Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 16

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 16


melawan tikus-tikus kecil ini."
"Terserah kepadamu. Kau dapat ingkar atau dapat
memutar balikkan kenyataan. Tetapi, jika kau ingin terjun
lepaskanlah segala mimpimu tentang kitab itu, karena kau
akan mati." Orang itu tidak menjawab. Dengan serta m erta ia pun
telah m eny erang kembali Mahisa Murti y ang menempatkan
diri untuk melawannya, sementara y ang lain masih saja
bertempur melawan Mahisa Pukat dengan garangnya.
Dengan kekuatannya y ang sangat besar, lawan Mahisa
Pukat itu berusaha untuk meremukkan tulang-tulang Mahisa
Pukat. Karena itu, maka orang itu hampir tidak pernah
menghindari serangan-serangan lawannya. Tubuhnya yang
besar, tinggi dan k ekar itu merupakan jaminan bahwa orang
itu tentu orang yang berilmu tinggi dan m emiliki kekuatan
yang sangat besar. Namun demikian Mahisa Pukat sama sekali tidak gentar.
Meskipun setiap serangannya membentur kekuatan lawannya.
Mahisa Pukat sendiri memang belum m engerahkan ilmunya.
Ia masih mempergunakan kemampuan tenaga cadangannya
yang memang sangat besar.
Lawannya pun menjadi heran. Ia merasa bahwa
kekuatannya tidak akan dapat diimbangi oleh siapa pun juga.
Ia berharap bahwa dengan satu pukulan anak muda itu akan
jatuh terjerem bab dan dengan kakinya ia akan dapat membuat
anak muda itu kehilangan kemampuan melawan karena tulang
punggung nya patah. Seandainya ia masih akan tertolong,
tetapi untuk selanjutnya ia tidak akan mengganggu lagi.
Namun k emudian katanya di dalam hati, "Tidak akan pernah
ada orang y ang dapat lolos dari tanganku. Juga orang itu. Ia
akan mati dan terkapar di tanggul parit."
Tetapi, ketika mereka bertempur semakin sengit,
ternyata bahwa orang itu tidak segera mampu menguasai
Mahisa Pukat. Bahkan dalam benturan-benturan berikutnya, orang itu
merasa semakin sulit. Demikian pula lawan Mahisa Murti.
Dalam keseluruhan maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah
yang justru semakin mendesak lawannya.
Kedua orang itu memang merasa heran. Kedua orang
lawan mereka itu masih muda. Namun, keduanya ternyata
memiliki kemampuan dan ilmu y ang tinggi.
Karena itu, maka kedua orang yang merasa diri mereka
tidak terkalahkan itu telah merambah ke tataran ilmu yang
lebih tinggi. Mereka mulai menunjukkan kemampuan mereka diatas
kemampuan wajar seseorang.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai merasakan
perbedaan pada tingkat kemampuan ilmu lawannya. Ra sarasanya
lawan mereka itu mampu bergerak lebih cepat,
sehingga sekali-sekali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hampir
tersentuh serangan mereka.
Mahisa Semu y ang ada di luar arena memperhatikan
pertempuran itu dengan tegang. Mula -mula ia masih mampu
menilai kemampuan masing-masing. Mahisa Semu masih
mampu melihat unsur-unsur gerak pada ilmu yang
dipergunakan oleh kedua belah pihak. Namun kemudian tata
gerak mereka pun menjadi semakin cepat dan tubuh-tubuh
mereka pun menjadi seakan-akan semakin ringan.
Dalam pertempuran selanjutnya, maka Mahisa Murti
pun harus mengerahkan tenaga dan kemampuannya untuk
mengimbangi tata gerak lawannya. Sementara itu Mahisa
Murti masih harus menjajagi pula kekuatan lawannya. Jika
lawannya mulai m erambah ke ilmunya, yang dapat membuat
kekuatannya berlipat ganda, maka Mahisa Murti harus
memperhitungkan sebaik-baiknya.
Di lingkaran pertempuran yang lain, Mahisa Pukat pun
harus mengerahkan kemampuannya. Lawannya juga mampu
bergerak lebih cepat. Semakin lama semakin cepat.
Dengan demikian maka pertempuran antara Mahisa
Pukat dengan lawannya itu berlangsung semakin sengit.
Keduanya telah meningkatkan ilmu mereka, sehingga kaki
mereka pun seakan-akan tidak lagi menyentuh tanah.
Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat y ang memiliki
landasan berbagai ilmu di dalam dirinya itu, telah berusaha
untuk tidak berada pada tataran dibawah tataran ilmu
lawannya. Karena itu, betapa cepatnya lawannya bergerak, Mahisa
Pukat selalu mampu mengimbanginya. Bahkan sekali-sekali
dengan mengejutkan lawannya, Mahisa Pukat meny erang
dengan kekuatan y ang sangat besar, dari arah y ang tidak
terduga. Tetapi, lawannya ternyata tidak mudah untuk dapat
ditundukkannya. Setiap kali Mahisa Pukat m asih saja gagal
menyentuh tubuh lawannya itu. Namun, lawannya pun tidak
sempat pula mengenainya betapa pun ia mengerahkn
kemampuannya. Dengan demikian, maka keduanya telah bertempur
dengan sangat cepat dan dengan kekuatan y ang sangat besar.
Mereka berloncatan menyambar-ny ambar. Tangan mereka
bergerak-gerak melontarkan serangan yang keras. Kaki
mereka pun sekali-sekali terayun menyambar ke arah tubuh
lawannya. Tetapi, mereka masing-masing tidak segera berhasil
mengenai sasarannya. Mahisa Semu menjadi semakin berdebar-debar. Ia
merasa dirinya masih jauh ketinggalan sehingga ia tidak dapat
mengerti, apa y ang sedang terjadi. Meskipun sekali-sekali ia
menjadi cemas dan bahkan ngeri melihat pertempuran itu,
namun ia memang tidak dapat berbuat apa-apa.
Di arena pertempuran yang lain, ternyata lawan Mahisa
Murti lebih cepat kehilangan kesabaran. Karena Mahisa Murti
tidak segera dapat dikalahkannya, maka orang itu benar-benar
sudah tidak membuang-buang waktu lagi. Ia tidak saja
meningkatkan kekuatan dan kecepatan geraknya, tetapi orang
itu benar-benar telah memasuki ilmunya yang garang.
Ketika ia terdesak oleh serangan Mahisa Murti y ang
datang beruntun, y ang hampir saja dapat mengenainya, maka
orang itu telah meloncat menjauh. Ia memerlukan waktu
sekejap untuk memusatkan nalar budiny a, membangunkan
ilmunya yang dahsyat. Mahisa Murti yang siap memburunya, ju stru tertegun. Ia
tidak ingin m embentur kekuatan di luar kemampuannya jika
lawannya telah mempergunakan ilmu yang tinggi.
Sejenak Mahisa Murti melihat lawannya itu
mengatupkan telapak tangannya. Kemudian menggosoknggosokannya.
Ketajaman penglihatan Mahisa Murti menangkap
seakan-akan tangan itu telah membara, sehingga tangan itu
tentu akan dapat memancarkan panas yang tinggi.
"Apakah hanya telapak tangannya atau seluruh
tubuhnya" bertanya Mahisa Murti di dalam hatinya.
Namun Mahisa Murti memang ingin mencobanya.
Beberapa saat kemudian, orang itu telah meny erang pula
dengan garangnya. Dengan telapak tangannya ia berusaha
mengenai tubuh Mahisa Murti. Bahkan di saat-saat Mahisa
Murti meny erang pun orang itu selalu berusaha untuk
menangkis dengan telapak tangannya.
Tetapi, akhirnya Mahisa Murti dapat mengetahui, bahwa
yang membara hanyalah pada telapak tangannya. Pada bagian
tubuhnya yang lain sama sekali tidak terpancarkan udara
panas. Sehingga karena itu, maka ia harus menjaga agar
tubuhnya tidak tersentuh telapak tangan itu.
Namun, lawannya itu ternyata semakin lama semakin
berbahaya bagi Mahisa Murti, karena seakan-akan ia mampu
bergerak semakin cepat, sehingga Mahisa Murti menjadi
semakin sulit menghindari serangan-serangannya.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun tidak dapat
membiarkan dirinya menjadi korban kegarangan orang itu.
Ilmu yang dipilihnya untuk melawan ilmu lawannya itu adalah
ilmunya y ang disadapny a dari ayahnya. Tetapi, karena Mahisa
Murti m enyadari kedahsyatan ilmu itu, m aka ia t idak berniat
untuk mempergunakan dalam tataran tertinggi.
Demikianlah, maka dalam pertempuran selanjutnya
Mahisa Murti yang selalu menghindari sentuhan tangan
lawannya, suatu saat telah m eloncat untuk mengambil jarak.
Dalam saat y ang singkat, ia telah berusaha untuk
mempersiapkan ilmunya. Ketika lawannya itu meny erang, maka Mahisa Murti
telah meloncat sambil mengayunkan tangannya. Namun,
sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti m erasa ragu-ragu untuk
membentur lawannya dengan ilmu y ang diwarisinya dari
ay ahnya, meskipun hanya dengan mempergunakan sebagian
dari tangannya. Ternyata keragu-raguannya itu telah menimbulkan
kesulitan pada dirinya. Karena keragu-raguan itu telah
mengekangnya di saat ia benar-benar telah siap mengayunkan
tangannya sambil meloncat.
Karena keragu -raguan itu, maka lawannya y ang sedang
menyerangnya itu sempat menggeliat. Dengan demikian,
maka ia telah terlepas dari garis serangan Mahisa Murti.
Sementara itu k etika Mahisa Murti menyadari kesalahannya,
orang itu ju stru telah m enyerangnya dari sisi lain. Demikian
cepatnya, sehingga Mahisa Murti tidak sempat mengelak.
Dengan demikian, maka Mahisa Murti pun telah
menangkis serangan y ang datang dengan tiba -tiba itu dengan
lengannya. Satu benturan keras t elah terjadi. Lawan Mahisa Murti
itu bergetar. Beberapa langkah ia surut. Sesaat ia memang
terhuyung karena kehilangan keseimbangan. Tetapi, ternyata
bahwa ia mampu m emperbaiki keadaannya, sehingga ia tidak
jatuh terlentang. Namun dalam pada itu, sentuhan telapak tangan y ang
membara itu telah m engenai lengan Mahisa Murti. Panasnya
justru melebihi bara sehingga kulit Mahisa Murti telah
terkelupas karenanya. Betapa perasaan pedih telah menggigit
tangannya itu. Tetapi, gigitan pedih di lengannya yang terkelupas itu
ternyata telah membuat Mahisa Murti m enjadi sangat marah.
Dengan meningkatkan tenaga cadangannya Mahisa Murti
telah meningkatkan pula day a tahan tubuhnya untuk
mengatasi rasa sakit. Tetapi, perasaan sakit pada kulitnya yang
terkelupas itu ternyata masih saja terasa meny engat.
Karena itulah, maka keragu-raguannya itu pun telah
leny ap sama sekali. Apalagi ketika ia melihat lawannya itu
telah bersiap lagi. Nampaknya lawannya benar-benar ingin
membinasakannya. Tetapi, Mahisa Murti y ang kesakitan itu tidak ingin
mengalaminya lagi. Karena itu, maka ia pun telah
mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Ia harus membalas tanpa
dapat dilukai lagi. Mahisa Murti yang telah bersiap itu memang telah
menunggu serangan lawannya. Orang itu telah meloncat dan
mengayunkan kedua tangannya mengarah ke leher Mahisa
Murti. Rasa -rasa-ny a dengan tangan yang membara itu, lawan
Mahisa Murti itu akan mencekiknya sampai mati.
Menghentikan pernafasannya dan sekaligus membakar leher
itu. Kemarahan Mahisa Murti serta bayangan kematian y ang
mengerikan itu, telah mendorong Mahisa Murti untuk
melepaskan ilmunya tanpa ragu-ragu meskipun tidak dengan
sepenuh tenaga. Ketika tangan itu menyambarnya, maka dengan
tangkasnya Mahisa Murti telah m erendah sambil bergeser ke
samping, sehingga tangan yang rasa-rasanya telah yakin akan
menggapai kemenangan itu, sama sekali tidak meny entuhnya.
Lawannya itu memang menggeliat sambil menggapai
tubuhnya yang mana pun y ang dapat disentuhnya. Namun
Mahisa Murti telah memperhitungkan jarak itu.
Tetapi, ia tidak membiarkan lawannya itu terlepas dari
tangannya. Karena itu, demikian kedua kaki lawannya itu
menginjak tanah, maka Mahisa Murti telah meloncat
menyerangnya dengan kemarahan yang membakar jantung.
Namun, ilmu y ang diper siapkan memang bukan memuat
seluruh kekuatan y ang ada. Karena itu, maka yang terlontar
pun hanyalah sebagian saja dari bobot ilmunya itu.
Namun, yang tidak sepenuhnya itu ternyata tidak
terduga sama sekali oleh lawannya. Ketika Mahisa Murti
meluncur dengan ilmunya, maka lawannya itu pun berusaha
untuk menangkis serangan itu dengan telapak tangannya.
Namun ternyata ia terlambat. Demikian tangannya bergerak,
serangan Mahisa Murti telah menimpanya. Demikian
kerasnya, sehingga rasa-rasanya tubuh orang itu bagaikan
tertimpa gunung. Orang itu telah terpelanting bukan hanya satu dua
langkah. Tetapi, beberapa langkah lebih jauh. Bahkan untuk
selanjutnya, orang itu tidak bangkit sama sekali.
Mahisa Murti kemudian berdiri termangu-mangu
memandang lawannya yang terbaring diam. Perlahan-lahan ia
melangkah mendekatinya. Namun selangkah dari tubuh yang
terkapar itu ia berhenti.
Ternyata menurut penglihatannya orang itu telah
kehilangan segala kemungkinan untuk diselamatkan. Agaknya
Mahisa Murti benar-benar telah m engenainya di tempat yang
paling gawat. Di luar sadarnya, kemarahan Mahisa Murti telah
berpengaruh kepada ilmunya, Karena itu, meskipun tidak
dikehendakinya, namun pukulan Mahisa Murti itu telah
mematahkan tulang punggung dan beberapa tulang iga yang
berpatahan pula. Memang ada peny esalan di hati Mahisa Murti. Tetapi, ia
tidak m empunyai pilihan lain. Apalagi di saat ia benar-benar
sedang marah. Sementara itu, di tempat lain, Mahisa Pukat masih
bertempur. Ternyata kedua belah pihak telah mempergunakan
senjata mereka. Pedang. Namun, pedang Mahisa Pukat
memang tidak sebaik pedang lawannya. Pedang Mahisa Pukat
terbuat dari baja, tetapi tidak mengalami peny empurnaan
seperti pedang lawan Mahisa Pukat itu y ang buatannya
memang mirip dengan sebuah keris yang besar.


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lawan Mahisa Pukat itu nampaknya terlalu percaya
kepada senjatanya. Itulah sebabny a maka ia telah m eny erang
Mahisa Pukat dengan garangnya. Senjatanya terayun-ayun
mengerikan. Sekali-sekali senjata itu mematuk ke arah dada.
