Hijaunya Lembah Hijaunya 26
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 26
Namun orang-orang yang menunggu itu terkejut ketika
mereka melihat Ki Bekel dengan beberapa orang bebahunya
telah datang pula beriringan di belakang iring-iringan dari
orang y ang akan membeli tanah dengan paksa itu.
"Apakah orang-orang itu akan memanfaatkan Ki
Bekel"," desis Ki Sarpada.
Wantilan termangu-mangu sejenak, namun kemudian
katanya, "Siapa pun y ang berdiri di belakang orang itu, aku
tidak akan meny erah. Kita berdiri di atas kebenaran."
Ki Sarpada tiba-tiba saja menepuk bahu Wantilan sambil
berkata, "Aku bangga mempunyai kemanakan seperti kau.
Tetapi aku sedih bahwa aku telah meny eretmu ke dalam
kesulitan. Bahkan mungkin kau harus mempertaruhkan
nyawamu. Seandainya saja kau tidak singgah ke rumahku, aku
kira kau tidak akan mengalami kesulitan seperti ini."
"Aku sudah siap menghadapi apapun juga," berkata
Wantilan. Sejenak kemudian, maka orang yang akan memiliki
tanah dan mata air dengan paksa itu telah naik pula ke hutan
kecil itu bersama dengan para pengiringnya yang dengan serta
merta langsung menebar di sekeliling sebidang tanah yang
berbatu padas itu. "Ternyata kau datang," geram orang itu.
"Aku sudah bertekad untuk membuat peny elesaian,"
berkata Wantilan dengan nada rendah.
"Bagus," jawab orang itu, "aku minta Ki Bekel m enjadi
sak si." Wantilan tidak segera menjawab. Sementara Ki Bekel
telah hadir pula dan langsung berdiri di antara Wantilan
beserta Ki dan Nyi Sarpada dengan orang yang akan memiliki
tanah itu. "Nah," berkata Ki Bekel, "waktuku tidak banyak. Aku
diminta untuk menyaksikan serah terima tanah dan m ata air
ini serta segala hak atasnya."
"Siapa yang akan melakukan serah terima tanah dan
mata air ini Ki Bekel?" bertanya Ki Sarpada.
"Kenapa kau bertanya?" Ki Bekel mengerutkan dahinya.
" Jangan mencari persoalan," geram orang yang ingin
memiliki tanah itu. Ki Sarpada y ang sakit itu melangkah maju dengan
langkah tegap, "Tidak akan ada serah terima. Aku tidak
menjual tanahku ini, Ki Bekel tentu tahu itu. Tanah dan air ini
tidak ubahnya jantung y ang berdenyut didadaku, serta paritparit
itu adalah padi kehidupanku."
"Cukup," bentak Ki Bekel, "kau dapat saja berbicara
tentang apa saja. Tetapi jika kau sudah m enerima uang dari
penjualan tanahmu ini, m aka kau harus menyerahkan tanah
dan segala isiny a. Jika kau meny esal karena kau berubah
pendirian, maka kau harus membeliny a kembali karena kau
berubah pendirian, maka kau harus membelinya kembali
menurut harga y ang ditetapkan oleh pemiliknya. Atau bahkan
pemiliknya akan berkeberatan menjualnya kembali."
"Aku tidak akan menjualnya kembali," berkata orang
yang ingin memiliki tanah itu.
" Ini adalah perampokan," geram Wantilan, "apakah
orang itu mengatakan bahwa ia sudah membayar harga tanah
dan mata air ini?" "Ya," jawab Ki Bekel.
"Ki Bekel percaya?" bertanya Wantilan.
"Bukan saja percaya. Tetapi aku adalah saksi bahwa kau
telah menerima uang itu. Dua orang bebahuku akan
menyatakan diri pula sebagai saksi. Semuanya sudah sah
menurut paugeran y ang berlaku di padukuhan ini." Ki Bekel
itu berhenti sejenak, lalu "Karena itu, maka cepat, lakukan
serah terima itu dibawah saksi yang lebih banyak, agar tidak
akan terjadi per soalan di kemudian hari."
"Tidak," Ki Sarpada berteriak, "rampoklah tanah ini jika
kepalaku sudah terpisah dari tubuhku."
"Setan kau," geram Ki Bekel, "kau menantang hamba
yang melaksanakan paugeran, Sarpada. Kau tahu akibatnya,
karena segala sesuatunya dapat dilakukan dengan kekerasan
jika cara y ang wajar dan baik tidak kau lakukan."
"Satu tantangan yang harus dijawab," berkata Wantilan,
"marilah. Apapun yang akan terjadi."
"Setan kau Sarpada," geram orang yang ingin memiliki
tanah itu, "kau m eringkik seperti kuda sakit-sakitan di saat
kau memerlukan uang untuk mengobati sakitmu. Tetapi ketika
kau menjadi berangsur sembuh, maka uang y ang telah kau
terima itu kau ingkari. Apakah itu bukan watak setan?"
"Setan atau bukan. Marilah. Jika k ekerasan merupakan
keputusan akhir. Kita akan berbicara dengan bahasa yang
kalian kehendaki. Nah, siapakah di antara kalian y ang akan
melawan aku," berkata Wantilan sambil melangkah maju,
"kita adalah laki-laki y ang meny elesaikan persoalan yang
paling gawat serta paling peka dengan perang tanding."
"Kau kira kami masih berpegang pada paugeran rimba
seperti itu" Siapa yang kuat akan menang?" berkata Ki Bekel.
Tetapi kemudian katanya, "aku tidak perduli dengan perang
tanding. Orang-orangku akan memaksakan paugeran yang
harus ditegakkan demi keadilan. Jika seseorang sudah
menodai kebenaran, maka ia pantas dihapuskan dari tata
pergaulan." "Bagus," teriak Wantilan y ang menjadi sangat marah,
"kau putar balikkan kenyataan ini. Apa boleh buat. Aku tahu
bahwa aku akan mati. Tetapi aku akan menuntut tiga atau
empat orang mati bersamaku."
Ki Bekel pun segera menjatuhkan isy arat kepada orangorang
yang datang ber sama orang y ang ingin m emiliki tanah
itu. Serentak mereka pun telah bergerak.
Namun Wantilan sama sekali tidak gentar. Bahkan Ki
Sarpada dan ny i Sarpada pun telah menghadapi semua
persoalan dengan hati y ang tabah serta dada tengadah.
Mereka telah meny erahkan segala-galanya kepada Yang Maha
Agung. Sepuluh orang itu telah bergerak m erapat, bahkan juga
para pengiring Ki Bekel. Sementara Ki Bekel dan orang yang
ingin memiliki tanah itu berdiri sambil mengawasi keadaan.
Beberapa saat keadaan menjadi sangat tegang. Ki
Sarpada suami isteri dan Wantilan masing-masing telah
bersiap untuk mengalami nasib y ang bagaimanapun juga.
Namun Wantilan telah m encabut pedangnya dan siap untuk
bertempur. Dalam ketegangan itu, tiba-tiba saja mereka terkejut
ketika tiba-tiba saja mereka mendengar suara tertawa.
Ternyata Mahisa Murti yang berdiri di belakang Wantilan
justru tertawa sambilberkata, "Satu pertunjukkan yang
menarik." "Cukup" Jadi kalian adalah orang-orang upahan Ki
Sarpada dan orang y ang disebut kemanakannya itu?" geram
orang y ang ingin memiliki tanah itu, "kau tidak usah membuat
bermacam-macam ulah yang tidak akan berarti apa-apa. Jika
kalian memang telah menerima upah untuk m erampok tanah
ini, marilah. Kita akan membuktikan, siapakah di antara kita
yang berdiri di atas kebenaran."
"Satu permainan yang mengasy ikkan," berkata Mahisa
Murti, "nampaknya orang-orang padukuhan ini sama sekali
tidak menghargai lagi kebenaran. Sangat menarik ceritera
tentang tanah y ang sudah dibeli dari Ki Sarpada. Sekarang Ki
Bekel memaksakan kehendaknya untuk melakukan serah
terima. Memang m engherankan, bagaimana mungkin orang
sepadukuhan bersama dengan Bekelny a dapat melakukan
permainan pura -pura y ang cukup menarik dengan pelaku yang
cukup banyak ini." "Tutup mulutmu," geram Ki Bekel. Lalu katanya kepada
orang-orangnya, "Tangkap orang-orang itu. Yang melawan
bunuh saja tanpa ampun."
Tetapi tiba -tiba saja seseorang di antara orang-orang
yang datang bersamaKi Bekel itu berkata hampir menggeram,
"Ki Demang." Ki Bekel terkejut. Ketika ia berpaling, dilihatnya
beberapa orang telah menelusuri jalan sempit menuju ke
tempat mereka. "Siapa y ang memanggil Ki Demang," geram Ki Bekel.
Namun kemudian suaranya meninggi, "Bahkan Ki Buyut."
"Setan itu," geram seseorang ketika iring-iringan itu
menjadi semakin dekat. Sebenarnyalah di antara beberapa orang y ang datang itu
terdapat tetangga Ki Sarpada y ang membantu di rumahnya,
yang ternyata telah berhasil menghubungi Ki Demang yang
telah melaporkannya pula kepada Ki Buyut.
"Kenapa mereka terpengaruh oleh setan kecil itu,
sehingga mereka datang kemari?" Ki Bekel menjadi gelisah.
Namun orang y ang ingin memiliki tanah itu pun berkata,
"Apa boleh buat. Mereka hanya terdiri dari lima orang.
Sepuluh orang-orangku dan para bebahu padukuhan yang Ki
Bekel percaya itu, bersama kita berdua akan dapat
menyelesaikan mereka. Kita akan m engubur mereka di sini,
sehingga tidak akan ada seorang saksipun y ang akan dapat
mengatakan apa y ang telah terjadi."
Ki Bekel termangu-mangu. Namun orang yang ingin
memiliki tanah itu berkata, "Sepuluh orang-orangku adalah
orang-orang berilmu tinggi. Seandainya aku harus melawan
seisi Kabuyutan ini aku tidak akan gentar. Jika ada orang yang
berani menuduh kita m elenyapkan Ki Demang dan sekaligus
Ki Buyut, maka kita akan meny elesaikan mereka pula."
Ki Bekel m engerutkan keningnya. Ia m emang menjadi
ragu-ragu. Tetapi orang itu berkata dengan lantang, "Siapapun
yang menghalangi niatku akan aku leny apkan."
Ki Bekel terdiam, namun nampak kebimbangan y ang
sangat membayang diwajahnya. Tetapi ia pun tidak berani
menentang sepuluh orang berilmu tinggi.
Sementara itu Ki Buyut dan pengiringnya telah sampai
ke tempat itu. Dengan wajah yang buram Ki Buyut berkata,
"Aku telah mengetahui apa y ang terjadi di sini."
Ki Bekel lah y ang kemudian bertanya, "Apakah Ki Buyut
mendengar dari seseorang" Dan apakah y ang Ki Buyut dengar
itu sesuai dengan keny ataan?"
"Aku mendengar bukan saja dari Ki Demang. Tetapi
orang-orangku langsung m engikuti peri stiwa yang terjadi di
padukuhan ini. Terutama sikap dan kelakuan Ki Bekel yang
tidak dapat berdiri tegak dalam kedudukannya."
"Apa y ang telah t erjadi Ki Buyut?" bertanya Ki Bekel
sambil melangkah maju. "Kau tidak usah berpura-pura. Sekarang perintahku,
selesaikan persoalan ini dengan baik. Sarpada tidak boleh
dipaksa untuk menjual tanahnya. Atau jika kau tidak mampu
menyelesaikannya, maka hak atas jabatanmu turun temurun
akan terputus di sini. Keturunanmu akan mengutukmu,
karena m ereka tidak sempat ikut menikmati kedudukan yang
pernah kau warisi dari moyangmu," berkata Ki Buyut.
"Tidak ada gunanya lagi berpura-pura," desis Ki
Demang, "sernuanya sudah jelas."
Tetapi yang menjawab adalah orang y ang akan membeli
tanah itu dengan paksa, "Semuanya sudah selesai. Uang itu
telah diterima oleh Sarpada justru saat-saat ia sakit, karena ia
membutuhkan uang bagi beay a pengobatannya. Karena itu,
maka y ang harus dilakukan adalah serah terima tanah ini di
hadapan para saksi."
Tetapi Ki Buyut menggeleng. Katanya, "Jangan
memperbodoh aku." "Aku berkata dengan sesungguhnya," jawab orang itu.
"Ki Bekel dan bebahunya adalah sak si utama."
"Omong kosong," teriak orang yang melaporkannya
kepada Ki Demang, "tidak benar. Ki Sarpada tidak pernah
bersedia menjual tanahnya."
" Ia ingin menutupi kesalahannya terhadap
kemanakannya, sehingga ia telah mengorbankan harga dirinya
dengan berusaha membuat laporan palsu," geram orang itu.
Namun Ki Buyut tetap pada pendiriannya. Katanya,
"Aku bukan anak-anak yang pantas kau bohongi lagi. Aku
adalah Buyut di sini. Aku mempunyai hubungan langsung
dengan Sang Akuwu." "Persetan," geram orang itu, "jika demikian, maka aku
akan mempergunakan rencanaku y ang kedua. Melenyapkan
semua orang y ang ada di sini untuk menghilangkan j ejak. Ki
Sarpada, Ny i Sarpada, kemanakannya itu, kawan-kawannya
yang diupahnya untuk melindunginya dan tetanggatetangganya
y ang dungu itu. Bahkan karena kebodohan Ki
Demang dan Ki Buyut, maka mereka pun akan aku kuburkan
di sini. Tidak seorang pun akan m elihat dan dapat menjadi
sak si atas peri stiwa ini. Tidak seorang pun y ang akan berani
mengusik dan mempersoalkan hilangnya para bebahu
Kabuyutan ini." "Kau gila," geram Ki Buyut.
" Jangan meny esal. Semuanya telah terlambat," berkata
orang itu dengan nada rendah.
"Kau mendapat hukuman y ang lebih berat dari
hukuman gantung. Kau pantas dihukum picis jika apa yang
kau katakan itu benar-benar kau lakukan," geram Ki Demang.
Tetapi orang y ang ingin memiliki tanah dan mata air itu
sama sekali tidak terpengaruh oleh ancaman Ki Demang.
Bahkan ia pun kemudian berkata, "Tidak ada lagi orang yang
dapat menghukum kami."
"Tentu ada. Sang Akuwu tidak akan membiarkan
tingkah lakumu itu tanpa berbuat sesuatu," geram Ki Demang.
"Akuwu tidak akan mengetahui apa yang terjadi di sini,"
jawab orang itu, "sedangkan siapa yang berani membuka
rahasia peristiwa di tempat ini, maka umurnya tidak akan
berlangsung lebih lama lagi."
"Kau kira kami tidak berday a sama sekali?" desis Ki
Buyut, "sedangkan cacingpun akan menggeliat jika terinjak
kaki." "Bagus," berkata orang itu, "kami memang lebih senang
membunuh dengan sedikit menitikkan keringat daripada
membunuh orang y ang berlutut di hadapan kami. Namun jika
ada di antara kalian y ang akan berbuat demikian, kami pun
tidak akan berkeberatan."
Ki Buyut menggeratakkan giginya. Bersama ki Demang
dan pengiringnya, mereka pun segera mempersiapkan diri
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghadapi segala kemungkinan. Demikian pula Wantilan
dan Ki Sarpada beserta tetangga-tetangganya.
Sementara itu, orang yang ingin memiliki tanah itu pun
telah meneriakkan aba -aba. Dengan sigap orang-orangnya
telah bersiap sepenuhnya. Demikian pula Ki Bekel dan orangorangnya.
Melihat sikap dan gerak para pengikut orang yang ingin
memiliki tanah itu, m aka Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan
Mahisa Semu dapat m enilai, bahwa m ereka memang orang
berilmu tinggi. Lebih dari itu, mereka adalah orang-orang
yang tidak mengenal belas kasihan. Mereka dapat membunuh
seseorang tanpa m engedipkan mata mereka, asal dijanjikan
upah yang cukup bagi mereka.
Karena itu, maka anak-anak m uda itu menjadi cemas,
bahwa dalam gerakan y ang pertama, beberapa orang telah
terkoyak tubuhnya dan kehilangan nyawanya.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun telah berkata
lantang kepada para tetangga Ki Sarpada, "Ki Sanak. Jangan
ikut campur. Orang-orang upahan itu memang orang berilmu
tinggi. Jika kalian langsung melawan mereka, maka dalam
sekejap kalian tentu telah terbaring di tanah. Bahkan mungkin
telah terbunuh. Karena itu, maka kami minta kalian
menunggu dan menjadi sak si apa y ang akan terjadi. Demikian
pula Ki Demang dan Ki Buyut. Sementara itu, biarlah kami
yang muda-muda sajalah y ang akan menghadapi mereka."
"Terima kasih anak muda," berkata Ki Demang, "tetapi
aku tidak akan dapat berpangku tangan, sementara kekasaran
dan kekerasan berlangsung didepan hidungku."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun
melihat bahwa Ki Demang dan Ki Buyut bukan orang tidak
berilmu. Menilik sikap mereka y ang meyakinkan serta
wibawanya y ang besar, maka keduanya tentu orang-orang
yang memiliki kemampuan yang tinggi pula.
Karena itu, maka Mahisa Murti tidak berniat lagi untuk
minta kedua orang itu untuk m eny ingkir jika benturan akan
terjadi. Sementara itu, orang y ang ingin memiliki tanah itu tidak
sabar lagi. Bahkan ia telah meloncat maju mendekati Ki
Sarpada sambil mengayunkan pedangnya. Tetapi ternyata
Wantilan pun telah siap pula. Dengan sigap ia telah meloncat
berdiri didepan Ki Sarpada yang sedang sakit itu. Namun yang
nampaknya ju stru jantungnya telah bergejolak, sehingga rasarasanya
ia telah tiba -tiba saja menjadi sembuh.
"Setan kau," geram orang yang ingin memiliki tanah itu,
"kau adalah orang pertama yang akan mati."
Tetapi Wantilan tidak menjawab. Pedangnyalah y ang
tiba -tiba saja terayun mendatar dengan derasnya.
Sesuatu yang tidak diduga oleh lawannya. Karena itu,
maka sambil bergeser, ia berteriak justru karena terkejut.
Namun ternyata ujung senjata Wantilan berhasil meny entuh
lengan orang itu, sehingga kulitnya telah tergores karenanya.
Meskipun luka itu tidak terlalu dalam, namun darah
telah menitik dari luka itu.
Orang itu mengumpat kasar. Sambil mengayunkan
pedangnya ia berteriak, "Bunuh semua orang."
Orang-orangnya pun telah mulai bergerak pula.
Sementara itu, Mahisa Semu telah mendorong Mahisa Amping
untuk mendekati Ki Sarpada. Desisny a, "Hati-hati. Jaga
dirimu baik-baik." Mahisa Amping tidak menjawab. Ia pun kemudian
berdiri dibelakang Ki Sarpada dan Nyi Sarpada.
Dalam pada itu, Ki Demang dan Ki Buyut pun telah
bersiap pula. Ketika dua orang mendekati mereka, maka
mereka pun telah menarik senjata masing-masing. Ki Buyut
ternyata telah membawa pusakanya. Sebilah keris yang besar,
yang mencuat sampai ke atas pundaknya. Karena itu, m aka
tangannyapun telah menggapai hulu kerisnya di atas
pundaknya itu dan menariknya justru keatas.
Sementara Ki Demang telah menarik pedangnya y ang
besar. Lebih besar dari kebanyakan pedang. Tetapi sesuai
benar dengan tubuh Ki Demang yang tinggi dan besar itu.
Agaknya kekuatannya pun melampaui kekuatan orang
kebanyakan sehingga pedang yang besar itu rasa -rasanya tidak
lebih berat dari sepotong lidi.
Ketika Ki Demang mulai mengayunkan pedangnya,
maka anginnya terdengar berdesing meny engat telinga.
Dengan demikian, maka orang-orang y ang diupah oleh orang
yangingin memiliki tanah itu pun segera m engetahui, bahwa
orang itu bukannya sekedar dapat membual. Tetapi orang
yang b ertubuh tinggi dan besar itu memang m emiliki tenaga
yang sangat besar. Karena itu, maka seorang lagi di antara mereka telah
mendekat, sehingga Ki Demang itu harus berhadapan dengan
duaorang. Sementara itu Wantilan yang telah bersiap untuk
bertempur itu pun masih juga m erasa cemas. Sebelumnya ia
menduga, bahwa sikap Mahisa Murti seakan-akan telah
memberi key akinan kepadanya, bahwa ia bersiap untuk
membantunya. Namun kemudian ia pun telah menarik nafas dalamdalam
ketika ia melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
berpencar menjauhinya, sementara Mahisa Semu telah
bergeser pula di sebelahnya.
Semua orang y ang berada di hutan kecil di atas mata air
itu telah bersiap. Orang-orang padukuhan, tetangga-tetangga
Ki Sardapapun ternyata tidak mau tinggal diam. Meskipun
Mahisa Murti telah m emperingatkan mereka, tetapi mereka
telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Bahkan
beberapa orang telah mengacu-acukan senjata mereka.
Mahisa Murti memang menjadi tertegun melihat
kesiagaan orang -orang itu. Ternyata mereka sama sekali tidak
gentar meskipun mereka tahu bahwa orang-orang itu adalah
orang-orang y ang berilmu.
"Apa boleh buat," berkata Mahisa Murti di dalam
hatinya, "asal mereka tidak bertempur seorang lawan
seorang." Sebenarnyalah, tanpa ada y ang mengguruinya, maka
orang-orang padukuhan, tetangga-tetangga Ki Sarpada itu
telah berdiri berkelompok. Mereka telah membagi diri
menjadi dua kelompok kecil. Sekelompok di antara mereka
bersiap m enghadapi dua orang di antara orang-orang upahan
itu, sedangkan yang sekelompok kecil lainnya telah bersiap
menghadapi para pengiring Ki Bekel.
Sementara itu Ki Bekel sendiri telah berada di sebelah
orang yang berniat untuk memiliki tanah itu, sehingga dengan
demikian, maka Mahisa Semu lah yang telah
meny ongsongnya. Sejenak kemudian, m aka di hutan kecil di ata s tanah
berbatu padas itu telah terjadi pertempuran y ang sengit. Ki
Demang yang bertubuh tinggi besar itu ternyata telah
berloncatan menjauh. Ia m emerlukan arena y ang agak luas,
sehingga dengan demikian maka ia dapat mengayun-ay unkan
senjatanya berputaran. Kedua orang lawannya adalah orang upahan y ang
dianggap berilmu tinggi. Namun ternyata keduanya harus
berpikir ulang ketika mereka berniat untuk meny erang.
Mereka harus memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan
terjadi benturan senjata dengan orang y ang agaknya
berkekuatan sangat besar itu.
Sementara itu, Ki Buyut lah y ang telah bertempur
dengan sengitnya. Ternyata orang upahan itu salah m enilai
kemampuan Ki Buyut yang tua itu. Ternyata Ki Buyut y ang tua
itu memiliki ilmu yang dapat mengimbangi ilmu orang upahan
itu. Bahkan orang tua itu nampaknya mampu bergerak lebih
cepat dari lawannya. Ki Bekellah y ang harus mengeluh berhadapan dengan
Mahisa Semu y ang memiliki ilmu pedang yang memadai.
Dengan kemampuan ilmu pedangnya Mahisa Semu telah
berhasil mendesak lawannya. Dalam beberapa kesempatan,
Mahisa Semu justru hampir dapat meny entuh tubuh
lawannya. Mahisa Semu y ang m erasa ilmunya masih baru mulai
meningkat dari tataran pertama itu, telah mempergunakan
kesempatan sebaik-baiknya. Selagi dalam benturan pertama ia
dapat mengguncang pertahanan Ki Bekel.
Karena itu, dengan dorongan darah mudanya, maka
Mahisa Semu telah mengerahkan segenap kemampuannya
dalam ilmu pedang. Ternyata hentakkan Mahisa Semu itu berhasil. Ujung
pedangnya mulai dapat menyentuh kulit Ki Bekel. Segores dan
kemudian segores lagi. Kedua-duanya di lengan Ki Bekel.
Ki Bekel mengumpat marah. Tetapi kulitnya benarbenar
telah dilukai oleh lawannya meskipun tidak begitu
dalam. Namun darah telah mengalir dari lukanya itu.
Ternyata selagi masih ada kesempatan Mahisa Semu
tidak mau menahan diri lagi. Jika Ki Bekel y ang tentu
memiliki pengalaman y ang lebih luas itu mengetahui
kelemahannya, maka Mahisa Semu tentu akan mengalamai
kesulitan. Seandainya kemudian Ki Bekel sudah akan dapat
mengurangi tenaganya, karena darah y ang m eleleh dari luka
itu. Ki Bekel memang mengumpat ka sar ketika sekali lagi
ujung pedang Mahisa Semu m engenai pundaknya mengoyak
kulitnya. Lukanya memang agak lebih dalam, sehingga darah
menjadi lebih banyak mengalir.
Namun Ki Bekel tidak cepat menjadi putus-asa. Dalam
keadaan terluka, ia masih sempat mengenali tingkat
kemampuan anak muda yang garang itu. Dengan demikian, Ki
Bekel telah mendasari tata geraknya dengan unsur-unsur
gerak yang lebih rumit. Ia tidak akan mampu menandingi anak
muda itu dengan beradu tenaga. Tetapi ia harus
mempergunakan perhitungan y ang sebaik-baiknya.
Sesaat Mahisa Semu memang terkejut melihat
perubahan tata gerak lawannya. Ia merasakan gaya putaran
senjata yang lain, bahkan membuatnya kadang-kadang
kehilangan jejak. Tetapi Mahisa Semu telah mengkhususkan diri untuk
berlatih ilmu pedang. Karena itu, maka pengenalannya atas
senjata itu pun menjadi sangat baik. Betapapun rumitnya
unsur gerak Ki Bekel, namun tataran ilmu Ki Bekel belum
terlepas dari jangkauan kemampuan Mahisa Semu. Dengan
demikian, maka setidak-tidaknya Mahisa Semu masih mampu
mengimbangi serangan-serangan Ki Bekel yang semakin
cepat. Namun kesempatan meny erang Mahisa Semu lah yang
kemudian menjadi berkurang.
Meskipun demikian keadaan Mahisa Semu masih belum
membahayakan. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
ternyata tidak sampai hati m embiarkan Wantilan m engalami
kesulitan. Keduanya telah melibatkan diri melawan orangorang
y ang telah meny erang mereka. Orang-orang yang belum
mempunyai lawan. Dengan demikian maka kedua orang anak muda itu
memang harus melayani lawan y ang bertempur berpa sangan.
Wantilan yang telah bertekad untuk mempertahankan
tanah dan mata air itu meskipun seandainya tidak akan
diwariskan kepadanya, telah mengerahkan segenap
kemampuannya. Tetapi ilmu Wantilan memang belum terlalu
tinggi. Meskipun demikian ia pun telah mampu
mempertahankan diriny a dari serangan-serangan orang yang
tamak, y ang ingin m emiliki tanah dan mata air itu dengan
paksa. Yang mengalami kesulitan adalah justru sekelompok
orang-orang padukuhan, para tetangga Ki Sarpada yang
bertempur melawan orang -orang berilmu tinggi. Mereka
ternyata tidak mampu untuk menguasai lawan-lawan mereka.
Orang-orang berilmu tinggi itu terlalu tangkas bagi mereka.
Untunglah mereka berjumlah jauh lebih banyak sedangkan
mereka telah didorong oleh kebencian atas ketamakan
lawannya, sehingga karena itu, maka jantung mereka rasarasanya
menjadi bagaikan mengembang. Dengan dorongan
itu, m aka tetangga-tetangga Ki Sarpada itu sama sekali tidak
menjadi gentar menghadapi lawan-lawan mereka yang
berilmu tinggi. Namun dengan demikian bukan berarti m ereka mampu
mengimbangi kecepatan gerak lawan-lawan m ereka. Karena
itulah, maka beberapa saat kemudian, seorang di antara
tetangga Ki Sarpada itu telah terdorong beberapa langkah
surut. Segores luka telah menyilang di dadanya. Meskipun
tidak begitu dalam, tetapi luka itu terasa sangat pedih.
"Minggirlah," berkata Mahisa Murti y ang melihat
peristiwa itu. Tetapi lawan orang itu berteriak, "Semua orang akan
mati. Semuanya. Tanpa kecuali."
Namun orang itu justru terdiam sejenak. Kemudian
terdengar ia mengumpat kasar. Segores luka telah m enyilang
pula diadanya. " Jika kau membuka mulutmu sekali lagi, maka
jantungmu akan runtuh," terdengar suara berat.
Ternyata Mahisa Pukat menjadi sangat marah. Ia t elah
meloncat meninggalkan lawan-lawannya dan langsung
menyerang orang y ang dianggap berilmu tinggi itu.
"Berhati-hatilah," berkata Mahisa Pukat kepada orangorang
padukuhan. Lalu katanya pula, "Biar saja orang yang
terluka itu menjadi gila. Jika ia benar-benar ingin membunuh,
maka orang itulah yang akan mati lebih dahulu."
Orang y ang terluka itu memang benar -benar marah.
Darah telah mengalir dari lukanya. Namun ternyata bahwa
luka itu sama sekali tidak menahannya. Bahkan ia menjadi
semakin garang. Namun Mahisa Pukat telah bertekad untuk melayaninya.
Karena itu, maka ia pun berteriak, "Hati-hati dengan yang
lain." Orang-orang padukuhan itu pun segera mempersiapkan
diri menghadapi lawan-lawan Mahisa Pukat yang
ditinggalkannya. Sementara itu, orang y ang terluka itu telah
menggeram, "Licik kau. Kau m eny erang aku tanpa m emberi
isy arat lebih dahulu."
"Persetan," geram Mahisa Pukat, "kita tidak sedang
berperang tanding. Kita bertempur dalam kelompok-kelompok
yang tidak diatur lebih dahulu. Siapapun boleh melawan siapa
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sa ja." "Ternyata kau akan mati lebih dahulu dari orang-orang
lain," geram orang itu.
