Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 18

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 18


Namun mereka masih bertempur dengan tangan mereka
tanpa memegang senjata. Saudara tertua dari kedua orang yang ingin m enguasai
perguruan itu pun menjadi semakin marah. Dengan geram
yang tertua berkata, "Aku percaya sekarang, bahwa kalian
memang mempunyai bekal ilmu. Tetapi sayang bahwa kalian
tidak mempunyai wawasan y ang luas tentang olah kanuragan,
sehingga kau mengira bahwa ilmumu adalah ilmu y ang terbaik
yang dapat kau pergunakan untuk melawan siapa pun juga."
Mahisa Murti keningnya. Lawannya telah menyerangnya
seperti badai. Namun dengan tangkasnya Mahisa Murti masih
sempat menilai bahwa lawannya masih berada pada tataran
dasar ilmu kanuragan. Bukan berarti bahwa lawannya tidak
akan mampu meningkatkan lagi ilmunya, tetapi ternyata
lawannya memang m enganggap Mahisa Murti masih sebagai
kanak-kanak yang terlalu sombong.
Meskipun dasar-dasar ilmu lawannya adalah dasar dari
satu ilmu y ang kuat, dan telah dikuasai dengan masak, namun
bagi Mahisa Murti memang terasa telah meny inggung
perasaannya. Mahisa Murti merasa terlalu direndahkan m eskipun ia
sendiri tidak akan pernah meremehkan orang lain.
Karena itu, maka Mahisa Murti lah y ang kemudian ingin
menuntun lawannya agar mulai m endaki dengan lebih pada
tataran berikutnya. Dengan demikian, maka Mahisa Murti lah yang memacu
lawannya untuk meningkat lebih tinggi. Dengan mempercepat
dan meningkatkan kekuatan tenaga cadangannya, maka
Mahisa Murti tiba-tiba saja telah mendesak lawannya.
Demikian cepat dan kerasnya serangan Mahisa Murti yang
datang dengan tiba-tiba, sehingga lawannya harus berloncatan
surut beberapa langkah. Namun Mahisa Murti ternyata tidak
melepaskannya. Dengan cepat pula ia memburu. Dengan
loncatan panjang, kakinya terjulur lurus menyamping
mengarah dada. Lawannya dengan cepat pula meloncat ke samping,
mengelakkan serangan itu. Tetapi Mahisa Murti yang
meskipun masih muda telah menyimpan sebanyak
pengalaman itu, dengan mudah cepat meny erang pula.
Demikian kakinya y ang terjulur itu kemudian berjejak di
tanah, maka tubuhnya segera berputar. Kakinya yang lainlah
yang kemudian meny erang mendatar dalam putaran yang
sangat cepat. Ternyata bahwa lawannya tidak menduga datangnya
serangan yang begitu cepat dan tiba-tiba. Karena itu, maka ia
tidak sempat lagi mengelak. Dengan tangannya orang itu
mencoba menangkis serangan Mahisa Murti.
Tetapi serangan itu demikian kerasnya. Putaran kaki
Mahisa Murti tidak tertahankan oleh tangan lawannya,
sehingga karena itu maka orang yang merasa diriny a memiliki
ilmu y ang hampir sempurna itu telah terlempar ke samping.
Betapa pun ia berusaha, namun ia tidak mampu untuk
menguasai keseimbangannya, sehingga karena itu, maka orang
itu- pun telah jatuh terguling di tanah.
Namun orang itu benar-benar seorang y ang tangkas.
Dengan cepat ia melenting berdiri. Dalam sekejap orang itu
telah siap menghadapi segala kemungkinan.
Mahisa Murti berdiri dengan kaki renggang. Tangannya
bertolak pinggang. Bukan niatnya untuk meny ombongkan diri.
Tetapi ia benar-benar ingin memancing perhatian
saudara-saudara seperguruan yang bermusuhan itu. Orang
yang mengaku murid tertua itulah sebenarnya sumber dari
malapetaka yang akan m emecah hadirnya sebuah perguruan.
Nampaknya memang sebuah perguruan y ang kuat m eskipun
hanya dengan beberapa orang murid.
Terdengar Mahisa Murti tertawa. Dengan nada tinggi ia
berkata, "Ki Sanak. Aku hanya ingin menunjukkan, bahwa
seseorang tidak akan dapat berbuat sekehendak hatinya
dengan memaksakan kehendaknya kepada orang lain.
Mungkin kau memang dapat membunuh murid-murid
saudara seperguruan itu. Tetapi ternyata bahwa niatmu itu
harus dicegah. Aku y ang tidak bersangkut paut dengan
perguruanmu, ternyata telah dipergunakan oleh Yang Maha
Agung untuk mencegah niatmu yang jahat itu."
Orang itu menggeram marah sekali. Sementara itu
Miyatsangka pun menjadi sangat cemas. Namun pemimpin
kelompok dari saudara-saudaranya yang telah m enculik gadis
itu berkata, "Nah, bukankah anak muda itu memiliki ilmu
yang tinggi." "Mudah-mudahan. Tetapi aku masih cemas, bahwa y ang
dilakukan itu hanya akan mempercepat kematiannya saja.
Paman guru itu akan m enjadi m arah sekali. Dalam keadaan
yang demikian, maka ia akan mempergunakan ilmu
simpanannya. Ilmu y ang baru aku kenal dasarnya saja. Tetapi
paman guru itu benar-benar telah menguasainya meskipun
belum sematang guru sendiri. Tetapi untuk membunuh
seseorang, rasa-rasanya ilmu itu akan dapat dipergunakan
sebaik-baiknya. Tetapi jika aku sempat melawannya, mungkin
aku akan dapat berusaha untuk mengimbanginya jika aku
mampu menemukan kesempatan y ang baik." berkata
Miyatsangka. "Tetapi kau pun akan sulit melawannya. Kau tidak akan
mampu mengimbanginya." berkata pemimpin kelompok itu.
"Namun jika aku mati, aku memang mempunyai
tanggung jawab. Tetapi anak itu tidak. Apalagi ia masih terlalu
muda untuk mati." desis Miy atsangka.
Namun kata-katanya itu terhenti. Pertempuran antara
Mahisa Murti dan lawannya telah mulai lagi. Semakin lama
semakin dahsy at. Lawannya y ang marah sampai ke ubun-ubun itu
memang telah mengerahkan kekuatan dan kemampuan tenaga
cadangannya. Namun ternyata bahwa ia masih belum mampu
mengalahkan anak muda itu. Sehingga karena itu, maka
memang tidak ada cara lain y ang dapat ditempuhnya selain
dengan ilmu pamungkasnya.
Tetapi untuk beberapa saat ia masih m encoba bertahan
untuk tidak melepaskan ilmu pamungkasnya itu. Apalagi di
hadapan murid-murid saudara seperguruannya yang hendak
dibinasakan itu. Seolah-olah untuk mengalahkan anak-anak
muda saja ia harus sudah merambah sampai ke ilmu
pamungkas. Sementara itu, y ang terjadi di lingkaran pertempuran
yang lain tidak jauh berbeda. Ju stru Mahisa Pukat bergerak
lebih cepat dan lebih kuat. Kedua tangannya y ang berputaran
membuat lawannya kadang-kadang memang bingung. Tangan
itu bergerak mendatar, terayun condong ke arah dada, namun
kemudian mematuk dengan kerasnya ke arah dada.
Untuk menghindarinya lawan Mahisa Pukat itu harus
berloncatatan pula. Bahkan kadang-kadang ia semakin
terdesak surut. Namun dalam satu kesempatan, orang itu telah
menyerang lambung Mahisa Pukat dengan kakinya.
Hampir saja kaki orang itu meny entuh lambungnya.
Meskipun kaki itu bergerak mendatar seny ari dari
lambungnya, namun terasa anginnya telah menyambar. Tetapi
ketika orang itu meny erangnya sekali lagi dengan ayunan
tangannya ke arah kening, Mahisa Pukat dengan cepatnya
merendah. Ayunan tangan itu m enyambar diatas kepalanya.
Namun pada saat yang sama, Mahisa Pukat telah m eny erang
dengan dahsyatnya. Tangannya terjulur lurus menghantam
bagian bawah ketiak lawannya justru di saat tangannya
terangkat dan berayun mendatar.
Orang itu mengaduh tertahan. Sisi dadanya itu terasa
bagaikan dihantam sebongkah batu padas. Nafasny a terasa
sesak dan keseimbangannya telah guncang.
Untuk memperbaiki keadaannya, orang itu justru
meloncat beberapa langkah surut.
Yang terdengar adalah suara tertawa Mahisa Pukat. Ia
tidak berlari mengejar lawannya. Tetapi ia m elangkah maju
perlahan-lahan sambil berkata, "Kau harus membuat
pertimbangan-pertimbangan baru. Kami sudah bertekad
berpihak kepada orang-orang yang memang berhak untuk
menerima warisan dari perguruannya. Seharusnya kau ju stru
mendukung dan merestuinya sebagai seorang paman yang
baik. Tetapi kau justru telah berniat untuk merampasnya."
"Persetan," geram orang itu, "aku masih dapat menahan
diri sampai saat ini. Sebaiknya kau minggir. Persoalan ini
adalah persoalan di antara keluarga kami. Sebaiknya kau tidak
usah ikut campur." Mahisa Pukat tertawa. Katanya, "Telah terjadi ketidak
adilan di sini. Dua orang paman y ang b erilmu tinggi berniat
merampas hak anak-anaknya. Itu adalah per soalan ketidak
adilan, sehingga orang-orang y ang memang ingin melihat
keadilan ditegakkan akan dapat melibatkan dirinya."
"Cukup," bentak orang itu, "bersiaplah untuk mati."
"Aku tidak mau mati. Aku akan mempertahankan
hidupku dan jika terpaksa justru membunuhmu." jawab
Mahisa Pukat. Lawannya memang menjadi semakin marah. Dengan
serta merta maka ia pun telah m eloncat seolah -olah hendak
menerkam Mahisa Pukat. Tetapi Mahisa Pukat telah bersiaga
sepenuhnya, sehingga karena itu, tangan lawannya yang
menyambar wajahnya itu tidak m eny entuhnya. Namun terasa
jantung Mahisa Pukat berdesir. Yang menerpa wajahnya
adalah sambaran angin y ang keras, sehingga matanya terasa
menjadi peda s. Selagi Mahisa Pukat memperbaiki keadaannya, maka
orang itu telah m eloncat lagi meny erang. Tangannya terjulur
dengan garangnya dengan jari-jari y ang mengembang.
Sepintas Mahisa Pukat sempat melihat kuku-kuku y ang
tajam dan panjang, hampir mengoy ak kulitnya.
Mahisa Pukat m emang bergeser k e samping. Namun ia
telah bersiap menghadapi kemungkinan yang sudah
diperhitungkannya. Sebenarnyalah lawannya memang telah memburunya.
Tangannya dengan jari-jari yang mengembang berusaha
menggapai keningnya. Namun Mahisa Pukat telah menarik
wajahnya dan melangkah surut selangkah. Demikian tangan
itu menyambar udara tanpa meny entuhnya, maka dengan
serta merta Mahisa Pukat telah memukul pergelangan tangan
itu. Demikian cepat dan tiba -tiba.
Orang itu m engaduh perlahan. Pergelangan tangannya
terasa bagaikan patah. Namun itu bukan serangan yang
sebenarnya, karena tiba -tiba saja Mahisa Pukat telah meloncat
mendekat. Begitu dekat sehingga lututnya telah menghantam
bagian bawah perut lawannya itu.
Lawannya tidak sempat berbuat sesuatu. Serangan
Mahisa Pukat datang demikian tiba-tiba.
Demikian sakitnya serangan itu, sehingga tubuh orang
itu terbongkok karenanya. Namun Mahisa Pukat telah
memanfaatkannya. Dengan sisi telapak tangannya, Mahisa
Pukat telah menghantam tengkuk orang itu, sehingga orang
itu terjerumus jatuh di tanah.
Namun adalah di luar dugaan Mahisa Pukat. Ia mengira
bahwa untuk beberapa saat orang itu akan terbaring kesakitan.
Tetapi ternyata bahwa daya tahannya adalah sangat tinggi.
Karena itu, demikian ia jatuh terjerembab, maka ia pun telah
berguling beberapa kali dan meloncat bangkit. Sejenak
kemudian ia telah berdiri tegak menghadapi segala
kemungkinan. Meskipun demikian orang itu tidak dapat
menyembuny ikan perasaannya sepenuhnya. Sekali-sekali ia
masih nampak menyeringai menahan sakit di perut dan di
tengkuknya. Perasaan mual y ang sangat serasa telah meremas
usus-ususny a, sementara kepalanya menjadi pening. Tulang
lehernya seolah -olah telah menjadi patah karena pukulan
Mahisa Pukat. Dengan sorot mata yang memancarkan kemarahan y ang
sangat orang itu menggeram, "Ternyata kau harus dibunuh."
Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun menilik sikapnya,
maka orang itu benar-benar t idak dapat menahan diri lagi,
sehingga karena itu, maka agaknya orang itu sudah siap untuk
memasuki kemampuan ilmu puncaknya.
Sebenarnyalah orang itu tidak lagi mau memperpanjang
waktu. Jika semula ia tidak mau merendahkan diri dihadapan
orang-orang yang akan direndahkan dan akan dibinasakan
untuk merampas hak atas perguruan itu, maka ia pun
kemudian berpendirian lain. Ia tidak mau direndahkan oleh
anak-anak muda itu dengan kegagalan-kegagalan beruntun.
Mahisa Pukat pun k emudian telah bersiap sepenuhnya.
Ia sadar bahwa orang itu adalah orang yang sangat kuat daya
tahannya. Ia mampu mengatasi rasa sakit yang luar bia sa oleh
serangannya pada perutnya dan pada lehernya. Karena itu,
maka dengan landasan ilmunya yang tinggi, maka ia adalah
orang y ang sangat berbahaya.
Mahisa Pukat memang menjadi berdebar-debar ketika
orang itu mengetrapkan senjata khusus pada telapak
tangannya. Dengan demikian, maka jari-jarinya telah terbalut
oleh semacam kepingan baja yang berbentuk kuku-kuku yang
panjang dan berwarna keputih-putihan. Namun pada ujungujungnya
kuku-kuku baja itu berwarna agak kehitam-hitaman.
Mahisa Pukat memang menjadi curiga bahwa senjata
khusus itu beracun. Apalagi menilik bahwa senjata itu
disimpan dalam kantung y ang khusus yang terbuat dari kulit
yang dibungkus dengan ikat pinggangnya y ang besar.
Bagi orang itu, maka senjata itu adalah senjata y ang
sangat mapan menilik unsur-unsur gerak yang sudah
diperlihatkan sebelumnya.
Karena itu, maka Mahisa Pukat tidak terpancing untuk
melakukan langkah-langkah yang tergesa -gesa. Ia masih tetap
berniat untuk menunjukkan satu rangkaian pertempuran yang
dapat mencengkam orang-orang y ang menyaksikannya.
