Pencarian

Raja Akherat 3

Pendekar Slebor 20 Raja Akherat Bagian 3


menyesali kesendiriannya. Tetapi semenjak batu besar menutup jalan rahasia
menuju Jurang Setan, pemuda ini pun tidak bisa lagi bermain-main di sana. Namun
hal itu membuat kesadarannya tumbuh, kalau harus berjuang melawan nasib.
Bukannya merenungi nasibnya
Prabu Adiwarman mendesah pendek sambil turun
dari bahu si Belang.
"Mungkin, kita akan aman di sini.... Tetapi, bagaimana bila utusan kita kembali
dari Kerajaan Labuan?"
Andika tersenyum.
"Prabu tidak perlu kuatir.... Aku akan mencari tahu tentang mereka juga. Di
samping keinginanku untuk menyusup masuk ke Keraton Pakuan.
Tetapi Andika. Rasanya itu sangat berbahaya...," kata Danji yang belum tahu
rencana Andika.
Andika nyengir.
"Apakah kita akan membiarkan saja Kerajaan Pakuan dipimpin seorang begundal
kejam" Tidak! Biarpun harus berkalang tanah, kita tetap mengambil alih kekuasaan
mereka" Tak ada yang bers uara. Justru diam-diam Sari
menarik napas pendek. Gadis ini suka sekali mendengar kata-kata Pendekar Slebor.
Pendekar tampan yang
sebenarnya diam-diam telah mcmikat hatinya. Namun sudah tentu tidak ingin
diperlihatkannya.
Sebenarnya, Sari sangat senang ketika Andika
membopongnya tadi. Hanya saja, hatinya malu sehingga
yang keluar dari mulutnya kata-kata makian.
"Prabu Adiwarman.... Hamba pun akan membantu Kakang Andika...," kala Sari.
"He he he .. Nanti kau cerewet lagi?" goda Andika.
"Biar saja! Apa sih, pedulimu?" sergah Sari, sewot. "Tuh, kan" Belum apa-apa
saja sudah galak"! Tetapi, tidak apa-apa. Lcbih baik ditemani gadis cantik
sepertimu, daripada ditemani harimaumu yang menyeramkan itu....'
Kali ini terdengar tawa dari dasar Jurang Setan
mendengar selorohau Pendekar Slebor. Semenlara Sari hanya menundukkan kepala
malu-raalu. "Kang, Danji....'
Danji tersentak ketika mendengar suara panggilan dari belakang. Buru-buru dia
menoleh. Ternyata yang datang kekasihnya.
"Oh, kau belum tidur?" tanya Danji.
Putri Permata Delima menggelengkan kepala.
"Aku tidak bisa tidur, Kakang.... Aku ingin berada di dekatmu...."
"Tetapi...." Danji celingukan.
"Ayahanda sudah tidur," potong gadis itu.
Pemuda itu menghela napas pendek. Lalu dibiar-
kannya Putri Permata Delima duduk di sisinya. Cukup lama pemuda itu menunggu
saat-saat scperti ini.
Begitu pula yang dirasakan Putri Permata Delima.
Makanya, begitu duduk di sisi Danji, gadis ini langsung merebahkan kepala di
dada kekasihnya. Sementara Danji merangkulnya dengan mesra. Sayangnya. rembulan
di atas yang seharusnya menjadi saksi terhalang awan. Namun biasnya bisa
dirasakan dihati masing-masing.
"Kang Danji.... Akankah keadaan seperti ini terus berlangsung?" tanya Putri
Permata Delima, menengadah.
Danji bisa mencium bau wangi yang mcnguar dari
tubuh yang lembut itu. Juga bisa dirasakan kemesraan yang terpancar dari
sepasang mata yang jernih itu.
"Aku tidak tahu, Permata. Tetapi yang kuharapkan, keadaan ini tidak akan
berlangsung lama...," sahut Danji,
lirih. "Aku pun demikian. Meskipun.... ah! Sebenarnya. aku sedikit senang."
"Senang?"