Dengan garangnya orang itu telah menyerang Mahisa
Pukat. Tetapi Mahisa Pukat justru memancingnya dalam
pertempuran berjarak, sehingga orang itu harus mengerahkan
kemampuannya untuk meloncati jarak-jarak yang panjang.
Namun dengan demikian, maka luka orang itu telah
menjadi semakin parah. Darah mengalir semakin banyak.
Tetapi orang itu sama sekali tidak memperhitungkannya.
Ternyata perhitungan Mahisa Pukat benar. Dalam waktu
yang singkat, kekuatan dan kemampuan orang itu menjadi
su sut. Dengan demikian, maka Mahisa Pukat pun berkata
kepada orang-orang padukuhan, "Serahkan lawan-lawanmu
kepadaku. Hadapi orang yang telah t erluka ini, tetapi yang
juga telah melukai seorang kawan kalian. Beri kesempatan
orang ini meny erah jika ia mau."
"Setan kau," geram orang itu.
Namun Mahisa Pukat telah meloncat menjauh. Ia telah
menyerang lawan y ang lain. Demikian cepat, sehingga
lawannya itu terkejut dan meloncat mengambil jarak.
Dengan demikian maka pertempuran itu menjadi
semakin kacau. Orang -orang y ang dianggap berilmu tinggi itu
mulai bingung m enghadapi gaya Mahisa Pukat. Namun yang
kemudian juga dilakukan oleh Mahisa Murti. Namun Mahisa
Murti lebih banyak melindungi orang-orang padukuhan
daripada meny erang lawan-lawannya.
Ada bagian yang dihapus di s ini karena ada duplikasi, tetapi
sepertinya ceritanya tidak nyambung dengan cerita berikut
Tetapi Ki Demang tidak menunggu lebih lama lagi.
Dengan senjatanya yang terayun deras, Ki Demang telah
mendesak kedua lawannya. Beberapa kali senjata mereka
berbenturan. Untuk sekian kali pula kulit tangan lawanlawannya
itu pun hampir terkelupas.
Dengan demikian maka kedua orang lawan Ki Demang
itu mulai m encoba mencari jawab atas kata -kata Ki Demang.
Senjata mereka masing-masing ternyata telah menyakiti
tangan-tangan mereka dalam setiap benturan.
Tetapi kedua orang itu memiliki kemampuan untuk
bergerak lebih c epat. Karena itulah, maka keduanya berusaha
untuk dengan kecepatan geraknya melawan Ki Demang yang
senjatanya terlalu besar dibandingkan dengan senjata
kebanyakan. Namun ternyata bahwa Ki Demangpun mampu
memutar senjatanya secepat gerak mereka.
Demikianlah, maka pertempuran di atas tanah berbatubatu
padas, di atas mata air yang menjadi rebutan itu menjadi
semakin lama semakin sengit. Orang-orang yang menjadi
orang upahan dari orang y ang ingin memiliki tanah itu
memang orang-orang y ang berilmu, sekaligus orang y ang tidak
lagi mempunyai perasaan. Karena itu, maka mereka pun
kemudian telah bertempur dengan tanpa m enghiraukan lagi
siapa y ang dihadapinya. Mereka yang mendapat kesempatan
menghadapi orang-orang padukuhan, dengan serta merta
telah mempergunakan kesempatan itu untuk berusaha
membunuhnya. Tiga orang telah menjadi korban. Mereka telah terluka
parah sehingga membahayakan jiwa mereka.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
tidak lagi dapat memaafkan mereka. Jika mereka tidak segera
dihentikan, maka korban tentu masih akan berjatuhan.
Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang
marah itu pun telah bertempur pula dengan sungguh-sungguh.
Bahkan mereka telah meny esal, bahwa mereka terlambat
bertindak sehingga tiga orang sempat terluka parah.
Ketika seorang lagi telah terluka, maka Mahisa Murti
telah meloncat dengan garangnya. Ia mulai merambah ke
ilmunya, sehingga kekuatan dan kemampuannyapun menjadi
meningkat pula. Dengan kemampuannya yang sangat tinggi, maka dalam
beberapa saat saja, dua orang telah terlempar dari arena,
sementara MahisaPukat telah melukai seorang di antara
mereka. Orang-orang upahan itu benar -benar telah terkejut.
Meskipun mereka memang sudah m enduga bahwa anak-anak
muda itu berilmu, tetapi mereka tidak mengira sama sekali,
bahwa dalam sekejap tiga orang kawan mereka telah
terlempar. Tujuh orang upahan, orang yang ingin memiliki tanah
itu, Ki Bekel dan pengikutnya memang menjadi sangat marah.
Tetapi mereka harus melihat kenyataan tentang lawan-lawan
mereka. Anak-anak m uda yang menurut dugaan orang yang
ingin memiliki tanah itu adalah juga orang-orang upahan
memang menjadi heran. Dari mana Ki Sarpada mendapatkan
orang-orang y ang berilmu begitu tinggi.
Karena itu, maka tiba -tiba saja orang y ang ingin
memiliki tanah itu berteriak, "He, anak-anak m uda. Berapa
kalian diupah oleh Sarpada sehingga kalian mau
melindunginya?" "Tutup mulutmu," bentak Wantilan sambil meloncat
menyerang. Orang itu surut beberapa langkah ke belakang sambil
mengumpat. "Mereka bukan orang-orang upahan," berkata Wantilan,
"mereka adalah guru-guruku."
"Kau sudah gila. Kau tentu lebih tua dari mereka.
Apakah kau berguru kepada anak-anak semuda itu?" sahut
orang y ang ingin memiliki tanah itu.
"Apa salahnya?" bertanya Wantilan.
Namun orang itu tidak menghiraukannya. Dengan
lantang orang itu berkata, "Nah anak-anak muda. Aku
bersedia mengupahmu dua kali lipat dari upah y ang kalian
terima asal kalian bersedia membantuku. Kalian tidak
bertempur dipihakku. Tetapi kalian tinggalkan arena
pertempuran ini. Upahmu itu akan segera dapat kalian
terima." Wantilan terkejut bukan buatan ketika Mahisa Murti
bertanya sambil bertempur, "Kau berkata sebenarnya?"
"Aku berjanji," teriak orang itu.
"Kau tahu berapa aku diupah?" bertanya Mahisa Murti.
"Katakan, berapa saja kau mau," jawab orang itu pula.
"Bagus. Aku akan menerima tawaranmu," jawab Mahisa
Murti. Wantilan memang menjadi bingung. Hampir saja
lehernya disambar senjata lawannya. Namun kemudian
segalanya menjadi jelas ketika Mahisa Murti kemudian
berkata, "Aku minta upah seharga tanah ini beserta mata
airnya. Tinggalkan tempat ini dan jangan diganggu lagi. Nanti
aku akan segera menyingkir."
"Setan kau," geram orang itu, "ternyata kau lebih senang
mati di sini." "Tidak segala-galanya dapat diselesaikan dengan
kekay aanmu Ki Sanak," berkata Mahisa Murti, "ada kalanya
kau gagal mempergunakan uangmu untuk membeli sesuatu."
"Cukup," teriak orang itu, "cepat, bunuh orang-orang
itu." Tidak terdengar jawaban dari manapun juga. Namun
orang-orang upahan itu telah mengerahkan kemampuan
mereka untuk segera mengakhiri pertempuran.
Namun mereka pun sadar, bahwa keadaan memang
sudah berubah dengan hadirnya anak-anak muda itu.
Karena itu, maka mereka mulai merasa gentar
menghadapi keny ataan itu. Betapapun tinggi upah yang
mereka terima, tanpa dapat menikmati upah itu, maka bagi
mereka sama sekali tidak akan ada artinya.
Beberapa kawan mereka telah terluka parah. Bahkan
salah seorang kawannya y ang terluka tidak lagi mampu
menghindari tangan kawan-kawan Ki Sarpada. Mereka yang
tidak lebih dari para petani tetangga-tetangga Ki Sarpada,
yang dalam keadaan mereka sehari-hari tidak lebih dari orangorang
y ang hanya mampu m engayuhkan cangkul dan parang,
maka pada saat itu telah menjadi orang-orang yang garang.
Sementara itu, orang yang ingin memiliki tanah itu
sendiri telah terlibat pertempuran y ang sengit melawan
Wantilan. Bagaimanapun juga Wantilan adalah seseorang
yang pernah berguru dalam olah kanuragan. Cara gurunya
yang aneh untuk membunuhnya justru telah membuatnya
menjadi seorang y ang mempunyai day a tahan yang sangat
tinggi. Karena itu, maka untuk mengalahkan Wantilan
diperlukan waktu dan kekuatan y ang lebih besar lagi daripada
yang telah dimilikinya. Sedangkan Ki Bekel ternyata mulai mengalami kesulitan
menghadapi lawannya. Bukan karena ilmunya yang kalah dari
Mahisa Semu. Tetapi Ki Bekel merasa salah langkah saat
mereka mulai dengan pertempuran itu, sehingga ia telah
terluka lebih dahulu. Luka itu sendiri tidak banyak berarti bagi
Ki Bekel. Namun lawannya telah memancingnya bertempur
pada jarak y ang panjang, sehingga dengan loncatan-loncatan
itu, darahnya menjadi bagaikan terperas dari luka -lukanya itu.
Akhirnya, maka Ki Bekel itu pun menjadi sangat lemah
sebelum ia mampu m embunuh lawannya y ang m asih sangat
muda itu meskipun ia yakin bahwa ia memiliki ilmu yang lebih
baik dari lawannya. Ki Demang dengan pedangnya yang besar memang sulit
untuk dilawan. Namun ternyata dua orang lawannya telah
mempergunakan kecepatan gerak m ereka untuk sekali-sekali
membingungkannya. Kedua orang lawannya tidak lagi
membiarkan senjata m ereka berbenturan. Tetapi sekali-sekali
lawannya itu meloncat menjauh. Namun tiba -tiba saja
keduanya meny erang dari arah yang berbeda.
Gerak yang cepat dan berputar-putar memang membuat
Ki Demang lebih banyak m engerahkan tenaganya. Betapapun
kuatnya tangannya, namun mengayun-ayunkan pedang yang
besar dengan kecepatan y ang tinggi adalah satu pekerjaan
yang memerlukan tenaga yang luar biasa besarnya.
Itulah sebabnya, maka setelah bertempur semakin lama,
maka tenaga Ki Demang pun menjadi semakin susut.
Namun pada saat y ang gawat, ternyata Ki Demang tidak
terjebak ke dalam kesulitan yang tidak teratasi. Ternyata
tetangga-tetangga Ki Sarpada telah kehilangan lawan-lawan
mereka. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan cepat telah
menyapu orang-orang upahan itu sehingga mereka tidak
berday a lagi. Karena itulah, maka tetangga-tetangga Ki Sarpada y ang
telah kehilangan lawannya itu pun telah mengepung kedua
orang lawan Ki Demang, sementara Ki Demang sendiri masih
memiliki kekuatan yang cukup.
Dengan demikian, maka kedua orang lawan Ki Demang
itu benar -benar telah menjadi gelisah. Mereka tahu akibat
yang dapat terjadi atas diri mereka jika mereka jatuh ke
tangan orang-orang padukuhan yang disetiap harinya sama
sekali tidak pernah b erpikir untuk membunuh seseorang itu.
Namun dalam keadaan seperti itu, maka mereka akan dapat
menjadi lebih garang dari serigala.
Ki Buyut pun kemudian melihat beberapa orang
mendekatinya. Ju stru pada saat Ki Buyut itu m erasa betapa
umurnya benar-benar sudah menjadi tua. Untunglah bahwa ia
datang dengan keris pusakanya, sehingga ia masih mampu
bertahan menghadapi orang upahan yang garang itu.
Pa da saat y ang tepat, beberapa orang telah datang
membantunya. Ketika nafasny a mulai terengah-engah.
Akhir dari pertempuran itu ternyata jauh berbeda dari
yang diangan-angankan oleh orang y ang ingin memiliki tanah
dan mata air itu. Orang-orang upahannya satu persatu jatuh
terbaring di tanah. Ada yang pingsan, ada y ang tidak tetapi
karena keadaannya orang itu tidak lagi mampu bangkit.
Demikian pula para pengikut Ki Bekel. Mereka justru
menjadi sasaran pelepasan kemarahan orang-orang
padukuhan. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih sempat
mencegahnya sehingga orang-orang itu tidak dibantai oleh
tetangga-tetangga Ki Sarpada y ang marah. Mereka memang
bertempur untuk kehidupan keluarga m ereka. Tanpa air dari
mata air di tanah Ki Sarpada, maka mereka tidak akan dapat
hidup. Sementara itu anak-anak dan isteri mereka
menggantungkan diri sepenuhnya dari u sahanya menggarap
sawah. Orang-orang upahan y ang masih tersisa itu sudah tidak
mempunyai harapan lagi. Mereka serasa bahwa mereka telah
gagal. Karena itu, maka selagi masih ada kemungkinan, mereka
sebaiknya meninggalkan arena pertempuran itu saja.
Tetapi untuk lari dari arena, ternyata sulit sekali.
Tetangga-tetangga Ki Sarpada telah mengepung m ereka yang
masih bertempur di hutan kecil y ang basah itu. Dengan
senjata apa saja yang dapat mereka bawa, maka mereka
ternyata menjadi orang-orang yang sangat mengerikan.
Dalam kesempatan itu, maka Ki Buyut telah berkata
lantang, "Letakkan senjata kalian, atau kami biarkan orangorang
itu membantai kalian. Kami dapat saja membiarkan
kalian mati dengan cara y ang paling tidak kalian sukai. Tetapi
kami masih berpijak pada sendi k emanusiaan sehingga kami
masih menawarkan kemungkinan agar kalian meny erah.
Kal ian akan menjadi tawanan kami dan kalian akan kami bawa
ke Kabuyutan. Karena kalian adalah orang-orang yang
berbahaya, maka kalian selanjutnya kalian akan kami bawa ke
Pakuwon untuk mendapatkan pengadilan."
Orang y ang ingin m emiliki tanah itu dengan kekerasan
tiba -tiba saja berteriak, "Tutup mulutmu tikus tua. Kau dan
orang-orang dungu y ang lain itu akan mati."
Namun suaranya terputus ketika hampir saja ujung
senjata Wantilan meny entuh mulutnya.
Tetapi adalah diluar dugaan, bahwa seorang di antara
orang-orang upahan itu berkata keras-keras, "Aku menyerah!"
Beberapa orang telah tertegun mendengar suaranya itu.
Apalagi ketika kemudian ia telah melemparkan senjatanya.
"Bagus," berkata Mahisa Murti, "nyawamu akan
diselamatkan. Kau menjadi tawanan Ki Buyut."
Ternyata sikapnya itu berpengaruh. Orang-orang y ang
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih bertempurpun kemudian melakukan hal y ang sama.
Mereka telah berloncatan mengambil jarak serta melemparkan
senjata mereka. "Pengecut," teriak orang yang ingin m emiliki tanah itu
dengan kekerasan, "kalian telah berkhianat. Kami telah
mengupah kalian dengan upah yang tinggi."
Tetapi terdengar Ki Demang berkata, "berapapun tinggi
upahnya, tetapi jika orang itu mati di pertempuran ini, maka
upah itu tidak akan berarti sama sekali."
"Tetapi sebagian dari upah itu sudah diterima," geram
orang y ang tamak itu. " Ia pun sudah mencoba untuk memperbandingkan
ilmunya. Kawan-kawannyapun telah t erluka, bahkan ada yang
parah. Dengan demikian upah yang diterimanya itu sudah
diimbangi dengan perbuatan," sahut Ki Demang.
Orang itu mengumpat ka sar. Tetapi ia tidak mampu
berbuat sesuatu. Apalagi ia m asih harus bertempur melawan
Wantilan. Dalam pada itu, Ki Buyut pun masih juga bertempur
sesaat. Tetapi lawannyapun telah melemparkan senjatanya
pula, sehingga dengan demikian maka pertempuran sebagian
telah berakhir. Dalam pada itu, Ki Bekelpun benar-benar sudah tidak
berday a lagi. Orang-orangnya pun telah dapat dikuasai
sepenuhnya oleh tetangga-tetangga Ki Sarpada. Bahkan ada di
antara orang-orangnya yang terluka parah.
"Apakah kau m emang akan membunuh diri Ki Bekel,"
geram Ki Demang. Ki Bekel tidak menjawab. Ketika Mahisa Semu memutar
pedangnya di depan dadanya, ia pun berusaha untuk
menangkisnya. Tetapi ay unan pedangnya sama sekali sudah
tidak bertenaga. Namun ternyata bahwa pengaruh sikap Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat telah terasa di dalam diri Mahisa Semu.
Ketika ia melihat lawannya tidak berdaya, maka ia pun tidak
lagi berniat untuk membunuhnya. Tangan Ki Bekel yang
terseret oleh ay unan pedangnya itu telah membuka
pertahanan sepenuhnya. Jika saja Mahisa Semu meloncat
menikam dadanya sampai ke jantung, Ki Bekel sudah tidak
akan dapat mengelak atau menangkisnya.
Tetapi Mahisa Semu tidak melakukannya. Dibiarkannya
Ki Bekel berdiri terhuyung-huyung sejenak. Sementara Ki
Demang yang sudah kehilangan lawannya itu m endekatinya,
"Meny erahlah Ki Bekel."
"Tutup mulutmu," Ki Bekel mencoba berteriak. Tetapi
tubuhnya y ang lemah sekali sudah tidak mampu lagi untuk
tegak. Karena itu, maka sejenak kemudian ia pun telah
terhuyung-huyung jatuh di tanah.
Tetapi Ki Bekel tidak mati. Bahkan pingsan pun tidak.
Namun kemungkinan itu akan dapat datang jika ia tidak
segera mendapat pertolongan.
Ki Buyut lah y ang kemudian mendekatinya sambil
berkata, "Jangan ter singgung jika aku mengobati luka-lukamu.
Hal itu harus segera dilakukan sebelum darahmu terkuras
habis sama sekali." Ki Bekel tidak-dapat menolak. Ia memang tidak berdaya
untuk menolaknya. Dalam pada itu, Ki Demang bersama orang-orang
padukuhan telah mengumpulkan para tawanan yang
menyerah. Namun dibawah pengawasan Ki Demang, maka
mereka masih mendapat tugas untuk merawat kawankawannya
yang terluka parah. Ternyata ketika mereka mulai
melihat kawan-kawannya itu, dua di antara mereka sudah
tidak tert olong lagi. Mati. Tiga orang luka-luka, seorang di
antaranya sangat parah. Tiga orang yang lain meskipun tidak
parah tetapi di tubuhnya terdapat beberapa goresan senjata.
Namun mereka masih termasuk orang-orang yang m erawat
kawan-kawannya yang lain.
Sementara Ki Buyut berusaha m engobati Ki Bekel y ang
hampir tidak lagi dapat diselamatkan.
Yang m asih bertempur adalah Wantilan dengan orang
tamak y ang ingin m emiliki tanah dan air didalamnya. Orang
itu nampaknya tidak melihat kemungkinan untuk dimaafkan.
Karena itu, maka ia benar-benar akan bertempur sampai mati.
Baginya lebih baik daripada m enjadi pengewan-ewan. Diikat
ditiang pendapa Kabuyutan sebelum dibawa ke rumah Akuwu.
Untuk beberapa saat lamanya, seakan-akan keduanya
dibiarkan saja m eny elesaikan pertempuran di antara m ereka,
sementara yang lain tengah merawat orang-orang yang
terluka. Namun ternyata bahwa keduanya memiliki
kemampuan y ang seimbang, sehingga karena itu, maka
keduanya seakan-akan bertempur tanpa batas.
Namun orang yang ingin menguasai tanah dan mata air
itu, nampaknya benar-benar telah menjadi putus asa sehingga
karena itu, maka ia menjadi semakin garang. Orang itu
seakan-akan dengan sengaja membunuh diri di arena
pertempuran itu. Rasa-rasanya ia sudah kehilangan segalagalanya.
Keinginannya untuk menguasai tanah itu menjadi
hancur bersama dengan hancurnya orang-orang upahannya.
Wantilan y ang mula -mula dengan mengerahkan segenap
kemampuan y ang ada padanya mampu bertahan, kemudian
rasa-rasanya ia memang mulai terdesak justru karena
lawannya menjadi putus asa.
Tetapi akhirnya Ki Buyut menjadi jemu pula menunggu.
Dengan lantang ia pun berkata kepada orang yang tamak itu.
"Meny erahlah. Semua per soalan akan kami nilai dari
awal. Kau tidak perlu takut diperlakukan semena-mena.
Hukuman y ang akan diterima oleh mereka yang bersalah,
tidak akan lebih berat dari yang seharusnya sesuai dengan
kesalahannya." "Persetan," geram orang itu, "jangan paksa aku
menyerah. Kalian hanya akan m endapatkan mayatku karena
aku tidak akan pernah berniat untuk meny erah."
"Kau harus menyadari bahwa di sekitarnya terdapat
banyak orang yang akan dapat menghentikan perlawananmu,"
berkata Ki Buyut. " Jika kalian ingin membunuhku, lakukanlah," berkata
orang itu. Ki Buyut termangu-mangu. T etapi ia benar-benar ingin
menyelesaikan pertempuran itu dan akan lebih baik jika orang
yang tamak itu tertangkap hidup-hidup.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat keinginan itu
membayang di wajah Ki Buyut. Sesuai dengan tugasnya pula,
maka Ki Buyut berniat untuk menangkap orang itu dan
mengadilinya di Pakuwon. Bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka orang itu
memang harus segera ditangkap. Keduanya juga melihat,
bahwa jika pertempuran itu berlangsung terus, maka Wantilan
akan dapat terdesak dan akhirnya dikalahkan.
Karena itu, maka kedua orang itu saling menggamit.
Dengan perlahan-lahan Mahisa Murti berdesis, "Marilah, kita
tangkap orang itu." Mahisa Pukat mengangguk k ecil. Ia pun sudah m enjadi
jemu berada di tempat itu. Apalagi melihat tingkah laku orang
yang mengamuk karena putus-a sa itu.
Karena itulah, maka keduanya pun telah mendekati
arena pertempuran antara Wantilan dan orang y ang putus-a sa
itu. Dengan lunak Mahisa Murti berkata kepada orang itu,
"Sudahlah. Meny erahlah. Kau tidak mempunyai seorang
kawan-pun lagi. Semua orang telah meny erah pula. Semua
orang upahanmu telah meny erah pula."
"Persetan," geram orang itu, "majulah bersama-sama.
Aku akan m embunuh kalian atau kalian akan membunuhku.
Tidak ada pilihan lain."
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah sering
memberikan isyarat. Dengan demikian maka dengan serta
merta keduanya telah meloncat m emasuki arena. Demikian
cepat, dalam landasan ilmu y ang tinggi, sehingga orang yang
telah kehilangan pegangan itu tidak sempat berbuat sesuatu.
Yang terjadi kemudian adalah demikian cepatnya.
Mahisa Murti telah menyambar orang itu dan dengan tiba-tiba
sa ja menangkap pergelangan tangannya, justru tangan itu
sedang terjulur meny erang Wantilan.
Sementara itu dengan cepat pula Mahisa Pukat
menjatuhkan diri sambil menyilangkan kakinya memutar kaki
lawannya sehingga lawannya itu kehilangan keseimbangan
dan jatuh berguling ber sama Mahisa Murti.
Semuanya begitu cepat terjadi. Orang -orang y ang
mengerumuninya hampir tidak dapat mengikuti dengan
pandangan mata wadag mereka. Karena itu, maka seakanakan
terjadi begitu saja dan dan dengan tiba -tiba, orang itu
sudah ditindih dengan lutut Mahisa Murti dan tangannya
terpuntir ke belakang menekan punggungnya.
Orang itu m engumpat kotor dan kasar. Namun Mahisa
Murti telah memperkuat pilinan tangannya, sehingga orang
yang tamak itu meny eringai dan berteriak keras, "Bunuh aku."
"Tidak," jawab Mahisa Murti, "aku tidak akan
membunuhmu jika kau menyerah."
"Setan kau. Aku tidak akan meny erah. Aku hanya
mengenal membunuh atau dibunuh," jawab orang itu.
"Aku akan memperkenalkanmu dengan kemungkinan
yang lain. Meny erahlah," berkata Mahisa Murti.
"Tidak," geram orang itu.
Namun bersamaan dengan itu, tangan Mahisa Murti
telah menekan tangan lawannya semakin keras. Katanya
semakin keras pula, "Meny erahlah."
"Tidak." orang itu pun berteriak semakin keras.
Mahisa Murti memang mulai kehilangan kesabaran.
Tetapi ia masih berusaha untuk menahan diri. Karena itu,
maka Mahisa Murti masih bertanya, "Apakah kau benar-benar
ingin meny elesaikan pertempuran ini menurut caramu?"
"Ya," jawab orang itu.
"Baiklah. Aku akan memberimu kesempatan untuk
mengambil senjatamu," berkata Mahisa Murti, "kau akan
berperang tanding melawan aku."
"Bagus," teriak orang itu sambil m enyeringai, "jika kau
seorang diri, maka kaulah y ang akan mengalami nasib seperti
nasibku sekarang. Tetapi aku akan bersikap lain. Aku akan
membunuhmu dengan caraku."
"Aku terima tantanganmu," berkata Mahisa Murti.
Mahisa Murti pun kemudian telah melepaskan orang itu.
Sementara Mahisa Pukat bersungut-sungut, "Kau hanya
memperpanjang waktu saja. Kenapa t idak kau cekik sekali
orang itu jika ia menolak tawaran yang paling lunak
kepadanya itu?" Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia benar-benar
telah memberikan kesempatan kepada lawannya untuk
mengambil senjatanya. "Tetapi ingat Ki Sanak," berkata Mahisa Murti, "y ang
kalah harus tunduk kepada y ang menang. Dibunuh atau tidak
dibunuh, itu sy aratku."
"Persetan dengan syaratmu," geram orang y ang telah
bersenjata itu, "aku sudah menggenggam senjataku kembali.
Aku tidak akan tunduk dengan syarat apapun juga. Aku bebas
berbuat apa saja sampai saat matiku."
"Kau memang gila," geram Mahisa Pukat, "mulutmu
pantas dikoyak." "Siapa berani melakukannya?" geram orang itu.
Mahisa Murti pun telah m elangkah mendekat. Dengan
suarabergetar ia berkata, "Jadi kau benar-benar tidak mau
mendengar sy aratku?"
"Aku beba s menentukan sikap. Aku tidak takut mati,"
berkata orang itu. "Baik," geram Mahisa Murti yang telah benar-benar
kehilangan kesabaran. Lalu katanya dengan suara berat,
"Sekarang bersiaplah."
Ketika orang itu mulai mengacukan senjatanya, maka
Mahisa Murti yang menjadi sangat marah itu justru telah
melemparkan pedangnya. Dengan sigapnya ia telah m eloncat
mengambil jarak dari lawannya.
Semua orang menjadi bertanya-tanya, apa yang akan
dilakukan oleh Mahisa Murti.
Ternyata Mahisa Murti y ang marah itu ingin
menunjukkan kepada lawannya tataran kemampuan ilmunya
yang sebenarnya. Karena itu maka ketika lawannya sedang
termangu-mangu, ia terkejut bukan buatan. Mahisa Murti
telah mengangkat tangannya. Tetapi tidak diarahkan kepada
tubuhnya. Seleret sinar seakan-akan telah m emancar dari telapak
tangannya m engarah ke sebuah bongkahan batu padas yang
besar sehingga batu padas itu telah menjadi pecah
berhamburan. Langkah Mahisa Murti itu telah mengejutkan orangorang
y ang ada di tempat itu. Mereka sama sekali tidak
mengira bahwa anak muda itu mampu melakukannya.
Demikian dahsyatnya, sehingga semua orang telah menjadi
gemetar. Selagi orang-orang itu menyaksikan hal itu dengan katakata
y ang bergetar berbicara yang satu dengan lainnya, maka
serangan Mahisa Murti pun telah sekali lagi menghantam batu
padas sehingga batu itu pun pecah berserakan.
Dengan demikian orang-orang itu pun menjadi gemetar.
Mereka sama sekali tidak menduga bahwa mereka telah
menyaksikan kemampuan seseorang yang luar biasa.
Tetapi mereka tidak dapat berbuat lagi. Mereka ternyata
sudah siap untuk memasuki tataran berikutnya jika
diperlukan. Orang yang berniat memiliki tanah dan air itu pun
terkejut bukan buatan. Apalagi ketika ia melihat kepingankepingan
batu padas yang menjadi remuk pecah berserakan.
Karena itu, m aka segala macam perkataan yang pernah
diucapkannya itu pun telah dilupakan. Ia sama sekali tidak
bertempur sampai mati. Peri stiwa y ang baru saja terjadi itu benar-benar telah
mengguncangkan dadanya y ang bagaikan berlapis tebal.
Betapapun keberanian membakar jantungnya, tetapi yang
dilakukan oleh Mahisa Murti itu memang mengejutkannya.
Dengan demikian maka orang itu m erasa dirinya sebenarnya
merupakan lawan y ang terlalu lemah bagi pengembara itu.
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba saja orang yang datang ingin menguasai tanah
itu benar-benar merasa diriny a tidak berday a. Ia mulai
membayangkan, apa jadiny a jika serangan anak muda itu
langsung diarahkan kepadanya. Tubuhnya pun tentu akan
hancur seperti batu-batu padas itu.
Karena itu, terpengaruh oleh kekuatan ilmu Mahisa
Murti, maka orang itu pun telah melemparkannya senjata pula
sambil berteriak, "Aku meny erah."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki
Buyut, Ki Demang dan para bebahu y ang lain pun telah
menarik nafas dalam-dalam pula. Dengan meny erahnya orang
itu, maka pusar dari persoalan memang telah dipecahkan di
hadapan beberapa orang saksi.
Namun ternyata orang-orang Kabuyutan itu t idak dapat,
melepaskan orang itu begitu saja.
Meskipun orang itu telah melemparkan senjatanya,
namun bagi orang -orang padukuhan, terutama yang ikut
mendapatkan air dari mata air di tengah-tengah tanah milik Ki
Sarpada, orang itu adalah orang yang harus disingkirkan.
