Hijaunya Lembah Hijaunya 2
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 2
"Masih ada waktu," berkata Mahendra.
"Aku sependapat dengan ayah. Mungkin pikiran kita
sekarang masih dipengaruhi oleh suasana perjalanan yang
panjang itu," berkata Mahisa Murti pula.
Mahisa Pukat tidak dapat memaksa ay ah dan
saudaranya untuk membicarakannya lebih jauh. Betapapun
mendesaknya per soalan itu di dalam dadanya, namun ia harus
menahan diri sampai hari berikutnya.
Sebenarnyalah, mereka sempat mengendapkan
persoalan yang mereka hadapi. Mereka sempat melihat dari
berbagai sisi untuk mendapatkan keseimbangan sikap yang
sebaik-baiknya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat
mengingat kembali pesan Akuwu Lemah Warah serta sikap
para petugas sandi. Demikianlah maka ketika mereka di hari berikutnya
berhadapan dengan seisi padepokan itu, maka m ereka tidak
dengan serta merta menyatakan sikap dan pendapat mereka
masing-masing. "Kita memang menghadapi kekuatan yang besar,"
berkata Mahisa Murti kepada orang-orang dari perguruan
Bajra Seta, "tetapi kita tidak perlu berkecil hati. Kita akan
menemukan satu cara yang paling baik untuk m engalahkan
mereka. Kita yakin bahwa kita berdiri diatas hak kita sendiri,
sehingga dengan demikian maka Yang Maha Agung tentu akan
melindungi kita semuanya."
"Apakah yang dikatakan oleh orang yang mengaku orang
perguruan Suriantal itu benar?" bertanya seorang diantara
mereka. Mahisa Murti menggeleng. Katanya, "Tidak seluruhnya
benar. Tetapi bahwa akan ada tamu di padepokan ini agaknya
memang benar. Karena itu, kita harus bersiaga."
"Mereka akan meny erang k ita?" b ertanya seorang y ang
lain. Lalu, "dengan kekuatan dari tujuh padepokan?"
" Itulah yang tidak benar," jawab Mahisa Murti, "y ang
sudah kami ketahui, mereka akan datang bersama dari dua
padepokan." "Lalu, apa yang harus kami lakukan?" b ertanya seorang
pemimpin kelompok. "Kami baru membicarakannya. Yang penting adalah
bahwa kita harus menempa diri," jawab Mahisa Murti.
Nampaknya orang-orang padepokan Bajra Seta masih
belum pas dengan jawaban-jawaban itu. Namun kemudian
Mahisa Murti telah berkata, "Tunggulah barang satu dua hari.
Semuanya akan menjadi jela s."
Orang-orang itu tidak dapat m emaksa untuk m endapat
keterangan lebih banyak. Tetapi mereka percaya bahwa
pimpinan mereka akan berbuat sebaik-baiknya.
Namun dalam pada itu Mahisa Murti pun berpesan,
"Tetapi ingat. Apa yang kita ketahui ini adalah rahasia. Jika
pihak lain mendengar, bahwa kita telah m engetahui sebagian
dari rencana mereka, maka rencana itu akan dirubah sehingga
mungkin justru akan menyulitkan kita sendiri. Mungkin
mereka akan melakukan langkah-langkah di luar dugaan tanpa
dapat kita atasi lagi."
Orang-orang padepokan Bajra Seta itu menganggukangguk.
Mereka menyadari kebenaran pesan pemimpin
mereka, sehingga karena itu mereka pun telah bertekad untuk
merahasiakannya, terutama kepada orang-orang di luar
padepokan mereka. Seperti yang diperintahkan oleh Mahisa Murti dari
Mahisa Pukat, maka sebelum mereka tahu pa sti apa y ang akan
mereka lakukan, maka yang segera dapat mereka kerjakan
adalah menempa diri. Latihan-latihan menjadi lebih sering
dan lebih berat, karena menurut keterangan yang mereka
dengar, yang akan datang adalah lawan y ang kuat dan besar.
Dalam pada itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan
Mahendra telah m encoba untuk memecahkan persoalan yang
akan mereka hadapi itu. Apa yang sebaiknya mereka lakukan
menghadapi kekuatan yang menurut gambaran dari para
petugas sandi sebagaimana mereka lihat pada padepokan
Manik Wungu dan kemungkinan pada padepokan Randu
Pa pak, lebih besar dari kekuatan yang ada pada padepokan
Bajra Seta. Namun sebagaimana pendapat Mahisa Pukat,
sebaiknya m ereka tidak menggantungkan bantuan dari orang
lain. "Baiklah," berkata Mahendra, "aku yakin akan
keberanian kalian. Aku pun yakin akan kemampuan orangorang
Bajra Seta, meskipun m ereka akan berhadapan dengan
siluman sekalipun. Karena itu, m aka kalian harus berusaha
mengurangi kekuatan mereka, sehingga akhirnya kekuatan
yang akan sampai di padepokan ini tidak terlalu jauh
melampaui kekuatan y ang ada di sini."
"Apa yang baik kami lakukan?" bertanya Mahisa Pukat.
"Kalian harus meny iapkan sepasukan prajurit y ang
terpilih. Kalian harus melatihnya dalam waktu dekat untuk
melakukan perlawanan tersembunyi," jawab Mahendra.
"Aku kurang tahu maksud ayah," desis Mahisa Pukat.
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu
Mahisa Pukat menjadi tidak sabar menunggu penjelasan
ay ahnya. Karena itu, maka ia pun telah mendesak, "Ayah, beri
aku penjelasan. Apakah y ang sebenarnya ay ah maksudkan
dengan perlawanan ter sembunyi itu" Justru kita berhadapan
dengan segerombolan siluman."
Mahendra memandang kedua anaknya itu bergantiganti.
Namun memang terbayang keragu -raguan di sorot
matanya. Tetapi ia tidak dapat sekedar menggenggam
pendapatnya sementara kedua anaknya mendesak untuk
mengetahuinya betapapun ia merasa ragu.
Karena itu maka katanya kemudian, "Anak-anakku.
Kal ian harus bertanya berulang kali kepada diri sendiri,
apakah kalian sanggup melakukannya atau tidak."
Mahisa Pukat benar-benar tidak sabar, sehingga diluar
sa darnya ia telah beringsut maju. Katanya, "Bertanya kepada
diri sendiri tentang apa?"
"Satu hal yang perlu kalian perhatikan adalah perjalanan
pasukan kedua padepokan itu," berkata Mahendra, "kalian
dapat membayangkannya. Ada dua malam atau bahkan
mungkin tiga malam yang kalian dapatkan pada perjalanan
mereka itu. Jika y ang satu malam mereka berada di
padepokan Randu Papak, maka yang dua malam berikutnya
mereka berada di perjalanan. Nah, perhitungkan, apa yang
dapat kalian lakukan di malam hari itu selama mereka
berhenti di perjalanan. Kalian akan dapat mengurangi jumlah
mereka. Namun kalian tidak akan berhadapan langsung
dengan mereka." Wajah Mahisa Pukat menjadi tegang. Dengan nada
rendah ia bertanya, "Apakah itu bukan satu sikap y ang licik."
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kita
akan dapat menilai dari beberapa sisi. Jika mereka datang
dengan kekuatan lebih dari satu padepokan untuk melawan
satu padepokan tidak dapat dinilai sebagai satu langkah yang
licik, sementara kau menganggap bahwa karena kita sudah
mendirikan umbul-umbul sendiri sebagai satu perguruan
maka tidak sepantasnya kita bukan saja menggantungkan diri
tetapi berhubungan atau katakanlah kerjasama dengan
perguruan lain pun dianggap sebagai mempersempit harga
diri kita serta perguruan ini."
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Sementara
Mahendra berkata selanjutnya, "Jika setiap langkah m enjadi
pantangan, maka kita tidak akan melangkah satu tapak pun.
Ju stru karena kita terlalu menyanjung harga diri itu sendiri."
Mahisa Pukat masih saja termangu -mangu. Namun
sementara itu Mahisa Murti berkata, "Apa y ang dapat kita
lakukan di malam hari itu ayah" Meny ergap mereka selagi
mereka lengah?" "Ya. Meny ergap mereka, kemudian menghilang.
Demikian pula malam berikutnya," jawab Mahendra, "tetapi di
malam berikutnya mereka tentu sudah lebih bersiaga. Karena
itu, maka di malam pertama kalian harus berhasil mengurangi
jumlah lawan sebanyak-banyaknya. Kalian tidak perlu
membunuhnya. Asal saja kalian membuat mereka tidak
berkemampuan lagi untuk bertempur di hari-hari berikutnya."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, "Aku
mengerti dan aku dapat membayangkan apa y ang terjadi.
Dengan demikian, maka mereka akan datang ke padepokan ini
dengan kekuatan y ang susut. Sementara pasukan kita akan
mendahului mereka kembali ke padepokan. "
Mahendra tersenyum sambil mengangguk-angguk.
Dengan nada tinggi ia berkata, "Nah, apa lagi?"
Mahisa Pukat pun mengangguk-angguk pula. Katanya,
"Agaknya cara itu lebih baik ditempuh daripada minta
bantuan kepada siapa pun juga."
"Nah, jika demikian kalian harus mulai sejak sekarang,"
berkata Mahendra. "Mulai apa?" bertanya Mahisa Pukat.
"Kalian harus memilih sekelompok orang terbaik. Kalian
harus mengadakan latihan-latihan secara bersungguhsungguh,
karena waktu kalian yang singkat," berkata
Mahendra. "Latihan bertempur di malam hari?" bertanya Mahisa
Pukat. "Ya. Meny erang dan kemudian menghilang. Karena itu
kalian harus berlatih membidik dalam kegelapan. Menyusup
di antara gerumbul-gerumbul liar. Bersembuny i diantara
pepohonan dan cara-cara y ang lain y ang mungkin harus
dilakukan dalam perang seperti itu," berkata Mahendra.
"Apa saja y ang kita pelajari?" bertanya Mahisa Pukat.
"Lakukanlah lebih dahulu. Nanti kau akan tahu, apa saja
yang kalian perlukan," jawab Mahendra.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk pula. Ia mulai
memikirkan dengan sungguh-sungguh cara yang dikatakan
oleh ay ahnya itu. Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
telah memilih beberapa kelompok orang terbaik dari
perguruan Bajra Seta. Di malam hari, mereka harus bersiap
untuk mengadakan latihan.
"Latihan di malam hari?" bertanya salah seorang
diantara mereka. "Ya. Kita akan mengadakan latihan khusus di malam
hari," jawab Mahisa Murti.
Memang agak lain dari kebia saan mereka. Mereka
memang pernah juga berlatih di malam hari, tetapi sekedar
untuk mendapatkan satu pengalaman, jika mereka benarbenar
terpaksa bertempur di malam hari.
Tetapi agaknya latihan yang akan diadakan di malam
hari itu, bukan sekedar untuk mendapatkan pengalaman.
Demikianlah, maka pada saat y ang sudah ditentukan,
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membawa beberapa
kelompok orang-orangnya keluar dari padepokan. Mereka
menyusuri jalan-jalan sempit menuju ke pinggir hutan.
Namun ternyata di malam pertama itu Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat hanya m embawa mereka menelusuri tempattempat
y ang gelap, yang sulit dilalui dan m enyusup diantara
pepohonan hutan y ang meskipun tidak terlalu pepat, tetapi
cukup rumit. Baru di m alam kedua, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
memerintahkan orang-orangnya membawa busur dan anak
panah. Tetapi mereka tidak lagi berjalan menyusuri jalan-jalan
sempit. Meny usup hutan diantara pepohonan, namun ternyata
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membawa mereka
berlatih membidik di dalam gelapnya malam.
Di malam ketiga, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai
dengan latihan-latihan y ang lebih berat. Mereka harus
menyusup diantara pepohonan sambil membidik sasaransa
saran y ang tidak ditentukan. Mereka dapat melepaskan anak
panah ke sasaran y ang manapun yang ingin mereka kenai.
Namun di hari berikutnya, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah meny iapkan sasaran-sasaran y ang ditentukan.
Mereka telah memasang sa saran y ang dibuat dari batangbatang
pisang. Ketika kemudian malam turun, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah membawa beberapa kelompok diantara
orang-orang Bajra Seta yang terpilih itu untuk m enyusup di
seputar sasaran dan mengenai sasaran itu dengan anak panah
mereka. Tetapi latihan-latihan itu tidak terhenti sampai malam
itu. Untuk selanjutnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
membawa mereka ke dalam latihan-latihan yang semakin
berat. Mereka bukan saja dilatih untuk m emanah sasaran di
malam hari. Tetapi mereka mendapat latihan untuk menyusup
ke tempat yang sudah ditentukan. Meny elinap diantara
pohon-pohon perdu, merayap mendekati sasaran. Namun
kemudian dengan cepat menghilang menghindari benturan
kekuatan langsung dengan lawan y ang menjadi sasaran.
Dengan sadar orang-orang Bajra Seta itu b erlatih untuk
turun ke dalam satu perlawanan y ang tidak langsung atas satu
kekuatan yang besar. Dengan demikian m emang diperlukan,
bukan saja kekuatan dan ketrampilan ilmu, tetapi juga
kesiagaan jiwani. "Waktu kita tidak banyak," berkata Mahisa Murti,
"karena itu kita harus memanfaatkan sebaik-baiknya."
Dengan perhitungan yang demikian, maka di malam hari
latihan-latihan memang menjadi semakin berat. Namun di
siang hari, mereka dapat beristirahat hampir mutlak untuk
menjaga agar mereka justru tidak menjadi terlampau letih,
sehingga ketika saatnya datang, mereka sudah tidak
mempunyai tenaga lagi. Sementara latihan-latihan berlangsung terus, Mahendra
telah berbicara dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
tentang pelak sanaan dari perlawanan y ang tidak langsung itu.
"Kalian akan melakukannya di daerah Pakuwon Lemah
Warah," berkata Mahendra.
"Tidak perlu di daerah Lemah Warah," berkata Mahisa
Pukat, "Kita dapat melakukannya di luar."
"Menurut perhitungan, mereka akan bermalam satu
malam di padepokan Randu Papak, satu malam di daerah
Lemah Warah dan satu malam terakhir, t etap masih di daerah
Lemah Warah meskipun menjadi lebih dekat dengan
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
padepokan ini. Kau kira padepokan ini t erletak di mana?"
bertanya Mahendra. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Agaknya memang demikian. Orang-orang itu akan
berhenti dan bermalam di daerah Lemah Warah.
Dengan demikian maka menurut nalar, mereka harus
minta ijin kepada Akuwu Lemah Warah jika mereka tidak
ingin terjadi salah paham dengan para prajurit Lemah Warah.
Jika pasukan Bajra Seta itu memasuki Lemah Warah untuk
berusaha melakukan perlawanan terhadap iring-iringan
pasukan y ang m enuju ke padepokan mereka, dan kemudian
terjadi pertempuran di lingkungan Lemah Warah serta
diketahui oleh para petugas Lemah Warah, mungkin akan
terjadi persoalan y ang tidak dikehendaki.
Ketika hal itu kemudian dibicarakan, m aka Mahendra
pun berkata, "Karena itu, m aka m au tidak mau kalian harus
minta ijin untuk melakukan hal itu kepada Akuwu Lemah
Warah. Kalian tidak minta bantuan. Tetapi minta ijin.
Meskipun ijin itu sendiri merupakan bantuan yang sangat
besar artinya." Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak
dapat berbuat lain. Mereka memang harus menghadap Akuwu
Lemah Warah untuk minta ijin m elakukan perlawanan tidak
langsung terhadap mereka y ang akan m eny erang padepokan
Bajra Seta. "Kami akan menghadap Akuwu Lemah Warah ay ah,"
berkata Mahisa Murti kemudian, "tetapi kami akan melakukan
latihan-latihan y ang lebih baik lebih dahulu."
"Waktunya terserah kepada kalian, kalian tidak
terlambat," berkata Mahendra.
Demikianlah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
membuat latihan-latihan mereka menjadi semakin keras.
Mereka telah berlatih sebagaimana mereka harus berbuat di
lingkungan dan medan y ang semakin berat. Namun dengan
demikian, mereka menjadi semakin matang menghadapi tugas
yang khusus itu. Ketika waktunya semakin dekat, serta latihan-latihan
sudah menjadi semakin mapan, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah pergi ke Lemah Warah untuk mohon ijin
melaksanakan rencananya. Ketika hal itu disampaikan kepada Akuwu Lemah
Warah, maka sambil tersenyum Akuwu itu berkata, "Aku
hargai sikap kalian. Kalian bukan saja ingin menyelesaikan
masalah kalian dengan kekuatan kalian sendiri, tetapi kalian
ternyata menemukan cara y ang mengagumkan."
"Bukan kami Akuwu," jawab Mahisa Murti.
"Jadi siapa?" bertanya Akuwu Lemah Warah.
"Ayah menunjukkan jalan itu kepada kami," jawab
Mahisa Murti dengan jujur.
Akuwu Lemah Warah tersenyum sambil m enepuk bahu
kedua anak muda itu berganti-ganti. Katanya, "Kalian
memang mengagumkan. Lebih dari segala macam tingkat ilmu
yang kalian miliki, kalian adalah anak-anak muda y ang berani,
berpendirian kuat dan jujur."
Keduanya tidak menjawab. Yang m ereka tunggu adalah
ijin Akuwu atas rencana mereka.
Namun sejenak kemudian Akuwu itu berkata, "Baiklah
anak-anak muda. Aku tidak berkeberatan dengan rencanamu.
Tetapi agar tidak mudah terjadi salah paham, maka akan aku
sertakan bersama pasukanku, sekelompok prajurit sandi yang
akan dapat menjernihkan setiap persoalan yang mungkin
timbul dengan prajurit-prajuritku, karena kalian berada di
lingkungan pengawasan para prajurit peronda Lemah Warah."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk hormat.
Namun sebelum mereka menjawab Akuwu telah mendahului,
"Tetapi jangan kau anggap bahwa dengan demikian kam i akan
memberikan bantuan kepada kalian. Kami hanya sekedar
memberikan kemungkinan yang lebih luas bagi gerak pasukan
kalian agar tidak terjadi kesulitan dengan prajurit Lemah
Warah." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat menjawab
lain kecuali mengucapkan terima kasih.
"Aku akan menyiapkan sekelompok prajurit sandi y ang
terlatih untuk bertempur sebagaimana cara y ang kau
kehendaki. Dalam waktu yang dekat, mereka akan
mendapatkan latihan-latihan yang akan mengingatkan mereka
kembali atas kemampuan mereka itu."
"Kami mengucapkan terima kasih y ang tidak t erhingga.
Setiap kali kami telah mendapatkan bantuan y ang tidak
terhitung besarnya, sehingga sebenarnyalah kami tidak akan
dapat berbuat apa -apa tanpa bantuan Akuwu," berkata Mahisa
Murti. Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah dapat mempersiapkan segala -galanya y ang diperlukan.
Mereka dapat mempersiapkan pa sukannya di wilayah Lemah
Warah sebagaimana ijin yang telah diberikan oleh Akuwu.
Pa da hari y ang sudah diperhitungkan, maka pasukan
Bajra Seta y ang terpilih telah meninggalkan padepokan
dengan diam-diam, justru di malam hari. Sementara m ereka
yang masih tinggal berada dibawah pimpinan Mahendra. Jika
usaha Mahisa Murti dan Mahisa Pukat gagal, maka mereka
harus segera kembali ke padepokan mendahului arus pasukan
lawan. Atau jika tidak mungkin, mereka harus bersiap dan
menyerang pasukan lawan selagi mereka menembus masuk ke
padepokan. Demikianlah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
membuat perhitungan y ang sebaik-baiknya atas segala
kemungkinan. Jika pasukan dari kedua padepokan itu
berangkat dari Randu Papak, maka mereka akan dapat
memperkirakan, pasukan itu akan mengambil jalan yang
mana menuju ke padepokan Bajra Seta. Mereka tentu tidak
akan mengambil jalan yang mungkin diketahui apalagi
bertemu dengan para prajurit Lemah Warah yang sedang
meronda. Dengan demikian, maka pasukan Bajra Seta yang telah
dilengkapi dengan sekelompok prajurit sandi dari Lemah
Warah, telah m enunggu di tempat yang menurut perhitungan
akan dilalui pasukan itu pada jarak satu hari perjalanan.
Namun demikian, beberapa orang petugas khusus dari Bajra
Seta dan prajurit sandi dari Lemah Warah telah dipasang di
tempat -tempat tertentu untuk mengamati perjalanan pasukan
itu. Ternyata kecermatan perhitungan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat memberikan arti y ang besar. Para pengamat
telah dapat mengetahui, arah pasukan dari padepokan Manik
Wungu dan Randu Papak. Seorang diantara mereka telah
memasuki perkemahan pasukan Bajra Seta dan langsung
memberikan laporan tentang gerakan pasukan yang
diamatinya. "Jika demikian, jarak kita tidak terlalu jauh," berkata
Mahisa Murti. "Ya," jawab pengamat itu, "mereka menuju ke hutan
kecil di seberang sungai. Seorang kawan akan melaporkan jika
pasukan itu sudah menentukan tempat untuk berhenti."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah
mempersiapkan pasukannya. Dari para petugas sandi Lemah
Warah, mereka mendapat keterangan tentang lingkungan.
Bahkan para petugas sandi itu sudah siap berada diantara
pasukan Bajra Seta dalam segala rencananya, sehingga mereka
telah menjadi bagian dari kebulatan pasukan Bajra Seta itu.
Ketika m alam turun dan m enjadi semakin kelam, maka
laporan y ang ditunggu itu pun datang. Memang seperti yang
diperhitungkan, pasukan Manik Wungu telah berhenti tidak
terlalu jauh dari perkemahan orang-orang dari padepokan
Bajra Seta itu. Dengan cepat orang-orang Bajra Seta itu pun telah
bergerak. Mereka telah m engirimkan beberapa orang disertai
para petugas sandi y ang menunjukkan jalan yang paling baik
bagi gerak pasukan Bajra Seta itu, telah mendahului untuk
mengamati keadaan. Mereka harus mengambil langkah bagi
pasukan Bajra Seta y ang akan melakukan satu gerakan yang
khusus. Dengan sangat hati-hati mereka bergerak. Merayap
digelapnya malam, mendekati pasukan yang besar yang
sedang beri stirahat. Setelah membuat beberapa perhitungan tentang
keadaan pasukan y ang sedang beristirahat itu, tentang
kelompok-kelompok yang berserakan serta beberapa tempat
penjagaan, maka para petugas itu telah kembali untuk
memberikan laporan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan sangat berhatihati
memperhatikan setiap bagian dari laporan itu. Namun
untuk meyakinkan diri, apa yang akan mereka lakukan, maka
mereka telah langsung mendekati pasukan Manik Wungu dan
pasukan Randu Papak itu. Dari pengamatan langsung itu
mereka mengetahui, bahwa pasukan kedua padepokan yang
akan merebut kedudukan mereka itu adalah pasukan yang
kuat. Beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih
membuat pertimbangan-pertimbangan dengan pemimpin
sekelompok pasukan sandi yang dikirim oleh Lemah Warah
itu. Di antara mereka adalah orang yang disebut Gagak
Sampir, yang telah datang ke padepokan Manik Wungu
bersama beberapa orang petugas y ang lain..
Baru setelah mereka menemukan kebulatan sikap, maka
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memerintahkan
pasukannya mulai bergerak.
Dengan petunjuk-petunjuk dan perintah-perintah y ang
lengkap dan t erperinci, maka pasukan Bajra Seta itu telah
melakukan satu gerakan yang merupakan satu tugas yang
berat. Namun Mahisa Murti masih juga memberikan pesan,
"Kita tidak tahu, apakah kita masih berkesempatan untuk
kembali ke padepokan kita. T etapi apa y ang kita lakukan ini,
meskipun di tempat yang jauh, namun tetap merupakan
kesetiaan kita bagi perguruan dan padepokan kita."
Tidak seorang pun y ang menjawab. Namun mereka
memang telah bertekad bulat untuk melakukan tugas itu
sebaik-baiknya. Sementara itu Mahisa Pukat pun memberikan pesan
pula, "satu hal yang harus kita pegang teguh. Sasaran kita
tidak boleh m engetahui siapakah kita sebenarnya. Jika kita
terpaksa menjadi tawanan mereka, maka kita harus tabah
untuk mengalami tekanan agar kita memberikan pengakuan.
Karena itu, m aka jangan lupa. Kita sudah bersetuju, bahwa
kita bukan berasal dari padepokan Bajra Seta, tetapi
sebagaimana kita sepakati, bahwa kita adalah prajurit yang
mendapat perintah dari Senopati Pakuwon Lemah Warah
untuk mengetahui dan menghancurkan orang-orang yang
dengan diam-diam menyusup ke dalam wilayah Pakuwon
Lemah Warah, sebagaimana justru disarankan oleh Akuwu.
Kita tidak saja diijinkan untuk melakukan gerakan ini di dalam
wilayah Lemah Warah, namun kita juga diijinkan untuk
mengaku, bahwa kita adalah prajurit-prajurit Lemah Warah
dalam tugas khusus. Apa pun yang terjadi atas diri kita, kita
bukan orang-orang Bajra Seta." Mahisa Pukat pun berhenti
sejenak. Lalu ia pun berkata pula, "Tetapi yang terbaik adalah
yang kita rencanakan. Jangan ada seorang pun y ang jatuh ke
tangan mereka. Mati atau hidup. Setiap kelompok
berkewajiban untuk m embawa semua anggauta kelompoknya
kembali ke tempat ini, hidup, mati atau pun terluka parah."
Semua orang dalam pasukan y ang sudah siap itu
mengangguk-angguk kecil. Mereka telah menggenggam
kesanggupan, untuk melakukannya. Apa pun yang akan terjadi
atas diri mereka masing -masing.
Demikianlah, maka pasukan itu pun mulai bergerak
serentak. Namun mereka tidak menempuh satu arah
perjalanan. Seluruh pasukan itu dibagi dalam beberapa
kelompok. Di setiap kelompok terdapat pasukan sandi Lemah
Warah y ang benar-benar menguasai medan yang akan mereka
hadapi. Senjata utama mereka adalah busur dan anak panah.
Mereka tidak akan mendekati sasaran untuk bertempur dalam
jarak gapai pedang jika tidak terpaksa. Tetapi mereka akan
melumpuhkan lawan-lawan mereka dengan serangan dari
jarak jauh, dan kemudian menghilang di gelapny a malam.
Beberapa diantara mereka, di samping busur dan anak
panah, telah membawa pula pisau-pisau kecil y ang dapat
mereka lontarkan kepada lawan-lawan mereka pada jarak
yang lebih pendek dari jarak yang dapat dicapai oleh lontaran
anak panah dari busurnya.
Beberapa saat, setelah mereka meny eberangi sungai,
mulailah mereka merayap diantara semak-semak dan
pepohonan. Mereka telah berusaha untuk menjadi samar
bukan saja karena gelapnya malam, tetapi juga sikap dan
langkah mereka. Warna pakaian yang gelap pula serta
kemampuan untuk menghindarkan tubuh m ereka dari bunyi
sentuhan-sentuhan y ang kasar.
Beberapa saat kemudian, mereka benar-benar telah
mendekati sasaran. Bagaimanapun juga mereka merasa
jantung mereka berdetak semakin cepat. Meskipun mereka
mempunyai pengalaman yang luas, serta latihan-latihan yang
berat, namun menghadapi keny ataan itu, mereka memang
menjadi berdebar-debar. Apalagi mereka sudah diberi tahu
pula bahwa orang-orang yang akan m enjadi sasaran mereka
adalah orang-orang y ang dianggap sebagai siluman-siluman
yang sangat berbahaya. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat selalu berkata,
"Mereka adalah orang-orang y ang kulit dagingnya dapat
ditembus bedor anak panah serta tajamnya pisau-pisau kecil
mereka." "Mereka sama sekali tidak mempunyai kelebihan apa
pun juga kecuali bahwa mereka tidak mengenal adab, unggahungguh
dan adat hubungan antar sesama. Mereka berbuat apa
sa ja y ang ingin mereka lakukan, bahkan dengan kasar dan
liar," pesan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, "karena itu,
jangan anggap mereka lebih baik dari kalian."
Untuk beberapa saat orang-orang dari perguruan Bajra
Seta itu menunggu. Mereka menantikan isy arat y ang akan
diberikan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Bukan isyarat
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sendaren atau panah api. Namun mereka akan
memperdengarkan suara burung bence di beberapa arah.
Tetapi tidak boleh m enimbulkan kesan, bahwa suara burung
itu bukan suara burung sewajarnya."
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
memperhitungkan bahwa setiap orang telah berada di tempat
masing-masing, m aka isy arat itu pun telah terdengar. Suara
burung bence y ang memecah sepinya malam.
Suara yang terdengar di satu tempat itu, tidak segera
disahut oleh suara yang lain. Tetapi baru beberapa saat
kemudian terdengar pula suara burung itu, seakan-akan
burung bence itu telah terbang berpindah tempat dari satu
batang pohon ke pohon y ang lain.
