Perawan Sumur Api 2
Satria Lonceng Dewa 1 Perawan Sumur Api Bagian 2
"Menyingkir! Jangan berani menghalangi jalanku!"
Narotungga marah besar merasa dihina.Tapi diam-diam
hatinya mulai kecut.
Tiga orang di hadapan Narotungga semakin keras gelak
tawanya. "Kalian rupanya minta aku hajar!" Narotungga
mengancam. "Narotungga," kata Panangkaran. "Aku dan teman-teman
sebenarnya ingin menolong dirimu. Menurut tulisan di dinding
bukankah sore tadi seharusnya kau sudah meninggalkan
gedung kediamanmu ini" Sekarang masih belum terlambat.
Kami bertiga akan bantu membawakan dua peti itu kemana
kau mau pergi. Bukan begitu teman-teman?"
Dua orang anak buah Panangkaran mengangguk lalu
tertawa gelak-gelak.
Mendengar bekas pengawal menyebut namanya tanpa
sopan santun lagi Narotungga letakan dua bungkusan peti di
lantai. Dari balik punggung pakaiannya dia mengeluarkan
sebilah keris berluk tujuh yang langsung dihunus.Tujuh warna
membersit keluar dari tubuh keris. Senjata ini bukan senjata
sembarangan karena merupakan keris bertuah dan
mengandung racun mematikan. Namun Narotungga sebagai
seorang saudagar sama sekali tidak memiliki ilmu silat
sekalipun silat luar. Apa lagi yang namanya tenaga dalam dan
kesaktian. Keselamatannya selama ini hanya mengandalkan
para pegawai seperti Panangkaran.
"Kalau kalian bertiga mau mati, mendekatlah!" Narotungga
acungkan keris sakti ke arah tiga orang di hadapannya.
Panangkaran keluarkan suara berdecak berulang kali lalu
berkata. "Keris Mustika Pelangi. Senjata sakti luar biasa hebat!
Tapi aku tahu kau mencuri dari mana senjata itu!" kata
Panangkaran pula.
"Saatnya kalian menerima kematian!" Teriak Narotungga
dengan mata mendelik.
"Kami bertiga memang ingin sekali mati di tanganmu. Tapi
Narotungga, bagaimana kalau kau mati duluan hingga bisa
jadi penunjuk jalan kami bertiga menuju pintu neraka!
Ha...ha...ha!"
Setelah keluarkan ucapan dan hambur tawa bergelak
Panangkaran cabut golok besar di pinggang. Dua anak
buahnya lakukan hai yang sama. Sebelum tiga orang itu
bergerak, Narotungga lebih dulu menerjang. Serangannya
berupa tusukan sekuat tenaga diarahkan ke dada
Panangkaran. Bekas kepala pengawal itu dengan mudah mengelakkan
serangan. Akibat tusukan sekuat tenaga yang hanya
mengenai tempat kosong Narotungga terputar melintir. Saat
itulah Panangkaran melompat ke hadapan Narotungga. Walau
golok siap dibacokkan akan tetapi dia tidak melakukan. Dalam
jarak sedekat itu dia tiba-tiba meludahi muka Narotungga! Ini
merupakan pembalasan dari Panangkaran yang pagi
sebelumnya telah diludahi mukanya oleh Narotungga.
Penghinaan telah dibalas dengan penghinaan. Namun
agaknya pembalasan Panangkaran dan dua anak buahnya
tidak sampai sebatas meludah saja!
"Jahanam kurang ajar! Kau berani meludahi mukaku!"
teriak Narotungga. Saudagar bertubuh gemuk pendek ini
dengan kalap menusuk dan membabatkan senjata di
tangannya ke arah Panangkaran. Yang diserang menangkis
dengan golok. "Traangg!"
Begitu bentrokan senjata terjadi Panangkaran putar golok
demikian rupa hingga keris di tangan Narotungga ikut berputar
dan akhirnya terlepas mental. Saudagar ini melompat mundur
dengan muka pucat. Panangkaran mendatangi, dua anak
buahnya bergerak dari samping.Tiga golok besar terpentang
siap untuk dibacokkan.
"Kalian bertiga! Dengar..." Ucap Narotungga dengan suara
gemetar, wajah pucat tubuh menggigil. "Kalian boleh ambil
salah satu peti itu. Biarkan aku pergi dari sini!"
Panangkaran menyeringai.
"Kau tiba-tiba berubah jadi dermawan. Padahal selama ini
kau adalah tukang peras!" Tangan kanan Panangkaran yang
memegang golok naik ke atas. Tampangnya yang sangar
tampak sangat menyeramkan.
"Kalau...kalau masih kurang kalian boleh ambil peti itu
dua-duanya." Kata Narotungga yang kini ketakutan setengah
mati. Tanpa sadar air kencing mengucur dibalik celananya.
Panangkaran tertawa bergelak. "Narotungga. Kau
memang boleh pergi kemana kau suka. Hanya saja biar rohmu
yang pergi lebih dulu."
Tangan kanan Panangkaran bergerak. Dua anak buahnya
melakukan hal yang sama. Tiga bilah golok besar menderu.
Narotungga menjerit keras. Dalam keadaan bersimbah darah
tubuh gemuknya rebah ke lantai ruangan.
Panangkaran sarungkan senjata, ambil dua peti yang
dibungkus kain hitam sementara salah seorang anak buahnya
memungut sarung dan keris Mustika Pelangi yang
tercampakdi lantai.
ooOOoo 10. ARWAH MUKA HIJAU
SOSOK berjubah hijau yang duduk di atas batu hitam,
membelakangi dinding goa lumut memiliki wajah luar biasa
angker. Mukanya yang berwarna hijau tidak seperti muka
manusia karena rata licin. Di bagian yang seharusnya terletak
sepasang mata, hidung dan mulut dan dua telinga hanya
terdapat sayatan lurus dijahit melintang dengan benang kasar
berwarna hitam. Rambut di atas kepala berdiri lurus seperti
lidi, berwarna hijau. Demikian juga dua tangan dan sepasang
kaki yang tersembul di bawah jubah juga berwarna hijau.
Orang yang baru pertama kali melihat makhluk ini sulit
menduga apakah dia manusia atau sebangsa makhluk halus
jejadian. Di tangan kanan makhluk aneh ini memegang sebatang
gading gajah berukuran besar. Pada seputar badan gading
terdapat ukiran membetuk tulisan yang telah berulang kali
dibaca dan saat itu kembali dibaca. Walau mulut hanya
merupakan garis terjahit, namun suaranya jelas terdengar
seperti orang biasa membaca. Hanya saja suara itu disertai
getaran gema halus yang terdengar menggidikan.
Di masa Sri Maharaja Bakai Kayu wangi Dyah Lokapala
memegang tahta Di Bhumi Mataram dua anak lelaki akan lahir ke dunia
Terlahir dari seorang Ibu yang pada saat melahirkan
berusia tujuh belas tahun
Perempuan yang telah dipilih Para Dewa Berasal dari
sebuah desa kecil di selatan Prambanan
Ibu yang akan tetap perawan sepanjang masa
Kelak dua anak akan menjadi kesatria
Mengabdi pada Kerajaan Mataram
Siapa berjodoh akan menangguk rakhmat
Siapa tidak berjodoh jangan menebar umpat dan hujat
Berita disebar ke utara, selatan, timur dan barat
Melalui empat Gading Bersurat
Untuk kemaslahatan seluruh ummat
Setelah membaca untuk kesekian kalinya tulisan di badan
gading orang bermuka hijau angkat kepala, menatap keluar
goa. Sambil mengusap gading dalam pangkuan dalam hati dia
berkata. "Waktu yang aku berikan sudah cukup lama. Desa
Sorogedug tidak jauh dari sini. Tapi mengapa dua orang itu
masih belum juga kembali. Gerangan apa yang mereka temui"
Mereka bukan pergi menangkap harimau, bukan pula
menghadapi pendekar atau kesatria sakti mandraguna. Hanya
menculik seorang anak gadis yang aku perkirakan sesuai
dengan tulisan yang tertera di gading ini. Setunggul Bumi
Setunggul Langit, jika kalian lalai menjalankan perintah aku
akan membenamkan kalian di dasar Kali Progo! Bahkan
mungkin lebih celaka dari itu."
Baru saja suara hati diucapkan tiba-tiba ke dalam goa
berkelebat masuk seorang berpakaian hitam yang langsung
jatuhkan diri bersujud di hadapan makhluk bayangan di atas
batu hijau. "Kanjeng bergelar Arwah Muka Hijau, yang bernama asli
Gendadaluh, aku Setunggul Langit datang menghadap dan
memohon ampun..."
"Setunggul Langit, akhirnya kau muncul juga! Bukan saja
kepergianmu bersama Setunggul Bumi terlalu lama! Tapi
kedatanganmu agaknya membawa kabar tidak enak. Belum
apa-apa kau sudah memohon minta ampun. Apa arti
permohonan ampun yang barusan kau ucapkan" Mana
Setunggul Bumi" Katakan apa yang terjadi!"
Makhluk berjubah hijau yang duduk di atas batu keluarkan
suara yang membuat goa bergetar. Sayatan berjahit di seluruh
permukaan wajahnya yang hijau tampak bergerak-gerak.
"Kanjeng Arwah Muka Hijau, mohon ampunmu. Aku dan
Setunggul Bumi tidak berhasil menangkap gadis dari
Sorogedug itu. Aku siap dan pasrah menghadapi hukuman..."
Hening beberapa saat.
Lalu makhluk di atas batu berucap.
"Katakan apa yang terjadi sebelum aku menjatuhkan
hukuman!" Setungul Langit bangkit berdiri.
"Kanjeng, kami berhasil menemui rumah kediaman anak
perawan yang ternyata bernama Ananthawuri. Ketika kami
sampai di kediamannya di desa Sorogedug, gadis itu tidak ada
di rumah. Ibunya dalam keadaan sakit. Kami tidak menanyai
mengingat Kanjeng berpesan agar berhati-hati, jangan sampai
ada orang lain yang mengetahui semua gerak-gerik kita.
Menjelang tengah malam tadi aku dan Setunggul Bumi
berhasil mengejar anak perawan itu namun sebelum dapat
menangkapnya dia keburu masuk ke dalam candi Loro
Jonggrang..."
Wajah rata langsung berkerut, sosok makhluk berjubah
hijau bergerak naik ke atas hampir menyentuh atap goa,
pertanda ada kemarahan dalam dirinya mendengar apa yang
barusan diucapkan Setunggul Langit.
"Aku tahu aku dan juga kalian punya pantangan menginjak
batu candi karena batu berasal dari Gunung Merapi tempat
arwah para leluhur kita disemayamkan! Tapi sungguh tolol!
Buat apa datang ke sini memberi tahu hal seperti itu. Kau dan
Setunggul Bumi bisa menangkapnya begitu dia keluar dari
candi!" Bentak makhluk berjuluk Arwah Muka Hijau.
"Hal itu memang kami lakukan, Kanjeng Tapi anak
perawan itu tidak kunjung keluar dari candi. Yang terjadi
kemudian kami mendengar suara jeritannya dan suara bicara
dengan Dhana Padmasutra yang sedang sekarat..."
Untuk kedua kalinya sosok berjubah hijau bergerak naik
ke atas. "Kau menyebut Dhana Padmasutra, seteruku sejak lima
puluh tahun silam itu" Apa aku tidak salah mendengar?"
"Tidak Kanjeng, Kanjeng tidak salah mendengar." Jawab
Setunggul Langit. "Ketika kami mengejar anak perawan itu ke
arah candi, di depan candi kami melihat orang tua itu duduk
membaca Kitab Weda. Kami menyerangnya. Aku berhasil
membunuhnya dengan ilmu Serat Arang. Namun kami ketahui
sebelum tewas Dhana Padmasutra bicara dengan anak
perawan itu yang secara aneh setelah keluar dari dalam candi
ujudnya tidak terlihat mata..."
"Hemmm..." Arwah Muka Hijau alias Gendadaluh
mengusap dagu. Sepasang mata yang hanya merupakan
sayatan lurus dijahit benang hitam menatap ke luar goa.
"Kalau anak perawan itu lenyap ujudnya setelah keluar dari
dalam candi berarti ada seseorang atau makhluk yang
membekalinya dengan ilmu kesaktian. Sulit kuduga siapa yang
memberi dan ilmu kesaktian apa yang diterapkan. Paling tidak
ada satu benda sakti disusupkan ke dalam tubuh anak
perawan dari Sorogedug itu."
Arwah Muka Hijau menatap wajah anak buahnya seketika
lalu berkata. "Walau kau berhasil membunuh seteru lamaku,
tapi itu tidak bakal mengurangkan hukuman yang akan aku
jatuhkan padamu. Lanjutkan ceritamu, apa yang terjadi
kemudian."
"Aku dan Setunggul Bumi melihat kejadian aneh. Tongkat
dan Kitab Weda milik Dhana Padmasutra melayang di udara,
bergerak cepat ke arah timur. Kami yakin dua benda itu
berada dalam pegangan anak perawan yang tengah melarikan
diri. Kami mengejar. Di satu tempat kami menemui sebuah
sumur api..."
"Sumur api?"
"Betul Kanjeng. Kami melihat sendiri ada api keluar dari
dalam sumur," jawab Setungul Langit.
"Di daerah mana tepat letaknya?" tanya Arwah Muka
Hijau. Lalu dia mengangkat gading, memperhatikan bagian
potongan yang bulat rata. Pada bagian ini terdapat gambar
sebuah sumur yang dari dalamnya membersit keluar sesuatu
yang berkobar. "Tepat seperti gambar yang digurat di gading
ini..." ucap makhluk serba hijau dalam hati lalu memandang
pada anak buah yang berdiri di depannya.
Setunggul Langit memberi tahu. "Sumur api itu terletak di
arah timur, antara Prambanan dan Kali Dengkeng."
"Puluhan tahun malang melintang aku tahu betul, tak ada
sumur seperti itu sebelumnya di kawasan itu. Tapi petunjuk
yang aku miliki mengatakan sumur api itu memang ada.
Setunggul Langit, apa yang terjadi kemudian?"
"Aku dan Setunggul Bumi melihat tongkat dan Kitab Weda
mengapung dekat sumur api. Berarti anak perawan dari
Sorogedug itu ada di sana. Ketika kami mencoba mencekal,
tongkat dan kitab melesat masuk ke dalam sumur api. Berarti
anak perawan itu telah menceburkan diri ke dalam sumur api!"
"Mati"!"Tanya Arwah Muka Hijau dengan wajah berkerut
"Aku tidak yakin anak perawan itu menemui ajal. Itu
sebabnya Setunggul Bumi aku perintah berjaga-jaga di dekat
sumur api sementara aku datang menemui Kanjeng untuk
memberi tahu."
Arwah Muka Hijau terdiam beberapa lamanya hingga
akhirnya dia berkata "Setunggul Langit, tetap di tempatmu,
jangan bergerak jangan bersuara. Aku akan mencari
Satria Lonceng Dewa 1 Perawan Sumur Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
petunjuk..." Selesai keluarkan ucapan makhluk serba hijau itu
letakkan dua tangan di atas dada Tubuhnya tidak bergerak
dan suara nafasnyapun tidak terdengar. Selang beberapa
lama tangan di atas dada diturunkan ke bawah."Anak perawan
itu memang tidak menemui kematian. Dia ada di satu tempat
aneh dan penuh rahasia di dasar sumur api."
"Bila Kanjeng berkenan datang melihat sendiri sumur api
itu, aku akan mengantarkan ke sana." Kata Setunggul Langit
pula. Arwah Muka Hijau mengangguk lalu dia memperhatikan
dada pakaian Setunggul Langit. "Aku melihat satu hal lagi.
Banyak kelalaian yang kau buat dalam urusan yang sangat
rahasia ini. Kau kehilangan satu kancing bajumu!"
Setunggul Langit mengusap dada pakaiannya.
"Aku tahu Kanjeng. Mungkin sekali tanggal terkena
tangkisan tongkat Dhana Padmasutra ketika aku
menyerangnya. Aku dan Setunggul Bumi berusaha mencari
tapi tidak menemukan. Mohon maafmu Kanjeng. Mudahmudahan
kancing itu sudah hancur tak berbentuk lagi."
Arwah Muka Hijau menggeleng. "Aku punya dugaan
seseorang telah menemukan kancing itu," katanya. Makhluk
serba hijau itu lalu sambung ucapan. "Sebelum aku
menjatuhkan hukuman berat atas dirimu dan Setunggul Bumi,
aku merasa layak mengambil kembali ilmu Serat Arang yang
aku berikan padamu!"
Begitu selesai berucap tangan kanan Arwah Muka Hijau
menyambar ke arah kening Setunggul Langit di mana
menempel sebuah batu hitam berbentuk segi tiga, yakni pusat
kekuatan ilmu kesaktian bernama Serat Arang.
Pada saat batu hitam tanggal dari keningnya, Setunggul
Langit merasa jantungnya ikut dibetot. Lelaki bertubuh tinggi
kurus jatuh terduduk di lantai goa dengan wajah pucat pasi.
Arwah Muka Hijau letakan ujung lancip gading di lantai
batu. Sekali tangan kanannya menekan maka secara luar
biasa gading yang panjangnya lima jengkal itu menyusup
amblas masuk dan lenyap ke dalam lantai goa.
"Sekarang antarkan aku ke sumur api. Kau masih memiliki
ilmu Seribu Kaki Di Atas Bumi."
Mendengar ucapan Arwah Muka Hijau, Setunggul Langit
segera berdiri lalu melangkah ke luar goa. Sampai di luar goa
dia jatuhkan diri menelungkup di tanah. Arwah Muka Hijau
berdiri di punggung anak buahnya. Setunggul Langit ulurkan
dua tangan ke depan lalu dikembangkan ke samping. Saat itu
juga tubuhnya bergerak naik ke atas lalu melesat di udara.
ooOOOoo Ebook dibuat oleh Dewi KZ
Berdasarkan djvu yg dibuat Syaugy_ar
http://kangzusi.com/
11. RATU DHIKA GELANG GELANG
KETIKA Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit sampai
di sumur api Setunggul Bumi yang seharusnya ada dan
berjaga-jaga di tempat itu tidak kelihatan. Setelah lebih dahulu
memeriksa dan mengelilingi sumur api Arwah Muka Hijau
berpaling pada Setunggul Langit.
"Kelakuanmu dan temanmu si pendek katai itu sama saja
kurang ajarnya! Menurutmu dia kau suruh mengawasi sumur
api. Sekarang kau lihat sendiri dia tidak ada di sini!"
Heran ada, jengkel juga ada Setunggul Langit
memandang berkeliling lalu berteriak memanggil Setunggul
Bumi. Sampai tenggorokannya kering berteriak-teriak berulang
kali tidak ada jawaban.
"Aku punya firasat tidak enak. Temanmu itu mungkin
sudah menemui ajal! Kau sekarang tinggal sendirian!"
Setunggul Langit terkejut dan merasa tidak enak
mendengar ucapan Arwah Muka Hijau.
"Bagaimana Kanjeng bisa berkata begitu?" tanya
Setunggul Langit.
"Aku mencium rohnya sudah gentayangan di sekitar
tempat ini" jawab Arwah Muka Hijau lalu melangkah
menghampiri sumur api. Sambil merapal satu bacaan dia
kembangkan telapak tangan kanannya yang hijau di atas
sumur. "Wusss!"
