Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 17

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 17


tidak mempersoalkannya. Mereka ju stru berpura-pura tidak
mengetahui dan tidak mau t erlibat dalam kedalamnya, karena
keterlibatan mereka akan berarti kesulitan.
Ketika ketiga orang anak muda y ang tidur di serambi itu
sudah terbangun dan duduk di bibir amben, maka yang
pertama-tama keluar dari dalam rumahnya adalah laki-laki
pemilik pedati itu. Dengan langkah y ang lesu ia pun telah
duduk pula di amben di serambi rumahnya itu.
"Bagaimana dengan anak gadismu?" bertanya Mahisa
Murti. " Ia tidur karena keletihan sekarang," berkata laki -laki
itu, "mudah-mudahan ia dapat mengerti. Kita tidak akan dapat
terus-menerus marah dan mendendam. Perempuan itu adalah
ibunya sendiri," berkata laki-laki itu.
" Jarang aku bertemu dengan laki -laki sesabar kau."
berkata Mahisa Pukat. "Sebenarnya aku pun bukan orang y ang sabar. Memang
rasa-rasanya ingin aku membunuh perempuan itu. Tetapi aku
memikirkan hari depan anak gadisku itu. Ia akan menjadi
sangat ter siksa oleh tingkah laku orang tuanya. Ibunya telah
berkhianat kepada ayahnya karena seorang laki-laki lain. Dan
ia akan menjadi semakin menderita jika ternyata ayahnya
adalah seorang pembunuh. Sedangkan yang dibunuh itu
adalah ibunya sendiri." berkata laki-laki itu.
"Penalaranmu panjang sekali. Kau tahu apa y ang
sebaiknya kau lakukan untuk anak gadismu berdasarkan
pertimbangan nalar. Kau bukan jeni s orang y ang mudah
tenggelam dalam arus perasaanmu, tetapi kau dalam keadaan
seperti ini masih sempat membuat pertimbanganpertimbangan
yang mapan," berkata Mahisa Pukat.
"Kau salah. Aku bukan seorang yang dapat m engekang
perasaanku. Tetapi khusus dihadapan anak gadisku, aku
seakan-akan berubah menjadi orang y ang bijak sana.
Sebenarnyalah seluruh hidupku memang bertumpu
kepadanya. Karena itu, ketika ia pergi bersama ibunya dan
tinggal bersama laki-laki yang kaya itu, hidupnya seakan-akan
telah berakhir. Aku tidak lagi mempunyai tujuan selain
melakukan apa yang biasa aku lakukan. Sehingga pada suatu
saat aku bertemu dengan kalian. Kehadiran kalian sangat
menyenangkan bagiku, karena dengan demikian aku akan
mempunyai kawan berbincang di dalam rumah ini."
"Tetapi y ang terjadi adalah sebagaimana kalian lihat."
berkata laki-laki itu. "Tetapi bukankah semuanya telah berlalu?" bertanya
Mahisa Pukat. Laki-laki itu m engangguk. Tetapi kemudian ia berkata,
"Aku masih menunggu anak gadisku terbangun. Apakah
sikapnya akan menjadi lunak."
"Hatinya tidak terbuat dari batu Ki Sanak." berkata
Mahisa Murti, "Yakinlah. Ia akan mengerti."
Laki-laki itu terdiam. Dipandanginya halaman
rumahnya yang kotor. Bukan saja karena orang itu memang
bukan seorang ay ah berada, tetapi karena hatinya yang
gersang untuk beberapa lama sepeninggal isterinya mengikuti
laki -laki yang kaya raya itu, maka ia sama sekali tidak
mempedulikan lagi rumahnya. Daun-daun kering yang
bertebaran di halaman. Sarang laba-laba y ang bergayutan di
sudut -sudut rumah bagaikan rumah y ang telah sewindu
dikosongkannya. Beberapa saat kemudian, laki -laki itu mendengar
langkah lembut di ruang dalam serta suara seorang
perempuan terbatuk-batuk.
" Itu anakku." berkata laki-laki itu.
Sebenarnyalah beberapa saat kemudian gadis itu pun
telah berdiri di pintu. Matanya bagaikan bengkak dan menjadi
kemerah-merahan oleh tangisnya y ang berkepanjangan.
"Marilah." panggil ay ahnya.
Ketika gadis itu nampak ragu-ragu, m aka ketiga anak
muda itu pun segera bangkit dan turun dari amben bambu itu.
"Silahkan. Kalian tidak usah pergi." minta pemilik
rumah itu. "Kami akan m andi dahulu. Tetapi aku kira lebih baik
kami pergi ke sungai. Apakah ada sungai di dekat padukuhan
ini?" bertanya Mahisa Murti.
"Oo," laki -laki itu mengangguk-angguk. Katanya, "Di
tengah-tengah bulak itu ada sungai meskipun tidak besar.
Tetapi kadang-kadang orang-orang padukuhan ini pergi juga
ke sungai itu. Apalagi anak-anak."
"Baiklah. Kami akan ke sungai sebentar." berkata
Mahisa Murti pula. "Tetapi kalian harus kembali. Jika kalian tidak kembali,
maka aku akan mencari kalian sampai ketemu meskipun aku
harus berjalan bertahun-tahun." berkata laki-laki itu.
Mahisa Murti terseny um, sementara Mahisa Pukat
menjawab, "Kami tentu akan kembali. Aku mencium bau
sedap di dapur. Pepes teri."
"Ah," Mahisa Murti menggamitnya, "hidungmu tajam
sekali." Laki-laki yang murung itu m encoba untuk ter senyum.
Sementara Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu
berjalan meninggalkan halaman itu. Laki-laki pemilik pedati
itu masih sempat memberikan petunjuk arah, ke mana ketiga
orang anak muda itu harus pergi.
Ketika ketiga orang anak muda itu kemudian berjalan di
jalan padukuhan, maka rasa -rasanya setiap orang yang
bertemu dengan mereka menjadi tegang.
Mula-mula ketiga orang anak muda itu tidak menyadari.
Tetapi kemudian terasa juga oleh mereka, seakan-akan yang
bertemu dengan mereka selalu berusaha menghindar.
Mahisa Semu y ang kemudian menjadi tegang telah
bertanya, "Apa y ang telah terjadi dengan diri kita?"
"Kita adalah pembunuh-pembunuh menurut anggapan
mereka," jawab Mahisa Pukat, "kadang-kadang orang-orang
yang tidak tahu pasti apa y ang telah terjadi telah menentukan
sikap sebelum mereka tahu pasti apa y ang terjadi itu."
Namun Mahisa Murti menyahut, "Tetapi tidak bagi
orang-orang padukuhan ini. Mereka tahu pasti apa yang
terjadi. Mereka pun tahu pasti siapakah y ang telah terbunuh.
Namun mereka tetap menganggap kita sebagai pembunuhpembunuh
sehingga mereka merasa cemas berpapasan dengan
kita yang tangannya telah berbau darah."
"Apakah demikian untuk selanjutnya" Jika orang-orang
lain dan semakin banyak orang yang mengetahui bahwa kita
pernah membunuh, maka kita akan tersingkir dari
pergaulan?" bertanya Mahisa Semu.
"Tidak selalu begitu," jawab Mahisa Murti, "kadangkadang
seorang pembunuh justru m endapat sambutan yang
luar bia sa hangatnya. Bahkan pembunuh akan dapat disebut
pahlawan. Segala sesuatunya tergantung apa yang telah
dilakukan dan untuk apa serta atas siapa pula pembunuhan itu
dilakukan." Mahisa Semu mengangguk-angguk. Tetapi ia masih
bertanya, "Tetapi kenapa mereka segan bertemu dengan kita?"
"Nampaknya pembunuhan di padukuhan ini jarang
sekali atau katakanlah tidak pernah terjadi meskipun
kekerasan dan kesewenang-wenangan mereka sadari adanya."
berkata Mahisa Murti. Mahisa Semu m engangguk-angguk. Karena itu, ia tidak
bertanya lagi. Beberapa saat kemudian, mereka sampai di mulut
lor ong. Dihadapan mereka terbentang bulak yang cukup luas.
Sungai akan mereka datangi terletak di tengah-tengah bulak
itu. Di dekat gardu di ujung lor ong itu terdapat sebuah kedai.
Namun ternyata kedai itu masih tertutup, sementara gardu itu
sudah kosong. Mereka bertiga tidak menghiraukan kedai y ang tertutup
serta gardu y ang kosong itu. Mereka justru semakin bergegas
pergi ke sungai ketika matahari menjadi semakin tinggi.
Seperti petunjuk pemilik pedati itu, m aka ketiga orang
anak muda itu pun telah sampai ke tanggul. Ternyata bahwa
tepian sungai di bawah tanggul itu nampaknya memang sering
dikunjungi orang. Tetapi justru karena itu, maka mereka bertiga telah
menyusuri tanggul itu beberapa saat untuk menemukan
tempat y ang agaknya jarang dikunjungi orang.
"Kau perlu berlatih setelah kau mendapatkan
pengalaman." berkata Mahisa Murti kepada Mahisa Semu.
Mahisa Semu tidak berkeberatan. Ia ingin menilai
pengalamannya dengan kemungkinan perkembangan ilmunya
lebih lanjut. Beberapa saat kemudian, mereka telah menemukan
tepian yang luas, namun yang agaknya jarang dikunjungi
orang. Ketiga orang anak muda itu pun segera turun ke tepian.
Tetapi mereka tidak segera mandi. Beberapa saat mereka
memanaskan tubuh m ereka dengan loncatan-loncatan kecil.
Namun kemudian Mahisa Semu pun m ulai dengan latihanlatihannya.
Ia mulai dengan penilaian kembali atas tata gerak
yang telah dikuasainya dengan pengalamannya. Pada saat ia
bertempur, maka ia tidak sempat menilai dengan cermat apa
sa ja y ang telah dilakukannya untuk mengatasi saat-saat gawat.
Namun dalam latihan itu, ia dapat mengulanginya satu demi
satu. Kemudian dalam hubungannya dengan ilmu y ang telah
dikuasainya yang mendor ongnya untuk melakukan gerak yang
tiba -tiba itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengamatinya dengan
sak sama. Hampir diluar sadarnya Mahisa Pukat menganggukangguk
sambil berkata, "Kau telah berhasil mengembangkan
ilmumu dengan baik. Ternyata nalarmu tajam. Kau tidak
semata-mata berpegang kepada unsur-unsur y ang telah kau
pelajari. Tetapi unsur-unsur itu justru telah berkembang
dengan gerak-gerak y ang memperkayanya."
Mahisa Semu tidak menjawab. Ia memang tidak sedang
mengulangi unsur-unsur gerak yang telah dipelajarinya. Tetapi
ia sedang mengulangi beberapa ragam gerak yang
dilakukannya di saat ia bertempur melawan orang berjambang
itu. Bahkan kadang-kadang gerak yang lahir begitu saja,
namun ada pula ragam yang m emang telah diperhitungkan
dengan mapan. "Bagus," berkata Mahisa Murti, "ternyata y ang kau
lakukan adalah selangkah maju dalam tataran ilmumu. Unsurunsur
y ang baru beberapa saat kemudian akan kami ajarkan
kepadamu, ternyata bentuk mulanya telah kau dapatkan
sendiri." Mahisa Semu masih tetap berdiam diri dengan
melepaskan beberapa gerakan y ang merupakan satu
perkembangan yang sangat menakjubkan.
Baru beberapa saat kemudian Mahisa Semu itu mulai
mengendorkan tata geraknya dan dengan mapan ia pun telah
menghentikan latihannya. "Bagus sekali." hampir berbareng Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah memuji.
"Apakah kalian melihat kemajuan?" bertanya Mahisa
Semu. "Kemajuan yang pesat," sahut Mahisa Pukat, "ternyata
pengalaman sangat penting artinya bagimu. Tetapi bukan
berarti bahwa kau dapat mencari pengalaman tanpa
perhitungan." Mahisa Semu mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud
Mahisa Pukat, bahwa ia tidak akan dapat memasuki arena
pertempuran tanpa perhitungan untuk sekedar m endapatkan
pengalaman. Karena jika ia terperosok ke dalam pertempuran
melawan seorang yang berilmu sangat tinggi, maka
pengalaman y ang didapatkannya tidak akan dapat
dinikmatinya, Mati. Namun bahwa dalam pertempuran, Mahisa Semu dalam
keadaan y ang kadang-kadang terpaksa, telah mampu berbuat
sesuatu atas unsur-unsur gerak y ang dimilikinya, merupakan
satu langkah yang menguntungkan.
"Sudahlah," berkata Mahisa Murti, "sekarang kita
mandi. Jika kita t erlalu lama di sini, maka pemilik rumah itu
tentu mengira, bahwa kita tidak akan kembali lagi ke
rumahnya." Ketiga orang anak muda itu pun kemudian telah duduk
diatas batu batu-batu y ang berserakan di tepian untuk
mengeringkan keringat. Baru kemudian mereka mandi sambil
mencuci pakaian mereka. Sehingga dengan demikian, m aka
mereka pun harus menunggu sampai pakaian mereka yang
jemur diatas bebatuan itu kering.
Sebenarnyalah pemilik rumah itu telah menjadi gelisah.
Ketika ia bersiap-siap untuk menyusul ke sungai, maka ia pun
menarik nafas dalam-dalam karena ketiga orang anak muda
itu telah muncul dari balik reg ol halaman rumahnya y ang tua
itu. "Aku sudah cemas," berkata pemilik rumah itu, "aku
sangka kalian begitu saja pergi meninggalkan kami."
"Tidak," jawab Mahisa Pukat, "ketika kami berangkat,
kami mencium bau y ang sedap sekali. Pepes teri."
Pemilik rumah itu tertawa. Katanya, "Marilah. Kami
memang sudah menunggu."
Ketiga anak muda itu mengerutkan kening mereka.
Nampaknya telah terjadi perubahan sikap di antara orangorang
y ang menghuni rumah itu. Laki-laki itu tidak lagi t erlalu
murung, meskipun sisa -sisa kemurungan itu masih nampak.
Laki-laki itu telah mempersilahkan lagi ketiga anak
muda itu untuk masuk ke dalam rumahnya. Ketiganya masih
berpandangan sejenak. Namun kemudian Mahisa Murti lah
yang mula-mula melangkahi pintu dan masuk ke ruang dalam,
disusul oleh Mahisa Pukat dan Mahisa Semu.
Ketiga orang anak muda itu pun kemudian telah duduk
di amben y ang besar di ruang dalam. Sejenak kemudian, maka
isteri laki-laki pemilik rumah itu telah keluar sambil membawa
mangkuk yang berisi nasi dan lauk pauknya. Dibantu oleh
anak gadisnya y ang agaknya telah mengalami perubahan sikap
meskipun belum sepenuhnya. Tetapi gadis itu sudah mau
membantu ibunya menghidangkan makan dan minuman bagi
ketiga orang anak muda itu.
Bahkan kemudian nampak pula keduanya telah


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bercakap-cakap ketika ibunya menyuruhnya mengambil
kelengkapan untuk makan tamu-tamu mereka.
Sejenak kemudian, maka pemilik rumah itu pun telah
mempersilahkan ketiga orang anak muda itu makan
bersamanya. "Tidak ada apa-apa, selain sayur melinj o yang kami
petik sendiri dari kebun serta pepes teri." berkata laki-laki itu.
