Hijaunya Lembah Hijaunya 9
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 9
ketika senjata Mahisa Ura menyentuh lengannya. Tetapi
sejenak kemudian Mahisa Ura lah yang berdesis karena
ujung senjata lawan menyentuhnya pula.
Dengan demikian maka kedua orang yang bertempur
dengan sengitnya itu telah terluka. Tetapi luka-luka itu
sama sekali tidak mereka hiraukan. Luka-luka itu tidak
berpengaruh sama sekali atas kecepatan gerak dan
kegarangan mereka. Karena itulah, maka pertempuran itu masih saja
berlangsung dengan cepat. Benturan-benturan kekuatan
masih terjadi. Senjata mereka yang beradu telah
memercikkan bunga api di udara. Serangan demi serangan
terjadi beruntun balas membalas. Sekali-sekali Mahisa Ura
terdesak selangkah surut. Namun kemudian ia pun telah
memaksa lawannya untuk meloncat menghindari ujung
senjatanya. Pertempuran itu pun semakin lama justru menjadi
semakin seru. Jika kulit mereka mulai dibasahi oleh darah
yang mengalir dari luka, serta hulu senjata mereka telah
basah oleh keringat, maka hal itu justru telah membakar
jantung mereka dan mendidihkan darah mereka.
Karena itulah, maka pertempuran itu pun terus.
Keduanya benar-benar telah mengerahkan kemampuan dan
kekuatan mereka. Segenap ilmu mereka telah mereka
tumpahkan dilandasi dengan segenap kemampuan tenaga
cadangan yang ada di dalam diri mereka.
Dalam pada itu, Mahisa Ura pun telah berkata di dalam
hatinya, "Ternyata yang dikatakan oleh orang ini bukan
sekedar membual. Ia benar-benar memiliki kelebihan dari
saudara kembarnya. Untunglah bahwa aku telah
mengambil alih orang ini dari Mahisa Pukat, sehingga anak
muda itu tidak banyak mengalami kesulitan, karena
lawannya yang kemudian, meskipun berdua, tidak memiliki
bekal ilmu yang cukup."
Demikianlah pertempuran antara Mahisa Ura dan
lawannya itu masih berlangsung terus. Masih belum
nampak tanda-tanda kemenangan di antara mereka, karena
keduanya masih saling mendesak dan bertahan.
Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
masing-masing masih harus bertempur melawan dua orang.
Tetapi sebenarnya mereka sama sekali tidak mengalami
kesulitan. Meskipun demikian mereka tidak dengan serta
merta mengakhiri pertempuran.
Untuk beberapa saat baik Mahisa Murti maupun Mahisa
Pukat telah menyesuaikan dirinya. Seakan-akan mereka
telah berjanji, untuk sementara mereka merasa belum perlu
menunjukkan kemampuan mereka yang sebenarnya, juga di
hadapan Mahisa Ura. Namun demikian kedua orang lawannya tidak juga
mampu menundukkannya. Betapapun juga dua orang
lawan bagi masing-masing itu bertempur dengan segenap
kemampuan mereka, namun anak-anak muda itu rasarasanya
memang sangat liat, sehingga lawan mereka itu
justru kadang-kadang menjadi bingung.
Tetapi yang kemudian tidak telaten adalah Mahisa
Pukat. Apalagi ketika ia mulai melihat Mahisa Ura telah
terluka meskipun lawannya juga terluka.
Namun dengan demikian Mahisa Pukat dapat menilai
bahwa kedua orang yang bertempur itu memiliki ilmu yang
benar-benar seimbang. "Agaknya pada saat Mahisa Ura menangkap saudara
kembar lawannya, ia juga mengalami sedikit kesulitan
meskipun ia akhirnya dapat menyelesaikan tugasnya,"
berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya.
Berbeda dengan Mahisa Pukat, Mahisa Murti tidak
terlalu tergesa-gesa. Meskipun ia juga melihat Mahisa Ura
terluka, tetapi ia pun melihat lawannya terluka.
Dengan demikian maka Mahisa Murti tidak begitu
mencemaskan keadaan Mahisa Ura. Mahisa Murti yakin
bahwa Mahisa Ura tentu memiliki daya penalaran yang
lebih baik dari lawannya. Meskipun keduanya mempunyai
bekal yang sama, tetapi ungkapannya tentu akan lebih baik
pada Mahisa Ura. Sebenarnyalah ketika Mahisa Ura sudah terluka ia pun
menjadi semakin cemas mempergunakan perhitungannya.
Meskipun darahnya menjadi mendidih karenanya, tetapi
ia tejlah mengerahkan bukan saja kemampuan dan ilmunya,
tetapi juga daya penalarannya.
Mahisa Ura telah berusaha untuk mencairi titik-titik
kelemahan pada lawannya. Ia mulai mencari sebab, kenapa
ia pada suatu saat mampu melukai lawannya yang memiliki
kekuatan dan kecepatan gerak mengimbangi
kemampuannya. Dengan berbagai cara dan sekali-sekali mencoba,
akhirnya Mahisa Ura menemukan satu kelemahan pada
lawannya. Pertahanan lawannya pada sisi sebelah kiri
nampaknya agak lemah. Senjatanya yang digenggamnya
dengan tangan kanannya, kadang-kadang terlambat untuk
melindungi tubuhnya dibagian kiri, meskipun lawan
Mahisa Ura kadang-kadang mempergunakan kecepatan
loncatan kakinya untuk menghindar.
Dengan perhitungan itulah, maka Mahisa Ura telah
berusaha untuk menyerang lawannya semakin cepat dan
keras. Sebenarnyalah, bahwa orang yang mendendam karena
saudara kembarnya tertangkap itu sekali-sekali mulai
menjadi bingung oleh serangan-serangan yang semakin
mendesak. Bahkan untuk melepaskan diri kejaran ujung
senjata lawannya, orang itu harus berloncatan beberapa
langkah surut. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah melihat
perubahan keseimbangan itu. Karena itu Mahisa Murti
justru menjadi semakin tenang dalam permainannya. Tetapi
Mahisa Pukat sudah terlanjur menjadi jemu dengan
permainannya, sehingga ia pun telah berniat untuk
mengakhiri. Karena itu, maka meskipun tidak dengan serta merta,
Mahisa Pukat pun telah meningkatkan kemampuan
perlawanannya. Setapak demi setapak. Tetapi dengan pasti
Mahisa Pukat menuju ke arah penyelesaian pertempuran
yang sudah berlangsung beberapa saat lamanya itu.
Mahisa Murti pun melihat apa yang dilakukan oleh
Mahisa Pukat tetapi ia sendiri belum berniat untuk berbuat
demikian. Karena itulah, maka telah terjadi perubahan
keseimbangan pertempuran antara Mahisa Pukat dengan
kedua lawannya. Jika semula Mahisa Pukat hanya sekedar
melayani, maka kemudian Mahisa Pukat mulai membuat
kedua lawannya berkeringat di seluruh tubuhnya. Bukan
hanya karena mereka harus memeras keringat, tetapi juga
karena mereka menjadi gelisah.
Dengan segenap kemampuan dan ilmu yang ada pada
mereka, keduanya telah memberikan perlawanan yang
tertinggi. Namun kemampuan Mahisa Pukat masih
sanggup setingkat lebih tinggi.
Dengan demikian maka kedua orang itu mulai terdesak.
Selangkah demi selangkah mereka terdorong mundur,
meskipun sekali-sekali mereka berdua berhasil mengejutkan
Mahisa Pukat dengan serangan beruntun dan berbareng.
Tetapi dalam keadaan yang demikiaan Mahisa Pukat pun
dengan cepat mampu menguasai keadaan sehingga
keseimbangan pun kembali sebagaimana sebelumnya.
Kedua lawan Mahisa Pukat itu semakin lama menjadi
semakin gelisah. Mereka benar-benar kehilangan akal,
bagaimana caranya untuk mengatasi tekanan anak yang
masih sangat muda itu menurut ukuran mereka.
Kegelisahan kedua orang lawan Mahisa Pukat itu
ternyata telah menjalari perasaan lawan Mahisa Ura. Bukan
karena ia cemas oleh kemampuan lawannya yang
meningkat, tetapi jika kedua orang lawan Mahisa Pukat itu
dapat dikalahkan, akan berarti bahwa ia harus melawan dua
orang yang menurut dugaannya adalah dua orang kakak
beradik, disamping saudaranya yang seorang lagi.
Tetapi juga karena itu maka orang yang mempunyai
saudara kembar itu telah menghentakkan kemampuannya.
Ia harus dapat mengalahkan lawannya itu lebih dahulu
sebelum Mahisa Pukat bebas dari kedua lawannya dalam
keadaan menang, dan membuat kedua lawannya itu cidera
atau bahkan akan dibunuhnya.
Namun orang itu pun tidak dapat mengelak dari
kenyataan bahwa ilmu orang yang menyebut dirinya
Mahisa Ura itu sangat tinggi dan selapis diatas ilmunya.
Apalagi Mahisa Ura dapat memanfaatkan penalarannya
dengan baik dan cermat, sesuai dengan tugasnya sebagai
prajurit sandi. Dalam keadaan yang demikian, maka orang yang
mempunyai saudara kembar itu tidak sempat membuat
perhitungan lain daripada mempergunakan senjata
anehnya. Senjata yang jarang sekali dipergunakan,
meskipun bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bukan lagi
senjata yang aneh, karena mereka pernah mengalaminya.
Namun karena itu, maka justru mereka telah mendapat
penangkalnya sehingga bagi mereka senjata tidak terlalu
merisaukannya. Namun Mahisa Ura benar-benar terkejut ketika ia
melihat lawannya itu meloncat mundur. Kemudian dengan
tangkasnya ia mengambil sebuah bumbung kecil, dengan
tangan kirinya. Demikian ia membuka tutup bumbungnya
dengan mulutnya maka ia pun telah mengibaskan
bumbungnya itu dengan menghentakkan yang keras.
Sesuatu telah meluncur dari dalam bumbung kecil itu.
Namun lawan Mahisa Ura itu ternyata cukup cerdik. Ia pun
telah melemparkan bumbung itu pula ke arah Mahisa Ura,
sehingga perhatian Mahisa Ura terbagi pada dua benda
yang meluncur ke arahnya.
Namun benda-benda itu meluncur dengan kecepatan
yang sangat tinggi, sehingga Mahisa Ura tidak sempat
berbuat banyak. Ia memang berusaha mengelak, tetapi ia
tidak berhasil terlepas dari sambaran senjata aneh
lawannya. Mahisa Ura terkejut ketika tiba-tiba sesuatu telah melekat
di lengannya. Seekor ular.
Mahisa Ura pun segera menyadari, bahwa lawannya
telah mempergunakan senjata racun ular yang sangat tajam.
Dalam keadaan yang demikian Mahisa Ura telah
mengambil satu keputusan yang sangat cepat, melampaui
kecepatan berpikir lawannya. Demikian ular itu menggigit
dan melekat di lengannya, maka Mahisa Ura pun telah
meloncat dengan garangnya. Senjatanya terjulur lurus ke
depan sehingga seakan-akan loncatannya itu pun menjadi
semakin cepat dan semakin panjang jangkaunnya.
Lawannya pun terkejut melihat kecepatan gerak Mahisa
Ura. Lawannya itu mengira, bahwa Mahisa Ura akan
kehilangan akal dan tidak mampu lagi berbuat sesuatu
menghadapi kenyataan, bahwa dengan demikian umurnya
sudah hampir sampai kebatas.
Namun lawan Mahisa Ura masih sempat mengelak.
Dengan tergesa-gesa ia bergeser ke samping sehingga ia
telah terlepas dari ujung senjata Mahisa Ura.
Tetapi kemarahan Mahisa Ura telah mendorongnya
bergerak lebih cepat. Ketika ujung senjata Mahisa Ura tidak
menyentuh tubuh lawannya yang bergeser menyamping,
maka Mahisa Ura pun telah menggerakkan senjata ke
samping mendatar setinggi lambung dengan sisa tenaganya.
Demikian cepatnya sehingga lawannya yang sudah
terlempar ke samping itu sama sekali tidak sempat
mengelak. Dengan senjatanya lawannya itu mencoba
menangkis serangan Mahisa Ura. Namun serangan itu
demikian kerasnya dan tiba-tiba serta lawannya dalam
keadaan lengah, sehingga senjata itu justru telah terlepas
dari tangannya. Mahisa Ura yang mulai terasakan akibat dari gigitan ular
yang masih melekat di lengannya, tidak mau melepaskan
kesempatan yang terakhir itu. Ketika lawannya berusaha
untuk bergeser setelah ia kehilangan senjatanya, maka
Mahisa Ura pun telah meloncat sekali lagi. Sebuah tikaman
yang kuat tidak berhasil dihindari oleh lawannya. Ujung
senjata Mahisa Ura telah membelah dada lawannya
menghunjam sampai ke jantung.
Terdengar desah tertahan. Kemudian mulut lawannya
itu masih mampu mengumpat dan berdesis, "Kau juga akan
mati karena racunku."
Mahisa Ura berdiri dengan wajah yang tegang. Ia sadar
sepenuhnya bahwa ular yang menggigitnya itu tentu ular
yang sangat berbisa sehingga ia tidak dapat mengelakkan
diri dari kematian. Mahisa Pukat dan Mahisa Murti pun terkejut melihat
peristiwa yang terjadi demikian cepatnya itu. Namun
mereka pun menjadi sangat cemas, bahwa gigitan ular di
lengan Mahsa Ura itu akan dapat membunuhnya.
Karena itu, maka kedua orang anak muda itu tidak dapat
berbuat lain daripada berusaha menolongnya. Meskipun
Mahisa Murti mula-mula tidak ingin menyelesaikan kedua
lawannya dengan cepat, tetapi peristiwa yang terjadi atas
Mahisa Ura itu ternyata telah merubah keputusannya.
Tiba-tiba saja Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
menghetakkan kemampuannya. Diluar sadarnya Mahisa
Murti telah menyerang kedua lawannya dengan kekuatan
ilmunya dalam bentuknya yang lunak. Mahisa Murti tidak
menghentakkan tangannya dan memecahkan kepala kedua
lawannya. Tetapi kemampuannya bermain dengan
panasnya tenaga api yang memancar dari Adji Bajra Geni
telah menghentikan perlawanan kedua lawannya. Udara
panas bagaikan membakar kedua lawannya yang menjadi
bingung. Namun Mahisa Murti tidak berniat membunuh
mereka, sehingga ia pun telah mengendalikan ilmunya,
sekedar untuk menghentikan perlawanan kedua orang
lawannya. Sementara itu, maka ia pun telah menyentuh
kedua lawannya dengan ujung jarinya ditengkuk masingmasing
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
selagi kedua lawannya itu kebingungan.
Kekuatan dan tenaga kedua orang lawannya itu bagaikan
terhisap habis. Keduanya tiba-tiba saja telah terbaring di
tanah dengan lemahnya. Meskipun mereka masih mampu
menggerakkan bibirnya dan jari-jari tangannya, tetapi yang
dapat mereka lakukan hanyalah mengeluh dan mengumpat.
Tetapi ternyata bahwa lawan Mahisa Pukat mengalami
keadaan yang lebih buruk. Kemarahan Mahisa Pukat tidak
dapat tertahankan lagi. Justru pada saat ia sudah
meningkatkan ilmunya karena ia memang sudah
menghendaki permainan itu berhenti, ia dikejutkan oleh
keadaan yang gawat pada Mahisa Ura.
Dengan demikian maka Mahisa Pukat telah
menghentakkan kekuatannya tanpa dilambari puncak
ilmunya. Namun hentakkan tenaganya atas lembaran
tenaga cadangannya telah menghantam dada kedua
lawannya, sehingga keduanya merasa bagaikan tertimpa
sebongkah batu karang. Dada mereka menjadi sesak, dan
tulang-tulang iga mereka serasa berpatahan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kemudian tidak
menghiraukan lagi lawan-lawannya. Keduanya segera
berlari ke arah Mahisa Ura yang sudah menjadi sangat
lemah karena bisa ular itu mulai menggigit bagian dalam
seluruh tubuhnya. Bahkan menyusuri darah telah hampir
mencapai jantungnya. Ternyata Mahisa Murti bergerak lebih cepat. Ia sesaat
lebih dahulu sampai kepada Mahisa Ura yang terbaring.
"Mahisa Murti dan Mahisa Pukat," desisnya ketika ia
melihat kedua anak muda itu yang datang dan berjongkok
disisinya, "ternyata aku tidak dapat mengantar kalian
sampai ke tujuan." "Aku akan mencoba mengobatinya," berkata Mahisa
Murti, "Tenanglah."
"Racun ini sangat kuat," desis Mahisa Ura.
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia sudah melepas
cincinnya yang bermata sebuah batu yang mampu
menangkal racun yang betapapun kuatnya.
Meskipun agak terlambat, tetapi Mahisa Murti masih
akan mencobanya. Batu pada cincin tidak sekedar dikenakan di jarinya.
Tetapi batu itu telah dilekatkan pada luka gigitan ular,
sementara ularnya telah terjatuh pada saat Mahisa Ura
menghentakkan kemampuannya untuk membunuh
lawannya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut ketika
terdengar Mahisa Ura itu mengaduh. Namun Mahisa Murti
tidak melepaskan batu yang melekat pada luka itu.
Yang dilihatnya kemudian adalah tubuh Mahisa Ura
yang menggigil setelah lukanya bagaikan disengat bara.
Beberapa saat Mahisa Ura merasakan tubuhnya
bagaikan diguncang oleh berbagai perasaan yang berbaur.
Sakit, panas dan dingin rasa-rasanya telah menjalari uraturat
darahnya. Mahisa Murti masih bertahan. Bahkan kemudian Mahisa
Pukat pun berkata, "Apakah aku dapat membantunya?"
Mahisat Murti termangu-mangu. Meskipun Mahisa
Pukat juga mempunyai gelang yang mampu menangkal
racun dan bisa, tetapi apakah keduanya dapat bergabung
dan bekerja bersama. Jika cara kerja kedua benda itu
berbeda, maka justru akan dapat menimbulkan kesulitan.
Namun sebelum Mahisa Murti menjawab, Mahisa Ura
nampak menjadi semakin baik. Ia tidak lagi menyeringai
menahan sakit dan keluhan-keluhan tertahan merembes
dari sela-sela bibirnya. Tetapi ia nampak menjadi lebih
tenang meskipun tubuhnya masih menggigil.
"Kita tunggu saja sebentar," jawab Mahisa Murti,
"Mungkin batu ini mampu mengatasi kesulitan didalam
dirinya." Mahisa Murti tidak mendesaknya. Ia pun masih
menunggu beberapa saat. Sementara itu, dari luka di lengan Mahisa Ura nampak
darah mulai mengalir. Darah yang berwarna kehitamhitaman.
Dengan hati-hati Mahisa Murti memijat perlahan-lahan
daging disekitar luka itu. Meskipun terasa sakit, tetapi
dengan demikian darah menjadi semakin banyak mengalir
bagaikan dihisap oleh batu di cincin Mahisa Murti itu.
"Mudah-mudahan kau sembuh," berkata Mahisa Murti.
Mahisa Ura masih diam saja. Kepalanya masih terasa
sangat pening. Namun perasaan sakit di seluruh tubuhnya
mulai berkurang. Untuk beberapa saat, Mahisa Murti membiarkan darah
mengalir dari luka itu. Sementara itu, cincinnya tidak lagi
dilekatkan pada lukanya, tetapi dikenakan pada jari-jarinya.
Demikianlah, ternyata bahwa keadaan Mahisa Ura
semakin lama menjadi semakin baik. Darahnya yang
mengalir tidak lagi nampak kehitam-hitaman, tetapi
darahnya telah menjadi merah.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Namun keduanya yakin bahwa keadaan Mahisa
Ura akan menjadi baik. Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
menunggui Mahisa Ura yang terbaring. Namun pada wajah
itu tidak lagi nampak penderitaan yang sangat, meskipun
tubuh itu masih nampak sangat lemah.
Beberapa saat kemudian, maka Mahisa Murti pun
bertanya, "Bagaimana keadaanmu kakang?"
Mahisa Ura mencoba menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian katanya, "Aku merasa keadaanku menjadi
bertambah baik. Tetapi tulang-tulangku seakan-akan telah
terlepas dari sendi-sendinya."
"Untuk beberapa saat keadaanmu akan begitu," sahut
Mahisa Pukat, "tetapi nanti kau akan menjadi baik."
"Tetapi apakah kita akan tetap di sini," bertanya Mahisa
Ura. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Kemudian Mahisa Murti pun berkata, "Kita akan
pergi ke padukuhan terdekat. Mungkin kita akan mendapat
tempat bermalam di banjar padukuhan itu."
Mahisa Ura mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Kita
akan mencoba pergi ke padukuhan sebelah. Tetapi
bagaimana dengan orang-orang itu?"
"Lawanmu telah kau bunuh," berkata Mahisa Murti.
"Ia adalah pemimpin dari yang lain," jawab Mahisa
Ura. "Apakah kita dapat membiarkan yang lain untuk hidup
dan bahkan menyelenggarakan kawannya yang terbunuh
itu," bertanya Mahisa Murti.
Mahisa Ura menarik nafas. Dadanya terasa menjadi
semakin lapang. Katanya, "Biarlah yang lain hidup
meskipun kita harus mengancam mereka agar mereka tidak
melakukan tindakan-tindakan terlarang."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Kematian seorang di antara mereka akan menjadi alat
untuk menakut-nakuti yang lain. Dalam keadaan yang
memaksa, maka yang lain itu pun akan dapat dibunuh pula
seperti kawannya yang terbunuh itu.
Untuk beberapa saat, Mahisa Ura masih terbaring.
Sementara Mahisa Murti telah membebaskan kedua orang
lawannya dari sentuhan tangannya pada simpul-simpul
sarafnya sehingga keduanya mendapatkan kembali
kekuatannya. "Aku dapat membunuh kalian," geram Mahisa Murti.
Kedua lawannya hanya menundukkan kepalanya saja.
Tetapi dari sikapnya, keduanya sama sekali tidak akan
berani lagi berbuat apa-apa.
Sementara itu dua orang lawan Mahisa Pukat masih saja
merasa dicengkam oleh perasaan sakit meskipun sudah
agak berkurang. Namun dengan memaksa diri keduanya
dapat juga bangkit berdiri.
Kepada keempat orang itu, Mahisa Murti berkata,
"Seorang di antara kalian telah mati. Itu adalah akibat
wajar dari tingkah laku kalian yang tidak diperhitungkan
dengan cermat. Untunglah bahwa seorang kawanku yang
telah dilukai dengan curang oleh kawanmu yang terbunuh
itu dapat bertahan dan yakin akan sembuh. Jika ia juga
terbunuh karena racun ular, maka kalian berempat akan
aku bunuh." Keempat orang itu tidak menjawab.
"Nah, aku serahkan seorang kawanmu yang mati itu.
Selenggarakan sebaik-baiknya. Kami akan meneruskan
perjalanan," berkata Mahisa Murti.
Keempat orang itu mengangguk hampir berbareng.
Seorang di antara mereka menyahut, "Kami mohon maaf.
Kami akan melakukan sebagaimana kau katakan."
Mahisa Murti memandang orang itu sejenak. Lalu
katanya, "Tetapi ingat, jangan memancing kami untuk
membunuh kalian juga seperti kawanmu itu."
Keempat orang itu termangu-mangu. Namun
sebenarnyalah mereka tidak mengira bahwa mereka akan
tetap dibiarkan hidup. Karena itu, mereka justru berjanji di
dalam hati, bahwa mereka akan melakukan sebagaimana
dikatakan oleh anak-anak muda itu.
Dalam pada itu, Mahisa Murti telah kembali kepada
Mahisa Ura yang tidak lagi terancam jiwanya karena racun.
Karena itu, maka Mahisa Murti telah mengambil cincinnya
kembali dan bersama Mahisa Pukat membantu Mahisa Ura
untuk meninggalkan tempat itu.
Ternyata keadaan Mahisa Ura masih sangat lemah,
sehingga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus
memapahnya. Ketika mereka sampai ke padukuhan terdekat maka
mereka bertiga telah minta ijin untuk dapat bermalam di
banjar. Kepada orang-orang bersaudara yang mengembara.
Sedangkan Mahisa Ura yang lemah itu, dikatakan oleh
Mahisa Murti, telah digigit ular ketika mereka berada di
tepian. "Agaknya ular itu bukan ular yang berbisa tajam,"
berkata orang-orang padukuhan itu.
"Mungkin, Kami berhasil memeras darah saudara kami
sehingga yang mengalir kemudian adalah darah yang
bersih," jawab Mahisa Murti.
Orang-orang padukuhan itu ternyata merasa kasihan
juga kepada ketiga orang pengembara itu, sehingga mereka
mendapat kesempatan untuk bermalam di banjar sehingga
keadaan salah seorang yang digigit ular itu menjadi baik.
Kesempatan itu ternyata sangat berharga bagi Mahisa
Ura yang lemah itu, karena dengan demikian ia sempat
untuk memulihkan keadaannya.
Oleh orang-orang padukuhan itu, Mahisa Ura dan kedua
orang yang diakuinya sebagai adiknya itu telah ditempatkan
di serambi banjar. Mereka mendapat ijin untuk tinggal
diserambi banjar itu sampai keadaan Mahisa Ura menjadi
baik. Bahkan orang-orang padukuhan itu telah memberi
mereka makan dan minum selama mereka berada di banjar
itu, karena orang-orang padukuhan itu menganggap mereka
benar-benar pengembara yang perlu dibelas kasihani.
Meskipun demikian ada juga orang padukuhan itu yang
memberi mereka nasehat, "Anak-anak muda. Sebenarnya
kalian masih cukup muda untuk memulai dengan satu
usaha yang dapat memberi kalian hidupan. Apakah
sebenarnya yang menarik kalian untuk menjadi
pengembara" Kalian tidak akan melihat hari depan kalian
menjadi cerah. Karena itu, jika kalian mau mendengarkan
nasehatku, maka sebaiknya kalian kembali saja kepada
keluarga kalian untuk memulai dengan satu kehidupan
yang wajar. Bekerja, mungkin di sawah atau di pategalan
atau kerja apapun juga, karena nampaknya kalian adalah
anak-anak muda yang kuat."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab.
Sementara itu Mahisa Ura masih berbaring di sebuah
amben yang cukup besar di serambi banjar.
Orang yang memberi nasehat itu adalah orang yang
dianggap memiliki pengetahuan yang cukup di antara
orang-orang di padukuhan itu. Karena itu, maka orangorang
lainnya kemudian telah ikut pula memberi mereka
petunjuk untuk memulai dengan satu kehidupan baru yang
lebih bermanfaat bagi masa depan mereka.
"Kami kasihan melihat kalian bertiga dalam keadaan
seperti ini," berkata orang yang memiliki pengetahuan yang
melampaui tetangga-tetangganya itu, "Tetapi kami tidak
dapat menolong kalian dengan memberikan pekerjaan yang
patas. Tetapi menilik sikap, tingkah laku dan ujud kalian,
maka kalian tidak sebaiknya menjadi pengembara yang
tidak mempunyai harapan apapun juga bagi masa depan
kalian." Anak-anak muda itu masih tetap berdiam diri.
Sementara Mahisa Ura yang terbaring itu hanya dapat
menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi orang itu tidak berbicara berkepanjangan tentang
masa depan. Sekali-sekali ia meraba Mahisa Ura sambil
berkata, "Tubuhmu tidak terasa panas. Mudah-mudahan
kau lekas sembuh dan pulih kembali."
Dengan suara sendat Mahisa Ura menjawab, "Terima
kasih. Nampaknya aku pun akan segera menjadi baik."
Orang itu mengangguk-angguk. Sambil bangkit dari
duduknya orang itu berkata, "Cepat menjadi sembuh. Nanti
malam aku akan datang lagi."
"Terima kasih," jawab Mahisa Murti, "Tetapi kami
jangan membuat Ki Sanak menjadi sibuk."
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
pun tersenyum. Katanya, "Tidak. Mungkin kewajibanku
untuk berbuat sesuatu bagi sesama. Mungkin nasehatnasehatku
akan berarti bagi masa depan kalian."
"Terima kasih," jawab Mahisa Murti.
Sepeninggal orang itu dan beberapa orang lain yang
melihat keadaan Mahisa Ura yang terluka itu, maka sambil
menarik nafas Mahisa Murti berkata, "Dadaku serasa
menjadi sesak." Mahisa Ura mengangguk kecil. Katanya, "Untunglah
orang itu tidak berada di sini lebih lama lagi. Tetapi malam
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nanti ia akan datang lagi. Ia tentu akan memberi nasehatnasehat
lagi. Lebih panjang dan lebih banyak."
"Aku tidak mendengar apa yang dikatakannya," desis
Mahisa Pukat. "Aku tidak menyalahkannya," berkata Mahisa Ura
sambil berbaring, "orang-orang tua dan terpandang karena
pengetahuannya, memang merasa berkewajiban untuk
memberikan petunjuk-petunjuk tanpa mempertimbangkan
sasarannya. Tetapi bukankah kita di mata mereka memang
pengembara-pengembara yang tidak mempunyai masa
depan." "Kita diterima sebagai pengembara di sini," berkata
Mahisa Pukat, "tetapi di perjalanan berikutnya, aku akan
menjadi pedagang batu akik dan wesi aji."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, "Kita
dapat mencoba. Tetapi dalam keadaan seperti ini, kita
memang tidak akan dapat melakukannya. Kita memang
pantas sebagai pengembara. Sementara itu ujud kita
memang masih muda, sehingga apa yang dikatakan oleh
orang itu memang benar."
"Tetapi kenapa dadamu menjadi sesak?" bertanya
Mahisa Pukat. Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun ia pun
kemudian tersenyum sambil menjawab, "Ya. Dadaku
memang menjadi sesak mendengar nasehat-nasehatnya
meskipun dengan nalar aku menganggap bahwa yang
dikatakan itu benar."
"Justru karena kita mengerti keadaan kita yang
sebenarnya," desis Mahisa Ura, "seandainya kita sendiri
tidak mengerti keadaan kita yang sebenarnya, dan
menganggap kita ini memang pengembara, maka nasehatnasehat
itu perlu sekali bagi kita."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Sebenarnyalah bahwa orang itu menganggap mereka benarbenar
pengembara yang tidak mempedulikan masa depan
mereka, sementara itu mereka masih cukup muda untuk
mulai dengan pekerjaan yang lebih berarti daripada
menyusuri jalan-jalan, pedukuhan-pedukuhan dan hutanhutan.