Dari dalam sumur serta merta melesat lidah api
menghantam tangan Arwah Muka Hijau. Makhluk ini tidak
bergeming.Tangannya tidak bergerak sedikitpun. Telapak
tangan itu tidak cidera.
"Wusss!"
Untuk kedua kalinya dari dalam sumur menggebubu lidah
api. Arwah Muka Hijau tetap tidak bergeming dari tempatnya.
Akan tetapi sewaktu lidah api melesat untuk ke tiga kalinya,
makhluk ini berteriak kaget, melompat mundur sambil kibaskibaskan
lengan jubah hijaunya yang terbakar, sementara
telapak tangan yang hijau kelihatan mengepulkan asap!
"Ada kekuatan luar biasa hebat melindungi tempat ini. Aku
tak mungkin masuk ke dalam sumur," katanya pada Setunggul
Langit. Dia diam sejenak lalu berkata lagi. "Ada dua cara untuk
bisa tembus ke dasar sumur api. Pertama minta bantuan
Jelanang Kameswhara alias Seribu Mata Air. Kedua
menyelidik dari arah lain. Aku yakin ada jalan rahasia masuk
ke dasar sumur api. Aku lebih suka melakukan hal yang
kedua. Setunggul Langit, kau beruntung. Hukumanmu aku
tunda beberapa hari. Malam ini kita menginap di tempat ini.
Kau berjaga-jaga sementara aku akan menyelidik dimana
beradanya jalan rahasia itu."
"Terima kasih Kanjeng. Perintah Kanjeng akan saya ikuti.
Tapi apakah kita tidak akan mencari Setunggul Bumi" Kalau
memang dia sudah menemui ajal seperti kata Kanjeng paling
tidak kita harus menemukan dan mengurus pembakaran
jenazahnya."
Baru saja Setunggul Langit berkata begitu tiba-tiba ada
suara perempuan berseru.
"Setunggul Langit! Kau lebih berperikemanusiaan dari
majikanmu yang berjuluk Arwah Muka Hijau. Tapi aku pikir
bangsa arwah memang mana punya rasa kemanusiaan?"
Ucapan perempuan itu ditutup dengan suara tawa cekikikan.
Arwah Muka Hijau dan Setunggul langit memandang
berkeliling. Mereka sama merasakan tanah agak bergetar
sewaktu perempuan yang tak kelihatan mengumbar suara
tertawa Namun keduanya bukan saja tidak dapat melihat siapa
perempuan yang barusan bicara dan tertawa, malah dari arah
mana datangnya asal suara merekapun tidak dapat menjajagi.
Sayatan-sayatan lurus yang dijahit benang hitam kasar di
wajah Arwah Muka Hijau berkedut-kedut beberapa kali. Lalu
dia keluarkan suara menjawab ucapan perempuan tadi.
"Aku yakin kau bukan bangsa demit atau makhluk halus
jejadian.Tapi mengapa malu memperlihatkan diri. Bicara
memakai ilmu membuka mulut memindah suara."
"Arwah Muka Hijau, kau tersinggung rupanya! Aneh juga.
Pada maksud baik orang lain kau tidak menunjukan rasa
pengertian. Tapi pada yang menyangkut buruk dirimu kau
menumpahkan kejengkelan. Lagi pula aku bicara pada
Setunggul Langit, bukan padamu. Mengapa harus merasa
risih dihati"Hik...hik...hik."
"Makhluk pengecut!" Memaki Arwah Muka Hijau.
"Maaf, saat ini aku tidak punya niat bicara lagi dengan
dirimu." Perempuan yang bicara tanpa kelihatan kemudian
menyambung ucapannya.
"Setunggul Langit, kalau kau memang ingin berbakti pada
sahabatmu Setunggul Bumi, ingin mengurus jenazahnya aku
akan memberikan jenazahnya padamu. Cuma sayang
jenazahnya tidak terlalu utuh dan mulai agak bau."
Tiba-tiba dari arah kiri melayang tubuh manusia dan blukk!
Tubuh ini jatuh tepat di hadapan Setunggul Langit.
Wajah rata Arwah Muka Hijau berkerut. Setunggul Langit
melompat mundur beberapa langkah. Mulut ternganga, mata
membeliak. "Mana kepalanya!" Setunggul Langit berteriak. Tubuh
pendek katai berjubah kuning yang tergeletak di tanah itu
memang tubuh Setunggul Bumi. Tapi kepalanya tidak ada!
Inilah yang tadi yang diteriakan oleh Setunggul Langit dalam
keterkejutannya.
"Setunggul Langit, harap maafkan. Jadi kau juga perlu
kepalanya. Memang pantas dan seharusnya begitu. Kau
seorang yang sangat memperhatikan keadaan teman
walaupun sudah jadi mayat."
Lalu dari arah kanan menggelinding sebuah benda bulat
yang bukan lain adalah kuntungan kepala Setunggul Bumi!
Kepala itu agaknya sengaja diarahkan ke tempat berdirinya
Arwah Muka Hijau. Makhluk bermuka rata ini cepat-cepat
menghindar lalu tiba-tiba sekali tangan kanannya bergerak
melakukan satu pukulan tangan kosong ke arah kiri, yaitu arah
datangnya kepala yang menggelinding. Selarik cahaya hijau
disertai deru kerasi menyambar.
"Braakkk... braaakk!"
Dua pohon besar patah bertumbangan. Semak belukar
terbongkar berhamburan. Namun siapapun orang yang jadi
sasaran Arwah Muka Hijau tidak ada di tempat itu. Malah tibatiba
sekali sebuah benda panjang melesat di udara lalu
menancap tepat di depan kaki Arwah Muka Hijau hingga
makhluk ini menyumpah habis-habisan. Benda yang
menancap di depan kaki Arwah Muka Hijau ternyata adalah
sebilah golok besar berdarah milik Setunggul Bumi. Setunggul
Langit tidak pedulikan kemarahan serta apa yang terjadi
dengan Arwah Muka Hijau. Dia lebih memperhatikan jenazah
sahabatnya Dengan cepat dia mendukung mayat Setunggul
Bumi dan membaringkan di bawah sebatang pohon. Lalu dia
mengambil kuntungan kepala sahabatnya itu. Karena bingung
mau diletakan dimana akhirnya Setunggul Langit memasukan
kuntungan kepala ke balik dada jubah kuning mayat Setunggul
Bumi. Lalu lelaki ini balikan diri dan berteriak keras.
"Makhluk biadab! Perempuan keji! Perlihatkan dirimu! Apa
salah sahabatku hingga kau mem Hening beberapa lamanya.
Lalu terdengar suara tertawa perlahan disusul suara benda
bergemerincing. Sesaat kemudian di bawah sebatang pohon
Mahoni berdaun lebat berdiri seorang perempuan berkulit
hitam gemuk mengenakan pakaian kemben hitam merah.
Bagian tengah bawah kemben ini depan belakang terbelah
sampai ke lutut. Mukanya yang bundar gembrot dengan
berhidung lebar pesek tertutup dandanan tebal mencolok.
Wajahnya jauh dari cantik. Bedak tebal putih, pipi diberi
merah-merah, alis hitam kereng dan bibir yang dower dilapis
pemerah. Rambut diberi warna merah-merah, dikonde di atas
kepala, dihias sekuntum bunga mawar merah yang tak pernah
layu karena telah direndam dalam sejenis jelaga. Di belakang
punggungnya menyembul sebuah benda putih kekuningan
yang bukan merupakan sebilah pedang atau senjata. Pakaian
merah dan tubuhnya menebar bau harum aneh menyengat,
menusuk jalan pernafasan.
Pada kedua pergelangan lengan dan kaki perempuan ini
melingkar gelang kerincing terbuat dari emas. Setiap dia
membuat gerakan, walau sedikit saja gelang-gelang itu akan
keluarkan suara berkerincing.
"Dhika Gelang Gelang!" ucap Arwah Muka Hijau yang
mengenali perempuan itu dengan suara setengah tertahan
sementara Setunggul Langit yang juga mengetahui siapa
adanya perempuan itu tegak ternganga terkesiap.
Perempuan gemuk sepertinya tidak acuhkan kedua orang
yang ada di hadapannya. Dia memegang sebuah cermin kecil,
asyik berkaca sambil mematik alis dan rambut. Lidah sesekali
dijulurkan untuk membasahi bibir merah dower. Setelah
menyimpan cermin kecil di balikdadanya, perempuan ini
angkat kepala, memandang senyum-senyum ke arah Arwah
Muka Hijau dan Setunggul Langit. Tangan kanan diangkat ke
atas lalu tubuh diputar satu kali ke kanan, satu kali ke kiri.
Empat gelang berkerincingan. Kemudian perempuan ini
keluarkan ucapan bertanya.
"Bagaimana menurut kalian, apakah wajahku sudah cantik
dan tubuhku langsing gemulai?" Karena tak ada yang
menjawab perempuan gemuk ini singsingkan ke atas bagian
bawah kembennya yang terbelah sebelah depan. "Aku
orangnya memang berkulit hitam. Tapi kalian saksikan sendiri,
pahaku putih bersih dan mulus! Hik...hik...hik!" Padahal
sebagaimana keadaan kulit tubuhnya yang lain, paha
perempuan ini hitam dan gempal.
Arwah Muka Hijau tidak bergerak. Rahang menggembung,
sayatan pada bagian mata dan mulut bergerak-gerak. Ketika
perempuan gemuk itu memutar tubuh ke kiri dan ke kanan
Arwah Muka Hijau melihat benda yang menyembul di balik
punggung adalah sebuah gading besar yang terselip di
kemben, sama seperti yang dimilikinya. Arwah Muka Hijau
tersentak kaget
"Jadi dia adalah orang kedua yang memiliki Gading
Bersurat yang seluruhnya berjumlah empat itu. Berarti
kehadirannya di sumur api ini tidak bisa tidak ada sangkut
pautnya dengan Gading Bersurat itu."
"Hai, aku bertanya. Mengapa tidak satupun dari kalian
yang menjawab. Apa kalian terpesona melihat kecantikan dan
keelokan tubuhku. Atau saat ini kalian jadi punya pikiran kotor
setelah melihat pahaku yang putih mulus" Ah menyesal tadi
aku memperlihatkan."
"DhikaGelang Gelang..."
"Ssshhhh!" Perempuan gemuk gelengkan kepala dan
goyang-goyangkan tangan kanan. "Arwah Muka Hijau, sudah
dua kali engkau menyebut namaku secara tidak sopan. Kau
tahu siapa diriku. Ratu Bhumi Mataram yang tidak pernah
menginginkan tahta Kerajaan. Sangat pantas jika kau
memanggil diriku dengan sebutan Ratu Dhika Gelang Gelang.
Ingat, jangan lupa hal itu. Kalau kau bersikap sopan dan tahu
peradatan maka aku akan melakukan hal yang sama. Kalau
kau menghormati diriku, maka aku akan balas menghormat.
Bukankah hidup ini begitu mudah" Mengapa manusia sering
mempersulit diri sendiri?"
"Aku tidak perduli siapa pun kau adanya. Aku ingin tahu
apakah kau yang membunuh Setunggul Bumi anak buahku
yang barusan kau lemparkan tubuh dan kepalanya"!"
"Arwah Muka Hijau, kau tidak menghormati Ratumu
sendiri." Kata Ratu Dhika Gelang Gelang.
Muka rata Arwah Muka Hijau tampak menggembung.
"Kau jawab saja pertanyaanku."
Satria Lonceng Dewa 1 Perawan Sumur Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ahhh. Jadi itu pertanyaanmu. Baik. Aku akan
menjawab.Tapi aku sudah mencatat perilakumu yang tidak
hormat." Kata si gemuk yang menyatakan diri sebagai Ratu
Dhika Gelang Gelang. "Kalian berdua dengar baik-baik. Aku
tidak membunuh manusia bernama Setunggul Bumi itu. Dia
sendiri yang menggorok lehernya sampai putus!"
"Kedustaan keji! Bagaimana hal itu mungkin terjadi?"
Menyanggah Setunggul Langit.
"Kau minta kami berlaku hormat. Tapi dengan berdusta
kau telah dengan sengaja bersikap tidak hormat,"
Arwah Muka Hijau berkata. "Bisa saja kau berkata begitu
karena tidak melihat Mari aku ceritakan apa yang terjadi." Kata
Ratu Dhika Gelang Gelang."Ketika aku datang ke tempat ini
anak buahmu langsung mengusir aku dan mengancam. Jika
aku tidak mau pergi maka leherku akan digorok! Sungguh
tidak sopan dan tidak pantas. Aku seorang ratu tidak minta
dihormati, tapi kalau diperlakukan kurang ajar aku bisa marah.
Kemana aku mau pergi, aku mau berada dimana adalah
urusanku. Setunggul Bumi tidak punya hak mengusir diriku
dari tempat ini. Ketika aku membalas supaya dia saja yang
pergi dari sini, anak buahmu langsung menghunus golok lalu
menyerangku. Aku berhasil mencekal tangannya yang
memegang senjata. Aku sama sekali tidak menyentuh senjata
itu. Gagang golok masih berada dalam genggamannya ketika
senjata itu berbalikderas menebas lehernya sendiri hingga
putus. Jelas dia yang menebas lehernya sendiri! Bukankah itu
namanya bunuh diri"!"
"Perempuan licik! Kurang ajar! Kau bermain kata-kata
tidak mau mengakui kalau kau yang menggorok Setunggul
Bumi. Sekalipun kau tidak memegang gagang golok tapi
sebenarnya kaulah .yang membunuh Setunggul Bumi!"
Setunggul Langit marah sekali. Ketika dia hendak menerjang
Arwah Muka Hijau cepat menahan bahunya dan berbisik. "Kita
berhadapan dengan orang berkepandaian tinggi. Setahuku
kemana-mana dia selalu membawa seekor kucing merah yang
lebih buas dari pemiliknya. Aku tidak melihat dia membawa
binatang itu. Biar aku mencari tahu lebih dulu ada keperluan
apa perempuan ini berada di sini. Setelah itu, jika aku
memberi isyarat kau serang dia dengan Ilmu Bubu Ikan
Berbisa. Tubuhnya gemuk. Gerakannya pasti lamban. Sekali
masuk dia akan celaka, tak bisa keluar lagi."
ooOOOoo SIAPAKAH Dhika Gelang Gelang yang menyebut dirinya
sebagai Ratu" Konon ketika Sri Maharaja Rakai Pikatan Dyah
Saladu mengakhiri masa pemerintahannya sebagai Raja
Mataram anak tertuanya adalah seorang perempuan yaitu
Dhika Gelang Gelang. Namun karena Dhika adalah anakyang
dilahirkan dari seorang istri ketiga maka banyak pihak yang
menolak Dhika Gelang Gelang sebagai pewaris tahta. Dhika
Gelang Gelang sendiri sebenarnya tidak menginginkan
menjadi Raja atau Ratu di Bhumi Mataram. Maka secara diamdiam
dia meninggalkan Istana menyepi diri di satu tempat
yang tidak diketahui orang.
Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala, putera tertua dari istri
kedua Rakai Pikatan Dyah Saladu kemudian dinobatkan
sebagai Sri Maharaja Mataram yang baru.
Beberapa tahun kemudian Dhika Gelang Gelang muncul
kembali. Walau dia menyebut diri sebagai Ratu dan
penampilannya menjadi aneh namun dia tidak mengusik tahta
dan malah menjaga ketenteraman Istana dan Kerajaan. Dia
jarang berada di kalangan Istana, lebih banyak menyatu
dengan rakyat jelata. Satu hal yang diketahui orang, setelah
menghilang sekian lama perempuan yang kini bertubuh gemuk
dan berwajah tidak cantik itu telah menjadi seorang sakti
mandraguna. Kemana-mana dia selalu membawa seekor
kucing merah. Ketika Kerajaan terlibat peperangan dengan
orang-orang di wilayah selatan, Dhika Gelang Gelang sangat
banyak memberikan bantuan sehingga pertumpahan darah
yang lebih besar dapat dihindarkan dan antara utara dengan
selatan dicapai perdamaian. Setelah peristiwa besar itu Dhika
Gelang Gelang kembali melenyapkan diri. Hanya sesekali
muncul di Kotaraja, itupun tidak mendatangi Istana. Pada
setiap kali kemunculan pasti ada satu peristiwa besar yang
ditanganinya. Mengetahui ketinggian ilmu kesaktian
perempuan inilah maka Arwah Muka Hijau tidak mau berlaku
ceroboh. Dia cepat menghalangi Setunggul Langit yang
hendak menyerang sambil mengatur siasat.
Ebook Oleh : Dewi KZ
Djvu oleh : Syaugi_ar
12. BUBU IKAN BERBISA
"RATU Dhika Gelang Gelang, soal kematian anak buahku
biar aku lupakan dulu," berkata Arwah Muka Hijau. "Aku ingin
bertanya, maksud apa yang ada dalam dirimu hingga muncul
di tempat ini. Adakah sumur api itu yang menarik
perhatianmu?"
"Kau sekarang memanggilku Ratu. Betapa hormatnya!
Bicaramu kini sopan penuh peradatan. Betapa indahnya! Kau
bicara berterus terang. Sungguh menyenangkan. Arwah Muka
Hijau, mengapa kau mendadak berubah. Apa yang ada di
benakmu" Apa yang tersembunyi di hatimu?" Balik bertanya
perempuan gemuk berkemben merah sambil naikan sepasang
alis mata, membuat Arwah Muka Hijau jadi jengkel penasaran.
"Ratu Dhika, kau menjawab pertanyaan dengan balik
bertanya. Itukah yang kau sebut sopan santun" Kalau kau tak
mau menjawab, biar aku menduga. Kau membekal sebatang
gading. Aku tahu riwayat yang tertulis di gading itu. Kau ke sini
untuk menyelidik tentang seorang gadis yang kelak akan
melahirkan dua anak lelaki. Kau tak perlu menjawab tapi juga
tidak perlu berdusta."
Ratu Dhika Gelang Gelang tertawa panjang mendengar
kata-kata Arwah Muka Hijau.
"Betapa tololnya dirimu. Ketololan pertama! Sudah gaharu
cendana pula. Sudah tahu bertanya pula. Ketololan kedua.
Kalau memang ada seorang gadis akan melahirkan di dalam
sumur api itu, berarti masih sembilan bulan lebih waktu
penantian. Mengapa dari sekarang repot-repot mau berbuat
keributan?"
"Kami tidak merasa membuat kerepotan. Justru dari
pihakmu yang memulai berbuat keributan. Kau membunuh
anak buahku Setunggul Bumi!"
"Arwah Muka Hijau, rasanya kurang sedap berbicara
denganmu. Kau selalu mengulang-ulang soal kematian anak
buahmu itu. Pada hal aku sudah menceritakan apa yang
terjadi. Bukankah lebih baik bagimu meninggalkan tempat ini.
Mengurus pembakaran jenazah Setunggul Bumi?"
"Kau tak layak mengatur diriku. Anak buahku datang lebih
dulu ke tempat ini. Adalah dia pantas mengusir orang
semacammu!" Menukas Arwah Muka Hijau lalu kedipkan mata
sambil meraba dagu, memberi isyarat pada Setunggul Langit.
Serangan Bubu Ikan Berbisa serta merta dilaksanakan!
