Pencarian

Pangeran Bunga Bangkai 2

Satria Lonceng Dewa 3 Pangeran Bunga Bangkai Bagian 2


"Aku adalah sebagaimana kau melihat diriku saat ini," jawab mahluk yang ditanya
yaitu Nalapraya alias Pangeran Bunga Bangkai.
"Kau apakan kucingku"!"
"Tidak aku apa-apakan. Dia kucing baik. Aku tadi hanya mengelus-elusnya.
Ternyata kucingmu itu punya kepandaian tinggi. Tadi dia tengah mengejar
seseorang. "Seseorang siapa"!" Tanya Ratu Dhika Gelang Gelang. "Mana orangnya"!"
"Aku tidak tahu siapa orang itu.Tapi saat ini dia adi atas sana. Sudah-jadi
mayat!" Pangeran Bcnga Bangkai menunjuk ke atas pchon besar di belakang fatu
Dhika Gelang Gelang. Ketika perempuan ini erputar dan mendongak ke atas, dia
melihat seorang tua bsrkumis dan berjanggut putih, berpakaian serba hitam,
tergelimpang melintang di atas cabang pohon. Ratu Dhika berpikir-pikir kalau
kucingnya yang membunuh orang itu mengapa korban berada di atas cabang pohon"
Lalu mengapa tidak ada tanda-tanda luka bekas cakaran atau gigitan. Pertanyaan
selanjutnya, apakah orang itu yang telah membunuh Sebayang Kaligantha"
Dari dalam saku pakaiannya mahluk tanpa kepala berpakaian serba biru keluarkan
sebuah benda. Kejut Ratu Dhika Gelang Gelang bukan kepalang ketika dia melihat
benda apa yang ada di tangan mahluk aneh bau bangkai itu. Benda tersebut adalah
benda pipih bulat bergerigi dan berwarna biru seperti yang dipergunakan orang
untuk membunuh Sebayang Kaligantha. Untuk memastikan dia tidak keliru Ratu Dhika
Gelang Gelang keluarkan benda yang disimpannya di balik pakaian, yang sebelumnya
membunuh dan menancap di leher kekasihnya. Sama!
"Jahanam keparat! Jadi kau pembunuhnya!" teriak Ratu Dhika Gelang Gelang. Wuttt!
Dia lemparkan besi pipih bulat bergerigi dan mengandung racun itu ke arah mahluk
berkepala Bunga Bangkai.
"Hyang Bathara Jagat! Tidak ada permusuhan mengapa kau menyerang dengan benda
beracun! Siapa yang aku bunuh"!"
Nalapraya berseru sambil cepat melompat ke samping.
"Kau membunuh Sebayang Kaligantha!"
"Siapa itu Sebayang Kaligantha" Aku tidak kenal!" teriak Nalapraya.
Saat itu besi bulat bergerigi yang dilemparkan ke arahnya walau bisa dielakkan
namun masih sempat menyambar pucuk hijau yang menjadi kepalanya hingga tergores
dan mengepulkan asap, membuat bau bangkai busuk semakin menjadi-jadi.
"Bagus! Mahluk iblis! Kau punya ilmu juga rupanya! Keluarkan semua ilmu
kepandaianmu! Kalau kau tidak mampus dalam tiga jurus lebih baik aku bunuh
diri!" Tangan kanan Ratu Dhika Gelang Gelang berkelebat ke depan. Bukan untuk
melepaskan pukulan sakti tapi tangan itu justru berubah panjang. Lima jari yang
kini membentuk cakar besi lancip melesat ke dada Nalapraya. Siap untuk menjebol
dada dan menghancurkan jantung! Inilah serangan bernama Cakar Besi Penghancur
Berhala! "Hai! Apa salahku kau menyerang seganas mi"!" Kembali Pengeran Bunga Bangkai
berteriak sambil melompat mundur.
Breettt!Tak urung dua ujung jari lancip yang sudah berubah menyerupai besi hitam
legam masih sempat merobek dada pakaian birunya.
Melihat serangannya lagi-lagi tidak mampu mengenai sasaran Ratu Dhika Gelang
Gelang menjadi Kalap. Didahului teriakan dahsyat perempuan ini kembali menyerbu.
Dua tangan di pentangkan ke depan. Sepuluh kerincingan yang tergantung di gelang
emas keluarkan suara nyaring. Bersamaan dengan itu sepuluh sinar kuning
menyambar. Pada saat itulah tiba-tiba Ragil Abang si kucing merah yang berada di bahu kanan
Ratu Dhika tegakkan ekor, mengeong keras lalu melompat dan mendekam di bahu kiri
Nalapraya. Binatang ini kembali mengeong sambil lidahnya menjilat-jilat bahu
Pangeran Bunga Bangkai.
"Ragil Abang! Apa yang kau lakukan!
Lekas menyingkir atau kau akan mati sekalian!"Teriak Ratu Dhika dalam amarahnya
yang meledak karena terpaksa batalkan serangan maut.
"Kucingmu mau menunjukkan bahwa dia bersahabat dengan diriku. Jika kami
bersahabat maka berarti kau juga adalah sahabatku!"
"Hantu kesasar! Enak saja kau bicara!" Hardik Ratu Dhika Gelang Gelang begitu
mendengar kata-kata Nalapraya Namun kalau tadi dia sangat marah melihat
perbuatan Ragil Abang yang melompat ke bahu mahluktanpa kepala itu, kini
amarahnya mengendur sedikit dan ini membuat dia mau berpikir lebih jernih.
"Ragil Abang memang menunjukkan sikap bersahabat dengan mahluk aneh kesasar itu.
Mengapa?" Ratu Dhika ingat pada mayat yang melintang di cabang pohon. Perempuan
ini angkat tangan kanannya. Diarahkan pada mayat di atas pohon. Lalu dia
kerahkan ilmu bernama Selaksa Angin Menghisap Roh.
Begitu tangannya bergerak sedikit maka mayat 'di atas pohon tertarik keras ke
bawah dan jatuh bergedebukdi tanah. Dengan cepat Ratu Dhika Gelang Gelang
memeriksa pakaian orang itu. Dalam sebuah kantong kain berwarna hitam dia
menemukan lima buah besi bulat pipih bergerigi berwarna biru.
"Kurang ajar!" Rutuk Ratu Dhika.
"Tapi...." Perempuan ini angkat kepala, memandang melotot pada Nalapraya.
"Mahluk aneh, katakan dengan jujur. Bagaimana kau juga memiliki benda pembunuh
seperti ini"!
Jangan-jangan kau menipuku. Bukan mustahil kau adalah kawan dari kakek ini!"
"Aku tidak memiliki benda pembunuh itu. Yang aku keluarkan dan aku perlihatkan
padamu tadi adalah senjata rahasia yang dipergunakan kakek itu untuk menyerang
kucing milikmu. Ketika aku berusaha menolong kucingmu, kakek yang aku tidak
kenal itu berbalik menyerangku. Aku bermaksud hanya melumpuhkannya.Tapi dia
malah semakin ganas. Aku terpaksa menendangnya hingga mencelat mental ke atas
cabang pohon. Ketika terkapar di atas cabang sana, sebuah benda jatuh dari balik
pakaiannya. Ternyata senjata rahasia berbentuk besi bulat biru dan bergerigi
itu. Si kakek menemui kematian diatas pohon. Mungkin ada isi perutnya yang
pecah. Aku menyesal, aku merasa berdosa.
Seumur hidup baru hari ini aku membunuh orang..."
Mendengar ucapan Nalapraya Ratu Dhika Gelang Gelang tak urung jadi menganga
tercengang. Kucing merah di atas bahu Nalapraya mengeong panjang lalu melompat
kembali ke bahu tuannya.
"Kalau begitu aku telah kesalahan mengira," kata Ratu Dhika Gelang Gelang pula.
"Aku tengah mengejar seorang yang telah membunuh kekasihku dengan senjata
berbentuk besi bulat bergerigi berwarna biru seperti ini. Aku yakin kakek ini
pelakunya. Apa kau mengenal tua bangka jahanam ini?" Sambil bertanya sambil
kakinya bergerak menendang. Sosok mayat yang ditendang mencelat mental dengan
pinggang hancur!
Nalapraya gelengkan kepala.
"Aku harus mengurus jenazah Sebayang Kaligantha. Tapi ada beberapa hal perlu aku
tanyakan padamu..."
"Soal jenazah kekasihmu itu, kau tak usah merisaukan. Para Dewa telah
mengurusnya baik-baik."
Ratu Dhika Gelang Gelang kerenyitkan kening. Sepasang alis mata hitam kereng
mencuat ke atas.
"Enaknya kau berkata begitu..."
"Aku tidak berdusta. Ada serombongan orang yang kebetulan lewat. Mereka menemukan jenazah kekasihmu. Mereka turun tangan membakar jenazah itu..."
"Aku tidak percaya ucapanmu. Kau berada di sini. Bagaimana kau bisa tahu.
Apa kau bisa melihat" Matapun kau tak punya!"
"Sudahlah, nanti kau kembali saja pergi ke tempat dimana kekasihmu menemui
kematian. Kau akan membuktikan sendiri apakah aku ini bohong atau bagaimana."
Ratu Dhika Gelang Gelang pandangi manusia berkepala Bunga Bangkai itu beberapa
lama. Dalam hati dia mulai menduga-duga. Jangan-jangan mahluk ini adalah Dewa
yang menjelma turun ke bumi.
Maka selanjutnya perempuan ini bicara hati-hati.
"Sahabatku yang aku tak tahu namanya, pertanyaan apa yang hendak kau sampaikan
padaku?" Bertanya Nalapraya.
"Seumur hidup baru kali ini aku melihat-mahluk sepertimu. Tubuh manusia, bisa
bicara tapi kepala berupa Bunga Bangkai!"