Apalagi orang itu telah m empersiapkan satu cara y ang paling
keji untuk membinasakan Ki Sarpada dan sekelompok orangorang
yang siap mempertahankan tanah itu. Bahkan termasuk
Ki Demang dan Ki Buyut. Karena itu, m aka beberapa orang telah m engepungnya
dengan serta merta. "Bunuh orang itu," teriak seseorang.
Suara itu seperti api y ang menyentuh minyak. Karena
itu, maka dengan cepat m enjalar sehingga sejenak kemudian,
maka beberapa orangpun telah berteriak-teriak, "Bunuh.
Bunuh orang itu." Orang itu m enjadi bingung. Senjatanya sudah terlanjur
dilemparkannya. Sementara itu, orang-orang padukuhan itu
akan mencincangnya dengan penuh kebencian.
" Jangan, jangan," tiba-tiba ia berteriak.
Orang itu adalah orang y ang berani menghadapi segala
macam kekerasan. Orang y ang tidak pernah merasa gentar
dan orang y ang juga tidak pernah merasa takut. Mati
merupakan taruhan y ang sering dilakukannya untuk mencapai
tujuannya. Seandainya orang itu tidak dikejutkan oleh kemampuan
Mahisa Murti y ang sangat t inggi, maka orang itu tidak akan
meletakkan senjatanya sampai mati sekalipun. Namun ju stru
karena ia terkejut setelah melihat sesuatu yang tidak
diduganya, serta bayangan tubuhnya y ang hancur berkepingkeping,
m aka ia pun telah melemparkan senjatanya. Namun
ternyata, mati karena kekuatan ilmu anak muda itu masih jauh
lebih baik daripada harusmati dicincang oleh orang-orang
yang sedang marah itu. Namun ketika orang itu sudah sampai kepuncak
kecemasannya, maka terdengar suara Ki Buyut, "Cukup.
Jangan lakukan gejolak perasaan kalian atas orang itu.
Serahkan orang itu kepadaku."
"Tetapi ia sudah berniat untuk membunuh kita
semuanya," teriak seseorang.
"Tetapi hal itu belum pernah dilakukannya," jawab Ki
Buyut. "Sudah, meskipun baru di angan-angannya. Tidak
banyak berbeda dengan jika hal itu benar-benar di
lakukannya," teriak yang lain lagi.
"Dengar," tiba -tiba suara Ki Buyut lantang, "aku adalah
Buyut dari Kabuyutan ini. Kalian harus mendengar katakataku.
Jika tidak, maka aku tidak akan bertanggung jawab
atas apa yang terjadi di sini."
Orang-orang itu mulai berpikir. Ternyata Ki Buyut
benar-benar tidak membiarkan orang-orang itu bertindak
dengan cara mereka itu. Dalam pada itu, maka Mahisa Murti pun berteriak
lantang, "Jangan sentuh orang itu. Serahkan semuanya kepada
Ki Buyut. Jika aku membiarkannya terbunuh, maka aku akan
langsung membunuhnya dengan ilmuku. Ia tidak boleh begitu
mudahnya mati. Ia harus melihat kenyataan yang
dihadapinya. Ia harus bertanggung jawab atas perbuatannya.
Karena itu, jangan bunuh orang itu. Kematian adalah justru
menjadi harapannya untuk m enghindari pertangungjawaban
itu." Suara Mahisa Murti itu terasa menggelegar di dada
setiap orang. Karena itu, maka orang-orang padukuhan itu
pun telah berusaha menahan diri. Beberapa langkah mereka
surut menjauhi orang y ang tamak itu.
Ki Buyutlah yang kemudian berpaling kepada Mahisa
Murtidan berkata, "Terima kasih anak muda. Kau telah
melakukan sesuatu y ang luar biasa. Sepanjang hidupku aku
belum pernah melihat orang semuda Ki Sanak, mampu
melakukan pengeram-eram seperti itu."
"Maaf Ki Buyut. Bukan maksudku menunjukkan satu
permainan yang kasar di sini. Tetapi aku tidak mempunyai
cara lain untuk memecahkan per soalan y ang rumit ini.
Sekarang silahkan menangkap orang itu dan membawanya
sebagai tawanan. Di sini ada banyak saksi y ang dapat
memberikan keterangan tentang peristiwa yang baru saja
terjadi ini." "Aku akan membawanya dan kemudian
menyerahkannya kepada Sang Akuwu. Namun bagi Sang
Akuwu, kesalahan orang itu tentu tidak akan lebih besar dari
kesalahan seorang Bekel yang telah mempergunakan
kuasaannya untuk membantu dan bahkan m elakukan sendiri
kejahatan. Karena itu, maka Ki Bekelpun akan aku hadapkan
kepada Sang Akuwu atas perbuatannya y ang tercela, karena ia
telah menyalah gunakan kekuasaannya untuk membantu
orang itu merampas tanah yang sangat berharga dari orang
lain. Tanah y ang mengandung air di dalamnya, sehingga
merupakan tanah y ang bukan saja dapat menghidupi
lingkungannya sendiri, tetapi juga tanah di sekitarnya,"
berkata Ki Buyut kemudian.
Tidak seorang pun y ang berani melawan ketika Mahisa
Pukat dan Mahisa Semu m engikat beberapa orang yang telah
menjadi tawanan itu, y ang kemudian dibantu oleh beberapa
orang y ang lain. "T olong, bawa mereka ke rumahku," berkata Ki Buyut
kepada beberapa orang yang hampir saja m embunuh orang
itu. Ada bagian cerita yang hilang di s ini
Dengan sungguh-sungguh tabib itu berusaha untuk
mengobati Ki Sarpada. Ia telah mempergunakan obatnya yang
terbaik. Beberapa saat tabib itu m enunggu. Demikian pula Nyi
Sarpada, Wantilan dan orang-orang lain yang ada di rumah
itu. Termasuk Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu.
Hampir setiap orang berusaha menahan ketegangan
yang menghimpit jantungnya, sementara Ki Sarpada masih
sa ja diam di pembaringannya.
Tetapi wajahnya tidak lagi nampak terlalu pucat. Sedikit
demi sedikit darah bagaikan mengalir lagi di tubuhnya,
sehingga pernafasannya pun mulai menjadi wajar lagi.
Tabib itu menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia meraba
tangan Ki Sarpada, maka Ki Sarpada itu m embuka matanya.
Dengan senyumnya y ang masih nampak di bibirnya ia berkata,
"Tubuhku terasa semakin baik. Di mana Wantilan?"
Wantilan telah mendekat. Dengan jantung y ang
berdebaran ia berdesis, "Ya paman."
Ki Sarpada menarik nafas,namun nampaknya dadanya
masih terasa sakit. Nampaknya ia menahan perasaan sakit itu.
"Paman," desis Wantilan.
"Aku tidak apa -apa. Obat itu sangat baik bagiku,
sehingga tubuhku merasa lebih segar," berkata Ki Sarpada,
"tetapi bagaimanapun juga, segala sesuatunya tergantung
kepada Yang Maha Agung. Hidup kita sangat tergantung
kepada Ny a." "Tabib itu menjadi perantara untuk menyembuhkan
paman. Obatnya pun akan menjadi sarana kebaikan paman,"
berkata Wantilan. "Panggil bibimu," berkata Ki Sarpada.
Wantilan termangu-mangu sejenak. Tetapi ia pun
kemudian berpaling kepada bibiny a sambil berdesis, "Bibi.
Silahkan." "Bagaimana dengan pamanmu?" suara Ny i Sarpada
gemetar. Wantilan tidak menjawab. Sementara Nyi Sarpada
menjadi ragu -ragu untuk mendekat.
Tetapi ketika terdengar suara Ki Sarpada memanggilnya,
maka Nyi Sarpada pun telah melangkah mendekat. Ny i
Sarpada tidak duduk di bibir amben pembaringan suaminya,
tetapi ia berjongkok di sisi pembaringannya itu.
"Kakang," suaranya dalam sekali.
"Aku tidak apa-apa," berkata Ki Sarpada, " obat itu
membuat tubuhku terasa semakin segar. Darahku rasarasanya
sudah mengalir lagi ke seluruh bagian tubuhku
sampai ke urat nadi y ang sekecil-kecilnya."
"Syukurlah kakang," berkata Ny i Sarpada, "Kakang akan
segera sembuh." "Ya, aku akan segera sembuh. Sehingga aku akan dapat
menempuh perjalanan y ang sangat jauh ini," desis Ki Sarpada.
"Kakang," Ny i Sarpada hampir menangis. Ia memang
melihat wajah suaminya tidak lagi nampak seputih kapas.
Darahnya memang mulai menghangatkan tubuhnya. Tetapi
suaminya tidak menjadi bertambah baik. Ra sa-rasanya ia
menjadi semakin lemah dan kehilangan daya tahan sama
sekali. Ki Sarpada tidak menjawab. Karena itu, maka Nyi
Sarpada itu hampir berteriak, "Kiai, tolonglah suamiku Kiai."
Tabib itu melangkah mendekat. Ia tidak mengerti apa
yang harus dilakukannya. Obat yang terbaiknya sudah
dicairkan dan diminumkannya di sela-sela bibir Ki Sarpada.
Wajahnya yang pucat telah m enjadi kemerah-merahan lagi.
Darahnya mulai m engalir teratur, sementara jantungnya pun
berdenyut dengan wajar."
Tetapi nampaknya keadaan Ki Sarpada menjadi semakin
memburuk. Sekali-sekali matanya terpejam untuk beberapa
saat lamanya. "Apakah gejolak obatku yang mulai bekerja di dalam
tubuhnya belum selesai sama sekali," berkata tabib itu kepada
diri sendiri. Tetapi sebenarnyalah keadaan Ki Sarpada menjadi
semakin mencemaskan. Orang-orang yang ada di sekitarnya hanya dapat
menunggu kemurahan Yang Maha Agung. Mereka berdoa
kepada Nya, agar Ki Sarpada mendapat kurnia kesembuhan
daripada-Ny a. Namun segalanya memang sudah ditentukan. Sarpada
itu telah berdesis, "Wantilan. Kaulah pewaris tanah dan mata
air itu. Orang-orang y ang ada di sini menjadi saksi. Karena itu,
maka segala sesuatunya terserah kepadamu. Aku hanya
menitipkan bibimu." "Paman, paman," Wantilan telah berjongkok pula disisi
pembaringan sambil berusaha untuk mengguncang kaki
pamannya. Tetapi Ki Sarpada yang masih nampak tersenyum itu
berkata, " Ikhlaskan saja aku, agar perjalananku menghadap
Yang Maha Agung tidak tertahan-tahan di perjalanan," berkata
Ki Sarpada. Lalu tangannya perlahan-lahan bergerak m eraba
rambut isterinya, "Baik -baiklah menjaga diri Nyai. Aku
titipkan kau kepada kemenakanku. Ia adalah satu-satunya
orang y ang berhak atas tanah dan mata air itu."
"Kakang," Ny i Sarpada m enjerit ketika ia melihat mata
suaminya tertutup. Senyum itu masih ada dibibirnya. Namun
nafasnya bagaikan telah terhenti dengan serta merta.
"Kiai, bagaimana dengan paman Kiai?" bertanya
Wantilan. Tabib itu menggeleng lemah sambil berdesis, "Tidak ada
kekuatan yang mampu mencegah perjalanannya."
Wajah Wantilan menjadi semakin tegang. Ia sama sekali
tidak mengira bahwa ia datang pada saat y ang buram. Namun
seandainya ia tidak datang, maka kemungkinan lain akan
terjadi atas tanah dan mata air itu.
Beberapa saat suasana menjadi tegang. Namun
kemudian suasana itu telah dipecahkan oleh jerit Nyi Sarpada
ketika ia y akin bahwa suaminya telah meninggal.
Suasana memang menjadi sedikit kacau. Beberapa
orang-pun telah bergerak mendekat untuk mey akinkan,
apakah Ki Sarpada memang sudah meninggal.
Ternyata Ki Sarpada memang telah meninggal justru
pada saat orang -orang lain menyangka keadaannya menjadi
berangsur baik. " Ia telah memaksa diri," berkata Wantilan, "seharusnya
ia tidak pergi ke mata air itu."
Tetapi tabib itu berkata, "Hanya lantaran. Tidak
seorang-pun yang tahu yang akan terjadi. Apalagi menyangkut
umur seseorang." Wantilan mengangguk-angguk. Namun kemudian ia
bergeser mendekati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang
berdiri termangu-mangu, "Bagaimana dengan aku.
Seharusnya aku ikut bersama kalian. Tetapi paman meninggal
saat aku siap untuk berangkat."
"Kau mempunyai kewajiban y ang lebih penting
daripada menjadi seorang pengembara," berkata Mahisa
Murti. "Aku tahu, kalian bukan pengembara kebanyakan.
Bukankah seperti y ang kau katakan, kau akan kembali ke
padukuhanmu" Aku sebenarnya ingin berguru kepada kalian.
Jika aku harus tinggal, maka rencana itu tentu akan gagal."
" Jangan kau ri saukan sekarang," berkata Mahisa Murti,
"yang penting kau selenggarakan dahulu pamanmu."
Wantilan menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu
tetangga-tetangganya telah menjadi sibuk karena kematian Ki
Sarpada itu. Bahkan seorang di antara m ereka telah berpacu dengan
seekor kuda y ang meskipun seekor kuda yang kecil namun
lebih cepat dari sekedar berlari-lari, menuju ke rumah Ki
Buyut dan Ki Demang. Tetangga-tetangga Ki Sarpada y ang berada di rumah Ki
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Buyut, demikian mendengar kematian Ki Sarpada dengan
tergesa -gesa akan m eninggalkan rumah Ki Buyut. Namun Ki
Buyut telah m enahanya dan berkata, "Tunggu sebentar. Aku
juga akan pergi ke rumah Ki Sarpada. Tetapi kita selesaikan
dahulu orang-orang itu. Karena di antara mereka juga terdapat
orang-orang y ang terbunuh di peperangan."
"Sampai kapan Ki Buyut selesai?" bertanya salah
seorang. "Baiklah. Biarlah Ki Demang mengurusiny a di sini. Aku
akan pergi ke rumah Ki Sarpada," berkata Ki Buyut.
Sebenarnyalah bahwa Ki Buyut telah pergi ke rumah Ki
Sarpada bersama dengan orang -orang padukuhan y ang telah
ikut ke rumah Ki Buyut untuk mengurus para tawanan.
Ki Buyut tahu, bahwa Ki Sarpada tidak mempunyai
keluarga lain kecuali Nyi Sarpada sendiri, sehingga ia
memerlukan kawan untuk berbincang. Kemanakannya yang
baru datang itu pun tentu merasa agak canggung untuk
mengurus kematian pamannya.
Dengan demikian, maka Ki Buyut dan para
tetangganyalah yang telah meny elenggarakan Ki Sarpada yang
ternyata telah meniggal justru saat ia merasa persoalannya
telah selesai. Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Mahisa
Amping pun telah tertahan lagi. Mereka tidak sampai hati
meninggalkan Wantilan dalam keadaan y ang demikian.
Karena itu, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan adikadik
angkat mereka telah ikut membantu m eny elenggarakan
Ki Sarpada sampai selesai, meskipun dengan demikian mereka
telah menunda perjalanan mereka dengan tiga hari lagi.
Pa da hari yang ketiga, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat
dan adik-adik seperguruannya telah siap untuk melanjutkan
perjalanan mereka. Namun Wantilan telah berusaha untuk
menahannya. "Aku sebenarnya ingin ikut bersama kalian," berkata
Wantilan. " Jangan," berkata Mahisa Murti, "kau telah mendapat
peny erahan dari pamanmu. Bukan sekedar tanah dan mata air
itu, tetapi juga bibimu. Kau harus mengurus bibimu, setidaktidaknya
untuk beberapa lama."
"Tetapi dengan tetap tinggal di sini, maka aku tidak
akan mendapatkan ilmu itu," jawab Wantilan, "aku akan tetap
menjadi orang dungu seperti sekarang ini, sehingga akan
mudah menjadi sasaran ketamakan orang lain."
" Jika kau pergi, bagaimana dengan bibimu?" bertanya
Mahisa Pukat. "Aku akan berbicara dengan Ki Buyut," jawab Wantilan,
"mudah-mudahan Ki Buyut dapat memberikan petunjuk
bagiku." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
mempersilahkannya. Jika Ny i Sarpada itu memang ada yang
bersedia merawat di usia tuanya, maka hal itu tentu akan
menjadi lebih baik. Baik bagi bibinya itu sendiri, maupun bagi
Wantilan y ang ingin meninggalkan padukuhan itu untuk
waktu yang tidak terbatas.
Ketika hal itu disampaikan kepada Ki Buyut, maka Ki
Buyut memang terkejut. Dengan nada tinggi ia berkata, "Tidak
ada orang y ang lebih baik merawat Nyi Sarpada serta
mengurus tanah dan mata air itu kecuali kau sendiri
Wantilan." Wantilan menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih
berusaha untuk menjelaskan, "Ki Buyut. Aku selama ini
merasa bahwa aku adalah orang y ang sangat dungu. Aku ingin
menambah pengetahuanku tidak saja di bidang olah
kanuragan. Tetapi aku tahu, bahwa jika aku ikut bersama
anak-anak muda y ang mengaku pengembara itu, maka
pengetahuanku akan meningkat. Jika kelak aku datang lagi ke
Kabuyutan ini, mudah-mudahan aku menjadi lebih berarti
dari sekarang. Bukan saja bagi bibi, tetapi juga bagi tanah dan
mata air itu. Lebih-lebih lagi, jika mungkin bagi kehidupan di
Kabuyutan ini." "Tetapi lalu bagaimana dengan Nyi Sarpada jika ia kau
tinggalkan?" bertanya Ki Buyut.
"Bagaimana jika aku tidak secara kebetulan singgah di
sini?" bertanya Wantilan.
" Bibimu tidak dapat mengharapmu tinggal. Tetapi ia
akan mengalami satu kehidupan y ang pahit. Gersang sampai
saat terakhirnya, karena bibimu juga sudah m enjadi semakin
tua," berkata Ki Buyut."
"Ki Buyut," berkata Wantilan, "kita tidak tahu, kapan
saat -saat akhir dari hidup seseorang. Tetapi menurut ujud
kelahirannya, bibi belum terlalu tua. Ia akan dapat bertahan
hidup untuk beberapa tahun lagi. Aku harap aku akan kembali
sebelum saat itu tiba. Kecuali bibi memang dipanggil lebih
cepat dari umurnya, sebagaimana paman."
Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Bagiamanapun juga
sulit baginya untuk mengerti jalan pikiran Wantilan. Karena
itu maka ia pun berkata, "Wantilan. Seharusnya kau tidak
sampai hati meninggalkan bibimu dalam keadaan seperti itu."
Wantilan menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian
katanya, "Ki Buyut. Bagaimana jika aku mohon pertolongan Ki
Buyut agar Ki Buyut dapat menunjuk seseorang untuk
membantu bibi. Selama ini ada seorang tetangga y ang bekerja
di rumah paman sehingga kehadirannya sangat m eringankan
kerja paman sehari -hari. Jika Ki Buyut sependapat, maka bibi
akan dapat aku titipkan pada keluarga orang itu. Namun aku
mohon Ki Buyut tidak berkeberatan untuk m engawasi tanah
dan mata air itu, sehingga akan tetap dapat dipergunakan bagi
banyak orang seperti saat paman Sarpada masih ada."
"Satu kepercayaan yang berat bagiku Wantilan. Tetapi
segala sesuatunya tergantung kepada bibimu. Aku baru akan
menyanggupi perm intaanmu jika bibimu meny etujuinya. Jika
bibimu mempunyai pendapat lain, maka kita harus
membicarakannya lebih jauh," jawab Ki Buyut.
Wantilan mengangguk. Katanya, "Aku sependapat Ki
Buyut. Aku akan berbicara dengan bibi. Aku mohon Ki Buyut
dapat hadir dalam pembicaraan itu, atu aku dan bibi akan
bersama-sama menghadap Ki Buyut."
"Aku akan datang ke rumah Ny i Sarpada," berkata Ki
Buyut, "aku juga akan berbicara dengan orang y ang kau sebutsebut
membantu di rumah Ki Sarpada. Apakah orang itu
benar-benar dapat dipercaya atau tidak."
"Meskipun aku baru saja mengenalnya Ki Buyut, tetapi
aku percaya kepadanya," jawab Wantilan.
"Besok aku akan datang ke rumah Nyi Sarpada sebelum
tengah hari," berkata Ki Buyut.
"Terima ka sih Ki Buyut," Wantilan berhenti sejenak.
Lalu katanya, "seandainya di padukuhan kami, Ki Bekel tidak
terlibat, maka aku tidak akan terlalu menggangu Ki Buyut
sekarang ini." "Aku juga akan menyelesaikan persoalan Ki Bekel di
padukuhan itu. Ia tidak mungkin memangku jabatannya
kembali untuk selama-lamanya. Keturunannya pun sulit untuk
mendapat kepercayaan kembali. Karena itu, harus dicari orang
lain y ang mampu menduduki jabatan itu," berkata Ki Buyut.
"Hal itu dapat ditanyakan kepada para penghuni
padukuhan. Langsung atau tidak langsung. Mereka akan dapat
menunjuk seseorang yang menurut mereka paling baik,
meskipun y ang paling baik menurut mereka itu pun dapat
keliru," jawab Wantilan, "namun kekeliruan itu akan
dipertanggungjawabkan oleh semua orang y ang telah
memilihnya." Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, "Besok aku juga
akan mulai merintis hal itu. Mudah-mudahan tidak akan
banyak hambatan." Dengan demikian maka Wantilan pun telah minta diri.
Iaingin berbicara lebih dahulu dengan bibiny a sebelum besok
Ki Buyut datang ke rumah bibinya sehingga hal itu tentu akan
sangat mengejutkannya. Ketika Wantilan sampai di rumah bibinya, maka
dilihatnya anak-anak muda yang mengaku pengembara itu
telah siap untuk berangkat. Mereka tinggal menunggunya
datang dari rumah Ki Buyut.
Tetapi dengan sungguh-sungguh Wantilan minta mereka
untuk menunda keberangkatan mereka.
"Besok Ki Buyut akan datang kemari. Pergi atau tidak
pergi besok aku akan dapat mengambil keputusan. Karena itu,
aku mohon kalian tinggal sampai besok sebelum tengah hari,"
minta Wantilan. Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
rendah ia berkata, "Sebenarnya aku tidak ingin perjalananku
tertunda lagi." "Aku tidak berani minta Ki Buyut datang hari ini," jawab
Wantilan. Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Dengan raguragu
ia berpaling kepada Mahisa Pukat. Ternyata Mahisa
Pukat juga menjadi ragu-ragu. Meskipun demikian, Mahisa
Pukat itu akhirnya berkata, "Apa boleh buat."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun
kemudian berkata, "Baiklah Paman Wantilan. Aku akan
menunda keberangkatanku sampai besok. Tetapi sebenarnya
aku pun berpendapat, bahwa bibimu memerlukan kau."
Wantilan m emandang Mahisa Murti dengan sor ot mata
yang aneh. Terasa pada sor ot matanya itu, jantungnya yang
bergejolak. Mahisa Murti pun dengan serta merta berkata, "Paman
Wantilan. Jangan salah paham. Aku tidak bermaksud menolak
keikutsertaanmu ke padepokan kami. Sudah aku katakan,
bahwakami akan menerima kehadiranmu dengan senang hati.
Seandainya tidak ada peristiwa ini, m aka kita sudah berjalan
semakin jauh, mendekati padepokan kami. Tetapi peri stiwa ini
terjadi dengan tiba-tiba tanpa kita perhitungkan lebih dahulu."
"Tetapi aku akan berbicara dengan Ki Buyut dan bibi,"
sahut Wantilan. "Paman Wantilan memang harus b erbicara dengan bibi
paman itu," berkata Mahisa Pukat kemudian, "kami m emang
merasa agak keberatan, jika bibi paman itu tidak
membenarkan paman pergi."
Wantilan m engangguk-angguk. Dengan nada rendah ia
kemudian berkata, "Terima ka sih atas kesediaan kalian
menunda perjalanan kalian."
Mahisa Murti, Mahisa Puka, Mahisa Semu dan Mahisa
Amping y ang sudah siap untuk berangkat, harus menunda keberangkatan
mereka. Namun mereka memang t idak dapat
berbuat lain. Tetapi hari itu rasa-rasanya memang terlalu panjang.
Matahari terasa begitu lambat mengarungi langit. Bahkan di
tengah hari, matahari seakan-akan hinggap di puncak langit
dan tidak bergerak lagi. Namun akhirnya hari itu pun sampai pada ujungnya.
Senja-pun turun dan malam akhirnya meny elimuti padukuhan
itu. Tetapi malamlah yang kemudian terasa semakin lamban.
Ra sa -rasanya waktu sama sekali tidak bergerak. Sementara itu
Wantilan rasa-rasanya tidak dapat memejamkan matanya
sama sekali. Dalam pada itu beberapa orang telah merayap
mendekati rumah Nyi Sarpada. Beberapa orang yang berwajah
garang. Seorang di antara mereka berkata, "Masalahnya bukan
lagi upah. Tetapi harga diri. Kita bunuh orang y ang ada di
rumah Ny i Sarpada, baru kita beba skan kawan-kawan kita
yang tertawan dan disimpan di rumah Ki Buyut. Dengan
demikian, maka untuk selanjutnya kita tidak akan kehilangan
kepercayaan. Orang-orang y ang telah mengenal kita dengan
baik seperti orang y ang akan memiliki tanah itu, akan tetap
yakin bahwa kita dapat menyelesaikan semua per soalan yang
telah kita sanggupi."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Seorang y ang
bertubuh agak gemuk berkata, "Kalau kita lumatkan m ereka,
baru Ki Buyut menyadari, bahwa sebaiknya ia tidak
menentang kehendak kita. Gerombolan Sarpa Wereng harus
tetap dihormati di sini. Ki Sarpada dan orang-orang yang
melindunginya telah mencoreng arang di wajah kita. Kita
memang tidak menyangka bahwa sepuluh orang dari
gerombolan Sarpa Wereng tidak dapat menyelesaikan
persoalan tanah dan mata air itu. Justru ada orang yang lolos
dan mampu menjumpai Ki Demang dan bahkan Ki Buyut yang
bersama-sama tetangga-tetangga Ki Sarpada telah berani
melawan kita." "Semua harus mati. Baru kita akan dapat m emulihkan
nama besar kita. Beberapa orang anggauta kita telah terbunuh
di hutan kecil tempat mata air yang diperebutkan itu dengan
cara y ang sangat memalukan," berkata orang yang nampaknya
pemimpin dari ger ombolan Sarpa Wereng y ang memang
bernama Sarpa Wereng. Lalu katanya, "Karena itu, kita harus
membunuh mereka semua."
Dengan diam-diam seorang demi seorang dari
gerombolan Sarpa Wereng itu telah meny elinap memasuki
halaman rumah Nyi Sarpada. Dengan berhati-hati pula
mereka telah mendekati rumah itu dari sisi. Mereka memasuki
longkangan lewat seketheng.
Namun ternyata bahwa mereka telah mendekati bilik
Wantilan y ang tidak dapat memejamkan matanya sama sekali.
Karena itulah, m aka Wantilan y ang berbaring diam itu
telah mendengar desir lembut diluar dinding bilikny a.
Ketika Wantilan mendengar suara berbisik, maka ia
sa dar, ada beberapa orang berada di luar.
Untuk beberapa saat Wantilan hanya berdiam diri saja.
Lampu minyak y ang kecil dibiliknya berkerdipan disentuh
angin y ang menyusup dari lubang-lubang dinding bambu.
Karena Wantilan berusaha untuk tetap diam, maka
orang-orang yang berada diluar dinding itu menyangka bahwa
isi rumah itu telah tertidur.
"Kita lihat disisi y ang lain," terdengar bisik lembut y ang
hampir tidak dapat didengar. Namun dalam keseny apan
malam, Wantilan masih sempat mendengar y ang meskipun
tidak jelas, tetapi ia dapat menangkap maksudnya.
Sementara itu, Wantilan mendengar langkah-langkah
perlahan sekali meninggalkan tempatnya dan bergeser ke
belakang. Nampaknya orang-orang itu akan mengelilingi
rumah lewat halaman belakang.
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kesempatan itu telah dipergunakan oleh Wantilan untuk
dengan sangat berhati-hati bangkit dari pembaringannya,
sehingga tidak terdengar gerit pembaringannya itu. Sambil
berjingkat ia telah pergi ke bilik y ang lain, bilik yang
diperuntukkan bagi tamu-tamunya sepeninggal Ki Sarpada.
Kedua bilik itu telah dipisahkan oleh bilik tengah yang
dipergunakan oleh Nyi Sarpada y ang masih saja berkabung
sepeninggal suaminya. Dengan sangat berhati-hati Wantilan membuka pintu
yang tidak diselarak. Namun Wantilan tidak perlu
membangunkan anak-anak muda itu. Demikian pintu itu
terbuka, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah duduk
meskipun masih di atas pembaringan.
Dengan isyarat Wantilan memberitahukan bahwa ada
orang diluar dinding biliknya.
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk,
maka Wantilan pun telah bergeser kembali ke dalam biliknya.
Ia m asihcuriga karena m ungkin masih ada di antara orangorang
itu y ang berada di sebelah biliknya.
Namun ternyata Wantilan tidak lagi m endengar suara
betapa pun lembutnya di luar dinding biliknya. Karena itu,
maka ia memperhitungkan bahwa orang-orang itu sudah
bergeser ke sisi y ang lain.
Sebenarnyalah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang
sudah terbangun oleh derit pintu biliknya, telah berusaha
untuk mendengarkan suara di luar biliknya. Sebenarnyalah
beberapa saat kemudian, mereka mendengar langkah kaki dan
kemudian desir perlahan -lahan sekali.
"Sudah tidur semuanya," terdengar lamat-lamat suara
seseorang y ang berbisik.
