Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 3

04 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 3


Ketika seorang pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh tidak dapat menahan lagi kesepian yang mencengkam, ia mencoba untuk bangkit dan melangkah hilir-mudik di antara beberapa orang kawannya yang terbaring membujur lintang. Namun hatinya menjadi bergetar ketika ia mendengar di kejauhan terdengar suara burung kadasih. Perlahan-lahan ia kembali duduk dan merayap ke atas rerumputan yang telah dibuatnya menjadi pembaringannya.
"Kau ngeri mendengar suara burung itu?" tiba-tiba saja terdengar kawannya yang berbaring di sampingnya bertanya. Meskipun suaranya lambat sekali, namun pengawal yang gelisah itu terkejut bukan buatan, sehingga hampir saja ia melonjak.
"Kau mengejutkan aku," desah pengawal yang terkejut itu.
"Aku hanya berbisik," jawab kawannya.
Pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata kesepian yang memuncak itu telah membuat setiap hati menjadi semakin mudah tersentuh.
Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Swandaru mendengarkan suara burung kedasih itu dengan hati yang semakin gelisah. Suara burung kedasih bagi mereka mempunyai arti tersendiri. Beberapa kali mereka pernah mendengar suara burung kedasih sebagai pertanda yang khusus dari anak buah orang yang ternyata menyebut dirinya Panembahan Agung itu.
Namun setelah mereka mendengarkan suara burung itu dengan saksama, disusul oleh suara burung kedasih yang lain di kejauhan, maka mereka pun yakin bahwa yang didengarnya itu adalah benar-benar suara burung kedasih.
"Kau mendengar suara burung itu?" bertanya Agung Sedayu berbisik.
Swandaru mengangguk lemah. Katanya, "Tetapi agaknya suara itu benar-benar suara seekor burung."
"Ya. Memang agak berbeda. Tetapi agaknya di daerah ini memang banyak burung kedasih. Bahkan mungkin daerah ini merupakan sarang sekelompok besar burung kedasih, sehingga menimbulkan gagasan bagi Panembahan Agung untuk mempergunakan suara burung itu sebagal suatu isyarat tertentu."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi suara burung kedasih yang ngelangut itu masih saja menggelitik hatinya.
Namun keduanya tidak lagi membicarakannya. Keduanya mencoba untuk mempergunakan sisa malam itu untuk benar-benar beristirahat meskipun mereka sama sekali tidak dapat tertidur sekejap pun.
Di antara mereka yang tidak dapat tertidur terdapat Rudita. Malam baginya benar-benar merupakan malam yang dahsyat. Setiap kali ia terkejut mendengar desir daun yang terlepas dari tangkainya dan jatuh di tanah.
Namun dalam pada itu, Rudita sempat melihat kepada dirinya sendiri. Pengalamannya telah menimbulkan persoalan yang belum pernah terpikirkan sebelumnya.
Tetapi pengalaman itu ternyata telah memacunya untuk berpikir lebih dewasa. Ia merasa, bahwa sebenarnyalah ia bukan lagi kanak-kanak yang dapat bermanja-manja kepada setiap orang. Memang ayah dan ibunya akan berusaha untuk dapat mengerti perasaannya, tetapi tentu tidak bagi orang lain. Jika orang lain mencoba mengertinya, maka tentu dalam batas-batas yang jauh lebih sempit dari ayah dan ibunya sendiri.
Dalam pada itu, mereka yang mendapat perintah untuk melihat kuda-kuda mereka yang terikat, merasa jauh lebih sepi lagi dari kawan-kawannya, yang ada di dalam pasukan. Beberapa orang yang berada di daerah terpisah, di antara sekelompok kuda yang tertidur sambil terikat pada batang-batang pohon, merasa diri mereka selalu terancam bahaya. Mereka belum mengerti akhir dari pertempuran yang terjadi di depan padepokan Panembahan Agung, sehingga karena itu, mereka masih tetap dibayangi oleh kecemasan bahwa para pengawal dari Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh akan mengalami kegagalan.
Kecemasan dan kegelisahan yang mencengkam hati mereka, membuat mereka selalu berjaga-jaga sepanjang malam. Senjata mereka sama sekali tidak terlepas dari tangan. Apa pun yang sedang mereka lakukan, maka mereka tetap menggenggam senjata telanjang.
Ketika cahaya kemerah-merahan mulai membayang di langit sebelah Timur, maka rasa-rasanya setiap orang yang berada di lembah itu mulai dijalari oleh ketenangan. Rasa-rasanya darah yang seakan-akan telah membeku di malam hari, mulai mengalir lagi perlahan-lahan di seluruh tubuh.
Para pengawal itu tidak menunggu sampai matahari terbit. Ketika cahaya kemerah-merahan semakin jelas membayang di punggung pegunungan, maka mereka pun membenahi diri mereka masing-masing. Mereka menyiapkan segala peralatan, dan mengumpulkah para tawanan. Dengan batang-batang kayu yang dianyam dengan tali, mereka telah membawa Kiai Gringsing yang terluka. Namun agaknya badan Kiai Gringsing sudah merasa lebih segar dan lebih baik.
Ketika lembah itu menjadi semakin terang, para pengawal itu mulai menghitung diri. Setiap kelompok melihat keadaan masing-masing. Mereka harus tahu pasti, apakah ada korban yang jatuh di dalam kelompok itu.
Setelah semuanya selesai, maka mulailah pasukan itu berjalan perlahan-lahan, bersamaan dengan cahaya yang semakin terang muncul di balik bukit.
Demikianlah maka mulailah perjalanan mereka, pasukan pengawal dari Mataram dan dari Tanah Perdikan Menoreh menyusuri lembah kembali keluar dari daerah yang terpencil itu.
"Raden Sutawijaya, kami harap singgah sejenak di Tanah Perdikan Menoreh," Ki Argapati mempersilahkan.
Semula Raden Sutawijaya ragu ragu. Namun kemudian ia menganggukkan kepalanya. Namun ia sama sekali tidak tahu, bahwa utusan ayahandanya telah menunggunya dengan membawa kabar yang sangat penting baginya.
Setelah menempuh jalan yang sulit, dan setelah mereka melalui daerah yang mengerikan karena guguran-guguran tebing di sebelah-menyebelah lembah yang mereka lalui, maka mereka pun akhirnya sampai ke daerah hutan perdu, di mana kuda-kuda mereka terikat.
Sejenak mereka beristirahat dan membenahi kuda-kuda mereka yang gelisah. Beberapa orang yang terluka terpaksa naik ke atas punggung kuda dijagai oleh kawannya. Yang tidak terlalu parah masih dapat berkuda sendiri, tetapi ada di antara mereka yang sudah tidak mampu lagi untuk berpegangan pada kendali.
Demikian juga Kiai Gringsing. Tubuhnya masih terlalu lemah untuk berkuda sendiri Karena itu, maka Agung Sedayu terpaksa menjaganya. Dipilihnya kuda yang tegar dan besar. Dan di atas punggung kuda itulah Kiai Gringsing dan Agung Sedayu naik bersama-sama.
Setelah semuanya siap, maka pasukan berkuda itu pun kemudian meniggalkan lembah yang masih saja selalu membekas dalam kenangan setiap orang. Peristiwa yang mengerikan dan hampir tidak dapat mereka percaya, telah terjadi. Tebing yang bagaikan runtuh. Batang-batang kayu yang bergulung-gulung menimbuni lembah. Bahkan beberapa orang kawan mereka telah tertimbun pula di bawah batu dan kayu-kayu itu. Kemudian bentuk-bentuk semu yang hanya dapat mereka lihat di dalam mimpi, namun ternyata bahwa mata mereka seakan-akan telah benar-benar melihatnya.
"Perang yang paling gila yang pernah aku alami," desis Ki Lurah Branjangan. "Aku adalah prajurit Pajang sejak aku masih sangat muda. Aku sudah mengalami banyak sekali peperangan. Namun baru kali ini aku berada di dalam dunia yang seolah-olah hanya sekedar khayalan saja."
Kawannya yang berada di sisinya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia menyahut, "Jika aku ceriterakan pengalaman ini kepada orang lain, maka apakah mereka dapat mempercayainya?"
Ki Lurah Branjangan menggelengkan kepalanya, "Tentu tidak. Dan menurut Ki Waskita semuanya itu adalah sebuah kebohongan yang paling besar yang dapat dibuat oleh Panembahan Agung."
Keduanya pun kemudian terdiam. Mereka memandang lurus ke depan. Ke jalan yang samar di antara batang-batang perdu. Sebentar lagi mereka akan sampai ke tempat yang lebih lapang.
Namun perjalanan mereka tidak dapat lebih cepat lagi, karena mereka harus membawa beberapa orang tawanan yang tidak dapat berjalan secepat seekor kuda. Karena itu, maka perjalanan itu pun menjadi sangat lamban dan hampir merampas kesabaran para pengawal itu.
Tetapi mereka tidak dapat memaksa tawanan mereka berjalan sambil berlari-lari, karena perjalanan yang akan mereka tempuh adalah perjalanan yang cukup jauh.
Sekali-sekali iring-iringan itu harus beristirahat di sepanjang jalan yang mereka lalui. Para tawanan yang tidak dapat berjalan lagi karena luka-luka, mendapat kesempatan untuk naik ke punggung kuda yang tidak berpenumpang. Mungkin karena penumpangnya berkuda bersama kawannya karena keadaan tubuhnya yang lemah. Tetapi mungkin juga karena mereka tidak dapat lagi kembali karena mereka gugur di peperangan yang karena keadaannya, mereka terpaksa dikuburkan di medan dengan ciri-ciri tertentu, sehingga kuburan itu akan tetap dapat dikenal apabila pada suatu saat sanak keluarganya akan pergi menengoknya.
Karena perjalanan yang lambat itulah maka iring-iringan itu tidak dapat mencapai padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Mereka berhenti pada sebuah padukuhan kecil di sebelah hutan yang lebat itu. Padukuhan yang hanya dihuni oleh beberapa orang, yang kerjanya sehari-hari berburu binatang dan mencari kayu.
Baru di pagi harinya mereka meneruskan perjalanan menuju ke induk Tanah Perdikan Menoreh.
Kedatangan pasukan itu disambut dengan berbagai macam perasaan. Ada yang gembira, terharu, tetapi ada juga yang harus menitikkan air mata karena yang ditunggunya terpaksa tidak dapat datang bersama kawan-kawan mereka.
"Mereka adalah bebanten bagi ketenteraman Tanah Perdikan ini," berkata kawan-kawannya menghibur mereka yang kehilangan sanak keluarganya. "Seluruh Tanah Perdikan tidak akan melupakan jasa-jasanya."
Orang yang kehilangan itu menahan isaknya sambil bertanya, "Apakah begitu?"
"Ya. Kita semuanya akan menghargai mereka yang mendahului kita. Untuk selama-lamanya. Anak cucu kita pun harus mengetahui siapa saja yang pernah melakukan pengorbanan tanpa dapat dinilai dengan nilai kebendaan, karena yang mereka korbankan adalah jiwa."
Namun demikian, mereka yang kehilangan masih juga menitikkan air mata. Meskipun nalar mereka dapat mengerti, tetapi perasaan mereka bersikap lain.
Setelah beristirahat sejenak di halaman rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh serta setelah setiap kelompok mengulangi hitungan mereka, maka pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu pun diperkenankan pulang ke rumah masing-masing. Sedangkan yang kemudian menjaga para tawanan adalah para pengawal dari Mataram dan pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang tidak ikut serta pergi ke peperangan.
Dalam pada itu, para pemimpin pasukan pengawal itu pun kemudian naik ke pendapa. Mereka duduk melingkar di atas tikar pandan yang putih
Namun yang tidak ada di antara mereka adalah Ki Waskata. Ia langsung membawa Rudita ke gandok, mendapatkan ibunya yang menunggu dengan hati yang bagaikan dipanggang di atas bara sambil menangis tanpa henti-hentinya.
Pandan Wangi yang merasa bertanggung jawab atas hilangnya Rudita pun kemudian mengikutinya beberapa langkah di belakang Ki Waskita.
Pandan Wangi tidak dapat menahan air matanya yang mengembun di pelupuknya melihat betapa ibu Rudita itu menyambut anaknya yang dikembalikannya kepadanya, setelah hilang untuk beberapa saat lamanya.
Beberapa orang yang ada di pendapa melihat pertemuan itu dengan perasaan haru pula. Namun mereka pun bersukur bahwa Tuhan masih melindungi anak muda itu dan dapat kembali kepada orang tuanya dengan selamat.
Sementara itu di gandok yang lain, Kiai Gringsing terbaring di atas pembaringan ditunggui oleh Agung Sedayu. Namun karena keadaannya sudah menjadi semakin baik, maka Kiai Grigsing pun menyuruh muridnya itu naik ke pendapa bersama dengan para pemimpin yang lain.
"Apakah keadaan Guru sudah baik?" bertanya Agung Sedayu.
"Sudah. Aku sudah menjadi semakin baik. Tinggalkan aku. Aku akan tidur. Dan sebaiknya kau berada di pendapa. Mungkin ada persoalan yang perlu kau dengar."
Agung Sedayu menganggukkan kepalanya. Dengan ragu ragu ia melangkah meninggalkan Kiai Gringsing yang sudah tampak lebih segar.
Tetapi langkahnya tertegun ketika di pintu gandok Agung Sedayu berpapasan dengan Ki Sumangkar yang masih pucat dilayani oleh seorang pengawal.
"Kenapa, Kiai?" bertanya Agung Sedayu.
"Tidak apa-apa. Aku hanya merasa pening. Luka-lukaku agak terasa pedih meskipun tidak mengalirkan darah lagi. Aku hanya ingin beristirahat sejenak mengawani Kiai Gringsing."
Agung Sedayu masih berdiri termangu-mangu.
"Aku tidak apa-apa," berkata Sumangkar kemudian, "aku hanya ingin tidur. Luka-lukaku akan sembuh dalam waktu yang dekat."
Kiai Gringsing tersenyum melihat kehadiran Ki Sumangkar di bilik itu. Katanya, "Marilah kita berlomba, siapakah yang lebih dahulu tertidur."
Ki Sumangkar pun tertawa. Sambil berpaling kepada Agung Sedayu ia berkata, "Apakah kau akan ikut pula?"
Agung Sedayu pun tersenyum. Namun dengan demikian ia tidak ragu-ragu meninggalkan kedua orang-orang tua itu karena keadaan mereka agaknya menjadi berangsur baik.
Sepeninggal Agung Sedayu, maka Ki Sumangkar pun berbisik kepada Kiai Gringsing, "Utusan dari Mataram ternyata telah menunggu Raden Sutawijaya."
