Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 24

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 24


menyegarkan tubuh m ereka yang pingsan sehingga seorang
demi seorang mereka telah menjadi sadar. Namun tubuh
mereka masih terlalu lemah, sehingga mereka rasa-rasanya
masih belum sanggup untuk bangkit. Tetapi demikian mereka
menyadari bahwa gurunya tengah bertempur, betapapun
sulitny a, mereka berusaha untuk bangkit, duduk sambil
menyaksikan pertempuran itu.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat telah bertempur semakin
sengit dengan orang y ang m eny ebut dirinya guru dari anakanak
muda padukuhan itu. Mula-mula Mahisa Pukat memang
menduga, bahwa orang itu memiliki ilmu yang tinggi. Bahkan
Mahisa Pukat mulai m enduga-duga bahwa orang itu dengan
sengaja ingin melumpuhkan kekuatan anak-anak muda
padukuhan itu karena maksud tertentu.
"Aku harus mengetahui maksudnya y ang sebenarnya
dengan caranya y ang licik itu," berkata Mahisa Pukat di dalam
dirinya. Namun dalam pada itu, ketika Mahisa Pukat telah
bertempur semakin seru, ia mulai melihat sesuatu yang tidak
wajar pada lawannya. Tata geraknya mulai menghentakhentak.
Seakan-akan ia masih mengalami kesulitan untuk
melepaskan serangannya atau bahkan di saat-saat ia
mengelak. Dengan demikian, maka gerak orang itu menjadi
semakin lama semakin lamban.
Anak-anak muda padukuhan itu yang sempat melihat
pertempuran itu memang menjadi bingung. Para per onda
yang belum tahu sama sekali tentang olah kanuragan, maupun
anak-anak muda y ang telah berlatih untuk sepuluh hari itu,
mulai melihat bahwa orang yang mereka kagumi itu
mengalami kesulitan. Bahkan sekali-sekali Mahisa Pukat, anak
muda yang mengaku pengembara itu mulai dapat
mengenainya. Tetapi ternyata Mahisa Pukat telah mulai
mengendalikan diriny a, justru disaat lawannya meningkatkan
ilmunya semakin tinggi. Tetapi ternyata bahwa kemarahan Mahisa Pukat itu
lambat laun telah menjadi susut. Ia justru merasa ka sihan
kepada lawannya. Agaknya ia sama sekali tidak bermaksud
buruk. Ia hanya sekedar ingin mencari bekal dalam
pengembaraannya. Di sepanjang jalan ia telah mencoba
memberikan tuntunan olah kanuragan untuk sekedar
mendapatkan bekal perjalanannya itu.
Orang itu sama sekali tidak berniat memutar balik ilmu
yang dikuasainya atau dengan sengaja mengajarkan tata gerak
yang salah kepada anak-anak muda itu, karena dalam tataran
yang semakin tinggi, orang itu sendiri mulai mengalami
kesulitan. Mahisa Pukat dan Mahisa Murti yang berilmu tinggi
dengan cepat dapat melihat kekurangan itu. Orang itu sejak
tataran m ula telah melakukan kesalahan. Semakin tinggi ia
berusaha meningkatkan ilmunya, maka kesalahan itu menjadi
semakin jelas, karena beberapa unsur geraknya rasa-rasanya
telah memukul bagian dalam tubuhnya sendiri, sehingga
semakin lama terasa semakin sakit, sementara nafasnya
menjadi semakin sesak. Sedangkan dengan demikian maka Mahisa Pukat
menjadi semakin mudah untuk dapat mengenai lawannya.
Kesempatan semakin banyak terbuka karena lawannya
bergerak terlalu lamban. Tetapi Mahisa Pukat tidak mempergunakan kesempatan
itu, karena ia tahu, bahwa lawannya telah terperosok ke dalam
satu latihan ilmu yang salah atau sengaja dibuat salah oleh
salah orang y ang melatihnya.
Karena itu, maka ketika orang itu menjadi semakin
mengalami kesulitan, Mahisa Pukat telah meloncat mengambil
jarak sambil berkata, "Tunggu. Aku akan bicara."
Ternyata orang itu masih belum menyadari keadaannya.
Dengan geram ia berkata, "Kau akan meny erah?"
"Ternyata kamu m emerlukan b imbingan khusus untuk
memperbaiki ilmumu," berkata Mahisa Pukat.
"Apa" Kau mengguruiku?" bentak orang itu.
"Tidak. Aku tidak mengguruimu. Tetapi sebagaimana
kau lihat, aku juga mampu mengimbangimu. Kau harus
melihat keny ataan itu, bahwa kau tidak dapat m engalahkan
aku. Bahkan kau semakin mengalami kesulitan," jawab Mahisa
Pukat. "Omong kosong. Jika kau ingin menyerah,
menyerahlah," berkata orang itu.
Tetapi Mahisa Pukat menggeleng. Katanya, "Mulailah
jujur terhadap dirimu sendiri. Kau benar-benar dalam
kesulitan. Jika kau memaksa untuk bertempur lebih lama lagi,
maka kau akan mengalami nasib seperti anak-anak muda itu."
"Cukup. Jika kau tidak mau menyerah, kau akan
menyesal," teriak orang itu. Tetapi suaranya mulai diwarnai
oleh keragu-raguan yang tumbuh di dalam hatinya.
Sebenarnyalah ia merasa bahwa keadaan tubuhnya menjadi
kurang sewajarnya. Dadanya terasa semakin sakit sedangkan
nafasnya terasa menjadisesak.
Dalam pada itu Mahisa Pukat pun berkata, "Ki Sanak.
Semula aku berprasangka buruk kepadamu. Aku mengira
bahwa kau t elah dengan sengaja m enghancurkan ketahanan,
anak-anak muda padukuhan ini untuk maksud-maksud
tertentu. Mula -mula aku mengira bahwa karena di padukuhan
ini terdapat banyak orang kaya. Namun ternyata aku salah.
Kau dengan tidak sengaja telah m enghancurkan k emampuan
dan daya tahan anak-anak muda itu, karena kau sendiri
ternyata tidak memahaminya. Setelah bertempur beberapa
saat aku mengetahui, bahwa kau sedang menghancurkan
dirimu sendiri." Mahisa Pukat berhenti sejenak. Lalu, "sadar
atau tidak sadar, kau rusakkan bagian dalam tubuhmu.
Nadimu akan dapat pecah dan jaringan tubuhmu akan rusak.
Jika nadimu yang pecah itu terjadi di otakmu, maka kau tidak
mempunyai harapan lagi, sama seperti jika jantungmulah yang
menjadi lumpuh karena serangan y ang kau lakukan sendiri
atas bagian dalam tubuhmu."
Orang itu menjadi semakin ragu-ragu. Jantungnya
memang terasa menjadi lemah. Nafasny a yang sesak semakin
terasa sesak. Apalagi setelah ia menyadari keadaannya
sebagaimana dikatakan oleh Mahisa Pukat.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat pun berkata selanjutnya,
"Ki Sanak. Aku pun pernah bertempur sampai habis-habisan.
Tetapi aku tidak pernah m erasa sebagaimana terasa di dalam
tubuhmu sekarang ini. Jika kau tidak percaya, maka c obalah
besok, jika keadaanmu sudah m enjadi baik. Cobalah bekerja
keras, mengangkut kayu atau memotong dahan-dahan dan
cabang pepohonan atau bekerja apa saja. Asal bukan dalam
rangka gerak olah kanuragan. Kau tentu akan letih sekali.
Tetpi keadaanmu tentu tidak akan seperti sekarang ini.
Meskipun kau merasa letih, tetapi darahmu t idak akan
menyumbat nadi di jantungmu atau akan memecahkan urat di
kepalamu." Orang itu m enjadi semakin ragu-ragu. Namun ternyata
bahwa harga dirinya tidak semudah itu untuk mengakui
keny ataan. Karena itu maka ia pun menggeram, "jangan
omong kosong. Kau kira ada y ang percaya kepada kata-katamu
itu?" " Jangan membohongi dirimu sendiri. Dalam keadaan
yang sulit itu harus berbuat jujur agar kautidak menyesal,"
berkata Mahisa Pukat. Orang itu akhirnya hatinya menjadi lunak juga karena
sebenarnya ia tidak dapat menghindari kenyataan tentang
dirinya sendiri. Sementara sambil berusaha bertahan maka ia
berkata, "Apa y ang sebenarnya kau ketahui tentang ilmuku?"
"Aku ingin berbicara dengan kau tanpa ada orang lain,"
berkata Mahisa Pukat. "Kau akan menjebakku?" bertanya orang itu.
"Untuk apa" Jika aku berniat untuk membunuhmu,
maka sudah barang tentu dapat aku lakukan di sini tanpa
seorang pun yang dapat menyalahkan aku, karena kita
memang sedang bertempur," jawab Mahisa Pukat.
Nampaknya sikap Mahisa Pukat itu berpengaruh juga.
Karena itu, maka orang itu pun berkata, "Marilah. Di mana
kita dapat berbicara?"
"Terserah. Aku adalah pengembara y ang mendapat
belas kasihan bermalam di banjar ini. Karena itu, aku tidak
dapat menentukan tempat di manapun juga di banjar ini,"
jawab Mahisa Pukat. Keragu-raguan orang itu menjadi semakin berkurang.
Karena itu m aka katanya kemudian, "Kita akan berbicara di
ruang dalam banjar ini."
Keduanyapun kemudian telah berjalan melewati
pendapa, pringgitan dan kemudian memasuki ruang dalam
yang kosong. Dengan singkat Mahisa Pukat menjelaskan, bahwa
menurut pengamatannya, orang itu telah melakukan beberapa
kesalahan besar dalam tata geraknya. Bahkan Mahisa Pukat
telah m emberikan beberapa petunjuk tentang ilmu gerak dan
penguasaan tubuh. Pengenalan atas sendi-sendi anggauta
badan dan jalur perintah dari kehendak sampai ke tubuh yang
melakukan kehendak. "Lakukan gerakan-gerakan y ang kau pahami. Perlahanlahan
saja agar tidak menambah sakit bagian dalam
tubuhmu," berkata Mahisa Pukat.
Orang itu tidak membantah. Perlahan-lahan ia telah
menggerakkan anggauta badannya sesuai dengan
pengetahuannya tentang olah kanuragan menurut aliran
ilmunya. "Hati-hati. Pergunakan perasaanmu sebaik-baiknya.
Kau akan m erasakan pada satu gerak tertentu, sesuatu yang
tidak wajar didalam dirimu," berkata Mahisa Pukat kemudian.
Orang itu masih saja bergerak. Seperti dikatakan oleh
Mahisa Pukat, maka di saat-saat tertentu. Pada letak tubuhnya
dalam satu gerakan memang terdapat sesuatu yang kurang
wajar. Sesuatu yang seakan-akan telah menahan geraknya,
bahkan serasa sesuatu telah berbenturan pada sendi-sendi
tulangnya. Kemudian terasa getaran y ang pedih merambat dan
menyengat bagian dalam tubuhnya seakan-akan telah
mendapat serangan. "Dalam gerakan yang cepat, kau tidak dapat
merasakannya dengan tepat apa y ang terjadi di dalam dirimu.
Apalagi selagi kau bertempur sehingga perasaanmu sedang
tenggelam dalam kemarahan barangkali kebencian atau
semacamnya," berkata Mahisa Pukat.
Orang itu pun kemudian telah duduk terpekur. Telapak
tangannya menahan dahinya yang seakan-akan menjadi
terlalu berat. "Guruku telah meny esatkan aku," berkata orang itu
kepada diri sendiri. Namun dalam pada itu, tiba-tiba telah terdengar suara
tertawa nyaring. Suara yang seakan-akan telah mengguncangguncang
jantung. Tiba-tiba orang itu menjadi pucat. Katanya dengan suara
gemetar, "Guru. Itu adalah guruku."
"Yang telah membuatmu hampir hancur karena ilmu
yang kau pelajari dari padanya?" bertanya Mahisa Pukat.
Orang itu tidak berani menjawab. Tetapi ia mengangguk.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun tibatiba
saja ia berkata lantang, "Nah, sekarang kau sudah
mengenali kesalahanmu. Jangan kau ulangi. Kau harus
mempelajari ilmu y ang baik, yang benar dan tidak merusak
tubuh. Hampir saja kau terjerembab ke dalam satu perbuatan
tercela atas anak-anak muda padukuhan ini."
Namun y ang terdengar di luar banjar masih saja suara
tertawa itu. Bahkan kemudian dengan lantang pula terdengar
suara, "beruntunglah kau anak durhaka, bahwa kesalahan di
dalam dirimu di ketahui oleh seorang yang baik hati dan
bersedia memberimu petunjuk. Tetapi karena kebaikan itu
akan meny elamatkanmu dan membebaskan kau dari
kematian, maka orang yang telah berbaik hati itulah y ang akan
menggantikanmu. Mati."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya kepada Mahisa Pukat, "Pergilah. Biarlah akulah yang
dibunuhnya. Persoalan antara aku dan guruku adalah
persoalan kami berdua. Karena itu, tidak sewajarnyalah jika
kau yang akan mengalami bencana karenanya."
Tetapi Mahisa Pukat itu pun berkata, "Biarlah aku
mencoba berbicara dengan gurumu. Mungkin aku akan
mengalami kesulitan sebagaimana saat aku akan berbicara
denganmu. Tetapi mudah-mudahan aku akan mendapat
kesempatan." "Sulit bagimu. Persoalannya sangat berbeda," sahut
orangitu. "Namun aku akan mencobanya," berkata Mahisa
Pukatyang tanpa menghiraukan orang itu telah melangkah
keluar banjar. Orang itu akan meloncat menahannya. Tetapi rasa -
rasanya tubuhnya menjadi terlalu lemah seperti yang
dikatakan oleh anak muda itu. Namun ia masih sanggup
melangkah keluar dari ruangan dalam itu.
Sementara itu, sebuah bayangan bagaikan terbang dari
atas sebatang pohon dan m elayang turun di halaman banjar
itu. Suara tertawanya masih mengumandang seakan-akan
telah menggetarkan udara di seluruh halaman banjar.
" Jangan turut campur," berkata orang itu kepada para
peronda yang berlari-lari mengepungnya. "Atau jika m emang
ada di antara kalian yang ingin membunuh diri atau bersamasama
ingin membunuh diri, baiklah. Aku akan membantu
kalian." Para per onda itu memang menjadi ragu-ragu. Ketika
Mahisa Semu bergerak, maka dengan serta Mahisa Murti telah
menahannya. Katanya, "Kau tidak akan dapat mengimbangi
ilmunya. Ia orang berilmu tinggi."
Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun
kemudian menyadarinya. Karena itu, maka ia pun telah
mengurungkan niatnya. Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat telah k eluar dari
ruang dalam banjar. Melihat pendapa dan turun ke halaman
mendapatkan orang yang mengaku guru dari orang y ang telah
salah menjalani laku untuk memperoleh ilmu itu.


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Jadi kaukah orang yang telah meny ebarkan sumber
kehancuran anak-anak muda di padukuhan ini lewat muridmu
itu" Atau barangkali juga di padukuhan-padukuhan lain?"
bertanya Mahisa Pukat. Orang itu tertawa semakin keras. Dengan nada tinggi ia
berkata, "Bukan salahku. Orang itulah y ang telah merusak
masa depan anak-anak padukuhan ini."