Sepertinya ada bagian yang hilang di sini
Tetapi semua orang y ang m elihat betapa Mahisa Pukat
terluka menjadi berdebar -debar. Bahkan para pengikut kedua
orang y ang ingin merebut kedudukan Miy atsangka itu pun
menjadi gelisah pula. Lawan anak muda y ang telah
mengerahkan ilmunya itu telah mengatakan, bahwa kuku
bajanya y ang membara itu ternyata beracun.


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun m ereka juga menjadi heran, bahwa anak muda
itu seakan-akan tidak menghiraukan kata-kata lawannya.
"Agaknya anak muda itu tidak percaya bahwa kuku baja
itu beracun. Agaknya orang y ang licik itu tidak berbohong. Ia
dapat m elakukan apa saja untuk menghancurkan lawannya,
termasuk racun y ang paling tajam sekalipun." berkata
Miyatsangka di dalam hatinya.
Karena itu, m aka agar Mahisa Pukat tidak m engalami
bencana yang paling parah, Miy atsangka itu pun berteriak,
"Hati-hati dengan racun itu."
Tetapi Mahisa Pukat justru tersenyum sambil menjawab,
"jangan cemas. Ia hanya berbohong."
Namun lawannya tertawa sambil meloncat mengambil
jarak. Katanya, "Kau memang sombong anak muda, tetapi kau
ternyata sangat dungu. Aku akan memberi kesempatan
kepadamu untuk melihat luka-lukamu. Bintik -bintik biru
tentu mulai nampak di sekitar lukamu."
"Kaulah y ang bodoh," berkata Mahisa Pukat, "racunmu
tidak berday a justru karena apimu. Seseorang y ang digigit
racun dapat m embakar lukanya dengan api, sehingga daging
di sekitar gigitan itu akan tidak lagi dialiri darah yang dapat
membawa racun itu ke jantung dan menjalar ke bagian tubuh
yang lain." "Tetapi apiku bukan api biasa," berkata orang itu, "apiku
adalah kekuatan ilmuku yang justru dapat mempercepat arus
bisa itu merasuk ke dalam urat nadimu, m engalir bersama
darah sampai ke jantung. Karena itu, m aka bersiaplah untuk
mati." Ternyata orang itu memang memberi kesempatan
kepada Mahisa Pukat untuk memperhatikan luka-lukanya.
Tetapi Mahisa Pukat justru menunjukkan kepada lawannya
sambil berkata, "Manakah bintik -bintik biru yang kau maksud
itu?" Wajah orang itu menjadi tegang. Di sebelah menyebelah
lukanya, memang tidak nampak bintik-bintik biru itu. Apalagi
menjalar melalui saluran darahnya dan menghentikan denyut
jantung. Dengan demikian maka wajah orang itu pun menjadi
tegang. Untuk beberapa saat ia tercenung. Namun tiba-tiba
sa ja ia meloncat menyerang sambil berteriak, "Ternyata kau
kebal racun. Tetapi jangan kau sangka bahwa aku tidak dapat
membunuhmu. Kulitmu akan terbakar oleh apiku dari ubunubun
sampai ke ujung kaki."
Mahisa Pukat dengan tangkasnya meloncat menghindar
sehingga serangan itu tidak berarti sama sekali.
Dalam pada itu, perhatian orang-orang yang termangumangu
kebingungan itu tiba -tiba saja telah beralih kepada
Mahisa Murti. Lawannya yang garang itu pun telah
mempergunakan ilmu puncaknya. Tetapi ia tidak
mempergunakan kuku-kuku baja sehingga orang itu berusaha
membakar kulit Mahisa Murti dengan sentuhan-sentuhan jarijarinya
y ang membara. Namun ternyata bahwa Mahisa Murti y ang
mengerahkan segenap tenaga cadangannya dan justru mulai
merambah ke dalam ilmunya, berusaha untuk melawan
kekuatan api itu dengan kekuatan ilmu yang diwarisi dari
ay ahnya dalam bentuknya y ang lunak. Ia tidak membentur
kekuatan api dengan api y ang akan dapat membakar udara,
meskipun Mahisa Murti y akin, bahwa kekuatannya tentu lebih
besar dari lawannya. Apalagi jika ia berkehendak untuk
melontarkannya dari jarak tertentu, m aka lawannya itu t entu
akan segera dapat dikalahkannya.
Tetapi Mahisa Murti tidak berbuat demikian. Dengan
bentuknya yang lunak, maka serangan lawannya dengan
tangannya y ang membara itu, seakan-akan justru tidak
menyentuh sesuatu. Panas api itu justru terhisap oleh kekuatan y ang luar
biasa besarnya dengan pengaruh y ang sebaliknya.
Itulah sebabnya, maka beberapa kali Mahisa Murti
sengaja m embiarkan dirinya dikenai oleh lawannya. Namun
panas api itu seakan-akan tidak berpengaruh pada dirinya.
Lawannya memang menjadi kebingungan. Bahkan
sampai dikerahkannya segenap kemampuannya sampai
tuntas. Namun panas apinya sama sekali tidak dapat
melumpuhkan kemampuan lawannya yang masih sangat
muda itu. Bahkan beberapa kali Mahisa Murti justru telah
mengenainya. Tidak dengan kekuatan ilmunya dalam
bentuknya y ang keras, yang akan dapat menghancur
lumatkannya. Tetapi Mahisa Murti masih saja mengekang
kekuatan dan kemampuannya.
Namun demikian, beberapa kali lawan Mahisa Murti itu
telah dikenai oleh serangan Mahisa Murti. Ketika orang itu
menyerang dengan tangannya y ang membara ke arah dada
Mahisa Murti, maka Mahisa Murti pun telah menghindar.
Namun orang itu tetap memburunya. Tangannya berputar
mendatar. Ayunan sisi telapak tangannya ternyata telah
menghantam punggung Mahisa Murti. Memang terasa sakit.
Tetapi panas yang terpancar dari ilmunya yang nampak pada
telapak tangannya y ang m embara, telah m engenai kekuatan
ilmu dalam bentuknya y ang lunak.
Karena itu, maka demikian Mahisa Murti mengatasi rasa
sakit karena benturan sisi telapak tangannya itu, maka ia tidak
lagi merasakan sesuatu. Punggungnya sama sekali tidak
menjadi hangus oleh sisi telapak tangan y ang membara itu.
Lawannya menjadi bingung. Ia adalah orang y ang
memiliki kemampuan tertinggi dalam jalur perguruan itu
sepeninggal kakak seperguruannya yang akan mewariskan
pimpinan perguruan itu kepada Miy atsangka, muridnya yang
tertua. Namun y ang kemudian telah dihalangi dan bahkan hak
itu ingin dimiliki oleh lawan Mahisa Murti itu.
Miyatsangka pun menjadi bingung. Paman gurunya
dengan ilmunya yang dianggap paling sempurna itu sama
sekali tidak dapat melukai kulit anak muda itu.
"Seandainya aku harus melawannya, aku tidak tahu,
apakah y ang akan terjadi." berkata Miy atsangka.
Ternyata bahwa kedua orang anak m uda itu memiliki
kemampuan ilmu y ang sangat tinggi. Beberapa saat kemudian,
maka keduanya telah semakin mendesak lawan-lawannya
mereka. Orang-orang y ang sebelumnya diy akini memiliki ilmu
yang sulit dicari bandingnya itu ternyata telah tidak berhasil
mengalahkan dua orang anak muda.
Agak jauh di pinggir halaman, Mahisa Semu y ang
menjaga gadis yang diculik itu pun menjadi tegang. Anak
muda itu menjadi semakin kagum terhadap kedua orang
saudara angkatnya. Menilik sikapnya, maka kedua orang
saudara angkatnya itu masih belum sampai pada tingkat
tertinggi dari ilmunya. Miyatsangka pun m elihat juga akan hal itu. Terutama
pada sikap Mahisa Pukat. Semakin lama ia justru menjadi
semakin banyak melepaskan dan memberikan kesempatan
kepada lawannya.. Bahkan rasa-rasanya ia mulai tidak
bersungguh-sungguh meskipun lawannya telah bertempur
sampai pada tingkat puncak dari kemampuannya.
Sebenarnyalah, bahwa akhirnya Mahisa Pukat memang
berniat untuk menyelesaikan pertempuran itu dengan caranya.
Ia tidak akan membakar lawannya dengan semburan api dari
ilmunya atau lontaran kekuatan ilmu Bajra Geni, gabungan
dari kekuatan ilmu itu serta kemampuannya melontarkan dari
jarak tertentu. Jika ia berbuat demikian, m aka lawannya itu
tentu akan luluh dan tidak akan pernah dapat melihat
terbitnya matahari. Tetapi y ang dikerjakan oleh Mahisa Pukat adalah
menyusut kemampuan lawan dengan ilmunya y ang khusus.
Dengan isyarat ia memberitahukan kepada Mahisa Murti
yang bertempur pada jarak yang semakin jauh. Agaknya
Mahisa Pukat sempat melihat, bahwa Mahisa Murti telah
mempergunakan ilmu y ang diwarisinya dari ay ahnya dalam
bentuk y ang lunak. Sehingga ilmu yang memiliki sifat dan
ungkapan y ang mirip, akan dapat justru bagaikan diserap jika
terjadi benturan. Mahisa Murti pun ternyata telah menangkap isyarat itu.
Karena itu, maka ia pun telah bersiap-siap untuk
melakukannya sebagaimana Mahisa Pukat.
Ternyata lawan Mahisa Murti telah mengerahkan
segenap kemampuan ilmu yang ada di dalam dirinya. Bukan
sa ja telapak tangannya y ang m enjadi m erah membara, tetapi
ternyata bahwa udara di sekitarnya pun telah menjadi semakin
panas. Karena itu, maka Mahisa Murti pun harus segera
menyusut kekuatan ilmu lawannya itu.
Dalam pada itu, ternyata saudara-saudara seperguruan
yang sudah siap untuk bertempur itu benar-benar dicengkam
oleh pertempuran antara orang-orang yang memiliki
kemampuan tertinggi dari jalur perguruan yang diperebutkan
itu melawan dua orang anak muda yang tidak dikenal
sebelumnya. Para pengikut dari kedua orang y ang bertempur
melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu justru bagaikan
membeku. Tanpa mereka berdua, maka para pengikutnya itu sama
sekali tidak berarti apa -apa. Apalagi Miy atsangka telah datang
bersama kedua orang saudara kandungnya, m eskipun bukan
orang dari perguruan itu, tetapi agaknya ia memang berhak
membantu saudara kandungnya yang mengalami kesulitan
dalam mempertaruhkan haknya.
Karena itu, maka para pengikut kedua orang itu memang
lebih banyak menunggu. Jika kedua orang paman guru mereka
itu telah m eny elesaikan kedua anak muda itu, m aka mereka
pun akan segera mulai bertempur. Mereka akan
membinasakan saudara-saudara seperguruan m ereka, untuk
mendapatkan kesenangan sebagaimana dijanjikan oleh paman
gurunya yang mengaku saudara mereka yang lebih tua dari
Miyatsangka. Sehingga mereka tidak mengakui lagi pesan guru
Miyatsangka y ang memberikan hak kepadanya untuk
memimpin perguruan itu dan m emiliki bersama rumah m ilik
perguruan itu. Tetapi kedua orang yang telah memberikan beberapa
macam janji itu ternyata semakin lama justru menjadi
semakin terdesak. Bahkan ilmu mereka yang sangat ditakuti itu, sekaligus
ditambah dengan kekuatan racun, seakan-akan tidak berarti
sama sekali bagi kedua orang anak muda yang bertempur
melawan mereka itu. Apalagi ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
mempergunakan ilmu mereka yang khusus, yang mampu
menyusut kekuatan dan kemampuan lawan selapis demi
selapis. Mahisa Murti memang agak kesulitan menghadapi
lawannya y ang m emiliki tataran ilmu lebih tinggi dari lawan
Mahisa Pukat. Udara memang terasa semakin panas. Tetapi
Mahisa Murti masih mampu berusaha untuk membentur
kekuatan lawan dengan kekuatan ilmunya selain ilmunya
dalam bentuk yang lunak, t etapi juga ilmunya y ang m ampu
menyusut kekuatan dan kemampuan lawan.
Beberapa kali Mahisa Murti harus mengerahkan day a
tahan tubuhnya untuk m engatasi panasnya udara. Meskipun
sentuhan telapak tangan lawannya tidak menyakitinya, namun
panasnya udara m embuat tubuhnya berkeringat dan bahkan
bagaikan terpanggang diatas api.
Sekali-sekali memang timbul niatnya untuk
menghancurkan saja lawannya dengan serangan dari jarak
tertentu diluar jangkauan panasnya udara. Namun ia sudah
memberikan isyarat bahwa ia sependapat dengan Mahisa
Pukat untuk menyusut saja kekuatan dan kemampuan ilmu
lawannya itu. Tetapi sentuhan-sentuhan yang terjadi, ternyata telah
mulai berpengaruh kepada lawannya. Kemampuannya pun
mulai menyusut selapis demi selapis. Meskipun tubuh Mahisa
Murti basah oleh keringat, serta sekali-sekali meny eringai
menahan panas yang meny engat, namun sekali-sekali ia telah
berhasil meny entuh tubuh lawannya. Bahkan ia justru tidak
menghindar jika lawannya itu meloncat meny erangnya.
Dengan tangkasnya Mahisa Murti menangkis seranganserangan
itu, meskipun ia harus segera meloncat menjauh.
Tugas Mahisa Pukat ternyata agak lebih ringan.
Meskipun lawannya telah m engerahkan kemampuan ilmunya
sampai tuntas, namun lawannya y ang tingkat ilmunya belum
setinggi saudara tuanya y ang bertempur melawan Mahisa
Murti masih belum mampu memanasi udara sepanas air
mendidih. Meskipun Mahisa Murti juga merasakan hangatnya
udara, namun tidak memerlukan seluruh kekuatan daya
tahannya untuk mengatasiny a.
Sementara Mahisa Pukat mampu memancing seranganserangan
lawannya dan menangkis serangan-serangan itu,
maka Mahisa Murti tubuhnya mulai menjadi merah oleh
panasnya udara. Bahkan hampir saja Mahisa Murti tidak
tahan lagi dan harus mempergunakan ilmunya y ang lain,
meskipun lawannya akan menjadi lumat.
Namun sebelum ia mengambil keputusan untuk
merubah cara perlawanannya, maka kekuatan ilmunya mulai
menampakkan hasilny a. Panas udara di sekitar lawannya itu m emang menjadi
su sut sedikit demi sedikit. Kecepatan gerak orang itu pun
terasa menjadi berkurang pula.
Namun demikian, Mahisa Murti masih harus
berloncatan untuk menyerang dan menghindar, atau jika ia
membiarkan lawannya meny erangnya, maka ia harus
menangkis dan kemudian meloncat menjauh menghindari
agar dagingnya tidak menjadi matang oleh panasnya udara.
Tetapi agaknya lawannya pun mulai merasa, bahwa tibatiba
saja tenaga dan kekuatan lontaran ilmunya menjadi susut.
Orang itu m enjadi heran atas dirinya sendiri. Ia adalah
seorang y ang berilmu tinggi, yang mampu bertempur untuk
waktu yang seakan-akan tidak terbatas. Namun tiba-tiba saja
ia mengalami satu keadaan y ang lain dari y ang selama itu
terjadi pada diriny a. Namun ia masih berusaha untuk meyakinkan dirinya,
bahwa ia adalah orang y ang memiliki ilmu y ang tidak ada
duanya.

