Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 13

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 13


berdua segera p ergi ke Kabuyutan untuk melihat apakah pesanpesan
mereka tentang Ki Buyut telah dilakukan.
Sebenarnyalah Ki Buyut dan Ki Bekel benar-benar tidak
dapat bertemu dengan ayah dan bibi Ki Buyut tua. Betapa pun
mereka mencoba memaksa, tetapi orang-orang yang semula
tunduk kepada mereka, dengan berani telah menolak keinginan
Ki Buyut dan Ki Bekel itu. Apalagi setelah Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat ada di Kabuyutan.
Demikianlah, di sana malam itu, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat masih sempat tidur bergantian. Bagaimanapun
juga mereka masih harus tetap berhati-hati menghadapi segala
kemungkinan yang dapat terjadi di Kabuyutan yang masih
bergolak itu. Mungkin masih ada pengikut dari ayah Ki Buyut
yang ingin menimbulkan persoalan-persoalan baru justru
karena Akuwu ada di banjar Kabuyutan itu.
Ketika matahari mulai membayang, maka rasa-rasanya
Kabuyutan itu mulai menginjak jaman baru. Mereka menunggu
sikap Akuwu bagi Kabuyutan mereka yang sudah lama terasa
dibayangi oleh nilai-nilai kehidupan yang tidak wajar.
Dalam pada itu, Akuwu pun telah berbenah diri.
Meskipun pakiwan di banjar itu kurang memadai, tetapi
Akuwu tidak berkeberatan mempergunakannya. Ia mengerti,
bahwa orang-orang Kabuyutan itu telah berbuat sejauh dapat
mereka lakukan. Karena itu Akuwu sama sekali tidak menuntut
apa yang tidak mungkin dapat dilakukan oleh orang-orang
Kabuyutan yang sedang bergejolak itu.
Dengan permohonan maaf yang sebesar-besarnya,
hidangan telah disuguhkan pula. Sederhana seperti yang
kemarin mereka hidangkan. Namun ternyata Akuwu telah
berkenan di hatinya oleh hidangan itu.
"Siapa juru masak di sini" " Akuwu sempat bertanya.
Isteri salah seorang bebahu justru menjadi ketakutan. Ia
mengira bahwa Akuwu menjadi marah karena ia tidak pandai
masak. Namun ternyata Akuwu justru memuji, "Masakanmu
ternyata enak sekali."
Isteri bebahu itu hampir menjadi pingsan kegirangan
karena pujian Akuwu itu. Demikian matahari naik, maka Akuwu pun telah bersiap
menerima orang-orang yang akan menghadapnya. Namun
agaknya Akuwu tidak akan menerima mereka bersama-sama.
Yang mula-mula dipanggilnya menghadap justru ayah dan bibi
Ki Buyut, yang dianggapnya sebagai sumber segala persoalan.
"Kenapa kau nampak lemah sekali?" bertanya Akuwu
kepada kedua orang saudara kembar itu.
"Ampun Akuwu. Hamba telah terkena ilmu iblis. Kedua
anak muda itu telah dengan licik menghisap kekuatan dan
kemampuan hamba," jawab ayah Ki Buyut.
"Ooo. Jadi ilmu itu kau anggap ilmu yang licik?"
bertanya Akuwu. "Hamba Akuwu. Anak muda itu telah melakukannya
sebagai seorang pencuri yang melakukan pekerjaannya dengan
diam-diam. Tetapi hamba tidak berbuat demikian. Hamba telah
bertempur secara jantan," jawab ayah Ki Buyut.
"Bagus," berkata Akuwu. Tetapi kemudian katanya,
"Seharusny a kau justru berterima kasih kepada anak-anak
muda itu, karena mereka tidak mengetrapkan ilmu Bajra Geni
nya. Kau tahu, ilmu Bajra Geni."
Wajah kedua orang kembar itu menjadi tegang.
"Nah. Kedua anak muda itu memiliki Ilmu Bajra Geni.
Bukan hanya dengan sentuhan tangannya. Tetapi ia mampu
melontarkannya. Jika ilmu itu menyentuh tubuhmu, maka aku
kira kau akan menjadi arang. Karena itu, ternyata ia telah
mempergunakan ilmunya yang lunak, yang hanya sekedar
melumpuhkan saja," berkata Akuwu selanjutny a.
Debar jantung kedua orang itu serasa menjadi semakin
cepat. Sebagai orang-orang berilmu, maka mereka pernah
mengenal ilmu Bajra Geni yang memiliki kekuatan yang luar
biasa. Karena itu ketika Akuwu Lemah Warah menyebutnya,
maka rasa-rasanya kulit mereka memang meremang. Jika
benar-benar ilmu Bajra Geni itu menyentuh kulitnya, maka
seperti yang dikatakan oleh Akuwu, tubuhnya akan menjadi
arang. Karena itu, maka kedua orang itu pun akhirnya
menyadari, bahwa apa pun yang akan mereka lakukan, maka
mereka tidak akan mempunyai kesempatan lagi. Mereka tidak
akan mempunyai kesempatan untuk mengalahkan kedua anak
muda itu. Apalagi melawan Akuwu Lemah Warah.
Kenyataan tentang kedua anak muda itu telah
meyakinkan mereka, bahwa mereka memang harus menyerah.
Jika tidak, apa pun yang akan mereka lakukan, maka
kemungkinan kekuatan ilmu Bajra Geni itu akan
menghanguskan mereka. Seandainya mereka mempunyai
kesempatan menghubungi beberapa orang yang akan bersedia
membantu mereka lewat siapa pun juga, namun orang-orang
yang akan membantu mereka itu pun tidak akan mampu
menghadapi kekuatan ilmu Bajra Geni.
Apalagi di saat Akuwu berada di Kabuyutan itu bersama
dengan para prajuritny a yang terpilih.
Karena itulah, maka kemudian ayah dan bibi Ki Buyut
itu tidak dapat ingkar lagi. Semua pertanyaan Akuwu Lemah
Warah dijawabnya dengan kenyataan yang telah terjadi
sebenarnya di Kabuyutan itu.
"Terima kasih," berkata Akuwu Lemah Warah
kemudian, "aku kira kalian telah menjawab pertanyaanpertanyaanku
dengan jujur. Karena itu, maka aku kira untuk
sementara pertemuan ini telah cukup."
Demikianlah, maka Akuwu pun telah memerintahkan
membawa ayah dan bibi Ki Buyut keluar dari banjar dan
dikembalikan ke tempatny a. Karena keduanya masih sangat
lemah, maka keduanya telah mendapat kesempatan untuk naik
pedati meskipun jaraknya tidak terlalu jauh. Mereka dibaca
kembali ke rumah Ki Buyut dan ditempatkan di bilik khusus
diawasi oleh para pengawal yang patut dipercaya bersama
beberapa orang bebahu yang mengendalikan mereka. Para
bebahu yang dapat menempatkan diri dalam pergolakan yang
tengah terjadi di Kabuyutan itu, Bahkan ternyata bahwa lima
orang prajurit pengawal khusus Akuwu Lemah Warah memang
telah ditempatkan di rumah Ki Buyut itu, sementara Ki Buyut,
Ki Bekel dan orang-orang penting lainnya berada di banjar.
Ayah dan bibi Ki Buyut mengetahui akan hal itu. Tetapi
mereka benar-benar telah pasrah, apa yang akan terjadi dengan
diri mereka. Sepeninggal ayah dan bibi Ki Buyut, maka Akuwu telah
memanggil isteri orang yang disebut-sebut melakukan
pembunuhan atas kedua orang anak Ki Bekel tua. Meskipun
orang yang melakukan telah meninggal, tetapi isterinya
memang dapat memberikan beberapa keterangan yang
diperlukan. Perempuan itu juga tidak menyembunyikan sesuatu
sesuai dengan yang diketahuinya.
Akuwu mendengarkan keterangan perempuan itu dengan
saksama. Sebenarnya ia merasa tersinggung sekali dengan
tingkah laku suami perempuan itu yang telah sampai hati
membunuh sesama sekedar untuk mendapatkan upah betapa
pun besarnya. Tetapi laki-laki itu telah meninggal, sehingga
karena itu, maka Akuwu pun tidak dapat berbuat apa-apa.
Sedangkan perempuan itu, rasa-rasanya telah
mengungkapkan apa saja yang diketahuinya. Sehingga dengan
demikian Akuwu tidak dapat melimpahkan kemarahannya
kepada perempuan yang agaknya memang tidak bersalah itu.
Keterangan ayah dan bibi Ki Buyut serta perempuan itu
agaknya telah memberikan gambaran yang utuh tentang apa
yang terjadi. Rasa-rasanya Sang Akuwu telah melihat dengan
jelas urutan peristiwa di Kabuyutan itu.
Karena itu, maka sejenak kemudian, maka Akuwu telah
memerintahkan untuk memanggil Ki Buyut, Ki Bekel dan dua
orang cucu Ki Buyut Tua yang selalu bertengkar dan saling
bermusuhan itu. Akuwu memang tidak memerlukan waktu yang lama
untuk mendengarkan semua pengakuan. Termasuk pengakuan
Ki Buyut dan Ki Bekel, sehingga keadaan menjadi semakin
jelas. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang juga sudah berada
di banjar itu dengan sungguh-sungguh telah mengikuti segala
pembicaraan di banjar itu. Mereka pun nampaknya menjadi
semakin berharap bahwa akan segera didapatkan penyelesaian
yang tuntas di Kabuyutan itu.
Keputusan yang pertama yang diambil oleh Akuwu
adalah mengambil kembali kedudukan yang telah diberikannya
kepada Ki Buyut dan tidak mengakui kedudukan Ki Bekel
yang telah diangkat oleh Ki Buyut.
Ki Buyut sama sekali tidak terkejut. Ia sudah
memperhitungkan hal itu. Ia sadar bahwa ia memang harus
melepaskan jabatan yang memang tidak pernah dengan
sungguh-sungguh memberikan kebahagiaan kepadanya.
Sementara itu, Akuwu pun telah melihat usaha yang
dengan sengaja menjauhkan kedua orang saudara sepupu itu.
Ki Bekel memang selalu menjaga jarak antara keduanya. Jika
persoalan mereka dibatasi oleh sebuah padukuhan itu, bukan
karena kewibawaan Ki Buyut, tetapi semata-mata karena
kelicikan Ki Bekel. Pertentangan itu memang harus
dipertahankan, agar mereka tidak sempat mengusik kedudukan
Ki Buyut karena mereka selalu dibayangi oleh permusuhan
mereka sendiri. Namun yang kemudian menjadi persoalan bagi Ki Buyut,
siapa pun di antara mereka yang lebih baik untuk
menggantikan kedudukan Ki Buyut.
Dengan hati-hati Akuwu telah menelusuri kehidupan Ki
Buyut tua, anak-anaknya dan kemudian cucu-cucunya. Tingkah
laku mereka dan apa saja yang pernah mereka lakukan.
Namun akhirnya Ki Buyut telah berbicara langsung
kepada keduanya. "Aku hanya dapat mengangkat seorang Buyut di
Kabuyutan ini. Sedangkan kalian berdua merasa berhak untuk
menduduki jabatan itu," berkata Akuwu. Lalu "Aku mengerti.
Yang tua merasa bahwa ia berhak seandainya ayahnya tidak
dibunuh. Sedangkan yang muda merasa berhak karena ayahnya
memang pernah menjabat menjadi Buyut di Kabuyutan ini. Hal
itu sebenarnya bukan salah kalian semata-mata. Kalian juga
dapat menyalahkan aku yang pada waktu itu begitu saja
percaya dan mensahkan kedudukan Ki Buyut yang sekarang
harus aku cabut kembali. Jika saat itu aku berbuat sedikit lebih
baik, maka tidak akan terjadi kesalahan yang akibatny a
ternyata menjadi sangat p anjang."
Kedua saudara sepupu itu menundukkan kepalanya.
Justru Akuwu melihat kesalahan itu kepada dirinya sendiri,
maka hati keduanya pun seakan-akan telah mencair. Kekerasan
hati mereka untuk merebut kedudukan yang mereka anggap
berhak mereka miliki, permainan Ki Buyut dan Ki Bekel yang
benar-benar telah memperbodoh keduanya sehingga keduanya
tetap saling bermusuhan tanpa berkeputusan.
Dalam pada itu, Sang Akuwu itu pun berkata, "Nah,
kalian, cucu Ki Buyut yang lama. Aku ingin bertanya kepada
kalian dihadapan para saksi, para tetua dan para bebahu
Kabuyutan ini, apakah kalian berdua masih berniat untuk
memperebutkan kedudukan kakek kalian itu?"
Kedua orang itu termangu-mangu. Mereka pun
menyadari, Sang akuwu sengaja mempergunakan istilah
memperebutkan untuk mempengaruhi sikap mereka. Namun
sebenarnyalah keduanya benar-benar telah kehilangan gairah
untuk berjuang memperoleh kedudukan itu. Mereka seakanakan
melihat, betapa seseorang telah melakukan kesalahan
yang sangat dalam, sekedar untuk berebut kedudukan,
sebagaimana dilakukan oleh paman mereka, meskipun karena
pengaruh orang lain. Karena itu, maka tiba-tiba saja yang tua di antara kedua
sepupu itu berkata, "Ampun Akuwu. Yang terjadi ini
merupakan satu pengalaman yang paling berharga dalam
kehidupan hamba yang selama ini bagaikan dibayangi oleh
mimpi yang buruk. Untuk waktu yang lama ternyata hamba
tidak hidup dalam dunia kewajaran. Karena itu, rasa-rasanya
sekarang hamba telah terlempar kembali ke dalam satu
kehidupan yang wajar. Dengan demikian Sang Akuwu, biarlah
hamba menikmati kehidupan ini tanpa diganggu oleh
persoalan-persoalan yang rumit karena kedudukan. Maksud
hamba, biarlah hamba tidak lagi berbicara tentang kedudukan
kakek itu." Akuwu Lemah Warah mengerutkan keningnya.
Kemudian dipandanginya yang muda di antara kedua sepupu
itu. Namun sebelum Akuwu mengatakan sesuatu, yang muda di
antara sepupu itu berkata, "Ampun Sang Akuwu. Hamba
merasa betapa hamba kehilangan pribadi hamba selama ini.
Karena itu, Sang Akuwu, biarlah hamba kembali kepada diri
hamba sendiri. Hamba mohon untuk tidak dibebani tugas-tugas
yang tidak dapat hamba lakukan karena kebodohan hamba."
Akuwu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia
pun menarik nafas d alam-dalam. Katanya, "Aku merasa kagum
terhadap kalian. Tiba-tiba saja kalian telah menyadari apa yang
kalian hadapi di Kabuyutan ini. Karena itu, maka aku terima
permohonan kalian. Namun kemudian kalian harus
mendengarkan perintah yang akan aku berikan kepada salah
seorang di antara kalian."
Kedua orang itu termangu-mangu. Namun keduanya pun
menyadari, salah seorang di antara mereka harus mengemban
tugas yang telah diambil kembali oleh Akuwu dari pamannya.