"Dan malam nanti kita akan mendengarkan lagi ia
berbicara tentang nasib kita di masa depan," berkata
Mahisa Pukat. Tetapi mereka tidak akan dapat menolak sementara
keadaan Mahisa Ura masih lemah.
Sebenarnyalah bahwa ketika malam turun, orang yang
dianggap memiliki pengetahuan yang luas itu telah datang
lagi. Seperti pada siang harinya, maka ia pun mulai dengan
nasehat-nasehat yang berkepanjangan.
Namun dalam pada itu, Mahisa Ura, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah memaksa diri untuk mendengarkannya.
Betapapun mereka menjadi jenuh namun mereka tidak
dapat memaksa orang itu untuk berhenti berbicara tentang
sikap dan tingkah laku, tentang pandangan hidup dan
penghayatannya dan tentang hari ini, kemarin dan masa
depan. Tetapi ternyata bahwa yang datang seperti sebelumnya,
bukan hanya orang itu saja. Beberapa orang telah berada di
banjar itu pula untuk berbincang, berbicara dan berkelakar
sambil berjaga-jaga. Betapapun kesalnya hati ketiga orang yang bermalam di
banjar itu, namun mereka mengakui bahwa penghuni
padukuhan itu adalah orang-orang yang ramah dan baik
hati. Orang yang dianggap berpengetahuan itu pun
sebenarnya berniat baik meskipun ia kurang dapat
menempatkan diri. Namun ketiga orang yang bermalam di
banjar itu pun menyadari, bahwa hal itu dilakukan karena
ketiganya telah mengaku sebagai pengembara.
Malam itu, Mahisa Ura, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah dipersilahkan makan bersama-sama dengan
orang-orang padukuhan itu yang sedang berada di banjar.
Namun agaknya Mahisa Ura masih terlalu lemah, sehingga
ia tidak dapat duduk bersama orang-orang padukuhan itu
terlalu lama. Demikianlah, betapapun ada hal-hal yang kurang sesuai
dengan perasaan Mahisa Ura, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, namun ketiganya merasa mendapat tempat yang
baik untuk memulihkan keadaan Mahisa Ura. Tidak ada
seorang pun yang merasa keberatan, dan apalagi keinginan
untuk mengusir mereka. Bahkan pada saat-saat Mahisa Ura sudah sembuh dan
kekuatannya sudah pulih kembali, orang-orang padukuhan
itu masih memberinya kesempatan untuk tinggal apabila
mereka berniat demikian. Tetapi Mahisa Ura itu pun berkata, "Terima kasih. Kami
adalah pengembara yang selalu menjelajahi hutan dan
padesan, lembah dan bukit-bukit. Adalah menjadi
panggilan hidup kami untuk bergaul akrab dengan alam."
Akhirnya ketiga orang itu pun meninggalkan padukuhan
itu setelah mereka mengucapkan terima kasih yang tidak
terhingga. Dengan demikian, maka ketiga orang itu pun telah
melanjutkan perjalanan mereka. Mahisa Ura telah
membawa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memasuki
sebuah padukuhan, di mana ia telah menangkap saudara
kembar dari orang yang terbunuh dalam perkelahian,
namun yang berhasil melukai Mahisa Ura dengan seekor
ular, sehingga dengan demikian perjalanan mereka pun
telah terhambat beberapa saat.
Seperti yang diperhitungkan oleh Mahisa Ura, maka
ketika ia memasuki padukuhan itu, maka ia tidak dikenali
lagi meskipun pada saat ia menangkap buruannya beberapa
orang telah menyaksikannya. Bahkan ia sempat bermalam
di padukuhan itu. Ternyata bahwa penghuni padukuhan itu
pun sebagian besar adakah orang-orang yang baik seperti
penghuni padukuhan yang telah ditinggalkannya.
Ketika mereka berada di banjar, Mahisa Pukat sempat
berkata, "Bagaimana" Apakah kita akan tetap menjadi
pengembara seperti ini, atau kita akan menjadi pedagang
batu akik" Aku telah menyediakan beberapa buah batu akik
yang bagus yang memang pantas untuk diperdagangkan."
Tetapi Mahisa Murti pun menjawab, "Jika kita akan
menjadi pedagang di sini dengan menjual batu-batu akik
yang memang bagus itu, siapakah yang kira-kira akan
membelinya. Di padukuhan ini agaknya tidak ada orang
yang cukup kaya yang mau melepaskan uangnya hanya
untuk membelinya. Di padukuhan."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun ia
mengakui sebagaimana dikatakan oleh saudaranya. Sambil
mengangguk-angguk ia berkata, "Ya. Ki Bekel pun tidak
akan membeli batu akik. Mungkin padukuhan yang lebih
besar dari padukuhan ini."
Mahisa Ura memotong, "Ya. Kita memang akan
memasuki beberapa padukuhan lagi. Aku akan mencoba
mengingat, jalan manakah yang pernah aku lalui sampai
pada suatu saat aku menemukan padukuhan yang telah aku
kenal ini." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun menganggukanggguk.
Namun dengan demikian mereka menyadari
bahwa perjalanan mereka memang masih panjang.
Mungkin Mahisa Ura akan segera dapat mengenali jalan
yang pernah dilaluinya, tetapi mungkin ia memerlukan
waktu yang lama untuk dapat mengingat, kemana saja ia
pernah lewat. Di hari yang cerah, ketiga orang itu mulai dengan
perjalanan yang sulit. Bukan karena mereka berjalan
melalui rawa-rawa atau lereng pegunungan yang terdiri dari
batu-batu karang yang runcing, tetapi mereka masih harus
menemukan jalan yang menuju ke arah yang benar.
Demikianlah mereka telah berjalan melampaui satu
padukuhan ke padukuhan berikutnya. Mahisa Ura telah
mencoba untuk mengingatnya, jalan manakah yang telah
pernah dilaluinya. Pada saat ia menempuh perjalanan itu, ia
sama sekali tidak berpikir bahwa ia akan mengulangi
perjalanannya itu. Karena itu, maka ia tidak begitu
memperhatikan, tanda-tanda yang terdapat di sepanjang
jalan yang pernah dilaluinya.
Namun ketajaman ingatan dan penglihatannya sebagai
seorang petugas sandi agaknya telah menolongnya sehingga
ia masih juga sempat melihat beberapa macam pepohonan,
bukit dan ujud-ujud lain yang menarik perhatian.
"Aku yakin, bahwa aku telah menempuh jalan yang
benar," berkata Mahisa Ura.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang belum pernah
menempuh perjalanan melalui tempat itu, tidak dapat ikut
menentukan. Namun mereka pun percaya akan ketajaman
ingatan Mahisa Ura. Agaknya mereka memang menempuh
jalan yang benar. Meskipun lamban, tetapi agaknya mereka
memang mendekati jalan menuju kesasaran.
Ketika mereka memasuki sebuah bulak yang panjang
antara dua padukuhan yang agak jauh, terasa bahwa
seseorang atau lebih telah mengikuti mereka, meskipun
mereka tidak dapat langsung melihat. Setiap kali mereka
berhenti dan berpaling, mereka sama sekali tidak melihat
seorang pun. Namun naluri mereka telah menangkap
sesuatu yang menggetarkan perasaan mereka.
Mahisa Murti yang tanpa disengaja telah memandang ke
sisi sebelah kiri dari arah perjalanan mereka, tiba-tiba saja
telah melihat batang-batang jagung yang tumbuh subur itu
bergerak-gerak. Bukan oleh angin, karena tidak semua
batang-batang jagung itu bergerak.
Dengan demikian Mahisa Murti mengambil kesimpulan,
bahwa tentu ada seseorang atau lebih yang telah mengamati
perjalanan mereka. "Tidak aneh," berkata Mahisa Murti di dalam hatinya,
"tiga orang yang berjalan bersama-sama di daerah yang
terpencil ini memang dengan mudah akan menarik
perhatian." Namun agaknya Mahisa Pukat pun mempunyai
perasaan yang sama. Ia pun telah melihat keadaan yang
serupa dengan yang dilihat oleh Mahisa Murti, meskipun di
arah yang berbeda. Namun Mahisa Pukat tidak hanya
tinggal diam untuk meyakinkan apakah yang dilihatnya itu
benar. Tiba-tiba saja ia pun telah berkata, "Aku melihat
sesuatu yang menarik perhatian."
"Apa," Mahisa Murti bertanya dengan serta merta,
karena ia sudah menduga bahwa Mahisa Pukat pun melihat
apa yang dilihatnya. "Seseorang di dalam rimbunnya batang-batang jagung
itu," jawab Mahisa Pukat.
"Di sebelah mana," bertanya Mahisa Murti.
"Di sebelah kanan jalan," jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam, ia pun
kemudian berkata, "Jika demikian, maka tentu lebih dari
seorang yang telah mengamati perjalanan kita."
"Aku tidak melihat apa-apa," berkata Mahisa Ura.
"Aku pun hanya kebetulan melihatnya," sahut Mahisa
Murti, dan Mahisa Pukat pun berkata, "Aku juga. Aku
tidak sengaja memandang batang-batang jagung yang subur
itu. Agaknya aku telah melihat ujung batang-batang jagung
itu bergerak-gerak, tentu bukan oleh tiupan angin yang
betapapun lembutnya."
Mahisa Ura mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Kita
memang harus berhati-hati."
"Jika demikian, apakah aku dapat memberikan kesan
lain dari perjalanan ini," bertanya Mahisa Murti.
"Kita adalah pedagang akik dan wesi aji. Kita tidak saja
akan menjual barang-barang dagangan, tetapi kita juga mau
membeli jika ada di antara milik orang-orang padukuhan
yang baik dan harganya memadai," berkata Mahisa Pukat.
"Tidak akan banyak bedanya," jawab Mahisa Ura,
"tidak ada seorang pun yang pernah berbuat demikian di
sini." "Kita dapat menjadi perintis dari perdagangan itu di
daerah ini," jawab Mahisa Pukat.
"Bagaimanapun juga kehadiran kita akan menarik
perhatian. Mungkin oleh para penghuni padukuhanpadukuhan
itu tidak memberikan kesan lebih dari menarik
perhatian. Tetapi mungkin oleh orang lain, kesannya akan
lain pula," jawab Mahisa Ura.
"Tetapi manakah yang lebih baik. Kita melewati
padukuhan-padukuhan itu sebagai pengembara yang
memasuki daerah ini tanpa alasan apapun juga, atau kita
memasuki daerah ini dengan satu maksud untuk membeli
batu-batu berharga dan wesi aji. Kita dapat memberikan
alasan apapun juga. Mungkin kita telah melihat wahyu
yang turun di daerah ini, sehingga kita yakin bahwa di sini
ada seorang yang memiliki atau mungkin wesi aji yang
tidak dimiliki oleh siapa pun juga, yang mempunyai nilai
yang sangat tinggi." berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Ura termangu-mangu. Namun sambil
memandang Mahisa Murti ia bertanya, "Bagaimana
pendapatmu?" "Kita dapat mencobanya. Namun kita harus bersiap-siap
mengalami akibat yang bagaimanapun juga," jawab Mahisa
Murti. Mahisa Ura mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah.
Kita adalah pedagang batu-batu bertuah dan wesi aji. Tetapi
aku tidak tahu menahu sama sekali tentang batu-batu akik
dan wesi aji." "Kami sudah belajar kepada ayah," jawab Mahisa
Pukat, "karena itu, kami dapat mengetahui yang
sebenarnya tentang batu-batu akik, batu-batu berharga dan
wesi aji." "Baiklah," berkata Mahisa Ura, "Jika seseorang ingin
menguji kita, maka kalian akan dapat menyelesaikannya.
Kecuali jika memang ada orang yang mencari persoalan."
"Kita sudah siap," jawab Mahisa Pukat, "sejak kita
berangkat kita sudah memperhitungkan apa yang mungkin
dapat terjadi atas kita."
Dengan demikian, maka mereka bertiga telah bertekad
bulat untuk memperkenalkan diri dengan orang-orang
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
padukuhan yang ada di ujung bulak panjang itu sebagai tiga
orang bersaudara pedagang batu akik yang mengembara
untuk menjual dan mencari dagangan."
"Dengan demikian kita tidak akan menghiraukan orangorang
yang membayangi perjalanan kita, asal mereka tidak
mengganggu kita secara langsung," berkata Mahisa Pukat
kemudian. Mahisa Ura mengangguk-angguk. Tetapi ia sendiri
menang belum melihat seorang pun yang mengikut mereka.
Demikianlah mereka masih saja berjalan dengan tenang
tanpa terhenti sama sekali, meskipun mereka bertiga tidak
kehilangan kewaspadaan. "Kita masih akan melalui beberapa padukuhan,"
berkata Mahisa Ura, "ada padukuhan yang cukup besar,
sebelum kita memasuki daerah yang benar-benar sulit untuk
diingat. Tetapi aku akan berusaha meskipun tidak banyak
tanda-tanda yang dapat dilihat di hutan-hutan yang pepat,
yang seakan-akan dimana-mana sama saja. Suram, lembab
dan pepat dengan dedaunan dan pepohonan."
"Baiklah," berkata Mahisa Murti, "di padukuhan di
ujung bulak ini, kita akan mulai dengan usaha kita
memperjual belikan batu akik dan wesi aji. Mudahmudahan
kita dapat meneguk air sambil mandi."
Tetapi Mahisa Pukat menyahut, "Tetapi dengan
demikian kita akan minum air yang kotor."
Mahisa Murti tersenyum. Demikian juga Mahisa Ura
yang mengangguk-angguk. Ketiga orang itu masih berjalan tanpa terhambat
meskipun mereka masih saja merasa diikuti, setidaktidaknya
diawasi. Namun mereka seakan-akan tidak
menyadarinya. Mereka masih saja berjalan dengan wajah
menghadap ke arah jalan panjang di hadapan mereka.
Ternyata perjalanan mereka benar-benar tidak terganggu
cara langsung. Menjelang gerbang padukuhan, ternyata
ketiga orang itu telah membenahi diri mereka. Mereka tidak
datang kepadukuhan itu dengan kepala tunduk dan
punggung terbungkuk-bungkuk sebagai pengembara yang
memerlukan belas kasihan. Tetapi mereka datang sebagai
tiga orang kakak beradik yang sedang berdagang.
Ketika ketiga orang itu memasuki gerbang padukuhan,
mereka merasa bahwa berpasang-pasang mata memandang
dengan penuh kecurigaan. Namun ketiga orang itu tidak
menghiraukannya. Bahkan ketika di tikungan mereka
bertemu dengan seorang yang berjalan berlawanan arah,
mereka telah bertanya, dimana rumah Ki Bekel dari
padukuhan itu. "Untuk apa?" orang itu justru bertanya.
"Kami ingin berdagang di padukuhan ini," jawab
Mahisa Ura. "Berdagang apa?" bertanya orang itu.
"Kami berdagang batu akik, batu-batu berharga lainnya
termasuk permata dan wesi aji. Kami dapat menjual dan
dapat juga membeli," jawab Mahisa Ura.
Orang itu mengerutkan keningnya. Dengan nada tinggi
ia berkata, "Kami tidak pernah berurusan dengan batu-batu
akik dan apalagi batu permata yang tentu mahal harganya.
Tetapi kami kadang-kadang memang berbicara tentang wesi
aji." "Nah, tunjukkan dimana rumah Ki Bekel. Aku ingin
minta ijin untuk bermalam di banjar barang satu dua
malam, sambil berdagang batu-batu akik dan wesi aji,"
sahut Mahisa Ura. Orang itu masih saja ragu-ragu. Namun kemudian ia pun
berkata, "Pergilah ke simpang tiga itu. Jika kau menghadap
kekanan, maka kau akan melihat sebuah regol yang agak
besar. Nah, rumah di dalam dinding itulah rumah Ki
Bekel." "Terima kasih," jawab Mahisa Ura, "kita akan pergi
kesana. Mudah-mudahan Ki Bekel ada di rumah."
"Ki Bekel jarang sekali meninggalkan rumahnya kecuali
jika ada persoalan yang sangat penting," jawab orang itu.
"Mungkin ke sawah atau pekerjaan lain," desis Mahisa
Ura. "Ki Bekel sudah terlalu tua untuk bekerja. Anaknyalah
yang melakukan semua pekerjaan atas namanya. Hanya
untuk mengambil satu keputusan persoalan yang gawat,
maka masih diperlukan Ki Bekel itu sendiri."
Mahisa Ura mangangguk-angguk. Katanya kemudian,
"Terima kasih. Aku akan mengunjunginya."
Orang itu mengangguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab.
Mahisa Ura, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
kemudian melangkah menuju simpang tiga. Sebagaimana
dikatakan oleh orang yang bertemu di tikungan, ketika
mereka berpaling ke kanan, maka mereka telah melihat
sebuah pintu gerbang rumah Ki Bekel.
Sementara itu, orang yang di tikungan itu masih saja
berdiri termangu-mangu. Ia sadar, ketika ia mendengar
seseorang menyapanya. Orang itu berpaling. Dilihatnya di sebuah regol kecil
yang terbuka sebuah kepala tersembul.
"Siapakah orang-orang itu tadi?" bertanya orang yang
muncul dari balik regol itu.
Orang yang berada di tikungan itulah yang kemudian
justru masuk ke dalam regol.
"Pedagang batu akik, permata dan wesi aji," jawab
orang yang ditanya. Orang yang bertanya itu mengangguk-angguk. Namun ia
pun bertanya pula, "Aku dengar dari dalam dinding, orang
itu akan pergi ke rumah Ki Bekel."
"Ya. Segala sesuatunya tentu tergantung Ki Bekel,"
jawab orang yang semula berada di tikungan, "tetapi
agaknya mereka memerlukan untuk dapat bermalam di
banjar." Orang yang berada di halaman itu mengangguk-angguk.
Dalam pada itu, maka Mahisa Ura, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat pun telah berada di depan regol rumah Ki
Bekel. Tidak ada seorang pun yang ada di regol itu. Karena
itu, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura
pun telah memasuki halaman dengan sikap yang ragu.
"Marilah," berkata Mahisa Ura, "kita akan mengetuk
pintu seketeng." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Mereka bertiga pun kemudian melintasi halaman menuju
ke pintu seketeng. Halaman itu benar-benar sepi.
Tidak seorang pun, apalagi penjaga yang berada di
halaman itu. Untuk sesaat Mahisa Ura berdiri termangu-mangu di
depan pintu seketeng. Namun ia pun kemudian mengetuk
pintu itu perlahan-lahan.
Tetapi baru setelah beberapa kali Mahisa Ura mengetuk
dan semakin keras, terdengar jawaban dari dalam.
Terdengar langkah kecil-kecil menuju ke pintu seketeng itu.
"Seorang perempuan" desis Mahisa Ura.
Sebenarnyalah bahwa seorang perempuan separo baya
telah membuka pintu itu. Dengan wajah keheranan ia
bertanya, "Siapakah kalian?"
Mahisa Ura mengangguk-angguk hormat. Demikian juga
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dengan demikian, maka
sikap mereka sedikit dapat memberikan ketenangan di hati
perempuan itu. Agaknya ketiga orang itu bukan orangorang
yang garang. "Kami ingin bertemu dengan Ki Bekel" berkata Mahisa
Ura. "Siapakah kalian?" sekali lagi perempuan itu bertanya.
"Kami tiga bersaudara. Kami adalah pedagang keliling,"
jawab Mahisa Ura. Perempuan itu mengangguk-angguk. Lalu katanya,
"Silahkan menunggu di pendapa. Akan aku sampaikan
kepada Ki Bekel." "Terima kasih," jawab Mahisa Ura.
Ketiganya pun kemudian telah pergi ke pendapa. Mereka
duduk diatas tikar yang memang sudah terbentang.
Beberapa saat mereka menunggu sambil memperhatikan
keadaan disekelilingnya. Rumah Ki Bekel bukanlah rumah yang terlalu besar.
Tetapi kelihatan terawat dan teratur. Halamannya bersih
dinaungi oleh beberapa jenis pepohonan. Sebatang pohon
sawo, sebatang pohon jambu air dikedua sudutnya,
sementara di dekat regol terdapat sepasang pohon
kemuning. Di halaman samping terdapat beberapa batang
pohon nyiur seperti yang terdapat di halaman samping
belakang, sebagaimana mereka lihat, ketika mereka datang.
Ketika pintu pringgitan berderit, maka mereka bertiga
pun segera berpaling. Mereka melihat seorang laki-laki yang
mulai memasuki hari-hari tuanya. Namun tubuhnya masih
nampak kuat dan tegap. Wajahnya memancar cerah.
Sementara itu, dengan langkah yang pasti ia pun kemudian
menuju ketiga orang tamu yang telah duduk lebih dahulu.
"Maaf Ki Sanak," berkata Ki Bekel, "kalian terpaksa
menunggu sejenak." "O, tidak apa Ki Bekel," jawab Mahisa Ura. Namun
tiba-tiba ia bertanya, "Bukankah aku berhadapan dengan Ki
Bekel?" "Ya, ya. Aku adalah Bekel di padukuhan ini," jawab Ki
Bekel, "bukankah kalian memang ingin bertemu dengan
aku?" "Ya Ki Bekel," jawab Mahisa Ura, "kami bertiga
bersaudara memang ingin menghadap Ki Bekel."
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, "Menurut Nyi
Bekel, kalian bertiga adalah pedagang keliling. Apakah
benar begitu?" "Ya Ki Bekel," jawab Mahisa Ura, "kami adalah tiga
orang bersaudara. Kami memang pedagang keliling. Kami
memang ingin mohon ijin untuk berdagang di padukuhan
ini. Apabila Ki Bekel mengijinkan, kami ingin berada di
padukuhan ini barang satu dua hari."
Ki Bekel mengerutkan keningnya. Ia pun kemudian
bertanya, "Apakah yang kalian jual belikan" Hasil bumi
atau binatang ternak?"
"Bukan Ki Bekel," jawab Mahisa Ura, "bukah hasil
bumi dan bukan binatang ternak. Tetapi kami adalah
pedagang batu akik dan wesi aji."
Ki Bekel mengerutkan keningnya. Dengan nada tinggi ia
bertanya, "Batu akik?"
"Ya, batu akik," jawab Mahisa Ura.
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "orangorang
di padukuhan ini tidak pernah merasa perlu dengan
batu akik itu. Memang ada juga satu dua orang di
padukuhhan ini yang memiliki batu akik. Tetapi yang lain
tidak pernah berpikir untuk berusaha memilikinya. Tetapi
kalau wesi aji, mungkin ada satu dua orang yang sering
membicarakannya." "O," Mahisa Ura mengangguk-angguk, "jika demikian
biarlah kami memberikan pelayanan tentang kebutuhan
wesi aji." Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku
tidak akan menghalangi usaha kalian Ki Sanak. Tetapi aku
kira kalian tidak akan mendapat kepuasan berdagang di
tempat ini. Padukuhan ini bukan padukuhan yang kaya.
Satu dua orang diantaranya memang memungkinkan untuk
membeli sesuatu diluar kebutuhan sehari-hari. Tetapi aku
tidak dapat mengatakan, apakah kalian akan mendapat
kesempatan yang baik untuk berdagang di sini. Meskipun
demikian, aku akan mempersilahkan kalian untuk tinggal di
banjar barang satu dua hari."
"Terima kasih Ki Bekel," jawab Mahisa Ura, "kami juga
baru sekedar menjajagi. Jika ada kemungkinan untuk
berdagang, aku akan mendapatkan pasaran baru. Tetapi
jika tidak, ini adalah sekedar penjajagan. Mudah-mudahan
aku berhasil di sini dan di padukuhan-padukuhan di
sekitarnya. Mungkin di seluruh Kabuyutan."
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, "Silahkan. Aku
tidak dapat mengatakan apa-apa." Ki Bekel itu berhenti
sejenak, lalu, "tetapi siapakah nama kalian bertiga?"
"Namaku Mahisa Ura. Kedua adikku ini bernama
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat," jawab Mahisa Ura.
Ki Bekel mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Jika
demikian, biarlah kalian diantar ke banjar. Kalian akan
diserahkan kepada penunggu banjar atas ijinku."
Mahisa Ura mengangguk hormat sambil berkata,
"Terima kasih Ki Bekel. Kemurahan hati Ki Bekel akan
sangat berarti bagi usaha kami bertiga."
"Tunggulah. Aku akan memanggil anakku," berkata Ki
Bekel kemudian. Sejenak kemudian, maka Ki Bekel pun bangkit dan
masuk ke dalam lewat pintu pringgitan. Beberapa saat
kemudian, maka ia pun telah datang kembali bersama
dengan seorang laki-laki muda yang tubuhnya tegap
sebagaimana Ki Bekel. Wajahnya nampak bersungguhsungguh
sebagaimana tatapan matanya yang tajam.
Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Di dalam hati
ia berkata, "Anak muda yang cerdas."
Ki Bekel pun kemudian memperkenalkan laki-laki muda
itu kepada ketiga orang yang mengaku pedagang batu akik
itu, sebagai anaknya. "Namanya Waditra," berkata Ki Bekel.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura
mengangguk hormat. Mereka pun telah memperkenalkan
nama mereka masing-masing.
Waditra yang berwajah tenang dan bersungguh-sungguh
itu ternyata seorang yang ramah. Sambil tersenyum ia
berkata, "Kalian telah mengunjungi satu padukuhan yang
sepi dan miskin." "Kami sedang menjajagi kemungkinan untuk dapat
berhubungan dengan isi padukuhan ini," berkata Mahisa
Ura. "Ayah sudah mengatakan kepadaku, apakah yang
sedang kalian lakukan sekarang ini di padukuhanku. Aku
tidak tahu, apakah kalian akan berhasil atau tidak," berkata
Waditra.
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apapun yang akan kami alami, tidak akan
mengecewakan kami. Setidak-tidaknya kami telah
mendapat sahabat-sahabat baru yang akan dapat menjadi
tempat bernaung diwaktu hujan, dan tempat mencari air
diwaktu haus dalam perjalanan seperti yang sedang kami
lakukan," berkata Mahisa Ura.
Waditra tersenyum. Katanya, "Baiklah. Marilah, aku
antar kalian ke banjar dan aku serahkan kalian kepada
penunggu banjar, agar kalian mendapat tempat untuk
bermalam barang satu dua malam."
"Terima kasih," sahut Mahisa Ura.
Sejenak kemudian maka Mahisa Ura, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat pun telah minta diri kepada Ki Bekel. Sambil
sekali lagi mengucapkan terima kasih, maka mereka pun
meninggalkan regol halaman itu menuju ke banjar, bersama
dengan anak Ki Bekel yang berwajah dalam dan
bersungguh-sungguh itu. Ternyata banjar itu tidak terlalu jauh. Namun demikian
sebagaimana saat mereka memasuki padukuhan itu, maka
semua orang telah memperhatikan mereka meskipun
mereka telah diantar oleh Waditra, anak laki-laki Ki Bekel
dari padukuhan itu. Di banjar mereka diterima oleh seorang laki-laki separo
baya. Rambutnya sudah mulai berwarna dua.
"Orang inilah yang menunggu banjar," berkata Waditra.
Mahisa Ura dan kedua orang yang diakuinya sebagai
adiknya itu pun mengangguk sambil memperkenalkan diri
mereka pula. "Nah, terserahlah kepadamu," berkata Waditra kepada
penunggu banjar itu, "kau dapat mengatur, bahwa ketiga
orang ini akan dapat bermalam di banjar." Namun
kemudian Waditra pun berpaling kepada Mahisa Ura,
"Tetapi Ki Sanak. Karena kedatangan kalian adalah untuk
berdagang, maka kami mohon maaf, bahwa kami tidak
dapat menyediadakan makan dan minuman kalian. Kami
hanya dapat menyediakan tempat untuk sekedar
beristirahat. Itu pun apa adanya sebagaimana kau lihat
sekarang." Mahisa Ura dengan serta merta menjawab, "Apa yang
kami terima jauh dari cukup. Soal makan dan minum kami,
jangan dirisaukan. Memang kami tidak akan dapat
membebani padukuhan ini dengan kebutuhan-kebutuhan
kami yang seharusnya kami tanggung sendiri. Tetapi apa
yang disediakan buat kami telah jauh dari cukup."
Waditra mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Sudahlah.
Aku masih tugas lain. Tetapi apakah aku diijinkan untuk
sekedar melihat apa yang kalian perdagangkan?"
"O," Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling
berpandangan sejenak. Namun kemudian Mahisa Pukat
pun menyahut, "Aku membawa beberapa batu akik yang
paling bagus pada masa sekarang. Batu akik yang dapat
mempengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang, sehingga
ia akan mendapat perhatian yang sangat besar dari pihak
lain. Anak-anak muda akan diperhatikan oleh gadis-gadis
sebaliknya gadis-gadis akan dikerumuni oleh anak-anak
muda. Tetapi tuah yang lain adalah, siapa yang memakai
batu akik itu sebagai mata cincin atau mata bandul
kalungnya, maka ia akan dapat melakukan semua tugastugasnya
dengan baik." Waditra itu mengerutkan keningnya, tetapi ia tidak
menjawab. Dalam pada itu Mahisa Pukat pun telah mengeluarkan
beberapa batu akik dari kantong ikat pinggangnya. Batu
akik yang memang sudah dipersiapkan, dan seandainya
batu akik itu dilihat oleh seorang yang ahli sekalipun
sebagaimana Mahendra, maka akan mengatakan bahwa
batu akik itu memang batu akik yang bagus.
Selain batu akik, maka Mahisa Pukat pun telah
mengeluarkan pula dari kantong ikat pinggangnya yang
sebelah, beberapa butir batu permata yang sudah ada pada
embannya. Cincin dan gelang.
Waditra menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun
kemudian berkata, "Agaknya kami di sini tidak banyak
tertarik terhadap batu akik. Apalagi permata yang harganya
tentu sangat mahal. Tetapi bukankah kalian juga membawa
wesi aji?" "Ya," jawab Mahisa Murti, "Tetapi yang ada pada kami
sekarang bukan wesi aji dalam ujud senjata pakai."
"Aku ingin melihat" berkata Waditra.
