Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 14

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 14


Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang menjadi
kagum terhadap anak muda y ang semula cengeng itu.
Ternyata kemampuannya sangat keras. Ia sama sekali tidak
memperhitungkan waktu dan keadaan wadagnya sendiri.
Bahkan kadang-kadang ia telah memaksa diri meskipun ia
telah menjadi hampir pingsan.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tahu pasti,
bahwa ia tidak boleh merusak wadagnya sendiri. Untuk
menempa diri, betapa pun kerasnya ia bekerja, tetapi anak
muda itu harus m emperhitungkan kekuatan dan kemampuan
wadagnya. Sehingga karena itu, maka setiap kali Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat justru mencegah anak muda itu bekerja
terlalu keras. "Kau harus berlatih dengan teratur, tertib dan pasti,"
berkata Mahisa Murti, "kau tidak boleh merusak jaringan
tubuhmu sendiri dengan semena-mena."
Anak muda itu mengangguk-angguk. Ia tidak dapat
menolak petunjuk-petunjuk Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
yang kemudian telah dianggapnya sebagai gurunya.
Karena itu, maka anak muda itu pun mulai m engurangi
latihan-latihannya y ang berlebih-lebihan. Sementara itu
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah memberikan
batasan saat-saat latihan y ang terbaik dilakukannya dalam
perjalanan. "Kita tidak mempunyai sanggar di perjalanan," berkata
Mahisa Murti, "karena itu, maka kita harus meny esuaikan diri
dengan keadaan. Kita tidak dapat membuat alat-alat yang
paling baik untuk m enempa diri. Kita tidak dapat m embuat
tonggak-tonggak kayu y ang tidak sama tinggi. Tidak pula
dapat membuat palang-palang bambu atau kayu serta jenisjenis
peralatan yang lain. Karena itu, m aka kita harus dapat
memanfaatkan apa saja yang kita jumpai di perjalanan."
Anak muda itu m engerti. Dan ia pun menjadi semakin
patuh kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Karena dalam
latihan-latihan yang diberikan, ternyata kedua anak muda itu
memang memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Anak muda itu telah m empergunakan bebatuan bahkan
batu-batu padas sebagai pengganti patok-patok kayu yang
dipergunakan untuk melatih ketrampilan kaki serta
keseimbangan. Bahkan juga kecepatan bergerak serta
permulaan dari ilmu meringankan tubuh.
Demikianlah, maka sepanjang perjalanan m ereka, anak
muda itu benar-benar telah berlatih dengan keras. Semua
petunjuk dan perintah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
dilakukan sejauh kemampuannya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dalam kesempatan
tertentu kadang-kadang telah m embicarakan anak muda itu.
Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, "Akhirnya kita
ketemukan orang y ang kita cari."
"Tanpa kita duga sebelumnya. Jika kita harus m emilih,
kita tidak akan memilihnya. Tetapi ternyata ia memenuhi
sy arat. Sayang, umurnya hampir sebaya dengan umur kita.
Akan lebih baik jika umurnya masih lebih muda lagi," berkata
Mahisa Pukat. " Itu y ang ingin kita ketemukan. Tetapi aku yakin, lain
kali kita akan menemukan yang lebih muda untuk kita jadikan
adiknya, "sahut Mahisa Murti.
Mahisa Pukat tersenyum. Tetapi ia pun menganggukangguk
pula. Ternyata kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
tidak meny esal telah membawa anak muda itu meny ertai
mereka. Anak muda yang manja, y ang hanya menyandarkan diri
kepada ibunya itu, ternyata telah bangkit dari tidurnya dan
mencoba untuk mengenali dirinya sendiri.
Ternyata bahwa kemajuan y ang dicapai anak muda itu
cukup pesat. Ketika pada suatu saat, dasar-dasar olah
kanuragan telah dikuasainya, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah mencoba untuk mengajarnya mempergunakan
senjata. " Ingat, semua y ang kau pelajari barulah dasarnya,"
berkata Mahisa Murti, "kau baru mendapatkan wajah dari satu
jenis ilmu kanuragan. Tetapi kau belum m endalaminya. Kau
belum mulai memasuki pengenalan atas watak dan sifat-sifat
ilmu yang kau pelajari. Kau pun belum m engenali kekuatan
yang mungkin dapat diungkapkan lewat unsur-unsur gerak
pada ilmu kanuragan yang telah kau kuasai itu, berlandaskan
pada kekuatan tenaga cadangan y ang ada di dalam dirimu."
Anak muda itu mengangguk dalam-dalam, ia merasa,
semakin banyak ia belajar, maka semakin banyak yang
diketahuinya tentang betapa kerasnya kehidupan, terutama
dalam dunia olah kanuragan, dan semakin banyak pula yang
diketahuinya tentang kebodohannya sendiri.
Namun dengan demikian, maka anak muda itu m enjadi
semakin tekun dan bersungguh-sungguh.
Karena anak muda itu sama sekali memang belum
pernah mempelajari ilmu pedang, maka ia masih sangat
canggung menggenggam hulu pedangnya. Tetapi dengan
sabar, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memberikan
petunjuk-petunjuk, contoh dan bahkan kadang-kadang
keduanya telah mempertunjukkan perlahan-lahan, bagaimana
mereka harus mempergunakan senjatanya.
Unsur-unsur gerak y ang paling sederhana harus
dipahaminya lebih dahulu. Kemudian perlahan-lahan Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat telah meningkatkan ilmu anak muda
itu. Sehingga lam bat laun, di sepanjang perjalanan, sedikit
demi sedikit anak itu mulai mampu mempergunakan
pedangnya. Sekali-sekali anak muda itu telah berlatih
mempergunakan pedangnya bersama Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat berganti-ganti, sehingga dengan demikian,
maka serba sedikit anak muda itu telah mendapatkan
beberapa pengalaman, karena Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, kadang-kadang tidak bertempur dengan ilmu pedang
dari jalur perguruan mereka.
Ternyata setelah lewat satu masa purnama, anak muda
itu telah mampu m elakukan beberapa hal y ang sebelumnya
sama sekali tidak diketahuinya.
Ketika mereka sempat berada di tepian sebuah sungai
yang nampaknya jarang sekali dilalui orang, maka Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat telah memberi kesempatan kepada
anak muda itu untuk menunjukkan tingkat kemampuannya
sepenuhnya dalam olah kanuragan dan dalam ilmu pedang.
"Lakukan, agar kami tahu dengan pasti tingkat
kemampuanmu," berkata Mahisa Murti, "kali ini kau lakukan
di siang hari, lain kali akan kau lakukan di malam hari."
Anak muda itu memang patuh. Tanpa membantah, maka
ia pun segera mempersiapkan diri. Di atas pasir tepian, di
bawah lereng yang terjal, maka ia pun segera bersiap.
Beberapa saat kemudian, maka anak muda itu pun mulai
menunjukkan kemampuannya. Ia pun berloncatan di atas
pasir basah. Kaki dan tangannya bergerak dengan tangkasnya.
Semakin lama semakin cepat. Dengan mengerahkan kekuatan
di dalam dirinya, y ang telah menjadi semakin dapat
dikuasainya, maka gerakannya pun telah menimbulkan desir
angin y ang kuat. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengamati latihan itu
sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Adalah tidak siasia
bahwa mereka telah bekerja keras untuk m embina anak
muda itu. Ternyata bahwa anak muda itu telah menunjukkan
kemampuannya y ang cukup baik. Semua dasar ilmu
kanuragan telah dikuasainya. Meskipun masih pada
permukaannya, tetapi anak muda itu sudah bukan lagi anak
manja yang hanya mampu bersembunyi di punggung ibunya.
Beberapa saat kemudian, maka anak muda itu telah
menarik pedangnya. Ketika ia menyelesaikan tataran ilmu
kanuragannya, maka ia pun mulai dengan ilmu pedangnya.
Demikian cepatnya pedang itu berputar di tangannya.
Sekali-sekali melingkar di atas kepalanya, kemudian terayun
mendatar. S ekali menusuk tajam, namun kemudian m enebas
dengan cepatnya. Sebagaimana saat-saat ia berlatih tanpa senjata, maka
ayunan pedangnya pun telah menumbuhkan desir angin pula.
Ju stru lebih keras, sehingga terdengar seperti desing sendaren
di punggung burung merpati y ang terbang berkeliling.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menganggukangguk
sambil terseny um. Namun kemudian keduanya pun
telah mencabut pedangnya pula. Dari dua arah keduanya telah
menyerang anak muda itu. Dengan tangkasnya anak muda itu menghindari
serangan Mahisa Murti sambil menangkis serangan Mahisa
Pukat. Kemudian sambil merendah ia memutar pedang di atas
kepalanya dan mengayunkannya menyambar kaki Mahisa
Murti. Namun Mahisa Murti segera m elenting tinggi. Ketika
tubuhnya m elayang turun, maka ujung pedangnya pun telah
mematuk ke arah leher anak muda itu, sementara Mahisa
Pukat menyambar lambungnya dengan tebasan mendatar.
Anak muda itu menggeliat. Dengan tangkasnya ia pun
kemudian melenting sambil menangkis serangan Mahisa
Murti. Pedang Mahisa Pukat menyambar deras, namun tidak
mengenai sasarannya. Sementara pedang Mahisa Murti telah
membentur pedang anak muda itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kemudian melenting
menjauh. Ketika mereka telah menyarungkan pedang mereka,
maka keduanya pun telah bertepuk tangan.
Perlahan-lahan anak muda itu mengurangi kecepatan
geraknya. Kemudian putaran pedangnya jadi lamban, sehingga
akhirnya pedangnya tegak di depan dadanya.
Perlahan-lahan pula daun pedang itu turun dan
menunduk di sisi tubuhnya dalam tarikan nafas panjang.
Keduanya masih bertepuk tangan. Dengan lantang
Mahisa Murti berkata, "Bagus. Ternyata kau akan dapat
memenuhi harapan ibumu. Kau akan menjadi seorang laki -
laki. Tetapi sudah barang tentu seorang laki-laki yang baik.
Ilmumu akan menjadi bekal bagimu untuk melakukan
kebaikan itu. Melindungi orang-orang yang memerlukan
perlindungan. Mencegah tindak kesewenang-wenangan, dan
lebih dari itu, kau akan merupakan bagian dari kekuatan
untuk menentang orang-orang y ang menyalah gunakan
kekuatan ilmunya untuk kepentingan diri sendiri dan bahkan
tanpa belas kasihan mengorbankan orang lain."
Anak muda itu mengangguk hormat. Dengan nada
rendah ia berkata, "Mudah-mudahan aku tidak
mengecewakan." "Sama sekali tidak," berkata Mahisa Pukat, "ternyata
kau memiliki perasaan dan penalaran y ang tajam. Jika kau
mampu memanfaatkannya, maka kau benar-benar akan
menjadi seorang yang berilmu tinggi."
"Terima ka sih atas pujian itu," jawab anak muda itu,
"namun semakin jauh aku belajar, maka aku semakin
menyadari kekuranganku yang tidak terhitung."
"Tetapi selangkah demi selangkah kau akan maju,
setidak-tidaknya mengurangi kekuranganmu itu," sahut
Mahisa Pukat. Anak muda itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak
menjawab. "Beristirahatlah," berkata Mahisa Pukat, "kau telah
memeras tenagamu. Namun apa yang kau lakukan selama
dalam perjalanan tidak sia -sia."
Anak muda itu mengangguk dalam-dalam. Ia pun
kemudian m enyarungkan pedangnya dan berkata, "Aku akan
mandi." "Kita memang akan mandi. Tetapi tunggu sampai
keringatmu kering," berkata Mahisa Murti.
Untuk beberapa saat mereka pun kemudian telah duduk
di atas bebatuan untuk menunggu keringat mereka kering
sebelum mereka akan mandi di tikungan sungai y ang agak
lebih dalam dari pada di tempat-tempat yang lain.
Namun dalam pada itu, selagi mereka masih berusaha
mengeringkan keringatnya, mereka telah m endengar langkah
beberapa orang yang semakin lama menjadi semakin dekat.
"Ternyata ada juga orang y ang b erlalu lalang di tepian
sungai ini," desis Mahisa Murti.
Mahisa Pukat tidak menjawab. Langkah itu semakin
dekat dibalik tikungan sungai itu.
Sebenarnyalah sejenak kemudian lima orang telah
muncul dari balik batu padas.
Ternyata bahwa mereka lebih terkejut daripada Mahisa
Murti, Mahisa Pukat dan anak muda y ang m engikutinya itu,
karena ketiga anak muda itu telah mendengar langkah mereka
mendekat. Untuk beberapa saat m ereka justru berdiri termangumangu.
Namun kemudian orang yang tertua di antara mereka
telah m elangkah maju dengan hati-hati. Dengan nada rendah
ia bertanya, "Siapakah kalian bertiga?"
Mahisa Murti lah y ang kemudian menjawab, "Kami
adalah para pengembara Ki Sanak. Kami berjalan dari satu
tempat ke tempat lain tanpa tujuan, kecuali sekedar ingin
mengenali lingkungan hidup kami. Kami sekedar ingin
menyusuri hutan-hutan yang hijau di lembah dan di lerenglereng
pegunungan." Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian
katanya, "Tetapi kenapa kalian berada di sini?"
"Sebagaimana aku katakan, bahwa kami bertiga adalah
pengembara. Hari ini kami sampai di sini. Tetapi nanti kami
akan segera m elanjutkan perjalanan. Besok kami tentu sudah
berada di tempat lain," jawab Mahisa Murti.
"Aku mencurigai kalian. Kalian tentu tidak jujur. Kalian
tentu tidak mengatakan y ang sebenarnya kepada kami,"
berkata orang tertua di antara mereka berlima.
"Kenapa kami tidak mengatakan y ang sebenarnya"
Apakah keuntungan kami?" bertanya Mahisa Murti.
"Kau tentu m empunyai maksud tertentu di sini. Hanya
orang-orang yang mempunyai niat tertentu sajalah yang
menyusuri lereng-lereng terjal di pinggir sungai ini," berkata
orang tertua di antara mereka.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Sementara anak muda yang meny ertai mereka itu pun


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah bergeser mendekat. "Aku tidak tahu y ang kalian maksudkan," berkata
Mahisa Pukat. " Jangan pura -pura. Atau barangkali kalian justru telah
menemukannya?" bertanya orang itu.
"Menemukan apa?" Mahisa Pukat menjadi bingung,
"kami tidak menemukan apa-apa di sini."
Tetapi orang itu tertawa. Yang lain pun tertawa pula.
Katanya, "Ternyata ada orang lain y ang mendahului kita."
"Kita akan memaksa mereka menunjukkan, di mana
letaknya," berkata salah seorang di antara mereka.
"Ya. Mereka harus mengatakannya atau m ereka akan
mengalami nasib y ang sangat buruk," berkata y ang lain.
Orang tertua di antara mereka pun mengangguk-angguk.