Orang-orang Bajra Seta memang tidak membutuhkan
isy arat terlalu banyak. Suara burung bence di dua tempat itu,
yang terdengar nyaring dalam kesepian malam, telah didengar
oleh setiap orang yang seakan-akan telah mengepung
perkemahan orang-orang padepokan Manik Wungu dan
Randu Papak. Namun menurut perhitungan m ereka, orangorang
y ang berada dalam perkemahan itu memang merupakan
kekuatan yang sangat besar.
Tetapi tidak seorang pun yang bermimpi, bahwa pada
jarak y ang masih sedemikian jauh, orang-orang Bajra Seta
justru telah meny ongsong mereka.
Demikian suara isy arat itu terdengar oleh orang-orang
dari perguruan Bajra Seta dan para petugas sandi dari Lemah
Warah, maka mereka pun segera mulai bergerak. Tidak
terdengar suara pasukan y ang berderap. Tidak pula terdengar
teriakan yang bagaikan meruntuhkan langit. Namun yang
kemudian terdengar adalah desing anak panah yang terlepas
dari busurnya. Tidak terlalu keras. Namun dari beberapa arah.
Beberapa orang y ang bertugas berjaga-jaga, dan sedang
duduk di sekeliling perapian tidak sempat terkejut, karena
tiba -tiba saja lambung, punggung atau dada mereka telah
tertembus anak panah y ang dilepaskan dari jarak y ang tidak
terlalu jauh. Sehingga dengan demikian, maka pada umumnya
mereka tidak sempat mengaduh karena ujung, anak panah itu
telah menggapai jantung, Ketika orang -orang y ang bertugas itu telah terpelanting
jatuh, m aka orang-orang perguruan Bajra Seta itu merayap
semakin dekat. Mereka telah membidik orang-orang yang
sedang tidur ny enyak. Mula-mula mereka memperhitungkan
kelompok-kelompok dari orang-orang y ang akan menjadi
sa saran. Beberapa orang diantara mereka pun telah
melepaskan anak panah bersama-sama.
Namun akhirnya, serangan itu diketahui juga setelah
jatuh korban semakin banyak. Pada satu saat seseorang yang
terkena panah tidak tepat di jantung telah sempat berteriak.
Orang-orang yang sedang beristirahat itu pun
terbangun. Mereka mula-mula tidak menyadari apa yang
terjadi. Peristiwa itu berlangsung demikian cepatnya.
Ju stru pada saat-saat yang demikian, anak panah telah
menyerang mereka bagaikan hujan dari segala arah. Seakanakan
setiap batang pohon dan setiap gerumbul dan semaksemak
telah meny erang mereka dengan anak panah.
Beberapa orang berteriak kasar. Mereka mengumpat
dengan kata-kata kotor. Dengan serta merta mereka pun telah
menarik senjata masing-masing.
Namun mereka tidak segera tahu, dimanakah lawan
mereka bersembuny i, sementara anak panah lawan
menghujan tidak henti-hentinya.
Namun ternyata ada juga orang yang masih sempat
berpikir meskipun agak terlambat. Seorang tua yang dianggap
sebagai guru dan pimpinan padepokan Manik Wungu pun
berteriak, "Cepat, cari perlindungan."
Orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak pun telah
berusaha untuk berada di bayangan pepohonan. Tetapi
mereka, benar-benar tidak mengerti di mana lawan mereka itu
bersembunyi. Cara seperti itu memang sudah diperhitungkan oleh
orang-orang Bajra Seta. Karena itu, maka mereka telah
mempergunakan cara yang lebih berbahaya. Namun
keberhasilan mereka pada langkah pertama mendapat
membuat mereka m enjadi semakin berani, karena m enurut
anggapan mereka, cara y ang mereka tempuh adalah cara yang
ternyata benar. Orang-orang Bajra Seta menjadi semakin mendekat.
Dengan anak panah yang siap di busur, mereka memasuki
lingkungan orang-orang yang sedang k ebingungan itu. Setiap
mereka bertemu dengan seseorang, maka mereka telah
menyapanya dengan kata-kata sandi. Jika orang itu tidak
menjawabnya dengan benar, maka tanpa ampun lagi, anak
panah yang sudah siap di busur itu akan meluncur menembus
jantung. Sebaliknya, jika seseorang menyapa salah seorang
dari Padepokan Bajra Seta yang menyusup diantara mereka
tidak dengan kata-kata sandi, maka pertanyaan itu akan
dijawab dengan tusukan anak panah di dada mereka.
Dengan demikian maka kelompok-kelompok orang dari
padepokan Bajra Seta yang dilengkapi dengan sekelompok
petugas sandi yang terbagi diantara kelompok-kelompok
pasukan dari padepokan Bajra Seta itu telah dapat
mengacaukan pasukan yang jauh lebih besar. Bahkan ujungujung
anak panah telah membunuh dan melukai sejumlah dari
antara mereka. Bahkan ketika para pemimpin dari padepokan Manik
Wungu dan Randu Papak berhasil menguasai orang-orang
mereka dan meneriakkan aba-aba, maka orang -orang Bajra
Seta itu masih berada diantara mereka. Mereka tidak lagi
mempergunakan busur dan anak panah karena jarak yang
semakin dekat, serta waktu y ang semakin memburu. Namun
mereka telah m elontarkan pisau -pisau kecil y ang m enyambar
leher, dada dan lambung. Namun orang-orang Bajra Seta itu tidak mau terjebak di
dalam lingkungan pasukan lawan. Karena itu, maka ketika
orang-orang Manik Wungu dan orang-orang Randu Papak
menjadi semakin mapan, maka beberapa buah anak panah
sendaren telah terbang di udara sebagai isy arat, bahwa orangorang
Bajra Seta harus meninggalkan lingkungan lawan.
Ternyata bahwa latihan-latihan y ang matang, benarbenar
memberikan tuntutan bagi mereka. Dalam waktu dekat,
maka kelompok-kelompok t erkecil dari orang-orang Bajra Seta
telah sempat menghitung kawan mereka masing-masing,
sehingga mereka dapat kembali ke pangkal mereka dengan
utuh. Memang ada beberapa orang yang terluka, tetapi tidak
seorang pun diantara mereka y ang tertinggal, apalagi
tertawan. "Sungguh satu hasil y ang gemilang," berkata Mahisa
Murti. Pemimpin petugas sandi Lemah Warah y ang
diperbantukan itu pun menyahut, "Hampir tidak masuk akal,
bahwa tidak seorang pun yang hilang diantara kita."
"Kita telah mengejutkan mereka, sementara mereka
benar-benar lengah, karena m ereka tidak m engira bahwa kita
akan meny erang m ereka pada jarak y ang demikian jauhnya,"
berkata Mahisa Pukat. Yang lain mengangguk-angguk. Memang keberhasilan
mereka sebagian besar adalah karena kelengahan sasaran
mereka. "Baiklah," b erkata Mahisa Murti, "kita wajib mengucap
syukur kepada Yang Maha Agung yang telah melindungi kita
semuanya. Namun kawan-kawan kita y ang terluka, lebih -lebih
yang parah, harus segera mendapat perawatan."
Namun dalam pada itu Mahisa Pukat pun berdesis,
"Tetapi apakah tempat ini cukup aman bagi kita?"
"Aku kira cukup," berkata pemimpin petugas sandi dari
Lemah Warah itu, "tempat ini telah dipisahkan oleh sebuah
sungai yang bertebing tinggi. Mereka tidak akan mencari kita
sampai ke tempat ini. Mereka tidak akan menuruni tebing dan
naik jurang dalam gelapnya malam dan licinnya batu padas di
tebing. "Tetapi jika ada diantara m ereka y ang ahli menelusuri
jejak, maka mereka agaknya akan sampai ke tempat ini,"
berkata salah seorang pemimpin kelompok dari pasukan Bajra
Seta. "Memang mungkin pula. Tetapi kita telah meny eberangi
sebuah sungai. Kita sudah b erjalan dalam air beberapa puluh
langkah, sehingga akan sangat sulit bagi mereka untuk
menemukan kembali jejak kami," sahut pemimpin petugas
sandi itu. Tetapi ia pun kemudian berkata, "Meskipun
demikian, jika tempat ini dianggap berbahaya, maka kita akan
dapat meninggalkan tempat ini bergeser beberapa ratus
tonggak." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu.
Menurut keduanya tempat ini memang sudah cukup aman.
Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata, "Baiklah. Kita
akan berpindah tempat. Kita harus bergeser tanpa
meninggalkan jejak. "Jika kita masih juga meninggalkan jejak, maka kita
tidak perlu meninggalkan tempat ini."
Orang-orang y ang mendengarkan pendapat itu
mengangguk-angguk. Mereka setuju bahwa mereka harus
berusaha untuk menghapuskan jejak jika mereka berniat
untuk bergeser dari tempat itu.
Meskipun orang-orang Bajra Seta itu m erasa letih dan
ingin segera beristirahat, namun mereka tidak dapat
membantah ketika perintah pun akhirnya jatuh, bahwa
mereka akan mencari tempat y ang lain, tanpa meninggalkan
jejak. Dalam pada itu, kegemparan memang telah terjadi
diantara orang-orang Manik Wungu dan orang-orang Randu
Pa pak. Sergapan yang datang dengan tiba-tiba dan kemudian
dengan tiba -tiba pula menghilang, telah menelan korban yang
bagi mereka terlalu banyak jumlahnya.
Setelah keadaan mereda, serta mereka berkeyakinan
tidak akan datang lagi serangan-serangan y ang tiba-tiba itu,
maka para pemimpin dari kedua padepokan itu pun telah
bertemu, sementara penjagaan di sekitar perkemahan itu pun
telah ditingkatkan. Sedangkan di seluruh perkemahan tidak
seorang pun y ang sempat tidur lagi. Semuanya telah
dicengkam oleh kegelisahan dan kecemasan.
Beberapa orang telah mengumpat-umpat dengan
kasarnya. Yang lain menggeram sambil menghentakhentakkan
tangannya. Sedangkan beberapa orang lainnya
berjalan hilir mudik tidak menentu.
Sementara itu para pemimpin mereka sibuk m endugaduga,
siapakah yang telah m elakukan serangan y ang tiba-tiba
namun meninggalkan beka s yang parah itu.
Pimpinan tertinggi dari Manik Wungu yang ada diantara
orang-orangnya itu berkata, "Tentu rencana ini disusun
dengan sebaik-baiknya dan dilakukan oleh sekelompok orang
yang memiliki ilmu yang tinggi. Mereka tentu pernah
mengalami latihan-latihan khusus untuk tugas mereka."
"Aku tidak mempunyai dugaan lain kecuali prajuritprajurit
sandi dari Lemah Warah," berkata pemimpin
padepokan Randu Papak. Lalu "Bukankah kita berada di
wilayah Lemah Warah sekarang ini?"
Yang lain mengangguk-angguk. Sementara pemimpin
padepokan Randu Papak itu melanjutkan, "hanya prajuritprajurit
yang terlatih sajalah y ang dapat melakukan sergapan
iblis seperti itu." Namun demikian pemimpin Manik Wungu itu pun
bertanya, "Jika mereka prajurit Lemah Warah, kenapa mereka
tidak datang saja dengan kekuatan segelar sepapan, dan
sekaligus menghancurkan pasukan kita" Jika Lemah Warah
memang mengerahkan semua prajurit y ang ada, maka mereka
akan dapat menumpas kita semuanya."
"Tetapi Akuwu Lemah Warah tidak mempunyai alasan
yang kuat untuk membinasakan kita. Kita adalah orang lewat,
karena kita memang melintas di daerah Lemah Warah. Tetapi
kita tidak berbuat apa-apa disini. Kita tidak menimbulkan
kegelisahan karena kita telah memilih jalan y ang sepi. Kita
bermalam di daerah yang jauh dari padukuhan-padukuhan
yang ada," sahut salah seorang pemimpin yang lain, "karena
itu maka Akuwu tidak dapat dengan terang-terangan
menghancurkan kita. Ia telah m engambil satu langkah yang
bagus sekali menurut kepentingannya. Namun bagi kami
adalah tindakan pengecut.
"Apa yang sebaiknya kita lakukan?" bertanya pemimpin
padepokan Manik Wungu, "membalas dendam dengan
menyerang orang -orang Lemah Warah serta membunuh
mereka sejumlah paling sedikit sama dengan orang-orang kita
yang terbunuh?" Pemimpin padepokan Randu Papak pun berkata,
"Apakah hal itu menguntungkan kita" Bukankah kita akan
menuju ke padepokan Suriantal" Jika kita t erlibat dalam
pertempuran dengan prajurit Lemah Warah, maka kita t entu
tidak akan dapat keluar dari Pakuwon ini hidup-hidup. Semua
orang diantara kita akan m ati disini. Sedangkan kita sudah
terlanjur melepaskan tantangan bagi orang-orang padepokan
Suriantal itu." "Jadi?" bertanya pemimpin padepokan Manik Wungu.
"Kita akan pergi ke padepokan Suriantal. Merebutnya
dan kemudian memilikinya. Kita harus memelihara sisa
kekuatan yang ada sebaik-baiknya. Disini kita sudah
kehilangan terlalu banyak," jawab pemimpin padepokan
Randu Papak. Yang lain mengangguk-angguk. Sementara itu pemimpin
padepokan Randu Papak itu pun berkata selanjutnya, "Kita
akan berangkat sekarang."
"Sekarang?" seorang pemimpin y ang lain bertanya.
"Ya. Sebaiknya kita segera keluar dari daerah Lemah
Warah," berkata pemimpin padepokan Randu Papak itu.
"Kau k ira padepokan Suriantal itu bukan tlatah Lemah
Warah?" berkata pemimpin padepokan Manik Wungu.
"Tetapi daerah yang dilupakan. Akuwu Lemah Warah
tidak menganggap perlu untuk mengurusi padepokan yang
demikian jauh dari pusat pemerintahan. Kecuali jika
padepokan itu m enjadi besar dan m enarik," jawab pemimpin
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
padepokan Randu Papak. Namun dalam pada itu pemimpin y ang lain dari Randu
Pa pak itu pun bertanya, "Bagaimana dengan kawan-kawan
kita yang terbunuh di sini?"
"Kita tinggalkan saja mereka," jawab pemimpin
padepokan Randu Papak itu, "y ang mati biarlah m ati. Yang
masih akan dapat hidup biarlah berusaha menemukan
hidupnya kembali, sementara y ang m asih akan m ati biarlah
mati. Kita tidak sempat berbuat apa-apa atas mereka. Yang
masih dapat berjalan, akan berjalan bersama kita."
Pemimpin yang berada dibawah kekuasaan pemimpin
tertinggi padepokan Randu Papak itu tidak menjawab.
Agaknya memang sudah m enjadi kebiasaan mereka berbuat
seperti itu. Bahkan pemimpin padepokan Manik Wungu pun
berkata," jangan kotori tangan kita dengan darah orang-orang
dungu seperti itu. Jika mereka mati itu adalah salah m ereka
sendiri. Demikian pula y ang terluka."
Demikianlah malam yang tersisa itu telah dipergunakan
oleh orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak untuk
meneruskan perjalanan. Mereka ingin secepatnya
meninggalkan daerah Lemah Warah. Semakin jauh semakin
baik. Meskipun kemudian mereka masih berada di daerah
yang berada dalam kekuasaan Pakuwon Lemah Warah, namun
di daerah y ang tidak mendapat banyak perhatian dari Akuwu,
maka mereka tidak akan mengalami kesulitan dengan para
prajurit Lemah Warah itu.
Namun gerakan itu tidak terlepas dari pengamatan para
petugas sandi dari Lemah Warah y ang diperbantukan kepada
orang-orang dari perguruan Bajra Seta. Mereka telah
membuat hubungan dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
yang telah mengalihkan perkemahan mereka.
Kepada penghubung itu Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat-pun minta untuk menunggu sejenak. Mereka akan
berbicara dengan para pemimpin kelompok, apakah yang
sebaiknya mereka lakukan.
Ternyata bahwa para pemimpin kelompok itu pun
sependapat, bahwa m ereka pun harus bergerak dengan arah
yang sejajar. "Kami akan m enjadi penunjuk jalan," berkata seorang
petugas sandi Lemah Warah kepada Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Dengan demikian maka k etika penghubung itu kembali
menemui kawan-kawannya bertugas dapat memberitahukan,
bahwa orang-orang Bajra Seta telah bergerak pula. Sebagai
petugas sandi di Lemah Warah, m aka mereka pun m emiliki
pengenalan yang luas dan sungguh-sungguh atas m edan yang
sedang mereka hadapi. Dengan hati-hati pasukan Bajra Seta telah bergerak
sejajar dengan gerak pa sukan dari dua padepokan y ang akan
menuju ke padepokan Bajra Seta. Setiap kali para penghubung
selalu m embuat hubungan dengan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, agar ikatan diantara mereka tidak, terlepas yang satu
dengan yang lain. Karena pasukan Bajra Seta yang tidak terlalu besar,
maka mereka memang dapat bergerak lebih lincah dari
pasukan lawannya. Namun jumlah yang kecil itu telah t erlatih
dengan baik untuk melakukan perlawanan tidak langsung atas
kedua pasukan y ang besar itu, tetapi y ang telah kehilangan
banyak kekuatan diantara mereka.
Beberapa orang y ang t erluka tidak begitu menghambat
gerak orang-orang padepokan Bajra Seta. Kawan-kawannya
telah m emapah m ereka. Sedangkan y ang lain masih sanggup
berjalan sendiri tanpa bantuan. Apalagi mereka y ang hanya
sekedar tergores senjata.
Ketika pagi mulai membayang, maka orang-orang Bajra
Seta itu harus menjadi lebih berhati-hati. Mereka harus
mencari jarak yang sesuai, sehingga pasukan y ang besar itu
tidak akan sempat mendekatinya. Di siang hari, pasukan Bajra
Seta tidak akan mungkin dapat bergerak.
Untuk mengurangi perhatian orang terhadap pasukan
kecil itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membagi
orang-orangnya. Bahkan mereka tidak terikat lagi dengan
gerak pasukan lawan. Namun mengurai laporan dari para
penghubung, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, atas
petunjuk para petugas sandi, telah dapat m emperhitungkan,
ke arah mana pasukan y ang besar itu bergerak.
"Kita akan dapat berpencar dan kemudian berkumpul di
satu tempat yang ditentukan," berkata pemimpin dari petugas
sandi itu. Demikianlah akhirnya pasukan kecil itu mendapat
petunjuk seperlunya tentang jalan y ang harus mereka tempuh.
Mereka akan berpencar dalam kelompok-kelompok y ang kecil,
yang terdiri dari tiga atau empat orang menuju ke tempat yang
sudah diancar-ancarkan oleh pemimpin petugas sandi.
Sementara itu, diantara mereka yang bergerak itu juga
terdapat beberapa orang dari kelompok petugas sandi itu
sendiri y ang memang diperbantukan kepada Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat. Namun dalam pada itu, beberapa orang petugas y ang
lain akan langsung m engamati gerak pasukan yang besar itu.
Meskipun pasukan itu sudah m emilih jalan yang paling sepi
sekalipun, namun mereka sama sekali tidak dapat
menghindari padukuhan-padukuhan, pategalan dan hutanhutan
besar dan kecil. Tetapi agaknya pasukan itu sudah belajar dari
pengalaman. Mereka tidak mau lengah untuk kedua kalinya.
Namun karena mereka sudah menjadi semakin jauh dari
Lemah Warah, maka mereka pun berharap bahwa tidak akan
ada lagi gangguan atas pasukan mereka.
Pemimpin padepokan Manik Wungu dan Randu Papak
ternyata sepakat untuk beristirahat sebelum sore hari. Mereka
mencari tempat y ang paling baik bagi pasukan mereka. Tanpa
menghiraukan tanaman yang ada, m ereka telah berhenti dan
beristirahat di sebuah pategalan y ang terbuka, y ang tidak
mempunyai banyak pepohonan, sehingga mereka akan dapat
mengamati keadaan di sekitar tempat itu dengan jelas.
Orang-orang padukuhan terdekat, yang memiliki daerah
pategalan itu pun melihat kehadiran pasukan itu di pategalan
mereka. Namun mereka justru menjadi ketakutan. Tidak
seorang pun y ang berani menegur sekelompok pa sukan yang
besar y ang terdiri dari orang-orang y ang kasar dan bahkan
liar. Ju stru menjelang sore, dibawah rimbunnya dedaunan di
pategalan orang-orang y ang letih itu sempat beristirahat.
Sebagian besar dari mereka telah tertidur dibawah pepohonan,
atau di sela-sela tanaman jagung muda. Mereka tidak merasa
cemas bahwa mereka akan m endapat serangan sebagaimana
mereka alami semalam, karena m ereka y ang bertugas dapat
melihat keadaan di sekitar pategalan itu dengan jelas.
Para petugas sandi y ang membayangi pasukan itu harus
bersembunyi pula agar tidak diketahui oleh orang-orang yang
bertugas berjaga-jaga dalam pasukan y ang besar itu.
Betapapun mereka merasa letih, namun mereka tidak dapat
meninggalkan tugas mereka.
Ketika kemudian malam turun, maka yang bertugas pun
menjadi berlipat. Mereka yang sudah sempat beristirahat,
menggantikan tugas mereka y ang dengan letih mengawasi
keadaan menjelang matahari tenggelam.
Yang bertugas itu tidak hanya melingkar di sekitar
pasukan y ang sedang beristirahat itu. Tetapi untuk mencegah
peristiwa y ang menyakitkan itu terulang, maka penjagaan pun
diatur dalam lapis-lapis yang rapat, sehingga tidak akan ada
seorang pun y ang akan dapat mendekat.
Para petugas sandi y ang mengamati keadaan mereka
menganggap bahwa penjagaan pasukan itu terlalu kuat untuk
sekelompok kecil pasukan Bajra Seta. Karena itu, seorang
penghubung yang datang di tempat yang sudah ditentukan,
menyarankan agar mereka tidak m engganggu lawan m alam
itu. "Mereka t idak akan bermalam lagi di jalan," berkata
Mahisa Pukat. "Tetapi berbahaya sekali untuk melakukannya
sekarang," jawab petugas sandi itu. "Aku kira, kita harus
mencari kesempatan lain."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Mereka m emang tidak boleh mengorbankan orang-orangnya
dengan semena-mena. Tetapi mereka tidak melihat lagi kesempatan untuk
melakukan sebagaimana pernah mereka lakukan. Meskipun
mereka menyadari, bahwa keadaannya tentu sudah jauh
berbeda. "Kekuatan mereka sudah banyak berkurang," berkata
Mahisa Murti kemudian. "Apakah kita harus menghibur diri kita sendiri dengan
cara seperti itu?" desis Mahisa Pukat.
Mahisa-Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun ia
pun kemudian bertanya, "Bagaimana dengan keberhasilan kita
itu" Apakah itu bukan berarti pengurangan kekuatan yang
cukup besar pada lawan kita?"
Mahisa Pukat m engangguk kecil. Katanya, "Ya. Tetapi
lawan masih terlalu kuat bagi padepokan Bajra Seta."
"Justru karena itu, kita harus berhati-hati. Kita tidak
dapat berbuat sesuatu yang akan dapat menjatuhkan korban
terlalu banyak atas kekuatan kita y ang sudah terlalu kecil ini,"
berkata Mahisa Murti. Mahisa Pukat mengangguk-angguk pula. Dengan nada
datar ia berkata, "Aku mengerti."
Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
tidak berusaha untuk mendekati pasukan lawan. Hanya
beberapa orang saja masih mengamatinya dengan cermat,
namun dengan sangat berhati-hati.
Ternyata bahwa orang -orang dari padepokan Manik
Wungu dan Randu Papak itu tidak menunggu sampai fajar.
Sedikit lewat tengah malam mereka telah melanjutkan
perjalanan mereka menuju ke sa saran. Padepokan Bajra Seta.
Orang y ang pernah datang ke padepokan Bajra Seta dan
menyebut diri mereka orang-orang Suriantal, akan memasuki
padepokan itu pula menemui para pemimpinnya. Mereka
masih tetap akan mengatakan, bahwa para pengikut dari
perguruan Suriantal akan mengadakan pertemuan di
padepokan itu. Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendapat
laporan tentang keberangkatan orang-orang dari padepokan
Manik Wungu dan Randu Papak, maka ia pun telah
memerintahkan orang-orangnya untuk bergerak pula.
Dalam perjalanan itu Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan
pemimpin petugas sandi dari Lemah Warah telah berusaha
untuk memecahkan per soalan mereka. Bagaimana mereka
dapat m engurangi lagi kekuatan lawan sebagaimana pernah
mereka lakukan. Tetapi lawan mereka tidak akan m embuat
kesalahan yang sama sampai kedua kalinya.
Perjalanan mereka ternyata merupakan perjalanan y ang
panjang dan berat. Ketika matahari t erbit, maka orang-orang
Bajra Seta sekali lagi telah m emecah orang-orangnya dengan
cara sebagaimana telah mereka lakukan. Namun jarak mereka
dengan padepokan telah menjadi semakin dekat, sehingga
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memutuskan, bahwa mereka
akan berkumpul kembali, beberapa puluh patok saja dari
padepokan. Sehingga jika diperlukan, maka mereka akan
dapat bergerak dengan cepat.
Dalam pada itu, maka orang -orang padepokan Manik
Wungu dan Randu Papak pun ternyata telah berhenti tidak
jauh pula dari padepokan yang akan menjadi sasaran itu.
Tetapi mereka tidak akan langsung meny erang padepokan itu.
Mereka akan mengirimkan orang-orang bertongkat, yang
mengaku dari perguruan Suriantal itu untuk menemui para
pemimpin padepokan Bajra Seta. Orang -orang Manik Wungu
dan Randu Papak sama sekali tidak mencemaskan kesiagaan
orang-orang Bajra Seta y ang dianggapnya baru mengatur diri
sehingga mereka masih belum mempunyai kekuatan yang
mapan. Namun perkemahan orang-orang Manik Wungu dan
Randu Papak itu tidak terlepas sama sekali dari pengamatan
para petugas sandi dari Lemah Warah dan orang-orang Bajra
Seta yang sudah terlatih baik.
Ternyata bahwa para pengamat itu telah melihat
perubahan sikap dari orang-orang Manik Wungu dan Randu
Pa pak. Justru ketika mereka sudah berada dekat dengan
padepokan yang mereka tuju, maka m ereka tidak lagi merasa
bahwa mereka masih berada dalam bahaya sebagaimana
pernah mereka alami. Mereka menganggap bahwa Lemah
Warah telah menjadi terlalu jauh sehingga para prajurit
Lemah Warah tidak akan mengganggu mereka lagi dengan
cara apa pun juga. Ternyata orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak
nampaknya memang tidak tergesa -gesa. Yang tergesa -gesa
menurut perhitungan mereka adalah justru menjauhi dan
meninggalkan Lemah Warah.
Di hari berikutnya orang-orang Manik Wungu dan
Randu Papak itu telah meny iapkan beberapa orang bertongkat
untuk, pergi ke padepokan Bajra Seta. Mereka harus menemui
kedua orang anak muda y ang mengaku sebagai Putut dan
memimpin padepokan itu. Ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pada
hari itu justru berada di padepokan. Setelah mereka
menempatkan pasukannya di tempat y ang tidak akan
diketahui oleh lawan y ang berjumlah lebih besar dari kekuatan
Bajra Seta itu, m aka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
memasuki padepokan mereka dengan diam-diam untuk
membicarakan rencana berikutnya bersama dengan
Mahendra. Kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat orang-orang
yang mengaku dari perguruan Suriantal itu tidak merubah
keterangan mereka. Beberapa padepokan dari cabang
perguruan Suriantal akan bertemu di padepokan Suriantal
yang telah berubah menjadi padepokan Bajra Seta itu.
"Sayang Ki Sanak," jawab Mahisa Murti, "seperti y ang
sudah aku katakan. Kami tidak dapat menerima. Kami bukan
orang-orang Suriantal. Kami sama sekali tidak berkepentingan
dengan pertemuan itu sehingga kami tidak dapat menerima
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kehadiran kalian." "Jangan begitu Ki Sanak," berkata orang yang mengaku
dari perguruan Suriantal itu, "barangkali kalian perlu
mengetahui bahwa kami dalam jumlah yang besar telah
berada di sekitar padepokan ini. Sebenarnya kalian tidak
mempunyai pilihan." "Kenapa tidak?" bertanya Mahisa Murti, "kami
mempunyai wewenang atas padepokan kami sendiri."
Orang-orang yang menyebut dirinya dari perguruan
Suriantal itu saling berpandangan sejenak. Namun orang yang
dianggapnya pemimpin oleh kelompok itu pun kemudian
berkata, "Anak -anak muda. Kalian harus mampu membuat
pertimbangan-pertimbangan y ang mapan. Kalian telah
menyebut diri kalian sebagai pemimpin dari sebuah perguruan
dan padepokan. Namun kalian agaknya sama sekali belum
dapat membuat pertimbangan-pertimbangan yang bijak sana.
Jiwa kalian sama sekali belum mengendap. Darah kalian
masih mudah mendidih, sedang jantung kalian cepat
membara." "Aku tidak mengerti maksudmu," potong Mahisa Pukat.
"Kalian jangan m enuruti luapan perasaan muda kalian.
Pertimbangkan baik-baik. Kami akan mengadakan pertemuan
di padepokan ini. Bukalah pintunya dan persilahkan kami
masuk. Terimalah kami sebagai tamu yang terhormat disini.
