Pencarian

Pangeran Bunga Bangkai 1

Satria Lonceng Dewa 3 Pangeran Bunga Bangkai Bagian 1


PANGERAN BUNGA BANGKAI
Di depan semak belukar lebat,
bersandar ke sebuah batu hitam duduk menjelepokdi tanah satu mahlukyang seumur
hidup baru kali itu dilihat Ratu Dhika Gelang Gelang. Jika manusia mana
kepalanya. Kalau hantu mengapa tubuhnya utuh seperti seorang manusia.
Sebagai pengganti kepala ada sekuntum bunga luar biasa besar berwarna kuning
berbintik coklat. Pada bagian tengah bunga mencuat kuncup berwarna hijau
setinggi tiga jengkal. Bunga aneh ini menebar bau busuknya bangkai yang membuat
Ratu Dhika Gelang Gelang hampir tidak sanggup menahan muntah.
"Bunga Bangkai..." ucap Ratu Dhika Gelang Gelang.
1 MAHLUK TANPA KEPALA
Rumah bambu berkolong tinggi beratap ijuk di lereng lembah kecil diselimuti
kesunyian. Saat itu rembang petang. Cahaya terik sang surya mulai memudar.
Ketika angin bertiup silir dari arah Gunung Merapi tiba-tiba satu bayangan putih
berkelebat dari arah timur lembah.
Gerakannya luar biasa cepat dan ringan.
Sesaat kemudian kelihatan seorang kakek berpakaian selempang kain putih,
berkalung semacam tasbih besar terbuat dari kayu cendana, berdiri di ujung atas
tangga rumah panggung, di hadapan sebuah pintu kajang yang tertutup.
"Salam sejahtera bagi penghuni rumah.
Sri Sikaparwathi, apakah kau ada di dalam?"
Orang tua tadi memberi salam. Dia menunggu jawaban sambil memandang berkeliling,
mengelus kumis dan janggut putih sementara rambut panjang menjela bahu melambai-
lambai tertiup angin. Ketika tidak ada jawaban dari dalam rumah, si kakek lantas
mengulang salamnya untuk kedua kali.
"Sri Sikaparwathi, salam sejahtera untukmu. Apakah kau ada di dalam rumah?"
Tiba-tiba dari dalam rumah bambu yang pintunya tertutup terdengar suara batuk-
batuk. Lalu menyusul ucapan perempuan.
Perlahan sekali hingga nyaris tidak kedengaran.
"Orang yang ada di luar. Jika kau adalah utusan Dewa untuk mencabut nyawaku,
silahkan lakukan sekarang juga. Lebih cepat lebih baik."
Paras orang tua di depan pintu serta meria berubah. Jantung berdetak, perasaan
langsung tidak enak
"Sikaparwathi" Benarsuaramu yang aku dengar" Mengapa lain sekali" Mengapa kau
berkata seperti itu?"
Tidak menunggu jawaban, orang tua itu mendobrak pintu kajang lalu menghambur
masuk ke dalam rumah. Di bagian dalam, rumah bambu itu hanya memiliki satu
ruangan. Di tengah ruangan ada sebuah tempat tidur terbuat dari bambu beralaskan
rumput kering. Orang tua yang barusan masuk ini tak percaya akan apa yang
disaksikannya. Di atas tempat tidur terbujur sosok seorang nenek berjubah warna
Jingga yang keadaan hampir sama rata dengan alas jerami kering. Tubuh kurus
kering, wajah pucat keriput. Sepasang mata yang cekung nyalang menatap ke atas,
ke arah atap. "Dewa Agung! Sika, apa yang terjadi dengan dirimu?"
Orang tua berselempang kain putih sampai berteriak karena terkejutnya melihat
keadaan nenek di atas tempat tidur itu. Jari-jari tangannya memegang keras bambu
pinggiran tempat tidur dan dalam menahan gelora perasaan jari-jari itu tidak
sengaja meremas hingga kraaakk!
Bambu pinggiran tempat tidur remuk di dua tempat.
Sepasang mata cekung perempuan di atas tempat tidur bergerak sedikit, berusaha
melirik ke arah orang tua yang tegak di sampingnya. Bibir yang kering bergerak
sedikit, mengeluarkan suara batuk baru berucap.
"Tubuhmu terlihat tidak jelas, wajahmu tampak samar.Tapi telingaku mengenali
suaramu. Bukankah kau Gede Kabayana sahabatku dari Klungkung Bali...?"
"Dewa Jagat Batara! Aku bersyukur kau masih mengenali diriku. Sikaparwathi
sahabatku, katakan apa yang terjadi dengan dirimu. Sepintas lalu aku melihat
sakitmu bukan sakit wajar."
Perempuan tua di atas tempat tidur bambu kembali batuk-batuk. Kali ini ada
lelehan darah mengucur di sela bibirnya.
Dengan cepat orang tua yang dipanggil dengan nama Gede Kabayana menyeka noda
darah itu mempergunakan ujung selempang kain putih pakaiannya.
"Kabayana, aku memang bukan sakit wajar. Aku menderita seperti ini karena ada
orang jahat menggandakan tubuh dan rohku lalu dibawa pergi untuk dipakai berbuat
jahat." Orang tua di pinggir tempat tidur terkesiap mendengar ucapan si nenek.
"Orang jahat menggandakan tubuh dan rohmu" Demi Dewa Agung! Baru sekali ini aku
mendengar hal seperti yang kau katakan! Itu adalah perbuatan luar biasa keji!
Tapi apakah ada orang yang begitu sakti di Bhumi Mataram ini hingga mampu
melakukan hal itu" Aku tidak percaya. Atau mungkin..." Gede Kabayana gelengkan
kepala. Lalu bertanya. "Kau sudah tahu siapa pelakunya dan sudah berapa lama hal
itu terjadi?"
"Aku tidak tahu siapa pelakunya.
Kejadiannya dua hari lalu."
Kembali Gede Kabayana dibuat
terkejut. "Baru dua hari dan keadaanmu sudah sangat sengsara seperti ini!" "Gede
Kabayana...."
"Sudah, kau jangan terlalu banyak bicara dulu. Aku akan menolongmu sebisaku.
Jika kau sudah sembuh kita sama-sama mencari siapa pelaku keji rtu!"
"Kau sahabatku paling baik. Tapi sebelum kau melakukan sesuatu aku ingin
bertanya dulu. Sekian belas tahun kita tidak pernah bertemu. Langkah peruntungan
apa yang membawa dirimu terpesat ke lembah tempat kediamanku ini?"
"Sebenarnya aku datang membawa kabar baik. Tapi dalam keadaanmu seperti ini
apakah kabar itu masih bisa mendatangkan kegembiraan pada dirimu..."
"Sebelumnya aku pasrah menerima kematian. Sekarang biarlah rasa gembira mungkin
menunda kematianku beberapa kejapan mata. Katakan, kabar apa yang hendak kau
sampaikan."
"Jauh-jauh aku tinggal di Klungkung.
Tiga purnama yang silam aku datang ke tanah Jawa. Dari seorang sahabat aku
berhasil mencari tahu dimana selama ini Sedayu Galiwardhana bersembunyi
mengasingkan diri. Orang
cari, dia tinggal dan bertapa di salah satu lereng Gunung Merbabu."
Wajah pucat si nenek berubah
bercahaya sekilas. Namun sesaat kemudian wajah itu tampak redup dan letih
seperti menahan beban yang sangat berat. Mulut yang tadi terbuka perlahan-lahan
mengatup seolah-olah sengaja dikancingkan, pertanda dia tidak mau bicara lagi.
"Sikaparwathi, apakah kau masih mendengarkan kata-kataku?" bertanya Gede
Kabayana. "Aku tidak ingin membicarakan orang itu..."
"Aaahhh..." Gede Kabayana hela nafas dalam. "Menggantang dendam asmara dalam
keadaanmu seperti ini sangat tidak baik, Sika..."
"Aku insan polos. Aku tidak pernah menaruh benci apalagi dendam terhadap
siapapun. Dendam asmara katamu..." Secuil senyum hampa menyeruak di bibir yang
kering. "Gede Kabayana, aku punya firasat buruk. Saat ini Sedayu Galiwardhana
sudah tidak ada lagi..."
"Maksudmu Sika?"
"Dia sudah mati. Mungkin sekali dibunuh oleh manusia jahat yang meminjam tubuh
dan rohku."
"Dewa Agung! Aku tidak berani berpikir sampai ke situ. Sikaparwathi, kau sakit
tapi pikiranmu tidak kacau?" Gede Kabayana usap kening Sri Sikaparwathi.
Terasa panas. "Dewa Agung memberi petunjuk padaku tadi malam melalui mimpi."
"Sika, kau orang cerdik orang pandai.
Jangan percaya pada mimpi."
"Aku juga punya dugaan kalau kura-kura hijau peliharaanku Raden Cahyo Kumolo
juga telah di gandakan secara gaib.
Dikendalikan untuk berbuat kejahatan.
Sudah dua hari aku tidak melihatnya. Aku tidak tahu dimana ujud asli kura-kura
itu berada. Entah masih hidup atau sudah menemui ajal."
"Sikaparwathi, aku sahabatmu. Aku akan..."
Si nenek potong ucapan Gede Kabayana.
"Sahabatku Gede Kabayana, kalau apa yang hendak kau sampaikan sudah semua,
tinggalkan tempat ini. Biarkan aku sendirian. Aku ingin menghadap Para Dewa di
Swargaloka dengan tenang dan sendirian..."
"Tidak bisa! Aku memohon dengan sejuta doa pada Para Dewa agar kau disembuhkan!"
Gede Kabayana pegang tasbih kayu cendana dengan tangan kiri.Ujung dua jari
tangan kanan lalu ditekankan ke batok kepala pada arah ubun-ubun Sikaparwathi,
pelipis kiri kanan, pertengahan dada lalu pada dua telapak kaki. Setiap dua
ujung jari itu menyentuh bagian tubuh yang ditekan maka mengepul asap kelabu
menebar harumnya bau kayu cendana.
"Tidurlah sahabatku, tidurlah. Para Dewa akan menolongmu. Para Dewa
menyayangimu. Para Dewa akan
menyembuhkanmu!"