"Ki Gede Pemanahan tentu sekedar cemas karena puteranya tidak segera datang," sahut Kiai Gringsing.
"Mungkin. Tetapi jika demikian utusan itu tidak akau memanggil Raden Sutawijaya untuk segera menghadap ayahandanya."
"Kenapa" Seperti ayah dan ibu Rudita, mereka pun tidak sabar menunggu kedatangan anaknya lebih lambat lagi."
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya, "Mungkin demikian. Tetapi masih ada bedanya. Raden Sutawijaya adalah seorang prajurit."
Kiai Gringsing-lah yang kemudian mengangguk-angguk. "Ya, agaknya demikian."
Dalam pada itu, di pendapa, utusan yang sudah ada di Menoreh itu masih berada bersama di antara para pemimpin yang sedang beristirahat sambil menikmati minuman hangat dan sekedar makanan ringan yang tergesa-gesa dipersiapkan.
Namun agaknya suasananya memang dipengaruhi oleh kehadiran beberapa orang utusan dari Mataram itu, karena mereka langsung menyampaikan pesan Ki Gede Pemanahan kepada Raden Sutawijaya.
"Biarlah Raden Sutawijaya beristirahat sehari dua hari di sini," berkata Ki Argapati.
Utusan itu tersenyum. Katanya, "Ki Gede Pemanahan berpesan, agar Raden Sutawijaya segera kembali."
"Apakah sebenarnya yang telah terjadi di Mataram?" bertanya Ki Lurah Branjangan.
"Kami tidak mengetahui dengan pasti," sahut utusan itu, sehingga Ki Lurah Branjangan pun hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Raden Sntawijaya sendiri menjadi gelisah mendengar panggilan ayahandanya. Sekilas terngiang ancaman Daksina bahwa rahasianya tentu akan terbongkar. Gadis dari Kalinyamat itu tidak akan dapat lagi menyembunyikan dirinya akibat hubungannya dengan Raden Sutawijaya.
"Apakah ayahanda sudah mendengar?" ia bertanya kepada diri sendiri. Tetapi hal itu mungkin sekali terjadi karena orang-orang Pajang banyak sekali yang tidak menyukainya lagi, justru karena ia berusaha membuka hutan Mentaok dan menjadikannya sebuah negeri yang ramai.
"Tetapi," berkata Ki Argapati kemudian, "bukankah Ki Gede tidak perlu gelisah lagi, bahwa puteranya telah pasti selamat dan berada di sini?"
Utusan itu masih tersenyum, katanya, "Aku tidak dapat membuat pertimbangan seperti itu menilik pesan yang agaknya sangat mendesak."
Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Baiklah. Aku akan segera kembali. Tetapi aku minta kesempatan untuk beristirahat sejenak. Aku harus membersihkan diri dahulu. Demikian juga para pengawal. Kami harus mengurus orang-orang yang terluka dan para tawanan."
"Tentu, Raden. Kami akan membantu. Bukan maksud kami, Raden harus berangkat sekarang. Tetapi sudah barang tentu Raden akan berkemas lebih dahulu dan beristirahat secukupnya. Tetapi tidak terlampau lama."
Raden Sutawijaya merasa bahwa sesuatu yang sangat penting telah terjadi. Dan firasatnya pun telah mengatakan kepadanya, bahwa persoalan yang dihadapi adalah persoalan gadis dari Kalinyamat itu. Gadis yang seharusnya disediakan untuk ayahandanya Sultan Pajang, namun yang terjadi adalah di luar kemampuannya untuk menghindar.
Sutawijaya yang termangu-mangu itu pun kemudan mencoba mengusir kegelisahannya. Di pendapa itu masih ada beberapa orang yang duduk sambil menghirup minuman hangat dan makanan sepotong-sepotong.
Pandan Wangi yang sekali-sekali masih mengusap matanya yang basah telah duduk di pendapa pula, sedang Ki Argapati-lah yang kemudian turun dari pendapa menemui Ki Waskita dan isterinya.
"Kami berterima kasih kepada Ki Gede dengan para pengawal dari Menoreh dan Mataram," berkata Ki Waskita.
"Ah, justru kamilah yang berterima kasih kepada Ki Waskita. Tanpa Ki Waskita, kami tidak akan kembali dengan selamat," sahut Ki Gede Menoreh.
Namun dengan segera Ki Waskita memotong, "Aku tidak berbuat apa-apa. Aku sekedar menggantungkan diri kepada kalian. Aku hanya sekedar orang yang mencoba melihat isyarat buat masa depan yang sebenarnya tidak jelas."
Ki Gede mengerutkan keningnya. Apalagi ketika dilihatnya wajah Rudita yang keheran-heranan.
"Aku tidak lebih dari sebuah beban bagi Ki Gede," berkata Ki Waskita. Sambil berpaling kepada anaknya ia melanjutkan, "Kau harus mengucapkan terima kasih. Kau tahu bahwa ayahmu tidak lebih adalah seorang tukang ramal yang lebih banyak gagal dari hasil yang memadai. Tanpa pasukan pengawal Menoreh dan Mataram, kau benar-benar telah hilang."
Rudita masih termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata, "Ki Gede. Aku mengucapkan terima kasih kepada Ki Gede, kepada pasukan pengawal Menoreh dan Mataram, kepada Pandan Wangi, kepada Prastawa kepada Ki Demang dari Sangkal Putung, Kiai Gringsing dan kedua muridnya, dan terlebih-lebih kepada Ki Sumangkar. Ki Sumangkar-lah yang secara langsung membebaskan aku dari kekuasaan mereka."
Ki Argapati mengerutkan keningnya. Ia merasakan nada yang berbeda pada cara Rudita menyatakan perasaannya.
"Ki Gede," berkata Rudita kemudian, "agaknya selama ini aku telah keliru menilai diriku sendiri."
"Rudita," hampir berbareng Ki Waskita dan ibunya memotong meskipun tanggapan mereka berbeda-beda.
"Kau tidak keliru, Rudita," berkata ibunya, "kamilah yang kurang berhati-hati menjagamu. Ayahmu terlalu lengah karena ia telah melepaskanmu berburu hanya dengan anak-anak muda." Ibunya berhenti sejenak, lalu, "Aku pun tidak dapat menyalahkan anak-anak muda itu, karena mereka pun masih dipengaruhi oleh kemudaannya dan memburu kesenangan diri masing-masing."
Ki Argapati mengerutkan keningnya, sedang Ki Waskita pun dengan tergesa-gesa menyahut, "Tentu tidak, Nyai. Meskipun mereka masih muda, tetapi sikap mereka cukup dewasa."
"Tetapi tentu berbeda dengan orang-orang tua."
"Ya," potong Ki Argapati, "tentu berbeda dengan orang-orang tua. Biasanya anak-anak lebih memperhatikan diri sendiri seperti yang dikatakan oleh Nyai Waskita. Tetapi orang tua lebih banyak menjaga anak-anaknya dan anak-anak muda yang bersamanya."
"Nah," sahut Nyai Waskita, "bukankah benar kataku. Kau jangan menyalahkan anakmu saja. Meskipun aku juga tidak menyalahkan anak-anak muda yang bersamanya, tetapi bahwa keadaan yang demikian itulah yang telah memungkinkan Rudita hilang."
"Tetapi kita sekarang tinggallah mengucap sukur," Ki Argapati menyela, "dan Rudita sudah ada di antara kita."
"Ya. Demikianlah aku mengucap sukur kepada semuanya, terutama kepada kemurahan Yang Maha Agung."
Ki Argapati memandang Rudita yang menundukkan kepalanya sejenak, lalu katanya, "Tenteramkan hatimu. Kau sudah berada di sarang sendiri, di bawah sayap induk yang akan selalu melindungmu. Dan agaknya indukmu adalah seekor burung garuda yang luar biasa."
"Aku tidak mengerti, Ki Gede," desis Ki Waskita, "tetapi bagaimana pun juga, aku mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga."
Demikianlah Ki Argapati pun kembali ke pendapa. Ternyata Raden Sutawijaya masih tetap duduk di tempatnya. Agaknya ia masih sangat segan untuk segera berkemas dan kembali ke Mataram. Karena itulah, maka Ki Gede sama sekali tidak bertanya apa pun kepadanya.
Sepeninggal Ki Argapati, ibu Rudita agaknya masih belum puas mendengar pembicaraan suaminya dengan Ki Argapati. Katanya, "Kiai, sebenarnya Kiai harus menunjukkan kekecewaan kita terhadap anak-anak muda itu. Kiai jangan mencari kesalahan pada Rudita. Adalah suatu kurnia bahwa mereka berhasil menemukan Rudita. Jika tidak, maka anak itu akan benar-benar sudah hilang. Dan akulah orang yang akan merasa paling pedih karena kehilangan itu. Bukan Ki Argapati, bukan tamu-tamu dari Sangkal Putung itu dan bukan anak-anak muda yang membawanya tanpa bertanggung jawab itu."
"Kau jangan menyalahkan mereka Nyai. Mereka adalah anak-anak muda yang sebaya dengan Rudita."
"Siapa pun mereka, tetapi mereka telah membawanya."
"Tidak, Ibu," potong Rudita tiba-tiba saja, "seharusnya Ibu tidak menganggap bahwa mereka telah membawa aku serta di dalam perburuan itu. Tetapi yang benar, kami pergi bersama-sama. Karena aku pun anak muda yang sudah sebaya dengan mereka, sehingga di antara kita, tidak ada yang harus mempertanggung-jawabkan yang seorang atas yang lain."
Ibu Rudita menjadi heran mendengar jawaban itu. Demikian juga ayahnya. Tetapi tanggapan mereka terhadap Rudta menjadi semakin jauh berbeda. Ki Waskita melihat sesuatu yang tumbuh dan berkembang pada anaknya seperti yang diharapkannya. Sedang ibunya sama sekali tidak mengerti, kenapa Rudita menjawab demikian.
"Rudita," berkata ibunya, "kenapa kau menganggap bahwa kau tidak pergi bersama anak-anak muda itu di dalam tanggung jawab mereka. Bukankah mereka telah membawamu?"
"Seperti juga Pandan Wangi tidak bertanggung jawab atas Prastawa, dan juga Prastawa tidak bertanggung jawab atas Agung Sedayu, maka kenapa mereka harus bertanggung jawab atasku?"
"Tetapi kedudukanmu lain dari mereka, Rudita. Mereka adalah anak-anak yang sudah terbiasa melakukan perburuan atau pekerjaan-pekerjaan kasar seperti itu. Tetapi tidak dengan kau. Kau adalah anakku. Kau wajib mendapat perlindungan sebaik-baiknya. Jika kau hilang, maka aku akan kehilangan milikku yang paling berharga di muka bumi ini. Tetapi jika orang lain, anak-anak Sangkal Putung itu, aku sama sekali tidak akan merasa kehilangan apa pun juga. Aku mungkin akan terharu dan iba jika terjadi sesuatu atas mereka, tetapi aku sendiri tidak kehilangan apa pun juga."
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sebelum la menyahut ternyata Rudita berkata, "Ibu memandang persoalan ini dari satu segi. Coba katakan, apakah kira-kira yang akan terjadi seandainya Swandaru itu hilang. Aku tidak menyebut Agung Sedayu, karena ia adalah anak yatim piatu. Jika Swandaru hilang, maka banyak sekali orang yang akan merasa kehilangan adbmcadangan.wordpress.com. Ibunya. Tentu ia akan berkata seperti ibu. Swandaru adalah miliknya yang paling berharga. Kemudian ayahnya. Seperti Ayah, Ki Demang Sangkal Putung menganggap Swandaru adalah anak yang paling baik. Tetapi masih ada orang lain yang merasa kehilangan. Luka di hatinya tentu akan sangat parah. Orang itu adalah Pandan Wangi dan ayahnya."
"Rudita," potong ibunya. Wajahnya benar-benar diwarnai oleh keheranan yang menghentak dadanya.
"Sudahlah," berkata Ki Waskita menengahi, "Rudita baru saja dicengkam oleh kegelisahan yang sangat. Mungkin sesuatu telah terjadi di dalam dirinya. Kita belum dapat menilai, apakah ia akan menjadi semakin dewasa atau sebaliknya. Karena itu biarlah ia beristirahat. Pengaruh goncangan perasaannya itu tentu masih terasa. Dan karena itulah maka kau seakan-akan tidak mengenali lagi perasaan anakmu. Tetapi jika ia sudah tenang, maka biarlah ia menilai dirinya sendiri."
Ibunya mengusap air matanya. Dibelainya kepala anaknya. Lalu katanya, "Tenangkan hatimu, Anakku. Kita berada di halaman rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang dijaga dengan baik. Kau akan dapat tidur nyenyak dan beristirahat sebaik-baiknya."
Rudita menganggukkan kepalanya.
"Jika kau memerlukan sesuatu, kau dapat mengatakannya kepadaku. Di sini banyak pelayan yang dapat melayanimu."
Sekail lagi Rudita mengangguk. Tetapi kata-kata ibunya itu kini bukannya ditelannya begitu saja, tetapi ia sudah mulai mencernakannya.
Ketika ibunya pergi ke belakang, dan berada di antara para pelayan dan tetangga yang sibuk menyediakan makan dan minuman bagi para pengawal di halaman depan, maka Ki Waskita pun mendekati anaknya sambil bertanya, "Rudita, siapakah yang mengajarimu bahwa kepergianmu ke hutan perburuan itu sama sekali bukannya menjadi beban tanggung jawab orang lain, tetapi sekedar pergi bersama-sama di dalam tanggung jawab kalian masing-masing?"
Rudita memandang ayahnya sejenak, lalu, "Apakah maksud Ayah?"
"Rudita, aku memang melihat sesuatu berubah di dalam dirimu."
Rudita menarik nafas dalam-dalam. Ki Waskita tidak lagi melihat mata anaknya itu mengembun dan menitikkan air mata. Mulutnya tidak lagi menyeringai dibuat-buat untuk memberikan tekanan kepada usahanya menarik perhatian orang lain.
"Ayah," berkata Rudita, "pengalaman beberapa hari ini telah membangunkan aku. Aku tidak tahu, kenapa aku merasa bahwa aku memang agak lain dari anak-anak muda itu. Mereka berbuat sesuatu untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Tetapi aku tidak. Aku masih saja menggantungkan diriku kepada orang lain seperti aku berada di rumah, di antara Ayah dan ibu. Dan agaknya ibu memang mendidik aku untuk selalu bergantung kepada orang lain."
Ki Waskita menepuk bahu anaknya. Sesuatu telah bergetar di dalam hatinya, seakan-akan ia melihat cahaya terang yang memercik di sanubari anaknya.