Apalagi ketika dilihatnya senjata Mahisa Pukat y ang
tidak lebih dari sebilah pedang buatan pandai besi di pasarpasar.
Tetapi, orang itu lupa menilai kemampuan Mahisa Pukat
itu. Sejenak kemudian maka pertempuran itu menjadi
semakin sengit. Lawan Mahisa Pukat itu juga melihat, bahwa
kawannya yang seorang itu sudah dapat dikalahkan. Namun,
ketika hal itu disinggung oleh Mahisa Pukat, orang itu ju stru
membentak, "Aku tidak peduli dengan orang yang bodoh itu
sehingga ia telah terbunuh sendiri."
"Sebaiknya kau menyerah" berkata Mahisa Pukat.
" Nilai kitab itu sama dengan nilai nyawaku" geram
orang itu. Mahisa Pukat menjadi marah. Apalagi ketika ujung
pedang itu hampir saja menyentuh tubuhnya.
Demikianlah, maka kedua orang itu bertempur semakin
sengit. Dalam keadaan yang mulai terdesak, maka lawan
Mahisa Pukat itu telah mengerahkan segenap kemampuannya.
Bahkan ia pun telah mengerahkan ilmunya pula.
Mahisa Pukat termangu-mangu ketika ia melihat pedang
lawannya itu m enjadi merah m embara. Sementara itu, udara
panas pun seakan-akan telah disebarkan di sekeliling pedang
itu. Karena itulah, maka rasa -rasanya Mahisa Pukat itu telah
dihembus oleh panas y ang semakin lama semakin terasa.
Mahisa Murti y ang telah m eny elesaikan lawannya serta
Mahisa Semu mulai menjadi cemas melihat Mahisa Pukat
yang selangkah demi selangkah bergeser surut.
"Apa y ang terjadi ?" bertanya Mahisa Semu.
Mahisa Murti tidak segera menjawab. Namun, ia pun
telah melangkah semakin lama semakin dekat.
Beberapa langkah dari arena itu, maka ia melihat
pertanda, betapa Mahisa Pukat itu merasa dirinya terpanggang
diatas api. Keringatnya mengalir dengan derasny a, sementara
kulitnya bagaikan menjadi kering.
Mahisa Murti memang menjadi cemas. Karena itu, maka
ia pun justru menjadi semakin mendekat.
Lawan Mahisa Pukat itu tiba -tiba saja telah berteriak,
"Ay o. Jika kau ingin bertempur berpasangan, aku tidak
berkeberatan. Majulah kalian bertiga."
Orang itu mulai menggerakkan senjatanya.
Sebenarnyalah bahwa terasa udara panas telah m enghembus
ke arah Mahisa Murti. Karena itulah maka ia sadari kesulitan
yang dialami oleh Mahisa Pukat.
Dalam pada itu kemarahan Mahisa Pukat telah m enjadi
semakin membakar jantungnya. Lebih panas dari udara yang
dipancarkan di seputar ujung pedang lawannya itu.
Karena itu, maka Mahisa Pukat tidak mempunyai pilihan
lain. Ketika udara panas itu memburunya kemana pun ia
beranjak, maka ia mulai menjadi muak.
"Kau telah memancing kematianmu sendiri," geram
Mahisa Pukat, "tetapi mudah-mudahan ilmumu cukup tinggi
untuk menghindari kematian itu."
Sesaat kemudian, maka Mahisa Pukat pun telah
meloncat mengambil jarak. Ia tidak lagi memegang senjatanya
di tangannya. Karena pedangnya memang pedang
kebanyakan, maka diletakkannya saja pedangnya itu di tanah.
Lawannya termangu-mangu sejenak. Ia m elihat Mahisa
Pukat bersiap. Namun, segala sesuatunya telah terlambat.
Mahisa Pukat telah siap melepaskan ilmu pamungkasnya.
Ilmu yang dapat dipergunakan untuk melontarkan kekuatan
yang dahsy at dari dalam dirinya serta menyadap kekuatan dari
alas di sekitarnya. Ketika lawannya dengan pedangnya itu meloncat
menyerang, maka Mahisa Pukat telah mengangkat tangannya
dengan telapak tangan menghadap ke arah lawannya yang
telah mengacukan pedangnya yang mampu melepaskan udara
panas itu. Demikianlah, maka dari telapak tangan Mahisa Pukat itu
seakan-akan telah m emancar cahaya yang berkilat m eluncur
dengan kecepatan y ang sangat tinggi, menyambar dada
lawannya itu. Yang terdengar adalah jerit kesakitan. Tubuh orang itu
telah terlempar dan jatuh terbanting di tanah beberapa
langkah dari tempatnya berdiri.
Sejenak suasana menjadi tegang. Namun, orang itu telah
terbaring diam tanpa bergerak sama sekali.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Mahisa Semu
justru menjadi berdebar -debar. Ternyata bahwa kakak
angkatnya itu memang memiliki ilmu y ang sangat tinggi.
"Agaknya y ang dikatakan bukan sekedar kebohongan
atau sekedar menakuti-nakuti lawan, bahwa ilmunya telah
setingkat dengan isi kitab itu, sehingga ia memang tidak
memerlukan kitab itu sama sekali."
Demikianlah maka kedua orang itu telah terbunuh.
Keduanya mati oleh ilmu yang memang sangat sulit untuk
dilawan. Dalam pada itu, orang-orang y ang datang terdahulu
memang menjadi sangat berdebar-debar. Kemarahan anakanak
muda itu akan dapat diarahkan kepada mereka
sepeninggal kedua orang yang ingin merampas kitab itu pula.
Sejenak anak-anak muda itu termangu-mangu. Namun,
Mahisa Murti lah y ang kemudian mendekati Mahisa Pukat
yang tertegun melihat sasarannya.
"Aku telah membunuhnya" berkata Mahisa Pukat.
"Apaboleh buat," desis Mahisa Murti, "aku pun telah
melakukan hal yang sama."
Mahisa Semu termangu -mangu-pula. Ia melihat kedua
saudara angkatnya itu meny esal atas pembunuhan yang
mereka lakukan. Bagi Mahisa Semu, membunuh dalam
pertempuran seperti itu adalah wajar. Pada saat-Saat jiwanya
diliputi oleh ketakutan dan kecemasan, rasa -rasanya setiap
orang yang menang merasa berhak membunuh yang kalah.
Menurut penglihatannya, maka yang menang selalu mendapat
kesempatan untuk berbuat apa saja.
Tetapi, ternyata ada perasaan lain pada kedua saudara
angkatnya itu. Membunuh bukanlah sesuatu yang dapat
menyenangkan mereka. Bahkan mereka menyesal karena
mereka telah membunuh, meskipun yang dibunuh itu orangorang
y ang hendak membunuh mereka.
Namun dalam pada itu, Mahisa Semu sama sekali tidak
mengatakan sesuatu. Sementara itu, sejenak kemudian Mahisa Murti telah
berpaling kepada orang-orang yang memburu kitab itu, yang
datang lebih dahulu dari kedua orang yang terbunuh itu.
Bahkan Mahisa Murti pun telah melangkah maju perlahanlahan
mendekati mereka. Orang-orang itu menjadi tegang. Mereka sebenarnya
tidak takut mati. Namun melihat sikap Mahisa Murti, rasarasanya
jantung mereka berdegup semakin keras.
Namun, mereka justru menjadi heran ketika mereka
mendengar Mahisa Murti itu berkata, "Ki Sanak. Kalian adalah
kawan-kawan kedua orang itu. Meskipun nampaknya
hubungan kalian tidak begitu akrab, namun kalian telah
mengenal mereka. Karena itu, maka kami serahkan sosok
tubuh mereka kepada kalian. Apakah kalian akan
menguburkannya atau tidak. Sementara itu kami akan
meneruskan perjalanan kami, menjelajahi hutan dan ngarai,"
Mahisa Murti berhenti sejenak, lalu katanya, "Tetapi ingat.
Jangan sekali-sekali berusaha m enemukan kitab itu. Apalagi
berusaha merampas k itab itu dari tanganku. Penulis k itab itu
pun tidak akan dapat mengalahkan aku. Seandainya ia mampu
melakukannya, tetapi orang itu tidak akan dapat mengalahkan
guruku. Siapa pun yang berani menentang aku, harus bersiapsiap
menentang seluruh perguruanku. Kau dengar?"
Orang-orang itu m engangguk dalam-dalam. Sementara
itu pemimpinnya berkata, "Kami mengerti. Kami sekarang
percaya bahwa isi kitab itu bukan segala-galanya. Kalian yang
mempergunakan ilmu dari jalur lain, ternyata memiliki
tataran yang sangat tinggi. Seandainya jika bukan kalian
sendiri, maka guru kalian tentu akan dapat mengalahkan
orang y ang menulis kitab itu. Puncak dari jalur ilmu yang
tertulis di kitab itu tidak akan dapat disejajarkan dengan
puncak ilmu pada jalur perguruan kalian."
"Nah, jika demikian maka kalian tentu tidak akan heran
jika kami akan membinasakan kitab itu. Kitab y ang tidak
banyak b erarti, t etapi sudah banyak m erenggut jiwa. Dengan
demikian maka kitab itu merupakan pertanda yang tidak
baik." Orang-orang itu tidak menjawab. Mereka memang tidak
lagi dapat mencegah atau berbuat apa pun tentang kitab itu.
Karena itu maka pemimpinnya berkata, "Segala sesuatunya
terserah kepada Ki Sanak."
"Baiklah. Sekarang lakukan sesuatu atas kedua orang
itu. Kami akan m elanjutkan perjalanan. Kami berpisah dan
selanjutnya tidak akan bertemu lagi. Jika kita bertemu lagi,
mungkin kami sudah berubah pendirian dan menganggap
bahwa sudah sepantasnya kalian dibunuh" berkata Mahisa
Murti. Orang-orang itu masih berdiam diri. Meskipun mereka
tidak takut menghadapi kematian, namun terasa tengkuk
mereka meremang. Mereka pun menyadari, bahwa anak-anak
muda itu tidak akan sungguh-sungguh mengancam mereka
untuk membunuhnya, tetapi yang dikatakan itu adalah
ungkapan kesungguhan mereka untuk tidak mau bertemu lagi.
Demikianlah, maka ketiga orang anak muda itu pun
kemudian telah meninggalkan orang-orang y ang termangumangu
itu. Sambil memandangi ketiga orang anak muda y ang
berjalan semakin jauh itu, pemimpinnya berdesis, "Mereka
adalah orang -orang yang aneh. Ternyata mereka tidak
mendapat kepuasan dengan membunuh. Jarang kita b ertemu
dengan orang-orang seperti mereka, apalagi y ang memiliki
ilmu y ang tinggi." Seorang di antara mereka menyahut, "Mereka tentu
murid-murid dari perguruan putih. Mereka menyadap bagi
satu kepentingan yang luas."
Pemimpinnya itu mengangguk-angguk. Mereka pun
kemudian segera teringat kepada kedua orang yang terbunuh.
"Kuburkan mereka," berkata pemimpinnya, "aku akan
merawat kawan-kawan kita yang terluka."
Orang-orang y ang masih mempunyai kekuatan untuk
melakukan pekerjaan itu pun segera melakukannya. Mereka
tidak merasa perlu mencari kuburan. Tetapi, mereka telah
membawa dua sosok m ayat itu ke sebuah gumuk kecil yang
berada di bulak itu. Dengan alat apa saja y ang ada, maka mereka telah
menggali batu-batu padas yang keras. Kemudian
membaringkan kedua orang itu serta m enimbuninya. Karena
lubang kubur itu terlalu dangkal, maka mereka telah
menimbuninya pula dengan bebatuan, agar kubur itu tidak
digali oleh binatang liar.
Sementara itu Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa
Semu telah meninggalkan tempat itu semakin jauh. Namun
dengan demikian mereka menyadari, bahwa kitab yang
dibawanya itu menjadi rebutan dari sekelompok murid di satu
perguruan. Meskipun kitab itu tidak terlalu mengagumkan,
tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus mengakui, bahwa
ada beberapa hal y ang barangkali akan dapat sangat berarti
bagi mereka jika mereka sempat mempelajarinya.
Demikianlah dalam perjalanan selanjutnya, Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat berusaha mengenali isi kitab itu lebih
banyak lagi. Sementara itu, maka keduanya pun tidak
melupakan kesediaan mereka untuk menempa Mahisa Semu.
"Kau ikuti dahulu jalur perguruanku," berkata Mahisa
Murti, "kelak, jika kau sudah mampu memilahkan unsurunsur
yang ada di dalam ilmu yang satu dengan y ang lain, kau
dapat mempelajari isi kitab itu pula."
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud
kedua saudara angkatnya. Sementara itu, ia pun mengerti
bahwa kedua saudara angkatnya itu telah berusaha dengan
bersungguh-sungguh untuk membimbingnya.
"Aku dapat mencapai separuh saja dari kemampuan
kedua saudara angkatku, aku sudah dapat dengan dada
tengadah kembali kepada ibu dan berkata kepada paman
bahwa aku dapat juga menjadi seorang laki -laki," berkata
Mahisa Semu kepada diri sendiri. Tetapi kemudian katanya,
"Tetapi aku tidak akan tinggal bersama mereka. Aku akan
mengikut saja ke mana kedua orang saudara angkatku ini
pergi. Rasa-rasanya keduanyalah y ang telah berhasil
melahirkan aku kembali setelah m enguburkan cara hidupku
yang lama." Dalam pada itu, dengan ancar -ancar dan arah, puncakpuncak
gunung dan pengenalan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat sebagai pengembara dan lebih dari itu, sebagai petugas
sandi dari Kediri, maka mereka segera tahu, arah manakah
yang harus mereka tempuh. Betapa pun jauhnya, namun
mereka t idak akan takut tersesat. Sementara itu, mereka
bertiga dapat saja tidur di m ana pun juga. Hanya jika langit
nampak sangat gelap oleh awan yang basah, maka ketiga anak
muda itu berusaha untuk dapat bermalam di banjar-banjar
padukuhan. Namun, mereka juga dapat bermalam di gubuggubug
kecil di sawah. Meskipun kadang-kadang mereka juga
berdebar-debar melihat dan mendengar guntur yang meledak
di langit. "Tidak ada ilmu y ang dapat melawan Petir dan guntur di
langit" berkata Mahisa Murti.
Hampir di luar sadarnya Mahisa Semu berkata,
"Alangkah dahsyatnya jika kita dapat menciptakan ilmu yang
mampu menyerap inti kekuatan guntur dan petir."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tertawa. Dengan nada
tinggi Mahisa Murti berkata, "Seandainya ada seseorang yang
dapat meny erap dan kemudian melontarkan kekuatan petir,
maka agaknya sulit dibayangkan bahwa orang itu tidak akan
menjadi congkak, dan bahkan barangkali akan lupa sangkan
paraning dumadi. Meskipun Kuasa Yang Tertinggi akan


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan mudah dapat memadamkan kemampuan itu dalam
waktu sekejap, namun jika orang itu dapat m empergunakan
kesempatan sebelum kemampuan itu padam, m aka dunia ini
akan rusak karenanya."
