Api Di Bukit Menoreh 24
04 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 24
"Ya." "Dan sekarang, aku akan berceritera tentang pusaka yang satu lagi."
"Kanjeng Kiai Pleret?"
"Ya. Kanjeng Kiai Pleret."
Ki Gede Meoereh mengerutkan keningnya. Diluar sadarnya ia bergeser mendekat Ki Waskita, sementara Ki Waskita pun kemudian berceritera pula tentang pusaka yang diduga telah dibawa oleh Kiai Kalasa Sawit yang meninggalkan Padepokan Tambak Wedi dengan tergesa-gesa itu.
Ki Gede Menoreh mendengarkan ceritera itu dengan saksama. Sekaii-sekali ia mengangguk-angguk, namun kemudian wajahnya menjadi tegang.
"Jadi di Tambak Wedi telah terjadi pertempuran yang cukup keras bagi Pajang?" bertanya Ki Gede.
"Ya Ki Gede. Untunglah bahwa Untara mempunyai cara yang tepat untuk menguasai keadaan. Bukan saja Tambak Wedu tetapi sekaligus penjahat-penjahat kecil yang berkelompok di lereng Merapipun agaknya berhasil ditertibkan."
"Apakah Angger Untara mengetahui tentang pusaka yang hilang itu pula?"
"Menurut dugaanku tidak. Tetapi aku tidak tahu dengan pasti, karena Angger Untara mempunyai sejuta mata dan sejuta telinga didaerah Selatan ini. Namun menilik sikap dan tanggapannya terha"dap Tambak Wedi, agaknya Senapati Untara belum mempersoalkan pusaka yang hilang itu."
Ki Argapati mengangguk-angguk.
"Tetapi baik Kiai Gringsing maupun Ki Sumangkar bersepa"kat, bahwa diwaktu yang singkat ini, mereka tidak akan berbuat apa-apa lagi selain mempersiapkan hari-hari perkawinan Angger Swandaru dan Pandan Wangi. Baru setelah hari perkawinan itu lampau, mungkin mereka akan melakukan sesuatu untuk menemu"kan pusaka-pusaka yang hilang itu."
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Hampir diluar sadarnya ia bergumam, "Ternyata hari perkawinan anakku itu ber"samaan waktunya dengan tugas yang sebenarnya sangat penting bagi kedua orang tua itu. Tugas yang langsung menyangkut kelangsungan hidup Mataram dan sudah barang tentu kekuasaan Raden Sutawijaya yang kemudian bergelar Senopati Ing Ngalaga."
"Tetapi bukan berarti bahwa perkawinan itu merupakan ham"batan bagi pecaharian kedua pusaka itu Ki Gede," dengan serta merta Ki Waskita menyahut, "tidak seorangpun yang mengetahui bahwa akan terjadi hal seperti yang dialami oleh Mataram, hi"langnya kedua pusaka itu. Seandainya aku dengan sengaja memu"satkan indera dalam pencaharian isyarat tentang Mataram sekali"pun, aku kira aku tidak akan dapat menemukan kemungkinan se"perti itu."
Ki Argapati mengangguk-angguk. Katanya, "Jika diperlukan, setelah hari-hari perkawinan ini lewat, aku akan membantu sesuai dengan kemampuan yang ada diatas Tanah Perdikan ini, karena yang jelas, songsong itu telah menyentuh Tanah ini dengan langsung."
Ki Waskita mengangguk-angguk pula. Ia memang sudah mendu"ga, bahwa Tanah Perdikan Menoreh tentu tidak akan berkeberatan jika diperlukan bantuan. Apalagi sesudah hari-hari perkawinan. Se"andainya keadaan mendesak, dan saat itu pula Menoreh harus me"nyiapkan sepasukan pengawal pilihan, maka Ki Gede Menoreh ten"tu tidak akan menolak.
Tetapi agaknya Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar baru akan bergerak setelah hari-hari perkawinan Swandaru dengan Pandan Wa"ngi, sehingga Ki Argapati pun harus menyesuaikan dirinya pula de"ngan saat-saat yang sudah ditentukan itu.
"Kecuali jika Raden Sutawijaya mengambil sikap lain setelah ia menerima laporan yang dengan tergesa-gesa disampaikan oleh para pemimpin Mataram," berkata Ki Waskita didalam hatinya pula. Namun agaknya Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga itu pun tidak akan bertindak tergesa-gesa menghadapi ke"kuatan yamg tidak dapat diketahuinya dengan pasti itu.
Demikianlah ketika malam menjadi semakin larut, maka pem-bicaraan mereka pun terputus. Ki Waskita minta diri untuk beristi"rahat. Dan sekaligus ia minta diri pula, bahwa besok pagi-pagi be"nar ia akan meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh.
"Begitu tergesa-gesa?" bertanya Ki Argapati.
"Aku akan menyerahkan Rudita kepada ibunya yang tentu sudah menunggunya dengan gelisah."
"Sesudah itu, apakah tidak ada kemungkinan Rudita dengan diam-diam meninggalkan ibunya?"
"Memang mungkin Ki Gede. Tetapi aku akan mencoba menasehatinya, agar ia menunggui ibunya untuk beberapa lama. Kelak ia harus membawa ibunya kemari untuk ikut membantu memper"siapkan hari perkawinan Pandan Wangi. Setelah itu aku masih mem"punyai kepentingan sedikit, mungkin aku diperlukan untuk membantu menemukan pusaku-pusaka yang hilang itu. Baru kemudian, jika semuanya sudah tenang, aku akan kembali pulang. Barulah Rudita mempunyai banyak kesempatan untuk mengembara meskipun ibunya tentu tidak akan menyetujuinya pula."
Ki Argapati mengangguk-angguk. Katanya, "Siapapun ia, te"tapi anak-anak muda memang mempunyai darah yang menggelegak. Pengembaraan akan merupakan suatu masa yang seolah-olah harus dialami oleh anak-anak muda. Agaknya Angger Rudita yang telah berubah itu pun telah dijalari pula oleh keinginan untuk mendapatkan pengalaman hidup bagi masa tuanya."
Ki Waskita menggelengkan kepalanya. Katanya, "Rudita mem-punyai tanggapan yang lain atas hidup dan kehidupan ini. Ia meng"anggap bahwa manusia disekelilingnya telah diracuni oleh kecuri"gaan, dendam dan kebencian, sehingga tidak ada lagi kedamaian di"dalam hati. Jika ia kemudian ingin mengembara maka ia akan me"neriakkan kepada segenap manusia yang dijumpainya, bahwa mereka harus menanggalkan semua tanggapan yang salah atas sesama"nya. Kedamaian yang sejati tidak akan dapat dibumbui dengan ke"curigaan, dendam dan kebencian dalam bentuk dan ujud apapun juga. Termasuk olah kanuragan."
"Olah kanuragan?" bertanya Ki Gede.
"Ya. Hanya orang yang mencurigai sesamanya sajalah yang merasa perlu untuk memiliki ilmu dalam bentuk kekerasan."
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Desisnya, "Alangkah mulianya. Jika kita bersama-sama dapat mengetrapkan dalam hidup kita sehari-hari, maka sebenarnyalah kita akan mendapatkan kedamaian yang sejati. Tetapi alangkah menyedihkan jika ke"adaan yang demikian itu dimanfaatkan oleh beberapa orang yang justru seolah-olah menemukan penyerahan diri yang pasrah, sehing"ga akan dapat membangunkan kekuasaan yang tidak tergoyahkan.
Ki Waskita tidak menyahut. Tetapi kepalanya terangguk-ang"guk kecil.
"Ah, agaknya pembicaraan kita akan berkepanjangan pula," berkata Ki Argapati kemudian, "silahkanlah, jika Ki Waskita akan beristirahat, karena besok pagi-pagi benar Ki Waskita sudah akan menempuh perjalanan meskipun tidak terlampau panjang se"perti jarak ke Sangkal Putung."
Ki Waskita pun kemudian bergeser dari pendapa dan kembali ke gandok. Ketika ia masuk ke dalam biliknya, dilihatnya Rudita su"dah berada didalam bilik itu pula.
"Kau belum tidur?" bertanya ayahnya.
"Baru saja aku masuk Ayah," jawabnya.
"Darimana?" "Udara sangat panas. Diluar angin malam terasa sejuk sekali."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, "Udara memang terasa agak panas didalam bilik ini Rudita. Tetapi kita harus segera tidur. Malam sudah larut. Besok kita akan meninggalkan rumah ini pagi-pagi benar."
Rudita pun kemudian berbaring dipembaringannya. Agaknya ia kemudian berhasil melepaskan semua angan-angannya, sehingga sejenak kemudian ia pun telah tertidur nyenyak.
Ki Waskitalah yang masih untuk beberapa lama duduk dibibir pembaringannya. Sekali-sekali angan-angannya masih juga meloncat-loncat dari satu soal ke soal yang lain. Saat-saat perkawinan Swandaru yang menjadi semakin dekat, namun masih saja nampak kabut hitam yang seolah-olah menyelubunginya. Kemudian seakan-akan nampak olehnya sepasukan yang merayap dilereng Gunung Me"rapi, membelit lambung, kemudian berhenti di lembah antara Gu"nung Merapi dan Gunung Merbabu.
Ki Waskita mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja ia me"rasa bahwa ada isyarat padanya, bahwa dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu merupakan tempat yang perlu men"dapat perhatian khusus.
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Menurut perhitungan nalarpun agaknya Kiai Kalasa Sawit akan membawa pasukannya ke lembah itu. Namun masih harus dipertimbangkan kemungkinan-ke-mungkinan lain antara pusaka yang dibawa oleh pasukan Kiai Kalasa Sawit dan pusaka yang menyeberangi Kali Praga.
"Pertemuan diantara mereka dapat terjadi dimana-mana," desis Ki Waskita didalam hatinya, "Kiai Kalasa Sawit dapat mem"bawa pusaka beserta pasukannya melingkari Gunung Merapi lewat lembah antara Gunung Merapi dan Merbabu, kemudian sesuai de"ngan pembicaraan sebelumnya, bertemu dengan mereka yang mem"bawa Songsong Kanjeng Kiai Mendung ditempat yang agak jauh dari Mataram, atau sebaliknya, Songsong Kiai Mendunglah yang kemudian dibawa ke lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu."
Ki Waskita menjadi termangu-mangu. Namun baginya lembah antara Gunung Merapi dan Merbabu itu harus mendapat perhatian khusus dari Mataram.
Namun demikian masih harus dipertimbangkan hubungan an"tara Pajang dan Mataram, karena Pajang tentu akan bertindak pula atas Kiai Kalasa Sawit meskipun lepas dari hubungan hilangnya ke"dua pusaka dari Mataram.
"Memang masih banyak kemungkinan yang dapat terjadi," gumamnya kemudian sambil melipat tangannya dan meletakkan kepalanya diatas kedua belah telapak tangannya itu. Dijelujurkannya kakinya lurus-lurus dipembaringannya sambil menatap rusuk-rusuk atap yang dipangkal dan ujungnya sempat diukir meskipun tidak terlalu halus.
Namun Ki Waskita pun kemudian memejamkan matanya pula dan sejenak kemudian ia pun telah tertidur.
Dalam pada itu, ketika Ki Gede Menoreh melangkah didepan pintu bilik anak gadisnya, ia tertegun. Ia mendengar desah nafas yang asing.
Karena itu, maka perlahan-lahan ia mendekati pintu bilik itu sambil memanggil, "Wangi, apakah kau belum tidur?"
Pandan Wangi terkejut. Kegelisahan yang mendekapnya telah dibawanya ke ujung mimpi.
"Wangi," ia mendengar suara itu lagi.
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Suara itu adalah suara ayahnya yang berdiri dimuka pintu.
Perlahan-Iahan ia bangkit dan berjalan menuju ke pintu bilik"nya sambil membenahi pakaiannya.
"Kau gelisah sekali Wangi," desis ayahnya ketika Pandan Wangi membuka pintu biliknya, "apakah kau belum tidur?"
"Aku baru saja mulai tertidur Ayah. Rasa-rasanya aku telah masuk ke dalam mimpi yang gelisah."
Ayahnya tersenyum. Katanya, "Kegelisahan yang wajar seka"li Wangi. Tetapi kau tidak akan menunggu terlalu lama. Akan sege"ra datang saatnya, kau terlepas dari kegelisahan semacam itu."
Pandan Wangi menarik nafas panjang. Kepalanyapun kemudian tertunduk dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab.
"Tidurlah. Mudah-mudahan kau tidak selalu dicengkam oleh kegelisahan yang dapat membuatmu resah terutama, dimalam hari. Percayalah kepada Yang Maha Kuasa bahwa semuanya akan dapat berlangsung dengan baik dan selamat."
"Ya Ayah," jawab Pandan Wangi.
"Tidurlah." Ki Argapati pun kemudian meninggalkan anaknya yang gelisah. Tetapi nampak sebuah senyum dibibirnya. Seolah-olah Ki Argapati justru menganggap bahwa kegelisahan itu adalah gejala yang wajar dari seorang gadis yang mendekati hari-hari perkawinannya.
Sepeninggal ayahnya. Pandan Wangi kembali ke pembaringannya setelah ia menutup pintu biliknya. Direbahkannya tubuhnya sambil berdesah.
Tetapi ia bertekad untuk mengendapkan semua gejolak didalam hatinya dan seperti pesan ayahnya, ia tidak ingin diresahkan oleh angan-angannya.
"Tetapi Ayah tidak mengetahui perasaanku," tiba-tiba ia berdesis didalam hatinya.
Ki Argapati ternyata langsung pergi ke biliknya pula. Tetapi ia pun tidak segera dapat tidur. Ia masih juga membayangkan bahwa pada suatu saat anaknya yang seorang itu akan bertambah dengan seorang lagi. Tentu suami Pandan Wangi adalah sama dengan anak"nya pula yang akan dapat membantunya kelak membina Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan kelak, jika sampai saatnya ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi bagi Tanah Perdikan ini, ada orang lain yang akan melanjutkannya disamping anak perempuannya.
Namun tiba-tiba Ki Argapati mengerutkan keningnya. Swan"daru adalah anak seorang Demang. Dan ia adalah anak laki-laki satu-satunya.
"Apkah Swandaru dapat diharapkan untuk melanjutkan pembinaannya atas Tanah Perdikan Menoreh" Apakah Swandaru akan dapat melepaskan kuwajibannya sebagai seorang anak laki-laki seorang Demang di Sangkal Putung yang mempunyai kuwajiban ter"tentu pula atas daerah Kademangannya?" pertanyaan itu agak"nya mulai merayapi hati Ki Gede Menoreh.
Tetapi Ki Gede Menoreh kemudian menarik nafas dalam-da"lam sambil berdesah, "Ki Demang Sangkal Putung mempunyai anak yang lain, meskipun ia seorang perempuan. Tetapi apabila benar, kelak adik perempuan Swandaru itu kawin dengan Agung Sedayu, maka dapat diharapkan Agung Sedayu akan dapat membantu memimpin Kademangan Sangkal Putung, yang menurut keterang"an yang aku dengar betapa suburnya, namun tidak seluas Tanah Perdikan Menoreh."
Namun demikian terbersit juga pengakuan didalam hatinya, "Mungkin aku adalah orang yang mementingkan diri sendiri."
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk me-lupakan masalah-masalah yang masih merupakan kemungkinan-kemungkinan bagi masa mendatang itu.
"Aku tidak boleh dihantui oleh persoalan-persoalan yang masih jauh berada dihari mendatang," katanya didalam hati.
Demikianlah maka akhirnya rumah Ki Gede Menoreh itu pun menjadi semakin sepi. Satu-satu mereka jatuh tertidur dengan kegelisahan yang berbeda-beda.
Menjelang fajar, maka halaman rumah itu telah mulai ramai kembali. Beberapa orang telah terbangun untuk membersihkan ha"laman, dan mengisi jambaugan. Didapurpun telah nampak api yang menyala diperapian. Sedang gerit sapu lidi, rasa-rasanya telah mem"bawakan irama tersendiri.
Ki Waskita dan Rudita pun telah terbangun pula. Setelah mem-bersihkan diri dan menunaikan kuwajiban mereka dalam perseku"tuan mereka dengan Tuhannya, maka mereka pun segera turun ke halaman pula.
Betapa segarnya udara pagi hari di Tanah Perdikan Menoreh. Langit yang kelabu kemerah-merahan oleh sorot matahari yang ma"sih belum naik ke cakrawala, semakin lama menjadi semakin cerah.
"Kita akan segera meneruskan perjalanan Rudita," berkata ayahnya.
"Ya Ayah. Tetapi bukankah kita akan minta diri lebih dahulu kepada Ki Gede?"
"Tentu Rudita. Kita akan menunggu sampai Ki Gede bangun. Mungkin Ki Gede semalam tidak segera tidur, sehingga agak ter"lambat bangun."
Tetapi sebelum Rudita menjawab, ternyata Ki Gede Menoreh pun telah muncul dari pintu pringgitan. Sambil tersenyum ia berka-ta, "Marilah Ki Waskita, silahkan naik ke pendapa bersama Rudita."
Keduanyapun kemudian naik ke pendapa dan duduk diatas ti"kar pandan putih bergaris-garis biru, yang sejenak kemudian men"dapat hidangan minuman panas dan beberapa potong jadah yang telah dipanggang diatas api.
Setelah makan dan minum sekedarnya, maka Ki Waskita pun mengulanginya lagi, minta diri kepada Ki Argapati dan Pandan Wa"ngi yang kemudian ikut duduk pula bersama mereka.
"Tetapi Ki Waskita kami harap segera kembali," berkata Ki Argapati. Dan seperti yang diduganya, Ki Argapati kemudian berkata, "sebenarnya aku merasa tersendiri disini. Memang ada orang-orang tua dan para bebahu. Tetapi kadang-kadang mereka, le"bih condong kepada persoalan-persoalan yang terlampau rumit bagi saat-saat perkawinan itu sendiri. Meskipun satu dua ada juga yang dapat aku percaya untuk memperbincangkan masalah-masalah yang lebih luas dalam hubungannya dengan keadaan disekitar Tanah Perdikan ini, namun didalam persoalan yang lebih mendalam, aku masih harus mempertimbangkan banyak hal. Terutama jika aku ber"bicara tentang pusaka-pusaka yang hilang dari Mataram dan keten"teraman Tanah Perdikan ini. Pada saat-saat yang lain aku dapat berbincang dengan Pandan Wangi. Tetapi saat ini Pandan Wangi su"dah tidak dapat diajak berbicara tentang apapun lagi kecuali ten"tang dirinya sendiri."
"Ah," wajah Pandan Wangi menjadi kemeran-merahan.
Dan sambil tersenyum Ki Argapati berkata, "Tetapi bukankah itu wajar Ki Waskita?"
"Ya," jawab Ki Waskita sambil tersenyum pula, "itu memang wajar sekali."
Wajah Pandan Wangi yang tunduk menjadi semakin tunduk. Tetapi ia tidak menyahut.
"Ki Gede," berkata Ki Waskita kemudian, "mudah-mudahan aku akan dapat datang mendahului isteriku. Biarlah Rudita mengawani ibunya dirumah dan kelak menyusul aku kemari atau aku akan menjemputnya pada waktunya."
"Terima kasih Ki Waskita. Kehadiran Ki Waskita disini akan dapat menambah hangatnya rumah ini. Karena menjelang hari-hari perkawinan aku tidak hanya akan berbicara tentang pengantin dan segala macam upacaranya, tetapi aku juga harus berbicara tentang keamanan diseluruh Tanah Perdikan ini. Jika kami semuanya teng"gelam dalam kesibukan hari-hari perkawinan tanpa menghiraukan keadaan Tanah ini dalam keseluruhan, aku cemas, bahwa ada sego"longan orang yang memanfaatkan keadaan ini untuk mendapatkan keuntungan dengan cara yang tidak sewajarnya. Terlebih-lebih lagi seperti yang dikatakan oleh Ki Waskita, bahwa kedua pusaka yang hilang dari Mataram itu mungkin akan dipertemukan. Apakah itu dilembah antara Gunung Merapi dan Merbabu atau diatas Tanah Perdikan ini, masih belum jelas. Namun untuk menghadapi segala kemungkinan kita akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya."
"Tetapi pusat perhatian Ki Gede memang harus tertuju kepada hari-hari perkawinan Pandan Wangi," berkata Ki Waskita. Sekilas ia melihat Rudita sudah beringsut. Karena itu ia harus men"dahuluinya agar anak itu tidak terlanjur membuat persoalan dengan Ki Argapati, "mudah-mudahan semuanya dapat berlangsung dengan lancar. Aku berjanji, jika tidak ada aral melintang, untuk segera kembali setelah menyerahkan Rudita kepada ibunya."
Rudita menarik nafas dalam-dalam. Sedangkan Ki Argapati menjawab, "Terima kasih Ki Waskita. Aku sangat mengharap kehadiran Ki Waskita. Di Sangkal Putung agaknya sudah ada Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar yang mendampingi Ki Demang. Dan Ki Waskitalah yang aku harapkan sekali membantu aku disini."
"Aku akan berusaha Ki Gede, meskipun agaknya aku hanya akan menambah jumlah penghuni saja disini."
Ki Argapati tertawa. Sekilas ia berpaling kepada Pandan Wangi yang masih menundukkan kepalanya. Lalu katanya, "Teruna ka"sih. Penghuni rumah ini agaknya memang harus bertambah."
Demikianlah Ki Waskita pun segera minta diri dan meninggal"kan rumah itu bersama Rudita. Ki Argapati, Pandan Wangi dan be"berapa orang yang lain melepaskan mereka sampai ke regol halaman.
Rudita yang sudah ada dipunggung kudanya masih juga dapat berkelakar, "Pandan Wangi, aku sekarang tidak akan dapat me"ngajakmu berburu lagi."
Pandan Wangi tersenyum. "Tetapi aku sekarang menjadi semakin ketakutan melihat binatang-binatang buruan. Bukan saat-saat ia masih berlari-larian di hutan. Tetapi justru pada saat-saat anak panah para pemburu me"nusuk tubuhnya. Bukankah setelah hari perkawinanmu kau juga tidak akan berburu lagi?"
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab sambil tersenyum pula, "Ya Rudita. Aku tidak akan berburu lagi."
"Disegala medan?"
Pandan Wangi kurang mengerti maksudnya. Tetapi ia mengang-guk, "Ya, disegala medan."
Rudita tertawa. Ditundukkannya kepalanya dalam-dalam sam"bil minta diri kepada Ki Gede, "Aku mohon diri Paman."
Ki Argapati tertawa pula. Ia melihat sesuatu yang jauh berbe"da pada pancaran sinar mata Rudita. Ia bukan lagi seorang penakut. Ia adalah seorang yang justru telah menemukan dasar pandangan hidup yang kokoh dan telah diperjuangkannya dengan berani.
Kedua orang ayah beranak itu pun kemudian meninggalkan padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Mereka menyelusuri bu"lak-bulak panjang diantara sawah yang hijau subur. Dikejauhan nampak pegunungan yang kebiru-biruan dicerahnya sinar matahari pagi, bagaikan dinding yang memanjang membujur ke Utara.
"Ayah," tiba-tiba saja Rudita berkata, "sebenarnya aku ingin menahan hati. Tetapi rasa-rasanya dadaku menjadi semakin penuh. Aku tahu, bahwa jalan pikiranku tidak sesuai. Tetapi aku ber"harap bahwa Ayah dapat mengerti dan menganggap yang aku kata"kan ini tidak pernah terucapkan."
"Ah," Ki Waskita berdesah, "aku tidak menganggap demikian Rudita. Yang aku katakan adalah pandangan tata kehidupan yang paling baik."
"Tetapi Ayah selalu memisahkan aku dari orang-orang yang mungkin dapat aku ajak berbicara tentang hal itu."
"Bukan maksudku demikian Rudita. Aku hanya ingin kau dapat menyesuaikan dirimu. Kau harus dapat memperhitungkan waktu dan tempat yang paling tepat untuk menyatakan sikapmu ter"hadap tata kehidupan dan peradaban masa kini."
"Waktu yang paling tepat adalah saat-saat seseorang menya"takan sikapnya yang keliru itu Ayah."
"Tetapi pada saat-saat demikian, biasanya mereka tidak mau mendengarkan pendapat orang lain. Mereka lebih banyak mende"ngar kata hati mereka sendiri."
Rudita mangangguk-angguk. Namun kemudian, "Ayah, apakah sudah seharusnya Ki Argapati menjadi demikian ketakutan menghadapi saat-saat perkawinan anaknya" Itulah gambaran se"seorang yang memiliki prasangka yang tidak terkendali. Dan dima"na-mana aku menjumpai orang semacam itu. Di Cangkring, di Jati Anom, di Sangkal Putung dan di Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan pada Ayah sendiri. Prasangka dan curiga itulah sebenarnya pangkal dari kesulitan yang mereka alami. Perasaan mereka tidak pernah menjadi sejuk dan tenang. Setiap saat mereka menganggap dirinya dimusuhi oleh sesamanya."
Ki Waskita tidak membantah, itu adalah sikap dan pandangan hidup Rudita. Bahkan ia berkata, "Agaknya kau benar Rudita."
"Sebenarnya orang-orang seperti Ki Argapati, Ki Demang Sangkal Putung, apalagi Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar, akan da"pat menjadi lantaran yang baik sekali untuk melenyapkan segala prasangka. Kata-kata mereka dipercaya dan hampir tidak pernah mendapat pengamatan apapun juga dalam penerimaan dihati orang itu. Hampir setiap kata-kata mereka dianggap benar dan harus di"turut. Tetapi sayang, bahwa mereka justru telah menyebarkan pera"saan saling mencurigai dan prasangka," ia berhenti sejenak, lalu, "dan bagaimana dengan Ayah sendiri."
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam.
"Ayah mempunyai kelebihan dari orang lain. Sejak aku masih kanak-kanak, aku selalu melihat beberapa orang datang kepada Ayah untuk bertanya tentang masa depan mereka. Dapatkah Ayah mengatakan kepada mereka, bahwa masa depan yang paling baik adalah ketenangan dan kedamaian dihati?"
Ki Waskita mengangguk. Katanya, "Tentu saja aku dapat Rudita. Tetapi aku tidak dapat membohongi mereka jika aku melihat isyarat tertentu. Aku tidak dapat melepaskan diri dari kenyataan dari susunan peradaban manusia sekarang ini, dimana kekerasan masih terjadi disegala sudut Tanah ini."
"Kitalah yang membuat kenyataan bagi kita sendiri," jawab Rudita.
Ki Waskita memandang anaknya sejenak, ia melihat sorot ma"ta yang bagaikan menyala diwajah anaknya.
"Ia sudah meyakininya," berkata Ki Waskita didalam hatinya. "Tetapi ia justru akan selalu kecewa dan bahkan mungkin akan terasing dari pergaulan hidup sesama. Tetapi dunia didalam angan-angannya adalah dunia yang paling baik yang dapat digam"barkan oleh manusia."
Dengan demikian Ki Waskita justru menjadi diam. Bahkan seakan-akan ia melihat, betapa Rudita seolah-olah berjalan sendiri ke arah yang berlawanan dengan arus manusia yang tidak terbendung.
"Tetapi kebenaran yang sejati dalam sikap hidup bukannya yang paling banyak dianut," berkata Ki Waskita didalam hatinya. Sekilas teringat olehnya, kata-kata yang pernah didengarnya, bahwa jalan kebaikan itu terlalu lengang karena rumpil dan sempit, sedangkan jalan kemaksiatan itu menjadi ramai dan cerah karena nampak licin dan rata. Tetapi ujung jalan itu akan menentukan apakah se"seorang akan menyesal atau bersyukur atas pilihantnya. Sedangkan siapa yang telah sampai diujung jalan, tidak akan ada kesempatan untuk kembali dan berubah arah.
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Yang melonjak didalam hatinya itu bukannya pengertian yang baru kemarin didengarnya. Tetapi sudah lama, dan bukan hanya satu dua orang sajalah yang pernah mengatakan. Tetapi banyak orang. Namun meskipun seseorang mengerti maksud dari ceritera itu, jarang sekali orang yang dapat memaksa dirinya untuk memilih jalan kebaikan yang sejati, karena justru kelemahan hati manusia yang mendambakan sifat lahiriah semata-mata.
Ki Waskita terkejut ketika ia mendengar seorang anak yang berteriak mengusir burung disawah. Ketika ia berpaling dan memandang bulir-bulir padi yang menguning, nampak sekelompok bu"rung gelatik yang terbang berputaran. Namun kemudian tersentak oleh teriakan anak itu, dan terbang berarak ke arah yang lain.
Tetapi disetiap pematang dan disetiap gardu, anak-anak berlari-larian dengan goprak ditangannya dan tali-tali penarik hantu-hantu"an disawah, sehingga burung-burung yang mengawan diudara itu bagaikan hanyut dibawa oleh arus angin yang berputar melingkar-lingkar dan kadang-kadang hilang ke arah yang jauh.
Demikianlah maka keduanyapun kemudian melanjutkan perja"lanan dengan lebih banyak berbicara dengan dirinya sendiri dari pa"da yang satu dengan yang lain. Hanya kadang-kadang saja Rudita menyebut sesuatu yang dilihatnya dan Ki Waskita menganggukkan kepala sambil mengiakannya. Namun kemudian keduanyapun kem"bali berdiam diri.
Setiap saat Rudita merasa bahwa seolah-olah jarak antara di"rinya dengan ayahnya itu menjadi semakin jauh. Banyak persoalan yang tidak sesuai dalam pembicaraan.
Namun sebenarnyalah Rudita pun merasa, bahwa ia menjadi semakin jauh bukan saja dari ayahnya, tetapi juga dari orang-orang yang pernah dikenalnya dengan akrab. Seolah-olah orang-orang itu pun hanyut seorang demi seorang ke dalam arus air banjir dan ti"dak dapat dicegahnya lagi.
