Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 23

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 23


untuk beberapa saat. Tetapi ternyata bisa ular itu cukup tajam,
sehingga akhirnya kuda itu pun telah berputar-putar sejenak.
Kemudian terjatuh dengan lemahnya.
Kemarahan orang-orang y ang merasa dirinya pemburupemburu
yang tidak pernah gagal itu menjadi semakin
memuncak. Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berlari
lagi, maka pemimpin sekelompok pemburu itu telah memaksa
seorang pengikutnya untuk turun dari kudanya.
"Aku memerlukan kuda itu," geram pemimpin
kelompokitu. Sejenak kemudian perburuanpun telah dimulai lagi.
Kuda-kuda itu mulai b erderap dan bahkan m emencar. Setiap
kali terdengar di antara mereka berteriak marah. Dengan
pedang di tangan kuda-kuda itu membawa penunggangpenunggangnya
menyusup di antara pepohonan.
Tetapi ternyata mereka telah menghadapi buruan y ang
lain dari yang biasa mereka lakukan. Biasanya mereka tidak
banyak mengalami kesulitan. Sebelum mereka mencapai
bagian terakhir dari pategalan itu, maka buruan mereka telah
jatuh dengan anak panah yang tertancap di punggung.
Sudah berapa saja kematian terjadi di pategalan itu.
May at -mayat itu pun telah langsung dikuburkan dengan
penuh kebanggaan seorang pemburu yang berhasil.
Tetapi saat itu, m ereka telah kehilangan beberapa ekor
kuda dan beberapa orang kawan mereka telah pingsan dan
terluka. Meskipun demikian jumlah mereka masih cukup banyak
untuk memburu dua orang anak muda yang masih ada di
pategalan itu, sedangkan y ang lain telah mereka anggap benarbenar
sudah meninggalkan pategalan itu.
Demikianlah, maka akhirnya Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat itu telah memencar. Namun mereka sepakat untuk
selalu mengamati tempat Mahisa Semu dan Mahisa Amping
bersembunyi. Jika orang-orang yang menganggap diri mereka
pemburu itu menemukan mereka, maka mereka harus
mengambil langkah-langkah pengamanan.
Demikian keduanya berpisah, maka malapetaka telah
semakin banyak dialami oleh para pemburu itu. Mahisa Murti
yang menemukan sulur liar y ang berjuntai pada batangnya
telah mempergunakannya untuk menjerat seorang
penunggang. Satu kejadian y ang tidak terduga-duga sama
sekali, sehingga rasa-rasanya seperti seorang yang telah
menggantung diri. Sementara itu, dengan sebatang tombak y ang ber serakan
di pategalan itu, y ang telah dilontarkan oleh pemburupemburu
kerdil itu, Mahisa Pukat tiba -tiba saja telah muncul
dari balik sebatang pohon. Ujung tombak itu langsung telah
menikam pundak seorang di antara mereka yang
memburunya. Sehingga dengan demikian maka orang itu pun
telah terlempar dari kudanya dan jatuh berguling di tanah.
Mahisa Pukat masih mendengar orang itu merintih
kesakitan. Tetapi Mahisa Pukat harus berlari lagi di antara
pepohonan untuk menghindari orang-orang lain yang telah
memburunya pula. Beberapa ekor kuda masih berderap. Tetapi wajah-wajah
para penunggangnya sudah berubah. Wajah-wajah itu tidak
lagi menunjukkan kegembiraan seorang pemburu yang
memburu buruannya yang lemah dan tidak berdaya. Tetapi
wajah-wajah mereka menjadi tegang. Dan bahkan beberapa di
antara mereka mulai menjadi ketakutan. Apalagi jika m ereka
melarikan kuda mereka melingkari pategalan itu dan
menjumpai kawan-kawannya y ang terbaring kesakitan dan
bahkan pingsan. Kuda-kuda y ang mati dan hal-hal yang lain
yang menakutkan. Tetapi mereka tidak sempat berhenti menolong kawankawan
mereka, karena dengan demikian, maka buruan mereka
akan hilang lagi. Bahkan demikian mereka m uncul langsung
mencekik leher sebagaimana pernah terjadi.
Dalam keadaan y ang kalut, para penunggang kuda itu
telah melihat kedua anak muda itu menyusuri batas.
Selangkah lagi mereka sudah berada di luar pategalan
memasuki daerah bebas sebagaimana mereka janjikan. Tibatiba
saja orang-orang itu mengharap keduanya yang telah
berkumpul lagi itu keluar saja dari pategalan sehingga mereka
tidak perlu memburu dan meny erahkan korban-korban baru.
Tetapi ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak
melangkah keluar. Mereka justru berpisah lagi ke arah yang
berlawanan. "Setan," geram pemimpin sekelompok pemburu itu.
Bagaimanapun juga ia harus mempertahankan harga dirinya
dengan memburu kedua orang itu. Sebagian dari para
pengikutnya yang tersisa pergi bersamanya, sementara yang
lain berburu ke arah yang lain pula.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata telah
sepakat untuk melenyapkan pategalan y ang telah menjadi
arena pembantaian itu. Keduanya menganggap bahwa orangorang
yang telah dilukainya masih akan sempat melarikan diri
dari hutan buatan y ang akan dihancurkannya itu.
Namun Mahisa Murti telah sempat memanggil Mahisa
Semu dan Mahisa Amping turun dari pohon tempat mereka
bersembunyi. Pemimpin kelompok y ang melihat keduanya
bersembunyi itu menjadi semakin marah. Tetapi ketika
seorang pengikutnya menyambar dengan pedangnya, Mahisa
Semu telah m embenturnya dengan sekuat tenaganya. Dengan
satu putaran maka pedang penunggang kuda itu terlepas,
sementara orang itu sendiri telah terlempar jatuh dari
kudanya. Demikian kerasnya sehingga sulit baginya untuk
segera bangkit. Sementara Mahisa Semu telah meloncat
mendekatinya. Ujung pedangnya tiba -tiba saja sudah berada
di leher orang itu. "Ternyata kalian adalah pemburu-pemburu gila," geram
Mahisa Semu. Orang y ang terbaring itu m enjadi pucat. Ujung pedang
di lehernya itu terasa begitu dinginnya. Seandainya ujung
pedang itu menembus urat darahnya, agaknya darahnya sudah
tidak akan dapat menitik lagi.
Sementara itu, pemimpin kelompok pemburu y ang
kerdil itu memang menjadi semakin marah. Dengan
gerangnya kudanya berlari menyambar Mahisa Semu yang
masih melekatkan ujung pedangnya pada salah seorang di
antara orang y ang memburunya.
Agaknya Mahisa Semu tidak m enduga, bahwa orang itu
akan melakukannya disaat kawannya terancam maut. Ia sama
sekali tidak mengira bahwa pemimpin kelompok itu sama
sekali tidak menghargai nyawa kawannya sendiri.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat melihat.
Karena itu hampir berbareng keduanya telah berusaha
mencegahnya. Mahisa Murti telah menghalanginya dengan
mempergunakan ilmunya untuk mematahkan sebatang dahan
yang berdaun rimbun dari tempatnya berdiri. Dengan
kekuatan yang sangat besar, maka serangannya bagaikan
meledakkan pangkal dahan itu.
Pemimpin kelompok itu ternyata masih sempat menarik
kekang kudanya sehingga dahan yang patah itu tidak
menimpanya. Namun dengan kegarangan seorang yang
merasa dirinyapemburu yang tidak pernah gagal, maka ia pun
telah berteriak keras-keras, "Bunuh semuanya. Sekarang."
Mahisa Pukat y ang telah meloncat dengan pedang
ditangan tidak sempat mematahkan serangan pemimpin
kelompok itu. Namun ia pun telah bersiap untuk
menyelesaikan permainan y ang mulai menjemukan itu.
Sebagaimana yang telah direncanakan oleh Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat, maka pategalan itu harus
dihancurkan. Pategalan itu tidak boleh menjadi ajang
pembantaian sebagaimana akan mereka lakukan saat itu.
Karena itu, maka keduanya telah memutuskan untuk
mengakhiri permainan itu. Dengan kemampuan y ang ada
pada diri mereka, maka pategalan itu harus dihancurkan.
Demikianlah, ketika sisa -sisa dari orang-orang berkuda
itu masih saja akan meny erang mereka, m aka Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat tidak menahan diri lagi. Dengan ilmu
mereka y ang tinggi, maka keduanya mulai mematahkan
dahan-dahan dan ranting -ranting pepohonan. Pangkal dahandahan
batang kayu yang cukup besar itu bagaikan meledak
dan batang-batang kayu itu pun berpatahan.
Ra sa -rasanya di pategalan itu pun telah terjadi kiamat.
Ledakan terjadi di mana -mana. Batang-batang patah dan
runtuh. Kuda-kudapun menjadi ketakutan. Meringkik sambil
melonjak-lonjak. Namun di sekitarnya, semuanya menjadi
berserakan. Beberapa orang di antara mereka tidak sempat
menghindari batang-batang dan dahan-dahan yang
berpatahan. Beberapa ekor kuda telah terhimpit dan bahkan
dengan penunggangnya. Dalam keadaan yang kalut itu, maka pemimpin dari
sekelompok orang y ang merasa dirinya pemburu -pemburu
perkasa itu justru berusaha untuk melarikan diri.
Tetapi k etika tiba-t iba saja kudanya terjerat oleh sehelai
sulur, maka kuda itu pun telah terjatuh. Penunggangnya pun
telah terlempar jatuh pula.
Namun demikian ia bangkit berdiri, maka Mahisa Semu
telah berdiri di hadapannya.
"Apakah kau akan melarikan diri?" bertanya Mahisa
Semu. "Persetan," geram orang itu, "kau harus dibunuh lebih
dahulu." "Semua kawan-kawanmu sudah tidak berdaya. Ada y ang
tertindih batang-batang pohon yang rebah. Ada y ang pingsan
karena kepalanya membentur kayu. Ada y ang terluka oleh
senjata atau sebab-sebab yang lain," berkata Mahisa Semu,
"meny erahlah. Kau tidak mempunyai pilihan lain."
Tetapi orang y ang m erasa dirinya pemburu pilihan itu
ternyata mempunyai harga diri yang tinggi. Ia tidak mudah
menyerah. Bahkan kemudian katanya, "Ternyata akhirnya aku
berhasil membunuh kalian berempat."
Mahisa Semu tidak dapat menahan diri lagi. Ia pun
kemudian telah memutar pedangnya, sementara orang itu pun
telah meny erangnya pula.
Sejenak kemudian telah terjadi pertempuran y ang
sengit. Namun ternyata Mahisa Semu y ang telah dengan
bersungguh-sungguh m enempa diri, telah mampu mengatasi
lawannya yang merasa dirinya pemburu y ang tidak ada
duanya. Ternyata Mahisa Semu tidak m emerlukan waktu y ang
lama. Dengan beberapa kali putaran pedang, maka dalam
benturan berikutnya pedang Mahisa Semu telah melemparkan
pedang lawannya. Namun malang bagi orang itu. Pedangnya y ang
terlempar itu ternyata telah tersangkut di lehernya sendiri.
Ketajaman pedangnya telah memotong urat nadi di lehernya,
sehingga darahnya bagaikan memancar dari lukanya itu.
Orang itu pun kemudian telah terhuyung-huyung jatuh.
Tidak ada kesempatan untuk menolongnya. Darahnya
sudah terlalu banyak mengalir dari tubuhnya.
Mahisa Semu berdiri termangu-mangu. Sementara itu
beberapa orang yang masih sempat berjalan atau merangkak
mendekati anak-anak muda itu telah meny erahkan dirinya.
Dalam pada itu, pategalan yang untuk waktu yang lama
menjadi m edan perburuan itu pun benar-benr telah m enjadi
berserakan. Sedangkan pemimpin kelompok dari para
pemburu itu pun telah terbunuh pula.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu saling
berpandangan sejenak. Namun kemudian Mahisa Murti pun
berkata, "Kumpulkan kawan-kawanmu. Ada yang tertindih
dahan, ada yang pingsan karena kepalanya membentur pohon,
ada y ang terluka pedang dan entah apa lagi. Mungkin selain
orang y ang nampaknya memimpin kawan-kawannya itu ada
juga y ang terbunuh. Atau barangkali kami masih akan
membunuh lebih banyak lagi."
"Kami mohon ampun," minta beberapa orang di antara
mereka. Dalam pada itu Mahisa Pukat membentak, "Cepat,
kumpulkan kawan-kawanmu. Cari di seluruh pategalan ini.
Jangan ada y ang melarikan diri. Jumlah kalian harus utuh
sebagaimana kalian memasuki pategalan ini. Jika ada yang
melarikan diri, maka kami telah mengetahui padukuhan
kalian. Kami akan datang dan kami akan memburu semua
penghuni padukuhan kalian sebagaimana kalian memburu
kami. Kami akan membunuh semua penghuninya yang tidak
berhasil m elarikan diri dari padukuhan itu. Aku tidak peduli,
tua muda, perempuan atau anak-anak."
" Jangan lakukan itu," minta orang-orang itu.
" Jika demikian, cepat. Kumpulkan kawan-kawan kalian
dalam keadan apapun," Mahisa Pukat hampir berteriak
sehingga orang-orang itu pun menjadi semakin ketakutan.
Apa yang mereka lihat benar-benar satu mimpi y ang
menakutkan. Dahan-dahan berderak patah. Pohon-pohon
yang berdiri tegakpun telah roboh. Akar-akar bagaikan
tercabut dari cengkeraman bumi.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, maka orangorang
itu telah bekerja keras mencari kawan-kawan mereka.
Yang masih mampu berjalan, telah menelusuri pategalan yang
luas itu. Seorang demi seorang telah dikumpulkannya. Yang
pingsan, y ang luka parah, bahkan y ang terbunuh. Yang
terhimpit dibawah dahan pepohonan y ang roboh telah
diangkat dengan mengerahkan semua orang yang masih
mungkin berbuat sesuatu. Ternyata mereka memerlukan waktu y ang lama. Namun
salah seorang di antara orang-orang itu telah memimpin
kawan-kawannya untuk bekerja terus sebagaimana
diperintahkan oieh anak-anak muda itu.
Dalam pada itu, maka akhirnya mereka telah terkumpul
semua. Anak-anak muda itu percaya saja, bahwa semuanya
telah genap, karena mereka memang tidak sempat menghitung
jumlah mereka seluruhnya.
"Bawa kami ke padukuhan kalian," berkata Mahisa
Pukat, "bawa pula orang-orang yang terluka, bahkan yang mati
sekalipun."

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang-orang itu tidak membantah. Namun karena
mereka tidak dapat membawa semuanya sekaligus, maka
anak-anak muda itu telah diantarkan lebih dahulu bersama
beberapa orang y ang terluka y ang dapat dibawa serta. Mereka
akan memanggil orang-orang padukuhan lebih banyak lagi
untuk membawa kawan-kawan mereka atau barangkali sebuah
pedati. Ternyata ketika mereka mendekati padukuhan, maka
anak-anak kecilpun mulai bersorak-sorak. Mereka
meneriakkan isy arat-isy arat khusus, sehingga sejenak
kemudian, beberapa orang telah keluar dari padukuhan untuk
meny ongsong mereka. Tetapi orang-orang itu terkejut. Mereka melihat sanak
kadang m ereka yang terluka. Bahkan pemimpin mereka telah
terbunuh, yang sempat dibawa kembali pada kesempatan
pertama. "Apa yang terjadi?" bertanya seorang perempuan separo
bay a yang ternyata adalah ist eri dari pemimpin yang telah
terbunuh itu. Seorang y ang tertua di antara orang-orang y ang tersisa
itu menjawab, "Marilah. Kita bawa semuanya ke banjar."