"Tetapi kesalahannya ber sumber dari kesalahanmu. Aku
tahu, bahwa kau sengaja melakukannya. Agaknya kau tahu
bahwa seharusny a muridmu tidak menyadap ilmu dengan cara
yang salah itu." berkata Mahisa Pukat.
"Aku kagum akan ketajaman penglihatanmu," berkata
orang itu, "sehingga kau dapat melihat kesalahan pada
muridku itu." "Tidak sulit untuk mengetahui," jawab Mahisa Pukat,
"tetapi apa keuntunganmu dengan membunuh muridmu
sendiri dengan cara yang bengis itu?"
" Ia anak seorang penghianat," berkata orang y ang
mengaku gurunya itu, "ayahnya telah berkhianat terhadap
perguruan kami. Karena ayahnya mati sebelum mendapat
hukuman, maka anaknyalah yang harus menanggung
kesalahannya." "Tetapi ia tidak bersalah," berkata Mahisa Pukat.
"Kau tidak usah ikut campur. Kau sama sekali tidak
mengetahui paugeran dalam perguruan kami," jawab orang
itu. Namun dalam pada itu, orang y ang mengalami
penderitaan karena kesalahannya atas pengenalannya tentang
olah kanuragan itu b erkata, "Apa salah ayahku" Kalian tidak
pernah mengatakan apa-apa kepadaku. Sekarang baru aku
tahu, bahwa aku memang sengaja akan dibunuh dengan cara
yang sangat keji dan licik."
Tetapi gurunya itu tertawa. Katanya, "Kau sudah
terlambat. Kau akan mati jauh lebih cepat dari seharusnya
dengan mengalami penderitaan."
"Tidak," Mahisa Pukat lah y ang menjawab, "Ma sih ada
kemungkinan untuk membebaskannya dari cengkeraman
kesalahan itu. Tetapi nampaknya kau tidak memiliki
kemampuan untuk melakukannya."
Orang itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian
katanya, "Setan kau. Sebaiknya kau minggir anak muda.
Jangan ikut campur. Aku akan membunuh muridku itu.
Peringatan ini adalah kesempatan terakhir yang aku berikan.
Jika kau tidak minggir, maka kau memang sepantasnya untuk
menjadi penggantinya. Mati sekarang, sementara muridku
akan mati dalam penderitaan."
Tetapi Mahisa Pukat lah y ang tertawa. Katanya, "Kau
memang senang bergurau. Caramu membunuh muridmu pun
seperti orang yang sedang bergurau dengan taruhan ny awa.
Nah aku pun senang bergurau menurut caramu.
Wajah orang itu menjadi tegang.
" Jangan bingung. Apa maumu sekarang?" bertanya
Mahisa Pukat. Wajah orang itu menjadi merah karena marah y ang
hampir meledakkan dadanya. Namun kemudian ia pun
berkata, "Baiklah Ki Sanak. Kau m emang harus mati seperti
yang telah aku katakan kepadamu sebagai pengganti muridku.
Tetapi agaknya itu belum cukup. Kawan-kawanmu juga akan
mati dan muridku itu pun akan mati juga. Bahkan semua
orang y ang mencela aku akan mati. Anak-anak muda yang
pernah berlatih dan menganggap aku bersalah akan aku
bunuh pula." Suara orang itu y ang bagaikan menggetarkan halaman
banjar itu memang mengerikan. Anak-anak muda yang
tubuhnya terasa letih itu pun menjadi ketakutan. Bahkan juga
para per onda. Namun Mahisa Pukat sama sekali tidak m enjadi gentar.
Bahkan ia m asih saja t ertawa dan berkata, "Jangan menakutnakuti
anak-anak muda. Kalau aku kau golongkan juga anakanak
muda itu, maka aku pun telah kau takut-takuti juga.
Tetapi sayang, aku tidak takut meskipun kau dianggap seorang
yang berilmu tinggi."
"Anak iblis, "geram orang itu," bersiaplah untuk mati.
Kau terlalu sombong karena kau merasa dirimu berilmu.
Dengan kemampuanmu melihat kesalahan dalam latihan yang
dilakukan oleh anak-anak padukuhan ini serta unsur-unsur
gerak padamuridku, kau jangan merasa dirimu seorang yang
mampu menggulung bumi seisinya."
"Aku tidak pernah merasa bahwa aku seorang y ang
memiliki kelebihan dari orang lain. Namun aku pun bukan
orang yang akan membiarkan kesewenang-wenangan
dilakukan oleh siapapun juga," berkata Mahisa Pukat.
Orang itu tidak sabar lagi. Katanya, "Marilah. Kita akan
membuktikan, siapakah yang paling benar di sini."
Mahisa Pukat pun telah bersiap, sementara orang itu
berkata, "Jangan hanya kau seorang diri. Biar pekerjaanku
cepat selesai, majulah bersama-sama, berapa saja y ang merasa
mampu menghadapi aku."
Mahisa Pukat ternyata berpaling juga kepada anak-anak
muda y ang ada disekitarnya, "Nah, siapakah y ang akan m aju
bersama-sama dengan aku?"
Tidak seorang pun y ang m enjawab. Karena itu, Mahisa
Pukat pun berkata, "Ternyata tidak seorang pun. Karena itu,
kita akan bertempur seorang lawan seorang."
Orang y ang merasa diriny a berilmu tinggi itu tiba -tiba
sa ja telah memandang Mahisa Murti dan Mahisa Semu.
Dengan suara lantang ia bertanya, "Bagaimana dengan
kalian?" Mahisa Murti lah y ang menjawab, "Aku sedang tidak
berminat. Biarlah saudaraku meny elesaikanmu."
Orang itu m enggeram dengan m arah. Bahkan tiba-tiba
sa ja ia telah meloncat meny erang Mahisa Pukat.
Tetapi Mahisa Pukat telah bersiap. Namun demikian ia
terkejut juga m elihat gerak orang itu y ang lebih cepat dari
dugaannya. Dengan tangkas pula Mahisa Pukat menghindar
sehingga serangan itu sama sekali tidak mengenainya.
Orang itu pun merasa heran, bahwa anak muda itu
mampu menghindarinya. Namun dengan demikian ia menjadi
lebih berhati-hati. Anak muda itu tentu bukan sekedar
membual. Jika ia melihat kesalahan pada muridnya, maka ia
tentu seorang yang memiliki wawasan y ang tinggi terhadap
olah kanuragan. Orang y ang demikian itu biasanya adalah
orang y ang berilmu tinggi pula.
Namun, orang itu tidak membiarkan Mahisa Pukat
terlepas. Dengan cepat sekali ia memburu. Lebih cepat dari
gerakannya y ang pertama. Tetapi karena Mahisa Pukat telah
dikejutkan oleh serangan y ang pertama itu, maka ia m emang
menjadi lebih berhati-hati. Demikian serangan berikutnya
datang, maka ia pun telah bergeser selangkah. Namun dengan
satu putaran yang cepat, kakinya telah menyambar ke arah
lambung orang itu. Tetapi serangan Mahisa Pukat itu pun gagal pula.
Kakiny a sama sekali tidak meny entuh lawannya, karena
lawannya telah m eluncur surut dengan kecepatan y ang tidak
kalah dari kecepatan gerak kaki Mahisa Pukat.
Dengan demikian m aka pertempuran itu pun semakin
lama menjadi semakin cepat dan semakin keras. Keduanya
telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi.
Namun dalam pertempuran itu, Mahisa Pukat sempat
melihat unsur-unsur gerak y ang seharusny a dilakukan oleh
murid lawannya itu agar tidak tersesat ke dalam bencana.
Beberapa saat Mahisa Pukat bertempur sambil berusaha
mengamati lawannya. Namun tiba-tiba saja ia meloncat
mengambil jarak sambil berkata kepada murid lawannya yang
telah menjadi letih itu, "Perhatikan unsur-unsur gerak
gurumu. Apakah sesuai dengan unsur-unsur y ang diajarkan
kepadamu?" "Setan kau," geram lawannya sambil meloncat
menyerang dengan garangnya. Tetapi tidak meny erang Mahisa
Pukat. Ia telah mencoba menggapai muridnya yang letih itu.
Muridnya yang letih itu terkejut. Ia t idak mempunyai
kesempatan untuk menghindar. Sementara itu gurunya
mengharapbahwa muridnya itu akan memaksa diri untuk
menghindari serangannya. Jika ia melakukannya, maka
hentakkan sisa kekuatannya itu akan berakibat sangat buruk
baginya. Bagian dalam tubuhnya akan rusak dan bahkan ia
akan dapat mengalami kelumpuhan jantung dan mati.
Tetapi ternyata orang itu tidak berusaha untuk
melakukannya. Seakan-akan ia telah menjadi putus-asa. Ia
justru telah menghadap ke arah serangan itu dengan dada
tengadah. Pa srah. Tetapi y ang terjadi kemudian telah mengejutkannya.
Bahkan mengejutkan orang-orang yang menyaksikan
pertempuran itu. Sebelum serangan orang itu meny entuh
tubuh muridnya y ang pasrah dan merasa tidak berdaya, telah
terjadi benturan yang seru. Benturan kekuatan dari dua orang
yang berilmu tinggi. Mahisa Pukat tidak membiarkan orang y ang telah
menjadi putus a sa itu mati. Karena itu, maka setelah ia
menjajagi kemampuan lawannya beberapa saat. Mahisa Pukat
telah bertekad untuk membentur kekuatan lawannya yang
serba sedikit dapat diperhitungkannya.
Namun ternyata Mahisa Pukat itu telah membentur
kekuatan yang besar, sehingga ia pun telah terdorong
beberapa langkah surut. Namun Mahisa Pukat tidak
kehilangan keseimbangannya. Ia tetap tegak pada kedua
kakinya meskipun agak terguncang sedikit.
Yang sangat terkejut adalah lawannya. Ia sama sekali
tidak menduga bahwa anak muda yang sombong itu memiliki
kekuatan demikian besarnya. Orang itu telah terlempar
beberapa langkah. Bahkan ia tidak lagi mampu bertahan untuk
berdiri t egak. Keseimbangannya tidak saja t erguncang, tetapi
ia sudah terlempar beberapa langkah dan jatuh terguling di
tanah. Namun ternyata ia memang seorang y ang berilmu tinggi.
Demikian ia berguling beberapa kali, maka ia pun telah
melenting berdiri. Kakiny a memang agak g oy ah. Tetapi sekejap kemudian
ia pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Namun Mahisa Pukat tidak m emburunya. Ia memang
memberi kesempatan kepada lawannya untuk sempat
merenungi keadaannya. Selangkah demi selangkah Mahisa Pukat mendekati
lawannya yang wajahnya bagaikan tersengat bara. Sekalisekali
ia memang sempat memperhatikan orang-orang yang
ada di sekitar arena itu. Bahkan ia pun sempat memandang
muridnya yang berdiri termangu-mangu.
"Ternyata kau memang sangat keji terhadap muridmu.
Untuk apa kau mencoba membunuhnya" Jika kau
mendendam kepada ayahnya, kenapa kau sampai sekarang
masih saja memburu anaknya yang tidak bersalah?"
" Ia harus m enanggung beban kesalahan orang tuanya,"
jawab orang itu. "Tetapi apa salah orang tuanya sebenarnya" Jika kau
menyebutnya berkhianat, apa y ang telah dilakukannya?"
bertanya Mahisa Pukat. " Itu adalah persoalan perguruan kami," jawab orang itu.
"Tetapi menilik ilmu y ang kau kuasai, lebih-lebih
caramu menghukum muridmu, maka perguruanmu bukan
suatu perguruan y ang baik. Perguruanmu tentu merupakan
perguruan y ang bersumber pada ilmu sesat."
"Tutup mulutmu. Apa y ang kau ketahui tentang
perguruan-perguruan olah kanuragan" Kau tidak perlu
mengigau sekarang ini. Jangan kau kira, bahwa benturan
kekuatan itu merupakan ukuran peny elesaian pertempuran di
antara kita. Salahku adalah, bahwa aku telah m engendalikan
kemampuanku karena aku tidak mau melihat kau lumat.
Namun ternyata bahwa kau memang memiliki bekal untuk
meny ombongkan diri. Namun jangan berharap bahwa kau
akan dapat keluar dari tempat ini dengan selamat. Aku tidak
akan mengekang diri lagi, karena kau benar -benar tidak tahu
diri," geram orang itu.
Tetapi Mahisa Pukat masih saja tertawa. Katanya,
"Persoalan kita bukan persoalan tahu atau tidak tahu diri.
Persoalan kita ternyata cukup luas, karena m enyangkut masa
depan anak-anak muda. Tentu bukan hanya anak-anak muda
di padukuhan ini." "Karena itu, aku akan membunuh muridku. Persoalan
dengan anak-anak muda padukuhan ini dan barangkali
padukuhan-padukuhan lain akan segera selesai. Aku pun akan
membunuhmu agar kau tidak mengembara dengan
kesombonganmu itu," berkata orang itu.
Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi ia telah bersiap
menghadapi segala kemungkinan.
Ketika Mahisa Pukat melangkah m aju, maka lawannya
itu pun telah mulai m eloncat meny erang. Geraknya tiba-tiba
sa ja menjadi garang. Nampaknya ia sudah m eningkatkan lagi
ilmunya, sehingga kekuatan dan kemampuannya menjadi
semakin tinggi. Tetapi Mahisa Pukat pun belum sampai ke tataran
tertinggi dari ilmunya. Karena itu, maka ia sama sekali tidak
cemas dengan sikap lawannya itu.
Sejenak kemudian, keduanya telah bertempur kembali.
Orang itu nampaknya ingin menyelesaikan anak muda yang
mengaku pengembara itu dengan cepat. Karena itu maka ia
pun telah m elibat Mahisa Pukat dengan ilmunya y ang tinggi
bagaikan angin pusaran. Tetapi Mahisa Pukat tetap tegak bagaikan batu karang
yang tidak dapat digoy ahkan. Bahkan sekali-sekali Mahisa
Pukat telah membalas meny erang dengan t idak kalah
garangnya. Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu
menjadi berdebar -debar. Keduanya saling menyerang, saling
bertahan dan saling mengintai kelemahan lawannya.
Namun akhirnya, beberapa kali Mahisa Pukat berhasil
mengenainya. Ketika ia menghindari serangan kaki lawannya,
tiba -tiba saja ia telah berputar. Tangannya terayun deras,
sehingga diluar perhitungan, tangannya telah menyusup di
sela-sela pertahanan lawannya itu.


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lawan Mahisa Pukat itu tidak sempat menghindar.
Serangan Mahisa Pukat itu telah mengenai rusuknya sehingga
orang itu telah terdor ong beberapa langkah surut. Dadanya
menjadi sesak, sementara tulang rusuknya bagaikan menjadi
retak. Dengan demikian kemarahan orang itu benar-benar
telah sampai ke puncak. Sementara itu ia m enyadari bahwa
anak muda y ang mengaku pengembara itu benar-benar
memiliki kemampuan yang tinggi. Karena itu, maka orang itu
merasa perlu untuk menundukkannya dengan ilmunya.