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena itu, maka ia pun telah m enghentakkan ilmunya
dan menyerang dengan kecepatan yang tinggi.
Mahisa Murti memang menghadapi kesulitan. Namun ia
telah mengerahkan daya tahannya mengatasi udara panas
sekaligus m eningkatkan ilmunya sehingga sentuhan-sentuhan
bara api pada telapak tangan lawannya itu dapat diserapnya.
Namun dalam pada itu, ilmunya dalam ujud y ang lunak itu
tidak dapat meny erap udara panas y ang bagaikan
membakarnya, meskipun seakan-akan dapat menghapus
kekuatan ilmu lawannya, namun hanya y ang bersentuhan dan
berbenturan langsung dengan wadagnya.
Tetapi Mahisa Murti masih belum berniat untuk
menghancurkan lawannya sampai lumat. Sebenarnya ia
mampu meny erang lawannya sekaligus mengoy ak kekuatan
udara panas itu. Namun ia ingin memaksa lawannya berhenti bertempur
karena kehabisan tenaga sebagaimana telah disepakatinya
sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Pukat.
Namun sejalan dengan su sutnya kekuatan lawan, maka
panas udara pun menjadi susut pula, m eskipun hal itu belum
disadari sepenuhnya oleh lawannya y ang hanya merasakan
bahwa kekuatan telah menjadi susut.
Karena itulah, maka Mahisa Murti mampu mengatasi
udara panas itu lebih banyak daripada sebelumnya. Selain
beberapa kali ia harus menangkis serangan lawannya
kemudian meloncat menghindari panasnya udara, maka ia
pun telah meny erang pula.
Bagi Mahisa Murti sasaran tidak lagi terlalu penting.
Yang penting baginya adalah justru sentuhan-sentuhan yang
terjadi, karena pada setiap sentuhan berarti susutnya kekuatan
dan kemampuan lawan. Sementara itu, ternyata Mahisa Pukat dapat
menyelesaikan tugasny a lebih cepat dari Mahisa Murti.
Benturan-benturan m emang telah terjadi. Meskipun Mahisa
Pukat harus selalu menghindari sentuhan kuku -kuku baja
yang dapat mengoyak kulitnya meskipun racunnya tidak
berbahaya baginya, namun ia berhasil setiap kali m eny entuh
lawannya. Bahkan kadang-kadang membenturkan
kekuatannya meskipun harus dengan sangat berhati-hati.
Pertempuran itu ternyata memang sangat menarik
perhatian semua orang yang menyaksikannya. Apalagi ketika
mereka melihat dua orang yang memiliki kemampuan
tertinggi dari semua orang di jalur perguruan itu semakin lama
menjadi semakin tidak berday a. Betapa mereka mencoba
mengerahkan kemampuan mereka, tetapi semuanya itu sama
sekali sudah tidak berarti lagi.
Beberapa kali lawan Mahisa Pukat telah terdor ong jatuh.
Dengan telapak tangannya saja, Mahisa Pukat telah berhasil
membanting lawannya jatuh terlentang di tanah. Apalagi
orang itu tidak lagi mampu melenting berdiri sebagaimana
selalu dilakukannya. Bahkan ketika ia m encobanya, maka ia
pun menjadi terhuyung -huyung dan jatuh lagi di tanah.
Mahisa Pukat kemudian mendekatinya dan berdiri
bertolak pinggang. Dengan nada tinggi ia berkata, "Marilah.
Bangkitlah. Kita masih mempunyai banyak waktu."
Orang itu mengumpat kasar. Ia memang masih mencoba
bangkit. Bahkan dengan kuku bajanya ia mencoba menggapai
kaki Mahisa Pukat. Tetapi Mahisa Pukat bergeser surut,
sehingga tangan orang itu tidak meny entuhnya. Bahkan kukukukunya
telah menancap di tanah. Ketika ia mencoba menarik
tangannya, tiba -tiba saja kaki Mahisa Pukat sudah
menginjaknya. Orang itu berteriak kesakitan sambil mengumpat sejadijadiny
a. Ia tidak lagi mampu mempergunakan tangannya yang
lain karena sentuhan kaki Mahisa Pukat itu seakan-akan telah
mengisap semua kekuatannya sampai tuntas. Karena itu, maka
orang itu justru telah terjatuh seperti selembar kain yang
koy ak. Mahisa Pukat mengangkat kakinya. Jika ia membiarkan
sentuhan itu, maka orang itu akan mati lemas.
"Kenapa kau tidak bangkit lagi?" bertanya Mahisa
Pukat. Orang itu benar-benar sudah tidak bertenaga. Karena
itu, maka ia terkapar diam di tanah betapa pun mulutnya
mengumpat. Sementara itu, Mahisa Murti masih bertempur dalam
saat -saat y ang menentukan. Kekuatan ilmu lawannya benarbenar
sudah tidak berarti lagi baginya, sehingga karena itu,
maka sentuhan-sentuhan tangan Mahisa Murti menjadi
semakin sering terjadi. Seperti lawan Mahisa Pukat, maka
akhirnya orang itu terhuyung-huyung kehilangan
keseimbangan. Akhirnya orang itu pun telah jatuh pula terbaring di
tanah. Tubuhnya menjadi sangat lemah. Tulang-tulangnya
bagaikan telah terlepas sehingga tidak lagi mampu
mengangkat kulit dagingnya.
Dengan demikian maka pertempuran itu pun telah
selesai. Orang-orang yang ada di halaman rumah itu m enjadi
kebingungan menanggapi keadaan. Bahkan Miyatsangka pun
untuk beberapa saat hanya berdiri mematung sambil
mengawasi kedua orang paman gurunya berganti-ganti.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah
menyelesaikan pertempuran itu telah m elangkah m endekati
kedua belah pihak yang sedang bermusuhan, namun m asih
belum berbuat apa-apa itu.
Dengan nada tinggi Mahisa Murti bertanya kepada
mereka, "He, kenapa kalian belum bertempur?"
Orang-orang itu masih termangu-mangu. Karena itu
maka Mahisa Murti pun berkata pula kepada para pengikut
kedua orang y ang telah dikalahkan itu, "Bagaimana dengan
kalian" Bukankah kalian sependapat, bahwa saudara kalian
yang tertua bukan Miy atsangka meskipun ia t elah m endapat
pesan dari guru kalian" Bukankah kalian lebih senang jika
kedua orang itulah yang memimpin kalian meskipun itu tidak
dikehendaki oleh guru kalian?"
Murid-murid dari perguruan itu yang berpihak kepada
kedua orang y ang telah dikalahkan itu menjadi semakin
cemas. Mereka tidak lagi mempunyai sandaran yang akan
dapat membantu mereka jika mereka mendapat kesulitan.
Tanpa kedua orang y ang dianggapnya memiliki ilmu yang
tidak terkalahkan itu, maka mereka bukan apa-apa. Dalam
perguruan mereka, maka mereka bukannya murid-murid yang
terbaik. Justru karena mereka merasa tidak mendapat tempat,
maka mereka telah menyatukan diri dengan kedua orang yang
ingin mendesak kedudukan Miyatsangka itu.
Tetapi kini mereka melihat satu keny ataan, bahwa kedua
orang itu sudah tidak berdaya.
Untuk beberapa saat Miy atsangka sendiri tidak berbuat
sesuatu. Namun kemudian, ia bagaikan tersadar dari sebuah
mimpi y ang pahit. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata
kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, "Terima kasih. Kalian
telah berbuat sesuatu y ang sangat berarti bagi kami."
Mahisa Murti mengangguk kecil. Dipandanginya
saudara-saudara seperguruan y ang sedang bermusuhan itu.
Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, "Apakah kalian
masih akan bertempur?"
Miyatsangka lah y ang menjawab, "Aku tidak mempunyai
keinginan lain daripada melakukan pesan guru. Terserah
kepada mereka. Yang sependapat dengan aku dan saudarasaudaraku
yang mengakui pesan Guru, m erupakan kekuatan
bagiku. Tetapi siapa yang menentang pesan Guru akan
berhadapan dengan kami. Sekarang waktunya untuk
menyatakan sikap itu."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun Mahisa
Pukat lah y ang melangkah maju ke arah mereka yang semula
menentang Miyatsangka itu sambil berkata, "Nah,
bagaimanakah keputusan kalian" Kedua orang itu telah
kehilangan segala-galanya. Mereka tidak akan dapat berbuat
apa-apa lagi sekarang."
Orang-orang itu saling berpandangan. Tidak seorang
pun y ang menjawab. "Cepat. Ambil sikap. Kalian merubah pendirian kalian
atau tidak. Jika kalian tetap tidak mau menerima pelak sanaan
pesan guru kalian itu, maka kalian akan bertempur. Salah satu
pihak harus leny ap. Bagaikan minyak dan air, maka kalian
tentu tidak akan bercampur," bentak Mahisa Pukat,
"sementara itu, y akinilah bahwa kalianlah yang bersalah,
karena kalian telah m elanggar pesan guru kalian. Jika kalian
tidak lagi mentaati pesan guru, maka apa artinya kalian tetap
berada dalam perguruan ini" Cepat, jawab pertanyaanku atau
aku akan membiarkan kalian dibantai di sini?"
Orang y ang tertua di antara merekalah y ang kemudian
bergeser setapak maju. Dengan nada rendah ia berkata, "Kami
mohon maaf. Kami telah melakukan satu kesalahan yang
sangat besar." "Katakanlah kepada saudara tertuamu. Jangan
kepadaku." geram Mahisa Pukat.
Orang itu ragu-ragu sejenak. Bahkan ia pun telah
berpaling kepada kedua orang yang beberapa saat sebelumnya
menjadi tumpuan kekuatannya bersama sebagian saudarasaudara
seperguruannya. Tetapi kedua orang itu telah terbaring diam. Betapa
keduanya pernah menunjukkan kepadanya dan kepada
sebagian dari saudara-saudara seperguruannya, bahwa mereka
berdua memiliki ilmu y ang sangat tinggi.
Ternyata keduanya memang tidak berbohong. Keduanya
telah menunjukkan kemampuan mereka y ang sangat tinggi.
Keduanya telah melakukan y ang tidak dapat dilakukan oleh
orang lain. Tetapi mereka telah membentur kekuatan dan
kemampuan y ang lebih tinggi. Jauh lebih tinggi. Dua orang
anak muda y ang belum pernah mereka kenal sebelumnya.
Sementara itu Mahisa Semu masih saja berdiri di pinggir
halaman m enjaga gadis yang telah diculik itu. Bagaimanapun
juga keadaan masih belum jelas benar baginya. Apakah yang
sebenarnya telah terjadi. Meskipun ia memastikan
kemenangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, tetapi m ereka
masih berbicara dengan saudara-saudara seperguruan yang
sedang bertengkar itu. Kekerasan mungkin masih akan terjadi.
Tetapi ternyata bahwa mereka yang semula dengan
segala cara telah dibujuk untuk berpihak kepada kedua orang
yang t elah dikalahkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,
telah menyatakan peny esalan mereka. Mereka telah
menyerahkan segala sesuatunya kepada Miy atsangka.
" Jika kami harus dihukum, maka hukuman apa pun
akan kami terima dengan ikhlas. Kami telah merasa sangat
bersalah, bahkan telah mencoba berkhianat terhadap pesan
Guru." b erkata orang tertua di antara mereka yang berpihak
kepada kedua orang yang telah tidak berdaya itu.
Miyatsangka m enarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
rendah ia berkata, "Tingkah laku kalian telah membuat aku
sangat bersedih. Kita yang sudah berkumpul dalam satu
perguruan untuk waktu y ang lama, ternyata harus terbelah.
Bahkan hampir saja kita akan saling menghancurkan. Aku
telah memanggil dua orang saudara kandungku untuk
membantu menegakkan perguruan ini karena aku merasa
bahwa kekuatan y ang ada padaku terlalu kecil dibandingkan
dengan kedua paman yang ternyata memang memiliki ilmu
yang sangat tinggi itu. Tetapi ternyata bahwa Yang Maha
Agung menentukan lain dari rencana kedua orang yang tamak
itu. Kedua paman guru itu sudah mendapat hukumannya.
Hukuman itu datang langsung dari Yang Maha Agung yang
mengirimkan kedua orang anak muda itu kepada kita."
"Kami meny esal sekali." jawab orang tertua di antara
mereka y ang semula menentang Miy atsangka itu.
"Bagaimana jika kedua orang itu pada satu saat sembuh
kembali dan kekuatannya pulih lagi sehingga memungkinkan
mereka untuk berusaha merebut kembali kedudukan
Miyatsangka" " tiba -tiba Mahisa Pukat bertanya.
Orang tertua di antara mereka yang berpihak kepada
kedua orang itu menjawab, "Kami sudah menemukan diri
kami kembali." "Kau berkata sebenarnya" Tetapi kedua orang itu akan
dapat membunuhmu bahkan membunuh kalian semuanya."
berkata Mahisa Pukat. "Sisa -sisa umurku tidak berarti lagi, karena seharusnya
kami sudah mati hari ini." berkata orang itu.
Mahisa Pukat m enarik nafas dalam-dalam. Nam paknya
kata-kata orang itu cukup meyakinkan. Sehingga dengan
demikian, maka yang harus mereka cegah adalah
kemungkinan pembalasan dendam kedua orang y ang telah
dikalahkan itu. Bukan terhadap Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat sendiri, tetapi justru terhadap Miyatsangka dan adikadik
seperguruannya. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun berkata, "Kita akan
berbicara lebih bersungguh-sungguh. Bawa kedua orang itu
naik ke pendapa." Sejenak orang-orang itu menjadi ragu-ragu. Namun
kemudian beberapa orang telah mendekati kedua orang
paman gurunya itu meskipun dengan ragu-ragu.
Namun Mahisa Murti pun berkata, "Mereka tidak akan
dapat berbuat apa-apa lagi. Angkatlah dan bawalah ke
pendapa." Meskipun demikian, ketika orang-orang itu meny entuh
tubuh kedua orang y ang sudah tidak berday a lagi itu tersentak
karena kedua orang itu hampir bersamaan telah m embentak
dan mengumpat. " Jangan takut," berkata Mahisa Pukat, "jika mereka
menyakiti kalian maka aku akan mencekiknya sampai mati."
Sebenarnyalah kedua orang itu tidak berday a sama
sekali ketika keduanya diangkat dan dibawa ke pendapa.
Perlahan-lahan mereka telah dibaringkan di atas tikar,
sementara murid-murid dari perguruan yang hampir saja
terbelah itu telah duduk pula melingkarinya. Sementara
Mahisa Semu pun telah hadir pula bersama gadis y ang telah
diculik itu. Sementara itu, malam pun telah merambat semakin
kelam dan lampu-lampu minyak berkeredipan di mana-mana.
"Ternyata kalian berdua adalah orang y ang paling malas
di antara kita semua," berkata Mahisa Pukat, "kami semuanya


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

duduk tegak meskipun kami pun sudah mengantuk. Tetapi
kalian berdua justru telah berbaring di antara kami."
