Pencarian

Meringkik Di Lembah Hantu 2

Satria Lonceng Dewa 5 Meringkik Di Lembah Hantu Bagian 2


kedua orang tersebut masih setia ikut mendampingi
Pangeran Bunga Bangkai.
Kelopak bunga bangkai yang menjadi kepala
Pangeran dari Kerajaan Tarumanegara itu bergerakgerak.
"Dua sahabat, kita memang belum menemukan
apa-apa yang menjadi petunjuk. Tapi aku yakin dasar
jurang yang terjadi di bekas Sumur Api ini pernah
menjadi tempat tinggal kediaman istriku. Aku1 bisa
mencium harum melati bau tubuhnya yang tertinggal
di tempat Ini. Pertanda dia pernah berada di sekitar
sini. Tapi aneh, mengapa tidak ada apa-apa di sini"
Jangankan benda hidup, benda matipun tidak
kelihatan. Mana bangunan bagus yang dulu aku
pernah tinggal bersamanya selama tujuh malam"
Mana taman indah penuh bunga mekar menebar bau
wangi serta pedataran berumput hijau segar yang
55 pernah kulihat Semua sirna. Mana istriku, mana dua
bayi itu. Agaknya Para Dewa belum mengizinkan aku
bertemu dengan mereka. Karena diriku belum bersih
dan belum keluar dari hukum kutukan..." Sang
Pangeran terdiam sesaat Terdengar desah tarikan
nafasnya berulang kali. Kemudian dia ingat sesuatu.
"Dua sahabatku, ketika kita melayang turun ke dalam
jurang aku mendengar suara angin berdesau. Namun
sekarang aku menduga suara yang kudengar
sebenarnya adalah suara tangisan bayi. Apakah kalian
berdua mendengar suara itu?"
"Kami memang mendengar. Pangeran. Namun
seperti Pangeran saat itu kami tidak punya dugaan
apa-apa. Suara gemuruh angin mengacaukan
pendengaran kami..." Menjawab SI Suling Burik.
"Pangeran, kalau kau mengizinkan, kami berdua
akan mengeluarkan apa yang mungkin terkubur di
bawah lapisan dasar jurang ini." Berkata Si Tambur
Bopeng, lelaki gemuk pendek yang mukanya bopeng
dan membawa tambur yang diikat di pinggang, di
gantung di atas perut
"Benar Pangeran, siapa tahu dengan kehendak
Para Dewa kita menemukan benda-benda yang bisa
memberi petunjuk." Kata Si Suling Burik menyambung
kata-kata Si Tambur Bopeng.
"Lakukan opa yang bisa kalian perbuat. Tapi hatihati,
jangan sampai kesalahan tangan yang menyebabkan
aku semakin jauh dari istri dan anak-anakku.
Mudah-mudahan Para Dewa menolong kita," kata
Pangeran Bunga Bangkai menyetujui pendapat kedua
pengiringnya. Maka Si Tambur Bopeng mulai menabuh tambur.
Si Suling Burik segera meniup seruling peraknya.
Dasar jurang dan dinding yang mengeliling bergetar
hebat Di beberapa bagian tampak tanah menjadi retak.
Lalu terdengar suara bergemuruh ketika sebagian
demi sebagian dasar jurang itu melesat berhamburan
56 ke atas. Namun sebegitu jauh yang bermentalan ke
udara hanyalah bongkahan tanah dan bebatuan.
Tiba-tiba Ragil Abang si kucing merah besar
mengeong keras.
Kepala Bunga Bangkai sang Pangeran mendongak
ke atas. "Tahan!" Teriak Pangeran Bunga Bangkai. Sekali
bergerak sambii mengepit kucing merah di ketiak kiri
tubuhnya melesat tiga tombak ke udara Di lain kejap
tangan kanannya dengan cepat menangkap sebuah
benda berlumuran lumpur yang melayang di udara.
Setelah turun kembali ke dasar jurang, Pangeran
Bunga Bangkai cepat membersihkan lumpur yang
melekat Ternyata benda itu adalah sebuah piala kecil
berkilat terbuat dari perak. Sambil memperlihatkan
piala itu pada kedua pengiringnya Pangeran Bunga
Bangkai berkata. Suaranya tersendat haru.
"Setiap aku datang selama tujuh malam berturutturut,
istriku selalu menyediakan minuman sejuk
berupa embun murni di dalam piala perak ini. Jelas
sekali dia memang pernah ada di sini. Di dasar Sumur
Api ini. Tapi dimana dia sekarang gerangan. Wahai
istriku. Bahkan namamupun aku tidak pernah tahu..."
Pangeran Bunga Bangkai mencium piala berulang
kali. Kuncup hijau di kepalanya bergerak-gerak, bunga
kuning berbintik coklat bergetar lalu dipenuhi titiktitik
air seolah tetesan air mata. Mahluk malang ini
kembali duduk di atas bongkahan batu besar. Dia ingat
pada gadis berpakaian dan berkerudung putih yang
ditemuinya sebelum masuk ke dalam jurang.
"Gadis bertangan jerangkong itu. Wajahnya sangat
mirip dengan istriku. Suaranya juga sangat sama..."
"Pangeran." berkata Si Tambur Bopeng. "Kalau
tidak keliru kami mengingat, bukankah dulu Pangeran
pernah bercerita kalau Pangeran tidak pernah
mendengar suara istri Pangeran karena setiap dia
bicara dari mulutnya tidak keluar suara apa-apa"
57 "Kau benar sahabatku," jawab Pangeran Bunga
Bangkai. "Tapi aku mendengar bukan dengan dua
telingaku. Aku mendengar dengan telinga hatiku. Aku
mendengar jernih suaranya walau tidak jelas
mendengar apa yang diucapkan. Itu saiah satu berkah
dari Para Dewa walau Mereka telah memberikan
kutukan padaku..."
"Dewa penuh rakhmat, penuh keadilan..."Ucap
Si Suling Burik.
"Pangeran, kau ingat perempuan gemuk pemilik
kucing merah ini yang bernama Ratu Dhika Gelang
Gelang?" Bertanya Si Suling Burik.
"Aku ingat. Ada apa dalam pikiranmu sahabatku?"
"Aku punya dugaan dia ada sangkut paut dengan
istri Pangeran serta dua bayi itu..."
"Bagaimana kau bisa menduga begitu?" Kembali
Pangeran Bunga Bangkai bertanya.
"Pada malam kedatangan kita ke Sumur Api,
kalau tidak ada sangkut paut, dia tidak akan berada
di sekitar Sumur Api. Lalu tubuhnya amblas ke dalam
tanah. Ada satu mahluk sakti yang membawanya. Dia
meninggalkan kucingnya begitu saja. Kami berdua
tahu satu tempat yang tidak boleh diinjak oleh
binatang hidup apapun. Ratu Dhlka Gelang Gelang
pasti dibawa ke tempat itu. Jika kita bisa menemui
mungkin dia dapat memberi tahu keberadaan istri
Pangeran serta dua bayi."
Pangeran Bunga Bangkai bangkit berdiri.
"Apa nama tempat itu. Dimana letaknya?" Sang
Pangeran bertanya.
"Candi Miring. Terletak di bukit gersang..."
Pangeran Bunga Bangkai gerakkan kepalanya ke
arah atas jurang.
"Kita akan pergi ke sana. Tapi tidak saat ini. Aku
akan melakukan samadi pendek. Mungkin bisa
membantu menjajagi dimana beradanya Istriku. Kita
akan tetap berada di sini menunggu sampai matahari
58 tenggelam dan malam kembali datang."
"Kalau begitu, sementara Pangeran berada di
sini, kami akan naik ke atas berjaga-jaga. Pada saat
sang surya tenggelam kami akan turun kembali ke
sini..." "Pergilah, aku merasa lebih tenteram berada di
dasar jurang Ini," jawab pangeran Bunga Bangkai.
KETIKA akhirnya matahari tenggelam di ufuk
barat dan dua pengiring Pangeran Bunga Bangkai
turun ke dasar jurang kembali, mereka melihat sang
Pangeran duduk bersila di atas bongkahan batu.
Kucing merah Ragil abang duduk di tanah di samping
batu. Di atas batu di hadapan Pangeran Bunga Bangkai
terletak piala perak. Di balik pakaiannya Pangeran
mengeluarkan secarik kain berwarna merah muda.
Potongan kain Ini adalah sebagian dari sapu tangan
merah yang dirobek oleh Ananthawuri dan diberikan
pada Pangeran Bunga Bangkai pada malam terakhir
sebelum mereka berpisah.
Pada saat cahaya sang surya lenyap dan jurang
diselimuti kegelapan Pangeran Bunga Bangkai mulai
melakukan samadi.
Menjelang tengah malam ketika samar-samar
dalam semadinya Pangeran melihat satu bayangan
bangunan, piala di atas batu bergetar keras. Tiba-tiba
dari atas jurang melesat masuk tiga larik cahaya.
Merah, biru dan hitam.
Tiga cahaya menyambar piala perak hingga
hancur berkeping-keping. Namun anehnya potongan
sapu tangan merah muda yang ada di dalam piala
sama sekal! tidak rusak sedikitpun. Sapu tangan ini
melayang ke udara setinggi satu tombak lalu jatuh
kembali di haribaan Pangeran Bunga Bangkai.
Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik berteriak
keras lalu sama-sama melesat ke atas jurang. Tambur
59 ditabuh suling ditiup. Sampai di atas jurang mereka
tidak menemukan apa-apa.
"Tidak ada siapa-siapa di atas sini. Serangan
cahaya tiga warna itu pasti dikirim dari tempat jauh..."
Berkata Si Tambur Bopeng.
Si Suling Burik menyahuti. "Kita sudah baberapa
kali melihat cahaya tiga warna Ini. Cepat kembali ke
dasar jurang. Aku kawatir..."
Ketika kedua orang itu sampai di dasar jurang
kembali, mereka melihat Pangeran Bunga Bangkai tak
kurang suatu apa. masih duduk bersila sambil
meletakkan lipatan sapu tangan merah muda di atas
dadanya. "Pangeran, agaknya ada orang yang tidak ingin
kau berhasil menjajagi dimana keberadaan istri dan
anakmu." Berkata Si Tambur Bopeng.
"Kalau ada orang jahat, mengapa ia tidak langsung
membunuh diriku?" Ucap Pangeran Bunga Bangkai.
"Mungkin hal Ini sengaja dilakukan. Orang jahat
itu bisa melakukan banyak hal jika Pangeran masih
hidup. Dia hanya berusaha memutus jalan agar
Pangeran tidak sampai menemui istri dan dua bayi.
Mungkin hal itu dilakukan hanya untuk sementara.
satu saat dia tetap akan mencelakai Pangeran..." Yang
menjawab adalah Si Suling Burik.
"lalu mengapa hanya piala yang hancur, padahal
sapu tangan merah muda ada di dalam piala." Kata
pangeran Bunga Bangkai pula.
"Saya punya dugaan, piala itu bukan milik
langsung Istri Pangeran. Sementara sapu tangan
adalah milik istri Pangeran. Sapu tangan mendapat
perlindungan Para Dewa sedang piala perak tidak..."
"Sahabatku Tambur Bopeng, ucapanmu mungkin
betul, tapi mengapa pengendali cahaya tiga warna
juga tidak membunuhmu dan Suling Burik?"