Di luar sadarnya mereka telah berpaling ke arah Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Namun Akuwu yang seakan-akan
dapat membaca hati mereka telah berkata, "Kedua anak muda
itu bukan orang Kabuyutan ini. Kecuali itu, tugas-tugasnya ada
di atas kedudukan seorang Buyut. Karena itu, seandainya ada
pikiran untuk menahan mereka tinggal di sini, maka aku
berpendapat, hal itu tidak akan dapat mereka lakukan."
Kedua cucu Ki Buyut tua yang telah meninggal itu
menundukkan kepala. Mereka memang harus menyadari,
bahwa kedua anak muda itu tidak sepantasnya tinggal di
Kabuyutan mereka meskipun menjabat pangkat tertinggi
sekalipun. Menurut Akuwu kedudukan mereka memang sudah
berada di atas kedudukan seorang Buyut.
Karena itu, maka mereka tidak dapat mengatakan sesuatu


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentang kedua anak muda itu.
Dalam pada itu, maka Sang Akuwu pun kemudian
berkata kepada orang-orang yang ikut dalam pertemuan itu,
"Nah, sebenarnya kalianlah yang dapat memilih di antara
keduanya. Tetapi aku kira kalian pun akan menjadi
kebingungan. Apalagi kalian tidak ingin menyinggung
perasaan salah seorang di antara mereka. Mereka tentu merasa
direndahkan jika tidak terpilih meskipun mereka tidak
menghendaki kedudukan itu. Karena itu, biarlah aku yang
menentukan dengan alasan-alasan tertentu."
Semua orang terdiam menunggu. Sebenarnyalah
sebagaimana dikatakan oleh Akuwu seandainya mereka harus
memilih, maka mereka akan menjadi bingung.
Dengan demikian, maka Akuwu lah yang menentukan
pilihan. Dengan hati-hati ia berkata, "Baiklah. Menurut
pendapatku, keduanya mempunyai hak yang sama. Keduanya
adalah orang yang gigih dan menghargai hak itu. Meskipun
satu kenyataan pahit telah terjadi pula atas keduanya sehingga
keduanya dapat disekap ke dalam satu sikap oleh pamannya
yang pada waktu itu memegang jabatan sebagai seorang Buyut
di Kabuyutan ini, yang kedudukan itu baru saja aku ambil."
Kedua orang saudara sepupu itu menundukkan kepala.
Mereka memang mengakui di dalam hati, bahwa mereka untuk
beberapa lama seakan-akan telah kehilangan pribadi mereka,
sehingga mereka dengan mudah dapat dijebak oleh pamannya
itu. Sementara itu Akuwu pun berkata lebih lanjut, "Tetapi
itu sudah berlalu. Aku minta kalian dan semua orang
melupakannya. Kita akan mulai dengan lembaran baru dalam
kehidupan Kabuyutan ini."
Semua orang memang menunggu, siapakah di antara
keduanya yang akan ditunjuk oleh Akuwu, sementara
keduanya telah menyatakan keberatannya.
Namun akhirnya Akuwu pun berkata, "Aku menentukan,
yang akan menggantikan kedudukan Ki Buyut adalah cucunya
yang tua." "Sang Akuwu," saudara sepupu yang berdarah lebih tua
itu dengan serta merta memotong, "ampun hamba, Akuwu.
Hamba mohon, janganlah hamba mendapat tugas yang tidak
akan mampu hamba jalani."
Akuwu tersenyum. Katanya, "Kau tidak akan melakukan
tugasmu seorang diri. Kedudukan Ki Bekel yang secara khusus
membantu Ki Buyut di Kabuyutan ini memang sangat menarik.
Meskipun di saat yang lewat kedudukan Bekel di padukuhan
induk ini dan tugasnya tidak memerintah sebuah padukuhan,
tetapi membantu Ki Buyut dalam pengertian yang khusus,
dapat dilanjutkan. Tetapi sudah barang tentu dengan tugas yang
dibatasi oleh hak dan kewajiban yang mapan. Bukan disalahartikan
sebagaimana kedudukan Ki Bekel pada masa
pemerintahan yang lewat."
Orang-orang yang berada di tempat pertemuan itu sudah
menduga, bahwa Akuwu menghendaki saudara sepupu yang
muda itulah yang akan diangkat menjadi Bekel dengan tugas
membantu kewajiban Ki Buyut.
Tidak seorang pun yang merasa berkeberatan. Ketika
Sang Akuwu menanyakan, apakah ada pendapat yang akan
diajukan oleh para bebahu di Kabuyutan itu, maka nampaknya
mereka sudah sependapat sebagaimana diputuskan oleh
Akuwu. "Jika tidak ada keberatan, maka aku telah
menetapkannya, kedua orang saudara sepupu itu akan bersamasama
memegang kendali pemerintahan di Kabuyutan ini,"
berkata Akuwu, "mereka sudah dapat melakukan tugas mereka
sebelum diwisuda. Sementara itu aku minta semua bebahu dan
bahkan semua orang di Kabuyutan ini membantu tugas-tugas
mereka." Semua orang mengangguk-angguk. Mereka seakan-akan
telah berjanji kepada diri mereka masing-masing, bahwa
Kabuyutan mereka harus mereka bangun kembali setelah
beberapa lama berada dalam keadaan yang parah.
"Semua terserah kepada kalian," berkata Akuwu,
"betapa pun seorang Buyut bekerja keras bagi kampung
halamannya, tetapi jika tidak didukung oleh semua pihak, maka
yang dilakukan itu akan sia-sia. Karena itu, aku minta kalian
membuktikan dukungan kalian atas pengangkatan ini dengan
perbuatan. Bukan sekedar mengangguk-angguk dihadapanku.
Pada saat-saat tertentu aku akan datang untuk melihat, apakah
Kabuyutan ini telah berkembang atau belum."
Di luar sadar, semua rasa-rasanya sudah berjanji kepada
diri sendiri. Demikianlah, Akuwu sudah memberikan beberapa
ketetapan. Kedua orang itu sudah dibenarkan menjalankan
tugas mereka sebelum Akuwu sempat mewisuda. Namun
menurut Akuwu, wisuda hanyalah sekedar kelengkapan
upacara. Tetapi yang penting adalah jiwa dari keputusan yang
telah dijatuhkan itu. Dalam pada itu, maka Akuwu pun telah berniat untuk
bermalam satu malam lagi di Kabuyutan itu. Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat pun masih berada di Kabuyutan itu pula. Di
malam hari Akuwu masih ingin berbicara dan memberikan
beberapa pesan kepada kedua saudara sepupu itu. Akuwu pun
akan minta Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meninggalkan
pesan-pesan mereka pula sebelum keduanya meninggalkan
Kabuyutan itu. Sementara itu Akuwu sudah berniat pula untuk
membawa orang-orang yang bersalah ke Lemah Warah,
kecuali perempuan yang telah dengan jujur memberitahukan
kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan oleh suaminya itu.
Namun perempuan itu pun tidak terlepas dari hukuman,
meskipun ia tidak langsung melakukan kesalahan.
Untuk beberapa lama ia telah menikmati kekayaan yang
telah didapat oleh suaminya dengan laku yang tidak baik.
Karena itu maka sebagian besar dari kekayaannya itu telah
dirampas bagi kepentingan Kabuyutan.
Tetapi perempuan itu sama sekali tidak menyesal. Ketika
Akuwu bertanya kepadanya, maka katanya, "Am pun Sang
Akuwu. Dengan ikhlas hamba serahkan kekayaan yang tidak
memberikan kebahagiaan bagi keluarga hamba itu, sehingga
akhirnya suami hamba telah meninggal dengan penuh
penyesalan di hati."
"Baiklah," berkata Akuwu, "yang akan melaksanakan
adalah Buyut yang baru di Kabuyutan ini."
"Hamba Sang Akuwu," desis p erempuan itu.
Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk. Menurut
pendapatnya tugas-tugas pokoknya di Kabuyutan itu sudah
selesai, sehingga ia tinggal mengamati apa yang akan terjadi
kemudian. Kepada para pemimpin di Kabuyutan itu Akuwu
sudah memberitahukan, bahwa pada saat-saat tertentu ia akan
mengirimkan petugas-petugasnya untuk melihat keadaan.
"Jarak antara Kabuyutan ini sampai ke Lemah Warah
memang jauh. Tetapi aku akan tetap mengikuti
perkembangannya, karena bagaimanapun juga Kabuyutan ini
merupakan bagian dari Pakuwon Lemah Warah, sehingga aku
pun akan ikut bertanggung jawab atas apa yang terjadi di sini,"
berkata Akuwu. Demikianlah, di malam sebelum Akuwu berangkat
kembali ke Lemah Warah, maka ia pun telah memberikan
banyak sekali pesan-pesan. Kedua cucu Ki Buyut yang diserahi
tugas memimpin Kabuyutan itu merasa mendapat banyak bekal
yang berarti bagi mereka berdua. Keseganan di antara mereka
lambat laun menjadi semakin menipis. Apalagi setelah mereka
menyadari sepenuhnya, bahwa yang terjadi itu adalah karena
kelemahan pribadi mereka masing-masing sehingga mereka
dapat dipermainkan oleh pamannya dan orang-orang di
seputarnya. Di hari berikutny a Akuwu pun telah bersiap untuk
meninggalkan Kabuyutan itu. Para pengawalnya pun telah
bersiap pula. Orang-orang Kabuyutan itu telah mengantar iring-iringan
itu sampai keluar Kabuyutan mereka. Demikian pula Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. "Kami masih akan tinggal satu dua malam lagi," berkata
Mahisa Murti. "Baiklah," berkata Akuwu Lemah Warah, "pergunakan
kesempatan itu baik-baik." Lalu suaranya menurun sehingga
hanya didengar oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, "Kedua
cucu Ki Buyut lama itu sudah agak lama saling bermusuhan.
Mereka memerlukan bimbingan agar mereka dapat bekerja
bersama dengan baik meskipun hal itu sudah mereka sadari
sepenuhnya." "Baik Akuwu. Kami akan melakukannya," jawab
Mahisa Murti. Demikianlah, ketika Akuwu kemudian meninggalkan
kelompok-kelompok orang-orang padukuhan termasuk Ki
Buyut dan Ki Bekel yang telah ditetapkan oleh Akuwu serta
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka orang-orang Kabuyutan
itu telah melepas mereka dengan lambaian tangan. Sikap
Akuwu yang akrab membuat orang-orang padukuhan itu tidak
merasa takut lagi kepadanya, namun mereka merasakan
kebapaan Akuwu yang lembut itu. Meskipun dalam
kelembutan sikapnya terasa bahwa Akuwu itu pun dapat
menunjukkan sikap yang pasti sebagaimana seorang Akuwu
dan seorang Senapati perang.
Sementara itu, orang-orang yang dianggap bersalah dari
Kabuyutan itu telah dibawa pula oleh Akuwu. Ki Buyut, Ki
Bekel, serta ayah dan bibi Ki Buyut.
Beberapa saat lamanya orang-orang Kabuyutan itu
termasuk para pemimpinnya yang baru memandang debu yang
mengepul di belakang kaki kuda iring-iringan Akuwu Lemah
Warah yang semakin lama menjadi semakin jauh.
Baru beberapa saat kemudian, Mahisa Murti pun berkata,
"Marilah. Mereka telah jauh. Mudah-mudahan mereka selamat
sampai tujuan." Orang-orang Kabuyutan itu pun kemudian telah
melangkah kembali ke Kabuyutan mereka. Sementara itu para
pemimpinnya pun masih kembali pula ke padukuhan induk.
"Hari ini kita akan mengatur perasaan kita masingmasing,"
berkata Mahisa Murti, "besok kita akan mulai dengan
pembicaraan-pembicaraan. Banyak persoalan yang harus kita
bicarakan. Kami berdua akan memanfaatkan waktu kami yang
pendek untuk mengikuti perkembangan terakhir dari
Kabuyutan ini." Ternyata pengaruh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
masih mencengkam orang-orang padukuhan itu. Apalagi
karena Akuwu Lemah Warah telah menyebut mereka, bahwa
kedudukan mereka berada diatas kedudukan seorang Buyut
karena tugas mereka sebagai petugas dari Kediri. Ditambah
lagi keterangan Akuwu bahwa kedua anak muda itu adalah
adik Akuwu Sangling. Hari itu, orang-orang Kabuyutan itu telah memasuki satu
masa baru bagi Kabuyutan mereka. Mereka yang untuk
beberapa lama tidak tahu arah kepemimpinan dari para
pemimpin di Kabuyutan itu, telah menaruh harapan kepada
kedua orang saudara sepupu yang meskipun semula
bermusuhan. Namun orang-orang Kabuyutan itu merasa,
bahwa pimpinan Kabuyutan itu telah kembali kepada yang
berhak. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun merasa bahwa di
sisa hari itu mereka benar-benar telah beristirahat. Segala
persoalan telah diletakkannya. Bersama kakek tua mereka
berada di rumah adiknya yang kekayaannya telah disiapkannya
untuk diserahkan kepada Ki Buyut yang baru.
Perempuan itu sudah merasa sangat beruntung bahwa
Akuwu tidak melimpahkan kesalahan suaminya kepadanya
karena suaminya telah meninggal. Sehingga dengan demikian
ia masih akan tetap dapat hidup bersama anak-anaknya yang
manja dan cengeng itu. Jika kedua anaknya itu terpisah dari
kedua orang tuanya, maka mereka benar-benar tidak tahu apa
yang harus mereka lakukan. Dengan demikian, maka
perempuan itu harus mempergunakan sisa-sisa kemungkinan
dalam hidupnya untuk berusaha sedikit demi sedikit merubah
sifat kedua anak-anaknya itu.
"Waktuku tidak banyak lagi untuk dapat menunjukkan
kepada mereka, bahwa mereka harus menghadapi kehidupan
ini dengan wajah tengadah," berkata perempuan itu kepada
dirinya sendiri. Di rumah itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang
mencoba untuk bergaul dengan anak janda tua yang merasa,
bahwa sebentar lagi ia harus merubah tata hidupnya. Janda tua
itu memang sudah menyadari, bahwa mereka tidak akan lagi
dapat menikmati kekayaan mereka, karena sesuai dengan cara
yang tidak wajar itu, akan diserahkan kembali kepada Ki Buyut
yang baru. Yang akan tinggal padanya adalah sawah
sebagaimana dimilikinya sebelum suaminya menerima upah
atas kejahatan yang pernah dilakukannya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mencoba untuk
menjajagi perasaan dan penalaran anak janda tua itu, terutama
anaknya laki-laki. "Kesalahannya tidak semata-mata terletak pada anak
itu," berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, "Ayah dan
ibunya terlalu memanjakannya di saat-saat terakhir. Selagi
anak-anak itu mendekati usia dewasa, maka mereka sama
sekali tidak mendapat kesempatan untuk mematangkan dirinya.
Mereka tidak diajar bagaimana mereka harus berdiri sendiri.
Bagaimana mereka harus mempertanggung jawabkan segala
tingkah laku mereka dan bagaimana mereka harus menentukan
sikap terhadap buruk dan baiknya."