"Persetan," geram yang tertua di antara kedua orang itu,
"kenapa tidak kau bunuh kami?"
"Kami bukan pembunuh-pembunuh y ang tidak
berjantung," berkata Mahisa Murti, "kami masih memikirkan
kemungkinan lain dari pada membunuh, meskipun pada suatu
saat kami tidak dapat menghindari kemungkinan untuk
melakukannya." Kedua orang itu menggeram. Meskipun keduanya sudah
tidak mampu lagi berbuat sesuatu, tetapi dendam masih
menyala di dalam sor ot mata m ereka. Bahkan y ang tertua di
antara mereka itu pun berkata, "Kenapa kau telah
memperlakukan kami seperti ini" Bagiku kematian akan lebih
baik dari mengalami perlakuan seperti ini."
"Tidak," jawab Mahisa Murti, "jika kau mati, kau tidak
akan pernah sempat meny esali kesalahanmu."
"Aku tidak akan pernah meny esal, karena aku tidak
pernah melakukan kesalahan. Aku telah berjuang untuk
menegakkan kebenaran. Aku tidak mau perguruan y ang sudah
dibina berpuluh tahun ini akan dinodai oleh orang-orang yang
tidak bertanggungjawab dan berkhianat." berkata yang tertua.
"Sudahlah," berkata Mahisa Murti, "kau jangan
mengigau lagi. Kau tidak akan dapat menipu siapa pun di sini.
Lebih-lebih dirimu sendiri. Setiap orang di sini sudah tahu
siapakah kalian berdua sebenarnya. Bukankah Miy atsangka
sudah mengatakan bahwa kalian bukan saudara
seperguruannya, tetapi justru paman gurunya" Kau akui atau
tidak kau akui, tetapi kau sendiri mengetahui akan hal itu."
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak.
Sementara itu, murid-murid dari perguruan y ang
hampir pecah itu duduk dengan tegang. Mereka menunggu
perkembangan y ang akan terjadi dalam percakapan antara
anak-anak muda itu dengan paman guru mereka.
Beberapa saat kedua orang y ang terbaring itu tidak
mengucapkan sepatah katapun. Karena itu, maka Mahisa
Murti pun bertanya, "Bagaimana pendapatmu" Apakah kalian
masih tetap dalam sikap kalian?"
Kedua masih berdiam diri.
Mahisa Murti tiba -tiba saja telah bergeser mendekat.
Ketika lengan yang tertua di antara mereka disentuh oleh
Mahisa Murti, maka terasa sisa kekuatannya yang hampir
kering itu terhisap karenanya. Meskipun hanya sesaat, tetapi
rasa-rasanya nyawanya akan ikut terhisap pula karenanya.
Dengan nada berat orang itu berdesis, " Ilmu iblismu itu
benar-benar terkutuk."
"Tergantung untuk apa aku mempergunakannya," jawab
Mahisa Murti, "aku dapat mempergunakannya untuk
perbuatan licik. Tetapi aku juga dapat mempergunakan untuk
perbuatan y ang lebih berarti daripada membunuh."
" Jika kau tidak mempergunakan ilmu licikmu, kau tentu
sudah aku lumatkan." geram yang tertua.
"Kau salah," berkata Mahisa Murti, "jika kau ingin
melihat, aku dapat memperlihatkan kepadamu, bagaimana
aku dapat meremas batu sebesar kepala kerbau dari jarak yang
jauh. Tetapi aku tidak melakukannya, karena aku memang
tidak ingin m embunuh. Bahkan saudaraku itu telah dilukai
oleh saudaramu. Tetapi ia tetap menahan diri untuk
melakukan pembunuhan itu. Bahkan sampai sekarang pun
kami tidak membunuh, meskipun kalian masih saja
mengumpat-umpat." " Jika kalian tidak membunuh kami sekarang, maka
pada saatnya kami akan m embunuh kalian dan orang-orang
yang telah berkhianat itu." geram yang tertua di antara kedua
orang itu. "Kau tidak akan dapat melakukannya," berkata Mahisa
Murti, "tetapi dengan ancamanmu itu berarti bahwa kau tidak
akan dapat menemukan kekuatanmu sepenuhnya kembali.
Ilmumu akan m usnah dan kau akan tidak lebih dari orang
kebanyakan." " Jangan lakukan itu, bunuh saja kami berdua." geram
orang itu. "Tidak. Jika kalian masih tetap hidup, kalian akan
mendapat kesempatan untuk mengakui kesalahan kalian,
bertobat dan bahkan kalian akan mendapat kesempatan untuk
berbuat baik." berkata Mahisa Murti.
"Tetapi jangan musnahkan kemampuan ilmu kami."
berkata orang itu. "Sayang," berkata Mahisa Murti, "aku memang
mencemaskan sikapmu jika kau tetap dalam tingkat
kemampuanmu sekarang. Karena itu, maka kalian akan
sembuh dan mendapatkan kekuatan kalian kembali, tetapi
tidak dengan ilmu kalian."
" Jangan," teriak orang itu. Tetapi ia tidak dapat
bergerak lebih dari sekedar m enggerak-gerakkan tangan dan
sedikit tubuh m ereka. Ketika y ang tertua itu berusaha untuk
bangkit, maka ternyata ia masih juga tidak mampu
melakukannya. "Ada dua kesempatan y ang akan aku berikan kepada
kalian berdua," berkata Mahisa Murti, "tetap berbaring untuk
seterusnya atau kembali dalam keadaan wajar, tetapi
kehilangan ilmu kanuragan kalian."
"Kami memilih mati." jawab orang itu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ternyata
orang-orang itu adalah orang-orang y ang hatinya telah
mengeras seperti batu. Adalah sangat berbahaya jika keduanya
dibiarkan sembuh dan memiliki segala sesuatunya kembali.
Karena itu, maka mereka harus mendapat hukuman, sehingga
mereka tidak akan dapat melakukan kejahatan lagi di saat
mendatang terhadap murid-murid perguruan y ang hampir
pecah itu. Apalagi terhadap mereka y ang dianggap berkhianat.
Karena itu, m aka Mahisa Murti pun berkata, "Baiklah. Jika
demikian, maka kamilah y ang akan menentukan. Tetapi dalam
keadaan kalian seperti itu, kami tidak akan berbuat sesuatu,
karena dengan demikian kalian akan dapat mati. Besok, jika
keadaan kalian telah menjadi lebih baik, maka kami akan
melakukan sesuatu atas kalian y ang tidak perlu kalian sesali.
Karena menurut pengamatan kami, orang-orang seperti kalian
itu, tidak akan lagi dapat diperbaiki. Dengan demikian, maka
jalan hidup kalian harus ditentukan sebelumnya."
Tetapi kedua orang itu m asih saja m engumpat. Namun
Mahisa Murti pun kemudian berkata kepada orang-orang yang
ada di sekitarnya, murid-murid dari perguruan itu, "Nah,
biarlah kedua orang itu besok menjadi urusan kami. Sekarang,
lakukan apa yang baik kalian lakukan bagi perguruan kalian."
Miyatsangka lah yang menjawab, "Terima kasih Ki
Sanak. Kami ingin berbicara dengan saudara-saudara kami
yang untuk beberapa saat telah terpisah."
"Silahkan." jawab Mahisa Pukat.
Sementara itu maka Miyatsangka pun berkata, "Nah,
sebaiknya aku tidak berputar-putar lagi. Aku akan langsung
berbicara tentang sikap kalian. Besok aku akan memenuhi
pesan guru. Kita bersama-sama akan menyatakan kesetiaan
kami kepada Guru dengan menepati pesannya. Tidak ada
orang y ang akan dapat mengukuhkan kedudukanku selain
dukungan dan kesediaan kalian. Karena itu, maka aku perlu
pernyataan kalian." Yang tertua di antara mereka yang tersesat itu pun
berkata, "Sudah kami katakan, bahwa kami telah menemukan
diri kami kembali. Kami akan menjunjung tinggi pesan Guru."
"Pengkhianat." teriak paman gurunya y ang m asih saja
terbaring. Miyatsangka berpaling ke arahnya. Katanya, "Maaf
paman. Kami per silahkan paman beristirahat dengan tenang.
Kami akan memutuskan persoalan kami sendiri tanpa
gangguan dari paman."
" Jika aku sembuh kelak, maka kalian semua akan
menyesal." geramnya.
Tetapi Miyatsangka tidak menghiraukannya. Ia telah
membuat rencana bahwa besok, di saat matahari naik
sepenggalah, maka mereka akan menyatakan bersama-sama
kesetiaan mereka kepada pesan Guru mereka.
Menj elang tengah m alam, maka m ereka pun tidak lagi
membicarakan rencana mereka. Mereka telah menutup
pembicaraan mereka untuk beristirahat.
Meskipun kedua belah pihak telah mendapatkan
kesepakatan, namun Miy atsangka masih belum dapat
menghilangkan kecurigaan sama sekali. Karena itu, maka
Miyatsangka pun telah m empersilahkan saudara-saudaranya
yang hampir saja memberontak itu untuk tidur di gandok.
Sementara Miy atsangka dan saudara-saudaranya yang
berpihak kepadanya, berada di dalam rumah.
"Kalian dapat memilih tempat." berkata Miyatsangka
kepada anak-anak muda y ang melindungi seorang gadis itu.
"Kami akan berada di sini." jawab Mahisa Murti.
"Gadis itu?" bertanya Miyatsangka.
" Biarlah ia berada di Pringgitan. Kami akan
menungguinya." jawab Mahisa Murti.
"Kedua paman itu?" bertanya Miy atsangka pula.
" Biarlah mereka beristirahat sampai esok. Jangan
diganggu lagi." berkata Mahisa Pukat.
Miyatsangka memandang Mahisa Pukat dengan raguragu.
Sementara Mahisa Pukat mengerti perasaan
Miyatsangka. Karena itu maka katanya, "Kedua orang ini
sampai besok pagi masih belum akan bangun. Keduanya
masih ingin beristirahat. Mereka akan tidur nyenyak sampai
besok." Hampir berbareng keduanya mengumpat. Keduanya
merasa menjadi barang mainan ditempat itu. Tetapi mereka
tidak dapat berbuat apa-apa.
Demikianlah, maka gadis yang telah diculik dari orang
tuanya itu telah dipersilahkan tidur di pringgitan. Meskipun
masih tetap diluar rumah, tetapi agak terlindung oleh dindingdinding
samping. Sementara ketiga anak muda itu duduk saja
di pringgitan itu pula, agak jauh dari tempat gadis itu tidur.
Bagi gadis itu, tidur di pringgitan adalah satu-satunya
kemungkinan yang paling baik, karena dengan demikian ia
akan berada dibawah pengawasan ketiga orang anak muda itu.
Di sisa m alam itu, ternyata Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah membagi waktu untuk berjaga-jaga. Sementara
Mahisa Semu mendapat kesempatan untuk tidur saja.
"Kau harus beristirahat baik-baik. Mungkin besok
kaulah yang harus bertempur." berkata Mahisa Murti.
Mahisa Semu tertawa. Ia tahu, bahwa Mahisa Murti
tidak bersungguh-sungguh.
Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bergantiganti
beristirahat, maka y ang berjaga-jaga di antara mereka
harus tetap mengawasi gandok. Mungkin orang -orang yang
telah menyatakan diri kembali ke dalam perguruannya itu
berubah lagi pendiriannya dan mempergunakan kesempatan
untuk melakukan sesuatu yang dapat menyulitkan.
Tetapi agaknya mereka benar-benar telah menyerah,
sehingga ju stru karena itu, m ereka m erasa tidak m empunyai
masalah lagi. Karena itulah, maka m ereka pun segera tidur di gandok
yang telah diperuntukkan bagi mereka. Meskipun untuk
beberapa lama mereka belum dapat tertidur karena persoalanpersoalan
tentang diri mereka sendiri, namun akhirnya
mereka semuanya tertidur tanpa mencemaskan kemungkinankemungkinan
buruk y ang dapat terjadi. Sementara di ruang
dalam seorang di antara mereka bergantian berjaga-jaga.
Bagaimanapun juga m ereka harus tetap berhati-hati. Namun
mereka merasa tenang ketika mereka tahu, bahwa salah
seorang di antara ketiga anak muda di pringgitan masih duduk
bersandar tiang. Karena menurut perhitungan mereka, anakanak
muda itu akan segera menguasai keadaan jika terjadi
sesuatu diluar. Sedangkan mereka yang ada di dalam rumah
itu benar-benar telah mempercayai mereka tanpa ragu-ragu
lagi. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus bersabar.
Mereka harus menunggu keduanya memiliki sebagian
kekuatannya kembali agar keduanya mampu bertahan untuk
tetap hidup. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
kemudian telah meninggalkan kedua orang yang marah sambil
mengumpat-umpat itu. "Mereka tidak akan pernah menyadari diri mereka."
berkata Mahisa Pukat. "Karena itu keputusan kita sudah bulat. Keduanya harus
kehilangan kemampuan untuk membalas dendam." sahut
Mahisa Murti. Demikianlah, maka pada hari itu, segala sesuatunya
telah diselesaikan di antara saudara-saudara seperguruan yang
hampir saja t erpecah itu. Sementara kedua orang y ang ingin
merebut kedudukan Miyatsangka itu dengan penuh
kemarahan telah menuduh orang -orang y ang semula berpihak
kepada mereka sebagai pengkhianat dan pengecut.
Meskipun dengan cara y ang sangat sederhana, maka
saudara-saudara seperguruan y ang disaksikan oleh beberapa
orang lain yang kebetulan ada di tempat itu, termasuk kedua
saudara kandung Miy atsangka, telah m enetapkan, memenuhi
pesan gurunya y ang sudah tidak ada lagi, bahwa sejak saat itu,
Miyatsangka telah dianggap sebagai pemimpin dari perguruan
mereka. Untuk selanjutnya, mereka akan tetap berada di
rumah itu sebagaimana gurunya pernah tinggal.
Namun sebenarnyalah bahwa Miyatsangka telah pernah
berbicara secara khusus dengan orang tua suami isteri yang
tinggal di pondok di belakang rumah. Orang yang dalam saatsaat
tertentu m ampu m emberikan beberapa keterangan yang
dianggap sangat penting, justru karena orang itu telah tinggal
di tempat itu untuk waktu yang lama sekali.
"Kedua paman gurumu itu tentu tidak sekedar ingin
memimpin perguruan ini," berkata orang tua itu kepada
Miyatsangka, "mereka t entu m engetahui bahwa di rumah ini
dan mungkin di halaman atau di kebun atau di mana pun juga
dalam lingkungan dinding halaman terdapat sesuatu yang
sangat berharga." "Darimana paman tahu?" bertanya Miyatsangka.
"Gurumu pernah mengatakannya meskipun tidak
langsung. Dalam samadi ia mohon kepada Yang Agung untuk


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendapat petunjuk di mana benda yang sangat berharga itu
disimpan. Aku memang merasa bersalah, bahwa aku dapat
mendengarnya. Tetapi aku benar-benar tidak sengaja
melakukannya." jawab orang tua itu.
"Benda itu milik siapa?" bertanya Miyatsangka.
Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Namun
akhirnya ia berkata, "Aku tidak tahu pasti. Pada saat kakek
gurumu meninggal, gurumu tidak ada di rumah ini. Untuk
menyelamatkan benda yang sangat berharga itu, maka benda
itu telah disimpan oleh kakek gurumu itu tanpa sempat
memberitahukan kepada gurumu. Kakek gurumu percaya
kepada siapa pun juga selain kepada gurumu. Agaknya
gurumu m engetahui hal itu dari perhitungan dan penalaran.
Benda y ang sangat berharga itu sudah tidak ada di tempatnya,
sementara tidak seorang pun y ang memilikinya di antara
saudara-saudara seperguruannya. Bahkan agaknya gurumu
tahu bahwa tidak ada seorang pun di antara saudara-saudara
seperguruannya y ang tahu bahwa di bawah pembaringan
gurunya terdapat benda yang sangat berharga itu. Selain dari
itu aku tidak tahu apa -apa lagi. Aku pun tidak tahu, dari mana
kedua orang paman gurumu itu mengetahui bahwa di halaman
atau di dalam rumah ini terdapat sesuatu y ang sangat
berharga untuk diperebutkan. Mungkin pusaka, mungkin
harta benda dan mungkin sebuah kitab yang berisi ilmu atau
apa pun juga." "Baik paman," berkata Miy atsangka, "seandainya kami
tidak menemukan sesuatu y ang sangat berharga itu, kami
tidak akan m eny esal. Asal y ang berharga itu tidak jatuh ke
tangan orang lain. Apalagi jika y ang berharga itu adalah
sumber ilmu y ang akan dapat menimbulkan akibat yang
sangat panjang. Namun demikian, aku akan berusaha, tetapi
tidak menarik perhatian orang lain, karena saudara
seperguruan pun pada suatu saat, jika terbentur kepada
kepentingan diri sendiri, akan dapat mengingkari kesetiaan
mereka sebagai saudara seperguruan."
Sebenarnyalah Miy atsangka tidak pernah mengatakan
hal itu kepada siapa pun juga. Rahasia itu disimpannya di
dalam dirinya rapat-rapat untuk waktu yang lama sejak ia
mendapat kesempatan berbicara dengan orang tua itu, di
samping beberapa orang tua y ang lain yang dianggapnya tahu
serba sedikit tentang perguruannya. Sudah tentu orang-orang
tua yang dipercayainya. Namun bahwa keterangan tentang gurunya tidak ada di
saat kakek gurunya meninggal, beberapa orang tua itu
memang sependapat menurut pengetahuan mereka.
Dengan penetapan itu, maka segala tanggung jawab atas
perguruannya memang ada di tangan Miyatsangka. Adalah
tidak dapat diterangkannya, kenapa tiba-tiba saja ia menaruh
kepercayaan y ang sangat besar k epada Mahisa Murti, Mahisa
Pukat dan Mahisa Semu. Tiga orang anak muda y ang baru saja
dikenalnya. Namun apa yang, pernah dilakukan oleh anak-anak
muda itu, ternyata telah membuatnya percaya bahkan mutlak.
Sehingga karena itulah, maka rahasia yang disimpannya itu,
telah dikatakannya pula kepada Mahisa Murti, Mahisa Pukat
dan Mahisa Semu. Namun jawab Mahisa Murti membuat Miyatsangka
berhati-hati. "Miyatsangka," berkata Mahisa Murti, "dalam
keadaan tertentu, mungkin kedua orang paman gurumu telah
memberikan isyarat tentang hal itu. Atau mungkin
berdasarkan naluri dan panggraita, saudara-saudaramu
berpendapat demikian pula meskipun tidak ada seorang pun
yang memberitahukan. Karena sebenarnyalah aku juga
bertanya kepada diri sendiri, kenapa kedua orang pamanmu
itu begitu bernafsu untuk menguasai perguruan ini dan berarti
menguasai rumah ini beserta halamannya."
Miyatsangka mengangguk-angguk. Kemungkinan itu
memang dapat terjadi. Sementara itu Mahisa Murti berkata
pula, "Kedua paman gurumu itu tentu mempunyai
kesempatan untuk membuka padepokan sendiri tanpa
mengganggumu. Tetapi sudah tentu tidak di rumah ini,"
Mahisa Murti berhenti sejenak, lalu tiba-tiba saja ia bertanya,
"Apakah gurumu tidak pernah memberikan pesan apa pun
juga tentang benda-benda berharga itu?"
Miyatsangka menggeleng. Katanya, "Tidak."
"Memang agak aneh," berkata Mahisa Murti, "i sy aratisy
arat pun tidak?" "Nampaknya guru tidak mau memberikan teka -teki
kepadaku. Karena Guru sendiri tidak yakin, maka lebih baik
baginya untuk tidak mengatakan apa-apa." berkata
Miyatsangka. "Agaknya semuanya timbul dari dugaan-dugaan."
berkata Mahisa Murti. Miyatsangka menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Mungkin. Dengan demikian aku menjadi semakin y akin
bahwa sebaiknya aku tidak m engatakan apa-apa sebagaimana
Guru. Mungkin memang tidak ada apa-apa."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun ia masih
juga berpesan, "Tetapi kau dapat saja m eskipun nampaknya
sambil lalu dan tidak menarik perhatian, berusaha
menemukannya." "Seandainya ada sesuatu, mungkin juga sudah berada di
luar rumah ini. Namun bagaimanapun juga hal itu akan
menjadi perhatianku." berkata Miy atsangka.
Dengan singkat Mahisa Murti masih sempat
menceriterakan bagaimana sebuah perguruan menjadi
terpecah belah karena sebuah kitab yang dianggapnya sangat
berharga. Kitab itu memang berharga, tetapi Mahisa Murti
kemudian berkata, "Namun nampaknya masih lebih berharga
keutuhan keluarga perguruan ini daripada benda berharga apa
pun juga. Apalagi jika harus dikorbankan nyawa seseorang."
"Aku mengerti," berkata Miyatsangka, "tetapi
bagaimana dengan kedua orang paman guru itu" Jika pada
suatu saat kekuatan dan kemampuan m ereka pulih kembali,
aku tidak tahu, apakah mereka akan dapat menerima keadaan
ini." Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya, "Mereka tidak akan mengganggu kalian
lagi." Miyatsangka termangu-mangu. Namun ia tidak
membantahnya. Di hari itu kedua orang y ang kehilangan
kekuatannya itu m asih berada di pendapa. Keduanya masih
sangat lemah. Tetapi y ang tertua di antara mereka telah mampu
bangkit dan duduk bertelekan kedua tangannya. Ra sa-rasanya
ia tidak sabar lagi menunggu kekuatannya pulih kembali.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak
berbuat sesuatu atas mereka. Bahkan m enjelang senja, anakanak
muda itu telah minta diri.
Ternyata Miyatsangka dan saudara-saudara
seperguruannya tidak menahan mereka.
Meskipun demikian seorang di antara m ereka bertanya,
"Kenapa tidak besok siang saja?"
"Kami senang menempuh perjalanan malam hari. Tidak
panas dan tidak banyak menarik perhatian orang lain,
meskipun harus menghindari padukuhan sejauh mungkin."
jawab Mahisa Murti. Kedua orang y ang terbaring di pendapa itu m engumpat
ketika anak-anak muda itu minta diri kepada mereka. Bahkan
Mahisa Pukat sempat berkata, "Mudah-mudahan besok kalian
sudah dapat bangkit dan berdiri tegak."
"Persetan," geram y ang tertua, "jika aku pulih kembali,
aku buru kalian sampai ke ujung langit sekalipun. Kami
berdua berjanji untuk membunuh kalian."
Tetapi Mahisa Pukat tertawa. Katanya, "Jika kau jumpai
lagi kami berdua, maka hidupmu akan berakhir."
"Anak iblis." geram orang itu.
Demikianlah sejenak kemudian ketiga orang anak muda
bersama gadis y ang telah diculik dari rumahnya itu
meninggalkan halaman rumah y ang telah diperebutkan
bersama kedudukan pemimpin perguruan itu. Tetapi m ereka
tidak menempuh perjalanan jauh. Tetapi mereka hanya
melingkar saja dan masuk kembali m elalui regol butulan dan
singgah di pondok di belakang rumah itu tanpa sepengetahuan
para murid dari perguruan y ang telah ditinggalkan oleh
gurunya itu. Sementara itu, ketika malam turun, kedua orang y ang
berada di pendapa itu telah mampu duduk lebih tegak.
Miyatsangka telah memberikan minuman hangat dan
makanan bagi mereka. Meskipun keduanya minum dan makan
makanan yang dihidangkan, namun mereka masih saja
mengumpat-umpat. " Jangan memaksa kami berbuat kasar paman," berkata
Miyatsangka, "kami sudah bersedia melayani paman di saat
paman dalam kesulitan. T etapi jika sikap paman masih t etap
kasar seperti itu, maka kami pun dapat berbuat kasar."
"Kenapa tidak kau lakukan, pengkhianat?" bentak y ang
tertua. "Kami masih menghormati paman." jawab Miyatsangka.
"Kenapa kau panggil aku paman" Aku adalah murid
tertua dari perguruan ini." orang itu berteriak.
Tetapi Miy atsangka tidak berteriak pula. Tetapi ia
menjawab sewajarnya, "Kami sudah tahu semuanya tentang
paman berdua. Karena itu paman berdua tidak usah terusmenerus
berbohong kepada kami dan kepada diri sendiri."
"Persetan," geram orang itu, "sebentar lagi kekuatanku
akan pulih kembali. Besok pagi-pagi, aku sudah dapat
membunuh kalian semua y ang tidak mau berpihak kepadaku.
Malam ini aku y akin bahwa ilmuku akan aku dapatkan
kembali sebagaimana sediakala."
Miyatsangka termangu-mangu sejenak. Namun ia pun
kemudian berkata, "Jadi paman sama sekali tidak meny esali
perbuatan paman selama ini, tetapi justru berniat untuk
melanjutkannya meskipun keadaan paman sudah menjadi
seperti itu" " "Anak iblis," geram y ang tertua, "aku hampir berniat
untuk mengurungkannya. Tetapi sekarang justru sebaliknya.
Hatiku semakin terbakar melihat pengkhianatan saudarasaudara
seperguruanku. Mereka semula telah sepakat untuk
bersama-sama menegakkan paugeran perguruan, tetapi
kemudian mereka telah berkhianat."
"Mereka telah menemukan diri mereka kembali,"
berkata Miy atsangka, "mereka meny esali perbuatan mereka
karena mereka telah terbujuk oleh paman berdua dengan
hasutan, janji-janji dan ancaman-ancaman. Karena itu, maka
sebaiknya paman juga mulai melihat kembali ke dalam diri
paman. Apakah niat paman masih akan paman teruskan atau
tidak." "Persetan," geram y ang muda, "besok kami bunuh
kalian semuanya. Camkan ini."
Miyatsangka menarik nafas dalam-dalam. Namun
katanya kemudian, "Jika paman benar-benar ingin berbuat
demikian, maka kami pun akan sampai hati memperlakukan
paman seperti itu." "Aku tidak takut." geram y ang muda.
Miyatsangka pun kemudian berkata lebih keras, "Baik.
Jika itu y ang paman-paman kehendaki."
Tanpa menunggu lagi, Miy atsangka pun kemudian telah
meninggalkan kedua orang yang masih lemah itu. Namun
mereka menyadari bahwa kekuatan mereka telah tumbuh
kembali. Minuman dan makanan memang mempercepat
perkembangan keadaan mereka. Sehingga dengan demikian
maka yang tertua di antara mereka berkata, "Kita harus benarbenar
beristirahat. Aku y akin, besok pagi-pagi benar keadaan
kita sudah memadai. Kita tentu sudah mampu
membangunkan ilmu kita untuk menghancurkan orang-orang
yang dungu itu. Bahkan kita akan dapat membunuh mereka
sekaligus." Yang muda itu pun telah mencoba untuk bangkit berdiri.
Ternyata ia sudah dapat berdiri tegak. Demikian pula ketika
yang tertua di antara mereka.
"Bagus," berkata yang tertua, "besok mereka akan
menyesal bahwa mereka tidak membunuh kita malam ini."
Keduanya pun kemudian telah berbaring kembali.
Namun y ang tertua di antara mereka masih juga mengumpatumpat.
Mereka merasa diremehkan sekali oleh Miy atsangka
dan adik-adik seperguruannya, karena tidak seorang pun yang
mendapat tugas untuk mengawasi mereka. Yang ada di
pendapa itu hanyalah lampu minyak y ang berkerdipan.
Sementara di ruang dalam dan di gandok Miy atsangka dan
saudara-saudara seperguruan telah m enutup pintu-pintu dan
agaknya mereka telah berada di pembaringan, atau bahkan
telah tertidur ny enyak. Kedua orang itu pun kemudian telah benar-benar
mempergunakan kesempatan itu untuk beristirahat agar
kekuatan mereka dapat segera pulih kembali, sehingga
kemampuan ilmu mereka- pun dapat mencapai tataran
tertinggi. Lewat tengah malam y ang tertua di antara m ereka itu
pun telah terbangun. Perlahan-lahan ia pun telah bangkit
berdiri dan menggeliat. Tiba-tiba saja dibangunkannya
saudara seperguruannya yang masih tidur ny enyak sambil
berkata, "Sadari. Kekuatan kita benar-benar telah hampir
pulih kembali." Yang muda pun telah melakukan hal y ang sama pula. Ia
pun telah berdiri tegak dan menggeliat. Katanya, "Saat
pembalasan itu akan segera datang. Mereka akan terkejut
melihat kekuatan kita telah pulih kembali. Aku kira kita akan
memerlukan waktu lama. Ternyata dalam waktu pendek,
segalanya telah dapat diatasi."
Namun keduanya sama sekali tidak menyadari, bahwa
sepasang mata tengah m engamatinya dari kegelapan. Mahisa
Murti y ang bergantian dengan Mahisa Pukat selalu mengamati
mereka. Ternyata obat yang mereka berikan, benar-benar
memberikan dukungan terhadap kekuatan daya tahan kedua
orang itu selain karena daya tahan tubuh keduanya memang
sangat tinggi. Mahisa Murti y ang sedang bertugas mengawasi
keduanya mengangguk-angguk. Katanya kepada diri sendiri,


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Obat untuk meningkatkan daya tahan tubuh yang dicobakan
kepada keduanya lewat m inuman yang dihidangkan kepada
mereka ternyata berhasil baik. Ketahanan tubuh keduanya
telah meningkat, sehingga dengan demikian kekuatan mereka
pun telah tumbuh dengan cepat. Apalagi kedua orang itu
memang pada dasarnya memiliki tubuh y ang kokoh kuat
dilandasi dengan ilmu y ang tinggi. Nampaknya besok pagipagi
mereka akan menjadi hampir pulih."
Ketika kemudian Mahisa Pukat y ang bertugas
mengamati mereka, maka Mahisa Murti telah memberikan
keterangan tentang kemungkinan itu.
Karena itu, maka Mahisa Pukat pun menjadi sangat
berhati-hati. Ia berpesan kepada Mahisa Murti, agar
menjelang fajar, Mahisa Semu ikut bersamanya mengawasi
orang itu. "Aku akan mengatakan kepadanya." jawab Mahisa
Murti. Sebenarnyalah menjelang fajar Mahisa Semu telah
menyusul Mahisa Pukat. Keduanya mengawasi apakah yang
akan terjadi atas kedua orang y ang berada di pendapa itu.