"Ternyata aku tidak salah. Pepes teri." sahut Mahisa
Pukat. "Kami tidak dapat membeli y ang lain. Untuk pepes teri
itu, kami dapat mengambil kelapa dari kebun dan teri adalah
bahan y ang paling murah y ang dapat kam i beli." berkata lakilaki
itu. "Kau tahu Ki Sanak," berkata Mahisa Pukat, "sudah
beberapa lama aku tidak makan pepes teri. Sejak kanak-kanak
aku adalah penggemar jenis lauk ini. Jika terlalu lama tidak
bertemu, rasa-rasanya aku menjadi ketagihan. Adalah
kebetulan sekali, di sini aku bertemu dengan pepes teri."
Pemilik rumah itu tertawa. Mahisa Pukat pun tertawa
pula. Sementara Mahisa Semu dan Mahisa Murti terseny um.
Bahkan Mahisa Murti sempat berkata, "Apalagi nasi hangat.
Nasi y ang disosoh putih."
"Hasil sawah sendiri." desis laki-laki itu.
Demikianlah, sejenak kemudian maka ketiga orang anak
muda itu dikawani oleh pemilik rumah, makan dengan
lahapnya. Rasa-rasanya perut mereka m emang lapar. Apalagi
mereka telah melakukan latihan di tepian setelah semalam
mereka bertempur mati-matian.
Karena itu, maka nasi yang dihidangkan ternyata hampir
tandas. Hanya masih ada beberapa gumpal saja yang tersisa.
" Jangan segan," berkata pemilik rumah, "nasi masih ada
di dapur. Jika seandainya habis, beras masih ada di bakul. Jika
beras di bakul habis, padi masih ada di lumbung."
Ketiga anak muda itu tertawa hampir bersamaan. Tetapi
rasa-rasanya perut mereka memang sudah kenyang. Sehingga
karena itu, maka mereka pun telah berhenti makan.
Namun dalam pada itu, selagi ist eri laki -laki pemilik
rumah itu bersama anak gadisnya meny ingkirkan sisa -sisa
makanan, maka pintu depan pun telah diketuk orang. Cukup
keras, sehingga seisi rumah itu terkejut.
"Siapa?" bertanya perempuan itu.
Pemilik rumah itu m enggeleng. Jawabnya, "Aku belum
tahu." Perasaan takut masih saja m eliputi perempuan itu serta
anak gadisny a, sehingga mereka berdua tiba-tiba saja telah
naik pula ke amben besar di ruang tengah itu.
"Aku lihat." berkata pemilik rumah itu.
Namun ketika laki-laki itu pergi ke pintu, Mahisa Pukat
mengikutinya di belakang.
Ketika pintu lereg dari anyaman bambu itu terbuka,
maka pemilik rumah itu terkejut. Yang berdiri di luar adalah
Ki Bekel, Ki Jagabaya dan tiga orang bebahu padukuhan itu
yang lain. "Ki Bekel." sapa laki-laki itu.
"Ya. Atas nama Ki Buyut aku datang ke rumahmu ini."
jawab Ki Bekel. "Marilah, silahkan masuk ke rumahku y ang tua ini."
pemilik rumah itu mempersilahkan.
Tetapi Ki Bekel menjawab, "Tidak. Aku tidak perlu
masuk. Aku hanya ingin berbicara sedikit serta menuntut
tanggung jawabmu." "Tanggung jawab tentang apa?" bertanya pemilik rumah
yang menjadi berdebar -debar. Ia agaknya mulai menduga,
bahwa yang dimaksud oleh Ki Bekel adalah peri stiwa yang
terjadi di rumah orang berjambang itu.
Ternyata dugaannya itu benar. Ki Bekel itu pun
kemudian berkata, "Kau telah melakukan pembunuhan."
Wajah pemilik rumah itu menjadi merah. Sementara itu
Ki Bekel pun berkata, "Kemarilah. Kita berbicara di halaman."
Pemilik rumah itu pun kemudian telah melangkah
mendekat pula diikuti oleh Mahisa Pukat. Namun ternyata
Mahisa Murti dan Mahisa Semu pun telah keluar pula.
"Nah, inilah agaknya sekelompok pembunuh itu."
berkata Ki Bekel. "Apa y ang Ki Bekel maksudkan?" bertanya pemilik
rumah itu. "Kenapa kau masih bertanya?" geram Ki Bekel.
"Mak sud Ki Bekel pembunuh di rumah orang kaya y ang
gila itu?" bertanya pemilik rumah itu.
"Siapa pun yang kau bunuh, maka pembunuhan tidak
dapat dibiarkan terjadi begitu saja. Seolah-olah setiap orang
dapat membunuh sesuka hatinya saja." berkata Ki Bekel.
Pemilik rumah itu m engangguk-angguk. Katanya, "Aku
mengerti Ki Bekel. Tetapi apakah Ki Bekel tidak mengerti apa
yang sebelumnya terjadi di rumah itu dalam hubungannya
dengan keluargaku." "Apa yang terjadi" Mungkin kau mempunyai persoalan
dengan penghuni rumah itu. Tetapi begitukah caranya
menyelesaikan per soalan?" bertanya Ki Bekel.
"Ki Bekel," berkata pemilik rumah itu, "apa sebenarnya
yang ingin Ki Bekel lakukan" Ki Bekel adalah tetua dari
padukuhan ini. Jika Ki Bekel tahu apa y ang sebenarnya terjadi
dalam hubungannya dengan keluargaku, kenapa Ki Bekel tidak
pernah berbuat sesuatu sebelumnya" Bukankah aku sendiri
pernah datang kepada Ki Bekel mengadukan persoalanku
kepada Ki Bekel" Bukankah waktu itu aku pernah
memberitahukan kepada Ki Bekel, bahwa isteriku telah
dilarikan orang?" pemilik rumah itu berhenti sejenak, lalu
"tetapi apa jawab Ki Bekel" Ki Bekel justru menyalahkan aku,
karena menurut Ki Bekel isterikulah yang telah melarikan diri
dari rumahku. Aku pun kemudian telah menerima keadaanku
itu, sehingga aku m embiarkannya tanpa berbuat sesuatu. Ki
Bekel pun tidak mau membantuku sama sekali, meskipun
hanya sekedar memberikan nasehat kepada isteriku. Namun
yang terakhir, laki -laki keparat itu telah m enangkap anakku
dan meny impannya untuk dijadikan isterinya pula. Sementara
itu ia telah berniat untuk melemparkan isteriku itu kepada
beberapa orang laki -laki kasar dan buas yang ada di
rumahnya, setelah ia menjadi jemu. Nah, apakah yang paling
baik aku lakukan dalam keadaan seperti itu" Ketika isteriku
berhasil m elarikan diri dari rumah itu dan m emberitahukan
tentang anakku itu kepadaku, maka aku tidak dapat
membendung perasaanku lagi. Aku datang kepadanya untuk
minta anakku. Tetapi apa yang dilakukannya" Ia berniat
membunuhku." "Cukup," bentak Ki Bekel, "kau dapat berkata apa saja.
Tetapi kau telah melakukan pembunuhan."
Sementara itu Ki Jagabaya y ang bertubuh tinggi besar
berdada bidang dan ditumbuhi bulu lebat itu pun berkata,
"Kau harus bertanggung jawab atas pembunuhan itu. Kau
tidak dapat ingkar dengan seribu macam alasan."
Tetapi tiba-tiba saja Mahisa Murti lah yang menjawab,
"Bukan orang itu yang membunuhnya. Akulah yang telah
membunuhnya." Semua orang berpaling ke arah Mahisa Murti. Dengan
wajah y ang kemerah-merahan Ki Jagabaya bertanya, "Siapa
kau?" "Aku seorang pengembara," jawab Mahisa Murti,
"sebenarnya aku senang mendengar kata -kata kalian.
Bagaimanapun juga seorang y ang melakukan kesalahan harus
dihukum. Tetapi apakah hal ini kau lakukan juga atas laki-laki
yang telah mengambil isteri orang itu" Kemudian
mengumpulkan beberapa orang laki-laki di rumahnya serta
menyekap beberapa orang perempuan dengan paksa.
Perempuan dari rumah ini pun akhirnya telah disekapnya di
dalam rumahnya. Namun ia sempat keluar dan
memberitahukan tentang perlakuan laki -laki itu atas anak
gadisny a" He, Ki Bekel. Apakah hal itu baru dilakukannya
untuk pertama kali, sehingga Ki Bekel belum pernah
mengambil tindakan apa-apa" Apakah orang itu sebelumnya
belum pernah mengambil perempuan dengan paksa seperti
yang dilakukannya atas anak pemilik rumah ini" Mungkin Ki
Bekel dapat menyalahkan perempuan yang telah dengan
senang hati m engikut laki-laki itu. T etapi bagaimana dengan
anaknya dan perempuan y ang lain sebelumnya."
"Tutup mulutmu," geram Ki Bekel, "apa pun y ang
dilakukannya tidak akan dapat dihalangi. Ia adalah orang kuat
yang tidak terkalahkan di padukuhan ini."
"Dan sekarang apa y ang akan Ki Bekel lakukan terhadap
kami, orang -orang y ang telah membunuh orang kuat yang
tidak terkalahkan itu?" bertanya Mahisa Murti.
Pertanyaan itu memang mengejutkan Ki Bekel, Ki
Jagabaya dan para bebahu. Sementara itu sikap Mahisa Murti
sama sekali tidak berubah. Sama sekali tidak ketegangan di
wajahnya. Pertanyaannya itu seakan-akan begitu saja terlontar
lewat mulutnya tanpa melalui getar perasaannya.
"Kenapa kau diam saja Ki Bekel?" bertanya Mahisa
Murti pula, "bukankah kau dan para bebahu tahu, kamilah
yang telah membunuh dan melukai bukan saja orang kaya
berhati iblis namun y ang tidak terkalahkan itu, tetapi juga
beberapa orang kawan-kawannya" Jika kalian tidak dapat
menghalangi setiap kemauan orang itu, aku menantangmu Ki
Bekel. Ayo, halangi kemauanku meskipun seandainya aku
akan membunuh Ki Bekel sendiri."
Wajah Ki Bekel dan Ki Jagabaya menjadi merah.
Sementara itu beberapa orang bebahu yang lain pun menjadi
berdebar-debar. Nampaknya sikap anak muda itu demikian meyakinkan
sehingga Ki Bekel, Ki Jagabaya dan para bebahu itu sama
sekali tidak berarti. Ki Bekel memang tersinggung. Demikian pula Ki
Jagabaya. Namun ternyata mereka menjadi ragu-ragu untuk
bertindak. Adalah satu keny ataan, bahwa mereka telah
membunuh orang yang ditakuti di padukuhan itu. Jika mereka
tidak dapat berbuat apa-apa terhadap laki -laki kaya yang
memang sering melakukan tindak sewenang-wenang itu, maka
apa yang akan dapat mereka lakukan atas orang y ang telah
membunuh laki-laki yang ditakuti itu.
Namun m enurut penilaian Ki Bekel, laki-laki yang kaya
itu tidak sendiri. Dengan uangnya orang itu dapat mengupah
beberapa orang untuk membantunya melakukan tindak
sewenang-wenang itu. Tetapi bagaimanapun juga, satu kenyataan bahwa lakilaki
y ang kaya dengan orang-orang upahannya itu telah
dikalahkan oleh anak-anak muda itu. Sehingga dengan
demikian maka kemampuan anak-anak muda itu tentu lebih
tinggi dari kekuatan y ang ada di rumah y ang besar dan mewah
itu bersama-sama isinya. Untuk beberapa saat lamanya Ki Bekel berdiri termangumangu.
Namun akhirnya ia berpaling kepada Ki Jagabaya
sambil bertanya, "Apa y ang sebaiknya kita lakukan sekarang?"
Ki Jagabaya termangu-mangu. Tetapi iapun-menyadari
keny ataan yang dihadapinya. Namun karena ia tidak tahu apa
yang sebaiknya dilakukan, maka ia pun kemudian berkata,
"Terserah kepada Ki Bekel. Apa y ang sebaiknya kita lakukan."
Wajah Ki Bekel menjadi tegang. Namun akhirnya ia
berkata, "Aku minta diri. Tetapi setiap saat, persoalan ini
dapat kita angkat lagi."
Namun Mahisa Murti menyahut, "Kami memang tidak
akan lama berada di sini. Tetapi kami akan k embali. Jika Ki
Bekel mengangkat lagi persoalan ini dan menyulitkan
kedudukan pamanku, pemilik rumah ini, maka kedudukan Ki
Bekel pun akan mengalami kesulitan. Bukan hanya sekedar
kedudukan Ki Bekel, t etapi jiwa Ki Bekel. Ki Bekel tahu, bahwa
kami dengan mudah dapat membunuh orang-orang yang
menurut Ki Bekel ditakuti di padukuhan ini termasuk ditakuti
oleh Ki Bekel, Ki Jagabaya dan para bebahu Tanah ini."
Ki Bekel memandang Mahisa Murti dengan tegang.
Tetapi tanpa m enjawab sepatah katapun, m aka Ki Bekel itu
pun telah m elangkah meninggalkan rumah itu diikuti oleh Ki
Jagabaya dan bebahu yang lain.
Pemilik rumah itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya
dengan nada rendah, "Terima kasih. Setidak-tidaknya untuk
sementara mereka tidak akan mengganggu aku."
"Aku kira bukan untuk sementara. Mereka memang
tidak akan mengganggu Ki Sanak untuk seterusnya. Aku
bukan saja sekedar menakut-nakuti. Tetapi sebagai
pengembara maka mungkin sekali aku m emang akan datang
kembali." berkata Mahisa Murti.
"Terima ka sih," berkata orang itu, "ternyata kalian tidak
sekedar membantu aku membetulkan pedatiku yang rusak.
Tetapi kalian telah membantu apa saja y ang tidak mungkin
aku lakukan. Bahkan dilakukan oleh orang lain."
"Bukan apa-apa," berkata Mahisa Murti, "saling
membantu adalah kewajiban setiap orang."
Pemilik rumah itu mengangguk-angguk. Kemudian
katanya dengan nada tinggi. "Tetapi marilah. Silahkan masuk.
Aku berharap bahwa kalian akan bersedia tinggal di rumah ini
untuk beberapa lama."
Tetapi Mahisa Murti tertawa. Katanya, "Sudah tentu aku
tidak akan dapat tinggal terlalu lama di rumah ini."
"Tidak. Kalian tidak boleh segera pergi." orang itu tibatiba
saja telah memotong. Mahisa Murti tersenyum. Ia pun kemudian berpaling
kepada Mahisa Pukat sambil bertanya, "Bagaimana
pendapatmu." Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun
katanya kemudian, "Baiklah. Kita akan tinggal untuk satu dua
hari di sini. Nampaknya tempat ini akan dapat m emberikan
kesempatan kepada kita untuk beristirahat."
"Tidak hanya satu dua hari. Tetapi sepekan dua pekan
atau sebulan dua bulan." minta pemilik rumah itu.
Mahisa Pukat tertawa. Katanya, "Kami sudah terlalu
lama mengembara. Pada suatu saat, kami pun harus kembali.
Seperti seekor burung yang terbang berputar-putar, namun
pada saatnya tentu akan hinggap di sarangnya."