"Tunggu, tunggu sejenak," sahut y ang lain tertahan,
namun dapat ditangkap oleh t elinga Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Sejenak tidak terdengar suara apapun lagi. Agaknya
orang-orang y ang diluar bilik itu pun menunggu dengan
sangat berhati-hati. Dalam keadaan y ang demikian Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat pun berdiam diri pula. Karena itu, maka orangorang
yang berada diluar bilik itu mengira bahwa Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat memang sudah tertidur pula.
Beberapa saat kemudian, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat mendengar lagi suara berbisik, "Marilah. Kita
masuki rumah ini dengan serta merta dan membunuh semua
orang y ang ada di dalam tanpa belas kasihan. Jika kita masih
sempat berpikir sekejap saja tentang keragu-raguan kita, maka
kita tidak akan berani berbuat sesuatu atas mereka y ang telah
menghancurkan keluarga Sarpa Wereng. Karena itu, jangan
memikirkan siapa yang kalian hadapi. Kalian harus
membunuhnya." Tidak ada y ang menjawab. Sementara itu terdengar
suaralagi, "Kita pecahkan pintu butulan sebelah."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah m endengar desir
langkah beberapa orang yang bergeser menuju ke pintu
butulan. Dengan demikian maka kedua orang itu pun segera
bersiap. Mereka tidak boleh terlambat, karena orang-orang
yang datang itu pun telah siap untuk membunuh siapa saja
yang mereka jumpai di rumah itu.
Sebelum orang-orang itu m erusak pintu butulan, maka
kedua orang itu telah bersiap di ruang dalam. Sementara
Mahisa Semu yang telah dibangunkan pula perlahan-lahan,
telah bersiap dengan pedangnya.
Agaknya Wantilan telah bersiap-siap pula didalam
biliknya, sehingga ketika ia mendengar langkah di bilik Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat, maka Wantilan pun telah berdiri di
pintu biliknya pula. Orang-orang y ang di luar memang m endengar langkah
orang di dalam rumah itu. Tetapi mereka sudah berada di
muka pintu. Karena itu, maka justru mereka telah
mempercepat usaha mereka membuka pintu butulan itu.
Sejenak kemudian terdengar pintu butulan itu berderak
keras. Oleh pukulan tangan beberapa orang, ternyata pintu itu
telah pecah berkeping-keping.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang surut
selangkah. Keduanya dengan cepat dapat m enilai, bahwa ada
di antara orang-orang y ang m emecah pintu itu seorang atau
dua orang y ang berilmu tinggi.
"Siapa kalian Ki Sanak?" dengan geram Mahisa Murti
bertanya. Tetapi orang-orang y ang memasuki rumah itu telah
menerima perintah untuk membunuh setiap orang tanpa
kesempatan untuk berpikir. Karena itu, maka tanpa menunggu
lagi, dua orang telah berlari dengan pedang terjulur lurus
mengarah ke dada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Serangan itu telah m embuat Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat marah sekali. Dua orang y ang dengan serta merta
berusaha membunuh mereka tanpa diketahui lebih dahulu
apakah mereka pantas untuk dibunuh atau tidak dalam
hubungannya dengan gerombolan y ang datang itu.
Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
telah melawannya dengan tidak tanggung-tanggung. Sambil
berdesis Mahisa Murti bergeser menghindari ujung pedang
lawannya, "Singkarkan saja orang gila ini."
Mahisa Pukat memang meloncat selangkah surut.
Namun isyarat saudaranya itu telah dijadikan keputusan
niatnya. Karena itu, maka ia pun telah mengambil sikap yang
pasti. Ternyata kedua orang y ang meny erang Mahisa Pukat
dan Mahisa Murti itu sama sekali tidak mengenai sa sarannya.
Bahkan sambil bergeser menghindar, Mahisa Pukat dan
Mahisa Murti itu telah meny erang kembali. Serangan dua
orang yang sedang marah, sementara keduanya memiliki ilmu
yang tinggi. Karena itu, ketika sisi telapak tangan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat mengenai tubuh kedua orang yang m eny erang
mereka dengan pedang itu, maka keduanya sama sekali tidak
mampu bertahan lagi. Sisi telapak tangan Mahisa Murti ternyata telah
mematahkan tulang leher orang yang meny erangnya,
sementara tangan Mahisa Pukat yang masuk ke bagian rusuk
lawannya itu telah mematahkan beberapa tulang rusuknya dan
sekaligus merontokkan isi dadanya.
Dengan demikian maka kedua orang itu pun telah
terdorong beberapa langkah, terbanting jatuh dan selanjutnya
tidak bangkit kembali. Pemimpin dari gerombolan yang menyebut dirinya
Sarpa Wereng itu terkejut. Mereka tidak mengira bahwa
demikianmudahnya kedua orangnya itu terbunuh. Karena itu,
maka ia pun telah meneriakkan aba-aba, "Bunuh orang-orang
itu. Bakar rumah ini dengan segala isiny a."
"Gila. Kalian telah gila. Kenapa kalian m elakukan hal
itu?" bertanya Wantilan dengan nada tinggi.
"Persetan," geram pimpinan gerombolan itu, "cepat,
bakar rumah ini. Kita harus mencegah m ereka keluar. Jaga
pintu butulan yang lain dan pintu pringgitan."
Ternyata ger ombolan itu cukup banyak untuk
melakukan perintah pemimpinnya. Terdengar derap kaki
orang berlari-lari berputaran. Ada y ang menuju ke butulan
dan ada y ang menuju ke pringgitan.
Sementara itu pemimpin ger ombolan itu berkata, "Nah,
sa dari akan keadaan kalian. Rumah ini akan aku bakar. Kalian
tidak akan dapat berbuat apa-apa. Semua pintu telah dijaga.
Kal ian akan mati di dalam api, atau kalian akan mati diujung
senjata orang-orangku demikian kalian keluar dari pintu yang
manapun juga." Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menunggu
semua itu terjadi. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun berkata
lantang, "Bagus. Kita akan bertempur mati-matian. Jika kalian
bersungguh-sungguh akan membunuh kami, maka kami akan
membunuh kalian lebih dahulu."
"Cukup," teriak pemimpin itu. Dengan suara lantang ia
pun berteriak pula keras-keras, "cepat, bakar rumah ini
sekarang." Mahisa Murti pun berkata lantang pula, "Wantilan.
Selamatkan bibimu. Aku akan meny elesaikan orang-orang
ini." Namun sementara itu, api sudah menyala dari bagian
belakang rumah itu. Dengan cepat menjalar sampai ke atas."
Wantilan yang akan memasuki bilik bibinya hampir saja
justru melanggarnya. Bibinya y ang mendengar hiruk pikuk itu
puntelah bergegas keluar dari biliknya.
" Bibi," berkata Wantilan, "marilah. Kita berhadapan
dengan sekelompok orang y ang akan menghancurkan kita."
"Kenapa dan siapakah mereka?" bertanya bibi
Wantilanitu. "Aku belum tahu, bibi," jawab Wantilan, "marilah. Kita
tidak mempunyai waktu."
"Bawa keluar. Ikuti kami," berkata Mahisa Murti.
Kemudian katanya kepada Mahisa Semu, "bantu Wantilan.
Lindungi mereka." Wantilan pun kemudian telah menggandeng bibiny a
keluar dari ruang dalam. T etapi mereka tidak dapat berjalan
terus. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih harus
membersihkan jalan yang akan mereka lewati.
Terdengar pemimpin ger ombolan itu tertawa. Sambil
melangkah keluar dari rumah itu ia berkata, "Kalian akan mati
di dalam rumah itu. Kalian akan menjadi abu dan kalian tidak
akan dapat dikenali lagi."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih termangu-mangu
sejenak. Sementara Mahisa Semu dengan pedangnya berusaha
melindungi bibi Wantilan. Namun Mahisa Semu masih harus
juga mengurus Mahisa Amping.
Tetapi Mahisa Amping cukup lincah untuk mengurus
dirinya sendiri. Selangkah demi selangkah Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat berjalan ke pintu. Sementara itu api berkobar semakin
besar dibagian belakang dan mulai menjalar ke bagian tengah.
" Jika kalian masih tetap di pintu, maka kalian akan
lebih cepat mati daripada kecepatan api yang membakar
rumah ini," berkata Mahisa Pukat.
Tetapi orang-orang yang menjaga pintu itu ternyata
tidak mau memberi kesempatan. Mereka tetap berdiri di pintu
dengan senjata terhunus, sementara pemimpinnya telah
berada di halaman samping sambil menyaksikan api yang
telah berkobar semakin besar.
Kemarahan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m emang
tidak tertahan lagi. Namun Mahisa Pukat lah y ang telah
bertindak l ebih dahulu. Dengan memusatkan nalar dan budi,
maka Mahisa Pukat telah mengetrapkan ilmunya. Sejenak
kemudian, maka ia pun telah menghentakkan tangannya
dengan telapak tangan terbuka ke arah orang-orang yang
berdiri di pintu dengan senjata telanjang dan teracu ke
arahnya. Akibatnya memang luar biasa. Seleret sinar bagaikan
meloncat dari telapak tangan Mahisa Pukat y ang terbuka
meluncur dan m enyambar orang-orang yang berdiri di muka
pintu itu. Dengan hentakkan y ang keras, seakan-akan telah terjadi
ledakkan yang telah m elemparkan orang-orang itu keluar dan
jatuh berguling di halaman samping.
Tiga orang di antara mereka ternyata tidak mampu lagi
untuk bangun. Seorang masih sempat bangkit dan berlari
dengan kaki timpang, sedangkan seorang lagi harus
merangkak menepi menjauhi pintu yang seakan-akan telah
menghancurkannya itu. Mematahkan tulang-tulangnya dan
mengoy ak kulitnya. Akibat itu benar-benar tidak pernah dibayangkan oleh
gerombolan Sarpa Wereng itu. Mereka sama sekali tidak
mengerti apa yang telah terjadi. Namun dalam pada itu,
Mahisa Pukat, Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa
Amping telah keluar dari pintu y ang telah ditinggalkan oleh
orang-orang yang menjaganya dengan senjata teracu. Di
belakang mereka adalah Wantilan yang menggandeng Ny i
Sarpada. Demikian mereka keluar dan menjauhi pintu, maka
apipun telah mulai menjalar ke bangunan bagian tengah.
Bagian-bagian y ang terbuat dari bambu pun mulai meledakledak
dan melemparkan api ke segala arah, mempercepat
menjalarnya sampai ke ujung-ujung rumah.
Sejenak kemudian, maka bangunan y ang kokoh itu,
meskipun bukan bangunan y ang terlalu baik, telah menjadi
bukit api y ang menggapai-gapai langit.
Nyi Sarpada y ang m elihat api yang menelan rumahnya
itu hanya dapat mengusap dadanya. Air matanya sudah tidak
lagi keluar dari pelupuknya.
" Jangan hiraukan lagi bibi," desis Wantilan.
Adalah diluar dugaannya ketika ia mendengar suara
bibinya y ang tidak gemetar, "Aku tidak apa-apa Wantilan."
Wantilan lah y ang justru terdiam sejenak. Ketika ia
memandangi wajah bibinya, maka nampak wajah itu mengeras
bagaikan batu-batu padas yang tidak lagi dapat lekang oleh
hujan panas. Tetapi Nyi Sarpada itu masih berdesis, " Ia dapat
membakar rumahku. Tetapi mereka tidak akan dapat
membakar mata air itu."
"Ya bibi," desis Wantilan.
Sementara itu, pemimpin gerombolan Sarpa Wereng itu
masih belum puas meskipun api telah membakar semua
bagian rumah Ny i Sarpada. Meskipun ia melihat lidah api itu
menjilat awan yang mengalir didor ong angin malam.
Karena itu, maka ia pun berteriak dengan penuh
dendam, apalagi beberapa orang kawannya telah terbunuh
pula, "Bunuh semua orang."
Tetapi beberapa orang pengikutnya merasa ragu. Bahkan
seorang di antara mereka berbisik, "Orang itu mempunyai
ilmu iblis. Tiga orang kawan kita tidak sempat bangkit lagi
tanpa disentuhnya." " Ilmu sihir. Jangan hiraukan. Ketiga orang kawan kita
itu tidak apa-apa. Mereka hanya merasa seakan-akan mereka
mati atau pingsan. Bangunkan mereka dan perintahkan
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka untuk bertempur," geram pemimpin gerombolan itu.
Beberapa orang merasa ragu-ragu. Mahisa Murti dan
saudara-saudara angkatnya, termasuk Wantilan dan Ny i
Sarpada telah menjauhi rumahnya yang telah menjadi
seonggok api. "Lihat dan bangunkan kawan-kawanmu y ang dungu
itu," perintah pemimpin gerombolan itu.
Beberapa orang dengan sangat berhati-hati telah
melangkah m endekati ketiga orang kawannya y ang terbaring
diam. Ketika mereka memutar tubuh itu dan
menelentangkannya, m aka mereka melihat bahwa tubuh itu
seakan-akan menjadi hangus.
0ooo0dw0oo0 (Bersambung ke Jilid 77 Conv ert/Pr oofing: Ki Raharga
Rechecking/Editing: Ki Arema
Pdf ebook : Dan HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 77 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari
/ Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 077 "MEREKA benar-benar mati," desis salah seorang
kawannya. Pemimpin gerombolan itu menjadi tegang. Sementara
Mahisa Murti berkata, "Meny erahlah kalian. Kalian akan
menjadi tawanan kami."
"Persetan," geram pemimpin gerombolan itu, "kami
akan membunuh kalian."
"Siapa yang tidak mau mendengarkan perintah kami,
akan mengalami nasib seperti ketiga orang itu atau kedua
orang lainnya yang agaknya kini telah menjadi abu di dalam
api itu," geram Mahisa Pukat.
Pemimpin gerombolan itu memang menjadi ragu-ragu.
Tetapi ternyata bahwa ia tidak mudah untuk meny erah
menghadapi keadaan. Karena itu, maka ia pun telah
memberikan isy arat kepada seluruh pengikutnya untuk
berkumpul. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyadari apa y ang
akan terjadi. Namun Mahisa Murti masih memperingatkan,
"Semakin banyak orang di sini, maka semakin banyak orang
yang akan mati." Pemimpin gerombolan itu tidak menjawab. Sementara
itu, beberapa orang pengikutnya telah b erlari -lari melingkari
api y ang menyala itu dan berkumpul didekat pemimpinnya.
Namun mereka memang menjadi heran, bahwa
beberapa orang kawan mereka telah terbaring diam tidak jauh
dari seonggok api yang menggapai langit itu.
"Apa y ang terjadi," desis seseorang. Tetapi
pemimpinnya berteriak. "Kita harus memencar dan
menyerang orang -orang itu dari segala penjuru. Kalian harus
dengan cepat meloncat mendekat dan membunuh mereka
semuanya. Berhati-hatilah. Mereka adalah orang-orang yang
sangat berbahaya." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyadari, bahwa
pemimpin segerombolan orang itu memiliki pengalaman yang
cukup luas, sehingga ia dapat dengan cepat mengambil sikap
menghadapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang sangat
berbahaya itu. Namun Mahisa Murti pun dengan cepat tanggap pula.
Karena itu, m aka ia pun berkata, "Mahisa Semu dan paman
Wantilan. Hati-hati dengan Ny i Sarpada. Mereka akan
menyerang dari segala arah. Amping, kau harus menyesuaikan
dirimu." Mahisa Amping sama sekali tidak menjadi ketakutan
melihat perkembangan keadaan. Yang mengherankan bagi
Wantilan, bibinya pun nampak tetap tabah. Bahkan
nampaknya Nyi Sarpada sudah pasrah, sehingga karena itu,
maka sama sekali tidak terbayang lagi ketakutan di matanya.
Adalah diluar dugaan Wantilan ketika bibinya berkata,
"Berhati -hatilah anak-anak muda. Jangan hiraukan aku.
Sepeninggal pamanmu, Ki Sarpada, maka hidup tidak penting
lagi bagiku. Karena itu, maka kalian harus lebih
memperhatikan diri kalian masing-masing."
Wantilan tidak sempat menjawab.
Sementara itu, pemimpin gerombolan itu pun berteriak,
"Cepat. Lakukan, sekarang."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak
mempunyaikesempatan lagi. Ia memang dapat mengurangi
lawannya dengan melontarkan serangan ke arah mereka yang
sedang berlari-lari itu. Tetapi itu tidak banyak berarti, karena
dalam waktu singkat, yang lain telah mencapai mereka berdua,
bahkan Mahisa Semu dan Wantilan.
Karena itu, maka keduanya justru lebih senang
menunggu mereka dengan mengetrapkan kekuatan ilmu
mereka yang lain. Dalam setiap sentuhan dengan Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat, maka orang-orang dalam
gerombolan itu akan kehilangan sebagian dari tenaga mereka.
Namun di samping itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
pula mempersiapkan diri untuk memberikan pukulan terakhir
kepada orang-orang yang benar-benar telah menjadi liar itu.
Sebenarnyalah sejenak kemudian, orang-orang itu telah
berloncatan menyerang. Mahisa Semu telah siap menunggu
mereka dengan pedang di tangan. Demikian pula Wantilan.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah
menggenggam pedang pula y ang bukan saja dipergunakan
sebagai senjata, tetapi lewat pedang itu, keduanya mampu
mengetrapkan ilmunya, sehingga benturan senjatanya akan
memiliki akibat y ang sama sebagaimana sentuhan-sentuhan
wadagnya sendiri. Menghisap sebagian dari kekuatan
lawannya. Sejenak kemudian, telah terjadi benturan y ang sengit
antara kekuatan segerombolan orang itu m elawan anak-anak
muda yang menyebut dirinya pengembara itu.
Dengan tangkasnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
justru telah meny ongsong orang-orang yang datang
menyerang itu. Pedangnya berputaran menggapai senjatasenjata
lawannya. Dalam setiap sentuhan maka telah terjadi
getaran-getaran aneh yang bagaikan menghisap arus darah
lawannya. Tetapi lawan-lawan kedua orang anak muda itu tidak
segera menyadari keadaan mereka. Bahkan mereka telah
bergerakberputar-putar dengan cepat.
Mahisa Semu dengan cepat pula m engalami kesulitan
menghadapi beberapa orang. Demikian pula Wantilan.
Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang
memang telah m enjadi marah sekali setelah orang-orang itu
membakar rumah Ki Sarpada, telah memutuskan untuk segera
mengakhiri pertempuran itu.
Karena itu, maka sejenak kemudian, keduanya tidak lagi
hanya berusaha m enghisap kekuatan lawan dan m embiarkan
mereka terjatuh karena kehabisan tenaga, tetapi Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat benar-benar telah mempergunakan pedang
mereka untuk mengoyak kulit lawan-lawan mereka.
Demikianlah, sejenak kemudian, beberapa orang y ang
bertempur melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut
mengalami benturan-benturan senjata yang sangat keras. Dua
orang sekaligus telah kehilangan senjata mereka, karena
terlempar beberapa langkah daripadanya.
"Dungu kau," geram pemimpin gerombolan itu, "ambil
senjatamu. Aku akan melindungimu."
Kedua orang itu memang terlampau percaya kepada
pemimpinnya. Karena itu, maka keduanya pun telah meloncat
memungut senjata-senjata mereka y ang terlepas.
Namun ketika mereka membungkuk, maka terasa ujung
pedang lawannya telah menghunjam ke lam bung mereka.
Ternyata Mahisa Pukat tidak membiarkan kedua orang
itu m emungut senjata mereka. Dengan tangkas ia meloncat
dan dengan kecepatan y ang sulit ditangkap oleh mata w adag,
maka ujung pedangnya telah m enghunjam bukan saja pada
salah seorang di antara mereka. Tetapi kedua-duanya, hanya
dalam waktu sekejap. Pemimpin gerombolan itu terlambat mencegahnya.
Ketika ia meloncat menyerang Mahisa Pukat, m aka Mahisa
Murti lah y ang meloncat maju. Dengan kuatnya Mahisa Murti
telah m engangkat pedang y ang terjulur lurus ke arah leher
Mahisa Pukat. Hampir saja pemimpin ger ombolan itu kehilangan
pedangnya. Namun sentuhan y ang terjadi, telah berpengaruh
atas kekuatannya meskipun tidak terlalu cepat.
Adalah diluar perhitungan pemimpin ger ombolan itu,
bahwa api yang menyala dirumah Nyi Sarpada itu telah
memanggil beberapa orang tetangga yang ternyata cukup
memiliki keberanian. Mereka berlari-larian keluar rumah
mereka dan mendatangi rumah y ang terbakar itu.
Tetapi api sudah mencekam seluruh rumah itu, sehingga
sulit bagi mereka untuk berusaha memadamkannya.
"Ny i Sarpada tidak membuny ikan tanda bahaya," desis
salah seorang tetangganya.
"Tetapi bukan kebakaran biasa," sahut yang lain.
Mereka tertegun ketika mereka kemudian melihat
pertempuran di halaman sebelah rumah Ny i Sarpada itu.
Ternyata ampat orang y ang sedang melindungi Ny i Sarpada
dan seorang anak kecil harus bertempur melawan
segerombolan orang y ang agaknya cukup garang.
Karena itu, maka tetangga-tetangga Ny i Sarpada itu pun
telah dengan hati-hati mendekati mereka yang sedang
bertempur dengan membawa senjata apa saja y ang dapat
mereka bawa, sebagaimana ketika mereka pergi ke mata air di
hutan kecil ditengah-tengah tanah milik Ny i Sarpada itu.
Kedatangan mereka ternyata telah m emperingan tugas
Mahisa Semu dan Wantilan. Tetangga-tetangga yang
berdatangan itu, telah turun pula ke medan pertempuran yang
sengit itu. Tetapi orang-orang itu m emang m enjadi agak bingung.
Pertempuran itu tiba-tiba saja telah menjadi kacau. Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat telah berputaran di seluruh arena
pertempuran. Namun dengan demikian, maka keadaan
Mahisa Semu dan Wantilan menjadi semakin baik.
Tetapi kedatangan orang-orang padukuhan itu telah
membuat sikap Mahisa Murti dan Mahisa Pukat agak berubah.
Mereka berusaha menyesuaikan diri dengan kehadiran orangorang
itu. Namun ternyata gerombolan orang-orang y ang
membakar rumah Ny i Sarpada dan dengan serta m erta telah
ingin membunuh semua orang, bukan sekedar untuk
menakut-nakuti itu, telah mengalami nasib yang buruk.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, yang berloncatan berkeliling
serta memutar pedangnya menyambar-ny ambar telah
bersentuhan hampir dengan semua senjata lawannya. Bahkan
ada yang harus menangkis serangan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat beberapa kali. Sedangkan dua orang yang lengah
ternyata tidak mampu lagi menghindari goresan senjata kedua
orang anak muda itu. Keadaan itu diperburuk dengan campur tangan
tetangga-tetangga yang jumlahnya semakin lama semakin
banyak. Mereka y ang merasa tidak berarti lagi jika mereka
berusaha untuk memadamkan api yang telah meny elimuti
seluruh bangunan rumah Ny i Sarpada itu, y ang bahkan satu
dua batang kayu telah mulai runtuh, telah menumpahkan
kemarahan mereka kepada orang-orang y ang bertemur itu.
Mereka menduga, bahwa orang-orang itulah y ang telah
membakar rumah Ny i Sarpada.
Seorang yang bertubuh tinggi besar dan bersenjata
kapak pembelah kayu y ang tidak t erlalu besar, tetapi
bertangkai agak panjang, telah berteriak,"Wantilan, siapakah
orang-orang ini?" "Mereka telah membakar rumah bibi Sarpada dan
berusaha untuk membunuh kami semua," jawab Wantilan.
Namun suaranya terputus ketika senjata lawannya
hampir saja menyambar keningnya.
Namun sementara itu, orang -orang padukuhan itu telah
banyak y ang melibatkan diri sehingga sebagian dari
gerombolan itu harus menahan mereka. Meskipun tetanggatetangga
Ny i Sarpada itu bukan orang-orang berilmu, tetapi
jumlah mereka cukup banyak, sementara anak-anak muda
yang mengaku pengembara itu masih tetap merupakan
kekuatan yang ternyata sulit untuk diimbangi.
Pemimpin gerombolan itu sama sekali tidak m enduga,
bahwa orang-orangnya begitu cepat susut. Tidak hanya
terluka, tetapi mereka benar-benar telah terbunuh. Bahkan
ada di antara mereka yang berada di dalam api dan tidak
sempat diselamatkan lagi.
Karena itu, maka pemimpin gerombolan itu benar-benar
telah mengacaukan semua rencananya. Orang-orang itu
dengan garangnya telah bertempur dalam kelompokkelompok
kecil menghadapi para pengikut gerombolan itu.
Apalagi di antara gerombolan itu ada y ang telah kehilangan
sebagian dari kekuatan mereka setelah senjata mereka
beberapa kali bersentuhan dengan senjata Mahisa Murti atau
Mahisa Pukat. Karena itu, maka pemimpin gerombolan itu tidak
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mempunyai pilihan lain daripada melarikan diri dari arena
pertempuran. Ia sadar, bahwa semakin lama mereka
bertempur, maka korban akan menjadi semakin banyak jatuh.
Beberapa saat kemudian pemimpin gerombolan itu
masih berusaha untuk mempertahankan dirinya. Namun
kemudian, ketika tenaganya dirasa mulai menyusut, ia pun
telah memberikan isy arat kepada orang-orangnya. Selain
keny ataan y ang dihadapinya, juga karena ia merasa aneh
dengan dirinya sendiri. Dalam waktu y ang pendek, maka orang-orang y ang
tersisa dari gerombolan itu telah berusaha untuk
mengacaukan arena. Mereka berloncatan silang menyilang
bercampur baur dalam usaha mereka untuk meninggalkan
medan itu. Pertempuran itu m emang m enjadi kacau. Orang-orang
padukuhan itu seakan-akan telah k ehilangan sasaran. Lawan
dari kawan-kawan mereka saling berbaur dan bahkan dalam
kesempatan itu gerombolan y ang datang membakar rumah
Nyi Sarpada itu masih sempat melukai beberapa orang.
Mahisa Semu dan Wantilan justru menjadi semakin sulit
untuk melindungi Ny i Sarpada. Namun keduanya ternyata
berhasil menghalau setiap orang yang berusaha mendekati Ny i
Sarpada itu. Namun beberapa saat kemudian, orang-orang y ang
tersisa dari ger ombolan itu telah berloncatan memasuki
bay angan pepohonan y ang ada di halaman itu.
Api y ang berkobar menelan rumah Nyi Sarpada memang
menerangi seluruh halaman depan, samping dan kebun di
belakang. Tetapi pohon-pohon perdu dan bahkan pohon buahbuahan
di kebun telah membuat bayangan y ang kegelapan.
Namun berbeda dengan orang-orang padukuhan y ang
menjadi bingung, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru
bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu,
maka ketika beberapa orang y ang tersisa itu m elarikan diri,
maka Mahisa Pukat sempat menghentikan seorang di
antaranya dan dengan sekali hentak, maka orang itu telah
terlempar jatuh berguling di tanah. Mahisa Pukat memang
tidak mempergunakan senjatanya, tetapi dengan tangannya
Mahisa Pukat telah membuatnya tidak berdaya sama sekali.
Namun dalam pada itu, pemimpin gerombolan y ang
selalu diawasi oleh Mahisa Murti sempat berlari menyusup ke
dalam bayangan pepohonan. Mahisa Murti yang menganggap
orang itu bertanggung jawab, tidak melepaskannya. Ia pun
meloncat mengejarnya ke kebun belakang.
Tetapi orang itu ternyata telah sempat berlari mendekati
dinding halaman, sehingga menurut perhitungan Mahisa
Murti, ia tidak akan sempat mencapai orang itu sebelum orang
itu meloncat keluar. Karena itu, daripada kehilangan orang itu, maka Mahisa
Murti t elah berhenti berlari. Memusatkan nalar budinya dan
mengetrapkan ilmunya. Sesaat pemimpin gerombolan itu
meloncat dengan tangkasnya, maka Mahisa Murti telah
mengangkat tangannya dengan membuka telapak tangannya
menghadap ke arah pemimpin gerombolan y ang melarikan
diri itu. Sebuah kilatan cahaya telah meloncat dari telapak
tangannya dan menyambar pemimpin gerombolan itu di arah
kakinya tepat pada saat pemimpin gerombolan itu meny entuh
bibir dinding halaman. Terdengar pemimpin gerombolan itu berdesis m enahan
sakit. Namun dengan demikian, maka ia tidak lagi m ampu
berdiri di atas dinding itu. Karena itu, maka ia pun telah
terjatuh keluar dinding halaman. Tetapi malang baginya.
Bukan saja kakinya y ang telah dihancurkan oleh kekuatan
ilmu Mahisa Murti, tetapi bibir dinding halaman yang terbuat
dari batu itu telah pecah pula dan jatuh menimpanya.
Sejenak kemudian Mahisa Murti berlari pula
menyusulnya. Ia pun telah meloncati dinding itu pula. Namun
ketika ia b erjongkok disisi pemimpin gerombolan yang jatuh
dan tertipa bibir dinding batu itu, ia pun melihat bahwa
pemimpin gerombolan itu sama sekali sudah tidak bergerak
lagi. Batu y ang runtuh itu telah membunuhnya.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun telah kehilangan
orang y ang akan dapat m emberikan keterangan tentang niat
gerombolan itu yang sebenarnya. Meskipun seandainya ada
satu dua orang pengikutnya y ang dapat ditangkapnya, tetapi
orang itu tentu tidak akan dapat memberikan keterangan
selengkap orang y ang meny ebut dirinya Sarpa Wereng itu.
Sesaat kemudian, maka Mahisa Murti pun telah
melangkah kembali ke halaman samping. Ternyata hanya ada
satu dua orang saja yang berhasil lolos. Mahisa Pukat sempat
menangkap beberapa orang, hidup atau mati. Orang-orang
padukuhan itu pun berhasil menggagalkan orang yang tersisa
sehingga mereka tidak sempat meninggalkan halaman itu.