Mahisa Semu pun mengangguk-angguk. Katanya,
"Kemungkinan itulah yang dapat terjadi. Jarang sekali orang
yang memiliki kelebihan sempat mempergunakan
kelebihannya untuk kepentingan y ang baik dan bermanfaat
bagi sesama. Apalagi m empunyai arti bagi hubungan m ereka
dengan Yang Maha Agung."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Sikap itu ternyata mempunyai arti tersendiri bagi kedua orang
anak muda itu. Bagi mereka, ternyata Mahisa Semu telah
memiliki pembawaan sifat yang baik, sehingga mereka tinggal
memupuknya. Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
sama sekali tidak ragu-ragu lagi. Tetapi di samping memupuk
ilmu Mahisa Semu, mereka pun berkewajiban memupuk
sikapnya y ang baik itu. Karena bagaimanapun juga, sikap
seseorang menghadapi gejolak kehidupan ini akan mungkin
dapat berubah. Sebagaimana sebelumnya, m aka dalam perjalanan itu,
Mahisa Semu masih terus berlatih. Kadang-kadang mereka
dengan sengaja memilih jalan yang berat, yang terjal dan
rumit. Kadang-kadang mereka harus berlari-lari naik ke
punggung bukit. Dengan demikian maka mereka telah melatih
day a tahan tubuh mereka.
Di saat-saat tertentu mereka pun telah melatih jalan
pernafasan mereka. Bukan saja bagi kepentingan jalur
pernafasan serta irama pernafasan itu sendiri, tetapi dalam
hubungannya dengan peredaran darah serta getar jantung di
dada mereka. Dengan demikian maka peningkatan kemampuan
Mahisa Semu itu pun berlangsung dan berkelanjutan di setiap
hari. Selapis demi selapis. Meskipun tidak terlalu cepat, tetapi
meyakinkan. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih
juga meny empatkan diri mempelajari ilmu y ang tertulis di
dalam kitab itu. Menurut pendapat kedua anak muda itu,
sebenarnya tidak ada tanda-tanda bahwa ilmu y ang tertulis di
kitab itu cenderung m endor ong untuk melakukan kekasaran
dan apalagi penindasan. Terlebih-lebih lagi jika orang-orang
yang mengikuti jalur ilmu sebagaimana tertulis dalam kitab itu
sempat mempelajari bagian ke lima y ang m erupakan bagian
terakhir. "Sejak semula aku sudah berpendapat bahwa
seharusnya sejak bagian pertama, orang-orang yang
mempelajari isi kitab ini harus sudah mempunyai pijakan
sebagaimana tertulis di bagian terakhir" berkata Mahisa Murti.
"Nampaknya akibat dari kesalahan orang y ang m enulis
kitab ini, terjadi hal-hal y ang tidak diinginkan. Orang-orang
yang sudah mempelajari ilmu sampai kepada tingkat yang
sejajar dengan bagian y ang kedua, namun tidak disertai
landasan sebagaimana tersebut dalam bagian kelima, maka
mereka telah tersesat jalan. Mereka lebih dahulu merasa
menjadi seorang yang tidak ada tandingnya sehingga m erasa
paling berkuasa di dalam kehidupan sesama ini, dari pada
merasa betapa dirinya tidak lebih dari debu y ang tidak berarti
di hadapan Yang Maha Agung."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun, ia pun
kemudian berkata, "Nampaknya y ang menulis kitab ini,
meskipun ia sendiri tidak meninggalkan kehidupan yang tetap
terikat pada hubungannya dengan Yang Maha Agung, namun
ia bukan seorang yang di setiap saat merasa dirinya dekat
dengan yang Maha Agung itu. Karena itu maka hubungannya
dengan Yang Maha Agung tidak terasa terdapat di setiap
tarikan nafasnya. Pada bagian terakhir dari kerja besarnya
menyelesaikan kitab itu, barulah ia teringat kepada Yang Maha
Agung itu. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Karena itu bagi
keduanya kitab itu susunannya memang kurang baik, sehingga
menurut keduanya sebaiknya kitab itu jangan sampai jatuh ke
tangan orang lain. Jika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ingin
menolong mempertahankan jalur perguruan itu, maka mereka
harus bersedia menulis isi kitab itu kembali. Sejak pada bagian
pertama, maka orang y ang mempelajari isi kitab itu harus
sudah selalu merasa dirinya berada dibawah perlindungan
dari Yang Maha Agung, sehingga pendekatan itu terjadi sejak
awal sekali. Orang yang mempelajari ilmu itu, betapa pun m ereka
semakin tinggi kemampuannya, namun mereka tidak akan
dapat terlepas dari hubungan mereka dengan Penciptanya.
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
benar-benar bertekad untuk mempertahankan kitab itu agar
tidak jatuh ke tangan orang lain. Meskipun ia tidak benarbenar
ingin membinasakan kitab itu, tetapi t idak akan ada
orang lain y ang akan sempat membaca isinya sebagaimana
yang tertulis di dalam kitab itu.
Sementara itu, Mahisa Semu pun semakin lama semakin
menunjukkan kelebihannya. Ternyata di masa remajanya,
anak itu telah meny impan sesuatu yang berharga di dalam
dirinya, namun y ang tidak pernah mendapat kesempatan
untuk diungkapkannya. Ternyata ketika kesempatan itu datang, maka segera
nampak bahwa kemampuan y ang tersimpan itu ternyata
terlalu besar sehingga dengan cepat dapat dikembangkannya
dengan tuntunan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, yang
meskipun masih muda, tetapi sudah memiliki pengalaman
yang luas serta ilmu y ang sangat tinggi.
Di setiap hari, ketiga orang itu selalu berusaha untuk
berada di tempat y ang terasing agar Mahisa Semu sempat
berlatih. Sehingga dengan demikian maka saat-saat peningkatan
ilmu itu tetap t eratur dan mapan.
Di saat -saat seperti itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
selalu dengan sungguh-sungguh memberikan persoalanpersoalan
baru kepada adik angkatnya itu. Selain unsur-unsur
gerak y ang semakin meningkat, juga kemungkinankemungkinan
y ang dapat dihadapinya jika ia benar-benar
bertemu dengan lawan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menunjukkan
kepada adik angkatnya itu, berbagai unsur gerak y ang akan
dapat ditemuinya dalam pertempuran. Lawannya tentu tidak
akan mempergunakan unsur gerak yang sama sebagaimana
dilakukannya, sehingga kadang-kadang yang terjadi di m edan
adalah sesuatu y ang tidak diduga sebelumnya.
Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bukan
sa ja memberikan unsur-unsur gerak pada jalur ilmunya, tetapi
mereka telah m emberikan kemungkinan-kemungkinan untuk
mengembangkannya, terutama jika ia berhadapan dengan
orang-orang berilmu dalam pertempuran yang sebenarnya.
Mahisa Semu dapat memberikan beberapa macam gerak yang
melengkapi setiap unsur sesuai dengan pembawaan dan
kebiasaannya. Mungkin ada bagian-bagian tubuh Mahisa Semu y ang
paling dikuasainya, namun ada y ang agak sulit, sehingga
dengan demikian Mahisa Semu harus meny esuaikan unsurunsur
itu dengan kemungkinan yang ada di dalam dirinya.
Ternyata kecerdasan Mahisa Semu memungkinkannya.
Ia tidak dengan membuta saja m empergunakan unsur-unsur
gerak sebagaimana diajarkan oleh kedua saudara angkatnya.
Tetapi, dalam latihan-latihan y ang dilakukan dengan Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat yang kadang-kadang harus
memperagakan ilmu yang lain dengan unsur gerak yang lain
pula dari ilmu mereka, telah memberikan pandangan yang
lebih luas pada Mahisa Semu tentang ilmu y ang sedang
dipelajarinya. Demikianlah dari hari ke hari, kemampuan Mahisa
Semu semakin bertambah-tambah. Ia pun menjadi semakin
cepat berpikir dan semakin cerdik menghadapi kemungkinankemungkinan
y ang tiba-tiba muncul. Dengan demikian, maka baik Mahisa Murti maupun
Mahisa Pukat y akin bahwa pada suatu saat Mahisa Semu akan
menjadi seorang yang pilih tanding.
Karena itu, maka mereka tidak meny esal, bahwa mereka
telah membawa anak muda itu bersama mereka untuk
disiapkan menjadi pimpinan padepokan, m embantu mereka
berdua. Namun, sebenarnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
ingin mendapat sedikitnya dua orang y ang lebih m uda dari
Mahisa Semu. Tetapi, kehadiran Mahisa Semu telah memberikan
separuh jawaban y ang diperlukannya tentang kepemimpinan
masa depan, meskipun dengan selisih waktu y ang kecil.
Dalam pada itu, ketiga orang anak muda itu telah
menempuh jalan y ang panjang. Sementara itu Mahisa Murti
berkata, "Ayah tentu akan m arah j ika kita terlalu lama pergi.
Ayah tidak sempat menengok rumah kita di Singasari, serta
melakukan pekerjaannya. Meskipun ayah telah tua, tetapi
nampaknya ay ah masih segan untuk meninggalkan
pekerjaannya sama sekali. Meskipun kadang-kadang ayah
mengangguk-angguk j ika kita minta, tetapi suatu ketika ay ah
masih juga mengunjungi kawan-kawannya untuk menawarkan
barang-barang dagangannya itu.
Mahisa Pukat m engangguk-angguk. Kemudian katanya,
"ayah memang aneh. Meskipun sudah tua, tetapi rasa-rasanya
ia masih mampu berbuat banyak. Ia masih mampu
menunjukkan kepada orang lain bahwa ia m emiliki sesuatu
yang tidak dimiliki oleh kebanyakan orang. Sementara itu,
tenaganya memang masih utuh, atau setidak -tidaknya
sebagian besar masih ada."
"Ya," sahut Mahisa Murti, "jika kita paksa agar ayah
beristirahat saja atau sebagaimana diminta oleh kakang
Mahisa Bungalan untuk berada di Sangling, ay ah selalu
mengatakan bahwa jika tidak berbuat apa-apa, maka pertanda
kematian sudah mendekat."
"Mahisa Pukat tertawa. Sambil mengangguk-angguk ia
berkata, "Ya. Ayah memang tidak akan mungkin diam."
Meskipun demikian kedua orang anak muda itu memang
telah berjalan ke arah padepokan mereka. Meskipun m asih
terlalu jauh. Namun, anak-anak muda itu telah bertekad untuk
sambil berjalan kembali ke padepokan, mereka telah Tapa
Ngrame. Satu laku untuk menunjukkan kecintaan mereka
kepada sesama. Tapa Ngrame adalah satu laku y ang diujudkan
dengan kesediaan mereka memberikan pertolongan kepada
orang y ang benar-benar membutuhkan pertolongan mereka
dalam tujuan yang baik. Mereka tidak saja menolong orang-orang tua y ang
terlalu berat memanggul beban di pundaknya, tetapi m ereka
juga menolong orang-orang yang sakit, sesuai dengan
kemampuan mereka. Dengan sedikit pengetahuan tentang
obat -obatan sebagaimana mereka pelajari dari ay ah mereka,
maka mereka berusaha membantu orang -orang yang
memerlukan. Ketiga orang anak muda itu dengan kesungguhan hati
telah membantu seorang yang kebetulan m endapat kesulitan
dengan pedatinya yang tiba -tiba saja rodanya terlepas di jalan
yang berlumpur. Dengan bantuan ketiga anak muda itu, maka
pemilik pedati itu dapat mempergunakan pedatinya kembali
meskipun harus berhati-hati.
"Terima kasih anak-anak muda," b erkata seorang lakilaki
separuh baya yang membawa pedati itu, "jika tidak kalian
tolong maka lembuku itu akan dapat mati terhimpit."
"Kami sekedar melakukannya Ki Sanak" jawab Mahisa
Murti. "Siapakah kalian anak-anak muda. Satu kebetulan
bahwa anak-anak muda lewat jalan ini. Jika aku harus berlarilari
ke padukuhan minta pert olongan, agaknya aku akan
terlambat." "Kami tiga orang bersaudara y ang memang sedang
mengembara Ki Sanak. Kami tidak mempunyai tujuan selain
sekedar mengikuti langkah kaki" jawab Mahisa Murti.
" Jika demikian, apakah Ki Sanak bersedia singgah di
rumah kami betapa pun jeleknya," minta orang itu. Lalu
katanya pula, "Lihat langit mulai mendung. Matahari telah
turun. Sebentar lagi senja akan datang, sementara hujan
turun. Kalian bermalam di rumahku malam ini. Besok kalian
dapat meneruskan perjalanan."
Mahisa Murti termangu -mangu sejenak. Di luar
sa darnya ia telah menengadahkan wajahnya ke langit.
Memang awan yang hitam telah membayangi langit. Ra sarasanya
hari terlalu cepat sampai ke ujungnya.
Karena itu, maka katanya, "Terima ka sih Ki Sanak.
Agaknya memang lebih baik menerima ajakanmu daripada
basah kuyup oleh hujan semalam suntuk."
Pemilik pedati itu tertawa. Katanya, "Jika demikian
marilah." Ternyata bahwa Mahisa Pukat dan Mahisa Semu pun
sependapat. Sekali-sekali mereka sempat tidur di ruangan
yang hangat dan tidak basah oleh embun, apalagi hujan yang
lebat. Demikianlah, maka ketiga anak muda telah mengikuti
pedati yang berjalan perlahan-lahan. Pemilik pedati itu juga
tidak naik diatas pedatinya. Ia harus menjadi lebih berhatihati
agar rodanya tidak terlepas lagi dari por osny a.
Namun, ketika mereka sampai di rumah orang y ang
mempersilahkan ketiga anak muda itu singgah, mereka
terkejut. Dilihatnya seorang perempuan y ang menangis di
serambi rumah itu. Rumah y ang m emang tidak begitu besar.
Bahkan rumah y ang nampak kotor dan tidak terawat.
"Kenapa orang itu" desis pemilik pedati itu demikian
mereka memasuki regol halaman rumahnya.
"Siapa orang itu?" bertanya Mahisa Murti diluar
sa darnya. "Bekas ist eriku" jawab orang itu.
"Oo" Mahisa Murti tidak bertanya lebih panjang lagi.
Dengan tergesa-gesa pemilik pedati itu mendekati
perempuan yang sedang menangis itu.
"Ada apa?" bertanya pemilik pedati itu.


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku minta maaf. Anakmu terjerat oleh orang y ang
selama ini bersikap sangat baik kepadaku" jawab perempuan
itu. Wajah pemilik pedati itu menjadi merah. Katanya
dengan nada marah, "Aku mengerti sudah. Tetapi, apakah kau
membiarkannya saja" Kau harus bertanggung jawab. Dahulu,
ketika kau meninggalkan rumah ini, aku berusaha untuk
menahan anak itu agar ia tinggal bersamaku. Kau berkeras
untuk membawanya." "Aku memang bersalah. Tetapi sekarang bagaimana?"
perempuan itu menangis semakin keras.
"Mak sudmu bagaimana?" bertanya pemilik pedati itu.
"Ambil anak itu." jawab bekas isterinya.
"Bagaimana dengan kau?" bertanya pemilik pedati itu.