Selesai kata-kata itu diucapkan Gede Kabayana maka sepasang mata Sri
Sikaparwathi yang sejak tadi nyalang nyaris tak berkesip kini merapat terpejam.
Nenek ini benar-benar memasuki alam tidur.
BEGITU sepasang mata Sri Sikaparwathi terpejam Gede Kabayana segera duduk
bersila di lantai rumah bambu dalam sikap siap untuk melakukan samadi. Memohon
petunjuk dari Yang Kuasa. Hanya sesaat setelah orang tua ini memulai samadinya,
di luar udara tiba-tiba berubah gelap.
Guntur menggelegar, kilat menyambung seolah hendak membelah langit. Tak lama
kemudian hujan lebat turun mengguyur kawasan lembah.
Pada saat itulah ketika udara dingin merambas masuk ke dalam rumah bambu, ketika
deru hujan dan tiupan angin kencang menutup pendengaran, sesosok mahlukaneh
muncul dalam keadaan basah kuyup di ambang pintu rumah bambu. Saat itu juga
udara di tempat itu dilanda bau luar biasa busuk. Mahluk yang datang bertubuh
manusia utuh mengenakan pakaian biru ringkas.
Namun mahluk ini tidak memiliki kepala sama sekati. Bahunya tertutup kelopak
lebar berbentuk bunga besar berwarna kuning berbintik coklat. Dari bunga inilah
keluar dan menebar bau busuk seperti busuknya bangkai. Pada bagian yang
seharusnya ada kepala hanya terdapat satu kuncup hijau setinggi tiga jengkal. Di
tangan kiri mahluk ini mengepit sebuah benda hijau yang ternyata adalah seekor
kura-kura. Dengan hati-hati mahluk busuk
berkepala bunga berbau bangkai ini letakan kura-kura hijau di samping sosok Sri
Sikaparwathi yang terbaring nyenyak di atas tempat tidur bambu. Sambil mengusap
punggung kura-kura hijau mahluk ini anehnya bisa mengeluarkan suara seperti
manusia. "Yang Kuasa telah menyelamatkan dirimu. Walau tubuh gandamu pernah hancur lulu
di tangan pertapa Sedayu Galiwardhana namun ujud aslimu tiada menerima cidera.
Karena kau tidak menyandang dosa maka Para Dewa mempertemukan diriku denganmu.
Aku membawamu ke tempat ini. Tidurlah bersama nenek pengasuhmu. Bila kelak
kalian terbangun, carilah kebenaran. Mudah-mudahan amal kecilku ini akan memberi
kemudahan bagiku untuk menemukan orang yang aku cari..."
Entah dari mana datangnya, lalat mulai muncul di tempat itu, hinggap di atas
kepala mahluk aneh yang merupakan sumber bau busuknya bangkai. Perlahan-lahan
bunga kuning berbintik coklat dan berkuncup hijau di atas bahu mahluk aneh
berputar ke arah Gede Kabayana. Lalu kembali terdengar suaranya berkata.
"Orang tua, aku tidak ingin mengganggu samadimu walau aku punya firasat, kau
adalah salah seorang yang bisa memberi petunjuk dimana dan siapa adanya orang
yang aku cari. Aku harus pergi. Yang Maha kuasa memberkahi kita semua..."
Mahluk aneh memutar tubuh. Sesaat kemudian sosoknya telah melesat keluar pintu
rumah bambu, melayang laksana terbang dibawah curahan hujan lebat dan lenyap
dari pemandangan.
2 SRI MAHARAJA KE DELAPAN
DIRIWAYATKAN dalam kisah terdahulu berjudul" Arwah Candi Miring" bagaimana Sri
sikaparwathi palsu jejadian bersama kura-kura hijau Raden Cahyo Kumolo yang juga
mahluk yang digandakan untuk kesekian kali dan berada di bawah kendalinya,
berusaha menyusup masuk ke dalam Sumur Api untuk menculik Ananthawuri yang
tengah mengandung besar. Bila mana dia berhasil menculik anak perawan desa
Sorogedug yang hamil secara gaib maka berarti dia akan dapat menguasai dua orang
bayi yang akan dilahirkan dan diramal bakal menjadi dua Kesatria sakti
mandraguna di Bhumi Mataram.
Namun di sebuah lobang batu yang menuju ke dasar Sumur Api mereka di hadang oleh
Naga Akhirat Raden Culo Dua. Walau si nenek dan kura-kuranya berhasil
menyelamatkan diri namun mereka terlempar keluar dari sumur gaib dan terdampar
di satu rimba belantara.
Sambil duduk menjelepok di tanah dan bersandar pada sebatang pohon dalam kecewa
sakit hatinya, Sri Sikaparwathi jejadian mengusap-usap kura-kura hijau yang
bertengger di atas kepala.
"Raden, kita masih belum beruntung.
Tapi kita tidak boleh putus asa. Kita pasti akan mendapatkan dua bayi itu. Suara
tangisan bayi yang aku dengar di dasar Sumur Api adalah suara tipuan untuk
memecah perhatian dan memperlambat gerakan kita. Aku yakin anak perawan desa itu
masih belum melahirkan. Kita akan mencari jalan untuk mendapatkannya. Dua bayi
itu harus kita dapati!"
Kura-kura hijau di atas kepala si nenek gerak-gerakan kepala beberapa kali
seolah mengerti apa yang dikatakan sang tuan. Tiba-tiba dari atas pohon besar
meluncur seekor tikus hutan berwarna hitam pekat. Sri Sikaparwathi baru tahu
kehadiran binatang itu ketika si tikus telah masuk ke balik jubah, merayap di
dada, turun ke perut, terus turun lagi ke bagian terlarang diantara dua pangkal
kaki dan mendekam di sana tidak bergerak-gerak.
Pekik si nenek bukan olah-olah.
Tubuhnya terlompat sampai kepalanya menghantam cabang pohon sementara kura-kura
di atas kepala saking kaget terpental jatuh ke tanah.
"Celaka! Celaka diriku!" Sri Sikaparwathi berteriak berulang kali sambil
menjingkrak-jingkrak kalang kabut.Tapi tikus nakal masih saja mendekam di tempat
semula. Tidak sabar dan tidak tahan rasa geli serta jijik, nenek ini singsingkan
jubahnya tinggi-tinggi. Tangan kanan diturunkan lalu disusupkan ke atas.
Sekail diremas tikus pohon mencicit keras lalu mati dengan tubuh hancur luluh.
Si nenek kibas-kibaskan tangan kanannya yang bergelimang darah. Sekujur tubuh
merinding. Muka pucat pasi seperti tidak berdarah lagi. Bersamaan dengan itu
perlahan-lahan tubuhnya menjadi lemas. Ada satu hal yang membuatnya sangat
takut. "Tubuhku terasa lemas. Aku seperti tidak punya tulang belulang. Aku tidak punya
kekuatan, tiada daya. Mungkin kesaktianku juga sudah lenyap...Binatang celaka
itu!" Sementara itu kura-kura hijau yang tadi terlempar dari atas kepalanya kini
mendakam tak bergerak di akar pohon.
Binatang ini juga tampak lemas tiada daya, nyaris tidak mampu bergerak. Dalam
keadaan Hal 18-19 Hilang
agaknya binatang ini juga telah kehilangan kekuatan dan kesaktian!
Tidak lagi mempedulikan kura-kura hijau itu, si nenek memutuskan untuk kabur
seorang diri. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, didahului satu lengking jeritan
keras dua tangan di kembang.
"Yang di bumi naik ke langit! Yang di langit turun ke bumi!" Sri Sikaparwathi
berteriak. Sri Maharaja Ke Delapan!Tolong diriku!"
Saat itu juga terjadilah satu hal yang hebat!
Dari langit satu benda memancarkan cahaya tiga warna melesat ke arah Sri
Sikaparwathi. Di saat yang sama tubuh si nenek melesat ke udara seolah ada yang
menarik. "Mahlukjahat! Kau mau lari kemana"
Riwayatmu cukup sampai disini!"
"Braakkk!"
Kepala botak bertanduk yang ada di tanah melesat ke atas di susul sosok besar
mengenakan jubah biru. Dada tersingkap dan dua tangan tertutup bulu lebat.
Begitu tinggi dan besarnya mahluk ini hingga kepalanya hampir mencapai pucuk
pohon besar yang ada di sebelahnya. Sekali tangan kanan yang besar bergerak,
leher Sikaparwathi sudah berada dalam ceng keramannya.
"Lepaskan! Jangan!" teriak Sikaparwathi berusaha
keras loloskan diri namun tidak punya kemampuan. "Arwah Ketua! Aku tidak punya
silang sengketa denganmu! Mengapa hendak membunuhku?"
Mahluk raksasa bertanduk merah menyeringai. Dia ternyata adalah Arwah Ketua dari
Candi Miring di bukit gersang!
"Berapa manusia tidak berdosa yang telah kau bunuh sejak kau muncul sebagai
mahlukjahat!"
"Mereka tidak ada sangkut paut dengan dirimu!"
"Bisa saja kau berkata begitu.Tapi mereka adalah orang-orang Bhumi Mataram yang


Satria Lonceng Dewa 3 Pangeran Bunga Bangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah berbakti pada Kerajaan. Mereka adalah orang-orang yang punya kewajiban
untuk menjaga dan melindungi masa depan Kerajaan. Sebaliknya kau malah hendak
menghancurkan Kerajaan!" Arwah Ketua keluarkan suara menggembor, meniup ke depan
hingga Sri Sikaparwathi merasa sepasang matanya luar biasa perih laksana
disayat-sayat. Dalam kesakitan si nenek mengancam.
"Kalau kau tidak melepaskan diriku maka Sri Maharaja Ke Delapan akan melumat
tubuhmu!" Arwah Ketua tertawa tergelak.
Mendekatnya cahaya tiga warna seolah memberi kekuatan pada Sri Sikaparwathi. Si
nenek hantamkan pukulan berantai ke arah dada Arwah Ketua hingga dada berbulu
itu bergoncang keras dan kelihatan bengkak matang biru pada bagian yang kena
dijotos. Saat itu pula cahaya tiga warna yang melesat turun dari langit menderu dahsyat,
menyambar ke arah Arwah Ketua. Di atas pohon terdengar suara berkerincing.
"Bummm!"
"Blaaar!"
