Hijaunya Lembah Hijaunya 27
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 27
Ternyata beberapa orang telah tertangkap. Yang lain
telah terluka dan tidak dapat melarikan diri lagi. Bahkan
beberapa orang kawan mereka telah terbunuh pula, termasuk
pemimpin gerombolan itu. Mahisa Pukat yang sempat memaksa salah seorang y ang
ditangkapnya untuk berbicara, mendapat keterangan bahwa
yang mereka lakukan adalah semata -mata karena dendam atas
kematian beberapa orang y ang telah diupah untuk m erampas
tanah dan m ata air di tengah-tengahnya bersama dengan Ki
Bekel dan beberapa orang-orangnya.
"Kita kumpulkan mereka y ang terluka, yang terbunuh
dan y ang masih hidup," berkata Mahisa Murti. Namun ia pun
berkata pula, "Rawat kawan-kawan kita sendiri. Jangan
sampai justru dilupakan."
Tetangga-tetangga Ny i Sarpada telah melakukannya
dengan cepat. Sementara Wantilan telah menuntun Ny i
Sarpada dan membawanya ke bawah sebatang pohon yang
rimbun. "Duduklah bibi, beristirahatlah," berkata Wantilan.
"Aku tidak apa-apa, Wantilan," jawab bibiny a.
"Tetapi bibi perlu beristirahat," desak Wantilan y ang
melihat bibinya terlalu letih.
Tetapi Nyi Sarpada mencoba untuk mengelak. Katanya,
"Aku tidak apa -apa. Aku tidak mengalami kejutan jiwani
maupun badani. Peristiwa ini tidak menggoncangkan
perasaanku. Sudah aku katakan, sepeninggal pamanmu,
perasaanku pun telah mati."
" Bibi tidak boleh berkata begitu," desis Wantilan, "bibi
harus bangkit dan tetap t egar untuk menggantikan kedudukan
paman." Tetapi pandangan Nyi Sarpada y ang kosong menatap
lidah api y ang melonjak-lonjak mencengkam sisa -sisa
rumahnya yang semakin lama justru m enjadi semakin surut.
Atap rumah Nyi Sarpada dari pendapa sampai ke dapur sudah
runtuh sama sekali. Dalam pada itu, selagi orang-orang padukuhan itu sibuk
mengumpulkan orang -orang-orangnya y ang menjadi korban
usaha untuk membalas dendam, Ki Buyut sedang berpacu
menuju ke tempat itu. Malam itu, beberapa orang peronda di rumahnya telah
mendapat pemberitahuan dari para per onda di mulut lorong,
bahwa mereka telah melihat api y ang m enyala di padukuhan
yang agak jauh. Api y ang tentu berasal dari kebakaran yang
besar sehingga nyalanya tampak memerah di langit.
Dua orang per onda di rumah Ki Buyut itu telah
membuktikannya. Dan mereka mengambil kesimpulan, bahwa
ada rumah yang terbakar. Tetapi mereka memang menjadi heran, bahwa mereka
tidak mendengar isyarat apapun juga.
"Ada y ang tidak wajar," berkata peronda itu.
"Kita harus melaporkannya kepada Ki Buyut," sahut
yanglain. Sebenarnyalah, maka para peronda itu telah
memberanikan diri untuk membangunkan Ki Buyut,
sebagaimana pesan Ki Buyut sendiri. Jika keadaan yang
khusus memerlukannya, maka ia harus dibangunkannya.
Ki Buyut yang mendapat keterangan dari para peronda
itu-pun telah pergi ke gardu di mulut lorong. Ternyata ia pun
melihat api itu. Tetapi tanpa isyarat apapun juga.
"Kita akan pergi ke sana," berkata Ki Buyut.
Para peronda itu memang menjadi cemas. Mereka bukan
orang-orang y ang terlatih baik untuk menghadapi
kemungkinan buruk yang dapat t erjadi seperti di dekat mata
air y ang sedang diperebutkan itu.
Tetapi mereka tidak dapat menolak ketika Ki Buyut
memerintahkan mereka untuk ber siap.
"Kita akan berkuda m enuju ke api itu. Nampaknya di
padukuhan tempat tinggal Ny i Sarpada," berkata Ki Buyut.
Beberapa orangpun telah bersiap. Gamel y ang melayani
kuda-kuda Ki Buyut pun telah dibangunkan untuk
menyiapkan tiga ekor kuda dibantu oleh para peronda.
Sejenak kemudian, maka Ki Buyut pun telah berpacu
menuju ke tempat api y ang justru mulai susut diiringi oleh dua
orang per onda yang bersenjata. Mereka berpacu di tengahtengah
bulak di gelapnya malam. Namun karena jalan-jalan itu
sudah sering m ereka lalui, maka m ereka dapat m engenalinya
dengan baik, di mana m ereka harus menyusut kecepatan, di
mana mereka dapat berpacu dengan kecepatan penuh karena
jalan lurus dan rata. Beberapa saat kemudian, mereka telah memasuki
padukuhan yang mereka tuju. Ki Buyut pun segera mengenali
tempat itu meskipun ia belum sampai ke tujuan.
"Tentu rumah Nyi Sarpada," desis Ki Buyut.
Kedua peronda itu tidak menjawab. Tetapi mereka
menjadisemakin tegang. Tentu sudah terjadi sesuatu di rumah
itu. Jika tidak, maka tentu sudah terdengar isyarat.
Sebenarnyalah, ketika mereka memasuki halaman
rumah itu, maka yang mereka ketemukan justru adalah orangorang
y ang sedang mengumpulkan mereka y ang menjadi
korban dalam pertempuran itu dari kedua belah pihak.
Dengan serta merta Ki Buyut pun telah m eloncat turun.
Ternyata beberapa orang masih saja sibuk di halaman
samping, sementara Wantilan masih saja menunggui Ny i
Sarpada y ang berdiri tegak memandangi api yang mulai susut.
"Apa y ang terjadi?" bertanya Ki Buyut.
"Ki Buyut," desis Wantilan.
"Ya," jawab Ki Buyut, "ketika aku mendapat laporan
bahwa ada kebakaran, maka aku sudah curiga."
"Beberapa orang datang untuk membalas dendam
kematian kawan-kawannya," jawab Wantilan.
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
rendah ia pun bertanya, "Di manakah anak-anak muda yang
mengaku pengembara itu."
Wantilan pun melayangkan tatapan matanya sambil
menjawab, "Mereka ada di sebelah pohon pucang itu. Di
sebelah orang-orang yang terluka dan terbunuh dibaringkan."
Ki Buyut pun telah melihat Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat pula. Kemudian agak menepi Mahisa Semu berdiri
bersama Mahisa Am ping y ang termangu-mangu.
"Syukurlah jika mereka masih ada di sini," desis Ki
Buyut. "Hampir saja mereka meninggalkan tempat ini.
Untunglah mereka masih bersedia aku tahan untuk sehari lagi,
menunggu kesediaan Ki Buyut untuk datang," jawab Wantilan.
Ketika Ki Buyut melangkah mendekatinya, maka Ki
Demang pun telah berada di tempat itu pula. Seperti Ki Buyut,
maka mereka pun telah m enemui Mahisa Murti dan saudarasaudaranya.
Sejenak kemudian, ketika api menjadi semakin
menyusut, maka Ki Buyut telah duduk bersama Ki Demang,
anak-anak muda y ang mengaku pengembara itu ber sama Ny i
Sarpada dan Wantilan. Namun seperti yang pernah diucapkan, Ny i Sarpada itu
seakan-akan sudah tidak peduli apa saja y ang telah terjadi atas
rumahnya. "Tanah dan mata air itu telah diselamatkan. Wantilan,
rasa-rasanya tidak ada lagi y ang penting bagiku menghadapi
masa depan. Kau telah datang dan tanah dan mata air itu
masih tetap m enjadi hak kita. Hakmu. Apalagi" Sisa hidupku
sudah tidak penting lagi," berkata Ny i Sarpada.
"Tidak," Wantilan berkata lantang, "bibi harus tetap
hidup. Bibilah y ang akan menggantikan paman di sini. Ki
Buyut akan mengatur segala-galanya."
Tetapi Nyi Sarpada tertawa. Katanya, "Sudah aku
katakan sebagaimana dikatakan oleh pamanmu. Kau adalah
pewaris tanah itu. Kau akan meneruskan tugas pamanmu.
Bukan saja membasahi tanah kita sendiri, tetapi sejauh
kemungkinan y ang dapat kau lakukan, maka kau akan
membasahi tanah di sekitarmu."
" Bibi," Wantilan memotong dengan serta merta, "dengar
bibi. Aku besok akan meninggalkan tempat ini."
Nyi Sarpada terkejut. Tiba-tiba saja wajahnya menjadi
suram. Dipandanginya Wantilan dengan tatapan mata redup.
"Kenapa kau akan pergi Wantilan. Apakah kau menolak
pesan pamanmu itu?" bertanya Ny i Sarpada.
"Tidak bibi. Sama sekali tidak. Aku junjung tinggi pesan
paman Sarpada. Karena itu, aku harus mendapatkan bekal
untuk mempertahankan tanah itu. Bukankah yang terjadi
merupakan satu pengalaman y ang pahit?" jawab Wantilan.
"Apa y ang akan kau lakukan?" bertanya bibinya.
"Aku akan berguru bibi," jawab Wantilan.
Nyi Sarpada termangu-mangu sejenak. Kemudian
hampir diluar sadarnya ia telah berpaling kepada Ki Buyut
untuk minta pertimbangan.
"Berguru adalah satu kewajiban bagi setiap orang Ny i.
Mungkin Wantilan m erasa dirinya belum cukup bekal untuk
menerima tugas yang dilimpahkan oleh pamannya. Karena itu,
maka ia ingin minta waktu," berkata Ki Buyut.
"Selama ini aku akan mohon Ki Buyut untuk membantu
bibi sampai saatnya aku kembali untuk mengemban tugas ini,"
berkata Wantilan. Nyi Sarpada masih tetap berdiam diri. Dipandanginya
api y ang telah hampir padam sama sekali. Di sana-sini masih
ada potongan-potongan kayu y ang m enyala. Tetapi nyalanya
tidak lagi melonjak tinggi.
Namun kemudian Ny i Sarpada itu justru bertanya
kepada Ki Buyut, "Ki Buyut, apakah yang harus aku lakukan"
Rumahku sudah terbakar. Tidak ada lagi tempat untuk
berteduh. Jika Wantilan pergi, maka aku akan kehilangan
semuanya meskipun tanah dan mata air itu masih tetap
menjadi milikku." "Tidak bibi," berkata Wantilan, "aku tidak akan
meninggalkan bibi. Aku hanya mohon bibi memberikan waktu
kepadaku untuk menuntut ilmu. Itu saja. Pada saatnya aku
akan kembali kepada bibi dan melakukan tugas sebagaimana
dipesankan oleh paman."
"Kapan kau akan kembali Wantilan" Kau tahu, umurku
tinggal sepanjang umur jagung," berkata Ny i Sarpada.
" Jangan merasa begitu bibi. Jangan mendahului
kehendak Yang Maha Agung. Semuanya akan terjadi
sebagaimana harus terjadi. Apapun yang kita duga, tetapi
kehendak Yang Maha Agung lah y ang akan terjadi," sahut
Wantilan. Nyi Sarpadapun mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Aku
mengerti." "Ny i," berkata Ki Buyut, "aku tahu apa yang telah
dilakukan oleh Ki Sarpada selama ini. Sudah barang tentu, aku
harus berterima kasih kepadanya. Ia telah memberikan
kesempatan kepada banyak orang untuk ikut menikmati
miliknya. Bukan hanya para tetangga y ang mempunyai tanah
di sekitar tanah Ki Sarpada sajalah yang ikut menikmati
hasilny a. Tetapi juga mereka y ang berkesempatan ikut
menggarap sawah, mendapat upah dari kerja di sawah itu.
Juga mereka y ang ikut menuai padi dengan mendapatkan
bawon y ang cukup untuk membantu meringankan beban
banyak keluarga. Karena itu Ny i Sarpada tidak usah bingung.
Aku berjanji bahwa dalam waktu sebulan rumah Ny i Sarpada
sudah berdiri lagi meskipun barangkali tidak sebesar yang
telah terbakar. Sementara itu Ny i Sarpada dapat tinggal di
banjar. Atau jika Ny i Sarpada keberatan. Ny i Sarpada dapat
tinggal di rumahku yang cukup luas untuk menerima
kehadiranmu." Nyi Sarpada termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba
sa ja kepalanya menunduk. Diluar sadarnya, titik -titik air mata
telah m embasahi pipinya yang sudah diluki si oleh garis-garis
umur. Wantilan menjadi berdebar-debar. Ia menunggu
keputusan bibiny a y ang ternyta tidak usah menunggu sampai
besok. Sementara itu, beberapa orang tengah sibuk merawat
orang-orang yang terluka dan memisahkan mereka telah
terbunuh di peperangan. Untunglah bahwa orang-orang
padukuhan itu tidak ada yang terbunuh, meskipun ada di
antara mereka y ang terluka. Bahkan seorang agak parah.
Tetapi tidak mengancam keselamatan jiwanya.
Nyi Sarpada masih duduk berdiam diri.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang menjadi
bimbang. Tetapi m ereka tidak dapat tinggal lebih lama lagi di
padukuhan itu. Apalagi tinggal bersama Wantilan untuk
menuntunnya mencapai satu tataran yang memadai.
Keduanya tidak berkeberatan jika Wantilan mengikuti mereka,
tetapi dengan demikian m aka Ny i Sarpada akan mengalami
kepedihan perasaan. Ia akan hidup sendiri dalam keadaan
yang dibay angi oleh kesepian dan tanpa harapan apapun juga.
Namun tiba-tiba Ny i Sarpada itu berkata, "Baiklah
Wantilan. Aku dan pamanmu tidak boleh menutup cita -citamu
bagi bekal hari depanmu. Meskipun aku sebenarnya sangat
berkeberatan, tetapi aku tidak boleh terlalu mementingkan diri
sendiri. Hari depanmu ada ditanganmu. Karena itu, j ika kau
memang berkeras untuk pergi, aku tidak berkeberatan. Tetapi
kau harus berjanji bahwa kau akan kembali. Sementara itu,
sebelum kau benar -benar kembali dan tinggal di sini, m aka
kau harus sering datang untuk menengokku. Bahkan
seandainya kau tinggal di t empat yang sangat jauh sekalipun.
Meskipun rumah kita terbakar, tetapi aku m asih m empunyai
beberapa perhiasan y ang melekat ditubuhku. Bukan karena
aku masih senang memakai perhiasan-perhiasan itu tanpa
menyebut jumlah umurku, tetapi semata -mata karena aku
tidak mau kehilangan barang-barangku itu. Bawalah, tukarkan
dengan seekor kuda, kau mempunyai kesempatan menempuh
jarak yang panjang sekalipun, untuk mengunjungi aku."
Wajah Wantilan justru menjadi tegang. Namun
kemudian katanya, "Jangan bibi. Biarlah sisa kekayaan bibi itu
ada pada bibi. Mungkin pada suatu saat bibi memerlukannya.
Aku akan berusaha dengan caraku untuk mendapatkan seekor
kuda. Aku akan datang untuk waktu-waktu tertentu
mengunjungi bibi." "Bawalah. Aku tidak akan menyulitkanmu," berkata Nyi
Sarpada. "Aku telah membawa bekal. Saudara-saudaraku y ang
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyebut diriny a pengembara telah membawa bekal pula.
Bibi jangan cemas tentang seekor kuda itu," berkata Wantilan.
Lalu katanya, "Jika anak-anak yang mengaku pengembara itu
tidak menunggang kuda dalam pengembaraannya, maka itu
adalah laku y ang memang harus mereka jalani."
Nyi Sarpada menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya,
"Jika demikian perhiasan itu akan aku serahkan kepada Ki
Buyut untuk beaya membangun kembali rumahku."
Tetapi Ki Buyut itu pun tertawa. Katanya, "Tidak Nyi.
Sudah aku katakan bahwa rumah itu akan berdiri pada
saatnya. Biarlah perhiasan itu tetap m enyadi m ilikmu. Tetapi
aku tidak berkeberatan jika perhiasan itu kau titipkan
kepadaku, justru karena sudah banyak orang yang kemudian
mendengar bahwa Nyi Sarpada masih m enyimpan perhiasan.
Itu sangat berbahaya bagi Ny i Sarpada, karena perhiasan itu
dapat membuat orang lupa diri. Tetapi perhiasan itu akan
aman ter simpan dirumahku bersama Ny i Sarpada yang aku
persilahkan tinggal dirumahku untuk sementara. Perhiasan itu
akan aku kembalikan kapan saja Nyi Sarpada memerlukan,
atau jika Ny i Sarpada tidak memerlukan, aku kembalikan pada
saat Wantilan kelak kembali."
"Terima kasih Ki Buyut," Wantilan lah y ang m enyahut,
"Ki Buyut telah memberikan kemungkinan per soalan ini
terpecahkan. Karena itu, biarlah aku menitipkan bibiku," Lalu,
Wantilan pun berpaling kepada orang-orang padukuhan yang
ada di tempat itu, "juga kepada mereka aku menitipkan bibiku.
Jika rumah ini sudah jadi kelak, dan bibi kembali tinggal di
rumah ini, maka biarlah para tetangga ikut menjaganya."
"Tentu," berkata Ki Buyut, "mereka akan membantu Nyi
Sarpada dalam segala hal. Menggarap sawah sampai ke
mengisi pakiwan. Menggarap sawah Ny i Sarpada sama halnya
dengan memelihara sumber mata air y ang dapat mengairi
sawah berpuluh-puluh kotak itu tanpa susut meskipun di
musim kemarau." Nyi Sarpada tidak dapat menjawab. Tetapi kembali
wajahnya menunduk. Titik-titik air matanya menjadi semakin
banyak membasahi garis-garis umur di wajahnya.
Demikianlah, maka malam itu tetangga-tetangga Nyi
Sarpada menjadi sangat sibuk. Ki Buyut dan Ki Demang masih
harus memberikan beberapa petunjuk. Namun ternyata
mereka tidak meninggalkan tempat itu sampai matahari terbit.
Hampir semua orang tidak t ertidur sekejappun. Mereka
sibuk semalam suntuk. Ketika matahari terbit, maka Ki Buyut pun telah bersiapsiap
untuk meninggalkan tempat itu. Api memang sudah
padam dengan sendiriny a, tetapi di sana-sini m asih nampak
asap mengepul memanjat ke langit.
Atas per setujuan Nyi Sarpada dan Wantilan,maka Nyi
Sarpada itu pergi ke Kabuyutan sekaligus menitipkan
perhiasan-perhiasan y ang masih diselamatkan karena
perhiasan-perhiasan itu melekat ditubuh Ny i Sarpada,
dibawah lembar-lembar pakaiannya.
Sementara itu Wantilan pun sekaligus telah minta diri.
Baik kepada Ki Buyut, Ki Demang serta para bebahu yang
datang kemudian, juga kepada para tetangga.
"Kita akan menempuh perjalanan kita masing-masing,"
berkata Wantilan. Ki Buyut m engangguk-angguk. Ketika anak-anak muda
yang mengaku pengembara itu mohon diri, maka para
pemimpin Kabuyutan itu telah mengucapkan terima kasih
yang sangat besar kepada mereka.
Tetapi yang meninggalkan halaman rumah y ang
terbakar itu lebih dahulu adalah Ki Buyut bersama Ny i
Sarpada dan para pengawalnya. Sementara Wantilan m asih
sempat melihat-lihat abu dari bekas rumah paman dan bibinya
yang sudah menjadi abu. "Seharusny a kau tidak u sah pergi Wantilan," berkata
seorang tetangganya. "Aku tahu," berkata Wantilan, "tetapi jika aku tidak
pergi, maka aku lima bahkan sepuluh tahun mendatang tidak
akan berubah seperti aku sekarang. Jika ada orang-orang jahat
yang datang kepadaku, maka aku tidak akan dapat berbuat
apa-apa lagi. Adalah kebetulan bahwa saat ini anak-anak muda
yang mengaku pengembara itu ada di sini, sehingga ia mampu
menyelamatkan nyawaku, nyawa bibi dan tetangga-tetangga di
sekitar tempat ini yang justru ingin menolong bibi. Tanpa
mereka maka aku tidak akan mampu berbuat apa-apa selain
pasrah." "Kita minta mereka tinggal bersama kita di sini,"
berkata salah seorang dari tetangga-tetanganya.
"Mereka sudah menyebut diri mereka pengembara
dalam laku tapa ngrame," jawab Wantilan, "mereka memang
mengembara sambil menolong orang-orang y ang memerlukan
pertolongan mereka. Tetapi dalam waktu dekat, mereka telah
berniat kembali ke padepokan mereka. Kecuali karena mereka
sudah terlalu lama mengembara, ayah mereka pun telah
menjadi semakin tua. Rasa-rasanya mereka sudah begitu
merindukan ay ah mereka. Sementara itu menurut ceritera
mereka, paman mereka lebih tua lagi dari ayah mereka. Dua
orang yang sudah sangat tua meskipun masih mempunyai
penalaran y ang terang dan ingatan y ang kuat. Tetapi m ereka
adalah manusia biasa yang pada suatu saat akan kembali
kepada Penciptanya. Agaknya umur mereka sudah berada di
sekitar seratusan tahun."
"Kakekku berumur seratus duapuluh lima tahun
sekarang ini," berkata salah seorang tetangganya, "ia m asih
cukup terang penglihatan dan pendengarannya, ingatan dan
penalarannya masih utuh. Namun tubuhnyalah yang semakin
lama menjadi semakin lemah, m eskipun begitu, kakek masih
juga berjemur di matahari pagi sambil b erjalan hilir mudik di
halaman. Bahkan kadang-kadang masih juga menyapu
halaman itu." "Apakah kakekmu tidak salah menghitung tahun?"
bertanya kawannya. "Tidak," jawab orang itu, "kakek masih sempat
mengingat bagaimana Tumapel bangkit dan Kediri tenggelam.
Bahkan sebelum itu."
Kawannya tidak bertanya lagi. Namun Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat y ang mendengar pembicaraan itu termangumangu
sejenak. Mereka memang pernah berceritera tentang
beberapa orang y ang dikenalnya dengan baik meskipun tidak
menyebut nama dan kedudukannya. Tetapi pembicaraan itu
telah m engingatkan mereka dengan orang-orang yang pernah
sangat dekat dengan mereka.
Tiba-tiba saja terber sit satu pertanyaan, "Apakah mereka
masih sehat-sehat saja betapapun tuanya?"
Namun tumbuh pula pertanyaan, "Apakah mereka masih
hidup?" Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Mereka
sudah cukup lama meninggalkan Singasari. Mengembara dan
segala macam perjalanan untuk mendapatkan pengalaman
dan memenuhi beberapa keinginan pribadi mereka. Sekarang,
ay ahnya, kakaknya dan keluarganya yang lain tidak tahu, di
mana mereka berada. Jika terjadi sesuatu, tidak akan ada
seorang pun y ang dapat memberitahukan kepada mereka."
Ingatan tentang orang-orang tua itu, telah membuat
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat semakin ingin sampai ke
padepokan mereka. Dalam pada itu, maka hari pun menjadi semakin panas
oleh matahari yang menjadi semakin tinggi. Karena itu, maka
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendekati Wantilan
yang masih berbicara dengan tetangga-tetangganya, "Apakah
kita sudah dapat berangkat?"
Wantilan mengangguk. Namun kemudian katanya,
"Memang berat sekali perasaan ini untuk meninggalkan
padukuhan ini. Tetapi apa boleh buat."
Wantilan pun kemudian telah menitipkan tanah dan
mata air yang cukup besar yang memancar di tengah-tengah
sawahnya itu, yang bahkan telah dapat mengairi beberapa
kotak sawah di sekitarnya, kepada tetangga-tetangga bibiny a.
"Mudah-mudahan aku cepat kembali," berkata
Wantilan. Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Mahisa
Amping pun sekali lagi telah minta diri pula kepada para
tetangga yang baik itu. Beriringan dengan Wantilan, mereka
pun telah melangkah keluar dari reg ol halaman y ang tidak ikut
terbakar turun ke jalan dan kemudian m eninggalkan tempat
itu. Mereka telah m enyerahkan orang-orang padukuhan yang
terluka kepada tetangga-tetangganya. Namun kemudian
tetangga-tetangga itu pun harus mengurus para tawanan yang
akan dibawa ke Kabuyutan, disatukan dengan para tawanan
terdahulu. Juga mengurusi mereka y ang terluka dan terbunuh.
Ketika m ereka keluar dari mulut lorong padukuhan itu,
rasa-rasanya mereka telah keluar dari sebuah bilik yang
sempit dan pengab. Karena itu, maka Mahisa Amping pun
telah berlari-lari mendahului. Namun kemudian menunggu di
pinggir jalan sambil bermain-main dengan batu-batu.
Wantilan yang berjalan di sebelah Mahisa Semu melihat
anak y ang menjadi gembira itu. Namun Mahisa Semu itu pun
berkata, "Kasihan anak itu."
"Kenapa?" bertanya Wantilan.
" Ia tidak mempunyai kesempatan untuk bermain
dengan kawan-kawan yang sebay anya seperti kebanyakan
anak-anak," jawab Mahisa Semu.
Wantilan mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian
bertanya, "Kenapa anak itu ikut melakukan pengembaraan
bersama kalian?" "Satu cerita y ang panjang," jawab Mahisa Semu.
Namun kemudian Mahisa Semu itu pun telah
menceriterakan asal mulanya, bahwa anak itu ikut dalam
pengembaraan yang panjang itu.
Wantilan mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun
bergumam. "Memang kasihan. Hidupnya menjadi kurang
lengkap. Hal itu akan dapat mempengaruhi sifat dan wataknya
di kemudian hari. Tetapi jika pengembaraan ini berakhir,
maka ia akan mendapatkan kesempatan itu. Di padepokannya
yang baru, ia tentu tidak akan mengalami perlakuan
sebagaimana ia berada di padepokannya yang lama, saat ia
dipersiapkan untuk menjadi manusia yang kehilangan
pribadiny a." "Ya. Agaknya ia akan m endapatkan tempat y ang lebih
baik kelak," jawab Mahisa Semu.
Wantilan tidak bertanya lagi. Ia melihat Mahisa Amping
mengambil sebuah batu sebesar telur. Kemudian
dilemparkannya batu itu ke tengah-tengah sawah.
Wantilan menggeleng-gelengkan kepalanya sambil
berdesis, "Luar biasa. Lihat. Anak sebesar itu telah m ampu
melemparkan batu hingga mencapai jarak yang sekian
jauhnya." " Ia m emang m emiliki k elebihan," jawab Mahisa Semu,
"anak itu memiliki kemampuan memanjat melampaui aku."
" Ia akan menjadi seorang anak muda y ang
berkemampuan tinggi kelak jika memiliki ketekunan
menjalani laku," berkata Wantilan.
" Itulah agaknya y ang m enarik perhatian Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat, kecuali karena anak itu memang tidak ada
lagi y ang m emelihara. Jika ia dilepaskan begitu saja, dengan
bekal racun y ang pernah disusupkan didalam dirinya di
padepokannya yang lama, maka ia akan m enjadi orang yang
berbahaya," berkata Mahisa Semu.
"Yang dicemaskannya adalah, jika apa yang terjadi di
padepokan itu masih membekas," berkata Wantilan.
"Agaknya sekarang tidak. Dalam ujud kewadagan,
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah melenyapkan ilmu yang
pernah diterima oleh anak itu di padepokannya y ang lama.
Dengan demikian, maka diharapkan bahwa akibat y ang lain
pun dapat ikut punah bersama dengan ilmunya pula."
" Jadi anak itu pernah m enyadap ilmu kanuragan pada
umurnya y ang masih sangat muda?" bertanya Wantilan.
"Ya. Ia sudah mempelajari beberapa unsur gerak. Jika ia
sempat dewasa di padepokan itu, maka ia akan menjadi
manusia y ang sangat berbahaya, ia memiliki ilmu y ang tinggi,
tetapi sama sekali tidak berpribadi," jawab Mahisa Semu.
"Untunglah, ia sempat diselamatkan," desis Wantilan.
Demikianlah mereka berjalan semakin lama semakin
jauhdari tempat tinggal Ny i Sarpada. Sekali-sekali Wantilan
masihjuga berpaling. Memang ada keberatannya untuk
meninggalkan bibiny a dalam keadaannya. Tetapi jika ia
tinggal, maka ia memang tidak akan dapat berkembang.
Sehingga untuk seterusnya ia akan tetap sebagaimana adanya
sekarang. Beberapa saat mereka berjalan menyusuri bulak-bulak
panjang dan pendek. Memasuki padukuhan-padukuhan besar
dan kecil. Sehingga k etika matahari m encapai puncak langit,
Mahisa Amping mulai nampak lelah. Bahkan haus dan
barangkali lapar, karena ia belum makan apapun juga ketika ia
mulai dengan perjalanan itu.
"Kau lapar?" bertanya Mahisa Semu.
Mahisa Amping mengangguk.
Karena itu, maka Mahisa Semu pun telah
memberitahukannya kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
yang berjalan di depan, bahwa Mahisa Amping merasa lapar
dan haus. "Baiklah," berkata Mahisa Murti, "di depan ada
padukuhan, y ang agaknya mempunyai satu dua buah kedai."
Mahisa Amping hanya mengangguk saja. Jarak
padukuhan itu memang sudah tidak terlalu jauh lagi.
Namu ketika mereka mendekati padukuhan itu,
perjalanan mereka terhambat beberapa saat, karena Mahisa
Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Wantilan harus
melerai sekelompok gembala y ang berkelahi dengan kelompok
lainnya yang agaknya datang dari padukuhan y ang lain.
Untunglah tidak terjadi sesuatu y ang tidak diinginkan.
Meskipun ada di antara anak-anak gembala itu yang terluka
dan m encucurkan darah, karena lawannya telah memukulnya
dengan batu. "Mereka pengecut," t iba-tiba saja Mahisa Amping
bergeramang. "Kenapa?" bertanya Mahisa Semu.
"Mereka tidak berani berkelahi seorang lawan seorang,"
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jawab Mahisa Amping. "Belum tentu mereka dapat disebut pengecut. Jika
persoalan y ang timbul itu adalah persoalan antara kelompok
yang satu dengan kelompok y ang lain, maka y ang terjadi
adalah perkelahian kelompok seperti itu."
Ketika sekelompok gembala y ang datang dari padukuhan
lain itu sudah pergi, maka kelompok gembala yang tinggal
telah mencuci tubuhnya di sebuah parit di pinggir sawah.