"Kita sudah menyiapkan makan bersama di banjar. Kita
sudah menyembelih hasil buruan kalian. Ampat ekor. Tiga
ekor lembu dan seekor kambing. Bukankah buruan kalian
berjumlah ampat" Hasil buruan kalian tentu juga ampat ekor
seperti bia sanya. Tetapi kali ini seekor di antaranya lebih kecil.
Ja di kami sembelih kambing seekor," berkata perempuan itu.
Tidak seorang pun yang sempat mencegahnya berbicara.
Sementara itu Mahisa Murti bertanya, "Apa artinya itu" Jadi
setiap kali kalian melakukan pembantaian di pategalan itu,
kalian telah mengadakan andrawina dengan menyembelih
lembu sebagaimana kalian membawa hasil buruan kembali
dari hutan" Sungguh satu permainan gila."
"He, tutup mulutmu. Kenapa kau tidak mati di
pategalan itu" Bukankah kau orang yang harus diburu kali ini"
Menurut pendengaranku, ampat orang anak muda, seorang di
antaranya masih kecil," teriak perempuan itu.
" Jadi, haruskah aku m embunuh semua orang disini,"
teriak Mahisa Murti yang marah sekali. Jarang ia menjadi
marah sehingga hampir lupa diri. Ia mempunyai pembawaan
yang lebih tenang dari Mahisa Pukat. Tetapi menghadapi
orang-orang padukuhan itu, Mahisa Murti benar-benar
hampir kehilangan kesabaran."
"Tunggu," berkata orang tertua di antara mereka y ang
tersisa, "kami sudah meny erah. Kali ini kami tidak kuasa
berbuat apa-apa." "Apa y ang terjadi?" bertanya perempuan itu.
"Kami tidak berhasil dalam perburuan kami kali ini.
Suamimu telah terbunuh. Beberapa orang y ang lain juga
terbunuh dan terluka. Ternyata anak-anak muda itu memiliki
ilmu y ang sangat tinggi."
Perempuan itu menjadi pucat. Tetapi ia masih
menggeram, "Tidak Mungkin. Suamiku tidak mungkin gagal.
Ia adalah pemburu y ang paling baik."
"Tetapi l ihat, suamimu m ati," berkata salah seorang di
antara mereka. "Tentu ada pengkhianatan di antara kalian," teriak
perempuan itu. "Kau akan melihat, hampir semua orang mengalami
cidera. Mati, luka-luka bahkan parah, pingsan atau kesulitankesulitan
lain," berkata orang tertua di antara mereka.
"Omong kosong. Suamiku tidak akan mati," suara
perempuan itu bergetar. Tetapi ia harus melihat keny ataan. Seorang di antara
mereka y ang diusung adalah suaminya. Sudah meninggal.
Perempuan itu menangis meraung-raung. Bahkan
mengumpat kasar dan berkata kepada orang-orang
padukuhan itu, "Kenapa patuh kepadanya. Setiap kali kalian
melakukan perburuan dipimpin oleh suamiku, kalian selalu
berhasil dengan gemilang. Kau bunuh buruan kalian di
pategalan, dan kita meny embelih lembu di banjar. Sekarang
perburuan itu sudah lama tidak dilakukan. Tiba-tiba saja
ketika kesempatan itu datang, seharusnya padukuhan ini
bergembira ria. Kami y ang menunggu telah meny embelih tiga
ekor lembu dan seekor kambing. Tetapi y ang kami dapatkan
adalah kematian seperti ini."
Tiba-tiba Mahisa Murti bertanya, "Kenapa kau
menangis,he?" "Pertanyaan yang gila. Apakah kau belum pernah
kematian keluargamu" Orang tuamu, kakekmu atau nenekmu
atau siapapun yang dekat hubungan keluarganya denganmu?"
bertanya perempuan itu. "Sudah," jawab Mahisa Murti.
"Kenapa kau masih bertanya kenapa aku menangis"
Bukankah kau tahu suamiku terbunuh," jawab perempuan itu.
"Aku juga pernah mengalami kesedihan karena kakakku
meninggal setahun y ang lalu. Aku juga sedih. Agaknya aku
juga menangis meraung-raung seperti itu. Dan kau tahu
kenapa kakakku meninggal" Kakakku telah menjadi korban
perburuan gila y ang dilakukan oleh orang-orang padukuhan
ini. Nah, sekarang kau juga harus merasakan bagaimana
kehilangan keluarganya. Bahkan aku juga akan membunuh
anak-anakmu atau ay ahmu atau semua keluargamu. Tidak ada
orang y ang dapat mencegah aku, karena aku dapat membunuh
seisi padukuhan ini tanpa dapat dicegah oleh siapapun juga,"
geram Mahisa Murti yang marah sekali itu.
Wajah perempuan itu menjadi semakin pucat. Dengan
suara gemetar ia berkata, "Omong kosong. Tidak ada orang
yang memiliki ilmu lebih tinggi dari suamiku."
Beberapa orang laki-laki dari padukuhan itu, yang belum
melihat tingkat ilmu anak-anak muda itu memang masih
meragukan kata-kata Mahisa Murti. Mereka pun tidak dapat
mengerti, kenapa pemimpinnya terbunuh dan kawankawannya
t erluka. Namun seperti perempuan y ang pucat
karena marah, bimbang tetapi juga ketakutan itu, mereka
tidak dapat membayangkan bahwa tiga orang anak muda akan
dapat mengalahkan seisi padukuhan.
Namun kemarahan Mahisa Murti yang hampir tidak
terkendali itu telah mendor ongnya untuk berbuat sesuatu.
Ketika ia melihat beberapa orang ragu-ragu akan
kemampuannya, maka tiba -tiba saja ia telah memusatkan
nalar budinya. Dikerahkannya puncak kemampuannya untuk
menghantam sebuah regol halaman di pinggir jalan itu.
Dengan mengayunkan tangannya, dengan telapak
tangan menghadap ke depan m engarah ke regol halaman itu,
Mahisa Murti telah melontarkan ilmunya.
Akibatnya memang dahsy at sekali. Regol halaman
rumah y ang nampak kokoh itu tiba-tiba bagaikan meledak.
Ketika Mahisa Murti mengulangi serangannya sekali lagi,
maka regol itu benar-benar telah roboh dan hancur
berserakan. Suasana benar-benar telah mencengkam. Orang-orang
yang menyaksikannya bagaikan telah m embeku. Perempuan
yang pucat itu seakan-akan telah tidak berdarah lagi.
Mahisa Murti y ang marah itu telah berkata lantang,
"Nah, siapa yang akan melawan aku" Ay o, bawa seratus ekor
kuda. Jika kalian memang pemburu-pemburu y ang baik,
lakukanlah perburuan itu di pategalan. Kejar kami berempat,
sebagaimana kalian berburu dan membantai korban-korban
kalian y ang tidak berdaya. Maka aku berjanji, tidak sampai
matahari terbenam, kami bertiga akan membunuh seratus
pemburu y ang kalian anggap pilihan itu, bahkan tiga kali lipat
sekalipun." Orang-orang padukuhan itu pun menjadi semakin
ketakutan. Agaknya anak muda itu tidak sekedar menakutnakuti
mereka. Dalam kemarahan yang memuncak itu, ia akan
dapat berbuat apa saja diluar dugaan.
Namun tiba-tiba Mahisa Murti berkata, "Beruntunglah
kalian, bahwa kami belum menjadi gila karenanya. Dengan
demikian kami masih dapat mengendalikan diri betapapun
kemarahan membakar jantung kami. Kami sudah sering
melihat kelaliman, kebengisan dan sikap orang-orang tidak
berjantung. Tetapi kami belum pernah bertemu dengan jenis
manusia -manusia iblis seperti kalian ini."
Tidak seorang pun y ang menjawab. Mereka benar-benar
menjadi ketakutan. Namun bagaimanapun juga mereka tentu
tidak akan dapat meny embunyikan kesedihan mereka.
Karena itu, maka demikian Mahisa Murti, Mahisa Pukat
dan Mahisa Semu pergi membawa Mahisa Amping, maka
terdengar tangis di beberapa rumah yang telah kehilangan
orang-orangnya. Selain pemimpin kelompok itu, maka masih
ada orang lain lagi yang terbunuh dalam benturan kekerasan
melawan anak-anak muda y ang tidak mereka kenal itu.
Dalam pada itu, maka bagaimanapun juga keadaan y ang
sebenarnya, namun per soalan itu telah terdengar di telinga Ki
Buyut Tapakgawe. Sebuah Kabuyutan yang cukup besar masih
di tlatah Kediri. Ternyata bahwa peristiwa di pategalan itu telah
menyentuh harga dirinya sebagai seorang Buyut y ang m asih
cukup muda. Ki Buyut y ang belum lama menjabat itu
menganggap bahwa langkah-langkah y ang telah diam bil oleh
anak-anak muda itu bukan pada tempatnya.
Apalagi ternyata laporan kepada Ki Buyut Tapakgawe itu
telah dibumbui oleh hal-hal yang sama sekali tidak benar.
Sehingga dengan demikian maka Ki Buyut yang masih muda
itu telah menjadi sangat marah.
Ber sama sekelompok pasukannya maka ia pun telah
datang ke tempat y ang dianggapnya telah terjadi malapetaka
itu. Apalagi k etika ia juga menyaksikan beberapa orang yang
memang benar-benar mati terbunuh.
Darah Ki Buyut y ang muda itu bagaikan mendidih. Ia
merasa ditantang langsung oleh orang-orang y ang tidak tahu
diri. Ki Buyut yang baru keluar dari sebuah perguruan ju stru
karena ia dipanggil menggantikan kedudukan ay ahnya itu pun
telah berkata lantang, "Kami akan mengikuti jejak mereka.
Dalam hari ini juga, kami tentu sudah akan dapat menyusul
mereka." Orang-orang padukuhan itu pun bersorak. Mereka y ang
mula-mula merasa sangat ketakutan, tiba -tiba telah dibakar
oleh dendam. Sejenak kemudian, maka Ki Buyut dan orang-orangnya
telah menelusuri jejak Mahisa Murti dan saudara-saudaranya.
Dengan penuh keyakinan Ki Buyut yang merasa dirinya telah
ditempa dalam perguruan untuk beberapa tahun itu, telah
memiliki kemampuan y ang tinggi, sehingga tidak akan dapat
dikalahkan oleh pengembara yang betapapun tinggi ilmunya.
Say ang bahwa Ki Buyut tidak begitu memperhatikan
bekas arena y ang telah dihancurkan oleh anak-anak muda itu.
Tidak pula m emperhatikan regol halaman yang runtuh serta
tidak sempat bertanya apa y ang telah terjdi sebenarnya.
Demikian ia mendengar peri stiwa itu terjadi, maka dengan
serta merta ia merasa tersinggung.
Dengan demikian maka orang-orang padukuhan itu
cenderung untuk mengipasi api yang nampak mulai m enyala
di hati Ki Buyut y ang muda itu.
Seorang yang benar-benar memiliki kemampuan
mengikuti jejak benar-benar telah mampu mengikuti arah
perjalanan anak-anak muda itu. Meskipun mereka k emudian
melewati jalan yang cukup ramai, namun ternyata orang itu
benar-benar ahli mengikuti jejak y ang dikehendaki.
Di bulak-bulak panjang, betapa sempitnya jalan y ang
mereka lalui, namun kuda Ki Buyut mampu berjalan jauh
lebih cepat dari langkah seseorang. Karena itu, maka semakin
lama jarak di antara mereka pun menjadi semakin dekat.
Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian, ketika mereka
muncul di sebuah bulak panjang, m aka di jalan sempit yang
mereka ikuti nampak sebesar kelingking jari tangan empat
orang berjalan berurutan. Yang paling depan dari mereka
adalah seorang anak y ang masih kecil.
Ki Buyut pun telah memacu kudanya semakin cepat.
Mereka memang dengan cepat mampu menyusul keempat
orang y ang berjalan dengan cepat itu.
Mahisa Murti ternyata masih sangat marah ketika ia
mengetahui beberapa orang telah memburunya.
"Tentu bukan orang-orang padukuhan itu," berkata
Mahisa Murti, "orang-orang padukuhan itu telah jatuh ke
dalam perasaan takut y ang sedalam-dalamnya. Mereka t entu
tidak akan berani berbuat apa-apa sama sekali. Mereka tahu
akibat yang bakal mereka alami jika mereka berani melakukan
satu langkah-pun yang tidak kami kehendaki. Namun agaknya
mereka telah mendapatkan sekelompok orang yang mereka
anggap akan dapat mereka pergunakan untuk melepaskan
dendam mereka." "Mungkin orang itu memang orang yang berilmu tinggi
yang merasa dirinya menjadi pelindung terhadap rakyatnya
apapun yang telah dilakukan oleh rakyatnya itu," sahut Mahisa
Pukat. Tetapi Mahisa Murti berkata, "Raky atnya itu tentu tidak
akan mengatakan apa yang sebenarnya. Yang hitam dikatakan
putih, y ang putih dikatakan hitam," sahut Mahisa Murti.
"Pokoknya kita bertempur," berkata Mahisa Semu y ang
memang merasa beruntung mendapat pengalaman yang
sebanyak banyaknya sehingga perjalanan yang semula harus
dipaksakannya itu akhirnya merupakan bagian dari hidupnya.
Mahisa Murti memang menjadi sangat marah. Karena
itu, maka ia pun berkata, "Kita berhenti disini. Kita tunggu
mereka apapun y ang akan mereka lakukan."
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti dan saudarasaudara-
nyajelah berhenti dan duduk di atas tanggul di pinggir
jalan. Namun Mahisa Murti agaknya menjadi gelisah. Ia pun
telah bangkit dan berjalan mondar-mandir, sementara dengan
cepat sekelompok orang berkuda menjadi semakin dekat.
Beberapa langkah di hadapan Mahisa Murti yang berdiri
sambil bertolak pinggang, kuda-kuda itu berhenti. Seorang
yang masih muda telah meloncat turun dari kudanya diikuti
oleh orang-orang yang mengikutinya.
"Aku adalah Buyut dari Kabuyutan Tapakgawe y ang
membawahi beberapa padukuhan. Salah satu di antara
padukuhan-padukuhan itu adalah padukuhan yang telah
kalian rusakkan," berkata orang y ang m asih terhitung muda


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. "Oh jadi kau adalah orang yang paling bertanggung
jawab di Kabuyutan yang kau sebut Tapakgawe itu?" bertanya
Mahisa Murti. "Ya," jawab orang itu, "karena itu, maka aku datang
untuk menemui kalian telah merusak sendi-sendi kehidupan
sebuah di antara padukuhan-padukuhanku."
"Bagus Ki Buyut," berkata Mahisa Murti,
"kedatanganmu adalah satu kebetulan. Kami memang
memerlukanmu untuk menyampaikan peny esalan yang
sedalam-dalamnya." Ki Buyut itu pun tertawa. Katanya, "Cukup satu
peny esalan y ang sedalam apapun juga?"