"Aku insan yang malang. Kutukan Dewa jatuh atas diriku sebagai hukuman."
"Kalau dia dikutuk berarti dia bukan utusan atau penjelmaan Dewa..." pikir Ratu
Dhika Gelang Gelang. "Hukuman apa" Kenapa kau sampai dikutuk begini rupa?" Sang
Ratu kemudian bertanya.
"Aku takbisa menceritakan padamu..."
"Kau tinggal sekitar sini?" tanya Ratu Dhika.
"Di sebuah goa tak jauh dari sini.
Aku tinggal dan bertapa di sana."
"Kau tengah memperdalam ilmu kesaktian atau tengah berusaha menebus dosa agar
ujudmu kembali ke bentuk semu la?"
Nalapraya tidak menjawab.
"Kau punya nama?"
"Maaf, aku tidak bisa memberitahu."
"Kau mahluk aneh. Lalu dari mana asal usulmu?"
"Aku bukan orang Bhumi Mataram. Aku berasal dari Kerajaan Tarumanagara."
"Kalau begitu agaknya kau tengah mencari atau ingin mendapatkan sesuatu..."
"Saat ini aku hanya ingin pengampunan dari Para Dewa. Agar kutukan ku
bisadiakhiri lebih cepat..."
Ratu Dhika Gelang Gelang tertawa.
"Tidak, aku tidak percaya. Kau bertapa bukan hanya karena itu. Ada satu dorongan
lain yang lebih kuat yang membuat kau datang jauh-jauh dari Tarumanagara. Kalau
kau mau bersikap jujur padaku mungkin aku bisa menolong. Bukankah aku harus
berterima kasih padamu karena kau telah menanam budi menyelamatkan kucing
merahku?" Pangeran Bunga Bangkai keluarkan suara tertawa.
"Sahabatku, berbuat baik menanam budi dengan mengharapkan pamrih bukanlah satu
kebajikan tapi merupnknn kebijakan untuk mendapatkan sesuatu. Yang Maha Kuasa
tidak suka pada orang-orang seperti itu."
Ratu Dhika Gelang Gelang kembali terkesiap mendengar ucapan orang.
Nalapraya kemudian berkata lagi.
"Sahabat, dugaanmu memang benar. Kau mungkin bisa menolong jika kau ikhlas
melakukan dan bukan aku yang meminta. Aku tengah mencari seseorang..." Kata
Nalapraya pula.
"Siapa?"
"Aku tengah mencari istriku."
Ratu Dhika Gelang Gelang terkejut.
"Astaganaga! Kau tengah mencari istrimu katamu" Hik...hik! Tidak sangka kau
punya seorang istri."
"Aku tidak bisa menceritakan bagaimana kejadiannya aku sampai punya istri. Semua
sudah kehendak danTakdirYang Maha Kuasa. Semua serba gaib."
"Gaib"!"
Pengeran Bunga Bangkai mengangguk.
"Apakah istrimu minggat atau diculik orang, atau kabur bersama kekasih barunya?"
"Tidak satupun dugaanmu yang benar..."
"Lalu?"
"Kami berpisah setelah berkumpul selama satu minggu. Di satu tempat yang aku
tidak tahu dimana..."
"Ceritamu semakin aneh. Bagaimana ciri-ciri istrimu" Apakah dia juga sepertimu.
Berkepala bunga busuk begini rupa?"
"Istriku manusia biasa sepertimu.
Tingginya hampir sama denganmu. Tapi kulitnya putih bersih tidak hitam
sepertimu. Wajahnya cantik, tidak diberi dandanan mencolok sepertimu. Rambut
hitam sepinggang..."
Ratu Dhika tersenyum.
"Di Bhumi Mataram ini ada puluhan perempuan seperti itu..."
"Itulah yang menyulitkan diriku dalam mencarinya. Apa lagi aku juga tidak tahu
namanya." Dua bola mata Ratu Dhika Gelang Gelang terbeliak. "Kau bercanda!"
Nalapraya alias Pangeran Bunga Bangkai gelengkan kepala.
"Apa katamu" Mana ada orang tidak tahu nama istrinya sendiri! Kucingku saja
punya nama."
"Aku yakin istriku punya nama. Tapi aku tidak pernah tahu siapa namanya."
Dari pucuk hijau di atas tubuh Nalapraya terdengar tarikan nafas panjang.
"Sebelum berpisah istriku memberikan sehelai sapu tangan yang dipotong dua.
Satu potongan diberikan padaku, satu potongan lagi ada padanya." Dari balik
pakaiannya Pangeran Bunga Bangkai kemudian keluarkan robekan sapu tangan merah
muda yang diberikan Ananthawuri pada malam terakhir sebelum mereka berpisah lalu
diserahkan pada Ratu Dhika. Perempuan ini ambil potongan sapu tangan yang
diberikan, diperhatikan dan dibolak balik lalu berkata.
"Sahabatku malang yang kehilangan istri. Aku tidak tahu.Tapi orang atau
perempuan yang memiliki sapu tangan merah muda seperti ini sangat banyak di
Bhumi Mataram. Aku sendiri punya lebih dan satu!
Lalu dari balik kemben merah yang dikenakannya dia keluarkan lima helai sapu
tangan merah muda!
Setelah memasukkan lima sapu tangan ke balik pakaian, Ratu Dhika kembali
meneliti potongan sapu tangan merah muda.
"Di sini sama sekali tidak ada sulaman atau tanda-tanda lain yang menyatakan
siapa pemiliknya. Kurasa sangat sulit menjajagi dan mencari istrimu melalui
potongan sapu tangan merah muda ini."
"Cobalah kau cium. Mungkin kau bisa mendapat petunjuk," kata Nalapraya pula.
Ratu Dhika tempelkan sapu tangan merah muda ke hidungnya lalu menghirup dalam-
dalam. Dia mencium harum bunga melati.
"Aku mencium bau bunga melati. Segar sekali," kata Ratu Dhika kemudian. "Sudah
berapa lama sapu tangan ini kau simpan?"
"Lebih dari delapan purnama."
"Adalah aneh kalau bau bunga yang ada masih melekat."
"Tubuh istriku seperti itu. Wangi seharum bunga melati." Memberi tahu Nalapraya.
Ratu Dhika tatap mahluk tanpa kepala itu dengan pandangan sayu sedih kemudian
berkata. "Aku akan berbuat sebisaku. Mudah-mudahan aku bisa menolong."
"Terima kasih. Lakukanlah dengan ikhlas. Sesuatu yang dilakukan dengan ikhlas
merupakan sebagian ibadah dan sudah merupakan sebagian keberhasilan."
"Ya...ya..." jawab Ratu Dhika beruiang ulang sambil anggukkan kepala dan penuh
kagum atas ucapan orang. Lalu dia bertanya. "Kau mau kemana sekarang?"
"Aku akan kembali ke pertapaan di Tegalrejo." "Ada lagi yang mungkin akan kau
sampaikan padaku?"
"Rasanya tidakada.Tapi....Memang ada satu hal. Istriku itu. Konon dia tengah
mengandung. Mungkin akan segera melahirkan."
"Oala.....Dewa Maha Agung." Ucap Ratu Dhika Gelang Gelang sambi tampungkan dua
tangan ke atas dan mulut berkomat kamit seperti tengah memanjatkan doa. Ketika
perempuan ini angkat kepala, sosok Pangeran Bunga Bangkai tak ada lagi di
hadapannya. "Hyang Jagat Batara." Ucap Ratu Dhika." Mahluk seperti itu bisa punya istri. Dan
sang istri mau melahirkan.
Hyang Jagat Dewa! Bagaimana kelak ujud bayi itu" Yang Maha Kuasa Dewa berbuat
se-kehendakNya. Wahai Para Dewa. Aku tidaktahu siapa sebenarnya mahluk tadi.
Tapi aku mohon pada Para Dewa, kasihani dia dan tolong dia." Lalu sambil
mengusap Ragil Abang dia tinggalkan pula tempat Itu menuju bukit kapur dimana
terletak bangunan candi runtuh tempat Sebayang Kaligantha menemui ajal dibunuh
dengan senjata rahasia beracun.
8 SANG RATU DAN SANG PENGERAN
TAK LAMA setelah Ratu Dhika Gelang Gelang meninggalkan candi runtuh di bukit
kapur serombongan pemuda yang berburu rusa dan kelinci di hutan jati sampai di
candi itu. Mereka yang berjumlah delapan orang ini bermaksud istirahat sebelum
kembali pulang setelah mendapatkan hasil buruan berupa tiga ekor rusa dan hampir
selusin kelinci.
Begitu masuk ke dalam candi kaget para pemburu muda ini bukan alang kepalang. Di
lantai candi mereka melihat sesosoktubuh terbujur dengan leher koyak dan
sebagian tubuh bergelimang darah.
Beberapa di antara pemuda itu lebih kaget lagi karena mengenali, sosok yang
sudah jadi mayat itu bukan lain adalah Sebayang Kaligantha sahabat mereka.
Para pemuda itu lalu berunding, apa yang akan mereka lakukan dengan jenazah
Sebayang Kaligantha. Jika dibawa pulang kerumahnya di desa dekat Kaliprogo
perjalanan cukup jauh. Selain itu Sebayang Kaligantha adalah pemuda yang hidup
sebatang kara, tidak punya orang tua ataupun saudara dan sanak keluarga.
Akhirnya diputuskan untuk membakar jenazah Sebayang Kaligantha. Apa lagi
diantara mereka ada seorang yang cukup punya pengetahuan di bidang keagamaan
hingga jenazah pemuda itu bisa diurus sesuai dengan agama yang dianutnya. Maka
dikumpulkanlah kayu bakar sebanyak mungkin, ditumpukdi pelataran candi.
