Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 37

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 37


yang mereka hadapi. Ketiga orang murid Kiai Windu Putih
ternyata tidak mampu menghadapi kekuatan yang ada di
Suriantal dan yang ternyata telah mendapat bantuan dari
saudara mereka y ang tertua, Mahisa Bungalan y ang m enjadi
Akuwu di Sangling. Sedangkan tumpuan harapan mereka yang terakhir
adalah Kiai Windu Putih sendiri. Namun yang ternyata telah
terikat dalam pertempuran dengan seorang yang memiliki
ilmu y ang sangat tinggi pula.
Sebenarnyalah pertempuran antara Kiai Windu Putih
dan guru Akuwu Sangling itu pun telah menjadi semakin
dahsy at. Namun karena mereka sudah sampai pada
kemampuan puncak masing-masing, maka agaknya
pertempuran itu pun telah sampai pula pada batas-batas
terakhir. Kedua orang tua itu telah memeras segenap kemampuan
dan ilmu mereka. Tubuh-tubuh mereka telah menjadi gemetar
dan dari ubun-ubun m ereka sekali-sekali masih nampak asap
yang mengepul. Namun bagaimanapun juga, seseorang tidak akan
mampu melampaui batas y ang sudah ditakarkan bagi mereka.
Betapapun seseorang mampu menyadap ilmu, tetapi pada satu
saat mereka akan membentur batas itu.
Demikian pula dengan kedua orang itu. Mereka telah
berusaha untuk memaksa lawan m asing-masing untuk lebih
dahulu sampai ke batas. Namun ternyata luka di hati guru Akuwu Sangling telah
memaksanya untuk lebih menekuni ilmunya. Karena itu, maka
ia telah mencapai satu lapis lebih tinggi dari kemampuan Kiai
Windu Putih. Itulah sebabnya, dalam benturan-benturan ilmu y ang
semakin dahsyat, maka keadaan Kiai Windu Putih pun
menjadi semakin terdesak.
Meskipun demikian, Kiai Windu Putih sama sekali
belum berputus asa. Ia masih berusaha dengan sekuat
kemampuannya untuk mengatasi kemampuan lawannya.
Namun selagi Kiai Windu Putih sedang berjuang
mengerahkan sisa-sisa tenaganya serta memeras
kemampuannya, maka kedua orang itu telah dikejutkan
karena kehadiran beberapa orang di sekitar arena itu. Mereka
adalah Mahendra, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan bahkan
Akuwu Sangling. "Kenapa kalian kemari?" bertanya guru Akuwu Sangling
itu. Tetapi ia tidak dapat m elepaskan diri dari pertempuran
ilmu y ang menegangkan. Keduanya memang tidak banyak
bergerak. Tetapi setiap gerakan, betapapun sederhananya,
seakan-akan telah melontarkan tenaga y ang dahsyat sekali.
Mahendra lah yang kemudian menjawab, "Tugas kami
sudah selesai Ki Sanak. Semua orang Windu Putih telah kami
selesaikan. Sebagian dari m ereka meny erah, sementara yang
lain, di luar kemampuan kami untuk mencegah, bahwa mereka
telah terbunuh." "Omong kosong," Kiai Windu Putih hampir berteriak.
Sementara itu, Mahendra berkata selanjutnya, "Ketiga
orang murid Windu Putih itu pun telah diselesaikan. Sayang
bahwa jiwa mereka tidak terselamatkan."
"Tidak. Aku tidak percaya," Kiai Windu Putih berteriak
lebih keras. Namun Mahendra berkata, "Jika persoalan mereka
belum kami selesaikan, maka kami tidak akan sempat
menyaksikan pertempuran y ang dahsyat ini."
"Persetan," geram Kiai Windu Putih, "Jika benar y ang
kalian katakan, maka akibatnya akan sangat pahit bagi kalian.
Aku akan membunuh kalian semuanya dengan ilmuku."