" Jika aku berkeberatan laki -laki itu mengambil anakmu,
ia akan membunuhku." berkata perempuan itu.
"Keparat," geram pemilik pedati itu, "ketika ia
membujukmu dan mengambilmu aku masih dapat
menyabarkan diri. Tetapi, kini ia akan mengambil pula anakku
dengan paksa setelah ia jemu memilikimu."
" Ia m emang bukan manusia wajar." tangis perempuan
itu. Pemilik pedati itu menggeretakkan giginya. Tiba-tiba
sa ja ia meloncat ke pintu rumahnya. Mendor ong pintu yang
tidak diselarak. Kemudian dengan tergesa -gesa ia melangkah
masuk. Beberapa saat kemudian ia telah keluar lagi dengan
membawa sebilah keris yang besar.
"Aku atau orang itu y ang akan mati." berkata pemilik
pedati itu. "Tetapi hati-hatilah. Ada beberapa orang laki -laki di
rumah itu. Nampaknya bukan orang baik-baik. Sejak tiga hari
yang lalu m ereka datang dan bermalam di rumahku. Karena
laki -laki yang membawaku pergi tidak lagi berminat kepadaku,
nampaknya aku justru akan diserahkan kepada laki-laki yang
ada di rumahku itu, sementara ia m enghendaki anak kita."
tangis perempuan itu. "Kenapa tidak kau bawa anakmu sekarang?" bertanya
pemilik pedati itu. "Tidak mungkin. Anak itu telah disekap dalam sebuah
bilik yang diselarak dari luar," jawab perempuan itu di selasela
isaknya. Lalu katanya, "Aku takut anak itu bunuh diri di
dalam biliknya." "Setan alas," pemilik pedati itu menjadi marah sekali.
Lalu katanya kepada Mahisa Murti dan saudara-saudaranya,
"Maafkan aku. Aku telah mengajak kalian datang ke rumah ini
agar kalian tidak terganggu oleh hujan. Tetapi, ternyata kalian
mendapat gangguan y ang lebih buruk lagi. Silahkan anak-anak
muda duduk di dalam. Aku tidak lama. Atau aku tidak akan
kembali lagi." "Tunggu Ki Sanak," berkata Mahisa Murti, "m eskipun
sekilas, aku dapat m enangkap per soalan y ang kalian hadapi.
Nampaknya beberapa saat yang lalu isterimu telah diambil
orang. Namun kemudian laki -laki y ang mengambil isterimu
itu justru akan mengambil anak perempuanmu. Sementara itu,
isterimu yang telah diambilnya itu akan dicampakkannya
kepada laki-laki y ang sekarang ada di rumahnya."
"Ya. Itulah yang terjadi." geram laki-laki itu.
" Jika demikian, aku dan saudara -saudaraku akan ikut."
berkata Mahisa Murti kemudian.
"Untuk apa" Aku akan memasuki sarang serigala.
Seperti yang dikatakan oleh bekas ist eriku, di sana ada
beberapa orang laki-laki y ang garang. Mereka akan dapat
melukai kalian," berkata pemilik pedati itu.
Tetapi Mahisa Murti menyahut, "Aku adalah
pengembara y ang pernah menjelajahi padang-padang yang
luas, hutan y ang lebat dan ngarai y ang panjang. Kau sebaiknya
mempercayai kami, bahwa kami akan dapat membantumu
sebagaimana kami membantu membetulkan pedatimu yang
rusak itu." Orang itu menjadi ragu-ragu. Namun, Mahisa Pukat lah
yang berbicara kemudian, "Marilah, sebelum terlambat.
Apakah rumahnya, tidak terlalu jauh?"
"Tidak terlalu jauh." jawab pemilik pedati itu.
Namun, bekas isterinya itu berkata, "Laki-laki itu sangat
berbahaya." "Kami akan pergi ke sana," berkata Mahisa Murti
kepada perempuan itu, "tolong, kau pergi ke rumah Ki Bekel."
"Tidak ada gunanya," sahut laki-laki pemilik pedati itu,
"orang itu sangat ditakuti di sini. Karena kedudukannya itu
pulalah isteriku tergila-gila di sini. Dikiranya ia akan menjadi
perempuan yang terhormat dan disegani di padukuhan ini,
bahkan di Kabuyutan ini. Tetapi kau lihat, akhirnya ia
dicampakkan seperti sampah kering."
"Kenapa tidak ada gunanya" Bukankah penguasa
tertinggi di padukuhan ini adalah Ki Bekel?" bertanya Mahisa
Pukat. "Sudah aku katakan. Orang itu sangat ditakuti." jawab
laki -laki pemilik pedati itu.
" Jika demikian, marilah. Jangan kehilangan banyak
waktu." berkata Mahisa Pukat.
Laki-laki pemilik pedati itu termangu-mangu. Namun,
justru anak-anak muda itulah y ang bergerak lebih dahulu.
Mereka melangkah ke gerbang halaman y ang tidak terlalu luas
itu. "Baiklah, jika itu atas k emauan kalian sendiri." berkata
pemilik pedati itu selanjutnya.
Ia pun kemudian melangkah pula ke pintu gerbang y ang
sudah condong dan hampir roboh itu. Namun ia sempat
berkata kepada bekas isterinya, "Tunggulah di sini. Tetapi jika
aku gagal membebaskan anakku, maka aku tidak akan pulang
selama-lamanya. Meskipun laki -laki itu ditakuti, tetapi aku
pun tidak takut mati."
Demikianlah, mereka pun telah dengan tergesa -gesa
meninggalkan halaman rumah y ang sempit dan kotor itu
menuju ke rumah seorang laki-laki yang ditakuti.
Beberapa orang yang melihat kepergian laki-laki pemilik
pedati itu menjadi berdebar-debar. Apalagi mereka yang
melihat bekas isterinya m enangis di sepanjang jalan menuju
ke rumahnya. "Sesuatu nampaknya akan terjadi." desis seseorang.
"Siapakah ketiga orang anak muda itu?" bertanya y ang
lain. "Mungkin keluarganya y ang datang dari jauh. Tetapi,
laki -laki itu agaknya sudah m erelakan isterinya. Kenapa tibatiba
saja ia marah sambil membawa keris" Apakah isterinya
yang menangis itu telah mengalami perlakuan buruk?" berkata
yang lain lagi. Laki-laki y ang pertama berkata, "perempuan itu tidak
setia. Sebaiknya dibiarkan saja apa yang terjadi atasnya. Tidak
perlu dibela dengan cara apa pun juga. Apalagi dengan
kekerasan. Laki-laki itu berilmu sangat tinggi. Kedatangannya
akan sama saja dengan m engantarkan ny awanya yang hanya
satu itu." Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi, tidak seorang
pun y ang berani menghentikannya.
Sementara itu, pemilik pedati y ang berjalan dengan
tergesa -gesa diikuti oleh ketiga orang anak muda itu pun
menjadi semakin dekat. Ra sa-rasanya bagi pemilik pedati itu ,
jalan menjadi sangat jauh dan langkah mereka menjadi
sendat. Namun, akhirnya m ereka menjadi semakin dekat pula
dengan rumah laki-laki y ang pernah m engambil istrinya dan
yang kemudian telah menahan anak gadisnya.
Tetapi, tiba -tiba saja Mahisa Murti menggamitnya dan
berkata, "Tunggu. Kita harus membicarakan cara y ang paling
baik untuk membebaskan anakmu."
"Ya. Aku akan masuk dan menghancurkan rumah itu.
Aku akan membunuh semua orang laki-laki yang ada di rumah
itu, atau aku y ang akan mati di tangan mereka." berkata
pemilik pedati itu. Pemilik pedati itu t ermangu-mangu. Sementara Mahisa
Murti berkata, "Kau masuk lewat regol depan bersama kedua
saudaraku ini." Orang itu m engangguk. Tetapi, agaknya ia tidak sabar
menunggu terlalu lama. Ia ingin segera menyelesaikan
persoalannya, meskipun akhirnya ia harus terbunuh, karena di
rumah itu terdapat banyak laki -laki y ang garang.
"Dengar pendapatku," berkata Mahisa Murti, "lebih baik
kita bekerja dengan cermat tetapi berhasil daripada tergesagesa
tetapi gagal. Mungkin kau tidak takut mati. Tetapi jika
kau mati, anakmu akan menjadi semakin menderita, bahkan
mungkin bekas isterimu itu. Ia harus kembali ke rumah itu
dengan ancaman terhadap anak perempuannya, sementara di
rumah itu ia akan dilemparkan kepada beberapa orang lakilaki
yang liar dan buas."
Pemilik pedati itu mengerutkan keningnya. Namun,
akhirnya ia mengangguk-angguk. Katanya, "Aku dengarkan
pendapatmu." Demikianlah maka Mahisa Murti pun telah memisahkan
diri. Meskipun ia belum pernah memasuki halaman rumah itu.
Tetapi, ketajaman penggraitanya telah menuntunnya, sehingga
tidak seorang y ang melihatnya ketika ia meloncati dinding
halaman masuk ke dalam. Sementara itu, pemilik pedati itu pun telah memasuki
regol halaman. Sementara malam mulai menyelimuti halaman
itu. Obor-obor pun telah terpasang di beberapa sudut dan di
regol halaman. Kedatangan pemilik pedati itu memang agak
mengejutkan. Dua orang laki -laki y ang ada di gandok, berlarilari
mendapatkannya sambil bertanya, "Siapa kau?"
Pemilik pedati y ang diikuti oleh Mahisa Pukat dan
Mahisa Semu itu telah berdiri di tengah-tengah halaman.
Dengan nada tinggi pemilik pedati itu menjawab, "Aku akan
bertemu dengan pemilik rumah ini."
"Siapa kau?" bentak orang itu.
" Jangan membentak-bentak," pemilik pedati itu
berteriak, "aku akan bertemu orang gila pemilik rumah ini.
Jika kau masih saja m engganggu aku, aku bunuh kau paling
dahulu." "Setan," geram orang itu, "kau kira kau ini siapa he" Kau
kira aku tikus clurut yang takut melihat tampangmu yang
buruk itu." Pemilik pedati itu hampir saja meloncat meny erang.
Tetapi Mahisa Pukat sempat menggamitnya dan berkata,
"Tunggu. Jangan tergesa-gesa."
Laki-laki itu m enggeram. Namun kemudian ia berusaha
untuk menahan diri. Katanya, "berkatalah kepada pemilik rumah ini. Aku
datang untuk mengambil anakku yang disembuny ikannya
setelah ia jemu dengan ibunya."
"Oo, jadi dalam hubungan itu kau datang kemari" Siapa
kau sebenarnya?" bertanya orang itu.
"Apakah kau tuli" Sudah aku katakan, aku ayah gadis
itu." jawab pemilik pedati itu.
Orang itu tiba-tiba tertawa. Katanya, "Kau tidak usah
menemui orang lain. Kau sudah menemui aku. Sekarang
pulanglah. Agar anakmu itu tidak m engalami kesulitan, bawa
perempuan itu kemari. Perempuan, ibu anakmu itu tentu
isterimu. Nah, jika isterimu ada di sini, maka anak gadismu
tidak akan mengalami sesuatu."
"Untuk apa isteriku harus datang kemari?" bertanya
pemilik pedati itu. Laki-laki itu tertawa. Katanya, "Di sini ada beberapa
orang laki -laki. Kami memerlukannya."
"Setan." sekali lagi Mahisa Pukat harus m enggamitnya.
Hampir saja Mahisa Pukat gagal mencegah orang itu.
Namun kemudian Mahisa Pukat lah y ang berbicara, "Ki
Sanak. Apakah kau memerlukan seorang juru masak" Jika
demikian, maka kau tidak usah memanggil perempuan itu.
Aku adalah juru masak yang paling baik sepadukuhanku.
Karena itu jika kau memerlukannya, maka kau dapat
memanggil aku saja."
"Anak iblis." geram orang itu.
Tetapi Mahisa Pukat tertawa. Katanya, "Jangan
mengumpat. Tenagaku tetap lebih kuat dari tenaga seorang
perempuan. Bukan saja untuk meny embelih seekor ay am.
Tetapi seekor sapi sekalipun."
Orang itu menggeram. Ia menjadi sangat marah
mendengar jawaban itu. Namun sebelum ia berbuat apa -apa,
dari dalam rumah itu telah keluar dua orang laki-laki. Mereka
melintasi pendapa langsung ke halaman.
Seorang di antaranya adalah seorang laki-laki y ang
bertubuh tinggi kekar, berjambang panjang dan berkumis
lebat. "Setan itu." geram pemilik pedati y ang melihat
kehadiran orang berjambang lebat itu.
"Kenapa kau kemari?" bertanya orang berjambang lebat
itu. "Kau atau aku yang mati. Atau kau lepaskan anakku."
geram pemilik pedati itu.
Orang itu tertawa. Katanya, "Kau harus berterima kasih.
Aku, orang y ang terpandang dan berpengaruh serta
mempunyai kekay aan y ang tidak terhitung telah mengambil
anakmu. Kau akan menjadi mertua seorang yang terpandang.
"Kau lebih jahat dari y ang aku duga. Sifatmu seperti
sifat seekor binatang. Kau ambil ibunya. Kemudian kau ambil
pula anaknya." geram pemilik pedati itu.
"Sudahlah," berkata orang berjambang itu, "jangan
merajuk. Justru aku minta bawa bekas istrimu itu kemari.
Hidupnya akan jauh lebih senang daripada menjadi isterimu.
Melarat dan menderita. Bukankah isterimu pulang ke
rumahmu dan melaporkan bahwa anaknya telah mendesak
kedudukannya" Aku tidak dapat mengelak ketika anak
perempuanmu itu mengatakan kepadaku, bahwa ia
mencintaiku. Ia m inta ibunya disisihkan untuk memberikan
tempatnya kepada gadis itu.
"Cukup," teriak pemilik pedati itu, "kau jangan omong
kosong. Aku tantang kau bertempur. Salah seorang di antara
kita harus mati."

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang itu tertawa berkepanjangan. Katanya, "Kau bukan
lawanku. Biarlah orang -orangku membunuhmu. Aku tidak
pantas mengotori tanganku dengan darahnya."
"Aku tantang kau berperang tanding," geram pemilik
pedati itu. Lalu, "Kau tidak dapat menunjuk orang lain.
Katakan saja, kau berani atau tidak?"
Orang berjambang lebat itu adalah orang berilmu. Tetapi
melihat bara kemarahan yang memancar di sorot mata orang
yang menantangnya itu, terasa hatinya berdebar-debar juga.
Ra sa -rasanya orang itu sudah tidak lagi m enyadari apa yang
telah dilakukannya, sehingga orang itu akan menjadi jauh
lebih berbahaya dari keadaannya sehari-hari.
Namun orang berjambang lebat itu berkata, "Anak
gadismu ada padaku. Kau t idak dapat berbuat apa-apa di sini.
Seandainya kau berani berperang tanding melawan aku, maka
kau tidak akan dapat menolong anak gadismu itu."
