Pencarian

Perawan Sumur Api 1

Satria Lonceng Dewa 1 Perawan Sumur Api Bagian 1


SERI MIMBA PURANA
Satria Lonceng Dewa
Karya : Bastian Tito
1. ANAK PERAWAN SOROGEDUG
AGAKNYA ini adalah malam paling indah di permulaan
musim kemarau di Bhumi Mataram. Langit biru bersih
sedikitpun tidak berawan, dihias tebaran bintang gumintang.
Cahaya bulan purnama menyaput langit, turun ke bumi
membawa kesejukan. Bila angin bertiup, kesegaran terasa
sampai di rongga dada.
Di bawah semua keindahan malam yang mempesona dan
udara sejuk penuh kesegaran, candi Siwa yang terletak di
kawasan Prambanan dan lebih dikenal oleh penduduk
setempat dengan sebutan candi Loro Jonggrang tegak
menjulang megah dan anggun. Diapit oleh candi Brahma di
sebelah selatan dan Candi Wisnu di sebelah utara. Sesekali
serombongan burung malam melayang terbang melewati
puncak ketiga candi.Tiga candi tidak beda laksana tiga
raksasa penjaga negeri dikelilingi oleh beberapa candi lainnya.
Menjelang tengah malam, ketika keheningan yang
berselimut udara sejuk membuat terasa adanya kesakralan di
kawasan Prambanan, dari balik Candi Nandi tampak
seseorang berjalan ke arah Candi Loro Jonggrang. Orang ini
ternyata adalah gadis berambut panjang hitam sepinggang,
mengenakan kemben lurik kasar, tidak mengenakan alas kaki
dan wajah cantik alami tanpa diberi pupur, tidak juga penerang
alis apa lagi pewarna bibir.
Beberapa saat akan sampai di tangga utama candi, gadis
berusia sekitar enam belas tahun ini hentikan langkah.
Matanya yang bening bagus menatap ke depan, mulut
berucap perlahan.
"Aneh, tadi aku tidak melihat orang tua yang duduk di
depan tangga candi. Sekarang mengapa tahu-tahu sudah ada
di situ" Dari mana gerangan datangnya?"
Seperti yang dilihat si gadis, saat itu di tanah di depan
tangga candi memang tampak duduk seorang tua berambut,
kumis dan janggut putih. Pakaian selempang kain putih
sederhana. Di tanah di samping kiri terletak sebatang tongkat
kayu. Si orang tua duduk sambil memegang sebuah kitab.
Mulut bergumam membaca isi kitab yang ditulis dengan huruf
Palawa dalam bahasa Sansekerta.
"Orang tua itu, dia membaca Kitab Weda pada bagian
Yayur Weda, bacaan dan mantera untuk keselamatan..." Si
gadis berucap dalam hati. Agaknya gadis ini punya
pengetahuan tentang kepercayaan Hindu yang menjadi
agama di Bhumi Mataram pada masa itu.
Tak berani melewati, sungkan mengganggu, maka si gadis
tegak berdiri menunggu sampai si orang tua menyelesaikan
bacaannya. Cukup lama baru orang tua di depan tangga candi
hentikan bacaan. Perlahan-lahan dengan sikap khidmat dia
menutup kitab, letakkan di atas pangkuan lalu mengangkat
kepala. Begitu pandangannya membentur gadis yang berdiri
beberapa langkah di hadapannya, sepasang alis mata si orang
tua naik ke atas. Mulut lalu menyapa halus.
"Seorang perawan di malam hari. Mendatangi candi suci
Candi Loro Jonggrang, ada apakah maksud di hati?"
Si gadis maju dua langkah, terlebih dulu membungkuk
memberi hormat lalu berkata. "Orang tua, salam sejahtera
bagimu. Apakah kau seorang Brahmana..."
Orang yang duduk bersila di tanah letakan dua telapak
tangan di atas dada lalu gelengkan kepala.
"Aku bukan Brahmana. Aku hanya seorang tua yang di
rumah tidak bisa memincingkan mata. Lalu memutuskan
mencari ketenangan di tempat ini dengan membaca Kitab
Weda..." "Orang tua, kau pandai merendah diri. Jangan-jangan kau
Dewa Agung yang turun ke bumi menjelma diri."
Kembali orang tua itu gelengkan kepala. Kali ini disertai
dengan senyum di wajah.
"Anak perawan, coba jelaskan siapa dirimu. Ada maksud
apa malam-malam datang ke candi seorang diri."
"Saya datang dari Sorogedug. Sebuah desa kecil di
selatan Prambanan. Saya meninggalkan desa saat matahari
terbenam. Saya sengaja berjalan di malam hari agar tidak ada
yang melihat."
"Sorogedug cukup jauh dari sini. Katanya kau sengaja
berjalan di malam hari agar tidak ada yang melihat. Agaknya
ada satu kerahasiaan dalam dirimu. Selain itu kau merasakan
sepertinya ada sesuatu yang merisaukan dirimu kalau tidak
mau dikatakan ada yang menakutkanmu. Anak perawan, siapa
namamu" Ada maksud apa datang ke candi?"
"Nama saya Ananthawuri. Saya datang untuk mengunjung
Patung Batari Durga Mahisasura-mardani."
Si orang tua menatap wajah gadis cantik di hadapannya
sementara angin malam meniup rambutnya yang panjang
hitam melambai-lambai di belakang punggung.
"Ananthawuri.... Sungguh nama yang bagus.Tapi dibalik
wajahmu yang cantik aku melihat bayangan kesedihan, juga
ada rasa ketakutan. Sesuatu mengganjal di lubuk sanubarimu.
Dan kalau kau malam-malam datang ke candi untuk menemui
Patung Batari Durga yang lebih dikenal dengan nama Loro
Jonggrang, aku yang telah hidup puluhan tahun ini rasanya
sudah bisa menerka apa maksud kedatanganmu. Apakah kau
punya masalah dengan pemuda tambatan hatimu atau kau di
usia semuda ini hendak memohon mendapatkan jodoh?"
"Terima kasih, kau memperhatikan diri saya, Kek.
Bolehkah saya memanggilmu Kakek?" tanya si gadis.
Orang tua berselempang kain putih tersenyum dan
anggukan kepala.
"Berarti saya bisa membagi rasa denganmu. Tentu saja
kalau kau mau Kek.Tapi ketahuilah, saya belum mempunyai
seorang pemuda yang jadi tambatan hati dan saya datang ke
candi ini tidak untuk memohon jodoh." Begitu Ananthawuri
menjelaskan. "Begitu?" Orang tua yang duduk bersila di tanah agak
heran tapi mulutnya tersenyum.
"Kau beruntung. Bangunan candi belum seluruhnya
rampung. Tapi Patung Loro Jonggrang sudah lama selesai.
Indah dan cantik. Hai, aku memperhatikan kau seorang gadis
bertubuh jangkung. Tingginya dirimu hampir menyerupai sang
Batari. Dan wajahmu.... Dewa Maha Besar. Mengapa aku
melihat banyak kesamaan antara wajahmu dengan wajah
patung Loro Jonggrang?" (Jonggrang = jangkung)
Perawan dari desa Sorogedug itu tertawa.
"Kek, kau ini ada-ada saja. Masa mau menyamakan saya
anak desa yang jelek ini dengan Dewi cantik jelita itu."
"Ananthawuri, walau kita baru bertemu malam ini, kau mau
memanggilku Kakek. Apakah aku yang tua ini berlaku lancang
kalau aku menganggap dirimu sebagai cucu sendiri."
"Tidak, tidak lancang Kek. Saya malah sangat berterima
kasih. Saya gembira kini punya seorang Kakek karena
sesungguhnya Ayahpun saya sudah tidak punya." Si orang tua
mengangguk. "Aku bisa melihat kesedihan di raut wajah serta pancaran
sinar matamu. Ketahuilah Kakekmu ini bernama Dhana
Padmasutra."
"Kakek Dhana, saya senang bertemu dan mengenal
dirimu. Saat ini apakah saya boleh minta jalan dan naik ke
candi?" "Tentu saja cucuku. Namun sebelum naik dan masuk ke
dalam candi dan menemui Patung Loro Jonggrang, aku ingin
bertanya, apakah kau pernah mendengar riwayat kehidupan
Patung yang kau hendak temui itu?"
"Saya pernah mendengar. Dari Ibu. Riwayat
didongengkan setiap kali saya mau tidur.Tapi kalau Kakek
juga punya cerita yang mungkin lebih bagus dan lebih lengkap
tentang sang Dewi, saya suka sekali mendengarnya."
Si orang tua tersenyum dan anggukan kepala. Dalam hati
dia berkata. "Anak perawan ini, dia sudah mengetahui sesuatu tapi
tetap ingin mengetahui lebih banyak. Berarti dia mencintai ilmu
pengetahuan. Caranya meminta dengan segala kerendahan
hati dan ketinggian jiwa. Dia membekal satu urusan penting,
namun masih mau meluangkan waktu bercakap-cakap dan
berbagi rasa. Dia tengah menghadapi kesulitan tapi masih
menyempatkan bicara denganku. Ah....mengapa hatiku begitu
suka padanya. Dewa Maha Besar, Dewa Maha Agung. Saya
Dhana Padmasutra hambamu yang rendah menjatuhkan diri
berlutut di hadapan Para Dewa, mengucap selangit terima
kasih, menghatur sebumi rasa syukur dan menyampaikan
selautan luas rasa gembira karena Para Dewa di Swargaloka
telah mempertemukan saya dengan anak perawan ini.Wahai
Para Dewa, apapun kesedihan serta ketakutan yang
menyelinap dalam hatinya, berikan saya kemampuan untuk
menolong."
Tiba-tiba satu cahaya putih laksana turun dari langit
berpijar menyelubungi tubuh Dhana Padmasutra. Saat itu juga
Ananthawuri melihat bagaimana wajah si orang tua menjadi
lebih segar dan lebih cerah. Sepasang mata yang sebelumnya
sayu kini bersinar cerah. Tubuh yang tadi agak tertunduk
merunduk kini duduk lurus dengan dada tegap ke depan.