Mahendra menjadi tegang. Ia sadar, bahwa dalam
keadaan y ang paling sulit, seseorang kadang-kadang m enjadi
kehilangan penalaran. Meskipun Kiai Windu Putih adalah
seorang yang memiliki ilmu y ang tinggi dan pengalaman yang
sangat luas, berita tentang kematian tiga orang muridnya,
telah membuatnya sangat marah.
Karena itu, m aka ia pun telah m engibaskan tangannya
ke arah keempat orang y ang menyaksikan pertempuran itu.
Namun Mahendra adalah juga seorang y ang memiliki
ilmu yang tinggi. Karena itu, maka ia sempat melihat gerak itu.
Dengan serta merta mereka maka ia pun telah mendorong
anak-anaknya sambil berkata lantang, "Hati-hati."
Ketiga anak Mahendra adalah orang-orang y ang
memiliki bekal ilmu y ang tinggi pula. Karena itu, ketika
serangan itu tiba-tiba datang, mereka sempat berloncatan
menjatuhkan diri. Namun ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
agak terlambat. Meskipun tidak m engenai tubuh mereka di
bagian yang berbahaya tetapi sentuhan yang telah m engenai
kulit mereka, benar-benar telah membuat kulit mereka
terkoyak. Namun y ang m engejutkan mereka, tempat mereka
semula berdiri seakan-akan telah meledak.
Gerak itu pun telah mencemaskan guru Akuwu Sangling
pula. Kecemasan yang sangat terhadap orang-orang y ang telah
mendapat serangan itu, telah m embuat guru Akuwu Sangling
itu mengambil keputusan y ang cepat pula.
Demikian ia melihat lawannya menyerang keempat
orang di luar arena itu, maka ia pun telah meny erang pula
dengan garangnya. Satu hentakkan ilmu y ang dahsyat telah
diarahkan kepada Kiai Windu Putih yang perhatiannya sedang
tertuju kepada orang-orang yang berada di luar arena itu.
Serangan itu t elah m elanda Kiai Windu Putih bagaikan
runtuhnya gunung berapi yang menghantam tubuhnya.
Demikian dahsy atnya, sehingga Kiai Windu Putih yang
berilmu tinggi itu telah terlempar beberapa langkah dan
terbanting jatuh berguling di tanah.
Keadaan bagian dalam tubuhnya memang parah. Namun
dalam kesempatan terakhir, dengan sisa tenaganya ia telah
menyerang guru Akuwu Sangling itu pula.
Satu serangan y ang tidak terduga. Namun karena
keadaan tubuhnya yang lemah, maka serangan itu tidak
sedahsyat serangan guru Akuwu Sangling.
Namun demikian, serangan itu rasa-rasanya bagaikan
membakar seluruh tubuhnya. Sejenak guru Akuwu Sangling
itu tergetar. Namun ia masih mampu bertahan pada
keseimbangannya. Meskipun demikian, guru Akuwu Sangling itu merasa
perlu untuk menenangkan diriny a sebelum keadaannya
menjadi semakin parah. Karena itu, maka ia pun segera
bergeser menepi dan duduk memusatkan nalar budi,
mengatur pernafasannya untuk m empertahankan arus nafas
dan darahnya agar tetap berjalan wajar.
Namun dalam pada itu, Kiai Windu Putih yang terluka di
dalam dirinya, serta mengerahkan sisa tenaganya untuk
menghentakkan ilmunya, telah mengalami keadaan yang
sangat parah. Justru pada saat ia memerlukan kekuatan untuk
meningkatkan day a tahan tubuhnya untuk mengatasi
kesulitan di dalam diriny a, ia telah m empergunakan seluruh
sisa kekuatannya untuk melontarkan ilmunya.
Dengan demikian, maka Kiai Windu Putih itu seakanakan
telah kehilangan seluruh kesempatan untuk mengatasi
kesulitan di dalam dirinya. Day a tahannya sama sekali tidak
mampu lagi meny elamatkannya.