Untuk beberapa lamanya dasar jurang yang gelap
itu diselimuti kesunyian. Tidak ada yang bicara.
60 "Suling Burik," akhirnya Pangeran Bunga Bangkai
memecah kesunyian. "Turut apa yang kau kataken
tadi, jika orang jahat itu sengaja membiarkan aku
hidup, berarti dia juga ingin kalian berdua tetap
hidup. Untuk sementara, tapi untuk maksud apa?"
Suling Burik dan Si Tambur Bopeng saling pandang.
Entah mengapa bulu tengkuk kedua orang ini tiba-tiba
jadi merinding.
Mendadak di atas jurang sana terdengar suara kuda
meringkik menyusui suara derap kaki kuda banyak
sekail, lalu lenyap dan sepi kembali.
"Kuda meringkik di malam buta. Semakin banyak
keanehan di tempat ini..." Berucap Si Suling Burik
sambil mendongak menatap ke atas jurang.
"Dua sahabatku, kita harus segera meninggalkan
tempat ini."
"Kita mau pergi kemana, Pangeran?" tanya Si
Tambur Bopeng. "Sebelum cahaya tiga warna muncul menghancurkan
piala, aku sempat mendapat petunjuk Yang
Maha kuasa. Dalam samadlku aku sempat melihat
samar bangunan candi. Berdiri agak miring..."
"Candi Miring" seru SI Suling Burik.
"Berarti istri Pangeran ada di candi itu" Kata SI
Tambur Bopeng. "Mungkin juga dua anakku." Ujar Pangeran
Bunga Bangkai. Lalu dia berlutut di tanah sambil
tampungkan dua tangan. "Para Dewa, betapapun
besarnya hukumanMu padaku, namun aku percaya
kau akan tetap melindungi diriku, istriku dan dua
anakku. Wahai Para Dewa, aku mohon, pertemukan
diriku dengan mereka..."
Ragil Abang si kucing merah mengeong lalu
melompat ke atas bahu Pangeran Bunga Bangkai. Si
Tambur Bopeng dan Si Suling Burik siap melangkah
mencari tempat yang baik untuk menjejak dan
melompat ke atas. Mereka merasa menginjak sesuatu.
61 Ketika Si Tambur Bopeng memandang ke bawah
ternyata saat itu kaki kirinya menginjak sebatang
tongkat kayu. Di Sebelahnya Si Suling Burik tengah
memperhatikan kaki kanannya, melihat ada sebuah
kitab dibawah telapak kakinya. Dia berseru kaget dan
cepat-cepat mengangkat kaki lalu mengambil kitab.


Satria Lonceng Dewa 5 Meringkik Di Lembah Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil menjunjung kitab di atas kepala mulutnya
berucap berulang kali.
"Wahai Para Dewa. Mohon ampun dan maaf Mu.
Aku tidak tahu kalau tadi menginjak Kitab Weda..."
"Sahabat berdua, ada apa" Pangeran Bunga
Bangkai bertanya. Ketika dia melihat benda yang ada
di tangan dua sahabatnya itu terkejutlah sang
Pangeran. "Tongkat kayu dan Kitab Suci Weda...Aku
pernah melihat benda-benda ini di dalam kamar
istriku. Jelas sekali, ini petunjuk dari Dewa bahwa
istriku dan juga dua bayi itu sebelumnya memang
ada di sini. Di dasar Sumur Api."
Pangeran Bunga Bangkai bersihkan tanah yang
melekat di tongkat dan kitab. Lalu dia menyerahkan
kitab pada Tambur Bopeng dan tongkat kayu pada
Suling Burik. "Kalian berdua, simpan tongkat dan kitab itu
baik-baik. Sekarang saatnya kita meninggalkan
tempat ini."
Seperti diriwayatkan dalam serial pertama
berjudul "Perawan Sumur Api", tongkat dan Kitab
Weda itu adalah milik orang tua bernama Dhana
Padmasutra yang menemui Ananthawuri di halaman
Candi Loro Jonggrang. Orang tua ini kemudian
menemui ajal di tangan Setunggul Langit, anak buah
Arwah Muka Hijau. Arwah Muka Hijau sendiri anak
buah Arwah Ketua yang khianat dan kemudian
dihukum oleh Arwah Ketua dengan menjadikan
dirinya sebagal ganjalan dinding selatan Candi
Miring. Tak lama kemudian ke tiga orang itu melesat
62 keluar dari dalam jurang, sayup-sayup terdengar
suara ngeongan Ragll Abang si kucing merah
peliharaan ratu Ohlka Gelang Gelang yang saat itu
mendekam di pundak kiri Pangeran Bunga Bangkai.
63 9. TENUNG ARWAH DI HUTAN JATI
DALAM gelapnya malam candi besar yang berdiri
miring di bukit gersang dan disaput kabut nampak
angker. Candi yang memiliki beberapa menara Ini
konon dibangun oleh Raja Kedua Kerajaan Mataram
Kuna yaitu Sri Maharaja Rakai Panangkaran. Sejak
didirikan candi ini tidak pernah dipergunakan, tidak
pernah didatangi orang apa lagi ada yang mendiami.
Dari mulut ke mulut tersebar cerita bahwa candi yang
kemudian diberi nama Candi Miring itu dihuni oleh
berbagai mahluk halus dari alam arwah. Bilamana ada
mahluk yang bernama manusia berani datang ke
tempat itu maka pastilah dia seorang yang memiliki
ilmu kesaktian sangat tinggi. Yang tidak takut pada
segala macam mahluk halus penghuni candi, malah
bisa berhubungan dengan mahluk-mahluk halus itu.
Ketika di kejauhan terdengar suara raungan anjing
hutan, di langit di atas Candi Miring melesat satu
benda hitam yang kemudian melayang turun dan
berubah menjadi seekor Burung Hantu jejadian
berwarna hitam legam. Binatang ini hinggap di
puncak salah satu menara candi. Setelah
mengepakkan sayap, sosoknya berubah menjadi ujud
seorang pemuda berpakaian hitam yang keseluruhan
tubuh berwarna hitam termasuk kedua matanya.
"Kanjeng Arwah Ketua, saya Arwah Hitam
Pengawai Malam, datang untuk membawa kabar.
Saya melihat tiga orang menyusup di hutan jati
ke arah pedataran yang ditumbuhi alang-alang.
Tanda-tanda menunjukkan mereka hendak menuju
ke Candi Miring. Mohon petunjukmu apa yang
harus saya lakukan."
Sebagai jawaban terdengar suara mengorok
panjang disertai hembusan angin yang memerihkan
64 kulit dan mata.
"Arwah Hitam Pengawai Malam. Kau selalu
datang membawa ketololan di masa lalu. Sebelum
datang ke tempat ini apa kau sudah menyelidik siapa
ketiga orang itu" Mana bisa aku membuat keputusan
kalau kabar yang kau berikan tidak lengkapi Kalau
kau masih tolol seperti yang sudah-sudah mungkin
kau lebih berguna aku jadikan ganjalan dinding candi
di sebelah selatan, menemani Arwah Muka Hijaui"
Kulit hitam wajah Arwah Hitam Pengawal Malam
sekilas berubah kelabu. Sambil tundukkan kepala
bungkukkan badan dia berkata.
"Kanjeng Arwah Ketua, saya mohon maaf dan
ampunmu. Saya sudah coba menyelidik. Namun salah
seorang dari mereka tubuhnya mengeluarkan bau
busuk yang sangat santar hingga ketika saya coba
menyelidik yang terlihat hanya ujud samar karena
kepala saya menjadi pusing dan pandangan mata
menjadi nanar...."
"Kalau begitu, sebelum malam berganti siang
bunuh ke tiganya."
"Baik Kanjeng Arwah Ketua. Perintah Kanjeng
akan saya lakukan..."
"Tunggu." Tibe-tiba ada seseorang berkelebat
yang menimbulkan angin kencang disertai suara
perempuan berseru. "Rakanda Arwah Ketua, jangan
bunuh ke tiga orang itu. Aku yakin mereka adalah
orang-orang yang bersahabat dengan diriku. Paling
tidak pernah menolongku ketika Sumur Api diserbu
sembilan tokoh rimba persilatan..."
"Radinda Ratu! Kalau kenal ke tiga orang itu
mengapa tidak menerangkan siapa mereka secara
jelas biar aku membuat pertimbangan mau diapakan
ketiganya!"
Mahluk bernama Arwah Ketua yang menjadi
penguasa dan penghuni Candi Miring keluarkan suara
menggembor pertanda kesal. Mengenai siapa adanya
65 Arwah Ketua dan riwayat candi angker itu harap baca
riwayatnya dalam serial sebelumnya berjudul "Candi
Miring" "Rakanda mereka adalah mahluk bernama Pangeran
Bunga Bangkai bersama dua sahabatnya yaitu orang
sakti bernama Tambur Bopeng dan Suling Burik..."
Ratu Dhika Gelang-Geiang yang ada bersama Arwah
Ketua memberi tahu.
"Ah...mereka rupanya. Bukankah aku pernah
memberi tugas padamu untuk mengawasi Si Tambur
Bopeng dan Si Suling Burik?"
"Benar rakanda Arwah Ketua. Ternyata mereka
bukan orang jahat dan kini bersahabat serta menjadi
pengiring Pangeran Bunga dari Kerajaan
Tarumanegara itu..."
"Hemmm..." Arwah Ketua keluarkan suara
menggumam. "Mungkin mereka bukan orang jahat.
Tapi maksud mereka menuju tempat ini bukan lain
untuk mencari Ananthawuri bersama dua bayinya!"
"Hal itu tidak dapat dipungkiri lagi Rakanda
Arwah Ketua. Karena kalau Rakanda sudah tahu siapa
mereka mohon mereka bertiga jangan dibunuh."
"Baiklah, memenuhi pintamu aku tidak akan
membunuh mereka. Tapi cukup memendam ketiganya
selama delapan purnama di dalam tanah. Kau tahu
apa akibatnya kalau Pangeran itu berhasil menemui
istri dan dua putera sebelum waktu yang ditetapkan
Para Dewa."
"Terima kasih Rakanda Arwah Ketua. Aku mengerti.
Tapi rasanya, memendam mereka selama delapan
purnama di dalam tanah bagiku masih terasa sangat
tidak adil. Padahal belum ketahuan apakah mereka
berniat baik atau jahat.."
"Radinda Ratu, kau ingin melihat Para Dewa
murka karena apa yang telah Mereka rencanakan sejak
bertahun-tahun lalu akan jadi berentakan" Lebih dari
Itu kau Ingin menyaksikan Bhumi Mataram dilanda
66 kehancuran karena dua putra terbaik yang diharapkan
akan menjadi kesatria pamungkas kejahatan di masa
depan akan menjadi dua manusia tidak berguna atau
terbunuh sebelum dewasa dan sempat berbakti pada
Kerajaan?"
"Rakanda Arwah Ketua, aku memang tidak berpikir
sampai sejauh itu. Karena terkadang aku punya
pikiran, berprasangka buruk pada orang lain
merupakan satu dosa yang tersembunyi yang kelak
akan muncul di kemudian hari pada saat hari
perhitungan di alam baka." Jawab Ratu Dhika Gelang
Gelang yang telah dibawa secara paksa oleh Arwah
Ketua sebelum Sumur Api meledak.