Letusan keras menggelegar ketika tiga cahaya merah menghantam kepala Arwah Ketua
lalu bertebar lenyap di udara. Mahluk raksasa ini melesat ke tanah sampai
sedalam pinggang. Kepalanya yang botak pancarkan cahaya benderang menyilaukan
mata. Tanduk merah di atas kepala berpijar lalu leleh! Dari mata, telinga hidung
dan mulut mengucur darah. Leher Sikaparwathi yang tadi dicekal di tangan kanan
terlepas. Begitu lolos nenek ini cepat ambil langkah seribu.
"Perempuan celaka! Kucabik batang lehermu!"
Ada suara perempuan berteriak marah disusul dengan melesatnya satu bayangan
merah disertai suara mengeong keras. Sri Sikaparwathi menjerit keras. Seekor
kucing merah tahu-tahu telah bergelayutan dibahunya. Mulut menganga, deretan
gigi panjang runcing menancap dileher, dua kaki depan siap merobek tubuh.
"Ratu Dhika Gelang Gelang! Tahan serangan kucingmu! Aku perlu menanyakan sesuatu
pada mahluk celaka ini! Aku tak apa-apa! Semoga Dewa mengembalikan keadaanku
seperti semula!"
Arwah Ketua yang mukanya bergelimang darah usapkan tangan kiri ke atas kepala
dan seluruh wajah sambil mulut merapal doa. Saat itu juga seluruh cidera yang
dialaminya sembuh. Darah bukan saja berhenti mengucur tapi juga
lenyap.Tandukdi kepala yang tadi leleh kini kembali mencuat tegak memancarkan
cahaya meran. VVaiau di luar keadaannya puli! t seperti semuia namun Arwah Ketua
maklum kalau disebelah dalam dia mengalami luka yang cukup parah. Ini memaksanya
harus segera kembali ke Candi Miring. Maka Arwah Ketua cepat menggoyang bahu.
Tubuhnya yang terpendam di tanah sampai pinggang serta merta melesat keluar.
"Pus Meong Ragil Abang, kembali ke sini!" Kata-kata itu diucapkan oleh seorang
perempuan muda bertubuh gemuk subur berkulit hitam yang berdiri di dekat Arwah
Ketua. Dia berkata sambil tepukkan tangan kiri ke bahu kanan. Pus Meong Ragil
Abang si kucing besar yang siap membeset leher dan merobektubuh Sri
Sikapartwaihi setelah mengeong keras dengan cepat melompat ke atas bahu
perempuan gemuk. Perempuan ini mengenakan kemben merah yang bagian depan
belakang dibelah tinggi. Rambut dikonde di atas kepala, ditancapi sekuntum bunga
mawar merah yang tak pernah layu karena diberi semacam jelaga. Wajahnya yang
bundar tertutup dandanan tebal mendok.
Pergelangan tangan dan kaki dihiasi gelang emas diganduli kencingan. Setiap dia
membuat gerakan, empat gelang itu keluarkan suara berkerincing.
Sambil mematuk rambut ikal disamping telinganya, si gemuk berdandan mencorong
ini perhatikan wajahnya dalam sebuah cermin kecil yang dipegang di tangan kiri.
Seperti yang disebut oleh Arwah Ketua tadi, perempuan muda ini memang adalah
Ratu Dhika Gelang Gelang yang di Bhumi Mataram juga dikenal dengan julukan Ratu
Meong. Mendengar ucapan sang tuan, kucing besar Ragil Abang segera melompat ke bahu
perempuan gemuk itu. Di saat yang sama Arwah Ketua cepat jambak rambut Sri
Sikaparwathi hingga nenek ini tidak sempat melarikan diri.
Setelah membasahi bibirnya yang diberi pemerah dengan ujung lidah, Ratu Dhika
Gelang Gelang berbisik pada Arwah Ketua.
"Rakanda Arwah Ketua, mahluk satu ini luar biasa berbahaya. Mengapa tidak
dihabisi saat ini juga?"
"Aku memang ingin melakukan hal itu.
Tapi barusan dia menyebut sesuatu. Aku harus menyelidiki sebelum menghabisinya!"
Tangan Arwah Ketua yang menjambak rambut si nenek diangkat ke atas hingga muka
mereka saling berhadapan.
"Tadi kau berteriak minta tolong pada seseorang yang kau sebut Sri Maharaja ke
Delapan. Jelaskan siapa orang itu!"
Walau keadaannya sudah babak belur tapi Sri Sikaparwathi agaknya kembali timbul
keberanian. Sambil sunggingkan seringai dia berkata.
"Kalau kau mau membuat janji, aku akan katakan siapa yang kumaksud dengan Sri
Maharaja Ke Delapan."
"Apa pintamu"!" tanya Arwah Ketua.
"Rakanda, jangan sampai tertipu.
Perempuan tua ini liar seperti srigala, licin seperti belut!" Kata Ratu Dhika
Gelang Gelang mengingatkan.
"Radinda Ratu, aku tidak tolol,"
jawab Arwah Ketua. Dia perkencang jambakan rambutnya si nenek. Ayo lekas
bicara!" "Jika kau bersedia melepaskan diriku dan kura-kura hijau di akar pohon sana,
baru aku akan mengatakan siapa adanya Sri Maharaja Ke Delapan."
"Hemmm...begitu?" ujar Arwah Ketua.
"Ya, begitu!" jawab Sikaparwathi yang merasa berada di atas angin.
Arwah Ketua angguk-anggukkan
kepala.Tiba-tiba tangannya yang menjambak rambut Sri Sikaparwathi disentakan ke
depan, dihantamkan ke kepala botaknya!
"Praakkk!"
Tak ampun lagi kepala si nenek remuk nyaris rengkah. Begitu jambakan dilepas
sosok Sikaparwathi terbanting di tanah.
Setelah mengepulkan asap kelabu tubuh hasil pergandaan gaib ini lenyap dari
pemandangan. Di bawah pohon besar kura-kura hijau menyusup di dekat akar
keluarkan suara mencuit panjang. Sekali ulurkan kaki, Arwah Ketua injak binatang
itu hingga hancur dan amblas ke dalam tanah di susul dengan kepulan asap kelabu.
Arwah Ketua berpaling kepada Ratu Dhika Gelang Gelang.
"Rakadinda Ratu, aku harus segera kembali ke Candi miring. Waktuku berada di
dunia luar hampir habis. Aku mohon kau menyelidiki beberapa perkara. Pertama
cari tahu siapa manusianya yang disebut sebagai Sri Maharaja Ke Delapan oleh
perempuan tua jejadian itu. Kedua mahluk tadi diketahui berusaha masuk ke dalam
Sumur Api untuk menculik perawan desa pilihan Para Dewa.
Aku punya kecurigaan ada satu perkara besar di balik semua perbuatan Sri
Sikaparwathi. Hal ketiga kau melihat sendiri tadi ada cahaya tiga warna melesat
turun dari langit. Itu adalah ilmu kesaktian yang belum pernah ada di Bhumi
Mataram.Selidiki siapa pemilikdan pengendalinya...."
"Oala Rakanda Arwah Ketua. Banyak sekali pekerjaan yang kau berikan padaku.
Kau sendiri mau melakukan apa?" tanya Ratu Dhika Gelang Gelang lalu keluarkan
kaca kecil dan bercermin diri sambil merapikan letak rambut, mengusap pipi yang
medok tebal tertutup bedak merah. Orang lain sekalipun berkepandaian tinggi
tidak akan berani seenaknya bicara serta bersikap seperti itu terhadap Arwah
Ketua. Tapi Ratu Gelang Gelang sudah kenal lama dan sangat dekat bahkan
menganggap Arwah Ketua sebagai kakaknya bicara ceplas ceplos apa sukanya.
"Seperti aku katakan tadi, aku akan kembali ke Candi Miring. Bukan untuk
berlepas tangan tapi untuk menyimak apa yang saat ini terjadi di Bhumi Mataram.
Juga menyimak serta membantu tugasmu. Lalu yang paling penting adalah mencari
tahu dimana keberadaan Sri Sikaparwathi yang asli. Selain itu aku perlu
memeriksa keadaan diriku. Hantaman cahaya tiga warna tadi tidak mustahil
mendatangkan cidera dalam yang saat ini belum kelihatan..."
"Kalau begitu kata Rakanda Arwah Ketua aku menurut saja. Satu hal perlu aku
beritahukan kalau Sedayu Galiwardhana, orang tua sakti yang bertapa di lereng
Gunung Merbabu telah menemui ajal di tangan Sikaparwathi..."
"Aku sudah tahu. Aku juga tahu kalau diriku telah digandakan. Syukur para Dewa
telah melindungiku hingga ketika tubuh dan rohku yang digandakan meninggalkan
tubuh dan roh asli, aku tidak sampai sengsara menderita sakit. Namun aku kawatir
apakah Sri Sikaparwathi mampu bertahan. Sejak belasan tahun dia tidak pernah
bertemu dengan Sedayu Galiwardhana, sahabatku itu selalu dirundung sakit-
sakitan..."
Ratu Dhika Gelang Gelang menatap sekali lagi kedalam cermin lalu bertanya.
"Bagaimana Rakanda, apakah dandananku sudah rapi?"
Arwah Ketua pencongkan mulut. "Yang jelas wajahmu lebih cantikdariku.
Ha...ha...ha. Atau sekali-kali kau ingin bertukar wajah denganku?" Tidak
menunggu jawaban orang Arwah Ketua usap wajahnya dengan tangan kiri lalu tangan
yang sama diusapkan ke muka Ratu Dhika Gelang Gelang. Saat itu juga terjadilah
keanehan. Kepala Arwah Ketua kini berada di atas tubuh Ratu Dhika Gelang Gelang dan kepala
Ratu Dhika Gelang Gelang kini berada diatas tubuh Arwah Ketua.
Ratu Dhika langsung mengomel banting-banting kaki. Arwah Ketua sambil tertawa
mengekeh rubah kembali wajahnya dan wajah Ratu Dhika Gelang Gelang seperti
semula. "Rakadinda, tidak sepantasnya aku bercanda seperti ini. Aku pergi sekarang..."
"Tunggu, sekarang aku yang tak mau kelupaan bertanya." Kata Ratu Dhika Gelang
Gelang pula. "Kau mau bertanya apa?"