Hanya sesaat setelah kayu dibakar dan api mulai berkobartiba-tiba sosok Sebayang
Kaligantha bergerak ke atas. Semua orang yang ada di tempat itu bukan saja
menjadi kaget tapi juga ketakutan. Mereka yang tengah membaca doa, berucap


Satria Lonceng Dewa 3 Pangeran Bunga Bangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbata-bata akhirnya tak sanggup lagi melanjutkan doa.
Ketika jenazah yang naik ke atas berada sekitar dua jengkal dari atas tumpukan
kayu api yang menyala mendadak ada cahaya tiga warna memancar keluar dari tubuh
Sebayang Kaligantha. Ketika cahaya tiga warna itu melesat ke langit, jenazah
Sebayang Kaligantha juga melesat seolah mengikuti. Di satu ketinggian cahaya
tiga warna lenyap, tubuh Sebayang Kaligantha menebar seperti meledak lalu
berubah menjadi asap hitam dan akhirnya lenyap dari pandangan mata semua orang
yang ada di candi!
"Dewa Jagat Bathara! Apa yang terjadi"!" Seorang pemuda sahabat yang sangat
dekat dengan Sebayang Kaligantha berseru keras.
Tiba-tiba terdengar suara perempuan berteriak. "Aku juga ingin tahu apa yang
terjadi"!" Lalu terdengar suara bergemerincing disusul suara kucing mengeong! Di
lain kejap seorang perempuan gemuk berkulit hitam, mengenakan kemben merah dan
berdandanan seronok berdiri di hadapan delapan pemuda. Ratu Dhika Gelang Gelang!
Mengenali siapa yang datang yaitu perempuan muda berkepandaian tinggi yang
mereka ketahui adalah kekasih Sebayang Kaligantha delapan pemuda jadi timbul
keberanian lalu menceritakan apa yang terjadi mulai dari awal sewaktu mereka
menemukan mayat pemuda sahabat mereka itu dalam keadaan leher hampir putus,
tubuh biru bersimbah darah.
"Aku berada di sini sewaktu Sebayang menemui ajal. Dibokong seseorang secara
keji.Yang aku ingin tahu apa yang terjadi setelah kalian menemukan mayatnya."
Kata Ratu Dhika Gelang Gelang pula.
Seorang dari delapan pemuda memberi penjelasan.
"Kami mengumpulkan kayu api untuk menyempurnakan jenazah Sebayang menuju alam
baka. Ketika api mulai menyala tiba-tiba tubuh Sebayang naik ke atas. Lalu kami
lihat ada cahaya tiga warna, hitam, biru dan merah memancar keluar dari tubuh
Sebayang. Cahaya itu melesat ke langit.
Tubuh Sebayang mengikuti. Di atas sana tubuh Sebayang seperti meledak. Berubah
menjadi kepulan asap lalu lenyap."
"Cahaya tiga warna. Hitam, merah dan biru." Mengulang Ratu Dhika Gelang Gelang.
Dia ingat peristiwa sewaktu bersama Arwah Ketua diserang cahaya tiga warna dalam
menghadapi Sri Sikaparwathi jejadian. Ratu Dhika menatap ke langit."Tidak
mustahil Sebayang Kaligantha sudah menjadi korban penggandaan pula. Mudah-
mudahan pemuda itu masih hidup. Mungkin dalam keadaan sengsara bahkan bisa saja
dalam keadaan sekarat. Aku harus mencari tahu dimana tubuh aslinya berada." Lalu
Ratu Dhika ingat pada manusia aneh berkepala Bunga Bangkai.
"Jangan-jangan dia manusia pengendalinya. Bisa juga dia mata-mata pihak selatan.
Aku mendengat kabar orang selatan telah mempersiapkan satu pasukan besar untuk
menyerbu Bhumi Mataram. Apa yang harus aku lakukan?" Sang Ratu berpikir sejenak.
"Aku harus mencari manusia Bunga Bangkai itu. Dia memberi keterangan setengah-
setengah. Dia mengatakan kejadian ada orang yang turun tangan menolong membakar
jenazah Sebayang.Tapi dia tidak menceritakan perihal cahaya tiga warna. Jika
kutanya dia tidak mau memberi keterangan jelas biar aku bunuh saja!"
Setelah mengucapkan terima kasih pada delapan pemuda dan meminta mereka agar
segera kembali pulang ke desa Ratu Dhika Gelang Gelang segera menuju desa Tegal
rejo. Menjelang tengah malam dia sampai di lereng bukit dimana terletak goa
tempat kediaman dalam keadaan kosong.Takada tanda-tanda ada orang yang tinggal
di dalam goa itu. Tidak ada ranjang tidur, juga tidak ada sepotong perabotanpun.
Hal ini membuat Ratu Dhika Gelang Gelang merasa bahwa dia benar-benar telah
ditipu orang. Dalam marahnya Ratu Dhika Gelang Gelang kerahkan tenaga dalam ke
tangan kanan hingga tangan itu berpijar merah.Tidak bertemu orang yang dicari,
menghancurkan goa itu sudah cukup membuat hatinya puas.
Tiba-tiba kucing merah di bahu Ratu Dhika Gelang Gelang merunduk dan mengeong
keras. Gerakan Ratu Dhika agak tersendat namun akhirnya pukulan sakti di tangan
kanan dilepaskan juga ke dalam gua.
Pukulan bernama Langit Robek Bumi Terbongkar!
Sinar merah berkiblat.
Di saat yang sama dinding sebelah dalam goa tiba-tiba bergerak membuka. Dari
balik dinding muncul keluar sosok Pangeran Bunga Bangkai. Begitu melihat sinar
merah melabrak ke arahnya Pangeran ini berteriak kaget dan cepat bertindak
mundur. "Sahabat! Mengapa...."
Ucapan Pangeran Bunga Bangkai hanya sampai di situ karena sinar merah telah
lebih dulu menghantam tubuhnya sebelah depan. Dia masih sempat melihat ada
selarik sinar putih tipis turun dari atas atap goa seperti membuat tabir
perlindungan bagi dirinya. Namun begitu sinar merah menghantam tak ampun
Pangeran Bunga Bangkai terpental. Bagian dalam goa hancur berkeping-keping.
Ragil Abang kembali mengeong keras sementara Ratu Dhika Gelang Gelang terpental
keluar dari goa yang sudah runtuh hancur, jatuh setengah berlutut dengan sekujur
tubuh bergetar dan muka pucat.
"Apa yang terjadi. Apa yang sesungguhnya terjadi. Di balik dinding goa itu
ternyata....Dewa Agung, apakah aku....Tapi aku bersyukur kalau si penipu jahat
itu telah menemui ajal!"
Tiba-tiba ada kilatan cahaya putih disusul suara bergema.
"Kematian adalah bagian setiap manusia di dunia fana agar bisa sampai ke alam
baka. Namun kematian manusia tidak ditentukan oleh manusia lainnya. Rah, Dhika
Gelang Gelang. Kau telah bertindak diluar batas kewajaran. Kau telah mencelakai
seseorang yang telah menjadi pilihan Para Dewa untuk ikut menyelamatkan Bhumi
Mataram dari angkara murka...."
"Si..siapa yang bicara?" Ratu Dhika tergagap] pucat. "Roh Agung?"
"Ratu Dhika....."
"Tunggu! Siapa sebenarnya manusia berkepala Bunga Bangkai itu!"
"Ratu Dhika, kau tidak pantas memotong ucapanku. Pasang telinga dan dengarkan
baik-baik. Atau kutukan atas diri orang itu akan berpindah pada dirimu!"
Mendengar kata-kata tanpa ujud itu Ratu Dhika Gelang Gelang kini sadar kalau dia
bukan berhadapan dengan sembarang mahluk gaib.
"Hyang Jagat Batara Agung, saya yang hina ini mohon maafmu. Saya mengaku salah.
Telah melepas tangan tanpa menyelidiki lebih dulu. Saya siap menerima hukuman."
"Sekali ini kesalahanmu diampunkan Para Dewa. Namun mulai hari ini kau
ditugaskan menjadi penjaga Sumur Api.
Bilamana ada yang sampai menerobos masuk ke dalam Sumur Api sekalipun seekor
semut! Maka hukuman yang lebih berat akan jatuh atas dirimu!"
Ratu Dhika Gelang Gelang jatuhkan diri bersujud ke tanah. Setengah meratap dia
berkata. "Dewa Jagat Bathara Agung. Saya yang hina ini mohon ampunMu. Banyak tugas yang
harus saya laksanakan. Saya harus mencari dimana beradanya Sebayang
Kaligantha..."
"Ratu Dhika, bila kau masih terus berkeras menolak hukuman maka saatnya kau
berubah diri!"
Saat itu juga bagian atas kepala Ratu Dhika Gelang Gelang berubah menjadi kuncup
hijau sementara bagian di bawah leher mengembang membentuk kelopak bunga lebar
berlendir berwarna kuning berbintik coklat. Bersamaan dengan itu tubuhnya
sebelah atas mulai mengeluarkan bau busuk!
Ratu Dhika menjerit keras.
"Ampun seribu ampun! Wahai Para Dewa di Swargaloka, saya meratap meminta
keampunan. Saya berjanji akan mematuhi apa yang telah ditetapkan. Saya akan
menjadi penjaga Sumur Api. Jangankan untuk satu purnama. Untuk seribu purnamapun
akan saya lakukan!" Ratu Dhika benturkan keningnya berulang kali ke tanah sampai
luka sambil air mata bercucuran.
"Selama bertugas menjaga Sumur Api kau tidak diperkenankan meninggalkan tempat
itu lebih dari seratus langkah!
Bilamana Para Dewa berkehendak lain maka Para Dewa akan memberi keampunan atas
dirimu. Kau harus berangkat menuju Sumur Api saat ini juga!"
"Akan saya lakukan. Akan saya lakukan wahai Para Dewa."