"Memang tidak cukup. Kau harus mengambil langkahlangkah
yang paling baik untuk mengatasinya," jawab Mahisa
Murti. "Aku sudah melakukannya. Kalian harus kembali ke
padukuhan," berkata Ki Buyut y ang masih muda itu.
"Untuk apa kembali?" bertanya Mahisa Murti, "kau
dapat melakukannya tanpa kami."
"Apa y ang kau maksud?" bertanya Ki Buyut.
"Bukankah sudah aku katakan. Aku meny esal sekali
melihat tingkah laku orang-orangmu, khususnya padukuhan
yang satu itu. Aku tidak tahu, apakah kau mengetahui atau
tidak, apa saja yang telah m ereka lakukan selama ini dan apa
pula y ang telah dikatakannya kepadamu tentang kami,"
berkata Mahisa Murti. Ki Buyut itu mengerutkan dahinya. Katanya, "Apa
maumu sebenarnya" Menurut kau, peny esalan apa y ang akan
kau katakan itu?" Mahisa Murti m elangkah maju. Dengan nada geram ia
berkata, "Atau kau yang meny ebut dirimu Ki Buyut Tapakgawe
itu tidak tahu apa yang telah terjadi?"
"Kenapa kau berputar-putar seperti itu" Apakah kau
sedang berusaha melindungi dirimu dan alasan-alasan yang
tidak masuk akal?" desak Ki Buyut.
Mahisa Murti pun kemudian mengatakan dengan
singkat apa y ang telah dialaminya di padukuhan itu, sehingga
ia m engambil keputusan untuk memusnahkan pategalan itu
dan membunuh orang-orang yang paling jahat di antara
mereka. Tetapi tanggapan Ki Buyut ternyata jauh dari harapan
Mahisa Murti. Bahkan sambil tertawa ia berkata, Dari mana
kau memperoleh dongeng semacam itu" Kalian adalah
pengembara. Mungkin kalian memang pernah mengalami
perlakuan seperti itu. Atau barangkali kalian adalah orangorang
y ang dipermainkan oleh bayangan angan-angan kalian.
Tetapi jika permainan itu menimbulkan kesulitan pada orang
lain, bahkan kematian, maka kalian memang merupakan
orang-orang y ang berbahaya."
Ternyata pengaruh kemarahan di jantung Mahisa Murti
masih belum mereda. Dengan lantang ia berkata, "Ternyata
kau bukan seorang Buyut y ang baik. Mungkin umurmu masih
terlalu muda bagi seorang Buyut, sehingga kau masih belum
tahu batas tugas-tugasmu atau lingkup tanggung jawabmu.
Kau kira seorang Buyut cukup duduk di pendapa rumahnya
sambil menunggu para pemungut pajak uang dan has"l bumi
sa ja" Atau menunggu seseorang merangkak memberikan upeti
untuk maksud-maksud tertentu. Menyuapmu dengan tujuan
yang buruk serta keuntungan-keuntungan lain yang dapat kau
hisap bagi kepentingan pribadimu?"
"Tutup mulutmu," bentak Ki Buyut yang juga menjadi
marah, "Kau tahu kau berhadapan dengan seorang Buyut.
Apapun alasanmu kau harus menghormatiku. Di sini, di
Kabuyutan ini akulah orang y ang paling berkuasa. Kau harus
tunduk kepada perintahku karena aku mempunyai wewenang
untuk memaksamu dengan kekerasan."
"Aku tidak peduli apakah kau seorang Buyut atau
bukan. Bahkan aku pernah m enentang seorang Akuwu dan
menantangnya bertempur karena ia melakukan kesalahan
yang sangat berbahaya bagi Pakuwonnya. Tetapi ketika ia
menyadari kesalahannya, maka ia lah yang minta maaf kepada
kami," jawab Mahisa Murti.
"Kau makin mengingau," geram Ki Buyut, "kau tidak
pantas untuk berkata seperti itu. Karena itu, maka kalian
memang harus mendapat hukuman yang paling berat."
"Aku menolak hukuman apapun y ang akan diberikan
kepada kami. Hukuman y ang paling ringan sekalipun. Tetapi
jika kau tidak mau memperbaiki kesalahanmu sebagai seorang
Buyut, kamilah yang akan menghukummu," jawab Mahisa
Murti. "Cukup," berkata Ki Buyut," bersiaplah untuk mati."
"Aku tahu. Kau tentu berilmu tinggi. Karena itu, aku
tantang kau berperang tanding," berkata Mahisa Murti,
"karena jika tidak, maka para pengikutmu akan ikut mati
semuanya." Tantangan itu memang menggetarkan hati Ki Buyut.
Kata -kata y ang diucapkan oleh pengembara muda itu agaknya
sangat meyakinkan. Namun Ki Buyut adalah seorang yang baru saja
meninggalkan sebuah perguruan. Dengan demikian
kebangaan sebagai seorang murid y ang telah tuntas menyadap
ilmu dari sebuah perguruan masih saja membakar hatinya.
Karena itu, maka ia pun kemudian menjawab dengan lantang,
"Aku terima tantanganmu. Tetapi kau harus menyadari, bahwa
batas perang tanding adalah mati."
"Aku sadar karena aku telah berpuluh kali
melakukannya," jawab Mahisa Murti.
Wajah Ki Buyut itu pun berkerut. Tetapi ia segera
melangkah maju. Dengan garang ia berkata, "Bersiaplah untuk
mati. Barangkali ada pesan bagi kawan-kawanmu itu."
"Ada pesan tidak untuk kawan-kawanku. Tetapi bagi
kawan-kawanmu," tanpa menghiraukan Ki Buyut Mahisa
Murti berkata, "Nah, kalian menjadi saksi kematian Buyut
Kabuyutanmu yang akan mati muda. Kuburkan ia baik-baik
disamping kubur ayah bundanya jika mereka sudah mati."
Mahisa Murti tidak meny elesaikan kata-katanya. Ki
Buyut yang masih muda itu telah meloncat meny erangnya
dengan garang. Tetapi Mahisa Murti sudah bersiap menghadapinya.
Karena itu, demikian serangan itu menerkamnya, maka
Mahisa Murti dengan tangkasny a telah meloncat menghindar.
Bahkan kemudian ia pun telah berputar dengan ayunan kaki
yang keras, meny erang dalam putaran.
Namun kakinya sama sekali tidak meny entuh tubuh
lawannya. Dengan sigapnya Ki Buyut itu pun telah m eloncat
menghindar. Tetapi Mahisa Murti tidak melepaskannya. Ia
pun telah m emburunya dengan serangan yang keras, kakinya
terjulur mendatar mengarah ke dada.
Sekali lagi Mahisa Murti gagal. Ki Buyut itu telah
merendah dan dengan cepat sekali kakinya menyapu satu kaki
Mahisa Murti dan menjadi tumpuannya berdiri di saat kakinya
menyerang. Tetapi Ki Buyut itu pun tidak berhasil. Mahisa Murti
telah menjatuhkan diri pada tangannya yang kemudian
mendorong tubuhnya melenting. Sesaat kemudian ia pun telah
berdiri tegak di atas kedua kakinya.
Ki Buyut tidak membiarkannya. Ia lah yang kemudian
meloncat menyerang. Serangan yang cepat dan dengan
kekuatan yang cukup besar. Namun Mahisa Murti pun telah
siap menghadapinya, sehingga serangan itu pun tidak
mengenainya. Tangan Ki Buyut menyambar tidak ada
sejengkal dari kening. Dengan demikian maka pertempuran pun semakin lama
menjadi semakin keras dan cepat. Ternyata Mahisa Murti
betapapun marahnya masih mengekang diri untuk tidak
langsung menghentikan perlawanan Ki Buyut itu.
Perlahan-lahan ia mengikuti perkembangan ilmu Ki
Buyut y ang terhitung m asih muda m eskipun tentu umurnya
lebih banyak dari umur Mahisa Murti sendiri meskipun hanya
berselisih tiga tahun. Para pengawal Ki Buyut itu menjadi tegang menyaksikan
pertempuran yang berlangsung cukup lama. Bahkan semakin
lama menjadi semakin sengit. Para pengawal Ki Buyut itu
terbiasa melihat bagaimana Ki Buyut yang baru saja keluar
dari sebuah perguruan itu dengan cepat mengakhiri
perlawanan musuh-musuhnya. Tetapi dalam perang tanding
itu ternyata bahwa Ki Buyut memerlukan waktu lebih lama. Ia
tidak segera dapat mengakhiri perlawanan pengembara yang
masih muda itu. " Jadi c eritera orang-orang padukuhan itu tidak dilebih -
lebihkan," berkata Ki Buyut di dalam hatinya.
Semula ia memang kurang percaya bahwa para
pengembara itu memiliki ilmu y ang sangat tinggi. Bahkan
mampu mematahkan dahan dan cabang-cabang pepohonan
tanpa meny entuhnya. Menghancurkan regol dari jarak jauh.
Tetapi ternyata semuanya itu telah terjadi. Dan kini ia
sudah berhadapan dengan pengembara itu dalam perang
tanding. Tetapi Ki Buyut itu pun tidak gentar seandainya
lawannyaakan meny erangnya dari jarak jauh sekalipun. Ia
tentu akan mampu menghindarinya. Ia bukan sebatang dahan
atau cabang pepohonan yang mati. Juga bukan regol halaman
yang tidak akan mampu bergeser dari tempatnya. Tetapi ia
adalah seorang yang memiliki ketangkasan dan kemampuan
bergerak melampaui kecepatan serangan itu.
Tetapi Mahisa Murti tidak segera melakukannya. Ia
bertempur dari satu tataran ke tataran berikutnya. Dengan
demikian maka pertempuran itu semakin lama menjadi
semakin cepat dan garang.
Berbeda dengan para pengikut Ki Buyut y ang tegang,
maka Mahisa Pukat dan Mahisa Semu mampu mengikuti
pertempuran itu dari satu tingkat ke tingkat berikutnya.
Menurut mereka, maka Mahisa Murti nampaknya ingin
menjajagi seberapa batas tingkat tertinggi kemampuan Ki
Buyut itu. Baru kemudian Mahisa Murti akan
mengalahkannya. Namun nampaknya Ki Buyut yang muda itu masih saja
mampu meningkatkan ilmunya. Ternyata ia pun berusaha
untuk mengetahui sampai seberapa jauh tingkat kemampuan
Mahisa Murti. Karena itu, maka Ki Buyut itu pun tidak dengan
serta merta mencapai tingkat tertinggi dari kemampuannya.
Namun agaknya para pengikutnya tidak memahami apa yang
dilakukan oleh Ki Buyut y ang masih cukup muda itu.
Namun y ang terjadi adalah pertempuran y ang semakin
sengit. Ki Buyut itu akhirnya harus mengakui bahwa lawannya
benar-benar memiliki ilmu y ang tinggi. Ketika Ki Buyut itu
telah m eningkatkan ilmunya sampai ke puncak, ternyata ia
masih belum mampu menguasai lawannya. Bahkan seranganserangannya
hampir tidak banyak berpengaruh terhadap
lawannya y ang juga masih muda itu.
Bahkan dalam pertempuran y ang semakin sengit itu,
ujung-ujung jari tangan Mahisa Murti mulai m eny entuhnya,
justru ketika Ki Buyut telah sampai ke puncak
kemampuannya. Mahisa Murti y ang ingin memaksa lawannya
meningkatkan ilmunya lagi dengan sentuhan-sentuhannya
atas tubuh lawanya-pun kemudian menyadari, bahwa
lawannya memang sudah sampai ke puncak.
Dengan demikian maka Mahisa Murti dapat mengukur
seberapa jauh tingkat kemampuan Ki Buyut muda itu.
Ketika Mahisa Murti sudah yakin akan tingkat
kemampuan lawannya, maka ia mulai berusaha untuk
menguasai lawannya. Mahisa Murti masih meningkatkan
ilmunya selapis lagi, sehingga dengan demikian, maka Mahisa
Murti mempunyai lebih banyak peluang untuk memenangkan
pertempuran itu daripada Ki Buyut yang ilmunya memang
sudah sampai ke batas. Sentuhan-sentuhan jari Mahisa Murti terasa semakin
sering mengenai tubuh Ki Buyut itu. Pada seranganserangannya
y ang cepat, maka keempat ujung jari tangannya
yang merapat telah meny entuh perut lawannya.
Terasa perut itu m enjadi sangat mual. Rasa-rasanya isi
perut Ki Buyut itu telah diaduk. Bahkan disertai perasaan sakit
yang sangat. Dengan kemarahan y ang semakin memuncak, Ki Buyut
berusaha untuk mendorong ilmunya dengan mengerahkan
segenap tenaga cadangannya. Namun ia tetap tidak dapat
mengatasi kemampuan Mahisa Murti. Bahkan sisi telapak
tangan Mahisa Murti itu telah menghantam pundaknya
dengan keras sekali, sehingga rasa-rasanya tulangnya menjadi
berpatahan. Perasaan sakit y ang sangat telah hampir
melumpuhkan satu tangannya. Justru tangannya y ang kanan.
Tetapi Ki Buyut adalah seorang tertinggi di
lingkungannya. Karena itu, maka ia pun seorang yang harus
meyakinkan. Apapun yang terjadi, maka ia tetap pada janjinya,
perang tanding. Sebenarnyalah sesaat kemudian Ki Buyut telah terdesak.
Jari-jari tangan Mahisa Murti semakin sering
mengenainya. Perutnya, pundaknya, kemudian dadanya dan
keningnya. Bahkan kemudian telapak tangan Mahisa Murti
telah dengan kerasnya menghantam dada Ki Buyut sehingga
Ki Buyut itu terdorong beberapa langkah surut. Bahkan
kemudian kehilangan keseimbangannya sehingga Ki Buyut itu
jatuh terguling di tanah. Dadanya yang tersentuh telapak
tangan Mahisa Murti menjadi demikian sakitnya, seakan-akan
telah terhimpit batu padas sebukit kecil. Nafasny a menjadi
sesak dan Ki Buyut harus bertahan agar ia tidak menjadi
pingsan. Ketika Mahisa Murti melangkah maju, maka dengan
su sah pay ah Ki Buyut telah berusaha untuk bangkit dan
mempersiapkan diri dengan sisa tenaganya.
Tetapi Ki Buyut itu sudah banyak kehilangan
kesempatan, sehingga kawan-kawannyapun dapat
mengetahui, bahwa harapannya untuk dapat bertahan menjadi
semakin kecil. Ki Buyut sendiri telah menyadari. Ternyata kemampuan
Mahisa Murti itu m emang berada di atasnya. Tetapi ia belum
benar-benar sampai ke puncak kemampuannya. Ia masih
belum mempergunakan senjatanya.


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena itu, ketika Mahisa Murti maju selangkah lagi, Ki
Buyut telah mencabut pedangnya. Pedang yang terbuat dari
baja pilihan. Buatannya pun sangat baik dan rapi, sehingga
pedang itu merupakan pedang y ang sangat tinggi nilainya.
Ketika Ki Buyut menggerakkan pedangnya itu, seakanakan
cahaya yang kebiru-biruan telah m emancar dari kilatan
daun pedang y ang terbuat dari baja pilihan itu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam, sementara Ki
Buyut yang masih muda itu berkata lantang, "Pandanglah
daun pedangku ini. Pedang yang tidak ada duanya di seluruh
Kediri dan bahkan Singasari. Setiap kali pedang ini lepas dari
sarungnya, maka setidak-tidaknya sebuah ny awa akan
melayang. Demikian pula sekarang. Aku sudah mencabut
pedangku. Maka tidak akan ada harapan lagi bagimu untuk
tetap hidup." Mahisa Murti bergeser selangkah surut. Sementara itu Ki
Buyut melangkah maju sambil berkata, " Jangan meny esal.