Dalam pada itu, murid lawan Mahisa Pukat yang telah
mendapat latihan-latihan y ang dengan sengaja disesatkan itu
hampir diluar sadarnya telah memperhatikan unsur-unsur
gerak yang dipergunakan oleh gurunya. Dengan pengamatan
yang saksama, maka ia memang m elihat beberapa perbedaan
dengan unsur-unsur gerak yang diajarkan kepadanya.
Gerakan-gerakan yang mula-mula memang mirip sekali.
Namun kemudian semakin rumit unsur-unsur gerak itu, maka
perbedaannya pun menjadi semakin jauh. Beberapa bagian
dari unsur gerak itu telah terbalik dan bahkan patah-patah.
Satu dua bagian sengaja dihilangkan untuk membuat
gerakannya tidak mengalir utuh. Pada bagian-bagian yang
patah itulah terjadi kelainan pada tubuhnya. Demikian juga
bagian dari unsur gerak y ang sengaja diputar balik.
Sementara keduanya bertempur semakin sengit, maka
Mahisa Pukat masih juga sempat berkata, "Kau lihat
kesalahan-kesalahan pada unsur-unsur gerak y ang diajarkan
kepadamu." Hampir diluar sadarnya pula orang itu menjawab, "Ya,
Aku melihat." "Perhatikan. Kau dapat mengusahakan dengan hati-hati
untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan itu. Aku akan
memancing gurumu untuk bergerak dan mempergunakan
unsur gerak lebih banyak," berkata Mahisa Pukat.
Orang itu mengangguk-angguk sambil menjawab,
"Terima kasih."
Tetapi lawan Mahisa Pukat itu m engumpat. Seandainya
ia m empunyai kesempatan, maka muridnya itu benar-benar
akan dibunuhnya. Namun y ang terjadi adalah sebalikny a. Ia
justru mampu m elihat kesalahan-kesalahan unsur gerak yang
dipelajarinya. Namun dengan demikian maka lawan Mahisa Pukat itu
benar-benar telah mengungkit ilmu kebanggaannya. Kedua
tangannya telah disilangkan di depan dadanya. Sambil berdiri
tegak setelah ia m engambil jarak, maka kedua tangannya itu
pun menjadi bergetar. Kedua tangannya yang bersilang itu
seakan-akan telah memancarkan sinar kemarahan meskipun
hanya lamat-lamat. Kadang-kadang nampak, kadang-kadang
tidak sama sekali. Namun kemudian warna kemerah-merahan
itu telah berubah lagi menjadi keputih-putihan.
Mahisa Pukat termangu -mangu sejenak. Semuanya itu
terjadi dalam waktu singkat, sehingga akhirnya, ketika Mahisa
Pukat menyadari keadaan itu, m aka lengan lawannya sampai
ke ujung jari-jarinya rasa -rasanya telah menjadi keputihputihan,
y ang sekali-sekali masih disaput warna tipis
kemerah-merahan. Mahisa Pukat telah surut beberapa langkah. Sementara
murid lawan Mahisa Pukat itu berteriak, " Ilmu puncak dari
perguruan kami." Tetapi Mahisa Pukat sama sekali tidak gentar. Bahkan
sambil tertawa ia berkata, "Tangan itu seakan-akan berubah
menjadi timah. Aku pernah mengenali ilmu seperti itu. Tetapi
bagiku permainan kanak-kanak seperti itu kurang menarik."
Lawan Mahisa Pukat itu menjadi marah sekali. Ia
dengan garangnya telah meloncat. Tangannya y ang seakanakan
menjadi timah itu terayun menyambar kening. Tetapi
Mahisa Pukat dengan tangkasnya telah mengelak dengan
bergeser kesamping. Namun lawannya tidak merelakannya. Ia telah meloncat
memburu. Namun ia tidak dapat m enjangkau Mahisa Pukat
dengan tangannya y ang menjadi timah itu. Tetapi ia telah
menyerang dengan kakinya y ang mempunyai jangkauan yang
lebih panjang, justru saat Mahisa Pukat berdiri tegak.
Tetapi Mahisa Pukat tidak menghindar. Ia justru
memiringkan tubuhnya dengan kaki renggang. Lututnya
sedikit merendah, sementara sikunya melindungi lambungnya
yang menjadi sasaran serangan lawannya.
Satu benturan yang keras terjadi. Tetapi kaki orang itu
tidak menjadi sekeras timah. Sementara itu kekuatan Mahisa
Pukat telah dikerahkan melawan kekuatan tenaga lawannya.
Akibatnya memang mengejutkan. Lawannya itu telah
terlempar beberapa langkah. Ia sama sekali tidak mampu
mempertahankan keseimbangan, sehingga sekali lagi ia jatuh
terguling. Sementara Mahisa Pukat tergeser selangkah surut.
Namun sekali lagi orang itu dengan tangkasnya
melenting berdiri. Kedua tangannya yang seolah-olah berubah
menjadi timah itu telah terayun-ayun mengerikan.
"Kau benar-benar anak iblis. Sekarang saatnya
membunuhmu telah tiba," geram orang itu.
"Sejak tadi kau hanya berbicara saja. Kenapa tidak kau
lakukan sejak tadi?" sahut Mahisa Pukat.
Telinga orang itu bagaikan tersentuh api. Sambil
menggeram ia telah benar-benar bersiap untuk meny erang
dengan keduatanganya y ang mengeras seperti timah itu.
Orang itu menggeram. Namun ia masih tetap dicengkam
oleh teka -teki y ang tidak terjawab. Kenapa tubuhnya tiba-tiba
sa ja menjadi sangat lemah seperti muridnya y ang telahsalah
melakukan unsur-unsur gerak karena ia memang telah
mengajarinya demikian. Dalam pada itu Mahisa Pukat lah yang berkata kepada
murid lawannya, "Gurumu tidak melakukan k esalahan dalam
tata geraknya. Ia menguasai benar unsur -unsur gerak
sebagaimana ciri perguruanmu. Jika kau cukup tekun
mengamatinya, maka kau akan tahu kesalahan-kesalahan yang
telah kau lakukan atau yang dengan sengaja telah diajarkan
oleh gurumu dan yang kemudian tanpa sadar telah kau
sebarkan kepada anak-anak muda di padukuhan ini atau
barangkali pernah kau lakukan di padukuhan lain."
Orang itu sama sekali tidak menyahut. Ia memang
melihat sekila s-sekilas unsur-unsur gerak y ang berbeda
dengan yang dikuasainya. Karena itu, maka ia pun menyadari
sepenuhnya bahwa gurunya itu m emang benar-benar berniat
jahat kepadanya. Namun orang itu pun m enjadi heran, kenapa gurunya
pun tiba -tiba telah mengalami hal y ang sama sebagaimana
dialaminya. Gurunya itu m enjadi sangat letih dan tenaganya
seakan-akan telah terkuras habis.
Mahisa Pukat y ang seakan-akan mampu membaca
perasaan orang itu berkata, "Tetapi gurumu tidak mengalami
kesulitan pada bagian dalam tubuhnya. Ia hanya letih saja.
Benar-benar letih seperti jika kau m engusung batu beberapa
gerobag seorang diri. Tidak ada serangan y ang dapat merusak
bagian dalam dadanya. Jantungnya tidak akan menjadi
lumpuh dan otaknya tidak akan mengalami pendarahan."
"Kenapa?" tiba-tiba saja orang itu bertanya.
" Ia telah memeras tenaganya tanpa perhitungan," jawab
Mahisa Pukat. "Bohong," geram orang itu, "aku mampu berkelahi
sehari-semalam tanpa berhenti."
"Kenapa tiba -tiba kau k ehilangan tenagamu?" bertanya
Mahisa Pukat yang mengetahui bahwa lawannya tidak
mengetahui bahwa ia mampu menghisap tenaga lawannya
dengan sentuhan-sentuhan.
"Tentu ilmu iblismu," geram orang itu.
Mahisa Pukat tertawa. Ia melangkah mendekati
lawannya. Namun lawannya masih berusaha mengayunkan
tangannya. Tetapi Mahisa Pukat m erendah sehingga tangan
itu sama sekali tidak meny entuhnya. Bahkan orang itu benarbenar
telah kehilangan keseimbangannya sehingga terseret
oleh berat tubuhnya sendiri, sehingga orang itu telah jatuh
tertelungkup. "Lihat," berkata Mahisa Pukat kepada murid lawannya,
"ia benar -benar sudah tidak berday a. Bahkan ia tidak lagi
mampu mempertahankan kehadiran ilmunya, sehingga
tangannya tidak lagi berwarna timah."
Sebenarnyalah, bukan saja wadag lawan Mahisa Pukat
itu sajalah y ang menjadi sangat letih. Tetapi juga nalar
budinya sehingga ia tidak lagi dapat mempertahankan
kekuatan ilmunya yang nampak pada ujud tangannya,
sehingga tangannya telah berubah lagi menjadi tangannya
sewajarnya. Beberapa kali Mahisa Pukat dengan sengaja telah
menyentuh lawannya yang berusaha untuk bangkit. Namun
dengan demikian maka lawannya menjadi semakin lemah,
sehingga ia hampir tidak bertenaga sama sekali.
Mahisa Pukat y ang kemudian juga menanggalkan
kekuatan ilmunya telah memapah lawannya yang tidak
berday a itu ke tangga pendapa. Kemudian meletakkannya
untuk duduk di tangga sambil berkata, "Nah, apa katamu
sekarang?" " Jika kau ingin membunuhku, lakukanlah," geram
orangitu. "Dalam keadaan seperti itu kau masih juga garang,"
berkata Mahisa Pukat, "tetapi sebaiknya kau melihat
keny ataan itu. Kau tidak perlu memerintah aku untuk
membunuhmu. Jika aku ingin melakukannya, aku tentu akan
melakukannya nanti. Tetapi tidak sekarang, karena aku belum
berminat. Aku m asih ingin melihat kau dalam keny ataanmu
sekarang. Kehabisan tenaga. Dengan demikian serba sedikit
kau dapat merasakan bagaimana keadaan muridmu, meskipun
kau masih dalam keadaan y ang lebih baik, karena bagian
dalam tubuhmu tidak terluka. Tetapi jika perlu aku akan dapat
melukai bagian dalam tubuhmu agar kau benar-benar dalam
keadaan sebagaimana muridmu."
Orang itu mengumpat. Katanya, "Bunuh saja aku."
"Tutup mulutmu," bentuk Mahisa Pukat, " sudah aku
katakan. Jika aku ingin, nanti aku akan membunuhmu.
Sekarang biarlah kau merasakan bagaimana yang dirasakan
oleh muridmu." "Aku tidak peduli," teriak orang itu, "bunuh saja aku."
Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun tiba -tiba saja
telapak tangannya telah melekat di dada orang itu sehingga
orang itu mengaduh perlahan. Bahkan ia pun telah jatuh
menelentang karena tenaganya sama sekali tidak m ampu lagi
untuk bertahan meskipun dorongan tangan Mahisa Pukat
tidak dengan sepenuh kekuatannya.
Meskipun demikian, dada orang itu t elah merasa sesak.
Nafasnya menjadi terengah-engah, seakan-akan dadanya telah
terhimpit batu hitam. Untuk beberapa saat Mahisa Pukat membiarkannya.
Namun kemudian ia menarik lengannya sambil menghentak,
"Duduk." Orang itu pun kemudian telah duduk. Tetapi ia benarbenar
telah kehilangan seluruh tenaganya, sementara dadanya
menjadi sakit karena hentakkan tangan Mahisa Pukat yang
menyentuh dadanya. Tidak terlalu keras, karena Mahisa Pukat
hanya mempergunakan sebagian saja dari tenaganya.
"Nah," berkata Mahisa Pukat, "muridmu sekarang ini
juga merasakan sebagaimana kau rasakan. Mungkin lebih
parah. Tetapi y ang kau alami agaknya cukup memadai.
Dengan demikian maka kau tahu akibat dari apa y angpernah
kau lakukan." Orang itu sama sekali tidak menjawab. Sementara itu
Mahisa Pukat berkata pula, "Kau boleh mendendam kepadaku.
Aku dan saudara-saudaraku adalah pengembara. Jika kalian
memang tidak mau menerima kenyataan ini, kau dapat
mencari aku." Orang itu masih tetap berdiam diri.
Dengan demikian maka Mahisa Pukat pun telah
berbicara kepada orang -orang y ang ada di sekitarnya,
terutama anak-anak muda yang telah m engalami kesulitan di
dalam dirinya karena urutan unsur gerak yang tidak m apan
dalam ungkapan ilmu sehingga melukai bagian dalam tubuh
mereka sendiri. Katanya, "Nah, sekarang kalian dapat
beristirahat. Kalian harus benar-benar beristirahat
sepenuhnya sehingga perlahan-lahan kekuatan kalian dapat
pulih kembali." lalu katanya kepada anak-anak muda yang
meronda, "kalian dapat kembali ke tugas kalian. Sementara
kami bertiga akan beristirahat juga, meskipun sisa malam
nampaknya tinggal sebentar."
Para per onda itu pun kemudian telah kembali ke gardu.
Sementara itu anak-anak muda y ang m engalami kesulitan di
dalam diriny a itu telah berjalan tertatih-tatih naik ke pendapa.
"Kalian dapat tidur ny enyak. Tidak akan ada orang y ang
akan mengganggu kalian. Orang yang berhati bengis ini tidak
akan dapat berbuat apa-apa sampai esok. Mudah-mudahan
selama ini merenungi keadaannya, ia sempat melihat cahaya
yang dapat menerangi hatinya, sehingga ia akan mampu
melihat bintik-bintik hitam y ang melekat di hatinya itu,"
berkata Mahisa Pukat. Anak-anak muda yang dalam keadaan letih itu
mempercayainya. Mereka pun telah bersiap-siap untuk
menempatkan diriny a di atas tikar yang mereka bentangkan di
pendapa. Namun dalam pada itu, penunggu banjar itu pun
berkata, "Bukankah kalian belum selesai makan?"
Beberapa orang anak muda termangu -mangu. Tetapi
mereka memang belum selesai makan sementara tubuh
mereka terasa sangat lemah.
"Selesaikan dahulu," berkata Mahisa Pukat, "makanan
itu sudah dimasak dengan susah payah. Jangan kalian siasiakan."
Anak-anak muda itu memang tidak merasa keberatan
sama sekali. Mereka memang masih merasa agak lapar.
Sehingga karena itu maka mereka pun telah kembali kepada
mangkuk mereka masing-masing. Meskipun nasi dan say ur
telah menjadi sangat dingin, tetapi rasa-rasanya mereka ju stru
makan dengan nikmat sekali. Bukan saja karena mereka
memang belum kenyang, namun seakan-akan mereka m erasa
terlepas dari satu kungkungan kewajiban yng sangat berat dan
ternyata menyesatkan.

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahisa Pukat sendiri kemudian telah melangkah
mendekati Mahisa Murti dan Mahisa Semu. Namun ia sempat
bertanya kepada penunggu banjar itu, "apakah kami boleh
tidur di situ saja agar kami tidak usah mengangkat adik kami
ke serambi belakang."
"Silahkan, silahkan," jawab penunggu banjar y ang
mengetahui kelebihan dari anak-anak muda yang mengaku
pengembara itu, "jika kalian tidur di dalam, aku persilahkan
kalian memilih tempat."