"Waktu tikus pohon masuk ke balik pakaian Sri Sikaparwathi, tua bangka itu
kulihat langsung pucat, lemas dan ketakutan. Dan kau mengatakan dia telah
tertimpa barang pantangan hingga tidak punya kekuatan dan kesaktian lagi. Yang
aku ingin tahu pantangan apa yang telah menimpa perempuan tua itu?"
Arwah ketua tertawa lebar.
"Kalau kau memang ingin tahu baik aku beri tahu. Ilmu kesaktian yang dimiliki
Sri Sikaparwathi akan luntur bilamana ada mahluk hidup bersentuhan dengan bagian
bawah perutnya..."
"Bagian perut yang mana?" Ratu Dhika Gelang Gelang ingin lebih jelas.
"Aku tidak akan menyebutkan. Kau pikir saja sendiri. Kau juga punya!
Ha...ha..ha."
Ratu Dhika Gelang Gelang ikut
tertawa. "Kalau memang disitu letak kelemahan dan pantangan si nenek mengapa tidak kau
saja yang menyentuh tempat terlarang itu!
Kau juga mahluk hidup! Malah akan lebih cepat perempuan itu menemui ajalnya!
Begitu saja repot! Tapi eh...Jangan-jangan tadi kau yang merubah diri menjadi
tikus pohon itu!
Hik...hik...hik!"
Tidak tahan diganggu perempuan gemuk berdandan medok itu Arwah Ketua berkata.
"Aku pergi sekarang." Dia memutar tubuh tapi tak jadi. Masih ada satu hal yang
terlupa..."
"Ah, dari dulu kau selalu punya sifat begitu Rakanda." Kata Ratu Dhika Gelang
Gelang sambil simpan cermin kecil. "Apa lagi yang hendak kau tanya atau kau
sampaikan..."
"Ini menyangkut hubungan pribadi mu..." "Aku sudah menduga. Maksud Rakanda
hubunganku dengan pemuda ahli perawat ukiran candi itu bukan" Pemuda bernama
Sebayang Kaligantha."
"Benar sekali Rakadinda. Cari dan temui dia. Aku tahu dia memiliki sebuah jimat
sakti. Jika yang memegang jimat orang baik maka jadilah benda itu benda baik
bermanfaat untuk menolong sesama manusia. Tapi jika berada di tangan orang
jahat, jangankan manusia Bhumi Mataram ini bisa dibinasakannya!"
"Baik Rakanda Arwah Ketua. Aku akan mencari pemuda itu..."
"Kau pasti bisa cepat menemukannya.
Bukankah dia kekasihmu" Atau salah aku menyebut?" Habis berkata begitu Arwah
Ketua tertawa gelak-gelak. Lalu dia memutar tubuhnya yang besar, siap hendak
tinggalkan tempat itu tapi lagi-lagi dia berbalik.
"Pasti ada yang kau lupakan lagi!"
ucap Ratu Dhika Gelang Gelang. "Kau bisa-bisa membuat kucingku Ragil Abang
terkencing-kencing!"
"Rakadinda, apa kau tahu kalau dua orang aneh yang aku beri tahu padamu tempo
hari sudah muncul di Bhumi Mataram?"
"Maksud Rakanda si Tambur Bopeng dan si Suling Burik?"
Arwah Ketua anggukkan kepala.
"Sudah Rakanda. Aku melihat sendiri.
Mereka muncul sewaktu pertapa Sedayu Galiwardhana tewas di tangan Sri
Sikaparwathi yang menggandakan diri menjadi Rakanda. Aku menyaksikan sendiri
mereka membuat makam dan mengubur pertapa malang itu secara aneh. Suling dan
tambur bisa membuat lobang besar di tanah. Ke dalam lobang itu mereka memasukkan
jenazah pertapa Sedayu Galiwardhana."
"Aku belum dapat meyakini, di pihak mana kedua orang aneh itu berada.Tapi jika
melihat mereka mau bersusah payah menguburkan sang pertapa, agaknya mereka
adalah orang baik-baik. Rakadinda, aku harus pergi sekarang." (Mengenai dua
orang aneh ini bisa dibaca kembali dalam riwayat sebelumnya berjudul "Arwah
Candi Miring") Tubuh raksasa Arwah Ketua kepulkan asap putih lalu amblas masuk
ke dalam tanah dan lenyap tanpa bekas.
3 MENCARI SANG PENGENDALI
PADA saat mahluk ganda jejadian Sri Sikaparwathi dan kura-kura hijau Cahyo
kumolo menemui ajal, rumah panggung yang terbuat dari bambu bergoyang keras
berderak-derak. Atap dari ijuk terhempas terulang kali. Dari atas wuwungan
bangunan ini keluar secarik cahaya tiga warna, melesat ke langit. Di dalam rumah
bambu, atas tempat tidur sosok Sri Sikaparwathi asli bergoncang hebat dan
mengepulkan asap hitam. Kura-kura hijau yang ada di sampingnya keluarkan suara
menguik panjang.
Di samping tempat tidur, masih bersila di lantai dalam keadaan bersamadi, tubuh
Gede Kabayana tampak bergoncang lebih hebat dari goncangan yang dialami Sri
Sikaparwathi. Hal ini karena dalam keadaan seperti itu orang tua ini masih
sanggup kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti untuk melndungi diri. Ternyata
kekuatan yang datang dari luar jauh lebih tinggi dari kekuatan yang dimilikinya.
Ketika pertahanannya jebol, orang tua ini jatuh terlentang di lantai rumah.
Masih untung dia tidak menderita cidera apa-apa.
Di atas tempat tidur tiba-tiba Sri Sikaparwathi tersentak bangun dari tidurnya,
bergerak bangkit dan duduk.
Wajahnya yang pucat tampak mulai berdarah.
Sepasang mata cekung memandang berkeliling. Kura-kura di atas tempat tidur
ulurkan kepala. Sepasang matanya tampak merah bersinar.
"Cahyo Kumolo, kau tidak apa-apa?" Si nenek usap punggung atas kura-kura hijau.
Binatang ini menguik panjang lalu melesat ke atas dan bertengger di atas kepala
Sri Sikaparwathi.
"Ah, kau juga mendapat kekuatanmu kembali.Apa yang terjadi. Mengapa tubuhku
bergoncang hebat. Rumah ini seperti mau roboh..." Memandang ke samping kanan dia
melihat Gede Kabayana tergeletak di lantai. Dengan cepat si nenek turun dari
tempat tidur. Dia memeriksa tubuh Gede Kabayana lalu memijatnya di beberapa
tempat. Sesaat kemudian
sahabat dari Klungkung ini siuman dan duduk di lantai. Seperti si nenek dia juga
heran dan bertanya-tanya dalam hati apa yang telah terjadi.
"Gede Kabayana, aku berterima kasih padamu. Pasti kau yang telah menolong diriku
hingga bisa mengalami keadaan seperti ini. Aku merasa kekuatan diriku mulai
pulih..." Gede Kabayana gelengkan kepala.
"Tidak bukan aku yang menolongmu. Samadiku belum rampung. Tiba-tiba ada satu
kekuatan menggoncang bangunan ini.Termasuk menggoncang diriku dan tubuhmu!
Sesuatu telah terjadi. Bukan disini.Tapi akibatnya membawa kesembuhan pada
dirimu. Juga pada kura-kura hijau di atas kepalamu. Ini pasti kuasa tangan Para
Dewa yang telah melakukan. Aku hanya bisa menduga. Mahluk ganda yang menyerupai
dirimu dan kura-kura telah menemui kemusnahan..."
"Kau tahu kira-kira siapa yang rhelakukan?" tanya Sri Sikaparwathi.
"Sulit sekali menduga apa lagi memastikan. Cuma satu hal sangat aku kawatirkan.
Gagal dengan diri dan binatang peliharaanmu, orang jahat yang memegang kendali
ilmu kesaktian itu akan mengulangi perbuatannya. Melakukan lagi atas diri orang
lain. Apa lagi jika maksud tujuannya belum kesampaian."
"Kita harus mencari tahu siapa orang jahat itu, apa maksud tujuannya
menggandakan diriku! Aku yakin mahluk diriku yang digandakan telah dikendalikan
untuk melakukan kejahatan. Mungkin juga aku telah melakukan pembunuhan..."Tiba-
tiba Sri Sikaparwathi keluarkan suara tercekat. Mukanya yang tadi mulai berdarah
kini mendadak pucat dan tangan pegang"
dada. Bahunya bergoyang dan nenek ini mulai terisak-isak lalu menangis keras.
"Ada apa Sika?" tanya Gede Kabayana sambil mendekat dan pegangi bahu si nenek.
"Aku ingat mimpiku. Aku merasa yakin kalau diri gandaku telah membunuh Sedayu


Satria Lonceng Dewa 3 Pangeran Bunga Bangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Galiwardhana..."
Gede Kabayana jadi ternganga
mendengar ucapan sahabatnya itu. Kuduknya merinding dingin.
"Sika. Jika kau sudah sembuh betul kita akan menyelidiki kejadian ini.
Goncangan aneh membuat samadiku tidak khusuk. Aku sempat melihat ada cahaya tiga
warna' keluar dari tubuhmu, melesat keluar rumah melalui atap tanpa atap
mengalami kerusakan atau terbakar. Itu adalah tanda-tanda ilmu hitam yang jahat
luar biasa..."
Sri Sikaparwathi usap air mata di pipinya yang cekung.
Gede Kabayana, kita harus berterima kasih dan bersyukur pada Para Dewa. Walau
menderita sakit sengsara selama dua hari namun Para Dewa masih melindungi dan
menyelamatkan diriku. Mari kita sama-sama memanjatkan puji syukur serta berdoa
bagi keselamatan masa datang..."
Kedua orang itu lalu pejamkan mata, menyampaikan rasa terima kasih serta berdoa
pada Para Dewa memohon keselamatan.
Selesai berdoa Gede Kabayana berkata.
"Sika, apakah kau tidak mencium bau sesuatu di dalam rumah ini?"
Si nenek menatap wajah sahabatnya itu lalu menghirup udara dalam-dalam. Wajahnya
berubah. "Aku mencium seperti ada bau busuk bangkai. Mungkin bau tubuhku." Si nenek lalu
menciumi tubuh dan pakaiannya sendiri.