Sejenak Kiai Windu Putih yang terbaring itu masih
bertahan. Ketika Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa
Bungalan berusaha untuk mendekatinya, maka Mahendra
telah mencegahnya. Kiai Windu Putih adalah orang yang
memiliki ilmu sangat tinggi. Meskipun ia berada dalam
keadaan y ang parah, sentuhan tangannya m asih akan dapat
menghancurkan sasarannya.
Karena itu, maka Mahendra lah yang telah bergeser
mendekati. Sementara itu ia m inta Mahisa Bungalan untuk
mengamati keadaan adik-adiknya yang terluka meskipun tidak
terlalu parah. Namun bahwa kulit mereka telah terkoyak,
maka mereka memang memerlukan perawatan.
Ketika Mahendra berjongkok di sisi Kiai Windu, maka
ternyata bahwa orang itu sudah tidak bergerak sama sekali.
Bahkan nafasnya pun telah berhenti pula mengalir.
Mahendra menarik nafas dalam-dalam, ia pun kemudian
mengamati keadaan guru Akuwu Sangling. Namun Mahendra
sama sekali tidak mengganggunya, karena ia tahu, bahwa
orang itu sedang berusaha memperbaiki keadaannya.
Sebenarnyalah bahwa pertempuran di dalam dan di luar
padepokan telah berhenti. Sisa -sisa orang-orang Windu Putih
memang telah meny erah. Mereka tidak mempunyai harapan
lagi untuk dapat memenangkan pertempuran.
Mahendra masih menunggu beberapa saat, sehingga
akhirnya guru Akuwu Sangling itu pun melepaskan pemusatan
nalar budiny a. Ia merasa keadaan tubuhnya menjadi
berangsur baik, meskipun rasa-rasanya tulang-tulangnya
masih bagaikan retak. Mahendra lah yang kemudian mendekatinya. Sambil
berjongkok di sebelahnya ia bertanya, "Bagaimana Ki Sanak?"
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil
menyeringai menahan sakit orang itu menjawab, "Sakit hatiku
sudah tertumpahkan. Tetapi Ki Sanak, apakah aku memang
seorang pendendam?" "Sudahlah," berkata Mahendra, "kita masih berada
dalam suasana yang sangat keruh."
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun setiap
kali ia masih saja berdesah karena tubuhnya y ang terasa
sangat sakit. Mahendra lah y ang kemudian memapahnya
meninggalkan tempat itu. Mereka harus pergi ke barak induk,
karena barak di sebelah meny ebelah telah hancur
berhamburan. Ketika ia melangkah di sebelah ketiga anaknya, ia
berkata, "Biarlah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
memperbaiki keadaannya. Mahisa Bungalan, ambillah
pimpinan untuk sementara.
Mahisa Bungalan mengangguk. Ia pun kemudian
menyerahkan kedua adiknya kepada orang-orang padepokan
Suriantal untuk mendapat perawatan. Sementara itu, Mahisa
Bungalan pun telah mengambil alih seluruh pimpinan di
padepokan itu. Dengan pengalaman yang luas, maka dengan lancar
Mahisa Bungalan mengatur keadaan padepokan itu.
Diperintahkannya untuk mengatur para tawanan dan merawat
yang terluka. Kemudian meny elenggarakan mereka y ang telah
terbunuh. Bagaimanapun juga, memang harus dibedakan,
yang mana kawan dan y ang mana lawan.
Dalam pada itu, orang-orang Windu Putih memang
sudah tidak mempunyai pimpinan lagi. Pemimpin tertinggi
dari perguruan Windu Putih, serta ketiga pemimpin
padepokan yang cukup besar itu telah benar-benar
dihancurkan, memang tidak diperhitungkan lebih dahulu
bahwa Kiai Windu Putih akan b ertemu dengan seorang lakilaki
yang pernah disakiti hatinya, namun ternyata kemudian
memiliki ilmu y ang sangat tinggi meskipun keduanya
mempunyai bekal dan sumber y ang sama.