Dengan demikian maka tidak akan timbul m asalah diantara
kita. T etapi jika kalian bersikap terlalu sombong dan sekedar
hanyut oleh perasaan tanpa penalaran, maka kalian akan
menyesal." "Kenapa kami akan menyesal?" bertanya Mahisa Murti.
"Kami dapat berbuat apa saja atas padepokan ini. Kami
dapat m enghancurkannya dan m embakarnya menjadi debu,"
berkata orang itu. "Kalian t erlalu sombong," berkata Mahisa Murti, "kalian
kira kami akan m embiarkan kalian melakukannya" Kau lihat,
kami mempunyai kekuatan yang cukup untuk
mempertahankan padepokan ini."
Tetapi orang itu tertawa. Katanya, "Apa kau kira, kami
tidak dapat m elihat. Ada berapa orang-orangmu disini" Dan
apa saja y ang dapat m ereka lakukan untuk mencegah kami
yang memiliki selumbung pengalaman. Perguruan yang kau
sebut-sebut itu adalah perguruan baru. Orang-orangmu baru
belajar bagaimana m emegang pedang. Bagaimana memasang
tali busur dan mengetrapkan anak panah sebelum dilepas. Kau
tentu baru dapat memberikan sedikit petunjuk tentang
memutar tombak serta, mengenakan perisai. Apa daya
padepokan ini" Apalagi menurut penglihatanku sekarang, isi
padepokan ini terlalu sedikit untuk dapat bertahan"
"Cukup," potong Mahisa Pukat, "aku persilahkan kalian
meninggalkan padepokan ini selagi pintu gerbang kami masih
terbuka. Kami akan segera menutup dan meny elaraknya.
Setiap orang y ang berani mendekatinya akan kami binasakan."
Orang-orang yang menyebut dirinya dari perguruan
Suriantal itu tertawa. Pemimpin mereka itu pun berkata,
"jangan berusaha untuk menutupi kecemasanmu dengan sikap
yang garang begitu. Anak-anak muda. Sebenarnya kami ingin
mengundang kalian untuk melihat sendiri pasukan yang
datang bersama kami. Jika kalian ber sedia, maka kalian akan
dapat membuat pertimbangan y ang paling mapan untuk
menanggapi keadaan ini."
"Aku t idak peduli dengan omong kosongmu itu," sahut
Mahisa Pukat. Lalu "Sekali lagi aku minta, pergilah. Jika
kalian tidak segera pergi, dan gerbang itu sudah terlanjur
tertutup, maka kalian akan mati disini sebelum kawankawanmu
datang." " Itu bukan laku laki-laki," geram orang y ang m eny ebut
dirinya dari perguruan Suriantal.
"Aku tidak peduli, apakah aku dapat disebut laki -laki
atau bukan. Aku sama sekali tidak berkepentingan dengan
sebutan-sebutan. Yang penting aku dapat memuaskan hatiku
dengan mencincang kalian di halaman dan melemparkan sisasisa
tubuh kalian keluar dinding padepokan ini untuk dilihat
oleh kawan-kawanmu."
"Baiklah," berkata orang bertongkat itu, "aku akan pergi.
Aku akan m embawa orang-orangku m endekat dan berkemah
di sekitar padepokanmu ini. Dengan demikian kalian akan
mengetahui betapa besar kekuatan keluarga Suriantal dan
beberapa orang wakil dari padepokan lain yang akan menjadi
tamu kita." Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun ia benar-benar
telah berusaha untuk mengusir orang -orang itu. Sambil berdiri
tegak Mahisa Pukat telah menunjuk ke arah pintu gerbang
padepokannya. Terdengar orang-orang bertongkat itu mengumpat.
Pemimpin mereka telah berkata dengan marah, "Sekarang
kalian mengusir aku. Tetapi besok, aku akan mengusir kalian
bukan saja keluar dari padepokan ini, tetapi m engusir kalian
ke lubang maut." "Cepat," geram Mahisa Pukat, "aku tidak mempunyai
waktu untuk melayani pemimpi seperti kalian."
Orang-orang y ang mengaku dari perguruan Suriantal
itu-pun kemudian meninggalkan padepokan itu dengan wajah
yang merah. Jantung mereka rasa -rasanya telah membengkak
menahan kemarahan. Namun mereka bertekad untuk kembali
memasuki padepokan itu dan sekaligus menghancurkannya.
Demikian orang-orang bertongkat itu keluar, maka pintu
gerbang pun segera ditutup kembali. Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat segera menemui ay ah mereka untuk
melanjutkan pembicaraan tentang rencana yang akan m ereka
lakukan menghadapi pasukan y ang besar itu.
"Agaknya mereka akan mendekati padepokan dan
memamerkan kekuatan mereka," berkata Mahisa Murti.
"Jika demikian, bawa orang-orangmu keluar," berkata
Mahendra, "hati-hati dan jangan sampai diketahui oleh
mereka. Orang-orangmu harus menunggu sampai malam
datang." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu
sejenak. Namun keduanya pun mengangguk-angguk. Dengan
nada datar Mahisa Murti bertanya, "Menurut ayah, kami harus
menyerang mereka di malam hari?"
"Ya," berkata Mahendra, "kalian lebih menguasai medan.
Jika kalian menunggu mereka menyerang esok, mungkin
kalian akan banyak mengalami kesulitan. Tetapi jika kalian
menyerang malam hari kemudian menghilang, agaknya
keadaan akan berbeda."
"Tetapi y ang terlatih hanyalah sekelompok y ang kami
bawa meny ongsong mereka di Lemah Warah," berkata Mahisa
Pukat. Mahendra mengangguk-angguk. Ia memang sudah
memperhitungkan hal itu sebelum ia mengatakan
kemungkinan itu kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Karena itu katanya, "Kau harus membagi orang-orang yang
kau anggap mempunyai kemampuan b ertempur dengan cara
yang pernah kau pergunakan dan berhasil. Tetapi kau harus
tetap mempunyai sekelompok pasukan yang akan dapat
mengacaukan m ereka dalam kegelapan. Namun sebelumnya
kau harus mengumpulkan orang-orangmu dan secara cepat
dan singkat memberikan petunjuk-petunjuk tentang perang
yang akan kalian lakukan. Cara-caranya, tujuannya dan
sa sarannya." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Mereka tinggal mempunyai waktu sedikit. Orang-orangnya
harus dengan segera m eny ebar di luar padepokan. Demikian
malam turun, maka orang-orangnya harus segera berada di
tempat y ang akan ditentukan.
Karena itu, maka dengan singkat Mahisa Murti pun
berkata, "Kami akan melakukannya ayah."
"Berhati -hatilah. Yang akan kalian lakukan adalah satu
perjuangan tentang hidup dan mati. Taruhannya adalah
padepokanmu dan umur segenap penghuninya," berkata
Mahendra. Lalu "Karena itu, maka kalian dalam hal ini tidak
dapat sekedar bermain-main."
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah mengumpulkan semua orang-orangnya. Mereka telah
membaginya dalam beberapa kelompok besar y ang terdiri dari
beberapa kelompok kecil. Empat kelompok diantara mereka
akan tetap berada di dalam padepokan, sementara yang lain
akan keluar dari padepokan dan justru akan menyergap lawan
yang jumlahnya lebih besar dari orang-orang padepokan Bajra
Seta. (Bersambung ke Jilid 55).
Jilid 055 "KITA sudah berhasil m engurangi jumlah m ereka lebih
banyak dari y ang kita harapkan dapat kita lakukan di Lemah
Warah. Namun ternyata jumlah mereka memang terlalu besar.
Dua padepokan y ang besar dan kuat, akan mengepung
padepokan ini. Sama sekali bukan empat padepokan dari
keluarga perguruan Suriantal seperti y ang dikatakan oleh
orang-orang y ang datang itu, "Mahisa Murti berhenti sejenak,
lalu "Karena itu, kita harus menempuh satu cara y ang tidak
mereka duga sebelumnya. Kita akan keluar dari padepokan ini
dan justru kitalah y ang akan meny ergap mereka. Kita harus
memanfaatkan kesempatan di malam hari nanti untuk
menyelamatkan hidup kita."
Hidup perguruan dan padepokan kita, serta hidup kita
sendiri," Mahisa Murti berhenti sejenak, lalu "Meskipun cara
itu tidak berarti bahwa kita tidak akan m engalami kesulitan
sama sekali. Mungkin justru akan memungut korban yang
cukup banyak diantara kita. Kita yang sekarang berbicara
disini, mungkin akan berkurang separuh diantaranya. Dengan
demikian, maka kemungkinan untuk hidup dan mati bagi kita
sama besarnya. Tetapi jika kita keluar dari padepokan ini,
maka kemungkinan untuk hidup bagi kita tentu lebih besar
daripada mati itu asal kita mampu mengendalikan diri kita."
Orang-orang Bajra Seta yang berkumpul itu
mengangguk-angguk. Sementara itu, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat tidak lagi membuang waktu. Mereka pun segera
membagi orang-orangnya dalam kelompok-kelompok besar
yang terbagi lagi ke dalam kelompok-kelompok kecil. Empat
kelompok diantara m ereka akan tetap berada di padepokan.
Mereka harus mempertahankan padepokan itu jika sebagian
dari lawan mereka berusaha untuk meny erang padepokan itu.
Dengan singkat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
menjelaskan apa y ang mereka hadapi dalam keseluruhan.
Kemudian membagi seluruh penghuni padepokan itu menjadi
dua. Ma sing-masing akan mendapat penjelasan dari Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Sesuai dengan sifatnya, maka k eterangan Mahisa Pukat
kedengarannya memang lebih keras dari Mahisa Murti.
Namun jiwa dari keterangan mereka sama sekali tidak
berbeda. Keduanya telah m enunjukkan cara y ang paling baik
bagi m ereka di saat-saat mereka menyergap lawan y ang akan
mengadakan perkemahan di sekitar padepokan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah m empergunakan
kesempatan yang singkat itu untuk memberikan penjelasan
dan bahkan memberikan peragaan apa y ang harus mereka
lakukan. Mereka telah memberikan petunjuk-petunjuk untuk
mengatasi kesulitan y ang timbul berdasarkan pengalaman
yang telah diperoleh pada saat-saat mereka melakukan
peny ergapan di Lemah Warah.
Meskipun y ang dapat mereka berikan sebagai bekal
tidak sebesar yang dapat mereka berikan kepada sekelompok
yang besar y ang telah mereka bawa ke Lemah Warah, namun
apa y ang dapat dijelaskan oleh Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat itu-pun cukup memadai.
Demikianlah, maka segala sesuatunya sudah diatur
sebaik-baiknya. Dengan pengertian, bahwa mereka harus
memenuhi segala ketentuan sehingga rencana mereka tidak
akan gagal. Ketika malam turun, maka seperti y ang dikatakan oleh
orang-orang y ang mengaku dari perguruan Suriantal itu,
orang-orang yang datang dari perguruan Manik Wungu dan
Randu Papak telah m embawa seluruh pasukannya mendekati
padepokan. Mereka telah m engadakan perkemahan di sekitar
padepokan itu. Dengan demikian maka mereka telah
memamerkan kekuatan mereka kepada orang-orang
padepokan Bajra Seta. Namun dalam pada itu, dengan diam-diam orang-orang
Bajra Seta sebagian besar telah berada di luar padepokan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menempatkan orangorang
y ang telah mengalami sergapan di malam hari diantara
kelompok-kelompok y ang ada untuk memberikan kesan
tentang pengalaman mereka. Namun dalam pada itu,
kelompok y ang khusus diantara mereka dan para petugas
sandi dari Lemah Warah, masih diperlukan. Mereka
merupakan kekuatan pokok yang akan menusuk ke pusat
perkemahan lawan dengan cara sebagaimana pernah m ereka
lakukan. Namun mereka m emang harus menghindari orangorang
terpenting dari kedua perguruan itu, karena mereka
tentu orang -orang berilmu tinggi.
Kepada orang-orang Bajra Seta yang berada di luar
padepokan itu telah dipesankan, bahwa mereka akan bergerak
serentak setelah terdengar isy arat. Agar isyarat itu tidak dapat
segera diketahui oleh orang-orang y ang sedang memamerkan
kekuatan mereka di luar padepokan, m aka isy arat itu akan
diberikan di dalam padepokan. Pada saat yang sudah
ditentukan, di tengah malam, di padepokan Bajra Seta akan
terdengar suara kentongan dengan nada dara muluk yang
biasanya memang dibuny ikan di tengah malam. Namun suara
kentongan itu merupakan isy arat, bahwa pada saat itu,
bersamaan orang-orang Bajra Seta y ang berada di luar
padepokan akan meny erang orang-orang yang diharapkan
akan menjadi lengah. Dengan cermat, beberapa orang pengamat telah
mengamati perkemahan orang-orang Manik Wungu dan
orang-orang Randu Papak itu dari atas dinding. Menurut
pengamatan dari jarak y ang agak jauh itu maka nampaknya
orang-orang y ang berkemah di luar padepokan itu, memang
agak kurang berhati-hati. Meskipun di beberapa tempat telah
dinyalakan obor, perapian dan lampu minyak. Namun para
petugas y ang berjaga-jaga agaknya menganggap bahwa orangorang
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
padepokan Bajra Seta itu tidak berbahaya.
Sementara itu orang-orang Bajra Seta memang
memberikan kesan kesiagaan di dalam dinding padepokan.
Orang-orang y ang tersisa di padepokan itu, seakan-akan
merupakan kekuatan yang dikerahkan diatas dinding.
Beberapa orang telah mengangkut tombak dan anak panah ke
panggungan, seakan-akan akan dipergunakan di keesokan
harinya untuk menahan serangan dari luar.
Dengan demikian, maka orang -orang di perkemahan itu
memang menganggap, bahwa padepokan Bajra Seta benarbenar
telah m empersiapkan diri untuk bertempur jika orangorang
y ang mengepung padepokannya itu datang meny erang.
Karena itulah maka orang-orang yang berada di
perkemahan di luar padepokan itu merasa diri m ereka sama
sekali tidak dalam bahaya. Orang-orang di padepokan Bajra
Seta tentu akan menunggu dengan busur dan anak panah.
Mereka akan bertempur mati-matian untuk mempertahankan
padepokannya Namun bagi orang-orang yang mengepung
padepokan itu, kekuatan Bajra Seta tidak akan mampu
menahan sejumlah orang-orang Manik Wungu dan Randu
Pa pak jauh lebih banyak dari orang-orang Bajra Seta
meskipun jumlah itu sudah berkurang di perjalanan.
Beberapa orang Manik Wungu dan Randu Papak masih
sempat tersenyum ketika mereka melihat kesibukan diatas
dinding padepokan sebelum mereka tertidur ny enyak. Seorang
diantara mereka sempat bergumam, Tunggulah sampai
matahari terbit. Kalian tidak akan sempat melihat lagi
matahari itu terbenam. Menj elang tengah malam, maka sebagian besar dari
orang-orang yang berkemah di luar padepokan itu telahteratur.
Beberapa orang memang berjaga-jaga, namun mereka
menganggap bahwa keadaan tidak membahayakan bagi
mereka. Namun dalam pada itu, orang-orang Bajra Setelah y ang
menjadi tegang. Menjelang tengah malam mereka telah
bersiap-siap. Mereka yang berada diluar padepokan, diantara
semak-semak dan hutan perdu telah mempersiapkan diri
sebaik-baiknya m enghadapi tugas y ang akan mereka lakukan.
Mereka akan m eny erang dengan tiba -tiba orang-orang yang
sedang tidur itu. Namun jika m ereka kemudian bersiap dan
mapan untuk melawan, mereka harus ditinggalkan.
Orang-orang yang meny erang lawan dengan diam-diam
itu harus menghilang di tempat-tempat tersembunyi di sekitar
arena. Namun mereka harus berusaha untuk merayap kembali
masuk ke dalam dinding padepokan. Hanya jika hal itu tidak
mungkin dilakukan, maka mereka akan bertempur di
keesokan harinya di luar dinding.
Demikianlah maka malam pun merambat semakin
dalam. Ketika tengah m alam tiba, m aka semua orang telah
bersiap. Petunjuk-petunjuk terakhir telah diberikan. Jika
terdengar isy arat, maka mereka harus segera bertindak.
Ternyata sejenak kemudian telah terdengar suara
kentongan dengan nada dara muluk. Buny i kentongan
sebagaimana biasa terdengar di tengah malam. Beberapa
orang y ang berada di luar padepokan juga mendengar suara
kentongan itu. Tetapi mereka sama sekali tidak menghiraukan.
Mereka bahkan telah menarik kain panjangnya untuk
mengusir dingin, sehingga beberapa saat kemudian mereka
telah tertidur lagi. Pa da saat yang demikianlah orang -orang Bajra Seta
bergerak dari tempat mereka bersembuny i. Mereka tidak
boleh merayap seperti siput. Tetapi mereka harus bergerak
seperti burung sikatan menyambar bilalang.
Demikianlah, maka sejenak kemudian dengan diamdiam
beberapa puluh anak panah telah terlepas dari busurnya.
Langsung dibidikkan kepada orang-orang yang sedang
berjaga-jaga. Beberapa orang sama sekali tidak sempat menyadari apa
yang terjadi. Namun beberapa orang y ang lain memang
sempat mengaduh. Namun suaranya bagaikan hilang di
tenggorokannya. Sekelompok orang-orang terpilih telah berusaha
merayap mendekat. Mereka tidak membunuh para penjaga
dengan anak panah dan busur. Tetapi pada kesempatan yang
menentukan, mereka telah melempar dengan pisau-pisau
belati. Bahkan beberapa orang tidak melemparkan pisaunya,
tetapi sempat meloncat menerkam dan menikam ke arah
jantung. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah
melakukannya. Namun keduanya tertegun ketika melihat
orang-orang y ang masih tidur berserakan. Memang ada
semacam hambatan didalam diri mereka untuk melakukan
pembunuhan terhadap orang-orang y ang sedang tidur
ny enyak itu. Tetapi jika m ereka t idak m elakukannya, m aka
padepokannya besok akan dihancurkan oleh orang -orang itu.
Mereka hanya mempunyai waktu sekejap untuk
menentukan sikap. Namun mereka tidak dapat berbuat lain,
justru karena orang-orang Bajra Seta yang lain telah
melakukannya. Mereka benar-benar bergerak seperti seekor
burung sikatan menyambar bilalang.
Memang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak
mempunyai pilihan lain. Mereka harus melakukannya
betapapun hati mereka bergejolak. Jika mereka terpaksa
melakukannya, maka itu terdor ong oleh tanggung jawab
mereka terhadap hak dan kewajiban mereka sebagai
pemimpin perguruan dan padepokan Bajra Seta.
Dengan demikian, maka kedua anak muda itu telah
melakukan tugas mereka. Sejenak kemudian, maka
perkemahan orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak itu
telah menjadi gempar. Peri stiwa yang pernah terjadi itu telah terulang kembali.
Ju stru di muka hidung padepokan yang akan dihancurkannya.
Bahkan orang-orang yang meny ergap mereka yang lengah itu
menjadi semakin berlipat ganda.
Orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak itu tidak
sempat menghindar ketika anak panah bagaikan hujan
menikam setiap jantung. Mereka y ang terkejut dan bangkit
berdiri, tanpa mengaduh lagi, telah r oboh kembali dengan
anak panah y ang tertancap di dada.
Bahkan di perkemahan itu berloncatan orang-orang
Bajra Seta dengan senjata telanjang di tangan.
Orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak hampir
tidak mempunyai kesempatan sama sekali. Dari ujung sampai
ke ujung perkemahan di sekitar padepokan Bajra Seta
bagaikan telah menjadi merah karena darah yang mengalir
dari tubuh orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak.
Para pemimpin padepokan Manik Wungu dan Randu
Pa pak yang sedang beristirahat pun terkejut mendengar
keributan y ang terjadi. Dengan cepat mereka menyadari,
bahwa mereka telah melakukan kesalahan yang sama
sebagaimana terjadi di Lemah Warah. Orang-orang yang tidak
dikenal telah meny erang mereka justru pada saat mereka
sedang beri stirahat. Dengan tangkas para pemimpin dari kedua padepokan
itu meloncat bangkit. Terdengar mereka meneriakkan aba-aba
sambil mengacukan senjata mereka.
Ketika beberapa anak panah m eluncur dari kegelapan
mengarah kepada para pemimpin itu, maka dengan
tangkasnya m ereka berloncatan sambil menangkis serangan
itu. "Licik kalian," teriak pemimpin tertinggi dari padepokan
Manik Wungu, "marilah, siapakah orang yang memimpin
kalian berbuat curang seperti ini."
Tidak ada jawaban. Tetapi serangan dari kegelapan itu
sama sekali tidak mereda.
Namun dalam pada itu, orang-orang y ang sedang
tertidur ny enyak itu pun telah terbangun seluruhnya. Yang
sempat memperhitungkan keadaan, telah bangkit sambil
memutar pedang mereka untuk melindungi diri dari sergapan
anak panah. Bahkan pisau-pisau belati yang terbang ke arah
dada. Perkemahan itu benar-benar telah diliputi oleh
kegemparan y ang luar biasa. Namun lambat laun, orang-orang
Manik Wungu dan Randu Papak telah menyadari sepenuhnya
apa y ang telah t erjadi. Namun sudah terlambat. Yang terjadi
itu hanya memerlukan waktu yang sangat singkat. Ju stru
ketika orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak itu
bersiap untuk melakukan perlawanan, orang-orang yang
menyergap mereka dari kegelapan itu telah berhamburan
meninggalkan mereka. Memang masih ada anak panah yang
meluncur berurutan dari kegelapan, namun semakin lama
menjadi semakin jarang. Pemimpin padepokan Manik Wungu dan Randu Papak
yang marah tidak meny erah begitu saja. Dengan lantang
pemimpin-pemimpin mereka itu telah m eneriakkan aba-aba,
"Kejar mereka sampai dapat. Jangan ampuni lagi, siapapun
yang kalian ketemukan."
Orang-orang kedua padepokan yang marah itu tidak
menunggu perintah berikutnya. Dengan senjata yang teracu
mereka berlari ke arah anak panah y ang terakhir meluncur
dari kegelapan. Mereka merasa diri mereka mempunyai
pengalaman y ang luas di segala macam medan betapapun
beratnya. Di siang hari maupun di malam hari. Karena itu
maka mereka sama sekali tidak ragu-ragu m emburu orangorang
y ang telah meny ergap mereka dari kegelapan itu.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata telah
memperhitungkannya. Sebagian dari pasukan Bajra Seta,
justru y ang terpilih, tidak m eninggalkan m edan itu. Mereka
justru menunggu di dalam kegelapan dengan busur dan anak
panah. Demikian orang-orang Bajra Seta memburu ke arah
para peny erang mereka lari ke kegelapan, maka tiba-tiba saja
mereka telah disergap pula oleh anak panah y ang bagaikan
ditaburkan ke arah mereka.
Terdengar umpatan-umpatan kasar. Beberapa orang
sempat menangkis serangan itu. Namun ada juga diantara
mereka y ang terguling jatuh tanpa sempat mengaduh.
Yang kemudian meluncur ke arah mereka bukan saja
anak panah y ang jumlahnya tidak terhitung, namun tiba-tiba
sa ja beberapa orang bagaikan meny ergap mereka dengan
melontarkan pisau-pisau kecil dari jarak y ang lebih dekat.
Untuk sesaat orang -orang y ang memburu kegelapan itu
memang menjadi bingung. Namun dalam waktu singkat
mereka telah mampu mengatasi kebingungan mereka. Dengan
sigapnya mereka menghadapi lawan yang bersembunyi dalam
kegelapan. Mereka yang berpengalaman bertempur di gelapnya
malam, seakan-akan mempunyai penglihatan yang mampu
menembus gelap. Dengan tangkas mereka menangkis anakanak
panah y ang meluncur ke arah mereka.
Namun dalam waktu y ang singkat itu, beberapa orang
telah terbanting jatuh. Korban ternyata telah bertambah lagi.
Dengan pasukan pilihan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah menghambat mereka. Ternyata mereka telah
memperhitungkan setiap kemungkinan. Karena itu, maka
sejenak kemudian mereka pun telah menarik diri ke arah yang
berbeda dengan pasukan Bajra Seta y ang lain.
Orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak benarbenar
mengalami kesulitan menghadapi sergapan yang tibatiba
itu. Ternyata korban yang jatuh karena kesalahan mereka
yang telah diulang sampai dua kali itu cukup banyak. Bahkan
terlalu banyak. Beberapa saat kemudian, maka medan pertempuran itu
menjadi sepi. Orang-orang Bajra Seta telah menarik
pasukannya ke dalam gelap, bersembuny i ke balik gerumbulgerumbul
perdu dan pepohonan. Sementara itu orang-orang
Manik Wungu dan Randu Papak pun telah menahan diri
untuk tidak mengejar mereka. Betapapun jantung mereka
bergejolak, apalagi mereka yang disebut siluman-siluman yang
mengerikan, namun mereka tidak dapat m enolak keny ataan,
bahwa mereka justru berhadapan dengan iblis-iblis y ang lebih
nggegirisi. Pemimpin kedua padepokan itu dengan segera telah
memanggil beberapa orang pemimpin kelompok y ang m asih
tersisa. Namun ternyata laporan mereka benar-benar
membuat jantung kedua pemimpin itu hampir meledak.
Korban yang jatuh ternyata melampaui dugaan mereka.
Hampir separuh dari orang -orang Manik Wungu dan Randu
Pa pak telah terbunuh atau luka-luka berat sehingga mereka
tidak lagi mampu membantu apa pun lagi.
"Kita adalah siluman-siluman dungu. Padepokan kita
disebut sebagai sarang siluman karena kita ditakuti oleh
siapapun. Namun disini, dihadapan padepokan yang baru saja
dibentuk serta perguruan y ang baru saja lahir, kita telah
dibantai tanpa dapat berbuat apa pun juga. Jumlah kita
sekarang kurang dari separuh dari saat kita berangkat. Dua
kali kita mengalami perlakuan yang sangat licik. Semula kita
mengira, bahwa yang melagukannya adalah petugas-petugas
sandi dari Lemah Warah yang tidak mau meny erang dengan
terang-terangan. Namun ternyata dugaan itu keliru. Yang
melakukan tentu orang-orang padepokan Bajra Seta menilik
cara dan kesempatan yang mereka pergunakan.
"Ternyata mereka lebih liar dari kita. Mereka sanggup
menyergap kita pada jangkauan y ang sangat jauh. Mereka
telah m eny ongsong kita masuk jauh ke dalam wilayah Lemah
Warah," berkata pemimpin padepokan Randu Papak.
"Tetapi bagaimana mungkin mereka dapat menghitung
waktu y ang tepat"," bertanya pemimpin padepokan Manik
Wungu. Ternyata orang bertongkat y ang mengaku dari
perguruan Suriantal itulah y ang menjawab, "Bukankah kita
dengan sombong m engatakan, bahwa kita akan datang pada
saat bulan purnama di bulan berikutnya. Dan itulah yang
benar-benar kita lakukan. Kita terlalu menganggap ringan
padepokan Bajra Seta y ang baru saja lahir itu. Namun yang
lahir itu benar-benar anak iblis y ang licik."
"Sekarang, apa y ang dapat kita lakukan?" bertanya
seorang pemimpin kelompok.
Di luar kehendak mereka, maka mereka telah
memandangi dinding padepokan. Bahkan seorang diantara
mereka bergumam hampir di luar sadarnya, "Kita memasuki
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
padepokan itu sekarang?"
Sejenak orang-orang yang mendengarnya telah terpukau
oleh gumam itu. Tetapi akhirnya pemimpin padepokan Manik
Wungu itu pun berkata, "Kita tidak mempunyai kekuatan
cukup." "Tetapi mereka masih tersebar," jawab pemimpin
kelompok y ang kehilangan lebih dari separuh orang-orangnya.
"Justru karena itu. Mereka akan dengan cepat
menyergap kita yang sedang sibuk menghindari serangan anak
panah dari atas dinding. Jangan kau kira bahwa padepokan itu
benar-benar kosong. Kau lihat, beberapa orang yang diatas
dinding itu telah meny iapkan busur dan anak panah. Bahkan
lembing-lembing yang besar dan panjang. Sementara itu kita
baru saja dicengkam oleh kebingungan yang sangat, serta
kehilangan separuh dari kekuatan kita," berkata pemimpin
perguruan Manik Wungu. Pemimpin padepokan Randu Papak pun menganggukangguk.
Katanya, "Kita akan melihat esok pagi. Apakah kita
masih memiliki kemampuan untuk melawan mereka. Apalagi
memasuki padepokan Bajra Seta itu."
Memang tidak ada y ang dapat mereka lakukan. Namun
dalam pada itu pemimpin padepokan Manik Wungu pun
berkata dengan suara lantang y ang dibebani oleh perasaannya
yang sakit, "Tidak seorang pun diantara kita yang boleh tidur
malam ini. Kita semua akan berjaga-jaga dengan penuh
kewaspadaan. Iblis itu akan dapat merayap lagi mendekati
perkemahan kita ini. Jika kita mendapatkan seorang diantara
kita yang tertidur apa pun alasannya, maka orang itu akan kita
bunuh tanpa ampun." "Aku sependapat," sahut pemimpin padepokan Randu
Pa pak, "kita harus belajar dari pengalaman."
