehingga orang itu tidak perlu meneruskan
pengamatannya." "Ya," Mahisa Agni mengangguk-angguk, "tetapi
menilik jarak pengamatan dan cara yang dipergunakan,
sulit baginya untuk dapat mengenali salah seorang dari kita.
Hal itu hanya mungkin karena orang itu mengenali tabiat
salah seorang di antara kita yang dapat dilihatnya dari
kejauhan." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Tetapi mereka tidak menyatakan sesuatu. Bahkan Mahisa
Agni pun kemudian berkata, "Tetapi kita masih harus tetap
berhati-hati. Bagaimana pun juga, ada seribu kemungkinan
masih dapat terjadi."
Sebenarnyalah bahwa mereka memang tidak
meninggalkan kewaspadaan. Semakin lama rasa-rasanya
mereka justru merasa bahwa mereka harus bersiap
menghadapi sesuatu. Namun dalam pada itu, di siang hari ketika Mahisa
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Murti dan Mahisa Pukat pergi ke pasar yang ramai di
Kediri, dengan berusaha untuk tidak bertemu dengan orangorang
yang mengenalinya, terutama orang-orang di seputar
Pangeran Singa Narpada, telah dikejutkan dengan
kehadiran seorang pedagang besi-besi bertuah, wesi aji dan
bebatuan memiliki nilai-nilai yang khusus. Nampaknya
orang itu mendapat perhatian dari isi pasar yang memang
ramai itu. "Apa kerja ayah disini?" bisik Mahisa Murti.
"Seperti seorang dukun yang memamerkan berbagai
wesi aji," sahut Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi kemudian
katanya, "Tetapi bukankah memang pekerjaan ayah
berdagang wesi aji dan batu akik di samping kadang-kadang
juga permata intan berlian di musim tidak ada kerja di
sawah?" "Tetapi bukankah ayah tidak pernah memakai cara itu"
Menarik perhatian orang banyak dengan ceritera yang
kadang-kadang membual?" sahut Mahisa Pukat.
Mahisa Murti tertawa. Katanya, "Kau tahu kenapa
begitu?" Mahisa Pukat merenung. Namun tiba-tiba ia berdesis,
"Ayah sedang mencari perhatian."
"Ya. Ayah memang sedang mencari kita," sahut Mahisa
Murti, "satu hal yang tidak direncanakan, sehingga
sebelumnya ayah tidak bertanya kepada kita, dimana ayah
dapat menemui kita."
"Tetapi ayah tahu, dimana kita dapat menemui paman
Mahisa Agni dan paman Witantra," desis Mahisa Pukat.
"Ayah tentu sudah mencari kita di sana. Tetapi
bukankah kita tidak pernah lagi ke tempat itu sejak kita
berada di tempat pekatik yang baik hati itu?" jawab Mahisa
Murti. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja
diluar pengertian Mahisa Murti, Mahisa Pukat telah
menyibakkan beberapa orang yang mengerumuni
Mahendra yang sedang menjajagi beberapa jenis wesi aji
dan batu-batu yang dianggap bertuah.
Dengan kasar tiba-tiba saja Mahisa Pukat membentak,
"He orang tua. Kenapa kau berusaha menipu orang
banyak." Mahendra terkejut. Tetapi ketika ia mengangkat
wajahnya, tiba-tiba saja ia menarik nafas dalam-dalam.
Dengan suara merendah ia bertanya, "Apa yang kau
maksud anak muda." "Omong kosong dengan segala bualanmu tentang wesi
aji dan batu akik. Kau kira ada orang yang akan percaya
kepadamu" Kau anggap orang-orang Kediri itu masih
terlalu bodoh seperti orang-orang dari daerah asalmu?"
bentak Mahisa Pukat. Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Maaf,
anak muda. Jadi apa yang harus aku lakukan."
"Simpan barang-barangmu dan ikut aku," berkata
Mahisa Pukat. Mahisa Murti mengumpat. Mahisa Pukat telah
melakukan kesalahan karena gejolak kemanjaannya. Tetapi
ternyata Mahendra tidak membantah. Ia pun kemudian
menyimpan barang-barangnya dan kemudian berkata
kepada orang-orang yang berkerumun, "Maaf Ki Sanak.
Permainanku terpaksa aku hentikan. Aku akan mengikuti
anak muda ini dan menyelesaikan persoalan kami."
Mahisa Pukat pun kemudian meninggalkan tempat itu
diikuti oleh Mahendra dan Mahisa Murti.
Diluar pasar, ketika mereka tidak lagi berada di antara
banyak orang Mahisa Murti berdesis, "Apakah pantas
seorang pengembara berbuat seperti yang kau lakukan?"
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun
Mahendra lah yang menjawab, "Biarlah. Mudah-mudahan
tidak ada orang yang menghiraukan. Satu cara Mahisa
Pukat untuk mengajak aku mengikutinya keluar dari pasar
itu." Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun
kemudian bertanya, "Tetapi bagaimana tanggapan mereka
jika besok kita nampak lagi di pasar itu?"
"Aku memang kurang memikirkan akibatnya," berkata
Mahisa Pukat. Namun Mahendra pun berkata, "Aku mengerti. Karena
itu, untuk beberapa hari kalian tidak usah pergi ke pasar
itu." Mahisa Murti mengangguk-angguk. Jawabnya, "Baik
ayah." "Nah, sekarang, aku akan kalian bawa kemana?"
bertanya Mahendra. "Ke paman Mahisa Agni dan paman Witantra," jawab
Mahisa Pukat. "Jadi kalian telah bertemu dengan pamanmu Mahisa
Agni dan pamanmu Witantra," bertanya Mahendra.
"Bukankah kami sudah berjanji untuk bertemu?" sahut
Mahisa Murti. "Bagus. Dengan demikian mungkin kalian memerlukan
petunjuk-petunjuk mereka dalam hal tertentu," berkata
Mahendra, "tetapi apakah sudah terjadi sesuatu dengan
kalian?" "Belum ayah," jawab Mahisa Pukat, "tetapi nampaknya
keadaan menjadi semakin meningkat. Namun kami belum
dapat mengatakan, apa yang akan terjadi."
Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, "Syukurlah.
Agaknya aku memang ingin terlibat seandainya akan terjadi
sesuatu. Rasa-rasanya ingin juga sekali-sekali mengenang
pada masa muda sebagaimana dilakukan oleh pamanpamanmu
itu." "Tetapi belum tentu akan terjadi sesuatu ayah," jawab
Mahisa Murti. "Tentu saja aku tidak ingin memaksakan terjadi
sesuatu," jawab Mahendra. "Tetapi baiklah, mungkin dari
paman-pamanmu aku akan mendapat kesan tentang
Kediri." Kedua anak muda itu tidak menjawab lagi. Mereka pun
semakin lama menjadi semakin dekat dengan rumah
pekatik yang memang agak tersembunyi karena rumah itu
bukan rumah yang baik dan besar.