Ratu Dhika Gelang Gelang segera berdiri sambil mengepit Ragil Abang si kucing
merah lalu dengan langkah terhuyung-huyung, masih menangis terisak dia
tinggalkan tempat itu. Sambil berjalan tidaklupa dia mengambil kaca lalu
bercermin memperhatikan wajah.
"Ah, mengapa wajahku jadi buruk.
Keningku luka dan benjut! Mengapa hidungku seperti melebar dan pesek! Mahluk
Bunga Bangkai, apakah kau masih hidup atau sudah mati karena pukulanku tadi"
Mahluk Bunga Bangkai maafkan diriku! Jika seandainya kau masih hidup,
tolong...tolong temui diriku di Sumur Api. Aku akan bersujud minta maaf dan
ampunan padamu. Aku tak bisa mencari menemuimu. Aku hanya boleh meninggalkan
Sumur Api paling jauh seratus langkah! Tobat.....!"
Mendadak Ratu Dhika Gelang Gelang hentikan langkah. Di kejauhan dia mendengar
suara tambur ditabuh dan suara seruling ditiup.
"Itu pasti dua manusia aneh Si Tambur Bopeng dan Si Suling Kurus. Ada apa
keduanya berkeliaran di sekitar sini.
Arwah Ketua menyuruh aku mengawasi dua orang itu. Bagaimana ini?" Setelah
berpikir sebentar akhirnya perempuan ini memutar langkah, berjalan ke arah suara
tambur dan seruling. Namun baru menindak tiga langkah tiba-tiba suara mengiang
mendera telinganya.
"Ratu Dhika Gelang Gelang, tugasmu adalah segera pergi ke Sumur Api. Mengapa
lebih memperdulikan si penabuh tambur dan si peniup seruling"!"
Ditegur seperti itu Ratu Dhika menjadi kecut dan cepat-cepat berjalan kembali ke
arah semula. Namun dalam hati dia mengomel.
"Kalau mahluk gaib sudah terlalu banyak mencampuri urusan dunia di Bhumi Mataram
ini oala! Lebih baik rasanya aku berhenti saja jadi orang!"
"Kalau kau memang mau berhenti jadi orang, mengapa tidak membenturkan kepalamu
ke gunung batu"!" Tiba-tiba ada suara menyahuti disusul tawa cekikikan.
Ratu Dhika Gelang Gelang tersentak kaget. Dia memandang berkeliling.
"Siapa yang barusan bicara" Kalau manusia masakan bisa mendengar ucapan hatiku?"
Merasakan tengkuknya mendadak jadi dingin, perempuan ini segera mempercepat
langkahnya. 9 TAMBUR BOPENG DAN SULING BURIK
SUARA tambur dan seruling terdengar semakin santar. Tak lama kemudian kelihatan
dua orang berdiri di depan goa yang runtuh akibat pukulan Langit Robek Bumi
Terbongkar yang tadi dilepaskan Ratu Dhika Gelang Gelang. Orang yang memegang
tambur bertubuh gemuk pendek bermuka bopeng. Kawannya yang meniup seruling
berbadan tinggi kurus, muka penuh bintik-bintik putih.
Si gemuk bopeng hentikan menabuh tambur. Dia berpaling pada si kurus burik yang
juga telah berhenti meniup seruling.
"Apakah kita terlambat?" tanya si gemuk bopeng.
"Jangan-jangan orang yang hendak kita temui sudah menemui ajal dibawah timbunan
reruntuhan goa."
"Siapa yang punya pekerjaan" Heran, Bhumi Mataram akhir-akhir ini telah dijejali
banyak orang-orang jahat.Tambur Bopeng, mari cepat kita periksa. Kalau benar dia
sudah menemui ajal celaka kita.
Celaka Kerajaan ini!"
"Suling Burik! Yang Kuasa Maha Agung!
Memohon padaNya untuk keselamatan orang yang kita cari!" Lalu tam..tam..tam. Si
gemuk pendek bermuka bopeng mulai menabuh tambur kembali. Sahabatnya si Suling
Burik segera pula meniup seruling. Suara seruling melengking keras dan sesekali
menurun berhiba-hiba. Tabuhan tambur terkadang keras lalu berubah pelan.
Sementara suling ditiup dan tambur ditabuh terjadilah hal yang sulit dipercaya.
Satu persatu runtuhan puing-puing yang bertimbunan di goa bekas kediaman dan
pertapaan Pangeran Bunga Bangkai terangkat ke atas, melayang ke udara lalu jatuh
menumpuk di lereng pedataran yang menurun.
Ketika tumpukan puing batu telah terangkat semua, kelihatan satu sosok berkepala
aneh duduk dalam sikap bersamadi. Sekujur tubuh dari atas sampai ke bawah
tertutup debu reruntuhan goa.
Si Tambur Bopeng tabuh tamburnya keras-keras lalu berhenti. Mata memandang
melotot ke depan. Disebelahnya Si Suling Burik tiup serulingnya kuat-kuat lalu
berhenti dan seperti temannya menatap ke depan. Begitu tabuhan tambur dan tiupan
seruling berhenti, sosok tanpa kepala di depan sana bergerak. Sekali dia
goyangkan tubuh maka debu beterbangan dan kini lebih jelas kelihatan sosoknya.
Berpakaian biru, tanpa kepala. Yang ada di bagian kepala adalah kuncup hijau
setinggi tiga jengkal dan kuntum bunga besar kuning berbintik coklat berlendir!
Saat itu juga bau busuk menghampar di tempat itu.
"Kita sudah menemukan! Dia masih hidup! Terima kasih Dewa! Terima kasih Yang
Maha Kuasa!" Berseru Si Tambur Bopeng.
"Aku turut bersyukur. Tapi setelah tertimpa dan tertimbun batu goa yang luar
biasa beratnya, apakah otaknya tidak cidera dan masih waras"!" Si Suling Burik
keluarkan ucapan.
"Selama dia masih mampu menebar bau busuk, berarti dia tidak kurang suatu apa."
Jawab Tambur Bopeng.
"Kalau begitu mari kita periksa!"
Sambil menabuh tambur dan meniup seruling dua orang aneh itu melangkah mendekati
sosok tanpa kepala yang bukan lain adalah Pangeran Bunga Bangkai alias
Nalapraya, Pangeran Kerajaan Taru-managara yang tengah menjalani kutukan dari
Para Dewa karena dituduh telah membunuh ayah kandungnya sendiri.
Mendengar suara tambur dan seruling sejaktadi serta melihat ada dua orang
mendatangi Nalapraya segera berdiri.
"Salam sejahtera bagimu wahai orang yang baru keluar dari timbunan reruntuhan
goa. Kami datang untuk satu urusan sangat penting." Yang berucap adalah Si
Tambur Bopeng. "Salam berbalas disertai ucapan terima kasih karena sahabat berdua telah
menolong aku keluar dari timbunan batu goa. Apakah aku mengenal sahabat berdua?"
"Dalam hal tolong menolong apakah harus diutamakan soal kenal atau tidak"
Kami merasa bahagia telah berbuat kebajikan karena dipercaya Para Dewa untuk
menolong Pangeran."
Nalapraya terkejut karena ada orang takdi kenalnya mengetahui siapa dirinya.
Menyebut Pangeran. Untuk jelasnya dia lantas bertanya.
"Puji syukur semoga sahabat berdua akan mendapat pahala serta rakhmat besar dari
Dewa Agung Yang Maha Kuasa. Sahabat tadi memanggil saya dengan sebutan Pangeran.
Apakah...."
"Sstttt.... Jangan bicara terlalu keras." Kata si Suling Burik. "Tanah dan batu
serta pohon di tempat ini mungkin saja punya telinga. Apakah kami mengada-ada"
Bukankah sahabat seorang Pangeran muda berasal dari Kerajaan Tarumanagara di
wilayah barat" Bernama Nalapraya?"
Nalapraya tercengang.
"Dari mana sahabat berdua mengetahui siapa diriku?"
"Orang di Bhumi Mataram ini mungkin tidak ada yang tahu. Tapi kami sudah tahu
riwayat Pangeran. Malah sejak dua belas purnama lalu kami telah menunggu
kedatangan Pengeran di Bhumi Mataram ini."
Kembali Pangeran Bunga Bangkai dibuat tercengang oleh ucapan orang. "Aku sungguh
tertarik. Sahabat berdua sudah tahu siapa diriku. Sebaliknya aku belum tahu
siapa kalian."
Si Tambur Bopeng pukul tamburnya berdentam-dentam lalu membungkuk dan berkata.
"Aku yang gemuk pendek dan bermuka bopeng ini biasa dipanggil si Tambur Bopeng."
Si Tinggi kurus tiup serulingnya melengking-lengking lalu menjura seraya
berkata. "Aku yang kurus tinggi jelek ini bernama Suling Burik."
"Nama kalian berdua sungguh bagus...." Memuji Nalapraya." Sekarang katakan
urusan sangat penting apakah yang tadi para sahabat maksudkan?"
Si Tambur Bopeng membungkuk. Lalu menjawab.
"Kami datang sebagai utusan. Untuk menyampaikan pinangan."
Kali ini Pangeran Bunga Bangkai benar-benar dibuat tercengang dan ter kejut.
Kalau saja kepala dan wajahnya ada, pasti akan kelihatan bagaimana raut muka
sang Pangeran. "Kalian berdua adalah utusan. Untuk menyampaikan pinangan. Utusan siapa" Lalu
siapa yang hendak kalian pinang" Diriku"!"
Si Suling Burik membungkuk.
"Mengenai kami ini utusan siapa mohon dimaafkan karena saat ini belum dapat kami
beritahukan. Tapi mengenai siapa yang akan kami pinang, saat ini juga dapat kami
beritahukan. Yang jelas yang hendak kami pinang bukan Pangeran."
"Lalu siapa?" tanya Nalapraya.