Demikianlah, maka orang -orang Manik Wungu dan
Randu Papak y ang tersisa itu pun seluruhnya telah berjagajaga.
Mereka berada di tempat-tempat y ang agak terlindung
dalam kegelapan. Mereka m engamati semua penjuru dengan
ketajaman penglihatan mereka.
Namun orang-orang Bajra Seta tidak berlaku bodoh.
Mereka tidak lagi mendekati perkemahan itu, apalagi
menyerang. Mereka mengerti bahwa orang-orang yang marah itu
tentu akan bersiaga sepenuhnya. Namun yang mereka lakukan
itu telah terlambat. Tidak ada cara untuk m enolong mereka
yang sudah terlanjur luka parah apalagi y ang sudah terbunuh.
Kematian-kematian y ang m endebarkan sehingga goncangangoncangan
perasaan itu membekas sangat dalam di hati
mereka. Tetapi di samping perasaan itu, dendam pun bagaikan
menyala sampai ke ubun-ubun.
Orang-orang Bajra Seta, sebagaimana direncanakan
telah menyusup kembali mendekati dinding padepokan.
Mereka harus menghindari penglihatan orang-orang di
perkemahan. Satu-satu mereka telah meloncat dinding masuk
ke dalam padepokan Bajra Seta.
Demikian mereka berkumpul, maka m ereka tidak dapat
menahan kegembiraan yang bergejolak di dalam hati m ereka,
karena keberhasilan mereka itu.
Namun dalam pada itu, Mahendra y ang melihat
kegembiraan yang hampir tidak terkendalikan itu sempat
memberi peringatan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Katanya, "Kita telah berhasil mengurangi kekuatan mereka
dalam saat-saat mereka lengah. Jika kalian sekarang karena
kegembiraan ini juga menjadi lengah, maka yang akan terjadi
adalah sebaliknya." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menganggukangguk.
Mereka dapat mengerti peringatan ay ahnya itu,
sehingga karena itu, maka mereka pun telah m emerintahkan
kepada orang-orangnya untuk mempergunakan kesempatan
sebaik-baiknya. Mereka memerlukan istirahat meskipun
hanya beberapa saat. Mungkin di pagi harinya m ereka harus bertempur lagi
melawan sisa orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak.
Dengan demikian maka orang-orang Bajra Seta itu pun
telah mempergunakan waktu y ang tersisa untuk beristirahat.
Setelah mencuci diri, maka mereka pun telah berbaring di
barak-barak mereka m asing-masing, sementara m ereka yang
bertugas pun telah mendapat pesan, agar mereka tidak
menjadi lengah. Dalam k elengahan itu, akibatnya akan dapat
menjadi buruk sekali. Mereka telah dihadapkan pada satu
contoh yang baru mereka saksikan dihadapan hidung mereka.
Di sisa malam itu sama sekali tidak ada gerakan k edua
belah pihak. Masing-masing berada di tempatnya. Sementara
itu, orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak tidak banyak
menghiraukan kawan-kawan mereka yang sudah terlanjur
mati. Yang t erluka tetapi sudah tidak ada lagi kemungkinan
untuk ikut berbuat sesuatu dalam gerakan apa pun yang akan
mereka lakukan, tidak pula mendapat perhatian.
"Yang mati biarlah mati," berkata pemimpin padepokan
Manik Wungu dan Randu Papak itu.
Hanya ada diantara mereka y ang mendapat pert olongan
dari kawan-kawan dekat mereka. Tetapi sudah barang tentu
hanya sekedarnya dan tidak banyak membantu dalam
peny embuhan. Namun bagi mereka y ang m asih mempunyai
harapan untuk bertahan, pertolongan y ang sederhana sekali
pun akan dapat membantu meringankan penderitaan mereka.
Tetapi orang-orang Bajra Seta memang tidak dapat
beristirahat sepuas-puasnya. Namun yang sedikit itu telah
membuat mereka menjadi segar kembali.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
masih memikirkan, bagaimana mereka dapat meny elamatkan
orang-orangnya yang tertinggal di luar padepokan. Mungkin
terbunuh, mungkin terluka. Agaknya dalam sergapan yang
kedua ini, orang-orang Bajra Seta tidak dapat menghindarkan
korban sama sekali sebagaimana mereka meny ergap di Lemah
Warah. Orang-orang yang kurang terlatih, serta mereka yang
tidak dapat lagi mengendalikan perasaan y ang bergejolak,
agaknya telah terjebak ke dalam k esulitan di saat-saat orang
Manik Wungu dan Randu Papak m enemukan keseimbangan
diri setelah kebingungan beberapa saat.
Tetapi untunglah bahwa orang-orang Manik Wungu dan
Randu Papak tidak menghiraukan orang-orang terbunuh dan
terluka, sehingga mereka tidak menemukan orang-orang Bajra
Seta yang sedang berjuang untuk mengatasi rasa sakit.
Namun m enurut perhitungan setelah orang-orang Bajra
Seta itu kembali, korban diantara mereka terhitung kecil
sekali. Meskipun demikian yang kecil itu tidak boleh diabaikan
begitu saja. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terpaksa
menunggu kesempatan. Mereka tidak mau justru m enambah
korban lebih banyak lagi. Jumlah mereka tidak banyak,
sehingga karena itu maka mereka harus sangat berhati-hati.
Tetapi dengan keberhasilan mereka m eny ergap lawan,
maka jumlah mereka pun telah menjadi seimbang. Bahkan
mungkin orang-orang Bajra Setelah yang menjadi lebih
banyak dari lawan mereka.
Menj elang matahari terbit, maka orang-orang Bajra Seta
telah bersiap menunggu kemungkinan y ang bakal terjadi.
Namun mereka telah lebih dahulu makan dan minumsecukupnya.
Jika mereka harus bertempur sehari penuh, maka
mereka tidak akan kehabisan tenaga karena kelaparan.
Dalam pada itu, dendam dan kemarahan di jantung
orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak benar-benar
telah mengaburkan perhitungan mereka. Meskipun sebagian
diantara m ereka telah terbunuh dan terluka, namun mereka
tidak berniat mengurungkan serangan mereka.
"Kita y akin akan menang," berkata pemimpin-pemimpin
padepokan itu, "jumlah orang-orang Bajra Seta tidak t erlalu
banyak." Karena itu, dengan persiapan y ang kurang baik, maka
orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak itu telah
bertekad untuk menghancurkan padepokan Bajra Seta.
Mereka makan seadanya dan minum asal saja membasahi
tenggorokan. Namun beberapa orang diantara mereka yang
bertugas m eny iapkan makan dan m inum telah bekerja keras
sejauh dapat mereka lakukan.
Sebelum matahari melontarkan sinarnya y ang pertama,
maka orang-orang y ang berkemah diluar padepokan itu telah
mengatur diri. Mereka tidak ingin mengepung padepokan itu
selingkaran penuh. Mereka berniat untuk menghancurkan
padepokan itu dari depan.
"Kita tidak akan membagi kekuatan. Kita bentur
kekuatan Bajra Seta di bagian depan padepokan mereka. Jika
mereka menebarkan orang-orangnya di sepanjang dinding
padepokannya, maka yang berada di bagian depan tentu hanya
sebagian saja dari seluruh kekuatan y ang ada. Namun kita
memang harus memberikan kesan seakan-akan kita
menyerang dari segala penjuru," berkata pemimpin
padepokan Manik Wungu. Orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak y ang
dibakar oleh dendam y ang menyala itu tidak sempat berpikir
panjang. Mereka pun dengan serta m erta telah menganggap
rencana itu sebagai satu rencana y ang matang.
Beberapa orang diantara mereka memang telah
berusaha untuk berada di segala sisi dari padepokan itu.
Sebelum matahari terbit, maka mereka telah benar-benar
merayap mendekati padepokan itu.
Namun ketika cahaya fajar menerangi embun di tanahtanah
yang lembab, maka orang-orang diatas panggungan di
dinding padepokan itu melihat apa y ang mereka hadapi. Mulamula
mereka m emang m enyangka bahwa padepokan mereka
telah terkepung. Namun akhirnya mereka pun mengetahui,
bahwa sebagian terbesar dari kekuatan lawan berada di depan.
Beberapa penghubung telah datang kepada para
pemimpin kelompok untuk memberitahukan keadaan yang
sebenarnya di seluruh medan.
Dengan diam-diam, m aka orang -orang Bajra Seta pun
telah menyusun kekuatan mereka pula. Sebagian terbesar dari
seluruh kekuatan Bajra Seta juga diletakkan di bagian depan
dari padepokan mereka. Ketika matahari kemudian mulai menjenguk di
cakrawala, maka orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak
itu mulai meny erang. Mereka memang berusaha untuk
memecahkan pintu gerbang.
Dua orang pemimpin tertinggi dari kedua padepokan itu
telah menggabungkan kekuatan ilmu mereka. Keduanya y akin
bahwa keduanya akan dapat memecahkan pintu gerbang
padepokan itu. Dengan segenap kekuatan ilmu y ang ada, maka
keduanya telah meloncat dan m enghantam pintu gerbang itu.
Keduanya sama sekali tidak m enghiraukan orang-orang yang
berada di atas pintu gerbang. Namun para pengikut merekalah
yang dengan sendirinya telah berusaha m elindungi mereka.
Para pengikutnya pun telah meny erang orang-orang yang
berada diatas pintu gerbang itu dengan lontaran anak panah
yang tidak terhitung jumlahnya.
Ternyata bahwa kedua orang itu telah luput dari tikaman
anak panah orang-orang Bajra Seta. Keduanya berlari dengan
kecepatan yang sulit diikuti. Kemudian hampir bersamaan
keduanya meloncat dan menghantam pintu gerbang itu
dengan kaki mereka. Kekuatan ilmu y ang besar telah mengguncang pintu
gerbang itu. Namun pintu gerbang itu tidak pecah karenanya.
Namun demikian, beberapa ikatannya telah menjadi retak.
Karena itu, maka kedua orang itu telah m engulanginya.
Mereka sekali lagi mengambil ancang-ancang. Kemudian
dibawah lindungan orang-orangnya keduanya telah menyusup
diantara serangan orang -orang Bajra Seta y ang harus
memperhitungkan pula serangan lawan-lawan mereka yang
ada di bawah. Ternyata pada serangan yang kedua, pintu gerbang itu
bukan saja telah terguncang. Tali-taliny a tidak lagi sekedar
retak. Tetapi beberapa diantaranya telah terputus, sehingga
pintu itu-pun telah pecah berserakan.
Dengan demikian maka orang-orang Manik Wungu dan
Randu Papak y ang tersisa telah m enghambur berlari m enuju
ke pintu gerbang. Namun betapapun liarnya mereka, namun
mereka masih juga sempat memperhitungkan anak panah
yang m enghambur dari atas pintu gerbang itu. Mereka telah
menangkis serangan-serangan itu dengan senjata mereka,
sementara y ang lain m asih juga melepaskan anak panah ke
arah mereka y ang berada diatas pintu gerbang.
Namun hal itu sudah diperhitungkan oleh orang-orang
Bajra Seta. Karena itu demikian pintu gerbang terbuka dan
orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak y ang liar itu
berlari-larian masuk, maka didalam pintu gerbang yang pecah
itu telah menunggu orang-orang Bajra Seta. Bahkan ketika
mereka menyusup pintu gerbang, betapapun mereka berusaha
melindungi diri , namun ada juga satu dua diantara mereka
yang tertusuk anak panah.
Tetapi orang-orang Bajra Seta pun ada juga y ang
ternyata telah tertikam anak panah orang-orang Manik Wungu
dan Randu Papak. Sejenak kemudian, maka pertempuran pun telah terjadi
antara orang-orang Bajra Seta melawan orang-orang Manik
Wungu dan Randu Papak. Namun jumlah kedua belah pihak
tidak lagi berselisih terlalu banyak. Bahkan orang-orang Bajra
Seta agaknya yang lebih banyak dari lawan-lawannya.
Namun dalam pertempuran terbuka seperti itu, barulah
orang-orang Bajra Seta mengetahui dengan jela s, kenapa
lawan-lawan mereka disegani oleh banyak perguruan.
Perguruan dan padepokan mereka dikenal sebagai sarang
siluman. Dalam pertempuran terbuka itu ternyata betapa kasar
dan liarnya orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak.
Mereka sama sekali tidak menganggap ketentuan apa pun
yang dapat mengikat mereka. Mereka bertempur sesuai
dengan kemauan mereka sendiri. Mereka sama sekali tidak
menghargai kebia saan dan paugeran yang berlaku di medan
perang. Yang mereka lakukan adalah membunuh dan
membunuh. Selain mereka benar-benar buas dan liar, m aka
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dendam di hati mereka membuat mereka semakin tidak
terkendali. Namun orang-orang Bajra Seta adalah orang-orang y ang
terlatih baik. Sebagian dari mereka pernah juga mengalami
hidup tanpa paugeran. Mereka pernah juga menjadi orangorang
liar seperti lawan-lawan mereka itu.
Karena itu, maka mereka mampu memperhitungkan
beberapa langkah y ang akan diambil oleh orang-orang liar itu.
Namun ketika orang-orang Manik Wungu dan Randu
Pa pak itu bertempur dengan kasar dan liar, maka orang-orang
Bajra Seta pun telah menjadi semakin keras pula. Mereka
memang harus melawan sikap y ang keras dengan cara yang
keras pula. Dengan demikian maka pertempuran itu semakin lama
menjadi semakin seru. Semakin cepat dan semakin keras.
Kedua belah pihak telah mengerahkan segenap kemampuan
mereka. Mereka memang tidak mempunyai pilihan lain dalam
pertempuran y ang demikian.
Namun ternyata bahwa orang-orang Bajra Seta y ang
telah m endapat latihan-latihan yang teratur, agaknya mampu
berbuat lebih baik. Dalam sikap y ang kasar, bekal yang
dimiliki oleh orang -orang Bajra Seta ternyata lebih banyak
dari lawan-lawan mereka. Dengan demikian maka beberapa saat kemudian,
keseimbangan pertempuran itu menjadi semakin jelas. Orangorang
Manik Wungu dan Randu Papak y ang sudah kehilangan
banyak pengikutnya, sulit untuk mengimbangi orang-orang
Bajra Seta yang mampu juga bertempur lebih keras, namun
lebih mapan. Hanya beberapa orang yang ternyata tidak tahan melihat
sikap lawan-lawan mereka yang buas dan liar. Yang bertempur
sambil mengumpat-umpat dengan kata-kata kotor dan kasar.
Sehingga mereka berusaha untuk menemukan lawan yang
lain. Dalam pada itu, para pemimpin kedua padepokan y ang
telah menyerang Bajra Seta itu pun telah melihat bahwa
orang-orangnya telah terdesak.
Karena itu, maka mereka telah berusaha untuk
membunuh lawan sebanyak-banyaknya. Keduanya ingin
menuntut balas kematian orang-orang mereka y ang telah
disergap selagi mereka lengah.
Dengan garang keduanya berloncatan ke sana kemari.
Setiap sentuhan tangan mereka akan berarti maut. Kemarahan
yang m eny esak didalam dada mereka telah tertumpah lewat
kemampuan ilmunya. Ternyata mereka sama sekali tidak
memilih korban. Siapa pun juga y ang ditemuinya di medan
telah dihancurkannya. Namun tiba-tiba mereka tertegun. Dua orang anak muda
telah dengan tergesa -gesa turun pula diantara m ereka yang
sedang bertempur dengan keras dan kasar itu.
Mahisa Murti ternyata telah berhadapan dengan
pemimpin padepokan Manik Wungu, sementara Mahisa Pukat
telah berhadapan dengan pemimpin padepokan Randu Papak.
Dalam pada itu Mahendra pun telah berada di medan pula
untuk mengamati kedua anaknya y ang bertempur dengan
iblis-iblis dari padepokan yang disebut sarang siluman.
Namun mau tidak mau, maka ia pun harus pula ikut
bertempur. Ia harus melindungi dirinya jika siluman-siluman
yang ka sar itu telah m enyerangnya. Bukan sekedar bermainmain.
Tetapi mereka benar-benar ingin membunuh. Tetapi
Mahendra sendiri bukan seorang pembunuh y ang garang.
Karena itu, maka ia berada di medan sebagaimana orangorang
lain berada di medan itu pula.
Dalam pada itu, pemimpin padepokan Manik Wungu
yang bertemu dengan Mahisa Murti telah bertanya, "Kaukah
salah seorang dari kedua orang yang mengaku Putut dan
memimpin perguruan ini?"
Mahisa Murti mengangguk sambil menjawab, "Ya. Aku
adalah Putut Mahisa Murti. Aku adalah satu dari dua orang
Putut y ang m emimpin padepokan ini. Karena itu, maka aku
peringatkan agar kau menarik diri dari padepokan ini."
"Kau jangan mengigau," geram pemimpin dari
padepokan Manik Wungu itu, "aku datang untuk
menghancurkan padepokanmu. Kau telah dengan licik
membunuh kawan-kawanku. Satu cara y ang tidak akan
dilakukan oleh seorang laki-laki."
"Omong kosong," sahut Mahisa Murti, "apakah y ang kau
lakukan juga pantas dilakukan oleh laki -laki" Kau datang ke
padepokanku dengan jumlah orang y ang jauh lebih banyak
dari orang-orangku. Yang aku lakukan adalah sekedar
mengurangi jumlah orang-orangmu sehingga jumlah kita
seimbang. Nah, jika jumlah kita sudah seimbang, barulah kita
bertempur sebagaimana terjadi sekarang ini. Siapakah yang
menang, ia benar-benar m enang. Bukan karena jumlah yang
banyak." "Persetan," geram pemimpin padepokan Manik Wungu
itu, "kau harus menghargai kebesaran padepokanku."
"Jika demikian maka kau juga harus menghargai
kecerdikan kami menghadapi kalian," berkata Mahisa Murti.
"Anak setan," geram orang itu.
"Bukankah padepokanmu yang dikenal dengan sarang
Siluman " Agaknya kaulah iblis itu. Bahkan pemimpin dari
segala macam iblis," berkata Mahisa Murti.
"Aku tidak peduli," sahut orang y ang selama ini
berbangga bahwa padepokannya disebut sarang siluman,
"sekarang kau harus mati. Kemudian orang-orangmu pun
akan mati. Aku akan membunuh mereka seperti menebas
batang ilalang." Mahisa Murti justru tertawa. Katanya, "Kita telah
berhadapan. Marilah. Kita akan melihat apa yang akan
terjadi." Pemimpin padepokan Manik Wungu itu tidak
menjawab. Tetapi ia pun telah m eloncat m enerkam Mahisa
Murti. Tetapi Mahisa Murti telah bersiap. Karena itu, maka
dengan sigapnya ia telah m engelak. Namun dengan demikian
maka Mahisa Murti menyadari bahwa lawannya selama
pertempuran itu berlangsung sama sekali tidak
mempergunakan senjata. Ia m enyusup diantara senjata yang
silang meny ilang. Ia membunuh orang -orang Bajra Seta yang
mengacu-acukan pedangnya. Namun ia hanya dengan
tangannya. Dengan demikian maka Mahisa Murti dapat m enduga,
bahwa orang itu memang berilmu tinggi. Ternyata pula bahwa
dengan kakinya orang itu bersama seorang kawannya telah
memecahkan pintu gerbang padepokannya itu.
Demikianlah maka sejenak kemudian pertempuran
antara kedua orang itu pun m enjadi semakin sengit. Mahisa
Murti pun telah m enghadapi lawannya yang tidak bersenjata
itu juga tidak dengan senjata. Pertempuran antara kedua
orang pemimpin padepokan itu ternyata merupakan
pertempuran y ang sangat dahsy at.
Di bagian lain Mahisa Pukat telah berhadapan pula
dengan pemimpin padepokan Randu Papak. Seperti pemimpin
padepokan Manik Wungu m aka pemimpin Randu Papak itu
pun belum mempergunakan senjatanya pula untuk
membunuh lawan-lawannya. Namun akhirnya ia telah membentur kekuatan Mahisa
Pukat. Kekuatan seorang anak muda yang perkasa. Sehingga
dengan demikian maka ia pun harus menjadi sangat b erhatihati.
Namun pemimpin padepokan Randu Papak itu memang
memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Dengan ilmunya,
maka ia berusaha untuk dengan cepat mengakhiri perlawanan
Mahisa Pukat, agar dengan demikian ia mendapat banyak
kesempatan untuk menghancurkan para pengikut dari
perguruan Bajra Seta. Tetapi ternyata bahwa tidak mudah bagi pemimpin
padepokan Randu Papak itu untuk mengalahkan Mahisa
Pukat. Setiap ia m eningkatkan selapis kemampuannya, maka
anak muda itu masih juga mampu mengimbanginya.
Bahkan t ernyata bahwa di saat-saat yang paling gawat,
anak muda itulah yang lebih banyak menentukan
keseimbangan. "Benar-benar anak iblis," geram pemimpin padepokan
Randu Papak. Mahisa Pukat sama sekali tidak menghiraukannya. Ia
bahkan telah mempercepat serangannya sehingga lawannya
justru semakin terdesak. Tangannya yang berputaran telah
membingungkan lawannya. Serangannya seolah-olah datang
dari beberapa arah mematuk dengan garang.
Dengan demikian maka tidak ada pilihan lain dari
pemimpin padepokan Randu Papak itu daripada
mempergunakan puncak dari ilmunya. Ilmu y ang jarang sekali
dipergunakannya jika ia tidak merasa memerlukan sekali
karena ia telah terlibat kedalam kesulitan. Ilmu y ang sangat
nggegirisi itu memang tidak dapat dipergunakan sekehendak
hati. Pemimpin padepokan Randu Papak itu harus
memperhitungkan setiap kemungkinan didalam dirinya. Jika
ia terlalu sering melepaskan ilmu puncaknya, maka
wadagnyalah y ang akan cepat menjadi aus, sehingga pada
suatu saat, wadagnyalah y ang tidak akan mampu lagi
mendukung kemampuan ilmunya itu.
Ketika ia merasa bahwa ia tidak akan dapat
mengalahkan lawannya y ang masih muda itu dengan ilmuilmunya
yang lain, maka ia pun telah merambah ke ilmu
puncaknya itu. Mahisa Pukat yang sedang bertempur itu tidak segera
menyadari niat lawannya. Namun ketika dalam saat-saat yang
mendesak, lawannya itu meloncat mengambil jarak, maka
Mahisa Pukat pun seakan-akan mendapat isy arat bahwa
lawannya akan melepaskan ilmunya yang paling tinggi.
Itulah sebabnya, maka Mahisa Pukat tidak tergesa -gesa
menyerangnya. Ia pun telah mempersiapkan dirinya pula dan
mulai merambah kedalam lindungan kemampuan ilmuilmunya.
Namun Mahisa Pukat tetap berhati-hati. Meskipun ia
telah bersiap dengan segenap kemampuan puncaknya, tetapi
ia tidak m au m enjadi lengah karenanya. Menurut petunjuk
ay ahnya dan orang-orang tua y ang pernah berhubungan
dengan dirinya, maka seseorang tidak boleh merendahkan
orang lain dan terlalu yakin akan kebesaran diriny a, sehingga
menjadi sombong karenanya.
Sejenak kemudian, orang-orang yang telah berada
didalam puncak ilmu masing-masing itu, telah bersiap
kembali untuk bertempur antara hidup dan mati.
Mahisa Pukat y ang masih muda itu telah bergerak
mendekati lawannya y ang memandanginya dengan tajam.
Namun lawannya itu pun menyadari, bahwa anak muda yang
mengaku sebagai pemimpin perguruan Bajra Seta itu telah
pula mempersiapkan ilmu puncaknya.
Masing-masing y ang telah sampai ke ilmu puncak itu
masih t etap berhati-hati. Namun pertempuran yang terjadi
kemudian terasa menjadi lebih berat.
Pemimpin perguruan Randu Papak itu seakan-akan
tidak lagi bergerak diatas tanah. Kakinya seolah-olah tidak
menginjak tanah ketika ia berloncatan mengelilingi Mahisa
Pukat. Namun Mahisa Pukat sama sekali tidak terpancing
dengan gerak y ang terlampau cepat itu. Ia justru berusaha
untuk tetap berada di tempatnya. Sekali-kali saja ia berputar
ke arah lawannya bergerak. Sehingga setiap saat Mahisa Pukat
itu tetap menghadap ke arah pemimpin padepokan Randu
Pa pak. Betapapun cepatnya lawannya bergerak, namun Mahisa
Pukat tetap menghadap kemarahnya.
Namun kekuatan ilmu puncak lawannya itu pun mulai
terasa oleh Mahisa Pukat. Ternyata tangan lawannya itu
seakan-akan mampu memuntahkan dorongan angin y ang kuat
sekali. Dalam pukulan dengan telapak tangan menghadap ke
arah lawannya, maka kekuatan y ang sangat besar telah
melanda tubuh anak muda itu. Mahisa Pukat seakan-akan
telah diguncang oleh kekuatan angin y ang sangat besar
sebagaimana prahara mengguncang pepohonan raksasa di
hutan-hutan y ang pepat. Dengan demikian, maka Mahisa Pukat pun harus
mengerahkan kekuatannya untuk bertahan, agar ia tidak
terlempar dari tempatnya berdiri.
Namun setiap kali lawannya meloncat maju, m erendah
sambil menjulurkan kedua tangannya dengan telapak tangan
menghadapnya, maka Mahisa Pukat telah tergeser. Kekuatan
angin y ang sangat besar terasa sulit ditahannya. Namun
sebagai seorang y ang memiliki ilmu y ang tinggi, Mahisa Pukat
tidak terangkat dan terlempar jatuh terlentang diatas tanah.
Lawannya yang memiliki pengalaman yang luas itu
menjadi heran, bahwa anak muda itu mampu bertahan.
Namun ia tidak menyangka bahwa Mahisa Pukat memiliki
kekuatan yang sangat besar, sehingga ia dapat tetap berdiri di
tempatnya ketika kekuatan prahara itu mendor ongnya.
Kakiny a y ang mampu tetap tegak diatas tanah itu bagaikan
telah menghisap kekuatan bumi yang dilekatinya, sehingga
kaki Mahisa Pukat seakan-akan memang m elekat pada tanah
tempat ia berpijak. Tetapi jika serangan itu datang beruntun, maka Mahisa
Pukat memang telah tergetar dan bergeser dari tempatnya.
Betapapun kuat kakinya, namun kekuatan ilmu prahara itu
benar-benar mendebarkan. Namun lawannya justru menjadi gelisah. Jika ia tidak
mampu melemparkan dan membanting lawannya, maka ilmu
itu tidak akan banyak berarti. Menurut pengalamannya, tidak
ada orang y ang mampu bertahan sebagaimana anak muda itu.
Tetapi ketika sekali Mahisa Pukat tergeser oleh desakan
angin prahara y ang terlontar dari kekuatan ilmunya, maka ia
telah berpengharapan bahwa ia akan dapat melemparkannya
lebih jauh lagi. Sebenarnyalah bahwa dengan mengerahkan kekuatan
ilmunya, maka pemimpin padepokan Randu Papak itu benarbenar
mampu mengguncang pertahanan Mahisa Pukat.
Dengan hembusan badai yang keras, Mahisa Pukat yang
tergetar itu telah berusaha untuk tidak terlempar. Namun
dengan tiba -tiba saja badai itu lenyap. Tetapi sebelum Mahisa
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pukat mampu berbuat sesuatu, maka serangan y ang dahsyat
telah melanda Mahisa Pukat. Bukan sekedar serangan badai
yang terlontar dari ilmu pemimpin padepokan Randu Papak.
Tetapi dengan telapak tangannya, orang itu telah menghantam
tubuh Mahisa Pukat. Mahisa Pukat yang masih saja berusaha untuk bertahan
dari dor ongan angin y ang keras, terkejut mengalami serangan
yang lain, sehingga ia telah terlambat menghindar. Bahkan
usaha untuk menangkis serangan itu pun telah gagal.
Dengan memutar tangannya, lawannya berhasil
menyusup di sela-sela pertahanan Mahisa Pukat. Telapak
tangan orang itu benar-benar telah mengenai dada anak muda
itu. Terasa dada Mahisa Pukat bagaikan terhimpit batu
padas y ang runtuh dari tebing pegunungan. Nafa snya terasa
sesak. Sementara itu ia telah terdorong beberapa langkah
surut. Bahkan untuk menghindari serangan berikutnya y ang
menerkamnya, maka Mahisa Pukat justru telah m enjatuhkan
dirinya, berguling dan berusaha untuk berdiri tegak.
Namun demikian ia tegak, maka serangan badai itu pun
telah datang lagi menghembusnya dengan kekuatan raksasa.
Ju stru pada saat Mahisa Pukat belum tegak benar, maka ia
pun telah terdor ong dan terlempar jatuh.
Terdengar orang itu tertawa. Sekali ia berhasil
menjatuhkannya, maka ia yakin, bahwa ia akan memenangkan
pertempuran itu. Mahisa Pukat memang berguling beberapa kali. Ia sadar,
bahwa jika ia meloncat berdiri, maka orang itu tentu akan
Darah Para Tumbal 1 Pendekar Naga Putih 50 Sang Penghancur Ilusi Scorpio 10
"Masih ada waktu," berkata Mahendra.