Mahisa Murti lah yang kemudian mengambil dari
kantong ikat pinggangnya beberapa jenis benda kecil
berwarna kuning kehitam-hitaman, tetapi ada juga yang
berwarna hijau. Yang mirip dengan sebilah pisau yang kecil kemudian
dipisahkannya sambil berdesis, "Wesi kuning."
Anak Ki Bekel itu termangu-mangu. Dipandanginya
benda kecil itu sambil mengangguk-angguk. Menurut
penglihatannya, maka benda itu agaknya memang memiliki
sesuatu yang dapat mempengaruhi pemiliknya.
"Apakah kau akan membelinya?" bertanya Mahisa
Murti. Waditra termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Aku akan memberitahukan kepada ayah.
Mungkin ada satu di antaranya yang menarik perhatiannya.
Mungkin benda yang kau tunjukkan kepadaku itu."
"Baiklah yang ini aku sisihkan," berkata Mahisa Murti.
Waditra mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Aku akan
minta diri. Segala sesuatunya tergantung kepada ayah."
Mahisa Murti mengangguk-angguk hormat. Katanya,
"Silahkan. Sementara itu, sekali lagi kami mengucapkan
terima kasih." Waditra itu pun kemudian meninggalkan ketiga orang
yang akan berada di banjar itu barang satu dua hari. Namun
ia sudah melihat, bahwa mereka benar-benar membawa
barang-barang yang mereka sebut sedang diperjualbelikan.
Dengan demikian kecurigaan Waditra atas ketiga orang itu
pun telah hilang. Mereka bukan sekedar orang-orang yang
mengaku sebagai pedagang, tetapi mereka mempunyai
maksud yang lain. Dalam pada itu, Mahisa Ura, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat pun menyadari, bahwa Waditra bukannya ingin
membeli sesuatu dari mereka. Yang dilakukannya adalah
sekedar melihat, apakah benar mereka memang mempunyai
barang-barang yang akan mereka perjual belikan
sebagaimana mereka katakan."
Tetapi mereka bertiga sama sekali tidak berkeberatan.
Dengan demikian maka mereka pun telah dapat
meyakinkan, bahwa mereka tidak perlu dicurigai.
Waditra yang tidak lagi mencurigai ketiga orang itu,
justru telah memberitahukan bukan saja kepada ayahnya,
tetapi kepada beberapa orang yang dijumpainya, bahwa di
banjar ada tiga orang pedagang keliling yang membawa
beberapa jenis batu akik, permata dan wesi aji.
Meskipun orang-orang padukuhan itu bukannya orangorang
yang kaya, tetapi ada juga minat di antara mereka
untuk melihat-lihat barang-barang yang dibawa oleh
Mahisa Ura, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Karena itulah, maka beberapa saat kemudian, maka
beberapa orang telah datang ke banjar untuk bertemu dan
berkenalan dengan mereka bertiga.
"Seandainya kalian tidak jadi membeli apapun juga,
kami sudah merasa beruntung," berkata Mahisa Ura,
"setidak-tidaknya kami telah mendapatkan sahabat-sahabat
yang baik di daerah ini."
Orang-orang padukuhan itu pun mengangguk-angguk.
Ternyata bahwa sikap dan pelayanan ketiga orang itu dapat
memberikan kesenangan kepada orang-orang padukuhan
itu. Meskipun masih belum ada di antara orang-orang
padukuhan itu yang membeli sepotong bendapun, namun
kedatangan mereka telah menunjukkan sikap yang ramah
dari orang-orang padukuhan itu.
Dalam waktu sehari saja, maka Mahisa Ura, Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat telah mengenal sebagian besar dari
penghuni padukuhan itu, terutama orang-orang laki-laki
dan anak-anak mudanya. "Jika kita berada di sini untuk dua tiga hari, maka kita
akan mengenali seluruh isinya," berkata Mahisa Ura.
"Tetapi bukahkah itu tidak penting," berkata Mahisa
Murti, "yang penting bagi kami adalah mengetahui,
mendengar atau melihat kemungkinan-kemungkinan untuk
menemukan jalan menuju ke padepokan orang-orang
bertongkat itu." Mahisa Ura mengangguk-angguk, sementara Mahisa
Pukat berkata, "mudah-mudahan kita akan mendengar
seseorang di sini menyebut padepokan itu."
"Ya mudah-mudahan," berkata Mahisa Ura, "jika tidak,
maka kita masih mungkin untuk berhubungan dengan
padukuhan-padukuhan di sekitar padukuhan ini, sementara
kita akan memohon kepada Ki Bekel untuk tetap berada di
banjar ini lebih lama lagi. Jika tidak terjadi sesuatu, maka
aku kira, Ki Bekel tidak akan berkeberatan."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Dalam waktu yang singkat, maka hubungan ketiga orang
itu dengan penghuni padukuhan itu pun menjadi semakin
akrab. Ternyata di antara sekian banyak penghuni
padukuhan itu, ada juga yang menaruh minat atas barangbarang
yang dibawa oleh Mahisa Murti. Wesi aji yang
berupa benda-benda kecil itu, dapat juga menarik perhatian
seorang yang terhitung kaya di padukuhan itu untuk
memiliki. Mahisa Murti yang mengemban tugas yang lain, yang
bukan sekedar berdagang, tidak memberikan harga terlalu
tinggi. Ia tidak mengharapkan keuntungan yang banyak.
Tetapi yang penting, baginya adalah kesan bahwa mereka
memang seorang pedagang. Tetapi Mahisa Murti pun tidak memberikan harga
semena-mena. Jika yang membeli itu benar-benar
mengetahui serba sedikit tentang wesi aji, maka jika ia
memberikan harga terlalu murah, maka tentu akan
menimbulkan pertanyaan pula.
Karena itu, Mahisa Murti memberikan harga sewajarnya
meskipun ternyata harga itu dianggap terlalu tinggi bagi
orang yang ingin membelinya.
Ternyata telah terjadi tawar menawar. Namun akhirnya
Mahisa Murti lah yang mengalah. Meskipun sebenarnya ia
masih rugi, tetapi karena tidak seberapa, maka diberikannya
juga wesi aji yang di kehendaki oleh orang padukuhan
dengan harga sebesar sebagaimana ia menawar.
"Buka dasar," berkata Mahisa Murti.
Sementara itu, ternyata bahwa Ki Bekel dari padukuhan
itu pun telah memerlukan mengunjungi banjar dan melihat
beberapa jenis wesi aji sebagaimana dikatakan oleh anak
laki-lakinya. Ki Bekel memang tertarik kepada sebuah di
antaranya yang bentuknya mirip dengan sebilah pisau,
tetapi terlalu kecil dan warnanya memang kuning agak
kehitam-hitaman. Ternyata bahwa Ki Bekel pun memiliki pengetahuan
serba sedikit tentang wesi aji. Ia pun agaknya mampu
menilai wesi aji yang disebutnya sebagai wesi kuning itu.
"Apakah pengaruh wesi aji yang satu ini?" bertanya Ki
Bekel. "Ki Bekel dapat menayuhnya," jawab Mahisa Murti
"Mungkin semalam, tetapi mungkin tiga malam."
"Aku mengerti. Tetapi bagaimana menurut
pendapatmu?" bertanya Ki Bekel pula.
"Menurut pendapatku, wesi aji ini mempunyai pengaruh
yang sejuk. Wataknya tenang dan damai," jawab Mahisa
Murti. Ki Bekel mengangguk-angguk sambil mengamati wesi aji
itu. Katanya, "agaknya aku sesuai dengan pendapatmu.
Tetapi apakah aku diperbolehkan meyakinkannya?"
"Maksud Ki Bekel?" bertanya Mahisa Murti.
"Seperti yang kau katakan, aku akan menayuhnya
barang tiga malam. Tetapi dengan demikian aku akan
menghambat jika kalian akan meninggalkan tempat ini,"
berkata Ki Bekel. "O, tidak apa-apa Ki Bekel. Kami tidak mempunyai
batasan waktu. Jika perlu kami dapat berada di satu tempat
sampai sepekan. Seperti Ki Bekel ketahui, kami adalah
pedagang keliling. Di mana memungkinkan barang-barang
kami terjual, maka kami akan berada di tempat itu," jawab
Mahisa Murti. "Tetapi tentu dengan perhitungan," sahut Ki Bekel,
"kalian di sini harus makan dan minum. Jika keuntungan
yang kalian dapat di sini tidak seimbang dengan
pengeluaran kalian, maka kalian tentu merasa dirugikan."
Mahisa Murti tersenyum. Ki Bekel adalah seorang tua
yang tentu memiliki pengalaman dan pengetahuan yang
luas, sehingga pengamatannya terhadap mereka bertiga pun
didasari atas pengenalannya yang luas itu. Tentu ada di
antara orang-orang padukuhan itu yang juga menjadi
pedagang. Meskipun mungkin pedagang ternak atau yang
lain. Namun dalam pada itu Mahisa Murti pun menjawab,
"Benar Ki Bekel. Kami tentu mengharapkan mendapat
keuntungan. Tetapi seandainya perjalanan kami untuk
memperkenalkan diri ini tidak mendapat keuntungan
sebagaimana kami harapkan, namun kami telah
mendapatkan keuntungan yang lain, sebagaimana pernah
kami katakan sebelumnya. Di sini kami mendapatkan
sahabat-sahabat. Bukan berarti tidak ada pamrih, sebab
kami akan dapat datang pada kesempatan yang lain dengan
membawa barang-barang yang lebih banyak lagi, sehingga
keuntungan kami pada kesempatan lain itu akan dapat
menutup kekurangan yang kami alami sebelumnya."
Ki Bekel mengerutkan keningnya. Namun ia pun
kemudian tersenyum. Katanya, "Aku senang. Kau berkata
dengan jujur." Mahisa Murti pun tersenyum pula. Katanya, "Aku tidak
dapat berkata lain kecuali apa adanya."
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baiklah," berkata Ki Bekel, "aku akan mencoba
menayuh wesi kuning ini. Tetapi aku memerlukan waktu
tiga malam sejak malam nanti."
"Silahkan Ki Bekel. Jika ternyata di dalam tayuh itu
terdapat ketidak sesuaian, maka kami tidak akan kecewa
jika rencana pembelian itu diurungkan," berkata Mahisa
Murti. Ki Bekel pun kemudian telah membawa wesi aji itu
untuk ditayuh selama tiga malam.
Ketika banjar itu kemudian menjadi sepi, maka Mahisa
Murti pun berkata, "Untunglah bahwa Ki Bekel
memberikan alasan kepada kita untuk berada di tempat ini
lebih lama." Mahisa Ura mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Dalam
waktu yang tiga hari itu, kita akan dapat melihat-lihat
keadaan di sekeliling padukuhan ini. Mungkin aku dapat
mengenali sesuatu yang akan dapat menuntun kita ke
padepokan orang-orang bertongkat itu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Dengan demikian mereka tidak perlu membuat alasanalasan
apapun untuk memperpanjang kesempatan mereka
berada di banjar itu. Demikianlah selain melayani orang-orang padukuhan itu
yang kebanyakan hanya sekedar melihat-lihat saja, maka
ketiga orang itu sempat keluar dari padukuhan.
"Kami ingin sekedar melihat-lihat," berkata Mahisa Ura
kepada orang-orang padukuhan itu, "kami masih harus
menunggu Ki Bekel yang menayuh salah satu di antara wesi
aji yang kami bawa."
Tidak ada seorang pun yang mencurigai mereka. Ketika
mereka keluar dari padukuhan itu, tidak seorang pun yang
berniat untuk mengawasinya.
Namun ketiga orang itu tertegun ketika mereka terhenti
di luar regol padukuhan itu, karena seseorang telah
menghentikan mereka. "Ki Jagabaya," desis Mahisa Ura.
"Ya Ki Sanak," jawab orang yang disebut Ki Jagabaya
itu. "Apa ada sesuatu yang ingin Ki Jagabaya katakan
kepada kami?" bertanya Mahisa Ura.
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian ia pun bertanya, "Ki Sanak bertiga akan pergi ke
mana?" "Hanya sekedar melihat-lihat," jawab Mahisa Ura,
"kami tidak mempunyai tujuan tertentu."
"Apakah Ki Sanak bertiga akan melihat-lihat sampai
jarak yang jauh?" bertanya Ki Jagabaya.
Mahisa Ura termangu-mangu. Namun kemudian ia pun
bertanya, "Apakah ada sesuatu yang penting atau
merupakan pantangan di daerah ini?"
Ki Jagabaya termangu-mangu. Tiba-tiba saja ia
memandang berkeliling. Wajahnya nampak tegang dan
sikapnya nampak gelisah. Mahisa Ura, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat merasa
heran melihat sikap Ki Jagabaya itu. Karena itu maka
Mahisa Ura pun kemudian bertanya pula, "Ada apa
sebenarnya Ki Jagabaya?"
Ki Jagabaya itu menarik nafas. Lalu katanya, "Marilah.
Kita masuk kedalam regol padukuhan. Nanti aku
persilahkan kalian bertiga untuk melanjutkan perjalanan."
Mahisa Ura, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak
membantah. Meskipun mereka merasa heran, namun
mereka pun kemudian mengikuti Ki Jagabaya masuk
kembali kedalam regol. Baru setelah mereka berada didalam regol, maka Ki
Jagabaya itu berkata, "Ki Sanak. Kami ingin sedikit
memberikan peringatan bagi Ki Sanak bertiga. Mungkin Ki
Sanak bertiga belum mengetahui lingkungan ini dengan
baik." Mahisa Ura yang mengangguk-angguk bertanya, "Kami
memang belum mengetahui apa pun juga tentang
lingkungan ini Ki Jagabaya. Yang kami ketahui barulah
padukuhan ini, karena kami berada di sini. Namun menurut
penilaian kami, para penghuni padukuhan ini adalah orangorang
yang baik dan ramah, sehingga karena itu maka kami
merasa seakan-akan kami berada di rumah sendiri."
"Ki Sanak benar," jawab Mahisa Ura, "tetapi itu adalah
orang-orang padukuhan ini dan padukuhan-padukuhan
sebelah menyebelah. Karena itu, aku bertanya, apakah Ki
Sanak akan berjalan jauh atau tidak."
Mahisa Ura memandang Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat sejenak. Namun kemudian dengan nada datar ia
bertanya, "Kami kurang mengerti ukuran yang Ki Jagabaya
maksudkan. Jarak yang disebut jauh itu sampai seberapa.
Mungkin seratus patok, mungkin lebih."
Ki Jagabaya termangu-mangu Sejenak. Sejenak ia
memandang ke arah regol. Namun masih ada kesan
padanya, bahwa Ki Jagabaya itu menjadi gelisah.
"Ki Sanak," berkata Ki Jagabaya, "karena Ki Sanak
berada di padukuhan ini atas ijin Ki Bekel, maka di sini Ki
Sanak adalah tamu kami. Karena itu, maka bagaimanapun
juga, kami merasa ikut bertanggung jawab atas keselamatan
Ki Sanak bertiga." Mahisa Ura mengangguk-angguk. Katanya, "Terima
kasih Ki Jagabaya. Kami memang merasa tenang di
padukuhan ini." "Karena itu, maka kami ingin memberi peringatan
kepada Ki Sanak bertiga," berkata Ki Jagabaya kemudian,
"Ki Sanak jangan salah mengerti. Percayalah bahwa aku
bermaksud baik." "Ya, ya Ki Jagabaya. Kami percaya," sahut Mahisa
Ura. Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Lalu katanya,
"Sebenarnya aku ingin memperingatkan agar Ki Sanak
jangan berjalan-jalan terlalu jauh ke Utara."
Mahisa Ura mengerutkan keningnya. Sementara Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak.
Sementara itu Ki Jagabaya pun berkata selanjutnya,
"Sebenarnya daerah itu bukan daerah yang pantang
dikunjungi pada mulanya. Tetapi akhir-akhir ini daerah
tersebut sering menjerat orang-orang yang sedang lewat.
Bahkan kecemasan telah mulai tumbuh di padukuhanpadukuhan
disekitar tempat ini. Sedangkan padukuhanpadukuhan
itu terletak di Kabuyutan yang sama dengan
daerah ini." Mahisa Ura mengangguk-angguk. Lalu katanya,
"Terima kasih atas peringatan ini Ki Jagabaya. Tetapi
seberapa jauh dari padukuhan ini tempat yang Ki Jagabaya
maksudkan itu." "Ada beberapa padukuhan. Padukuhan ini adalah
padukuhan di ujung Kabuyutan. Sedangkan padukuhan
yang mulai dibayangi oleh orang-orang yang kadangkadang
mengganggu itu, adalah padukuhan di ujung yang
lain dari Kabuyutan ini," jawab Ki Jagabaya.
"Lalu bagaimana dengan Kabuyutan di sebelah lagi?"
bertanya Mahisa Murti tiba-tiba.
"Kabuyutan itu mengalami keadaan yang lebih parah.
Jika keadaan tidak berubah, maka Kabuyutan sebelah, akan
menjadi daerah mati. Orang-orangnya akan berpindah
tempat ke Kabuyutan yang lain sehingga akhirnya
Kabuyutan itu akan menjadi kosong," sahut Ki Jagabaya.
Mahisa Ura mengangguk-angguk. Tetapi ia pun
kemudian bertanya, "Ki Jagabaya. Apakah sebabnya, maka
perubahan itu tiba-tiba saja telah terjadi" Jika semula tidak
ada kesulitan bagi Kabuyutan sebelah, kini tiba-tiba
keadaan telah berubah."
Ki Jagabaya termangu-mangu sejenak. Setiap kali ia
memandang ke arah regol. Bahkan kemudian
dipandanginya lingkungan disekelilingnya. Namun yang
nampak olehnya adalah seorang perempuan yang lewat
memasuki gerbang halaman rumahnya tidak jauh dari
tempat mereka berdiri. Perempuan itu memang
memperhatikan mereka sejenak. Tetapi kemudian ia pun
tidak menghiraukannya lagi.
Sementara itu Ki Jagabaya pun kemudian berkata,
"Masih belum jelas bagi kami. Tetapi sudah terasa kesulitan
akan membentang di hadapan kami. Pada bulan terakhir,
kami sudah mengalami beberapa kali tindak kekerasan
terjadi di lingkungan ini Kabuyutan kami, sedangkan di
Kabuyutan sebelah, jumlah itu lebih besar lagi."
"Kekerasan yang bagaimana yang telah terjadi"
Perkelahian, atau mungkin perampokan?" bertanya Mahisa
Pukat. "Agaknya memang mengarah kekerasan yang berlatar
belakang kejahatan. Tetapi kami kurang pasti, apakah
sebenarnya yang telah terjadi, karena pernah kami
ketemukan korban yang sebenarnya sudah dapat diduga
sebelumnya, bahwa ia tidak memiliki sesuatu yang dapat
dirampok," berkata Ki Jagabaya.
Mahisa Ura mengangguk-angguk. Lalu katanya,
"Terima kasih atas keterangan ini Ki Jagabaya. Dengan
demikian maka kami tidak akan tersesat ke daerah yang
berbahaya itu." "Hal ini aku lakukan karena kalian adalah tamu-tamu
kami," berkata Ki Jagabaya kemudian. "karena itu,
sebaiknya Ki Sanak jangan mendekati daerah yang
berbahaya itu." Mahisa Ura, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Mahisa Ura
menyahut, "Terima kasih Ki Jagabaya. Jika Ki Jagabaya
tidak memberi tahu kepada kami, maka aku kira kami
mungkin sekali akan tersesat ke daerah yang berbahaya
itu." "Aku hanya ingin menghormati tamuku," berkata Ki
Jagabaya, "sebenarnya aku tidak boleh memberitahukan hal
ini kepada Ki Sanak bertiga. Jika diketahui bahwa aku telah
mencegah seseorang melalui daerah gawat itu, maka aku
tentu akan diancam oleh orang-orang yang sering
melakukan kejahatan itu, karena aku di anggap telah
membendung arus mangsa yang seharusnya diperuntukkan
bagi mereka." Ketiga orang itu pun mengangguk-angguk. Itulah
agaknya Ki Jagabaya bersikap aneh.
"Tidak ada seorang pun yang berani memperingatkan
kepada Ki Sanak bertiga," berkata Ki Jagabaya, "Ki Bekelpun
tidak memperingatkan Ki Sanak agar tidak berjalan ke
arah Utara. Mungkin Ki Bekel memang lupa atau
barangkali Ki Bekel merasa tidak berkepentingan dengan Ki
Sanak bertiga. Tetapi ternyata bahwa baik Ki Bekel,
maupun anaknya tidak memberi peringatan kepada Ki
Sanak bertiga." "Baiklah Ki Jagabaya," berkata Mahisa Ura kemudian,
"aku akan berjalan-jalan di lingkungan Kabuyutan ini,
tetapi tidak sampai ke ujung, sehingga aku tidak akan
terjerumus kedalam kesulitan sebagaimana Ki Jagabaya
katakan." Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Katanya, "berhatihatilah.
Tetapi sebaiknya Ki Sanak tidak keluar dari
padukuhan ini. Atau sejauh-jauhnya padukuhan sebelah."
"Aku akan memperhatikan pesan Ki Jagabaya," jawab
Mahisa Ura. Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Katanya, "Mudahmudahan
kalian tidak menemui kesulitan di perjalanan."
Mahisa Ura, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
kemudian meninggalkan Ki Jagabaya yang termangumangu.
Sekali lagi mereka keluar dari regol padukuhan
untuk melihat-lihat keadaan disekitar padukuhan itu.
Beberapa puluh langkah dari regol, setelah mereka tidak
lagi melihat Ki Jagabaya, maka Mahisa Ura pun berkata,
"Untunglah, kita mendapat peringatan daripadanya. Ada
juga orang yang berani berkata kepada kita tentang orangorang
itu." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Namun kemudian Mahisa Pukat pun bertanya, "Apakah
kita tidak akan berani mendekati daerah yang dikatakan
gawat itu?" "Tentu tidak," berkata Mahisa Ura, "semakin gawat
keadaan suatu tempat, maka tempat itu akan menjadi
semakin menarik bagi kita."
"Aku sependapat," sahut Mahisa Murti, "kita akan
menyelidiki tempat itu. Mungkin ada hubungannya dengan
orang-orang bertongkat atau justru padepokan."
"Menarik sekali," berkata Mahisa Pukat, "mudahmudahan
kita mendapat petunjuk serba sedikit tentang
orang-orang bertongkat atau padukuhan."
"Tetapi kita tidak akan melakukannya sekarang,"
berkata Mahisa Ura. "Kenapa?" bertanya Mahisa Pukat.
"Kita wajib menghormati pesan Ki Jagabaya," jawab
Mahisa Ura, "jika kita pergi sekarang, sementara ada orang
lain yang menyampaikannya kepada Ki Jagabaya, maka Ki
Jagabaya akan sangat tersinggung. Seolah-olah kita dengan
sengaja melanggar pesannya."
"Apa bedanya jika kita melakukannya pada kesempatan
lain?" bertanya Mahisa Pukat.
"Ada bedanya," jawab Mahisa Ura, "kita akan dapat
menjawab, bahwa kita sangat tertarik kepada keadaan
padukuhan-padukuhan disekitar tempat ini sehingga kita
terlupa pesan itu. Keasyikan kita berbicara tentang batu
akik dan wesi aji membuat kita kehilangan kewaspadaan.
Kesalahan kita adalah kita kurang berhati-hati, bukan
dengan sengaja melanggar pesannya atau bahkan menjajagi
kebenaran pesan itu."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak
membantah. Karena itu, maka ketika mereka sampai disimpang tiga,
mereka memang tidak menuju ke Utara. Tetapi mereka
telah berbelok ke Selatan.
Sebenarnyalah, saat itu Ki Jagabaya masih
memperhatikan mereka meskipun ia berdiri di belakang
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dinding di sebelah regol. Karena itu Mahisa Ura, Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat yang berpaling sekaligus tidak
melihatnya. Ketika Ki Jagabaya itu melihat ketiga orang itu berbelok
ke Selatan, maka ia menarik nafas dalam-dalam.
Ketegangan di wajahnya pun bagaikan larut, sehingga
sejenak kemudian ia pun telah bergeser meninggalkan
tempatnya. Dengan nada dalam ia berkata kepada dirinya sendiri,
"Sokurlah, bahwa mereka mau mendengarkan petunjukpetunjukku."
Sementara itu, Mahisa Ura, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah menyusuri jalan bulak yang panjang. Dengan
ketajaman ingatan seorang petugas sandi, Mahisa Ura
mencoba mengingat, tanda-tanda manakah yang pernah
dilihatnya. Namun ada semacam keyakinan bahwa pada
saat-saat ia tersesat, ia memang melewati jalan itu.
"Aku sedang mencoba mengingat, apakah aku melewati
tempat ini setelah aku kehilangan jalan," berkata Mahisa
Ura. "Kau adalah seorang petugas sandi," sahut Mahisa
Pukat, "ingatanmu tentu cukup tajam."
"Apakah seorang petugas sandi pada suatu saat tidak
akan kehilangan jejak pada ingatannya?" berkata Mahisa
Ura, "mungkin aku kehilangan jejak itu. Tetapi mungkin
aku akan mampu mengingatnya kembali."
Mahisa Murtilah yang kemudian tersenyum sambil
berkata, "Usahakan, agar kau dapat mengingatnya
kembali." Mahisa Ura mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak segera
dapat mengingat jalan yang pernah dilaluinya.
Namun demikian ia berkata, "besok kita pergi ke Utara.
Mungkin ada sesuatu yang dapat mengingatkan aku kepada
jalan yang menuju ke padepokan orang-orang bertongkat
itu." Hari itu Mahisa Ura, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
benar-benar hanya melihat-lihat. Mereka memasuki sebuah
padukuhan dan berbicara dengan Bekel di padukuhan itu.
Ternyata Ki Bekel pun tidak berkeberatan jika ketiga orang
itu akan sekedar berjual beli batu-batu akik dan wesi aji.
Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
menunjukkan contoh-contoh dari barang-barang yang dijual
belikan. "Kami menunggu Ki Bekel di padukuhan sebelah
sedang melakukan tayuh atas sebuah dari wesi aji yang
kami bawa. Sementara itu, kami mulai hubungan kami
dengan padukuhan-padukuhan sebelah menyebelah,"
berkata Mahisa Ura. "Baiklah," berkata Ki Bekel, "singgahlah di sini. Jika
kalian ingin bermalam di banjar padukuhan, kami tidak
berkeberatan. Tetapi sebagaimana kalian katakan, bahwa
kami hanya dapat menyediakan tempat sekedar untuk tidur
saja, seperti di padukuhan tempat kalian bermalam
sekarang." "Terima kasih," berkata Mahisa Ura, "tetapi jika
barang-barangku sudah habis, maka aku akan kembali lebih
dahulu untuk mengambil barang-barang dagangan baru.
Kemudian aku akan kembali lagi ke padukuhan ini."
"Kapan pun Ki Sanak datang, kami akan menerima
kalian dengan senang hati," berkata Ki Bekel.
Ketika ketiga orang itu meninggalkan rumah Ki Bekel,
maka baik Ki Bekel maupun orang-orang lain, tidak
seorang- pun yang memberitahukan apa pun tentang
kemungkinan yang buruk jika mereka menempuh
perjalanan ke Utara. Karena itu, ketika mereka kembali ke penginapan,
mereka pun telah memperbincangkannya.
"Apakah benar kata Ki Jagabaya, bahwa tidak seorang
pun yang berani menyebut tentang padepokan itu," berkata
Mahisa Ura. "Tetapi rasa-rasanya tidak ada sesuatu yang tidak wajar
pada Ki Bekel dan para bebahunya. Seandainya memang
ada sesuatu, maka tentu salah seorang di antara mereka
akan memberitahukan kepada kita," berkata Mahisa Murti.
Namun Mahisa Pukatlah yang menyahut, "Mungkin
mereka memang mendapat ancaman. Tetapi dengan
demikian justru akan menjadi semakin menarik untuk
mencari hubungan dengan orang-orang di padukuhan itu.
Karena itu, besok kita akan pergi ke Utara untuk
menemukan jalan menuju ke padepokan itu."
"Baiklah," berkata Mahisa Ura, "besok kita pergi ke
Utara tanpa diketahui oleh Ki Jagabaya."
"Kita akan berangkat pagi-pagi benar, sementara kita
akan keluar dari padukuhan di regol sebelah Barat. Regol
yang tentu tidak akan dilewati, jika seseorang pergi ke
Utara. Mudah-mudahan Ki Jagabaya tidak melihatnya
kemana kita akan pergi," berkata Mahisa Murti.
Dengan demikian, maka pada hari itu, ketika mereka
bertemu dengan Ki Jagabaya telah menceriterakan apa yang
mereka lakukan di padukuhan sebelah.
Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Katanya, "Sokurlah
jika kalian tidak mengalami sesuatu. Padukuhan yang
kalian datangi itu juga masih termasuk satu Kabuyutan
dengan padukuhan ini."
Mahisa Ura, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja Ki Jagabaya
bertanya dengan berbisik, "Ki Sanak. Apakah kalian juga
mendapat peringatan ketika kalian bertemu dengan Ki
Bekel di padukuhan sebelah, agar kalian tidak pergi ke
Utara." Mahisa Ura, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangumangu.
Namun Mahisa Uralah yang menjawab perlahan-lahan
sambil menggeleng, "Tidak. Tidak Ki Jagabaya."
"Nah, yakinlah sekarang, bahwa yang aku katakan
benar," desis Ki Jagabaya.
"Ya," jawab Mahisa Ura, "kami percaya. Karena itu,
kami tidak pergi ke Utara."
Tetapi ketiga orang itu sama sekali tidak melepaskan
rencananya. Mereka benar-benar berniat esok pagi pergi ke
Utara justru karena Ki Jagabaya telah melarangnya.
Malam itu, ketiga orang itu pun berusaha untuk
beristirahat sebanyak-banyiskaya. Di sore hari mereka telah
berada di sebuah warung disudut padukuhan itu. Namun
tidak seorang pun di antara orang-orang yang berada di
warung itu, bahkan juga penjualnya, yang berbicara tentang
daerah Utara itu, meskipun ketiga orang itu telah
memancingnya. Karena itulah, ketika mereka sudah berbaring di sebuah
amben yang besar dibilik di serambi banjar padukuhan,
maka Mahisa Pukat pun berkata, "Nampaknya akan terjadi
satu perjalanan yang menarik."