"Putera Pangeran," menjawab Tambur Bopeng.
Kepala aneh Pangeran Bunga Bangkai menatap ke arah Tambur Bopeng lalu berputar
ke jurusan Suling Burik.
"Kalian ini bicara apa" Aku sama sekali tidak punya putera. Tidak punya anak."
Lalu Pangeran tanpa kepala ini keluarkan tawa bergelak.
Si Tambur Bopeng dan Suling Burik ikutan tertawa.
"Sahabatku Pangeran Nalapraya. Saat ini Pangeran memang belum punya putera.
Tapi dalam waktu tidak terlalu lama lagi bukankah Pangeran akan segera memiliki
dua orang bayi laki-laki" Nah kami akan meminang salah seorang dari putera
Pangeran itu. Putera yang mana nanti baru ketahuan setelah tujuh tahun


Satria Lonceng Dewa 3 Pangeran Bunga Bangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berjalan."
Lama Pangeran Bunga Bangkai terdiam.
"Kalian ini siapa" Bagaimana bisa tahu banyak mengenai riwayat diriku?"
"Pangeran, siapa kami beginilah ujudnya. Mengenai diri dan riwayat Pangeran
agaknya bukan cuma kami yang tahu di Bhumi Mataram ini. Namun mengenai pinangan
memang baru kami yang punya niat baik. Saat ini jika tidak dikatakan terlalu
memaksa dan berlaku lancang, apakah kami bisa mendapatkan penjelasan bahwa
Pangeran menerima pinangan yang kami sampaikan?"
"Jika aku menjawab pertanyaan kalian, berarti aku sudah gila. Anak saja belum
punya, aku juga tidak tahu siapa yang mau meminang anakku! Dua sahabat, lebih
baik kita bicara perihal lain. Atau kalau tidak kalian berdua silahkan
meninggalkan tempat ini. Aku tetap menghormati kalian, ber terima kasih dan
tidak melupakan pertolongan kalian berdua."
"Kalau Pangeran tidak bersedia membicarakan soal pinangan itu lebih lanjut tidak
jadi apa. Yang penting Pangeran sudah tahu bahwa kami telah mengajukan pinangan.
Jadi jangan putera Pangeran kelak diberikan pada orang lain.
Soal kami diminta pergi, itu hak Pangeran.
Namun ketahuilah mulai saat ini kami telah menjadi pengawal-pengawal Pangeran.
Kemana Pangeran pergi kesitu kami ikut. Bilamana nanti putera Pangeran yang kami
pinang telah besar maka kami akan melanjutkan tugas menjadi pengawalnya."
"Sahabat berdua. Aku hidup dalam kutukan Para Dewa.Tapi aku percaya Para Dewa
masih melindungi diriku. Karena itu aku tidak memerlukan pengawalan kalian
berdua..." .
"Kami mengerti, tapi kami berdua tidak akan beranjak dari tempat ini barang
sejengkalpun. Kami mohon maaf kalau telah berlaku lancang. Mungkin bisa membuat
Pangeran menjadi jengkel atau marah. Namun kami hanya menjalankan tugas.
Sekalipun kami berdua dibunuh, kami tidak mungkin pergi meninggalkan Pangeran."
"Sahabat berdua. Jika kalian ingin berbakti, masih banyak orang lain yang pantas
tempat kalian berbakti. Pergilah ke Kotaraja. Kalian berdua pasti menemukan
pekerjaan yang pantas."
Tambur Bopeng dan Suling Buriktidak menjawab. Kedua orang ini dudukkan diri di
tanah. Dua tangan disatukan dan dijunjung di atas kepala. Tubuh tidak bergerak
sedikitpun. Mata dipejam.
Melihat apa yang dilakukan kedua orang itu Pangeran Bunga Bangkai jadi berpikir.
"Kalau mereka bukan menipuku, mungkin aku bisa minta bantuan keduanya untuk
mencari istriku..."
"Dua sahabat, bangunlah. Mengapa menyembah seperti itu. Jika kalian berdua
memang punya niat baik, aku bersedia membawamu kemana aku pergi."
Mendengar ucapan Pangeran Bunga Bangkai Tambur Bopeng dan Suling Burik serta
merta buka mata masing-masing lalu melompat bangun!
"Terimakasih Pangeran, terimakasih."
Tambur Bopeng dan Suling Burik berbarengan sambi! membungkuk berulang kali.
"Tam...tam...tam!"
Tambur Bopeng pukul tamburnya dengan tangan kiri.
Suling Burik tidak mau kalah. Dia segera tiup serulingnya.
Sambil memukul tambur dan meniup seruling keduanya melangkah memutari Pangeran
Bunga Bangkai. Satu kali dari bawah tambur, si Tambur Bopeng keluarkan gulungan
kain putih lalu diberikan pada Pangeran Nalapraya.
"Pangeran, jika kau bisa melihat kau pasti bisa
"Apa ini?" tanya Pangeran Bunga Bangkai.
"Salinan dari tulisan yang ada pada Empat Gading Bersurat." Jawab Tambur Bopeng.
"Gading Bersurat?" Pangeran Bunga Bangkai buka gulungan kain.
"Bacalah, mungkin ada manfaatnya untuk Pangeran ketahui. Kami berdua yakin ada
hubungannya dengan diri Pangeran..."
Pangeran Bunga Bangkai buka gulungan kain dimana terdapat serangkai tulisan
cukup panjang dalam huruf Palawa. Dengan agak berdebar pemuda ini mulai membaca.
Gading Bersurat Pertama
Di masa Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala memegang tahta.
Di Bhumi Mataram dua anak lelaki akan lahir ke dunia. Terlahir dari seorang Ibu
yang pada saat melahirkan berusia tujuh belas tahun.
Perempuan yang telah dipilih Para Dewa. Berasal dari sebuah desa kecil di
selatan Prambanan. Ibu yang akan tetap perawan sepanjang masa. Kelak dua anak
akan menjadi Kesatria mengabdi pada Kerajaan Mataram. Siapa berjodoh akan
menangguk rakhmat. Siapa tidak berjodoh jangan menebar umpat dan hujat. Berita
disebar ke utara, selatan, timur dan barat. Untuk kemaslahatan seluruh umat.
Gading Bersurat
Kedua Siapa yang bersahabat dengan dua anak
Akan mendapat rakhmat dari Para Dewa Siapa yang menjadi guru serta pelindung dua
anak Akan mendapat rakhmat Para Dewa sepanjang masa
Siapa yang bisa menguasai dua anak Akan menguasai Bhumi Mataram Namun niat jahat
akan mendapat balasan
Karenanya tempuhlah selalu jalan yang lurus Jalan yang penuh rakhmat Gading
Bersurat Ketiga
Jika ingin tahu lama kehamilan Dari perawan desa yang dipilih Para Dewa
Menjadi ibu dari bayi
Yang kelak akan menjadi Kesatria Mataram
Letakkan gading di atas Sumur Api Ukur bagian gading yang menjadi hitam Maka
akan diketahui lama kehamilan Gading Bersurat Ke Empat
Malam bulan purnama empat belas hari Konon itulah saat lahirnya dua bayi Orang
baik dan orang jahat Manusia nyata dan mahluk gaib Akan berkumpul untuk
mendapatkan bayi Sumur Api akan menjadi Sumur Darah Mohon perlindungan hanya
pada Yang Maha Kuasa
Semoga Bhumi Mataram terlepas dari bencana
Setelah membaca tulisan di atas kain putih, Pangeran Bunga Bangkai merenung
berpikir. Saat itu yang bertahta di Kerajaan Bhumi Mataram adalah Sri Maharaja
Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala. Berarti dua bayi dimaksud akan lahir sekarang ini
di masa pemerintahannya.
Dada Pangeran Bunga Bangkai berdebar, jantung berdetak kencang dan darah
mengalir cepat. "Dua bayi dilahirkan, apakah....Jika ini memang ada sangkut paut
dengan diriku seperti yang dikatakan dua sahabat aneh, berarti yang akan lahir
itu adalah anak-anakku...."
"Dua sahabat, dari mana kalian dapatkan kain bertulis ini?" Pangeran Bunga
Bangkai bertanya.
"Dari orang yang mengutus kami,"
jawab Tambur Bopeng.
"Kalian masih belum mau memberi tahu siapa sang pengutus itu?"
Tambur Bopeng menggeleng. Pangeran Bunga Bangkai putar kepalanya ke arah Suling
Burik. Orang ini gelengkan kepala.
Pangeran Bunga Bangkai kembali merenung.
"Malam bulan purnama empat belas hari. Malam tadi aku lihat di langit bulan
besar muncul belum bulat benar. Baru malam ke dua belas."
"Dua sahabat, apakah kalian tahu bagaimana ciri-ciri perawan desa yang katanya
akan melahirkan dua bayi lelaki itu?"
"Tidak satupun dari kami yang tahu.
Kami tidak pernah melihat." Jawab Tambur Bopeng.
"Namun pernah ada cerita tentang lenyapnya seorang perawan desa bersama ibunya
di selatan Prambanan. Hanya sayang kami juga tidak tahu siapa mereka. Kalau
Pangeran mau menyelidiki kami bisa mengantar ke desa itu. Agak jauh di arah
timur. Dari penduduk mungkin kita bisa mencari keterangan." Menjelaskan Suling
Burik. "Apakah kalian berdua tahu dimana letak Sumur Api yang tertulis pada kain putih
itu?" Kembali Pangeran Bunga Bangkai ajukan pertanyaan.
"Kami belum pernah kesana. Tapi kami tahu dimana kira-kira letaknya. Jika dicari
pasti bertemu." Menjawab Suling Burik.
"Kalau begitu kita berangkat ke sana sekarang juga." Kata Pangeran Bunga Bangkai
pula. 10 MALAM BERDARAH DI SUMUR API KESUNYIAN mencekam sekitar Sumur Api.