"Menurut Mahisa Murti, keduanya akan mendapatkan
kekuatannya kembali menjelang atau pada saat fajar
menyingsing, m engingat obat y ang diberikan lewat minuman
itu." berkata Mahisa Pukat.
"Apakah m ereka kira-kira akan terpancing?" bertanya
Mahisa Semu. " Jika mereka tidak berbuat sesuatu, berarti mereka
telah menyadari kesalahan langkahnya, sehingga untuk
selanjutnya mereka juga tidak akan m engganggu perguruan
ini." jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Ia mengerti rencana
yang disusun oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun
rencana itu memang mengandung bahaya.
Beberapa saat kemudian, maka kedua orang yang ada di
pendapa itu telah terbangun. Yang tertualah y ang bangkit
lebih dahulu dan kemudian membangunkan adik
seperguruannya. Keduanya tiba-tiba saja telah meloncat
bangkit. Sambil mengayun-ayunkan kedua tangannya,
kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi, yang tertua di antara
mereka berkata, "Aku telah hampir pulih kembali."
Yang muda pun menyahut, "Rasa-rasanya kekuatanku
telah utuh. Tentu ilmuku telah utuh pula."
Namun tiba-tiba yang muda itu pun berdesis, "Di mana
senjataku." " Jangan-jangan dicuri oleh anak-anak gila itu." desis
yang tertua. Namun kemudian y ang m uda itu berkata lantang, "Di
sini." Dipungutnya senjata khususnya y ang terletak di sebelah
tempat ia berbaring. Katanya, "Aku memang melepaskan
semalam sebelum makan. Hampir aku lupa di mana aku
letakkan." "Untunglah, senjata pun tidak dicuri." sahut y ang tua.
Yang muda itu pun kemudian telah memasang
senjatanya di telapak tangannya, sehingga jari-jarinya menjadi
terlindung dan memanjang dengan jari-jari baja.
Bahkan sejenak kemudian, ia pun telah memusatkan
nalar budinya untuk mengetrapkan ilmunya.
"Semuanya akan segera selesai," berkata yang muda itu,
"sementara ketiga anak-anak m uda y ang gila itu telah pergi.
Kita akan membunuh anak-anak y ang telah berkhianat itu
seluruhnya. Kemudian kita akan mencari isi dari rumah ini."
Yang tertua mengangguk-angguk. Katanya, "Sudahlah.
Simpanlah ilmumu itu. Nanti kita akan menghabiskan
mereka." Perlahan-lahan yang muda itu pun telah melepaskan
ilmunya, sehingga bara di telapak tangan serta kuku-kuku
bajanya itu telah menjadi pudar kembali.
Sementara itu Mahisa Pukat y ang melihat hal itu pun
telah berbisik kepada Mahisa Semu, "beritahukan Mahisa
Murti. Nampaknya mereka tidak dapat berubah lagi. Tidak ada
jalan untuk menggiring mereka kembali ke jalan yang benar."
Mahisa Semu pun segera meninggalkan tempat itu,
sementara Mahisa Pukat berpesan, bahwa jika langit menjadi
terang, mereka harus mencari tempat lain yang lebih
tersembuny i di belakang pohon-pohon perdu.
Sejenak kemudian Mahisa Murti telah berdiri di sebelah
Mahisa Pukat. Namun mereka memang segera bergeser ke
belakang semak-semak. "Kita akan melihat, apakah y ang mereka lakukan.
Menilik sikap dan kata -kata y ang m ereka ucapkan m eskipun
kurang jelas k ita dengar, nampaknya m ereka tidak berubah."
berkata Mahisa Pukat. Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. "Kita akan
melihat." Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun kemudian ia
pun berbisik, "Di mana Mahisa Semu?"
"Aku minta ia mengawani gadis itu. Gadis itu mulai
menjadi ketakutan lagi." jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat menjadi tegang ketika ia melihat kedua
orang itu membenahi diri. Nampaknya m ereka benar-benar
tidak berjantung," berkata Mahisa Murti, "tidak ada jalan
kembali bagi mereka."
Namun kedua orang anak muda itu masih menunggu,
apa y ang akan dilakukan oleh kedua orang itu.
Sebenarnyalah, bahwa kedua orang itu sudah siap untuk
melaksanakan rencananya. Dengan lantang salah seorang di
antara mereka berteriak, "He, Miy atsangka. Keluar."
Untuk beberapa saat tidak terdengar jawaban. Namun
sebenarnyalah beberapa orang memang sudah bersiap di
ruang dalam dan di gandok.
"Miy atsangka dan para pengkhianat yang lain," teriak
yang tertua, "keluar. Kita akan membuat perhitungan."
Miyatsangka tidak menunggu lagi. Ia pun segera
membuka pintu rumah itu dan keluar bersama saudarasaudara
seperguruannya. Ketika mereka sampai di pendapa,
maka m ereka y ang ada di gandok pun telah keluar pula dan
melangkah menuju ke pendapa.
"Nah, kemarilah," berkata yang tertua, "waktu itu
akhirnya datang juga."
Miyatsangka lah y ang kemudian mendekatinya sambil
bertanya, "Kenapa kau berteriak-teriak, seperti itu?"
"Waktu untuk membalas dendam itu telah datang.
Meny erahlah. Kalian akan kami bunuh. Kami ternyata tidak
dapat lagi mengampuni kalian." berkata y ang tertua dari
kedua orang itu. " Jadi paman berdua masih belum berubah" Paman
tidak memperhitungkan sikap kami" Seandainya kami m au,
maka paman berdua tentu sudah mati." sahut Miy atsangka.
"Bukankah aku sudah bilang, jika kalian tidak
membunuh kami, maka kami berdualah y ang akan membunuh
kalian. Karena itu, maka jangan menyesal jika kami benarbenar
melakukannya." sahut y ang muda sambil tertawa.
Miyatsangka memang menjadi tegang. Dengan nada
tinggi ia b erkata, "Tetapi kami sekarang sudah menjadi satu.
Apakah kau kira, kau berdua mampu mengalahkan kami?"
Miyatsangka dan saudara-saudara seperguruannya
menyadari, bahwa kedua orang itu menjadi sangat marah.
Apalagi ada di antara m ereka y ang berhasil mengenai tubuh
yang muda di antara kedua orang itu. Jika datang saatnya
kedua orang itu melepaskan ilmunya, maka nasib mereka akan
tergantung kepada janji kedua orang anak muda itu untuk
membantu mereka. Jika mereka tidak datang pada saatnya,
maka mereka benar-benar tidak akan dapat bertahan lebih
lama lagi. Sebenarnyalah, bahwa sejenak kemudian, terdengar
yang muda di antara kedua orang itu berteriak ny aring karena
kemarahan y ang meny esak di dadanya.
Beberapa orang y ang bertempur melawannya terkejut
dan berloncatan surut. Kesempatan itu ternyata dipergunakan
sebaik-baiknya untuk membangunkan ilmunya yang
menggetarkan. Sejenak kemudian, maka telapak tangannya bahkan
kuku -kukunya y ang terbuat dari baja itu pun telah merah
membara. Orang-orang yang bertempur melawannya menjadi
termangu-mangu. Setiap sentuhan tangannya itu akan dapat
berarti maut. Sementara itu, y ang tertua pun telah melakukannya
pula. Meskipun tenaganya belum pulih seutuhnya, tetapi ia
mampu membangunkan puncak ilmunya y ang nggegirisi.
Dengan lantang y ang tertua di antara keduanya itu
berkata, "Saatnya telah datang, bahwa kalian semuanya akan
mati." Saudara-saudara seperguruan Miy atsangka, termasuk
kedua saudara kandungnya memang menjadi berdebar-debar.
Kedua orang itu telah benar-benar berada pada puncak
kemampuan mereka. "Nah, Miyatsangka," berkata y ang tertua, "bukankah
kau juga pernah mendapat warisan ilmu seperti yang aku
miliki sekarang" Nah, bangunkanlah. Kita akan beradu
kekuatan ilmu y ang sama. Dengan demikian kita akan
mengetahui dan memastikan siapakah y ang lebih tua di antara
kita." Kedua orang itu harus berpikir. Namun agaknya mereka
terlalu y akin akan kemampuan dirinya. Karena itu, maka yang
tertua di antara keduanya itu berkata, "Kalian jangan menjadi
gila. Kau tahu akan kemampuan kami. Ilmu kami yang
sempurna akan menggilas kalian y ang tidak tahu diri berapa
pun jumlahnya kalian. Anak-anak iblis y ang kalian banggakan
itu sudah meninggalkan kalian, sehingga kalian tidak akan
dapat minta bantuan mereka lagi."
Miyatsangka menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku
tidak mengira bahwa ada juga orang yang tidak berjantung
seperti paman berdua. Aku kira betapa pun sesatnya
seseorang, namun masih akan dapat m enghargai sikap orang
lain. Permusuhan yang kasar akan dapat diselesaikan dengan
sikap y ang lunak. Tetapi ternyata paman berdua benar-benar
tidak dapat diperlakukan dengan lembut untuk m endapatkan
cahaya kedamaian di hati."
Kedua orang pamannya sama sekali tidak
menghiraukan. Keduanya benar-benar telah dikuasai oleh
nafsu iblis mereka. Karena itu, maka katanya kepada orang-orang y ang
semula berpihak kepada mereka, "terserah kepada kalian.
Apakah kalian tetap ingin menegakkan paugeran dalam
perguruan ini, atau tidak. Betapa pun kuasanya seorang guru,
namun ia tidak akan dapat merubah paugeran. Manakah yang
lebih kalian hargai. Guru kita y ang tidak setia kepada
paugeran perguruan atau paugeran itu sendiri. Bagiku,
paugeran perguruan ini, y ang meny ebutkan bahwa murid
tertua akan menggantikan kedudukan pimpinan perguruan
harus ditegakkan." "Aku setuju paman," berkata Miy atsangka, "jika seorang
pemimpin perguruan kita ini meninggal, maka yang
menggantikan adalah murid tertuanya. Bukan adik
seperguruannya, demikian pula Guru. Tanpa pesan kepada
siapa pun juga, maka sudah pasti m enurut paugeran, akulah
yang harus menggantikan kedudukannya. Sebenarnya aku
bukan sejeni s orang y ang begitu tamak akan kedudukan.
Tetapi justru paman berdualah y ang memaksa aku untuk
bertahan karena aku tidak mau melanggar paugeran
perguruan ini." "Persetan," y ang tertua di antara keduanya hampir
berteriak, "Aku adalah murid tertua di sini. Bukan adik
seperguruan guru kalian."
"Paman dapat berbicara apa saja. Tanpa alasan pun
paman dapat merampok k edudukan kami jika paman merasa
sangat kuat untuk melakukannya." berkata Miyatsangka.
"Aku bukan perampok. Tetapi aku ingin menegakkan
paugeran di perguruan ini." sahut y ang muda di antara kedua
orang itu. "Kenapa paman masih saja berpura-pura" Bukankah
sudah waktunya kita saling berterus-terang?" Miy atsangka
berkata pula. Lalu katanya pula, "Apakah yang menahan
paman untuk berterus terang. Kita semuanya sudah tahu."
" Jangan banyak bicara. Marilah. Jika kalian ingin
melawan lawanlah. Kalian tidak perlu m enghiraukan apa-apa
lagi. Kami berdua ingin membunuh kalian, kecuali yang
berpihak kepada kami." berkata yang muda.
Namun seorang di antara saudara-saudara seperguruan
Miyatsangka yang pernah berpihak kepadanya itu berkata,
"Aku meny esal telah ikut serta memanaskan suasana
perguruan ini. Karena itu, maka aku tidak akan melakukan
kesalahan untuk kedua kalinya, meskipun harus aku tebus
dengan nyawaku." "Persetan," geram yang tua, "bersiaplah. Aku tidak akan
menunggu lebih lama lagi. Aku ingin membunuh kalian selagi
masih pagi, agar perjalanan ny awa kalian tidak kepanasan."
Miyatsangka memang tidak melihat kemungkinan lain
daripada bertempur m elawan keduanya. Karena itu, m aka ia
pun segera m emberi isy arat saudara-saudara seperguruannya
untuk menebar. Sebagian dari mereka telah berloncatan turun
ke halaman dan bersiap untuk melawan orang y ang memiliki
ilmu jauh lebih tinggi dari mereka.
"Bagus," berkata yang tertua di antara kedua orang itu,
"ternyata kalian cukup jantan menghadapi maut. Murid-murid
dari perguruan ini memang bukan pengecut."
Miyatsangka y ang merasa memiliki pula ilmu
sebagaimana dimiliki oleh kedua pamannya itu pun segera
bersiap. Namun ia menyadari, bahwa ilmunya masih dalam
tataran y ang dasar sekali. Dua orang saudara seperguruannya
yang lain pun telah m enerima alas ilmu itu pula, meskipun
belum dapat diperbandingkan dengan ilmu kedua orang itu.
Namun dengan jumlah y ang cukup, maka mereka
berharap untuk dapat mengatasi kedua orang itu. Apalagi
Miyatsangka dan saudara-saudara seperguruannya
mengetahui, bahwa anak-anak muda y ang berilmu tinggi itu
masih belum melepaskan mereka.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyaksikan semuanya


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu dari balik sebatang pohon perdu. Meskipun mereka tidak
mendengar semua pembicaraan, namun sebagian di antaranya
telah mereka dengar karena kedua orang itu berteriak-teriak
dan membentak-bentak. Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat- pun telah m elihat kedua orang itu bertempur. Mereka
harus melawan saudara-saudara seperguruan Miy atsangka
yang jumlahnya jauh lebih banyak.
Tetapi kedua orang itu memang orang -orang berilmu
tinggi. Meskipun mereka belum mempergunakan ilmunya,
namun sudah nampak bahwa Miy atsangka dan saudarasaudara
seperguruannya harus bekerja keras.
Dengan jumlah yang jauh lebih banyak, m aka m ereka
memang dapat mendesak kedua orang itu. Namun hal itu
hanya mempercepat kesulitan saja, karena kedua orang itu
pun segera merasa perlu untuk mempergunakan ilmunya yang
menggetarkan. "Kalian memang tidak tahu diri." teriak yang tertua di
antara kedua orang itu. Namun kedua orang y ang telah membangunkan ilmunya
itu terkejut ketika terdengar jawaban, "Tentu ilmumu lebih
masak Ki Sanak. Bukan karena kau saudara tertua di antara
mereka, tetapi kau adalah paman gurunya."
Semua orang berpaling ke arah suara itu. Mereka
terkejut, terutama kedua orang itu, bahwa dua orang di antara
anak-anak muda y ang disangkanya telah meninggalkan rumah
itu telah berdiri di halaman.
"Persetan," geram yang tertua, "jadi kau masih ada di
situ?" "Aku memang tidak pergi. Aku ingin melihat, apakah
yang akan kalian lakukan jika kalian mendapatkan kekuatan
kalian kembali. Apakah kalian merasa bahwa kesalahan kalian
telah diampuni dan kalian tidak dibunuh karenanya, sehingga
kalian meny esali perbuatan kalian, atau tidak."