Kau akan mati disini."
Ketika Ki Buyut memutar pedangnya, maka Mahisa
Murti-pun mengerti, bahwa Ki Buyut benar-benar seorang
yang memiliki ilmu pedang yang tinggi. Karena itu, ia tidak
akan melawannya dengan tangannya saja. Namun Mahisa
Murti itu-pun telah mencabut pedangnya pula.
Tetapi demikian Mahisa Murti mengangkat pedangnya,
maka Ki Buyut itu pun tertawa berkepanjangan. Dengan nada
tinggi ia berkata, "Pedang apakah y ang kau bawa itu" Apakah
dengan pedang itu kau akan melawan pendangku?"
"Yang penting bukan pedang apakah yang kita
pergunakan," jawab Mahisa Murti, "tetapi ilmu pedang yang
bagaimanakah y ang kita kuasai."
"Tetapi senjata kita akan ikut menentukan," jawab Ki
Buyut. "Memang hanya ikut menentukan. Tetapi bukan sebab
utama," jawab Mahisa Murti.
Namun Ki Buyut itu masih saja tertawa. Selangkah demi
selangkah ia maju sambil berkata, "Ternyata umurmu memang
hanya sampai hari ini. Semula aku m erasa bahwa aku telah
terdesak. Tetapi ternyata bahwa kau memang akan mati."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Aku sudah m erasa meredam kemarahanku. Tetapi kau telah
mulai mengungkitnya lagi. Jika kau tidak dapat menahan diri,
maka kau akan meny esal, bahwa batas kekuasaanmulah yang
hanya sampai hari ini."
"Anak setan," geram Ki Buyut. Lalu sambil memutar
pedangnya ia berkata, "Kau akan segera melihat satu
keny ataan pahit tentang dirimu."
Mahisa Murti melangkah maju pula. Pedangnyapun
mulai bergetar. Dengan nada rendah ia berkata, "Baiklah. Kita
akan melihat, apa y ang akan terjadi."
Ki Buyut tidak menjawab lagi. Namun itu pun kemudian
telah meloncat menyerang dengan garangnya. Pedangnya
berputaran dengan cepat, menebas mendatar, namun
kemudian terayun tegak dan dengan cepat mematuk ke arah
dada. Tetapi Ki Buyut ternyata tidak mampu meny entuh tubuh
lawannya. Dengan sigap Mahisa Murti meloncat mengelakkan
setiap serangan. Bahkan kemudian menangkis dengan
pedangnya y ang dianggap tidak berharga sama sekali oleh Ki
Buyut. Ki Buyut memang menjadi sangat terkejut. Pedangnya
yang terbuat dari baja pilihan dan berkilat-kilat kehijauan itu,
telah membentur sebilah pedang y ang tidak lebih baik dari
parang pembelah kayu. Namun getarannya bagaikan
merambat menyakiti telapak tangannya.
Tetapi Mahisa Murti pun menjadi terkejut pula. Ketika
kedua pedang itu beradu, ternyata pedang Mahisa Murti telah
terluka, meskipun hanya pecah sebesar biji beras. Tetapi jika
hal seperti itu terjadi di setiap benturan, maka tajam
pedangnya akan menjadi seperti gergaji.
Sekali lagi Ki Buyut tertawa. Katanya, "Lihat, mata
pedangnya y ang pecah. Meskipun hanya sebesar debu
sekalipun, namun hal seperti itu akan terjadi beberapa kali,
sehingga akhirnya pedangmu akan menjadi rusak sama
sekali." Tetapi Mahisa Murti menjawab, "Tidak apa -apa. Aku
masih mempunyai dua pedang y ang lain. Jika pedangku patah
sekalipun, aku dapat meminjam pedang adik-adikku."
"Pedang-pedang itu akan patah juga," geram Ki Buyut.
"Tetapi tentu memerlukan waktu. Sementara itu kau
sudah kehabisan tenaga," jawab Mahisa Murti.
Ki Buyut itu menggeram. Sambil berteriak marah ia
meloncat meny erang pula. Sebuah ayunan y ang mengerahkan
segenap sisa tenaganya mengarah ke leher Mahisa Murti.
Tetapi Mahisa Murti telah mengetahui kemampuan
pedangnya dihadapkan dengan pedang Ki Buyut yang memang
sangat bagus, bukan saja buatannya tetapi juga bahannya.
Karena itu, maka Mahisa Murti sama sekali tidak menangkis
serangan itu. Dengan satu loncatan kecil menghindari
serangannya lawannya, namun justru kemudian pedangnya
telah m engikuti ayunan itu, meny entuhnya dan dengan cepat
berputar seakan-akan membelit pedang Ki Buyut.
Ki Buyut terkejut bukan buatan. Dengan segenap sisa
tenaganya ia merenggut pedangnya y ang hampir saja terlepas
dari tangannya. Namun ternyata ia masih berhasil
mempertahankannya meskipun telapak tangannya terasa
bagaikan terbakar. Yang kemudian tertawa adalah Mahisa Murti. Dengan
lantang ia berkata, "Hampir saja aku mendapatkan sebilah
pedang yang sangat bagus dan terbuat dari baja pilihan. Tetapi
aku yakin, dalam dua atau tiga putaran lagi, pedang itu tentu
akan terlepas dri tanganmu dan akan menjadi milikku."
"Persetan," geram Ki Buyut yang telah m empersiapkan
diri untuk meny erang kembali.
Tetapi Ki Buyut tidak dapat mengingkari keny ataan y ang
baru saja terjadi. Jika hal seperti itu terulang, maka
nampaknya y ang dikatakan lawannya itu akan terjadi.
Tetapi Ki Buyut ternyata m enjadi lebih berhati-hati. Ia
tidak lagi berusaha untuk mematahkan begitu saja pedang
lawannya. Tetapi ia mulai meny erang dengan ilmu pedangnya
yang tinggi. Namun Mahisa Murti y ang sudah mulai jemu dengan
pertempuran itu pun telah memutuskan untuk m enghentikan
perlawanan Ki Buyut. Karena itu, maka beberapa saat kemudian, Mahisa
Murtitidak lagi sekedar bertahan. Tetapi ia pun telah mulai
menyerang semakin lama semakin garang. Dengan pedangnya
yang sederhana itu Mahisa Murti menunjukkan kemampuan
yang sangat tinggi dalam ilmu pedang, sehingga Ki Buyut itu
berteriak nyaring ketika segores luka telah mengoyak
lengannya. "Buktikan bahwa pedangmu adalah pedang y ang lebih
baik dari pedangku," berkata Mahisa Murti meskipun pada
mata pedangnya telah terdapat beberapa bagian yang pecah.
Namun Mahisa Murti itu pun berkata, "Semakin banyak
pecahan pada mata pedangku, maka pedangku menjadi
semakin mengerikan. Setiap g oresan luka akan berarti daging
yang terkoyak sampai ke tulang, justru karena tajam pedangku
tidak rata." Wajah Ki Buyut memang menjadi tegang. Namun ia
adalah seorang Buyut, sementara itu beberapa orang
pengikutnya telah m enyaksikan perang tanding itu. Ia sendiri
telah meneriakkan isy arat bagi perang tanding itu. Sampai
salah seorang di antaranya mati.
Ternyata bahwa Ki Buyut itu pun seorang laki-laki y ang
berpegang pada harga dirinya. Meskipun ia menyadari betapa
besarnya bahaya yang m engancamnya, namun ia m asih juga
maju selangkah, sementara darah masih saja mengalir dari
lukanya. " Jika pedangku meny entuh lehermu, kau dapat
membayangkannya," berkata Mahisa Murti.
Ki Buyut menggeretakkan giginya. Namun kemudian ia
pun telah meloncat meny erang, pedangnya y ang memang
pedang pilihan itu berputar dengan cepatnya, melontarkan
cahaya yang kehijauan. Tetapi betapapun bagusny a pedang di tangan Ki Buyut,
namun lawannya adalah seorang yang berilmu pedang jauh
lebih tinggi dari ilmunya.
Karena itu, maka sejenak k emudian, maka Ki Buyut itu
pun telah kembali terdesak. Sekali lagi ujung pedang Mahisa
Murtimengenai tubuhnya, sehingga pundaknya telah terluka
pula. Ki Buyut menyadari, betapa tinggi ilmu lawannya.
Meskipun hanya dengan pedang y ang tidak lebih bagus dari
parang pembelah kayu, ia mampu m engatasinya, meskipun ia
mempergunakan pedang pilihan.
Dalam pertempuran selanjutnya, maka Ki Buyut tidak
banyak dapat berbuat. Bahkan sebagaimana dikatakan oleh
Mahisa Murti, dalam satu benturan yang keras, maka sekali
lagi pedang Mahisa Murti bagaikan membelit pedang pilihan
di tangan Ki Buyut itu. Namun Ki Buyut ternyata terlambat
merenggut pedangnya. Justru telapak tangannya bagaikan
menggenggam bara, sehingga pedang pilihan di tangannya itu
terlepas. Pedang itu memang meloncat ke udara. Namun
demikian pedang itu melayang jatuh, tangkainya tepat melekat
di telapak tangan lawannya.
Mahisa Murti t ertawa. Sambil memutar dua bilah
pedang di kedua tangannya ia berkata, "Nah, ternyata aku
benar-benar berhasil mendapatkan pedang pilihan ini."
"Persetan," geram Ki Buyut, "sekarang, jika kau akan
membunuhku, bunuhlah. Perang tanding ini memang baru
berakhir setelah seorang di antara kita mati."
Mahisa Murti m engerutkan keningnya. Namun ia justru
termangu-mangu. Namun dalam pada itu, terdengar suara tertawa di balik
gerumbul perdu. Sejenak kemudian, seorang berjanggut putih
telah meloncat dari per sembunyiannya.
Mahisa Murti bergeser surut. Sementara itu terdengar Ki
Buyut berdesis, "Guru. Aku m ohon maaf, ternyata aku telah
gagal menjunjung tinggi nama perguruanku."
"Kau kalah?" bertanya orang berjanggut putih itu.
Ki Buyut itu menunduk. Jawabnya, "Aku belum mati
Guru. Perang tanding ini akan berakhir jika seorang di antara
kami telah terbunuh."
"Dan kau akan meny erahkan lehermu untuk ditebas
dengan tajam pedang y ang bergerigi itu?" bertanya gurunya.
Ki Buyut tidak menjawab. Tajam pedang Mahisa Murti
yang bergerigi itu memang mengerikan. Tetapi baginya,
perang tanding itu harus berakhir. Apalagi di hadapan
gurunya, ia tidak boleh menjadi pengecut.
Tetapi di luar dugaan, gurunya berkata, "Kau sudah
kalah. Kau tidak perlu membunuh diri."
Ki Buyut itu termangu -mangu. Sementara itu, orang
berjanggut putih itu telah melangkah maju mendekati Mahisa
Murti. Dengan demikian Mahisa Murti pun telah bersiaga.
Tetapi di tangannya tergenggam sebilah pedang yang baik
buatannya dan bahannya yang dirampasnya dari lawannya.
Karena itu, maka ia pun telah menyarungkan
pedangnya. Sambil memutar pedang pilihan itu ia berkata,
"Pedang ini benar-benar pedang luar bia sa."
"Ya," desis guru Ki Buyut, "nilainya sangat tinggi."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
bertanya, "Jadi kau adalah guru Ki Buyut?"
"Ya, ngger. Aku adalah guru Ki Buyut," jawab orang tua
itu. "Sekarang, apakah kau juga akan menantang aku untuk
berperang tanding?" bertanya Mahisa Murti yang telah bersiap
menghadapi segala kemungkinan. Bahkan Mahisa Pukat dan
Mahisa Semu telah bersiap pula. Sementara Mahisa Amping
berdiri termangu-mangu. Tetapi orang itu menggeleng. Jawabnya, "Tidak ngger.
Mana mungkin aku berani berhadapan dengan ilmu Bajra
Geni meskipun sudah dalam bentuk pengembangannya."
Mahisa Murti terkejut. Sementara orang tua itu berkata,
"Jika pada saatnya ilmu Bajra Geni itu sampai ke
puncaknya,maka siapakah yang akan kuat menahankannya"
Apalagi kekuatan ilmu Bajra Geni telah bergabung dengan
aliran Pakuwon Lemah Warah. Benar-benar ilmu yang luar
biasa." "Dari mana kau tahu Ki Sanak?" bertanya Mahisa Murti.
"Aku adalah pengembara seperti angger bertiga dan
sekarang berempat dengan seorang kanak-kanak," jawab
orang itu, "aku mengenali banyak sekali jenis ilmu. Dan
akupun mampu menilai tingkat dan tataran ilmu itu. Karena
itu, aku ingin menasehati muridku, bahwa ia tidak perlu
berkecil hati jika ia dikalahkan oleh ilmu Bajra Geni. Muridku
harus mengerti, bahwa aku sendiri pun tidak akan m ampu
menandingi ilmu itu."
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya menjadi
termangu-mangu. Ia belum mengenal orang itu. Dengan
terperinci orang itu mencoba meny ebut ilmunya.
Namun orang itu telah menjelaskan, "Sebenarnyalah aku
belum mengenal anak-anak muda secara pribadi. Justru kami
ingin tahu, siapakah kalian y ang telah m embawa bekal ilmu
yang paling dahsy at itu, disamping itu Gundala Sasra, m aka
ilmu kalian tidak ada tandingnya."
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun ia
justru bertanya, "Siapakah namamu dan kau datang dari
perguruan y ang mana?"
"Namaku tidak penting. Kau tentu belum mengenal aku.
Tetapi baiklah aku m eny ebutnya jika itu kau anggap perlu.
Namaku Adyan Akenan. Nama y ang sama sekali tidak dikenal.
Tetapi karena pengembaraanku yang lama, maka aku ju stru
telah m engenali banyak sekali j enis dan ciri-ciri ilmu," jawab
orang itu. Namun kemudian ia pun bertanya, "Nah, setelah
kau tahu namaku, maka aku ingin dari perguruan manakah
kalian datang." Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun tiba -
tiba saja ia berkata, "Kam i adalah orang-orang dari perguruan


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bajra Seta. Sebuah perguruan kecil y ang tidak penting sama
sekali. Bahkan kau y ang pengembara dan banyak sekali
mengetahui tentang dunia kanuragan, belum tahu juga
tentang perguruan Bajra Putih itu."
Orang itu m engerutkan keningnya. Ia memang belum
pernah m endengar perguruan Bajra Seta atau yang agaknya
juga disebut Bajra Putih. Sambil menggeleng ia berkata,
"Aneh. Ilmu y ang nampak dalam susunan unsur-unsur
gerakmu adalah ilmu Bajra Geni. Namun kau sebut
perguruanmu dengan nama Bajra Seta. Atau barangkali ada
hubungan antara perguruanmu dengan ilmu Bajra Geni?"
0ooo0dw0oo0 (Bersambung ke Jilid 74).
Conv ert/Pr oofing: Ki Raharga
Rechecking/Editing: Ki Arema
Pdf ebook : HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 74 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 074 MAHISA Murti m enggeleng. Katanya, "Aku tidak tahu.
