Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 22

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 22


benar. Aku sudah siap mengorbankan keluarga bagi
kepentingan padukuhan."
Dalam pada itu maka Mahisa Murti pun kemudian
bertanya kepada orang-orang y ang semula mengepungnya,
"Nah, sekarang kalianlah yang harus menjawab. Orang tua itu
sudah mengatakan terus terang, siapakah yang m enjadi otak
dari kekacauan yang terjadi di padukuhan ini."
Tidak ada seorang pun y ang menjawab.
"Kenapa kalian menjadi ketakutan he" Kalian tidak
malu kepada orang tua itu" Atau kalian akan dengan senang
hati dan tanpa berperasaan menikmati pengorbanan orang tua
itu" Nah, siapakah laki-laki di antara laki-laki. Siapakah yang
berani mengatakan, apakah y ang dikatakan oleh orang tua itu
benar atau tidak. Siapakah di antara kalian yang merasa malu
membiarkan dirinya menjadi tebu san atas pengorbanan orang
tua itu dengan keluarganya serta membiarkan keluarga
mereka mati dibunuh oleh orang gila itu sementara kalian
menikmati hidup yang panjang" Apakah kalian tidak pernah
berpikir, bahwa kalian dalam jumlah yang sekian banyaknya
itu akan dapat membulatkan diri menjadi kekuatan yang tidak
akan dapat dikalahkan oleh hanya seorang, betapa pun tinggi
ilmu orang itu" Kenapa kalian tidak memperlakukan orang itu
sebagaimana kalian memperlakukan kedua orang tua anak itu.
Orang-orang y ang ju stru tidak bersalah" Jika kalian laki-laki
maka kalian dapat m engepung orang itu dan m enghukumnya
sesuai dengan kesalahannya."
Beberapa wajah mulai tengadah. Beberapa orang mulai
memperhatikan laki -laki y ang berdiri di sudut pagar pohon
beringin itu. Orang yang pertama kali mendatangi Mahisa
Murti dan memutuskan untuk membunuh anak kecil itu pula.
Sebenarnyalah semua mata tertuju kepada orang itu.
Namun orang itu tidak mau meny erah begitu saja. Adalah
benar-benar diluar dugaan Mahisa Murti ketika orang itu tibatiba
saja telah melontarkan sebilah pisau mengarah ke dada
anak muda itu. Bagaimanapun juga tinggi ilmu Mahisa Murti, dalam
keadaan y ang tidak diduganya sama sekali, ia terkejut juga
melihat pisau itu menyambarnya. Meskipun ia sempat
bergeser, tetapi pisau itu masih menggores kulit lengannya.
Wajah Mahisa Murti menjadi marah. Namun kemudian
terdengar orang y ang melemparkan pisau itu tertawa
berkepanjangan. Katanya, "Sebentar lagi kau akan mati.
Pisauku adalah pisau beracun. Hanya akulah yang mempunyai
obat penawarnya." Mahisa Murti tidak segera menjawab. Sementara itu
orang itu pun berkata selanjutnya, "Aku akan memberikan
obat penawar itu dengan beberapa janji."
" Janji apa?" bertanya Mahisa Murti.
"Berikan anak itu kepadaku," berkata orang itu,
"kemudian kalian semuanya pergi meninggalkan tempat ini,
atau anak itu aku bunuh dengan caraku."
"Kau memang iblis," geram Mahisa Murti.
"Aku tahu bahwa saudaramu itu juga mampu
melakukan sebagaimana kau lakukan. Tetapi jika ia memaksa
untuk membunuhku, maka kau pun akan mati, karena kau
tidak akan mendapat obat penawarnya," berkata orang itu.
Mahisa Murti benar-benar telah menjadi marah.
Selangkah demi selangkah ia maju mendekati orang itu sambil
berkata, "Aku tidak akan m embunuhmu dengan ilmuku yang
dapat menghancurkan regol halaman itu. Tetapi aku ingin
bertempur dengan sentuhan wadag. Nah, senjata apa yang
akan kau pakai?" Orang itu menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia
berkata, "Kau telah terkena racunku. Kau akan mati."
"Aku juga akan membunuhmu," geram Mahisa Murti.
"Tetapi kau masih mempunyai kesempatan untuk hidup
jika mau mengikuti perintahku," geram orang itu.
"Aku bukan budakmu. Aku tidak berkewajiban
menuruti perintahmu," jawab Mahisa Murti pula.
"Tetapi kau akan mati. Hanya dalam beberapa kejap
lagi." orang itu mulai bergeser mundur ketika Mahisa Murti
mendekatinya. "Racunmu tidak ada artinya bagiku," berkata Mahisa
Murti pula, "kau kira hanya kau saja y ang mempunyai
penawar racun?" "Racunku racun y ang sangat tajam," berkata orang itu.
Mahisa Murti tidak menunggu lebih lama lagi. Ia justru
melangkah lebih panjang lagi mendekati orang itu.
Namun sekali lagi orang itu telah melemparkan pisau ke
arah jantung Mahisa Murti. Tetapi Mahisa Murti yang telah
siap dengan pedangnya dengan cepat pula menangkis
serangan itu, sehingga pisau itu tidak mengenainya, tetapi
terlempar beberapa langkah daripadanya.
Tetapi orang itu ternyata masih meny impan beberapa
pisau di ikat pinggangnya. Pisau-pisau beracun. Karena itu,
maka ia- pun telah menarik lagi satu pisau dari ikat
pinggangnya. Tetapi pada saat itu, sama sekali tidak terduga, seorang
anak muda telah m eloncat maju dengan tanpa menghiraukan
apa pun juga. Ditangannya tergenggam sebilah keris. Dengan
serta merta anak muda itu telah m enghunjamkan kerisny a di
lambung orang yang hampir saja melemparkan pisaunya itu.
Orang itu terkejut. Ia masih sempat berpaling
memandang ke arah anak muda itu.
Sor ot matanya y ang bagaikan menyala itu ternyata telah
membuat anak m uda y ang menusuknya m enjadi ketakutan.
Karena itu, maka ia pun telah bergeser selangkah demi
selangkah surut. Sedangkan orang y ang terluka itu seakanakan
tidak lagi merasa bahwa lam bungnya telah koy ak.
"Setan kau," geram orang itu, "kau mencoba
membunuhku he?" Suasana menjadi semakin tegang. Anak muda y ang telah
menusuk lambung orang yang telah melemparkan pisau itu
menjadi semakin ketakutan. Ternyata orang ditusuknya tidak
segera mati. Dalam suasana tegang itu Mahisa Pukat sempat bertanya
kepada orang tua y ang telah berani menunjukkan siapakah
yang bersalah itu, "Siapa anak itu?"
"Anak itu adalah adik dari perempuan y ang telah
terbunuh bersama suaminya. Perempuan yang telah dilempari
lembing, pisau, kapak dan batu," jawab laki -laki tua itu,
"agaknya dendamnya tidak lagi tertahankan. Dalam
kesempatan ini ia telah melepaskan dendamnya itu."
Mahisa Pukat tiba-tiba saja telah menggeretakkan
giginya. Ketika laki -laki yang terluka itu mengangkat pisau
belatinya ke arah anak muda y ang ketakutan itu, maka Mahisa
Pukat telah berada di sampingnya.
"Ternyata day a tahanmu cukup besar," geram Mahisa
Pukat. Orang itu berpaling. Namun ia pun menggeram ketika ia
melihat Mahisa Pukat berdiri disebelahnya.
"Kau akan membela anak itu?" bertanya orang itu.
"Kau adalah sumber dari segala malapetaka," geram
Mahisa Pukat, "meny erahlah. Bertaubatlah, agar jika kau
dapat disembuhkan maka kau akan m enjadi warga yang baik
dari padukuhan ini."
Tetapi orang itu sama sekali tidak mendengarkannya.
Bahkan tiba-tiba saja ia telah mengayunkan pisaunya
menyerang Mahisa Pukat. Kemarahan Mahisa Pukat sejak semula telah m eny esak
di dadanya. Karena itu, ketika orang itu mengayunkan
pisaunya mendatar, maka dengan cepat Mahisa Pukat
bergeser. Selangkah ia surut, sehingga pisau orang yang
terluka itu tidak meny inggungnya.
Kemarahan Mahisa Pukat agaknya telah benar-benar
sampai ke ubun-ubun. Karena itu, maka tangannya sudah siap
terayun menghantam dada. Jika hal itu terjadi, maka sudah
pasti tulang-tulang iga orang itu akan berpatahan.
Namun ternyata sebelum Mahisa Pukat melakukannya.
Sekali lagi anak muda itu meloncat sambil menjulurkan
kerisnya. Sekali lagi keris anak muda itu m enghunjam ju stru
ke arah jantung. Orang itu meny eringai sejenak. Kemudian mengumpat
dengan kata-kata kotor. Namun anak muda itu kemudian justru telah berteriak
dengan suara y ang keras sekali, "Kau bunuh kakakku
meskipun ia tidak bersalah."
Orang y ang telah ditusuknya itu masih melangkah
selangkah maju. Namun ia pun kemudian telah jatuh
tertelungkup. Ternyata luka di jantungnya telah melepaskan
nyawa dari tubuhnya. Sejenak orang-orang y ang menyaksikan peristiwa itu
diam mematung. Namun kemudian Mahisa Pukat pun berkata
kepada orang-orang y ang ada di sekitarnya, "Ternyata
peristiwa ini telah dapat diselesaikan dengan cara y ang sama
sekali diluar dugaan. Dendam y ang m embakar jantung anak
muda itu tidak terkendali."
Orang-orang itu memandangi anak muda itu dengan
pandangan mata y ang aneh. Namun kemudian seorang di
antara mereka datang menghampirinya sambil berkata,
"terima kasih anak muda. Kau telah mengakhiri kelaliman
yang sudah berlangsung bertahun-tahun."
Anak y ang muda y ang memegang keris itu termangumangu
sejenak. Namun dari keningnya keringat telah
mengalir dengan derasny a.
Beberapa orang justru telah datang mengerumuninya.
Pada umumnya mereka menyatakan kekaguman mereka atas
keberanian anak itu. Namun anak itu sendiri tiba-tiba telah
jatuh berlutut dan dengan kedua telapak tangannya menutupi
wajahnya. Kerisny a masih tertancap di dada orang yang telah
terbunuh itu. Anak itu ternyata telah menangis sejadi-jadiny a. Seakanakan
ia ingin meneriakkan segala macam kemarahan,
kekecewaan, peny esalan dan segala macam perasaannya.
" Ia telah membunuh kakakku," geramnya di sela-sela
tangisny a. "Sudahlah," berkata Mahisa Pukat, "yang sudah lam pau
tidak perlu disesali. Yang lewat tidak akan dapat diulang
kembali. Sekarang, cobalah memandang masa depan. Aku
tahu. Kau tentu tidak pernah merencanakan untuk membunuh
seseorang. Agaknya kau telah m elakukannya diluar sadar. Itu
pun sudah terjadi. Dan sikapmu dapat dimengerti oleh orangorang
padukuhan ini sehingga m ereka tidak akan-mengambil
tindakan apa -apa terhadapmu. Orang-orang padukuhan sudah
tidak takut lagi kepada seseorang yang selama ini menguasai
hampir semua segi-segi kehidupan di sini. Apa yang kau
lakukan justru merupakan satu kurnia bagi kehidupan
padukuhan ini untuk selanjutnya."
Perlahan-lahan anak itu menjadi tenang. Tangisnya pun
telah mereda. Ternyata beberapa orang telah m embantunya
berdiri dan seorang di antara mereka berkata, "Kau telah
membebaskan kita semua dari penindasannya."
Anak itu termangu-mangu. Namun dalam pada itu,
Mahisa Pukat telah b erkata, "Jika demikian, m aka aku harap
kalian dapat meny elesaikan per soalan kalian sendiri. Aku akan
melanjutkan perjalanan bersama-sama saudaraku membawa
anak itu ke tempatnya, sebagaimana harus kami lakukan. Atau
kalian masih menganggap perlu untuk mengambil darah anak
itu?" Orang-orang y ang m endengar kata-kata Mahisa Pukat
itu termangu-mangu. Namun Mahisa Pukat ju stru
menegaskan, "Kami akan minta diri. Kalian dapat berbuat
banyak untuk memperbaiki keadaan padukuhan kalian tanpa
mengenal takut lagi."
Orang-orang itu masih saja termangu -mangu.
Namun dalam pada itu Mahisa Pukat berkata, "Kalian
tahu, bahwa orang tua ini sudah menyatakan diri dan bahkan
dengan seluruh keluarganya berkorban untuk keselamatan
kalian. Aku tidak tahu kenapa orang tua itu tersisih. Tetapi itu
ternyata bahwa ia t elah ber sedia berkorban untuk kalian. Itu
bukannya satu langkah y ang tanpa arti."
Seorang di antara orang-orang padukuhan itu tiba-tiba
sa ja telah melangkah maju sambil berkata, "kami mohon
maaf." "Kenapa?" bertanya Mahisa Pukat.
"Orang tua itu untuk sementara memang tersisih. Tetapi
sebenarnya orang itu adalah Ki Bekel dari padukuhan ini,"
berkata orang itu. "Ki Bekel?" ulang Mahisa Pukat.
"Ya," jawab orang itu.
" Jadi bagaimana dapat terjadi sehingga Ki Bekel justru
menjadi orang tersisih di padukuhannya sendiri," bertanya
Mahisa Pukat. " Itulah yang telah terjadi," jawab orang itu sambil
memandang kepada tubuh y ang telah terbaring diam .
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ternyata
demikian besar pengaruh orang itu sehingga Ki Bekel ju stru
telah tersisih. Tetapi ternyata begitu besar pula tanggung
jawab Ki Bekel atas padukuhannya sehingga ia bersedia
mengorbankan bukan saja dirinya tetapi k eluarganya, karena
ia sadar, bahwa jika orang itu masih tetap hidup, maka ia akan
membunuhnya dan keluarganya.
Karena itu, m aka Mahisa Pukat pun berkata, "Baiklah.
Jika demikian kita serahkan semuanya kepada Ki Bekel. Aku
yakin bahwa keadaan padukuhan ini akan segera pulih
kembali." Dalam pada itu ternyata Mahisa Murti, Mahisa Pukat,
Mahisa Semu dan anak yang dibawanya tidak bersedia singgah
di padukuhan itu. Mereka sudah terlanjur menyebut diri
mereka orang-orang dari padepokan golongan hitam, sehingga
kehadirannya di padukuhan itu akan dapat menimbulkan
ketakutan pada orang-orang padukuhan.
Namun ketika mereka minta diri, orang tua y ang
sebenarnya adalah Ki Bekel itu b erkata kepada m ereka, "Aku
tidak y akin bahwa kalian berasal dari padepokan di sebelah
padang rumput Ambal. Meskipun letaknya dari padukuhan ini
agak jauh, tetapi aku pernah m engenal serba sedikit tentang
padepokan itu." Mahisa Murti memang tidak dapat ingkar. Katanya,


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kami memang bukan orang padepokan itu. Justru kami telah
menghancurkan padepokan itu. Jika kami menyebutnya,
maksud kami agar orang-orang padukuhan ini menjadi
ketakutan dan mengurungkan niatnya untuk membunuh anak
ini. Tetapi ternyata bahwa korban akhirnya memang harus
jatuh." "Dendam anak itu tidak terkendali lagi," berkata Ki
Bekel, "tetapi aku tidak menyalahkannya."