"Rudita," berkata ayahnya, "kau telah tumbuh ke arah yang benar. Kau masih mempunyai waktu untuk meraih bentuk dirimu. Meskipun barangkali tidak untuk menjadi anak-anak muda seperti Agung Sedayu dan Swandaru."
Rudita menganggukkan kepalanya.
"Banyak cara yang dapat di tempuh untuk menentukan diri sendiri. Ciri seorang yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri bukannya hanya ada pada mereka yang pandai bermain pedang dan tombak."
Sekali lagi Rudita menganggukkan kepalanya.
"Rudita, betapa pun dahsyatnya ilmu yang dimiliki seseorang namun sebenarnya bahwa tujuan setiap manusia adalah perasaan damai dan tenang. Kehidupan yang aman tenteram. Bukankah seseorang mempelajari ilmu sejauh-jauhnya sekedar berusaha melindungi dirinya dari ketidak-tenangan. Dengan ilmu itu ia menjadi tenang karena ia merasa tidak ada orang lain yang dapat mengganggunya dan menghalang-halangi kehendaknya. Meskipun ada satu dua perkecualian, namun demikianlah pada umumnya."
Rudita tidak menyahut. Tetapi kepalanya pun kemudian tertunduk. Rasa-rasanya di dalam waktu terakhir, di sepanjang pulang kembali ke induk Tanah Perdikan Menoreh ini, hatinya bergejolak dahsyat sekali. Seolah-olah ada sesuatu yang saling berbenturan dan melingkar-lingkar di dalam hatinya itu.
Tetapi di dalam waktu yang singkat itu, Rudita masih belum dapat menemukan apakah yang sebenarnya kini sedang berkembang di dalam dirinya. Namun ia mulai meyakini bahwa jalan yang dilaluinya selama ini tidak menguntungkannya.
Dalam pada itu, para pengawal dari Mataram yang bertebaran di halaman, telah mendapatkan makan mereka masing-masing. Mereka sebenarnya masih juga segan untuk segera berangkat kembali ke Mataram karena badan mereka yang masih terasa letih setelah melakukan peperangan yang dahsyat itu. Namun ada juga dorongan untuk segera kembali kepada keluarga mereka yang menunggu siang dan malam. Karena itu, maka mereka tidak mengerti tentang diri mereka sendiri, manakah yang lebih-baik, segera kembali atau beristirahat barang semalam di Menoreh.
"Terserah kepada Raden Sutawijaya," berkata seorang pengawal yang sudah setengah tua, "tetapi ada juga baiknya kita pulang. Sama sekali kita menjadi letih. Tetapi kita segera berada di antara keluarga."
Seorang pengawal yang masih muda menarik nafas. Katanya, "Sebenarnya aku ingin tidur sejenak."
"Tidurlah. Tidak ada yang melarangmu tidur. Mungkin di bawah jambu itu kau dapat tidur nyenyak," sahut seorang kawannya.
"Aku masih malas untuk meneruskan perjalanan."
"Kau masih sendiri," berkata seorang yang sudah lebih tua sedikit daripadanya.
"Ah, tentu. Kau penganten baru," jawab pengawal yang muda itu.
"Sudahlah," sahut yang sudah setengah umur, "sekarang tidur sajalah. Nanti jika pasukan ini benar-benar akan segera kembali ke Mataram, aku akan membangunkanmu."
Pengawal muda itu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun segera berbaring di bawah pohon jambu yang sejuk, sehingga beberapa saat kemudian, ia pun benar-benar telah tertidur.
Ternyata bukan hanya pengawal muda itu saja yang telah tertidur. Di kebun belakang, beberapa orang pengawal bertebaran dan tidur silang melintang.
Di pendapa, Sutawijaya sama sekali tidak sempat beristirahat dengan baik. Utusan ayahnya benar-benar tidak memberinya kesempatan untuk menunda perjalanannya kembali ke Mataram.
Karena itu, setelah pasukannya beristirahat beberapa lamanya, maka Sutawijaya pun membenahi dirinya. Untuk menyegarkan tubuhnya, maka ia pun memerlukan mandi di pakiwan. Kemudian bersiap-siap untuk meneruskan perjalanannya.
Para pengawal dari Mataram pun kemudian berkemas pula. Ada di antara mereka yang masih segan untuk bangun meskipun mereka hanya sekedar bersandar tiang gedogan.
Tetapi Sutawijaya pun memutuskan untuk segera kembali ke Mataram. Baginya hal itu tentu lebih baik. Ia tidak akan dapat beristirahat dengan tenang di Tanah Perdikan Menoreh, karena ayahnya sudah mengharapnya menghadap karena ada persoalan yang cukup penting.
Demikianlah, maka Raden Sutawijaya itu pun segera mohon diri kepada Ki Argapati. Dengan mengucapkan terima kasih, maka ia terpaksa sekali segera meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh.
"Agaknya persoalan yang akan disampaikan oleh ayahanda Raden cukup penting."
Raden Sutawljaya hanya tersenyum saja.
"Kami di sini tidak dapat memaksa Raden untuk tinggal lebih lama lagi, jika ayahanda memang ingin segera bertemu dengan Raden."
Raden Sutawijaya pun kemudian minta diri pula kepada orang-orang tua yang ada di Induk Tanah Perdikan Menoreh. Kepada Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, Ki Demang Sangkal Putung, dan terutama kepada Ki Waskita.
"Jasa Ki Waskita tidak akan dilupakan. Bukan saja olehku dan pasukanku, tetapi oleh seluruh Tanah Mataram."
"Ah," Ki Waskita berdesah, "sudahlah, Raden. Aku sudah senang sekali bahwa aku dapat bertemu dengan anakku. Tidak ada yang lebih baik dari ketenangan di dalam hidup kekeluargaan. Dan agaknya Rudita pun akan menempuh jalan yang sudah terbuka baginya. Ketenangan di dalam hati sendiri."
Raden Sutawijaya memandang wajah Rudita sejenak. Tetapi anak muda yang perkasa itu mengerutkan keningnya. Seakan-akan wajah Rudita itu adalah wajah yang lain dari yang dilihatnya pada saat anak itu belum hilang. Dan bahkan sesaat setelah ia diketemukan.
"Memang ada sesuatu yang berkembang di dalam jiwa anak itu," berkata Raden Sutawijaya di dalam hatinya.
Demkianlah, maka pasukan pengawal dari Mataram itu pun segera bersiap untuk berangkat. Atas persetujuan Ki Argapati, maka para tawanan pun akan dibawanya pula bersama pasukan itu ke Mataram. Karena jumlah mereka tidak begitu banyak lagi maka Sutawijaya pun meminjam beberapa ekor kuda di samping kuda-kuda pasukan Mataram sendiri yang tersisa, untuk membawa tawanan-tawanan itu.
"Kita akan segera mengembalikan," berkata Sutawijaya.
Ketika pasukan pengawal itu mulai bergerak, anak-anak muda dari Sangkal Putung dan Menoreh melambaikan tangannya. Bahkan Prastawa telah melambaikan kedua belah tangannya, sedang Pandan Wangi memandangi pasukan itu dengan senyum yang tergores di bibirnya.
"Menoreh akan segera menjadi sunyi kembali," desisnya.
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Memang Menoreh akan menjadi sunyi. Setelah terasa kegelisahan dan kesibukan di seluruh tlatah Menoreh, meskipun pertempuran itu hanya terjadi di salah satu sudutnya saja, maka kini semuanya itu telah berlalu.
Yang tinggal adalah kepedihan hati mereka yang telah kehilangan keluarganya di peperangan itu. Seakan-akan masih terdengar isak tangis mereka di antara derap kaki-kaki kuda yang gemeretak di atas tanah berbatu-batu.
Demikianlah, maka mereka yang berada di regol pun perlahan-lahan melangkah melintasi halaman dan kembali ke pendapa. Sedang Agung Sedayu dan Swandaru pergi sejenak ke gandok menengok Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar yang masih berbaring.
"Raden Sutawijaya itu sudah berangkat?" bertanya Kiai Gringsing.
"Ya, Guru," jawab Agung Sedayu dan Swandaru hampir bersamaan.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak berkata apa pun lagi. Sumangkar pun agaknya lebih senang mengangguk-angguk saja tanpa bertanya sesuatu. Sambil melangkah ke pendapa, Swandaru berdesis ragu, "Apakah kau tahu apakah yang penting bagi Raden Sutawljaya itu?"
Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Aku tidak tahu."
"Bagaimana pendapatmu tentang gadis yang disebut-sebut oleh beberapa orang termasuk Daksina" Apakah agaknya gadis itu telah menumbuhkan persoalan yang pentang bagi Raden Sutawijaya?"
"Mungkin. Bahkan mungkin bukan saja bagi Raden Sutawijaya. Tetapi juga bagi Mataram."
Swandaru menarik nafas. Katanya, "Agaknya memang demikian. Gadis itu gadis yang penting bagi Sultan Pajang. Menurut pendengaran kami, Sultan Pajang adalah seorang raja yang agak banyak terlibat hubungan dengan perempuan."
"Ya. Dan itulah kelemahan Sultan Pajang."
"Tetapi agaknya Raden Sutawijaya pun demikian."
Agung Sedayu hanya menundukkan kepalanya saja. Meskipun tidak jelas baginya, namun ia dapat menduga, bahwa agaknya Sultan Pajang telah mendengar, bahwa salah seorang gadis yang ditemukannya di Kalinyamat itu telah membuat hubungan dengan Raden Sutawijaya tanpa ijinnya. Dan apabila persoalannya telah memuncak, maka persoalan pribadi itu akan membakar hubungan baik antara Pajang dan Mataram yang nampaknya memang sudah menjadi semakin buram.
Tetapi keduanya tidak memperbincangkannya lagi. Mereka pun kemudian duduk di pendapa bersama beberapa orang pemimpin Tanah Perdikan Menoreh. Ki Argapati sendiri telah masuk ke dalam rumah bersama Pandan Wangi.
Prastawa yang masih ada di pendapa pun kemudian mendekatinya sambil berkata, "Aku akan ke belakang dahulu."
Agung Sedayu merenung sejenak, lalu, "Aku ikut bersamamu."
Prastawa memandang Agung Sedayu sejenak, lalu berpaling kepada Swandaru, "Kau di sini mengawani Ki Demang sejenak?"
"Aku ikut ke belakang."
"Biarlah ia ikut ke belakang. Barangkali ia dapat membantu mengambil air atau membersihkan kuda," potong Ki Demang Sangkal Putung. "Aku akan menengok Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar."
Demikianlah maka mereka pun telah meninggalkan pendapa. Tetapi di pendapa itu masih ada beberapa orang pemimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun agaknya Menoreh telah menjadi tenang kembali, namun di setiap padukuhan harus dipersiapkan penjagaan yang baik. Orang-orang yang berhasil melarikan diri dari padepokan yang pecah itu tentu akan bertebaran ke mana-mana. Mungkin ke tlatah Tanah Perdikan Menoreh. Mungkin justru memasuki daerah adbmcadangan.wordpress.com Mataram yang sedang dibuka. Tetapi mungkin juga mereka memasuki Tanah Mataram dengan tujuan yang sudah jauh berbeda dengan yang pernah mereka lakukan. Mereka memasuki tlatah Mataram dengan niat yang baik. Karena mereka telah kehilangan pegangan, maka mereka merasa lebih baik membuka hutan dan hidup wajar di dalam sebuah padukuhan yang baru bersama orang-orang yang baru dalam suasana yang lain dari suasana kehidupan di padepokan Panembahan Agung.
Dalam pada itu, di gandok yang lain, Ki Waskita duduk di amben yang besar bersandar dinding. Dibiarkannya angan-angannya terbang dari waktu ke waktu. Yang baru saja terjadi di lembah terasing itu telah mengungkapkan masa hidupnya yang lampau. Petualangan yang kadang-kadang agak binal. Namun kemudian semakin matang ia menguasai ilmunya, maka rasa-rasanya apa yang sudah dilakukannya itu bagaikan bayangan yang pahit. Dengan sepenuh hati maka ia bertekad untuk menghentikannya.
Maka Ki Waskita memilih suatu kehidupan yang tenang. Meskipun sebagian dari ilmunya masih terus dapat dipergunakan, ia memiliki kurnia dari Yang Maha Kuasa untuk melihat isyarat bagi masa dan tempat yang terpisah oleh waktu dan jarak. Dan karena ilmu itu dirasakannya tidak merugikan orang lain, maka ia masih tetap mempergunakannya.
Tetapi pada suatu saat ia harus mempergunakan ilmu yang lain, yang telah disimpannya untuk beberapa lama.
"Untunglah Rudita tidak melihat seluruhnya, sehingga ia tidak akan menuntut untuk mewarisinya." Ki Waskita berhenti sejenak, lalu, "Aku kira ilmu ini tidak sesuai dengan jiwanya yang agak lemah. Ia memandang semuanya dari kepentingan diri sendiri." Ki Waskita mengerutkan keningnya sejenak, lalu, "Tetapi agaknya ia telah berubah. Tetapi tidak seorang pun dapat menjamin, bahwa apabila ia memiliki ilmu itu, ia akan menjadi semakin mengendap."
Dan sekilas terbayang olehnya Panembahan Agung yang salah langkah justru karena ia memiliki ilmu yang dahsyat itu.
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ia adalah orang yang berusaha memandang persoalan yang dihadapinya, apalagi yang menyangkut orang banyak dengan sejujur-jujurnya. Meskipun Rudita adalah anaknya sendiri, tetapi ia tidak dapat dengan begitu saja memberikan pengetahuan yang dapat membahayakan ketenangan lingkungannya seperti Panembahan Agung.
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ia mengucapkan sukur di dalam hatinya, bahwa Yang Maha Kuasa memberikan tuntunan kepadanya sehingga ia tidak kehilangan akal karena justru ia telah berhasil menguasai beberapa macam ilmu yang dahsyat, dan bahwa ia masih dapat menyumbangkan ilmunya bagi ketenangan hidup sesamanya.
Namun agaknya Ki Waskita masih mempunyai banyak harapan pada anak laki-lakinya itu untuk menemukan jalan yang baik dan matang. Meskipun sebagai seorang ayah Ki Waskita dibayangi oleh keragu-raguan dan kecemasan sehingga ia tidak berani melihat isyarat bagi masa depan Rudita, tetapi berdasarkan perkembangan pribadinya yang dirasakannya di saat terakhir, agaknya Rudita akan menemukan dirinya bukan sebagai seorang anak yang cengeng, manja, dan mementingkan dirinya sendiri.