"Ya. Aku senang, karena..., dengan gagalnya
sayembara 'Mungut Mantu'. aku tetap akan bersamamu, Kang
Danji.... Ketahuilah, Kakang.... Aku amat mencintaimu...."
Danji tahu dan yakin soal itu. Ia pun tidak
menyalahkan, bila Putri Permata Delima mengatakan senang dengan kejadian ini.
Karena, sayembara 'Mungut Man-tu' menjadi gagal. Namun Danji pun yakin, di lubuk
hati Putri Permata Delima tersimpan sebaris kekecewaan, kemarahan. kesedihan.
karena keraton dikuasai tokoh sesat.Danji langsungmerangkul kekasihnya lebih
lembut. "Permata.... Kita akan bersatu padu untuk bertahan dari orang-orang sesat itu,"
tandas Danji. Putri Permata Delima tersenyum. Matanya redup.
"Kang Danji...."
Mendengar kata-kata itu, hati Danji bergetar. Apalagi mata redup yang pasrah dan
membiaskan cinta di wajah, membuatnya perlahan-lahan menundukkan kepalanya.
Sedangkan Putri Permata Delima kini memejamkan
matanya rapat-rapat. Lalu dirasakannya sesuatu yang lembut dan hangat menyentuh
bibimya. Semakin lama terasa mesra dan hangat penuh gelora.
Cinta kasih mereka bukanlah cinta yang dilumuri
nafsu, melainkan cinta sejati yang datang dari hati yang paling dalam. Cinta
yang mampu membuat kebersa-maan dan pertanggungjawaban. Cinta yang hakiki.
Tak lama kemudian Danji melepaskan ciumannya.
Sementara Putri Permata Delima menyusupkan kepala ke dada Danji. Malu bercampur
senang. *** 9 Pagi kembali membentang, membedah alam dengan
suasana yang seharusnya nyaman dan asri. Namun pagi yang hening di tengah Hutan
Kaliamang terusik oleh kehadiran puluhan sosok tubuh yang bertelanjang dada.
Mereka baru saja tiba di depan gua tempat Prabu
Adiwarman dan rombongan selama dua minggu mendiami tempat itu. Mereka
bersenjatakan tombak dan parang.
Di depan mereka, berdiri seorang perempuan tua.
Rambutnya digelung, dihiasi tus uk konde emas. Di tangannya tergenggam sebatang
tongkat kayu. Siapa lagi orang ini kalau bukan Nyai Surti alias si Kayu Seribu
Laksa. Sementara seorang lagi adalah laki-laki tegap dengan senjata sebuah busur panah.
Dia tak lain dari Songko. yang berjuluk Panah Iblis Dari Utara.
Memang setelah kedua orang ini kembali ke Keraton Pakuan, seperti yang dikatakan
Nyai Surti, Raja Akherat marah berat. Tetapi Songko yang pandai menjilat
berhasil mengemukakan alasannya, sehingga tokoh sesat itu mau mengerti.
"Bila melihat bekas-bekas di sekitar sini, aku yakin..., gua itu baru saja
ditinggalkan orang," duga Songko yang masuk memeriksa tadi.
"Apakah Prabu Adiwarman dan Putri Permata Delima yang berada di sana?" tanya
Nyai Surti. "Ya, mungkin juga Pendekar Slebor dan gadis penunggang harimau itu." sahut
Songko, tandas.
"Bangsat! Kita terlambat kalau begitu! Hmmm..., kemana kira-kira mereka pergi?"
"Sulit ditentukan. Tempat ini jarang sekali didatangi orang.... Tetapi.
barangkali saja ada tempat lain lagi untuk mereka bersembunyi...."
"Kalau begitu..., kita harus bergegas!"
Tetapi belum lagi mereka melangkah, terdengar derap langkah kaki kuda menuju
tempat ini. Tak lama muncul dua orang penunggang kuda berpakaian seragam
prajurit. Melihat ciri-cirinya, jelas kalau mereka adalah pengawal Kerajaan Pakuan yang
baru kembali dari Kcrajaan Labuan.