"Tetapi aku sudah membunuhmu." teriak pemilik pedati
itu. Orang berjambang itu tertawa semakin keras. Katanya,
"Seekor tikus tidak akan pernah dapat m engalahkan seekor
kucing." "Marilah. Jangan hanya membual." tantang pemilik
pedati itu. "Kau tidak akan dapat berbuat apa -apa di sini," berkata
orang itu. Lalu katanya kepada orang-orang y ang ada di
halaman itu, "jaga pintu gerbang. Jangan biarkan orang-orang
ini keluar. Kita akan m embunuh m ereka dan tengah m alam
nanti melemparkan mayat mereka di sungai."
"Persetan," teriak pemilik kedai itu, "serahkan anakku."
"Anakmu akan menjadi isteriku. Ia tergila-gila
kepadaku, meskipun ia tahu, aku sudah mengambil ibunya."
Namun, tiba-tiba saja m ereka yang ada di halaman itu
terkejut ketika terdengar suara dari belakang seketheng. Suara
seorang perempuan, "Omong kosong. Aku telah dimasukkan
ke dalam bilik tertutup itu."
Semua orang berpaling. Ternyata mereka melihat
seorang gadis berdiri di seketheng. Anak pemilik pedati itu.
"Gila. Bagaimana kau dapat keluar?" bertanya orang
berjambang itu. "Apa pun y ang kau lakukan. Aku sudah bebas." jawab
gadis itu. "Tidak. Kau tidak akan dapat keluar dari halaman ini."
"Kenapa tidak?" jawab perempuan itu.
Orang berjambang itu menjadi kebingungan ketika tiba -
tiba saja gadis itu hilang di balik seketheng.
"Tangkap anak itu," teriak orang berjambang lebat itu
sambil meloncat selangkah. Tetapi ia pun segera berhenti. Ia
menjadi bingung, karena ia juga tidak ingin melepaskan laki -
laki yang mencari anak gadisny a itu.
Karena itu, maka katanya, "jaga pintu regol itu, agar lakilaki
gila ini tidak keluar."
"Tunggu," berkata pemilik pedati itu, "ia adalah anakku.
Ia sudah beba s. Sekarang kita dapat bertempur. Aku tidak
takut mati." Tetapi, orang berjambang itu tidak menghiraukannya. Ia
pun segera berlari sambil bersuit ny aring.
Beberapa laki-laki telah keluar dari dalam rumah itu.
Dua orang mengikutinya, sementara y ang lain ada di halaman.
Laki-laki yang sudah berada di halaman itu lebih dahulu telah
bergeser ke regol serta menutup pintunya.
Ketika pemilik pedati itu berniat untuk bertempur
melawan siapa saja. Mahisa Pukat dengan sareh berkata,
"jangan tergesa -gesa. Kita mempunyai banyak waktu. Kita
harus berhasil dengan baik, tanpa mengorbankan nyawa kita."
Pemilik pedati itu t ermangu-mangu. Sementara Mahisa
Pukat y ang seakan-akan tidak menghiraukan keadaan itu
berkata, "Kita menunggu. Kita tidak perlu gelisah."
Pemilik pedati itu memandang wajah Mahisa Pukat
dengan tajamnya. Dengan geram ia bertanya, "Apa sebenarnya
yang kau maui" Anakku telah bebas. Dan sekarang ia sedang
melarikan diri. Aku harus membantunya meny elamatkan
dirinya." "Kau tentu tahu siapa yang membebaskan anakmu itu.
Saudaraku telah m emisahkan diri dari kita dan bukankah ia
berjanji untuk menemukan anak gadismu?" bertanya Mahisa
Pukat. Pemilik k edai itu termangu -mangu. Namun akhirnya ia
sempat menilai apa yang telah terjadi. Ia mulai dapat
menelusuri peri stiwa demi peristiwa, sehingga akhirnya ia
mengangguk-angguk. "Percayakan anakmu itu kepada saudaraku." berkata
Mahisa Pukat. "Ya. Mudah-mudahan anakku itu selamat." desis
pemilik pedati itu. Namun dalam pada itu, terdengar pintu regol y ang
sudah tertutup itu pun diketuk orang. Tidak sekedar memakai
tangan. Tetapi agaknya memakai sebongkah batu, sehingga
suaranya menghentak-hentak mengejutkan.
Dengan gerak naluriah, maka orang yang berdiri di
depan pintu itu telah membuka selaraknya dan sedikit
membuka daun pintunya. Namun mereka terkejut. Dibawah sinar obor di regol, ia
melihat seorang anak muda m embawa seorang gadis. Gadis
yang disangka telah melarikan diri itu.
Sebenarnyalah Mahisa Murti lah y ang berdiri di luar
regol bersama anak perempuan pemilik pedati itu. Sambil
tertawa Mahisa Murti berkata, "Ini anakmu. Marilah kita
pulang." Pemilik pedati itu memang berlari ke reg ol. Namun,
dengan tergesa-gesa orang yang berada di regol itu telah
menutup pintunya. Tetapi sebelum pintu itu diselarak, maka
tiba -tiba hentakkan y ang sangat keras dari luar telah bukan
sa ja membuka pintu itu kembali. Tetapi, pintu itu telah
berderak pecah dan terlempar menimpa orang y ang sedang
menutup itu sehingga jatuh terguling di tanah.
"Setan alas," geram orang itu sambil berusaha menyibak
pecahan pintu y ang menimpanya. Namun kemudian tertatihtatih
ia berusaha untuk bangkit.
Dua orang kawannya ternyata telah berdiri di pintu itu
pula, sementara yang lain telah memanggil orang berjambang
panjang itu. "Gadis itu ada di sini." teriak orang itu.
Orang berjambang itu dengan tergesa-gesa telah berlari
ke halaman depan. Sementara itu Mahisa Murti ju stru
menggandeng gadis memasuki regol dan berkata lantang,
"Kami m ohon diri. Bukankah kami tidak kalian perlukan di
sini?" "Siapa kau iblis" Apa hubunganmu dengan gadis itu,
sehingga kau berusaha untuk membebaskannya?" bertanya
orang berjambang itu. Mahisa Murti tertawa. Katanya, "Kau telah melanggar
kebebasan dan hak seseorang. Semua orang berkepentingan
untuk menegakkan hak seseorang atas dirinya sendiri. Gadis
itu berhak memilih, apakah ia ingin tinggal atau tidak di
rumah ini. Karena itu, maka aku telah membantunya untuk
memberikan kebebasan yang memang menjadi hak itu."
"Agaknya kau memang mencari persoalan anak muda,"
berkata orang berjambang itu, "apalagi kesombonganmu yang
tidak ada taranya. Seandainya kau merasa berhasil
membebaskan gadis itu, kenapa kau bawa gadis itu kembali
memasuki halaman ini?"
"Ay ah gadis itu ada di sini," berkata Mahisa Murti, "Aku
harus mengembalikan kepadanya. Biarlah ayahnya
membawanya pulang kepada ibunya. Meskipun kau telah
memperlakukan ibunya dengan kasar dan sangat menyakitkan
hati, namun baiklah, semuanya itu akan dilupakan. Sekarang,
kami akan minta diri."
Wajah orang itu m enjadi m erah. Dengan suara bergetar
oleh kemarahannya, ia menggeram, "Kau ini siapa" Kau
anggap aku ini apa he" Begitu enaknya kau m engambil gadis
itu dan kemudian akan pergi begitu saja."
"Habis, apa lagi" Kami hanya memerlukan gadis ini.
Dan gadis ini telah ada pada kami. Lalu apa lagi" Apakah kau
ingin aku membunuhmu" Aku kira itu masih belum perlu
sekarang ini. Kecuali jika kau menghalangi kami pergi."
Kemarahan bagaikan telah menyala sampai ke ubunubun.
Orang itu sadar, bahwa anak-anak muda itu dengan
sengaja menantangnya. Karena itu, maka ia pun berteriak
kepada orang-orangnya, "Kita tidak perlu mengekang diri.
Bunuh saja mereka itu."
Setiap laki-laki di halaman itu pun segera berpencar dan
mengepung pemilik pedati itu, anak perempuannya dan ketiga
orang anak muda yang menyertainya.
Namun, Mahisa Murti sama sekali tidak terpengaruh
oleh sikap itu. Bahkan sambil tertawa ia berkata, "Kau jangan
main-main Ki Sanak. Apalagi yang akan kau lakukan" Aku
sudah berkata, bahwa aku mohon diri bersama gadis itu, orang
tuanya dan saudara-saudaraku. Itu sudah cukup. Tetapi
agaknya kau memang ingin memaksa kami untuk
membunuh." "Cukup," teriak orang berjambang panjang itu. Lalu
sekali lagi ia berkata, "Bunuh mereka."
Mahisa Murti pun kemudian telah menarik gadis itu dan
berdiri di seputarnya bersama-sama dengan kedua saudara
dan saudara angkatnya. Kepada pemilik pedati itu ia berkata,
"jaga anakmu." Pemilik pedati itu memang bingung sesaat. Tetapi, ia
pun kemudian menyadari keadaan. Karena itu, maka tiba-tiba
sa ja ia pun telah menarik kerisny a dan menarik anaknya untuk
mendekatinya. Dalam pada itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan
Mahisa Semu telah berdiri tegak menghadapi kepungan.
Mereka m enghadap ketiga arah sementara pemilik pedati itu
berdiri sambil mendekap anaknya yang ketakutan.
" Jangan takut," berkata ay ahnya y ang merasakan tubuh
gadis itu gemetar, "di sini ada ay ah dan ada anak-anak muda
itu." "Siapa mereka ayah?" bertanya gadis itu.
Pemilik pedati itu termangu-mangu. Pertanyaan
anaknya itu ternyata telah menyentuh hatinya. Ia memang
harus bertanya sebagaimana anaknya itu. Siapakah mereka
agar tidak t erjadi satu peristiwa yang justru lebih buruk atas
anaknya itu kemudian karena mereka berdua tidak mengenali
ketiga orang anak muda itu.
Namun menilik sikap mereka, pemilik pedati itu
menduga, bahwa mereka bukanlah orang y ang pantas ditakuti.
Berbeda dengan orang berjambang panjang itu, y ang tabiatnya
jauh dari tingkat martabat seseorang.
Sejenak kemudian, maka orang-orang yang mengepung
kelima orang itu telah mulai bergerak. Mereka langsung
mempergunakan senjata-senjata y ang ada pada mereka.
Seorang telah membawa tombak pendek y ang tidak banyak
dipergunakan orang, karena mata t ombak itu berkait di satu
sisinya. Yang lain membawa kapak bertangkai agak panjang.
Bindi dan golok yang besar. Sedangkan seorang y ang umurnya
terhitung masih muda membawa sebilah pedang lurus yang
tajam di kedua sisinya. Demikianlah, maka di halaman itu telah terjadi
pertempuran y ang semakin lama menjadi semakin sengit.
Orang berjambang itu sendiri masih belum turun ke arena. Ia
justru telah naik ke tangga pendapa rumahnya untuk dapat
melihat lebih jela s, apa yang terjadi di halaman itu.
Orang itu berdiri dengan jantung yang berdebaran.
Ternyata dibawah cahaya obor di beberapa tempat di halaman
itu, ia m elihat betapa anak-anak muda itu bertempur dengan
tangkasnya. Mereka berloncatan sambil memutar senjata
mereka. Menangkis, menghindar, namun juga meloncat
menyerang dengan garang. Ternyata jumlah yang jauh lebih banyak di sekitar anakanak
muda itu tidak dapat segera m enentukan keseimbangan
pertempuran itu. Orang-orang yang garang dengan senjatasenjata
mereka y ang beraneka itu, mulai merasa betapa
beratnya ilmu pedang anak-anak muda y ang berada di dalam
kepungan mereka itu. Apalagi ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
kemudian menjadi cemas akan ketahanan Mahisa Semu. Jika
ia harus m engerahkan kemampuannya, maka pada suatu saat
tenaganya tentu akan susut.
Karena itu, sebelum hal itu terjadi, m aka Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat harus lebih banyak memancing tenaga
orang-orang y ang mengepungnya.
Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
itu berloncatan lebih tangkas lagi. Ia tidak saja m enghindari
serangan. Tetapi, ia justru lebih banyak meloncat meny erang.
Bukan saja orang-orang y ang ada di sekitarnya, tetapi
juga orang-orang y ang nampaknya di luar jangkauan ujung
senjata mereka. Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang
mampu membuat beberapa orang kebingungan. Sementara itu
Mahisa Semu yang m asih memerlukan banyak pengalaman,
bertempur dengan sengitnya. Meskipun sekali-sekali ia harus
menghindari serangan dua tiga orang sekaligus, tetapi
perhatian orang-orang yang mengepung mereka memang
lebih banyak tertuju kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Dengan demikian maka Mahisa Semu rasa-rasanya
mempunyai lebih banyak kesempatan untuk bertempur
melawan seorang lawan y ang kebetulan menyerangnya.
Untuk menghadapi orang-orang itu, ilmu pedang Mahisa
Semu benar-benar telah menggetarkan jantung mereka.
Apalagi jika mereka harus berhadapan seorang lawan seorang.
Beberapa saat kemudian, maka ternyata Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat menjadi jemu. Mahisa Semu memang tidak,
karena ia justru sedang mencari pengalaman y ang sebanyakbanyaknya.
Namun, ketika Mahisa Pukat sempat
mendekatinya, ia pun berbisik, "Pengalaman y ang tidak begitu
menarik bagimu. Ilmu mereka masih terlalu rendah. Entahlah
orang berjambang itu. Mungkin kau akan dapat
memanfaatkannya nanti jika ia turun ke arena."
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Tetapi ia kemudian
bertanya, "Apa yang sebaiknya aku lakukan dengan orangorang


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini?" "Kita hentikan saja perlawanan mereka. Tetapi,
nampaknya kita tidak perlu terlalu bersikap keras terhadap
mereka. Kecuali jika mereka memang keras kepala, atau
bahkan berbahaya bagi kita." berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Ia memang merasa,
bahwa pertempuran itu baginya tidak banyak memberikan
pengalaman. Selain bertempur melawan lebih dari seorang
lawan. Namun, bagi Mahisa Semu pengalaman itu juga akan
memberikan arti di samping pengalaman-pengalaman
bertempur melawan sekelompok orang dalam satu putaran
atau melawan unsur-unsur gerak dari ilmu yang belum pernah
dibayangkan sebelumnya. Melawan orang-orang yang demikian, Mahisa Semu juga
melatih ketabahan jiwani menghadapi bukan saja ilmu
kanuragan, tetapi sikap y ang liar, keras dan bahkan buas.
Umpatan-umpatan y ang paling kotor y ang belum pernah
didengarnya, serta sikap y ang sangat tidak mengenal paugeran
sama sekali. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
mempercepat tata gerak mereka. Pedang mereka yang tidak
lebih dari pedang kebanyakan itu berputaran mengerikan.
Bahkan tiba -tiba saja senjata lawannya telah terloncat dari
tangannya. Beberapa orang memang telah kehilangan senjata
mereka. Namun karena yang lain sempat mengambil alih
pertempuran itu, m aka orang-orang y ang kehilangan senjata
itu telah sempat memungutnya kembali.
Namun, hal y ang serupa telah terjadi pula. Senjatasenjata
yang terlepa s dari genggaman.