Demikianlah, namun anak-anak m uda y ang m embawa
anak kecil itu terpaksa tidak singgah di padukuhan itu. Mereka
pun segera minta diri untuk melanjutkan perjalanan.
Sementara pemerintahan di padukuhan itu telah kembali lagi
kepada Ki Bekel y ang untuk beberapa lama telah tersisih.
Demikian meninggalkan padukuhan itu, maka anak kecil
yang bersama ketiga orang anak muda itu baru berani
melepaskan pegangannya pada kain panjang Mahisa Semu.
Ternyata Mahisa Pukat sempat mengganggunya, "He,
kenapa kau menangis" Anak nakal t idak boleh menangis. Kau
berani memanjat pohon randu dan menolak untuk turun,
namun kau menangis ketika beberapa orang mengancammu."
"Aku takut sekali," jawab anak itu jujur.
Mahisa Pukat tersenyum. Tetapi karena anak itu
menjawab dengan jujur, maka Mahisa Pukat tidak dapat
mengganggunya lagi. Demikianlah, maka iring-iringan kecil itu telah berjalan
di tengah bulak. Sekali-sekali mereka memasuki padukuhan,
namun kembali mereka menelusuri bulak panjang dan
pendek. Bahkan kadang-kadang bulak itu demikian
panjangnya sehingga seakan-akan jalan bulak sama sekali
tidak berujung. Ketika mereka memasuki senja hari, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat serta Mahisa Semu telah sepakat untuk
bermalam di banjar padukuhan.
Orang-orang padukuhan itu tidak berkeberatan. Namun
ternyata ada beberapa orang anak-anak muda yang nakal.
Ra sa -rasanya tangan-tangan mereka menjadi gatal jika
mereka tidak mengganggu orang.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu memang
harus menahan diri, bahwa orang-orang itu dengan suara
lantang dan kasar menyapa mereka bertiga.
"He," berkata orang bertubuh gemuk, "salah seorang
dari kalian. Pijit kakiku," katanya.
Tetapi ketika anak kecil yang bersama ketika orang anak
muda itu mendekat untuk memijit, maka tiba-tiba saja kakinya
telah dihentakkannya sehingga anak itu jatuh terlentang.
Kepalanya membentur pintu sehingga matanya menjadi
merah. Tetapi Mahisa Pukat berbisik, "Anak nakal tidak boleh
menangis." Sementara itu orang y ang gemuk sambil berbaring
menelungkup berkata, "Cepat, salah seorang dari kalian atau
aku pukuli kalian semua."
Kawannya y ang mendengarnya berteriak-teriak
bertanya, "Kau suruh apa mereka?"
"Seorang di antara mereka harus memijit aku. Aku akan
memberi mereka upah jika mereka dapat meny embuhkan
lelahku sebelum aku m eronda," berkata anak y ang gemuk itu ,
"tetapi jika sebaliknya ia membuat kakiku sakit, maka ia akan
aku denda." "Kau memang aneh-aneh saja. Nanti jika Ki Bekel
mendengar kau mengganggu orang menginap, ia akan marah,"
berkata kawannya. "Ki Bekel sudah mendengkur di rumahnya," jawab anak
yang gemuk itu. Lalu katanya, "Lagi pula yang m enginap itu
tidak lebih dari pengembara-pengembara kelaparan. Nanti, di
saat para per onda makan, biarlah mereka kita beri makan."
Ternyata anak yang gemuk itu tidak menghiraukan
peringatan kawannya. Ia m asih saja memanggil, "He, cepat.
Salah seorang dari kalian. Atau aku harus datang meny eret
kalian ke mari?" Tidak ada y ang menjawab. Namun Mahisa Murti lah
yang memberi isyarat kepada y ang lain, bahwa ialah y ang akan
datang memenuhi panggilan itu.
Anak yang gemuk itu hampir saja berteriak ketika
Mahisa Murti masuk ke ruang tengah.
"Nah kau. Jangan bay i itu kau suruh memijit aku.
Tanganmu pun belum tentu terasa. Apalagi tangan-tangan
bay i," berkata anak muda y ang gemuk, y ang kemudian
berbaring menelungkup di atas tikar di sudut banjar.
Beberapa orang kawannya memang mentertawakannya.
Seorang di antara mereka berkata, "Kau memang seorang
pemalas. Orang -orang itu tentu letih. Lebih letih dari kau,
karena mereka telah menempuh perjalanan jauh."
"Tutup mulutmu," bentak anak y ang gemuk itu.
Tetapi kawannya yang lain justru berkata, "Pulang
sa jalah jika kau malas meronda malam ini."
"Aku pukul mulutmu," geram anak muda yang gemuk
itu. Kawan-kawannya pun kemudian tidak
menghiraukannya lagi. Ia memang anak muda y ang sulit
untuk dikendalikan. Ia berbuat sesuatunya. Namun kadangkadang
ia benar-benar m emukul kawannya y ang m enentang
kesenangannya. Beberapa orang kawannya memang merasa takut
kepadanya, tetapi yang lain semata-mata merasa segan. Lebih
baik tidak bertengkar dengan anak itu meskipun mereka tidak
takut. Beberapa saat kemudian, Mahisa Murti lah y ang telah
mulai memijit kaki anak muda itu. Perlahan-lahan saja. Tidak
cukup keras sehingga seakan-akan tidak terasa.
"Keras sedikit pemalas," bentak anak muda y ang gemuk
itu, sehingga beberapa orang y ang duduk di serambi berpaling
kepadanya. Tetapi Mahisa Murti masih saja memijit perlahan-lahan,
sehingga anak muda yang gemuk itu menjadi semakin marah.
Dengan telapak kakinya, maka anak muda itu telah
mendorong Mahisa Murti pada pundaknya sambil
membentak, "Kau jangan keras kepala he" Aku dapat
mematahkan jari-jarimu."
Beberapa orang y ang melihat anak muda y ang gemuk itu
berbuat demikian kasarnya menjadi semakin tidak senang.
Seorang yang bertubuh tinggi tegap, y ang bia sanya lebih baik
tidak menghiraukannya, tidak dapat menahan diri. Karena itu,
ia pun telah berdiri dan mendekati, "Kau jangan terlanjur
menjadi gila he?" "Anak itu menghinaku," geram anak bertubuh gemuk
itu. "Tetapi kau terlalu ka sar," geram anak y ang bertubuh
tinggi tegap itu. " Jangan ikut campur," bentak anak muda y ang gemuk.
Tetapi ia masih saja berbaring menelungkup. Katanya
kemudian, "Jika paman Jagabaya melihat kau begitu
sombong, maka kau akan dihukum di halaman banjar."
"Tetapi banyak saksi y ang melihat apa yang kau
lakukan," berkata anak muda itu.
"Aku tidak peduli. Aku akan memberitahukan kepada
paman Jagabaya bahwa kau terlalu sombong," geram anak
yang gemuk itu. "Katakan kepada Ki Jagabaya," bentak anak itu, "aku
akan melaporkannya kepada Ki Bekel. Kau kira wewenang Ki
Jagabaya lebih tinggi dari Ki Bekel."
"Persetan," geram anak yang gemuk itu.
Namun Mahisa Murti y ang tidak mau melihat anak-anak
muda itu bertengkar berkata, "Sudahlah Ki Sanak. Terima
kasih atas sikap Ki Sanak. Tetapi biarlah aku melakukan
perintahnya. Anak muda y ang gemuk ini akan segera bersikap
lain." Anak yang bertubuh tinggi tegap itu tidak begitu
mengerti maksud pengembara yang sedang memijit anak
muda y ang gemuk itu. Bahkan anak muda y ang gemuk itu pun
tidak mengerti pula maksudnya, sehingga ia pun membentak,
"Apa maksudmu?"
"Kau tidak akan membentak-bentak lagi," berkata
Mahisa Murti. Tetapi ia masih memijit perlahan-lahan saja.
Namun sebenarnyalah Mahisa Murti juga sedang
berpikir. Apakah ia harus mengisap kekuatan anak muda itu,
atau sekedar membuatnya tidak berdaya untuk beberapa saat.
Tetapi sementara itu, anak muda itu masih saja
membentak, "Cepat. Atau aku tendang kepalamu."
Namun tiba -tiba saja Mahisa Murti telah bergeser
sedikit. Ia tidak memijit kaki anak muda y ang gemuk itu.
Tetapi ia telah m enekan dengan jari-jarinya beberapa simpul
sy araf disebelah menyebelah tulang belakangnya. Kemudian
memijit pangkal lehernya sehingga anak muda itu
menyeringai. "Nah," berkata Mahisa Murti, "anak itu t idak akan
berbuat apa-apa lagi."
Anak y ang bertubuh tinggi tegap itu termangu-mangu. Ia
tidak segera pergi. Jika anak gemuk itu berbuat kasar sekali
lagi, maka ia tidak akan memaafkannya meskipun anak yang
gemuk itu adalah kemanakan Ki Jagabaya. Tetapi tingkah
lakunya sudah keterlaluan.
Tetapi tiba -tiba saja anak y ang gemuk itu justru
berteriak, "He, kau apakan aku" Kenapa tiba-tiba saja aku
menjadi lumpuh?" Mahisa Murti terseny um. Katanya, "kau terlalu nakal.
Kau peras tenaga orang lain tanpa belas kasihan. Bukankah
kau tahu, sebagaimana telah diperingatkan oleh kawankawanmu,
bahwa kami, y ang baru saja mengembara tentu
merasa jauh lebih letih dari kau. Tetapi kau paksa kami
melakukan pekerjaan y ang tidak sepantasnya kami lakukan.
Nah, sekarang kau dapat beristirahat di situ sampai besok."
"Gila. Aku bunuh kau. Paman Jagabaya akan menjadi
sangat marah kepadamu sehingga kau tentu akan digantung,"
berkata anak muda itu. "Bukankah aku tidak berbuat apa-apa?" bertanya
Mahisa Murti. "Tetapi kau buat aku lumpuh," anak muda itu tiba-tiba
sa ja hampir menangis. " Jangan gelisah. Bukankah dengan begitu kau m enjadi
semakin manja. Kau akan digotong ke mana kau ingin pergi.
Kau akan dimandikan oleh sanak kadangmu dan kau akan
disuapi sehari tiga kali," berkata Mahisa Murti.
"Tidak mau. Aku tidak mau." anak muda yang gemuk itu
benar-benar menangis. Anak muda yang bertubuh tinggi tegap itu menjadi
tegang. Dengan kerut di dahi ia bertanya kepada Mahisa
Murti, "Kau apakan anak itu?"
"Tidak apa-apa," jawab Mahisa Murti.
"Kenapa ia menjadi lumpuh?" bertanya anak itu pula.
"Sebenarnya ia tidak lumpuh. Ia merasa dirinya
lumpuh," jawab Mahisa Murti.
"Tetapi ia tidak dapat bangkit," berkata anak muda itu.
" Ia m emang anak manja. Tetapi untuk sementara aku
memang perlu membuatnya tidak melakukan sesuatu.
Bukankah ia m engancam akan menyakiti aku?" jawab Mahisa
Murti. "Apakah hal itu tidak membahayakannya?" bertanya
anak itu lagi. "Tidak. Tentu tidak," berkata Mahisa Murti.
Agaknya anak muda itu tidak percaya, sehingga Mahisa
Murti pun kemudian telah bergerak dengan cepat. Menekan
beberapa simpul sy araf sehingga terbuka. Sentuhan pada
pangkal leher anak itu telah membuat tenaganya terasa
menjadi pulih kembali. Ketika terasa bahwa kemampuannya menguasai
anggauta badannya tumbuh kembali, sehingga menurut
pendapatnya kekuatannya telah bangkit lagi, maka anak muda
yang agak gemuk itu telah meloncat berdiri. Dengan serta
merta ia telah meny erang Mahisa Murti.
Tetapi Mahisa Murti telah meloncat menjauh. Kepada
anak muda yang bertubuh tinggi tegap itu Mahisa Murti yang
telah mengambil jarak berkata, "Nah kau lihat, bahwa ia tidak
apa-apa." "Anak iblis," anak yang agak gemuk itu mengumpat,
"paman Jagabaya akan membunuhmu."
Mahisa Murti tidak menjawab. Namun anak y ang marah
itu telah m eny erangnya lagi. Ayunan tangannya mengarah ke
kening Mahisa Murti. "Cukup," bentak anak muda y ang bertubuh tinggi tegap
itu. Tetapi anak muda y ang gemuk itu tidak
menghiraukannya. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang
sedang dihadapinya. Namun dalam pada itu Mahisa Murti telah bergeser
selangkah ke samping. Menangkap tangan anak itu,
memilinnya dan sekali lagi dengan cepat tangannya menutup
beberapa simpul sy araf di punggungnya. Kemudian
menyentuh pangkal leher anak y ang gemuk itu.
Tetapi dengan cepat Mahisa Murti menangkap anak
yang hampir saja jatuh tertelungkup itu.
Perlahan-lahan Mahisa Murti meletakkan anak muda itu
sambil berkata, "Ia akan beri stirahat sampai esok pagi."
Anak muda yang bertubuh tinggi tegap itu akhirnya
mengetahui juga, kemampuan y ang tersimpan di dalam diri
Mahisa Murti. Betapa jauh kemampuannya dalam olah
kanuragan, namun y ang dilakukan oleh Mahisa Murti
nampaknya mampu meyakinkannya, bahwa hanya orangorang
berilmu sajalah yang dapat berbuat sebagaimana
dilakukan oleh Mahisa Murti itu.
Namun dalam pada itu, beberapa orang telah
mengerumuninya. Anak muda yang bertubuh tinggi tegap
itulah yang kemudian berkata, " Ia masih ingin beristirahat
setelah tubuhnya dipijit. Nampaknya pijitan itu m embuatnya
kehilangan gairah untuk meronda bersama kita."
"T olong aku," anak muda y ang gemuk itu berteriak,
"tangkap anak itu. Ia mempunyai ilmu sihir. Tentu ilmu iblis.
Aku telah dibuatnya lumpuh lagi."
Beberapa orang memang termangu-mangu. Namun anak
muda y ang bertubuh tinggi tegap itulah yang kemudian


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengatakan kepada kawan-kawannya bahwa anak-anak muda
yang bermalam di banjar itu ternyata bukan orang
kebanyakan. Bukan pengembara sebagaimana mereka kenal.
Namun Mahisa Murti berkata, "Kami adalah
pengembara sebagaimana kebanyakan pengembara. Jika aku
memperlakukan itu demikian semata-mata ia tidak terbia sa
berbuat kasar." Anak-anak muda y ang ada di banjar itu menganggukangguk.
Namun sebagian besar dari mereka justru merasa
senang melihat anak y ang gemuk itu terbaring diam , meskipun
mulutnya mengumpat-umpat.
Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata,
"tempatkan anak itu di amben di ruang dalam. Agaknya akan
lebih baik baginya daripada berbaring di situ."