Laki-laki itu mengerutkan keningnya. Namun y ang
dikatakan oleh Mahisa Pukat itu memang tidak dapat
dibantahnya, sehingga orang itu hanya dapat mengangguk
sa ja.

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ada bagian cerita yang hilang di s ini, dari buku as linya.
Ketiga orang anak muda itu menjadi tegang. Mereka
sama sekali tidak menduga, bahwa pada satu saat mereka akan
menghadapi keadaan seperti itu. Ketika Mahisa Murti
bergerak dan m aju selangkah, maka laki-laki yang mendekap
gadis itu telah memperkeras lilitan tangannya di leher gadis
itu. " Jika kau tidak mau mendengarkan kata-kataku, maka
ucapanlah selamat jalan kepada gadis ini. Agaknya kali ini kau
bertemu untuk yang terakhir kalinya." berkata orang itu.
Suasana yang tegang benar-benar telah mencengkam.
Ketiga orang anak muda itu memang tidak dapat berbuat
banyak. Nampaknya laki -laki y ang garang, yang mendekap
gadis itu, benar -benar dapat berbuat sesuatu dalam satu
hentakkan, sehingga gadis itu tidak akan lagi sempat berteriak.
Dalam ketegangan itu, maka Mahisa Murti pun telah
bertanya, "Apa maksud kalian yang sebenarnya."
"Sudah kami katakan. Kami tidak pernah dapat
mengalahkan sekelompok lawan kami. Kalian bertiga harus
membantu kami sehingga lawan kami itu terbunuh semuanya.
Terutama pemimpinnya. Jika hal itu berhasil, maka kalian
benar-benar akan mendapat- imbalan serta gadis ini kami
lepaskan, bahkan kalian akan dapat kami angkat menjadi
anggauta terhormat dari kelompok kami.
"Kelompok apa?" bertanya Mahisa Pukat.
"Belum waktunya kalian m engetahui sekarang," jawab
orang itu. Lalu katanya, "Nah, sekarang kita bersama-sama
pergi ke padepokanku."
"Siapa saja yang harus pergi?" bertanya Mahisa Murti.
"Kami bertiga" Jika demikian maka kami m inta kalian
melepaskan gadis itu. Kami bertiga akan pergi bersama
kalian." Tetapi orang itu tertawa. Katanya, "Kami tidak sebodoh
yang kau kira" Jika kami melepaskan gadis itu, maka
kemungkinan terbesar di antara kamilah yang justru akan
terbunuh. Nah, masih ada waktu untuk mengambil keputusan
terakhir." Ketiga anak muda itu termangu-mangu. Sementara itu
kedua orang tua gadis itu pun menjadi bingung. Mereka tidak
mau kehilangan anak gadis mereka, apa pun yang terjadi.
Namun tidak sepantasnya ketiga orang anak muda itu harus
berkorban terlalu banyak bagi keluarga mereka.
Namun m ereka pun terkejut ketika orang itu tiba -tiba
membentak, "Cepat. Katakan sikap kalian."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya, "Jawaban kami tentu sudah kau ketahui."
" Jadi kalian bertiga setuju bekerja sama dengan kami?"
bertanya pemimpin sekelompok orang itu.
"Pertanyaanmu aneh sekali. Sejak tadi kau sendirilah
yang telah memaksa kami menerima sikap kalian. Tetapi tidak
lebih dari itu." jawab Mahisa Murti.
Orang itu tertawa. Katanya, "Apa pun alasanmu. Jika
kau sudah setuju, marilah, kita akan berangkat sekarang."
"Kau tinggalkan gadis itu" " minta Mahisa Murti.
"Sekali lagi aku tegaskan," berkata orang itu, "aku tidak
sebodoh yang kau duga. Kelak, jika tugas kita sudah selesai,
maka bawa gadis itu kembali. Bawa pula im balan bagi kalian
bertiga dan sudah barang tentu salam kami kepada kedua
orang tua gadis itu."
Laki-laki pemilik rumah itu menggeram. Namun ketika
leher anak gadisnya semakin tercekik, ia m emang tidak dapat
berbuat apa-apa. "Sudahlah," berkata Mahisa Murti, "kami bertiga akan
memenuhi keinginan mereka. Kami tidak melihat jalan lain.
Kedua orang tua gadis itu justru telah mematung. Ia
melihat orang-orang itu meninggalkan halaman rumahnya
sambil membawa anak gadisnya y ang baru beberapa hari
terlepas dari tangan orang kaya y ang gila, yang terpaksa
terbunuh dalam pertempuran melawan anak-anak muda itu.
Kini gadis itu justru berada di tangan serigala-serigala
yang buas dan liar. Tetapi orang tua gadis itu masih percaya kepada Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat serta Mahisa Semu. Apa pun akal
mereka, kedua orang tua itu berharap bahwa anak-anak muda
itu akan dapat meny elamatkannya.
Demikianlah, maka sebuah iring-iringan kecil berjalan di
jalan induk padukuhan itu. Ketiga orang anak muda itu harus
berjalan di depan. Kemudian beberapa orang laki -laki yang
memerasnya. Di belakang mereka berjalan gadis yang malang
itu di sisi seorang laki-laki yang nampaknya tidak
menghiraukannya. Tetapi ia sudah siap dengan sebilah pisau
belati kecil. Jika perlu dalam sekejap maka pisau itu akan
dapat menghunjam di dada gadis itu tembus sampai ke
jantung. Beberapa orang memang melihat iring-iringan itu.
Tetapi tidak seorang pun y ang menduga, bahwa gadis itu telah
dibawa untuk menjadi taruhan. Mereka menyangka bahwa
gadis itu telah diungsikan oleh sanak kadangnya ke tempat
yang lain. Beberapa saat kemudian maka iring-iringan itu telah
terlepas dari padukuhan itu. Dengan demikian maka mereka
dapat berjalan lebih bebas sesuai dengan sifat dan watak
mereka masing-masing. Gadis y ang dibawa sebagai taruhan itu memang menjadi
sangat ketakutan sebagaimana ia dikurung oleh laki -laki yang
telah mengambil ibunya itu. Sekali-sekali terasa hatinya
tenang melihat ketiga anak muda itu. Namun kemudian telah
bergejolak kembali dengan kerasnya.
Ternyata iring-iringan itu berusaha sejauh mungkin
menghindari jalan-jalan yang melalui padukuhan-padukuhan.
Ketiga anak muda itu termangu-mangu. Namun mereka
tidak dapat berbuat sesuatu tanpa diperhitungkan sebaikbaiknya.
Jika mereka salah langkah, maka nasib gadis itu
dapat menjadi lebih buruk daripada saat ia berada di rumah
orang kaya berjambang itu.
Sementara itu, ketiga orang anak muda itu seakan-akan
dibiarkannya begitu saja. Orang-orang yang membawa gadis
itu semuanya telah masuk ke dalam, sehingga y ang tinggal di
luar adalah ketiga orang anak muda itu saja.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu pun
kemudian duduk diatas tikar pandan y ang dibentangkan di
pendapa. "Lalu apa yang akan kita lakukan?" bertanya Mahisa
Murti. Mahisa Pukat justru telah berbaring sambil berdesis,
"Tidur. Kita tidak dapat berbuat apa-apa selama gadis itu
masih mereka kuasai."
"Kita harus mencari cara untuk melepaskan gadis itu."
berkata Mahisa Semu. " Itulah yang sulit," sahut Mahisa Murti, "tetapi kita
memang harus menemukannya."
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Ia mencoba
mengedarkan pandangan matanya menembus kegelapan.
Tetapi ia tidak melihat sesuatu selain cahaya obor y ang lemah
regol halaman. "Beristirahatlah," berkata Mahisa Murti, "di sini tentu
lebih baik daripada diatas rerumputan. Jika aku mengantuk
nanti, aku akan membangunkan salah seorang di antara
kalian." Mahisa Semu termangu-mangu. Namun ia pun berdesis,
"Aku justru belum merasa mengantuk."
"Baiklah. Jika demikian kita sempat berbincang lebih
lama lagi." berkata Mahisa Murti.
Namun dalam pada itu sambil memejamkan matanya
Mahisa Pukat berdesis, "Aku akan tidur."
Mahisa Murti terseny um. Tetapi ia tidak menjawab.
Sementara Mahisa Semu telah bergeser mencari sandaran
pada tiang pendapa yang tidak terlalu besar itu.
Namun agaknya kedua anak muda y ang masih duduk itu
tidak terlalu banyak berbicara. Mereka sedang memikirkan
cara y ang t erbaik untuk membebaskan gadis itu. Di rumah
orang kaya y ang berjambang itu, Mahisa Murti dapat
membebaskan gadis itu dengan mudah karena hal itu tidak
diperhitungkan sebelumnya. Tetapi saat itu, gadis itu memang
sedang dijadikan taruhan, sehingga ia akan dijaga dengan
ketat. Dalam kegelapan Mahisa Murti itu berdesis, "Apakah
kita harus memenuhi perm intaan mereka dengan
mengalahkan sekelompok lawan y ang belum pernah dapat
dikalahkan itu?" "Tetapi siapakah mereka?" sahut Mahisa Semu.
Mahisa Murti menggelengkan kepalanya.
Untuk beberapa saat suasana m enjadi semakin hening.
Hanya suara-suara m alam sajalah y ang terdengar di sekitar
pendapa itu. Angin y ang lembut berdesir m engusap tubuhtubuh
yang berkeringat oleh kegelisahan itu. Mereka
menyadari, jika mereka tidak dapat dengan segera melepaskan
gadis itu, maka mereka benar-benar harus memenuhi
keinginan mereka. Bertempur dan bahkan mungkin
membunuh lawan yang tidak m empunyai persoalan apa pun
dengan mereka. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti pun berbisik, "Aku
akan mencoba. Jika gagal, apa boleh buat. Mudah-mudahan
kegagalan itu tidak segera m ereka ketahui sebagai satu usaha
untuk melepaskan gadis itu."
Mahisa Semu mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba
sa ja ia bertanya, "Bagaimana dengan kakang Mahisa Pukat"
Apakah aku harus membangunkannya?"
" Ia belum tidur." desis Mahisa Murti.
Mahisa Semu m engerutkan keningnya. Namun agaknya
Mahisa Pukat y ang masih saja memejamkan matanya itu
memang belum tidur. Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti pun bangkit dan
melangkah menuju pintu pringgitan. Dengan keras Mahisa
Murti m engetuk pintu itu sambil m emanggil, "He, siapa yang
masih terbangun?" Ketika tidak terdengar jawaban, maka Mahisa Murti
mengetuk semakin keras dan berteriak, "Siapa y ang masih
bangun?" Agaknya suara Mahisa Murti itu mengejutkan orangorang
yang ada di dalam. Apalagi ketika Mahisa Murti
mengetuk pintu lebih keras lagi.
Tiba-tiba saja terdengar langkah cepat m enuju ke pintu.
Dibukanya pintu dengan hentakkan y ang keras, sementara
seorang di antara orang-orang y ang membawa mereka ke
tempat itu muncul sambil membentak, "Kenapa kau berteriakteriak?"
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun
kemudian bertanya, "Di mana pakiwannya?"
"Hanya itu?" bertanya orang y ang muncul dari balik
pintu itu. "Ya. Sudah tentu aku tidak dapat melakukannya di
pendapa." berkata Mahisa Murti.
"Persetan," geram orang itu, "di seluruh halaman ini
terdapat tempat-tempat y ang gelap. Bahkan hampir
seluruhnya." "Tetapi..." suara Mahisa Murti terputus. Orang itu telah
menghentakkan pintu itu lagi sehingga tertutup rapat.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam, sementara
Mahisa Semu memandanginya dengan heran.
Namun kemudian Mahisa Murti pun mendekatinya
sambil berdesis, "berhati-hatilah. Dalam keadaan yang
mendadak, suruh Mahisa Pukat duduk."
Mahisa Semu mengangguk. Tetapi ia tidak menjawab.
Sementara itu Mahisa Murti pun kemudian m elangkah
turun dari pendapa. Tentu tidak akan ada orang yang
mencurigainya seandainya dari kegelapan ada yang
melihatnya. Mahisa Murti telah mendapat ijin, bahkan dianjurkan
oleh orang yang ada di dalam rumah itu dengan kata-kata yang
cukup keras. Meskipun demikian Mahisa Murti m emang memasuki
lingkungan y ang gelap di halaman itu dengan hati-hati. Ia
memperhatikan keadaan di sekitarnya. Namun di halaman itu
agaknya memang tidak ada seorang pun y ang berjaga-jaga.
"Kelompok ini nampaknya kelompok y ang aneh,"
berkata Mahisa Murti di dalam hatinya, "rumah ini tentu
bukan sarang mereka. Tetapi sekedar tempat persinggahan
sa ja." Dengan demikian maka Mahisa Murti pun berusaha
untuk mendekati rumah itu dari samping, sehingga di dalam
kegelapan ia dapat melekatkan diri pada dinding.
Dari tempatnya ia mendengar pembicaraan, "Mau apa
orang itu?" "Mencari pakiwan." jawab y ang ditanya.
"Gila. Aku kira mau apa. Jadi, kau bawa juga ia ke
pakiwan?" bertanya suara yang pertama.
"Aku mengantuk. Aku suruh cari saja t empat di manamana
di halaman yang gelap itu." jawab yang lain.
Ternyata terdengar suara tertawa pendek sambil
berkata, "Nah, tidurlah. Aku pun akan tidur."
Tetapi terdengar suara lain, "Siapakah di antara kita
yang bertugas berjaga-jaga?"
"Tiga orang anak muda di pendapa itu adalah orangorang
berilmu tinggi. Mau tidak m au mereka akan berjagajaga.
Gadis itu menjadi taruhan." jawab yang pertama.
" Jika ada lawan datang dari belakang?" bertanya suara
yang lain itu. "Rumah ini cukup kuat. Kita akan mendengar
seandainya ada orang merusak dinding. Apalagi dinding
rumah ini rangkap. Bukankah dinding rumah ini terlalu kuat
untuk, disibakkan" Tali-tali ijuk itu tidak mudah diputuskan
dengan pisau sekalipun. Jika dinding ini pecah dan kita tidak
terbangun, itu adalah nasib kita yang sangat buruk." jawab
suara yang pertama. "Baik. Tidurlah. Siapa yang menjaga bilik itu?" bertanya
yang lain. "Kepala batu itu." jawab yang pertama.
"Bagus. Ia tidak akan m emasuki bilik itu," jawab y ang
lain. Yang terdengar kemudian adalah suara serak orang yang
pertama, "Aku akan tidur."


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau kira aku tidak letih." desis y ang lain.
Mahisa Murti menunggu sejenak. Langkah kaki
terdengar semakin jauh. Kemudian terdengar derit amben di
ruang dalam. Agaknya orang itu pun sudah berbaring di antara
kawan-kawannya. Mahisa Murti kemudian mengetahui bahwa tidak
seorang- pun yang berjaga-jaga diluar karena mereka
mempercayakannya kepada Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan
Mahisa Semu dengan taruhan gadis itu.
Dengan demikian maka Mahisa Murti pun merasa akan
dapat berbuat lebih banyak lagi.
Namun sebelum ia berbuat sesuatu, maka Mahisa Murti
yang merasa tidak mendapat pengawasan itu pun sempat
menemui Mahisa Semu dan Mahisa Pukat, yang justru telah
duduk bersandar tiang sebagaimana Mahisa Semu.