Aku adalah cantrik yang tidak banyak tahu tentang asal -usul
padepokan dan perguruan kami. Aku termasuk cantrik yang
barangkali dianggap sudah cukup tua sehingga mendapat
kesempatan untuk melihat-lihat dunia ini."
Orang tua itu m enarik nafas dalam-dalam. Nam paknya
ia m emang tidak percaya akan keterangan Mahisa Murti itu.
Tetapi sudah tentu sulit baginya untuk m emaksa anak muda
itu mengatakan sebagaimana dikehendakinya.
Tetapi ternyata orang tua itu masih bertanya, "Siapakah
nama kalian anak-anak muda?"
Mahisa Murti memang menjadi ragu-ragu pula untuk
menjawab. Namun karena ia tidak bersiap untuk m eny ebut
nama apapun juga, maka ia telah m enyebut namanya sendiri
dengan satu key akinan bahwa namanya pun tidak akan pernah
dikenal oleh orang itu. Dengan nada rendah Mahisa Murti kemudian berdesis,
"Namaku Mahisa Murti. Kedua adikku itu bernama Mahisa
Pukat dan Mahisa Semu. Sedangkan adikku yang paling kecil
bernama Mahisa Amping."
"Apakah kalian bersaudara berada dalam satu
perguruan?" bertanya orang itu.
"Ya. Kami berada dalam satu perguruan, meskipun pada
tataran yang berbeda. Tetapi kami adalah saudara-saudara
yang juga saudara seperguruan. Namun ada di antara kami
yang baru memasuki padepokan sementara adikku yang paling
kecil masih belum mulai dengan ilmu dasar sekalipun,"
berkata Mahisa Murti. "Sudah tentu. Tetapi jika ia berada di padepokan sejak
kanak-kanak, maka pengenalannya tentang ilmunya akan
matang di masa mudanya sebagaimana kau lihat pada tata
gerakmu. Aku tahu bahwa ilmu y ang kau pergunakan untuk
melawan muridku belum ada separo dari kemampuanmu. Kau
biarkan muridku berbangga dengan pedangnya meskipun
akhirnya kau kalahkan juga. Tetapi jika kau kehendaki, maka
ia sudah mati sejak pertempuran itu dimulai. Bahkan ketika ia
menarik pedangnya, ia tentu sudah tidak bernyawa lagi. Tetapi
hal itu tidak kau lakukan. Kau m aafkan muridku sejak awal
sehingga ia masih tetap hidup. Tanpa aku, maka ia merasa
seakan-akan ia memang mampu bertahan sekian lamanya.
Pa dahal kau tahu bahwa dengan sombong muridku
mengatakan bahwa perang tanding akan diakhiri dengan
kematian." Mahisa Murti termangu-mangu. Ia tidak pasti dengan
orang berjanggut putih itu. Apakah ia mengatakan yang
sebenarnya, atau ada niat lain dari tingkah lakunya itu.
Namun kemudian orang berjanggut putih itu berkata
kepada muridnya, "Kau harus minta maaf kepadanya."
Ki Buyut yang bagaikan membeku melihat sikap gurunya
itu terkejut. Ia t idak mengira bahwa gurunya t erlalu
merendahkan diri berhadapan dengan anak-anak muda yang
disebutnya berilmu sangat tinggi dari cabang perguruan yang
agaknya memang disegani oleh gurunya itu.
"Cepat," gurunya ternyata mulai membentak.
Ki Buyut itu tidak dapat berbuat lain. Ia pun kemudian
melangkah mendekat sambil berkata dengan ragu-ragu, "Aku
minta maaf." Gurunya tertawa. Katanya, "Aku tahu bahwa hal seperti
ini tidak pernah kau lakukan sebelumnya. Tetapi kali ini kau
tidak mempunyai pilihan lain."
Ki Buyut menundukkan kepalanya. Sementara itu
gurunya berkata pula, "Nah, kau harus memperhatikan
peringatan y ang cukup keras kali ini. Lihat sekali lagi apa yang
terjadi di padukuhanmu itu. Dengar sekali lagi apa yang
dikatakan orang-orangmu. Kau akan melihat bahwa kau telah
salah langkah." Ki Buyut tidak menjawab. Meskipun ia masih juga raguragu
akan maksud gurunya, tetapi ia merasa wajib untuk
melaksanakannya. "Bawa orang-orangmu pergi jika anak-anak muda itu
mengijinkan. Ini adalah satu-satunya jalan yang dapat aku
tempuh untuk meny elamatkanmu, karena kali ini aku tidak
akan dapat melakukannya dengan kekerasan. Jika aku
memaksa, jangankan meny elamatkanmu, aku sendiri pun
tentu akan ikut tergilas pula," berkata guru Ki Buyut yang
mengaku bernama Adyan Akenan.
Ki Buyut itu mengangguk hormat. Sementara itu Adyan
Akenan itu berkata pula, "Kau harus mohon diri dan mohon
ijin. Kau pun harus berterima kasih bahwa sampai sekarang
kau masih tetap hidup."
Meskipun terasa kulit wajahnya menjadi tebal, tetapi Ki
Buyut itu pun telah melakukannya. Ia minta maaf kepada
Mahisa Murti dengan minta ijin untuk m eninggalkan arena
itu. Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu,
bahwa hal itu dilakukan bukan karena Ki Buyut y ang muda itu
takut mati sebagai janji yang diucapkannya sebelum perang
tanding itu dimulai. Tetapi hal itu dilakukan karena ia tidak
berani membantah perintah gurunya.
Karena itu, m aka Mahisa Murti pun kemudian berkata,
"Pergilah. Aku tahu bahwa kau telah merasa harus
mengorbankan harga dirimu. Karena itu, maka aku akan
mengembalikan pedangmu y ang bagimu sangat berarti ini."
Ki Buyut itu sama sekali t idak menyangka. Karena itu ia
terkejut ketika Mahisa Murti melontarkan pedang itu ke
arahnya. Dengan sigap Ki Buyut itu menangkap pedangnya.
Dengan jantung y ang berdebaran diperhatikannya pedangnya
yang sangat dibanggakannya itu.
"Pergilah," berkata Mahisa Murti.
Adalah diluar sadarnya, bahwa kemudian Ki Buyut itu
telah berdesis, "Terima kasih Ki Sanak."
Mahisa Murti mengangguk kecil. Ia pun merasa bahwa
ucapan itu telah diny atakannya dengan ikhlas. Tidak seperti
ucapannya sebelumnya, y ang begitu saja m eluncur dari batas
bibirnya saja. Demikianlah, maka sejenak kemudian Ki Buyut itu telah
meninggalkan anak-anak m uda yang ternyata memiliki ilmu
yang sangat tinggi itu diikuti oleh para pengawalnya. Namun
sesuai pesan gurunya, ia harus kembali ke padukuhan yang
telah diguncang oleh kemarahan Mahisa Murti itu.
Sepeninggal Ki Buyut, maka Adyan Akenan itu pun telah
mengulangi pernyataan terima kasih muridnya itu.
Namun Mahisa Murti tiba -tiba saja sudah bertanya,
"Apakah maksud Ki Sanak sebenarnya dengan tingkah laku Ki
Sanak ini" Aku tidak dapat mengerti bahwa seorang Guru
telah berlaku seperti yang kau lakukan terhadap muridmu"
Bukankah itu akan menjadi beban yang tidak akan terlupakan
seumur hidupnya. Apakah untuk selanjutnya ia akan dapat
percaya lagi kepada dirinya sendiri?"
Tetapi Ady an Akenan itu tidak segera menjawab.
Kepalanya justru tertunduk dalam-dalam.
"Apakah pertanyaanku meny inggung perasaanmu?"
bertanya Mahisa Murti. "Tidak," jawab orang itu, "aku mengerti sepenuhnya
dasar dari pertanyaanmu. Tetapi hal ini harus aku lakukan.
Muridku itu adalah orang y ang terlalu y akin akan
kekuatannya. Padahal ia bukan orang y ang dapat dianggap
terbaik di perguruan. Karena itu, ia memang memerlukan
peringatan yang sangat keras, agar dengan demikian ia
menyadari, betapa luasnya langit ini dan betapa panasnya
dunia olah kanuragan. Ia terlalu y akin akan kemampuannya
dan sudah tentu, ia kurang mempertimbangkan kemungkinankemungkinan
y ang paling baik yang dapat dilakukan
mengatasi satu per soalan."
" Jadi apa yang kau lakukan itu ber sungguh-sungguh?"
bertanya Mahisa Murti. "Ya. Aku memang melakukannya dengan sungguhsungguh
untuk tujuan tertentu," berkata orang itu. Lalu
katanya, "Aku pun menyadari, bahwa kau menjadi curiga atas
sikapku. Itu justru sikap yang sangat bijaksana."
"Baiklah. Lalu sekarang?" bertanya Mahisa Murti.
"Selamat jalan," berkata orang itu, "tetapi yakinkan
dirimu bahwa aku benar-benar melihat beberapa unsur dari
aliran Bajra Geni. Aku tidak tahu apakah kau murid dari
perguruan Bajra Seta atau Bajra Geni. Tetapi yakinkan dirimu
pula bahwa aku tidak akan dikenal oleh orang-orang yang
pernah menggemparkan bumi Singasari dan Kediri."
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Sementara
Ady an Akenan itu berkata kepada Mahisa Pukat dan Mahisa
Semu, "Selamat jalan anak-anak muda. Aku akan menemui
muridku dan menunjukkan langsung kepadanya akan
langkahnya y ang keliru itu."
Namun, ternyata bahwa y ang m eninggalkan tempat itu
adalah Adyan Akenan itu lebih dahulu daripada Mahisa Murti,
Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Mereka
sempat m emandangi orang tua itu berjalan tertatih-tatih di
tengah bulak yang panjang, m enuju sebuah padukuhan yang
pernah mereka hancurkan menjadi lingkungan yang
berserakan oleh dahan-dahan kayu dan cabang-cabang
pepohonan yang patah. Sejenak anak-anak m uda itu berdiri termangu-mangu.
Mereka menyadari, bahwa orang tua itu tentu akan m enjadi
marah kepada muridnya y ang menjabat sebagai Buyut di
Kabuyutan Tapakgawe itu. Namun agaknya yang terjadi itu telah memberikan
sedikit pengalaman bagi Ki Buyut muda itu. Untuk selanjutnya
ia akan menjadi lebih berhati-hati menghadapi persoalan yang
terjadi di Kabuyutannya. Ia tidak akan sekedar mendengarkan
keterangan orang-orangnya, mempercayainya dan mengambil
tindakan. Karena ternyata sebagaimana dilakukan, ia telah
salah langkah. Selain itu, ternyata Ki Buyut itu pun tidak mengetahui
apa yang telah terjadi di padukuhan-padukuhan y ang agak
jauh dari padukuhan induknya. Ki Buyut itu ternyata tidak
tahu, bahwa ada satu kebia saan yang sangat mengerikan telah
dilakukan oleh orang-orang dari salah satu padukuhan di
Kabuyutan Tapakgawe. Orang-orang yang merasa dirinya
pemburu-pemburu y ang tidak pernah gagal."
Baru sejenak kemudian, Mahisa Murti berkata, "Kita
dapat melanjutkan perjalanan."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
berat ia berkata, "Tentang akan terjadi perubahan di
Kabuyutan itu. Seandainya kita mendapat kesempatan lain
kali untuk lewat lagi di Kabuyutan ini, maka kita tentu akan
menjumpai keadaan y ang sangat berbeda."
"Ya," Mahisa Murti mengangguk-angguk. "kita dapat
memastikannya." Demikianlah maka keempat orang itu pun telah
melanjutkan perjalanan mereka. Mereka masih tetap
berpegang pada ancar-ancar arah yang semakin lama menjadi
semakin dekat. Namun, ketika mereka sempat beristirahat di sebuah
gumuk kecil y ang sepi di tengah-tengah padang perdu, maka
Mahisa Murti itu pun berdesis, "Selama ini kita memang
pernah mempergunakan berbagai macam dasar ilmu dan
bahkan bersama-sama. Tetapi kita belum pernah secara
bersungguh-sungguh mengkaji kemungkinan untuk menyusun
satu kekuatan yang ter susun dengan meluluhkan dasar -dasar
ilmu itu. Kita pernah m endapatkan dorongan kekuatan untuk
meningkatkan alas kemampuan kita. Kita memiliki puncak
ilmu yang kita warisi dari ayah dan kita pun m ewarisi ilmu
yang sangat berarti dari Sang Akuwu Lemah Warah serta
beberapa macam ilmu y ang lain, termasuk kemampuan
menghisap kekuatan ilmu lawan-lawan kita. Selama ini kita
memang dapat melepaskan bersama-sama. Namun kita belum
pernah membuat satu susunan y ang lebih teratur, tataran
demi tataran serta mendapatkan satu ungkapan ilmu dasar
yang mencakup semuanya itu."
"Kita memerlukan waktu yang panjang," berkata Mahisa
Pukat.

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tentu. Tetapi apakah kita tidak dapat memulainya"
Yang dikatakan oleh Adyan Akenan memang telah
menggerakkan niatku untuk m emulainya, sehingga apa yang
kita ungkapkan bukan sekedar potongan-potongan ilmu yang
sal ing sambung-menyambung, namun akan merupakan satu
kesatuan, meskipun kita tidak perlu meny embunyikan
sumber-sumbernya," berkata Mahisa Murti.
"Mak sudmu?" bertanya Mahisa Pukat.
"Kita mempunyai banyak waktu untuk merenung dalam
perjalanan kembali. Di saat-saat Mahisa Semu m emantapkan
ilmu dasar kita dapat serba sedikit mengamati apa yang ada di
dalam diri kita," sahut Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia tidak menentang
niat Mahisa Murti, meskipun Mahisa Pukat sudah
membayangkan beberapa kesulitan yang akan dihadapinya.
Tetapi Mahisa Pukat-pun percaya bahwa kesulitan-kesulitan
itu akan sangat bersifat ke kedalaman sehingga lebih
tergantung kepada mereka berdua. Namun Mahisa Pukat
yakin pula, bahwa kesulitan-kesulitan itu dapat diatasi.
Bahkan jika mereka berhasil, maka akan tersusun sejenis
aliran ilmu yang dahsy at karena unsur-unsur y ang akan
bergabung dan tersusun kembali itu m emang ilmu-ilmu yang
sangat tinggi. Tetapi sebagai anak-anak muda, maka keduanya tidak
segera menjadi puas. Ternyata perjalanan mereka telah
membentuk mereka menjadi orang-orang y ang gelisah menilai
ilmu mereka sendiri! Ketika mereka mendengar seseorang
menyebut berbagai macam sumber, maka hati mereka telah
tergerak untuk menyatakan diri mereka.
" Ilmu y ang ter susun sebagai ungkapan ilmu dari
padepokan Bajra Seta," berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, "Besok kita
dapat mulai." "Malam nanti pun kita dapat mulai melihat kembali
setiap unsur gerak," berkata Mahisa Murti.
" Jangan malam nanti," berkata Mahisa Pukat, "aku
ingin tidur ny enyak."
Mahisa Murti terseny um. Katanya, "Baiklah. Besok,
selama kita beristirahat dari perjalanan panjang kita, kita
berbicara tentang unsur-unsur itu, sementara Mahisa Semu
dapat mempergunakan waktunya untuk berlatih serba
sedikit." Tetapi tiba -tiba saja Mahisa Amping pun bertanya, "Apa
yang harus aku lakukan?"