Meskipun demkian setiap kali ia ingin mencoba melihat masa depan anaknya, ia masih saja dibayangi oleh keragu-raguan. Ia tidak akan begitu banyak terpengaruh seandainya ia melihat kemungkinan yang buram bagi orang lain. Bahkan, ia merasa beruntung bahwa ia dapat memberitahukannya, sehingga orang itu sempat mempersiapkan dirinya dan menjauhkan kemungkinan yang lebih buruk lagi. Tetapi jika yang dilihatnya itu adalah masa yang buram bagi anaknya sendiri, maka hatinya tentu akan menjadi sangat bersedih. Dan itu pun disadarinya, bahwa kelemahan hati manusiawinyalah yang telah membuatnya takut melihat kenyataan yang bakal dihadapi.
Di belakang, pada saat itu Prastawa sibuk dengan kerjanya. Meskipun sebenarnya ia masih lelah, namun ia termasuk anak yang rajin. Ia harus membersihkan kuda yang baru saja mereka pakai ke medan. Kuda yang dipergunakan oleh pamannya dan Pandan Wangi.
Tetapi kini ia mendapat kawan bekerja. Agung Sedayu dan Swandaru pun termasuk anak-anak muda yang biasa bekerja berat, selain beberapa orang pelayan.
Agung Sedayu dan Swandaru tidak saja sekedar membersihkan kuda yang mereka pakai sendiri, tetapi juga kuda-kuda Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar.
"Daripada kita kehabisan waktu menimba air, bagaimana jika kuda-kuda ini kita bawa saja ke sungai?" berkata Swandaru.
Prastawa mengerutkan keningnya. Katanya, "Tetapi tentu tidak sebanyak ini. Nanti kita pergi ke sungai membawa beberapa saja yang mudah dikuasai."
Demikianlah, setelah sebagian dibersihkan di halaman belakang dan dimasukkan ke dalam gedogan, maka yang lain pun dimandikannya di sungai. Mereka membawa kuda-kuda itu ke dalam air sehingga dengan mudah mereka memandikannya tanpa menghabiskan tenaga untuk menimba.
Dalam pada itu selagi mereka sibuk dengan kuda-kuda itu, seseorang perlahan-lahan mendekatinya dengan ragu-ragu. Sejenak ia berdiri di tepian. Namun kemudian ia melangkah mendekat.
Prastawa-lah yang mula-mula melihatnya, sambil mengerutkan keningnya ia berdesis, "Anak cengeng itu datang pula kemari."
Swandaru berpaling sejenak. Kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, "Aku juga termasuk anak manja. Tetapi aku tahu bahwa manja yang berlebih-lebihan seperti itu sama sekali tidak menguntungkan."
Agung Sedayu yang juga berpaling tidak berkata sepatah kata pun.Namun ia melihat sesuatu yang lain di wajah anak muda yang bernama Rudita itu. Tetapi karena ia tidak yakin akan penglihatannya, maka ia pun sama sekali tidak mengatakannya.
Prastawa yang benar-benar telah menjadi jemu melayani Rudita, masih saja berpura-pura tidak melihatnya. Bahkan ia telah bergeser dan membelakangi anak muda yang berdiri di tepian itu. Nampaknya ia masih saja sibuk memercikkan air ke tubuh kuda yang sedang dimandikannya.
Ternyata Swandaru pun tidak menghiraukannya sama sekali. Seperti Prastawa ia sibuk dengan kudanya dan menggosoknya dengan sepotong kain.
Agung Sedayu-lah yang kemudian tidak sampai hati membiarkan anak muda itu terlalu lama berdiri termangu-mangu di tepian. Karena itulah maka anak muda itu pun mengangkat wajahnya dan seakan-akan baru saja melihat Rudita itu berdiri di situ.
"O, kau?" bertanya Agung Sedayu.
Rudita menganggukkan kepalanya. Jawabnya lambat, "Ya."
"Kenapa kau kemari?" bertanya Agung Sedayu pula.
Rudita termangu-mangu sejenak, lalu dengan ragu-ragu ia bertanya, "Apakah aku dapat membantu kalian memandikan kuda-kuda itu?"
Pertanyaan itu ternyata telah mengejutkan, sehingga Prastawa dan Swandaru pun terhenti sejenak sambil memandang Rudita yang termangu-mangu.
"Kau akan memandikan kuda?" bertanya Prastawa.
Rudita mengerutkan keningnya. Jawabnya, "Aku memang tidak biasa memandikan kuda, Prastawa. Tetapi aku ingin belajar melakukannya, akhirnya aku berpendapat, bahwa pada suatu saat aku pun harus memandikan kuda seperti yang kalian lakukan."
Prastawa dan Swandaru saling berpandangan sejenak, sedang Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Seakan-akan ia melihat bayangannya sendiri pada anak muda yang bernama Rudita itu. Sebagai seorang anak muda yang pernah mengalami perkembangan pribadi yang cukup berat, maka Agung Sedayu segera dapat merasakan, ada sesuatu yang bergejolak di hati Rudita.
Karena itu, maka ialah yang mula-mula menanggapinya dengan penuh minat. Sejenak dipandanginya wajah Rudita yang nampak bersungguh-sungguh. Kemudian sambil menganggukkan kepalanya ia berkata, "Kemarilah jika kau memang ingin mencoba menyesuaikan dirimu dengan kehidupan yang barangkali agak terlampau keras bagimu."
"Ya. Aku selama ini menganggap bahwa aku dapat berbuat apa saja tanpa berbuat sesuatu."
Swandaru dan Prastawa mulai merasakan getaran di dalam hati anak muda itu. Wajah Rudita nampaknya telah berubah. Tatapan matanya tidak lagi memancarkan perintah yang tidak berkeputusan. Mulutnya tidak lagi menuntut perhatian orang lain dan ia mulai mendengarkan pendapat orang lain atas dirinya.
Anak-anak muda itu pun menjadi iba kepadanya. Prastawa yang mula-mula merasa sangat jemu karena tingkah lakunya, kini menganggap anak itu sebagai anak yang paling malang.
"Apakah kau benar-benar akan mencoba memandikan kuda?" hampir di luar sadarnya Swandaru bertanya.
Rudita mengangguk. "Baiklah. Kemarilah. Kau tentu akan segera dapat melakukannya. Jika kau tidak mengejutkan kuda yang sedang kau mandikan, maka kuda itu pun tidak akan berusaha untuk lari."
Perlahan-lahan Rudita melangkah ke dalam air sungai yang tidak begitu dalam. Kakinya memang agak merasa sakit karena batu-batu kerikil, tetapi sama sekali tidak dihiraukannya, sehingga semakin lama ia pun menjadi semakin ke tengah mendekati anak-anak muda yang sedang memandikan kuda itu.
Sejenak kemudian Rudita telah ikut serta memandikan kuda-kuda itu. Semula tangannya memang agak canggung. Tetapi semakin lama pekerjaan itu menjadi semakin menarik. Bahkan rasa-rasanya ia menemukan kegembiraan baru di dalam percikan-percikan air sungai itu.
Rudita tidak menghiraukan lagi pakaiannya yang kemudian menjadi basah kuyup seperti pakaian anak-anak muda yang lain. Tetapi Rudita tidak mau melepaskan bajunya seperti kawan-kawannya. Karena itu, maka baju yang masih dipakainya itu pun menjadi kuyup pula karenanya.
Sejenak kemudian maka anak-anak muda itu pun menuntun kuda-kuda itu kembali ke rumah Ki Argapati. Tidak banyak orang yang memperhatikannya. Mereka yang bertemu di sepanjang jalan, sekedar mengangggukkan kepalanya, karena mereka sudah mengenal anak-anak muda itu, sedang memandikan kuda sama sekali bukan pekerjaan yang aneh bagi mereka.
Ketika mereka sampat di rumah Ki Argapati, maka mereka pun segera memasukkan kuda-kuda itu ke dalam kandang. Kemudian anak-anak muda itu pun kembali ke bilik masing-masing untuk mengambil ganti pakaian yang basah. Mereka masih akan mengguyur tubuh mereka di pakiwan sebelum mereka berganti pakaian.
Berbeda dengan Agung Sedayu, Swandaru dan Prastawa yang setelah memberikan keterangan bahwa mereka baru saja memandikan kuda di sungai maka pakaian mereka yang basah sama sekali tidak menjadikan persoalan apa pun, namun ternyata bahwa pakaian Rudita yang basah telah sangat mengejutkan ibunya.
"Kenapa pakaianmu Rudita" Dan apalagi yang telah terjadi atasmu?"
Rudita memandang ibunya sejenak, lalu jawabnya dengan tenang, "Aku ikut memandikan kuda di sungai, Ibu."
"Memandikan kuda?" ibunya mengulangi dengan mata terbelalak. "He, kenapa kau harus memandikan kuda" Apakah tidak ada seorang pelayan pun yang mau memandikan kudamu dan barangkali juga kuda ayahmu?"
"Aku ikut dengan Agung Sedayu, Swandaru, dan Prastawa."
"Kenapa kau ikut dengan anak-anak itu" Kau dapat menyuruh orang lain. Atau barangkali kau dapat menyuruh anak-anak itu memandikan kudamu dengan sekedar upah."
Tetapi kali ini Rudita menggelengkan kepalanya. Katanya, "Ternyata senang sekali memandikan kuda di sungai. Barangkali kerja yang lain pun memberikan kegembiraan yang serupa. Aku belum pernah pergi ke sawah untuk membajak dan mencangkul. Aku kira pekerjaan itu pun memberikan kepuasan tersendiri. Apalagi jika kelak kita memetik hasilnya."
"He, aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan?"
"Ibu," berkata Rudita, "ternyata aku selama ini telah jauh ketinggalan dari anak-anak muda sebayaku. Aku tidak dapat mengerjakan apa yang sanggup mereka lakukan dengan baik."
"O, Rudita. Apakah sebenarnya yang telah terjadi atasmu. Kenapa kau tiba-tiba saja telah berubah. Kau tidak perlu berbuat apa-apa anakku. Kau tidak perlu berbuat seperti anak-anak padesan itu. Kita mempunyai banyak pelayan di rumah. Kita mempunyai uang untuk mengupah orang-orang yang dapat mengerjakan pekerjaan kita."
"Itulah yang membuat aku ketinggalan, Ibu. Terlalu jauh."
Ibunya masih akan menjawab. Tetapi mereka berpaling ketika terdengar suara, "Tetapi masih ada kesempatan mengejar ketinggalan itu, Rudita."
Ibunya memandang Ki Waskita yang berdiri di muka pintu sambil menatap wajah anaknya. Dengan nada yang datar ayahnya itu berkata selanjutnya, "Kau agaknya telah menemukan jalan yang benar anakku."
"Apakah yang kau maksud, Kiai?" bertanya ibu Rudita itu. "Apakah kau akan menjadikan anak kita seperti anak-anak padesan yang melarat itu dan membuatnya menjadi budak" Tidak. Anakku harus menjadi anak yang lebih baik dari mereka. Anakku tidak seharusnya bekerja di sawah, apalagi memandikan kuda."
Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Seharusnya kita berterima kasih, bahwa sepercik cahaya terang telah memancar di hati anak kita itu."
Nyai Waskita termangu-mangu sejenak. Tetapi nampak pada sorot matanya bahwa ia tidak dapat mengerti keterangan suaminya. Baginya Rudita adalah anak yang lain dari anak-anak padesan. Bahkan bagi ibu Rudita itu, anaknya adalah anak yang lebih tinggi martabatnya dengan anak-anak Sangkal Putung meskipun yang seorang dari keduanya adalah anak Demang di Sangkal Putung.
Tetapi ibu Rudita itu tidak berusaha mengetahui lebih banyak tentang sikap suaminya. Ia seolah-olah telah menentukan sikapnya sendiri terhadap anaknya. Karena itu maka katanya kemudian, "Aku akan tetap menjaga agar derajat anakku tidak merosot. Ia harus tetap anak yang baik, yang terhormat dan berwibawa."
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun sadar, bahwa tidak akan ada gunanya menjelaskan kepada isterinya untuk langsung dapat dimengerti.
"Mudah-mudahan pada suatu saat ibunya dapat mengerti," katanya di dalam hati.
Rudita sendiri kemudian merasa dirinya berdiri di persimpangan jalan. Ia kini sadar, bahwa ibunya masih tetap dalam sikapnya. Dan itulah yang membuatnya semakin jauh dapat menyelami dirinya sendiri. Perlahan-lahan ia dapat melihat sebab yang membuatnya tumbuh di dalam keadaan yang lain dari anak-anak muda sebayanya.
Ketika malam kemudian menyaput induk Tanah Perdikau Menoreh, maka Rudita mendapatkan Agung Sedayu dan Swandaru yang duduk di serambi gandok. Udara yang panas membuat mereka tidak tahan berada di dalam bilik menunggui Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. Apalagi mereka terlampau asik berbicara di antara mereka orang-orang tua bersama Ki Demang Sangkal Putung.
Tetapi sikap Rudita pun kemudian sudah sangat berlainan. Ia tidak lagi memandang kedua anak-anak muda itu dengan kepala tengadah dan mengucapkan perintah-perintah dan menyatakan keinginan-keinginannya tanpa menghiraukan perasaan orang lain. Kini Rudita itu duduk di hadapan Agung Sedayu dan Swandaru dengan kepala tunduk.
"Aku minta maaf kepada kalian," berkata Rudita itu, "kepada kau berdua, kepada Pandan Wangi, dan kepada Prastawa."
Agung Sedayu bergeser setapak. Lalu katanya, "Kesalahanmu bukan kesalahan yang tidak termaafkan. Kami tahu, bahwa kau selama ini dibayangi oleh kepribadian yang belum terbentuk karena lingkungan keluargamu. Hampir tidak masuk akal bahwa kau adalah anak Ki Waskita yang tidak dapat dibayangkan, betapa tinggi kemampuannya."
Rudita mengerutkan keningnya, lalu,"Maksudmu?"
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Lalu, "Ayahmu adalah seorang yang memiliki ilmu tidak ada duanya dari mereka yang pernah aku kenal."
Rudita tidak mengerti yang dimaksud oleh Agung Sedayu. Namun kemudian ia menyahut, "Ayah hanya mampu menebak apa yang dilihatnya dalam isyarat. Kadang-kadang benar dan kadang-kadang salah."
Agung Sedayu dan Swandaru mulai merasakan sesuatu yang ganjil pada tanggapan Rudita terhadap ayahnya. Bahkan mereka pun kemudian mulai curiga bahwa Rudita tidak banyak mengetahui bahwa ayahnya memiliki kemampuan olah kanuragan yang luar biasa di samping ilmunya yang ajaib itu.
Karena itu, maka Agung Sedayu dan Swandaru pun kemudian tidak lagi berbicara tentang kemampuan Ki Waskita. Namun mereka ingin menjajagi perkembangan pribadi Rudita
"Rudita," Swandaru-lah yang kemudian bertanya kepadanya, "aku melihat sesuatu yang berubah pada dirimu. Apakah kau menyadarinya?"