Beberapa orang anak muda telah mengangkatnya
beramai-ramai dan meletakkannya di amben yang besar.
Ketika anak muda yang gemuk itu berteriak-teriak, beberapa
orang anak muda yang memiliki keberanian telah
mentertawakannya. Bahkan anak muda y ang b ertubuh tinggi
tegap itu menepuk pundaknya sambil berkata, "tenanglah.
Menurut pengembara itu, kau m emang perlu beristirahat dan
tidak lagi berbuat kasar. Dengan demikian, m aka kau tidak
akan mengalami kesulitan y ang lebih berat. Untunglah bahwa
kali ini kau bertemu dengan pengembara y ang baik. Yang
meskipun dapat berbuat jauh lebih buruk bagimu, tetapi ia
tidak melakukannya."
Namun dalam pada itu, disamping anak-anak muda
yang justru merasa bergembira melihat kawannya yang gemuk
dan sombong itu mendapat sedikit pelajaran, ada juga di
antara mereka yang berbuat sebalikny a. Mereka yang setiap
kali m endapat keuntungan dari anak muda yang gemuk itu,
telah meninggalkan halaman banjar dan pergi ke rumah Ki
Jagabaya. Sebenarnyalah bahwa Ki Jagabaya menjadi marah atas
perlakuan para pengembara yang telah mendapat tempat di
banjar, namun yang justru telah membuat kemanakannya
menjadi bahan tertawaan. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa Ki Jagabaya telah
pergi pula ke banjar itu.
Beberapa orang anak muda dan orang-orang y ang ada di
banjar memang terkejut melihat tiba -tiba saja Ki Jagabaya
telah datang ke banjar. Beberapa orang memang menjadi
ketakutan. Tetapi beberapa orang anak muda telah
meny ongsongnya tanpa ragu-ragu.
"Apa y ang terjadi dengan kemanakanku itu?" bertanya
Ki Jagabaya. Anak yang bertubuh tinggi besar itulah y ang
mengatakan, apa y ang telah dilakukan oleh pengembara itu.
" Dimana mereka sekarang?" bertanya Ki Jagabaya.
"Mereka kami tempatkan di bilik belakang," jawab anak
muda itu. "Mereka harus tahu, bahwa mereka tidak dapat berbuat
sesuka hatinya di sini," geram Ki Jagabaya.
"Tetapi salah kemanakan Ki Jagabaya sendiri," jawab
anak muda y ang bertubuh tinggi besar itu.
Ki Jagabaya justru m enjadi bingung m enanggapi sikap
anak muda itu. Tidak seorang pun y ang berani
membantahnya. Juga anak muda itu biasanya tidak berbuat
seperti itu, meskipun ia memang sering menyampaikan
pendapatnya lebih terbuka dari anak-anak y ang lain.
Selagi Ki Jagabaya termangu-mangu, maka anak muda
itu berkata, "Sebaiknya Ki Jagabaya melihat dan berbicara
dengan kemanakan Ki Bekel itu."
Ki Jagabaya memang ragu-ragu. Tetapi ia pun telah
mendekati kemanakannya. Beberapa saat ia berbicara.
Kemanakannya memang minta pamannya itu bertindak.
Namun anak muda y ang bertubuh tinggi tegap itu
berkata, "Sebaiknya Ki Jagabaya tidak berbuat apa -apa
terhadapnya. Bukan maksudku untuk merendahkan
kemampuan Ki Jagabaya. Tetapi aku justru menjaga harga diri
Ki Jagabaya. Ki Jagabaya adalah orang yang disegani di sini.
Tetapi jika Ki Jagabaya mengalami peri stiwa seperti
kemanakan Ki Jagabaya itu, bukankah wibawa Ki Jagabaya
akan berkurang." "Tidak. Paman tentu akan dapat membunuhnya," geram
anak yang gemuk itu. "Aku tidak y akin," sahut anak y ang bertubuh tinggi
tegap itu. Lalu katanya selanjutnya, "Coba, apakah kau sadari,
apa y ang telah terjadi atas dirimu" Begitu cepat dan seakanakan
pengembara itu sama sekali tidak merasa perlu untuk
mengerahkan tenaganya."
"Tetapi paman adalah Jagabaya di sini," anak muda itu
justru membentak. "Kau adalah kemanakan Ki Jagabaya. Seharusnya kau
ikut menjaga wibawanya. Bukan karena kau sekedar
memikirkan kepentinganmu sendiri, kau tidak mau
melindungi nama baik pamanmu," geram anak y ang bertubuh
tinggi tegap itu. Namun agaknya Ki Jagabaya sendirilah y ang menyadari,
bahwa anak muda yang meny ebut dirinya pengembara itu
tentu orang pilihan. Ia melihat keadaan kemanakannya.
Sebagaimana dikatakannya, maka sentuhan-sentuhan pada
punggungnya dan pangkal lehernya telah m embuatnya tidak
dapat bergerak. Hampir mutlak, meskipun ia masih juga dapat
berbicara, sedikit menggeleng, mengangguk dan mengejapkan
matanya. Meskipun demikian Ki Jagabaya masih minta anak-anak
muda itu menemuinya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah y ang datang
menemui Ki Jagabaya. Keduanya sudah m enjadi berdebaran.
Ra sa -rasanya mereka sudah terlalu banyak melakukan
kekerasan, sehingga jika tidak terpaksa sekali, keduanya
merasa segan melakukannya. Namun sudah barang tentu
keduanya tidak akan mau diperlakukan tidak adil.
Tetapi ternyata bahwa Ki Jagabaya justru minta maaf
kepada mereka. Atas nama kemanakannya itu, maka ia m inta
kedua anak muda itu melupakannya saja peri stiwa itu.
" Jika anak-anak muda berkenan, aku mohon kalian
membebaskan kemanakanku itu," berkata Ki Jagabaya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun keduanya melihat kesungguhan pada sikap Ki
Jagabaya. Karena itu, maka keduanya pun tidak berkeberatan.
+ Beberapa orang menjadi iba melihat nasib anak-anak
muda itu. Tetapi yang lain menjadi gelisah setelah mereka
melihat kenyataan, bahwa menghadapi sekelompok prajurit
dalam jumlah yang jauh lebih besar, anak-anak muda itu sama
sekali tidak terdesak. Bahkan mereka masih sempat
melindungi adik mereka y ang paling kecil.
Apalagi setelah orang-orang padukuhan mendengar
pembicaraan orang-orang itu, serta pengakuan anak-anak
muda itu bahwa m ereka juga prajurit Kediri. Justru bagian
sandi. Seorang di antara mereka berkata, "Jadi m ereka justru
prajurit sandi?" "Kita sudah terlanjur m emperlakukan mereka dengan
kasar. Justru karena mereka prajurit sandi itulah maka
mereka sama sekali tidak melawan. Padahal, seandainya
mereka melawan sebagaimana mereka melawan para prajurit
itu, maka kita sepadukuhan akan dapat dibunuhnya." berkata
yang lain. Orang-orang y ang mendengar kata-katanya itu
mengangguk-angguk. Mereka memang menjadi cemas.
Mereka tidak tahu apa yang terjadi setelah pertempuran itu
selesai. Namun agaknya semakin lama orang-orang padukuhan
itu menjadi semakin yakin, bahwa anak-anak muda itu akan
memenangkan pertempuran itu, meskipun mereka hanya
bertiga. Sebenarnyalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi
semakin garang. Pedang Mahisa Semu pun berputaran
semakin cepat. Ilmunya y ang mulai mapan, ditempa oleh
pengalamannya, telah membuatnya menjadi seorang yang
memiliki kemampuan bermain pedang cukup tinggi.
Dalam pada itu, maka ternyata beberapa saat kemudian,
para prajurit Kediri itu menjadi semakin gelisah. Hampir
semua orang telah mengalami bersentuhan dengan tangan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang bagaikan bara itu.
Hampir semua orang telah mengalami luka bakar, sehingga
mereka tidak dapat bertempur dengan sepenuh tenaga dan
kemampuan. Bahkan beberapa di antara mereka telah
mengalami luka karena ujung senjata Mahisa Semu.
Namun pemimpin sekelompok prajurit y ang telah
memerintahkan menangkap dan bahkan membunuh anakanak
muda itu masih berusaha untuk melakukannya. Ia
sendiri telah turun ke arena. Ia memang memiliki kemampuan
bermain pedang. Namun menghadapi Mahisa Murti, maka ia
memang tidak banyak dapat berbuat. Betapa ia menunjukkan
kemampuannya, maka rasa-rasanya ia tidak mampu lagi untuk
mengatasinya. Beberapa kali ia mencoba, namun akhirnya
justru dadanyalah yang telah disentuh tangan Mahisa Murti.
Ternyata pemimpin sekelompok prajurit Kediri itu tidak
dapat mempertahankan sikapnya. Ia harus mengakui
keny ataan y ang terjadi. Apa pun yang hendak dilakukannya
atas ketiga anak muda itu, namun pada akhirnya semua akan
gagal. Karena itu, maka selagi orang-orangnya masih utuh,
meskipun hampir semuanya telah mengalami luka-luka, maka
pemimpin sekelompok prajurit itu telah memberikan isyarat
kepada orang-orangnya untuk menarik diri dari arena.
Dengan serempak, maka para prajurit itu telah bergeser
untuk menarik diri. Dengan mengacungkan senjata mereka,
maka mereka berdiri merapat sambil bergeser surut.
Mahisa Murti memberi isyarat kepada saudarasaudaranya
untuk tidak memburu mereka. Dibiarkannya saja
para prajurit itu pergi. Sepeninggal para prajurit itu, maka orang-orang
padukuhan itulah yang menjadi berdebar-debar. Mereka
masih melihat nyala kemarahan pada sikap dan langkah anakanak
muda itu. Jika kemarahan itu ditumpahkan kepada
mereka, maka mereka tidak akan mampu berbuat apa-apa,
sementara sekelompok prajurit pun tidak mampu melawan
mereka bertiga. Dengan tegang orang -orang padukuhan itu berdiri
termangu-mangu. Sementara itu Mahisa Murti berbisik
kepada Mahisa Semu, "Cari pedangmu."
Mahisa Semu lah yang kemudian berdiri di paling depan
menghadap kepada orang-orang padukuhan yang menjadi
gemetar. Namun y ang dikatakan oleh Mahisa Semu kemudian
adalah, "Dimana pedangku" Kalian telah merampasnya. Jika
tidak seorang pun y ang mengaku dan mengembalikan
pedangku, maka aku akan mencarinya. Tetapi caraku adalah
cara yang sangat kasar, karena kalian telah menghina kami."
Orang-orang padukuhan itu memang menjadi
ketakutan. Tetapi orang y ang telah m erampas senjata ketiga
orang anak muda itu menjadi semakin ketakutan.
"Apakah tidak ada di antara kalian y ang mengaku?"
bertanya Mahisa Semu. Tidak ada seorang pun y ang menjawab.
"Baiklah," berkata Mahisa Semu, "jika memang tidak
ada seorang pun yang mau mengaku m engambil senjata itu,
maka aku akan memaksa kalian berbicara menurut caraku."
Orang-orang padukuhan itu menjadi tegang. Sementara
itu Mahisa Semu berkata lebih lanjut, "Aku akan m engambil
seorang di antara kalian. Jika ternyata tidak ada yang
mengaku mengambil senjataku, maka orang itu akan aku
bunuh. Kemudian aku akan m engambil orang kedua dan aku
perlukan seperti orang pertama. Sampai habis sekalipun akan
aku lakukan sebelum ada yang mengaku m eny impan senjata
kami. Bahkan kemudian akan aku lakukan pula atas
perempuan dan anak-anak."
Suara Mahisa Semu itu bagaikan suara guntur y ang
menggelegar di setiap telinga. Semua orang menjadi pucat.
Apalagi yang kebetulan berdiri di paling depan.
Bahkan Mahisa Semu itu pun berkata, "jangan mencoba
ada yang melarikan diri. Mereka akan mati lebih dahulu dari
yang lain." Suasana menjadi sangat tegang. Semua orang terdiam.
Ujung jari kaki pun bahkan tidak ada y ang bergerak.
Namun orang yang telah merampas senjata Mahisa
Semu itu akhirnya harus mengambil keputusan. Betapa ia
menjadi ketakutan, tetapi sudah t entu ia tidak dapat m elihat
orang-orang padukuhannya seorang demi seorang mati
terbunuh oleh anak-anak muda itu.
Karena itu, dengan tubuh gemetar ia pun berkata, "Anak
muda. Jangan lakukan itu."
Mahisa Semu mengerutkan dahinya. Dengan nada berat
ia bertanya, "Kenapa?"
"Akulah y ang membawa salah satu di antara senjata
kalian," jawab orang itu.
"Kemarilah." minta Mahisa Semu.
Orang itu dengan kaki bergetar berjalan selangkah demi
selangkah mendekati Mahisa Semu. Bahkan seakan-akan ia
tidak akan pernah sampai kepada anak muda itu.
Tetapi akhirnya dengan memaksa diri ia berhasil berdiri
dihadapan Mahisa Semu. Wajahnya y ang pucat dan kakinya
yang gemetar menunjukkan betapa ia merasa ketakutan.
-ooo0dooeoowooi0ooo- (Bersambung ke Jilid 73).
HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 73 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 073 MAHISA Semu pun kemudian menerima senjatanya. Ia
langsung dapat mengenalinya bahwa senjata itu adalah
senjatanya. Karena itu, maka sambil menarik nafas dalamdalam
ia berkata, "akhirnya senjata itu kembali kepadaku,"
namun tiba-tiba saja ia bertanya, "kenapa kau ambil senjataku
he?" Orang itu tidak segera menjawab.
Ketika Mahisa Semu membentak, orang itu terdor ong
beberapa langkah surut karena terkejut dan ketakutan.
Akhirnya Mahisa Semu sendiri y ang memberikan
jawaban, "Kau kira kami benar-benar perampok he?"
"Kami tidak tahu anak-anak muda," suara orang itu
gemetar. Mahisa Semu memandangi orang itu beberapa saat.
Namun yang dikatakan kemudian mengejutkan orang itu,
"Sudahlah. Pergilah. Tetapi senjata kedua orang saudaraku
belum kembali. Orang itu tidak percaya kepada telinganya, bahwa ia
begitu saja diminta untuk meninggalkan tempat itu. "
Tetapi Mahisa Semu telah membentaknya, "Cepat pergi.
Atau kau ingin aku mengambil sikap lain."
Dengan tergesa-gesa orang itu pun kemudian telah
melangkah meninggalkan Mahisa Semu.
Melihat hal itu, maka orang y ang telah meny embuny ikan
senjata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun tidak lagi merasa
takut untuk mengembalikannya. Apalagi nampaknya senjata
itu bukan senjata khusus seperti m ilik anak muda yang satu
itu. Karena itu, maka mereka pun telah meny erahkan senjatasenjata
itu pula. Dalam pada itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan
Mahisa Semu pun menyadari, bahwa prajurit-prajurit itu tentu
tidak akan puas dengan peri stiwa y ang baru saja terjadi.