Mahisa Murti, Mahisa Pukat Mahisa Semu pun berpaling
bersama-sama sambil tersenyum.
Dengan Sor ot m ata y ang tajam anak itu memandangi
ketiga orang kakak angkatnya itu berganti-ganti. Namun
kemudian Mahisa Murti pun berkata, "Kau pun akan mulai
dengan latihan-latihan untuk menerima ilmu y ang mudahmudahan
lebih baik dari ilmu y ang pernah kau pelajari dan
terpaksa kami musnahkan."
"Sudah terlalu lama aku menunggu," berkata anak itu.
"Bukankah sebenarnya kau sudah mulai" Kau sudah
mulai dengan latihan-latihan ketahanan tubuh. Penguasaan
tubuh dan keseimbangan tubuh. Itu m erupakan modal yang
sangat penting bagimu," berkata Mahisa Murti.
"Tetapi aku pernah berlatih dan menguasai unsur-unsur
gerak dari satu ilmu kanuragan," berkata anak itu, "meskipun
kemudian ternyata ilmu itu sesat dan sudah dihilangkan.
Namun aku pernah berlatih dengan keras."
"Bagus," jawab Mahisa Murti, "aku tahu bahwa Kau pun
ingin berlatih dengan keras untuk mencapai satu tataran
setidak-tidaknya sama dengan y ang pernah kau capai
sebelumnya, tetapi yang ladasan ilmu itu sudah kami
hapuskan." "Ya," jawab Mahisa Amping.
"Dan sebenarnyalah kau sudah mulai membangun
landasan baru. Tetapi ujudnya sajalah y ang belum nampak
bentuknya," berkata Mahisa Murti pula.
Anak itu mengangguk-angguk. Ia sempat mengenang
masa lalunya sekilas. Ia sempat m engenang bahwa ia pernah
memiliki kemampuan ilmu meskipun baru mulai. Tetapi yang
ternyata ilmu y ang sesat y ang apabila diteruskan, akan dapat
mempengaruhi bukan saja tatanan dalam tubuhnya, tetapi
juga syarafnya, sehingga ia tidak mampu lagi mempergunakan
nalar budinyadengan sewajarnya.
Karena anak itu tidak menjawab, m aka Mahisa Murti
pun berkata, "Nah, sambil menempuh perjalanan, kau akan
dapat mulai dengan mempelajari unsur-unsur gerak dasar dari
ilmu kami. Tetapi kau sudah mendengar bahwa kami ingin
menyusun satu ilmu yang utuh, luluh dan bukan sekedar
potongan-potongan ilmu y ang sekedar disusun begitu saja.
Meskipun sebelumnya kami juga sudah m encoba meluluskan
dalam satu kesatuan bentuk, tetapi ternyata m asih nampak
terpisah-pisah sebagaimana dikatakan oleh Ady an Akenan."
Anak itu mengangguk-angguk. Katanya, "Terserahlah
kepada kakang." "Sebaiknya kau pelajari alasnya y ang paling mendasar,"
berkata Mahisa Murti, "unsur-unsur gerak y ang paling umum
dari olah kanuragan, sehingga dapat dilakukan oleh siapapun
juga sebagai persiapan untuk memasuki satu aliran ilmu
tertentu. Akan lebih baik jika pada saatnya nanti, kau adalah
anak yang pertama kali belajar olah kanuragan dengan cara
yang paling baru y ang akan kami susun sesuai dengan watak
dan dasar perguruan kami tanpa meninggalkan sumbersumber
ilmu yang pernah kami pelajari."
Mahisa Amping mengerutkan keningnya. Ia kurang
memahami kata-kata Mahisa Murti. Tetapi ia menjawab, "Aku
akan belajar dengan cara y ang kalian tunjukkan kepadaku."
"Bagus," berkata Mahisa Murti, "kau akan mulai dengan
membentuk, menguasai dan mampu memanfaatkan bagianbagian
dari tubuhmu." Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah berniat untuk melanjutkan perjalanan sambil mencari
sesuatu yang paling baik bagi pertumbuhan ilmu mereka.
Dengan demikian maka mereka akan memasuki satu aliran
tersendiri tanpa meny embunyikan sumber-sumber ilmu
mereka. Tetapi hari itu Mahisa Pukat benar-benar ingin
beristirahat. Ia tidak mau melakukan sesuatu y ang dapat
membuatnya semakin letih lahir dan batin. Meskipun ia tidak
menangani secara langsung, tetapi peristiwa yang t erjadi di
padukuhan itu benar-benar menyakitkannya.
Namun setelah beristirahat secukupnya, m aka m ereka
pun telah m elanjutkan perjalanan. Mereka singgah di sebuah
kedai untuk makan dan minum.
Kemudian Mahisa Pukat itu pun berkata, "Kita akan
bermalam di sebuah banjar padukuhan. Rasa-rasanya untuk
malam ini lebih menyenangkan daripada tidur di tempat
terbuka." Mahisa Murti terseny um. Katanya, "Baiklah. Kau
menjadi manja hari ini."
Sebenarnyalah, maka mereka pun telah berjalan
mengikuti jalan induk sebuah padukuhan yang besar. Mereka
yakin, bahwa banjar padukuhan itu akan terletak di pinggir
jalan induk yang membelah padukuhan itu.
Akhirnya, mereka benar-benar menemukan banjar
padukuhan yang cukup megah. Banjar padukuhan y ang bukan
sa ja cukup besar sebagaimana padukuhan itu sendiri. Tetapi
juga nampak terpelihara rapi.
Ternyata orang yang bertugas memelihara banjar dan
bertempat tinggal di belakang banjar itu adalah orang yang
ramah. Seorang yang sudah menjelang usia tuanya yang
agaknya hidup seorang diri.
"Tidurlah di sini anak-anak muda," berkata orang tua
itu, "Kalian dapat tidur di serambi tanpa mengganggu kegiatan
anak-anak muda di banjar itu."
"Apa saja kegiatan mereka?" bertanya Mahisa Pukat.
"Mereka memanfaatkan kehadiran seorang y ang
memiliki ilmu yang tinggi," berkata orang tua itu.
Anak-anak itu tidak bertanya lagi. Sementara itu, maka
mereka pun telah duduk di sebuah amben yang besar di
serambi belakang banjar. "Aku benar-benar akan tidur malam ini," berkata
Mahisa Pukat, "aku tidak mau mencampuri per soalan apapun
yang dapat saja timbul di sini."
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, "Tidurlah. Aku kira
kita tidak akan menemui persoalan apapun."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun mereka
masih belum juga dapat berbaring, karena hari masih t erlalu
sor e untuk dapat tidur. Ternyata bahwa penunggu banjar itu benar-benar orang
yang baik. Anak-anak muda itu telah diberinya minuman dan
sekedar makanan. Sementara itu, langit pun menjadi semakin
gelap. Setelah m inum minuman hangat dan makan beberapa
potong makanan, maka Mahisa Pukat pun berkata, "Sudah
pantas untuk tidur sekarang."
"Kita akan berjaga-jaga bergantian. Kapan kau akan
dibangunkan?" bertanya Mahisa Murti.
"Menjelang pagi," jawab Mahisa Pukat sambil bergeser
menepi, "aku akan tidur di tepi saja."
Mahisa Semu lah y ang kemudian berkata kepada Mahisa
Amping, "Kau tidur sajalah. Hari sudah mulai malam."
Mahisa Amping agaknya justru belum mengantuk.
Meskipun ia pun kemudian berbaring di sebelah Mahisa
Pukat, tetapi ia masih belum memejamkan matanya.
Sementara itu, ternyata anak-anak muda mulai
berdatangan di banjar. Seperti y ang dikatakan oleh penunggu
banjar itu, agaknya mereka sedang mempelajari olah
kanuragan serba sedikit, justru karena di padukuhan itu
sedang hadir seorang yang berilmu tinggi.
Tetapi anak-anak muda itu memang tidak mau
melibatkan diri. Karena itu, mereka sama sekali tidak
menghiraukan apa yang dilakukan oleh anak-anak muda itu di
banjar. Namun demikian mereka mendengar juga aba -aba
dengan cara yang banyak dipergunakan. Orang y ang disebut
berilmu tinggi itu mempergunakan cara hitungan untuk
memberi aba-aba kepada anak-anak muda y ang belajar
kepadanya. Karena itu, maka Mahisa Murti, Mahisa Semu dan
Mahisa Amping masih sempat mendengar seseorang setiap
kali m enghitung sampai sepuluh. Bukan delapan atau angkaangka
lainnya. " Ia m empunyai cara hitungan tersendiri," desis Mahisa
Murti. Mahisa Semu mengangguk kecil. Sebenarnya ia ingin
melihat apa y ang dilakukan oleh anak-anak muda di pendapa
banjar itu. Tetapi nampaknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
benar-benar tidak ingin terlibat apapun juga malam itu.
Karena itu, maka Mahisa Semu pun kemudian lebih baik
duduk-duduk saja di serambi itu. Agaknya ia pun belum juga
mengantuk seperti Mahisa Amping.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti pun kemudian
bertanya, "Kau belum mengantuk?"
"Belum," jawab Mahisa Semu.
" Jika demikian, biarlah aku tidur lebih dahulu. Jika kau
sudah mengantuk, bangunkan aku. Aku akan berganti berjagajaga.
Jika aku mengantuk lagi, maka aku akan membangunkan
Mahisa Pukat," berkata Mahisa Murti.
"Tidurlah," berkata Mahisa Semu kemudian.
Mahisa Murti pun kemudian telah berbaring di sebelah
Mahisa Amping, sehingga Mahisa Amping berada di antara
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sementara itu, Mahisa Semu
duduk bersandar tiang serambi itu.
Sampai tengah malam ternyata tidak ada yang mengusik
mereka. Anak-anak muda y ang sempat melihat mereka,
ternyata tidak menghiraukan sama sekali. Agaknya memang
sudah sering terjadi orang yang kemalaman dalam perjalanan
kemudian minta untuk bermalam di banjar padukuhan itu.
Tetapi pada tengah malam, penunggu banjar itu telah
datang ke serambi untuk mempersilahkan anak-anak muda itu
makan. "Terima ka sih," jawab Mahisa Semu, "kami sudah
terlalu banyak makan makanan y ang Ki Sanak berikan kepada
kami serta minuman hangat itu."
"Ah, tidak baik menolak rejeki," berkata orang tua itu.
Mahisa Semu terpaksa membangunkan Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat untuk makan bersama para peronda di
gandok samping. Sedangan Mahisa Amping ternyata masih
belum tidur juga. Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyatakan
terima kasihnya serta mohon maaf karena mereka sudah
terlalu keny ang, orang tua itu berkata pula, "Tidak baik
menolak rejeki. Aku akan kecewa sekali jika kalian tetap
menolak." Karena itulah, maka mereka berempat telah diajak pergi
ke gandok. Ternyata para peronda agaknya telah selesai
makan, sehingga mereka tinggal berempat sajalah yang
makan. Tetapi orang tua itu berkata, "Nanti, setelah latihan itu
selesai, m ereka juga akan m akan. Tetapi tidak di sini karena
ini adalah makan yang disediakan bagi para per onda. Mereka,
yang sedang berlatih itu akan makan di pendapa."
Namun dalam pada itu, ternyata Mahisa Semu y ang
makan di gandok itu sempat melihat latihan yang dilakukan
oleh anak-anak muda padukuhan itu sampai lewat tengah
malam. Latihan yang masih permulaan sekali.
Namun demikian anak-anak m uda itu m emang tertarik
pada cara latihan yang agak berbeda yang dilakukan oleh
anak-anak muda itu sesuai dengan petunjuk orang yang
dianggap berilmu tinggi itu.
"Berapa hari mereka sudah b erlatih?" bertanya Mahisa
Pukat. Yang lain tidak menjawab, karena mereka juga tidak
mengetahuinya. Namun ketika seorang di antara para per onda
mengambil m inuman ditempat mereka m akan, maka Mahisa
Murti m eny empatkan diri untuk bertanya, "Ki Sanak. Sudah


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berapa hari latihan-latihan ini diselenggarakan?"
"Sudah lama," jawab anak muda yang meronda itu.
"Apakah Ki Sanak juga ikut serta?" bertanya Mahisa
Murti selanjutnya. "Tidak. Hanya beberapa orang terpilih sajalah y ang
boleh mengikuti. Aku tidak termasuk di antara mereka."
"Sejak kapan latihan-latihan ini dilakukan?" bertanya
Mahisa Pukat pula. "Sudah sejak kira -kira sepuluh hari y ang lalu," jawab
anak muda itu. "Apakah mereka yang ikut latihan itu termasuk anakanak
muda yang memang telah m emiliki kemampuan dalam
olah kanuragan sebelumnya?" bertanya Mahisa Pukat pula.
"Tidak," jawab peronda itu, " semuanya sama sekali
belum pernah berlatih olah kanuragan."
" Jadi atas dasar apa orang yang berilmu tinggi itu
memilih di antara kalian?" bertanya Mahisa Pukat agak
mendesak. "Aku tidak tahu. Orang itu hanya melihat kami seorang
demi seorang. Menyuruh kami bergerak-gerak sedikit.
Kemudian menentukan siapakah yang boleh ikut dan siapa
yang tidak." Mahisa Pukat m engangguk-angguk. Namun anak muda
itulah y ang kemudian justru bertanya, "Nampaknya kalian
juga tertarik pada olah kanuragan?"
"Ah," desah Mahisa Pukat, "bagaimanapun juga kami
menginginkannya, tetapi kesempatan itu tentu sulit kami
dapatkan. Peronda itu tertawa. Katanya, "Jangankan kau, aku pun
tidak mendapatkan kesempatan itu."
Karena anak-anak muda itu tidak bertanya lagi, maka
peronda itu pun kemudian telah kembali ke gardu sambil
membawa semangkuk minuman.
Namun sejenak kemudian seorang peronda yang lain
telah datang lagi. Ternyata ia baru saja datang sehingga belum
sempat makan bersama kawan-kawannya. Selagi makanan
dan minuman belum disingkirkan oleh penunggu banjar itu,
maka ia pun telah m emerlukan untuk makan bersama-sama
dengan para pengembara itu.
Sambil makan Mahisa Pukat pun sempat bertanya, "Ki
Sanak tidak ikut latihan-latihan itu?"
Ternyata jawabnya sama dengan kawannya y ang
terdahulu. Demikian pula jawaban atas pertanyaan anak-anak
muda itu yang lain. Namun y ang belum ditanyakan sebelumnya adalah
pertanyaan Mahisa Semu, "Siapakah orang yang melatih olah
kanuragan itu?" Peronda itu mengerutkan keningnya. Katanya, "Tidak
banyak diketahui. Orang itu juga pengembara seperti kalian.
Tetapi ia memiliki ilmu yang tinggi y ang dapat disebar
luaskan. Ia tidak mengharapkan imbalan apapun juga, kecuali
sedikit uang untuk bekal perjalanannya kemudian."
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Dengan
demikian maka mereka mengerti serba sedikit alasan kenapa
orang itu bersedia memberikan latihan-latihan khusus bagi
anak-anak muda padukuhan itu.
Tetapi Mahisa Murti pun kemudian bertanya, "Darimana
kalian tahu bahwa orang itu memiliki ilmu yang tinggi
sehingga anak-anak muda padukuhan ini belajar kepadanya?"