Begitu melihat isyarat, Setunggul Langit keluarkan
bentakan keras. Dua tangan diluruskan ke depan. Dari
sepuluh ujung jari tangan mencuat dua puluh empat sinar
hitam. Ujung yang ada di arah tangan menyatu seperti diikat
sementara ujung yang lain membuka lebar lalu menekuk
runcing ke dalam. Secara luar biasa dua puluh empat larikan
sinar yang menyerupai bubu atau perangkap ikan secepat kilat
menelan tubuh Ratu Dhika Gelang Gelang tanpa perempuan
ini sempat berkelit selamatkan diri. Empat gelang di tangan
dan kaki berkerincingan.
Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit tertawa gelakgelak.
"Ratu jelek! Ternyata kau tidak punya ilmu kepandaian
apa-apa!" teriak Arwah Muka Hijau mengejek. "Aku mau lihat!
Kalau kau mampu keluar dari perangkap, kami berdua sampai
anak cucu kami akan bersujud menghambakan diri padamu
selama tujuh turunan Raja yang berkuasa di Mataram."
Di dalam perangkap Ratu Dhika Gelang Gelang terpaksa
kerahkan ilmu meringankan tubuh dan melayang seperti ikan
besar yang masuk ke dalam bubu raksasa. Dia tahu tidak
mungkin berbalik meloloskan diri melalui bagian depan bubu
yang memiliki dua puluh empat ujung runcing menghadang.
Melalui celah di kiri kanan atau sebelah atas dan sebelah
bawah perangkap dia mungkin bisa menyelinap keluar namun
kalau sampai tubuhnya tergores maka racun jahat akan masuk
ke dalam aliran darah dan dia akan menemui ajal sebelum
matahari tenggelam!
"Kalau aku jebol dengan pukulan sakti, perangkap celaka
ini mungkin bisa ambruk. Namun serpihan-serpihannya bisa
berbahaya kalau sampai ada yang menancap di tubuhku.
Berapa lama aku bisa bertahan mengambangkan diri seperti
ini...?" Sadar dirinya dalam keadaan bahaya besar Ratu Dhika
Gelang Gelang masih mampu berlaku tenang. Perlahan-lahan,
dengan sangat hati-hati dia memutar tubuh yang
mengambang hingga menghadap ke bagian depan bubu.
Dengan tangan kirinya perempuan gemuk ini mengusap-usap
perut sementara mulut berkomat kamit dan sepasang mata
menatap ke arah Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit
yang tegak di bagian depan mulut bubu.
"Perutku...Mengapa perutku. Ada sesuatu bergerak di
dalam perutku..." Ratu Dhika Gelang Gelang berucap sambil
terus usap-usap perutnya.
Arwah Muka Hijau perhatikan gerak-gerik Ratu Dhika
Gelang Gelang. Dalam hati bertanya-tanya apa yang
dilakukan perempuan itu.Tiba-tiba kedua orang di luar bubu
melihat keanehan terjadi dengan Ratu Dhika Gelang Gelang.
Perutnya perlahan-lahan berubah membesar.
"Arwah Muka Hijau, tidakkah kau melihat perubahan yang
terjadi dengan diriku...?" Ratu Dhika Gelang Gelang bertanya.
Tanpa bergerak dari tempatnya berdiri Arwah Muka Hijau
menjawab. "Ilmu setan apa yang hendak kau keluarkan"! Jangan
harap kau bisa lolos dari dalam Bubu Ikan Berbisa!"
"Perutku membesar. Ada makhluk bergerak di dalamnya.
Hyang Jagat Batara Dewa! Aku hamil! Bagaimana mungkin ini
bisa terjadi"!"
Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit tertawa gelakgelak.
"Akal busukmu tidak bakal menipu kami!" teriak Setunggul
Langit. Ratu Dhika Gelang Gelang tidak perdulikan ucapan
orang. Kepala didongakkan ke atas, menatap ke langit. Dua
tangan disusun di atas kepala.
"Sang Hyang Jagat Batara. Para Dewa di Swargaloka.
Dalam keadaaan sengsara seperti ini apakah Kau
melimpahkan rakhmat pada diriku" Apakah kau telah memilih
diriku mewakili anak perawan dari desa kecil di selatan
Prambanan" Aku hamil besar wahai Para Dewa. Apakah aku
akan melahirkan dua bayi yang kelak akan menjadi dua
kesatria seperti yang tertulis pada Gading Bersurat" Wahai
Para Dewa, besar nian rakhmat-mu...."
Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit saling
berpandangan. Wajah rata Arwah Muka Hijau berkedut-kedut
sementara tampang Setunggul Langit berubah, ada rasa tidak
percaya dibayangi rasa takut.
"Arwah Muka Hijau, aku tidak menipu. Perutku membesar.
Aku benar-benar hamil. Lihatlah! Saksikan! Mendekatlah."
"Breett!"
Kemben merah yang dikenakan Ratu Dhika Gelang
Gelang tidak sanggup lagi menahan perut yang membesar.
Dalam keadaan robek ke dua orang di depan kubu melihat
bagaimana perut perempuan gemuk yang kini tersingkap itu
memang benar-benar membesar seperti perempuan hamil.
"Arwah Muka Hijau, mendekatlah. Biar kau bisa melihat
jelas. Ini bukan sihir, bukan tipu daya. Semua adalah rakhmat
Para Dewa atas diriku. Mungkin sudah ditakdirkan bahwa
kelak bayi yang akan aku lahirkan akan menjadi milikmu.
Bukankah itu niat maksud dirimu datang ke SUMUR API ini"
Ah, Gading Bersurat.Ternyata bukan cerita bohong ataupun
tipu daya. Gading Bersurat, ternyata kau nyata. Terima kasih
Para Dewa, aku telah dipilih menjadi wakil untuk kebaikan di
Bhumi Mataram ini. Ah...sebentar lagi. Sebentar lagi bayi ini
pasti akan lahir. Satu bayi...dua bayi, atau tiga bayi..."
Arwah Muka Hijau menatap dengan muka sayatan berjahit
benang kasar ke dalam kubu raksasa lalu berpaling pada
Setunggul Langit.
"Apakah yang kau lihat tidak berbeda dengan yang aku
saksikan" Apakah orang tidak tengah menipu kita?"
"Kanjeng, kita melihat hal yang sama. Keajaiban telah
terjadi.Tidak mungkin kalau ini bukan karena keajaibanNya
Para Dewa. Kita harus melenyapkan Bubu Berbisa. Kalau bayi
itu sampai lahir di dalam bubu bisa celaka. Kalau dari semula
maksud kita memang untuk mendapatkan bayi itu, kita harus
menyelamatkannya. Kanjeng...."
"Tunggu dulu. Jangan cepat percaya. Perempuan ini tinggi
ilmunya. Dia punya seribu akal. Biar aku perhatikan dulu lebih
jelas." Arwah Muka Hijau mendekat ke mulut bubu raksasa. Pada
saat dia hanya berdiri satu langkah di depan mulut bubu, Ratu
Dhika Gelang Gelang buka mulutnya lebar-lebar. Perut yang
besar menciut mengeluarkan suara mendesis panjang dan
mengempis! Mulut yang terbuka menyedot. Satu gelombang
angin besar dan dasyat menarik tubuh Arwah Muka Hijau.
"Ilmu Selaksa Angin Menghisap Roh!" teriak Arwah Muka
Hijau. Dia berusaha menggeliat, memutar tubuh untuk
berbalik. Setunggul Langit berusaha untuk menolong. Namun
terlambat. Tubuh Arwah Muka Hijau telah lebih dahulu
terhisap masuk ke dalam bubu raksasa, dua kaki lebih dulu!
Ratu Dhika Gelang Gelang membentak keras. Dua
tangannya dengan cepat mencekal per-gelangan kaki Arwah
Muka Hijau. Sekali dia mengerahkan tenaga dalam maka
tubuh Arwah Muka Hijau yang barusan masuk ke dalam bubu
raksasa ini melesat kembali keluar. Masih memegangi kaki
orang, Ratu Dhika Gelang Gelang ikut menyelinap dari
belakang tanpa tubuhnya menyentuh bubu berbisa.
Arwah Muka Hijau menjerit keras sewaktu kepalanya
menghantam dua puluh empat ujung runcing berbisa di mulut
bubu! Bubu raksasa hancur berantakan.
Makhluk bermuka rata itu terhempas jatuh di tanah. Di
kepala, muka dan sebagian tubuhnya terdapat dua puluh
empat luka mengerikan. Darah yang mengucur bukannya
merah tapi hijau pekat.
Satria Lonceng Dewa 1 Perawan Sumur Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Melihat apa yang terjadi Setunggul Langit segera lepaskan
satu pukulan sakti ke arah Ratu Dhika Gelang Gelang. Namun
perempuan ini sambil mengumbar tawa cekikikan telah
berkelebat lenyap. Hanya gaung suara dan kerinclngan empat
gelangnya yang terdengar.
"Arwah Muka Hijau! Kalau nyawamu masih panjang kita
pasti berjumpa lagi!"
"Perempuan terkutuk! Aku pasti mencarimu!" teriak Arwah
Muka Hijau. Setunggul Langit segera mengejar namun
urungkan niat ketika dia mendengar Arwah Muka Hijau
berteriak. "Jangan dikejar! Lekas bawa aku ke Candi Miring! Aku
menyimpan obat penangkal luka berbisa di sana! Cepat!
Sebelum malam datang aku harus sudah ada di sana. Kalau
terlambat nyawaku tidak tertolong! Cepat! Kalau aku selamat
semua kesalahanmu akan aku ampuni! Ilmu Serat Arang akan
aku kembalikan padamu!"
"Kanjeng! Aku mendengar semua ucapanmu. Apa yang
kau perintahkan akan aku laksanakan!" Jawab Setunggul
Langit. Lalu dengan cepat dia panggul tubuh Arwah Muka
Hijau. Mayat Setunggul Bumi dilupakan begitu saja.
ooOOOoo 13. HAMIL GAIB ANANTHAWURI
PAGI hari di sebuah taman tak jauh dari dasar sumur api.
Ananthawuri tengah mencium keharuman setangkai mawar
kuning ketika Sukantili, ibunya muncul di undakan tangga batu
merah paling atas.
"Anakku, sudah lama kau menunggu di taman ini?"
menyapa Sukantili.
Ananthawuri segera menghampiri ibunya, mencium
tangan perempuan itu penuh khidmat lalu mencium pipinya kiri
dan kanan. "Saya belum lama berada di sini. Tapi kali ini entah
mengapa saya merasa sangat tidak sabar menunggu
kedatangan Ibu." Anak perawan dari desa Sorogedug yang
bersama ibunya kini tinggal di satu tempat rahasia tak jauh
dari dasar sumur api tatap wajah sang ibunda sejenak lalu
bertanya. "Saya melihat wajah Ibu seperti tidak berseri. Apakah Ibu
sakit atau ada sesuatu yang menjadi pikiran?"
"Ibu baik-baik dan sehat. Namun terus terang memang
ada sesuatu yang menjadi pikiran di benak Ibu, sesuatu yang
menjadi ganjalan di hati Ibu."
"Wahai Ibuku sayang, katakanlah. Gerangan apa yang jadi
pikiran dan ganjalan itu?"
"Anakku Ananthawuri, selama kita tinggal di tempat ini kita
berada dalam kecukupan. Berkat kasih sayang dan kebesaran
Para Dewa segala sesuatunya tersedia. Tempat kediaman,
makanan dan lebih dari itu diberkahi kesehatan yang baik.
Bahkan ada pula seorang pelayan. Namun setiap malam,
sebelum Ibu pulas tertidur, selalu ada pikiran dan pertanyaan
yang datang. Berapa lama kita akan berada di tempat ini" Ibu
orang ie a Betapa pun bagusnya tempat kediaman ini tetap
saja bukan milik kita. Ibu merasa bagaimanapun buruknya
gubuk kita namun hidup di desa Sorogedug ternyata jauh lebih
nyaman menyenangkan. Tetangga orang sedesa selalu
bersikap baik dan ramah. Teman-teman mendiang ayahmu
kerap datang menyambangi."
"Ibu, menurut cerita Ibu bukankah rumah kita di
Sorogedug telah dibakar oleh kaki tangan saudagar
Narotungga?"
"Betul, tapi Ibu bisa bangun gubuk baru. Penduduk desa
pasti mau membantu bergotong-royong. Kita tidak bisa
meninggalkan begitu saja apa yang diwariskan oleh Ayahmu.
Bagaimanapun .buruk dan tidak bernilainya warisan itu."
Jawab Sukantili.
"Ibu, saya pernah bercerita bahwa petunjuk Para Dewa
telah memberitahu, saya tidak akan dapat keluar dari tempat
ini untuk selama-lamanya kecuali atas perkenan Mereka.
Selain itu saya juga menerima petunjuk bahwa kelak saya
akan kawin dan memiliki anak yang akan menjadi seorang
kesatria dan berbakti pada Kerajaan Mataram. Kalau Ibu
berniat pergi, siapakah yang akan menjadi teman saya di
tempat ini. Ibu, sebenarnya saya juga pernah berpikir seperti
Ibu. Ingin pergi dari sini. Namun pada akhirnya saya merasa
pasrah. Saya menyadari seperti apa yang dikatakan Roh
Agung. Ini adalah takdir kehidupan diri saya. Apakah manusia
seperti kita, seperti saya ini bisa berkehendak melawan takdir
Yang Maha Kuasa" Saya percaya Yang Maha Kuasa dan
Maha Mengetahui serta Maha Pengasih telah mengatur
sesuatu yang terbaik untuk diri saya." Ananthawuri pegang
lengan ibunya. "Ibu, percayalah Para Dewa selama ini telah
melindungi kita berdua."
Sukantili anggukan kepala, terdiam beberapa ketika lalu
menarik nafas panjang.
"Ananthawuri, tadi kau berkata merasa tidak sabar
menunggu kedatangan Ibu..."
"Betul Ibu, ada sesuatu yang ingin saya ceritakan pada
Ibu." "Hemmm....lbu akan senang sekali mendengarkan. Cerita
tentang apa anakku?"
"Tadi malam saya bermimpi."
"Mimpi bunga hiasan tidur" Kata Sukantili pula sambil
tersenyum dan membelai rambut anak gadisnya.
"Tapi mimpi saya ini aneh, Bu. Dalam mimpi saya tengah
berbaring tidur. Lalu saya mencium bau busuk luar biasa.
Membuat kepala pusing dan perut mual mau muntah.Tak lama
kemudian bau busuk itu hilang. Berganti dengan bau wangi
harum semerbak yang tidak pernah saya cium sebelumnya.
Kemudian dari langit saya melihat cahaya putih.Turun ke
tempat saya berbaring. Di balik cahaya putih itu saya melihat
samar wajah dan sosok pemuda. Saya bertanya siapa
gerangan dia adanya. Tak ada jawaban. Kemudian cahaya
putih melayang mendekati diri saya, menutupi sekujur tubuh
saya. Saat itu saya merasa ada orang memeluk saya. Ibu,
saya merasa satu kehangatan dan kemesraan luar biasa yang
tidak pernah saya rasakan sebelumnya. Ada perasaan
bergairah pada bagian-bagian tertentu tubuh saya. Saya
tertidur lelap dalam pelukan orang itu. Ketika saya bangun
dalam mimpi cahaya putih telah lenyap. Dekapan mesra
hanya menyisakan kehangatan. Lalu saya terbangun dari
tidur. Saya merenung. Sampai menjelang pagi saya tidak bisa
menduga apa arti mimpi itu. Mungkin Ibu tahu kira-kira makna
mimpi saya?"
Setelah berdiam diri berpikir-pikir beberapa lamanya
akhirnya Sukantili gelengkan kepala.
"Sulit Ibu menduga. Sebaiknya kau berdoa memohon
petunjuk serta tetap meminta perlindungan dari Yang Maha
Kuasa." Keesokan malamnya, mimpi yang sama kembali dialami
Ananthawuri. Hal itu terjadi sampai tujuh malam berturut-turut.
Setiap kali bermimpi paginya gadis ini langsung menemui
sang ibu dan menceritakan mimpinya.
"Ibu," kata Ananthawuri pada hari ke tujuh. "Berulang kali
mimpi itu datang, berulang kali saya dipeluk mesra penuh
kasih sayang, dan berulang kali saya melihat wajah pemuda
walaupun tidak jelas, lama kelamaan ada rasa suka serta
sayang saya terhadap pemuda itu. Ibu, apakah saya telah
jatuh cinta pada sesuatu yang tidak nyata?"
Sukantili tertawa.
"Anakku, kau masih muda belia. Belum tahu apa-apa
tentang cinta. Biar Ibu beritahukan. Cinta itu adalah sesuatu
yang nyata. Jika kita mencintai seseorang maka orang itu
adalah juga sesuatu yang nyata."
Ananthawuri terdiam sesaat. Lalu kembali bertanya.
"Ibu, menurutmu apakah pemuda di dalam mimpi itu bisa
menjadi kenyataan?"
"Apa maksudmu anakku?" tanya Sukantili.
"Maksud saya, apakah saya bisa bertemu dengan pemuda
itu?" Sukantili memeluk anak gadisnya.
"Ibu tidak tahu anakku. Kalau Yang Maha Kuasa
berkehendak, kalau Para Dewa melimpahkan rakhmat segala
sesuatunya bisa terjadi..."
Hari ke delapan dan seterusnya mimpi itu tidak pernah
datang lagi. Ananthawuri merasa sedih. Dia ingin pemuda
dalam cahaya putih itu datang kembali mengunjungi dirinya
walaupun dalam mimpi.
Memeluknya penuh mesra dan kasih sayang. Namun
sampai hari ke dua puluh mimpi yang ditunggu tak kunjung
datang. Di atas pembaringan Ananthawuri berucap.
"Pemuda dalam cahaya. Jika kau memang kekasih yang
telah dipilihkan Para Dewa untukku, datanglah. Aku rindu
pelukan hangatmu. Aku rindu belaian mesramu. Aku tahu kau
mengasihi diriku. Dan aku tahu betapa aku mencintaimu walau
kau datang tidak berupa dan tidak pula bernama."
Namun sampai pagi tiba kekasih sang mimpi tak kunjung
datang. Kekasih gaib yang diharapkan tidak muncul.
Hari ke dua puluh tujuh ketika anak perawan dari Desa
Sorogedug ini menemui ibunya sang ibu berkata.
"Ananthawuri, apakah hari ini kau sehat-sehat saja
anakku?" .
"Saya sehat-sehat, Ibu."
"Ibu melihat wajahmu agak pucat."
"Mungkin saya kurang tidur.Tapi terus terang ada sesuatu
yang hendak saya sampaikan, Ibu."
"Kau bermimpi lagi anakku?"
Ananthawuri menggeleng.
"Ibu mohon maafmu. Saya ingin mengatakan sesuatu
yang sangat pribadi. Saya merasa mual sejak beberapa hari
ini dan sulit makan. Saya... saya terlambat haid. Seharusnya
enam hari lalu..."
"Anakku, hal itu bisa saja terjadi karena kau terlalu banyak
pikiran." Kata Sukantili pula walau sang Ibu ada rasa gelisah
membayangi perasaannya.
"Saya berharap begitu Ibu.Tapi saya merasa ada kelainan
pada tubuh saya."
"Kelainan bagaimana anakku?"
"Dada saya Bu.Tadi pagi saya memperhatikan lalu
meraba. Dada saya membesar dan lebih kencang dari
biasanya. Pinggul saya terasa melebar. Ibu jangan-jangan
saya..." Sukantili memeluk anaknya.