Kedatangan Mahendra memang mengejutkan Mahisa
Agni dan Witantra. Namun merekapun kemudian menjadi
gembira karena mereka mendapat seorang kawan lagi
dalam tugas mereka yang agak menjemukan.
"Kita akan menghadapi satu permainan yang
menjemukan. Bahkan mungkin tidak akan terjadi apa-apa
setelah kita menunggu beberapa lama sehingga Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat menjadi hampir kehabisan
kesabaran," berkata Mahisa Agni.
Mahendra mengangguk-angguk. Namun kemudian
katanya, "Mungkin yang kita tunggu sekarang ini
merupakan ujian kesabaran dan ketabahan bagi Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat."
Mahisa Agni dan Witantra mengerutkan keningnya.
Namun kemudian merekapun tersenyum. Sementara
Mahisa Agnipun berkata, "Memang mungkin akan
bermanfaat bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dan bagi
perkembangan ilmu mereka."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendiri hanya terdiam.
Tetapi sebenarnyalah mereka memang sudah menjadi jemu
menunggu. Tidak terjadi sesuatu di Gedung
Perbendaharaan. Pekatik itu pun mengatakan bahwa peti
perak itu masih berada didalam gedung.
Tetapi Mahisa Agni dan Witantra, bahkan kemudian
juga Mahendra yang baru datang, berpendapat, bahwa
mungkin memang akan terjadi sesuatu meskipun tidak
segera. Namun setiap kali mereka selalu minta agar pekatik itu
berusaha mencari keterangan tentang peti perak berlapis
kulit kerbau dungkul yang berwarna bule.
Sementara itu, orang yang bertubuh gemuk, yang
menamakan dirinya Kebo Sarik beserta keempat orang
bertongkat itu pun telah berada di Kediri pula. Dari orangorang
yang tidak menyadari bahwa dirinya telah diperalat,
maka orang bertubuh kecil itu mengerti, bahwa peti perak
itu masih tetap berada di Gedung Perbendaharaan.
Karena guru ke empat orang bertongkat itu tidak juga
segera datang, maka Kebo Sarik tidak sabar lagi
menunggunya. Katanya kemudian kepada ke empat orang
bertongkat itu, "Gurumu tidak dapat dipastikan, kapan ia
akan datang. Karena itu, maka aku tidak dapat disuruh
menunggunya tanpa batas. Aku akan segera melakukan
tugas yang ingin kau bebankan kepadaku itu."
"Baiklah paman," berkata orang yang bertubuh kecil,
"tetapi aku mohon paman melakukannya menunggu satu
dua malam. Aku harus meyakinkan bahwa tidak ada
seorang pun di antara para penjaga yang berilmu tinggi,
yang akan mampu menolak atau melawan ilmu paman
yang dahsyat itu." Kebo Sarik mengangguk-angguk. Katanya, "Terserahlah
kepadamu. Tetapi ada juga baiknya kita berhati-hati."
Dengan demikian, maka orang bertubuh kecil itu
berusaha untuk meyakinkan, bahwa penjagaan yang kuat di
Gedung Perbendaharaan adalah penjagaan dalam keadaan
wajar. Apalagi setelah pusaka itu ditempatkan di dalam peti
yang menurut pengertian orang bertubuh kecil itu, dianggap
bahwa Pangeran Singa Narpada percaya bahwa cahaya teja
dari benda yang paling berharga itu telah diserap oleh peti
dan lapisannya. Dari beberapa orang pelayan dalam yang tidak
menyadari dengan siapa ia berbicara, dan dengan beberapa
keping uang, maka orang bertubuh kecil itu mendapat
keterangan tentang Gedung Perbendaharaan.
"Yang bertugas setiap malam hanyalah para prajurit.
Para Pelayan Dalampun kadang-kadang harus juga bertugas
malam. Tetapi sekedar untuk melayani kebutuhan para
petugas di Gedung Perbendaharaan yang jarang sekali
terjadi melakukan sesuatu di malam hari," berkata seorang
Pelayan Dalam kepada orang bertongkat yang bertubuh
kecil itu. "Bagaimana dengan Pangeran Singa Narpada?"
bertanya orang bertubuh kecil itu.
"Jarang sekali Pangeran Singa Narpada mengunjungi
Gedung perbendaharaan itu. Pangeran itu agaknya terlalu
percaya kepada para prajurit yang sudah berlipat dua dari
para prajurit yang bertugas mengawal Gedung
Perbendaharaan itu sebelumnya," jawab Pelayan Dalam
itu. Orang bertubuh kecil itu mengangguk-angguk. "Jumlah
yang berlipat limapuluh tidak merupakan hambatan bagi
paman. Tetapi meskipun hanya seorang tetapi memiliki
kemampuan untuk melawan sirep, maka barulah
persoalannya harus dipecahkan," berkata orang bertubuh
kecil itu di dalam hatinya.
Keterangan itulah yang disampaikannnya kepada
pamannya. Yang kemudian berkata, "Baiklah. Jika
demikian, aku akan mengambilnya. Aku akan membuat
semua orang tertidur dan mengambil barang itu
sebagaimana aku mengambil di rumahku sendiri."
"Tetapi hati-hatilah paman," berkata orang bertubuh
kecil itu, "Benda itu adalah benda yang sangat keramat.
Karena itu, maka aku mohon paman agak mengenakan
sedikit subasita. Mungkin paman harus menyembah benda
yang akan paman ambil itu."
"Aku harus menyembah?" mata Kebo Sarik terbelalak.
"Menurut pendengaranku, benda itu memiliki kekuatan
diluar kewajaran," jawab orang bertubuh kecil itu.
"Omong kosong," jawab Kebo Sarik, "yang penting bagi
kalian adalah, bahwa benda itu aku bawa kepada kalian
bersama petinya." "Baik paman," jawab orang bertubuh kecil itu.
"Jangan hiraukan apa yang aku lakukan," jawab Kebo
Sarik, "sementara adalah persoalanku. Dan aku akan
mengatasinya." "Baiklah paman," jawab orang bertubuh kecil itu, "kami
akan menunggu paman diluar. Kami akan membantu
paman agar paman dengan cepat meninggalkan istana dan
tidak tersesat, karena jalan di Kediri yang bersimpang siur."
"Kalian curiga bahwa aku akan membawa benda itu
lari?" bertanya Kebo Sarik.