"Mungkin," jawab Mahisa Ura, "mudah-mudahan aku
pun mampu mengenali sesuatu yang dapat menjadi
petunjuk arah." "Atau bahkan kita justru akan terperosok kedalamnya.
Kedalam padepokan orang-orang bertongkat itu," sahut
Mahisa Murti. Namun ketiganya tidak membicarakannya lagi. Mereka
berusaha untuk dapat tidur dengan baik. Namun justru
karena pesan Ki Jagabaya sertai kesadaran mereka, bahwa
kedatangan mereka di padukuhan itu telah diawasi oleh
orang-orang yang tidak mereka ketahui, maka mereka telah
mengatur waktu, agar mereka tidak tidur bersama-sama.
Seorang di antara mereka akan bergantian berjaga-jaga,
meskipun barangkali yang bertugas berjaga-jaga itu juga
berbaring bersama kedua orang yang lain.
Dengan tertib mereka telah mengatur, siapakah yang
mendapat giliran untuk tidur untuk waktu tertentu.
Namun Mahisa Pukat yang mendapat giliran pertama
lebih senang duduk saja bersandar pintu yang sudah
diselarak. Ketika angin berhembus lewat celah-celah dinding
bambu, maka terasa mata Mahisa Pukat menjadi sangat
berat. Namun ia harus bertahan untuk bangun sampai
saatnya ia membangunkan Mahisa Murti yang akan
menggantikannya. Menjelang dini hari, Mahisa Uralah
yang akan berjaga-jaga sampai mereka terbangun
seluruhnya menjelang hari yang akan datang.
Namun ketika hampir saatnya Mahisa Pukat
membangunkan Mahisa Murti, tiba-tiba saja ia mendengar
desir lembut di luar pintu. Karena itu, maka Mahisa Pukat
itu pun telah mengatur pernafasannya serta berusaha untuk
tidak bergerak. Desir lembut itu lewat didalam pintu. Sejenak langkah
itu berhenti, namun kemudian langkah itu bergeser terus
dan hilang di ujung serambi.
Mahisa Pukat termangu-mangu. Namun ia pun
kemudian berkata kepada diri sendiri, "Mungkin seorang
peronda yang bertugas di banjar."
Namun sejenak kemudian, ia mendengar langkah itu
kembali dan bahkan berhenti sejenak di muka pintu uu.
Sehingga dengan demikian maka Mahisa Pukat harus
menahan diri dan sekali, lagi mengatur pernafasannya,
sehingga tarikan nafasnya yang teratur mengesankan orangorang
yang sedang tidur nyenyak.
Tetapi langkah itu tidak terlalu lama berhenti. Terdengar
lagi desir menjauh dan kemudian hilang pula dari
pendengarannya. Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara
itu, maka waktu yang menjadi tanggung jawabnya sudah
lewat. Karena itu, maka ia pun kemudian menyentuh
Mahisa Murti yang segera terbangun pula.
"Akulah sekarang yang bertugas?" bertanya Mahisa
Murti. "Ya. Aku sudah menyelesaikan tugasku. Tetapi tiba-tiba
aku sama sekali tidak merasa mengantuk," jawab Mahisa
Pukat perlahan. "Kenapa?" bertanya Mahisa Murti hampir berbisik.
Mahisa Pukat termangu-mangu. Sejenak ia
memperhatikan keadaan diluar bilik itu. Ketika ia yakin
bahwa tidak ada sesuatu yang mencurigakan, maka ia pun
telah menceriterakan apa yang dialaminya.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Lalu katanya lirih,
"Baiklah. Aku akan berhati-hati. Kau tidur sajalah.
Seandainya ada seseorang yang membayangi kita, maka ia
tidak akan melakukan sesuatu di banjar ini."
"Apakah hal ini ada hubungannya dengan orang-orang
yang membayangi perjalanan kita pada saat kita mendekati
padukuhan ini?" bertanya Mahisa Pukat.
"Kita masih belum tahu," jawab Mahisa Murti, "kita
pun belum dapat menghubungkan hal itu dengan sikap Ki
Jagabaya. Menurut pendapatku, seandainya di daerah
Utara ada orang-orang yang pantas ditakuti, mereka
agaknya tidak akan sampai ke banjar ini."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu sekali
lagi Mahisa Murti berkata, "Tidurlah. Tidak akan terjadi
sesuatu." "Aku tidak mengantuk," jawab Mahisa Pukat.
"Berbaringlah," desis Murti pula, "kau akan mengantuk
dan kemudian tertidur. Besok kita akan melakukan sesuatu
yang mungkin gawat. Tetapi mungkin juga tidak ada apaapa.
Tetapi sebaiknya kau beristirahat. Aku sudah cukup
lama beristirahat, sehingga seandainya aku tidak tertidur
lagi, aku sudah cukup segar."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun ia
pun kemudian telah berbaring diamben yang besar itu di
sebelah Mahisa Ura. Ternyata derit amben itu telah
membangunkan Mahisa Ura. Tetapi agaknya Mahisa Ura
tidak berminat untuk bangun. Ia hanya membuka matanya
sejenak sambil berdesis, "Kalian akan bergantian tugas?"
"Ya," jawab Mahisa Pukat yang sudah berbaring,
sementara Mahisa Murti pun kemudian duduk bersandar
pintu sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Pukat
sebelumnya. "Kenapa kau duduk disitu?" bertanya Mahisa Ura.
"Tidak apa-apa," jawab Mahisa Murti, "jika aku masih
dipembaringan aku akan mengantuk lagi."
Mahisa Ura tidak bertanya lagi. Bahkan matanyalah
yang kemudian terpejam. Sementara itu Mahisa Pukat pun berdesis, "Jika saatnya
ia berjaga-jaga kau beritahukan apa yang aku dengar atau
mungkin kau juga akan mendengarnya."
"Baiklah," jawab Mahisa Murti.
Namun sambil matanya masih tetap terpejam Mahisa
Ura berdesis, "Ada apa?"
"Tidurlah," sahut Mahisa Pukat, "aku pun akan tidur."
Mahisa Ura memang tidak bertanya lagi. Ia pun segera
tertidur lagi. Berbeda dengan Mahisa Ura, ternyata Mahisa Pukat
memerlukan waktu yang lebih lama untuk dapat tertidur.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti masih saja duduk
bersandar pintu. Beberapa lama ia menunggu. Tetapi ia
tidak mendengar sebagaimana didengar oleh Mahisa Pukat.
Bahkan sampai saatnya ia menyelesaikan tugasnya, ia sama
sekali tidak mendengar apa-apa.
Menjelang dini hari, Mahisa Murti telah membangunkan
Mahisa Ura yang telah tidur dengan nyenyak. Karena itu,
ketika tangan Mahisa Murti menyentuhnya, ia pun segera
terbangun dan berkisar turun dari pembaringan.
Dalam pada itu ternyata Mahisa Pukat pun terbangun
pula, sehingga dengan demikian bersama Mahisa Murti ia
memberikan beberapa pesan kepada Mahisa Ura yang
bertugas terakhir untuk malam itu.
"Sebentar lagi kita akan bangun dan akan menuju ke
tempat yang justru dilarang oleh Ki Jagabaya," berkata
Mahisa Murti, "karena itu, mungkin aku masih sempat
memanfaatkan waktu yang sedikit ini untuk tidur lagi.
Tidurlah kalian," sahut Mahisa Ura, "aku akan duduk pula
seperti kalian, bersandar pintu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah
berbaring pula. Mereka ingin mempergunakan waktu yang
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tinggal sedikit untuk tidur lagi barang sejenak, sementara
Mahisa Uralah yang bertugas berjaga-jaga.
Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih dapat
mempergunakan sisa waktu yang pendek itu untuk tidur
nyenyakTetapi tidak terlalu lama. Sejenak kemudian telah
terdengar ayam jantan berkokok bersahut-sahutan.
Mahisa Ura yang berjaga-jaga pun telah membangunkan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka dengan cepat
berbenah diri dan kemudian keluar dari dalam bilik mereka.
Ketika para penjaga banjar itu bertanya, maka keti-ganya
pun menjawab, "Kami akan pergi ke sungai. Mungkin kami
akan langsung pergi ke pasar."
Para penjaga sama sekali tidak mencurigai mereka.
Mereka membiarkan Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan
Mahisa Ura untuk keluar dari halaman banjar.
Ketika mereka keluar dari regol padukuhan, maka
mereka masih bertemu dengan anak-anak muda yang
pulang dari ronda. Ketika anak-anak muda itu bertanya,
maka jawab Mahisa Ura pun tidak ubahnya dengan
jawaban yang diberikannya kepada para penjaga di regol
halaman banjar. Demikian maka ketiga orang itu pun telah keluar dari
regol padukuhan. Mereka memang menuju kesungai.
Tetapi mereka tidak terlalu lama berada di sungai kecil di
sebelah padukuhan itu. Namun mereka pun kemudian
justru telah pergi ke arah yang tidak dikehendaki oleh Ki
Jagabaya. Dengan hati-hati mereka menuju ke Utara. Setiap
jengkal yang mereka lalui telah mereka perhatikan dengan
seksama, sementara langit pun telah menjadi merah.
Namun ketiga orang itu yakin, bahwa tidak seorang pun
yang memperhatikan perjalanan mereka. Mereka pun
berharap bahwa Ki Bekel kemudian dan apalagi Ki
Jagabaya tidak mengetahui bahwa mereka telah menuju ke
arah Utara. Ketika langit menjadi terang, maka mereka telah berada
cukup jauh dari padukuhan yang menjadi tempat tinggal
mereka. Dengan cermat mereka memperhatikan jalan yang
mereka lalui. Mereka memperhatikan setiap ujud yang
menarik perhatian. Mungkin pepohonan yang besar,
mungkin batu-batu besar, apalagi batu besar yang berwarna
hijau sebagaimana pernah diceriterakan oleh Mahisa Ura
pada saat ia tersesat. Untuk beberapa lama mereka sama sekali tidak
menemukan sesuatu yang dapat dipergunakannya untuk
menemukan jalan yang pernah ditempuh oleh Mahisa Ura.
Namun mereka tidak menjadi berputus asa. Mereka
masih saja berjalan melampui beberapa padukuhan. Namun
mereka tidak mengetahui, apakah mereka telah berada di
ujung Kabuyutan yang lain.
Beberapa orang yang berpapasan dengan mereka bertiga
memang berpaling dan melihat mereka. Tetapi ketiga orang
itu memang tidak begitu menarik untuk diperhatikan.
Mereka datang ujud memang tidak lebih dari orang
kebanyakan. Bahkan Mahisa Ura ketika melewati sebuah
paSar yang mulai banyak didatangi orang setelah matahari
membayang, telah membeli sebuah cambuk lembu
sebagaimana dibawa oleh kebanyakan belantik lembu atau
pembawa pedati. Dengan demikian maka mereka bertiga telah dikira
belantik lembu dan kerbau bahkan mungkin juga kambing
yang datang dari tempat yang agak jauh.
Namun akhirnya mereka pun tertegun ketika mereka
sampai kesebuah tugu batu yang tidak terlalu besar yang
merupakan batas antara kabuyutan yang disebut oleh Ki
Jagabaya. "Kita sudah sampai di ujung Kabuyutan," berkata
Mahisa Ura, "ternyata kita tidak mengalami sesuatu.
Bahkan sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa di daerah
ini merupakan daerah yang berbahaya. Jalan ini masih saja
banyak orang lewat sebagaimana di Kabuyutan yang baru
saja ditinggalkannya. Di Kabuyutan berikutnya pun tandatanda
kehidupan ubahnya seperti Kabuyutan sebelah.
Sawah-sawah juga nampak hijau dan para petani pun telah
mengerjakannya dengan rajin.
Hal itu telah mendorong Mahisa Ura, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat untuk memasuki Kabuyutan tetangga itu
lebih dalam lagi. Untuk beberapa saat mereka berjalan, memang tidak ada
yang menarik. Mereka sengaja melalui beberapa
padukuhan. Namun sikap orang-orang padukuhan itu pun
nampaknya ramah sebagaimana padukuhan tempat mereka
menginap. "Aku tidak mengerti, kenapa Ki Jagabaya telah
melarang kita memasuki daerah ini," gumam Mahisa Ura.
"Ya. Nampaknya daerah ini tidak terlalu gawat.
Semuanya berjalan lancar, baik, tenang dan sebagaimana
kita lihat di padukuhan tempat kita menginap," desis
Mahisa Murti. Mahisa Ura mengangguk-angguk. Katanya pula, "Jika
benar seperti yang didengar oleh Mahisa Pukat tentang
langkah-langkah didepan bilik kita, serta dugaan kita bahwa
ketika kita datang telah diikuti oleh orang-orang yang tidak
kita kenal, maka tempat yang gawat justru tidak di sini.
Tetapi di padukuhan tempat kita menginap meskipun
nampaknya juga tenang dan baik seperti ditempat ini."
"Aku memang kurang mengerti tentang sikap Ki
Jagabaya. Kenapa ia sama sekali tidak berkata apapun juga,
ketika kita berbicara dengan Ki Bekel dan anaknya. Bahkan
tidak seorang pun di padukuhan itu, di pasar dan dimana
saja, yang pernah mengatakan bahwa daerah yang kita
masuki sekarang adalah daerah yang berbahaya
sebagaimana dikatakan oleh Ki Jagabaya," berkata Mahisa
Pukat. "Apakah kau justru menjadi curiga?" bertanya Mahisa
Ura. Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Aku tidak dapat mengatakannya demikian. Tetapi aku
hanya kurang mengerti maksudnya. Mungkin ia tidak
berniat kurang baik."
"Ya," sambung Mahisa Murti, "kita belum dapat
dengan serta merta mencurigainya. Kita harus melihat lebih
dahulu persoalan-persoalan yang berkembang kemudian."
Mahisa Ura mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak
mengatakan sesuatu. Ia kemudian lebih memperhatikan
lingkungan yang mereka lalui.
Namun tiba-tiba Mahisa Ura itu memejamkan matanya.
Kemudian dipandanginya keadaan alam disekelilingnya.
Lalu tiba-tiba saja ia berkata, "Bukan dalam mimpi. Aku
pernah melihat hutan perdu itu. Di sebelah hutan perdu itu
terdapat hutan yang meskipun tidak begitu liar, tetapi
temasuk hutan yang cukup lebat.
"Ada apa?" bertanya Mahisa Murti yang mulai berharap
bahwa Mahisa Ura akan dapat mengingat sesuatu.
Mahisa Ura mengangguk-angguk. Namun kemudian
katanya, "Apakah kalian membawa barang-barang
dagangan kalian?" "Ya," jawab Mahisa Pukat dan Mahisa Murti hampir
berbareng. Mahisa Ura mengangguk-angguk. Lalu katanya,
"Sebaiknya kita singgah di padukuhan sebelah. Kita
bertemu dengan Ki Bekel dan minta untuk mendapat
kesempatan sebagaimana kita dapatkan di padukuhan yang
sekarang. Kita juga akan menawarkan barang-barang
dagangan seperti yang kita tawarkan itu."
Tetapi Mahisa Murti menyahut, "Bagaimana dengan Ki
Bekel yang sedang menayuh wesi aji itu" Jika kita berada di
sini, maka berarti kita sudah melanggar pesan Ki Jagabaya.
Mungkin Ki Bekel pun akan marah."
"Bukankah kita tidak menyesal seandainya Ki Bekel itu
mengurungkan niatnya untuk membeli wesi aji itu,"
bertanya Mahisa Ura. "Memang tidak apa-apa. Tetapi mungkin ki Bekel bukan
hanya tidak jadi membeli. Tetapi wesi aji itu tidak akan
dikembalikan kepada kita," jawab Mahisa Murti.
"Tidak apa-apa. Kau akan dapat minta ganti kepada
orang-orang Kediri yang memberikan tugas kepada kalian,"
berkata Mahisa Ura. "Bukan hanya itu," sahut Mahisa Pukat, "hubungan kita
dengan Ki Bekel dan orang-orang padukuhan itu akan
terputus." Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Katanya
dengan nada rendah, "Aku mengerti. Tetapi tempat ini
sangat menarik perhatianku. Hutan perdu itu. Dan aku
membayangkan di belakangnya akan terdapat sebuah hutan
yang cukup lebat. Kemudian di belakangnya akan terdapat
sebatang randu alas raksasa. Jika kita pergi lebih jauh lagi,
maka kita akan sampai kesebuah batu besar berwarna
hijau." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, "Kau
mulai mengenalinya?"
"Mudah-mudahan aku benar," berkata Mahisa Ura.
"Aku yakin akan ketajaman penglihatan dan ingatannya
sebagai petugas sandi," desis Mahisa Pukat.
Mahisa Ura berpaling ke arah Mahisa Pukat sambil
berdesis, "Jika kau mulai memujiku, maka segalanya akan
gagal." "Baik-baik," dengan serta merta Mahisa Pukat
menyahut, "aku tidak akan memujimu. Sepantasnya kau
memang tidak dipuji."
Mahisa Ura tersenyum sebagaimana Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Namun kemudian katanya, "Jadi kita akan
kembali dahulu, baru setelah lewat saat tayuh itu, kita
kembali lagi kemari?"
Dengan demikian maka ketiga orang itu pun
memutuskan untuk kembali lagi ke padukuhan tempat
mereka menginap untuk menyelesaikan persoalan wesi aji
yang sedang ditayuh oleh Ki Bekel.
Ketika mereka bertiga sampai ke banjar, maka seorang
petugas telah bertanya, "Kemana saja kalian sehari ini?"
"Berjalan-jalan," jawab Mahisa Ura, "kami melihat-lihat
isi Kabuyutan ini. Kami melihat padukuhan demi
padukuhan. Mungkin kami akan dapat menemukan tempat
yang subur bagi sawah kami."
Petugas itu tersenyum. Katanya, "Kalian adalah
pedagang yang ulet. Dengan demikian maka kalian akan
cepat menjadi kaya."
"Kenapa. Bukankah yang kami lakukan adalah
sebagaimana dilakukan oleh para pedagang yang lain?"
bertanya Mahisa Ura. "Ya. Tetapi jarang sekali ada pedagang yang pernah
mencapai tempat ini. Tempat yang dianggap terpencil dan
jarang sekali, bahkan hampir tidak ada seorang pun yang
memiliki uang cukup untuk membeli kebutuhan-kebutuhan
sampingan seperti yang kalian jual belikan itu," jawab
petugas itu, "Namun ternyata kalian berhasil menggelitik
mereka yang beruang sedikit itu untuk membeli barangbarang
kalian yang jarang sekali lihat di sini."
"O, kenapa kau berkata begitu" Sampai sekarang baru
ada seorang yang membeli barang daganganku," jawab
Mahisa Ura. "Bukankah Ki Bekel juga akan membeli?" bertanya
petugas itu. Mahisa Ura tersenyum. Katanya, "Ki Bekel baru
melakukan tayuh. Jika hasilnya sesuai, maka Ki Bekel akan
membelinya. Tetapi jika tidak, maka rencana pembelian itu
pun batal." "Tetapi bagaimanapun juga, kalian sudah menarik
perhatiannya. Dan jika Ki Bekel jadi membelinya, maka
kau akan cepat menjadi kaya. Orang-orang padukuhan ini
akan menjadi latah dan membeli seperti apa yang dibeli
oleh Ki Bekel," berkata petugas itu.
Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Dengan
tajamnya diperhatikannya petugas itu. Namun kemudian ia
segera menyadari, sehingga ia pun telah berusaha agar
orang itu tidak merasa diperhatikannya.
Bahkan Mahisa Ura pun berkata, "Jika orang-orang
padukuhan ini menjadi latah, apakah kau juga akan latah
dan membeli batu akik atau wesi aji?"
"Seharusnya juga demikian, tetapi aku tidak mempunyai
cukup untuk itu. Karena itu, aku menjadi iri hati dan selalu
mengumpat-umpat jika ada orang lain yang mendapat
kesempatan untuk membelinya," jawab petugas itu.
Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Hampir saja ia
mengambil kesimpulan lain dari sikap petugas sandi itu dari
sekedar iri hati. Karena itu, maka Mahisa Ura itu pun
mengangguk-angguk kecil. "Sudahlah," berkata Mahisa Ura kemudian, "kami akan
beristirahat." "Silahkan," petugas itu mempersilahkan, "aku berada di
sini sampai malam." Mahisa Ura bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun
kemudian telah menuju ke bilik mereka.
Namun ternyata bukan hanya Mahisa Ura sajalah yang
merasa heran melihat sikap petugas itu. Nampaknya
petugas itu tidak begitu senang terhadap Ki Bekel yang telah
memilih satu di antara barang-barang Mahisa Murti untuk
dibeli apabila dalam tayuhnya ia menemukan persesuaian.
Adalah diluar dugaan Mahisa Ura, bahwa Mahisa Murti
telah bertanya kepadanya, "Apa katamu tentang petugas
itu?" "Petugas yang mana?" bertanya Mahisa Ura.
"Petugas yang mengeluh karena tidak mampu untuk
membeli apapun juga dari kita," jawab Mahisa Murti.
Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya,
"Ternyata sikapnya itu hanya dilandasi oleh perasaan iri
hati." "Mungkin," jawab Mahisa Murti, "Tetapi aku
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mempunyai dugaan lain. Mungkin orang itu memang iri
hati, tetapi mungkin ia memang tidak begitu senang
terhadap Ki Bekel karena sebab lain."
"Aku sependapat," jawab Mahisa Pukat, "agaknya
orang itu memang tidak begitu senang terhadap Ki Bekel.
Mungkin karena cara Ki Bekel memerintah. Tetapi
mungkin karena sebab-sebab lain."
Mahisa Ura mengangguk-angguk. Katanya, "Semula aku
juga berpikir begitu. Tetapi setelah orang itu berterus terang
bahwa ia merasa iri karena ia tidak akan mungkin dapat
membelinya, maka aku tidak berprasangka lagi."
Mahisa Murti mengangguk-angguk, katanya, "Baiklah
kita menunggu sebagaimana kita menunggu perkembangan
keadaan menghadapi Ki Jagabaya. Mungkin ia justru
benar-benar berniat baik meskipun akibatnya dapat
berakibat lain." Mahisa Ura dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Namun semuanya itu telah memaksa mereka untuk lebih
berhati-hati. Ketika kemudian saatnya tiba, maka Ki Bekel pun telah
datang ke banjar pagi-pagi sekali. Pada saat matahari masih
belum terbit. Dengan wajah yang cerah ia pun berkata, "Ki
Sanak. Nampaknya aku sesuai dengan wesi aji itu. Wesi
kuning itu memberikan harapan-harapan baik jika aku
memilikinya. Ujudnya pun menarik. Seperti sebilah pisau
kecil yang dapat dimasukkan kedalam kantong ikat
pinggang dan dengan demikian maka akan dapat aku bawa
kemana-mana. Wesi kuning itu menurut tayuh yang aku
lakukan, memberikan isyarat bahwa wesi kuning itu
mempunyai pengaruh yang sejuk, tenang dan tidak
berangasan." Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun
dengan demikian ia pun sadar, bahwa Ki Bekel memang
memiliki kemampuan untuk menilai wesi aji.
Dengan demikian maka mereka mulai membicarakan
harga dari wesi kuning itu. Seperti yang sudah, maka
Mahisa Murti tidak membuat harga terlalu tinggi, tetapi
juga tidak terlalu rendah, karena jika demikian justru akan
dapat mengundang kecurigaan.
Beberapa lamanya terjadi tawar menawar. Namun
akhirnya, harga demikian Mahisa Murti telah mendapat
keuntungan meskipun tidak terlalu banyak.
Dalam kesempatan itu, maka Mahisa Murti yang telah
menerima uang dari Ki Bekel itu pun tiba-tiba saja berkata,
"Ki Bekel apakah aku diperkenankan untuk bertanya
sesuatu" Mumpung di sini sekarang tidak ada orang lain."
"Bertanya apa?" Ki Bekel menjadi heran. "tentang wesi
aji?" "Tidak Ki Bekel," jawab Mahisa Murti, "Tetapi
sebelumnya kami minta maaf. Mungkin pertanyaan kami
tidak menyenangkan bagi Ki Bekel. Kami pun sama sekali
tidak bermaksud untuk mengadu bahkan ingin
menumbuhkan kesan yang kurang baik. Jika pertanyaan
nanti kami ajukan, semata-mata karena kami telah
menerima kebaikan Ki Bekel di padukuhan ini."
Ki Bekel jadi termangu-mangu. Dengan nada datar ia
pun berkata, "Silahkan Ki Sanak. Apa yang ingin kalian
tanyakan?" "Ki Bekel, apakah benar bahwa di arah utara dari
Kabuyutan ini merupakan daerah yang pantang didatangi
oleh orang luar?" bertanya Mahisa Murti.
Ki Bekel mengerutkan keningnya. Ia merasa heran atas
pertanyaan itu. Bahkan kemudian dengan curiga Ki Bekel
ganti bertanya, "Siapa yang mengatakannya?"
"Seseorang," jawab Mahisa Murti.
"Sebutlah," desak Ki Bekel, "aku adalah Bekel di
padukuhan ini. Aku tahu kewajibanku dan aku tahu, apa
yang harus aku lakukan menghadapi persoalan-persoalan
yang betapapun rumitnya bagi padukuhan ini."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian ia pun berkata, "Maaf Ki Bekel. Yang
memberitahukan kepadaku akan hal tersebut adalah Ki
Jagabaya." Mahisa Murti pun kemudian menirukan pesan-pesan
yang pernah diberikan oleh Ki Jagabaya kepadanya ketika
mereka akan keluar dari padukuhan itu untuk melihat-lihat
keadaan. Ki Bekel menjadi tegang sejenak. Namun kemudian
wajahnya telah pulih kembali. Dengan cepat Ki Bekel
berhasil menguasai gejolak perasaannya.
Sambil mengangguk-angguk Ki Bekel pun berkata,
"Mungkin Ki Jagabaya mengetahui banyak tentang daerah
tersebut sesuai dengan tugas pengamanannya atas
padukuhan ini. Tetapi sepanjang pengetahuanku, di daerah
Utara itu tidak pernah terjadi sesuatu."
"Tetapi dari mana Ki Jagabaya mendapatkan
keterangan tentang hal itu?" bertanya Mahisa Murti.
"Entahlah," jawab Ki Bekel, "aku kurang tahu. Tetapi
hal itu bukannya tidak perlu diperhatikan. Bahkan bagiku
hal itu merupakan sesuatu yang sangat menarik."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara Ki Bekel
berkata pula, "Hal ini memang perlu dipelajari."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hampir berbareng
berpaling ke arah Mahisa Ura. Namun agaknya Mahisa
Ura tidak menaruh perhatian terlalu besar terhadap
keterangan Ki Bekel itu. Sehingga karena itu maka Mahisa
Murti pun terpaksa bertanya terus terang, "Ki Bekel.
Apakah sudah seharusnya Ki Bekel berhubungan langsung
dengan Ki Jagabaya tentang persoalan ini?"
Ki Bekel mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
pun telah bertanya, "Jadi apakah sebaiknya yang aku
lakukan" Tingkah laku Ki Jagabaya memang menimbulkan
pertanyaan yang harus dijawab. Karena itu, maka pada
suatu saat, aku akan berhubungan dengan Ki Jagabaya."
"Tetapi bukankah segala sesuatunya masih perlu
mendapatkan kejelasan?" bertanya Mahisa Pukat.
"Jika kau berbicara dengan Ki Jagabaya, maksudnya
adalah untuk mendapatkan penjelasan itu," jawab Ki Bekel.
Mahisa Ura ternyata kemudian dapat menangkap
maksud Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu. Karena itu,
maka katanya, "Ki Bekel. Sebaiknya aku berkata terus
terang. Jika kedua adikku mempersoalkan apakah Ki Bekel
harus berterus terang kepada Ki Jagabaya atau tidak maka
maksudnya adalah, sebaiknya Ki Bekel membiarkan untuk
tidak membicarakannya dengan Ki Jagabaya. Sebab jika Ki
Bekel menanyakan kepadanya, maka persoalannya akan
terputus. Maksudku jika benar ada sesutu yang kurang
wajar pada Ki Jagabaya, biarlah itu berlangsung. Selama
itu, kita akan dapat mengadakan penyelidikan untuk
mengetahui apakah sebenarnya yang dilakukan oleh Ki
Jagabaya," Mahisa Murti terdiam sejenak, lalu, "tetapi
kami minta maaf Ki Bekel. Apakah selama ini Ki Bekel
menaruh kepercayaan sepenuhnya atau tidak?"
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian
katanya, "Selama ini aku percaya kepadanya. Tetapi itu
bukan berarti bahwa sesuatu tidak dapat terjadi. Mungkin
ada sesuatu diluar pengamatanku sehingga kepercayaanku
itu justru akan dapat menjerumuskan langkah-langkahku
dan aku menjadi kurang berhati-hati."
"Ki Bekel," berkata Mahisa Ura, "jika masih ada setitik
saja keragu-raguan di hati Ki Bekel, maka aku mohon agar
hal ini sebaiknya tidak Ki Bekel sampaikan kepada Ki
Jagabaya. Biarlah Ki Bekel dan barangkali kami bertiga,
akan dapat membantu Ki Bekel, melihat apa yang
sebenarnya dikehendaki oleh Ki Jagabaya."
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian
katanya. "Baiklah Ki Sanak. Aku tidak akan
menanyakannya kepada Ki Jagabaya. Tetapi aku akan
mengikuti tingkah lakunya, sehingga pada suatu saat, kita
dapat menjawab pertanyaan yang timbul karena tingkah
lakunya." "Baiklah Ki Bekel," berkata Mahisa Ura kemudian,
"besok aku akan meninggalkan padukuhan ini. Aku akan
berada di banjar, di padukuhan di ujung Kabuyutan ini.
Tempat yang disebut oleh Ki Jagabaya sebagai tempat yang
berbahaya. Aku harap Ki Bekel akan datang kepadaku, atau
mengirimkan pesuruhnya menemui aku."
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, "Mudahmudahan
kita akan dapat bersama untuk memecahkan tekateki
ini." "Tetapi Ki Bekel apakah Ki Bekel mengetahui sesuatu
atau kemungkinan yang menarik perhatian di ujung
Pedang Keadilan 23 Topeng Hitam Kelam Karya Ambhita Dyaningrum Cincin Warisan Setan 2
ketika senjata Mahisa Ura menyentuh lengannya. Tetapi
sejenak kemudian Mahisa Ura lah yang berdesis karena
ujung senjata lawan menyentuhnya pula.