Mahisa Pukat menggeleng. Katanya, "Tidak. Aku di sini
sa ja." Penunggu banjar itu tidak minta agar mereka berpindah
tempat lagi. Rasa-rasanya anak-anak muda itu bukan lagi
anak-anak muda yang datang minta belas kasihan untuk
bermalam barang satu malam. Namun bagi penunggu banjar
itu dan juga para peronda, anak-anak muda itu adalah anakanak
muda y ang perkasa. Namun sebelum mereka tidur, Mahisa Pukat sempat
berpesan, "aku minta anak-anak muda yang ikut berlatih olah
kanuragan tidak meninggalkan banjar ini sampai besok."
Permitaan itu membuat orang y ang kehilangan
tenaganya karena ilmu Mahisa Pukat itu menjadi berdebardebar.
Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.
Sementara itu, Mahisa Pukat, Mahisa Murti dan Mahisa
Semu telah berbaring di sebuah amben y ang besar setelah sisa
makan y ang dipergunakan di tempat itu disingkirkan.
Nampaknya mereka tidak mencurigai siapapun lagi,
sehingga karena itu, maka mereka tidak perlu bergantian
berjaga-jaga di sisa malam y ang pendek itu. Apalagi setelah
lampu dipadamkan, sehingga tempat itu memang menjadi
agak terlindung. Tetapi bagaimanapun juga mereka tetap berhati-hati.
Mereka bertiga bersama Mahisa Amping tidur di tengahtengah
amben yang besar, sehingga sentuhan pada amben
bambu itu cukup untuk membangunkan mereka bertiga.
Apalagi mereka bertiga y akin, bahwa mereka tidak akan
mungkin tertidur ny enyak menjelang pagi hari.
Sebenarnyalah mereka hampir tidak tidur sama sekali.
Mereka memang memejamkan mata. Tetapi Mereka tidak
lelap. Pagi benar Mahisa Amping telah bangun. Perlahanlahan
ia duduk, sementara ketiga orang kakak angkatnya
masih berbincang di sebelahnya.
Anak itu tidak tahu apa yang terjadi. Namun ia melihat
beberapa orang tidur di pendapa. Namun para peronda t etap
berada di tempatnya serta mengamati keadaan di seluruh
banjar dan bahkan di padukuhan.
Perlahan-lahan Mahisa Amping turun dari amben.
Tetapi ia tidak melangkah pergi. Ia sudah mengerti bagaimana
harus berhati-hati menghadapi keadaan y ang tidak
diketahuinya dengan pasti.
Namun dalam pada itu, anak-anak muda yang kelelahan,
bahkan orang yang memberikan latihan kepada anak-anak
muda di padukuhan, ternyata telah tertidur ny enyak setelah
mereka merasa kenyang. Silirnya angin malam, kekuatan yang
ditimbulkan oleh makanan y ang mereka makan, minuman dan
gula kelapa serta istirahat yang cukup telah m embuat tubuh
anak-anak muda itu menjadi segar kembali.
Demikian mereka terbangun di pagi hari, maka mereka
sudah m erasa bahwa kekuatan mereka telah tumbuh kembali
meskipun masih belum pulih sama sekali.
Satu-satu mereka pun telah bangkit dan turun ke
halaman. Mereka sudah tahu bahwa mereka diminta untuk
tidak meninggalkan banjar.
Orang y ang memberikan latihan kepada anak-anak
muda itu pun merasa bahwa tubuhnya telah menjadi kuat
kembali meskipun belum seutuhnya. Dengan hati-hati ia mulai
menggerak-gerakkan anggauta badannya. Namun dengan
kesadaran bahwa ia telah mempelajari ilmu dengan cara yang
salah, maka ia tidak lagi bergerak m enurut tatanan ilmunya.
Bahkan ia bergerak asal saja bergerak dan tidak menyakiti
tubuhnya. Tetapi guru orang itulah y ang masih duduk dengan
lemahnya. Ia belum mendapatkan kekuatannya kembali.
Apalagi sepenuhnya. Meskipun ada juga rasa segar menyusup
di urat-urat nadinya, serta kekuatan y ang mulai tumbuh.
Tetapi ia masih terlalu lemah untuk berbuat sesuatu.
Karena itu, maka ia masih saja duduk sambil
memusatkan nalar budi mengatur pernafasannya dan
berusaha untuk memulihkan kekuatannya. Tetapi ternyata
tidak mudah untuk dilakukan. Agaknya ilmu yang khusus
telah menghisap tenaganya sampai habis dan menghambat
tumbuhnya kembali. Dalam pada itu, ketiga orang anak muda y ang
menyatakan diri sebagai pengembara itu pun telah bangun
pula. Satu-satu mereka telah pergi ke pakiwan termasuk
Mahisa Amping. Ketika matahari terbit, maka Mahisa Pukat telah
mintaanak-anak muda yang telah m engalami kesulitan ketika
mengadakan latihan, bahkan bersama orang y ang memberikan
latihan kepada mereka, telah diminta untuk berkumpul di
halaman. "Lihat mereka," berkata Mahisa Pukat kepada orang
yang masih lemah duduk di tangga pendapa, "mereka adalah
korban dari perasaan dendammu yang tidak dapat kau kuasai.
Beranting korban akan menjadi semakin banyak jika tidak
segera dibetulkan. Nah, bersiaplah untuk memberikan
petunjuk bagaimana seharusnya melakukan tata gerak dari
ilmu y ang kau sebarkan itu."
"Aku tidak mampu berdiri," berkata orang itu.
"Sebagian kekuatanmu telah tumbuh kembali. Kau
sudah dapat berdiri dan bergerak," berkata Mahisa Pukat.
"Tidak," jawab orang itu, "aku belum dapat berdiri."
"Pikirkanlah baik-baik," berkata Mahisa Pukat, "masih
ada kesempatan. Anak-anak muda itu akan menunggu
beberapa saat. Mereka telah mendapatkan tenaganya kembali,
meskipun belum seluruhnya. Jika kau tetap menolak untuk
memberikan petunjuk, maka merekalah y ang akan berbuat
sesuatu atasmu. Sama sekali tidak mempergunakan ilmumu.
Mereka akan menganggap diri mereka sama sekali tidak
mengenal olah kanuragan. Mereka akan memukulimu seperti
saat mereka berburu tupai."
Orang itu menggeram. Tetapi ia tidak m ampu berbuat
sesuatu. Sementara anak-anak muda yang telah tertidur
beberapa saat setelah makan itu, telah mampu berloncatloncatan
dan menggerakkan tangannya berputaran di halaman
untuk memanasi tubuh mereka.
" Jawab pertanyaanku," berkata Mahisa Pukat, "kau
bersedia atau tidak. Jika kau bersedia, kau telah m enolong
anak-anak muda yang sesat itu dan dapat melakukan latihanlatihan
y ang benar. Mula-mula kau harus memberikan
petunjuk kepada mereka, terutama kepada muridmu.
Kemudian kau harus mengawasi mereka untuk berlatih
dengan cara yang benar. Sebenarnya hari ini aku harus sudah
melanjutkan perjalanan. Tetapi aku ingin melihat, apa yang
kau lakukan di sini."
Orang itu termangu-mangu. Namun ia t idak dapat
berbuat lain. Apalagi ketika Mahisa Pukat berkata,
"Sebenarnya kau tidak perlu membebani dirimu dengan
dendam y ang berkepanjangan. Kau dapat menempatkan
dirimu pada tempat yang wajar sebagai seorang yang berilmu
tinggi. Ilmu tangan timahmu adalah ilmu y ang jarang dimiliki
orang. Namun agaknya ilmumu itu telah kau salah gunakan."
Orang itu sama sekali tidak m enyahut. Namun tiba-tiba
sa ja Mahisa Pukat m embentak, "Cepat, berdiri sebelum anakanak
itu kehabisan kesabaran."
Dengan susah pay ah orang itu pun telah bangkit berdiri.
Ternyata ia m emang sudah mendapatkan kekuatannya serba
sedikit. Tetapi cukup untuk m elakukan contoh-contoh gerak
dengan perlahan-lahan, tanpa memerlukan dorongan tenaga.
"Nah, kau dapat m ulai sekarang. Terutama kau harus
dapat memberikan contoh tata gerak yang benar kepada
muridmu. Biar m uridmu nanti bersama-sama dengan anakanak
itu melakukannya lebih jauh," berkata Mahisa Pukat.
Orang itu memang tidak dapat membatah lagi. Ia sedang
dalam keadaan lemah, sehingga ia m erasakan satu tekanan,
bahwa ia harus melakukan segala perintah untuk melindungi
dirinya dari tindakan y ang dapat mencelakainya.
Karena itu, maka ia harus memilih jalan yang paling baik
bagi dirinya. Beberapa saat kemudian, maka orang itu telah
memberikan beberapa cont oh gerak y ang telah
diputarbalikkan sehingga m enimbulkan kesesatan. Kemudian
orang itu telah melakukannya, apa y ang seharusnya.
Muridnya memperhatikannya dengan sak sama. Sekalisekali
diluar sadarnya tangan dan kakinya telah bergerak.
Diperhatikannya kesalahan-kesalahan y ang pernah
dilakukannya unsur-unsur gerak itu dengan benar.
Orang itu langsung dapat merasakan, bahwa ia memang
telah melakukan kesalahan untuk waktu yang lama. Namun ia
belum pernah bertemu dan bertempur dengan orang yang
memiliki ilmu y ang tinggi seperti anak muda y ang m engaku
sebagai pengembara itu, sehingga ia harus benar-benar
mengerahkan segenap kemampuannya, sehingga ia merasakan
betapa kesalahan-kesalahan y ang disengaja oleh gurunya itu
membuatnya terlukadibagian dalam. Untunglah bahwa
lawannya bukan seorang yang berniat jahat, y ang justru telah
memberikan beberapa petunjuk kepadanya, sehingga ia telah
terbebas dari kemungkinan yang paling buruk yang dapat
terjadi atasny a karena kesesatan ilmunya itu.
Mahisa Pukat mengamati peragaan itu dengan seksama.
Ia melihat dengan teliti, apakah orang itu telah melakukannya
dengan jujur.Kemampuannya serta pengenalannya atas
berbagai macam olah kanuragan serta setelah ia menekuni
ilmu kanuragan dengan sungguh-sungguh, maka ia akan dapat
melihat seandainya orang itu masih dengan sengaja memutar
balikkan unsur-unsur geraknya.
Tetapi agaknya orang itu merasa, bahwa tidak ada
gunanya lagi baginya untuk melakukannya. Setiap kesalahan
yang dilakukannya tentu akan dapat segera dikenali oleh anak
muda itu, sehingga dengan demikian maka ia memang harus
melakukannya dengan jujur.
Muridnya memang dengan segera menemukan
kesalahan-kesalahan itu. Dengan kemampuannya mengenali
unsur -unsur gerak dari ilmunya yang sesat itu, m aka ia pun
dengan cepat mengenali apa yang seharusnya dilakukannya.
Mahisa Pukat y ang memperhatikan orang itu
memperagakan ilmunya akhirnya mengangguk-angguk.
Dengan nada rendah ia berkata kepada murid orang itu, "Nah.
Kau sudah melihat bagian-bagian yang salah dari sebagian
unsur gerak, justru unsur gerak dasarnya, sehingga dalam
pengembangannya, maka kesalahan-kesalahan itu akan
menjadi semakin berbahaya bagimu. Nah, sekarang, selagi
gurumu ada di sini, kau harus mendapatkannya. Kau sudah
melihat. Lakukan. Gurumu akan menuntunmu sehingga kau
akan menemukan k ebenaran unsur gerak dari ilmu yang kau
tekuni itu. Gurumu harus tinggal di sini sampai kau mampu
menguasai ilmu dengan baik dan benar."
Orang itu nampak ragu-ragu. Sementara Mahisa Pukat
berkata, "Kau tentu tidak berani memaksa gurumu
melakukannya. Tetapi ia harus melakukannya sebagai tebusan
atas kekejaman yang pernah dilakukan. Jika gurumu tidak
mau menuruti permintaanmu itu, maka akau akan
memaksanya." Orang itu m enarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak
berkata apa-apa. Sementara itu gurunya memang m erasakan
dirinya benar-benar sudah dikuasai oleh anak muda itu,
sehingga rasa-rasanya anak muda itu akan dapat berbuat apa
sa ja atasnya. Tetapi dalam pada itu, di dalam hatinya memang mulai
terbersit pengakuan, bahwa ia m emang bersalah. Selama ia
berkeliaran mengamati muridnya yang memang
dijerumuskannya itu, dan bahkan hampir tidak sabar
menunggu kapan muridnya itu terpukul oleh ilmunya sendiri.
Ia belum pernah bertemu dengan orang y ang benar-benar
berilmu tinggi dan mampu mengalahkannya, bahkan
menguasainya sepenuhnya, sehingga rasa-rasanya untuk
membunuh diripun ia tidak mendapat kesempatan sama
sekali. Demikianlah, maka orang y ang telah mengalami
kesesatan itu telah memanfaatkan keadaan itu sebaik-baiknya.
Ia telah mencoba dan mencoba, sekali-sekali menirukan
gurunya yang harus mengulang dan mengulang pada bagianbagian
y ang diputar balikkan itu, sehingga ia menemukan
dasar dari kesalahan-kesalahan itu.
Dengan demikian, maka ketika ia melakukan latihanlatihan
berikutnya, tubuhnya tidak lagi merasakan hambatan
yang dapat menyakiti bagian dalam tubuhnya. Meskipun ia
kemudian melakukannya dengan menghentakkan seluruh sisa
tenaganya y ang memang belum pulih kembali, maka rasarasanya
bagian dalam tubuhnya tidak lagi terhentak-hentak.
Tetapi agaknya dalam sehari, ia masih belum dapat
membersihkan diri seluruhnya dari kesalahan-kesalahan itu.
Masih ada bagian-bagian yang harus mendapat perhatian
lebih banyak, sehingga karena itu, maka agaknya gurunya pun
tidak akan dapat meninggalkan banjar itu.
Sementara itu, anak-anak muda yang juga m engalami
kesesatan latihan harus tinggal di banjar itu pula sehariharian.
Tetapi karena mereka menyadari kepentingannya,
maka mereka-pun melakukannya dengan telaten.
Ada beberapa orang tua di antara m ereka y ang datang
menyusulnya, karena hati mereka merasa kurang enak karena
anaknya sehari-harian tidak pulang. Tetapi setelah mereka
mendapatkan penjelasannya seperlunya, maka mereka pun
justru membiarkan anak-anak mereka untuk tetap berada
dibanjar. "Untunglah bahwa ada orang y ang sempat melihat
kesalahan jika tidak, maka anakku tentu akan mati. Lambat
atau cepat." Namun dalam pada itu, maka perjalanan anak-anak


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

muda y ang mengaku pengembara itu telah terhambat lagi.
Mereka harus menunggu sedikitnya sampai esok lagi, sehingga
mereka akan bermalam di banjar itu dua malam.
Tetapi mereka tidak dapat berbuat lain.
Sementara itu penunggu banjar y ang baik itu telah
berkata kepada anak-anak muda pengembara itu, "Tinggallah
di sini sampai kapan pun. Aku akan meny ediakan makan bagi
kalian berempat." "Terima kasih Ki Sanak," sahut Mahisa Murti.