"Radinda, kita saat ini masih hidup di alam nyata.
Perlu memperhitungkan segala sesuatunya dengan
sangat hati-hati karena apa yang kita perbuat akan
kembali menjadi tanggung jawab di pundak kita
masing-masing. Aku tahu, kurasa kau juga tahu,
begitu banyak bangsa manusia juga mahluk gaib yang
suka mencuci tangan dari segala tanggung jawab."
Ratu Dhika Gelang-Gelang terdiam beberapa
lamanya. "Apakah pembicaraan ini sudah selesai sampai
di sini Radinda Ratu" Atau ada yang masih hendak
kau sampaikan"' bertanya Arwah Ketua.
"Kalau boleh, bukankah Rakanda memiliki ilmu
tenung arwah yang disebut Melangkah Ke Depan.
Arwah Tiba Di Belakang. Melangkah Ke Belakang,
Arwah Tiba DI Depan. Melangkah Ke Samping Arwah
Berputar Di Tengah Tengah. Menurut hematku,
Rakanda cukup menerapkan ilmu itu pada mereka.
Sekarang mereka masih berada di hutan jati. Itu
tempat yang paling baik untuk menurunkan Tenung
Arwah sebelum mereka mencapai pedataran alangalang.
Aku Juga teringat pada Ragil Abang. Kucing
merah peliharaanku itu pasti ada bersama Pangeran
dari Kerajaan Tarumanegara itu. Aku kawatir terjadi
67 apa-apa dengan dirinya walau sang Pangeran suka
padanya dan Ragil Abang bersikap penurut dan jinak
pada mahluk berkepala Bunga Bangkai itu."
"Radinda Ratu, kau tahu salah satu pantangan
besar di candi inil Tidak ada binatang sungguhan yang
boleh menjejakkan kakinya di dalam candi. Bahkan
binatang sungguhan melintas di halaman candi saja
sudah merupakan larangan besar!"
"Aku tahu Rakanda. Aku tidak akan membawa Ragil
Abang ke sini. Aku hanya mohon seperti yang tadi
kupinta..." Jawab Ratu Dhika Gelang Gelang pula.
"Radinda Ratu, kalau bukan kau yang meminta
mana mungkin aku mengabulkan. Tapi jika terjadi
apa-apa kau tetap akan memikul tanggung jawab
penuh..." "Rakanda, jika terjadi apa-apa aku bersedia
dijadikan ganjalan dinding candi sebelah selatan. Asal
saja aku tidak ditelentangkan di bawah tubuh Arwah
Muka Hijau. Hik..hik..hik."
"Cara bicara dan sikapmu masih tidak berubah
dari dulu. Radinda Ratu Dhika Gelang Gelang, pergi
bersama Arwah Hitam Pengawal Malam. Terapkan
segera ilmu penyesat itu. Jangan lupa memberi tahu
pada Arwah Putih Pengawal Siang. Jika pekerjaanmu
sudah selesai lekas kembali menemuiku. Dua orang
bayi dan ibunya sudah berada di Candi Miring. Pada
hari pertama bulan ke tujuh dia harus di bawa keluar
candi agar bersentuhan dengan cahaya sang surya.
Sejak itu pula menjadi tugasmu untuk menjaganya
sampai turun petunjuk Dewa apa yang harus kita
lakukan kemudian terhadap dua anak itu. Aku sudah
menyiapkan daerah berbukit-bukit rendah di selatan
candi, satu daerah subur sejuk, ada taman bunga dan
kebun buah yang luas untuk tempat kedua anak itu
bermain. Lengkap dengan sebuah air terjun dan
telaga kecil. Seluruh tempat itu sampai ke candi akan
68 kupagari dengan Ilmu Seribu Arwah Menutup Langit
Memagar Bumi. Sehingga tidak ada satu orangpun
mampu memasukinya...."
"Rakanda Arwah Ketua, aku mengucapkan terima
kasih. Aku dan Arwah Hitam Pengawal Malam mohon
diri sekarang juga..."
KICAU burung mulai memecah kesunyian. Di
kejauhan sudah beberapa kali terdengar suara kokok
ayam. Perlahan-lahan langit di sebelah timur berubah
terang tanda fajar mulai menyingsing. Di dalam hutan
jati Pangeran Bunga Bangkai hentikan langkah,
palingkan kepala anehnya kearah dua pengiring.
"Setengah malaman lebih kita berjalan. Sampai
matahari tersembul dan malam berganti siangi Adalah
aneh kalau kita masih juga berada di dalam rimba
belantara hutan jati inil Dua sahabat kalau ucapanku
keliru harap kau memberi tahui"
Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik
memandang ke atas, ke arah ujung dedaunan pohonpohon
yang ada di sekitar mereka.
"Pangeran, ucapanmu tidak keliru. Aku melihat
ada bayangan sinar Jingga di pinggir dedaunan di
atas pohon. Itu adalah wama kesukaan para lelembut
Agaknya mahluk halus itu yang telah dipergunakan
oleh orang pandai untuk menurunkan tenung di dalam


Satria Lonceng Dewa 5 Meringkik Di Lembah Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hutan ini. Aku kawatir kita telah terjebak dalam satu
kekuatan gaib yang membuat kita hanya mampu
berputar-putar di dalam rimba belantara hutan jati ini.
Tidak mampu keluar sampai seratus tahun sekalipun!
Kecuali kita mengetahui kunci penembus kekuatan
gaib itu atau ada orang dari luar yang menolong. Tapi
siapa orang saktinya yang mampu mengeluarkan kita.
Sekali dia masuk ke dalam hutan ini maka dia akan
ikut terjebak bersama kita."
"Meong..."
69 Tiba-tiba Ragil abang yang ada di pundak kiri
Pangeran Bunga Bangkai mengeong keras lalu
melompat ke cabang pohon yang ada di dekat tempat
ketiga orang itu berdiri. "Kucing itu, apakah dia juga
ikut terjebak dan tak bisa keluar dari rimba belantara
ini?" tanya Pangeran Bunga Bangkai.
Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik tidak segera
memberi jawab melainkan sama-sama saling pandang.
Lalu Si Tambur Bopeng angkat dua tangannya yang
memegang penabuh. Tapi sampai ditabuh berulang
kali, tambur yang berada di atas perutnya sama sekali
tidak mengeluarkan suara.
Si Suling Burik dalam herannya cepat-cepat meniup
sulingnya. Tapi sampai mengedan-edan dan mukanya
menjadi merah, suling itu tidak mengeluarkan bunyi.
"Sahabat berdua, kita menghadapi satu kekuatan
luar biasa hebat Mendekati kekuatan Para Dewa," kata
Pangeran Bunga Bangkai pula. "Kalian belum
menjawab pertanyaanku tadi. Apakah Ragil Abang
juga terjebak seperti kita" Berada dalam kekuasaan
gaib itu?"
"Bilamana kekuatan gaib itu datang dari penguasa
Candi Miring yang hendak kita datangi, rasanya kucing
merah itu tidak akan terpengaruh. Binatang
sungguhan merupakan pantangan bagi Candi Miring..."
Mendengar ucapan SI Tambur Bopeng, Pangeran
Bunga Bangkai lambaikan tangannya ke arah kucing
merah di cabang pohon.
"Ragil Abang, kemarilah..."
Kucing merah mengeong perlahan lalu melompat ke
pundak kiri Pangeran Bunga Bangkai.
"Sahabatku..." kata sang Pangeran sambil
mengusap tengkuk Ragil Abang. "Keluarlah dari
rimba belantara ini. Berjalan ke arah selatan hutan.
Cari pertolongan. Berlakulah hati-hati. Jangan sampai
tersesat dan berada di dekat Candi Miring. Apakah kau
mengerti ucapanku, sahabat?"
70 Ragil Abang menjilat tangan Pangeran Bunga
Bangkai. Setelah mengeong lembut dia melompat
turun, menyelinap ke balik deretan pohon jati dan
akhirnya lenyap dari pemandangan.
"Pangeran, kami menyesal telah membawamu
ke dalam keadaan seperti ini." Berkata Si Suling Burik.
Pangeran Bunga Bangkai keluarkan suara tertawa.
"Kita sama-sama satu nasib. Aku justru
mengawatirkan kalian. Aku punya firasat paling cepat
kita akan terkurung di hutan ini selama tujuh bulan.
Aku bisa bertahan hidup tanpa makan. Bagaimana
dengan kalian berdua. Apakah di hutan jati Ini ada
pohon berbuah yang bisa dimakan?"
"Bhumi Mataram bertanah subur. Di tanah gersang
sekalipun Yang Maha Kuasa menyediakan makanan
bagi siapa saja yang menjadi mahluk hidup..." Berkata
SI Tambur Bopeng.
"Kalau ini memang sudah suratan takdir Yang Maha
Kuasa, kita manusia bisa berbuat apa" Mari kita
mencari tempat yang baik. Kita akan melakukan tapa
tiga ratus hari. Mudah-mudahan Para Dewa akan
menolong kita keluar dari hutan ini..." Wajah dan
suara Si Suling Burik terdengar tabah. Dia memeluk
bahu sahabatnya Si Tambur Bopeng lalu melangkah ke
arah timur hutan. Pangeran Bunga Bangkai mengikuti
dari belakang. Di tengah jalan dia meminta Kitab Weda
yang tadi diserahkan pada Si Tambur Bopeng. Sambil
berjalan sang Pangeran membaca kitab itu mulai dari
halaman pertama. Suara lafalnya ataupun mulut
berucap perlahan namun menimbulkan gema halus di
dalam hutan jati.
71 10. MAHLUK DI BALIK TIRAI
MALAM dingin gelap gulita. Hujan turun lebat
sekail. Diantara suara deru angin dan gemertsik
daun pepohonan yang saling bergeser sayup-sayup
terdengar suara kepakan sayap. Tak lama kemudian
tampak sebuah benda hitam melayang terbang di
udara. Benda itu ternyata adalah seekor Burung Hantu
yang kemudian melayang turun lalu menjejak tanah di
antara dua batang pohon besar di dasar lembah.
Di dasar tanah yang disebut lapisan Ke Tiga di
Lembah Hantu, Panglima Pawang Sela masuk ke dalam
satu lorong batu sunyi dan redup. Didalam lorong Itu
terdapat tujuh lapis tirai tebal berlainan warna.
Panglima Pawang Sela hanya berani menyibak sampai
di tirai yang ke empat yaitu tirai berwarna Jingga. Kini
dia berdiri di hadapan tirai ke lima berwarna biru. Dia
tidak berani menyibak tirai ini karena Itulah batas
dimana dia boleh berada di dalam lorong batu. Untuk
beberapa lama dia berdiri diam sambil merapal
sesuatu lalu perlahan-lahan lelaki separuh baya
bertubuh tinggi kekar dan mengenakan Jubah serta
destar kuning ini berlutut di lantai seraya mulut
berucap. "Junjungan Sri Maharaja Mataram Baru, yang juga
saya sebut Si Maharaja Ke Delapan, mahluk arwah
alam gaib yang kita tunggu sudah datang. Saya mohon
izin untuk membawanya menghadap Junjungan..."