"Tidak paman, sama sekali tidak," jawab orang
bertubuh kecil itu, "aku tahu paman sangat baik terhadap
kami. Apalagi terhadap guru yang merupakan saudara
seperguruan paman itu. Karena itu, paman tidak akan
sampai hati melarikan benda itu."
"Terima kasih," jawab Kebo Sarik, "mudah-mudahan
aku dapat menahan diri."
Orang bertubuh kecil itu termangu-mangu sejenak.
Namun ia pun kemudian tersenyum sambil berkata, "Sekali
lagi kami nyatakan, bahwa kami percaya kepada paman."
Kebo Sarik tidak menjawab lagi. Tetapi katanya, "besok
malam aku akan memasuki Gedung Perbendaharaan itu."
Ke empat orang bertongkat itu mengangguk-angguk.
Namun rasa-rasanya jatung mereka menjadi tegang.
Meskipun sudah menjadi rencana mereka, tetapi ketika
Kebo Sarik mengatakan bahwa ia benar-benar akan
memasuki Gedung Perbendaharaan itu, rasa-rasanya
mereka akan memasuki satu arena yang sangat gawat
karena bagaimanapun juga mereka menyadari, bahwa di
Kediri ada orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Yang paling mereka cemaskan adalah kemungkinan
Pangeran Singa Narpada dapat mencium rencana mereka
atau menangkap tebaran ilmu sirep itu.
"Aku yakin bahwa paman Kebo Sarik memiliki
kemampuan untuk mengimbangi ilmu Pangeran Singa
Narpada," berkata orang bertubuh kecil itu kepada saudarasaudara
seperguruannya, "tetapi jika kedatangannya
diketahui, maka seluruh kekuatan Kediri akan
melawannya."
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kita percaya bahwa paman Kebo Sarik akan dapat
mengatasinya," jawab saudara seperguruannya, "jika
sesuatu terjadi diluar istana, maka kita akan dapat
membantunya, setidak-tidaknya untuk membawa benda itu
lari." Orang bertubuh kecil itu mengangguk-angguk. Katanya,
"Kita memang harus mempergunakan umpan yang besar
untuk mengambil ikan raksasa."
Saudara seperguruannya mengangguk-angguk pula.
Bahkan orang bertubuh kecil itu berkata didalam hatinya,
"Jika umpan itu tertelan sekalipun, asal ikannya dapat kita
tangkap, maka kita harus merelakannya."
Demikianlah, maka keempat orang bertongkat itu
menunggu dalam ketegangan sampai hari berikutnya.
Namun Kebo Sarik sendiri justru tidak menghiraukannya.
Ia makan apa saja yang ingin ia makan sebagaimana
kebiasaannya. Ia tidur hampir sehari suntuk disela-sela
waktu makannya. Namun ketika senja mulai membayang, maka Kebo
Sarik mulai mempersiapkan diri. Ia mandi di sungai untuk
waktu yang cukup lama berendam didalam air. Demikian ia
naik ke darat, maka mulutnya tidak boleh lagi dilalui
makanan dan minuman apapun juga. Untuk beberapa saat
ia berdiri diatas batu memandang arah matahari terbenam
dengan tangan bersilang di dada dan wajah tengadah.
Kemudian, Kebo Sarik itu pun duduk di sebuah batu
yang besar ditempat yang terasing dari kunjungan seseorang
sambil memusatkan nalar budinya. Ia berpesan kepada
orang-orang bertongkat, bahwa sebelum tengah malam, ia
jangan diusik dari samadinya.
Karena itu, maka keempat orang bertongkat itu justru
telah berjaga-jaga di dekat tempat Kebo Sarik bersamadi.
Mereka menunggu sampai bintang Gubug Penceng berada
diatas puncak langit, sehingga dengan demikian mereka
tahu, bahwa hari telah tengah malam.
"Kita bangunkan paman Kebo Sarik," berkata orang
bertubuh kecil itu, "waktunya telah menjadi terlalu sempit."
"Masih separo malam. Paman tentu sudah
memperhatikan," jawab saudara seperguruannya.
Namun demikian mereka pun segera mendekati Kebo
Sarik yang sedang bersamadi. Dengan sangat hati-hati maka
orang bertubuh kecil itu menyebut namanya.
"Paman, paman Kebo Sarik. Hari telah sampai tengah
malam." Perlahan-lahan Kebo Sarik membuka matanya.
Kemudian dipandanginya lingkaran kegelapan disekitarnya.
Namun ketajaman matanya telah melihat keadaan
disekelilingnya dengan jelas. Demikian pula keempat orang
bertongkat itu. Kebo Sarik kemudian mengangkat wajahnya melihat
bintang-bintang di langit. Maka ia pun kemudian berdesis.
"Terima kasih. Kalian memenuhi permintaannya
membiarkan aku duduk disini sampai tengah malam."
Kebo Sarik kemudian bangkit sambil berkata, "Marilah.
Kita pergunakan yang tengah malam ini dengan sebaikbaiknya."
Demikianlah keempat orang itu pun telah meninggalkan
sungai itu dan menuju ke istana Kediri, bersama pamannya.
Dengan sangat berhati-hati maka kelima orang itu pun telah
mendekati istana. Seperti yang diperhitungkan oleh Mahisa
Agni dan Witantra, maka mereka telah memilih jalan
sebagaimana yang diduga, yang paling mudah untuk dilalui
memasuki halaman istana dan langsung menuju ke Gedung
perbendaharaan. Mahisa Agni dan Mahisa Murtilah yang sedang bertugas
mengatasi jalan itu. Dengan jantung yang berdebar-debar
mereka telah melihat ke empat orang bertongkat itu
mendekati. Kemudian seorang yang bertubuh gemuk
memberikan pesan-pesannya sebelum orang itu meloncat
masuk. "Luar biasa," desis Mahisa Agni.
Cara Kebo Sarik meloncat dan masuk ke halaman,
benar-benar telah mendebarkan jantung.
"Beritahu pamanmu Witantra," berkata Mahisa Agni,
"aku mengawasi mereka di sini. Cepat, kalian harus sudah
berada di sini sebelum orang-orang itu pergi."
Mahisa Murti pun kemudian telah meniggalkan Mahisa
Agni yang mengawasi kelima orang yang telah berusaha
untuk mendapatkan benda yang paling berharga di Kediri
itu. Bahkan seorang diantaranya telah memasuki halaman
istana. Namun beberapa puluh langkah kemudian Mahisa Murti
terkejut ketika tiba-tiba sesosok tubuh telah meloncat
menghentikan langkahnya. Mahisa Murti bersingsut setapak surut. Dengan
tangkasnya ia pun segera bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Namun Mahisa Murti itu pun menarik nafas dalamdalam.