"Kakek Dhana, apa yang terjadi" Ada cahaya putih saya
lihat masuk ke dalam tubuhmu. Kau tidak apa-apa?"Tanya
Anathawuri sambil beringsut maju dan memegang lengan si
orang tua. Ketika jari-jarinya menyentuh lengan itu, si gadis
merasa ada hawa luar biasa sejuk masuk ke dalam tubuhnya.
"Aku baru saja menerima berkah Para Dewa," ucap Dhana
Padmasutra. Lalu membungkuk dalam-dalam sampai
keningnya menyentuh tanah. Sambil bersujud orang tua ini
berucap. "Wahai Batara Dewa di Khayangan. Saya tidak tahu
pertanda apa yang Engkau berikan. Saya percaya Engkau
melindungi saya dalam segala niat dan perbuatan saya. Jika
saya harus melindungi dan menolong orang lain, maka berilah
kepada saya kekuatan untuk mampu melakukan hal itu."
Setelah kembali duduk bersila si orang tua berkata.
"Cucuku Ananthawuri, aku akan ceritakan padamu riwayat
Loro Jonggrang. Singkat-singkat saja agar sesudah itu kau
bisa segera mengunjungi patungnya."
Si gadis tersenyum. Merasa lega mengetahui orang tua di
hadapannya tidak kurang suatu apa. Sementara Dhana
Padmasutra sendiri dalam hati membatin.
"Anak perawan ini agaknya bukan gadis sembarangan.
Kalau bukan karena kehadirannya rahmat Para Dewa tidak
akan turun atas diriku."
ooOOOoo 2. KISAH DHANA PADMASUTRA
SETELAH merapikan letak kitab Weda di atas
pangkuannya kakek bernama Dhana Padmasutra menuturkan
kisah Loro Jonggrang pada Ananthawuri.
Konon beberapa puluh tahun lalu seorang Raja yang
memiliki Keraton di Gunung Boko mempunyai seorang puteri
cantik jelita tinggi semampai bernama Loro Jonggrang. Suatu
ketika seorang Kesatria gagah perkasa dan juga sangat sakti
bernama Bandung meminang Loro Jonggrang untuk dijadikan
istri. Raja Boko menerima lamaran itu namun sang puteri
menolak. Karena sangat menghormati Ayahnya dan tidak mau
mempermalukan sang Kesatria maka Loro Jonggrang
menerima pinangan tersebut dengan mengajukan syarat.
Syarat itu sekaligus diajukan sebagai mahar atau mas kawin
yakni sang Kesatria harus membuat 1000 candi dalam waktu
satu malam. Jika Bandung mampu memenuhi syarat itu maka
Loro Jonggrang menerima pinangan dan bersedia menjadi
istrinya. Bandung sang Kesatria karena sangat mencintai Loro
Jonggrang dengan kesaktiannya memanggil ribuan makhluk
halus sebangsa jin untuk membantu membangun 1000 candi
yang diminta. Maka mulai matahari terbenam sampai
semalaman suntuk ribuan makhluk halus di bawah pimpinan
Bandung bekerja keras. Menjelang matahari terbit ternyata
tinggal satu candi yang belum rampung.
Melihat kejadian itu Loro Jonggrang yang semalaman
tidak tidur dan mengawasi pembuatan 1000 candi merasa
sangat khawatir. Kalau sampai candi ke 1000 selesai berarti
dia harus bersedia dikawini oleh Bandung. Padahal Loro
Jonggrang sama sekali tidak menyukai apa lagi mencintai
sang Kesatria. Dalam khawatirnya Loro Jonggrang terus memohon pada
Yang Kuasa agar diberi petunjuk bagaimana caranya
menghindari perkawinan itu. Loro Jonggrang mendapat akal.
Puteri Raja ini membangunkan dan mengumpulkan semua
anak gadis yang ada di Kerajaan. Kepada mereka
diperintahkan agar segera menumbuk padi di lesung. Dalam
waktu singkat seluruh negeri ramai oleh hiruk pikuk suara
tumbukan alu di lesung padi yang dilakukan oleh hampir
ratusan anak gadis. Suara alu beradu dengan lesung
membuat ayam-ayam terbangun dan suara kokoknya
kemudian terdengar di mana-mana.
Semua makhluk halus yang tengah melakukan pekerjaan
membangun candi terakhir tersentak kaget. Mereka mengira
hari telah siang dan takut celaka terkena sinar matahari.
Semuanya serta merta meninggalkan tempat mereka bekerja
membangun seribu candi. Melihat apa yang terjadi dan
mengetahui tipu muslihat yang dilakukan Loro Jonggrang,
Bandung marah bukan alang kepalang. Kesatria sejati ini
menjatuhkan kutuk, menjadikan Loro Jonggrang sebagai
patung. Sejak diciptakannya Patung Batari Durga di Candi Siwa
timbul kepercayaan bahwa patung itu adalah penjelmaan Loro
Jonggrang puteri Raja Boko. Patung banyak dikunjungi oleh
muda mudi sambil memohon kepada Dewa agar mudah
mendapatkan jodoh.
Dhana Padmasutra menutup kisahnya dengan bertanya.
"Cucuku Ananthawuri, setelah kau mendengar cerita Loro
Jonggrang, aku ingin bertanya lagi. Apakah maksudmu
mengunjungi Patung Loro Jonggrang karena kau juga ingin
mendapat jodoh seperti yang dilakukan para gadis dan banyak
pemuda?"

Satria Lonceng Dewa 1 Perawan Sumur Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak Kek, saya tidak bermaksud mencari jodoh. Saya
ingin minta petunjuk dan perlindungan. Nasib diri saya hampir
tiada beda dengan Loro Jonggrang..."
Dhana Padmasutra pandangi anak perawan dari
Sorogedug itu beberapa ketika.
"Cucuku, ceritakan apa yang terjadi dengan dirimu."
Maka berceritalah Ananthawuri.
"Semasa Ayah masih hidup, beliau memiliki banyak sawah
dan ladang. Suatu ketika untuk suatu keperluan Ayah
membutuhkan uang dalam jumlah yang cukup besar. Panen
hasil sawah dan ladang ditunggu masih lama. Ayah meminjam
uang pada seorang saudagar muda dengan cara mengijonkan
hasil sawah ladang.Tidak diduga semacam penyakit tanaman
merusak seluruh tanaman. Anehnya musibah itu hanya terjadi
pada sawah dan ladang Ayah saja. Hasil panen yang
diharapkan akan dipakai untuk pembayar hutang tidak menjadi
kenyataan. Sementara hutang bunga berbunga hingga berlipat
ganda. Sampai Ayah meninggal dunia hutangnya tidak
terbayar..."
"Cerita selanjutnya aku bisa menerka," kata Dhana
Padmasutra pula. "Saudagar muda itu mendatangi
keluargamu, minta agar hutang mendiang Ayahmu
diselesaikan."
"Betul sekali Kek," kata Anathawuri. "Ibu memberitahu
belum sanggup membayar hutang. Ibu menawarkan agar
saudagar itu mengambil seluruh tanah sawah dan ladang
sebagai pembayar hutang. Tapi dia menolak-Tanah sawah
dan ladang kami tidak dihargai barang sekepeng batupun.
Malah dia mengancam akan membawa perkara hutang
piutang itu ke Pejabat Kerajaan. Ibu ketakutan dan jatuh sakitsakitan.
Namun ancaman itu ternyata akal busuk sang
saudagar saja. Karena satu kali dia pernah berkata pada Ibu.
Jika saya mau dijadikan istrinya maka semua hutang Ayah
akan dihapus."
Dhana Padmasutra tercengang mendengar keterangan si
gadis dan gelengkan kepala sampai beberapa kali.
"Yang saya khawatirkan Kek, jika maksudnya mengawini
saya tidak kesampaian, mungkin sekali saya akan diapaapakan.
Bisa-bisa saya diculik dilarikan."
"Cucuku, aku tidak mengira di Bhumi Mataram ini ada
seorang sejahat Saudagar muda itu. Kalau aku boleh tahu
siapa gerangan orang itu."
"Namanya Narotungga..." Memberitahu Ananthawuri.
"Narotungga" Kedengarannya bukan nama orang Bhumi
Mataram. Sepertinya... Jangan-jangan orang ini pendatang
berasal dari Selatan."
"Betul Kek, Saudagar muda itu memang dari selatan. Tapi
kabarnya dia juga bukan asli orang selatan."
"Pantas...pantas. Orang Mataram asli tidak akan ada yang
sejahat itu perilakunya. Tapi Yang Maha Kuasa berbuat
sekehendakNya. Berdosa kita kalau menyalahkan seseorang
bersifat dan berbuat jahat."
"Selain saya tidak suka padanya, saya juga mendengar
kabar kalau Saudagar Narotungga telah mempunyai beberapa
orang istri. Bila dia tidak suka pada salah seorang atau dua
orang istrinya dengan mudah dia menceraikan lalu mencari
istri-istri baru..."
"Bukan main, seperti hewan saja," ucap Dhana
Padmasutra."Cucuku Ananthawuri, sekarang sebaiknya kau
segera naik ke candi. Saatnya kau menemui Loro Jonggrang.
Ceritakan dengan hati dan ucapanmu semua apa yang kau
hadapi dan mohon petunjuk. Walau dia Cuma patung batu,
bisu dan dingin namun melalui Kuasa Dewa sesuatu akan kau
dapatkan sebagai petunjuk. Aku akan menunggumu di sini
sambil melanjutkan membaca Kitab Suci Weda."
"Saya akan segera naik ke candi. Kakek Dhana, saya
mohon restumu agar Para Dewa mau memperhatikan diri saya
yang malang ini."
Si orang tua anggukan kepala, tersenyum dan membelai
rambut panjang si gadis. "Doa orang lain memang diperlukan,
namun doa serta permohonan sendiri yang disampaikan
langsung kepada Yang Maha Kuasa akan lebih mustajab.
Pergilah cucuku..."
Seundak-demi seundak Ananthawuri menaiki tangga
utama Candi Loro Jonggrang. Walau langit bersih tak berawan
serta sinar rembulan ikut menerangi Bhumi Mataram termasuk
kawasan Prambanan, di dalam candi keadaan tidak begitu
terang. Namun Ananthawuri melangkah cepat dan sigap.