Dari balik tirai ke tujuh yang berwarna merah,
terpisah dua tirai dari tempat Pawang Sala berdiri saat
itu, keluar suara jawaban.
"Panglima Pawang Sela. Sebelum kau membawa
mahluk itu ke hadapanku, ada beberapa hal yang
perlu kutanyakan dan harus mendapat jawaban saat
72 Ini juga..."
"Junjungan, saya menunggu pertanyaan," kata
Panglima Pawang Sela sambil bangkit berdiri.
"Pertama, sudah berapa jumlah Tuman Keku yang
berhasil kau dapatkan sampat saat ini?"
"Saya Ingat sekail Junjungan. Jumlah sudah
mencapai enam puluh tiga. Saya masih menbutuhkan
delapan orang lagi..."
"Jumlah tujuh puluh satu harus kau penuhi tujuh
hari sebelum hari yang telah aku tentukan!"
"Saya sanggup dan yakin akan berhasil
mendapatkan Jumlah itu sesuai dengan perintah
Junjungan Sri Maharaja Mataram Baru."
"Pertanyaan kedua. Berapa jumlah mahluk
berkepala anjing Tuman Kean yang sudah kau dapat?"
(Tuman Kean = Tubuh manusia Kepala Anjing)
"Saya tidak Ingat pasti Junjungan. Harap maafkan.
Tapi Jumlahnya pasti sudah melebihi seratus.
"Sekarang pertanyaan ke tiga. Apakah kau telah
berhasil berhubungan dengan Arwah Muka Hijau yang
saat ini masih terpendam di dinding selatan Candi
Miring, dibuat sebagai ganjalan"!"
"Mohon maafmu Junjungan. Hal itu belum dapat
saya lakukan karena masih menunggu petunjuk dari
mahluk gaib yang berada di dalam lembah sana. Yaitu
tentang apa saja yang harus dilakukan agar bisa
melakukan bicara Jarak jauh dengan dia tanpa
diketahui penghuni Candi Miring termasuk Arwah
Ketua. Lalu bagaimana cara untuk membebaskannya
dari ganjalan candi." Jawab Panglima Pawang Sela.
"Tapi yang paling penting," kata sang Junjungan
pula. "Mencari tahu bagaimana melumpuhkan Arwah
Ketua dan kaki tangannyal Sehingga ketika kita
bergerak Arwah Ketua dan semua penghuni Candi
Miring tidak berdaya melakukan upaya apapun."
"Baik Junjungan. Hal itu akan saya lakukan."
"Pertanyaan ke empat. Apakah kau sudah
73 menghubungi Wakil Kepala Balatentara Kerajaan
Bhumi Mataram untuk membantu menggembosi
pasukan Kerajaan dari dalam pada saat hari
penyerbuan kita nanti?"
"Saya sudah menghubungi, tapi orang bernama
Jenggal Kantanu Itu tidak bisa dibujuk, tidak mempan
disogok. Saya bahkan membawanya ke sebuah
pondok. Disitu saya telah mempersiapkan seorang
perawan desa. Tapi dia tetap menolak. Dia tidak mau
berkhianat pada Sri Maharaja Rakai Pikatan Dyah
Saladu, Raja yang memerintah di Bhumi Mataram saat
Ini. Padahal sesuai pesan Junjungan saya memberi
tahu dia bakal menduduki jabatan sebagai Kepala
Pasukan bilamana Kerajaan Mataram Baru berdiri
nanti. Ketika saya memaksa dia menunjukkan gelagat
seperti hendak membunuh saya. Tapi itu tidak
dilakukannya mungkin mengingat saya adalah kakak
iparnya." "Manusia bodohi" rutuk orang dibalik tirai merah
yang dipanggil Junjungan Sri Maharaja Mataram Baru.
"Lalu apa yang telah kau lakukan terhadap manusia
satu ltu?"
"Saya telah membunuhnya Junjungan. Kotaraja
sampai geger selama tujuh hari. Beberapa orang
ditangkap. Kepala Balatentara Kerajaan dicurigai dan
diawasi gerak-geriknya. Orang-orang Mataram sampai
saat Ini tidak mampu menjajagi jejak saya. Junjungan,
apakah Junjungan ingin saya memberikan bukti
dengan memperlihatkan apa yang terjadi secara gaib
seperti halnya sewaktu saya menyuruh Abdika
Brathama sehabis dia membunuh Ceti Kanwa?"
"Tidak perlu. Aku cukup percaya padamu. Sekarang
pertanyaan ke lima. Apakah Abdika Brathama saat ini
masih berada di Kotaraja memata-matai keadaan?"
"Benar Junjungan Dia akan tetap berada di sana
sampai saat-saat terakhir menjelang kita memasuki
Kotaraja."
74 "Pertanyaan keenam. Bagaimana dengan seribu
anggota pasukan yang berada di Lembah Hantu
sebelah barat..."
"Mereka tetap bersiaga sambil terus melakukan
latihan perang-parangan."
Yang disebut Junjungan Sri Maharaja Mataram
Baru yang berada di balik tirai tebal wama merah
agaknya cukup puas dengan semua jawaban Panglima
Pawang Sela. Maka diapun berkata.
"Bagus. Sekarang kau boleh membawa masuk orang
di luar sana. Ingat dia hanya bisa masuk sampai di
depan tirai ke tiga, tirai kelabu. Jangan lupa
menyumpalkan Batu Baramundu ke dalam rongga
matanya Lakukan itu sebelum dia masuk ke dalam
lapisan ke tiga dasar lembah."
"Perintah Junjungan segera saya lakukan. Saya
akan kembali sebelum hitungan ke seratusl"
"Satu hal harus kau yakini, Panglima Pawang Sela."
"Gerangan apakah itu Junjungan?"
"Kau harus yakin, mahluk yang akan kau bawa
ke hadapanku itu adalah benar-benar Arwah Hitam
Pengawal Malam. Bukan mahluk tipuan yang bisa
mencelakakan kita! Kau tahu Arwah Ketua adalah
mahluk seribu ilmu seribu akal!"
"Saya berani menjamin Junjungan. Mahluk yang
akan saya bawa ke tempat ini adalah benar-benar
Arwah Hitam Pengawal Malam. Saya mohon pergi
sekarang."
"Tunggu dulu!"
"Ada hal lain yang Junjungan hendak katakan?"
tanya Panglima Pawang Seia sambil berhenti
memutar tubuh lalu menatap tirai biru di hadapannya
"Jika nanti aku puas dengan semua apa yang telah
dilakukan mahluk bernama Arwah Hitam Pengawal
Malam itu, hadiahkan dia seorang gadis desa..."
"Maaf Junjungan. Mahluk itu tidak suka pada
perempuan. Dia hanya menggauli lelaki sesama
75 jenis." "Apa" Ha ha . ha" Sang Junjungan tertawa
tergelak. "Kalau begitu kau tahu apa yang harus kau
lakukan. Di desa Kaltwungu ada banyak bocah remaja.
Pilihkan seorang untuknyal Ha...ha...ha. Orang-orang
lelaki Mataram! Kalian ini serba aneh. Para Dewa telah
menyediakan perempuan untuk menjadi pasangan
kalian bersenang-senang! Mengapa mau menggauli
bangsa laki-laki yang hanya punya satu lobang di
bawah perutnya dan itupun berbau busuk" Ha...ha...
hal Satu pertanda kalian menyimpang dari jalan hidup
yang benar. Para Dewa akan mengutuk kalian!
Kerajaan Bhumi Mataram memang sudah saatnya
dihancur luluhkanl Ha...ha...hal Panglima, lakukan
apa yang aku perintahkan!"
"Akan saya lakukan Junjungan."
Panglima Pawang Sela membungkuk di hadapan
tirai biru lalu sekali dia menggerakkan kaki, tubuhnya
melesat ke atas dan lenyap dari pemandangan.
Suara tawa dari balik tirai merah masih menggema,


Satria Lonceng Dewa 5 Meringkik Di Lembah Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuat tujuh tirai di dalam bergoyang melambailambai.
76 11. ARWAH YANG KHIANAT
BURUNG hantu yang mendekam di antara dua
pohon besar menyalangkan sepasang mata hitamnya
lebih besar ketika Panglima Pawang Sela muncul
kembali di tempat itu.
"Junjungan Sri Maharaja Kerajaan Mataram Baru
bersedia menerimamu. Sekarang perlihatkan ujudmu
yang sebenarnya!"
Burung Hantu kepakkan kedua sayapnya. Saat itu
juga tubuhnya berubah menjadi sosok seorang
pemuda mengenakan pakaian hitam. Seperti pakaian,
kulit di tubuh pemuda ini termasuk wajah dan
sepasang mata berwarna hitam legam.
"Jadi kau yang bernama Arwah Hitam pangawal
Malam?" Si pemuda membungkuk lalu anggukkan kepala.
Panglima Pawang Sela letakkan tangan kanannya
di atas ubun-ubun kepala. Ketika tangan diturunkan,
di tangan itu kini terlihat dua buah benda bulat merah
menyala mengepulkan asap serta hawa panas.
"Arwah Hitam Pengawal Malam, maju satu langkah.
Dekatkan wajahmu ke arahku!"
Pemuda berpakaian hitam melirik pada dua benda
menyala di tangan kanan orang yang berdiri di
hadapannya. Wajahnya yang hitam legam berubah
kelabu. "Bara menyala..." ucap si pemuda dalam hati dan
dada berdebar. "Panglima Pawang Sela, kau hendak
melakukan apa?" Si pamuda bertanya dengan suara
agak tercekat "Tidak ada pertanyaan. Aku akan berkata sekali
lagi dan itu untuk yang terakhir kali. Maju satu
langkahi Dekatkan wajahmu ke arahku!"
Walau merasa bimbang perlahan-lahan si pemuda
77 rundukkan kepala sedikit lalu di dekatkan ke arah
Panglima Pawang Sela. Dess...dessl Secepat kilat
Pawang Sela susupkan dua bara menyala ke dalam
rongga mata kiri kanan Arwah Hitam Pengawal
Malam. Asap merah mengepul. Dua bara menyala
melesak masuk ke dalam rongga mata. Namun
anehnya Arwah Hitam Pengawal Malam tidak
merasakan panas atau sakit Selain itu kedua matanya
tetap bisa melihat seperti biasa. Dua bara menyala
sama sekali tidak menutup pemandangannya.
Pemuda dari alam gaib ini merasa lega sedikit
"Arwah Hitam Pangawal Malam, saat ini bara
menyala di dalam dua rongga matamu memang tidak
menimbulkan rasa sakit Tapi jika nanti kau melakukan
hal-hal yang tidak berkenan pada Junjungan kami,
menipu dan memberi keterangan palsu maka dua bara
menyala itu akan menjadi panas, membuat kepalamu
leleh lalu sekujur tubuhmu akan meledak berkepingkeping."
"Aku sudah bertindak sejauh ini. Jika kau dan
Junjungan tidak percaya lebih baik urusan antara kita
hanya sampai di sini sajal" Pemuda berpakaian dan
bermuka hitam rupanya merasa tidak senang.
Panglima Pawang Sela menyeringai.