Rudita menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja hatinya men"jadi iba terhadap sesamanya. Ia menjadi semakin kasihan melihat tingkah laku manusia yang cenderung untuk merusak lingkungan diri sendiri dengan cara yang paling mengerikan. Jauh lebih menge"rikan dari sikap dan perbuatan seekor binatang yang paling buas. Tidak seekor binatangpun yang dengan sadar dan sengaja menya"kiti dan menyiksa sesamanya. Tetapi manusia telah melakukannya. Justru kadang-kadang diri mereka sendiri telah mereka siksa dengan berbagai macam keinginan yang ketamakan.
Perjalanan keduanya tidak mengalami gangguan apapun diperjalanan. Tidak ada penyamun dan perampok. Mereka menempuh perjalanan di bulak-bulak panjang yang pernah menjadi daerah jelajah perampok-perampok dan penyamun-penyamun kecil. Tetapi mereka juga melalui hutan-hutan yang masih agak lebat, yang men"jadi daerah perburuan dari perampok-perampok yang menakutkan karena namanya yang telah dikenal oleh hampir setiap orang.
Meskipun demikian, Ki Waskita kadang-kadang menjadi ber"debar-debar juga. Jika sekiranya mereka berdua bertemu dengan orang-orang jahat yang manapun juga, maka Rudita tentu akan ber"sikap lain dari kebiasaan orang lain. Bukan karena Ki Waskita ti"dak sanggup lagi bertempur melawan mereka, tetapi tentu Rudita akan menghalanginya dan seperti sikapnya pada saat-saat mereka bersama Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar bertemu dengan orang-orang Kiai Kalasa Sawit diperjalanan dari Jali Anom ke Sangkal Putung.
"Saat itu ada Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. Tanpa mereka maka aku akan bertengkar sendiri dengan Rudita," berkata Ki Waskita didalam hatinya.
Tetapi perjalanan mereka ternyata selamat tanpa kesulitan apa"pun. Semakin lama mereka menjadi semakin dekat dengan rumah mereka.
Terasa titik-titik kerinduan mengembun dihati Rudita. Bagai-manapun juga ia merasa telah meninggalkan ibunya untuk waktu yang lama dengan sikap dan perbuatan yang barangkali telah mem"buat ibunya cemas selama ini.
Ketika mereka memasuki padukuhannya, maka Rudita menarik nafas dalam-dalam, saolah-olah ia ingin menghirup udara padu"kuhannya sebanyak-banyaknya. Udara yang serasa lebih segar dari udara disepanjang perjalanannya, apalagi dilereng Gunung Merapi yang telah memberikan pengalaman-pengalaman baru didalam hi"dupnya.
Ketika kuda-kuda mereka telah melintas disepanjang jalan yang langsung menuju ke regol halamannya, maka rasa-rasanya Rudita ingin berpacu lebih cepat lagi, agar ia segera dapat sampai dirumahnya dan bertemu dengan ibunya yang telah menunggunya sedemikian lama.
Seperti yang diduga oleh Ki Waskita, maka kegelisahan isterinya hampir tidak tertahankan lagi. Kepergian Ki Waskita yang sudah cukup lama itu rasa-rasanya telah menghilangkan harapannya
Karena itu, ketika Ki Waskita pulang membawa anaknya, jantung Nyi Waskita serasa akan pecah oleh kegembiraan yang me"ledak. Anaknya yang sudah disangkanya hilang itu tiba-tiba kini kembali kepadanya.
Ketika Nyi Waskita mendengar derap kuda memasuki halaman rumahnya, dengan tergesa-gesa ia berlari-lari keluar. Seolah-olah ada firasat padanya, bahwa yang datang itu adalah anaknya yang hilang.
Ternyata firasat itu benar. Yang datang adalah Ki Waskita yang membawa Rudita.
Dengan berlari-lari ia menyongsong anaknya. Demikian Rudita meloncat turun dari kuda, maka anak laki-laki yang sudah menjadi dewasa itu dipeluknya dengan air mata yang meleleh dipipinya yang mulai dibayangi oleh garis-garis umur.
Rasa-rasanya mata Rudita pun menjadi panas. Tetapi ia justru mencoba tersenyum sambil berkata, "Maaf Ibu. Barangkali aku telah membuat Ibu gelisah."
"Aku hampir mati karena hatiku yang pedih Rudita," berkata ibunya.
"Seharusnya Ibu tidak usah terlalu memikirkan aku."
"Itu adalah pikiran anak-anak. Tetapi tidak dapat terjadi pada seorang ibu. Seorang yang telah melahirkanmu dengan mempertaruhkan nyawanya. He, kau tahu bahwa seorang ibu melahirkan dengan mempertaruhkan nyawanya" Seseorang yang,bertempur dimedan perang dianggap sebagai pejuang-pejuang yang pantas mendapat kehormatan tertinggi karena ia telah berjuang dengan mem"pertaruhkan nyawanya. Nah, apa katamu tentang seorang ibu?"
Rudita memandang ibunya sejenak. Lalu sambil tersenyum ia berkata, "Seorang ibu adalah seorang pahlawan yang menjadi pe"rantara hadirnya seseorang dimuka bumi Ibu. Dan Ibu adalah salah seorang dari pahlawan itu."
"O," Nyi Waskita memeluk anaknya semakin erat.
"Tetapi seharusnya Ibu tidak usah mencemaskan aku. Aku akan berusaha dangan sungguh-sungguh untuk pada suatu saat kembali lagi kepada Ibu."
"Tetapi jika kau gagal?" desis ibunya.
Rudita tersenyum. Sambil memandang ayahnya ia berkata, "Ada yang kurang Ibu pahami. Yang akan berlaku tetap akan berla"ku. Apapun yang kita usahakan, namun keputusan terakhir tidak ada pada kekuasaan kita. Apalagi tentang nasib seseorang, Ibu. Ke"selamatan kita masing-masing ada ditangan Yang Maha Kuasa. Kepada"nya kita harus pasrah diri."
"O," perlahan-lahan anaknya itu dilepaskan. Sambil menatap wajahnya yang dimata ibunya masih tetap kekanak-kanakan ia berkala perlahan-lahan, "Anakku. Aku tidak dapat melepaskan diri dari perasaan cemas itu. Seandainya aku dapat memahami kata-kata"mu tentang nasib yang tergores sepanjang keharusan akan terjadi dalam jalur hidupmu, namun aku ingin kau tetap berada didekatku. Kau adalah milikku yang paling berharga."
Rudita masih akan menjawab. Tetapi ayahnya telah mendahuluinya, "Nyai, biarlah kami membasuh kaki, naik ke rumah dan minum minuman hangat."
"O," desis Nyi Waskita, "silahkanlah Kakang."
Ki Waskita pun kemudian pergi ke jambangan disudut rumah"nya untuk membasuh kakinya. Kemudian Rudita pun berbuat serupa sebelum ia mengikuti ayahnya masuk ke dalam rumahnya.
Nyi Waskita nampak menjadi lebih cerah, betapapun juga ia kurang memahami jalan pikiran anaknya. Ia memang melihat kelainan pada anaknya itu, sejak ia belum meninggalkan rumahnya. Dan agaknya ia masih belum dapat mengerti, perubahan apakah yang telah terjadi didalam diri anaknya itu.
Tetapi menghadapi ibunya, ternyata Rudita bersikap lain. Ia masih selalu menahan diri jika rasa-rasanya ada sesuatu yang sudah tergerak dihatinya. Agaknya ia masih berusaha untuk tidak mem"berikan kesan yang kurang baik pada pertemuannya dengan ibunya setelah beberapa lama berpisah, dan bahkan seolah-olah ibunya te"lah merasa kehilangan.
"Aku sudah menyiapkan beberapa orang untuk mencarimu," berkata ibunya, "aku menjadi semakin cemas karena justru ayah"mu tidak segera kembali bersamamu."
"Beberapa orang?" bertanya Rudita.
"Ya. Aku menyewa orang-orang yang paling disegani di padukuhan ini. Aku menyanggupi untuk memberikan upah yang sepa"dan jika mereka berhasil menemukan kau dalam keadaan apapun juga. Aku menyuruh mereka bersiap-siap. Jika akhir bulan ini, mendekati saat pekawinan Swandaru tiba kau masih belum diketemukan, maka mereka akan berangkat mencarimu."
Rudita menarik nafas panjang. Tetapi sebelum ia menjawab ayahnyalah yang mendahuluinya, justru sambil tersenyum, "Siapa sajakah yang akan kau upah untuk mencari Rudita?"
"Jliteng dan empat orang yang akan ditunjuknya."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak segera menja"wab. Sejenak ia membayangkan seorang laki-laki yang kulitnya ke"hitam-hitaman, berkumis tebal dan berdahi sempit. Dipudukuhan itu, ia memang mempunyai kelebihan dari kawan-kawannya. Tetapi Jika ada suatu saat ia bertemu dengan orang-orang yang berada di Tambak Wedi, atau sebut saja Ki Raga Tunggal, maka Jliteng akan menyesal bahwa ia telah menerima tawaran itu.
"Untunglah bahwa semuanya belum terlanjur," berkata Ki Waskita didalam hatinya.
Sementara itu didapur, pembantu-pembantu Nyai Waskita sibuk menyiapkan minuman dan makan bagi Ki Waskita dan Rudita.
Namun dalam pada itu, mereka pun tidak habis-habisnya mem-perbincangkan kehadiran anak satu-satunya Ki dan Nyai Waskita yang sudah sekian lama meninggalkan rumahnya.
Setelah minum seteguk minuman panas, Ki Waskita pun segera pergi ke biliknya untuk melepaskan baju dan ikat kepalanya. Rasa"nya badannya menjadi tebal oleh debu yang melekat. Karena itu maka ia pun kemudian segera pergi ke pakiwan untuk mandi.
Demikianlah suasana rumah itu pun rasa-rasanya telah menjadi hidup kembali. Nyai Waskita menjadi sibuk untuk menyediakan apa saja yang dapat menyenangkan hati anaknya, sementara anaknyapun kemudian mandi pula setelah Ki Waskita.
"Nyai," berkata Ki Waskita kemudian kepada isterinya, "sekarang kau harus bersikap lain terhadap Rudita. Ia kini telah benar-benar menjadi dewasa. Ia tidak perlu kau layani seperti pada masa kanak-kanaknya."
Nyai Waskita termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, "Apa maksudmu Kakang?"
"Berlakulah seperti kau memperlakukan seorang anak muda yang sudah dewasa."
"Aku tidak mengerti. Aku bersikap seperti biasa terhadap anakku."
"Nyai," suara Ki Waskita menjadi datar, "aku tahu dan mengerti bahwa Rudita adalah satu-satunya anak kita. Karena itu aku dan terlebih-lebih kau, ibunya, sering memanjakannya. Kita se"olah-olah masih saja melayani seorang anak yang baru tumbuh menjadi remaja."
"Apa salahnya Kakang. Ia adalah satu-satunya anak kita," jawab Nyi Waskita, "dan bukankah sudah sewajarnya jika aku ibunya, sekali-sekali menunggui ia makan. Menyenduk nasi ke dalam mangkuknya dan menyelimutinya jika ia tidur."
"Memang Nyai. Itu adalah wajar sekali. Tetapi Rudita sekarang tidak menghendakinya lagi.Kau harus mengerti, bahwa ada perubahan didalam dirinya. Jika dahulu ia merajuk jika kau tidak menungguinya makan dan kadang-kadang kau masih harus me"nungguinya dipembaringannya sambil memijit kakinya, maka seka"rang ia minta diperlakukan lain."
"Aku sungguh-sungguh tidak mengerti."
"Sekarang kau harus membiarkannya berbuat sesuatu dengan keinginannya. Kau memang seharusnya menungguinya makan, te"tapi biarkan ia menentukan sendiri, apakah yang akan dimakannya diantara segala macam yang kau hidangkan. Biarlah ia dimalam ha"ri masuk sendiri ke dalam biliknya dan menutup pintu dari dalam."
"Aku tidak sampai hati membiarkan ia berbuat semuanya untuk dirinya sendiri."
"Bahkan biarlah ia menimba air dan mengisi jambangan. Mencuci pakaiannya sendiri jika itu dikehendaki. Ia benar-benar ingin menjadi dewasa, lahir dan batin."
Nyai Waskita menjadi bingung. Ia tidak mengerti maksud suaminya. Sejak dahulu ia sering menunjukkan sifat-sifat yang anen. Kadang-kadang Ki Waskita menghendaki Rudita berbuat jauh lebih banyak dari yang dikehendakinya. Ki Waskita sering melarangnya berbuat sesuatu untuk anaknya. Bahkan kadang-kadang menunjuk"kan sikap yang keras.
Dan kini, baru saja anak itu kembali, Ki Waskita sudah bersikap asing atas anaknya.
"Kakang," berkata Nyai Waskita kemudian, "agaknya kau masih marah kepada anakmu. Tetapi sebaiknya kau tidak bersikap terlalu keras terhadapnya. Ia tentu akan lari lagi dari rumah ini jika ia melihat wajahmu yang buram menghadapinya dan apalagi jika ia tahu, bahwa kau melarang aku berbuat sesuatu untuknya, ia akan bertambah kecewa. Bukankah kita masih harus membujuknya agar ia tidak lagi ingin pergi dari rumah ini?"
"Pendapatmu keliru Nyai. Ia menjadi jemu dengan keadaannya sendiri. Di beberapa tempat yang lain, ketika ia mulai bergaul dan melihat-lihat suasana yang lain dari rumah ini, ia mulai me"ngerti bahwa cara hidupnya adalah aneh. Sampai ia menginjak usia remaja, ia tidak pernah mengerti, apakah yang harus dilakukan oleh seorang laki-laki. Baru kemudian ia mengenal dirinya sendiri setelah ia melihat beberapa perbandingan. Dirumah ini ia selalu dimanja"kan. Semua keinginannya tidak pernah gagal. Semua perintahnya dilakukan dengan tertib. Jika kau melarangnya berbuat sesuatu, ia tinggal mempergunakan senjata pamungkasnya, merengek," ia berhenti sejenak, lalu, "tetapi agaknya ia kini telah berubah. Ia adalah seorang laki-laki. Bahkan seorang laki-laki yang memiliki kelebihan sifat rohaniah dari laki-laki yang manapun juga yang pernah kita kenal."
"Kau menghendaki terlampau banyak dari anak kita," berkata Nyai Waskita, "biarlah ia berbuat sesuai dengan kemampuan dan kemauannya."
"Ia pergi karena ia tidak menemukan yang dicarinya dirumah ini. Ia ingin orang lain menganggapnya sudah dewasa dan memper"lakukannya demikian. Jika kau masih tetap memperlakukannya se"perti kanak-kanak, maka ia akan mencari kesempatan ditempat lain untuk mengalami masa menjelang usia dewasanya. Ia lebih senang mendapatkan tantangan rohaniah dan jasmaniah sesuai dengan per"kembangan kedewasaannya. Jika kau dapat berbuat demikian, maka ia akan kerasan tinggal dirumah."
Nyai Waskita menjadi semakin bingung. Namun ketika kemu"dian terdengar derit pintu dan Rudita melangkah masuk dari pakiwan setelah mandi, maka Ki Waskita pun berkata, "Berpakaianlah. Kita akan makan lebih dahulu."
"Baik Ayah," jawab Rudita yang kemudian masuk ke dalam biliknya.
Kedua orang tuanya menarik nafas. Rasa-rasanya Nyai Waski"ta memang melihat hal yang lain pada anaknya. Tetapi kelainan itu lebih banyak dicari artinya pada unsur jasmaniahnya.
Ibu Rudila menduga, bahwa karena Rudita telah mengembara menyusuri daerah yang sulit bagi hidupnya, maka ia telah menjadi bertambah kurus dan kehitam-hitaman. Karena kesan perjalanannya yang sulit itu agaknya telah membuatnya agak pendiam.
"Nyai," tetapi Ki Waskita berkata kemudian, "lihatlah. Tatapan matanya menunjukkan betapa jiwanya menjadi semakin masak. Ciri kedewasaannya nampak pada sikapnya yang ingin berdiri sendiri. Ingin menentukan baik dan buruk dan memilih dengan penuh tanggung jawab. Dan agaknya dari segi rohaniah ia memang sudah menentukan pilihan sikap dan batasan-batasan tentang hidup kejiwaan seseorang. Meskipun sukar dimengerti, tetapi ia telah me"nemukan yang paling baik dengan penuh tanggung jawab."
"Tetapi aku adalah seorang ibu," berkata Nyai Waskita, "aku memandikannya sejak ia masih merah. Menyusui dan menyu"apinya setiap saat. Apakah setelah ia disebut dewasa, aku telah ke"hilangan segala hakku atasnya?"
"Bukan begitu Nyai. Kau masih tetap ibunya. Tetapi cobalah menganggapnya sebagai suatu pribadi yang dewasa dengan segala ciri-cirinya."
Nyai Waskita menggelengkan kepalanya, "Aku tidak menger"ti. Apakah ia lebih senang hidup dalam kesulitan, memelihara diri sendiri, mengambil air, mencuci pakaian dan sebagainya daripada hidup seperti yang pernah dialaminya dirumah ini."
"Ternyata ia telah meninggalkan rumah ini Nyai."
"Aku mempunyai dugaan lain. Meskipun aku yakin, tentu kau berbeda pendapat. Itulah sebabnya aku tidak pernah mengatakannya."
"Katakanlah. Mungkin kau benar."
"Ia menjadi sangat kecewa bahwa Pandan Wangi benar-benar akan segera kawin dengan orang lain. Dengan anak Demang dari Sangkal Putung itu. Apalagi Kakang, ayahnya sendiri, agaknya justru telah membantu pelaksanaan perkawinan itu sebaik-baiknya."
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi sulit me-nanggapinya. Jika ia mengatakan sesuai dengan pengertiannya ten"tang hal itu, maka isterinya akan berkata, "Sejak semula aku sudah tahu, bahwa kau akan menolak pikairanku itu. Tetapi agaknya seorang ayah benar-benar tidak dapat menyelami perasaan anak"nya sendiri."
Karena itulah maka Ki Waskita sejenak termangu-mangu. Ba"ru kemudian ia berkata, "Aku telah mencoba menyelami tanggapan Rudita atas perkawinan itu. Bahkan ia sempat bertemu baik dengan Swandaru maupun dengan Pandan Wangi. Sama sekali tidak terkesan kekecewaan itu padanya menurut pengamatanku."
Istrinya tidak menyahut. Tetapi dengan wajah yang buram ia pun kemudian melangkah sambil berkata, "Aku memang terlam"pau bodon untuk mengerti. Tetapi baiklah, jika aku memang harus melepaskan segala ujud kecintaanku kepada anakku, dan bahkan te"lah dianggap menyebabkan kepergiannya dari rumah ini."
"Kau salah mengerti Nyai."
"Aku tidak akan melarangnya lagi. Juga apabila ia akan meninggalkan aku"
"Tidak, ia tidak akan pergi lagi dari rumah ini."
Nyai Waskita pun kemudian meninggalkan ruang itu masuk ke dalam biliknya Setitik air mata telah meleleh dipipinya. Dengan ujung kembennya ia mengusapnya saat ia duduk dibibir pemba"ringannya.
Rasa-rasanya hatinya menjadi pepat. Ia tidak mengerti, kenapa hidup kekeluargaannya berkembang tanpa dapat dimengertinya. Satu-satunya anaknya telah menumbuhkan persoalan yang paling ru"mit didalam hatinya. Malah nampaknya ia tidak akan mampu lagi mengendalikannya.
Pada hari yang pertama, ibunya memang telah melihat perbe"daan sikap dan tingkah laku pada Rudita. Tetapi pembicaraannya dengan suaminya telah mempersiapkan tanggapan hatinya tanpa di"sadarinya.
Dengan heran ia melihat Rudita mengatur ruang tidurnya me"nurut seleranya setelah sekian lamanya tidak pernah dipergunakannya. Tanpa seorangpun yang menyuruhnya, ia ikut melakukan pe"kerjaan-pekerjaan yang biasa dilakukan oleh para pembantu rumah"nya. Bahkan sekali-sekali ia sudah bertanya tentang sawah dan ting"kat pekerjaan yang sedang dikerjakan disawah saat itu.
"Besok aku akan melihat sawah kita Ibu," berkata Rudita, "alangkah segarnya menghirup udara terbuka diantara hijaunya dedaunan. Sudah lama aku terpisah dari sawah dan ladang kita itu."
Ibunya mengangguk. Namun ia masih mencoba berkata, "Ke"napa kau memerlukan pergi ke sawah" Jika kau sekedar akan me"lihat-lihat saja, pergilah. Tetapi kau tidak perlu berbuat apapun ju"ga, karena sudah banyak orang yang akan mengerjakannya."
Rudita tertawa. Katanya, "Apakah bedanya aku dengan mereka Ibu?"
"Kau adalah anakku."
"Jadi?" Ibunya termangu-mangu. Tetapi yang dapat dilakukannya hanyalah sekedar menarik nafas dalam-dalam.
"Biarlah aku mencoba berbuat sesuatu Ibu, sehingga rumah ini dapat memberikan gairah hidup kapadaku meskipun hanya sekedarnya."
Ibunya tidak menyahut. Tetapi agaknya ia mulai menilai kete"rangan Ki Waskita. Apa yang dikatakan oleh suaminya sedikit demi sedikit mulai membayang.
"Agaknya memang ada sesuatu yang ingin dilakukan oleh anak itu," seolah-olah mulai terdengar bisikan didalam hati Nyai Waskita.
Karena itulah, maka Nyai Waskita mencoba menahan hatinya. Dibiarkannya anaknya melakukan apa saja yang dikehendakinya. Meskipun kadang-kadang perasaannya hampir tidak dapat dikenda-likannya lagi, namun kesadarannya yang timbul setelah ia mencoba mengenal anaknya sekali lagi, telah melepaskan anaknya itu untuk berbuat lebih banyak.
Dihari-hari berikutnya. Nyai Waskita hanya dapat mengusap dadanya jika ia melihat Rudita pulang dari sawah dengan cangkul dipundaknya dan tubuh yang kotor oleh lumpur. Tetapi pada tubuh yang kotor itu ia melihat cahaya wajah Rudita yang bersih dan ce"rah, seolah-olah ia telah menemukan tata kehidupan yang baru.
Pada saat ia belum meninggalkan rumah itu, sebenarnya ia pun telah mulai dengan kerja seperti itu. Tetapi ibunya selalu melarang"nya. Menasehatinya sepanjang sore bahkan sampai malam hari, agar ia menempuh tata kehidupan yang baik karena ia adalah anak dari keluarga yang berada.
"Tetapi tata kehidupan yang bagaimanakah yang dapat disebut baik?" pertanyaan itulah yang kadang-kadang tidak dapat disingkirkan dari hatinya.
Namun agaknya kini ibunya telah berubah sikap, seperti peru"buhan yang tumbuh didalam diri Rudita sendiri. Sehingga karena itulah agaknya Rudita mulai tersentuh oleh perasaan tenang dikam"pung halamannya sendiri.
Apalagi jika matahari telah turun, dan para petani sudah mandi dan melepaskan lelah diujung padukuhan, duduk sambil berkelakar ditemaramnya senja, rasa-rasanya damai yang sejati mulai memba"yang dalam tata kehidupan yang justru terpisah dari peradaban yang semakin maju di kota-kota.
"Mereka tidak banyak mempunyai persoalan," berkata Rudita didalam hatinya, "dan agaknya perasaan mereka pun terbuka untuk mengerti, bahwa dengan saling mengasihi, maka hidup akan menjadi tenteram dan damai."
Namun kadang-kadang Rudita masih harus bersedih hati jika pada suatu saat ia melihat dua orang tetangganya bertengkar. Mere"ka kadang-kadang masih diusik oleh persoalan-persoalan kecil tanpa dapat saling memaafkan. Soal ayam yang mengais-ngais tanam"an tetangganya. Soal kucing yang memecahkan genting ketika sedang mengejar tikus dirumah orang lain.
Rudita kadang-kadang terpaksa merenung didalam biliknya. Jika persoalan-persoalan kecil itu dapat menumbuhkan permusuhan dan tanpa dapat saling memaafkan, maka pantaslah bahwa dunia ini se"lalu diganggu oleh pertengkaran dan usaha penyelesaian persoalan dengan kekerasan.
Namun dengan demikian, maka kerinduannya terhadap hidup yang tenang dan kedamaian yang sejati justru serasa semakin mem"bara didadanya.
Setelah beberapa hari berada dirumah, Ki Waskita agaknya da"pat melibat kegelisahan yang mulai nampak lagi pada anaknya. Ka"rena itu, sebelum terlanjur, Ki Waskita mencoba untuk memberikan arah kepadanya, agar ia tidak dicengkam lagi oleh suatu keinginan untuk meninggalkan rumahnya.
"Dimanapun kau dapat mengutarakan sikapmu Rudita, dan kepada siapapun. Tentu saja harus dengan bijaksana, agar tidak timbul persoalan yang justru sebaliknya yang justru dapat menim"bulkan kebencian."
"Maksud Ayah, dirumah inipun aku dapat menyatakan sikap hidupku."
"Ya. Dan kau mulailah dengan menyusun tata kehidupan dikampung halaman ini seperti yang kau bayangkan. Tata kehidupan yang tenang dan damai. Jika kau berhasil, maka dengan sendirinya, tata kehidupan yang demikian tentu akan berkembang."
Rudita menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Aku mengerti Ayah, meskipun tekanan dari sikap Ayah itu bukan semata-mata susunan tata kehidupanya dikampung halam"an ini. Tetapi semata-mata agar aku tidak meninggalkan Ibu apabila pada suatu ketika Ayah ke Tanah Perdikan Menoreh menjelang per"kawinan Pandan Wangi."
"Kau memang cerdas sekali Rudita."
"Tetapi aku bersedia Ayah. Aku berjanji bahwa aku tidak akan pergi lagi dari rumah ini. Meskipun tekanan dari maksud Ayah adalah agar aku tetap dirumah, namun aku akan mencobanya juga untuk mulai dengan lingkungan kecil ini. Jika lingkungan kecil ini menelok, maka aku tidak dapat membayangkan, apa yang akan ter"jadi dengan Pajang, Mataram, dan Pati."
Ki Waskita terdiam sejenak. Ternyata anaknya dapat melihat mak-sudnya yang sebenarnya. Meskipun demikian, ia dapat berlega hati, bahwa Rudita sudah menyanggupkan diri, bahkan berjanji untuk tidak meninggalkan rumahnya. Ia akan mencoba menyusun tata ke"hidupan didalam lingkungan kecil itu untuk mewujudkan ketenang"an yang diidamkan. Meskipun ia tahu, bahwa tidak ada lingkungan yang terpisah dari sekitarnya. Betapapun juga, keadaan disekitarnya akan langsung mempengaruhi tata kehidupan, dilingkungan kecil itu.
Tetapi Rudita sudah bertekad. Apalagi dilingkungan kecil bah"kan seandainya ia harus berdiri seorang diripun, ia akan tetap berpe"gangan pada dasar sikapnya itu.
"Ayah," berkata Rudita kemudian, "jika Ayah ingin segera kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, maka sebaiknya Ayah tidak ragu-ragu meninggalkan Ibu dirumah."
Ayahnya merenung sejenak. Namun kemudian ia menarik na"fas dalam-dalam sambil berkata, "Kau benar-benar sudah dewasa Rudita. Aku berterima kasih kepadamu, bahwa kau telah berusaha untuk mengerti persoalan yang sama-sama kita hadapi," ia berhen"ti sejenak, lalu, "baiklah. Aku sekarang tidak ragu-ragu lagi meninggalkan rumah ini. Aku memang ingin mendahului pergi ke Ta"nah Perdikan Menoreh."
"Apakah kelak, aku dan Ibu harus menyusul?"
"Jika aku sempat, aku akan menjemput ibumu. Kira-kira lima atau enam hari sebelum hari-hari perkawinan itu."
Rudita mengangguk-angguk.
"Kita masih bersangkut paut keluarga, sehingga kurang pan"tas rasanya jika kita hadir langsung pada saat perkawinan itu."
"Baiklah Ayah."
"Biarlah aku sendiri akan mengatakannya kepada ibumu."
Rudita mengangguk. Katanya, "Ibu tentu perlu mempersiap"kan sumbangan yang akan kita bawa ke Tanah Perdikan Menoreh."
"Ya. Tetapi agaknya ibumu memang sudah mulai memikirkan."
".Mudah-mudahan Ibu dapat melupakan kekecewaannya," desis Rudita kemudian.
"Kenapa ibumu kecewa?"
"Akulah yang menyebabkannya. Disaat-saat hatiku masih diliputi oleh kegelapan, maka rasa-rasanya aku memang ingin men"dapatkan sesuatu dari Pandan Wangi. Ternyata Ibu menganggap bah"wa hal itu adalah wajar sekali, dan bahkan Ibu sependapat apabila hal itu terjadi."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Tetapi ia sama sekali tidak menyangka bahwa Rudita mengetahui pula akan hal itu. Untunglah bahwa kemudian Rudita menemukan kepribadiannya yang masak, sehingga ia akan dapat menguasai dirinya sendiri.
"Baiklah Rudita. Aku akan mengatakannya kepada ibumu. Biarlah yang sudah berlalu itu kita lupakan. Mudah-mudahan ibumu tidak keras hati seperti saat-saat lampau menghadapi persoalanmu, karena kau adalah satu-satunya anak yang menurut pendapatnya perlu dimanjakannya."
Rudita menarik nafas dalam-dalam. Sekilas terbayang masa. lampaunya yang kini terasa aneh bagi dirinya sendiri.