Tidak diperhitungkan pula kehadiran Akuwu Sangling
dengan pasukan berkudanya y ang memiliki kemampuan
tempur yang luar bia sa, sehingga mampu menyapu sebagian
pasukan Windu Putih y ang terutama berada di luar
padepokan. Beberapa hal y ang berada di luar jangkauan perhitungan
itulah yang kemudian telah m enghancurkan pasukan Windu
Putih, sehingga untuk selanjutnya akan sulit bagi perguruan
itu untuk dapat bangkit kembali.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih
dirawat dengan sebaik-baiknya sehingga luka-luka mereka
pun dengan segera telah menjadi pampat. Meskipun demikian,
luka itu masih juga terasa panas bagaikan luka bakar.
Obat yang dipergunakan oleh Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat adalah obat yang diberikan oleh Mahendra sendiri.
Demikian pula, ketika segalanya telah berjalan di bawah
tanggung jawab beberapa orang yang telah ditunjuk oleh
Mahisa Bungalan. Mahisa Bungalan sendiri memerlukan
pengobatan bagi luka-luka pada tubuhnya, meskipun tidak
terlalu parah. Di sisa hari itu dan di malam y ang kemudian datang,
maka di padepokan Suriantal telah disibukkan dengan orangorang
y ang merawat orang-orang yang terluka serta
menyelenggarakan mereka yang terbunuh.
Mahisa Bungalan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang
sudah berangsur menjadi baik, telah melibatkan diri dalam
kesibukan itu. Hampir semalam suntuk mereka berkeliling di
seluruh padepokan. Memasuki barak-barak, baik yang
dipergunakan oleh orang-orang dari padepokan Suriantal
sendiri, maupun yang dipergunakan oleh orang-orang Windu
Putih yang terluka. Beberapa orang tabib dari lingkungan pasukan Windu
Putih telah mendapat kesempatan untuk mengobati kawankawannya
yang terluka di bawah pengawasan orang-orang
padepokan Suriantal dan para prajurit dari Sangling.
Keadaan di padepokan Suriantal malam itu memang
sangat mendebarkan. Di sana sini terdengar orang-orang yang
mengaduh dan mengeluh kesakitan, sementara beberapa
sosok mayat masih belum sempat diselenggarakan, karena
masih saja ada orang y ang terluka parah y ang tidak dapat
diusahakan peny embuhannya.
Ketika m alam m enjadi semakin larut, Mahendra telah
memperingatkan anak-anaknya agar mereka pun beristirahat
pula karena keadaan tubuh m ereka y ang m asih belum pulih
kembali. Jika mereka memaksa diri untuk bekerja t erlalu
keras, maka keadaan mereka sendiri akan menjadi kurang
baik. Dengan demikian, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat
dan Mahisa Bungalan pun telah berusaha untuk mendapatkan
waktu barang sedikit, agar mereka sendiri sempat beristirahat
di dalam bilik yang terpisah. Sementara itu, para prajurit
Sangling dan orang -orang dari padepokan Suriantal yang
bertugas pun mengamati keadaan dengan penuh
kewaspadaan. Di tempat yang tersendiri, di barak induk, Mahendra


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

duduk bersama orang y ang menyebut dirinya guru Akuwu
Sangling itu. Orang itu sudah berhasil m engatasi kesulitan di
dalam dirinya, sehingga keadaannya pun menjadi semakin
baik. Namun serangan Kiai Windu Putih y ang dahsy at itu
benar-benar telah melarutkan sebagian dari tenaganya,
sehingga ia memerlukan waktu yang lebih panjang untuk
dapat pulih seutuhnya. Mungkin dua tiga hari ia harus
menyisihkan waktu untuk secara khusus memusatkan nalar
dan budiny a, sehingga kekuatannya itu pun dapat pulih
kembali sepenuhnya. Bahkan sampai di hari berikutnya pun padepokan
Suriantal masih diliputi oleh suasana yang buram. Tubuh yang
terbujur sambil mengerang, bau segala jeni s obat-obatan yang
dapat dipergunakan serta para tabib yang masih sangat sibuk.