"Apakah kita dapat membantunya?" bertanya Mahisa
Pukat. "Waktu kita tinggal sedikit," berkata Mahisa Murti,
"mungkin kita dapat memberikan beberapa petunjuk
kepadanya." Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba
katanya, "Bagaimana jika anak janda tua itu kita bawa?"
"Hee," Mahisa Murti termangu-mangu, "maksudmu
salah seorang dari mereka?"
"Tentu saja. Anak laki-laki itu," berkata Mahisa Pukat.
"Apakah ibunya mengijinkannya" Selebihnya, anak itu
akan menjadi beban kita. Namun jika kau memang


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghendaki, aku pun tidak berkeberatan jika ibunya
mengijinkannya," jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Ia memang raguragu.
Tetapi katanya, "Aku akan berbicara dengan anak itu
dahulu. Jika ia bersedia, maka kita akan berbicara dengan
ibunya." Mahisa Murti mengangguk. Katanya, "Baiklah. Tetapi
kau harus menjelaskan, bahwa perjalanan kita bukan perjalanan
tamasya. Kita akan banyak menjumpai persoalan-persoalan
yang barangkali rumit dan berbahaya. Jika ia berani
menghadapi akibat yang paling pahit dari perjalanan ini, maka
kita akan membawa anak itu bersama kita. Tetapi jika tidak,
maka sebaiknya kita memang tidak membawanya, karena
akibatny a bukan saja akan menjadi beban bagi kita, tetapi anak
itu sendiri akan merasa tersiksa."
Mahisa Pukat mengangguk pula. Katanya, "Dalam waktu
yang pendek, aku dapat menangkap sifatnya yang sebenarnya.
Jika ia mendapat kesempatan, mungkin akan dapat terjadi
perubahan sikap jiwani pada anak itu. Ditambah dengan
pengalaman dan barangkali sedikit penempaan diri, maka
mudah-mudahan ia tidak lagi menjadi seorang anak muda yang
menjadi beban ibunya yang sudah menjadi semakin tua.
Sedangkan adik perempuannya, bukan lagi masalah yang
sangat berat bagi orang tuanya, karena pada umumnya seorang
gadis memang sedikit manja."
"Mudah-mudahan kau benar-benar dapat menyelami
jiwanya," berkata Mahisa Murti.
"Tetapi dalam kesempatan tertentu, kau pun harus ikut
pula mencoba mengerti," berkata Mahisa Pukat.
"Aku akan membantumu. Tetapi karena kau yang sudah
mulai, maka kau lanjutkan saja usahamu untuk mendekatinya
dari unsur jiwanya," berkata Mahisa Murti.
Dengan demikian, maka Mahisa Pukat pun menjadi
semakin bersungguh-sungguh, la menjadi semakin akrab
dengan anak muda itu. Bahkan kadang-kadang Mahisa Pukat
telah mencoba untuk memancing pendapatnya tentang
kebiasaannya yang manja itu.
"Kenapa kau tidak berusaha untuk menentukan sikapmu
sendiri. Apa pun yang kau lakukan, kau selalu bersandar
kepada ibumu. Bukankah ibumu menjadi semakin tua dan
dengan demikian maka kau harus tampil menggantikan
kedudukannya. Bukan saja kedudukan ibumu, tetapi kau pun
harus menggantikan kedudukan ayahmu," berkata Mahisa
Pukat. Anak muda itu hanya menundukkan kepalanya saja. Jika
ia mencoba melihat ke dalam dirinya sendiri, maka yang
nampak memang hanya kegelapan saja. la tidak tahu apa
sebenarnya yang pantas dilakukannya.
"Nah," berkata Mahisa Pukat, "umurmu dan umurku
tidak bertaut banyak. Tetapi kau tentu tidak akan berani jika
kau aku tantang berkelahi."
"Ah. Jangan begitu," desis anak muda itu.
"Tidak. Bukan maksudmu untuk menantangmu
berkelahi," jawab Mahisa Pukat, "aku hanya ingin
menunjukkan, bahwa seumurmu seharusnya sudah mampu
melakukan banyak hal tanpa sandaran siapa pun juga."
Anak muda itu tidak menjawab. Sementara itu Mahisa
Pukat telah mendesak, "Aku tidak akan lama lagi di Kabuyutan
ini. Sebenarnya aku sudah minta diri untuk pergi. Tetapi nanti
malam kami berdua masih akan berbicara dengan Ki Buyut dan
Ki Bekel yang baru atas permintaan mereka. Khususnya
mengenai harta kekayaanmu. Sebelum aku pergi, aku ingin
menawarkan beberapa hal kepadamu."
Anak muda itu berpaling. Dengan ragu-ragu ia bertanya,
"Menawarkan apa?"
"Masa depan yang tentu lebih baik kepadamu daripada
yang akan kau jalani jika kau tidak mengalami perubahan
tingkah laku," jawab M ahisa Pukat.
OooodewioooO HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 65 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo Converter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 065 ANAK muda itu termangu-mangu. Dengan ragu-ragu
ia - pun kemudian bertanya, "Apa yang harus aku lakukan?"
"Selama ini kau terlalu manja, sehingga kau pada
dasarnya tidak mampu berdiri di atas kakimu sendiri.
Mungkin kau dapat m elakukannya, tetapi kau selalu merasa
tidak mampu. Kau selalu merasa dirimu lemah dan tidak
berday a. Kau selalu ketakutan dan tidak mau berbuat salah.
Ju stru karena itu kau tidak berani berbuat apa-apa agar kau
tidak membuat kesalahan apapun," berkata Mahisa Pukat.
"Sebenarnya aku ingin bertanya kepadamu, apakah kau
mempunyai keinginan untuk merubah sifat -sifatmu itu?"
bertanya Mahisa Pukat. Anak muda itu ragu -ragu. Dipandanginya Mahisa Pukat
dengan tatapan penuh kebimbangan.
"Kau harus berani mengambil sikap. Sesuatu y ang
memang tidak pernah kau lakukan. Kau tidak usah bertanya
kepada ibumu karena kau y ang akan m enjalaninya. Jika kau
ingin merubah dirimu m enjadi orang y ang sebenarnya lebih
berharga, maka kau harus berani mengambil sikap. Jika kau
masih dibayangi oleh ketakutan untuk melakukan kesalahan,
atau benar-benar ketakutan karena tidak ada kepercayaan diri,
maka selamanya kau akan menjadi beban orang lain," berkata
Mahisa Pukat. "Tidak," anak muda itu tiba -tiba menjawab dengan
suara menghentak, "kau jangan menghina aku."
Tetapi Mahisa Pukat t ertawa. Katanya, "Mari anak
muda. Kau memang pantas dihina jika kau masih tetap
mempergunakan pola hidupmu yang lama."
Jawaban itu justru membuat anak muda itu terdiam.
Betapa kemarahan, kecewa dan berbagai perasaan berbaur
didalam hatinya, namun ia tidak mempunyai kemampuan
untuk menjawab. Karena itu, maka yang terdengar hanyalah
gemeretak giginya. "Bagus," berkata Mahisa Pukat, "kau m asih juga dapat
marah. Itu pertanda bahwa kau masih mempunyai harga diri
betapa pun kecilnya. Karena itu, aku bersedia membantumu
mengembangkan harga dirimu sehingga pada suatu saat kau
mempunyai kepercayaan y ang mantap pada dirimu sendiri.
Dengan demikian, maka kau tidak akan merasa ketakutan lagi
melangkahkan kakimu sendiri. Kau tidak akan m erasa perlu
lagi memanggil-manggil ibumu di saat kau harus mengambil
keputusan karena keadaan menjadi gawat. Kau akan dapat
merasa hidup dengan sikap pribadimu sendiri."
Wajah anak muda itu m enjadi m erah. Tetapi ia sempat
juga mendengar jawaban Mahisa Pukat itu dan
merenungkannya untuk beberapa saat.
Baru sejenak kemudian, maka ia pun bertanya, "Apakah
maksudmu sebenarnya?"
"Sudah aku katakan, aku ingin menolongmu, keluar dari
nasib y ang sangat buruk itu," berkata Mahisa Pukat.
"Apakah kau dapat menyebut, cara yang sebaiknya aku
lakukan untuk itu?" bertanya anak muda itu.
"Kau ikut bersama kami," jawab Mahisa Pukat,
"bersama mengembara tanpa tujuan. Mengatasi segala
kesulitan y ang akan kita jumpai di sepanjang jalan. Mungkin
kita harus berkelahi atau bahkan mungkin kita akan terluka
atau bahkan mati. Jika kau berani menanggung akibat itu,
maka kau dapat pergi bersama kami. Tetapi jika beberapa
tahun lagi kau dapat kembali kepada ibumu dengan selamat,
kau akan dapat memberikan kebanggaan kepada ibumu.
Bukan beban y ang tentu akan menjadi semakin berat, karena
ibumu menjadi semakin tua, serta semua kekayaan y ang ada di
rumahmu ini akan dirampas oleh Kabuyutan ini, karena
kekay aan itu didapat dengan cara y ang tidak sewajarnya."
Anak muda itu termangu-mangu.
Sementara Mahisa Pukat berkata, "Terserah kepadamu.
Kau masih mempunyai waktu semalam untuk berpikir. Malam
ini kami berdua masih akan berbicara dengan Ki Buyut dan Ki
Bekel tentang berbagai macam persoalan. Tetapi kau harus
menyadari, bahwa kau tidak akan dapat menjadi kanak-kanak
yang manja sampai hari tuamu nanti. Pada saatnya kau akan
berkeluarga, mempunyai anak dan kau adalah sandaran
keluargamu. Atau kau akan tetap mencari sandaran baru jika
ibumu sudah tua" Kau mungkin akan kawin dengan seorang
perempuan yang bersedia menggantikan kedudukan ibumu."
"Cukup," potong anak muda kau kira aku bukan seorang
laki -laki?" "Bagus. Kata-katamu itu akan menjadi pangkal
renunganmu malam ini. Besok, jika aku pergi, kau sudah
mendapat keputusan, apakah kau mau ikut bersama kami,
mengembara, menempuh perjalanan berat dan berbahaya atau
tinggal di rumah sebagai seorang y ang melarat dan tidak
mempunyai kepercayaan diri serta diombang-ambingkan oleh
keadaan sambil bersembunyi dibawah pelukan ibu yang
semakin tua dan rapuh," berkata Mahisa Pukat.
Anak muda itu tersinggung sekali. Tetapi ia tidak
mempunyai kata-kata y ang dapat dipergunakan untuk
menjelaskan perasaannya. Sementara itu, Mahisa Pukat pun telah
meninggalkannya untuk memberikan kesempatan anak itu
merenungi kata -katanya. Anak muda itu memang merenung. Hatinya terasa sakit
sekali. Tetapi ia tidak dapat ingkar, bahwa yang dikatakan oleh
Mahisa Pukat itu adalah satu kebenaran tentang dirinya.
Sehingga karena itu, maka rasa -rasanya ia ingin berteriak
keras-keras untuk melepaskan ketegangan di hatinya itu.
Tetapi anak muda itu tidak mempunyai keberanian
untuk melakukannya. Karena itu, jantungnyalah y ang rasarasanya
akan meledak, sehingga akhirnya, anak muda itu telah
menelungkupkan wajahnya dibawah telapak tangannya. Yang
meledak kemudian adalah tangisnya.
Sebenarnyalah Mahisa Pukat masih belum benar-benar
meninggalkannya. Karena itu dari luar ruangan ia mendengar
anak muda itu menangis. Tetapi ia tidak kembali, ia tidak
datang kepadanya dan menghiburnya seperti menghibur
seorang gadis y ang ditinggalkan kekasihnya. Dibiarkannya
anak laki -laki muda itu bergulat dengan diriny a sendiri.
Karena itu. ju stru ketika Mahisa Pukat mendengarnya
menangis, ia pun benar-benar telah meninggalkannya.
Mahisa Murti telah menunggunya di serambi bersama
kakek tua y ang pernah menjadi bebahu di Kabuyutan itu.
Sejenak mereka berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan
yang bakal terjadi pada anak muda itu.
" Ia akan memilih," berkata Mahisa Pukat, "aku masih
berpengharapan bahwa harga dirinya masih mungkin
diungkit. Mudah-mudahan ia masih sempat bangkit."
Kakek tua itu m engangguk-angguk. Katanya, "Mudahmudahan
kemanakanku itu m ampu m engangkat dirinya dari
suramnya masa depan. Beberapa hari lagi, ibunya akan
menjadi melarat. Jika ia tidak mampu bertahan karena
pukulan keadaan itu, m aka jiwanya akan dapat terguncang.
Ibunya, meskipun seorang perempuan, tetapi ia mempunyai
ketabahan yang tinggi."
"Kami akan membawanya pergi sebelum hal itu terjadi.
Meskipun aku telah mengatakan, bahwa keluarganya akan
menjadi melarat, tetapi sebaiknya ia tidak melihatnya. Jika
kelak ia kembali, mudah-mudahan terdapat perubahan jiwani
pada anak muda itu," berkata Mahisa Pukat.
Kakek tua itu mengangguk-angguk. Katanya, "Kalian
adalah anak-anak muda y ang sebaya dengan kemanakanku
itu. Memang agak janggal bahwa kalian berlaku sebagai
seorang bapa terhadap orang y ang seumur dengan kalian.
Tetapi tingkat kedewasaan jiwa anak itu benar-benar
terbelakang." "Sudahlah kek," berkata Mahisa Murti, "kami akan
berusaha. Yang kami lakukan itu adalah karena kami
terdorong oleh kecemasan kami melihat masa depannya,
justru karena kami sebaya dengan anak itu. Tetapi sudah
barang tentu bahwa usaha kami tidak pasti dapat berhasil.
Meskipun demikian kami akan berusaha sebaik-baiknya."
Kakek tua itu m engangguk-angguk. Katanya kemudian,
"Mudah-mudahan ibunya tidak berkeberatan."
Kedua anak muda itu memang termangu-mangu.
Meskipun Mahisa Pukat sudah menganjurkan agar sebagai
seorang laki-laki muda ia harus berani mengambil sikap dan
keputusan sendiri, tetapi agaknya anak itu memang tidak akan
dapat terlepas dari pengaruh ibunya.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih berharap
bahwa ketabahan hati ibunya tidak akan menghalangi jika
anak itu memang berniat meninggalkannya untuk beberapa
lama. Malam itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan kakek tua
itu masih harus berbincang-bincang dengan Ki Buyut yang
baru beserta Ki Bekel, yang meskipun belum diwisuda, tetapi
Sang Akuwu Lemah Warah telah menetapkan, bahwa
kedudukan bagi keduanya adalah sah. Ketetapan itu
dinyatakan dihadapan orang-orang Kabuyutan itu sendiri.