Ia percaya bahwa penunggu banjar itu benar-benar
memberikan dengan ikhlas. Bahkan anak-anak muda yang
sedang berusaha memperbaiki diri mereka itu pun telah
mendapat makan dari penunggu banjar itu, meskipun ia harus
mengambil beras dari lumbung padukuhan.
Orang yang harus memperbaiki kesalahannya itu hanya
mendapat waktu-waktu istirahat yang pendek. Muridnya
selalu m empersilahkannya mulai lagi. Ia m erasa ingin segera
bebas dari belenggu kesalahan y ang dapat mematikannya itu.
Orang y ang telah memutar balikkan ilmu y ang
diturunkannya itu tidak dapat menolak meskipun tubuhnya
masih terasa sangat lemah. Namun semakin lama, betapapun
ia bergerak terus, namun kekuatannya memang terasa
berangsur kembali. Bahkan kemudian ia y akin, bahwa malam
berikutnya, ia akan pulih kembali.
Tetapi orang itu masih saja berpura-pura merasa sangat
letih. Bahkan ketika ia memberikan beberapa peragaan
tentang ilmunya, ia telah terhuyung-huyung. Hampir saja ia
terjatuh. Namun dengan susah payah ia dapat menahan
dirinya sambil berpegangan sebatang pohon turi.
Muridnya yang menganggap bahwa gurunya benarbenar
m asih sangat letih, telah menunggunya beberapa saat,
sampai gurunya itu mampu berdiri tegak dan kembali
menunjukkan peragaan tentang kesalahan-kesalahan dalam
urutan unsur-unsur gerak ilmunya.
Tetapi diluar dugaan, Mahisa Pukat mendekatinya dan
berbisik sehingga tidak didengar oleh orang lain, "jangan
memperbodoh aku. Kau sudah menjadi kuat kembali. Bahkan
hampir pulih sama sekali. Kekuatan ilmuku memang tidak
sama bagi setiap orang. Ternyata kau memiliki day a tahan
yang sangat tinggi, sehingga kekuatanmu telah hampir pulih
kembali." Orang itu menggeram. Tetapi tangan Mahisa Pukat telah
mencengkam lengannya dan menariknya. Adalah diluar
sa darnya bahwa orang itu tidak begitu saja menurut.
"Nah, aku yakin sekarang," berkata Mahisa Pukat,
"kekuatanmu telah m enjadi semakin mendekati utuh. Karena
itu, kau harus memberikan beberapa peragaan yang lebih
mantap karena kau agaknya tinggal semalam ini berada di
banjar ini, meskipun aku dapat menahanmu lebih lama lagi."
Orang itu mengumpat dalam hati. Tetapi ia tidak
membantah. Ia memang berusaha untuk pada suatu saat jika
ia berada di luar pengamatan anak-anak muda y ang mengaku
pengembara itu, ia akan mencoba meninggalkan banjar itu. Ia
yakin tidak seorang pun bahkan bersama-sama sekalipun,
anak-anak muda dan muridnya itu y ang akan dapat
mencegahnya. Tetapi ternyata anak muda y ang mengaku
pengembara itu tahu, bahwa ia sekedar berpura-pura.
Beberapa saat kemudian maka muridnya telah minta
kepada orang itu untuk menilik anak-anak m uda yang telah
terlanjur ikut tersesat itu, agar mereka pun mengerti, apa yang
harus mereka lakukan untuk memperbaiki diri.
Namun bagi Mahisa Pukat, y ang terpenting adalah
muridnya itu lebih dahulu, karena ia akan dapat membantu
anak-anak muda y ang lain mengurai kembali ilmu yang
terlanjur mereka serap. Ternyata anak-anak muda itu telah memanfaatkan
waktu sebaik-baiknya. Baru k etika malam turun dan m enjadi
semakin lama semakin dalam, maka anak-anak muda itu
mengakhiri usahanya untuk memperbaiki kesalahankesalahan
mereka. "Kita dapat beristirahat," berkata orang yang hampir
menjadi korban kekejaman gurunya sendiri itu, "aku minta
maaf, bahwa aku telah membuat kalian hampir mengalami
nasib buruk seperti aku sendiri. Untunglah bahwa semuanya
itu belum terlanjur."
Gurunya mendengarkan muridnya berbicara di hadapan
anak-anak muda itu dengan gelisah. Namun ia pun kemudian
telah duduk di tangga pendapa.
Sementara itu Mahisa Pukat y ang juga bermalam lagi di
banjar itu, telah mendekatinya dan duduk disampingnya.
"Kekuatanmu sudah pulih kembali," berkata Mahisa
Pukat. Namun ia pun kemudian bertanya, "Apakah kau akan
segera pergi?" "Tidak," jawab orang itu, "aku akan menunggui muridku
sampai ia benar-benar menjadi baik."
"Terima kasih," jawab Mahisa Pukat sambil memijit
lengan orang itu. Tidak begitu keras. Namun seakan-akan
getaran tenaga orang itu telah mengalir dari segala ujung
rambutnya dan lubang-lubang kulitnya ke arah sentuhan
tangan anak muda itu. Tetapi Mahisa Pukat segera melepaskannya. Namun
orang itu telah menyadari sepenuhnya, bahwa tenaganya tentu
sudah disusut kembali oleh anak muda itu.
Dengan demikian maka baginya tidak ada jalan untuk
menghindari atau bahkan menolak setiap perintah y ang keluar
dari mulut anak muda itu. Ia menyadari, bahwa ilmu yang
sangat khusus itu, jika dikehendaki, akan dapat menghisap
seluruh tenaganya, sehingga ia akan terkapar dengan
lemahnya. Demikian lemahnya sehingga jantungnya tidak lagi
mampu menekan darahnya untuk mengalir ke segenap
tubuhnya, sehingga akhirnya ia-pun aka mati lemas.
Karena itu, maka ia hanya dapat m enyesali diri sendiri,
kenapa ia telah bertemu dengan orang yang berilmu aneh itu.
Ia merasa bahwa ilmu tangan timahnya akan dapat
menyelesaikan segala-galanya. Namun ternyata ia tidak
mampu menghadapi ilmu orang y ang aneh itu.
Sementara itu, maka Mahisa Pukat pun kemudian
berkata kepada orang itu, "beristirahatlah agar besok pagi-pagi
kau sudah mendapatkan tenagamu lebih banyak lagi. Kau
harus mulai lagi dengan memperbaiki kesalahan-kesalahan
yang telah kau lakukan dengan memutar balikkan unsur-unsur
gerak yang kau ajarkan kepada muridmu itu. Ternyata ia
adalah seorang y ang cerdas, sehingga ia hampir dapat
memperbaiki semua kesalahannya dalam satu hari. Namun
memang mustahil untuk melakukannya."
Orang itu tidak menjawab. Namun ia pun harus
beristirahat serta tidak menolak untuk makan.
Anak-anak muda y ang sehari -harian berada di banjar itu
pun telah mendapat kesempatan untuk pulang. Keadaan
mereka sudah menjadi lebih baik. Sehingga mereka dapat
berjalan ke rumah masing-masing.
Keluarga mereka pada umumnya memang menjadi
cemas. Tetapi anak-anak muda itu sempat menerangkan apa
yang telah t erjadi sehingga keadaan mereka tidak perlu
dicemaskan. "Tetapi seandainya anak-anak muda yang mengaku
sebagai pengembara itu tidak singgah di banjar, entahlah.
Mungkin dalam waktu sepuluh hari lagi, kami sudah menjadi
lumpuh." Orang tua mereka tidak tahu dengan tepat apa y ang
diterangkan oleh anaknya, karena mereka tidak pernah belajar
olah kanuragan. Tetapi mereka dapat menangkap maksud
anaknya yang mengatakan bahwa mereka berada dalam
bahaya. Namun sudah dibebaskan oleh anak muda yang
mengaku sebagai pengembara.
"Besok kami harus kembali ke banjar," berkata anakanak
muda itu kepada keluarganya.
Keluarganya tidak mencegahnya, karena hal itu akan
menambah kebaikan bagi anak-anak mereka.
Malam itu semuanya beri stirahat dengan tenang. Namun
ketiga anak muda y ang m enompang bermalam di banjar itu
telah mengatur diri sehingga ada di antara mereka yang
berjaga-jaga setiap saat, meskipun mereka menganggap bahwa
malam itu, mereka tidak akan terganggu seperti malam
sebelumnya. Pagi-pagi benar ketiganya sudah bangun. Demikian pula
Mahisa Amping. Ketika mereka selesai berbenah diri, m aka
satu dua anak -anak muda padukuhan itu mulai berdatangan.
Mahisa Pukat y ang melihat keadaan orang yang telah
menyesatkan muridnya itu m endapatkannya duduk di sudut
pendapa sambil meny ilangkan tangannya di dada. Nampaknya
ia sedang memusatkan nalar budinya dan mengatur jalan
pernafasannya untuk mendapatkan keadaan yang terbaik bagi
wadagnya. Mahisa Pukat memang menunggu sejenak. Baru
kemudian, setelah orang itu selesai dengan samadinya, Mahisa
Pukat telah menyapanya, "Bagaimana keadaanmu sekarang"
Nampaknya sudah jauh lebih baik. Dengan samadi kau
mendapatkan kejernihan penalaran dan perasaan. Namun
juga kesegaran badani. Apakah kekuatanmu sudah hampir
pulih kembali?" Orang itu tidak dapat ingkar. Katanya, "Ya. Hampir
pulih. Tetapi belum pulih seutuhnya."
"Bagus. Jika demikian kau dapat m emberikan latihan
sebaik-baiknya kepada muridmu. Jika hari ini semuanya dapat
dibersihkan, maka tugasmu selesai," berkata Mahisa Pukat.
Namun ia berkata selanjutnya, "Tetapi jika kemudian kau
datang lagi untuk berbuat jahat terhadap muridmu, maka
kami, bahkan perguruan kami, akan menyatakan perang
terhadap perguruanmu. Bagaimanapun kau bersembunyi,
tetapi kami akan dengan mudah menemukan perguruan
tangan timah, sehingga kami akan dapat menghancurkan
perguruanmu. Ada atau tidak ada kau di sana."
"Satu tantangan y ang sangat sombong," berkata
orangitu. "Aku berkata sebenarnya," berkata Mahisa Pukat,
"berapapun besarnya perguruanmu, t etapi kau tidak akan
mampu bertahan jika kami datang."
Orang itu tidak m enjawab lagi. Ia menyadari kebesaran
ilmu anak muda itu. Jika beberapa orang dengan ilmu seperti
mereka, apalagi bersama dengan gurunya, maka tentu akan
merupakan kekuatan yang tidak akan terlawan oleh
perguruannya. Demikianlah, m aka sejenak kemudian, ketika matahari
mulai terbit, maka latihan-latihan pun telah dimulai lagi.
Orang itu benar-benar telah melakukan apa y ang seharusnya
dilakukan. Dengan demikian, maka muridnya pun benarbenar
telah mendapatkan unsur-unsur gerak yang sebenarnya.
Ternyata dua hari itu telah cukup buat m uridnya y ang
sebenarnya cukup cerdas itu.
Dengan demikian, maka menjelang malam, maka
muridnya itu pun telah dapat berlatih seorang diri dengan
mempergunakan unsur-unsur gerak y ang benar. Sementara
gurunya y ang telah meny esatkan itu hanya mengawasinya
sa ja. "Nah," berkata orang itu kemudian setelah ia yakin,
bahwa ilmunya telah mendapatkan arah y ang benar,
"giliranmu untuk bersama-sama dengan anak-anak muda
padukuhan ini berlatih."
Tetapi Mahisa Pukat m encegahnya. Katanya, "Kau akan
menjadi terlalu letih. Kau dapat mulai besok pagi-pagi
bersama anak-anak muda itu. Selama ini mereka telah
menyaksikan kau memperbaiki unsur-unsur gerakmu,
sehingga mereka telah m endapat gambaran, apa yang akan
mereka lakukan. Apalagi mereka adalah anak-anak muda
penghuni padukuhan ini, sehingga mereka tidak t erlalu
tergesa -gesa." "Dengan cara ini, aku tidak merasa letih sama sekali.
Meskipun keringatku mengalir sehingga seperti baru saja
mandi, tetapi aku justru merasa segar," berkata orang itu.
"Kau jangan memaksa diri. Meskipun akibatnya tidak
akan parah sebagaimana sebelum kau temukan unsur-unsur
yang benar, namun melepaskan tenaga yang berlebihan tetap
kurang baik bagi wadagmu," jawab Mahisa Pukat.
"Baiklah," berkata orang itu, "biarlah besok anak-anak
muda itu berlatih pagi-pagi sekali bersama aku. Aku
bertanggung jawab atas kesalahan-kesalahan y ang terjadi pada
diri mereka. Malam ini biarlah mereka beristirahat di
pendapa." "Kenapa di pendapa?" bertanya Mahisa Pukat, "biarlah
mereka kembali ke rumahnya, masing -masing. Bukankah
rumah mereka tidak lebih dari padukuhan ini?"
"Oo," orang itu mengangguk-angguk. Katanya
kemudian, "Ya. Sebaiknya m ereka m emang pulang ke rumah
masing-masing. Sehari-harian mereka sudah berada di sini.
Tetapi besok pagi-pagi mereka harus sudah berada di sini."
"Mereka tidak sempat bekerja di sawah atau di m ana
sa ja mereka biasa bekerja," berkata Mahisa Pukat.
"Tetapi hanya satu dua hari ini. Dengan demikian maka
persoalan akan segera selesai, sehingga aku tidak lagi m erasa
dibebani oleh kesalahan y ang sangat mendasar itu," jawab
orang itu. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ternyata orang itu
mempunyai tanggung jawab yang besar atas kesalahan yang
pernah dibuatnya. "Terserah kepada kalian," berkata Mahisa Pukat, "besok
pagi-pagi, kami sudah akan meninggalkan banjar ini."
"Besok pagi-pagi?" orang itu terkejut, "tidak. Kalian
masih akan berada di banjar ini untuk satu dua hari lagi."
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Dengan heran ia
bertanya, "Kenapa bahwa aku masih harus berada di banjar ini
satu dua hari lagi?"
"Aku akan menyelesaikan tanggung jawab dahulu,"
jawab orang itu. "Bukankah kau dapat melakukannya tanpa aku" Kau
sudah menemukan unsur-unsur gerak yang benar itu. Untuk
apa aku masih harus berada di sini?" bertanya Mahisa Pukat.
Hampir diluar sadarnya orang itu berpaling kepada
gurunya y ang duduk di pendapa. Katanya, "Orang itu akan
dapat berbuat sekehendaknya di sini. Yang sudah aku perbaiki


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan dirusaknya kembali. Dan umurku pun tentu hanya akan
sampai esok." "Tidak," jawab Mahisa Pukat, "ia tidak akan berbuat
apa-apa lagi meskipun kekuatan dan kemampuannya nanti
pulih sepenuhnya." "Seandainya orang itu benar-benar tidak akan berbuat
apa-apapun aku minta kalian m enunggu aku. Aku ingin ikut
bersama kalian. Jika kalian benar -benar pengembara, m aka
aku ingin menompang untuk mendapatkan pengalaman di
perjalanan," berkata orang itu kemudian.
Mahisa Pukat menggeleng. Katanya, "Tidak mungkin.
Aku sudah berada dalam perjalanan kembali ke padepokan."