"Aku menyadari," berkata Rudita, "aku merasa bahwa aku selama ini bersikap lain dengan sikap anak-anak muda sebayaku. Aku dipengaruhi oleh perasaan yang baru sekarang aku sadari, bahwa hal itu kurang menguntungkan bagi diriku sendiri."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Tetapi kau adalah orang yang jujur sekali Rudita. Jarang sekali orang yang mau mengakui kelemahan sendiri di masa lampaunya."


04 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku mengalami getaran yang sangat dahsyat di dalam jiwaku. Aku bahkan merasa bahwa aku tidak akan pernah dapat melihat matahari terbit esok pagi." Rudita berhenti sejenak, lalu, "Ketika Paman Sumangkar menemukan aku, rasa-rasanya aku adalah orang yang mati dan hidup lagi. Goncangan itulah yang membuat aku harus mengakui apa yang terjadi atas diriku."
"Apakah dengan demikian kau kemudian berhasrat untuk mempelajari olah kanuragan?"
"Sudah terlambat."
"Tidak. Kau adalah seorang laki-laki. Adikku, Sekar Mirah adalah seorang gadis. Ia bertekun mempelajari ilmu di saat ia sudah dewasa. Ia pun mengalami goncangan seperti yang terjadi atasmu ketika ia diculik oleh seorang laki-laki yang menginginkannya. Kini Sekar Mirah adalah seorang gadis yang dapat menjaga dirinya sendiri."
Rudita tersenyum. Katanya, "Tetapi aku memilih jalan lain. Kekerasan bukan satu-satunya jalan untuk membina ketenteraman. Jika Raden Sutawijaya dan Paman Argapati mempergunakan kekerasan untuk membuat Mataram dan Menoreh tenteram dan tidak lagi diganggu oleh orang-orang bersenjata yang ternyata di bawah pimpinan Panembahan Agung itu, maka aku akan memilih jalan lain."
"Apakah yang kau pilih itu?" bertanya Agung Sedayu.
"Jika setiap orang menghindarkan diri dari tindak kekerasan, maka rasa-rasanya kita bersama-sama akan hidup tenteram. Memang agaknya kemungkinan itu jauh sekali dari batas pencapaian di masa kini. Tetapi aku kira, itu adalah cara yang dapat dimulai."
Agung Sedayu dan Swandaru mendengarkan kata-kata Rudita itu dengan dada yang berdebar-debar. Mula-mula mereka tidak begitu menyadari arti dari kata-kata itu. Namun kemudian terasa sesuatu yang lain menyentuh hati mereka.
"Jika kita masih tetap menganggap bahwa kekerasan adalah jalan satu-satunya untuk mendapatkan ketenangan, maka aku kira kita tidak akan pernah sampai pada ketenangan yang sebenarnya," berkata Rudita pula.
"Tetapi," dengan ragu-ragu Swandaru menyahut, "apakah sikap itu akan ada artinya apabila kita harus berhadapan dengan kekerasan" Kita tentu tidak akan dapat meneriakkan aba-aba agar semua orang menghentikan kekerasan dalam satu saat yang sama. Dengan demikian, maka sikap itu pun akan terguncang oleh kenyataan bahwa kita berhadapan dengan sikap yang lain. Apakah dalam keadaan serupa itu kita tidak seharusnya berusaha mempertahankan diri sebagai salah satu sifat manusiawi, bahwa kita selalu ingin mempertahankan hidup kita dan menghindari kematian sejauh dapat kita lakukan."
"Kau benar, Swandaru," berkata Rudita, "seperti yang aku katakan, masa itu adalah masa yang masih jauh sekali dari masa kini, di mana sikap tenang dan damai tidak dilambari dengan sikap kekerasan. Tetapi menurut pendapatku, sesuai dengan keadaanku, maka bagiku jalan inilah yang paling tepat aku tempuh. Tentu tidak akan dapat tercapai sejauh umurku. Jika ada orang lain yang dapat mengerti caraku berpikir dan berusaha untuk bersama-sama melakukannya, maka aku akan berbesar hati. Mudah-mudahan pada suatu saat yang jauh sekali, akan datang waktunya bahwa kekerasan bukan merupakan pelindung yang paling utama untuk mendapatkan kedamaian."
Swandaru memandang wajah Rudita sejenak. Rasa-rasanya yang diajaknya berbicara kali ini bukan Rudita yang beberapa hari yang lalu masih saja membentak sambil berkata, "Hasil buruan yang pertama akan aku hadiahkan kepada Pandan Wangi."
Bahkan Agung Sedayu menerima kata-kata Rudita itu dengan debar yang rasa-rasanya menghentak-hentak di dadanya. Ia sendiri pernah mengalami masa yang serupa dengan Rudita. Tetapi akibat yang kemudian tumbuh adalah berbeda sekali. Ia sendiri memilih jalan kekerasan untuk memantapkan diri, mempelajari ilmu kanuragan dan ketahanan jasmaniah, namun Rudita memilih jalan yang lain. Ia memilih jalan yang terasa asing. Namun justru jalan yang sangat mengagumkan.
Namun Agung Sedayu pun menyadari alasan dari perkembangan yang berbeda itu. Pada masa kecilnya, betapa pun ibunya memanjakannya seperti ibu Rudita, namun ia sempat mempelajari beberapa jenis kemampuan jasmaniah. Ia mempelajari dasar-dasar tata bela diri dan ilmu bidik yang ternyata melampaui kemampuan orang kebanyakan. Modal itulah yang kemudian berkembang sejalan dengan perkembangan kepribadiannya. Dan agaknya berbeda dengan Rudita. Meskipun ayahnya seorang yang memiliki kelebihan yang jarang ada duanya, namun agaknya Rudita sama sekali tidak pernah diperkenalkan dengan ilmu olah kanuragan sehingga arah perkembangan kepribadiannya pun sangat berlainan dangan Agung Sedayu.
"Rudita," berkata Agung Sedayu kemudian, "sikapmu sangat mengagumkan. Aku iri mendengar pernyataanmu tentang dunia yang kau cita-citakan. Tetapi apakah kau tidak membayangkan, betapa pun bersihnya suatu cita-cita, namun apabila cita-cita itu tidak pernah dapat berkembang, bukankah itu sama artinya dengan kesia-siaan?"
"Tentu, Agung Sedayu," jawab Rudita, "karena itu terserahlah kepada orang lain yang menanggapi sikapku. Jika tidak ada orang lain yang berpendapat sesuai dengan pendapatku, dan bahkan aku akan tergilas oleh sikap yang lain dalam waktu yang singkat, maka yang aku harapkan itu tidak akan pernah terwujud. Tetapi aku masih ada harapan lain, bahwa pada suatu saat ada orang lain yang meskipun belum pernah mendengar namaku dan belum pernah mengetahui sikapku ini, akan mengambil sikap serupa."
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Lalu katanya, "Apakah bedanya sikapmu itu dengan sikap seseorang yang meskipun memiliki kemampuan yang tinggi tetapi ia mendambakan kedamaian yang kekal. Justru dengan demikian ia akan dapat memelihara dan mempertahankan sikapnya itu jika orang lain berusaha menghancurkan cita-citanya dengan kekerasan, maka ia mempunyai kekuatan untuk melindunginya."
"Agung Sedayu. Di dalam pertempuran yang baru saja terjadi di padepokan yang terpencil itu, aku melihat sesosok tubuh raksasa. Aku semula tidak mengerti, karena bentuk yang satu mirip sekali dengan ayahku. Ternyata Panembahan Agung sedang bermain-main dengan bentuk semunya. Bentuk yang menurut Paman Sumangkar dapat mengelabuhi siapa pun juga yang ada di sekitar jarak jangkau ilmunya. Namun akhirnya yang semu itu tidak ada artinya apa-apa. Demikian juga agaknya kekerasan itu. Yang dapat dicapai dengan kekerasan adalah keadaan yang semu, karena pada suatu saat kekerasan yang lain akan saling berbenturan sehingga akhirnya kekuatan yang satu akan segera lenyap karena kekuatan yang lain yang timbul kemudian. Demikian seterusnya. Tetapi jika kita bersama-sama sama sekali tidak memiliki kemampuan apa pun yang bersifat kekerasan, kita tidak akan dapat berbuat demikian. Dan kita akan menemukan ketenangan yang sebenarnya di dalam sikap damai setiap orang."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti pendirian itu, namun bagi Swandaru pendirian Rudita masih merupakan suatu mimpi yang samar-samar terapung di langit yang jauh sekali. Meskipun Swandaru tidak menolak, bahwa jika benar keadaan yang demikian itu dapat dicapai, maka hidup di dunia ini akan menjadi semakin tenang.
Agung Sedayu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Seperti Swandaru ia pun mengerti. Bahkan ia lebih dalam tersentuh oleh kata-kata Rudita itu. Dan menurut pendapat Agung Sedayu, apa yang dikatakan oleh Rudita itu adalah murni tumbuh dari sanubarinya sendiri setelah ia mengalami goncangan perasaan yang sangat dahsyat.
"Agung Sedayu," berkata Rudita kemudian, "peristiwa yang baru saja terjadi telah melontarkan aku ke dalam puncak perasaan takut. Dengan demikian maka kini justru timbul pertanyaan di dalam diriku, kenapa aku harus ketakutan menghadapi peristiwa semacam itu. Takut atau tidak takut sebenarnya bagiku tidak akan ada bedanya. Jika tidak ada Paman Sumangkar yang menolongku, maka aku sekarang sudah tidak akan sempat berbicara dengan kau lagi. Karena itu sebenarnya sia-sialah perasaan takut itu bagiku. Mungkin tidak bagimu, karena di dalam ketakutan adbmcadangan.wordpress.com kau dapat mencurahkan ilmumu untuk melindungi dirimu. Tetapi tidak bagiku. Aku tidak perlu takut, karena aku tidak akan dapat berbuat apa-apa. Sehingga karena perasaan takut atau tidak takut sama saja bagiku, sebaiknya aku belajar mengusir perasaan takut itu. Ketakutan yang bagaimana pun juga tidak akan menolongku."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Sejenak ia berpaling memandang wajah Swandaru. Wajah itu tampak tegang. Namun kemudian kepala Swandaru pun terangguk-angguk kecil.
Agung Sedayu pun kemudian mengangguk-angguk pula di luar sadarnya. Rudita benar-benar telah menemukan dirinya di dalam bentuknya yang lain. Jika Agung Sedayu pun kemudian berhasil melepaskan diri dari belenggu perasaannya dari ketakutan, maka agaknya Rudita pun demikian. Namun Rudita menganggap bahwa lebih baik baginya untuk berada di dalam sikapnya yang damai tanpa ketakutan sama sekali apa pun yang akan dialami.
Untuk beberapa saat ketiga anak-anak muda itu berdiam diri, masing-masing dengan angan-angannya sendiri. Agung Sedayu dan Swandaru masih saja merenungi sikap Rudita yang dapat mereka mengerti, namun masih belum dapat mereka lakukan karena pertimbangan yang berlapis-lapis.
"Aku hormati sikapmu," desis Agung Sedayu kemudian, "ternyata bahwa kau jauh lebih berani daripada aku. Aku mengerti bahwa jalan itu benar. Tetapi aku tidak mempunyai keberanian untuk menempuhnya. Dan kau pun benar, bahwa dengan ketakutan sebagai dasar yang paling dalam, maka aku merasa perlu untuk menempa diri dengan berbagai macam ilmu, sekedar untuk mendapatkan ketenteram hati. Dan agaknya kau telah menemukan sikap yang damai dan tenang tenteram tanpa mempelajari ilmu yang kau sebut dengan sikap kekerasan itu."
Rudita tersenyum. Katanya, "Mungkin dapat juga diartikan, aku sudah terlanjur menjadi anak yang malas, yang tidak mempunyai kemampuan dan kemauan apa pun lagi untuk memilih sikap yang lain dari sikapku ini."
"Sikapmu agaknya bukan sekedar karena kau tidak dapat berbuat yang lain," jawab Swandaru, "agaknya kau meyakini bahwa sikap itu adalah sikap yang paling baik kau lakukan."
Rudita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak segera menyahut.
Maka malam pun menjadi semakin dalam. Di langit bintang bertebaran dari ujung sampai ke ujung. Di kejauhan terdengar suara bilalang berderik bersahut-sahutan.
Rudita menarik nafas. Kadang-kadang bulu-bulunya masih juga meremang jika ia mengenang masa-masa yang mengerikan di padepokan yang terasing itu. Namun ia tersenyum sendiri mengenangkan saat-saat ia menangis hampir semalam suntuk. Dan ternyata tangisnya sama sekali tidak menolongnya. Yang menolongnya adalah Ki Sumangkar yang memasuki padepokan itu.
Meskipun Ki Sumangkar harus berbekal kekerasan selagi melepaskannya, namun kekerasan itu sendiri agaknya tidak lagi diperlukannya bagi dirinya sendiri.
Pembicaraan mereka pun terputus ketika Prastawa kemudian datang memanggil mereka dan Ki Demang Sangkal Putung untuk makan bersama. Sedang bagi Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar, Pandan Wangi telah membawa dan melayani mereka berdua makan di dalam biliknya.
"Aku dapat naik ke pringgitan," berkata Sumangkar, "mungkin bagi Kiai Gringsing masih diperlukan pelayanan di dalam bilik ini."
"Beristirahat sajalah, Kiai," sahut Pandan Wangi, "biarlah aku melayani Kiai berdua. Meskipun luka-luka Kiai tidak separah Kiai Gringsing, tetapi biarlah Kiai beristirahat secukupnya."
Dengan demikian, di pringgitan kemudian berkumpul beberapa orang tua bersama anak-anak muda untuk makan bersama. Sedangkan ibu Rudita seperti biasanya makan bersama beberapa orang perempuan yang sibuk di dapur membantu menyediakan makan bagi para tamu dan pengawal yang masih selalu bersiap-siap.
Sekali-sekali mereka yang makan di pringgitan itu masih juga berbicara tentang kekuatan yang tersembunyi di padepokan terpencil itu. Kekuatan yang sebenarnya akan sangat berarti jika disalurkan lewat jalan yang benar dan baik.
Dengan demikian Rudita pun menjadi semakin yakin, bahwa ilmu yang semakin tinggi, akan semakin berbahaya. Sifat manusia adalah lupa diri. Betapa pun juga ia mendasari dirinya dengan sifat-sifat yang baik, namun apabila pada suatu saat ia tersentuh oleh nafsu yang tidak terkendali, maka kemampuannya itu pun akan tergeret oleh nafsunya dan akan disalah-gunakannya.