Ternyata kedua orang saudara sepupu yang terpisah


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk beberapa lama itu telah berhasil mengadakan
pendekatan jiwani. Dengan kesadaran bahwa keduanya telah
menjadi kehilangan akal dan bahkan kepribadian mereka,
maka mereka berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya. Bukan
sa ja bagi diri mereka sendiri, tetapi juga bagi Kabuyutan
mereka itu. Berda sarkan atas pengalaman yang panjang, meskipun
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih muda, namun mereka
dapat memberikan beberapa pertimbangan y ang penting.
Kedua orang saudara sepupu itu harus berusaha untuk
menumbuhkan ikatan kekeluargaan bagi Kabuyutan yang
terkoyak itu. Setelah itu, m aka barulah m ereka dapat mulai dengan
rencana-rencana mereka untuk meningkatkan kesejahteraan
Kabuyutan itu. Kakek tua itu pun kemudian berkata, "Kalian harus
dapat berbuat sebagaimana dilakukan oleh kakek kalian, Ki
Buyut tua y ang mampu membuat Kabuyutan ini menjadi
Kabuyutan y ang besar dan disegani."
Kedua saudara sepupu itu pun mengangguk-angguk.
Sementara itu mereka pun telah membicarakan pula
hukuman bagi perempuan tua adik kakek itu. Seperti yang
pernah dibicarakan sebelumnya, maka perempuan itu dengan
ikhlas akan mengembalikan semua harta yang tidak sah yang
pernah diterimanya dari kedua orang saudara kembar yang
bernafsu untuk menjadikan anaknya seorang Buyut di
Kabuyutan itu. Bukan karena penghasilan y ang akan didapatnya, tetapi
semata-mata sebagai jam inan kesejahteraan hidup anak
cucunya di masa datang. Meskipun kemudian ternyata bahwa
kedudukan itu mampu memberikan penghasilan y ang besar
meskipun didapatkannya dengan tidak sah.
"Kami akan mengambil sawah, pategalan dan harta
benda y ang diterimanya," berkata Ki Buyut, "tetapi kami pun
harus membiarkannya untuk tetap hidup dan makan
secukupnya." "Terima kasih," desis kakek tua itu, "atas nama adikku,
maka keluarga kami mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya."
"Perempuan tua itu ternyata seorang y ang jujur,"
berkata Ki Buyut, " sementara itu, kami sangat memerlukan
kakek." Kakek tua itu menundukkan kepalanya. Hatinya
memang tersentuh oleh sikap Ki Buyut y ang baru, yang
dinilainya sebagai sikap yang bijaksana. Dengan demikian
kakek tua itu berharap bahwa sikap itu adalah pertanda yang
baik bagi Kabuyutan itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun ternyata
mempunyai harapan yang baik bagi Kabuyutan y ang buram
itu. Dengan hati-hati Mahisa Murti berpesan, agar kedua cucu
Ki Buyut itu berusaha menebus kesalahan y ang pernah mereka
lakukan sebelumnya. Pa da kesempatan itu, m aka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat pun telah minta diri pula kepada kedua orang pemimpin
baru itu. Dengan nada berat Mahisa Murti pun berkata, "Aku
akan datang pada satu kesempatan. Seperti Akuwu, kami ingin
melihat pertumbuhan dari Kabuyutan ini. Sikap kami
kemudian tergantung kepada keadaan Kabuyutan ini."
Kedua pemimpin yang baru itu mengangguk-angguk.
Mereka mengerti, bahwa kata-kata Mahisa Murti itu
merupakan harapan, tetapi juga sekaligus ancaman.
"Kami akan selalu menunggu kehadiran kalian," berkata
Ki Buyut, "apa pun y ang kami lakukan, tentu masih
memerlukan petunjuk dan bahkan peringatan atau celaan."
Demikianlah, maka kedua pemimpin y ang baru di
padukuhan itu tidak dapat menahan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat untuk tetap tinggal di Kabuyutan itu. Mereka akan
meninggalkan Kabuyutan itu besok pagi.
"Aku m inta diri," berkata Mahisa Murti, "kalian tidak
usah bersusah pay ah mengantar kepergianku besok. Kami
akan pergi dengan diam-diam. Mungkin setelah matahari
terbit, tetapi mungkin sebelum itu."
Kedua pemimpin baru dari Kabuyutan itu termangu
mangu. Namun kemudian Mahisa Murti pun berkata, "Kami
bukan orang yang datang dengan resmi sebagaimana Akuwu.
Karena itu, kami pun akan pergi sebagaimana kami datang."
Kedua pemimpin y ang baru di Kabuyutan itu serta para
bebahu tidak dapat merubah rencana Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Mereka benar-benar ingin pergi sebagaimana
mereka datang. Tanpa pelepasan dengan resmi sebagaimana
tidak ada peny ambutan di waktu mereka memasuki
Kabuyutan itu. Setelah memberikan pesan -pesan terakhirnya, maka
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah meninggalkan rumah Ki
Buyut di Kabuyutan y ang baru saja terguncang itu. Mereka
bersama kakek tua itu telah kembali ke rumah adik
perempuannya. Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
sempat beristirahat. Namun sebelum tidur, Mahisa Pukat
memerlukan menemui anak laki -laki perempuan tua itu
sambil berkata, "besok pagi-pagi benar, sebelum dini hari,
kami akan berangkat. Jika kau mengambil keputusan untuk
pergi bersama kami, kau pun harus sudah siap. Jika saat kami
berangkat kau belum siap, itu berarti bahwa kau akan tetap
berada dalam keadaanmu sekarang. Dan untuk selamanya kau
akan menjadi beliau orang lain."
Anak muda itu tidak menjawab. Namun kemudian anak
muda itu telah menemui ibunya untuk menyampaikan
persoalan yang dihadapinya. Sebagaimana biasanya, ia tidak
mampu memecahkan per soalan itu sendiri.
Ibunya m emang terkejut. Tetapi sepercik harapan telah
tumbuh di dalam hatinya. Bahkan anaknya itu
mempertanyakan kemungkinan itu kepadanya, berarti bahwa
betapa pun kecilny a anaknya itu tertarik kepada tawaran
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Ternyata bahwa secara jiwani perempuan tua itu
memiliki keberanian yang besar. Dengan tabah ia telah
berusaha untuk mendor ong anaknya agar ia bersedia pergi
bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
"Kau dapat melihat keny ataan itu," berkata perempuan
tua itu, "keduanya umurnya tidak terpaut banyak dengan
umurmu. Tetapi keduanya itu memiliki kematangan jiwa yang
jauh lebih dewasa dari kau. Karena itu, aku menganjurkan
agar kau ber sedia pergi ber sama m ereka. Di sepanjang jalan
kau akan m endapatkan pengalaman y ang tentu akan berarti
bagi hidupmu di masa mendatang."
Anak muda itu termangu-mangu. Masih terngiang
ditelinganya kata-kata Mahisa Pukat, bahwa perjalanan
mereka adalah perjalanan y ang b erat. Mungkin mereka akan
menjumpai bahaya. Mungkin mereka akan mengalami cidera
bahkan mungkin mereka akan terbunuh di perjalanan.
Melihat anaknya termangu-mangu ibunya pun berkata,
"Apa y ang kau pikirkan" Kesulitan di perjalanan" Kau
memang akan menjumpai banyak kesulitan. Perjalananmu
mungkin akan sangat berat bagimu. Tetapi jika kau berhasil
lolos dari kesulitan selama perjalanan, maka aku kira kau
sudah akan menjadi orang lain."
"Apakah aku pasti keluar dari kesulitan di perjalanan
itu?" bertanya anak muda itu.
"Belum tentu," jawab ibunya, "mungkin kau gagal.
Tetapi kau wajib berjuang untuk berhasil. Jika kau meny erah,
maka kau benar-benar akan hancur di perjalanan. Tetapi jika
kau berjuang, maka kau akan mempunyai kemungkinan untuk
berhasil. Meskipun segala sesuatunya tergantung kepada Yang
Maha Agung, tetapi kita diwajibkan berbuat sesuatu."
Anak muda itu mengangguk-angguk. Tetapi ia masih
ragu-ragu. Namun apa yang dikatakan oleh ibunya itu m irip
sebagaimana dikatakan oleh Mahisa Pukat.
Ternyata ketabahan hati ibunya telah berpengaruh pula
atas anak muda itu. Meskipun ia masih saja ragu -ragu, tetapi
rasa-rasanya ibunya memang telah memberi kekuatan
kepadanya. Ia merasa bahwa untuk beberapa lama ia memang
bersandar kepada ibunya tanpa dapat berbuat sesuatu. Kini
ibunya telah memberikan dorongan kepadanya untuk berbuat
sesuatu, meskipun sesuatu itu ternyata cukup berbahaya
baginya. Ibunya sama sekali tidak menangisinya meskipun
kemungkinan terburuk dapat terjadi atas dirinya.
Beberapa saat anak muda itu berpikir. Namun akhirnya
harga dirinya telah berhasil terungkit dari dasar hatinya.
Karena itu, maka ia pun telah memutuskan untuk pergi
bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Ketika keputusan itu disampaikannya kepada ibunya,
maka terasa mata ibunya menjadi panas. Tetapi ibunya benarbenar
berusaha untuk bertahan agar ia tidak menangis. Tidak
menangis karena terharu. T etapi juga tidak menangis karena
ia akan ditinggalkan oleh anaknya yang dicintainya.
Tetapi adik perempuannyalah y ang menangis. Namun
ibunya berhasil menghiburnya dan meyakinkannya bahwa
kakaknya itu akan pergi untuk waktu yang tidak terlalu lama.
Di pagi hari, demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
bersiap, ternyata anak muda itu pun telah bersiap pula. Ia
telah membawa bekal beberapa lembar pakaian dan uang yang
cukup. Bagaimanapun juga ibunya tidak akan merelakan
anaknya kelaparan di perjalanan. Bahkan ibunya telah
membekalinya dengan keris pusaka ayahnya yang dibalut
dengan pendok emas. Ibunya telah berpesan, dalam keadaan
yang memaksa, ia dapat menjual pendok emasnya. Tetapi
jangan kerisny a. Namun ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
berkeberatan. Ia menganjurkan agar keris itu tidak dibawanya.
"Benda yang sangat berharga itu tidak diperlukan,"
berkata Mahisa Murti. " Ini pusaka y ang bertuah," berkata anak muda itu.
"Tinggalkan saja benda peninggalan orang tuamu itu,
agar tidak hilang di perjalanan. Ada beberapa sebab yang
dapat membuat kau kehilangan benda itu. Karena itu, aku
anjurkan agar kau tidak usah membawanya," desak Mahisa
Murti. Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun
pamannyalah y ang berkata, "Tinggalkan saja keris itu. Kau
akan membawa pedang sebagaimana kedua anak muda yang
akan kau sertai. Meskipun kau belum pernah mempelajari
bagaimana harus mempergunakan pedang, terlebih-lebih lagi
ilmu pedang, namun senjata itu mungkin berarti bagimu."
Anak muda itu tidak menjawab. Namun kakek tua itu
pun kemudian berkata, "Singgahlah di rumahku. Kau dapat
membawa pedangku." Demikianlah, maka ketiga orang anak muda itu pun
kemudian telah meninggalkan padukuhan itu. Anak muda
yang manja itu telah dengan ketetapan hati meninggalkan
segala-galanya. Meninggalkan ibunya y ang menjadi
sandarannya, meninggalkan adiknya, padukuhannya dan
semuanya. Yang dibawanya hanyalah uang secukupnya,
pakaian dan pedang y ang diberikan oleh pamannya, meskipun
ia tidak tahu bagaimana mempergunakannya.
Seperti yang diminta, maka tidak seorang pun y ang
melepas kepergian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka
memang tidak memerlukannya. Bagi mereka, adalah lebih
bebas jika mereka pergi begitu saja.
Beberapa lama kemudian, mereka telah berada di luar
Kabuyutan. Memang ada perasaan berat untuk m elanjutkan
perjalanan. Tetapi anak muda itu telah menggeretakkan
giginya setiap kali untuk menekan perasaannya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerti gejolak
perasaan di hati anak muda itu. Namun untuk beberapa
lamanya mereka tidak menanyakannya. Mereka ju stru
berbicara tentang jalan y ang mereka lalui. Tentang sawah dan
pategalan dan tentang air y ang mengalir di parit-parit.
Ketika matahari m enjadi semakin tinggi, dan panasnya
bagaikan meny engat kulit, maka keringat pun telah terperas
dari dalam tubuhnya. Anak muda y ang menyertai Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat itu telah menjadi letih. Lehernya bagaikan menjadi
kering kehausan. Tetapi ia tidak mengatakannya kepada
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Tetapi agaknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
mengerti keadaannya. Mereka tidak sebaiknya memaksa anak
muda itu untuk berjalan terus pada hari y ang pertama. Karena
itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah m enawarkan
kepada anak muda itu untuk beristirahat.
"Aku tidak lelah," jawab anak muda itu.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengetahui
bahwa ia telah memaksa diri. Karena itulah maka Mahisa
Pukat pun berkata, "Aku mulai merasa haus. Panasny a bukan
main. Kita berhenti sebentar di bawah pohon itu. Nanti jika
kita m elewati kedai m inum atau penjual dawet cendol, kita
akan berhenti." Anak muda itu tidak menjawab. Sebenarnyalah ia
merasa kakinya m enjadi seberat batu dan lehernya menjadi
kering. "Ternyata mereka juga lelah dan haus," berkata anak
muda itu di dalam hatinya. Lalu "Jika demikian, maka
kekuatan kakiku tidak terpaut banyak dengan mereka."
Tetapi hal itu disimpannya saja didalam hatinya,
meskipun keadaan itu dapat menumbuhkan permulaan dari
kepercayaan kepada diri sendiri.
Beberapa saat mereka beristirahat dibawah sebatang
pohon y ang rindang di pinggir jalan. Perasaan lelah mereka
memang berkurang. Tetapi tidak dengan perasaan haus yang
bagaikan mencekik leher. Untunglah bahwa beberapa saat kemudian, di jalan itu
lewat seseorang yang agaknya baru pulang dari pategalan
membawa beberapa buah kelapa.
Mahisa Pukat lah yang kemudian m enghentikan orang
itu. Ia ingin membeli beberapa buah kelapa sekedar untuk
diminum airnya. Tetapi orang itu tersenyum sambil menggeleng. Katanya,
"Jika kalian hanya kehausan saja, sebaiknya kalian tidak usah
membelinya." Tanpa diminta orang itu pun kemudian telah
memecahkan beberapa buah kelapa dan m emberikan airnya


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada ketiga orang yang kehausan itu.
"Terima ka sih," berkata ketiga orang anak muda itu
hampir berbareng. Orang itu memang m enolak untuk menerima uang dari
Mahisa Pukat. Ketika orang itu melangkah pergi, Mahisa Pukat pun
berkata, "Kita m elanjutkan perjalanan. Jika kita terlalu lama
beristirahat, aku tentu akan tertidur di sini."
Mahisa Murti pun kemudian telah bangkit pula berdiri
sambil berkata, "Marilah. Kita lanjutkan perjalanan."
Bertiga mereka melanjutkan perjalanan. Mereka
mengikuti jalan y ang mereka lalui tanpa memasuki jalan
simpang. "Kita ke m ana?" bertanya anak muda yang mengikuti
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu.