"Aku akan ikut ke padepokanmu. Aku akan m emasuki
perguruanmu," jawab orang itu dengan sungguh-sungguh.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
katanya, "Aku tidak sendiri. Aku harus berbicara dengan
kedua orang saudaraku."
"Aku mohon," desis orang itu.
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya, "Kau dapat menyuruh anak-anak muda itu
kembali ke rumahnya seandainya besok pagi-pagi mereka
harus sudah di sini pula. Kau pun harus mengingat tenaga
penunggu banjar ini bersama beberapa orang pembantunya
yang harus menyiapkan makan sedikitnya dua kali. Jika anakanak
itu bermalam di sini, maka penunggu banjar itu harus
menyediakan mereka makan sekali lagi."
"Para peronda itu juga makan di tengah malam," jawab
orang itu. "Tetapi jumlah mereka terbatas," desis Mahisa Pukat.
Orang itu mengangguk-angguk. Namun ia pun telah
mengumumkan kepada anak-anak m uda yang sudah sehariharian
berada di banjar seperti sehari sebelumnya untuk
pulang ke rumahmereka. "Siapa y ang ingin mendapat pembetulan dari unsurunsur
gerak yang sesat itu, aku minta besok datang pagi-pagi,"
berkata orang itu. Wajah anak-anak muda itu sudah tidak murung lagi.
Mereka sudah mendapatkan satu key akinan bahwa keadaan
mereka tentu akan berangsur baik. Bahkan m ereka berharap
akan mendapat tuntunan y ang benar dan meningkat lagi.
Sepeninggal anak-anak muda itu, maka di banjar
tinggallah anak-anak mudayang m eronda, y ang justru tidak
ikut dalam latihan-latihan itu. Beberapa orang anak muda itu
justru merasa beruntung bahwa mereka tidak mengalami
kesulitan didalam diri mereka.
Sementara itu, ketika orang yang memberikan latihanlatihan
kepada anak -anak muda pedukuhan tanpa m enyadari
bahaya y ang mencengkamnya itu telah beristirahat, maka
Mahisa Pukat tidak segera mendatangi Mahisa Murti. Tetapi ia
lebih dahulu mendekati orang yang memiliki ilmu tangan
timah itu. Ketika ia duduk disampingnya, maka orang itu pun
berkata, "Agaknya kau m asih merasa perlu untuk menyusut
kekuatanku lagi." Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, "Kali ini tidak. Kau
dapat memiliki kembali kekuatanmu besok. Mungkin hampir
utuh jika kau sempat melakukan samadi dan berhasil
menguasai pernafasan dan peredaran darahmu secara wajar.
Besok kau sudah dapat m eninggalkan tempat ini. Tetapi kau
harus selalu ingat kepada pesanku. Aku sudah berusaha
menahan diri untuk tidak membunuhmu meskipun kau sudah
berniat membunuh muridmu itu y ang akibatnya hampir saja
membunuh banyak orang. Karena itu, maka kau jangan
menambah hutangmu dengan melanggar pesanmu."
"Kenapa kau tidak m embunuhku saja?" b ertanya orang
itu, "bukankah dengan demikian kau yakin bahwa aku tidak
akan dapat melanggar keinginanmu lagi?"
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Memang terpikir untuk melakukannya. Tetapi ternyata niat
itu aku urungkan. Jika aku m embunuhmu, maka yang terjadi
bukan apa-apa lagi. Wajar, seperti kebanyakan orang.
Membunuh karena orang itu dianggap berbahaya dan sudah
berusaha membunuh orang lain. Sedangkan aku ingin
melakukan yang lain. Tidak seperti kebanyakan orang.
Terserah kepadamu, apakah kau dapat menghargai sikapku
atau tidak. Tetapi ingat pesanku. Jika kau tidak menghargai
sikapku, maka seisi padepokan Tangan Timah akan aku
hancur leburkan. Aku akan melakukan justru melampaui
tindakan y ang diambil oleh orang-orang kebanyakan."
0oo0dw0oo0 (Bersambung ke 75 ) Conv ert/Pr oofing: Ki Raharga
Rechecking/Editing: Ki Arema
Pdf ebook : HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 75 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari
/ Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 075 ORANG itu sama sekali tidak m enjawab. Sementara itu,
maka Mahisa Pukat pun berkata, "Aku akan beristirahat."
Demikianlah, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa
Semu telah beristirahat. Namun mereka seperti biasanya telah
membagi waktu untuk tetap berjaga-jaga. Apalagi orang
bertangan timah itu sudah memiliki kekuatannya yang hampir
utuh kembali. Tetapi ternyata m alam itu ia tidak berbuat apa-apa. Ia
justru duduk bersamadi untuk mendapatkan kekuatannya
kembali, sehingga karena itu, ketika matahari terbit dipagi
hari berikutnya, maka rasa-rasanya kekuatannya telah pulih
seutuhnya. Namun demikian orang itu tidak dengan tergesa -gesa
meninggalkan banjar sebelum anak-anak muda yang mengaku
pengembara itu mendatanginya. Ia justru menunggu dan
berniat untuk minta diri.
Sementara itu muridnya telah bangun pula dan bersiapsiap
menunggu anak-anak muda padukuhan itu. Tetapi ia
merasa cemas juga bahwa gurunya nampaknya telah pulih
kembali. Mahisa Pukat, Mahisa Murti dan Mahisa Semu dengan
sengaja ingin melihat, apa y ang akan dilakukan oleh orang
yang semula berniat membunuh muridnya dengan cara yang
sangat keji itu. Tetapi ternyata bahwa ia tidak berbuat apa-apa terhadap
muridnya itu. Bahkan ia tetap berada ditempatnya sambil
menunggu. Ketika satu dua anak-anak m uda padukuhan itu telah
hadir, maka Mahisa Pukat telah mendekati orang yang
memang menunggunya itu. Dengan nada tinggi ia bertanya,
"Bagaimana dengan kau Ki Sanak?"
" Jika aku memang sudah tidak diperlukan lagi, aku akan
mohon diri," berkata orang itu.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya, "Kau harus minta diri kepada banyak orang. Kepada
muridmu, kepada anak-anak muda itu, kepada penunggu
banjar ini dan kepada saudara-saudaraku. Nampaknya anakanak
yang meronda sudah pulang, sehingga kau tidak perlu
minta diri kepada mereka."
Orang itu tidak membantah. Ia memang minta diri
kepada semua orang y ang disebutkan oleh Mahisa Pukat itu.
Sepeninggal orang itu, maka Mahisa Pukat pun telah
mempersilahkan orang y ang telah menemukan unsur-unsur
gerak y ang benar itu berusaha bersama-sama dengan anakanak
muda padukuhan untuk memperbaiki unsur-unsur gerak
mereka. Selangkah demi selangkah, unsur-unsur gerak m ereka
telah dipelajari kembali, sehingga dengan demikian mereka
tidak lagi m elakukan unsur -unsur gerak y ang berbahaya itu.
Namun karena apa yang mereka peroleh juga baru da sarnya
sa ja, maka tingkat itu pulalah y ang dapat mereka bersihkan.
Dengan hati-hati m ereka harus mengenali unsur-unsur
gerak y ang benar itu, sehingga mereka tidak akan terperosok
lagi kedalam kesalahan-kesalahan yang dapat m embahayakan
jiwa mereka. Namun demikian Mahisa Pukat tidak sampai hati untuk
membiarkan orang itu bekerja sendiri. Ia pun ikut
mengawasiny a untuk ikut melihat jika kesalahan itu masih
terjadi, karena mereka sudah terlanjur terbia sa melakukan
unsur -unsur gerak yang salah itu.
Namun ternyata semuanya berjalan lancar. Ilmu y ang
baru dasarnya saja dimiliki oleh anak-anak muda itu, telah
mendapat perubahan-perubahan sebagaimana seharusnya.
Namun dengan demikian, mereka seakan-akan harus mulai
lagi dari unsur yang pertama. Namun dengan cepat mereka
memasuki unsur-unsur berikutnya.
Anak-anak muda itu dengan segera dapat membedakan,
apa yang telah terjadi di dalam diri mereka. Dengan unsurunsur
gerak yang sudah diperbaiki itu, m ereka tidak merasa
tulang-tulang mereka bagaikan retak serta otot-otot mereka
hampir terputus. Meskipun mereka juga merasakan lelah, tetapi tanpa
merasa disakiti oleh geraknya sendiri.
Tetapi ternyata sehari juga tidak cukup. Mereka
memerlukan waktu lebih lama. Karena itu, maka dengan
terpaksa sekali, Mahisa Pukat harus bertahan semalam lagi.
Sementara itu, Mahisa Pukat telah sempat berbicara
khususnya dengan Mahisa Murti. Orang y ang hampir
mengalami cidera karena geraknya sendiri itu, berniat untuk
ikut bersama mereka ke manapun mereka pergi. Mengembara
atau kembali ke padepokan."
"Tetapi orang itu sudah terlalu tua buat kita. Ia tentu
lebih tua dari kita tidak hanya satu dua tahun," berkata Mahisa
Murti. "Tetapi belum terhitung tua," jawab Mahisa Pukat.
"Tetapi kita tidak akan dapat menganggapnya orang itu
sebagai adik kita," jawab Mahisa Murti, "sepantasny a ia
menjadi kakak kita."
"Apa salahnya kita sebut ia dengan kakak?" bertanya
Mahisa Pukat. " Jika ia kita tempatkan sebagai saudara tua kita, maka
kita harus memperhitungkan perbandingan ilmu di antara kita
dengan orang itu. Jika ia kita anggap saudara tua, maka akibat
daripada itu, ia tentu dianggap memiliki lebih dari kita," jawab
Mahisa Murti. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud
Mahisa Murti. Apalagi jika mereka berada dalam satu
perguruan. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun berkata, "Tetapi
bukankah kita tidak harus mengangkatnya m enjadi saudara
kita sebagaimana Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Kita
dapat menganggapnya sebagai kawan kita, atau sahabat kita
atau bahkan paman kita."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, "Memang
mungkin. Jika ia hanya ingin mengikut kita, baiklah. Kita tidak
berkeberatan tanpa menganggapnya sebagai saudara kita.
Atau katakanlah sebagai paman kita."
Mahisa Pukat pun mengangguk-angguk pula. Katanya,
"Nanti aku akan mengatakannya kepadanya. Tolong, kau
beritahu Mahisa Semu agar ia tidak terkejut jika ia tahu hal itu
dengan tiba-tiba." Mahisa Murti mengangguk. Katanya, "Baiklah. Biarlah
aku yang memberitahukan kepadanya."
"Tetapi itu berarti bahwa keberangkatan kita akan
tertunda satu hari lagi," berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun ia pun
kemudian tersenyum. Katanya,"Kita akan sampai ke
padepokan setelah rambut kita ubanan nanti."
Mahisa Pukat pun ter senyum pula. Tetapi ia tidak dapat
berangkat lebih cepat. Ia tidak sampai hati membiarkan anakanak
padukuhan itu belum mendapatkan kepastian bahwa
keadaan mereka cukup baik.
Meskipun hari itu mereka berlatih sampai malam,
tetapibesok mereka masih harus kembali pagi-pagi sekali
seperti hari itu untuk memastikan bahwa m ereka tidak akan
dikenai akibat yang buruk dari kesalahan-kesalahan mereka
atas unsur-unsur gerak yang mereka pelajari.
Di hari berikutnya, pagi-pagi mereka telah berada di
halaman banjar itu pula. Mereka telah mengulangi unsurunsur
gerak yang kemarin m ereka pelajari. Ternyata mereka
menjadi semakin menyadari kesalahan-kesalahan itu dan
semakin memahami unsur-unsur gerak yang seharusnya.
Dengan demikian apa yang mereka pelajari dalam
sepuluh hari sebelumnya, telah dapat m ereka betulkan sama
sekali dalam dua hari itu.
Tetapi anak-anak muda itu menjadi kecewa ketika
mereka tahu bahwa mereka tidak akan mendapatkan lebih
dari itu. Mereka menjadi kecewa ketika orang yang mengajari
mereka itu berkata bahwa ia akan m eninggalkan banjar itu,
bersama dengan anak-anak muda yang mengaku diri m ereka
sebagai pengembara. "Kenapa guru tidak tinggal di banjar ini saja?" berkata
seorang anak muda. Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya,


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan sebut aku guru. Aku merasa malu jika dipanggil guru
di hadapan anak-anak muda y ang berilmu sangat tinggi itu.
Ternyata ilmu mereka bukan saja jauh lebih tinggi dari
ilmuku. Bahkan jauh lebih tinggi dari ilmu guruku. Karena itu,
jangan panggil aku guru. Ternyata aku bukan apa -apa. Bahkan
aku tidak berani menyebut sebagai seseorang yang mengenal
olah kanuragan m eskipun hanya dasarnya, karena aku tidak
tahu bahwa ilmu y ang aku kira dapat aku banggakan itu
adalah ilmu y ang hampir saja m embunuhku. Lebih-lebih lagi
membunuh kalian semuanya."
" Jika demikian biarlah anak-anak muda itu m engajari
kami," teriak seseorang.
" Ia tidak mempunyai waktu untuk tinggal di sini lebih
lama lagi," jawab orang itu.
Tetapi anak-anak muda itu hampir berbareng berteriak,
"Kami mohon. Satu atau dua hari saja."
" Ia mempunyai tugas yang sangat penting," jawab
orangitu. Namun anak-anak muda itu masih berteriak, "Hanya
untuk satu dua hari. Mereka sudah ada di sini dua hari.
Biarlah bertambah dua hari lagi."
Anak-anak muda itu ternyata telah berteriak-teriak
untuk minta mereka tinggal lebih lama lagi.
Orang itu akhirnya tidak tahu bagaimana harus
menjawab, sehingga ia pun telah berkata kepada Mahisa
Pukat, "Silahkan menjawab sendiri Ki Sanak. Aku menjadi
bingung." Mahisa Pukat y ang melihat keinginan y ang melonjaklonjak
di hati anak-anak muda itu memang menjadi bimbang.
Ia tahu bahwa Mahisa Murti ingin m ereka segera berangkat,
berjalan dan sampai k e padepokan. Karena itu, maka ia pun
kemudian berkata kepada anak-anak muda itu, "Tunggulah.
Aku akan berbicara dengan saudara-saudaraku."
Mahisa Murti pun mendengar dan melihat anak-anak
muda y ang berteriak-teriak itu. Namun sebenarnya belajar
olah kanuragan dalam dua hari itu hampir tidak ada artinya
sama sekali. Tetapi persoalannya kemudian adalah, memenuhi
keinginan beberapa orang meskipun hampir hanya sekedar
membuang-buang waktu saja bagi Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Namun Mahisa Murti pun ternyata tidak sampai hati
mengecewakan anak-anak muda itu. Katanya k epada Mahisa
Pukat, "Baiklah. Kita tunda lagi perjalanan kita dua hari."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia pun
kemudian berkata kepada anak-anak muda itu, "Kami telah
sependapat untuk berada di sini dua hari lagi."
Serentak anak-anak muda itu ber sorak. Namun Mahisa
Pukat pun b erkata, "Sebenarnyalah aku ingin berkata dengan
jujur, bahwa bagi olah kanuragan, dua hari adalah waktu yang
hampir tidak berarti sama sekali."
Tetapi anak-anak muda itu tidak menghiraukannya.