"Kau pandai menggertak," ucapnya. "Jika itu kau
lakukan padaku, aku akan memaafkan. Tapi Jika kau
berani bersikap seperti itu terhadap Junjungan, kau
akan dirubah menjadi debu. Tidak berguna di atas
dunia, tidak berguna di alam gaib" Selesai keluarkan
ucapan Panglima Pawang Sela ulurkan tangan kiri
menyambar lengan kanan si pemuda. Sesaat
kemudian sosok kedua orang itu amblas dan lenyap
masuk ke dalam tanah antara dua pohon besar di
dasar Lembah Hantu.
78 SESUAI perintah Junjungan, Panglima Pawang
Sela membawa Arwah Hitam Pengawal Malam
memasuki lorong batu dan berhenti di depan tirai
berwarna kelabu yang merupakan Tirai Ketiga.
Panglima memberi isyarat pada pemuda berkulit
hitam itu agar mengikuti apa yang dilakukannya yaitu
membungkuk di depan tirai.
"Panglima," tiba-tiba Arwah Hitam Pengawal
Malam berbisik. "Aku tidak melihat Junjungan yang
kau katakan itu. Mengapa kita memberi penghormatan
pada tirai kelabu. Apakah tirai ini..."
'Tutup mulutmu!" Bentak Pawang Sela. "Jangan
berani membuka mulut kalau tidak ada yang bertanya
atau menyuruh! Atau kau ingin dua bara rmmyala di
dalam matamu itu segera kujadikan panas"!"
"Harap maafkan aku Panglima. Aku hanya
gugup...." Jawab si pemuda.
Panglima Pawang Sela membungkuk sekali lagi.
"Junjungan Sri Maharaja Mataram Baru, saya
sudah berada di hadapan Tirai Kelabu. Di sebelah saya
berdiri Arwah Hitam Pengawal Malam."
Tujuh tirai di dalam lorong batu bergoyang
melambai-lambai seolah ditiup angin. Sesaat
kemudian terdengar suara di ujung lorong, dari arah
belakang Tirai Merah.
"Pemuda berkulit hitam, kami mengenalmu
sebagai Arwah Hitam Pengawal Malam. Aku tahu dari
Panglima kau telah membantu kami sejak beberapa
lama belakangan ini. Aku merasa puas dengan apa
yang telah kau kerjakan. Itu sebabnya aku meminta
Panglima membawamu ke sini. Ceritakan siapa dirimu
yang nyala dan yang gaib. Beritahu siapa dirimu
adanya, apa kedudukanmu di Candi Miring."
"Junjungan, seperti yang kau saksikan ujud
nyata saya adalah seperti Ini. Saya adalah mahluk
alam gaib yang bisa berubah menjadi seekor Burung
Hantu hitam. Di Candi Miring saya dipercayai menjadi
79 salah seorang pembantu utama Arwah Ketua..."
"Sebagai pembantu utama kau pasti banyak
mengetahui keadaan di Candi Miring. Apakah Arwah
Muka Hijau masih berada di sana, dijadikan ganjalan
dinding candi?"
"Benar sekail Junjungan. Arwah Muka Hijau
sampai saat ini tidak beranjak dari tempatnya di dasar
dinding selatan Candi Miring."
"Aku akan membebaskannya. Kau tahu bagaimana
caranya menghubungi mahluk itu melalui ilmu bicara
jarak jauh tanpa ada seorangpun penghuni Candi
Miring bisa mendengar?"
"Lemparkan dua ekor kodok mati di arah dinding
selatan candi. Tiga malam kemudian Arwah Muka
Hijau akan mampu mendengar suara yang dikirim dari
jarak jauh kepadanya. Sebaliknya ia juga bisa bicara
memberikan jawaban."
"Bagus. Aku minta kau yang mencari dua kodok
mati lalu melemparkan ke dinding candi. Sanggup"!"
"Sanggup Junjungan..." jawab Arwah Hitam
Pengawal Malam.
"Jika sudah kau lakukan beri tahu Panglima."
"Baik Junjungan."
"Aku kehilangan jejak seorang perawan desa
bernama Ananthawuri bersama dua bayi yang baru
dilahirkannya. Menurut apa yang aku ketahui, ibu dan
dua anaknya itu lenyap di sekitar halaman depan
Candi Miring. Katakan apa yang kau ketahui..."
Sebenarnya orang yang bicara dibalik tirai merah
maupun Panglima Pawang Sela sudah tahu keberadaan
Ananthawuri dan dua bayinya di dalam Candi
Miring. Namun sang Junjungan ingin menguji.
"Perawan desa bernama Ananthawuri dan dua
bayinya saat ini memang berada di dalam Candi
Miring. Dibawah perlindungan Arwah Ketua. Mereka
diselamatkan oleh Arwah Kembar dari dasar
reruntuhan Sumur Api. Arwah Kembar sendiri
80 menemui kematian tak jauh dari Candi Miring..."
"Orang suruhanku yang membunuh mereka."
Berkata sang Junjungan. Arwah Hitam terkejut tapi
diam saja. Sang Junjungan kemudian bertanya.
"Selain Arwah Ketua, siapa saja yang berada di Candi
Miring?" "Seorang perempuan bernama Ratu Dhika
Gelang Gelang. Dia masih memiliki garis darah
dengan Raja Bhumi Mataram Sri Maharaja Rakal
Pikatan Dyah Saladu. Dia ditugasi menjaga dua bayi
slang dan malam."
Dibaiik tirai sang Junjungan mendengus lalu
tertawa pendek. "Ketika diberi tugas menjaga Sumur
Api dia tidak mampu. Sekarang ditugasi menjaga dua
bayi..Ha..hal Panglima aku melihat kita bisa lolos dari
lobang jarum. Kita punya kesempatan membunuh dua
bayi jika memang perempuan gemuk berkerincing
emas yang menjaga merekat"
"Junjungan, bagaimana kalau tugas membunuh
dua bayi kita serahkan pada pemuda ini?" Panglima
Pawang Sela mengajukan usul.
Sebelum Junjungan menjawab, Arwah Hitam
Pengawal Malam mendahului.
"Maaf Junjungan, saya tahu kemampuan saya.
Tingkat ilmu kepandaian saya tidak memungkinkan
untuk melakukan hal itu. Ratu Dhika Gelang Gelang
terlalu sakti. Belum lagi Arwah Ketua. Lalu masih ada
Arwah Putih Pengawal Siang serta Arwah Gelap
Gulita.." "Aku tahu perempuan itu. Dia memang merupakan
salah satu ganjalan. Orang-orangku telah berusaha
membunuh kekasihnya, seorang pemuda bernama
Sebayang Kaligantha. Tapi Para Dewa menolong
menyelamatkan dirinya. Perempuan dan kekasihnya
itu bisa kita urus kemudian. Arwah Hitam, kau tahu
rahasia menembus masuk ke dalam Candi Miring?"
Bertanya Panglima Pawang Sela.
81 "Saya tahu Junjungan. Tapi jika saya mengatakan
maka lidah saya akan terpotong dan saya tidak akan
mampu lagi bicara untuk selama-lamanya."
Panglima Pawang Sela menyeringai. Sang
Junjungan keluarkan suara tertawa lalu berkata.
"Arwah Hitam Pengawal Malam. Kau berada di
tempat yang aman dibawah perlindungan Panglima
dan diriku. Katakan rahasia menembus masuk ke
dalam Candi Miring."
Arwah Hitam tidak segera menjawab.
"Kau mau menerangkan atau tidak?" Panglima
menegur. Suaranya menyatakan kegusaran melihat
sikap Arwah Hitam yang hanya diam saja.
Akhirnya pemuda berkulit hitam itu membuka
mulut 82 12. LIDAH YANG TERPOTONG
SAMBIL memegang tengkuknya yang mendadak
dingin, pemuda berkulit hitam legam itu berkata.
"Diperlukan mayat seorang gadis, seorang anak
perawan berusia antara empat belas dan dua puluh
satu tahun. Yang meninggal paling lama tiga hari dan
jenazahnya dikubur bukan dibakar. Mayat digali dari
makamnya lalu dikuburkan lagi pada satu tempat arah
utara Candi Miring, sejarak paling dekat lima ratus
tombak. Kaki mayat harus menghadap candi. Orang
yang hendak masuk kedalam Candi harus membawa
dua kepalan tanah kuburan. Satu kepalan berasal dari
kubur lama dan satu kepal lagi dari kubur baru..."
"Itu saja" Tanya sang Junjungan.
"Betul Junjungan. Itu saja..."
"Kau tahu bagaimana caranya menyekap Arwah
Ketua agar tidak bisa keluar dari dalam candi?" Sang
Junjungan kemudian bertanya. Sementara Panglima
menatap lekat-lekat ke wajah hitam pemuda di
hadapannya. "Maaf Junjungan, saya tidak mengetahuinya..."
"Lalu apa kau tahu kelemahan Arwah Ketua?"
kembali sang Junjungan yang juga disebut Sri
Maharaja Mataram Baru atau Sri Maharaja Ke
Delapan ajukan pertanyaan sementara Panglima
Pawang Sela menatap lekat-lekat kewajah pemuda
berkulit hitam itu.
"Setahu saya Arwah Ketua tidak boleh terkena
tetesan embun murni yang menempel di dedaunan.
Tapi saya tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya
jika sampai ada tetesan embun menyentuh tubuhnya..."
"Hemmm... Itu sebabnya dia sengaja tinggal di
Candi Miring yang terletak di bukit gersang. Bukit
83 tanpa pohon tanpa daun..." Berkata Panglima Pawang
Sela. "Kau betul Panglima. Sekarang kita sudah tahu
kelemahannya, kita bisa memancing dirinya berada
di satu kawasan rimbun pepohonan, sewaktu embun
masih melekat di dedaunan..."
"Berarti kita sebaiknya melancarkan serangan
pada saat dinihari. Ketika embun masih banyak
melekat di dedaunan. Jika arwah Ketua berani
muncul..."
"Kau cerdik. Tapi aku punya satu rencana baru.
Aku lebih suka membentuk serombongan pasukan
yang sengaja membawa ranting pepohonan yang


Satria Lonceng Dewa 5 Meringkik Di Lembah Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memiliki daun penuh dengan tetesan embun. Jika
Arwah Ketua muncul di kancah pertempuran pasukan
pembawa embun ini yang akan menghadangnya. Hal
ini akan kita bicarakan lagi... Sekarang aku akan
meminta sahabat kita Arwah Hitam Pengawal Malam
melakukan satu hal lagi..."
"Saya siap Junjungan," menyahuti Arwah Hitam.
"Kau harus membunuh Arwah Putih Pengawal
Siang. Mahluk satu itu bisa menjadi biang racun
mengacaukan semua rencana-kita. Kau sanggup"!"
"Sanggup Junjungan."
"Bagus. Sekarang aku mengucapkan selamat
jalan padamu. Semua janji hadiah harta maupun
jabatan yang telah disampaikan Panglima Pawang
Sela akan kupenuhi setelah Kerajaan Bhumi Mataram
kita hancurkan. Saat ini, sekeluar dari Lembah Hantu,
Panglima akan membawamu ke satu tempat untuk
bersenang-senang..."
"Terima kasih Junjungan. Saya mohon diri."
Arwah Hitam Pengawal Malam membungkuk di depan
Tirai Kelabu lalu mengikuti Panglima Pawang Sela
yang telah memberi isyarat padanya untuk segera
meninggalkan lorong.