Demikian asyiknya mereka berbicara, akhirnya sampai juga mereka pada Raden Sutawijaya. Seorang anak muda yang mengagumkan. Namun timbul pula pertanyaan di dalam diri mereka, siapakah sebenarnya gadis yang telah disebut-sebut berasal dari Kalinyamat itu.
Dalam pada itu, Raden Sutawijaya sendiri yang sedang dibicarakan itu, telah dicengkam oleh kecemasan yang sangat. Betapa pun ia mencoba menyembunyikan perasaannya, namun tampaklah bahwa ia sedang kebingungan.
Ki Lurah Branjangan yang telah menduga bahwa sesuatu sedang bergolak di dalam hati anak muda itu, sekali-sekali ingin juga bertanya kepadanya. Tetapi ia selalu ragu-ragu dan pertanyaan itu masih belum dapat dilontarkannya. Ia hanya dapat duduk memandangi anak muda yang murung itu sambil menunggu saat yang baik untuk bertanya.
Namun dalam pada itu, beberapa orang pengawal justru menjadi gelisah. Mereka tidak mengerti, kenapa Sutawijaya telah menghentikan pasukannya justru setelah mereka berada di mulut Tanah Mataram.
"Apakah kita harus tidur di belukar ini setelah rumah kita berada di depan hidung?" desis seorang pengawal yang nampaknya sudah terlalu letih sehingga seakan-akan ia sudah tidak lagi dapat menahan hati untuk segera pulang dan tidur dengan nyenyaknya.
Kawannya hanya dapat mengangkat bahu. Mereka tidak mengerti kenapa mereka harus berhenti. Jika mereka harus beristirahat di tempat itu, maka akan lebih baik jika jarak yang pendek itu mereka selesaikan saja sama sekali. Baru kemudian mereka beristirahat sebaik-baiknya.
Tetapi tidak seorang pun yang menanyakannya kepada Sutawijaya. Bahkan utusan yang memanggilnya agar ia cepat-cepat pulang ke Tanah Mataram itu pun tidak bertanya apa-apa. Bahkan utusan itu malahan mendekati Ki Lurah Branjangan dan duduk di sebelahnya.
"Apakah ada sesuatu yang tidak wajar terjadi atas Raden Sutawijaya?" bertanya utusan itu.
Ki Lurah Branjangan hanya dapat menarik nafas dalam-dalam, sambil bergumam, "Aku tidak mengerti perasaan apa yang berkecamuk di dalam dadanya."
Keduanya pun kemudian terdiam. Mereka sekilas memandang Raden Sutawijaya yang duduk bersandar sebatang pohon. Kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir.
"Ki Lurah," berkata utusan itu, "agaknya Raden Sutawijaya memang sedang menghadapi kesulitan."
"Ya," sahut Ki Lurah Branjangan, "apakah kau benar-benar tidak mengerti, atau setidak-tidaknya mendengar desas-desus, apakah desas-desus itu salah atau benar, bahwa sesuatu telah terjadi sehingga ia telah terpaksa pulang dengan tergesa-gesa?"
Utusan itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Hanya sekedar desas-desus. Tetapi sudah barang tentu tidak akan dapat dijadikan pegangan. Dan itulah sebabnya aku bertanya kepada Ki Lurah barangkali Ki Lurah mengetahuinya."
"Aku tidak tahu. Tetapi bagaimana bunyi desas-desus itu?"
Utusan yang menjemput Raden Sutawijaya itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya berbisik, "Raden Sutawijaya telah membuat hubungan gelap dengan seorang gadis dari Kalinyamat, yang seharusnya diperuntukkan bagi ayahandanya Sultan Pajang."
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sebenarnya ia sudah tidak terkejut lagi. Ia memang sudah menduga bahwa hal itulah yang menjadi persoalannya. Ia pernah mendengar desas-desus yang serupa pula. Dan agaknya hal itu sudah bukan merupakan rahasia lagi, meskipun belum seorang pun yang berani mengatakannya dengan berterus-terang. Setiap mulut berbisik ke setiap telinga dengan pesan, "Jangan kau katakan kepada orang lain." Namun akhirnya desas-desus itu sudah merata di seluruh Tanah Mataram."
Utusan yang membisikkan desas-desus itu menjadi berdebar-debar. Bahkan kemudian ia bertanya, "Kau tidak sependapat bahwa hal itu telah terjadi?"
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Bukan aku tidak sependapat bahwa hal itu telah terjadi. Jika hal itu sudah terjadi, apa yang dapat aku lakukan" Tetapi aku memang tidak sependapat bahwa hal itu terjadi. Tetapi sudah barang tentu yang sudah terjadi itu terjadilah."
Utusan itu mengangguk-angguk. Katanya, "Jika benar hal itu telah dilakukan oleh Raden Sutawijaya, maka yang akan terjadi tentu tidak kita harapkan bersama. Kesulitan demi kesulitan akan melanda Mataram. Hari ini Mataram telah membebaskan diri dari gangguan orang yang menyebut dirinya Panembahan Tidak Bernama yang juga disebut Panembahan Alit dan orang yang lebih berbahaya lagi, Panembahan Agung, namun kesulitan yang bakal datang adalah dari Pajang. Di Pajang tidak kurang jumlah orang sakti yang akan dapat mempengaruhi pertumbuhan Mataram."
Ki Lurah Branjangan memandang saja ke dalam kegelapan yang rasa-rasanya semakin mencengkam. Lamat-lamat ia masih melihat bayangan Sutawijaya yang berjalan hilir-mudik. Sepercik cahaya perapian telah mewarnai wajahnya menjadi kemerah-merahan.
"Ya," jawab utusan itu, "di Pajang masih ada beberapa orang sakti. Mereka adalah senapati-senapati yang terpilih. Sepeninggal Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi, masih ada Ki Mancanagara, masih ada Ki Wilamarta dan Ki Wuragil. Masih ada senapati-senapati lain yang namanya cukup mendebarkan, selain mereka masih juga harus diingat, bahwa kekuasaan Pajang meliputi Pasisir Lor dan Wetan, para adipati tentu tidak akan tinggal diam jika Sultan Pajang menjatuhkan perintah atas mereka untuk menyapu Mataram yang kini masih tidak lebih dari sebutir debu di pantai."
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Memang Mataram masih terlalu kecil jika dibandingkan dengan Pajang keseluruhan. Tanpa para adipati itu pun Mataram tentu akan menghadapi kesulitan apabila senapati di daerah Selatan yang justru merupakan jalur lurus antara Pajang dan Mataram itu mulai bertindak. Jika Sultan Pajang menjatuhkan perintah atas Untara maka Mataram akan menghadapi persoalan yang sangat rumit. Kekuatan Untara memang masih belum sebesar adbmcadangan.wordpress.com kekuatan Mataram jika dihimpun seluruhnya. Tetapi Untara adalah bagian kecil saja dari seluruh pasukan yang ada. Jika dikehendaki, maka pasukan Untara dalam waktu satu hari satu malam dapat ditambah dengan dua kali lipat, di bawah pimpinan senapati yang berilmu tinggi.
Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Ia mengetahui semuanya itu. Tetapi ada sesuatu yang mendesaknya untuk pergi ke Mataram saat itu. Bukan ia sendiri, tetapi beberapa kawannya dan beberapa orang prajurit.
Tetapi agaknya Pajang yang tampak kuat di luar itu, ternyata semakin lama menjadi semakin rapuh. Para senapatinya telah menentukan sikapnya sendiri-sendiri. Jika Ki Lurah Branjangan itu pergi ke Mataram, maka Daksina telah berada di padepokan terpencil di bawah pengaruh Panembahan Agung, meskipun Daksina sendiri bukannya orang tertinggi di Pajang di dalam lingkungannya.
"Apakah pada saatnya Pajang akan runtuh dengan sendirinya?" bertanya Ki Lurah Branjangan di dalam hatinya.
Tetapi Ki Lurah Branjangan masih tetap berdiam diri. Ketika ia mengangkat wajahnya, dilihatnya langit yang gelap menjadi semakin gelap. Segumpal mendung yang hitam mengalir di ujung langit menutupi bintang yang bertebaran, dan hujan tentu sudah jatuh di bagian lain dari daerah Mataram
Raden Sutawijaya masih saja berjalan hilir-mudik dengan gelisahnya. Kegelisahannya ternyata membuat para pengawal itu menjadi gelisah pula.
"Jika kita berjalan terus, kita tentu sudah berada di mulut gerbang," desis seorang pengawal.
Tetapi kawannya sama sekali tidak menyahut. Mereka tidak akan dapat merubah keputusan Raden Sutawijaya. Bahkan utusan yang seolah-olah telah memaksa anak muda itu meninggalkan Menoreh, sama sekali tidak berbuat apa-apa meskipun pasukan para pengawal itu sudah berada di depan pintu gerbang.
Selagi para pengawal itu merenung, maka tiba-tiba saja terdengar Raden Sutawijaya itu memanggil Ki Lurah Branjangan, sehingga dengan tergesa-gesa Ki Lurah itu berdiri dan melangkah mendekatinya.
"Raden memanggil aku?" bertanya Ki Lurah Branjangan.
"Ya, Ki Lurah," sahut Haden Sutawijaya, "kemarilah. Aku ingin berbicara sedikit."
Ki Lurah Branjangan pun menjadi termangu-mangu. Namun ketika Sutawijaya kemudian duduk di atas sebuah batu, maka Ki Lurah Branjangan pun berjongkok pula.
"Duduklah," berkata Raden Sutawijaya, "aku ingin berbicara dengan Paman seorang diri."
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian duduk pula di atas sebuah batu. Ketika ia berpaling, dilihatnya utusan yang tadi berbicara dengannya itu sudah melangkah pergi.
"Ki Lurah," berkata Sutawijaya kemudian, "sebenarnya ada sesuatu yang menyulitkan kedudukanku sekarang."
Ki Lurah Branjangan yang sudah menduga, persoalan apa yang sedang mencengkam hati Raden Sutawijaya itu, mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih tidak segera menanggapinya, seolah-olah ia masih belum mengetahuinya sama sekali.
Tetapi Sutawijaya itu pun berkata, "Paman tentu sudah mengetahuinya. Bahkan sebagian para pengawal Mataram pun sudah membicarakannya. Daksina menyebutnya dengan berterus-terang di hadapan para pengawal. Maksudnya memang dengan sengaja mempengaruhi perasaanku pada waktu itu."
"Persoalan apakah yang Raden maksudkan?"
"Ki Lurah tentu sudah mengetahuinya."
Ki Lurah memandang wajah Raden Sutawijaya sejenak. Meskipun wajah itu hanya disentuh oleh nyala perapian yang redup namun Ki Lurah Branjangan dapat menangkap betapa tegangnya perasaan Raden Sutawijaya, sehingga ia sama sekali tidak dapat menyembunyikannya lagi.
"Raden," berkata Ki Lurah Branjangan, "ada beberapa persoalan yang sedang kita hadapi bersama. Tetapi persoalan yang khusus bagi Raden, tentu aku tidak berani menyebutnya. Jika aku keliru, barangkali Raden dapat marah kepadaku, sedangkan persoalan yang sebenarnya adalah persoalan yang sama sekali tidak menyangkut masalah yang aku perkirakan itu."
Raden Sutawijaya termenung sejenak. Lalu katanya, "Baiklah, Paman. Paman adalah orang yang sudah jauh lebih masak dari padaku." Raden Sutawijaya berhenti sejenak, lalu, "Aku kini dihadapkan pada persoalan yang sangat rumit. Aku tentu akan dituntut oleh suatu pertanggungan jawab yang barangkali berada di luar batas kemampuanku untuk mempertanggung-jawabkannya."
Ki Lurah Branjangan hanya mengangguk-angguk saja. Dan Sutawijaya pun mulailah menceriterakan apa yang pernah terjadi atas dirinya selagi ia pada suatu saat datang ke Pajang.
"Aku menjumpai gadis itu di luar rencanaku," berkata Sutawijaya, "tetapi tiba-tiba saja hal itu sudah terjadi. Gadis itu terlampau cantik, manja, dan seakan-akan pasrah diri. Dan akhirnya terjadilah semuanya itu. Apa yang dikatakan Daksina itu sebenarnyalah memang sudah terjadi."
(***) BUKU 78 KI LURAH Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Ia memang sudah menduga sebelumnya. Meskipun demikian, pengakuan Raden Sutawijaya itu telah menggetarkan dadanya. Hubungan antara Raden Sutawijaya dengan seorang gadis yang dikehendaki oleh Sultan Pajang, tentu akan menimbulkan persoalan yang sangat rumit, justru pada saat Mataram sedang tumbuh dan berkembang menjadi suatu negeri yang ramai.
"Paman," berkata Sutawijaya kemudian, "aku mengerti bahwa keteranganku ini mengguncangkan kepercayaan Paman kepadaku. Baik sebagai seorang anak muda yang selama ini dianggap sebagai seorang pemimpin oleh orang-orang Mataram mau pun sebagai putera angkat Ayahanda Sultan Pajang sendiri."
Ki Lurah Branjangan tidak segera menanggapinya. Terasa sesuatu bergetar di dalam dadanya. Memang ada semacam tuntutan terhadap tingkah laku Raden Sutawijaya itu. Karena dengan demikian, maka semua perjuangan bagi berkembangnya Mataram selama ini menjadi pudar. Kemarahan Sultan Pajang dalam saat semacam ini henar-henar tidak menguntungkan. Di saat Mataram sedang menghadapi kesulitan yang berturut-turut telah menghambat perkembangannya.
"Ki Lurah, Ki Lurah," desis Raden Sutawijaya, "kenapa kau diam saja" Apakah kau lebih dahulu telah menjatuhkan hukuman atasku dengan sikap diammu itu" Dan dengan demikian kau ingin menunjukkan bahwa kau telah membenciku, menganggap aku seorang anak muda yang liar dan tidak berkesopanan sama sekali" Jika demikian, sebaiknya Paman mengatakannya. Aku tidak akan marah. Aku akan menerima semua caci dan maki dari siapa pun juga." Raden Sutawijaya terdiam sejenak, lalu, "Tetapi apakah yang dapat aku katakan kepada Ayahanda Ki Gede Pemanahan."
Tiba-tiba saja Ki Lurah Branjangan menjadi iba kepada anak muda yang sedang menyesali kesalahannya itu. Sejenak Ki Lurah Branjangan memalingkan wajahnya ke sekitarnya. Ketika ternyata bahwa tidak ada seorang pun yang duduk di dekat mereka, maka ia pun berkata, "Raden, semuanya telah terjadi. Apa pun alasannya, namun hal itu sudah terjadi."