Dengan singkat Mahisa Murti menceriterakan
rencananya. Kemudian membagi tugas jika terjadi sesuatu.
"Tetapi gadis itu harus selamat. Jika kita gagal, maka
sia -sialah kita m embunuh beberapa orang di rumah mewah
itu." berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu m engangguk. Mereka
pun menyadari bahwa taruhannya terlalu mahal, sehingga
harus benar-benar berhati-hati.
Beberapa saat kemudian, Mahisa Murti pun telah
menghilang kembali ke dalam kegelapan.
Dicobanya mengingat kembali, apa y ang pernah
dilakukan di rumah mewah itu. Tetapi orang-orang y ang ada
di rumah itu ternyata menjadi lengah. Mereka sama sekali
tidak mengira akan terjadi serangan y ang demikian tiba-tiba.
Berbeda dengan isi rumah itu. Mereka adalah orang-orang
yang siap melakukan apa saja untuk memaksakan
kehendaknya. Sedangkan taruhannya adalah gadis yang ada di
dalam rumah itu, dijaga oleh orang yang memiliki pengalaman
yang luas. Karena itu, maka Mahisa Murti harus bekerja lebih
cermat. Sekali lagi ia mendekati dinding rumah itu dengan
sangat hati-hati. Namun ia sudah tidak m endengar suara apa
pun juga. Sementara itu, ia tidak menemukan lubang yang
sekecil apa pun untuk mengintip ke dalam. Mahisa Murti
masih ingat, orang yang ada di dalam rumah itu mengatakan,
bahwa dinding rumah itu adalah rangkap.
Dengan demikian, tidak ada cara lain untuk dapat
melihat ke dalam daripada menguak atap dan melihat keadaan
di dalam rumah itu dari sela-sela raguman langit-langit.
Dengan sangat berhati-hati, maka Mahisa Murti pun
telah memanjat dinding longkangan. Dengan saksama
ditelitiny a keadaan atap rumah itu, apakah atap itu akan
mampu menahan tubuhnya. Ternyata rumah itu adalah rumah yang memang dibuat
sangat kuat sebagaimana dindingnya yang rangkap. Karena
itu, maka Mahisa Murti pun yakin, bahwa atap rumah itu tidak
akan patah jika ia memanjat diatasnya.
Perlahan-lahan Mahisa Murti telah merayap diatas atap
itu. Ternyata atap ijuk itu justru seakan-akan membantunya,
karena ijuk itu telah menghisap suara geseran tubuh Mahisa
Murti y ang berdesis diatas atap itu.
Namun Mahisa Murti m emang sulit untuk menduga, di
manakah letak bilik untuk meny impan gadis y ang menjadi
taruhan itu. Tetapi Mahisa Murti dapat mengenali rumah menurut
bentuknya secara umum. Bia sanya ada tiga bilik di tengah,
kemudian dua bilik depan di sebelah pringgitan. Di sebelah
menyebelah terdapat longkangan y ang memisahkan rumah itu
dengan gandok. Untuk sesaat Mahisa Murti termangu-mangu. Namun
tiba -tiba saja ia teringat, di mana laki -laki berjambang itu
menyembuny ikan gadis itu.
" Jika saja mereka mempunyai pikiran yang sama."
berkata Mahisa Murti kepada diri sendiri.
Namun Mahisa Murti m emang ingin m embuktikannya.
Dengan sangat berhati-hati Mahisa Murti telah meny ibakkan
atap ijuk itu. Kemudian m elihat bagian dalam rumah itu dari
sela -sela raguman atap. Ternyata Mahisa Murti saat itu berada diatas bilik
tengah. Tetapi gadis itu tidak disimpan di bilik tengah
sebagaimana dilakukan oleh orang berjambang itu.
Dengan demikian maka Mahisa Murti harus
mengulanginya diatas bilik kiri dan kanan. Tetapi gadis itu
tidak ada di sana. Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia yakin
bahwa gadis itu telah dibawa masuk ke dalam rumah. Tetapi ia
tidak ada di dalam ketiga bilik itu.
Untuk beberapa saat Mahisa Murti justru berbaring
diam. Dicobanya untuk mendengarkan suara di dalam rumah
itu. Menurut pendengarannya gadis itu telah dijaga orangorang
y ang disebut sebagai Kepala Batu.
Untuk mengusir kegelisahannya, maka Mahisa Murti
pun telah meny ibak atap diatas ruang tengah. Namun tiba-tiba
ia menjadi berdebar-debar. Gadis itu ternyata ada di ruang
tengah, berbaring diatas amben y ang besar ditunggui oleh
seorang y ang berkepala botak y ang duduk terkantuk-kantuk di
bibir amben y ang besar itu.
Di sudut ruang itu, Mahisa Murti melihat seorang lagi di
antara orang-orang yang membawa gadis itu tidur berselimut
kain panjangnya. Sejenak kemudian Mahisa Murti termangu-mangu.
Namun sejenak kemudian, ia pun telah m enarik pisau belati
kecilnya. Dengan pisau itu ia mulai memutuskan tali-tali ijuk y ang
mengikat raguman atap rumah itu. Baru kemudian, ia berhasil
menyibak raguman bambu itu dan siap meluncur turun.
Mahisa Murti membutuhkan tali ijuk yang agak panjang.
Karena itu, maka ia pun telah mengumpulkan tali-tali ijuk
raguman atap itu. Kemudian menyambung-nyambungnya
rangkap dua, sehingga dengan sangat berhati-hati Mahisa
Murti dapat meluncur turun dari atap rumah itu.
Ternyata tidak seorang pun mengetahui. Ketika gadis
yang tidak dapat tidur itu melihatnya, Mahisa Murti memberi
isy arat agar ia tetap diam di tempatnya, sehingga tidak
membangunkan Kepala Batu y ang terkantuk-kantuk itu.
Tetapi ketika Mahisa Murti meny entuh tanah, ternyata
orang y ang disebut Kepala Batu itu mendengarnya. Karena itu,
maka ia pun segera bangkit berdiri.
Dalam keadaan y ang masih belum sadar penuh, ia
melihat anak muda berdiri dihadapannya. Karena itu, dengan
serta merta, maka ia pun telah siap meny erangnya.
Namun ternyata bahwa Mahisa Murti bertindak lebih
cepat, jari-jari tangannya y ang merapat telah meny entuh
bagian dada orang y ang disebut Kepala Batu itu di sebelah atas
kiri dan kanan. Kemudian mendorongnya duduk kembali.
Tanpa mendapatkan perlawanan maka Mahisa Murti telah
menyentuh pundak orang itu di sebelah k iri dan kanan pula.
Ketika kemudian tangannya memijit tengkuk orang yang
disebut Kepala Batu itu, maka orang itu pun segera
menundukkan kepalanya, seakan-akan ia telah tertidur sambil
duduk. "Tidurlah sampai esok pagi." berkata Mahisa Murti
perlahan-lahan, sehingga hanya dapat didengarnya sendiri.
Kemudian ia pun telah memberikan isy arat kepada gadis
itu untuk bangkit dan turun dari amben yang besar itu.
Dibimbingnya gadis itu menuju ke pintu.
Ternyata orang-orang yang membawa gadis itu telah
tidur berpencar. Tetapi mereka benar-benar tidur ny enyak.
Mereka menganggap bahwa dinding rumah itu terlalu kuat
untuk dibuka dengan paksa sehingga mereka tentu akan dapat
mendengarnya. Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa seseorang
akan memasuki rumah itu dengan meny ibakkan atap.
Perlahan-lahan sekali Mahisa Murti mengangkat selarak.
Kemudian membawa gadis itu keluar dan menyerahkannya
kepada Mahisa Pukat. "Kau mau apa?" bertanya Mahisa Pukat.
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia pun telah
masuk kembali ke dalam rumah itu dan meny elarak pintu dari
dalam. Ternyata bahwa Mahisa Murti telah keluar dari atap itu
pula. Kemudian menarik tali ijuk dan mengikat kembali
raguman yang dirusaknya. Meskipun tidak utuh, tetapi Mahisa
Murti sudah berhasil menghilangkan jejaknya setelah ia
menutup ijuk atap itu kembali. Juga y ang telah dibuka
sebelumnya. Baru kemudian Mahisa Murti turun dari
longkangan dan kembali ke pendapa.
"Kita akan lari?" bertanya gadis itu.
Tetapi Mahisa Murti menggeleng. Jawabnya, "Kita
menunggu mereka bangun."
"Tetapi ....?" gadis itu tidak mengerti.
Mahisa Murti ter senyum. Katanya, "Percayalah kepada
kami." Meskipun perasaan takut dan cemas mencengkamnya,
tetapi ia tidak berani membuat rencana pelarian mereka.
Segala sesuatunya memang dipercayakannya kepada ketiga
anak muda itu. Mahisa Pukat dan Mahisa Semu y ang semula tidak jelas
apakah maksud Mahisa Murti, akhirnya menjadi terang.
Karena itu, maka keduanya pun telah duduk di sebelahmenyebelah
gadis itu. Dengan nada rendah Mahisa Pukat
berkata, "Kita harus menunjukkan kepada orang-orang yang
ada di rumah itu, bahwa kita tidak dapat mereka tundukkan
dengan cara apa pun juga."
"Tetapi apakah kalian akan bertempur?" bertanya gadis
itu. "Tergantung kepada keadaan. Mudah-mudahan tidak.
Agar kami tidak perlu membunuh lagi." jawab Mahisa Pukat.
Gadis itu mengangguk-angguk. Meskipun ia tidak
mengerti sepenuhnya, namun samar -samar ia dapat
menangkap maksud anak-anak muda itu.
Dalam pada itu, orang y ang disebut Kepala Batu itu
bagaikan membeku di tempatnya. Meskipun ia masih tetap
duduk, namun kesadarannya telah hilang sampai esok pagi.
Ketika pemimpin dari orang-orang yang ada di dalam
rumah itu terbangun, maka ia pun telah bangkit dari tempat
pembaringannya. Bagaimanapun juga ia m erasa bertanggung
jawab atas gadis y ang mereka pergunakan sebagai taruhan itu.
Karena itu, meskipun dengan mata yang agak terpejam,
ia telah melangkah ke ruang dalam untuk melihat apakah
tidak terjadi sesuatu. Ternyata orang itu terkejut ketika ia tidak m enemukan
gadis yang menjadi taruhan itu di tempatnya. Dilihatnya orang
yang disebut Kepala Batu itu menundukkan kepalanya,
seakan-akan sedang tertidur ny enyak.
Dengan cemas pemimpin itu telah mengguncang tubuh
orang itu sambil bertanya lantang, "Di mana gadis itu he?"
Orang yang disebut Kepala Batu itu sama sekali tidak
menjawab. Tetapi bahkan ia telah jatuh terlentang di atas
amben itu pula. "Gila," geram pemimpin itu, "gadis itu lari."
Suaranya telah membangunkan orang-orangnya.
Beberapa orang telah berloncatan bangkit dan berlari-lari ke
ruang tengah itu. Mereka memang tidak menemukan gadis itu
di sana, sementara orang yang disebut Kepala Batu itu telah
pingsan. "Siapa yang m elakukannya?" b ertanya salah seorang di
antara mereka. Dengan saksama orang-orang itu telah memeriksa segala
sudut rumah. Pintu masuk diselarak. Pintu butulan dan pintupintu
longkangan masih pula tetap t ertutup rapat, sementara
selaraknya masih berada di t empatnya dan terpasang dengan
baik. "Gila," geram pemimpin itu. Sementara orang-orangnya
sama sekali tidak menemukan kerusakan pada dinding
seujung duri sekalipun. Tali -tali ijuk masih mengikat dengan
erat, sementara tiang-tiang tidak ada y ang goyah sama sekali.
Namun mereka tidak menemukan gadis itu di dalam
rumah. Pemimpin dan orang -orang y ang ada di rumah itu pun
kemudian berkata, "Kita lihat keluar. Mungkin gadis itu telah
melarikan diri." "Tetapi bagaimana hal itu dapat t erjadi. Semua pintu
masih t etap tertutup dan selaraknya masih terpasang rapi.
Jika tidak ada di antara kita y ang berkhianat, tentu hal ini
tidak akan dapat terjadi."
Orang-orang itu saling berpandangan sejenak. Memang
terasa satu suasana yang lain. Tiba-tiba saja m ereka m enjadi
sal ing m encurigai. Tetapi menurut pendapat mereka, apakah
ada di antara mereka yang dapat memperlakukan orang yang
disebut Kepala Batu itu sehingga ia menjadi pingsan seperti
itu" Namun pemimpin kelompok itu tidak mau menunggu
terlalu lama dalam keadaan saling mencurigai. Ialah yang
kemudian bergegas ke pintu dan mengangkat selaraknya.
Demikian pintu terbuka, maka orang itu pun justru bergeser
selangkah surut. Yang lain pun dengan cepat telah berloncatan ke pintu
pula. Mereka pun ternyata terkejut bukan buatan. Di pendapa
itu duduk tiga orang anak muda y ang menunggui seorang
gadis yang sedang tidur. Pemimpin kelompok itu mengumpat. Selangkah demi
selangkah, diikuti oleh kawan-kawannya.
Mahisa Murti lah yang kemudian bergeser sambil
berkata, "O, ternyata kalian belum juga tidur. Marilah. Tetapi
jangan ribut. Gadis ini sedang tidur ny enyak."
"Persetan," geram pemimpin kelompok itu, "apa y ang
telah kau lakukan atas gadis itu?"
"Apa" Tidak apa -apa. Bukankah kau minta kami
menungguinya dan menjaganya agar gadis itu tidak direbut
oleh kelompok lain yang selalu bermusuhan dengan
kelompokmu?" berkata Mahisa Murti pula.
"Cukup." bentak pemimpin kelompok itu.
"Sudah aku peringatkan. Jangan kejutkan gadis y ang
sedang tidur ini," minta Mahisa Murti, "duduklah. Kita


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbicara dengan tenang. Apakah y ang kalian kehendaki?"
" Jangan permainkan kami." geram pemimpin kelompok
itu. Mahisa Murti tertawa. Katanya, "Jangan marah.
Bukankah sudah aku katakan, bahwa aku telah menjaganya
dengan baik?" "Apa pun y ang kau lakukan, tetapi kau tidak akan dapat
keluar dari halaman rumah ini." suara pemimpin kelompok itu
menjadi gemetar. Tetapi Mahisa Murti masih saja tertawa. Bahkan Mahisa
Pukat pun tertawa juga sambil berkata, "Sudahlah. Jangan
mengumpat-umpat. Besok jika matahari terbit, kami akan
meninggalkan tempat ini, kembali k e padukuhan kami. Kami
tidak mau lagi mendengar ceritera tentang permusuhan antara
kelompok dengan kelompok y ang mana pun juga."
Tetapi pemimpin kelompok itu menggeleng. Katanya,
"Tidak ada jalan y ang dapat kalian lalui. Kami akan menjaga
semua pintu reg ol halaman. Baik halaman depan maupun
pintu butulan di halaman belakang."
Mahisa Murti tertawa. Katanya, "Kau tahu siapa kami.