Kisah Si Pedang Terbang 7 Dua Menara The Two Towers The Lord Of The Rings Buku Dua Karya J.r Tolkien Jejak Di Balik Kabut 21
Namun orang-orang yang menunggu itu terkejut ketika
mereka melihat Ki Bekel dengan beberapa orang bebahunya
telah datang pula beriringan di belakang iring-iringan dari
orang y ang akan membeli tanah dengan paksa itu.
"Apakah orang-orang itu akan memanfaatkan Ki
Bekel"," desis Ki Sarpada.
Wantilan termangu-mangu sejenak, namun kemudian
katanya, "Siapa pun y ang berdiri di belakang orang itu, aku
tidak akan meny erah. Kita berdiri di atas kebenaran."
Ki Sarpada tiba-tiba saja menepuk bahu Wantilan sambil
berkata, "Aku bangga mempunyai kemanakan seperti kau.
Tetapi aku sedih bahwa aku telah meny eretmu ke dalam
kesulitan. Bahkan mungkin kau harus mempertaruhkan
nyawamu. Seandainya saja kau tidak singgah ke rumahku, aku
kira kau tidak akan mengalami kesulitan seperti ini."
"Aku sudah siap menghadapi apapun juga," berkata
Wantilan. Sejenak kemudian, maka orang yang akan memiliki
tanah dan mata air dengan paksa itu telah naik pula ke hutan
kecil itu bersama dengan para pengiringnya yang dengan serta
merta langsung menebar di sekeliling sebidang tanah yang
berbatu padas itu. "Ternyata kau datang," geram orang itu.
"Aku sudah bertekad untuk membuat peny elesaian,"
berkata Wantilan dengan nada rendah.
"Bagus," jawab orang itu, "aku minta Ki Bekel m enjadi
sak si." Wantilan tidak segera menjawab. Sementara Ki Bekel
telah hadir pula dan langsung berdiri di antara Wantilan
beserta Ki dan Nyi Sarpada dengan orang yang akan memiliki
tanah itu. "Nah," berkata Ki Bekel, "waktuku tidak banyak. Aku
diminta untuk menyaksikan serah terima tanah dan m ata air
ini serta segala hak atasnya."
"Siapa yang akan melakukan serah terima tanah dan
mata air ini Ki Bekel?" bertanya Ki Sarpada.
"Kenapa kau bertanya?" Ki Bekel mengerutkan dahinya.
" Jangan mencari persoalan," geram orang yang ingin
memiliki tanah itu. Ki Sarpada y ang sakit itu melangkah maju dengan
langkah tegap, "Tidak akan ada serah terima. Aku tidak
menjual tanahku ini, Ki Bekel tentu tahu itu. Tanah dan air ini
tidak ubahnya jantung y ang berdenyut didadaku, serta paritparit
itu adalah padi kehidupanku."
"Cukup," bentak Ki Bekel, "kau dapat saja berbicara
tentang apa saja. Tetapi jika kau sudah m enerima uang dari
penjualan tanahmu ini, m aka kau harus menyerahkan tanah
dan segala isiny a. Jika kau meny esal karena kau berubah
pendirian, maka kau harus membeliny a kembali karena kau
berubah pendirian, maka kau harus membelinya kembali
menurut harga y ang ditetapkan oleh pemiliknya. Atau bahkan
pemiliknya akan berkeberatan menjualnya kembali."
"Aku tidak akan menjualnya kembali," berkata orang
yang ingin memiliki tanah itu.
" Ini adalah perampokan," geram Wantilan, "apakah
orang itu mengatakan bahwa ia sudah membayar harga tanah
dan mata air ini?" "Ya," jawab Ki Bekel.
"Ki Bekel percaya?" bertanya Wantilan.
"Bukan saja percaya. Tetapi aku adalah saksi bahwa kau
telah menerima uang itu. Dua orang bebahuku akan
menyatakan diri pula sebagai saksi. Semuanya sudah sah
menurut paugeran y ang berlaku di padukuhan ini." Ki Bekel
itu berhenti sejenak, lalu "Karena itu, maka cepat, lakukan
serah terima itu dibawah saksi yang lebih banyak, agar tidak
akan terjadi per soalan di kemudian hari."
"Tidak," Ki Sarpada berteriak, "rampoklah tanah ini jika
kepalaku sudah terpisah dari tubuhku."
"Setan kau," geram Ki Bekel, "kau menantang hamba
yang melaksanakan paugeran, Sarpada. Kau tahu akibatnya,
karena segala sesuatunya dapat dilakukan dengan kekerasan
jika cara y ang wajar dan baik tidak kau lakukan."
"Satu tantangan yang harus dijawab," berkata Wantilan,
"marilah. Apapun yang akan terjadi."
"Setan kau Sarpada," geram orang yang ingin memiliki
tanah itu, "kau m eringkik seperti kuda sakit-sakitan di saat
kau memerlukan uang untuk mengobati sakitmu. Tetapi ketika
kau menjadi berangsur sembuh, maka uang y ang telah kau
terima itu kau ingkari. Apakah itu bukan watak setan?"
"Setan atau bukan. Marilah. Jika k ekerasan merupakan
keputusan akhir. Kita akan berbicara dengan bahasa yang
kalian kehendaki. Nah, siapakah di antara kalian y ang akan
melawan aku," berkata Wantilan sambil melangkah maju,
"kita adalah laki-laki y ang meny elesaikan persoalan yang
paling gawat serta paling peka dengan perang tanding."
"Kau kira kami masih berpegang pada paugeran rimba
seperti itu" Siapa yang kuat akan menang?" berkata Ki Bekel.
Tetapi kemudian katanya, "aku tidak perduli dengan perang
tanding. Orang-orangku akan memaksakan paugeran yang
harus ditegakkan demi keadilan. Jika seseorang sudah
menodai kebenaran, maka ia pantas dihapuskan dari tata
pergaulan." "Bagus," teriak Wantilan y ang menjadi sangat marah,
"kau putar balikkan kenyataan ini. Apa boleh buat. Aku tahu
bahwa aku akan mati. Tetapi aku akan menuntut tiga atau
empat orang mati bersamaku."
Ki Bekel pun segera menjatuhkan isy arat kepada orangorang
yang datang ber sama orang y ang ingin m emiliki tanah
itu. Serentak mereka pun telah bergerak.
Namun Wantilan sama sekali tidak gentar. Bahkan Ki
Sarpada dan ny i Sarpada pun telah menghadapi semua
persoalan dengan hati y ang tabah serta dada tengadah.
Mereka telah meny erahkan segala-galanya kepada Yang Maha
Agung. Sepuluh orang itu telah bergerak m erapat, bahkan juga
para pengiring Ki Bekel. Sementara Ki Bekel dan orang yang
ingin memiliki tanah itu berdiri sambil mengawasi keadaan.
Beberapa saat keadaan menjadi sangat tegang. Ki
Sarpada suami isteri dan Wantilan masing-masing telah
bersiap untuk mengalami nasib y ang bagaimanapun juga.
Namun Wantilan telah m encabut pedangnya dan siap untuk
bertempur. Dalam ketegangan itu, tiba-tiba saja mereka terkejut
ketika tiba-tiba saja mereka mendengar suara tertawa.
Ternyata Mahisa Murti yang berdiri di belakang Wantilan
justru tertawa sambilberkata, "Satu pertunjukkan yang
menarik." "Cukup" Jadi kalian adalah orang-orang upahan Ki
Sarpada dan orang y ang disebut kemanakannya itu?" geram
orang y ang ingin memiliki tanah itu, "kau tidak usah membuat
bermacam-macam ulah yang tidak akan berarti apa-apa. Jika
kalian memang telah menerima upah untuk m erampok tanah
ini, marilah. Kita akan membuktikan, siapakah di antara kita
yang berdiri di atas kebenaran."
"Satu permainan yang mengasy ikkan," berkata Mahisa
Murti, "nampaknya orang-orang padukuhan ini sama sekali
tidak menghargai lagi kebenaran. Sangat menarik ceritera
tentang tanah y ang sudah dibeli dari Ki Sarpada. Sekarang Ki
Bekel memaksakan kehendaknya untuk melakukan serah
terima. Memang m engherankan, bagaimana mungkin orang
sepadukuhan bersama dengan Bekelny a dapat melakukan
permainan pura -pura y ang cukup menarik dengan pelaku yang
cukup banyak ini." "Tutup mulutmu," geram Ki Bekel. Lalu katanya kepada
orang-orangnya, "Tangkap orang-orang itu. Yang melawan
bunuh saja tanpa ampun."
Tetapi tiba -tiba saja seseorang di antara orang-orang
yang datang bersamaKi Bekel itu berkata hampir menggeram,
"Ki Demang." Ki Bekel terkejut. Ketika ia berpaling, dilihatnya
beberapa orang telah menelusuri jalan sempit menuju ke
tempat mereka. "Siapa y ang memanggil Ki Demang," geram Ki Bekel.
Namun kemudian suaranya meninggi, "Bahkan Ki Buyut."
"Setan itu," geram seseorang ketika iring-iringan itu
menjadi semakin dekat. Sebenarnyalah di antara beberapa orang y ang datang itu
terdapat tetangga Ki Sarpada y ang membantu di rumahnya,
yang ternyata telah berhasil menghubungi Ki Demang yang
telah melaporkannya pula kepada Ki Buyut.
"Kenapa mereka terpengaruh oleh setan kecil itu,
sehingga mereka datang kemari?" Ki Bekel menjadi gelisah.
Namun orang y ang ingin memiliki tanah itu pun berkata,
"Apa boleh buat. Mereka hanya terdiri dari lima orang.
Sepuluh orang-orangku dan para bebahu padukuhan yang Ki
Bekel percaya itu, bersama kita berdua akan dapat
menyelesaikan mereka. Kita akan m engubur mereka di sini,
sehingga tidak akan ada seorang saksipun y ang akan dapat
mengatakan apa y ang telah terjadi."
Ki Bekel termangu-mangu. Namun orang yang ingin
memiliki tanah itu berkata, "Sepuluh orang-orangku adalah
orang-orang berilmu tinggi. Seandainya aku harus melawan
seisi Kabuyutan ini aku tidak akan gentar. Jika ada orang yang
berani menuduh kita m elenyapkan Ki Demang dan sekaligus
Ki Buyut, maka kita akan meny elesaikan mereka pula."
Ki Bekel m engerutkan keningnya. Ia m emang menjadi
ragu-ragu. Tetapi orang itu berkata dengan lantang, "Siapapun
yang menghalangi niatku akan aku leny apkan."
Ki Bekel terdiam, namun nampak kebimbangan y ang
sangat membayang diwajahnya. Tetapi ia pun tidak berani
menentang sepuluh orang berilmu tinggi.
Sementara itu Ki Buyut dan pengiringnya telah sampai
ke tempat itu. Dengan wajah yang buram Ki Buyut berkata,
"Aku telah mengetahui apa y ang terjadi di sini."
Ki Bekel lah y ang kemudian bertanya, "Apakah Ki Buyut
mendengar dari seseorang" Dan apakah y ang Ki Buyut dengar
itu sesuai dengan keny ataan?"
"Aku mendengar bukan saja dari Ki Demang. Tetapi
orang-orangku langsung m engikuti peri stiwa yang terjadi di
padukuhan ini. Terutama sikap dan kelakuan Ki Bekel yang
tidak dapat berdiri tegak dalam kedudukannya."
"Apa y ang telah t erjadi Ki Buyut?" bertanya Ki Bekel
sambil melangkah maju. "Kau tidak usah berpura-pura. Sekarang perintahku,
selesaikan persoalan ini dengan baik. Sarpada tidak boleh
dipaksa untuk menjual tanahnya. Atau jika kau tidak mampu
menyelesaikannya, maka hak atas jabatanmu turun temurun
akan terputus di sini. Keturunanmu akan mengutukmu,
karena m ereka tidak sempat ikut menikmati kedudukan yang
pernah kau warisi dari moyangmu," berkata Ki Buyut.
"Tidak ada gunanya lagi berpura-pura," desis Ki
Demang, "sernuanya sudah jelas."
Tetapi yang menjawab adalah orang y ang akan membeli
tanah itu dengan paksa, "Semuanya sudah selesai. Uang itu
telah diterima oleh Sarpada justru saat-saat ia sakit, karena ia
membutuhkan uang bagi beay a pengobatannya. Karena itu,
maka y ang harus dilakukan adalah serah terima tanah ini di
hadapan para saksi."
Tetapi Ki Buyut menggeleng. Katanya, "Jangan
memperbodoh aku." "Aku berkata dengan sesungguhnya," jawab orang itu.
"Ki Bekel dan bebahunya adalah sak si utama."
"Omong kosong," teriak orang yang melaporkannya
kepada Ki Demang, "tidak benar. Ki Sarpada tidak pernah
bersedia menjual tanahnya."
" Ia ingin menutupi kesalahannya terhadap
kemanakannya, sehingga ia telah mengorbankan harga dirinya
dengan berusaha membuat laporan palsu," geram orang itu.
Namun Ki Buyut tetap pada pendiriannya. Katanya,
"Aku bukan anak-anak yang pantas kau bohongi lagi. Aku
adalah Buyut di sini. Aku mempunyai hubungan langsung
dengan Sang Akuwu." "Persetan," geram orang itu, "jika demikian, maka aku
akan mempergunakan rencanaku y ang kedua. Melenyapkan
semua orang y ang ada di sini untuk menghilangkan j ejak. Ki
Sarpada, Ny i Sarpada, kemanakannya itu, kawan-kawannya
yang diupahnya untuk melindunginya dan tetanggatetangganya
y ang dungu itu. Bahkan karena kebodohan Ki
Demang dan Ki Buyut, maka mereka pun akan aku kuburkan
di sini. Tidak seorang pun akan m elihat dan dapat menjadi
sak si atas peri stiwa ini. Tidak seorang pun y ang akan berani
mengusik dan mempersoalkan hilangnya para bebahu
Kabuyutan ini." "Kau gila," geram Ki Buyut.
" Jangan meny esal. Semuanya telah terlambat," berkata
orang itu dengan nada rendah.
"Kau mendapat hukuman y ang lebih berat dari
hukuman gantung. Kau pantas dihukum picis jika apa yang
kau katakan itu benar-benar kau lakukan," geram Ki Demang.
Tetapi orang y ang ingin memiliki tanah dan mata air itu
sama sekali tidak terpengaruh oleh ancaman Ki Demang.
Bahkan ia pun kemudian berkata, "Tidak ada lagi orang yang
dapat menghukum kami."
"Tentu ada. Sang Akuwu tidak akan membiarkan
tingkah lakumu itu tanpa berbuat sesuatu," geram Ki Demang.
"Akuwu tidak akan mengetahui apa yang terjadi di sini,"
jawab orang itu, "sedangkan siapa yang berani membuka
rahasia peristiwa di tempat ini, maka umurnya tidak akan
berlangsung lebih lama lagi."
"Kau kira kami tidak berday a sama sekali?" desis Ki
Buyut, "sedangkan cacingpun akan menggeliat jika terinjak
kaki." "Bagus," berkata orang itu, "kami memang lebih senang
membunuh dengan sedikit menitikkan keringat daripada
membunuh orang y ang berlutut di hadapan kami. Namun jika
ada di antara kalian y ang akan berbuat demikian, kami pun
tidak akan berkeberatan."
Ki Buyut menggeratakkan giginya. Bersama ki Demang
dan pengiringnya, mereka pun segera mempersiapkan diri
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghadapi segala kemungkinan. Demikian pula Wantilan
dan Ki Sarpada beserta tetangga-tetangganya.
Sementara itu, orang yang ingin memiliki tanah itu pun
telah meneriakkan aba -aba. Dengan sigap orang-orangnya
telah bersiap sepenuhnya. Demikian pula Ki Bekel dan orangorangnya.
Melihat sikap dan gerak para pengikut orang yang ingin
memiliki tanah itu, m aka Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan
Mahisa Semu dapat m enilai, bahwa m ereka memang orang
berilmu tinggi. Lebih dari itu, mereka adalah orang-orang
yang tidak mengenal belas kasihan. Mereka dapat membunuh
seseorang tanpa m engedipkan mata mereka, asal dijanjikan
upah yang cukup bagi mereka.
Karena itu, maka anak-anak m uda itu menjadi cemas,
bahwa dalam gerakan y ang pertama, beberapa orang telah
terkoyak tubuhnya dan kehilangan nyawanya.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun telah berkata
lantang kepada para tetangga Ki Sarpada, "Ki Sanak. Jangan
ikut campur. Orang-orang upahan itu memang orang berilmu
tinggi. Jika kalian langsung melawan mereka, maka dalam
sekejap kalian tentu telah terbaring di tanah. Bahkan mungkin
telah terbunuh. Karena itu, maka kami minta kalian
menunggu dan menjadi sak si apa y ang akan terjadi. Demikian
pula Ki Demang dan Ki Buyut. Sementara itu, biarlah kami
yang muda-muda sajalah y ang akan menghadapi mereka."
"Terima kasih anak muda," berkata Ki Demang, "tetapi
aku tidak akan dapat berpangku tangan, sementara kekasaran
dan kekerasan berlangsung didepan hidungku."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun
melihat bahwa Ki Demang dan Ki Buyut bukan orang tidak
berilmu. Menilik sikap mereka y ang meyakinkan serta
wibawanya y ang besar, maka keduanya tentu orang-orang
yang memiliki kemampuan yang tinggi pula.
Karena itu, maka Mahisa Murti tidak berniat lagi untuk
minta kedua orang itu untuk m eny ingkir jika benturan akan
terjadi. Sementara itu, orang y ang ingin memiliki tanah itu tidak
sabar lagi. Bahkan ia telah meloncat maju mendekati Ki
Sarpada sambil mengayunkan pedangnya. Tetapi ternyata
Wantilan pun telah siap pula. Dengan sigap ia telah meloncat
berdiri didepan Ki Sarpada yang sedang sakit itu. Namun yang
nampaknya ju stru jantungnya telah bergejolak, sehingga rasarasanya
ia telah tiba -tiba saja menjadi sembuh.
"Setan kau," geram orang yang ingin memiliki tanah itu,
"kau adalah orang pertama yang akan mati."
Tetapi Wantilan tidak menjawab. Pedangnyalah y ang
tiba -tiba saja terayun mendatar dengan derasnya.
Sesuatu yang tidak diduga oleh lawannya. Karena itu,
maka sambil bergeser, ia berteriak justru karena terkejut.
Namun ternyata ujung senjata Wantilan berhasil meny entuh
lengan orang itu, sehingga kulitnya telah tergores karenanya.
Meskipun luka itu tidak terlalu dalam, namun darah
telah menitik dari luka itu.
Orang itu mengumpat kasar. Sambil mengayunkan
pedangnya ia berteriak, "Bunuh semua orang."
Orang-orangnya pun telah mulai bergerak pula.
Sementara itu, Mahisa Semu telah mendorong Mahisa Amping
untuk mendekati Ki Sarpada. Desisny a, "Hati-hati. Jaga
dirimu baik-baik." Mahisa Amping tidak menjawab. Ia pun kemudian
berdiri dibelakang Ki Sarpada dan Nyi Sarpada.
Dalam pada itu, Ki Demang dan Ki Buyut pun telah
bersiap pula. Ketika dua orang mendekati mereka, maka
mereka pun telah menarik senjata masing-masing. Ki Buyut
ternyata telah membawa pusakanya. Sebilah keris yang besar,
yang mencuat sampai ke atas pundaknya. Karena itu, m aka
tangannyapun telah menggapai hulu kerisnya di atas
pundaknya itu dan menariknya justru keatas.
Sementara Ki Demang telah menarik pedangnya y ang
besar. Lebih besar dari kebanyakan pedang. Tetapi sesuai
benar dengan tubuh Ki Demang yang tinggi dan besar itu.
Agaknya kekuatannya pun melampaui kekuatan orang
kebanyakan sehingga pedang yang besar itu rasa -rasanya tidak
lebih berat dari sepotong lidi.
Ketika Ki Demang mulai mengayunkan pedangnya,
maka anginnya terdengar berdesing meny engat telinga.
Dengan demikian, maka orang-orang y ang diupah oleh orang
yangingin memiliki tanah itu pun segera m engetahui, bahwa
orang itu bukannya sekedar dapat membual. Tetapi orang
yang b ertubuh tinggi dan besar itu memang m emiliki tenaga
yang sangat besar. Karena itu, maka seorang lagi di antara mereka telah
mendekat, sehingga Ki Demang itu harus berhadapan dengan
duaorang. Sementara itu Wantilan yang telah bersiap untuk
bertempur itu pun masih juga m erasa cemas. Sebelumnya ia
menduga, bahwa sikap Mahisa Murti seakan-akan telah
memberi key akinan kepadanya, bahwa ia bersiap untuk
membantunya. Namun kemudian ia pun telah menarik nafas dalamdalam
ketika ia melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
berpencar menjauhinya, sementara Mahisa Semu telah
bergeser pula di sebelahnya.
Semua orang y ang berada di hutan kecil di atas mata air
itu telah bersiap. Orang-orang padukuhan, tetangga-tetangga
Ki Sardapapun ternyata tidak mau tinggal diam. Meskipun
Mahisa Murti telah m emperingatkan mereka, tetapi mereka
telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Bahkan
beberapa orang telah mengacu-acukan senjata mereka.
Mahisa Murti memang menjadi tertegun melihat
kesiagaan orang -orang itu. Ternyata mereka sama sekali tidak
gentar meskipun mereka tahu bahwa orang-orang itu adalah
orang-orang y ang berilmu.
"Apa boleh buat," berkata Mahisa Murti di dalam
hatinya, "asal mereka tidak bertempur seorang lawan
seorang." Sebenarnyalah, tanpa ada y ang mengguruinya, maka
orang-orang padukuhan, tetangga-tetangga Ki Sarpada itu
telah berdiri berkelompok. Mereka telah membagi diri
menjadi dua kelompok kecil. Sekelompok di antara mereka
bersiap m enghadapi dua orang di antara orang-orang upahan
itu, sedangkan yang sekelompok kecil lainnya telah bersiap
menghadapi para pengiring Ki Bekel.
Sementara itu Ki Bekel sendiri telah berada di sebelah
orang yang berniat untuk memiliki tanah itu, sehingga dengan
demikian, maka Mahisa Semu lah yang telah
meny ongsongnya. Sejenak kemudian, m aka di hutan kecil di ata s tanah
berbatu padas itu telah terjadi pertempuran y ang sengit. Ki
Demang yang bertubuh tinggi besar itu ternyata telah
berloncatan menjauh. Ia m emerlukan arena y ang agak luas,
sehingga dengan demikian maka ia dapat mengayun-ay unkan
senjatanya berputaran. Kedua orang lawannya adalah orang upahan y ang
dianggap berilmu tinggi. Namun ternyata keduanya harus
berpikir ulang ketika mereka berniat untuk meny erang.
Mereka harus memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan
terjadi benturan senjata dengan orang y ang agaknya
berkekuatan sangat besar itu.
Sementara itu, Ki Buyut lah y ang telah bertempur
dengan sengitnya. Ternyata orang upahan itu salah m enilai
kemampuan Ki Buyut yang tua itu. Ternyata Ki Buyut y ang tua
itu memiliki ilmu yang dapat mengimbangi ilmu orang upahan
itu. Bahkan orang tua itu nampaknya mampu bergerak lebih
cepat dari lawannya. Ki Bekellah y ang harus mengeluh berhadapan dengan
Mahisa Semu y ang memiliki ilmu pedang yang memadai.
Dengan kemampuan ilmu pedangnya Mahisa Semu telah
berhasil mendesak lawannya. Dalam beberapa kesempatan,
Mahisa Semu justru hampir dapat meny entuh tubuh
lawannya. Mahisa Semu y ang m erasa ilmunya masih baru mulai
meningkat dari tataran pertama itu, telah mempergunakan
kesempatan sebaik-baiknya. Selagi dalam benturan pertama ia
dapat mengguncang pertahanan Ki Bekel.
Karena itu, dengan dorongan darah mudanya, maka
Mahisa Semu telah mengerahkan segenap kemampuannya
dalam ilmu pedang. Ternyata hentakkan Mahisa Semu itu berhasil. Ujung
pedangnya mulai dapat menyentuh kulit Ki Bekel. Segores dan
kemudian segores lagi. Kedua-duanya di lengan Ki Bekel.
Ki Bekel mengumpat marah. Tetapi kulitnya benarbenar
telah dilukai oleh lawannya meskipun tidak begitu
dalam. Namun darah telah mengalir dari lukanya itu.
Ternyata selagi masih ada kesempatan Mahisa Semu
tidak mau menahan diri lagi. Jika Ki Bekel y ang tentu
memiliki pengalaman y ang lebih luas itu mengetahui
kelemahannya, maka Mahisa Semu tentu akan mengalamai
kesulitan. Seandainya kemudian Ki Bekel sudah akan dapat
mengurangi tenaganya, karena darah y ang m eleleh dari luka
itu. Ki Bekel memang mengumpat ka sar ketika sekali lagi
ujung pedang Mahisa Semu m engenai pundaknya mengoyak
kulitnya. Lukanya memang agak lebih dalam, sehingga darah
menjadi lebih banyak mengalir.
Namun Ki Bekel tidak cepat menjadi putus-asa. Dalam
keadaan terluka, ia masih sempat mengenali tingkat
kemampuan anak muda yang garang itu. Dengan demikian, Ki
Bekel telah mendasari tata geraknya dengan unsur-unsur
gerak yang lebih rumit. Ia tidak akan mampu menandingi anak
muda itu dengan beradu tenaga. Tetapi ia harus
mempergunakan perhitungan y ang sebaik-baiknya.
Sesaat Mahisa Semu memang terkejut melihat
perubahan tata gerak lawannya. Ia merasakan gaya putaran
senjata yang lain, bahkan membuatnya kadang-kadang
kehilangan jejak. Tetapi Mahisa Semu telah mengkhususkan diri untuk
berlatih ilmu pedang. Karena itu, maka pengenalannya atas
senjata itu pun menjadi sangat baik. Betapapun rumitnya
unsur gerak Ki Bekel, namun tataran ilmu Ki Bekel belum
terlepas dari jangkauan kemampuan Mahisa Semu. Dengan
demikian, maka setidak-tidaknya Mahisa Semu masih mampu
mengimbangi serangan-serangan Ki Bekel yang semakin
cepat. Namun kesempatan meny erang Mahisa Semu lah yang
kemudian menjadi berkurang.
Meskipun demikian keadaan Mahisa Semu masih belum
membahayakan. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
ternyata tidak sampai hati m embiarkan Wantilan m engalami
kesulitan. Keduanya telah melibatkan diri melawan orangorang
y ang telah meny erang mereka. Orang-orang yang belum
mempunyai lawan. Dengan demikian maka kedua orang anak muda itu
memang harus melayani lawan y ang bertempur berpa sangan.
Wantilan yang telah bertekad untuk mempertahankan
tanah dan mata air itu meskipun seandainya tidak akan
diwariskan kepadanya, telah mengerahkan segenap
kemampuannya. Tetapi ilmu Wantilan memang belum terlalu
tinggi. Meskipun demikian ia pun telah mampu
mempertahankan diriny a dari serangan-serangan orang yang
tamak, y ang ingin m emiliki tanah dan mata air itu dengan
paksa. Yang mengalami kesulitan adalah justru sekelompok
orang-orang padukuhan, para tetangga Ki Sarpada yang
bertempur melawan orang -orang berilmu tinggi. Mereka
ternyata tidak mampu untuk menguasai lawan-lawan mereka.
Orang-orang berilmu tinggi itu terlalu tangkas bagi mereka.
Untunglah mereka berjumlah jauh lebih banyak sedangkan
mereka telah didorong oleh kebencian atas ketamakan
lawannya, sehingga karena itu, maka jantung mereka rasarasanya
menjadi bagaikan mengembang. Dengan dorongan
itu, m aka tetangga-tetangga Ki Sarpada itu sama sekali tidak
menjadi gentar menghadapi lawan-lawan mereka yang
berilmu tinggi. Namun dengan demikian bukan berarti m ereka mampu
mengimbangi kecepatan gerak lawan-lawan m ereka. Karena
itulah, maka beberapa saat kemudian, seorang di antara
tetangga Ki Sarpada itu telah terdorong beberapa langkah
surut. Segores luka telah menyilang di dadanya. Meskipun
tidak begitu dalam, tetapi luka itu terasa sangat pedih.
"Minggirlah," berkata Mahisa Murti y ang melihat
peristiwa itu. Tetapi lawan orang itu berteriak, "Semua orang akan
mati. Semuanya. Tanpa kecuali."
Namun orang itu justru terdiam sejenak. Kemudian
terdengar ia mengumpat kasar. Segores luka telah m enyilang
pula diadanya. " Jika kau membuka mulutmu sekali lagi, maka
jantungmu akan runtuh," terdengar suara berat.
Ternyata Mahisa Pukat menjadi sangat marah. Ia t elah
meloncat meninggalkan lawan-lawannya dan langsung
menyerang orang y ang dianggap berilmu tinggi itu.
"Berhati-hatilah," berkata Mahisa Pukat kepada orangorang
padukuhan. Lalu katanya pula, "Biar saja orang yang
terluka itu menjadi gila. Jika ia benar-benar ingin membunuh,
maka orang itulah yang akan mati lebih dahulu."
Orang y ang terluka itu memang benar -benar marah.
Darah telah mengalir dari lukanya. Namun ternyata bahwa
luka itu sama sekali tidak menahannya. Bahkan ia menjadi
semakin garang. Namun Mahisa Pukat telah bertekad untuk melayaninya.
Karena itu, maka ia pun berteriak, "Hati-hati dengan yang
lain." Orang-orang padukuhan itu pun segera mempersiapkan
diri menghadapi lawan-lawan Mahisa Pukat yang
ditinggalkannya. Sementara itu, orang y ang terluka itu telah
menggeram, "Licik kau. Kau m eny erang aku tanpa m emberi
isy arat lebih dahulu."
"Persetan," geram Mahisa Pukat, "kita tidak sedang
berperang tanding. Kita bertempur dalam kelompok-kelompok
yang tidak diatur lebih dahulu. Siapapun boleh melawan siapa
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sa ja." "Ternyata kau akan mati lebih dahulu dari orang-orang
lain," geram orang itu.