Di pendapa, orang berjambang itu memperhatikan
semuanya yang terjadi dengan hati yang bergejolak. Karena
itu, m aka ia pun menjadi tidak sabar lagi untuk membiarkan
orang-orangnya bertempur tanpa berkesudahan.
"Anak iblis," geram orang berjambang itu. "Nampaknya
aku harus melibatkan diri agar segalanya dapat diselesaikan
dengan cepat. Aku sudah jemu melihat permainan kalian yang
buruk itu." Tidak seorang pun y ang menjawab. Namun, orang
berjambang lebat itu benar-benar telah turun dari pendapa
mendekati arena pertempuran y ang semakin seru itu.
"Aku akan membunuh mereka, termasuk ay ah gadis itu,
dan kemudian mengambil gadis itu kembali." geram orang
berjambang panjang itu. Hampir di luar sadarnya gadis itu berteriak, "Aku tidak
mau. Aku tidak mau."
Ayahnya y ang kemudian m emeluknya berkata, "jangan
takut. Aku ada di sini."
Gadis itu memang menjadi agak tenang, sementara
pertempuran masih saja berlangsung dengan sengitnya.
Apalagi ketika orang berjambang itu telah turun ke arena.
Namun, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah terlanjur
jemu menghadapi orang-orang itu. Meskipun demikian,
Mahisa Pukat masih sempat berkata kepada Mahisa Semu,
"Jika kau ingin mendapat pengalaman yang sedikit berharga,
kau dapat melawan laki-laki berjambang itu."
Mahisa Semu mengangguk. Katanya, "Aku akan
mencoba." "Orang itu merasa dirinya orang terkuat di dunia ini.
Kau dapat menunjukkan betapa picikny a pengenalannya
tentang olah kanuragan." desis Mahisa Pukat.
Mahisa Semu tidak menjawab. Namun, ia pun kemudian
telah menempatkan diri menghadapi orang berkumis tebal
dan berjambang panjang itu.
"Apakah kau m asih m enghendaki gadis itu" " tiba-tiba
sa ja Mahisa Semu bertanya.
Pertanyaan itu ternyata telah menarik perhatian Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat sehingga keduanya telah terseny um
serta saling berpandangan.
Orang berjambang itu menggeretakkan giginya. Katanya,
"Kesalahanmu tidak dapat dimaafkan. Pertanyaanmu itu telah
mempercepat kematianmu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m eskipun tidak dapat
sal ing berbicara karena m ereka berada di tempat y ang agak
jauh, namun keduanya menilai bahwa Mahisa Semu m enjadi
semakin dewasa sikap jiwanya.
Ternyata bahwa Mahisa Semu tidak segera berkerut
mendengar ancaman itu. Bahkan dengan lantang ia menjawab,
"jangan berbicara tentang kematian. Tidak seorang pun dapat
menentukan kematian itu. Bukankah kau percaya dengan
kuasa Yang Maha Agung."
"Anak iblis," geram orang berjambang, "mulutmu y ang
harus aku koyak." Orang berjambang itu tidak menunggu lama lagi. Ia pun
segera meny erang dengan garangnya, sementara kawankawannya
y ang lain, y ang seakan-akan telah terhisap
seluruhnya ke halaman itu harus berhadapan dengan Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Sementara itu, pemilik pedati yang
berdiri di tengah-tengah, mendekap anaknya dengan keris di
tangan. Meskipun orang berjambang itu tidak banyak berpikir,
tetapi ia memiliki pengalaman y ang luas. Karena itu, yang
dilakukannya seakan-akan begitu saja mengalir dari dalam
dirinya melalui unsur-unsur gerak ilmunya.
Dengan demikian pertempuran antara keduanya itu
menjadi semakin sengit. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang
bertempur sambil berloncatan itu, tidak m elepaskan Mahisa
Semu sepenuhnya, karena mereka tahu, anak muda itu masih
jauh dari pengalaman. Tetapi, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih harus
menghadapi beberapa lawan sekaligus, karena itu, maka
mereka telah memutuskan untuk mengurangi jumlah
lawannya seorang demi seorang.
Dengan melemparkan senjata mereka saja, ternyata
bahwa orang-orang itu tidak menarik diri dari arena. Karena
itu, maka mereka harus dihentikan dengan kekerasan.
Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah bertempur lebih keras lagi. Mereka bergerak lebih cepat,
sementara pedang mereka berputaran semakin mendebarkan.
Sejenak kemudian, m aka Mahisa Pukat lah y ang telah
mulai mengurangi lawan. Pedangnya telah menggores di dada
salah seorang di antara mereka yang bertempur melawannya.
Ju stru orang itu berusaha untuk menyusup dan meny erang
laki -laki pemilik pedati yang sedang melindungi anaknya.
Namun, sebelum senjatanya meny entuh sasaran, terasa
senjatanya itu bagaikan m embentur selapis baja. Kemudian
terputar dengan cepat dan terlempar dari tangannya. Ketika ia
kemudian berputar menghadap ke arah orang yang
melemparkan senjatanya itu, tiba -tiba saja dadanya telah
tergores ujung pedang. Orang itu m engaduh kesakitan. Selangkah ia terdor ong
surut. Namun kemudian ia pun telah terjatuh di tanah.
Kawan-kawannya yang menyaksikannya segera
membantunya, membawanya menepi.
Namun demikian orang itu diletakkan di tangga
pendapa, maka seorang yang lain telah terlempar pula dari
arena. Seorang y ang bersenjata bindi. Bindinya y ang besar
yang terayun-ay un mengerikan itu telah m embentur pedang
Mahisa Murti y ang jauh lebih ringan. Tetapi, kekuatan yang
tersalur pada pedang itu telah mendorong bindi yang besar itu
terpental dan ayunannya bahkan telah menyeret pemiliknya
sehingga jatuh terkapar. Ketika orang itu tertatih-tatih bangun, maka seorang
kawannya justru telah terdorong dan jatuh menimpanya.
Bukan saja ia kehilangan senjatanya, sebilah golok y ang besar,
namun ternyata bahwa lambungnya telah terluka.
Demikianlah, lawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
memang mulai berkurang. Namun dengan demikian yang lain
justru menjadi bertambah marah. Beberapa kali di antara
mereka telah mencoba menyusup meny erang pemilik pedati
dan anak perempuannya itu. Tetapi usaha mereka tidak
pernah berhasil. Mereka tidak pernah dapat menjulurkan pedang sampai
menyentuh ujung keris pemilik pedati itu, apalagi m eny entuh
tubuhnya. Dalam pada itu, orang yang bersenjatakan kapak
bertangkai agak panjang yang bertempur bersama beberapa
orang kawannya melawan Mahisa Murti telah berusaha
melumpuhkan senjatanya. Orang itu tahu pasti, bahwa pedang
Mahisa Murti bukannya pedang y ang baik, sehingga karena
itu, maka orang itu telah berani mengayunkan kapaknya
dengan sepenuh kekuatan. Ia sadar bahwa jika terjadi
benturan senjata, maka tajam kapaknya yang terbuat dari baja
pilihan itu akan dapat mematahkan pedang lawannya.
Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Ayunan kapak itu
sama sekali tidak meny entuh pedang Mahisa Murti. Ju stru
ketika kapak itu terayun dengan derasnya, Mahisa Murti yang
tahu pasti bahwa baja kapak itu jauh lebih baik dari
pedangnya, justru telah menghindarinya. Namun demikian
kapak bertangkai agak panjang itu terayun sejengkal dari
dadanya, maka dengan Mahisa Murti meloncat maju. Ternyata
ia memiliki kecepatan jauh lebih besar dari orang itu.
Pedangnyalah yang kemudian memukul kapak itu. Bukan pada
baja pilihannya, tetapi pada tangkainya y ang terbuat dari kayu
pilihan. Kayu berlian. Namun, arah pukulan pedang Mahisa Murti y ang searah
dengan ayunan kapak itu, justru telah mendorong kapak itu
dari genggaman pemiliknya.
Orang berkapak itu m emaki kasar. Tetapi Mahisa Murti
memang tidak sempat menyerangnya karena orang lain,
dengan golok yang besar berlari menyerangnya dengan golok
terjulur lurus ke arah dada.
Namun demikian Mahisa Murti bergeser selangkah ke
samping, serangan itu gagal sama sekali. Orang itu ju stru
terseret oleh dorongan serangannya sendiri, sehingga ia tidak
sempat menghindari ketika kaki Mahisa Murti mengaitnya.
Orang itu telah jatuh terjerembab ju stru di depan
pemilik pedati y ang sedang melindungi anaknya itu. Goloknya
yang besar telah terlepas dari tangannya dan jatuh beberapa
langkah dari padanya. 0ooodwooo0 HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN
Jilid 68 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA
Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari
Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo Converter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada yang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 068 PEMILIK pedati itu memang terkejut. Namun dengan
gerak naluriah ia telah mengangkat kerisnya. Hampir saja
keris itu menghunjam ke punggung orang y ang tertelungkup
dihadapannya. Namun tiba -tiba saja anak gadisnya berdesis,
"Ayah." Laki-laki itu tertegun, sementara anak gadisny a telah
memalingkan wajahnya. Pemilik pedati itu menarik nafas dalam-dalam. Ia
menyadari keadaannya, bahwa sebaiknya ia memang tidak
membunuh. Namun ia tidak mau membiarkan orang itu
bangkit, m engambil senjatanya dan m elawan anak muda itu
lagi. Karena itu, maka ketika orang itu berusaha untuk
meloncat berdiri, keris pemilik pedati itu telah mengoyak
pundaknya. Orang itu m engeluh kesakitan. Tetapi luka di pundak
kanannya itu telah melumpuhkan tangannya pula, sehingga ia
tidak akan mampu bertempur dengan senjatanya.
Namun agaknya luka itu t erlalu dalam, sehingga darah
pun telah mengalir terlalu banyak. Dengan demikian maka
orang itu justru tidak berani lagi terlalu banyak bergerak.
Ketika ia kemudian bangkit, maka dengan tegangnya ia
bergeser mundur. Rasa-rasanya ia menjadi ketakutan jika ay ah
dari gadis y ang dipertaruhkan itu menusuk pada
punggungnya. Tetapi adalah diluar dugaan, bahwa tiba -tiba saja
serangan yang keras telah mengenai punggungnya. Mahisa
Pukat lah yang telah meny erangnya. Tidak dengan pedangnya,
tetapi dengan sisi telapak tangan kirinya.
Orang itu meny eringai kesakitan. Perlahan-lahan ia
justru jatuh diatas lututnya. Pukulan di punggungnya itu rasarasanya
telah membuat dadanya menjadi sesak. Tulangtulangnya
bagaikan berpatahan. Karena itu, maka akhirnya ia pun benar-benar jatuh
terlentang. Rasa -rasanya langit yang gelap menjadi bertambah
pekat, sehingga bintang -bintang pun menjadi kabur dan
leny ap sama sekali. Pingsan.
Pemilik pedati y ang mendekap anaknya yang ketakutan
itu berdiri termangu -mangu melihat orang itu terbaring diam.
Dari pundaknya masih mengalir darah y ang segar.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata telah berhasil
menghalau lawan-lawan mereka seorang demi seorang.
Seorang yang bersenjata sebatang tombak berkait, masih
berusaha untuk meny erang Mahisa Pukat dengan garangnya.
Tetapi Mahisa Pukat dengan tangkasnya selalu berhasil
menghindar. Bahkan sekali-sekali menangkis serangan itu
dengan pedangnya. Dengan demikian, maka lawan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat pun menjadi semakin susut. Dan bahkan
kemudian orang-orang terakhirlah yang masih saja bertempur.
Mereka tidak dapat melarikan diri, karena mereka justru takut
hukuman orang berjambang itu. Mereka m engenal orang itu
baik-baik, sehingga jika orang itu mengancam untuk
membunuh, ia benar -benar akan membunuh.


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara itu, Mahisa Semu masih bertempur melawan
orang berjambang itu. Ternyata keduanya memiliki ilmu yang
seimbang. Meskipun Mahisa Semu tidak memiliki pengalaman
seluas lawannya, tetapi ia memiliki dasar ilmu y ang lebih
tinggi, sehingga karena itu, maka Mahisa Semu dapat mengisi
kekurangannya itu dengan kelebihan yang lain.
Beberapa lamanya keduanya bertempur dengan
sengitnya. Senjata masing-masing telah berputaran, terayun
mendatar, menebas lurus menyamping, menyambar tegak
lurus dan mematuk ke arah dada.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang masih
bertempur melawan beberapa orang y ang sebenarnya telah
tidak berdaya. Tetapi agaknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
memang tidak menghentikan perlawanan mereka seluruhnya,
untuk menjaga suasana pertempuran. Jika pertempuran itu
berhenti sama sekali, maka Mahisa Semu akan dapat
memasuki satu keadaan perang tanding. Kedua orang anak
muda itu masih belum dapat melepaskan Mahisa Semu
memasuki perang tanding meskipun tingkat kemampuan
lawannya nampaknya memang seimbang.
Sambil bertempur dengan lawan yang tidak seimbang,
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengawasi pertempuran
antara Mahisa Semu dan orang berjambang itu. Mahisa Semu
kadang-kadang m emang terkejut m enghadapi lawannya yang
sudah berpengalaman luas sekali. Namun latihan-latihan yang
berat dan menggapai rentangan y ang luas, maka membuat
Mahisa Semu seorang anak muda y ang liat dan dengan cepat
mengatasi persoalan y ang tiba-tiba saja dijumpainya dalam
pertempuran itu. Mahisa Murti y ang masih saja bertempur melawan dua
orang dan Mahisa Pukat melawan orang yang bersenjata
tombak berkait. Bahkan sekali-sekali Mahisa Pukat masih juga
memberikan harapan dengan berloncatan surut. Membiarkan
pedangnya terkait oleh tombak lawannya, namun tidak
melepaskannya ketika lawannya menariknya meskipun
dengan hentakkan yang kuat. Bahkan tombak itu sendirilah
yang tiap kali hampir terlepa s dari tangannya.
Namun ketika pertempuran antara Mahisa Semu dan
orang berjambang itu menjadi semakin sengit dan gerakannya
semakin rumit, Mahisa Pukat merasa perlu untuk mengamati
lebih cermat. Sementara itu ia berusaha untuk mengamati
seluruh m edan dengan saksama. Orang-orang y ang terbaring
karena luka-lukanya. Orang y ang terdahulu terluka pada
pertempuran itu ternyata sempat ditolong dan dibawa menepi
oleh kawan-kawannya. Namun y ang terluka kemudian harus merangkak sendiri
menepi. Menurut pengamatan Mahisa Pukat, selain tiga orang
yang masih bertempur itu, tidak ada lagi orang y ang m asih
akan dapat m elibatkan diri. Karena itu, maka Mahisa Pukat
menganggap bahwa ia akan dapat meninggalkan arena itu dan
mendekati Mahisa Semu. Sementara itu, orang -orang itu akan diserahkan kepada
Mahisa Murti untuk melayaninya.