"Aku sependapat dengan ayah. Mungkin pikiran kita
sekarang masih dipengaruhi oleh suasana perjalanan yang
panjang itu," berkata Mahisa Murti pula.
Mahisa Pukat tidak dapat memaksa ay ah dan
saudaranya untuk membicarakannya lebih jauh. Betapapun
mendesaknya per soalan itu di dalam dadanya, namun ia harus
menahan diri sampai hari berikutnya.
Sebenarnyalah, mereka sempat mengendapkan
persoalan yang mereka hadapi. Mereka sempat melihat dari
berbagai sisi untuk mendapatkan keseimbangan sikap yang
sebaik-baiknya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat
mengingat kembali pesan Akuwu Lemah Warah serta sikap
para petugas sandi. Demikianlah maka ketika mereka di hari berikutnya
berhadapan dengan seisi padepokan itu, maka m ereka tidak
dengan serta merta menyatakan sikap dan pendapat mereka
masing-masing. "Kita memang menghadapi kekuatan yang besar,"
berkata Mahisa Murti kepada orang-orang dari perguruan
Bajra Seta, "tetapi kita tidak perlu berkecil hati. Kita akan
menemukan satu cara yang paling baik untuk m engalahkan
mereka. Kita yakin bahwa kita berdiri diatas hak kita sendiri,
sehingga dengan demikian maka Yang Maha Agung tentu akan
melindungi kita semuanya."
"Apakah yang dikatakan oleh orang yang mengaku orang
perguruan Suriantal itu benar?" bertanya seorang diantara
mereka. Mahisa Murti menggeleng. Katanya, "Tidak seluruhnya
benar. Tetapi bahwa akan ada tamu di padepokan ini agaknya
memang benar. Karena itu, kita harus bersiaga."
"Mereka akan meny erang k ita?" b ertanya seorang y ang
lain. Lalu, "dengan kekuatan dari tujuh padepokan?"
" Itulah yang tidak benar," jawab Mahisa Murti, "y ang
sudah kami ketahui, mereka akan datang bersama dari dua
padepokan." "Lalu, apa yang harus kami lakukan?" b ertanya seorang
pemimpin kelompok. "Kami baru membicarakannya. Yang penting adalah
bahwa kita harus menempa diri," jawab Mahisa Murti.
Nampaknya orang-orang padepokan Bajra Seta masih
belum pas dengan jawaban-jawaban itu. Namun kemudian
Mahisa Murti telah berkata, "Tunggulah barang satu dua hari.
Semuanya akan menjadi jela s."
Orang-orang itu tidak dapat m emaksa untuk m endapat
keterangan lebih banyak. Tetapi mereka percaya bahwa
pimpinan mereka akan berbuat sebaik-baiknya.
Namun dalam pada itu Mahisa Murti pun berpesan,
"Tetapi ingat. Apa yang kita ketahui ini adalah rahasia. Jika
pihak lain mendengar, bahwa kita telah m engetahui sebagian
dari rencana mereka, maka rencana itu akan dirubah sehingga
mungkin justru akan menyulitkan kita sendiri. Mungkin
mereka akan melakukan langkah-langkah di luar dugaan tanpa
dapat kita atasi lagi."
Orang-orang padepokan Bajra Seta itu menganggukangguk.
Mereka menyadari kebenaran pesan pemimpin
mereka, sehingga karena itu mereka pun telah bertekad untuk
merahasiakannya, terutama kepada orang-orang di luar
padepokan mereka. Seperti yang diperintahkan oleh Mahisa Murti dari
Mahisa Pukat, maka sebelum mereka tahu pa sti apa y ang akan
mereka lakukan, maka yang segera dapat mereka kerjakan
adalah menempa diri. Latihan-latihan menjadi lebih sering
dan lebih berat, karena menurut keterangan yang mereka
dengar, yang akan datang adalah lawan y ang kuat dan besar.
Dalam pada itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan
Mahendra telah m encoba untuk memecahkan persoalan yang
akan mereka hadapi itu. Apa yang sebaiknya mereka lakukan
menghadapi kekuatan yang menurut gambaran dari para
petugas sandi sebagaimana mereka lihat pada padepokan
Manik Wungu dan kemungkinan pada padepokan Randu
Pa pak, lebih besar dari kekuatan yang ada pada padepokan
Bajra Seta. Namun sebagaimana pendapat Mahisa Pukat,
sebaiknya m ereka tidak menggantungkan bantuan dari orang
lain. "Baiklah," berkata Mahendra, "aku yakin akan
keberanian kalian. Aku pun yakin akan kemampuan orangorang
Bajra Seta, meskipun m ereka akan berhadapan dengan
siluman sekalipun. Karena itu, m aka kalian harus berusaha
mengurangi kekuatan mereka, sehingga akhirnya kekuatan
yang akan sampai di padepokan ini tidak terlalu jauh
melampaui kekuatan y ang ada di sini."
"Apa yang baik kami lakukan?" bertanya Mahisa Pukat.
"Kalian harus meny iapkan sepasukan prajurit y ang
terpilih. Kalian harus melatihnya dalam waktu dekat untuk
melakukan perlawanan tersembunyi," jawab Mahendra.
"Aku kurang tahu maksud ayah," desis Mahisa Pukat.
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu
Mahisa Pukat menjadi tidak sabar menunggu penjelasan
ay ahnya. Karena itu, maka ia pun telah mendesak, "Ayah, beri
aku penjelasan. Apakah y ang sebenarnya ay ah maksudkan
dengan perlawanan ter sembunyi itu" Justru kita berhadapan
dengan segerombolan siluman."
Mahendra memandang kedua anaknya itu bergantiganti.
Namun memang terbayang keragu -raguan di sorot
matanya. Tetapi ia tidak dapat sekedar menggenggam
pendapatnya sementara kedua anaknya mendesak untuk
mengetahuinya betapapun ia merasa ragu.
Karena itu maka katanya kemudian, "Anak-anakku.
Kal ian harus bertanya berulang kali kepada diri sendiri,
apakah kalian sanggup melakukannya atau tidak."
Mahisa Pukat benar-benar tidak sabar, sehingga diluar
sa darnya ia telah beringsut maju. Katanya, "Bertanya kepada
diri sendiri tentang apa?"
"Satu hal yang perlu kalian perhatikan adalah perjalanan
pasukan kedua padepokan itu," berkata Mahendra, "kalian
dapat membayangkannya. Ada dua malam atau bahkan
mungkin tiga malam yang kalian dapatkan pada perjalanan
mereka itu. Jika y ang satu malam mereka berada di
padepokan Randu Papak, maka yang dua malam berikutnya
mereka berada di perjalanan. Nah, perhitungkan, apa yang
dapat kalian lakukan di malam hari itu selama mereka
berhenti di perjalanan. Kalian akan dapat mengurangi jumlah
mereka. Namun kalian tidak akan berhadapan langsung
dengan mereka." Wajah Mahisa Pukat menjadi tegang. Dengan nada
rendah ia bertanya, "Apakah itu bukan satu sikap y ang licik."
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kita
akan dapat menilai dari beberapa sisi. Jika mereka datang
dengan kekuatan lebih dari satu padepokan untuk melawan
satu padepokan tidak dapat dinilai sebagai satu langkah yang
licik, sementara kau menganggap bahwa karena kita sudah
mendirikan umbul-umbul sendiri sebagai satu perguruan
maka tidak sepantasnya kita bukan saja menggantungkan diri
tetapi berhubungan atau katakanlah kerjasama dengan
perguruan lain pun dianggap sebagai mempersempit harga
diri kita serta perguruan ini."
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Sementara
Mahendra berkata selanjutnya, "Jika setiap langkah m enjadi
pantangan, maka kita tidak akan melangkah satu tapak pun.
Ju stru karena kita terlalu menyanjung harga diri itu sendiri."
Mahisa Pukat masih saja termangu -mangu. Namun
sementara itu Mahisa Murti berkata, "Apa y ang dapat kita
lakukan di malam hari itu ayah" Meny ergap mereka selagi
mereka lengah?" "Ya. Meny ergap mereka, kemudian menghilang.
Demikian pula malam berikutnya," jawab Mahendra, "tetapi di
malam berikutnya mereka tentu sudah lebih bersiaga. Karena
itu, maka di malam pertama kalian harus berhasil mengurangi
jumlah lawan sebanyak-banyaknya. Kalian tidak perlu
membunuhnya. Asal saja kalian membuat mereka tidak
berkemampuan lagi untuk bertempur di hari-hari berikutnya."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, "Aku
mengerti dan aku dapat membayangkan apa y ang terjadi.
Dengan demikian, maka mereka akan datang ke padepokan ini
dengan kekuatan y ang susut. Sementara pasukan kita akan
mendahului mereka kembali ke padepokan. "
Mahendra tersenyum sambil mengangguk-angguk.
Dengan nada tinggi ia berkata, "Nah, apa lagi?"
Mahisa Pukat pun mengangguk-angguk pula. Katanya,
"Agaknya cara itu lebih baik ditempuh daripada minta
bantuan kepada siapa pun juga."
"Nah, jika demikian kalian harus mulai sejak sekarang,"
berkata Mahendra. "Mulai apa?" bertanya Mahisa Pukat.
"Kalian harus memilih sekelompok orang terbaik. Kalian
harus mengadakan latihan-latihan secara bersungguhsungguh,
karena waktu kalian yang singkat," berkata
Mahendra. "Latihan bertempur di malam hari?" bertanya Mahisa
Pukat. "Ya. Meny erang dan kemudian menghilang. Karena itu
kalian harus berlatih membidik dalam kegelapan. Menyusup
di antara gerumbul-gerumbul liar. Bersembuny i diantara
pepohonan dan cara-cara y ang lain y ang mungkin harus
dilakukan dalam perang seperti itu," berkata Mahendra.
"Apa saja y ang kita pelajari?" bertanya Mahisa Pukat.
"Lakukanlah lebih dahulu. Nanti kau akan tahu, apa saja
yang kalian perlukan," jawab Mahendra.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk pula. Ia mulai
memikirkan dengan sungguh-sungguh cara yang dikatakan
oleh ay ahnya itu. Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
telah memilih beberapa kelompok orang terbaik dari
perguruan Bajra Seta. Di malam hari, mereka harus bersiap
untuk mengadakan latihan.
"Latihan di malam hari?" bertanya salah seorang
diantara mereka. "Ya. Kita akan mengadakan latihan khusus di malam
hari," jawab Mahisa Murti.
Memang agak lain dari kebia saan mereka. Mereka
memang pernah juga berlatih di malam hari, tetapi sekedar
untuk mendapatkan satu pengalaman, jika mereka benarbenar
terpaksa bertempur di malam hari.
Tetapi agaknya latihan yang akan diadakan di malam
hari itu, bukan sekedar untuk mendapatkan pengalaman.
Demikianlah, maka pada saat y ang sudah ditentukan,
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membawa beberapa
kelompok orang-orangnya keluar dari padepokan. Mereka
menyusuri jalan-jalan sempit menuju ke pinggir hutan.
Namun ternyata di malam pertama itu Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat hanya m embawa mereka menelusuri tempattempat
y ang gelap, yang sulit dilalui dan m enyusup diantara
pepohonan hutan y ang meskipun tidak terlalu pepat, tetapi
cukup rumit. Baru di m alam kedua, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
memerintahkan orang-orangnya membawa busur dan anak
panah. Tetapi mereka tidak lagi berjalan menyusuri jalan-jalan
sempit. Meny usup hutan diantara pepohonan, namun ternyata
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membawa mereka
berlatih membidik di dalam gelapnya malam.
Di malam ketiga, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai
dengan latihan-latihan y ang lebih berat. Mereka harus
menyusup diantara pepohonan sambil membidik sasaransa
saran y ang tidak ditentukan. Mereka dapat melepaskan anak
panah ke sasaran y ang manapun yang ingin mereka kenai.
Namun di hari berikutnya, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah meny iapkan sasaran-sasaran y ang ditentukan.
Mereka telah memasang sa saran y ang dibuat dari batangbatang
pisang. Ketika kemudian malam turun, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah membawa beberapa kelompok diantara
orang-orang Bajra Seta yang terpilih itu untuk m enyusup di
seputar sasaran dan mengenai sasaran itu dengan anak panah
mereka. Tetapi latihan-latihan itu tidak terhenti sampai malam
itu. Untuk selanjutnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
membawa mereka ke dalam latihan-latihan yang semakin
berat. Mereka bukan saja dilatih untuk m emanah sasaran di
malam hari. Tetapi mereka mendapat latihan untuk menyusup
ke tempat yang sudah ditentukan. Meny elinap diantara
pohon-pohon perdu, merayap mendekati sasaran. Namun
kemudian dengan cepat menghilang menghindari benturan
kekuatan langsung dengan lawan y ang menjadi sasaran.
Dengan sadar orang-orang Bajra Seta itu b erlatih untuk
turun ke dalam satu perlawanan y ang tidak langsung atas satu
kekuatan yang besar. Dengan demikian m emang diperlukan,
bukan saja kekuatan dan ketrampilan ilmu, tetapi juga
kesiagaan jiwani. "Waktu kita tidak banyak," berkata Mahisa Murti,
"karena itu kita harus memanfaatkan sebaik-baiknya."
Dengan perhitungan yang demikian, maka di malam hari
latihan-latihan memang menjadi semakin berat. Namun di
siang hari, mereka dapat beristirahat hampir mutlak untuk
menjaga agar mereka justru tidak menjadi terlampau letih,
sehingga ketika saatnya datang, mereka sudah tidak
mempunyai tenaga lagi. Sementara latihan-latihan berlangsung terus, Mahendra
telah berbicara dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
tentang pelak sanaan dari perlawanan y ang tidak langsung itu.
"Kalian akan melakukannya di daerah Pakuwon Lemah
Warah," berkata Mahendra.
"Tidak perlu di daerah Lemah Warah," berkata Mahisa
Pukat, "Kita dapat melakukannya di luar."
"Menurut perhitungan, mereka akan bermalam satu
malam di padepokan Randu Papak, satu malam di daerah
Lemah Warah dan satu malam terakhir, t etap masih di daerah
Lemah Warah meskipun menjadi lebih dekat dengan
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
padepokan ini. Kau kira padepokan ini t erletak di mana?"
bertanya Mahendra. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Agaknya memang demikian. Orang-orang itu akan
berhenti dan bermalam di daerah Lemah Warah.
Dengan demikian maka menurut nalar, mereka harus
minta ijin kepada Akuwu Lemah Warah jika mereka tidak
ingin terjadi salah paham dengan para prajurit Lemah Warah.
Jika pasukan Bajra Seta itu memasuki Lemah Warah untuk
berusaha melakukan perlawanan terhadap iring-iringan
pasukan y ang m enuju ke padepokan mereka, dan kemudian
terjadi pertempuran di lingkungan Lemah Warah serta
diketahui oleh para petugas Lemah Warah, mungkin akan
terjadi persoalan y ang tidak dikehendaki.
Ketika hal itu kemudian dibicarakan, m aka Mahendra
pun berkata, "Karena itu, m aka m au tidak mau kalian harus
minta ijin untuk melakukan hal itu kepada Akuwu Lemah
Warah. Kalian tidak minta bantuan. Tetapi minta ijin.
Meskipun ijin itu sendiri merupakan bantuan yang sangat
besar artinya." Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak
dapat berbuat lain. Mereka memang harus menghadap Akuwu
Lemah Warah untuk minta ijin m elakukan perlawanan tidak
langsung terhadap mereka y ang akan m eny erang padepokan
Bajra Seta. "Kami akan menghadap Akuwu Lemah Warah ay ah,"
berkata Mahisa Murti kemudian, "tetapi kami akan melakukan
latihan-latihan y ang lebih baik lebih dahulu."
"Waktunya terserah kepada kalian, kalian tidak
terlambat," berkata Mahendra.
Demikianlah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
membuat latihan-latihan mereka menjadi semakin keras.
Mereka telah berlatih sebagaimana mereka harus berbuat di
lingkungan dan medan y ang semakin berat. Namun dengan
demikian, mereka menjadi semakin matang menghadapi tugas
yang khusus itu. Ketika waktunya semakin dekat, serta latihan-latihan
sudah menjadi semakin mapan, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah pergi ke Lemah Warah untuk mohon ijin
melaksanakan rencananya. Ketika hal itu disampaikan kepada Akuwu Lemah
Warah, maka sambil tersenyum Akuwu itu berkata, "Aku
hargai sikap kalian. Kalian bukan saja ingin menyelesaikan
masalah kalian dengan kekuatan kalian sendiri, tetapi kalian
ternyata menemukan cara y ang mengagumkan."
"Bukan kami Akuwu," jawab Mahisa Murti.
"Jadi siapa?" bertanya Akuwu Lemah Warah.
"Ayah menunjukkan jalan itu kepada kami," jawab
Mahisa Murti dengan jujur.
Akuwu Lemah Warah tersenyum sambil m enepuk bahu
kedua anak muda itu berganti-ganti. Katanya, "Kalian
memang mengagumkan. Lebih dari segala macam tingkat ilmu
yang kalian miliki, kalian adalah anak-anak muda y ang berani,
berpendirian kuat dan jujur."
Keduanya tidak menjawab. Yang m ereka tunggu adalah
ijin Akuwu atas rencana mereka.
Namun sejenak kemudian Akuwu itu berkata, "Baiklah
anak-anak muda. Aku tidak berkeberatan dengan rencanamu.
Tetapi agar tidak mudah terjadi salah paham, maka akan aku
sertakan bersama pasukanku, sekelompok prajurit sandi yang
akan dapat menjernihkan setiap persoalan yang mungkin
timbul dengan prajurit-prajuritku, karena kalian berada di
lingkungan pengawasan para prajurit peronda Lemah Warah."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk hormat.
Namun sebelum mereka menjawab Akuwu telah mendahului,
"Tetapi jangan kau anggap bahwa dengan demikian kam i akan
memberikan bantuan kepada kalian. Kami hanya sekedar
memberikan kemungkinan yang lebih luas bagi gerak pasukan
kalian agar tidak terjadi kesulitan dengan prajurit Lemah
Warah." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat menjawab
lain kecuali mengucapkan terima kasih.
"Aku akan menyiapkan sekelompok prajurit sandi y ang
terlatih untuk bertempur sebagaimana cara y ang kau
kehendaki. Dalam waktu yang dekat, mereka akan
mendapatkan latihan-latihan yang akan mengingatkan mereka
kembali atas kemampuan mereka itu."
"Kami mengucapkan terima kasih y ang tidak t erhingga.
Setiap kali kami telah mendapatkan bantuan y ang tidak
terhitung besarnya, sehingga sebenarnyalah kami tidak akan
dapat berbuat apa -apa tanpa bantuan Akuwu," berkata Mahisa
Murti. Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah dapat mempersiapkan segala -galanya y ang diperlukan.
Mereka dapat mempersiapkan pa sukannya di wilayah Lemah
Warah sebagaimana ijin yang telah diberikan oleh Akuwu.
Pa da hari y ang sudah diperhitungkan, maka pasukan
Bajra Seta y ang terpilih telah meninggalkan padepokan
dengan diam-diam, justru di malam hari. Sementara m ereka
yang masih tinggal berada dibawah pimpinan Mahendra. Jika
usaha Mahisa Murti dan Mahisa Pukat gagal, maka mereka
harus segera kembali ke padepokan mendahului arus pasukan
lawan. Atau jika tidak mungkin, mereka harus bersiap dan
menyerang pasukan lawan selagi mereka menembus masuk ke
padepokan. Demikianlah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
membuat perhitungan y ang sebaik-baiknya atas segala
kemungkinan. Jika pasukan dari kedua padepokan itu
berangkat dari Randu Papak, maka mereka akan dapat
memperkirakan, pasukan itu akan mengambil jalan yang
mana menuju ke padepokan Bajra Seta. Mereka tentu tidak
akan mengambil jalan yang mungkin diketahui apalagi
bertemu dengan para prajurit Lemah Warah yang sedang
meronda. Dengan demikian, maka pasukan Bajra Seta yang telah
dilengkapi dengan sekelompok prajurit sandi dari Lemah
Warah, telah m enunggu di tempat yang menurut perhitungan
akan dilalui pasukan itu pada jarak satu hari perjalanan.
Namun demikian, beberapa orang petugas khusus dari Bajra
Seta dan prajurit sandi dari Lemah Warah telah dipasang di
tempat -tempat tertentu untuk mengamati perjalanan pasukan
itu. Ternyata kecermatan perhitungan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat memberikan arti y ang besar. Para pengamat
telah dapat mengetahui, arah pasukan dari padepokan Manik
Wungu dan Randu Papak. Seorang diantara mereka telah
memasuki perkemahan pasukan Bajra Seta dan langsung
memberikan laporan tentang gerakan pasukan yang
diamatinya. "Jika demikian, jarak kita tidak terlalu jauh," berkata
Mahisa Murti. "Ya," jawab pengamat itu, "mereka menuju ke hutan
kecil di seberang sungai. Seorang kawan akan melaporkan jika
pasukan itu sudah menentukan tempat untuk berhenti."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah
mempersiapkan pasukannya. Dari para petugas sandi Lemah
Warah, mereka mendapat keterangan tentang lingkungan.
Bahkan para petugas sandi itu sudah siap berada diantara
pasukan Bajra Seta dalam segala rencananya, sehingga mereka
telah menjadi bagian dari kebulatan pasukan Bajra Seta itu.
Ketika m alam turun dan m enjadi semakin kelam, maka
laporan y ang ditunggu itu pun datang. Memang seperti yang
diperhitungkan, pasukan Manik Wungu telah berhenti tidak
terlalu jauh dari perkemahan orang-orang dari padepokan
Bajra Seta itu. Dengan cepat orang-orang Bajra Seta itu pun telah
bergerak. Mereka telah m engirimkan beberapa orang disertai
para petugas sandi y ang menunjukkan jalan yang paling baik
bagi gerak pasukan Bajra Seta itu, telah mendahului untuk
mengamati keadaan. Mereka harus mengambil langkah bagi
pasukan Bajra Seta y ang akan melakukan satu gerakan yang
khusus. Dengan sangat hati-hati mereka bergerak. Merayap
digelapnya malam, mendekati pasukan yang besar yang
sedang beri stirahat. Setelah membuat beberapa perhitungan tentang
keadaan pasukan y ang sedang beristirahat itu, tentang
kelompok-kelompok yang berserakan serta beberapa tempat
penjagaan, maka para petugas itu telah kembali untuk
memberikan laporan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan sangat berhatihati
memperhatikan setiap bagian dari laporan itu. Namun
untuk meyakinkan diri, apa yang akan mereka lakukan, maka
mereka telah langsung mendekati pasukan Manik Wungu dan
pasukan Randu Papak itu. Dari pengamatan langsung itu
mereka mengetahui, bahwa pasukan kedua padepokan yang
akan merebut kedudukan mereka itu adalah pasukan yang
kuat. Beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih
membuat pertimbangan-pertimbangan dengan pemimpin
sekelompok pasukan sandi yang dikirim oleh Lemah Warah
itu. Di antara mereka adalah orang yang disebut Gagak
Sampir, yang telah datang ke padepokan Manik Wungu
bersama beberapa orang petugas y ang lain..
Baru setelah mereka menemukan kebulatan sikap, maka
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memerintahkan
pasukannya mulai bergerak.
Dengan petunjuk-petunjuk dan perintah-perintah y ang
lengkap dan t erperinci, maka pasukan Bajra Seta itu telah
melakukan satu gerakan yang merupakan satu tugas yang
berat. Namun Mahisa Murti masih juga memberikan pesan,
"Kita tidak tahu, apakah kita masih berkesempatan untuk
kembali ke padepokan kita. T etapi apa y ang kita lakukan ini,
meskipun di tempat yang jauh, namun tetap merupakan
kesetiaan kita bagi perguruan dan padepokan kita."
Tidak seorang pun y ang menjawab. Namun mereka
memang telah bertekad bulat untuk melakukan tugas itu
sebaik-baiknya. Sementara itu Mahisa Pukat pun memberikan pesan
pula, "satu hal yang harus kita pegang teguh. Sasaran kita
tidak boleh m engetahui siapakah kita sebenarnya. Jika kita
terpaksa menjadi tawanan mereka, maka kita harus tabah
untuk mengalami tekanan agar kita memberikan pengakuan.
Karena itu, m aka jangan lupa. Kita sudah bersetuju, bahwa
kita bukan berasal dari padepokan Bajra Seta, tetapi
sebagaimana kita sepakati, bahwa kita adalah prajurit yang
mendapat perintah dari Senopati Pakuwon Lemah Warah
untuk mengetahui dan menghancurkan orang-orang yang
dengan diam-diam menyusup ke dalam wilayah Pakuwon
Lemah Warah, sebagaimana justru disarankan oleh Akuwu.
Kita tidak saja diijinkan untuk melakukan gerakan ini di dalam
wilayah Lemah Warah, namun kita juga diijinkan untuk
mengaku, bahwa kita adalah prajurit-prajurit Lemah Warah
dalam tugas khusus. Apa pun yang terjadi atas diri kita, kita
bukan orang-orang Bajra Seta." Mahisa Pukat pun berhenti
sejenak. Lalu ia pun berkata pula, "Tetapi yang terbaik adalah
yang kita rencanakan. Jangan ada seorang pun y ang jatuh ke
tangan mereka. Mati atau hidup. Setiap kelompok
berkewajiban untuk m embawa semua anggauta kelompoknya
kembali ke tempat ini, hidup, mati atau pun terluka parah."
Semua orang dalam pasukan y ang sudah siap itu
mengangguk-angguk kecil. Mereka telah menggenggam
kesanggupan, untuk melakukannya. Apa pun yang akan terjadi
atas diri mereka masing -masing.
Demikianlah, maka pasukan itu pun mulai bergerak
serentak. Namun mereka tidak menempuh satu arah
perjalanan. Seluruh pasukan itu dibagi dalam beberapa
kelompok. Di setiap kelompok terdapat pasukan sandi Lemah
Warah y ang benar-benar menguasai medan yang akan mereka
hadapi. Senjata utama mereka adalah busur dan anak panah.
Mereka tidak akan mendekati sasaran untuk bertempur dalam
jarak gapai pedang jika tidak terpaksa. Tetapi mereka akan
melumpuhkan lawan-lawan mereka dengan serangan dari
jarak jauh, dan kemudian menghilang di gelapny a malam.
Beberapa diantara mereka, di samping busur dan anak
panah, telah membawa pula pisau-pisau kecil y ang dapat
mereka lontarkan kepada lawan-lawan mereka pada jarak
yang lebih pendek dari jarak yang dapat dicapai oleh lontaran
anak panah dari busurnya.
Beberapa saat, setelah mereka meny eberangi sungai,
mulailah mereka merayap diantara semak-semak dan
pepohonan. Mereka telah berusaha untuk menjadi samar
bukan saja karena gelapnya malam, tetapi juga sikap dan
langkah mereka. Warna pakaian yang gelap pula serta
kemampuan untuk menghindarkan tubuh m ereka dari bunyi
sentuhan-sentuhan y ang kasar.
Beberapa saat kemudian, mereka benar-benar telah
mendekati sasaran. Bagaimanapun juga mereka merasa
jantung mereka berdetak semakin cepat. Meskipun mereka
mempunyai pengalaman yang luas, serta latihan-latihan yang
berat, namun menghadapi keny ataan itu, mereka memang
menjadi berdebar-debar. Apalagi mereka sudah diberi tahu
pula bahwa orang-orang yang akan m enjadi sasaran mereka
adalah orang-orang y ang dianggap sebagai siluman-siluman
yang sangat berbahaya. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat selalu berkata,
"Mereka adalah orang-orang y ang kulit dagingnya dapat
ditembus bedor anak panah serta tajamnya pisau-pisau kecil
mereka." "Mereka sama sekali tidak mempunyai kelebihan apa
pun juga kecuali bahwa mereka tidak mengenal adab, unggahungguh
dan adat hubungan antar sesama. Mereka berbuat apa
sa ja y ang ingin mereka lakukan, bahkan dengan kasar dan
liar," pesan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, "karena itu,
jangan anggap mereka lebih baik dari kalian."
Untuk beberapa saat orang-orang dari perguruan Bajra
Seta itu menunggu. Mereka menantikan isy arat y ang akan
diberikan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Bukan isyarat
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sendaren atau panah api. Namun mereka akan
memperdengarkan suara burung bence di beberapa arah.
Tetapi tidak boleh m enimbulkan kesan, bahwa suara burung
itu bukan suara burung sewajarnya."
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
memperhitungkan bahwa setiap orang telah berada di tempat
masing-masing, m aka isy arat itu pun telah terdengar. Suara
burung bence y ang memecah sepinya malam.
Suara yang terdengar di satu tempat itu, tidak segera
disahut oleh suara yang lain. Tetapi baru beberapa saat
kemudian terdengar pula suara burung itu, seakan-akan
burung bence itu telah terbang berpindah tempat dari satu
batang pohon ke pohon y ang lain.
Orang-orang Bajra Seta memang tidak membutuhkan
isy arat terlalu banyak. Suara burung bence di dua tempat itu,
yang terdengar nyaring dalam kesepian malam, telah didengar
oleh setiap orang yang seakan-akan telah mengepung
perkemahan orang-orang padepokan Manik Wungu dan
Randu Papak. Namun menurut perhitungan m ereka, orangorang
y ang berada dalam perkemahan itu memang merupakan
kekuatan yang sangat besar.