Dalam pada itu, maka Ki Waskita pun kemudian menemui iste"rinya dan menyatakan maksudnya.
"Kau akan pergi mendahului kami?" bertanya isterinya.
"Aku sudah berjanji untuk membantunya. Mungkin Ki Gede memerlukan pertimbangan-pertimbangan bagi hari-hari perkawinan anaknya itu."
"Bukankah di[Tanah Perdikan Menoreh sudah banyak orang-orang tua yang akan dapat membantunya membuat perhitungan saat dan waktu?"
04 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya. Tetapi mungkin. Ki Gede memerlukan orang lain. Dan orang lain itu adalah aku."
Isterinya mulai berpikir.
"Sementara itu, kau dapat menyiapkan sumbangan apakah yang akan kita bawa ke Tanah Perdikan Menoreh. Kau harus dapat memilih, karena aku kira Tanah Perdikan Menoreh telah penuh de"ngan berbagai macam bahan yang diperlukan. Justru aku kira sudah berlebih-Iebihan."
Nyai Waskita menarik nafas. Memang masih membayang ke-kecewaan itu disorot matanya. Ia masih juga membayangkan, betapa senangnya mempunyai menantu seorang gadis seperti Pandan Wangi. Seorang gadis yang mempunyai sifat dan kemampuan yang melampaui gadis-gadis kebanyakan. Ia pandai berburu, tetapi ja ju"ga seorang pengatur rumah tangga yang baik. Sejak kecil ia sudah belajar mengatur isi rumahnya dan melayani keluarganya. Apalagi ia sudah tidak beribu lagi, sehingga semua tanggung jawab rumah tangganya seolah-olah dibebankan kepadanya seluruhnya.
Tetapi Pandan Wangi itu akan menjadi menantu orang lain. Dan kini yang dapat dilakukannya hanyalah melihat saat-saat perkawinan itu berlangsung dan membawa sumbangan bagi peralatan perkawinan itu.
Meskipun demikian, ia pun kemudian menjawab, "Baiklah Kakang. Selama Kakang pergi menjelang hari perkawinan Angger Pandan Wangi, aku akan mempersiapkan sumbangan yang barangkali bermanfaat bagi pengantin itu."
"Aku akan berusaha untuk menjemputmu dan Rudita sepekan sebelum perkawinan itu berlangsung."
"Baiklah. Kami akan menunggu," jawab Nyai Waskita, "tetapi jika sepekan sebelum hari perkawinan itu kau tidak datang, keesokan harinya aku akan berangkat bersama Rudita dan barang"kali satu dua orang pelayan."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, "Tetapi aku akan berusaha. Justru mendekati hari-hari perkawinan kesibukan akan berpindah ke dapur. Dan aku akan mempunyai waktu terluang," ia tertegun sejenak, lalu, "ah, itu pun kalau aku memang diperlukan di Minoreh."
Demikianlah Ki Waskita pun kemudian mempersiapkan dirinya. Keesokan harinya, di dini hari ia akan berangkat seorang diri ke Tanah Perdikan Menoreh.
Namun dalam pada itu, ia tidak dapat melupakan kemungkinan yang dapat terjadi sementara Tanah Perdikan Menoreh sibuk dengan persiapan perkawinan Swandaru dengan Pandan Wangi. Masih saja terbayang sepasukan yang kuat melingkari Gunung Merapi seperti seekor ular naga yang merayap dilambung bukit itu, sementara dari arah lain, sekelompok orang-orang sakti dengan mengendap-endap dan bersembunyi membawa jenis pusaka yang lain untuk dipersatukan disuatu tempat.
"Suatu tempat yang harus/diketemukan," desis Ki Waskita.
Namun ia masih mencoba untuk menggeser persoalan itu be"tapapun menggelisahkannya menghadapi hari perkawinan Pandan Wangi.
Ketika matahari mulai membayang di Timur dikeesokan hari"nya, Ki Waskita sudah mempersiapkan kudanya. Ia masih sempat makan pagi sebelum ia memanggil Rudita dan isterinya.
"Hati-hatilah dirumah," berkata Ki Waskita kepada anak laki-lakinya, "kau jangan menggelisahkan hati orang tuamu lagi."
"Baik Ayah. Bukankah aku sudah berjanji bahwa aku tidak akan pergi lagi."
"Dan selama ini Nyai dapat mempersiapkan sumbangan yang akan kita bawa bersama ke Tanah. Perdikan Menoreh seperti yang Nyai katakan," berkata Ki Waskita kepada isterinya.
"Baiklah Kakang."
"Sudah waktunya aku berangkat. Hari perkawinan itu menjadi semakin sibuk."
"Apakah Ki Gede masih juga curiga terhadap adiknya, Ki Argajaya?" bertanya Nyai Waskita.
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku tidak tahu. Tetapi agaknya Ki Gede Menoreh bukan seorang pendendam. Meskipun demikian, agaknya retak yang pernah terjadi itu tidak akan dapat pulih seperti sediakala."
Isterinya mengangguk angguk. Ia pun mengetahui bahwa pernah terjadi persoalan yang gawat antara kakak beradik pewaris Tanah Perdikan Menoreh itu. Bahkan seakan-akan Tanah Perdikan Me"noreh seolah-olah terbakar oleh api benturan yang dahsyat antara kedua kakak beradik. Kehadiran Sidanti di kampung halamannya bersama gurunya, Ki Tambak Wedi, membuat api di atas Tanah Perdikan itu menjadi bagaikan neraka.
"Tetapi agaknya Ki Argajaya telah benar-benar menyadari kekeliruannya," berkata Ki Waskita kemudian, "dan agaknya Ki Gede pun telah memaafkannya. Didalam saat perkawinan Pandan Wangi, sudah tentu Ki Argajaya akan menjadi sibuk pula sebagai"mana seorang Paman yang ikut menyelenggarakan hari-hari perka"winan kemanakannya."
Ketika matahari mulai menjenguk diatas cakrawala maka Ki Waskita pun kemudian minta diri untuk mendahului pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.
Rudita dan Nyai Waskita melepaskannya sampai ke regol ha"laman. Mereka masih saja berdiri mengawasi keberangkalan Ki Waskita, sampai ia hilang ditikungan.
Dalam pada itu, kuda Ki Waskita berderap semakin cepat. Ia sama sekali tidak mencemaskan lagi anak laki-lakinya. Ia percaya bahwa Rudita akan memegang janjinya, tidak lagi meninggalkan ibunya.
Sementara itu, jalan yang menjelujur dihadapannya masih nampak basah oleh embun. Rerumputan yang hijau nampak berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari yang jatuh pada titik-titik embun yang bertengger.
Ki Waskita menarik nafas. Udara pagi rasa-rasanya membuat tubuhnya menjadi semakin segar. Angin yang sejuk mengalir per"lahan-lahan. Tetapi karena derap kudanya, maka rasa-rasanya wajahnya menjadi semakin dingin disapu deh angin pagi itu.
Tidak ada yang dicemaskan diperjalanan. Tanah Perdikan Menoreh rasa-rasanya tidak lagi pernah diganggu oleh kerusuhan. Namun, jika teringat oleh Ki Waskita, orang-orang yang sedang menyingkirkan pusaka-pusaka yang mereka curi dari Mataram itu, rasa-rasanya dadanya berdesir juga.
"Tetapi sementara ini tentu tidak akan timbul persoalan di atas Tanah Perdikan Menoreh," katanya didalam hati. Tetapi kemudian, "Mudah-mudahan."
Kudanya masih berpacu dibulak-bulak panjang. Ia justru me"rasa perjalanan itu menyenangkan, meskipun hanya seorang diri. Udara yang segar, padi yang hijau dan cahaya matahari pagi yang mulai terasa hangat dikulit.
Namun Ki Waskita itu pun kemudian mengerutkan keningnya ketika ia melihat dikejauhan debu yang mengepul, ia melihat beberapa ekor kuda yang berlari berlawanan arah, sehingga semakin lama justru menjadi semakin dekat.
"Siapakah mereka?" desis Ki Waskita.
Tetapi Ki Waskita tidak merubah kecepatan kudanya. Ia ber"pacu terus, seolah-olah tidak melihat sesuatu dihadapannya.
Namun demikian, semakin dekat kuda-kuda itu, rasa-rasanya menjadi semakin berdebar-debar juga.
"Tiga ekor kuda," desisnya.
Mereka pun kemudian berpapasan ditengah bulak. Seolah-olah masing-masing tidak saling menghiraukan. Ketiga orang itu hanya berpaling sejenak, memandang wajah Ki Waskita yang kosong. Sedang Ki Waskita berpalingpun tidak. Tetapi sebenarnyalah bahwa ia sempat menangkap kesan diwajah ketiga orang berkuda itu meski"pun hanya sekedar dugaan, bahwa ketiganya tergesa-gesa.
"Tidak ada yang menarik," desis Ki Waskita sambil memperlambat derap kudanya. Hampir diluar sadarnya ia pun berpaling.
Namun terasa jantungnya berdegup semakin cepat, ketika justru pada saat yang bersamaan ketiga orang itu pun berpaling pula.
"Mereka berpaling seperti aku juga berpaling," desis Ki Waskita.
Ki Waskita mencoba menghilangkan semua kesan yang timbul dihatinya. Kecemasan yang memang sudah ada didalam dadanya tentang orang-orang yang berada di Tambak Wedi, dan orang-orang yang mengaku dirinya tukang satang yang dengan demikian mereka harus mempertaruhkan nyawanya, membuatnya mulai mereka-reka hubungan antara orang-orang itu dengan mereka yang telah mencuri pusaka-pusaka dari Mataram.
"Ah, aku terlampau cengeng," Ki Waskita kemudian.
Dengan demikian Ki Waskita pun mencoba menghilangkan semua dugaan tentang orang-orang berkuda itu. Adalah wajar sekali. Tidak ada yang aneh. Tiga orang yang sedang bepergian melalui jalan ini."
Ki Waskita pun berpacu terus menuju ke padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Namun tiba-tiba saja Ki Waskita menjadi berdebar-debar pula. Ia melihat lagi orang berkuda dihadapannya. Semakin lama menjadi semakin dekat.
"Siapa lagi mereka itu?"desisnya. Namun kemudian, "Hanya seorang saja."
Seperti yang baru saja dilakukannya, ia mencoba mengusir se"gala macam kegelisahannya mengenai orang berkuda itu. Seperti yang baru saja dilakukannya ia memaksa dirinya berkata didalam hati, "Adalah wajar sekali. Tidak ada yang aneh."
Tetapi terasa debar jantungnya menjadi semakin cepat ketika ia melihat kuda dihadapannya itu menjadi semakin lambat dan kemudian berhenti.
"Ah, apalagi yang akan terjadi?" desisnya.
Seperti yang telah diduga, maka orang berkuda itu pun melam-baikan tangannya, memberi isyarat kepadanya untuk berhenti.
***** BUKU 93 KI WASKITA tidak dapat berbuat lain kecuali menarik kekang kudanya dan berhenti beberapa langkah di hadapan orang berkuda yang telah lebih dahulu berhenti itu.
"Apakah ada sesuatu yang terjadi, Ki Sanak?" bertanya Ki Waskita kepada orang yang belum dikenalnya itu.
Orang itu memandang Ki Waskita dengan tajamnya. Kemudian katanya, "Tentu, Ki Sanak. Mungkin kita memang belum pernah bertemu. Tetapi perjuangan kami memerlukan bantuan siapa pun juga. Juga orang-orang yang belum aku kenal."
Ki Waskita mengerutkan keningnya. Namun, dadanya serasa menjadi semakin bedebaran ketika ia mendengar langkah kaki kuda di belakangnya. Ketika ia berpaling, dilihatnya tiga orang berkuda yang baru saja berpapasan itu ternyata berpacu kembali menuju ke arahnya.
Ki Waskita mencoba menahan gejolak jantungnya. Dengan lirih ia bertanya, "Apakah mereka kawan-kawanmu, Ki Sanak."
"Ya." Ki Waskita mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Jika demikian aku mengerti. Kalian ingin menjebak aku."
"Tepat. Tetapi bukan maksud kami untuk berbuat jahat."
"Katakanlah, apa maksudmu sebenarnya."
Orang itu tidak segera menjawab. Tetapi ia menunggu sejenak sehingga kuda yang datang dari arah yang lain itu menjadi semakin dekat dan berhenti pula beberapa langkah di belakang Ki Waskita.
"Ki Sanak," berkata orang yang berkuda seorang diri, "sudah aku katakan. Aku memerlukan bantuan siapa pun juga dalam perjuangan kami menegakkan kejayaan tanah kita yang tercinta ini."
Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Sekilas teringat olehnya beberapa orang yang telah menghentikannya di jalan antara Jati Anom dan Sangkal Putung. Orang-orang itu juga mengatakan, bahwa mereka memerlukan bantuan untuk perjuangan mereka.
"Apakah kau mengerti?" desak orang berkuda itu.
"Aku tidak mengerti, Ki Sanak," berkata Ki Waskita, "apakah yang kau maksud dengan perjuangan untuk menegakkan kejayaan tanah kita ini?"
"Pajang tidak dapat lagi melakukan tugasnya sebagai sebuah kerajaan yang memiliki kekuasaan yang bulat di atas tanah ini."
"Kenapa?" "Karebet anak Tingkir itu sama sekali tidak memikirkan kepentingan pemerintahannya. Ia sama sekali tidak menghiraukan lagi apa yang terjadi di daerah kekuasaan Pajang. Tetapi ia lebih suka mengumpulkan perempuan-perempuan cantik untuk kesenangannya sendiri meskipun umurnya bertambah tua."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Lalu, "Bagaimana dengan puteranya, Pangeran Benawa?"
"Uh. Ia lebih lemah dari seorang perempuan. Meskipun ia sakti dan memiliki ilmu yang hampir setingkat dengan ayahnya, tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia lebih senang mengurung dirinya di dalam bilik dan barangkali bercermin di wajah air jambangan yang bening dan dengan asyiknya menghias wajahnya yang lebih mirip dengan wajah seorang perempuan yang cantik. Tetapi lebih condong dapat dikatakan, ia sangat malu dengan kelakuan ayahnya yang rakus terhadap perempuan."
Ki Waskita termangu-mangu. Tetapi ia masih bertanya, "Tetapi aku mendengar bahwa puteranya yang lain, maksudku putera angkatnya, adalah seorang prajurit yang linuwih. Ia telah diwisuda menjadi Senopati Ing Ngalaga dan berkedudukan di Mataram. Bahkan ia telah menerima sepasang pusaka yang menjadi pertanda jabatannya."
"Persetan," geram orang itu, "bukankah yang kau maksudkan adalah Sutawijaya?"
"Mungkin. Maksudku adalah Senapati Ing Ngalaga di Mataram itu."
"Ia adalah orang yang paling berbahaya bagi pulihnya kekuasaan yang sejati di atas Tanah ini. Karena itu Mataram harus dimusnahkan. Sesudah atau sebelum Pajang."
"Jika demikian, apakah kalian akan memberontak terhadap kekuasaan Kanjeng Sultan, dan kekuasaan limpahannya kepada Senapati Ing Ngalaga di Mataram?"
"Tepat. Dan kami memerlukan bantuan bagi perjuangan kami. Karena perjuangan kami memerlukan apa saja."
Dada Ki Waskita menjadi berdebar-debar. Bukan saja karena dengan demikian akan berarti kekerasan. Tetapi juga karena ia menduga, bahwa perbuatan semacam itu tidak hanya dilakukan atasnya saja dan tidak akan terjadi lagi. Tetapi perubahan semacam yang terjadi itu akan terjadi lagi atas siapa pun juga.
"Tanah Perdikan Menoreh ternyata telah mulai dijamah oleh kegelisahan lagi," berkata Ki Waskita di dalam hatinya.
"Kenapa kau termenung saja, Ki Sanak?"
Ki Waskita terkejut mendengar pertanyaan itu.
"Aku sedang memikirkan," jawab Ki Waskita.
"O, aku akan menunggu sejenak. Mungkin kau baru menghitung, berapa banyak kau akan membantu kami."
Ki Waskita tidak segera menjawab. Kembali ia membayangkan perbuatan semacam itu yang mungkin terjadi di mana-mana. Bukan saja di daerah yang dekat dengan Mataram atau daerah yang akan menjadi ajang persiapan untuk mempertemukan kedua pusaka yang hilang dari Mataram, tetapi jaring-jaring yang mereka pasang tentu sudah menebar sampai ke tempat yang jauh. Bahkan mungkin ke daerah Pesisir Lor dan Bang Wetan sudah terjadi pula kerusuhan-kerusuhan semacam ini.
"Tetapi yang lebih gawat lagi, bahwa kali ini telah mulai terjadi di pinggir tlatah Menoreh, justru selagi Menoreh akan sibuk dengan perelatan perkawinan Pandan Wangi," katanya di dalam hati pula.
"Ki Sanak," berkata Ki Waskita kemudian, "aku masih belum begitu jelas, apakah yang sebenarnya kalian perjuangkan sehingga kalian telah berani mengangkat senjata dan memberontak terhadap Pajang" Jika sekiranya perjuangan kalian berlandaskan kebenaran, apakah kalian merasa cukup kuat untuk melawan Sultan Hadiwijaya yang tidak ada duanya di muka bumi ini?"
Orang itu tertawa. Katanya, "Kau ternyata terlalu banyak bicara dan terlalu banyak yang ingin kau ketahui. Tetapi baiklah. Kau pantas untuk mengetahui bahwa kekuatan kami adalah kekuatan yang tidak akan terlawan oleh Pajang. Kami beralaskan kekuatan beberapa kadipaten yang segan menundukkan kepalanya di bawah kaki Sultan Hadiwijaya yang hanya mengagungkan kamuktennya sendiri. Dan kami pun tidak akan mau menyembah Sutawijaya yang tidak lebih dari anak Ki Gede Pemanahan, sedang kami sendiri mempunyai sesembahan yang langsung keturunan Majapahit."
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Apakah dengan demikian bukan berarti bahwa kalian akan menggetarkan sendi-sendi kehidupan yang tenang di atas Pajang dan Mataram sekarang ini dengan pemberontakan itu?"
Orang itu tertawa pula. Katanya, "Sebenarnya tidak seorang pun yang dapat menuduh kami melakukan pemberontakan. Tetapi pada suatu saat nanti, akan ternyata bahwa kamilah yang sebenarnya memang berhak atas kekuasaan di Tanah ini. Jika dalam masa-masa peralihan itu terjadi kegoncangan tata kehidupan, adalah wajar sekali. Goncangan yang demikian memang diperlukan sebagai suatu masa penyaringan. Siapakah yang tegak di belakang kami akan tetap berdiri, tetapi siapa yang menentang kami akan terbabat seperti batang ilalang."
Namun, Ki Waskita kemudian menggelengkan kepalanya, "Aku tidak sependapat dengan kalian, Ki Sanak. Meskipun aku juga kecewa bahwa Sultan Hadiwijaya tidak lagi meneruskan naluri keperwiraan dan sifat-sifat kasatria yang sejati, namun itu bukan berarti bahwa Pajang tidak berhak lagi untuk tetap berdiri tegak. Memang mungkin perlu ada beberapa perbaikan. Tetapi itu akan dapat dilakukan dengan cara yang lebih baik dari cara-cara yang akan kalian tempuh."
Orang berkuda itu mengerutkan keningnya. Katanya, "Aku sudah menduga, bahwa kau akan sampai pada kesimpulan itu. Tetapi baiklah aku memperingatkan, bahwa aku tidak mempunyai pilihan lain pada saat-saat semacam ini. Menilik pakaianmu, maka kau tentu dapat memberikan banyak kepada kami. Pendok kerismu agaknya terbuat dari emas. Timang yang kau pakai bertatahkan permata dan cincin di jarimu itu tentu terbuat dari batu permata yang berharga pula."
Ki Waskita ragu-ragu sejenak. Setiap kali membayang kericuhan yaug mulai menjalari Tanah yang sedang sibuk dengan persiapan hari perelatan perkawinan.
"Ki Sanak," Ki Waskita pun bertanya, "aku adalah orang yang hampir setiap hari melalui jalur jalan ini. Tetapi baru kali ini aku bertemu dengan kalian di pinggir tlatah Tanah Perdikan Menoreh. Apakah kalian sudah lama melakukan hal semacam ini di sini?"
"Untuk pertama kalinya kami mencari sumber dana perjuangan kami di tanah ini. Agaknya sebelumnya Tanah Perdikan Menoreh adalah tanah yang tenang dan tenteram. Tetapi sekarang menyesal sekali, bahwa aku telah menggoyahkan ketenteraman itu. Ketahuilah, bahwa aku tidak akan tetap berada di satu tempat. Tetapi aku dan beberapa kelompok kawan-kawanku yang lain, akan menyusuri semua daerah Pajang yang terbentang dari sisi Barat sampai ke sisi Timur." Orang itu berhenti sejenak, lalu, "Agaknya sudah cukup sesorahku. Sekarang, aku minta maaf, bahwa kami akan meninggalkan kau setelah kau menyerahkan dana yang kami perlukan."
"Apakah kau akan melakukan dengan kekerasan jika aku tidak memberikannya?" bertanya Ki Waskita.
Orang itu menjadi heran. Katanya, "Apakah mungkin kau tidak dapat memperhitungkan keadaan" Kami berempat dan kau hanyalah seorang diri meskipun nampaknya kau adalah orang tua yang berani."
Ki Waskita memandang orang yang berada di hadapannya. Kemudian tiga orang berkuda yang semula berpapasan, tetapi kemudian telah menyusulnya kembali.
Agaknya mereka adalah orang-orang yang mendapat kepercayaan dari pimpinannya untuk melakukan tugasnya. Tiga di antara empat orang itu ternyata memelihara kumis, sedang yang seorang lagi berwajah bersih dan bermata tajam. Umurnya adalah yang paling muda dari keempat orang itu.
"Cepat," berkata orang yang menghentikannya, "jika kami kehilangan kesabaran, maka kami akan mengambil sendiri dari padamu, Ki Sanak."
Ki Waskita termangu-mangu. Menilik keadaan lahiriahnya, maka ia tidak dapat digetarkan oleh keempat orang itu. Jika ia mempergunakan segenap ilmunya, maka ia akan dapat membunuh keempatnya.
Tetapi dalam pada itu, sekilas terbayang wajah anaknya, Rudita. Setiap percakapan dengan anak itu, rasa-rasanya ia dihadapkan pada sebuah cermin yang menunjukkan kelemahan-kelemahannya sebagai seorang manusia yang berbakti kepada Yang Menciptakannya.
"Kekerasan memang bukan satu-satunya jalan untuk menyelesaikan persoalan," katanya di dalam hati, "tetapi bagaimana jika kekerasan itu justru terarah kepadaku?"
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Jika pertanyaan itu tumbuh di hati anaknya, maka ia akan menjawab, "Biarlah orang lain melakukannya."
Tetapi seperti yang diakuinya sendiri, bahwa tidak ada orang yang sempurna. Rudita pun memiliki kelemahan meskipun kadarnya lebih rendah dari ayahnya. Rudita berusaha untuk memahami ilmu yang dapat melindungi dirinya dari tindak kekerasan. Sedangkan Ki Waskita berbuat demikian pula. Tetapi Ki Waskira melindungi dirinya dari kekerasan dengan kekerasan pula. Itulah yang tidak diakukan oleh Rudita.
"He, kenapa kau membeku," bentak orang yang berkuda di hadapannya.
Ki Waskita sekali lagi menarik nafas. Sambil mengangguk-angguk kecil ia berkata, "Baiklah, Ki Sanak. Aku akan menyerahkan apa yang aku punyai."
Orang itu tertawa. "Ternyata kau cukup bijaksana. Nah, turunlah dari kudamu dan serahkanlah kepada kawan-kawanku. Aku akan tetap berada di atas kudaku."
"Kenapa aku harus turun?"
"Kau dengar perintahku. Turunlah dan serahkan semuanya yang kau punyai kepada orang-orangku."
"Semuanya?" "Ya." "Kau sudah berubah. Bukankah kau minta menurut keikhlasan dariku. Sekarang kau menuntut semuanya."
"Yang berlaku adalah perintahku yang terakhir. Dan itu menyebutkan, bahwa semuanya akan kami ambil daripadamu."
Ki Waskita tidak dapat membantah lagi. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian ia pun meloncat turun dari kudanya, diikuti oleh ketiga orang berkuda yang semula berpapasan di tengah bulak panjang itu.
"Ambillah kerismu, ikat pinggangmu lengkap dengan timangnya, dan kampil di pelana kudamu."
Ki Waskita tidak menjawab. Namun sejenak ia menebalkan tatapan matanya ke sekitarnya. Ternyata bulak itu sepi. Tidak banyak orang yang berada di sawahnya. Jika ada satu dua orang, mereka berada jauh dari jalan yang lengang itu.
Dengan ragu-ragu Ki Waskita memberikan apa yang diminta oleh orang-orang yang mencegatnya itu. Ikat pinggang, keris dan wrangkanya, kampil berisi uang, dan bahkan cincinya sekali.
Orang yang masih tetap berada di punggung kudanya itu tertawa. Katanya, "Terima kasih. Kau adalah orang yang paling banyak memberikan sumbangan sampai hari ini. Di hari-hari yang lalu, aku hanya menerima sumbangan yang kurang berarti. Sekarang kau adbmcadangan.wordpress.com memberikan cukup banyak. Kami tidak akan melupakan kebaikan hatimu. Jika kelak kerajaan Majapahit telah berdiri seperti seharusnya, kau akan menerima bagianmu sesuai dengan sumbangan yang kau berikan." Ia berhenti sejenak, lalu, "He, siapakah namamu dan dimana rumahmu?"
"Apakah itu perlu?"
"Tentu. Aku akan mencarimu kelak. Aku sendirilah yang akan menyerahkan bagianmu kelak. Bahkan mungkin kau akan diangkat menjadi demang, atau kepala Tanah Perdikan di Menoreh ini menggantikan Argapati yang tentu harus disingkirkan."
"Namaku Ki Jalawaja."
"He," wajah orang itu menjadi merah padam, dengan nada yang bergetar ia berkata, "Kau bergurau."
"Aku tidak bergurau."
"Ki Jalawaja telah meninggal di lereng sebelah Timur Gunung Merapi."
Dada Ki Waskita-lah yang kemudian berdesir. Ternyata berita kematian Ki Jalawaja telah tersebar di antara mereka. Bahkan mungkin telah diketahui oleh setiap orang di dalam lingkungan mereka.
"Apakah orang-orang yang berada di Padepokan Tambak Wedi itu sudah bertemu dan menyatukan diri dengan orang-orang yang membawa songsong menyeberangi Kali Praga?" bertanya Ki Waskita di dalam hatinya.
Tetapi ia tidak sempat memikirkannya karena sekali lagi ia mendengar orang berkuda itu membentak, "Jawab. Dari mana kau mengenal nama Ki Jalawaja?"
Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Dipandanginya wajah orang-orang berkuda yang garang itu sejenak. Namun kemudian ia menjawab, "Kenapa kau bertanya dari mana aku mengenal nama itu" Namaku memang Jalawaja. Apakah aneh" Atau barangkali ada orang lain yang bernama sama tetapi sudah lama meninggal?"
Orang berkuda itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian menarik nafas panjang, "Apakah mungkin nama itu serupa?"
"Memang mungkin sekali," sahut Ki Waskita, "aku sudah mengenal seorang yang namanya mirip namaku."
"Sebutkan orang itu."
"Tetapi masih selisih sedikit, karena namanya bukannya Jalawaja, tetapi Sisikwaja."
Orang berkuda itu memandang Ki Waskita dengan tajamnya. Lalu katanya, "Baiklah. Untuk sementara aku percaya bahwa namamu Jalawaja. Nama yang sama dengan seorang pimpinanku yang memang sudah meninggal."
"Kenapa ia menjnggal?" bertanya Ki Waskita.
"Jangan banyak cakap. Setiap orang akan meninggal. Juga Kiai Jalawaja itu meninggal. Kau pun akan meninggal pula pada suatu saat apa pun sebabnya."
Ki Waskita mengangguk. Gumamnya, "Ya. Setiap orang akan kembali ke asalnya. Itulah sebabnya, maka selama hidup yang pendek ini kita harus mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian itu. Sebab jika kematian itu tiba, dan kita belum siap, maka semuanya akan terlambat. Padahal waktu mempersiapkan diri itu rasa-rasanya begitu pendeknya."
"Diam," tiba-tiba orang berkuda itu membentak, "kau mau berkhotbah tentang kematian?"
"Tidak. Tidak, Ki Sanak," desis Ki Waskita, "aku hanya menirukan saja nasehat orang tuaku dahulu."
"Tetapi kau tidak perlu mengucapkannya di sini. Aku muak mendengarnya."
"Baik, baik, Ki Sanak. Nasehat semacam itu memang kadang-kadang seperti cermin yang dapat menunjukkan cacad di wajah kita."
"Diam," orang itu berteriak, "jika kau mengulanginya sekali lagi aku bunuh kau, meskipun kau sudah memberikan dana yang cukup kepada kami."
Ki Waskita mengangguk dalam-dalam. Katanya tergagap, "Baik. Baik, Ki Sanak. Aku tidak akan mengatakannya lagi."
"Sekarang pergilah. Kelak aku akan mencari seseorang yang bernama Ki Jalawaja. Mungkin kau beruntung mendapatkan imbalan dari dana yang kau berikan sekarang. Tetapi mungkin kau akan aku gantung kelak karena khotbahmu itu."
Ki Waskita tidak menjawab lagi. Dengan ragu-ragu ia pun meloncat ke punggung kudanya. Dengan suara tertahan-tahan ia berkata, "Apakah aku boleh lewat?"