Seorang di antara mereka berkata, "Aku sudah memulainya."
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun ia sadar
bahwa keinginan telah menyala-nyala di dada anak-anak
muda itu. "Besok pagi-pagi kita akan mulai. Untuk menghemat
waktu, aku minta kalian sudah memanasi kalian sebelumnya.
Di dini hari kalian harus sudah bangun. Kemudian berlari -lari
mengelilingi padukuhan ini beberapa kali agar darah kalian
menjadi hangat. Kemudian pada saat matahari terbit kita akan
mulai dengan latihan-latihan sekedarnya."
Tetapi Mahisa Pukat tidak hanya menawarkan
kesempatan itu kepada anak-anak muda y ang telah ikut dalam
latihan-latihan sepuluh hari y ang salah langkah itu, tetapi ia
juga memberi kesempatan kepada anak-anak muda y ang lain
yang memang berniat untuk bersama-sama melakukan
latihan-latihan sekedarnya dalam dua hari."
Malam itu ternyata m asih tersisa, sehingga anak-anak
muda padukuhan itu, serta semua pihak masih mendapat
kesempatan untuk beristirahat. Demikian pula anak-anak
muda yang mengaku pengembara itu, m eskipun kesempatan
mereka menjadi lebih sempit karena ada di antara mereka
yang harus berjaga-jaga. Pagi-pagi benar, Mahisa Pukat telah siap. Mahisa Murti
ternyata tidak sampai hati membiarkannya bekerja keras
sendiri. Karena itu, maka ia pun telah bersiap pula, sementara
Mahisa Semu harus mengurusi Mahisa Amping.
Menj elang matahari terbit, maka anak-anak muda telah
berdatangan. Kulit m ereka telah basah oleh keringat, karena
mereka telah berlari-lari mengelilingi padukuhan itu beberapa
kali. Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat-pun dapat langsung memulainya. Mereka telah
membagi kelompok anak-anak muda itu menjadi dua
kelompok y ang lebih kecil dan m embagi halaman banjar itu
menjadi dua. Mahisa Pukat dan sekelompok anak-anak muda
ada di depan, sementara Mahisa Murti dengan kelompok yang
lain ada di kebun belakang banjar.
Kedua anak muda y ang mengaku pengembara itu sudah
sepakat, bahwa sebagian besar y ang mereka berikan adalah
petunjuk-petunjuk, bagaimana mereka harus berlatih olah
kanuragan. Keduanya memang sempat memberikan unsur
gerak dasar yang harus dilakukan dan dikuasai benar-benar
oleh anak-anak muda itu. Kemudian Mahisa Pukat dan Mahisa
Murti memberikan kemungkinan-kemungkinan
pengembangannya dalam memberikan beberapa cont oh.
"Selanjutnya lebih banyak tergantung kepada kalian
semuanya," berkata Mahisa Murti kepada anak-anak muda,
sebagaimana y ang juga dikatakan oleh Mahisa Pukat,
"seseorang y ang cerdas dan cermat serta rajin dan tekun, akan
dapat m engembangkannya sendiri dengan cepat. Sementara
yang malas dan tidak mau berpikir, ia akan ketinggalan.
Dalam waktu sebulan nanti, sudah akan kelihatan tingkattingkat
kemampuan kalian. Namun aku minta, siapa yang
berhasil, mohon kawan-kawannya dapat dituntun dengan
baik." Demikianlah, dalam dua hari itu, siang dan malam,
anak-anak muda padukuhan itu mendapatkan beberapa
petunjuk arah y ang harus mereka lakukan dalam
pengembangan dasar-dasar ilmu yang mereka kuasai. Cara
menggerakkan tangan dan kaki, serta mengembangkannya.
Pokok-pokok persoalan dalam benturan kekerasan
disesuaikan dengan penguasaan tubuh m ereka serta latihanlatihan
day a tahan, sebagaimana mereka lakukanpagi itu.
Sementara itu menurut pengamatan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat, ternyata bahwa Wantilan sebenarnya memiliki
landasan y ang kuat untuk memperdalam ilmunya. Ia memiliki
tenaga yang besar, ketahanan tubuh y ang tinggi, y ang ditempa
oleh kesalahan dari unsur gerak ilmunya sendiri serta
kecerdasan berpikir menghadapi persoalan-persoalan yang
tiba -tiba saja harus dihadapi.
Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
berharap bahwa orang itu masih akan dapat menjadi semakin
maju di hari-hari mendatang.
Seperti y ang dijanjikan, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat pun telah m enuntunnya pula, memberikan dasar ilmu
dari perguruannya yang dengan sangat berhati-hati dianyam
dengan ilmu yang sudah dimiliki oleh orang itu, agar tidak
menimbulkan persoalan-per soalan baru di dalam tubuhnya
karena benturan ilmu yang tidak mapan.
Ternyata, akibatnya memang mengejutkan. Bahwa
Wantilan tidak mati karena ilmunya sendiri telah
menunjukkan betapa kuatnya day a tahan tubuhnya. Betapa
kuat tenaganya telah ternyata pula, bahwa ia mampu
memecahkan hambatan-hambatan y ang terdapat dalam
unsur -unsur geraknya y ang dengan sengaja dibuat salah dan
sal ing terbalik susunannya.
Ketika semuanya itu teratasi dengan unsur -unsur gerak
yang benar serta petunjuk-petunjuk Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat untuk memasukkan unsur-unsur baru yang dapat
melengkapi unsur-unsur geraknya sendiri, m aka terjadi satu
loncatan panjang peningkatan ilmunya, sehingga Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat sendiri terkejut karenanya.
"Luar biasa," desis Mahisa Pukat, "ia memiliki sesuatu
yang tidak dimiliki oleh kebanyakan orang."
" Justru karena ia terbiasa mengalami kesulitan dari
setiap geraknya. Ketika hal itu dibebaskannya, maka ia
menjadi orang yang luar bia sa," sahut Mahisa Murti.
"Mudah-mudahan ia sempat mencapai tataran tertinggi
sehingga bersama-sama dengan Mahisa Semu akan dapat
menjadi andalan bagi para cantrik di padepokan kita," berkata
Mahisa Pukat. "Kita berharap saja," desis Mahisa Murti.
Namun perjalanan mereka ternyata masih juga harus
terhambat. Adalah diluar dugaan, bahwa ketika mereka berada
di sebuah kedai, dua orang yang datang kemudian telah
memperhatikan Wantilan dengan saksama, sementara
Wantilan sendiri agaknya tidak memperhatikan keduanya,
karena ia justru menghadapi nasi y ang masih panas.
"Kenapa orang itu belum mati," desis seorang di antara
mereka. "Menurut perhitungan Guru, orang itu harus sudah
mati," sahut y ang lain.
"Ternyata ia tidak menempuh petualangan sepenuhnya
sebagaimana diperintahkan oleh Guru, sehingga ia belum
pernah menemukan lawan yang berilmu cukup tinggi,
sehingga ia terbunuh jika tidak oleh lawannya juga oleh
ilmunya sendiri," desis orang yang pertama.
"Kita akan menyampaikannya kepada Guru, bahwa
Wantilan ternyata masih hidup. Kita harus mencari Guru yang
sudah agak lama meninggalkan padepokan," berkata
kawannya. "Kita pun sudah agak lama pergi, hampir bersamaan
dengan Wantilan itu," sahut orang y ang pertama. Namun
kemudian katanya, "Kenapa kita harus melaporkannya kepada
Guru. Kita dapat menyelesaikannya sekarang. Kita tantang
orang itu bertempur. Maka ia akan mati sendiri jika ia
melepaskan ilmunya semakin meningkat pada tataran yang
semakin tinggi." Kawannya mengerutkan keningnya. Namun kemudian
sambil ter senyum ia berkata, "Satu pendapat y ang bagus.
Besok jika kita bertemu dengan Guru, kita akan
memberitahukannya bahwa Wantilan telah mati. Ia telah
menjalani hukuman atas kesalahan ayahnya."
Keduanya mengangguk-angguk. Namun orang y ang
pertama berkata, "Biarkan saja ia menikmati makannya
dahulu. Baru kemudian ia akan m ati. Kita pun akan makan
lebih dahulu." Kedua orang itu ternyata masih sempat juga
memesan makan dan minum, sementara mereka dengan
sengaja tidak menarik perhatian Wantilan.
Tetapi tanpa sengaja, Wantilan telah berpaling ke arah
mereka. Ia pun terkejut ketika dilihatnya dua orang saudara
seperguruannya. Tiba-tiba saja ia berdiri dengan wajah
gembira. "He, kau?" desis Wantilan.
Kedua orang itu pun tertawa pula. Tanpa m enimbulkan
kecurigaan keduanya pun telah menyapa Wantilan yang
mendekatinya sambil berkata kepada anak-anak muda yang
bersamanya, "Keduanya adalah saudara seperguruanku."
Mahisa Murti, dan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu pun
telah mengangguk hormat. Namun di dalam hati mereka telah
timbul satu persoalan tentang kedua orang saudara
seperguruan Wantilan itu. Apakah keduanya juga mengalami
nasib seperti Wantilan, atau justru sebaliknya keduanya
menjadi alat gurunya untuk melakukan sesuatu atau keduanya
sama sekali tidak tahu apa y ang terjadi atas diri Wantilan.
Beberapa saat lamanya, Wantilan masih bercakap-cakap
dengan kedua orang saudara seperguruannya itu, yang
sikapnya semakin lama menjadi semakin dingin.
Tetapi Wantilan tidak begitu memperhatikan perubahan
sikap kedua orang saudara seperguruannya itu. Ia masih saja
bersikap sewajarnya. Namun sekali-sekali ia tidak mengatakan
apa yang telah terjadi atas dirinya dan sikap gurunya
kepadanya. Namun dalam pada itu, seorang di antara kedua saudara
seperguruannya itu pun bertanya, "Apa kerjamu di sini
Wantilan?" Wantilan mengerutkan keningnya. Namun ia pun
kemudian menjawab, "Bukankah guru memerintahkan aku
untuk mencari pengalaman dan mengembara kemanapun
juga" Dengan demikian aku akan mendapat kesempatan untuk
mengembangkan ilmu kanuraganku."
"Apakah hasil pengembaraanmu itu?" bertanya saudara
seperguruannya pula. "Sayang," suara Wantilan m erendah, "belum ada. Aku
masih t etap dungu seperti ketika aku meninggalkan
padepokan." "Apakah kau tidak pernah m enjajagi kemampuan olah
kanuraganmu dengan orang lain yang memiliki ilmu yang
bersumber dari perguruan y ang berbeda?" bertanya saudara
seperguruannya. "Kebetulan aku tidak pernah menjumpai persoalan
dengan orang-orang itu. Mereka adalah orang-orang baik yang
justru lebih banyak m enolong aku. Karena itu, aku memang
belum pernah mendapat kesempatan untuk membenturkan
ilmuku. Apalagi aku memang belum terlalu lama
meninggalkan padepokan," jawab Wantilan.
Tetapi saudara seperguruannya yang lain berkata, "Kau
pergi lebih dahulu dari aku. Tetapi aku sudah banyak
mempunyai pengalaman. Aku telah m enolong seorang yang
kebetulan menghadapi tiga orang penyamun y ang akan
membunuhnya. Aku juga telah membebaskan sebuah
padukuhan yang akan dirampok orang. Bahkan pengalamanpengalaman
pribadi yang menarik sehingga ilmuku dapat
berkembang." "Tetapi aku tidak pernah menjumpai apa-apa. Aku
sudah menjelejahi padukuhan-padukuhan. Ketika aku
berhenti dibanjar, justru aku mendapat suguhan yang baik. Di
padukuhan itu tidak terjadi kekerasan apapun serta kehidupan
padukuhan itu nampak tenang dan damai. Di padukuhan
berikutnya, aku justru melihat pertunjukkan di tempat


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang y ang mengadakan peralatan. Aku memang menunggu,
mungkin ada orang yang akan mengganggu. Tetapi
pertunjukkan itu berlangsung semalam suntuk dengan tenang
tanpa kesulitan apapun juga. Dikesempatan lain aku telah
menyelusuri bulak-bulak panjang di siang dan di m alam hari.
Namun tidak ada perampok atau penyamun. Aku memang
pernah menolong seseorang. Tetapi seorang tua yang
kebingungan karena tidak tahu jalan. Tidak ada kekerasan dan
tidak ada permusuhan," jawab Wantilan yang agaknya mulai
menilai sikap kedua saudara seperguruannya itu.
"Siapakah orang-orang itu dan kenapa kau telah
bergabung dengan mereka?" bertanya salah seorang di antara
kedua saudara seperguruannya itu.
"Aku telah m engikuti m ereka. Semula aku menyangka
mereka orang jahat, karena sikapnya yang tidak menentu.
Ternyata aku salah. Mereka adalan orang baik-baik. Ju stru
anak-anak muda yang suka menolong sesama, sehingga
karena itu, m aka aku telah m emperkenalkan diriku kepada
mereka dan bahkan mengembara bersama-sama dengan
mereka," jawab Wantilan.
"Kenapa kau tidak mencoba ilmumu melawan mereka?"
bertanya saudara seperguruannya.
"Mereka orang baik-baik. Mereka suka menolong orang
lain. Aku tidak mempunyai alasan untuk berkelahi dengan
mereka," jawab Wantilan, "selain dari itu, bukankah lebih baik
aku berkawan dengan orang y ang baik hati daripada
bermusuhan tanpa sebab."
"Kau harus mencoba ilmumu," saudara seperguruannya
mulai tidak sabar, "itu adalah perintah Guru. Karena itu,
kauharus mencari alasan apapun juga."
"Tetapi mereka sama sekali tidak mengerti olah
kanuragan. Sekali aku memukulnya, seorang di antara mereka
akan mati. Apa gunanya" Apalagi ada kanak-kanak di antara
mereka," jawab Wantilan.
"Persetan," geram saudara seperguruannya itu,
"sekarang kau harus mencari alasan untuk berkelahi melawan
mereka bertiga. Aku akan menyaksikannya. Apapun alasan
yang akan kau buat. Aku tidak y akin bahwa mereka tidak
mengenal olah kanuragan, apalagi mereka membawa senjata."
Tetapi Wantilan menyahut, "Tidak. Aku tidak akan
berkelahi dengan anak-anak y ang baik itu. Apalagi mereka
sanggup membayar makanan dan m inuman y ang aku makan
dan aku minum di kedai ini."
"Setan kau," geram saudara seperguruannya yang tua,
yang agaknya lebih garang, "jadi perintah Guru kau hargai
lebih rendah dari makanan dan minuman di kedai ini?"
"Tidak," jawab Wantilan, "bukan maksudku. Aku hanya
ingin mengatakan bahwa sebaiknya aku tidak bertengkar
dengan mereka." "Kau takut" Akulah yang akan membuat perkara dengan
mereka. Kemudian kami akan melihat kau y ang berkelahi atas
nama kami. Kau dengar, bahwa kami datang atas nama Guru?"
suara saudara seperguruannya mulai menjadi semakin keras.
" Jangan keras-keras. Anak-anak m uda itu tidak boleh
mendengarnya," berkata Wantilan.
"Aku tidak peduli," jawab saudara seperguruannya.
"Aku berkeberatan," jawab Wantilan tegas.