Namun, k etika Mahisa Pukat sedang m emperhitungkan
berbagai kemungkinan orang bertombak pendek itu telah
menyerangnya. Demikian tiba-tiba sehingga Mahisa Pukat
harus mengatasiny a. Ternyata Mahisa Pukat tidak mengelak. Ia telah
memiringkan tubuhnya sambil menangkis serangan itu
dengan pedangnya. Tombak itu memang terdorong
menyamping. Namun Mahisa Pukat telah memutar
pedangnya, sehingga seakan-akan telah membelit dan
memutar tangkai tombak pendek itu.
Tongkat itu ternyata telah terloncat dari tangannya.
Dengan tangkas Mahisa Pukat telah meloncat menggapai
tangkai tombak itu. Sementara itu pemiliknya juga telah
berusaha menggapai tombaknya y ang terlempar keatas.
Namun ternyata bahwa orang itu justru menangkap tangkai
tombaknya dibawah tajam berkait dari tombak itu, sementara
Mahisa Pukat di bagian lain. Karena itu ketika dengan tidak
sengaja Mahisa Pukat m enghentak menarik tombak itu, maka
kait pada tajam tombak itu justru telah mengait tangan
pemiliknya itu sendiri. Orang y ang tangannya terkait oleh tombaknya sendiri itu
telah menarik kesakitan. Mahisa Pukat pun agaknya telah
terkejut karenanya. Karena itu, maka tiba-tiba saja Mahisa
Pukat itu pun berkata lantang, "Jangan bergerak."
Orang itu justru telah membeku, sementara Mahisa
Pukat telah m endekatinya dan berusaha untuk mencabut kait
tombak y ang menancap pada tangan orang itu.
Orang itu berteriak kesakitan. Namun sejenak kemudian
Mahisa Pukat telah berhasil.
Ketika Mahisa Pukat melepaskan tangan orang itu dan
kemudian melemparkan tombak berkait itu, maka orang yang
tangannya t erluka itu telah tertatih-tatih menepi. Demikian ia
sampai di tangga pendapa, maka ia pun telah menjatuhkan
diri di samping kawannya yang juga telah terluka sambil
memegangi pergelangan tangannya untuk menahan arus
darahnya yang mengalir dari lukanya itu.
Dengan demikian, maka Mahisa Pukat telah terbebas
dari semua lawan-lawannya. Namun Mahisa Murti masih
bertempur melawan dua orang y ang sebenarnya sudah tidak
mampu untuk berbuat apa -apa, sehingga kedua orang itu
justru menjadi heran, kenapa lawannya tidak saja m engakhiri
mereka sekaligus. Karena itulah, maka meskipun keduanya tidak
menyerah, namun keduanya tidak lagi bergairah lagi untuk
bertempur. Mereka justru menjadi berdebar-debar, kenapa
lawannya itu masih saja membiarkannya bertempur.
Sementara itu, Mahisa Pukat lah y ang mendekati Mahisa
Semu yang ju stru bertempur semakin sengit. Keduanya
berloncatan serang m eny erang, desak-mendesak dan bahkan
ujung-ujung senjata mereka seakan-akan mulai meny entuh
kulit lawan masing-masing.
Sebenarnyalah, Mahisa Semu terkejut ketika segores
luka telah meny engat lengannya. Perasaan pedih bagaikan
menggigit tulang. Darah pun telah menitik dari luka itu.
Namun darah y ang hangat itu telah membuat jantung
Mahisa Semu berdegup semakin cepat. Kemarahannya
bagaikan membakar ubun-ubunnya.
Dengan demikian maka Mahisa Semu telah
mengerahkan segenap kemampuannya. Ia bergerak lebih cepat
dan ayunan pedangnya pun menjadi semakin kuat.
Sebenarnyalah bahwa lawannya yang telah mengerahkan
segenap kemampuannya justru merasakan bahwa tenaganya
mulai susut. Anak muda y ang tangkas itu justru baru dalam
puncak perlawanannya yang sangat garang.
Dalam serangan yang cepat dan tiba-tiba, maka Mahisa
Semu ternyata telah berhasil membalas luka di lengannya.
Ujung pedangnya telah mengoyak lam bung orang berjambang
itu. Mahisa Pukat yang menjadi cemas, telah menarik nafas
dalam-dalam. Ternyata bahwa Mahisa Semu mampu mengimbangi
lawannya y ang agaknya telah memiliki pengalaman yang
cukup luas. Bahkan beberapa saat kemudian, Mahisa Pukat
mulai melihat, bahwa tenaga orang berjambang itu mulai
menjadi susut. Nampaknya luka di lambungnya itu memang mulai
mengganggunya, sehingga setiap kali ia m eloncat m engambil
jarak sambil meraba lukanya itu. Tangannya sudah menjadi
merah oleh darah. Demikian pula pakaian y ang dikenakannya.
Namun orang itu tidak meny erah. Apalagi ketika sekilas
dilihatnya gadis y ang telah disembunyikannya itu berpegang
ay ahnya erat-erat. Tiba-tiba saja jantungnya menjadi semakin
bergolak. Bukan saja karena gadis itu terlepas dari tangannya.
Tetapi keinginannya untuk membunuh ayah gadis itu serasa
semakin mendesak di dalam dadanya. Ia tidak m au melihat
keny ataan bahwa semua orang yang berpihak padanya telah
tidak berdaya. Bahkan dua orang yang mula-mula masih bertempur
melawan Mahisa Murti telah kehilangan tenaganya sama
sekali, sehingga keduanya sudah tidak mampu lagi berbuat
apa-apa, selain menjatuhkan diri dan berusaha menjaga agar
nafasnya tidak terputus karenanya.
Dalam pada itu, Mahisa Murti ternyata m asih sempat
berkata lantang, "Aku mulai jemu dengan permainan ini. Siapa
yang m au mendengar kata-kataku, akan selamat. Tetapi jika
tidak, maka bukan salah kami jika kalian akan tertembus
tajamnya pedang. Minggirlah. Tinggalkan arena pertempuran
ini." Namun terdengar jawaban orang berjambang, "Bunuh
orang-orang itu, cepat. Siapa y ang m eninggalkan arena akan
aku bunuh sendiri." Tetapi Mahisa Semu menyahut, "Orang itu tidak akan
sempat membunuh siapa pun karena nyawanya akan segera
dicabut dari wadagnya yang sombong ini."
Orang berjambang itu m enjadi semakin marah. Dengan
serta merta ia meloncat menyerang dengan garangnya.
Tetapi Mahisa Semu benar-benar telah m empersiapkan
dirinya. Ia masih saja m enganggap pertempuran itu sebagai
satu upaya untuk menambah pengalamannya.
Ternyata bahwa orang berjambang itu memiliki ilmu
yang cukup. Dengan demikian Mahisa Semu m emang harus
mengerahkan kemampuannya. Dengan dasar ilmu yang
dimilikinya, maka sekali-sekali Mahisa Semu masih harus
berloncatan mundur. Orang itu rasa -rasanya akan
mendesaknya. Namun dengan membuat perhitunganperhitungan
yang mapan, maka Mahisa Semu dapat segera
menguasai keadaan k embali. Dengan tangkasnya ia memutar
pedangnya kemudian dengan perhitungan yang cermat ia
justru mulai mendesak lawannya dengan tusukan-tusukan
lurus ke arah dada. Bahkan dengan sisa tenaga y ang ada, maka orang
berjambang itu masih berusaha untuk mendesak Mahisa
Semu. Nafsunya yang menyala di dadanya, memang membuat
lukanya seakan-akan tidak terasa. Tetapi darahnyalah yang
tidak dapat dicegahnya, mengalir semakin deras.
Dengan demikian, maka tenaganya pun menjadi
semakin cepat susut. Bahkan kemudian, rasa-rasanya kakinya
menjadi berat bagaikan timah, sementara tangannya pun
menjadi lesu dan tidak bertenaga lagi untuk menggerakkan
senjatanya. Maka mereka pun segera sampai pada akhir dari
pertempuran itu. Orang berjambang itu benar-benar telah
kehilangan penalarannya. Dengan membabi buta ia
menyerang Mahisa Semu y ang belum berpengalaman. Ketika
orang itu meny erangnya dengan melibat dari jarak yang
sangat dekat, serta mengumpat-umpat kasar dan bahkan
kotor, Mahisa Semu m emang menjadi agak bingung. Namun
latihan-latihan yang berat dan mapan telah memberikan
banyak kemungkinan baginya. Bahkan justru pada saat-saat
lawannya bagaikan kehilangan akal itu Mahisa Semu telah
mempergunakannya dengan sebaik-baiknya meskipun agak
tergesa -gesa. Demikianlah, beberapa saat kemudian, pertempuran itu
kian menjadi rapat. Keduanya pun seakan-akan tidak dapat
mengambil jarak sama sekali. Senjata kedua orang itu sekalisekali
mencuat, namun pada kesempatan lain saling menekan.
Sehingga akhirnya, terdengar teriakan nyaring bagaikan
menggetarkan langit. Beberapa saat kemudian Mahisa Semu pun bergeser
surut. Tubuhnya berlumuran darah, bukan saja di lengannya
yang terluka. Tetapi di dadanya pun telah memerah darah.
Mahisa Pukat terkejut. Dengan serta m erta ia m eloncat
mendekati Mahisa Semu. Namun langkahnya tertegun ketika kemudian ia pun
melihat orang berjambang panjang itu juga berlumuran darah.
Bahkan senjatanya telah terkulai jatuh, terlepas dari
tangannya. Beberapa langkah ia tertatih-tatih surut. Namun
kemudian ia pun telah terjatuh terlentang. Dadanya
menyemburkan darah dari jantungnya y ang tertikam senjata
Mahisa Semu. Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Darah di
tubuh Mahisa Semu adalah pancaran darah lawannya. Tubuh
Mahisa Semu sendiri tidak terluka selain lukanya yang
terdahulu. Mahisa Pukat menepuk bahu adik angkatnya itu sambil
berkata, "Kau berhasil melindungi dirimu sendiri."
Mahisa Semu tidak menjawab. Diperhatikannya orang
yang telah terbujur diam itu.
"Apakah aku telah membunuhnya?" bertanya Mahisa
Semu. "Bukan salahmu." berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Semu berdiri mematung sambil m emperhatikan
lawannya yang telah terbunuh itu. Sedangkan Mahisa Murti
pun telah berdiri disebelahnya pula.
"Satu akibat yang sulit dihindari di peperangan,"
berkata Mahisa Murti, "Marilah. Beristirahatlah di pendapa
itu." Mahisa Murti pun kemudian telah membimbing Mahisa
Semu sementara Mahisa Pukat mengajak pemilik pedati yang
masih saja mendekap anak gadisny a yang ketakutan untuk
pergi ke pendapa dan duduk di tangga.
Sementara itu beberapa sosok tubuh terbaring di
halaman. Mahisa Murti memang tidak melukai lawanlawannya
y ang terakhir. Tetapi membiarkan mereka kehabisan
nafas dan kemudian menghentikan perlawanan mereka.
Untuk beberapa saat halaman rumah itu memang
menjadi lengang. Beberapa orang masih mengerang kesakitan.
Yang lain terengah-engah, sementara yang lain lagi diam
membeku. Namun beberapa saat kemudian Mahisa Murti telah
mendekati kedua orang lawannya y ang terakhir. Sambil
berdiri bertolak pinggang ia berkata, "Nah, sekarang giliran
kalian untuk mati." Kedua orang itu t erkejut. Dengan nada tinggi keduanya
bertanya hampir berbareng, "Kenapa?"


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalian tidak usah bertanya. Kalian tahu, bahwa kita
sedang bertempur. Dalam pertempuran bukankah membunuh
lawan itu merupakan satu hal y ang biasa?"
"Tetapi kenapa baru sekarang?" bertanya salah seorang
dari keduanya, "kenapa tidak di saat kita sedang bertempur."
" Itu adalah urusanku. Kapan saja aku ingin membunuh,
maka aku akan m embunuh. Demikian pula sekarang ini, aku
tiba -tiba saja ingin m embunuh kalian." berkata Mahisa Murti
pula. " Jangan," minta y ang seorang, "jangan bunuh kami."
"Terserah kepadaku, apakah aku akan m embunuh atau
tidak." jawab Mahisa Murti.
Orang-orang itu menjadi pucat. Mahisa Murti memang
nampak bersungguh-sungguh. Namun ketika dilihatnya kedua
orang itu benar-benar menjadi ketakutan, maka katanya,
"Baiklah, jika kalian tidak ingin mati. Tetapi ada syarat yang
harus kalian lakukan."
"Syarat apa?" bertanya kedua orang itu hampir
berbareng. "Urusilah kawan-kawanmu y ang terbunuh. Terserah
kepadamu apa y ang akan kau lakukan atas rumah ini dan
persoalan-persoalan lainnya. Kami akan meninggalkan tempat
ini." berkata Mahisa Murti.
"Tetapi apa yang dapat kami katakan kepada orangorang
lain jika mereka berdatangan ke tempat ini?" bertanya
salah seorang dari mereka.
" Itu urusanmu. Tetapi ternyata sampai sekarang tidak
ada seorang pun yang mempedulikan apa y ang telah terjadi di
sini. Karena itu, m aka kalian akan dapat berbuat banyak di
sini." berkata Mahisa Murti.
"Tetapi jangan serahkan seluruhnya kepada kami. Di
sini ada beberapa orang terbunuh, terluka dan bahkan parah."
berkata seorang di antara mereka.
" Jika demikian maka kalian akan aku bunuh saja sama
sekali. Semua orang aku bunuh, dan kami akan pergi dengan
tenang." geram Mahisa Murti.
" Jangan. Jangan lakukan itu." m inta keduanya hampir
berbareng. Mahisa Murti ter senyum. Katanya, "Jika demikian, maka
kalian harus melakukan apa yang aku minta."
Kedua orang itu termangu-mangu. Sementara Mahisa
Murti berkata pula, "kalian dapat memilih. Melakukan
permintaanku atau aku bunuh sama sekali."
Kedua orang itu memang menjadi tegang. Keduanya
mengumpat di dalam hati. Tetapi keduanya memang tidak
dapat berbuat lain. Karena itu, maka m ereka tidak berbuat sesuatu ketika
Mahisa Murti kemudian mengajak Mahisa Pukat, Mahisa
Semu dan ayah dan anak perempuannya itu pergi.
Demikian mereka keluar dari regol halaman, ternyata
mereka merasakan, berpasang-pasang mata tengah
mengawasi mereka dari balik dinding, dari balik dedaunan
dan dari tempat-tempat tersembuny i yang gelap. Tetapi
nampaknya m ereka tidak berani untuk berbuat sesuatu. Bagi
mereka, penghuni rumah itu adalah orang yang menakutkan.
Jika ada orang y ang dapat menundukkannya, maka orangorang
di sekitarnya tentu akan berterima kasih.
Tetapi Mahisa Murti dan orang-orang y ang bersamanya
tidak menghiraukan orang-orang itu. Mereka berjalan
digelapnya malam menuju ke rumah pemilik pedati yang
masih saja mendekap anaknya y ang hampir saja menjadi
korban itu. Namun sejenak kemudian, maka apa y ang terjadi itu
telah menjadi bahan pembicaraan orang. Beberapa orang yang
telah memberanikan diri untuk menjenguk ke halaman setelah
mereka m elihat beberapa orang m eninggalkan halaman itu.