"Bukan, ini bukan bau busuk yang bisa muncul dari dalam rumah.Tapi datang dari
luar rumah." Kata Gede Kabayana pula.
"Berarti ada seseorang atau mahluk yang masuk ke sini.Tapi kapan?"Tanya Sri
Sikaparwathi. "Mungkin sekali ketika kau tengah tertidur lelap dan aku sedang bersamadi."
"Kurasa rumah ini sudah tidak aman lagi. Aku harus mencari tempat kediaman
baru." Kata Sri Sikaparwathi. Dia mengusap punggung kura-kura hijau di atas
kepala. Tak sengaja kemudian tangannya yang habis mengusap di letakkan di depan hidung.
Si nenek terkejut. "Punggung Cahyo Kumolo!
Bau busuk!"
"Berarti ada satu mahluk busuk membawanya ke sini..." kata Gede Kabayana.
"Cahyo Kumolo, berikan tanda padaku kalau memang ada satu mahluk busuk yang
membawamu ke sini."
Kura-kura di atas kepala keluarkan suara menguik memberi tanda sebagai jawaban!
"Kau dengar sendiri," kata si nenek pada sahabatnya.
"Siapa pun mahluk busuk itu aku rasa dia tidak punya niat jahat. Karena kalau
dia membekal niat jahat kita berdua pasti sudah dihabisi." Ucap Gede Kabayana.
"Cahyo Kumolo"!" Sikaparwathi bertanya lagi pada kura-kura sakti peliharaannya.
Binatang itu untuk kedua kali menguik panjang. Membenarkan ucapan Gede Kabayana
bahwa mahluk busuk yang membawanya kembali ke rumah tidak punya niat jahat.
"Berarti ada tambahan tugas. Kita harus mencari tahu siapa mahluk busuk bau
bangkai itu." Kata Sri Sikaparwathi pula lalu melangkah ke pintu.
Gede Kabayana berdiri. Sambil tegak disamping sahabatnya orang tua ini berkata.
"Sika, selain datang untuk memberi tahu mengenai dimana beradanya Sedayu
Galiwardhana, aku juga membawa satu cerita yang ingin aku tanyakan
kebenarannya."
"Cerita apa?"
"Riwayat Sumur Api. Konon dikabarkan akan terlahir dua orang bayi yang kelak
akan menjadi dua Kesatria sakti andalan Kerajaan Bhumi Mataram..."
Sri Sikaparwathi palingkan wajah, menatap Gede Kabayana beberapa lama lalu
berkata. "Sebelum kau menjelaskan aku tidak pernah tahu dimana beradanya Sedayu
Galiwardhana, namun aku pernah menyirap kabar bahwa Sedayu memiliki sebuah benda
yang ada sangkut pautnya dengan Sumur Api.
Mungkinkah dia dibunuh oleh pengendali mahluk ganda diriku karena benda
tersebut?"
"Gading bersurat. Benda itukah yang kau maksudkan Sika?"
Si nenek anggukan kepala.
"Gede Kabayana, saat ini aku merasa sudah cukup kuat. Bagaimana kalau kita
berdua melakukan penyelidikan mulai sekarang juga?"
"Tidak perlu menunggu barang satu dua hari" Kulihat wajahmu masih agak pucat."
Sri Sikaparwathi tertawa.
"Mudah-mudahan Para Dewa kelak akan memberikan kesembuhan sempurna padaku dalam
perjalanan."
Kedua orang bersahabat itu lalu tinggalkan rumah panggung di lereng lembah.
4 HUKUM KUTUKAN ATAS SANG PANGERAN
MAJELIS Keadilan Kerajaan Tarumanagara yang terdiri dari sembilan tokoh penting
dalam sidangnya di Kotaraja pada pagi hari yang mendung itu mengambil keputusan
menjatuhkan hukuman terhadap Pangeran Nalapraya. Keputusan yang dituangkan di
atas daun lontar bertuiiskan huruf Palawa dalam bahasa Sansekerta dibacakan oleh
Ketua Mejelis, Resi Siga Kalamanda.
Dalam keputusan disebutkan bahwa Pangeran Nalapraya dijatuhi hukuman pancung di
alun-alun Kerajaan karena terbukti telah melakukan pembunuhan atas diri
Wiramenggala yang juga adalah ayah kandungnya sendiri dan merupakan Wakil Patih
Kerajaan. Sebagai seorang Pangeran adalah tidak pantas dia melakukan perbuatan
keji seperti itu. Kepada terhukum Majelis Keadilan memberikan kesempatan untuk
menyampaikan pembelaan.
Dalam pembelaan Pangeran Nalapraya mengatakan bahwa dia tidak mengakui telah
membunuh ayah kandungnya sendiri. Walau demikian dia menyatakan penyesalan
terjadinya kematian sang ayah. Namun karena merasa tidak bersalah maka dia tidak
meminta pengampunan.
"Kenyataan memang ada korban yang menemui kematian yaitu Wiramenggala yang
adalah ayah kandung saya sendiri. Namun saya mempunyai kesan, Majelis Keadilan
terlalu memaksakan hukuman mati atas diri saya karena korban adalah Wakil Patih
Kerajaan. Padahal saksi yaitu ibu saya sendiri telah menjelaskan bahwa korban
bukan menemui ajal karena saya bunuh, melainkan karena kecelakaan. Selain itu
Majelis Pengadilan tidak meninjau secara dalam alasan mengapa korban akhirnya
menemui kematian. Sejakdua tahun terakhir ayah telah berlaku sangat kejam
terhadap Ibu. Ucapan kotor adalah yang sering dilontarkan korban merupakan
makanan sehari-hari bagi Ibu. Dari hanya sekedar ucapan kotor
perlakuan korban meningkat menjadi tindak kekerasan berupa penamparan bahkan
pemukulan. Hai ini terjadi hampir setiap hari. Majelis Keadilan dan semua orang
yang ada di sini bisa melihat sendiri keadaan Ibu saya yang hadir di tempat
ini." Lalu Pangeran Nalapraya menunjuk ke arah seorang perempuan yang duduk menangis
terisak-isak di sebuah kursi. Wajahnya sembab bengkak dan ada beberapa luka yang
masih belum kering.
"Pagi hari satu minggu yang lalu, korban bukan lagi hanya memukuli ibu tapi
berniat hendak membunuh Ibu dengan sebilah keris, hanya karena Ibu terlambat
menyiapkan sarapan pagi. Padahal Ibu saat itu sedang gering, menderita sakit
demam panas. Saya berusaha mencegah namun korban dengan semena-mena menikam
saya..." Pangeran Nalapraya lalu membuka lebar-lebar baju birunya di bagian dada.
Pada bagian tubuh itu terlihat jelas luka bekas tusukan benda tajam sepanjang
hampir setengah jengkal.
"Ketika saya berlumuran darah dan jatuh terlentang, korban tanpa belas kasihan
sama sekali mendatangi Ibu, membanting Ibu ke lantai. Selagi Ibu terkapar tidak
berdaya korban bergerak hendak menusuk ke arah leher. Saya berusaha
menyelamatkan Ibu dengan menendang korban hingga jatuh terguling.
Pada saat terguling keris yang di pegang korban sendiri secara tak sengaja
menusuk dada dan menghujam tepat di arah jantung.
Korban akhirnya tewas. Jelas seperti yang disaksikan sendiri oleh Ibu peristiwa
itu adalah kecelakaan. Namun Majelis Keadilan menyebutnya sebagai pembunuhan
tanpa dapat mengajukan saksi yang membenarkan tuduhan tersebut. Karena yang
terjadi adalah kecelakaan maka saya tidak akan mengajukan pembelaan, juga tidak
akan meminta ampun.
Saya di sini hanya menyatakan menyesal telah terjadinya peristiwa yang sangat
tidak diharapkan itu. Selanjutnya saya tidak mengharapkan tanggapan Majelis
Keadilan atas apa yang saya sampaikan ini.
Saya menyatakan siap menerima hukuman dipancung di alun-alun di depan Istana
sekarang juga! Biarlah ketidak adilan disaksikan oleh. semua orang di Kerajaan
ini. Dan tangan-tangan mereka yang berdarah semoga akan dibasuh oleh keadilan
yang datang dari Para Dewa."
Ibu pangeran Nalapraya langsung menjerit lalu tersandar di tempat duduk setengah
sadar setengah pingsan. Suasana persidangan menjadi kacau. Orang banyak yang ada
dalam ruangan sidang berteriak-teriak gaduh. Mereka menghujat, mencaci maki
Majelis Keadilan karena dianggap telah telah menjatuhkan hukuman semena-mena.
Mereka meminta agar Pangeran Nalapraya segera dibebaskan.
Sementara gedung sidang menjadi kacau dan panas, di luar gedung hujan dengan
lebatnya. Deru angin keras tiada henti.
Sesekali kilat menyambar disusul gelegar suara guntur. Alam seolah ikut meratapi
terjadinya ketidakadilan ini.
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba ruangan sidang diterangi oleh seberkas
cahaya terang yang entah dari mana datangnya. Cahaya itu menyorot ke arah
sembilan anggota Majelis Keadilan dan Ketua Majelis Siga Kalamanda. Lalu ada
getaran aneh di lantai, dinding serta langit-langit ruangan sidang. Sesaat
kemudian terdengar gema suara yang membuat banyak orang jadi kecut merinding.
"Selama ini manusia tidak pernah menerapkan keadilan dengan benar, maka selama
itu pula tangan Para Dewa akan turun ke bumi. Hukuman pancung atas diri Pangeran
Nalapraya tidak akan menghidupkan kembali Wakil Patih Kerajaan Wiramenggala.
Malah hanya akan menambah jatuhnya satu korban lagi. Para Dewa di Swargaloka
telah menetapkan bahwa Pangeran Nalapraya yang berusia delapan belas tahun hanya
pantas dihukum dengan kutukan selama sepuluh tahun. Bilamana sebelum masa
hukuman kutuk itu berakhir dia menemukan seorang anak perawan yang bersedia
dinikahinya maka kutukan akan berakhir. Tiada tuntutan lagi yang boleh
dijatuhkan atas dirinya."