Dengan garangnya orang itu telah menyerang Mahisa
Pukat. Tetapi Mahisa Pukat justru memancingnya dalam
pertempuran berjarak, sehingga orang itu harus mengerahkan
kemampuannya untuk meloncati jarak-jarak yang panjang.
Namun dengan demikian, maka luka orang itu telah
menjadi semakin parah. Darah mengalir semakin banyak.
Tetapi orang itu sama sekali tidak memperhitungkannya.
Ternyata perhitungan Mahisa Pukat benar. Dalam waktu
yang singkat, kekuatan dan kemampuan orang itu menjadi
su sut. Dengan demikian, maka Mahisa Pukat pun berkata
kepada orang-orang padukuhan, "Serahkan lawan-lawanmu
kepadaku. Hadapi orang yang telah t erluka ini, tetapi yang
juga telah melukai seorang kawan kalian. Beri kesempatan
orang ini meny erah jika ia mau."
"Setan kau," geram orang itu.
Namun Mahisa Pukat telah meloncat menjauh. Ia telah
menyerang lawan y ang lain. Demikian cepat, sehingga
lawannya itu terkejut dan meloncat mengambil jarak.
Dengan demikian maka pertempuran itu menjadi
semakin kacau. Orang -orang y ang dianggap berilmu tinggi itu
mulai bingung m enghadapi gaya Mahisa Pukat. Namun yang
kemudian juga dilakukan oleh Mahisa Murti. Namun Mahisa
Murti lebih banyak melindungi orang-orang padukuhan
daripada meny erang lawan-lawannya.
Ada bagian yang dihapus di s ini karena ada duplikasi, tetapi
sepertinya ceritanya tidak nyambung dengan cerita berikut
Tetapi Ki Demang tidak menunggu lebih lama lagi.
Dengan senjatanya yang terayun deras, Ki Demang telah
mendesak kedua lawannya. Beberapa kali senjata mereka
berbenturan. Untuk sekian kali pula kulit tangan lawanlawannya
itu pun hampir terkelupas.
Dengan demikian maka kedua orang lawan Ki Demang
itu mulai m encoba mencari jawab atas kata -kata Ki Demang.
Senjata mereka masing-masing ternyata telah menyakiti
tangan-tangan mereka dalam setiap benturan.
Tetapi kedua orang itu memiliki kemampuan untuk
bergerak lebih c epat. Karena itulah, maka keduanya berusaha
untuk dengan kecepatan geraknya melawan Ki Demang yang
senjatanya terlalu besar dibandingkan dengan senjata
kebanyakan. Namun ternyata bahwa Ki Demangpun mampu
memutar senjatanya secepat gerak mereka.
Demikianlah, maka pertempuran di atas tanah berbatubatu
padas, di atas mata air yang menjadi rebutan itu menjadi
semakin lama semakin sengit. Orang-orang yang menjadi
orang upahan dari orang y ang ingin memiliki tanah itu
memang orang-orang y ang berilmu, sekaligus orang y ang tidak
lagi mempunyai perasaan. Karena itu, maka mereka pun
kemudian telah bertempur dengan tanpa m enghiraukan lagi
siapa y ang dihadapinya. Mereka yang mendapat kesempatan
menghadapi orang-orang padukuhan, dengan serta merta
telah mempergunakan kesempatan itu untuk berusaha
membunuhnya. Tiga orang telah menjadi korban. Mereka telah terluka
parah sehingga membahayakan jiwa mereka.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
tidak lagi dapat memaafkan mereka. Jika mereka tidak segera
dihentikan, maka korban tentu masih akan berjatuhan.
Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang
marah itu pun telah bertempur pula dengan sungguh-sungguh.
Bahkan mereka telah meny esal, bahwa mereka terlambat
bertindak sehingga tiga orang sempat terluka parah.
Ketika seorang lagi telah terluka, maka Mahisa Murti
telah meloncat dengan garangnya. Ia mulai merambah ke
ilmunya, sehingga kekuatan dan kemampuannyapun menjadi
meningkat pula. Dengan kemampuannya yang sangat tinggi, maka dalam
beberapa saat saja, dua orang telah terlempar dari arena,
sementara MahisaPukat telah melukai seorang di antara
mereka. Orang-orang upahan itu benar -benar telah terkejut.
Meskipun mereka memang sudah m enduga bahwa anak-anak
muda itu berilmu, tetapi mereka tidak mengira sama sekali,
bahwa dalam sekejap tiga orang kawan mereka telah
terlempar. Tujuh orang upahan, orang yang ingin memiliki tanah
itu, Ki Bekel dan pengikutnya memang menjadi sangat marah.
Tetapi mereka harus melihat kenyataan tentang lawan-lawan
mereka. Anak-anak m uda yang menurut dugaan orang yang
ingin memiliki tanah itu adalah juga orang-orang upahan
memang menjadi heran. Dari mana Ki Sarpada mendapatkan
orang-orang y ang berilmu begitu tinggi.
Karena itu, maka tiba -tiba saja orang y ang ingin
memiliki tanah itu berteriak, "He, anak-anak m uda. Berapa
kalian diupah oleh Sarpada sehingga kalian mau
melindunginya?" "Tutup mulutmu," bentak Wantilan sambil meloncat
menyerang. Orang itu surut beberapa langkah ke belakang sambil
mengumpat. "Mereka bukan orang-orang upahan," berkata Wantilan,
"mereka adalah guru-guruku."
"Kau sudah gila. Kau tentu lebih tua dari mereka.
Apakah kau berguru kepada anak-anak semuda itu?" sahut
orang y ang ingin memiliki tanah itu.
"Apa salahnya?" bertanya Wantilan.
Namun orang itu tidak menghiraukannya. Dengan
lantang orang itu berkata, "Nah anak-anak muda. Aku
bersedia mengupahmu dua kali lipat dari upah y ang kalian
terima asal kalian bersedia membantuku. Kalian tidak
bertempur dipihakku. Tetapi kalian tinggalkan arena
pertempuran ini. Upahmu itu akan segera dapat kalian
terima." Wantilan terkejut bukan buatan ketika Mahisa Murti
bertanya sambil bertempur, "Kau berkata sebenarnya?"
"Aku berjanji," teriak orang itu.
"Kau tahu berapa aku diupah?" bertanya Mahisa Murti.
"Katakan, berapa saja kau mau," jawab orang itu pula.
"Bagus. Aku akan menerima tawaranmu," jawab Mahisa
Murti. Wantilan memang menjadi bingung. Hampir saja
lehernya disambar senjata lawannya. Namun kemudian
segalanya menjadi jelas ketika Mahisa Murti kemudian
berkata, "Aku minta upah seharga tanah ini beserta mata
airnya. Tinggalkan tempat ini dan jangan diganggu lagi. Nanti
aku akan segera menyingkir."
"Setan kau," geram orang itu, "ternyata kau lebih senang
mati di sini." "Tidak segala-galanya dapat diselesaikan dengan
kekay aanmu Ki Sanak," berkata Mahisa Murti, "ada kalanya
kau gagal mempergunakan uangmu untuk membeli sesuatu."
"Cukup," teriak orang itu, "cepat, bunuh orang-orang
itu." Tidak terdengar jawaban dari manapun juga. Namun
orang-orang upahan itu telah mengerahkan kemampuan
mereka untuk segera mengakhiri pertempuran.
Namun mereka pun sadar, bahwa keadaan memang
sudah berubah dengan hadirnya anak-anak muda itu.
Karena itu, maka mereka mulai merasa gentar
menghadapi keny ataan itu. Betapapun tinggi upah yang
mereka terima, tanpa dapat menikmati upah itu, maka bagi
mereka sama sekali tidak akan ada artinya.
Beberapa kawan mereka telah terluka parah. Bahkan
salah seorang kawannya y ang terluka tidak lagi mampu
menghindari tangan kawan-kawan Ki Sarpada. Mereka yang
tidak lebih dari para petani tetangga-tetangga Ki Sarpada,
yang dalam keadaan mereka sehari-hari tidak lebih dari orangorang
y ang hanya mampu m engayuhkan cangkul dan parang,
maka pada saat itu telah menjadi orang-orang yang garang.
Sementara itu, orang yang ingin memiliki tanah itu
sendiri telah terlibat pertempuran y ang sengit melawan
Wantilan. Bagaimanapun juga Wantilan adalah seseorang
yang pernah berguru dalam olah kanuragan. Cara gurunya
yang aneh untuk membunuhnya justru telah membuatnya
menjadi seorang y ang mempunyai day a tahan yang sangat
tinggi. Karena itu, maka untuk mengalahkan Wantilan
diperlukan waktu dan kekuatan y ang lebih besar lagi daripada
yang telah dimilikinya. Sedangkan Ki Bekel ternyata mulai mengalami kesulitan
menghadapi lawannya. Bukan karena ilmunya yang kalah dari
Mahisa Semu. Tetapi Ki Bekel merasa salah langkah saat
mereka mulai dengan pertempuran itu, sehingga ia telah
terluka lebih dahulu. Luka itu sendiri tidak banyak berarti bagi
Ki Bekel. Namun lawannya telah memancingnya bertempur
pada jarak y ang panjang, sehingga dengan loncatan-loncatan
itu, darahnya menjadi bagaikan terperas dari luka -lukanya itu.
Akhirnya, maka Ki Bekel itu pun menjadi sangat lemah
sebelum ia mampu m embunuh lawannya y ang m asih sangat
muda itu meskipun ia yakin bahwa ia memiliki ilmu yang lebih
baik dari lawannya. Ki Demang dengan pedangnya yang besar memang sulit
untuk dilawan. Namun ternyata dua orang lawannya telah
mempergunakan kecepatan gerak m ereka untuk sekali-sekali
membingungkannya. Kedua orang lawannya tidak lagi
membiarkan senjata m ereka berbenturan. Tetapi sekali-sekali
lawannya itu meloncat menjauh. Namun tiba -tiba saja
keduanya meny erang dari arah yang berbeda.
Gerak yang cepat dan berputar-putar memang membuat
Ki Demang lebih banyak m engerahkan tenaganya. Betapapun
kuatnya tangannya, namun mengayun-ayunkan pedang yang
besar dengan kecepatan y ang tinggi adalah satu pekerjaan
yang memerlukan tenaga yang luar biasa besarnya.
Itulah sebabnya, maka setelah bertempur semakin lama,
maka tenaga Ki Demang pun menjadi semakin susut.
Namun pada saat y ang gawat, ternyata Ki Demang tidak
terjebak ke dalam kesulitan yang tidak teratasi. Ternyata
tetangga-tetangga Ki Sarpada telah kehilangan lawan-lawan
mereka. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan cepat telah
menyapu orang-orang upahan itu sehingga mereka tidak
berday a lagi. Karena itulah, maka tetangga-tetangga Ki Sarpada y ang
telah kehilangan lawannya itu pun telah mengepung kedua
orang lawan Ki Demang, sementara Ki Demang sendiri masih
memiliki kekuatan yang cukup.
Dengan demikian, maka kedua orang lawan Ki Demang
itu benar -benar telah menjadi gelisah. Mereka tahu akibat
yang dapat terjadi atas diri mereka jika mereka jatuh ke
tangan orang-orang padukuhan yang disetiap harinya sama
sekali tidak pernah b erpikir untuk membunuh seseorang itu.
Namun dalam keadaan seperti itu, maka mereka akan dapat
menjadi lebih garang dari serigala.
Ki Buyut pun kemudian melihat beberapa orang
mendekatinya. Ju stru pada saat Ki Buyut itu m erasa betapa
umurnya benar-benar sudah menjadi tua. Untunglah bahwa ia
datang dengan keris pusakanya, sehingga ia masih mampu
bertahan menghadapi orang upahan yang garang itu.
Pa da saat y ang tepat, beberapa orang telah datang
membantunya. Ketika nafasny a mulai terengah-engah.
Akhir dari pertempuran itu ternyata jauh berbeda dari
yang diangan-angankan oleh orang y ang ingin memiliki tanah
dan mata air itu. Orang-orang upahannya satu persatu jatuh
terbaring di tanah. Ada yang pingsan, ada y ang tidak tetapi
karena keadaannya orang itu tidak lagi mampu bangkit.
Demikian pula para pengikut Ki Bekel. Mereka justru
menjadi sasaran pelepasan kemarahan orang-orang
padukuhan. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih sempat
mencegahnya sehingga orang-orang itu tidak dibantai oleh
tetangga-tetangga Ki Sarpada y ang marah. Mereka memang
bertempur untuk kehidupan keluarga m ereka. Tanpa air dari
mata air di tanah Ki Sarpada, maka mereka tidak akan dapat
hidup. Sementara itu anak-anak dan isteri mereka
menggantungkan diri sepenuhnya dari u sahanya menggarap
sawah. Orang-orang upahan y ang masih tersisa itu sudah tidak
mempunyai harapan lagi. Mereka serasa bahwa mereka telah
gagal. Karena itu, maka selagi masih ada kemungkinan, mereka
sebaiknya meninggalkan arena pertempuran itu saja.
Tetapi untuk lari dari arena, ternyata sulit sekali.
Tetangga-tetangga Ki Sarpada telah mengepung m ereka yang
masih bertempur di hutan kecil y ang basah itu. Dengan
senjata apa saja yang dapat mereka bawa, maka mereka
ternyata menjadi orang-orang yang sangat mengerikan.
Dalam kesempatan itu, maka Ki Buyut telah berkata
lantang, "Letakkan senjata kalian, atau kami biarkan orangorang
itu membantai kalian. Kami dapat saja membiarkan
kalian mati dengan cara y ang paling tidak kalian sukai. Tetapi
kami masih berpijak pada sendi k emanusiaan sehingga kami
masih menawarkan kemungkinan agar kalian meny erah.
Kal ian akan menjadi tawanan kami dan kalian akan kami bawa
ke Kabuyutan. Karena kalian adalah orang-orang yang
berbahaya, maka kalian selanjutnya kalian akan kami bawa ke
Pakuwon untuk mendapatkan pengadilan."
Orang y ang ingin m emiliki tanah itu dengan kekerasan
tiba -tiba saja berteriak, "Tutup mulutmu tikus tua. Kau dan
orang-orang dungu y ang lain itu akan mati."
Namun suaranya terputus ketika hampir saja ujung
senjata Wantilan meny entuh mulutnya.
Tetapi adalah diluar dugaan, bahwa seorang di antara
orang-orang upahan itu berkata keras-keras, "Aku menyerah!"
Beberapa orang telah tertegun mendengar suaranya itu.
Apalagi ketika kemudian ia telah melemparkan senjatanya.
"Bagus," berkata Mahisa Murti, "nyawamu akan
diselamatkan. Kau menjadi tawanan Ki Buyut."
Ternyata sikapnya itu berpengaruh. Orang-orang y ang
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih bertempurpun kemudian melakukan hal y ang sama.
Mereka telah berloncatan mengambil jarak serta melemparkan
senjata mereka. "Pengecut," teriak orang yang ingin m emiliki tanah itu
dengan kekerasan, "kalian telah berkhianat. Kami telah
mengupah kalian dengan upah yang tinggi."
Tetapi terdengar Ki Demang berkata, "berapapun tinggi
upahnya, tetapi jika orang itu mati di pertempuran ini, maka
upah itu tidak akan berarti sama sekali."
"Tetapi sebagian dari upah itu sudah diterima," geram
orang y ang tamak itu. " Ia pun sudah mencoba untuk memperbandingkan
ilmunya. Kawan-kawannyapun telah t erluka, bahkan ada yang
parah. Dengan demikian upah yang diterimanya itu sudah
diimbangi dengan perbuatan," sahut Ki Demang.
Orang itu mengumpat ka sar. Tetapi ia tidak mampu
berbuat sesuatu. Apalagi ia m asih harus bertempur melawan
Wantilan. Dalam pada itu, Ki Buyut pun masih juga bertempur
sesaat. Tetapi lawannyapun telah melemparkan senjatanya
pula, sehingga dengan demikian maka pertempuran sebagian
telah berakhir. Dalam pada itu, Ki Bekelpun benar-benar sudah tidak
berday a lagi. Orang-orangnya pun telah dapat dikuasai
sepenuhnya oleh tetangga-tetangga Ki Sarpada. Bahkan ada di
antara orang-orangnya yang terluka parah.
"Apakah kau m emang akan membunuh diri Ki Bekel,"
geram Ki Demang. Ki Bekel tidak menjawab. Ketika Mahisa Semu memutar
pedangnya di depan dadanya, ia pun berusaha untuk
menangkisnya. Tetapi ay unan pedangnya sama sekali sudah
tidak bertenaga. Namun ternyata bahwa pengaruh sikap Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat telah terasa di dalam diri Mahisa Semu.
Ketika ia melihat lawannya tidak berdaya, maka ia pun tidak
lagi berniat untuk membunuhnya. Tangan Ki Bekel yang
terseret oleh ay unan pedangnya itu telah membuka
pertahanan sepenuhnya. Jika saja Mahisa Semu meloncat
menikam dadanya sampai ke jantung, Ki Bekel sudah tidak
akan dapat mengelak atau menangkisnya.
Tetapi Mahisa Semu tidak melakukannya. Dibiarkannya
Ki Bekel berdiri terhuyung-huyung sejenak. Sementara Ki
Demang yang sudah kehilangan lawannya itu m endekatinya,
"Meny erahlah Ki Bekel."
"Tutup mulutmu," Ki Bekel mencoba berteriak. Tetapi
tubuhnya y ang lemah sekali sudah tidak mampu lagi untuk
tegak. Karena itu, maka sejenak kemudian ia pun telah
terhuyung-huyung jatuh di tanah.
Tetapi Ki Bekel tidak mati. Bahkan pingsan pun tidak.
Namun kemungkinan itu akan dapat datang jika ia tidak
segera mendapat pertolongan.
Ki Buyut lah y ang kemudian mendekatinya sambil
berkata, "Jangan ter singgung jika aku mengobati luka-lukamu.
Hal itu harus segera dilakukan sebelum darahmu terkuras
habis sama sekali." Ki Bekel tidak-dapat menolak. Ia memang tidak berdaya
untuk menolaknya. Dalam pada itu, Ki Demang bersama orang-orang
padukuhan telah mengumpulkan para tawanan yang
menyerah. Namun dibawah pengawasan Ki Demang, maka
mereka masih mendapat tugas untuk merawat kawankawannya
yang terluka parah. Ternyata ketika mereka mulai
melihat kawan-kawannya itu, dua di antara mereka sudah
tidak tert olong lagi. Mati. Tiga orang luka-luka, seorang di
antaranya sangat parah. Tiga orang yang lain meskipun tidak
parah tetapi di tubuhnya terdapat beberapa goresan senjata.
Namun mereka masih termasuk orang-orang yang m erawat
kawan-kawannya yang lain.
Sementara Ki Buyut berusaha m engobati Ki Bekel y ang
hampir tidak lagi dapat diselamatkan.
Yang m asih bertempur adalah Wantilan dengan orang
tamak y ang ingin m emiliki tanah dan air didalamnya. Orang
itu nampaknya tidak melihat kemungkinan untuk dimaafkan.
Karena itu, maka ia benar-benar akan bertempur sampai mati.
Baginya lebih baik daripada m enjadi pengewan-ewan. Diikat
ditiang pendapa Kabuyutan sebelum dibawa ke rumah Akuwu.
Untuk beberapa saat lamanya, seakan-akan keduanya
dibiarkan saja m eny elesaikan pertempuran di antara m ereka,
sementara yang lain tengah merawat orang-orang yang
terluka. Namun ternyata bahwa keduanya memiliki
kemampuan y ang seimbang, sehingga karena itu, maka
keduanya seakan-akan bertempur tanpa batas.
Namun orang yang ingin menguasai tanah dan mata air
itu, nampaknya benar-benar telah menjadi putus asa sehingga
karena itu, maka ia menjadi semakin garang. Orang itu
seakan-akan dengan sengaja membunuh diri di arena
pertempuran itu. Rasa-rasanya ia sudah kehilangan segalagalanya.
Keinginannya untuk menguasai tanah itu menjadi
hancur bersama dengan hancurnya orang-orang upahannya.
Wantilan y ang mula -mula dengan mengerahkan segenap
kemampuan y ang ada padanya mampu bertahan, kemudian
rasa-rasanya ia memang mulai terdesak justru karena
lawannya menjadi putus asa.
Tetapi akhirnya Ki Buyut menjadi jemu pula menunggu.
Dengan lantang ia pun berkata kepada orang yang tamak itu.
"Meny erahlah. Semua per soalan akan kami nilai dari
awal. Kau tidak perlu takut diperlakukan semena-mena.
Hukuman y ang akan diterima oleh mereka yang bersalah,
tidak akan lebih berat dari yang seharusnya sesuai dengan
kesalahannya." "Persetan," geram orang itu, "jangan paksa aku
menyerah. Kalian hanya akan m endapatkan mayatku karena
aku tidak akan pernah berniat untuk meny erah."
"Kau harus menyadari bahwa di sekitarnya terdapat
banyak orang yang akan dapat menghentikan perlawananmu,"
berkata Ki Buyut. " Jika kalian ingin membunuhku, lakukanlah," berkata
orang itu. Ki Buyut termangu-mangu. T etapi ia benar-benar ingin
menyelesaikan pertempuran itu dan akan lebih baik jika orang
yang tamak itu tertangkap hidup-hidup.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat keinginan itu
membayang di wajah Ki Buyut. Sesuai dengan tugasnya pula,
maka Ki Buyut berniat untuk menangkap orang itu dan
mengadilinya di Pakuwon. Bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka orang itu
memang harus segera ditangkap. Keduanya juga melihat,
bahwa jika pertempuran itu berlangsung terus, maka Wantilan
akan dapat terdesak dan akhirnya dikalahkan.
Karena itu, maka kedua orang itu saling menggamit.
Dengan perlahan-lahan Mahisa Murti berdesis, "Marilah, kita
tangkap orang itu." Mahisa Pukat mengangguk k ecil. Ia pun sudah m enjadi
jemu berada di tempat itu. Apalagi melihat tingkah laku orang
yang mengamuk karena putus-a sa itu.
Karena itulah, maka keduanya pun telah mendekati
arena pertempuran antara Wantilan dan orang y ang putus-a sa
itu. Dengan lunak Mahisa Murti berkata kepada orang itu,
"Sudahlah. Meny erahlah. Kau tidak mempunyai seorang
kawan-pun lagi. Semua orang telah meny erah pula. Semua
orang upahanmu telah meny erah pula."
"Persetan," geram orang itu, "majulah bersama-sama.
Aku akan m embunuh kalian atau kalian akan membunuhku.
Tidak ada pilihan lain."
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah sering
memberikan isyarat. Dengan demikian maka dengan serta
merta keduanya telah meloncat m emasuki arena. Demikian
cepat, dalam landasan ilmu y ang tinggi, sehingga orang yang
telah kehilangan pegangan itu tidak sempat berbuat sesuatu.
Yang terjadi kemudian adalah demikian cepatnya.
Mahisa Murti telah menyambar orang itu dan dengan tiba-tiba
sa ja menangkap pergelangan tangannya, justru tangan itu
sedang terjulur meny erang Wantilan.
Sementara itu dengan cepat pula Mahisa Pukat
menjatuhkan diri sambil menyilangkan kakinya memutar kaki
lawannya sehingga lawannya itu kehilangan keseimbangan
dan jatuh berguling ber sama Mahisa Murti.
Semuanya begitu cepat terjadi. Orang -orang y ang
mengerumuninya hampir tidak dapat mengikuti dengan
pandangan mata wadag mereka. Karena itu, maka seakanakan
terjadi begitu saja dan dan dengan tiba -tiba, orang itu
sudah ditindih dengan lutut Mahisa Murti dan tangannya
terpuntir ke belakang menekan punggungnya.
Orang itu m engumpat kotor dan kasar. Namun Mahisa
Murti telah memperkuat pilinan tangannya, sehingga orang
yang tamak itu meny eringai dan berteriak keras, "Bunuh aku."
"Tidak," jawab Mahisa Murti, "aku tidak akan
membunuhmu jika kau menyerah."
"Setan kau. Aku tidak akan meny erah. Aku hanya
mengenal membunuh atau dibunuh," jawab orang itu.
"Aku akan memperkenalkanmu dengan kemungkinan
yang lain. Meny erahlah," berkata Mahisa Murti.
"Tidak," geram orang itu.
Namun bersamaan dengan itu, tangan Mahisa Murti
telah menekan tangan lawannya semakin keras. Katanya
semakin keras pula, "Meny erahlah."
"Tidak." orang itu pun berteriak semakin keras.
Mahisa Murti memang mulai kehilangan kesabaran.
Tetapi ia masih berusaha untuk menahan diri. Karena itu,
maka Mahisa Murti masih bertanya, "Apakah kau benar-benar
ingin meny elesaikan pertempuran ini menurut caramu?"
"Ya," jawab orang itu.
"Baiklah. Aku akan memberimu kesempatan untuk
mengambil senjatamu," berkata Mahisa Murti, "kau akan
berperang tanding melawan aku."
"Bagus," teriak orang itu sambil m enyeringai, "jika kau
seorang diri, maka kaulah y ang akan mengalami nasib seperti
nasibku sekarang. Tetapi aku akan bersikap lain. Aku akan
membunuhmu dengan caraku."
"Aku terima tantanganmu," berkata Mahisa Murti.
Mahisa Murti pun kemudian telah melepaskan orang itu.
Sementara Mahisa Pukat bersungut-sungut, "Kau hanya
memperpanjang waktu saja. Kenapa t idak kau cekik sekali
orang itu jika ia menolak tawaran yang paling lunak
kepadanya itu?" Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia benar-benar
telah memberikan kesempatan kepada lawannya untuk
mengambil senjatanya. "Tetapi ingat Ki Sanak," berkata Mahisa Murti, "y ang
kalah harus tunduk kepada y ang menang. Dibunuh atau tidak
dibunuh, itu sy aratku."
"Persetan dengan syaratmu," geram orang y ang telah
bersenjata itu, "aku sudah menggenggam senjataku kembali.
Aku tidak akan tunduk dengan syarat apapun juga. Aku bebas
berbuat apa saja sampai saat matiku."
"Kau memang gila," geram Mahisa Pukat, "mulutmu
pantas dikoyak." "Siapa berani melakukannya?" geram orang itu.
Mahisa Murti pun telah m elangkah mendekat. Dengan
suarabergetar ia berkata, "Jadi kau benar-benar tidak mau
mendengar sy aratku?"
"Aku beba s menentukan sikap. Aku tidak takut mati,"
berkata orang itu. "Baik," geram Mahisa Murti yang telah benar-benar
kehilangan kesabaran. Lalu katanya dengan suara berat,
"Sekarang bersiaplah."
Ketika orang itu mulai mengacukan senjatanya, maka
Mahisa Murti yang menjadi sangat marah itu justru telah
melemparkan pedangnya. Dengan sigapnya ia telah m eloncat
mengambil jarak dari lawannya.
Semua orang menjadi bertanya-tanya, apa yang akan
dilakukan oleh Mahisa Murti.
Ternyata Mahisa Murti y ang marah itu ingin
menunjukkan kepada lawannya tataran kemampuan ilmunya
yang sebenarnya. Karena itu maka ketika lawannya sedang
termangu-mangu, ia terkejut bukan buatan. Mahisa Murti
telah mengangkat tangannya. Tetapi tidak diarahkan kepada
tubuhnya. Seleret sinar seakan-akan telah m emancar dari telapak
tangannya m engarah ke sebuah bongkahan batu padas yang
besar sehingga batu padas itu telah menjadi pecah
berhamburan. Langkah Mahisa Murti itu telah mengejutkan orangorang
y ang ada di tempat itu. Mereka sama sekali tidak
mengira bahwa anak muda itu mampu melakukannya.
Demikian dahsyatnya, sehingga semua orang telah menjadi
gemetar. Selagi orang-orang itu menyaksikan hal itu dengan katakata
y ang bergetar berbicara yang satu dengan lainnya, maka
serangan Mahisa Murti pun telah sekali lagi menghantam batu
padas sehingga batu itu pun pecah berserakan.
Dengan demikian orang-orang itu pun menjadi gemetar.
Mereka sama sekali tidak menduga bahwa mereka telah
menyaksikan kemampuan seseorang yang luar biasa.
Tetapi mereka tidak dapat berbuat lagi. Mereka ternyata
sudah siap untuk memasuki tataran berikutnya jika
diperlukan. Orang yang berniat memiliki tanah dan air itu pun
terkejut bukan buatan. Apalagi ketika ia melihat kepingankepingan
batu padas yang menjadi remuk pecah berserakan.
Karena itu, m aka segala macam perkataan yang pernah
diucapkannya itu pun telah dilupakan. Ia sama sekali tidak
bertempur sampai mati. Peri stiwa y ang baru saja terjadi itu benar-benar telah
mengguncangkan dadanya y ang bagaikan berlapis tebal.
Betapapun keberanian membakar jantungnya, tetapi yang
dilakukan oleh Mahisa Murti itu memang mengejutkannya.
Dengan demikian maka orang itu m erasa dirinya sebenarnya
merupakan lawan y ang terlalu lemah bagi pengembara itu.
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba saja orang yang datang ingin menguasai tanah
itu benar-benar merasa diriny a tidak berday a. Ia mulai
membayangkan, apa jadiny a jika serangan anak muda itu
langsung diarahkan kepadanya. Tubuhnya pun tentu akan
hancur seperti batu-batu padas itu.
Karena itu, terpengaruh oleh kekuatan ilmu Mahisa
Murti, maka orang itu pun telah melemparkannya senjata pula
sambil berteriak, "Aku meny erah."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki
Buyut, Ki Demang dan para bebahu y ang lain pun telah
menarik nafas dalam-dalam pula. Dengan meny erahnya orang
itu, maka pusar dari persoalan memang telah dipecahkan di
hadapan beberapa orang saksi.
Namun ternyata orang-orang Kabuyutan itu t idak dapat,
melepaskan orang itu begitu saja.
Meskipun orang itu telah melemparkan senjatanya,
namun bagi orang -orang padukuhan, terutama yang ikut
mendapatkan air dari mata air di tengah-tengah tanah milik Ki
Sarpada, orang itu adalah orang yang harus disingkirkan.