Dengan nada berat, ia pun berkata, "Berterus teranglah. Kami
bukan orang-orang yang sangat rakus. Kami akan bersedia
memberikan bagian y ang pantas kepada kalian."
"Kami benar -benar tidak mengerti," berkata Mahisa
Pukat. " Jangan menunggu sampai kesabaran kami y ang sangat
terbatas itu habis. Jika demikian, maka kami akan dapat
berbuat apa saja yang tidak kalian duga sebelumnya."
Mahisa Murti lah y ang kemudian melangkah ke depan
sambil berkata, "Ki Sanak. Selama pengembaraan kami,
banyak sekali peri stiwa -peri stiwa aneh terjadi. Tetapi tidak
sebagaimana aku alami sekarang ini. Kami benar -benar tidak
mengerti, apa y ang kalian katakan dan apa y ang kalian
persoalkan. Seandainya kami tahu barangkali kami akan dapat
sedikit membantu." "Kalian tidak mempunyai banyak pilihan anak-anak
muda. Sekali lagi aku katakan, jika kalian bersedia
menunjukkan tempat itu, y ang pasti tidak t erlalu jauh dari
tempat ini, maka kalian akan mendapat bagian."
"Baiklah," berkata Mahisa Murti, "aku dapat m enduga
apa yang kau maksud. Kau tentu sedang mencari sesuatu yang
tersembuny i di sekitar daerah ini. Mungkin harta karun,
mungkin pusaka atau apa pun juga. Tetapi aku sudah
menjawab dengan jujur bahwa kami tidak m enemukan apa
pun di sini, karena kami memang tidak tahu bahwa di sini ada
sesuatu yang berharga untuk dicari."
" Ingat, kami sudah kehilangan banyak waktu untuk
berbicara dengan kalian. Jangan banyak cakap. Di mana
barang-barang itu kau simpan sekarang, atau di mana tempat
barang-barang itu ter simpan," geram orang tertua di antara
mereka. Nampaknya Mahisa Pukat pun telah kehabisan
kesabaran pula. Dengan garang ia berkata, "Ki Sanak. Aku
sudah tidak mau lagi melayani orang-orang mabuk seperti
kalian. Pergilah, atau aku terpaksa memaksa kalian pergi."
Orang tertua di antara mereka itu pun wajahnya menjadi
merah. Dengan geram ia berkata, "jadi kalian m emang ingin
mati?" "Kami ingin membunuh kalian," jawab Mahisa Pukat.
Orang tertua di antara mereka itu pun tidak lagi dapat
mengendalikan diri. Ia pun segera memberikan isy arat, agar
kawan-kawannya segera bertindak.
Demikianlah, maka sejenak kemudian kelima orang itu
pun m ulai bergerak. Mereka telah mengepung ketiga orang
anak muda y ang berada di tepian y ang basah itu.
Mahisa Murti pun kemudian berbisik kepada anak muda
yang meny ertainya itu, "berhati-hatilah. Kau mempunyai
kesempatan untuk mencoba ilmu yang kau kuasai. Namun
jangan m emaksa diri. Jika keadaan tidak teratasi, maka kau
harus bertempur dekat dengan aku atau dengan Mahisa
Pukat." Anak muda itu mengangguk. Ia memang menjadi
berdebar-debar. Tetapi ada juga dorongan di hatinya untuk
mencoba kemampuannya, sehingga kedatangan orang-orang
itu adalah satu kebetulan baginya.
Demikianlah kedua belah pihak pun telah bersiap.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berdiri di sebelah meny ebelah
anak muda y ang meny ertainya itu.
Sejenak kemudian, maka kelima orang itu pun telah
bergerak bersama-sama. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berdiri di sebelah
menyebelah dari anak muda yang meny ertainya, telah
memancing masing-masing dua orang lawan, sehingga anak
muda yang meny ertainya itu kemudian telah berhadapan
dengan seorang dari kelima orang itu.
Demikianlah, maka pertempuran pun segera telah
terjadi. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang memiliki
pengalaman yang luas itu pun segera meny esuaikan diri
dengan tata gerak lawannya. Namun ternyata lawan-lawan
mereka pun m emiliki ilmu y ang mapan pula. Mereka dengan
cepat telah meny erang anak-anak muda itu dari arah yang
berbeda. Dengan demikian maka pertempuran pun semakin lama
menjadi semakin seru. Dalam pada itu, anak muda yang mengikuti Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat itu pun telah bertempur pula
melawan salah seorang dari kelima orang itu.
Ternyata anak muda itu memang sudah berubah.
Meskipun jantungnya masih juga terasa berdegupan di saat ia
melihat lawannya melangkah mendekatinya, namun ketika
tangannya mulai bergerak dengan unsur-unsur gerak ilmu
yang telah dipelajarinya, maka jantungnya rasa-rasanya ju stru
menjadi semakin mapan. Apalagi ketika keringatnya mulai
membasahi kulitnya. Ketika untuk beberapa saat kemudian ia mampu
mengimbangi kemampuan lawannya, maka kepercayaan
kepada diri sendiri pun tumbuh semakin tebal. Bahkan
kemudian anak muda yang sebelumnya hanya dapat
bersembunyi dibalik punggung ibunya itu, benar -benar telah
bertempur melawan seorang yang nampaknya sudah cukup
berpengalaman. Tetapi ternyata bahwa anak muda itu tidak terlalu
banyak m engalami kesulitan. Meskipun sekali-sekali ia masih
juga dibingungkan oleh sikap lawannya, namun dengan
beberapa cara ia berhasil mengatasiny a. Justru karena latihanlatihan
y ang keras serta usaha Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
memperkenalkannya dengan berbagai macam unsur gerak
sesuai dengan pengalaman kedua anak muda itu, maka ia
tidak terlalu terkejut dengan pertempuran yang sebenarnya
itu. Namun demikian, anak m uda itu tidak selalu mampu
menghindarkan diri dari serangan-serangan lawannya. Sekalisekali
serangan lawannya itu telah mengenai tubuhnya. Tetapi
setiap kali anak m uda itu berlatih dengan sungguh-sungguh
bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat setiap kali telah
benar-benar menyerang dan menyakitinya. Sehingga dalam
pertempuran yang sesungguhnya, sentuhan tangan lawannya
itu tidak terlalu mengecilkan hatinya.
Bahkan dalam pertempuran selanjutnya, anak muda itu
sekali-sekali justru mampu membalas mengenai tubuh
lawannya. Dengan demikian maka bukan saja ia setiap kali
berdesah m enahan sakit, namun lawannya pun telah berbuat
hal y ang sama. Anak muda itu benar-benar merasa beruntung, bahwa ia
telah bekerja keras menempa dirinya. Bukan saja kemampuan
dan ketrampilan dalam olah kanuragan, tetapi setiap hari dan
bahkan hampir di setiap saat y ang m emungkinkan, ia selalu
berlatih untuk memperkuat ketahanan tubuhnya. Sehingga
meskipun kemudian ia telah bertempur dengan mengerahkan
tenaganya, namun rasa-rasanya tenaganya sama sekali tidak
menjadi susut karenanya. Kelima orang yang bertempur melawan anak-anak muda
itu m emang menjadi sangat heran. Ternyata anak-anak muda
itu memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Terutama
keempat orang yang harus bertempur melawan Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat itu m enjadi bingung, bagaimana mereka
dapat menemukan kelemahan anak-anak muda itu.
Tetapi justru anak-anak muda itulah y ang telah
mendesak mereka, meskipun jumlah mereka berlipat dua.
Mahisa Murti y ang berloncatan dengan tangkasnya
seperti seekor burung sikatan menyambar bilalang, benarbenar
m embuat lawannya kadang-kadang kebingungan. Anak
muda itu bagaikan tidak berjejak di atas tanah. Ia menyambar
dari segala arah dengan cepatnya. Namun tiba -tiba saja
mematuk menyusup di antara pertahanan lawannya.
Meskipun ia harus melawan dua orang yang juga cukup
berpengalaman, namun ternyata bekal ilmu Mahisa Murti
yang jauh lebih tinggi dari ilmu lawannya itu mampu
membuat kedua lawannya kadang-kadang tidak tahu apa yang
harus mereka lakukan. Di ujung yang lain, Mahisa Pukat pun telah bergerak
dengan cepatnya. Tangannya yang bergerak berputaran,
menyerang, menangkis dan m enebas mendatar, seakan-akan
telah berubah menjadi beberapa pa sang tangan y ang bersamasama
bergerak. Beberapa kali Mahisa Pukat berhasil mengenai tubuh
kedua lawannya berganti-ganti, sehingga setiap kali terdengar
kedua lawannya itu mengeluh. Bahkan semakin lama kedua
lawannya itu pun menjadi semakin terdesak karena perasaan
sakit y ang semakin merata di tubuhnya.
Di antara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, anak muda
yang m enyertainya itu telah bertempur dengan mengerahkan
segenap tenaga dan kemampuannya. Ilmu y ang telah diserap,
ditambah dengan ketahanan tubuhnya y ang tinggi, pengenalan
atas beberapa jeni s ilmu sebagaimana diperkenalkan oleh
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, telah membuat anak muda
itu menjadi garang. Meskipun setiap kali ia harus terdor ong surut oleh
serangan lawannya, tetapi beberapa kali pula ia berhasil
membuat lawannya itu mengaduh kesakitan.
Dengan demikian, m aka pertempuran di tepian itu pun
semakin lama menjadi semakin seru. Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat y ang m emiliki ilmu y ang tinggi itu, perlahanlahan
telah berhasil menguasai kedua lawan m asing-masing.
Setiap saat y ang dikehendaki, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
akan dapat dengan segera mengakhiri pertempuran.
Tetapi ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak
melakukannya. Keduanya dengan sengaja telah
memperpanjang waktu. Seakan-akan mereka telah menunggu
anak muda y ang m eny ertai mereka itu sampai kepada batas
pertempuran. Sambil mengikat kedua lawan masing-masing dalam
pertempuran, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat
memperhatikan anak muda y ang meny ertai mereka itu
bertempur. Sekali-sekali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat
tersenyum. Ternyata bahwa anak muda itu benar-benar telah
menunjukkan kemampuan yang mampu mengimbangi
lawannya y ang nampaknya cukup berpengalaman.
Sebenarnyalah anak muda itu telah mempergunakan
kesempatan itu sebaik-baiknya untuk menilai diri. Ia mencoba
mengetrapkan unsur-unsur gerak y ang telah dipelajarinya dari
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun ternyata bahwa anak
muda itu tidak saja mempergunakan kekuatan dan
kemampuannya dalam olah kanuragan. Namun anak muda itu
telah mempergunakan otaknya pula. Ia tidak saja
mempergunakan unsur-unsur gerak yang pernah dipelajarinya
begitu saja. Tetapi ia telah berusaha untuk menyesuaikan
dengan sifat pertempuran y ang sedang dilakukannya. Anak
muda itu mampu mengembangkan unsur-unsur gerak yang
telah dikuasainya. Bahkan kadang-kadang mempergunakan
dengan cara y ang tidak diperhitungkan oleh lawannya, karena
demikian tiba-tiba saja telah berubah dari unsur yang satu ke
unsur y ang lain. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata mengagumi
anak muda itu. Semula mereka tidak banyak mengharap
daripadanya selain sekedar untuk membuatnya lebih dewasa.
Namun kemudian ternyata bahwa anak muda itu memiliki
jauh lebih banyak dari y ang diharapkan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendiri masih saja tidak
menyelesaikan pertempuran itu. Bahkan kadang-kadang
mereka justru memberikan kesan kepada lawan-lawannya
bahwa mereka telah terdesak. Sehingga lawan-lawannya itu
kadang-kadang justru mulai berpengharapan lagi. Tetapi
beberapa saat kemudian mereka mulai menjadi bingung lagi
jika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi bersungguhsungguh.
Dalam pada itu, maka orang yang harus bertempur
dengan anak muda y ang mengikuti Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat itu telah mengerahkan kemampuannya. Namun
lawannya y ang masih muda itu ternyata mampu
mengimbanginya. Meskipun anak muda itu belum m emiliki
pengalaman y ang sebenarnya, namun ketahanan tubuhnya,
kemampuan otaknya dan kemauannya yang keras, telah
membuatnya menjadi seorang y ang ternyata mampu
mengimbangi lawannya y ang telah memiliki pengalaman yang
luas serta hidup dalam dunia y ang keras dan kasar.
Dengan demikian, maka meskipun mula-mula keduanya
bertempur dengan seimbang, namun akhirnya anak muda
yang m eny ertai Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu berhasil
mendesak lawannya. Latihan-latihan y ang berat selama dalam
perjalanan telah membuatnya menjadi seorang yang kuat
bukan saja tekatnya, tetapi juga wadagnya.
Dalam keadaan yang demikian, maka orang itu pun telah
menarik pedangnya. Ia tidak mau demikian saja menerima
kekalahan itu. Anak muda itu pun telah meloncat surut. Sejenak ia
termangu-mangu. Ketika ia melihat tajamnya m ata pedang,
maka jantungnya terasa berdebar semakin cepat.
Dalam keragu-raguan itu, seakan-akan terngiang suara
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, "Bukankah kau juga
mempunyai pedang?" Anak muda itu menjadi tegang. Namun ketika tangannya
meraba hulu pedangnya, ia masih m erasakan tangannya itu
gemetar. Tetapi akhirnya tangannya itu telah menarik pedangnya.
Pertempuran y ang telah berlangsung telah membuatnya


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semakin percaya kepada diri sendiri, sehingga karena itu,
maka sejenak kemudian maka ia pun telah menggerakkan
pedangnya pula. Ujungnya y ang terjulur ke depan mulai
bergetar. Demikianlah, maka keduanya pun telah bertempur
dengan mempergunakan senjata.
Kedua lawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
ternyata telah mempergunakan senjata pula. Bagaimanapun
juga mereka merasa bahwa mereka tidak akan mampu berbuat
banyak. Meskipun kadang-kadang Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat memberikan kesempatan kepada lawan-lawan mereka
untuk berpengharapan, namun mereka akhirnya menyadari,
bahwa tulang-tulang mereka rasa-rasanya telah menjadi retak.
Namun ternyata dengan mempergunakan senjata,
keadaan mereka menjadi semakin sulit. Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat y ang telah melawan mereka dengan senjata
pula, akhirnya ingin mempergunakan waktunya untuk
sepenuhnya memperhatikan anak muda y ang meny ertai
mereka. Karena itu, maka Mahisa Murti lah y ang pertamatama
telah menghentikan perlawanan kedua orang lawannya.
Meskipun Mahisa Murti tidak melukai mereka, tetapi dengan
menangkis setiap serangan kedua lawannya, maka kaki
Mahisa Murti telah berhasil mengenai tubuh lawannya.
Dengan kekuatannya yang sangat besar, m aka Mahisa Murti
telah berhasil membuat kedua lawannya menjadi pingsan.