84 KETIKA muncul dari dalam tanah dan sampai di
antara dua pohon besar di dasar Lembah Hantu tibatiba
Arwah Hitam Pengawal Malam merasa ada cairan
hangat dan asin di dalam mulutnya. Bersamaan
dengan itu perutnya terasa mual.
"Hek... hekk..."
Arwah Hitam semburkan cairan yang ada di
mulutnya. Yang keluar ternyata darah kental. Dan
bukan hanya darah tapi juga sekerat benda merah.
Ketika diperhatikan oleh Panglima Pawang Sela
merindinglah bulu kuduknya. Benda itu ternyata
potongan lidah. Kutukan dari candi Miring telah jatuh
atas diri Arwah Hitam Pengawal Malam karena
pengkhianatannya.
Arwah Hitam Pengawal Malam meraung keras.
Dia tidak peduli lagi rencana Panglima Pawang Sela
yang hendak mengajaknya ke Desa Kaliwungu.
Bahkan tanpa menanggalkan bara merah yang masih
menempel di dalam rongga matanya dia menghambur
tinggalkan tempat itu.
Panglima Pawang Sela cepat menghadang. Dia
korek dua Batu Baramundu yang ada di dalam rongga
mata si pemuda seraya berkata.
"Bagaimanapun keadaanmu, tugas yang diperintahkan
oleh Junjungan harus tetap kau laksanakan.
Kalau tidak nasibmu akan lebih mengerikan
dari yang kau alami sekarangl Kau
dengar"."
"Hak..huk....hak..hukl" Arwah Hitam hanya bisa
keluarkan suara seperti itu sambil angguk-anggukkan
kepala berulang kali.
SATU hari setelah Arwah Hitam Pengawal Malam
menghadap sang Junjungan di dasar lapisan ke tiga
Lembah Hantu, desa Jamburewo dilanda kegegeran.
85 Wudhania, anak gadis berusia enam belas tahun puteri
seorang petani lenyap dari rumahnya. Penduduk
beramai-ramai melakukan pencarian. Setelah dua hari
mencari mereka belum berhasil menemukan si gadis.
Namun di dekat sebuah telaga dangkal berair kotor
ditemukan sebuah kuburan dalam keadaan terbuka.
Tanah kuburan masih gembur dan merah pertanda
kuburan itu masih baru. Agaknya siapapun yang
dikubur di tempat ini mayatnya telah digali dan
dikeluarkan. Mungkinkah itu mayat Wudhania, anak
gadis desa Jamburewo yang lenyap tidak tentu
rimbanya" Hanya beberapa hari setelah ditemukan kuburan
kosong. Arwah Ketua di Candi Miring menerima
laporan dari pembantu utamanya Arwah Gelap Gulita
kalau Arwah Putih Pengawal Siang ditemukan telah
jadi mayat di kaki bukit gersang. Mayat itu kemudian
berubah menjadi bangkai seekor kadal putih, sesuai
dengan ujud aslinya.
"Saya juga ingin memberi tahu wahai Arwah Ketua.
Sahabat kita Arwah Hitam Pengawal Malam sudah
beberapa hari tidak kelihatan. Saya kawatir sesuatu
telah terjadi dengan dirinya.'
Arwah Ketua keluarkan suara mengorok.
"Arwah Gelap Gulita. Aku minta kau menyelidiki
semua perkara kejadian ini sampai tuntas. Aku hanya
memberikan waktu tiga hari padamu. Kita harus
bertindak cepat Aku punya firasat sejak Sumur Api
meledak serangkaian peristiwa aneh yang terjadi akan
membawa kepada satu malapetaka yang lebih besar.
Aku perintahkan juga padamu untuk menyelidiki dari
luar hutan jati, apa Pangeran Bunga Bangkai dan dua
pengiringnya masih berada di sana. Aku tidak yakin
ada kekuatan bisa membuat mereka lolos. Tapi Yang
Maha Kuasa bisa berbuat sekehendakNya. Aku tidak
boleh menyombongkan diri dengan Ilmu kesaktian
yang aku miliki yaitu ilmu Tenung Arwah. Di atas
86 langit masih ada langit..."
"Perintah Arwah Ketua segera aku laksanakan."
"Aku mencium bau yang tidak enak diarah selatan
candi. Selidiki ke arah itu lebih dulu."
"Segera saya lakukan," kata Arwah Gelap Gulita.
"Sebelum pergi harap kau sirap keberadaan candi
ini." "Baik Arwah Ketua."
Setelah membungkuk Arwah Gelap Gulita berkelebat
keluar dari Candi Miring. Sejarak seratus tombak di
timur candi dia mencari tempat ketinggian. Di sini dia
tegak rangkapkan dua tangan di depan dada kaki
terkembang, mata terpejam. Setelah sepasang
telinganya tidak lagi mendengar suara tiupan angin,
perlahan-lahan Arwah Gelap Gulita angkat ke dua
tangan ke udara. Telapak diarahkan ke Candi Miring.
Secara aneh candi angker itu beberapa saat kemudian
mulai tampak samar dan akhirnya
lenyap sama sekail dari pemandangan seolah telah
bersatu dengan udara yang dibungkus oleh kegelapan
malam. 87 13. MAYAT BICARA SEPERTI yang dikatakan sang Junjungan, ketika
menyelidik ke kawasan selatan Candi Miring, Arwah
Gelap Gulita yang berujud seorang kakek bersorban
dan berjubah hitam mencium bau busuk. Saat itu di
pertengahan hari dan sang surya memancarkan sinar
terik. "Kalau ini bukan bangkai binatang, tidak bisa lain
pasti bangkai manusia Bangkai manusia konon lebih
busuk dari bangkai binatang...'
Sejauh lebih dari lima ratus tombak Arwah Gelap
Gulita dari candi, di satu telaga kecil yang airnya
sudah lama mengering Arwah Gelap Gulita melihat
banyak orang kerkerumun mengelilingi sebuah lobang.
Tak jauh dari situ beberapa orang tengah membuat
usungan dari bambu. Mendekat ke tepi lobang
pembantu utama sang Junjungan ini melihat ada tiga
orang lelaki di dalam lobang tengah menggotong
sesosok mayat yang ditutupi sehelai kain panjang.
Mayat inilah yang menebar bau luar biasa busuk.
Arwah Gelap Gulita membentak.
"Manusia-manusia kurang ajari Beraninya kalian
mengubur mayat di kawasan Candi Miring"
Semua orang di tempat itu termasuk tiga yang
di dalam lobang tersentak kaget. Mengira yang
muncul adalah seorang Resi, salah seorang yang
berdiri di tepi lobang agak takut-takut berkata.
"Resi, kami bukan hendak mengubur mayat Tapi
justru mau mengeluarkan mayat dari dalam lobang."
"Siapa yang mati" Bagaimana bisa ada kuburan
di tempat ini" Kalian siapa"l" Bentak Arwah Gelap
Gulita Orang yang tadi bicara kembali menjawab.
"Kami penduduk Desa Jamburewo. Seorang anak
88 perawan bernama penduduk desa hilang. Dua hari
lalu kami menemukan sebuah makam kosong tak jauh
dari desa. Kelihatannya ada jenazah pernah dikubur
di situ lalu dibongkar dikeluarkan. Kami curiga
jangan-jangan anak perawan yang hilang itu telah
menemui kematian dan pernah dikubur di situ. Kami
berbagi menjadi tiga rombongan dan meneruska
melakukan pencarian. Di tempat ini, di dalam lobai.g
kami menemui jenazah anak perawan itu, baru
setengah tertimbun. Kami tengah berusaha
mengeluarkan dan mau mengusungnya kembali ke
desa sewaktu Resi datang..."
Dalam kejutnya mendengar keterangan orang
desa. Arwah Gelap Gulita ingat satu hal. Dalam hati
dia membatin. "Dikubur, lalu belum tiga hari jenazah
lenyap. Gadis ini agaknya sengaja dibunuh untuk
memenuhi satu tirakat Jangan-jangan ada seseorang
yang mengetahui..." Kakek ini tidak meneruskan apa
yang ada dalam hati dan pikirannya.
"Aku akan membantu kalian mengeluarkan jenazah
dari dalam lobang. Kalian bertiga menyingkirlah..."
Tiga orang di dalam lobang walau merasa heran
namun meletakkan jenazah kembali ke dasar lobang.
Begitu ketiganya keluar dari dalam lobang Arwah
Gelap Gulita letakkan tangan kanan di atas lobang
hingga bergetar dan memancarkan cahaya putih
redup. Semua orang yang ada di tempat itu
tercengang kaget ketika melihat jenazah yang ada di
dalam lobang perlahan-lahan naik ke atas, melayang
sebentar di udara lalu turun dan rebah di atas usungan
bambu yang baru saja selesai dibuat.
Arwah Gelap Gulita dekati usungan bambu. Kain
panjang di bagian kepala disingkap hingga dia dapat
melihat wajah dan bagian dada jenazah. Di leher
tampak tanda kebiru-biruan.
"Bekas cekikan. Aku dapat memastikan tulang
leher gadis ini remuk sampai ke pangkal. Ganas sekali.
89 Siapa yang begitu tega melakukan...?" Kata Arwah
Gelap Gulita dalam hati. Saat itu dia melihat jenazah
masih mengenakan pakaian. Sambil menutup kain
kembali pembantu utama Arwah Ketua ini bertanya.
"Siapa nama gadis malang ini?"
"Wudhania." Seorang menjawab memberi tahu.
Arwah Gelap Gulita kemudian susupkan dua
tangannya ke bagian kaki jenazah. Brett! Kakek ini
robek ujung pakaian yang masih melekat di tubuh
jenazah. Robekan pakaian di simpan di balik jubah
Lalu pada semua orang yang ada di situ kakek ini
berkata. "Kalian boleh mengusung jenazah. Bawa kembali ke
desa Jamburewo. Para Dewa akan memberkati kalian
karena telah berbuat kebajikan."
Selesai berkata Arwah Gelap segera berkelebat
tinggalkan tempat itu. Untuk beberapa lama orangorang
Desa Jamburewo masih tegak tercengangcengang
di tempat itu. Sampai akhirnya ada
seseorang yang berkata.
"Jangan-jangan orang tua tadi bukan seorang
Resi. Tapi mahluk halus penghuni Candi Miring."
"Kurasa kau benar. Kalau tidak mengapa tadi dia
kelihatan marah. Kita dituduh mengubur mayat di
kawasan Candi Miring."
"Teman-teman, sebaiknya kita segera mengusung
jenazah dan tinggalkan tempat ini." Seorang lain
berkata Empat orang segera memanggul usungan. Tak
lama kemudian setelah semua orang Desa Jamburewo
pergi tempat itu tenggelam dalam kesunyian bahkan
suara anginpun tidak terdengar.
Namun sesaat kemudian dari balik serumpunan
semak belukar terdengar suara perempuan bicara
"Cahyo Kumolo, kau menyaksikan semua apa
yang barusan terjadi?"
Sebagai sahutan ada suara mendesis pendek
"Aku yakin kakek tadi bukan seorang Resi. Adalah
90 aneh mengapa dia sengaja merobek dan membawa
potongan pakaian Jenazah. Aku melihat tadi dia
berkelebat lenyap ke arah utara. Bukankah di situ
letak Candi Miring yang dihuni mahluk halus bernama
Arwah Ketua bersama pengikut-pengikutnya?"