Dengan wajah yang masih tegang ia berdesis,
"Pangeran Singa Narpada."
"Ya," jawab orang yang telah menghentikan langkahnya
itu. "Apakah ada yang penting Pangeran, bahwa Pangeran
telah menghentikan langkahku?" bertanya Mahisa Murti.
"Aku ingin bertemu dengan orang yang datang
bersamamu. Siapakah orang itu?" bertanya Pangeran Singa
Narpada. Mahisa Murti termangu-mangu. Namun kemudian
katanya, "Silahkan menemuinya. Aku mendapat perintah
untuk melakukan sesuatu."
"Antar aku kepadanya agar tidak terjadi salah paham,"
berkata Pangeran Singa Narpada.
"Aku harus melakukan perintahnya segera," jawab
Mahisa Murti. "Aku hanya memerlukan waktu sejenak. Aku akan
mengatakan kepadanya, bahwa aku memerlukan
bantuanmu dan bantuan orang yang datang bersamamu
itu," berkata Pangeran Singa Narpada.
Mahisa Murti termangu-mangu. Namun kemudian
katanya, "Marilah Pangeran. Tetapi jika terjadi kelambatan,
maka itu adalah tanggung jawab Pangeran."
"Ya. Aku bertanggung jawab," jawab Pangeran Singa
Narpada. Mahisa Murti pun kemudian telah membawa Pangeran
Singa, Narpada kembali. Ia menganggap bahwa Pangeran
Singa Narpada adalah orang yang paling berkepentingan
dengan benda yang dianggap sangat berharga itu.
Ketika Mahisa Murti datang kembali dengan seseorang,
Mahisa Agni pun terkejut. Ia pun segera bersiap pula untuk
menghadapi segala kemungkinan.
Namun Mahisa Murti dan Pangeran Singa Narpada pun
dengan tergesa-gesa telah menempatkan diri untuk
menghadapi agar orang-orang yang sedang mereka aman
tak dapat mengetahui kehadiran mereka.
"Kenapa kau kembali Mahisa Murti?" bertanya Mahisa
Agni. Mahisa Murti memang tidak ingin terjadi salah paham.
Karena itu maka dengan segera Mahisa Murti menjelaskan.
"Aku datang bersama Pangeran Singa Narpada."
"Pangeran Singa Narpada," ulang Mahisa Agni.
"Ya paman," jawab Mahisa Murti.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara
datar Mahisa Agni berkata, "Selamat bertemu kembali
Pangeran." Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian ia berdesis, "Kakang Mahisa Agni dari
Singasari?" Mahisa Agni termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia menjawab, "Ya Pangeran. Inilah aku."
"O," Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk.
Katanya kemudian, "Aku tidak menyangka bahwa kau
telah memberikan perhatianmu untuk hal-hal yang tidak
berarti seperti ini."
"Jangan memperkecil arti benda-benda yang paling
berharga di Kediri, sehingga kau tidak akan bersusah payah
mencarinya jika benar benda itu tidak berarti."
"Maksudku bagi Singasari," jawab Pangeran Singa
Narpada. "Tetapi sudahlah. Biarlah Mahisa Murti menemui
pamannya dan membawanya kemari. Ia tidak boleh
terlambat," berkata Mahisa Agni.
"Siapakah yang akan dipanggil?" bertanya Pangeran
Singa Narpada. "Orang-orang tua telah berkumpul di sini untuk melihat
sesuatu yang mungkin sangat berharga bagi sisa-sisa
usianya," jawab Mahisa Agni.
"Siapa?" bertanya Pangeran Singa Narpada.
"Witantra," jawab Mahisa Agni.
"Kakang Witantra juga berada disini?" bertanya
Pangeran Singa Narpada, "tetapi dimana kalian tinggal?"
"Kita jangan terlalu banyak kehilangan waktu," jawab
Mahisa Agni, "biarlah Mahisa Murti pergi."
"Baiklah," jawab Pangeran Singa Narpada, "panggil
kakang Witantra. Aku juga ingin bertemu dengannya."
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak, namun
kemudian ia pun segera beringsut dan pergi meninggalkan
tempat itu. "Apa yang akan kau lakukan bersama kakang
Witantra?" bertanya Pangeran Singa Narpada.
"Aku mendengar bahwa Mahkota Kediri pernah hilang.
Itulah sebabnya, bahwa ketika seseorang memasuki
halaman istana maka aku segera tertarik kepada peristiwa
itu?" jawab Mahisa Agni.
"Tentu sesuatu yang benar-benar akan dilakukan,"
berkata Pangeran Singa Narpada didalam hatinya, "bukan
waktunya untuk bergurau."
Namun dalam pada itu, maka Pangeran Singa Narpada
berkata, "Kakang Mahisa Agni. Aku minta kakang tidak
berbuat apa-apa. Juga kakang Witantra," berkata Pangeran
Singa Narpada selanjutnya.
"Kenapa?" bertanya Mahisa Agni, "seseorang telah siap
untuk mengambil benda yang paling berharga dari Kediri,
dan kini kau minta kepadaku untuk tidak berbuat apa-apa?"
"Ya," jawab Pangeran Singa Narpada, "biarlah orang
itu mengambil Mahkota yang dianggap dapat menjadi
tempat bersemayam Wahyu Keraton."
Mahisa Agni menjadi heran. Dengan nada ragu ia
bertanya, "Kau aneh Pangeran. Kenapa begitu?"
Pangeran Singa Narpada tersenyum. Katanya,
"Sebaiknya kau tidak usah melibatkan dirimu terlalu jauh
dalam hal ini. Karena itu, maka cobalah melupakan apa
yang kau lihat." "Aku tidak mengerti Pangeran," desis Mahisa Agni.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Namun kemudian katanya, "Terima kasih atas
perhatianmu. Tetapi kami minta, biarkan saja orang-orang
itu melakukan apa saja yang diinginkannya."
Mahisa Agni masih saja merasa heran. Namun
kemudian katanya, "Jika demikian, baiklah. Yang
menghendaki adalah Pangeran Singa Narpada, sehingga
aku tidak mempunyai wewenang untuk berbuat lain."