Dengan demikian maka kedua orang yang bertempur
dengan sengitnya itu telah terluka. Tetapi luka-luka itu
sama sekali tidak mereka hiraukan. Luka-luka itu tidak
berpengaruh sama sekali atas kecepatan gerak dan
kegarangan mereka. Karena itulah, maka pertempuran itu masih saja
berlangsung dengan cepat. Benturan-benturan kekuatan
masih terjadi. Senjata mereka yang beradu telah
memercikkan bunga api di udara. Serangan demi serangan
terjadi beruntun balas membalas. Sekali-sekali Mahisa Ura
terdesak selangkah surut. Namun kemudian ia pun telah
memaksa lawannya untuk meloncat menghindari ujung
senjatanya. Pertempuran itu pun semakin lama justru menjadi
semakin seru. Jika kulit mereka mulai dibasahi oleh darah
yang mengalir dari luka, serta hulu senjata mereka telah
basah oleh keringat, maka hal itu justru telah membakar
jantung mereka dan mendidihkan darah mereka.
Karena itulah, maka pertempuran itu pun terus.
Keduanya benar-benar telah mengerahkan kemampuan dan
kekuatan mereka. Segenap ilmu mereka telah mereka
tumpahkan dilandasi dengan segenap kemampuan tenaga
cadangan yang ada di dalam diri mereka.
Dalam pada itu, Mahisa Ura pun telah berkata di dalam
hatinya, "Ternyata yang dikatakan oleh orang ini bukan
sekedar membual. Ia benar-benar memiliki kelebihan dari
saudara kembarnya. Untunglah bahwa aku telah
mengambil alih orang ini dari Mahisa Pukat, sehingga anak
muda itu tidak banyak mengalami kesulitan, karena
lawannya yang kemudian, meskipun berdua, tidak memiliki
bekal ilmu yang cukup."
Demikianlah pertempuran antara Mahisa Ura dan
lawannya itu masih berlangsung terus. Masih belum
nampak tanda-tanda kemenangan di antara mereka, karena
keduanya masih saling mendesak dan bertahan.
Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
masing-masing masih harus bertempur melawan dua orang.
Tetapi sebenarnya mereka sama sekali tidak mengalami
kesulitan. Meskipun demikian mereka tidak dengan serta
merta mengakhiri pertempuran.
Untuk beberapa saat baik Mahisa Murti maupun Mahisa
Pukat telah menyesuaikan dirinya. Seakan-akan mereka
telah berjanji, untuk sementara mereka merasa belum perlu
menunjukkan kemampuan mereka yang sebenarnya, juga di
hadapan Mahisa Ura. Namun demikian kedua orang lawannya tidak juga
mampu menundukkannya. Betapapun juga dua orang
lawan bagi masing-masing itu bertempur dengan segenap
kemampuan mereka, namun anak-anak muda itu rasarasanya
memang sangat liat, sehingga lawan mereka itu
justru kadang-kadang menjadi bingung.
Tetapi yang kemudian tidak telaten adalah Mahisa
Pukat. Apalagi ketika ia mulai melihat Mahisa Ura telah
terluka meskipun lawannya juga terluka.
Namun dengan demikian Mahisa Pukat dapat menilai
bahwa kedua orang yang bertempur itu memiliki ilmu yang
benar-benar seimbang. "Agaknya pada saat Mahisa Ura menangkap saudara
kembar lawannya, ia juga mengalami sedikit kesulitan
meskipun ia akhirnya dapat menyelesaikan tugasnya,"
berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya.
Berbeda dengan Mahisa Pukat, Mahisa Murti tidak
terlalu tergesa-gesa. Meskipun ia juga melihat Mahisa Ura
terluka, tetapi ia pun melihat lawannya terluka.
Dengan demikian maka Mahisa Murti tidak begitu
mencemaskan keadaan Mahisa Ura. Mahisa Murti yakin
bahwa Mahisa Ura tentu memiliki daya penalaran yang
lebih baik dari lawannya. Meskipun keduanya mempunyai
bekal yang sama, tetapi ungkapannya tentu akan lebih baik
pada Mahisa Ura. Sebenarnyalah ketika Mahisa Ura sudah terluka ia pun
menjadi semakin cemas mempergunakan perhitungannya.
Meskipun darahnya menjadi mendidih karenanya, tetapi
ia tejlah mengerahkan bukan saja kemampuan dan ilmunya,
tetapi juga daya penalarannya.
Mahisa Ura telah berusaha untuk mencairi titik-titik
kelemahan pada lawannya. Ia mulai mencari sebab, kenapa
ia pada suatu saat mampu melukai lawannya yang memiliki
kekuatan dan kecepatan gerak mengimbangi
kemampuannya. Dengan berbagai cara dan sekali-sekali mencoba,
akhirnya Mahisa Ura menemukan satu kelemahan pada
lawannya. Pertahanan lawannya pada sisi sebelah kiri
nampaknya agak lemah. Senjatanya yang digenggamnya
dengan tangan kanannya, kadang-kadang terlambat untuk
melindungi tubuhnya dibagian kiri, meskipun lawan
Mahisa Ura kadang-kadang mempergunakan kecepatan
loncatan kakinya untuk menghindar.
Dengan perhitungan itulah, maka Mahisa Ura telah
berusaha untuk menyerang lawannya semakin cepat dan
keras. Sebenarnyalah, bahwa orang yang mendendam karena
saudara kembarnya tertangkap itu sekali-sekali mulai
menjadi bingung oleh serangan-serangan yang semakin
mendesak. Bahkan untuk melepaskan diri kejaran ujung
senjata lawannya, orang itu harus berloncatan beberapa
langkah surut. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah melihat
perubahan keseimbangan itu. Karena itu Mahisa Murti
justru menjadi semakin tenang dalam permainannya. Tetapi
Mahisa Pukat sudah terlanjur menjadi jemu dengan
permainannya, sehingga ia pun telah berniat untuk
mengakhiri. Karena itu, maka meskipun tidak dengan serta merta,
Mahisa Pukat pun telah meningkatkan kemampuan
perlawanannya. Setapak demi setapak. Tetapi dengan pasti
Mahisa Pukat menuju ke arah penyelesaian pertempuran
yang sudah berlangsung beberapa saat lamanya itu.
Mahisa Murti pun melihat apa yang dilakukan oleh
Mahisa Pukat tetapi ia sendiri belum berniat untuk berbuat
demikian. Karena itulah, maka telah terjadi perubahan
keseimbangan pertempuran antara Mahisa Pukat dengan
kedua lawannya. Jika semula Mahisa Pukat hanya sekedar
melayani, maka kemudian Mahisa Pukat mulai membuat
kedua lawannya berkeringat di seluruh tubuhnya. Bukan
hanya karena mereka harus memeras keringat, tetapi juga
karena mereka menjadi gelisah.
Dengan segenap kemampuan dan ilmu yang ada pada
mereka, keduanya telah memberikan perlawanan yang
tertinggi. Namun kemampuan Mahisa Pukat masih
sanggup setingkat lebih tinggi.
Dengan demikian maka kedua orang itu mulai terdesak.
Selangkah demi selangkah mereka terdorong mundur,
meskipun sekali-sekali mereka berdua berhasil mengejutkan
Mahisa Pukat dengan serangan beruntun dan berbareng.
Tetapi dalam keadaan yang demikiaan Mahisa Pukat pun
dengan cepat mampu menguasai keadaan sehingga
keseimbangan pun kembali sebagaimana sebelumnya.
Kedua lawan Mahisa Pukat itu semakin lama menjadi
semakin gelisah. Mereka benar-benar kehilangan akal,
bagaimana caranya untuk mengatasi tekanan anak yang
masih sangat muda itu menurut ukuran mereka.
Kegelisahan kedua orang lawan Mahisa Pukat itu
ternyata telah menjalari perasaan lawan Mahisa Ura. Bukan
karena ia cemas oleh kemampuan lawannya yang
meningkat, tetapi jika kedua orang lawan Mahisa Pukat itu
dapat dikalahkan, akan berarti bahwa ia harus melawan dua
orang yang menurut dugaannya adalah dua orang kakak
beradik, disamping saudaranya yang seorang lagi.
Tetapi juga karena itu maka orang yang mempunyai
saudara kembar itu telah menghentakkan kemampuannya.
Ia harus dapat mengalahkan lawannya itu lebih dahulu
sebelum Mahisa Pukat bebas dari kedua lawannya dalam
keadaan menang, dan membuat kedua lawannya itu cidera
atau bahkan akan dibunuhnya.
Namun orang itu pun tidak dapat mengelak dari
kenyataan bahwa ilmu orang yang menyebut dirinya
Mahisa Ura itu sangat tinggi dan selapis diatas ilmunya.
Apalagi Mahisa Ura dapat memanfaatkan penalarannya
dengan baik dan cermat, sesuai dengan tugasnya sebagai
prajurit sandi. Dalam keadaan yang demikian, maka orang yang
mempunyai saudara kembar itu tidak sempat membuat
perhitungan lain daripada mempergunakan senjata
anehnya. Senjata yang jarang sekali dipergunakan,
meskipun bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bukan lagi
senjata yang aneh, karena mereka pernah mengalaminya.
Namun karena itu, maka justru mereka telah mendapat
penangkalnya sehingga bagi mereka senjata tidak terlalu
merisaukannya. Namun Mahisa Ura benar-benar terkejut ketika ia
melihat lawannya itu meloncat mundur. Kemudian dengan
tangkasnya ia mengambil sebuah bumbung kecil, dengan
tangan kirinya. Demikian ia membuka tutup bumbungnya
dengan mulutnya maka ia pun telah mengibaskan
bumbungnya itu dengan menghentakkan yang keras.
Sesuatu telah meluncur dari dalam bumbung kecil itu.
Namun lawan Mahisa Ura itu ternyata cukup cerdik. Ia pun
telah melemparkan bumbung itu pula ke arah Mahisa Ura,
sehingga perhatian Mahisa Ura terbagi pada dua benda
yang meluncur ke arahnya.
Namun benda-benda itu meluncur dengan kecepatan
yang sangat tinggi, sehingga Mahisa Ura tidak sempat
berbuat banyak. Ia memang berusaha mengelak, tetapi ia
tidak berhasil terlepas dari sambaran senjata aneh
lawannya. Mahisa Ura terkejut ketika tiba-tiba sesuatu telah melekat
di lengannya. Seekor ular.
Mahisa Ura pun segera menyadari, bahwa lawannya
telah mempergunakan senjata racun ular yang sangat tajam.
Dalam keadaan yang demikian Mahisa Ura telah
mengambil satu keputusan yang sangat cepat, melampaui
kecepatan berpikir lawannya. Demikian ular itu menggigit
dan melekat di lengannya, maka Mahisa Ura pun telah
meloncat dengan garangnya. Senjatanya terjulur lurus ke
depan sehingga seakan-akan loncatannya itu pun menjadi
semakin cepat dan semakin panjang jangkaunnya.
Lawannya pun terkejut melihat kecepatan gerak Mahisa
Ura. Lawannya itu mengira, bahwa Mahisa Ura akan
kehilangan akal dan tidak mampu lagi berbuat sesuatu
menghadapi kenyataan, bahwa dengan demikian umurnya
sudah hampir sampai kebatas.
Namun lawan Mahisa Ura masih sempat mengelak.
Dengan tergesa-gesa ia bergeser ke samping sehingga ia
telah terlepas dari ujung senjata Mahisa Ura.
Tetapi kemarahan Mahisa Ura telah mendorongnya
bergerak lebih cepat. Ketika ujung senjata Mahisa Ura tidak
menyentuh tubuh lawannya yang bergeser menyamping,
maka Mahisa Ura pun telah menggerakkan senjata ke
samping mendatar setinggi lambung dengan sisa tenaganya.
Demikian cepatnya sehingga lawannya yang sudah
terlempar ke samping itu sama sekali tidak sempat
mengelak. Dengan senjatanya lawannya itu mencoba
menangkis serangan Mahisa Ura. Namun serangan itu
demikian kerasnya dan tiba-tiba serta lawannya dalam
keadaan lengah, sehingga senjata itu justru telah terlepas
dari tangannya. Mahisa Ura yang mulai terasakan akibat dari gigitan ular
yang masih melekat di lengannya, tidak mau melepaskan
kesempatan yang terakhir itu. Ketika lawannya berusaha
untuk bergeser setelah ia kehilangan senjatanya, maka
Mahisa Ura pun telah meloncat sekali lagi. Sebuah tikaman
yang kuat tidak berhasil dihindari oleh lawannya. Ujung
senjata Mahisa Ura telah membelah dada lawannya
menghunjam sampai ke jantung.
Terdengar desah tertahan. Kemudian mulut lawannya
itu masih mampu mengumpat dan berdesis, "Kau juga akan
mati karena racunku."
Mahisa Ura berdiri dengan wajah yang tegang. Ia sadar
sepenuhnya bahwa ular yang menggigitnya itu tentu ular
yang sangat berbisa sehingga ia tidak dapat mengelakkan
diri dari kematian. Mahisa Pukat dan Mahisa Murti pun terkejut melihat
peristiwa yang terjadi demikian cepatnya itu. Namun
mereka pun menjadi sangat cemas, bahwa gigitan ular di
lengan Mahsa Ura itu akan dapat membunuhnya.
Karena itu, maka kedua orang anak muda itu tidak dapat
berbuat lain daripada berusaha menolongnya. Meskipun
Mahisa Murti mula-mula tidak ingin menyelesaikan kedua
lawannya dengan cepat, tetapi peristiwa yang terjadi atas
Mahisa Ura itu ternyata telah merubah keputusannya.
Tiba-tiba saja Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
menghetakkan kemampuannya. Diluar sadarnya Mahisa
Murti telah menyerang kedua lawannya dengan kekuatan
ilmunya dalam bentuknya yang lunak. Mahisa Murti tidak
menghentakkan tangannya dan memecahkan kepala kedua
lawannya. Tetapi kemampuannya bermain dengan
panasnya tenaga api yang memancar dari Adji Bajra Geni
telah menghentikan perlawanan kedua lawannya. Udara
panas bagaikan membakar kedua lawannya yang menjadi
bingung. Namun Mahisa Murti tidak berniat membunuh
mereka, sehingga ia pun telah mengendalikan ilmunya,
sekedar untuk menghentikan perlawanan kedua orang
lawannya. Sementara itu, maka ia pun telah menyentuh
kedua lawannya dengan ujung jarinya ditengkuk masingmasing
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
selagi kedua lawannya itu kebingungan.
Kekuatan dan tenaga kedua orang lawannya itu bagaikan
terhisap habis. Keduanya tiba-tiba saja telah terbaring di
tanah dengan lemahnya. Meskipun mereka masih mampu
menggerakkan bibirnya dan jari-jari tangannya, tetapi yang
dapat mereka lakukan hanyalah mengeluh dan mengumpat.
Tetapi ternyata bahwa lawan Mahisa Pukat mengalami
keadaan yang lebih buruk. Kemarahan Mahisa Pukat tidak
dapat tertahankan lagi. Justru pada saat ia sudah
meningkatkan ilmunya karena ia memang sudah
menghendaki permainan itu berhenti, ia dikejutkan oleh
keadaan yang gawat pada Mahisa Ura.
Dengan demikian maka Mahisa Pukat telah
menghentakkan kekuatannya tanpa dilambari puncak
ilmunya. Namun hentakkan tenaganya atas lembaran
tenaga cadangannya telah menghantam dada kedua
lawannya, sehingga keduanya merasa bagaikan tertimpa
sebongkah batu karang. Dada mereka menjadi sesak, dan
tulang-tulang iga mereka serasa berpatahan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kemudian tidak
menghiraukan lagi lawan-lawannya. Keduanya segera
berlari ke arah Mahisa Ura yang sudah menjadi sangat
lemah karena bisa ular itu mulai menggigit bagian dalam
seluruh tubuhnya. Bahkan menyusuri darah telah hampir
mencapai jantungnya. Ternyata Mahisa Murti bergerak lebih cepat. Ia sesaat
lebih dahulu sampai kepada Mahisa Ura yang terbaring.
"Mahisa Murti dan Mahisa Pukat," desisnya ketika ia
melihat kedua anak muda itu yang datang dan berjongkok
disisinya, "ternyata aku tidak dapat mengantar kalian
sampai ke tujuan." "Aku akan mencoba mengobatinya," berkata Mahisa
Murti, "Tenanglah."
"Racun ini sangat kuat," desis Mahisa Ura.
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia sudah melepas
cincinnya yang bermata sebuah batu yang mampu
menangkal racun yang betapapun kuatnya.
Meskipun agak terlambat, tetapi Mahisa Murti masih
akan mencobanya. Batu pada cincin tidak sekedar dikenakan di jarinya.
Tetapi batu itu telah dilekatkan pada luka gigitan ular,
sementara ularnya telah terjatuh pada saat Mahisa Ura
menghentakkan kemampuannya untuk membunuh
lawannya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut ketika
terdengar Mahisa Ura itu mengaduh. Namun Mahisa Murti
tidak melepaskan batu yang melekat pada luka itu.
Yang dilihatnya kemudian adalah tubuh Mahisa Ura
yang menggigil setelah lukanya bagaikan disengat bara.
Beberapa saat Mahisa Ura merasakan tubuhnya
bagaikan diguncang oleh berbagai perasaan yang berbaur.
Sakit, panas dan dingin rasa-rasanya telah menjalari uraturat
darahnya. Mahisa Murti masih bertahan. Bahkan kemudian Mahisa
Pukat pun berkata, "Apakah aku dapat membantunya?"
Mahisat Murti termangu-mangu. Meskipun Mahisa
Pukat juga mempunyai gelang yang mampu menangkal
racun dan bisa, tetapi apakah keduanya dapat bergabung
dan bekerja bersama. Jika cara kerja kedua benda itu
berbeda, maka justru akan dapat menimbulkan kesulitan.
Namun sebelum Mahisa Murti menjawab, Mahisa Ura
nampak menjadi semakin baik. Ia tidak lagi menyeringai
menahan sakit dan keluhan-keluhan tertahan merembes
dari sela-sela bibirnya. Tetapi ia nampak menjadi lebih
tenang meskipun tubuhnya masih menggigil.
"Kita tunggu saja sebentar," jawab Mahisa Murti,
"Mungkin batu ini mampu mengatasi kesulitan didalam
dirinya." Mahisa Murti tidak mendesaknya. Ia pun masih
menunggu beberapa saat. Sementara itu, dari luka di lengan Mahisa Ura nampak
darah mulai mengalir. Darah yang berwarna kehitamhitaman.
Dengan hati-hati Mahisa Murti memijat perlahan-lahan
daging disekitar luka itu. Meskipun terasa sakit, tetapi
dengan demikian darah menjadi semakin banyak mengalir
bagaikan dihisap oleh batu di cincin Mahisa Murti itu.
"Mudah-mudahan kau sembuh," berkata Mahisa Murti.
Mahisa Ura masih diam saja. Kepalanya masih terasa
sangat pening. Namun perasaan sakit di seluruh tubuhnya
mulai berkurang. Untuk beberapa saat, Mahisa Murti membiarkan darah
mengalir dari luka itu. Sementara itu, cincinnya tidak lagi
dilekatkan pada lukanya, tetapi dikenakan pada jari-jarinya.
Demikianlah, ternyata bahwa keadaan Mahisa Ura
semakin lama menjadi semakin baik. Darahnya yang
mengalir tidak lagi nampak kehitam-hitaman, tetapi
darahnya telah menjadi merah.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Namun keduanya yakin bahwa keadaan Mahisa
Ura akan menjadi baik. Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
menunggui Mahisa Ura yang terbaring. Namun pada wajah
itu tidak lagi nampak penderitaan yang sangat, meskipun
tubuh itu masih nampak sangat lemah.
Beberapa saat kemudian, maka Mahisa Murti pun
bertanya, "Bagaimana keadaanmu kakang?"
Mahisa Ura mencoba menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian katanya, "Aku merasa keadaanku menjadi
bertambah baik. Tetapi tulang-tulangku seakan-akan telah
terlepas dari sendi-sendinya."
"Untuk beberapa saat keadaanmu akan begitu," sahut
Mahisa Pukat, "tetapi nanti kau akan menjadi baik."
"Tetapi apakah kita akan tetap di sini," bertanya Mahisa
Ura. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Kemudian Mahisa Murti pun berkata, "Kita akan
pergi ke padukuhan terdekat. Mungkin kita akan mendapat
tempat bermalam di banjar padukuhan itu."
Mahisa Ura mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Kita
akan mencoba pergi ke padukuhan sebelah. Tetapi
bagaimana dengan orang-orang itu?"
"Lawanmu telah kau bunuh," berkata Mahisa Murti.
"Ia adalah pemimpin dari yang lain," jawab Mahisa
Ura. "Apakah kita dapat membiarkan yang lain untuk hidup
dan bahkan menyelenggarakan kawannya yang terbunuh
itu," bertanya Mahisa Murti.
Mahisa Ura menarik nafas. Dadanya terasa menjadi
semakin lapang. Katanya, "Biarlah yang lain hidup
meskipun kita harus mengancam mereka agar mereka tidak
melakukan tindakan-tindakan terlarang."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Kematian seorang di antara mereka akan menjadi alat
untuk menakut-nakuti yang lain. Dalam keadaan yang
memaksa, maka yang lain itu pun akan dapat dibunuh pula
seperti kawannya yang terbunuh itu.
Untuk beberapa saat, Mahisa Ura masih terbaring.
Sementara Mahisa Murti telah membebaskan kedua orang
lawannya dari sentuhan tangannya pada simpul-simpul
sarafnya sehingga keduanya mendapatkan kembali
kekuatannya. "Aku dapat membunuh kalian," geram Mahisa Murti.
Kedua lawannya hanya menundukkan kepalanya saja.
Tetapi dari sikapnya, keduanya sama sekali tidak akan
berani lagi berbuat apa-apa.
Sementara itu dua orang lawan Mahisa Pukat masih saja
merasa dicengkam oleh perasaan sakit meskipun sudah
agak berkurang. Namun dengan memaksa diri keduanya
dapat juga bangkit berdiri.
Kepada keempat orang itu, Mahisa Murti berkata,
"Seorang di antara kalian telah mati. Itu adalah akibat
wajar dari tingkah laku kalian yang tidak diperhitungkan
dengan cermat. Untunglah bahwa seorang kawanku yang
telah dilukai dengan curang oleh kawanmu yang terbunuh
itu dapat bertahan dan yakin akan sembuh. Jika ia juga
terbunuh karena racun ular, maka kalian berempat akan
aku bunuh." Keempat orang itu tidak menjawab.
"Nah, aku serahkan seorang kawanmu yang mati itu.
Selenggarakan sebaik-baiknya. Kami akan meneruskan
perjalanan," berkata Mahisa Murti.
Keempat orang itu mengangguk hampir berbareng.
Seorang di antara mereka menyahut, "Kami mohon maaf.
Kami akan melakukan sebagaimana kau katakan."
Mahisa Murti memandang orang itu sejenak. Lalu
katanya, "Tetapi ingat, jangan memancing kami untuk
membunuh kalian juga seperti kawanmu itu."
Keempat orang itu termangu-mangu. Namun
sebenarnyalah mereka tidak mengira bahwa mereka akan
tetap dibiarkan hidup. Karena itu, mereka justru berjanji di
dalam hati, bahwa mereka akan melakukan sebagaimana
dikatakan oleh anak-anak muda itu.
Dalam pada itu, Mahisa Murti telah kembali kepada
Mahisa Ura yang tidak lagi terancam jiwanya karena racun.
Karena itu, maka Mahisa Murti telah mengambil cincinnya
kembali dan bersama Mahisa Pukat membantu Mahisa Ura
untuk meninggalkan tempat itu.
Ternyata keadaan Mahisa Ura masih sangat lemah,
sehingga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus
memapahnya. Ketika mereka sampai ke padukuhan terdekat maka
mereka bertiga telah minta ijin untuk dapat bermalam di
banjar. Kepada orang-orang bersaudara yang mengembara.
Sedangkan Mahisa Ura yang lemah itu, dikatakan oleh
Mahisa Murti, telah digigit ular ketika mereka berada di
tepian. "Agaknya ular itu bukan ular yang berbisa tajam,"
berkata orang-orang padukuhan itu.
"Mungkin, Kami berhasil memeras darah saudara kami
sehingga yang mengalir kemudian adalah darah yang
bersih," jawab Mahisa Murti.
Orang-orang padukuhan itu ternyata merasa kasihan
juga kepada ketiga orang pengembara itu, sehingga mereka
mendapat kesempatan untuk bermalam di banjar sehingga
keadaan salah seorang yang digigit ular itu menjadi baik.
Kesempatan itu ternyata sangat berharga bagi Mahisa
Ura yang lemah itu, karena dengan demikian ia sempat
untuk memulihkan keadaannya.
Oleh orang-orang padukuhan itu, Mahisa Ura dan kedua
orang yang diakuinya sebagai adiknya itu telah ditempatkan
di serambi banjar. Mereka mendapat ijin untuk tinggal
diserambi banjar itu sampai keadaan Mahisa Ura menjadi
baik. Bahkan orang-orang padukuhan itu telah memberi
mereka makan dan minum selama mereka berada di banjar
itu, karena orang-orang padukuhan itu menganggap mereka
benar-benar pengembara yang perlu dibelas kasihani.
Meskipun demikian ada juga orang padukuhan itu yang
memberi mereka nasehat, "Anak-anak muda. Sebenarnya
kalian masih cukup muda untuk memulai dengan satu
usaha yang dapat memberi kalian hidupan. Apakah
sebenarnya yang menarik kalian untuk menjadi
pengembara" Kalian tidak akan melihat hari depan kalian
menjadi cerah. Karena itu, jika kalian mau mendengarkan
nasehatku, maka sebaiknya kalian kembali saja kepada
keluarga kalian untuk memulai dengan satu kehidupan
yang wajar. Bekerja, mungkin di sawah atau di pategalan
atau kerja apapun juga, karena nampaknya kalian adalah
anak-anak muda yang kuat."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab.
Sementara itu Mahisa Ura masih berbaring di sebuah
amben yang cukup besar di serambi banjar.
Orang yang memberi nasehat itu adalah orang yang
dianggap memiliki pengetahuan yang cukup di antara
orang-orang di padukuhan itu. Karena itu, maka orangorang
lainnya kemudian telah ikut pula memberi mereka
petunjuk untuk memulai dengan satu kehidupan baru yang
lebih bermanfaat bagi masa depan mereka.
"Kami kasihan melihat kalian bertiga dalam keadaan
seperti ini," berkata orang yang memiliki pengetahuan yang
melampaui tetangga-tetangganya itu, "Tetapi kami tidak
dapat menolong kalian dengan memberikan pekerjaan yang
patas. Tetapi menilik sikap, tingkah laku dan ujud kalian,
maka kalian tidak sebaiknya menjadi pengembara yang
tidak mempunyai harapan apapun juga bagi masa depan
kalian." Anak-anak muda itu masih tetap berdiam diri.
Sementara Mahisa Ura yang terbaring itu hanya dapat
menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi orang itu tidak berbicara berkepanjangan tentang
masa depan. Sekali-sekali ia meraba Mahisa Ura sambil
berkata, "Tubuhmu tidak terasa panas. Mudah-mudahan
kau lekas sembuh dan pulih kembali."
Dengan suara sendat Mahisa Ura menjawab, "Terima
kasih. Nampaknya aku pun akan segera menjadi baik."
Orang itu mengangguk-angguk. Sambil bangkit dari
duduknya orang itu berkata, "Cepat menjadi sembuh. Nanti
malam aku akan datang lagi."
"Terima kasih," jawab Mahisa Murti, "Tetapi kami
jangan membuat Ki Sanak menjadi sibuk."
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
pun tersenyum. Katanya, "Tidak. Mungkin kewajibanku
untuk berbuat sesuatu bagi sesama. Mungkin nasehatnasehatku
akan berarti bagi masa depan kalian."
"Terima kasih," jawab Mahisa Murti.
Sepeninggal orang itu dan beberapa orang lain yang
melihat keadaan Mahisa Ura yang terluka itu, maka sambil
menarik nafas Mahisa Murti berkata, "Dadaku serasa
menjadi sesak." Mahisa Ura mengangguk kecil. Katanya, "Untunglah
orang itu tidak berada di sini lebih lama lagi. Tetapi malam
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nanti ia akan datang lagi. Ia tentu akan memberi nasehatnasehat
lagi. Lebih panjang dan lebih banyak."
"Aku tidak mendengar apa yang dikatakannya," desis
Mahisa Pukat. "Aku tidak menyalahkannya," berkata Mahisa Ura
sambil berbaring, "orang-orang tua dan terpandang karena
pengetahuannya, memang merasa berkewajiban untuk
memberikan petunjuk-petunjuk tanpa mempertimbangkan
sasarannya. Tetapi bukankah kita di mata mereka memang
pengembara-pengembara yang tidak mempunyai masa
depan." "Kita diterima sebagai pengembara di sini," berkata
Mahisa Pukat, "tetapi di perjalanan berikutnya, aku akan
menjadi pedagang batu akik dan wesi aji."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, "Kita
dapat mencoba. Tetapi dalam keadaan seperti ini, kita
memang tidak akan dapat melakukannya. Kita memang
pantas sebagai pengembara. Sementara itu ujud kita
memang masih muda, sehingga apa yang dikatakan oleh
orang itu memang benar."
"Tetapi kenapa dadamu menjadi sesak?" bertanya
Mahisa Pukat. Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun ia pun
kemudian tersenyum sambil menjawab, "Ya. Dadaku
memang menjadi sesak mendengar nasehat-nasehatnya
meskipun dengan nalar aku menganggap bahwa yang
dikatakan itu benar."
"Justru karena kita mengerti keadaan kita yang
sebenarnya," desis Mahisa Ura, "seandainya kita sendiri
tidak mengerti keadaan kita yang sebenarnya, dan
menganggap kita ini memang pengembara, maka nasehatnasehat
itu perlu sekali bagi kita."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Sebenarnyalah bahwa orang itu menganggap mereka benarbenar
pengembara yang tidak mempedulikan masa depan
mereka, sementara itu mereka masih cukup muda untuk
mulai dengan pekerjaan yang lebih berarti daripada
menyusuri jalan-jalan, pedukuhan-pedukuhan dan hutanhutan.