Cahaya api yang membesit keluar dari dasar sumur tidak mampu menerangi sampai ke
pinggiran rimba belantara hingga bayang-bayang hitam pekat tampak bertebaran
dimana-mana. Langit yang semalam cerah malam ini justru tampak redup. Bulan
purnama empat belas hari yang diharapkan muncul seolah sembunyi dibalik
ketebalan awan.
Sesekali jauh di dalam rimba
terdengar suara raungan anjing hutan, mengejutkan burung-burung yang hampir
terlelap tidur. Binatang ini kepakkan sayap lalu menghambur terbang mencari
tempat yang lebih dirasakan aman.
Dalam sebuah kali kecil tak jauh dari Sumur Api, beberapa orang mendekam dalam
gelap, seolah menyatu dengan tebing kali.
Di atas pohon-pohon besar, hampir tidak kelihatan, tersamar dalam kegelapan,
mendekam pula beberapa orang yang setiap saat selalu memandang memperhatikan ke
arah Sumur Api.
Di balik sederetan semak belukar dan dua gundukan batu juga tampak beberapa
orang bersembunyi, diam tak bergerak laksana patung. Lalu ketika ada suara
kucing mengeong disertai bunyi bergemerincing, semua orang yang ada di tempat
itu jadi tercekat. Mata dipentang menatap ke arah Sumur Api. Melihat siapa yang
muncul semua jadi terkesiap.
Bagaimana mungkin.Tadi tidak terlihat orang itu dekat sumur. Kini tahu-tahu dia
sudah berdiri di sana!
"Ratu Meong......" beberapa orang berucap perlahan, bibir bergetar dada
berdebar. "Ratu Dhika Gelang Gelang..."Beberapa orang lain menyebut nama perempuan itu.
Dua orang yang mendekam di tebing kali saling berbisik.
"Tidak disangka perempuan satu ini juga punya urusan di Sumur Api. Kita harus
segera bicara dengan teman-teman agar cepat menyingkirkannya. Kalau tidak urusan
bisa jadi tidak karuan."
"Aku tidak seberapa kawatir dengan perempuan itu. Yang aku takutkan adalah kalau
sampai mahluk bernama Arwah Ketua datang ke tempat ini. Terakhir sekali aku
dengar dia memusnahkan mahluk jejadian Sri Sikaparwathi."
Yang ada di tepi Sumur Api memang Ratu Dhika Gelang Gelang. Di bahu kirinya
berbaring kucing merah Ragil Abang.
Perempuan berkemben yang dibelah bagian bawah depan belakang ini berdiri
memegang cermin. Sambi! merapikan dandanan serta rambutnya dia berkata.
"Ragil Abang, apakah sudah kau hitung berapa manusia kesasar yang datang ke
tempat ini"!"
Kucing merah di bahu kiri Ratu Dhika Gelang Gelang menjawab dengan ngeongan
panjang. Perempuan itu kemudian tertawa cekikikan.
"Sembilan orang katamu! Hik...hik...
hik! Banyak sekali! Perlu apa malam-malam mereka ke sini. Malah ada yang datang
dari kemarin pagi! Hik...hik!"
Ratu Dhika melangkah ke dekat Sumur Api. Dia memandang ke langit hitam gelap
lalu berkata lantang.
"Sembilan mahluk tolol! Kalau kalian hendak menunggu munculnya bulan purnama
empat belas hari maka itu adalah satu kesia-siaan! Bulan purnama tidak akan
muncul malam ini! Apapun urusan kalian di tempat ini datanglah satu bulan lagi
sampai bulan purnama yang akan datang!"
Tak ada yang menjawab. Sembilan orang yang mendekam di tempat gelap diam membisu
tapi mata menengadah ke langit. Mereka memang tidak melihat bulan purnama empat
belas hari. Awan gelap masih bertebaran di langit.
Di atas satu pohon besar seorang tua berjanggut putih panjang yang mendekam
sambil melilitkan janggutnya ke cabang pohon berpaling pada seorang nenek kepala
botak beralis rimbun yang duduk manja di sebelahnya merangkul pinggangnya.
Sambil ciumi kepala botak si nenek dia berbisik.
"Kekasihku Kunti Jenggala, aku tahu betul di langit sana bulan purnama telah
muncul. Tapi ada seseorang berkepandaian tinggi mengarak awan hitam menutupi
rembulan."
"Ametung Warangtilis, Ratu Dhika Gelang Gelang manusia sungguhan. Kepandaian
mengarak awan hanya dimiliki oleh mahluk gaib jejadian atau mahluk alam roh."
Menjawab sang kekasih sambil balas mengusap janggut si kakek.
"Kau bisa menduga siapa mahluknya?"
tanya kakek bernama Ametung Warangtilis.
"Di Bhumi Mataram hanya satu mahluk yang bisa melakukan. Siapa lagi kalau bukan
Arwah Ketua, dedengkot raja diraja mahluk alam kematian! Sejak tadi tidak ada
satu orang tokohpun yang berada di sini berani jual tampang unjukkan diri. Jika
Ratu Dhika Gelang Gelang melakukan hal itu maka berarti dia punya seseorang yang
diandalkan. Pasti dia mengandalkan Arwah Ketua!"
"Lalu apakah kau merasa takut kekasihku?" Si kakek bertanya lalu menjilat kepala
botak si nenek.
Di dekat Sumur Api Ratu Dhika
goyangkan dua tangannya hingga gelang yang diganduli kerincingan berbunyi keras.
"Sembilan mahluk yang ada di tempat ini! Apa kalian manusia sungguhan atau
mahluk jejadian! Dengar apa yang aku katakan! Aku Ratu Dhika Gelang Gelang,
kerabat Sri Maharaja yang bertahta di Bhumi Mataram, mempunyai kewenangan untuk
mengatakan bahwa kalian semua tidak ada kepentingan di tempat ini! Karena itu
aku meminta kalian semua untuk segera pergi!
Siapa yang berani menolak bangkainya akan menggeletak di tempat ini atau rohnya
akan berserabutan kelangit!"
Tidak ada suara jawaban. Namun dari arah kali terdengar suara seperti orang
menggerutu. Ratu Dhika Gelang Gelang melangkah lebih dekat ke Sumur Api.
Tangan kirinya yang memegang cermin diletakkan di dekat bibir batu sumur.
Cahaya nyala api di dasar sumur menerangi cermin. Ketika cermin itu digoyang
maka cahaya merah terang memantul ke depan.
Ratu Dhika membuat gerakan sembilan kali ke sembilan arah. Setiap gerakan cermin
yang diarahkan jatuh tepat secara bergantian pada sembilan wajah orang-orang
yang mendekam di tempat gelap.
"Hik...hik...hik. Kau benar Ragil Abang! Mereka semua berjumlah delapan orang!
Beberapa diantaranyacukup aku kenal! Biaraku bicara lagi. Aku mulai dengan yang
aku kena! lebih dulu!"
Ratu Dhika Gelang Gelang goyangkan lagi cerminnya lalu diam tidak digerakkan.
Pantulan cahaya terang nyala api dari dasar sumur jatuh pada satu wajah seram
yang mendekam di belakang gundukan batu besar. Orang ini lelaki garang berambut
tebal hitam, memelihara berewok, janggut dan kumis tebal. Mata kiri berwarna
merah, mata kanan berwarna kuning. Dua gigi di sudut bibir sebelah atas mencuat
berbentukcaling berwarna merah. Pantulan cahaya merah dari cermin membuat
tampangnya tambah menyeramkan.
"KamaraTunggalbisma alias Hantu Mata Iblis! Kita sudah lama saling kenal. Atas
nama persahabatan aku minta kau menjadi orang yang pertama untuk segera
meninggalkan kawasan Sumur Api ini.
Syukur-syukur kalau kau mau mengajak delapan orang lainnya untuk ikut bersamamu.
Kalian tidak akan melihat bulan purnama malam ini! Apapun urusan dan kepentingan
kalian di tempat ini adalah satu kesia-siaan!"
Lelaki di balik gundukan batu
menggeram pendek. Lalu meniup ke depan.
Cahaya merah yang sejak tadi menyoroti wajahnya buyar. Tangan kiri Ratu Dhika
Gelang Gelang yang memegang cermin bergetar. Perempuan gemuk ini cepat kerahkan
tenaga dalam hingga getaran di tangannya menjadi lenyap.
Setelah lebih dulu tertawa Ratu Dhika Gelang Gelang Berkata.
"Aku sangat mengagumi ilmu kepandaianmu, Kamara Tunggalbisma. Sayang kalau ilmu
meniup langka yang kau miliki itu lenyap dan dilupakan orang begitu saja. Aku
mohon, tinggalkan tempat ini."
"Ratu Dhika!" Sunra jawaban Kamara Tunggalbisma menggelegar. "Aku pergi ke mana
aku suka! Aku diam dimana aku senang!
Bhumi Mataram adalah milik semua orang.
Dia boleh berada dimana saja sesuai kehendaknya, termasuk diriku yang ingin
berada di kawasan Sumur Api ini. Kalau kau meminta aku pergi maka kau juga akan
aku minta angkat kaki dari sini."
"Begitu"!" Ratu Dhika Gelang Gelang berucap sambil menyeringai. Alis kereng
mencuat ke atas. Perempuan ini lalu tertawa panjang. "Kalau kita memang sama-
sama ingin pergi maka aku persilahkan kau pergi duluan!"
Ratu Dhika tutup ucapannya dengan menggerakkan tangan kiri yang sudah dialiri
tenaga dalam tinggi.
"Wusss!"
Dari dalam cermin yang melesat kini bukan cuma pantulan cahaya nyala api tapi
api sungguhan. Kamara Tunggalbisma berteriak kaget tak mengira. Dia cepat
menyingkir. Namun terlambat.Tubuhnya terbanting ke tanah.Tergelimpang tak
bergerak lagi. Di mukanya yang seram kini tampak lobang besar menggidikkan!