Kau tentu tahu pula kemampuan kami. Jika tidak, kalian tidak
akan mencuri gadis itu untuk memaksa kami berpihak pada
kalian." Pemimpin kelompok itu termangu -mangu. Sehingga
Mahisa Murti m elanjutkan kata-katanya, "Nah, apakah kalian
akan berusaha mencegah kami" Dengan demikian, maka
kalian akan terkapar mati di halaman ini. Sementara pada saat
lain kawan-kawanmu akan mengalami kekalahan y ang lebih
parah dari lawan-lawanmu itu, justru karena jumlah kalian
telah berkurang." Pemimpin kelompok itu menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian suaranya menjadi lemah, "Baiklah. Kami m emang
tidak akan mampu berbuat apa-apa. Sia-sialah usahaku
mengambil gadis itu."
" Jadi?" bertanya Mahisa Murti.
"Terserahlah kepada kalian. Kalian telah berhasil
menguasai kembali gadis itu." berkata pemimpin kelompok
itu, "Kami memang tidak akan dapat berbuat apa-apa."
" Jadi kalian tidak berkeberatan besok kami kembali?"
bertanya Mahisa Murti. "Berkeberatan atau tidak berkeberatan," jawab
pemimpin kelompok itu. Namun kemudian katanya, "Tetapi
satu hal y ang ingin kami sampaikan kepadamu jika besok pagi
meninggalkan tempat ini bersama-sama dengan saudarasaudaramu
dan gadis itu, bahwa kita untuk selamanya tidak
akan bertemu kembali."
"Kenapa?" bertanya Mahisa Murti.
"Besok akan terjadi pertempuran yang dahsy at di sini.
Besok pagi-pagi kawan-kawanku akan datang untuk
menunggu sekelompok lawan kami y ang akan menghancurkan
rumah kami ini. Bahkan membunuh semua isinya. Kami sudah
berkeyakinan bahwa kami tidak akan dapat m elawan m ereka
meskipun seandainya kawan-kawan kami berhasil mendapat
bantuan dari saudara-saudaranya." berkata pemimpin
kelompok itu. "Kenapa kalian bermusuhan?" bertanya Mahisa Pukat.
"Kami memang sedang memperebutkan warisan." jawab
pemimpin kelompok itu. " Jadi kalian akan bertempur di antara saudara sendiri?"
bertanya Mahisa Pukat pula.
"Saudara-saudara seperguruan." jawab pemimpin
kelompok itu. "Warisan apa y ang kalian perebutkan?" bertanya
Mahisa Pukat. "Kedudukan dan rumah ini," jawab pemimpin kelompok
itu, "rumah ini adalah rumah guru yang telah m eninggal. Di
antara kami telah timbul persoalan, siapakah y ang akan
mewarisi kedudukan guru sekaligus rumah ini, sebagai tempat
tinggal guru." "Apakah gurumu tidak mempunyai anak?" bertanya
Mahisa Semu. "Guru tidak beristri dan tidak beranak." jawab orang itu.
Namun Mahisa Murti pun kemudian bertanya, "Tetapi
kenapa kedudukan gurumu m enjadi rebutan" Apalagi rumah
ini. Menurut penglihatanku, rumah ini adalah rumah yang
biasa meskipun kuat. Tidak ada sesuatu yang mahal yang
harus dipertaruhkan dengan nyawa. Apalagi ny awa saudara
seperguruan sendiri."
"Memang benar," jawab pemimpin kelompok itu, "tidak
ada y ang berharga di sini. Kedudukan itu pun tidak t erlalu
penting karena hanya orang-orang yang memiliki ilmu
tertinggi sajalah yang akan dapat menggantikannya. " orang
itu berhenti sejenak, lalu "namun y ang paling berharga bagi
kami adalah pesan guru. Kakak tertua kami m emang seorang
yang memiliki ilmu tertinggi. Tetapi ada orang lain yang
mengaku bahwa ia dalam kedudukannya sebagai murid, lebih
tua dari kakak tertua kami. Sayang sekali bahwa beberapa
orang saudara seperguruan kami mempercayainya dan bahkan
berpihak kepadanya. Orang itu m inta haknya untuk menjadi
pemimpin perguruan kami dan sekaligus mengambil rumah
ini." "Kenapa tidak diberikan saja?" bertanya Mahisa Pukat.
"Sebabnya kami, bahkan kakak tertua kami itu tidak
berkeberatan. Tetapi pesan guru harus kami junjung tinggi.
Kakak tertua berniat untuk bertahan sampai batas yang
manapun. Bukan karena kedudukannya, tetapi karena
kesetiaannya kepada guru."
"Dan kelompok yang satu itu lebih kuat dari
kelompokmu ini?" bertanya Mahisa Murti.
"Ya," jawab pemimpin kelompok itu, "menurut
perhitungan dan keyakinan, kekuatan mereka lebih besar dari
kekuatan kami meskipun saudara tertua kami akan datang
bersama dua orang saudara kandungnya. Tetapi jika ia
berhasil menemukan kedua saudara kandungnya itu.
Sementara kami mendengar dan melihat kalian serta hasil
pekerjaan kalian, timbullah niat itu di dalam hati kami. Karena
kami tidak mempunyai cara lain, maka kami telah mengambil
gadis itu." Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"warisan di mana-mana dapat menimbulkan persoalan. Baru
sa ja kami menjumpai persoalan yang hampir sama. Tentang
warisan. Tetapi bukan antara saudara-saudara seperguruan.
Tetapi antara dua saudara sepupu. Sedangkan masih ada
pihak ketiga yang ikut melibatkan diri, dan justru yang
nampaknya akan berhasil. Tetapi kami berhasil meletakkan
persoalannya pada kedudukan y ang sebenarnya."
" Itulah y ang sebenarnya kami inginkan Ki Sanak,"
berkata pemimpin kelompok itu, "namun sebenarnyalah
dengan jujur aku katakan, bahwa kita para murid yang
bertengkar ini mempunyai dugaan yang sama, bahwa di
halaman rumah ini tentu terdapat peninggalan yang berharga.
Sebuah pusaka." Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu saling
berpandangan sejenak, dengan nada rendah Mahisa Murti
berdesis, "Harta benda, kedudukan, kitab sebagai lambang
pengetahuan, pusaka yang dapat mendukung derajat dan
kekuasaan, agaknya memang selalu diperebutkan. Kita masih
belum sempat mengeringkan keringat setelah terlibat dalam
perebutan warisan y ang berujud kitab di luar kehendak kita,
setelah kita terperosok ke dalam perebutan kekuasaan yang
juga merupakan warisan, kini kita menjumpai perebutan
warisan y ang berupa kedudukan, harta benda y ang berujut
rumah ini dan y ang agaknya paling penting adalah pusaka
yang diduga ada di rumah ini atau di halaman atau di mana
pun disembunyikan di dalam lingkungan dinding halaman
ini." Pemimpin kelompok itu termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian katanya, "Tetapi bagi kami, yang terpenting
bukannya pusaka itu. Tetapi kami sedang berjuang untuk
mendapat pengakuan dari segala pihak, siapakah y ang berhak
melanjutkan kehadiran perguruan kami ini."
"Kenapa kalian tidak berusaha untuk berbicara y ang
satu dengan yang lain" Atau kenapa kalian tidak bersamasama
menegakkan kehadiran perguruan kalian" Jika kalian
bersatu, maka perguruan kalian tentu akan menjadi kuat."
berkata Mahisa Pukat. "Kami sudah mencoba. Kakak tertua kami pun telah
bersedia untuk memberikan berbagai macam hak kepada
mereka. Tetapi agaknya mereka menuntut kemutlakan. Itulah
yang sulit kami terima, juga berdasarkan pesan guru yang
harus kami junjung tinggi." berkata pemimpin kelompok itu.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun katanya,
"Aku baru m endengar dari satu sisi. Tetapi ternyata menarik
untuk mendengar ceritera dari sisi lain."
"Silahkan Ki Sanak," berkata pemimpin kelompok itu,
"jika Ki Sanak berminat, besok Ki Sanak akan dapat b ertemu
dengan keluarga besar kami yang terpecah. Ki Sanak akan
dapat menimbang pembicaraan kami. Menilai dan k emudian
mengambil satu sikap."
"Kami memang ingin melakukannya," berkata Mahisa
Pukat, "tetapi sayang. Kalian telah membuat kami menghadapi
kesulitan. Kami harus m engembalikan gadis ini kepada orang
tuanya. Karena itu maka kami harus pergi besok pagi-pagi."
Pemimpin kelompok itu menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, "Ya. Meny esal sekali. Kami pun telah meny esal,
karena kami telah membawa gadis itu."
"Nah, sekarang pergunakan sisa waktu yang sedikit ini
untuk beristirahat jika besok kalian harus menghadapi kerja
berat. Mungkin kalian memang harus bertempur dan tidak
sempat lagi m enikmati nikmatnya tidur di pagi hari." berkata
Mahisa Pukat. " Jadi niat Ki Sanak untuk meninggalkan kami sudah
bulat?" bertanya orang itu.
"Ya. Kenapa" Apakah kau masih ingin mendapat
kesempatan menculik gadis itu?" bertanya Mahisa Pukat.
"Kami minta maaf. Semata-mata terdorong oleh
keinginan kami untuk mempertahankan diri." berkata
pemimpin kelompok itu. "Nah, sudahlah. Pergunakan sisa malam ini sebaikbaiknya."
berkata Mahisa Murti kemudian.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya, "Baiklah. Kami akan tidur lagi di sisa
malam ini, "Lalu katanya kepada kawan-kawannya, "Marilah.
Kita masuk." Kawan-kawannya menjadi heran. Untuk sesaat mereka
sal ing berpandangan. Namun pemimpin kelompok itu
menjelaskan, "Tidak ada yang dapat kita lakukan di sini.
Meskipun kita menunggui mereka, kita tidak akan dapat
mencegah apa saja y ang ingin mereka lakukan. Jika mereka
ingin pergi, maka mereka akan pergi. Jika mereka akan tinggal
di sini, maka mereka akan tinggal."
Kawan-kawannya tidak menjawab. Tetapi mereka
mengerti maksud pemimpinnya. Karena itu, maka mereka pun
segera mengikutinya masuk ke ruang dalam.
Ketiga orang anak muda y ang ada di pendapa itu
termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Mahisa Murti itu
pun berkata kepada gadis yang masih berpura-pura tidur itu,
"Bagaimana pendapatmu tentang mereka?"
"Aku takut." jawab gadis itu hampir berdesis.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi kemudian
katanya, "Sebenarnya aku ingin juga melihat apa y ang akan
terjadi. Bagaimanakah pendapatmu jika kita tinggal di sini"
Kami bertiga berjanji untuk melindungimu. Kami akan
mempertaruhkan nyawa kami."
Gadis itu termangu-mangu. Ia percaya sepenuhnya
kepada ketiga orang anak muda itu. Tetapi perasaan takut
tidak dapat disembunyikannya.
" Jika kau ber sedia dan y akin akan perlindungan kami,
biarlah kami menunggu sampai mereka memecahkan
persoalan mereka. Nampaknya orang-orang ini memang tidak
terlalu jahat. Mereka berbuat kasar justru karena sebenarnya mereka
berada dalam ketakutan, sehingga yang dilakukannya itu agak
dipaksakannya dan bukan kebia saan mereka sehari -hari.
Mereka berbuat sebagaimana orang-orang kasar dan liar
untuk menunjukkan bahwa mereka berkuasa dan kuat."
berkata Mahisa Murti. Gadis itu nampaknya masih saja ragu-ragu. Tetapi ia
melihat keyakinan pada sorot mata Mahisa Murti, sehingga
karena itu katanya, "Terserah kepada kalian bertiga. Aku
percayakan keselamatanku kepada kalian. Aku y akin bahwa
kalian telah berbuat dengan jujur menurut nurani kalian."
"Baiklah," berkata Mahisa Murti, "jika demikian kita
akan tinggal di sini. Besok kita akan m elihat, rahasia yang
tersimpan di rumah ini."
"Beristirahatlah," berkata Mahisa Murti kepada Mahisa
Semu. Tetapi Mahisa Semu telah menggeleng sambil
menjawab, "Aku tidak merasa mengantuk sama sekali."
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, "Baiklah.
Kegelisahan kadang-kadang memang dapat mengalahkan
perasaan kantuk." Hanya Mahisa Pukat lah yang dapat tidur dengan
ny enyak di sisa malam itu. Sementara itu Mahisa Murti dan
Mahisa Semu duduk saja bersandar tiang. Gadis yang
berbaring itu pun tidak lagi dapat memejamkan matanya,
sehingga ia pun kemudian justru bangkit dan duduk pula
sambil m emandang ke kejauhan. Tetapi dari sikapnya Mahisa
Murti dapat mengerti, bahwa gadis itu masih saja gelisah.
Beberapa saat kemudian, maka cahaya y ang keremangan
mulai membayangi halaman. Warna tanah mulai menjadi
terang dan ayam jantan pun telah berkokok bersahutan.
Orang-orang yang ada di dalam rumah itu pun telah
terbangun. Beberapa orang diantara mereka, termasuk
pemimpin kelompoknya telah keluar pula. Ketika dilihatnya
Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Pukat yang m asih
tidur, serta gadis yang termangu-mangu itu, ia bertanya,
"Kalian belum pergi?"
"Belum," jawab Mahisa Murti.
" Jika kalian memang ingin pergi, pergilah. Jangan


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampai terjadi salah paham dengan saudara-saudara
seperguruan yang sebentar lagi tentu akan datang," berkata
pemimpin kelompok itu. "Sekehendakkulah," jawab Mahisa Murti.
Pemimpin kelompok itu menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi ia memang sudah m erasa, bahwa ia dan kelompoknya
tidak akan dapat mengatur ketiga orang anak muda itu.
Namun adalah say ang sekali jika terjadi selisih paham dengan
saudara-saudaranya, terutama saudaranya yang tertua. Jika
terjadi keributan dan pertempuran, pasti kekuatan mereka
akan berkurang, karena tiga orang anak muda itu akan dapat
membunuh siapa saja y ang dikehendaki.
Namun karena itu, m aka pemimpin kelompok itu tidak
bertanya lebih lanjut. Namun ia masih juga memberitahu,
"Menurut rencana, di saat matahari terbit, saudara-saudaraku
akan datang." "Saudaramu y ang mana?" bertanya Mahisa Murti.
"Saudara tertua, y ang mendapat pesan dari guru," jawab
pemimpin kelompok itu. "Saudara y ang lain, yang berdiri berseberangan dengan
kepentingan saudara tertuamu itu?" bertanya Mahisa Murti
pula. "Setelah tengah hari," jawab pemimpin kelompok itu.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba
sa ja ia bertanya, "Selama kalian pergi menculik gadis ini,
siapakah y ang ada di rumah ini?"
"Ada dua orang yang menunggu rumah ini. Tetapi
mereka tidak tahu apa-apa tentang persoalan kami. Keduanya
adalah orang-orang yang sejak kanak-kanaknya tinggal disini.
Orang tua m ereka juga m enunggu rumah ini dahulu," jawab
pemimpin kelompok itu. " Dimana mereka tinggal?" bertanya Mahisa Murti.
" Di belakang," jawab pemimpin kelompok itu.