Semasa kecil, sewaktu candi dibangun dia sering datang dan
bermain-main di sana dengan teman-teman. Karenanya dia
hafal betul di mana letak ruangan tempat beradanya Patung
Batari Durga atau yang lebih dikenal dengan nama Loro
Jonggrang. Di dalam suatu ruangan batu yang menghadap ke utara
disitulah beradanya Patung Loro Jonggrang. Patung berdiri di
atas seekor banteng bernama Nandi yang tewas di tangan
Batari Durga. Konon menurut cerita, suatu ketika ada seekor
banteng hendak mencelakai Durga. Banteng ini ternyata
bukan hewan biasa karena di dalam tubuhnya telah masuk
satu roh jahat. Durga berhasil menumpas makhluk halus yang
menguasai banteng hingga berteriak-teriak dan melarikan diri.
Banteng Nandi sendiri akhirnya ikut tewas di tangan Durga.
Patung Loro Jonggrang ini bagus dan halus sekali
bentuknya hingga dipandang dari kejauhan laksana hidup dan
tersenyum kepada siapa saja yang memperhatikannya.
Setelah memandang patung beberapa lama, Ananthawuri
lalu membungkuk tiga kali dan perlahan-lahan menjatuhkan
diri berlutut. Lama perawan desa Sorogedug ini terdiam
sebelum mampu membuka mulut mengeluarkan ucapan
sambil tundukan kepala.
"Wahai Batari Durga yang juga saya sebut dengan nama
Loro Jonggrang. Pertama sekali saya mohon maaf kalau
kedatangan saya mengganggu ketenteraman Batari. Wahai
Nyi Loro kalau boleh saya panggil dengan sebutan Dewi. Saya
gadis desa bernama Ananthawuri, datang menghadap Dewi
karena saya tidak tahu lagi akan bertemu siapa, akan bicara
dengan siapa dan akan minta tolong serta perlindungan
kepada siapa."
Sesaat Ananthawuri angkat kepala. Setelah
memperhatikan wajah patung dia kembali tundukan kepala
dan lanjutkan ucapan. Namun belum sampai kata-kata
meluncur keluar dari mulut perawan desa ini tiba-tiba dia
mendengar suara halus seolah bergema datang dari kejauhan.
"Ananthawuri, aku sudah mendengar apa yang kau
ceritakan pada orang tua di tangga candi. Kita hidup di alam
yang berbeda namun ternyata nasib kita punya kesamaan."
Dalam kejutnya Ananthawuri langsung angkat kepala,
menatap kearah patung. Hyang Jagat Bathara Sakti! Dia
melihat sepasang mata Patung Loro Jonggrang seolah hidup,
menatap kearahnya dan mulut patung tampak bergerak-gerak.
"Dewi Loro Jonggrang. Kau menatap ke arah saya, kau
bersuara. Kau hidup. Oh Dewa! Besar nian berkah M u pada
gadis malang ini..."
"Ananthawuri, kau masih muda belia. Karena itu mungkin
kau belum tahu bahwa hidup dan kehidupan di atas dunia ini
adalah semacam panggung sandiwara penuh tantangan.
Seseorang bisa melambung ke puncak kejayaan dan
kebahagiaan. Tapi seseorang juga bisa terpuruk ke jurang
hina penuh nista dan teraniaya. Pulanglah, jaga Ibumu baikbaik.
Bukankah dia sedang sakit-sakitan..."
"Saya mendengar ucapanmu wahai Dewi Loro Jonggrang.
Saya akan segera pulang..."
"Tentang nasib dirimu Para Dewa tentu sudah mendengar
dan mengetahui. Para Dewa tentu tidak akan membiarkan
seorang gadis seperti mu teraniaya begitu saja."
"Terima kasih Dewi...terima kasih banyak." Kata
Ananthawuri berulang kali sambil membungkuk menyentuh
kening ke lantai candi yang dingin tiga kali berturut-turut. Lalu
dia mencium ujung kaki Patung Loro Jonggrang. Saat itulah
dia merasa ada dua tangan mengangkat bahunya hingga dia
berdiri. Anehnya, kini tubuhnya jadi sama tinggi dengan
patung Loro Jonggrang. Kepala saling berhadapan, mata
saling berpandang.
"Dewi Loro Jonggrang..." Ucap Ananthawuri dengan suara
bergetar. Dia memandang ke bawah. Dia melihat kakinya
sejajar dengan kaki patung. Apa yang terjadi. Bagaimana
mungkin tubuhnya bisa setinggi tubuh patung sang Dewi.
Ananthawuri kembali menatap ke wajah patung. Seperti kata
kakek Dhana Padmasutra, wajah patung memang menyerupai
banyak kesamaan dengan wajahnya. "Dewa Maha Agung,
bagaimana ini bisa terjadi. Wajahku menyerupai wajah Dewi
Loro Jonggrang..." ucap Ananthawuri dalam hati.
Saat ini tangan kanan patung tiba-tiba bergerak ke depan,
lima jari tangan menggenggam kencang membentuk tinju
seolah hendak menjotos kepalanya.
"Dewi...."Ananthawuri terkesiap.
ooOOOoo 3. BATU SAKTI KALADUNGGA
LIMA jari tangan patung yang menggenggam tiba-tiba
bergerak membuka. Di atas telapak tangan Loro Jonggrang
terletak sebuah benda merah sebesar ujung jari kelingking.
Benda ini memancarkan kilauan aneh hingga jika diperhatikan
ber-bentuk seperti seekor kalajengking yang menggerakan
kepala, kaki dan ekor.
"Ini Batu Kaladungga. Jika batu ini berada dalam tubuhmu
maka siapa saja orang yang mempunyai niat jahat
terhadapmu, sekalipun baru di dalam hati, maka orang itu
tidak akan mampu melihat dirimu. Ananthawuri, ambil batu ini
dan telanlah."
Sepasang mata Ananthawuri memperhatikan tak berkedip
batu di tangan Loro Jonggrang. Lalu gadis ini menatap wajah
sang patung. Mulut patung bergerak.
"Tidak usah ada keraguan. Ambil batu ini dan cepat telan.
Dewa akan menolongmu."
Ananthawuri segera mengambil batu lalu memasukan ke
dalam mulut. Dia merasa ada hawa sejuk di dalam mulut dan
menjalar keseluruh tubuh. Namun setelah mencoba beberapa
kali gadis ini mengalami kesulitan menelan batu yang bernama
Kaladungga itu. Loro Jonggrang usapkan tangan kanan ke
leher si gadis. Saat itu juga batu Kaladungga meluncur masuk
lewat tenggorokan Ananthawuri. Anak perawan berusia enam
belas tahun ini merasa tubuhnya mendadak berubah ringan
dan pemandangannya menjadi lebih terang.
"Ananthawuri, lekas tinggalkan tempat ini. Cepat pergi..."
"Dewi Loro Jonggrang..." Ananthawuri cium tangan kanan
patung yang masih terulur. Dia seperti memegang dan
mencium tiada beda tangan manusia biasa. Halus dan wangi.
Sesaat kemudian tangan itu merapat kembali ke sisi kanan
tubuh. Secara bersamaan tubuh Ananthawuri berubah ke
bentukasal yaitu tidak lagi setinggi tadi.
"Dewi, saya Ananthawuri mengucapkan terima kasih. Puji
hormat saya untuk Dewi dan puji syukur saya untuk Para
Dewa." Ananthawuri bungkukan tubuh, mencium kaki patung lalu
bersurut mundur. Terakhir kafi sebelum keluar dari ruangan
gadis ini menatap ke arah wajah patung, layangkan senyum
sambil tangan kanan dilambaikan. Wajah patung Dewi Loro
Jonggrang balas tersenyum dan mata kirinya tampak
dikedipkan. Ketika menuruni tangga menuju pintu gerbang utama
candi, Ananthawuri merasa dirinya seperti melayang. Cepat
sekali dia berada di undakan tangga terakhir sebelah bawah.
Namun begitu menginjakan kaki di tanah gadis ini terpekik.
"Kakek Dhana!"
Orang tua berselempang kain putih yang tadi ditemui
Ananthawuri sebelum naik ke atas candi kini dalam keadaan
tergeletak di tanah. Kepalanya hangus hitam mengerikan.
Rambut gosong seperti habis terbakar.Tongkat kayu dan Kitab
Weda tercampak di tanah dalam keadaan terkembang.
"Kakek Dhana, apa yang terjadi"!"
Ananthawuri menghambur jatuhkan diri di samping sosok
si orang tua. Gadis ini hendak letakkan kepala orang tua itu di
atas pangkuannya namun Dhana Padmasutra yang dalam
keadaan sekarat masih mampu mengeluarkan ucapan.
"Cucuku, lekas tinggalkan tempat ini. Ambil Kitab Weda,
bawa tongkat kayuku. Ikuti saja kemana tongkat itu akan
menuntunmu. Jika kau mendengar suara maka itu adalah
suara Roh Agung yang memberi etunjuk padamu. Pergilah.
Jangan risaukan diriku. Aku telah menerima rahmat besar dari
Para Dewa. Aku merasa berbahagia bisa meninggalkan dunia
fana di malam yang begitu indah dan... sebelum pergi aku bisa
bertemu dengan gadis sepertimu."
"Kakek, jangan bicara seperti itu. Saya akan menolongmu.
Katakan apa yang terjadi" Siapa yang mencelakai dirimu
sekejam ini"!"
Wajah tua itu tersenyum. "Lekas pergi..." katanya.
"Kek..." Ananthawuri merasa bimbang.
"Cucuku, ikuti kata-kataku...Tempat ini sekarang sangat
berbahaya bagimu."
"Kalau begitu katamu Kek, baiklah.Tapi saya akan
membawa tubuhmu dari sini. Saya tidak akan meninggalkan
dirimu." "Tidak.-.Jangan. Cucuku, lupakan diriku. Pergilah..."
"Baik, Kek. Saya akan segera pergi. Cepat-cepat pulang
ke desa Sorogedug."
"Jangan, jangan pulang ke desa. Ikuti saja ke mana
tongkat kayu milikku akan membawa menuntun dirimu..."
"Baik Kek. Saya akan menuruti kata-katamu..."
"Dewa akan melindungi dirimu," ucap si orang tua. Lalu
kepalanya terkulai.