Ternyata Mahisa Pukat pun telah mengakhiri
pertempurannya pula. Dengan kekuatan yang besar, Mahisa
Pukat telah berhasil melemparkan senjata kedua lawannya.
Kemudian memukul keduanya sampai tidak berdaya lagi
untuk bangkit. Dengan demikian mereka masih sempat
melihat, seorang di antara kelima orang itu bertempur.
Dalam pada itu, anak muda y ang meny ertai Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat itu pun masih bertempur dengan
garangnya. Dengan pedangnya ia telah mendesak lawannya
yang gelisah. Namun dalam pada itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
yang kemudian menyaksikan pertempuran itu sama sekali
tidak mengganggu. Bahkan Mahisa Murti telah berkata,
"jangan takut, bahwa kami akan bertempur berkelompok.
Kami akan menyaksikan pertempuran dengan sikap seorang
laki -laki. Apa pun y ang akan terjadi, biarlah terjadi."
Anak muda yang menyertainya itu menjadi berdebardebar.
Ia percaya bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
benar-benar akan membiarkannya bertempur seorang diri
sampai akhir, apa pun y ang terjadi.
Karena itu, maka anak muda itu m erasa bahwa ia harus
menyandarkan diri kepada kemampuannya.
Lawan anak muda itu memang diliputi oleh k ecemasan.
Ia tidak yakin bahwa kedua orang anak muda itu akan t etap
berdiam diri sebagaimana dikatakannya jika keadaan
lawannya menjadi semakin sulit.
Namun ia m emang tidak m empunyai pilihan. Keempat
kawannya sudah tidak berdaya lagi. Karena itu, maka jika ia
juga harus mati, m aka ia akan m embawa lawannya itu mati
bersamanya. Karena itu, maka ia pun telah mengerahkan segenap
kemampuannya untuk benar -benar berusaha membunuh.
Tetapi anak muda itu pun telah berusaha untuk
mempertahankan diri, bahkan kemudian dengan kemampuan
yang ada pada dirinya, maka perlahan-lahan namun pasti,
anak muda itu mampu menguasai lawannya. Ilmu pedang
yang dipelajarinya dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,
ternyata lebih baik dan lengkap dari unsur-unsur ilmu yang
dimiliki oleh lawannya. Namun pengalaman lawannya yang
jauh lebih luas sajalah agaknya yang masih dapat
memperpanjang perlawanannya.
Namun semakin lama ia pun menjadi semakin terdesak.
Bahkan dalam pertempuran y ang semakin garang itu, ujung
pedang anak muda y ang mengikuti Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat itu sempat meny entuh tubuhnya mengoy akkan kulitnya.
Darah mulai menitik dari tubuhnya m eskipun lukanya
tidak terlalu dalam. Namun hati orang itu m enjadi semakin
kecut. Betapa pun ia berusaha, namun ia tidak memiliki
kemampuan untuk mengatasi lawannya yang masih muda itu.
Apalagi semakin lama terasa kekuatannya menjadi
semakin susut. Bukan saja karena darahnya yang menitik,
tetapi ternyata bahwa ketahanan tubuh lawannya y ang masih
muda itu jauh lebih kuat dari ketahanan tubuhnya sendiri.
Akhirnya orang itu tidak berpengharapan lagi. Ia tidak
akan dapat membawa lawannya itu mati bersamanya. Bahkan
mungkin ia akan mengalami keadaan y ang paling buruk jika
luka-luka tergores di tubuhnya semakin lama semakin banyak,
sehingga pada saatnya tubuhnya menjadi arang kranjang dan
dalam keadaan y ang demikian ia ditinggalkan di pinggir
sungai itu. Karena itu, m aka ketika keadaannya menjadi sulit dan
bahkan goresan kedua telah mengoyak kulitnya pula, m aka
orang itu tidak m empunyai pilihan lain. Tiba-tiba saja orang
itu telah melemparkan senjatanya sambil berkata, "Aku
menyerah. Terserah, apa pun y ang akan kalian lakukan."
Anak muda itu masih saja mengarahkan ujung
pedangnya ke dada orang itu. Namun sebenarnyalah ia
menjadi agak bingung. Ia tidak tahu apa yang harus
dilakukannya terhadap seseorang y ang telah meny erah.
Ketika anak muda itu m emandangi Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat berganti-ganti, m aka Mahisa Pukat pun telah
berkata, "Kau sudah menang. Kau dapat berbuat apa saja
terhadap lawanmu itu."
Anak muda itu masih ragu -ragu, sementara Mahisa
Pukat pun berkata, "Lakukan. Apa saja y ang ingin kau
lakukan." Anak muda itu melangkah mendekati sambil
mengacukan pedangnya tepat ke arah jantung. Ketika ia
melangkah lagi maju, maka ujung pedangnya benar-benar
telah meny entuh dada orang y ang sudah melemparkan
senjatanya itu. Namun akhirnya anak muda itu justru melangkah surut
sambil berkata, "Aku tidak akan membunuhnya. Aku tidak
tahu, apakah y ang aku lakukan ini benar atau salah."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tersenyum. Keduanya
pun telah mendekati anak muda itu. Mahisa Murti pun
kemudian b erkata, "Kau telah memilih satu sikap y ang baik.
Biarlah orang itu tetap hidup. Namun ada y ang tentu saja
ingin kita ketahui."
"Apa?" bertanya anak muda itu.
"Apakah yang sebenarnya mereka cari?" desis Mahisa
Murti. Orang yang sudah terluka itu menjadi pucat. Namun
Mahisa Murti pun berkata, "Aku mempunyai obat untuk
mengobati lukamu itu. Sementara itu kawan-kawanmu yang
pingsan pun telah sadar. Sebaiknya kita berbicara dengan baik
tanpa prasangka." Orang itu memang menjadi semakin pucat. Katanya,
"Aku tidak tahu apa-apa."
Mahisa Murti mengangguk kecil. Katanya, "Aku tidak
akan berbicara dengan salah seorang di antara kalian. Tetapi
aku ingin berbicara dengan kalian berlima."
Orang y ang terluka itu tidak menyahut. Namun dalam
pada itu, Mahisa Murti benar-benar telah memberikan obat
untuk mengobati lukanya y ang m eskipun tidak parah, tetapi
memang memerlukan perhatian.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar ingin
berbicara dengan kelima orang itu. Namun sebenarnya yang
terpenting bagi mereka adalah penjajagan atas kemampuan
anak muda y ang telah menyertainya itu.
Karena itu sambil melangkah di atas pasir tepian,
Mahisa Murti berkata, "Bagaimana menurut pendapatmu
sendiri, ilmu pedangmu itu?"
Anak muda itu m enundukkan kepalanya. Dengan nada
rendah ia berkata, "Kalian ternyata telah sangat baik
kepadaku. Aku bukan lagi anak cengeng yang hanya
bersembunyi di belakang ibuku. Tetapi sekarang aku berani
berdiri di depan." "Kau harus yakin, bahwa kau telah mengalahkan
lawanmu," berkata Mahisa Murti, "meskipun bukan berarti
bahwa kau akan dapat mengalahkan semua orang. Kebetulan
lawanmu bukan seorang yang berilmu tinggi."
"Aku tahu," jawab anak muda itu, "aku memang baru
mulai. Tetapi itu lebih baik daripada tidak m emulainya sama
sekali." Mahisa Murti menepuk bahu anak muda itu sambil
berkata, "Kau justru akan m enghadapi masa-masa yang berat
dalam menempa diri sendiri."
"Aku sadari itu," jawab anak muda itu.
Demikianlah, maka mereka bertiga pun telah duduk
berhadapan dengan lima orang yang sudah tidak berdaya.
Dengan nada rendah Mahisa Murti bertanya kepada mereka
berlima, "Coba, siapakah y ang dapat mengatakan, kepada
kami, apakah yang kalian cari di sini sehingga kalian telah
menuduh kami meny embuny ikan sesuatu?"
" Jadi kalian benar-benar tidak mengetahuinya?"
bertanya yang tertua di antara mereka.
"Ki Sanak," jawab Mahisa Murti, "kami adalah orangorang
y ang tidak mengenal lingkungan ini. Kami adalah
pengembara yang baru sekali ini menyentuh tempat ini."
Orang tertua di antara mereka menarik nafas dalamdalam.
Katanya, "Seandainya saja kami m engetahui hal itu,
kami tentu tidak akan mempersoalkannya."
"Tetapi kalian telah t erlanjur mempersoalkan sesuatu,"
berkata Mahisa Murti, "sekarang kamilah yang m erasa perlu
untuk mengetahui apakah yang sebenarnya kalian cari di
sini?" "Sudahlah," berkata y ang tertua, "lupakan saja.
Bukankah kita tidak tahu pa sti, dimanakah barang yang kita
cari itu?" "Tetapi katakan, apa y ang sedang kalian cari," suara
Mahisa Murti menjadi agak keras, "apakah kami harus
memaksa?" Kelima orang itu termangu-mangu. Namun akhirnya
yang tertua di antara mereka berkata, "Anak-anak muda.
Sebenarnyalah di daerah ini terdapat satu tempat untuk
menyimpan harta yang tidak ternilai harganya."
Ketiga anak m uda itu termangu-mangu. Mahisa Pukat
lah y ang kemudian bertanya, "Harta karun maksudmu?"
"Ya anak muda," jawab yang tertua di antara mereka.
"Darimana kau mendapat keterangan tentang harta
karun itu?" bertanya Mahisa Pukat.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Lalu katanya,
"Anak-anak m uda. Di kaki bukit itu pernah tinggal seorang
yang semula tidak banyak dikenal orang. Orang itu sengaja
menyendiri dan memisahkan diri dari pergaulan. Seorang diri
ia membuka sebuah padepokan kecil, bersama seorang yang
cacat yang sulit b erbicara, terbongkok-bongkok dan wajahnya
sangat buruk. Pada suatu hari, ternyata padepokan kecil itu
telah didatangi oleh beberapa orang y ang tidak dikehendaki
kehadirannya. Perkelahian tidak dapat dihindari lagi. Namun
ternyata penghuni padepokan itu bersama orang y ang ujudnya
cacat itu berhasil mengusir orang-orang yang datang itu.
Namun kemudian mereka telah meny embuny ikan sesuatu.
Sesuatu y ang nampaknya diperebutkan."
"Tetapi bagaimana kalian tahu bahwa barang y ang
disembuny ikan itu ada di sekitar tempat ini," bertanya Mahisa
Murti. Orang itu termangu-mangu. Sejenak ia berpaling kepada
kawan-kawannya. Namun kemudian jawabnya, "Kami telah
menemukan seseorang yang pernah mendengar hal itu dari
orang y ang cacat itu."
"Apakah kedua orang itu masih hidup?" bertanya
Mahisa Pukat. Orang itu menggeleng. Katanya, "Pada satu saat, telah
datang lebih banyak orang lagi. Ternyata kedua orang itu tidak
mampu mempertahankan diri, sehingga akhirnya keduanya
telah t erbunuh. Namun ternyata bahwa orang cacat itu tidak
mati seketika. Seorang petani y ang sempat melihat keadaan
padepokan kecil itu memberanikan diri untuk mendekat
sehingga akhirnya ia menemukan orang y ang cacat yang dalam
keadaan yang sangat parah. Namun orang itu sempat
mengatakan, bahwa di tikungan sungai ini, barang-barang
yang diperebutkan itu telah disembuny ikan dalam sebuah
lekuk yang agak dalam."
"Barang itu berupa apa saja?" bertanya Mahisa Pukat.
" Itulah y ang tidak kami ketahui," jawab orang tertua diantara
mereka. "Bagaimana dengan petani itu Sekarang?" desak Mahisa
Murti kemudian. Orang itu menjadi ragu-ragu. Sejenak ia termangumangu.
Sementara itu Mahisa Murti telah bertanya pula, "Di
mana petani itu sekarang?"
Orang itu m asih tetap ragu -ragu. Namun ketika Mahisa
Murti m emandanginya dengan sorot mata y ang mulai tajam,
orang itu berkata sambil berpaling kepada seorang kawannya,
"Orang itulah y ang mengetahuinya."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berpaling
kepadanya. Dengan nada rendah Mahisa Pukat berkata,
"Kemarilah." Orang itu termangu-mangu. Namun ia pun telah
mendekatinya. "Katakan, di mana orang itu sekarang?" bertanya
Mahisa Pukat. "Orang itu telah terbunuh," jawab orang yang dianggap
mengenal petani itu. "Kalian jangan mempermainkan kami," geram Mahisa
Pukat, "kami sudah berbuat baik atas kalian. Namun agaknya
kalian sama sekali tidak ingin berbicara sebenarnya. Kalian
masih tetap ingin m enguasai harta karun itu dan m encurigai
kami seakan-akan kami akan menjadi saingan kalian."
Orang itu memang menjadi ketakutan melihat sikap
Mahisa Pukat y ang tiba-tiba saja menjadi garang. Bahkan
Mahisa Pukat pun kemudian berkata, "Kami dapat merubah
keputusan kami tentang kalian."


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ki Sanak," berkata orang tertua, "sebenarnyalah bahwa
petani itu memang sudah meninggal. Tetapi ia berpesan
kepada anak perempuannya, sebagaimana ia pernah
mendengarnya." "Kenapa petani itu meninggal?" bertanya Mahisa Pukat.
"Tidak seorang pun y ang tahu. Tetapi agaknya ia telah
terkena racun menilik keadaannya," jawab orang tertua di
antara kelima orang itu. Lalu "tentu orang-orang yang telah
membunuh penghuni padepokan kecil itu pulalah y ang telah
membunuhnya." Tetapi Mahisa Pukat menggeleng. Katanya, "Seharusnya
mereka tidak akan membunuhnya. Jika mereka mengira
bahwa petani itu adalah satu -satunya orang y ang akan dapat
menjadi sumber keterangan tentang harta karun itu. Petani itu
tentu akan dibawa. Mungkin ia akan mengalami penderitaan
yang sangat. Tetapi ia tidak akan dibunuh."
"Namun anak perempuannya telah menemukannya
dalam keadaan seperti itu," jawab orang tua itu.
Tetapi Mahisa Pukat memandang kepada orang y ang
disebutnya mengenal petani itu. Dengan nada berat ia
bertanya, "Katakan, apa yang telah terjadi. Jika orang itu
berpesan k epada anak perempuannya, kenapa keterangan itu
sampai ke telingamu?"
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian, "Petani yang meninggal itu adalah iparku. Anak
perempuan itu adalah kemanakanku. Karena itu, maka ketika
ay ahnya kemudian meninggal, perempuan itu agaknya tidak
dapat membiarkan dirinya dibebani oleh pesan ayahnya itu.
Karena itu, m aka ia telah m enemui aku dan m engatakannya
apa y ang diketahuinya tentang harta karun itu."
"Apakah anak perempuan itu tahu, ujud dari harta
karun itu?" bertanya Mahisa Pukat.
Orang itu menggeleng. Katanya, "Tidak seorang pun
yang tahu apa ujudnya."