"Ya, Paman, dan aku mengetahui bahwa aku tidak akan dapat mencari alasan apa pun untuk mengurangi kesalahanku."
"Begitulah. Tetapi agaknya jalan yang paling baik bagi Raden sekarang adalah berterus terang. Berterus terang kepada Ki Gede Pemanahan. Apa pun yang akan terjadi kemudian, memang tidak akan dapat dihindari dan apalagi dengan sengaja mengelakkan diri dari pertanggungan jawab."
"Apa yang Paman maksud dengan pertanggungan jawab" Apakah aku harus menghadap Ayahanda Sultan dan mohon untuk memperisteri gadis itu" Apakah dengan demikian aku tidak akan segera ditangkap dan dipenggal leherku?"
"Bukan begitu maksudku, Raden. Bertanggung jawab terhadap persoalan ini berarti, Raden harus bersedia melakukan perintah apa pun juga dari ayahanda Ki Gede Pemanahan."
"Jika Ayahanda memerintahkan aku menghadap Ayahanda Sultan?"
"Apa boleh buat."
"Tidak, Paman. Aku tidak dapat menghadap Ayahanda Sultan saat ini. Bukan karena aku takut menghadapi hukuman apa pun yang akan dijatuhkan atasku karena aku sudah menodai gadis yang akan diambilnya menjadi isterinya. Tetapi aku merasa bahwa belum saatnya aku menghadap. Mataram masih belum berbentuk. Aku sudah berprasetia, bahwa aku tidak akan menghadap Ayahanda Sultan sebelum aku berhasil menjadikan Alas Mentaok menjadi sebuah negeri. Pada saat itu, para pemimpin di Pajang seakan-akan telah menghinakan aku dan Ayahanda Ki Gede Pemanahan, bahwa kami tidak akan berhasil membuka Alas Mentaok dan membuat suatu negeri yang ramai. Karena itu maka aku tidak akan menghadap dan bertemu muka dengan para pemimpin pajang sebelum aku dapat menengadahkan dadaku dan berkata, "Bahwa Alas Mentaok telah menjadi sebuah negeri yang patut dihitung di dalam percaturan pemerintahan di Pajang"."
Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk kecil. Katanya kemudian, "Itulah sulitnya, Raden. Sebenarnya aku sependapat, bahwa sebaiknya Raden tidak usah datang ke Pajang apa pun alasannya. Tetapi persoalan yang satu ini agaknya telah menambah segala macam sikap dan tekad kita."
Raden Sutawijaya menundukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia bergumam seakan-akan kepada diri sendiri, "Aku telah mengkhianati perjuanganku sendiri. Kini aku berdiri di atas kesulitan yang hampir tidak terpecahkan."
"Sudahlah, Raden," berkata Ki Lurah Branjangan kemudian, "sebaiknya Raden tidak hanyut dalam persoalan yang satu itu saja. Masih banyak persoalan yang harus dihadapi. Karena itu, sebaiknya Raden menabahkan hati. Raden harus menghadap ayahanda Ki Gede Pemanahan secepatnya. Kemudian Raden akan mendengarkan keputusan yang akan diambil oleh ayahanda. Apa pun sumpah dan prasetia yang sudah Raden ucapkan, namun kadang-kadang kita harus menelan ludah sendiri untuk tujuan yang lebih besar."
"Tetapi itu bukan sifat kesatria Ki Lurah. Aku tidak mau. Yang sudah aku ucapkan adalah ucapan kesatria. Aku tidak akan menelan ludah sendiri apa pun akibatnya."
"Raden benar. Tetapi Raden sendiri sudah melangkahkan kaki Raden melintasi pagar ayu yang dihormati oleh para kesatria. Sehingga akibatnya menuntut agar Raden melepaskan sikap kesatria yang lain lagi."
"O," Raden Sutawijaya menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya. Namun yang terdengar kemudian adalah gemeretak gigi.
Ki Lurah Branjangan dapat mengerti, betapa hati Raden Sutawijaya diombang-ambingkan oleh kebimbangan yang dahsyat. Tetapi bagi Ki Lurah Branjangan, tidak ada jalan lain daripada segera menyelesaikan masalah yang satu itu.
"Raden Sutawijaya sudah bertekad untuk menjadikan Mataram sebuah negeri," berkata Ki Lurah Branjangan di dalam hatinya, "tetapi jika tidak diketemukan penyelesaian yang baik maka Mataram yang sedang berkembang ini akan segera pecah berserakan." KI Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam sambil memandang Raden Sutawijaya yang kini memandang ke kejauhan menembus gelapnya malam. Dan Ki Lurah itu pun berkata kepada diri sendiri lebih lanjut, "Ki Gede Pemanahan harus berusaha menemukan jalan itu. Ia adalah orang yang disegani oleh Sultan Pajang, sehingga kemungkinan yang paling besar untuk menyelesaikan masalah ini dengan baik adalah Ki Gede Pemanahan. Mungkin Ki Gede Pemanahan dapat mencarikan gantinya atau syarat-syarat lain yang dikehendaki oleh Sultan Pajang."
Tetapi Ki Lurah Branjangan tidak sampai hati mengatakannya kepada Raden Sutawijaya. Jika kelak ia sampai di Mataram dan menghadap Ki Gede Pemanahan, maka ia akan menyampaikannya langsung kepadanya.
Dalam pada itu maka Raden Sutawijaya pun kemudian berdiri dan berjalan hilir-mudik. Kegelisahan yang sangat nampak pada sikapnya. Sekali-sekali ia berhenti, seakan-akan ingin mengatakan sesuatu. Namun kata-kata itu ditelannya kembali di kerongkongannya.
"Sebaiknya Raden beristirahat," berkata Ki Lurah Branjangan, "bahkan jika mungkin Raden tidur sekejap untuk menyegarkan tubuh Raden. Biarlah para petugas berjaga-jaga mengawasi keadaan. Aku kira, Alas Mentaok menjadi semakin aman setelah Panembahan Agung tidak ada lagi. Jika anak buahnya yang masih berserakan masih saja melakukan kegiatan, semata-mata terdorong oleh dendam atau barangkali sekedar mencari makan. Tetapi mereka tidak lagi mempunyai pegangan yang terarah bagi kegiatannya itu."
Raden Sutawijaya yang gelisah itu mengangguk kecil. Katanya, "Aku akan mencoba, Paman. Jika Paman ingin beristirahat, silahkanlah."
Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya, lalu katanya, "Baiklah, Raden. Aku akan mencoba untuk tidur barang sejenak. Besok pagi kita memasuki kota Mataram yang sedang kita bangun itu dengan tubuh yang segar."
Tanpa menunggu jawaban Sutawijaya, Ki Lurah Branjangan pun kemudaan mencari tempat yang mapan untuk membaringkan dirinya. Tanpa alas selain rerumputan yang kering.
Sutawijaya sendiri pun kemudian duduk bersandar sebatang pohon. Meskipun sambil bersandar, namun ia mencoba memejamkan matanya juga untuk melupakan kegelisahannya barang sejenak.
Tetapi rasa-rasanya terbayang wajah gadis Kalinyamat yang muram dan basah oleh air mata, wajah Ayahanda Ki Gede Pemanahan yang penuh penyesalan dan wajah Ayahanda Sultan Pajang yang merah darah karena marah.
Sekali-sekali terdengar Raden Sutawijaya berdesah. Ayahanda Sultan Pajang adalah orang yang tidak terlawan. Di dalam dirinya terkumpul beberapa puluh macam aji yang menurut orang-orang yang mengenal dari dekat sejak masa mudanya memiliki kelebihannya masing-masing. Bahkan beberapa orang berpendapat bahwa di seluruh Pajang tidak ada orang yang menyimpan ilmu dan aji sebanyak yang dimiliki oleh Sultan Pajang. Sejak ia masih kanak-kanak, ia sudah mengelilingi seluruh pulau Jawa dan berguru hampir kepada setiap orang yang sakti, sehingga ia berhasil mempelajari dan kemudian menguasai aji Lebur Seketi, Welut Putih, Tameng Waja, Sepi Angin, Lembu Sekilan, dan masih banyak lagi. Itulah sebabnya maka ketika Arya Penangsang ingin menyingkirkan saudara-saudara sepupunya untuk menguasai tahta Demak, termasuk Adipati Pajang pada waktu itu, meskipun utusannya berhasil memasuki bilik tidur Adipati Pajang, namun senjatanya sama sekali tidak melukainya. Berkali-kali orang-orang yang sudah berada di dalam biliknya selagi Adipati Pajang masih tertidur nyenyak itu berusaha membunuhnya. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan ketika Adipati Pajang itu menyingkapkan selimutnya dan menyentuh utusan itu, maka utusan-utusan itu pun menjadi pingsan karenanya, sehingga keduanya dengan mudahnya dapat ditangkap, dan kemudian disadap keterangannya.
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Memang terlintas di dalam kepalanya, jika hal itu akan menjadi dinding pemisah antara Pajang dan Mataram, maka apa boleh buat. Namun setiap kali ia sadar bahwa Ayahanda Adipati Pajang yang kemudian mengangkat dirinya menjadi Sultan Pajang itu adalah orang yang tidak terlawan, maka hatinya menjadi berdebar-debar. Bukan karena dirinya sendiri, tetapi karena ia tentu akan gagal membangun Mataram menjadi sebuah negeri. Dan kegagalannya itu akan memberikan kepuasan kepada beberapa orang yang sejak semula tidak percaya bahwa ia akan dapat membuka Alas Mentaok dan membuatnya menjadi suatu negeri.
"Tentu orang-orang itu pulalah yang telah mengirimkan Daksina kepada Panembahan Agung untuk bergabung dengan orang yang luar biasa itu," berkata Sutawijaya di dalam dirinya sendiri.
Dan tiba-tiba saja hampir di luar sadarnya ia memperbandingkan Sultan Pajang dengan Panembahan Agung.
"Ayahanda Sultan memiliki ilmu yang lengkap. Yang kasat mata dan yang tidak kasat mata. Aku kira Ayahanda Sultan Pajang masih berada di atas Panembahan Agung meskipun hanya selapis tipis. Dan dengan demikian, apakah yang dapat aku lakukan jika Ayahanda Sultan benar-benar akan mengambil tindakan."
Sutawijaya justru semakin bingung. Apalagi ia tahu pasti bahwa perempuan merupakan bagian dari nafas kehidupan Sultan Pajang.
Rasa-rasanya pikiran Raden Sutawijaya pun menjadi buntu. Ia tidak lagi mengetahui apa yang sebaiknya dilakukan.
"Tetapi semuanya sudah terlanjur," tiba-tiba ia menggertakkan gigi. "Semisal orang yang menyeberangi sungai, aku sudah terlanjur basah, sehingga aku tidak akan dapat ingkar lagi."
Sutawijaya itu menjadi tegang sejenak, lalu, "Aku harus segera menghadap Ayahanda Pemanahan. Apa pun yang harus aku lakukan, kecuali menghadap Ayahanda Sultan. Aku baru akan menghadap jika Mataram sudah menjadi sebuah negeri yang ramai dan dapat aku banggakan, sehingga tidak akan ada orang yang menghinaku lagi."
Tiba-tiba saja Raden Sutawijaya yang sedang bingung itu berdiri tegak sambil menengadahkan dadanya. Dengan lantang ia berteriak, "Kita berangkat sekarang. Kita lanjutkan perjalanan. Kita akan memasuki gerbang kota."
Suara Raden Sutawijaya itu benar-benar mengejutkan setiap orang di dalam pasukannya. Bahkan Ki Lurah Branjangan pun terbangun dengan dada yang berdebar-debar.
Sekali lagi mereka mendengar Sutawijaya berkata, "Kita berkemas sekarang. Kita segera melanjutkan perjalanan. Cepat. Siapa yang lambat, akan aku tinggalkan di sini."
Perintah yang tidak terduga-duga itu membuat para pengawal sejenak kebingungan. Tetapi mereka pun segera bangkit berdiri dan dengan tergesa-gesa mengemasi diri mereka dan kuda-kuda mereka.
Sutawijaya benar-benar bersikap aneh malam itu. Dengan tergesa-gesa ia pun membenahi dirinya. Kemudian berteriak, "Bawa kudaku kemari. Sekarang."
"Raden," Ki Lurah Branjangan mendekatinya dan berkata dengan sareh, "apakah sebenarnya yang telah terjadi?"
"Tidak ada apa-apa. Tetapi kita akan berjalan terus. Kita sudah berada dekat dengan gerbang kota. Apa gunanya kita beristirahat di sini?"
"Bukankah pertanyaan yang nadanya serupa itu sudah aku katakan sebelum Raden mengambil keputusan untuk berhenti di sini."
"Bohong. Kalian menghendaki kita berhenti. Dan aku terpaksa memenuhi permintaan kalian. Ternyata sikap itu adalah sikap yang bodoh."
"Raden," berkata Ki Lurah Branjangan pula, "sebagai orang yang lebih tua, aku mengerti bahwa yang sebenarnya bergejolak adalah dada Raden sendiri. Dan itu pun adalah persoalan yang wajar sekali. Karena itu, cobalah Raden tenang sedikit. Aku tidak berkeberatan seandainya kita melanjutkan perjalanan sekarang. Tetapi tentu tidak tergesa-gesa. Biarlah para prajurit adbmcadangan.wordpress.com menyiapkan kuda mereka dan membenahi pakaian dan peralatan yang kita bawa. Jika kita tergesa-gesa mungkin ada beberapa macam barang yang tertinggal dan barangkali beberapa orang tawanan akan kurang mendapat pengawasan."
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Sikap Ki Lurah Branjangan yang tenang dan sareh, membuat hatinya yang melonjak-lonjak itu menjadi agak tenang pula. Karena itu maka katanya, "Baiklah, aku menunggu sejenak. Tetapi jangan menjadi malas dan berlama-lama mengemasi diri."
Ki Lurah Branjangar menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian mengemasi pakaian dan beberapa macam alat yang dibawanya. Terutama senjata-senjatanya.
Beberapa saat kemudian, maka para pengawal pun sudah siap. Para tawanan sudah dihitung dan dipersiapkan pula untuk segera berangkat.
"Aku akan menghadap Ayahanda Pemanahan malam ini," gumam Raden Sutawijaya.
Ki Lurah Branjangan tidak menjawab. Sekilas dipandanginya wajah Raden Sutawijaya yang tegang. Namun ia tahu pasti apakah sebenarnya yang bergejolak di dalam dadanya itu.
Sejenak kemudian maka iring-iringan itu pun segera berangkat. Raden Sutawijaya memerintahkan beberapa orang membawa obor dan berada di paling depan, di tengah-tengah iring-iringan dan di belakang.