"Kek!" Ananthawuri memandang berkeliling. Dia tidak
melihat siapa-siapa di sekitar situ. Sepi. Namun naluri
perawan belia ini merasakan ada kehadiran orang lain di
tempat itu. Pandangannya kemudian membentur Kitab Weda
dan tongkat kayu yang tergeletak di tanah. Dia ingat pada
pesan si kakek. Cepat-cepat gadis ini mengambil kitab dan
tongkat. Ketika hendak mengambil tongkat, di tanah
Ananthawuri melihat sebuah benda bulat berwarna
kemerahan. Walau tidak pasti apa adanya benda itu namun
diambilnya juga, diselipkan ke balik kemben.


Satria Lonceng Dewa 1 Perawan Sumur Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meski hatinya sedih dan berat meninggalkan si orang tua
dalam keadaan seperti itu namun Ananthawuri terpaksa pergi
dari tempat itu. Tidak lama setelah si gadis tinggalkan
halaman candi tiba-tiba dua orang berkelebat dari balik
bangunan candi Wisnu yang terletak di sebelah kiri candi Loro
Jonggrang. ooOOOoo 4. SETUNGGUL LANGIT DAN SETUNGGUL BUMI
DUA ORANG lelaki yang muncul di depan candi
perhatikan mayat Dhana Padmasutra lalu saling pandang satu
sama lain. "Kau tadi terlalu keras menghajarnya. Kau tidak perlu
mengeluarkan ilmu Serat Arang. Seharusnya dia tidak perlu
dibunuh," kata lelaki di sebelah kanan. Namanya Setunggul
Bumi. Orang ini bertubuh pendek katai, rambut panjang
digulung dan dikonde di atas kepala. Dia memelihara janggut
putih panjang menjulai menyentuh tanah. Pelipis kiri kanan
dicantel gelang hitam terbuat dari akar bahar. Pakaian jubah
kuning yang leher serta dua ujung lengan dan bagian bawah
berumbai-umbai biru.
"Dia bukan orang sembarangan. Memang dia tidak akan
membunuh kita tapi kalau dibiarkan hidup kita berdua bisa
celaka," jawab lelaki satunya yang berbadan ramping dan
tinggi sekali, mengenakan jubah hitam berkancing merah,
celana juga hitam. Rambut hitam berkilat digulung di atas
kepala. Dua tangan menjulai hampir menyentuh tanah seperti
beruk. Di keningnya menempel sebuah batu pipih .hitam
legam berkilat berbentuk segi tiga. Sesuai dengan keadaan
tubuhnya yang tinggi jangkung dia dikenal dengan nama
Setunggul Langit. Dialah yang telah membunuh Dhana
Padmasutra. Orang ini lanjutkan ucapan. "Lagi pula apa kau
lupa pesan Arwah Muka Hijau. Kita tidak boleh meninggalkan
jejak. Tidak ada satu orang pun boleh tahu dan menjadi saksi
semua rencana dan perbuatan kita..." Setunggul Langit
berbicara sambil mengelus-elus dada.Tiba-tiba orang itu
hentikan ucapan, tampang berubah. Kepala menunduk, mata
memperhatikan dada pakaian.
"Kancing bajuku!" katanya. "Salah satu kancing bajuku
lenyap!" Setunggul Langit memandang ke tanah, memperhatikan
berkeliling. "Aku ingat," kata si katai Setunggul Bumi. "Waktu kau
menyerang orang tua itu, dia pergunakan tongkat kayu untuk
menangkis.Tongkat kayu menyambar ke dada, mungkin
membuat tanggal salah satu kancing bajumu."
"Kalau tidak ada yang mengambil kancing itu pasti jatuh
sekitar sini!" Setunggul Langit mencari kian kemari. Lalu dia
menggeledah mayat Dhana Padmasutra, memeriksa dua
tangannya.Tapi dia tidak menemukan kancing baju yang
dicari. "Celaka. Kancing bajuku. Kalau ada yang mengambil.
Kalau sampai ada yang mengetahui...!"
"Sudah lupakan saja kancing itu. Mungkin sudah hancur
sewaktu disambar ujung tongkat." Kata Setunggul Bumi."Aku
berpikir-pikir. Apakah tadi kita melihat gadis keluar dari candi?"
Setunggul Langit gelengkan kepala. "Aku tidak melihat,
kau juga tidak melihat. Aneh! Tadi aku jelas mendengar suara
gadis itu. Suara teriaknya, lalu suara dia bicara.Tapi mengapa
orangnya tak kelihatan. Aku melihat tongkat dan Kitab Weda
melayang di udara ke arah timur."
"Ini memang kejadian luar biasa. Sebelum mati orang tua
itu bicara dengan seseorang yang tidak kelihatan ujudnya.
Pasti gadis dari desa Sorogedug itu." Kata Setunggul Bumi
sambil usap janggutnya dan memandang ke arah candi.
"Setunggul Bumi, seharusnya tadi kita terus saja mengikuti
gadis itu masuk ke dalam candi. Kita bisa membekuknya di
sana." "Sobatku, enak saja kau bicara. Apa kau lupa peringatan
Gendadaluh alias Arwah Muka Hijau. Kita punya pantangan
tidak boleh naik apa lagi sampai masuk ke dalam candi
manapun di kawasan ini."
Setunggul Langit terdiam. Sesaat kemudian dia berkata.
"Kita gagal mendapatkan gadis itu. Lalu apa yang akan
kita katakan pada Arwah Muka Hijau!"
"Jelas dia pasti marah besar. Tapi kita punya alasan. Kita
sudah mengikuti tapi tidak menduga kalau gadis itu masuk ke
candi. Lalu ada orang tua bernama Dhana Padmasutra ini
menghalangi. Kita berhasil menghabisinya. Arwah Muka Hijau
pasti senang mendengar kematian seteru lamanya ini." Jawab
Setunggul Bumi.
"Lalu bagaimana kita mengatakan bahwa kita tidak melihat
gadis itu keluar dari candi. Kita mendengar suara tapi tidak
kelihatan orangnya. Apakah Arwah Muka Hijau akan
mempercayai begitu saja cerita kita?"
Setunggul Bumi kembali usap janggut putih yang menjulai
tanah. "Sudah, kita terima nasib saja. Dia pasti akan memendam
kita lagi di Kali Progo. Sekali ini mungkin sampai seratus kali
kokok ayam pagi. Lebih lama dari yang sudah-sudah. Remuk
tubuh kita berdua!"
"Terus terang, sebenarnya kita telah berlaku sembrono,"
kata Setunggul Langit pula.
"Apa maksudmu?" tanya Setunggul Bumi.
"Tadi sewaktu kita melihat tongkat dan Kitab Weda
melayang, seharusnya kita cepat mengikuti. Aku yakin sesuatu
telah terjadi dengan anak perawan itu hingga dia mampu
melenyapkan diri.Tongkat dan kitab tidak mungkin bisa
melayang sendiri kalau tidak ada yang memegangi. Janganjangan
di dalam candi anak perawan itu telah menemui
seorang sakti mandraguna! Dengar sobatku, apapun yang
terjadi kita harus mengejar. Harus menemukan perawan itu!"
"Setunggul Langit, kalau itu maumu, rasanya kita masih
bisa mengejar. Kita punya ilmu Seribu Kaki Di Atas Bumi.
Digabungkan dengan ilmu Empat Penjuru Bumi Mengendus
Raga. Meski kita tidak melihat ujud tapi kita mampu mencium
baunya. Mengapa tidak dipergunakan" Lagi pula gadis itu
masih belia, masih suci. Pasti enak dan harum baunya.
Ha...ha...ha!"
Mendengar ucapan sobatnya si katai berjanggut panjang
tanah itu, Setunggul Langit langsung baringkan tubuh,
menelungkup ke tanah. Si katai Setunggul Bumi cepat
melompat dan berdiri di atas punggung sobatnya. Dua tangan
diangkat tinggi-tingg ke udara. Mulut merapal mantera.
Setunggul Langit ikut komat kamit. Secara aneh hidung
kedua orang ini menjadi panjang dan lobang hidung
membesar. Mengendus tiada henti.Tiba-tiba Setunggul Bumi
berteriak sambil menunjuk ke kanan.
"Timur! Ke arah timur!"
Saat itu juga tubuh Setunggul Langit naik ke udara,
melayang berputar dua kali lalu wuttt! Melesat ke arah timur.
Itulah ilmu kesaktian yang bernama Seribu Kaki Di Atas Bumi
yang diterapkan bersamaan dengan ilmu Empat Penjuru Bumi
Mengendus Raga. Mereka mengejar dan menjajagi
keberadaan Ananthawuri.
ooOOOoo 5. SUMUR API KITAB Weda dikepit di tangan kanan, tongkat dipegang di
tangan kiri. Ananthawuri berlari ke arah timur. Dia merasa
berlari biasa-biasa saja.Tetapi mengapa pohon-pohon yang
dilewatinya seolah melesat terbang ke arah berlawanan.
Rambutnya yang panjang melambai-lambai ditiup angin
kencang, terasa dingin sampai ke tengkuk. Kakinya seolah
tidak menjejak tanah. Walau berlari sudah sangat jauh tapi
kaki tidak terasa capai dan dada tidak sesak.
"Apa yang terjadi dengan diriku" Mengapa aku memiliki
kemampuan seperti ini" Dewa Bathara Agung, apakah Kau
menolong diriku" Kakek Dhana Padmasutra, apakah ini berkat
semua doamu" Dewi Loro Jonggrang, engkau pasti
melindungi diriku."
Sementara berlari ucapan-ucapan itu keluar dalam hati
Ananthawuri. Anak perawan dari desa Sorogedug ini tidak tahu dia mau
lari ke arah mana.Tapi dia sadar sekali kalau dia tidak tengah
menuju desa kediamannya. Sorogedug di selatan dan dia
terus-terusan lari bukan ke arah selatan. Setiap dia ingat akan
ibunya yang sedang sakit serta muncul niat untuk pulang ke
desa Sorogedug, tongkat kayu milik Dhana Padmasutra
menarik dirinya, seolah menjadi kemudi ke arah mana dia
harus menuju yaitu ke arah timur.
"Dewa Agung," Ananthawuri mengucap ketika di
depannya dia melihat langit mulai terang. "Fajar sudah
menyingsing dan aku masih terus lari..."
Tongkat kayu di tangan kiri tiba-tiba bergerak ke kanan.