"Selain perempuan itu dan kau, apakah ada orang lain
yang mengetahuinya?" bertanya Mahisa Pukat.
"Suami perempuan itu," jawab orang itu.
"Menantu petani itu maksudmu?" bertanya Mahisa
Pukat. "Yaa," jawab orang itu.
"Apakah menantu petani itu sama sekali tidak
mempunyai minat untuk menemukan harta karun itu?"
bertanya Mahisa Pukat. Orang itu menggeleng. Katanya, "Sepengetahuanku ia
belum pernah berusaha untuk menemukannya."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun kemudian
katanya, "Tetapi siapakah kalian sebenarnya. Menilik sikap
dan tingkah laku kalian, maka kalian adalah orang-orang yang
berpengalaman. Apakah kalian memang perampok atau
penjahat dalam bentuk apa pun juga?" bertanya Mahisa Pukat
pula. Kelima orang itu termangu-mangu. Namun orang tertua
di antara mereka berkata, "Anak-anak muda. Agaknya kami
memang tidak akan mungkin ingkar dari pandangan mata
kalian. Kami sebenarnya bukan penjahat dalam arti
kebanyakan. Mungkin kami memang penjahat, tetapi dalam
pengertian yang khusus."
"Mak sudmu" " desak Mahisa Pukat.
"Kami adalah orang-orang upahan dari seorang
saudagar yang kay a. Tetapi setelah kami mendengar per soalan
harta karun itu, maka kami telah m eninggalkan tugas kami
dengan seribu macam alasan untuk selama tiga hari." jawab
orang tertua di antara mereka. Lalu "Tetapi sampai waktu
kami habis, kami belum dapat menemukannya."
"Apa tugas kalian pada saudagar kaya itu?" bertanya
Mahisa Murti. "Melindunginya dan dalam setiap perselisihan dengan
saudagar-saudagar y ang lain, termasuk persaingan pekerjaan
mereka, maka kami harus dapat menyelsaikannya. Sudah
tentu dengan kekerasan," jawab orang tertua.
" Jika sekarang kalian pergi, apakah saudagar itu tidak
mungkin mengalami nasib buruk?" bertanda Mahisa Pukat.
"Dalam tiga hari ini saudagar itu tidak akan pergi ke
mana-mana. Sementara tugas kami sebagian besar adalah
dalam perjalanan atau dalam hubungan dengan orang lain. Di
rumah saudagar itu mempunyai banyak sekali pekerja dan
pembantu yang dapat menakut-nakuti orang lain," jawab
orang tertua di-antara mereka berlima.
"Apakah y ang diperdagangkan oleh saudagar itu?"
bertanya Mahisa Murti kemudian.
Orang tertua di antara kelima orang itu termangumangu.
Namun kemudian katanya, "Terutama t ernak. Tetapi
juga barang-barang berharga dari negeri asing yang jarang
sekali terdapat di daerah Kediri maupun Singasari. Kain
beludru yang sangat mahal y ang berasal dari saudagarsaudagar
asing. Barang-barang perhiasan y ang lain yang
mahal termasuk permata."
"Apakah saudagar itu tahu bahwa kalian sedang mencari
harta karun sekarang ini?" bertanya Mahisa Pukat.
"Tentu tidak," jawab orang itu.
Namun dalam pada itu Mahisa Pukat pun berkata,
"Baiklah. Sekarang, bawa kami menemui perempuan itu."
"Mak sudmu, anak petani itu?" bertanya orang tertua di
antara kelima orang itu. "Ya," jawab Mahisa Pukat.
"Apakah ada artinya?" bertanya orang itu.
"Bawa kami kepadanya," sahut Mahisa Pukat pula.
Tetapi orang itu ragu-ragu. Dipandanginya kawannya,
paman dari perempuan yang telah m emberitahukan tentang
harta karun itu. Katanya, "Bagaimana menurut pendapatmu?"
"Perempuan itu tidak akan mengatakan lebih banyak
dari yang aku katakan," berkata pamannya.
"Bawa kami kepadanya," sahut Mahisa Pukat menjadi
keras, "kau harus tahu bahwa aku dapat berbuat apa saja yang
aku inginkan. Juga atas kalian."
Nampaknya memang tidak ada pilihan lain bagi kelima
orang laki -laki itu selain daripada membawa Mahisa Murti,
Mahisa Pukat dan anak muda yang bersamanya itu pergi ke
rumah kemanakannya. Perempuan itu memang terkejut. Demikian pula
suaminya. Pamannya telah datang bersama kelima orang
kawannya. Namun telah ikut datang pula dua orang yang
belum dikenalnya. oooodewioooo HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 66 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo Converter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 066 "Kemarilah," berkata Laki-laki yang mengetahui tentang
harta karun itu serba sedikit, "ketiga orang anak muda itu
ingin berbicara denganmu."
"Tentang apa paman?" bertanya perempuan itu.
"Aku tidak tahu. Biarlah kau jawab pertanyaan mereka
langsung saja," berkata pamannya.
Perempuan itu termangu-mangu. Namun ia pun
kemudian duduk di hadapan ketiga orang anak muda itu
dengan kepala tunduk. Perempuan itu tahu, bahwa orangorang
itu tentu akan bertanya tentang harta karun
sebagaimana pernah didengarnya dari ayahnya. Ketiga orang
anak muda itu tentu mempunyai hubungan dengan pamannya
dan keempat orang kawan pamannya itu.
Tetapi kenapa pamannya telah mengajak orang-orang
itu kepadanya adalah sesuatu y ang aneh baginya, karena
pamannya sendiri berpesan kepadanya, agar ia tidak
mengatakan kepada siapa pun juga.
Namun perempuan itu tidak mendapat kesempatan
untuk berteka-teki terlalu lama. Mahisa Murti pun kemudian,
telah b ertanya kepadanya, "Apakah benar, bahwa kau pernah
mendapat pesan dari ayahmu tentang harta karun?"
Perempuan itu menjadi bingung. Ia tidak tahu apa y ang
harus dikatakannya kepada anak muda itu.
"Sebaiknya kau berkata terus terang," berkata Mahisa
Murti, "pamanmu telah mengatakan, bahwa ayahmu telah
terbunuh. Sebelum ayahmu meninggal, maka ia telah
menyampaikan pesan kepadamu tentang harta karun itu."
Perempuan itu memandang pamannya sejenak.
Namun pamannya itu pun mengangguk sambil berkata,
"Katakan apa yang kau ketahui. Kami tidak akan dapat ingkar
lagi." Perempuan itu pun kemudian mengangguk pula sambil
berdesis, "Ya anak muda. Ayah memang pernah berpesan."
"Apakah kau tahu tentang ujud dari harta karun itu?"
bertanya Mahisa Murti. Perempuan itu menggeleng. "Tidak," desisnya.
"Apakah kau tahu sebab kematian ay ahmu itu?"
bertanya Mahisa Pukat kemudian.
Perempuan itu menggeleng. Katanya, "Ayah adalah
seorang petani y ang tidak pernah bermusuhan dengan
siapapun. Tetapi pada suatu hari, ayah datang dari sawah
dalam keadaan yang sangat pay ah. Namun ia masih sempat
menyampaikan beberapa kata tentang harta karun itu."
"Apakah ia tidak meny ebut sebab kematiannya?"
bertanya Mahisa Pukat. "Tidak. Tetapi beberapa orang mengatakan bahwa ayah
telah terkena racun," jawab perempuan itu.
"Tidak seorang pun sempat mencari sumber dari racun
itu?" bertanya Mahisa Murti.
Perempuan itu m enggeleng. Katanya, "Tidak. Tidak ada
yang tahu racun apakah y ang telah membunuh ay ah itu.
Sementara itu sama sekali tidak ada bekas gigitan binatang
apa pun juga yang mungkin beracun."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, "Dengan
demikian maka ayahmu tentu kena racun lewat makanannya."
Perempuan itu terkejut. Namun sambil m engingat-ingat
ia berkata, "waktu itu, ayah berada di sawah. Aku telah
menyampaikan makanan ayah. Aku sendirilah yang
memasaknya dan aku pulalah y ang menempatkannya pada
mangkuk-mangkuk tanah serta aku jugalah yang
membawanya ke sawah."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun Mahisa Murti pun kemudian bertanya,
"Apakah ada orang lain y ang tahu tentang harta karun itu?"
Perempuan itu menggeleng. Jawabnya, "Sebelum ayah
meninggal, tidak." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu
sejenak. Tetapi ia pun kemudian bertanya, "Siapakah orang
terdekat dengan ayahmu sebelum meninggal?"
Perempuan itu menggelengkan kepalanya. Katanya,
"Tidak ada orang y ang terlalu dekat dengan ayah, kecuali
keluarganya." "Siapakah yang kau maksud dengan keluarganya itu?"
desak Mahisa Murti. Perempuan itu termangu-mangu. Namun kemudian
katanya, "Aku dan suamiku."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun ia
tidak bertanya lagi. Yang justru bertanya adalah Mahisa Pukat,
"Apakah ayahmu pernah berusaha untuk mencari bendabenda
yang dianggap harta karun itu?"
Perempuan itu mengerutkan keningnya. Namun
kemudian ia menggelengkan kepalanya, "Aku tidak tahu."
Namun adalah diluar dugaan bahwa ketika tiba -tiba saja
Mahisa Murti bertanya kepada suami perempuan itu, ia
menjawab, "Aku kira ayah pernah mencobanya."
Mahisa Murti m emandang Mahisa Pukat sekilas. Tetapi
ia tidak mengatakan sesuatu. Bahkan kemudian Mahisa Pukat
lah y ang berkata, "Kita memang tidak mendapatkan
keterangan apa pun y ang memungkinkan kita mengetahui
sebab kematian ay ahmu. Tetapi kita m endapat kesempatan
untuk menemukan harta karun itu."
Perempuan itu m enarik nafas dalam-dalam. Sementara
itu pamannya pun bertanya, "Kalian juga menginginkan
barang-barang yang ditinggalkan itu?"
"Ya," jawab Mahisa Murti, "bukankah menarik sekali
jika kita bersama-sama dapat menemukan harta karun itu?"
Kelima orang itu termangu-mangu. Tetapi mereka
merasa tidak akan dapat m encegah ketiga orang anak muda
itu justru ikut menemukan harta karun y ang semula tidak
mereka ketahui. Seandainya saja mereka tidak menuduh
bahwa ketiga anak muda itu m enemukan harta karun, maka
mereka bertiga tidak akan mengganggu sama sekali.
Tetapi mereka sudah t erlanjur meny eret anak-anak
muda itu ke dalam persoalan harta karun itu.
"Baiklah," berkata Mahisa Murti, "marilah kita berpacu,
siapa yang mendapatkan lebih dahulu, maka ialah yang
berhak. Mungkin ia berbaik hati untuk memberi serba sedikit
kepada y ang lain. Tetapi mungkin tidak. Atau bahkan mungkin
kita akan saling berebut dengan kekerasan jika barang itu kita
ketemukan." Kelima orang itu benar-benar menjadi kecewa dan
menyesal. Namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa.
"Kami akan pergi ke sungai," berkata Mahisa Murti,


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"kami akan mencarinya sampai ketemu. Siang dan malam."
"Kami juga akan pergi," berkata yang tertua di antara
kelima orang itu, "kita dapat pergi bersama-sama."
Tetapi Mahisa Murti menggeleng. Katanya, "Tidak. Kita
pergi sendiri-sendiri. Kita mempunyai keberuntungan sendirisendiri
pula. Karena itu, biarlah kita berusaha sendiri-sendiri."
Orang tertua dari kelima orang itu tidak berkata sesuatu.
Namun menantu petani y ang m eninggal itulah y ang tiba-tiba
berkata, "Paman, untuk apa sebenarnya paman bersusah
pay ah mencari harta karun itu. Aku tidak y akin kalau harta
karun itu sesungguhnya ada. Biarlah anak-anak muda itu
mencarinya. Kita akan menjadi sak si kebenaran dari cerita
tentang harta karun itu. Jika anak-anak muda itu
menemukannya, kita akan melihat, apa saja y ang tersimpan di
dalam per sembunyian itu. Jika mereka tidak menemukannya,
maka biarlah kita pada keyakinan kita bahwa sebenarnya harta
karun itu memang tidak ada."
Kelima orang itu termangu-mangu sejenak, sementara
menantu petani yang terbunuh oleh racun itu berkata pula,
"Bukankah paman-paman telah terlalu lama meninggalkan
tugas paman?" Orang tertua di antara kelima orang itu mengangguk.
Namun katanya, "Baiklah. Aku tidak akan mencarinya lagi.
Kami merasa bahwa kami tidak akan mampu melawan ketiga
orang anak muda itu, sehingga siapa pun yang menemukan
harta karun itu tentu akan jatuh ke tangan mereka. Tetapi aku
masih belum akan tergesa-gesa kembali ke pekerjaan kami.
Aku masih ingin menunggu sampai dua hari lagi. Mungkin
harta karun itu dapat diketemukan. Meskipun hanya sekedar
menyaksikan apa isinya, tetapi rasa-rasanya kami akan ikut
merasa puas." Menantu petani yang meninggal itu menganggukangguk.
Katanya, "Nampaknya benda-benda di dalam
rangkuman harta karun itu dapat mengutuk siapa pun yang
bakal m enemukannya. Mungkin buruk dan bahkan mungkin
mati." Kelima orang itu mengangguk-angguk. Yang tertua
berkata, "Baiklah. Jika demikian, biarlah aku tinggal di sini
dalam dua hari lagi itu."
Dalam pada itu, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan
anak muda y ang menyertainya itu pun telah meninggalkan
rumah itu. Mereka telah k embali ke tikungan sungai. Mereka
telah kembali sungai. Mereka benar-benar mencari di antara
lekuk -lekuk batu padas di tikungan sungai itu. Tempat itu
memang jarang sekali didatangi oleh seseorang sehingga tugas
mereka sama sekali tidak terganggu.
Namun demikian Mahisa Murti pun berkata kepada
Mahisa Pukat dan anak muda y ang meny ertainya, "Kita harus
berhati-hati. Aku merasakan bahwa kita berada dalam satu
jebakan." "Apa y ang akan terjadi?" bertanya anak muda itu.
"Kau tentu akan m endapat kawan lagi untuk berlatih.
Dengan demikian, pengalamanmu akan cepat bertambah,"
berkata Mahisa Pukat. Anak m uda itu tidak segera tahu maksudnya. Namun
kemudian ia mengangguk-angguk sambil bergumam, "Ya.
Mudah-mudahan latihan y ang tidak terlalu berat."
Mahisa Pukat tertawa. Katanya, "Latihan harus
dilakukan setingkat demi setingkat. Semakin lama semakin
berat. Jika latihan-latihan dilakukan pada tataran yang sama
sa ja, maka kemampuanmu pun tidak akan meningkat."