Pangeran Singa Narpada memandang Mahisa Agni
dengan tajamnya. Namun kemudian ia berdesis, "Aku
minta maaf." Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi diperhitungkannya
keempat orang bertongkat yang juga berusaha untuk berada
didalam tempat yang terlindung. Namun karena Mahisa
Agni dan Pangeran Singa Narpada tengah mengawasi
mereka, maka keempat orang itu tidak terlepas dari
penglihatan mereka. Dalam pada itu, maka sejenak kemudian dengan sangat
berhati-hati, Witantra, Mahisa Pukat dan Mahendra pun
telah datang pula bersama Mahisa Murti. Sebagaimana
Mahisa Agni, maka Witantra pun sudah mengenal pula
Pangeran Singa Narpada. Hanya Mahendra lah yang
kemudian diperkenalkan kepada Pangeran itu.
Sementara itu, maka Mahisa Agni lah yang kemudian
menjelaskan, "Pangeran Singa Narpada tidak menghendaki
kita berbuat sesuatu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah yang paling terkejut
mendengarnya. Karena itu, maka Mahisa Murtilah telah
bertanya, "Kenapa?"
"Tidak ada penjelasan," jawab Mahisa Agni.
Mahisa Murti memandang Pangeran Singa Narpada
dengan tajamnya. Dengan nada dalam ia pun bertanya,
"Apakah benar Pangeran menghendaki demikian?"
"Ya," jawab Pangeran Singa Narpada.
"Kenapa Pangeran?" bertanya Mahisa Murti,
"Bukankah dengan susah payah selama ini kita berusaha
untuk menemukan kembali benda berharga itu."
"Ya. Sudah aku katakan, bahwa aku mengucapkan
terima kasih yang tidak terhingga atas bantuan Mahisa
Bungalan dan kalian berdua," berkata Pangeran Singa
Narpada, "namun biarlah kali ini, aku memohon, agar
kalian tidak berbuat sesuatu."
Mahisa Murti masih menjawab. Tetapi tiba-tiba saja
mereka merasa sesuatu yang terasa bukannya dalam
kewajaran. Udara terasa semakin sejuk dan rasa-rasanya
mereka bagaikan dibelai oleh kantuk yang mulai
menyentuh perasaan. "Sebagaimana dilakukan oleh orang yang terdahulu,"
berkata Mahisa Agni, "menurut pendengaranku, orang
yang melakukannya terdahulu mempergunakan ilmu sirep
pula seperti ini." "Ya. Mereka mempergunakan ilmu sirep," jawab
Pangeran Singa Narpada. Mahisa Pukat dan Mahisa Murti adalah diantara mereka
yang paling gelisah. Tetapi sementara itu Mahisa Agni
berkata, "Pangeran. Biarlah kami tidak berbuat apa-apa.
Tetapi apakah kami boleh menyaksikan, apa yang akan
terjadi kemudian" Mungkin Pangeran telah memasang
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pasukan yang sangat kuat, yang lepas dari pengamatan
orang-orang itu, atau jebakan lain yang mungkin tidak lagi
memerlukan kita semuanya."
"Marilah kita lihat," berkata Pangeran Singa Narpada,
"aku tidak berkeberatan."
Mahisa Agni pun tidak bertanya lagi. Mereka berenampun
kemudian memperhatikan orang-orang yang sedang
berjaga-jaga di luar pada saat seorang di antara mereka
berada di dalam. Ternyata ilmu sirep Kebo Sarik memang terlalu kuat.
Ketika ia sudah berada di dalam dinding istana, maka ilmu
sirepnya pun mulai menebar. Para petugas tidak seorang
pun yang mampu melepaskan diri dari cengkaman ilmu
sirep itu, sehingga dengan demikian maka para petugas itu
pun seorang demi seorang telah tertidur nyenyak.
Kebo Sarik pun kemudian sesuai dengan petunjuk orangorang
bertongkat itu, telah menemukan pintu Gedung
Perbendaharaan. Dengan hati-hati ia mengangkat selarak
dan meletakkan disamping dua orang penjaga yang tertidur
dengan nyenyaknya, sementara tombaknya masih tersandar
pada dinding. Perlahan-lahan Kebo Sarik membuka pintu Gedung
Perbendaharaan itu. Ketika ia melihat isinya, maka
jantungnya menyadi berdebar-debar. Kebo Sarik itu melihat
sebuah peti yang berwarna putih berkilat-kilat.
"Tentu peti itu," berkata Kebo Sarik didalam hatinya.
Dengan tanpa ragu-ragu Kebo Sarik telah melangkah
memasuki Gedung Perbendaharaan itu. Namun tiba-tiba
terasa tubuhnya bagaikan diguncang oleh angin prahara.
Dengan kekuatan yang tidak terlawan Kebo Sarik telah
terdorong keluar. "Gila," geram Kebo Sarik, "siapakah yang bermain
hantu-hantuan di sini he?"
Tidak ada jawaban. Semua orang yang bertugas telah
tertidur nyenyak. Sekali lagi Kebo Sarik mencobanya. Namun sekali lagi ia
terdesak keluar. Tiba-tiba saja Kebo Sarik itu teringat akan pesan salah
seorang murid kakak seperguruannya. Betapapun segannya,
namun Kebo Sarik itu pun kemudian telah berjongkok dan
kemudian menyembah tiga kali ke arah pintu yang sudah
terbuka itu. Ketika ia melangkah masuk, maka ternyata ia tidak lagi
mengalami goncangan dan terdorong keluar. Tidak ada
kekuatan apapun yang telah mengganggunya, sehingga
dengan langkah yang tetap ia memasuki Gedung
Perbendaharaan itu. Sejenak, Kebo Sarik itu berdiri termangu-mangu
dihadapan peti yang berwarna putih berkilat-kilat itu.
Dengan dada tengadah Kebo Sarik memperhatikan peti
itu. Lalu dengan suara berat ia bergumam, "Inilah Kebo
Sarik. Semua yang dilakukan akan dapat diselesaikan
dengan sempurna." Tanpa berjongkok dan menyembah lagi, maka Kebo
Sarik itu pun telah meraih peti perak itu dan dengan bangga
telah membawanya keluar dari Gedung Perbendaharaan.
Para penjaga masih juga tertidur dengan nyenyaknya.
Ilmu Sirep Kebo Sarik ternyata lebih baik dari ilmu Sirep Ki
Ajar Bomantara, sehingga karena itu, prajurit yang
jumlahnya berlipat itu pun tidak ada yang mampu bertahan
atas kekuatan sirep itu. Sementara itu, Pangeran Singa Narpada bersama kelima
orang dari Singasari itu pun masih mengawasi orang-orang
bertongkat di luar dinding. Beberapa lama mereka
menunggu. Namun sejenak kemudian jantung mereka
menjadi berdebar-debar. Mereka melihat seseorang
meloncat keluar dari lingkungan dinding istana.
"Itulah," desis Mahisa Pukat.