Ananthawuri ikut bergerak ke kanan. Beberapa belas tombak
di kejauhan dia melihat satu nyala terang. Hingga akhirnya
gadis itu sampai di depan satu tumpukan batu bersusun rapi
membentuk lingkaran mulut sumur setinggi pinggang manusia.
Dari dalam lingkaran batu itulah menyebar keluar nyala terang
berwarna merah.
Ananthawuri memperhatikan dengan dada berdebar mata
tak berkesip. Dia melangkah lebih dekat lalu dengan hati-hati
ulurkan kepala, coba melihat ke dalam. Gadis ini melihat
sebuah lobang panjang dan dalam. Di dasar lobang berkobar
nyala api, mengeluarkan suara menderu angker, bergejolak
merah dan panas. Sesekali lidah api melesat ke udara
melewati bibir sumur. Luar biasa mengerikan.
"Sumur Api..." ucap Ananthawuri. "Aneh, biasanya sumur
berisi air. Yang ini mengapa berisi api?" Si gadis bersurut
menjauh dua langkah. Mukanya pucat pertanda ada rasa
takut. "Ananthawuri masuklah. Ceburkan dirimu ke dalam
sumur!" Perawan desa Sorogedug ini terkesiap. Memandang
berkeliling. Dia tidak melihat siapa-siapa. "Siapa yang barusan
bicara?" Ananthawuri beranikan diri bertanya.
"Ananthawuri! Lekas ceburkan dirimu ke dalam sumur!
Cepat! Ada bahaya mengancam keselamatan dirimu!"
"Suara itu...." Si gadis lantas ingat pada kata-kata orang
tua bernama Dhana Padmasutra."Ikuti saja ke mana tongkat
itu menuntunmu. Jika kau mendengar suara maka itu adalah
suara Roh Agung yang memberi petunjuk padamu...."
"Roh Agung..."desis Ananthawuri.
Tiba-tiba dalam keadaan udara yang mulai terang gadis ini
melihat pemandangan yang aneh. Dari arah barat melesat
laksana terbang seorang berpakaian hitam. Di atas
punggungnya berdiri seorang lelaki katai berjubah kuning,
berjanggut putih yang panjangnya sampai ke kaki. Lelaki
bertubuh pendek ini berdiri sambil dua tangan diangkat ke
udara.Tiba-tiba dia menunjuk ke arah Ananthawuri berdiri.
"Aku melihat tongkat dan Kitab Weda mengambang di
udara! Dekat tumpukan batu yang ada cahaya terang. Gadis
itu pasti ada di sana!"
Setunggul Langit putar tangan kanannya.
"Wuuttt!", Tubuhnya membelok, melesat ke arah sumur
api. "Cekal tongkat dan kitab. Gadis itu pasti bisa kita ringkus
walau ujudnya tidak kelihatan!" teriak Setunggul Langit.
"Ananthawuri, jika kau ingin mencari selamat lekas masuk
ke dalam sumur! Waktumu sudah habis!"
Kembali terdengar suara dari makhluk yang tidak kelihatan
yang menurut Dhana Padmasutra adalah suara Roh Agung.
Ananthawuri pegang kitab dan tongkat erat-erat. Mulut
berucap gemetar. "Yang Maha Kuasa. Saya serahkan diri
saya padaMu." Dengan memincingkan mata sambil keluarkan
teriakan keras perawan desa Sorogedug ini melompat,
menerjunkan diri masuk ke dalam sumur api. Suara gaung
teriakannya bergema sepanjang kedalaman sumur, tembus ke
udara terbuka lalu sirap lenyap!
"Wuutt!"
"Wuutt!"
Setunggul Langit dan Setunggul Bumi sampai di tepi
tumpukan batu yang membentuk dinding sumur setinggi
pinggang. Mereka berusaha mencekal ke arah tongkat.
Namun keduanya hanya menggapai angin.
"Kita terlambat!" ucap lelaki yang bertubuh katai sambil
pukul-pukul kening sendiri karena kesal.
"Tempat celaka apa ini?" Setunggul Langit melangkah
mendekat lalu ulurkan kepala memandang ke dalam sumur.
"Wusss!"
Satu gelombang lidah api menderu keras, melesat ke atas
membuat Setunggul Langit tersentak kaget, cepat-cepat
melompat mundur, mengusap mukanya yang kepanasan dan
menyumpah panjang pendek.
"Tidak pernah aku melihat yang seperti ini! Sumur Api!
Mengapa ada kegilaan seperti ini di Bhumi Mataram!"
"Gadis tolol! Mengapa memilih bunuh diri!" Maki Setunggul
Bumi. "Apa yang harus kita lakukan sekarang" Kita tidak
mungkin mencebur masuk mengejar anak perawan itu. Kita
tidak mempunyai kemampuan melawan api!"
"Aku meragukan anak perawan itu benar-benar sudah
mati!" Sahut Setunggul Langit.
"Kita terpaksa menunggu di tempat ini. Masakan gadis itu
tidak akan keluar-keluar dari dalam sumur."
"Setunggul Langit, jangan bodoh! Anak perawan itu pasti
sudah menemui ajal! Kecemplung ke dalam sumur biasa saja
dia pasti sudah tewas. Apa lagi Sumur Api seperti ini! Kita
hanya membuang-buang waktu menunggu di sini. Sebaiknya
kita segera menemui Arwah Muka Hijau. Terus terang saja
padanya. Katakan semua apa yang kita alami."
Setunggul Langit menggeleng."Aku tetap punya keyakinan
anak perawan itu tidak menemui ajal di dalam Sumur Api.
Dengar, kalau kita berdua pergi, bagaimana jika anak perawan
itu nanti menyelinap keluar. Kita bisa celaka lagi dihajar Arwah
Muka Hijau."
"Kau benar-benar tolol!" ucap Setunggul Bumi.
"Menurutku dia sudah menemui ajal di dasar sumur celaka
ini. Dia seorang anak perawan desa yang tidak punya ilmu
kepandaian apa-apa. Apa lagi yang namanya kesaktian!"
"Kau yang tolol sobatku!" kata Setunggul Langit setengah


Satria Lonceng Dewa 1 Perawan Sumur Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berteriak. "Kau bukan saja tolol tapi tidak melihat kenyataan! Anak
perawan itu mampu melenyapkan ujud. Dia sanggup lari dari
Prambanan sejauh sampai di sini. Kau masih mengatakan
bahwa dia tidak mempunyai ilmu kesaktian?"
"Aku tetap tidak bisa percaya. Kita sudah mengawasi dia
sekian lama dan kita tahu dia tidak punya ilmu kepandaian
apa-apa. Bagaimana sekarang kau bisa mengatakan bahwa
dia memiliki ilmu kesaktian?"
"Sudah! Kita tidak perlu berdebat! Kau tunggu di sini.
Awasi Sumur Api itu. Aku akan menemui Arwah Muka Hijau.
Syukur-syukur dia mau kita bawa ke tempat Ini!" Kata
Setunggul langit pula.
Setunggul Bumi tidak menjawab. Dia mendudukan
tubuhnya yang katai di bawah sebatang pohon jati yang kering
dimakan umur. Memperhatikan sahabatnya Setunggul Langit
berkelebat ke arah selatan lalu berpaling, memandang ke arah
Sumur Api. ooOOOoo 6. ROH AGUNG ANANTHAWURI dapatkan dirinya terduduk didasar sumur
memegang Kitab Weda dan tongkat Dhana Padmasutra.
Di tempat itu udara terasa sejuk padahal di sebelah atas
sejarak satu penggalan dari kepalanya da kobaran api yang
sekali-kali melesat keatas membentuk gelombang lidah api.
Dia perhatikan seluruh tubuh, letakkan tongkat dan Kitab
Weda di dasar sumur lalu mengusap wajahnya. Dia tak kurang
suatu apapun, Tidak luka tidak ada cidera.
"Aneh, aku jatuh sedalam ini kedalam sumur. Ketika
melewati kobaran api tubuh dan pakaianku tidak terbakar.
Ketika jatuh ke dasar sumur ini tubuhku tidak cidera,"
Ananthawuri menatap keatas.
"Api....Aku berada dalam Sumur Api. Wahai Dewi yang
maha kuasa Saya mohon perlindunganMu..." berucap si gadis
lalu ambil tongkat kayu dan Kitab Weda. Perlahan-lahan dia
bangkit berdiri, bingung dan juga takut.
"Apa yang akan terjadi dengan diriku selanjutnya" Apakah
aku akan berada di tempat ini selama-lamanya" Aku tidak
takut sekali pun menemui kematian di tempat ini.Tapi
bagaimana dengan Ibu...?" Memikir ibunya yang tengah sakit,
air mata Ananthawuri berlinangan.
"Ananthawuri..." tiba-tiba ada suara bergema di dasar
sumur."Jangan kau bersedih, jangan menangis. Saat ini kau
berada di tempat yang aman."
"Siapa yang bicara?" Ananthawuri bertanya. Dia seperti
mengenal suara itu. Sama dengan suara yang tadi
menyuruhnya masuk ke dalam Sumur Api.
"Aku Roh Agung.Yang ditugaskan oleh Para Dewa di
Swargaloka untuk melindungi dirimu dan keturunanmu
kelak..." "Roh Agung?" ucap si gadis lalu terdiam sejenak.
"Melindungi diriku dan keturunanku...?" Ananthawuri ingat
kembali ucapan orang tua bernama Dhana Padmasutra.
Dengan cepat gadis ini jatuhkan diri berlutut lalu berucap.
"Roh Agung, siapapun engkau adanya, saya berterima
kasih. Kau telah menyelamatkan diri saya. Yang saya ingin
tahu, berapa lama saya akan berada di dasar sumur ini. Saya
ingin segera pulang ke Sorogedug. Ibu saya sedang sakit.."
"Ananthawuri, jangan kau terkejut Kau tidak akan pernah
keluar dari Sumur Api ini seumur hidupmu kecuali dengan
perkenan dan petunjuk Yang Maha Kuasa."
Ananthawuri terpekik. "Apa?"
"Dunia luar bagimu saat ini adalah malapetaka .yang bisa
membawa dirimu pada kematian. Itu sebabnya Dewa
membawa dirimu ke tempat ini..."
"Tempat yang begini mengerikan?"