Tetapi tidak seorang pun yang bermimpi, bahwa pada
jarak y ang masih sedemikian jauh, orang-orang Bajra Seta
justru telah meny ongsong mereka.
Demikian suara isy arat itu terdengar oleh orang-orang
dari perguruan Bajra Seta dan para petugas sandi dari Lemah
Warah, maka mereka pun segera mulai bergerak. Tidak
terdengar suara pasukan y ang berderap. Tidak pula terdengar
teriakan yang bagaikan meruntuhkan langit. Namun yang
kemudian terdengar adalah desing anak panah yang terlepas
dari busurnya. Tidak terlalu keras. Namun dari beberapa arah.
Beberapa orang y ang bertugas berjaga-jaga, dan sedang
duduk di sekeliling perapian tidak sempat terkejut, karena
tiba -tiba saja lambung, punggung atau dada mereka telah
tertembus anak panah y ang dilepaskan dari jarak y ang tidak
terlalu jauh. Sehingga dengan demikian, maka pada umumnya
mereka tidak sempat mengaduh karena ujung, anak panah itu
telah menggapai jantung, Ketika orang -orang y ang bertugas itu telah terpelanting
jatuh, m aka orang-orang perguruan Bajra Seta itu merayap
semakin dekat. Mereka telah membidik orang-orang yang
sedang tidur ny enyak. Mula-mula mereka memperhitungkan
kelompok-kelompok dari orang-orang y ang akan menjadi
sa saran. Beberapa orang diantara mereka pun telah
melepaskan anak panah bersama-sama.
Namun akhirnya, serangan itu diketahui juga setelah
jatuh korban semakin banyak. Pada satu saat seseorang yang
terkena panah tidak tepat di jantung telah sempat berteriak.
Orang-orang yang sedang beristirahat itu pun
terbangun. Mereka mula-mula tidak menyadari apa yang
terjadi. Peristiwa itu berlangsung demikian cepatnya.
Ju stru pada saat-saat yang demikian, anak panah telah
menyerang mereka bagaikan hujan dari segala arah. Seakanakan
setiap batang pohon dan setiap gerumbul dan semaksemak
telah meny erang mereka dengan anak panah.
Beberapa orang berteriak kasar. Mereka mengumpat
dengan kata-kata kotor. Dengan serta merta mereka pun telah
menarik senjata masing-masing.
Namun mereka tidak segera tahu, dimanakah lawan
mereka bersembuny i, sementara anak panah lawan
menghujan tidak henti-hentinya.
Namun ternyata ada juga orang yang masih sempat
berpikir meskipun agak terlambat. Seorang tua yang dianggap
sebagai guru dan pimpinan padepokan Manik Wungu pun
berteriak, "Cepat, cari perlindungan."
Orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak pun telah
berusaha untuk berada di bayangan pepohonan. Tetapi
mereka, benar-benar tidak mengerti di mana lawan mereka itu
bersembunyi. Cara seperti itu memang sudah diperhitungkan oleh
orang-orang Bajra Seta. Karena itu, maka mereka telah
mempergunakan cara yang lebih berbahaya. Namun
keberhasilan mereka pada langkah pertama mendapat
membuat mereka m enjadi semakin berani, karena m enurut
anggapan mereka, cara y ang mereka tempuh adalah cara yang
ternyata benar. Orang-orang Bajra Seta menjadi semakin mendekat.
Dengan anak panah yang siap di busur, mereka memasuki
lingkungan orang-orang yang sedang k ebingungan itu. Setiap
mereka bertemu dengan seseorang, maka mereka telah
menyapanya dengan kata-kata sandi. Jika orang itu tidak
menjawabnya dengan benar, maka tanpa ampun lagi, anak
panah yang sudah siap di busur itu akan meluncur menembus
jantung. Sebaliknya, jika seseorang menyapa salah seorang
dari Padepokan Bajra Seta yang menyusup diantara mereka
tidak dengan kata-kata sandi, maka pertanyaan itu akan
dijawab dengan tusukan anak panah di dada mereka.
Dengan demikian maka kelompok-kelompok orang dari
padepokan Bajra Seta yang dilengkapi dengan sekelompok
petugas sandi yang terbagi diantara kelompok-kelompok
pasukan dari padepokan Bajra Seta itu telah dapat
mengacaukan pasukan yang jauh lebih besar. Bahkan ujungujung
anak panah telah membunuh dan melukai sejumlah dari
antara mereka. Bahkan ketika para pemimpin dari padepokan Manik
Wungu dan Randu Papak berhasil menguasai orang-orang
mereka dan meneriakkan aba-aba, maka orang -orang Bajra
Seta itu masih berada diantara mereka. Mereka tidak lagi
mempergunakan busur dan anak panah karena jarak yang
semakin dekat, serta waktu y ang semakin memburu. Namun
mereka telah m elontarkan pisau -pisau kecil y ang m enyambar
leher, dada dan lambung. Namun orang-orang Bajra Seta itu tidak mau terjebak di
dalam lingkungan pasukan lawan. Karena itu, maka ketika
orang-orang Manik Wungu dan orang-orang Randu Papak
menjadi semakin mapan, maka beberapa buah anak panah
sendaren telah terbang di udara sebagai isy arat, bahwa orangorang
Bajra Seta harus meninggalkan lingkungan lawan.
Ternyata bahwa latihan-latihan y ang matang, benarbenar
memberikan tuntutan bagi mereka. Dalam waktu dekat,
maka kelompok-kelompok t erkecil dari orang-orang Bajra Seta
telah sempat menghitung kawan mereka masing-masing,
sehingga mereka dapat kembali ke pangkal mereka dengan
utuh. Memang ada beberapa orang yang terluka, tetapi tidak
seorang pun diantara mereka y ang tertinggal, apalagi
tertawan. "Sungguh satu hasil y ang gemilang," berkata Mahisa
Murti. Pemimpin petugas sandi Lemah Warah y ang
diperbantukan itu pun menyahut, "Hampir tidak masuk akal,
bahwa tidak seorang pun yang hilang diantara kita."
"Kita telah mengejutkan mereka, sementara mereka
benar-benar lengah, karena m ereka tidak m engira bahwa kita
akan meny erang m ereka pada jarak y ang demikian jauhnya,"
berkata Mahisa Pukat. Yang lain mengangguk-angguk. Memang keberhasilan
mereka sebagian besar adalah karena kelengahan sasaran
mereka. "Baiklah," b erkata Mahisa Murti, "kita wajib mengucap
syukur kepada Yang Maha Agung yang telah melindungi kita
semuanya. Namun kawan-kawan kita y ang terluka, lebih -lebih
yang parah, harus segera mendapat perawatan."
Namun dalam pada itu Mahisa Pukat pun berdesis,
"Tetapi apakah tempat ini cukup aman bagi kita?"
"Aku kira cukup," berkata pemimpin petugas sandi dari
Lemah Warah itu, "tempat ini telah dipisahkan oleh sebuah
sungai yang bertebing tinggi. Mereka tidak akan mencari kita
sampai ke tempat ini. Mereka tidak akan menuruni tebing dan
naik jurang dalam gelapnya malam dan licinnya batu padas di
tebing. "Tetapi jika ada diantara m ereka y ang ahli menelusuri
jejak, maka mereka agaknya akan sampai ke tempat ini,"
berkata salah seorang pemimpin kelompok dari pasukan Bajra
Seta. "Memang mungkin pula. Tetapi kita telah meny eberangi
sebuah sungai. Kita sudah b erjalan dalam air beberapa puluh
langkah, sehingga akan sangat sulit bagi mereka untuk
menemukan kembali jejak kami," sahut pemimpin petugas
sandi itu. Tetapi ia pun kemudian berkata, "Meskipun
demikian, jika tempat ini dianggap berbahaya, maka kita akan
dapat meninggalkan tempat ini bergeser beberapa ratus
tonggak." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu.
Menurut keduanya tempat ini memang sudah cukup aman.
Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata, "Baiklah. Kita
akan berpindah tempat. Kita harus bergeser tanpa
meninggalkan jejak. "Jika kita masih juga meninggalkan jejak, maka kita
tidak perlu meninggalkan tempat ini."
Orang-orang y ang mendengarkan pendapat itu
mengangguk-angguk. Mereka setuju bahwa mereka harus
berusaha untuk menghapuskan jejak jika mereka berniat
untuk bergeser dari tempat itu.
Meskipun orang-orang Bajra Seta itu m erasa letih dan
ingin segera beristirahat, namun mereka tidak dapat
membantah ketika perintah pun akhirnya jatuh, bahwa
mereka akan mencari tempat y ang lain, tanpa meninggalkan
jejak. Dalam pada itu, kegemparan memang telah terjadi
diantara orang-orang Manik Wungu dan orang-orang Randu
Pa pak. Sergapan yang datang dengan tiba-tiba dan kemudian
dengan tiba -tiba pula menghilang, telah menelan korban yang
bagi mereka terlalu banyak jumlahnya.
Setelah keadaan mereda, serta mereka berkeyakinan
tidak akan datang lagi serangan-serangan y ang tiba-tiba itu,
maka para pemimpin dari kedua padepokan itu pun telah
bertemu, sementara penjagaan di sekitar perkemahan itu pun
telah ditingkatkan. Sedangkan di seluruh perkemahan tidak
seorang pun y ang sempat tidur lagi. Semuanya telah
dicengkam oleh kegelisahan dan kecemasan.
Beberapa orang telah mengumpat-umpat dengan
kasarnya. Yang lain menggeram sambil menghentakhentakkan
tangannya. Sedangkan beberapa orang lainnya
berjalan hilir mudik tidak menentu.
Sementara itu para pemimpin mereka sibuk m endugaduga,
siapakah yang telah m elakukan serangan y ang tiba-tiba
namun meninggalkan beka s yang parah itu.
Pimpinan tertinggi dari Manik Wungu yang ada diantara
orang-orangnya itu berkata, "Tentu rencana ini disusun
dengan sebaik-baiknya dan dilakukan oleh sekelompok orang
yang memiliki ilmu yang tinggi. Mereka tentu pernah
mengalami latihan-latihan khusus untuk tugas mereka."
"Aku tidak mempunyai dugaan lain kecuali prajuritprajurit
sandi dari Lemah Warah," berkata pemimpin
padepokan Randu Papak. Lalu "Bukankah kita berada di
wilayah Lemah Warah sekarang ini?"
Yang lain mengangguk-angguk. Sementara pemimpin
padepokan Randu Papak itu melanjutkan, "hanya prajuritprajurit
yang terlatih sajalah y ang dapat melakukan sergapan
iblis seperti itu." Namun demikian pemimpin Manik Wungu itu pun
bertanya, "Jika mereka prajurit Lemah Warah, kenapa mereka
tidak datang saja dengan kekuatan segelar sepapan, dan
sekaligus menghancurkan pasukan kita" Jika Lemah Warah
memang mengerahkan semua prajurit y ang ada, maka mereka
akan dapat menumpas kita semuanya."
"Tetapi Akuwu Lemah Warah tidak mempunyai alasan
yang kuat untuk membinasakan kita. Kita adalah orang lewat,
karena kita memang melintas di daerah Lemah Warah. Tetapi
kita tidak berbuat apa-apa disini. Kita tidak menimbulkan
kegelisahan karena kita telah memilih jalan y ang sepi. Kita
bermalam di daerah yang jauh dari padukuhan-padukuhan
yang ada," sahut salah seorang pemimpin yang lain, "karena
itu maka Akuwu tidak dapat dengan terang-terangan
menghancurkan kita. Ia telah m engambil satu langkah yang
bagus sekali menurut kepentingannya. Namun bagi kami
adalah tindakan pengecut.
"Apa yang sebaiknya kita lakukan?" bertanya pemimpin
padepokan Manik Wungu, "membalas dendam dengan
menyerang orang -orang Lemah Warah serta membunuh
mereka sejumlah paling sedikit sama dengan orang-orang kita
yang terbunuh?" Pemimpin padepokan Randu Papak pun berkata,
"Apakah hal itu menguntungkan kita" Bukankah kita akan
menuju ke padepokan Suriantal" Jika kita t erlibat dalam
pertempuran dengan prajurit Lemah Warah, maka kita t entu
tidak akan dapat keluar dari Pakuwon ini hidup-hidup. Semua
orang diantara kita akan m ati disini. Sedangkan kita sudah
terlanjur melepaskan tantangan bagi orang-orang padepokan
Suriantal itu." "Jadi?" bertanya pemimpin padepokan Manik Wungu.
"Kita akan pergi ke padepokan Suriantal. Merebutnya
dan kemudian memilikinya. Kita harus memelihara sisa
kekuatan yang ada sebaik-baiknya. Disini kita sudah
kehilangan terlalu banyak," jawab pemimpin padepokan
Randu Papak. Yang lain mengangguk-angguk. Sementara itu pemimpin
padepokan Randu Papak itu pun berkata selanjutnya, "Kita
akan berangkat sekarang."
"Sekarang?" seorang pemimpin y ang lain bertanya.
"Ya. Sebaiknya kita segera keluar dari daerah Lemah
Warah," berkata pemimpin padepokan Randu Papak itu.
"Kau k ira padepokan Suriantal itu bukan tlatah Lemah
Warah?" berkata pemimpin padepokan Manik Wungu.
"Tetapi daerah yang dilupakan. Akuwu Lemah Warah
tidak menganggap perlu untuk mengurusi padepokan yang
demikian jauh dari pusat pemerintahan. Kecuali jika
padepokan itu m enjadi besar dan m enarik," jawab pemimpin
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
padepokan Randu Papak. Namun dalam pada itu pemimpin y ang lain dari Randu
Pa pak itu pun bertanya, "Bagaimana dengan kawan-kawan
kita yang terbunuh di sini?"
"Kita tinggalkan saja mereka," jawab pemimpin
padepokan Randu Papak itu, "y ang mati biarlah m ati. Yang
masih akan dapat hidup biarlah berusaha menemukan
hidupnya kembali, sementara y ang m asih akan m ati biarlah
mati. Kita tidak sempat berbuat apa-apa atas mereka. Yang
masih dapat berjalan, akan berjalan bersama kita."
Pemimpin yang berada dibawah kekuasaan pemimpin
tertinggi padepokan Randu Papak itu tidak menjawab.
Agaknya memang sudah m enjadi kebiasaan mereka berbuat
seperti itu. Bahkan pemimpin padepokan Manik Wungu pun
berkata," jangan kotori tangan kita dengan darah orang-orang
dungu seperti itu. Jika mereka mati itu adalah salah m ereka
sendiri. Demikian pula y ang terluka."
Demikianlah malam yang tersisa itu telah dipergunakan
oleh orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak untuk
meneruskan perjalanan. Mereka ingin secepatnya
meninggalkan daerah Lemah Warah. Semakin jauh semakin
baik. Meskipun kemudian mereka masih berada di daerah
yang berada dalam kekuasaan Pakuwon Lemah Warah, namun
di daerah y ang tidak mendapat banyak perhatian dari Akuwu,
maka mereka tidak akan mengalami kesulitan dengan para
prajurit Lemah Warah itu.
Namun gerakan itu tidak terlepas dari pengamatan para
petugas sandi dari Lemah Warah y ang diperbantukan kepada
orang-orang dari perguruan Bajra Seta. Mereka telah
membuat hubungan dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
yang telah mengalihkan perkemahan mereka.
Kepada penghubung itu Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat-pun minta untuk menunggu sejenak. Mereka akan
berbicara dengan para pemimpin kelompok, apakah yang
sebaiknya mereka lakukan.
Ternyata bahwa para pemimpin kelompok itu pun
sependapat, bahwa m ereka pun harus bergerak dengan arah
yang sejajar. "Kami akan m enjadi penunjuk jalan," berkata seorang
petugas sandi Lemah Warah kepada Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Dengan demikian maka k etika penghubung itu kembali
menemui kawan-kawannya bertugas dapat memberitahukan,
bahwa orang-orang Bajra Seta telah bergerak pula. Sebagai
petugas sandi di Lemah Warah, m aka mereka pun m emiliki
pengenalan yang luas dan sungguh-sungguh atas m edan yang
sedang mereka hadapi. Dengan hati-hati pasukan Bajra Seta telah bergerak
sejajar dengan gerak pa sukan dari dua padepokan y ang akan
menuju ke padepokan Bajra Seta. Setiap kali para penghubung
selalu m embuat hubungan dengan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, agar ikatan diantara mereka tidak, terlepas yang satu
dengan yang lain. Karena pasukan Bajra Seta yang tidak terlalu besar,
maka mereka memang dapat bergerak lebih lincah dari
pasukan lawannya. Namun jumlah yang kecil itu telah t erlatih
dengan baik untuk melakukan perlawanan tidak langsung atas
kedua pasukan y ang besar itu, tetapi y ang telah kehilangan
banyak kekuatan diantara mereka.
Beberapa orang y ang t erluka tidak begitu menghambat
gerak orang-orang padepokan Bajra Seta. Kawan-kawannya
telah m emapah m ereka. Sedangkan y ang lain masih sanggup
berjalan sendiri tanpa bantuan. Apalagi mereka y ang hanya
sekedar tergores senjata.
Ketika pagi mulai membayang, maka orang-orang Bajra
Seta itu harus menjadi lebih berhati-hati. Mereka harus
mencari jarak yang sesuai, sehingga pasukan y ang besar itu
tidak akan sempat mendekatinya. Di siang hari, pasukan Bajra
Seta tidak akan mungkin dapat bergerak.
Untuk mengurangi perhatian orang terhadap pasukan
kecil itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membagi
orang-orangnya. Bahkan mereka tidak terikat lagi dengan
gerak pasukan lawan. Namun mengurai laporan dari para
penghubung, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, atas
petunjuk para petugas sandi, telah dapat m emperhitungkan,
ke arah mana pasukan y ang besar itu bergerak.
"Kita akan dapat berpencar dan kemudian berkumpul di
satu tempat yang ditentukan," berkata pemimpin dari petugas
sandi itu. Demikianlah akhirnya pasukan kecil itu mendapat
petunjuk seperlunya tentang jalan y ang harus mereka tempuh.
Mereka akan berpencar dalam kelompok-kelompok y ang kecil,
yang terdiri dari tiga atau empat orang menuju ke tempat yang
sudah diancar-ancarkan oleh pemimpin petugas sandi.
Sementara itu, diantara mereka yang bergerak itu juga
terdapat beberapa orang dari kelompok petugas sandi itu
sendiri y ang memang diperbantukan kepada Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat. Namun dalam pada itu, beberapa orang petugas y ang
lain akan langsung m engamati gerak pasukan yang besar itu.
Meskipun pasukan itu sudah m emilih jalan yang paling sepi
sekalipun, namun mereka sama sekali tidak dapat
menghindari padukuhan-padukuhan, pategalan dan hutanhutan
besar dan kecil. Tetapi agaknya pasukan itu sudah belajar dari
pengalaman. Mereka tidak mau lengah untuk kedua kalinya.
Namun karena mereka sudah menjadi semakin jauh dari
Lemah Warah, maka mereka pun berharap bahwa tidak akan
ada lagi gangguan atas pasukan mereka.
Pemimpin padepokan Manik Wungu dan Randu Papak
ternyata sepakat untuk beristirahat sebelum sore hari. Mereka
mencari tempat y ang paling baik bagi pasukan mereka. Tanpa
menghiraukan tanaman yang ada, m ereka telah berhenti dan
beristirahat di sebuah pategalan y ang terbuka, y ang tidak
mempunyai banyak pepohonan, sehingga mereka akan dapat
mengamati keadaan di sekitar tempat itu dengan jelas.
Orang-orang padukuhan terdekat, yang memiliki daerah
pategalan itu pun melihat kehadiran pasukan itu di pategalan
mereka. Namun mereka justru menjadi ketakutan. Tidak
seorang pun y ang berani menegur sekelompok pa sukan yang
besar y ang terdiri dari orang-orang y ang kasar dan bahkan
liar. Ju stru menjelang sore, dibawah rimbunnya dedaunan di
pategalan orang-orang y ang letih itu sempat beristirahat.
Sebagian besar dari mereka telah tertidur dibawah pepohonan,
atau di sela-sela tanaman jagung muda. Mereka tidak merasa
cemas bahwa mereka akan m endapat serangan sebagaimana
mereka alami semalam, karena m ereka y ang bertugas dapat
melihat keadaan di sekitar pategalan itu dengan jelas.
Para petugas sandi y ang membayangi pasukan itu harus
bersembunyi pula agar tidak diketahui oleh orang-orang yang
bertugas berjaga-jaga dalam pasukan y ang besar itu.
Betapapun mereka merasa letih, namun mereka tidak dapat
meninggalkan tugas mereka.
Ketika kemudian malam turun, maka yang bertugas pun
menjadi berlipat. Mereka yang sudah sempat beristirahat,
menggantikan tugas mereka y ang dengan letih mengawasi
keadaan menjelang matahari tenggelam.
Yang bertugas itu tidak hanya melingkar di sekitar
pasukan y ang sedang beristirahat itu. Tetapi untuk mencegah
peristiwa y ang menyakitkan itu terulang, maka penjagaan pun
diatur dalam lapis-lapis yang rapat, sehingga tidak akan ada
seorang pun y ang akan dapat mendekat.
Para petugas sandi y ang mengamati keadaan mereka
menganggap bahwa penjagaan pasukan itu terlalu kuat untuk
sekelompok kecil pasukan Bajra Seta. Karena itu, seorang
penghubung yang datang di tempat yang sudah ditentukan,
menyarankan agar mereka tidak m engganggu lawan m alam
itu. "Mereka t idak akan bermalam lagi di jalan," berkata
Mahisa Pukat. "Tetapi berbahaya sekali untuk melakukannya
sekarang," jawab petugas sandi itu. "Aku kira, kita harus
mencari kesempatan lain."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Mereka m emang tidak boleh mengorbankan orang-orangnya
dengan semena-mena. Tetapi mereka tidak melihat lagi kesempatan untuk
melakukan sebagaimana pernah mereka lakukan. Meskipun
mereka menyadari, bahwa keadaannya tentu sudah jauh
berbeda. "Kekuatan mereka sudah banyak berkurang," berkata
Mahisa Murti kemudian. "Apakah kita harus menghibur diri kita sendiri dengan
cara seperti itu?" desis Mahisa Pukat.
Mahisa-Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun ia
pun kemudian bertanya, "Bagaimana dengan keberhasilan kita
itu" Apakah itu bukan berarti pengurangan kekuatan yang
cukup besar pada lawan kita?"
Mahisa Pukat m engangguk kecil. Katanya, "Ya. Tetapi
lawan masih terlalu kuat bagi padepokan Bajra Seta."
"Justru karena itu, kita harus berhati-hati. Kita tidak
dapat berbuat sesuatu yang akan dapat menjatuhkan korban
terlalu banyak atas kekuatan kita y ang sudah terlalu kecil ini,"
berkata Mahisa Murti. Mahisa Pukat mengangguk-angguk pula. Dengan nada
datar ia berkata, "Aku mengerti."
Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
tidak berusaha untuk mendekati pasukan lawan. Hanya
beberapa orang saja masih mengamatinya dengan cermat,
namun dengan sangat berhati-hati.
Ternyata bahwa orang -orang dari padepokan Manik
Wungu dan Randu Papak itu tidak menunggu sampai fajar.
Sedikit lewat tengah malam mereka telah melanjutkan
perjalanan mereka menuju ke sa saran. Padepokan Bajra Seta.
Orang y ang pernah datang ke padepokan Bajra Seta dan
menyebut diri mereka orang-orang Suriantal, akan memasuki
padepokan itu pula menemui para pemimpinnya. Mereka
masih tetap akan mengatakan, bahwa para pengikut dari
perguruan Suriantal akan mengadakan pertemuan di
padepokan itu. Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendapat
laporan tentang keberangkatan orang-orang dari padepokan
Manik Wungu dan Randu Papak, maka ia pun telah
memerintahkan orang-orangnya untuk bergerak pula.
Dalam perjalanan itu Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan
pemimpin petugas sandi dari Lemah Warah telah berusaha
untuk memecahkan per soalan mereka. Bagaimana mereka
dapat m engurangi lagi kekuatan lawan sebagaimana pernah
mereka lakukan. Tetapi lawan mereka tidak akan m embuat
kesalahan yang sama sampai kedua kalinya.
Perjalanan mereka ternyata merupakan perjalanan y ang
panjang dan berat. Ketika matahari t erbit, maka orang-orang
Bajra Seta sekali lagi telah m emecah orang-orangnya dengan
cara sebagaimana telah mereka lakukan. Namun jarak mereka
dengan padepokan telah menjadi semakin dekat, sehingga
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memutuskan, bahwa mereka
akan berkumpul kembali, beberapa puluh patok saja dari
padepokan. Sehingga jika diperlukan, maka mereka akan
dapat bergerak dengan cepat.
Dalam pada itu, maka orang -orang padepokan Manik
Wungu dan Randu Papak pun ternyata telah berhenti tidak
jauh pula dari padepokan yang akan menjadi sasaran itu.
Tetapi mereka tidak akan langsung meny erang padepokan itu.
Mereka akan mengirimkan orang-orang bertongkat, yang
mengaku dari perguruan Suriantal itu untuk menemui para
pemimpin padepokan Bajra Seta. Orang -orang Manik Wungu
dan Randu Papak sama sekali tidak mencemaskan kesiagaan
orang-orang Bajra Seta y ang dianggapnya baru mengatur diri
sehingga mereka masih belum mempunyai kekuatan yang
mapan. Namun perkemahan orang-orang Manik Wungu dan
Randu Papak itu tidak terlepas sama sekali dari pengamatan
para petugas sandi dari Lemah Warah dan orang-orang Bajra
Seta yang sudah terlatih baik.
Ternyata bahwa para pengamat itu telah melihat
perubahan sikap dari orang-orang Manik Wungu dan Randu
Pa pak. Justru ketika mereka sudah berada dekat dengan
padepokan yang mereka tuju, maka m ereka tidak lagi merasa
bahwa mereka masih berada dalam bahaya sebagaimana
pernah mereka alami. Mereka menganggap bahwa Lemah
Warah telah menjadi terlalu jauh sehingga para prajurit
Lemah Warah tidak akan mengganggu mereka lagi dengan
cara apa pun juga. Ternyata orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak
nampaknya memang tidak tergesa -gesa. Yang tergesa -gesa
menurut perhitungan mereka adalah justru menjauhi dan
meninggalkan Lemah Warah.
Di hari berikutnya orang-orang Manik Wungu dan
Randu Papak itu telah meny iapkan beberapa orang bertongkat
untuk, pergi ke padepokan Bajra Seta. Mereka harus menemui
kedua orang anak muda y ang mengaku sebagai Putut dan
memimpin padepokan itu. Ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pada
hari itu justru berada di padepokan. Setelah mereka
menempatkan pasukannya di tempat y ang tidak akan
diketahui oleh lawan y ang berjumlah lebih besar dari kekuatan
Bajra Seta itu, m aka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
memasuki padepokan mereka dengan diam-diam untuk
membicarakan rencana berikutnya bersama dengan
Mahendra. Kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat orang-orang
yang mengaku dari perguruan Suriantal itu tidak merubah
keterangan mereka. Beberapa padepokan dari cabang
perguruan Suriantal akan bertemu di padepokan Suriantal
yang telah berubah menjadi padepokan Bajra Seta itu.
"Sayang Ki Sanak," jawab Mahisa Murti, "seperti y ang
sudah aku katakan. Kami tidak dapat menerima. Kami bukan
orang-orang Suriantal. Kami sama sekali tidak berkepentingan
dengan pertemuan itu sehingga kami tidak dapat menerima
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kehadiran kalian." "Jangan begitu Ki Sanak," berkata orang yang mengaku
dari perguruan Suriantal itu, "barangkali kalian perlu
mengetahui bahwa kami dalam jumlah yang besar telah
berada di sekitar padepokan ini. Sebenarnya kalian tidak
mempunyai pilihan." "Kenapa tidak?" bertanya Mahisa Murti, "kami
mempunyai wewenang atas padepokan kami sendiri."
Orang-orang yang menyebut dirinya dari perguruan
Suriantal itu saling berpandangan sejenak. Namun orang yang
dianggapnya pemimpin oleh kelompok itu pun kemudian
berkata, "Anak -anak muda. Kalian harus mampu membuat
pertimbangan-pertimbangan y ang mapan. Kalian telah
menyebut diri kalian sebagai pemimpin dari sebuah perguruan
dan padepokan. Namun kalian agaknya sama sekali belum
dapat membuat pertimbangan-pertimbangan yang bijak sana.
Jiwa kalian sama sekali belum mengendap. Darah kalian
masih mudah mendidih, sedang jantung kalian cepat
membara." "Aku tidak mengerti maksudmu," potong Mahisa Pukat.
"Kalian jangan m enuruti luapan perasaan muda kalian.
Pertimbangkan baik-baik. Kami akan mengadakan pertemuan
di padepokan ini. Bukalah pintunya dan persilahkan kami
masuk. Terimalah kami sebagai tamu yang terhormat disini.