"Ya," sahut Mahisa Murti, "dan kita berdiam diri tanpa
berbuat sesuatu." "Sudahlah," berkata Pangeran Singa Narpada, "sekali
lagi aku minta. Lupakan peti perak itu."
Tetapi tiba-tiba saja Mahisa Pukat berdesis, "Pangeran.
Apakah justru Pangeran yang telah mengatur semuanya ini"
Dan pada saat terakhir Pangeran sendiri menghendaki
mahkota itu bagi Pangeran?"
"Mahisa Pukat," hampir berbareng Mahisa Agni,
Witantra dan Mahendra memotong.
Tetapi Mahisa Pukat berkata selanjutnya, "Jika bukan
demikian apakah artinya, bahwa Pangeran Singa Narpada
sama sekali tidak mengambil langkah-langkah tertentu
untuk mencegahnya" "
Pangeran Singa Narpada memandang Mahisa Pukat
dengan tajamnya. Namun kemudian ia menarik nafas
dalam-dalam sambil berkata, "Ternyata kau masih terlalu
muda untuk mengetahui."
Mahisa Pukat termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja
Mahisa Agni menggamit Witantra sambil bertanya, "Kau
lihat cahaya itu?" "Ya," jawab Witantra yang kemudian berkata kepada
Mahendra, "kau juga melihat?"
"Apa yang kau maksud" Cahaya yang memancar dari
pusaka yang paling berharga di Kediri?" bertanya
Mahendra. "Ya," jawab Witantra.
Mahendra termangu-mangu. Namun kemudian katanya,
"beri aku kesempatan sebentar."
Witantra dan Mahisa Agni tidak bertanya lebih lanjut.
Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi
bingung. Mereka tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh
orang-orang tua itu. Namun kemudian Witantra itu pun berkata, "Ya. Aku
mulai melihatnya meskipun tidak jelas."
"Dimana?" bertanya Mahisa Agni.
"Didalam lingkungan istana," jawab Mahendra.
"Tepat," jawab Witantra, "Dan kau tidak melihat
sesuatu dari peti itu?"
"Tidak," jawab Witantra.
"Nah, sekarang jawablah Pangeran. Apakah Pangeran
telah menjebak orang-orang itu?" bertanya Mahisa Agni.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian katanya, "Ya. Aku telah menjebak mereka. Peti
itu tidak berisi mahkota sebagaimana mereka bayangkan.
Tetapi yang ada didalamnya adalah benda lain yang tidak
berarti sama sekali."
"O," Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian katanya, "Aku mohon maaf Pangeran."
Pangeran Singa Narpada tersenyum. Namun sebelum ia
menjawab, maka terdengar suara tertawa nyaring.
Suara tertawa itu begitu mencengkam sehingga orangorang
yang sedang memperhatikan orang-orang bertongkat
itu pun tergetar karenanya.
Dalam pada itu, maka terdengar orang yang tertawa itu
berkata, "Ternyata kalian tidak lebih dari anak-anak yang
dungu. He, kau Kerbau buntung. Kau kira kau telah
berhasil?" "Guru," berkata salah seorang dari orang-orang
bertongkat itu, "paman telah salah mengambil benda yang
kita inginkan." "Tidak," jawab Kebo Sarik, "bukankah yang kau
maksud adalah peti perak ini?"
"Kalian semua memang dungu. Kau juga," berkata
orang yang baru saja datang itu kepada orang bertubuh
kecil, "kau tahu pamanmu tidak tahu menahu tentang
cahaya teja yang memancar dari benda itu. Ia pun tidak
tahu, bahwa peti ini kosong atau mungkin hanya berisi
sepotong kayu lapuk atau apa."
"Gila," geram Kebo Sarik, "jadi orang-orang Kediri
telah mengelabui aku?"
"Dan kau memang merupakan sasaran yang
menyenangkan untuk melakukan permainan seperti ini,"
jawab orang yang baru datang itu.
"Aku akan kembali ke Gedung Perbendaharaan itu. Aku
akan membakarnya. Bahkan seisi istana ini akan aku bakar
sampai menjadi abu," geram Kebo Sarik.
"Kau akan menjadi semakin dungu," berkata orang
yang baru datang itu, yang ternyata adalah guru orangorang
bertongkat itu, "kau tidak akan dapat melakukan
apapun juga." "Kenapa?" bertanya Kebo Sarik.
"Guru. Aku akan memasuki Gedung Perbendaharaan
itu bersama paman Kebo Sarik. Aku tahu, dimana pusaka
itu disembunyikan. Aku akan mencari dan
menemukannya," berkata orang bertubuh kecil itu.
"Tidak mungkin," jawab gurunya, "kita tidak hanya
berenam disini." "Maksud guru?" bertanya orang bertubuh kecil.
"Kita mempunyai kawan. Karena itu, maka kita tidak
akan mungkin berbuat sesuatu tanpa diketahui oleh orangorang
Kediri," jawab orang itu.
Murid-muridnya serta Kebo Sarik termangu-mangu
sejenak. Sementara itu orang yang baru datang itu berkata
selanjutnya, "Kalian memang dungu. Kalian sama sekali
tidak tahu, bahwa apa yang kalian lakukan itu selalu diikuti
oleh orang-orang Kediri. Lihat kesana."
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Ternyata orang itu telah menunjuk ke tempat Pangeran
Singa Narpada dan orang-orang Singasari itu mengamati
orang-orang yang telah mengambil peti perak itu.
Sementara itu orang-orang bertongkat serta orang yang
telah memasuki Gedung Perbendaharaan dan mengambil
peti perak itu memandang ke arah yang ditunjuk oleh guru
mereka. Namun mereka tidak segera melihat sesuatu,
karena Pangeran Singa Narpada dan kawan-kawannya
berlindung di balik batang-batang perdu.
Namun gurunya itu pun kemudian berkata, "Marilah.
Kita dekati mereka."
Orang itu tidak menunggu lebih lama. Ia pun kemudian
berjalan di paling depan diikuti oleh adik seperguruannya
dan murid-muridnya. "Luar biasa," desis Pangeran Singa Narpada, "orang itu
mengetahui bahwa kita berada di sini."
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, "Ternyata
bukan kita yang berusaha menangkap mereka. Tetapi
akhirnya merekalah yang akan menangkap kita."
"Satu permainan yang mengasyikkan," sahut
Mahendra, "untunglah aku menyusul kalian sehingga aku
dapat ikut serta dalam permainan seperti ini."
"Ah, kau," sahut Witantra, "Kau masih lebih muda dari
aku. Agaknya masih ada sisa-sisa kemudaanmu. Tetapi
agaknya anak-anak mudalah yang menjadi paling gembira
menghadapi keadaan seperti ini."