"Aku ingin menemui orang itu. Barangkali aku akan
berubah pendirian untuk tinggal disini sampai saudarasaudaramu
dari kedua pihak itu datang," berkata Mahisa
Murti kemudian. " Jadi kau mau tinggal?" bertanya orang itu dengan nada
tinggi. "Tetapi mungkin kami akan membantu saudarasaudaramu
yang memusuhimu itu. Soalnya kami sudah
terlanjur mendendam kepada kalian, karena kalian telah
menculik gadis ini," jawab Mahisa Murti.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Wajahnya
menjadi muram. Namun katanya, "Aku sudah minta maaf.
Tetapi segala sesuatunya terserah kepada kalian. Aku tahu
kalian m emiliki kemampuan yang tidak terlawan oleh kami.
Alat kami untuk memaksa kalian pun telah berhasil kalian
ambil kembali." "Bawa kami ke belakang," berkata Mahisa Murti
kemudian. Pemimpin kelompok itu tidak membantah. Maka
dibawanya ketiga orang anak muda dan gadis itu ke belakang.
Ke sebuah pondok kecil di halaman belakang yang dihuni oleh
dua orang y ang ternyata adalah suami istri.
Ketiga orang anak muda dan gadis itu pun telah
dipersilahkan masuk ke dalam pondok itu. Mereka
dipersilahkan duduk di sebuah amben yang besar di ruang
tengah. Nampaknya amben itu adalah satu-satunya perabot
yang ada di rumah itu. Kedua orang suami isteri itu memang merasa heran,
bahwa tiga orang anak muda dan seorang gadis telah
memasuki halaman rumah itu.
"Untuk apa sebenarnya kalian kemari?" bertanya laki -
laki yang sudah lebih separuh bay a itu.
Mahisa Murti m emang agak sulit m enjawab pertanyaan
itu. Namun akhirnya ia pun berkata, "Aku tidak sengaja datang
kemari. Aku datang bersama orang-orang yang tinggal di
rumah ini." "Apakah kau sudah mengenal mereka sebelumnya?"
bertanya orang itu. "Belum," jawab Mahisa Murti, "aku mengenal m ereka
dalam perjalanan kemari."
"Kami berjalan bersama-sama dan kami singgah di
rumah ini untuk sekedar bermalam," jawab Mahisa Murti.
"Kalian sudah bermalam disini. Lalu apa keperluan
kalian menemui aku?" bertanya orang itu.
Mahisa Murti m engerutkan dahinya. Ternyata ia salah
duga. Orang itu tentu bukan sekedar menunggu rumah dan
juru taman y ang setiap hari tugasnya menyiangi tanaman.
Orang itu memiliki sikap tertentu terhadap peristiwa yang
terjadi di rumah itu. Ditunjukkan atau tidak ditunjukkan.
Karena itu, m aka Mahisa Murti pun kemudian berkata,
"Ki Sanak. Aku adalah orang y ang sudah terlanjur terlibat
dalam per soalan y ang mungkin terjadi di rumah ini. Aku
sudah mendengar ceritera tentang dua kelompok dari saudarasaudara
seperguruan di rumah ini."
"Lalu kau akan berpihak?" bertanya orang itu.
"Aku tidak tahu, karena aku belum tahu persoalannya,"
jawab Mahisa Murti. "Apakah orang-orang y ang m embawamu kemari minta
kepadamu untuk berpihak kepadanya?" bertanya orang itu.
"Ki Sanak. Kami adalah orang-orang sederhana y ang
barangkali tidak m empunyai bekal apa pun seandainya kami
harus terlibat. Jika kami diminta untuk melibatkan diri,
semata-mata sekedar untuk menambah jumlah orang saja,
namun y ang barangkali tidak akan dapat membantu merubah
keseimbangan sama sekali, jika terjadi benturan kekerasan,"
jawab Mahisa Murti. Orang itu termenung sejenak. Sementara itu isterinya
telah berada di dapur rumahnya y ang kecil untuk menjerang
air. Dalam pada itu, dengan nada rendah orang itu berkata
hampir kepada diri sendiri, "Orang-orang itu m emang kasar.
Tetapi mereka pantas dikasihani."
"Kenapa?" bertanya Mahisa Murti.
"Aku tahu, kau datang kepadaku untuk mendapat
keterangan tentang isi rumah ini. Orang-orang yang
membawamu itu juga tidak berkeberatan membawamu
kepadaku, karena keteranganku mungkin akan
menguntungkan mereka," berkata orang itu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ternyata
bahwa orang itu benar-benar seorang yang mempunyai sikap.
Namun sebelum ia menjawab, maka Mahisa Pukat lah yang
menjawab, "Kau benar Ki Sanak. Nah, sekarang ceriterakan
menurut sisi penglihatanmu tentang orang-orang di rumah ini
yang kau katakan meskipun kasar tetapi pantas dikasihani.
Kemudian katakan siapa kau sebenarnya, karena kau tentu
bukan sekedar juru taman atau pekatik atau gamel atau
sekedar menumpang di tempat ini. Menurut pemimpin
kelompok orang-orang yang tinggal di rumah itu, kau tinggal
disini sejak kecil karena orang tuamu juga tinggal disini
dahulu." "Ya," jawab orang itu, "semua b enar. Aku tinggal disini
sejak aku kecil. Karena itu, maka aku mempunyai keinginan
atas rumah ini. Tetapi aku tidak berdaya untuk
menentukannya." "Apakah keinginanmu?" bertanya Mahisa Pukat.
"Supaya rumah ini t etap menjadi pusat perguruan y ang
dipimpin oleh murid tertua sesuai dengan pesan guru m ereka
ketika guru mereka itu meninggal," berkata orang itu.
"Apa pesan guru mereka?" bertanya Mahisa Pukat.
"Kau tentu sudah mendengarnya," jawab orang itu,
"orang-orang itu tentu sudah mengatakannya, karena pesan
itu adalah pangkal dari pertentangan yang agaknya akan
memuncak." "Kenapa kau berpihak kepada mereka" Tidak kepada
kelompok y ang satu lagi?" bertanya Mahisa Pukat.
"Aku adalah orang tua y ang m engikuti perkembangan
perguruan ini. Jadi aku mempunyai wawasan y ang agak
lengkap tentang perguruan ini. Disamping m urid tertua itu
ternyata ada orang lain yang mengaku murid y ang lebih tua.
Ketika orang itu menyatakan dirinya, ia memang mampu
menunjukkan ciri -ciri perguruannya. Ciri-ciri perguruan ini.
Bahkan ia mempunyai beberapa kelebihan dari saudara tertua
yang mendapat pesan dari gurunya untuk menggantikan
kedudukannya," berkata orang itu.
"Murid tertua itu akan bertahan?" bertanya Mahisa
Pukat. "Menilik wataknya, ia bukan orang y ang gila pada
kedudukan dan apalagi untuk dihormati. Ia orang sederhana.
Yang memaksanya untuk bertahan adalah justru pesan
gurunya sebelum gurunya meninggal," jawab orang itu.
"Baik. Sekali lagi aku m endengarkan ceriteramu y ang
nampaknya m enurut pandanganmu dari satu sisi. Tetapi aku
masih ingin mendengar pendapat orang yang berdiri di sisi
lain," berkata Mahisa Pukat.
"Silahkan Ki Sanak," jawab orang tua itu, "kau memang
berhak untuk melakukannya."
Namun dalam pada itu Mahisa Murti berkata
selanjutnya, "Tetapi untuk sementara aku minta ijin tinggal di
pondokmu ini." "Silahkan. Aku tidak berkeberatan," berkata orang tua
itu. Ada bagian cerita yang hilang lagi di sini
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun
kemudian tidak menghiraukan lagi tentang namanya yang
tidak dipercaya oleh orang y ang dianggap saudara t ertua itu.
Bahkan kemudian Mahisa Murti pun bertanya, "Namamu"
Saudara-saudaramu y ang terdahulu pun namanya belum kami
ketahui?" Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Sebenarnya aku juga mempunyai pertanyaan seperti
pertanyaanmu. Apakah nama itu begitu penting" Tetapi
baiklah, aku akan meny ebut namaku, Miy atsangka. Aku
agaknya tidak perlu meny ebut nama saudaraku seorang demi
seorang." "Memang sudah cukup." jawab Mahisa Murti.
"Lalu, apakah kepentinganmu dengan kami di sini?"
bertanya Miy atsangka. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut. Sejenak
mereka saling berpandangan. Namun kemudian Mahisa Murti
bertanya, "Apakah saudara-saudaramu yang datang lebih
dahulu di rumah ini belum mengatakan sesuatu tentang
kami?" Miyatsangka menggeleng. Katanya, "Mereka tidak
mengatakan apa-apa selain bahwa tiga orang anak m uda di
pondok belakang. Kalian datang justru pada saat-saat yang
gawat." Mahisa Murti memandang pemimpin kelompok y ang
telah m engambil gadis itu sambil berkata, "Kenapa kau tidak
mengatakannya" " Namun Mahisa Murti pun kemudian
berkata, "Bertanyalah kepada orang yang disebut Kepala Batu
itu." Orang yang disebut saudara tertua itu mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia pun berpaling kepada
pemimpin kelompok dari antara mereka yang datang lebih
dahulu, "Apa y ang dapat kalian katakan kepada kami?"
"Maaf kakang," orang itu menundukkan kepalanya,
"tidak ada maksud lain kecuali untuk mempertahankan
kedudukan kakang sebagaimana dipesankan oleh guru."
" Jadi kau minta bantuan mereka?" bertanya orang itu.
Pemimpin kelompok itu termangu-mangu. Lalu katanya
dengan nada sendat, "Ya. Kami telah minta bantuan m ereka.
Tetapi cara y ang kami tempuh ternyata akhirnya justru tidak
menguntungkan." "Apa yang sudah kau lakukan" Aku juga datang bersama
dua orang saudara kandungku. Meskipun kedua orang saudara
kandungku itu tidak m emiliki ilmu yang memadai, tetapi ia
akan dapat membantu menegakkan pesan guru."
Pemimpin kelompok dari orang-orang yang menculik
gadis itu akhirnya menceriterakan apa y ang sudah
dilakukannya. " Jadi kau telah menculik seorang gadis?" bentak
saudara tertua itu. "Maaf kakang. Aku tidak menemukan jalan lain." jawab
orang itu. Wajah orang itu menjadi merah. Katanya dengan geram,
"Kau jangan mengorbankan martabat kemanusiaanmu untuk
mempertahankan kedudukan ini. Aku tidak berkeberatan kau
minta bantuan. Tetapi dengan cara y ang wajar dan jujur. Jadi
gadis y ang ada di belakang itu adalah gadis taruhan untuk
memaksa orang-orang ini membantu kita?"
"Semula begitu." jawab pemimpin kelompok itu .
"Lalu bagaimana sekarang?" bertanya saudaranya y ang
tertua. "Anak-anak muda itu dengan mudah tanpa kami
ketahui, berhasil membebaskannya. Tetapi mereka tidak
melarikan diri. Mereka justru menunggu kami terbangun."
jawab pemimpin kelompok itu.
"Aku tidak tahu maksudmu." b erkata saudaranya y ang
tertua. "Kami ternyata tidak mampu berbuat apa-apa atas
mereka. Juga untuk menahan gadis itu. Mereka ternyata dapat
berbuat apa saja sesuka hati mereka. Bahkan membunuh kami
sekalipun." jawab pemimpin kelompok itu.
Saudaranya tertua mengangguk-angguk. Kemudian
katanya dengan nada dalam, "Aku minta maaf atas tingkah
laku adik-adik seperguruanku. Mereka benar-benar menjadi
kebingungan menghadapi persoalan di antara kami
bersaudara, sehingga mereka telah kehilangan akal warasnya.
Memang pada m ereka terdapat bekal kekasaran dan sedikit
liar. Tetapi aku tidak mengira bahwa mereka telah melangkah
sejauh itu." Mahisa Murti ter senyum. Katanya, "Baiklah. Kami akan
melupakannya." "Terima kasih atas sikap kalian anak-anak muda,"
berkata saudara tertua itu, "jika kalian m enjadi m arah dan
mengambil sikap terhadap kami, m aka kekuatan kami akan
menjadi semakin su sut, bahkan m ungkin kami sudah tidak


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan mampu berbuat apa-apa lagi."
"Baiklah," berkata Mahisa Murti, "sikapmu membuat
aku semakin mantap. Aku tidak akan pergi. Aku akan
menunggu saudara-saudaramu yang lain. Saudaramu yang
menganggap diriny a saudara tertua itu."
Orang yang disebut saudara tertua itu menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, "Aku sudah menghubungi beberapa
orang tua. Ternyata orang y ang mampu menunjukkan ciri -ciri
ilmu perguruan kami itu bukan murid guru yang tertua
sebagaimana pengakuannya. Tetapi ia adalah sebenarnya
paman guru kami. Ia adalah adik seperguruan dari guru.
Dengan demikian maka ilmunya memang ada diatas
kemampuan kami. Demikian pula paman guru yang seorang
lagi, yang memperkuat kedudukannya. Namun kami tidak
akan menyerah. Kami sadar bahwa kami akan ditumpasnya.
Namun kami akan mempertahankan pesan guru dengan
sepanjang nyawa kami."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Mereka memang hampir y akin. Tetapi mereka masih akan
menunggu. Karena itu maka Mahisa Murti pun berkata, "Aku sudah
mendapat beberapa bahan untuk menyiapkan keputusan
langkah kami. Tetapi kami akan menunggu sampai orangorang
itu datang." "Silahkan," jawab orang y ang disebut saudara tertua dan
yang meny ebut dirinya bernama Miyatsangka itu, "Kami tidak
akan menuntut apa pun juga. Kalian adalah orang y ang bebas
untuk menentukan sikap. Sudah barang tentu antara baik dan
tidak baik sesuai dengan pertimbangan kalian."
" Jika demikian kami akan minta diri," berkata Mahisa
Murti, "kami akan berada di belakang. Jika orang-orang yang
mengaku saudara seperguruan kalian menurut keterangan
kalian itu datang, kami mohon untuk diberi tahu."
"Baiklah." jawab Miy atsangka.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah
meninggalkan pendapa, kembali ke pondok di belakang.
Kedua orang suami isteri y ang telah menginjak usia tuanya itu
pun telah bertanya, apa saja y ang mereka bicarakan.
"Kami belum mengambil keputusan apa-apa," jawab
Mahisa Murti, "kami masih ingin berbicara dengan orangorang
yang bermusuhan dengan m ereka y ang sudah ada di
rumah itu." Mahisa Murti berhenti sejenak, lalu tiba-tiba saja
ia bertanya, "Kau kenal orang yang bernama Miyatsangka?"
" Itulah saudara tertua itu." jawab orang tua yang tinggal
di pondok itu. Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ternyata
orang itu tidak berbohong. Ia sudah meny ebut namanya yang
sebenarnya. Sementara itu sambil menunggu kehadiran kelompok
yang lain, maka orang tua pemilik pondok itu telah
mempersilahkan mereka untuk beri stirahat.
"Tidurlah," berkata Mahisa Pukat kepada Mahisa Semu,
"bukankah kau sama sekali belum sempat tidur?"
Mahisa Semu termangu-mangu. Namun ketika Mahisa
Murti berbaring di amben besar di ruang tengah pondok itu,
maka Mahisa Semu pun ikut berbaring pula.