Peronda itu memandang Mahisa Murti sekilas. Tetapi
sambilmengerutkan keningnya ia menjawab, "Orang itu
sendiri y ang menyatakan diri, memberikan beberapa peragaan
tentang ilmunya dan kesediaannya memberikan latihanlatihan."
Anak-anak m uda itu tidak bertanya lagi. Mereka tidak
mau menarik perhatian orang-orang padukuhan itu, sehingga
mungkin dapat melibatkan mereka kedalam satu per soalan
yang tidak mereka kehendaki.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
terutama memang menjadi cemas melihat latihan y ang tidak
mapan itu. Jika hal semacam itu dipaksakan dan apalagi
ditingkatkan, maka akan dapat berakibat buruk, meskipun
tidak selalu. Tubuh anak -anak m uda yang mengikuti latihan
itu justru akan dapat menjadi kesakitan, bahkan terluka di
dalam m eskipun perlahan-lahan, sehingga sebelum luka itu
menjadi parah, orang itu tentu sudah terpaksa menghentikan
latihan-latihannya tanpa berhasil.
Namun meskipun demikian, latihan-latihan itu
termasuk cara y ang berbahaya.
Tetapi anak-anak muda itu memang sudah berniat untuk
tidak m elibatkan diri ke dalam persoalan di padukuhan itu.
Karena itu, maka mereka pun tidak memberikan tanggapan
yang akan dapat menarik perhatian.
Sambil menunggu sejenak, mereka sempat
memperhatikan apa y ang dilakukan oleh anak-anak muda itu.
Semakin lama jantung Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
menjadi semakin berdebar -debar. Dalam sepuluh hari sudah
mulai nampak ketidak wajaran dalam latihan-latihan itu.
Tetapi keduanya tidak mengatakan sesuatu selain sekalisekali
saling berpandangan. Bahkan Mahisa Semu pun
kemudian menjadi berdebar-debar juga.
Sebagai seorang y ang masih berada pada tataran
pertama, Mahisa Semu m emang belum memiliki k emampuan
penilaian sebagaimana Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Tetapi ia sudah mampu melihat sesuatu yang lain dari yang
pernah dilakukannya. Sementara ketiga orang anak muda itu m emperhatikan
latihan y ang sedang berlangsung, maka Mahisa Amping
ternyata tidak dapat m enahan kantuknya lagi. Ia pun tanpa
disadari justru telah tertidur di belakang Mahisa Murti.
"He," Mahisa Semu y ang melihatnya tidur berusaha
untuk membangunkannya. Tetapi Mahisa Murti telah
memberi isyarat untuk membiarkannya saja.
Sejenak kemudian, ketika per onda y ang makan itu sudah
selesai, maka ia pun kemudian bangkit sambil berkata,
"Marilah. Aku sudah selesai."
"Kami juga," jawab Mahisa Murti, "tetapi biarlah kami
menunggui adik kami y ang baru saja tertidur. Nanti, jika
tidurnya sudah ny enyak akan kami angkat ke serambi."
Ketika per onda itu pergi, maka penunggu banjar itu pun
telah datang pula untuk meny ingkirkan makanan dan
minuman yang masih tersisa. Tetapi ketika ia melihat anakanak
muda yang bermalam di banjar itu m asih ada di situ,
maka ia pun berkata, "Silahkan. Jangan tergesa-gesa."
"Kami sudah selesai," jawab Mahisa Murti, "tetapi
biarlah kami menunggu adikku yang tertidur. Baru saja. Jika
kami angkat sekarang, ia akan terbangun."
"Oo," penunggu banjar itu mengangguk-angguk. Sambil
menyingkirkan makanan dan minuman ia berkata, "Tunggu
sa jalah sampai ia menjadi ny enyak."
Ternyata Mahisa Amping dapat dijadikan alat untuk
tidak menarik perhatian selama ketiga orang anak muda itu
duduk di tempatnya sambil melihat-lihat latihan itu.
Latihan itu ternyata masih berlangsung beberapa lama.
Ketiga anak muda itu melihat mereka y ang berlatih telah
menjadi sangat payah. Mereka seperti orang yang justru telah
terluka dalam, namun memaksa diri untuk tetap melakukan
latihan-latihan y ang cukup berat.
Ketika penunggu banjar itu lewat, maka Mahisa Pukat
lah yang bertanya, "Apakah bia sanya latihan itu b erlangsung
sampai pagi?" "Tidak," jawab penunggu banjar itu, "sebentar lagi
mereka menjadi seperti orang mabuk dan kehabisan tenaga
sehingga dengan sendirinya latihan itu berhenti. Aku dan
kawan-kawanku akan segera menyediakan makan dan minum
bagi m ereka yang kelelahan itu. Bahkan kemarin malam, ada
ampat orang yang pingsan karena letih dan keringat yang
terlalu banyak keluar."
"Apa kata pelatih itu tentang mereka yang menjadi
pingsan itu," bertanya Mahisa Pukat.
"Tidak apa -apa," jawab penunggu banjar itu, "menurut
pelatih itu, peristiwa seperti itu biasa sekali terjadi pada
mereka y ang berlatih dengan sungguh-sungguh."
Mahisa Pukat tidak bertanya lagi. Tetapi ia menjadi
berdebar-debar melihat akibat yang dapat terjadi kemudian.
Jika latihan itu berlangsung sepuluh hari lagi, maka tentu ada
di antara mereka y ang sudah tidak mampu lagi berjalan dan
bahkan dapat menjadi lumpuh. Mungkin tangannya, mungkin
kakinya tetapi mungkin juga jantungnya. Jika yang menjadi
lumpuh itu jantungnya, maka itu berarti bahwa segalanya
telah selesai. Mahisa Pukat tidak bertanya lagi. Nampaknya penunggu
banjar itu kemudian telah mempersiapkan tempat untuk
menyediakan ketiga anak muda yang mengaku sebagai
pengembara itu berharap agar latihan itu cepat selesai.
Sebenarnyalah seperti y ang diduga, bahwa malam itu
pun tentu akan ada lagi yang menjadi pingsan.
Beberapa saat kemudian, maka dua orang anak muda itu
telah menjadi pingsan dan dibawa menepi. Sejenak kemudian
disusul lagi seorang di antara mereka. Seorang lagi dan
seorang lagi, sehingga akhirnya menjadi lima orang.
Baru kemudian, pelatih itu menghentikan latihan sambil
berkata, "Kalian memang sudah berlatih dengan bersungguhsungguh.
Lima orang menjadi pingsan. Tetapi ia tidak apaapa.
Dengan demikian berarti bahwa kalian memang telah
berlatih dengan sungguh-sungguh. Jangan dicemaskan
mereka y ang sedang pingsan. Mereka akan segera sadar
kembali. Besok mereka akan dapat memasuki latihan lagi
dengan tubuh yang segar."
Sejenak kemudian, maka anak-anak muda yang baru
sa ja mengadakan latihan itu telah beristirahat. Mereka
nampak sangat lelah. Satu dua orang masih berjalan-jalan di
halaman banjar untuk mengendorkan urat-urat mereka yang
terasa menjadi sangat tegang.
"Kita tidak akan ikut campur," desis Mahisa Pukat tiba -
tiba. Mahisa Murti mengangguk sambil mengulang, "Malam
ini kau akantidur ny enyak. Marilah. Latihan itu sudah selesai."
Mahisa Pukat justru termangu -mangu. Tiba-tiba saja ia
menggelengkan kepalanya sambil berkata, "Ada baiknya kita
berbicara dengan pelatih itu."
" Jangan sekarang. Bukankah kau akan tidur semalam
suntuk," sahut Mahisa Murti.
Tetapi Mahisa Pukat menarik nafas dan berkata, "Jarang
sekali aku membatalkan rencanaku. Tetapi kali ini agaknya
terpaksa, karena kita tidak mempunyai waktu y ang lain. Besok
kita harus meninggalkan banjar ini."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ya.
Kita memang tidak m empunyai waktu lagi. Karena itu, kita
agaknya harus melakukannya sekarang."
Mahisa Pukat pun kemudian berkata, "Biarlah aku y ang
melakukannya. Kau tentu masih mudah menjadi marah
karena peristiwa yang baru saja terjadi kemarin."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya,
"Baiklah. Kami akan tetap berada di sini."
Mahisa Pukat pun kemudian beringsut dan turun ke
halaman. Ia m emang menjadi ragu -ragu ketika kemudian ia
melihat satu-satu anak-anak muda itu pergi ke pakiwan,
membersihkan diri sebelum mereka makan. Sementara
penunggu banjar itu mulai mengatur makan dan minum
mereka. Tetapi demikian Mahisa Pukat melihat anak-anak muda
itu makan dengan pandangan y ang kuyu dan tubuh yang
sangat letih, maka niatnya itu pun telah timbul kembali.
Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah melangkah
mendekati mereka. Ketika ia berdiri di dekat anak-anak muda y ang letih itu
maka seseorang telah bertanya, "Kau siapa" Dan kau mau
apa?" "Aku akan berbicara dengan pelatih kalian," jawab
Mahisa Pukat. "Kau mau berbicara apa?" bertanya anak muda itu.
"Aku ingin ikut berlatih seperti kalian tadi," berkata
Mahisa Pukat. "He?" anak muda itu heran, "kita sudah sekitar sepuluh
hari berlatih. Bagaimana mungkin kau akan ikut" Anak-anak
muda padukuhan ini pun tidak semuanya dapat ikut berlatih."
"Tetapi aku akan mencobanya. Aku akan berbicara
dengan pelatih itu."
"Terserah kepadamu," jawab anak muda itu.
Nampaknya pembicaraan itu memang menarik
perhatian pelatihnya yang sedang ikut makan bersama-sama
dengan anak-anak muda yang sangat letih itu. Bahkan yang
pingsan, y ang telah m enjadi sadar itu pun telah ikut makan
pula. Tetapi mereka makan terlalu sedikit. Tubuh mereka rasarasanya
sulit merekakuasai lagi. Guru yang memimpin latihan itu, yang disebutnya orang
berilmu tinggi itu memang bangkit dan melangkah mendekati
Mahisa Pukat sambil bertanya, "Kau mau apa anak muda?"
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Kebetulan sekali. Aku ingin berbicara denganmu."
Orang y ang disebut berilmu tinggi itu mengerutkan
keningnya. Dengan angkuh ia berkata, "He, kau berani
bersikap seperti itu kepadaku?"
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Lalu katanya,
"Jadi aku harus bersikap bagaimana?"
Orang itu tiba-tiba menjadi marah. Katanya, "Duduk dan
berkata dengan baik."
"Apa salahnya jika aku berdiri saja" Sebenarnya soalnya
bukan soal aku ingin ikut berlatih. T etapi aku ingin bertanya
tentang beberapa hal dari latihan-latihan yang telah kau
selenggarakan itu," jawab Mahisa Pukat.
"Apa y ang ingin kau tanyakan" Jika kau tidak tahu apaapa
tentang ilmu kanuragan, maka kau tidak usah m encobacoba
mencampurinya," geram orang itu.
"Apakah kau ada waktu untuk berbicara sebentar?"
minta Mahisa Pukat. "Siapakah kau sebenarnya?" bertanya orang itu.
"Aku adalah pengembara yang m engembara dari satu
tempat ke tempat lain. Malam ini kami sampai di padukuhan
ini dan mendapat belas ka sihan untuk bermalam di banjar.


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang-orang padukuhan ini ternyata terlalu baik kepadaku,
sehingga aku tidak mampu sampai hati untuk berdiam diri
melihat keadaan ini."
"Keadaan yang bagaimana" Aku berusaha berbuat baik
di sini. Aku tengah melatih anak-anak muda untuk
mendapatkan ilmu y ang akan berarti bagi hidupnya," berkata
orang itu. " Itulah yang akan aku bicaranya denganmu," berkata
Mahisa Pukat. "Apa y ang akan kau bicarakan" Apa yang kau ketahui
tentang olah kanuragan?" bertanya orang itu.
"Langkah-langkah yang kau ambil untuk memberikan
latihan-latihan itu," jawab Mahisa Pukat.
"Kenapa?" orang itu menggeram.
"Aku ingin berbicara dengan kau sendiri Ki Sanak. Tidak
di hadapan anak-anak muda ini, jawab Mahisa Pukat.
Tetapi orang itu menjadi sangat marah dan membentak,
"Pergi. Atau aku akan mengusirmu?"
" Jangan begitu," desis Mahisa Pukat, "beri kesempatan
aku berbicara." Namun y ang terjadi benar-benar diluar dugaan Mahisa
Pukat. Tiba-tiba ia berkata kepada anak-anak muda y ang letih
dan sedang makan itu, "Usir orang-orang itu."
Mahisa Pukat surut selangkah. Katanya, "Jangan.
Biarlah mereka beristirahat. Mereka sangat letih sehingga jika
mereka memaksa diri, maka m ereka akan dapat mengalami
kesulitan dalam tubuh mereka. Mungkin parah sekali."
Tetapi orang itu berteriak, "Usir orang itu dan orangorang
y ang bersamanya." Mahisa Pukat memang menjadi bingung sejenak.
Namun t iba-tiba saja ia berkata, "Kenapa kau perintahkan
murid-muridmu untuk mengusir aku" Sebenarnya aku
bermaksud baik. Jika kau mau mendengarkan aku, maka aku
kira kau akan mendapat keuntungan. Bukan saja sekarang,
tetapi pada masa-masa mendatang."
"Aku tidak peduli," bentak orang itu, "aku tidak mau
orang lain mencampuri persoalanku. Apalagi kalian adalah
pengembara yang tidak berharga."
Mahisa Pukat masih saja termangu -mangu. Namun
beberapa orang anak muda yang sedang makan itu telah
bangkit. Betapapun tubuh mereka menjadi sangat letih,
namun mereka harus menjalankan perintah pelatih mereka
yang bertindak sebagai guru mereka.
Ternyata Mahisa Pukat lah y ang tidak sampai hati untuk
melawan anak-anak muda yang tidak berdaya lagi itu. Karena
itu, maka sebelum anak-anak itu bertindak, Mahisa Pukat
telah melangkah meninggalkan mereka dan kembali menemui
Mahisa Murti dan Mahisa Semu.
"Aku tidak dapat melakukannya," berkata Mahisa Pukat.
"Langkahmu sudah benar," b erkata Mahisa Murti y ang
masih saja duduk, "jika anak-anak itu dipaksa untuk bergerak
lagi, maka mereka akan mengalami kesulitan. Banyak di
antara mereka akan menjadi pingsan."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam.
Namun anak-anak muda y ang mengaku pengembara itu
terkejut ketika mereka melihat anak-anak muda itu tidak
melepaskannya meskipun ia sudah meny ingkir. Agaknya
pelatih m ereka y ang m ereka sebut sebagai guru m ereka itu,
masih tetap memerintahkan murid-muridnya untuk mengusir
anak-anak muda itu dari banjar.
Dalam pada itu, penunggu banjar y ang melayani mereka
makan terkejut melihat hal itu. Ketika anak-anak muda yang
letih itu mendekati mereka y ang m engaku pengembara itu,
maka penunggu banjar yang tidak mau tahu persoalannya itu
menjadi heran. Apalagi ketika ia melihat wajah-wajah yang
memancarkan kebencian dan kemarahan.
"Pergi dari sini," terdengar salah seorang di antara
anak-anak muda yang berlatih itu berteriak.