"Dan malam nanti kita akan mendengarkan lagi ia
berbicara tentang nasib kita di masa depan," berkata
Mahisa Pukat. Tetapi mereka tidak akan dapat menolak sementara
keadaan Mahisa Ura masih lemah.
Sebenarnyalah bahwa ketika malam turun, orang yang
dianggap memiliki pengetahuan yang luas itu telah datang
lagi. Seperti pada siang harinya, maka ia pun mulai dengan
nasehat-nasehat yang berkepanjangan.
Namun dalam pada itu, Mahisa Ura, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah memaksa diri untuk mendengarkannya.
Betapapun mereka menjadi jenuh namun mereka tidak
dapat memaksa orang itu untuk berhenti berbicara tentang
sikap dan tingkah laku, tentang pandangan hidup dan
penghayatannya dan tentang hari ini, kemarin dan masa
depan. Tetapi ternyata bahwa yang datang seperti sebelumnya,
bukan hanya orang itu saja. Beberapa orang telah berada di
banjar itu pula untuk berbincang, berbicara dan berkelakar
sambil berjaga-jaga. Betapapun kesalnya hati ketiga orang yang bermalam di
banjar itu, namun mereka mengakui bahwa penghuni
padukuhan itu adalah orang-orang yang ramah dan baik
hati. Orang yang dianggap berpengetahuan itu pun
sebenarnya berniat baik meskipun ia kurang dapat
menempatkan diri. Namun ketiga orang yang bermalam di
banjar itu pun menyadari, bahwa hal itu dilakukan karena
ketiganya telah mengaku sebagai pengembara.
Malam itu, Mahisa Ura, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah dipersilahkan makan bersama-sama dengan
orang-orang padukuhan itu yang sedang berada di banjar.
Namun agaknya Mahisa Ura masih terlalu lemah, sehingga
ia tidak dapat duduk bersama orang-orang padukuhan itu
terlalu lama. Demikianlah, betapapun ada hal-hal yang kurang sesuai
dengan perasaan Mahisa Ura, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, namun ketiganya merasa mendapat tempat yang
baik untuk memulihkan keadaan Mahisa Ura. Tidak ada
seorang pun yang merasa keberatan, dan apalagi keinginan
untuk mengusir mereka. Bahkan pada saat-saat Mahisa Ura sudah sembuh dan
kekuatannya sudah pulih kembali, orang-orang padukuhan
itu masih memberinya kesempatan untuk tinggal apabila
mereka berniat demikian. Tetapi Mahisa Ura itu pun berkata, "Terima kasih. Kami
adalah pengembara yang selalu menjelajahi hutan dan
padesan, lembah dan bukit-bukit. Adalah menjadi
panggilan hidup kami untuk bergaul akrab dengan alam."
Akhirnya ketiga orang itu pun meninggalkan padukuhan
itu setelah mereka mengucapkan terima kasih yang tidak
terhingga. Dengan demikian, maka ketiga orang itu pun telah
melanjutkan perjalanan mereka. Mahisa Ura telah
membawa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memasuki
sebuah padukuhan, di mana ia telah menangkap saudara
kembar dari orang yang terbunuh dalam perkelahian,
namun yang berhasil melukai Mahisa Ura dengan seekor
ular, sehingga dengan demikian perjalanan mereka pun
telah terhambat beberapa saat.
Seperti yang diperhitungkan oleh Mahisa Ura, maka
ketika ia memasuki padukuhan itu, maka ia tidak dikenali
lagi meskipun pada saat ia menangkap buruannya beberapa
orang telah menyaksikannya. Bahkan ia sempat bermalam
di padukuhan itu. Ternyata bahwa penghuni padukuhan itu
pun sebagian besar adakah orang-orang yang baik seperti
penghuni padukuhan yang telah ditinggalkannya.
Ketika mereka berada di banjar, Mahisa Pukat sempat
berkata, "Bagaimana" Apakah kita akan tetap menjadi
pengembara seperti ini, atau kita akan menjadi pedagang
batu akik" Aku telah menyediakan beberapa buah batu akik
yang bagus yang memang pantas untuk diperdagangkan."
Tetapi Mahisa Murti pun menjawab, "Jika kita akan
menjadi pedagang di sini dengan menjual batu-batu akik
yang memang bagus itu, siapakah yang kira-kira akan
membelinya. Di padukuhan ini agaknya tidak ada orang
yang cukup kaya yang mau melepaskan uangnya hanya
untuk membelinya. Di padukuhan."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun ia
mengakui sebagaimana dikatakan oleh saudaranya. Sambil
mengangguk-angguk ia berkata, "Ya. Ki Bekel pun tidak
akan membeli batu akik. Mungkin padukuhan yang lebih
besar dari padukuhan ini."
Mahisa Ura memotong, "Ya. Kita memang akan
memasuki beberapa padukuhan lagi. Aku akan mencoba
mengingat, jalan manakah yang pernah aku lalui sampai
pada suatu saat aku menemukan padukuhan yang telah aku
kenal ini." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun menganggukanggguk.
Namun dengan demikian mereka menyadari
bahwa perjalanan mereka memang masih panjang.
Mungkin Mahisa Ura akan segera dapat mengenali jalan
yang pernah dilaluinya, tetapi mungkin ia memerlukan
waktu yang lama untuk dapat mengingat, kemana saja ia
pernah lewat. Di hari yang cerah, ketiga orang itu mulai dengan
perjalanan yang sulit. Bukan karena mereka berjalan
melalui rawa-rawa atau lereng pegunungan yang terdiri dari
batu-batu karang yang runcing, tetapi mereka masih harus
menemukan jalan yang menuju ke arah yang benar.
Demikianlah mereka telah berjalan melampaui satu
padukuhan ke padukuhan berikutnya. Mahisa Ura telah
mencoba untuk mengingatnya, jalan manakah yang telah
pernah dilaluinya. Pada saat ia menempuh perjalanan itu, ia
sama sekali tidak berpikir bahwa ia akan mengulangi
perjalanannya itu. Karena itu, maka ia tidak begitu
memperhatikan, tanda-tanda yang terdapat di sepanjang
jalan yang pernah dilaluinya.
Namun ketajaman ingatan dan penglihatannya sebagai
seorang petugas sandi agaknya telah menolongnya sehingga
ia masih juga sempat melihat beberapa macam pepohonan,
bukit dan ujud-ujud lain yang menarik perhatian.
"Aku yakin, bahwa aku telah menempuh jalan yang
benar," berkata Mahisa Ura.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang belum pernah
menempuh perjalanan melalui tempat itu, tidak dapat ikut
menentukan. Namun mereka pun percaya akan ketajaman
ingatan Mahisa Ura. Agaknya mereka memang menempuh
jalan yang benar. Meskipun lamban, tetapi agaknya mereka
memang mendekati jalan menuju kesasaran.
Ketika mereka memasuki sebuah bulak yang panjang
antara dua padukuhan yang agak jauh, terasa bahwa
seseorang atau lebih telah mengikuti mereka, meskipun
mereka tidak dapat langsung melihat. Setiap kali mereka
berhenti dan berpaling, mereka sama sekali tidak melihat
seorang pun. Namun naluri mereka telah menangkap
sesuatu yang menggetarkan perasaan mereka.
Mahisa Murti yang tanpa disengaja telah memandang ke
sisi sebelah kiri dari arah perjalanan mereka, tiba-tiba saja
telah melihat batang-batang jagung yang tumbuh subur itu
bergerak-gerak. Bukan oleh angin, karena tidak semua
batang-batang jagung itu bergerak.
Dengan demikian Mahisa Murti mengambil kesimpulan,
bahwa tentu ada seseorang atau lebih yang telah mengamati
perjalanan mereka. "Tidak aneh," berkata Mahisa Murti di dalam hatinya,
"tiga orang yang berjalan bersama-sama di daerah yang
terpencil ini memang dengan mudah akan menarik
perhatian." Namun agaknya Mahisa Pukat pun mempunyai
perasaan yang sama. Ia pun telah melihat keadaan yang
serupa dengan yang dilihat oleh Mahisa Murti, meskipun di
arah yang berbeda. Namun Mahisa Pukat tidak hanya
tinggal diam untuk meyakinkan apakah yang dilihatnya itu
benar. Tiba-tiba saja ia pun telah berkata, "Aku melihat
sesuatu yang menarik perhatian."
"Apa," Mahisa Murti bertanya dengan serta merta,
karena ia sudah menduga bahwa Mahisa Pukat pun melihat
apa yang dilihatnya. "Seseorang di dalam rimbunnya batang-batang jagung
itu," jawab Mahisa Pukat.
"Di sebelah mana," bertanya Mahisa Murti.
"Di sebelah kanan jalan," jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam, ia pun
kemudian berkata, "Jika demikian, maka tentu lebih dari
seorang yang telah mengamati perjalanan kita."
"Aku tidak melihat apa-apa," berkata Mahisa Ura.
"Aku pun hanya kebetulan melihatnya," sahut Mahisa
Murti, dan Mahisa Pukat pun berkata, "Aku juga. Aku
tidak sengaja memandang batang-batang jagung yang subur
itu. Agaknya aku telah melihat ujung batang-batang jagung
itu bergerak-gerak, tentu bukan oleh tiupan angin yang
betapapun lembutnya."
Mahisa Ura mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Kita
memang harus berhati-hati."
"Jika demikian, apakah aku dapat memberikan kesan
lain dari perjalanan ini," bertanya Mahisa Murti.
"Kita adalah pedagang akik dan wesi aji. Kita tidak saja
akan menjual barang-barang dagangan, tetapi kita juga mau
membeli jika ada di antara milik orang-orang padukuhan
yang baik dan harganya memadai," berkata Mahisa Pukat.
"Tidak akan banyak bedanya," jawab Mahisa Ura,
"tidak ada seorang pun yang pernah berbuat demikian di
sini." "Kita dapat menjadi perintis dari perdagangan itu di
daerah ini," jawab Mahisa Pukat.
"Bagaimanapun juga kehadiran kita akan menarik
perhatian. Mungkin oleh para penghuni padukuhanpadukuhan
itu tidak memberikan kesan lebih dari menarik
perhatian. Tetapi mungkin oleh orang lain, kesannya akan
lain pula," jawab Mahisa Ura.
"Tetapi manakah yang lebih baik. Kita melewati
padukuhan-padukuhan itu sebagai pengembara yang
memasuki daerah ini tanpa alasan apapun juga, atau kita
memasuki daerah ini dengan satu maksud untuk membeli
batu-batu berharga dan wesi aji. Kita dapat memberikan
alasan apapun juga. Mungkin kita telah melihat wahyu
yang turun di daerah ini, sehingga kita yakin bahwa di sini
ada seorang yang memiliki atau mungkin wesi aji yang
tidak dimiliki oleh siapa pun juga, yang mempunyai nilai
yang sangat tinggi." berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Ura termangu-mangu. Namun sambil
memandang Mahisa Murti ia bertanya, "Bagaimana
pendapatmu?" "Kita dapat mencobanya. Namun kita harus bersiap-siap
mengalami akibat yang bagaimanapun juga," jawab Mahisa
Murti. Mahisa Ura mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah.
Kita adalah pedagang batu-batu bertuah dan wesi aji. Tetapi
aku tidak tahu menahu sama sekali tentang batu-batu akik
dan wesi aji." "Kami sudah belajar kepada ayah," jawab Mahisa
Pukat, "karena itu, kami dapat mengetahui yang
sebenarnya tentang batu-batu akik, batu-batu berharga dan
wesi aji." "Baiklah," berkata Mahisa Ura, "Jika seseorang ingin
menguji kita, maka kalian akan dapat menyelesaikannya.
Kecuali jika memang ada orang yang mencari persoalan."
"Kita sudah siap," jawab Mahisa Pukat, "sejak kita
berangkat kita sudah memperhitungkan apa yang mungkin
dapat terjadi atas kita."
Dengan demikian, maka mereka bertiga telah bertekad
bulat untuk memperkenalkan diri dengan orang-orang
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
padukuhan yang ada di ujung bulak panjang itu sebagai tiga
orang bersaudara pedagang batu akik yang mengembara
untuk menjual dan mencari dagangan."
"Dengan demikian kita tidak akan menghiraukan orangorang
yang membayangi perjalanan kita, asal mereka tidak
mengganggu kita secara langsung," berkata Mahisa Pukat
kemudian. Mahisa Ura mengangguk-angguk. Tetapi ia sendiri
menang belum melihat seorang pun yang mengikut mereka.
Demikianlah mereka masih saja berjalan dengan tenang
tanpa terhenti sama sekali, meskipun mereka bertiga tidak
kehilangan kewaspadaan. "Kita masih akan melalui beberapa padukuhan,"
berkata Mahisa Ura, "ada padukuhan yang cukup besar,
sebelum kita memasuki daerah yang benar-benar sulit untuk
diingat. Tetapi aku akan berusaha meskipun tidak banyak
tanda-tanda yang dapat dilihat di hutan-hutan yang pepat,
yang seakan-akan dimana-mana sama saja. Suram, lembab
dan pepat dengan dedaunan dan pepohonan."
"Baiklah," berkata Mahisa Murti, "di padukuhan di
ujung bulak ini, kita akan mulai dengan usaha kita
memperjual belikan batu akik dan wesi aji. Mudahmudahan
kita dapat meneguk air sambil mandi."
Tetapi Mahisa Pukat menyahut, "Tetapi dengan
demikian kita akan minum air yang kotor."
Mahisa Murti tersenyum. Demikian juga Mahisa Ura
yang mengangguk-angguk. Ketiga orang itu masih berjalan tanpa terhambat
meskipun mereka masih saja merasa diikuti, setidaktidaknya
diawasi. Namun mereka seakan-akan tidak
menyadarinya. Mereka masih saja berjalan dengan wajah
menghadap ke arah jalan panjang di hadapan mereka.
Ternyata perjalanan mereka benar-benar tidak terganggu
cara langsung. Menjelang gerbang padukuhan, ternyata
ketiga orang itu telah membenahi diri mereka. Mereka tidak
datang kepadukuhan itu dengan kepala tunduk dan
punggung terbungkuk-bungkuk sebagai pengembara yang
memerlukan belas kasihan. Tetapi mereka datang sebagai
tiga orang kakak beradik yang sedang berdagang.
Ketika ketiga orang itu memasuki gerbang padukuhan,
mereka merasa bahwa berpasang-pasang mata memandang
dengan penuh kecurigaan. Namun ketiga orang itu tidak
menghiraukannya. Bahkan ketika di tikungan mereka
bertemu dengan seorang yang berjalan berlawanan arah,
mereka telah bertanya, dimana rumah Ki Bekel dari
padukuhan itu. "Untuk apa?" orang itu justru bertanya.
"Kami ingin berdagang di padukuhan ini," jawab
Mahisa Ura. "Berdagang apa?" bertanya orang itu.
"Kami berdagang batu akik, batu-batu berharga lainnya
termasuk permata dan wesi aji. Kami dapat menjual dan
dapat juga membeli," jawab Mahisa Ura.
Orang itu mengerutkan keningnya. Dengan nada tinggi
ia berkata, "Kami tidak pernah berurusan dengan batu-batu
akik dan apalagi batu permata yang tentu mahal harganya.
Tetapi kami kadang-kadang memang berbicara tentang wesi
aji." "Nah, tunjukkan dimana rumah Ki Bekel. Aku ingin
minta ijin untuk bermalam di banjar barang satu dua
malam, sambil berdagang batu-batu akik dan wesi aji,"
sahut Mahisa Ura. Orang itu masih saja ragu-ragu. Namun kemudian ia pun
berkata, "Pergilah ke simpang tiga itu. Jika kau menghadap
kekanan, maka kau akan melihat sebuah regol yang agak
besar. Nah, rumah di dalam dinding itulah rumah Ki
Bekel." "Terima kasih," jawab Mahisa Ura, "kita akan pergi
kesana. Mudah-mudahan Ki Bekel ada di rumah."
"Ki Bekel jarang sekali meninggalkan rumahnya kecuali
jika ada persoalan yang sangat penting," jawab orang itu.
"Mungkin ke sawah atau pekerjaan lain," desis Mahisa
Ura. "Ki Bekel sudah terlalu tua untuk bekerja. Anaknyalah
yang melakukan semua pekerjaan atas namanya. Hanya
untuk mengambil satu keputusan persoalan yang gawat,
maka masih diperlukan Ki Bekel itu sendiri."
Mahisa Ura mangangguk-angguk. Katanya kemudian,
"Terima kasih. Aku akan mengunjunginya."
Orang itu mengangguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab.
Mahisa Ura, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
kemudian melangkah menuju simpang tiga. Sebagaimana
dikatakan oleh orang yang bertemu di tikungan, ketika
mereka berpaling ke kanan, maka mereka telah melihat
sebuah pintu gerbang rumah Ki Bekel.
Sementara itu, orang yang di tikungan itu masih saja
berdiri termangu-mangu. Ia sadar, ketika ia mendengar
seseorang menyapanya. Orang itu berpaling. Dilihatnya di sebuah regol kecil
yang terbuka sebuah kepala tersembul.
"Siapakah orang-orang itu tadi?" bertanya orang yang
muncul dari balik regol itu.
Orang yang berada di tikungan itulah yang kemudian
justru masuk ke dalam regol.
"Pedagang batu akik, permata dan wesi aji," jawab
orang yang ditanya. Orang yang bertanya itu mengangguk-angguk. Namun ia
pun bertanya pula, "Aku dengar dari dalam dinding, orang
itu akan pergi ke rumah Ki Bekel."
"Ya. Segala sesuatunya tentu tergantung Ki Bekel,"
jawab orang yang semula berada di tikungan, "tetapi
agaknya mereka memerlukan untuk dapat bermalam di
banjar." Orang yang berada di halaman itu mengangguk-angguk.
Dalam pada itu, maka Mahisa Ura, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat pun telah berada di depan regol rumah Ki
Bekel. Tidak ada seorang pun yang ada di regol itu. Karena
itu, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura
pun telah memasuki halaman dengan sikap yang ragu.
"Marilah," berkata Mahisa Ura, "kita akan mengetuk
pintu seketeng." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Mereka bertiga pun kemudian melintasi halaman menuju
ke pintu seketeng. Halaman itu benar-benar sepi.
Tidak seorang pun, apalagi penjaga yang berada di
halaman itu. Untuk sesaat Mahisa Ura berdiri termangu-mangu di
depan pintu seketeng. Namun ia pun kemudian mengetuk
pintu itu perlahan-lahan.
Tetapi baru setelah beberapa kali Mahisa Ura mengetuk
dan semakin keras, terdengar jawaban dari dalam.
Terdengar langkah kecil-kecil menuju ke pintu seketeng itu.
"Seorang perempuan" desis Mahisa Ura.
Sebenarnyalah bahwa seorang perempuan separo baya
telah membuka pintu itu. Dengan wajah keheranan ia
bertanya, "Siapakah kalian?"
Mahisa Ura mengangguk-angguk hormat. Demikian juga
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dengan demikian, maka
sikap mereka sedikit dapat memberikan ketenangan di hati
perempuan itu. Agaknya ketiga orang itu bukan orangorang
yang garang. "Kami ingin bertemu dengan Ki Bekel" berkata Mahisa
Ura. "Siapakah kalian?" sekali lagi perempuan itu bertanya.
"Kami tiga bersaudara. Kami adalah pedagang keliling,"
jawab Mahisa Ura. Perempuan itu mengangguk-angguk. Lalu katanya,
"Silahkan menunggu di pendapa. Akan aku sampaikan
kepada Ki Bekel." "Terima kasih," jawab Mahisa Ura.
Ketiganya pun kemudian telah pergi ke pendapa. Mereka
duduk diatas tikar yang memang sudah terbentang.
Beberapa saat mereka menunggu sambil memperhatikan
keadaan disekelilingnya. Rumah Ki Bekel bukanlah rumah yang terlalu besar.
Tetapi kelihatan terawat dan teratur. Halamannya bersih
dinaungi oleh beberapa jenis pepohonan. Sebatang pohon
sawo, sebatang pohon jambu air dikedua sudutnya,
sementara di dekat regol terdapat sepasang pohon
kemuning. Di halaman samping terdapat beberapa batang
pohon nyiur seperti yang terdapat di halaman samping
belakang, sebagaimana mereka lihat, ketika mereka datang.
Ketika pintu pringgitan berderit, maka mereka bertiga
pun segera berpaling. Mereka melihat seorang laki-laki yang
mulai memasuki hari-hari tuanya. Namun tubuhnya masih
nampak kuat dan tegap. Wajahnya memancar cerah.
Sementara itu, dengan langkah yang pasti ia pun kemudian
menuju ketiga orang tamu yang telah duduk lebih dahulu.
"Maaf Ki Sanak," berkata Ki Bekel, "kalian terpaksa
menunggu sejenak." "O, tidak apa Ki Bekel," jawab Mahisa Ura. Namun
tiba-tiba ia bertanya, "Bukankah aku berhadapan dengan Ki
Bekel?" "Ya, ya. Aku adalah Bekel di padukuhan ini," jawab Ki
Bekel, "bukankah kalian memang ingin bertemu dengan
aku?" "Ya Ki Bekel," jawab Mahisa Ura, "kami bertiga
bersaudara memang ingin menghadap Ki Bekel."
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, "Menurut Nyi
Bekel, kalian bertiga adalah pedagang keliling. Apakah
benar begitu?" "Ya Ki Bekel," jawab Mahisa Ura, "kami adalah tiga
orang bersaudara. Kami memang pedagang keliling. Kami
memang ingin mohon ijin untuk berdagang di padukuhan
ini. Apabila Ki Bekel mengijinkan, kami ingin berada di
padukuhan ini barang satu dua hari."
Ki Bekel mengerutkan keningnya. Ia pun kemudian
bertanya, "Apakah yang kalian jual belikan" Hasil bumi
atau binatang ternak?"
"Bukan Ki Bekel," jawab Mahisa Ura, "bukah hasil
bumi dan bukan binatang ternak. Tetapi kami adalah
pedagang batu akik dan wesi aji."
Ki Bekel mengerutkan keningnya. Dengan nada tinggi ia
bertanya, "Batu akik?"
"Ya, batu akik," jawab Mahisa Ura.
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "orangorang
di padukuhan ini tidak pernah merasa perlu dengan
batu akik itu. Memang ada juga satu dua orang di
padukuhhan ini yang memiliki batu akik. Tetapi yang lain
tidak pernah berpikir untuk berusaha memilikinya. Tetapi
kalau wesi aji, mungkin ada satu dua orang yang sering
membicarakannya." "O," Mahisa Ura mengangguk-angguk, "jika demikian
biarlah kami memberikan pelayanan tentang kebutuhan
wesi aji." Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku
tidak akan menghalangi usaha kalian Ki Sanak. Tetapi aku
kira kalian tidak akan mendapat kepuasan berdagang di
tempat ini. Padukuhan ini bukan padukuhan yang kaya.
Satu dua orang diantaranya memang memungkinkan untuk
membeli sesuatu diluar kebutuhan sehari-hari. Tetapi aku
tidak dapat mengatakan, apakah kalian akan mendapat
kesempatan yang baik untuk berdagang di sini. Meskipun
demikian, aku akan mempersilahkan kalian untuk tinggal di
banjar barang satu dua hari."
"Terima kasih Ki Bekel," jawab Mahisa Ura, "kami juga
baru sekedar menjajagi. Jika ada kemungkinan untuk
berdagang, aku akan mendapatkan pasaran baru. Tetapi
jika tidak, ini adalah sekedar penjajagan. Mudah-mudahan
aku berhasil di sini dan di padukuhan-padukuhan di
sekitarnya. Mungkin di seluruh Kabuyutan."
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, "Silahkan. Aku
tidak dapat mengatakan apa-apa." Ki Bekel itu berhenti
sejenak, lalu, "tetapi siapakah nama kalian bertiga?"
"Namaku Mahisa Ura. Kedua adikku ini bernama
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat," jawab Mahisa Ura.
Ki Bekel mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Jika
demikian, biarlah kalian diantar ke banjar. Kalian akan
diserahkan kepada penunggu banjar atas ijinku."
Mahisa Ura mengangguk hormat sambil berkata,
"Terima kasih Ki Bekel. Kemurahan hati Ki Bekel akan
sangat berarti bagi usaha kami bertiga."
"Tunggulah. Aku akan memanggil anakku," berkata Ki
Bekel kemudian. Sejenak kemudian, maka Ki Bekel pun bangkit dan
masuk ke dalam lewat pintu pringgitan. Beberapa saat
kemudian, maka ia pun telah datang kembali bersama
dengan seorang laki-laki muda yang tubuhnya tegap
sebagaimana Ki Bekel. Wajahnya nampak bersungguhsungguh
sebagaimana tatapan matanya yang tajam.
Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Di dalam hati
ia berkata, "Anak muda yang cerdas."
Ki Bekel pun kemudian memperkenalkan laki-laki muda
itu kepada ketiga orang yang mengaku pedagang batu akik
itu, sebagai anaknya. "Namanya Waditra," berkata Ki Bekel.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura
mengangguk hormat. Mereka pun telah memperkenalkan
nama mereka masing-masing.
Waditra yang berwajah tenang dan bersungguh-sungguh
itu ternyata seorang yang ramah. Sambil tersenyum ia
berkata, "Kalian telah mengunjungi satu padukuhan yang
sepi dan miskin." "Kami sedang menjajagi kemungkinan untuk dapat
berhubungan dengan isi padukuhan ini," berkata Mahisa
Ura. "Ayah sudah mengatakan kepadaku, apakah yang
sedang kalian lakukan sekarang ini di padukuhanku. Aku
tidak tahu, apakah kalian akan berhasil atau tidak," berkata
Waditra.
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apapun yang akan kami alami, tidak akan
mengecewakan kami. Setidak-tidaknya kami telah
mendapat sahabat-sahabat baru yang akan dapat menjadi
tempat bernaung diwaktu hujan, dan tempat mencari air
diwaktu haus dalam perjalanan seperti yang sedang kami
lakukan," berkata Mahisa Ura.
Waditra tersenyum. Katanya, "Baiklah. Marilah, aku
antar kalian ke banjar dan aku serahkan kalian kepada
penunggu banjar, agar kalian mendapat tempat untuk
bermalam barang satu dua malam."
"Terima kasih," sahut Mahisa Ura.
Sejenak kemudian maka Mahisa Ura, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat pun telah minta diri kepada Ki Bekel. Sambil
sekali lagi mengucapkan terima kasih, maka mereka pun
meninggalkan regol halaman itu menuju ke banjar, bersama
dengan anak Ki Bekel yang berwajah dalam dan
bersungguh-sungguh itu. Ternyata banjar itu tidak terlalu jauh. Namun demikian
sebagaimana saat mereka memasuki padukuhan itu, maka
semua orang telah memperhatikan mereka meskipun
mereka telah diantar oleh Waditra, anak laki-laki Ki Bekel
dari padukuhan itu. Di banjar mereka diterima oleh seorang laki-laki separo
baya. Rambutnya sudah mulai berwarna dua.
"Orang inilah yang menunggu banjar," berkata Waditra.
Mahisa Ura dan kedua orang yang diakuinya sebagai
adiknya itu pun mengangguk sambil memperkenalkan diri
mereka pula. "Nah, terserahlah kepadamu," berkata Waditra kepada
penunggu banjar itu, "kau dapat mengatur, bahwa ketiga
orang ini akan dapat bermalam di banjar." Namun
kemudian Waditra pun berpaling kepada Mahisa Ura,
"Tetapi Ki Sanak. Karena kedatangan kalian adalah untuk
berdagang, maka kami mohon maaf, bahwa kami tidak
dapat menyediadakan makan dan minuman kalian. Kami
hanya dapat menyediakan tempat untuk sekedar
beristirahat. Itu pun apa adanya sebagaimana kau lihat
sekarang." Mahisa Ura dengan serta merta menjawab, "Apa yang
kami terima jauh dari cukup. Soal makan dan minum kami,
jangan dirisaukan. Memang kami tidak akan dapat
membebani padukuhan ini dengan kebutuhan-kebutuhan
kami yang seharusnya kami tanggung sendiri. Tetapi apa
yang disediakan buat kami telah jauh dari cukup."
Waditra mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Sudahlah.
Aku masih tugas lain. Tetapi apakah aku diijinkan untuk
sekedar melihat apa yang kalian perdagangkan?"
"O," Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling
berpandangan sejenak. Namun kemudian Mahisa Pukat
pun menyahut, "Aku membawa beberapa batu akik yang
paling bagus pada masa sekarang. Batu akik yang dapat
mempengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang, sehingga
ia akan mendapat perhatian yang sangat besar dari pihak
lain. Anak-anak muda akan diperhatikan oleh gadis-gadis
sebaliknya gadis-gadis akan dikerumuni oleh anak-anak
muda. Tetapi tuah yang lain adalah, siapa yang memakai
batu akik itu sebagai mata cincin atau mata bandul
kalungnya, maka ia akan dapat melakukan semua tugastugasnya
dengan baik." Waditra itu mengerutkan keningnya, tetapi ia tidak
menjawab. Dalam pada itu Mahisa Pukat pun telah mengeluarkan
beberapa batu akik dari kantong ikat pinggangnya. Batu
akik yang memang sudah dipersiapkan, dan seandainya
batu akik itu dilihat oleh seorang yang ahli sekalipun
sebagaimana Mahendra, maka akan mengatakan bahwa
batu akik itu memang batu akik yang bagus.
Selain batu akik, maka Mahisa Pukat pun telah
mengeluarkan pula dari kantong ikat pinggangnya yang
sebelah, beberapa butir batu permata yang sudah ada pada
embannya. Cincin dan gelang.
Waditra menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun
kemudian berkata, "Agaknya kami di sini tidak banyak
tertarik terhadap batu akik. Apalagi permata yang harganya
tentu sangat mahal. Tetapi bukankah kalian juga membawa
wesi aji?" "Ya," jawab Mahisa Murti, "Tetapi yang ada pada kami
sekarang bukan wesi aji dalam ujud senjata pakai."
"Aku ingin melihat" berkata Waditra.