"Persetan dengan kalian." geram yang muda.
"Ki Sanak," berkata Mahisa Pukat, "dengan demikian
kami y akin bahwa kalian m emang bukan orang y ang pantas
untuk diampuni. Karena itu, maka kami datang untuk
membuat perhitungan terakhir."
Kedua orang itu m enjadi tegang. Sementara itu Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat pun segera berpencar. Mahisa Pukat
telah melangkah mendekati y ang muda di antara kedua orang
itu, sementara Mahisa Murti berjalan setapak demi setapak
mendekati yang tertua di antara mereka.
"Minggirlah," berkata Mahisa Murti kepada orang-orang
yang mengepung yang tua itu, " orang ini dapat
membangunkan panas di sekitarnya."
Demikian orang-orang itu berloncatan menjauh, maka
Mahisa Murti pun telah bersiap pula menghadapinya.
"Kau harus kehilangan tenagamu dan untuk selanjutnya
kehilangan ilmumu," geram Mahisa Murti, "baru dengan
demikian maka kalian akan berhenti melakukan kejahatan."
Orang itu tidak menjawab. Tetapi tiba -tiba saja ia sudah
menerkam Mahisa Murti dengan garangnya.
Namun Mahisa Murti sempat menghindarinya,
meskipun udara panas masih terasa meny entuhnya. Demikian
pula ketika orang itu memburunya. Kedua tangannya yang
membara mengembang, siap untuk menerkamnya.
Sekali lagi Mahisa Murti harus mengelakkan serangan
itu. Sementara itu Mahisa Pukat pun telah mulai bertempur
dengan garangnya. Dengan mengerahkan kemampuannya,
maka lawannya itu berloncatan menyerang. Kuku-kuku
bajanya mengembang mengerikan seperti kuku-kuku seekor
burung garuda. Namun Mahisa Pukat yang bertempur lebih berhati-hati
itu sama sekali tidak dapat disentuhnya. Bahkan sekali-sekali
Mahisa Pukat sudah dapat mengenainya.
Orang itu pun sadar, bahwa ia harus menghindari
benturan atau sentuhan dengan lawannya itu jika ia tidak
ingin tenaganya terkuras habis. Karena itu, m aka orang itu
menjadi lebih berhati-hati. Ia berusaha untuk menghindari
setiap sentuhan dengan berusaha menggoreskan kukunya jika
jarak mereka menjadi lebih dekat.
Mahisa Pukat memang menjadi kesulitan untuk
mendapat kesempatan itu. Nampaknya lawannya dapat
mengerti kekuatan ilmunya, sehingga ia berusaha untuk selalu
menghindari benturan, meskipun sekali-sekali dapat juga
terjadi. Namun kesempatan itu t erlalu kecil untuk mampu
menghisap tenaga lawan cukup banyak.
Dengan demikian maka pertempuran itu pun
berlangsung lebih lama. Demikian pula lawan Mahisa Murti.
Ia pun berusaha untuk selalu m embuat jarak dari lawannya
dengan peri sai udara panasnya.
Namun pada saat-saat yang tepat, ia telah meloncat
menyerang, namun tanpa meny entuh lawannya. Orang itu
menyadari, bahwa lawannya yang m asih muda itu m emiliki
kemampuan menyerap kekuatan panas bara telapak
tangannya dengan kekuatan y ang berlawanan, sehingga tidak
menimbulkan luka-luka bakar pada kulitnya. Mungkin
lawannya yang muda itu m erasa sakit, t etapi orang itu sadar,
bahwa anak muda itu juga memiliki day a tubuh y ang luar
biasa, sehingga dengan cepat ia akan dapat mengatasi ra sa
sakit itu. Karena itu, maka serangannya adalah justru dengan
melibatnya dalam panasnya udara y ang dapat diserap oleh
kekuatan y ang berlawanan sebagaimana jika terjadi benturan
kekuatan ilmu. Dengan demikian jika Mahisa Murti meloncat
menyerangnya, maka orang itu akan selalu menghindari
sejauh dapat dilakukan, namun kemudian ia telah berusaha
untuk meloncat meny erang dengan kekuatan panasny a udara,
tanpa meny entuhnya. Mahisa Murti memang mengalami kesulitan. Panasnya
udara itu serasa membakar kulitnya. Ia menyadari, bahwa
lawannya ternyata telah mengetahui kekuatan lawannya yang
dapat menghisap kekuatan lawannya itu dalam sentuhansentuhan
yang terjadi. Sehingga karena itu, maka lawannya
telah berusaha untuk m enghindari setiap singgungan, namun
selalu memanggangnya dalam kekuatan panasnya.
Miyatsangka y ang menyaksikan pertempuran itu
bersama saudara-saudara seperguruannya menjadi tegang.
Ternyata tidak semudah yang diharapkan untuk
menundukkan kedua orang paman gurunya yang telah
mengetahui rahasia kekuatan kedua anak muda itu.
Bahkan y ang tertua di antara mereka sempat berkata
lantang, "Anak muda. Aku tidak akan mengulangi kesalahanku
untuk kedua kalinya. Kau tidak akan mampu berbuat
sebagaimana kau lakukan sebelumnya. Rahasia kekuatanmu
telah aku ketahui, sehingga karena itu, maka pada gilirannya,
kaulah y ang akan meny esali nasibmu yang buruk. Kau harus
menebus kesombonganmu dengan nyawamu."
Mahisa Murti t idak menjawab. Sementara Miyatsangka
dan saudara-saudara seperguruannya menjadi semakin
berdebar-debar. Beberapa saat kemudian keduanya masih bertempur.
Mahisa Murti justru mengalami kesulitan dengan lawannya
yang bertempur dengan sangat berhati-hati. Keringat rasarasanya
telah terperas dari tubuhnya yang menjadi k emerahmerahan
oleh panasnya udara, sementara itu tidak m endapat
kesempatan untuk meny entuh tubuh lawannya itu.
"Aku bukan orang yang baik hati seperti kau," berkata
orang y ang tertua dari kedua orang itu, "karena itu, aku akan
benar-benar m emanggangmu dalam apiku, kemudian setelah
kau tidak mampu lagi berbuat sesuatu, maka aku akan
membunuhmu tanpa m eny entuhmu. Aku hanya akan duduk
sa ja selangkah di sebelahmu. Maka kau akan mati dengan
tubuh y ang kering."
Mahisa Murti menjadi semakin geram karena kata-kata
lawannya itu. Jika semula ia hanya sekedar ingin membuat
lawannya itu jera dan tidak mampu lagi melepaskan
dendamnya kepada murid-murid perguruan yang akan
dirampasnya itu, maka kemudian Mahisa Murti harus
memperhitungkan pula kemungkinan yang dapat terjadi pada
dirinya sendiri. Karena, itu, ketika terasa kesulitan itu semakin
mendesaknya, maka Mahisa Murti tidak mempunyai
pertimbangan yang lain lagi kecuali benar-benar
menghancurkan lawannya itu.
Karena itu, maka ia telah berketetapan hati, untuk tidak
mempergunakan kekuatan ilmunya yang mampu menghisap
kekuatan lawannya. Tetapi Mahisa Murti benar-benar akan
menyerang dan melumpuhkan lawannya itu.
"Memang kemungkinan y ang sangat buruk dapat
terjadi," katanya di dalam hati, "tetapi aku tidak mempunyai
pilihan lain." Itulah sebabnya maka Mahisa Murti pun telah
memusatkan nalar budinya pada saat kesempatan ia menjauhi
lawannya. Kemudian dalam sekejap ia sudah siap untuk
melontarkan kekuatan ilmunya y ang luar biasa. Mahisa Murti
telah m erubah kekuatan ilmunya dari bentuknya yang lunak
menjadi bentuknya y ang keras. Sementara ia sudah siap pula
dengan ilmunya y ang mampu melontarkan serangan dari jarak
tertentu. Karena itu, ketika lawannya itu m eloncat mendekatinya
untuk memanggangnya dalam panas apinya, maka Mahisa
Murti telah melepaskan serangannya itu.
Akibatnya memang luar biasa pula sebagaimana
kekuatan ilmunya itu. Satu benturan y ang dahsy at telah
terjadi. Ilmu Mahisa Murti y ang dilontarkannya telah
menghantam ilmu lawannya y ang melingkari dan m elindungi
dirinya. Namun demikian besarnya kekuatan dan kemampuan
ilmu Mahisa Murti, maka kekuatannya telah memecahkan
ilmu lawannya, menyusup dan kemudian menghantam tubuh
paman guru Miy atsangka yang tertua itu.
Terdengar teriakan keras. Hanya sesaat pendek sekali.
Suara itu kemudian lenyap sama sekali, bersamaan dengan
tubuhnya y ang terlontar dan terbanting jatuh. Demikian
kerasnya, sehingga tubuh itu sama sekali tidak berdaya untuk
bertahan betapa pun tinggi day a tahannya.
Sejenak kemudian tubuh itu telah terbaring diam . Tidak
ada lagi aliran nafasnya dan tidak lagi detak jantungnya yang
ternyata telah terbakar sebagaimana luka-luka y ang nampak
pada tubuh y ang diam itu.
Semua orang terkejut melihat hal itu terjadi. Beberapa
orang justru bagaikan membeku di tempatnya. Namun
Miyatsangka dan beberapa orang y ang lain telah berlari
mendekati tubuh y ang diam itu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Aku telah membunuhnya."
Sebenarnyalah Mahisa Murti telah membunuh
lawannya. Kemarahannya tidak lagi dapat dikekangnya.
Paman guru Miyatsangka itu telah dapat mengetahui rahasia
ilmunya sehingga ia berusaha untuk menghindari setiap
sentuhan, sementara ia sendiri mampu melepaskan panas
yang seakan-akan telah membakar udara.
Sejenak Miy atsangka merenungi paman gurunya y ang
terbaring diam. Kulitnya bernoda kebiru-biruan dan bahkan
hangus di beberapa bagian. Meskipun orang itu bermain-main
dengan panasnya api, namun akhirnya ia telah terbakar oleh
kekuatan api yang dipancarkan oleh Mahisa Murti.
"Aku tidak mengira, bahwa begini akhir dari hidup
paman." berkata Miyatsangka.
Namun dalam pada itu, m asih ada lagi dua orang y ang
sedang bertempur. Namun keseimbangannya sudah berubah.
Paman guru Miy atsangka y ang muda itu, telah
kehilangan keberanian untuk m eneruskan perlawanannya. Ia
sempat melihat, bagaimana kakak seperguruannya itu
terlempar jatuh setelah dinding ilmunya dihancurkan oleh
kekuatan lawannya. Karena itu, maka tidak ada pilihan lain daripada
menyerah. Ketika Mahisa Pukat mendesaknya, maka orang itu
sempat meloncat beberapa langkah surut sambil berteriak,
"Cukup. Cukup anak muda."
"Apa maksudmu?" bertanya Mahisa Pukat.
"Aku meny erah." jawab orang itu.
"Pengecut. Seharusny a kau tidak boleh meny erah. Kau
harus bertempur sampai batas terakhir kemampuanmu. Kau
atau aku y ang mati di arena ini." berkata Mahisa Pukat dengan
lantang. Ia menjadi kecewa bahwa orang itu tiba -tiba saja
menyerah. Sementara itu ia mempunyai satu pegangan, bahwa
ia tidak boleh memperlakukan kasar terhadap m ereka yang
telah meny erah. Tetapi orang itu m enjawab, "Aku sudah meny erah. Aku
tidak akan berani melawan lagi."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara
orang itu telah melepas kukunya dan meletakkan ilmunya,
sehingga dengan demikian maka bara di telapak tangannya itu
pun telah pudar dan akhirnya padam sama sekali.
Beberapa orang saudara seperguruan Miyatsangka
menjadi berdebar-debar. Seorang dari kedua orang paman
guru mereka itu telah terbunuh, sementara yang lain telah
menyerah. Miyatsangka yang semula berjongkok di sisi tubuh
paman gurunya itu pun telah bangkit berdiri. Sementara
Mahisa Pukat berkata kepada orang y ang telah meny erah itu,
"Mari ikut mendekati saudara seperguruanmu yang menjadi
abu itu. Sebenarnya aku pun ingin melumatkan kau juga jika
kau tidak meny erah."
Orang itu termangu-mangu. Namun Mahisa Pukat telah
menangkap pergelangan tangannya dan menariknya
mendekati tubuh saudara seperguruan orang itu.
Tetapi ternyata bahwa Mahisa Pukat justru telah
mengetrapkan kembali ilmunya yang mampu menghisap
kekuatan lawan. Karena itu, tanpa disadari, sambil berjalan
menuju ke tempat tubuh saudara seperguruannya itu
terbaring, maka orang itu telah kehilangan kekuatannya pula.
Bukan hanya karena sentuhan-sentuhan dalam pertempuran,


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tetapi tangan Mahisa Pukat telah m enggenggam pergelangan
tangan orang itu. Karena itu, demikian ia sampai ke tempat tubuh saudara
seperguruannya terbaring, maka tubuhnya tiba-t iba saja terasa
semakin lemah. Baru kemudian ia menyadari, bahwa pergelangannya
telah digenggam oleh anak muda y ang memiliki ilmu yang
sudah jarang ada duanya lagi itu.
Namun semuanya sudah terlambat. Ia t idak mampu lagi
menghentakkan tangannya dari genggaman tangan anak muda
itu. Tenaganya seakan-akan telah terkuras habis, sebagaimana
dialaminya sehari sebelumnya.
Demikian Mahisa Pukat melepaskan tangannya, maka
orang itu pun telah terjatuh dan bahkan kemudian terbaring di
tanah beberapa langkah dari tubuh saudara seperguruannya.
"Sayang, kau telah meny erah," berkata Mahisa Pukat,
"dengan demikian aku tidak lagi pantas membunuhmu.
Sementara itu kami meyakini, bahwa kau dan kakak
seperguruanmu itu adalah orang-orang y ang sudah tidak akan
dapat menyadari kesalahan-kesalahannya sendiri yang pernah
diperbuatnya. Orang y ang sama sekali tidak mau mengerti
betapa orang lain berbuat baik kepadanya. Kau telah
dibebaskan dari kematian di saat kau tidak berdaya. Tetapi
demikian kau sembuh lagi, ternyata kau sudah berniat untuk
membunuh lagi." "Aku mohon ampun," orang itu seakan-akan telah
menangis. Tetapi tangis itu sama sekali tidak berarti lagi bagi
Mahisa Pukat. Bahkan katanya, "Apa pun y ang kau katakan
tidak akan ada orang y ang percaya. Aku pun tidak percaya.
Jika pada saatnya kau sembuh, maka kau tentu akan berusaha
membunuh para penghuni rumah ini. Karena itu, kita
semuanya harus y akin, bahwa kau tidak akan dapat
melakukannya." "Aku bersumpah tidak akan membalas dendam."
berkata orang yang sudah tidak berdaya itu.
Tetapi Mahisa Pukat menggeleng. Katanya, "Sudah
terlambat. Kau tidak akan dapat mengingkari hukuman yang
pantas bagimu. Aku memang tidak akan membunuhmu, tetapi
juga tidak akan membiarkan pada suatu saat kau bangkit
kembali dengan dendam di dalam hati."