Anak muda itu mengangguk-angguk. Tetapi ia
menjawab, "Tetapi j ika loncatan tataran itu terlampau cepat,
maka segalanya akan berhenti."
"Kenapa berhenti?" bertanya Mahisa Pukat.
"Latihan-latihan pun akan berakhir. Bahkan hidup pun
berakhir pula," jawab anak muda itu.
Mahisa Pukat tertawa semakin keras. Mahisa Murti pun
tertawa. Tetapi ia telah m enemukan sesuatu. Anak muda itu
telah berani meny ebutnya dengan tatag. Dengan tabah tanpa
rasa takut tentang hidup dan mati. Namun demikian Mahisa
Murti tidak berkata apa pun juga.
Beberapa saat lamanya mereka mencari-cari. Tetapi
mereka tidak menemukan sesuatu. Tidak ada pertanda atau
ciri atau apa pun yang dapat dipergunakannya sebagai ancarancar.
Hal itu ternyata pula, karena kelima orang yang
mencari harta karun itu juga tidak m empunyai ancar-ancar
sama sekali. "Kita akan berada di sini untuk waktu y ang lama,"
berkata Mahisa Murti. "malam nanti kita akan tidur di sini.
Selagi sempat kita akan mencari makanan dan sekaligus bekal
untuk semalam nanti."
Mereka memang tidak perlu pergi t erlalu lama. Mereka
segera mendapatkan sebuah kedai yang menjual berbagai
macam makanan dan minuman.
Di kedai itu, beberapa orang sama sekali tidak
terpancing memperkatakan apa pun juga tentang tikungan
sungai yang disebut sebagai tempat untuk m eny impan harta
karun itu. Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat memang y akin, tidak ada orang lain yang pernah
mendengar tentang harta karun itu.
Dengan beberapa jenis makanan sebagai bekal, maka
ketiga orang anak muda itu kembali ke tikungan sungai yang
sepi itu. Mereka pun kemudian mencari tempat mereka
masing-masing untuk berbaring. Batu-batu besar memang
banyak terdapat di tepian, justru di arah tepi.
"Kita akan beristirahat. Nanti, menjelang senja kita akan
mencari lagi sampai saatnya kita tidak dapat melanjutkan
karena gelap. Besok kita akan masih mempunyai banyak
kesempatan," berkata Mahisa Murti.
Namun anak muda yang menyertainya itu tiba-tiba
bertanya, "Apakah kita m emang ingin memiliki harta karun
itu" Jika demikian kenapa kalian berdua tidak merampas saja
harta orang tuaku yang akan diambil kembali oleh Ki Buyut
yang baru" Bukankah kau mempunyai kemampuan untuk
melakukannya" Padahal jika k ita mendapatkannya, kita tidak
tahu arti dari harta karun itu untuk apa sebenarnya. Kekayaan
yang melimpah ternyata tidak membuat keluarga kami
bahagia." Mahisa Murti tertawa. Katanya, "Selama perjalanan y ang
pendek, kau telah mendapatkan banyak sekali kemajuan.
Bukan saja dalam hal kewadagan, tetapi juga dalam hal
kejiwaan." "Kau belum menjawab pertanyaanku," berkata anak
muda itu. " Nanti kau akan mengetahuinya," jawab Mahisa Murti.
Anak muda itu mengangguk. Tetapi dengan demikian ia
yakin bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak benarbenar
ingin mendapatkan harta karun itu secara wantah.
Untuk beberapa saat mereka beristirahat diatas batubatu
besar. Karena matahari telah condong, maka mereka
berada dalam bayangan tebing sungai, sehingga mereka tidak
merasakan sengatan panasnya matahari di sore hari.
"Tidurlah," tiba -tiba saja Mahisa Murti berdesis, "jika
saatnya datang, aku bangunkan kau. Kau perlu tidur untuk
menghimpun kembali tenagamu."
"Apakah kau juga akan tidur?" bertanya anak muda itu.
"Tidak. Aku tidak akan dapat tidur," jawab Mahisa
Murti. "Kau pun tahu bahwa aku tidak terlalu m udah untuk
tidur?" sahut anak muda itu.
Mahisa Murti tidak menjawab. Namun mereka memang
beristirahat sambil berbaring diatas batu-batu besar yang
berada pada bayangan tebing.
Menj elang senja, justru mereka telah bersiap-siap.
Sejenak kemudian, m ereka mulai lagi m emeriksa celah-celah
batu-batu padas atau tempat-tempat lain yang akan menarik
perhatian mereka. Namun mereka tidak segera menemukan
apa y ang mereka cari itu.
"Menjemukan," berkata anak muda y ang meny ertai
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu, "kenapa kita m engurus
harta karun y ang belum tentu ada itu?"
"Ssst," desis Mahisa Pukat, "y ang penting bukan harta
karun itu. Tetapi bukankah kau memang mencari kawan untuk
berlatih?" Anak m uda itu m enarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
tidak menjawab. Ia mengerti sepenuhnya, apa yang dimaksud
Mahisa Pukat itu tanpa ragu-ragu lagi.
Ketika hari mulai gelap, maka ketiga orang itu pun telah
menghentikan usaha mereka. Mereka pun kemudian telah
berada diatas pembaringan m ereka kembali. Batu-batu besar
di tepian. Namun mereka masih juga sempat makan bekal
yang telah mereka beli sebelumnya.
Beberapa saat kemudian, maka mereka pun telah
membagi waktu untuk berjaga-jaga. Anak muda yang
menyertai Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu tidak
diperhitungkan, karena ia belum berpengalaman. Namun
Mahisa Murti telah berpesan, "Tetapi kau justru harus bersiap
setiap saat. Demikian kau mendapat isyarat, kau harus segera
bangun dan siap melindungi dirimu sendiri. Nah, mulailah
berlatih berjaga-jaga sedapat mungkin. Pada saatnya kau akan
mendapat giliran untuk bergantian berjaga-jaga sebagaimana
kami." "Aku akan melakukannya," jawab anak muda itu.
"Nah, baiklah. Sekarang kita beristirahat. Tetapi aku
harus tetap tidak m emejamkan mata sampai tengah malam,"
berkata Mahisa Murti. "Bagaimana jika kau tertidur?" bertanya anak muda itu.
"Aku sudah terbiasa melakukannya. Berbaring,
beristirahat, tetapi tidak tidur," jawab Mahisa Murti.
Anak muda itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak
berbicara lagi. Diamatinya langit yang biru. Bintang-bintang
berkeredipan dari ujung sampai ke ujung. Selembar-selembar
awan hanyut dibawa angin y ang sejuk.
Anak muda itu memang m erasa dingin. Tetapi ia tidak
berdesah. Hanya sekali-sekali tangannya mengusir nyamuk
yang menggigit kulitnya. Namun anak itu sempat berpaling ketika didengarnya
nafas Mahisa Pukat mulai m engalir dengan teratur. Ternyata
bahwa Mahisa Pukat telah tertidur ny enyak.
Anak m uda itu m enarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
tidak ingin tidur, ia ingin berjaga-jaga seperti Mahisa Murti
sejauh dapat dilakukan. Malam pun semakin lama menjadi semakin dalam.
Bintang-bintang mulai bergeser ke Barat. Sementara angin
yang dingin bagaikan menusuk sampai ke tulang.
Anak muda itu m ulai m emiringkan tubuhnya. Kakinya
mulai berkerut oleh dingin malam, m enyusup di bawah kain
panjangnya. Meskipun sekali-sekali matanya mulai terpejam, tetapi ia
berusaha untuk tetap tidak tidur. Namun ternyata sangat sulit
untuk melakukannya, sehingga pada suatu saat, maka rasarasanya
segala-galanya telah hilang dari pengamatan
inderanya. Namun tengah malam, anak muda itu telah terbangun.
Ra sa -rasanya punggungnya telah dikenai sesuatu yang
membuatnya terbangun. Bahkan rasa-rasanya punggungnya
memang menjadi sakit oleh sentuhan kerikil y ang dilontarkan
dengan kuat sekali. Anak muda itu berusaha untuk menahan diri. Ia masih
belum tahu apa yang terjadi. Tetapi ia pun kemudian
menggeliat sambil m enelentangkan tubuhnya. Bahkan di luar
sa darnya ia telah meraba hulu pedangnya.
Sejenak ia m enunggu. Namun akhirnya ia m endengar
sesuatu berdesir di pasir tepian y ang lembut.
Anak muda itu justru terkejut ketika ia mendengar suara
Mahisa Murti, "Selamat malam Ki Sanak. Marilah, silahkan
mendekat. Mungkin kami tidak dapat menyambut kalian
dengan cara y ang lebih baik."
Orang-orang yang datang itu pun tertegun. Mereka tidak
mengira bahwa kedatangan mereka telah diketahui oleh anakanak
muda y ang disangkanya tidur itu.
Ternyata Mahisa Murti pun kemudian telah bangkit.
Demikian pula Mahisa Pukat y ang juga sudah terbangun,
disusul anak muda yang meny ertai mereka itu.
Orang-orang y ang datang itu pun dengan serta merta
telah bergeser mengambil jarak y ang satu dengan yang lain.
Ternyata jumlah m ereka lebih banyak dari hanya lima orang
yang telah datang kepada mereka di siang hari.
"Siapakah kalian?" bertanya Mahisa Murti kepada
orang-orang itu, "siapakah pemimpin kalian di sini?"
Seorang di antara mereka melangkah maju. Orang itu
mempergunakan ikat kepalanya untuk menutup sebagian dari
wajahnya, sehingga Mahisa Murti tidak dapat mengenalinya.
"Seharusny a kamilah y ang bertanya kepada kalian,"
berkata orang itu dengan nada suara y ang sangat berat dibuatbuat.
"Kami adalah pengembara yang kebetulan kemalaman
di sini," jawab Mahisa Murti.
"Omong kosong," geram orang yang bertutup wajah itu,
"kalian tentu sedang mencari harta karun di sini."
"Harta karun?" bertanya Mahisa Murti, "apakah di sini
ada harta karun?" "Kau tidak usah berpura-pura," geram orang itu, "kau
tentu sedang mencarinya."
"Kami sama sekali tidak tahu menahu tentang harta
karun," berkata Mahisa Murti sambil m emperhatikan orangorang
yang mengepung mereka. Meskipun digelapnya malam,
namun ketajaman pandangan matanya mampu mengenali
orang-orang itu, bahwa tidak seorang pun di antara mereka
adalah orang-orang y ang ditemuinya di siang hari.
"Bohong," bentak orang itu, "kalian tahu pasti tentang
harta karun itu. Jangan berputar-putar."
"Lalu apakah maksudmu" Apakah kami harus pergi dari
tempat ini?" bertanya Mahisa Murti.
Orang itu tertawa. Katanya, "begitu enaknya pergi dari
tempat ini" Semua orang y ang telah mengetahui ada harta
karun di sini, tentu akan mati."
" Jadi kalian akan membunuh kami bertiga karena
kalian menduga bahwa kami m engetahui tentang harta karun
itu?" bertanya Mahisa Murti.


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang yang m enutup wajahnya dengan ikat kepalanya
itu m enjawab dengan lantang, "Kami tidak sekedar m enduga.
Kami tahu pasti bahwa kalian sedang mencari harta karun di
sini. Karena itu, maka kalian harus mati seperti juga orang lain
yang harus mati jika mereka mengetahui tentang harta karun
itu." "Apakah ada orang yang pernah mati karena
mengetahui bahwa di sini ada harta karun?" bertanya Mahisa
Murti. "Petani itu," jawab orang bertutup wajah itu.
"Adakah y ang lain?" desak Mahisa Murti.
"Kalian bertiga," jawab orang itu.
"Kenapa anak perempuan petani itu tidak mati" Kenapa
kelima orang itu juga tidak mati?" bertanya Mahisa Murti
pula. Orang itu termangu -mangu. Namun kemudian
jawabnya, "Pada saatnya mereka akan mati."
"Mereka tahu lebih dahulu dari aku, karena aku baru
tahu sekarang. Kenapa mereka tidak mati lebih dahulu?"
bertanya Mahisa Murti pula.
"Persetan," geram orang itu, "itu urusanku. Kau y ang
telah m engetahui harta karun ini harus mati. Kapan pun aku
menghendaki maka kalian tidak akan dapat mengelak lagi."
Tetapi jawaban Mahisa Murti sangat mengejutkan.
Katanya, "Kau say ang membunuh perempuan anak petani itu
meskipun kau sampai hati meracun ayahnya?"
"Apa maksudmu," suara orang itu bergetar.
Mahisa Murti tertawa. Katanya, "Kau memang orang
yang aneh. Coba katakan, k ecuali kelima orang itu, anak dan
menantu petani yang meninggal, siapa lagi y ang m engetahui
tentang harta karun itu?"
"Bukan urusanmu," jawab orang itu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Baiklah. Sekarang kamilah y ang kalian anggap mengetahui
harta karun itu. Karena itu, jika kalian juga mengetahui,
apalagi mengetahui letaknya, katakan kepada kami agar kami
dapat menemukannya."
"Persetan," geram orang itu, "apakah kau sudah gila?"
"Tidak. Sama sekali tidak. Nah, sekarang katakan, di
mana harta karun itu kau sembunyikan," Mahisa Pukat lah
yang kemudian berbicara, "jangan menunggu kami marah.
Jika kalian bersedia menunjukkan di mana letak harta karun
itu, maka kalian tidak akan kami bunuh."
Orang-orang itu justru m enjadi bingung. Bahkan anak
muda y ang mengikuti Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun
menjadi bingung pula. Kenapa Mahisa Pukat lah yang
kemudian mengancam orang-orang itu.
Namun sejenak kemudian orang y ang wajahnya
tersembuny i di belakang ikat kepala itu berteriak, "Kalian
telah m enjadi gila karena ketakutan. Tetapi itu tidak apa-apa.
Aku akan tetap membunuh kalian."
"Cepat," tiba-tiba saja Mahisa Pukat membentak,
"tunjukkan dimana harta karun itu kau sembuny ikan. Aku
sudah tidak sabar lagi menunggu lebih lama di sini. Sebelum
lidahmu aku potong."
Orang bertutup wajah itu masih juga heran melihat sikap
Mahisa Pukat. Apalagi ketika Mahisa Pukat membentaknya,
"Berlutut dihadapanku dan katakan dengan jelas, di mana
harta karun itu kau sembuny ikan. Jika ternyata kau tidak
berkata sebenarnya, aku akan memotong lidahmu dari
pangkalnya." Sejenak suasana menjadi tegang. Namun orang bertutup
wajah itu kemudian memberikan isyarat kepada orangorangnya
yang jumlahnya cukup banyak, sepuluh orang, untuk
menyerang. Tetapi mereka tertegun ketika mereka mendengar
Mahisa Pukat t ertawa. Katanya, "Melawan lima orang kami
masih sempat memperhitungkan kemampuan kami, agar kami
tidak membunuh seorang pun meskipun kami masih juga
melukai mereka. Tetapi melawan sepuluh orang nampaknya
kami memang harus membunuh. Sedikitny a kami akan
membunuh lima orang di antara kalian, baru kami akan
mampu mengendalikan diri."