Mahisa Murti lah yang kemudian mengambil dari
kantong ikat pinggangnya beberapa jenis benda kecil
berwarna kuning kehitam-hitaman, tetapi ada juga yang
berwarna hijau. Yang mirip dengan sebilah pisau yang kecil kemudian
dipisahkannya sambil berdesis, "Wesi kuning."
Anak Ki Bekel itu termangu-mangu. Dipandanginya
benda kecil itu sambil mengangguk-angguk. Menurut
penglihatannya, maka benda itu agaknya memang memiliki
sesuatu yang dapat mempengaruhi pemiliknya.
"Apakah kau akan membelinya?" bertanya Mahisa
Murti. Waditra termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Aku akan memberitahukan kepada ayah.
Mungkin ada satu di antaranya yang menarik perhatiannya.
Mungkin benda yang kau tunjukkan kepadaku itu."
"Baiklah yang ini aku sisihkan," berkata Mahisa Murti.
Waditra mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Aku akan
minta diri. Segala sesuatunya tergantung kepada ayah."
Mahisa Murti mengangguk-angguk hormat. Katanya,
"Silahkan. Sementara itu, sekali lagi kami mengucapkan
terima kasih." Waditra itu pun kemudian meninggalkan ketiga orang
yang akan berada di banjar itu barang satu dua hari. Namun
ia sudah melihat, bahwa mereka benar-benar membawa
barang-barang yang mereka sebut sedang diperjualbelikan.
Dengan demikian kecurigaan Waditra atas ketiga orang itu
pun telah hilang. Mereka bukan sekedar orang-orang yang
mengaku sebagai pedagang, tetapi mereka mempunyai
maksud yang lain. Dalam pada itu, Mahisa Ura, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat pun menyadari, bahwa Waditra bukannya ingin
membeli sesuatu dari mereka. Yang dilakukannya adalah
sekedar melihat, apakah benar mereka memang mempunyai
barang-barang yang akan mereka perjual belikan
sebagaimana mereka katakan."
Tetapi mereka bertiga sama sekali tidak berkeberatan.
Dengan demikian maka mereka pun telah dapat
meyakinkan, bahwa mereka tidak perlu dicurigai.
Waditra yang tidak lagi mencurigai ketiga orang itu,
justru telah memberitahukan bukan saja kepada ayahnya,
tetapi kepada beberapa orang yang dijumpainya, bahwa di
banjar ada tiga orang pedagang keliling yang membawa
beberapa jenis batu akik, permata dan wesi aji.
Meskipun orang-orang padukuhan itu bukannya orangorang
yang kaya, tetapi ada juga minat di antara mereka
untuk melihat-lihat barang-barang yang dibawa oleh
Mahisa Ura, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Karena itulah, maka beberapa saat kemudian, maka
beberapa orang telah datang ke banjar untuk bertemu dan
berkenalan dengan mereka bertiga.
"Seandainya kalian tidak jadi membeli apapun juga,
kami sudah merasa beruntung," berkata Mahisa Ura,
"setidak-tidaknya kami telah mendapatkan sahabat-sahabat
yang baik di daerah ini."
Orang-orang padukuhan itu pun mengangguk-angguk.
Ternyata bahwa sikap dan pelayanan ketiga orang itu dapat
memberikan kesenangan kepada orang-orang padukuhan
itu. Meskipun masih belum ada di antara orang-orang
padukuhan itu yang membeli sepotong bendapun, namun
kedatangan mereka telah menunjukkan sikap yang ramah
dari orang-orang padukuhan itu.
Dalam waktu sehari saja, maka Mahisa Ura, Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat telah mengenal sebagian besar dari
penghuni padukuhan itu, terutama orang-orang laki-laki
dan anak-anak mudanya. "Jika kita berada di sini untuk dua tiga hari, maka kita
akan mengenali seluruh isinya," berkata Mahisa Ura.
"Tetapi bukahkah itu tidak penting," berkata Mahisa
Murti, "yang penting bagi kami adalah mengetahui,
mendengar atau melihat kemungkinan-kemungkinan untuk
menemukan jalan menuju ke padepokan orang-orang
bertongkat itu." Mahisa Ura mengangguk-angguk, sementara Mahisa
Pukat berkata, "mudah-mudahan kita akan mendengar
seseorang di sini menyebut padepokan itu."
"Ya mudah-mudahan," berkata Mahisa Ura, "jika tidak,
maka kita masih mungkin untuk berhubungan dengan
padukuhan-padukuhan di sekitar padukuhan ini, sementara
kita akan memohon kepada Ki Bekel untuk tetap berada di
banjar ini lebih lama lagi. Jika tidak terjadi sesuatu, maka
aku kira, Ki Bekel tidak akan berkeberatan."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Dalam waktu yang singkat, maka hubungan ketiga orang
itu dengan penghuni padukuhan itu pun menjadi semakin
akrab. Ternyata di antara sekian banyak penghuni
padukuhan itu, ada juga yang menaruh minat atas barangbarang
yang dibawa oleh Mahisa Murti. Wesi aji yang
berupa benda-benda kecil itu, dapat juga menarik perhatian
seorang yang terhitung kaya di padukuhan itu untuk
memiliki. Mahisa Murti yang mengemban tugas yang lain, yang
bukan sekedar berdagang, tidak memberikan harga terlalu
tinggi. Ia tidak mengharapkan keuntungan yang banyak.
Tetapi yang penting, baginya adalah kesan bahwa mereka
memang seorang pedagang. Tetapi Mahisa Murti pun tidak memberikan harga
semena-mena. Jika yang membeli itu benar-benar
mengetahui serba sedikit tentang wesi aji, maka jika ia
memberikan harga terlalu murah, maka tentu akan
menimbulkan pertanyaan pula.
Karena itu, Mahisa Murti memberikan harga sewajarnya
meskipun ternyata harga itu dianggap terlalu tinggi bagi
orang yang ingin membelinya.
Ternyata telah terjadi tawar menawar. Namun akhirnya
Mahisa Murti lah yang mengalah. Meskipun sebenarnya ia
masih rugi, tetapi karena tidak seberapa, maka diberikannya
juga wesi aji yang di kehendaki oleh orang padukuhan
dengan harga sebesar sebagaimana ia menawar.
"Buka dasar," berkata Mahisa Murti.
Sementara itu, ternyata bahwa Ki Bekel dari padukuhan
itu pun telah memerlukan mengunjungi banjar dan melihat
beberapa jenis wesi aji sebagaimana dikatakan oleh anak
laki-lakinya. Ki Bekel memang tertarik kepada sebuah di
antaranya yang bentuknya mirip dengan sebilah pisau,
tetapi terlalu kecil dan warnanya memang kuning agak
kehitam-hitaman. Ternyata bahwa Ki Bekel pun memiliki pengetahuan
serba sedikit tentang wesi aji. Ia pun agaknya mampu
menilai wesi aji yang disebutnya sebagai wesi kuning itu.
"Apakah pengaruh wesi aji yang satu ini?" bertanya Ki
Bekel. "Ki Bekel dapat menayuhnya," jawab Mahisa Murti
"Mungkin semalam, tetapi mungkin tiga malam."
"Aku mengerti. Tetapi bagaimana menurut
pendapatmu?" bertanya Ki Bekel pula.
"Menurut pendapatku, wesi aji ini mempunyai pengaruh
yang sejuk. Wataknya tenang dan damai," jawab Mahisa
Murti. Ki Bekel mengangguk-angguk sambil mengamati wesi aji
itu. Katanya, "agaknya aku sesuai dengan pendapatmu.
Tetapi apakah aku diperbolehkan meyakinkannya?"
"Maksud Ki Bekel?" bertanya Mahisa Murti.
"Seperti yang kau katakan, aku akan menayuhnya
barang tiga malam. Tetapi dengan demikian aku akan
menghambat jika kalian akan meninggalkan tempat ini,"
berkata Ki Bekel. "O, tidak apa-apa Ki Bekel. Kami tidak mempunyai
batasan waktu. Jika perlu kami dapat berada di satu tempat
sampai sepekan. Seperti Ki Bekel ketahui, kami adalah
pedagang keliling. Di mana memungkinkan barang-barang
kami terjual, maka kami akan berada di tempat itu," jawab
Mahisa Murti. "Tetapi tentu dengan perhitungan," sahut Ki Bekel,
"kalian di sini harus makan dan minum. Jika keuntungan
yang kalian dapat di sini tidak seimbang dengan
pengeluaran kalian, maka kalian tentu merasa dirugikan."
Mahisa Murti tersenyum. Ki Bekel adalah seorang tua
yang tentu memiliki pengalaman dan pengetahuan yang
luas, sehingga pengamatannya terhadap mereka bertiga pun
didasari atas pengenalannya yang luas itu. Tentu ada di
antara orang-orang padukuhan itu yang juga menjadi
pedagang. Meskipun mungkin pedagang ternak atau yang
lain. Namun dalam pada itu Mahisa Murti pun menjawab,
"Benar Ki Bekel. Kami tentu mengharapkan mendapat
keuntungan. Tetapi seandainya perjalanan kami untuk
memperkenalkan diri ini tidak mendapat keuntungan
sebagaimana kami harapkan, namun kami telah
mendapatkan keuntungan yang lain, sebagaimana pernah
kami katakan sebelumnya. Di sini kami mendapatkan
sahabat-sahabat. Bukan berarti tidak ada pamrih, sebab
kami akan dapat datang pada kesempatan yang lain dengan
membawa barang-barang yang lebih banyak lagi, sehingga
keuntungan kami pada kesempatan lain itu akan dapat
menutup kekurangan yang kami alami sebelumnya."
Ki Bekel mengerutkan keningnya. Namun ia pun
kemudian tersenyum. Katanya, "Aku senang. Kau berkata
dengan jujur." Mahisa Murti pun tersenyum pula. Katanya, "Aku tidak
dapat berkata lain kecuali apa adanya."
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baiklah," berkata Ki Bekel, "aku akan mencoba
menayuh wesi kuning ini. Tetapi aku memerlukan waktu
tiga malam sejak malam nanti."
"Silahkan Ki Bekel. Jika ternyata di dalam tayuh itu
terdapat ketidak sesuaian, maka kami tidak akan kecewa
jika rencana pembelian itu diurungkan," berkata Mahisa
Murti. Ki Bekel pun kemudian telah membawa wesi aji itu
untuk ditayuh selama tiga malam.
Ketika banjar itu kemudian menjadi sepi, maka Mahisa
Murti pun berkata, "Untunglah bahwa Ki Bekel
memberikan alasan kepada kita untuk berada di tempat ini
lebih lama." Mahisa Ura mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Dalam
waktu yang tiga hari itu, kita akan dapat melihat-lihat
keadaan di sekeliling padukuhan ini. Mungkin aku dapat
mengenali sesuatu yang akan dapat menuntun kita ke
padepokan orang-orang bertongkat itu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Dengan demikian mereka tidak perlu membuat alasanalasan
apapun untuk memperpanjang kesempatan mereka
berada di banjar itu. Demikianlah selain melayani orang-orang padukuhan itu
yang kebanyakan hanya sekedar melihat-lihat saja, maka
ketiga orang itu sempat keluar dari padukuhan.
"Kami ingin sekedar melihat-lihat," berkata Mahisa Ura
kepada orang-orang padukuhan itu, "kami masih harus
menunggu Ki Bekel yang menayuh salah satu di antara wesi
aji yang kami bawa."
Tidak ada seorang pun yang mencurigai mereka. Ketika
mereka keluar dari padukuhan itu, tidak seorang pun yang
berniat untuk mengawasinya.
Namun ketiga orang itu tertegun ketika mereka terhenti
di luar regol padukuhan itu, karena seseorang telah
menghentikan mereka. "Ki Jagabaya," desis Mahisa Ura.
"Ya Ki Sanak," jawab orang yang disebut Ki Jagabaya
itu. "Apa ada sesuatu yang ingin Ki Jagabaya katakan
kepada kami?" bertanya Mahisa Ura.
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian ia pun bertanya, "Ki Sanak bertiga akan pergi ke
mana?" "Hanya sekedar melihat-lihat," jawab Mahisa Ura,
"kami tidak mempunyai tujuan tertentu."
"Apakah Ki Sanak bertiga akan melihat-lihat sampai
jarak yang jauh?" bertanya Ki Jagabaya.
Mahisa Ura termangu-mangu. Namun kemudian ia pun
bertanya, "Apakah ada sesuatu yang penting atau
merupakan pantangan di daerah ini?"
Ki Jagabaya termangu-mangu. Tiba-tiba saja ia
memandang berkeliling. Wajahnya nampak tegang dan
sikapnya nampak gelisah. Mahisa Ura, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat merasa
heran melihat sikap Ki Jagabaya itu. Karena itu maka
Mahisa Ura pun kemudian bertanya pula, "Ada apa
sebenarnya Ki Jagabaya?"
Ki Jagabaya itu menarik nafas. Lalu katanya, "Marilah.
Kita masuk kedalam regol padukuhan. Nanti aku
persilahkan kalian bertiga untuk melanjutkan perjalanan."
Mahisa Ura, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak
membantah. Meskipun mereka merasa heran, namun
mereka pun kemudian mengikuti Ki Jagabaya masuk
kembali kedalam regol. Baru setelah mereka berada didalam regol, maka Ki
Jagabaya itu berkata, "Ki Sanak. Kami ingin sedikit
memberikan peringatan bagi Ki Sanak bertiga. Mungkin Ki
Sanak bertiga belum mengetahui lingkungan ini dengan
baik." Mahisa Ura yang mengangguk-angguk bertanya, "Kami
memang belum mengetahui apa pun juga tentang
lingkungan ini Ki Jagabaya. Yang kami ketahui barulah
padukuhan ini, karena kami berada di sini. Namun menurut
penilaian kami, para penghuni padukuhan ini adalah orangorang
yang baik dan ramah, sehingga karena itu maka kami
merasa seakan-akan kami berada di rumah sendiri."
"Ki Sanak benar," jawab Mahisa Ura, "tetapi itu adalah
orang-orang padukuhan ini dan padukuhan-padukuhan
sebelah menyebelah. Karena itu, aku bertanya, apakah Ki
Sanak akan berjalan jauh atau tidak."
Mahisa Ura memandang Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat sejenak. Namun kemudian dengan nada datar ia
bertanya, "Kami kurang mengerti ukuran yang Ki Jagabaya
maksudkan. Jarak yang disebut jauh itu sampai seberapa.
Mungkin seratus patok, mungkin lebih."
Ki Jagabaya termangu-mangu Sejenak. Sejenak ia
memandang ke arah regol. Namun masih ada kesan
padanya, bahwa Ki Jagabaya itu menjadi gelisah.
"Ki Sanak," berkata Ki Jagabaya, "karena Ki Sanak
berada di padukuhan ini atas ijin Ki Bekel, maka di sini Ki
Sanak adalah tamu kami. Karena itu, maka bagaimanapun
juga, kami merasa ikut bertanggung jawab atas keselamatan
Ki Sanak bertiga." Mahisa Ura mengangguk-angguk. Katanya, "Terima
kasih Ki Jagabaya. Kami memang merasa tenang di
padukuhan ini." "Karena itu, maka kami ingin memberi peringatan
kepada Ki Sanak bertiga," berkata Ki Jagabaya kemudian,
"Ki Sanak jangan salah mengerti. Percayalah bahwa aku
bermaksud baik." "Ya, ya Ki Jagabaya. Kami percaya," sahut Mahisa
Ura. Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Lalu katanya,
"Sebenarnya aku ingin memperingatkan agar Ki Sanak
jangan berjalan-jalan terlalu jauh ke Utara."
Mahisa Ura mengerutkan keningnya. Sementara Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak.
Sementara itu Ki Jagabaya pun berkata selanjutnya,
"Sebenarnya daerah itu bukan daerah yang pantang
dikunjungi pada mulanya. Tetapi akhir-akhir ini daerah
tersebut sering menjerat orang-orang yang sedang lewat.
Bahkan kecemasan telah mulai tumbuh di padukuhanpadukuhan
disekitar tempat ini. Sedangkan padukuhanpadukuhan
itu terletak di Kabuyutan yang sama dengan
daerah ini." Mahisa Ura mengangguk-angguk. Lalu katanya,
"Terima kasih atas peringatan ini Ki Jagabaya. Tetapi
seberapa jauh dari padukuhan ini tempat yang Ki Jagabaya
maksudkan itu." "Ada beberapa padukuhan. Padukuhan ini adalah
padukuhan di ujung Kabuyutan. Sedangkan padukuhan
yang mulai dibayangi oleh orang-orang yang kadangkadang
mengganggu itu, adalah padukuhan di ujung yang
lain dari Kabuyutan ini," jawab Ki Jagabaya.
"Lalu bagaimana dengan Kabuyutan di sebelah lagi?"
bertanya Mahisa Murti tiba-tiba.
"Kabuyutan itu mengalami keadaan yang lebih parah.
Jika keadaan tidak berubah, maka Kabuyutan sebelah, akan
menjadi daerah mati. Orang-orangnya akan berpindah
tempat ke Kabuyutan yang lain sehingga akhirnya
Kabuyutan itu akan menjadi kosong," sahut Ki Jagabaya.
Mahisa Ura mengangguk-angguk. Tetapi ia pun
kemudian bertanya, "Ki Jagabaya. Apakah sebabnya, maka
perubahan itu tiba-tiba saja telah terjadi" Jika semula tidak
ada kesulitan bagi Kabuyutan sebelah, kini tiba-tiba
keadaan telah berubah."
Ki Jagabaya termangu-mangu sejenak. Setiap kali ia
memandang ke arah regol. Bahkan kemudian
dipandanginya lingkungan disekelilingnya. Namun yang
nampak olehnya adalah seorang perempuan yang lewat
memasuki gerbang halaman rumahnya tidak jauh dari
tempat mereka berdiri. Perempuan itu memang
memperhatikan mereka sejenak. Tetapi kemudian ia pun
tidak menghiraukannya lagi.
Sementara itu Ki Jagabaya pun kemudian berkata,
"Masih belum jelas bagi kami. Tetapi sudah terasa kesulitan
akan membentang di hadapan kami. Pada bulan terakhir,
kami sudah mengalami beberapa kali tindak kekerasan
terjadi di lingkungan ini Kabuyutan kami, sedangkan di
Kabuyutan sebelah, jumlah itu lebih besar lagi."
"Kekerasan yang bagaimana yang telah terjadi"
Perkelahian, atau mungkin perampokan?" bertanya Mahisa
Pukat. "Agaknya memang mengarah kekerasan yang berlatar
belakang kejahatan. Tetapi kami kurang pasti, apakah
sebenarnya yang telah terjadi, karena pernah kami
ketemukan korban yang sebenarnya sudah dapat diduga
sebelumnya, bahwa ia tidak memiliki sesuatu yang dapat
dirampok," berkata Ki Jagabaya.
Mahisa Ura mengangguk-angguk. Lalu katanya,
"Terima kasih atas keterangan ini Ki Jagabaya. Dengan
demikian maka kami tidak akan tersesat ke daerah yang
berbahaya itu." "Hal ini aku lakukan karena kalian adalah tamu-tamu
kami," berkata Ki Jagabaya kemudian. "karena itu,
sebaiknya Ki Sanak jangan mendekati daerah yang
berbahaya itu." Mahisa Ura, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Mahisa Ura
menyahut, "Terima kasih Ki Jagabaya. Jika Ki Jagabaya
tidak memberi tahu kepada kami, maka aku kira kami
mungkin sekali akan tersesat ke daerah yang berbahaya
itu." "Aku hanya ingin menghormati tamuku," berkata Ki
Jagabaya, "sebenarnya aku tidak boleh memberitahukan hal
ini kepada Ki Sanak bertiga. Jika diketahui bahwa aku telah
mencegah seseorang melalui daerah gawat itu, maka aku
tentu akan diancam oleh orang-orang yang sering
melakukan kejahatan itu, karena aku di anggap telah
membendung arus mangsa yang seharusnya diperuntukkan
bagi mereka." Ketiga orang itu pun mengangguk-angguk. Itulah
agaknya Ki Jagabaya bersikap aneh.
"Tidak ada seorang pun yang berani memperingatkan
kepada Ki Sanak bertiga," berkata Ki Jagabaya, "Ki Bekelpun
tidak memperingatkan Ki Sanak agar tidak berjalan ke
arah Utara. Mungkin Ki Bekel memang lupa atau
barangkali Ki Bekel merasa tidak berkepentingan dengan Ki
Sanak bertiga. Tetapi ternyata bahwa baik Ki Bekel,
maupun anaknya tidak memberi peringatan kepada Ki
Sanak bertiga." "Baiklah Ki Jagabaya," berkata Mahisa Ura kemudian,
"aku akan berjalan-jalan di lingkungan Kabuyutan ini,
tetapi tidak sampai ke ujung, sehingga aku tidak akan
terjerumus kedalam kesulitan sebagaimana Ki Jagabaya
katakan." Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Katanya, "berhatihatilah.
Tetapi sebaiknya Ki Sanak tidak keluar dari
padukuhan ini. Atau sejauh-jauhnya padukuhan sebelah."
"Aku akan memperhatikan pesan Ki Jagabaya," jawab
Mahisa Ura. Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Katanya, "Mudahmudahan
kalian tidak menemui kesulitan di perjalanan."
Mahisa Ura, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
kemudian meninggalkan Ki Jagabaya yang termangumangu.
Sekali lagi mereka keluar dari regol padukuhan
untuk melihat-lihat keadaan disekitar padukuhan itu.
Beberapa puluh langkah dari regol, setelah mereka tidak
lagi melihat Ki Jagabaya, maka Mahisa Ura pun berkata,
"Untunglah, kita mendapat peringatan daripadanya. Ada
juga orang yang berani berkata kepada kita tentang orangorang
itu." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Namun kemudian Mahisa Pukat pun bertanya, "Apakah
kita tidak akan berani mendekati daerah yang dikatakan
gawat itu?" "Tentu tidak," berkata Mahisa Ura, "semakin gawat
keadaan suatu tempat, maka tempat itu akan menjadi
semakin menarik bagi kita."
"Aku sependapat," sahut Mahisa Murti, "kita akan
menyelidiki tempat itu. Mungkin ada hubungannya dengan
orang-orang bertongkat atau justru padepokan."
"Menarik sekali," berkata Mahisa Pukat, "mudahmudahan
kita mendapat petunjuk serba sedikit tentang
orang-orang bertongkat atau padukuhan."
"Tetapi kita tidak akan melakukannya sekarang,"
berkata Mahisa Ura. "Kenapa?" bertanya Mahisa Pukat.
"Kita wajib menghormati pesan Ki Jagabaya," jawab
Mahisa Ura, "jika kita pergi sekarang, sementara ada orang
lain yang menyampaikannya kepada Ki Jagabaya, maka Ki
Jagabaya akan sangat tersinggung. Seolah-olah kita dengan
sengaja melanggar pesannya."
"Apa bedanya jika kita melakukannya pada kesempatan
lain?" bertanya Mahisa Pukat.
"Ada bedanya," jawab Mahisa Ura, "kita akan dapat
menjawab, bahwa kita sangat tertarik kepada keadaan
padukuhan-padukuhan disekitar tempat ini sehingga kita
terlupa pesan itu. Keasyikan kita berbicara tentang batu
akik dan wesi aji membuat kita kehilangan kewaspadaan.
Kesalahan kita adalah kita kurang berhati-hati, bukan
dengan sengaja melanggar pesannya atau bahkan menjajagi
kebenaran pesan itu."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak
membantah. Karena itu, maka ketika mereka sampai disimpang tiga,
mereka memang tidak menuju ke Utara. Tetapi mereka
telah berbelok ke Selatan.
Sebenarnyalah, saat itu Ki Jagabaya masih
memperhatikan mereka meskipun ia berdiri di belakang
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dinding di sebelah regol. Karena itu Mahisa Ura, Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat yang berpaling sekaligus tidak
melihatnya. Ketika Ki Jagabaya itu melihat ketiga orang itu berbelok
ke Selatan, maka ia menarik nafas dalam-dalam.
Ketegangan di wajahnya pun bagaikan larut, sehingga
sejenak kemudian ia pun telah bergeser meninggalkan
tempatnya. Dengan nada dalam ia berkata kepada dirinya sendiri,
"Sokurlah, bahwa mereka mau mendengarkan petunjukpetunjukku."
Sementara itu, Mahisa Ura, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah menyusuri jalan bulak yang panjang. Dengan
ketajaman ingatan seorang petugas sandi, Mahisa Ura
mencoba mengingat, tanda-tanda manakah yang pernah
dilihatnya. Namun ada semacam keyakinan bahwa pada
saat-saat ia tersesat, ia memang melewati jalan itu.
"Aku sedang mencoba mengingat, apakah aku melewati
tempat ini setelah aku kehilangan jalan," berkata Mahisa
Ura. "Kau adalah seorang petugas sandi," sahut Mahisa
Pukat, "ingatanmu tentu cukup tajam."
"Apakah seorang petugas sandi pada suatu saat tidak
akan kehilangan jejak pada ingatannya?" berkata Mahisa
Ura, "mungkin aku kehilangan jejak itu. Tetapi mungkin
aku akan mampu mengingatnya kembali."
Mahisa Murtilah yang kemudian tersenyum sambil
berkata, "Usahakan, agar kau dapat mengingatnya
kembali." Mahisa Ura mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak segera
dapat mengingat jalan yang pernah dilaluinya.
Namun demikian ia berkata, "besok kita pergi ke Utara.
Mungkin ada sesuatu yang dapat mengingatkan aku kepada
jalan yang menuju ke padepokan orang-orang bertongkat
itu." Hari itu Mahisa Ura, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
benar-benar hanya melihat-lihat. Mereka memasuki sebuah
padukuhan dan berbicara dengan Bekel di padukuhan itu.
Ternyata Ki Bekel pun tidak berkeberatan jika ketiga orang
itu akan sekedar berjual beli batu-batu akik dan wesi aji.
Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
menunjukkan contoh-contoh dari barang-barang yang dijual
belikan. "Kami menunggu Ki Bekel di padukuhan sebelah
sedang melakukan tayuh atas sebuah dari wesi aji yang
kami bawa. Sementara itu, kami mulai hubungan kami
dengan padukuhan-padukuhan sebelah menyebelah,"
berkata Mahisa Ura. "Baiklah," berkata Ki Bekel, "singgahlah di sini. Jika
kalian ingin bermalam di banjar padukuhan, kami tidak
berkeberatan. Tetapi sebagaimana kalian katakan, bahwa
kami hanya dapat menyediakan tempat sekedar untuk tidur
saja, seperti di padukuhan tempat kalian bermalam
sekarang." "Terima kasih," berkata Mahisa Ura, "tetapi jika
barang-barangku sudah habis, maka aku akan kembali lebih
dahulu untuk mengambil barang-barang dagangan baru.
Kemudian aku akan kembali lagi ke padukuhan ini."
"Kapan pun Ki Sanak datang, kami akan menerima
kalian dengan senang hati," berkata Ki Bekel.
Ketika ketiga orang itu meninggalkan rumah Ki Bekel,
maka baik Ki Bekel maupun orang-orang lain, tidak
seorang- pun yang memberitahukan apa pun tentang
kemungkinan yang buruk jika mereka menempuh
perjalanan ke Utara. Karena itu, ketika mereka kembali ke penginapan,
mereka pun telah memperbincangkannya.
"Apakah benar kata Ki Jagabaya, bahwa tidak seorang
pun yang berani menyebut tentang padepokan itu," berkata
Mahisa Ura. "Tetapi rasa-rasanya tidak ada sesuatu yang tidak wajar
pada Ki Bekel dan para bebahunya. Seandainya memang
ada sesuatu, maka tentu salah seorang di antara mereka
akan memberitahukan kepada kita," berkata Mahisa Murti.
Namun Mahisa Pukatlah yang menyahut, "Mungkin
mereka memang mendapat ancaman. Tetapi dengan
demikian justru akan menjadi semakin menarik untuk
mencari hubungan dengan orang-orang di padukuhan itu.
Karena itu, besok kita akan pergi ke Utara untuk
menemukan jalan menuju ke padepokan itu."
"Baiklah," berkata Mahisa Ura, "besok kita pergi ke
Utara tanpa diketahui oleh Ki Jagabaya."
"Kita akan berangkat pagi-pagi benar, sementara kita
akan keluar dari padukuhan di regol sebelah Barat. Regol
yang tentu tidak akan dilewati, jika seseorang pergi ke
Utara. Mudah-mudahan Ki Jagabaya tidak melihatnya
kemana kita akan pergi," berkata Mahisa Murti.
Dengan demikian, maka pada hari itu, ketika mereka
bertemu dengan Ki Jagabaya telah menceriterakan apa yang
mereka lakukan di padukuhan sebelah.
Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Katanya, "Sokurlah
jika kalian tidak mengalami sesuatu. Padukuhan yang
kalian datangi itu juga masih termasuk satu Kabuyutan
dengan padukuhan ini."
Mahisa Ura, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja Ki Jagabaya
bertanya dengan berbisik, "Ki Sanak. Apakah kalian juga
mendapat peringatan ketika kalian bertemu dengan Ki
Bekel di padukuhan sebelah, agar kalian tidak pergi ke
Utara." Mahisa Ura, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangumangu.
Namun Mahisa Uralah yang menjawab perlahan-lahan
sambil menggeleng, "Tidak. Tidak Ki Jagabaya."
"Nah, yakinlah sekarang, bahwa yang aku katakan
benar," desis Ki Jagabaya.
"Ya," jawab Mahisa Ura, "kami percaya. Karena itu,
kami tidak pergi ke Utara."
Tetapi ketiga orang itu sama sekali tidak melepaskan
rencananya. Mereka benar-benar berniat esok pagi pergi ke
Utara justru karena Ki Jagabaya telah melarangnya.
Malam itu, ketiga orang itu pun berusaha untuk
beristirahat sebanyak-banyiskaya. Di sore hari mereka telah
berada di sebuah warung disudut padukuhan itu. Namun
tidak seorang pun di antara orang-orang yang berada di
warung itu, bahkan juga penjualnya, yang berbicara tentang
daerah Utara itu, meskipun ketiga orang itu telah
memancingnya. Karena itulah, ketika mereka sudah berbaring di sebuah
amben yang besar dibilik di serambi banjar padukuhan,
maka Mahisa Pukat pun berkata, "Nampaknya akan terjadi
satu perjalanan yang menarik."