Dengan nada rendah Mahisa Pukat menjawab, "Sudah
aku katakan. Kita berjalan tanpa tujuan."
Anak m uda itu m enarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
tidak bertanya lagi. Ketika matahari mulai turun, maka rasa-rasanya perut
mereka memang menjadi lapar. Karena itu, maka mereka pun
kemudian telah singgah di sebuah kedai.
Di kedai itu mereka dapat makan dan minum sebanyak
mereka perlukan. Beberapa jeni s makanan dan minuman telah
tersedia. Setelah beristirahat beberapa saat, maka ketiganya pun
telah melanjutkan perjalanan pula. Seperti y ang terjadi di
siang hari, m aka menjelang gelap mereka pun telah singgah
lagi di kedai dan kemudian melanjutkan perjalanan lagi.
Anak muda y ang mengikuti Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat itu mulai berpikir. Pengalaman y ang manakah yang
akan berarti bagi dirinya, jika mereka hanya berjalan saja dan
setiap kali berhenti untuk makan dan minum"
Tetapi anak muda itu tidak bertanya kepada kedua orang
bersaudara itu. Keduanya adalah orang-orang y ang sudah
cukup berpengalaman sehingga pada suatu saat tentu akan
terjadi perubahan pada nafas perjalanan mereka.
Namun yang mulai m endebarkan terjadi ketika malam
turun. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai berbicara di
mana mereka akan tidur. "Kita pergi ke bukit kecil yang remang -remang kelihatan
itu," berkata Mahisa Pukat, "di sana tentu banyak terdapat
batu-batu padas yang dapat dipakai untuk alas tidur."
Mahisa Murti mengangguk kecil. Namun anak muda
yang meny ertai mereka itu berkata, "Apakah kita akan pergi ke
bawah pohon raksasa itu?"
"Bukankah kita akan terlindung karenanya" " Mahisa
Pukat justru bertanya. Tetapi anak muda itu b erkata, "Kenapa k ita tidak pergi
sa ja ke padukuhan" Kita akan bermalam di banjar."
"Kenapa di banjar" Di banjar tentu banyak orang. Kita
kadang-kadang justru tidak akan dapat tidur," jawab Mahisa
Murti. "Tetapi aku tidak tertarik untuk bermalam di bawah
pohon itu," berkata anak muda itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Dengan nada rendah Mahisa Murti pun berkata,
"Baiklah. Kita akan mencoba untuk bermalam di banjar
padukuhan di hadapan kita itu."
Mahisa Pukat tidak menyahut. Tetapi ia pun mengingat
anak muda y ang belum pernah mengembara sama sekali itu.
Biasanya ia tidur di sebuah bilik y ang rapat dan hangat.
Terang oleh cahaya lampu minyak dan diselimuti oleh kain
panjang y ang melindunginya dari gigitan nyamuk.
Ketiga orang itu pun kemudian telah m emasuki sebuah
padukuhan yang cukup besar. Tetapi karena malam baru saja
menjadi gelap, maka gardu di mulut lor ong itu masih kosong.
Ketiga orang itu berjalan terus. Meskipun mereka belum
pernah memasuki padukuhan itu, tetapi m ereka y akin bahwa
banjar padukuhan itu tentu terletak di pinggir jalan itu.
Sebenarnyalah ketika jalan y ang mereka lalui itu
menikung sedikit, maka di belakang tikungan itu terdapat
banjar padukuhan. Ketiga orang anak muda itu pun kemudian telah
memasuki halaman banjar dengan ragu-ragu. Namun
kemudian seorang tua telah mendekati ketiga orang anak
muda itu sambil bertanya, "Siapakah yang kalian cari anak
muda?" Mahisa Murti lah yang kemudian m engangguk hormat
berkata, "Ki Sanak. Kami adalah pengembara yang kemalaman
di jalan. Jika diperkenankan, kami bermaksud untuk mohon
belas kasihan, bermalam di banjar ini."
Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya
ketiga orang anak m uda itu berganti-ganti. Kemudian diluar
sa darnya orang tua itu memandang pada pedang yang
tergantung di lam bung anak-anak muda itu.
"Kalian bersenjata?" bertanya orang tua itu.
Mahisa Murti sekali lagi mengangguk hormat sambil
menjawab, "Ki Sanak. Kami pejalan y ang melalui daerah yang
kadang-kadang tidak dapat diduga isiny a. Karena itu kami
memang membawa senjata sekedar untuk melindungi diri
sendiri." Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya, "Apakah kau tidak akan menimbulkan
keributan di sini?" "Tentu tidak," jawab Mahisa Murti.
"Baiklah," berkata orang tua itu. Lalu katanya pula,
"marilah, aku tunjukkan tempat yang dapat kalian pakai untuk
bermalam." Ketiga orang anak muda itu pun kemudian telah
mengikuti orang tua itu. Mereka dibawa ke serambi belakang
banjar itu. Di serambi yang tertutup oleh dinding di sebelah
sisinya itu, terdapat sebuah amben y ang cukup besar.
"Baiklah. Pergunakan tempat ini sebaik-baiknya. Tetapi
ingat, jangan membuat keributan di sini. Sebentar lagi banjar
ini akan menjadi ramai oleh anak-anak muda y ang b ertugas.
Jika kalian berbuat sesuatu yang tidak disukai m ereka, maka
kalian akan dihukum," berkata orang tua itu.
"Terima kasih," Mahisa Murti menyahut, "kami akan
berbuat sebaik-baiknya."
Demikianlah, maka ketiga orang anak muda itu pun
telah ditinggalkan oleh orang tua yang meny ebut dirinya
sebagai penunggu banjar itu. Orang tua itu telah menunjukkan
di mana mereka harus membersihkan diri dan keperluankeperluan
lain. "Tetapi kalian harus mengisi jam bangan itu sendiri,"
berkata orang tua itu, "tenagaku sudah tidak kuat untuk
menimba air bagi kalian."
"Ya, y a Ki Sanak," jawab Mahisa Murti, "kami akan
mengisi jambangan itu."
Ketika orang tua itu telah m eninggalkan mereka, maka
ketiga orang anak muda itu m emang berganti-ganti pergi ke
pakiwan. Pa da saat anak-anak muda itu selesai dan duduk bertiga
di amben di serambi itu, maka di pendapa banjar itu, mulai
berdatangan anak-anak muda y ang bertugas. Bahkan anakanak
muda y ang tidak sedang bertugas pun ada juga y ang ikut
datang untuk sekedar berkelakar dan berbincang-bincang.
Namun agaknya anak-anak muda itu tidak mengetahui, bahwa
di serambi belakang ada tiga orang anak muda yang
bermalam. Karena ketiga anak muda itu pun tidak mempunyai
kepentingan apa pun selain m enumpang tidur, maka mereka
pun tidak pula beranjak dari tempat y ang sudah diberikan
kepada mereka. Ketika tengah malam tiba, maka anak-anak muda y ang
tidak b ertugas pun mulai berangsur-angsur berkurang. Satusatu
mereka meninggalkan banjar dan kembali pulang. Ada di
antara mereka y ang langsung menuju ke sawah di saat mereka
mendapat giliran air untuk membasahi tanaman di sawahnya.
Lewat tengah malam, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan
anak muda y ang menyertainya itu terkejut. Orang tua
penunggu banjar itu telah membangunkan mereka.
"Maaf, aku telah mengganggu," berkata orang tua itu.
"Ada apa Ki Sanak?" bertanya Mahisa Murti, y ang
sebenarnya tidak tertidur, karena bergantian dengan Mahisa
Pukat ia harus berjaga -jaga.
"Anak-anak muda yang bertugas di pendapa sedang
makan. Aku kira kalian juga belum m akan sore tadi. Karena
itu, marilah, aku membawa makan dan minum untuk kalian,"
berkata orang tua itu. Meskipun sebenarnya ketiga orang anak muda itu sudah
makan di kedai m enjelang senja, sebelum m ereka memasuki
padukuhan itu, namun hampir berbareng m ereka pun telah
mengucapkan terima kasih pula.
Ternyata orang tua itu sangat baik kepada mereka.
Meskipun ketiga orang anak muda itu meny ebut diri m ereka
pengembara, namun orang tua itu tetap memperlakukan
mereka dengan baik. Bahkan ketika para petugas mendapat
makan di tengah malam, mereka pun telah mendapatkan pula.
Setelah makan malam dan membenahi alat-alat y ang
dipergunakan, anak-anak m uda itu tidak langsung berbaring
lagi. Mereka duduk-duduk sambil berbicara perlahan-lahan
tentang orang tua y ang baik itu.
Namun dalam pada itu, laki -laki tua yang mengambil
mangkuk dan sisa m akanan itu pun berkata kepada mereka
bertiga, "Pemabuk itu datang lagi."
"Siapa?" bertanya Mahisa Pukat.
"Pemabuk. Sayangnya ia berilmu tinggi. Ia mulai
bertingkah di halaman. Anak-anak muda kadang-kadang
membiarkannya saja, karena pemabuk itu hanya berteriakteriak.
Namun kadang-kadang pemabuk itu telah m elakukan
tindakan y ang tidak pantas, sehingga anak-anak muda harus
mengusirnya." orang itu berhenti sejenak. Tetapi kemudian
katanya, "Pemabuk itu kadang-kadang mau juga pergi. Tetapi
jika ia mulai menjadi liar, maka tidak seorang pun y ang berani
bertindak atas dirinya. Apalagi malam ini ia datang bersama
seorang kawannya." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan.
Namun mereka hanya mengangguk-angguk saja. Bahkan
orang tua itu kemudian berpesan, "jangan menampakkan diri.
Jika pemabuk itu melihat orang yang tidak dikenalnya,
kadang-kadang ia m enunjukkan sikap yang tidak bersahabat.
Pa dahal dalam keadaan yang demikian tidak seorang pun yang
dapat mencegahnya." "Baik Ki Sanak," jawab Mahisa Murti.
Ketika orang tua itu pergi, maka anak muda y ang
menyertai Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu berdesis,
"Marilah. Kita pergi saja dari banjar ini."
"Pergi ke mana?" bertanya Mahisa Pukat.
" Jika pemabuk itu menjadi liar, kita dapat
dicelakainya," jawab anak muda itu.
"Kita tidak m enampakkan diri seperti pesan orang tua
yang baik hati itu. Kita tetap di sini," jawab Mahisa Pukat.
"Tetapi kalau orang itu kemari?" anak muda itu
memang menjadi ketakutan.
Namun Mahisa Pukat menjawab, "Bukankah kau
membawa pedang" Jika ia m engganggu kita, maka kita akan
dapat melindungi diri kita sendiri."
Keringat dingin mulai mengalir di punggung anak muda
itu. Ia menyadari, bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
tentu tidak akan takut menghadapi pemabuk itu. Tetapi ia
sendiri tidak akan mampu bermain pedang sebagaimana
kedua anak muda itu. Tetapi ternyata bahwa nalarnya masih juga berputar.
Yang datang hanya seorang pemabuk dan seorang kawannya.
Jika keduanya akan mengganggu mereka, maka Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat tentu sudah cukup kuat untuk
mengatasinya. Meskipun demikian anak muda itu menjadi gelisah pula.
Pemabuk itu b erilmu tinggi. Jika kemampuannya melampaui
kedua anak muda itu, maka keadaannya pun akan menjadi
sulit pula. Demikianlah, untuk beberapa saat lamanya, ketiga orang
anak muda itu duduk dengan diam. Mereka bagaikan
membeku justru ketika mereka mulai mendengar keributan di
pendapa. Nampaknya pemabuk dan seorang kawannya itu mulai
melakukan perbuatan yang tidak pantas di banjar itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta anak muda y ang
menyertainya itu masih belum beranjak dari tempatnya.
Mereka m emang m endengar orang b erteriak-teriak. Agaknya
pemabuk itu m enjadi liar, sehingga tidak mau digiring keluar
oleh anak-anak muda y ang bertugas di banjar itu.
Bahkan sejenak kemudian telah terdengar barangbarang
y ang pecah dan bentakan-bentakan kasar. Bahkan
kemudian langkah-langkah di halaman. Agaknya beberapa
orang anak-anak muda telah turun dan berlari-larian di
halaman. "Apa yang dilakukan oleh pemabuk itu ?" bertanya anak
muda yang menyertai Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menggeleng. Dengan
nada rendah Mahisa Murti m enjawab, "Bukankah kita belum
tahu apa y ang terjadi di bagian depan banjar ini?"
Anak muda itu terdiam. Seharusny a ia pun mengetahui,
bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang bersama-sama
dengan dirinya berada di serambi belakang juga tidak
mengetahui apa yang telah terjadi.
Namun anak muda itu menjadi sangat gelisah. Ia benarbenar
merasa ketakutan, bahwa pemabuk itu akan
mencelakainya. Beberapa saat kemudian, anak-anak muda yang berada
di banjar itu telah berlari-larian di halaman. Mereka berlari
bercerai berai. Pemabuk itu memang m enjadi liar dan tidak
mau meninggalkan banjar. Bahkan ia mulai merusak beberapa
benda y ang ada di banjar itu termasuk mangkuk-mangkuk
yang belum disingkirkan setelah para peronda makan.
Ketiga orang anak muda di serambi itu kemudian
mendengar dua orang yang meny ingkir di sebelah dinding.
Ketiganya mendengar seorang di antara anak muda itu


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata, "Kita laporkan Ki Bekel."
"Selama itu, kedua pemabuk itu tentu sudah merusak
seisi banjar ini," jawab yang lain.
"Tetapi daripada tidak sama sekali," berkata y ang
pertama. "Bagaimana jika keduanya kita pancing keluar," berkata
yang lain. "Siapa y ang berani m elakukannya. Orang yang berani
memancingnya harus berani menanggung akibat yang paling
parah sekalipun. Pemabuk itu benar-benar menjadi liar dan
buas. Ia akan dapat membunuh. Sedangkan tidak seorang pun
di padukuhan ini yang berani menghukumnya. Bahkan dalam
keadaan tidak mabuk sekalipun," jawab yang pertama.
"Tetapi aku kira memang lebih baik kita lapor," desis
yang lain. Namun sebelum mereka bergerak, terdengar teriakan,
"Aku bakar banjar ini."
Terdengar suara lain y ang tidak kalah lantangnya, "Ya.
Kita bakar banjar ini."
Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa y ang
berkepanjangan. "Mereka akan membakar banjar ini," desis salah
seorang dari kedua orang di sisi dinding itu.
"Apa y ang harus kita lakukan?"
"Kawan-kawan kita sudah berlarian," jawab kawannya.
Nampaknya keduanya dicengkam oleh ketegangan.
Sementara itu Mahisa Murti telah menggamit Mahisa Pukat.
Ketika Mahisa Pukat mengangguk, maka Mahisa Murti pun
kemudian bergeser dan turun dari amben bambu itu diikuti
oleh Mahisa Pukat. Kedua orang itu terkejut. Dengan gagap seorang di
antara mereka bertanya, "Siapa kau?"