Mereka memang terkejut m elihat beberapa sosok tubuh yang
terbaring. Sementara itu, orang y ang masih dapat berdiri tegak di
halaman itu menjadi ketakutan.
Namun orang y ang menjenguk itu pun segera
meninggalkan halaman itu. Mereka tidak mau terlibat dalam
persoalan yang tidak m ereka ketahui, sementara orang-orang
padukuhan itu menganggap bahwa di dalam rumah itu
terdapat orang -orang berilmu y ang lebih senang bertindak
menurut kesenangan mereka masing-masing tanpa
menghiraukan orang lain. Ketika tidak lagi nampak orang di reg ol, maka salah
seorang di antara m ereka dengan tergesa-gesa telah berlari
untuk menutup pintu regol itu dan meny elaraknya dari depan.
"Setan," geramnya, "orang-orang itu benar-benar iblis."
"Lebih baik kita mengubur mereka daripada kita y ang
dikuburkan." sahut yang lain.
Kawannya tidak menjawab. Namun kemudian
diamatinya orang-orang y ang terluka. Katanya dengan
lantang, "Siapa y ang tidak mau dikubur harus ikut mengubur.
Siapa yang tidak lagi bangkit, maka ia akan diseret ke lubang
yang akan aku buat di samping gandok itu."
Beberapa orang yang terluka masih mencoba untuk
bangkit. Tetapi t ernyata ada di antara mereka yang m emang
tidak berhasil. Namun akhirnya mereka yang masih m ampu
melakukan telah membantu membuat beberapa lubang untuk
mengubur kawan-kawan mereka y ang terbunuh.
Namun ternyata dua orang y ang m asih cukup kuat itu
telah dengan diam-diam meninggalkan tempat itu ketika
semuanya dianggap sudah selesai. Mereka m erasa lebih baik
tidak bersangkut paut lagi dengan orang -orang yang di dalam
halaman rumah itu serta orang-orang padukuhan.
Tetapi orang-orang yang terluka tidak dapat berbuat
seperti keduanya. Mereka terpaksa tetap berada di tempat itu
dan berusaha m enolong diri sendiri jika mereka t idak m au
mati. Sementara itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa
Semu bersama kedua orang ayah dan anak gadisnya itu telah
menyusuri jalan ke rumah orang itu. Beberapa orang memang
dengan tidak sengaja melihat mereka melintas di depan gardu.
Bahkan orang y ang kebetulan melihat pemilik pedati itu
berangkat dengan tergesa -gesa sambil membawa keris telah
melihat orang itu kembali membawa anaknya.
"Orang itu berhasil membebaskan anak gadisnya."
gumam orang itu. "Luar biasa," sahut yang lain, "bukankah di rumah itu
seakan-akan tersembuny i maut y ang dapat m enerkam setiap
saat." Orang-orang di gardu itu m engangguk-angguk. Namun
mereka pun mulai menilai anak-anak muda y ang lewat
bersama pemilik pedati y ang membawa anaknya itu.
Seorang di antara mereka berkata, "Anak-anak muda itu
tentu telah menolongnya."
"Mungkin. Tetapi dapat terjadi kemungkinan yang lain.
Terlepas dari mulut harimau, gadis itu akan dapat jatuh ke
mulut seekor buaya." berkata y ang lain.
"Mak sudmu?" bertanya y ang pertama.
"Apakah anak-anak muda itu benar -benar tanpa pamrih
jika mereka menyabung nyawa melepaskan gadis itu"." jawab
kawannya. "Tetapi mereka masih muda. Nampaknya ada
keseimbangan dibanding dengan iblis tua itu. Apalagi iblis itu
telah mengambil ibunya pula sebelumnya." jawab yang
pertama. Kawannya mengangguk-angguk. Namun ia tidak
menjawab. Sementara itu, pemilik pedati itu pun telah sampai ke
regol halaman rumahnya. Namun tiba -tiba ia menjadi
termangu-mangu. "Kenapa?" bertanya Mahisa Murti.
Orang itu m enarik nafas dalam-dalam. Tetapi akhirnya
ia pun telah m elangkah m emasuki regol halaman rumahnya
yang tua. Namun bagaimanapun juga ay ah dan anak gadisny a itu
nampak ragu-ragu. Meskipun di rumah itu telah diny alakan
lampu minyak, namun keduanya tidak segera masuk.
"Menunggu apa lagi?" bertanya Mahisa Murti.
Pemilik pedati itu tidak menjawab. Namun dalam pada
itu, ternyata isterinya y ang ada di dalam, telah mendengar
kehadiran mereka, sehingga ia pun telah berlari-lari ke pintu.
Dalam keremangan malam dan lam pu minyak y ang
suram di dalam rumahnya y ang meny orot lewat pintu yang
terbuka, ia melihat anak gadisny a y ang masih ketakutan dan
berpegang erat kepada ay ahnya. Karena itu, maka perempuan
itu pun segera berlari-lari mendapatkannya.
Tetapi perempuan itu terkejut. Anak gadisnya itu tidak
lari pula kepadanya, tetapi ia justru menjerit ketakutan dan
bersembunyi di belakang ayahnya.
"Anakku." desis perempuan itu.
"Tidak," gadis itu hampir berteriak, " Ibu khianati ayah
dan ibu bawa aku ke rumah iblis gila itu, sehingga hampir saja
aku menjadi korbannya pula. Ibu datang ke rumah itu dengan
sengaja dan dengan senang hati menerima laki-laki itu. Tetapi
aku tidak. Dan aku tidak menerima perlakuan laki-laki itu
terhadapku." "Anakku." suara ibunya bagaikan tersumbat.
" Jangan ibu sentuh lagi aku." berkata gadis itu.
"Oo." perempuan itu menangis.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu
termangu-mangu sejenak. Namun Mahisa Murti pun
kemudian berkata, "Marilah. Kita masuk ke dalam. Kita akan
berbicara dengan baik."
Pemilik pedati itu telah membimbing anaknya masuk.
Ibunya mengikutinya di belakang, sementara ketiga anak
muda itu- pun telah masuk pula.
Orang itu memang bukan orang yang berkecukupan.
Nampaknya hidupnya t idak lebih dari m encukupi kebutuhan
sehari-hari. Tidak ada perabot rumah y ang berharga.
Sementara segala sesuatunya nampak sangat sederhana.
"Silahkan duduk." pemilik pedati itu mempersilahkan.
Ketiga orang anak muda itu duduk di sebuah amben
yang cukup besar. Agaknya itulah satu-satunya kekayaan
orang itu. Dalam pada itu, perempuan yang sedang menangis itu
pun kemudian berkata, "Aku memang bersalah. Aku m ohon
maaf." Pemilik pedati itu pun termangu-mangu. Dipandanginya
isterinya yang pernah meninggalkannya itu sejenak. Namun
anak gadisny alah y ang berkata, "Di rumah laki-laki itu segalagalanya
memang ada. Di hari-hari pertama, ibu merasa senang
sekali hidup di rumah itu. Segala kebutuhannya dipenuhi.
Sementara itu, di rumah itu memang tidak ada perempuan
lain selain para pelayan. Tetapi itu tidak berlangsung lama.
Laki-laki itu mulai mengambil perempuan lain. Perempuanperempuannya
sendiri y ang untuk sementara memang
disisihkan. Ibu mulai mengalami masa yang suram.
Perempuan-perempuan y ang semakin banyak telah mulai
menunjukkan sikapnya y ang tidak senang. Bahkan laki -laki itu
pun mulai menunjukkan sikap y ang lain. Akhirnya malapetaka
itu pun datang. Laki-laki itu mulai memperhatikan aku,
sehingga pada suatu hari, aku pun mulai dikurungnya. Aku
harus mengalami masa-masa yang menakutkan, ketika aku
dipersiapkan untuk menjadi isterinya pula, yang barang tentu
akan menyingkirkan ibu dan bahkan akan m elemparkan ibu
kepada beberapa orang laki-laki y ang ada di rumah itu
sebagaimana satu dua perempuan pernah mengalami
sebelumnya." Laki-laki pemilik pedati itu menggeram. Sementara
perempuan y ang merasa bersalah itu masih saja menangis
sambil berkata, "Aku mengaku bersalah. Aku bersedia
dihukum apa pun juga. Tetapi jangan pergi daripadaku."
Tetapi anak perempuannya menyahut, "Seorang
perempuan y ang telah meninggalkan suaminya dan pergi
kepada laki -laki lain karena godaan harta benda dan
kesenangan duniawi, tidak sepantasnya dipanggil seorang
ibu." "Anakku," tangis ibunya, "hidupku sudah cukup
tersiksa. Kau jangan menambah siksaan itu lagi."
" Ibu telah menggali lubang. Ibu akan terperosok sendiri
ke dalamnya." berkata anak gadisnya.
Ibunya menangis semakin pedih. Seakan-akan
peny esalan yang tidak terbatas telah m enusuk ke jantungnya
yang paling dalam. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu memang
menjadi bingung. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka
lakukan. Mereka mengerti, betapa anak itu hatinya terluka di
saat ia disekap oleh orang berjambang y ang pernah
mengambil ibunya dari ay ahnya. Betapa pula kecewa gadis itu
kepada ibunya waktu itu. Ketika ayahnya datang membebaskannya, maka hati
anak itu menjadi semakin dekat dengan ayahnya dan semakin
jauh dari ibunya. Namun ternyata bahwa laki -laki pemilik pedati itu
adalah seorang yang berhati samodra. Dengan lembut ia
berkata, "Sudahlah anakku. Semua sudah berlalu. Laki-laki
berjambang itu tidak akan mengganggumu lagi. Ia pun tidak
akan membawa ibumu meninggalkan rumah kita ini."
"Kakang," suara perempuan yang menangis itu
tersumbat di ker ongkongan. Lalu di antara isaknya terdengar
pula suaranya, "Kau memaafkan aku?"
Laki-laki itu m emandang anak gadisnya sambil berkata,
"Marilah kita bersama-sama melupakan masa lampau yang
pahit itu untuk mulai dengan satu kehidupan baru."
"Tetapi ay ah," gadis itu masih menangis pula, "ibu telah
berkhianat kepada ayah. Kesalahan itu tidak akan dapat
ditebus dengan apa pun juga. Dosanya kepada ay ah tidak akan
dapat terhapus." "Aku mengerti," berkata pemilik pedati itu, "y ang dapat
menghapus dosa itu adalah kebesaran hati kita. Karena itu,
maka kita harus memaafkannya. Dengan demikian maka
kesalahan y ang betapa pun besarnya akan terhapus
karenanya." Anak gadis itu termangu-mangu. Namun setiap kali ia
memandang wajah ibunya y ang memang cantik itu, maka


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbayang pulalah dosa yang pernah dilakukannya. Bagaimana
dengan sombong ibunya itu meninggalkan ayahnya dan
tinggal di rumah y ang besar dan mewah. Bagaimana ia
bersikap sebagai seorang perempuan yang kaya dan berkuasa,
namun yang hanya beberapa hari itu. Sementara ayahnya
bekerja memeras keringat untuk hidupnya sehari-hari.
"Anakku," terdengar suara ayahnya yang lembut,
"marilah kita mulai hidup dan kehidupan kita dengan
lembaran -lembaran baru. Kita masih mempunyai waktu.
Karena itu jangan siksa diri kita dengan kenangan buruk itu di
waktu yang tersisa itu."
Gadis itu tidak menjawab. Tetapi kepalanya tertunduk
lesu. Betapa sulitnya bersikap seperti ay ahnya, yang
sepantasnya menjadi sangat marah dan bahkan menolak
kehadiran ibunya kembali di rumah itu. Jika ay ahnya seorang
yang kasar, akan dapat terjadi, ayahnya itu membunuh ibunya
yang berkhianat. Tetapi ternyata ayahnya tidak berbuat
demikian. Dengan lembut ay ahnya berkata, "Yang dapat
menghapus dosa itu adalah kebesaran hati kita. Karena itu kita
harus memaafkannya."
Yang terdengar kemudian adalah isak tangis gadis dan
ibunya. Sementara ketiga anak muda itu pun menjadi
termangu-mangu. Namun Mahisa Murti y ang belum banyak
berpengalaman dalam kehidupan keluarga itu berkata,
"Sudahlah. Aku sangat menghargai sikap seorang laki-laki
yang berhati seluas lautan. Hati y ang tidak akan pernah penuh
dan apalagi meluap dan tumpah."
"Aku tidak mempunyai pilihan lain dalam keadaan
seperti ini." berkata laki-laki pemilik pedati itu.
"Sikapmu sangat terpuji. Ternyata kau seorang laki-laki
yang jarang ada duanya." desis Mahisa Murti pula.
" Jangan-memuji. Yang aku lakukan semata-mata
karena kedunguanku. Karena aku tidak dapat menentukan
sikap yang lain yang barangkali lebih baik." jawab laki -laki itu.
"Tidak ada sikap y ang lebih baik dari sikapmu itu."
sahut Mahisa Murti. Laki-laki itu tidak menjawab.
Sementara itu, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan
Mahisa Semu pun kemudian berkata, "Ki Sanak. Baiklah kami
berada di luar. Nampaknya udara terasa sangat panas di sini."
"Tetapi jangan pergi anak-anak muda," m inta laki -laki
itu, "kalian telah berbuat terlalu banyak bagi keluarga kami."
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, "Kami memang tidak
akan pergi. Kami akan tidur di serambi rumah ini untuk
menghabiskan sisa malam yang tinggal sedikit ini."
Demikianlah, ketiga anak muda itu pun telah berada di
serambi rumah yang sederhana itu. Mereka berbaring di
amben y ang tidak terlalu luas sehingga mereka memang
menjadi agak berdesak-desakan. Tetapi Mahisa Murti lah yang
kemudian duduk bersandar dinding rumah itu sambil berkata,
"Tidurlah. Aku akan berjaga-jaga. Waktu memang tinggal
sedikit." "Kau tidak mengantuk?" bertanya Mahisa Semu.
"Bukankah besok k ita tidak mempunyai tugas tertentu.
Aku akan dapat tidur sehari penuh, sementara kalian
berdualah y ang harus berjaga-jaga." jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat sama sekali tidak berkata apapun. Ia
justru menggeliat dan membetulkan letak kepalanya,
sementara matanya masih tetap terpejam.
Mahisa Murti tersenyum. Katanya kepada Mahisa Semu,
"berbuatlah seperti Mahisa Pukat. Seakan-akan ia tidak
mendengar lagi apa yang saya katakan."
Mahisa Semu mengangguk kecil. Mahisa Pukat memang
tidak membuka matanya sama sekali.
Dengan demikian, maka sejenak kemudian kedua orang
anak muda itu memang tertidur lelap, sementara Mahisa
Murti duduk bersandar dinding. Sekali kesadarannya juga
bagaikan tergelincir. Namun ia pun kembali ke dalam
kesadarannya sepenuhnya. Namun malam itu berakhir tanpa peri stiwa y ang
menyusul setelah terjadi kekerasan di rumah orang
berjambang itu. Nam paknya orang-orang padukuhan itu pun
Terbang Harum Pedang Hujan 2 Candika Dewi Penyebar Maut X I I I Pendekar Wanita Baju Merah 8
^