"Roh Agung!" Ada beberapa orang di dalam ruangan sidang berseru dengan suara
tercekat. Begitu mendengar suara tanpa
kelihatan ujud orang yang bicara, semua orang yang ada di ruang sidang tundukkan
kepala. Para anggota Majelis Keadilan tampak ketakutan. Orang banyak berteriak
dan menunjuk-nunjuk ke arah sepuluh orang itu. Apa yang terjadi. Sembilan mulut
anggota Majelis Keadilan ditambah sang Ketua Siga Kalamanda saat itu tampak
pencong ke kiri. Ketika mereka berusaha bicara yang keluar hanya suara cadel!
Sepuluh orang ini langsung jatuhkan diri ke lantai ruangan, tempelkan kening di
lantai berulang kali dan keluarkan ucapan yang tidak jelas. Agaknya mereka
tengah menyeru Para Dewa mohon pengampunan. Namun apa yang mereka mohon tidak
terjadi malah orang banyak di ruangan itu terus memaki dan menyoraki mereka!
Pangeran Nalapraya adalah satu-satunya orang di ruang sidang yang masih tetap
berdiri tegar. Setelah merunduk setengah berlutut pemuda gagah ini membuka mulut
dengan suara lembut tapi jelas sehingga orang mendengar.
"Mahlukyang bicara tanpa kelihatan ujud. Salam sejahtera untukmu. Tiada
kekuasaan tertinggi selain kuasaNya Para Dewa. Saya percaya hukum kutuk yang
tadi diucapkan datangnya dari Swargaloka. Saya ikhlas menerima. Karena itu saya
mohon diberi tahu hukum kutuk apa yang akan dijatuhkan pada diri saya."
"Pangeran Nalapraya, salam sejahtera berbalas bagi dirimu. Masuklah ke Hutan
Raja. Saat ini baru saja memasuki musim penghujan. Kau akan melihat banyak
sekali bunga-bunga mengembang. Carilah bunga bunga paling besar di dalam Hutan
Raja dan menebar busuknya bau bangkai. Pegang kuncup hijaunya. Maka seperti
itulah ujud hukuman akan jatuh atas dirimu. Kepalamu mulai dari leher ke atas
akan lenyap dan berganti menjadi bunga besar berbau busuknya bangkai! Bilamana
kutuk telah jatuh atas dirimu dan kau telah mengalami perubahan, tinggalkan
Kerajaan ini, pergilah ke arah timur hingga akhirnya kau menemukan sebuah
Kerajaan bernama Bhumi Mataram. Menetaplah di sana sampai Para Dewa memberi
petunjuk lebih lanjut atas dirimu. Perlu kau ketahui, bilamana Para Dewa
menghendaki, sewaktu-waktu kau menjalani hukuman, ujud kepalamu bisa kembali
untuk beberapa ketika."
Tidak lagi memperdulikan Majelis Keadilan, Nalapraya menemui ibunya, memeluk dan
mencium kening perempuan itu dan berkata "Ibu, maafkan anakmu. Jika Para Dewa
menghendaki kita pasti akan bertemu."
Sang ibu menjerit keras. Sebelum jatuh pingsan perempuan ini berteriak.
"Roh Agung. Hyang Jagat Bathara Dewa!
Siapapun yang hadir di tempat ini secara gaib. Puteraku Nalapraya tidak berdosa!
Aku mohon biar diriku yang menerima hukum kutukan! Jangan hukum kutukan
dijatuhkan atas dirinya!"
Untuk kedua kalinya perempuan ini rubuh dan kali ini dia benar-benar pingsan.
Dengan menguatkan hati Pangeran Nalapraya tinggalkan ruangan sidang.
Setengah berlari dia pergi memasuki Hutan Raja yang terletak di pinggir selatan
Kotaraja. Beberapa orang mengikuti.
Kebanyakan dari mereka adalah para sahabat dan tetangga si pemuda. Ketika sampai
di dalam Hutan Raja orang-orang itu tidak berhasil menemui sang Pangeran. Selain
itu sebuah bunga besar yang disebut Bunga Bangkai dan selama ini terlihat tumbuh
di dalam Hutan Raja dekat sebuah kolam, kini tidak kelihatan lagi. Lenyap tidak
diketahui kemana perginya.
Seekor burung gagak hitam berdiri di atas sebuah batu besar tak jauh dari tempat
beradanya Bunga Bangkai. Burung ini tiada henti mematuki batu keras itu hingga
akhirnya berlubang. Dari lubang itu mengucur keluar air sangat bening. Seolah
air mata yang meratapi nasib peruntungan malang pemuda bernama Nalapraya.
Sejak hari itu pula Pangeran
Nalapraya tidak pernah terlihat lagi diTarumanegara.
5 PERNIKAHAN GAIB
SATU purnama setelah peristiwa jatuhnya hukum kutukan atas dirinya, Nalapraya
sampai di sebuah desa bernama Tegal rejo. Karena tidak tahu mau pergi kemana
atau menemui siapa akhirnya pemuda ini mencari satu tempat yang baik untuk
beristirahat. Nalapraya menemukan sebuah goa begitu sunyi, juga agaknya jarang
orang mendatangi tempat itu. Ditambah pula keadaan goa yang bersih dan sejuk
serta tak jauh dari situ ada satu rimba belantara yang ditumbuhi banyak pohon
bebuahan lalu terdapat pula sebuah telaga kecil maka pemuda ini memutuskan untuk
menjadikan goa tersebut sebagai tempat kediaman sementara hingga dia menemukan
tempat yang lebih baik.
Beberapa hari berada di goa ternyata Nalapraya merasa kerasan hingga akhirnya
dia menjadikan goa itu sebagai tempat kediaman selamanya sekaligus menjadi
tempat pertapaan sampai petunjukdari Yang Maha Kuasa datang.
Memasuki tahun kedua.pertapaannya di goa Tegalrejo itu, Nalapraya yang kepalanya
masih berujud Bunga Bangkai, pada suatu malam ketika dia tengah khusuk bersemedi
tiba-tiba ada seberkas cahaya putih berbentuk bola masuk ke dalam goa dan turun
di atas pangkuannya.
Walau hati bergejolak namun Nalapraya berusaha bertahan agar tapa samadinya
tidak terhenti. Pada saat itu dia mendengar suara mengiang di telinganya kiri
kanan. "Anak perjaka pilihan Para Dewa.
Sudahi tapa samadimu sekarang juga. Buka dua matamu dan lihat apa yang ada di
pangkuanmu."
Nalapraya coba untuktidak mengambil perhatian dan tidak mengikuti perintah suara
gaib itu. Namun serta merta sekujur tubuhnya menjadi panas. Kuncup hijau di
kepalanya mengepulkan asap, bunga kuning berbintik coklat di atas bahu menciut
mengeriput. Getaran keras menyelimuti sekujur tubuh. Tidak mampu bertahan
akhirnya si pemuda membuka ke dua matanya.
"Nalapraya, katakan apa yang kau lihat berada di pangkuanmu?" Suara mengiang
bertanya. "Siapa yang bertanya?" Nalapraya balik bertanya.
"Tidak perlu balik bertanya. Jawab saja apa yang ditanya."
Si pemuda menatap ke arah pangkuannya lalu berkata. "Saya melihat cahaya
berbentuk bulat seperti bola."
"Sekarang dengar baik-baik. Cahaya itu akan menuntunmu ke suatu tempat yang
sangat rahasia. Di tempat ini kau akan dipertemukan dengan seorang anak perawan
berhati mulia. Di tempat ini kau akan dinikahkan dengan anak perawan itu. Kau
boleh mengunjunginya sebanyak tujuh kali berturut-turut dan melakukan sebagai
suami istri. Pada setiap pertemuan Para Dewa menurunkan berkah padamu hingga
ujud kepalamu kembali ke bentuk asal. Setelah tujuh kali maka kau tidak akan
bertemu lagi dengan anak perawan itu, kecuali Para Dewa menghendaki lain. Dari
hasil hubungan kalian kelak istrimu akan melahirkan dua orang bayi laki-laki.
Keduanya akan menjadi Kesatria sakti mandraguna andalan Kerajaan Bhumi Mataram.
Sekarang bersiaplah untuk berangkat."
Nalapraya tidak segera bangkit berdiri tapi keluarkan ucapan.
"Suara gaib, siapapun kau adanya apakah saya boleh mengajukan pertanyaan?"


Satria Lonceng Dewa 3 Pangeran Bunga Bangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lakukan cepat. Waktumu tidak banyak"
"Saya ingin tahu dimana letak tempat sangat rahasia itu. Apakah tempat itu
memiliki nama?"
"Sayang sekali, Para Dewa tidak akan memberi tahu nama atau letak tempat yang
kau tanyakan itu."
Nalapraya terdiam sesaat lalu kembali bertanya.
"Siapakah nama anak perawan yang akan dinikahkan Dewa dengan saya itu?"
"Hal itupun tidak diperkenankan Para Dewa untuk kau ketahui." Suara mengiang
berikan jawaban.
"Jika ini benar-benar datang atas kemauan Para Dewa, maka saya merasa
diperlakukan tidak adil. Saya memilih meneruskan bertapa di goa ini. Saya harap
siapapun adanya jangan mengganggu diriku lagi."
"Anak perjaka bernama Nalapraya.
Sadar atau tidak kau telah terikat pada perjanjian dengan Para Dewa. Kau akan
mendapatkan kesembuhan dari hukum kutukan bilamana mengikuti apa yang telah
ditetapkan Para Dewa."
"Kalau begitu saya lebih memilih mati di tempat ini dari pada mengikuti satu
kemauan yang dipaksakan dan sangat tidak adil. Silahkan Para Dewa mencabut nyawa
saya saat ini juga!" Lalu Nalapraya duduk bersila, pejamkan mata, dua tangan
dirangkap di atas dada.
"Anak muda, mengapa bersikap bodoh.
Ketidak adilan yang kau katakan itu justru mendatangkan rakhmat di masa datang.
Bukankah kau berjanji pada Ibumu akan menemui perempuan itu. Bagaimana mungkin
kau akan datang padanya dengan ujud kutukan seperti keadaanmu saat ini?"
"Hukum kutukan ini telah saya terima dengan pasrah. Mengapa masih ada tindakan
yang saya rasakan sangat tidak adil dan ingin terus menerus memperalat saya?"