Dengan demikian maka tidak akan timbul m asalah diantara
kita. T etapi jika kalian bersikap terlalu sombong dan sekedar
hanyut oleh perasaan tanpa penalaran, maka kalian akan
menyesal." "Kenapa kami akan menyesal?" bertanya Mahisa Murti.
"Kami dapat berbuat apa saja atas padepokan ini. Kami
dapat m enghancurkannya dan m embakarnya menjadi debu,"
berkata orang itu. "Kalian t erlalu sombong," berkata Mahisa Murti, "kalian
kira kami akan m embiarkan kalian melakukannya" Kau lihat,
kami mempunyai kekuatan yang cukup untuk
mempertahankan padepokan ini."
Tetapi orang itu tertawa. Katanya, "Apa kau kira, kami
tidak dapat m elihat. Ada berapa orang-orangmu disini" Dan
apa saja y ang dapat m ereka lakukan untuk mencegah kami
yang memiliki selumbung pengalaman. Perguruan yang kau
sebut-sebut itu adalah perguruan baru. Orang-orangmu baru
belajar bagaimana m emegang pedang. Bagaimana memasang
tali busur dan mengetrapkan anak panah sebelum dilepas. Kau
tentu baru dapat memberikan sedikit petunjuk tentang
memutar tombak serta, mengenakan perisai. Apa daya
padepokan ini" Apalagi menurut penglihatanku sekarang, isi
padepokan ini terlalu sedikit untuk dapat bertahan"
"Cukup," potong Mahisa Pukat, "aku persilahkan kalian
meninggalkan padepokan ini selagi pintu gerbang kami masih
terbuka. Kami akan segera menutup dan meny elaraknya.
Setiap orang y ang berani mendekatinya akan kami binasakan."
Orang-orang yang menyebut dirinya dari perguruan
Suriantal itu tertawa. Pemimpin mereka itu pun berkata,
"jangan berusaha untuk menutupi kecemasanmu dengan sikap
yang garang begitu. Anak-anak muda. Sebenarnya kami ingin
mengundang kalian untuk melihat sendiri pasukan yang
datang bersama kami. Jika kalian ber sedia, maka kalian akan
dapat membuat pertimbangan y ang paling mapan untuk
menanggapi keadaan ini."
"Aku t idak peduli dengan omong kosongmu itu," sahut
Mahisa Pukat. Lalu "Sekali lagi aku minta, pergilah. Jika
kalian tidak segera pergi, dan gerbang itu sudah terlanjur
tertutup, maka kalian akan mati disini sebelum kawankawanmu
datang." " Itu bukan laku laki-laki," geram orang y ang m eny ebut
dirinya dari perguruan Suriantal.
"Aku tidak peduli, apakah aku dapat disebut laki -laki
atau bukan. Aku sama sekali tidak berkepentingan dengan
sebutan-sebutan. Yang penting aku dapat memuaskan hatiku
dengan mencincang kalian di halaman dan melemparkan sisasisa
tubuh kalian keluar dinding padepokan ini untuk dilihat
oleh kawan-kawanmu."
"Baiklah," berkata orang bertongkat itu, "aku akan pergi.
Aku akan m embawa orang-orangku m endekat dan berkemah
di sekitar padepokanmu ini. Dengan demikian kalian akan
mengetahui betapa besar kekuatan keluarga Suriantal dan
beberapa orang wakil dari padepokan lain yang akan menjadi
tamu kita." Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun ia benar-benar
telah berusaha untuk mengusir orang -orang itu. Sambil berdiri
tegak Mahisa Pukat telah menunjuk ke arah pintu gerbang
padepokannya. Terdengar orang-orang bertongkat itu mengumpat.
Pemimpin mereka telah berkata dengan marah, "Sekarang
kalian mengusir aku. Tetapi besok, aku akan mengusir kalian
bukan saja keluar dari padepokan ini, tetapi m engusir kalian
ke lubang maut." "Cepat," geram Mahisa Pukat, "aku tidak mempunyai
waktu untuk melayani pemimpi seperti kalian."
Orang-orang y ang mengaku dari perguruan Suriantal
itu-pun kemudian meninggalkan padepokan itu dengan wajah
yang merah. Jantung mereka rasa -rasanya telah membengkak
menahan kemarahan. Namun mereka bertekad untuk kembali
memasuki padepokan itu dan sekaligus menghancurkannya.
Demikian orang-orang bertongkat itu keluar, maka pintu
gerbang pun segera ditutup kembali. Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat segera menemui ay ah mereka untuk
melanjutkan pembicaraan tentang rencana yang akan m ereka
lakukan menghadapi pasukan y ang besar itu.
"Agaknya mereka akan mendekati padepokan dan
memamerkan kekuatan mereka," berkata Mahisa Murti.
"Jika demikian, bawa orang-orangmu keluar," berkata
Mahendra, "hati-hati dan jangan sampai diketahui oleh
mereka. Orang-orangmu harus menunggu sampai malam
datang." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu
sejenak. Namun keduanya pun mengangguk-angguk. Dengan
nada datar Mahisa Murti bertanya, "Menurut ayah, kami harus
menyerang mereka di malam hari?"
"Ya," berkata Mahendra, "kalian lebih menguasai medan.
Jika kalian menunggu mereka menyerang esok, mungkin
kalian akan banyak mengalami kesulitan. Tetapi jika kalian
menyerang malam hari kemudian menghilang, agaknya
keadaan akan berbeda."
"Tetapi y ang terlatih hanyalah sekelompok y ang kami
bawa meny ongsong mereka di Lemah Warah," berkata Mahisa
Pukat. Mahendra mengangguk-angguk. Ia memang sudah
memperhitungkan hal itu sebelum ia mengatakan
kemungkinan itu kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Karena itu katanya, "Kau harus membagi orang-orang yang
kau anggap mempunyai kemampuan b ertempur dengan cara
yang pernah kau pergunakan dan berhasil. Tetapi kau harus
tetap mempunyai sekelompok pasukan yang akan dapat
mengacaukan m ereka dalam kegelapan. Namun sebelumnya
kau harus mengumpulkan orang-orangmu dan secara cepat
dan singkat memberikan petunjuk-petunjuk tentang perang
yang akan kalian lakukan. Cara-caranya, tujuannya dan
sa sarannya." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Mereka tinggal mempunyai waktu sedikit. Orang-orangnya
harus dengan segera m eny ebar di luar padepokan. Demikian
malam turun, maka orang-orangnya harus segera berada di
tempat y ang akan ditentukan.
Karena itu, maka dengan singkat Mahisa Murti pun
berkata, "Kami akan melakukannya ayah."
"Berhati -hatilah. Yang akan kalian lakukan adalah satu
perjuangan tentang hidup dan mati. Taruhannya adalah
padepokanmu dan umur segenap penghuninya," berkata
Mahendra. Lalu "Karena itu, maka kalian dalam hal ini tidak
dapat sekedar bermain-main."
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah mengumpulkan semua orang-orangnya. Mereka telah
membaginya dalam beberapa kelompok besar y ang terdiri dari
beberapa kelompok kecil. Empat kelompok diantara mereka
akan tetap berada di dalam padepokan, sementara yang lain
akan keluar dari padepokan dan justru akan menyergap lawan
yang jumlahnya lebih besar dari orang-orang padepokan Bajra
Seta. (Bersambung ke Jilid 55).
Jilid 055 "KITA sudah berhasil m engurangi jumlah m ereka lebih
banyak dari y ang kita harapkan dapat kita lakukan di Lemah
Warah. Namun ternyata jumlah mereka memang terlalu besar.
Dua padepokan y ang besar dan kuat, akan mengepung
padepokan ini. Sama sekali bukan empat padepokan dari
keluarga perguruan Suriantal seperti y ang dikatakan oleh
orang-orang y ang datang itu, "Mahisa Murti berhenti sejenak,
lalu "Karena itu, kita harus menempuh satu cara y ang tidak
mereka duga sebelumnya. Kita akan keluar dari padepokan ini
dan justru kitalah y ang akan meny ergap mereka. Kita harus
memanfaatkan kesempatan di malam hari nanti untuk
menyelamatkan hidup kita."
Hidup perguruan dan padepokan kita, serta hidup kita
sendiri," Mahisa Murti berhenti sejenak, lalu "Meskipun cara
itu tidak berarti bahwa kita tidak akan m engalami kesulitan
sama sekali. Mungkin justru akan memungut korban yang
cukup banyak diantara kita. Kita yang sekarang berbicara
disini, mungkin akan berkurang separuh diantaranya. Dengan
demikian, maka kemungkinan untuk hidup dan mati bagi kita
sama besarnya. Tetapi jika kita keluar dari padepokan ini,
maka kemungkinan untuk hidup bagi kita tentu lebih besar
daripada mati itu asal kita mampu mengendalikan diri kita."
Orang-orang Bajra Seta yang berkumpul itu
mengangguk-angguk. Sementara itu, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat tidak lagi membuang waktu. Mereka pun segera
membagi orang-orangnya dalam kelompok-kelompok besar
yang terbagi lagi ke dalam kelompok-kelompok kecil. Empat
kelompok diantara m ereka akan tetap berada di padepokan.
Mereka harus mempertahankan padepokan itu jika sebagian
dari lawan mereka berusaha untuk meny erang padepokan itu.
Dengan singkat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
menjelaskan apa y ang mereka hadapi dalam keseluruhan.
Kemudian membagi seluruh penghuni padepokan itu menjadi
dua. Ma sing-masing akan mendapat penjelasan dari Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Sesuai dengan sifatnya, maka k eterangan Mahisa Pukat
kedengarannya memang lebih keras dari Mahisa Murti.
Namun jiwa dari keterangan mereka sama sekali tidak
berbeda. Keduanya telah m enunjukkan cara y ang paling baik
bagi m ereka di saat-saat mereka menyergap lawan y ang akan
mengadakan perkemahan di sekitar padepokan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah m empergunakan
kesempatan yang singkat itu untuk memberikan penjelasan
dan bahkan memberikan peragaan apa y ang harus mereka
lakukan. Mereka telah memberikan petunjuk-petunjuk untuk
mengatasi kesulitan y ang timbul berdasarkan pengalaman
yang telah diperoleh pada saat-saat mereka melakukan
peny ergapan di Lemah Warah.
Meskipun y ang dapat mereka berikan sebagai bekal
tidak sebesar yang dapat mereka berikan kepada sekelompok
yang besar y ang telah mereka bawa ke Lemah Warah, namun
apa y ang dapat dijelaskan oleh Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat itu-pun cukup memadai.
Demikianlah, maka segala sesuatunya sudah diatur
sebaik-baiknya. Dengan pengertian, bahwa mereka harus
memenuhi segala ketentuan sehingga rencana mereka tidak
akan gagal. Ketika malam turun, maka seperti y ang dikatakan oleh
orang-orang y ang mengaku dari perguruan Suriantal itu,
orang-orang yang datang dari perguruan Manik Wungu dan
Randu Papak telah m embawa seluruh pasukannya mendekati
padepokan. Mereka telah m engadakan perkemahan di sekitar
padepokan itu. Dengan demikian maka mereka telah
memamerkan kekuatan mereka kepada orang-orang
padepokan Bajra Seta. Namun dalam pada itu, dengan diam-diam orang-orang
Bajra Seta sebagian besar telah berada di luar padepokan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menempatkan orangorang
y ang telah mengalami sergapan di malam hari diantara
kelompok-kelompok y ang ada untuk memberikan kesan
tentang pengalaman mereka. Namun dalam pada itu,
kelompok y ang khusus diantara mereka dan para petugas
sandi dari Lemah Warah, masih diperlukan. Mereka
merupakan kekuatan pokok yang akan menusuk ke pusat
perkemahan lawan dengan cara sebagaimana pernah m ereka
lakukan. Namun mereka m emang harus menghindari orangorang
terpenting dari kedua perguruan itu, karena mereka
tentu orang -orang berilmu tinggi.
Kepada orang-orang Bajra Seta yang berada di luar
padepokan itu telah dipesankan, bahwa mereka akan bergerak
serentak setelah terdengar isy arat. Agar isyarat itu tidak dapat
segera diketahui oleh orang-orang y ang sedang memamerkan
kekuatan mereka di luar padepokan, m aka isy arat itu akan
diberikan di dalam padepokan. Pada saat yang sudah
ditentukan, di tengah malam, di padepokan Bajra Seta akan
terdengar suara kentongan dengan nada dara muluk yang
biasanya memang dibuny ikan di tengah malam. Namun suara
kentongan itu merupakan isy arat, bahwa pada saat itu,
bersamaan orang-orang Bajra Seta y ang berada di luar
padepokan akan meny erang orang-orang yang diharapkan
akan menjadi lengah. Dengan cermat, beberapa orang pengamat telah
mengamati perkemahan orang-orang Manik Wungu dan
orang-orang Randu Papak itu dari atas dinding. Menurut
pengamatan dari jarak y ang agak jauh itu maka nampaknya
orang-orang y ang berkemah di luar padepokan itu, memang
agak kurang berhati-hati. Meskipun di beberapa tempat telah
dinyalakan obor, perapian dan lampu minyak. Namun para
petugas y ang berjaga-jaga agaknya menganggap bahwa orangorang
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
padepokan Bajra Seta itu tidak berbahaya.
Sementara itu orang-orang Bajra Seta memang
memberikan kesan kesiagaan di dalam dinding padepokan.
Orang-orang y ang tersisa di padepokan itu, seakan-akan
merupakan kekuatan yang dikerahkan diatas dinding.
Beberapa orang telah mengangkut tombak dan anak panah ke
panggungan, seakan-akan akan dipergunakan di keesokan
harinya untuk menahan serangan dari luar.
Dengan demikian, maka orang -orang di perkemahan itu
memang menganggap, bahwa padepokan Bajra Seta benarbenar
telah m empersiapkan diri untuk bertempur jika orangorang
y ang mengepung padepokannya itu datang meny erang.
Karena itulah maka orang-orang yang berada di
perkemahan di luar padepokan itu merasa diri m ereka sama
sekali tidak dalam bahaya. Orang-orang di padepokan Bajra
Seta tentu akan menunggu dengan busur dan anak panah.
Mereka akan bertempur mati-matian untuk mempertahankan
padepokannya Namun bagi orang-orang yang mengepung
padepokan itu, kekuatan Bajra Seta tidak akan mampu
menahan sejumlah orang-orang Manik Wungu dan Randu
Pa pak jauh lebih banyak dari orang-orang Bajra Seta
meskipun jumlah itu sudah berkurang di perjalanan.
Beberapa orang Manik Wungu dan Randu Papak masih
sempat tersenyum ketika mereka melihat kesibukan diatas
dinding padepokan sebelum mereka tertidur ny enyak. Seorang
diantara mereka sempat bergumam, Tunggulah sampai
matahari terbit. Kalian tidak akan sempat melihat lagi
matahari itu terbenam. Menj elang tengah malam, maka sebagian besar dari
orang-orang yang berkemah di luar padepokan itu telahteratur.
Beberapa orang memang berjaga-jaga, namun mereka
menganggap bahwa keadaan tidak membahayakan bagi
mereka. Namun dalam pada itu, orang-orang Bajra Setelah y ang
menjadi tegang. Menjelang tengah malam mereka telah
bersiap-siap. Mereka yang berada diluar padepokan, diantara
semak-semak dan hutan perdu telah mempersiapkan diri
sebaik-baiknya m enghadapi tugas y ang akan mereka lakukan.
Mereka akan m eny erang dengan tiba -tiba orang-orang yang
sedang tidur itu. Namun jika m ereka kemudian bersiap dan
mapan untuk melawan, mereka harus ditinggalkan.
Orang-orang yang meny erang lawan dengan diam-diam
itu harus menghilang di tempat-tempat tersembunyi di sekitar
arena. Namun mereka harus berusaha untuk merayap kembali
masuk ke dalam dinding padepokan. Hanya jika hal itu tidak
mungkin dilakukan, maka mereka akan bertempur di
keesokan harinya di luar dinding.
Demikianlah maka malam pun merambat semakin
dalam. Ketika tengah m alam tiba, m aka semua orang telah
bersiap. Petunjuk-petunjuk terakhir telah diberikan. Jika
terdengar isy arat, maka mereka harus segera bertindak.
Ternyata sejenak kemudian telah terdengar suara
kentongan dengan nada dara muluk. Buny i kentongan
sebagaimana biasa terdengar di tengah malam. Beberapa
orang y ang berada di luar padepokan juga mendengar suara
kentongan itu. Tetapi mereka sama sekali tidak menghiraukan.
Mereka bahkan telah menarik kain panjangnya untuk
mengusir dingin, sehingga beberapa saat kemudian mereka
telah tertidur lagi. Pa da saat yang demikianlah orang -orang Bajra Seta
bergerak dari tempat mereka bersembuny i. Mereka tidak
boleh merayap seperti siput. Tetapi mereka harus bergerak
seperti burung sikatan menyambar bilalang.
Demikianlah, maka sejenak kemudian dengan diamdiam
beberapa puluh anak panah telah terlepas dari busurnya.
Langsung dibidikkan kepada orang-orang yang sedang
berjaga-jaga. Beberapa orang sama sekali tidak sempat menyadari apa
yang terjadi. Namun beberapa orang y ang lain memang
sempat mengaduh. Namun suaranya bagaikan hilang di
tenggorokannya. Sekelompok orang-orang terpilih telah berusaha
merayap mendekat. Mereka tidak membunuh para penjaga
dengan anak panah dan busur. Tetapi pada kesempatan yang
menentukan, mereka telah melempar dengan pisau-pisau
belati. Bahkan beberapa orang tidak melemparkan pisaunya,
tetapi sempat meloncat menerkam dan menikam ke arah
jantung. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah
melakukannya. Namun keduanya tertegun ketika melihat
orang-orang y ang masih tidur berserakan. Memang ada
semacam hambatan didalam diri mereka untuk melakukan
pembunuhan terhadap orang-orang y ang sedang tidur
ny enyak itu. Tetapi jika m ereka t idak m elakukannya, m aka
padepokannya besok akan dihancurkan oleh orang -orang itu.
Mereka hanya mempunyai waktu sekejap untuk
menentukan sikap. Namun mereka tidak dapat berbuat lain,
justru karena orang-orang Bajra Seta yang lain telah
melakukannya. Mereka benar-benar bergerak seperti seekor
burung sikatan menyambar bilalang.
Memang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak
mempunyai pilihan lain. Mereka harus melakukannya
betapapun hati mereka bergejolak. Jika mereka terpaksa
melakukannya, maka itu terdor ong oleh tanggung jawab
mereka terhadap hak dan kewajiban mereka sebagai
pemimpin perguruan dan padepokan Bajra Seta.
Dengan demikian, maka kedua anak muda itu telah
melakukan tugas mereka. Sejenak kemudian, maka
perkemahan orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak itu
telah menjadi gempar. Peri stiwa yang pernah terjadi itu telah terulang kembali.
Ju stru di muka hidung padepokan yang akan dihancurkannya.
Bahkan orang-orang yang meny ergap mereka yang lengah itu
menjadi semakin berlipat ganda.
Orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak itu tidak
sempat menghindar ketika anak panah bagaikan hujan
menikam setiap jantung. Mereka y ang terkejut dan bangkit
berdiri, tanpa mengaduh lagi, telah r oboh kembali dengan
anak panah y ang tertancap di dada.
Bahkan di perkemahan itu berloncatan orang-orang
Bajra Seta dengan senjata telanjang di tangan.
Orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak hampir
tidak mempunyai kesempatan sama sekali. Dari ujung sampai
ke ujung perkemahan di sekitar padepokan Bajra Seta
bagaikan telah menjadi merah karena darah yang mengalir
dari tubuh orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak.
Para pemimpin padepokan Manik Wungu dan Randu
Pa pak yang sedang beristirahat pun terkejut mendengar
keributan y ang terjadi. Dengan cepat mereka menyadari,
bahwa mereka telah melakukan kesalahan yang sama
sebagaimana terjadi di Lemah Warah. Orang-orang yang tidak
dikenal telah meny erang mereka justru pada saat mereka
sedang beri stirahat. Dengan tangkas para pemimpin dari kedua padepokan
itu meloncat bangkit. Terdengar mereka meneriakkan aba-aba
sambil mengacukan senjata mereka.
Ketika beberapa anak panah m eluncur dari kegelapan
mengarah kepada para pemimpin itu, maka dengan
tangkasnya m ereka berloncatan sambil menangkis serangan
itu. "Licik kalian," teriak pemimpin tertinggi dari padepokan
Manik Wungu, "marilah, siapakah orang yang memimpin
kalian berbuat curang seperti ini."
Tidak ada jawaban. Tetapi serangan dari kegelapan itu
sama sekali tidak mereda.
Namun dalam pada itu, orang-orang y ang sedang
tertidur ny enyak itu pun telah terbangun seluruhnya. Yang
sempat memperhitungkan keadaan, telah bangkit sambil
memutar pedang mereka untuk melindungi diri dari sergapan
anak panah. Bahkan pisau-pisau belati yang terbang ke arah
dada. Perkemahan itu benar-benar telah diliputi oleh
kegemparan y ang luar biasa. Namun lambat laun, orang-orang
Manik Wungu dan Randu Papak telah menyadari sepenuhnya
apa y ang telah t erjadi. Namun sudah terlambat. Yang terjadi
itu hanya memerlukan waktu yang sangat singkat. Ju stru
ketika orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak itu
bersiap untuk melakukan perlawanan, orang-orang yang
menyergap mereka dari kegelapan itu telah berhamburan
meninggalkan mereka. Memang masih ada anak panah yang
meluncur berurutan dari kegelapan, namun semakin lama
menjadi semakin jarang. Pemimpin padepokan Manik Wungu dan Randu Papak
yang marah tidak meny erah begitu saja. Dengan lantang
pemimpin-pemimpin mereka itu telah m eneriakkan aba-aba,
"Kejar mereka sampai dapat. Jangan ampuni lagi, siapapun
yang kalian ketemukan."
Orang-orang kedua padepokan yang marah itu tidak
menunggu perintah berikutnya. Dengan senjata yang teracu
mereka berlari ke arah anak panah y ang terakhir meluncur
dari kegelapan. Mereka merasa diri mereka mempunyai
pengalaman y ang luas di segala macam medan betapapun
beratnya. Di siang hari maupun di malam hari. Karena itu
maka mereka sama sekali tidak ragu-ragu m emburu orangorang
y ang telah meny ergap mereka dari kegelapan itu.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata telah
memperhitungkannya. Sebagian dari pasukan Bajra Seta,
justru y ang terpilih, tidak m eninggalkan m edan itu. Mereka
justru menunggu di dalam kegelapan dengan busur dan anak
panah. Demikian orang-orang Bajra Seta memburu ke arah
para peny erang mereka lari ke kegelapan, maka tiba-tiba saja
mereka telah disergap pula oleh anak panah y ang bagaikan
ditaburkan ke arah mereka.
Terdengar umpatan-umpatan kasar. Beberapa orang
sempat menangkis serangan itu. Namun ada juga diantara
mereka y ang terguling jatuh tanpa sempat mengaduh.
Yang kemudian meluncur ke arah mereka bukan saja
anak panah y ang jumlahnya tidak terhitung, namun tiba-tiba
sa ja beberapa orang bagaikan meny ergap mereka dengan
melontarkan pisau-pisau kecil dari jarak y ang lebih dekat.
Untuk sesaat orang -orang y ang memburu kegelapan itu
memang menjadi bingung. Namun dalam waktu singkat
mereka telah mampu mengatasi kebingungan mereka. Dengan
sigapnya mereka menghadapi lawan yang bersembunyi dalam
kegelapan. Mereka yang berpengalaman bertempur di gelapnya
malam, seakan-akan mempunyai penglihatan yang mampu
menembus gelap. Dengan tangkas mereka menangkis anakanak
panah y ang meluncur ke arah mereka.
Namun dalam waktu y ang singkat itu, beberapa orang
telah terbanting jatuh. Korban ternyata telah bertambah lagi.
Dengan pasukan pilihan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah menghambat mereka. Ternyata mereka telah
memperhitungkan setiap kemungkinan. Karena itu, maka
sejenak kemudian mereka pun telah menarik diri ke arah yang
berbeda dengan pasukan Bajra Seta y ang lain.
Orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak benarbenar
mengalami kesulitan menghadapi sergapan yang tibatiba
itu. Ternyata korban yang jatuh karena kesalahan mereka
yang telah diulang sampai dua kali itu cukup banyak. Bahkan
terlalu banyak. Beberapa saat kemudian, maka medan pertempuran itu
menjadi sepi. Orang-orang Bajra Seta telah menarik
pasukannya ke dalam gelap, bersembuny i ke balik gerumbulgerumbul
perdu dan pepohonan. Sementara itu orang-orang
Manik Wungu dan Randu Papak pun telah menahan diri
untuk tidak mengejar mereka. Betapapun jantung mereka
bergejolak, apalagi mereka yang disebut siluman-siluman yang
mengerikan, namun mereka tidak dapat m enolak keny ataan,
bahwa mereka justru berhadapan dengan iblis-iblis y ang lebih
nggegirisi. Pemimpin kedua padepokan itu dengan segera telah
memanggil beberapa orang pemimpin kelompok y ang m asih
tersisa. Namun ternyata laporan mereka benar-benar
membuat jantung kedua pemimpin itu hampir meledak.
Korban yang jatuh ternyata melampaui dugaan mereka.
Hampir separuh dari orang -orang Manik Wungu dan Randu
Pa pak telah terbunuh atau luka-luka berat sehingga mereka
tidak lagi mampu membantu apa pun lagi.
"Kita adalah siluman-siluman dungu. Padepokan kita
disebut sebagai sarang siluman karena kita ditakuti oleh
siapapun. Namun disini, dihadapan padepokan yang baru saja
dibentuk serta perguruan y ang baru saja lahir, kita telah
dibantai tanpa dapat berbuat apa pun juga. Jumlah kita
sekarang kurang dari separuh dari saat kita berangkat. Dua
kali kita mengalami perlakuan yang sangat licik. Semula kita
mengira, bahwa yang melagukannya adalah petugas-petugas
sandi dari Lemah Warah yang tidak mau meny erang dengan
terang-terangan. Namun ternyata dugaan itu keliru. Yang
melakukan tentu orang-orang padepokan Bajra Seta menilik
cara dan kesempatan yang mereka pergunakan.
"Ternyata mereka lebih liar dari kita. Mereka sanggup
menyergap kita pada jangkauan y ang sangat jauh. Mereka
telah m eny ongsong kita masuk jauh ke dalam wilayah Lemah
Warah," berkata pemimpin padepokan Randu Papak.
"Tetapi bagaimana mungkin mereka dapat menghitung
waktu y ang tepat"," bertanya pemimpin padepokan Manik
Wungu. Ternyata orang bertongkat y ang mengaku dari
perguruan Suriantal itulah y ang menjawab, "Bukankah kita
dengan sombong m engatakan, bahwa kita akan datang pada
saat bulan purnama di bulan berikutnya. Dan itulah yang
benar-benar kita lakukan. Kita terlalu menganggap ringan
padepokan Bajra Seta y ang baru saja lahir itu. Namun yang
lahir itu benar-benar anak iblis y ang licik."
"Sekarang, apa y ang dapat kita lakukan?" bertanya
seorang pemimpin kelompok.
Di luar kehendak mereka, maka mereka telah
memandangi dinding padepokan. Bahkan seorang diantara
mereka bergumam hampir di luar sadarnya, "Kita memasuki
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
padepokan itu sekarang?"
Sejenak orang-orang yang mendengarnya telah terpukau
oleh gumam itu. Tetapi akhirnya pemimpin padepokan Manik
Wungu itu pun berkata, "Kita tidak mempunyai kekuatan
cukup." "Tetapi mereka masih tersebar," jawab pemimpin
kelompok y ang kehilangan lebih dari separuh orang-orangnya.
"Justru karena itu. Mereka akan dengan cepat
menyergap kita yang sedang sibuk menghindari serangan anak
panah dari atas dinding. Jangan kau kira bahwa padepokan itu
benar-benar kosong. Kau lihat, beberapa orang yang diatas
dinding itu telah meny iapkan busur dan anak panah. Bahkan
lembing-lembing yang besar dan panjang. Sementara itu kita
baru saja dicengkam oleh kebingungan yang sangat, serta
kehilangan separuh dari kekuatan kita," berkata pemimpin
perguruan Manik Wungu. Pemimpin padepokan Randu Papak pun menganggukangguk.
Katanya, "Kita akan melihat esok pagi. Apakah kita
masih memiliki kemampuan untuk melawan mereka. Apalagi
memasuki padepokan Bajra Seta itu."
Memang tidak ada y ang dapat mereka lakukan. Namun
dalam pada itu pemimpin padepokan Manik Wungu pun
berkata dengan suara lantang y ang dibebani oleh perasaannya
yang sakit, "Tidak seorang pun diantara kita yang boleh tidur
malam ini. Kita semua akan berjaga-jaga dengan penuh
kewaspadaan. Iblis itu akan dapat merayap lagi mendekati
perkemahan kita ini. Jika kita mendapatkan seorang diantara
kita yang tertidur apa pun alasannya, maka orang itu akan kita
bunuh tanpa ampun." "Aku sependapat," sahut pemimpin padepokan Randu
Pa pak, "kita harus belajar dari pengalaman."