Apalagi orang itu telah m empersiapkan satu cara y ang paling
keji untuk membinasakan Ki Sarpada dan sekelompok orangorang
yang siap mempertahankan tanah itu. Bahkan termasuk
Ki Demang dan Ki Buyut. Karena itu, m aka beberapa orang telah m engepungnya
dengan serta merta. "Bunuh orang itu," teriak seseorang.
Suara itu seperti api y ang menyentuh minyak. Karena
itu, maka dengan cepat m enjalar sehingga sejenak kemudian,
maka beberapa orangpun telah berteriak-teriak, "Bunuh.
Bunuh orang itu." Orang itu m enjadi bingung. Senjatanya sudah terlanjur
dilemparkannya. Sementara itu, orang-orang padukuhan itu
akan mencincangnya dengan penuh kebencian.
" Jangan, jangan," tiba-tiba ia berteriak.
Orang itu adalah orang y ang berani menghadapi segala
macam kekerasan. Orang y ang tidak pernah merasa gentar
dan orang y ang juga tidak pernah merasa takut. Mati
merupakan taruhan y ang sering dilakukannya untuk mencapai
tujuannya. Seandainya orang itu tidak dikejutkan oleh kemampuan
Mahisa Murti y ang sangat t inggi, maka orang itu tidak akan
meletakkan senjatanya sampai mati sekalipun. Namun ju stru
karena ia terkejut setelah melihat sesuatu yang tidak
diduganya, serta bayangan tubuhnya y ang hancur berkepingkeping,
m aka ia pun telah melemparkan senjatanya. Namun
ternyata, mati karena kekuatan ilmu anak muda itu masih jauh
lebih baik daripada harusmati dicincang oleh orang-orang
yang sedang marah itu. Namun ketika orang itu sudah sampai kepuncak
kecemasannya, maka terdengar suara Ki Buyut, "Cukup.
Jangan lakukan gejolak perasaan kalian atas orang itu.
Serahkan orang itu kepadaku."
"Tetapi ia sudah berniat untuk membunuh kita
semuanya," teriak seseorang.
"Tetapi hal itu belum pernah dilakukannya," jawab Ki
Buyut. "Sudah, meskipun baru di angan-angannya. Tidak
banyak berbeda dengan jika hal itu benar-benar di
lakukannya," teriak yang lain lagi.
"Dengar," tiba -tiba suara Ki Buyut lantang, "aku adalah
Buyut dari Kabuyutan ini. Kalian harus mendengar katakataku.
Jika tidak, maka aku tidak akan bertanggung jawab
atas apa yang terjadi di sini."
Orang-orang itu mulai berpikir. Ternyata Ki Buyut
benar-benar tidak membiarkan orang-orang itu bertindak
dengan cara mereka itu. Dalam pada itu, maka Mahisa Murti pun berteriak
lantang, "Jangan sentuh orang itu. Serahkan semuanya kepada
Ki Buyut. Jika aku membiarkannya terbunuh, maka aku akan
langsung membunuhnya dengan ilmuku. Ia tidak boleh begitu
mudahnya mati. Ia harus melihat kenyataan yang
dihadapinya. Ia harus bertanggung jawab atas perbuatannya.
Karena itu, jangan bunuh orang itu. Kematian adalah justru
menjadi harapannya untuk m enghindari pertangungjawaban
itu." Suara Mahisa Murti itu terasa menggelegar di dada
setiap orang. Karena itu, maka orang-orang padukuhan itu
pun telah berusaha menahan diri. Beberapa langkah mereka
surut menjauhi orang y ang tamak itu.
Ki Buyutlah yang kemudian berpaling kepada Mahisa
Murtidan berkata, "Terima kasih anak muda. Kau telah
melakukan sesuatu y ang luar biasa. Sepanjang hidupku aku
belum pernah melihat orang semuda Ki Sanak, mampu
melakukan pengeram-eram seperti itu."
"Maaf Ki Buyut. Bukan maksudku menunjukkan satu
permainan yang kasar di sini. Tetapi aku tidak mempunyai
cara lain untuk memecahkan per soalan y ang rumit ini.
Sekarang silahkan menangkap orang itu dan membawanya
sebagai tawanan. Di sini ada banyak saksi y ang dapat
memberikan keterangan tentang peristiwa yang baru saja
terjadi ini." "Aku akan membawanya dan kemudian
menyerahkannya kepada Sang Akuwu. Namun bagi Sang
Akuwu, kesalahan orang itu tentu tidak akan lebih besar dari
kesalahan seorang Bekel yang telah mempergunakan
kuasaannya untuk membantu dan bahkan m elakukan sendiri
kejahatan. Karena itu, maka Ki Bekelpun akan aku hadapkan
kepada Sang Akuwu atas perbuatannya y ang tercela, karena ia
telah menyalah gunakan kekuasaannya untuk membantu
orang itu merampas tanah yang sangat berharga dari orang
lain. Tanah y ang mengandung air di dalamnya, sehingga
merupakan tanah y ang bukan saja dapat menghidupi
lingkungannya sendiri, tetapi juga tanah di sekitarnya,"
berkata Ki Buyut kemudian.
Tidak seorang pun y ang berani melawan ketika Mahisa
Pukat dan Mahisa Semu m engikat beberapa orang yang telah
menjadi tawanan itu, y ang kemudian dibantu oleh beberapa
orang y ang lain. "T olong, bawa mereka ke rumahku," berkata Ki Buyut
kepada beberapa orang yang hampir saja m embunuh orang
itu. Ada bagian cerita yang hilang di s ini
Dengan sungguh-sungguh tabib itu berusaha untuk
mengobati Ki Sarpada. Ia telah mempergunakan obatnya yang
terbaik. Beberapa saat tabib itu m enunggu. Demikian pula Nyi
Sarpada, Wantilan dan orang-orang lain yang ada di rumah
itu. Termasuk Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu.
Hampir setiap orang berusaha menahan ketegangan
yang menghimpit jantungnya, sementara Ki Sarpada masih
sa ja diam di pembaringannya.
Tetapi wajahnya tidak lagi nampak terlalu pucat. Sedikit
demi sedikit darah bagaikan mengalir lagi di tubuhnya,
sehingga pernafasannya pun mulai menjadi wajar lagi.
Tabib itu menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia meraba
tangan Ki Sarpada, maka Ki Sarpada itu m embuka matanya.
Dengan senyumnya y ang masih nampak di bibirnya ia berkata,
"Tubuhku terasa semakin baik. Di mana Wantilan?"
Wantilan telah mendekat. Dengan jantung y ang
berdebaran ia berdesis, "Ya paman."
Ki Sarpada menarik nafas,namun nampaknya dadanya
masih terasa sakit. Nampaknya ia menahan perasaan sakit itu.
"Paman," desis Wantilan.
"Aku tidak apa -apa. Obat itu sangat baik bagiku,
sehingga tubuhku merasa lebih segar," berkata Ki Sarpada,
"tetapi bagaimanapun juga, segala sesuatunya tergantung
kepada Yang Maha Agung. Hidup kita sangat tergantung
kepada Ny a." "Tabib itu menjadi perantara untuk menyembuhkan
paman. Obatnya pun akan menjadi sarana kebaikan paman,"
berkata Wantilan. "Panggil bibimu," berkata Ki Sarpada.
Wantilan termangu-mangu sejenak. Tetapi ia pun
kemudian berpaling kepada bibiny a sambil berdesis, "Bibi.
Silahkan." "Bagaimana dengan pamanmu?" suara Ny i Sarpada
gemetar. Wantilan tidak menjawab. Sementara Nyi Sarpada
menjadi ragu -ragu untuk mendekat.
Tetapi ketika terdengar suara Ki Sarpada memanggilnya,
maka Nyi Sarpada pun telah melangkah mendekat. Ny i
Sarpada tidak duduk di bibir amben pembaringan suaminya,
tetapi ia berjongkok di sisi pembaringannya itu.
"Kakang," suaranya dalam sekali.
"Aku tidak apa-apa," berkata Ki Sarpada, " obat itu
membuat tubuhku terasa semakin segar. Darahku rasarasanya
sudah mengalir lagi ke seluruh bagian tubuhku
sampai ke urat nadi y ang sekecil-kecilnya."
"Syukurlah kakang," berkata Ny i Sarpada, "Kakang akan
segera sembuh." "Ya, aku akan segera sembuh. Sehingga aku akan dapat
menempuh perjalanan y ang sangat jauh ini," desis Ki Sarpada.
"Kakang," Ny i Sarpada hampir menangis. Ia memang
melihat wajah suaminya tidak lagi nampak seputih kapas.
Darahnya memang mulai menghangatkan tubuhnya. Tetapi
suaminya tidak menjadi bertambah baik. Ra sa-rasanya ia
menjadi semakin lemah dan kehilangan daya tahan sama
sekali. Ki Sarpada tidak menjawab. Karena itu, maka Nyi
Sarpada itu hampir berteriak, "Kiai, tolonglah suamiku Kiai."
Tabib itu melangkah mendekat. Ia tidak mengerti apa
yang harus dilakukannya. Obat yang terbaiknya sudah
dicairkan dan diminumkannya di sela-sela bibir Ki Sarpada.
Wajahnya yang pucat telah m enjadi kemerah-merahan lagi.
Darahnya mulai m engalir teratur, sementara jantungnya pun
berdenyut dengan wajar."
Tetapi nampaknya keadaan Ki Sarpada menjadi semakin
memburuk. Sekali-sekali matanya terpejam untuk beberapa
saat lamanya. "Apakah gejolak obatku yang mulai bekerja di dalam
tubuhnya belum selesai sama sekali," berkata tabib itu kepada
diri sendiri. Tetapi sebenarnyalah keadaan Ki Sarpada menjadi
semakin mencemaskan. Orang-orang yang ada di sekitarnya hanya dapat
menunggu kemurahan Yang Maha Agung. Mereka berdoa
kepada Nya, agar Ki Sarpada mendapat kurnia kesembuhan
daripada-Ny a. Namun segalanya memang sudah ditentukan. Sarpada
itu telah berdesis, "Wantilan. Kaulah pewaris tanah dan mata
air itu. Orang-orang y ang ada di sini menjadi saksi. Karena itu,
maka segala sesuatunya terserah kepadamu. Aku hanya
menitipkan bibimu." "Paman, paman," Wantilan telah berjongkok pula disisi
pembaringan sambil berusaha untuk mengguncang kaki
pamannya. Tetapi Ki Sarpada yang masih nampak tersenyum itu
berkata, " Ikhlaskan saja aku, agar perjalananku menghadap
Yang Maha Agung tidak tertahan-tahan di perjalanan," berkata
Ki Sarpada. Lalu tangannya perlahan-lahan bergerak m eraba
rambut isterinya, "Baik -baiklah menjaga diri Nyai. Aku
titipkan kau kepada kemenakanku. Ia adalah satu-satunya
orang y ang berhak atas tanah dan mata air itu."
"Kakang," Ny i Sarpada m enjerit ketika ia melihat mata
suaminya tertutup. Senyum itu masih ada dibibirnya. Namun
nafasnya bagaikan telah terhenti dengan serta merta.
"Kiai, bagaimana dengan paman Kiai?" bertanya
Wantilan. Tabib itu menggeleng lemah sambil berdesis, "Tidak ada
kekuatan yang mampu mencegah perjalanannya."
Wajah Wantilan menjadi semakin tegang. Ia sama sekali
tidak mengira bahwa ia datang pada saat y ang buram. Namun
seandainya ia tidak datang, maka kemungkinan lain akan
terjadi atas tanah dan mata air itu.
Beberapa saat suasana menjadi tegang. Namun
kemudian suasana itu telah dipecahkan oleh jerit Nyi Sarpada
ketika ia y akin bahwa suaminya telah meninggal.
Suasana memang menjadi sedikit kacau. Beberapa
orang-pun telah bergerak mendekat untuk mey akinkan,
apakah Ki Sarpada memang sudah meninggal.
Ternyata Ki Sarpada memang telah meninggal justru
pada saat orang -orang lain menyangka keadaannya menjadi
berangsur baik. " Ia telah memaksa diri," berkata Wantilan, "seharusnya
ia tidak pergi ke mata air itu."
Tetapi tabib itu berkata, "Hanya lantaran. Tidak
seorang-pun yang tahu yang akan terjadi. Apalagi menyangkut
umur seseorang." Wantilan mengangguk-angguk. Namun kemudian ia
bergeser mendekati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang
berdiri termangu-mangu, "Bagaimana dengan aku.
Seharusnya aku ikut bersama kalian. Tetapi paman meninggal
saat aku siap untuk berangkat."
"Kau mempunyai kewajiban y ang lebih penting
daripada menjadi seorang pengembara," berkata Mahisa
Murti. "Aku tahu, kalian bukan pengembara kebanyakan.
Bukankah seperti y ang kau katakan, kau akan kembali ke
padukuhanmu" Aku sebenarnya ingin berguru kepada kalian.
Jika aku harus tinggal, maka rencana itu tentu akan gagal."
" Jangan kau ri saukan sekarang," berkata Mahisa Murti,
"yang penting kau selenggarakan dahulu pamanmu."
Wantilan menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu
tetangga-tetangganya telah menjadi sibuk karena kematian Ki
Sarpada itu. Bahkan seorang di antara m ereka telah berpacu dengan
seekor kuda y ang meskipun seekor kuda yang kecil namun
lebih cepat dari sekedar berlari-lari, menuju ke rumah Ki
Buyut dan Ki Demang. Tetangga-tetangga Ki Sarpada y ang berada di rumah Ki
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Buyut, demikian mendengar kematian Ki Sarpada dengan
tergesa -gesa akan m eninggalkan rumah Ki Buyut. Namun Ki
Buyut telah m enahanya dan berkata, "Tunggu sebentar. Aku
juga akan pergi ke rumah Ki Sarpada. Tetapi kita selesaikan
dahulu orang-orang itu. Karena di antara mereka juga terdapat
orang-orang y ang terbunuh di peperangan."
"Sampai kapan Ki Buyut selesai?" bertanya salah
seorang. "Baiklah. Biarlah Ki Demang mengurusiny a di sini. Aku
akan pergi ke rumah Ki Sarpada," berkata Ki Buyut.
Sebenarnyalah bahwa Ki Buyut telah pergi ke rumah Ki
Sarpada bersama dengan orang -orang padukuhan y ang telah
ikut ke rumah Ki Buyut untuk mengurus para tawanan.
Ki Buyut tahu, bahwa Ki Sarpada tidak mempunyai
keluarga lain kecuali Nyi Sarpada sendiri, sehingga ia
memerlukan kawan untuk berbincang. Kemanakannya yang
baru datang itu pun tentu merasa agak canggung untuk
mengurus kematian pamannya.
Dengan demikian, maka Ki Buyut dan para
tetangganyalah yang telah meny elenggarakan Ki Sarpada yang
ternyata telah meniggal justru saat ia merasa persoalannya
telah selesai. Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Mahisa
Amping pun telah tertahan lagi. Mereka tidak sampai hati
meninggalkan Wantilan dalam keadaan y ang demikian.
Karena itu, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan adikadik
angkat mereka telah ikut membantu m eny elenggarakan
Ki Sarpada sampai selesai, meskipun dengan demikian mereka
telah menunda perjalanan mereka dengan tiga hari lagi.
Pa da hari yang ketiga, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat
dan adik-adik seperguruannya telah siap untuk melanjutkan
perjalanan mereka. Namun Wantilan telah berusaha untuk
menahannya. "Aku sebenarnya ingin ikut bersama kalian," berkata
Wantilan. " Jangan," berkata Mahisa Murti, "kau telah mendapat
peny erahan dari pamanmu. Bukan sekedar tanah dan mata air
itu, tetapi juga bibimu. Kau harus mengurus bibimu, setidaktidaknya
untuk beberapa lama."
"Tetapi dengan tetap tinggal di sini, maka aku tidak
akan mendapatkan ilmu itu," jawab Wantilan, "aku akan tetap
menjadi orang dungu seperti sekarang ini, sehingga akan
mudah menjadi sasaran ketamakan orang lain."
" Jika kau pergi, bagaimana dengan bibimu?" bertanya
Mahisa Pukat. "Aku akan berbicara dengan Ki Buyut," jawab Wantilan,
"mudah-mudahan Ki Buyut dapat memberikan petunjuk
bagiku." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
mempersilahkannya. Jika Ny i Sarpada itu memang ada yang
bersedia merawat di usia tuanya, maka hal itu tentu akan
menjadi lebih baik. Baik bagi bibinya itu sendiri, maupun bagi
Wantilan y ang ingin meninggalkan padukuhan itu untuk
waktu yang tidak terbatas.
Ketika hal itu disampaikan kepada Ki Buyut, maka Ki
Buyut memang terkejut. Dengan nada tinggi ia berkata, "Tidak
ada orang y ang lebih baik merawat Nyi Sarpada serta
mengurus tanah dan mata air itu kecuali kau sendiri
Wantilan." Wantilan menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih
berusaha untuk menjelaskan, "Ki Buyut. Aku selama ini
merasa bahwa aku adalah orang y ang sangat dungu. Aku ingin
menambah pengetahuanku tidak saja di bidang olah
kanuragan. Tetapi aku tahu, bahwa jika aku ikut bersama
anak-anak muda y ang mengaku pengembara itu, maka
pengetahuanku akan meningkat. Jika kelak aku datang lagi ke
Kabuyutan ini, mudah-mudahan aku menjadi lebih berarti
dari sekarang. Bukan saja bagi bibi, tetapi juga bagi tanah dan
mata air itu. Lebih-lebih lagi, jika mungkin bagi kehidupan di
Kabuyutan ini." "Tetapi lalu bagaimana dengan Nyi Sarpada jika ia kau
tinggalkan?" bertanya Ki Buyut.
"Bagaimana jika aku tidak secara kebetulan singgah di
sini?" bertanya Wantilan.
" Bibimu tidak dapat mengharapmu tinggal. Tetapi ia
akan mengalami satu kehidupan y ang pahit. Gersang sampai
saat terakhirnya, karena bibimu juga sudah m enjadi semakin
tua," berkata Ki Buyut."
"Ki Buyut," berkata Wantilan, "kita tidak tahu, kapan
saat -saat akhir dari hidup seseorang. Tetapi menurut ujud
kelahirannya, bibi belum terlalu tua. Ia akan dapat bertahan
hidup untuk beberapa tahun lagi. Aku harap aku akan kembali
sebelum saat itu tiba. Kecuali bibi memang dipanggil lebih
cepat dari umurnya, sebagaimana paman."
Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Bagiamanapun juga
sulit baginya untuk mengerti jalan pikiran Wantilan. Karena
itu maka ia pun berkata, "Wantilan. Seharusnya kau tidak
sampai hati meninggalkan bibimu dalam keadaan seperti itu."
Wantilan menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian
katanya, "Ki Buyut. Bagaimana jika aku mohon pertolongan Ki
Buyut agar Ki Buyut dapat menunjuk seseorang untuk
membantu bibi. Selama ini ada seorang tetangga y ang bekerja
di rumah paman sehingga kehadirannya sangat m eringankan
kerja paman sehari -hari. Jika Ki Buyut sependapat, maka bibi
akan dapat aku titipkan pada keluarga orang itu. Namun aku
mohon Ki Buyut tidak berkeberatan untuk m engawasi tanah
dan mata air itu, sehingga akan tetap dapat dipergunakan bagi
banyak orang seperti saat paman Sarpada masih ada."
"Satu kepercayaan yang berat bagiku Wantilan. Tetapi
segala sesuatunya tergantung kepada bibimu. Aku baru akan
menyanggupi perm intaanmu jika bibimu meny etujuinya. Jika
bibimu mempunyai pendapat lain, maka kita harus
membicarakannya lebih jauh," jawab Ki Buyut.
Wantilan mengangguk. Katanya, "Aku sependapat Ki
Buyut. Aku akan berbicara dengan bibi. Aku mohon Ki Buyut
dapat hadir dalam pembicaraan itu, atu aku dan bibi akan
bersama-sama menghadap Ki Buyut."
"Aku akan datang ke rumah Ny i Sarpada," berkata Ki
Buyut, "aku juga akan berbicara dengan orang y ang kau sebutsebut
membantu di rumah Ki Sarpada. Apakah orang itu
benar-benar dapat dipercaya atau tidak."
"Meskipun aku baru saja mengenalnya Ki Buyut, tetapi
aku percaya kepadanya," jawab Wantilan.
"Besok aku akan datang ke rumah Nyi Sarpada sebelum
tengah hari," berkata Ki Buyut.
"Terima ka sih Ki Buyut," Wantilan berhenti sejenak.
Lalu katanya, "seandainya di padukuhan kami, Ki Bekel tidak
terlibat, maka aku tidak akan terlalu menggangu Ki Buyut
sekarang ini." "Aku juga akan menyelesaikan persoalan Ki Bekel di
padukuhan itu. Ia tidak mungkin memangku jabatannya
kembali untuk selama-lamanya. Keturunannya pun sulit untuk
mendapat kepercayaan kembali. Karena itu, harus dicari orang
lain y ang mampu menduduki jabatan itu," berkata Ki Buyut.
"Hal itu dapat ditanyakan kepada para penghuni
padukuhan. Langsung atau tidak langsung. Mereka akan dapat
menunjuk seseorang yang menurut mereka paling baik,
meskipun y ang paling baik menurut mereka itu pun dapat
keliru," jawab Wantilan, "namun kekeliruan itu akan
dipertanggungjawabkan oleh semua orang y ang telah
memilihnya." Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, "Besok aku juga
akan mulai merintis hal itu. Mudah-mudahan tidak akan
banyak hambatan." Dengan demikian maka Wantilan pun telah minta diri.
Iaingin berbicara lebih dahulu dengan bibiny a sebelum besok
Ki Buyut datang ke rumah bibinya sehingga hal itu tentu akan
sangat mengejutkannya. Ketika Wantilan sampai di rumah bibinya, maka
dilihatnya anak-anak muda yang mengaku pengembara itu
telah siap untuk berangkat. Mereka tinggal menunggunya
datang dari rumah Ki Buyut.
Tetapi dengan sungguh-sungguh Wantilan minta mereka
untuk menunda keberangkatan mereka.
"Besok Ki Buyut akan datang kemari. Pergi atau tidak
pergi besok aku akan dapat mengambil keputusan. Karena itu,
aku mohon kalian tinggal sampai besok sebelum tengah hari,"
minta Wantilan. Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
rendah ia berkata, "Sebenarnya aku tidak ingin perjalananku
tertunda lagi." "Aku tidak berani minta Ki Buyut datang hari ini," jawab
Wantilan. Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Dengan raguragu
ia berpaling kepada Mahisa Pukat. Ternyata Mahisa
Pukat juga menjadi ragu-ragu. Meskipun demikian, Mahisa
Pukat itu akhirnya berkata, "Apa boleh buat."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun
kemudian berkata, "Baiklah Paman Wantilan. Aku akan
menunda keberangkatanku sampai besok. Tetapi sebenarnya
aku pun berpendapat, bahwa bibimu memerlukan kau."
Wantilan m emandang Mahisa Murti dengan sor ot mata
yang aneh. Terasa pada sor ot matanya itu, jantungnya yang
bergejolak. Mahisa Murti pun dengan serta merta berkata, "Paman
Wantilan. Jangan salah paham. Aku tidak bermaksud menolak
keikutsertaanmu ke padepokan kami. Sudah aku katakan,
bahwakami akan menerima kehadiranmu dengan senang hati.
Seandainya tidak ada peristiwa ini, m aka kita sudah berjalan
semakin jauh, mendekati padepokan kami. Tetapi peri stiwa ini
terjadi dengan tiba-tiba tanpa kita perhitungkan lebih dahulu."
"Tetapi aku akan berbicara dengan Ki Buyut dan bibi,"
sahut Wantilan. "Paman Wantilan memang harus b erbicara dengan bibi
paman itu," berkata Mahisa Pukat kemudian, "kami m emang
merasa agak keberatan, jika bibi paman itu tidak
membenarkan paman pergi."
Wantilan m engangguk-angguk. Dengan nada rendah ia
kemudian berkata, "Terima ka sih atas kesediaan kalian
menunda perjalanan kalian."
Mahisa Murti, Mahisa Puka, Mahisa Semu dan Mahisa
Amping y ang sudah siap untuk berangkat, harus menunda keberangkatan
mereka. Namun mereka memang t idak dapat
berbuat lain. Tetapi hari itu rasa-rasanya memang terlalu panjang.
Matahari terasa begitu lambat mengarungi langit. Bahkan di
tengah hari, matahari seakan-akan hinggap di puncak langit
dan tidak bergerak lagi. Namun akhirnya hari itu pun sampai pada ujungnya.
Senja-pun turun dan malam akhirnya meny elimuti padukuhan
itu. Tetapi malamlah yang kemudian terasa semakin lamban.
Ra sa -rasanya waktu sama sekali tidak bergerak. Sementara itu
Wantilan rasa-rasanya tidak dapat memejamkan matanya
sama sekali. Dalam pada itu beberapa orang telah merayap
mendekati rumah Nyi Sarpada. Beberapa orang yang berwajah
garang. Seorang di antara mereka berkata, "Masalahnya bukan
lagi upah. Tetapi harga diri. Kita bunuh orang y ang ada di
rumah Ny i Sarpada, baru kita beba skan kawan-kawan kita
yang tertawan dan disimpan di rumah Ki Buyut. Dengan
demikian, maka untuk selanjutnya kita tidak akan kehilangan
kepercayaan. Orang-orang y ang telah mengenal kita dengan
baik seperti orang y ang akan memiliki tanah itu, akan tetap
yakin bahwa kita dapat menyelesaikan semua per soalan yang
telah kita sanggupi."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Seorang y ang
bertubuh agak gemuk berkata, "Kalau kita lumatkan m ereka,
baru Ki Buyut menyadari, bahwa sebaiknya ia tidak
menentang kehendak kita. Gerombolan Sarpa Wereng harus
tetap dihormati di sini. Ki Sarpada dan orang-orang yang
melindunginya telah mencoreng arang di wajah kita. Kita
memang tidak menyangka bahwa sepuluh orang dari
gerombolan Sarpa Wereng tidak dapat menyelesaikan
persoalan tanah dan mata air itu. Justru ada orang yang lolos
dan mampu menjumpai Ki Demang dan bahkan Ki Buyut yang
bersama-sama tetangga-tetangga Ki Sarpada telah berani
melawan kita." "Semua harus mati. Baru kita akan dapat m emulihkan
nama besar kita. Beberapa orang anggauta kita telah terbunuh
di hutan kecil tempat mata air yang diperebutkan itu dengan
cara y ang sangat memalukan," berkata orang yang nampaknya
pemimpin dari ger ombolan Sarpa Wereng y ang memang
bernama Sarpa Wereng. Lalu katanya, "Karena itu, kita harus
membunuh mereka semua."
Dengan diam-diam seorang demi seorang dari
gerombolan Sarpa Wereng itu telah meny elinap memasuki
halaman rumah Nyi Sarpada. Dengan berhati-hati pula
mereka telah mendekati rumah itu dari sisi. Mereka memasuki
longkangan lewat seketheng.
Namun ternyata bahwa mereka telah mendekati bilik
Wantilan y ang tidak dapat memejamkan matanya sama sekali.
Karena itulah, m aka Wantilan y ang berbaring diam itu
telah mendengar desir lembut diluar dinding bilikny a.
Ketika Wantilan mendengar suara berbisik, maka ia
sa dar, ada beberapa orang berada di luar.
Untuk beberapa saat Wantilan hanya berdiam diri saja.
Lampu minyak y ang kecil dibiliknya berkerdipan disentuh
angin y ang menyusup dari lubang-lubang dinding bambu.
Karena Wantilan berusaha untuk tetap diam, maka
orang-orang yang berada diluar dinding itu menyangka bahwa
isi rumah itu telah tertidur.
"Kita lihat disisi y ang lain," terdengar bisik lembut y ang
hampir tidak dapat didengar. Namun dalam keseny apan
malam, Wantilan masih sempat mendengar y ang meskipun
tidak jelas, tetapi ia dapat menangkap maksudnya.
Sementara itu, Wantilan mendengar langkah-langkah
perlahan sekali meninggalkan tempatnya dan bergeser ke
belakang. Nampaknya orang-orang itu akan mengelilingi
rumah lewat halaman belakang.
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kesempatan itu telah dipergunakan oleh Wantilan untuk
dengan sangat berhati-hati bangkit dari pembaringannya,
sehingga tidak terdengar gerit pembaringannya itu. Sambil
berjingkat ia telah pergi ke bilik y ang lain, bilik yang
diperuntukkan bagi tamu-tamunya sepeninggal Ki Sarpada.
Kedua bilik itu telah dipisahkan oleh bilik tengah yang
dipergunakan oleh Nyi Sarpada y ang masih saja berkabung
sepeninggal suaminya. Dengan sangat berhati-hati Wantilan membuka pintu
yang tidak diselarak. Namun Wantilan tidak perlu
membangunkan anak-anak muda itu. Demikian pintu itu
terbuka, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah duduk
meskipun masih di atas pembaringan.
Dengan isyarat Wantilan memberitahukan bahwa ada
orang diluar dinding biliknya.
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk,
maka Wantilan pun telah bergeser kembali ke dalam biliknya.
Ia m asihcuriga karena m ungkin masih ada di antara orangorang
itu y ang berada di sebelah biliknya.
Namun ternyata Wantilan tidak lagi m endengar suara
betapa pun lembutnya di luar dinding biliknya. Karena itu,
maka ia memperhitungkan bahwa orang-orang itu sudah
bergeser ke sisi y ang lain.
Sebenarnyalah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang
sudah terbangun oleh derit pintu biliknya, telah berusaha
untuk mendengarkan suara di luar biliknya. Sebenarnyalah
beberapa saat kemudian, mereka mendengar langkah kaki dan
kemudian desir perlahan -lahan sekali.
"Sudah tidur semuanya," terdengar lamat-lamat suara
seseorang y ang berbisik.