"Nalapraya, justru di dalam ketidak adilan itu kau kelak akan mendapatkan
keadilan. Bilamana kau tetap menginginkan kematian maka kelak Bhumi Mataram akan
dilanda kekacauan besar tanpa ada yang bisa mengendalikan dan memperbaiki."
"Saya orang Tarumanagara. Saya tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap Bhumi
Mataram." "Kau keliru anak muda. Tarumanagara dan Bhumi Mataram hanyalah sebagian kecil
dari jagat ciptaan Yang Maha Kuasa.
Dimanapun kau berada kau sebenarnya berada di alam yang sama. Jadi kau
memiliki rasa tanggung jawab serta bakti yang sama pula. Kita semua adalah insan
yang diciptakan untuk semua dan semua untuk kita."
Lama Nalapraya dudukterdiam.
Perlahan-lahan dia amudian berdiri. Bola bercahaya di pangkuannya bergerak naik,
melayang ke arah mulut goa. Tanpa berkata apa-apa lagi Nalapraya melangkah
mengikuti cahaya bundar itu. Dia tidak menyadari kalau saat itu dia bukan
melangkah biasa tapi melesat cepat laksana hembusan angin!
MALAM itu di tempat kediamannya di dasar Sumur Api, yang terletak antara
Prambanan dan Kali Dengkeng, selagi berada di atas pembaringan antara tertidur
dan jaga Ananthawuri tiba-tiba mencium bau sangat busuk. Kepalanya langsung
pusing dan perut mual. Anak perawan dari Desa Sorogedug ini berusaha agar tidak
muntah. Nafasnya mulai terasa lega ketika bau busuk lenyap dan kini berganti dengan bau
wangi harum semerbak. Saat itu dia dapatkan diri terbaring bukan di dalam kamar,
namun di alam terbuka. Dari arah langit kelihatan ada satu cahaya putih,
mendatangi ke arahnya lalu menyelubungi sekujur tubuhnya mulai dari kepala
sampai ke ujung kaki. Saat itu juga Ananthawuri merasakan ada kehangatan dalam
tubuhnya. Lalu ada hembusan nafas di permukaan wajahnya. Si gadis membuka mata lebih
besar. Sesaat kemudian dia baru menyadari kalau ada satu sosok tubuh di dalam
cahaya putih. Sosoktubuh ini adalah sosok seorang pemuda berwajah gagah,
mengenakan pakaian serba biru.
"Anak perawan, siapakah namamu?"
Pemuda gagah bertanya.
Ananthawuri membuka mulut hendak menjawab. Namun tiada suara yang mampu
diucapkannya. Dia hanya bisa mengedipkan mata dan tersenyum.
"Anak perawan, apakah kau sudah mengetahui kalau Para Dewa akan menikahkan
kita?" Kembali si pemuda berbaju biru yang bukan lain adalah Nalapraya berkata dan
lagi-lagi Ananthawuri tak kuasa menjawab.
Nalapraya muncul dan dengan kuasa Para Dewa, muncul dengan kepala utuh
sebagaimana aslinya.
Tiba-tiba ada suara gaib berkata.
"Nalapraya, Para Dewa bukan akan, tapi baru saja teiah menikahkan kalian secara
gaib. Anak perawan itu sekarang syah menjadi istrimu. Perlakukan dia sebagai
seorang istri sebagaimana mestinya."
Si pemuda memandang ke langit. Apa yang dikatakan suara gaib sewaktu di goa
Tegalrejo kini agaknya akan menjadi kenyataan. Namun dalam diri anak muda
berperilaku baik ini muncul perasaan bimbang.
"Apakah saya tidak menyalahi aturan adat dan agama jika saya menggauli anak
perawan ini?"
"Para Dewa telah mengatur semuanya.
Jangan ada perasaan bimbang apa lagi ragu
!" Terdengar jawab suara gaib. "Ini adalah berkat Para Dewa paling besar untuk
dirimu dan calon istrimu. Kalian berdua telah menjadi insan-insan terpilih."
Nalapraya menatap wajah cantik Ananthawuri beberapa ketika lalu bertanya.
"Anak perawan, apakah kau bersedia dan ikhlas dinikahkan Para Dewa dengan
diriku?" Jawaban tak terdengar meluncur dari mulut Ananthawuri.
"Mulutmu bergerak tapi suaramu sejak tadi tidak terdengar," kata Nalapraya pula.
"Berikan tanda jika kau suka menikah denganku. Jika kau ikhlas mau menjadi
istriku." Ananthawuri tersenyum. Kedipkan mata lalu anggukkan kepala. Ketika si pemuda
memeluk tubuhnya dia balas merangkul. Dia telah lama menunggu hal ini terjadi.
Sejak mahluk Roh Agung memberi tahu. Malam itu terjadilah hubungan suami
istri antara kedua insan tersebut.
Ternyata atas kehendak Para Dewa Nalapraya tidak cuma datang malam itu. Dia
muncul tujuh malam berturut-turut.
Pada malam ke tujuh Nalapraya berkata pada Ananthawuri.
"Kekasihku istriku. Atas kehendak Para Dewa malam ini adalah malam terakhir aku
mengunjungimu. Setelah itu semua kembali berpulang pada Yang Maha Kuasa.
Mungkin kita akan bertemu lagi, mungkin juga tidak untuk selama-lamanya. Jika
kelak dari hubungan kita selama tujuh malam kau mengandung dan melahirkan dua
anak lelaki, pelihara mereka baik-baik.
Berikan nama Mimba Purana pada anak kita yang bungsu dan Dirga Purana pada
putera kita yang sulung. Berdoalah setiap malam tiba agar sewaktu-waktu kita
bisa berkumpul kembali. Satu hal perlu aku beri tahu. Walau kita telah
berhubungan dan kelak kau akan melahirkan, namun menurut suara gaib yang sering
kudengar, kau akan tetap merupakan seorang gadis, seorang anak perawan. Karena
Para Dewa telah memilih dirimu dan menyayangi dirimu."
Mendengar kata-kata Nalapraya, Ananthawuri kucurkan air mata. Mulutnya bergerak.
Banyak kata-kata yang diucapkan.Tetapi seperti yang sudah-sudah suaranya tidak
pernah keluar dan terdengar. Nalapraya memeluk Ananthawuri erat-erat, mencium
pipi dan keningnya berulang kali. Si gadis kemudian keluarkan sehelai sapu
tangan warna merah muda.
"Brettt!"
Ananthawuri robek sapu tangan itu tepat di bagian tengah. Potongan pertama
diserahkan pada Nalapraya, potongan kedua disimpan di balik pakaian hijau yang
dikenakannya. "Kekasihku, istriku tercinta. Aku mengerti...aku mengerti apa maksudmu."
Nalapraya mengambil robekan sapu tangan, menciumnya berulang kali, menyimpan di
balik pakaian lalu dia kembali memeluk Ananthawuri. Cukup lama kedua insan itu
saling berangkulan dengan saling mengucurkan air mata sampai akhirnya
Ananthawuri menyadari bahwa saat itu sosok sang suami tidak ada lagi dalam
pelukannya. SEPERTI yang diriwayatkan dalam kisah sebelumnya dalam judul "Perawan Sumur Api"
apa yang telah terjadi dengan dirinya diceritakan Ananthawuri pada Sukantili
sang ibunda yang juga diam di dasar Sumur Api. Hanya saja kepada sang ibu anak
perawan ini mengatakan bahwa dia tidak mengalami secara sungguhan, tapi
mengalami dalam mimpi. Dan semua apa yang terjadi tidak dituturkan secara
lengkap. Karena bagaimanapun juga si gadis merasa malu.
Hari ke delapan sang pemuda memang tidak datang lagi. Demikian juga hari-hari
berikutnya. Ananthawuri menunggu dengan penuh sabar dan penuh harapan. Hingga
pada suatu hari akhirnya anak perawan itu menemui ibunya, memberi tahu bahwa dia
telah terlambat haid.
"Saya merasa ada kelainan pada tubuh saya." "Kelainan bagaimana anakku?" tanya
sang Ibu. "Dada saya bu Tadi pagi saya memperhatikan dan meraba. Dada saya
membesar dan lebih kencang dari biasanya.
Pinggul saya terasa melebar. Ibu, jangan-jangan saya..."
Sukantili memeluk anaknya. Seminggu kemudian Sukantili melihat ada kelainan pada
perut anaknya. Sang Ibu tidak bisa menduga lain. Anak perawannya memang benar-
benar telah mengandung.
"Anakku, kalau bukan kehendak dan kuasa Yang Maha Kuasa, bagaimana mungkin hal
ini bisa terjadi." Sukantili lalu memeluk anak gadisnya. Saat itu tiba-tiba
berhembus tiupan angin disertai suara berdesir seolah-olah ada seorang berjubah
panjang melintas di samping ibu dan anak itu. Lalu terdengar suara tanpa ujud.
Dua insan yang tengah bersatu hati Di dunia ini tidak ada yang abadi Namun
kehendak Yang Maha Kuasa adalah pasti
Ananthawuri, takdir Yang Maha Kuasa telah terjadi
Kau hamil tapi dirimu tetap suci Setelah sembilan bulan sepuluh hari Kau akan
melahirkan Namun kau tetap sebagai seorang perawan
Karena keturunanmu sudah ditetapkan Menjadi Kesatria Bhumi Mataram 6
SEBAYANG KALIGANTHA
TELAH lebih dua hari Ratu Dhika Gelang Gelang mendatangi hampir seluruh candi di
dalam dan di luar batas Kerajaan Bhumi Mataram. Namun orang yang dicari yaitu
pemuda kekasihnya yang bernama Sebayang Kaligantha tidak kunjung ditemukan.
Dengan perasaan kawatir Ratu Dhika mendatangi rumah kediaman si pemuda di sebuah
desa kecil di kaki persimpangan Kali Elo dan Kali Progo. Ternyata rumah si
pemuda kosong. "Pus Meong Ragil Abang," kata perempuan gemuk berkulit hitam itu pada kucing
merah peliharaannya. "Aku tidak tahu lagi kita mau mencari ke mana. Namun aku
kawatir telah terjadi sesuatu dengan Sebayang Kaligantha. Sekarang aku perlu
bantuanmu. Pergunakan kemampuan penciumanmu. Coba kau lacak dimana keberadaan
pemuda itu."