"Mungkin," jawab Mahisa Ura, "mudah-mudahan aku
pun mampu mengenali sesuatu yang dapat menjadi
petunjuk arah." "Atau bahkan kita justru akan terperosok kedalamnya.
Kedalam padepokan orang-orang bertongkat itu," sahut
Mahisa Murti. Namun ketiganya tidak membicarakannya lagi. Mereka
berusaha untuk dapat tidur dengan baik. Namun justru
karena pesan Ki Jagabaya sertai kesadaran mereka, bahwa
kedatangan mereka di padukuhan itu telah diawasi oleh
orang-orang yang tidak mereka ketahui, maka mereka telah
mengatur waktu, agar mereka tidak tidur bersama-sama.
Seorang di antara mereka akan bergantian berjaga-jaga,
meskipun barangkali yang bertugas berjaga-jaga itu juga
berbaring bersama kedua orang yang lain.
Dengan tertib mereka telah mengatur, siapakah yang
mendapat giliran untuk tidur untuk waktu tertentu.
Namun Mahisa Pukat yang mendapat giliran pertama
lebih senang duduk saja bersandar pintu yang sudah
diselarak. Ketika angin berhembus lewat celah-celah dinding
bambu, maka terasa mata Mahisa Pukat menjadi sangat
berat. Namun ia harus bertahan untuk bangun sampai
saatnya ia membangunkan Mahisa Murti yang akan
menggantikannya. Menjelang dini hari, Mahisa Uralah
yang akan berjaga-jaga sampai mereka terbangun
seluruhnya menjelang hari yang akan datang.
Namun ketika hampir saatnya Mahisa Pukat
membangunkan Mahisa Murti, tiba-tiba saja ia mendengar
desir lembut di luar pintu. Karena itu, maka Mahisa Pukat
itu pun telah mengatur pernafasannya serta berusaha untuk
tidak bergerak. Desir lembut itu lewat didalam pintu. Sejenak langkah
itu berhenti, namun kemudian langkah itu bergeser terus
dan hilang di ujung serambi.
Mahisa Pukat termangu-mangu. Namun ia pun
kemudian berkata kepada diri sendiri, "Mungkin seorang
peronda yang bertugas di banjar."
Namun sejenak kemudian, ia mendengar langkah itu
kembali dan bahkan berhenti sejenak di muka pintu uu.
Sehingga dengan demikian maka Mahisa Pukat harus
menahan diri dan sekali, lagi mengatur pernafasannya,
sehingga tarikan nafasnya yang teratur mengesankan orangorang
yang sedang tidur nyenyak.
Tetapi langkah itu tidak terlalu lama berhenti. Terdengar
lagi desir menjauh dan kemudian hilang pula dari
pendengarannya. Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara
itu, maka waktu yang menjadi tanggung jawabnya sudah
lewat. Karena itu, maka ia pun kemudian menyentuh
Mahisa Murti yang segera terbangun pula.
"Akulah sekarang yang bertugas?" bertanya Mahisa
Murti. "Ya. Aku sudah menyelesaikan tugasku. Tetapi tiba-tiba
aku sama sekali tidak merasa mengantuk," jawab Mahisa
Pukat perlahan. "Kenapa?" bertanya Mahisa Murti hampir berbisik.
Mahisa Pukat termangu-mangu. Sejenak ia
memperhatikan keadaan diluar bilik itu. Ketika ia yakin
bahwa tidak ada sesuatu yang mencurigakan, maka ia pun
telah menceriterakan apa yang dialaminya.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Lalu katanya lirih,
"Baiklah. Aku akan berhati-hati. Kau tidur sajalah.
Seandainya ada seseorang yang membayangi kita, maka ia
tidak akan melakukan sesuatu di banjar ini."
"Apakah hal ini ada hubungannya dengan orang-orang
yang membayangi perjalanan kita pada saat kita mendekati
padukuhan ini?" bertanya Mahisa Pukat.
"Kita masih belum tahu," jawab Mahisa Murti, "kita
pun belum dapat menghubungkan hal itu dengan sikap Ki
Jagabaya. Menurut pendapatku, seandainya di daerah
Utara ada orang-orang yang pantas ditakuti, mereka
agaknya tidak akan sampai ke banjar ini."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu sekali
lagi Mahisa Murti berkata, "Tidurlah. Tidak akan terjadi
sesuatu." "Aku tidak mengantuk," jawab Mahisa Pukat.
"Berbaringlah," desis Murti pula, "kau akan mengantuk
dan kemudian tertidur. Besok kita akan melakukan sesuatu
yang mungkin gawat. Tetapi mungkin juga tidak ada apaapa.
Tetapi sebaiknya kau beristirahat. Aku sudah cukup
lama beristirahat, sehingga seandainya aku tidak tertidur
lagi, aku sudah cukup segar."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun ia
pun kemudian telah berbaring diamben yang besar itu di
sebelah Mahisa Ura. Ternyata derit amben itu telah
membangunkan Mahisa Ura. Tetapi agaknya Mahisa Ura
tidak berminat untuk bangun. Ia hanya membuka matanya
sejenak sambil berdesis, "Kalian akan bergantian tugas?"
"Ya," jawab Mahisa Pukat yang sudah berbaring,
sementara Mahisa Murti pun kemudian duduk bersandar
pintu sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Pukat
sebelumnya. "Kenapa kau duduk disitu?" bertanya Mahisa Ura.
"Tidak apa-apa," jawab Mahisa Murti, "jika aku masih
dipembaringan aku akan mengantuk lagi."
Mahisa Ura tidak bertanya lagi. Bahkan matanyalah
yang kemudian terpejam. Sementara itu Mahisa Pukat pun berdesis, "Jika saatnya
ia berjaga-jaga kau beritahukan apa yang aku dengar atau
mungkin kau juga akan mendengarnya."
"Baiklah," jawab Mahisa Murti.
Namun sambil matanya masih tetap terpejam Mahisa
Ura berdesis, "Ada apa?"
"Tidurlah," sahut Mahisa Pukat, "aku pun akan tidur."
Mahisa Ura memang tidak bertanya lagi. Ia pun segera
tertidur lagi. Berbeda dengan Mahisa Ura, ternyata Mahisa Pukat
memerlukan waktu yang lebih lama untuk dapat tertidur.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti masih saja duduk
bersandar pintu. Beberapa lama ia menunggu. Tetapi ia
tidak mendengar sebagaimana didengar oleh Mahisa Pukat.
Bahkan sampai saatnya ia menyelesaikan tugasnya, ia sama
sekali tidak mendengar apa-apa.
Menjelang dini hari, Mahisa Murti telah membangunkan
Mahisa Ura yang telah tidur dengan nyenyak. Karena itu,
ketika tangan Mahisa Murti menyentuhnya, ia pun segera
terbangun dan berkisar turun dari pembaringan.
Dalam pada itu ternyata Mahisa Pukat pun terbangun
pula, sehingga dengan demikian bersama Mahisa Murti ia
memberikan beberapa pesan kepada Mahisa Ura yang
bertugas terakhir untuk malam itu.
"Sebentar lagi kita akan bangun dan akan menuju ke
tempat yang justru dilarang oleh Ki Jagabaya," berkata
Mahisa Murti, "karena itu, mungkin aku masih sempat
memanfaatkan waktu yang sedikit ini untuk tidur lagi.
Tidurlah kalian," sahut Mahisa Ura, "aku akan duduk pula
seperti kalian, bersandar pintu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah
berbaring pula. Mereka ingin mempergunakan waktu yang
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tinggal sedikit untuk tidur lagi barang sejenak, sementara
Mahisa Uralah yang bertugas berjaga-jaga.
Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih dapat
mempergunakan sisa waktu yang pendek itu untuk tidur
nyenyakTetapi tidak terlalu lama. Sejenak kemudian telah
terdengar ayam jantan berkokok bersahut-sahutan.
Mahisa Ura yang berjaga-jaga pun telah membangunkan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka dengan cepat
berbenah diri dan kemudian keluar dari dalam bilik mereka.
Ketika para penjaga banjar itu bertanya, maka keti-ganya
pun menjawab, "Kami akan pergi ke sungai. Mungkin kami
akan langsung pergi ke pasar."
Para penjaga sama sekali tidak mencurigai mereka.
Mereka membiarkan Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan
Mahisa Ura untuk keluar dari halaman banjar.
Ketika mereka keluar dari regol padukuhan, maka
mereka masih bertemu dengan anak-anak muda yang
pulang dari ronda. Ketika anak-anak muda itu bertanya,
maka jawab Mahisa Ura pun tidak ubahnya dengan
jawaban yang diberikannya kepada para penjaga di regol
halaman banjar. Demikian maka ketiga orang itu pun telah keluar dari
regol padukuhan. Mereka memang menuju kesungai.
Tetapi mereka tidak terlalu lama berada di sungai kecil di
sebelah padukuhan itu. Namun mereka pun kemudian
justru telah pergi ke arah yang tidak dikehendaki oleh Ki
Jagabaya. Dengan hati-hati mereka menuju ke Utara. Setiap
jengkal yang mereka lalui telah mereka perhatikan dengan
seksama, sementara langit pun telah menjadi merah.
Namun ketiga orang itu yakin, bahwa tidak seorang pun
yang memperhatikan perjalanan mereka. Mereka pun
berharap bahwa Ki Bekel kemudian dan apalagi Ki
Jagabaya tidak mengetahui bahwa mereka telah menuju ke
arah Utara. Ketika langit menjadi terang, maka mereka telah berada
cukup jauh dari padukuhan yang menjadi tempat tinggal
mereka. Dengan cermat mereka memperhatikan jalan yang
mereka lalui. Mereka memperhatikan setiap ujud yang
menarik perhatian. Mungkin pepohonan yang besar,
mungkin batu-batu besar, apalagi batu besar yang berwarna
hijau sebagaimana pernah diceriterakan oleh Mahisa Ura
pada saat ia tersesat. Untuk beberapa lama mereka sama sekali tidak
menemukan sesuatu yang dapat dipergunakannya untuk
menemukan jalan yang pernah ditempuh oleh Mahisa Ura.
Namun mereka tidak menjadi berputus asa. Mereka
masih saja berjalan melampui beberapa padukuhan. Namun
mereka tidak mengetahui, apakah mereka telah berada di
ujung Kabuyutan yang lain.
Beberapa orang yang berpapasan dengan mereka bertiga
memang berpaling dan melihat mereka. Tetapi ketiga orang
itu memang tidak begitu menarik untuk diperhatikan.
Mereka datang ujud memang tidak lebih dari orang
kebanyakan. Bahkan Mahisa Ura ketika melewati sebuah
paSar yang mulai banyak didatangi orang setelah matahari
membayang, telah membeli sebuah cambuk lembu
sebagaimana dibawa oleh kebanyakan belantik lembu atau
pembawa pedati. Dengan demikian maka mereka bertiga telah dikira
belantik lembu dan kerbau bahkan mungkin juga kambing
yang datang dari tempat yang agak jauh.
Namun akhirnya mereka pun tertegun ketika mereka
sampai kesebuah tugu batu yang tidak terlalu besar yang
merupakan batas antara kabuyutan yang disebut oleh Ki
Jagabaya. "Kita sudah sampai di ujung Kabuyutan," berkata
Mahisa Ura, "ternyata kita tidak mengalami sesuatu.
Bahkan sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa di daerah
ini merupakan daerah yang berbahaya. Jalan ini masih saja
banyak orang lewat sebagaimana di Kabuyutan yang baru
saja ditinggalkannya. Di Kabuyutan berikutnya pun tandatanda
kehidupan ubahnya seperti Kabuyutan sebelah.
Sawah-sawah juga nampak hijau dan para petani pun telah
mengerjakannya dengan rajin.
Hal itu telah mendorong Mahisa Ura, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat untuk memasuki Kabuyutan tetangga itu
lebih dalam lagi. Untuk beberapa saat mereka berjalan, memang tidak ada
yang menarik. Mereka sengaja melalui beberapa
padukuhan. Namun sikap orang-orang padukuhan itu pun
nampaknya ramah sebagaimana padukuhan tempat mereka
menginap. "Aku tidak mengerti, kenapa Ki Jagabaya telah
melarang kita memasuki daerah ini," gumam Mahisa Ura.
"Ya. Nampaknya daerah ini tidak terlalu gawat.
Semuanya berjalan lancar, baik, tenang dan sebagaimana
kita lihat di padukuhan tempat kita menginap," desis
Mahisa Murti. Mahisa Ura mengangguk-angguk. Katanya pula, "Jika
benar seperti yang didengar oleh Mahisa Pukat tentang
langkah-langkah didepan bilik kita, serta dugaan kita bahwa
ketika kita datang telah diikuti oleh orang-orang yang tidak
kita kenal, maka tempat yang gawat justru tidak di sini.
Tetapi di padukuhan tempat kita menginap meskipun
nampaknya juga tenang dan baik seperti ditempat ini."
"Aku memang kurang mengerti tentang sikap Ki
Jagabaya. Kenapa ia sama sekali tidak berkata apapun juga,
ketika kita berbicara dengan Ki Bekel dan anaknya. Bahkan
tidak seorang pun di padukuhan itu, di pasar dan dimana
saja, yang pernah mengatakan bahwa daerah yang kita
masuki sekarang adalah daerah yang berbahaya
sebagaimana dikatakan oleh Ki Jagabaya," berkata Mahisa
Pukat. "Apakah kau justru menjadi curiga?" bertanya Mahisa
Ura. Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Aku tidak dapat mengatakannya demikian. Tetapi aku
hanya kurang mengerti maksudnya. Mungkin ia tidak
berniat kurang baik."
"Ya," sambung Mahisa Murti, "kita belum dapat
dengan serta merta mencurigainya. Kita harus melihat lebih
dahulu persoalan-persoalan yang berkembang kemudian."
Mahisa Ura mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak
mengatakan sesuatu. Ia kemudian lebih memperhatikan
lingkungan yang mereka lalui.
Namun tiba-tiba Mahisa Ura itu memejamkan matanya.
Kemudian dipandanginya keadaan alam disekelilingnya.
Lalu tiba-tiba saja ia berkata, "Bukan dalam mimpi. Aku
pernah melihat hutan perdu itu. Di sebelah hutan perdu itu
terdapat hutan yang meskipun tidak begitu liar, tetapi
temasuk hutan yang cukup lebat.
"Ada apa?" bertanya Mahisa Murti yang mulai berharap
bahwa Mahisa Ura akan dapat mengingat sesuatu.
Mahisa Ura mengangguk-angguk. Namun kemudian
katanya, "Apakah kalian membawa barang-barang
dagangan kalian?" "Ya," jawab Mahisa Pukat dan Mahisa Murti hampir
berbareng. Mahisa Ura mengangguk-angguk. Lalu katanya,
"Sebaiknya kita singgah di padukuhan sebelah. Kita
bertemu dengan Ki Bekel dan minta untuk mendapat
kesempatan sebagaimana kita dapatkan di padukuhan yang
sekarang. Kita juga akan menawarkan barang-barang
dagangan seperti yang kita tawarkan itu."
Tetapi Mahisa Murti menyahut, "Bagaimana dengan Ki
Bekel yang sedang menayuh wesi aji itu" Jika kita berada di
sini, maka berarti kita sudah melanggar pesan Ki Jagabaya.
Mungkin Ki Bekel pun akan marah."
"Bukankah kita tidak menyesal seandainya Ki Bekel itu
mengurungkan niatnya untuk membeli wesi aji itu,"
bertanya Mahisa Ura. "Memang tidak apa-apa. Tetapi mungkin ki Bekel bukan
hanya tidak jadi membeli. Tetapi wesi aji itu tidak akan
dikembalikan kepada kita," jawab Mahisa Murti.
"Tidak apa-apa. Kau akan dapat minta ganti kepada
orang-orang Kediri yang memberikan tugas kepada kalian,"
berkata Mahisa Ura. "Bukan hanya itu," sahut Mahisa Pukat, "hubungan kita
dengan Ki Bekel dan orang-orang padukuhan itu akan
terputus." Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Katanya
dengan nada rendah, "Aku mengerti. Tetapi tempat ini
sangat menarik perhatianku. Hutan perdu itu. Dan aku
membayangkan di belakangnya akan terdapat sebuah hutan
yang cukup lebat. Kemudian di belakangnya akan terdapat
sebatang randu alas raksasa. Jika kita pergi lebih jauh lagi,
maka kita akan sampai kesebuah batu besar berwarna
hijau." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, "Kau
mulai mengenalinya?"
"Mudah-mudahan aku benar," berkata Mahisa Ura.
"Aku yakin akan ketajaman penglihatan dan ingatannya
sebagai petugas sandi," desis Mahisa Pukat.
Mahisa Ura berpaling ke arah Mahisa Pukat sambil
berdesis, "Jika kau mulai memujiku, maka segalanya akan
gagal." "Baik-baik," dengan serta merta Mahisa Pukat
menyahut, "aku tidak akan memujimu. Sepantasnya kau
memang tidak dipuji."
Mahisa Ura tersenyum sebagaimana Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Namun kemudian katanya, "Jadi kita akan
kembali dahulu, baru setelah lewat saat tayuh itu, kita
kembali lagi kemari?"
Dengan demikian maka ketiga orang itu pun
memutuskan untuk kembali lagi ke padukuhan tempat
mereka menginap untuk menyelesaikan persoalan wesi aji
yang sedang ditayuh oleh Ki Bekel.
Ketika mereka bertiga sampai ke banjar, maka seorang
petugas telah bertanya, "Kemana saja kalian sehari ini?"
"Berjalan-jalan," jawab Mahisa Ura, "kami melihat-lihat
isi Kabuyutan ini. Kami melihat padukuhan demi
padukuhan. Mungkin kami akan dapat menemukan tempat
yang subur bagi sawah kami."
Petugas itu tersenyum. Katanya, "Kalian adalah
pedagang yang ulet. Dengan demikian maka kalian akan
cepat menjadi kaya."
"Kenapa. Bukankah yang kami lakukan adalah
sebagaimana dilakukan oleh para pedagang yang lain?"
bertanya Mahisa Ura. "Ya. Tetapi jarang sekali ada pedagang yang pernah
mencapai tempat ini. Tempat yang dianggap terpencil dan
jarang sekali, bahkan hampir tidak ada seorang pun yang
memiliki uang cukup untuk membeli kebutuhan-kebutuhan
sampingan seperti yang kalian jual belikan itu," jawab
petugas itu, "Namun ternyata kalian berhasil menggelitik
mereka yang beruang sedikit itu untuk membeli barangbarang
kalian yang jarang sekali lihat di sini."
"O, kenapa kau berkata begitu" Sampai sekarang baru
ada seorang yang membeli barang daganganku," jawab
Mahisa Ura. "Bukankah Ki Bekel juga akan membeli?" bertanya
petugas itu. Mahisa Ura tersenyum. Katanya, "Ki Bekel baru
melakukan tayuh. Jika hasilnya sesuai, maka Ki Bekel akan
membelinya. Tetapi jika tidak, maka rencana pembelian itu
pun batal." "Tetapi bagaimanapun juga, kalian sudah menarik
perhatiannya. Dan jika Ki Bekel jadi membelinya, maka
kau akan cepat menjadi kaya. Orang-orang padukuhan ini
akan menjadi latah dan membeli seperti apa yang dibeli
oleh Ki Bekel," berkata petugas itu.
Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Dengan
tajamnya diperhatikannya petugas itu. Namun kemudian ia
segera menyadari, sehingga ia pun telah berusaha agar
orang itu tidak merasa diperhatikannya.
Bahkan Mahisa Ura pun berkata, "Jika orang-orang
padukuhan ini menjadi latah, apakah kau juga akan latah
dan membeli batu akik atau wesi aji?"
"Seharusnya juga demikian, tetapi aku tidak mempunyai
cukup untuk itu. Karena itu, aku menjadi iri hati dan selalu
mengumpat-umpat jika ada orang lain yang mendapat
kesempatan untuk membelinya," jawab petugas itu.
Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Hampir saja ia
mengambil kesimpulan lain dari sikap petugas sandi itu dari
sekedar iri hati. Karena itu, maka Mahisa Ura itu pun
mengangguk-angguk kecil. "Sudahlah," berkata Mahisa Ura kemudian, "kami akan
beristirahat." "Silahkan," petugas itu mempersilahkan, "aku berada di
sini sampai malam." Mahisa Ura bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun
kemudian telah menuju ke bilik mereka.
Namun ternyata bukan hanya Mahisa Ura sajalah yang
merasa heran melihat sikap petugas itu. Nampaknya
petugas itu tidak begitu senang terhadap Ki Bekel yang telah
memilih satu di antara barang-barang Mahisa Murti untuk
dibeli apabila dalam tayuhnya ia menemukan persesuaian.
Adalah diluar dugaan Mahisa Ura, bahwa Mahisa Murti
telah bertanya kepadanya, "Apa katamu tentang petugas
itu?" "Petugas yang mana?" bertanya Mahisa Ura.
"Petugas yang mengeluh karena tidak mampu untuk
membeli apapun juga dari kita," jawab Mahisa Murti.
Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya,
"Ternyata sikapnya itu hanya dilandasi oleh perasaan iri
hati." "Mungkin," jawab Mahisa Murti, "Tetapi aku
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mempunyai dugaan lain. Mungkin orang itu memang iri
hati, tetapi mungkin ia memang tidak begitu senang
terhadap Ki Bekel karena sebab lain."
"Aku sependapat," jawab Mahisa Pukat, "agaknya
orang itu memang tidak begitu senang terhadap Ki Bekel.
Mungkin karena cara Ki Bekel memerintah. Tetapi
mungkin karena sebab-sebab lain."
Mahisa Ura mengangguk-angguk. Katanya, "Semula aku
juga berpikir begitu. Tetapi setelah orang itu berterus terang
bahwa ia merasa iri karena ia tidak akan mungkin dapat
membelinya, maka aku tidak berprasangka lagi."
Mahisa Murti mengangguk-angguk, katanya, "Baiklah
kita menunggu sebagaimana kita menunggu perkembangan
keadaan menghadapi Ki Jagabaya. Mungkin ia justru
benar-benar berniat baik meskipun akibatnya dapat
berakibat lain." Mahisa Ura dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Namun semuanya itu telah memaksa mereka untuk lebih
berhati-hati. Ketika kemudian saatnya tiba, maka Ki Bekel pun telah
datang ke banjar pagi-pagi sekali. Pada saat matahari masih
belum terbit. Dengan wajah yang cerah ia pun berkata, "Ki
Sanak. Nampaknya aku sesuai dengan wesi aji itu. Wesi
kuning itu memberikan harapan-harapan baik jika aku
memilikinya. Ujudnya pun menarik. Seperti sebilah pisau
kecil yang dapat dimasukkan kedalam kantong ikat
pinggang dan dengan demikian maka akan dapat aku bawa
kemana-mana. Wesi kuning itu menurut tayuh yang aku
lakukan, memberikan isyarat bahwa wesi kuning itu
mempunyai pengaruh yang sejuk, tenang dan tidak
berangasan." Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun
dengan demikian ia pun sadar, bahwa Ki Bekel memang
memiliki kemampuan untuk menilai wesi aji.
Dengan demikian maka mereka mulai membicarakan
harga dari wesi kuning itu. Seperti yang sudah, maka
Mahisa Murti tidak membuat harga terlalu tinggi, tetapi
juga tidak terlalu rendah, karena jika demikian justru akan
dapat mengundang kecurigaan.
Beberapa lamanya terjadi tawar menawar. Namun
akhirnya, harga demikian Mahisa Murti telah mendapat
keuntungan meskipun tidak terlalu banyak.
Dalam kesempatan itu, maka Mahisa Murti yang telah
menerima uang dari Ki Bekel itu pun tiba-tiba saja berkata,
"Ki Bekel apakah aku diperkenankan untuk bertanya
sesuatu" Mumpung di sini sekarang tidak ada orang lain."
"Bertanya apa?" Ki Bekel menjadi heran. "tentang wesi
aji?" "Tidak Ki Bekel," jawab Mahisa Murti, "Tetapi
sebelumnya kami minta maaf. Mungkin pertanyaan kami
tidak menyenangkan bagi Ki Bekel. Kami pun sama sekali
tidak bermaksud untuk mengadu bahkan ingin
menumbuhkan kesan yang kurang baik. Jika pertanyaan
nanti kami ajukan, semata-mata karena kami telah
menerima kebaikan Ki Bekel di padukuhan ini."
Ki Bekel jadi termangu-mangu. Dengan nada datar ia
pun berkata, "Silahkan Ki Sanak. Apa yang ingin kalian
tanyakan?" "Ki Bekel, apakah benar bahwa di arah utara dari
Kabuyutan ini merupakan daerah yang pantang didatangi
oleh orang luar?" bertanya Mahisa Murti.
Ki Bekel mengerutkan keningnya. Ia merasa heran atas
pertanyaan itu. Bahkan kemudian dengan curiga Ki Bekel
ganti bertanya, "Siapa yang mengatakannya?"
"Seseorang," jawab Mahisa Murti.
"Sebutlah," desak Ki Bekel, "aku adalah Bekel di
padukuhan ini. Aku tahu kewajibanku dan aku tahu, apa
yang harus aku lakukan menghadapi persoalan-persoalan
yang betapapun rumitnya bagi padukuhan ini."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian ia pun berkata, "Maaf Ki Bekel. Yang
memberitahukan kepadaku akan hal tersebut adalah Ki
Jagabaya." Mahisa Murti pun kemudian menirukan pesan-pesan
yang pernah diberikan oleh Ki Jagabaya kepadanya ketika
mereka akan keluar dari padukuhan itu untuk melihat-lihat
keadaan. Ki Bekel menjadi tegang sejenak. Namun kemudian
wajahnya telah pulih kembali. Dengan cepat Ki Bekel
berhasil menguasai gejolak perasaannya.
Sambil mengangguk-angguk Ki Bekel pun berkata,
"Mungkin Ki Jagabaya mengetahui banyak tentang daerah
tersebut sesuai dengan tugas pengamanannya atas
padukuhan ini. Tetapi sepanjang pengetahuanku, di daerah
Utara itu tidak pernah terjadi sesuatu."
"Tetapi dari mana Ki Jagabaya mendapatkan
keterangan tentang hal itu?" bertanya Mahisa Murti.
"Entahlah," jawab Ki Bekel, "aku kurang tahu. Tetapi
hal itu bukannya tidak perlu diperhatikan. Bahkan bagiku
hal itu merupakan sesuatu yang sangat menarik."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara Ki Bekel
berkata pula, "Hal ini memang perlu dipelajari."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hampir berbareng
berpaling ke arah Mahisa Ura. Namun agaknya Mahisa
Ura tidak menaruh perhatian terlalu besar terhadap
keterangan Ki Bekel itu. Sehingga karena itu maka Mahisa
Murti pun terpaksa bertanya terus terang, "Ki Bekel.
Apakah sudah seharusnya Ki Bekel berhubungan langsung
dengan Ki Jagabaya tentang persoalan ini?"
Ki Bekel mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
pun telah bertanya, "Jadi apakah sebaiknya yang aku
lakukan" Tingkah laku Ki Jagabaya memang menimbulkan
pertanyaan yang harus dijawab. Karena itu, maka pada
suatu saat, aku akan berhubungan dengan Ki Jagabaya."
"Tetapi bukankah segala sesuatunya masih perlu
mendapatkan kejelasan?" bertanya Mahisa Pukat.
"Jika kau berbicara dengan Ki Jagabaya, maksudnya
adalah untuk mendapatkan penjelasan itu," jawab Ki Bekel.
Mahisa Ura ternyata kemudian dapat menangkap
maksud Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu. Karena itu,
maka katanya, "Ki Bekel. Sebaiknya aku berkata terus
terang. Jika kedua adikku mempersoalkan apakah Ki Bekel
harus berterus terang kepada Ki Jagabaya atau tidak maka
maksudnya adalah, sebaiknya Ki Bekel membiarkan untuk
tidak membicarakannya dengan Ki Jagabaya. Sebab jika Ki
Bekel menanyakan kepadanya, maka persoalannya akan
terputus. Maksudku jika benar ada sesutu yang kurang
wajar pada Ki Jagabaya, biarlah itu berlangsung. Selama
itu, kita akan dapat mengadakan penyelidikan untuk
mengetahui apakah sebenarnya yang dilakukan oleh Ki
Jagabaya," Mahisa Murti terdiam sejenak, lalu, "tetapi
kami minta maaf Ki Bekel. Apakah selama ini Ki Bekel
menaruh kepercayaan sepenuhnya atau tidak?"
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian
katanya, "Selama ini aku percaya kepadanya. Tetapi itu
bukan berarti bahwa sesuatu tidak dapat terjadi. Mungkin
ada sesuatu diluar pengamatanku sehingga kepercayaanku
itu justru akan dapat menjerumuskan langkah-langkahku
dan aku menjadi kurang berhati-hati."
"Ki Bekel," berkata Mahisa Ura, "jika masih ada setitik
saja keragu-raguan di hati Ki Bekel, maka aku mohon agar
hal ini sebaiknya tidak Ki Bekel sampaikan kepada Ki
Jagabaya. Biarlah Ki Bekel dan barangkali kami bertiga,
akan dapat membantu Ki Bekel, melihat apa yang
sebenarnya dikehendaki oleh Ki Jagabaya."
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian
katanya. "Baiklah Ki Sanak. Aku tidak akan
menanyakannya kepada Ki Jagabaya. Tetapi aku akan
mengikuti tingkah lakunya, sehingga pada suatu saat, kita
dapat menjawab pertanyaan yang timbul karena tingkah
lakunya." "Baiklah Ki Bekel," berkata Mahisa Ura kemudian,
"besok aku akan meninggalkan padukuhan ini. Aku akan
berada di banjar, di padukuhan di ujung Kabuyutan ini.
Tempat yang disebut oleh Ki Jagabaya sebagai tempat yang
berbahaya. Aku harap Ki Bekel akan datang kepadaku, atau
mengirimkan pesuruhnya menemui aku."
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, "Mudahmudahan
kita akan dapat bersama untuk memecahkan tekateki
ini." "Tetapi Ki Bekel apakah Ki Bekel mengetahui sesuatu
atau kemungkinan yang menarik perhatian di ujung
Pedang Keadilan 23 Topeng Hitam Kelam Karya Ambhita Dyaningrum Cincin Warisan Setan 2