Bahkan satu dua masih ada orang-orang yang tidak dapat lagi
diselamatkan jiwanya karena luka-lukanya yang parah.
Namun dalam pada itu, Akuwu Sangling telah
mengambil kebijaksanaan, bahwa tawanan y ang ada di
padepokan Suriantal itu akan dibawa ke Sangling dan menjadi
tanggung jawab Pakuwon Sangling, karena ia tahu, bahwa
padepokan itu akan mengalami kesulitan menanggung beban
sekian banyak tawanan dan orang-orang y ang terluka.
Tetapi sudah barang tentu Mahisa Bungalan tidak akan
dengan serta merta m embawa orang-orang itu ke Sangling.
Yang terluka parah sebaiknya menunggu barang dua tiga hari,
sehingga keadaannya berangsur baik. Bahkan mereka yang
benar-benar dalam keadaan parah memang akan ditinggal di
padepokan itu untuk beberapa lama. Namun pada satu saat,
mereka pun akan diambil pula oleh para prajurit dari
Sangling. Sementara itu, ada juga prajurit Sangling yang terbunuh
di medan perang. Bagi mereka, Akuwu Sangling telah mengambil
kebijaksanaan untuk membawanya kembali ke Sangling.
Seorang diantara para Senapatinya yang datang ke padepokan
itu telah ditugaskannya untuk membawa para prajurit yang
gugur itu dengan pedati. Sekelompok prajurit berkuda
mengawal mereka dengan segala pertanda kebesaran
keprajuritan. Mudah-mudahan tidak ada gangguan di sepanjang
jalan," berkata Akuwu Sangling, "orang-orang Windu Putih
sudah tidak lagi mempunyai kekuatan y ang tersisa. Hampir
semua kekuatan y ang ada telah dikerahkan. Dan ternyata
mereka kita hancurkan di sini."
Dengan penuh tanggung jawab seorang Senopati telah
membawa tubuh para prajurit dari Sangling itu kembali
dengan mempergunakan beberapa buah pedati, sementara
Akuwu Sangling sendiri tetap berada di padepokan Suriantal
untuk sementara. Ia tidak sampai hati m eninggalkan kedua
adiknya dalam keadaan yang kalut, meskipun ay ahnya masih
tetap di padepokan itu. Bahkan demikian pula orang yang
menyebut dirinya guru Akuwu Sangling itu.
Sementara itu, ketika mereka tidak lagi terlalu sibuk,
pada satu kesempatan guru Akuwu Sangling itu m emerlukan
berbicara dengan Akuwu Sangling tanpa orang lain.
Dengan rendah hati, orang itu minta agar ia dapat
menitipkan sebagian dari ilmunya kepada Akuwu Sangling,
agar ilmu itu tidak begitu saja musna jika tubuhnya kelak
kembali ke dalam pangkuan bumi.
"Maksud Ki Sanak?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Aku akan datang ke Sangling. Jika Akuwu tidak
berkeberatan, aku akan memberikan sedikit ilmu y ang aku
miliki untuk Akuwu warisi. Sudah tentu dengan perhitungan
yang mapan sehingga tidak akan terjadi benturan ilmu di
dalam diri Akuwu," berkata orang itu.
Akuwu Sangling itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya, "Aku sangat berterima kasih atas
kesempatan ini." Guru Akuwu Sangling itu mengangguk-angguk. Katanya,
"Menurut penilaianku, Akuwu memiliki sifat dan watak yang
jauh berbeda dengan muridku. Karena itu, apa yang tidak
pernah aku berikan kepada muridku itu, akan aku berikan
kepada Akuwu. Bahkan aku merasa beruntung bahwa aku
telah mengekang diri untuk tidak menuangkan seluruh isi
jambangan perbendaharaan ilmuku kepada muridku itu. Jika
demikian, maka akibatnya akan lebih parah lagi, justru karena
sifat dan watak muridku itu."