"Tempat ini tidak seperti yang kau lihat. Dibalik hal yang
kau katakan mengerikan ada keindahan. Sebentar lagi kau
akan menyaksikan."
"Roh Agung, bagaimanapun keindahan yang kau janjikan,
saya tetap memilih pulang ke desa. Menemui dan merawat Ibu
yang sedang sakit."
"Ibumu tidak kurang suatu apa. Para Dewa akan
melindungi dan menjaganya."
"Juga dari Saudagar jahat bernama Narotungga itu?"
tanya Ananthawuri.
"Dari siapa saja. Dari setiap marabahaya..."
"Tapi saya tetap ingin merawat dan menjaga Ibu sendiri.
Saya mohon, keluarkan saya dari Sumur Api ini."
"Harap maafkan diriku. Aku tidak berdaya menolongmu.
Ketentuan yang Maha Kuasa telah berlaku atas dirimu. Inilah
yang dinamakan takdir kehidupan."
Tongkat di tangan kiri Ananthawuri terlepas jatuh. Tangan
kanannya cepat-cepat menekankan Kitab Weda ke dada agar
tidak ikut jatuh.
"Takdir kehidupan..."ucap Ananthawuri perlahan. "Apakah
takdir kehidupan hanya menimpa diri seorang teraniaya
seperti aku ini" Mengapa takdir buruk selalu jatuh pada
manusia jelata, bukan pada mereka yang berlaku jahat"
Wahai Para Dewa di Khayangan, maafkan diriku kalau aku
telah berucap lancang..."
"Ananthawuri, ketahuilah. Kau telah dipilih oleh Para Dewa
sebagai seorang insan yang kelak akan menjadi seorang Ibu
yang akan melahirkan keturunan gagah perkasa yang akan
berbakti, menjaga dan mengawal Bhumi Mataram."
"Roh Agung, saya mohon maaf padamu. Para Dewa, saya
mohon ampunMu. Saya tidak akan menikah dengan
siapapun...."
"Ananthawuri, jaga bicara, perhatikan ucapanmu. Siapa
yang akan menjadi jodohmu sudah tertulis di sebuah Aras di
Swargaloka. Ketahuilah, Para Dewa akan memberi satu berkat
yang sangat luar biasa padamu. Kelak kalau kau sudah kawin
dan melahirkan, maka dirimu tetap perawan selama-lamanya."
"Roh Agung, saya tidak inginkan itu. Saya mohon maaf.
Saya minta ampun..."
"Ananthawuri, ambil tongkat kayu yang tergeletak di dasar
sumur. Tekankan ujung tongkat ke dinding sumur sebelah
kirimu. Maka itulah permulaan dari kehidupan barumu...."
"Saya tidak ingin kehidupan baru. Saya tidak mau
berpisah dengan Ibu." Ucap Ananthawuri setengah berteriak
setengah menangis.
Saat itu seperti ada yang memegang tangan kanannya,
membimbing mengambil tongkat kayu lalu tongkat di arahkan
ke dinding sumur sebelah kiri. Begitu tongkat ditekan, dinding
sumur bergerak membentuk sebuah lobang berupa pintu
empat persegi panjang. Di sebelah atas terdapat ukiran batu
berupa burung Rajawali membentangkan sayap. Di belakang
pintu terlihat satu lorong batu dengan dinding penuh ukiran,
diterangi cahaya kebiruan. Di ujung lorong Ananthawuri
melihat berdiri seorang perempuan separuh baya, bermuka
pucat berpakaian lusuh, tersenyum melambaikan tangan.
Gadis ini terkejut. Dia mengenal sekali siapa adanya
perempuan itu. Ananthawuri tidak percaya pada pandangannya. Dua mata
diusap berulang kali.
"Apakah ini suatu sihir" Atau apakah aku tengah
bermimpi?" Ananthawuri gigit bibirnya sendiri.Terasa sakit.
"Aku tidak bermimpi." Lalu dia mengucap menyebut nama
Dewa berulang kali. Perempuan di ujung lorong tidak sirna. "Ini
bukan sihir..."
"Ibu!" pekik Ananthawuri memanggil.
Perempuan di ujung lorong membalas.
"Ananthawuri anakku."
Kedua perempuan itu saling mendatangi dan akhirnya
bertemu lalu sama berpelukan.
"Dewa Maha Besar.Terima kasih wahai Para Dewa.
Terima kasih Roh Agung. Kau telah mempertemukan diriku
dengan Ibundaku tercinta..."
Air mata menitik jatuh ke pipi Ananthawuri.
"Ibu, katakan, bagaimana kau bisa berada di tempat ini?"
"Semua karena perlindungan dan pertolongan Yang Maha
Kuasa, anakku. Narotungga bersama dua pengawalnya
mendatangi rumah kita hendak menculikmu. Ketika dia tidak
menemukanmu, Narotungga menumpahkan amarah
murkanya pada Ibu. Jahat dan keji sekali..." Perempuan
berusia tiga puluh lima tahun ini bercerita sambil meneteskan
air mata. ooOOOoo 7. NAROTUNGGA DESA -Sorogedug. Sebuah desa kecil di sebelah
selatan Prambanan. Penduduk rata-rata hidup bertani. Setiap
keluarga memiliki sawah dan ladang cukup luas dan subur
untuk ditanami. Sampai tengah malam banyak penduduk desa
masih berada di luar rumah menyaksikan keindahan malam
dihias rembulan dan bintang gumintang. Namun ketenteraman
orang desa terusik oleh kedatangan ketiga penunggang kuda
berdestardan berpakaian serba hitam.
Begitu melihat dan mengenali siapa adanya tiga
penunggang kuda itu semua penduduk desa terutama yang
memiliki anak gadis, cepat-cepat masuk ke dalam rumah,
memalang pintu rapat-rapat lalu memadamkan pelita.
Tiga penunggang kuda yang membekal golok di pinggang
masing-masing berhenti di sebuah rumah tua beratap rumbia
yang bagian depannya diterangi sebuah pelita minyak.
Ketiganya melompat turun dari kuda lalu melangkah ke depan
pintu. Salah seorang dari mereka, yaitu yang berkumis melintang
bertampang garang dan rupanya bertindak sebagai pemimpin
begitu berada di depan pintu langsung menendang.
"Braakkk!"
Pintu rumah jebol berantakan. Lelaki berkumis cepat
menyelinap masuk kedalam rumah diikuti kedua temannya. Di
dalam rumah hanya ada dua buah kamar. Kamar pertama
ketika mereka dobrak dalam keadaan gelap dan kosong.
"Aku tahu betul. Ini kamarnya. Kosong, anak perawan itu
tidak ada di sini." Kata lelaki yang lebih dahulu masuk ke
dalam kamar pada dua temannya.
"Kita periksa kamar satunya. Dia pasti di sana menemani
ibunya yang lagi sakit." Kata si kumis melintang mendahului
melangkah ke bagian belakang rumah di mana terdapat
sebuah kamar yang pintunya hanya tutup dengan kain panjang
lusuh. Si kumis melintang tarik kain penutup pintu hingga robek
dan tanggal dari gantungannya. Di dalam kamar yang
diterangi pelita kecil, di atas tempat tidur bambu beralas kasur
tipis terbaring seorang perempuan separuh baya. Perempuan
ini dalam keadaan sakit. Sudah dua hari menderita demam
dan batuk. Wajahnya pucat. Dia tidak dalam keadaan tidur dan
dua matanya nyalang memperhatikan tiga lelaki yang berdiri di
sampingnya dengan penuh rasa takut. Sambil batuk-batuk
perempuan ini mencoba bangun lalu duduk di atas tempat
tidur, rapatkan dada pakaiannya. Dia menatap pada lelaki
berkumis yang sudah dikenalnya sebagai anak buah saudagar
Narotungga kepada siapa mendiang suaminya mempunyai
hutang. "Raden Panangkaran, biasanya kau selalu datang siang
hari. Ada apa datang malam-malam. Mengapa harus masuk
dengan cara merusak pintu....?"
"Rupanya kau lebih sayang pada pintu rumah bobrok ini
dari pada nyawamu!"
Si kumis melintang bernama Panangkaran membentak.
Perempuan di atas tempat tidur makin ketakutan. Batuk-batuk
beberapa kali. Setelah menarik nafas tersengal dia bertanya.
"Raden, apa maksudmu..."
"Sukantili! Mana anak gadismu Ananthawuri"!"
"Kau...kau pertanyakan perihal anakku Tentu saja dia ada
di kamarnya..." jawab perempuan bernama Sukantili yang
sedang sakit.Ternyata dia adalah ibu Ananthawuri, anak gadis
yang malam itu datang ke candi Loro Jonggrang.
"Tapi...Katakan, ada apa kau mencari anak gadisku. Malam
buta begini rupa. Apakah..."
"Diam! Tidak perlu banyak bertanya!" Hardik
Panangkaran. "Kami sudah memeriksa. Kamar anakmu kosong! Kau
sembunyikan dimana anak itu"!"
Sukantili yang duduk di atas ranjang bambu gelengkan
kepala dan kembali batuk-batuk. Dadanya terasa sesak. "Saya
tidak menyembunyikan. Sepanjang malam saya tidur di kamar
ini dalam keadaan sakit..."
"Anakmu tidak ada di kamar ini! Dan kau tidak tahu ke
mana perginya! Orang tua macam apa kau"! Katakan dia pergi
ke mana" Sembunyi di mana"!"
"Raden, kalau benar kamarnya kosong, saya tidak tahu
pergi kemana anak itu."
Panangkaran jambak rambut Sukantili hingga perempuan
ini menggigil gemetaran.
"Kau berdusta! Kau berani berdusta padaku Sukantili"!"
"Demi Yang Kuasa saya bersumpah. Saya tidak
berdusta..."
Panangkaran memperkencang jambakannya hingga
Sukantili mengerang kesakitan.
"Perempuan desa tolol! Diberi rahmat malah minta kualat!
Lebih baik kau katakan di mana anakmu. Kalau sampai kami
bawa ke hadapan Gusti Narotungga, celaka nasibmu!"
"Saya tidak tahu berada di mana Ananthawuri. Kalau dia
memang pergi saya juga tidak tahu pergi ke mana anak itu."
Kata Sukantili terbata-bata.
"Perempuan, kau benar-benar memilih sengsara!"