Ratu Dhika lalu masuk kembali ke dalam rumah. Turunkan kucing besar merah.
Binatang ini mengelilingi bagian dalam rumah sambil mengendus tiada henti. Lalu
keluar dan melanjutkan mencium jejak-jejak di tanah yang telah mulai pupus.Tak
lama kemudian didahului suara mengeong panjang Ragil Abang melompat ke kiri dan
selanjutnya lari ke arah timur.
Mengikuti sekitar sepeminuman teh ternyata kucing merah lari ke arah hutan jati
yang sudah gersang, terus ke satu bukit kapur yang jarang didatangi manusia.
Di atas bukit kapur ini ada satu runtuhan candi. Ragil Abang mengeong keras di
depan tangga candi yang sudah hancur.
"Oala...Pertanda buruk! Pertanda buruk!" kata Ratu Dhika Gelang Gelang.
Lalu sekali melesat perempuan gemuk ini melesat melewati tembok candi. Sampai di
bagian dalam candi, Ratu Dhika Gelang Gelang memekik keras.
Di atas satu gundukan batu rata terbujur tertelentang sosok seorang pemuda. Dua
mata terpejam. Tubuh yang sebelumnya kekar berotot tampak lunglai tiada daya.
Jangankan bergerak, bemafaspun agaknya dilakukan dengan susah payah. Pipi dan
rongga matanya cekung membiru. Karena hanya mengenakan celana maka di dadanya
yang telanjang terlihat jelas satu robekan luka yang masih menganga sepanjang
satu jengkal. Dua kaki dan dua tangan terpentang diikat dengan rantai besi
sebesar betis. Ujung rantai besi dipendam ke dalam gundukan batu.
"Sebayang! Jahanam mana yang menyiksamu seperti ini! Akan kubunuh! Akan
kuhabisi!" Teriak Ratu Dhika Gelang Gelang.Tangan kanan diangkat ke atas.Tangan
itu serta merta pancarkan cahaya merah. Begitu dihantamkan empat kali berturut-
turut, empat rantai besi yang mengikat dua tangan dan dua kaki si pemuda tak
ampun lagi hancur berkeping-keping.
Ratu Dhika Gelang Gelang cepat turunkan sosok pemuda dari atas gundukan batu
rata, dibaringkan di lantai candi, kepala dipangku. Sebelum kembali mengajukan
pertanyaan perempuan ini cepat kerahkan hawa sakti dan tenaga dalam, dimasukkan
ke dalam tubuh si pemuda melalui ubun-ubun dan pusar. Dada yang luka diusap
dengan telapaktangan kiri.
Sepasang mata si pemuda terbuka sedikit.
Begitu terbuka dia langsung menjerit.
Wajahnya yang tidak berdarah menunjukkan rasa takut amat sangat. Ratu
Dhika tepuk-tepuk wajah pemuda itu.
"Sebayang, tenang! Tidak ada yang perlu kau takutkan. Lihat ini aku. Ratu Dhika
Gelang Gelang, kekasihmu!"
Dua mata membuka lebih lebar. Si pemuda mengenali. Mulutnya berucap lirih.
"Ratu, syukur kau datang. Satu hari saja terlambat pasti aku sudah jadi
mayat..." "Katakan apa yang terjadi dengan dirimu. Ada koyakan luka di dadamu.
Seseorang telah mencuri sesuatu dari dalam tubuhmu!"
"Kau betul Ratu. Lima hari lalu ada tiga orang muncul di rumahku. Yang dua hanya
sebagai pengiring. Yang satu orang pelakunya. Aku di bawa ke tempat ini.
Dadaku dirobek. Orang itu mengambil jimat Mutiara Mahakam dari dalam rongga
dadaku." "Kurang ajar! Kau tahu, kau mengenali siapa manusianya"!" tanya Ratu Dhika
Gelang Gelang. "Aku mengenali. Tapi agaknya dia bukan tokoh yang menjadi otak perbuatan keji
itu. Dia hanya seorang yang disuruh diperalat..."
"Tidak perduli siapa dia. Yang penting lekas kau katakan siapa nama orang itu!"
"Dia orang dari selatan,
Namanya....."
"Bett....bettt!"
Belum sempat Sebayang Kaligantha menyelesaikan ucapan memberi tahu nama si
penjebol dadal pencuri jimat Mutiara Mahakam, tiba-tiba dua buah I benda hitam
melesat di udara. Benda pertama cepat I dihantam Ratu Dhika Gelang Gelang dengan
pukulan tangan kosong tangan kiri hingga mental dani menancap di dinding lapuk
candi. Benda kedua tak mampu disingkirkan.
Benda ini dengan telaki menancap tembus ke dalam tenggorokan Sebayang
Kaligantha. Darah muncrat. Dari mulut si pemuda keluar suara menggorok pendek lalu kepalanya
terkulai. Mata nyalang tak berkesip.
Tubuhnya mulai dari leher sampai kepala serta dari leher sampai separuh dada
tampak membiru pertanda ada racun jahat yang mengidap.
"Ragil Abang! Kejar pembunuh jahanam itu!" teriak Ratu Dhika Gelang Gelang pada
kucing merah. Dia memeriksa keadaan Sebayang Kaligantha sebentar. Setelah
memastikan bahwa pemuda itu tidak bernyawa lagi, perempuan ini menggerung keras.
Puas menangis mayat yang masih hangat itu dibaringkan di lantai candi. Sepasang
mata yang terbuka disapu dengan tangan agar tertutup. Setelah lebih dulu menotok
leher Sebayang Kaligantha, Ratu Dhika mencabut benda yang menancap di
tenggorokan kekasihnya. Ternyata sebuah besi pipih bulat yang pinggirannya
bergerigi dan berwarna biru karena dilapisi racun jahat. Ratu Dhika Gelang
Gelang masukkan senjata rahasia itu ke balik pakaiannya lalu melompat ke arah
melesatnya kucing merah. Setelah mengejar cukup lama dia tidak mampu menyusul
atau menemui si kucing merah. Ratu Dhika Gelang Gelang hentikan pengejaran. Dua
tangan diangkat ke atas lalu digoyang-goyang hingga dua gelang yang digelantungi
kerincingan mengeluarkan suara keras.
Dengan berbuat begitu perempuan ini berharap kucingnya akan mendengar dan datang
ke arahnya. Namun sampai dua tangan terasa letih binatang itu tidak kunjung
muncul. "Sesuatu telah terjadi dengan Ragil Abang! Jangan-jangan dia sudah menemui ajal
pula. Dibunuh manusia jahat pembunuh Sebayang Kaligantha!"
DI LANGIT sang surya mulai
menggelincir ke ufuk tenggelamnya di sebelah barat. Ratu Dhika Gelang Gelang
cemas sekali dan juga jengkel. Sampai saat itu dia belum mendapatkan jejak si
kucing merah. Apa lagi jejak pembunuh Sebayang Kaligantha. Apa saja yang
menghalangi jalannya seperti batu, semak belukar bahkan pohon habis dilabraknya
dengan tendangan hingga mencelat hancur.
Tiba-tiba perempuan yang sebenarnya adalah puteri ke tiga dari Sri Maharaja
Rakai Pikatan Dyah Saladu yang pernah memerintah Kerajaan Bhumi Mataram,
hentikan langkah. Kepala diputar, memandang berkeliling. Dia tidak melihat
sesuatu tapi dia bisa mencium.


Satria Lonceng Dewa 3 Pangeran Bunga Bangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bau busuk. Busuk bangkai. Apa ada mayat binatang atau manusia sekitar sini?"
Ratu Dhika berucap seorang diri. Dia menghirup udara dalam-dalam. Hampir muntah
taktahan oleh bau busuk yang menyengat memasuki jalan pernafasan sampai di
rongga dadanya. Namun dengan cara begitu dia berhasil mengetahui dimana
beradanya sumber bau busuk.
Begitu dia melompat ke balik
serumpunan semak belukar, perempuan ini berteriak girang.
"Pus Meong Ragil Abang!"Ternyata kucing merah itu masih hidup. Namun bersamaan
dengan itu Ratu Dhika Gelang Gelang tersurut mundur sampai tiga langkah.
7 PEMBUNUH DARI SELATAN
DI DEPAN semak belukar lebat, ber sandar ke sebuah batu hitam besar duduk men-
jelepok di tanah satu mahluk yang seumur hidup baru kali itu dilihat Ratu Dhika
Gelang Gelang. Jika manusia mana kepalanya. Kalau hantu mengapa tubuhnya utuh
seperti seorang manusia" Dan Ragil Abang si kucing merah duduk jinak di pangkuan
mahluk aneh itu tengah diusap-usap kepalanya!
Orang yang dudukdi tanah bersandar ke batu itu mengenakan baju dan celana biru.
Bahu baju sebelah kiri dalam keadaan robek.Tubuhnya mulai dari leher ke atas
tidak memiliki kepala. Sebagai pengganti kepala ada sekuntum bunga luar biasa
besar, berwarna kuning berbintikcoklat.
Bunga ini dilapisi lendir. Pada bagian tengah bunga mencuat kuncup berwarna
hijau setinggi tiga jengkal. Bunga aneh ini menebar bau busuknya bangkai yang
membuat Ratu Dhika Gelang Gelang
hampirtidaksanggup menahan muntah.
"Bunga Bangkai...." Ucap Ratu Dhika Gelang Gelang. Lalu perempuan ini berteriak.
"Ragil Abang! Apa yang kau perbuat di situ! Lekas kesini!"
Kucing merah di atas pangkuan mahluk aneh lalu melompat dan lari ke arah Ratu
Dhika Gelang Gelang, langsung naik ke atas bahunya.
"Pemilik kucing merah telah datang.
Aku gembira. Salam sejahtera untukmu..."
Ratu Dhika Gelang Gelang terbelalak.
Mahluk yang punya kepala berbentuk Bunga Bangkai itu ternyata bisa bicara!
"Mahluk aneh! Kau ini hantu atau manusia"!" Membentak Ratu Dhika Gelang Gelang.
Kisah Pedang Bersatu Padu 20 Pendekar Misterius Karya Gan K L Renjana Pendekar 3
^