"Ya," desis Pangeran Singa Narpada, "kemampuan kita
akan benar-benar diuji oleh orang-orang yang memiliki
kemampuan yang sangat tinggi. Tetapi aku kira ada juga
baiknya untuk sekali-sekali membenturkan ilmu pada
kemampuan yang pilih tanding. Tanpa diasah maka pisau
tidak akan menjadi tajam."
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Namun
sebenarnyalah ia mengagumi ketajaman perasaan orang
yang datang terakhir itu.
Dengan demikian maka yang dapat dilakukan oleh
Pangeran Singa Narpada dan kawan-kawannya adalah
sekedar menunggu. Namun mereka merasa tidak ada
gunanya lagi berlindung dibalik pohon-pohon perdu
sehingga mereka pun telah bergeser dan berdiri ditempat
terbuka. "Selamat malam Ki Sanak," sapa orang yang datang
terakhir itu. Pangeran Singa Narpada lah yang menjawab, "Selamat
Ki Sanak. Kedatangan kalian memang menarik perhatian."
Orang yang bertubuh kecil dan bertongkat itu terkejut
ketika dilihatnya Pangeran Singa Narpada sedang
mengamatinya. Namun kemudian orang itu pun tersenyum
sambil berkata, "Selamat bertemu kembali Pangeran."
"O, kau Ki Ajar Wantingan," desis Pangeran Singa
Narpada, "terima kasih atas segala petunjuk yang telah kau
berikan." "Ah jangan begitu Pangeran," jawab orang bertubuh
kecil itu yang menyebut dirinya Ki Ajar Wantingan,
"ternyata bahwa Pangeran tidak dengan sungguh-sungguh
memenuhinya, sehingga kami terpaksa datang untuk
melihatnya." "Apakah aku tidak dengan sungguh-sungguh memenuhi
pesan-pesanmu" Aku sudah dengan susah payah mencari
seekor kerbau bertanduk dungkul dan berkulit bule," jawab
Pangeran Singa Narpada, "betapapun sulitnya. Akhirnya
aku telah mendapatkannya. Sementara itu, aku pun telah
membuat sebuah peti dari perak dan melapisnya dengan
kulit kerbau sebagaimana kau maksudkan."
"Terima kasih Pangeran. Tetapi ternyata bahwa hal itu
tidak Pangeran lakukan," jawab orang bertubuh kecil itu.
"Mungkin Pangeran benar-benar membuat peti dengan
lapisan kulit itu.Tetapi mahkota itu tidak Pangeran
masukkan kedalamnya. Hal itu kami ketahui karena cahaya
yang memancar dari Gedung Perbendaharaan itu. Jika
Pangeran melakukannya sebagaimana aku katakan, maka
cahaya itu tentu sudah lenyap. Karena itulah maka kami
telah terdorong untuk melihat, apakah benar Pangeran telah
melakukan seperti yang aku pesankan."
"Apa yang kalian temukan di dalam peti itu?" bertanya
Pangeran Singa Narpada. Orang bertubuh kecil itu tersenyum. Katanya, "Apapun
yang ada didalamnya bukanlah yang kami maksudkan."
"Baiklah aku berterus terang Ki Sanak," berkata
Pangeran Singa Narpada, "aku memang sudah mencoba
memasukkan benda yang paling berharga itu kedalam peti
perak yang kau anjurkan itu. Tetapi ternyata peti perak
dengan lapisannya sama sekali tidak menyerap cahaya
sebagaimana kau katakan. Ketika mahkota itu aku
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masukkan kedalamnya, maka cahaya itu masih juga
memancar sebagaimana biasanya menembus lapisan perak
dan kulit kerbau yang sulit dicari itu. Sejak itulah aku
mempunyai dugaan yang lain dari petunjukmu. Aku mulai
curiga, bahwa aku telah terjebak oleh sikap dan, katakatamu
yang nampak bersungguh-sungguh itu."
"Jadi Pangeran juga dapat melihat cahaya itu?" bertanya
orang bertubuh kecil itu.
"Tidak selalu. Hanya dalam keadaan tertentu,
sebagaimana orang lain yang menghendakinya," jawab
Pangeran Singa Narpada. Orang bertubuh kecil itu mengangguk-angguk. Lalu
katanya kepada gurunya, "Guru, agaknya kita memang
tidak mempunyai pilihan lain. Kita akan memasuki Gedung
itu lagi dan memilih sendiri di antara isinya."
Gurunya tersenyum. Dipandanginya Pangeran Singa
Narpada sambil berkata, "Baiklah. Aku sependapat untuk
kembali memasuki gedung itu dan memilih isinya. Tetapi
sebagai seorang yang mengenal unggah-ungguh, maka aku
akan minta ijin dahulu kepada Pangeran ini, yang
barangkali termasuk salah seorang di antara para pemimpin
Kediri yang ikut mempunyai wewenang atas gedung itu."
"O," orang bertubuh kecil itu mengangguk-angguk.
Katanya, "Agaknya aku melupakannya guru. Mungkin aku
terlalu bernafsu untuk segera memiliki benda yang sangat
berharga itu." "Nah Pangeran," berkata gurunya, "Pangeran sudah
mendengar keinginan kami. Karena itu, kami mohon agar
Pangeran tidak berkeberatan bahwa kami akan mengambil
benda yang kami ingini. Kami akan berterima kasih jika
Pangeran justru bersedia untuk membantu kami sehingga
usaha kami akan cepat kami selesaikan."
"O. Tentu dengan senang hati Ki Sanak," jawab
Pangeran Singa Narpada, "aku akan dengan senang hati
menunjukkan benda yang kalian inginkan. Tetapi sudah
tentu, aku minta upah atas hasil jerih payahku. Agaknya
mahkota itu memang bukan milikku. Jika aku menjualnya
sekarang, maka aku tidak akan kehilangan."
Guru dan orang-orang bertongkat itu mengerutkan
keningnya. Mereka justru menjadi heran mendengar
jawaban itu. Bahkan dengan ragu-ragu guru itu bertanya,
"Apakah yang Pangeran inginkan sebagai upah menurut
istilah Pangeran sendiri."
Pangeran Singa Narpada termenung sejenak. Sementara
itu orang-orang Singasari yang ada ditempat itu pun
menjadi termangu-mangu. Pangeran Singa Narpada sendiri kemudian tersenyum
sambil menjawab, "Ki Sanak. Aku minta upah yang
memadai. Karena benda itu nilainya tidak terhingga, maka
upah yang aku minta adalah kepala kalian."