"Jangan ucapkan itu anakku. Kita belum tahu apa yang
sebenarnya terjadi pad dirimu Tunggu dalam dua tiga hari
ini..." Seminggu berlalu Ananthawuri belum juga mendapatkan
haid. Beberapa minggu kemudian anak perawan ini melihat
perutnya membesar. Ketika hal itu diceritakan pada Sukantili
sang ibu tidak bisa menduga lain. Anak gadisnya benar-benar
telah mengandung.
"Anakku," kata sang ibu sambil memeluk Ananthawuri
erat-erat. "Kalau ini bukan kehendak dan kuasa Yang Maha
Kuasa, bagaimana mungkin bisa terjadi" Kau belum menikah.
Kau belum punya suami..."
"Ibu, pemuda dalam cahaya putih yang datang tujuh
malam berturut-turut dalam mimpi saya itu. Apakah mungkin
dia yang menebar benih kehidupan ke dalam diri saya. Ibu
tahu, saya tidak pernah berhubungan dengan lelaki manapun."
Sukantili tidak menjawab melainkan kembali memeluk
anak gadisnya sementara air mata perempuan ini tampak
berlinang-linang.
Pada saat itulah tiba-tiba berhembus tiupan angin disertai
desiran seolah ada seseorang berjubah panjang melewati
Sukantili dan Ananthawuri. Lalu terdengar suara bergema.
Dua insan yang tengah bersatu hati
Di dunia ini tidak ada yang abadi
Namun kehendakYang Maha Kuasa adalah pasti
Ananthawuri, takdirYang Maha Kuasa telah terjadi
Kau hamil tapi dirimu tetap suci
Setelah sembilan bulan sepuluh hari
Kau akan melahirkan
Namun kau akan tetap sebagai seorang perawan
Karena keturunanmu sudah ditetapkan
Menjadi Kesatria Bhumi Mataram
Ananthawuri lepaskan pelukan dari tubuh ibunya. Dia
memandang berkeliling. Dia mengenali suara itu.
"Roh Agung" Kakek Dhana Padmasutra?"
Angin kembali berhembus. Suara berdesir terdengar lagi
lalu sunyi. ooOOOoo 14. KUCING BETINA BERBULU MERAH
MALAM Jum'at Kliwon. Empat bulan setengah
Ananthawuri kedatangan suara Roh Agung, memberi tahu
tentang kehamilannya. Malam itu kegelapan pekat sekali.
Langit hitam dan sesekali ada tiupan angin yang membawa
percikan hujan rintik-rintik dari arah timur. Sumur api seperti
tidur karena sejak sekian lama lidah api tidak menyembul
keluar. Dalam kegelapan, dari arah barat sumur api berjalan
seseorang lelaki kurus tinggi bermuka keriputan berkulit hitam
legam. Di keningnya ada satu benjolan bulat berwarna merah.
Di atas kepala dia menjunjung sebuah ketiding bambu tertutup
rapat. Sampai di depan sumur ia tegak diam beberapa lama.
"Mungkin bukan cerita dusta. Menempuh perjalanan tiga
puluh hari akhirnya kutemui juga sumur api. Benar adanya
seperti apa yang tertulis di Gading Bersurat. Tapi keadaan
sekitar sini gelap sekali. Nafasku mencium ada bekas bangkai
manusia di sekitar sini! Apakah sumur api ini sudah mencari
korban sebelum kedatanganku?"
Orang tinggi hitam ulurkan tangan menjangkau ranting
besar sebuah pohon. Ranting dipatahkan lalu di ujungnya
diletakan di atas sumur api. Sebentar saja ujung ranting telah
terbakar. Dengan menggunakan ranting menyala sebagai
obor, orang ini menyelidik berkeliling sampai akhirnya dia
berhenti melangkah dan keluarkan saruan tertahan.
Di bawah sebatang pohon dia menemukan sesosok tubuh
penuh belatungan nyaris tinggal tulang belulang, tertutup
Satria Lonceng Dewa 1 Perawan Sumur Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jubah kuning yang sudah hancur.
"Bangkai manusia tanpa kepala!" Orang tinggi hitam
berucap sambil meludah berulang kali. Dia memperhatikan
bagian dada jubah kuning. Ada sesuatu di balik pakaian yang
membuat jubah menggembung menonjol. Orang ini
pergunakan ujung kaki untuk mengeluarkan benda itu dari
balik jubah. Begitu benda keluar dan menggelinding ke tanah,
dia menyumpah-nyumpah.Ternyata buntungan kepala
manusia yang tinggal tengkorak. Dari bagian mata, telinga,
mulut dan hidung bersembulan belatung.
Setelah merasa agak tenang dari rasa kagetnya orang ini
dekatkan ujung ranting di atas buntungan kepala.
"Hah! Kepala tinggal tengkorak.Tak mungkin aku kenali!
Yang jelas ada korban pembunuhan di tempat ini. Lehernya
ditebas! Mungkin dengan golok atau pedang! Sudah ada
korban yang berhubungan dengan rahasia dibalik sumur api!"
Orang tinggi hitam bermuka keriput melangkah mundur.
Ranting menyala diangkat tinggi-tinggi, diputar berkeliling.
"Tidak ada mayat lain. Berarti yang tadi baru satu-satunya
korban.Tapi mana aku tahu kalau sudah ada yang jadi korban
sebelumnya. Dibuang masuk ke dalam sumur api..."
Dari balik pakaian hitamnya orang yang keningnya ada
benjolan merah keluarkan satu benda yang ternyata adalah
sebuah gading besar. Salah satu bagian gading diterangi
dengan nyala api di ujung ranting. Pada bagian yang terang itu
terbaca tulisan berbunyi: Jika ingin tahu lama kehamilan dari
perawan desa yang telah dipilih Para Dewa menjadi Ibu dari
bayi yang kelak akan menjadi Kesatria Ma'aram, letakkan
gading di atas sumur api. Ukur bagian gading yang menjadi
hitam. Maka akan diketahui lama kehamilan.
Dengan hati-hati orang berpakaian hitam yang sampai
saat itu masih menjunjung ketiding bambu di atas kepala
letakan gading bulat panjang di atas sumur api. Seperti yang
tadi dibacanya segera saja gading itu menjadi hitam mulai dari
ujung sampai ke bagian tengah. Gading diangkat dari atas
sumur api. Orang ini lalu memperhatikan dan menjengkaljengkal
dengan jari tangan. Setelah menghitung-hitung,
mulutnya berucap.
"Kurang dari setengah. Berarti usia kehamilan perempuan
itu baru sekitar empat bulan. Apakah aku harus menunggu di
tempat ini selama lima bulan lebih?"
Orang berpakaian hitam tepuk-tepuk ketiding di atas
kepala. "Sahabat-sahabatku, apa kalian mau menunggu sampai
sekian lama di tengah rimba belantara ini?" Dari dalam
ketiding bambu terdengar suara mendesis riuh dan panjang. Si
muka keriput dengan benjolan di kening menyeringai. Ranting
menyala dicampakkan. Lalu dua tangan menurunkan ketiding
dari atas kepala, diletakan di atas tanah. Seperti tadi ketiding
ditepuk-tepuk. "Sahabat-sahabat. Akupun tidak mau menunggu berlamalama
sampai lu mutan di tempat ini. Apa yang bisa kita
kerjakan malam ini harus kita laksanakan. Aku butuh
pertolongan kalian. Cari perempuan itu di dasar sumur api.
Paksa dia melarikan diri ke arah jalan rahasia. Aku akan
menunggu di mulut jalan. Tapi awas, kalian jangan sekali-kali
menyakiti dirinya. Jangan sampai tubuhnya tersentuh bisa di
mulut kalian! Para sahabat, bersiaplah. Aku akan membuka
penutup ketiding. Lalu aku akan memasukan kalian di dalam
sumur api. Jangan takut. Api tidak akan menciderai apa lagi
membunuh kalian. Mantera Selicin Lumut Sedingin Air yang
sudah aku terapkan akan melindungi kalian."
Begitu selesai bicara orang berpakaian hitam buka
penutup ketiding. Saat itu juga dari dalam ketiding bambu ini
menyembul puluhan ekor ular berbisa dari berbagai jenis dan
warna, mengeluarkan suara mendesis riuh. Ketiding cepatcepat
diangkat, diletakan di sumur api. Sewaktu puluhan ular
dalam ketiding siap hendak dimasukan diceburkan ke dalam
sumur api tiba-tiba dari arah kegelapan di kiri sumur api
terdengar suara kucing mengeong.
Gerakan orang berpakaian hitam yang hendak
membalikan ketiding bambu serta merta tertahan. Memandang
ke arah kiri dia hanya melihat kegelapan.
"Kucing mengeong malam-malam. Di tempat seperti ini.
Sungguh aneh..." ucap orang berpakaian hitam bermuka
keriput. Lalu belum habis rasa herannya tiba-tiba terdengar
suara benda berkerincingan, disusul suara perempuan
menegur. "Giring Laweyan, manusia berjuluk Sang Raja Ulo,
menyantap ular panggang malam-malam begini memang
sedap sekali. Jangan lupa membagiku barang seekor."
Orang berpakaian hitam di dekat sumur api jadi tercekat.
Dia cepat berpikir. Dimulai dengan suara kucing mengeong.
Lalu ada suara berkerincingan. Disusul suara perempuan
menegur. Siapa lagi! Pasti dia! Jangan-jangan dia yang Jadi
pembunuh mayat berjubah kuning. Belum nahis rasa
terkejutnya karena si penegur mengenal siapa dirinya, orang
di tepi sumur api melihat diseberang sumur tepat
dihadapannya berdiri seorang perempuan gemuk
mengenakan kemben merah berdandanan tebal seronok. Di
bahu kanan tengkurap seekor kucing besar berbulu merah.
Binatang ini kelihatan tenang dan jinak. Di tangan kiri
perempuan itu ada sebuah cermin kecil. Dia asyik
memandang ke dalam cermin sambil mematik-matik pinggiran
rambut di samping telinga kanan sambil lidah dijulur
membasahi bibir. Malam-malam masih mau berdandan, di
tempat gelap begitu rupa, sungguh gila, pikir lelaki berpakaian
hitam yang memegang ketiding berisi ular dan tadi dipanggil
dengan nama Giring Laweyan alias Sang Raja Ulo.Tapi tidak
gila kalau perempuan itu adalah yang dikenal dengan nama
Ratu Dhika Gelang Gelang!
Selesai merapikan dandanan perempuan gemuk masukan
kaca kecil ke balik kemben lalu bertanya pada lelaki yang
pegang ketiding berisi ular.
"Menurutmu apakah dandananku sudah apik dan wajahku
sudah cantik?"
Giring Laweyan tidak menjawab. Dia bersikap waspada
karena tahu betul perempuan di hadapannya setiap saat bisa
melakukan perbuatan yang tak terduga seperti menyerang
dengan tiba-tiba.
"Giring Laweyan! Malam buta kau datang ke tempat ini.
Pasti bukan kemauan Para Dewa yang membimbing
langkahmu! Kau datang membekal Gading Bersurat,
membawa puluhan makhluk najis. Katakan apa keperluanmu!"
Sehabis bertanya perempuan gemuk elus-elus kucing merah
yang tengkurap di bahu kanannya.
"Perempuan di tepi sumur, orang-orang menyebutmu dan
kau selalu memperkenalkan diri sebagai Ratu Dhika Gelang
Gelang.Tapi aku lebih suka menyebutmu Ratu Meong! Nama
itu cukup pantas bagimu, bukan" Ha...ha...ha!" Lelaki bernama
Giring Laweyan keluarkan ucapan mengejek lalu tertawa
gelak-gelak. "Siapa saja yang mau memberi nama dan julukan padaku
akan aku terima dengan senang hati. Aku berterima kasih
padamu yang telah memberiku nama Ratu Meong. Hai, muka
keriput! Kau belum menjawab apa keperluanmu datang ke
tempat ini!"
"Kita membekal benda yang sama yaitu Gading Bersurat.
Berarti kita punya maksud yang sama. Mengapa kau masih
bertanya"!"
Ratu Dhika Gelang Gelang tertawa.
"Bekal boleh sama tapi isi perut bisa lain. Apa lagi pikiran
di dalam otak dan perasaan di dalam hati. Mana bisa sama!"
"Jika begitu ucapanmu maka kau tidak keberatan berterus
terang. Aku bermaksud menculik anak perawan di dalam
sumur api. Mengapa aku menculik aku rasa tidak perlu
menerangkan karena kau pasti sudah tahu. Apakah kau
merasa keberatan atau ada yang mengganjal dalam hatimu?"
"Ternyata kau orang jujur. Mau berterus terang meskipun
melakukan pekerjaan salah. Semoga Para Dewa akan
mengurangi sedikit dosa-dosamu. Hik...hik! Giring Laweyan,
sebelumnya kau melihat ada mayat berjubah kuning yang
sudah jadi jerangkong di sekitar sini. Kau tahu siapa manusia
malang itu?"
"Silakan kau menerangkan!" jawab Giring Laweyan.
"Namanya Setunggul Bumi. Sahabat dari Setunggul
Langit. Anak buah Arwah Muka Hijau!" .
Meski terkejut namun Giring Laweyan berpura-pura tidak
acuh. "Kau tahu kenapa dia menemui kematian dan siapa yang
membunuhnya?"
"Aku tidak perduli!"
Ratu Dhika tersenyum.
"Jangan begitu Giring Laweyan. Jangan berpura-pura
tidak perduli. Aku mencium dari jalan nafasmu. Kau mulai
merasa jerih. Bukankah begitu?"
"Akan aku beri tahu. Akan aku beri tahu!" jawab Ratu
Dhika Gelang Gelang pula. "Aku yang membunuh manusia
malang itu. Kenapa" Karena dia membekal maksud sama
denganmu. Hendak menculik anak perawan yang di dasar
sumur api. Berarti...." Ratu Dhika Gelang Gelang tidak
meneruskan ucapan, dia menatap ke arah Giring Laweyan
yang wajahnya diterangi cahaya api dari dasar sumur.
"Berarti kau juga hendak membunuhku!" Justru Giring
Laweyan yang meneruskan ucapan Ratu Dhika Gelang
Gelang. "Aku tidak berkata begitu. Tetapi umur manusia siapa
yang tahu," jawab Ratu Dhika.
"Ratu Meong, apakah kau masih ingin makan ular
panggang?" Tiba-tiba Giring Laweyan bertanya.
"Jika kau memang mau memberi mengapa aku tidak mau
menerima?" jawab Ratu Dhika yang dipanggil Ratu Meong
oleh Giring Laweyan.
"Aku bukan manusia pelit. Kau boleh makan ular
panggang sekenyang perutmu!"
Setelah berucap Giring Laweyan lemparkan ketiding berisi
puluhan ular berbisa ke arah Ratu Dhika Gelang Gelang.
Sang Ratu terpekik lalu meniup. Empat gelang
berkerincingan. Enam ekor ular berbisa mental dengan tubuh
hancur. Kucing merah menggerung keras dan melompat ke
arah lelaki berkulit hitam. Tak lama kemudian terdengar dua
jeritan keras. Jeritan pertama keluar dari mulut Ratu Dhika Gelang
Gelang yang bukan takut diserang ular tapi lebih merasa jijik.
Patukan puluhan binatang itu memang melukainya berupa
titik-titik kecil tapi bisa ular tidak dapat membunuhnya karena
dia memiliki ilmu kebal terhadap segala macam racun
termasuk racun ular. Ilmu kebal ini bernama Kebal Lemah
Kebal Banyu. Selama ada bagian tubuhnya menyentuh tanah
atau air maka tidak ada racun yang bisa mencekal dirinya
termasuk racun ular berbisa. Satu persatu binatang yang
melilit tubuhnya diremas hingga hancur.
Jeritan kedua keluar dari mulut Giring Laweyan alias si
Raja Ulo. Kucing merah peliharaan Ratu Dhika Gelang Gelang
mengeong keras begitu ketiding berisi ular dilemparkan.
Secepat kilat binatang ini melompat dari bahu kanan Ratu
Dhika. Dua kaki belakang membenam di pangkal leher, dua
kaki depan mencakar ganas ke wajah. Dalam waktu sekejapan
saja sekujur muka Giring Laweyan tercabik-cabik. Darah
mengucur membasahi muka dan pakaian. Sungguh
mengerikan. Sambil berteriak kesakitan dan lari kian kemari si
Raja Ulo ini coba menangkap dan melemparkan kucing merah
yang masih mencakar dan kini malah menggigit lehernya.
Dalam keadaan sakit yang amat sangat, ditambah kedua
matanya telah tertutup darah, Giring Laweyan tidak melihat
lagi kemana arah larinya. Tubuh yang tinggi kurus menabrak
pinggiran batu sumur api lalu terjungkal dan tak ampun lagi
tercebur masuk ke dalamnya! Dari dasar sumur, lidah api
menderu ke atas seolah menyambut kejatuhan tubuh Giring
Laweyan. Sesaat terdengar suara jeritan lelaki itu menggema
di dalam sumur lalu lenyap.
Kucing merah melompat kembali ke atas bahu kanan Ratu
Dhika Gelang Gelang. Lalu menjilati kuku kakinya yang
bernoda darah. Di dalam kegelapan, di balik sebatang pohon Mahoni,
seorang perempuan tua yang di atas kepalanya menangkring
seekor bulus atau kura-kura besar hijau bermata merah
menyaksikan semua kejadian di tempat itu dengan hati
tercekat. Dalam hati dia membatin.
"Dari pada celaka lebih baik aku menunda niat. Mungkin
aku harus menunggu sampai anak perawan itu melahirkan
lima bulan dimuka sambil mencari akal. Kalau aku bersikeras
meneruskan rencana, sama saja dengan mengantar nyawa.
Para Dewa jelas tidak akan berpihak padaku. Ratu Meong
bukan tandinganku. Apa lagi saat ini dia membawa serta
kucing betina merah itu. Mempergunakan kekerasan lebih
banyak celakanya bagi diriku. Aku harus mencari akal. Selain
itu aku harus tahu apa keperluan dan sebagai apa perempuan
satu ini berada di tempat ini. Menjaga sumur api" Mungkin
dengan cara memperdayai dan memperalat pemuda yang
dicintainya itu aku bisa menyelinap ke dasar sumur api melalui
jalan rahasia."
Tidak menunggu lebih lama perempuan tua ini segera
tinggalkan tempat itu. Langkahnya tampak lamban sekali
seperti seekor kura-kura. Namun sebentar saja sosoknya
sudah lenyap dari kawasan sumur api.
TAMAT Semakin dekat hari kelahiran bayi yang dikandung
Ananthawuri semakin banyak orang pandai dan sakti baik dari
golongan putih maupun golongan hitam di Bhumi Mataram
berusaha mendapatkan anak perawan dari Desa Sorogedug
itu. Namun banyak pula di antara mereka yang berlaku cerdik
dan berpikir buat apa bertarung percuma. Bukankah lebih baik
menculik langsung sang bayi saja nanti bilamana telah lahir"
Nantikan kemunculan MIMBA PURANA, Kesatria Lonceng
Dewa, Pendekar Bhumi Mataram.
Ikuti kisah selanjutnya:
ARWAH CANDI MIRING
Satria Lonceng Dewa 1 Perawan Sumur Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pendekar Kembar 6 Si Rase Hitam Hek Sin Ho Karya Chin Yung Raja Akherat 3
"Menyingkir! Jangan berani menghalangi jalanku!"