Panangkaran memberi isyarat pada dua anak buahnya.
Kedua orang ini segera mencekal kedua kaki dan tangan
Sukantili. Salah seorang dari mereka kemudian memanggul
dan membawanya keluar rumah.
Sukantili menjerit.
"Saya mau dibawa ke mana" Lepaskan! Saya sedang
sakit. Mohon dikasihani! Saya mau dibawa ke mana"
Ananthawuri anakku! Kau di mana Nak" Tolong....!"
Sebelum meninggalkan tempat itu Panangkaran
mengambil lampu minyak yang tergantung di depan rumah
lalu dilempar ke atas atap. Sesaat kemudian gubuk itu telah
tenggelam dalam kobaran api.


Satria Lonceng Dewa 1 Perawan Sumur Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jeritan Sukantili terdengar keras di malam sunyi itu.
Banyak tetangga yang mendengar. Namun mereka tidak
berani keluar rumah, apa lagi memberikan pertolongan.
Mengintip dari lobang dinding kajang rumah masing-masing
hanya itu yang bisa mereka lakukan. Jangankan rakyat biasa,
prajurit Kerajaanpun seandainya menyaksikan kejadian itu
tidak akan berbuat apa-apa. Karena mereka tahu siapa
adanya Panangkaran dan untuk siapa lelaki ini bekerja.
ooOOOoo GEDUNG kediaman Narotungga cukup jauh di wilayah
barat laut desa Sorogedug. Gedung ini tidak beda seperti satu
istana kecil. Terdiri dari satu bangunan besar dan lima
bangunan kecil. Seluruh bangunan dikelilingi tembok tinggi.
Rumah jaga pengawal tampak di empat sudut. Para pengawal
meronda berkeliling sepanjang malam.
Sukantili dibawa ke gedung besar, di masukan ke sebuah
kamar kosong, dibaringkan di lantai. Kalau dipegang tubuhnya
panas sekali tapi perempuan malang ini sendiri merasa sangat
kedinginan, menggigil gemetaran. Selain itu rasa takut yang
amat sangat menyelubungi dirinya.
Tak lama setelah Panangkaran meninggalkan tempat itu,
seorang pelayan perempuan datang memeriksa Sukantili dan
memberi minuman secangkir teh hangat. Setelah itu pelayan
keluar. Lalu masuklah seorang lelaki bertubuh gemuk pendek,
mengenakan pakaian tidur bagus, berkumis kecil dan
berjanggut tipis. Rambut hitam lurus ke atas, seperti lidi.
Sepasang alis berbentuk setengah lingkaran, mata besar dan
hidung tinggi bengkok. Dua telinga dicantel anting-anting bulat
terbuat dari emas.
Di tangan kanannya si gemuk pendek ini memegang
sebuah kipas terbuat dari bambu halus menyerupai daun
keladi lebar. Sambil melangkah masuk ke dalam kamar dia
mengipasi wajahnya yang pucat. Tiga dari lima jari tangan
kanannya dihiasi dengan cincin batu permata besar. Lelaki
berusia kurang tiga puluh tahun dan berwajah nyaris
menyerupai hantu inilah Narotungga. Saudagar muda yang
tergila-gila pada Ananthawuri puteri Sukantili dari suaminya
Panggali. Begitu melihat sosok Narotungga, Sukantili yang telah
beberapa kali bertemu dengan saudagar ini segera jatuhkan
diri. Setengah meratap dia memohon.
"Gusti Narotungga, mohon ampunmu. Mohon saya
dilepas..."
Narotungga berpaling ke Panangkaran. Dengan nada dan
sikap congkak dia berkata. "Aku muak mendengar ocehan
perempuan ini. Suruh dia berbicara perihal anak
perempuannya!"
Panangkaran cekal leher pakaian Sukantili. Perempuan ini
disandarkan ke dinding lalu dibentak.
"Katakan pada Gusti Narotungga dimana Ananthawuri
berada. Cepat!"
"Demi Yang Maha Kuasa, saya bersumpah. Saya tidak
tahu dimana anak itu. Saya tidak tahu dia pergi kemana. Saya
tidak menyembunyikannya. Mohon ampun. Saya dua hari dua
malam terbaring sakit di dalam kamar..."
"Sukantili, apa kau masih ingin bertemu dengan anak
perempuanmu?"
"Tentu saja.. ..Saya".
"Kalau begitu beri tahu dimana dia berada."
"Saya sudah bersumpah. Saya tidak berdusta..." jawab
Sukantili. "Cukup!" Hardik Narotungga. "Bawa masuk kemari lelaki
penyakitan itu! Biar perempuan ini tahu rasa!" Habis berkata
begitu sambil berkipas-kipas saudagar muda ini keluar dari
dalam kamar. Panangkaran memberi isyarat pada salah
seorang anak buahnya yang berdiri di pintu. Lelaki ini segera
tinggalkan kamar. Tak lama kemudian dia kembali membawa
seorang lelaki bersosok besar, yang hanya mengenakan
cawat.Tubuhnya mulai dari kepala yang setengah gundul
sampai ke kaki, selain kotor berdaki juga penuh dengan
koreng dan kudis. Dua matanya merah, digenangi cairan
nanah.Tubuh menebar bau busuk luar biasa.
"Kalian mau melakukan apa"!" Tiba-tiba Sukantili berteriak
amat ketakutan.
"Tungkaduara! Kau lihat perempuan ini"!" Tanya
Panangkaran pada lelaki korengan yang cuma mengenakan
cawat "Ha...hu...ha...hu!" Ternyata orang korengan ini gagu tak
bisa bicara. "Menurutmu apakah dia cantik?" tanya Panangkaran lagi.
"Ha...hu...ha...hu!"
"Kau suka padanya?" Kembali manusia korengan
menjawab ha-hu-ha-hu. Kali ini sambil anggukan kepala.
"Kau boleh memperkosanya sepuas hatimu! Bahkan
sampai mati sekali pun! Tidak ada yang perduli!" Lelaki
korengan busuk bernama Tungkaduara menyeringai. Barisan
giginya tampak besar-besar dan kuning. Dia melangkah
mendekati Sukantili sambil tangan bergerak melepas tali
cawat. Sukantili kembali menjerit. Kali ini tiada henti.
"Perempuan dungu!" teriak Panangkaran. "Aku masih bisa
menyelamatkanmu. Asal kau mau memberi tahu dimana
keberadaan anak gadismu!"
"Demi Yang Maha Kuasa! Demi Para Dewa! Saya tidak
tahu dimana anak itu. Raden, Para Dewa akan memberkahi
merakhmati dirimu jika kau mau melepaskan diriku dari
penganiayaan keji ini."
Panangkaran hanya menyeringai. Dia berpaling pada
Tungkaduara. "Perkosa perempuan ini!"
"Ha...hu...ha...hu!"
Sukantili jatuhkan diri ke lantai. Pegangi kaki Panangkaran
dan meratap. "Demi Para Dewa, saya memohon. Kasihani diri saya.
Keluarkan saya dari tempat ini.Tolong..."
Seperti Narotungga mana ada rasa belas kasihan di hati
Panangkaran. Dia malah tertawa bergolak mendengar ratapan
perempuan itu. "Raden, kalau kau memang tidak ingin menolong saya,
saya minta, saya mohon dengan bersujud di depan kakimu,
cabut golokmu! Dari pada saya diperlakukan secara keji lebih
baik bunuh saya saat ini juga! Segala dosa perbuatanmu aku
mintakan pengampunan pada Para Dewa di Swargaloka!"
Gelak tawa Panangkaran semakin keras. Bersama dua
anak buahnya dia tinggalkan kamar itu. Pintu dipasak dari luar.
ooOOOoo 8. MISTERI KEMATIAN TUNGKADUARA
PANANGKARAN dan dua anak buahnya duduk setengah
tertidur di pendopo gedung besar kediaman Narotungga ketika
saudagar itu muncul dan menendang kakinya.
Panangkaran terkejut. Begitu melihat siapa yang berdiri di
hadapannya kepala pengawal ini serta meria melompat
bangkit, membungkuk hormat lalu berteriak membangunkan
dua anak buahnya.
"Fajar sudah menyingsing! Kau dan dua anak buahmu
enak-enakan tidur!"
"Gusti Narotungga, mohon kami dimaafkan. Kami
keletihan, semalam tidak tidur..."
"Tutup mulutmu! Pandainya kau mencari alasan! Apa tidak
sadar kalau kalian sedang menjalankan tugas"!" bentak sang
saudagar. "Tungkaduara masih belum keluar dari kamar! Kalau
memang sudah tewas, buang mayat mereka di jurang
Kalimundu!"
"Saya akan memeriksa Gusti. Saya akan membuang
mayat mereka kalau memang sudah tewas." Jawab
Panangkaran lalu bersama dua anak buahnya bergegas ke
kamar di mana lelaki korengan disekap dan disuruh merusak
kehormatan Sukantili. Pasak pintu dibuka. Daun pintu
didorong. Begitu pintu kamar terpentang lebar Panangkaran
bersama dua anak buahnya berseru kaget.
"Gusti Narotungga!" Panangkaran berteriak.
Sambil terus berkipas-kipas tapi kerenyitkan kening
saudagar Narotungga melangkah cepat mendatangi.
"Ada apa"!" tanyanya setengah membentak.
"Mohon ampun Gusti. Saya tidak berani mengatakan.
Harap Gusti menyaksikan sendiri."
Lalu pengawal ini menghindar dari ambang pintu kamar.
Wajahnya yang garang tampak ketakutan.
Narotungga mendengus kesal mendengar ucapan
Panangkaran namun dia melangkah juga ke depan pintu. Dua
kakinya laksana dipaku di lantai. Dua mata membeliak.
Perutnya mendadak mual dan mulutnya seperti mau
menyembur muntah!
Di dalam kamar menggeletak sesosok lelaki korengan
Tungkaduara dalam keadaan tanpa pakaian. Kepala pecah
mulai dari kening sampai ubun-ubun! Darah menggenangi
lantai kamar. Dan Sukantili tidak ada dalam ruangan itu!
Yang membuat Narotungga merasa seolah jantungnya
mau tanggal ialah ketika melihat pada dinding ruangan di
hadapannya tertera serangkaian tulisan dalam huruf
Palawa.Tulisan ini dibuat dengan darah dan bisa dipastikan itu
adalah darah Tungkaduara yang kini sudah jadi mayat!