"Gila," Kebo Sarik berteriak.
Tetapi guru orang-orang bertongkat itu justru tertawa.
Katanya, "Kau memang dungu Kerbau Gila. Aku sudah
menduga, bahwa Pangeran yang suka berkelakar ini akan
sampai kepada permintaan yang demikian. Selain Pangeran
ini tentu tidak akan terpikir olehnya untuk benar-benar
membuat peti dan mengisinya dengan benda lain serta
menempatkannya di tempat yang terhormat. Dalam
kesibukan yang mendesak, Pangeran Singa Narpada masih
sempat meluangkan waktunya untuk bermain-main dengan
kita. Karena itu, kita jangan lekas marah. Kita harus
menghadapi sikap Pangeran Singa Narpada dengan
caranya." Kebo Sarik itu menggeram. Katanya, "Aku tidak telaten.
Jika kita harus bertempur, marilah kita lakukan sekarang."
"Ya. Sebentar lagi. Kecuali jika Pangeran Singa
Narpada menginginkan waktu yang lain di tempat yang lain
pula," jawab guru orang-orang bertongkat itu.
Kebo Sarik benar-benar tidak telaten dengan sikap
saudara seperguruannya. Tetapi ia tidak berbuat apa-apa
kecuali menggeram. Namun dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada
menjawab, "Ki Sanak, biarlah pekerjaan kita lekas selesai.
Marilah, berikan upah itu sekarang. Baru kalian dapat
mengambil benda berharga itu."
"Baiklah Pangeran," berkata guru orang-orang
bertongkat itu, "kita akan mempertahankan kepala kita
masing-masing. Mahkota itu letaknya memang di kepala.
Jika kepalaku harus aku berikan kepada Pangeran, dimana
aku akan memakai mahkota itu?"
Pangeran Singa Narpada dan orang-orang tua dari
Singasari itu sempat tersenyum. Namun Kebo Sarik justru
berteriak, "Jangan bergurau lagi. Aku sudah menjadi jemu.
Ayo, siapa yang akan menjadi lawanku."
"Kenapa kau begitu tergesa-gesa?" bertanya Pangeran
Singa Narpada, "menurut pengamatanku, kaulah yang
telah menyebarkan ilmu sirep yang sangat tajam. Dengan
demikian, maka agaknya kau juga memiliki ilmu yang lain
yang cukup tinggi. Karena itu, maka biarlah salah seorang
dari orang-orang tua yang ada disini melawanmu. Karena
aku yang bertanggung jawab atas pusaka itu, maka akulah
yang akan berhadapan dengan orang yang agaknya tertua di
antara kalian." "Ya," jawab guru orang-orang bertongkat itu, "aku
adalah saudara seperguruan orang yang bernama Kebo
Sarik ini. Aku adalah guru dari orang-orang yang membawa
kayu bakar yang barangkali perlu jika mereka kedinginan."
"Nah, apakah kau memilih lawan yang lain" Mungkin
aku bukan orang terbaik didalam kelompokku. Tetapi
sekedar karena kewajibanku maka aku menempatkan diri
sebagai lawanmu," berkata Pangeran Singa Narpada pula.
"Bagus," jawab orang itu, "agaknya memang satu
kehormatan bahwa aku akan bertempur melawan seorang
Pangeran yang berilmu tinggi."
"Siapa bilang aku berilmu tinggi?" bertanya Pangeran
Singa Narpada. Tetapi Kebo Sarik lah yang menjawab, "Yang mana
lawanku. Aku akan segera menyelesaikannya dan kembali
memasuki Gedung Perbendaharaan."
Diantara orang-orang tua dari Singasari ternyata
Mahendra lah yang menjawab, "Baiklah. Aku terima kau
sebagai lawanku. Aku sudah terhitung tua. Tetapi belum
setua saudara-saudaraku ini. Karena itu, agaknya akulah
orang yang paling pantas melawan seseorang yang oleh
saudara seperguruannya disebut Kerbau Gila."
"Jangan ikut-ikutan menyebut aku Kerbau Gila," bentak
Kebo Sarik, "sebentar lagi kau akan mati disini. Mintalah
maaf agar jalan kematianmu menjadi terang."
Mahendra tertawa. Katanya, "Kau memang cepat
marah. Jika aku menyebutmu Kerbau Gila adalah sekedar
menirukan saudara seperguruanmu. Tetapi jika kau tidak
mau, katakan, bagaimana aku harus memanggilmu."
"Cukup," bentak Kebo Sarik, "jangan banyak bicara
lagi. Aku tidak terbiasa berbicara tanpa ujung pangkal. Jika
kau memang siap melawan aku, marilah."
Mahendra tidak menjawab lagi. Ia pun bergeser beberapa
langkah dan siap menghadapi segala kemungkinan.
Ternyata Kebo Sarik memang tidak banyak bicara.
Ketika mereka sudah memisahkan diri, maka tiba-tiba saja
ia telah menyerang dengan garangnya.
Tetapi Mahendra telah memperhitungkannya. Karena
itu, maka dengan tangkas ia pun menghindar. Bahkan
dengan tidak kalah garangnya Mahendra pun telah
menyerang lawannya pula. "Mereka telah mulai," berkata Pangeran Singa Narpada,
"nah, bagaimana dengan yang lain" Sudah aku katakan,
bahwa aku telah memilih lawanku, sehingga selebihnya
akan dihadapi oleh orang-orang tua dan anak-anak muda.
Memang dua angkatan yang jauh. Tetapi meskipun
demikian, mereka akan dapat menyelesaikan tugas mereka
dengan baik." Dalam pada itu, maka orang yang bertubuh kecil itu pun
berkata, "Nah, siapakah yang akan bertempur melawan
aku?" "Kau pernah melawan kedua anak muda itu. Apakah
kau akan mengulanginya" Keduanya masih menyimpan
bahkan telah melengkapi kembali paser-paser kecilnya,"
bertanya Pangeran Singa Narpada.
Orang bertubuh kecil itu mengerutkan keningnya. Lalu
katanya, "Sebenarnya aku ingin menebus kekalahan. Tetapi
sekarang aku tidak sendiri. Karena itu, maka aku tidak
merasa perlu untuk bertempur melawan kedua anak-anak
itu." "Jika demikian kau harus memilih lawan lain. Jika
bukan yang anak-anak, kau dapat memilih yang sudah tuatua,"
berkata Pangeran Singa Narpada.
Orang bertubuh kecil itu termangu-mangu. Menurut
Kembang Lembah Darah 1 Rajawali Emas 08 Gerhana Gunung Siguntang Pernikahan Dengan Mayat 1