Seorang y ang keningnya t erluka karena pukulan batu dan
berdarah, telah dicuci pula. Namun agaknya darahnya tidak
segera menjadi pampat. Mahisa Murti dan saudara-saudaranya masih belum
meninggalkan tempat itu. Karena itu, maka ia pun telah
mendekati anak y ang mengeluarkan darah dari keningnya itu
sambil memberikan obat pada luka itu.
"Mudah-mudahan lukamu segera pampat," berkata
Mahisa Murti. "Terima kasih," desis anak itu yang masih saja
menyeringai menahan sakit. Namun darahnya sudah tidak lagi
mengalir dari luka y ang memang agak dalam.
"Kau jangan mandi hari ini sampai besok," pesan
Mahisa Murti, "mudah-mudahan besok pagi lukamu sudah
sembuh dan kau dapat mandi seperti biasa. Tetapi ingat, bekas
luka itu jangan kau gosok karena akan dapat terjadi luka lagi."
"Terima kasih paman," jawab anak itu sambil mengusap
matanya. Namun sebelum anak itu sempat mengusap dan
membersihkan darahnya y ang memerah di dadanya
bercampur dengan air y ang membasahi tubuhnya saat ia
membersihkan luka yang tidak juga mau pampat itu, serta
keringat y ang masih saja mengalir, tiba-tiba saja seorang laki -
laki yang berjalan sambil membawa kapak telah berhenti.
Perhatiannya tertuju kepada anak y ang terluka itu yang tidak
lain adalah anaknya. "He, kenapa kau?" bertanya ayahnya.
Anak itu belum sempat menjawab, ketika laki -laki y ang
berjalan sambil membawa kapak itu berteriak, "Kau apakan
anakku he" Kenapa kau ganggu anak-anak" Kalau kau
memang seorang laki-laki, ay o lawan aku, bapaknya."
Orang itu nampaknya m emang seorang yang darahnya
cepat mendidih. Dengan wajah yang bagaikan membara, ia
sudah memutar kapaknya y ang besar.
Tetapi anak laki-lakinya itu b erteriak, " Bukan orang itu
ay ah. Orang itu yang justru telah menolong aku."
Dahi laki -laki itu berkerut. Kapaknyapun segera
diletakkannya. Betapapun kasarnya, namun laki -laki itu
kemudian bertanya kepada anaknya, "Jadi, apakah yang telah
terjadi." Anak itu menceriterakan kepada ay ahnya, apa y ang telah
terjadi atas dirinya. Justru orang-orang itulah y ang telah
melerai dan menolongnya memampatkan darahnya.
Dengan kepala tunduk orang itu kemudian berkata, "Aku
minta maaf Ki Sanak. Aku telah salah duga."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
rendah ia berkata, "Sudahlah. Setiap orang dapat menjadi
khilaf. Tetapi y ang kemudian penting adalah persoalan anakanak
itu. Anak-anak itu tidak boleh bermusuhan terusmenerus.
Karena itu, dituntut campur tangan orang tuanya."
"Aku akan mencari orang tua anak itu. Aku akan
menyelesaikannya dengan cara seorang laki-laki," jawab orang
itu. "Mak sudku tidak demikian Ki Sanak," berkata Mahisa
Murti kemudian, "sebaiknya Ki Sanak menghubungi Ki Bekel.
Orang-orang tua harus membicarakan agar perkelahian
semacam ini tidak terulang lagi. Bukan justru melibatkan diri
kedalamnya. Dengan demikian maka anak-anak itu akan dapat
melakukan pekerjaan m ereka dengan tenang. Mereka dapat
menggembala ternaknya sambil berdendang atau sambil
meniup seruling mereka. Suasana di padang rumput akan
menjadi tenang dan terasa damai."
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Ia pun
mengangguk-angguk sambil berkata, "Baiklah Ki Sanak. Aku
akan mencobanya. Aku akan berhubungan dengan Ki Bekel,
agar Ki Bekel dapat membicarakannya dengan mereka yang
berkepentingan. Mak sudku orang tua anak-anak itu dan orang
tua dari anak-anak y ang telah berkelahi dengan anak-anak
kami di sini." Mahisa Murti ter senyum. Katanya, "Terima kasih atas
pengertian Ki Sanak. Sekarang, kami mohon diri untuk
meneruskan perjalanan kami."
Orang itu mempersilahkan anak-anak muda y ang
melerai perkelahian itu untuk singgah. Tetapi Mahisa Murti
terpaksa minta maaf karena ia harus meneruskan perjalanan.
Beberapa langkah dari tempat kejadian itu, maka Mahisa
Amping masih mengulangi pernyataannya, "Kenapa mereka
hanya berani berkelahi dalam kelompok-kelompok seperti
para pengecut." Mahisa Murti tersenyum. Katanya, "Bukankah sudah
aku katakan bahwa hal itu sangat tergantung pada
keadaannya. Sepasukan prajurit y ang bertempur dalam satu
kesatuan bukanlah pengecut. Kelompok mereka justru terlalu
besar. Mereka tidak akan dapat menyelesaikan per soalan
mereka dengan sikap sebagaimana kau bayangkan."
Mahisa Amping mengerutkan keningnya. Tetapi ia
mengangguk-angguk. Ia mengerti apa yang dikatakan oleh
Mahisa Murti. Sementara itu mereka telah melangkah terus. Namun
setelah berjalan beberapa patok memasuki padukuhan itu,
mereka masih belum berjumpa dengan sebuah kedaipun.
Nampaknya padukuhan y ang besar itu tidak mempunyai
cukup kedai sehingga untukmembeli sesuatu para
penghuninya harus berjalan beberapa patok, m eskipun hanya
membutuhkan sepotong lauk, karena sedang tidak sempat
masak. Tetapi ketika mereka sampai diujung jalan justru ketika
mereka sudah siap meninggalkan padukuhan itu untuk
melintasi bulak panjang menuju ke padukuhan berikutnya,
mereka telah melihat bulak panjang menuju ke padukuhan
berikutnya, mereka telah melihat sebuah kedai di sudut jalan
di sebelah regol. "Ha," hampir di luar sadarnya Mahisa Amping berseru,
"kedai itu." Yang lain tersenyum. Namun tidak seorang pun y ang
segera menjawab. Karena itu, maka Mahisa Amping pun kemudian
termangu-mangu. Dipandanginya saudara-saudara angkatnya
itu seorang demi seorang. Tetapi semuanya diam, bahkan
seolah-olah telah mentertawakannya.
"O," desisnya, "aku tidak lapar."
Mahisa Semu lah yang pertama-tama m enanggapinya,
"Bukankah kita m emang sedang mencari sebuah kedai untuk
membeli minuman dan makanan?"
Mahisa Amping menunduk. Katanya, "Terserah saja.
Aku tidak haus dan tidak lapar."
Mahisa Pukat tertawa. Katanya, "Seorang laki-laki tidak
akan merajuk." Mahisa Amping mengangkat wajahnya. Dipandanginya
wajah Mahisa Pukat dengan tajamnya. Namun ia pun
kemudian berpaling memandangi regol padukuhan, bulak
yang membujur didepannya serta pintu kedai yang terbuka
disebelahnya. Tetapi Mahisa Amping tidak mengatakan sesuatu.
Ketika mereka mendekati kedai itu, maka mereka
melihat beberapa orang y ang ada di dalamnya. Dua ekor kuda
tertambat di dekat pintu.
Semakin dekat mereka dengan regol jalan padukuhan itu
maka mereka semakin menyadari, bahwa di luar dinding
padukuhan beberapa orang hilir mudik. Suasananya ju stru
lebih rumai daripada didalam padukuhan. Namun satu dua
orang sempat memasuki regol dan singgah di kedai itu.
"Kita akan singgah di kedai itu," berkata Mahisa Murti.
Tidak ada seorang pun yang menyahut, Mahisa Amping
puntidak. Namun sejenak kemudian, m ereka telah berada di
dalam kedai itu. Beberapa orang telah berada di dalamnya.
Bahkan kedai itu ternyata cukup ramai. Dua orang pergi, yang
lain datang bergantian. Dari pemilik kedai itu, Mahisa Murti mengetahui bahwa
ternyata tidak jauh dari tempat itu terdapat sebuah pasar yang
sengaja dibuat menghadap keluar padukuhan dengan
menyesuaikan dinding padukuhan, sehingga pasar itu
merupakan pasar y ang seolah -olah terbuka. Orang-orang dari
padukuhan lain dengan leluasa dapat masuk keluar pasar itu
tanpa lebih dahulu memasuki padukuhan lewat regolnya.
Beberapa saat lamanya para pengembara itu berada di
dalam kedai. Ternyata Mahisa Ampinglah y ang paling cepat
selesai. Sambil menunggu yang lain, Mahisa Amping yang
berkeringat karena kepedasan dan kepanasan itu nampak
gelisah. "Kenapa kau?" bertanya Mahisa Pukat.
"Udaranya panas sekali," jawab Mahisa Amping.
"Carilah angin di luar," berkata Mahisa Pukat, "tetapi
jangan jauh-jauh. Jika kami selesai dan kau tidak kami
ketemukan, maka kau akan kami tinggalkan di sini."
Mahisa Amping mengangguk. Tetapi dipandanginya
saudara-saudara angkatnya y ang lain.
"Pergilah," desis Mahisa Murti.
Mahisa Amping pun kemudian telah keluar dari kedai itu
dan berdiri termangu-mangu diregol. Namun ketika dilihatnya
bulir-bulir padi disawah yang mulai menguning di sentuh
angin, sehingga di permukaan wajah tanaman padi itu seakanakan
telah mengalir gelombang lembut, maka ia pun telah
melangkah keluar regol. Di panasnya matahari bulir-bulir padi itu seakan-akan
menjadi berkilat. Di atas hamparan tanaman padi itu nampak
seperti getaran yang tembus pandang. nDeg pengamun-amun.
Hampir diluar sadarnya, Mahisa Amping melangkah
menyeberangi jalan menyilang diluar regol. Di sepanjang jalan
bulak y ang membujur lurus dengan jalan padukuhan, terdapat
berjajar pohon turi yang menaungi sisi jalan y ang terdiri dari
tanggul berumput di sebelah parit y ang mengalirkan air yang
jernih. Beberapa orang gembala tengah duduk pula dibawah
pohon turi sambil menunggu ternak mereka y ang tengah
merumput ditanggul. Namun tiba -tiba saja Mahisa Amping melihat gelagat
yang kurang baik. Ia melihat para gembala itu m enunjuk ke
arahnya. Sebelum ia sempat berbuat sesuatu, beberapa orang
gembala itu telah berlari mendekatinya.
"Ya anak ini yang tadi datang bersama dengan beberapa
orang melerai perkelahian kita," berkata salah seorang di
antara mereka, para gembala yang sebay a dengan Mahisa
Amping. Namun ada seorang di antara mereka y ang agak lebih
besar, y ang nampaknya memimpin sekelompok gembala itu.
Mahisa Amping berdiri termangu-mangu.
Gembala y ang lebih besar dari kawan-kawannya itu
kemudian bertanya, "Kenapa kau ganggu kami" Kau tidak
perlu mencampuri persoalan kami dengan anak-anak
sombong itu." "Kakakku tidak senang melihat orang berkelahi," jawab
Mahisa Amping. "Bukan kewajiban kami untuk meny enangkan hati
kakak-kakakmu. He, jadi orang-orang y ang m elerai kami itu
kakak-kakakmu?" bertanya anak yang agak lebih besar dari
kawan-kawannya itu. Mahisa Amping mengerutkan keningnya. Dipandanginya
beberapa orang gembala itu seorang demi seorang. Pada
umumnya sebay a dengan umurnya.
Meskipun Mahisa Amping masih sangat muda, tetapi ia
sudah dapat m elihat gelagat y ang kurang baik. Nampaknya
gembala-gembala itu berniat buruk kepadanya. Mereka
kecewa karena saudara-saudara angkat Mahisa Amping itu
telah melerai mereka, ketika mereka sedang berkelahi.
Sedangkan perhitungan mereka kelompok mereka akan
memenangkan perkelahian itu.
Ternyata bahwa dugaan Mahisa Amping itu benar.
Gembala y ang terbesar di antara mereka itu pun maju
selangkah sambil berkata, "Biarlah saudara-saudaramu itu
menyesali perbuatannya, bahwa mereka telah turut
mencampuri persoalan kami."
"Mak sudmu?" bertanya Mahisa Amping.
"Kau harus dipukuli sebagai ganti gembala-gembala
yang tadi sudah kami kalahkan," jawab anak yang terbesar di
antara gembala-gembala itu.
Tetapi benar-benar tidak diduga. Sebelum gembala itu
mengatupkan bibirnya, Mahisa Amping telah m eny erangnya.
Satu tendangan tepat mengenai dadanya sehingga gembala itu
terdorong beberapa langkah surut, kemudian jatuh terlentang
di tengah-tengah jalan. Yang lain pun serentak melangkah surut. Mereka
menjadi ragu-ragu. Ketika Mahisa Amping maju selangkah,
mereka pun telah surut selangkah.
"Mari pengecut," geram Mahisa Amping, "sejak semula
aku sudah menduga bahwa kalian adalah pengecut y ang hanya
berani berkelahi dalam kelompok-kelompok seperti ini.
Meskipun demikian aku tidak gentar sama sekali. Majulah
bersama-sama. Kalian tidak usah bermimpi membuat
saudara-saudaraku itu m eny esal, karena kalianlah yang akan
menyesal." Gembala yang terjatuh itu pun kemudian dengan susah
pay ah telah bangkit. Dua orang kawannya membantunya.
Wajahnya menjadi merah. Sementara dadanya masih terasa
sakit. "Ay o," geram Mahisa Amping, "aku sudah siap."
Gembala yang terbesar itu kemudian berteriak
memberikanaba-aba, "Selesaikan anak itu. Kita pukuli
beramai-ramai sampai ia menjadi jera."
Yang lain memang masih saja ragu-ragu. Tetapi y ang
terbesar itu telah melangkah maju m eskipun dadanya m asih
terasa sakit.
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau licik," katanya, "aku belum siap. Sekarang, kau
tidak akan dapat berbuat seperti itu."
Tetapi sekali lagi y ang tidak diduga itu t erjadi. Kaki
Mahisa Amping telah terjulur sekali lagi langsung m engenai
dada anak y ang terbesar itu. Sekali lagi ia terdor ong beberapa
langkah surut dan kehilangan keseimbangannya, sehingga ia
jatuh untuk kedua kalinya. Punggungnya terasa bagaikan
patah, sementara dadanya menjadi sesak bagaikan dihimpit
sebongkah batu padas. Dua orang kawannya telah menolongnya pula. Demikian
anak itu b erdiri tegak, sekali lagi berteriak, "Kepung anak itu.
Pukuli sampai tulang punggungnya patah."
Meskipun ragu-ragu tetapi beberapa orang gembala itu
telah mengepung Mahisa Amping. Dengan demikian maka
Mahisa Amping harus menjadi semakin berhati-hati. Ia harus
melawan beberapa orang sekaligus.
Tetapi Mahisa Amping sudah mendapat tuntunan serba
sedikit dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sejak ilmunya
dilenyapkan, maka Mahisa Amping harus belajar sesuai
dengan tuntunan yang diberikan oleh Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Karena itu, ketika ia harus menghadapi beberapa orang
gembala, maka ia sama sekali tidak gentar.
"Bukan salahku jika hidung kalian berdarah," berkata
Mahisa Amping mengancam. Namun anak yang terbesar itu menjawab, "jangan takut.
Ia hanya mengancam."
Beberapa orang anak y ang ragu-ragu itu akhirnya
bergerak juga. Mereka mengacu-acukan tinju mereka. Bahkan
ada di antara mereka yang berteriak-teriak dan mengumpat
kasar. Namun Mahisa Amping memang tangkas. Kecuali ia
sudah berlatih serba sedikit, ia sama sekali tidak merasa raguragu
sebagaimana para gembala y ang melihat tendangan kaki
Mahisa Amping itu. Tetapi justru karena itu, maka Mahisa Amping telah
mendapat kesempatan untuk meny erang lebih dahulu.
Seperti y ang telah dilakukannya, maka kakinya telah
terjulur meny erang salah seorang dari anak-anak yang
mengepungnya. Cukup cepat, sehingga anak itu tidak sempat
mengelak. Tetapi dalam pada itu, anak yang terbesar itu telah
mendorong seorang anak y ang lain justru membentur Mahisa
Amping. Keduanya memang hampir saja jatuh.
Dalam kesempatan itulah, seorang anak lagi telah
menyerang Mahisa Amping. Pukulannya tepat mengenai
lambungnya, sehingga Mahisa Amping menyeringai menahan
sakit. Tetapi dengan cepat Mahisa Amping bersiap
menghadapi k emungkinan yang lain, tepat pada saat seorang
gembala berusaha menangkap tangannya.
Tetapi Mahisa Amping ju stru menjatuhkan dirinya dan
berguling sekali. Namun kakinya sempat menyapu kaki
seorang yang tidak mengerti apa yang telah terjadi. Anak itu
memang jatuh terbanting, sementara Mahisa Amping telah
bangkit berdiri tegak di atas kedua kakinya.
Ternyata para gembala itu sama sekali tidak memiliki
sedikitpun bekal olah kanuragan. Sehingga karena itu, m aka
mereka berkelahi dengan cara mereka sendiri.
Namun dengan demikian bekal y ang sedikit y ang
dimiliki oleh Mahisa Amping serta usaha untuk meningkatkan
ketahanan tubuh yang selalu dilakukannya, telah cukup berarti
untuk menghadapi gembala-gembala yang mencoba untuk
mengganggunya itu. Dengan demikian meskipun seorang diri namun Mahisa
Amping telah berloncatan meny erang dari seorang ke orang
yang lain dengan tangkasnya. Sementara itu, anak-anak
gembala itu m enjadi k ebingungan. Ternyata anak y ang ingin
mereka jadikan sa saran kemarahan mereka itu memiliki
kemampuan diluar perhitungan mereka.Sehingga ju stru
merekalah y ang mengalami merah biru di tubuh mereka.
Ternyata perkelahian itu telah dilihat oleh beberapa
orang lewat. Semula mereka tidak mengira bahwa yang terjadi
itu benar-benar perkelahian. Mereka mengira bahwa para
gembala itu justru sedang bermain-main.
Tetapi ketika mereka melihat anak-anak yang kesakitan
dan bahkan m enangis, maka mereka baru menyadari, bahwa
yang terjadi adalah justru perkelahian.
Seorang y ang baru keluar dari kedai itu telah dapat
mengenali Mahisa Amping ketika anak itu berada di dalam
kedai. Karena itu, maka ia pun segera berlari-lari kembali ke
kedai justru pada saat Mahisa Murti dan saudara-saudaranya
keluar dari kedai itu. "Ki Sanak," berkata orang itu dengan serta merta, "anak
yang bersama Ki Sanak tadi berkelahi di luar gerbang
padukuhan." "He?" Mahisa Murti dan saudara-saudaranya terkejut.
Namun serentak mereka telah berlari -lari menyusulnya.
Ketika Mahisa Murti sampai di luar pintu gerbang, maka
ia melihat beberapa orang berusaha melerainya. Tetapi
MahisaAmping masih saja berusaha meny erang lawanlawannya.
Dua orang telah menangis. Seorang kesakitan,
justru yang terbesar di antara mereka. Punggungnya serasa
patah dan pelipisny a menjadi merah biru.
"Amping," panggil Mahisa Pukat sambil berlari-lari.
Ialah y ang kemudian menangkap anak y ang meronta-ronta
itu. "Merekalah y ang memulainya," teriak Mahisa Amping.
"Kau tidak boleh berkelahi begitu. Bukankah kau
melihat tadi kami melerai perkelahian" Sekarang justru kau
sendiri yang berkelahi?" sahut Mahisa Pukat.
"Aku tidak berbuat apa -apa. Tetapi mereka
menyerangku justru karena kakang melerai perkelahian itu.
Anak-anak itu merasa bahwa mereka akan menang ketika
kakang melerai mereka, sehingga mereka merasa kecewa,"
berkata Mahisa Amping. Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
rendah ia berkata, "Apakah benar demikian?"
Anak-anak gembala itu tidak m enjawab. Tetapi mereka
memang menjadi ketakutan. Jika anak sebesar Mahisa
Amping itu saja tidak dapat mereka kalahkan, apalagi orangorang
tua dan anak-anak muda itu.
Tetapi tidak nampak pada sikap anak-anak muda itu,
bahwa mereka akan melibatkan diri. Bahkan Mahisa Murti
telah mendekati anak y ang menangis itu sambil bertanya
lembut, "Kenapa kau menangis?"
"Perutku sakit," jawab anak itu.
"Kenapa?" bertanya Mahisa Murti.
"Anak itu menendang perutku," jawab anak itu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ia
tidak m elihat perkelahian itu, tetapi ia dapat membayangkan
bahwa Mahisa Amping telah berkelahi dengan garang. Ia telah
menyakiti hampir semua lawannya. Dua orang y ang menangis
itu tentu mendapat serangan y ang sangat kuat, sedangkan
gembala y ang terbesar di antara m ereka benar-benar menjadi
kesakitan. "Sudahlah, diamlah," berkata Mahisa Murti, "lain kali
sebaiknya kalian tidak berkelahi lagi. Adikku nanti akan
mendapat hukumannya karena ia telah berkelahi. Bukankah
tidak ada untungnya seseorang berkelahi" Yang kalah
kesakitan, y ang menang akan mendapat hukumannya?"
Anak itu mengangguk lemah.
"Nah, jika demikian diamlah," berkata Mahisa Murti
pula. Anak itu memang berusaha untuk menahan tangisny a.
Tetapi dengan demikian ia justru telah terisak-isak.
Mahisa Murti pun kemudian memberikan isyarat kepada
Mahisa Pukat, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping
untuk meninggalkan tempat itu.
Namun seorang dengan wajah cemas mencoba untuk
berbisik di telinga Mahisa Murti, "Bukankah yang terbesar di
antara anak-anak gembala itu adalah anak Kebo Gremeng?"
"Siapakah yang bernama Kebo Gremeng?" bertanya
Mahisa Murti. "Kau belum pernah mendengar namanya?" orang itu
menjadi heran. Mahisa Murti menggeleng lemah. Katanya, "Aku
memang belum pernah mendengarnya."
"Kau tentu orang yang datang dari jauh. Setiap orang di
sini tentu tahu siapakah Kebo Gremeng itu. Seorang gegedug
yang sangat ditakuti di sini," jawab orang itu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Jika
demikian, maka per soalannya akan dapat berkembang.
Namun Mahisa Murti m asih berharap bahwa ia mempunyai
kesempatan untuk meny ingkir.
Karena itu, m aka Mahisa Murti pun kemudian berkata
Mahisa Amping, "Marilah. Lebih baik kita menyingkir
daripada timbul per soalan y ang lebih rumit. Baru saja kita
keluar dari lingkaran yang mengikat kita beberapa hari.
Sekarang kita sudah akan memasuki persoalan baru."
Mahisa Amping pun membenahi pakaiannya. Ia tidak
membantah. Sementara itu Mahisa Semu telah
menggandengnya sambil berkata, "Jika kita masih harus
berhenti di setiap simpang ampat bahkan sampai sehari dua
hari, maka kita akan sampai ke tujuan setelah kau tua."
Mahisa Amping termangu-mangu. Tetapi akhirnya ia
menyahut, "Bukan salahku kakang."
"Aku tahu," jawab Mahisa Semu, "tetapi apa salahnya
jika kita menghindari perkelahian."
Mahisa Amping menjadi heran. Ia sudah melihat
saudara-saudaranya angkatnya itu berkelahi bukan hanya
sekali. Tetapi beberapa kali. Tetapi kenapa m ereka semuanya
seakan-akan menyalahkannya meskipun ia baru sekali
berkelahi. Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti dan saudarasaudara
angkatnyapun telah mulai melangkah pergi. Beberapa
orang masih saja berkerumun. Namun sebagian besar dari
mereka tahu, bahwa anak y ang berusaha menyingkir itu tidak
bersalah. Orang -orang di sekitar padukuhan itu mengenal
bahwa sekelompok gembala itu memang terdiri dari anakanak
nakal. Mereka sudah sering berkelahi di antara anakanak
gembala. Setiap kali mereka menang dan menyakiti
lawan-lawannya, maka mereka merasa bahwa mereka menjadi
semakin bangga. Jika orang-orang tua anak-anak yang
disakitinya turut cam pur, maka Kebo Gremeng itu m endapat
alasan untuk memukuli orang.
Itulah sebabnya, ketika orang tua gembala-gembala y ang
baru saja dilerai oleh Mahisa Murti dan saudara-saudara
angkatnya mengetahui bahwa yang menyakiti anaknya adalah
sekelompok gembala y ang di antaranya adalah anak Kebo
Gremeng, m aka orang-orang tua mereka pun harus berpikir
dua kali. Ketika mereka menemui Ki Bekel, maka Ki Bekel pun
menjadi ragu -ragu. "Apakah kita akan membiarkannya untuk seterusnya, Ki
Bekel," bertanya orang tua dari anak y ang terluka.
"Aku memang menjadi sangat berprihatin," jawab Ki
Bekel. " Jadi?" bertanya orang itu.
"Aku minta waktu," jawab Ki Bekel.
Orang-orang itu pun menyadari, bahwa sulit untuk
dapatmengatasi Kebo Gremeng. Tetapi mereka pun ingin
bahwa apa yang selalu terjadi itu tidak akan terjadi lagi.
Namun dalam pada itu, seorang telah singgah pula di
rumah Ki Bekel, memberitahukan, bahwa anak-anak itu telah
berkelahi lagi. Lawannya hanya seorang. Tetapi ternyata yang
seorang itu memiliki kelebihan. Beberapa orang gembala yang
mengeroy oknya telah dikalahkannya. Termasuk anak Ki Kebo
Gremeng. Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Namun ia pun
kemudian berkata kepada diri sendiri, "Jika anak Kebo
Gremeng tersangkut di dalamnya, apalagi jika anak itu
dikalahkan, maka tentu akan timbul persoalan tersendiri."
Karena itu maka Ki Bekel akhirnya memutuskan untuk
pergi ke tempat perkelahian itu. Katanya, "Syukurlah jika tidak
terjadi apa-apa." Ber sama beberapa orang bebahu serta orang y ang
memberikan laporan tentang perkelahian itu serta beberapa
orang tua dari gembala-gembala y ang disakiti oleh kelompok
anak Ki Kebo Gremeng, Ki Bekel telah pergi ke pintu gerbang
padukuhannya dekat kedai yang baru saja ditinggalkan oleh
Mahisa Murti bersama saudara-saudara angkatnya.
Ketika Ki Bekel sampai ke tempat itu, m aka ia sudah
tidak menjumpai orang-orang yang terlibat dalam perkelahian
itu. Tetapi seorang di antara mereka yang masih berkerumun
di tempat itu berkata kepada Ki Bekel, "Ki Kebo Gremeng juga
telah sampai kemari."
" Di mana ia sekarang?" bertanya Ki Bekel.
" Ia pergi menyusul anak yang dikatakan menang
meskipun dikeroy ok oleh beberapa orang gembala," berkata
orang itu. "Mereka pergi ke arah mana?" bertanya Ki Bekel pula.
Orang itu telah menunjuk ke arah Mahisa Murti
membawaMahisa Amping menyingkir yang kemudian disusul
oleh Kebo Gremeng. "Orang-orang itu agaknya sudah berusaha m enghindari
persoalan," berkata orang itu, "tetapi ...."
"Tetapi apa?" bertanya Ki Bekel.
Orang itu termangu -mangu. Dipandanginya beberapa
orang yang berdiri di sekitarnya. Lalu katanya, "Entahlah.
Tetapi mereka pergi ke sana."
Ki Bekel mengetahui bahwa orang itu tidak berani
menyatakan pendapatnya. Jika pendapatnya itu didengar oleh
pengikut Kebo Gremeng, maka ia akan mendapatkan
kesulitan. Karena itu, maka Ki Bekel tidak bertanya lagi. Sebuah
iring-iringan kecil telah mengikutinya menyusul Kebo
Gremeng y ang tentu juga tidak sendiri.
Sebenarnyalah saat itu Kebo Gremeng bersama dengan
tiga orang kawannya tengah menyusul Mahisa Murti. Mereka
berjalan tergesa -gesa, bahkan sekali-sekali berlari -larian.
Disamping ketiga orang pengikutnya, lima orang gembala ikut
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pula bersama mereka. Lima orang anak-anak y ang masih
sangat muda, sebaya dengan Mahisa Amping. Tiga di antara
mereka adalah para gembala yang telah ikut berkelahi
termasuk anak Kebo Gremeng itu sendiri.
Dengan wajah y ang tegang oleh kemarahan di dalam
dadanya, Kebo Gremeng berusaha untuk dapal menemukan
orang y ang telah berani menghinanya dengan mengganggu
anaknya. Dalam pada itu, Mahisa Murti dan saudara-saudaranya
memang telah berjalan semakin jauh. Mereka berharap bahwa
persoalan anak-anak itu tidak akan menimbulkan masalah
yang lebih besar. Karena itu, maka karena mereka benar-benar
berusaha untuk m enghindarinya. Mereka telah memilih jalan
yang tidak banyak dilalui orang agar seandainya ada orang
yang menyusulnya tidak akan dapat menemukannya.
Meskipun demikian Mahisa Murti dan saudarasaudaranya
masih juga memikirkan kemungkinan bahwa
gegedug y ang bernama Kebo Gremeng itu akan menyusulnya.
Namun pada itu, Kebo Gremeng memang cukup cerdik.
Di setiap simpangan ia telah berusaha untuk mengetahui arah
perjalanan orang-orang yang dicarinya. Orang-orang yang
ditanyainya t idak ada y ang berani berbohong kepadanya.
Semua orang menunjukkan arah yang sebenarnya dari orangorang
y ang disusulnya. Dengan demikian, meskipun Mahisa Murti telah
mengambil jalan-jalan sempit, namun akhirnya Kebo
Gremeng telah berhasil m enyusulnya. Bahkan dari kejauhan
Kebo Gremeng telah melihat sekelompok kecil y ang berjalan
menyusuri jalan sempit menembus sebuah bulak yang cukup
panjang. Mahisa Murti y ang menyadari, bahwa perjalanannya
telah disusul oleh orang y ang tidak diharapkannya itu, berkata
kepada Mahisa Amping, " Jika mereka datang menyusul kita,
maka kau jangan ikut berbicara. Biar kakang saja yang
menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Kau tidak usah ikut
memberi penjela san apapun."