"Cukup," teriak orang bertutup wajah itu. Lalu katanya,
"Bunuh mereka."
Belum lagi mulut orang itu terkatub rapat, mereka telah
dikejutkan oleh erang kesakitan salah seorang di antara
mereka. Tidak seorang pun mengetahui apa yang telah
dilakukan. Namun tiba -tiba saja Mahisa Pukat telah
menangkap seorang di antara orang-orang yang sudah siap
menerkamnya. Tangan Mahisa Pukat melingkar di leher orang
itu sedangkan tangannya yang lain mengunci lingkaran
tangannya itu sambil m enekan dagu orang itu. Katanya, "Aku
akan memberikan satu cont oh saja. Aku dapat membunuh
orang ini dengan mematahkan lehernya. Tetapi aku hanya
akan membuatnya pingsan saja."
Mahisa Pukat tidak menunggu jawaban. Ia memang
tidak memutar leher orang itu dengan hentakkan lingkaran
tangannya. Namun tiba -tiba saja orang itu dilepaskan, tetapi
sekaligus kedua tangan Mahisa Pukat telah bergerak dengan
kecepatan yang sulit diikuti oleh mata wadag. Dengan ujungujung
jarinya y ang merapat, maka Mahisa Pukat telah
menyentuh punggung orang itu di dua tempat. Kemudian
sekali di bagian belakang lehernya.
Sejenak kemudian maka orang itu pun telah terjatuh di
pasir tepian. "Satu orang telah tidak berdaya. Nah, apa kata kalian?"
Mahisa Pukat berhenti sejenak. Lalu tiba-tiba ia berteriak,
"Cepat katakan di mana harta karun itu, atau aku harus
membunuh kalian semuanya."
Ancaman itu sungguh tidak masuk akal orang-orang
yang siap meny erang anak-anak muda itu. Apalagi ketika
Mahisa Pukat berkata selanjutnya, "Kami tidak boleh meny iany
iakan kedatangan kalian. Mungkin memang satu kurnia
yang tidak kami duga sebelumnya bahwa kami akan
mendapatkan harta karun itu."
Orang y ang wajahnya tersembunyi itu tidak dapat
menahan kemarahannya lagi. Meskipun ia sadar, bahwa anak
muda itu memiliki kemampuan y ang tinggi, tetapi mereka
masih mempunyai jumlah orang yang cukup banyak untuk
membunuh ketiga orang anak muda itu.
Karena itu, maka orang itu pun berteriak sekali lagi,
"Bunuh mereka."
Mahisa Pukat tidak sempat berbuat dengan tiba -tiba
sekali lagi. Orang -orang itu sudah siap sepenuhnya. Sehingga
sejenak kemudian m ereka pun telah m enyergap ketiga orang
anak muda itu. Dalam pada itu Mahisa Murti pun telah berbisik di
telinga anak muda y ang meny ertainya itu, "Mereka benarbenar
akan membunuh. Karena itu, kau harus menjaga dirimu
baik-baik. Tetapi y akinlah bahwa ilmu pedangmu telah
mencapai satu tataran yang jarang ada bandingnya. Kau telah
menemukan satu ungkapan y ang khusus, y ang hanya dapat
kau lakukan sendiri. Bahkan aku pun tidak."
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Namun ia tidak
menjawab. Demikianlah, maka sejenak kemudian orang-orang
itu pun telah m enyergap ketiga orang anak muda itu. Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat telah saling memberikan isyarat,
bahwa mereka akan bertempur bersama-sama. Kepada anak
muda y ang meny ertainya itu Mahisa Pukat berkata, "Kita
berada dalam satu kelompok."
Demikianlah ketiga orang anak muda itu berdiri saling
membelakangi. Mereka menghadap ketiga arah untuk
menghadapi lawan-lawan mereka yang telah mengepung
mereka. Pertempuran tidak dapat dihindarkan lagi. Orang-orang
yang datang itu benar-benar ingin membunuh, sehingga
mereka pun telah langsung mempergunakan senjata mereka.
Sementara itu Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan anak muda
yang bersamanya itu pun telah menggenggam senjata pula.
Ternyata bahwa sejenak kemudian, pertempuran y ang
sengit pun telah terjadi. Ketiga anak muda itu harus
bertempur dengan keras untuk melawan ujung-ujung senjata
yang meny erang mereka dengan garangnya.
Namun dalam pada itu, anak muda y ang meny ertai
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu benar-benar mampu
mengetrapkan ilmu pedangnya dengan baik. Ternyata ia untuk
beberapa saat dapat m engimbangi permainan pedang Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi lawan mereka memang terasa terlalu banyak.
Orang-orang itu bergerak-gerak dengan cepat saling mengisi
dengan serangan-serangan y ang datang beruntun. Berurutan
seperti datangnya gelombang di pantai.
Bagaimanapun juga anak muda y ang m eny ertai Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat itu masih belum cukup
berpengalaman. Karena itu, kadang-kadang ia memang
menjadi bingung meskipun kemudian ia kembali berhasil
menguasai dirinya. Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus berbuat
sesuatu agar kelemahan itu tidak terbaca oleh lawan-lawan
mereka. Sekali-sekali Mahisa Murti lah y ang harus
menunjukkan kelemahan . Di saat lain Mahisa Pukat lah yang
hampir saja tersentuh ujung senjata lawan mereka.
Namun ujung senjata itu ternyata tidak pernah m ampu
menyentuh tubuh salah seorang dari ketiga orang anak muda
itu. Tetapi setelah bertempur beberapa lama, maka kekuatan
anak muda yang belum berpengalaman itu memang mulai
menjadi susut. Meskipun sebenarnya ia mempunyai daya
tahan yang tinggi, tetapi karena ia harus mengerahkan
segenap kekuatan dan kemampuannya, maka kekuatannya itu
pun telah mulai terpengaruh oleh pengerahan tenaganya yang
berlebihan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengetahui keadaan
itu. Karena itu, m aka Mahisa Murti pun telah memberikan
isy arat kepada Mahisa Pukat, bahwa sudah saatnya untuk
menghentikan pertempuran itu.
Demikianlah maka Mahisa Pukat pun telah
meningkatkan kemampuannya pula justru untuk menutupi
kelemahan anak muda y ang belum berpengalaman itu. Mereka
sudah tidak mungkin lagi menyembuny ikan kelemahannya,
sehingga diketahui oleh lawannya. Bahkan orang bertutup
wajah itu pun telah berteriak, "Satu di antara m ereka b ertiga
dapat diselesaikan lebih dahulu."
Namun demikian mereka mulai mengarahkan seranganserangan
mereka kepada anak muda itu, maka kekuatan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menjadi berlipat.
Kedua anak muda itu bukan saja mengerahkan tenaga
cadangan di dalam dirinya, tetapi keduanya mulai merambah
kepada ilmu mereka yang mendebarkan.
Ternyata m ereka telah m enyalurkan kemampuan ilmu
mereka melalui senjata di tangan mereka. Menurut
pertimbangan mereka, cara itu tidak terlalu banyak
memancing korban. Jika keduanya melontarkan kekuatan
ilmu m ereka, maka sasarannya akan tidak mungkin tertolong
lagi tanpa peri sai ilmu y ang memadai.
Dengan demikian, maka pertempuran selanjutnya
menjadi membingungkan bagi lawan-lawan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Setiap kali, meskipun mereka mengarahkan
serangan mereka kepada anak muda y ang mereka anggap
paling lemah, namun yang membentur senjata mereka adalah
senjata kedua orang anak muda y ang lain. Bahkan rasarasanya
benturan itu semakin lama menjadi semakin
menggelisahkan mereka. Dengan demikian, maka orang-orang y ang bertempur
melawan ketiga orang anak muda itu harus mengerahkan
tenaga mereka untuk mengatasi benturan-benturan yang
terjadi. Namun orang-orang itu semakin lama menjadi
semakin gelisah. Meskipun mereka yakin bahwa seorang di antara ketiga
orang anak muda itu mempunyai tingkat kemampuan yang
berbeda dengan y ang lain, tetapi mereka tidak mendapat
kesempatan untuk mengarahkan serangan-serangan mereka
kepadanya. Kedua anak muda yang lain ternyata memiliki
ketangkasan dan kekuatan yang luar bia sa, sehingga perhatian
mereka seakan-akan harus selalu diberikan kepada kedua anak
muda itu. Sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah bergerak berputaran. Sekali-sekali mereka telah
mendesak anak muda yang meny ertainya itu. Namun
kemudian mereka berputaran kembali sehingga lawanlawannya
m emang tidak akan mungkin m emilih lawan dan
memilih sasaran serangan.
Bahkan sejenak kemudian, keseimbangan pertempuran
itu pun menjadi semakin jelas. Ketiga anak muda itu berhasil
mendesak lawan-lawan mereka. Bahkan pada saat Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat menentukan, m aka dengan isyarat
keduanya telah bergerak dengan serentak.
Hanya dengan beberapa gerakan, m aka beberapa buah
senjata dari lawan-lawan mereka pun telah terlepas dari
tangan mereka. Orang yang m enutup wajahnya dengan ikat kepalanya
itu m enjadi gelisah. Ia mengira bahwa dengan sepuluh orang
ia akan dapat mengatasi ketiga orang anak muda itu. Apalagi
orang-orang y ang dibawanya adalah orang-orang terbaik yang
dikenalnya. Namun orang yang wajahnya tersembuny i itu akhirnya
tidak dapat menolak satu keny ataan bahwa orang-orangnya
benar-benar tidak akan m ampu melawan ketiga orang anak
muda itu. Karena itu, maka tidak ada pilihan lain kecuali
melarikan diri dari arena pertempuran.
Dengan tanpa menghiraukan orang-orangnya, orang
bertutup wajah itu justru telah memanfaatkan orang-orangnya
yang masih berusaha untuk bertahan. Orang itu telah
berusaha menyelinap keluar dari arena pertempuran.
Tetapi ia terkejut ketika tubuhnya tiba -tiba saja telah
terbanting jatuh oleh dorongan yang sangat kuat di
punggungnya. Ketika ia bangkit, maka dilihatnya seorang dari


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketiga orang anak muda itu telah berdiri di sisiny a.
"Kau mau ke mana Ki Sanak," bertanya Mahisa Murti.
Orang itu menjadi bingung. Ia tidak melawan sama
sekali ketika Mahisa Murti membimbingnya kembali kepada
orang-orangnya. Sementara itu, ternyata bahwa orangorangnya
yang dianggapnya terbaik itu pun telah m eny erah.
Mereka telah melepaskan senjata mereka dan b erdiri berjajar
sambil menundukkan kepala.
Jantung orang y ang wajahnya ditutup dengan ikat
kepala itu terasa berdegup semakin keras. Dengan suara berat
Mahisa Murti berkata, "Kawan-kawanmu telah meny erah.
Ternyata ada beberapa di antara mereka telah terluka. Sengaja
atau tidak sengaja, maka terluka dalam perkelahian itu adalah
wajar sekali. Tetapi untunglah bahwa tidak ada di antara
mereka yang terluka parah. Mungkin jika ada yang menjadi
sangat lemah, karena mereka telah mengucurkan darah terlalu
banyak. Karena itu, maka luka-luka itu harus segera diobati."
Kata -kata itu terasa bagaikan getaran-getaran guruh
yang menghentak-hentak di dada orang yang
menyembuny ikan wajahnya itu. Apalagi kemudian ketika
salah seorang di antara anak muda itu bertanya, "Siapakah kau
sebenarnya" Untuk apa kau sembunyikan wajahmu" Apakah
kau mengira bahwa kami akan dapat mengenalimu?"
Orang itu termangu-mangu. Namun kepalanya pun
kemudian menunduk dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab.
"Sebaiknya kau berterus terang," desak Mahisa Murti,
"aku dapat berbuat apa saja di sini. Tidak ada orang yang
dapat mencegahku untuk membunuhmu, melukaimu atau
membuatmu cacat seumur hidup. Jika nanti ada di antara
kalian sempat melaporkannya kepada Ki Buyut yang
memerintah daerah ini, maka aku tentu sudah pergi sejauhjauhnya
sehingga kalian tidak akan dapat menemukan kami
kembali. Sementara itu, kami sama sekali tidak berminat
untuk mendapatkan harta karun berapa pun banyaknya.
Sebaiknya harta karun itu jika memang ada, harus diserahkan
kepada Ki Buyut atau orang lain y ang memang mempunyai
hak." Tetapi orang itu masih saja berdiam diri.
"Ki Sanak," berkata Mahisa Murti kemudian semakin
keras, "jangan menunggu sampai kami kehilangan kesabaran.
Kau kira kami tidak dapat memaksa orang-orangmu untuk
berbicara tentang dirimu. Kami akan dapat meny eret seorang
di antara mereka dan menindih tubuhnya dengan batang kayu
yang berat sampai ia mau berbicara tentang kau. Batang kayu
itu tidak akan disingkirkan sampai orang itu meny ebut
namamu atau kedudukanmu."
Orang itu memang menjadi sangat gelisah. Tetapi orang
itu tetap berdiam diri. Ternyata Mahisa Pukat lah yang tidak sabar. Katanya,
"Kami dapat m embuka tutup wajahmu dengan paksa tanpa
dapat kau cegah. Tetapi kami ingin pengakuanmu. Jika kau
tidak mau meny ebut dirimu sebelum kami membuka
kedokmu, maka kau akan mengalami perlakuan y ang buruk
sekali. Kepalamu akan kami rendam di dalam air itu. Hanya
wajahmu sajalah yang akan nampak di permukaan tanpa tutup
wajah lagi. Jika sekali-sekali air sungai itu m asuk ke dalam
hidung dan mulutmu, itu bukan salah kami."
Orang yang bertutup wajah itu memang tidak
mempunyai pilihan lain. Ia y akin bahwa anak-anak muda itu
tidak benar-benar akan memperlakukannya sebagaimana
dikatakannya. Menurut penilaiannya, bahwa anak-anak muda
itu tidak berusaha membunuh orang-orangnya adalah
pertanda bahwa anak-anak muda itu memang bukan
pembunuh, sementara mereka memang mempunyai
keyakinan pada diri sendiri yang sangat kuat.
Karena itu, maka perlahan-lahan, betapa pun sakitnya
hati orang itu, maka orang itu telah membuka tutup wajahnya.
Anak muda y ang menyertai Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat itu terkejut. Orang itu adalah menantu petani y ang telah
terbunuh oleh racun itu. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak terkejut
lagi. Mereka m emang sudah m emperhitungkan bahwa orang
itulah y ang telah melakukannya. Orang itu pulalah yang telah
membunuh ay ah mertuanya dengan racun.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian
mendekatinya. Dengan nada berat Mahisa Murti berkata,
"Katakan y ang sesungguhnya, bukankah kau yang telah
meracuni mertuamu, justru karena mertuamu mengetahui
rahasia harta karun itu?"