Udara di tempat itu serta merta dipenuhi bau daging yang terpanggang!
Kesunyian yang menggantung dipecah oleh suara Ratu Dhika Gelang Gelang.
"Kasihan....Kasihan sekali! Siapa lagi yang perlu aku kasihani"!"


Satria Lonceng Dewa 3 Pangeran Bunga Bangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ratu Dhika Gelang Gelang! Kita memiliki kepentingan sama! Mengapa menyele-
saikan persoalan dengan kematian"!"
Tiba-tiba ada yang bicara lantang.
"Siapa yang bicara"! Aku ingin melihat tampangnya!"
Saat itu juga dari atas pohon
melayang turun sepasang kakek nenek yang bukan lain adalah Ametung Warangtilis
dan kekasihnya Kunti Jenggala.
"Ah, sepasang tua bangka bercinta!"
Ratu Dhika berseru lalu tertawa gelak-gelak. "Sudah lama aku mendengar nama
besar kalian. Baru kali ini bisa bertatap muka. Sungguh satu kehormatan besar!"
Si kakek Ametung Warangtilis diam saja namun sepasang matanya memperhatikan sang
Ratu dengan pandangan mata liar. Di sebelahnya si nenek berkomat kamit. Ratu
Dhika membentak.
"Kalian bilang kita punya kepentingan sama! Kepentingan apa"!"
Ametung Warangtilis berjingkat sedikit lalu miringkan kepala. Lidah dijulurkan
untuk menjilat kepala botak si nenek yang membuat Ratu Dhika menjadi jijik.
"Tua bangka edan! Kalau mau bercinta jangan dihadapanku! Pergi ke comberan
sana!" Ametung Warangtilis menyeringai sambil julur-julurkan lidah.
"Comberan memang bukan tempat sedap.
Tapi lebih enak dari pada kuburan atau timbunan kayu pembakar jenazah!
Ha...ha... ha!" Si nenek ikutan tertawa lalu berkata.
"Ratu Dhika! Jika kau berjanji menyerahkan dua bayi yang bakal lahir malam ini,
aku dan kekasihku bersedia mengakhiri urusan sampai di sini!"
"Ah, jadi itu maksud kalian datang ke Sumur Api. Berarti kepentingan kita tidak
sama! Kau mau dua bayi. Aku sebaliknya melindungi mereka! Selagi malam belum
larut pergilah dari sini!"
"Jika begitu jawabmu, maka kami akan membawamu sama-sama masuk ke dalam sumur
api!" Kata si nenek bernama Kunti Jenggala.
"Kalau kalian memang punya kemampuan aku sudi-sudi saja ikut!" jawab Ratu Dhika.
Sepasang kakek nenek angkat dua tangan lurus-lurus ke atas. Saat itu juga dari
ujung jari-jari mereka mengepul asap putih menghampar hawa luar biasa dingin.
Asap putih kemudian dengan cepat bergulung ke bawah menyelubungi tubuh mulai
dari kepala sampai ujung kaki.
"Ilmu Salju Merapi!" teriak Ratu Dhika Gelang Gelang terkejut. Dia mengenali dan
mengetahui kehebatan ilmu tersebut. Walau belum tentu sepasang kakek nenek itu
mampu mengambil dua bayi yang malam itu memang akan lahir di dasar Sumur Api,
namun kalau keduanya bisa menerobos masuk ke dalam sumur paling tidak kekacauan
besar akan terjadi.
"Ragil Abang! Hadapi si kakek! Aku akan menahan si nenek!" teriak Ratu Dhika.
Kucing merah di atas bahu kiri mengeong keras lalu melompat ke arah Ametung
Warangtilis. Tubuh berselubung si kakek segera berkelebat menghadapi serangan
kucing merah. Kejap itu juga cahaya putih menderu membungkus kaku tubuh Ragil
Abang. Kucing ini seperti memiliki tenaga dalam mengandung hawa panas,
menggeliat jungkir balik di udara lalu kembali menyerang lawan dengan dua kaki
depan terpentang, kuku siap mencabik-cabik.
Kunti Jenggala lepaskan dua pukulan tangan kosong. Selagi Ratu Dhika Gelang
Gelang membuat gerakan mengelak nenek ini memburu dengan tendangan serta dua
pukulan tangan kosong. Tendangan meleset, dua pukulan tangan kosong saling
beradu dengan dua lengan Ratu Dhika Gelang Gelang. Si nenek mencelat ke udara.
Ketika lawan mengejar, perempuan tua ini goyangkan sekujur tubuhnya. Seluruh
benda putih menyerupai salju yang menutupi dirinya berhamburan dan dengan cepat
menyelubungi tubuh Ratu Dhika. Selagi perempuan gemuk ini tertegun kaku Kunti
Jenggala langsung menghajar dengan pukulan-pukulan keras hingga Ratu Dhika
terjengkang. Dua pukulan dengan telak melanda dadanya membuat Ratu Dhika
semburkan darah. Sadar akan bahaya yang dihadapi Ratu Dhika cepat kerahkan hawa
panas hingga sebagian tubuhnya yang kaku kini bisa digerakkan.
Kunti Jenggala tertawa bergelak.
Sekali lompat saja dia sudah melayang di atas tubuh Ratu Dhika, siap untuk
menghancurkan kepala lawan dengan hunjaman tumit kaki kanan!
Sambil bergulingan selamatkan diri Ratu Dhika kerahkan hawa panas ke tangan
kanan. Begitu tangannya mampu digerakkan dengan cepat dia melepas pukulan sakti
Langit Roboh Bumi Terbongkar. Pukulan sakti inilah yang sebelumnya
dikeluarkannya waktu menghancurkan goa tempat pertapaan Pangeran Bunga Bangkai.
Kalau batu goa yang begitu tebal saja hancur berantakan dapat dibayangkan apa
yang akan terjadi dengan tubuh seorang nenek seperti Kunti Jenggala!
Tak ampun lagi tubuh si nenek
mencelat sampai dua tombak ke udara. Ktika tubuh itu melayang turun keadaannya
tercerai berai menjadi dua puluh tujuh potongan!
Lapisan benda putih menyerupai salju yang menyelubungi Ratu Dhika meleleh cair
begitu si nenek Kunti Jenggala menemui ajal. Ratu Dhika tengah berusaha berdiri
sambi! pegangi dada ketika sebuah benda jatuh di depannya.
"Bluukk!"
Ketika melihat benda yang jatuh Ratu Dhika menggerung keras dan jatuhkan diri
menubruk. Benda itu ternyata adalah Ragil Abang. Kucing besar ini menemui ajal
kena dihantam pukulan dahsyat Ametung Warangtilis. Si kakek sendiri tewas dengan
dua belas koyakan luka mengerikan di muka, leher dan dada.
Kalap melihat kematian kucing
peliharaannya, Ratu Dhika Gelang Gelang menjerit-jerit lalu tendang tubuh
Ametung Warangtilis. Karena tendangan yang dilancarkan dengan mengandalkan aji
kesaktian Langit Roboh Bumi Terbongkar, maka seperti yang dialami si nenek,
tubuh kakek inipun hancur bercerai berai!
"Kubunuh semua! Kubunuh semua!"Teriak Ratu Dhika Gelang Gelang masih kalap.
Tiba-tiba enam orang berkelebat dari tempat gelap, langsung mengurung Ratu Dhika
Gelang Gelang. Mereka adalah sisa dari sembilan orang yang sejak tadi mendekam
di tempat gelap, menunggu kesempatan. Melihat kehebatan dan keganasan ilmu
perempuan itu mereka merasa sangsi untuk bertarung sendiri-sendiri. Setelah
secara diam-diam saling mengatur siasat, mereka lalu menyerbu bersama-sama.
"Bagus! Kalian sudah keluar semua!
Ayo serang! Biar aku buat mampus kalian berbarengan!"
Ratu Dhika Gelang Gelang hentakkan dua kaki, angkat tangan ke udara. Dua puluh
kerincing menderu keras. Dua puluh larik sinar kuning memancar menyilaukan.
Siap menebar maut. Tapi enam orang yang mengurung tidak tunjukkan perasaan
jerih. Didahului teriakan keras mereka menyerbu.
Mereka sadar kalau di antara mereka akan jadi korban. Namun mereka juga
mengharap bilamana Ratu Dhika Gelang Gelang tewas maka mereka bisa menerobos
masuk ke dasar Sumur Api. Akibatnya setiap orang membekal niat keji. Siapa saja
diantara mereka kelak yang masih hidup akan dibunuh agar bisa mendapatkan dua
orang bayi. Walau mereka belum melihat bulan purnama empat belas hari namun
mereka yakin bulan itu ada di atas langit sana yang saat itu masih tertutup
tebaran awan gelap.
Tiba-tiba tam...tam...tam! Suara tambur ditabuh. Disusul suara tiupan suling.
Tanah bergetar. Udara bergaung.
Awan tebal yang sejak tadi menutupi langit secara aneh perlahan-lahan menebar
buyar. Langit tampak terang ketika rembulan empat belas hari sedikit demi sedikit
muncul menampakkan diri.
11 LAHIRNYA DUA BAYI KERAMAT
DI DALAM ruangan tidur di dasar Sumur Api. Ananthawuri terbaring di ranjang
besar. Perawan desa Sorogedug yang sedang hamil besar ini berada dalam keadaan
setengah tidur setengah terjaga. Dia tidak tahu apakah dia bermimpi atau melihat
kejadian yang sebenarnya ketika di langit di luar Sumur Api bulan purnama empat
belas hari akhirnya muncul, di dalam ruangan satu cahaya putih kemilau turun
dari langit-langit kamar menyelubungi dirinya. Sekujur tubuhnya terasa sejuk dan
nyaman. Bersamaan dengan itu bau harum segar menebar. Perlahan-lahan kedua
matanya terasa berat lalu terpejam dan tertidur sangat lelap.