"Maaf Ki Sanak. Kami adalah pengembara y ang mohon
belas kasihan bermalam di banjar ini," jawab Mahisa Murti.
Kedua orang anak muda itu saling berpandangan
sejenak. Kemudian seorang di antara mereka bertanya, "Kalian
mau apa?" Mahisa Murti lah yang menjawab, "Ki Sanak.
Sebenarnya kami tidak ingin turut campur. Kami hanya ingin
menumpang tidur. Dan ternyata kami telah mendapat
perlakuan y ang sangat baik. Namun agaknya telah terjadi
sesuatu di banjar ini."
"Apakah kau telah mendengarnya?" bertanya salah
seorang dari mereka. "Tentu. Kami mendengarnya," jawab Mahisa Murti.
"Nah, dengar pula suara m ereka itu" desis anak muda
itu. Mahisa Murti menarik nafas dalam -dalam. Suara orang
mabuk itu m asih terdengar, "Kita bakar banjar ini. Di dalam
tentu ada persediaan minyak lampu. Kita siram gledeg itu,
kemudian kita nyalakan. Sebentar lagi atap banjar ini pun
akan menyala pula. Jika ada orang y ang ingin m emadamkan
apiny a, kita bunuh mereka."
Kemudian disu sul suara tertawa berkepanjangan.
"Apakah kalian tidak mencegah mereka?" bertanya
Mahisa Murti. "Kami tidak mampu," jawab anak-anak muda itu
hampir berbareng. Kemudian seorang di antara mereka
melanjutkan, "Mereka dapat membunuh kami. Kedua orang
yang sedang mabuk itu berilmu tinggi. Mereka memang jahat."
"Mereka melakukan hal ini dalam ketiadaan kesadaran,"
berkata Mahisa Murti. "Tidak mabuk pun m ereka sangat berbahaya. Mereka
dapat melakukan tindakan y ang tidak terduga-duga. Pada satu
saat mereka berbuat baik. Namun tanpa sebab, mereka dapat
melakukan sesuatu y ang sangat merugikan orang lain. Bahkan
melukai dan menyakiti. Seorang tetangganya justru telah
menjadi cacat. Dalam keadaan mabuk, kedua orang itu selalu
mengancam akan membunuh jika mereka menjadi liar.
Meskipun kadang-kadang kami sempat menggiring mereka
keluar," jawab salah seorang dari mereka.
"Apakah sekarang mereka menjadi liar?" bertanya
Mahisa Pukat. "Sebagaimana kau ketahui, mereka akan membakar
banjar. Mula-mula kami hampir berhasil membawa mereka
keluar. Namun tiba -tiba mereka terkejut oleh tingkah laku
salah seorang kawan kami y ang kasar, sehingga mereka ju stru
menjadi marah dan melakukan sebagaimana kalian ketahui
sekarang," berkata anak muda itu.
"Baiklah," berkata Mahisa Pukat, "apakah kami
diijinkan untuk menangkap mereka?"
"Kalian berani menangkapnya?" bertanya anak muda
itu. "Kami tidak. Tetapi saudara kami itulah yang akan
melakukannya," jawab Mahisa Pukat sambil menunjuk kepada
anak muda y ang meny ertainya.
Anak muda itu terkejut. Wajahnya menjadi tegang.
Tetapi sebelum ia sempat menjawab, maka Mahisa Pukat telah
berkata lebih lanjut, "Nah, yang kami perlukan hanyalah
persetujuan kalian, karena kalian termasuk yang bertugas
malam ini." Kedua anak muda itu termangu-mangu. Namun
akhirnya seorang di antara mereka berkata, "Baiklah. Cepatlah
lakukan sebelum banjar ini benar-benar terbakar."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian
berpaling kepada anak muda yang m eny ertainya itu sambil
berkata, "Cepatlah. Jangan terlambat."
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meloncat ke
halaman depan, maka anak muda itu pun segera
mengikutinya. Bukan karena ia memang ingin menangkap
kedua orang pemabuk itu. Tetapi justru karena ia ketakutan
ditinggal oleh kedua bersaudara itu.
Dari halaman depan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
memang melihat kedua orang pemabuk itu. Nampaknya
mereka benar -benar ingin membakar banjar. Seorang di
antara mereka telah menggapai lampu minyak dengan
pedangnya. Namun karena ia sedang mabuk, maka usahanya
tidak segera berhasil. Ujung pedangnya y ang gemetar itu tidak
dapat dengan serta merta mengenai sasaran, meskipun lam pu
minyak itu tidak terlalu tinggi.
Namun sambil tertawa orang itu berkata, "Lampu
jahanam. Ia dapat menghindarkan diri dari tusukan
pedangku." Kedua orang yang mabuk itu masih juga sempat terkejut
ketika m ereka m endengar tepuk tangan di halaman. Dengan
pandangan y ang kabur m ereka melihat tiga orang anak muda
yang bertepuk tangan itu.
"Bagus," teriak Mahisa Pukat, "coba sekali lagi. Apakah
kau mampu memukul lampu minyak gantung itu?"
Kedua pemabuk itu menggeram. Seorang di antara
mereka melangkah maju m endekati tangga pendapa, "Ma sih
ada tikus-tikus kecil y ang berkeliaran di sini he?"
"Betapa bodohnya seekor cucurut yang ingin menggapai
bintang di langit. Agaknya masih tampan wajah seekor tikus
pohon daripada tikus tanah y ang berbau busuk," jawab Mahisa
Pukat. Anak muda yang meny ertainya itu menarik lengan
Mahisa Pukat sambil berkata, "Kenapa kau cari perkara"
Bukankah ini bukan perkaramu?"
Mahisa Pukat tertawa. Namun perhatiannya segera
tertuju kepada orang yang mabuk itu , "Kemarilah. Anak-anak
menunggumu. Bukankah kau ingin berlomba melawan
mereka?" "Berlomba apa?" bertanya orang y ang sedang mabuk
itu. "Gulat. Bukankah kau menantang kami untuk
bergulat?" jawab Mahisa Pukat.
Kedua orang itu termangu-mangu. Jawaban itu
terdengar agak aneh di telinga mabuk m ereka. Namun tibatiba
salah seorang di antara mereka berkata sambil tertawa,
"Bagus. Kita akan berkelahi. Tetapi t idak dengan peraturan
khusus. Kita akan berkelahi menurut kemampuan kita
masing-masing, sampai salah seorang di antara kita mati."
"Bagus," jawab Mahisa Pukat. Lalu ia pun berpaling
kepada anak muda y ang menyertainya, "nah, kau mendapat
kesempatan sekarang."
"Tidak. Aku tidak menghendaki," jawab anak itu.
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Dengan nada
tinggi ia bertanya, "Kenapa tidak?"
" Itu bukan urusanku. Aku sudah m encegahmu. Tetapi
kau tidak menghiraukannya," berkata anak muda itu.
Mahisa Pukat tertawa. Katanya, "Baiklah. Jika kau
keberatan, biarlah aku saja yang berkelahi."
Ternyata salah seorang dari kedua orang y ang mabuk itu
telah m elangkah tertatih-tatih ke tangga pendapa. Dicobanya
untuk memperjelas pandangan matanya y ang kabur, siapakah
yang berdiri di halaman itu. Tetapi orang y ang mabuk itu tidak
berhasil mengenalinya. Namun kemudian katanya, "Siapa pun
kalian. Kita akan berkelahi sampai mati." Lalu katanya kepada
kawannya y ang juga mabuk, "Kau ikut atau tidak?"
"Apakah ada juga y ang menantang aku?" bertanya
kawannya y ang juga mabuk itu.
"Ada atau tidak. Kita bunuh saja orang-orang y ang
berusaha menghalangi niat kita m embakar banjar ini," jawab
yang pertama. Kawannya tertawa. Katanya, "Kita akan bunuh semua
orang." Demikianlah kedua orang y ang sedang mabuk itu telah
turun pula ke halaman. Betapa pun m ereka mabuk, namun
mereka tetap m erupakan orang-orang y ang berbahaya. Pada
dasarnya mereka adalah orang-orang berilmu tinggi, sehingga
dengan demikian, mereka justru menjadi semakin garang.
Mahisa Pukat telah bergeser pula. Sementara itu Mahisa
Murti masih juga bertanya kepada anak muda yang
menyertainya, "Bagaimana" Kau atau aku y ang akan melayani
yang seorang lagi." Terasa wajah anak muda itu m enjadi merah. Tetapi ia
tidak menjawab. Sementara itu kedua orang yang sedang mabuk itu telah
turun di halaman. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah
bersiap untuk menghadapi keduanya.
Anak m uda y ang mengikuti mereka itu diluar sadarnya
telah bergeser menjauh. Dengan jantung berdebaran, anak
muda itu mencoba untuk bersembunyi di dalam kegelapan.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
berhadapan dengan lawan masing-masing. Kedua orang yang
sedang mabuk itu mengeram, namun sekali-sekali tertawa
berkepanjangan. Meskipun demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah bersiap sepenuhnya. Keduanya tetap berhati-hati
menghadapi kedua orang y ang mabuk itu, karena keduanya
pada dasarnya memiliki kemampuan y ang tinggi.
Dalam pada itu, kedua anak muda dari padukuhan itu
telah m elihat peristiwa di halaman itu dari kejauhan. Bahkan
beberapa orang yang lain, y ang semula telah berlindung di luar
halaman banjar, berusaha untuk melihat pula apa yang terjadi.
Karena mereka tidak berani memasuki halaman banjar, maka
mereka berusaha melihat peristiwa di halaman justru dari
pepohonan di balik dinding.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat masih saja m emancing
kemarahan orang yang sedang mabuk itu. Sambil tertawa
Mahisa Pukat berkata, "He, Ki Sanak. Kenapa kau tidak segera
berbuat sesuatu" Apakah kau masih merasa mabuk sehingga
kau menunggu sampai kepalamu tidak pening?"
"Anak setan," geram orang mabuk itu, "siapa kau he"
Ra sa -rasanya aku belum pernah melihat."
"Kau memang sedang mabuk. Aku anak padukuhan ini.
Setiap hari kita bertemu. Namun setiap hari kau memang
mabuk, sehingga kau tidak pernah mengenal aku," jawab
Mahisa Pukat. "Persetan kau," geram orang mabuk itu.
Sementara orang yang berhadapan dengan Mahisa
Murti- pun telah bersiap pula. Tetapi Mahisa Murti tidak
berusaha memancing kemarahan lawannya dengan
mengejeknya. Mahisa Murti langsung menyerang lawannya.
Begitu cepatnya, sehingga serangannya itu tidak mampu
dielakkannya. Ketika orang mabuk itu merasa pundaknya y ang terkena
serangan Mahisa Murti terasa sakit, maka ia pun telah menjadi
sangat marah. Demikianlah, maka sejenak kemudian Mahisa Murti
telah bertempur melawan orang mabuk itu.
Ternyata pemabuk itu memang memiliki kemampuan
yang tinggi. Dalam keadaan mabuk, maka ia pun menjadi
semakin garang meskipun akan kurang dapat mengendalikan
diri. Ternyata Mahisa Murti mampu m emanfaatkan keadaan
lawannya. Dengan kecepatan geraknya, maka Mahisa Murti
mulai meny entuh lawannya dengan serangan-serangannya. Ia
sengaja menyakiti lawannya agar lawannya itu terpancing
untuk melakukan gerakan-gerakan yang semakin tidak
terkendali. Betapa pun tinggi ilmunya, namun tanpa kendali dalam
kesadaran y ang utuh, maka bagi Mahisa Murti ilmu itu sama
sekali tidak berbahaya. Sementara itu, Mahisa Pukat pun telah membuat
lawannya marah pula. Ejekan-ejekannya benar-benar mampu
menyakiti hati orang y ang mabuk itu, sehingga seperti
kawannya, ia pun telah kehilangan kendali pula.
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah terlibat dalam perkelahian yang seru. Kedua orang yang
mabuk itu memang mempunyai ilmu yang tinggi. Tetapi
mereka tidak mampu m engimbangi tingkat ilmu kedua anak
muda itu, m eskipun kedua anak muda itu masih bertempur
dengan tataran ilmu kewadagan mereka.
Kedua anak muda padukuhan itu yang semula
kebingungan mulai menjadi agak tenang ketika keduanya
melihat, kedua anak muda y ang bermalam di banjar itu
mampu menguasai keadaan. Bahkan seorang di antara mereka
berkata, "Kita laporkan kepada Ki Bekel."


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya," berkata kawannya, "agaknya sekarang kita
mempunyai waktu." "Apakah kita akan pergi berdua?" bertanya y ang
pertama. "Kau tunggui di sini. Aku akan pergi ke rumah Ki Bekel,"
jawab kawannya. "Atau kita buny ikan kentongan?" desis yang pertama.
" Nanti seluruh padukuhan akan menjadi ribut. Agaknya
kedua orang itu sudah dikuasai," jawab temannya.
Sementara itu, anak muda yang mengikuti Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat itu bertanya, "Kenapa tidak kau bunyikan
kentongan sejak tadi?"
"Orang itu tentu akan mengamuk. Keadaan akan
bertambah buruk. Seandainya orang sepadukuhan ini mampu
menangkapnya, tetapi t entu akan jatuh korban banyak. Tentu
lebih dari dua tiga orang," jawab anak muda padukuhan itu.
Anak muda y ang menyertai Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat itu mengangguk-angguk.
Sementara itu, maka salah seorang dari kedua orang
anak muda itu telah melangkah ke pintu gerbang. Namun
demikian ia berada di luar, beberapa orang anak muda telah
mendekatinya sambil bertanya, "Bagaimana dengan orang
mabuk itu?" "Keduanya akan segera dikuasai," jawab anak muda
yang keluar dari halaman itu, "aku akan memberikan laporan
kepada Ki Bekel." Anak-anak m uda yang ada di luar regol itu termangumangu.
Namun mereka pun kemudian melihat, bahwa di
halaman masih terjadi perkelahian.
Ketika m ereka melihat seorang kawannya masih berada
di halaman, maka dengan ragu-ragu m ereka pun kemudian
telah masuk ke halaman itu pula.
Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
pun telah menguasai lawan-lawan mereka. Betapa pun lawanlawan
mereka y ang mabuk itu berusaha melawan, namun
mereka benar-benar kehilangan kesempatan untuk bertahan.
Kedua orang y ang sedang mabuk itu menjadi semakin
terdesak. Dalam keadaan mabuk, keduanya masih juga mampu
mengerahkan kemampuan mereka sepenuhnya. Namun
karena kesadaran mereka tidak berada pada keadaan yang
sewajarnya, keduanya benar-benar tidak dapat berbuat
banyak. Beberapa kali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
mengenai mereka. Sehingga orang-orang y ang sedang mabuk itu memang
merasa kesakitan. Dalam pada itu, anak-anak muda y ang melihat beberapa
orang kawannya memasuki halaman, mereka pun telah masuk
pula meskipun dengan hati y ang berdebar-debar.