Kembali terdengar suara mendesis.
"Aku ingin sekali menyelidik ke Candi Miring.
Tapi tidak mudah bagi kita bisa masuk kesana.
Mendekat saja sulit." Sambil mengusap punggung
kura-kura hijau di atas kepalanya, orang yang bicara
yang bukan lain adalah Sri Sikaparwathi berkata lagi.
"Entah mengapa aku ingin menduga-duga. Apakah
ada kaitan Candi Miring dengan Sumur Api" Lalu
mengapa orang yang kita cari Pangeran Bunga Bangkai
dan dua sahabatnya lenyap begitu saja. Cahyo,
menurutmu apa mungkin Arwah Ketua di Candi Miring
adalah mahluknya yang menjadi pengendali cahaya
tiga warna yang selama ini kerap muncul. Dan setiap
muncul ada kejadian orang yang menemui ajal..."


Satria Lonceng Dewa 5 Meringkik Di Lembah Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kali ini tidak terdengar jawaban suara mendesis.
KETIKA Arwah Ketua mendengar keterangan yang
disampaikan Arwah Gelap Gulita mengenal jenazah
anak perawan di selatan Candi Miring, penguasa Candi
Miring ini langsung meminta robekan pakaian jenazah
yang dibawa Arwah Gelap Gulita.
"Sang surya tak lama lagi akan tenggelam. Malam
ini juga aku akan melakukan Samadi Menghimbau Jiwa
Kehidupan. Kau harus menemaniku. Kita akan
mendapat kejelasan apa yang sebenarnya terjadi."
Malam harinya, di salah satu menara candi Arwah
Ketua dan Arwah Gelap Gulita duduk berhadaphadapan.
DI lantai, di atas sehelai daun kering yang
dipotong berbentuk segi enam, terietak robekan
pakaian jenazah Wudhania. Langit di atas candi
91 tampak gelap, bulan sabit dan bintang tidak satupun
yang kelihatan. Hampir setengah malam kedua mahluk
penghuni candi itu melakukan samadi tiba-tiba daun
alas robekan pakaian jenazah memancarkan cahaya
biru lalu perlahan-lahan bergerak naik ke atas.
Sekira setinggi manusia berdiri robekan kain berhenti
lalu tampak sosok samar terbungkus cahaya biru.
"Jenazah anak perawan bernama Wudhania
unjukkan ujudmu. Roh di alam gaib masuklah ke
dalam jenazah. Aku Arwah Ketua penguasa Candi
Miring membutuhkan pertolongan. Berupa jawaban
dari beberapa pertanyaan... Para Dewa di Swargaloka,
Izinkan dan bantu kami berdua mengetahui
kebenaran. Demi keselamatan ibu dan dua bayi
pilihanMu yang ada di candi ini. Jiwa Kehidupan,
datanglah."
Sesaat setelah Arwah Ketua berucap dan menara
candi diselimuti kesunyian, sosok samar terbungkus
cahaya biru perlahan-lahan bergerak mundur ke sudut
menara. Sementara bergerak ujudnya berubah
menjadi jelas. Ternyata dia adalah sosok seorang anak
gadis berusia sekitar enam belas tahun. Sebagian
wajah, tubuh dan pakaiannya diselubungi tanah
kuburan. Di leher ada tanda biru. Sesekali kepala
mayat hidup ini terkulai ke samping. Sepasang mata
yang membeliak besar menatap tidak pernah berkedip
ke arah Arwah Ketua dan Arwah Gelap Gulita. Air muka
menunjukkan rasa takut yang amat sangat
"Jiwa kehidupan, tamu yang datang dari alam
barzah. Rohmu berada di tempat yang aman. Buang
jauh-jauh rasa takutmu."
Dua mata yang menatap mendelik perlahan-lahan
mengecil sayu dan mengedip.
"Anak gadis, apakah betul kau bernama Wudhania"
Gadis berasal dari Desa Jamburewo?" Arwah Ketua
mulai bertanya.
Mahluk di sudut menara perlahan-lahan mengEbook
by Tiraikasih ( Kang Zusi ), Scan by Syaugy_ar
92 angguk lalu kepalanya terkulai ke kiri. Dari mulutnya
keluar suara seperti orang tercekik. Arwah Ketua
melirik pada Arwah Gelap Gulita lalu kembali
mengajukan pertanyaan.
"Apakah benar kau masih perawan" Belum
pernah berhubungan badan dengan laki-laki?"
Kepala jenazah hidup yang terkulai bergerak
lurus lalu mengangguk. Setelah itu kembali terkulai.
Kali ini ke samping kanan.
"Ceritakan padaku apa yang terjadi dengan
dirimu... Bicaralah!"
Menunggu cukup lama mahluk yang ditanya baru
menjawab. Suaranya seolah datang dari sumur yang
dalam dan sesekali tersendat tercekik.
"Ada orang datang ke rumah. Dia mencekik leherku.
Aku mati. Mayatku dibawa pergi. Dikubur di satu
tempat. Satu hari kemudian kuburku dibongkar..."
"Siapa yang membongkar?" tanya Arwah Gelap
Gulita. "Orang yang sama yang sebelumnya
menguburku..."
"Lalu apa yang terjadi?" Arwah Ketua yang
bertanya. "Aku dibawa seperti terbang. Lalu dikuburkan
lagi di satu tempat. Aku tidak tahu apa yang terjadi.
Aku ditinggal begitu saja di dalam kubur. Tanah kubur
tidak ditimbun. Lalu orang itu pergi..."
"Jiwa kehidupan. Tamu yang datang dari alam
barzah. Ingat baik-baik, sebelum pergi apakah orang
Itu melakukan sesuatu..."
"Dia pergi begitu saja. Tidak mengambil sesuatu
dariku..."
"Harap kau mau mengingat lagi. Orang itu
mungkin tidak mengambil apa-apa dari dirimu. Tapi
mungkin sekali sebelum pergi dia melakukan
sesuatu..."
"Aku mengingat...aku mengingat..." Kepala
93 jenazah hidup itu terkulai ke belakang.
"Kau pasti bisa mengingat. Kau mampu mengingat
Kau mampu mengingat Katakan apa yang dilakukan
orang itu sebelum pergil" Arwah Ketua mendesak.
"Dia membungkuk ke samping tubuhku. Dia
aku ingat. Dia menggumpal tanah. Sekitar sebesar
tinju..." Arwah Ketua dan Arwah Gelap Gulita saling
berpandangan. Wajah dua mahluk alam gaib ini samasama
berubah. Satu kilatan cahaya api muncul di mata
Arwah Ketua. Lalu Arwah Ketua kembali bertanya.
"Berapa buah gumpalan tanah yang dibuat
orang itu?"
"Aku ingat..aku ingat Dua buah. Yah, dua buah.
Dia memegang satu di tangan kiri, satu di tangan
kanan lalu pergi begitu saja..."
"Kau tahu siapa orang itu" Pemah melihatnya
sebelumnya?"
"Tldak...tidak..."
"Kau bisa mengatakan bagaimana rupanya, keadaan
tubuhnya serta pakaian yang dikenakannya"'
"Orang itu tidak mengenakan pakaian. Aku
tidak tahu apakah dia laki-laki atau perempuan.
Mukanya polos licin. Tidak punya hidung, tidak
punya mata, tidak ada mulut. Telinga juga tidak
punya..." "Jahanam bergundal licik" menyumpah Arwah
Ketua. Dari mulutnya menyembur suara mengorok
keras. Setelah amarahnya reda dia laiu bertanya.
"Tamu jauh dari alam barzah. Apa lagi yang kau
ingat?" "Muka licin orang Itu memiliki tiga warna...."
Arwah Ketua dan Arwah Gelap Gulita tersentak.
"Apa?" tanya Arwah Gelap Gulita. "Ulangi
ucapanmu!"
"Orang bermuka polos licin itu wajahnya
berwarna. Ada tiga warna..."
94 "Kau ingat warna apa saja"!" tanya Arwah Ketua
menahan tegang bercampur marah.
"Merah, biru dan hitam..."
"Kurang ajari Mahluk yang sama lagi." Rutuk
Arwah Ketua. "Hekk....!"
Jenazah hidup di sudut menara keluarkan suara
tercekik. Mata mendelik. Lidah terjulur.
"Waktu kita habis..." kata Arwah Ketua. Dia cepat
angkat tangan kanannya sambil berucap. "Mahluk
kehidupan, tamu yang datang dan jauh. Terima kasih
kau telah membantuku. Selamat jalan. Semoga kau
kembali ke alammu penuh ketentraman. Semoga Para
Dewa akan memberikan tempat paling indah di alam
baka." Sosok jenazah Wudhania berubah samar
berselimut cahaya kebiruan. Sedikit demi sedikit
sosoknya lenyap, berubah menjadi robekan pakaian
lalu melayang dan kembali ke tempatnya semula di
atas daun kering di lantai candi.
"Arwah Gelap Gulita. Kita menghadapi bahaya
Besar. Ada mahluk yang akan menembus ke dalam
Candi Miring."
"Arwah Ketua, saya sulit mempercayai. Bagaimana
orang luar bisa mengetahui rahasia..."
"Ada yang berkhianat diantara kalian para
pembantukul Aku pasti akan menemukan siapa
mahluknyal"
"Mereka pasti mengincar dua bayi." Berkata
Arwah Gelap Gulita.
Arwah Ketua mengangguk. Kemudian sambil
sepasang mata bergerak berputar dia berkata. "Aku
merasa lantai candi bergetar!" Ucap Arwah Ketua
sambil mendongak ke langit hitam di atas candi. "Aku
juga mendengar auara desau aneh angin. Dari
samping selatan candi. Arwah Gelap Gulita, aku akan
95 melihat dua bayi dan ibunya serta Ratu Dhika Gelang
Gelang. Kau cepat menyelidik ke dinding selatan
candi' Dua mahluk gaib penghuni Candi Miring itu
sesaat kemudian lenyap dari pemandangan.
96 14. ARWAH GANJALAN CANDI LENYAP!
LAKSANA tiupan angin Arwah Gelap Gulita
berkelebat ke bagian atas dinding candi sebelah
selatan. Dari sini dia memperhatikan ke bawah. Sunyi
dan gelap. Tidak ada suara, tidak ada gerakan. Satusatunya
benda yang tampak di kejauhan adalah
sebatang pohon yang telah meranggas kering,
miring ke kanan siap menunggu tumbang.
Arwah Gelap Gulita memperhatikan sekali lagi. Kali
Ini sambil mengerahkan hawa sakti ke kepala. Tibatiba
mahluk ini tersentak.
"Aku merasa pasti. Sangat pasti..."
Secepat kilat Arwah Gelap Gulita yang
berperawakan tinggi besar dan memiliki rambut
berjingkrak seperti kawat lurus Ini melayang turun ke
tanah. Begitu menginjak tanah dua kakinya yang tidak
berkasut terasa panas. Matanya mendelik ke arah dua
benda yang tergeletak di tanah, hanya beberapa
jengkal dari dinding selatan candi.
"Bangkai kodok. Hyang Jagat Bathara Dewa. Apa
yang terjadi?" Arwah Gelap Gulita berteriak.