Narotungga marah besar merasa dihina.Tapi diam-diam
hatinya mulai kecut.
Tiga orang di hadapan Narotungga semakin keras gelak
tawanya. "Kalian rupanya minta aku hajar!" Narotungga
mengancam. "Narotungga," kata Panangkaran. "Aku dan teman-teman
sebenarnya ingin menolong dirimu. Menurut tulisan di dinding
bukankah sore tadi seharusnya kau sudah meninggalkan
gedung kediamanmu ini" Sekarang masih belum terlambat.
Kami bertiga akan bantu membawakan dua peti itu kemana
kau mau pergi. Bukan begitu teman-teman?"
Dua orang anak buah Panangkaran mengangguk lalu
tertawa gelak-gelak.
Mendengar bekas pengawal menyebut namanya tanpa
sopan santun lagi Narotungga letakan dua bungkusan peti di
lantai. Dari balik punggung pakaiannya dia mengeluarkan
sebilah keris berluk tujuh yang langsung dihunus.Tujuh warna
membersit keluar dari tubuh keris. Senjata ini bukan senjata
sembarangan karena merupakan keris bertuah dan
mengandung racun mematikan. Namun Narotungga sebagai
seorang saudagar sama sekali tidak memiliki ilmu silat
sekalipun silat luar. Apa lagi yang namanya tenaga dalam dan
kesaktian. Keselamatannya selama ini hanya mengandalkan
para pegawai seperti Panangkaran.
"Kalau kalian bertiga mau mati, mendekatlah!" Narotungga
acungkan keris sakti ke arah tiga orang di hadapannya.
Panangkaran keluarkan suara berdecak berulang kali lalu
berkata. "Keris Mustika Pelangi. Senjata sakti luar biasa hebat!
Tapi aku tahu kau mencuri dari mana senjata itu!" kata
Panangkaran pula.
"Saatnya kalian menerima kematian!" Teriak Narotungga
dengan mata mendelik.
"Kami bertiga memang ingin sekali mati di tanganmu. Tapi
Narotungga, bagaimana kalau kau mati duluan hingga bisa
jadi penunjuk jalan kami bertiga menuju pintu neraka!
Ha...ha...ha!"
Setelah keluarkan ucapan dan hambur tawa bergelak
Panangkaran cabut golok besar di pinggang. Dua anak
buahnya lakukan hai yang sama. Sebelum tiga orang itu
bergerak, Narotungga lebih dulu menerjang. Serangannya
berupa tusukan sekuat tenaga diarahkan ke dada
Panangkaran. Bekas kepala pengawal itu dengan mudah mengelakkan
serangan. Akibat tusukan sekuat tenaga yang hanya
mengenai tempat kosong Narotungga terputar melintir. Saat
itulah Panangkaran melompat ke hadapan Narotungga. Walau
golok siap dibacokkan akan tetapi dia tidak melakukan. Dalam
jarak sedekat itu dia tiba-tiba meludahi muka Narotungga! Ini
merupakan pembalasan dari Panangkaran yang pagi
sebelumnya telah diludahi mukanya oleh Narotungga.
Penghinaan telah dibalas dengan penghinaan. Namun
agaknya pembalasan Panangkaran dan dua anak buahnya
tidak sampai sebatas meludah saja!
"Jahanam kurang ajar! Kau berani meludahi mukaku!"
teriak Narotungga. Saudagar bertubuh gemuk pendek ini
dengan kalap menusuk dan membabatkan senjata di
tangannya ke arah Panangkaran. Yang diserang menangkis
dengan golok. "Traangg!"
Begitu bentrokan senjata terjadi Panangkaran putar golok
demikian rupa hingga keris di tangan Narotungga ikut berputar
dan akhirnya terlepas mental. Saudagar ini melompat mundur
dengan muka pucat. Panangkaran mendatangi, dua anak
buahnya bergerak dari samping.Tiga golok besar terpentang
siap untuk dibacokkan.
"Kalian bertiga! Dengar..." Ucap Narotungga dengan suara
gemetar, wajah pucat tubuh menggigil. "Kalian boleh ambil
salah satu peti itu. Biarkan aku pergi dari sini!"
Panangkaran menyeringai.
"Kau tiba-tiba berubah jadi dermawan. Padahal selama ini
kau adalah tukang peras!" Tangan kanan Panangkaran yang
memegang golok naik ke atas. Tampangnya yang sangar
tampak sangat menyeramkan.
"Kalau...kalau masih kurang kalian boleh ambil peti itu
dua-duanya." Kata Narotungga yang kini ketakutan setengah
mati. Tanpa sadar air kencing mengucur dibalik celananya.
Panangkaran tertawa bergelak. "Narotungga. Kau
memang boleh pergi kemana kau suka. Hanya saja biar rohmu
yang pergi lebih dulu."
Tangan kanan Panangkaran bergerak. Dua anak buahnya
melakukan hal yang sama. Tiga bilah golok besar menderu.
Narotungga menjerit keras. Dalam keadaan bersimbah darah
tubuh gemuknya rebah ke lantai ruangan.
Panangkaran sarungkan senjata, ambil dua peti yang
dibungkus kain hitam sementara salah seorang anak buahnya
memungut sarung dan keris Mustika Pelangi yang
tercampakdi lantai.
ooOOoo 10. ARWAH MUKA HIJAU
SOSOK berjubah hijau yang duduk di atas batu hitam,
membelakangi dinding goa lumut memiliki wajah luar biasa
angker. Mukanya yang berwarna hijau tidak seperti muka
manusia karena rata licin. Di bagian yang seharusnya terletak
sepasang mata, hidung dan mulut dan dua telinga hanya
terdapat sayatan lurus dijahit melintang dengan benang kasar
berwarna hitam. Rambut di atas kepala berdiri lurus seperti
lidi, berwarna hijau. Demikian juga dua tangan dan sepasang
kaki yang tersembul di bawah jubah juga berwarna hijau.
Orang yang baru pertama kali melihat makhluk ini sulit
menduga apakah dia manusia atau sebangsa makhluk halus
jejadian. Di tangan kanan makhluk aneh ini memegang sebatang
gading gajah berukuran besar. Pada seputar badan gading
terdapat ukiran membetuk tulisan yang telah berulang kali
dibaca dan saat itu kembali dibaca. Walau mulut hanya
merupakan garis terjahit, namun suaranya jelas terdengar
seperti orang biasa membaca. Hanya saja suara itu disertai
getaran gema halus yang terdengar menggidikan.
Di masa Sri Maharaja Bakai Kayu wangi Dyah Lokapala
memegang tahta Di Bhumi Mataram dua anak lelaki akan lahir ke dunia
Terlahir dari seorang Ibu yang pada saat melahirkan
berusia tujuh belas tahun
Perempuan yang telah dipilih Para Dewa Berasal dari
sebuah desa kecil di selatan Prambanan
Ibu yang akan tetap perawan sepanjang masa
Kelak dua anak akan menjadi kesatria
Mengabdi pada Kerajaan Mataram
Siapa berjodoh akan menangguk rakhmat
Siapa tidak berjodoh jangan menebar umpat dan hujat
Berita disebar ke utara, selatan, timur dan barat
Melalui empat Gading Bersurat
Untuk kemaslahatan seluruh ummat
Setelah membaca untuk kesekian kalinya tulisan di badan
gading orang bermuka hijau angkat kepala, menatap keluar
goa. Sambil mengusap gading dalam pangkuan dalam hati dia
berkata. "Waktu yang aku berikan sudah cukup lama. Desa
Sorogedug tidak jauh dari sini. Tapi mengapa dua orang itu
masih belum juga kembali. Gerangan apa yang mereka temui"
Mereka bukan pergi menangkap harimau, bukan pula
menghadapi pendekar atau kesatria sakti mandraguna. Hanya
menculik seorang anak gadis yang aku perkirakan sesuai
dengan tulisan yang tertera di gading ini. Setunggul Bumi
Setunggul Langit, jika kalian lalai menjalankan perintah aku
akan membenamkan kalian di dasar Kali Progo! Bahkan
mungkin lebih celaka dari itu."
Baru saja suara hati diucapkan tiba-tiba ke dalam goa
berkelebat masuk seorang berpakaian hitam yang langsung
jatuhkan diri bersujud di hadapan makhluk bayangan di atas
batu hijau. "Kanjeng bergelar Arwah Muka Hijau, yang bernama asli
Gendadaluh, aku Setunggul Langit datang menghadap dan
memohon ampun..."
"Setunggul Langit, akhirnya kau muncul juga! Bukan saja
kepergianmu bersama Setunggul Bumi terlalu lama! Tapi
kedatanganmu agaknya membawa kabar tidak enak. Belum
apa-apa kau sudah memohon minta ampun. Apa arti
permohonan ampun yang barusan kau ucapkan" Mana
Setunggul Bumi" Katakan apa yang terjadi!"
Makhluk berjubah hijau yang duduk di atas batu keluarkan
suara yang membuat goa bergetar. Sayatan berjahit di seluruh
permukaan wajahnya yang hijau tampak bergerak-gerak.
"Kanjeng Arwah Muka Hijau, mohon ampunmu. Aku dan
Setunggul Bumi tidak berhasil menangkap gadis dari
Sorogedug itu. Aku siap dan pasrah menghadapi hukuman..."
Hening beberapa saat.
Lalu makhluk di atas batu berucap.
"Katakan apa yang terjadi sebelum aku menjatuhkan
hukuman!" Setungul Langit bangkit berdiri.
"Kanjeng, kami berhasil menemui rumah kediaman anak
perawan yang ternyata bernama Ananthawuri. Ketika kami
sampai di kediamannya di desa Sorogedug, gadis itu tidak ada
di rumah. Ibunya dalam keadaan sakit. Kami tidak menanyai
mengingat Kanjeng berpesan agar berhati-hati, jangan sampai
ada orang lain yang mengetahui semua gerak-gerik kita.
Menjelang tengah malam tadi aku dan Setunggul Bumi
berhasil mengejar anak perawan itu namun sebelum dapat
menangkapnya dia keburu masuk ke dalam candi Loro
Jonggrang..."
Wajah rata langsung berkerut, sosok makhluk berjubah
hijau bergerak naik ke atas hampir menyentuh atap goa,
pertanda ada kemarahan dalam dirinya mendengar apa yang
barusan diucapkan Setunggul Langit.
"Aku tahu aku dan juga kalian punya pantangan menginjak
batu candi karena batu berasal dari Gunung Merapi tempat
arwah para leluhur kita disemayamkan! Tapi sungguh tolol!
Buat apa datang ke sini memberi tahu hal seperti itu. Kau dan
Setunggul Bumi bisa menangkapnya begitu dia keluar dari
candi!" Bentak makhluk berjuluk Arwah Muka Hijau.
"Hal itu memang kami lakukan, Kanjeng Tapi anak
perawan itu tidak kunjung keluar dari candi. Yang terjadi
kemudian kami mendengar suara jeritannya dan suara bicara
dengan Dhana Padmasutra yang sedang sekarat..."
Untuk kedua kalinya sosok berjubah hijau bergerak naik
ke atas. "Kau menyebut Dhana Padmasutra, seteruku sejak lima
puluh tahun silam itu" Apa aku tidak salah mendengar?"
"Tidak Kanjeng, Kanjeng tidak salah mendengar." Jawab
Setunggul Langit. "Ketika kami mengejar anak perawan itu ke
arah candi, di depan candi kami melihat orang tua itu duduk
membaca Kitab Weda. Kami menyerangnya. Aku berhasil
membunuhnya dengan ilmu Serat Arang. Namun kami ketahui
sebelum tewas Dhana Padmasutra bicara dengan anak
perawan itu yang secara aneh setelah keluar dari dalam candi
ujudnya tidak terlihat mata..."
"Hemmm..." Arwah Muka Hijau alias Gendadaluh
mengusap dagu. Sepasang mata yang hanya merupakan
sayatan lurus dijahit benang hitam menatap ke luar goa.
"Kalau anak perawan itu lenyap ujudnya setelah keluar dari
dalam candi berarti ada seseorang atau makhluk yang
membekalinya dengan ilmu kesaktian. Sulit kuduga siapa yang
memberi dan ilmu kesaktian apa yang diterapkan. Paling tidak
ada satu benda sakti disusupkan ke dalam tubuh anak
perawan dari Sorogedug itu."
Arwah Muka Hijau menatap wajah anak buahnya seketika
lalu berkata. "Walau kau berhasil membunuh seteru lamaku,
tapi itu tidak bakal mengurangkan hukuman yang akan aku
jatuhkan padamu. Lanjutkan ceritamu, apa yang terjadi
kemudian."
"Aku dan Setunggul Bumi melihat kejadian aneh. Tongkat
dan Kitab Weda milik Dhana Padmasutra melayang di udara,
bergerak cepat ke arah timur. Kami yakin dua benda itu
berada dalam pegangan anak perawan yang tengah melarikan
diri. Kami mengejar. Di satu tempat kami menemui sebuah
sumur api..."
"Sumur api?"
"Betul Kanjeng. Kami melihat sendiri ada api keluar dari
dalam sumur," jawab Setungul Langit.
"Di daerah mana tepat letaknya?" tanya Arwah Muka
Hijau. Lalu dia mengangkat gading, memperhatikan bagian
potongan yang bulat rata. Pada bagian ini terdapat gambar
sebuah sumur yang dari dalamnya membersit keluar sesuatu
yang berkobar. "Tepat seperti gambar yang digurat di gading
ini..." ucap makhluk serba hijau dalam hati lalu memandang
pada anak buah yang berdiri di depannya.
Setunggul Langit memberi tahu. "Sumur api itu terletak di
arah timur, antara Prambanan dan Kali Dengkeng."
"Puluhan tahun malang melintang aku tahu betul, tak ada
sumur seperti itu sebelumnya di kawasan itu. Tapi petunjuk
yang aku miliki mengatakan sumur api itu memang ada.
Setunggul Langit, apa yang terjadi kemudian?"
"Aku dan Setunggul Bumi melihat tongkat dan Kitab Weda
mengapung dekat sumur api. Berarti anak perawan dari
Sorogedug itu ada di sana. Ketika kami mencoba mencekal,
tongkat dan kitab melesat masuk ke dalam sumur api. Berarti
anak perawan itu telah menceburkan diri ke dalam sumur api!"
"Mati"!"Tanya Arwah Muka Hijau dengan wajah berkerut
"Aku tidak yakin anak perawan itu menemui ajal. Itu
sebabnya Setunggul Bumi aku perintah berjaga-jaga di dekat
sumur api sementara aku datang menemui Kanjeng untuk
memberi tahu."
Arwah Muka Hijau terdiam beberapa lamanya hingga
akhirnya dia berkata "Setunggul Langit, tetap di tempatmu,
jangan bergerak jangan bersuara. Aku akan mencari
Satria Lonceng Dewa 1 Perawan Sumur Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
petunjuk..." Selesai keluarkan ucapan makhluk serba hijau itu
letakkan dua tangan di atas dada Tubuhnya tidak bergerak
dan suara nafasnyapun tidak terdengar. Selang beberapa
lama tangan di atas dada diturunkan ke bawah."Anak perawan
itu memang tidak menemui kematian. Dia ada di satu tempat
aneh dan penuh rahasia di dasar sumur api."
"Bila Kanjeng berkenan datang melihat sendiri sumur api
itu, aku akan mengantarkan ke sana." Kata Setunggul Langit
pula. Arwah Muka Hijau mengangguk lalu dia memperhatikan
dada pakaian Setunggul Langit. "Aku melihat satu hal lagi.
Banyak kelalaian yang kau buat dalam urusan yang sangat
rahasia ini. Kau kehilangan satu kancing bajumu!"
Setunggul Langit mengusap dada pakaiannya.
"Aku tahu Kanjeng. Mungkin sekali tanggal terkena
tangkisan tongkat Dhana Padmasutra ketika aku
menyerangnya. Aku dan Setunggul Bumi berusaha mencari
tapi tidak menemukan. Mohon maafmu Kanjeng. Mudahmudahan
kancing itu sudah hancur tak berbentuk lagi."
Arwah Muka Hijau menggeleng. "Aku punya dugaan
seseorang telah menemukan kancing itu," katanya. Makhluk
serba hijau itu lalu sambung ucapan. "Sebelum aku
menjatuhkan hukuman berat atas dirimu dan Setunggul Bumi,
aku merasa layak mengambil kembali ilmu Serat Arang yang
aku berikan padamu!"
Begitu selesai berucap tangan kanan Arwah Muka Hijau
menyambar ke arah kening Setunggul Langit di mana
menempel sebuah batu hitam berbentuk segi tiga, yakni pusat
kekuatan ilmu kesaktian bernama Serat Arang.
Pada saat batu hitam tanggal dari keningnya, Setunggul
Langit merasa jantungnya ikut dibetot. Lelaki bertubuh tinggi
kurus jatuh terduduk di lantai goa dengan wajah pucat pasi.
Arwah Muka Hijau letakan ujung lancip gading di lantai
batu. Sekali tangan kanannya menekan maka secara luar
biasa gading yang panjangnya lima jengkal itu menyusup
amblas masuk dan lenyap ke dalam lantai goa.
"Sekarang antarkan aku ke sumur api. Kau masih memiliki
ilmu Seribu Kaki Di Atas Bumi."
Mendengar ucapan Arwah Muka Hijau, Setunggul Langit
segera berdiri lalu melangkah ke luar goa. Sampai di luar goa
dia jatuhkan diri menelungkup di tanah. Arwah Muka Hijau
berdiri di punggung anak buahnya. Setunggul Langit ulurkan
dua tangan ke depan lalu dikembangkan ke samping. Saat itu
juga tubuhnya bergerak naik ke atas lalu melesat di udara.
ooOOOoo Ebook dibuat oleh Dewi KZ
Berdasarkan djvu yg dibuat Syaugy_ar
http://kangzusi.com/
11. RATU DHIKA GELANG GELANG
KETIKA Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit sampai
di sumur api Setunggul Bumi yang seharusnya ada dan
berjaga-jaga di tempat itu tidak kelihatan. Setelah lebih dahulu
memeriksa dan mengelilingi sumur api Arwah Muka Hijau
berpaling pada Setunggul Langit.
"Kelakuanmu dan temanmu si pendek katai itu sama saja
kurang ajarnya! Menurutmu dia kau suruh mengawasi sumur
api. Sekarang kau lihat sendiri dia tidak ada di sini!"
Heran ada, jengkel juga ada Setunggul Langit
memandang berkeliling lalu berteriak memanggil Setunggul
Bumi. Sampai tenggorokannya kering berteriak-teriak berulang
kali tidak ada jawaban.
"Aku punya firasat tidak enak. Temanmu itu mungkin
sudah menemui ajal! Kau sekarang tinggal sendirian!"
Setunggul Langit terkejut dan merasa tidak enak
mendengar ucapan Arwah Muka Hijau.
"Bagaimana Kanjeng bisa berkata begitu?" tanya
Setunggul Langit.
"Aku mencium rohnya sudah gentayangan di sekitar
tempat ini" jawab Arwah Muka Hijau lalu melangkah
menghampiri sumur api. Sambil merapal satu bacaan dia
kembangkan telapak tangan kanannya yang hijau di atas
sumur. "Wusss!"