Dengan demikian maka mereka telah m enduga bahwa
akan datang pasukan segelar sepapan untuk menangkap
mereka bertiga. Bukan saja jumlahnya yang akan berlipat
ganda. Tetapi juga kemampuan orang-orangnya. Senapati
yang akan memimpin pasukan itu tentu orang pilihan.
Karena itu, maka mereka tidak akan dapat tinggal terlalu
lama di satu tempat. Mereka harus segera meninggalkan
padukuhan itu untuk menghindari kemungkinan y ang lebih
buruk lagi. Beberapa orang padukuhan itu, telah memberanikan diri
untuk minta maaf kepada anak-anak muda itu. Bahkan
mereka mengucapkan terima kasih, bahwa anak-anak muda
itu tidak mendendam m ereka. Apalagi melakukan tindakantindakan
y ang dapat mencelakakan mereka.
"Sudahlah," berkata Mahisa Murti, "kami tahu bahwa
bukan karena sikap kalian sendiri. Para prajurit memang telah
memberikan keterangan y ang tidak benar kepada kalian."
"Kami juga tidak berani m enentang mereka," berkata
salah seorang di antara mereka.
"Lupakan saja. Kami harus segera meninggalkan tempat
ini. Kalian tentu tahu, bahwa para prajurit y ang sesat itu tentu
tidak mau diketahui tingkah lakunya oleh para pemimpin di
Kediri. Karena itu, m aka mereka tentu akan menghapuskan
sak si dari tindakan mereka. Kami bertiga harus dihapuskan,
agar kami tidak membuat laporan tentang mereka," jawab
Mahisa Murti. Orang itu mengangguk-angguk. Demikian orang-orang
lain y ang mendengar jawaban Mahisa Murti.
Karena itu, maka mereka pun telah melepas Mahisa
Murti meninggalkan padukuhan mereka. Orang-orang dari
padukuhan y ang lain pun kemudian telah kembali pula ke
padukuhan masing-masing. Namun mereka tidak hentihentinya
berbicara tentang ketiga anak muda itu. Mereka
akhirnya menjadi tidak jelas, apakah anak-anak muda itu
benar-benar petugas sandi dari Singasari atau dari Kediri atau
bahkan bukan sama sekali.
"Siapapun mereka, tetapi mereka bukan pendendam.
Mereka sama sekali tidak membalas kita yang telah
memperlakukan mereka dengan kasar sebagaimana kita
memperlakukan para perampok," desis salah seorang dari
mereka. Yang lain hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi t erasa
bulu-bulu tengkuknya meremang jika ia mengingat bahwa
anak-anak muda itu akan dapat bertindak lebih jauh lagi.
Untunglah bahwa hal itu tidak dilakukannya.
Dalam pada itu, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan
Mahisa Semu sambil menggandeng Mahisa Amping telah
melanjutkan perjalanan mereka. Mereka menjadi semakin
berhati-hati. Mereka berusaha untuk tidak terlibat lagi dalam
pertempuran melawan para para prajurit Kediri meskipun
mereka semakin y akin bahwa tentu ada sesuatu y ang tidak
wajar dibalik langkah-langkah y ang diambil oleh para prajurit
itu. Karena itulah, maka mereka telah menelusuri jalan-jalan
yang lebih kecil. Lembah-lembah y ang terasing dan jalan-jalan
sempit di pinggir hutan. Sekali-sekali mereka m emang terpaksa mengikuti jalan
lewat padukuhan-padukuhan kecil. Namun agaknya orangorangpadukuhan
itu tidak banyak memperhatikan mereka,
sehingga dengan demikian anak-anak muda itu menduga
bahwa perintah para prajurit itu tidak menjalar sejauh itu.
Di malam hari anak-anak muda itu tetap bermalam di
pategalan atau di padang perdu. Mereka tidak mau bermalam
di banjar-banjar padukuhan untuk menghindari hal-hal yang
tidak diinginkan. Namun anak-anak muda itu tidak pernah bergeser arah.
Meskipun sekali-sekali mereka harus menempuh jalan
berliku -liku, namun mereka tentu akan kembali ke arah yang
seharusnya dengan ancar-ancar y ang tidak pernah bergeser
dari tempatnya. Namun ketika m ereka pagi-pagi meny eberangi sebuah
sungai yang dibatasi oleh dinding-dinding lereng yang agak
tinggi, maka mereka tidak mengira sama sekali bahwa
demikian mereka memanjat tanggul, maka di hadapan mereka
berdiri sekelompok prajurit dalam ciri -ciri lengkap, prajurit
Kediri. Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Tidak ada
kesempatan lagi untuk menghindar. Karena itu, maka mereka
memang tidak mempunyai pilihan lain kecuali menghadapi
sekelompok prajurit itu. Apalagi menurut perhitungan
mereka, kelompok itu jumlahnya tidak lebih banyak dari
kelompok y ang pernah mereka temui di saat mereka ditangkap
oleh orang-orang padukuhan.
Dalam pada itu, pemimpin prajurit y ang berada di
belakang tanggul itu pun maju beberapa langkah. Namun agak
diluar dugaan bahwa prajurit itu berkata, "Siapakah kalian
anak-anak muda?" Mahisa Murti termangu-mangu. Diluar sadarnya ia
berpaling kepada Mahisa Pukat dan Mahisa Semu.
Namun akhirnya Mahisa Murti itu pun menjawab, "Aku
Mahisa Murti. Ketiga anak muda itu adalah adikku."
Pemimpin prajurit itu mengangguk-angguk. Namun
kemudian ia pun bertanya, "Kalian datang dari mana atau
akan pergi ke mana?"
"Kami adalah pengembara," jawab Mahisa Murti, "kami
sudah melewati daerah y ang panjang sekali. Menuruni lembah
dan menelusuri lereng-lereng pegunungan."
"Apakah tujuan kalian sebenarnya?" bertanya pemimpin
prajurit itu. "Sekedar mencari pengalaman," jawab Mahisa Murti.
Pemimpin prajurit itu mengangguk-angguk. Dengan
nada rendah ia bertanya pula, "Apakah kalian melewati daerah
yang luas di dataran seberang sungai itu?"
"Ya," jawab Mahisa Murti.
"Apakah kalian pernah bertemu dengan kelompokkelompok
prajurit seperti kami?" bertanya orang itu pula.
"Ya," jawab Mahisa Murti pula, "kami bertemu dengan
prajurit -prajurit. Bahkan prajurit berkuda y ang meronda di
daerah y ang luas. Tetapi nampaknya mereka tidak meny entuh
daerah dekat di seberang sungai ini."
Pemimpin prajurit itu menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, "Sayang Ki Sanak. Kami harus melihat apakah ada
yang m encurigakan pada kalian. Apakah kalian bukan bagian
dari prajurit-prajurit itu y ang sengaja menyusup ke daerah
ini." "Aku tidak mengerti" Apakah kalian menganggap bahwa
prajurit -prajurit di dataran itu lain dari kalian?" bertanya
Mahisa Murti. Lalu katanya, "Menurut penglihatan kami sama
sekali tidak ada bedanya antara kalian dengan para prajurit
yang kami temui di seberang. Tetapi tidak di padukuhanpadukuhan
terdekat." "Dalam ujud lahiriah memang tidak ada bedanya,"
jawab pemimpin prajurit itu, "tetapi kami adalah prajurit
Kediri y ang berjalan menurut jalur pemerintahan Kediri yang
sah. Sementara itu masih saja ada sekelompok prajurit yang
mencoba untuk mengambil langkah-langkah yang tidak
bijaksana. Setelahbeberapa orang pangeran gagal m engambil
kebijaksanaan lain daripada kebijaksanaan Sri Baginda, maka
kini ada lagi seorang pangeran y ang melakukannya."
"Pangeran Kediri maksudmu" Melawan pemerintahan
Kediri?" bertanya Mahisa Murti.
"Aku tidak tahu pasti, siapakah kalian sebenarnya. Jika
kalian petugas sandi dari para prajurit yang menentang
kebijaksanaan Sri Baginda itu pun tidak apa -apa. Bahkan kau
tentu akan mengatakan kepada pangeran itu, bahwa
langkahnya adalah sesat. Apapun y ang akan dilakukan oleh
Kediri terhadap Singasari harus dilakukan dalam ikatan yang
satu. Kita tidak akan dapat bertindak sendiri-sendiri."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun dalam pada
itu Mahisa Pukat bertanya, "Pangeran". Siapakah yang telah
mengambil kebijak sanaan y ang lain itu?"
Para prajurit itu termangu-mangu sejenak. Bahkan
pemimpinnyam pun untuk beberapa saat tidak menjawab.
Ra sa -rasanya mereka sedang mencerna arti pertanyaan
Mahisa Pukat. Dengan demikian maka anak-anak muda itu tentu bukan
dari golongan para prajurit y ang mempunyai kebijak sanaan
terpisah dari kebijaksanaan Kediri.
Namun dengan demikian pemimpin prajurit itu berkata,
"Sudahlah. Jika kalian adalah pengembara, maka silahkan
melanjutkan perjalanan. Kami tidak akan mengganggu kalian.
Tetapi kalian tidak perlu ikut memikirkan persoalan kami."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Terima kasih Ki Sanak. Baiklah kami meneruskan perjalanan
kami. "Silahkan," berkata pemimpin sekelompok prajurit itu,
"Meskipun demikian, berhati-hatilah. Kadang-kadang kita
dapat saja terantuk langit. Apalagi dalam keadaan y ang buram
seperti sekarang ini."
"Terima ka sih Ki Sanak. Kami akan berhati-hati," jawab
Mahisa Murti. Demikianlah sepeninggal para pengembara itu, maka
para prajuritpun telah bergerak pula. Keterangan anak-anak
muda itu akan dapat mereka pakai sebagai bahan untuk
menyusun pengawasan daerah yang luas di seberang sungai.
Dalam pada itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa
Semu dan Mahisa Amping telah menyeberangi satu daerah
yang sangat berbahaya bagi mereka. Seakan-akan mereka
telah terlepas dari satu daerah y ang luas yang akan dapat
menjerat mereka ke dalam bencana. Meskipun mereka masih
berada di wilayah Kediri, tetapi ternyata bahwa mereka telah
keluar dari batas satu lingkungan yang seakan-akan telah
memisahkan diri dari Kediri.
Bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, sikap seperti itu
bukannya sikap yang pertama kali. Telah beberapa kali terjadi
hal seperti itu di Kediri. Mereka sempat menjadi heran, bahwa
masih saja ada yang mengulangi sikap itu, meskipun menurut
pengalaman, orang-orang y ang mengambil kebijak sanaan
sendiri itu tidak pernah dapat berhasil.
Demikianlah, maka keempat orang itu telah melanjutkan
perjalanan. Mereka kadang-kadang m emang sempat menarik
perhatian beberapa orang padukuhan, justru karena di
pinggang mereka tergantung senjata.
Namun perjalanan mereka memang masih panjang.
Mereka masih harus menuruni lembah dan menyusuri lerenglereng
pegunungan, sehingga mereka akan sampai ke
padepokan mereka. Tetapi bagaimanapun juga, memang sulit bagi m ereka
untuk menghindarkan diri sama sekali dari kemungkinan
buruk di perjalanan. Apalagi mereka tidak melalui jalan-jalan
yang telah mereka kenal. Mereka hanya berjalan menurut arah
sesuai dengan ancar-ancar.
Namun dalam pada itu, d i perjalanan yang panjang, di
daerah-daerah yang sepi, Mahisa Semu sempat
mengembangkan ilmu y ang telah dimilikiny a. Ternyata
beberapa pengalaman di sepanjang perjalanan itu telah
memberikan kemungkinan-kemungkinan y ang dapat
dikembangkannya pada ilmu yang telah di sadapnya dari
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Tetapi persoalan pun telah datang lagi ketika dalam
perjalanan itu mereka sempat singgah di pasar. Agaknya
Mahisa Amping m asih saja berbuat sesuka hatinya. Dengan
tidak m erasa bersalah sama sekali, anak itu telah berteriakteriak
ketika tangannya ditangkap oleh seorang laki-laki yang
duduk di samping seorang penjual telur.


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa?" bertanya Mahisa Semu.
"Anak itu anak siapa?" laki -laki itu justru bertanya.
"Adikku," jawab Mahisa Semu.
" Jadi kau ajari adikmu yang kecil ini untuk mencuri
he?" bentak laki -laki itu.
"Mencuri apa?" bertanya Mahisa Semu.
"Mencuri telur. Ia telah mengambil telur y ang
diperdagangkan oleh isteriku," jawab laki-laki itu.
Mahisa Semu memandang Mahisa Amping dengan kerut
di dahi. Namun sebelum ia mengatakan sesuatu, seorang
berwajah seram telah datang sambil mengumpat kasar.
"Siapa y ang telah melempari lutungku dengan telur he?"
bertanya laki-laki berwajah seram itu.
"Bukan kami," dengan tergesa -gesa penjual telur itu
menjawab, "anak ini telah mencuri telur kami."
Orang berwajah seram itu memandang Mahisa Amping
dengan marah. Katanya, "Ternyata kau yang telah melempari
lutungku dengan telur. Kau lihat, lutung itu m enjadi m arah
dan m eloncat-loncat. Jika lutung itu lepas, maka kepalamu
harus dipakai sebagai gantinya."
Mahisa Amping hanya terdiam sambil memandangi
orang-orang itu berganti-ganti.
Mahisa Semu lah yang kemudian berkata, "Aku minta
maaf Ki Sanak. Anak ini adalah adikku. Aku akan m engganti
harga telur y ang telah diambilnya."
"Kau dapat mengganti harga telur itu. T etapi kau tidak
akan dapat mengganti kemarahan lutungku itu. Apalagi jika ia
lepas dan berlari ke pategalan. Tentu sulit sekali untuk
menangkapnya kembali," geram orang berwajah seram itu.
"Kami minta maaf yang sebesar-besarnya," berkata
Mahisa Semu. "Bukan sekedar minta maaf. Anak itu harus dihajar,"
berkata orang itu. Mahisa Semu mengerutkan keningnya. Namun
nampaknya orang yang berwajah seram itu tidak dapat diajak
berbicara dengan baik. Namun dalam pada itu, tiba -tiba saja Mahisa Murti telah
mengangkat Mahisa Amping dan mendukungnya. Kemudian
katanya, "Marilah, kita tinggalkan tempat ini."
"Anak ini harus dihajar," berkata orang berwajah
seramitu. "Aku akan melakukannya sendiri," berkata Mahisa
Murti, "anak ini adalah adikku. Aku memang tidak
mengajarinya mencuri. Karena itu ia memang harus dihukum.
Tetapi bukan orang lain yang wajib menghukumnya. Tetapi
aku sendiri." "Tetapi ia bukan sekedar mencuri," jawab orang
berwajah seram itu, "tetapi ia telah menyakiti lutungku."
"Lutung itu akan segera menjadi tenang. Bahkan tentu
lebih cepat dari kau sendiri," jawab Mahisa Murti.
"Gila kau." orang itu semakin marah.
Sementara itu Mahisa Murti berkata, "Gantilah harga
telur y ang pecah itu."
Mahisa Semu memang ingin membayarnya. Karena
itu,maka ia pun segera mengambil sekeping uang dan
diberikan kepada pemilik telur itu.
"Tetapi kau tidak dapat membayar harga kemarahan
lutungku," berkata orang itu.
