Pencarian

Jodoh Si Naga Langit 7

Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Bagian 7


lalu tersenyum. "Baiklah, Bi Lan. Aku ingin mengulang permintaan maafku
kepadamu atas perbuatanku yang sungguh tidak pantas
terhadap dirimu beberapa waktu yang lalu."
"Tidak perlu minta maaf karena aku pun tidak minta maaf
kepadamu. Aku malah telah melakukan dua kali kesalahan
terhadap dirimu. Aku sudah mencuri kitab
darimu, dan tadi aku telah menamparimu tanpa
engkau melawan sehingga hampir saja aku menyebabkan
kematianmu." "Tidak, Bi Lan. Engkau berhak menampari atau memukuli aku!
Aku memang telah menghinamu. Dan engkau telah berkali-kali
menolongku. Pertama engkau membantuku ketika aku difitnah
dan diserang para tokoh Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai. Kedua
kalinya, tadi kalau tidak ada engkau yang menolongku, pasti aku
sudah mati oleh serangan gelap Pak-sian. Sungguh, aku
berhutang nyawa, berhutang budi padamu, Bi Lan."
"Sudahlah, jangan bicara tentang hal itu lagi. Aku malu
mengingat betapa aku memukuli orang yang sama sekali tidak
membela diri. Perbuatanku itu curang dan aku menjadi
pengecut. Kita bicara urusan lain saja, Thian Liong."
"Kalau begitu, sudah tidak ada lagi dendam permusuhan di
antara kita?" 470 "Kalau engkau mau, kita lupakan sa?ja semua itu dan
menganggap tidak pernah terjadi. Akan tetapi tentu saja kalau
engkau mendendam dan hendak membalas
" suaranya menantang. "Ah, sama sekali tidak, Bi Lan. Aku merasa bahagia sekali kalau
kita lupakan semua itu. Sekarang kalau aku boleh bertanya,
mengapa engkau tadi menangis?"
"Aku tadi sedih sekali."
"Aku tahu, Bi Lan. Ayahmu meninggal dunia setelah dilukai
orang. Aku ikut bersedih karena mendiang Ayahmu adalah
seorang sahabat baikku yang kukagumi dan kuhormati. Akan
tetapi, aku mendengar bahwa engkau pergi ke kota raja
bersama Ibumu. Mengapa engkau berada di sini?"
"Aku sedang mencari dua orang murid Ouw Kan yang
menyerang Ayah, akan tetapi aku belum mendapatkan
keterangan di mana mereka berada."
"Dan engkau mencari mereka di daerah Kerajaan Kin ini?"
"Mereka itu murid-murid Ouw Kan, tentu saja aku mengira
bahwa mereka berada pula di daerah ini. Pula, aku memang
sudah berada di daerah ini untuk mencari Ouw Kan. Setelah
berhasil membunuh Ouw Kan, aku juga menyusup ke istana
kaisar dengan maksud untuk membunuhnya."
"Ah " Mengapa, Bi Lan?"
471 "Aku mendengar dari Ibuku bahwa yang mula-mula menjadi
penyebab Ayah Ibuku dimusuhi Ouw Kan adalah karena Ayah
dan Ibu membunuh seorang Pangeran Kin dalam perang. Kaisar
Kin marah dan mengutus Ouw Kan untuk mencari Ibu dan Ayah
dan membunuh mereka. Karena Ouw Kan tidak menemukan
Ayah dan Ibu, maka dia menculik aku. Demikianlah, kuanggap
Kaisar Kin yang menjadi musuh besar yang mengutus Ouw Kan,
maka aku pergi ke istananya untuk membunuhnya."
Thian Liong terbelalak. "Dan engkau
engkau berhasil?" Bi Lan menggeleng kepala. "Aku dihadapi Puteri Moguhai dan
dibujuk, dan akhirnya aku mendengar darinya bahwa Kaisar Kin
tidak menyuruh Ouw Kan membunuh orang tuaku. Adalah Ouw
Kan sendiri yang memusuhi orang tuaku karena dia kecewa dan
malu tidak berhasil membunuh mereka, bahkan gagal pula
menculik aku karena guruku Jit Kong Lhama merampas aku dari
tangannya. Aku menyadari, apalagi Puteri Moguhai itulah yang
menyelamatkan Ibuku dari kematian."
"Hemm, bagaimana ceritanya?"
"Begini, dulu pernah orang tuaku diserang oleh Ouw
Kan, akan tetapi Puteri Moguhai
dan engkau sendiri menyelamatkan mereka. Lalu Puteri Moguhai meninggalkan
tulisan di atas kain yang, diberikannya kepada Ayah agar tulisan
itu diperlihatkan kalau Ouw Kan berani mengganggu lagi."
Thian Liong mengangguk-angguk. "Ya, ya, aku ingat
itu " 472 "Tentu saja engkau ingat, Thian Liong. Engkau akrab sekali
dengannya dan selalu bersamanya. Ia memang seorang puteri
yang anggun, cantik jelita, dan lihai ilmu silatnya. Siapa tidak
terkagum-kagum dibuatnya?"
Thian Liong memandang heran. Salah dengarkah dia kalau
menangkap kepanasan hati dan kecemburuan dalam ucapan Bi
Lan itu" "Ah, kami hanya kebetulan saja melakukan perjalanan bersama,
Bi Lan. Teruskan ceritamu tadi."
"Ketika dua orang murid Ouw Kan itu muncul, nama mereka
Bouw Kiang dan Bong Siu Lan, mereka merobohkan Ayah yang
terluka berat dan ketika mereka juga hendak membunuh Ibuku,
mereka melihat tulisan pemberian Puteri Moguhai itu terselip di
ikat pinggang Ibu. Mereka membaca tulisan itu lalu melarikan diri
tanpa mengganggu Ibu. Surat Puteri Moguhai itulah yang
menyelamatkan Ibu." "Bi Lan, ketika aku mendengar keterangan A Siong di rumah
Paman Han Si Tiong bahwa engkau dan Ibumu pergi ke kota
raja, aku mengira bahwa engkau tentu pergi berkunjung ke
rumah Panglima Kwee Gi. Benarkah itu?"
Gadis itu mengangguk, lalu menundukkan mukanya karena
hatinya perih ketika Thian Liong bicara tentang kunjungannya ke
kota raja. Kunjungan itulah yang menjadi permulaan ia
menghadapi kehancuran hatinya.
"Aku tahu, engkau dan Ibumu tentu ke sana karena bukankah
engkau telah menjadi calon keluarga Panglima Kwee?"
473 Bi Lan mengangkat mukanya dan sepasang matanya seolah
berubah menjadi dua sinar terang yang menyoroti wajah Thian
Liong dengan penuh selidik. "Apa maksudmu, Thian Liong?"
"Maksudku eh, ketika dulu aku bersama Pek
Hong Niocu " "Pek Hong Niocu ?" "Maksudku, Puteri Moguhai. Ketika kami berada di rumah
keluarga Panglima Kwee, mereka membicarakan
tentang engkau dan dan mereka mengatakan bahwa mereka hendak menjodohkan putera mereka, Kwee Cun
Ki, denganmu " "Cukup! Aku tidak mau bicara tentang hal itu!" tiba?tiba Bi Lan
berkata dengan ketus dan marah.
Thian Liong melihat betapa kedua pipi gadis itu menjadi merah
sekali, bukan merah karena malu, melainkan merah karena
marah. Sepasang matanya berkilat. Dia merasa heran dan
terkejut. "Ah, maafkan aku, Bi Lan. Sekarang, di manakah Bibi Liang
Hong Yi?" "Aku tidak mau bicara tentang dirinya!"
"Tapi tapi ia Ibumu !" 474 "Cukup, jangan bicara tentang mereka atau pergilah tinggalkan
aku!" Bi Lan membentak.
"Maaf, Bi Lan. Baiklah, sekarang ke mana engkau hendak
pergi?" "Sudah kukatakan aku sedang mencari dua orang murid Ouw
Kan itu." "Kalau begitu, aku akan membantumu, Bi Lan. Mari kita mencari
mereka bersama." "Aku tidak butuh bantuanmu atau bantuan siapapun juga!"
"Aku percaya bahwa engkau akan mampu menghadapi mereka
sendiri, Bi Lan. Akan tetapi aku pun berhak mencari mereka.
Mendiang Paman Han Si Tiong adalah sahabat baikku, bahkan
kami bersama-sama menghadapi fitnah dan bahaya ketika kami
menentang Menteri Chin Kui, sama-sama ditahan dalam
penjara. Aku pun ingin menghajar dua orang murid Ouw Kan
yang telah menyerang dan melukainya sehingga dia meninggal.
Selain itu, aku juga hendak mencari guruku, Tiong Lee Cin-jin."
"Sudah banyak aku mendengar nama Tiong Lee Cin?jin."
"Ketahuilah, Bi Lan. Suhu Tiong Lee Cin-jin terancam bahaya.
Empat Datuk Besar kini bersekutu dan melatih seorang murid
secara khusus untuk membunuh Suhu Tiong Lee Cin-jin. Empat
Datuk Besar dari empat penjuru itu bersama murid istimewa dan
para murid mereka akan mengeroyok Suhu. Kalau engkau tidak
keberatan, aku mengharapkan bantuanmu untuk bersama Suhu
menghadapi mereka." 475 Diam sejenak. Bi Lan mengerutkan alisnya. Biarpun sama sekali
tidak terbayang pada wajahnya yang jelita, namun di lubuk
hatinya ia merasa gembira sekali membayangkan bahwa ia akan
melakukan perjalanan bersama Thian Liong, pemuda yang
selama ini tak pernah ia lupakan, dengan berbagai macam
perasaan. Ada kagum, ada suka, ada marah, penasaran dan
kecewa. Akan tetapi sekarang semua perasaan marah dan
mendendam sudah tidak ada sama sekali dalam hatinya
sehingga yang tinggal hanya rasa kagum dan suka!
JILID 13 13.1. Penyamaranmu Dalam Bahaya!
"Bagaimana Bi Lan" Engkau tidak merasa keberatan untuk
melakukan perjalanan bersamaku, bukan?" Thian Liong ingin
sekali melakukan perjalanan bersama Bi Lan terdorong oleh
keinginan untuk membalas kebaikan gadis itu dan, untuk
membuktikan bahwa dia sama sekali tidak menghina atau
merendahkan gadis itu. Apalagi kalau dia teringat bahwa gadis
ini adalah puteri tunggal Han Si Tiong dan Liang Hong Yi, suami
isteri yang dia hormati. Akhirnya gadis itu mengangguk. "Akan tetapi bukan berarti aku
ikut engkau atau engkau ikut aku, Thian Liong, melainkan hanya
kebetulan saja kita melakukan perjalanan bersama."
Thian Liong tersenyum, ingat akan ucapannya tentang dia
melakukan perjalanan bersama Puteri Moguhai. "Tentu saja, Bi
Lan." 476 "Dan mulai sekarang, di depan semua orang, engkau jangan
menyebut Bi Lan kepadaku."
"Eh" Lalu menyebut apa?"
"Sebut saja Han, tanpa embel-embel apa pun." "Lho, mengapa
begitu?" "Akan kaulihat nanti. Tunggu sebentar di sini!" Setelah berkata
demikian, Bi Lan menyambar buntalan pakaiannya dan
berkelebat lenyap ke balik pohon-pohon.
Thian Liong menggerakkan bahunya, sehingga terasa nyeri
pada bahu ka?nannya, mengingatkan dia akan lukanya dan
teringat betapa tadi Bi Lan dengan sungguh-sungguh berusaha
mengobatinya. Teringat dan terasa olehnya betapa lembut dan
hangatnya jari-jari tangan gadis itu menyentuh lengannya ketika
ia membalut luka di pangkal lengan kanannya itu. Kini gadis itu
bersikap aneh, minta dipanggil Han saja dan minta dia
menunggu lalu menghilang di balik pohon-pohon. Apa maunya"
Akan tetapi dia sabar menunggu.
Tidak lama kemudian Thian Liong melihat seorang pemuda
muncul dari balik pohon-pohon dan dia terkejut, juga merasa
heran. Dia bangkit berdiri, siap menghadapi ancaman. Siapa
tahu pemuda itu juga seorang musuh tangguh yang hendak
menyerangnya. Akan tetapi pemuda itu melangkah,
menghampirinya dan tersenyum.
"Thian Liong, perkenalkan, aku adalah Han."
477 Biarpun suara pemuda itu wajar sebagai suara seorang pemuda,
namun kata-kata itu tentu saja menyadarkan Thian Liong
dengan siapa dia berhadapan.
"Bi Lan !" serunya kagum bukan main. Gadis itu
benar-benar pandai sekali menyamar. Pakaian pria yang agak
longgar itu menyembunyikan lekuk lengkung tubuh gadisnya,
dan hebatnya, gadis itu dapat mengubah penampilannya,
menata rambutnya sehingga dia sendiri pun tidak akan
mengenalnya kalau tadi tidak bicara. "Wah, engkau hebat sekali,
Bi Lan. Sungguh aku sama sekali tidak mengenalmu. Engkau
benar-benar menjadi seorang pemuda, tidak akan ada orang
dapat menduga bahwa engkau seorang gadis!"
"Engkau yang akan membuka rahasiaku kalau engkau masih
menyebut nama?ku seperti itu. Aku bernama Han, jangan
lupakan itu." Thian Liong tertawa. "Baiklah, Han kalau ada yang bertanya,
engkau menjadi apaku?"
"Sahabat, apa lagi" Nah, mari kita berangkat." "Ke mana?"
"Mencari makanan, perutku lapar sekali."
Mereka lalu keluar dari hutan itu, menggendong buntalan
pakaian masing-masing. Setelah keluar dari hutan, jalan umum
itu membawa mereka memasuki sebuah kota yang cukup besar
dan ramai. Ketika mereka mencari keterangan, mereka
diberitahu bahwa itu adalah kota Leng-an dan kota itu terletak di
sebelah selatan Telaga Kim-hi yang luas. Kim-hi-ouw (Telaga
478 Ikan Emas) terkenal mengandung banyak ikan emas yang lezat
dagingnya. Thian Liong dan Bi Lan, atau lebih baik kita sebut saja Han
seperti yang dikehendaki gadis itu, memasuki sebuah rumah
makan yang besar dan ramai dikunjungi orang. Mereka
mendapatkan meja di sudut dan Han segera memesan masakan
ikan emas yang membuat kota Leng-an terkenal.
Setelah pesanan masakan dihidangkan dan mereka mulai
makan, mereka membuktikan sendiri kelezatan, masakan ikan
emas telaga itu seperti yang disohorkan orang. Setelah makan


Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

minum dengan puasnya, Han dan Thian Liong duduk santai dan
baru mereka memperhatikan sekeliling.
Tak jauh dari meja mereka, terdapat tiga orang pemuda yang
makan minum sambil bercakap-cakap. Mendengar mereka
bicara tentang seorang gadis sedang mencari jodoh dengan
cara bertanding ilmu silat, mereka tertarik sekali. Memang pada
waktu itu, peristiwa seperti ini merupakan hal yang biasa.
Banyak gadis dunia persilatan, oleh ayahnya dicarikan jodoh
dengan jalan pi?bu (mengadu ilmu silat), semacam sayembara!
"Sayang aku tidak mempunyai kepandaian silat. Betapa akan
senangnya menyunting bunga yang demikian indahnya!" kata
seorang di antara mereka.
"Ah, kalau hanya mempunyai ilmu silat sedang-sedang saja,
siapa berani mencoba-coba" Gadis itu lihai bukan main.
Kemarin saja sudah ada tiga orang calon yang dikalahkan. Kalau
kalah, selain sakit badan dan juga sakit hati karena malu," kata
orang kedua. 479 "Memang sayang sekali. Gadis itu demikian cantik jelita dan
tampaknya lemah lembut, kulitnya putih mulus, akan tetapi
ternyata bunga indah itu mempunyai duri yang tajam dan
berbahaya. Kabarnya hari ini ia dan ayahnya tidak lagi
mengadakan pertunjukan silat. Apa mereka sudah meninggalkan
kota ini?" kata orang ketiga.
"Ah, tidak. Aku mendengar bahwa besok pagi gadis itu akan
memberi kesempatan lagi kepada yang berminat untuk pi-bu.
Kalau kabar ini sudah tersiar dan datang jago-jago dari kota lain,
tentu akan ramai sekali."
"Di mana akan diadakan pi-bu itu?"
"Di mana lagi kalau bukan di tempat yang kemarin, di tepi telaga
itu. Besok kita harus nonton, tentu menarik sekali. Aku ingin
melihat berapa orang laki-laki lagi yang dirobohkannya dan siapa
yang akhirnya beruntung menyunting bunga itu."
"Ah, kalau aku ogah mempunyai bini seperti itu. Biar cantik jelita,
akan tetapi lihai ilmu silatnya. Jangan-jangan setiap hari aku
akan dipukul dan ditendangnya!"
Tiga orang itu berhenti bicara. Thian Liong dan Han segera
membayar harga makanan. Han mendahului membayarnya
sehingga Thian Liong hanya tersenyum saja. Melihat dua orang
pemuda ini membawa buntalan pakaian yang ditaruh di atas
meja, pelayan rumah makan itu lalu berkata, setelah menerima
pembayaran. "Ji-wi Kongcu (Tuan Muda Berdua) agaknya datang dari luar
kota. Kalau ji-wi (kalian berdua) membutuhkan pondokan,
480 silakan bermalam di rumah penginapan kami, di belakang itu.
Kami mempunyai kamar-kamar yang bersih."
Thian Liong menoleh kepada Han, menyerahkan keputusannya
kepada te?mannya itu. Sebetulnya, tadi mereka memasuki
Leng-an hanya untuk mencari makanan, dan tidak ada rencana
untuk menginap. "Baik, kami akan menginap di sini semalam. Sediakan dua buah
kamar yang bersih," kata Han kepada pelayan.
"Dua buah, Kongcu (Tuan Muda)?"
"Ya, dua buah!" kata Han singkat dan suaranya agak ketus
menunjukkan bahwa dia tidak senang dengan pertanyaan
pelayan itu. "Baik, baik, Kongcu. Mari silakan!"
Thian Liong dan Han mengikuti pelayan itu yang mengajak
mereka ke bagian belakang rumah makan itu. Ternyata bagian
belakangnya luas dan ada bangunan rumah penginapan yang
memiliki belasan buah kamar. Mereka senang melihat kamar
untuk mereka itu cukup bersih, biarpun perabotnya sederhana.
Setelah pelayan yang mengantar mereka pergi, Thian Liong
bertanya, "Apa yang menarik hatimu sehingga ingin bermalam di
kota ini, Han?" Han memandang wajah Thian Liong dan tersenyum. Hemm,
pikir Thian Liong. Penyamaran itu sudah baik sekali, akan ada
satu hal yang agaknya terlupa. Kalau tersenyum lebar, lesung
yang manis itu muncul di kanan kiri mulut Han, membuat wajah
481 itu menjadi terlampau tampan sehingga akan menarik perhatian
dan menimbulkan kecurigaan orang. Maka sebelum Han
menjawab pertanyaan tadi, dia sudah cepat berkata, "Han,
jangan tersenyum lebar, penyamaranmu dalam bahaya kalau
engkau tersenyum." Han mengerutkan alisnya. "Mengapa?"
"Terlalu terlalu cantik, tidak jantan."
Han mengangguk. "Akan kuingat itu."
"Engkau belum menjawab pertanyaanku tadi. Apa yang menarik
hatimu untuk bermalam di sini?"
"Sama dengan yang menarik hatimu, Thian Liong. Engkau juga
ingin sekali nonton pi-bu (adu silat) yang diadakan gadis di tepi
telaga itu, bukan" Eh, Thian Liong, siapa tahu engkau yang akan
dapat mengalahkannya dan menjadi jodohnya."
Digoda begitu, Thian Liong tidak mau membantah, bahkan
berkata sambil tersenyum. "Yah, siapa tahu?" Dia terheran
melihat betapa tiba-tiba wajah Han menjadi keruh, alisnya
berkerut dan mulutnya merengut!
"Aku mau mengaso!" katanya singkat dan dia hendak memasuki
kamarnya. "Sore nanti kita melihat-lihat kota dan telaga, Han," kata Thian
Liong. "Bagaimana nanti sajalah!" Han memasuki kamar dan menutup
daun pintunya agak keras.
482 Thian Liong menggerakkan pundak dengan hati merasa heran
atas sikap Han yang tidak dimengertinya itu. Dia pun memasuki
kamarnya, mele-paskan buntalan dan meletakkannya di atas
meja lalu dia pun merebahkan diri mengaso.
"Y" Pada keesokan harinya, pagi-pagi, setetah mandi dan tukar
pakaian, Han mengajak Thian Liong keluar dan mereka berdua
segera menuju ke tepi telaga. Kemarin sore mereka sudah
berjalan-jalan ke sini, bahkan sempat naik perahu sewaan
berputar-putar di telaga. Mereka sudah mendapat keterangan
bahwa gadis yang mengadakan pi-bu itu kemarin mengambil
tempat di bagian tepi telaga yang tanahnya agak tinggi.
Setelah tiba di tempat itu, tepi telaga sudah mulai ramai. Bukan
saja ramai dengan mereka yang hendak berangkat dengan
perahu mereka menangkap ikan, ada pula yang baru pulang dari
mencari ikan semalam dan kini membawa hasil tangkapan
mereka untuk dijual ke dalam kota. Ada juga yang hendak
pesiar, dan banyak orang-orang muda yang sengaja datang
hendak nonton gadis yang mencari jodoh dengan jalan
mengadakan pi-bu. Akan tetapi agaknya gadis dan ayahnya itu
belum datang. Akan tetapi Thian Liong dan Han tidak perlu menunggu lama.
Ketika suasana menjadi riuh dengan suara orang-orang yang
menujukan pandang mata ke satu jurusan, Thian Liong dan Han
juga memandang ke arah sana. Tampak seorang gadis dan
seorang laki-laki setengah tua datang ke tepi telaga yang
tanahnya tinggi itu. 483 Thian Liong memandang penuh perhatian. Gadis itu berusia
sekitar delapanbelas tahun. Tak dapat disangkal bahwa gadis itu
memang cantik menarik, dengan bentuk tubuh yang denok
padat, kulitnya yang putih mulus. Yang menarik adalah
sepasang matanya yang lebar dan indah. Laki-laki yang berjalan
di sampingnya itu berusia sekitar empatpuluh tahun, bertubuh
tinggi kurus dan mukanya kuning, wajahnya muram seperti
orang yang tidak bahagia. Dengan langkah lebar mereka berdua
menuju ke atas tanah yang tinggi tanpa memperdulikan puluhan
pasang mata yang memandang kepada mereka.
Setelah tiba di atas tanah tinggi itu, mereka menurunkan
buntalan kain dari punggung mereka dan meletakkannya di atas
batu-batu yang berada di atas tanah. Mereka juga melepaskan
pedang berikut sarungnya dari pinggang dan meletakkan
pedang mereka itu di atas buntalan pakaian. Setelah dua orang
itu berada di situ, mereka yang memang datang hendak nonton,
berbondong-bondong datang tanpa diatur, mereka sudah
membentuk lingkaran yang cukup luas sehingga kedua orang itu
seperti berdiri di atas panggung tanah tinggi itu merupakan
gundukan tanah yang lumayan luasnya. Mereka yang nonton
berdiri mengelilingi gundukan tanah itu.
Setelah di situ berkumpul lebih dari limapuluh orang, sebagian
besar adalah pemuda-pemuda, laki-laki tinggi kurus itu lalu maju
ke tengah lapangan itu dan menjura ke empat penjuru.
"Kami kira Cu-wi (Anda sekalian) tentu sudah tahu atau sudah
mendengar bahwa kami sedang mengadakan sayembara pi-bu
(adu silat) untuk memilih jodoh. Siapa saja dipersilakan
memasuki sayembara ini apabila berminat. Adapun syarat484
syaratnya seperti berikut: Pengikut sayembara haruslah seorang
laki-laki yang belum menikah. Pengikut sayembara harus
disetujui dulu oleh anak kami sebelum bertanding. Pengikut
sayembara harus dapat mengalahkan anak kami dalam
pertandingan silat dengan tangan kosong dan setelah dapat
mengalahkannya, dia harus dapat bertahan melawan kami
selama duapuluh jurus. Perkenalkan, nama kami adalah
Ouwyang Kun, sedangkan ini anak kami satu-satunya bernama
Ouwyang Siu Cen yang sudah tidak mempunyai ibu lagi. Nah,
kalau ada yang berminat, silakan maju!"
Ouwyang Kun lalu memberi hormat lagi dan kembali duduk di
atas batu dekat puterinya. Para penonton mulai berisik saling
bicara sendiri. Akan tetapi belum juga ada yang maju memasuki
lapangan. "Thian Liong, gadis itu cantik jelita. Mengapa engkau tidak cobacoba?" bisik Han yang berdiri di samping pemuda itu.
"Mengapa tidak engkau saja yang maju dan mengalahkannya,
Han?" Thian Liong menjawab sambil tersenyum.
Han hampir saja tersenyum lalu teringat dan dia cemberut. "Gila
kau!" bisiknya. Melihat belum juga ada yang' memasuki lapangan, Ouwyang
Kun berbisik kepada puterinya. Siu Cen mengangguk dan ia lalu
bangkit dan menuju ke tengah lapangan, berdiri tegak dan
memandang ke sekeliling dengan matanya yang lebar dan
indah, lalu berkata dengan suara lembut.
485 "Sambil menanti munculnya pengikut sayembara yang pertama,
untuk mengisi kekosongan saya akan memainkan sebuah tarian
pedang! Kalau tarianku jelek dan banyak kesalahannya, harap
Cu-wi suka memaafkan dan memberi petunjuk."
Setelah berkata demikian Siu Cen mencabut pedangnya dan
mulailah ia dengan tarian pedangnya. Tarian itu sesungguhnya
adalah ilmu silat pedang yang diberi gerakan kembangan
sehingga tampak indah dan lemah gemulai. Siu Cen memang
memiliki tubuh yang lentur dan gerakannya mengandung seni
tari yang indah. Akan tetapi di balik kelemasan, kelenturan dan
keindahan itu tersembunyi kekuatan yang mengagumkan. Daya
tahan dan daya serang yang kokoh. Kalau semua gerakan
kembangan dan variasi itu dihilangkan, maka gerakan-gerakan
pedang itu akan menjadi berbahaya sekali bagi lawan.
"Hemm, cantik dan indah sekali, Thian Liong," Han berbisik pula.
"Ilmu silatnya cukup tangguh. Kuda-kudanya seperti yang biasa
dipergunakan para hwesio (pendeta Buddhis) kalau
mengajarkan silat kepada muridnya. Kokoh dan mantap."
Tarian itu tidak lama. Tentu saja Ouwyang Siu Cen tidak mau
menghamburkan banyak tenaga karena ia menghadapi
pertandingan silat kalau ada yang maju mengikuti sayembara.
Ayahnya, Ouwyang Kun memang bijaksana. Di antara syaratsyarat bagi calon jodohnya itu, adalah syarat bahwa ikutnya
seorang calon harus atas persetujuannya. Berarti ayahnya
hanya mau menjodohkannya dengan seorang pemuda kalau Siu
Cen menyetujuinya. Hal ini untuk mencegah agar gadis itu tidak
486 terpaksa menjadi isteri seorang laki-laki yang tidak disukanya
hanya karena laki-laki itu dapat mengalahkannya dalam pi-bu.
Setelah Siu Cen menghentikan tariannya, seorang pemuda
berusia sekitar duapuluh tahun masuk ke dalam gelanggang,
disambut tepuk tangan para penonton karena selain mereka
mengenal pemuda itu sebagai putera guru silat Ciang di kota
Leng-an, juga semua orang sejak tadi sudah tidak sabar menanti
munculnya orang yang memasuki sayembara itu agar mereka
dapat menonton pertandingan silat.
Melihat ada seorang pemuda memasuki gelanggang, Ouwyang
Kun lalu bangkit dan menghampiri sehingga berdiri berhadapan
dengan pemuda itu, sedangkan Ouwyang Siu Cen mundur dan
berdiri di belakang ayahnya sambil memandang kepada pemuda
itu. Ciang Lun adalah seorang pemuda yang berwajah cukup
ganteng, tubuhnya sedang dan dia berdiri di depan Ouwyang
Kun dengan tegak. "Apa kehendakmu masuk ke sini, orang muda?" tanya Ouwyang
Kun. "Kalau boleh, saya ingin mencoba kelihaian Nona Ouwyang."
Ouwyang Kun menoleh dan memandang kepada puterinya. Siu
Cen mengangguk, tanda bahwa ia mau berpi-bu melawan
pemuda itu. "Orang muda, siapa namamu?" "Nama saya Ciang Lun."
"Baik, kami mempersilakan engkau untuk saling menguji
kepandaian dengan Siu Cen."
487 Setelah berkata demikian, Ouwyang Kun mundur dan duduk
kembali ke atas batu. Kini Siu Cen berhadapan dengan pemuda
itu. "Silakan mulai, Nona. Aku telah siap!" kata Ciang Lun yang
segera memasang kuda-kuda dengan berdiri tegak, kedua kaki
merapat dan kedua tangan direntangkan, yang kanan menunjuk
ke atas, yang kiri menunjuk ke bawah.
"Pembukaan Thian-te-sin-kun (Silat Sakti Langit Bumi)," bisik
Thian Liong. "Tapi rapuh," bisik pula Han.
13.2. Pembunuh Jit Kong Lhama
Thian Liong juga maklum bahwa pasangan kuda-kuda dari
pemuda bernama Ciang Lun itu tidak cukup kokoh dan melihat
gerakan kaki Siu Cen ketika menari silat pedang tadi dia sudah
dapat menduga bahwa pemuda ini tidak akan menang melawan
gadis itu. Tingkat kepandaian mereka berselisih jauh.
"Kami tuan rumah dan engkau tamunya, silakan menyerang
lebih dulu," kata Siu Cen yang juga memasang kuda-kuda
dengan menekuk kedua lututnya, menghadap ke samping dan


Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memutar kepala ke arah lawan, kedua tangan dikepal di
pinggang. "Hemm, kalau tidak salah kuda-kuda itu dari aliran Kwan-im-kun
(Silat Dewi Kwan Im)," kata Han lirih.
488 "Atau silat Dewa Ji-lai-hud, ilmu silat yang biasanya dimainkan
para pendeta," kata Thian Liong.
Mendengar ucapan gadis itu, Ciang Lun tersenyum. "Baiklah,
maaf, sambut seranganku, Nona!" Pemuda itu mulai menyerang
dan dia mainkan ilmu silat Langit Bumi yang sebetulnya
merupakan ilmu silat yang cukup ampuh karena gerakan
serangannya berganda, serangan ke bagian atas tubuh lawan
disusul dengan hampir berbarengan dengan serangan dari
bawah. Kalau saja dia sudah menguasai dengan baik dan
memiliki sin-kang (tenaga sakti) yang kuat, dia akan merupakan
lawan yang tangguh dan berbahaya.
Akan tetapi, Siu Cen bergerak cepat dan gerakannya ringan
sekali. Tubuhnya berkelebatan ketika mengelak dari serangkai
pukulan pemuda itu. Ia pun balas menyerang dan Ciang Lun
dapat menangkis serangan balasan itu dengan baik pula. Bagi
mereka yang tidak mengenal ilmu silat, atau yang hanya
mengenal kulitnya saja tentu menganggap bahwa pertandingan
itu seru dan seimbang. Telah lebih dari tigapuluh jurus mereka
bertanding dan tampaknya belum ada yang lebih unggul
sehingga kelihatan seru dan seimbang. Akan tetapi Han berbisik
kepada Thian Liong. "Wah, engkau terlambat, Thian Liong. Gadis itu agaknya telah
memilih calon suaminya."
"Engkau benar dan aku ikut girang, mereka memang serasi
untuk menjadi pasangan hidup."
Sementara itu, Ouwyang Kun juga maklum apa yang terjadi
pada puterinya. Dia tahu benar bahwa kalau dikehendaki, dalam
489 belasan jurus saja puterinya itu akan mampu mengalahkan
lawannya. Akan tetapi agaknya Siu Cen tidak mau melakukan
hal itu. Ia mengalah dan hal ini hanya mempunyai arti bahwa
puterinya itu jatuh cinta kepada Ciang Lun itu! Bagi dia
mempunyai seorang mantu yang ilmu silatnya lebih rendah
daripada tingkat puterinya tidak menjadi soal. Yang penting Siu
Cen mencintanya dan mantunya itu bukan seorang jahat.
Melihat betapa pertandingan itu berlangsung sampai hampir
limapuluh jurus, Ouwyang Kun merasa cukup dan dia pun
melompat ke tengah. "Cukup, harap kalian berhenti!"
Dua orang itu mundur dan Siu Cen menundukkan mukanya yang
menjadi kemerahan. Clang Lun memandang kepadanya dengan
mulut terseyum, tampak dia girang sekali.
"Cu-wi, sayembara ini sudah selesai. Kami telah menemukan
pilihan calon suami puteri kami."
"Tidak bisa! Ini tidak adil!" terdengar teriakan dan seorang lakilaki berusia kurang lebih tigapuluh lima tahun, bertubuh tinggi
besar dan mukanya hitam bopeng (bekas cacar) melompat ke
tengah lapangan. "Kemenangan bocah ini sama sekali tidak sah!" Dia berseru
dengan suaranya yang parau dan terdengar logat bicaranya
kaku dan asing. "Hemm, dia itu orang dari barat, suku Tibet," bisik Han kepada
Thian Liong. Pemuda ini juga sudah menduga demikian karena
pernah dia bertemu dengan beberapa orang pendeta Lhama dari
490 Tibet ketika mereka datang mengunjungi gurunya, Tiong Lee
Cin-jin. Ouwyang Kun menghadapi orang itu dengan alis berkerut, akan
tetapi dia menahan marah dan bertanya, "Sobat, menentukan
pilihan calon suami untuk puteriku merupakan hak kami, orang
luar sama sekali tidak berhak mencampuri."
"Ho-ho-ha-ha! Enak saja engkau menentukan begitu! Akan tetapi
tanyalah kepada semua penonton ini. Kalian berdua telah
melanggar peraturan yang kalian adakan sendiri. Bukankah tadi
engkau sendiri mengumumkan bahwa yang berhak berjodoh
dengan puterimu adalah orang yang dapat mengalahkan
puterimu dan dapat bertahan pula melawanmu selama duapuluh
jurus" Hai, saudara-saudara, bukankah dia tadi berjanji
demikian?" Para penonton yang juga merasa tidak puas dengan keputusan
yang diambil. Ouwyang Kun dan mereka menginginkan sebuah
pertandingan berikutnya yang
lebih seru, segera berseru, "Benar
!!" Mendengar seruan orang banyak ini, Ouwyang Kun lalu
bertanya dengan lantang. "Sobat, katakan siapa namamu!"
"Ho-ho, namaku Golam!" kata Si Tinggi Besar Muka Hitam. Dia
berbangsa Mongol akan tetapi sudah belasan tahun tinggal di
Tibet sehingga logat bicaranya seperti orang Tibet.
"Sekarang, apa kehendakmu maka engkau mencampuri urusan
kami memilih jodoh ini?"
491 "Tentu saja engkau harus memegang janjimu, dan aku ingin
memasuki sayembara, hendak mengalahkan puterimu dan
menghadapimu selama duapuluh jurus. Kalau aku berhasil,
maka puterimu ini harus menjadi isteriku!"
Ouwyang Kun mengerutkan alisnya dan menatap tajam wajah
yang bopeng dan berwarna hitam itu. "Golam, melihat usiamu,
engkau tentu sudah mempunyai isteri dan anak, bukan?"
"Ho-ho, punya anak isteri atau tidak sama sekali tidak ada
hubungannya dengan sayembara ini. Pendeknya, aku memasuki
sayembara dan kalian harus memenuhi janji dan melawan aku.
Kecuali, tentu saja, kalau kalian Ayah dan anak merasa takut
padaku! Kalau begitu, lebih baik kalian mengaku terus terang di
depan semua orang ini bahwa kalian takut melawan aku, lalu
cepat gulung tikar dan tinggalkan kota ini sebagai pengecut!"
Beberapa orang penonton mengeluarkan suara tawa dan semua
orang menjadi tegang karena mereka mengharapkan terjadinya
pertandingan yang sungguh-sungguh dan sikap Golam itu
memancing ketegangan. Ouwyang Kun menjadi mencorong marah. merah mukanya dan matanya "Golam!" suaranya membentak. "Sombong sekali engkau!
Mendengar namamu, engkau tentu seorang Mongol dan
suaramu menunjukkan bahwa engkau lama tinggal di Tibet! Aku
mengerti betapa banyaknya orang Mongol yang terusir dari
negaranya karena kejahatannya lalu berkeliaran di Tibet! Kami
tidak pernah takut menghadapi orang-orang macam engkau ini.
492 Guruku See-ong Hui Kong Hosiang tidak mempunyai murid
pengecut!" "Ho-ho-ha! Kiranya engkau murid See Ong (Raja Barat)" Bagus
kalau kalian bukan pengecut. Suruh puterimu maju melawan
aku, baru nanti engkau sendiri yang maju!"
Ouwyang Kun meragu, akan tetapi Siu Cen sudah bangkit berdiri
dengan marah. Pada saat itu, Ciang Lun yang sejak tadi berdiri
di pinggiran melangkah maju dan berkata kepada Golam dengan
suara keras. "Sobat, minggirlah dan jangan mencampuri dan
mengganggu urusan orang lain!"
Golam menyeringai melihat pemuda itu berdiri di depannya
dengan sikap menantang. "Pergi kau!" Dia membentak dan tangannya yang berlengan
panjang itu menampar ke arah kepala Ciang Lun. Pemuda itu
cepat menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaganya.
"Dukk !!" Tubuh Ciang Lun terpelanting dan jatuh
bergulingan saking kuatnya tenaga yang membentur
tangkisannya. Golam tertawa bergelak sambil menengadah
dengan sikap sombong sekali.
"Manusia sombong!" tiba-tiba Ouwyang Siu Cen membentak dan
ia sudah menghadapi Golam dan memasang kuda-kuda ilmu
silat Kwan-im-kun. Ayah gadis ini, Ouwyang Kun memang murid
See-ong Hui Kong Hosiang yang merangkai ilmu silat Ji-lai-hud
dan ilmu silat yang dimainkan oleh Siu Cen adalah ilmu silat
493 berdasarkan Ji-lai-hud-kun, khusus untuk wanita dan dinamakan
Kwan-im-kun. Akan tetapi Golam tertawa mengejek. "Nona manis, aku akan
malu kalau engkau bertangan kosong. Pergunakanlah
pedangmu itu dan aku akan menghadapimu dengan tangan
kosong. Itu baru adil namanya dan lebih seru!"
Akan tetapi Siu Cen sudah membentak nyaring dan maju
menerjang dengan cepat dan kuat. "Lihat seranganku!"
Akan tetapi, Golam menangkis dan begitu lengan Siu Cen
bertemu dengan tangannya, tenaga tangkisan itu begitu kuatnya
sehingga tubuh Siu Cen terputar dan pada saat itu, tangan kiri
Golam menyambar dan dengan kurang ajar sekali tangan itu
telah mengelus dan membelai dagu dan leher.
Siu Cen menjerit kecil sambil melompat jauh ke belakang
dengan terkejut dan marah sekali.
"Ha-ha-ho-ho, sudah kukatakan. Pergunakanlah pedangmu,
Nona manis!" Siu Cen cepat mengambil pedangnya, melompat ke depan
Golam dan membentak. "Keluarkan senjatamu!" tantangnya.
"Ho-ho, tidak seru kalau aku menggunakan senjata. Aku tidak
mau melukai kulitmu yang putih mulus itu, Nona. Tangan kakiku
ini sudah lebih dari cukup untuk melayanimu main-main.
Majulah!" "Sombong, sambut pedangku!" Siu Cen membentak dan
menyerang dengan pedangnya. Gerakannya cepat sekali. Akan
494 tetapi ternyata lawannya memang hebat. Biarpun bertubuh tinggi
besar, namun orang Mongol itu dapat bergerak cepat dan lebih
hebat lagi, dia berani menangkis pedang Siu Cen dengan
lengannya! Kalau pedang itu bertemu lengan Golam yang
menangkis, terdengar bunyi seolah pedang itu bertemu
sepotong baja yang amat kuat.
Kini para penonton mulai merasa tegang dan khawatir. Yang
mereka tonton kini bukan lagi pertandingan adu kepandaian
untuk mengukur tingkat masing-masing, melainkan pertandingan
perkelahian sungguh-sungguh yang menggunakan senjata, yang
dapat merobek tubuh dan merenggut nyawa! Maka, banyak di
antara para penonton yang mulai mundur menjauhkan diri dan
menonton dari jarak agak jauh yang aman. Tinggal sedikit saja
yang menonton di tempat semula, di antara mereka termasuk
Thian Liong dan Han. Setelah pertandingan antara Siu Cen yang memegang pedang
melawan Golam yang bertangan kosong itu berjalan lewat
duapuluh jurus, terdengarlah Golam terkekeh dan diseling jeritjerit kecil Siu Cen karena kini Golam yang lebih tinggi tingkatnya
itu mulai mempermainkan Siu Cen. Tangannya secara kurang
ajar sekali menowel pipi, meraba dada, dan mencubit pinggul.
Siu Cen menjerit-jerit kecil dan merasa malu dan marah sekali.
"Jahanam busuk, biar kubunuh dia!" Han berbisik dengan muka
berubah merah karena marahnya.
"Ssstt, jangan, Han. Ouwyang Kun adalah murid See Ong,
seorang di antara Empat Datuk Besar. Dia pasti tidak
membiarkan puterinya diganggu," kata Thian Liong. Baru saja
495 Thian Liong habis bicara, terdengar Ouwyang Kun membentak
lantang. "Golam bangsat kurang ajar!"
Thian Liong memandang dan dia melihat betapa Golam sudah
merampas dan mematahkan pedang Siu Cen dan kini dia
menangkap dan merangkul gadis itu.
Ouwyang Kun melompat dan langsung menyerang Golam
dengan tamparan tangannya. Golam melepaskan rangkulannya
dan mendorong tubuh Siu Cen sehingga gadis itu terpelanting.
Kemudian dia mengangkat tangan menangkis.
"Desss !!" Pertemuan dua tenaga itu dahsyat
sekali dan akibatnya tubuh Golam terpelanting dan roboh
bergulingan. Pada saat itu terdengar suara nyaring.
"Omitohud! Golam, bawa gadis itu. Engkau berhak memilikinya!"
Tampak bayangan berkelebat dan bayangan itu ternyata
seorang laki-laki berusia sekitar empatpuluh lima tahun,
bertubuh tinggi kekar dan mukanya penuh brewok akan tetapi
kepalanya gundul dan dari jubahnya dapat diketahui bahwa dia
itu seorang pendeta Lhama dari Tibet. Dengan gerakan yang
cepat sekali pendeta itu mendorongkan kedua tangannya ke
arah Ouwyang Kun. Hawa pukulan dahsyat disertai uap hitam
menyambar ke arah Ouwyang Kun bagaikan angin badai.
Ouwyang Kun terkejut sekali dan dia menyambut dengan kedua
tangan sambil mengerahkan seluruh sin-kang (tenaga sakti)
496 karena dia maklum bahwa pendeta Lhama itu menyerangnya
dengan pukulan yang amat kuat dan ampuh.
"Blaaaarrrr !!" Bukan main dahsyatnya pertemuan
antara dua tenaga sakti itu. Semua penonton merasa betapa
tanah yang mereka injak tergetar oleh benturan hebat itu. Tubuh
Ouwyang Kun terpental ke belakang dan sebelum dia dapat
bangkit, tubuh pendeta Lhama itu sudah meluncur dekat dan
ketika tampak kilat menyambar, pedang di tangan pendeta itu
telah memasuki dadanya! Ketika pedang dicabut, Ouwyang Kun
mendekap luka di dadanya darimana darah mengucur dan dia
memandang terbelalak kepada penyerangnya.
"Kau kau mengapa menyerangku?"
"Hemmm, engkau yang curang mengeroyok muridku!" kata
pendeta Lhama itu. Ouwyang Kun roboh terkulai dan tewas.
"Ayaaahhh !" Siu Cen yang tadi terpelanting,
sebelum sempat menghindar Golam sudah menubruk dan
menotok pundaknya sehingga ia tidak mampu melawan lagi.
Tubuhnya terasa lemas tiada tenaga dan ia pun tidak dapat
melawan ketika tubuhnya dipondong Golam. Akan tetapi ia
melihat ayahnya tertusuk dan roboh maka ia menjerit. Golam
melompat dan membawa gadis itu lari sambil terkekeh senang.
"Thian Liong, tolong gadis itu, biar kuhajar keledai gundul ini!"
kata Han. "Akan tetapi dia lihai sekali, Han!"
497

Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dulu aku pernah menghajarnya, jangan khawatir. Cepat kejar
buaya darat yang melarikan Siu Cen itu!"
Thian Liong tidak membantah lagi dan dia sudah berkelebat
cepat melakukan pengejaran terhadap Golam yang membawa
lari Siu Cen. Sementara itu, pendeta Lhama itu terkejut ketika tiba-tiba ada
bayangan berkelebat di depannya dan tahu-tahu di depannya
telah berdiri seorang pemuda yang amat tampan.
"Goat Kong Lhama, engkau memang seorang yang jahat dan
kejam!" "Omitohud! Engkau sudah mengenal nama pinceng (aku)"
Siapakah engkau" Siapa namamu, orang muda?" tanya Goat
Kong Lhama dengan heran. Dia adalah seorang pendeta Lhama dari Tibet yang namanya
asing di wilayah Kerajaan Kin maupun Kerajaan Sung Selatan.
Kemunculannya ini baru yang kedua kalinya. Dulu, kurang lebih
dua tahun yang lalu, dia pun pernah keluar dari Tibet untuk
mencari Jit Kong Lhama, seorang tokoh Lhama yang dianggap
murtad dan dicari oleh para Lhama di Tibet. Goat Kong Lhama
menjadi utusan para Lhama untuk mencari dan menangkap Jit
Kong Lhama. Ketika itu, Jit Kong Lhama yang menjadi guru Han Bi Lan, sudah
meninggalkan wilayah Sung dan kembali ke Tibet. Goat Kong
Lhama tidak dapat bertemu dengan orang yang dicarinya dan
dia bertemu dengan Bi Lan yang membela Kun-lun-pai karena
Goat Kong Lhama menuduh Kun-lun-pai menyembunyikan Jit
498 Kong Lhama. Terjadi perkelahian dan Bi Lan dapat
mengalahkan Goat Kong Lhama dengan ilmu silat Ngo-heng
Lian-hoan Kun?hoat yang ia pelajari dari kitab yang ia curi dari
Thian Liong. Setelah Goat Kong Lhama kalah, dia diberi tahu
bahwa Jit Kong Lhama sudah kembali ke Tibet dan dia pun lalu
kembali ke barat. "Tidak perlu engkau tahu siapa aku!" jawab Han dengan ketus.
"Sekarang katakan, di mana adanya Jit Kong Lhama?"
Goat Kong Lhama membelalakkan matanya. "Mengapa engkau
menanyakan Jit Kong Lhama" Apa hubunganmu dengan dia?"
"Tak perlu engkau tahu. Katakan saja di mana dia!"
"Omitohud , ha-ha-ha, orang muda, engkau ingin
mengetahui di mana adanya Jit Kong Lhama" Sebentar lagi
engkau akan dapat bertemu dengan dia di neraka!"
Han atau Bi Lan terkejut. "Apa
apa maksudmu?" "Ha-ha, kami sudah membunuh murid murtad itu, dan sekarang
engkau akan menyusulnya!" Tiba-tiba Goat Kong Lhama sudah
menyerangnya dengan tusukan pedangnya, pedang yang masih
bernoda darah dari dada Ouwyang Kun tadi.
Akan tetapi mendengar bahwa gurunya, Jit Kong Lhama dibunuh
oleh pendeta Lhama ini, Han sudah menjadi marah sekali dan
dengan cepat dia sudah miringkan tubuhnya dan gerakannya
menjadi kaku dan aneh karena dia sudah mainkan ilmu silat
aneh Sin-ciang Tin-thian yang dia pelajari dari Si Mayat Hidup.
499 Biarpun gerakannya kaku sekali, akan tetapi dengan tangan
telanjang dia berani menangkis pedang Goat Kong Lhama.
"Cringgg ! Tranggg !!" Goat Kong Lhama terkejut bukan main ketika pedangnya terpental dan hampir
terlepas dari pegangannya. Hampir dia tidak dapat percaya.
Bagaimana mungkin pemuda itu kuat menangkis pedangnya"
Dia sendiri memiliki kekebalan dan berani menangkis senjata
tajam lawan, akan tetapi bukan pedangnya ini! Pedangnya
adalah sebatang pedang pusaka yang dapat memotong
sepotong besi baja seper?ti memotong kayu lunak saja. Dan
gerakan pemuda itu mengerikan! Bukan seperti orang bergerak
dalam ilmu silat, melainkan seperti setan atau mayat berjalan,
kaku dan menyeramkan! Goat Kong Lhama mengeluarkan seluruh jurus simpanannya
dan mengerahkan seluruh tenaganya karena dia maklum betapa
lihai lawannya yang masih muda itu. Padahal selama ini dia
sudah mem-perdalam ilmu-ilmunya. Bagaimana mungkin dia
yang bersenjatakan sebatang pedang pusaka ampuh tidak akan
dapat mengalahkan seorang pemuda yang bertangan kosong"
Saking penasaran, pendeta Lhama itu menyerang dengan
hebat, mengamuk sambil mulutnya mengeluarkan suara bacaan
mantram yang dapat mendatangkan kekuatan sihir yang ampuh.
Namun, Han agaknya tidak terpengaruh dan terjadilah
pertandingan mati-matian karena sambaran tangan dan kaki
Han juga merupakan cengkeraman-cengkeraman maut bagi
lawannya. 500 Sementara itu, Thian Liong sudah berlari cepat mengejar Golam
yang melarikan diri sambil memondong Ouwyang Siu Cen.
Orang Mongol ini lari ke arah telaga dan dia melepaskan tali
sebuah perahu, agaknya hendak melarikan diri dengan perahu
itu. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan di
belakangnya. "Lepaskan gadis itu!" Golam cepat membalikkan tubuhnya,
lengan kiri masih memanggul tubuh Siu Cen di atas pundaknya
dan tangan kanannya yang besar dan panjang itu menyambar
ke arah Thian Liong. Tamparan itu kuat sekali. Akan tetapi Thian
Liong yang mengkhawatirkan keselamatan gadis itu, takut kalau
dia menggunakan kekerasan Siu Cen akan terluka, tidak
menangkis melainkan mengelak dan secepat kilat ta?ngan
kirinya menotok ke arah pundak kiri Golam.
"Tukk!!" Golam mengeluh karena tiba-tiba lengan kirinya terasa
lumpuh dan sebelum dia dapat menguasai dirinya, tahu-tahu
tubuh Siu Cen sudah terlepas dari pondongannya. Dia menjadi
marah bukan main, mengerahkan seluruh tenaganya sehingga
kelumpuhan sementara pada lengan kirinya itu menghilang.
Dengan suara menggereng seperti seekor srigala, dia menubruk
ke arah Thian Liong. Akan tetapi pemuda yang masih
memondong tubuh Siu Cen yang dirampasnya tadi memutar
tubuh setengah lingkaran dan kaki kanannya mencuat dengan
amat cepat dan kuatnya, merupakan sebuah tendangan kilat.
"Syuuuuttt desss!" Tubuh Golam terlempar jauh
dan jatuh ke dalam telaga. Air muncrat dan Golam yang terkejut
dan merasa dadanya nyeri dan napasnya sesak maklum bahwa
501 pemuda itu lihai bukan main. Dia tidak akan menang melawan
pemuda itu, maka takut kalau dikejar dan diserang, dia lalu
menyelam ke dalam air. Akan tetapi Thian Liong sama sekali tidak mempunyai niat untuk
mengejar. Dia hanya memandang ketika orang Mongol itu
muncul di permukaan air, sudah jauh di tengah lalu berenang
dengan cepat ke arah menjauh. Lalu dengan hati-hati Thian
Liong menurunkan tubuh Siu Cen di atas tanah dan
menggunakan jari tangannya membuka totokan yang dilakukan
Golam atas diri gadis itu.
13.3. Pembalasan Sang Murid
Begitu terbebas dari totokan, Siu Cen bangkit berdiri,
akan tetapi ia terhuyung dan mengeluh, "Ayah !"
Tiba-tiba Ciang Lun, pemuda yang tadi menjadi orang pertama
memasuki sayembara, dan yang tadi ikut mencoba mengejar
ketika melihat Siu Cen dilarikan Golam, sudah mendekati gadis
itu dan memegang lengannya agar tidak jatuh.
"Nona, tenangkan hatimu " Setelah Siu Cen tidak
terhuyung lagi, Ciang Lun melepaskan pegangannya.
"Ahh bagaimana dengan Ayahku ?" Ia melihat Thian Liong yang tadi menolongnya sudah berlari cepat ke
tempat dilakukan pi-bu tadi.
502 "Ayahmu terluka oleh pendeta jahat itu, akan tetapi sekarang
seorang pemuda sedang berkelahi dengannya."
"Ayah !" Siu Cen menoleh ke arah tempat tadi lalu
ia lari sambil terisak-isak. Ciang Lun juga lari mengikuti.
Perkelahian antara Goat Kong Lhama dan Han berlangsung
seru. Pendeta Lhama itu makin terkejut ketika menghadapi
serangan-serangan aneh dari Han, dengan gerakan kaku namun
setiap gerakan itu mengandung tenaga sin-kang yang luar biasa.
Di lain pihak, Han atau Bi Lan sengaja mengeluarkan jurus-jurus
andalannya karena ia mengambil keputusan untuk membunuh
pendeta Lhama yang tadi mengatakan telah membunuh
gurunya, yaitu Jit Kong Lhama. Selain itu, juga dia tadi melihat
betapa jahat dan kejamnya Goat Kong Lhama yang membantu
Golam dengan membunuh Ouwyang Kun dan membiarkan
orang Mongol itu menculik Siu Cen.
"Mampuslah !!" Goat Kong Lhama menyerang
dengan dahsyat sekali, menusukkan pedangnya ke arah dada
Han sambil mengeluarkan teriakan menggelegar. Bagi lawan
yang sinkangnya tidak kuat, baru menghadapi serangan suara
menggelegar ini saja sudah
dapat menewaskannya atau setidaknya melumpuhkannya. Akan tetapi Han tidak terpengaruh sama
sekali. Bahkan ketika pedang itu meluncur ke arah dadanya, dia
hanya miringkan tubuhnya sedikit saja namun cukup untuk
menghindarkan diri. Pedang itu meluncur dekat sekali dengan
503 tepi dada sebelah kiri. Han membarengi tusukan pedang itu
dengan hantaman tangan kanannya, dengan gerakan kaku,
lengannya menusuk seperti sebatang kayu. Gerakannya aneh
namun tepat sekali karena pada saat itu Goat Kong Lhama
sedang mencurahkan seluruh perhatiannya kepada pedang
yang hampir menusuk dada pemuda itu.
"Han, jangan !" Tiba-tiba terdengar Thian Liong yang baru
datang di tempat itu. Dia terkejut melihat serangan Han kepada
pendeta Lhama itu karena dia melihat bahwa serangan itu
adalah pukulan maut. Dia dapat melihat sinar meluncur dari
tangan Han yang memukul. Akan tetapi Han tidak menarik
kembali atau menahan pukulannya. Bahkan dia menambahkan
tenaga. "Wuuuuttt blarrr !" Tubuh Gwat Kong Lama
terpental lalu terbanting, terjengkang di atas tanah dan tidak
mampu bergerak lagi karena dia tewas seketika terkena pukulan
ilmu dari Si Mayat Hidup!
"Han !" Thian Liong menghampiri dan menengur
dengan lembut namun nada suaranya mengandung penyesalan.
"Mengapa engkau membunuhnya?"
"Mengapa aku membunuhnya" Tentu saja aku membunuhnya.
Dia jahat dan kejam. Tidakkah engkau melihat sendiri betapa dia
membantu Golam menculik Siu Cen dan dia membunuh
Ouwyang Kun" Mengapa masih bertanya dan suaramu mencela
kalau aku membunuh orang kejam ini?"
504 "Han, engkau menganggap dia kejam karena dia membunuh
Ouwyang Kun, akan tetapi engkau sendiri membunuh Goat
Kong Lhama! Lalu apa bedanya dengan dia dan engkau yang
sama-sama menjadi pembunuh?"
"Thian Liong, mengapa engkau seolah membela dia?"
"Bukan membela, Han. Akan tetapi, setidaknya dia harus ditanya
dulu mengapa dia membunuh Ouwyang Kun. Ketahuilah, seperti
sudah kukatakan tadi, Ouwyang Kun adalah murid datuk besar
yang sesat dari barat, jadi kita belum tahu ada urusan apa di
antara mereka dan siapa tahu sebagai murid See Ong,
Ouwyang Kun itu juga bukan orang baik-baik."
"Dan engkau tidak mengerti, Thian Liong. Aku membunuh Goat
Kong Lhama bukan hanya karena dia membunuh Ouwyang Kun,
akan tetapi lebih dari itu, dia telah membunuh guruku, Jit Kong
Lhama! Aku membalas dendam atas kematian Suhu di
tangannya." Thian Liong mengangguk-angguk dan menghela napas panjang.
Dia teringat akan wejangan gurunya, Tiong Lee Cin-jin bahwa
dalam dunia persilatan terdapat banyak permusuhan, bunuh
membunuh karena saling mendendam. Bunuh membunuh
karena dendam ini tidak akan ada habisnya. Yang kalah
mendendam lalu berusaha membalas, kalau dapat membunuh
lawannya, maka lawan itu pun akan berganti menjadi
pendendam dan berusaha membunuh musuhnya. Demikian
tiada habisnya. Terhentinya dendam mendendam ini berada di
tangan kita sendiri, kalau kita menghentikan mata rantai dendam
505 itu ketika tiba pada bagian kita, maka rantai dendam
mendendam itu menjadi putus.
Bi Lan adalah seorang manusia biasa, apalagi ia memang
memiliki watak yang keras. Tidak terlalu aneh kalau ia
mendendam kepada Goat Kong Lhama yang telah membunuh
gurunya. Apalagi gadis itu melihat betapa jahat dan kejamnya
pendeta Lhama itu membunuh Ouwyang Kun dan membantu
Golam menculik Siu Cen. Mungkin juga kematiannya itu
merupakan hukuman sebagai buah kejahatannya dan jatuhnya
hukuman itu melalui diri Bi Lan.
Terdengar suara jerit tangis. Ketika Han dan Thian Liong
menengok, ternyata yang menangis adalah Ouwyang Siu Cen
yang berlutut dekat jenazah ayahnya. Ciang Lun berlutut di
dekatnya dan pemuda ini mengucapkan kata-kata menghibur.
"Sudahlah, Nona, harap tenangkan hatimu. Ayahmu telah
meninggal dunia, tidak ada gunanya ditangisi lagi. Pula,
pembunuhnya juga sudah menerima hukumannya dan terbunuh.
Lebih baik mengurus jenazah ayahmu, kasihan kalau dibiarkan
menggeletak di sini."
Siu Cen memandang ke arah mayat Goat Kong Lhama yang
menggeletak tidak jauh dari situ, kemudian ia memandang
jenazah ayahnya dan berkata lirih, suaranya parau karena
tangis. "Akan tetapi bagaimana mengurusnya "
Aku aku tidak mempunyai keluarga atau kenalan di
506 sini " "Nona Ouwyang, biarlah aku yang akan mengurus, dari upacara
persembahyangan sampai pemakaman selesai. Aku yakin Ayah


Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ibuku akan membantu dengan rela dan senang hati. Ketahuilah,
Ayahku adalah seorang guru silat yang dikenal di kota ini. Mari,
Nona, biar kuatur pengangkutan jenazah Ayahmu ke rumah
kami." "Nanti dulu, Twako (Kakak). Aku harus mengucapkan terima
kasih lebih dulu kepada dua orang pemuda yang tadi membela
kami." Akan tetapi ketika Siu Cen dan Ciang Lun bangkit dan
mencari-cari, Han dan Thian Liong telah pergi meninggalkan
tempat itu. Ciang Lun lalu mendatangkan sebuah kereta untuk mengangkut
jenazah Ouwyang Kun ke rumah orang tuanya. Siu Cen yang
tadinya merasa rikuh sekali harus mengganggu keluarga Ciang
yang sama sekali tidak mempunyai hubungan dengannya,
menjadi lega setelah bertemu dengan Ciang-kauwsu (Guru Silat
Ciang) dan isterinya yang menyambutnya dengan ramah sekali.
Kiranya ayah dan ibu Ciang Lun merasa setuju sepenuhnya
ketika Ciang Lun menceritakan hubungannya dengan Siu Cen
dan betapa dalam pi-bu (adu silat) tadi dia telah diterima sebagai
jodoh gadis itu. Jenazah Ouwyang Kun lalu diurus sebaikbaiknya sampai selesai dimakamkan. Tentu saja Siu Cen sangat
berterima kasih dan karena memang sejak pi-bu tadi ia sudah
tertarik dan suka kepada Ciang Lun, maka ia setuju ketika orang
tua Ciang Lun dengan resmi mengangkatnya menjadi mantu.
"Y" 507 Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Thian Liong dan Bi Lan
atau yang kini menyamar sebagai seorang pemuda dengan
nama Han, meninggalkan rumah penginapan lalu melanjutkan
perjalanan keluar dari kota Leng-an. Mereka melangkah
perlahan-lahan di atas jalan umum yang menuju utara. Pagi itu
masih sepi dan mereka berjalan sambil bercakap-cakap,
membicarakan peristiwa yang mereka alami kemarin di dekat
telaga. "Engkau agaknya sudah mengenal pendeta Lhama itu, Han.
Bagaimana engkau bertemu dengannya?"
"Nanti dulu. Engkau juga agaknya mengenal See Ong, datuk
besar yang menjadi guru Ouwyang Kun itu. Ceritakan dulu
tentang pertemuanmu dengan datuk itu, baru nanti giliranku
bercerita." Thian Liong lalu menceritakan pengalamannya ketika dia
mengintai pertemuan antara Empat Datuk Besar di Pulau Iblis
yang terdapat di tengah Telaga Barat.
"Hemm, mau apa Empat Datuk Besar itu berkumpul di sana?"
"Mereka itu secara bersama menggembleng seorang murid
sehingga murid itu kini menjadi seorang yang lihai dan
berbahaya sekali. Ilmu-ilmu dari Empat Datuk Besar itu telah
digabung. Dia menjadi luar biasa kuatnya sehingga ketika
mereka berempat menguji, mereka tidak mampu mengalahkan
pemuda itu." "Wah, hebat pemuda itu! Siapa dia?"
508 "Namanya Can Kok dan dia adalah keponakan dari Tung-sai Kui
Tong, datuk sesat dari timur, majikan Pulau Udang. Demikianlah,
Han, pertemuanku dengan Empat Datuk Besar itu, atau lebih
tepat bukan pertemuan karena ketika mereka muncul di pulau
itu, aku hanya mengintai sambil bersembunyi. Sekarang
ceritakan bagaimana engkau dapat mengenal pendeta Lhama
tadi." Han tersenyum, lalu tiba-tiba cemberut karena teringat akan
pesan Thian Liong agar dia jangan tersenyum yang akan
memperlihatkan kecantikannya sebagai wanita. Melihat ini,
Thian Liong tertawa. "Ha-ha-ha, kalau tidak ada orang lain yang melihatnya, tentu
saja engkau boleh tersenyum, bahkan senyumlah yang banyak
karena aku senang melihatnya!"
"Tidak perlu memuji! Engkau mau mendengarkan atau tidak?"
"Ya-ya, maafkan aku, Han. Ceritakanlah, aku mendengarkan."
"Ketika itu aku pergi ke Kun-lun-pai untuk bertemu dengan
pimpinan Kun-lun-pai. Di sana aku melihat Goat Kong Lhama
sedang mengacau dan menantang para pimpinan Kun-lun-pai.
Beberapa orang pemimpin Kun-lun-pai telah dikaIahkan. Aku
lalu membela Kun-Iun-pai dan setelah bertanding, aku berhasil
mengalahkan dia berkat berkat perbuatanku dulu mencuri kitab dari buntalan
pakaianmu itu!" "Eh" Bagaimana bisa demikian?"
509 "Ketika aku mendapatkan kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat
itu, aku lalu mempelajarinya dan tekun berlatih di bawah
bimbingan guruku, Jit Kong Lhama. Setelah aku menguasai ilmu
itu, aku lalu pergi ke Kun-lun-pai dengan niat mengembalikan
kitab itu kepada pemiliknya. Nah, aku melihat Goat Kong Lhama
mengacau di sana. Dia utusan para Lhama di Tibet untuk
mencari guruku, Jit Kong Lhama yang dianggap murtad. Nah,
dengan ilmu yang kucuri dari Kun-lun-pai itu aku mengalahkan
Goat Kong Lhama. Para pimpinan Kun-lun-pai memaafkan aku,
menerima kembali kitab itu bahkan mengakui aku sebagai murid
Kun-lun-pai. Dan tadi ketika aku bicara dengan Goat Kong
Lhama dia mengaku bahwa dia dan para Lhama telah
membunuh guruku." "Hemm, kalau begitu pantas engkau mendendam kepadanya,"
kata Thian Liong sambil mengangguk-angguk.
"Apa maunya Empat Datuk Besar itu bergabung dan
menurunkan ilmu mereka kepada pemuda bernama Can Kok
itu" Engkau belum menceritakan hal itu."
"Mereka mempunyai niat yang keji, yaitu agar murid mereka
yang digembleng secara khusus itu dapat mewakili mereka
untuk membunuh guruku, Tiong Lee Cin-jin."
"Hemm, mengapa harus bersusah payah mendidik murid itu
yang memakan waktu lama" Mengapa tidak langsung saja
mereka melaksanakan niat mereka itu?"
Thian Liong tersenyum. "Mereka semua pernah dikalahkan Suhu
dan mereka tidak berani. Karena itu, masing-masing membuang
waktu dua tahun untuk bergantian melatih Can Kok dan kukira,
510 dengan adanya Can Kok tentu saja mereka akan menjadi kuat
sekali dan keselamatan Suhu terancam. Karena itu aku hendak
menghadap Suhu dan menceritakan tentang bahaya yang
mengancamnya itu." "Hemm, engkau sudah menceritakan hal itu kepadaku. Kukira
tidak perlu dipusingkan benar. Kalau tingkat kepandaian para
Datuk Besar itu hanya seperti itu, melihat tingkat Ouwyang Kun
murid seorang dari mereka, apa yang perlu ditakuti" Tiong Lee
Cin-jin pasti akan dapat mengalahkan mereka. Aku mendengar
bahwa Tiong Lee Cin-jin memiliki kepandaian seperti dewa!
Guruku, Jit Kong Lhama sendiri yang memuji-mujinya."
Thian Liong menggeleng kepala dan menghela napas panjang.
"Engkau tidak mengerti, Han. Suhu Tiong Lee Cin-jin sudah
semakin tua dan aku mengetahui benar wataknya. Dia tidak
suka bermusuhan dan kalau para datuk ditambah Can Kok dan
murid-murid mereka yang lain, Suhu pasti mengalahkan dan
tidak mau membunuh. Betapapun juga, menghadapi
pengeroyokan mereka, apalagi dengan adanya Can Kok yang
lihai, Suhu yang sudah tua sukar untuk dapat mengatasi
mereka." Thian Liong memandang wajah Han dan melanjutkan,
"Karena itu, sekali lagi aku minta, maukah engkau membantu
suhu untuk menghadapi Empat Datuk Besar dan murid?murid
mereka itu?" "Ah, apa yang dapat kubantukan" Kepandaianku
masih rendah " "Wah, kalau tingkat ilmu silatmu masih rendah, lalu yang
bagaimana tingkat yang tinggi itu" Kepandaianmu tidak rendah,
511 Han, tetapi engkaulah yang merendah. Aku kagum sekali
padamu. Selain engkau menguasai Ngo-heng Lian-hoan Kunhoat dari Kun-lun-pai, engkau juga kebal terhadap serangan sihir
seperti yang kulihat ketika
engkau melawan Goat Kong Lhama tadi. Selain itu
aku masih terkejut, terheran, dan kagum sekali melihat
gerakanmu ketika menyerang tadi. Gerakanmu begitu
aneh, kaku dan menyeramkan. Akan tetapi daya
serangannya luar biasa hebatnya. Terus terang saja, karena
mendapat bimbingan Suhu Tiong Lee Cin-jin, aku mengenal
hampir semua dasar gerakan ilmu silat dari bermacam aliran.
Akan tetapi melihat gerakanmu tadi, aku sama sekali belum
pernah melihat atau mendengarnya. Kalau engkau tidak ingin merahasiakannya, ingin aku mengetahui, dari mana engkau
mempelajari ilmu aneh menyeramkan dan amat lihai itu?"
Gadis yang menyamar sebagai pemuda itu termenung. Dia
terbayang dan terkenang masa lalu ketika menjadi murid Si
Mayat Hidup. Selama satu tahun ia digembleng dengan ilmu silat
"mayat hidup" yang aneh itu dan Heng-si Ciauw-jiok (Mayat
Hidup Berjalan) itu memesan agar setelah belajar setahun dia
harus mengubur gurunya itu hidup-hidup! Akan tetapi dia tidak
melakukan pesan ini dan setelah selesai belajar selama
setahun, dia kabur dan pergi tanpa pamit. Kini Thian Liong
512 bertanya tentang gurunya itu. Dia sudah percaya betul kepada
pemuda itu dan mengharapkan dapat bekerja sama dengannya.
"Aku mau menceritakan, akan tetapi engkau harus berjanji untuk
merahasiakan hal ini, tidak mengatakan kepada siapapun juga."
"Aku berjanji!" "Sumpah?"
"Aku bersumpah tidak akan menceritakan rahasiamu itu kepada
siapapun juga!" "Eh, sumpah macam apa itu?" Han mengomel. "Habis
bagaimana?" "Engkau harus bersumpah bahwa kalau engkau melanggar
sumpahmu, akan terjadi sesuatu padamu."
"Oo, begitu" Baiklah, aku bersumpah tidak akan menceritakan
rahasiamu kepada siapapun juga, kalau
aku melanggar sumpahku ini biarlah
selamanya aku tidak akan berpisah lagi denganmu!"
"Wah, enak betul kamu!"
"Han, kau anggap bahwa kalau kita berkumpul terus takkan
pernah berpisah merupakan hal yang enak dan menyenangkan?" "Kubilang kau yang enak dan senang." "Dan engkau sendiri"
Tidak senangkah?" 513 "Sudahlah, jangan macam-macam. Engkau harus bersumpah
bahwa kalau engkau melanggar, engkau akan mengalami hal
yang tidak enak, seperti misalnya tidak bisa tidur dan tidak bisa makan!"
"Wah, kau biarkan aku ngantuk dan kelaparan?"
"Jangan bergurau, cepat bersumpah atau aku tidak akan sudi
menceritakannya kepadamu."
"Baiklah, Han. Nah, aku mengulang sumpahku. Kalau aku
menceritakan rahasiamu kepada orang lain, biarlah aku tidak
bisa tidur kalau makan dan tidak bisa makan kalau tidur!"
Sejenak Han mengerutkan alisnya, bingung mendengar katakata yang dibolak-balik itu. Akan tetapi ketika akhirnya dia
mengerti, dia melotot dan marah-marah. "Enak saja kau!
Sumpah macam apa itu" Tentu saja kalau tidur tidak bisa makan
dan bagaimana mungkin makan sambil tidur" Engkau mau
mempermainkan aku, ya?"
"Maaf, Han, terus terang saja aku memang belum pernah
bersumpah, jadi tidak mengerti bagaimana seharusnya."
"Katakan kalau engkau melanggar, kepalamu membengkak,
rambutmu rontok gundul, telingamu besar kecil, matamu juling,
hidungmu pesek rata, mulutmu
sumbing, perutmu busung "
"Cukup, jangan panjang-panjang, repot aku mengingatnya.
Baiklah, kalau aku melanggar, kepalaku bengkak, rambutku
514 rontok, telingaku besar, mataku juling, hidungku pesek, mulut
sumbing, perut busung, akan tetapi bertambah tampan!"
"Dasar brengsek! Aku tidak mau menceritakan!"
"Aih, Han, begitu saja marah" Sudahlah, biar aku mohon ampun
sebanyaknya kepadamu." Thian Liong merangkap kedua tangan
depan dada dan memberi hormat berulang-ulang. Han tertawa
melihat ulah ini. "Sudah, sekali ini kumaafkan. Awas lain kali kalau berani
mempermainkan aku. Nah, dengarlah, guruku yang kedua itu
berjuluk Heng-si Ciauw-jiok."
Sekali ini Thian Liong tidak main-main lagi. Dia malah terbelalak,
kaget dan heran. "Ah, Heng-si Ciauw-jiok" Suhuku pernah
menyebut nama itu yang kabarnya telah tewas dikeroyok banyak
datuk lain." "Benar, dialah guruku kedua yang membimbingku selama satu
tahun. Suhu Jit Kong Lhama juga pernah bercerita kepadaku
seperti itu. Akan tetapi kenyataannya dia masih hidup biarpun
lebih pantas kalau disebut mayat hidup. Dia pesan agar setelah
aku belajar ilmu selama setahun, aku harus mengubur dia hiduphidup! Tentu saja aku tidak mau melaku-kan perbuatan kejam
itu, apalagi selama setahun dia menjadi guruku! Maka, setelah
belajar setahun lamanya, aku lalu meninggalkannya tanpa
pamit." "Wah, hebat sekali! Pantas engkau begitu lihai, Han!"
515 "Apanya yang lihai" Buktinya aku masih tidak mampu
mengalahkanmu. Padahal aku belajar mati-matian dengan niat
untuk mengalahkanmu!"
Thian Liong menghela napas panjang. "Aku masih ingat
semuanya itu, Han, dan selama ini aku selalu menyesali
perbuatanku terhadap dirimu. Masih terus terngiang dalam
telingaku kata-katamu bahwa engkau akan membalas
penghinaanku kepadamu. Akan tetapi mengapa engkau tidak
membalas sepenuhnya, baru menampar beberapa kali saja
sudah berhenti, bahkan engkau menyelamatkan aku ketika aku
diserang Pak-sian dan muridnya?"
"Karena

Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena ah, sudahlah! Semua itu merupakan sebab akibat yang sambung menyambung dan
ruwet. Aku ingin sekali memperdalam ilmu, maka aku mencuri
kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat darimu. Sebetulnya aku
menyesal maka melihat engkau dikeroyok orang-orang Siauwlim dan Kun-lun, aku membantumu. Kemudian engkau
membalas dan menampari aku. Aku merasa sakit hati, lalu
memperdalam ilmu lagi untuk membalasmu. Kita saling bertemu
dan engkau mengalah sehingga aku pun setengah hati
membalas tamparanmu. Lalu muncul Pak-sian dan muridnya
menyerang engkau yang tak berdaya.
Tentu saja aku membelamu! Semua itu wajar, kecuali kalau
engkau menganggap aku orang sesat seperti Empat Datuk
Besar itu." Thian Liong mengangguk-angguk.
516 "Aku pun merasa menyesal bukan main setelah dulu
menamparmu dan baru aku ketahui bahwa gadis baju merah
yang mencuri kitabku itu adalah Han Bi Lan, puteri dari Paman
Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi yang kuhormati. Kalau aku
tahu sebelumnya, tidak mungkin aku berani melakukan hal itu
kepadamu." JILID 14 14.1. Han, Jangan Bunuh Orang!
"Sudahlah, kita lupakan saja semua itu. Kita sama-sama merasa
bersalah, ya sudahlah, kejadian itu menjadi pelajaran bagi kita."
"Engkau benar, Han. Akan tetapi, bagiku, mendapatkan maaf
darimu saja masih belum cukup. Aku ingin sekali mengakui
kesalahanku itu kepada Paman
Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi. Akan tetapi
sayang Ayahmu terbunuh orang dan engkau tidak mau
mengatakan di mana Ibumu berada."
"Sudah kukatakan, cukup dan jangan bicarakan lagi!"
"Maafkan aku. Engkau benar, membicarakannya hanya akan
membangkitkan kenangan sedih tentang kematian Ayahmu."
Kedua orang muda itu melakukan perjalanan ke barat. Tujuan
perjalanan mereka adalah Pegunungan Gobi karena Thian Liong
ingin menghadap gurunya, Tiong Lee Cin-jin yang tinggal di
Puncak Pelangi, satu di antara puncak-puncak Pegunungan
Gobi-san. Namun, di sepanjang perjalanan mereka mencari
517 keterangan tentang keberadaan Bouw Kiang dan Bong Siu Lan,
dua orang murid Ouw Kan yang telah menewaskan Han Si
Tiong. Mereka melakukan perjalanan tanpa mengenal lelah, namun
atas nasihat Thian Liong, mereka melakukan perjalanan secara
santai karena selain hal ini akan memudahkan mereka mencari
keterangan tentang dua orang murid Ouw Kan itu, juga tidak
akan terlalu banyak menguras tenaga. Kalau malam tiba,
mereka menginap di rumah penginapan sebuah kota, dan kalau
terpaksa perjalanan tertunda waktu malam selagi mereka berada
di hutan, mereka pun bermalam di tengah hutan.
Selama melakukan perjalanan ini, keduanya saling tertarik. Han
Bi Lan atau Han melihat kenyataan bahwa Souw Thian Liong
adalah seorang pemuda yang sederhana, rendah hati, lembut
dan baik budi. Sebaliknya Thian Liong juga melihat bahwa Han
Bi Lan adalah seorang gadis yang biarpun wataknya keras
namun memiliki jiwa pendekar yang gagah. adil, pembela
kebenaran dan Entah mengapa, segala gerak
geriknya, cara ia bicara, memandang, semua itu tampak amat
menarik hati, membuat dia terkagum-kagum dan terpesona.
Dalam lubuk hatinya Thian Liong membandingkan gadis ini
dengan para gadis lain yang pernah dekat dengannya seperti
Pek Hong Niocu atau Puteri Moguhai, Ang Hwa Sian-li atau Thio
Siang In, dan banyak lagi gadis lain yang pernah bertemu
dengannya. Pada suatu siang mereka tiba di sebuah hutan di lereng bukit
yang tidak terlalu besar. Thian Liong mengerling ke samping dan
518 melihat gadis yang menyamar pria itu melangkah dengan tegap
di sampingnya. Caping lebar dan mantel longgar yang menutup
kepala dan badannya, menyembunyikan keaslian dirinya
sebagai wanita. Thian Liong menghela napas panjang. Mengapa
dia tertarik dan berpikir yang bukan-bukan terhadap Bi Lan" Dia
mencela pikirannya sendiri. Dia tahu bahwa Han Bi Lan oleh
orang tuanya telah dijodohkan dengan Kwee Cun Ki pemuda
yang gagah dan tampan, putera Panglima Kwee yang terkenal,
setia kepada Kaisar, bijaksana dan jujur itu! Dia harus
membuang jauh-jauh khayalan hampa itu!
"Apa yang kaukatakan?"
Tiba-tiba Thian Liong seperti terseret turun ke alam kenyataan
dari lamunannya tadi. Dia menoleh kepada Han dan balas
bertanya. "Mengatakan apa" Aku tidak bicara
" "Hemm, aku mendengar engkau tadi berkata-kata dengan
bisikan." Thian Liong terkejut. Jangan-jangan jalan pikirannya
dalam lamunan tadi terucapkan olehnya! "Oo
Aku itu" aku tadi hanya bicara kepada diri sendiri bahwa
perutku lapar sekali "
"Gila!" Han tertawa. "Perut lapar mengapa bicara kepada diri
sendiri" Ka-takan saja dan kita dapat mencari makanan untuk
perutmu yang gembul itu!"
519 "Ah, aku malu untuk bilang bahwa perutku lapar." "Nah itu sudah
bilang! Mengapa tidak malu?" "Ini namanya sudah terlanjur
ketahuan!" Mereka berdua tertawa. Akan tetapi suara tawa itu terhenti
ketika tiba-tiba belasan orang muncul di hadapan mereka.
Agaknya mereka itu tadi bersembunyi dan ketika Thian Liong
dan Han tiba di situ, mereka berlompatan keluar dari balik semak
dan pohon. Semua ada tigabelas orang, dipimpin seorang lakilaki berusia empatpuluh tahun lebih yang tinggi besar dan
mukanya hitam. Laki-laki itu memegang sepasang golok besar,
sedangkan duabelas orang kawannya semua memegang
sebatang golok! Melihat penampilan mereka, mudah diduga
bahwa mereka adalah golongan penjahat, mungkin perampok.
Han tersenyum kepada Thian Liong. "Nah, ini sudah datang para
pelayan yang akan mencarikan makan untuk perutmu!"
Thian Liong tersenyum. Gadis ini memang pemberani dan di
balik kekerasan hatinya, ia itu sebetulnya periang, jenaka dan
nakal walaupun selama dalam perjalanan dia sering melihat Han
bermuram durja tanpa mau mengatakan apa yang merisaukan
hatinya. Kepala perampok itu tertawa bergelak melihat dua orang
pemuda yang tampaknya lemah itu. Dia tidak dapat mendengar
jelas ucapan Han kepada Thian Liong karena Han hanya
berbisik saja. "Hoa-ha-ha, dua ekor anak ayam ini tidak banyak bulunya! Akan
tetapi lumayan, dari pada ini hari kosong tidak ada pemasukan
sama sekali!" 520 "Twako, siapa tahu dalam buntalan mereka itu terdapat apa-apa
yang berharga!" kata seorang di antara para anak buah
perampok. "Ha, benar juga! Hei, kalian dua orang bocah! Cepat tanggalkan
buntalan dari pundakmu dan juga tanggalkan pakaian luar kalian
dan sepatu kalian di sini. Barulah kami melepaskan dan
membolehkan kalian melanjutkan perjalanan!"
"Eh, muka hitam buruk kaya lutung! Kalau kami tidak mau,
bagaimana?" Muka yang sudah hitam itu menjadi semakin hitam, mungkin
kalau bagi orang lain yang kulit mukanya agak bersih akan
tampak merah saking marahnya mendengar ucapan Han yang
amat merendahkan dan mengejek itu. Duabelas orang temannya
juga menjadi marah dan juga heran merasa heran sekali ada
orang muda lemah berani bicara sedemikian kurang ajarnya
kepada pemimpin mereka. "Bangsat kurang ajar kamu! Kawan-kawan, tangkap dia! Kita
gantung di pohon!" Si Muka Hitam membentak dan
memerintahkan kawan-kawannya.
Karena mereka juga marah, duabelas orang anak
buah perampok itu lalu menjauhkan diri dari Thian Liong sehingga dikepung hanya dia. mengepung Han yang yang Thian Liong sendiri sambil
521 tersenyum lalu duduk di atas akar pohon yang tersembul di
permukaan tanah dan menonton. Orang-orang jahat itu mencari
penyakit, pikirnya. Dan dia hendak melihat apakah nasihatnasihatnya diturut oleh Han, yaitu bahwa amat tidak baik
membunuh orang. Duabelas orang itu dengan wajah bengis, mengancam dan
menyeringai menakutkan, kini serentak maju menjulurkan
tangan-tangan yang berotot dan besar untuk menangkap
pemuda itu. Mereka hendak menangkap Han dan
menggantungnya di pohon seperti yang diperintahkan pemimpin
mereka tadi. Si Muka Hitam berdiri bertolak pinggang sambil
tertawa, ingin segera melihat pemuda yang menghinanya tadi
tergantung sampai mati di pohon.
Akan tetapi mukanya yang menyeringai itu berubah.
Matanya terbelalak dan mulutnya ternganga ketika dia melihat
betapa duabelas orang anak buahnya yang seolah berebut
hendak menangkap pemuda itu, tiba-tiba berpelantingan ke
belakang sambil mengeluarkan seruan-seruan kaget. Mereka
semua terjengkang dan terbanting ke atas tanah. Kini tampak
pemuda yang akan ditangkap dan digantung itu berdiri tegak
dengan kedua lengan dilipat di depan dada, memandang
kepadanya sambil tersenyum mengejek.
Melihat ini, selain kaget dan heran, kepala perampok itu juga
menjadi marah dan penasaran sekali. Karena tadi tidak melihat
bagaimana anak buahnya dapat berpelantingan seperti itu, dia
berseru nyaring. "Bunuh dia! Bunuh!!"
522 Duabelas orang itu memang penasaran juga. Tadi ketika mereka
hendak menangkap, pemuda itu hanya berputar dan tahu-tahu
mereka terjengkang seolah diterpa angin yang amat kuat. Kini
mendengar aba-aba itu, mereka berloncatan berdiri dan
mencabut golok masing-masing. Tanpa menanti komando lagi
mereka menyerbu ke arah pemuda yang masih berdiri
bersedakap sambil tersenyum-senyum itu.
Melihat ini, Thian Liong tenang saja karena dia yakin bahwa
mereka tidak akan mampu menyakiti Han dan tadi dia sudah
melihat betapa Han hanya membuat mereka berpelantingan dan
tidak mencederai mereka, apalagi membunuh.
Andaikata kawanan perampok ini bertemu Han Bi Lan sebelum
gadis itu bergaul dengan Thian Liong, sudah dapat dipastikan
bahwa pada waktu pertama kali mereka tadi menyerang, kini
mereka tentu sudah tewas semua. Akan tetapi, ternyata Han
tidak mau mencederai mereka. Hal ini adalah karena ia yakin
bahwa perbuatan membunuh itu adalah amat kejam dan tidak
baik, dan terutama sekali karena dia merasa malu terhadap
Thian Liong kalau dia melakukan pembunuhan. Kini, melihat
duabelas orang itu malah menggunakan golok menyerangnya,
hatinya menjadi panas dan ingin memberi hajaran yang lebih
keras lagi. Karena duabelas orang itu menyerang dengan kepungan ketat,
maka kepala perampok itu tidak dapat melihat apa yang terjadi.
Akan tetapi dia semakin terkejut ketika orang-orangnya berteriak
dan kini terlempar ke belakang satu demi satu dengan tubuh
terluka! Walaupun luka-luka itu tidak terlalu berat sehingga tidak
mematikan, namun mengeluarkan banyak darah sehingga
523 pakaian mereka berlepotan darah mereka sendiri. Ada yang
terluka pundaknya, ada yang terbacok pahanya, ada yang
tergores lengannya dan sebagainya dan semua luka itu
diakibatkan oleh golok mereka sendiri yang tiba-tiba membalik
dan menyerang diri mereka sendiri!
Melihat betapa duabelas orang roboh dan mengaduh?aduh, Si
Muka Hitam cepat melarikan diri dari tempat itu.
"Heh, Muka Hitam, berhenti engkau!" Han berteriak dan
teriakannya itu melengking, mengandung getaran kuat dan
kepala perampok itu pun tiba-tiba berhenti berlari seolah-olah
berubah menjadi arca! "Muka Hitam, berbaliklah dan merangkaklah engkau ke sini!"
kembali ter?dengar suara yang penuh wibawa dari Han.
'I'hian Liong tersenyum dan menggeleng-geleng kepalanya.
Benar-benar nakal seperti anak kecil. Mempermainkan Si Muka
Hitam dengan kekuatan sihir!
Si Muka Hitam itu memang seperti seorang perajurit mendengar
perintah jenderalnya. Dia memutar tubuh menghadap ke arah
Han, lalu menjatuhkan diri berlutut dan merangkak menghampiri
Han! Setelah tiba di depan kaki Han, kepala perampok itu berhenti.
Semua anak buahnya yang masih kesakitan kini juga
memandang heran dan seolah lupa akan rasa nyeri di tubuh
mereka ketika melihat pemimpin mereka merangkak-rangkak
seperti itu. 524 Han tidak dapat menahan tawanya. "He-he-heh-hi-hik, engkau
benar-benar seperti seekor lutung besar!"
Karena dia tertawa maka pengerahan tenaga sihirnya juga
terhenti dan Si Muka Hitam terkejut bukan main ketika melihat
dirinya berlutut di depan kaki pemuda itu. Dia melompat dan
mencabut sepasang goloknya, lalu menyerang dengan marah.
Melihat gerakan sepasang goloknya, Si Muka Hitam ini bukan
seorang lawan yang lemah. Namun bagi Han tentu saja dia
bukan apa-apa. Dengan gerakan ringan sekali dia dapat
mengelak dari serangan sepasang golok yang bertubi-tubi


Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

datangnya itu. Betapapun cepatnya sambaran sepasang golok
yang membentuk dua gulungan sinar itu, gerakan Han lebih
cepat lagi. Tiba-tiba saja Si Muka Hitam berteriak mengaduh dan
dia roboh terkulai dan sepasang goloknya sudah berpindah
tangan. Han menggerakkan sepasang golok itu dan "crat-crat!"
kedua pundak Si Muka Hitam terluka sehingga darah mengucur
membasahi bajunya. "Han, jangan bunuh orang!" Thian Liong berseru.
Sambil menodongkan sepasang golok itu ke leher Si Muka
Hitam, Han menoleh, memandang Thian Liong dan tersenyum
sambil menggeleng kepalanya. Kemudian dia menghardik Si
Muka Hitam. Kau dengar itu" Aku akan membu?nuhmu kalau engkau tidak
cepat memenuhi permintaanku!"
Si Muka Hitam tak mampu bergerak karena kaki tangannya
menjadi lumpuh terkena totokan yang Iihai dari Han. Akan tetapi
dia dapat bicara. 525 "Ampun, Taihiap (Pendekar Besar), saya akan melaksanakan
semua perintah Taihiap!" katanya dengan wajah pucat dan tubuh
gemetar ketakutan. "Nah, hayo cepat perintahkan anak buahmu untuk menyediakan
makanan dan minuman untuk kami berdua. Kami lapar sekali!
Hayo cepat!" Si Muka Hitam segera memerintahkan anak buahnya untuk
memenuhi permintaan itu. Biarpun dia tidak mampu bergerak,
namun suaranya masih lantang ketika dia memerintahkan para
anak buahnya. "Hayo cepat laksanakan perintah Tai-hiap!" "Akan tetapi di sini
tidak ada penjual masakan "
"Goblok!" Si Muka Hitam membentak. "Carikan makanan
seadanya yang terbaik. Panggang daging binatang hutan, petik
buah-buahan, ambilkan arakku dalam tempat penyimpanan. Apa
saja keluarkan semua. Hayo cepat!"
Han menghampiri Thian Liong dan duduk di dekat pemuda itu
sambil ter-senyum-senyum. "Nah, laparmu akan terobati,
bukan?" Thian Liong tertawa dan memandang Si Muka Hitam yang masih
rebah tak mampu berkutik. "Engkau bocah nakal! Mengapa dia
dibiarkan seperti itu" Kalau, dia dapat bergerak pun tidak akan
berani melawan atau melarikan diri. Bukalah totokan itu, Han." 526 Sambil tersenyum Han mengambil dua buah kerikil dan dua kali
dia melontarkan kerikil-kerikil itu ke arah tubuh Si Muka Hitam.
Dengan tepat sekali kerikil itu mengenai jalan darah di punggung
atas dan bawah tubuh Si Muka Hitam dan seketika orang itu
terbebas dari totokan. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani
melarikan diri dan hanya bangkit duduk sambil membalut luka di
kedua pundaknya. Tak lama kemudian, anak buah perampok itu berbondong
datang membawa berbagai makanan untuk dua orang pemuda
itu. Ada panggang daging kijang, arak, air teh, buah-buahan.
Tanpa rikuh lagi Han lalu mengajak Thian Liong makan. Setelah
merasa kenyang dia iseng-iseng bertanya kepada Si Muka
Hitam. "Heh, Muka Hitam, apakah engkau dan anak buahmu
mengetahui di mana adanya seorang pemuda bernama Bouw
Kiang dan seorang gadis bernama Bong Siu Lan, dua orang
murid Toat-beng Coa-ong Ouw Kan" Apakah dua orang itu
pernah lewat di sini" Kalau engkau tahu hayo cepat katakan
kepadaku sebagai penebus nyawa kalian yang sudah
kuampuni!" Si Muka Hitam memandang kepada anak buahnya yang
berkumpul dan berjongkok tidak jauh dari situ. "Kalian dengar
apa yang ditanyakan Tai-hiap" Kalau ada yang mengetahui,
cepat laporkan!" kata Si Muka Hitam.
Duabelas orang itu berbisik-bisik dan seorang dari mereka yang
matanya buta sebelah, berkata, "Kami tidak mengenal dua orang
yang dicari Tai-hiap itu, akan tetapi kemarin kami melihat lima
527 orang yang amat mencurigakan dan amat lihai sehingga kami
tidak berani memperlihatkan diri, hanya mengintai dari jauh.
Kami sempat mendengar percakapan mereka dan dengan suara
lantang seorang dari mereka, kakek yang berpakaian tambaltambalan berkata bahwa dia akan senang sekali melihat musuh
mereka tewas di depan kakinya."
"Hemm, bagaimana kalian tahu bahwa mereka itu lihai sekali?"
tanya Han tertarik. "Mereka menerabas hutan dan apa pun yang menghalang di
depan mereka, mereka singkirkan dengan cara yang luar biasa
sekali. Pohon-pohon yang batangnya sebesar orang dewasa,
sekali tendang tumbang. Batu-batu sebesar kerbau mereka
lempar-lemparkan seolah ringan saja."
"Kelima-limanya sekuat itu?" tanya Han penasaran.
"Benar, Taihiap. Kami berani bersumpah, karena itu kami hanya
mengintai tidak berani keluar."
"Hemm, dan siapa musuh yang mereka ingin lihat mati di depan
kaki mereka itu?" "Kakek berpakaian tambal-tambalan yang kurus pucat akan
tetapi lihai sekali itu hanya menyebut nama Yok-sian (Dewa
Obat)." "Yok-sian ?" Kini Thian Liong bangkit berdiri dan
menghampiri Si Mata Sebelah itu. "Mereka berlima itu hendak
membunuh Yok-sian?" 528 Si Mata Satu terkejut melihat Thian Liong
menghampirinya dan dia sudah ketakutan. "Begitulah
yang kami dengar dari pembicaraan mereka yang tidak begitu
jelas karena mereka melempar-lemparkan batu besar yang
menghalang dan menumbangkan pohon-pohon sehingga gaduh
sekali." "Hemm, coba gambarkan keadaan lima orang itu, mulai dari Si
Kakek berpakaian tambal-tambalan," kata Thian Liong dan Han
juga semakin tertarik mendengar bahwa yang hendak dibunuh
lima orang itu adalah Yok-sian, nama julukan Tiong Lee Cin-jin
guru Souw Thian Liong! Melihat sikap Thian Liong tidak galak seperti sikap Han, Si Mata
Satu itu menjadi tenang kembali. Dia menoleh kepada kawankawannya dan berkata, "Kalian bantulah aku kalau keteranganku
keliru. Taihiap, kakek kurus bermuka pucat itu berusia sekitar
enampuluh tahun, mukanya yang pucat dan kurus sekali itu
seperti tengkorak. Matanya mencorong menakutkan dan di
punggungnya terdapat sebatang pedang."
"Hemm, Lam-kai " kata Thian Liong. "Coba
gambarkan empat orang yang lain."
Si Mata Satu melanjutkan. "Kakek kedua bertubuh tinggi besar,
mukanya menyeramkan seperti singa dan
dia membawa tombak dia menakutkan, tampak buas.
529 Sekali ayun, tombaknya dapat mematahkan sebatang pohon
besar dan suaranya menggereng seperti seekor
singa " "Ah, itu Tung-sai!" kata pula Thian Liong dan Han menganggukangguk. "Dan tiga orang yang lain, bagaimana?"
Si Mata Satu berkata kepada kawan-kawannya. "Hayo, siapa
yang dapat menceritakan tentang tiga orang muda itu" Aku tidak
begitu ingat." Seorang yang mukanya brewok berkata dengan suaranya yang
besar. "Mereka adalah dua orang pemuda dan seorang gadis.
Yang seorang bertubuh sedang dan tegap, wajahnya bulat dan
putih, matanya mencorong seperti mats harimau, rambutnya
dikuncir dan di pungungnya tergantung sebatang pedang."
14.2. Pertemuan Ibu dan Anak
"Dia pasti Can Kok," kata pula Thian Liong.
"Pemuda yang kedua bertubuh ting?gi besar,
mukanya tampan akan tetapi hitam
" "Dia membawa tongkat hitam?" Han memotong. "Benar,
Taihiap." "Ah, jangan-jangan dia Bouw Kiang yang kucari!" kata Han
dengan hati tegang. "Dan gadisnya bagaimana" Hayo cepat
530 ceritakan!" dia membentak sehingga Si Brewok menjadi gugup
dan cepat bercerita. "Gadis itu cantik, matanya lebar, tubuhnya
ramping " "Dan senjatanya?" tanya Han.
"Kalau tidak salah, di punggungnya terdapat sepasang pedang."
"Tak salah lagi, ia tentu Bong Siu Lan!"
"Aneh, apa hubungan dua orang murid Ouw Kan dengan para
datuk itu?" Thian Liong bertanya heran.
"Apa anehnya" Ouw Kan juga seorang datuk, tentu mengenal
dan mempunyai hubungan dengan para datuk lain. Mereka
sama-sama sesatnya."
"Ke arah mana mereka pergi dan sejak kapan?" tanya Thian
Liong kepada Si Mata Satu.
"Mereka lewat kemarin, Tai-hiap, dan menuju ke arah sana.
Mudah mengikuti jejak mereka karena mereka merobohkan
pohon-pohon dan menyingkirkan batu-batu besar." Orang itu
menunjuk ke barat. "Mari kita pergi, Han!" Setelah berkata demikian, Thian Liong
dan Han berkelebat dan lenyap dari depan gerombolan
perampok itu sehingga mereka terkejut dan ketakutan. Akan
tetapi mereka merasa beruntung tidak sampai dibunuh dua
orang muda yang memiliki kesaktian demikian hebat.
531 "Jelas bahwa lima orang itu akan pergi ke Puncak Pelangi di
Pegunungan Go-bi untuk mencari dan menyerang Suhu," kata
Thian Liong yang berlari bersama Han.
"Hemm, kalau hanya mereka berlima saja, kiraku tidak perlu
khawatir. Lo-cianpwe Tiong Lee Cin-jin pasti akan mampu
menandingi mereka." "Mereka itu orang-orang jahat yang lihai dan juga licik curang.
Biarpun Suhu dapat mengatasi mereka, namun aku sebagai
muridnya harus membelanya."
"Engkau benar, dan aku pun sudah berjanji akan membantumu.
Apalagi dua orang yang kucari, pembunuh-pembunuh ayahku
berada di sana pula. Dengan begini dapat dikatakan kita tepuk
satu kali dapat dua ekor lalat!"
Dua orang itu melanjutkan perjalanan dan betul seperti
keterangan anak buah perampok bermata satu tadi, mereka
dengan mudah dapat mengikuti jejak lima orang itu karena
mereka mengambil jalan pintas dengan menyingkirkan semua
perintang dengan kekerasan.
"Y" Ketika Siang In berpamit kepada Thio Ki dan Miyana, suami
isteri yang ia anggap sebagai ayah ibunya sendiri, suami isteri
itu segera menyetujui karena biarpun Siang In berpamit untuk
mengunjungi Pek Hong Niocu atau Puteri Moguhai, mereka tahu
bahwa anak mereka itu sesungguhnya juga akan bertemu
dengan ibu kandungnya sendiri, walaupun gadis itu masih belum
mengetahui akan rahasia ini. Tentu saja suami isteri itu sama
532 sekali tidak menduga bahwa Siang In sudah mengetahui
segalanya, dan bahwa ia memang ingin sekali bertemu dengan
Tan Siang Lin, selir Kaisar Kin yang menjadi Ibu kandungnya itu!
"Jaga dirimu baik-baik dan berhati-hatilah, anakku. Dan jangan
lupa, kalau engkau mengunjungi Puteri Moguhai dan kebetulan
bertemu dengan Ibunya, selir Kaisar, sampaikan salam
hormatku kepadanya karena dahulu aku menjadi sahabat
baiknya." Diam-diam Siang In tersenyum dalam hati. Tentu saja ia sudah
tahu bahwa ibunya ini, Miyana, dahulu adalah sahabat baik selir
kaisar yang sesungguhnya adalah ibu kandung anak kembar, ia
dan Moguhai! "Baik, Ibu. Aku tidak akan melupakan pesan Ibu," jawabnya. Ia
lalu berkemas, membawa buntalan pakaian dan menunggang
seekor kuda yang besar dan baik. Setelah memperoleh pesan
dan restu Thio Ki dan Miyana, Thio Siang In atau Ang Hwa Sianli lalu menjalankan kudanya keluar dari pekarangan rumah orang
tuanya, menuju ke pintu gerbang utara.
Akan tetapi sebelum tiba di pintu gerbang ia bertemu dengan Cin
Han yang berjalan seorang diri. Melihat Siang In berkuda, Cin
Han menegurnya dengan ramah.
"Hai, Adik Siang In!" tegurnya sambil menghampiri.
Siang In menahan kudanya lalu melompat turun. Tidak enak
rasanya kalau dia bercakap-cakap dengan pemuda itu dengan
duduk di atas kuda sedangkan Cin Han berdiri di atas tanah.
533 "Han-ko (Kakak Han), engkau hendak ke manakah?" tegurnya.
Cin Han tersenyum dan wajahnya tampak tampan dan lembut
kalau tersenyum. Putera pangeran ini memang halus budi
pekertinya dan ramah. "Aku hendak berkunjung ke rumahmu, Inmoi (Adik. In)."
"Ah, maaf, Han-ko. Aku hendak pergi maka tidak dapat
menyambutmu." "In-moi, kalau boleh aku bertanya, engkau hendak pergi ke
manakah?" "Tentu saja boleh, Han-ko. Aku hendak pergi mengunjungi Puteri
Moguhai di kota raja."
"Berapa lama engkau akan tinggal di sana?" tanya pemuda itu
sambil memandang ke arah buntalan pakaian yang berada di
punggung kuda yang besar itu.
"Entahlah, Han-ko, aku belum dapat menentukan. Mungkin bisa
seminggu atau sebulan, tergantung keadaan."
Cin Han mengangguk. "Baiklah, In-moi, harap engkau berhatihati dalam perjalanan. Aku mendengar bahwa ada beberapa
orang bekas sekutu Pangeran Hiu Kit Bong yang memberontak
dulu, membentuk gerombolan dan suka mengacau. Akan tetapi
aku percaya, engkau tidak mudah diganggu penjahat. Nah,
selamat jalan, In?moi."
"Terima kasih dan selamat tinggal, Han-ko!" kata Siang In dan ia
segera melompat ke atas punggung kudanya dan menuju ke
pintu gerbang utara, diikuti pandang mata Cin Han yang
534 memandang kagum. Dulu dia tertarik sekali kepada Thio Siang


Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

In, setelah bergaul dekat, dia kini yakin bahwa dia benar-benar
jatuh cinta kepada gadis yang berjuluk Ang Hwa Sian-li itu.
Sambil tersenyum gembira Cin Han lalu kembali ke rumah orang
tuanya. Sementara itu, Siang In sudah keluar dari kota Kang-cun dan
membalapkan kudanya ke utara, ke arah Kota Raja Peking di
mana saudara kembarnya, Puteri Moguhai atau Pek Hong Niocu
tinggal bersama ibu mereka di istana kerajaan. Akan tetapi
ketika ia membalapkan kudanya, terbayanglah di depan
matanya wajah Cin Han. Pemuda itu sungguh lembut, tampan
dan juga telah memperlihatkan wibawa dan kecerdikannya
ketika dulu membawa pasukan menolong ia dan Pek Hong
Niocu. Sungguh seorang pemuda yang menarik hati dan
mengagumkan. Dan pemuda itu pernah melamarnya akan tetapi
ia menolak keras padahal ia belum pernah melihat orangnya.
Kini ia telah berkenalan dengan Cin Han dan kagum kepada
pemuda yang pernah ditolak lamarannya itu. Ia menghela napas.
Beruntunglah seorang gadis kalau dipersunting oleh pemuda
tampan lembut putera seorang pangeran itu!
Siang In menghela napas panjang dan berbisik
kepada diri sendiri. "Sayang
, dia seorang siu-cai (sastrawan) yang lemah dan tidak pandai ilmu silat
" Siang In menghela napas lagi dan tiba-tiba saja wajah Thian
Liong terbayang dalam benaknya. "Ah, kalau saja
535 Cin Han memiliki kelihaian seperti Thian Liong "
Ia sadar dari lamunannya dan menggebrak kudanya sehingga
binatang itu terkejut dan berlari cepat sekali, membuat rambut
dan pakaian Siang In berkibar.
Di sepanjang perjalanan itu Thio Siang In mendengar berita dari
penduduk bahwa memang benar apa yang dikatakan Cin Han
kepadanya bahwa di daerah-daerah banyak terjadi gangguan
terhadap penduduk, yang dilakukan oleh gerombolan yang
merampok dan membunuhi pejabat-pejabat kerajaan yang
bertugas di dusun-dusun. Jelas bahwa gerombolan itu memang
bersikap anti dan memberontak terhadap Kerajaan Kin.
Akan tetapi Siang In tidak mengalami gangguan seperti yang ia
harapkan karena ia ingin bertemu dan membasmi gerombolan
pengacau itu. Ia tiba di kota raja dan langsung saja menuju ke
istana. Kepada perajurit pengawal yang berjaga di pintu gapura
istana dan yang terheran-heran melihat ia begitu mirip Puteri
Moguhai, Siang In mengatakan bahwa ia bernama Thio Siang In
dan ingin bertemu dengan Puteri Moguhai yang menjadi sahabat
baiknya. Perajurit kepala jaga yang bersikap hormat mendengar bahwa
gadis ini sahabat baik Puteri Moguhai yang mereka hormati dan
takuti, segera memberitahu bahwa Puteri Moguhai tidak berada
di istana. Mendengar ini, Siang In merasa kecewa. Akan tetapi
sesungguhnya kedatangannya ini terutama untuk mengunjungi
ibu kandungnya, maka ia pun lalu berkata dengan sikap lembut.
536 "Kalau begitu, saya akan menghadap Ibunda Puteri Moguhai
karena saya ada pesan yang amat penting dari Puteri Moguhai
untuk disampaikan kepada Ibundanya."
Kepala jaga itu mengerutkan alisnya. "Ah, Nona. Untuk
menghadap Beliau kami harus melaporkan dulu kepada
pengawal istana dan mereka yang akan melaporkan ke dalam
istana. Kalau beliau bersedia menerimamu, barulah Nona akan
diperkenankan dan dikawal oleh pengawal dalam istana. Mari
kami antar Nona menemui kepala pengawal istana."
Siang In lalu diantar oleh kepala jaga itu memasuki pekarangan
istana yang luas dan segera ia dihadapkan kepada pengawal
yang mengenakan seragam indah dan yang sikapnya angkuh.
Akan tetapi kepala pengawal ini pun memandang heran melihat
Siang In yang demikian mirip dengan Puteri Moguhai.
Kepala jaga pintu gapura melapor bahwa gadis itu mohon
menghadap Ibunda Puteri Moguhai. Kepala pengawal yang
memandang kepada Siang In dengan penuh perhatian itu lalu
bertanya kepada Siang In.
"Siapakah engkau, Nona dan apakah keperluanmu hendak
menghadap Beliau?" "Nama saya Thio Siang In dan saya adalah sahabat baik dan
saudara seperguruan Puteri Moguhai," Siang In memperkenalkan diri, sengaja mengaku sebagai saudara
seperguruan Moguhai karena ia tahu betapa Moguhai sudah
terkenal sebagai seorang gadis yang berilmu tinggi.
537 Benar saja dugaannya. Kepala pengawal itu berubah sikap dan
dengan hormat dia bertanya. "Thio-siocia, kami akan
melaporkan ke dalam. Akan tetapi kalau kami ditanya apa
keperluan Nona mohon menghadap Beliau, bagaimana kami
harus menjawab?" "Saya adalah anak dari Ibu Miyana yang dahulu menjadi sahabat
baik beliau dan juga tinggal di istana ini. Saya membawa pesan
dari Puteri Moguhai dan dari Ibu Miyana yang sangat penting
untuk disampaikan kepada Beliau."
"Akan tetapi, Nona. Kami takut kalau mendapat marah karena
tidak boleh sembarangan orang memasuki istana, apalagi
bagian puteri. Beritahukan saja kepada kami pesan itu dan kami
yang akan menghaturkan kepada Beliau."
"Tidak mungkin. Puteri Moguhai akan marah sekali kalau saya
tidak dapat menyampaikan pesannya itu kepada Ibundanya."
Ucapan ini manjur. Kepala pengawal itu tentu saja takut sekali
kalau nanti Puteri Moguhai yang dia kenal amat keras itu marah
kepadanya kalau dia melarang saudara seperguruannya ini
masuk. "Baiklah, Nona. Silakan tunggu sebentar dan silakan duduk,
saya sendiri yang akan melaporkan ke dalam." Setelah berkata
demikian kepala pengawal yang bertubuh tinggi besar itu
meninggalkan Siang In di situ.
Siang In duduk di atas bangku dan para pengawal yang
melakukan penjagaan tidak berani memandang kepadanya
secara langsung. Ini berkat nama besar Moguhai yang ditakuti
538 semua orang, pikir Siang In. Ia merasa heran, ke mana perginya
Moguhai" Tak lama kemudian, kepala pengawal itu muncul dan dengan
muka berseri dia berkata, "Beliau memerintahkan saya
mengantar Nona menghadap beliau. Mari, Nona."
Dengan jantung berdebar tegang Siang In dikawal kepala
pengawal itu memasuki istana bagian puteri dan langsung
membawanya ke dalam sebuah ruangan tertutup. Pengawal itu
mengajak ia masuk dan setibanya di dalam, pengawal itu
memberi hormat dengan menekuk sebelah lututnya.
"Nona Thio Siang In datang menghadap!"
Wanita setengah tua yang duduk seorang diri di ruangan itu
memberi isyarat kepada pengawal itu dengan tangan.
"Keluarlah!" Pengawal itu keluar dan menutupkan kembali pintu ruangan itu.
Siang In memandang dengan jantung berdebar-debar. Wanita
itu berusia sekitar empatpuluh tahun, masih tampak cantik dan
sikapnya lemah lembut. Wanita itu segera bangkit berdiri dan
kedua orang wanita itu saling pandang.
Lalu wanita yang bukan lain adalah Tan Siang Lin selir Kaisar
dan Ibu Moguhai itu perlahan-lahan melangkah menghampiri. Ia
berhenti setelah berada dalam jarak satu tombak dari Siang In.
Mereka saling pandang dan mata wanita itu mengeluarkan air
mata yang perlahan menetes ke atas kedua pipinya.
539 Siang In seketika merasa bahwa wanita ini adalah ibu
kandungnya. Ada sesuatu pada diri wanita ini yang
menggetarkan jantungnya sehingga ia pun tak dapat menahan
keluarnya air mata dari sepasang matanya.
" engkau engkau Thio Siang In anak Miyana?" Wanita itu menelan ludah dan melanjutkan,
"Moguhai tidak berada di sini, ia keluar kota raja
beberapa hari yang lalu " "Saya saya datang untuk bertemu dengan
Ibu " kata Siang In dengan suara gemetar.
"Ibu?" engkau engkau sudah tahu ?"" Selir kaisar itu berkata lirih dan tergagap.
Siang In mengangguk-angguk. " aku tahu
engkau Ibu kandungku " Seperti ditarik sembrani, dua orang wanita itu menubruk ke
depan dan saling rangkul.
"Anakku "Ibu !" !!" Keduanya menangis sesenggukan dan saling cium dengan
muka basah air mata. 540 "Anakku , maafkanlah Ibumu ini, Nak
terpaksa terpaksa sekali begitu terlahir engkau kuberikan kepada
Miyana " "Ibu tidak bersalah," kata Siang In sambil merangkul
erat, "Ibu terpaksa berbuat begitu karena
" karena Kaisar "Anakku, Kaisar juga tidak bersalah," kata selir kaisar itu sambil
menarik tangan Siang In dan diajaknya gadis itu duduk di
sampingnya. "Sejak ratusan tahun, bangsa Yu-cen yang
mendirikan Kerajaan Kin (Cin), memiliki kepercayaan bahwa
anak kembar mendatangkan malapetaka. Kaisar juga percaya
akan hal itu maka mereka tidak berani membiarkan anak kembar
hidup. Aku terpaksa memisahkan engkau dari Moguhai agar
kalian berdua selamat, karena kalau tidak, kalian berdua tentu
akan dibunuh begitu ketahuan terlahir kembar. Kebetulan
Miyana yang menjadi sahabat baikku, yang telah menjadi janda
karena suaminya, seorang pangeran telah meninggal dunia,
bersedia menolongku dan membawamu keluar istana."
Siang In merangkul ibunya dan mengusap air mata dari pipi
ibunya dengan saputangan. "Sudahlah, Ibu. Harap jangan
bersedih. Aku sudah mengetahui akan semua itu, mendengar
cerita dari Ayah Sie Tiong Lee sendiri."
Setelah dapat menguasai keharuan hati mereka dan menjadi
tenang kembali, ibu dan anak ini duduk bersanding dan saling
berpegangan tangan dengan hati merasa bahagia sekali..
541 "Ibu, ke manakah perginya Pek Hong?"
"Pek Hong" Ah, ya, aku ingat sekarang. Ayahmu memberi nama
Sie Pek Hong kepada Moguhai! Dan engkau menjadi Sie Siang
In! Ah, aku gembira sekali. Kalian berdua berdarah Han aseli
karena Ayah dan Ibu kandungmu adalah orang-orang Han. Pek
Hong baru beberapa hari pergi, katanya hendak pergi mencari
orang-orang yang telah membunuh Han Si Tiong akan tetapi aku
tahu bahwa selain itu juga ada hal-hal lain yang membuat ia
pergi. Ia dimarahi Ayahnya karena ia selalu menolak pinangan
para pangeran dan pemuda bangsawan putera para pejabat
tinggi. Kaisar juga melarang ia bergaul dengan Souw Thian
Liong walaupun pemuda itu pernah membantu Kerajaan Kin
membasmi pemberontak. Kaisar bukan tidak suka Thian Liong,
hanya dia ingin menjodohkan Moguhai dengan seorang bangsa
Yu-cen. Karena itulah, Pek Hong pergi."
"Ah, sayang Kaisar berpendirian demikian, Ibu. Souw Thian
Liong adalah seorang pendekar budiman yang bijaksana, dan
aku melihat keakraban antara Thian Liong dan Pek Hong."
"Engkau tentu lebih mengetahui, sebenarnya bagaimanakah
hubungan antara Souw Thian Liong dan Pek Hong" Ketika aku
bertanya, Pek Hong menjawab bahwa ia memang kagum dan
tertarik kepada pemuda itu, akan tetapi ia sendiri tidak tahu
apakah ia mencinta Thian Liong atau hanya kagum."
Sejenak Siang In termenung. Ia harus mengaku dalam hatinya
bahwa ia sendiri amat kagum dan tertarik kepada Thian Liong
dan kalau ada kesempatan, bukan mustahil ia pun akan jatuh
cinta kepada pemuda itu. 542 "Aku sendiri tidak tahu pasti, Ibu."
14.3. Rintihan Hati Dua Puteri Kembar
Selir Kaisar itu menghela napas panjang. "Mudah-mudahan saja
Pek Hong dapat melupakan Thian Liong dan dapat mencinta
seorang pemuda lain yang sesuai dengan keinginan Kaisar.
Kalau tidak, tentu akan terjadi kesulitan besar. Kau tahu, Siang
In, Kaisar mengira bahwa Pek Hong adalah darah dagingnya
sendiri dan ia amat menyayangnya. Kalau sampai terjadi ia
mencinta Thian Liong, tak dapat aku membayangkan apa yang
terjadi. Tentu semua orang akan menderita. Kaisar yang amat
mencinta puterinya itu akan berduka dan marah, Pek Hong
sendiri akan mengalami kesusahan dan mungkin akan diusir dari
istana dan terpisah dariku, dan aku sendiri tentu akan merana.
Ah, akan tetapi kalau Thian menghendaki, segala dapat terjadi.
Bukankah jodoh, seperti juga kelahiran dan kematian, berada
sepenuhnya di tangan Thian dan tak seorang pun dapat
mengubahnya?" "Ibu benar, biarlah kita berdoa saja agar semuanya akan
berjalan dengan baik sehingga membahagiakan semua orang."
"Terima kasih, anakku. Ucapanmu itu sungguh membesarkan


Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hatiku. Sekarang, coba ceritakan semua pengalamanmu menjadi
anak Miyana." Dengan singkat Siang In menceritakan keadaannya sebagai
puteri Thio Ki dan Miyana, menjadi murid mendiang Toat-beng
Coa-ong Ouw Kan yang wataknya sama sekali berlawanan
543 dengan hatinya, sampai pengalamannya yang terakhir, bertemu
dengan Pek Hong, kemudian mereka berdua diajak oleh ayah
kandung mereka, Tiong Lee Cin-jin ke tempat pertapaan di
Puncak Pelangi dan mempelajari ilmu yang lebih tinggi.
Mendengar semua itu, Tan Siang Lin menghela napas panjang
dan wajahnya berseri ketika ia memandang kepada puterinya.
"Ah, aku merasa berbahagia sekali. Ternyata sepasang anak
kembarku sekarang telah menjadi pendekar-pendekar wanita
sakti. Sekarang, anakku, kalau Pek Hong kini menghadapi
persoalan karena Ayahnya, Kaisar, menghendaki ia berjodoh
dengan seorang bangsa Yu-cen, lalu bagaimana dengan engkau
sendiri" Tentu saja untuk urusan perjodohanmu, yang lebih
berhak menentukan tentu saja ayah ibumu Thio Ki dan Miyana
karena merekalah yang mengasuh, merawat dan mendidikmu
sejak engkau masih bayi. Akan tetapi usiamu kini sudah
duapuluh tahun, sudah sepatutnya engkau menjadi isteri dan
ibu. Apakah oleh orang tuamu di Kang-cun engkau sudah
dijodohkan" Aku hanya ingin tahu, anakku, bukan ingin
mencampuri." "Ibu, agaknya tanpa disengaja, ada persamaan keadaanku
dengan keadaan Pek Hong. Ayah dan Ibu di Kang-cun
membujukku untuk segera memilih dan menerima pinangan
seorang di antara mereka yang melamar aku. Akan tetapi aku
selalu menolak karena masih belum ingin terikat rumah tangga,
masih ingin bebas." "Hemm, dan bagaimana dengan hatimu" Apakah engkau sudah
mempunyai pilihan sendiri?"
544 Siang In menundukkan mukanya dan terbayanglah wajah Cin
Han dan Thian Liong berganti-ganti. "Belum, Ibu, aku masih
bingung." "Ah, kalian berdua memang serupa benar, badan dan batinnya.
Aku tidak dapat memaksa kalian, hanya mendoakan semoga
segera menemukan jodoh kalian yang cocok dan dapat hidup
berbahagia." "Ibu, sayang Pek Hong tidak ada. Saya akan menyusulnya
karena kalau ia seorang diri mencari pembunuh seperti yang Ibu
ceritakan tadi, mungkin ia perlu bantuan. Apakah ia
menceritakan ke mana ia hendak mencari pembunuh itu dan
siapakah Han Si Tiong yang dibunuh, siapa pula
pembunuhnya?" "Han Si Tiong adalah sahabat baik Pek Hong dan menurut apa
yang diceritakan Pek Hong, Han Si Tiong
tewas terbunuh oleh dua orang murid Ouw Kan "
"Ah, Ibu, mengapa Toat-beng Coa-ong membunuh Han Si Tiong
dan siapakah Han Si Tiong yang dibela sedemikian rupa oleh
Pek Hong?" "Aku pun hanya mendengar dari cerita Pek Hong. Han Si Tiong
dan isterinya dahulu adalah perwira Kerajaan Sung Selatan,
memimpin Pasukan Halilintar dan ketika terjadi perang antara
Kerajaan Sung dan Kerajaan Kin (Cin), Pasukan Halilintar
terkenal dan ditakuti karena kehebatan pemimpinnya. Bahkan
ketika seorang pangeran Kerajaan Kin yang bernama Pangeran
Cu Si maju memimpin pasukan melawan Pasukan Halilintar,
545 Pangeran Cu Si tewas di tangan Han Si Tiong dan isterinya.
Kematian seorang perwira dalam perang merupakan hal wajar
dan bukan merupakan urusan pribadi, maka sebetulnya Kaisar
Kin juga tidak mendendam kepada Han Si Tiong, walaupun
Beliau merasa berduka atas kematian anggauta keluarganya.
Akan tetapi ketika itu mendiang Pangeran Hiu Kit Bong yang
kemudian memberontak dan tewas, membujuk Kaisar untuk
membalas dendam kepada Han Si Tiong dan isterinya. Kaisar,
lalu mengutus Ouw Kan untuk pergi ke kota raja Sung dan
membunuh Han Si Tiong dan isterinya."
"Hemm, sungguh tidak kusangka. Aku tidak mendengar sama
sekali akan hal itu," kata Siang In lirih. Ia sebagai murid Ouw
Kan maklum bahwa gurunya itu adalah seorang datuk sesat dan
seringkali ia bertentangan dengan gurunya dalam berbagai hal.
Akan tetapi ia tidak pernah mendengar bahwa gurunya menjadi
utusan Kaisar untuk membunuh seorang perwira Sung hanya
karena perwira itu merobohkan seorang pangeran dalam
perang! "Akan tetapi Ouw Kan gagal membunuh suami isteri itu karena
tidak menemukan mereka di kota raja. Hal ini membuat Ouw
Kan merasa malu kepada Kaisar dan setelah kaisar melupakan
hal itu, bahkan telah sadar bahwa dendam atas gugurnya
Pangeran Cu Si dalam perang merupakan suatu kesalahan, dan
membatalkan perintahnya kepada Ouw Kan, agaknya Ouw Kan
melanjutkan usaha pembunuhan itu karena dendam pribadi.
Bahkan ketika dia berusaha membunuh Han Si Tiong dan
isterinya, Pek Hong muncul dan membela suami isteri itu,
mengusir Ouw Kan. Kemudian Pek Hong yang menjadi sahabat
baik Han Si Tiong dan isterinya, meninggalkan tulisan yang
546 isinya melarang Ouw Kan mengganggu suami isteri itu. Pek
Hong tidak membenarkan dendam seperti itu, tidak
membenarkan membawa kematian dalam perang menjadi
dendam pribadi." "Pek Hong memang bijaksana, Ibu." Siang In memuji. "Kemudian
bagaimana, Ibu?" "Nah, belum lama ini terdengar berita bahwa Ouw Kan dibunuh
oleh seorang yang mengaku berjuluk Ang I Mo-li. Beberapa hari
kemudian pada suatu malam, Ang I Mo-li masuk menyusup ke
istana ini untuk membunuh Kaisar! Ia menganggap Kaisar
sebagai musuhnya karena ia mengira bahwa Kaisar Kin yang
mengutus Ouw Kan dan murid-muridnya membunuh Han Si
Tiong. Pek Hong menyambutnya dan ternyata Ang I Mo-li (Iblis
Betina Baju Merah) itu adalah seorang gadis puteri Han Si Tiong
bernama Han Bi Lan dan sudah mengenal Pek Hong. Pek Hong
berhasil membujuknya dan menyadarkannya bahwa Kaisar
sama sekali tidak mengutus Ouw Kan untuk membunuh
ayahnya. Han Bi Lan itu bercerita kepada Pek Hong bahwa
ayahnya, Han Si Tiong telah terbunuh oleh dua orang murid
Ouw Kan yang bernama ah, aku sudah lupa lagi nama mereka
" "Tentu bernama Bouw Kiang dan Bong Siu Lan!"
"Ya, benar! Eh, Siang In, bagaimana engkau bisa mengetahui
nama dua orang pembunuh murid Ouw Kan itu?"
"Tadi sudah kuceritakan bahwa aku pernah berguru kepada
Toat-beng Coa-ong, dia adalah Ouw Kan, Ibu. Maka aku dapat
menduga bahwa yang melakukan pembunuhan itu tentulah dua
547 orang muridnya yang lain, yang bernama Bouw Kiang dan
seorang murid perempuan bernama Bong Siu Lan. Aku tidak
akrab dengan mereka karena tempat tinggal kami berbeda kota
dan hanya beberapa kali saja aku pernah bertemu dengan
mereka. Juga aku pernah mendengar berita yang tidak baik
tentang mereka." "Begitulah, Siang In. Han Bi Lan dapat menerima penjelasan
Pek Hong dan ia pun membatalkan niatnya membunuh Kaisar."
"Gadis berpakaian merah bernama Han Bi Lan" Rasanya
pernah aku bertemu dengan gadis itu ketika kami membantu
Souw Thian Liong menghadapi pengeroyokan orang-orang
Siauw-lim dan Kun-lun, akan tetapi ketika itu aku belum
mengetahui namanya. Akan tetapi mengapa Pek Hong matimatian membela kematian Han Si Tiong dan pergi mencari
pembunuhnya, Ibu?" "Menurut Pek Hong, Han Si Tiong dan isterinya adalah orangorang yang gagah perkasa dan baik, dan ia sudah mengenal
mereka dengan akrab. Yang membuat Pek Hong merasa
penasaran adalah bahwa ia telah meninggalkan tulisan yang
melarang Ouw Kan mengganggu suami isteri itu, akan tetapi
nyatanya dua orang murid Ouw Kan masih juga menyerang
mereka sehingga Han Si Tiong tewas. Karena itu, Pek Hong lalu
hendak niencari dua orang itu, ditambah lagi karena ia dimarahi
Kaisar karena belum mau menikah."
"Ibu, kalau begitu aku harus cepat menyusul Pek Hong. Dua
orang pembunuh itu adalah orang-orang yang lihai dan licik. Pek
Hong perlu bantuanku, Ibu."
548 'Akan tetapi ke mana engkau hendak mencarinya, Siang In?"
"Aku kira ia tentu mencari dua orang pembunuh itu di tempat
tinggal Suhu Ouw Kan. Aku akan menyusul ke sana. sekarang
juga, Ibu." Wanita itu merangkul Siang In. "Tidak, engkau baru saja datang,
bagaimana tega untuk meninggalkan aku lagi. Aku masih rindu
padamu, Siang In. Besok pagi saja engkau pergi. Malam ini
engkau harus berada di sini dan kita bicara melepas
kerinduanku!" Siang In balas merangkul. Ia tidak tega untuk menolak
permintaan ibu kandung itu. Maka ia pun menunda
perjalanannya menyusul Pek Hong dan bermalam di kamar
ibunya di mana keduanya semalam suntuk bercakap-cakap
dengan penuh kebahagiaan. Barulah pada keesokan harinya
selir kaisar itu mengijinkan puterinya meninggalkan istana.
"Y" Pek Hong Niocu atau Sie Pek Hong atau juga Puteri Moguhai
mendaki bukit menuju kota Ceng-goan. Kota itu letaknya di
daerah perbukitan yang berpemandangan indah. Bukan kota
dagang yang besar, namun lebih merupakan kota pariwisata
yang hawanya sejuk dan peman-dangannya indah. Penduduknya bertani dan berdagang bunga-bunga yang dapat
tumbuh dengan subur di daerah perbukitan itu.
Puteri Moguhai pernah datang ke Ceng-goan dan dia langsung
menuju ke sebuah rumah mungil, yaitu rumah tinggal Ouw Kan
pemberian Kaisar. Ia sudah mendengar dari Bi Lan bahwa Ouw
549 Kan telah tewas di tangan Puteri Han Si Tiong itu. Akan tetapi ke
mana lagi ia dapat mencari dan menyelidiki di mana adanya dua
orang murid Ouw Kan itu kalau tidak ia mulai dari tempat tinggal
mendiang Toat-beng Coa-ong Ouw Kan"
Ia melihat rumah itu sunyi dan pintu depannya tertutup. Lalu
diketuknya daun pintu depan karena ia mendengar dari
keterangan Bi Lan bahwa rumah itu dijaga seorang wanita
setengah tua yang tidak diganggu oleh Bi Lan.
Tak lama kemudian, setelah tiga kali ia mengulang ketukannya,
terdengar langkah ringan dan daun pintu dibuka dari dalam.
Begitu janda tua penjaga rumah itu melihat seorang gadis muda
berdiri di depan pintu, langsung saja ia menjatuhkan diri dan
menangis. "Ampun, Li-hiap (Pendekar Wanita)! Ampunkan saya yang tidak
bersalah apa-apa dan tidak tahu apa-apa.
Ampun dan harap jangan bunuh saya, Ang I Mo-li
!" Moguhai tersenyum. Agaknya nenek ini mengira bahwa ia Bi Lan
yang memperkenalkan diri sebagai Ang I Mo-li sehingga ia
ketakutan dan minta ampun.
"He, Bibi yang bodoh. Lihat baik-baik siapa aku! Apakah
pakaianku merah" Apa engkau tidak mengenal aku?"
Wanita itu kini mengangkat mukanya. Tadi saking ketakutan ia
tidak berani melihat langsung secara teliti, langsung saja minta
ampun. Setelah mengangkat muka ia melihat seorang gadis
yang pakaiannya dari sutera halus putih bersih dan ketika ia
550 mengenal wajah Puteri Moguhai, ia cepat berlutut menyembahnyembah.
"Aduh, ampunkan hamba, Yang Mulia Puteri! Hamba tidak
mengira bahwa Paduka yang datang maka bersikap tidak
semestinya. Ampunkan hamba." Biarpun hatinya terasa tegang,
namun rasa takutnya hilang setelah melihat bahwa gadis itu
bukan si pembunuh majikannya.
"Sudahlah, aku tidak marah. Sekarang duduklah yang baik, Bibi,
duduk di bangku itu. Aku ingin bicara denganmu dan aku minta
agar engkau dapat memberi semua keterangan yang kuminta."
"Hamba tidak berani " Pelayan tua itu tetap berlutut.
"Aku perintahkan engkau duduk dan engkau masih tidak mau
mentaati?" Pek Hong membentak agar nenek itu ketakutan dan
taat. "Ampun ah, baik-baik, hamba menaati perintah
Paduka." Ia lalu bangkit dan duduk di atas bangku sambil
menundukkan muka dan merangkap kedua ta?ngan depan dada
memberi hormat. "Engkau tentu mengetahui bahwa
mempunyai dua orang murid, bukan?"
mendiang Ouw Kan "Bukan dua, malah murid-murid yang dekat dengan almarhum
ada tiga orang." "Tiga orang" Coba sebutkan siapa sa?ja mereka!"
551 "Yang seorang adalah murid wanita yang kalau tidak salah
bertempat tinggal di kota Kang-cun dan namanya
Thio Siang In " Pek Hong mengangguk. tentu saja ia sudah tahu karena
saudara kembarnya itu pernah bercerita ia pernah menjadi murid
Toat-beng Coa-ong Ouw Kan.
"Lalu yang dua lagi siapa namanya?"
"Yang seorang adalah murid laki-laki bernama Bouw Kiang dan
yang seorang lagi murid perempuan bernama Bong Siu Lan."
"Engkau tahu di mana dua orang murid itu tinggal?"
"Aduh, Tuan Puteri yang mulia, hamba sungguh tidak tahu di
mana kedua orang murid itu tinggal. Dulu, Ang I Mo-li yang
membunuh Tuan Besar, juga menanyakan hal itu. Akan tetapi
hamba sungguh tidak tahu. Mereka hanya kadang-kadang saja
datang, bermalam sehari dua hari lalu pergi lagi. Hamba tidak
berani bertanya di mana mereka tinggal. Mereka itu galak-galak,
tidak seperti Thio-siocia (Nona Thio) yang ramah dan mau
memberi tahu di mana tempat tinggalnya."


Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Coba engkau ingat-ingat, Bibi. Ketika Bouw Kiang dan Bouw
Siu Lan datang ke sini dan bercakap-cakap dengan Ouw Kan,
mungkin engkau mendengar sedikit pembicaraan mereka secara
kebetulan." 552 Nenek itu mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. "Hanya sedikit
yang hamba ingat, Tuan Puteri. Ketika secara kebetulan hamba
menghidangkan makan minum, mereka menyebut-nyebut
tentang Empat Datuk Besar yang katanya menghubungi mereka
berdua. Dan Tuan Besar Ouw Kan mengatakan boleh saja
bekerja sama dengan Empat Datuk Besar, akan tetapi tugas
terpenting mereka harus dilakukan dulu. Nah, hanya itulah yang
hamba ingat, akan tetapi hamba tidak tahu apa yang mereka
maksudkan." Pek Hong dapat menduga. Tugas penting yang harus
diselesaikan dulu itu tentulah tugas membunuh Han Si Tiong.
Akan tetapi ia tidak tahu apa maksud mereka berhubungan
dengan Empat Datuk Besar.
"Bibi, siapkan kamar yang bersih untukku. Aku akan tinggal di
sini selama beberapa hari untuk melakukan penyelidikan di
sekitar tempat ini tentang kedua orang itu."
"Baik, Tuan Puteri, akan hamba persiapkan."
Pendekar Pedang Sakti 19 Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long Pendekar Pedang Kail Emas 6
^