Demikianlah, maka orang -orang Manik Wungu dan
Randu Papak y ang tersisa itu pun seluruhnya telah berjagajaga.
Mereka berada di tempat-tempat y ang agak terlindung
dalam kegelapan. Mereka m engamati semua penjuru dengan
ketajaman penglihatan mereka.
Namun orang-orang Bajra Seta tidak berlaku bodoh.
Mereka tidak lagi mendekati perkemahan itu, apalagi
menyerang. Mereka mengerti bahwa orang-orang yang marah itu
tentu akan bersiaga sepenuhnya. Namun yang mereka lakukan
itu telah terlambat. Tidak ada cara untuk m enolong mereka
yang sudah terlanjur luka parah apalagi y ang sudah terbunuh.
Kematian-kematian y ang m endebarkan sehingga goncangangoncangan
perasaan itu membekas sangat dalam di hati
mereka. Tetapi di samping perasaan itu, dendam pun bagaikan
menyala sampai ke ubun-ubun.
Orang-orang Bajra Seta, sebagaimana direncanakan
telah menyusup kembali mendekati dinding padepokan.
Mereka harus menghindari penglihatan orang-orang di
perkemahan. Satu-satu mereka telah meloncat dinding masuk
ke dalam padepokan Bajra Seta.
Demikian mereka berkumpul, maka m ereka tidak dapat
menahan kegembiraan yang bergejolak di dalam hati m ereka,
karena keberhasilan mereka itu.
Namun dalam pada itu, Mahendra y ang melihat
kegembiraan yang hampir tidak terkendalikan itu sempat
memberi peringatan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Katanya, "Kita telah berhasil mengurangi kekuatan mereka
dalam saat-saat mereka lengah. Jika kalian sekarang karena
kegembiraan ini juga menjadi lengah, maka yang akan terjadi
adalah sebaliknya." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menganggukangguk.
Mereka dapat mengerti peringatan ay ahnya itu,
sehingga karena itu, maka mereka pun telah m emerintahkan
kepada orang-orangnya untuk mempergunakan kesempatan
sebaik-baiknya. Mereka memerlukan istirahat meskipun
hanya beberapa saat. Mungkin di pagi harinya m ereka harus bertempur lagi
melawan sisa orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak.
Dengan demikian maka orang-orang Bajra Seta itu pun
telah mempergunakan waktu y ang tersisa untuk beristirahat.
Setelah mencuci diri, maka mereka pun telah berbaring di
barak-barak mereka m asing-masing, sementara m ereka yang
bertugas pun telah mendapat pesan, agar mereka tidak
menjadi lengah. Dalam k elengahan itu, akibatnya akan dapat
menjadi buruk sekali. Mereka telah dihadapkan pada satu
contoh yang baru mereka saksikan dihadapan hidung mereka.
Di sisa malam itu sama sekali tidak ada gerakan k edua
belah pihak. Masing-masing berada di tempatnya. Sementara
itu, orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak tidak banyak
menghiraukan kawan-kawan mereka yang sudah terlanjur
mati. Yang t erluka tetapi sudah tidak ada lagi kemungkinan
untuk ikut berbuat sesuatu dalam gerakan apa pun yang akan
mereka lakukan, tidak pula mendapat perhatian.
"Yang mati biarlah mati," berkata pemimpin padepokan
Manik Wungu dan Randu Papak itu.
Hanya ada diantara mereka y ang mendapat pert olongan
dari kawan-kawan dekat mereka. Tetapi sudah barang tentu
hanya sekedarnya dan tidak banyak membantu dalam
peny embuhan. Namun bagi mereka y ang m asih mempunyai
harapan untuk bertahan, pertolongan y ang sederhana sekali
pun akan dapat membantu meringankan penderitaan mereka.
Tetapi orang-orang Bajra Seta memang tidak dapat
beristirahat sepuas-puasnya. Namun yang sedikit itu telah
membuat mereka menjadi segar kembali.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
masih memikirkan, bagaimana mereka dapat meny elamatkan
orang-orangnya yang tertinggal di luar padepokan. Mungkin
terbunuh, mungkin terluka. Agaknya dalam sergapan yang
kedua ini, orang-orang Bajra Seta tidak dapat menghindarkan
korban sama sekali sebagaimana mereka meny ergap di Lemah
Warah. Orang-orang yang kurang terlatih, serta mereka yang
tidak dapat lagi mengendalikan perasaan y ang bergejolak,
agaknya telah terjebak ke dalam k esulitan di saat-saat orang
Manik Wungu dan Randu Papak m enemukan keseimbangan
diri setelah kebingungan beberapa saat.
Tetapi untunglah bahwa orang-orang Manik Wungu dan
Randu Papak tidak menghiraukan orang-orang terbunuh dan
terluka, sehingga mereka tidak menemukan orang-orang Bajra
Seta yang sedang berjuang untuk mengatasi rasa sakit.
Namun m enurut perhitungan setelah orang-orang Bajra
Seta itu kembali, korban diantara mereka terhitung kecil
sekali. Meskipun demikian yang kecil itu tidak boleh diabaikan
begitu saja. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terpaksa
menunggu kesempatan. Mereka tidak mau justru m enambah
korban lebih banyak lagi. Jumlah mereka tidak banyak,
sehingga karena itu maka mereka harus sangat berhati-hati.
Tetapi dengan keberhasilan mereka m eny ergap lawan,
maka jumlah mereka pun telah menjadi seimbang. Bahkan
mungkin orang-orang Bajra Setelah yang menjadi lebih
banyak dari lawan mereka.
Menj elang matahari terbit, maka orang-orang Bajra Seta
telah bersiap menunggu kemungkinan y ang bakal terjadi.
Namun mereka telah lebih dahulu makan dan minumsecukupnya.
Jika mereka harus bertempur sehari penuh, maka
mereka tidak akan kehabisan tenaga karena kelaparan.
Dalam pada itu, dendam dan kemarahan di jantung
orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak benar-benar
telah mengaburkan perhitungan mereka. Meskipun sebagian
diantara m ereka telah terbunuh dan terluka, namun mereka
tidak berniat mengurungkan serangan mereka.
"Kita y akin akan menang," berkata pemimpin-pemimpin
padepokan itu, "jumlah orang-orang Bajra Seta tidak t erlalu
banyak." Karena itu, dengan persiapan y ang kurang baik, maka
orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak itu telah
bertekad untuk menghancurkan padepokan Bajra Seta.
Mereka makan seadanya dan minum asal saja membasahi
tenggorokan. Namun beberapa orang diantara mereka yang
bertugas m eny iapkan makan dan m inum telah bekerja keras
sejauh dapat mereka lakukan.
Sebelum matahari melontarkan sinarnya y ang pertama,
maka orang-orang y ang berkemah diluar padepokan itu telah
mengatur diri. Mereka tidak ingin mengepung padepokan itu
selingkaran penuh. Mereka berniat untuk menghancurkan
padepokan itu dari depan.
"Kita tidak akan membagi kekuatan. Kita bentur
kekuatan Bajra Seta di bagian depan padepokan mereka. Jika
mereka menebarkan orang-orangnya di sepanjang dinding
padepokannya, maka yang berada di bagian depan tentu hanya
sebagian saja dari seluruh kekuatan y ang ada. Namun kita
memang harus memberikan kesan seakan-akan kita
menyerang dari segala penjuru," berkata pemimpin
padepokan Manik Wungu. Orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak y ang
dibakar oleh dendam y ang menyala itu tidak sempat berpikir
panjang. Mereka pun dengan serta m erta telah menganggap
rencana itu sebagai satu rencana y ang matang.
Beberapa orang diantara mereka memang telah
berusaha untuk berada di segala sisi dari padepokan itu.
Sebelum matahari terbit, maka mereka telah benar-benar
merayap mendekati padepokan itu.
Namun ketika cahaya fajar menerangi embun di tanahtanah
yang lembab, maka orang-orang diatas panggungan di
dinding padepokan itu melihat apa y ang mereka hadapi. Mulamula
mereka m emang m enyangka bahwa padepokan mereka
telah terkepung. Namun akhirnya mereka pun mengetahui,
bahwa sebagian terbesar dari kekuatan lawan berada di depan.
Beberapa penghubung telah datang kepada para
pemimpin kelompok untuk memberitahukan keadaan yang
sebenarnya di seluruh medan.
Dengan diam-diam, m aka orang -orang Bajra Seta pun
telah menyusun kekuatan mereka pula. Sebagian terbesar dari
seluruh kekuatan Bajra Seta juga diletakkan di bagian depan
dari padepokan mereka. Ketika matahari kemudian mulai menjenguk di
cakrawala, maka orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak
itu mulai meny erang. Mereka memang berusaha untuk
memecahkan pintu gerbang.
Dua orang pemimpin tertinggi dari kedua padepokan itu
telah menggabungkan kekuatan ilmu mereka. Keduanya y akin
bahwa keduanya akan dapat memecahkan pintu gerbang
padepokan itu. Dengan segenap kekuatan ilmu y ang ada, maka
keduanya telah meloncat dan m enghantam pintu gerbang itu.
Keduanya sama sekali tidak m enghiraukan orang-orang yang
berada di atas pintu gerbang. Namun para pengikut merekalah
yang dengan sendirinya telah berusaha m elindungi mereka.
Para pengikutnya pun telah meny erang orang-orang yang
berada diatas pintu gerbang itu dengan lontaran anak panah
yang tidak terhitung jumlahnya.
Ternyata bahwa kedua orang itu telah luput dari tikaman
anak panah orang-orang Bajra Seta. Keduanya berlari dengan
kecepatan yang sulit diikuti. Kemudian hampir bersamaan
keduanya meloncat dan menghantam pintu gerbang itu
dengan kaki mereka. Kekuatan ilmu y ang besar telah mengguncang pintu
gerbang itu. Namun pintu gerbang itu tidak pecah karenanya.
Namun demikian, beberapa ikatannya telah menjadi retak.
Karena itu, maka kedua orang itu telah m engulanginya.
Mereka sekali lagi mengambil ancang-ancang. Kemudian
dibawah lindungan orang-orangnya keduanya telah menyusup
diantara serangan orang -orang Bajra Seta y ang harus
memperhitungkan pula serangan lawan-lawan mereka yang
ada di bawah. Ternyata pada serangan yang kedua, pintu gerbang itu
bukan saja telah terguncang. Tali-taliny a tidak lagi sekedar
retak. Tetapi beberapa diantaranya telah terputus, sehingga
pintu itu-pun telah pecah berserakan.
Dengan demikian maka orang-orang Manik Wungu dan
Randu Papak y ang tersisa telah m enghambur berlari m enuju
ke pintu gerbang. Namun betapapun liarnya mereka, namun
mereka masih juga sempat memperhitungkan anak panah
yang m enghambur dari atas pintu gerbang itu. Mereka telah
menangkis serangan-serangan itu dengan senjata mereka,
sementara y ang lain m asih juga melepaskan anak panah ke
arah mereka y ang berada diatas pintu gerbang.
Namun hal itu sudah diperhitungkan oleh orang-orang
Bajra Seta. Karena itu demikian pintu gerbang terbuka dan
orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak y ang liar itu
berlari-larian masuk, maka didalam pintu gerbang yang pecah
itu telah menunggu orang-orang Bajra Seta. Bahkan ketika
mereka menyusup pintu gerbang, betapapun mereka berusaha
melindungi diri , namun ada juga satu dua diantara mereka
yang tertusuk anak panah.
Tetapi orang-orang Bajra Seta pun ada juga y ang
ternyata telah tertikam anak panah orang-orang Manik Wungu
dan Randu Papak. Sejenak kemudian, maka pertempuran pun telah terjadi
antara orang-orang Bajra Seta melawan orang-orang Manik
Wungu dan Randu Papak. Namun jumlah kedua belah pihak
tidak lagi berselisih terlalu banyak. Bahkan orang-orang Bajra
Seta agaknya yang lebih banyak dari lawan-lawannya.
Namun dalam pertempuran terbuka seperti itu, barulah
orang-orang Bajra Seta mengetahui dengan jela s, kenapa
lawan-lawan mereka disegani oleh banyak perguruan.
Perguruan dan padepokan mereka dikenal sebagai sarang
siluman. Dalam pertempuran terbuka itu ternyata betapa kasar
dan liarnya orang-orang Manik Wungu dan Randu Papak.
Mereka sama sekali tidak menganggap ketentuan apa pun
yang dapat mengikat mereka. Mereka bertempur sesuai
dengan kemauan mereka sendiri. Mereka sama sekali tidak
menghargai kebia saan dan paugeran yang berlaku di medan
perang. Yang mereka lakukan adalah membunuh dan
membunuh. Selain mereka benar-benar buas dan liar, m aka
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dendam di hati mereka membuat mereka semakin tidak
terkendali. Namun orang-orang Bajra Seta adalah orang-orang y ang
terlatih baik. Sebagian dari mereka pernah juga mengalami
hidup tanpa paugeran. Mereka pernah juga menjadi orangorang
liar seperti lawan-lawan mereka itu.
Karena itu, maka mereka mampu memperhitungkan
beberapa langkah y ang akan diambil oleh orang-orang liar itu.
Namun ketika orang-orang Manik Wungu dan Randu
Pa pak itu bertempur dengan kasar dan liar, maka orang-orang
Bajra Seta pun telah menjadi semakin keras pula. Mereka
memang harus melawan sikap y ang keras dengan cara yang
keras pula. Dengan demikian maka pertempuran itu semakin lama
menjadi semakin seru. Semakin cepat dan semakin keras.
Kedua belah pihak telah mengerahkan segenap kemampuan
mereka. Mereka memang tidak mempunyai pilihan lain dalam
pertempuran y ang demikian.
Namun ternyata bahwa orang-orang Bajra Seta y ang
telah m endapat latihan-latihan yang teratur, agaknya mampu
berbuat lebih baik. Dalam sikap y ang kasar, bekal yang
dimiliki oleh orang -orang Bajra Seta ternyata lebih banyak
dari lawan-lawan mereka. Dengan demikian maka beberapa saat kemudian,
keseimbangan pertempuran itu menjadi semakin jelas. Orangorang
Manik Wungu dan Randu Papak y ang sudah kehilangan
banyak pengikutnya, sulit untuk mengimbangi orang-orang
Bajra Seta yang mampu juga bertempur lebih keras, namun
lebih mapan. Hanya beberapa orang yang ternyata tidak tahan melihat
sikap lawan-lawan mereka yang buas dan liar. Yang bertempur
sambil mengumpat-umpat dengan kata-kata kotor dan kasar.
Sehingga mereka berusaha untuk menemukan lawan yang
lain. Dalam pada itu, para pemimpin kedua padepokan y ang
telah menyerang Bajra Seta itu pun telah melihat bahwa
orang-orangnya telah terdesak.
Karena itu, maka mereka telah berusaha untuk
membunuh lawan sebanyak-banyaknya. Keduanya ingin
menuntut balas kematian orang-orang mereka y ang telah
disergap selagi mereka lengah.
Dengan garang keduanya berloncatan ke sana kemari.
Setiap sentuhan tangan mereka akan berarti maut. Kemarahan
yang m eny esak didalam dada mereka telah tertumpah lewat
kemampuan ilmunya. Ternyata mereka sama sekali tidak
memilih korban. Siapa pun juga y ang ditemuinya di medan
telah dihancurkannya. Namun tiba-tiba mereka tertegun. Dua orang anak muda
telah dengan tergesa -gesa turun pula diantara m ereka yang
sedang bertempur dengan keras dan kasar itu.
Mahisa Murti ternyata telah berhadapan dengan
pemimpin padepokan Manik Wungu, sementara Mahisa Pukat
telah berhadapan dengan pemimpin padepokan Randu Papak.
Dalam pada itu Mahendra pun telah berada di medan pula
untuk mengamati kedua anaknya y ang bertempur dengan
iblis-iblis dari padepokan yang disebut sarang siluman.
Namun mau tidak mau, maka ia pun harus pula ikut
bertempur. Ia harus melindungi dirinya jika siluman-siluman
yang ka sar itu telah m enyerangnya. Bukan sekedar bermainmain.
Tetapi mereka benar-benar ingin membunuh. Tetapi
Mahendra sendiri bukan seorang pembunuh y ang garang.
Karena itu, maka ia berada di medan sebagaimana orangorang
lain berada di medan itu pula.
Dalam pada itu, pemimpin padepokan Manik Wungu
yang bertemu dengan Mahisa Murti telah bertanya, "Kaukah
salah seorang dari kedua orang yang mengaku Putut dan
memimpin perguruan ini?"
Mahisa Murti mengangguk sambil menjawab, "Ya. Aku
adalah Putut Mahisa Murti. Aku adalah satu dari dua orang
Putut y ang m emimpin padepokan ini. Karena itu, maka aku
peringatkan agar kau menarik diri dari padepokan ini."
"Kau jangan mengigau," geram pemimpin dari
padepokan Manik Wungu itu, "aku datang untuk
menghancurkan padepokanmu. Kau telah dengan licik
membunuh kawan-kawanku. Satu cara y ang tidak akan
dilakukan oleh seorang laki-laki."
"Omong kosong," sahut Mahisa Murti, "apakah y ang kau
lakukan juga pantas dilakukan oleh laki -laki" Kau datang ke
padepokanku dengan jumlah orang y ang jauh lebih banyak
dari orang-orangku. Yang aku lakukan adalah sekedar
mengurangi jumlah orang-orangmu sehingga jumlah kita
seimbang. Nah, jika jumlah kita sudah seimbang, barulah kita
bertempur sebagaimana terjadi sekarang ini. Siapakah yang
menang, ia benar-benar m enang. Bukan karena jumlah yang
banyak." "Persetan," geram pemimpin padepokan Manik Wungu
itu, "kau harus menghargai kebesaran padepokanku."
"Jika demikian maka kau juga harus menghargai
kecerdikan kami menghadapi kalian," berkata Mahisa Murti.
"Anak setan," geram orang itu.
"Bukankah padepokanmu yang dikenal dengan sarang
Siluman " Agaknya kaulah iblis itu. Bahkan pemimpin dari
segala macam iblis," berkata Mahisa Murti.
"Aku tidak peduli," sahut orang y ang selama ini
berbangga bahwa padepokannya disebut sarang siluman,
"sekarang kau harus mati. Kemudian orang-orangmu pun
akan mati. Aku akan membunuh mereka seperti menebas
batang ilalang." Mahisa Murti justru tertawa. Katanya, "Kita telah
berhadapan. Marilah. Kita akan melihat apa yang akan
terjadi." Pemimpin padepokan Manik Wungu itu tidak
menjawab. Tetapi ia pun telah m eloncat m enerkam Mahisa
Murti. Tetapi Mahisa Murti telah bersiap. Karena itu, maka
dengan sigapnya ia telah m engelak. Namun dengan demikian
maka Mahisa Murti menyadari bahwa lawannya selama
pertempuran itu berlangsung sama sekali tidak
mempergunakan senjata. Ia m enyusup diantara senjata yang
silang meny ilang. Ia membunuh orang -orang Bajra Seta yang
mengacu-acukan pedangnya. Namun ia hanya dengan
tangannya. Dengan demikian maka Mahisa Murti dapat m enduga,
bahwa orang itu memang berilmu tinggi. Ternyata pula bahwa
dengan kakinya orang itu bersama seorang kawannya telah
memecahkan pintu gerbang padepokannya itu.
Demikianlah maka sejenak kemudian pertempuran
antara kedua orang itu pun m enjadi semakin sengit. Mahisa
Murti pun telah m enghadapi lawannya yang tidak bersenjata
itu juga tidak dengan senjata. Pertempuran antara kedua
orang pemimpin padepokan itu ternyata merupakan
pertempuran y ang sangat dahsy at.
Di bagian lain Mahisa Pukat telah berhadapan pula
dengan pemimpin padepokan Randu Papak. Seperti pemimpin
padepokan Manik Wungu m aka pemimpin Randu Papak itu
pun belum mempergunakan senjatanya pula untuk
membunuh lawan-lawannya. Namun akhirnya ia telah membentur kekuatan Mahisa
Pukat. Kekuatan seorang anak muda yang perkasa. Sehingga
dengan demikian maka ia pun harus menjadi sangat b erhatihati.
Namun pemimpin padepokan Randu Papak itu memang
memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Dengan ilmunya,
maka ia berusaha untuk dengan cepat mengakhiri perlawanan
Mahisa Pukat, agar dengan demikian ia mendapat banyak
kesempatan untuk menghancurkan para pengikut dari
perguruan Bajra Seta. Tetapi ternyata bahwa tidak mudah bagi pemimpin
padepokan Randu Papak itu untuk mengalahkan Mahisa
Pukat. Setiap ia m eningkatkan selapis kemampuannya, maka
anak muda itu masih juga mampu mengimbanginya.
Bahkan t ernyata bahwa di saat-saat yang paling gawat,
anak muda itulah yang lebih banyak menentukan
keseimbangan. "Benar-benar anak iblis," geram pemimpin padepokan
Randu Papak. Mahisa Pukat sama sekali tidak menghiraukannya. Ia
bahkan telah mempercepat serangannya sehingga lawannya
justru semakin terdesak. Tangannya yang berputaran telah
membingungkan lawannya. Serangannya seolah-olah datang
dari beberapa arah mematuk dengan garang.
Dengan demikian maka tidak ada pilihan lain dari
pemimpin padepokan Randu Papak itu daripada
mempergunakan puncak dari ilmunya. Ilmu y ang jarang sekali
dipergunakannya jika ia tidak merasa memerlukan sekali
karena ia telah terlibat kedalam kesulitan. Ilmu y ang sangat
nggegirisi itu memang tidak dapat dipergunakan sekehendak
hati. Pemimpin padepokan Randu Papak itu harus
memperhitungkan setiap kemungkinan didalam dirinya. Jika
ia terlalu sering melepaskan ilmu puncaknya, maka
wadagnyalah y ang akan cepat menjadi aus, sehingga pada
suatu saat, wadagnyalah y ang tidak akan mampu lagi
mendukung kemampuan ilmunya itu.
Ketika ia merasa bahwa ia tidak akan dapat
mengalahkan lawannya y ang masih muda itu dengan ilmuilmunya
yang lain, maka ia pun telah merambah ke ilmu
puncaknya itu. Mahisa Pukat yang sedang bertempur itu tidak segera
menyadari niat lawannya. Namun ketika dalam saat-saat yang
mendesak, lawannya itu meloncat mengambil jarak, maka
Mahisa Pukat pun seakan-akan mendapat isy arat bahwa
lawannya akan melepaskan ilmunya yang paling tinggi.
Itulah sebabnya, maka Mahisa Pukat tidak tergesa -gesa
menyerangnya. Ia pun telah mempersiapkan dirinya pula dan
mulai merambah kedalam lindungan kemampuan ilmuilmunya.
Namun Mahisa Pukat tetap berhati-hati. Meskipun ia
telah bersiap dengan segenap kemampuan puncaknya, tetapi
ia tidak m au m enjadi lengah karenanya. Menurut petunjuk
ay ahnya dan orang-orang tua y ang pernah berhubungan
dengan dirinya, maka seseorang tidak boleh merendahkan
orang lain dan terlalu yakin akan kebesaran diriny a, sehingga
menjadi sombong karenanya.
Sejenak kemudian, orang-orang yang telah berada
didalam puncak ilmu masing-masing itu, telah bersiap
kembali untuk bertempur antara hidup dan mati.
Mahisa Pukat y ang masih muda itu telah bergerak
mendekati lawannya y ang memandanginya dengan tajam.
Namun lawannya itu pun menyadari, bahwa anak muda yang
mengaku sebagai pemimpin perguruan Bajra Seta itu telah
pula mempersiapkan ilmu puncaknya.
Masing-masing y ang telah sampai ke ilmu puncak itu
masih t etap berhati-hati. Namun pertempuran yang terjadi
kemudian terasa menjadi lebih berat.
Pemimpin perguruan Randu Papak itu seakan-akan
tidak lagi bergerak diatas tanah. Kakinya seolah-olah tidak
menginjak tanah ketika ia berloncatan mengelilingi Mahisa
Pukat. Namun Mahisa Pukat sama sekali tidak terpancing
dengan gerak y ang terlampau cepat itu. Ia justru berusaha
untuk tetap berada di tempatnya. Sekali-kali saja ia berputar
ke arah lawannya bergerak. Sehingga setiap saat Mahisa Pukat
itu tetap menghadap ke arah pemimpin padepokan Randu
Pa pak. Betapapun cepatnya lawannya bergerak, namun Mahisa
Pukat tetap menghadap kemarahnya.
Namun kekuatan ilmu puncak lawannya itu pun mulai
terasa oleh Mahisa Pukat. Ternyata tangan lawannya itu
seakan-akan mampu memuntahkan dorongan angin y ang kuat
sekali. Dalam pukulan dengan telapak tangan menghadap ke
arah lawannya, maka kekuatan y ang sangat besar telah
melanda tubuh anak muda itu. Mahisa Pukat seakan-akan
telah diguncang oleh kekuatan angin y ang sangat besar
sebagaimana prahara mengguncang pepohonan raksasa di
hutan-hutan y ang pepat. Dengan demikian, maka Mahisa Pukat pun harus
mengerahkan kekuatannya untuk bertahan, agar ia tidak
terlempar dari tempatnya berdiri.
Namun setiap kali lawannya meloncat maju, m erendah
sambil menjulurkan kedua tangannya dengan telapak tangan
menghadapnya, maka Mahisa Pukat telah tergeser. Kekuatan
angin y ang sangat besar terasa sulit ditahannya. Namun
sebagai seorang y ang memiliki ilmu y ang tinggi, Mahisa Pukat
tidak terangkat dan terlempar jatuh terlentang diatas tanah.
Lawannya yang memiliki pengalaman yang luas itu
menjadi heran, bahwa anak muda itu mampu bertahan.
Namun ia tidak menyangka bahwa Mahisa Pukat memiliki
kekuatan yang sangat besar, sehingga ia dapat tetap berdiri di
tempatnya ketika kekuatan prahara itu mendor ongnya.
Kakiny a y ang mampu tetap tegak diatas tanah itu bagaikan
telah menghisap kekuatan bumi yang dilekatinya, sehingga
kaki Mahisa Pukat seakan-akan memang m elekat pada tanah
tempat ia berpijak. Tetapi jika serangan itu datang beruntun, maka Mahisa
Pukat memang telah tergetar dan bergeser dari tempatnya.
Betapapun kuat kakinya, namun kekuatan ilmu prahara itu
benar-benar mendebarkan. Namun lawannya justru menjadi gelisah. Jika ia tidak
mampu melemparkan dan membanting lawannya, maka ilmu
itu tidak akan banyak berarti. Menurut pengalamannya, tidak
ada orang y ang mampu bertahan sebagaimana anak muda itu.
Tetapi ketika sekali Mahisa Pukat tergeser oleh desakan
angin prahara y ang terlontar dari kekuatan ilmunya, maka ia
telah berpengharapan bahwa ia akan dapat melemparkannya
lebih jauh lagi. Sebenarnyalah bahwa dengan mengerahkan kekuatan
ilmunya, maka pemimpin padepokan Randu Papak itu benarbenar
mampu mengguncang pertahanan Mahisa Pukat.
Dengan hembusan badai yang keras, Mahisa Pukat yang
tergetar itu telah berusaha untuk tidak terlempar. Namun
dengan tiba -tiba saja badai itu lenyap. Tetapi sebelum Mahisa
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pukat mampu berbuat sesuatu, maka serangan y ang dahsyat
telah melanda Mahisa Pukat. Bukan sekedar serangan badai
yang terlontar dari ilmu pemimpin padepokan Randu Papak.
Tetapi dengan telapak tangannya, orang itu telah menghantam
tubuh Mahisa Pukat. Mahisa Pukat yang masih saja berusaha untuk bertahan
dari dor ongan angin y ang keras, terkejut mengalami serangan
yang lain, sehingga ia telah terlambat menghindar. Bahkan
usaha untuk menangkis serangan itu pun telah gagal.
Dengan memutar tangannya, lawannya berhasil
menyusup di sela-sela pertahanan Mahisa Pukat. Telapak
tangan orang itu benar-benar telah mengenai dada anak muda
itu. Terasa dada Mahisa Pukat bagaikan terhimpit batu
padas y ang runtuh dari tebing pegunungan. Nafa snya terasa
sesak. Sementara itu ia telah terdorong beberapa langkah
surut. Bahkan untuk menghindari serangan berikutnya y ang
menerkamnya, maka Mahisa Pukat justru telah m enjatuhkan
dirinya, berguling dan berusaha untuk berdiri tegak.
Namun demikian ia tegak, maka serangan badai itu pun
telah datang lagi menghembusnya dengan kekuatan raksasa.
Ju stru pada saat Mahisa Pukat belum tegak benar, maka ia
pun telah terdor ong dan terlempar jatuh.
Terdengar orang itu tertawa. Sekali ia berhasil
menjatuhkannya, maka ia yakin, bahwa ia akan memenangkan
pertempuran itu. Mahisa Pukat memang berguling beberapa kali. Ia sadar,
bahwa jika ia meloncat berdiri, maka orang itu tentu akan
Darah Para Tumbal 1 Pendekar Naga Putih 50 Sang Penghancur Ilusi Scorpio 10