Di perjalanan tidak banyak pengawal yang berbincang. Mereka masih terkantuk-kantuk di punggung kuda. Hanya sekali-sekali mereka terkejut jika kuda yang ditumpanginya meloncati lubang dan batu-batu padas di perjalanan.
"Apakah yang sebenarnya terjadi?" bertanya utusan yang memanggil Sutawijaya itu kepada Ki Lurah Branjangan yang berkuda beberapa langkah di belakang Raden Sutawijaya
Ki Lurah Branjangan memandangi utusan itu sejenak. Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya sambil berdesis, "Aku tidak mengerti."
"Agaknya ada sesuatu yang penting. Agaknya benar-benar berhubungan dengan desas-desus itu."
"Desas-desus yang mana?"
"Setiap orang aku kira sudah mendengar bahwa Raden Sutawijaya telah melakukan hubungan terlarang dengan seorang puteri istana yang berasal dari Kalinyamat."
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Berita semacam itu memang mudah sekali tersebar. Apalagi menyangkut seorang pemimpin yang disegani seperti Raden Sutawijaya itu.
"Apa kata Ki Gede Pemanahan?" bertanya Ki Lurah Branjangan.
"Aku tidak tahu, tetapi Ki Gede Pemanahan agaknya sedang menekan perasaannya. Jika hal itu benar, mungkin Ki Gede akan mengalami kejutan. Meskipun ia seorang Senapati yang pilih tanding di medan perang, tetapi amat sulitlah bagi seseorang untuk memerangi perasaan sendiri."
Ki Lurah Branjangan hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu lagi tentang Raden Sutawijaya.
Demikianlah iring-iringan itu maju terus meskipun tidak begitu cepat. Tetapi jarak yang mereka tempuh memang sudah tidak begitu jauh lagi. Sebentar kemudian mereka pun sudah mendekati gerbang kota yang baru dibangun itu.
Para penjaga gerbang melihat obor yang semakin lama menjadi semakin dekat. Mereka tidak segera mengetahui siapakah yang datang beriringan. Yang mereka ketahui adalah, bahwa ada utusan yang menjemput Raden Sutawijaya ke Tanah Perdikan Menoreh. Namun demikian, belum pasti bahwa yang datang itu adalah Raden Sutawijaya dengan pasukannya.
Karena itu, maka pemimpin peronda di pintu gerbang itu pun segera memerintahkan para pengawal yang bertugas untuk bersiap. Yang sedang tidur pun dibangunkannya.
"Jika mereka itu hantu-hantu di Alas Mentaok, atau penyamun dari Tambak Baya, maka kita harus menghalaunya," berkata pemimpin peronda itu.
"Mudah-mudahan bukan mereka," desis seorang pengawal yang masih terkantuk-kantuk.
"Justru karena sarangnya mungkin telah diduduki oleh Raden Sutawijaya, maka mereka pun berkeliaran sampai ke tempat ini," gumam pengawal yang lain.
Para pengawal itu pun kemudian mempersiapkan diri. Seorang di antara mereka telah berdiri di sisi kentongan yang jika terpaksa dapat dipergunakannya untuk mengirimkan isyarat pada para peronda di dalam kota Mataram yang sedang dibangun itu.
Obor itu merayap semakin dekat. Namun para peronda masih belum dapat mengetahui siapakah mereka itu.
Namun ketika mereka melihat sepasukan berkuda mendekati gerbang, maka mereka pun mulai yakin, bahwa yang datang itu adalah benar-benar Raden Sutawijaya.
Demikianlah, maka para penjaga pintu gerbang itu pun segera menyibak. Mereka benar-benar melihat seorang anak muda yang menggenggam sebatang tombak pendek.
Namun agaknya wajah anak muda itu tidak secerah biasanya. Di depan pintu gerbang ia sama sekali tidak berpaling, dan tidak memberikan salam kepada para penjaga, selain sebuah anggukan kecil yang kosong.
"Apakah yang sudah terjadi?" para peronda itu bertanya-tanya di dalam hati.
Namun di dalam iring-iringan itu mereka melihat beberapa orang yang tidak mereka kenal, dan bahkan para penjaga itu melihat ciri-ciri mereka sebagai tawanan.
Ketika iring-iringan itu sudah memasuki gerbang, maka para penjaga itu pun menjadi sibuk berbincang. Seorang pengawal yang kurus seolah-olah melihat sendiri apa yang terjadi, dan berkata lantang, "Raden Sutawijaya sudah menguasai lawannya. Yang ada di antara para pengawal itu adalah para tawanan. Mereka adalah sisa-sisa dari pasukan lawan yang terbunuh di peperangan dan menyerah."
"Dari mana kau tahu?" bertanya kawannya.
Pengawal yang kurus itu termangu-mangu sejenak, lalu, "Tentu demikian yang sudah terjadi."
"Kira-kira," kawannya yang lain memotong.
Pengawal yang kurus itu memandangi kawannya sejenak. Namun kemudian ia tidak berkata apa pun lagi.
Dalam pada itu iring-iringan itu pun langsung menuju ke jantung kota. Namun ketika mereka sampai di alun-alun, maka sekali lagi Raden Sutawijaya dilanda oleh keragu-raguan. Di seberang alun-alun itu adalah sebuah bangunan yang besar tempat tinggal Ayahanda Ki Gede pemanahan yang kemudian juga sering disebut Ki Gede Mataram setelah Mataram nampak akan menjadi sebuah negeri yang ramai.
"Apakah Raden akan langsung menghadap?" bertanya Ki Lurah Branjangan kepada Sutawijaya.
"Yang manakah yang baik menurut pertimbangan Paman?"
Ki Lurah Branjangan termangu-mangu sejenak. Lalu katanya kemudian, "Menurut pertimbanganku sebaiknya Raden menunggu sampai besok."
"Tetapi kenapa para pengawal agaknya mengeluh ketika kita berhenti di luar pintu gerbang?"
"Raden," berkata Ki Lurah Branjangan, "jika kita sejak semula langsung masuk ke pintu gerbang, kita sampai di alun-alun ini sebelum jauh malam seperti sekarang, bahkan menjelang fajar. Kita masih sempat menghadap, dan membagi pekerjaan bagi para pengawal. Yang lain dapat beristirahat di barak-barak dan bergantian menjaga tawanan. Tidak di pinggir hutan."
"Kita adalah pengawal Tanah Mataram, yang tidak ubahnya seperti prajurit-prajurit Pajang. Apa salahnya kita berada di pinggir hutan di malam hari?"
"Tentu, Raden. Kita dapat berada di segala tempat. Tetapi jika tidak ada kemungkinan lain," berkata Ki Lurah Branjangan kemudian. "Tetapi baiklah aku tidak menyalahkan siapa pun juga. Tetapi aku mengerti kegelisahan hati Raden. Sebaiknya Raden tidak membawa pasukan seluruhnya untuk menghadap. Raden dapat menyerahkan kepada para pimpinan untuk mengatur anak buahnya dan para tawanan itu. Sedang Raden sendiri dapat beristirahat sejenak sambil menunggu fajar di tempat yang lebih baik dari rerumputan kering itu. Terserahlah kepada Raden siapakah yang harus menyertai Raden menghadap ayahanda besok. Mungkin aku, mungkin beberapa orang lain lagi."
Raden Sutawijaya terdiam sejenak. Rasa-rasanya hatinya masih saja mendidih karenanya. Namun kemudian ia berkata, "Paman, suruhlah para pengawal beristirahat. Jagalah tawanan itu sebaik-baiknya. Aku akan menghadap ayahanda besok. Sendiri."
"Sendiri?" "Ya. Sendiri." Ki Lurah Branjangan menjadi termangu-mangu, Sutawijaya adalah seorang anak muda. Darahnya masih terlampau cepat menjadi panas. Karena itu, jika ia berhadapan sendiri dengan ayahnya dalam keadaan seperti itu, mungkin akan dapat timbul salah paham padanya. Karena itu maka Ki Lurah itu pun berkata, "Raden, apakah Raden tidak memerlukan seorang saksi yang dapat ikut serta melaporkan peristiwa-peristiwa yang mengerikan di dalam perjalanan Raden. Dengan demikian maka kesaksian itu akan dapat mengurangi beban Raden."
"Jadi maksud Paman, kemenangan kita bersama para pengawal dari Menoreh itu akan aku pergunakan untuk memperkecil kesalahanku dalam persoalan gadis Kalinyamat itu?" bertanya Sutawijaya.
Ki Lurah Branjangan menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia mengangguk lemah sambil menjawab, "Demikianlah apabila mungkin, Raden."
"Tidak. Aku tidak akan melakukan tukar tambah seperti itu. Biarlah aku menerima hukumanku lebih dahulu sebelum aku melaporkan tentang hasil perburuan kita bersama pengawal dari Menoreh."
Ki Lurah Branjangan tidak dapat berbuat lain. Namun dengan demikian ia menjadi semakin cemas. Agaknya Sutawijaya akan mengakui segala kesalahannya dengan dada tengadah. Ia akan menghadapi segala akibat dari tindakannya itu. Tetapi ia tidak akan bersedia datang menghadap Sultan Pajang. Bukan karena ia tidak berani mempertanggung-jawabkan perbuatannya dan menerima hukumannya, tetapi justru ia tidak mau menjadi bahan tertawaan para Senapati di Pajang yang sejak semula sudah tidak percaya bahwa Alas Mentaok akan dapat dibuka oleh Ki Gede Pemanahan yang juga disebut Ki Gede Mataram bersama anaknya Raden Sutawijaya.
Sekilas terbayang di angan-angan Ki Lurah Branjangan, seorang senapati muda yang berada di antara Pajang dan Mataram. Senapati yang namanya tidak dapat dikesampingkan. Jika jatuh perintah dari Sultan Pajang untuk menggempur Mataram, maka Untara tentu tidak akan menunggu bantuan kekuatan dari para adipati di pasisir mana pun juga. Kekuatan Untara sendiri dengan prajurit yang berada di Pajang, di bawah pimpinan para senapati yang membenci Raden Sutawijaya beserta ayahandanya Ki Gede Pemanahan, yang iri hati dan yang mempunyai keinginan untuk memiliki sendiri Tanah yang sudah ternyata akan menjadi sebuah negeri yang subur ini, sudah terlalu besar bagi Mataram.
Dengan demikian, maka yang akan disebut oleh Raden Sutawijaya mempertanggung-jawabkan segala kesalahannya itu adalah ambaguguk-akuta-waton. Ia akan bersikap dan menghadapi akibat dari sikapnya itu. Kasar atau halus.
Sebagai orang yang telah mempunyai pengalaman yang luas dan umur yang sudah cukup panjang, maka Ki Lurah Branjangan kemudian memberanikan diri untuk berpesan, "Raden, sebaiknya Raden bersikap dewasa menghadapi persoalan orang-orang dewasa. Raden tidak boleh dibayangi oleh sikap seorang anak muda menghadapi tantangan. Raden akan menghadap ayahanda sendiri adbmcadangan.wordpress.com. Dan karena itu, Raden harus menyiapkan bekal secukupnya agar Raden dapat disebut sebagai seorang anak yang baik di dalam segala persoalan. Anak yang baik adalah anak yang menghormati orang tuanya di dalam segala bentuk."
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Di luar sadarnya anak muda itu mengusap dadanya sambil berkata, "Baiklah, Paman. Aku akan mendengarkan pesan Paman semuanya. Aku akan menghadap sebagai seorang anak menghadap ayahandanya."
"Apakah Raden dapat bersikap demikian pula kepada Ayahanda Sultan Pajang?"
Raden Sutawijaya memandang Ki Lurah Branjangan dengan tajamnya. Namun kemudian ia menundukkan kepalanya tanpa menjawab sepatah kata pun.
Ki Lurah Branjangan pun tidak mendesaknya. Ia sadar bahwa Raden Sutawijaya memang tidak dapat menjawab saat itu. Nalarnya dan perasaannya masih belum dapat sejalan. Sehingga dengan demikian maka Ki Lurah Branjangan pun terdiam untuk beberapa saat.
Ki Lurah Branjangan itu mengangkat wajahnya ketika terdengar perintah Raden Sutawijaya perlahan-lahan, "Paman, biarlah para pemimpin kelompok mengurus kelompoknya masing-masing. Dan serahkan para tawanan kepada yang bertugas. Beri kesempatan mereka beristirahat. Aku besok akan menghadap sendiri. Tetapi para prajurit harus bersiap di alun-alun agar pada saatnya aku dapat melaporkan perjalanan kita bersama mereka semuanya."
"Baiklah, Raden."
"Sekarang, aku pun akan beristirahat."
"Kemana Raden akan beristirahat" Apakah Raden akan kembali kepada ayahanda malam ini?"
Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak, lalu, "Tidak. Di mana pun aku dapat beristirahat. Tinggalkan aku di sini sendiri."
"Sendiri?" "Ya. Sendiri." "Itu tidak mungkin, Raden. Raden harus disertai beberapa orang pengawal yang akan mengawasi keadaan."
"Tinggalkan aku sendiri."
Ki Lurah Branjangan menjadi bingung. Namun sebelum ia dapat berbuat sesuatu, justru Raden Sutawijaya sudah memacu kudanya menembus gelapnya malam ke arah yang tidak diketahui.
Ki Lurah Branjangan pun dengan sigapnya melecut kudanya. Tetapi ternyata kelambatan beberapa kejap itu sudah sangat membingungkan. Justru karena jalan yang bercabang-cabang di dalam kota.
Hanya dalam beberapa saat yang pendek, Ki Lurah Branjangan telah kehilangan Raden Sutawijaya. Jika ia berada di bulak yang panjang, mungkin ia sempat menyusul, atau setidak-tidaknya dapat mengikutinya. Tetapi jalan di sekitar alun-alun ini benar-benar membuatnya bingung dan kehilangan jejak. Apalagi di malam hari.
Karena itu, maka Ki Lurah Branjangan pun segera kembali kepasukannya dengan wajah yang tegang. Ketika beberapa orang pemimpin kelompok mendapatkannya dan bertanya tentang Raden Sutawijaya, muka Ki Lurah Branjangan itu hanya menggeleng sambil menjawab, "Aku tidak tahu, apakah yang merisaukannya."
Namun ternyata bahwa ceritera tentang gadis Kalinyamat itu telah merambat ke setiap telinga. Dan setiap pengawal pun berpendapat, bahwa Raden Sutawijaya telah dirisaukan oleh keadaan gadis itu. Apalagi gadis itu adalah gadis simpanan Ayahanda Sultan Pajang.
Gairah Sang Pembantai 2 Sherlock Holmes - Kasus Jembatan Thor Ratu Tanpa Tapak 1
^