Beberapa orang di antara mereka mulai bertanya-tanya,
siapakah anak-anak m uda yang mampu mengalahkan kedua
orang pemabuk itu. " Jika m ereka sadar, apakah kedua anak muda itu juga
akan mampu mengalahkan m ereka?" bertanya salah seorang
di antara anak-anak muda itu.
"Nampaknya keduanya memang memiliki ilmu y ang
sangat tinggi," jawab kawannya, "keduanya sama sekali tidak
mengalami kesulitan. Bahkan rasa -rasanya keduanya lebih
banyak meny esuaikan diri daripada mengambil sikap terhadap
lawan-lawannya." Yang lain mengangguk-angguk.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, y ang
melihat anak-anak muda di padukuhan itu telah berkumpul
kembali di banjar, maka keduanya memang berniat segera
mengakhiri perkelahian itu. Karena itu, maka Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat pun telah meningkatkan tenaga mereka.
Sentuhan-sentuhan tangan mereka terasa menjadi lebih sakit
di tubuh kedua orang yang sedang mabuk itu. Sehingga
akhirnya kedua orang yang sedang mabuk itu benar-benar
tidak berdaya lagi. Keduanya pun kemudian terhuyung-huyung ketika
serangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat semakin sering
mengenai mereka. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak
membiarkan mereka jatuh terguling di tanah. Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat itu pun kemudian tclah menahan tubuh
keduanya dan menolong memapahnya ke pendapa.
Ternyata keduanya benar-benar telah menjadi sangat
lemah sehingga ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
meletakkan m ereka di lantai pendapa, m aka keduanya tidak
lagi dapat duduk tegak sendiri.
Dengan demikian maka keduanya pun telah dibaringkan
di lantai pendapa. Dalam keadaan mabuk dan kesakitan, maka
keduanya telah mengerang dan mengeluh tanpa terkendali
lagi. Bahkan keduanya rasa -rasanya telah mengaduh keraskeras
karena tubuh mereka memang terasa sakit.
Anak muda y ang m ula-mula menjumpai Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat di serambi itu pun kemudian mendekat
sambil b erkata, "Terima kasih. Kau dapat mengatasi keadaan,
sehingga mereka tidak sempat membakar banjar ini."
"Kemudian terserah kepada kalian," berkata Mahisa
Murti, "aku kira apa y ang dapat kami lakukan telah kami
lakukan untuk membantu kalian."
Anak muda padukuhan itu mengangguk. Tetapi ia
berkata, "Sebentar lagi Ki Bekel tentu akan datang. Bukankah
kau akan menunggunya?"
Tetapi Mahisa Murti menggeleng. Katanya, "Aku kira
aku tidak perlu menunggu Ki Bekel. Kami akan segera mohon
diri." "Bukankah kalian bermalam di banjar ini?" bertanya
anak muda itu, "kalian baru akan pergi setelah pagi."
Tetapi Mahisa Murti menyahut, "Terima kasih. Kami
akan melanjutkan perjalanan."
"Kami mohon kalian tetap tinggal," berkata anak muda
itu. Tetapi Mahisa Murti berkata pula, "Lain kali kami akan
datang kembali." Sementara itu, anak muda yang meny ertainya berbisik,
"Malam masih panjang. Biarlah kita menunggu di sini."
Tetapi Mahisa Murti menggeleng. Katanya, "Kita
melanjutkan perjalanan. Jika kau mau tinggal, tinggallah."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar
meninggalkan banjar itu. Anak muda yang meny ertainya tidak
berani tinggal tanpa keduanya. Karena itu, maka ia pun telah
ikut pula bersama mereka.
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta anak muda
yang m enyertainya itu pergi, maka anak-anak padukuhan itu
menjadi cemas. Jika kedua orang itu sadar, dan kekuatannya
pulih kembali, maka mereka tidak akan dapat m engendalikan
keduanya. Sementara itu anak-anak muda y ang berhasil
menjinakkan keduanya telah pergi.
"Kita ikat saja mereka," berkata salah seorang dari anakanak
muda itu. Ternyata yang lain sependapat. Karena itu, m aka anakanak
muda itu pun telah mencari seutas tali y ang cukup
panjang untuk mengikat kaki dan tangan kedua orang yang
mabuk itu. Ketika Ki Bekel dan beberapa orang bebahu sampai ke
banjar, maka mereka telah menemukan kedua orang itu
terikat. "Siapa y ang berhasil mengalahkan mereka?" bertanya Ki
Bekel. "Anak-anak m uda yang kebetulan bermalam di banjar
ini," jawab anak muda yang telah bertemu dengan Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat, "mereka mengaku sebagai
pengembara yang kemalaman."
" Di mana mereka sekarang?" bertanya Ki Bekel.
"Setelah berhasil m enguasai kedua orang yang mabuk
itu, m ereka telah meninggalkan banjar ini," jawab anak muda
itu. "Kenapa kau tidak menahannya?" bertanya Ki Bekel,
"kita harus mengucapkan t erima kasih kepada mereka.
Bukankah m ereka telah m enggagalkan usaha kedua orang ini
untuk membakar banjar?"
"Ya Ki Bekel. Kami telah m encegah agar m ereka tidak
pergi. Tetapi mereka terpaksa pergi," berkata anak muda itu.
Ki Bekel termangu-mangu. Namun anak-anak muda itu
memang sudah pergi. Karena itu, maka perhatian Ki Bekel pun
tertuju kepada kedua orang yang sudah terikat itu. Namun iapun
masih bertanya, "Apakah kalian sudah mengucapkan
terima kasih kepada anak-anak muda itu?"
Anak muda itu termangu-mangu. Namun kemudian asal
sa ja ia menjawab, "Sudah."
Sementara itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan anak
muda y ang m eny ertainya telah meninggalkan padukuhan itu.
Ju stru karena semua perhatian tertuju ke banjar, maka
mereka bertiga dapat meninggalkan padukuhan itu tanpa
diketahui orang lain. Di perjalanan anak muda yang menyertai Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat itu masih saja bertanya, "Kenapa kita
meninggalkan banjar?"
"Bukankah kita tidak akan dapat tidur ny enyak di banjar
itu?" bertanya Mahisa Murti, " semua orang akan datang ke
banjar, sehingga banjar itu akan menjadi semakin ribut.
Sementara itu mataku menjadi semakin mengantuk."
"Apakah jika kita berjalan seperti ini kau akan dapat
tidur?" bertanya anak muda itu.
"Hanya sampai di pategalan. Kita akan tidur di
pategalan itu. Tentu tidak akan ada orang y ang mengganggu,"
jawab Mahisa Murti. Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak
dapat membantah. Jika ia bersikap lain, maka keduanya tentu
tidak akan menghiraukan sama sekali.
Demikianlah, maka mereka pun t elah berjalan semakin
jauh dari padukuhan. Ketika mereka melewati sebuah
simpangan kecil, maka mereka justru telah turun ke jalan yang
kecil itu. Meny usuri jalan kecil itu menuju ke sebuah
pategalan. Dengan ragu-ragu anak m uda y ang meny ertai Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat memasuki pategalan itu. Kedua anak
muda y ang diikutinya itu nampaknya tanpa ragu-ragu telah
menyusup di bawah pohon nangka di pategalan itu dan
kemudian duduk bersandar batangnya yang besar.
"Aku tidur di sini," berkata Mahisa Pukat, "carilah
tempat y ang paling baik bagimu."
Anak muda itu termangu-mangu. Namun akhirnya ia
pun berusaha untuk menyesuaikan diri. Ia telah duduk di atas
rerumputan kering dibawah sebatang pohon dekat pohon
nangka itu. Anak itu tidak berani terlalu jauh dari keduanya. Bahkan
kemudian anak muda itu tidak berani memejamkan matanya.
Jika ia tertidur ia takut ditinggalkan oleh kedua anak muda
yang diikutinya. Tetapi malam tidak terlalu panjang lagi. Beberapa saat
kemudian langit menjadi merah. Namun diluar sadarnya,
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru telah t ertidur.
Keduanya memang agak lelah dan mengantuk.
Namun ketika burung-burung bernyanyi di pepohonan,
keduanya pun telah terbangun. Bahkan agak terkejut. Ternyata
betapa pun juga mereka berhati-hati, pada suatu saat mereka
telah melakukan satu kelengahan, bahwa mereka berdua telah
tertidur bersama-sama. Jika semula mereka melakukannya
seolah-olah mereka tertidur untuk meningkatkan ketahanan
jiwani anak muda y ang meny ertainya, namun ternyata
keduanya telah benar -benar tertidur karenanya meskipun
tidak terlalu lama. Tetapi kedua anak muda itu tidak m engatakan apa -apa.
Mereka kemudian bangkit sambil menggeliat. Dengan nada
rendah Mahisa Pukat berkata, "Nah, bukankah benar kataku.
Di sini kita dapat tidur ny enyak. Tetapi di banjar itu semalam
suntuk akan terjadi keributan."
"Aku tidak dapat tidur di sini," berkata anak muda itu.
"Oo, kenapa" Bukankah di sini tidak terganggu oleh apa
pun juga?" bertanya Mahisa Pukat.
"Aku tidak terbiasa tidur di tempat terbuka seperti ini,"
jawab anak muda itu. "Tentu saja. Kau terbiasa tidur di dalam pelukan ibumu.
Tetapi kau harus menyadari, untuk apa kau meninggalkan
rumahmu," sahut Mahisa Pukat.
Anak muda itu termangu -mangu sejenak. Namun ia pun
tidak menjawab lagi. Yang kemudian berbicara adalah Mahisa Murti,
"Marilah, kita harus segera meninggalkan tempat ini. Jika
pemilik pategalan ini datang, dan kita masih ada di sini,
mungkin akan dapat menimbulkan banyak pertanyaan.
Karena itu, maka sebaiknya kita pergi sebelum pemilik
pategalan ini datang. Kita harus menghapuskan jejak sejauh
mungkin. Meskipun kita tidak mengambil apa pun juga di sini,
tetapi lebih baik kita tidak meninggalkan jejak yang akan
dapat menggelisahkan pemilik pategalan ini."
Sementara itu anak muda yang menyertainya itu
bertanya, "Kita tidak mandi dahulu" Atau membersihkan diri
dengan cara apa pun juga?"
"Kita akan berhenti di sebuah sungai y ang akan kita
lewati. Sebelumnya kita dapat mencuci muka di parit di luar
pategalan ini," jawab Mahisa Murti.
Anak muda itu tidak menjawab lagi. Dengan susah payah
dan dengan hati y ang tertekan ia mencoba meny esuaikan diri
dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang baginya
mempunyai kebiasaan y ang agak aneh.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, ketiga orang itu
setelah selesai berbenah diri, lalu melangkah meninggalkan
pategalan itu. Sementara langit pun m enjadi semakin cerah.
Dengan air parit y ang mengalir membelah bulak yang
kemudian mereka masuki maka mereka pun telah mencuci
muka. "Airnya jernih sekali," berkata Mahisa Murti.
Mau tidak mau anak muda y ang menyertai kedua
bersaudara itu juga harus mencuci muka di parit itu. Airnya


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang jernih meskipun terasa amat dingin.
Sementara itu, langit pun menjadi semakin terang.
Ketika mereka memasuki jalan yang lebih besar, maka mereka
pun telah banyak bertemu dengan orang-orang yang akan
pergi ke pasar. Sebagian besar di antara mereka adalah orangorang
y ang akan menjual barang-barang dagangan mereka.
Antara lain hasil kebun mereka.
Tetapi ketiga orang anak itu telah menempuh jalan y ang
berkebalikan arah dengan orang-orang y ang pergi ke pasar itu.
Mereka justru pergi ke arah yang berlawanan.
Namun mereka pun tidak mengikuti jalan itu seterusnya.
Mereka telah m engambil jalan yang berbelok ke kiri ketika
mereka sampai di per simpangan.
"Kita akan ke mana?" bertanya anak muda itu.
"Sejak kemarin aku katakan, kita pergi ke mana saja
tanpa tujuan," jawab Mahisa Pukat.
Anak muda itu terdiam. Tetapi rasa -rasanya ia mulai
merindukan rumahnya, adiknya dan terutama adalah ibunya.
Tetapi ia tidak mau m engucapkannya. Ia sadar, bahwa jika ia
mengatakannya, hal itu tentu hanya akan menjadi bahan
ejekan dari kedua orang anak muda yang diikutinya itu.
Demikianlah, ketika mereka sampai di tempat y ang lebih
sepi maka mereka telah m elintasi sebuah sungai. Sungai yang
tidak begitu dalam, tetapi banyak berbatu-batu.
"Bukankah kita belum mandi?" bertanya Mahisa Murti
tiba -tiba. "Yaa," jawab Mahisa Pukat. Lalu ia pun bertanya kepada
anak muda yang mengikutinya, "kita akan mandi di sini"
Bukankah kau tadi bertanya apakah kita tidak mandi?"
Anak itu mengangguk. Lalu katanya, "kita akan mandi di
sebelah batu besar itu. Agaknya airnya lebih dalam dari di
tempat ini." Tetapi Mahisa Murti berkata, "jangan. Mungkin banyak
orang yang akan melewati tempat ini, karena tempat ini
agaknya memang tempat peny eberangan. Jika matahari
kemudian mulai merayap naik, agaknya beberapa orang akan
menyeberang. Kita akan mandi di tempat yang agak jauh dari
peny eberangan ini."
Anak muda itu dapat mengerti. Namun kemudian ia
mulai termangu-mangu ketika Mahisa Murti berkata, "Hatihati.
Agaknya banyak ular di sungai ini. Kita akan berjalan di
atas bebatuan." Anak muda yang mengikutinya itu terkejut. Ia memang
segera meloncat ke atas batu. Tetapi sejenak kemudian ia pun
bertanya, "Jika banyak ular di sini, maka orang-orang yang
menyeberang sungai ini akan dipatuknya."
" Di sini dan di arah kita berjalan. Tidak di tempat
peny eberangan itu," berkata Mahisa Murti pula.
Anak muda itu menjadi heran. Ia mencoba
memperhatikan air yang jernih y ang mengalir tidak t erlalu
deras di antara bebatuan. Tetapi ia tidak m elihat seekor ular
pun. Tetapi ia tidak dapat mengabaikan peringatan Mahisa
Murti. Karena itu, maka ia pun telah berjalan di atas bebatuan.
Ia meloncat dari satu batu ke batu y ang lain. Tetapi
kadang-kadang jaraknya tidak terlalu dekat, sehingga ia pun
harus turun ke air meskipun harus berhati-hati. Bahkan
dengan secepat-cepatnya meloncat kembali keatas batu
berikutnya. "Marilah," ajak Mahisa Pukat kemudian, "jangan terlalu
lamban seperti seorang gadis y ang sedang menari. Kita jangan
kesiangan. Kita akan mandi dan kemudian masih harus
menjemur pakaian. Karena itu, jangan terlalu banyak
membuang waktu." "Kenapa kita harus tergesa -gesa" Bukankah kita tidak
mempunyai tujuan dan sudah barang tentu tidak terikat akan
waktu," bertanya anak muda itu.