Mahisa Amping mengangguk kecil.
"Nah, kita tidak mempunyai pilihan lain kecuali
menunggu mereka," berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Wantilan seperti juga
Mahisa Murti merasa sangat terganggu dengan orang-orang
yang menyusulnya itu. Tetapi mereka memang harus
melayaninya apapun y ang dikehendaki. Bahkan mungkin
kekerasan. Namun Mahisa Murti memang harus menunggu. Ia pun
kemudian berdiri bersandar sebatang pohon dadap di pinggir
jalan. Adalah tidak biasa bahwa sebatang pohon dadap serep
ditanam di tanggul di tengah-tengah bulak. Bia sanya sebatang
pohon dadap serep ditanam di dekat sumur di halaman
samping. Sementara itu, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan
Wantilan duduk di tanggul y ang berbatu-batu bersama dengan
Mahisa Amping. Dengan berdebar-debar m ereka menunggu
iring-iringan y ang semakin lama menjadi semakin dekat.
Dengan serta merta mereka langsung dapat mengetahui, yang
manakah yang bernama Kebo Gremeng menilik sikap dan
pakaiannya. Sebuah golok y ang besar terselip di lambungnya.
Tangkainya mencuat di depan perutnya yang membesar.
Namun dalam pada itu, Kebo Gremeng sama sekali tidak
senang melihat sikap orang -orang yang menunggunya dengan
tenang. Ia membayangkan bahwa jika ia berhasil menyusul
orang-orang itu, mereka akan segera berlari-larian. Tetapi
karena di antara m ereka terdapat seorang anak kecil, maka
mereka tentu tidak akan dapat berlari terlalu cepat.
Tetapi ternyata tidak demikian. Orang-orang itu tidak
berlari-lari ketakutan. Tetapi mereka menunggunya dengan
tenang. " Iblis itu memang harus dibuat jera," geram Kebo
Gremeng Mahisa Murti y ang m elihat iring-iringan itu m endekat,
melangkah m eny ongsongnya. Sementara itu y ang lain m asih
tetap duduk dengan tenang tanpa menghiraukan kehadiran
orang y ang paling ditakuti di daerah itu.
" Iblis kalian," geram Kebo Gremeng setelah ia m enjadi
semakin dekat. "Ada apa Ki Sanak?" bertanya Mahisa Murti.
" Jangan pura-pura. Kau harus bertanggung jawab. Kau
sakiti anak-anak kami. Maksudmu anakku dan anak tetanggatetanggaku.
Apa salah mereka he?" teriak Kebo Gremeng.
"Siapa y ang menyakiti anakmu?" bertanya Mahisa
Murti. "Aku bawa anakku sekarang. Biarlah ia menjawab
pertanyaanmu," sahut Kebo Gremeng.
Mahisa Murti mengangguk-angguk,sementara Kebo
Gremeng berkata kepada anaknya, "Katakan apa y ang terjadi."
"Ay ah. Anak kecil itu berusaha untuk mengganggu
kawan-kawan gembala. Aku berusaha mencegahnya. Tetapi ia
sama sekali tidak menghiraukannya. Bahkan ia telah
menantangku berkelahi. Tetapi ketika ia mulai kalah dan
menangis, kakaknya telah ikut campur. Tidak hanya seorang.
Tetapi semuanya telah ikut menyakiti aku," jawab anak Kebo
Gremeng. "Nah," geram Kebo Gremeng, "kau dengar."
Mahisa Murti sama sekali tidak menunjukkan
kegelisahannya. Bahkan ia pun kemudian berkata, "Aku sudah
menduga, bahwa anakmu m emiliki kemampuan berbohong.
Tetapi tidak apa -apa. Barangkali bakat itu menurun dari
ay ahnya." "Setan kau," bentak Kebo Gremeng, "kau tahu siapa
aku?" "Baru sekarang aku melihat orang yang bernama Kebo
Gremeng," jawab Mahisa Murti. Lalu katanya, "Jika kau ingin
anakmu memiliki kemampuan seorang gegedug, ajari anakmu
dengan ilmu kanuragan. Bukan kau ajari cara untuk
berbohong." Kebo Gremeng menggeretakkan giginya. Dipandanginya
Mahisa Murti dengan tajamnya. Ia tidak mengira bahwa di
dalam hidupnya ia pernah bertemu dengan seseorang yang
telah berani menghinanya.
Namun justru karena kemarahan y ang menghentakhentak
di dadanya, untuk sejenak ia justru bagaikan
terbungkam. Kawannyalah yang melangkah maju sambil berkata,
"Kita tidak perlu berbicara lagi."
Kebo Gremeng mengangguk kecil. Tetapi Mahisa Murti
masih berkata, "Apakah kau ingin membuktikan kebenaran
kata-kata anakmu. Di sini adikku masih ada. Jika benar
anakmu menang atas adikku seperti yang dikatakannya, maka
perkelahian itu dapat diulanginya sekarang."
Tetapi nampaknya Kebo Gremeng telah
memperhitungkan kemungkinan itu. Karena itu, maka seorang
di antara anak-anak yang mengikutinya telah melangkah maju
sambil berkata,"Biar aku saja yang mencobanya. Jika anak
paman Kebo Gremeng yang turun ke arena, maka anak itu
akan dapat mati." Kebo Gremeng termangu-mangu. Namun Mahisa Pukat
tiba -tiba saja berkata,"Nampaknya memang sudah diatur
begitu." " Diam kau," bentak Kebo Gremeng, "atau aku bunuh
kau." Mahisa Pukat tertawa. Katanya, "Baiklah. Biarlah adikku
berkelahi dengan pahlawan y ang kau anggap dapat
menyelamatkan anakmu itu."
Tangan Kebo Gremeng menjadi gemetar. Biasanya ia
tidak m enunggu lagi. Tetapi ia m asih m encoba menahan diri
untuk membuktikan, bahwa y ang dikatakan oleh anaknya itu
benar. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Mahisa Pukat,
agaknya memang sudah diatur bahwa yang akan berkelahi
bukan anak Kebo Gremeng y ang memang sudah dikalahkan
oleh Mahisa Amping. Bahkan bukan seorang lawan seorang,
tetapi anak Kebo Gremeng bertempur bersama kawankawannya.
Dalam pada itu, seorang di antara para gembala y ang
ikut bersama Kebo Gremeng itu melangkah maju sambil
bertolakpinggang. Dengan garang anak itu berkata, "Kita akan
berperang tanding." Mahisa Pukat tertawa. Katanya, "Darimana kau
mendapat istilah itu" Jangan sebut perang tanding. Berkelahi
begitu saja akan lebih sesuai dengan kalian."
"Tutup mulutmu," Kebo Gremenglah yang membentak.
Tetapi Wantilan dan Mahisa Semu justru ikut tertawa.
Dengan nada tinggi di sela -sela tertawanya Mahisa Semu
berkata, "Jangan terlalu garang. Semua orang sudah tahu,
bahwa kau adalah seorang gegedug y ang ditakuti. Berbuat
wajar sajalah." Hampir saja Kebo Gremeng meloncat menerkam Mahisa
Semu. Tetapi gembala itu telah berteriak, "beri aku
kesempatan mematahkan leher anak yang sombong itu."
Kebo Gremeng memang mengurungkan niatnya. Namun
sekali lagi jantungnya bagaikan meledak ketika Mahisa Pukat
berkata, "Anak itu sudah dapat mengucapkan istilah-istilah
yang dapat mendirikan bulu tengkuk."
Namun sementara itu Mahisa Amping menjadi gelisah.
Ia ingin menerima tantangan itu. Tetapi ia menunggu isyarat
Mahisa Murti. Mahisa Murti y ang dapat melihat kegelisahan Mahisa
Amping itu pun kemudian bertanya kepadanya, "Apakah kau
bersedia berperang tanding?"
Mahisa Amping mengangguk sambil m enjawab pendek,
"Ya." "Bagus," desis Mahisa Murti, "lakukan. Kau ditantang
oleh gembala itu." Mahisa Amping pun terseny um. Dengan langkah y ang
tetap ia pun maju mendekati gembala y ang sudah berdiri
dalam kesiapan. Namun Mahisa Amping memang harus berhati-hati.
Gembala itu tidak lebih besar dari anak Kebo Gremeng. Tetapi
nampaknya anak itu memiliki kelebihan dari anak Gebo
Gremeng itu sendiri. "Kita akan menjadi saksi," berkata Mahisa Murti, "anakanak
itu akan membuktikan, apakah y ang dikatakan oleh anak
Kebo Gremeng itu benar. Sebenarnya aku tidak senang
melihat anak-anak berkelahi. Tetapi apa boleh buat."
"Aku tidak akan sekedar berkelahi," sahut gembala itu,
"tetapi aku akan berperang tanding."
"Baiklah. Lakukan perang tanding itu. Kami yang tuatua
akan menjadi saksi y ang baik, y ang tidak akan
mengganggu jalannya permainan y ang tidak wajar ini."
Sejenak kemudian kedua orang anak itu sudah
berhadapan. Keduanya telah bersiap untuk berkelahi yang
menurut istilah gembala itu berperang tanding.
Sejenak kemudian, gembala y ang memiliki kelebihan
dari anak Kebo Gremeng itu mulai meloncat meny erang.
Tetapi Mahisa Amping sudah siap menghindari serangan itu.
Dengan tangkasnya ia meloncat kesamping. Namun tiba-tiba
sa ja lawannya telah berputar dengan ayunan kaki mendatar.
Mahisa Amping sama sekali tidak m enduga. Karena itu
pada serangan kedua Mahisa Amping telah dikenai oleh kaki
lawannya sehingga Mahisa Amping itu jatuh berguling.
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya terkejut. Namun
dengan demikian mereka mengetahui bahwa gembala itu tentu
pernah mempelajari olah kanuragan serba sedikit.
Sementara itu Kebo Gremeng y ang menjadi tegang oleh
kemarahan y ang tertahan, tiba -tiba saja dapat tertawa, ju stru
semakin lama semakin keras.
Dengan perut yang terguncang-guncang Kebo Gremeng
berkata di sela-sela dari tertawanya, " Itukah anak yang kau
banggakan" Jika terbukti bahwa anakmu telah bersalah
kemudian kalian bersalah pula terhadap anakku dan kawankawannya,
maka jangan meny esali nasib buruk kalian."
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya sama sekali tidak
menjawab. Namun mereka menyaksikan Mahisa Amping
dengan tangkasnya meloncat bangkit dan berdiri tegak
menghadapi segala kemungkinan.
Kebo Gremeng pun kemudian telah berhenti tertawa. Ia
bahkan m enjadi t egang kembali k etika ia melihat bagaimana
Mahisa Amping itu bangkit.
Sejenak kemudian gembala itu telah mulai meny erang
lagi. Demikian Mahisa Amping meloncat menghindar, m aka
gembala itu telah berputar dengan kaki mendatar.
"Serangan itu ternyata telah diulang kembali," berkata
Mahisa Amping di dalam hatinya disaat ia meloncat
menghindarinya. Serangan yang kedua itu sama sekali tidak
berhasil sebagaimana serangannya terdahulu.
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah menarik
nafas panjang. Apalagi ketika kemudian justru Mahisa Amping
lah yang sempat menjajagi kemampuan lawannya. Ketika
sekali lagi lawannya meny erang, kemudian berputar dengan
ayunan kaki m endatar, maka tahulah Mahisa Amping, bahwa
unsur gerak itu merupakan unsur gerak y ang setidak-tidaknya
paling dikuasai oleh lawannya seandainya ia memiliki
kemampuan melakukan unsur-unsur gerak y ang lain.
Dengan demikian maka Mahisa Amping telah mampu
menempatkan diri ketika lawannya sekali lagi meny erang. Ia
tidak menghindar sebagaimana dilakukan sebelumnya. Tetapi
ia menghindar ke arah y ang berbeda meskipun Mahisa
Amping menyadari bahwa cara y ang dilakukan itu berbahaya.
Sebenarnyalah bahwa demikian Mahisa Amping
meloncat, maka gembala itu telah menyusul dengan
serangannya berikutnya. Satu tendangan yang keras sambil
membelakangi Mahisa Amping dengan membungkukkan
badannya dan bertumpu pada kedua tangannya yang
menyentuh tanah. Sekali lagi Mahisa Amping telah dikenai serangan itu.
Hampir saja Mahisa Amping terjatuh terlentang. Tetapi ia
masih mampu m empertahankan keseimbangannya, sehingga
ia masih tetap tegak terdiri.
Yang kemudian diketahui oleh Mahisa Amping adalah
cara lawannya menyerang. Jika ia menghindari dengan arah
yang pertama, maka lawannya itu akan berputar dengan kaki
terayun mendatar. Tetapi jika ia menghindar ke arah yang
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebaliknya, maka ia akan membelakanginya, kemudian
membungkuk dan bertumpu pada kedua tangannya sementara
kakinya terjulur lurus ke belakang.
Dengan demikian maka Mahisa Amping yang tangkas itu
mulai mempermainkannya. Ternyata gembala itu lebih banyak
mempergunakan kedua unsur gerak rangkap itu. Meskipun ia
mampu melakukan yang lain, tetapi tidak setangkas jika ia
melakukan kedua unsur itu sehingga Mahisa Amping mampu
mengimbanginya. Karena itu, maka perkelahian di antara kedua orang
anak itu semakin lama semakin sengit. Jika Mahisa Amping
yang serba sedikit pernah diberi petunjuk oleh Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat sejak ilmunya y ang diterima di padepokan
yang beraliran hitam itu dimusnahkan, maka lawannya pun
memang pernah juga mengenali ilmu kanuragan serba sedikit,
meskipun ilmu y ang kasar.
Dengan dasar-dasar olah kanuragan itulah kedua anak
itu saling meny erang dan bertahan.
Namun ternyata daya tahan tubuh Mahisa Amping
masih lebih baik dari lawannya. Mahisa Amping y ang terbia sa
menjalani laku y ang berat bahkan setiap hari, mampu
mengatasi kekuatan day a tahan lawannya mulai susut.
Dengan demikian, maka keseimbangan perkelahian itu
pun mulai berubah. Gembala itu tidak lagi mampu meny erang
dan bertahan dengan kekuatannya sepenuhnya. Keringatnya
bahkan seakan-akan telah terperas dari tubuhnya. Nafa snya
mulai berkejaran di lubang hidungnya.
Kebo Gremeng mulai menjadi cemas. Gembala
kebanggaannya itu ternyata mengalami kesulitan. Bahkan
kemudian serangan Mahisa Amping pun telah mulai mengenai
tubuhnya. Ketika anak itu berusaha menyerang Mahisa
Amping, maka Mahisa Amping telah menghindar ke arah pola
unsur gerak gembala itu y ang pertama. Karena itu, ketika
gembala itu berputar dengan kaki t erayun mendatar, Mahisa
Amping justru telah menjatuhkan diri dan merendah sehingga
ayunan kaki itu lewat di atas kepalanya. Namun pada saat
yang bersamaan, Mahisa Amping telah berguling sambil
menjulurkan kakinya meny ilang menyapu kaki lawannya
tempat bertumpu pada putarannya.
Sapuan kedua kaki Mahisa Amping yang menyilang dan
kemudian diputar itu akibatnya memang pahit bagi lawannya.
Kakiny a bagaikan dihentakkan dengan kekuatan y ang sangat
besar, sehingga gembala itu jatuh terbanting di tanah. Dengan
gerak naluriah tangan gembala itu berusaha untuk menahan
tubuhnya, namun justru karena itu, maka pergelangan
tangannya itu bagaikan menjadi retak.
Ketika gembala itu berusaha untuk bangkit dan
bertumpu pada tangannya itu, maka ia pun telah m enjerit.
Bahkan kemudian gembala itu telah mengaduh kesakitan.
Tertatih-tatih anak itu bangkit. Tetapi ia tidak mampu
bertahan lagi, sehingga akhirnya anak itu menangis sambil
memegangi pergelangan tangannya itu.
Kebo Gremeng menjadi tegang. Ternyata gembala itu
sama sekali tidak mampu mengalahkan Mahisa Amping.
Bahkan gembala itu telah menangis kesakitan meskipun ia
berusaha untuk bertahan. Tetapi titik -titik air matanya
mengalir semakin deras. Bahkan gembala itu pun kemudian terisak.
"Kelinci cengeng," geram Kebo Gremeng, "kenapa kau
menangis seperti itu" Bukankah kau mengaku tidak
terkalahkan di antara anak-anak sebay amu. Bahkan kau
menang atas anakku?"
Anak itu sama sekali tidak m enjawab. Tetapi tangannya
yang bagaikan patah itu memang terasa sakit sekali, sehingga
anak itu tidak mungkin lagi untuk meneruskan perkelahian.
"Nah," tiba -tiba Mahisa Murti berkata, "apa yang akan
kau katakan sekarang tentang gembala-gembala itu" Apakah
kau masih menganggap bahwa adikku itu dengan mudah akan
dapat dikalahkan" Apakah kau masih menganggap bahwa aku
harus membantunya dan aku serta saudara-saudaraku telah
ikut menyakiti anak-anak?"
"Persetan," geram Kebo Gremeng, "aku tidak peduli apa
yang sudah dilakukan anak-anak. Aku tidak terbia sa
menunggu dan menahan diri seperti sekarang ini. Karena itu,
maka jangan meny esal jika aku melakukan kebia saanku."
"Apa kebiasaanmu?" bertanya Mahisa Murti.
"Memukuli orang sampai setengah mati. Bahkan jika
perlu membunuh," jawab Kebo Gremeng.
Namun Mahisa Pukat lah yang menjawab dengan
jawaban y ang mengejutkan, "Ternyata kita mempunyai
kebiasaan y ang sama. Sudah sepekan aku tidak memukuli
orang. Tetapi jangan kau kira bahwa karena itu aku lalu
memukuli anak-anak."
"Cukup," bentak Kebo Gremeng, "agaknya kau benarbenar
belum mengenal aku."
"Benar. Aku baru tahu tentang kau hari ini. Menurut
kata orang kau adalah seorang gegedug yang ditakuti. Nah,
orang seperti kau inilah yang kami tunggu. Dengan demikian,
maka kami akan sedikit mendapat kepuasan," jawab Mahisa
Pukat. " Iblis kau," Kebo Gremeng itu berteriak, "aku koy ak
mulutmu." Kebo Gremeng itu pun telah meloncat menerkam
Mahisa Pukat. Ia tidak mampu menahan diri sebagaimana
telah dilakukannya yang menyimpang dari kebia saannya.
Sebagai seorang gegedug y ang ditakuti, maka Kebo
Gremeng terbiasa untuk memukuli orang lain. Dengan sekali
pukul orang itu telah menjadi pingsan. Ia pun berniat untuk
memukul Mahisa Pukat sehingga membuatnya pingsan.
Tetapi gegedug itu terkejut. Tangannya tidak menggapai
apapun juga. Mahisa Pukat begitu cepatnya meloncat
menghindar sehingga luput dari serangannya.
Bahkan sebelum ia m enyadari keadaannya sepenuhnya,
terasa tangan yang sangat kuat telah mendorongnya sehingga
Kebo Gremeng itu jatuh terjerembab. Mulutnya telah
membentur tanah y ang keras sehingga bibirnya diluar
sa darnya terjepit di antara giginya dan berdarah.
Dengan cepat Kebo Gremeng bangkit. Ia menjadi
semakin marah ketika ia menyadari, bahwa mulutnya telah
berdarah. Ketika ia mengusap dengan punggung telapak
tangannya, maka ia melihat warna merah itu membasahi
kulitnya. Karena itu, maka tiba -tiba saja ia telah memberikan
isy arat kepada tiga orang kawannya untuk meny erang
bersama-sama. Namun ketika ketiga orang kawannya itu bergerak, maka
Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Wantilan pun telah bergerak
pula bersama-sama. "Apakah secara kebetulan jumlah kita sama, atau kalian
memang dengan sengaja menyamakan jumlah itu?" bertanya
Mahisa Pukat sambil bertolak pinggang.
"Persetan," geram Kebo Gremeng, "aku akan benarbenar
membunuh." Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun
menurutperhitungannya, maka kawan Kebo Gremeng itu tentu
tidak setangkas gegedung itu. Dengan demikian maka Mahisa
Pukat mengharap bahwa Mahisa Semu dan Wantilan akan
dapat mengatasi lawan-lawannya. Bahkan jika perlu, Mahisa
Pukat dan menghadapi dua di antara mereka dan Mahisa
Murti akan dapat membantu Mahisa Semu dan Wantilan.
Namun semuanya masih harus dijajagi lebih dahulu agar
Mahisa Semu dan Wantilan tidak merasa direndahkan
kemampuannya. Sejenak kemudian, m aka keempat orang itu pun telah
mendapat lawannya masing-masing. Sementara itu Mahisa
Murti berpesan kepada Mahisa Amping, "Kau tidak boleh
berkelahi. Kecuali jika kau harus membela diri karena kau
diserang." "Tetapi kakang akan berkelahi," desis Mahisa Amping.
"Aku pun tidak akan berkelahi jika aku tidak diserang,"
jawab Mahisa Murti. Mahisa Amping tidak bertanya lagi. Namun sekali-sekali
ia memperhatikan gembala -gembala y ang dengan tegang
memperhatikan perkelahian itu. Biasanya Kebo Gremeng
hanya membutuhkan waktu sekejap untuk mengalahkan
lawannya. Mahisa Amping y ang masih marah itu rasa-rasanya
ingin meloncat menerkam para gembala itu. Lebih-lebih anak
Kebo Gremeng y ang telah mereka-reka ceritera yang bohong
sama sekali, meskipun agaknya ia hanya dituntun oleh
ay ahnya. Tetapi Mahisa Amping tidak berani melanggar pesan
kakak angkatnya. Agaknya kakak angkatnya bersungguhsungguh
melarangnya untuk berkelahi jika tidak diserang.
Karena itu, bahkan Mahisa Amping mengharap agar gembalagembala
itu meny erangnya. Ketika salah seorang dari gembala itu kebetulan
memandanginya maka ia pun telah menjulurkan lidahnya agar
gembala itu m enjadi m arah. Tetapi gembala itu dengan serta
merta telahberpaling. Mahisa Amping hanya dapat m enggeram,tetapi ia tidak
menyerang. Sementara itu Mahisa Murti telah bertempur dengan
salah seorang kawan Kebo Gremeng. Tidak ada kesulitan sama
sekali. Seandainya ia langsung mengakhiri pertempuran pun
agaknya akan dapat dilakukannya. Tetapi Mahisa Murti tidak
melakukannya. Ia masih ingin melihat apa y ang terjadi dengan
Wantilan dan Mahisa Semu.
Namun keduanya pun ternyata memiliki kemampuan
yang lebih baik dari lawan-lawan mereka. Mahisa Semu
bertempur tanpa mempergunakan senjatanya, karena
lawannya pun tidak bersenjata. Lawannya memang tidak
menduga bahwa ia telah bertemu dengan orang-orang yang
memang berilmu. Ternyata berbeda dengan Mahisa Murti, Mahisa Semu
dan Wantilan tidak membiarkan lawannya mendapat hati.
Mereka telah m enekan lawannya secepatnya, sehingga dalam
waktu yang singkat maka kedua orang kawan Kebo Gremeng
itu sudah terdesak. Karena itu, maka tidak ada kemungkirian lain y ang
dapat mereka lakukan kecuali menarik senjata-senjata
mereka. Tetapi mereka tidak menyadari, bahwa dengan demikian
mereka justru telah menjerumuskan diri mereka sendiri
kedalam kesulitan. Karena mereka mempergunakan senjata,
maka dengan demikian maka Mahisa Semu dan Wantilan pun
telah menggenggam senjata pula ditangan mereka.
Bahkan Mahisa Semu sempat berkata, "Kalian telah
mempercepat nasib buruk yang akan menimpa kalian."
"Persetan," geram lawan Mahisa Semu, "jangan
menyesal jika perutmu akan terkoyak."
Mahisa Semu justru tertawa pendek. Katanya, "Orangorang
seperti kalian memang harus dibuat jera."
Kedua orang itu tidak menjawab lagi. Mereka telah
melibat Mahisa Semu dan Wantilan dengan seranganserangan
y ang cepat dan langsung mengarah ke tempattempat
y ang paling berbahaya pada tubuhnya.
Tetapi ju stru kemampuan Mahisa Semu adalah pada
ilmu pedangnya. Meskipun belum mencapai tataran yang
tinggi, namun ternyata cukup memadai sebagai bekal
menghadapi orang-orang y ang semula merasa diri mereka
tidak terkalahkan. Bahkan dalam waktu y ang singkat Mahisa Semu telah
berhasil menekan lawannya sehingga seakan-akan kehilangan
ruang gerak. Wantilan memang tidak m endor ong lawannya dengan
kemampuannya. Ketika ia m elihat Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat yang tidak bertempur dengan bersungguh-sungguh,
maka Wantilan pun telah berusaha untuk menahan diri.
Beberapa saat kemudian, maka Kebo Gremeng telah
menyadari bahwa anak m uda itu memang bukan lawannya.
Meskipun anak muda itu tidak dengan serta merta
menghancurkannya, tetapi Kebo Gremeng merasa bahwa pada
satu saat ia akan dipaksa untuk berlutut di hadapannya disaatsaat
nafasny a akan putus. Karena itu, m aka ia memang tidak mempunyai pilihan
lain kecuali melihat keny ataan itu. Apalagi ketika sekali dua
kali Mahisa Pukat mulai meny entuh tubuhnya meskipun tidak
lebih hanya dengan ujung-ujung jarinya. Tetapi ketika ujung
ibu jarinya menyentuh pangkal lehernya, m aka rasa-rasanya
nafasnya telah tersumbat. Karena itu, maka ia pun telah
meloncat mengambil jarak, sementara lawannya tidak
mengejarnya, Mahisa Pukat telah memberinya kesempatan
untuk bernafas. Dalam keadaan yang demikian, maka Mahisa Pukat tiba -
tiba saja b erkata, "Meny erahlah. Aku tidak akan berbuat apaapa."
Kebo Gremeng y ang tidakpernah direndahkan itu
memang sulit untuk menerima kenyataan itu. Tetapi ketika
sekali lagi ujung tiga jari tangan Mahisa Pukat yang merapat
mengenai bagian bawah dadanya, maka Kebo Gremeng tidak
dapat mengelak lagi. Ia tidak ingin menarik senjatanya, karena
hal itu akan berakibat sangat buruk bagi dirinya sebagaimana
kemudian dilihatnya pada lawan Mahisa Semu. Meskipun
Mahisa Semu tidak berniat untuk membunuh, tetapi ujung
senjatanya ternyata telah tergores di kulit lawannya sehingga
darah pun telah mengalir dari luka itu.
Sambil meny eringai menahan pedih orang itu m eloncat
menjauh. Selangkah demi selangkah Mahisa Semu maju
mendekatinya sambil berkata, "Senjatamu telah membuatmu
mengalami banyak kesulitan. Lemparkan senjatamu, maka
aku pun akan menyarungkan senjataku pula."
Orang itu masih saja ragu-ragu. Ujung senjatanya masih
teracu ke arah dada Mahisa Semu. Namun ketika sekali lagi
Mahisa Semu membentak, maka orang itu telah melemparkan
senjatanya. "Bagus," desis Mahisa Semu sambil menyarungkan
senjatanya, "dengan demikian kau selamat."
Orang-orang itu tidak dapat berbuat lain kecuali harus
menyerah. Kebo Gremeng dan kawan-kawannya ternyata
harus menghadapi satu keny ataan bahwa mereka telah
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berhadapan dengan orang -orang y ang b erilmu tinggi. Adalah
diluar dugaan m ereka bahwa anak-anak muda itu akhirnya
mampu merendahkannya dan membenturkan mereka pada
satu kenyataan, betapa luasnya dunia ini. Kebo Gremeng
mengira bahwa didunianya yang sempit, ia adalah orang yang
paling kuat, y ang tidak ada duanya. Namun pada suatu saat
telah datang diluar dugaan, orang-orang yang menunjukkan
didepan hidupnya, bahwa ia bukannya segala-galanya. Bahwa
orang yang bernama Kebo Gremeng itu adalah sangat kecil
dan tidak berarti apa -apa.
" Jika mereka menghendaki, mereka dapat
membunuhku," berkata Kebo Gremeng di dalam hatinya.
Namun yang dikatakan Mahisa Murti kemudian adalah,
" Ingat-ingatlah bahwa kau pernah mengalami sebagaimana
kau alami hari ini. Padahal aku bukan orang-orang berilmu
tinggi y ang dapat melampaui ilmu kami. Ingat itu. Jika kau
bertemu dengan m ereka, apalagi y ang berwatak kelam, maka
kau benar -benar akan menjadi cacing di telapak kaki mereka."
Kebo Gremeng mengerutkan keningnya. Tetapi ia
mampu mengerti apa y ang dikatakan oleh Mahisa Murti
sehingga kata-kata Mahisa Murti itu benar -benar telah
menyentuh hatinya. Karena itu, maka Kebo Gremeng itu akhirnya berkata,
"Aku mohon maaf anak-anak muda. Aku merasa betapa
dungunya aku selama ini. Betapa sempitnya penglihatanku
atas isi dunia ini. Aku kira aku adalah orang y ang tidak
terkalahkan." " Itu m emang terjadi di daerah sempit ini. Daerah y ang
sekedar sebuah kerikil kecil dari sebuah tepian yang sangat
luas. Karena itu, kau harus menyadari bahwa di dunia ini
terdapat rahasia yang sama sekali tidak pernah kau kenali,"
berkata Mahisa Murti, "bahkan seandainya kau adalah orang
berilmu tinggi sekalipun, maka kemampuan itu tentu ada
batasnya. Setiap orang mempunyai kelemahannya masingmasing.
Yang ilmunya setinggi langit pun akhirnya akan
bertemu dengan orang yang ilmunya lebih tinggi lagi. Bahkan
orang yang ilmunya tidak terjangkau, dapat saja suatu ketika
mengalami nasib buruk di tangan orang yang tidak berilmu
sama sekali." Kebo Gremeng mengangguk-angguk. Katanya, "Aku
mengerti." "Apakah akibat dari pengertianmu itu?" bertanya
Mahisa Murti. "Aku akan membuktikannya dalam tingkah laku,"
berkata Kebo Gremeng. "Nah. Katakan kepada gembala-gembala kecil itu,
bahwa apa yang telah mereka lakukan selama ini salah."
Kebo Gremeng m engangguk-angguk. Katanya, "Ya. Aku
akan mengatakan kepada mereka."