Orang itu hanya menundukkan kepalanya. Sementara itu
Mahisa Murti berkata pula, "Kau memang tidak membunuh
pamanmu y ang juga mengetahui t entang adanya harta karun
itu, ju stru karena kau ingin memanfaatkan mereka. Tetapi jika
mereka pada suatu saat menemukannya, m aka m ereka pun
akan mati karena racun pula. Kau dapat memperalat isterimu
untuk melakukannya, karena pamanmu itu tentu tidak akan
mencurigai isterimu, karena isterimu pulalah y ang telah
memberitahukan tentang harta karun itu."
Orang itu m asih t etap berdiam diri. Sementara Mahisa
Murti pun bertanya, "Ki Sanak. Kau akan kami serahkan
kepada Ki Buyut. Katakan kepada kami, apakah kalian akan
minta diri kepada isterimu" Tentu isterimu tidak akan
menduga sama sekali, bahwa kaulah yang telah m embunuh
ay ahnya." Orang itu masih berdiri membeku di tempatnya. Bahkan
kemudian nampak betapa kegelisahan benar-benar
mencengkamnya. Dengan suara yang gemetar ia berkata,
"Jangan bawa aku kepada isteriku. Aku tidak akan sanggup
menentang matanya. Bawa aku kepada Ki Buyut saja."
"Baiklah," berkata Mahisa Murti. Lalu ia pun berpaling
ke arah m ereka y ang m eny erah, "dua orang di antara kalian
kemari. Dua orang yang berdiri di kedua ujung."
Dua orang yang kebetulan berada di ujung dari sederet
orang-orang y ang menyerah itu menjadi berdebar-debar.
Mereka tidak tahu maksud anak-anak muda itu. Namun
keduanya telah melangkah mendekat.
Ketika keduanya berdiri termangu-mangu, Mahisa
Murti- pun berkata, "Pergilah kepada Ki Buyut."
Kedua orang itu segera dapat menangkap maksud
Mahisa Murti. Tetapi rasa -rasanya mereka tidak berani lagi
bertanya. Mahisa Murti yang melihat kegelisahan kedua orang itu
pun kemudian m enjelaskan, "Pergilah kepada Ki Buyut, dan
laporkan apa yang telah terjadi di sini. Aku t idak perlu
mengajari kalian. Kalian telah m elihat sendiri, bahkan kalian
telah terlibat langsung," Mahisa Murti berhenti sejenak. Ketika
ia melihat luka di pundaknya salah seorang dari keduanya,
maka ia pun berkata, "Obati lukamu dan tunjukkan kepada Ki
Buyut, bahwa kau telah terluka."
"Aku tidak mempunyai obatnya," jawab orang itu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia
tidak sampai hati membiarkan orang itu kehilangan t erlalu
banyak darah, sehingga mungkin akan dapat pingsan di
perjalanan. Karena itu, maka ia pun kemudian telah mengobati
orang itu y ang dapat memberikan pertolongan setidaktidaknya
untuk sementara, dengan menaburkan obat pada
luka orang itu. " Jangan kau gosok. Dan jangan kau gerakkan tanganmu
agar pundakmu tidak bergerak pula," berkata Mahisa Murti,
"berjalanlah dengan kakimu. Kau tidak perlu m elenggangkan
tanganmu selama berjalan."
Orang itu mengangguk. "Pergilah," berkata Mahisa Murti kemudian, "aku tidak
perlu mengajarimu apa y ang perlu kau katakan. Kau tentu
akan melakukannya dengan jujur, karena kau tahu, aku dapat
berbuat apa saja atasmu dan bahkan keluargamu."
Kedua orang itu mengangguk-angguk. Sebenarnyalah
memang tidak terkilas sedikit pun niatnya untuk berbuat tidak
jujur, karena keduanya mengetahui dengan siapa mereka
berhadapan. Sepeninggal orang itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah menaburkan obat kepada mereka yang telah terluka.
Agaknya menurut Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, mereka
memang tidak sepatutnya mati karena kehabisan darah.
Mereka tidak bertanggung jawab atas peristiwa-peristiwa yang
terjadi di tikungan sungai itu.
"Kita harus menunggu di sini," berkata Mahisa Murti,
"silahkan duduk. Aku yakin bahwa kalian tidak akan
melakukan hal-hal y ang akan dapat merugikan diri kalian
sendiri." Tidak ada seorang pun y ang menjawab. Namun mereka
pun kemudian telah duduk diatas pasir tepian, sementara
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan anak muda y ang m eny ertai
mereka duduk diatas batu y ang basah oleh embun.
"Mudah-mudahan kita tidak menunggu terlalu lama,"
berkata Mahisa Pukat, "jika Ki Buyut tidak mempercayai
kedua orang itu, mungkin ia tidak akan datang kemari."
"Mudah-mudahan Ki Buyut mempercayainya," desis
Mahisa Murti Mahisa Pukat y ang kurang telaten menunggu justru
telah berbaring diatas sebuah batu y ang besar, sementara
Mahisa Murti dan anak muda yang meny ertainya duduk
sebelah meny ebelah. Namun anak muda itu pun berdesis,
"Tetapi apakah Ki Buyut akan mempercayainya. Mungkin
kedua orang itu akan m engatakan lain dari y ang sebenarnya.
Atau bahkan Ki Buyut datang dengan sepasukan pengawal
untuk menangkap kita karena kedua orang itu telah
mengatakan y ang tidak sebenarnya."
Mahisa Murti menggeleng. Katanya, "Aku y akin, mereka
tidak akan berbuat demikian. Mereka akan mengatakan apa
adanya. Dan aku y akin Ki Buyut akan datang kemari."
Anak m uda itu m engangguk-angguk. Ia pun m enduga
demikian. Sementara itu, Mahisa Pukat yang berbaring diatas batu
itu pun ju stru telah hampir tertidur karenanya, ketika ia
mendengar beberapa orang yang berjalan tergesa -gesa
mendekati mereka. Bahkan mereka pun telah berbicara
dengan ributnya. Mahisa Pukat yang hampir tertidur itu pun telah
meloncat bangkit. Demikian pula Mahisa Murti dan anak
muda y ang meny ertainya itu pun telah meny ongsong
kedatangan orang-orang itu.
"Apa y ang terjadi," orang y ang sudah separuh bay a,
yang berdiri di paling depan bertanya kepada orang-orang
yang ada ditikungan sungai itu.
Seorang di antara kedua orang yang memanggil Ki Buyut
itu pun berkata kepada Mahisa Murti, " Inilah Ki Buyut."
Mahisa Murti mengangguk hormat. Katanya, "Selamat
malam Ki Buyut. Agaknya kedua orang itu sudah m elaporkan
apa y ang terjadi di sini."
"Ya. Tetapi haruskah aku percaya begitu saja?" bertanya
Ki Buyut. "Sekarang Ki Buyut berhadapan dengan kami
semuanya. Silahkan bertanya kepada setiap orang di antara
kami. Bahkan orang y ang telah memimpin beberapa orang
pengikutnya itu," berkata Mahisa Murti.
Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia
pun mengangguk-angguk sambil berkata, "Aku akan
menyelidiki peristiwa ini."
"Silahkan Ki Buyut," berkata Mahisa Murti, "adalah
kewajiban Ki Buyut untuk menentukan sikap setelah
mengadakan penelitian seperlunya."
"Aku sudah tahu," jawab Ki Buyut, "kalian semuanya
harus ikut bersama kami."
"Ki Buyut," berkata Mahisa Murti, "aku kira kami
bertiga akan tinggal di sini. Jika tikungan ini ditinggal dalam
keadaan seperti ini, maka kemungkinan yang tidak diharapkan
akan dapat terjadi. Kesempatan seperti ini akan dapat
dipergunakan oleh orang-orang yang berniat buruk untuk
mengambil harta karun jika memang ada."
"Aku ulangi, kalian semuanya harus ikut bersama kami
ke banjar. Aku akan m eny elidiki keadaan ini sampai tuntas,"
berkata Ki Buyut. "Ki Buyut," jawab Mahisa Murti pula, "kami tidak
berkeberatan. Tetapi kami mohon diijinkan untuk tinggal di
sini malam ini. Besok pagi-pagi aku mohon sekelompok orang
untuk membantuku m encari harta karun itu. Jika harta itu
memang ada, maka harta karun itu akan menjadi milik
Kabuyutan." Tetapi agaknya Ki Buyut tidak mau m endengarkannya.
Karena itu, maka ia pun telah membentak, "jangan
membantah. Aku perintahkan kalian semuanya pergi ke
banjar." "Tetapi harta karun ini akan dapat hilang," Mahisa
Pukat lah y ang menjawab.
Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata, "Baiklah.
Jika kami harus pergi ke banjar, m aka kami harap Ki Buyut
menugaskan sekelompok pengawal untuk tinggal di sini
sampai besok." "Kau tidak usah memerintah aku, kau dengar?" Ki Buyut
itu justru berteriak, "apakah aku akan memerintahkan orang
tinggal di sini atau tidak, itu tergantung kepada
kebijaksanaanku. Sekarang, cepat, kita pergi."
Orang-orang yang datang menyerang Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat itu pun telah bersiap-siap untuk berangkat,
termasuk orang y ang semula menutup wajahnya itu. Namun
agaknya Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan anak muda yang
menyertai mereka berkeberatan untuk memenuhinya.
Bahkan Mahisa Murti pun berkata, "Ki Buyut. Jika Ki
Buyut tidak memerintahkan untuk menunggui tempat ini,
maka Ki Buyut mungkin akan menyesal."
"Tutup mulutmu anak bengal," geram Ki Buyut.
Namun tiba -tiba saja Mahisa Pukat menjawab, "Kami
tidak akan ikut Ki Buyut."
Wajah Ki Buyut terasa menjadi panas. Bahkan untuk
beberapa saat ia justru bagaikan membeku. Ia tidak m enduga
sama sekali bahwa seseorang telah berani membantah
perintahnya, bahkan langsung dihadapannya.
Mahisa Pukat y ang sudah sejak semula m erasa kecewa


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena beberapa peri stiwa yang beruntun itu ternyata tidak
dapat menahan diri lagi. Katanya selanjutnya, "Jika kalian
mau pergi, pergilah."
Ki Buyut pun ternyata sudah menjadi sangat marah.
Karena itu maka katanya mengancam, "Aku dapat
menghukummu dengan cara apa pun juga. Aku pun akan
dapat membunuhmu jika aku mau."
Tetapi Mahisa Pukat sama sekali tidak menjadi gentar.
Bahkan ia pun bertanya kepada orang-orang y ang telah
dikalahkannya itu, "He, apakah kalian ingin melihat
pertempuran lagi terjadi di sini?" Lalu kepada orang yang
menghadap Ki Buyut itu pun ia bertanya, "Apakah kalian tidak
melaporkan, siapa kami?"
Kedua orang itu termangu-mangu. Namun seorang di
antara mereka pun berkata, "Kami sudah mengatakan apa
yang telah terjadi di sini. Kami juga mengatakan apa yang
telah kalian lakukan."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, "Jadi Ki
Buyut sudah mengetahui tentang kam i bertiga" Jika demikian
Ki Buyut juga telah menantang kami."
"Anak setan," geram Ki Buyut.
"Kami sudah terlanjur melangkah," berkata Mahisa
Pukat, "apa boleh buat. Jika Ki Buyut menantang kami, kami
akan melayaninya. Kami sudah mengalahkan lima orang.
Kemudian sepuluh orang namun terpaksa kami melukai
beberapa orang di antara m ereka. Jika Ki Buyut menganggap
bahwa semakin banyak orang akan menjadi semakin kuat dan
ingin memaksakan kemauannya kepada kami, maka kami pun
akan melawannya. Tetapi kami tidak hanya akan melukai
seseorang. Tetapi kami benar-benar membunuh. Ki Buyut lah
yang akan bertanggung jawab."
Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Ia memang sudah
mendengar laporan tentang ketiga orang anak muda itu.
Tetapi Ki Buyut ingin menunjukkan kekuasaannya betapa pun
ia merasa gentar menghadapi sikap anak-anak muda itu. Dan
ia pun tidak menduga, bahwa anak-anak m uda itu langsung
menentang perintahnya dihadapan orang-orangnya, meskipun
mereka melihat Ki Buyut itu datang dengan jumlah orang yang
terlalu banyak bagi tiga orang itu. Namun nampaknya ketiga
orang anak muda itu sama sekali tidak dapat dipengaruhi oleh
jumlah orang y ang banyak itu.
Tetapi Ki Buyut sudah terlanjur mengeluarkan perintah.
Karena itu, maka ia tidak dapat mencabutnya. Dengan
demikian maka harga dirinya dihadapan orang-orangnya akan
jatuh. Karena itu, maka ia pun ingin mengancam sebagaimana
anak-anak muda itu mengancam. Katanya, "Cepat lakukan
perintahku. Jika pada saat aku kehilangan kesabaran kau
masih belum melangkah ke banjar, maka kau akan benarbenar
meny esal." Dan Ki Buyut itu tidak menyangka bahwa Mahisa Pukat
justru berteriak, "Cukup. Aku sudah m enjadi pening karena
harta karun yang semula tidak aku ketahui ujung pangkalnya
itu. Sekarang aku ingin tidak diganggu lagi. Pergilah jika
kalian mau pergi. Tetapi jika kalian berusaha mengganggu
kami, maka kami tidak akan mengampuni kalian lagi. Aku
sudah menjadi jemu. Aku ingin beristirahat tanpa diganggu."
Ki Buyut memang menjadi sangat marah. Tetapi
nampaknya anak-anak muda itu benar-benar sudah
kehilangan kesabaran. Karena itu, maka Ki Buyut memang
harus mengambil langkah. Ia memang tidak ingin
mengorbankan harga diriny a, tetapi ia pun tidak ingin
mengorbankan orang-orangnya. Karena itu maka katanya,
"Aku m asih sempat mengendalikan perasaanku sekarang ini.
Aku memang tidak ingin terjadi kekerasan meskipun aku
mempunyai kekuasaan untuk melakukannya. Aku dapat
menghukummu dan bahkan membunuhmu. Tetapi aku masih
ingat kedudukanku bukan saja menguasai, tetapi juga
pelindung. Aku ampuni sikapmu. Tetapi kau tidak akan dapat
berbuat apa-apa malam ini selain berada di tempat ini. Aku
tugaskan para pengawalku untuk mengawasi kalian. Tetapi
jika kalian masih juga berbuat kasar, maka kalian akan
menyesal karena aku tidak akan mengendalikan diri lagi."