Dari dalam sumur serta merta melesat lidah api
menghantam tangan Arwah Muka Hijau. Makhluk ini tidak
bergeming.Tangannya tidak bergerak sedikitpun. Telapak
tangan itu tidak cidera.
"Wusss!"
Untuk kedua kalinya dari dalam sumur menggebubu lidah
api. Arwah Muka Hijau tetap tidak bergeming dari tempatnya.
Akan tetapi sewaktu lidah api melesat untuk ke tiga kalinya,
makhluk ini berteriak kaget, melompat mundur sambil kibaskibaskan
lengan jubah hijaunya yang terbakar, sementara
telapak tangan yang hijau kelihatan mengepulkan asap!
"Ada kekuatan luar biasa hebat melindungi tempat ini. Aku
tak mungkin masuk ke dalam sumur," katanya pada Setunggul
Langit. Dia diam sejenak lalu berkata lagi. "Ada dua cara untuk
bisa tembus ke dasar sumur api. Pertama minta bantuan
Jelanang Kameswhara alias Seribu Mata Air. Kedua
menyelidik dari arah lain. Aku yakin ada jalan rahasia masuk
ke dasar sumur api. Aku lebih suka melakukan hal yang
kedua. Setunggul Langit, kau beruntung. Hukumanmu aku
tunda beberapa hari. Malam ini kita menginap di tempat ini.
Kau berjaga-jaga sementara aku akan menyelidik dimana
beradanya jalan rahasia itu."
"Terima kasih Kanjeng. Perintah Kanjeng akan saya ikuti.
Tapi apakah kita tidak akan mencari Setunggul Bumi" Kalau
memang dia sudah menemui ajal seperti kata Kanjeng paling
tidak kita harus menemukan dan mengurus pembakaran
jenazahnya."
Baru saja Setunggul Langit berkata begitu tiba-tiba ada
suara perempuan berseru.
"Setunggul Langit! Kau lebih berperikemanusiaan dari
majikanmu yang berjuluk Arwah Muka Hijau. Tapi aku pikir
bangsa arwah memang mana punya rasa kemanusiaan?"
Ucapan perempuan itu ditutup dengan suara tawa cekikikan.
Arwah Muka Hijau dan Setunggul langit memandang
berkeliling. Mereka sama merasakan tanah agak bergetar
sewaktu perempuan yang tak kelihatan mengumbar suara
tertawa Namun keduanya bukan saja tidak dapat melihat siapa
perempuan yang barusan bicara dan tertawa, malah dari arah
mana datangnya asal suara merekapun tidak dapat menjajagi.
Sayatan-sayatan lurus yang dijahit benang hitam kasar di
wajah Arwah Muka Hijau berkedut-kedut beberapa kali. Lalu
dia keluarkan suara menjawab ucapan perempuan tadi.
"Aku yakin kau bukan bangsa demit atau makhluk halus
jejadian.Tapi mengapa malu memperlihatkan diri. Bicara
memakai ilmu membuka mulut memindah suara."
"Arwah Muka Hijau, kau tersinggung rupanya! Aneh juga.
Pada maksud baik orang lain kau tidak menunjukan rasa
pengertian. Tapi pada yang menyangkut buruk dirimu kau
menumpahkan kejengkelan. Lagi pula aku bicara pada
Setunggul Langit, bukan padamu. Mengapa harus merasa
risih dihati"Hik...hik...hik."
"Makhluk pengecut!" Memaki Arwah Muka Hijau.
"Maaf, saat ini aku tidak punya niat bicara lagi dengan
dirimu." Perempuan yang bicara tanpa kelihatan kemudian
menyambung ucapannya.
"Setunggul Langit, kalau kau memang ingin berbakti pada
sahabatmu Setunggul Bumi, ingin mengurus jenazahnya aku
akan memberikan jenazahnya padamu. Cuma sayang
jenazahnya tidak terlalu utuh dan mulai agak bau."
Tiba-tiba dari arah kiri melayang tubuh manusia dan blukk!
Tubuh ini jatuh tepat di hadapan Setunggul Langit.
Wajah rata Arwah Muka Hijau berkerut. Setunggul Langit
melompat mundur beberapa langkah. Mulut ternganga, mata
membeliak. "Mana kepalanya!" Setunggul Langit berteriak. Tubuh
pendek katai berjubah kuning yang tergeletak di tanah itu
memang tubuh Setunggul Bumi. Tapi kepalanya tidak ada!
Inilah yang tadi yang diteriakan oleh Setunggul Langit dalam
keterkejutannya.
"Setunggul Langit, harap maafkan. Jadi kau juga perlu
kepalanya. Memang pantas dan seharusnya begitu. Kau
seorang yang sangat memperhatikan keadaan teman
walaupun sudah jadi mayat."
Lalu dari arah kanan menggelinding sebuah benda bulat
yang bukan lain adalah kuntungan kepala Setunggul Bumi!
Kepala itu agaknya sengaja diarahkan ke tempat berdirinya
Arwah Muka Hijau. Makhluk bermuka rata ini cepat-cepat
menghindar lalu tiba-tiba sekali tangan kanannya bergerak
melakukan satu pukulan tangan kosong ke arah kiri, yaitu arah
datangnya kepala yang menggelinding. Selarik cahaya hijau
disertai deru kerasi menyambar.
"Braakkk... braaakk!"
Dua pohon besar patah bertumbangan. Semak belukar
terbongkar berhamburan. Namun siapapun orang yang jadi
sasaran Arwah Muka Hijau tidak ada di tempat itu. Malah tibatiba
sekali sebuah benda panjang melesat di udara lalu
menancap tepat di depan kaki Arwah Muka Hijau hingga
makhluk ini menyumpah habis-habisan. Benda yang
menancap di depan kaki Arwah Muka Hijau ternyata adalah
sebilah golok besar berdarah milik Setunggul Bumi. Setunggul
Langit tidak pedulikan kemarahan serta apa yang terjadi
dengan Arwah Muka Hijau. Dia lebih memperhatikan jenazah
sahabatnya Dengan cepat dia mendukung mayat Setunggul
Bumi dan membaringkan di bawah sebatang pohon. Lalu dia
mengambil kuntungan kepala sahabatnya itu. Karena bingung
mau diletakan dimana akhirnya Setunggul Langit memasukan
kuntungan kepala ke balik dada jubah kuning mayat Setunggul
Bumi. Lalu lelaki ini balikan diri dan berteriak keras.
"Makhluk biadab! Perempuan keji! Perlihatkan dirimu! Apa
salah sahabatku hingga kau mem Hening beberapa lamanya.
Lalu terdengar suara tertawa perlahan disusul suara benda
bergemerincing. Sesaat kemudian di bawah sebatang pohon
Mahoni berdaun lebat berdiri seorang perempuan berkulit
hitam gemuk mengenakan pakaian kemben hitam merah.
Bagian tengah bawah kemben ini depan belakang terbelah
sampai ke lutut. Mukanya yang bundar gembrot dengan
berhidung lebar pesek tertutup dandanan tebal mencolok.
Wajahnya jauh dari cantik. Bedak tebal putih, pipi diberi
merah-merah, alis hitam kereng dan bibir yang dower dilapis
pemerah. Rambut diberi warna merah-merah, dikonde di atas
kepala, dihias sekuntum bunga mawar merah yang tak pernah
layu karena telah direndam dalam sejenis jelaga. Di belakang
punggungnya menyembul sebuah benda putih kekuningan
yang bukan merupakan sebilah pedang atau senjata. Pakaian
merah dan tubuhnya menebar bau harum aneh menyengat,
menusuk jalan pernafasan.
Pada kedua pergelangan lengan dan kaki perempuan ini
melingkar gelang kerincing terbuat dari emas. Setiap dia
membuat gerakan, walau sedikit saja gelang-gelang itu akan
keluarkan suara berkerincing.
"Dhika Gelang Gelang!" ucap Arwah Muka Hijau yang
mengenali perempuan itu dengan suara setengah tertahan
sementara Setunggul Langit yang juga mengetahui siapa
adanya perempuan itu tegak ternganga terkesiap.
Perempuan gemuk sepertinya tidak acuhkan kedua orang
yang ada di hadapannya. Dia memegang sebuah cermin kecil,
asyik berkaca sambil mematik alis dan rambut. Lidah sesekali
dijulurkan untuk membasahi bibir merah dower. Setelah
menyimpan cermin kecil di balikdadanya, perempuan ini
angkat kepala, memandang senyum-senyum ke arah Arwah
Muka Hijau dan Setunggul Langit. Tangan kanan diangkat ke
atas lalu tubuh diputar satu kali ke kanan, satu kali ke kiri.
Empat gelang berkerincingan. Kemudian perempuan ini
keluarkan ucapan bertanya.
"Bagaimana menurut kalian, apakah wajahku sudah cantik
dan tubuhku langsing gemulai?" Karena tak ada yang
menjawab perempuan gemuk ini singsingkan ke atas bagian
bawah kembennya yang terbelah sebelah depan. "Aku
orangnya memang berkulit hitam. Tapi kalian saksikan sendiri,
pahaku putih bersih dan mulus! Hik...hik...hik!" Padahal
sebagaimana keadaan kulit tubuhnya yang lain, paha
perempuan ini hitam dan gempal.
Arwah Muka Hijau tidak bergerak. Rahang menggembung,
sayatan pada bagian mata dan mulut bergerak-gerak. Ketika
perempuan gemuk itu memutar tubuh ke kiri dan ke kanan
Arwah Muka Hijau melihat benda yang menyembul di balik
punggung adalah sebuah gading besar yang terselip di
kemben, sama seperti yang dimilikinya. Arwah Muka Hijau
tersentak kaget
"Jadi dia adalah orang kedua yang memiliki Gading
Bersurat yang seluruhnya berjumlah empat itu. Berarti
kehadirannya di sumur api ini tidak bisa tidak ada sangkut
pautnya dengan Gading Bersurat itu."
"Hai, aku bertanya. Mengapa tidak satupun dari kalian
yang menjawab. Apa kalian terpesona melihat kecantikan dan
keelokan tubuhku. Atau saat ini kalian jadi punya pikiran kotor
setelah melihat pahaku yang putih mulus" Ah menyesal tadi
aku memperlihatkan."
"DhikaGelang Gelang..."
"Ssshhhh!" Perempuan gemuk gelengkan kepala dan
goyang-goyangkan tangan kanan. "Arwah Muka Hijau, sudah
dua kali engkau menyebut namaku secara tidak sopan. Kau
tahu siapa diriku. Ratu Bhumi Mataram yang tidak pernah
menginginkan tahta Kerajaan. Sangat pantas jika kau
memanggil diriku dengan sebutan Ratu Dhika Gelang Gelang.
Ingat, jangan lupa hal itu. Kalau kau bersikap sopan dan tahu
peradatan maka aku akan melakukan hal yang sama. Kalau
kau menghormati diriku, maka aku akan balas menghormat.
Bukankah hidup ini begitu mudah" Mengapa manusia sering
mempersulit diri sendiri?"
"Aku tidak perduli siapa pun kau adanya. Aku ingin tahu
apakah kau yang membunuh Setunggul Bumi anak buahku
yang barusan kau lemparkan tubuh dan kepalanya"!"
"Arwah Muka Hijau, kau tidak menghormati Ratumu
sendiri." Kata Ratu Dhika Gelang Gelang.
Muka rata Arwah Muka Hijau tampak menggembung.
"Kau jawab saja pertanyaanku."
Satria Lonceng Dewa 1 Perawan Sumur Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ahhh. Jadi itu pertanyaanmu. Baik. Aku akan
menjawab.Tapi aku sudah mencatat perilakumu yang tidak
hormat." Kata si gemuk yang menyatakan diri sebagai Ratu
Dhika Gelang Gelang. "Kalian berdua dengar baik-baik. Aku
tidak membunuh manusia bernama Setunggul Bumi itu. Dia
sendiri yang menggorok lehernya sampai putus!"
"Kedustaan keji! Bagaimana hal itu mungkin terjadi?"
Menyanggah Setunggul Langit.
"Kau minta kami berlaku hormat. Tapi dengan berdusta
kau telah dengan sengaja bersikap tidak hormat,"
Arwah Muka Hijau berkata. "Bisa saja kau berkata begitu
karena tidak melihat Mari aku ceritakan apa yang terjadi." Kata
Ratu Dhika Gelang Gelang."Ketika aku datang ke tempat ini
anak buahmu langsung mengusir aku dan mengancam. Jika
aku tidak mau pergi maka leherku akan digorok! Sungguh
tidak sopan dan tidak pantas. Aku seorang ratu tidak minta
dihormati, tapi kalau diperlakukan kurang ajar aku bisa marah.
Kemana aku mau pergi, aku mau berada dimana adalah
urusanku. Setunggul Bumi tidak punya hak mengusir diriku
dari tempat ini. Ketika aku membalas supaya dia saja yang
pergi dari sini, anak buahmu langsung menghunus golok lalu
menyerangku. Aku berhasil mencekal tangannya yang
memegang senjata. Aku sama sekali tidak menyentuh senjata
itu. Gagang golok masih berada dalam genggamannya ketika
senjata itu berbalikderas menebas lehernya sendiri hingga
putus. Jelas dia yang menebas lehernya sendiri! Bukankah itu
namanya bunuh diri"!"
"Perempuan licik! Kurang ajar! Kau bermain kata-kata
tidak mau mengakui kalau kau yang menggorok Setunggul
Bumi. Sekalipun kau tidak memegang gagang golok tapi
sebenarnya kaulah .yang membunuh Setunggul Bumi!"
Setunggul Langit marah sekali. Ketika dia hendak menerjang
Arwah Muka Hijau cepat menahan bahunya dan berbisik. "Kita
berhadapan dengan orang berkepandaian tinggi. Setahuku
kemana-mana dia selalu membawa seekor kucing merah yang
lebih buas dari pemiliknya. Aku tidak melihat dia membawa
binatang itu. Biar aku mencari tahu lebih dulu ada keperluan
apa perempuan ini berada di sini. Setelah itu, jika aku
memberi isyarat kau serang dia dengan Ilmu Bubu Ikan
Berbisa. Tubuhnya gemuk. Gerakannya pasti lamban. Sekali
masuk dia akan celaka, tak bisa keluar lagi."
ooOOOoo SIAPAKAH Dhika Gelang Gelang yang menyebut dirinya
sebagai Ratu" Konon ketika Sri Maharaja Rakai Pikatan Dyah
Saladu mengakhiri masa pemerintahannya sebagai Raja
Mataram anak tertuanya adalah seorang perempuan yaitu
Dhika Gelang Gelang. Namun karena Dhika adalah anakyang
dilahirkan dari seorang istri ketiga maka banyak pihak yang
menolak Dhika Gelang Gelang sebagai pewaris tahta. Dhika
Gelang Gelang sendiri sebenarnya tidak menginginkan
menjadi Raja atau Ratu di Bhumi Mataram. Maka secara diamdiam
dia meninggalkan Istana menyepi diri di satu tempat
yang tidak diketahui orang.
Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala, putera tertua dari istri
kedua Rakai Pikatan Dyah Saladu kemudian dinobatkan
sebagai Sri Maharaja Mataram yang baru.
Beberapa tahun kemudian Dhika Gelang Gelang muncul
kembali. Walau dia menyebut diri sebagai Ratu dan
penampilannya menjadi aneh namun dia tidak mengusik tahta
dan malah menjaga ketenteraman Istana dan Kerajaan. Dia
jarang berada di kalangan Istana, lebih banyak menyatu
dengan rakyat jelata. Satu hal yang diketahui orang, setelah
menghilang sekian lama perempuan yang kini bertubuh gemuk
dan berwajah tidak cantik itu telah menjadi seorang sakti
mandraguna. Kemana-mana dia selalu membawa seekor
kucing merah. Ketika Kerajaan terlibat peperangan dengan
orang-orang di wilayah selatan, Dhika Gelang Gelang sangat
banyak memberikan bantuan sehingga pertumpahan darah
yang lebih besar dapat dihindarkan dan antara utara dengan
selatan dicapai perdamaian. Setelah peristiwa besar itu Dhika
Gelang Gelang kembali melenyapkan diri. Hanya sesekali
muncul di Kotaraja, itupun tidak mendatangi Istana. Pada
setiap kali kemunculan pasti ada satu peristiwa besar yang
ditanganinya. Mengetahui ketinggian ilmu kesaktian
perempuan inilah maka Arwah Muka Hijau tidak mau berlaku
ceroboh. Dia cepat menghalangi Setunggul Langit yang
hendak menyerang sambil mengatur siasat.
Ebook Oleh : Dewi KZ
Djvu oleh : Syaugi_ar
12. BUBU IKAN BERBISA
"RATU Dhika Gelang Gelang, soal kematian anak buahku
biar aku lupakan dulu," berkata Arwah Muka Hijau. "Aku ingin
bertanya, maksud apa yang ada dalam dirimu hingga muncul
di tempat ini. Adakah sumur api itu yang menarik
perhatianmu?"
"Kau sekarang memanggilku Ratu. Betapa hormatnya!
Bicaramu kini sopan penuh peradatan. Betapa indahnya! Kau
bicara berterus terang. Sungguh menyenangkan. Arwah Muka
Hijau, mengapa kau mendadak berubah. Apa yang ada di
benakmu" Apa yang tersembunyi di hatimu?" Balik bertanya
perempuan gemuk berkemben merah sambil naikan sepasang
alis mata, membuat Arwah Muka Hijau jadi jengkel penasaran.
"Ratu Dhika, kau menjawab pertanyaan dengan balik
bertanya. Itukah yang kau sebut sopan santun" Kalau kau tak
mau menjawab, biar aku menduga. Kau membekal sebatang
gading. Aku tahu riwayat yang tertulis di gading itu. Kau ke sini
untuk menyelidik tentang seorang gadis yang kelak akan
melahirkan dua anak lelaki. Kau tak perlu menjawab tapi juga
tidak perlu berdusta."
Ratu Dhika Gelang Gelang tertawa panjang mendengar
kata-kata Arwah Muka Hijau.
"Betapa tololnya dirimu. Ketololan pertama! Sudah gaharu
cendana pula. Sudah tahu bertanya pula. Ketololan kedua.
Kalau memang ada seorang gadis akan melahirkan di dalam
sumur api itu, berarti masih sembilan bulan lebih waktu
penantian. Mengapa dari sekarang repot-repot mau berbuat
keributan?"
"Kami tidak merasa membuat kerepotan. Justru dari
pihakmu yang memulai berbuat keributan. Kau membunuh
anak buahku Setunggul Bumi!"
"Arwah Muka Hijau, rasanya kurang sedap berbicara
denganmu. Kau selalu mengulang-ulang soal kematian anak
buahmu itu. Pada hal aku sudah menceritakan apa yang
terjadi. Bukankah lebih baik bagimu meninggalkan tempat ini.
Mengurus pembakaran jenazah Setunggul Bumi?"
"Kau tak layak mengatur diriku. Anak buahku datang lebih
dulu ke tempat ini. Adalah dia pantas mengusir orang
semacammu!" Menukas Arwah Muka Hijau lalu kedipkan mata
sambil meraba dagu, memberi isyarat pada Setunggul Langit.
Serangan Bubu Ikan Berbisa serta merta dilaksanakan!