"Lutungmu sudah tenang. Karena itu kau tidak usah
marah-marah terus. Kau perlu belajar dari lutungmu itu untuk
melupakan peristiwa seperti ini. Kami sudah minta maaf. Atau
barangkali kami dapat menebus beay a untuk memandikan
lutungmu itu," bertanya Mahisa Pukat.
"Persetan," geram orang itu, "jangan menghina aku. Aku
adalah orang y ang paling terpandang disini."
"Sekali lagi kami minta maaf," berkata Mahisa Semu.
"Tunggu. Aku harus memperlihatkan lutung itu
kepadamu. Lutung y ang telah menjadi kotor karena pokal
anak gila itu," berkata orang berwajah seram itu.
Tanpa menunggu jawaban, orang itu pun telah pergi ke
tempat sepasang lutungnya diikat. Namun dalam pada itu,
penjual telur itu berkata, "Larilah. Kedua ekor lutung itu
adalah binatang yang sangat buas. Orang itu mempergunakan
kedua ekor lutung itu untuk m emeras orang lain. Tidak ada
seorang-pun yang dapat melawan lutung itu. Bahkan lutung
itu mampu membunuh dua orang bersenjata. Dua orang yang
bertubuh tinggi kekar dan berwajah garang."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Mahisa
Amping memang termanggu-mangu sejenak. Sebenarnyalah
dengan mendukung Mahisa Amping, Mahisa Murti ingin
membawanya pergi. Namun peringatan itu telah mendesaknya
untuk bertindak lebih cepat.
Karena itu, sebelum orang itu sempat melepaskan
lutungnya, maka Mahisa Murti telah memberi isy arat untuk
meninggalkan tempat itu. Namun agaknya mereka terlambat. Demikian mereka
berada di depan pasar, m aka dua ekor lutung y ang tiba-tiba
menjadi buas telah menghadang mereka.
Pa sar itu memang menjadi bubar. Orang-orang pasar itu
telah mengenal betapa buasnya dua ekor lutung yang
ukurannya memang terlalu besar bagi lutung kebanyakan.
Warnanya y ang hitam kelam, serta ekornya yang panjang
memberikan kesan yang terlalu garang.
"Kau akan lari kemana?" bertanya orang berwajah
seram itu. "Kami tidak ingin memperpanjang masalah ini," berkata
Mahisa Murti, "kami ingin pergi saja dari tempat ini."
"Tidak. Kau harus memberikan satu tebusan atas
kelancangan adikmu itu," berkata orang itu.
"Tebusan apa?" bertanya Mahisa Murti.
"Seharga adikmu itu," jawab orang itu.
"Bagaimana kita dapat menilai harga seseorang?"
bertanya Mahisa Murti. "Kau bay ar seharga timang emas. Tidak usah tretes
berlian," berkata orang itu.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya, "Kau pergunakan peristiwa ini sebagai
alasan untuk memeras?"
"Apapun y ang kau katakan. Jika kau tidak mau
memenuhinya maka kau lihat, kedua ekor lutungku ini
menjadi buas," berkata orang itu.
Mahisa Murti m enarik nafas dalam-dalam. Kedua ekor
lutung itu memang nampak buas sekali. Bahkan Mahisa
Amping pun ternyata telah menjadi ketakutan.
"Kalian tidak akan dapat melarikan diri," berkata
orangitu. "Ki Sanak," berkata Mahisa Pukat, "suruhlah kedua ekor
lutungmu itu pergi. Aku akan memberimu beberapa keping
uang. Tetapi sudah barang tentu tidak seharga timang emas
sebagaimana kau katakan."
"Aku tidak mau mendengar kau menawar lagi. Serahkan
uang itu, atau aku perintahkan lutungku untuk mengoyak
dagingmu," geram orang itu.
Tetapi Mahisa Pukat tertawa. Katanya, "Kau tidak dapat
menakut-nakuti aku. Kau dapat menakut-nakuti adikku.
Tetapi tentu tidak menakut-nakuti kami yang tua-tua ini.
Karena itu, pergilah sebelum kau meny esal. Kami memang
tidak segan-segan membunuh lutungmu, karena tentu lebih
baik membunuh lutungmu daripada membunuhmu."
Jawaban Mahisa Pukat itu memang sangat mengejutkan
orang itu. Justru untuk sesaat ia terdiam. Namun kemudian
orang itu berkata lantang. "Tidak seorang pun yang pernah
berkata demikian kepadaku. Karena itu, maka jangan
menyesal. Lutungku akan mengoyak mulutmu."
"Ki Sanak," berkata Mahisa Pukat, "meskipun hanya
seekor lutung, tetapi sebaikny a kau mencegahnya agar
lutungmu tidak harus mati karena ketamakanmu."
Tetapi orang itu memotong, "Tutup mulutmu. T ernyata
kau adalah orang asing y ang sombong. Tetapi kau harus
menebus kesombonganmu dengan nyawamu. Lutungku akan
sanggup membunuhmu berempat. Bahkan seekor saja dari
keduanya." " Jangan mengigau," jawab Mahisa Pukat, "betapapun
kau banggakan lutung-lutungmu, tetapi keduanya tidak akan
mungkin mengimbangi kemampuan seseorang. Kami dapat
mempergunakan senjata kami. Sedang lutung-lutungmu
tidak." "Cukup," teriak orang itu, "aku tidak hanya sekedar
ingin berbicara, mengancam dan katamu memeras. Tetapi aku
akan membuktikan bahwa kau harus melakukannya. Atau
mati disini. Tidak akan ada orang yang menuntut kematian
kalian karena tidak seorang pun yang mengenal kalian."
"Seandainya aku ingin memenuhi permintaanmu itu,
aku tidak mempunyai uang," jawab Mahisa Pukat.
"Persetan," geram orang itu, "semuanya telah terlambat.
Seandainya kau bayar dengan apapun juga, sebanyak
berapapun juga, aku tidak akan menarik pendirianku untuk
membunuhmu." Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya, "Jika itu yang kau kehendaki, maka biarlah aku
memenuhinya. Aku akan membunuh kedua lutungmu yang
sering kau pergunakan untuk menakut-nakuti orang dan
kemudian memerasnya. Meskipun sebenarnya aku merasa iba
untuk melakukannya. Kedua ekor lutung itu sama sekali tidak
bersalah." Namun Mahisa Pukat tidak dapat berbicara lebih
banyak. Tiba-tiba lutung yang nampak buas itu menjadi
semakin buas. Mahisa Amping y ang didukung oleh Mahisa Murti
memang menjadi ketakutan. Tetapi Mahisa Murti melihat,
bahwa kedua ekor binatang itu memang cukup berbahaya.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun telah meny erahkan
Mahisa Amping kepada Mahisa Semu sambil berkata, " Jika
lutung itu mulai m eny erang, tarik pedangmu. Mungkin kau
harus m elindungi anak ini dan bahkan dirimu sendiri dengan
pedang." Mahisa Semu mengangguk-angguk. Sebenarnya ia pun
sama sekali tidak gentar m enghadapi lutung yang buas itu.
Tetapi ia percaya bahwa Mahisa Murti m emiliki pengamatan
yang lebih tajam dari pengamatannya.
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
justru telah bersiap menghadapi lawan y ang aneh. Mereka
tidak berhadapan dengan dua orang perwira prajurit Kediri
atau berhadapan dengan dua orang perampok atau pemimpin
perampok y ang berilmu sangat tinggi, tetapi mereka
berhadapan dengan dua ekor lutung.
Namun demikian, Mahisa Murti sempat berkata kepada
Mahisa Semu, "Amati gerak gerik lutung itu. Dalam rangka
memahami gerak naluriah binatang dalam m empertahankan
hidupnya, kau akan menemukan unsur-unsur y ang akan
berarti untuk melengkapi unsur-unsur gerak yang telah kau
pelajari." Mahisa Semu m engangguk-angguk. Ternyata yang akan
terjadi itu ada gunanya juga. Bukan sekedar satu permainan
yang lain dari y ang pernah mereka lakukan sebelumnya.
Sejenak kemudian, maka orang berwajah seram itu telah
memberikan isy arat kepada kedua ekor lutungnya itu untuk
meloncat meny erang. Sebenarnyalah, dengan teriakan ny aring kedua ekor
lutung itu t elah m eny erang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Keduanya seolah-olah mengetahui bahwa mereka masingmasing
harus menghadapi seorang di antara kedua orang
lawan itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak segera
mempergunakan senjatanya. Mereka tertarik kepada gerak
tangan, kuku, ekor dan bahkan leher lutung itu. Mulutnya
yang m enganga dan taring-taringnya y ang tajam. Sementara
itu, teriakan-teriakan y ang memekakkan t elinga terdengar
tanpa henti-hentinya. Namun ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah mempergunakan ilmunya y ang tidak segera dapat dilihat
oleh orang lain. Sentuhan tangannya telah m enjadi sepanas
bara. Tetapi keduanya memang tidak segera ingin mengusir
kedua ekor lutung itu. Jarang sekali mereka mempunyai
kesempatan untuk melihat, bagaimana dua ekor binatang yang
termasuk tataran yang tinggi itu berkelahi.
Ternyata banyak hal y ang menarik bagi anak-anak muda
itu. Bany ak sekali gerakan yang tidak terduga telah
mengejutkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Hanya karena
kemampuan m ereka yang sangat tinggi sajalah maka mereka
mampu menghindari serangan-serangan y ang cepat itu.
Namun ternyata kedua ekor lutung yang tidak tahu
paugeran perang itu bergerak sekehendak mereka saja. Kasar,
liar dan akhirnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang harus
selalu berloncatan menghindari itu menjadi jemu juga.
Karena itulah, maka keduanya mulai m eny entuh tubuh
lutung itu. Sentuhan tangan mereka y ang telah menjadi panas
bagaikan bara api, sehingga dengan demikian lutung-lutung
itu menjadi sangat terkejut.
Kedua ekor lutung itu tidak pernah merasakan sentuhan
seseorang demikian panasny a, sehingga dengan serta merta
kedua ekor lutung itu telah berloncatan menjauh.
Orang berwajah seram itu tidak tahu apa y ang telah
terjadi. Ia pun tidak segera melihat luka bakar lengan
lutungnya y ang berbulu lebat dan hitam legam itu.
Karena itu, maka orang itu pun telah membentak dengan
keras sebagai isy arat bahwa kedua ekor lutungnya itu harus
menyelesaikan kedua orang lawannya.
Kedua ekor lutung y ang tidak memiliki penalaran itu
pun dengan tangkapan naluriah telah meloncat dengan
garangnya. Ditambah dengan perasaan sakit pada tubuhnya
oleh sentuhan sepanas bara api.
Lutung yang marah itu pun kemudian telah m eny erang
semakin garang, liar dan buas. Namun dengan demikian,
maka lebih banyak y ang dapat diamati bukan saja oleh Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi juga oleh Mahisa Semu.
Semakin liar kedua ekor lutung itu, gerak-gerak naluriahnya
rasa-rasanya menjadi semakin kaya. Kecepatan geraknyapun
bagaikan menjadi semakin meningkat pula disamping


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

teriakan-teriakannya y ang memekakkan telinga.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru semakin tertarik.
Tetapi kedua ekor binatang itu memang menjadi semakin
berbahaya. Ternyata kekuatannya pun sangat besar dan
serangannya-pun tidak terduga -duga.
Yang lebih dahulu mengusir lutung itu adalah Mahisa
Pukat. Ia memang telah menjadi jemu melihat lawannya yang
kasar itu, sementara baginya agak terasa aneh, bahwa ia harus
berkelahi melawan seekor binatang. Namun demikian,
ternyata ada juga keuntungannya bahwa ia dapat mempelajari
beberapa hal tentang gerak-gerik lutung yang marah itu.
Karena itulah, maka sekali lagi Mahisa Pukat telah
menyentuh lutung itu dengan tangannya yang membara.
Lutung itu berteriak kesakitan. Tetapi naluriahnya telah
mendorongnya lagi untuk menyerang Mahisa Pukat. Ia tidak
tahu kenapa tiba-tiba saja tubuhnya terasa tersentuh bara.
Namun dua tiga kali hal itu terjadi, sehingga akhirnya
lutung itu pun m enjadi semakin buas. Tanpa menghiraukan
kekuatan lawan y ang membuatnya kesakitan, maka lutung itu
telah meloncat menerkam Mahisa Pukat.
Mahisa Pukat memang agak terkejut. Satu hal yang tidak
akan dilakukan oleh seseorang betapapun bodohnya.
Karena itu, maka Mahisa Pukat harus menahan lutung
yang menerkamnya itu. Sekilas nampak mulut lutung yang
menganga dengan taringnya y ang panjang dan tajam.
Memang tidak ada pilihan lain. Demikian lutung itu
menerkamnya, maka Mahisa Murti pun langsung menangkap
lehernya dan menahannya agar gigi-gigi y ang tajam itu tidak
terhunjam ditubuhnya. Tetapi y ang terjadi adalah nasib y ang sangat buruk bagi
lutung itu. Tangan Mahisa Pukat bukan saja terlalu kuat
mencekik leher lutung itu. Tetapi tangannya adalah sepanas
bara. Karena itu, teriakan-teriakan yang keras dari lutung itu
perlahan-lahan telah berhenti, sehingga akhirnya lutung itu
sama sekali tidak berdaya lagi. Ketika Mahisa Pukat
melepaskan lutung itu, maka lutung itu pun telah jatuh
terkulai di tanah. Mati. Orang berwajah seram itu berteriak m arah. Ia m elihat
seekor binatang kesay angannya yang telah beberapa lama
dipergunakannya untuk memeras orang-orang y ang datang ke
pasar itu. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti masih belum
membunuh lawannya. Ternyata gerak-gerik lutung yang
kesakitan itu menjadi semakin menarik.
Bahkan Mahisa Murti masih berkata, "Seekor lutungmu
sudah mati. Kau harus menarik yang seekor lagi, karena jika
tidak, maka lutungmu inipun akan mati juga."
"Persetan," geram itu, "akulah y ang akan membunuh
kalian." Ternyata orang itu tidak menunggu lebih lama lagi. Tibatiba
saja orang itu telah meny erang Mahisa Pukat sambil
berteriak, "Kau sudah membunuh binatangku. Kau pun harus
mati karenanya. Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Diamatinya
lawannya yang nampak garang itu. Namun setelah m enjajagi
sejenak, maka orang itu bukan orang y ang harus
diperhitungkan. Karena itu, maka Mahisa Pukat tidak merasa
perlu mempergunakan ilmunya untuk menundukkannya.
Dalam pada itu, Mahisa Murti pun menjadi jemu
melayani lutung yang garang itu. Ketika lutung itu k emudian
meloncat menerkamnya, maka Mahisa Murti tidak
mempergunakan cara sebagaimana dilakukan oleh Mahisa
Pukat. Namun Mahisa Murti telah mempergunakan ilmunya
yang lain. Dengan kekuatan yang sangat besar, maka Mahisa
Murti membentur serangan lutung itu tepat pada dahinya,
sehinga lutung itu langsung terlempar dan jatuh di tanah.
Mati. Orang yang menyerang Mahisa Pukat itu menjadi
semakin marah. Dua ekor lutungnya sudah mati.