Mahisa Pukat masih akan menjawab. Tetapi Mahisa
Murti menggamitnya sambil berbisik, "Sudahlah. Biarlah
mereka segera pergi dan kita mendapat kesempatan untuk
tidur. Sebentar lagi fajar tentu meny ingsing. Tetapi jika kau
ribut saja, mereka- pun akan tetap ribut juga di situ."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia m emang
berusaha menekan kejengkelan y ang tertimbun di dalam
dirinya. Karena Mahisa Pukat tidak lagi menjawab, maka Ki
Buyut pun kemudian telah mulai bergerak. Namun ia masih
juga meneriakkan perintah, "Awasi mereka. Jangan sampai
mereka meninggalkan tempat itu."
Sekali lagi Mahisa Murti menggamit Mahisa Pukat.
"Kita akan mempergunakan sisa malam ini," desis
Mahisa Murti. Mahisa Pukat memang terdiam. Sementara itu, Ki
Buyut- pun telah bergerak meninggalkan tepian sambil
membawa orang-orang yang telah menyerang ketiga anak
muda itu. Namun bagaimanapun juga Ki Buyut itu memang
merasa tersinggung oleh sikap Mahisa Pukat. Tetapi ia pun
percaya, jika terjadi kekerasan, maka tentu akan jatuh korban.
Ketiga orang anak muda y ang nampaknya memang sudah
sangat letih itu akan dapat membunuh lebih dari jumlah
mereka itu. Bahkan dapat dua tiga kali lipat.
Sepeninggal Ki Buyut dan sebagian pengiringnya,
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menghiraukan lagi para
pengawal y ang tinggal untuk mengawasinya. Mereka pun tidak
lagi memikirkan, bahwa seandainya Ki Buyut bersikap lebih
lunak, ia tidak akan mengalami sentuhan pada harga dirinya.
Tetapi justru karena ia ingin menunjukkan kekuasaannya,
maka ia justru telah tersinggung karenanya.
"Aku akan tidur," berkata Mahisa Murti, "kaulah y ang
sekarang y ang berjaga-jaga. Malam tinggal di ujung kecil,"
berkata Mahisa Murti. "Tidurlah. Aku sudah terlalu lama tidur. Apalagi
jantungku rasa-rasanya masih panas, sehingga aku tidak
mungkin lagi dapat tidur," jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Murti tidak menjawab lagi. Ia memang berbaring
diatas batu yang meskipun agak basah oleh embun. Tetapi
ternyata bahwa Mahisa Murti memang dapat tidur di sisa
malam yang pendek. Anak muda y ang meny ertainya itu pun telah m encoba
untuk dapat tidur pula. Justru karena di sekitarnya terdapat
banyak pengawal dan Mahisa Pukat y ang marah itu sudah
berjanji akan berjaga-jaga.
Tetapi batu yang basah oleh embun itu rasa-rasanya
terlalu dingin di kulitnya. Sehingga karena itu, m aka ia pun
telah berpindah tempat. Justru duduk diatas pasir y ang telah
disisihkan permukaannya yang basah oleh embun, bersandar
batu. Batu itu memang terasa dingin, tetapi tidak sedingin
permukaannya yang menghadap langit, y ang basah karena
embun. Ternyata anak muda itu sempat pula memejamkan
matanya karena sebenarnya ia memang letih dan mengantuk.
Tetapi keduanya tidak sempat tidur cukup lama.
Beberapa saat kemudian cahaya m erah sudah m emancar di
langit, sehingga mereka harus bangun dan bersiap-siap
menghadapi segala kemungkinan. Jika kemudian matahari
terbit, maka banyak hal y ang dapat terjadi. Ki Buyut itu dapat
berbuat baik tetapi juga dapat berbuat kasar.
Karena itulah maka ketiga anak muda itu pun harus
mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.
Sementara itu, para pengawal y ang ter sebar di sekitar
tempat itu pun telah bersiap-siap pula. Mereka tidak tahu
perintah apakah y ang akan mereka terima dari Ki Buyut.
Namun seperti ketiga anak muda itu, maka mereka pun
menyadari, bahwa pada hari itu tentu ada sesuatu y ang akan
terjadi. Di banjar, Ki Buyut sama sekali tidak sempat tidur sama
sekali. Berturut-turut ia sudah memeriksa orang-orang yang
ditangkapnya. Bahkan Ki Buyut pun telah memerintahkan
untuk menangkap lima orang, termasuk saudara petani yang
telah terbunuh oleh racun itu dan anak petani itu, isteri dari
orang y ang telah berusaha membunuh Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat serta anak muda yang menyertainya itu.
Dengan demikian m aka Ki Buyut pun telah mendapat
gambaran y ang sebenarnya tentang peristiwa yang terjadi di
pinggir sungai itu. Bahkan dari perempuan yang ditinggal mati
ay ahnya karena racun itu, Ki Buyut mendapat beberapa
petunjuk y ang lebih meyakinkan tentang adanya harta karun
di tikungan sungai itu. Karena itu, maka Ki Buyut pun tidak mau menundanunda
waktu lagi. Begitu ia merasa cukup memeriksa orang-orang y ang
dibawa ke banjar serta orang-orang lain yang ditangkapnya,
maka ia pun telah bersiap untuk pergi ke tikungan sungai.
"Kita akan menggali tebing di tikungan sungai itu,"
berkata Ki Buyut, "bawa alat-alat secukupnya."
Dengan demikian maka para pengawalnya telah
mempersiapkan beberapa jeni s alat y ang mungkin akan
dipergunakan. Sementara itu Ki Buyut pun telah minta agar perempuan
yang m endapat pesan langsung dari ayahnya y ang meninggal
itu ikut pula bersamanya.
Demikianlah, ketika semuanya sudah siap, maka Ki
Buyut pun telah pergi ke tikungan sungai, betapa pun
tubuhnya merasa letih. Ternyata matahari telah mulai m emanjat langit. Karena
itu Ki Buyut pun menjadi tergesa-gesa. Agaknya yang
dilakukan di banjar cukup lama dan melelahkan.
Ketika Ki Buyut sampai di tikungan bersama-sama
dengan beberapa orang pengawalnya serta membawa alat-alat
yang cukup, para pengawalnya yang telah berada di pinggir
sungai itu- pun telah menyambutnya.
"Apa y ang harus kita lakukan Ki Buyut?" bertanya
pemimpin pengawal y ang ada di sekitar tikungan sungai itu.
" Di mana anak-anak muda itu?" bertanya Ki Buyut.
"Mereka masih berada di bawah tebing di tikungan
sungai itu," jawab pemimpin pengawal itu.
"Aku akan menemui mereka," berkata Ki Buyut.
"Apakah kami harus bersiap-siap menghadapi mereka
bertiga?" bertanya pemimpin pengawal itu.
Tetapi Ki Buyut itu m enggeleng sambil berkata, "Tidak.
Aku akan menemui mereka seorang diri."
"Tetapi bagaimanakah sekiranya mereka berbuat jahat
terhadap Ki Buyut?" bertanya pemimpin pengawal itu.
Tetapi Ki Buyut seakan-akan tidak mendengarnya. Ia
pun kemudian melangkah ke tebing. Kemudian melintasi
tanggul dan turun ke tepian. Tidak seorang pun dibawanya,
meskipun para pengawal itu mengawasi dari kejauhan.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan anak muda y ang
menyertainya itu pun dapat mengenali Ki Buyut itu, meskipun
semalam m ereka bertemu di dalam gelap. Karena itu, m aka
ketiga orang anak muda itu telah bersiap-siap. Bahkan mereka
menjadi heran, bahwa justru Ki Buyut telah datang menemui
mereka seorang diri. Seakan-akan Ki Buyut itu y akin bahwa ia
akan dapat meny elesaikan mereka bertiga.
Tetapi sikap Ki Buyut ternyata tidak seperti y ang mereka
duga. Ki Buyut agaknya tidak ingin melakukan kekerasan,
sehingga karena itu, maka sikap anak-anak muda itu pun tidak
lagi menunjukkan permusuhan.
"Anak-anak muda," berkata Ki Buyut, "aku datang
untuk minta maaf atas sikapku. Setelah aku berbicara dengan
banyak orang, maka ternyata bahwa kalian memang tidak
mempunyai hubungan apa pun dengan harta karun itu."
Ketiga anak muda itu menarik nafas dalam-dalam.
Dengan nada berat Mahisa Murti pun menyahut, "Kami juga
minta maaf Ki Buyut. Mungkin kami telah berlaku kasar.
Tetapi hal itu didorong oleh keletihan kami menanggapi
peristiwa demi peri stiwa y ang menyakitkan hati."
Ki Buyut mengangguk-angguk. Dengan sikap seorang
pemimpin ia berkata, "Lupakan semuanya. Kita akan mulai
dengan satu kerja. Aku sudah membawa alat-alat untuk
menggali harta karun itu jika memang ada. Kita tidak tahu,
apa y ang kita cari. Seandainya memang ada harta karun itu,
kita tidak tahu seberapa besarnya dan apakah ujudnya.
Mungkin setelah kita kerja keras, yang kita ketemukan tidak
berarti. Tetapi kita telah mendapatkan satu kepuasan lain. Kita
tidak lagi merasa dikejar-kejar oleh satu perasaan yang selalu
menggelitik tentang harta karun. Setiap saat kita tidak akan
dapat melupakannya. Di saat makan, minum, menjelang tidur,
bahkan didalam t idur- pun kita akan selalu bermimpi. Karena
itu kita harus mencari sampai ketemu, sehingga mimpi yang
mengejar kita di setiap saat itu akan berhenti."
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Mereka
menghargai sikap Ki Buyut itu. Agaknya Ki Buyut pun tidak
terlalu bernafsu untuk menemukan harta benda y ang tidak
ternilai harganya. Tetapi Ki Buyut melakukan pencarian itu
karena didorong oleh desakan perasaannya, sehingga Ki Buyut
merasa perlu untuk menemukannya sehingga ia t idak akan
menjadi gelisah lagi. " Jadi, kapan Ki Buyut akan melakukan pencaharian
itu?" bertanya Mahisa Murti.
"Sekarang anak muda," jawab Ki Buyut, "aku minta
kalian sempat menyaksikannya. Apa pun yang akan kita
ketemukan. Bahkan seandainya y ang kita ketemukan hanya
sebuah peti yang berisi mayat sekalipun."
"Baiklah Ki Buyut," jawab Mahisa Murti, "kami akan
menunggui, apa y ang akan didapatkan oleh Ki Buyut."
"Kami akan segera mulai, mumpung matahari belum
terlalu tinggi. Aku akan m enggali sampai ketemu atau sampai
pada satu keyakinan bahwa t idak ada harta karun di sini,"
jawab Ki Buyut. Demikianlah, maka sejenak kemudian, di tikungan
sungai itu telah terjadi kesibukan. Perempuan, anak petani
yang malang, y ang meninggal diracun oleh menantunya


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendiri itu telah mengatakan apa yang pernah didengarnya.
Seluruhnya, tanpa ada y ang tersisa.
Ki Buyut, justru m engajak ketiga orang anak muda itu
meneliti tebing itu dengan segala lekuk-lekuknya. Setiap
kemungkinan, Ki Buyut telah memerintahkan orang-orangnya
untuk menggali. Bukan hanya di satu sisi, tetapi di kedua sisi.
Orang-orangnya telah membuat lubang-lubang di tebing
yang tidak terlalu tinggi itu. Menggali tanah liat dan batu-batu
padas. Namun sampai saat matahari m elewati puncak langit,
mereka belum menemukan tanda-tanda adanya barangbarang
y ang berharga atau tidak berharga y ang disimpan di
tebing itu. Dengan keringat y ang m asih m embasahi tubuh, orangorang
yang sibuk bekerja itu telah b eristirahat untuk makan.
Sebenarnya mereka mulai menjadi jemu dengan kerja yang
nampaknya tidak akan berujung itu. Tetapi Ki Buyut agaknya
masih berniat untuk meyakinkan dirinya, bahwa di t ebing itu
memang tidak ada harta karun y ang dicarinya atau bahwa
mereka dapat menemukannya.
Sementara itu, selagi mereka beristirahat, Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat telah berbicara sekali lagi dengan
perempuan y ang telah membuka rahasia tentang harta karun
kepada pamannya itu, sehingga rahasia itu tersebar di seluruh
Kabuyutan. "Apa y ang kau dengar dari ayahmu?" bertanya Mahisa
Murti. "Seperti yang sudah aku katakan," jawab perempuan itu.
"Coba katakan sekali lagi ancar-ancar itu," minta
Mahisa Murti. "Ay ah sendiri belum pernah tahu dengan pasti t empat
itu. Tetapi sebagaimana dikatakan oleh orang yang berpesan
kepadanya, bahwa harta karun itu ada di bawah bayangan
pohon preh di tikungan sungai yang ditandai dengan sepasang
batu raksasa di atasnya dan beberapa batu besar di tepian di
bawah tanggul," jawab perempuan itu.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Di
sana ada pohon preh y ang besar itu. Di tanggul itu ada dua
buah batu raksasa dan di tepian ini terdapat batu-batu besar
berserakan. Aku kira memang tidak salah lagi, bahwa kita
mencari harta karun itu di sekitar tikungan sungai ini. Tetapi
apakah tidak ada pesan yang lain?"
"Waktu itu ay ah sudah sangat lemah. Tidak ada pesan
yang lain y ang dikatakannya," jawab perempuan itu.
" Di saat terakhir apakah ia m engucapkan kata-kata?"
bertanya Mahisa Murti pula.
Perempuan itu mengingat-ingat. Namun kemudian
katanya, " Ia memang berpesan agar aku berhati-hati dan
menjaga diriku sendiri sebaik-baiknya."
Anak-anak muda itu hanya dapat menarik nafas dalamdalam.
Namun kemudian perempuan itu b erkata, "Ayah juga
berpesan sesuatu yang kurang aku mengerti. Mungkin karena
ay ah sudah terlalu lemah waktu itu."
"Apa pesannya?" desak Mahisa Murti.
"Ay ah berpesan, jika banjir datang, maka kedua batu
raksasa itu tidak akan dapat hanyut. Demikian pula pohon
preh itu meskipun air naik keatas tanggul. Karena itu, di
antara batu itu seseorang dapat berpegangan," berkata
perempuan itu m enirukan. Lalu katanya pula, "Tetapi rasarasanya
ayah sudah, seperti orang bermimpi. Ay ah tahu, jika
aku tidak berada di sungai ini, apalagi di saat banjir datang."
Wajah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi t egang
sesaat. Dengan nada rendah ia berkata, "Coba ulangi."
Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun
kemudian telah m engulanginya. Perlahan-lahan seperti yang
diminta oleh kedua anak muda itu.
"Kenapa justru di antara?" bertanya Mahisa Murti,
"bagaimana mungkin dapat berpegangan pada batu-batu
raksasa itu jika kita justru berada di tengah-tengah?"
" Di antaranya. Tidak harus di tengah-tengah," desis
Mahisa Pukat. Mahisa Murti berpikir sejenak. Namun kemudian ia pun
menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kita temui Ki Bekel."
Kamar Hantu 2 Pendekar Pulau Neraka 32 Raja Kera Iblis Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong 11
^