"Terima kasih," berkata Mahisa Murti, "masa depan
mereka masih panjang. Jika mereka terlanjur memasuki dunia
yang kau ciptakan bagi mereka, maka seperti kau maka
mereka akan melihat dunia ini begitu sempitnya. Mereka akan
merasa bahwa mereka adalah orang-orang y ang dapat berbuat
apa saja atas orang lain seperti y ang selalu kau lakukan."
Kebo Gremeng mengangguk. "Nah," berkata Mahisa Murti, "jika demikian maka kita
tidak m empunyai persoalan lagi. Ajak gembala -gembala kecil
itu kembali dan kau harus mengajari dan mengawasi mereka."
Kebo Gremeng mengangguk kecil sambil berdesis, "Baik
anak-anak muda." Namun sebelum Mahisa Murti meninggalkan tempat itu,
tiba -tiba saja mereka melihat beberapa orang datang
mendekat. "Siapakah mereka?" bertanya Mahisa Murti.
Kebo Gremeng tiba-tiba menggeram, "Ki Bekel."
"Ki Bekel?" ulang Mahisa Murti, "apa y ang akan kau
lakukan?" "O," suara Kebo Gremeng merendah, "aku harus
menahan diri. Aku harus berubah. Tetapi berubah dengan
tiba -tiba adalah sulit sekali."
"Aku tahu. Tetapi kau harus melakukannya," desis
Mahisa Murti. Sementara itu Ki Bekel melangkah semakin dekat.
Namun nampaknya ia memang ragu-ragu. Ki Bekel sadar,
dengan siapa ia berhadapan. Kebo Gremeng dengan kawankawannya.
Tetapi Ki Bekel memang menjadi heran. Nampaknya
tidak terjadi sesuatu antara Kebo Gremeng dengan anak-anak
muda itu. Anak-anak muda y ang menurut keterangan
beberapa orang telah m enyingkirkan adiknya y ang berkelahi
dengan anak Kebo Gremeng.
Sementara Ki Bekel ragu-ragu, maka tiba -tiba saja Kebo
Gremeng berkata, "Marilah Ki Bekel. Mungkin Ki Bekel
mempunyai satu keperluan."
Pertanyaan Kebo Gremeng itu sudah membuatnya
menjadi keheranan. Nampaknya Kebo Gremeng itu begitu
ramah. Namun Ki Bekel masih juga menduga, bahwa sikap itu
adalah sikap y ang dibuat-buat. Namun kemudian orang itu
akan menerkamnya dan meremasnya sampai lumat.
Tetapi selain Kebo Gremeng ternyata Mahisa Murti pun
juga mempersilahkan, "Marilah Ki Bekel."
Meskipun masih juga ragu-ragu namun Ki Bekel telah
melangkah mendekat. Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan
Wantilan telah bergeser beberapa langkah. Mahisa Amping
yang termangu mangu masih berdiri ditempatnya. Sementara
Ki Bekel melangkah semakin dekat.
Namun Ki Bekel pun kemudian m elihat beberapa buah
senjata y ang terletak di tanah, serta bekas-bekas yang
menunjukkan bahwa baru saja telah terjadi pertempuran.
Karena itu, maka Ki Bekel pun segera mengetahui,
bahwa bukannya tidak terjadi apa-apa di tempat itu.
"Ki Bekel," berkata Mahisa Murti, "Ki Bekel tentu
mengetahui apa yang telah terjadi di sini."
"Ya. Aku sudah menduga. Karena itu, kami menyusul
kemari," berkata Ki Bekel. Tetapi Ki Bekel itu m elanjutkan,
"tetapi kami sadar, bahwa kami tidak akan dapat banyak
berbuat. Meskipun demikian, karena tugasku, maka aku pun
datang kemari bersama beberapa orang ini."
Kebo Gremeng menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
tidak sempat berbicara karena Mahisa Murti sudah
mendahului, "Ki Bekel. Apakah mereka bertekad untuk
menangkap Kebo Gremeng?"
"Tentu tidak akan sekasar itu. Kami tahu, siapakah Kebo
Gremeng itu. Yang ingin kami lakukan adalah, agar tidak
terjadi salah paham, bahwa anak-anak telah berkelahi. Orang
tua gembala-gembala yang tahu bahwa anak mereka telah
berkelahi dengan anak Kebo Gremeng ingin memberikan
penjelasan. Aku adalah saksi karena tugasku," berkata Ki
Bekel. "Apakah yang akan mereka sampaikan?" bertanya
Mahisa Murti. Ki Bekel masih juga ragu-ragu. Ia tidak tahu pasti, akhir
dari perkelahian itu. Menilik anak-anak muda itu, maka
mereka tentu belum dikalahkan oleh Kebo Gremeng karena
biasanya orang yang berani berkelahi dengan Kebo Gremeng
tidak akan mampu untuk bangkit dari pembaringan setidaktidaknya
satu bulan. Bahkan ada orang yang ternyata menjadi
cacat dan tidak dapat ditolong lagi jiwanya. Meskipun Kebo
Gremeng tidak berniat membunuh, tetapi ia sudah
membunuh. "Kenapa kalian ragu-ragu. Katakan apa y ang telah
terjadi dan apa keinginan kalian. Kebo Gremeng sekarang
sudah berubah. Ia tidak akan berbuat liar lagi, kecuali ia
sendiri memang sudah jemu untuk hidup," berkata Mahisa
Murti. Ki Bekel dan orang-orang yang mengikutinya hampir
tidak percaya mendengar kata-kata itu. Apalagi Kebo Gremeng
memang tidak memberikan tanggapan apa-apa. Bahkan
kepalanya justru telah menunduk.
Orang-orang itu masing -masing bertanya didalam
hatinya, "Apakah Kebo Gremeng m emang sudah dikalahkan
oleh anak-anak ingusan itu?"
Tetapi tidak seorang pun y ang berani menanyakannya.
Sementara itu Mahisa Murti pun telah mendesak lagi,
"Katakan. Apa yang tersimpan di dalam hati kalian."
Ki Bekel berpaling, dipandanginya orang-orang y ang
menyertainya itu. Ternyata mereka hanya terbungkam saja.
"Katakanlah," desis Ki Bekel y ang m asih saja bernada
ragu-ragu. Namun akhirnya ada juga di antara orang tua anak-anak
itu. Orang yang sebelumnya telah bertemu dengan anak-anak
muda y ang menyatakan diri mereka sebagai pengembara, yang
telah melerai anak-anak itu berkelahi.
Dengan sedikit gemetar orang itu berkata, "Kami hanya
ingin menyatakan, bahwa anak-anak kami tidak ingin
berkelahi. Kami juga tidak ingin bermusuhan dengan siapapun
juga." Wajah Kebo Gremeng memang menegang. Tetapi ia
benar-benar berusaha mengekang dirinya. Bukan karena
masih ada anak-anak muda y ang tidak terkalahkan itu, tetapi
ia m emang ingin mencoba hidup seperti kebanyakan orang.
Bertetangga dengan baik. Berbincang -bincang di sudut
padukuhan menjelang senja setelah kerja di sawah selesai.
Dalam keadaan terjepit itu, ia baru menyadari, betapa
miskinnya hidup yang pernah ditempuhnya. Bukan karena ia
kekurangan uang dan tidak dapat mencukupi kebutuhan.
Tetapi ia seakan-akan hidup terpisah dari orang lain. Jika ia
hadir di manapun, maka orang-orang pun bagaikan meny ibak
menjauhinya. Demikian pula isteri dan anak-anaknya. Hanya
orang-orang tertentu yang mau berhubungan dengan dirinya,
istrinya dan anaknya. Gembala-gembala kecil y ang menjadi
kawan anak-anaknya adalah anak-anak pengikutnya atau
orang-orang yang justru sangat takut kepadanya y ang tinggal
di sekitar rumahnya. Karena Kebo Gremeng tidak segera menanggapi
pernyataan orang tua dari gembala y ang berkelahi dengan
anak Kebo Gremeng itu, maka Mahisa Murti pun berkata,
"Nah, apa yang akan kau katakan tentang pernyataan itu?"
Kebo Gremeng termangu-mangu. Seperti y ang
dikatakan, untuk berubah dengan tiba -tiba memang sulit.
Tetapi ia terpaksa menjawab, "Aku juga akan mengatakan hal
seperti itu." Ki Bekel dan orang-orang itu menjadi heran. Sementara
itu Mahisa Murti berkata, "Telah t erjadi perubahan di dalam
diri orang ini. Ia akan menyatakan satu janji di hadapan Ki
Bekel sebagai pemimpin y ang harus dipatuhi di padukuhan
ini." " Janji?" justru Ki Bekel menjadi heran.
"Ya, janji y ang akan ditepatinya, karena jika janji itu
tidak ditepati, maka akibatnya akan memukul dirinya sendiri,"
jawab Mahisa Murti. Ki Bekel masih saja merasa heran. Namun sedikit
banyak ia sudah dapat m eraba apa yang telah t erjadi. Anakanak
muda itu tentu sudah berhasil menguasai Kebo Gremeng,
sehingga di hadapan anak-anak muda itu Kebo Gremeng tidak
berani berbuat sesuatu. Tetapi bahwa anak-anak m uda itu dapat mengalahkan
Kebo Gremeng tentu merupakan sesuatu y ang tidak pernah
mereka duga sebelumnya. Namun m ereka melihat kenyataan itu. Kebo Gremeng
yang tidak mau berteka-teki lebih lama lagi telah mengaku.
"Aku tidak dapat mengingkari kenyataan ini," berkata
Kebo Gremeng, "tetapi apa y ang terjadi telah benar-benar
merubah pendirianku selama ini. Ternyata anak-anak muda
itu mampu mengalahkan aku."
"Tetapi....?" Ki Bekel tidak melanjutkan pertanyaannya.
Namun Kebo Gremeng mengetahui ke mana arah
pertanyaanitu. Karena itu, maka ia pun telah menjawab, "Aku
tidak berpura-pura sekarang. Dan bila anak-anak muda itu
pergi aku akan kembali k e tabiatku semula. Tidak. Aku sudah
berjanji untuk meninggalkan cara hidupku y ang tidak pantas
itu. Bukan hanya di hadapan anak-anak muda itu, tetapi untuk
seterusnya. Anak-anak m uda itu tidak sekedar mengalahkan
aku dan kawan-kawanku, tetapi mereka telah m enunjukkan
sesuatu yang selama ini belum aku lihat."
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Selama ini
pemerintahannya selalu dibayangi oleh kecemasan akan
tingkah laku Kebo Gremeng dan kawan-kawannya, sementara
ia tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mengatasinya.
Jika benar Kebo Gremeng itu berubah, m aka padukuhannya
tentu akan mengalami satu masa y ang tenang.
Namun melihat sikap dan sorot mata Kebo Gremeng,
maka orang itu tentu akan bersungguh-sungguh.
Karena itu, maka Ki Bekel itu pun berkata, "Terima kasih
Ki Sanak. Mudah-mudahan untuk selanjutnya, kita di sini
tidak akan selalu diganggu oleh kegelisahan."
"Aku y akin bahwa Kebo Gremeng kali ini berkata benar.
Sebagai seorang gegedug ia tidak akan mengatakannya
seandainya ia benar-benar tidak ingin berubah. Lidahnya dan
tingkah laku seorang gegedug biasanya akan menyatu
sebagaimana ia selama ini berbuat sebagaimana
dikatakannya," berkata Mahisa Murti.
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, "Terima kasih
atas perubahan ini. Pengaruhnya akan dirasakan bukan saja
oleh aku dan para bebahu, tetapi sudah tentu orang-orang di
sekitar kami-pun akan ikut merasakannya pula."
Namun Kebo Gremeng itu sendirilah y ang
melanjutkannya, "Kami menyadari sepenuhnya akan hal itu
sekarang setelah mata kami seakan-akan terbuka."
"Nah," berkata Ki Bekel kemudian kepada anak-anak
muda itu, "marilah. Kita akan berbicara di padukuhanku. Aku
persilahkan kalian singgah."
Tetapi Mahisa Murti tersenyum dan menjawab,
"Terimakasih Ki Bekel. Kami berharap bahwa Ki Bekel dan
Kebo Gremeng akan dapat meny elesaikan masalah kalian
sendiri. Aku sudah y akin akan kemauan baik kedua belah
pihak. Jika kemudian Kebo Gremeng benar-benar berniat
untuk merubah jalan hidupnya, berikan kesempatan. Jangan
mendendam atas tingkah lakunya y ang lalu, karena dendam
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hanya akan berbalas dendam saja."
"Apakah kalian tidak dapat singgah barang sebentar?"
bertanya Ki Bekel. "Kami mohon," minta orang tua yang anaknya berkelahi
dan berdarah. "Terima kasih," jawab Mahisa Murti, "kami masih akan
meneruskan pengembaraan kami sampai saatnya kami
mencapai padepokan kami. Jika kami terlalu sering singgah
dan berhenti, m aka aku takut bahwa kami tidak akan pernah
sampai, sementara orang tua kami telah menunggu dengan
tegang dan cemas." Ki Bekel, Kebo Gremeng dan orang -orang padukuhan itu
tidak dapat memaksa Mahisa Murti y ang justru telah m inta
diri. Demikian pula saudara-saudaranya sampai kepada
Mahisa Amping. Kebo Gremeng sempat menepuk pundak anak itu sambil
berkata, "Kau akan menjadi seorang yang perkasa kelak. Di
umurmu y ang m asih belum seberapa banyak itu, kau sudah
menunjukkan bekal kemampuanmu yang mengherankan."
Mahisa Amping hanya termangu-mangu saja, sementara
Mahisa Murti berkata, "Ia belum mulai."
Tetapi Kebo Gremeng justru menjawab, "Apalagi belum
mulai. Jika anak itu mulai sehari dua hari, maka ia akan
semakin mey akinkan."
Mahisa Murti ter senyum. Namun ia pun mengulangi
permintaannya untuk meninggalkan tempat itu.
Sejenak kemudian maka Mahisa Murti dan saudarasaudaranya
telah meneruskan perjalanannya. Ternyata mereka
memerlukan waktu cukup lama untuk menyelesaikan
persoalan Mahisa Amping sehingga perjalanan mereka telah
terhambat. Namun di sepanjang perjalanan itu, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah memikirkan kemungkinan baru untuk
Mahisa Amping. Anak itu baru mulai dari dasarnya sama
sekali. Ketahanan tubuh dan latihan-latihan yang
berhubungan dengan day a tahan itu. Anak itu memang sudah
mulai dengan dasar-dasar olah kanuragan, tetapi masih pada
latihan-latihan y ang dasar.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun akhirnya
memutuskan bahwa anak itu harus mulai ditingkatkan
kemampuannya, ia telah m emiliki landasan yang cukup kuat
untuk melakukan latihan-latihan y ang agak berat.
Karena itu, maka di sore hari ketika mereka beristirahat
di bawah sebatang pohon y ang rindang di pinggir jalan,
Mahisa Murti bertanya kepadanya, "Amping. Apakah kau
benar-benar sudah siap untuk menjalani laku yang berat,
berlatih dengan ikatan paugeran yang tidak boleh kau
langgar?" "Tentu," jawab anak itu, "sudah lama aku siap menjalani
laku. Di padepokan itu pun aku telah menjalani laku yang
berat dan bahkan kadang-kadang aku menjadi pingsan
karenanya." "Tetapi aku tidak ingin kau mengalaminya lagi," berkata
Mahisa Murti, "kau harus tumbuh dengan wajar sesuai dengan
umur, kekuatan wadagmu dan perkembangan jiwamu."
Mahisa Amping mengangguk-angguk. Ia mengerti
maksud Mahisa Murti. Yang pernah dilakukannya adalah satu
kerja yang memaksa sehingga terjadi ketidak wajaran di dalam
dirinya. Dengan nalar kecilnya, Mahisa Amping sudah dapat
mengetahui bahwa y ang terjadi itu adalah laku yang
dipaksakan untuk kepentingan t ertentu justru dari mereka
yang berilmu hitam. Jikaia tidak dibebaskan oleh Mahisa
Murti, maka perkembangan jiwanya akan mengalami kelainan
sehingga ia bukan lagi dirinya sendiri, meskipun wadagnya
adalah wadag itu juga. Dalam pada itu Mahisa Murti pun berkata pula, "Mahisa
Amping. Jika kemudian aku memberikan latihan-latihan
kepadamu y ang tentu semakin lama menjadi semakin berat,
bukan berarti bahwa kau harus menjadi semakin sering
berkelahi. Hari ini kau telah berkelahi. Kau merasa bahwa kau
tidak memulainya. Jika kau kelak sedikit demi sedikit
menyadap ilmu kanuragan, kau tidak boleh mencari-cari
alasan untuk berkelahi. Selama ini kau tentu melihat bahwa
jika aku, kakangmu Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan paman
Wantilan berkelahi, itu bukan karena kami ingin berkelahi."
Mahisa Amping mengangguk-angguk.
"Kau mengerti?" bertanya Mahisa Murti.
"Aku mengerti kakang," jawab Mahisa Amping.
"Selama ini aku telah m emberikan latihan-latihan y ang
dasar kepadamu. Tetapi mulai besok ilmumu m emang akan
meningkat perlahan -lahan. Tetapi laku yang harus kau jalani
tentu berat. Bukankah kau melihat bagaimana kakangmu
Mahisa Semu dan paman Wantilan berlatih setiap hari di
perjalanan" Setiap hari kita memerlukan berlatih beberapa
saat, justru disaat kita beristirahat. Kita adalah pengembara.
Kesempatan kita berlatih adalah di sela -sela perjalanan yang
sangat panjang," berkata Mahisa Murti.
Mahisa Amping mengangguk-angguk. Ia memang
membayangkan kerja yang berat di hari-hari mendatang jika ia
benar-benar ingin memiliki kemampuan dalam olah
kanuragan. Namun ia pun mengerti bahwa ia tidak akan
melakukannya sendiri. Mahisa Semu, Wantilan dan dirinya
akan mempergunakan kesempatan-kesempatan seperti itu.
"Kita tidak mempunyai sanggar yang memadai,"
berkataMahisa Murti, "sanggar kita adalah alam di mana kita
berhenti dari perjalanan kita yang kita tempuh dari hari ke
hari." Mahisa Am ping mengerutkan keningnya. Namun ia tiba -
tiba saja berkata, "Bukankah hal seperti itu sudah kita
lakukan?" Mahisa Murti menggeleng. Katanya, "Yang kau lakukan
belum apa-apa. Dari hari ke hari akan menjadi semakin berat."
"Aku akan melakukannya," sahut Mahisa Amping.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara
MahisaPukat berkata, "Untuk selanjutnya kau harus menepati
segala ketentuan y ang dibuat untukmu. Kau tidak boleh lagi
merajuk. Tidak boleh lagi manja dan menurut kehendakmu
sendiri. Kau mengerti?"
Mahisa Amping mengangguk. Dengan nada rendah ia
berdesis, "Ya. Aku mengerti."
"Bagus. Jika demikian kita akan segera dapat mulai,"
berkata Mahisa Pukat. Tiba-tiba saja Mahisa Amping itu pun telah bangkit
berdiri dan berkata, "Aku sudah siap."
"Tidak sekarang," berkata Mahisa Pukat dengan serta
merta. Sambil ter senyum ia berkata selanjutnya, "Duduklah.
Maksudku segera dapat kita mulai tentu diwaktu yang pendek
setelah ini. Mungkin besok, mungkin lusa."
Mahisa Amping nampak menjadi kecewa. Tetapi Mahisa
Pukat berkata, "Kau memerlukan waktu beberapa tahun.
Tidak hanya satu dua hari. Untuk waktu yang bertahun-tahun
itu, maka y ang sehari dua hari ini tidak akan terlalu banyak
berpengaruh." Mahisa Amping menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia
duduk kembali Mahisa Semu y ang tertawa berkata, "Kenapa
kau begitu tergesa -gesa" Apakah besok kau akan berkelahi lagi
dengan gembala -gembala yang kau jumpai di perjalanan?"
Mahisa Amping menggeleng. Jawabnya, "Tentu tidak
kakang. Tetapi rasa-rasanya aku sudah t erlalu lama
mempersiapkandiri untuk itu."
"Terlalu lama" Sejak kapan?" bertanya Mahisa Semu.
Mahisa Amping menundukkan kepalanya. Sementara
Mahisa Pukat berkata, "Sudahlah. Besok kita akan m ulai di
samping latihan-latihan day a tahan sebagaimana kita lakukan
setiap hari sebelum hari ini."
Mahisa Amping menganguk sambil menjawab, "Baik
kakang. Aku sudah siap kapan saja aku harus mulai."
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
tidak mulai memberikan latihan-latihan pada hari itu.
Dibiarkannya Mahisa Amping berangan-angan agar dengan
demikian, maka ia sempat mempersiapkan dirinya sebaikbaiknya.
Terutama persiapan jiwani, karena sebenarnya secara
wadag Mahisa Amping memang sudah siap.
Hari itu telah dihabiskan oleh anak-anak muda y ang
mengaku pengembara itu untuk melanjutkan perjalanan.
Ternyata mereka memang harus berjalan jauh karena
perjalanan y ang mereka tempuh memangsudah jauh.
Malam itu, ke empat orang itu memilih bermalam di
tempat terbuka. Mahisa Amping yang meny ertai mereka sama
sekali tidak pernah merasa berkeberatan, di manapun mereka
bermalam. Daya tahan tubuhnya pun telah memungkinkannya
untuk tidur di t empat terbuka tanpa selimut kecuali pakaian
yang dipakainya. Namun malam itu Mahisa Amping m erasa sulit untuk
dapat tidur ny enyak. Beberapa kali ia terbangun dan anganangannya
selalu tersangkut pada hari-hari m endatang, saatsaat
ia mendapat kesempatan untuk menjalani laku dan
meningkatkan kemampuannya dengan sungguh-sungguh dan
berlatih untuk sebenarnya mendapatkan ilmu kanuragan.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan
Wantilan y ang berganti-ganti berjaga-jaga melihat betapa
Mahisa Amping menjadi gelisah. Tetapi mereka tidak bertanya
kepada anak itu, karena dengan demikian anak itu akan
menjadi semakin sulit untuk tidur.
Tetapi akhirnya, anak itu tertidur juga sampai menjelang
fajar. Sebelum matahari terbit, keempat orang itu bersama
Mahisa Amping telah siap untuk berangkat. Mereka sempat
mencuci wajah mereka di sebuah parit y ang berair bening.
Kemudian seperti biasanya mereka telah berlari -lari
menyusuri jalan-jalan kecil dan sepi agar tidak menarik
perhatian orang. Bahkan mereka telah menuruni lereng-lereng
dan tebing sungai, kemudian memanjat lagi ke atas tanggul.
Namun mereka pun berhenti ketika hari menjadi terang.
Di saat matahari terbit, maka mereka telah melakukan latihanlatihan
khusus di sebuah tikungan sungai y ang nampaknya
jarang dilalui orang. Mahisa Amping berusaha untuk selalu menirukan
unsur -unsur gerak yang dilakukan oleh Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Tetapi jika keduanya telah m elakukan unsur
gerak yang berbeda, maka Mahisa Amping harus memilih
salah satu di antaranya. Baru setelah matahari memanjat naik, mereka berhenti.
Beri stirahat sebentar. Kemudian mandi di sungai itu juga.
Setelah m embenahi pakaian mereka, maka m ereka pun naik
dan melanjutkan perjalanan.
Mahisa Amping memang menjadi kecewa. Ia mengira
bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan mulai dengan
memberikan latihan-latihan kepadanya. Namun ternyata sama
sekali belum. Meskipun demikian Mahisa Amping tidak berani
menanyakannya. Ia m eny impan kekecewaannya itu di dalam
hatinya. Keempat orang itu pun kemudian memasuki jalan y ang
lebih ramai. Memang tidak ada orang y ang secara khusus
memperhatikan mereka. Keempat orang yang membawa
seorang anak itu berjalan di antara orang-orang lain yang hilir
mudik. Mahisa Murti pun kemudian berdesis, "Kita memasuki
jalan y ang menuju ke pasar."
"Atau membelakangi pasar," sahut Wantilan.
"Tidak. Orang yang menuju searah dengan kita
membawa barang-barang dagangan. Sedangkan mereka yang
berjalan ke arah y ang berlawanan membawa barang-barang
yang mereka beli di pasar itu. Tentu dapat dibedakan," jawab
Mahisa Murti. Wantilan mengangguk-angguk. Memang ia pun
kemudian sependapat bahwa jalan itu memang menuju ke
pasar. Di luar pasar y ang ramai itu, kelima orang itu telah
singgah di sebuah kedai. Mereka dapat memilih berbagai jenis
makanan y ang tersedia. Sejenak kemudian, kelima orang itu pun telah
meneruskan perjalanan mereka meninggalkan keramaian
pasar itu dan bahkan kemudian meninggalkan padukuhan
yang cukup besar dan ramai.
Tidak ada persoalan y ang mereka hadapi di padukuhan
itu. Karena itu, maka mereka dapat berjalan terus. Mahisa
Murti berharap bahwa mereka tidak akan menjumpai
persoalan-persoalan baru diperjalanan mereka. Karena
mereka telah bertekad sejak semula untuk tapa ngrame,
sehingga dalam hal tertentu mereka memang tidak dapat
menutup m ata dan begitu saja mengabaikannya, betapapun
perjalanan mereka menjadi semakin terhambat.
Menj elang tengah hari, kelima orang itu justru telah
mendekati sebuah daerah y ang nampaknya agak terasing.
Namun justru mereka telah memilih berbelok memasuki jalan
sempit yang menuju ke sebuah hutan yang nampaknya masih
lebat. Seorang petani yang bertemu di bulak itu telah bertanya,
"Kalian akan pergi ke mana anak-anak muda?"
"Kami pengembara yang menyusuri jalan-jalan panjang
Ki Sanak. Apakah jalan ini m enuju ke hutan yang nampak
lamat-lamat itu?" bertanya Mahisa Murti.
" Justru karena itu aku bertanya, "sahut petani itu, "jalan
ini adalah jalan mati, karena jalan ini hanya akan m encapai
hutan itu saja. Hutan yang masih termasuk lebat dan dihuni
binatang-binatang buas."
Mahisa Murti mengangguk sambil berkata, "Terima
kasih Ki Sanak. Kami memang ingin melihat hutan lebat itu."
Petani itu menjadi heran. Namun kemudian ia pun
bertanya, "Apa y ang akan kalian cari di hutan yang lebat itu?"
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, "Kami tidak mencari
apa-apa Ki Sanak. Kami justru menghindari persoalanpersoalan
yang mungkin timbul jika kami berjalan melalui
padukuhan-padukuhan. Karena sebenarnyalah kami berjalan
jauh. Ancar-ancar perjalanan kami adalah Gunung-gunung,
matahari terbit dan terbenam serta bintang-bintang di malam
hari." Petan itu mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak tahu
maksud anak muda itu. Karena itu, maka ia pun berkata a sal
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sa ja terloncat dari bibirnya, "berhati-hatilah anak muda."
"Terima kasih Ki Sanak," jawab Mahisa Murti.
Ketika petani itu m eninggalkan m ereka, Mahisa Murti
menjadi termangu-mangu. Ia pun kemudian berkata kepada
Mahisa Pukat, "Kita menuju ke hutan lebat. Mungkin kita
harus menempuh jalan ini kembali."
"Mak sudmu?" bertanya Mahisa Pukat.
"Apakah kita akan berjalan terus?" Mahisa Murti justru
bertanya. Lalu katanya, "Agaknya tidak ada jalan tembus ke
seberang hutan itu. Kecuali jika kita berniat untuk menerobos
hutan itu." Mahisa Pukat memang nampak ragu -ragu. Demikian
pula Mahisa Semu dan Wantilan. Namun tiba -tiba saja Mahisa
Amping berkata, "Menarik sekali. Kita dapat melihat-lihat
satulingkungan y ang belum pernah aku lihat sebelumnya."
Semua orang berpaling kepada anak itu. Tetapi justru
karena itu Mahisa Amping merasa heran. Seakan-akan
semuanya bertanya kepadanya, kenapa ia ingin
melakukannya. Karena itu, Mahisa Amping justru menundukkan
kepalanya. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
Tetapi Mahisa Murti kemudian berkata, "Marilah. Kita
melihat isi hutan itu. Jika kita tidak mungkin menerobosnya,
maka kita akan kembali menempuh jalan ini dan turun di jalan
sebelah. Ternyata y ang lain pun tidak menolak. Sehingga sejenak
kemudian maka mereka telah m enyusuri jalan itu menuju ke
hutan y ang ditunjuk dan dikatakan oleh petani itu. Mereka
menyusuri bulak y ang tidak begitu panjang. Kemudian
memasuki padang perdu yang memisahkan daerah
persawahan dengan hutan y ang masih lebat itu.
Baru kemudian mereka melihat dinding y ang
membentang di hadapan mereka. Dinding yang nampak
perkasa dan seakan-akan tidak akan tertembus oleh
kekerdilan diri mereka. Tetapi Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan
Wantilan diikuti oleh Mahisa Amping berjalan terus. Semakin
lama semakin mendekati hutan y ang lebat itu.
Baru beberapa puluh langkah di depan hutan itu mereka
berhenti. Dengan ragu-ragu mereka memandangi pohonpohon
raksasa y ang berdiri tegak di hadapan mereka.
"Hutan ini benar-benar hutan y ang belum pernah
dijamah," berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Kita
menjadi semakin menyadari, bahwa sulit sekali untuk
menembus hutan itu. Bukan karena kita mencemaskan diri
karena didalam hutan itu masih dihuni binatang-binatang
buas. Tetapi alam y ang perkasa itu tentu akan menjadi
hambatan y ang sulit untuk di atasi. Bahkan menilik
lembabnya udara dan tanah y ang basah, agaknya masih
terdapat rawa-rawa di dalam hutan itu."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara Mahisa
Semu berkata, "Agaknya kita akan menempuh perjalanan yang
sangat berat. Memang tidak apa -apa. Tetapi jika
memperhitungkan waktu, maka waktu kita akan banyak tersita
di sini. Sementara itu kita sering memperhitungkan waktuwaktu
kita yang hilang di perjalanan."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, "Aku
sependapat." 0ooo0dw0ooo0 (Bersambung ke Jilid 78).
Conv ert/Pr oofing: Ki Raharga
Rechecking/Editing: Ki Arema
Pdf ebook : Dan HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 78 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 078 WANTILAN pun nampaknya menjadi semakin raguragu.