"Pergilah," orang berkuda itu tiba-tiba saja tertawa, "ketika mula-mula kau bersikap seperti seorang kesatria, aku mengira kau adalah seorang tua yang berani. Tetapi ternyata kau tidak lebih dari seorang yang sangat sombong dan pengecut. Pergilah. Mungkin kita tidak akan bertemu lagi."
Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menggerakkan kendali kudanya. Perlahan-lahan kudanya mulai bergerak dan meninggalkan tempat itu.
Demikian Ki Waskita melampaui orang berkuda di hadapannya, maka ia pun segera melecut kudanya dan berpacu secepat-cepatnya menyelusuri jalan di tengah bulak panjang itu.
Tiba-tiba saja orang-orang itu tertawa meledak. Mereka memandang debu yang berhamburan di belakang kuda Ki Waskita yang berlari kencang.
"Kita belum pernah mendapat hasil sebanyak ini dalam satu kali tepuk," berkata orang berkuda yang agaknya pemimpin dari keempat orang itu.
"Ya, Ki Lurah," sahut salah seorang yang masih belum berada di punggung kudanya, "menyenangkan sekali jika dalam usaha berikutnya kita akan bertemu dengan orang-orang kaya seperti Kiai Jalawaja ini."
"Daerah ini memang memiliki banyak orang-orang yang cukup kaya, sehingga kita akan segera dapat mengumpulkan banyak sekali dana untuk perjuangan kita yang panjang." Orang berkuda itu berhenti sejenak, lalu, "Marilah, kita kembali."
Ketiga orang yang lain pun segera berloncatan ke atas punggung kuda masing-masing sambil membawa barang-barang rampasannya. Dengan wajah yang cerah, mereka pun segera melarikan kuda mereka ke arah yang berlawanan dengan Ki Waskita.
Sementara itu Ki Waskita sudah menjadi semakin jauh. Di luar sadarnya ia berpaling. Tetapi ia sudah tidak melihat lagi orang-orang yang telah menghentikannya.
"Aku memang tidak seikhlas Rudita," ia berdesis, "dan ini adalah kekuranganku. Tetapi aku kira, aku belum siap untuk dapat berlaku seperti Rudita."
Bersamaan dengan itu, maka orang-orang yang telah merampas barang-barang Ki Waskita itu pun telah memasuki hutan perdu di ujung daerah persawahan. Mereka mulai memperlambat derap kudanya, karena jalan menjadi agak sulit.
Dalam pada itu, Ki Waskita masih dicengkam oleh keragu-raguan atas sikapnya sendiri. Katanya di dalam hati, "Apakah sudah benar jika aku melepaskan keempat orang itu" Apakah itu bukan berarti benih persoalan di kesempatan lain?"
Sementara itu keempat orang yang memasuki hutan perdu itu mulai merasa terganggu. Rasa-rasanya barang-barang yang diperolehnya dari orang yang mengaku bernama Kiai Jalawaja itu tidak sewajarnya. Bahkan rasa-rasanya perlahan-lahan barang-barang itu menjadi kabur dan berubah menjadi asap. Hilang.
"Ki Lurah," salah seorang dari mereka yang membawa kampil uang itu berteriak.
Hampir bersamaan meskipun tidak ada perintah, keempat orang itu menarik kekang kuda mereka, sehingga keempat ekor kuda itu berhenti dengan serta-merta. Bahkan ada di antaranya yang melonjak dan tegak di kedua kaki belakangnya.
"Apakah kita bermimpi," pemimpin kelompok itu pun berteriak pula.
"Kampil uang itu lenyap begitu saja."
"Ya. Keris itu pun hilang dengan sendirinya."
"Kita sudah ditenungnya," geram pemimpin kelompok itu dengan kemarahan yang bagaikan menyekat dada.
Wajah keempat orang itu menjadi tegang. Sejenak mereka bagaikan terpukau oleh peristiwa yang telah menggoncangkan hati itu.
"Orang itu tentu belum terlampau jauh," tiba-tiba salah seorang dari mereka berteriak.
"Ya. Kita sudah ditipunya. Hanya kematiannyalah yang dapat menebus hinaan ini. Orang itu menyangka bahwa kami adalah orang-orang yang sangat dungu sehingga dengan mudah dapat ditipunya."
"Ternyata ia tidak berhasil. Karena kita bukan orang kebanyakan itulah, maka barang-barang tipuan itu lenyap di tangan kita. Untunglah bahwa kita belum sampai ke induk pasukan dan menyerahkan barang-barang tipuan itu. Jika demikian kita tentu akan menjadi malu sekali, seolah-olah kita adalah orang-orang yang sangat dungu menghadapi tukang tenung yang licik itu."
"Kita akan mengejarnya," geram pemimpin kelompok itu, "orang itu harus merasakan akibat kebodohannya."
Pemimpin kelompok itu tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun kemudian memutar kudanya dan memacunya seperti dikejar hantu.
Ketiga orang anak buahnya pun mengikutinya pula dengan kemarahan yang menyentak dada. Rasa-rasanya mereka tidak sabar lagi meremas wajah orang yang telah menipunya.
Sejenak kemudian empat ekor kuda itu pun telah berpacu dengan kecepatan yang sangat tinggi. Debu yang putih berhamburan disentuh angin yang tidak begitu kencang.
Sementara itu Ki Waskita masih saja dicengkam oleh keragu-raguan. Apakah ia akan tetap membiarkan keempat orang itu bertebaran dan membuat keonaran di saat-saat mendatang.
"Mudah-mudahan mereka tidak kembali lagi ke tlatah Menoreh," gumamnya kemudian. Karena itulah maka ia tidak lagi menghiraukan keempat orang itu. Dipercepatnyalah derap lari kudanya agar ia segera sampai ke padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Namun demikian, terbersit juga keragu-raguan di hati Ki Waskita. Benda-benda semu yang dibuatnya tidak dapat bertahan terlalu lama, sehingga ia pun sadar, bahwa benda-benda itu akan segera lenyap apabila dilepaskan dari hubungan getaran ujud semu yang berpangkal pada ilmunya, yang menyentuh dan membuat getaran senada pada pusat syaraf orang lain yang tidak mampu menggeser rentangan getar di pusat syarafnya.
"Jika mereka menyadari bahwa barang-barang yang mereka bawa itu sebenarnya tidak ada, maka mereka tentu akan marah. Mungkin mereka akan berbalik dan mengejarku," berkata Ki Waskita di dalam hatinya.
Ada sepercik niat untuk membinasakan saja keempatnya. Tetapi tiba-tiba saja melonjak sikapnya yang lain, "Biar sajalah mereka menjadi marah. Jika mereka tidak menemukan aku, maka mereka tentu tidak akan dapat berbuat apa-apa."
Karena itulah, maka ketika di hadapannya nampak sebuah padukuhan kecil, Ki Waskita pun mempercepat lari kudanya agar ia sempat bersembunyi di padukuhan itu.
Seperti yang diduganya, demikian ia hilang di mulut lorong memasuki regol padukuhan kecil itu, empat ekor kuda berderap di tengah-tengah bulak, membelok di tikungan yang berpagar pohon-pohon jarak, sehingga membatasi pengamatan mereka. Ketika mereka memasuki jalan lurus yang panjang, mereka sudah tidak melihat lagi orang yang menyebut dirinya Kiai Jalawaja.
Namun dalam pada itu, dari dalam regol padukuhan kecil itu Ki Waskita masih melihat debu yang mengepul di tengah-tengah bulak yang panjang itu.
"Tentu mereka berusaha mengejar aku."
Karena itulah maka Ki Waskita pun dengan tergesa-gesa memasuki sebuah halaman di pinggir padukuhan itu. Kepada penghuninya ia berterus terang, minta berlindung beberapa saat karena empat orang penjahat sedang mengejarnya.
"Apakah mereka tidak mengetahui bahwa Ki Sanak memasuki padukuhan ini?"
"Mereka tentu menyangka bahwa aku berpacu terus."
"Baiklah. Tetapi jika mereka menemukan Ki Sanak di sini, aku tidak akan dapat berbuat apa-apa."
"Mereka tidak akan berhenti di sini."
Ki Waskita pun kemudian menyembunyikan kudanya di belakang rumah itu, sedangkan ia sendiri berada pula di samping kandang.
Sejenak terasa pergolakan yang semakin melonjak di hatinya. Ia tidak pernah berbuat demikian. Bersembunyi seperti orang yang ketakutan. Dalam keadaan demikian, ia selalu tampil dengan dada tengadah. Jika ia merasa lawannya cukup kuat, maka ia melepaskan ikat kepalanya dan membelitkanya di lengannya dan dipergunakannya sebagai perisai yang melampaui kekuatan perisai baja.
Tetapi pengaruh hubungannya dengan sikap anaknya telah membuatnya bersikap lain. Seperti orang yang ketakutan ia bersembunyi di samping kandang yang baunya menusuk hidung untuk menghindari empat orang penyamun yang sedang mengejarnya.
Sejenak kemudian Ki Waskita menjadi berdebar-debar. Ia mendengar derap kuda yang menjadi semakin dekat.
Sejalan dengan itu, hatinya pun menjadi semakin bergejolak. Ada keinginannya untuk meloncat menghentikan orang-orang berkuda itu. Tetapi kemudian seolah-olah terdengar suara di hatinya, "Apa lagi gunanya berkelahi jika persoalannya adbmcadangan.wordpress.com dapat diselesaikan dengan cara lain?" Bahkan kemudian timbul pula pertimbangannya, "Bentrokan di saat seperti ini tidak menguntungkan Tanah Perdikan Menoreh yang sedang mempersiapkan diri menjelang hari perkawinan Angger Swandaru dengan Pandan Wangi. Lebih baik aku tetap di sini. Keempat orang itu tentu akan segera pergi."
Namun terasa jantungnya berhenti berdenyut ketika suara derap kaki kuda itu tiba-tiba berhenti di muka rumah itu.
"Apakah mereka berhenti?" ia bertanya kepada diri sendiri.
Sejenak Ki Waskita memperhatikan keadaan dengan saksama. Tetapi yang didengarnya adalah suara seseorang yang membentak, "He, di mana orang berkuda itu?"
Ki Waskita menjadi semakin berdebar-debar. Hampir di luar sadarnya ia justru bergeser dari tempatnya dan berlari ke sudut rumah itu.
"Tetaplah bersembunyi," desis seorang laki-laki tua yang agaknya salah seorang anggauta keluarga di rumah itu.
Ki Waskita menjadi ragu-ragu. Dan sebelum ia bergeser dari tempatnya, ia sudah mendengar suara seseorang membentak, "Cepat, tunjukkan di mana orang itu."
"Ia tidak singgah kemari," jawab pemilik rumah itu.
"Jangan membohongi kami. Jejak kaki kuda itu terputus di sini, dan lihat, jejak itu memasuki halaman rumahmu."
Pemilik rumah itu tidak dapat menjawab. Ia sendiri kemudian menyadari bahwa ia tidak akan dapat berbohong lagi karena jejak itu benar-benar dapat dilihat dengan jelas, memasuki halaman rumah itu.
"Nah. sekarang katakan, di manakah orang itu. Tentu orang yang sedang kami cari."
"Ki Sanak," pemilik rumah itu masih mencoba mengelak, "akulah yang baru saja berkuda pulang dari bepergian. Jejak kuda itu adalah kudaku."
Ki Waskita tidak mendengar jawaban. Tetapi dadanya bergetar ketika ia mendengar keluhan tertahan, disusul oleh jerit seorang perempuan.
"Kubunuh kau, jika kau masih ingkar," terdengar suara kasar.
Ki Waskita menjadi semakin berdebar-debar. Ia tidak dapat tetap berada di tempatnya. Di luar sadarnya pula ia bergeser sepanjang dinding rumah itu.
"Tidak ada orang lain di sini, Ki Sanak."
Suaranya terputus oleh hentakan sebuah pukulan yang keras disusul oleh jerit itu lagi. Semakin keras.
Ki Waskita sadar, bahwa pemilik rumah itu ada di dalam bahaya. Jika ia tidak mau mengatakan tentang dirinya, maka agaknya keempat orang itu tidak sekedar bermain-main. Tetapi mereka benar-benar akan membunuhnya dan bahkan mungkin isterinya.
Sekilas terbersit di angan-angan Ki Waskita, kematian yang sangat mengerikan tanpa melakukan kesalahan apa pun juga. Bahkan orang itu sedang berusaha untuk melindungi orang lain.
Ki Waskita temangu-mangu sejenak. Ia merasa tidak sepantasnya bersembunyi untuk menghindari benturan kekerasan, dan mungkin kematian, tetapi dapat berakibat kematian orang lain. Dengan demikian kematian itu tetap terjadi. Bahkan atas orang yang tidak bersalah sama sekali.
Karena itulah, ketika ia mendengar sebuah pukulan lagi dan keluhan yang panjang, serta pekik seorang perempuan yang semakin menyayat, ia tidak dapat tetap di tempatnya. Dengan wajah yang kemerah-merahan ia meloncat ke halaman dari samping rumah itu sambil menggeram, "Jangan gila. Aku di sini."
Keempat orang itu serentak berpaling. Mereka melihat Ki Waskita berdiri tegak di tempatnya dengan sorot mata yang bagaikan menyala.
"Nah, tukang tenung gila itu benar-benar bersembunyi di sini." Kemudian dengan kemarahan yang meluap-luap ia memandang pemilik rumah yang ternyata sudah terbaring di tanah dengan darah di mulutnya itu sambil berkata, "Kau benar-benar telah menipu kami. Karena itu, kau pun harus mati bersama tukang tenung gila itu."
Perempuan yang ternyata isterinya, yang berjongkok di sisinya itu kemudian memeluk suaminya sambil berkata, "Jangan kau bunuh suamiku, ia tidak bersalah."
"Mereka tidak akan membunuhnya, Nyai," berkata Ki Waskita, "kecuali jika mereka adalah cucurut-cucurut kerdil yang tidak tahu diri. Akulah yang mereka cari. Karena itu, akulah yang akan menanggung segala akibatnya."
"Orang ini berusaha menyelamatkan kau," teriak salah seorang dari perampok itu.
"Tidak seorang pun yang perlu menyelamatkan aku. Tetapi sebaliknya, jika ia menahan kalian menemukan aku, karena semata-mata orang itu mencoba melindungi kalian berempat dari kematian."
"Setan, anak tetekan. Kau sangka aku ini apa, he?"
"Nah, sekarang aku sudah kalian ketemukan. Apakah yang akan kalian lakukan?" geram Ki Waskita yang hatinya ternyata menjadi terbakar pula setelah ia melihat keadaan pemilik rumah yang tidak bersalah itu.
"Bunuhlah tukang tenung itu," berkata pemimpin kelompok itu, "aku akan membunuh orang ini."
Tiga orang di antara mereka pun kemudian berdiri tegak memandang Ki Waskita, sedangkan pemimpin mereka masih tetap berdiri di samping pemilik rumah yang masih terbaring di tanah.
Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Ternyata pemilik rumah itu berada dalam keadaan yang gawat. Jika pemimpin kelompok yang marah itu benar-benar membunuh pemilik rumah itu, maka akan jatuh korban jiwa karena keragu-raguannya, sehingga ia justru bersembunyi.
Sesaat kemudian Ki Waskita melihat tiga orang di antara mereka mendekatinya, sedang pemimpinnya justru telah meraba hulu senjatanya.
"Perutmu akan sobek dari lambung sampai ke lambung," geramnya.
"Jangan, jangan," teriak isterinya.
"Aku tidak peduli. Ia sudah menipu aku."
Ki Waskita menjadi bingung sejenak. Jaraknya dengan pemilik rumah yang terbaring itu tidak terlampau dekat, sehingga sulit baginya untuk langsung menolongnya jika pemimpin kelompok yang menjadi sangat marah itu benar-benar mengayunkan senjatanya.
"Kaulah yang harus mati lebih dahulu dari tukang tenung yang kau sembunyikan itu."
"Jangan, jangan," pemilik rumah itu pun meminta, bersamaan dengan isterinya yang memeluk kaki penjahat yang, sudah menarik senjatanya.
Ki Waskita tidak mempunyai jalan lain. Tiba-iba saja ia mengerutkan keningnya. Sepercik getaran dari ilmunya tiba-tiba saja telah menyentuh rentang getar di pusat syaraf para penyamun itu.
Karena itulah, ketika pemimpin kelompok itu mengibaskan isteri pemilik rumah yang memeluk kakinya sehingga terlempar selangkah dan jatuh terlentang, terdengar suara tertawa nyaring di regol halaman.
Yang berada di halaman itu pun serentak berpaling. Mereka melihat seorang anak kecil tertawa terbahak-bahak sehingga perutnya terguncang-guncang.
Pemimpin kelompok yang marah itu menjadi semakin marah sehingga ia pun berteriak, "Tutup mulutmu, he?"
Tetapi anak kecil itu tertawa terus. Kedua tangannya sibuk mengusap air matanya yang meleleh di pipinya karena ia tidak mampu menahan tertawanya yang meledak-ledak itu.
"He, kenapa kau tertawa, Anak Gila?"
Anak itu masih tertawa terus. Di sela-sela suara tertawanya ia menjawab, "Lucu sekali."
"Apa yang lucu, he?"
"Kau membuat orang-orang sepadukuhan ini ketakutan. He, apakah kau tidak tahu, orang-orang itu berlari-larian menengok halaman ini karena mereka mendengar hiruk-pikuk. Tetapi kemudian mereka berlari-larian kembali ke rumahnya dan menutup pintu rapat-rapat."
"Diam, diam!" teriak salah seorang yang lain.
"Kenapa aku harus diam melihat kelucuan itu" Apalagi salah seorang dari penyamun yang garang itu sudah siap membunuh orang yang tidak bersalah dan tidak melawan sama sekali."
Pemimpin kelompok penyamun itu benar-benar tidak dapat mengendalikan dirinya lagi. Tiba-tiba saja ia berteriak, "Kau pun akan aku bunuh, Anak Gila. Kaulah yang justru yang pertama-tama."
"Aku?" anak itu terkejut. Tetapi ia pun tertawa pula, "Jika kau mampu mengejar aku, kau akan dapat membunuhku."
"Setan alas. Kau sangka aku hanya bergurau?"
Anak itu tertawa semakin keras. Tetapi suara tertawanya tiba-tiba saja terputus karena pemimpin kelompok itu benar-benar tidak dapat menahan dirinya. Dengan serta-merta ia meloncat langsung menikam anak yang berdiri di regol itu. Tetapi agaknya anak itu benar-benar mampu berlari cepat. Demikian ia melihat pemimpin kelompok itu meloncat, ia pun telah berlari meninggalkan regol dan hilang di balik dinding batu.
Pemimpin kelompok yang marah itu tidak membiarkannya lari. Karena itu, ia pun kemudian mengejarnya sampai ke regol halaman.
Tetapi ketika ia melangkahi tlundak regol, langkahnya terhenti. Ia tidak melihat seorang pun di sepanjang jalan. Jalan yang menjelujur lurus ke kedua arah.
"Gila, di mana anak itu?" geram pemimpin kelompok itu. Tetapi ia sama sekali tidak melihat seorang pun. Padahal menurut penilaiannya, anak kecil itu tidak akan dapat meloncati dinding batu di sebelah-menyebelah jalan.
Namun adalah suatu kenyataan, anak itu hilang seperti asap.
Tiba-tiba saja pemimpin kelompok itu teringat kepada orang yang sedang dikejarnya. Orang yang telah memberikan beberapa macam barang yang sekedar ada karena tenungnya, bukan karena sebenarnya barang-barang itu ada.
Pemimpin kelompok itu menggeram. Dengan wajah yang merah membara ia berpaling. Dadanya rasa-rasanya menjadi retak ketika ia melihat pemilik rumah yang terlentang di halaman itu kini sudah berdiri bersandar pintu rumahnya, dilayani oleh isterinya. Sedang Ki Waskita yang menyebut dirinya bernama Kiai Jalawaja itu berdiri tegak di depannya dengan keris terhunus.
04 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"He, gila. Apakah kerja kalian!" teriak pemimpin kelompok itu kepada ketiga orang kawannya. "Kau biarkan tukang tenung itu menolong orang yang mencoba melindunginya?"
Serentak mereka bertiga berpaling. Seperti bermimpi rasanya. Mereka seakan-akan terpukau oleh anak kecil yang tertawa di regol itu, sehingga mereka tidak melihat, apa yang telah terjadi di sampingnya.
"Anak itu pun adalah iblis yang dibuat oleh tukang tenung itu. Ia hilang di luar regol seperti barang-barang yang kalian bawa."
Kemarahan telah membakar setiap dada keempat orang penyamun yang mengejar Ki Waskita itu. Mereka merasa, bahwa mereka telah menjadi korban permainan tenung dan sihir.
"Tukang sihir gila," geram salah seorang dari mereka, "tetapi bagaimana pun juga kau harus menebus dengan nyawamu. Kau tidak akan sempat membuat ujud-ujud apa pun lagi di hadapan kami, karena kami sudah yakin, bahwa kami berhadapan dengan tukang sihir."
Ki Waskita tidak beranjak dari tempatnya. Tetapi ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan.
"Baiklah," berkata pemimpin kelompok itu, "agaknya orang gila yang berusaha menyembunyikan tukang tenung atau tukang sihir atau apa pun namanya itu, sempat memperpanjang umurnya dengan beberapa saat. Tetapi kematian yang akan dialaminya adalah kematian yang lebih parah, karena akan terjadi perlahan-lahan seperti tukang sihir itu sendiri."
Ki Waskita memandang keempat orang itu berganti-ganti. Sekali-sekali ia berpaling. Pemilik rumah itu masih berdiri bersandar pintu dengan wajah yang pucat oleh ketakutan. Sedang darah yang meleleh di pipinya telah diusapnya dengan lengan bajunya.
"Menyerahlah, supaya kami mempunyai sedikit belas kasihan," geram pemimpin kelompok itu.
"Apakah belas kasihanmu itu berarti bahwa pemilik rumah yang tidak bersalah ini akan tetap hidup?" bertanya Ki Waskita.
"Gila. Kalian semuanya akan mati. Tetapi jalan kematian itulah yang berbeda-beda. Bagi kalian semakin cepat tentu akan menjadi semakin baik. Tetapi jika kalian melawan, maka kalian akan mengalami masa yang berkepanjangan menjelang saat kematian itu."
"Jika demikian," jawab Ki Waskita yang menjadi marah pula, "aku pun menawarkan hal yang serupa. Jika kalian menyerah dan pasrah, maka aku akan menikam kalian seorang demi seorang dengan keris langsung ke jantung. Tetapi jika tidak, maka kalian masing-masing dan kuda itu akan aku lecut sepanjang bulak panjang."
"Setan alas," teriak pemimpin kelompok itu, "kau masih dapat mengigau, he, tukang sihir."
"Namaku Kiai Jalawaja."
"Tentu itu hanya leluconmu yang gila. Kau mungkin memang pernah mendengar nama Jalawaja. Tetapi tentu kau tidak bernama Jalawaja."
Yang bertubuh kekar tidak sabar lagi. Dengan nada yang dalam, seolah-olah suaranya berputar di dalam perutnya ia menggeram, "Aku akan membunuhnya sekarang dengan tanganku. Aku akan mematahkan tangannya, kemudian kakinya, sebelum yang terakhir tulang punggungnya. Kemudian akan aku biarkan ia mati berlama-lama. Kita tinggalkan saja ia di sini. Dalam dua hari ia tentu akan mati."
"Ia akan sempat menenung kita."
"Menjelang ajal, ia tidak mempunyai kemampuan melakukannya," jawab orang bertubuh kekar itu sambil melangkah mendekati Ki Waskita.
Tetapi Ki Waskita pun sudah bersiaga. Ia berdiri tegak dengan kaki renggang. Kedua tangannya bersilang di muka dadanya.
Sejenak kemudian ketiga orang penyamun yang lain pun segera mengambil tempatnya masing-masing. Pemimpinnya, yang jantungnya bagaikan terbakar oleh bara api tempurung itu mengambil tempat di tengah-tengah.
Ki Waskita tetap di tempatnya. Ia tidak bergeser maju, agar ia tetap dapat melindungi pemilik rumah yang masih bersandar pintu berpegangan isterinya yang menggigil ketakutan. Namun keduanya kemudian terduduk dengan lemahnya karena kaki mereka rasa-rasanya tidak mampu lagi membawa berat tubuhnya yang gemetar.
"Agaknya itu akan lebih baik," berkata Ki Waskita di dalam hatinya.
Sejenak kemudian, maka Ki Waskita pun harus sudah menempatkan diri di dalam lingkaran pertempuran. Ia sama sekali tidak ingin lagi membuat bentuk-bentuk semu, karena agaknya keempat orang itu tidak akan lagi dapat dikelabui. Mereka tentu tidak akan menghiraukan ujud apa pun lagi yang nampak di halaman itu, meskipun seandainya ada orang yang sebenarnya hadir.
Ki Waskita memandang keempat ujung senjata yang telah terarah kepadanya. Untuk melawan keempat ujung senjata itu ia tidak dapat mempergunakan tubuhnya yang masih belum dibalut oleh perisai ilmu kebal yang matang. Itulah sebabnya, maka ia pun kemudian membuka ikat kepalanya dan dibelitkannya di tangan kirinya.
Namun dengan demikian juga berarti bahwa kesabaran Ki Waskita sudah sampai ke batasnya melihat tingkah laku keempat penyamun yang memuakkan itu.
Sejenak kemudian, perkelahian sudah tidak dapat dicegah lagi. Ketika orang yang bertubuh tinggi itu meloncat menyerang maka Ki Waskita telah siap menangkis serangan ujung senjatanya dengan ikat kepalanya yang membelit lengannya.
Benturan itu benar-benar telah mengejutkan. Apalagi ketika Ki Waskita masih sempat berkata, "Aku sudah tidak mempunyai pertimbangan lain kecuali membunuh kalian. Bukan karena aku ingin membunuh seperti kalian tetapi dengan demikian muka kalian tidak akan menjadi bibit keonaran di tlatah ini dan bahkan mungkin menimbulkan korban yang tidak terhitung jumlahnya."
Rasa-rasanya jantung keempat orang itu tergetar. Namun kemudian pemimpin kelompok penyamun itu berteriak, "Kau jangan mencoba menakuti kami seperti anak-anak."
"Jangan berteriak," geram Ki Waskita, "kaulah yang menakut-nakuti tetangga di sebelah-menyebelah. Kini mereka tentu sudah membeku di dalam rumah mereka. Apalagi jika mereka mendengar suaramu yang menyakitkan hati itu."
"Persetan," jawab pemimpin kelompok itu.
"Tetapi jika suaramu didengar oleh para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, maka kalian akan mengalami nasib lebih buruk lagi."
"Aku akan membunuh siapa saja," pemimpin kelompok itu masih berteriak. Namun suaranya seolah-olah terputus di kerongkongan karena serangan Ki Waskita yang tidak terduga-duga, seakan-akan menyusup di antara keempat ujung senjata mereka.
Perkelahian itu semakin lama menjadi semakin sengit. Ujung senjata yang terayun-ayun itu seolah-olah semakin lama menjadi semakin banyak. Tetapi Ki Waskita pun mampu bergerak semakin cepat.
Namun demikian, Ki Waskita tidak dapat bertempur dengan tata gerak yang leluasa. Ia tidak dapat berloncatan di halaman itu sesuai dengan keinginannya menghadapi keempat orang lawannya, karena ia masih harus melindungi dua orang suami-isteri yang ketakutan. Ki Waskita merasa wajib untuk melakukannya, karena ia merasa, bahwa ialah yang menyebabkan bahaya maut itu hampir saja menyentuh kedua suami-isteri itu. Bahkan apabila ia gagal, maka bahaya itu masih mungkin sekali menerkam mereka berdua bersama-sama.
Dalam pada itu, keempat orang penyamun yang merasa tidak segera dapat mengalahkan lawannya pun menjadi semakin marah. Mereka menyerang dari berbagai penjuru untuk membagi perhatian Ki Waskita.
Tetapi Ki Waskita agaknya memiliki kecepatan bergerak yang cukup. Ketika ujung-ujung senjata itu mematukinya, ia selalu saja sempat mengelak. Sekali ia menggeliat sambil berputar. Sementara ujung senjata yang lain hampir menusuk lambungnya, ia membungkukkan badannya sambil menangkis ujung senjata yang lain yang menyambar mendatar mengarah ke lehernya.
Bahkan, ketika keringat telah mulai membasahi punggungnya, tandang Ki Waskita rasa-rasanya menjadi semakin mantap, serangannya justru menjadi semakin ganas. Bukan saja tangannya yang menyambar-nyambar, tetapi juga kakinya.
Tetapi lawannya pun agaknya cukup berpengalaman. Mereka selalu berusaha menarik Ki Waskita semakin maju. Mereka menyerang dari samping namun kemudian menarik diri menjauh di depan Ki Waskita berseberangan arah dengan kedua orang suami isteri yang ketakutan.
Ki Waskita menyadari, bahwa ia tidak dapat menyerang terlalu bernafsu tanpa dikuasai oleh perhitungan yang baik. Jika ia meloncat terlalu jauh, maka yang akan mengalami kesulitan adalah suami-isteri itu.
Namun dalam peperangan yang semakin sengit, kadang-kadang perhatian Ki Waskita lebih tertuju kepada keempat lawannya. Kadang-kadang ia sejenak kehilangan pengamatan diri dan melupakan suami isteri yang ketakutan itu. Namun demikian ia menyadari keadaan, maka ia pun segera menempatkan diri di hadapan kedua orang itu.