Kedua saudara seperguruannya itu termangu-mangu
sejenak. Mereka mencoba menilai sikap Wantilan itu.
Tetapi agaknya Wantilan benar-benar tidak mau
mengindahkan kata -kata mereka. Bahkan Wantilan itu pun
kemudian berkata, "Sebaiknya kalian jangan mengganggu
kami. Sampai saat ini aku masih melakukan tugas yang
diberikan oleh Guru. Mengembara untuk melakukan
perbandingan ilmu dengan perguruan lain, sebagai bahan
untuk mengembangkan ilmu y ang telah diajarkan kepadaku."
" Jangan bodoh," geram saudara seperguruannya y ang
tertua, "Kau sudah mendapat kesempatan sekarang."
"Sudah aku katakan. Aku tidak mau," jawab Wantilan.
"Kami akan memaksamu," berkata y ang tertua, "atau
kau memilih untuk bertempur melawan kami berdua?"
Jawaban Wantilan memang mengejutkan. Katanya,
"Sebenarnya aku tidak mau bertengkar dengan saudara
sendiri. Tetapi jika kalian memaksa apa boleh buat."
"Setan kau," geram yang tertua, "jadi lebih senang
bertempur dengan saudara sendiri daripada dengan anak-anak
muda itu?" "Ya," jawab Wantilan semakin tegas.
"Bagus," berkata y ang muda, "kita akan bertempur di
luar. Jika kau ingin, ajak kawan-kawanmu itu yang kau hargai
lebih tinggi dari saudara-saudara seperguruanmu."
"Marilah," berkata Wantilan, "kita jangan merusakkan
isi kedai ini." Dalam pada itu Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa
Semu, bahkan Mahisa Amping dapat menangkap apa yang
akan terjadi. Karena itu, m aka Mahisa Murti pun kemudian
berdiri sambil berkata, "Tunggu. Apakah kalian tidak dapat
mengatasi persoalan kalian dengan pembicaraan."
" Jangan turut campur," berkata Wantilan, "persoalan ini
adalah per soalanku dengan saudara-saudara seperguruanku.
Mereka memaksaku untuk berkelahi. Apa boleh buat."
"Tetapi bukankah tidak pantas berkelahi dengan
saudara sendiri?" bertanya Mahisa Murti.
"Pantas atau tidak pantas," jawab Wantilan sambil
melangkah keluar mengikuti kedua saudara seperguruannya.
Mahisa Murti yang sebenarnya telah mendengar
sebagian besar dari pembicaraan Wantilan dan kedua orang
saudara seperguruannya itu tidak dapat mencegahnya. Bahkan
Mahisa Pukat-pun berkata kepadanya, "Nampaknya keduanya
mendapat tugas gurunya. Mereka tahu bahwa ilmu Wantilan
membahayakan jiwanya. Tetapi agaknya keduanya belum tahu
perkembangan terakhir dari kemampuan Wantilan."
Mahisa Murti m engangguk-angguk. Katanya, "Kita akan
melihat apa y ang terjadi di antara mereka."
Demikianlah, Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa
Semu dan Mahisa Amping telah keluar dari kedai itu pula
untuk melihat apa yang akan dilakukan oleh Wantilan dengan
saudara-saudara seperguruannya itu.
Dalam pada itu Wantilan dengan saudara-saudara
seperguruannya telah berada di sebelah kedai itu. Sementara
Mahisa Murti sempat berkata kepada pemilik kedai itu dari
pintu butulan, "jangan cemas. Mereka sekedar bergurau
karena mereka adalah saudara-saudara seperguruan."
Pemilik kedai itu m engangguk-angguk. Tetapi ia tetap
merasa cemas, bahwa telah terjadi perkelahian di halaman
samping kedainya. Jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan,
meskipun mereka saudara seperguruan, tentu akan
mempengaruhi para pembeli-pembelinya.
Dalam pada itu, Wantilan telah berdiri tegak menghadap
ke arah kedua saudara seperguruannya y ang m arah. Dengan
nada k eras, saudaranya yang tua masih berkata, "Aku masih
memberimu kesempatan, sehingga jika kau mati, bukan
kamilah yang telah membunuhmu."
"Tidak akan ada yang mati," berkata Wantilan,
"barangkali k ita hanya sekedar ingin m elihat, apakah ilmuku
sudah berkembang atau belum meskipun aku belum pernah
memperbandingkannya dengan ilmu dari perguruan lain."
"Tidak. Lebih dari itu," geram yang muda, "kami
berwenang untuk menghukummu karena kau tidak mentaati
perintah Guru." "Sudah aku katakan, bahwa aku sedang melakukannya.
Tetapi aku belum beruntung bertemu dengan orang-orang
jahat yang pantas untuk mengukur ilmu," jawab Wantilan.
"Tidak perlu orang jahat. Siapapun. Juga anak-anak
muda itu," geram yang tua.
"Sudah aku katakan, aku tidak akan mengganggu
mereka," jawab Wantilan.
"Bagus. Bersiaplah. Kita akan menjajagi ilmu kita
masing-masing," berkata y ang muda. Lalu katanya kepada
kakak seperguruannya, "biarlah aku y ang menanganinya. Ia
akan mati dan kita akan melaporkannya kepada Guru."
Yang tua tidak menjawab. Namun ia mengangguk
mengiakan. Sejenak kemudian kedua orang saudara seperguruan itu
telah bersiap. Mereka melakukan unsur-unsur gerak yang
serupa karena mereka memang bersumber dari satu
perguruan. Namun nampak perkembangan y ang sedikit
memberikan warna yang lain pada keduanya.
Ketika saudara seperguruannya mulai meny erang,
Wantilan telah meloncat menghindar. Tetapi saudara
seperguruannya tidak melepaskannya. Ia bahkan memburu
dengan serangan-serangan y ang berbahaya.
Wantilan tidak mau terus menerus diburu oleh
serangan-serangan lawannya. Karena itu, m aka ia pun telah
bersiap untuk meny erang pula.
Namun saudara seperguruannya ternyata memang telah
memberinya kesempatan. Ia berharap bahwa dengan
menyerang dan bahkan melepaskan banyak tenaga dan
kemampuannya, maka Wantilan akan terjebak oleh unsurunsur
geraknya sendiri. Tetapi, saudara seperguruannya itu terkejut. Justru
ketika ia memberikan kesempatan kepada Wantilan untuk
menyerangnya, maka Wantilah telah m emanfaatkan sebaikbaiknya.
Dengan kerasny a ia telah meny erang dengan
tumitnya langsung mengenai lambung lawannya.
Saudara seperguruannya itu telah terdorong beberapa
langkah surut. Hampir saja ia kehilangan keseimbangannya
dan jatuh terguling di tanah. Namun dengan susah payah ia
berhasil bertahan untuk tetap berdiri.
Meskipun demikian orang itu terpaksa menyeringai
menahan sakit. Lambungnya menjadi sangat ny eri, bahkan
rasa-rasanya isi perutnya telah terangkat meny esakkan
dadanya. Wantilan tidak m emburunya. Seakan-akan ia pun telah
memberikan kesempatan kepada saudara seperguruannya itu
untuk menilai apa y ang telah terjadi, serta sedikit mengurangi
rasa sakitnya dengan memijit -mijit perutnya.
Saudara seperguruan Wantilan yang telah
membiarkannya meny erang memang menjadi heran. Wantilan
sama sekali tidak menunjukkan akibat yang terjadi di dalam
dirinya setelah ia bertempur beberapa lamanya. Bahkan
saudara seperguruannya itu, baik yang tengah bertempur,
maupun yang ada di luar gelanggang, tidak melihat unsurunsur
gerak y ang dianggap salah atau bahkan dengan senjata
diputar balikkan. Menurut pengamatan kedua saudara wajar
sekali, sebagaimana mereka melakukannya.
Tetapi kedua orang itu mengira, bahwa kesalahankesalahan
itu terdapat pada tingkat-tingkat ilmu berikutnya,
sehingga karena itu, maka lawan Wantilan itu pun telah
meningkatkan ilmunya pula sampai tataran y ang lebih tinggi.
Dengan demikian maka keduanya telah bertempur
semakin sengit. Mereka bergerak semakin cepat. Bahkan
lawan Wantilan telah memancingnya untuk bertempur dengan
loncatan-loncatan panjang. Menurut perhitungannya, semakin
banyak ia mengeluarkan tenaga, maka semakin cepat tenaga
dan unsur -unsur geraknya sendiri akan mencekiknya.
Tetapi setelah bertempur beberapa saat lamanya,
Wantilan masih tetap tegar. Bahkan kedua orang saudara
seperguruannya itu kadang-kadang terkejut jika Wantilan
mempergunakan unsur-unsur gerak y ang lain dari unsurunsur
gerak dari perguruan mereka sendiri.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu y ang
menyaksikan pertempuran itu termangu-mangu. Ada
kecemasan di hati m ereka, karena Wantilan yang belum lama
berhasil menemukan unsur-unsur y ang benar dari ilmunya.
Namun dalam waktu y ang singkat, Wantilan telah m enempa
diri melengkapi ilmunya dengan unsur-unsur gerak yang lain,
yang dijalin dengan rapi atas petunjuk dan tuntunan Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Unsur-unsur itulah y ang berhasil dipergunakan oleh
Wantilan untuk mengejutkan saudara seperguruannya.
Beberapa kali saudara seperguruannya itu salah hitung.
Langkah y ang diam bil oleh Wantilan kadang-kadang menjadi
asing dengan tiba-tiba. "Setan ini telah menyadap ilmu dari perguruan lain,"
geram saudara seperguruannya, "bukan sekedar
mengembangkan ilmu dari perguruan kami, tetapi benarbenar
unsur baru yang disusupkan kedalamnya. Lebih baik
menghadapi ilmu dari perguruan lain sama sekali daripada
menghadapi ilmu yang berbaur seperti itu."
Tetapi Wantilan tidak mendengar. Bahkan sambil
tersenyum ia berkata, "Satu latihan y ang menarik. Sudah agak
lama kita tidak berlatih bersama. Bahkan di perguruan pun
aku jarang sekali, bahkan tidak pernah mendapat kesempatan
untuk berlatih dengan saudara-saudara seperguruanku. Aku
selalu mendapat latihan khusus dari Guru."
"Persetan," geram lawannya, "kau akan mati karena
ilmumu sendiri." "Tentu tidak," jawab Wantilan, "bahkan aku sekarang
merasa sangat berterima kasih. Ternyata Guru telah
memberikan lebih kepadaku daripada kepada kalian. Aku
tidak melihat kalian mampu melakukan sebagaimana aku
lakukan. Unsur-unsur simpanan y ang dapat membuat kalian
kebingungan." Saudara seperguruannya itu mengumpat.
Dikerahkannya kemampuannya. Namun selapis ia
meningkatkan ilmunya, Wantilan pun telah melakukannya
pula. Bahkan unsur-unsur yang tidak pernah dikenalpun
menjadi semakin sering membuat saudara-saudara
seperguruannya itu kebingungan.
Wantilan tertawa. Katanya, "He, kenapa kau
heran"Apakah Guru tidak pernah mengajarimu seperti itu?"
Saudara seperguruannya tidak sempat menjawab, ketika
serangan Wantilan meny entuh lambungnya yang telah
disakitinya sebelumnya. Karena itu, maka perasaan ny eri yang
hampir dapat di atasiny a itu telah kambuh lagi. Bahkan
perutnya serasa menjadi mual.
Saudara seperguruannya yang lain menyaksikan
pertempuran itu dengan jantung y ang berdebar -debar. Bahkan
ia mulai ragu-ragu atas keterangan gurunya sebelumnya.


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ternyata Wantilan nampaknya tidak terpengaruh oleh
ilmunya sehingga akan dapat membunuhnya. Bahkan ia telah
menunjukkan kelebihan sehingga unsur-unsur geraknya
banyak y ang tidak dapat dikenali oleh kedua orang saudara
seperguruannya itu. Semakin lama, memang nampaknya Wantilan semakin
mendesak saudara seperguruannya. Semakin tinggi mereka
meningkatkan ilmu mereka, maka Wantilan menjadi semakin
sering mengenai tubuh saudara seperguruannya itu.
Sementara itu, tidak nampak kemungkinan-kemungkinan
buruk pada tubuh Wantilan
"Apakah Guru sudah m enipu kami?" b ertanya saudara
seperguruannya y ang tua itu kepada diri sendiri. Namun ia
telah menjawabnya pula di dalam hatinya, "Tidak m ungkin.
Ayah Wantilan adalah seorang pengkhianat y ang tidak sempat
dihukum mati. Karena itu, hukuman itu harus ditanggung oleh
Wantilan dengan cara lain."
Tetapi adalah satu kenyataan bahwa saudaranya tidak
dapat dengan segera mengalahkannya. Serta tidak pula
terdapat tanda-tanda bahwa Wantilan akan terluka di bagian
dalam tubuhnya, apalagi parah dan membunuhnya.
Beberapa saat kemudian, saudara seperguruan Wantilan
itu menjadi benar-benar terdesak. Beberapa kali serangan
Wantilan tidak dapat dielakkannya. Justru ketika ia m eloncat
menyerang Wantilan dengan ayunan tangannya mendatar,
Wantilan telah merendah. Demikian cepatnya ia menjulurkan
kakinya menghantam lambung lawannya yang terbuka,
sehingga lawannya itu tergetar dan bahkan kemudian jatuh
terguling. Namun lawan Wantilan itu dengan cepat telah meloncat
bangkit dan berdiri tegak. Meskipun demikian, lambungnya
terasa semakin sakit. Beberapa kali Wantilan dengan sengaja
telah menghantam lambungnya sehingga rasa-rasanya isi
perutnya telah menjadi rontok.
Sekali lagi Wantilan memberinya kesempatan untuk
memperbaiki keadaannya. Ia tidak langsung memburunya.
Bahkan sambil tertawa ia berkata, "Apakah kita akan
melanjutkan permainan ini" Permainan y ang sangat menarik
bagiku." " Iblis kau," geram saudara seperguruannya, "kenapa kau
tidak mati karena ilmumu?"
"Karena ilmuku" Bagaimana mungkin hal itu terjadi?"
Wantilan justru bertanya, "Guru membekaliku dengan ilmu
yang tentu sama dengan ilmu y ang kalian pelajari. Tetapi
agaknya Guru m emberikan beberapa unsur yang tidak kalian
ketahui,itu bukan salahku. Dan sudah tentu tidak akan
membunuhku." "Anak iblis," geram saudara seperguruan Wantilan y ang
tua, "aku tidak telaten melihat pertempuran itu. Kau Wantilan,
kau sudah menyandang kesalahan dua kali. Pertama, kau
harus mewarisi hukuman buat ay ahmu y ang berkhianat itu.
Kedua kau telah berani melawan saudara-saudara tua
seperguruanmu." "Siapa y ang m engatakan bahwa kalian adalah saudara
tuaku dalam perguruan" Aku selalu m endapat latihan khusus
dan Guru tidak pernah menyebut tataranku dalam perguruan.
Mungkin di antara kalian dapat meny ebut y ang manakah yang
lebih tua dan yang manakah lebih muda. Tetapi tidak dengan
aku. Kalian bukan kakak seperguruanku tetapi juga bukan
Naga Dari Selatan 4 Fear Street - Cewek Baru The New Girl Hotel Majestic 4
^