Suara aneh yang tidak pernah
didengarnya sebelumnya membangunkan anak perawan pilihan Para Dewa dari
tidurnya. Ananthawuri nyalang mata, mengucak-ngucak beberapa kali sementara telinganya
terus mendengar suara aneh itu. Suara genta lonceng!
Ananthawuri bergerak bangun. Karena kebiasaan dua tangan langsung mengelus
perut. Ananthawuri ' terkejut ketika merasakan bahwa perutnya yang selama ini
besar karena mengandung kini telah rata.
Tiba-tiba dia mendengar suara lain. Suara tangis bayi!
Dewa Agung Jagat Bhatara! Di atas tempat tidur di sampingnya berbaring dua bayi
laki-laki merah montok, melejang-lejang kaki, menggerak-gerakkan tangan dan
menangis sama-sama keras. Sulit dibedakan bayi satu dengan lainnya karena kedua
bayi itu seperti kembar.
"Anakku" Apakah mereka benar anak-anakku" Bayi-bayi yang aku lahirkan seperti
pernah diberitahu Roh Agung" Tapi bagaimana mungkin" Aku tidak merasa seperti
melahirkan. Aku hanya tidur dan tahu-tahu mereka sudah ada di sini. Kalau mereka
bukan anak-anakku lalu...?"
Ananthawuri kembali mengusap perutnya yang telah kempes.
Bagaimanapun dalam diri anak perawan dari Desa Sorogedug itu ada perasaan ikatan
bathin bahwa dua bayi itu memang adalah darah daging yang dilahirkannya.
Perasaan kasih sayang yang muncul dalam dirinya membuat dia membelai kepala ke
dua bayi itu. Ketika membelai itulah dia melihat bahwa bayi yang di sebelah
kanan ada anting-anting emas di telinga kirinya sedang bayi yang di sebelah kiri
ada anting-anting yang sama tapi pada telinga kanan.
"Dewa Agung, sembilan bulan lebih saya menunggu. Sekarang inilah anugerah Mu.
Saya merasa sangat berbahagia. Terima kasih Dewa, terima kasih Yang Maha Kuasa
Maha Pengasih...." Ananthawuri lalu merunduk mencium kening bayi itu satu
persatu. Ketika dia mencium kening bayi yang memiliki anting-anting emas pada
telinga kanan, tiba-tiba dua cahaya putih sejuk muncul menyelubungi dua bayi.
Bersamaan dengan itu terdengar suara yang tidak asing lagi. Suara Roh Agung.
"Ananthawuri anak perawan pilihan Para Dewa
Berkat anugerah Para Dewa yang paling indah telah
menjadi bagian dirimu
Mereka bayi-bayi yang baru kau lahirkan secara gaib bukanlah bayi-bayi biasa
Mereka dua bayi keramat berwajah mirip
Namun mereka tidak kembar
Mereka akan tumbuh tidak seperti bayi biasa
Satu purnama bagi mereka sama dengan dua belas purnama
Jangan heran bilamana dalam usia tujuh bulan mereka akan sama besarnya dengan
anak-anak seusia tujuh tahun Bilamana mereka dewasa kelak
Mereka akan menjadi dua orang
Kesatria Yang akan berbakti pada Bhumi Mataram
Mereka sama dengan sehelai kain putih Mereka bisa tetap putih tapi juga bisa
berubah hitam Sesuai dengan apa yang mereka terima dari luar
Karenanya pelihara dan jaga mereka baik-baik
Mohon selalu petunjuk dan
perlindungan Para Dewa
Agar mereka berada dijalan yang benar dan lurus
Seperti yang pernah dikatakan suamimu Pada hari terakhir pertemuan kalian
Berikan nama Dirga Purana pada bayi yang ada anting-anting di telinga kiri
Dialah anakmu yang sulung
Berikan nama Mimba Purana
Pada bayi yang memiliki anting-anting di telinga kanan
Dialah anakmu yang bungsu
Semoga berkat Para Dewa menjadi bagian kalian bertiga.
Aku pergi sekarang."
"Roh Agung, tunggu dulu. Bolehkah saya bertanya?" Ananthawuri yang sejak tadi
berdiam diri mendengarkan ucapan suara tanpa ujud memberanikan diri membuka
mulut. "Apa yang ingin kau tanyakan anak perawan pilihan Para Dewa?"
"Siapakah nama suami saya" Nama ayah dari dua anak saya?"
"Suamimu seorang Pangeran. Hanya itu yang bisa aku beritahu."
"Seorang Pangeran" Lalu apakah dia tidak punya nama?"
"Hanya itu yang bisa aku katakan."
Suara tanpa ujud mengulangi ucapannya.
"Roh Agung, apakah saya bisa bertemu dengan dia" Dimana saya harus mencari suami
saya" Apakah anak-anak saya bisa bertemu dengan ayahnya?"
"Pertemuan adalah salah satu kehendak Yang Maha Kuasa. Memohonlah padaNya. Niat
baikmu pasti akan dikabulkan. Untuk itu kau perlu bersabar..."
"Satu hal lagi wahai Roh Agung. Sejak tadi saya mendengar bunyi suara lonceng.
Saya tidak tahu dari mana datangnya. Mohon petunjuk Roh Agung, apakah artinya
suara lonceng itu, dari mana datangnya?"
"Suara lonceng yang kau dengar datang dari Swargaloka tempat kediaman Para
Dewa." Menjelaskan suara tanpa ujud. "Itu adalah satu pertanda bahwa kelak salah
seorang dari puteramu akan menerima satu ilmu kesaktian melebihi dari saudaranya
yang lain. Ilmu itu bersumber pada Lonceng Gaib terbuat dari emas milik Para
Dewa..." "Berarti Para Dewa membeda-bedakan diantara dua putera saya?"
"Para Dewa tidak pernah membeda-bedakan. Bahkan berkat dan rahmat diberikan
bukan cuma pada manusia tapi juga pada tetumbuhan dan hewan. Jika kau mau
merenungi lebih dalam justru disitulah makna yang sangat hakiki dari kehidupan
dimana terkait hubungan antara manusia dengan Yang Maha Kuasa Maha Pencipta.
Manusia memiliki suratan nasib dan takdir masing-masing."
"Dari kedua putera saya wahai Roh Agung, yang mana yang akan mendapat kelebihan
ilmu itu?"
"Aku tidak tahu karena itu adalah kuasa dan kehendak Para Dewa. Namun jika
mereka sudah dewasa kelak kau akan mengetahui sendiri. Waktuku sudah habis.
Selamat tinggal..."
"Terima kasih Roh Agung. Saya selalu mohon petunjukmu," kata Ananthawuri sambil
membungkuk dalam-dalam.
KEMBALI ke Sumur Api.
Ketika Ratu Dhika Gelang Gelang dengan galak menghadapi enam musuh yang datang
menyerang secara serentak, suara tambur dan tiupan seruling memenuhi tempat itu.
Tanah bergetar, udara bergaung dan api di dalam sumur bergejolak, menyambar
tinggi melewati bibir sumur.
Tiba-tiba ada yang berseru.
"Sahabatku Ratu Dhika, kau dalam keadaan terluka di dalam. Biar aku dan dua
teman menghadapi para penyerang keji pembawa niat jahat!"
Meski belum melihat orang yang bicara namun Ratu Dhika mengenali suara. Maka dia
segera menyahuti.
"Aku tidak perlu bantuan. Kaupun belum tentu berhati lurus dan membawa niat
jujur!" Enam larik serangan laksana topan prahara menyambar ke arah Ratu Dhika Gelang
Gelang. Empat dari serangan itu memancarkan cahaya menggidikkan. Ratu Dhika
Gelang Gelang goyangkan dua tangan dan hentakkan dua kaki. Saat itu juga dua
puluh sinar kuning menyambar keluar dari kerincingan emas, menyambut serangan
enam lawan tak kalah ganasnya. Namun sebelum semua ilmu kesaktian itu saling
bentrok di udara tiba-tiba terjadi keanehan.
Satu persatu enam orang yang
menyerang Ratu Dhika tubuh mereka terangkat ke atas lalu seperti ada tangan yang
tidak kelihatan tubuh-tubuh itu dibanting-kan ke tanah, ke arah gundukan batu
dan ada juga yang dilempar ke batang pohon besar. Jerit pekik memenuhi udara.
Enam tubuh berkaparan.Tiga dalam keadaan kepala hancur. Dua orang mengalami
patah leher dan satu dengan dada remuk. Semuanya tidak bernyawa lagi!
TAMAT Meskipun Ratu Dhika Gelang Gelang yang dalam keadaan terluka dalam mendapat
pertolongan dari dua orang aneh, apakah dia masih mampu menyelamatkan Sumur Api
dari serombongan tokoh pendatang baru yang juga ingin menerobos masuk ke dasar
Sumur Api pada malam bulan purnama yang sama"
Mengapa Arwah Ketua tidak muncul untuk membantu"
Siapa yang telah mencuri jimat Mutiara Mahakam dan apakah Sebayang Kaligantha
pemuda kekasih Ratu Dhika yang memiliki jimat itu masih hidup"
Siapa sebenarnya manusia pengganda gaib yang memiliki ilmu kesaktian begitu
tinggi" Lalu siapa sang peminang salah seorang bayi keramat yang mengutus si Tambur
Bopeng dan si Suling Burik"
Lalu siapa pula:
DEWI TANGAN JERANGKONG
(Judul kisah berikutnya)


Satria Lonceng Dewa 3 Pangeran Bunga Bangkai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tinju Penggetar Bumi 1 Pendekar Binal Karya Khu Lung Rahasia Kampung Garuda 13
^