Anak Rajawali 1 Pendekar Rajawali Sakti 9 Manusia Bertopeng Hitam Bende Mataram 14
"Ya." "Dan sekarang, aku akan berceritera tentang pusaka yang satu lagi."
"Kanjeng Kiai Pleret?"
"Ya. Kanjeng Kiai Pleret."
Ki Gede Meoereh mengerutkan keningnya. Diluar sadarnya ia bergeser mendekat Ki Waskita, sementara Ki Waskita pun kemudian berceritera pula tentang pusaka yang diduga telah dibawa oleh Kiai Kalasa Sawit yang meninggalkan Padepokan Tambak Wedi dengan tergesa-gesa itu.
Ki Gede Menoreh mendengarkan ceritera itu dengan saksama. Sekaii-sekali ia mengangguk-angguk, namun kemudian wajahnya menjadi tegang.
"Jadi di Tambak Wedi telah terjadi pertempuran yang cukup keras bagi Pajang?" bertanya Ki Gede.
"Ya Ki Gede. Untunglah bahwa Untara mempunyai cara yang tepat untuk menguasai keadaan. Bukan saja Tambak Wedu tetapi sekaligus penjahat-penjahat kecil yang berkelompok di lereng Merapipun agaknya berhasil ditertibkan."
"Apakah Angger Untara mengetahui tentang pusaka yang hilang itu pula?"
"Menurut dugaanku tidak. Tetapi aku tidak tahu dengan pasti, karena Angger Untara mempunyai sejuta mata dan sejuta telinga didaerah Selatan ini. Namun menilik sikap dan tanggapannya terha"dap Tambak Wedi, agaknya Senapati Untara belum mempersoalkan pusaka yang hilang itu."
Ki Argapati mengangguk-angguk.
"Tetapi baik Kiai Gringsing maupun Ki Sumangkar bersepa"kat, bahwa diwaktu yang singkat ini, mereka tidak akan berbuat apa-apa lagi selain mempersiapkan hari-hari perkawinan Angger Swandaru dan Pandan Wangi. Baru setelah hari perkawinan itu lampau, mungkin mereka akan melakukan sesuatu untuk menemu"kan pusaka-pusaka yang hilang itu."
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Hampir diluar sadarnya ia bergumam, "Ternyata hari perkawinan anakku itu ber"samaan waktunya dengan tugas yang sebenarnya sangat penting bagi kedua orang tua itu. Tugas yang langsung menyangkut kelangsungan hidup Mataram dan sudah barang tentu kekuasaan Raden Sutawijaya yang kemudian bergelar Senopati Ing Ngalaga."
"Tetapi bukan berarti bahwa perkawinan itu merupakan ham"batan bagi pecaharian kedua pusaka itu Ki Gede," dengan serta merta Ki Waskita menyahut, "tidak seorangpun yang mengetahui bahwa akan terjadi hal seperti yang dialami oleh Mataram, hi"langnya kedua pusaka itu. Seandainya aku dengan sengaja memu"satkan indera dalam pencaharian isyarat tentang Mataram sekali"pun, aku kira aku tidak akan dapat menemukan kemungkinan se"perti itu."
Ki Argapati mengangguk-angguk. Katanya, "Jika diperlukan, setelah hari-hari perkawinan ini lewat, aku akan membantu sesuai dengan kemampuan yang ada diatas Tanah Perdikan ini, karena yang jelas, songsong itu telah menyentuh Tanah ini dengan langsung."
Ki Waskita mengangguk-angguk pula. Ia memang sudah mendu"ga, bahwa Tanah Perdikan Menoreh tentu tidak akan berkeberatan jika diperlukan bantuan. Apalagi sesudah hari-hari perkawinan. Se"andainya keadaan mendesak, dan saat itu pula Menoreh harus me"nyiapkan sepasukan pengawal pilihan, maka Ki Gede Menoreh ten"tu tidak akan menolak.
Tetapi agaknya Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar baru akan bergerak setelah hari-hari perkawinan Swandaru dengan Pandan Wa"ngi, sehingga Ki Argapati pun harus menyesuaikan dirinya pula de"ngan saat-saat yang sudah ditentukan itu.
"Kecuali jika Raden Sutawijaya mengambil sikap lain setelah ia menerima laporan yang dengan tergesa-gesa disampaikan oleh para pemimpin Mataram," berkata Ki Waskita didalam hatinya pula. Namun agaknya Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga itu pun tidak akan bertindak tergesa-gesa menghadapi ke"kuatan yamg tidak dapat diketahuinya dengan pasti itu.
Demikianlah ketika malam menjadi semakin larut, maka pem-bicaraan mereka pun terputus. Ki Waskita minta diri untuk beristi"rahat. Dan sekaligus ia minta diri pula, bahwa besok pagi-pagi be"nar ia akan meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh.
"Begitu tergesa-gesa?" bertanya Ki Argapati.
"Aku akan menyerahkan Rudita kepada ibunya yang tentu sudah menunggunya dengan gelisah."
"Sesudah itu, apakah tidak ada kemungkinan Rudita dengan diam-diam meninggalkan ibunya?"
"Memang mungkin Ki Gede. Tetapi aku akan mencoba menasehatinya, agar ia menunggui ibunya untuk beberapa lama. Kelak ia harus membawa ibunya kemari untuk ikut membantu memper"siapkan hari perkawinan Pandan Wangi. Setelah itu aku masih mem"punyai kepentingan sedikit, mungkin aku diperlukan untuk membantu menemukan pusaku-pusaka yang hilang itu. Baru kemudian, jika semuanya sudah tenang, aku akan kembali pulang. Barulah Rudita mempunyai banyak kesempatan untuk mengembara meskipun ibunya tentu tidak akan menyetujuinya pula."
Ki Argapati mengangguk-angguk. Katanya, "Siapapun ia, te"tapi anak-anak muda memang mempunyai darah yang menggelegak. Pengembaraan akan merupakan suatu masa yang seolah-olah harus dialami oleh anak-anak muda. Agaknya Angger Rudita yang telah berubah itu pun telah dijalari pula oleh keinginan untuk mendapatkan pengalaman hidup bagi masa tuanya."
Ki Waskita menggelengkan kepalanya. Katanya, "Rudita mem-punyai tanggapan yang lain atas hidup dan kehidupan ini. Ia meng"anggap bahwa manusia disekelilingnya telah diracuni oleh kecuri"gaan, dendam dan kebencian, sehingga tidak ada lagi kedamaian di"dalam hati. Jika ia kemudian ingin mengembara maka ia akan me"neriakkan kepada segenap manusia yang dijumpainya, bahwa mereka harus menanggalkan semua tanggapan yang salah atas sesama"nya. Kedamaian yang sejati tidak akan dapat dibumbui dengan ke"curigaan, dendam dan kebencian dalam bentuk dan ujud apapun juga. Termasuk olah kanuragan."
"Olah kanuragan?" bertanya Ki Gede.
"Ya. Hanya orang yang mencurigai sesamanya sajalah yang merasa perlu untuk memiliki ilmu dalam bentuk kekerasan."
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Desisnya, "Alangkah mulianya. Jika kita bersama-sama dapat mengetrapkan dalam hidup kita sehari-hari, maka sebenarnyalah kita akan mendapatkan kedamaian yang sejati. Tetapi alangkah menyedihkan jika ke"adaan yang demikian itu dimanfaatkan oleh beberapa orang yang justru seolah-olah menemukan penyerahan diri yang pasrah, sehing"ga akan dapat membangunkan kekuasaan yang tidak tergoyahkan.
Ki Waskita tidak menyahut. Tetapi kepalanya terangguk-ang"guk kecil.
"Ah, agaknya pembicaraan kita akan berkepanjangan pula," berkata Ki Argapati kemudian, "silahkanlah, jika Ki Waskita akan beristirahat, karena besok pagi-pagi benar Ki Waskita sudah akan menempuh perjalanan meskipun tidak terlampau panjang se"perti jarak ke Sangkal Putung."
Ki Waskita pun kemudian bergeser dari pendapa dan kembali ke gandok. Ketika ia masuk ke dalam biliknya, dilihatnya Rudita su"dah berada didalam bilik itu pula.
"Kau belum tidur?" bertanya ayahnya.
"Baru saja aku masuk Ayah," jawabnya.
"Darimana?" "Udara sangat panas. Diluar angin malam terasa sejuk sekali."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, "Udara memang terasa agak panas didalam bilik ini Rudita. Tetapi kita harus segera tidur. Malam sudah larut. Besok kita akan meninggalkan rumah ini pagi-pagi benar."
Rudita pun kemudian berbaring dipembaringannya. Agaknya ia kemudian berhasil melepaskan semua angan-angannya, sehingga sejenak kemudian ia pun telah tertidur nyenyak.
Ki Waskitalah yang masih untuk beberapa lama duduk dibibir pembaringannya. Sekali-sekali angan-angannya masih juga meloncat-loncat dari satu soal ke soal yang lain. Saat-saat perkawinan Swandaru yang menjadi semakin dekat, namun masih saja nampak kabut hitam yang seolah-olah menyelubunginya. Kemudian seakan-akan nampak olehnya sepasukan yang merayap dilereng Gunung Me"rapi, membelit lambung, kemudian berhenti di lembah antara Gu"nung Merapi dan Gunung Merbabu.
Ki Waskita mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja ia me"rasa bahwa ada isyarat padanya, bahwa dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu merupakan tempat yang perlu men"dapat perhatian khusus.
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Menurut perhitungan nalarpun agaknya Kiai Kalasa Sawit akan membawa pasukannya ke lembah itu. Namun masih harus dipertimbangkan kemungkinan-ke-mungkinan lain antara pusaka yang dibawa oleh pasukan Kiai Kalasa Sawit dan pusaka yang menyeberangi Kali Praga.
"Pertemuan diantara mereka dapat terjadi dimana-mana," desis Ki Waskita didalam hatinya, "Kiai Kalasa Sawit dapat mem"bawa pusaka beserta pasukannya melingkari Gunung Merapi lewat lembah antara Gunung Merapi dan Merbabu, kemudian sesuai de"ngan pembicaraan sebelumnya, bertemu dengan mereka yang mem"bawa Songsong Kanjeng Kiai Mendung ditempat yang agak jauh dari Mataram, atau sebaliknya, Songsong Kiai Mendunglah yang kemudian dibawa ke lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu."
Ki Waskita menjadi termangu-mangu. Namun baginya lembah antara Gunung Merapi dan Merbabu itu harus mendapat perhatian khusus dari Mataram.
Namun demikian masih harus dipertimbangkan hubungan an"tara Pajang dan Mataram, karena Pajang tentu akan bertindak pula atas Kiai Kalasa Sawit meskipun lepas dari hubungan hilangnya ke"dua pusaka dari Mataram.
"Memang masih banyak kemungkinan yang dapat terjadi," gumamnya kemudian sambil melipat tangannya dan meletakkan kepalanya diatas kedua belah telapak tangannya itu. Dijelujurkannya kakinya lurus-lurus dipembaringannya sambil menatap rusuk-rusuk atap yang dipangkal dan ujungnya sempat diukir meskipun tidak terlalu halus.
Namun Ki Waskita pun kemudian memejamkan matanya pula dan sejenak kemudian ia pun telah tertidur.
Dalam pada itu, ketika Ki Gede Menoreh melangkah didepan pintu bilik anak gadisnya, ia tertegun. Ia mendengar desah nafas yang asing.
Karena itu, maka perlahan-lahan ia mendekati pintu bilik itu sambil memanggil, "Wangi, apakah kau belum tidur?"
Pandan Wangi terkejut. Kegelisahan yang mendekapnya telah dibawanya ke ujung mimpi.
"Wangi," ia mendengar suara itu lagi.
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Suara itu adalah suara ayahnya yang berdiri dimuka pintu.
Perlahan-Iahan ia bangkit dan berjalan menuju ke pintu bilik"nya sambil membenahi pakaiannya.
"Kau gelisah sekali Wangi," desis ayahnya ketika Pandan Wangi membuka pintu biliknya, "apakah kau belum tidur?"
"Aku baru saja mulai tertidur Ayah. Rasa-rasanya aku telah masuk ke dalam mimpi yang gelisah."
Ayahnya tersenyum. Katanya, "Kegelisahan yang wajar seka"li Wangi. Tetapi kau tidak akan menunggu terlalu lama. Akan sege"ra datang saatnya, kau terlepas dari kegelisahan semacam itu."
Pandan Wangi menarik nafas panjang. Kepalanyapun kemudian tertunduk dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab.
"Tidurlah. Mudah-mudahan kau tidak selalu dicengkam oleh kegelisahan yang dapat membuatmu resah terutama, dimalam hari. Percayalah kepada Yang Maha Kuasa bahwa semuanya akan dapat berlangsung dengan baik dan selamat."
"Ya Ayah," jawab Pandan Wangi.
"Tidurlah." Ki Argapati pun kemudian meninggalkan anaknya yang gelisah. Tetapi nampak sebuah senyum dibibirnya. Seolah-olah Ki Argapati justru menganggap bahwa kegelisahan itu adalah gejala yang wajar dari seorang gadis yang mendekati hari-hari perkawinannya.
Sepeninggal ayahnya. Pandan Wangi kembali ke pembaringannya setelah ia menutup pintu biliknya. Direbahkannya tubuhnya sambil berdesah.
Tetapi ia bertekad untuk mengendapkan semua gejolak didalam hatinya dan seperti pesan ayahnya, ia tidak ingin diresahkan oleh angan-angannya.
"Tetapi Ayah tidak mengetahui perasaanku," tiba-tiba ia berdesis didalam hatinya.
Ki Argapati ternyata langsung pergi ke biliknya pula. Tetapi ia pun tidak segera dapat tidur. Ia masih juga membayangkan bahwa pada suatu saat anaknya yang seorang itu akan bertambah dengan seorang lagi. Tentu suami Pandan Wangi adalah sama dengan anak"nya pula yang akan dapat membantunya kelak membina Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan kelak, jika sampai saatnya ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi bagi Tanah Perdikan ini, ada orang lain yang akan melanjutkannya disamping anak perempuannya.
Namun tiba-tiba Ki Argapati mengerutkan keningnya. Swan"daru adalah anak seorang Demang. Dan ia adalah anak laki-laki satu-satunya.
"Apkah Swandaru dapat diharapkan untuk melanjutkan pembinaannya atas Tanah Perdikan Menoreh" Apakah Swandaru akan dapat melepaskan kuwajibannya sebagai seorang anak laki-laki seorang Demang di Sangkal Putung yang mempunyai kuwajiban ter"tentu pula atas daerah Kademangannya?" pertanyaan itu agak"nya mulai merayapi hati Ki Gede Menoreh.
Tetapi Ki Gede Menoreh kemudian menarik nafas dalam-da"lam sambil berdesah, "Ki Demang Sangkal Putung mempunyai anak yang lain, meskipun ia seorang perempuan. Tetapi apabila benar, kelak adik perempuan Swandaru itu kawin dengan Agung Sedayu, maka dapat diharapkan Agung Sedayu akan dapat membantu memimpin Kademangan Sangkal Putung, yang menurut keterang"an yang aku dengar betapa suburnya, namun tidak seluas Tanah Perdikan Menoreh."
Namun demikian terbersit juga pengakuan didalam hatinya, "Mungkin aku adalah orang yang mementingkan diri sendiri."
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk me-lupakan masalah-masalah yang masih merupakan kemungkinan-kemungkinan bagi masa mendatang itu.
"Aku tidak boleh dihantui oleh persoalan-persoalan yang masih jauh berada dihari mendatang," katanya didalam hati.
Demikianlah maka akhirnya rumah Ki Gede Menoreh itu pun menjadi semakin sepi. Satu-satu mereka jatuh tertidur dengan kegelisahan yang berbeda-beda.
Menjelang fajar, maka halaman rumah itu telah mulai ramai kembali. Beberapa orang telah terbangun untuk membersihkan ha"laman, dan mengisi jambaugan. Didapurpun telah nampak api yang menyala diperapian. Sedang gerit sapu lidi, rasa-rasanya telah mem"bawakan irama tersendiri.
Ki Waskita dan Rudita pun telah terbangun pula. Setelah mem-bersihkan diri dan menunaikan kuwajiban mereka dalam perseku"tuan mereka dengan Tuhannya, maka mereka pun segera turun ke halaman pula.
Betapa segarnya udara pagi hari di Tanah Perdikan Menoreh. Langit yang kelabu kemerah-merahan oleh sorot matahari yang ma"sih belum naik ke cakrawala, semakin lama menjadi semakin cerah.
"Kita akan segera meneruskan perjalanan Rudita," berkata ayahnya.
"Ya Ayah. Tetapi bukankah kita akan minta diri lebih dahulu kepada Ki Gede?"
"Tentu Rudita. Kita akan menunggu sampai Ki Gede bangun. Mungkin Ki Gede semalam tidak segera tidur, sehingga agak ter"lambat bangun."
Tetapi sebelum Rudita menjawab, ternyata Ki Gede Menoreh pun telah muncul dari pintu pringgitan. Sambil tersenyum ia berka-ta, "Marilah Ki Waskita, silahkan naik ke pendapa bersama Rudita."
Keduanyapun kemudian naik ke pendapa dan duduk diatas ti"kar pandan putih bergaris-garis biru, yang sejenak kemudian men"dapat hidangan minuman panas dan beberapa potong jadah yang telah dipanggang diatas api.
Setelah makan dan minum sekedarnya, maka Ki Waskita pun mengulanginya lagi, minta diri kepada Ki Argapati dan Pandan Wa"ngi yang kemudian ikut duduk pula bersama mereka.
"Tetapi Ki Waskita kami harap segera kembali," berkata Ki Argapati. Dan seperti yang diduganya, Ki Argapati kemudian berkata, "sebenarnya aku merasa tersendiri disini. Memang ada orang-orang tua dan para bebahu. Tetapi kadang-kadang mereka, le"bih condong kepada persoalan-persoalan yang terlampau rumit bagi saat-saat perkawinan itu sendiri. Meskipun satu dua ada juga yang dapat aku percaya untuk memperbincangkan masalah-masalah yang lebih luas dalam hubungannya dengan keadaan disekitar Tanah Perdikan ini, namun didalam persoalan yang lebih mendalam, aku masih harus mempertimbangkan banyak hal. Terutama jika aku ber"bicara tentang pusaka-pusaka yang hilang dari Mataram dan keten"teraman Tanah Perdikan ini. Pada saat-saat yang lain aku dapat berbincang dengan Pandan Wangi. Tetapi saat ini Pandan Wangi su"dah tidak dapat diajak berbicara tentang apapun lagi kecuali ten"tang dirinya sendiri."
"Ah," wajah Pandan Wangi menjadi kemeran-merahan.
Dan sambil tersenyum Ki Argapati berkata, "Tetapi bukankah itu wajar Ki Waskita?"
"Ya," jawab Ki Waskita sambil tersenyum pula, "itu memang wajar sekali."
Wajah Pandan Wangi yang tunduk menjadi semakin tunduk. Tetapi ia tidak menyahut.
"Ki Gede," berkata Ki Waskita kemudian, "mudah-mudahan aku akan dapat datang mendahului isteriku. Biarlah Rudita mengawani ibunya dirumah dan kelak menyusul aku kemari atau aku akan menjemputnya pada waktunya."
"Terima kasih Ki Waskita. Kehadiran Ki Waskita disini akan dapat menambah hangatnya rumah ini. Karena menjelang hari-hari perkawinan aku tidak hanya akan berbicara tentang pengantin dan segala macam upacaranya, tetapi aku juga harus berbicara tentang keamanan diseluruh Tanah Perdikan ini. Jika kami semuanya teng"gelam dalam kesibukan hari-hari perkawinan tanpa menghiraukan keadaan Tanah ini dalam keseluruhan, aku cemas, bahwa ada sego"longan orang yang memanfaatkan keadaan ini untuk mendapatkan keuntungan dengan cara yang tidak sewajarnya. Terlebih-lebih lagi seperti yang dikatakan oleh Ki Waskita, bahwa kedua pusaka yang hilang dari Mataram itu mungkin akan dipertemukan. Apakah itu dilembah antara Gunung Merapi dan Merbabu atau diatas Tanah Perdikan ini, masih belum jelas. Namun untuk menghadapi segala kemungkinan kita akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya."
"Tetapi pusat perhatian Ki Gede memang harus tertuju kepada hari-hari perkawinan Pandan Wangi," berkata Ki Waskita. Sekilas ia melihat Rudita sudah beringsut. Karena itu ia harus men"dahuluinya agar anak itu tidak terlanjur membuat persoalan dengan Ki Argapati, "mudah-mudahan semuanya dapat berlangsung dengan lancar. Aku berjanji, jika tidak ada aral melintang, untuk segera kembali setelah menyerahkan Rudita kepada ibunya."
Rudita menarik nafas dalam-dalam. Sedangkan Ki Argapati menjawab, "Terima kasih Ki Waskita. Aku sangat mengharap kehadiran Ki Waskita. Di Sangkal Putung agaknya sudah ada Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar yang mendampingi Ki Demang. Dan Ki Waskitalah yang aku harapkan sekali membantu aku disini."
"Aku akan berusaha Ki Gede, meskipun agaknya aku hanya akan menambah jumlah penghuni saja disini."
Ki Argapati tertawa. Sekilas ia berpaling kepada Pandan Wangi yang masih menundukkan kepalanya. Lalu katanya, "Teruna ka"sih. Penghuni rumah ini agaknya memang harus bertambah."
Demikianlah Ki Waskita pun segera minta diri dan meninggal"kan rumah itu bersama Rudita. Ki Argapati, Pandan Wangi dan be"berapa orang yang lain melepaskan mereka sampai ke regol halaman.
Rudita yang sudah ada dipunggung kudanya masih juga dapat berkelakar, "Pandan Wangi, aku sekarang tidak akan dapat me"ngajakmu berburu lagi."
Pandan Wangi tersenyum. "Tetapi aku sekarang menjadi semakin ketakutan melihat binatang-binatang buruan. Bukan saat-saat ia masih berlari-larian di hutan. Tetapi justru pada saat-saat anak panah para pemburu me"nusuk tubuhnya. Bukankah setelah hari perkawinanmu kau juga tidak akan berburu lagi?"
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab sambil tersenyum pula, "Ya Rudita. Aku tidak akan berburu lagi."
"Disegala medan?"
Pandan Wangi kurang mengerti maksudnya. Tetapi ia mengang-guk, "Ya, disegala medan."
Rudita tertawa. Ditundukkannya kepalanya dalam-dalam sam"bil minta diri kepada Ki Gede, "Aku mohon diri Paman."
Ki Argapati tertawa pula. Ia melihat sesuatu yang jauh berbe"da pada pancaran sinar mata Rudita. Ia bukan lagi seorang penakut. Ia adalah seorang yang justru telah menemukan dasar pandangan hidup yang kokoh dan telah diperjuangkannya dengan berani.
Kedua orang ayah beranak itu pun kemudian meninggalkan padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Mereka menyelusuri bu"lak-bulak panjang diantara sawah yang hijau subur. Dikejauhan nampak pegunungan yang kebiru-biruan dicerahnya sinar matahari pagi, bagaikan dinding yang memanjang membujur ke Utara.
"Ayah," tiba-tiba saja Rudita berkata, "sebenarnya aku ingin menahan hati. Tetapi rasa-rasanya dadaku menjadi semakin penuh. Aku tahu, bahwa jalan pikiranku tidak sesuai. Tetapi aku ber"harap bahwa Ayah dapat mengerti dan menganggap yang aku kata"kan ini tidak pernah terucapkan."
"Ah," Ki Waskita berdesah, "aku tidak menganggap demikian Rudita. Yang aku katakan adalah pandangan tata kehidupan yang paling baik."
"Tetapi Ayah selalu memisahkan aku dari orang-orang yang mungkin dapat aku ajak berbicara tentang hal itu."
"Bukan maksudku demikian Rudita. Aku hanya ingin kau dapat menyesuaikan dirimu. Kau harus dapat memperhitungkan waktu dan tempat yang paling tepat untuk menyatakan sikapmu ter"hadap tata kehidupan dan peradaban masa kini."
"Waktu yang paling tepat adalah saat-saat seseorang menya"takan sikapnya yang keliru itu Ayah."
"Tetapi pada saat-saat demikian, biasanya mereka tidak mau mendengarkan pendapat orang lain. Mereka lebih banyak mende"ngar kata hati mereka sendiri."
Rudita mangangguk-angguk. Namun kemudian, "Ayah, apakah sudah seharusnya Ki Argapati menjadi demikian ketakutan menghadapi saat-saat perkawinan anaknya" Itulah gambaran se"seorang yang memiliki prasangka yang tidak terkendali. Dan dima"na-mana aku menjumpai orang semacam itu. Di Cangkring, di Jati Anom, di Sangkal Putung dan di Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan pada Ayah sendiri. Prasangka dan curiga itulah sebenarnya pangkal dari kesulitan yang mereka alami. Perasaan mereka tidak pernah menjadi sejuk dan tenang. Setiap saat mereka menganggap dirinya dimusuhi oleh sesamanya."
Ki Waskita tidak membantah, itu adalah sikap dan pandangan hidup Rudita. Bahkan ia berkata, "Agaknya kau benar Rudita."
"Sebenarnya orang-orang seperti Ki Argapati, Ki Demang Sangkal Putung, apalagi Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar, akan da"pat menjadi lantaran yang baik sekali untuk melenyapkan segala prasangka. Kata-kata mereka dipercaya dan hampir tidak pernah mendapat pengamatan apapun juga dalam penerimaan dihati orang itu. Hampir setiap kata-kata mereka dianggap benar dan harus di"turut. Tetapi sayang, bahwa mereka justru telah menyebarkan pera"saan saling mencurigai dan prasangka," ia berhenti sejenak, lalu, "dan bagaimana dengan Ayah sendiri."
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam.
"Ayah mempunyai kelebihan dari orang lain. Sejak aku masih kanak-kanak, aku selalu melihat beberapa orang datang kepada Ayah untuk bertanya tentang masa depan mereka. Dapatkah Ayah mengatakan kepada mereka, bahwa masa depan yang paling baik adalah ketenangan dan kedamaian dihati?"
Ki Waskita mengangguk. Katanya, "Tentu saja aku dapat Rudita. Tetapi aku tidak dapat membohongi mereka jika aku melihat isyarat tertentu. Aku tidak dapat melepaskan diri dari kenyataan dari susunan peradaban manusia sekarang ini, dimana kekerasan masih terjadi disegala sudut Tanah ini."
"Kitalah yang membuat kenyataan bagi kita sendiri," jawab Rudita.
Ki Waskita memandang anaknya sejenak, ia melihat sorot ma"ta yang bagaikan menyala diwajah anaknya.
"Ia sudah meyakininya," berkata Ki Waskita didalam hatinya. "Tetapi ia justru akan selalu kecewa dan bahkan mungkin akan terasing dari pergaulan hidup sesama. Tetapi dunia didalam angan-angannya adalah dunia yang paling baik yang dapat digam"barkan oleh manusia."
Dengan demikian Ki Waskita justru menjadi diam. Bahkan seakan-akan ia melihat, betapa Rudita seolah-olah berjalan sendiri ke arah yang berlawanan dengan arus manusia yang tidak terbendung.
"Tetapi kebenaran yang sejati dalam sikap hidup bukannya yang paling banyak dianut," berkata Ki Waskita didalam hatinya. Sekilas teringat olehnya, kata-kata yang pernah didengarnya, bahwa jalan kebaikan itu terlalu lengang karena rumpil dan sempit, sedangkan jalan kemaksiatan itu menjadi ramai dan cerah karena nampak licin dan rata. Tetapi ujung jalan itu akan menentukan apakah se"seorang akan menyesal atau bersyukur atas pilihantnya. Sedangkan siapa yang telah sampai diujung jalan, tidak akan ada kesempatan untuk kembali dan berubah arah.
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Yang melonjak didalam hatinya itu bukannya pengertian yang baru kemarin didengarnya. Tetapi sudah lama, dan bukan hanya satu dua orang sajalah yang pernah mengatakan. Tetapi banyak orang. Namun meskipun seseorang mengerti maksud dari ceritera itu, jarang sekali orang yang dapat memaksa dirinya untuk memilih jalan kebaikan yang sejati, karena justru kelemahan hati manusia yang mendambakan sifat lahiriah semata-mata.
Ki Waskita terkejut ketika ia mendengar seorang anak yang berteriak mengusir burung disawah. Ketika ia berpaling dan memandang bulir-bulir padi yang menguning, nampak sekelompok bu"rung gelatik yang terbang berputaran. Namun kemudian tersentak oleh teriakan anak itu, dan terbang berarak ke arah yang lain.
Tetapi disetiap pematang dan disetiap gardu, anak-anak berlari-larian dengan goprak ditangannya dan tali-tali penarik hantu-hantu"an disawah, sehingga burung-burung yang mengawan diudara itu bagaikan hanyut dibawa oleh arus angin yang berputar melingkar-lingkar dan kadang-kadang hilang ke arah yang jauh.
Demikianlah maka keduanyapun kemudian melanjutkan perja"lanan dengan lebih banyak berbicara dengan dirinya sendiri dari pa"da yang satu dengan yang lain. Hanya kadang-kadang saja Rudita menyebut sesuatu yang dilihatnya dan Ki Waskita menganggukkan kepala sambil mengiakannya. Namun kemudian keduanyapun kem"bali berdiam diri.
Setiap saat Rudita merasa bahwa seolah-olah jarak antara di"rinya dengan ayahnya itu menjadi semakin jauh. Banyak persoalan yang tidak sesuai dalam pembicaraan.
Namun sebenarnyalah Rudita pun merasa, bahwa ia menjadi semakin jauh bukan saja dari ayahnya, tetapi juga dari orang-orang yang pernah dikenalnya dengan akrab. Seolah-olah orang-orang itu pun hanyut seorang demi seorang ke dalam arus air banjir dan ti"dak dapat dicegahnya lagi.