Namun ternyata bahwa ia memang bukan lawan Mahisa
Pukat. Dengan tanpa mengalami kesulitan apapun juga,
Mahisa Pukat telah m embuat lawannya y ang berwajah seram
itu tidak berdaya. Tanpa mempergunakan ilmunya, maka
dengan pukulan wajar, orang itu sudah tidak mampu
menahannya. Beberapa kali orang itu terjatuh. Demikian ia berusaha
untuk bangkit, maka sekali lagi ia jatuh tersungkur. Sehingga
akhirnya, ia tidak lagi mampu untuk berbuat sesuatu.
Mahisa Pukat y ang kemudian berdiri disisiny a bertanya,
"Bagaimana" Sudah puas."
Karena orang itu tidak segera menjawab, maka Mahisa
Pukat telah memegangi lengannya sambil menariknya bangkit.
"Ay o berdiri," bentak Mahisa Pukat.
"Ampun, ampun," orang itu memohon.
"Ay o bangkit. Jika kau tidak mau berdiri, kau akan aku
bunuh seperti lutung-lutungmu itu," bentak Mahisa Pukat.
Demikian takutnya orang berwajah seram itu sehingga
akhirnya justru ia berhasil bangkit berdiri, meskipun tertatihtatih
ia berusaha mempertahankan keseimbangan agar mereka
tetap dapat berdiri tegak.
"Nah," berkata Mahisa Pukat, "apa maumu sekarang
setelah kedua ekor lutungmu terbunuh?"
"Aku minta ampun," orang itu memang benar-benar
ketakutan seperti Mahisa Amping m elihat kedua ekor lutung
itu. Namun yang kemudian telah berani turun dari dukungan
Mahisa Semu dan bahkan melihat -lihat tubuh lutung yang
sudah terbunuh itu. "Kau bertanggung jawab atas kematian kedua ekor
lutungmu itu," berkata Mahisa Piikat, "sebenarnya kau
memiliki sesuatu y ang sangat berharga. Kedua ekor lutung itu
telah berhasil kau tuntun untuk satu maksud tertentu. Sayang,
keduanya telah kau ajari melakukan sesuatu yang sangat
berbahaya bagi orang lain."
Orang itu tidak menjawab. Namun sekali-kali
dipandanginya tubuh kedua ekor lutung yang mati itu.
"Lihat tubuh kedua ekor lutungmu yang mati karena
ketamakanmu itu. Namun agaknya kedua ekor lutung itu
memang binatang y ang sangat berbahaya. Keduanya tentu
sudah pernah melukai, bahkan membunuh orang. Tetapi
sudah tentu atas tanggung jawabmu karena kedua ekor
binatang itu tidak akan berbuat demikian tanpa ada orang
yang mengenalkannya," berkata Mahisa Murti.
Orang itu sama sekali tidak m enjawab. Hal itu memang
pernah terjadi. Namun ketika kedua ekor lutungnya
membunuh orang y ang menolak membayar uang yang
dimintanya, maka ia masih dapat mencuci tangan. Ia m asih
dapat berdalih, bahwa kedua orang itu telah mengganggu
lutungnya y ang garang. "Nah," berkata Mahisa Murti, "sekarang apa maumu?"
"Aku mohon ampun," desis orang itu.
"Lihat orang-orang y ang berkerumun sekarang ini,"
berkata Mahisa Murti, "tanpa kedua ekor lutungmu, apakah
kau mampu melawan mereka."
"Tidak, tidak," orang itu menjadi semakin ketakutan.
Orang-orang yang semula bercerai berai ketika mereka
melihat kedua ekor lutung itu dilepas, telah bergerak kembali
mengelilingi arena ketika mereka melihat kedua ekor lutung
itu telah mati. Dengan wajah yang penuh kebencian orangorang
itu memandangi pemilik lutung yang telah menjadi
ketakutan itu. "Apakah kau m asih akan m emeras mereka?" bertanya
Mahisa Pukat. "Tidak, tidak," jawab orang itu.
"Baiklah," berkata Mahisa Pukat, "kali ini kau masih
mendapat kesempatan untuk terlepas dari tangan orang-orang
sepasar. Tetapi lain kali, kami tidak akan melepaskanmu. Kau
akan aku lemparkan kepada orang-orang sepasar yang
mendendammu. Yang pernah kau takut-takuti dengan kedua
ekor lutungmu." "Aku berjanji untuk tidak mengulanginya lagi," berkata
orang itu. "Yang penting bukan janjimu. Tetapi apa benar kau
berbuat sebagaimana kau katakan," jawab Mahisa Murti.
"Kau boleh melihat kelak," jawab orang itu dengan suara
bergetar. Mahisa Murti m engangguk-angguk. Katanya, "Baiklah.
Sekarang lihat lutungmu itu."
Orang itu m emang ragu -ragu. Namun sebenarnyalah ia
ingin tahu apa yang telah terjadi dengan lutungnya itu.
Ketika orang itu berjongkok di sebelah lutungnya y ang
telah mati, ia terkejut. Ia melihat luka-luka bakar ditubuh
lutungnya. Apalagi seekor di antaranya lehernya bagaikan
telah dijerat dengan bara api.
Namun dengan demikian orang itu menyadari, bahwa ia
telah bertemu dengan orang-orang berilmu tinggi. Ia pun
merasa beruntung sekali bahwa orang-orang itu tidak
membunuhnya sekali sebagaimana mereka membunuh
lutungnya. Tetapi ketika anak-anak muda itu minta diri, maka
orang itu m enjadi ketakutan lagi. Orang-orang sepasar rasarasanya
telah memandanginya dengan sorot mata penuh
dendam, sehingga karena itu, maka ia pun berkata, "Tolong Ki
Sanak. Bawa aku pergi dari tempat ini."
Anak-anak muda itu mengerti, bahwa orang berwajah
seram itu tidak berani menghadapi orang-orang y ang memang
sangat membencinya. Meskipun orang-orang itu tidak berniat
berbuat sesuatu,tetapi orang itu telah menjadi ketakutan.
Karena itu, maka anak-anak muda itu tidak
berkeberatan untuk m embawa orang itu pergi. Meskipun ia
harus memanggul kedua ekor lutungnya dengan agak t erlalu
berat. Ternyata peri stiwa itu telah menimbulkan kesan
tersendiri bagi anak-anak muda itu. Mereka menjadi tertarik
kepada sifat dan sikap binatang y ang sedang berkelahi.
Ketika mereka meninggalkan pasar itu, di perjalanan
beberapa lama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih
berbincang tentang tingkah laku kedua ekor lutung yang
terpaksa telah mereka bunuh. Bahkan kemudian bersama
Mahisa Semu mereka mencari tempat yang sepi. Tempat yang
tidak banyak dikunjungi orang, di lereng sebuah gumuk kecil
berbatu-batu padas. "Selagi masih segar dalam ingatan kita," berkata Mahisa
Murti. Demikianlah m ereka bertiga t elah m enirukan beberapa
gerakan dari kedua ekor lutung yang marah itu. Pada beberapa
bagian ternyata gerakan-gerakan itu dapat melengkapi unsurunsur
gerak anak-anak muda itu. Justru mereka yakin bahwa
dengan mengamati gerak berbagai macam binatang mereka
akan menemukan kekayaan bagi unsur-unsur gerak mereka.
"Satu hal yang sangat menarik," berkata Mahisa Murti,
"kenapa selama ini kita tidak pernah melihat kemungkinan itu.
Bukan saja dari seekor lutung. Tetapi seekor harimau, seekor
serigala da bahkan bagaimana binatang-binatang kecil mampu
menyelamatkan diri dari kuku-kuku binatang y ang jauh lebih
kuat dan lebih besar. Kecepatan berlari disamping kecerdikan
menentukan arah." "Nampaknya burung pun menjadi menarik untuk
diamati," berkata Mahisa Pukat, "pertempuran di antara
burung -burung buas tentu banyak memberikan kemungkinan
untuk memperkaya unsur-unsur gerak yang sudah kita miliki."
"Apakah kita dapat memilih jalan hutan?" bertanya
Mahisa Semu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Di hutan mereka dapat melihat berbagai macam binatang.
Mungkin mereka akan dapat melihat banyak hal tentang
binatang-binatang itu. Juga tentang gerakan-gerakan mereka.
"Tetapi sudah tentu kita tidak akan menggigit
sebagaimana seekor lutung," berkata Mahisa Semu sambil
tertawa. Yang lain pun tertawa pula. Bahkan Mahisa Amping juga
tertawa. "Kenapa kau tertawa?" bertanya Mahisa Semu kepada
anak itu. Anak itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak
menjawab. Demikianlah, tanpa meninggalkan arah perjalanan
mereka, maka mereka memang berusaha untuk melalui hutan
yang masih cukup lebat. Mereka agaknya benar-benar tertarik
kepada gerak-gerik berbagai macam binatang y ang mereka
harapkan akan dapat mereka pergunakan sebagai bahan untuk
memperkaya unsur-unsur gerak mereka.
Perjalanan mereka menelusuri hutan memang kurang
menarik, karena jalan menjadi sempit, licin dan kadangkadang
terlalu sulit untuk dilalui.
Namun sebagaimana mereka harapkan, maka mereka
benar-benar mendapat kesempatan untuk melihat berbagai
binatang yang berkelahi. Untuk mendapat kesempatan yang lebih baik, maka
mereka telah memanjat sebatang pohon y ang cukup besar.
Mahisa Amping yang kecil itu ternyata tidak banyak
mengalami kesulitan. Ia memang seorang anak yang memiliki
kepandaian memanjat. Dari dahan sebatang pohon mereka sempat melihat,
bagaimana seekor banteng liar berkelahi melawan seekor
harimau. Keduanya memang terluka. Tetapi harimau itu harus
melarikan diri dengan luka y ang parah di perutnya.
Anak-anak muda itu sempat memperhatikan bagaimana
seekor banteng melindungi bagian tubuhnya yang lemah
dengan tanduknya. Tetapi mereka pun sempat memperhatikan
bagaimana seekor harimau menerkam mangsanya.
Unsur-unsur gerak itu memang tidak begitu b erarti jika
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melepaskan serangan dengan
ilmunya dari jarak tertentu. Namun, dalam pertempuran
unsur -unsur gerak y ang diperkaya akan sangat berarti. Lebihlebih
bagi Mahisa Semu. Ketika kemudian m ereka m eneruskan perjalanan, maka
mereka pun telah melihat bagaimana seekor ular berusaha
menangkap seekor tikus yang besar dari jeni s tikus tanah
berkaki panjang.

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun, ternyata tikus itu m ampu m elepaskan dirinya.
Sambil membelakangi ular itu, maka tikus itu mengais tanah
dan seakan-akan telah disebarkan ke arah mata ular itu,
sehingga ular itu harus berpaling untuk meny embunyikan
matanya. Ternyata tikus itu dapat mempergunakan waktu
yang sekejap itu untuk melarikan dirinya masuk ke dalam
gerumbul-gerumbul liar. Gerak-gerik ular itu sendiri memang menarik. Tetapi
tikus itu pun telah memberikan kesan tersendiri.
Dengan beberapa petunjuk dari Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat, maka ketika m ereka keluar dari hutan, Mahisa
Semu telah mendapatkan beberapa bahan y ang berarti
baginya. Dalam kesempatan berikutnya, Mahisa Semu telah
mencoba menyadap beberapa unsur yang dapat disesuaikan
dengan ilmu yang telah dikuasainya.
Bahkan bertiga mereka mencoba mengetrapkannya
dengan sangat berhati-hati untuk mengembangkan ilmu
mereka, terutama Mahisa Semu.
Memang mereka tidak dapat mempergunakan dengan
serta merta. Namun dalam latihan-latihan yang mereka
adakan di sepanjang perjalanan sebagaimana sebelumnya,
kadang-kadang m ereka mampu meny erap dan mengetrapkan
sebagai unsur gerak y ang m elengkapi unsur-unsur y ang telah
ada. Namun dalam pada itu, t iba-tiba saja t elah timbul satu
pikiran di kepala Mahisa Pukat. Ia telah memancing Mahisa
Amping untuk melakukan sesuatu.
Ternyata dalam gerak anak itu Mahisa Pukat dan Mahisa
Murti melihat unsur-unsur gerak dari beberapa ekor binatang
yang dilihatnya. "Bagus," desis Mahisa Murti, "aku mengerti
maksudmu." Mahisa Pukat m engangguk sambil berkata, "Satu cara
bermain y ang bagus."
"Apa y ang kalian maksud?" bertanya Mahisa Semu.
"Kita mulai dengan satu cara yang belum pernah kita
lakukan sebelumnya. Kita ajak anak itu bermain-main dengan
mengingatkan anak itu terhadap gerak-gerik binatangbinatang
y ang pernah dilihatnya dan yang masih akan
dilihatnya," jawab Mahisa Pukat.
"Tetapi bagaimana tanggung jawab kita terhadap satu
aliran ilmu kanuragan sebagaimana kalian ajarkan
terhadapku?" bertanya Mahisa Semu.
"Kita masih harus mempelajari perkembangannya,"
jawab Mahisa Pukat. "Kita jadikan anak itu bahan percobaan?" bertanya
Mahisa Semu. Mahisa Pukat m engerutkan keningnya. Sambil menarik
nafas ia b erkata, "Kita tidak bermaksud demikian. Tetapi kita
akan mencoba satu cara baru untuk memberikan kekayaan
gerak pada anak itu sebelum ia memasuki satu latihan
tertentu. Unsur-unsur itu akan mewarnai penguasaannya atau
aliran ilmu y ang tidak meny impang dari garis yang
ditetapkan." Mahisa Semu termangu-mangu sejenak. Ia tidak dapat
membayangkan bagaimanakah ujud kemampuan anak itu
kemudian. Apakah akibatnya akan sama sebagaimana dirinya
yang mempelajari ilmu menurut aliran ilmu Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat, kemudian menirukan beberapa unsur gerak
alami dari beberapa ekor binatang sehingga dengan hati-hati
tersisip di antara unsur-unsur gerak ilmunya, atau penguasaan
gerak alami beberapa ekor binatang y ang kemudian ditata
dengan garis-garis ilmu yang kemudian dikuasainya.
Namun Mahisa Murti berkata, "Memang mengandung
pengertian perc obaan. Tetapi kita akan mengamati setiap
perkembangan. Kemampuannya dan watak dari ilmunya harus
tetap seimbang dalam satu usaha memperkaya unsur-unsur
gerak. Jika ternyata terdapat peny impangan, maka kita akan
segera melihatnya. Key akinan kita akan keberhasilan dari cara
ini adalah, ternyata kita juga mampu memperkaya unsurunsur
gerak y ang telah kita miliki sebelumnya."
"Tetapi apakah ciri dari ilmu kanuragan dari aliran ilmu
int tidak akan bergeser?" bertanya Mahisa Semu.