"Tunggu, tunggu sejenak," sahut y ang lain tertahan,
namun dapat ditangkap oleh t elinga Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Sejenak tidak terdengar suara apapun lagi. Agaknya
orang-orang y ang diluar bilik itu pun menunggu dengan
sangat berhati-hati. Dalam keadaan y ang demikian Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat pun berdiam diri pula. Karena itu, maka orangorang
yang berada diluar bilik itu mengira bahwa Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat memang sudah tertidur pula.
Beberapa saat kemudian, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat mendengar lagi suara berbisik, "Marilah. Kita
masuki rumah ini dengan serta merta dan membunuh semua
orang y ang ada di dalam tanpa belas kasihan. Jika kita masih
sempat berpikir sekejap saja tentang keragu-raguan kita, maka
kita tidak akan berani berbuat sesuatu atas mereka y ang telah
menghancurkan keluarga Sarpa Wereng. Karena itu, jangan
memikirkan siapa yang kalian hadapi. Kalian harus
membunuhnya." Tidak ada y ang menjawab. Sementara itu terdengar
suaralagi, "Kita pecahkan pintu butulan sebelah."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah m endengar desir
langkah beberapa orang yang bergeser menuju ke pintu
butulan. Dengan demikian maka kedua orang itu pun segera
bersiap. Mereka tidak boleh terlambat, karena orang-orang
yang datang itu pun telah siap untuk membunuh siapa saja
yang mereka jumpai di rumah itu.
Sebelum orang-orang itu m erusak pintu butulan, maka
kedua orang itu telah bersiap di ruang dalam. Sementara
Mahisa Semu yang telah dibangunkan pula perlahan-lahan,
telah bersiap dengan pedangnya.
Agaknya Wantilan telah bersiap-siap pula didalam
biliknya, sehingga ketika ia mendengar langkah di bilik Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat, maka Wantilan pun telah berdiri di
pintu biliknya pula. Orang-orang y ang di luar memang m endengar langkah
orang di dalam rumah itu. Tetapi mereka sudah berada di
muka pintu. Karena itu, maka justru mereka telah
mempercepat usaha mereka membuka pintu butulan itu.
Sejenak kemudian terdengar pintu butulan itu berderak
keras. Oleh pukulan tangan beberapa orang, ternyata pintu itu
telah pecah berkeping-keping.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang surut
selangkah. Keduanya dengan cepat dapat m enilai, bahwa ada
di antara orang-orang y ang m emecah pintu itu seorang atau
dua orang y ang berilmu tinggi.
"Siapa kalian Ki Sanak?" dengan geram Mahisa Murti
bertanya. Tetapi orang-orang y ang memasuki rumah itu telah
menerima perintah untuk membunuh setiap orang tanpa
kesempatan untuk berpikir. Karena itu, maka tanpa menunggu
lagi, dua orang telah berlari dengan pedang terjulur lurus
mengarah ke dada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Serangan itu telah m embuat Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat marah sekali. Dua orang y ang dengan serta merta
berusaha membunuh mereka tanpa diketahui lebih dahulu
apakah mereka pantas untuk dibunuh atau tidak dalam
hubungannya dengan gerombolan y ang datang itu.
Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
telah melawannya dengan tidak tanggung-tanggung. Sambil
berdesis Mahisa Murti bergeser menghindari ujung pedang
lawannya, "Singkarkan saja orang gila ini."
Mahisa Pukat memang meloncat selangkah surut.
Namun isyarat saudaranya itu telah dijadikan keputusan
niatnya. Karena itu, maka ia pun telah mengambil sikap yang
pasti. Ternyata kedua orang y ang meny erang Mahisa Pukat
dan Mahisa Murti itu sama sekali tidak mengenai sa sarannya.
Bahkan sambil bergeser menghindar, Mahisa Pukat dan
Mahisa Murti itu telah meny erang kembali. Serangan dua
orang yang sedang marah, sementara keduanya memiliki ilmu
yang tinggi. Karena itu, ketika sisi telapak tangan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat mengenai tubuh kedua orang yang m eny erang
mereka dengan pedang itu, maka keduanya sama sekali tidak
mampu bertahan lagi. Sisi telapak tangan Mahisa Murti ternyata telah
mematahkan tulang leher orang yang meny erangnya,
sementara tangan Mahisa Pukat yang masuk ke bagian rusuk
lawannya itu telah mematahkan beberapa tulang rusuknya dan
sekaligus merontokkan isi dadanya.
Dengan demikian maka kedua orang itu pun telah
terdorong beberapa langkah, terbanting jatuh dan selanjutnya
tidak bangkit kembali. Pemimpin dari gerombolan yang menyebut dirinya
Sarpa Wereng itu terkejut. Mereka tidak mengira bahwa
demikianmudahnya kedua orangnya itu terbunuh. Karena itu,
maka ia pun telah meneriakkan aba-aba, "Bunuh orang-orang
itu. Bakar rumah ini dengan segala isiny a."
"Gila. Kalian telah gila. Kenapa kalian m elakukan hal
itu?" bertanya Wantilan dengan nada tinggi.
"Persetan," geram pimpinan gerombolan itu, "cepat,
bakar rumah ini. Kita harus mencegah m ereka keluar. Jaga
pintu butulan yang lain dan pintu pringgitan."
Ternyata ger ombolan itu cukup banyak untuk
melakukan perintah pemimpinnya. Terdengar derap kaki
orang berlari-lari berputaran. Ada y ang menuju ke butulan
dan ada y ang menuju ke pringgitan.
Sementara itu pemimpin ger ombolan itu berkata, "Nah,
sa dari akan keadaan kalian. Rumah ini akan aku bakar. Kalian
tidak akan dapat berbuat apa-apa. Semua pintu telah dijaga.
Kal ian akan mati di dalam api, atau kalian akan mati diujung
senjata orang-orangku demikian kalian keluar dari pintu yang
manapun juga." Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menunggu
semua itu terjadi. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun berkata
lantang, "Bagus. Kita akan bertempur mati-matian. Jika kalian
bersungguh-sungguh akan membunuh kami, maka kami akan
membunuh kalian lebih dahulu."
"Cukup," teriak pemimpin itu. Dengan suara lantang ia
pun berteriak pula keras-keras, "cepat, bakar rumah ini
sekarang." Mahisa Murti pun berkata lantang pula, "Wantilan.
Selamatkan bibimu. Aku akan meny elesaikan orang-orang
ini." Namun sementara itu, api sudah menyala dari bagian
belakang rumah itu. Dengan cepat menjalar sampai ke atas."
Wantilan yang akan memasuki bilik bibinya hampir saja
justru melanggarnya. Bibinya y ang mendengar hiruk pikuk itu
puntelah bergegas keluar dari biliknya.
" Bibi," berkata Wantilan, "marilah. Kita berhadapan
dengan sekelompok orang y ang akan menghancurkan kita."
"Kenapa dan siapakah mereka?" bertanya bibi
Wantilanitu. "Aku belum tahu, bibi," jawab Wantilan, "marilah. Kita
tidak mempunyai waktu."
"Bawa keluar. Ikuti kami," berkata Mahisa Murti.
Kemudian katanya kepada Mahisa Semu, "bantu Wantilan.
Lindungi mereka." Wantilan pun kemudian telah menggandeng bibiny a
keluar dari ruang dalam. T etapi mereka tidak dapat berjalan
terus. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih harus
membersihkan jalan yang akan mereka lewati.
Terdengar pemimpin ger ombolan itu tertawa. Sambil
melangkah keluar dari rumah itu ia berkata, "Kalian akan mati
di dalam rumah itu. Kalian akan menjadi abu dan kalian tidak
akan dapat dikenali lagi."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih termangu-mangu
sejenak. Sementara Mahisa Semu dengan pedangnya berusaha
melindungi bibi Wantilan. Namun Mahisa Semu masih harus
juga mengurus Mahisa Amping.
Tetapi Mahisa Amping cukup lincah untuk mengurus
dirinya sendiri. Selangkah demi selangkah Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat berjalan ke pintu. Sementara itu api berkobar semakin
besar dibagian belakang dan mulai menjalar ke bagian tengah.
" Jika kalian masih tetap di pintu, maka kalian akan
lebih cepat mati daripada kecepatan api yang membakar
rumah ini," berkata Mahisa Pukat.
Tetapi orang-orang yang menjaga pintu itu ternyata
tidak mau memberi kesempatan. Mereka tetap berdiri di pintu
dengan senjata terhunus, sementara pemimpinnya telah
berada di halaman samping sambil menyaksikan api yang
telah berkobar semakin besar.
Kemarahan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m emang
tidak tertahan lagi. Namun Mahisa Pukat lah y ang telah
bertindak l ebih dahulu. Dengan memusatkan nalar dan budi,
maka Mahisa Pukat telah mengetrapkan ilmunya. Sejenak
kemudian, maka ia pun telah menghentakkan tangannya
dengan telapak tangan terbuka ke arah orang-orang yang
berdiri di pintu dengan senjata telanjang dan teracu ke
arahnya. Akibatnya memang luar biasa. Seleret sinar bagaikan
meloncat dari telapak tangan Mahisa Pukat y ang terbuka
meluncur dan m enyambar orang-orang yang berdiri di muka
pintu itu. Dengan hentakkan y ang keras, seakan-akan telah terjadi
ledakkan yang telah m elemparkan orang-orang itu keluar dan
jatuh berguling di halaman samping.
Tiga orang di antara mereka ternyata tidak mampu lagi
untuk bangun. Seorang masih sempat bangkit dan berlari
dengan kaki timpang, sedangkan seorang lagi harus
merangkak menepi menjauhi pintu yang seakan-akan telah
menghancurkannya itu. Mematahkan tulang-tulangnya dan
mengoy ak kulitnya. Akibat itu benar-benar tidak pernah dibayangkan oleh
gerombolan Sarpa Wereng itu. Mereka sama sekali tidak
mengerti apa yang telah terjadi. Namun dalam pada itu,
Mahisa Pukat, Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa
Amping telah keluar dari pintu y ang telah ditinggalkan oleh
orang-orang yang menjaganya dengan senjata teracu. Di
belakang mereka adalah Wantilan yang menggandeng Ny i
Sarpada. Demikian mereka keluar dan menjauhi pintu, maka
apipun telah mulai menjalar ke bangunan bagian tengah.
Bagian-bagian y ang terbuat dari bambu pun mulai meledakledak
dan melemparkan api ke segala arah, mempercepat
menjalarnya sampai ke ujung-ujung rumah.
Sejenak kemudian, maka bangunan y ang kokoh itu,
meskipun bukan bangunan y ang terlalu baik, telah menjadi
bukit api y ang menggapai-gapai langit.
Nyi Sarpada y ang m elihat api yang menelan rumahnya
itu hanya dapat mengusap dadanya. Air matanya sudah tidak
lagi keluar dari pelupuknya.
" Jangan hiraukan lagi bibi," desis Wantilan.
Adalah diluar dugaannya ketika ia mendengar suara
bibinya y ang tidak gemetar, "Aku tidak apa-apa Wantilan."
Wantilan lah y ang justru terdiam sejenak. Ketika ia
memandangi wajah bibinya, maka nampak wajah itu mengeras
bagaikan batu-batu padas yang tidak lagi dapat lekang oleh
hujan panas. Tetapi Nyi Sarpada itu masih berdesis, " Ia dapat
membakar rumahku. Tetapi mereka tidak akan dapat
membakar mata air itu."
"Ya bibi," desis Wantilan.
Sementara itu, pemimpin gerombolan Sarpa Wereng itu
masih belum puas meskipun api telah membakar semua
bagian rumah Ny i Sarpada. Meskipun ia melihat lidah api itu
menjilat awan yang mengalir didor ong angin malam.
Karena itu, maka ia pun berteriak dengan penuh
dendam, apalagi beberapa orang kawannya telah terbunuh
pula, "Bunuh semua orang."
Tetapi beberapa orang pengikutnya merasa ragu. Bahkan
seorang di antara mereka berbisik, "Orang itu mempunyai
ilmu iblis. Tiga orang kawan kita tidak sempat bangkit lagi
tanpa disentuhnya." " Ilmu sihir. Jangan hiraukan. Ketiga orang kawan kita
itu tidak apa-apa. Mereka hanya merasa seakan-akan mereka
mati atau pingsan. Bangunkan mereka dan perintahkan
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka untuk bertempur," geram pemimpin gerombolan itu.
Beberapa orang merasa ragu-ragu. Mahisa Murti dan
saudara-saudara angkatnya, termasuk Wantilan dan Ny i
Sarpada telah menjauhi rumahnya yang telah menjadi
seonggok api. "Lihat dan bangunkan kawan-kawanmu y ang dungu
itu," perintah pemimpin gerombolan itu.
Beberapa orang dengan sangat berhati-hati telah
melangkah m endekati ketiga orang kawannya y ang terbaring
diam. Ketika mereka memutar tubuh itu dan
menelentangkannya, m aka mereka melihat bahwa tubuh itu
seakan-akan menjadi hangus.
0ooo0dw0oo0 (Bersambung ke Jilid 77 Conv ert/Pr oofing: Ki Raharga
Rechecking/Editing: Ki Arema
Pdf ebook : Dan HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 77 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari
/ Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 077 "MEREKA benar-benar mati," desis salah seorang
kawannya. Pemimpin gerombolan itu menjadi tegang. Sementara
Mahisa Murti berkata, "Meny erahlah kalian. Kalian akan
menjadi tawanan kami."
"Persetan," geram pemimpin gerombolan itu, "kami
akan membunuh kalian."
"Siapa yang tidak mau mendengarkan perintah kami,
akan mengalami nasib seperti ketiga orang itu atau kedua
orang lainnya yang agaknya kini telah menjadi abu di dalam
api itu," geram Mahisa Pukat.
Pemimpin gerombolan itu memang menjadi ragu-ragu.
Tetapi ternyata bahwa ia tidak mudah untuk meny erah
menghadapi keadaan. Karena itu, maka ia pun telah
memberikan isy arat kepada seluruh pengikutnya untuk
berkumpul. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyadari apa y ang
akan terjadi. Namun Mahisa Murti masih memperingatkan,
"Semakin banyak orang di sini, maka semakin banyak orang
yang akan mati." Pemimpin gerombolan itu tidak menjawab. Sementara
itu, beberapa orang pengikutnya telah b erlari -lari melingkari
api y ang menyala itu dan berkumpul didekat pemimpinnya.
Namun mereka memang menjadi heran, bahwa
beberapa orang kawan mereka telah terbaring diam tidak jauh
dari seonggok api yang menggapai langit itu.
"Apa y ang terjadi," desis seseorang. Tetapi
pemimpinnya berteriak. "Kita harus memencar dan
menyerang orang -orang itu dari segala penjuru. Kalian harus
dengan cepat meloncat mendekat dan membunuh mereka
semuanya. Berhati-hatilah. Mereka adalah orang-orang yang
sangat berbahaya." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyadari, bahwa
pemimpin segerombolan orang itu memiliki pengalaman yang
cukup luas, sehingga ia dapat dengan cepat mengambil sikap
menghadapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang sangat
berbahaya itu. Namun Mahisa Murti pun dengan cepat tanggap pula.
Karena itu, m aka ia pun berkata, "Mahisa Semu dan paman
Wantilan. Hati-hati dengan Ny i Sarpada. Mereka akan
menyerang dari segala arah. Amping, kau harus menyesuaikan
dirimu." Mahisa Amping sama sekali tidak menjadi ketakutan
melihat perkembangan keadaan. Yang mengherankan bagi
Wantilan, bibinya pun nampak tetap tabah. Bahkan
nampaknya Nyi Sarpada sudah pasrah, sehingga karena itu,
maka sama sekali tidak terbayang lagi ketakutan di matanya.
Adalah diluar dugaan Wantilan ketika bibinya berkata,
"Berhati -hatilah anak-anak muda. Jangan hiraukan aku.
Sepeninggal pamanmu, Ki Sarpada, maka hidup tidak penting
lagi bagiku. Karena itu, maka kalian harus lebih
memperhatikan diri kalian masing-masing."
Wantilan tidak sempat menjawab.
Sementara itu, pemimpin gerombolan itu pun berteriak,
"Cepat. Lakukan, sekarang."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak
mempunyaikesempatan lagi. Ia memang dapat mengurangi
lawannya dengan melontarkan serangan ke arah mereka yang
sedang berlari-lari itu. Tetapi itu tidak banyak berarti, karena
dalam waktu singkat, yang lain telah mencapai mereka berdua,
bahkan Mahisa Semu dan Wantilan.
Karena itu, maka keduanya justru lebih senang
menunggu mereka dengan mengetrapkan kekuatan ilmu
mereka yang lain. Dalam setiap sentuhan dengan Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat, maka orang-orang dalam
gerombolan itu akan kehilangan sebagian dari tenaga mereka.
Namun di samping itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
pula mempersiapkan diri untuk memberikan pukulan terakhir
kepada orang-orang yang benar-benar telah menjadi liar itu.
Sebenarnyalah sejenak kemudian, orang-orang itu telah
berloncatan menyerang. Mahisa Semu telah siap menunggu
mereka dengan pedang di tangan. Demikian pula Wantilan.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah
menggenggam pedang pula y ang bukan saja dipergunakan
sebagai senjata, tetapi lewat pedang itu, keduanya mampu
mengetrapkan ilmunya, sehingga benturan senjatanya akan
memiliki akibat y ang sama sebagaimana sentuhan-sentuhan
wadagnya sendiri. Menghisap sebagian dari kekuatan
lawannya. Sejenak kemudian, telah terjadi benturan y ang sengit
antara kekuatan segerombolan orang itu m elawan anak-anak
muda yang menyebut dirinya pengembara itu.
Dengan tangkasnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
justru telah meny ongsong orang-orang yang datang
menyerang itu. Pedangnya berputaran menggapai senjatasenjata
lawannya. Dalam setiap sentuhan maka telah terjadi
getaran-getaran aneh yang bagaikan menghisap arus darah
lawannya. Tetapi lawan-lawan kedua orang anak muda itu tidak
segera menyadari keadaan mereka. Bahkan mereka telah
bergerakberputar-putar dengan cepat.
Mahisa Semu dengan cepat pula m engalami kesulitan
menghadapi beberapa orang. Demikian pula Wantilan.
Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang
memang telah m enjadi marah sekali setelah orang-orang itu
membakar rumah Ki Sarpada, telah memutuskan untuk segera
mengakhiri pertempuran itu.
Karena itu, maka sejenak kemudian, keduanya tidak lagi
hanya berusaha m enghisap kekuatan lawan dan m embiarkan
mereka terjatuh karena kehabisan tenaga, tetapi Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat benar-benar telah mempergunakan pedang
mereka untuk mengoyak kulit lawan-lawan mereka.
Demikianlah, sejenak kemudian, beberapa orang y ang
bertempur melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut
mengalami benturan-benturan senjata yang sangat keras. Dua
orang sekaligus telah kehilangan senjata mereka, karena
terlempar beberapa langkah daripadanya.
"Dungu kau," geram pemimpin gerombolan itu, "ambil
senjatamu. Aku akan melindungimu."
Kedua orang itu memang terlampau percaya kepada
pemimpinnya. Karena itu, maka keduanya pun telah meloncat
memungut senjata-senjata mereka y ang terlepas.
Namun ketika mereka membungkuk, maka terasa ujung
pedang lawannya telah menghunjam ke lam bung mereka.
Ternyata Mahisa Pukat tidak membiarkan kedua orang
itu m emungut senjata mereka. Dengan tangkas ia meloncat
dan dengan kecepatan y ang sulit ditangkap oleh mata w adag,
maka ujung pedangnya telah m enghunjam bukan saja pada
salah seorang di antara mereka. Tetapi kedua-duanya, hanya
dalam waktu sekejap. Pemimpin gerombolan itu terlambat mencegahnya.
Ketika ia meloncat menyerang Mahisa Pukat, m aka Mahisa
Murti lah y ang meloncat maju. Dengan kuatnya Mahisa Murti
telah m engangkat pedang y ang terjulur lurus ke arah leher
Mahisa Pukat. Hampir saja pemimpin ger ombolan itu kehilangan
pedangnya. Namun sentuhan y ang terjadi, telah berpengaruh
atas kekuatannya meskipun tidak terlalu cepat.
Adalah diluar perhitungan pemimpin ger ombolan itu,
bahwa api yang menyala dirumah Nyi Sarpada itu telah
memanggil beberapa orang tetangga yang ternyata cukup
memiliki keberanian. Mereka berlari-larian keluar rumah
mereka dan mendatangi rumah y ang terbakar itu.
Tetapi api sudah mencekam seluruh rumah itu, sehingga
sulit bagi mereka untuk berusaha memadamkannya.
"Ny i Sarpada tidak membuny ikan tanda bahaya," desis
salah seorang tetangganya.
"Tetapi bukan kebakaran biasa," sahut yang lain.
Mereka tertegun ketika mereka kemudian melihat
pertempuran di halaman sebelah rumah Ny i Sarpada itu.
Ternyata ampat orang y ang sedang melindungi Ny i Sarpada
dan seorang anak kecil harus bertempur melawan
segerombolan orang y ang agaknya cukup garang.
Karena itu, maka tetangga-tetangga Ny i Sarpada itu pun
telah dengan hati-hati mendekati mereka yang sedang
bertempur dengan membawa senjata apa saja y ang dapat
mereka bawa, sebagaimana ketika mereka pergi ke mata air di
hutan kecil ditengah-tengah tanah milik Ny i Sarpada itu.
Kedatangan mereka ternyata telah m emperingan tugas
Mahisa Semu dan Wantilan. Tetangga-tetangga yang
berdatangan itu, telah turun pula ke medan pertempuran yang
sengit itu. Tetapi orang-orang itu m emang m enjadi agak bingung.
Pertempuran itu tiba-tiba saja telah menjadi kacau. Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat telah berputaran di seluruh arena
pertempuran. Namun dengan demikian, maka keadaan
Mahisa Semu dan Wantilan menjadi semakin baik.
Tetapi kedatangan orang-orang padukuhan itu telah
membuat sikap Mahisa Murti dan Mahisa Pukat agak berubah.
Mereka berusaha menyesuaikan diri dengan kehadiran orangorang
itu. Namun ternyata gerombolan orang-orang y ang
membakar rumah Ny i Sarpada dan dengan serta m erta telah
ingin membunuh semua orang, bukan sekedar untuk
menakut-nakuti itu, telah mengalami nasib yang buruk.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, yang berloncatan berkeliling
serta memutar pedangnya menyambar-ny ambar telah
bersentuhan hampir dengan semua senjata lawannya. Bahkan
ada yang harus menangkis serangan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat beberapa kali. Sedangkan dua orang yang lengah
ternyata tidak mampu lagi menghindari goresan senjata kedua
orang anak muda itu. Keadaan itu diperburuk dengan campur tangan
tetangga-tetangga yang jumlahnya semakin lama semakin
banyak. Mereka y ang merasa tidak berarti lagi jika mereka
berusaha untuk memadamkan api yang telah meny elimuti
seluruh bangunan rumah Ny i Sarpada itu, y ang bahkan satu
dua batang kayu telah mulai runtuh, telah menumpahkan
kemarahan mereka kepada orang-orang y ang bertemur itu.
Mereka menduga, bahwa orang-orang itulah y ang telah
membakar rumah Ny i Sarpada.
Seorang yang bertubuh tinggi besar dan bersenjata
kapak pembelah kayu y ang tidak t erlalu besar, tetapi
bertangkai agak panjang, telah berteriak,"Wantilan, siapakah
orang-orang ini?" "Mereka telah membakar rumah bibi Sarpada dan
berusaha untuk membunuh kami semua," jawab Wantilan.
Namun suaranya terputus ketika senjata lawannya
hampir saja menyambar keningnya.
Namun sementara itu, orang -orang padukuhan itu telah
banyak y ang melibatkan diri sehingga sebagian dari
gerombolan itu harus menahan mereka. Meskipun tetanggatetangga
Ny i Sarpada itu bukan orang-orang berilmu, tetapi
jumlah mereka cukup banyak, sementara anak-anak muda
yang mengaku pengembara itu masih tetap merupakan
kekuatan yang ternyata sulit untuk diimbangi.
Pemimpin gerombolan itu sama sekali tidak m enduga,
bahwa orang-orangnya begitu cepat susut. Tidak hanya
terluka, tetapi mereka benar-benar telah terbunuh. Bahkan
ada di antara mereka yang berada di dalam api dan tidak
sempat diselamatkan lagi.
Karena itu, maka pemimpin gerombolan itu benar-benar
telah mengacaukan semua rencananya. Orang-orang itu
dengan garangnya telah bertempur dalam kelompokkelompok
kecil menghadapi para pengikut gerombolan itu.
Apalagi di antara gerombolan itu ada y ang telah kehilangan
sebagian dari kekuatan mereka setelah senjata mereka
beberapa kali bersentuhan dengan senjata Mahisa Murti atau
Mahisa Pukat. Karena itu, maka pemimpin gerombolan itu tidak
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mempunyai pilihan lain daripada melarikan diri dari arena
pertempuran. Ia sadar, bahwa semakin lama mereka
bertempur, maka korban akan menjadi semakin banyak jatuh.
Beberapa saat kemudian pemimpin gerombolan itu
masih berusaha untuk mempertahankan dirinya. Namun
kemudian, ketika tenaganya dirasa mulai menyusut, ia pun
telah memberikan isy arat kepada orang-orangnya. Selain
keny ataan y ang dihadapinya, juga karena ia merasa aneh
dengan dirinya sendiri. Dalam waktu y ang pendek, maka orang-orang y ang
tersisa dari gerombolan itu telah berusaha untuk
mengacaukan arena. Mereka berloncatan silang menyilang
bercampur baur dalam usaha mereka untuk meninggalkan
medan itu. Pertempuran itu m emang m enjadi kacau. Orang-orang
padukuhan itu seakan-akan telah k ehilangan sasaran. Lawan
dari kawan-kawan mereka saling berbaur dan bahkan dalam
kesempatan itu gerombolan y ang datang membakar rumah
Nyi Sarpada itu masih sempat melukai beberapa orang.
Mahisa Semu dan Wantilan justru menjadi semakin sulit
untuk melindungi Ny i Sarpada. Namun keduanya ternyata
berhasil menghalau setiap orang yang berusaha mendekati Ny i
Sarpada itu. Namun beberapa saat kemudian, orang-orang y ang
tersisa dari ger ombolan itu telah berloncatan memasuki
bay angan pepohonan y ang ada di halaman itu.
Api y ang berkobar menelan rumah Nyi Sarpada memang
menerangi seluruh halaman depan, samping dan kebun di
belakang. Tetapi pohon-pohon perdu dan bahkan pohon buahbuahan
di kebun telah membuat bayangan y ang kegelapan.
Namun berbeda dengan orang-orang padukuhan y ang
menjadi bingung, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru
bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu,
maka ketika beberapa orang y ang tersisa itu m elarikan diri,
maka Mahisa Pukat sempat menghentikan seorang di
antaranya dan dengan sekali hentak, maka orang itu telah
terlempar jatuh berguling di tanah. Mahisa Pukat memang
tidak mempergunakan senjatanya, tetapi dengan tangannya
Mahisa Pukat telah membuatnya tidak berdaya sama sekali.
Namun dalam pada itu, pemimpin gerombolan y ang
selalu diawasi oleh Mahisa Murti sempat berlari menyusup ke
dalam bayangan pepohonan. Mahisa Murti yang menganggap
orang itu bertanggung jawab, tidak melepaskannya. Ia pun
meloncat mengejarnya ke kebun belakang.
Tetapi orang itu ternyata telah sempat berlari mendekati
dinding halaman, sehingga menurut perhitungan Mahisa
Murti, ia tidak akan sempat mencapai orang itu sebelum orang
itu meloncat keluar. Karena itu, daripada kehilangan orang itu, maka Mahisa
Murti t elah berhenti berlari. Memusatkan nalar budinya dan
mengetrapkan ilmunya. Sesaat pemimpin gerombolan itu
meloncat dengan tangkasnya, maka Mahisa Murti telah
mengangkat tangannya dengan membuka telapak tangannya
menghadap ke arah pemimpin gerombolan y ang melarikan
diri itu. Sebuah kilatan cahaya telah meloncat dari telapak
tangannya dan menyambar pemimpin gerombolan itu di arah
kakinya tepat pada saat pemimpin gerombolan itu meny entuh
bibir dinding halaman. Terdengar pemimpin gerombolan itu berdesis m enahan
sakit. Namun dengan demikian, maka ia tidak lagi m ampu
berdiri di atas dinding itu. Karena itu, maka ia pun telah
terjatuh keluar dinding halaman. Tetapi malang baginya.
Bukan saja kakinya y ang telah dihancurkan oleh kekuatan
ilmu Mahisa Murti, tetapi bibir dinding halaman yang terbuat
dari batu itu telah pecah pula dan jatuh menimpanya.
Sejenak kemudian Mahisa Murti berlari pula
menyusulnya. Ia pun telah meloncati dinding itu pula. Namun
ketika ia b erjongkok disisi pemimpin gerombolan yang jatuh
dan tertipa bibir dinding batu itu, ia pun melihat bahwa
pemimpin gerombolan itu sama sekali sudah tidak bergerak
lagi. Batu y ang runtuh itu telah membunuhnya.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun telah kehilangan
orang y ang akan dapat m emberikan keterangan tentang niat
gerombolan itu yang sebenarnya. Meskipun seandainya ada
satu dua orang pengikutnya y ang dapat ditangkapnya, tetapi
orang itu tentu tidak akan dapat memberikan keterangan
selengkap orang y ang meny ebut dirinya Sarpa Wereng itu.
Sesaat kemudian, maka Mahisa Murti pun telah
melangkah kembali ke halaman samping. Ternyata hanya ada
satu dua orang saja yang berhasil lolos. Mahisa Pukat sempat
menangkap beberapa orang, hidup atau mati. Orang-orang
padukuhan itu pun berhasil menggagalkan orang yang tersisa
sehingga mereka tidak sempat meninggalkan halaman itu.
Kisah Si Pedang Terbang 7 Dua Menara The Two Towers The Lord Of The Rings Buku Dua Karya J.r Tolkien Jejak Di Balik Kabut 21