Rudita menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja hatinya men"jadi iba terhadap sesamanya. Ia menjadi semakin kasihan melihat tingkah laku manusia yang cenderung untuk merusak lingkungan diri sendiri dengan cara yang paling mengerikan. Jauh lebih menge"rikan dari sikap dan perbuatan seekor binatang yang paling buas. Tidak seekor binatangpun yang dengan sadar dan sengaja menya"kiti dan menyiksa sesamanya. Tetapi manusia telah melakukannya. Justru kadang-kadang diri mereka sendiri telah mereka siksa dengan berbagai macam keinginan yang ketamakan.
Perjalanan keduanya tidak mengalami gangguan apapun diperjalanan. Tidak ada penyamun dan perampok. Mereka menempuh perjalanan di bulak-bulak panjang yang pernah menjadi daerah jelajah perampok-perampok dan penyamun-penyamun kecil. Tetapi mereka juga melalui hutan-hutan yang masih agak lebat, yang men"jadi daerah perburuan dari perampok-perampok yang menakutkan karena namanya yang telah dikenal oleh hampir setiap orang.
Meskipun demikian, Ki Waskita kadang-kadang menjadi ber"debar-debar juga. Jika sekiranya mereka berdua bertemu dengan orang-orang jahat yang manapun juga, maka Rudita tentu akan ber"sikap lain dari kebiasaan orang lain. Bukan karena Ki Waskita ti"dak sanggup lagi bertempur melawan mereka, tetapi tentu Rudita akan menghalanginya dan seperti sikapnya pada saat-saat mereka bersama Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar bertemu dengan orang-orang Kiai Kalasa Sawit diperjalanan dari Jali Anom ke Sangkal Putung.
"Saat itu ada Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. Tanpa mereka maka aku akan bertengkar sendiri dengan Rudita," berkata Ki Waskita didalam hatinya.
Tetapi perjalanan mereka ternyata selamat tanpa kesulitan apa"pun. Semakin lama mereka menjadi semakin dekat dengan rumah mereka.
Terasa titik-titik kerinduan mengembun dihati Rudita. Bagai-manapun juga ia merasa telah meninggalkan ibunya untuk waktu yang lama dengan sikap dan perbuatan yang barangkali telah mem"buat ibunya cemas selama ini.
Ketika mereka memasuki padukuhannya, maka Rudita menarik nafas dalam-dalam, saolah-olah ia ingin menghirup udara padu"kuhannya sebanyak-banyaknya. Udara yang serasa lebih segar dari udara disepanjang perjalanannya, apalagi dilereng Gunung Merapi yang telah memberikan pengalaman-pengalaman baru didalam hi"dupnya.
Ketika kuda-kuda mereka telah melintas disepanjang jalan yang langsung menuju ke regol halamannya, maka rasa-rasanya Rudita ingin berpacu lebih cepat lagi, agar ia segera dapat sampai dirumahnya dan bertemu dengan ibunya yang telah menunggunya sedemikian lama.
Seperti yang diduga oleh Ki Waskita, maka kegelisahan isterinya hampir tidak tertahankan lagi. Kepergian Ki Waskita yang sudah cukup lama itu rasa-rasanya telah menghilangkan harapannya
Karena itu, ketika Ki Waskita pulang membawa anaknya, jantung Nyi Waskita serasa akan pecah oleh kegembiraan yang me"ledak. Anaknya yang sudah disangkanya hilang itu tiba-tiba kini kembali kepadanya.
Ketika Nyi Waskita mendengar derap kuda memasuki halaman rumahnya, dengan tergesa-gesa ia berlari-lari keluar. Seolah-olah ada firasat padanya, bahwa yang datang itu adalah anaknya yang hilang.
Ternyata firasat itu benar. Yang datang adalah Ki Waskita yang membawa Rudita.
Dengan berlari-lari ia menyongsong anaknya. Demikian Rudita meloncat turun dari kuda, maka anak laki-laki yang sudah menjadi dewasa itu dipeluknya dengan air mata yang meleleh dipipinya yang mulai dibayangi oleh garis-garis umur.
Rasa-rasanya mata Rudita pun menjadi panas. Tetapi ia justru mencoba tersenyum sambil berkata, "Maaf Ibu. Barangkali aku telah membuat Ibu gelisah."
"Aku hampir mati karena hatiku yang pedih Rudita," berkata ibunya.
"Seharusnya Ibu tidak usah terlalu memikirkan aku."
"Itu adalah pikiran anak-anak. Tetapi tidak dapat terjadi pada seorang ibu. Seorang yang telah melahirkanmu dengan mempertaruhkan nyawanya. He, kau tahu bahwa seorang ibu melahirkan dengan mempertaruhkan nyawanya" Seseorang yang,bertempur dimedan perang dianggap sebagai pejuang-pejuang yang pantas mendapat kehormatan tertinggi karena ia telah berjuang dengan mem"pertaruhkan nyawanya. Nah, apa katamu tentang seorang ibu?"
Rudita memandang ibunya sejenak. Lalu sambil tersenyum ia berkata, "Seorang ibu adalah seorang pahlawan yang menjadi pe"rantara hadirnya seseorang dimuka bumi Ibu. Dan Ibu adalah salah seorang dari pahlawan itu."
"O," Nyi Waskita memeluk anaknya semakin erat.
"Tetapi seharusnya Ibu tidak usah mencemaskan aku. Aku akan berusaha dangan sungguh-sungguh untuk pada suatu saat kembali lagi kepada Ibu."
"Tetapi jika kau gagal?" desis ibunya.
Rudita tersenyum. Sambil memandang ayahnya ia berkata, "Ada yang kurang Ibu pahami. Yang akan berlaku tetap akan berla"ku. Apapun yang kita usahakan, namun keputusan terakhir tidak ada pada kekuasaan kita. Apalagi tentang nasib seseorang, Ibu. Ke"selamatan kita masing-masing ada ditangan Yang Maha Kuasa. Kepada"nya kita harus pasrah diri."
"O," perlahan-lahan anaknya itu dilepaskan. Sambil menatap wajahnya yang dimata ibunya masih tetap kekanak-kanakan ia berkala perlahan-lahan, "Anakku. Aku tidak dapat melepaskan diri dari perasaan cemas itu. Seandainya aku dapat memahami kata-kata"mu tentang nasib yang tergores sepanjang keharusan akan terjadi dalam jalur hidupmu, namun aku ingin kau tetap berada didekatku. Kau adalah milikku yang paling berharga."
Rudita masih akan menjawab. Tetapi ayahnya telah mendahuluinya, "Nyai, biarlah kami membasuh kaki, naik ke rumah dan minum minuman hangat."
"O," desis Nyi Waskita, "silahkanlah Kakang."
Ki Waskita pun kemudian pergi ke jambangan disudut rumah"nya untuk membasuh kakinya. Kemudian Rudita pun berbuat serupa sebelum ia mengikuti ayahnya masuk ke dalam rumahnya.
Nyi Waskita nampak menjadi lebih cerah, betapapun juga ia kurang memahami jalan pikiran anaknya. Ia memang melihat kelainan pada anaknya itu, sejak ia belum meninggalkan rumahnya. Dan agaknya ia masih belum dapat mengerti, perubahan apakah yang telah terjadi didalam diri anaknya itu.
Tetapi menghadapi ibunya, ternyata Rudita bersikap lain. Ia masih selalu menahan diri jika rasa-rasanya ada sesuatu yang sudah tergerak dihatinya. Agaknya ia masih berusaha untuk tidak mem"berikan kesan yang kurang baik pada pertemuannya dengan ibunya setelah beberapa lama berpisah, dan bahkan seolah-olah ibunya te"lah merasa kehilangan.
"Aku sudah menyiapkan beberapa orang untuk mencarimu," berkata ibunya, "aku menjadi semakin cemas karena justru ayah"mu tidak segera kembali bersamamu."
"Beberapa orang?" bertanya Rudita.
"Ya. Aku menyewa orang-orang yang paling disegani di padukuhan ini. Aku menyanggupi untuk memberikan upah yang sepa"dan jika mereka berhasil menemukan kau dalam keadaan apapun juga. Aku menyuruh mereka bersiap-siap. Jika akhir bulan ini, mendekati saat pekawinan Swandaru tiba kau masih belum diketemukan, maka mereka akan berangkat mencarimu."
Rudita menarik nafas panjang. Tetapi sebelum ia menjawab ayahnyalah yang mendahuluinya, justru sambil tersenyum, "Siapa sajakah yang akan kau upah untuk mencari Rudita?"
"Jliteng dan empat orang yang akan ditunjuknya."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak segera menja"wab. Sejenak ia membayangkan seorang laki-laki yang kulitnya ke"hitam-hitaman, berkumis tebal dan berdahi sempit. Dipudukuhan itu, ia memang mempunyai kelebihan dari kawan-kawannya. Tetapi Jika ada suatu saat ia bertemu dengan orang-orang yang berada di Tambak Wedi, atau sebut saja Ki Raga Tunggal, maka Jliteng akan menyesal bahwa ia telah menerima tawaran itu.
"Untunglah bahwa semuanya belum terlanjur," berkata Ki Waskita didalam hatinya.
Sementara itu didapur, pembantu-pembantu Nyai Waskita sibuk menyiapkan minuman dan makan bagi Ki Waskita dan Rudita.
Namun dalam pada itu, mereka pun tidak habis-habisnya mem-perbincangkan kehadiran anak satu-satunya Ki dan Nyai Waskita yang sudah sekian lama meninggalkan rumahnya.
Setelah minum seteguk minuman panas, Ki Waskita pun segera pergi ke biliknya untuk melepaskan baju dan ikat kepalanya. Rasa"nya badannya menjadi tebal oleh debu yang melekat. Karena itu maka ia pun kemudian segera pergi ke pakiwan untuk mandi.
Demikianlah suasana rumah itu pun rasa-rasanya telah menjadi hidup kembali. Nyai Waskita menjadi sibuk untuk menyediakan apa saja yang dapat menyenangkan hati anaknya, sementara anaknyapun kemudian mandi pula setelah Ki Waskita.
"Nyai," berkata Ki Waskita kemudian kepada isterinya, "sekarang kau harus bersikap lain terhadap Rudita. Ia kini telah benar-benar menjadi dewasa. Ia tidak perlu kau layani seperti pada masa kanak-kanaknya."
Nyai Waskita termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, "Apa maksudmu Kakang?"
"Berlakulah seperti kau memperlakukan seorang anak muda yang sudah dewasa."
"Aku tidak mengerti. Aku bersikap seperti biasa terhadap anakku."
"Nyai," suara Ki Waskita menjadi datar, "aku tahu dan mengerti bahwa Rudita adalah satu-satunya anak kita. Karena itu aku dan terlebih-lebih kau, ibunya, sering memanjakannya. Kita se"olah-olah masih saja melayani seorang anak yang baru tumbuh menjadi remaja."
"Apa salahnya Kakang. Ia adalah satu-satunya anak kita," jawab Nyi Waskita, "dan bukankah sudah sewajarnya jika aku ibunya, sekali-sekali menunggui ia makan. Menyenduk nasi ke dalam mangkuknya dan menyelimutinya jika ia tidur."
"Memang Nyai. Itu adalah wajar sekali. Tetapi Rudita sekarang tidak menghendakinya lagi.Kau harus mengerti, bahwa ada perubahan didalam dirinya. Jika dahulu ia merajuk jika kau tidak menungguinya makan dan kadang-kadang kau masih harus me"nungguinya dipembaringannya sambil memijit kakinya, maka seka"rang ia minta diperlakukan lain."
"Aku sungguh-sungguh tidak mengerti."
"Sekarang kau harus membiarkannya berbuat sesuatu dengan keinginannya. Kau memang seharusnya menungguinya makan, te"tapi biarkan ia menentukan sendiri, apakah yang akan dimakannya diantara segala macam yang kau hidangkan. Biarlah ia dimalam ha"ri masuk sendiri ke dalam biliknya dan menutup pintu dari dalam."
"Aku tidak sampai hati membiarkan ia berbuat semuanya untuk dirinya sendiri."
"Bahkan biarlah ia menimba air dan mengisi jambangan. Mencuci pakaiannya sendiri jika itu dikehendaki. Ia benar-benar ingin menjadi dewasa, lahir dan batin."
Nyai Waskita menjadi bingung. Ia tidak mengerti maksud suaminya. Sejak dahulu ia sering menunjukkan sifat-sifat yang anen. Kadang-kadang Ki Waskita menghendaki Rudita berbuat jauh lebih banyak dari yang dikehendakinya. Ki Waskita sering melarangnya berbuat sesuatu untuk anaknya. Bahkan kadang-kadang menunjuk"kan sikap yang keras.
Dan kini, baru saja anak itu kembali, Ki Waskita sudah bersikap asing atas anaknya.
"Kakang," berkata Nyai Waskita kemudian, "agaknya kau masih marah kepada anakmu. Tetapi sebaiknya kau tidak bersikap terlalu keras terhadapnya. Ia tentu akan lari lagi dari rumah ini jika ia melihat wajahmu yang buram menghadapinya dan apalagi jika ia tahu, bahwa kau melarang aku berbuat sesuatu untuknya, ia akan bertambah kecewa. Bukankah kita masih harus membujuknya agar ia tidak lagi ingin pergi dari rumah ini?"
"Pendapatmu keliru Nyai. Ia menjadi jemu dengan keadaannya sendiri. Di beberapa tempat yang lain, ketika ia mulai bergaul dan melihat-lihat suasana yang lain dari rumah ini, ia mulai me"ngerti bahwa cara hidupnya adalah aneh. Sampai ia menginjak usia remaja, ia tidak pernah mengerti, apakah yang harus dilakukan oleh seorang laki-laki. Baru kemudian ia mengenal dirinya sendiri setelah ia melihat beberapa perbandingan. Dirumah ini ia selalu dimanja"kan. Semua keinginannya tidak pernah gagal. Semua perintahnya dilakukan dengan tertib. Jika kau melarangnya berbuat sesuatu, ia tinggal mempergunakan senjata pamungkasnya, merengek," ia berhenti sejenak, lalu, "tetapi agaknya ia kini telah berubah. Ia adalah seorang laki-laki. Bahkan seorang laki-laki yang memiliki kelebihan sifat rohaniah dari laki-laki yang manapun juga yang pernah kita kenal."
"Kau menghendaki terlampau banyak dari anak kita," berkata Nyai Waskita, "biarlah ia berbuat sesuai dengan kemampuan dan kemauannya."
"Ia pergi karena ia tidak menemukan yang dicarinya dirumah ini. Ia ingin orang lain menganggapnya sudah dewasa dan memper"lakukannya demikian. Jika kau masih tetap memperlakukannya se"perti kanak-kanak, maka ia akan mencari kesempatan ditempat lain untuk mengalami masa menjelang usia dewasanya. Ia lebih senang mendapatkan tantangan rohaniah dan jasmaniah sesuai dengan per"kembangan kedewasaannya. Jika kau dapat berbuat demikian, maka ia akan kerasan tinggal dirumah."
Nyai Waskita menjadi semakin bingung. Namun ketika kemu"dian terdengar derit pintu dan Rudita melangkah masuk dari pakiwan setelah mandi, maka Ki Waskita pun berkata, "Berpakaianlah. Kita akan makan lebih dahulu."
"Baik Ayah," jawab Rudita yang kemudian masuk ke dalam biliknya.
Kedua orang tuanya menarik nafas. Rasa-rasanya Nyai Waski"ta memang melihat hal yang lain pada anaknya. Tetapi kelainan itu lebih banyak dicari artinya pada unsur jasmaniahnya.
Ibu Rudila menduga, bahwa karena Rudita telah mengembara menyusuri daerah yang sulit bagi hidupnya, maka ia telah menjadi bertambah kurus dan kehitam-hitaman. Karena kesan perjalanannya yang sulit itu agaknya telah membuatnya agak pendiam.
"Nyai," tetapi Ki Waskita berkata kemudian, "lihatlah. Tatapan matanya menunjukkan betapa jiwanya menjadi semakin masak. Ciri kedewasaannya nampak pada sikapnya yang ingin berdiri sendiri. Ingin menentukan baik dan buruk dan memilih dengan penuh tanggung jawab. Dan agaknya dari segi rohaniah ia memang sudah menentukan pilihan sikap dan batasan-batasan tentang hidup kejiwaan seseorang. Meskipun sukar dimengerti, tetapi ia telah me"nemukan yang paling baik dengan penuh tanggung jawab."
"Tetapi aku adalah seorang ibu," berkata Nyai Waskita, "aku memandikannya sejak ia masih merah. Menyusui dan menyu"apinya setiap saat. Apakah setelah ia disebut dewasa, aku telah ke"hilangan segala hakku atasnya?"
"Bukan begitu Nyai. Kau masih tetap ibunya. Tetapi cobalah menganggapnya sebagai suatu pribadi yang dewasa dengan segala ciri-cirinya."
Nyai Waskita menggelengkan kepalanya, "Aku tidak menger"ti. Apakah ia lebih senang hidup dalam kesulitan, memelihara diri sendiri, mengambil air, mencuci pakaian dan sebagainya daripada hidup seperti yang pernah dialaminya dirumah ini."
"Ternyata ia telah meninggalkan rumah ini Nyai."
"Aku mempunyai dugaan lain. Meskipun aku yakin, tentu kau berbeda pendapat. Itulah sebabnya aku tidak pernah mengatakannya."
"Katakanlah. Mungkin kau benar."
"Ia menjadi sangat kecewa bahwa Pandan Wangi benar-benar akan segera kawin dengan orang lain. Dengan anak Demang dari Sangkal Putung itu. Apalagi Kakang, ayahnya sendiri, agaknya justru telah membantu pelaksanaan perkawinan itu sebaik-baiknya."
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi sulit me-nanggapinya. Jika ia mengatakan sesuai dengan pengertiannya ten"tang hal itu, maka isterinya akan berkata, "Sejak semula aku sudah tahu, bahwa kau akan menolak pikairanku itu. Tetapi agaknya seorang ayah benar-benar tidak dapat menyelami perasaan anak"nya sendiri."
Karena itulah maka Ki Waskita sejenak termangu-mangu. Ba"ru kemudian ia berkata, "Aku telah mencoba menyelami tanggapan Rudita atas perkawinan itu. Bahkan ia sempat bertemu baik dengan Swandaru maupun dengan Pandan Wangi. Sama sekali tidak terkesan kekecewaan itu padanya menurut pengamatanku."
Istrinya tidak menyahut. Tetapi dengan wajah yang buram ia pun kemudian melangkah sambil berkata, "Aku memang terlam"pau bodon untuk mengerti. Tetapi baiklah, jika aku memang harus melepaskan segala ujud kecintaanku kepada anakku, dan bahkan te"lah dianggap menyebabkan kepergiannya dari rumah ini."
"Kau salah mengerti Nyai."
"Aku tidak akan melarangnya lagi. Juga apabila ia akan meninggalkan aku"
"Tidak, ia tidak akan pergi lagi dari rumah ini."
Nyai Waskita pun kemudian meninggalkan ruang itu masuk ke dalam biliknya Setitik air mata telah meleleh dipipinya. Dengan ujung kembennya ia mengusapnya saat ia duduk dibibir pemba"ringannya.
Rasa-rasanya hatinya menjadi pepat. Ia tidak mengerti, kenapa hidup kekeluargaannya berkembang tanpa dapat dimengertinya. Satu-satunya anaknya telah menumbuhkan persoalan yang paling ru"mit didalam hatinya. Malah nampaknya ia tidak akan mampu lagi mengendalikannya.
Pada hari yang pertama, ibunya memang telah melihat perbe"daan sikap dan tingkah laku pada Rudita. Tetapi pembicaraannya dengan suaminya telah mempersiapkan tanggapan hatinya tanpa di"sadarinya.
Dengan heran ia melihat Rudita mengatur ruang tidurnya me"nurut seleranya setelah sekian lamanya tidak pernah dipergunakannya. Tanpa seorangpun yang menyuruhnya, ia ikut melakukan pe"kerjaan-pekerjaan yang biasa dilakukan oleh para pembantu rumah"nya. Bahkan sekali-sekali ia sudah bertanya tentang sawah dan ting"kat pekerjaan yang sedang dikerjakan disawah saat itu.
"Besok aku akan melihat sawah kita Ibu," berkata Rudita, "alangkah segarnya menghirup udara terbuka diantara hijaunya dedaunan. Sudah lama aku terpisah dari sawah dan ladang kita itu."
Ibunya mengangguk. Namun ia masih mencoba berkata, "Ke"napa kau memerlukan pergi ke sawah" Jika kau sekedar akan me"lihat-lihat saja, pergilah. Tetapi kau tidak perlu berbuat apapun ju"ga, karena sudah banyak orang yang akan mengerjakannya."
Rudita tertawa. Katanya, "Apakah bedanya aku dengan mereka Ibu?"
"Kau adalah anakku."
"Jadi?" Ibunya termangu-mangu. Tetapi yang dapat dilakukannya hanyalah sekedar menarik nafas dalam-dalam.
"Biarlah aku mencoba berbuat sesuatu Ibu, sehingga rumah ini dapat memberikan gairah hidup kapadaku meskipun hanya sekedarnya."
Ibunya tidak menyahut. Tetapi agaknya ia mulai menilai kete"rangan Ki Waskita. Apa yang dikatakan oleh suaminya sedikit demi sedikit mulai membayang.
"Agaknya memang ada sesuatu yang ingin dilakukan oleh anak itu," seolah-olah mulai terdengar bisikan didalam hati Nyai Waskita.
Karena itulah, maka Nyai Waskita mencoba menahan hatinya. Dibiarkannya anaknya melakukan apa saja yang dikehendakinya. Meskipun kadang-kadang perasaannya hampir tidak dapat dikenda-likannya lagi, namun kesadarannya yang timbul setelah ia mencoba mengenal anaknya sekali lagi, telah melepaskan anaknya itu untuk berbuat lebih banyak.
Dihari-hari berikutnya. Nyai Waskita hanya dapat mengusap dadanya jika ia melihat Rudita pulang dari sawah dengan cangkul dipundaknya dan tubuh yang kotor oleh lumpur. Tetapi pada tubuh yang kotor itu ia melihat cahaya wajah Rudita yang bersih dan ce"rah, seolah-olah ia telah menemukan tata kehidupan yang baru.
Pada saat ia belum meninggalkan rumah itu, sebenarnya ia pun telah mulai dengan kerja seperti itu. Tetapi ibunya selalu melarang"nya. Menasehatinya sepanjang sore bahkan sampai malam hari, agar ia menempuh tata kehidupan yang baik karena ia adalah anak dari keluarga yang berada.
"Tetapi tata kehidupan yang bagaimanakah yang dapat disebut baik?" pertanyaan itulah yang kadang-kadang tidak dapat disingkirkan dari hatinya.
Namun agaknya kini ibunya telah berubah sikap, seperti peru"buhan yang tumbuh didalam diri Rudita sendiri. Sehingga karena itulah agaknya Rudita mulai tersentuh oleh perasaan tenang dikam"pung halamannya sendiri.
Apalagi jika matahari telah turun, dan para petani sudah mandi dan melepaskan lelah diujung padukuhan, duduk sambil berkelakar ditemaramnya senja, rasa-rasanya damai yang sejati mulai memba"yang dalam tata kehidupan yang justru terpisah dari peradaban yang semakin maju di kota-kota.
"Mereka tidak banyak mempunyai persoalan," berkata Rudita didalam hatinya, "dan agaknya perasaan mereka pun terbuka untuk mengerti, bahwa dengan saling mengasihi, maka hidup akan menjadi tenteram dan damai."
Namun kadang-kadang Rudita masih harus bersedih hati jika pada suatu saat ia melihat dua orang tetangganya bertengkar. Mere"ka kadang-kadang masih diusik oleh persoalan-persoalan kecil tanpa dapat saling memaafkan. Soal ayam yang mengais-ngais tanam"an tetangganya. Soal kucing yang memecahkan genting ketika sedang mengejar tikus dirumah orang lain.
Rudita kadang-kadang terpaksa merenung didalam biliknya. Jika persoalan-persoalan kecil itu dapat menumbuhkan permusuhan dan tanpa dapat saling memaafkan, maka pantaslah bahwa dunia ini se"lalu diganggu oleh pertengkaran dan usaha penyelesaian persoalan dengan kekerasan.
Namun dengan demikian, maka kerinduannya terhadap hidup yang tenang dan kedamaian yang sejati justru serasa semakin mem"bara didadanya.
Setelah beberapa hari berada dirumah, Ki Waskita agaknya da"pat melibat kegelisahan yang mulai nampak lagi pada anaknya. Ka"rena itu, sebelum terlanjur, Ki Waskita mencoba untuk memberikan arah kepadanya, agar ia tidak dicengkam lagi oleh suatu keinginan untuk meninggalkan rumahnya.
"Dimanapun kau dapat mengutarakan sikapmu Rudita, dan kepada siapapun. Tentu saja harus dengan bijaksana, agar tidak timbul persoalan yang justru sebaliknya yang justru dapat menim"bulkan kebencian."
"Maksud Ayah, dirumah inipun aku dapat menyatakan sikap hidupku."
"Ya. Dan kau mulailah dengan menyusun tata kehidupan dikampung halaman ini seperti yang kau bayangkan. Tata kehidupan yang tenang dan damai. Jika kau berhasil, maka dengan sendirinya, tata kehidupan yang demikian tentu akan berkembang."
Rudita menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Aku mengerti Ayah, meskipun tekanan dari sikap Ayah itu bukan semata-mata susunan tata kehidupanya dikampung halam"an ini. Tetapi semata-mata agar aku tidak meninggalkan Ibu apabila pada suatu ketika Ayah ke Tanah Perdikan Menoreh menjelang per"kawinan Pandan Wangi."
"Kau memang cerdas sekali Rudita."
"Tetapi aku bersedia Ayah. Aku berjanji bahwa aku tidak akan pergi lagi dari rumah ini. Meskipun tekanan dari maksud Ayah adalah agar aku tetap dirumah, namun aku akan mencobanya juga untuk mulai dengan lingkungan kecil ini. Jika lingkungan kecil ini menelok, maka aku tidak dapat membayangkan, apa yang akan ter"jadi dengan Pajang, Mataram, dan Pati."
Ki Waskita terdiam sejenak. Ternyata anaknya dapat melihat mak-sudnya yang sebenarnya. Meskipun demikian, ia dapat berlega hati, bahwa Rudita sudah menyanggupkan diri, bahkan berjanji untuk tidak meninggalkan rumahnya. Ia akan mencoba menyusun tata ke"hidupan didalam lingkungan kecil itu untuk mewujudkan ketenang"an yang diidamkan. Meskipun ia tahu, bahwa tidak ada lingkungan yang terpisah dari sekitarnya. Betapapun juga, keadaan disekitarnya akan langsung mempengaruhi tata kehidupan, dilingkungan kecil itu.
Tetapi Rudita sudah bertekad. Apalagi dilingkungan kecil bah"kan seandainya ia harus berdiri seorang diripun, ia akan tetap berpe"gangan pada dasar sikapnya itu.
"Ayah," berkata Rudita kemudian, "jika Ayah ingin segera kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, maka sebaiknya Ayah tidak ragu-ragu meninggalkan Ibu dirumah."
Ayahnya merenung sejenak. Namun kemudian ia menarik na"fas dalam-dalam sambil berkata, "Kau benar-benar sudah dewasa Rudita. Aku berterima kasih kepadamu, bahwa kau telah berusaha untuk mengerti persoalan yang sama-sama kita hadapi," ia berhen"ti sejenak, lalu, "baiklah. Aku sekarang tidak ragu-ragu lagi meninggalkan rumah ini. Aku memang ingin mendahului pergi ke Ta"nah Perdikan Menoreh."
"Apakah kelak, aku dan Ibu harus menyusul?"
"Jika aku sempat, aku akan menjemput ibumu. Kira-kira lima atau enam hari sebelum hari-hari perkawinan itu."
Rudita mengangguk-angguk.
"Kita masih bersangkut paut keluarga, sehingga kurang pan"tas rasanya jika kita hadir langsung pada saat perkawinan itu."
"Baiklah Ayah."
"Biarlah aku sendiri akan mengatakannya kepada ibumu."
Rudita mengangguk. Katanya, "Ibu tentu perlu mempersiap"kan sumbangan yang akan kita bawa ke Tanah Perdikan Menoreh."
"Ya. Tetapi agaknya ibumu memang sudah mulai memikirkan."
".Mudah-mudahan Ibu dapat melupakan kekecewaannya," desis Rudita kemudian.
"Kenapa ibumu kecewa?"
"Akulah yang menyebabkannya. Disaat-saat hatiku masih diliputi oleh kegelapan, maka rasa-rasanya aku memang ingin men"dapatkan sesuatu dari Pandan Wangi. Ternyata Ibu menganggap bah"wa hal itu adalah wajar sekali, dan bahkan Ibu sependapat apabila hal itu terjadi."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Tetapi ia sama sekali tidak menyangka bahwa Rudita mengetahui pula akan hal itu. Untunglah bahwa kemudian Rudita menemukan kepribadiannya yang masak, sehingga ia akan dapat menguasai dirinya sendiri.
"Baiklah Rudita. Aku akan mengatakannya kepada ibumu. Biarlah yang sudah berlalu itu kita lupakan. Mudah-mudahan ibumu tidak keras hati seperti saat-saat lampau menghadapi persoalanmu, karena kau adalah satu-satunya anak yang menurut pendapatnya perlu dimanjakannya."
Rudita menarik nafas dalam-dalam. Sekilas terbayang masa. lampaunya yang kini terasa aneh bagi dirinya sendiri.