Dari Langit 3 Wiro Sableng 068 Pelangi Di Majapahit Kemelut Di Cakrabuana 6
Ternyata beberapa orang telah tertangkap. Yang lain
telah terluka dan tidak dapat melarikan diri lagi. Bahkan
beberapa orang kawan mereka telah terbunuh pula, termasuk
pemimpin gerombolan itu. Mahisa Pukat yang sempat memaksa salah seorang y ang
ditangkapnya untuk berbicara, mendapat keterangan bahwa
yang mereka lakukan adalah semata -mata karena dendam atas
kematian beberapa orang y ang telah diupah untuk m erampas
tanah dan m ata air di tengah-tengahnya bersama dengan Ki
Bekel dan beberapa orang-orangnya.
"Kita kumpulkan mereka y ang terluka, yang terbunuh
dan y ang masih hidup," berkata Mahisa Murti. Namun ia pun
berkata pula, "Rawat kawan-kawan kita sendiri. Jangan
sampai justru dilupakan."
Tetangga-tetangga Ny i Sarpada telah melakukannya
dengan cepat. Sementara Wantilan telah menuntun Ny i
Sarpada dan membawanya ke bawah sebatang pohon yang
rimbun. "Duduklah bibi, beristirahatlah," berkata Wantilan.
"Aku tidak apa-apa, Wantilan," jawab bibiny a.
"Tetapi bibi perlu beristirahat," desak Wantilan y ang
melihat bibinya terlalu letih.
Tetapi Nyi Sarpada mencoba untuk mengelak. Katanya,
"Aku tidak apa -apa. Aku tidak mengalami kejutan jiwani
maupun badani. Peristiwa ini tidak menggoncangkan
perasaanku. Sudah aku katakan, sepeninggal pamanmu,
perasaanku pun telah mati."
" Bibi tidak boleh berkata begitu," desis Wantilan, "bibi
harus bangkit dan tetap t egar untuk menggantikan kedudukan
paman." Tetapi pandangan Nyi Sarpada y ang kosong menatap
lidah api y ang melonjak-lonjak mencengkam sisa -sisa
rumahnya yang semakin lama justru m enjadi semakin surut.
Atap rumah Nyi Sarpada dari pendapa sampai ke dapur sudah
runtuh sama sekali. Dalam pada itu, selagi orang-orang padukuhan itu sibuk
mengumpulkan orang -orang-orangnya y ang menjadi korban
usaha untuk membalas dendam, Ki Buyut sedang berpacu
menuju ke tempat itu. Malam itu, beberapa orang peronda di rumahnya telah
mendapat pemberitahuan dari para per onda di mulut lorong,
bahwa mereka telah melihat api y ang m enyala di padukuhan
yang agak jauh. Api y ang tentu berasal dari kebakaran yang
besar sehingga nyalanya tampak memerah di langit.
Dua orang per onda di rumah Ki Buyut itu telah
membuktikannya. Dan mereka mengambil kesimpulan, bahwa
ada rumah yang terbakar. Tetapi mereka memang menjadi heran, bahwa mereka
tidak mendengar isyarat apapun juga.
"Ada y ang tidak wajar," berkata peronda itu.
"Kita harus melaporkannya kepada Ki Buyut," sahut
yanglain. Sebenarnyalah, maka para peronda itu telah
memberanikan diri untuk membangunkan Ki Buyut,
sebagaimana pesan Ki Buyut sendiri. Jika keadaan yang
khusus memerlukannya, maka ia harus dibangunkannya.
Ki Buyut yang mendapat keterangan dari para peronda
itu-pun telah pergi ke gardu di mulut lorong. Ternyata ia pun
melihat api itu. Tetapi tanpa isyarat apapun juga.
"Kita akan pergi ke sana," berkata Ki Buyut.
Para peronda itu memang menjadi cemas. Mereka bukan
orang-orang y ang terlatih baik untuk menghadapi
kemungkinan buruk yang dapat t erjadi seperti di dekat mata
air y ang sedang diperebutkan itu.
Tetapi mereka tidak dapat menolak ketika Ki Buyut
memerintahkan mereka untuk ber siap.
"Kita akan berkuda m enuju ke api itu. Nampaknya di
padukuhan tempat tinggal Ny i Sarpada," berkata Ki Buyut.
Beberapa orangpun telah bersiap. Gamel y ang melayani
kuda-kuda Ki Buyut pun telah dibangunkan untuk
menyiapkan tiga ekor kuda dibantu oleh para peronda.
Sejenak kemudian, maka Ki Buyut pun telah berpacu
menuju ke tempat api y ang justru mulai susut diiringi oleh dua
orang per onda yang bersenjata. Mereka berpacu di tengahtengah
bulak di gelapnya malam. Namun karena jalan-jalan itu
sudah sering m ereka lalui, maka m ereka dapat m engenalinya
dengan baik, di mana m ereka harus menyusut kecepatan, di
mana mereka dapat berpacu dengan kecepatan penuh karena
jalan lurus dan rata. Beberapa saat kemudian, mereka telah memasuki
padukuhan yang mereka tuju. Ki Buyut pun segera mengenali
tempat itu meskipun ia belum sampai ke tujuan.
"Tentu rumah Nyi Sarpada," desis Ki Buyut.
Kedua peronda itu tidak menjawab. Tetapi mereka
menjadisemakin tegang. Tentu sudah terjadi sesuatu di rumah
itu. Jika tidak, maka tentu sudah terdengar isyarat.
Sebenarnyalah, ketika mereka memasuki halaman
rumah itu, maka yang mereka ketemukan justru adalah orangorang
y ang sedang mengumpulkan mereka y ang menjadi
korban dalam pertempuran itu dari kedua belah pihak.
Dengan serta merta Ki Buyut pun telah m eloncat turun.
Ternyata beberapa orang masih saja sibuk di halaman
samping, sementara Wantilan masih saja menunggui Ny i
Sarpada y ang berdiri tegak memandangi api yang mulai susut.
"Apa y ang terjadi?" bertanya Ki Buyut.
"Ki Buyut," desis Wantilan.
"Ya," jawab Ki Buyut, "ketika aku mendapat laporan
bahwa ada kebakaran, maka aku sudah curiga."
"Beberapa orang datang untuk membalas dendam
kematian kawan-kawannya," jawab Wantilan.
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
rendah ia pun bertanya, "Di manakah anak-anak muda yang
mengaku pengembara itu."
Wantilan pun melayangkan tatapan matanya sambil
menjawab, "Mereka ada di sebelah pohon pucang itu. Di
sebelah orang-orang yang terluka dan terbunuh dibaringkan."
Ki Buyut pun telah melihat Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat pula. Kemudian agak menepi Mahisa Semu berdiri
bersama Mahisa Am ping y ang termangu-mangu.
"Syukurlah jika mereka masih ada di sini," desis Ki
Buyut. "Hampir saja mereka meninggalkan tempat ini.
Untunglah mereka masih bersedia aku tahan untuk sehari lagi,
menunggu kesediaan Ki Buyut untuk datang," jawab Wantilan.
Ketika Ki Buyut melangkah mendekatinya, maka Ki
Demang pun telah berada di tempat itu pula. Seperti Ki Buyut,
maka mereka pun telah m enemui Mahisa Murti dan saudarasaudaranya.
Sejenak kemudian, ketika api menjadi semakin
menyusut, maka Ki Buyut telah duduk bersama Ki Demang,
anak-anak muda y ang mengaku pengembara itu ber sama Ny i
Sarpada dan Wantilan. Namun seperti yang pernah diucapkan, Ny i Sarpada itu
seakan-akan sudah tidak peduli apa saja y ang telah terjadi atas
rumahnya. "Tanah dan mata air itu telah diselamatkan. Wantilan,
rasa-rasanya tidak ada lagi y ang penting bagiku menghadapi
masa depan. Kau telah datang dan tanah dan mata air itu
masih tetap m enjadi hak kita. Hakmu. Apalagi" Sisa hidupku
sudah tidak penting lagi," berkata Ny i Sarpada.
"Tidak," Wantilan berkata lantang, "bibi harus tetap
hidup. Bibilah y ang akan menggantikan paman di sini. Ki
Buyut akan mengatur segala-galanya."
Tetapi Nyi Sarpada tertawa. Katanya, "Sudah aku
katakan sebagaimana dikatakan oleh pamanmu. Kau adalah
pewaris tanah itu. Kau akan meneruskan tugas pamanmu.
Bukan saja membasahi tanah kita sendiri, tetapi sejauh
kemungkinan y ang dapat kau lakukan, maka kau akan
membasahi tanah di sekitarmu."
" Bibi," Wantilan memotong dengan serta merta, "dengar
bibi. Aku besok akan meninggalkan tempat ini."
Nyi Sarpada terkejut. Tiba-tiba saja wajahnya menjadi
suram. Dipandanginya Wantilan dengan tatapan mata redup.
"Kenapa kau akan pergi Wantilan. Apakah kau menolak
pesan pamanmu itu?" bertanya Ny i Sarpada.
"Tidak bibi. Sama sekali tidak. Aku junjung tinggi pesan
paman Sarpada. Karena itu, aku harus mendapatkan bekal
untuk mempertahankan tanah itu. Bukankah yang terjadi
merupakan satu pengalaman y ang pahit?" jawab Wantilan.
"Apa y ang akan kau lakukan?" bertanya bibinya.
"Aku akan berguru bibi," jawab Wantilan.
Nyi Sarpada termangu-mangu sejenak. Kemudian
hampir diluar sadarnya ia telah berpaling kepada Ki Buyut
untuk minta pertimbangan.
"Berguru adalah satu kewajiban bagi setiap orang Ny i.
Mungkin Wantilan m erasa dirinya belum cukup bekal untuk
menerima tugas yang dilimpahkan oleh pamannya. Karena itu,
maka ia ingin minta waktu," berkata Ki Buyut.
"Selama ini aku akan mohon Ki Buyut untuk membantu
bibi sampai saatnya aku kembali untuk mengemban tugas ini,"
berkata Wantilan. Nyi Sarpada masih tetap berdiam diri. Dipandanginya
api y ang telah hampir padam sama sekali. Di sana-sini masih
ada potongan-potongan kayu y ang m enyala. Tetapi nyalanya
tidak lagi melonjak tinggi.
Namun kemudian Ny i Sarpada itu justru bertanya
kepada Ki Buyut, "Ki Buyut, apakah yang harus aku lakukan"
Rumahku sudah terbakar. Tidak ada lagi tempat untuk
berteduh. Jika Wantilan pergi, maka aku akan kehilangan
semuanya meskipun tanah dan mata air itu masih tetap
menjadi milikku." "Tidak bibi," berkata Wantilan, "aku tidak akan
meninggalkan bibi. Aku hanya mohon bibi memberikan waktu
kepadaku untuk menuntut ilmu. Itu saja. Pada saatnya aku
akan kembali kepada bibi dan melakukan tugas sebagaimana
dipesankan oleh paman."
"Kapan kau akan kembali Wantilan" Kau tahu, umurku
tinggal sepanjang umur jagung," berkata Ny i Sarpada.
" Jangan merasa begitu bibi. Jangan mendahului
kehendak Yang Maha Agung. Semuanya akan terjadi
sebagaimana harus terjadi. Apapun yang kita duga, tetapi
kehendak Yang Maha Agung lah y ang akan terjadi," sahut
Wantilan. Nyi Sarpadapun mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Aku
mengerti." "Ny i," berkata Ki Buyut, "aku tahu apa yang telah
dilakukan oleh Ki Sarpada selama ini. Sudah barang tentu, aku
harus berterima kasih kepadanya. Ia telah memberikan
kesempatan kepada banyak orang untuk ikut menikmati
miliknya. Bukan hanya para tetangga y ang mempunyai tanah
di sekitar tanah Ki Sarpada sajalah yang ikut menikmati
hasilny a. Tetapi juga mereka y ang berkesempatan ikut
menggarap sawah, mendapat upah dari kerja di sawah itu.
Juga mereka y ang ikut menuai padi dengan mendapatkan
bawon y ang cukup untuk membantu meringankan beban
banyak keluarga. Karena itu Ny i Sarpada tidak usah bingung.
Aku berjanji bahwa dalam waktu sebulan rumah Ny i Sarpada
sudah berdiri lagi meskipun barangkali tidak sebesar yang
telah terbakar. Sementara itu Ny i Sarpada dapat tinggal di
banjar. Atau jika Ny i Sarpada keberatan. Ny i Sarpada dapat
tinggal di rumahku yang cukup luas untuk menerima
kehadiranmu." Nyi Sarpada termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba
sa ja kepalanya menunduk. Diluar sadarnya, titik -titik air mata
telah m embasahi pipinya yang sudah diluki si oleh garis-garis
umur. Wantilan menjadi berdebar-debar. Ia menunggu
keputusan bibiny a y ang ternyta tidak usah menunggu sampai
besok. Sementara itu, beberapa orang tengah sibuk merawat
orang-orang yang terluka dan memisahkan mereka telah
terbunuh di peperangan. Untunglah bahwa orang-orang
padukuhan itu tidak ada yang terbunuh, meskipun ada di
antara mereka y ang terluka. Bahkan seorang agak parah.
Tetapi tidak mengancam keselamatan jiwanya.
Nyi Sarpada masih duduk berdiam diri.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang menjadi
bimbang. Tetapi m ereka tidak dapat tinggal lebih lama lagi di
padukuhan itu. Apalagi tinggal bersama Wantilan untuk
menuntunnya mencapai satu tataran yang memadai.
Keduanya tidak berkeberatan jika Wantilan mengikuti mereka,
tetapi dengan demikian m aka Ny i Sarpada akan mengalami
kepedihan perasaan. Ia akan hidup sendiri dalam keadaan
yang dibay angi oleh kesepian dan tanpa harapan apapun juga.
Namun tiba-tiba Ny i Sarpada itu berkata, "Baiklah
Wantilan. Aku dan pamanmu tidak boleh menutup cita -citamu
bagi bekal hari depanmu. Meskipun aku sebenarnya sangat
berkeberatan, tetapi aku tidak boleh terlalu mementingkan diri
sendiri. Hari depanmu ada ditanganmu. Karena itu, j ika kau
memang berkeras untuk pergi, aku tidak berkeberatan. Tetapi
kau harus berjanji bahwa kau akan kembali. Sementara itu,
sebelum kau benar -benar kembali dan tinggal di sini, m aka
kau harus sering datang untuk menengokku. Bahkan
seandainya kau tinggal di t empat yang sangat jauh sekalipun.
Meskipun rumah kita terbakar, tetapi aku m asih m empunyai
beberapa perhiasan y ang melekat ditubuhku. Bukan karena
aku masih senang memakai perhiasan-perhiasan itu tanpa
menyebut jumlah umurku, tetapi semata -mata karena aku
tidak mau kehilangan barang-barangku itu. Bawalah, tukarkan
dengan seekor kuda, kau mempunyai kesempatan menempuh
jarak yang panjang sekalipun, untuk mengunjungi aku."
Wajah Wantilan justru menjadi tegang. Namun
kemudian katanya, "Jangan bibi. Biarlah sisa kekayaan bibi itu
ada pada bibi. Mungkin pada suatu saat bibi memerlukannya.
Aku akan berusaha dengan caraku untuk mendapatkan seekor
kuda. Aku akan datang untuk waktu-waktu tertentu
mengunjungi bibi." "Bawalah. Aku tidak akan menyulitkanmu," berkata Nyi
Sarpada. "Aku telah membawa bekal. Saudara-saudaraku y ang
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyebut diriny a pengembara telah membawa bekal pula.
Bibi jangan cemas tentang seekor kuda itu," berkata Wantilan.
Lalu katanya, "Jika anak-anak yang mengaku pengembara itu
tidak menunggang kuda dalam pengembaraannya, maka itu
adalah laku y ang memang harus mereka jalani."
Nyi Sarpada menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya,
"Jika demikian perhiasan itu akan aku serahkan kepada Ki
Buyut untuk beaya membangun kembali rumahku."
Tetapi Ki Buyut itu pun tertawa. Katanya, "Tidak Nyi.
Sudah aku katakan bahwa rumah itu akan berdiri pada
saatnya. Biarlah perhiasan itu tetap m enyadi m ilikmu. Tetapi
aku tidak berkeberatan jika perhiasan itu kau titipkan
kepadaku, justru karena sudah banyak orang yang kemudian
mendengar bahwa Nyi Sarpada masih m enyimpan perhiasan.
Itu sangat berbahaya bagi Ny i Sarpada, karena perhiasan itu
dapat membuat orang lupa diri. Tetapi perhiasan itu akan
aman ter simpan dirumahku bersama Ny i Sarpada yang aku
persilahkan tinggal dirumahku untuk sementara. Perhiasan itu
akan aku kembalikan kapan saja Nyi Sarpada memerlukan,
atau jika Ny i Sarpada tidak memerlukan, aku kembalikan pada
saat Wantilan kelak kembali."
"Terima kasih Ki Buyut," Wantilan lah y ang m enyahut,
"Ki Buyut telah memberikan kemungkinan per soalan ini
terpecahkan. Karena itu, biarlah aku menitipkan bibiku," Lalu,
Wantilan pun berpaling kepada orang-orang padukuhan yang
ada di tempat itu, "juga kepada mereka aku menitipkan bibiku.
Jika rumah ini sudah jadi kelak, dan bibi kembali tinggal di
rumah ini, maka biarlah para tetangga ikut menjaganya."
"Tentu," berkata Ki Buyut, "mereka akan membantu Nyi
Sarpada dalam segala hal. Menggarap sawah sampai ke
mengisi pakiwan. Menggarap sawah Ny i Sarpada sama halnya
dengan memelihara sumber mata air y ang dapat mengairi
sawah berpuluh-puluh kotak itu tanpa susut meskipun di
musim kemarau." Nyi Sarpada tidak dapat menjawab. Tetapi kembali
wajahnya menunduk. Titik-titik air matanya menjadi semakin
banyak membasahi garis-garis umur di wajahnya.
Demikianlah, maka malam itu tetangga-tetangga Nyi
Sarpada menjadi sangat sibuk. Ki Buyut dan Ki Demang masih
harus memberikan beberapa petunjuk. Namun ternyata
mereka tidak meninggalkan tempat itu sampai matahari terbit.
Hampir semua orang tidak t ertidur sekejappun. Mereka
sibuk semalam suntuk. Ketika matahari terbit, maka Ki Buyut pun telah bersiapsiap
untuk meninggalkan tempat itu. Api memang sudah
padam dengan sendiriny a, tetapi di sana-sini m asih nampak
asap mengepul memanjat ke langit.
Atas per setujuan Nyi Sarpada dan Wantilan,maka Nyi
Sarpada itu pergi ke Kabuyutan sekaligus menitipkan
perhiasan-perhiasan y ang masih diselamatkan karena
perhiasan-perhiasan itu melekat ditubuh Ny i Sarpada,
dibawah lembar-lembar pakaiannya.
Sementara itu Wantilan pun sekaligus telah minta diri.
Baik kepada Ki Buyut, Ki Demang serta para bebahu yang
datang kemudian, juga kepada para tetangga.
"Kita akan menempuh perjalanan kita masing-masing,"
berkata Wantilan. Ki Buyut m engangguk-angguk. Ketika anak-anak muda
yang mengaku pengembara itu mohon diri, maka para
pemimpin Kabuyutan itu telah mengucapkan terima kasih
yang sangat besar kepada mereka.
Tetapi yang meninggalkan halaman rumah y ang
terbakar itu lebih dahulu adalah Ki Buyut bersama Ny i
Sarpada dan para pengawalnya. Sementara Wantilan m asih
sempat melihat-lihat abu dari bekas rumah paman dan bibinya
yang sudah menjadi abu. "Seharusny a kau tidak u sah pergi Wantilan," berkata
seorang tetangganya. "Aku tahu," berkata Wantilan, "tetapi jika aku tidak
pergi, maka aku lima bahkan sepuluh tahun mendatang tidak
akan berubah seperti aku sekarang. Jika ada orang-orang jahat
yang datang kepadaku, maka aku tidak akan dapat berbuat
apa-apa lagi. Adalah kebetulan bahwa saat ini anak-anak muda
yang mengaku pengembara itu ada di sini, sehingga ia mampu
menyelamatkan nyawaku, nyawa bibi dan tetangga-tetangga di
sekitar tempat ini yang justru ingin menolong bibi. Tanpa
mereka maka aku tidak akan mampu berbuat apa-apa selain
pasrah." "Kita minta mereka tinggal bersama kita di sini,"
berkata salah seorang dari tetangga-tetanganya.
"Mereka sudah menyebut diri mereka pengembara
dalam laku tapa ngrame," jawab Wantilan, "mereka memang
mengembara sambil menolong orang-orang y ang memerlukan
pertolongan mereka. Tetapi dalam waktu dekat, mereka telah
berniat kembali ke padepokan mereka. Kecuali karena mereka
sudah terlalu lama mengembara, ayah mereka pun telah
menjadi semakin tua. Rasa-rasanya mereka sudah begitu
merindukan ay ah mereka. Sementara itu menurut ceritera
mereka, paman mereka lebih tua lagi dari ayah mereka. Dua
orang yang sudah sangat tua meskipun masih mempunyai
penalaran y ang terang dan ingatan y ang kuat. Tetapi m ereka
adalah manusia biasa yang pada suatu saat akan kembali
kepada Penciptanya. Agaknya umur mereka sudah berada di
sekitar seratusan tahun."
"Kakekku berumur seratus duapuluh lima tahun
sekarang ini," berkata salah seorang tetangganya, "ia m asih
cukup terang penglihatan dan pendengarannya, ingatan dan
penalarannya masih utuh. Namun tubuhnyalah yang semakin
lama menjadi semakin lemah, m eskipun begitu, kakek masih
juga berjemur di matahari pagi sambil b erjalan hilir mudik di
halaman. Bahkan kadang-kadang masih juga menyapu
halaman itu." "Apakah kakekmu tidak salah menghitung tahun?"
bertanya kawannya. "Tidak," jawab orang itu, "kakek masih sempat
mengingat bagaimana Tumapel bangkit dan Kediri tenggelam.
Bahkan sebelum itu."
Kawannya tidak bertanya lagi. Namun Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat y ang mendengar pembicaraan itu termangumangu
sejenak. Mereka memang pernah berceritera tentang
beberapa orang y ang dikenalnya dengan baik meskipun tidak
menyebut nama dan kedudukannya. Tetapi pembicaraan itu
telah m engingatkan mereka dengan orang-orang yang pernah
sangat dekat dengan mereka.
Tiba-tiba saja terber sit satu pertanyaan, "Apakah mereka
masih sehat-sehat saja betapapun tuanya?"
Namun tumbuh pula pertanyaan, "Apakah mereka masih
hidup?" Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Mereka
sudah cukup lama meninggalkan Singasari. Mengembara dan
segala macam perjalanan untuk mendapatkan pengalaman
dan memenuhi beberapa keinginan pribadi mereka. Sekarang,
ay ahnya, kakaknya dan keluarganya yang lain tidak tahu, di
mana mereka berada. Jika terjadi sesuatu, tidak akan ada
seorang pun y ang dapat memberitahukan kepada mereka."
Ingatan tentang orang-orang tua itu, telah membuat
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat semakin ingin sampai ke
padepokan mereka. Dalam pada itu, maka hari pun menjadi semakin panas
oleh matahari yang menjadi semakin tinggi. Karena itu, maka
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendekati Wantilan
yang masih berbicara dengan tetangga-tetangganya, "Apakah
kita sudah dapat berangkat?"
Wantilan mengangguk. Namun kemudian katanya,
"Memang berat sekali perasaan ini untuk meninggalkan
padukuhan ini. Tetapi apa boleh buat."
Wantilan pun kemudian telah menitipkan tanah dan
mata air yang cukup besar yang memancar di tengah-tengah
sawahnya itu, yang bahkan telah dapat mengairi beberapa
kotak sawah di sekitarnya, kepada tetangga-tetangga bibiny a.
"Mudah-mudahan aku cepat kembali," berkata
Wantilan. Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Mahisa
Amping pun sekali lagi telah minta diri pula kepada para
tetangga yang baik itu. Beriringan dengan Wantilan, mereka
pun telah melangkah keluar dari reg ol halaman y ang tidak ikut
terbakar turun ke jalan dan kemudian m eninggalkan tempat
itu. Mereka telah m enyerahkan orang-orang padukuhan yang
terluka kepada tetangga-tetangganya. Namun kemudian
tetangga-tetangga itu pun harus mengurus para tawanan yang
akan dibawa ke Kabuyutan, disatukan dengan para tawanan
terdahulu. Juga mengurusi mereka y ang terluka dan terbunuh.
Ketika m ereka keluar dari mulut lorong padukuhan itu,
rasa-rasanya mereka telah keluar dari sebuah bilik yang
sempit dan pengab. Karena itu, maka Mahisa Amping pun
telah berlari-lari mendahului. Namun kemudian menunggu di
pinggir jalan sambil bermain-main dengan batu-batu.
Wantilan yang berjalan di sebelah Mahisa Semu melihat
anak y ang menjadi gembira itu. Namun Mahisa Semu itu pun
berkata, "Kasihan anak itu."
"Kenapa?" bertanya Wantilan.
" Ia tidak mempunyai kesempatan untuk bermain
dengan kawan-kawan yang sebay anya seperti kebanyakan
anak-anak," jawab Mahisa Semu.
Wantilan mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian
bertanya, "Kenapa anak itu ikut melakukan pengembaraan
bersama kalian?" "Satu cerita y ang panjang," jawab Mahisa Semu.
Namun kemudian Mahisa Semu itu pun telah
menceriterakan asal mulanya, bahwa anak itu ikut dalam
pengembaraan yang panjang itu.
Wantilan mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun
bergumam. "Memang kasihan. Hidupnya menjadi kurang
lengkap. Hal itu akan dapat mempengaruhi sifat dan wataknya
di kemudian hari. Tetapi jika pengembaraan ini berakhir,
maka ia akan mendapatkan kesempatan itu. Di padepokannya
yang baru, ia tentu tidak akan mengalami perlakuan
sebagaimana ia berada di padepokannya yang lama, saat ia
dipersiapkan untuk menjadi manusia yang kehilangan
pribadiny a." "Ya. Agaknya ia akan m endapatkan tempat y ang lebih
baik kelak," jawab Mahisa Semu.
Wantilan tidak bertanya lagi. Ia melihat Mahisa Amping
mengambil sebuah batu sebesar telur. Kemudian
dilemparkannya batu itu ke tengah-tengah sawah.
Wantilan menggeleng-gelengkan kepalanya sambil
berdesis, "Luar biasa. Lihat. Anak sebesar itu telah m ampu
melemparkan batu hingga mencapai jarak yang sekian
jauhnya." " Ia m emang m emiliki k elebihan," jawab Mahisa Semu,
"anak itu memiliki kemampuan memanjat melampaui aku."
" Ia akan menjadi seorang anak muda y ang
berkemampuan tinggi kelak jika memiliki ketekunan
menjalani laku," berkata Wantilan.
" Itulah agaknya y ang m enarik perhatian Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat, kecuali karena anak itu memang tidak ada
lagi y ang m emelihara. Jika ia dilepaskan begitu saja, dengan
bekal racun y ang pernah disusupkan didalam dirinya di
padepokannya yang lama, maka ia akan m enjadi orang yang
berbahaya," berkata Mahisa Semu.
"Yang dicemaskannya adalah, jika apa yang terjadi di
padepokan itu masih membekas," berkata Wantilan.
"Agaknya sekarang tidak. Dalam ujud kewadagan,
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah melenyapkan ilmu yang
pernah diterima oleh anak itu di padepokannya y ang lama.
Dengan demikian, maka diharapkan bahwa akibat y ang lain
pun dapat ikut punah bersama dengan ilmunya pula."
" Jadi anak itu pernah m enyadap ilmu kanuragan pada
umurnya y ang masih sangat muda?" bertanya Wantilan.
"Ya. Ia sudah mempelajari beberapa unsur gerak. Jika ia
sempat dewasa di padepokan itu, maka ia akan menjadi
manusia y ang sangat berbahaya, ia memiliki ilmu y ang tinggi,
tetapi sama sekali tidak berpribadi," jawab Mahisa Semu.
"Untunglah, ia sempat diselamatkan," desis Wantilan.
Demikianlah mereka berjalan semakin lama semakin
jauhdari tempat tinggal Ny i Sarpada. Sekali-sekali Wantilan
masihjuga berpaling. Memang ada keberatannya untuk
meninggalkan bibiny a dalam keadaannya. Tetapi jika ia
tinggal, maka ia memang tidak akan dapat berkembang.
Sehingga untuk seterusnya ia akan tetap sebagaimana adanya
sekarang. Beberapa saat mereka berjalan menyusuri bulak-bulak
panjang dan pendek. Memasuki padukuhan-padukuhan besar
dan kecil. Sehingga k etika matahari m encapai puncak langit,
Mahisa Amping mulai nampak lelah. Bahkan haus dan
barangkali lapar, karena ia belum makan apapun juga ketika ia
mulai dengan perjalanan itu.
"Kau lapar?" bertanya Mahisa Semu.
Mahisa Amping mengangguk.
Karena itu, maka Mahisa Semu pun telah
memberitahukannya kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
yang berjalan di depan, bahwa Mahisa Amping merasa lapar
dan haus. "Baiklah," berkata Mahisa Murti, "di depan ada
padukuhan, y ang agaknya mempunyai satu dua buah kedai."
Mahisa Amping hanya mengangguk saja. Jarak
padukuhan itu memang sudah tidak terlalu jauh lagi.
Namu ketika mereka mendekati padukuhan itu,
perjalanan mereka terhambat beberapa saat, karena Mahisa
Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Wantilan harus
melerai sekelompok gembala y ang berkelahi dengan kelompok
lainnya yang agaknya datang dari padukuhan y ang lain.
Untunglah tidak terjadi sesuatu y ang tidak diinginkan.
Meskipun ada di antara anak-anak gembala itu yang terluka
dan m encucurkan darah, karena lawannya telah memukulnya
dengan batu. "Mereka pengecut," t iba-tiba saja Mahisa Amping
bergeramang. "Kenapa?" bertanya Mahisa Semu.
"Mereka tidak berani berkelahi seorang lawan seorang,"
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jawab Mahisa Amping. "Belum tentu mereka dapat disebut pengecut. Jika
persoalan y ang timbul itu adalah persoalan antara kelompok
yang satu dengan kelompok y ang lain, maka y ang terjadi
adalah perkelahian kelompok seperti itu."
Ketika sekelompok gembala y ang datang dari padukuhan
lain itu sudah pergi, maka kelompok gembala yang tinggal
telah mencuci tubuhnya di sebuah parit di pinggir sawah.