Begitu melihat isyarat, Setunggul Langit keluarkan
bentakan keras. Dua tangan diluruskan ke depan. Dari
sepuluh ujung jari tangan mencuat dua puluh empat sinar
hitam. Ujung yang ada di arah tangan menyatu seperti diikat
sementara ujung yang lain membuka lebar lalu menekuk
runcing ke dalam. Secara luar biasa dua puluh empat larikan
sinar yang menyerupai bubu atau perangkap ikan secepat kilat
menelan tubuh Ratu Dhika Gelang Gelang tanpa perempuan
ini sempat berkelit selamatkan diri. Empat gelang di tangan
dan kaki berkerincingan.
Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit tertawa gelakgelak.
"Ratu jelek! Ternyata kau tidak punya ilmu kepandaian
apa-apa!" teriak Arwah Muka Hijau mengejek. "Aku mau lihat!
Kalau kau mampu keluar dari perangkap, kami berdua sampai
anak cucu kami akan bersujud menghambakan diri padamu
selama tujuh turunan Raja yang berkuasa di Mataram."
Di dalam perangkap Ratu Dhika Gelang Gelang terpaksa
kerahkan ilmu meringankan tubuh dan melayang seperti ikan
besar yang masuk ke dalam bubu raksasa. Dia tahu tidak
mungkin berbalik meloloskan diri melalui bagian depan bubu
yang memiliki dua puluh empat ujung runcing menghadang.
Melalui celah di kiri kanan atau sebelah atas dan sebelah
bawah perangkap dia mungkin bisa menyelinap keluar namun
kalau sampai tubuhnya tergores maka racun jahat akan masuk
ke dalam aliran darah dan dia akan menemui ajal sebelum
matahari tenggelam!
"Kalau aku jebol dengan pukulan sakti, perangkap celaka
ini mungkin bisa ambruk. Namun serpihan-serpihannya bisa
berbahaya kalau sampai ada yang menancap di tubuhku.
Berapa lama aku bisa bertahan mengambangkan diri seperti
ini...?" Sadar dirinya dalam keadaan bahaya besar Ratu Dhika
Gelang Gelang masih mampu berlaku tenang. Perlahan-lahan,
dengan sangat hati-hati dia memutar tubuh yang
mengambang hingga menghadap ke bagian depan bubu.
Dengan tangan kirinya perempuan gemuk ini mengusap-usap
perut sementara mulut berkomat kamit dan sepasang mata
menatap ke arah Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit
yang tegak di bagian depan mulut bubu.
"Perutku...Mengapa perutku. Ada sesuatu bergerak di
dalam perutku..." Ratu Dhika Gelang Gelang berucap sambil
terus usap-usap perutnya.
Arwah Muka Hijau perhatikan gerak-gerik Ratu Dhika
Gelang Gelang. Dalam hati bertanya-tanya apa yang
dilakukan perempuan itu.Tiba-tiba kedua orang di luar bubu
melihat keanehan terjadi dengan Ratu Dhika Gelang Gelang.
Perutnya perlahan-lahan berubah membesar.
"Arwah Muka Hijau, tidakkah kau melihat perubahan yang
terjadi dengan diriku...?" Ratu Dhika Gelang Gelang bertanya.
Tanpa bergerak dari tempatnya berdiri Arwah Muka Hijau
menjawab. "Ilmu setan apa yang hendak kau keluarkan"! Jangan
harap kau bisa lolos dari dalam Bubu Ikan Berbisa!"
"Perutku membesar. Ada makhluk bergerak di dalamnya.
Hyang Jagat Batara Dewa! Aku hamil! Bagaimana mungkin ini
bisa terjadi"!"
Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit tertawa gelakgelak.
"Akal busukmu tidak bakal menipu kami!" teriak Setunggul
Langit. Ratu Dhika Gelang Gelang tidak perdulikan ucapan
orang. Kepala didongakkan ke atas, menatap ke langit. Dua
tangan disusun di atas kepala.
"Sang Hyang Jagat Batara. Para Dewa di Swargaloka.
Dalam keadaaan sengsara seperti ini apakah Kau
melimpahkan rakhmat pada diriku" Apakah kau telah memilih
diriku mewakili anak perawan dari desa kecil di selatan
Prambanan" Aku hamil besar wahai Para Dewa. Apakah aku
akan melahirkan dua bayi yang kelak akan menjadi dua
kesatria seperti yang tertulis pada Gading Bersurat" Wahai
Para Dewa, besar nian rakhmat-mu...."
Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit saling
berpandangan. Wajah rata Arwah Muka Hijau berkedut-kedut
sementara tampang Setunggul Langit berubah, ada rasa tidak
percaya dibayangi rasa takut.
"Arwah Muka Hijau, aku tidak menipu. Perutku membesar.
Aku benar-benar hamil. Lihatlah! Saksikan! Mendekatlah."
"Breett!"
Kemben merah yang dikenakan Ratu Dhika Gelang
Gelang tidak sanggup lagi menahan perut yang membesar.
Dalam keadaan robek ke dua orang di depan kubu melihat
bagaimana perut perempuan gemuk yang kini tersingkap itu
memang benar-benar membesar seperti perempuan hamil.
"Arwah Muka Hijau, mendekatlah. Biar kau bisa melihat
jelas. Ini bukan sihir, bukan tipu daya. Semua adalah rakhmat
Para Dewa atas diriku. Mungkin sudah ditakdirkan bahwa
kelak bayi yang akan aku lahirkan akan menjadi milikmu.
Bukankah itu niat maksud dirimu datang ke SUMUR API ini"
Ah, Gading Bersurat.Ternyata bukan cerita bohong ataupun
tipu daya. Gading Bersurat, ternyata kau nyata. Terima kasih
Para Dewa, aku telah dipilih menjadi wakil untuk kebaikan di
Bhumi Mataram ini. Ah...sebentar lagi. Sebentar lagi bayi ini
pasti akan lahir. Satu bayi...dua bayi, atau tiga bayi..."
Arwah Muka Hijau menatap dengan muka sayatan berjahit
benang kasar ke dalam kubu raksasa lalu berpaling pada
Setunggul Langit.
"Apakah yang kau lihat tidak berbeda dengan yang aku
saksikan" Apakah orang tidak tengah menipu kita?"
"Kanjeng, kita melihat hal yang sama. Keajaiban telah
terjadi.Tidak mungkin kalau ini bukan karena keajaibanNya
Para Dewa. Kita harus melenyapkan Bubu Berbisa. Kalau bayi
itu sampai lahir di dalam bubu bisa celaka. Kalau dari semula
maksud kita memang untuk mendapatkan bayi itu, kita harus
menyelamatkannya. Kanjeng...."
"Tunggu dulu. Jangan cepat percaya. Perempuan ini tinggi
ilmunya. Dia punya seribu akal. Biar aku perhatikan dulu lebih
jelas." Arwah Muka Hijau mendekat ke mulut bubu raksasa. Pada
saat dia hanya berdiri satu langkah di depan mulut bubu, Ratu
Dhika Gelang Gelang buka mulutnya lebar-lebar. Perut yang
besar menciut mengeluarkan suara mendesis panjang dan
mengempis! Mulut yang terbuka menyedot. Satu gelombang
angin besar dan dasyat menarik tubuh Arwah Muka Hijau.
"Ilmu Selaksa Angin Menghisap Roh!" teriak Arwah Muka
Hijau. Dia berusaha menggeliat, memutar tubuh untuk
berbalik. Setunggul Langit berusaha untuk menolong. Namun
terlambat. Tubuh Arwah Muka Hijau telah lebih dahulu
terhisap masuk ke dalam bubu raksasa, dua kaki lebih dulu!
Ratu Dhika Gelang Gelang membentak keras. Dua
tangannya dengan cepat mencekal per-gelangan kaki Arwah
Muka Hijau. Sekali dia mengerahkan tenaga dalam maka
tubuh Arwah Muka Hijau yang barusan masuk ke dalam bubu
raksasa ini melesat kembali keluar. Masih memegangi kaki
orang, Ratu Dhika Gelang Gelang ikut menyelinap dari
belakang tanpa tubuhnya menyentuh bubu berbisa.
Arwah Muka Hijau menjerit keras sewaktu kepalanya
menghantam dua puluh empat ujung runcing berbisa di mulut
bubu! Bubu raksasa hancur berantakan.
Makhluk bermuka rata itu terhempas jatuh di tanah. Di
kepala, muka dan sebagian tubuhnya terdapat dua puluh
empat luka mengerikan. Darah yang mengucur bukannya
merah tapi hijau pekat.
Satria Lonceng Dewa 1 Perawan Sumur Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Melihat apa yang terjadi Setunggul Langit segera lepaskan
satu pukulan sakti ke arah Ratu Dhika Gelang Gelang. Namun
perempuan ini sambil mengumbar tawa cekikikan telah
berkelebat lenyap. Hanya gaung suara dan kerinclngan empat
gelangnya yang terdengar.
"Arwah Muka Hijau! Kalau nyawamu masih panjang kita
pasti berjumpa lagi!"
"Perempuan terkutuk! Aku pasti mencarimu!" teriak Arwah
Muka Hijau. Setunggul Langit segera mengejar namun
urungkan niat ketika dia mendengar Arwah Muka Hijau
berteriak. "Jangan dikejar! Lekas bawa aku ke Candi Miring! Aku
menyimpan obat penangkal luka berbisa di sana! Cepat!
Sebelum malam datang aku harus sudah ada di sana. Kalau
terlambat nyawaku tidak tertolong! Cepat! Kalau aku selamat
semua kesalahanmu akan aku ampuni! Ilmu Serat Arang akan
aku kembalikan padamu!"
"Kanjeng! Aku mendengar semua ucapanmu. Apa yang
kau perintahkan akan aku laksanakan!" Jawab Setunggul
Langit. Lalu dengan cepat dia panggul tubuh Arwah Muka
Hijau. Mayat Setunggul Bumi dilupakan begitu saja.
ooOOOoo 13. HAMIL GAIB ANANTHAWURI
PAGI hari di sebuah taman tak jauh dari dasar sumur api.
Ananthawuri tengah mencium keharuman setangkai mawar
kuning ketika Sukantili, ibunya muncul di undakan tangga batu
merah paling atas.
"Anakku, sudah lama kau menunggu di taman ini?"
menyapa Sukantili.
Ananthawuri segera menghampiri ibunya, mencium
tangan perempuan itu penuh khidmat lalu mencium pipinya kiri
dan kanan. "Saya belum lama berada di sini. Tapi kali ini entah
mengapa saya merasa sangat tidak sabar menunggu
kedatangan Ibu." Anak perawan dari desa Sorogedug yang
bersama ibunya kini tinggal di satu tempat rahasia tak jauh
dari dasar sumur api tatap wajah sang ibunda sejenak lalu
bertanya. "Saya melihat wajah Ibu seperti tidak berseri. Apakah Ibu
sakit atau ada sesuatu yang menjadi pikiran?"
"Ibu baik-baik dan sehat. Namun terus terang memang
ada sesuatu yang menjadi pikiran di benak Ibu, sesuatu yang
menjadi ganjalan di hati Ibu."
"Wahai Ibuku sayang, katakanlah. Gerangan apa yang jadi
pikiran dan ganjalan itu?"
"Anakku Ananthawuri, selama kita tinggal di tempat ini kita
berada dalam kecukupan. Berkat kasih sayang dan kebesaran
Para Dewa segala sesuatunya tersedia. Tempat kediaman,
makanan dan lebih dari itu diberkahi kesehatan yang baik.
Bahkan ada pula seorang pelayan. Namun setiap malam,
sebelum Ibu pulas tertidur, selalu ada pikiran dan pertanyaan
yang datang. Berapa lama kita akan berada di tempat ini" Ibu
orang ie a Betapa pun bagusnya tempat kediaman ini tetap
saja bukan milik kita. Ibu merasa bagaimanapun buruknya
gubuk kita namun hidup di desa Sorogedug ternyata jauh lebih
nyaman menyenangkan. Tetangga orang sedesa selalu
bersikap baik dan ramah. Teman-teman mendiang ayahmu
kerap datang menyambangi."
"Ibu, menurut cerita Ibu bukankah rumah kita di
Sorogedug telah dibakar oleh kaki tangan saudagar
Narotungga?"
"Betul, tapi Ibu bisa bangun gubuk baru. Penduduk desa
pasti mau membantu bergotong-royong. Kita tidak bisa
meninggalkan begitu saja apa yang diwariskan oleh Ayahmu.
Bagaimanapun .buruk dan tidak bernilainya warisan itu."
Jawab Sukantili.
"Ibu, saya pernah bercerita bahwa petunjuk Para Dewa
telah memberitahu, saya tidak akan dapat keluar dari tempat
ini untuk selama-lamanya kecuali atas perkenan Mereka.
Selain itu saya juga menerima petunjuk bahwa kelak saya
akan kawin dan memiliki anak yang akan menjadi seorang
kesatria dan berbakti pada Kerajaan Mataram. Kalau Ibu
berniat pergi, siapakah yang akan menjadi teman saya di
tempat ini. Ibu, sebenarnya saya juga pernah berpikir seperti
Ibu. Ingin pergi dari sini. Namun pada akhirnya saya merasa
pasrah. Saya menyadari seperti apa yang dikatakan Roh
Agung. Ini adalah takdir kehidupan diri saya. Apakah manusia
seperti kita, seperti saya ini bisa berkehendak melawan takdir
Yang Maha Kuasa" Saya percaya Yang Maha Kuasa dan
Maha Mengetahui serta Maha Pengasih telah mengatur
sesuatu yang terbaik untuk diri saya." Ananthawuri pegang
lengan ibunya. "Ibu, percayalah Para Dewa selama ini telah
melindungi kita berdua."
Sukantili anggukan kepala, terdiam beberapa ketika lalu
menarik nafas panjang.
"Ananthawuri, tadi kau berkata merasa tidak sabar
menunggu kedatangan Ibu..."
"Betul Ibu, ada sesuatu yang ingin saya ceritakan pada
Ibu." "Hemmm....lbu akan senang sekali mendengarkan. Cerita
tentang apa anakku?"
"Tadi malam saya bermimpi."
"Mimpi bunga hiasan tidur" Kata Sukantili pula sambil
tersenyum dan membelai rambut anak gadisnya.
"Tapi mimpi saya ini aneh, Bu. Dalam mimpi saya tengah
berbaring tidur. Lalu saya mencium bau busuk luar biasa.
Membuat kepala pusing dan perut mual mau muntah.Tak lama
kemudian bau busuk itu hilang. Berganti dengan bau wangi
harum semerbak yang tidak pernah saya cium sebelumnya.
Kemudian dari langit saya melihat cahaya putih.Turun ke
tempat saya berbaring. Di balik cahaya putih itu saya melihat
samar wajah dan sosok pemuda. Saya bertanya siapa
gerangan dia adanya. Tak ada jawaban. Kemudian cahaya
putih melayang mendekati diri saya, menutupi sekujur tubuh
saya. Saat itu saya merasa ada orang memeluk saya. Ibu,
saya merasa satu kehangatan dan kemesraan luar biasa yang
tidak pernah saya rasakan sebelumnya. Ada perasaan
bergairah pada bagian-bagian tertentu tubuh saya. Saya
tertidur lelap dalam pelukan orang itu. Ketika saya bangun
dalam mimpi cahaya putih telah lenyap. Dekapan mesra
hanya menyisakan kehangatan. Lalu saya terbangun dari
tidur. Saya merenung. Sampai menjelang pagi saya tidak bisa
menduga apa arti mimpi itu. Mungkin Ibu tahu kira-kira makna
mimpi saya?"
Setelah berdiam diri berpikir-pikir beberapa lamanya
akhirnya Sukantili gelengkan kepala.
"Sulit Ibu menduga. Sebaiknya kau berdoa memohon
petunjuk serta tetap meminta perlindungan dari Yang Maha
Kuasa." Keesokan malamnya, mimpi yang sama kembali dialami
Ananthawuri. Hal itu terjadi sampai tujuh malam berturut-turut.
Setiap kali bermimpi paginya gadis ini langsung menemui
sang ibu dan menceritakan mimpinya.
"Ibu," kata Ananthawuri pada hari ke tujuh. "Berulang kali
mimpi itu datang, berulang kali saya dipeluk mesra penuh
kasih sayang, dan berulang kali saya melihat wajah pemuda
walaupun tidak jelas, lama kelamaan ada rasa suka serta
sayang saya terhadap pemuda itu. Ibu, apakah saya telah
jatuh cinta pada sesuatu yang tidak nyata?"
Sukantili tertawa.
"Anakku, kau masih muda belia. Belum tahu apa-apa
tentang cinta. Biar Ibu beritahukan. Cinta itu adalah sesuatu
yang nyata. Jika kita mencintai seseorang maka orang itu
adalah juga sesuatu yang nyata."
Ananthawuri terdiam sesaat. Lalu kembali bertanya.
"Ibu, menurutmu apakah pemuda di dalam mimpi itu bisa
menjadi kenyataan?"
"Apa maksudmu anakku?" tanya Sukantili.
"Maksud saya, apakah saya bisa bertemu dengan pemuda
itu?" Sukantili memeluk anak gadisnya.
"Ibu tidak tahu anakku. Kalau Yang Maha Kuasa
berkehendak, kalau Para Dewa melimpahkan rakhmat segala
sesuatunya bisa terjadi..."
Hari ke delapan dan seterusnya mimpi itu tidak pernah
datang lagi. Ananthawuri merasa sedih. Dia ingin pemuda
dalam cahaya putih itu datang kembali mengunjungi dirinya
walaupun dalam mimpi.
Memeluknya penuh mesra dan kasih sayang. Namun
sampai hari ke dua puluh mimpi yang ditunggu tak kunjung
datang. Di atas pembaringan Ananthawuri berucap.
"Pemuda dalam cahaya. Jika kau memang kekasih yang
telah dipilihkan Para Dewa untukku, datanglah. Aku rindu
pelukan hangatmu. Aku rindu belaian mesramu. Aku tahu kau
mengasihi diriku. Dan aku tahu betapa aku mencintaimu walau
kau datang tidak berupa dan tidak pula bernama."
Namun sampai pagi tiba kekasih sang mimpi tak kunjung
datang. Kekasih gaib yang diharapkan tidak muncul.
Hari ke dua puluh tujuh ketika anak perawan dari Desa
Sorogedug ini menemui ibunya sang ibu berkata.
"Ananthawuri, apakah hari ini kau sehat-sehat saja
anakku?" .
"Saya sehat-sehat, Ibu."
"Ibu melihat wajahmu agak pucat."
"Mungkin saya kurang tidur.Tapi terus terang ada sesuatu
yang hendak saya sampaikan, Ibu."
"Kau bermimpi lagi anakku?"
Ananthawuri menggeleng.
"Ibu mohon maafmu. Saya ingin mengatakan sesuatu
yang sangat pribadi. Saya merasa mual sejak beberapa hari
ini dan sulit makan. Saya... saya terlambat haid. Seharusnya
enam hari lalu..."
"Anakku, hal itu bisa saja terjadi karena kau terlalu banyak
pikiran." Kata Sukantili pula walau sang Ibu ada rasa gelisah
membayangi perasaannya.
"Saya berharap begitu Ibu.Tapi saya merasa ada kelainan
pada tubuh saya."
"Kelainan bagaimana anakku?"
"Dada saya Bu.Tadi pagi saya memperhatikan lalu
meraba. Dada saya membesar dan lebih kencang dari
biasanya. Pinggul saya terasa melebar. Ibu jangan-jangan
saya..." Sukantili memeluk anaknya.