Dalam pada itu, maka Ki Waskita pun kemudian menemui iste"rinya dan menyatakan maksudnya.
"Kau akan pergi mendahului kami?" bertanya isterinya.
"Aku sudah berjanji untuk membantunya. Mungkin Ki Gede memerlukan pertimbangan-pertimbangan bagi hari-hari perkawinan anaknya itu."
"Bukankah di[Tanah Perdikan Menoreh sudah banyak orang-orang tua yang akan dapat membantunya membuat perhitungan saat dan waktu?"
04 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya. Tetapi mungkin. Ki Gede memerlukan orang lain. Dan orang lain itu adalah aku."
Isterinya mulai berpikir.
"Sementara itu, kau dapat menyiapkan sumbangan apakah yang akan kita bawa ke Tanah Perdikan Menoreh. Kau harus dapat memilih, karena aku kira Tanah Perdikan Menoreh telah penuh de"ngan berbagai macam bahan yang diperlukan. Justru aku kira sudah berlebih-Iebihan."
Nyai Waskita menarik nafas. Memang masih membayang ke-kecewaan itu disorot matanya. Ia masih juga membayangkan, betapa senangnya mempunyai menantu seorang gadis seperti Pandan Wangi. Seorang gadis yang mempunyai sifat dan kemampuan yang melampaui gadis-gadis kebanyakan. Ia pandai berburu, tetapi ja ju"ga seorang pengatur rumah tangga yang baik. Sejak kecil ia sudah belajar mengatur isi rumahnya dan melayani keluarganya. Apalagi ia sudah tidak beribu lagi, sehingga semua tanggung jawab rumah tangganya seolah-olah dibebankan kepadanya seluruhnya.
Tetapi Pandan Wangi itu akan menjadi menantu orang lain. Dan kini yang dapat dilakukannya hanyalah melihat saat-saat perkawinan itu berlangsung dan membawa sumbangan bagi peralatan perkawinan itu.
Meskipun demikian, ia pun kemudian menjawab, "Baiklah Kakang. Selama Kakang pergi menjelang hari perkawinan Angger Pandan Wangi, aku akan mempersiapkan sumbangan yang barangkali bermanfaat bagi pengantin itu."
"Aku akan berusaha untuk menjemputmu dan Rudita sepekan sebelum perkawinan itu berlangsung."
"Baiklah. Kami akan menunggu," jawab Nyai Waskita, "tetapi jika sepekan sebelum hari perkawinan itu kau tidak datang, keesokan harinya aku akan berangkat bersama Rudita dan barang"kali satu dua orang pelayan."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, "Tetapi aku akan berusaha. Justru mendekati hari-hari perkawinan kesibukan akan berpindah ke dapur. Dan aku akan mempunyai waktu terluang," ia tertegun sejenak, lalu, "ah, itu pun kalau aku memang diperlukan di Minoreh."
Demikianlah Ki Waskita pun kemudian mempersiapkan dirinya. Keesokan harinya, di dini hari ia akan berangkat seorang diri ke Tanah Perdikan Menoreh.
Namun dalam pada itu, ia tidak dapat melupakan kemungkinan yang dapat terjadi sementara Tanah Perdikan Menoreh sibuk dengan persiapan perkawinan Swandaru dengan Pandan Wangi. Masih saja terbayang sepasukan yang kuat melingkari Gunung Merapi seperti seekor ular naga yang merayap dilambung bukit itu, sementara dari arah lain, sekelompok orang-orang sakti dengan mengendap-endap dan bersembunyi membawa jenis pusaka yang lain untuk dipersatukan disuatu tempat.
"Suatu tempat yang harus/diketemukan," desis Ki Waskita.
Namun ia masih mencoba untuk menggeser persoalan itu be"tapapun menggelisahkannya menghadapi hari perkawinan Pandan Wangi.
Ketika matahari mulai membayang di Timur dikeesokan hari"nya, Ki Waskita sudah mempersiapkan kudanya. Ia masih sempat makan pagi sebelum ia memanggil Rudita dan isterinya.
"Hati-hatilah dirumah," berkata Ki Waskita kepada anak laki-lakinya, "kau jangan menggelisahkan hati orang tuamu lagi."
"Baik Ayah. Bukankah aku sudah berjanji bahwa aku tidak akan pergi lagi."
"Dan selama ini Nyai dapat mempersiapkan sumbangan yang akan kita bawa bersama ke Tanah. Perdikan Menoreh seperti yang Nyai katakan," berkata Ki Waskita kepada isterinya.
"Baiklah Kakang."
"Sudah waktunya aku berangkat. Hari perkawinan itu menjadi semakin sibuk."
"Apakah Ki Gede masih juga curiga terhadap adiknya, Ki Argajaya?" bertanya Nyai Waskita.
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku tidak tahu. Tetapi agaknya Ki Gede Menoreh bukan seorang pendendam. Meskipun demikian, agaknya retak yang pernah terjadi itu tidak akan dapat pulih seperti sediakala."
Isterinya mengangguk angguk. Ia pun mengetahui bahwa pernah terjadi persoalan yang gawat antara kakak beradik pewaris Tanah Perdikan Menoreh itu. Bahkan seakan-akan Tanah Perdikan Me"noreh seolah-olah terbakar oleh api benturan yang dahsyat antara kedua kakak beradik. Kehadiran Sidanti di kampung halamannya bersama gurunya, Ki Tambak Wedi, membuat api di atas Tanah Perdikan itu menjadi bagaikan neraka.
"Tetapi agaknya Ki Argajaya telah benar-benar menyadari kekeliruannya," berkata Ki Waskita kemudian, "dan agaknya Ki Gede pun telah memaafkannya. Didalam saat perkawinan Pandan Wangi, sudah tentu Ki Argajaya akan menjadi sibuk pula sebagai"mana seorang Paman yang ikut menyelenggarakan hari-hari perka"winan kemanakannya."
Ketika matahari mulai menjenguk diatas cakrawala maka Ki Waskita pun kemudian minta diri untuk mendahului pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.
Rudita dan Nyai Waskita melepaskannya sampai ke regol ha"laman. Mereka masih saja berdiri mengawasi keberangkalan Ki Waskita, sampai ia hilang ditikungan.
Dalam pada itu, kuda Ki Waskita berderap semakin cepat. Ia sama sekali tidak mencemaskan lagi anak laki-lakinya. Ia percaya bahwa Rudita akan memegang janjinya, tidak lagi meninggalkan ibunya.
Sementara itu, jalan yang menjelujur dihadapannya masih nampak basah oleh embun. Rerumputan yang hijau nampak berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari yang jatuh pada titik-titik embun yang bertengger.
Ki Waskita menarik nafas. Udara pagi rasa-rasanya membuat tubuhnya menjadi semakin segar. Angin yang sejuk mengalir per"lahan-lahan. Tetapi karena derap kudanya, maka rasa-rasanya wajahnya menjadi semakin dingin disapu deh angin pagi itu.
Tidak ada yang dicemaskan diperjalanan. Tanah Perdikan Menoreh rasa-rasanya tidak lagi pernah diganggu oleh kerusuhan. Namun, jika teringat oleh Ki Waskita, orang-orang yang sedang menyingkirkan pusaka-pusaka yang mereka curi dari Mataram itu, rasa-rasanya dadanya berdesir juga.
"Tetapi sementara ini tentu tidak akan timbul persoalan di atas Tanah Perdikan Menoreh," katanya didalam hati. Tetapi kemudian, "Mudah-mudahan."
Kudanya masih berpacu dibulak-bulak panjang. Ia justru me"rasa perjalanan itu menyenangkan, meskipun hanya seorang diri. Udara yang segar, padi yang hijau dan cahaya matahari pagi yang mulai terasa hangat dikulit.
Namun Ki Waskita itu pun kemudian mengerutkan keningnya ketika ia melihat dikejauhan debu yang mengepul, ia melihat beberapa ekor kuda yang berlari berlawanan arah, sehingga semakin lama justru menjadi semakin dekat.
"Siapakah mereka?" desis Ki Waskita.
Tetapi Ki Waskita tidak merubah kecepatan kudanya. Ia ber"pacu terus, seolah-olah tidak melihat sesuatu dihadapannya.
Namun demikian, semakin dekat kuda-kuda itu, rasa-rasanya menjadi semakin berdebar-debar juga.
"Tiga ekor kuda," desisnya.
Mereka pun kemudian berpapasan ditengah bulak. Seolah-olah masing-masing tidak saling menghiraukan. Ketiga orang itu hanya berpaling sejenak, memandang wajah Ki Waskita yang kosong. Sedang Ki Waskita berpalingpun tidak. Tetapi sebenarnyalah bahwa ia sempat menangkap kesan diwajah ketiga orang berkuda itu meski"pun hanya sekedar dugaan, bahwa ketiganya tergesa-gesa.
"Tidak ada yang menarik," desis Ki Waskita sambil memperlambat derap kudanya. Hampir diluar sadarnya ia pun berpaling.
Namun terasa jantungnya berdegup semakin cepat, ketika justru pada saat yang bersamaan ketiga orang itu pun berpaling pula.
"Mereka berpaling seperti aku juga berpaling," desis Ki Waskita.
Ki Waskita mencoba menghilangkan semua kesan yang timbul dihatinya. Kecemasan yang memang sudah ada didalam dadanya tentang orang-orang yang berada di Tambak Wedi, dan orang-orang yang mengaku dirinya tukang satang yang dengan demikian mereka harus mempertaruhkan nyawanya, membuatnya mulai mereka-reka hubungan antara orang-orang itu dengan mereka yang telah mencuri pusaka-pusaka dari Mataram.
"Ah, aku terlampau cengeng," Ki Waskita kemudian.
Dengan demikian Ki Waskita pun mencoba menghilangkan semua dugaan tentang orang-orang berkuda itu. Adalah wajar sekali. Tidak ada yang aneh. Tiga orang yang sedang bepergian melalui jalan ini."
Ki Waskita pun berpacu terus menuju ke padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Namun tiba-tiba saja Ki Waskita menjadi berdebar-debar pula. Ia melihat lagi orang berkuda dihadapannya. Semakin lama menjadi semakin dekat.
"Siapa lagi mereka itu?"desisnya. Namun kemudian, "Hanya seorang saja."
Seperti yang baru saja dilakukannya, ia mencoba mengusir se"gala macam kegelisahannya mengenai orang berkuda itu. Seperti yang baru saja dilakukannya ia memaksa dirinya berkata didalam hati, "Adalah wajar sekali. Tidak ada yang aneh."
Tetapi terasa debar jantungnya menjadi semakin cepat ketika ia melihat kuda dihadapannya itu menjadi semakin lambat dan kemudian berhenti.
"Ah, apalagi yang akan terjadi?" desisnya.
Seperti yang telah diduga, maka orang berkuda itu pun melam-baikan tangannya, memberi isyarat kepadanya untuk berhenti.
***** BUKU 93 KI WASKITA tidak dapat berbuat lain kecuali menarik kekang kudanya dan berhenti beberapa langkah di hadapan orang berkuda yang telah lebih dahulu berhenti itu.
"Apakah ada sesuatu yang terjadi, Ki Sanak?" bertanya Ki Waskita kepada orang yang belum dikenalnya itu.
Orang itu memandang Ki Waskita dengan tajamnya. Kemudian katanya, "Tentu, Ki Sanak. Mungkin kita memang belum pernah bertemu. Tetapi perjuangan kami memerlukan bantuan siapa pun juga. Juga orang-orang yang belum aku kenal."
Ki Waskita mengerutkan keningnya. Namun, dadanya serasa menjadi semakin bedebaran ketika ia mendengar langkah kaki kuda di belakangnya. Ketika ia berpaling, dilihatnya tiga orang berkuda yang baru saja berpapasan itu ternyata berpacu kembali menuju ke arahnya.
Ki Waskita mencoba menahan gejolak jantungnya. Dengan lirih ia bertanya, "Apakah mereka kawan-kawanmu, Ki Sanak."
"Ya." Ki Waskita mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Jika demikian aku mengerti. Kalian ingin menjebak aku."
"Tepat. Tetapi bukan maksud kami untuk berbuat jahat."
"Katakanlah, apa maksudmu sebenarnya."
Orang itu tidak segera menjawab. Tetapi ia menunggu sejenak sehingga kuda yang datang dari arah yang lain itu menjadi semakin dekat dan berhenti pula beberapa langkah di belakang Ki Waskita.
"Ki Sanak," berkata orang yang berkuda seorang diri, "sudah aku katakan. Aku memerlukan bantuan siapa pun juga dalam perjuangan kami menegakkan kejayaan tanah kita yang tercinta ini."
Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Sekilas teringat olehnya beberapa orang yang telah menghentikannya di jalan antara Jati Anom dan Sangkal Putung. Orang-orang itu juga mengatakan, bahwa mereka memerlukan bantuan untuk perjuangan mereka.
"Apakah kau mengerti?" desak orang berkuda itu.
"Aku tidak mengerti, Ki Sanak," berkata Ki Waskita, "apakah yang kau maksud dengan perjuangan untuk menegakkan kejayaan tanah kita ini?"
"Pajang tidak dapat lagi melakukan tugasnya sebagai sebuah kerajaan yang memiliki kekuasaan yang bulat di atas tanah ini."
"Kenapa?" "Karebet anak Tingkir itu sama sekali tidak memikirkan kepentingan pemerintahannya. Ia sama sekali tidak menghiraukan lagi apa yang terjadi di daerah kekuasaan Pajang. Tetapi ia lebih suka mengumpulkan perempuan-perempuan cantik untuk kesenangannya sendiri meskipun umurnya bertambah tua."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Lalu, "Bagaimana dengan puteranya, Pangeran Benawa?"
"Uh. Ia lebih lemah dari seorang perempuan. Meskipun ia sakti dan memiliki ilmu yang hampir setingkat dengan ayahnya, tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia lebih senang mengurung dirinya di dalam bilik dan barangkali bercermin di wajah air jambangan yang bening dan dengan asyiknya menghias wajahnya yang lebih mirip dengan wajah seorang perempuan yang cantik. Tetapi lebih condong dapat dikatakan, ia sangat malu dengan kelakuan ayahnya yang rakus terhadap perempuan."
Ki Waskita termangu-mangu. Tetapi ia masih bertanya, "Tetapi aku mendengar bahwa puteranya yang lain, maksudku putera angkatnya, adalah seorang prajurit yang linuwih. Ia telah diwisuda menjadi Senopati Ing Ngalaga dan berkedudukan di Mataram. Bahkan ia telah menerima sepasang pusaka yang menjadi pertanda jabatannya."
"Persetan," geram orang itu, "bukankah yang kau maksudkan adalah Sutawijaya?"
"Mungkin. Maksudku adalah Senapati Ing Ngalaga di Mataram itu."
"Ia adalah orang yang paling berbahaya bagi pulihnya kekuasaan yang sejati di atas Tanah ini. Karena itu Mataram harus dimusnahkan. Sesudah atau sebelum Pajang."
"Jika demikian, apakah kalian akan memberontak terhadap kekuasaan Kanjeng Sultan, dan kekuasaan limpahannya kepada Senapati Ing Ngalaga di Mataram?"
"Tepat. Dan kami memerlukan bantuan bagi perjuangan kami. Karena perjuangan kami memerlukan apa saja."
Dada Ki Waskita menjadi berdebar-debar. Bukan saja karena dengan demikian akan berarti kekerasan. Tetapi juga karena ia menduga, bahwa perbuatan semacam itu tidak hanya dilakukan atasnya saja dan tidak akan terjadi lagi. Tetapi perubahan semacam yang terjadi itu akan terjadi lagi atas siapa pun juga.
"Tanah Perdikan Menoreh ternyata telah mulai dijamah oleh kegelisahan lagi," berkata Ki Waskita di dalam hatinya.
"Kenapa kau termenung saja, Ki Sanak?"
Ki Waskita terkejut mendengar pertanyaan itu.
"Aku sedang memikirkan," jawab Ki Waskita.
"O, aku akan menunggu sejenak. Mungkin kau baru menghitung, berapa banyak kau akan membantu kami."
Ki Waskita tidak segera menjawab. Kembali ia membayangkan perbuatan semacam itu yang mungkin terjadi di mana-mana. Bukan saja di daerah yang dekat dengan Mataram atau daerah yang akan menjadi ajang persiapan untuk mempertemukan kedua pusaka yang hilang dari Mataram, tetapi jaring-jaring yang mereka pasang tentu sudah menebar sampai ke tempat yang jauh. Bahkan mungkin ke daerah Pesisir Lor dan Bang Wetan sudah terjadi pula kerusuhan-kerusuhan semacam ini.
"Tetapi yang lebih gawat lagi, bahwa kali ini telah mulai terjadi di pinggir tlatah Menoreh, justru selagi Menoreh akan sibuk dengan perelatan perkawinan Pandan Wangi," katanya di dalam hati pula.
"Ki Sanak," berkata Ki Waskita kemudian, "aku masih belum begitu jelas, apakah yang sebenarnya kalian perjuangkan sehingga kalian telah berani mengangkat senjata dan memberontak terhadap Pajang" Jika sekiranya perjuangan kalian berlandaskan kebenaran, apakah kalian merasa cukup kuat untuk melawan Sultan Hadiwijaya yang tidak ada duanya di muka bumi ini?"
Orang itu tertawa. Katanya, "Kau ternyata terlalu banyak bicara dan terlalu banyak yang ingin kau ketahui. Tetapi baiklah. Kau pantas untuk mengetahui bahwa kekuatan kami adalah kekuatan yang tidak akan terlawan oleh Pajang. Kami beralaskan kekuatan beberapa kadipaten yang segan menundukkan kepalanya di bawah kaki Sultan Hadiwijaya yang hanya mengagungkan kamuktennya sendiri. Dan kami pun tidak akan mau menyembah Sutawijaya yang tidak lebih dari anak Ki Gede Pemanahan, sedang kami sendiri mempunyai sesembahan yang langsung keturunan Majapahit."
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Apakah dengan demikian bukan berarti bahwa kalian akan menggetarkan sendi-sendi kehidupan yang tenang di atas Pajang dan Mataram sekarang ini dengan pemberontakan itu?"
Orang itu tertawa pula. Katanya, "Sebenarnya tidak seorang pun yang dapat menuduh kami melakukan pemberontakan. Tetapi pada suatu saat nanti, akan ternyata bahwa kamilah yang sebenarnya memang berhak atas kekuasaan di Tanah ini. Jika dalam masa-masa peralihan itu terjadi kegoncangan tata kehidupan, adalah wajar sekali. Goncangan yang demikian memang diperlukan sebagai suatu masa penyaringan. Siapakah yang tegak di belakang kami akan tetap berdiri, tetapi siapa yang menentang kami akan terbabat seperti batang ilalang."
Namun, Ki Waskita kemudian menggelengkan kepalanya, "Aku tidak sependapat dengan kalian, Ki Sanak. Meskipun aku juga kecewa bahwa Sultan Hadiwijaya tidak lagi meneruskan naluri keperwiraan dan sifat-sifat kasatria yang sejati, namun itu bukan berarti bahwa Pajang tidak berhak lagi untuk tetap berdiri tegak. Memang mungkin perlu ada beberapa perbaikan. Tetapi itu akan dapat dilakukan dengan cara yang lebih baik dari cara-cara yang akan kalian tempuh."
Orang berkuda itu mengerutkan keningnya. Katanya, "Aku sudah menduga, bahwa kau akan sampai pada kesimpulan itu. Tetapi baiklah aku memperingatkan, bahwa aku tidak mempunyai pilihan lain pada saat-saat semacam ini. Menilik pakaianmu, maka kau tentu dapat memberikan banyak kepada kami. Pendok kerismu agaknya terbuat dari emas. Timang yang kau pakai bertatahkan permata dan cincin di jarimu itu tentu terbuat dari batu permata yang berharga pula."
Ki Waskita ragu-ragu sejenak. Setiap kali membayang kericuhan yaug mulai menjalari Tanah yang sedang sibuk dengan persiapan hari perelatan perkawinan.
"Ki Sanak," Ki Waskita pun bertanya, "aku adalah orang yang hampir setiap hari melalui jalur jalan ini. Tetapi baru kali ini aku bertemu dengan kalian di pinggir tlatah Tanah Perdikan Menoreh. Apakah kalian sudah lama melakukan hal semacam ini di sini?"
"Untuk pertama kalinya kami mencari sumber dana perjuangan kami di tanah ini. Agaknya sebelumnya Tanah Perdikan Menoreh adalah tanah yang tenang dan tenteram. Tetapi sekarang menyesal sekali, bahwa aku telah menggoyahkan ketenteraman itu. Ketahuilah, bahwa aku tidak akan tetap berada di satu tempat. Tetapi aku dan beberapa kelompok kawan-kawanku yang lain, akan menyusuri semua daerah Pajang yang terbentang dari sisi Barat sampai ke sisi Timur." Orang itu berhenti sejenak, lalu, "Agaknya sudah cukup sesorahku. Sekarang, aku minta maaf, bahwa kami akan meninggalkan kau setelah kau menyerahkan dana yang kami perlukan."
"Apakah kau akan melakukan dengan kekerasan jika aku tidak memberikannya?" bertanya Ki Waskita.
Orang itu menjadi heran. Katanya, "Apakah mungkin kau tidak dapat memperhitungkan keadaan" Kami berempat dan kau hanyalah seorang diri meskipun nampaknya kau adalah orang tua yang berani."
Ki Waskita memandang orang yang berada di hadapannya. Kemudian tiga orang berkuda yang semula berpapasan, tetapi kemudian telah menyusulnya kembali.
Agaknya mereka adalah orang-orang yang mendapat kepercayaan dari pimpinannya untuk melakukan tugasnya. Tiga di antara empat orang itu ternyata memelihara kumis, sedang yang seorang lagi berwajah bersih dan bermata tajam. Umurnya adalah yang paling muda dari keempat orang itu.
"Cepat," berkata orang yang menghentikannya, "jika kami kehilangan kesabaran, maka kami akan mengambil sendiri dari padamu, Ki Sanak."
Ki Waskita termangu-mangu. Menilik keadaan lahiriahnya, maka ia tidak dapat digetarkan oleh keempat orang itu. Jika ia mempergunakan segenap ilmunya, maka ia akan dapat membunuh keempatnya.
Tetapi dalam pada itu, sekilas terbayang wajah anaknya, Rudita. Setiap percakapan dengan anak itu, rasa-rasanya ia dihadapkan pada sebuah cermin yang menunjukkan kelemahan-kelemahannya sebagai seorang manusia yang berbakti kepada Yang Menciptakannya.
"Kekerasan memang bukan satu-satunya jalan untuk menyelesaikan persoalan," katanya di dalam hati, "tetapi bagaimana jika kekerasan itu justru terarah kepadaku?"
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Jika pertanyaan itu tumbuh di hati anaknya, maka ia akan menjawab, "Biarlah orang lain melakukannya."
Tetapi seperti yang diakuinya sendiri, bahwa tidak ada orang yang sempurna. Rudita pun memiliki kelemahan meskipun kadarnya lebih rendah dari ayahnya. Rudita berusaha untuk memahami ilmu yang dapat melindungi dirinya dari tindak kekerasan. Sedangkan Ki Waskita berbuat demikian pula. Tetapi Ki Waskira melindungi dirinya dari kekerasan dengan kekerasan pula. Itulah yang tidak diakukan oleh Rudita.
"He, kenapa kau membeku," bentak orang yang berkuda di hadapannya.
Ki Waskita sekali lagi menarik nafas. Sambil mengangguk-angguk kecil ia berkata, "Baiklah, Ki Sanak. Aku akan menyerahkan apa yang aku punyai."
Orang itu tertawa. "Ternyata kau cukup bijaksana. Nah, turunlah dari kudamu dan serahkanlah kepada kawan-kawanku. Aku akan tetap berada di atas kudaku."
"Kenapa aku harus turun?"
"Kau dengar perintahku. Turunlah dan serahkan semuanya yang kau punyai kepada orang-orangku."
"Semuanya?" "Ya." "Kau sudah berubah. Bukankah kau minta menurut keikhlasan dariku. Sekarang kau menuntut semuanya."
"Yang berlaku adalah perintahku yang terakhir. Dan itu menyebutkan, bahwa semuanya akan kami ambil daripadamu."
Ki Waskita tidak dapat membantah lagi. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian ia pun meloncat turun dari kudanya, diikuti oleh ketiga orang berkuda yang semula berpapasan di tengah bulak panjang itu.
"Ambillah kerismu, ikat pinggangmu lengkap dengan timangnya, dan kampil di pelana kudamu."
Ki Waskita tidak menjawab. Namun sejenak ia menebalkan tatapan matanya ke sekitarnya. Ternyata bulak itu sepi. Tidak banyak orang yang berada di sawahnya. Jika ada satu dua orang, mereka berada jauh dari jalan yang lengang itu.
Dengan ragu-ragu Ki Waskita memberikan apa yang diminta oleh orang-orang yang mencegatnya itu. Ikat pinggang, keris dan wrangkanya, kampil berisi uang, dan bahkan cincinya sekali.
Orang yang masih tetap berada di punggung kudanya itu tertawa. Katanya, "Terima kasih. Kau adalah orang yang paling banyak memberikan sumbangan sampai hari ini. Di hari-hari yang lalu, aku hanya menerima sumbangan yang kurang berarti. Sekarang kau adbmcadangan.wordpress.com memberikan cukup banyak. Kami tidak akan melupakan kebaikan hatimu. Jika kelak kerajaan Majapahit telah berdiri seperti seharusnya, kau akan menerima bagianmu sesuai dengan sumbangan yang kau berikan." Ia berhenti sejenak, lalu, "He, siapakah namamu dan dimana rumahmu?"
"Apakah itu perlu?"
"Tentu. Aku akan mencarimu kelak. Aku sendirilah yang akan menyerahkan bagianmu kelak. Bahkan mungkin kau akan diangkat menjadi demang, atau kepala Tanah Perdikan di Menoreh ini menggantikan Argapati yang tentu harus disingkirkan."
"Namaku Ki Jalawaja."
"He," wajah orang itu menjadi merah padam, dengan nada yang bergetar ia berkata, "Kau bergurau."
"Aku tidak bergurau."
"Ki Jalawaja telah meninggal di lereng sebelah Timur Gunung Merapi."
Dada Ki Waskita-lah yang kemudian berdesir. Ternyata berita kematian Ki Jalawaja telah tersebar di antara mereka. Bahkan mungkin telah diketahui oleh setiap orang di dalam lingkungan mereka.
"Apakah orang-orang yang berada di Padepokan Tambak Wedi itu sudah bertemu dan menyatukan diri dengan orang-orang yang membawa songsong menyeberangi Kali Praga?" bertanya Ki Waskita di dalam hatinya.
Tetapi ia tidak sempat memikirkannya karena sekali lagi ia mendengar orang berkuda itu membentak, "Jawab. Dari mana kau mengenal nama Ki Jalawaja?"
Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Dipandanginya wajah orang-orang berkuda yang garang itu sejenak. Namun kemudian ia menjawab, "Kenapa kau bertanya dari mana aku mengenal nama itu" Namaku memang Jalawaja. Apakah aneh" Atau barangkali ada orang lain yang bernama sama tetapi sudah lama meninggal?"
Orang berkuda itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian menarik nafas panjang, "Apakah mungkin nama itu serupa?"
"Memang mungkin sekali," sahut Ki Waskita, "aku sudah mengenal seorang yang namanya mirip namaku."
"Sebutkan orang itu."
"Tetapi masih selisih sedikit, karena namanya bukannya Jalawaja, tetapi Sisikwaja."
Orang berkuda itu memandang Ki Waskita dengan tajamnya. Lalu katanya, "Baiklah. Untuk sementara aku percaya bahwa namamu Jalawaja. Nama yang sama dengan seorang pimpinanku yang memang sudah meninggal."
"Kenapa ia menjnggal?" bertanya Ki Waskita.
"Jangan banyak cakap. Setiap orang akan meninggal. Juga Kiai Jalawaja itu meninggal. Kau pun akan meninggal pula pada suatu saat apa pun sebabnya."
Ki Waskita mengangguk. Gumamnya, "Ya. Setiap orang akan kembali ke asalnya. Itulah sebabnya, maka selama hidup yang pendek ini kita harus mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian itu. Sebab jika kematian itu tiba, dan kita belum siap, maka semuanya akan terlambat. Padahal waktu mempersiapkan diri itu rasa-rasanya begitu pendeknya."
"Diam," tiba-tiba orang berkuda itu membentak, "kau mau berkhotbah tentang kematian?"
"Tidak. Tidak, Ki Sanak," desis Ki Waskita, "aku hanya menirukan saja nasehat orang tuaku dahulu."
"Tetapi kau tidak perlu mengucapkannya di sini. Aku muak mendengarnya."
"Baik, baik, Ki Sanak. Nasehat semacam itu memang kadang-kadang seperti cermin yang dapat menunjukkan cacad di wajah kita."
"Diam," orang itu berteriak, "jika kau mengulanginya sekali lagi aku bunuh kau, meskipun kau sudah memberikan dana yang cukup kepada kami."
Ki Waskita mengangguk dalam-dalam. Katanya tergagap, "Baik. Baik, Ki Sanak. Aku tidak akan mengatakannya lagi."
"Sekarang pergilah. Kelak aku akan mencari seseorang yang bernama Ki Jalawaja. Mungkin kau beruntung mendapatkan imbalan dari dana yang kau berikan sekarang. Tetapi mungkin kau akan aku gantung kelak karena khotbahmu itu."
Ki Waskita tidak menjawab lagi. Dengan ragu-ragu ia pun meloncat ke punggung kudanya. Dengan suara tertahan-tahan ia berkata, "Apakah aku boleh lewat?"