Mahisa Pukat lah yang kemudian duduk di sebelah gadis
yang masih saja selalu dibay angi oleh kecemasan dan
ketakutan itu. "Tidurlah," b erkata Mahisa Pukat, "bukankah kau juga
hampir tidak tidur semalam suntuk?"
Tetapi gadis itu m enggeleng. Katanya, "Aku sama sekali
tidak merasa mengantuk."
Karena itu, maka gadis itu pun masih saja duduk
bersandar dinding sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Pukat.
Namun ketika pemilik pondok itu mendekat, Mahisa
Pukat telah bertanya, "Bagaimana dengan kau" Bagaimana
jika kelompok pertama itu menang" Dan bagaimana jika
kelompok kedua y ang menang."
Pemilik pondok itu termangu-mangu sejenak. Lalu
katanya, "Pengaruh itu tidak terlalu banyak. Siapa pun yang
menang dan siapa pun y ang kalah, aku tidak akan terganggu.
Aku akan dibiarkannya saja tinggal di sini. Mengurus rumah
ini dan memelihara halaman dan kebun."
" Jika tidak?" bertanya Mahisa Pukat.
"Apa boleh buat. Jika aku harus pergi, maka aku pun
akan pergi." berkata orang itu.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak
bertanya apa-apa lagi. Namun dalam pada itu, ternyata isteri pemilik pondok
itu telah menanak nasi untuk mereka. Karena itu, maka
beberapa saat kemudian, isteri pemilik pondok itu telah
menghidangkan makan dan minuman hangat bagi ketiga
orang anak muda dan seorang gadis itu.
"Silahkan," perempuan itu mempersilahkan, "tetapi
hanya dengan say uran y ang aku dapat dari kebun belakang.
Kulit melinjo dan daun so."
"Terima ka sih." berkata Mahisa Murti yang telah
dibangunkan. Ternyata bahwa ketiga orang anak muda itu telah makan
dengan lahapnya. Tetapi gadis y ang ber sama mereka itu hanya
makan sedikit sekali. Tetapi makan dan minuman hangat itu akan
memulihkan kelelahan y ang mereka alami semalam dalam
perjalanan dan hampir semalam suntuk mereka tidak tidur
sama sekali. Namun agaknya mereka tidak sempat meny elesaikan
makan mereka. Pada saat-saat mereka menyuapi mulut
mereka dengan gumpalan-gumpalan nasi terakhir, maka
terdengar pintu rumah itu bagaikan dihentakkan sekali dari
luar. "Siapa yang ada di dalam" " terdengar suara yang keras
dan kasar. Orang-orang yang ada di dalam rumah itu terkejut.
Sementara itu pemilik pondok itu telah didorong keras-keras
masuk ke dalam sehingga hampir saja ia jatuh terlentang jika
Mahisa Pukat tidak cepat menangkapnya.
"Ada apa?" bertanya Mahisa Pukat.
"Aku m endengar bahwa tiga orang anak muda ada di
dalam sementara m ereka menyimpan seorang gadis di sini.
Kau kira rumah apa ini he" Pondok ini berada di dalam
lingkungan sebuah perguruan yang terhormat. Kenapa kau
biarkan m ereka berada di sini" Dan k enapa tikus-tikus clurut
itu tidak mencegahnya pula." bentak orang itu.
"Siapakah y ang mengatakannya?" bertanya pemilik
pondok itu. "Kenapa kau bertanya siapa y ang mengatakannya"
Bukankah di sini memang ada tiga orang anak muda dan
seorang gadis?" bentak orang itu.
"Tetapi mereka adalah sanak kadangku." jawab orang
itu. Orang yang mendorong pemilik pondok itu menjadi
semakin marah. Dengan wajah yang marah ia berkata, "Jika
kau menjawab satu kata saja, maka kau koy akkan mulutmu."
Orang itu memang tidak berani mengatakan sesuatu.
Sementara itu orang itu pun membentak-bentak, " Ikut aku.
Ketiga-tiganya dan gadis itu."
Mahisa Murti memberi isyarat kepada Mahisa Pukat dan
Mahisa Semu untuk mengikutinya. Ketika gadis itu menjadi
gemetar Mahisa Pukat berkata perlahan sekali ditelinganya,
"Jangan takut."
Keempat orang itu pun kemudian telah mengikuti keluar
dari pondok itu. Pemilik pondok yang tua itu pun telah
mengikuti pula dengan hati yang cemas.
Di luar pondok telah berdiri beberapa orang. Di
antaranya adalah orang yang disebut saudara tertua, yang
mendapat pesan dari gurunya untuk memimpin padepokan
itu. Dengan nada berat ia bertanya, "Kau mau apa dengan ke
empat orang anak muda itu."
" Jangan turut campur. Sebentar lagi kau akan aku usir
dari rumah ini. Tetapi aku m asih ingin berbicara dengan kau
dan saudara-saudara seperguruan yang sesat. Mudahmudahan
kau m enyadari keadaan dirimu." jawab orang yang
kasar itu. "Mereka adalah tamu-tamuku." berkata Miy atsangka.
"Omong kosong," bentak orang kasar itu, "kau kira kami
tidak tahu bahwa mereka datang semalam langsung ke pondok
itu. Apa saja yang dilakukan oleh ketiga orang laki -laki dan
perempuan itu?" "Kamilah yang membawanya kemari." jawab saudara
tertua itu. "Kau baru datang pagi tadi." bentak orang y ang
mengaku saudara y ang lebih tua lagi itu.
"Saudara-saudarakulah y ang membawa mereka." jawab
murid tertua itu. "Persetan. Jangan campuri urusanku."
" Ini juga urusanku. Urusan kita belum selesai. Kita
harus meny elesaikan urusan kita lebih dahulu. Baru siapa
yang berhak mengurusi tamu-tamu itu. Mereka tamuku.
Segala akibat kehadirannya adalah tanggung jawabku." geram
saudara tertua itu. "Persetan," orang y ang mengaku lebih tua itu
membentak semakin keras. Katanya selanjutnya,
"Miy atsangka. Ternyata kau menjadi semakin keras kepala.
Pergi ke pendapa. Aku akan meny elesaikan persoalanku
dengan orang-orang ini sesuai dengan paugeran y ang aku
berlakukan di sini."
"Tidak. Jika kau memaksa, kita akan memaksakan
kehendak kita masing-masing tanpa berbicara apa-apa."
berkata saudara tertua itu.
"Anak iblis. Kau tahu akibatnya" Kalian akan mati
semuanya. Termasuk kau sendiri."
"Tidak ada bedanya. Mati nanti atau mati sekarang."
jawab Miy atsangka. Orang y ang m engaku berhak atas pimpinan perguruan
itu m enjadi semakin marah. Tetapi seorang yang nampaknya
lebih banyak mempergunakan nalarnya telah mencegahnya.
Katanya, "Biarkan saja ketiga anak muda dan perempuan itu.
Kita akhirnya akan meny elesaikannya juga nanti."
"Awasi mereka," geram orang itu, "jangan sampai
mereka melarikan diri."
"Mereka akan bersama kami berbicara dengan kalian di
pendapa." berkata Miy atsangka tiba-tiba.
"Apakah kau sudah gila." bentak orang yang mengaku
lebih berhak itu. "Mungkin," berkata Miyatsangka, "kau sudah terlanjur
memanggilnya keluar."
"Persetan," geram orang itu, "kau benar-benar sudah
gila." " Jangan hiraukan." berkata orang nampaknya lebih
banyak berpikir itu. Akhirnya orang itu pun telah pergi ke pendapa tanpa
menghiraukan orang lain. Sementara Miy atsangka yang
dianggap saudara tertua itu pun telah pergi ke pendapa pula.
Ternyata mereka duduk dalam kelompok yang terbagi. Satu
kelompok di sisi sebelah sedangkan satu kelompok di sisi yang
lain. Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan gadis itu
pun telah ikut pula duduk di pendapa. Ternyata dengan tidak
sengaja Mahisa Murti berempat telah duduk di belakang
kelompok yang dipimpin oleh saudara tertua yang disebut
Miyatsangka itu. "Baiklah," berkata pemimpin dari kelompok y ang lain,
yang agaknya merasa lebih berhak m emimpin padepokan itu,
"kita akan membagi hak. Seperti y ang sudah aku katakan,
maka aku tidak akan berkepanjangan. Aku akan m emimpin
perguruan ini. Sedangkan Miyatsangka akan mendapat hak
untuk membuka perguruan sendiri asal tidak menyangkut
nama perguruan kita di sini. Miy atsangka tidak boleh pula
menyebut-ny ebut bahwa ia memiliki sangkut paut dengan
guru dalam segala hal. Nah, jika ia m emenuhi hak y ang aku
berikan itu, maka aku tidak akan mengganggunya. Tetapi jika
ia melanggar maka kau akan menghukumnya."
"Tidak," jawab Miyatsangka, "seperti sudah aku katakan
pula, sebenarnya aku tidak terlalu bernafsu untuk memegang
kedudukan apa pun juga. Tetapi aku tidak dapat mengabaikan
pesan guru. Karena itu, maka aku akan memimpin perguruan
ini." "Kau tidak usah mengigau," berkata orang itu, "kau
harus melihat keny ataan. Saudara-saudara seperguruan kita
sudah menentukan, siapakah y ang mereka anggap benar.
Hitung, berapa orang y ang berpihak kepadaku dan berapa
orang y ang berpihak kepadamu. Sudah tentu kau tidak dapat
menghitung orang-orang lain y ang kau bawa kemari hari ini."
Miyatsangka menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian ia menjawab, "Kau kira kebenaran dapat diukur
dengan jumlah mulut y ang meneriakkannya" Aku yakin bahwa
tanpa kau takut-takuti dan kau ancam atau barangkali kau beri
janji-janji y ang tidak masuk akal, maka mereka tidak akan
berpihak kepadamu. Tetapi aku tetap berpegang kepada pesan
guru y ang didengar oleh semua murid-muridnya termasuk
saudara-saudaraku y ang berpihak kepadamu, bahwa akulah
yang mendapat beban untuk memimpin padepokan ini. Sekali
lagi aku katakan, bahwa aku tidak menginginkan kedudukan
itu. Yang aku lakukan adalah semata-mata pesan guru."
"Guru tidak tahu bahwa kami masih hidup. Jika guru
tahu, maka pesannya akan berbuny i lain." jawab orang yang
ingin merampas kedudukan itu.
" Jangan kau kira bahwa aku tidak tahu siapakah kau
sebenarnya. Kau bukan saudara tertua di perguruan ini. Tetapi
kau adalah justru paman guruku. Kau adalah adik seperguruan
guru. Karena itu, maka kau dapat menunjukkan ciri-ciri
perguruan ini dengan baik." berkata saudara tertua itu.
Wajah orang itu menjadi tegang. Sejenak ia justru
terdiam. Namun akhirnya ia berkata hampir berteriak,
"Jangan mencari-cari. Kau tidak akan dapat mengelak lagi.
Akulah saudara tertua di perguruan ini."
Tetapi Miy atsangka tetap berkeras kepala. Katanya
dengan mantap, "Tidak. Aku telah mendapat pesan guru yang


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak akan dapat diganggu gugat oleh siapapun."
"Persetan," geram orang itu, "kau tahu akibat dari
sikapmu itu." "Aku tidak peduli. Yang penting, pesan guru harus aku
lakukan sebaik-baiknya. Apa pun yang dapat t erjadi atas
diriku." sahut Miyatsangka.
Orang y ang mengaku tertua itu menggeram. Katanya,
"Ternyata kau memang keras kepala. Jika kau mati, maka kau
pun tidak akan dapat memenuhi pesan guru itu."
"Tetapi aku sudah menebusnya dengan ny awaku,"
berkata Miy atsangka. "Anak iblis," geramnya, "baiklah. Jika demikian maka
kami akan memenuhi keinginanku. Kami yang sebenarnya
datang dengan maksud baik harus bertindak lebih tegas lagi
menghadapi anak-anak bengal seperti kau ini."
Miyangsangka sudah tidak peduli lagi. Ia pun segera
bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Namun dalam pada itu, terdengar suara Mahisa Murti,
"Apakah persoalan ini benar-benar sudah tidak dapat
dibicarakan lagi?" "Anak setan," teriak orang y ang ingin merampas
kedudukan itu, "apa hakmu mencampuri persoalanku.
Sebaiknya kau diam saja. Jika kau masih juga berbicara, maka
mulutmu akan aku koyak sampai ke telinga."
Tetapi Mahisa Murti justru tertawa. Katanya, "Jangan
cepat marah. Kau akan menjadi semakin cepat tua."
Wajah orang itu menjadi m erah. Namun sebelum orang
itu bertindak, maka Miyatsangka berkata, " Jangan
mengembangkan persoalan. Tinggalkan tempat ini, dan
jangan mencoba merusak pesan guru. Kau adalah adik
seperguruan guruku, sehingga karena itu, m aka sebenarnya
aku pun harus menghormatinya." Miy atsangka berhenti
sejenak, lalu "Aku pun mengerti, sebenarnya aku memang
harus hormat kepada paman. Tetapi Paman telah menjadikan
diri paman sendiri, seorang yang tidak pantas dihormati.
Karena itu, apa boleh buat, jika aku telah m emberanikan diri
melawan paman untuk mengemban tugas guru. Aku y akin
bahwa y ang tidak bersalah akan dilindungi oleh Yang Maha
Agung." "Miy atsangka. Apakah kau sudah gila. Bukankah kau
tahu ketentuan yang memberi hidup. Tataran ilmuku?"
"Ya," jawab Miyatsangka tegas, "aku tahu tataran
ilmumu yang tinggi, meskipun belum set inggi guru. Aku ilmu
kau merasa tidak terkalahkan di padepokan ini."
"Setan manakah yang telah memberanikan diri
menghadapi aku." jawab Miy atsangka.
Demikianlah, maka k edua belah pihak pun segera telah
mempersiapkan diri. Nampaknya mereka sudah tidak
mungkin lagi untuk m enemukan titik terang, sampai kapan
pun mereka berbicara meskipun keduanya tetap bersaudara.
Orang y ang menginginkan kedudukan itu telah
memandangi orang-orang yang m enentangnya. Dengan jarijarinya
y ang gemetar ia menunjuk ke arah saudara-saudaranya
yang menentangnya sambil berkata, "Kalian tidak akan
mendapat kesempatan lain jika kalian tidak menyatakan
tunduk kepadaku sekarang."
Miyatsangka pun tidak dapat m enahan hatinya lagi. Ia
sa dar, bahwa pembicaraan yang mana pun tidak akan dapat
membawa hasil yang memuaskan baginya dan saudarasaudara
seperguruannya yang berpihak kepadanya. Karena itu,
maka Miy atsangka pun telah mempersiapkan saudara-saudara
seperguruannya untuk bersiap-siap.
"Kami tidak akan menyerang dengan licik," berkata
orang itu. "aku akan meny erang beradu dada. Karena itu,
turunlah ke halaman. Aku pun segera akan ber siap pula."
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat- pun telah berdesis di telinga Miyatsangka, "Aku
berpihak kepadamu. Seperti kedua saudara kandungku itu,
aku akan segera menjadi pembantu di sini."
Miyatsangka mengangguk-angguk. Kedua saudaranya
dan ketiga anak m uda itu m emang hanya dapat membantu,
karena mereka sebenarnya tidak terlibat ke dalam pertikaian
itu. Namun ia merasa bersyukur bahwa ketiga orang anak
muda itu telah berpihak pula kepadanya.