Seorang y ang keningnya t erluka karena pukulan batu dan
berdarah, telah dicuci pula. Namun agaknya darahnya tidak
segera menjadi pampat. Mahisa Murti dan saudara-saudaranya masih belum
meninggalkan tempat itu. Karena itu, maka ia pun telah
mendekati anak y ang mengeluarkan darah dari keningnya itu
sambil memberikan obat pada luka itu.
"Mudah-mudahan lukamu segera pampat," berkata
Mahisa Murti. "Terima kasih," desis anak itu yang masih saja
menyeringai menahan sakit. Namun darahnya sudah tidak lagi
mengalir dari luka y ang memang agak dalam.
"Kau jangan mandi hari ini sampai besok," pesan
Mahisa Murti, "mudah-mudahan besok pagi lukamu sudah
sembuh dan kau dapat mandi seperti biasa. Tetapi ingat, bekas
luka itu jangan kau gosok karena akan dapat terjadi luka lagi."
"Terima kasih paman," jawab anak itu sambil mengusap
matanya. Namun sebelum anak itu sempat mengusap dan
membersihkan darahnya y ang memerah di dadanya
bercampur dengan air y ang membasahi tubuhnya saat ia
membersihkan luka yang tidak juga mau pampat itu, serta
keringat y ang masih saja mengalir, tiba-tiba saja seorang laki -
laki yang berjalan sambil membawa kapak telah berhenti.
Perhatiannya tertuju kepada anak y ang terluka itu yang tidak
lain adalah anaknya. "He, kenapa kau?" bertanya ayahnya.
Anak itu belum sempat menjawab, ketika laki -laki y ang
berjalan sambil membawa kapak itu berteriak, "Kau apakan
anakku he" Kenapa kau ganggu anak-anak" Kalau kau
memang seorang laki-laki, ay o lawan aku, bapaknya."
Orang itu nampaknya m emang seorang yang darahnya
cepat mendidih. Dengan wajah yang bagaikan membara, ia
sudah memutar kapaknya y ang besar.
Tetapi anak laki-lakinya itu b erteriak, " Bukan orang itu
ay ah. Orang itu yang justru telah menolong aku."
Dahi laki -laki itu berkerut. Kapaknyapun segera
diletakkannya. Betapapun kasarnya, namun laki -laki itu
kemudian bertanya kepada anaknya, "Jadi, apakah yang telah
terjadi." Anak itu menceriterakan kepada ay ahnya, apa y ang telah
terjadi atas dirinya. Justru orang-orang itulah y ang telah
melerai dan menolongnya memampatkan darahnya.
Dengan kepala tunduk orang itu kemudian berkata, "Aku
minta maaf Ki Sanak. Aku telah salah duga."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
rendah ia berkata, "Sudahlah. Setiap orang dapat menjadi
khilaf. Tetapi y ang kemudian penting adalah persoalan anakanak
itu. Anak-anak itu tidak boleh bermusuhan terusmenerus.
Karena itu, dituntut campur tangan orang tuanya."
"Aku akan mencari orang tua anak itu. Aku akan
menyelesaikannya dengan cara seorang laki-laki," jawab orang
itu. "Mak sudku tidak demikian Ki Sanak," berkata Mahisa
Murti kemudian, "sebaiknya Ki Sanak menghubungi Ki Bekel.
Orang-orang tua harus membicarakan agar perkelahian
semacam ini tidak terulang lagi. Bukan justru melibatkan diri
kedalamnya. Dengan demikian maka anak-anak itu akan dapat
melakukan pekerjaan m ereka dengan tenang. Mereka dapat
menggembala ternaknya sambil berdendang atau sambil
meniup seruling mereka. Suasana di padang rumput akan
menjadi tenang dan terasa damai."
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Ia pun
mengangguk-angguk sambil berkata, "Baiklah Ki Sanak. Aku
akan mencobanya. Aku akan berhubungan dengan Ki Bekel,
agar Ki Bekel dapat membicarakannya dengan mereka yang
berkepentingan. Mak sudku orang tua anak-anak itu dan orang
tua dari anak-anak y ang telah berkelahi dengan anak-anak
kami di sini." Mahisa Murti ter senyum. Katanya, "Terima kasih atas
pengertian Ki Sanak. Sekarang, kami mohon diri untuk
meneruskan perjalanan kami."
Orang itu mempersilahkan anak-anak muda y ang
melerai perkelahian itu untuk singgah. Tetapi Mahisa Murti
terpaksa minta maaf karena ia harus meneruskan perjalanan.
Beberapa langkah dari tempat kejadian itu, maka Mahisa
Amping masih mengulangi pernyataannya, "Kenapa mereka
hanya berani berkelahi dalam kelompok-kelompok seperti
para pengecut." Mahisa Murti tersenyum. Katanya, "Bukankah sudah
aku katakan bahwa hal itu sangat tergantung pada
keadaannya. Sepasukan prajurit y ang bertempur dalam satu
kesatuan bukanlah pengecut. Kelompok mereka justru terlalu
besar. Mereka tidak akan dapat menyelesaikan per soalan
mereka dengan sikap sebagaimana kau bayangkan."
Mahisa Amping mengerutkan keningnya. Tetapi ia
mengangguk-angguk. Ia mengerti apa yang dikatakan oleh
Mahisa Murti. Sementara itu mereka telah melangkah terus. Namun
setelah berjalan beberapa patok memasuki padukuhan itu,
mereka masih belum berjumpa dengan sebuah kedaipun.
Nampaknya padukuhan y ang besar itu tidak mempunyai
cukup kedai sehingga untukmembeli sesuatu para
penghuninya harus berjalan beberapa patok, m eskipun hanya
membutuhkan sepotong lauk, karena sedang tidak sempat
masak. Tetapi ketika mereka sampai diujung jalan justru ketika
mereka sudah siap meninggalkan padukuhan itu untuk
melintasi bulak panjang menuju ke padukuhan berikutnya,
mereka telah melihat bulak panjang menuju ke padukuhan
berikutnya, mereka telah melihat sebuah kedai di sudut jalan
di sebelah regol. "Ha," hampir di luar sadarnya Mahisa Amping berseru,
"kedai itu." Yang lain tersenyum. Namun tidak seorang pun y ang
segera menjawab. Karena itu, maka Mahisa Amping pun kemudian
termangu-mangu. Dipandanginya saudara-saudara angkatnya
itu seorang demi seorang. Tetapi semuanya diam, bahkan
seolah-olah telah mentertawakannya.
"O," desisnya, "aku tidak lapar."
Mahisa Semu lah yang pertama-tama m enanggapinya,
"Bukankah kita m emang sedang mencari sebuah kedai untuk
membeli minuman dan makanan?"
Mahisa Amping menunduk. Katanya, "Terserah saja.
Aku tidak haus dan tidak lapar."
Mahisa Pukat tertawa. Katanya, "Seorang laki-laki tidak
akan merajuk." Mahisa Amping mengangkat wajahnya. Dipandanginya
wajah Mahisa Pukat dengan tajamnya. Namun ia pun
kemudian berpaling memandangi regol padukuhan, bulak
yang membujur didepannya serta pintu kedai yang terbuka
disebelahnya. Tetapi Mahisa Amping tidak mengatakan sesuatu.
Ketika mereka mendekati kedai itu, maka mereka
melihat beberapa orang y ang ada di dalamnya. Dua ekor kuda
tertambat di dekat pintu.
Semakin dekat mereka dengan regol jalan padukuhan itu
maka mereka semakin menyadari, bahwa di luar dinding
padukuhan beberapa orang hilir mudik. Suasananya ju stru
lebih rumai daripada didalam padukuhan. Namun satu dua
orang sempat memasuki regol dan singgah di kedai itu.
"Kita akan singgah di kedai itu," berkata Mahisa Murti.
Tidak ada seorang pun yang menyahut, Mahisa Amping
puntidak. Namun sejenak kemudian, m ereka telah berada di
dalam kedai itu. Beberapa orang telah berada di dalamnya.
Bahkan kedai itu ternyata cukup ramai. Dua orang pergi, yang
lain datang bergantian. Dari pemilik kedai itu, Mahisa Murti mengetahui bahwa
ternyata tidak jauh dari tempat itu terdapat sebuah pasar yang
sengaja dibuat menghadap keluar padukuhan dengan
menyesuaikan dinding padukuhan, sehingga pasar itu
merupakan pasar y ang seolah -olah terbuka. Orang-orang dari
padukuhan lain dengan leluasa dapat masuk keluar pasar itu
tanpa lebih dahulu memasuki padukuhan lewat regolnya.
Beberapa saat lamanya para pengembara itu berada di
dalam kedai. Ternyata Mahisa Ampinglah y ang paling cepat
selesai. Sambil menunggu yang lain, Mahisa Amping yang
berkeringat karena kepedasan dan kepanasan itu nampak
gelisah. "Kenapa kau?" bertanya Mahisa Pukat.
"Udaranya panas sekali," jawab Mahisa Amping.
"Carilah angin di luar," berkata Mahisa Pukat, "tetapi
jangan jauh-jauh. Jika kami selesai dan kau tidak kami
ketemukan, maka kau akan kami tinggalkan di sini."
Mahisa Amping mengangguk. Tetapi dipandanginya
saudara-saudara angkatnya y ang lain.
"Pergilah," desis Mahisa Murti.
Mahisa Amping pun kemudian telah keluar dari kedai itu
dan berdiri termangu-mangu diregol. Namun ketika dilihatnya
bulir-bulir padi disawah yang mulai menguning di sentuh
angin, sehingga di permukaan wajah tanaman padi itu seakanakan
telah mengalir gelombang lembut, maka ia pun telah
melangkah keluar regol. Di panasnya matahari bulir-bulir padi itu seakan-akan
menjadi berkilat. Di atas hamparan tanaman padi itu nampak
seperti getaran yang tembus pandang. nDeg pengamun-amun.
Hampir diluar sadarnya, Mahisa Amping melangkah
menyeberangi jalan menyilang diluar regol. Di sepanjang jalan
bulak y ang membujur lurus dengan jalan padukuhan, terdapat
berjajar pohon turi yang menaungi sisi jalan y ang terdiri dari
tanggul berumput di sebelah parit y ang mengalirkan air yang
jernih. Beberapa orang gembala tengah duduk pula dibawah
pohon turi sambil menunggu ternak mereka y ang tengah
merumput ditanggul. Namun tiba -tiba saja Mahisa Amping melihat gelagat
yang kurang baik. Ia melihat para gembala itu m enunjuk ke
arahnya. Sebelum ia sempat berbuat sesuatu, beberapa orang
gembala itu telah berlari mendekatinya.
"Ya anak ini yang tadi datang bersama dengan beberapa
orang melerai perkelahian kita," berkata salah seorang di
antara mereka, para gembala yang sebay a dengan Mahisa
Amping. Namun ada seorang di antara mereka y ang agak lebih
besar, y ang nampaknya memimpin sekelompok gembala itu.
Mahisa Amping berdiri termangu-mangu.
Gembala y ang lebih besar dari kawan-kawannya itu
kemudian bertanya, "Kenapa kau ganggu kami" Kau tidak
perlu mencampuri persoalan kami dengan anak-anak
sombong itu." "Kakakku tidak senang melihat orang berkelahi," jawab
Mahisa Amping. "Bukan kewajiban kami untuk meny enangkan hati
kakak-kakakmu. He, jadi orang-orang y ang m elerai kami itu
kakak-kakakmu?" bertanya anak yang agak lebih besar dari
kawan-kawannya itu. Mahisa Amping mengerutkan keningnya. Dipandanginya
beberapa orang gembala itu seorang demi seorang. Pada
umumnya sebay a dengan umurnya.
Meskipun Mahisa Amping masih sangat muda, tetapi ia
sudah dapat m elihat gelagat y ang kurang baik. Nampaknya
gembala-gembala itu berniat buruk kepadanya. Mereka
kecewa karena saudara-saudara angkat Mahisa Amping itu
telah melerai mereka, ketika mereka sedang berkelahi.
Sedangkan perhitungan mereka kelompok mereka akan
memenangkan perkelahian itu.
Ternyata bahwa dugaan Mahisa Amping itu benar.
Gembala y ang terbesar di antara mereka itu pun maju
selangkah sambil berkata, "Biarlah saudara-saudaramu itu
menyesali perbuatannya, bahwa mereka telah turut
mencampuri persoalan kami."
"Mak sudmu?" bertanya Mahisa Amping.
"Kau harus dipukuli sebagai ganti gembala-gembala
yang tadi sudah kami kalahkan," jawab anak yang terbesar di
antara gembala-gembala itu.
Tetapi benar-benar tidak diduga. Sebelum gembala itu
mengatupkan bibirnya, Mahisa Amping telah m eny erangnya.
Satu tendangan tepat mengenai dadanya sehingga gembala itu
terdorong beberapa langkah surut, kemudian jatuh terlentang
di tengah-tengah jalan. Yang lain pun serentak melangkah surut. Mereka
menjadi ragu-ragu. Ketika Mahisa Amping maju selangkah,
mereka pun telah surut selangkah.
"Mari pengecut," geram Mahisa Amping, "sejak semula
aku sudah menduga bahwa kalian adalah pengecut y ang hanya
berani berkelahi dalam kelompok-kelompok seperti ini.
Meskipun demikian aku tidak gentar sama sekali. Majulah
bersama-sama. Kalian tidak usah bermimpi membuat
saudara-saudaraku itu m eny esal, karena kalianlah yang akan
menyesal." Gembala yang terjatuh itu pun kemudian dengan susah
pay ah telah bangkit. Dua orang kawannya membantunya.
Wajahnya menjadi merah. Sementara dadanya masih terasa
sakit. "Ay o," geram Mahisa Amping, "aku sudah siap."
Gembala yang terbesar itu kemudian berteriak
memberikanaba-aba, "Selesaikan anak itu. Kita pukuli
beramai-ramai sampai ia menjadi jera."
Yang lain memang masih saja ragu-ragu. Tetapi y ang
terbesar itu telah melangkah maju m eskipun dadanya m asih
terasa sakit.
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau licik," katanya, "aku belum siap. Sekarang, kau
tidak akan dapat berbuat seperti itu."
Tetapi sekali lagi y ang tidak diduga itu t erjadi. Kaki
Mahisa Amping telah terjulur sekali lagi langsung m engenai
dada anak y ang terbesar itu. Sekali lagi ia terdor ong beberapa
langkah surut dan kehilangan keseimbangannya, sehingga ia
jatuh untuk kedua kalinya. Punggungnya terasa bagaikan
patah, sementara dadanya menjadi sesak bagaikan dihimpit
sebongkah batu padas. Dua orang kawannya telah menolongnya pula. Demikian
anak itu b erdiri tegak, sekali lagi berteriak, "Kepung anak itu.
Pukuli sampai tulang punggungnya patah."
Meskipun ragu-ragu tetapi beberapa orang gembala itu
telah mengepung Mahisa Amping. Dengan demikian maka
Mahisa Amping harus menjadi semakin berhati-hati. Ia harus
melawan beberapa orang sekaligus.
Tetapi Mahisa Amping sudah mendapat tuntunan serba
sedikit dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sejak ilmunya
dilenyapkan, maka Mahisa Amping harus belajar sesuai
dengan tuntunan yang diberikan oleh Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Karena itu, ketika ia harus menghadapi beberapa orang
gembala, maka ia sama sekali tidak gentar.
"Bukan salahku jika hidung kalian berdarah," berkata
Mahisa Amping mengancam. Namun anak yang terbesar itu menjawab, "jangan takut.
Ia hanya mengancam."
Beberapa orang anak y ang ragu-ragu itu akhirnya
bergerak juga. Mereka mengacu-acukan tinju mereka. Bahkan
ada di antara mereka yang berteriak-teriak dan mengumpat
kasar. Namun Mahisa Amping memang tangkas. Kecuali ia
sudah berlatih serba sedikit, ia sama sekali tidak merasa raguragu
sebagaimana para gembala y ang melihat tendangan kaki
Mahisa Amping itu. Tetapi justru karena itu, maka Mahisa Amping telah
mendapat kesempatan untuk meny erang lebih dahulu.
Seperti y ang telah dilakukannya, maka kakinya telah
terjulur meny erang salah seorang dari anak-anak yang
mengepungnya. Cukup cepat, sehingga anak itu tidak sempat
mengelak. Tetapi dalam pada itu, anak yang terbesar itu telah
mendorong seorang anak y ang lain justru membentur Mahisa
Amping. Keduanya memang hampir saja jatuh.
Dalam kesempatan itulah, seorang anak lagi telah
menyerang Mahisa Amping. Pukulannya tepat mengenai
lambungnya, sehingga Mahisa Amping menyeringai menahan
sakit. Tetapi dengan cepat Mahisa Amping bersiap
menghadapi k emungkinan yang lain, tepat pada saat seorang
gembala berusaha menangkap tangannya.
Tetapi Mahisa Amping ju stru menjatuhkan dirinya dan
berguling sekali. Namun kakinya sempat menyapu kaki
seorang yang tidak mengerti apa yang telah terjadi. Anak itu
memang jatuh terbanting, sementara Mahisa Amping telah
bangkit berdiri tegak di atas kedua kakinya.
Ternyata para gembala itu sama sekali tidak memiliki
sedikitpun bekal olah kanuragan. Sehingga karena itu, m aka
mereka berkelahi dengan cara mereka sendiri.
Namun dengan demikian bekal y ang sedikit y ang
dimiliki oleh Mahisa Amping serta usaha untuk meningkatkan
ketahanan tubuh yang selalu dilakukannya, telah cukup berarti
untuk menghadapi gembala-gembala yang mencoba untuk
mengganggunya itu. Dengan demikian meskipun seorang diri namun Mahisa
Amping telah berloncatan meny erang dari seorang ke orang
yang lain dengan tangkasnya. Sementara itu, anak-anak
gembala itu m enjadi k ebingungan. Ternyata anak y ang ingin
mereka jadikan sa saran kemarahan mereka itu memiliki
kemampuan diluar perhitungan mereka.Sehingga ju stru
merekalah y ang mengalami merah biru di tubuh mereka.
Ternyata perkelahian itu telah dilihat oleh beberapa
orang lewat. Semula mereka tidak mengira bahwa yang terjadi
itu benar-benar perkelahian. Mereka mengira bahwa para
gembala itu justru sedang bermain-main.
Tetapi ketika mereka melihat anak-anak yang kesakitan
dan bahkan m enangis, maka mereka baru menyadari, bahwa
yang terjadi adalah justru perkelahian.
Seorang y ang baru keluar dari kedai itu telah dapat
mengenali Mahisa Amping ketika anak itu berada di dalam
kedai. Karena itu, maka ia pun segera berlari-lari kembali ke
kedai justru pada saat Mahisa Murti dan saudara-saudaranya
keluar dari kedai itu. "Ki Sanak," berkata orang itu dengan serta merta, "anak
yang bersama Ki Sanak tadi berkelahi di luar gerbang
padukuhan." "He?" Mahisa Murti dan saudara-saudaranya terkejut.
Namun serentak mereka telah berlari -lari menyusulnya.
Ketika Mahisa Murti sampai di luar pintu gerbang, maka
ia melihat beberapa orang berusaha melerainya. Tetapi
MahisaAmping masih saja berusaha meny erang lawanlawannya.
Dua orang telah menangis. Seorang kesakitan,
justru yang terbesar di antara mereka. Punggungnya serasa
patah dan pelipisny a menjadi merah biru.
"Amping," panggil Mahisa Pukat sambil berlari-lari.
Ialah y ang kemudian menangkap anak y ang meronta-ronta
itu. "Merekalah y ang memulainya," teriak Mahisa Amping.
"Kau tidak boleh berkelahi begitu. Bukankah kau
melihat tadi kami melerai perkelahian" Sekarang justru kau
sendiri yang berkelahi?" sahut Mahisa Pukat.
"Aku tidak berbuat apa -apa. Tetapi mereka
menyerangku justru karena kakang melerai perkelahian itu.
Anak-anak itu merasa bahwa mereka akan menang ketika
kakang melerai mereka, sehingga mereka merasa kecewa,"
berkata Mahisa Amping. Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
rendah ia berkata, "Apakah benar demikian?"
Anak-anak gembala itu tidak m enjawab. Tetapi mereka
memang menjadi ketakutan. Jika anak sebesar Mahisa
Amping itu saja tidak dapat mereka kalahkan, apalagi orangorang
tua dan anak-anak muda itu.
Tetapi tidak nampak pada sikap anak-anak muda itu,
bahwa mereka akan melibatkan diri. Bahkan Mahisa Murti
telah mendekati anak y ang menangis itu sambil bertanya
lembut, "Kenapa kau menangis?"
"Perutku sakit," jawab anak itu.
"Kenapa?" bertanya Mahisa Murti.
"Anak itu menendang perutku," jawab anak itu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ia
tidak m elihat perkelahian itu, tetapi ia dapat membayangkan
bahwa Mahisa Amping telah berkelahi dengan garang. Ia telah
menyakiti hampir semua lawannya. Dua orang y ang menangis
itu tentu mendapat serangan y ang sangat kuat, sedangkan
gembala y ang terbesar di antara m ereka benar-benar menjadi
kesakitan. "Sudahlah, diamlah," berkata Mahisa Murti, "lain kali
sebaiknya kalian tidak berkelahi lagi. Adikku nanti akan
mendapat hukumannya karena ia telah berkelahi. Bukankah
tidak ada untungnya seseorang berkelahi" Yang kalah
kesakitan, y ang menang akan mendapat hukumannya?"
Anak itu mengangguk lemah.
"Nah, jika demikian diamlah," berkata Mahisa Murti
pula. Anak itu memang berusaha untuk menahan tangisny a.
Tetapi dengan demikian ia justru telah terisak-isak.
Mahisa Murti pun kemudian memberikan isyarat kepada
Mahisa Pukat, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping
untuk meninggalkan tempat itu.
Namun seorang dengan wajah cemas mencoba untuk
berbisik di telinga Mahisa Murti, "Bukankah yang terbesar di
antara anak-anak gembala itu adalah anak Kebo Gremeng?"
"Siapakah yang bernama Kebo Gremeng?" bertanya
Mahisa Murti. "Kau belum pernah mendengar namanya?" orang itu
menjadi heran. Mahisa Murti menggeleng lemah. Katanya, "Aku
memang belum pernah mendengarnya."
"Kau tentu orang yang datang dari jauh. Setiap orang di
sini tentu tahu siapakah Kebo Gremeng itu. Seorang gegedug
yang sangat ditakuti di sini," jawab orang itu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Jika
demikian, maka per soalannya akan dapat berkembang.
Namun Mahisa Murti m asih berharap bahwa ia mempunyai
kesempatan untuk meny ingkir.
Karena itu, m aka Mahisa Murti pun kemudian berkata
Mahisa Amping, "Marilah. Lebih baik kita menyingkir
daripada timbul per soalan y ang lebih rumit. Baru saja kita
keluar dari lingkaran yang mengikat kita beberapa hari.
Sekarang kita sudah akan memasuki persoalan baru."
Mahisa Amping pun membenahi pakaiannya. Ia tidak
membantah. Sementara itu Mahisa Semu telah
menggandengnya sambil berkata, "Jika kita masih harus
berhenti di setiap simpang ampat bahkan sampai sehari dua
hari, maka kita akan sampai ke tujuan setelah kau tua."
Mahisa Amping termangu-mangu. Tetapi akhirnya ia
menyahut, "Bukan salahku kakang."
"Aku tahu," jawab Mahisa Semu, "tetapi apa salahnya
jika kita menghindari perkelahian."
Mahisa Amping menjadi heran. Ia sudah melihat
saudara-saudaranya angkatnya itu berkelahi bukan hanya
sekali. Tetapi beberapa kali. Tetapi kenapa m ereka semuanya
seakan-akan menyalahkannya meskipun ia baru sekali
berkelahi. Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti dan saudarasaudara
angkatnyapun telah mulai melangkah pergi. Beberapa
orang masih saja berkerumun. Namun sebagian besar dari
mereka tahu, bahwa anak y ang berusaha menyingkir itu tidak
bersalah. Orang -orang di sekitar padukuhan itu mengenal
bahwa sekelompok gembala itu memang terdiri dari anakanak
nakal. Mereka sudah sering berkelahi di antara anakanak
gembala. Setiap kali mereka menang dan menyakiti
lawan-lawannya, maka mereka merasa bahwa mereka menjadi
semakin bangga. Jika orang-orang tua anak-anak yang
disakitinya turut cam pur, maka Kebo Gremeng itu m endapat
alasan untuk memukuli orang.
Itulah sebabnya, ketika orang tua gembala-gembala y ang
baru saja dilerai oleh Mahisa Murti dan saudara-saudara
angkatnya mengetahui bahwa yang menyakiti anaknya adalah
sekelompok gembala y ang di antaranya adalah anak Kebo
Gremeng, m aka orang-orang tua mereka pun harus berpikir
dua kali. Ketika mereka menemui Ki Bekel, maka Ki Bekel pun
menjadi ragu -ragu. "Apakah kita akan membiarkannya untuk seterusnya, Ki
Bekel," bertanya orang tua dari anak y ang terluka.
"Aku memang menjadi sangat berprihatin," jawab Ki
Bekel. " Jadi?" bertanya orang itu.
"Aku minta waktu," jawab Ki Bekel.
Orang-orang itu pun menyadari, bahwa sulit untuk
dapatmengatasi Kebo Gremeng. Tetapi mereka pun ingin
bahwa apa yang selalu terjadi itu tidak akan terjadi lagi.
Namun dalam pada itu, seorang telah singgah pula di
rumah Ki Bekel, memberitahukan, bahwa anak-anak itu telah
berkelahi lagi. Lawannya hanya seorang. Tetapi ternyata yang
seorang itu memiliki kelebihan. Beberapa orang gembala yang
mengeroy oknya telah dikalahkannya. Termasuk anak Ki Kebo
Gremeng. Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Namun ia pun
kemudian berkata kepada diri sendiri, "Jika anak Kebo
Gremeng tersangkut di dalamnya, apalagi jika anak itu
dikalahkan, maka tentu akan timbul persoalan tersendiri."
Karena itu maka Ki Bekel akhirnya memutuskan untuk
pergi ke tempat perkelahian itu. Katanya, "Syukurlah jika tidak
terjadi apa-apa." Ber sama beberapa orang bebahu serta orang y ang
memberikan laporan tentang perkelahian itu serta beberapa
orang tua dari gembala-gembala y ang disakiti oleh kelompok
anak Ki Kebo Gremeng, Ki Bekel telah pergi ke pintu gerbang
padukuhannya dekat kedai yang baru saja ditinggalkan oleh
Mahisa Murti bersama saudara-saudara angkatnya.
Ketika Ki Bekel sampai ke tempat itu, m aka ia sudah
tidak menjumpai orang-orang yang terlibat dalam perkelahian
itu. Tetapi seorang di antara mereka yang masih berkerumun
di tempat itu berkata kepada Ki Bekel, "Ki Kebo Gremeng juga
telah sampai kemari."
" Di mana ia sekarang?" bertanya Ki Bekel.
" Ia pergi menyusul anak yang dikatakan menang
meskipun dikeroy ok oleh beberapa orang gembala," berkata
orang itu. "Mereka pergi ke arah mana?" bertanya Ki Bekel pula.
Orang itu telah menunjuk ke arah Mahisa Murti
membawaMahisa Amping menyingkir yang kemudian disusul
oleh Kebo Gremeng. "Orang-orang itu agaknya sudah berusaha m enghindari
persoalan," berkata orang itu, "tetapi ...."
"Tetapi apa?" bertanya Ki Bekel.
Orang itu termangu -mangu. Dipandanginya beberapa
orang yang berdiri di sekitarnya. Lalu katanya, "Entahlah.
Tetapi mereka pergi ke sana."
Ki Bekel mengetahui bahwa orang itu tidak berani
menyatakan pendapatnya. Jika pendapatnya itu didengar oleh
pengikut Kebo Gremeng, maka ia akan mendapatkan
kesulitan. Karena itu, maka Ki Bekel tidak bertanya lagi. Sebuah
iring-iringan kecil telah mengikutinya menyusul Kebo
Gremeng y ang tentu juga tidak sendiri.
Sebenarnyalah saat itu Kebo Gremeng bersama dengan
tiga orang kawannya tengah menyusul Mahisa Murti. Mereka
berjalan tergesa -gesa, bahkan sekali-sekali berlari -larian.
Disamping ketiga orang pengikutnya, lima orang gembala ikut
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pula bersama mereka. Lima orang anak-anak y ang masih
sangat muda, sebaya dengan Mahisa Amping. Tiga di antara
mereka adalah para gembala yang telah ikut berkelahi
termasuk anak Kebo Gremeng itu sendiri.
Dengan wajah y ang tegang oleh kemarahan di dalam
dadanya, Kebo Gremeng berusaha untuk dapal menemukan
orang y ang telah berani menghinanya dengan mengganggu
anaknya. Dalam pada itu, Mahisa Murti dan saudara-saudaranya
memang telah berjalan semakin jauh. Mereka berharap bahwa
persoalan anak-anak itu tidak akan menimbulkan masalah
yang lebih besar. Karena itu, maka karena mereka benar-benar
berusaha untuk m enghindarinya. Mereka telah memilih jalan
yang tidak banyak dilalui orang agar seandainya ada orang
yang menyusulnya tidak akan dapat menemukannya.
Meskipun demikian Mahisa Murti dan saudarasaudaranya
masih juga memikirkan kemungkinan bahwa
gegedug y ang bernama Kebo Gremeng itu akan menyusulnya.
Namun pada itu, Kebo Gremeng memang cukup cerdik.
Di setiap simpangan ia telah berusaha untuk mengetahui arah
perjalanan orang-orang yang dicarinya. Orang-orang yang
ditanyainya t idak ada y ang berani berbohong kepadanya.
Semua orang menunjukkan arah yang sebenarnya dari orangorang
y ang disusulnya. Dengan demikian, meskipun Mahisa Murti telah
mengambil jalan-jalan sempit, namun akhirnya Kebo
Gremeng telah berhasil m enyusulnya. Bahkan dari kejauhan
Kebo Gremeng telah melihat sekelompok kecil y ang berjalan
menyusuri jalan sempit menembus sebuah bulak yang cukup
panjang. Mahisa Murti y ang menyadari, bahwa perjalanannya
telah disusul oleh orang y ang tidak diharapkannya itu, berkata
kepada Mahisa Amping, " Jika mereka datang menyusul kita,
maka kau jangan ikut berbicara. Biar kakang saja yang
menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Kau tidak usah ikut
memberi penjela san apapun."