"Pergilah," orang berkuda itu tiba-tiba saja tertawa, "ketika mula-mula kau bersikap seperti seorang kesatria, aku mengira kau adalah seorang tua yang berani. Tetapi ternyata kau tidak lebih dari seorang yang sangat sombong dan pengecut. Pergilah. Mungkin kita tidak akan bertemu lagi."
Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menggerakkan kendali kudanya. Perlahan-lahan kudanya mulai bergerak dan meninggalkan tempat itu.
Demikian Ki Waskita melampaui orang berkuda di hadapannya, maka ia pun segera melecut kudanya dan berpacu secepat-cepatnya menyelusuri jalan di tengah bulak panjang itu.
Tiba-tiba saja orang-orang itu tertawa meledak. Mereka memandang debu yang berhamburan di belakang kuda Ki Waskita yang berlari kencang.
"Kita belum pernah mendapat hasil sebanyak ini dalam satu kali tepuk," berkata orang berkuda yang agaknya pemimpin dari keempat orang itu.
"Ya, Ki Lurah," sahut salah seorang yang masih belum berada di punggung kudanya, "menyenangkan sekali jika dalam usaha berikutnya kita akan bertemu dengan orang-orang kaya seperti Kiai Jalawaja ini."
"Daerah ini memang memiliki banyak orang-orang yang cukup kaya, sehingga kita akan segera dapat mengumpulkan banyak sekali dana untuk perjuangan kita yang panjang." Orang berkuda itu berhenti sejenak, lalu, "Marilah, kita kembali."
Ketiga orang yang lain pun segera berloncatan ke atas punggung kuda masing-masing sambil membawa barang-barang rampasannya. Dengan wajah yang cerah, mereka pun segera melarikan kuda mereka ke arah yang berlawanan dengan Ki Waskita.
Sementara itu Ki Waskita sudah menjadi semakin jauh. Di luar sadarnya ia berpaling. Tetapi ia sudah tidak melihat lagi orang-orang yang telah menghentikannya.
"Aku memang tidak seikhlas Rudita," ia berdesis, "dan ini adalah kekuranganku. Tetapi aku kira, aku belum siap untuk dapat berlaku seperti Rudita."
Bersamaan dengan itu, maka orang-orang yang telah merampas barang-barang Ki Waskita itu pun telah memasuki hutan perdu di ujung daerah persawahan. Mereka mulai memperlambat derap kudanya, karena jalan menjadi agak sulit.
Dalam pada itu, Ki Waskita masih dicengkam oleh keragu-raguan atas sikapnya sendiri. Katanya di dalam hati, "Apakah sudah benar jika aku melepaskan keempat orang itu" Apakah itu bukan berarti benih persoalan di kesempatan lain?"
Sementara itu keempat orang yang memasuki hutan perdu itu mulai merasa terganggu. Rasa-rasanya barang-barang yang diperolehnya dari orang yang mengaku bernama Kiai Jalawaja itu tidak sewajarnya. Bahkan rasa-rasanya perlahan-lahan barang-barang itu menjadi kabur dan berubah menjadi asap. Hilang.
"Ki Lurah," salah seorang dari mereka yang membawa kampil uang itu berteriak.
Hampir bersamaan meskipun tidak ada perintah, keempat orang itu menarik kekang kuda mereka, sehingga keempat ekor kuda itu berhenti dengan serta-merta. Bahkan ada di antaranya yang melonjak dan tegak di kedua kaki belakangnya.
"Apakah kita bermimpi," pemimpin kelompok itu pun berteriak pula.
"Kampil uang itu lenyap begitu saja."
"Ya. Keris itu pun hilang dengan sendirinya."
"Kita sudah ditenungnya," geram pemimpin kelompok itu dengan kemarahan yang bagaikan menyekat dada.
Wajah keempat orang itu menjadi tegang. Sejenak mereka bagaikan terpukau oleh peristiwa yang telah menggoncangkan hati itu.
"Orang itu tentu belum terlampau jauh," tiba-tiba salah seorang dari mereka berteriak.
"Ya. Kita sudah ditipunya. Hanya kematiannyalah yang dapat menebus hinaan ini. Orang itu menyangka bahwa kami adalah orang-orang yang sangat dungu sehingga dengan mudah dapat ditipunya."
"Ternyata ia tidak berhasil. Karena kita bukan orang kebanyakan itulah, maka barang-barang tipuan itu lenyap di tangan kita. Untunglah bahwa kita belum sampai ke induk pasukan dan menyerahkan barang-barang tipuan itu. Jika demikian kita tentu akan menjadi malu sekali, seolah-olah kita adalah orang-orang yang sangat dungu menghadapi tukang tenung yang licik itu."
"Kita akan mengejarnya," geram pemimpin kelompok itu, "orang itu harus merasakan akibat kebodohannya."
Pemimpin kelompok itu tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun kemudian memutar kudanya dan memacunya seperti dikejar hantu.
Ketiga orang anak buahnya pun mengikutinya pula dengan kemarahan yang menyentak dada. Rasa-rasanya mereka tidak sabar lagi meremas wajah orang yang telah menipunya.
Sejenak kemudian empat ekor kuda itu pun telah berpacu dengan kecepatan yang sangat tinggi. Debu yang putih berhamburan disentuh angin yang tidak begitu kencang.
Sementara itu Ki Waskita masih saja dicengkam oleh keragu-raguan. Apakah ia akan tetap membiarkan keempat orang itu bertebaran dan membuat keonaran di saat-saat mendatang.
"Mudah-mudahan mereka tidak kembali lagi ke tlatah Menoreh," gumamnya kemudian. Karena itulah maka ia tidak lagi menghiraukan keempat orang itu. Dipercepatnyalah derap lari kudanya agar ia segera sampai ke padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Namun demikian, terbersit juga keragu-raguan di hati Ki Waskita. Benda-benda semu yang dibuatnya tidak dapat bertahan terlalu lama, sehingga ia pun sadar, bahwa benda-benda itu akan segera lenyap apabila dilepaskan dari hubungan getaran ujud semu yang berpangkal pada ilmunya, yang menyentuh dan membuat getaran senada pada pusat syaraf orang lain yang tidak mampu menggeser rentangan getar di pusat syarafnya.
"Jika mereka menyadari bahwa barang-barang yang mereka bawa itu sebenarnya tidak ada, maka mereka tentu akan marah. Mungkin mereka akan berbalik dan mengejarku," berkata Ki Waskita di dalam hatinya.
Ada sepercik niat untuk membinasakan saja keempatnya. Tetapi tiba-tiba saja melonjak sikapnya yang lain, "Biar sajalah mereka menjadi marah. Jika mereka tidak menemukan aku, maka mereka tentu tidak akan dapat berbuat apa-apa."
Karena itulah, maka ketika di hadapannya nampak sebuah padukuhan kecil, Ki Waskita pun mempercepat lari kudanya agar ia sempat bersembunyi di padukuhan itu.
Seperti yang diduganya, demikian ia hilang di mulut lorong memasuki regol padukuhan kecil itu, empat ekor kuda berderap di tengah-tengah bulak, membelok di tikungan yang berpagar pohon-pohon jarak, sehingga membatasi pengamatan mereka. Ketika mereka memasuki jalan lurus yang panjang, mereka sudah tidak melihat lagi orang yang menyebut dirinya Kiai Jalawaja.
Namun dalam pada itu, dari dalam regol padukuhan kecil itu Ki Waskita masih melihat debu yang mengepul di tengah-tengah bulak yang panjang itu.
"Tentu mereka berusaha mengejar aku."
Karena itulah maka Ki Waskita pun dengan tergesa-gesa memasuki sebuah halaman di pinggir padukuhan itu. Kepada penghuninya ia berterus terang, minta berlindung beberapa saat karena empat orang penjahat sedang mengejarnya.
"Apakah mereka tidak mengetahui bahwa Ki Sanak memasuki padukuhan ini?"
"Mereka tentu menyangka bahwa aku berpacu terus."
"Baiklah. Tetapi jika mereka menemukan Ki Sanak di sini, aku tidak akan dapat berbuat apa-apa."
"Mereka tidak akan berhenti di sini."
Ki Waskita pun kemudian menyembunyikan kudanya di belakang rumah itu, sedangkan ia sendiri berada pula di samping kandang.
Sejenak terasa pergolakan yang semakin melonjak di hatinya. Ia tidak pernah berbuat demikian. Bersembunyi seperti orang yang ketakutan. Dalam keadaan demikian, ia selalu tampil dengan dada tengadah. Jika ia merasa lawannya cukup kuat, maka ia melepaskan ikat kepalanya dan membelitkanya di lengannya dan dipergunakannya sebagai perisai yang melampaui kekuatan perisai baja.
Tetapi pengaruh hubungannya dengan sikap anaknya telah membuatnya bersikap lain. Seperti orang yang ketakutan ia bersembunyi di samping kandang yang baunya menusuk hidung untuk menghindari empat orang penyamun yang sedang mengejarnya.
Sejenak kemudian Ki Waskita menjadi berdebar-debar. Ia mendengar derap kuda yang menjadi semakin dekat.
Sejalan dengan itu, hatinya pun menjadi semakin bergejolak. Ada keinginannya untuk meloncat menghentikan orang-orang berkuda itu. Tetapi kemudian seolah-olah terdengar suara di hatinya, "Apa lagi gunanya berkelahi jika persoalannya adbmcadangan.wordpress.com dapat diselesaikan dengan cara lain?" Bahkan kemudian timbul pula pertimbangannya, "Bentrokan di saat seperti ini tidak menguntungkan Tanah Perdikan Menoreh yang sedang mempersiapkan diri menjelang hari perkawinan Angger Swandaru dengan Pandan Wangi. Lebih baik aku tetap di sini. Keempat orang itu tentu akan segera pergi."
Namun terasa jantungnya berhenti berdenyut ketika suara derap kaki kuda itu tiba-tiba berhenti di muka rumah itu.
"Apakah mereka berhenti?" ia bertanya kepada diri sendiri.
Sejenak Ki Waskita memperhatikan keadaan dengan saksama. Tetapi yang didengarnya adalah suara seseorang yang membentak, "He, di mana orang berkuda itu?"
Ki Waskita menjadi semakin berdebar-debar. Hampir di luar sadarnya ia justru bergeser dari tempatnya dan berlari ke sudut rumah itu.
"Tetaplah bersembunyi," desis seorang laki-laki tua yang agaknya salah seorang anggauta keluarga di rumah itu.
Ki Waskita menjadi ragu-ragu. Dan sebelum ia bergeser dari tempatnya, ia sudah mendengar suara seseorang membentak, "Cepat, tunjukkan di mana orang itu."
"Ia tidak singgah kemari," jawab pemilik rumah itu.
"Jangan membohongi kami. Jejak kaki kuda itu terputus di sini, dan lihat, jejak itu memasuki halaman rumahmu."
Pemilik rumah itu tidak dapat menjawab. Ia sendiri kemudian menyadari bahwa ia tidak akan dapat berbohong lagi karena jejak itu benar-benar dapat dilihat dengan jelas, memasuki halaman rumah itu.
"Nah. sekarang katakan, di manakah orang itu. Tentu orang yang sedang kami cari."
"Ki Sanak," pemilik rumah itu masih mencoba mengelak, "akulah yang baru saja berkuda pulang dari bepergian. Jejak kuda itu adalah kudaku."
Ki Waskita tidak mendengar jawaban. Tetapi dadanya bergetar ketika ia mendengar keluhan tertahan, disusul oleh jerit seorang perempuan.
"Kubunuh kau, jika kau masih ingkar," terdengar suara kasar.
Ki Waskita menjadi semakin berdebar-debar. Ia tidak dapat tetap berada di tempatnya. Di luar sadarnya pula ia bergeser sepanjang dinding rumah itu.
"Tidak ada orang lain di sini, Ki Sanak."
Suaranya terputus oleh hentakan sebuah pukulan yang keras disusul oleh jerit itu lagi. Semakin keras.
Ki Waskita sadar, bahwa pemilik rumah itu ada di dalam bahaya. Jika ia tidak mau mengatakan tentang dirinya, maka agaknya keempat orang itu tidak sekedar bermain-main. Tetapi mereka benar-benar akan membunuhnya dan bahkan mungkin isterinya.
Sekilas terbersit di angan-angan Ki Waskita, kematian yang sangat mengerikan tanpa melakukan kesalahan apa pun juga. Bahkan orang itu sedang berusaha untuk melindungi orang lain.
Ki Waskita temangu-mangu sejenak. Ia merasa tidak sepantasnya bersembunyi untuk menghindari benturan kekerasan, dan mungkin kematian, tetapi dapat berakibat kematian orang lain. Dengan demikian kematian itu tetap terjadi. Bahkan atas orang yang tidak bersalah sama sekali.
Karena itulah, ketika ia mendengar sebuah pukulan lagi dan keluhan yang panjang, serta pekik seorang perempuan yang semakin menyayat, ia tidak dapat tetap di tempatnya. Dengan wajah yang kemerah-merahan ia meloncat ke halaman dari samping rumah itu sambil menggeram, "Jangan gila. Aku di sini."
Keempat orang itu serentak berpaling. Mereka melihat Ki Waskita berdiri tegak di tempatnya dengan sorot mata yang bagaikan menyala.
"Nah, tukang tenung gila itu benar-benar bersembunyi di sini." Kemudian dengan kemarahan yang meluap-luap ia memandang pemilik rumah yang ternyata sudah terbaring di tanah dengan darah di mulutnya itu sambil berkata, "Kau benar-benar telah menipu kami. Karena itu, kau pun harus mati bersama tukang tenung gila itu."
Perempuan yang ternyata isterinya, yang berjongkok di sisinya itu kemudian memeluk suaminya sambil berkata, "Jangan kau bunuh suamiku, ia tidak bersalah."
"Mereka tidak akan membunuhnya, Nyai," berkata Ki Waskita, "kecuali jika mereka adalah cucurut-cucurut kerdil yang tidak tahu diri. Akulah yang mereka cari. Karena itu, akulah yang akan menanggung segala akibatnya."
"Orang ini berusaha menyelamatkan kau," teriak salah seorang dari perampok itu.
"Tidak seorang pun yang perlu menyelamatkan aku. Tetapi sebaliknya, jika ia menahan kalian menemukan aku, karena semata-mata orang itu mencoba melindungi kalian berempat dari kematian."
"Setan, anak tetekan. Kau sangka aku ini apa, he?"
"Nah, sekarang aku sudah kalian ketemukan. Apakah yang akan kalian lakukan?" geram Ki Waskita yang hatinya ternyata menjadi terbakar pula setelah ia melihat keadaan pemilik rumah yang tidak bersalah itu.
"Bunuhlah tukang tenung itu," berkata pemimpin kelompok itu, "aku akan membunuh orang ini."
Tiga orang di antara mereka pun kemudian berdiri tegak memandang Ki Waskita, sedangkan pemimpin mereka masih tetap berdiri di samping pemilik rumah yang masih terbaring di tanah.
Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Ternyata pemilik rumah itu berada dalam keadaan yang gawat. Jika pemimpin kelompok yang marah itu benar-benar membunuh pemilik rumah itu, maka akan jatuh korban jiwa karena keragu-raguannya, sehingga ia justru bersembunyi.
Sesaat kemudian Ki Waskita melihat tiga orang di antara mereka mendekatinya, sedang pemimpinnya justru telah meraba hulu senjatanya.
"Perutmu akan sobek dari lambung sampai ke lambung," geramnya.
"Jangan, jangan," teriak isterinya.
"Aku tidak peduli. Ia sudah menipu aku."
Ki Waskita menjadi bingung sejenak. Jaraknya dengan pemilik rumah yang terbaring itu tidak terlampau dekat, sehingga sulit baginya untuk langsung menolongnya jika pemimpin kelompok yang menjadi sangat marah itu benar-benar mengayunkan senjatanya.
"Kaulah yang harus mati lebih dahulu dari tukang tenung yang kau sembunyikan itu."
"Jangan, jangan," pemilik rumah itu pun meminta, bersamaan dengan isterinya yang memeluk kaki penjahat yang, sudah menarik senjatanya.
Ki Waskita tidak mempunyai jalan lain. Tiba-iba saja ia mengerutkan keningnya. Sepercik getaran dari ilmunya tiba-tiba saja telah menyentuh rentang getar di pusat syaraf para penyamun itu.
Karena itulah, ketika pemimpin kelompok itu mengibaskan isteri pemilik rumah yang memeluk kakinya sehingga terlempar selangkah dan jatuh terlentang, terdengar suara tertawa nyaring di regol halaman.
Yang berada di halaman itu pun serentak berpaling. Mereka melihat seorang anak kecil tertawa terbahak-bahak sehingga perutnya terguncang-guncang.
Pemimpin kelompok yang marah itu menjadi semakin marah sehingga ia pun berteriak, "Tutup mulutmu, he?"
Tetapi anak kecil itu tertawa terus. Kedua tangannya sibuk mengusap air matanya yang meleleh di pipinya karena ia tidak mampu menahan tertawanya yang meledak-ledak itu.
"He, kenapa kau tertawa, Anak Gila?"
Anak itu masih tertawa terus. Di sela-sela suara tertawanya ia menjawab, "Lucu sekali."
"Apa yang lucu, he?"
"Kau membuat orang-orang sepadukuhan ini ketakutan. He, apakah kau tidak tahu, orang-orang itu berlari-larian menengok halaman ini karena mereka mendengar hiruk-pikuk. Tetapi kemudian mereka berlari-larian kembali ke rumahnya dan menutup pintu rapat-rapat."
"Diam, diam!" teriak salah seorang yang lain.
"Kenapa aku harus diam melihat kelucuan itu" Apalagi salah seorang dari penyamun yang garang itu sudah siap membunuh orang yang tidak bersalah dan tidak melawan sama sekali."
Pemimpin kelompok penyamun itu benar-benar tidak dapat mengendalikan dirinya lagi. Tiba-tiba saja ia berteriak, "Kau pun akan aku bunuh, Anak Gila. Kaulah yang justru yang pertama-tama."
"Aku?" anak itu terkejut. Tetapi ia pun tertawa pula, "Jika kau mampu mengejar aku, kau akan dapat membunuhku."
"Setan alas. Kau sangka aku hanya bergurau?"
Anak itu tertawa semakin keras. Tetapi suara tertawanya tiba-tiba saja terputus karena pemimpin kelompok itu benar-benar tidak dapat menahan dirinya. Dengan serta-merta ia meloncat langsung menikam anak yang berdiri di regol itu. Tetapi agaknya anak itu benar-benar mampu berlari cepat. Demikian ia melihat pemimpin kelompok itu meloncat, ia pun telah berlari meninggalkan regol dan hilang di balik dinding batu.
Pemimpin kelompok yang marah itu tidak membiarkannya lari. Karena itu, ia pun kemudian mengejarnya sampai ke regol halaman.
Tetapi ketika ia melangkahi tlundak regol, langkahnya terhenti. Ia tidak melihat seorang pun di sepanjang jalan. Jalan yang menjelujur lurus ke kedua arah.
"Gila, di mana anak itu?" geram pemimpin kelompok itu. Tetapi ia sama sekali tidak melihat seorang pun. Padahal menurut penilaiannya, anak kecil itu tidak akan dapat meloncati dinding batu di sebelah-menyebelah jalan.
Namun adalah suatu kenyataan, anak itu hilang seperti asap.
Tiba-tiba saja pemimpin kelompok itu teringat kepada orang yang sedang dikejarnya. Orang yang telah memberikan beberapa macam barang yang sekedar ada karena tenungnya, bukan karena sebenarnya barang-barang itu ada.
Pemimpin kelompok itu menggeram. Dengan wajah yang merah membara ia berpaling. Dadanya rasa-rasanya menjadi retak ketika ia melihat pemilik rumah yang terlentang di halaman itu kini sudah berdiri bersandar pintu rumahnya, dilayani oleh isterinya. Sedang Ki Waskita yang menyebut dirinya bernama Kiai Jalawaja itu berdiri tegak di depannya dengan keris terhunus.
04 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"He, gila. Apakah kerja kalian!" teriak pemimpin kelompok itu kepada ketiga orang kawannya. "Kau biarkan tukang tenung itu menolong orang yang mencoba melindunginya?"
Serentak mereka bertiga berpaling. Seperti bermimpi rasanya. Mereka seakan-akan terpukau oleh anak kecil yang tertawa di regol itu, sehingga mereka tidak melihat, apa yang telah terjadi di sampingnya.
"Anak itu pun adalah iblis yang dibuat oleh tukang tenung itu. Ia hilang di luar regol seperti barang-barang yang kalian bawa."
Kemarahan telah membakar setiap dada keempat orang penyamun yang mengejar Ki Waskita itu. Mereka merasa, bahwa mereka telah menjadi korban permainan tenung dan sihir.
"Tukang sihir gila," geram salah seorang dari mereka, "tetapi bagaimana pun juga kau harus menebus dengan nyawamu. Kau tidak akan sempat membuat ujud-ujud apa pun lagi di hadapan kami, karena kami sudah yakin, bahwa kami berhadapan dengan tukang sihir."
Ki Waskita tidak beranjak dari tempatnya. Tetapi ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan.
"Baiklah," berkata pemimpin kelompok itu, "agaknya orang gila yang berusaha menyembunyikan tukang tenung atau tukang sihir atau apa pun namanya itu, sempat memperpanjang umurnya dengan beberapa saat. Tetapi kematian yang akan dialaminya adalah kematian yang lebih parah, karena akan terjadi perlahan-lahan seperti tukang sihir itu sendiri."
Ki Waskita memandang keempat orang itu berganti-ganti. Sekali-sekali ia berpaling. Pemilik rumah itu masih berdiri bersandar pintu dengan wajah yang pucat oleh ketakutan. Sedang darah yang meleleh di pipinya telah diusapnya dengan lengan bajunya.
"Menyerahlah, supaya kami mempunyai sedikit belas kasihan," geram pemimpin kelompok itu.
"Apakah belas kasihanmu itu berarti bahwa pemilik rumah yang tidak bersalah ini akan tetap hidup?" bertanya Ki Waskita.
"Gila. Kalian semuanya akan mati. Tetapi jalan kematian itulah yang berbeda-beda. Bagi kalian semakin cepat tentu akan menjadi semakin baik. Tetapi jika kalian melawan, maka kalian akan mengalami masa yang berkepanjangan menjelang saat kematian itu."
"Jika demikian," jawab Ki Waskita yang menjadi marah pula, "aku pun menawarkan hal yang serupa. Jika kalian menyerah dan pasrah, maka aku akan menikam kalian seorang demi seorang dengan keris langsung ke jantung. Tetapi jika tidak, maka kalian masing-masing dan kuda itu akan aku lecut sepanjang bulak panjang."
"Setan alas," teriak pemimpin kelompok itu, "kau masih dapat mengigau, he, tukang sihir."
"Namaku Kiai Jalawaja."
"Tentu itu hanya leluconmu yang gila. Kau mungkin memang pernah mendengar nama Jalawaja. Tetapi tentu kau tidak bernama Jalawaja."
Yang bertubuh kekar tidak sabar lagi. Dengan nada yang dalam, seolah-olah suaranya berputar di dalam perutnya ia menggeram, "Aku akan membunuhnya sekarang dengan tanganku. Aku akan mematahkan tangannya, kemudian kakinya, sebelum yang terakhir tulang punggungnya. Kemudian akan aku biarkan ia mati berlama-lama. Kita tinggalkan saja ia di sini. Dalam dua hari ia tentu akan mati."
"Ia akan sempat menenung kita."
"Menjelang ajal, ia tidak mempunyai kemampuan melakukannya," jawab orang bertubuh kekar itu sambil melangkah mendekati Ki Waskita.
Tetapi Ki Waskita pun sudah bersiaga. Ia berdiri tegak dengan kaki renggang. Kedua tangannya bersilang di muka dadanya.
Sejenak kemudian ketiga orang penyamun yang lain pun segera mengambil tempatnya masing-masing. Pemimpinnya, yang jantungnya bagaikan terbakar oleh bara api tempurung itu mengambil tempat di tengah-tengah.
Ki Waskita tetap di tempatnya. Ia tidak bergeser maju, agar ia tetap dapat melindungi pemilik rumah yang masih bersandar pintu berpegangan isterinya yang menggigil ketakutan. Namun keduanya kemudian terduduk dengan lemahnya karena kaki mereka rasa-rasanya tidak mampu lagi membawa berat tubuhnya yang gemetar.
"Agaknya itu akan lebih baik," berkata Ki Waskita di dalam hatinya.
Sejenak kemudian, maka Ki Waskita pun harus sudah menempatkan diri di dalam lingkaran pertempuran. Ia sama sekali tidak ingin lagi membuat bentuk-bentuk semu, karena agaknya keempat orang itu tidak akan lagi dapat dikelabui. Mereka tentu tidak akan menghiraukan ujud apa pun lagi yang nampak di halaman itu, meskipun seandainya ada orang yang sebenarnya hadir.
Ki Waskita memandang keempat ujung senjata yang telah terarah kepadanya. Untuk melawan keempat ujung senjata itu ia tidak dapat mempergunakan tubuhnya yang masih belum dibalut oleh perisai ilmu kebal yang matang. Itulah sebabnya, maka ia pun kemudian membuka ikat kepalanya dan dibelitkannya di tangan kirinya.
Namun dengan demikian juga berarti bahwa kesabaran Ki Waskita sudah sampai ke batasnya melihat tingkah laku keempat penyamun yang memuakkan itu.
Sejenak kemudian, perkelahian sudah tidak dapat dicegah lagi. Ketika orang yang bertubuh tinggi itu meloncat menyerang maka Ki Waskita telah siap menangkis serangan ujung senjatanya dengan ikat kepalanya yang membelit lengannya.
Benturan itu benar-benar telah mengejutkan. Apalagi ketika Ki Waskita masih sempat berkata, "Aku sudah tidak mempunyai pertimbangan lain kecuali membunuh kalian. Bukan karena aku ingin membunuh seperti kalian tetapi dengan demikian muka kalian tidak akan menjadi bibit keonaran di tlatah ini dan bahkan mungkin menimbulkan korban yang tidak terhitung jumlahnya."
Rasa-rasanya jantung keempat orang itu tergetar. Namun kemudian pemimpin kelompok penyamun itu berteriak, "Kau jangan mencoba menakuti kami seperti anak-anak."
"Jangan berteriak," geram Ki Waskita, "kaulah yang menakut-nakuti tetangga di sebelah-menyebelah. Kini mereka tentu sudah membeku di dalam rumah mereka. Apalagi jika mereka mendengar suaramu yang menyakitkan hati itu."
"Persetan," jawab pemimpin kelompok itu.
"Tetapi jika suaramu didengar oleh para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, maka kalian akan mengalami nasib lebih buruk lagi."
"Aku akan membunuh siapa saja," pemimpin kelompok itu masih berteriak. Namun suaranya seolah-olah terputus di kerongkongan karena serangan Ki Waskita yang tidak terduga-duga, seakan-akan menyusup di antara keempat ujung senjata mereka.
Perkelahian itu semakin lama menjadi semakin sengit. Ujung senjata yang terayun-ayun itu seolah-olah semakin lama menjadi semakin banyak. Tetapi Ki Waskita pun mampu bergerak semakin cepat.
Namun demikian, Ki Waskita tidak dapat bertempur dengan tata gerak yang leluasa. Ia tidak dapat berloncatan di halaman itu sesuai dengan keinginannya menghadapi keempat orang lawannya, karena ia masih harus melindungi dua orang suami-isteri yang ketakutan. Ki Waskita merasa wajib untuk melakukannya, karena ia merasa, bahwa ialah yang menyebabkan bahaya maut itu hampir saja menyentuh kedua suami-isteri itu. Bahkan apabila ia gagal, maka bahaya itu masih mungkin sekali menerkam mereka berdua bersama-sama.
Dalam pada itu, keempat orang penyamun yang merasa tidak segera dapat mengalahkan lawannya pun menjadi semakin marah. Mereka menyerang dari berbagai penjuru untuk membagi perhatian Ki Waskita.
Tetapi Ki Waskita agaknya memiliki kecepatan bergerak yang cukup. Ketika ujung-ujung senjata itu mematukinya, ia selalu saja sempat mengelak. Sekali ia menggeliat sambil berputar. Sementara ujung senjata yang lain hampir menusuk lambungnya, ia membungkukkan badannya sambil menangkis ujung senjata yang lain yang menyambar mendatar mengarah ke lehernya.
Bahkan, ketika keringat telah mulai membasahi punggungnya, tandang Ki Waskita rasa-rasanya menjadi semakin mantap, serangannya justru menjadi semakin ganas. Bukan saja tangannya yang menyambar-nyambar, tetapi juga kakinya.
Tetapi lawannya pun agaknya cukup berpengalaman. Mereka selalu berusaha menarik Ki Waskita semakin maju. Mereka menyerang dari samping namun kemudian menarik diri menjauh di depan Ki Waskita berseberangan arah dengan kedua orang suami isteri yang ketakutan.
Ki Waskita menyadari, bahwa ia tidak dapat menyerang terlalu bernafsu tanpa dikuasai oleh perhitungan yang baik. Jika ia meloncat terlalu jauh, maka yang akan mengalami kesulitan adalah suami-isteri itu.
Namun dalam peperangan yang semakin sengit, kadang-kadang perhatian Ki Waskita lebih tertuju kepada keempat lawannya. Kadang-kadang ia sejenak kehilangan pengamatan diri dan melupakan suami isteri yang ketakutan itu. Namun demikian ia menyadari keadaan, maka ia pun segera menempatkan diri di hadapan kedua orang itu.
Anak Rajawali 1 Pendekar Rajawali Sakti 9 Manusia Bertopeng Hitam Bende Mataram 14