"Jangan ucapkan itu anakku. Kita belum tahu apa yang
sebenarnya terjadi pad dirimu Tunggu dalam dua tiga hari
ini..." Seminggu berlalu Ananthawuri belum juga mendapatkan
haid. Beberapa minggu kemudian anak perawan ini melihat
perutnya membesar. Ketika hal itu diceritakan pada Sukantili
sang ibu tidak bisa menduga lain. Anak gadisnya benar-benar
telah mengandung.
"Anakku," kata sang ibu sambil memeluk Ananthawuri
erat-erat. "Kalau ini bukan kehendak dan kuasa Yang Maha
Kuasa, bagaimana mungkin bisa terjadi" Kau belum menikah.
Kau belum punya suami..."
"Ibu, pemuda dalam cahaya putih yang datang tujuh
malam berturut-turut dalam mimpi saya itu. Apakah mungkin
dia yang menebar benih kehidupan ke dalam diri saya. Ibu
tahu, saya tidak pernah berhubungan dengan lelaki manapun."
Sukantili tidak menjawab melainkan kembali memeluk
anak gadisnya sementara air mata perempuan ini tampak
berlinang-linang.
Pada saat itulah tiba-tiba berhembus tiupan angin disertai
desiran seolah ada seseorang berjubah panjang melewati
Sukantili dan Ananthawuri. Lalu terdengar suara bergema.
Dua insan yang tengah bersatu hati
Di dunia ini tidak ada yang abadi
Namun kehendakYang Maha Kuasa adalah pasti
Ananthawuri, takdirYang Maha Kuasa telah terjadi
Kau hamil tapi dirimu tetap suci
Setelah sembilan bulan sepuluh hari
Kau akan melahirkan
Namun kau akan tetap sebagai seorang perawan
Karena keturunanmu sudah ditetapkan
Menjadi Kesatria Bhumi Mataram
Ananthawuri lepaskan pelukan dari tubuh ibunya. Dia
memandang berkeliling. Dia mengenali suara itu.
"Roh Agung" Kakek Dhana Padmasutra?"
Angin kembali berhembus. Suara berdesir terdengar lagi
lalu sunyi. ooOOOoo 14. KUCING BETINA BERBULU MERAH
MALAM Jum'at Kliwon. Empat bulan setengah
Ananthawuri kedatangan suara Roh Agung, memberi tahu
tentang kehamilannya. Malam itu kegelapan pekat sekali.
Langit hitam dan sesekali ada tiupan angin yang membawa
percikan hujan rintik-rintik dari arah timur. Sumur api seperti
tidur karena sejak sekian lama lidah api tidak menyembul
keluar. Dalam kegelapan, dari arah barat sumur api berjalan
seseorang lelaki kurus tinggi bermuka keriputan berkulit hitam
legam. Di keningnya ada satu benjolan bulat berwarna merah.
Di atas kepala dia menjunjung sebuah ketiding bambu tertutup
rapat. Sampai di depan sumur ia tegak diam beberapa lama.
"Mungkin bukan cerita dusta. Menempuh perjalanan tiga
puluh hari akhirnya kutemui juga sumur api. Benar adanya
seperti apa yang tertulis di Gading Bersurat. Tapi keadaan
sekitar sini gelap sekali. Nafasku mencium ada bekas bangkai
manusia di sekitar sini! Apakah sumur api ini sudah mencari
korban sebelum kedatanganku?"
Orang tinggi hitam ulurkan tangan menjangkau ranting
besar sebuah pohon. Ranting dipatahkan lalu di ujungnya
diletakan di atas sumur api. Sebentar saja ujung ranting telah
terbakar. Dengan menggunakan ranting menyala sebagai
obor, orang ini menyelidik berkeliling sampai akhirnya dia
berhenti melangkah dan keluarkan saruan tertahan.
Di bawah sebatang pohon dia menemukan sesosok tubuh
penuh belatungan nyaris tinggal tulang belulang, tertutup
Satria Lonceng Dewa 1 Perawan Sumur Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jubah kuning yang sudah hancur.
"Bangkai manusia tanpa kepala!" Orang tinggi hitam
berucap sambil meludah berulang kali. Dia memperhatikan
bagian dada jubah kuning. Ada sesuatu di balik pakaian yang
membuat jubah menggembung menonjol. Orang ini
pergunakan ujung kaki untuk mengeluarkan benda itu dari
balik jubah. Begitu benda keluar dan menggelinding ke tanah,
dia menyumpah-nyumpah.Ternyata buntungan kepala
manusia yang tinggal tengkorak. Dari bagian mata, telinga,
mulut dan hidung bersembulan belatung.
Setelah merasa agak tenang dari rasa kagetnya orang ini
dekatkan ujung ranting di atas buntungan kepala.
"Hah! Kepala tinggal tengkorak.Tak mungkin aku kenali!
Yang jelas ada korban pembunuhan di tempat ini. Lehernya
ditebas! Mungkin dengan golok atau pedang! Sudah ada
korban yang berhubungan dengan rahasia dibalik sumur api!"
Orang tinggi hitam bermuka keriput melangkah mundur.
Ranting menyala diangkat tinggi-tinggi, diputar berkeliling.
"Tidak ada mayat lain. Berarti yang tadi baru satu-satunya
korban.Tapi mana aku tahu kalau sudah ada yang jadi korban
sebelumnya. Dibuang masuk ke dalam sumur api..."
Dari balik pakaian hitamnya orang yang keningnya ada
benjolan merah keluarkan satu benda yang ternyata adalah
sebuah gading besar. Salah satu bagian gading diterangi
dengan nyala api di ujung ranting. Pada bagian yang terang itu
terbaca tulisan berbunyi: Jika ingin tahu lama kehamilan dari
perawan desa yang telah dipilih Para Dewa menjadi Ibu dari
bayi yang kelak akan menjadi Kesatria Ma'aram, letakkan
gading di atas sumur api. Ukur bagian gading yang menjadi
hitam. Maka akan diketahui lama kehamilan.
Dengan hati-hati orang berpakaian hitam yang sampai
saat itu masih menjunjung ketiding bambu di atas kepala
letakan gading bulat panjang di atas sumur api. Seperti yang
tadi dibacanya segera saja gading itu menjadi hitam mulai dari
ujung sampai ke bagian tengah. Gading diangkat dari atas
sumur api. Orang ini lalu memperhatikan dan menjengkaljengkal
dengan jari tangan. Setelah menghitung-hitung,
mulutnya berucap.
"Kurang dari setengah. Berarti usia kehamilan perempuan
itu baru sekitar empat bulan. Apakah aku harus menunggu di
tempat ini selama lima bulan lebih?"
Orang berpakaian hitam tepuk-tepuk ketiding di atas
kepala. "Sahabat-sahabatku, apa kalian mau menunggu sampai
sekian lama di tengah rimba belantara ini?" Dari dalam
ketiding bambu terdengar suara mendesis riuh dan panjang. Si
muka keriput dengan benjolan di kening menyeringai. Ranting
menyala dicampakkan. Lalu dua tangan menurunkan ketiding
dari atas kepala, diletakan di atas tanah. Seperti tadi ketiding
ditepuk-tepuk. "Sahabat-sahabat. Akupun tidak mau menunggu berlamalama
sampai lu mutan di tempat ini. Apa yang bisa kita
kerjakan malam ini harus kita laksanakan. Aku butuh
pertolongan kalian. Cari perempuan itu di dasar sumur api.
Paksa dia melarikan diri ke arah jalan rahasia. Aku akan
menunggu di mulut jalan. Tapi awas, kalian jangan sekali-kali
menyakiti dirinya. Jangan sampai tubuhnya tersentuh bisa di
mulut kalian! Para sahabat, bersiaplah. Aku akan membuka
penutup ketiding. Lalu aku akan memasukan kalian di dalam
sumur api. Jangan takut. Api tidak akan menciderai apa lagi
membunuh kalian. Mantera Selicin Lumut Sedingin Air yang
sudah aku terapkan akan melindungi kalian."
Begitu selesai bicara orang berpakaian hitam buka
penutup ketiding. Saat itu juga dari dalam ketiding bambu ini
menyembul puluhan ekor ular berbisa dari berbagai jenis dan
warna, mengeluarkan suara mendesis riuh. Ketiding cepatcepat
diangkat, diletakan di sumur api. Sewaktu puluhan ular
dalam ketiding siap hendak dimasukan diceburkan ke dalam
sumur api tiba-tiba dari arah kegelapan di kiri sumur api
terdengar suara kucing mengeong.
Gerakan orang berpakaian hitam yang hendak
membalikan ketiding bambu serta merta tertahan. Memandang
ke arah kiri dia hanya melihat kegelapan.
"Kucing mengeong malam-malam. Di tempat seperti ini.
Sungguh aneh..." ucap orang berpakaian hitam bermuka
keriput. Lalu belum habis rasa herannya tiba-tiba terdengar
suara benda berkerincingan, disusul suara perempuan
menegur. "Giring Laweyan, manusia berjuluk Sang Raja Ulo,
menyantap ular panggang malam-malam begini memang
sedap sekali. Jangan lupa membagiku barang seekor."
Orang berpakaian hitam di dekat sumur api jadi tercekat.
Dia cepat berpikir. Dimulai dengan suara kucing mengeong.
Lalu ada suara berkerincingan. Disusul suara perempuan
menegur. Siapa lagi! Pasti dia! Jangan-jangan dia yang Jadi
pembunuh mayat berjubah kuning. Belum nahis rasa
terkejutnya karena si penegur mengenal siapa dirinya, orang
di tepi sumur api melihat diseberang sumur tepat
dihadapannya berdiri seorang perempuan gemuk
mengenakan kemben merah berdandanan tebal seronok. Di
bahu kanan tengkurap seekor kucing besar berbulu merah.
Binatang ini kelihatan tenang dan jinak. Di tangan kiri
perempuan itu ada sebuah cermin kecil. Dia asyik
memandang ke dalam cermin sambil mematik-matik pinggiran
rambut di samping telinga kanan sambil lidah dijulur
membasahi bibir. Malam-malam masih mau berdandan, di
tempat gelap begitu rupa, sungguh gila, pikir lelaki berpakaian
hitam yang memegang ketiding berisi ular dan tadi dipanggil
dengan nama Giring Laweyan alias Sang Raja Ulo.Tapi tidak
gila kalau perempuan itu adalah yang dikenal dengan nama
Ratu Dhika Gelang Gelang!
Selesai merapikan dandanan perempuan gemuk masukan
kaca kecil ke balik kemben lalu bertanya pada lelaki yang
pegang ketiding berisi ular.
"Menurutmu apakah dandananku sudah apik dan wajahku
sudah cantik?"
Giring Laweyan tidak menjawab. Dia bersikap waspada
karena tahu betul perempuan di hadapannya setiap saat bisa
melakukan perbuatan yang tak terduga seperti menyerang
dengan tiba-tiba.
"Giring Laweyan! Malam buta kau datang ke tempat ini.
Pasti bukan kemauan Para Dewa yang membimbing
langkahmu! Kau datang membekal Gading Bersurat,
membawa puluhan makhluk najis. Katakan apa keperluanmu!"
Sehabis bertanya perempuan gemuk elus-elus kucing merah
yang tengkurap di bahu kanannya.
"Perempuan di tepi sumur, orang-orang menyebutmu dan
kau selalu memperkenalkan diri sebagai Ratu Dhika Gelang
Gelang.Tapi aku lebih suka menyebutmu Ratu Meong! Nama
itu cukup pantas bagimu, bukan" Ha...ha...ha!" Lelaki bernama
Giring Laweyan keluarkan ucapan mengejek lalu tertawa
gelak-gelak. "Siapa saja yang mau memberi nama dan julukan padaku
akan aku terima dengan senang hati. Aku berterima kasih
padamu yang telah memberiku nama Ratu Meong. Hai, muka
keriput! Kau belum menjawab apa keperluanmu datang ke
tempat ini!"
"Kita membekal benda yang sama yaitu Gading Bersurat.
Berarti kita punya maksud yang sama. Mengapa kau masih
bertanya"!"
Ratu Dhika Gelang Gelang tertawa.
"Bekal boleh sama tapi isi perut bisa lain. Apa lagi pikiran
di dalam otak dan perasaan di dalam hati. Mana bisa sama!"
"Jika begitu ucapanmu maka kau tidak keberatan berterus
terang. Aku bermaksud menculik anak perawan di dalam
sumur api. Mengapa aku menculik aku rasa tidak perlu
menerangkan karena kau pasti sudah tahu. Apakah kau
merasa keberatan atau ada yang mengganjal dalam hatimu?"
"Ternyata kau orang jujur. Mau berterus terang meskipun
melakukan pekerjaan salah. Semoga Para Dewa akan
mengurangi sedikit dosa-dosamu. Hik...hik! Giring Laweyan,
sebelumnya kau melihat ada mayat berjubah kuning yang
sudah jadi jerangkong di sekitar sini. Kau tahu siapa manusia
malang itu?"
"Silakan kau menerangkan!" jawab Giring Laweyan.
"Namanya Setunggul Bumi. Sahabat dari Setunggul
Langit. Anak buah Arwah Muka Hijau!" .
Meski terkejut namun Giring Laweyan berpura-pura tidak
acuh. "Kau tahu kenapa dia menemui kematian dan siapa yang
membunuhnya?"
"Aku tidak perduli!"
Ratu Dhika tersenyum.
"Jangan begitu Giring Laweyan. Jangan berpura-pura
tidak perduli. Aku mencium dari jalan nafasmu. Kau mulai
merasa jerih. Bukankah begitu?"
"Akan aku beri tahu. Akan aku beri tahu!" jawab Ratu
Dhika Gelang Gelang pula. "Aku yang membunuh manusia
malang itu. Kenapa" Karena dia membekal maksud sama
denganmu. Hendak menculik anak perawan yang di dasar
sumur api. Berarti...." Ratu Dhika Gelang Gelang tidak
meneruskan ucapan, dia menatap ke arah Giring Laweyan
yang wajahnya diterangi cahaya api dari dasar sumur.
"Berarti kau juga hendak membunuhku!" Justru Giring
Laweyan yang meneruskan ucapan Ratu Dhika Gelang
Gelang. "Aku tidak berkata begitu. Tetapi umur manusia siapa
yang tahu," jawab Ratu Dhika.
"Ratu Meong, apakah kau masih ingin makan ular
panggang?" Tiba-tiba Giring Laweyan bertanya.
"Jika kau memang mau memberi mengapa aku tidak mau
menerima?" jawab Ratu Dhika yang dipanggil Ratu Meong
oleh Giring Laweyan.
"Aku bukan manusia pelit. Kau boleh makan ular
panggang sekenyang perutmu!"
Setelah berucap Giring Laweyan lemparkan ketiding berisi
puluhan ular berbisa ke arah Ratu Dhika Gelang Gelang.
Sang Ratu terpekik lalu meniup. Empat gelang
berkerincingan. Enam ekor ular berbisa mental dengan tubuh
hancur. Kucing merah menggerung keras dan melompat ke
arah lelaki berkulit hitam. Tak lama kemudian terdengar dua
jeritan keras. Jeritan pertama keluar dari mulut Ratu Dhika Gelang
Gelang yang bukan takut diserang ular tapi lebih merasa jijik.
Patukan puluhan binatang itu memang melukainya berupa
titik-titik kecil tapi bisa ular tidak dapat membunuhnya karena
dia memiliki ilmu kebal terhadap segala macam racun
termasuk racun ular. Ilmu kebal ini bernama Kebal Lemah
Kebal Banyu. Selama ada bagian tubuhnya menyentuh tanah
atau air maka tidak ada racun yang bisa mencekal dirinya
termasuk racun ular berbisa. Satu persatu binatang yang
melilit tubuhnya diremas hingga hancur.
Jeritan kedua keluar dari mulut Giring Laweyan alias si
Raja Ulo. Kucing merah peliharaan Ratu Dhika Gelang Gelang
mengeong keras begitu ketiding berisi ular dilemparkan.
Secepat kilat binatang ini melompat dari bahu kanan Ratu
Dhika. Dua kaki belakang membenam di pangkal leher, dua
kaki depan mencakar ganas ke wajah. Dalam waktu sekejapan
saja sekujur muka Giring Laweyan tercabik-cabik. Darah
mengucur membasahi muka dan pakaian. Sungguh
mengerikan. Sambil berteriak kesakitan dan lari kian kemari si
Raja Ulo ini coba menangkap dan melemparkan kucing merah
yang masih mencakar dan kini malah menggigit lehernya.
Dalam keadaan sakit yang amat sangat, ditambah kedua
matanya telah tertutup darah, Giring Laweyan tidak melihat
lagi kemana arah larinya. Tubuh yang tinggi kurus menabrak
pinggiran batu sumur api lalu terjungkal dan tak ampun lagi
tercebur masuk ke dalamnya! Dari dasar sumur, lidah api
menderu ke atas seolah menyambut kejatuhan tubuh Giring
Laweyan. Sesaat terdengar suara jeritan lelaki itu menggema
di dalam sumur lalu lenyap.
Kucing merah melompat kembali ke atas bahu kanan Ratu
Dhika Gelang Gelang. Lalu menjilati kuku kakinya yang
bernoda darah. Di dalam kegelapan, di balik sebatang pohon Mahoni,
seorang perempuan tua yang di atas kepalanya menangkring
seekor bulus atau kura-kura besar hijau bermata merah
menyaksikan semua kejadian di tempat itu dengan hati
tercekat. Dalam hati dia membatin.
"Dari pada celaka lebih baik aku menunda niat. Mungkin
aku harus menunggu sampai anak perawan itu melahirkan
lima bulan dimuka sambil mencari akal. Kalau aku bersikeras
meneruskan rencana, sama saja dengan mengantar nyawa.
Para Dewa jelas tidak akan berpihak padaku. Ratu Meong
bukan tandinganku. Apa lagi saat ini dia membawa serta
kucing betina merah itu. Mempergunakan kekerasan lebih
banyak celakanya bagi diriku. Aku harus mencari akal. Selain
itu aku harus tahu apa keperluan dan sebagai apa perempuan
satu ini berada di tempat ini. Menjaga sumur api" Mungkin
dengan cara memperdayai dan memperalat pemuda yang
dicintainya itu aku bisa menyelinap ke dasar sumur api melalui
jalan rahasia."
Tidak menunggu lebih lama perempuan tua ini segera
tinggalkan tempat itu. Langkahnya tampak lamban sekali
seperti seekor kura-kura. Namun sebentar saja sosoknya
sudah lenyap dari kawasan sumur api.
TAMAT Semakin dekat hari kelahiran bayi yang dikandung
Ananthawuri semakin banyak orang pandai dan sakti baik dari
golongan putih maupun golongan hitam di Bhumi Mataram
berusaha mendapatkan anak perawan dari Desa Sorogedug
itu. Namun banyak pula di antara mereka yang berlaku cerdik
dan berpikir buat apa bertarung percuma. Bukankah lebih baik
menculik langsung sang bayi saja nanti bilamana telah lahir"
Nantikan kemunculan MIMBA PURANA, Kesatria Lonceng
Dewa, Pendekar Bhumi Mataram.
Ikuti kisah selanjutnya:
ARWAH CANDI MIRING
Satria Lonceng Dewa 1 Perawan Sumur Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pendekar Kembar 6 Si Rase Hitam Hek Sin Ho Karya Chin Yung Raja Akherat 3