"Bagaimana mungkin. Aku sudah menutupi kawasan
candi dengan Ilmu Gelap Di Langit Gelap Di Bumi.
Kembali dia alirkan hawa sakti, kali Ini disertai tenaga
dalam ke kepala lalu dua mata menatap tajam
kebagian dasar candi. Untuk kedua kalinya pembantu
utama Arwah Ketua ini tersentak kaget, tidak
menunggu lebih lama lagi dia segera merapal aji
mengirim suara dari jarak jauh.
"Arwah Ketua, kita mengalami malapetaka besar."
"Kau menemukan apa"!" Cuara bertanya Arwah
Ketua mengiang di telinga Arwah Gelap Gulita.
"Arwah Muka Hijau yang selama Ini jadi ganjalan
97 candi tidak ada lagi di dasar dinding sebelah selatan!"
"Berarti ada dua bangkai kodok di sekitar situ"l"
"Betul sekali Arwah Ketuai Saya telah menemukan."
'Terapkan ilmu Arwah Memantek Roh. Aku akan
segera ke sana. Kita akan segera menemukan siapa
pelakunya!"
Arwah Gelap Gulita segera luruskan dua Jari tangan
kiri kanan. Diarahkan pada dua bangkai kodok
yang tergeletak di tanah. Dua larik sinar hitam menderu.
Dua bangkai kodok amblas masuk ke dalam
tanah. Saat itu juga tiba-tiba mengumbar suara tawa
bergelak di halaman selatan candi. "Penghuni Candi
Miringi Kalian bertindak terlambat. datanglah ke
halaman selatan candi! Kalian akan melihat ketololan
kalian sendiri! pada saat kalian berada di halaman,
aku Arwah Muka Hijau sudah sampai seribu tombak
jauhnya dari Candi Miring! Kalian boleh mengeluarkan
seribu ilmu Arwah Memantek Roh. Aku mau lihat apa
kalian bisa membuat aku amblas setengah badan ke
dalam tanah"! Ha..ha..ha.
"Arwah Muka Hijau! Kau boleh tertawa sepuasmu!
Arwah Ketua akan menjebol ubun-ubunmu. Menyedot
darahmul Balas berteriak Arwah Gelap Gulita.
Tiba-tiba satu cahaya hijau pekat membentuk
puluhan benda berupa pisau besar bermata dua
menderu dari balik dinding candi. Menyambar ke arah -
Arwah Gelap Gulita.
KETIKA Arwah Ketua sampai di halaman samping
candi bagian selatan kejutnya bukan kepalang. Di sini
dia menemukan Arwah Gelap Gulita terkapar di tanah.
Sekujur tubuh dalam keadaan tercabik-cabik dan
berwarna hijau. Memperhatikan ke bagian bawah
dinding candi, Arwah Ketua tidak melihat apa-apa.
98 Kosong. Sosok Arwah Muka Hijau yang selama ini ada
disana dijadikan ganjalan dinding miring lenyap tak
berbekas! "Melihat tubuh mayat berwarna hijau, Ini adalah
pekerjaan keji Arwah Muka Hijau. tapi Arwah Muka
Hijau belum punya kemampuan untuk mengalahkan


Satria Lonceng Dewa 5 Meringkik Di Lembah Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apa lagi membunuh Arwah Gelap Gulita secara cepat
pasti ada satu kekuatan dari luar yang membantu,
kalau tidak mana mungkin dia lolos deii himpitan
dinding candi" Arwah Ketua keluarkan suara mengorok
keras dan panjang. "Mahluk keji terkutuk Arwah Muka
Hijau kau tidak akan bisa lari Aku akan mengejarmu
sekalipun sampai di neraka ke tujuh." Teriak Arwah
Ketua. PADA saat dua bangkai kodok amblas ke dalam
tanah akibat hantaman dua larik sinar hitam yang
dilepas Arwah Gelap gulita. Arwah Muka Hijau yang
lolos dari himpitan dinding selatan candi Miring telah
berada di daerah selatan. Sesuai bisikan yang
didengarnya dia harus pergi ke sebuah tempat di barat
Pleret dimana terdapat sebuah candi kecil yang pada
bagian atas gapura depannya ada ukiran batu berupa
burung besar mengembangkan sayap.
"Duduk di tangga candi, sampai ada seseorang
datang menjemputmu. Sebelum orang itu datang kau
akan terlebih dulu melihat cahaya tiga warna keluar
dari dalam tanah."
Sebelum pagi datang, selagi malam gelap masih
dipagut udara dingin dan kesunyian, tidak sulit bagi
Arwah Muka Hijau yang aslinya bernama Cendadaluh
mencari candi yang dimaksudkan dalam bisikan. Maka
dlapun mendudukkan diri di tangga depan candi,
menunggu orang yang akci menjemputnya.
(Mengenal riwayat Arwah Muka Hijau dapat dibaca
daiam serial sebelumnya berjudul "Arwah Candi
99 Miring") Wajah mahluk berjubah hijau ini angker
mengerikan, dia tidak memiliki mata. hidung dan
mulut maupun telinga, pada bagian itu hanya terdapat
sayatan tipis dijahit benang hitam kasar, selain itu di
wajah dan beberapa bagian tubuhnya terdapat banyak
bekas luka yaitu akibat pertarungan dengan Ratu
Dhika Gelang Gelang hingga terkurung dalam Bubu
Ikan Berbisa. Namun kemudian senjata aneh
perangkap berbentuk ikan ini mencelakai Arwah Muka
Hijau sendiri (Baca serial pertama berjudul "Perawan
Sumur Api") ,
Tidak lama duduk menunggu di tangga candi,
dari arah timur tiba-tiba Arwah Muka Hijau melihat
ada bayangan samar putih sosok menyerupai manusia
mendatanginya. Sosok samar yang merupakan
seorang tua agak membungkuk mengenakan pakaian
selempang kain putih, berambut, janggut dan
berkumis putih Ini sampai dan berhenti di hadapan
Arwah Muka Hijau. Arwah Muka Hijau menduga-duga
tapi hatinya merasa bimbang.
"Mahluk yang akan menjemputku." Pikir Arwah
Muka Hijau. "Tapi mengapa tidak sesuai bisikan.
Mengapa tidak ada sinar cahaya tiga warna keluar dari
dalam tanah?" Sepasang mata yang berupa sayatan
garis dijahit benang hitam bergerak-gerak memperhatikan.
Hatinya mulai merasa tidak enak dan curiga.
"Mahluk gaib, kau siapa" Jika kau bukan mahluk
yang menjemput diriku lekas menyingkir pergi dari
sini." "Aku memang bukan Ingin menjemputmu, aku
datang sesuai kehendak Para Dewa. Jika kau mau
bertobat dan minta ampun pada penguasa Candi
Miring, maka kau akan diselamatkan dari kematian
kedua serta hukuman diganjal seratus tahun di bawah
dinding candi..." Sosok samar di hadapan Arwah
Muka Hijau menjawab. Suaranya Jelas suara orang
100 yang sudah berusia lanjut
Tentu saja Arwah Muka Hijau jadi terkejut
mendengar ucapan mahluk samar itu. Dia membentak
keras. "Pergi dari sini. Atau aku akan mengirim dirimu
kembali ke alam roh. dan kau tidak akan bisa keluar
lagi untuk selama-lamanya..."
"Jangan mengancamku. Aku datang bermaksud
baik untuk menyelamatkan dirimu. Walau di dalam
tubuh tua Ini sebenarnya ada dendam terhadap
dirimu..."
Arwah Muka Hijau dengan cepat bangkit berdiri.
tangan kanan diangkat ke atas, telapak yang telah
berubah menjadi hitam diarahkan pada mahluk samar
di hadapannya. "Ah..." mahluk samar menghela nafas panjang.
"Ilmu Serat Arang. Dengan ilmu ini dulu anak buahmu
yang bernama Setunggul Langit membunuhku!"
Arwah Muka Hijau terkesiap kaget. Mata
dibesarkan agar bisa melihat lebih jelas.
"Jadi...jadi kau adalah Dhana Padmasutral"
"Betul sekali, dulu kita saling bermusuhan.
Puluhan tahun. Tapi setelah berada di alam roh.
bagiku semua permusuhan itu habis sudch, malah
sekarang aku Ingin menolongmu. Bertobat pada Yang
Maha Kuasa dan minta ampun pada Arwah Ketua.
Maka kau akan diselamatkan dari malapetaka!"
"Dhana Padmasutra! Aku tidak perlu
pertolonganmu! Aku juga tidak merasa perlu untuk
bertobat. Semua apa yang terjadi adalah karena
hukum sebab akibat!"
Saat Itu juga tiba-tiba menggelegar suara tawa
bergelak. "Arwah Muka Hijau. Dosa kejahatan mu setinggi
langit sedalam kerak bumi! Kau masih bicara
sombong takabur! Mana ada pengampunan bagimu!
Malam ini kau bahkan telah membunuh seorang
101 pembantuku di Candi Miring!"
"Wussss!"
Satu gelombang angin luar biasa kencang
menyambar hingga sosok Arwah Muka Hijau yang
berdiri di tangga candi tergontai-gontai sementara
sosok samar Dhana Padmasutra bergerak naik ke
udara sambil keluarkan suara.
"Sayang sekali....sayang sekali! Kau lebih suka
menemui ajal kedua kali dalam kesesatan dari pada
mendapat pengampunan! Gendadaluh. jika takdir
Yang Maha Kuasa sudah menentukan memang tidak
satu manusiapun bisa mengelak diri. Termasuk kau."
Sosok samar Dhana Padmasutra lenyap.
Tiba-tiba ada satu mahluk besar luar biasa
melayang turun menjejak tanah. Candi kecil dan tanah
sekitarnya bergetar keras. Beberapa bagian atas candi
yang memang sudah lapuk runtuh ke tanah. Sesaat
kemudian di tempat itu berdiri satu sosok besar
memiliki tinggi sampai tiga kali candi. Mengenakan
jubah biru yang dadanya tidak dikancing. Berkepala
botak dengan satu tanduk tunggal yang
memancarkan cahaya merah, sepasang mata besar
menjorok keluar rongga. Hampir keseluruhan mata
berwarna putih karena bola matanya hanya
merupakan satu titik hitam kecil. Dari mulut mahluk ini
keluar suara menggembor. Tiupan nafasnya
memerihkan kulit dan mata. Inilah Arwah Ketua dari
Candi Miring. Jika dia muncul dalam ujud begini rupa,
itulah satu pertanda bahwa dia berada dlpuncak
kemarahan dan hanya kematian mahluk lain yang
dibencinya yang mampu menyurutkan amarahnya.
TAMAT Kerajaan Bhumi Mataram dalam bahaya. Sementara
dua bayi yang diharapkan menjadi kesatria
pamungkas belum mencapai usia tujuh bulan dan
102 keselamatannya nyawa mereka juga sangat terancam.
Mampukah pangeran Bunga Bangkai dan dua
sahabatnya keluar dari dalam tenung di hutan jati"
Siapa sebenarnya pengendali dibelakang layar yang
ingin menghancurkan Bhumi Mataram dan
bermaksud membunuh dua bayi" Ikuti cerita
selanjutnya berjudul:
SRI MAHARAJA KE DELAPAN
Pendekar Cacad 8 Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo Kitab Mudjidjad 14
^