Tetapi penunggu banjar itulah yang menjawab, "Mereka
adalah pengembara y ang minta belas ka sihan kita untuk
memberikan tempat bermalam di banjar ini."
"Tetapi ia sudah menghina guru," jawab anak-anak itu.
Penunggu banjar itu berpaling kepada anak-anak muda
yangmengaku pengembara itu, "Apa y ang telah kalian
lakukan?" Mahisa Pukat memandang penunggu banjar y ang baik
hatiitu. Ia tidak ingin penunggu banjar itu menyalahkannya pula
dan menganggapnya orang yang tidak tahu berterima kasih.
Karena itu, maka Mahisa Pukat pun menjawab, "Aku ingin
berbicara dengan orang yang memberikan latihan-latihan itu.
Tetapi ia salah paham. Ia mengira aku telah menghinanya."
"Apa y ang akan kau bicarakan?" bertanya penunggu
banjar itu. "Mak sudku baik Ki Sanak," jawab Mahisa Pukat, "aku
ingin memberikan saran kepadanya, karena aku melihat
sesuatu yang kurang wajar telah terjadi."
"Kau" Kau akan memberikan saran?" Penunggu banjar
itu mulai menjadi marah juga, "ternyata kau menyalahgunakan
kesempatan y ang telah aku berikan kepadamu."
"Tidak Ki Sanak," suara Mahisa Pukat memang agak
berubah, "dengar. Jika aku berusaha memberikan saran
kepada pelatih itu, justru karena aku merasa bahwa aku telah
diperlakukan dengan sangat baik di sini. Sebagai pernyataan
terima kasih, maka aku berusaha untuk memberikan
peringatan kepadanya, barangkali ia sedang lupa atau karena
alasan lain, maka ia telah salah langkah."
"Apa yang kau ketahui tentang olah kanuragan?"
bertanya penunggu banjar itu.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Aku ingin berbicara langsung dengan pelatih itu tanpa ada
orang lain. Mak sudku, agar ia tidak merasa berkecil hati.
Tetapi ia menolak sehingga jika terpaksa aku akan
mengatakannya di muka orang banyak."
"Tutup mulutmu," geram orang itu," jangan beri
kesempatan ia mengigau. Usir saja ia dari banjar ini. Ia sudah
mencemarkan nama baik padukuhan ini."
"Terserah kepada kalian," berkata Mahisa Pukat, "jika
kami harus pergi, kami akan pergi. Tetapi niatku baik. Aku
melihat ketidak wajaran dalam latihan-latihan ini."
"Ketidak wajaran yang bagaimana?" bertanya penunggu
banjar itu. "Cukup," teriak pelatih itu, "usir orang itu. Cepat. Atau
aku sendiri harus turun tangan."
Ternyata anak-anak y ang masih kelelahan itu tidak
mempunyai pilihan lain. Mereka telah melangkah mendekati
anak-anak muda yang mengaku pengembara itu.
"Tunggu," penunggu banjar itu ingin mencegah.
Tetapi anak-anak muda itu tidak menghiraukannya.
Bahkan seorang di antara anak-anak muda itu telah berusaha
untuk mendorongnya menepi. Tetapi karena penunggu banjar
itu bertahan, maka orang yang mendor ongnya itu telah
mengerahkan sisa kekuatannya.
Namun yang terjadi adalah di luar dugaan. Orang tua
penunggu banjar itu bagi anak muda yang kehabisan tenaga
itu bagaikan dorongan kekuatan y ang sangat besar. Sisa
tenaga anak muda itu yang m emental balik telah memukul
bagian dalam tubuhnya yang sudah menjadi sangat lemah.
Karena itu, maka anak muda itu telah terhuyung-huyung
sesaat. Kemudian ia telah jatuh terguling di tanah. Pingsan.
Semua orang terkejut karenanya. Mahisa Pukat segera
berlari mendekatinya dan b erjongkok di sampingnya, disusul
oleh Mahisa Murti dan Mahisa Semu yang meninggalkan
Mahisa Amping tertidur di tempatnya.
Dengan sangat berhati-hati Mahisa Pukat menempelkan
telinganya di dada anak muda itu. Detak jantungnya m asih
terdengar. Tetapi sangat lemah. Darahnya pun seakan-akan
sudah tidak mampu mengaliri tubuhnya lagi.
"Nah," berkata Mahisa Pukat kemudian sambil berdiri,
"ini adalah salah satu contoh kenapa aku ingin berbicara
dengan orang yang kalian anggap sebagai guru kalian itu."
Beberapa orang memandanginya dengan penuh
pertanyaan. Sementara itu orang y ang dianggap anak-anak
muda itu sebagai gurunya telah berdiri pula di dekatnya.
" Ia tidak apa-apa," geramnya, "ia anak manja. Ternyata
ia tidak pantas menjadi muridku untuk selanjutnya. Nah,
siapakah di antara kalian y ang akan m engikuti jejaknya dan
meninggalkan latihan-latihan?"
Tidak seorang pun y ang menjawab. Karena itu, maka
orang itu pun telah berteriak, "Jika tidak ada, maka dengar
sekali lagi perintahku. Usir mereka. Sekarang dan semuanya."
Tetapi dengan cepat Mahisa Pukat menyahut, "Kau tidak
melihat apa y ang telah terjadi" Apakah kau tidak percaya
bahwa kau telah telah melakukan kesalahan pada latihanlatihan
yang telah kau lakukan" Itulah y ang akan aku katakan
kepadamu. Kau telah m elakukan kesalahan-kesalahan pokok
pada latihan-latihan yang kau lakukan, sehingga justru akan
menghambat dan bahkan menganggu peredaran darah
mereka. Mereka akan cepat menjadi lelah dan tenaganya akan
cepat pula terkuras. Sementara itu, tenaga mereka akan
lambat sekali untuk dapat pulih kembali."
"Omong kosong," bentak pelatih itu, "jangan dengarkan
kata-katanya. Lakukan perintahku, atau latihan-latihan aku
hentikan untuk seterusnya. Aku akan meninggalkan
padukuhan ini sebelum kalian memiliki kemampuan
sebagaimana aku janjikan."
"Lihatlah kepada diri sendiri," dengan cepat pula
Mahisa Pukat menyahut, "apakah kalian masih merasa
mempunyai kekuatan untuk berbuat sesuatu?"
"Aku akan m enghitung sampai tiga," teriak orang y ang
menjadi pelatih itu. Mahisa Pukat tidak mempunyai pilihan lain. Orang itu
telah mulai menghitung. Ketika Mahisa Semu kemudian bersiap, Mahisa Murti
berbisik ditelinganya, "Jangan m elawan. Mereka sudah tidak
mempunyai tenaga sama sekali. Mereka tidak akan dapat
berbuat apa-apa. Bahkan jika kau menolak tenaga mereka,
maka mereka akan dapat terjatuh dan bahkan bagi yang
tubuhnya terlalu lemah, akan dapat m enjadi pingsan seperti
anak itu." Mahisa Semu m engerutkan keningnya. Namun ia pun
kemudian telah mengangguk-angguk. Ia memang selalu
percaya kepada keterangan kedua orang anak muda yang
menjadi saudara angkatnya itu.
Ketika hitungan itu sampai ke tiga, maka anak-anak
muda itu benar-benar mulai bergerak. Mereka telah
mengepung ketiga orang anak muda yang mengaku
pengembara itu dengan mengabaikan anak kecil yang sedang
tidur ny enyak. Sementara itu, anak-anak muda yang meronda, y ang
tidak ikut dalam latihan-latihan y ang melelahkan itu, memang
menjadi bingung. Mereka tidak tahu apa yang sebaiknya
mereka lakukan. Mereka memang melihat sikap Mahisa Pukat
yang mereka anggap terlalu berani. Tetapi juga tidak
seharusnya mengalami perlakuan yang terlalu keras seperti
itu. Tetapi Mahisa Pukat sendiri ternyata tidak berbuat apaapa.
Ia berdiri saja tegak di atas kedua kakinya y ang renggang.
Kedua tangannya tergantung di sisinya tanpa m enunjukkan
kesiagaan untuk berkelahi melawan anak-anak muda yang
mengepungnya itu. Namun orang y ang menganggap diriny a guru itu
berteriak, "Sekarang. Usir mereka."
Anak-anak muda itu memang mulai melangkah maju
dengan tenaga yang masih tersisa. Seorang di antara m ereka
berkata,"Pergi. Atau kami harus mempergunakan kekerasan."
" Jangan mempergunakan kekerasan anak muda,"
berkata Mahisa Pukat, "jika kau m encoba untuk melepaskan
tenaga, maka kaulah yang akan pingsan. Kami akan
meninggalkan banjar ini setelah adikku itu kami bangunkan.
Kami tidak akan tinggal di sini lebih lama lagi, karena kami
tidak akan sampai hati melihat penderitaan kalian
berkepanjangan." Anak-anak muda yang merasa cemas bahwa mereka
tidak akan m endapat latihan-latihan lagi dan tidak mencapai
tataran ilmu sebagaimana dijanjikan itu telah mulai bergerak.
Dua orang di antara mereka tiba-tiba telah berusaha untuk
mendorong Mahisa Pukat ke arah regol halaman.
Mahisa Pukat sama sekali tidak berusaha menolak
kekuatan itu. Ia sudah bergerak searah dengan dorongan anak
muda itu. Namun ternyata akibatnya masih sangat buruk bagi
kedua orang y ang mendorongnya itu. Keduanya pun telah
kehilangan keseimbangannya dan jatuh terduduk. Ra sarasanya
kaki mereka sudah tidak mempunyai tulang sama
sekali. Beberapa orang kawannya ternyata tidak dapat berbuat
lain kecuali m elakukan perintah gurunya y ang b erteriak lagi,
"jangan cengeng. Jika kalian ingin menjadi seorang yang
memiliki kemampuan y ang tinggi, kalian harus mampu
mengatasi keletihan itu."
Karena itu, maka anak-anak muda y ang letih itu telah
bersama-sama meny erang anak-anak muda yang mengaku
pengembara itu. Sementara Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan
Mahisa Semu sama sekali tidak berusaha m elawan. Namun
demikian, bukan k etiga orang anak muda itu yang kemudian
jatuh, tetapi anak-anak muda y ang letih itulah yang tidak
mampu lagi berbuat sesuatu. Merekalah y ang satu-satu telah
jatuh di tanah. Bahkanada di antara mereka y ang menjadi
pingsan. Para peronda y ang tidak ikut dalam latihan itu pun telah
berkerumun pula. Seorang di antara m ereka berteriak, "He,
apakah kalian tukang sihir" Atau berilmu iblis?"
Tetapi Mahisa Pukat menjawab, "Kami tidak berbuat
apa-apa. Hal inilah yang akan aku katakan sebagaimana aku
sebutkan tadi. Anak-anak muda itu telah mendapat latihan
yang salah, sehingga mereka tidak mampu lagi mengendalikan
wadag mereka sendiri, karena simpul-simpul sy araf mereka
perlahan-lahan telah dirusakkan. Bahkan urat nadi dan
akhirnya akan sampai ke jantung."
"Apa y ang kau ketahui tentang olah kanuragan,"


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang y ang lain di antara para peronda itu bertanya.
"Aku tidak tahu apa-apa. Tetapi lihatlah kenyataan ini.
Seorang di antara mereka yang m endor ong penunggu banjar
yang tua itu pun jatuh dan menjadi pingsan. Penunggu banjar
yang baik itu tidak berniat mencelakai anak muda itu. Tetapi
karena keadaan tubuhnya y ang sangat lemah, maka ia telah
pingsan dengan sendirinya," jawab Mahisa Pukat.
"Tutup mulutmu," bentak orang y ang mengaku dirinya
guru itu, "kau tidak tahu apa -apa tentang olah kanuragan.
Seorang y ang memang berniat berlatih olah kanuragan
memang harus berlatih dengan sungguh-sungguh, sehingga
tubuhnya menjadi sangat letih. Jika tidak demikian, maka
seseorang belum dapat disebut berlatih dengan sungguhsungguh."
"Apakah ketika kau berlatih juga mengalami hal seperti
anak-anak muda itu?" bertanya Mahisa Pukat.
"Ya," jawab orang itu.
" Jangan bohong. Jika kau berlatih sebagaimana anakanak
muda ini, maka pada umurmu itu, kau tentu sudah
mengalami kelumpuhan. Jika yang menjadi lumpuh itu
merambat ke jantung, maka hidupmu tentu sudah selesai,"
berkata MahisaPukat. Orang itu ternyata menjadi sangat marah. Karena anakanak
muda yang berlatih padanya itu sudah tidak berdaya,
maka orang itu berniat untuk meny elesaikan persoalannya
dengan para pengembara itu sendiri.
Dengan wajah tengadah orang itu melangkah mendekati
Mahisa Pukat sambil b erkata, "Kau adalah sumber kerusuhan
ini. Karena itu, maka kau adalah orang y ang pertama-tama
harus menerima hukumanku. Jika kau termasuk muridku,
maka aku cukup mengambil keputusan untuk melepasmu dari
lingkungan murid-muridku. Tetapi karena kau orang lain,
maka kau harus dihukum."
" Jangan m engada-ada. Aku berharap bahwa kau akan
mengucapkan terima kasih kepadaku. Bukan sebalikny a kau
justru malah akan menghukumku," jawab Mahisa Pukat.
"Kau telah menghina perguruanku. Kau sebenarnya
tidak tahu apa-apa tentang cara y ang aku tempuh dalam
latihan-latihan ini. Tetapi kau dengan sombong telah
mengambil satu kesimpulan yang sama sekali salah," berkata
orang itu. "Tidak. Aku tidak m engambil k esimpulan dengan serta
merta. Aku telah melihat cara yang kau tempuh. Sementara itu
aku pun sudah mendapat keterangan bahwa latihan-latihan ini
sudah berlangsung kira-kira sepuluh hari. Jika demikian,
maka dalam waktu sepuluh hari lagi, tanpa ada perubahan
dari cara y ang kau pergunakan maka anak-anak muda itu akan
menjadi lumpuh atau terluka dalam sehingga dapat m enjadi
cacat atau bahwa mati sama sekali," jawab Mahisa Pukat.
"Kau gila. Begitu sombongnya kau sehingga aku tidak
dapat mengampunimu lagi. Jangan meny esal, bahwa aku
harus menghukummu dan m engusirmu dari padukuhan ini,"
geram orang itu. Mahisa Pukat memang sudah bersiap ketika orang itu
meloncat meny erangnya. Sejenak kemudian telah terjadi pertempuran antara
keduanya. Mahisa Pukat y ang terpaksa membela dirinya itu
bergeser ketempat y ang lebih luas. Sementara itu, para
perondapun telah melingkari arena itu menyaksikan
pertempuran yang tengah t erjadi antara orang y ang selama ini
mereka kagumi karena ilmunya y ang tinggi, melawan anakanak
muda y ang mengaku pengembara itu.
Namun sebegitu jauh, Mahisa Murti masih belum
melibatkan dirinya. Demikian pula Mahisa Semu.
Sementara itu, anak-anak muda yang mengikuti latihan
dan sedang keletihan itu pun telah berusaha menyaksikan
pertempuran itu. Sedangkan penunggu banjar itu pun dengan
heran melihat apa y ang telah terjadi.
Ternyata silirnya angin malam yang segar telah
Ilmu Ulat Sutera 14 Pendekar Lengan Buntung Karya Kim Tiauw Sumpah Palapa 29
^