Akuwu Sangling menarik nafas dalam-dalam. Namun ia
masih sempat berpaling kepada ay ahnya untuk m endapatkan
pertimbangan. "Temui pamanmu Mahisa Agni dan Witantra. Dari
mereka kau mendapat ilmu y ang kini kau miliki. Kau memang
harus mohon ijin kepada mereka," berkata Mahendra.
"Bagaimana dengan ayah sendiri?" bertanya Mahisa
Bungalan. "Aku tidak keberatan, selama kau mampu meny esuaikan
ilmu yang akan dan telah berada di dalam dirimu," jawab
Mahendra. Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya,
"Baiklah ay ah. Aku akan pergi ke Singasari."
Demikianlah, untuk beberapa lama Akuwu Sangling
masih berada di padepokan Suriantal. Kecuali untuk ikut serta
menyelesaikan beberapa masalah yang masih tertinggal,
Akuwu sendiri masih harus m emulihkan semua kekuatan dan
kemampuan ilmunya. Luka-luka y ang meskipun tipis pada
kulitnya, sudah menjadi kering dan ketegangan yang
mencengkamnya pun telah mengendor.
Ketika semuanya sudah mapan, maka Mahisa Bungalanpun
minta diri bersama pasukan berkuda yang masih
tertinggal di padepokan itu. Bersama guru Akuwu Sangling
yang lama, maka Mahisa Bungalan telah membawa para
tawanan ke Sangling. Tawanan y ang menurut penilaian
Mahisa Bungalan dan bahkan juga Mahendra, bahwa orangorang
Windu Putih itu sudah tidak berbahaya lagi.
Meskipun demikian, di sepanjang jalan, prajurit berkuda
dari Sangling itu pun tetap berhati-hati.
Iring-iringan itu memang menarik banyak perhatian
orang-orang y ang tinggal di padukuhan-padukuhan yang
dilalui. Namun mereka pun segera mengenali pertandapertanda
y ang ada pada para prajurit Sangling, sehingga
mereka pun segera mengetahui pula, bahwa prajurit berkuda
dari Sangling itu tengah menggiring tawanan untuk dibawa ke
Sangling. Seperti y ang diperhitungkan, memang tidak ada
hambatan diperjalanan. Sementara di padepokan Suriantal,
keadaan pun telah berangsur tenang. Ketegangan-ketegangan
sudah tidak lagi mewarnai kehidupan di padepokan itu.
Namun jumlah orang-orang padepokan itu telah berkurang.
Beberapa orang diantara mereka telah gugur ketika orangorang
Windu Putih meny erang. Untunglah, bahwa orangorang
padepokan Suriantal telah sempat menempa diri dalam
kesatuan ilmu, sehingga kerja-sama diantara mereka pun
menjadi semakin baik di samping secara pribadi orang-orang
Suriantal memang lebih baik dari orang-orang Windu Putih.
Mahendra y ang melihat keadaan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat tidak sampai hati untuk meninggalkan
padepokan itu. Kedua anaknya itu masih belum sembuh
benar, sehingga mereka masih harus memikirkan diri m ereka
di samping seluruh isi padepokan.
Namun memang tidak banyak per soalan y ang kemudian
timbul. Orang-orang padepokan itu telah kembali ke dalam
kerja mereka masing-masing. Sawah mereka sama sekali tidak
terbengkalai. Bahkan orang-orang padukuhan terdekat pun
telah menghubungi mereka, untuk menanyakan apa yang telah
terjadi. "Satu benturan kecil," berkata Mahisa Murti.
"Bukan benturan kecil," jawab salah seorang Bekel dari
padukuhan itu, "menilik yang terjadi serta bekas-bekasnya,
maka tentu benturan yang besar. Ada beberapa buah barak
yang hancur serta pintu gerbang pun telah pecah pula
karenanya. Dan menilik mereka yang gugur, pertempuran itu
tentu pertempuran yang besar."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sementara
Mahisa Pukat lah y ang menjawab, "Memang agak
mengejutkan Ki Bekel. Namun kita dapat bersyukur bahwa
semuanya dapat diatasi. Yang Maha Agung masih melindungi
kami, seisi padepokan ini. Jika ada diantara kami yang
panggil-Nya, maka agaknya memang sudah sampai pada batas
garis pepesten. Batas garis kematian."