Tetapi ternyata Mahisa Murti telah memerintahkan agar
Mahisa Semu membawa gadis itu menepi dan menjaganya
agar tidak seorang pun mengusikny a.
"Mahisa Semu," berkata Mahisa Murti, "menghadapi
keadaan y ang paling gawat, maka kau dapat benar-benar
mempergunakan senjatamu sebagaimana pernah terjadi. Kita
memang bukan pembunuh. Kita tidak ingin membunuh.
Namun jika hal itu terjadi di peperangan, maka bukan sematamata
salah kita." -oooZHERAF.NEToooHIJAUNYA
LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 69 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo Converter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 069 MAHISA SEMU mengangguk-angguk. Ia mengerti
maksud Mahisa Murti. Karena itu maka ia pun kemudian telah
membawa gadis itu menepi demikian kedua belah pihak telah
turun dari pendapa dan berdiri di halaman.
Beberapa saat k emudian keduanya telah ber siap. Orang
yang ingin merampas hak untuk memimpin perguruan itu
telah berdiri di paling depan di antara para pengikutnya.
Seorang y ang disebut adik terdekatnya telah berdiri pula di
sampingnya. "Ay o," berkata orang itu, "siapakah yang akan melawan
aku. Jika ada di antara kalian merasa sebagai orang tertua
dalam perguruan ini, maka kadar ilmunya pun tentu paling
tinggi. Nah, marilah. Siapakah y ang ilmunya paling tinggi,
lawan aku." Miyatsangka mendekatinya selangkah demi selangkah.
Katanya, "Seharusnya aku menghormatinya sebagai aku
menghormati guru. Jangan kau kira bahwa aku tidak y akin
bahwa kau adalah adik seperguruan dari guru yang kau aku
sebagai gurumu itu. Karena itu, maka aku percaya bahwa kau
sebagai paman guruku tentu memiliki ilmu yang lebih tinggi
dari kami semuanya. Meskipun demikian, sebagaimana sudah
berulang kali aku katakan, bahwa aku berpegang teguh kepada
pesan guru. Aku harus melakukannya meskipun aku harus
mempertaruhkan nyawaku."
"Bukan main," geram orang itu, "kau adalah seorang
murid y ang sangat setia. Tetapi kesetiaanmu adalah kesetiaan
yang mati. Tentu guru menunjukmu waktu itu, karena guru
tidak melihat aku." " Jangan sebut guru lagi," berkata Miy atsangka, "kau
telah mengkhianati saudaramu sendiri. Kau terlalu tamak
dengan mengaku sebagai saudara kami y ang tertua."
"Sekarang tutup mulutmu. Cabut senjatamu. Kita
bertempur," berkata orang itu sambil berdiri bertolak
pinggang. Lalu katanya, "Kau masih sempat melihat langit
sesaat sebelum kau dijemput maut."
Miyatsangka m emang agak ragu. Ia sadar, bahwa orang
itu memiliki ilmu jauh lebih tinggi dari ilmunya. Karena itu,
maka ia pun sadar, bahwa nampaknya hari itu adalah harinya
yang terakhir. Tetapi sama sekali tidak ada niatnya untuk berkhianat
kepada gurunya. Ia akan menjalankan perintahnya sampai
ujung umurnya. Kedua belah pihak pun segera telah bersiap. Kedua belah
pihak sebagian besar terdiri dari saudara-saudara
seperguruan. Hanya dua orang y ang mengaku murid tertua itulah
yang sebenarnya bukan saudara seperguruan. Sementara di
pihak lain dua orang saudara kandung Miyatsangka siap
membantunya ditambah lagi dengan dua orang anak muda.
Ketika Miyatsangka melangkah mendekati lawannya,
tiba -tiba saja semua orang terkejut ketika Mahisa Murti lah
yang mendahuluinya sambil berkata, "Tidak pantas jika dua
orang saudara seperguruan akan bertempur berebut
kedudukan meskipun gurunya telah memberikan pesan."
"Apa maksudmu?" bertanya Miy atsangka yang juga
menjadi bingung melihat sikap Mahisa Murti.
"Begini saja," berkata Mahisa Murti, "aku akan minta
kedua orang y ang mengaku saudara tertua ini tidak ikut.
Biarlah saudara-saudaranya yang lain menyelesaikan
persoalan mereka. Soal key akinan antara salah dan benar.
Pesan guru merupakan kebenaran bagi murid-muridnya
sejauh itu menyangkut per soalan ke dalam dan tidak
bertentangan dengan kebenaran bagi paugeran hidup orang
banyak serta kebenaran menurut paugeran Yang Maha
Agung." "Kau nampaknya memang orang gila." geram orang
yang mengaku saudara tertua itu.
"Terserah apa yang ingin kau katakan," jawab Mahisa
Murti, "tetapi kau dan seorang saudaramu itu tidak patut
untuk bertempur melawan murid-murid perguruan ini.
Apalagi setelah aku tahu bahwa kau sebenarnya adalah paman
guru dari murid-murid perguruan ini. Dengan demikian aku
semakin yakin bahwa kau benar-benar dikendalikan oleh
ketamakanmu sehingga kau sampai hati memusuhi muridmurid
saudaramu dan bahkan mengaku saudaranya yang
tertua." "Tutup mulutmu atau aku terpaksa membunuhmu lebih
dahulu dari saudara-saudaraku y ang berkhianat itu," berkata
orang itu. Tetapi seperti tidak mendengar kata-kata itu Mahisa
Murti berkata kepada Miy atsangka, "jatuhkan perintah untuk
bertempur. Aku dan saudaraku akan mengikat kedua orang ini
dalam pertempuran y ang khusus, agar keduanya tidak ikut
campur dalam usaha menentukan siapakah yang benar-benar
mengabdi bagi perguruannya."
Tetapi Miyatsangka m enjadi ragu-ragu. Bahkan ia pun
kemudian berkata, "Ki Sanak. Terima kasih atas bantuanmu.
Tetapi kedua paman guruku itu adalah orang-orang yang
berilmu tinggi. Sebaiknya kau tidak menjadi korban pertama
dalam perselisihan antar keluarga perguruan kami. Biarlah
aku yang bertanggung jawab atas permusuhan ini dengan
dasar yang kuat, pesan guru."
" Jangan cemas Ki Sanak," berkata Mahisa Murti, "aku
adalah pelari yang ulung. Jika aku tidak dapat m engimbangi
kemampuan paman gurumu ini, biarlah aku m elarikan diri.
Orang itu tidak akan dapat mengejarku."
Namun Miy atsangka masih saja ragu-ragu. Ia merasa
bersalah untuk mengorbankan orang lain melawan kedua
orang y ang memang diketahui berilmu sangat tinggi itu.
Namun dalam pada itu, pemimpin kelompok y ang telah
menculik gadis itu pun berdesis, "Keduanya adalah anak-anak
muda yang berilmu tinggi."
"Tetapi tentu tidak setingkat dengan kedua paman guru
itu." desis Miy atsangka.
Namun agaknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah
berketetapan hati. Karena itu, maka keduanya langsung
mendekati kedua orang yang disebut paman guru oleh
Miyatsangka itu. Ternyata bahwa sikap Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
itu telah m embuat kedua orang tua itu sangat marah. Karena
itu, maka dengan isyarat, yang tertua di antara mereka telah
memerintahkan saudaranya untuk meny erang.
Demikianlah, maka kedua orang paman guru
Miyatsangka itu telah meny erang Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Menurut perhitungan mereka, dalam waktu yang
singkat, mereka akan dapat membunuh kedua orang anak
muda itu. Kemudian mereka akan segera menyelesaikan
sekelompok murid perguruan itu yang lain, y ang tidak m au
tunduk pada perintahnya. Miyatsangka m emang m enjadi berdebar-debar. Namun
ia - pun menjadi heran m elihat anak-anak muda itu dengan
tangkas mengelakkan serangan itu.
Sementara Miyatsangka termangu-mangu, saudaranya
yang telah menculik gadis itu berbisik lagi di telinganya, "Aku
kira keduanya akan dapat bertahan untuk waktu y ang lama,
sementara kita mendapat kesempatan untuk bertempur
melawan yang lain. Tanpa kedua orang paman guru itu, maka
kita tentu akan dapat menguasai mereka kembali. Baru
kemudian, kita bersama-sama melawan kedua paman guru
itu." "Kau memang berniat mengorbankan kedua orang anak
muda itu" Meskipun keduanya mampu bertahan berapa pun
lamanya, jika akhirnya harus kita korbankan, rasa -rasanya itu
tidak adil, karena persoalan ini adalah per soalan perguruan
kita." jawab Miyatsangka.
"Kita tidak akan m engorbankannya," jawab y ang telah
menculik gadis itu, "sudah barang tentu kita mengharapkan
keduanya dapat menang."
Miyatsangka termangu-mangu. Sementara itu Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat memang sudah bertempur. Kedua
orang y ang mengaku berhak memerintah perguruan itu, tidak
memandang perlu untuk mempergunakan senjata. Bagi
mereka kedua orang anak muda itu tidak lebih dari dua orang


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sombong namun tidak berarti sama sekali.
Dalam pada itu, Miy atsangka memang belum
memerintahkan saudara-saudaranya untuk meny erang. Tanpa
dua orang paman gurunya, maka Miy atsangka dan saudarasaudaranya
masih mempunyai harapan untuk dapat bertahan.
Tetapi bagi Miy atsangka, musuh yang utama memang kedua
orang paman gurunya itu. Jika keduanya dikalahkan, m aka
yang lain tentu tidak akan bertahan lebih lama lagi. Mereka
benar-benar tergantung k epada kedua orang paman gurunya
yang agaknya telah memberikan janji-janji yang khusus bagi
mereka. Bahkan orang-orang yang kemudian berada di halaman
itu telah terpesona melihat pertempuran yang semakin lama
menjadi semakin seru. Ternyata kedua orang paman guru dari saudara-saudara
seperguruan y ang bertengkar itu m erasa heran. Mereka tidak
segera dapat m enguasai anak-anak muda itu. Bahkan m ereka
tidak sekedar mempergunakan ilmu dasar mereka. Tetapi
mereka telah meningkatkannya dengan lambaran tenaga
cadangan di dalam dirinya.
Dalam pada itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih
harus menyesuaikan diri. Mereka m emang ingin memancing
agar kedua orang itu terikat dalam pertempuran melawan
mereka berdua. Sehingga dengan demikian maka yang lain
akan dapat bertempur melawan kemampuan y ang memadai.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian
menyadari, bahwa orang-orang y ang ada di halaman itu
perhatiannya sepenuhnya tertuju kepada mereka. Namun
justru karena itu, maka Mahisa Murti yang sempat meloncat
mendekati Mahisa Pukat berdesis, "Kita pergunakan saat ini
untuk mempertunjukkan satu arena pertempuran yang
menarik." Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi ia mengerti
maksudnya. Keduanya akan bertempur sejalan dengan tingkat
kemampuan lawan untuk mencengkam perhatian saudarasaudara
seperguruan y ang bertengkar itu. Jika mereka lupa
bertempur dan sekedar memperhatikan pertempuran yang
sudah terjadi itu, m aka pertumpahan darah antara saudara
seperguruan itu mudah-mudahan dapat dihindari.
Demikianlah, pertempuran antara Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat melawan kedua orang paman guru Miy atsangka
itu m emang menjadi semakin sengit. Ilmu m ereka semakin
lama menang menjadi semakin meningkat.
Kedua orang y ang berniat untuk menguasai perguruan
itu menjadi heran terhadap kedua orang anak muda itu.
Mereka sudah memperhitungkan, bahwa pekerjaan mereka
tidak akan begitu sulit di rumah itu. Jika orang-orang yang
menentangnya itu tidak mau sulit tunduk kepada ketentuan
yang dibuatnya, maka dengan cepat mereka akan dapat
menghancurkan mereka. Bahkan alasan itulah sebenarnya
yang diinginkannya, sehingga akan terjadi pertengkaran dan
pertempuran sehingga dengan demikian mereka akan dapat
mempunyai landasan yang kuat untuk membunuh mereka.
Tetapi adalah di luar perhitungannya bahwa mereka
akan berhadapan dengan dua orang anak muda yang telah
mampu melawannya untuk beberapa lama.
Yang tertua di antara kedua orang itu pun kemudian
berkata lantang, "Nampaknya keduanya merasa memiliki ilmu
yang cukup. Karena itu, maka kita tidak usah bermain-main.
Kita tidak mempunyai waktu cukup. Kita harus cepat
mengakhiri perlawanan mereka. Kita harus membunuh
segera." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendengar juga katakata
lantang y ang mendebarkan itu. Karena itu keduanya
menjadi semakin berhati-hati. Bukan menjadi kebia saan
mereka untuk meremehkan lawan. Apalagi kedua orang itu
adalah saudara seperguruan dari seorang guru y ang sangat
dihormati oleh murid-muridnya. Keduanya tentu orang-orang
yang memiliki ilmu y ang tinggi.
Sebenarnyalah sejenak kemudian, kedua orang itu pun
telah meningkatkan ilmu mereka. Keduanya ingin dengan
cepat membunuh anak-anak muda yang telah m emberanikan
diri melawan mereka. Tetapi ternyata tidak mudah untuk melakukannya.
Ketika kedua orang itu kemudian bergerak semakin cepat dan
semakin kuat, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
melakukannya juga. Bahkan keduanya kemudian telah
memancing lawan-lawan mereka untuk berpencar. Mereka
telah bertekad untuk mempertunjukkan satu permainan yang
akan sangat mengasy ikkan bagi saudara-saudara seperguruan
yang sedang bertengkar itu tanpa merendahkan k emampuan
kedua orang lawan mereka.
Karena itu, maka pertempuran antara mereka pun
semakin lama menjadi semakin sengit.
Namun agaknya kedua orang yang merasa diri m ereka
berilmu tinggi itu, masih belum merasa perlu mempergunakan
senjata. Mereka berniat untuk menunjukkan kepada orangorang
y ang menentang kuasanya itu, bahwa tangan-tangan
mereka akan m ampu mematahkan leher seseorang. Mereka
yang berani melawan mereka pun akan mengalami nasib yang
sama pula dengan anak-anak muda y ang sombong itu.
Tetapi, anak-anak muda itu ternyata selalu mampu
mengimbangi ilmu mereka meskipun ilmu mereka menjadi
semakin meningkat. Bahkan seakan-akan kedua orang itu
tidak melihat kesulitan sama sekali pada kedua anak muda itu.
Dengan demikian maka kedua orang itu menjadi
semakin yakin bahwa kedua anak muda itu tentu m emiliki
ilmu y ang tinggi. Itulah agaknya maka dengan sombong
keduanya berniat untuk merubah rencananya tentang
perguruan mereka itu. Tetapi jarak antara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
menjadi semakin jauh. Mahisa Murti bergerak semakin dekat
dengar sudut halaman, bahkan bergeser ke arah yang
berlawanan dengan Mahisa Murti.
Perhatian orang-orang yang ada di halaman itu terpecah.
Sementara kedua anak muda itu dengan sangat berhati-hati
menjajagi kemampuan kedua lawannya.
Pendekar Muka Buruk 11 Pendekar Rajawali Sakti 179 Patung Dewi Ratih Cinta Bernoda Darah 6
^