"Tetapi bagi kami, waktu itu sangat berharga. Karena
itu, kita harus mempergunakannya sebaik-baiknya," jawab
Mahisa Pukat. Anak muda itu tidak menjawab. Namun dalam pada itu,
maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah b erloncatan
semakin cepat dari batu ke batu. Kaki m ereka seakan-akan
dapat m elekat pada batu-batu basah itu seperti kaki seekor
cicak yang melekat pada dinding dan langit-langit rumah.
Tetapi anak muda itu tidak mau ditinggalkan oleh
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Meskipun ia membawa
pedang di lam bung, tetapi ia tidak pandai
mempergunakannya. Karena itulah, maka ia pun berusaha untuk berloncatan
semakin cepat pula. Tetapi agaknya kakinya tidak setrampil
kaki Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Beberapa kali ia terjatuh
ke dalam air. Namun ia harus dengan cepat bangkit dan
meloncat lagi keatas batu karena ia juga takut dipatuk ular air
yang katanya banyak terdapat di sungai itu.
Anak muda itu m enjadi berdebar -debar ketika Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat sudah tidak nampak lagi setelah
mereka melewati sebuah tikungan. Bahkan nada suaranya pun
mulai mendekati nada tangis yang tertahan.
Namun demikian anak muda itu m elewati tikungan, ia
terkejut bukan buatan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
bersama-sama sengaja telah membentaknya.
Demikian terkejutnya anak itu, sehingga ia terpelanting
jatuh ke dalam air. Pakaiannya y ang memang sudah basah
menjadi semakin basah. Dengan tergesa -gesa anak muda itu bangkit dan
meloncat lagi ke atas batu, karena ia masih saja
membayangkan ular air yang berkeliaran di antara bebatuan
itu. "Kalian mengejutkan aku," suara anak muda itu menjadi
parau. Ia benar-benar akan m enangis karena ia merasa telah
dipermainkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat t ertawa. Namun
kemudian Mahisa Murti menjadi iba. Katanya, "Kemarilah.
Kita akan beristirahat di sini. Jika keringat kita sudah kering,
kita akan mandi." " Di sini?" bertanya anak itu.
"Ya di sini," jawab Mahisa Murti.
"Bagaimana dengan ular-ular itu?" bertanya anak muda
itu pula. " Di sekitar tempat ini aku tidak melihat pohon-pohon
walur sebagaimana terdapat di dekat tempat peny eberangan
tadi. Aku kira di sini tidak banyak ular, karena tidak tersedia
makanannya kecuali binatang-binatang kecil," jawab Mahisa
Murti. Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Jadi, dugaanku benar."
"Apa?" bertanya Mahisa Murti.
Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia pun menggeleng. Tetapi matanya rasa-rasanya
menjadi panas. Kedua bersaudara itu benar-benar telah
mempermainkannya. Anak muda itu pun kemudian telah berada di tepian
bersama dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka
duduk di atas pasir y ang lembut di antara bebatuan. Pakaian
anak muda itu m emang telah basah kuyup, sehingga karena
itu, maka Mahisa Murti pun berkata, "Bukalah bajumu.
Letakkan di atas batu di panasnya matahari. Meskipun masih
pagi, t etapi bajumu akan segera kering. Demikian pula kain
panjangmu y ang basah itu."
Anak muda itu tidak menjawab. Tetapi ia pun telah
membuka baju dan kain panjangnya serta ikat kepalanya.
Sehingga ia tinggal memakai celananya saja yang juga basah
kuyup. "Keringatku belum kering," berkata Mahisa Pukat.
Anak muda itu sama sekali tidak menjawab.
Mahisa Murti y ang benar-benar menjadi iba melihat
anak muda itu pun berkata, "Ternyata kau memiliki bekal yang
cukup untuk berlatih olah kanuragan."
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Dengan raguragu
ia bertanya, "Kenapa?"
"Kau dapat berlari-larian dengan cepat di atas bebatuan
itu. Kakimu cukup tangkas dan jika kau tergelincir dan jatuh
ke dalam air, maka kau pun tangkas pula segera bangkit dan
meloncat kembali keatas batu. Meskipun hal itu didorong oleh
perasaan takutmu kepada ular, namun kau telah
melakukannya dengan baik," desis Mahisa Murti.
Anak muda y ang menyertainya itu termangu-mangu. Ia
tidak segera mengerti m aksud Mahisa Murti. Namun ia tidak
bertanya apa pun juga. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian tidak
berbicara lagi. Keduanya justru telah berbaring di atas sebuah
batu yang besar. Anak muda y ang meny ertainya itu hanya termangumangu
saja. Sekali-sekali ia meraba pakaiannya yang
dijemurnya. Tetapi pakaian itu masih saja belum kering.
Beberapa saat kemudian, barulah Mahisa Murti bangkit
sambil berkata, "Marilah. Keringat kita sudah kering. Kita
akan mandi." Mahisa Murti tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun
kemudian telah melepas kain panjang dan ikat kepalanya. Dan
sejenak kemudian mereka pun telah berendam di dalam air.
Anak muda yang mengikuti mereka itu pun telah turun
pula ke dalam air meskipun ragu-ragu. Ia masih saja dibay angi
peringatan Mahisa Murti bahwa banyak terdapat ular didalam
air itu. Namun akhirnya mereka bertiga pun mandi tanpa
diganggu oleh seekor ular pun.
Beberapa saat kemudian, maka mereka pun telah selesai
dan sambil menunggu pakaian y ang mereka pakai kering,
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah minta kepada anak
muda yang menyertainya untuk berbuat sesuatu.
"Apa?" bertanya anak muda itu.
"Duduklah di atas batu itu," berkata Mahisa Pukat.
"Untuk apa?" bertanya anak muda itu.
"Duduklah. Celanamu akan cepat kering, karena batu
itu panas," jawab Mahisa Pukat.
Anak m uda itu tidak begitu mengerti maksud Mahisa
Pukat. Namun ia pun kemudian telah duduk di atas sebuah
batu yang besar. Mahisa Pukat telah minta anak itu meny ilangkan kaki
dan tangannya dalam duduk bersila y ang m apan. Kemudian
katanya, "Sekarang, bernafaslah dengan baik dan teratur."
"Aku tidak mengerti," anak itu menjadi bingung.
"Tarik nafasmu dalam-dalam, kemudian lepaskan.
Sadari sepenuhnya bahwa kau sedang bernafas. Lihat,
bagaimana udara itu masuk ke dalam hidungmu, merayap
masuk ke dalam paru-paru, menyusup di antara lubanglubang
pernafasannya sampai y ang paling sempit sekalipun,
kemudian mengalir memasuki jalur-jalur yang lebih besar lagi
sehingga akhirnya keluar dari hidungmu," berkata Mahisa
Pukat. "Bagaimana aku dapat melihat aliran udara di dalam
hidungku sendiri" " anak itu m enjadi bingung, "sedangkan di
hidung orang lain aku tidak dapat melihatnya."
"Kau tidak melihat dengan mata wadagmu," jawab
Mahisa Pukat, "tetapi melihat dengan perasaanmu."
"Untuk apa?" bertanya anak muda itu.
"Cobalah," berkata Mahisa Pukat.
Anak muda itu termangu-mangu. Tetapi ia melihat
kesungguhan di mata Mahisa Pukat, sehingga karena itu,
maka ia pun telah bersiap-siap untuk mencoba melakukannya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kemudian telah berdiri
di sebelah meny ebelah anak muda itu, y ang ternyata telah
mencoba melakukan sebagaimana dikatakan oleh Mahisa
Pukat itu dengan sungguh-sungguh.
Sambil duduk bersila dengan mapan, maka anak muda
itu memperhatikan setiap tarikan nafasnya. Ia dengan sadar
sepenuhnya bernafas dengan teratur. Ia m encoba m erasakan
perjalanan udara yang masuk ke lubang hidungnya dan
mengalir ke paru-parunya, sehingga kemudian
dihembuskannya kembali lewat hidungnya pula.
Demikianlah ia m elakukannya berulang-ulang. Semakin
lama semakin lancar, dan rasa-rasanya anak muda itu benarbenar
dapat mengetahui aliran udara di dalam dadanya itu
sejak udara itu m asuk ke lubang hidungnya sehingga keluar
lagi dari lubang yang sama.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Pernafasan anak muda itu menjadi semakin teratur dan
nampaknya anak m uda itu pun menjadi semakin menyadari
apa y ang dilakukannya. Beberapa saat lamanya, anak m uda itu m elakukannya.
Segalanya semakin mapan, meskipun baru pada laku pertama,
namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m enganggap bahwa
anak muda itu sebenarnya memiliki bekal yang baik untuk
memasuki laku dalam usaha menguasai olah kanuragan.
"Bagus," berkata Mahisa Pukat kemudian, "bangkitlah."
Anak muda itu pun kemudian telah menarik nafas
dalam-dalam. Namun ketika ia kemudian bangkit berdiri.
Mahisa Pukat berkata, "Lakukan sambil berdiri. Angkat
tanganmu tinggi-tinggi pada setiap tarikan nafas, kemudian
turun perlahan-lahan, m engatup di depan dada, lalu lepaskan
tergantung di sisi tubuhmu. Ulangi dan ulangi lagi."
Anak itu tidak membantah. Ia m elakukan sebagaimana
diminta oleh Mahisa Pukat. Perlahan-lahan diangkatnya
tangannya tinggi-tinggi sambil menarik nafas, kemudian turun
perlahan-lahan pula, telapak tangannya mengatup di depan
dada namun kemudian lepas tergantung di sisi tubuhnya. Laku
itu diulanginya beberapa kali sehingga akhirnya Mahisa Pukat
berkata, "Cukup. Meskipun masih terasa berat, tetapi pada
suatu saat semuanya akan lebih baik."
"Apa sebenarnya yang telah aku lakukan?" bertanya
anak muda itu. "Kau harus menjadi seorang laki-laki. Aku kasihan
melihat ibumu y ang sudah semakin tua itu," berkata Mahisa
Pukat. Anak muda itu termangu -mangu. Namun kemudian ia
bertanya, "Kenapa dengan ibuku?"
"Apakah kau tidak merasakan betapa ibumu menjadi
sangat berat memikul beban kewajibannya, apalagi setelah


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ay ahmu tidak ada?" bertanya Mahisa Pukat, "Ibumu harus
mengambil alih tugas ay ahmu di samping tugasnya sebagai
ibu. Kau yang sudah meningkat dewasa belum dapat
membantunya, justru kau masih merupakan beban yang
semakin lama terasa semakin berat. Bukan beban karena
kebutuhanmu semakin banyak sehingga ibumu harus
mengeluarkan uang semakin banyak pula. Uang bagi ibumu
sudah bukan soal lagi. Tetapi beban lain, karena kau m asih
sa ja sering merengek seperti kanak-kanak. Dalam keadaan
mendesak, kau tidak mampu bangkit dengan sifat seorang
laki -laki. Seandainya rumahmu dirampok orang, maka kau
tidak akan berani menarik pedang, melindungi ibumu dan
adikmu yang perempuan itu. Tetapi kau justru akan
bersembunyi di belakang punggung ibumu."
Anak muda itu menjadi tegang. Telinganya memang
menjadi panas. Tetapi ia tidak dapat m embantah, bahwa hal
itu memang terjadi. "Nah," berkata Mahisa Pukat, "perjalanan y ang kau
lakukan sekarang ini akan sangat berarti bagimu. Selama
perjalanan selain pengalaman, kau harus m ampu membentuk
dirimu sendiri." Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu
Mahisa Murti pun berkata, "Sudah waktunya kita mulai.
Sambil mengembara, kau harus bekerja keras jika kau
memang ingin menjadi seorang laki-laki didalam k eluargamu
yang sudah tidak memiliki seorang ayah lagi."
Anak muda itu menjadi tegang. Namun Mahisa Murti
pun kemudian berkata, "Tetapi segala sesuatunya terserah
kepadamu. Apakah kau ingin melakukannya atau tidak. Jika
kau ingin melakukannya, kami berdua bersedia membantumu
sejauh kemampuan kami."
Anak muda itu tidak segera menjawab! Terasa detak
jantungnya menjadi semakin cepat mengalir.
"Kau tidak perlu tergesa -gesa mengambil keputusan,"
berkata Mahisa Pukat kemudian, "kita masih akan selalu
bersama-sama dalam perjalanan yang tanpa tujuan ini. Kau
mempunyai banyak waktu."
Anak muda itu termangu-mangu. Didalam dadanya
ternyata telah bergelora persoalan y ang harus diputuskannya
itu. Meskipun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memberinya
banyak waktu, tetapi rasa-rasanya jantungnya sendirilah yang
mendesak untuk segera mengambil keputusan.
Karena itu, beberapa saat kemudian ia berkata, "Aku
bersedia untuk mengikuti semua petunjuk dan tuntunanmu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tersenyum. Dengan
nada rendah Mahisa Murti berkata, "Bagus. Tetapi sekali lagi
aku katakan, kau tidak perlu tergesa -gesa memutuskan."
"Aku sudah memutuskan," berkata anak muda itu,
"jangan memperlemah sikapku. Aku m emang m erasa, bahwa
aku bukan seorang yang kuat seperti kalian. Bukan saja
tubuhku, tetapi juga hatiku. Karena itu, aku mohon kalian
membantuku mengukuhkan keputusanku ini."
"Bagus," berkata Mahisa Murti, "tetapi kau harus
menyadari, bahwa keputusanmu itu membawa akibat yang
harus kau pertanggungjawabkan. Kau harus bekerja keras
tanpa mengenal lelah. Kau harus mematangkan niatmu tanpa
keluh kesah." "Aku akan melakukannya," jawab anak muda itu.
"Bagus," Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menganggukangguk.
Lalu Mahisa Pukat pun berkata, "pakaianmu sudah
kering. Marilah, kita berbenah diri. Kita akan melanjutkan
perjalanan." Sebenarnyalah pakaian m ereka memang sudah kering.
Karena itu maka mereka pun segera berbenah diri,
mengenakan pakaian dan mengatur rambut mereka.
Menggantungkan pedang di lambung dan kemudian siap
untuk melanjutkan perjalanan mereka.
Sejak hari itu, maka anak muda yang menyertai Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat itu pun mulai berlatih dibawah
tuntunan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Karena alas ilmu
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama, maka keduanya dapat
membimbing anak muda itu berganti-ganti tanpa kesulitan.
Dengan sungguh-sungguh anak muda itu memang
mengikuti semua petunjuk Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Pagi-pagi mereka menempuh perjalanan sambil berlari -lari.
Bahkan mereka telah memilih jalan yang rumpil dan turun
naik di lereng-lereng perbukitan. Setelah m andi di mana pun
juga, di sungai atau di belumbang atau sendang, maka mereka
mencari tempat-tempat sepi yang jauh dari jamahan kaki
manusia. Mereka mulai dengan latihan-latihan yang semakin
lama semakin rumit meskipun setingkat demi setingkat.
Misteri Pulau Neraka 9 Goosebumps - 51 Teror Monster Salju Tongkat Sihir Dewa Api 1
^