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Dengan ikhlas
maka ia pun telah menawarkan bantuan jika diperlukan.
"Baiklah Ki Bekel," jawab Mahisa Murti, "meskipun kami
juga memiliki sedikit tanaman bambu, tetapi jika kami
kekurangan bambu nanti, di saat kami perbaiki barak-barak
kami, maka kami akan mohon bantuan Ki Bekel. Namun kami
belum tergesa -gesa memperbaikinya karena kami masih harus
membuat per siapan-per siapan. Mungkin kami masih harus
memintal ijuk untuk tali atau menebangi beberapa batang
kayu. Kami juga harus mengumpulkan jerami untuk dianyam
menjadi bahan atap, karena agaknya sulit untuk mencari ijuk."
"Sebenarnyalah ijuk y ang lama masih dapat
dipergunakan," berkata Ki Bekel, "asal kita dengan cermat
mengumpulkannya dari reruntuhan barak-barak itu."
" Ijuk itu akan kami jadikan tali. Bukankah untuk
membangun barak serta memperbaiki pintu gerbang akan
dibutuhkan tali ijuk y ang banyak sekali," jawab Mahisa Murti.
Ki Bekel m engangguk-angguk. Ia pun menyadari bahwa
tidak terlalu banyak tumbuh pohon aren di sekitar padepokan
itu, sehingga m emang agak sulit untuk m engumpulkan ijuk
dalam jumlah y ang banyak di waktu y ang pendek.
Karena itu, maka orang-orang padepokan agaknya
memilih jerami untuk membuat bahan atap barak-barak
mereka y ang rusak. Demikianlah, maka orang-orang padepokan Suriantal itu
telah mulai mempersiapkan diri untuk membangun
padepokan mereka y ang telah menjadi rusak dalam
pertempuran y ang baru saja terjadi.
Yang dilakukan mula-mula oleh orang-orang padepokan
itu adalah membuat tali ijuk sebanyak-banyaknya. Yang lain
telah m enebangi beberapa batang kayu. Mereka juga memilih
batang-batang kayu y ang tidak terlalu besar, yang akan
mereka pergunakan untuk membuat pintu gerbang.
Sebagaimana pintu gerbang semula dari padepokan itu adalah
terbuat dari anyaman batang-batang kayu y ang diikat dengan
tali-tali ijuk yang kokoh.
Mereka telah memotong-motong batang-batang kayu
yang akan mereka anyam secara utuh itu dan menjemurnya
agar menjadi kering. Baru kemudian maka orang-orang Suriantal itu mulai
menebangi batang-batang bambu milik padepokan mereka
sendiri. Setelah dipotong-potong dan y ang perlu telah dibelah
pula, maka potongan-potongan bambu itu direndam ke dalam
air. Dengan demikian, maka orang-orang Suriantal itu dapat
memperhitungkan seberapa mereka akan minta bantuan
bambu kepada Ki Bekel padukuhan terdekat.
Dengan merendam persediaan bambu yang akan mereka
pergunakan, maka mereka telah m embuat tali ijuk sebanyakbanyaknya.
Mereka memerlukan bahan y ang tidak mudah
dimakan oleh sebangsa rayap.
Sambil menunggu, maka orang -orang Suriantal itu telah
menyiapkan semua keperluan bagi pembangunan beberapa
bagian dari barak-barak mereka yang rusak.
Ketika orang-orang Suriantal sibuk dengan usaha
mereka memperbaiki padepokan mereka y ang rusak, m aka di
Sangling, orang y ang m engaku guru Akuwu Sangling itu pun
benar-bena Bumi Cinta 4 Keris Maut Karya Kho Ping Hoo Setan Harpa 8
^