Mahisa Amping mengangguk kecil.
"Nah, kita tidak mempunyai pilihan lain kecuali
menunggu mereka," berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Wantilan seperti juga
Mahisa Murti merasa sangat terganggu dengan orang-orang
yang menyusulnya itu. Tetapi mereka memang harus
melayaninya apapun y ang dikehendaki. Bahkan mungkin
kekerasan. Namun Mahisa Murti memang harus menunggu. Ia pun
kemudian berdiri bersandar sebatang pohon dadap di pinggir
jalan. Adalah tidak biasa bahwa sebatang pohon dadap serep
ditanam di tanggul di tengah-tengah bulak. Bia sanya sebatang
pohon dadap serep ditanam di dekat sumur di halaman
samping. Sementara itu, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan
Wantilan duduk di tanggul y ang berbatu-batu bersama dengan
Mahisa Amping. Dengan berdebar-debar m ereka menunggu
iring-iringan y ang semakin lama menjadi semakin dekat.
Dengan serta merta mereka langsung dapat mengetahui, yang
manakah yang bernama Kebo Gremeng menilik sikap dan
pakaiannya. Sebuah golok y ang besar terselip di lambungnya.
Tangkainya mencuat di depan perutnya yang membesar.
Namun dalam pada itu, Kebo Gremeng sama sekali tidak
senang melihat sikap orang -orang yang menunggunya dengan
tenang. Ia membayangkan bahwa jika ia berhasil menyusul
orang-orang itu, mereka akan segera berlari-larian. Tetapi
karena di antara m ereka terdapat seorang anak kecil, maka
mereka tentu tidak akan dapat berlari terlalu cepat.
Tetapi ternyata tidak demikian. Orang-orang itu tidak
berlari-lari ketakutan. Tetapi mereka menunggunya dengan
tenang. " Iblis itu memang harus dibuat jera," geram Kebo
Gremeng Mahisa Murti y ang m elihat iring-iringan itu m endekat,
melangkah m eny ongsongnya. Sementara itu y ang lain m asih
tetap duduk dengan tenang tanpa menghiraukan kehadiran
orang y ang paling ditakuti di daerah itu.
" Iblis kalian," geram Kebo Gremeng setelah ia m enjadi
semakin dekat. "Ada apa Ki Sanak?" bertanya Mahisa Murti.
" Jangan pura-pura. Kau harus bertanggung jawab. Kau
sakiti anak-anak kami. Maksudmu anakku dan anak tetanggatetanggaku.
Apa salah mereka he?" teriak Kebo Gremeng.
"Siapa y ang menyakiti anakmu?" bertanya Mahisa
Murti. "Aku bawa anakku sekarang. Biarlah ia menjawab
pertanyaanmu," sahut Kebo Gremeng.
Mahisa Murti mengangguk-angguk,sementara Kebo
Gremeng berkata kepada anaknya, "Katakan apa y ang terjadi."
"Ay ah. Anak kecil itu berusaha untuk mengganggu
kawan-kawan gembala. Aku berusaha mencegahnya. Tetapi ia
sama sekali tidak menghiraukannya. Bahkan ia telah
menantangku berkelahi. Tetapi ketika ia mulai kalah dan
menangis, kakaknya telah ikut campur. Tidak hanya seorang.
Tetapi semuanya telah ikut menyakiti aku," jawab anak Kebo
Gremeng. "Nah," geram Kebo Gremeng, "kau dengar."
Mahisa Murti sama sekali tidak menunjukkan
kegelisahannya. Bahkan ia pun kemudian berkata, "Aku sudah
menduga, bahwa anakmu m emiliki kemampuan berbohong.
Tetapi tidak apa -apa. Barangkali bakat itu menurun dari
ay ahnya." "Setan kau," bentak Kebo Gremeng, "kau tahu siapa
aku?" "Baru sekarang aku melihat orang yang bernama Kebo
Gremeng," jawab Mahisa Murti. Lalu katanya, "Jika kau ingin
anakmu memiliki kemampuan seorang gegedug, ajari anakmu
dengan ilmu kanuragan. Bukan kau ajari cara untuk
berbohong." Kebo Gremeng menggeretakkan giginya. Dipandanginya
Mahisa Murti dengan tajamnya. Ia tidak mengira bahwa di
dalam hidupnya ia pernah bertemu dengan seseorang yang
telah berani menghinanya.
Namun justru karena kemarahan y ang menghentakhentak
di dadanya, untuk sejenak ia justru bagaikan
terbungkam. Kawannyalah yang melangkah maju sambil berkata,
"Kita tidak perlu berbicara lagi."
Kebo Gremeng mengangguk kecil. Tetapi Mahisa Murti
masih berkata, "Apakah kau ingin membuktikan kebenaran
kata-kata anakmu. Di sini adikku masih ada. Jika benar
anakmu menang atas adikku seperti yang dikatakannya, maka
perkelahian itu dapat diulanginya sekarang."
Tetapi nampaknya Kebo Gremeng telah
memperhitungkan kemungkinan itu. Karena itu, maka seorang
di antara anak-anak yang mengikutinya telah melangkah maju
sambil berkata,"Biar aku saja yang mencobanya. Jika anak
paman Kebo Gremeng yang turun ke arena, maka anak itu
akan dapat mati." Kebo Gremeng termangu-mangu. Namun Mahisa Pukat
tiba -tiba saja berkata,"Nampaknya memang sudah diatur
begitu." " Diam kau," bentak Kebo Gremeng, "atau aku bunuh
kau." Mahisa Pukat tertawa. Katanya, "Baiklah. Biarlah adikku
berkelahi dengan pahlawan y ang kau anggap dapat
menyelamatkan anakmu itu."
Tangan Kebo Gremeng menjadi gemetar. Biasanya ia
tidak m enunggu lagi. Tetapi ia m asih m encoba menahan diri
untuk membuktikan, bahwa y ang dikatakan oleh anaknya itu
benar. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Mahisa Pukat,
agaknya memang sudah diatur bahwa yang akan berkelahi
bukan anak Kebo Gremeng y ang memang sudah dikalahkan
oleh Mahisa Amping. Bahkan bukan seorang lawan seorang,
tetapi anak Kebo Gremeng bertempur bersama kawankawannya.
Dalam pada itu, seorang di antara para gembala y ang
ikut bersama Kebo Gremeng itu melangkah maju sambil
bertolakpinggang. Dengan garang anak itu berkata, "Kita akan
berperang tanding." Mahisa Pukat tertawa. Katanya, "Darimana kau
mendapat istilah itu" Jangan sebut perang tanding. Berkelahi
begitu saja akan lebih sesuai dengan kalian."
"Tutup mulutmu," Kebo Gremenglah yang membentak.
Tetapi Wantilan dan Mahisa Semu justru ikut tertawa.
Dengan nada tinggi di sela -sela tertawanya Mahisa Semu
berkata, "Jangan terlalu garang. Semua orang sudah tahu,
bahwa kau adalah seorang gegedug y ang ditakuti. Berbuat
wajar sajalah." Hampir saja Kebo Gremeng meloncat menerkam Mahisa
Semu. Tetapi gembala itu telah berteriak, "beri aku
kesempatan mematahkan leher anak yang sombong itu."
Kebo Gremeng memang mengurungkan niatnya. Namun
sekali lagi jantungnya bagaikan meledak ketika Mahisa Pukat
berkata, "Anak itu sudah dapat mengucapkan istilah-istilah
yang dapat mendirikan bulu tengkuk."
Namun sementara itu Mahisa Amping menjadi gelisah.
Ia ingin menerima tantangan itu. Tetapi ia menunggu isyarat
Mahisa Murti. Mahisa Murti y ang dapat melihat kegelisahan Mahisa
Amping itu pun kemudian bertanya kepadanya, "Apakah kau
bersedia berperang tanding?"
Mahisa Amping mengangguk sambil m enjawab pendek,
"Ya." "Bagus," desis Mahisa Murti, "lakukan. Kau ditantang
oleh gembala itu." Mahisa Amping pun terseny um. Dengan langkah y ang
tetap ia pun maju mendekati gembala y ang sudah berdiri
dalam kesiapan. Namun Mahisa Amping memang harus berhati-hati.
Gembala itu tidak lebih besar dari anak Kebo Gremeng. Tetapi
nampaknya anak itu memiliki kelebihan dari anak Gebo
Gremeng itu sendiri. "Kita akan menjadi saksi," berkata Mahisa Murti, "anakanak
itu akan membuktikan, apakah y ang dikatakan oleh anak
Kebo Gremeng itu benar. Sebenarnya aku tidak senang
melihat anak-anak berkelahi. Tetapi apa boleh buat."
"Aku tidak akan sekedar berkelahi," sahut gembala itu,
"tetapi aku akan berperang tanding."
"Baiklah. Lakukan perang tanding itu. Kami yang tuatua
akan menjadi saksi y ang baik, y ang tidak akan
mengganggu jalannya permainan y ang tidak wajar ini."
Sejenak kemudian kedua orang anak itu sudah
berhadapan. Keduanya telah bersiap untuk berkelahi yang
menurut istilah gembala itu berperang tanding.
Sejenak kemudian, gembala y ang memiliki kelebihan
dari anak Kebo Gremeng itu mulai meloncat meny erang.
Tetapi Mahisa Amping sudah siap menghindari serangan itu.
Dengan tangkasnya ia meloncat kesamping. Namun tiba-tiba
sa ja lawannya telah berputar dengan ayunan kaki mendatar.
Mahisa Amping sama sekali tidak m enduga. Karena itu
pada serangan kedua Mahisa Amping telah dikenai oleh kaki
lawannya sehingga Mahisa Amping itu jatuh berguling.
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya terkejut. Namun
dengan demikian mereka mengetahui bahwa gembala itu tentu
pernah mempelajari olah kanuragan serba sedikit.
Sementara itu Kebo Gremeng y ang menjadi tegang oleh
kemarahan y ang tertahan, tiba -tiba saja dapat tertawa, ju stru
semakin lama semakin keras.
Dengan perut yang terguncang-guncang Kebo Gremeng
berkata di sela-sela dari tertawanya, " Itukah anak yang kau
banggakan" Jika terbukti bahwa anakmu telah bersalah
kemudian kalian bersalah pula terhadap anakku dan kawankawannya,
maka jangan meny esali nasib buruk kalian."
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya sama sekali tidak
menjawab. Namun mereka menyaksikan Mahisa Amping
dengan tangkasnya meloncat bangkit dan berdiri tegak
menghadapi segala kemungkinan.
Kebo Gremeng pun kemudian telah berhenti tertawa. Ia
bahkan m enjadi t egang kembali k etika ia melihat bagaimana
Mahisa Amping itu bangkit.
Sejenak kemudian gembala itu telah mulai meny erang
lagi. Demikian Mahisa Amping meloncat menghindar, m aka
gembala itu telah berputar dengan kaki mendatar.
"Serangan itu ternyata telah diulang kembali," berkata
Mahisa Amping di dalam hatinya disaat ia meloncat
menghindarinya. Serangan yang kedua itu sama sekali tidak
berhasil sebagaimana serangannya terdahulu.
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah menarik
nafas panjang. Apalagi ketika kemudian justru Mahisa Amping
lah yang sempat menjajagi kemampuan lawannya. Ketika
sekali lagi lawannya meny erang, kemudian berputar dengan
ayunan kaki m endatar, maka tahulah Mahisa Amping, bahwa
unsur gerak itu merupakan unsur gerak y ang setidak-tidaknya
paling dikuasai oleh lawannya seandainya ia memiliki
kemampuan melakukan unsur-unsur gerak y ang lain.
Dengan demikian maka Mahisa Amping telah mampu
menempatkan diri ketika lawannya sekali lagi meny erang. Ia
tidak menghindar sebagaimana dilakukan sebelumnya. Tetapi
ia menghindar ke arah y ang berbeda meskipun Mahisa
Amping menyadari bahwa cara y ang dilakukan itu berbahaya.
Sebenarnyalah bahwa demikian Mahisa Amping
meloncat, maka gembala itu telah menyusul dengan
serangannya berikutnya. Satu tendangan yang keras sambil
membelakangi Mahisa Amping dengan membungkukkan
badannya dan bertumpu pada kedua tangannya yang
menyentuh tanah. Sekali lagi Mahisa Amping telah dikenai serangan itu.
Hampir saja Mahisa Amping terjatuh terlentang. Tetapi ia
masih mampu m empertahankan keseimbangannya, sehingga
ia masih tetap tegak terdiri.
Yang kemudian diketahui oleh Mahisa Amping adalah
cara lawannya menyerang. Jika ia menghindari dengan arah
yang pertama, maka lawannya itu akan berputar dengan kaki
terayun mendatar. Tetapi jika ia menghindar ke arah yang
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebaliknya, maka ia akan membelakanginya, kemudian
membungkuk dan bertumpu pada kedua tangannya sementara
kakinya terjulur lurus ke belakang.
Dengan demikian maka Mahisa Amping yang tangkas itu
mulai mempermainkannya. Ternyata gembala itu lebih banyak
mempergunakan kedua unsur gerak rangkap itu. Meskipun ia
mampu melakukan yang lain, tetapi tidak setangkas jika ia
melakukan kedua unsur itu sehingga Mahisa Amping mampu
mengimbanginya. Karena itu, maka perkelahian di antara kedua orang
anak itu semakin lama semakin sengit. Jika Mahisa Amping
yang serba sedikit pernah diberi petunjuk oleh Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat sejak ilmunya y ang diterima di padepokan
yang beraliran hitam itu dimusnahkan, maka lawannya pun
memang pernah juga mengenali ilmu kanuragan serba sedikit,
meskipun ilmu y ang kasar.
Dengan dasar-dasar olah kanuragan itulah kedua anak
itu saling meny erang dan bertahan.
Namun ternyata daya tahan tubuh Mahisa Amping
masih lebih baik dari lawannya. Mahisa Amping y ang terbia sa
menjalani laku y ang berat bahkan setiap hari, mampu
mengatasi kekuatan day a tahan lawannya mulai susut.
Dengan demikian, maka keseimbangan perkelahian itu
pun mulai berubah. Gembala itu tidak lagi mampu meny erang
dan bertahan dengan kekuatannya sepenuhnya. Keringatnya
bahkan seakan-akan telah terperas dari tubuhnya. Nafa snya
mulai berkejaran di lubang hidungnya.
Kebo Gremeng mulai menjadi cemas. Gembala
kebanggaannya itu ternyata mengalami kesulitan. Bahkan
kemudian serangan Mahisa Amping pun telah mulai mengenai
tubuhnya. Ketika anak itu berusaha menyerang Mahisa
Amping, maka Mahisa Amping telah menghindar ke arah pola
unsur gerak gembala itu y ang pertama. Karena itu, ketika
gembala itu berputar dengan kaki t erayun mendatar, Mahisa
Amping justru telah menjatuhkan diri dan merendah sehingga
ayunan kaki itu lewat di atas kepalanya. Namun pada saat
yang bersamaan, Mahisa Amping telah berguling sambil
menjulurkan kakinya meny ilang menyapu kaki lawannya
tempat bertumpu pada putarannya.
Sapuan kedua kaki Mahisa Amping yang menyilang dan
kemudian diputar itu akibatnya memang pahit bagi lawannya.
Kakiny a bagaikan dihentakkan dengan kekuatan y ang sangat
besar, sehingga gembala itu jatuh terbanting di tanah. Dengan
gerak naluriah tangan gembala itu berusaha untuk menahan
tubuhnya, namun justru karena itu, maka pergelangan
tangannya itu bagaikan menjadi retak.
Ketika gembala itu berusaha untuk bangkit dan
bertumpu pada tangannya itu, maka ia pun telah m enjerit.
Bahkan kemudian gembala itu telah mengaduh kesakitan.
Tertatih-tatih anak itu bangkit. Tetapi ia tidak mampu
bertahan lagi, sehingga akhirnya anak itu menangis sambil
memegangi pergelangan tangannya itu.
Kebo Gremeng menjadi tegang. Ternyata gembala itu
sama sekali tidak mampu mengalahkan Mahisa Amping.
Bahkan gembala itu telah menangis kesakitan meskipun ia
berusaha untuk bertahan. Tetapi titik -titik air matanya
mengalir semakin deras. Bahkan gembala itu pun kemudian terisak.
"Kelinci cengeng," geram Kebo Gremeng, "kenapa kau
menangis seperti itu" Bukankah kau mengaku tidak
terkalahkan di antara anak-anak sebay amu. Bahkan kau
menang atas anakku?"
Anak itu sama sekali tidak m enjawab. Tetapi tangannya
yang bagaikan patah itu memang terasa sakit sekali, sehingga
anak itu tidak mungkin lagi untuk meneruskan perkelahian.
"Nah," tiba -tiba Mahisa Murti berkata, "apa yang akan
kau katakan sekarang tentang gembala-gembala itu" Apakah
kau masih menganggap bahwa adikku itu dengan mudah akan
dapat dikalahkan" Apakah kau masih menganggap bahwa aku
harus membantunya dan aku serta saudara-saudaraku telah
ikut menyakiti anak-anak?"
"Persetan," geram Kebo Gremeng, "aku tidak peduli apa
yang sudah dilakukan anak-anak. Aku tidak terbia sa
menunggu dan menahan diri seperti sekarang ini. Karena itu,
maka jangan meny esal jika aku melakukan kebia saanku."
"Apa kebiasaanmu?" bertanya Mahisa Murti.
"Memukuli orang sampai setengah mati. Bahkan jika
perlu membunuh," jawab Kebo Gremeng.
Namun Mahisa Pukat lah yang menjawab dengan
jawaban y ang mengejutkan, "Ternyata kita mempunyai
kebiasaan y ang sama. Sudah sepekan aku tidak memukuli
orang. Tetapi jangan kau kira bahwa karena itu aku lalu
memukuli anak-anak."
"Cukup," bentak Kebo Gremeng, "agaknya kau benarbenar
belum mengenal aku."
"Benar. Aku baru tahu tentang kau hari ini. Menurut
kata orang kau adalah seorang gegedug yang ditakuti. Nah,
orang seperti kau inilah yang kami tunggu. Dengan demikian,
maka kami akan sedikit mendapat kepuasan," jawab Mahisa
Pukat. " Iblis kau," Kebo Gremeng itu berteriak, "aku koy ak
mulutmu." Kebo Gremeng itu pun telah meloncat menerkam
Mahisa Pukat. Ia tidak mampu menahan diri sebagaimana
telah dilakukannya yang menyimpang dari kebia saannya.
Sebagai seorang gegedug y ang ditakuti, maka Kebo
Gremeng terbiasa untuk memukuli orang lain. Dengan sekali
pukul orang itu telah menjadi pingsan. Ia pun berniat untuk
memukul Mahisa Pukat sehingga membuatnya pingsan.
Tetapi gegedug itu terkejut. Tangannya tidak menggapai
apapun juga. Mahisa Pukat begitu cepatnya meloncat
menghindar sehingga luput dari serangannya.
Bahkan sebelum ia m enyadari keadaannya sepenuhnya,
terasa tangan yang sangat kuat telah mendorongnya sehingga
Kebo Gremeng itu jatuh terjerembab. Mulutnya telah
membentur tanah y ang keras sehingga bibirnya diluar
sa darnya terjepit di antara giginya dan berdarah.
Dengan cepat Kebo Gremeng bangkit. Ia menjadi
semakin marah ketika ia menyadari, bahwa mulutnya telah
berdarah. Ketika ia mengusap dengan punggung telapak
tangannya, maka ia melihat warna merah itu membasahi
kulitnya. Karena itu, maka tiba -tiba saja ia telah memberikan
isy arat kepada tiga orang kawannya untuk meny erang
bersama-sama. Namun ketika ketiga orang kawannya itu bergerak, maka
Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Wantilan pun telah bergerak
pula bersama-sama. "Apakah secara kebetulan jumlah kita sama, atau kalian
memang dengan sengaja menyamakan jumlah itu?" bertanya
Mahisa Pukat sambil bertolak pinggang.
"Persetan," geram Kebo Gremeng, "aku akan benarbenar
membunuh." Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun
menurutperhitungannya, maka kawan Kebo Gremeng itu tentu
tidak setangkas gegedung itu. Dengan demikian maka Mahisa
Pukat mengharap bahwa Mahisa Semu dan Wantilan akan
dapat mengatasi lawan-lawannya. Bahkan jika perlu, Mahisa
Pukat dan menghadapi dua di antara mereka dan Mahisa
Murti akan dapat membantu Mahisa Semu dan Wantilan.
Namun semuanya masih harus dijajagi lebih dahulu agar
Mahisa Semu dan Wantilan tidak merasa direndahkan
kemampuannya. Sejenak kemudian, m aka keempat orang itu pun telah
mendapat lawannya masing-masing. Sementara itu Mahisa
Murti berpesan kepada Mahisa Amping, "Kau tidak boleh
berkelahi. Kecuali jika kau harus membela diri karena kau
diserang." "Tetapi kakang akan berkelahi," desis Mahisa Amping.
"Aku pun tidak akan berkelahi jika aku tidak diserang,"
jawab Mahisa Murti. Mahisa Amping tidak bertanya lagi. Namun sekali-sekali
ia memperhatikan gembala -gembala y ang dengan tegang
memperhatikan perkelahian itu. Biasanya Kebo Gremeng
hanya membutuhkan waktu sekejap untuk mengalahkan
lawannya. Mahisa Amping y ang masih marah itu rasa-rasanya
ingin meloncat menerkam para gembala itu. Lebih-lebih anak
Kebo Gremeng y ang telah mereka-reka ceritera yang bohong
sama sekali, meskipun agaknya ia hanya dituntun oleh
ay ahnya. Tetapi Mahisa Amping tidak berani melanggar pesan
kakak angkatnya. Agaknya kakak angkatnya bersungguhsungguh
melarangnya untuk berkelahi jika tidak diserang.
Karena itu, bahkan Mahisa Amping mengharap agar gembalagembala
itu meny erangnya. Ketika salah seorang dari gembala itu kebetulan
memandanginya maka ia pun telah menjulurkan lidahnya agar
gembala itu m enjadi m arah. Tetapi gembala itu dengan serta
merta telahberpaling. Mahisa Amping hanya dapat m enggeram,tetapi ia tidak
menyerang. Sementara itu Mahisa Murti telah bertempur dengan
salah seorang kawan Kebo Gremeng. Tidak ada kesulitan sama
sekali. Seandainya ia langsung mengakhiri pertempuran pun
agaknya akan dapat dilakukannya. Tetapi Mahisa Murti tidak
melakukannya. Ia masih ingin melihat apa y ang terjadi dengan
Wantilan dan Mahisa Semu.
Namun keduanya pun ternyata memiliki kemampuan
yang lebih baik dari lawan-lawan mereka. Mahisa Semu
bertempur tanpa mempergunakan senjatanya, karena
lawannya pun tidak bersenjata. Lawannya memang tidak
menduga bahwa ia telah bertemu dengan orang-orang yang
memang berilmu. Ternyata berbeda dengan Mahisa Murti, Mahisa Semu
dan Wantilan tidak membiarkan lawannya mendapat hati.
Mereka telah m enekan lawannya secepatnya, sehingga dalam
waktu yang singkat maka kedua orang kawan Kebo Gremeng
itu sudah terdesak. Karena itu, maka tidak ada kemungkirian lain y ang
dapat mereka lakukan kecuali menarik senjata-senjata
mereka. Tetapi mereka tidak menyadari, bahwa dengan demikian
mereka justru telah menjerumuskan diri mereka sendiri
kedalam kesulitan. Karena mereka mempergunakan senjata,
maka dengan demikian maka Mahisa Semu dan Wantilan pun
telah menggenggam senjata pula ditangan mereka.
Bahkan Mahisa Semu sempat berkata, "Kalian telah
mempercepat nasib buruk yang akan menimpa kalian."
"Persetan," geram lawan Mahisa Semu, "jangan
menyesal jika perutmu akan terkoyak."
Mahisa Semu justru tertawa pendek. Katanya, "Orangorang
seperti kalian memang harus dibuat jera."
Kedua orang itu tidak menjawab lagi. Mereka telah
melibat Mahisa Semu dan Wantilan dengan seranganserangan
y ang cepat dan langsung mengarah ke tempattempat
y ang paling berbahaya pada tubuhnya.
Tetapi ju stru kemampuan Mahisa Semu adalah pada
ilmu pedangnya. Meskipun belum mencapai tataran yang
tinggi, namun ternyata cukup memadai sebagai bekal
menghadapi orang-orang y ang semula merasa diri mereka
tidak terkalahkan. Bahkan dalam waktu y ang singkat Mahisa Semu telah
berhasil menekan lawannya sehingga seakan-akan kehilangan
ruang gerak. Wantilan memang tidak m endor ong lawannya dengan
kemampuannya. Ketika ia m elihat Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat yang tidak bertempur dengan bersungguh-sungguh,
maka Wantilan pun telah berusaha untuk menahan diri.
Beberapa saat kemudian, maka Kebo Gremeng telah
menyadari bahwa anak m uda itu memang bukan lawannya.
Meskipun anak muda itu tidak dengan serta merta
menghancurkannya, tetapi Kebo Gremeng merasa bahwa pada
satu saat ia akan dipaksa untuk berlutut di hadapannya disaatsaat
nafasny a akan putus. Karena itu, m aka ia memang tidak mempunyai pilihan
lain kecuali melihat keny ataan itu. Apalagi ketika sekali dua
kali Mahisa Pukat mulai meny entuh tubuhnya meskipun tidak
lebih hanya dengan ujung-ujung jarinya. Tetapi ketika ujung
ibu jarinya menyentuh pangkal lehernya, m aka rasa-rasanya
nafasnya telah tersumbat. Karena itu, maka ia pun telah
meloncat mengambil jarak, sementara lawannya tidak
mengejarnya, Mahisa Pukat telah memberinya kesempatan
untuk bernafas. Dalam keadaan yang demikian, maka Mahisa Pukat tiba -
tiba saja b erkata, "Meny erahlah. Aku tidak akan berbuat apaapa."
Kebo Gremeng y ang tidakpernah direndahkan itu
memang sulit untuk menerima kenyataan itu. Tetapi ketika
sekali lagi ujung tiga jari tangan Mahisa Pukat yang merapat
mengenai bagian bawah dadanya, maka Kebo Gremeng tidak
dapat mengelak lagi. Ia tidak ingin menarik senjatanya, karena
hal itu akan berakibat sangat buruk bagi dirinya sebagaimana
kemudian dilihatnya pada lawan Mahisa Semu. Meskipun
Mahisa Semu tidak berniat untuk membunuh, tetapi ujung
senjatanya ternyata telah tergores di kulit lawannya sehingga
darah pun telah mengalir dari luka itu.
Sambil meny eringai menahan pedih orang itu m eloncat
menjauh. Selangkah demi selangkah Mahisa Semu maju
mendekatinya sambil berkata, "Senjatamu telah membuatmu
mengalami banyak kesulitan. Lemparkan senjatamu, maka
aku pun akan menyarungkan senjataku pula."
Orang itu masih saja ragu-ragu. Ujung senjatanya masih
teracu ke arah dada Mahisa Semu. Namun ketika sekali lagi
Mahisa Semu membentak, maka orang itu telah melemparkan
senjatanya. "Bagus," desis Mahisa Semu sambil menyarungkan
senjatanya, "dengan demikian kau selamat."
Orang-orang itu tidak dapat berbuat lain kecuali harus
menyerah. Kebo Gremeng dan kawan-kawannya ternyata
harus menghadapi satu keny ataan bahwa mereka telah
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berhadapan dengan orang -orang y ang b erilmu tinggi. Adalah
diluar dugaan m ereka bahwa anak-anak muda itu akhirnya
mampu merendahkannya dan membenturkan mereka pada
satu kenyataan, betapa luasnya dunia ini. Kebo Gremeng
mengira bahwa didunianya yang sempit, ia adalah orang yang
paling kuat, y ang tidak ada duanya. Namun pada suatu saat
telah datang diluar dugaan, orang-orang yang menunjukkan
didepan hidupnya, bahwa ia bukannya segala-galanya. Bahwa
orang yang bernama Kebo Gremeng itu adalah sangat kecil
dan tidak berarti apa -apa.
" Jika mereka menghendaki, mereka dapat
membunuhku," berkata Kebo Gremeng di dalam hatinya.
Namun yang dikatakan Mahisa Murti kemudian adalah,
" Ingat-ingatlah bahwa kau pernah mengalami sebagaimana
kau alami hari ini. Padahal aku bukan orang-orang berilmu
tinggi y ang dapat melampaui ilmu kami. Ingat itu. Jika kau
bertemu dengan m ereka, apalagi y ang berwatak kelam, maka
kau benar -benar akan menjadi cacing di telapak kaki mereka."
Kebo Gremeng mengerutkan keningnya. Tetapi ia
mampu mengerti apa y ang dikatakan oleh Mahisa Murti
sehingga kata-kata Mahisa Murti itu benar -benar telah
menyentuh hatinya. Karena itu, maka Kebo Gremeng itu akhirnya berkata,
"Aku mohon maaf anak-anak muda. Aku merasa betapa
dungunya aku selama ini. Betapa sempitnya penglihatanku
atas isi dunia ini. Aku kira aku adalah orang y ang tidak
terkalahkan." " Itu m emang terjadi di daerah sempit ini. Daerah y ang
sekedar sebuah kerikil kecil dari sebuah tepian yang sangat
luas. Karena itu, kau harus menyadari bahwa di dunia ini
terdapat rahasia yang sama sekali tidak pernah kau kenali,"
berkata Mahisa Murti, "bahkan seandainya kau adalah orang
berilmu tinggi sekalipun, maka kemampuan itu tentu ada
batasnya. Setiap orang mempunyai kelemahannya masingmasing.
Yang ilmunya setinggi langit pun akhirnya akan
bertemu dengan orang yang ilmunya lebih tinggi lagi. Bahkan
orang yang ilmunya tidak terjangkau, dapat saja suatu ketika
mengalami nasib buruk di tangan orang yang tidak berilmu
sama sekali." Kebo Gremeng mengangguk-angguk. Katanya, "Aku
mengerti." "Apakah akibat dari pengertianmu itu?" bertanya
Mahisa Murti. "Aku akan membuktikannya dalam tingkah laku,"
berkata Kebo Gremeng. "Nah. Katakan kepada gembala-gembala kecil itu,
bahwa apa yang telah mereka lakukan selama ini salah."
Kebo Gremeng m engangguk-angguk. Katanya, "Ya. Aku
akan mengatakan kepada mereka."