"Tidak. Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku akan pergi
jauh sekali dari tempat ini, sehingga aku tidak akan lagi
menyentuh rumah ini. Bahkan lingkungan ini." orang itu
hampir berteriak. Ada bagian cerita yang hilang lagi di sini
Tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Ia tidak m empunyai
pilihan. Mungkin saja mereka bermalam di banjar atau
tempat -tempat lain y ang lebih baik daripada bermalam di
bawah sebatang pohon randu alas.
Demikianlah, maka keempat orang itu berjalan di
sepanjang bulak-bulak panjang. Kemudian memasuki
padukuhan-padukuhan. Sebagai seorang pengembara, maka
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih dapat mengenali jalan
yang mereka tempuh ketika mereka datang ke tempat itu.
Di jalan-jalan padukuhan kadang-kadang mereka
memang m enarik perhatian banyak orang. Di antara ketiga
orang-orang anak muda terdapat seorang gadis. Namun di
setiap kesempatan orang bertanya tentang mereka, maka
Mahisa Murti selalu berusaha untuk dapat mengatakan bahwa
gadis itu adalah adiknya yang bungsu.
"Kami menempuh perjalanan panjang untuk
mengunjungi kadang y ang sudah lama tidak bertemu." berkata
Mahisa Murti. Tetapi tidak banyak ia berkesempatan berbicara dengan
orang-orang padukuhan. Kebanyakan di antara m ereka hanya
bertanya-tanya saja di dalam hati. Bahkan ada yang
memalingkan wajahnya m elihat seorang perempuan berjalan
bersama-sama tiga orang laki-laki.
Di sore hari, ketiga orang anak muda itu m erasa perlu
untuk singgah di sebuah kedai untuk makan. Ketika hal itu
mereka tanyakan kepada gadis y ang bersama mereka itu,
maka gadis itu menjawab, "Terserah kepada kalian."
"Kau lapar atau tidak?" bertanya Mahisa Semu.
"Tidak," jawab gadis itu. Namun sebenarnyalah ia
hampir tidak makan selama berada di rumah orang-orang
yang hampir saja bertengkar di antara mereka itu. Meskipun ia
makan juga, tetapi hanya sekedarnya saja. Karena itu, m aka
sebenarnyalah bahwa ia pun merasa lapar.
Beberapa saat kemudian, ketika mereka memasuki
sebuah padukuhan yang agak besar, yang menjadi tempat
pemberhentian para pedagang y ang mengirimkan hasil sawah
mereka ke tempat yang agak jauh dengan pedati, mereka
mendapatkan sebuah kedai yang cukup ramai meskipun
suasananya tidak seperti yang diharapkan.
Namun hal baru m ereka ketahui setelah m ereka masuk
dan duduk di sebuah amben panjang yang bersandaran.
Dihadapan mereka terdapat geledeg bambu yang rendah, yang
di dalamnya terdapat beberapa buah tenong berisi makanan.
Baru beberapa saat mereka duduk, mereka sudah
merasakan suasana itu. Beberapa orang laki-laki y ang duduk
di sudut kedai itu telah membicarakan mereka berempat.
Tidak dengan berbisik-bisik. Tetapi seakan-akan sengaja
diperdengarkan perempuan satu-satunya di antara ketiga
orang anak muda itu. "Nampaknya perempuan y ang m enarik." berkata salah
seorang di antara mereka.
"He, dari mana mereka mendapatkannya?" bertanya
yang lain, "nampaknya mereka membawa perempuan
padukuhan." "Tentu m ereka akan berbaik hati kepada kita." berkata
yang lain pula. Kemudian terdengar suara tertawa y ang
berkepanjangan. Dalam pada itu, pelayan kedai itu telah menghidangkan
makanan minuman yang dipesan oleh ketiga orang anak muda
dan gadis y ang bersamanya itu. Namun ternyata pelay an itu
sempat berbisik, "Siapakah kalian?"
"Kenapa?" bertanya Mahisa Murti.
"Siapakah perempuan itu?" bertanya pelayan itu pula
tanpa menghiraukan apakah gadis itu mendengar atau tidak.
"Adikku. Adikku yang bungsu." jawab Mahisa Murti.
Pelay an itu termangu -mangu sejenak. Namun kemudian
bisikny a, "Perempuan baik-baik?"
"Tentu." Mahisa Murti mulai tersinggung.
Namun ternyata pelay an itu bermaksud baik, "Jika ia
perempuan baik-baik, ajak saja segera pergi. Laki-laki di sudut
itu tidak seberapa liar. Mereka hanya mentertawakan kalian.
Tetapi di sini banyak laki-laki liar yang jika m elihat seorang
perempuan lain dari perempuan yang terbiasa mereka
temukan di sini, kadang-kadang mereka menjadi buas."
"Terhadap orang lewat?" bertanya Mahisa Murti.
"Tidak. Mereka memang tidak mengganggu orang lewat,
meskipun hal itu m emang pernah terjadi. Tetapi tidak selalu
terjadi setahun dua kali." jawab pelayan itu.
" Jadi bagaimana?" bertanya Mahisa Murti.
"Berbeda dengan terhadap perempuan yang singgah di
kedai ini. Mereka menganggap perempuan y ang singgah di
kedai ini adalah sebagaimana perempuan-perempuan yang
memang berkeliaran diri. Kau tentu melihatnya, perempuan
yang ada di sebelah dinding rendah itu." bertanya pelay an itu.
"Ya." jawab Mahisa Murti.
"Dan dua tiga perempuan y ang lain?" bertanya pelayan
itu pula. Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Baru mereka
sa dari bahwa kedai itu adalah sebuah kedai y ang besar dan
luas. Beberapa bagian justru telah disekat dengan dindingdinding
rendah. Di luar sadar, maka Mahisa Pukat, Mahisa Semu bahkan
gadis itu bersama mereka itu pun telah memandang
berkeliling. Mereka memang melihat beberapa orang
perempuan di antara beberapa orang laki -laki y ang duduk dan
makan dengan kasarnya sambil tertawa-tawa tanpa ujung
pangkal. Tiba-tiba saja bulu tengkuk gadis itu meremang. Namun
Mahisa Murti pun berkata, "Kita sudah terlanjur ada di dalam.
Jika kita pergi, justru akan sangat menarik perhatian."
Tetapi pelay an itu berkata, "Aku sudah
memperingatkanmu. Hal y ang sama pernah terjadi. Dan orang
itu tentu akan menyesal sepanjang umurnya. Bahkan pada
suatu kejadian, seorang perempuan telah membunuh diri. Aku
memang bukan orang baik-baik. Tetapi aku akan ikut
menyesali kejadian seperti itu di kedai ini. Rasa-rasanya aku
ikut dikejar-kejar dosa itu. Apalagi ketika seorang perempuan
telah membunuh diri, karena ia dinodai oleh orang-orang liar
di kedai ini." Di luar sadarnya gadis itu bergeser m endekati Mahisa
Semu sambil berdesis, "Aku takut."
Tetapi Mahisa Semu menyahut, "jangan takut. Kita tidak
akan menyerahkan diri kepada orang-orang y ang demikian."
Mahisa Pukat pun berdesis, "Bukankah kita m empunyai
pilihan y ang lebih baik dari m engalami perlakuan seperti itu
tanpa m embunuh diri" Melawan sampai mati atau mengusir
mereka pergi." Pelay an itu termangu-mangu. Nampaknya anak-anak
muda itu sama sekali tidak merasa takut. Namun demikian
sekali lagi ia m encoba, "Maaf Ki Sanak. Aku sudah m emberi
peringatan kepada kalian. Sebentar lagi kedai ini akan menjadi
semakin ramai. Beberapa pedati yang membaca bahan mentah
dan hasil bumi dari berbagai tempat akan datang dan
bermalam di sini. Berbagai jeni s manusia akan berkum pul di
sini. Karena itu, jika Ki Sanak sependapat dengan aku, Ki
Sanak lebih baik m eninggalkan tempat ini dan bermalam di
banjar padukuhan sebelah. Ki Sanak akan m erasa lebih aman
diantar anak-anak muda yang meronda."
Mahisa Murti memang mencoba memperhatikan
keadaan di sekelilingnya. Suasana kedai itu memang tidak
menyenangkan sama sekali. Karena itu, maka ia pun berdesis,
"Aku sependapat dengan pelay an itu. Kita meneruskan
perjalanan. Kita akan sampai ke padukuhan sebelah menjelang
gelap. Kita akan bermalam di banjar jika diijinkan."
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak m enolak jika itu
memang dikehendaki oleh Mahisa Murti. Namun ketika
mereka bersiap-siap dan b ertanya kepada pelay an itu berapa
mereka harus membayar, maka pelayan itu berkata,
"Sudahlah. Kalian belum m enikmati makanan dan minuman
yang kau pesan. Kalian tidak usah m embayar. Pemilik kedai
ini tidak akan marah, karena sikapku adalah sikapnya juga."
"Terima kasih." berkata Mahisa Murti.
Namun dalam pada itu, ketika Mahisa Murti mulai
beringsut, pelayan itu tiba -tiba berdesah, "terlambat. Orangorang
mulai berdatangan. Jika kalian keluar, kalian m emang
akan sangat menarik perhatian. Karena itu, dalam keadaan
seperti ini, kalian lebih baik duduk diam dan jangan menarik
perhatian." Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Ia melihat
beberapa buah pedati m endekat. Namun juga beberapa orang
dari arah lain y ang mempunyai hubungan dengan barangbarang
yang diperdagangkan dalam pedati-pedati itu.
"Silahkan," berkata pelayan itu, "mudah-mudahan
kalian tidak mengalami kesulitan."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Terima kasih atas niat baik kalian. Tetapi kamilah yang
lambat mengerti maksudmu itu."
Pelay an itu meninggalkan ketiga anak muda y ang
menyertai seorang gadis itu. Sementara beberapa laki-laki di
sudut masih saja berteriak. Bahkan seorang telah m emanggil
pelayan itu sambil berkata kasar, "He, kau bujuk perempuan
itu he?" Pelay an itu tidak menjawab. Tetapi orang-orang y ang
mendengarnya tertawa pula menghentak.
Sementara itu laki -laki y ang lain bertanya, "Apa y ang
kau bicarakan dengan perempuan itu, he" Begitu lama"
Nampaknya tidak segera mendapatkan persesuaian."
Pertanyaan itu disambut lagi oleh suara tertawa dari
beberapa orang yang ada di dalam kedai itu.
Namun suara tertawa itu tiba-tiba saja telah berhenti
ketika dua orang laki-laki yang garang memasuki kedai itu.
Ternyata mereka memang tidak hanya berdua saja. Di
belakangnya beberapa orang mengikutinya dan langsung
menebar duduk di amben y ang terserak di dalam kedai itu.
Sementara kedua orang y ang garang itu duduk di tengah.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Kedua orang itu ternyata duduk membelakangi
mereka, sehingga agaknya tidak akan ada kesulitan yang
terjadi dari mereka, y ang nampaknya orang-orang
berpengaruh di tempat itu, sehingga orang -orang y ang tertawa
pun berhenti seketika karena kedua orang itu masuk.
Untuk beberapa saat memang tidak terjadi sesuatu.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan perempuan
yang bersamanya itu dapat makan dan minum betapa pun
jantung perempuan itu berdebaran.
Mereka melihat kedua orang laki-laki itu memanggil
pelayan dan menunjuk dua orang y ang duduk di ruang
sebelah. Meskipun kedua orang perempuan itu duduk bersama
dua orang laki -laki, tetapi tidak ada y ang menentang niat
kedua orang y ang nampak garang itu.
Kedua orang itu pun agaknya sama sekali tidak
berkeberatan. Bahkan keduanya nampak bangga dan m anja
dibuat-buat. Namun y ang tidak diharapkan itu ternyata telah terjadi.
Ketika kedua orang y ang garang itu telah memanggil dua
orang. Kedua orang itu pun agaknya sama sekali tidak
berkeberatan. Bahkan keduanya nampak bangga dan m anja
dibuat-buat. Namun y ang tidak diharapkan itu ternyata telah terjadi.
Ketika kedua orang y ang garang itu telah memanggil dua
orang perempuan untuk menemaninya makan, maka tiba-tiba
sa ja justru seorang pengikutnya telah bangkit berdiri dan
melangkah m endekati Mahisa Semu, y ang duduk di sebelah


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gadis yang akan diantarkan kembali kepada orang tuanya itu.
"Pergilah. Aku yang akan membayar, makanan dan
minuman yang telah kau pesan." berkata orang itu.
Mahisa Semu terkejut, ia memang bergeser, tetapi ia
tidak berniat untuk beranjak dari tempatnya. Karena itu, maka
ia pun segera menjawab, "Aku sudah duduk di sini sejak tadi."
" Jangan membantah. Pergi, dan tinggalkan perempuan
ini bersamaku." berkata orang itu.
"Gila," geram Mahisa Semu, "gadis ini adalah adikku."
Orang itu m engerutkan keningnya. Namun kemudian ia
tertawa. Katanya, "Kebetulan sekali. Jika demikian aku minta
adikmu. Tidak hanya saat ini. Tetapi tinggalkan adikmu untuk
selamanya." Mahisa Semu tidak dapat menahan diri lagi. Apalagi
ketika gadis itu menjadi gemetar dan bergeser mendesaknya.
Karena itu maka Mahisa Semu lah y ang kemudian membentak
sambil bangkit berdiri, "Pergi."
Orang itu terkejut. Ia tidak pernah dibentak. Apalagi jika
ia datang bersama kedua orang yang garang itu. Semua orang
menghormatinya dan tunduk kepada perintahnya.
Pemilik dan pelay an kedai itu m enjadi berdebar-debar.
Mereka sudah mencoba memperingatkan. Tetapi terlambat.
Yang dicemaskan itu ternyata terjadi. Apalagi ketika mereka
melihat sikap anak muda itu, y ang hanya akan menambah
penderitaan gadis yang masih sangat muda itu. Bahkan untuk
waktu yang lama. Orang yang dibentak itu menjadi marah sekali. Dengan
kasar orang itu telah berusaha mendorong Mahisa Semu.
Namun demikian ia m enyentuh tubuh anak muda itu, orang
itu terkejut. Seakan-akan ia telah meny entuh tonggak sebatang
pohon y ang kokoh dan tidak tergoy ahkan.
Ada bagian cerita yang hilang lagi di sini
"Cukup," geram orang itu, "kalian harus meny erah."
"Tetapi kami tidak tahu kesalahan kami. Mungkin telah
terjadi salah paham. Mungkin kami akan dapat m enjelaskan
persoalannya lebih jelas jika kau mau berterus terang. Karena
itu tentu lebih baik daripada aku harus berteka -teki seperti
ini." berkata Mahisa Murti pula.
"Berlututlah. Kami akan mengikat tangan dan kakimu.
Kami akan menyerahkanmu kepada Ki Buyut untuk
mengadilimu." berkata orang itu.
Dewa Pengasih 2 Pendekar Rajawali Sakti 117 Memburu Pengkhianat Lily Pencarian Cinta 3
^