Anak manusia bernama Narotungga
Kekayaan adalah rakhmat Para Dewa
Mengapa dipakai untuk berbuat nista
Kekuasaan adalah untuk membela orang yang lemah
Mengapa dipergunakan untuk berbuat angkara murka
Atas semua perilaku kehidupanmu selama ini
Yang hari ini kau tambah dengan perbuatan keji
Tiadalah pantas bagimu untuk berada di Bhumi Mataram
Hari ini sebelum sang surya tenggelam
Bertobatlah dan pergilah membawa diri
Tinggalkan Bhumi Mataram untuk selama-lamanya
Jangan berani kembali
Maka Para Dewa masih akan memberi rakhmat padamu
Bilamana kau tidak menyadari dan tetap bertahan diri
Maka azab Para Dewa sungguh sangat pedih
Untuk beberapa lamanya Narotungga tegak terdiam
Namun kemudian tawa bergolak menghambur dari mulutnya.
Selagi tertawa kepala mendongak, mata melihat ke atas. Saat
itu juga tawa lelaki ini berhenti. Di langit-langit kamar dia
melihat satu lobang besar.
"Ada setan di gedung ini!" teriak Narotungga keras.
"Bukan saja menculik perempuan celaka itu! Membunuh
Tungkaduara! Tapi juga mengotori dinding dengan tulisan
darah!" Rahang saudagar bertubuh gemuk pendek ini
menggembung. Kipas di tangan kanan dibanting ke lantai. Dia
berpaling pada kepala pengawal.
"Gusti Narotungga, saya punya dugaan bukan setan yang
melakukan semua ini. Mungkin ada seorang pintar
berkesaktian tinggi muncul di sini. Atau mungkin juga ini
semua kehendak dan perbuatan Para Dewa."
"Panangkaran! Kau banyak mulut sekarang! Kau tahu!
Semua ini terjadi karena kelalaianmu dan dua anak buahmu!
Kalian bertiga aku pecat! Aku tidak mau lagi melihat tampang
kalian! Segera angkat kaki dari gedung kediamanku! Bawa
mayat Tungkaduara. Buang di jurang Kalimundu!"
Panangkaran jatuhkan diri. Dua anak buahnya melakukan
hal yang sama. "Gusti Narotunga. Mohon ampunmu..."
"Minta ampun pada setan yang membawa kabur
perempuan itu, yang membunuh manusia korengan, yang
menulis di tembok dengan darah!"
Saudagar ini ludahi muka Panangkaran, balikkan tubuh
lalu tinggalkan tempat itu.
Perlahan-lahan Panangkaran bangkit berdiri. Sepasang
matanya tampak menyala seperti dikobari api. Diikuti dua anak
buahnya dia meninggalkan gedung kediaman Narotungga.
Sebelum keluar dari pintu gerbang dia berkata.
"Aku bersumpah akan membunuh saudagar itu! Aku akan
melakukannya malam nanti!" Panangkaran berpaling pada dua
orang anak buahnya. "Kalian ikut?"
"Kau pimpinan kami. Kemana kau pergi kami pergi. Apa
yang kau lakukan akan kami lakukan." Jawab salah seorang
anak buah Panangkaran sementara yang satunya
mengangguk-angguk sambil keluarkan suara bergumam.
Panangkaran menyeringai. "Kita bunuh saudagar itu. Kita
kuras harta kekayaannya. Aku tahu di mana dia menyimpan
uang emas dan berbagai macam perhiasan."
ooOOOoo DI DALAM sumur api Ananthawuri dan ibunya samasama
mengusap wajah mengeringkan air mata.
"Ibu tidak menceritakan siapa yang menolong Ibu."
Berkata Ananthawuri.
"Ibu sendiri tidak tahu siapa yang menyelamatkan Ibu dari
perbuatan keji yang dilakukan lelaki busuk korengan itu. Ibu
hanya melihat satu cahaya putih menyambar ke arah kepala
orang itu. Lalu dia roboh ke lantai dengan kepala terbelah,
darah mengucur. Ibu menjerit. Antara sadar dan tidak Ibu
merasa ada orang yang mendukung Ibu.Tapi Ibu tidak bisa
melihat sosok ataupun wajahnya. Orang ini menjebol langitlangit
ruangan. Ibu melihat langit, rembulan dan bintangbintang.
Ibu sadar kalau tengah dibawa terbang. Ibu tak kuasa
mengeluarkan ucapan. Tapi tidak ada rasa takut dalam diri
Ibu. Sewaktu melayang dari tubuh orang yang mendukung Ibu
memancar hawa hangat. Ajaib sekali. Demam dan batuk Ibu
serta merta lenyap. Ibu menjerit ketika orang itu menukik ke
bumi dan membawa Ibu memasuki ke sebuah lorong api. Tapi
anehnya Ibu tidak merasa panas. Tubuh tidak ada yang
terbakar atau cidera.Tak selang berapa lama berada di tempat
ini, Ibu melihatmu..."
"Cahaya putih yang membunuh lelaki jahat itu..." kata
Ananthawuri. "Saya yakin itu adalah cahaya Dewa yang memberikan
pertolongan..."
"Ibu juga yakin memang begitu adanya." Kata Sukantili
pula. "Ibu, apakah Ibu tidak merasa indahnya rakhmat yang
diturunkan Dewa atas kita" Ketika manusia biasa tidak
memandang sebelah mata pada kita, malah berbuat jahat dan
keji, Para Dewa menolong kita sehingga selamat dari


Satria Lonceng Dewa 1 Perawan Sumur Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bencana." Ibu dan anak kembali saling berpelukan.
ooOOOoo 9. MURKA DEWA JADI KENYATAAN
KEMATIAN Tungkaduara, lenyapnya Sukantili serta
adanya tulisan darah sama sekali tidak menjadi peringatan
yang mendatangkan kesadaran bagi saudagar Narotungga.
Malam harinya, setelah batas waktu peringatan dalam tulisan
darah di dinding terlampaui, yaitu dia harus meninggalkan
Bhumi Mataram untuk selama-lamanya sebelum matahari
tenggelam, Narotungga malah mengadakan pesta. Kerabat
dekat, para saudagar dan juga banyak pejabat dari Kerajaan
Mataram diundang datang. Di ruang dalam gedung yang luas
dimana terdapat sebuah taman selain makanan lezat serta
minuman keras para tamu disuguhi hiburan gamelan dengan
sinden muda belia berwajah cantik serta para penari bertubuh
molek. Belasan pelayan-pelayan yang terdiri dari gadis-gadis
cantik berpakaian seronok melayani para tamu yang
semuanya adalah lelaki. Sebelum pesta dimulai konon
Narotungga membisikkan pada sahabat-sahabatnya terutama
yang ada hubungan dagang dengan dia, jika ada yang
berkenan dengan gadis-gadis pelayan itu maka dipersilakan
membawanya ke bagian belakang gedung dimana tersedia
delapan buah kamar.
Rupanya bukan saja Para Dewa, alampun tidak dapat
menerima pesta penuh kemesuman itu. Menjelang tengah
malam yaitu pada puncak kemeriahan pesta udara mendadak
berubah. Langit yang tadinya terang bertaburan bintang walau
tak ada lagi rembulan berubah kelam diselimuti awan hitam.
Angin yang sebelumnya bertiup semilir sejuk kini menjadi
keras disertai deru menakutkan. Pohon-pohon besar berderakderak,
cabang-cabang bergoyang, rerantingan berpatahan,
dedaunan luruh ke tanah. Petir menyambar mendebar dada,
guntur menggelegar menusuk pendengaran berulang kali.
Anehnya hujan tidak turun-turun.
Diantara para tamu yang menghadiri pesta di gedung
kediaman Narotungga ada yang mulai gelisah dan berniat
minta diri. Namun sebelum ada satupun yang meninggalkan
gedung itu tiba-tiba petir kembali menyambar. Sekejapan
seluruh tempat terang benderang. Lalu terdengar letupan
keras di wuwungan gedung yang terbuat dari kayu sirap dan
wuuusss! Api besar berkobar di atap gedung. Suasana pesta jadi
kacau. Belasan prajurit kerajaan yang membantu
mengamankan jalannya pesta berusaha memadamkan api.
Namun kebakaran malah semakin hebat.Tiupan angin yang
luar biasa kencang membuat titik api menebar ke beberapa
tempat di atas atap gedung. Sebentar saja seluruh atap
gedung besar kediaman saudagar Narotungga telah
tenggelam dalam kobaran api. Ketika beberapa bagian atap
mulai berderak runtuh dan api merambat bagian bawah
gedung Narotungga tidak perdulikan para tamu, serta merta
dia meninggalkan halaman pesta, masuk ke dalam gedung
besar, langsung menuju ke sebuah ruangan di mana terdapat
sebuah lemari besi tempat dia menyimpan uang, batangan
emas serta berbagai macam perhiasan yang dimasukan
dalam dua buah peti masing-masing dibungkus kantong kain
berwarna hitam.
Selagi Narotungga mengeluarkan dua buah kantong hitam
dari dalam lemari dan siap memanggulnya tiba-tiba ada suara
menegur. "Saudagar, kami suka sekali membantumu mengangkat
dua peti dalam bungkusan kain hitam itu."
Narotungga terdiam. Dia mengenali suara itu. Perlahanlahan
dia berpaling. Dugaannya tidak salah. Di hadapannya
berdiri Panangkaran menyeringai sambil memelintir kumis
tebal. Di kiri kanan berdiri dua orang anak buahnya dengan
sikap berkacak pinggang.
"Kalian bertiga sudah aku perintahkan untuk pergi!
Mengapa berani muncul kembali"!" ucap Narotungga dengan
suara keras membentak.
"Kami memang sudah pergi, tapi datang kembali untuk
membantu Gusti Narotungga," jawab Panangkaran.
Waktu mengucapkan Gusti Narotungga Panangkaran
sengaja mengejek dengan memencongkan mulut, berpaling
pada dua kawannya lalu ketiganya tertawa gelak-gelak.
Pendekar Pemetik Harpa 23 Pendekar Pulau Neraka 07 Jago Dari Seberang Tangan Geledek 9
^