"Terima kasih," berkata Mahisa Murti, "masa depan
mereka masih panjang. Jika mereka terlanjur memasuki dunia
yang kau ciptakan bagi mereka, maka seperti kau maka
mereka akan melihat dunia ini begitu sempitnya. Mereka akan
merasa bahwa mereka adalah orang-orang y ang dapat berbuat
apa saja atas orang lain seperti y ang selalu kau lakukan."
Kebo Gremeng mengangguk. "Nah," berkata Mahisa Murti, "jika demikian maka kita
tidak m empunyai persoalan lagi. Ajak gembala -gembala kecil
itu kembali dan kau harus mengajari dan mengawasi mereka."
Kebo Gremeng mengangguk kecil sambil berdesis, "Baik
anak-anak muda." Namun sebelum Mahisa Murti meninggalkan tempat itu,
tiba -tiba saja mereka melihat beberapa orang datang
mendekat. "Siapakah mereka?" bertanya Mahisa Murti.
Kebo Gremeng tiba-tiba menggeram, "Ki Bekel."
"Ki Bekel?" ulang Mahisa Murti, "apa y ang akan kau
lakukan?" "O," suara Kebo Gremeng merendah, "aku harus
menahan diri. Aku harus berubah. Tetapi berubah dengan
tiba -tiba adalah sulit sekali."
"Aku tahu. Tetapi kau harus melakukannya," desis
Mahisa Murti. Sementara itu Ki Bekel melangkah semakin dekat.
Namun nampaknya ia memang ragu-ragu. Ki Bekel sadar,
dengan siapa ia berhadapan. Kebo Gremeng dengan kawankawannya.
Tetapi Ki Bekel memang menjadi heran. Nampaknya
tidak terjadi sesuatu antara Kebo Gremeng dengan anak-anak
muda itu. Anak-anak muda y ang menurut keterangan
beberapa orang telah m enyingkirkan adiknya y ang berkelahi
dengan anak Kebo Gremeng.
Sementara Ki Bekel ragu-ragu, maka tiba -tiba saja Kebo
Gremeng berkata, "Marilah Ki Bekel. Mungkin Ki Bekel
mempunyai satu keperluan."
Pertanyaan Kebo Gremeng itu sudah membuatnya
menjadi keheranan. Nampaknya Kebo Gremeng itu begitu
ramah. Namun Ki Bekel masih juga menduga, bahwa sikap itu
adalah sikap y ang dibuat-buat. Namun kemudian orang itu
akan menerkamnya dan meremasnya sampai lumat.
Tetapi selain Kebo Gremeng ternyata Mahisa Murti pun
juga mempersilahkan, "Marilah Ki Bekel."
Meskipun masih juga ragu-ragu namun Ki Bekel telah
melangkah mendekat. Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan
Wantilan telah bergeser beberapa langkah. Mahisa Amping
yang termangu mangu masih berdiri ditempatnya. Sementara
Ki Bekel melangkah semakin dekat.
Namun Ki Bekel pun kemudian m elihat beberapa buah
senjata y ang terletak di tanah, serta bekas-bekas yang
menunjukkan bahwa baru saja telah terjadi pertempuran.
Karena itu, maka Ki Bekel pun segera mengetahui,
bahwa bukannya tidak terjadi apa-apa di tempat itu.
"Ki Bekel," berkata Mahisa Murti, "Ki Bekel tentu
mengetahui apa yang telah terjadi di sini."
"Ya. Aku sudah menduga. Karena itu, kami menyusul
kemari," berkata Ki Bekel. Tetapi Ki Bekel itu m elanjutkan,
"tetapi kami sadar, bahwa kami tidak akan dapat banyak
berbuat. Meskipun demikian, karena tugasku, maka aku pun
datang kemari bersama beberapa orang ini."
Kebo Gremeng menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
tidak sempat berbicara karena Mahisa Murti sudah
mendahului, "Ki Bekel. Apakah mereka bertekad untuk
menangkap Kebo Gremeng?"
"Tentu tidak akan sekasar itu. Kami tahu, siapakah Kebo
Gremeng itu. Yang ingin kami lakukan adalah, agar tidak
terjadi salah paham, bahwa anak-anak telah berkelahi. Orang
tua gembala-gembala yang tahu bahwa anak mereka telah
berkelahi dengan anak Kebo Gremeng ingin memberikan
penjelasan. Aku adalah saksi karena tugasku," berkata Ki
Bekel. "Apakah yang akan mereka sampaikan?" bertanya
Mahisa Murti. Ki Bekel masih juga ragu-ragu. Ia tidak tahu pasti, akhir
dari perkelahian itu. Menilik anak-anak muda itu, maka
mereka tentu belum dikalahkan oleh Kebo Gremeng karena
biasanya orang yang berani berkelahi dengan Kebo Gremeng
tidak akan mampu untuk bangkit dari pembaringan setidaktidaknya
satu bulan. Bahkan ada orang yang ternyata menjadi
cacat dan tidak dapat ditolong lagi jiwanya. Meskipun Kebo
Gremeng tidak berniat membunuh, tetapi ia sudah
membunuh. "Kenapa kalian ragu-ragu. Katakan apa y ang telah
terjadi dan apa keinginan kalian. Kebo Gremeng sekarang
sudah berubah. Ia tidak akan berbuat liar lagi, kecuali ia
sendiri memang sudah jemu untuk hidup," berkata Mahisa
Murti. Ki Bekel dan orang-orang yang mengikutinya hampir
tidak percaya mendengar kata-kata itu. Apalagi Kebo Gremeng
memang tidak memberikan tanggapan apa-apa. Bahkan
kepalanya justru telah menunduk.
Orang-orang itu masing -masing bertanya didalam
hatinya, "Apakah Kebo Gremeng m emang sudah dikalahkan
oleh anak-anak ingusan itu?"
Tetapi tidak seorang pun y ang berani menanyakannya.
Sementara itu Mahisa Murti pun telah mendesak lagi,
"Katakan. Apa yang tersimpan di dalam hati kalian."
Ki Bekel berpaling, dipandanginya orang-orang y ang
menyertainya itu. Ternyata mereka hanya terbungkam saja.
"Katakanlah," desis Ki Bekel y ang m asih saja bernada
ragu-ragu. Namun akhirnya ada juga di antara orang tua anak-anak
itu. Orang yang sebelumnya telah bertemu dengan anak-anak
muda y ang menyatakan diri mereka sebagai pengembara, yang
telah melerai anak-anak itu berkelahi.
Dengan sedikit gemetar orang itu berkata, "Kami hanya
ingin menyatakan, bahwa anak-anak kami tidak ingin
berkelahi. Kami juga tidak ingin bermusuhan dengan siapapun
juga." Wajah Kebo Gremeng memang menegang. Tetapi ia
benar-benar berusaha mengekang dirinya. Bukan karena
masih ada anak-anak muda y ang tidak terkalahkan itu, tetapi
ia m emang ingin mencoba hidup seperti kebanyakan orang.
Bertetangga dengan baik. Berbincang -bincang di sudut
padukuhan menjelang senja setelah kerja di sawah selesai.
Dalam keadaan terjepit itu, ia baru menyadari, betapa
miskinnya hidup yang pernah ditempuhnya. Bukan karena ia
kekurangan uang dan tidak dapat mencukupi kebutuhan.
Tetapi ia seakan-akan hidup terpisah dari orang lain. Jika ia
hadir di manapun, maka orang-orang pun bagaikan meny ibak
menjauhinya. Demikian pula isteri dan anak-anaknya. Hanya
orang-orang tertentu yang mau berhubungan dengan dirinya,
istrinya dan anaknya. Gembala-gembala kecil y ang menjadi
kawan anak-anaknya adalah anak-anak pengikutnya atau
orang-orang yang justru sangat takut kepadanya y ang tinggal
di sekitar rumahnya. Karena Kebo Gremeng tidak segera menanggapi
pernyataan orang tua dari gembala y ang berkelahi dengan
anak Kebo Gremeng itu, maka Mahisa Murti pun berkata,
"Nah, apa yang akan kau katakan tentang pernyataan itu?"
Kebo Gremeng termangu-mangu. Seperti y ang
dikatakan, untuk berubah dengan tiba -tiba memang sulit.
Tetapi ia terpaksa menjawab, "Aku juga akan mengatakan hal
seperti itu." Ki Bekel dan orang-orang itu menjadi heran. Sementara
itu Mahisa Murti berkata, "Telah t erjadi perubahan di dalam
diri orang ini. Ia akan menyatakan satu janji di hadapan Ki
Bekel sebagai pemimpin y ang harus dipatuhi di padukuhan
ini." " Janji?" justru Ki Bekel menjadi heran.
"Ya, janji y ang akan ditepatinya, karena jika janji itu
tidak ditepati, maka akibatnya akan memukul dirinya sendiri,"
jawab Mahisa Murti. Ki Bekel masih saja merasa heran. Namun sedikit
banyak ia sudah dapat m eraba apa yang telah t erjadi. Anakanak
muda itu tentu sudah berhasil menguasai Kebo Gremeng,
sehingga di hadapan anak-anak muda itu Kebo Gremeng tidak
berani berbuat sesuatu. Tetapi bahwa anak-anak m uda itu dapat mengalahkan
Kebo Gremeng tentu merupakan sesuatu y ang tidak pernah
mereka duga sebelumnya. Namun m ereka melihat kenyataan itu. Kebo Gremeng
yang tidak mau berteka-teki lebih lama lagi telah mengaku.
"Aku tidak dapat mengingkari kenyataan ini," berkata
Kebo Gremeng, "tetapi apa y ang terjadi telah benar-benar
merubah pendirianku selama ini. Ternyata anak-anak muda
itu mampu mengalahkan aku."
"Tetapi....?" Ki Bekel tidak melanjutkan pertanyaannya.
Namun Kebo Gremeng mengetahui ke mana arah
pertanyaanitu. Karena itu, maka ia pun telah menjawab, "Aku
tidak berpura-pura sekarang. Dan bila anak-anak muda itu
pergi aku akan kembali k e tabiatku semula. Tidak. Aku sudah
berjanji untuk meninggalkan cara hidupku y ang tidak pantas
itu. Bukan hanya di hadapan anak-anak muda itu, tetapi untuk
seterusnya. Anak-anak m uda itu tidak sekedar mengalahkan
aku dan kawan-kawanku, tetapi mereka telah m enunjukkan
sesuatu yang selama ini belum aku lihat."
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Selama ini
pemerintahannya selalu dibayangi oleh kecemasan akan
tingkah laku Kebo Gremeng dan kawan-kawannya, sementara
ia tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mengatasinya.
Jika benar Kebo Gremeng itu berubah, m aka padukuhannya
tentu akan mengalami satu masa y ang tenang.
Namun melihat sikap dan sorot mata Kebo Gremeng,
maka orang itu tentu akan bersungguh-sungguh.
Karena itu, maka Ki Bekel itu pun berkata, "Terima kasih
Ki Sanak. Mudah-mudahan untuk selanjutnya, kita di sini
tidak akan selalu diganggu oleh kegelisahan."
"Aku y akin bahwa Kebo Gremeng kali ini berkata benar.
Sebagai seorang gegedug ia tidak akan mengatakannya
seandainya ia benar-benar tidak ingin berubah. Lidahnya dan
tingkah laku seorang gegedug biasanya akan menyatu
sebagaimana ia selama ini berbuat sebagaimana
dikatakannya," berkata Mahisa Murti.
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, "Terima kasih
atas perubahan ini. Pengaruhnya akan dirasakan bukan saja
oleh aku dan para bebahu, tetapi sudah tentu orang-orang di
sekitar kami-pun akan ikut merasakannya pula."
Namun Kebo Gremeng itu sendirilah y ang
melanjutkannya, "Kami menyadari sepenuhnya akan hal itu
sekarang setelah mata kami seakan-akan terbuka."
"Nah," berkata Ki Bekel kemudian kepada anak-anak
muda itu, "marilah. Kita akan berbicara di padukuhanku. Aku
persilahkan kalian singgah."
Tetapi Mahisa Murti tersenyum dan menjawab,
"Terimakasih Ki Bekel. Kami berharap bahwa Ki Bekel dan
Kebo Gremeng akan dapat meny elesaikan masalah kalian
sendiri. Aku sudah y akin akan kemauan baik kedua belah
pihak. Jika kemudian Kebo Gremeng benar-benar berniat
untuk merubah jalan hidupnya, berikan kesempatan. Jangan
mendendam atas tingkah lakunya y ang lalu, karena dendam
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hanya akan berbalas dendam saja."
"Apakah kalian tidak dapat singgah barang sebentar?"
bertanya Ki Bekel. "Kami mohon," minta orang tua yang anaknya berkelahi
dan berdarah. "Terima kasih," jawab Mahisa Murti, "kami masih akan
meneruskan pengembaraan kami sampai saatnya kami
mencapai padepokan kami. Jika kami terlalu sering singgah
dan berhenti, m aka aku takut bahwa kami tidak akan pernah
sampai, sementara orang tua kami telah menunggu dengan
tegang dan cemas." Ki Bekel, Kebo Gremeng dan orang -orang padukuhan itu
tidak dapat memaksa Mahisa Murti y ang justru telah m inta
diri. Demikian pula saudara-saudaranya sampai kepada
Mahisa Amping. Kebo Gremeng sempat menepuk pundak anak itu sambil
berkata, "Kau akan menjadi seorang yang perkasa kelak. Di
umurmu y ang m asih belum seberapa banyak itu, kau sudah
menunjukkan bekal kemampuanmu yang mengherankan."
Mahisa Amping hanya termangu-mangu saja, sementara
Mahisa Murti berkata, "Ia belum mulai."
Tetapi Kebo Gremeng justru menjawab, "Apalagi belum
mulai. Jika anak itu mulai sehari dua hari, maka ia akan
semakin mey akinkan."
Mahisa Murti ter senyum. Namun ia pun mengulangi
permintaannya untuk meninggalkan tempat itu.
Sejenak kemudian maka Mahisa Murti dan saudarasaudaranya
telah meneruskan perjalanannya. Ternyata mereka
memerlukan waktu cukup lama untuk menyelesaikan
persoalan Mahisa Amping sehingga perjalanan mereka telah
terhambat. Namun di sepanjang perjalanan itu, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah memikirkan kemungkinan baru untuk
Mahisa Amping. Anak itu baru mulai dari dasarnya sama
sekali. Ketahanan tubuh dan latihan-latihan yang
berhubungan dengan day a tahan itu. Anak itu memang sudah
mulai dengan dasar-dasar olah kanuragan, tetapi masih pada
latihan-latihan y ang dasar.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun akhirnya
memutuskan bahwa anak itu harus mulai ditingkatkan
kemampuannya, ia telah m emiliki landasan yang cukup kuat
untuk melakukan latihan-latihan y ang agak berat.
Karena itu, maka di sore hari ketika mereka beristirahat
di bawah sebatang pohon y ang rindang di pinggir jalan,
Mahisa Murti bertanya kepadanya, "Amping. Apakah kau
benar-benar sudah siap untuk menjalani laku yang berat,
berlatih dengan ikatan paugeran yang tidak boleh kau
langgar?" "Tentu," jawab anak itu, "sudah lama aku siap menjalani
laku. Di padepokan itu pun aku telah menjalani laku yang
berat dan bahkan kadang-kadang aku menjadi pingsan
karenanya." "Tetapi aku tidak ingin kau mengalaminya lagi," berkata
Mahisa Murti, "kau harus tumbuh dengan wajar sesuai dengan
umur, kekuatan wadagmu dan perkembangan jiwamu."
Mahisa Amping mengangguk-angguk. Ia mengerti
maksud Mahisa Murti. Yang pernah dilakukannya adalah satu
kerja yang memaksa sehingga terjadi ketidak wajaran di dalam
dirinya. Dengan nalar kecilnya, Mahisa Amping sudah dapat
mengetahui bahwa y ang terjadi itu adalah laku yang
dipaksakan untuk kepentingan t ertentu justru dari mereka
yang berilmu hitam. Jikaia tidak dibebaskan oleh Mahisa
Murti, maka perkembangan jiwanya akan mengalami kelainan
sehingga ia bukan lagi dirinya sendiri, meskipun wadagnya
adalah wadag itu juga. Dalam pada itu Mahisa Murti pun berkata pula, "Mahisa
Amping. Jika kemudian aku memberikan latihan-latihan
kepadamu y ang tentu semakin lama menjadi semakin berat,
bukan berarti bahwa kau harus menjadi semakin sering
berkelahi. Hari ini kau telah berkelahi. Kau merasa bahwa kau
tidak memulainya. Jika kau kelak sedikit demi sedikit
menyadap ilmu kanuragan, kau tidak boleh mencari-cari
alasan untuk berkelahi. Selama ini kau tentu melihat bahwa
jika aku, kakangmu Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan paman
Wantilan berkelahi, itu bukan karena kami ingin berkelahi."
Mahisa Amping mengangguk-angguk.
"Kau mengerti?" bertanya Mahisa Murti.
"Aku mengerti kakang," jawab Mahisa Amping.
"Selama ini aku telah m emberikan latihan-latihan y ang
dasar kepadamu. Tetapi mulai besok ilmumu m emang akan
meningkat perlahan -lahan. Tetapi laku yang harus kau jalani
tentu berat. Bukankah kau melihat bagaimana kakangmu
Mahisa Semu dan paman Wantilan berlatih setiap hari di
perjalanan" Setiap hari kita memerlukan berlatih beberapa
saat, justru disaat kita beristirahat. Kita adalah pengembara.
Kesempatan kita berlatih adalah di sela -sela perjalanan yang
sangat panjang," berkata Mahisa Murti.
Mahisa Amping mengangguk-angguk. Ia memang
membayangkan kerja yang berat di hari-hari mendatang jika ia
benar-benar ingin memiliki kemampuan dalam olah
kanuragan. Namun ia pun mengerti bahwa ia tidak akan
melakukannya sendiri. Mahisa Semu, Wantilan dan dirinya
akan mempergunakan kesempatan-kesempatan seperti itu.
"Kita tidak mempunyai sanggar yang memadai,"
berkataMahisa Murti, "sanggar kita adalah alam di mana kita
berhenti dari perjalanan kita yang kita tempuh dari hari ke
hari." Mahisa Am ping mengerutkan keningnya. Namun ia tiba -
tiba saja berkata, "Bukankah hal seperti itu sudah kita
lakukan?" Mahisa Murti menggeleng. Katanya, "Yang kau lakukan
belum apa-apa. Dari hari ke hari akan menjadi semakin berat."
"Aku akan melakukannya," sahut Mahisa Amping.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara
MahisaPukat berkata, "Untuk selanjutnya kau harus menepati
segala ketentuan y ang dibuat untukmu. Kau tidak boleh lagi
merajuk. Tidak boleh lagi manja dan menurut kehendakmu
sendiri. Kau mengerti?"
Mahisa Amping mengangguk. Dengan nada rendah ia
berdesis, "Ya. Aku mengerti."
"Bagus. Jika demikian kita akan segera dapat mulai,"
berkata Mahisa Pukat. Tiba-tiba saja Mahisa Amping itu pun telah bangkit
berdiri dan berkata, "Aku sudah siap."
"Tidak sekarang," berkata Mahisa Pukat dengan serta
merta. Sambil ter senyum ia berkata selanjutnya, "Duduklah.
Maksudku segera dapat kita mulai tentu diwaktu yang pendek
setelah ini. Mungkin besok, mungkin lusa."
Mahisa Amping nampak menjadi kecewa. Tetapi Mahisa
Pukat berkata, "Kau memerlukan waktu beberapa tahun.
Tidak hanya satu dua hari. Untuk waktu yang bertahun-tahun
itu, maka y ang sehari dua hari ini tidak akan terlalu banyak
berpengaruh." Mahisa Amping menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia
duduk kembali Mahisa Semu y ang tertawa berkata, "Kenapa
kau begitu tergesa -gesa" Apakah besok kau akan berkelahi lagi
dengan gembala -gembala yang kau jumpai di perjalanan?"
Mahisa Amping menggeleng. Jawabnya, "Tentu tidak
kakang. Tetapi rasa-rasanya aku sudah t erlalu lama
mempersiapkandiri untuk itu."
"Terlalu lama" Sejak kapan?" bertanya Mahisa Semu.
Mahisa Amping menundukkan kepalanya. Sementara
Mahisa Pukat berkata, "Sudahlah. Besok kita akan m ulai di
samping latihan-latihan day a tahan sebagaimana kita lakukan
setiap hari sebelum hari ini."
Mahisa Amping menganguk sambil menjawab, "Baik
kakang. Aku sudah siap kapan saja aku harus mulai."
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
tidak mulai memberikan latihan-latihan pada hari itu.
Dibiarkannya Mahisa Amping berangan-angan agar dengan
demikian, maka ia sempat mempersiapkan dirinya sebaikbaiknya.
Terutama persiapan jiwani, karena sebenarnya secara
wadag Mahisa Amping memang sudah siap.
Hari itu telah dihabiskan oleh anak-anak muda y ang
mengaku pengembara itu untuk melanjutkan perjalanan.
Ternyata mereka memang harus berjalan jauh karena
perjalanan y ang mereka tempuh memangsudah jauh.
Malam itu, ke empat orang itu memilih bermalam di
tempat terbuka. Mahisa Amping yang meny ertai mereka sama
sekali tidak pernah merasa berkeberatan, di manapun mereka
bermalam. Daya tahan tubuhnya pun telah memungkinkannya
untuk tidur di t empat terbuka tanpa selimut kecuali pakaian
yang dipakainya. Namun malam itu Mahisa Amping m erasa sulit untuk
dapat tidur ny enyak. Beberapa kali ia terbangun dan anganangannya
selalu tersangkut pada hari-hari m endatang, saatsaat
ia mendapat kesempatan untuk menjalani laku dan
meningkatkan kemampuannya dengan sungguh-sungguh dan
berlatih untuk sebenarnya mendapatkan ilmu kanuragan.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan
Wantilan y ang berganti-ganti berjaga-jaga melihat betapa
Mahisa Amping menjadi gelisah. Tetapi mereka tidak bertanya
kepada anak itu, karena dengan demikian anak itu akan
menjadi semakin sulit untuk tidur.
Tetapi akhirnya, anak itu tertidur juga sampai menjelang
fajar. Sebelum matahari terbit, keempat orang itu bersama
Mahisa Amping telah siap untuk berangkat. Mereka sempat
mencuci wajah mereka di sebuah parit y ang berair bening.
Kemudian seperti biasanya mereka telah berlari -lari
menyusuri jalan-jalan kecil dan sepi agar tidak menarik
perhatian orang. Bahkan mereka telah menuruni lereng-lereng
dan tebing sungai, kemudian memanjat lagi ke atas tanggul.
Namun mereka pun berhenti ketika hari menjadi terang.
Di saat matahari terbit, maka mereka telah melakukan latihanlatihan
khusus di sebuah tikungan sungai y ang nampaknya
jarang dilalui orang. Mahisa Amping berusaha untuk selalu menirukan
unsur -unsur gerak yang dilakukan oleh Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Tetapi jika keduanya telah m elakukan unsur
gerak yang berbeda, maka Mahisa Amping harus memilih
salah satu di antaranya. Baru setelah matahari memanjat naik, mereka berhenti.
Beri stirahat sebentar. Kemudian mandi di sungai itu juga.
Setelah m embenahi pakaian mereka, maka m ereka pun naik
dan melanjutkan perjalanan.
Mahisa Amping memang menjadi kecewa. Ia mengira
bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan mulai dengan
memberikan latihan-latihan kepadanya. Namun ternyata sama
sekali belum. Meskipun demikian Mahisa Amping tidak berani
menanyakannya. Ia m eny impan kekecewaannya itu di dalam
hatinya. Keempat orang itu pun kemudian memasuki jalan y ang
lebih ramai. Memang tidak ada orang y ang secara khusus
memperhatikan mereka. Keempat orang yang membawa
seorang anak itu berjalan di antara orang-orang lain yang hilir
mudik. Mahisa Murti pun kemudian berdesis, "Kita memasuki
jalan y ang menuju ke pasar."
"Atau membelakangi pasar," sahut Wantilan.
"Tidak. Orang yang menuju searah dengan kita
membawa barang-barang dagangan. Sedangkan mereka yang
berjalan ke arah y ang berlawanan membawa barang-barang
yang mereka beli di pasar itu. Tentu dapat dibedakan," jawab
Mahisa Murti. Wantilan mengangguk-angguk. Memang ia pun
kemudian sependapat bahwa jalan itu memang menuju ke
pasar. Di luar pasar y ang ramai itu, kelima orang itu telah
singgah di sebuah kedai. Mereka dapat memilih berbagai jenis
makanan y ang tersedia. Sejenak kemudian, kelima orang itu pun telah
meneruskan perjalanan mereka meninggalkan keramaian
pasar itu dan bahkan kemudian meninggalkan padukuhan
yang cukup besar dan ramai.
Tidak ada persoalan y ang mereka hadapi di padukuhan
itu. Karena itu, maka mereka dapat berjalan terus. Mahisa
Murti berharap bahwa mereka tidak akan menjumpai
persoalan-persoalan baru diperjalanan mereka. Karena
mereka telah bertekad sejak semula untuk tapa ngrame,
sehingga dalam hal tertentu mereka memang tidak dapat
menutup m ata dan begitu saja mengabaikannya, betapapun
perjalanan mereka menjadi semakin terhambat.
Menj elang tengah hari, kelima orang itu justru telah
mendekati sebuah daerah y ang nampaknya agak terasing.
Namun justru mereka telah memilih berbelok memasuki jalan
sempit yang menuju ke sebuah hutan yang nampaknya masih
lebat. Seorang petani yang bertemu di bulak itu telah bertanya,
"Kalian akan pergi ke mana anak-anak muda?"
"Kami pengembara yang menyusuri jalan-jalan panjang
Ki Sanak. Apakah jalan ini m enuju ke hutan yang nampak
lamat-lamat itu?" bertanya Mahisa Murti.
" Justru karena itu aku bertanya, "sahut petani itu, "jalan
ini adalah jalan mati, karena jalan ini hanya akan m encapai
hutan itu saja. Hutan yang masih termasuk lebat dan dihuni
binatang-binatang buas."
Mahisa Murti mengangguk sambil berkata, "Terima
kasih Ki Sanak. Kami memang ingin melihat hutan lebat itu."
Petani itu menjadi heran. Namun kemudian ia pun
bertanya, "Apa y ang akan kalian cari di hutan yang lebat itu?"
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, "Kami tidak mencari
apa-apa Ki Sanak. Kami justru menghindari persoalanpersoalan
yang mungkin timbul jika kami berjalan melalui
padukuhan-padukuhan. Karena sebenarnyalah kami berjalan
jauh. Ancar-ancar perjalanan kami adalah Gunung-gunung,
matahari terbit dan terbenam serta bintang-bintang di malam
hari." Petan itu mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak tahu
maksud anak muda itu. Karena itu, maka ia pun berkata a sal
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sa ja terloncat dari bibirnya, "berhati-hatilah anak muda."
"Terima kasih Ki Sanak," jawab Mahisa Murti.
Ketika petani itu m eninggalkan m ereka, Mahisa Murti
menjadi termangu-mangu. Ia pun kemudian berkata kepada
Mahisa Pukat, "Kita menuju ke hutan lebat. Mungkin kita
harus menempuh jalan ini kembali."
"Mak sudmu?" bertanya Mahisa Pukat.
"Apakah kita akan berjalan terus?" Mahisa Murti justru
bertanya. Lalu katanya, "Agaknya tidak ada jalan tembus ke
seberang hutan itu. Kecuali jika kita berniat untuk menerobos
hutan itu." Mahisa Pukat memang nampak ragu -ragu. Demikian
pula Mahisa Semu dan Wantilan. Namun tiba -tiba saja Mahisa
Amping berkata, "Menarik sekali. Kita dapat melihat-lihat
satulingkungan y ang belum pernah aku lihat sebelumnya."
Semua orang berpaling kepada anak itu. Tetapi justru
karena itu Mahisa Amping merasa heran. Seakan-akan
semuanya bertanya kepadanya, kenapa ia ingin
melakukannya. Karena itu, Mahisa Amping justru menundukkan
kepalanya. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
Tetapi Mahisa Murti kemudian berkata, "Marilah. Kita
melihat isi hutan itu. Jika kita tidak mungkin menerobosnya,
maka kita akan kembali menempuh jalan ini dan turun di jalan
sebelah. Ternyata y ang lain pun tidak menolak. Sehingga sejenak
kemudian maka mereka telah m enyusuri jalan itu menuju ke
hutan y ang ditunjuk dan dikatakan oleh petani itu. Mereka
menyusuri bulak y ang tidak begitu panjang. Kemudian
memasuki padang perdu yang memisahkan daerah
persawahan dengan hutan y ang masih lebat itu.
Baru kemudian mereka melihat dinding y ang
membentang di hadapan mereka. Dinding yang nampak
perkasa dan seakan-akan tidak akan tertembus oleh
kekerdilan diri mereka. Tetapi Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan
Wantilan diikuti oleh Mahisa Amping berjalan terus. Semakin
lama semakin mendekati hutan y ang lebat itu.
Baru beberapa puluh langkah di depan hutan itu mereka
berhenti. Dengan ragu-ragu mereka memandangi pohonpohon
raksasa y ang berdiri tegak di hadapan mereka.
"Hutan ini benar-benar hutan y ang belum pernah
dijamah," berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Kita
menjadi semakin menyadari, bahwa sulit sekali untuk
menembus hutan itu. Bukan karena kita mencemaskan diri
karena didalam hutan itu masih dihuni binatang-binatang
buas. Tetapi alam y ang perkasa itu tentu akan menjadi
hambatan y ang sulit untuk di atasi. Bahkan menilik
lembabnya udara dan tanah y ang basah, agaknya masih
terdapat rawa-rawa di dalam hutan itu."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara Mahisa
Semu berkata, "Agaknya kita akan menempuh perjalanan yang
sangat berat. Memang tidak apa -apa. Tetapi jika
memperhitungkan waktu, maka waktu kita akan banyak tersita
di sini. Sementara itu kita sering memperhitungkan waktuwaktu
kita yang hilang di perjalanan."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, "Aku
sependapat." 0ooo0dw0ooo0 (Bersambung ke Jilid 78).
Conv ert/Pr oofing: Ki Raharga
Rechecking/Editing: Ki Arema
Pdf ebook : Dan HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 78 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 078 WANTILAN pun nampaknya menjadi semakin raguragu.
Dari Langit 3 Wiro Sableng 068 Pelangi Di Majapahit Kemelut Di Cakrabuana 6