"Mungkin akan berkembang. Bukan bergeser. Tetapi
ilmu memang harus berkembang. Kita tidak boleh terpancang
pada satu bentuk mati dari yang disebut ciri -ciri sebuah
perguruan. Tetapi wataknyalah y ang jangan berubah. Karena
itu, kadang-kadang dua aliran perguruan yang bersumber dari
perguruan y ang sama dapat berbeda ujudnya karena
perkembangannya masing-masing," jawab Mahisa Murti,
"karena itu m aka kita pun tidak boleh terpacang pada satu
bentuk mati, sementara ilmu di sekitar aliran perguruan kita
telah berkembang maju dengan pesat. Dengan demikian maka
satu perguruan kecil, tetapi penuh dengan day a cipta para
pendukungnya akan dapat melampaui keunggulan dari satu
perguruan y ang besar y ang terpancang pada kebesarannya,
sehingga tidak lagi berusaha untuk m engembangkannya lebih
jauh." Mahisa Semu mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti
keterangan itu, sehingga karena itu, maka ia tidak lagi merasa
cemas bahwa Mahisa Amping akan sekedar menjadi bahan
percobaan y ang akan dapat membahayakan perkembangan
bukan saja tubuhnya tetapi juga jiwanya.
Demikianlah, maka di hari-hari berikutnya Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat telah mengarahkan perhatian Mahisa
Amping pada gerak-gerik binatang. Sekali-sekali Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat menirukan gerak-gerik binatang itu. Cara
bermain y ang mereka pergunakan ternyata sangat menarik
minat anak itu. Dengan demikian maka setiap saat, Mahisa Amping
telah diajak bermain-main secara khusus. Permainan yang
diarahkan dan dipersiapkan untuk memasuki satu latihan dari
ilmu kanuragan, sehingga dengan demikian anak itu sama
sekali tidak merasa dipaksa melakukannya sebagaimana
pernah dilakukan atasnya di sebuah padepokan terpencil yang
berusaha membentuk anak-anak kecil menjadi orang-orang
yang kelak akan kehilangan kepribadiannya masing -masing.
Mahisa Amping y ang telah dicuci dari pengaruh hitam
perguruannya yang pernah menyimpannya, memang telah
menjadi kosong. Perlahan-lahan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah berusaha mengisi kekosongan itu dengan cara
yang belum pernah dilakukan sebelumnya.
Sambil bermain-main, Mahisa Amping telah menirukan
unsur -unsur gerak alami dari beberapa ekor binatang.
Terutama jenis, binatang y ang digemarinya. Dengan demikian,
maka Mahisa Amping sadar atau tidak sadar telah memasuki
satu masa latihan dengan cara y ang berbeda dari yang
ditempuh oleh Mahisa Semu.
Ada bagian yang hilang di sini
Mahisa Amping pun ternyata menjadi marah juga.
Tanpa minta per setujuan Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan
Mahisa Semu, anak itu berteriak, "Aku tidak m au dihukum.
Jika kalian m encoba memukuli aku, maka akulah yang akan
memukuli kalian. Jika kalian m emanggil kakak, paman atau
ay ah kalian,maka kakak-kakakku akan memukuli mereka."
Remaja yang marah itu memang menjadi heran
mendengar tantangan Mahisa Amping. Tetapi sejenak
kemudian ia telah m enguasai dirinya kembali sambil berkata,
"Kau jangan mengigau. Aku akan menghitung sampai sepuluh.
Jika kau tetap menolak, maka kami akan mulai memukulimu."
Mahisa Amping ternyata tidak sabar lagi. Ketika remaja
itu menghitung sampai tiga, maka Mahisa Amping telah
meloncat mendekatinya dan langsung memukul mulutnya.
Anak itu tidak mengira bahwa justru anak itulah y ang
telah meny erangnya. Serangan anak itu ternyata telah membuat sebuah
giginya patah. Karena itu, maka mulutnyapun telah berdarah.
Beberapa orang kawan-kawannya menjadi bingung.
Tetapi anak y ang giginya patah itu menjadi sangat marah.
Hampir di luar sadarnya ia berteriak, "Kita pukuli anak itu."
Beberapa orang anak y ang telah mengepung Mahisa
Amping itu memang tertegun sejenak. Namun kemudian
mereka pun telah bergerak dengan serentak meny erang
Mahisa Amping. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu dengan
sengaja membiarkannya. Mereka sudah berusaha untuk
mencegah agar tidak terjadi benturan. Tetapi anak-anak itu
tidak menghiraukannya. Bahkan mereka telah mengancam
untuk memanggil orang-orang tua mereka.
Bahkan anak-anak muda itu memang ingin melihat apa
yang dapat dilakukan oleh Mahisa Amping. Meskipun ia
menghadapi beberapa orang anak dan ada di antaranya yang
lebih besar daripadanya, namun kakak-kakak angkatnya
berharap, bahwa anak itu akan dapat mengatasi kesulitan itu.
Atau setidak-tidaknya dapat menunjukkan sesuatu yang
memberikan harapan bagi masa-masa mendatang.
Sebenarnyalah maka sejenak kemudian telah terjadi
perkelahian yang sengit. Mahisa Amping y ang nampaknya
sangat tertarik melihat cara seekor lutung berkelahi, telah
berloncatan dengan lincahnya. Namun adalah diluar dugaan,
bahwa anak itu juga m eloncat berlari dan dengan kepalanya
telah menyuruk menyerang perut salah seorang lawannya.
Ternyata lawannya itu tidak dapat bertahan, ia ju stru
terlempar jatuh menelentang sehingga punggungnya terasa
sakit sekali. Bahkan ia tidak lagi dapat bertahan, sehingga ia
telah menangis terisak -isak sambil mengaduh kesakitan.
Tetapi, Mahisa Amping tidak saja meny eruduk lawannya
dengan kepalanya, tetapi ia pun telah menerkam lawannya
dan mencengkam pipiny a, sehingga tergores oleh kukunya.
Meskipun kukunya tidak setajam kuku harimau, tetapi
goresan-goresannya telah menitikkan darah.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu semakin
lama justru semakin cemas. Ternyata Mahisa Amping menjadi
sangat garang. Meskipun ilmu y ang diterimanya dari
padepokan yang beraliran hitam itu sudah dihapuskan
sehingga sampai ke akarnya, serta pergeseran watak telah pula
terjadi, namun agaknya anak itu belum sempat menyaring
unsur -unsur gerak binatang-binatang yang diamatinya.
Bahkan Mahisa Amping telah pula menirukan, bagaimana
tikus tanah m eny elamatkan diri dari tangkapan seekor ular.
Ketika beberapa orang meny erangnya bersama-sama, maka
tiba -tiba saja Mahisa Amping telah menggenggam tanah dan
membaurkannya kepada anak-anak itu.
Serentak mereka berteriak kesakitan. Mata mereka
menjadi pedih. Sementara itu Mahisa Amping telah memukul
perut mereka seorang demi seorang.
Ternyata bahwa anak-anak itu tidak mampu
mengalahkan Mahisa Amping yang mempunyai banyak akal,
meskipun sebagian di antaranya dilakukan dengan licik.
Tetapi anak itu belum tahu bahwa sepatutnya ia tidak berbuat
demikian. Beberapa orang anak di antara mereka justru telah
menangis. Bahkan ada di antara mereka y ang berlari pulang.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu agaknya
dapat menduga apa yang akan terjadi. Karena itu, maka
Mahisa Semu pun kemudian telah menangkap Mahisa Amping
dan menariknya keluar dari perkelahian y ang tidak seimbang,
karena lawan-lawannya seakan-akan sudah tidak dapat
melawan lagi. "Kita tinggalkan tempat ini, sebelum terjadi sesuatu
yang lebih besar," berkata Mahisa Pukat kemudian.
"Aku belum kalah," teriak Mahisa Amping.
"Kau memang tidak kalah," jawab Mahisa Semu, "tetapi
perkelahian itu tidak usah diteruskan."
"Kenapa?" bertanya Mahisa Amping.
Mahisa Semu tidak menjawab. Bahkan anak itu pun
telah diangkat dan didukungnya meninggalkan tempat itu.
Mereka dengan tergesa-gesa telah m enuju ke bulak panjang
menjauhi padukuhan itu. Tetapi bagaimanapun juga, mereka masih saja m enjadi
berdebar-debar, karena orang-orang padukuhan y ang m arah
akan dapat menyusulnya. Tetapi ternyata orang-orang tua dari anak-anak itu agak
lamban bergerak, sehingga Mahisa Murti dan saudarasaudaranya
telah menjadi semakin jauh.
Ada bagian yang hilang di sini
Mula-mula mereka mengira bahwa mereka telah bebas
dari persoalan kambing yang nakal itu. Tetapi ketika m ereka
sampai di tengah-tengah bulak, maka mereka pun telah
terkejut. Beberapa ekor kuda berderap ke arah mereka.
"Kita tidak tahu apa yang akan terjadi dengan orangorang
berkuda itu," berkata Mahisa Murti.
Karena itu, maka Mahisa Pukat pun dengan cepat telah
menarik Mahisa Amping dan mendukungnya. Katanya,
"Jangan melakukan sesuatu y ang dapat mencelakaimu
sendiri." Mahisa Amping tidak menyahut. Tetapi ia justru
berpegangan leher Mahisa Pukat.
Beberapa saat, beberapa ekor kuda itu menjadi semakin
dekat. Tetapi tidak ada tanda-tanda m ereka m emperlambat
derap kuda-kuda itu. Namun, meskipun demikian ketika kudakuda
itu m elampaui m ereka, maka anak-anak muda itu telah
meloncati parit dan berdiri di tanggul seberang parit.
Tetapi ternyata kuda-kuda itu berlari terus, para
penunggangnya pun sama sekali tidak turun dari kuda mereka,
bahkan berpalingpun tidak.
Ketiga anak muda itu termangu-mangu sejenak. Mereka
pun kemudian telah berloncatan kembali ke jalan bulak
persawahan itu. "Apa y ang mereka lakukan?" bertanya Mahisa Semu.
"Entahlah," jawab Mahisa Murti, "tetapi belum berarti
semuanya sudah lewat bagi kita."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi Mahisa
Amping telah diletakkannya sambil berkata, "Kau berjalan
sendiri." Mahisa Amping termangu-mangu. Sebenarnya ia lebih
senang didukung oleh siapapun. Tetapi kemudian ia harus
berjalan sendiri. Bahkan berlari-lari kecil, karena ketiga orang
kakak angkatnya telah melangkah meninggalkannya.
Tetapi anak-anak muda itu tiba -tiba telah


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memperlambat langkah m ereka. Sementara itu Mahisa Pukat
berkata, "Orang-orang itu berhenti disimpang ampat. Mereka
membawa busur dan anak panah cukup banyak."
"Nampaknya mereka akan berburu," jawab Mahisa
Murti. "Untuk apa mereka berhenti, untuk menunggu kita?"
desis Mahisa Pukat. Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi untuk
menghindari kemungkinan yang tidak mereka kehendaki,
mereka justru melangkah terus.
Namun, ketika mereka sampai ke simpang ampat, maka
kuda-kuda itu telah menutup dua jalur jalan. Dengan isyarat
maka pemimpin dari orang -orang berkuda itu telah memaksa
anak-anak muda itu menuju ke arah y ang mereka kehendaki.
Anak-anak muda itu memang menjadi heran. Apalagi
bahwa hal seperti itu terjadi tidak hanya dua tiga kali.
Namun, akhirnya anak-anak muda itu menyadari, bahwa
mereka telah digiring ke dalam sebuah pategalan y ang mulai
padat dengan pepohonan atau sebuah kebun yang luas yang
dengan sengaja dibiarkan m enjadi lebat seperti hutan yang
jarang. Demikianlah, mereka berjalan ke arah pategalan itu,
maka Mahisa Murti berdesis, "Apakah kalian tahu, apa yang
akan terjadi" Mahisa Pukat mengangguk. Katanya, "Ya. Permainan
yang mengasy ikkan."
"Permainan apa?" bertanya Mahisa Semu.
"Mereka ingin menjadi pemburu y ang terkenal. Tetapi
mereka ternyata pengecut y ang tidak berani benar-benar
berburu di hutan. Karena itu, mereka akan menjadikan kita
sa saran perburuan mereka. Kita akan dilepaskan di pategalan
itu. Mereka akan memburu kita dengan kuda-kuda m ereka,"
jawab Mahisa Pukat. "Setan," geram Mahisa Semu, "jika demikian bukankah
kita dapat melawan mereka sekarang?"
Tetapi Mahisa Pukat ter senyum sambil menjawab,
"Ternyata permainan itu akan sangat menarik. Biar sajalah,
kita bermain-main sejenak dengan orang-orang padukuhan
itu." Sebenarnyalah sejenak kemudian, sebelum anak-anak
muda itu sampai di pategalan, orang-orang berkuda itu sudah
menyusul mereka. Salah seorang yang agaknya menjadi
pemimpin mereka berkata, "Kalian telah berdosa terhadap
anak-anak kami. Karena itu maka kalian pantas untuk
dihukum. Tetapi kami sama sekali bukan orang yang bertindak
semena-mena. Kami akan bertindak adil. Jika kalian tidak
bersalah, maka kalian akan luput dari hukuman kami."
"Hukuman apakah yang kalian maksud?" bertanya Ma -
hisa Murti. "Kalian harus berlari memasuki pategalan itu. Pada saat
yang ditentukan, kami akan melontarkan isy arat dengan
panah sendaren. Seterusnya kalian adalah buruan kami. Jika
kalian terkejar oleh anak panah kami, maka kalian atau
sebagian dari kalian akan mati. Tetapi siapa yang dapat
mencapai batas di seberang, maka ia akan bebas. Orang yang
bebas itu tentu bukan orang y ang bersalah. Sedangkan yang
terbunuh oleh anak panah kami, adalah orang-orang yang
bersalah," berkata pemimpin dari sekelompok orang tadi.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sementara
itu orang itu pun berkata, "Jangan m eny esali nasib. Kalian
masih dapat berusaha. Jika aku menghitung sampai lima,
kalian harus melarikan diri. Demikian anak panah sendaren
naik ke udara, kami mulai memburu kalian."
Ketiga orang anak muda itu termangu-mangu. Lebihlebih
lagi Mahisa Amping. Ia tidak tahu pasti, apakah
sebenarnya yang dikehendaki oleh orang-orang berkuda itu.
Namun tiba -tiba saja Mahisa Murti berkata, "Biarlah,
aku akan mendukung anak itu dalam perburuan ini."
"Lakukan apa y ang baik menurut kalian," berkata
pemimpin dari sekelompok orang-orang itu.
Demikianlah sejenak kemudian, pemimpin dari orangorang
berkuda itu pun mulai menghitung, "Satu, dua, tiga ...."
Pa da hitungan yang kelima, maka anak-anak muda itu
mulai berlari memasuki pategalan y ang memang sengaja
dibuat rimbun seperti hutan dengan pepohonan perdu dan
pohon buah-buahanyang besar dan bertebaran di seluruh
pategalan itu. Namun seorang di antara mereka yang akan m emburu
itu sempat berteriak, "bertebaranlah, agar ada di antara kalian
yang sempat hidup." Sambil berlari Mahisa Pukat bertanya, "Apakah kita
akan menebar?" "Tidak perlu. Hanya akan memberikan kesenangan saja
kepada mereka," jawab Mahisa Murti.
Demikianlah, maka ketiga orang anak muda itu b erlarilari
di antara pepohonan dan batang-batang perdu. Mereka
tidak dapat belari terlalu kencang, justru karena Mahisa Murti
mendukung Mahisa Am ping.
Namun adalah diluar dugaan, ketika Mahisa Amping
justru minta, "Biarlah aku berlari sendiri."
Tetapi Mahisa Murti melarangnya. Katanya, "Sangat
berbahaya bagimu." Beberapa lama mereka berlari. Tetapi masih belum
terdengar suara panah sendaren.
Namun justru karena itu, maka anak-anak muda itu pun
telah berhenti. Mahisa Murti lah y ang m engatur cara untuk
menghadapi orang-orang berkuda itu.
"Mahisa Semu," berkata Mahisa Murti, "bawa Amping
bersembunyi di atas pohon besar itu. Kau harus memanjat
hampir sampai ke puncak. Anak itu tidak akan takut. Kami
berdua akan mengganggu mereka sehingga mereka akan
mengurungkan niat mereka."
Mahisa Semu yang merasa diriny a belum memiliki bekal
cukup sebagaimana Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, tidak
membantah. Ia pun segera membawa Mahisa Amping
memanjat. Untunglah bahwa anak itu memang senang
memanjat pepohonan, sehingga ia pun tidak mengalami
kesulitan memanjat melampaui dahan-dahan dan daunnya
yang rimbun. Dalam pada itu, mereka pun telah mendengar anak
panah sendaren mengaum di udara. Mereka sadar, bahwa
sejenak kemudian suara kaki kuda akan berderap di pategalan
itu. Kedua orang anak muda itu pun kemudian telah berlari
meninggalkan pohon besar itu menuju ke tengah-tengah
pategalan. Mereka yang merasa akan dijadikan sasaran
permainan itu pun telah bersiap-siap pula untuk ikut bermain
bersama mereka. Sebenarnyalah, beberapa ekor kuda telah berderap di
antara semak-semak dan pepohonan. Mereka tidak mengira
bahwa salah seorang di antara anak-anak muda itu bersama
seorang anak kecil telah memanjat sebatang pohon besar.
Mereka mengira bahwa bertiga, mereka telah berlari jauh lebih
dalam. Tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang pernah
dilepas di pategalan itu mendapat kesempatan untuk kembali,
karena di garis batas mereka telah menempatkan beberapa
orangnya pula. Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mampu
berlari cepat. Tetapi mereka tidak dapat menghapuskan bekas
yang dapat diikuti oleh para pemburu itu, karena di antara
mereka adalah y ang memiliki kemampuan mengenali jejak.
Mereka melihat jejak anak-anak muda itu masuk ke
jantung pategalan. Mereka melihat ranting-ranting perdu yang
patah serta dedaunan y ang runtuh.
Orang-orang itu mempercepat perjalanan kuda mereka.
Pemburu jejak itu berada di paling depan sehingga mereka
tidak kehilangan arah. Namun ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
mempergunakan ilmu mereka untuk mendor ong kecepatan
langkah mereka. Karena itu, m eskipun berkuda, tetapi orangorang
itu akan sulit untuk dapat m enyusul Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. "Setan itu dapat berlari seperti angin," teriak
pemimpinsekelompok pemburu itu.
"Ya," sahut orang y ang mengenali jejak itu, "mereka
telah menuju ke seberang pategalan ini."
"Cepat, jangan sampai lepa s," teriak pemimpin
kelompokitu. Mereka berpacu semakin cepat, m eskipun tidak secepat
di padang rumput yang tidak ditumbuhi oleh pohon-pohon
perdu yang liar dan sedikit mengganggu kecepatan.
Tetapi orang y ang m engenali jejak itu m enjadi semakin
cemas. Jarak tempat itu dengan batas akhir dari pategalan itu
pun menjadi semakin sempit.
Dalam pada itu, dengan kemampuan mereka berlari
cepat, maka m ereka memang sudah hampir m encapai batas.
Jika mereka kehendaki maka mereka akan dengan selamat
keluar dari tempat itu. Tetapi mereka tidak menghendaki demikian. Kecuali
Mahisa Semu dan Mahisa Amping masih ada di pategalan itu,
maka mereka pun memang berniat untuk benar-benar
bermain-main. Karena itu, ketika kedua orang anak muda itu
melihat pategalan menjadi semakin tipis, maka mereka justru
sal ing bertanya, "Lalu, apa y ang akan kita lakukan."
"Kita tidak akan keluar dari pategalan ini," berkata
Mahisa Murti. Keduanya pun kemudian justru telah berhenti. Di
hadapan mereka adalah daerah terbuka. Sebuah padang perdu
yang sempit. Kemudian tanah per sawahan yang luas. Jika
mereka memasuki padang perdu, maka hak hidup mereka
telah mereka dapatkan kembali.
Namun, selagi mereka masih ragu-ragu, terdengar derap
beberapa ekor kuda y ang memburu mereka. Seorang di antara
mereka berteriak, "Itu mereka. Jangan beri kesempatan
memasuki padang perdu."
Tiba-tiba saja beberapa batang anak panah telah
meluncur ke arah mereka, sehingga keduanya harus
berloncatan menghindar. "Marilah. Kita bicarakan di luar pategalan," desis
Mahisa Murti. "Tetapi permainan ini akan segera selesai," jawab
Mahisa Murti. " Jika demikian kita akan berlari-lari berkeliling
pategalan ini," jawab Mahisa Murti.
Demikianlah, maka kedua orang anak muda itu telah
berlari lagi. Mereka memang menuju ke batas. Tetapi
demikian mereka ada di batas, mereka tidak langsung
meloncat keluar. Tetapi mereka telah berlari berputar di dalam
pategalan itu. "Gila," teriak seseorang, "mereka tidak keluar dari
pategalan." "Persetan. Kita bunuh mereka," teriak y ang lain.
Kata -kata itu ternyata menarik perhatian Mahisa Murti.
Katanya kepada Mahisa Pukat sambil berlari dan menghindari
anak panah yang meluncur dari beberapa buah busur itu, "Kita
keluar. Apa yang mereka lakukan."
Mahisa Pukat mengerti maksud Mahisa Murti. Karena
itu, maka mereka pun telah bergeser mendekati tempat
terbuka. Sejenak kemudian mereka telah berlari di padang
perdu. Beberapa saat kemudian, keduanya berhenti. Mereka
melihat beberapa ekor kuda memang berhenti di pinggir
pategalan itu. "Bukankah kita sudah bebas?" bertanya Mahisa Murti.
"Setan," geram salah seorang di antara mereka, "di
mana anak itu?" " Ia sudah lepas lebih dahulu. Ia berada di tengah-tengah
tanaman di sawah itu," jawab Mahisa Murti.
Sesaat mereka termangu-mangu. Namun tiba -tiba
seorangdi antara mereka berkata, "Kita giring mereka kembali
masuk hutan. Kita adalah pemburu -pemburu yang tidak
pernah kehilangan buruan kita."
"Gila," geram Mahisa Murti, "aku kira mereka hanya
digelitik oleh perkelahian antara Amping dan anak-anak
mereka. Namun ternyata mereka adalah orang-orang aneh
yang mempunyai kegemaran y ang gila."
"Apa y ang kita lakukan?" bertanya Mahisa Pukat.
"Seperti y ang kita rencanakan," jawab Mahisa Murti,
"bermain-main dengan mereka."
Demikianlah, sejenak kemudian, kuda -kuda itu telah
berderap. Tetapi kuda-kuda itu telah m elingkari kedua orang
anak muda itu. Dengan cambuk mereka telah menggiring
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk memasuki pategalan
itu kembali. Demikianlah, maka sejenak kemudian, keduanya telah
menghilang lagi di pategalan. Dengan ilmu yang mereka
miliki, didukung oleh tenaga cadangan y ang ada di dalam diri
mereka, maka keduanya mampu berlari cepat di antara
batang-batang perdu, gerumbul-gerumbul liar dan pepohonan
yang besar y ang rapat di pategalan itu.
Di belakang mereka beberapa ekor kuda berderap
memburu. Ternyata orang-orang berkuda itu tidak lagi m au
memberi jarak sebelum mereka mulai bergerak. Tetapi mereka
langsung memburu sambil melepaskan anak panah mereka.
Tetapi, y ang mereka buru adalah dua orang anak muda
yang b erilmu tinggi. Anak panah y ang lepas itu tidak pernah
mengenai sasaran. Kadang -kadang menancap di batang
pepohonan. Kadang-kadang tersangkut di sulur-sulur liar atau
di daun perdu y ang rapat.
"Setan," geram pemimpin kelompok pemburu itu.
Beberapa orang di antara mereka berusaha mendahului.
Beberapa ekor kuda berlari menerobos semak-semak di
sebelahkedua orang anak muda itu.
Tetapi tiba -tiba saja kedua anak muda itu telah
mengambil arah lain. "Kita berbelok ke kiri," desis Mahisa Murti.
Demikianlah keduanya berbelok tajam, maka kuda-kuda
itu pun menjadi kacau. Mereka harus berputar arah,
sementara pepohonan tumbuh rapat. Ketika dengan tergesagesa


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang di antaranya menarik kendali kudanya, maka
kuda itu telah menyentuh sebatang pohon sehingga kakinya
telah terantuk kakinya sendiri yang sebelah.
Kuda itu tidak dapat mempertahankan
keseimbangannya, sehingga kuda itu telah terjatuh.
Penunggangnya terlempar dan membentur sebatang pohon.
Untunglah, bahwa ia masih sempat bangkit meskipun sulit
baginya untuk berdiri tegak karena punggungnya terasa
bagaikan retak. Namun say ang, bahwa kaki kudanyalah yang patah,
sehingga kuda itu tidak dapat bangkit lagi.
Orang itu melangkah tertatih-tatih mendekati kudanya
yang meringkik. Dengan suara memelas ia berkata, "Ternyata
bahwa akhirnya kau harus mati di pategalan ini. Punggungku
bagaikan patah dan buruan itu belum tentu akan dapat di
tangkap apalagi dibunuh."
Kudanya masih menggeliat. Tetapi tidak ada pilihan lain,
bahwa kuda itu harus dibunuh daripada menderita t erlalu
lama. Kakinya y ang patah dan k eadaannya y ang parah, tidak
memungkinkannya untuk dapat sembuh kembali."
Tetapi orang itu ternyata tidak sampai hati untuk
melakukannya. Karena itu, maka dengan langkah yang berat ia
melangkah meninggalkan kudanya sambil meny eringai
kesakitan. " Biarlah orang lain melakukannya," desisnya.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih
berlari-lari di antara pepohonan. Yang kemudian dilemparkan
tidak saja anak panah. Tetapi juga lembing dan tombaktombak
pendek. Namun tidak sebatang pun y ang dapat
menyentuh kedua anak muda y ang berlari berbelok-belok itu.
Orang-orang itu menjadi semakin marah. Mereka belum
pernah mengalami seperti itu. Biasanya mereka
menyelesaikan buruan mereka dengan sangat memuaskan.
Beberapa anak panah menusuk punggung dan tengkuk
buruannya. Kemudian jatuh terjerembab. Menggeliat
kesakitan sambil merintih.
Biasanya sebatang tombak mengakhiri hidupnya itu.
Tetapi kali ini buruannya tidak semudah itu dapat
dikenai oleh anak panah. Bahkan lembing dan tombak.
Keduanya justru telah memenangkan pertarungan dengan
keluar dari lingkungan perburuan. Namun keduanya telah
digiring masuk lagi. Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang
masih saja berlari-lari itu ternyata benar-benar merasa sempat
bermain-main. Keduanya dapat mempermainkan kuda-kuda
yang kadang-kadang kebingungan.
Ketika Mahisa Murti sempat meloncat dan bergayutan
pada sebatang dahan pohon y ang meny ilang, ia sempat
menyerang dua orang penunggang kuda sekaligus. Keduanya
telah terpelanting dari kudanya dan jatuh terbanting. Seorang
membentur sebatang pohon sehingga pingsan, sedangkan
yang lain masih sempat bangkit. Tetapi kudanya telah berlari
jauh. Beberapa ekor kuda telah berputar untuk melingkari
Mahisa Murti. Tetapi anak muda itu tiba-tiba saja telah hilang
dari pandangan mata mereka. Namun mereka sempat melihat
bay angan Mahisa Murti berlari menjauh.
Dengan marah para pemburu itu melarikan kudanya
dengan kencang. Namun seseorang t elah m eluncur m eloncat
menggapai penunggang kuda yang paling belakang.
Dua sosok tubuh jatuh berguling di tanah. Satu pukulan
yang keras telah melemparkan pemburu itu jatuh terlentang.
Ketika ia mencoba bangkit, maka tangan yang kuat
bagaikan jepit besi baja telah menekan tangannya yang
terpilin. Yang terdengar adalah gemeretak tulang patah. Ketika
tangannya dilepaskan, maka kesakitan yang sangat telah
mencengkam tangannya yang ternyata memang patah itu.
Beberapa ekor kuda telah berputar lagi. Namun Mahisa
Pukat telah berlari menjauh.
Kemarahan yang hampir tidak terkendali telah
membakar orang-orang y ang mengaku sebagai pemburupemburu
yang tidak pernah gagal itu.
Beberapa saat kemudian mereka telah berpencar. Dalam
jajaran yang melebar kuda-kuda itu berlari. Yang ada di
tangan orang-orang berkuda itu bukan lagi busur dan anak
panah, tetapi pedang dan tombak.
Tetapi kedua orang anak muda itu sudah tidak nampak
lagi. Karena itu, maka setiap orang di punggung kuda itu
menjadi semakin berhati-hati, karena banyak hal yang dapat
terjadi. Sebenarnyalah maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah menyiapkan diri untuk meny erang. Mereka ju stru
berbaring diam dibawah rimbunnya semak-semak. Adalah
tidak sengaja bahwa seekor ular y ang cukup besar m enelusur
dibawah kaki Mahisa Murti. Seekor ular belang yang berbisa.
Dengan tangkasny a tanpa bangkit, ular itu telah ditangkapnya.
Meskipun ular itu menggigitnya, tetapi Mahisa Murti sama
sekali tidak terpengaruh oleh bisanya, meskipun sedikit terasa
sakit. Ketika kuda-kuda itu berderap lewat, keduanya telah
melenting berdiri dari rimbunnya semak-semak. Belum lagi
mereka berhenti terkejut, maka Mahisa Murti telah
melemparkan ular belang y ang cukup besar itu kepada
pemimpin kelompok pemburu yang benar -benar berusaha
membunuhnya itu. Ternyata bahwa ular itu t idak mengenai penunggangnya.
Tetapi demikian ular itu jatuh ke leher kuda, maka ular itu
telah mematuk kuda itu. Kuda itu terkejut. Sambil berdiri di atas kedua kaki
belakangnya kuda itu meringkik tinggi, sehingga
penunggangnya y ang terkejut oleh seekor ular belang yang
besar serta gerak kudanya y ang m eloncat berdiri itu, maka ia
telah terlempar dari punggung kudanya.
Kuda itu, masih sempat berlari tanpa penunggangnya
Rahasia Dewi Purbosari 2 Sherlock Holmes - Ritual Keluarga Musgrave Serigala Siluman 3
^