Rupanya, mereka menduga kalau Prabu Adiwarman masih berada di gua tempat
persembunyian. Sudah tentu kedua pengawal itu terkejut melihat
kehadiran orang-orang asing di tempat ini. Dalam sekali pandang saja, bisa
diyakini kalau mereka bukanlah orang baik-baik. Dan mereka juga bisa menebak,
kalau saat ini Prabu Adiwarman dan yang lain sudah pindah tempat.
Serentak kedua pengawal itu membalikkan kuda dan siap melarikan diri. Namun di
luar dugaan, Panah Iblis Dari Utara telah melepas anak panahnya Sementara, si
Kayu Seribu Laksa telah berkelebat cepat bagai kilat.
Ceeep! "Akkkhhh...!"
Salah seorang penunggang kuda kontan ambruk.
Tepat ketika penunggang kuda itu mencium tanah, si Kayu Seribu Laksa telah pula
melepaskan satu buah totokan pada penunggang kuda satunya.
Tuk! "Ohhh!"
Penunggang kuda itu ambruk pula dengan tubuh
lemas, tak bisa digerakkan lagi.
"Hhh! Rupanya memang benar dugaan kita. Jelas tempat ini dijadikan persembunyian
Prabu Adiwarman!"
seru Nyai Surti, begitu mendarat.
Perempuan tua itu lantas
mengangkat tubuh
pengawal Keraton Pakuan yang tertotok, lalu membebaskannya.
Begitu bebas, temyata pengawal itu adalah orang
yang tidak mengenal takut. Apalagi begitu melihat kawannya sudah menjadi mayat
dengan anak panah
menembus jantungnya.
"Manusia rendah!" bentak pengawal ini seraya mencabut pedang yang dibekali Prabu
Adiwarman di pinggang.
"Aku suka melihat keberanianmu itu! Tetapi, sayang.
Keberanianmu akan sia-sia belaka!" leceh si Kayu Seribu Laksa dengan tatapan
kejam. Pengawal itu tidak ciut nyalinya mendengar suara Nyai Surti dan melihat tatapan
kejamnya. Pedangnya langsung ditusukkan tanpa mempedulikan betapa lelahnya
tubuhnya. Padahal dia dan kawanya yang telah menjadi mayat telah menunggang kuda
tiga hari tiga malam tanpa henti.
"Uts.. !"
Nyai Surti hanya menggeser kakinya sedikit, lalu tangannya bergerak cepat.
Dan.... Plak! "Auakh...!"
Telak sekali tangan si Kayu Seribu Laksa menghantam lengan kanan pengawal itu hingga menjerit kesakitan dan bergulingan
di tanah. Seketika tangannya patah.Nyai Surti memang tidak berniat untuk
menghabisi nyawa pengawal itu. Yang di nginkan adalah penjelasan yang bisa
dipergunakan untuk mengetahui, di mana Prabu Adiwarman dan yang lainnya.
Termasuk. Pendekar Slebor yang menimbulkan dendam yang sangat dalam di dadanya.
"Hih...!"
"Hekh...!" *
Tanpa rasa kasihan si Kayu Seribu Laksa menginjak dada pengawa! yang masih
bergulingan. "Siapa nanamu?" bentak Nyai Surti.
"Mureksa...!" sahut pengawal itu, sambil meringis kesakitan.
"Di mana junjunganmu berada saat ini, hah"!" cecar si Kayu Seribu Laksa.
"Peduli setan denganmu, Nenek Peot!" seru pengawal bernama Mureksa berani. Namun
dia harus menjerit keras ketika, kaki Nyai Surti kembali menekan dadanya.
"Aku hanya bertanya tiga kali. Di mana mereka"!"
Ancam si Kayu Seribu Laksa dengan mengandung
kekejaman luar biasa.
"Pergilah kau ke neraka! Karena tempat itu hanya
pantas untuk orang-orang busuk seperti kau!"
Kaki Nyai Surti menekan lagi.
"Aaakh...!"
Mureksa menjerit lagi.
Songko yang lebih cerdas menduga, kalau pengawal itu memang tidak tahu ke mana
pindahnya Prabu
Adiwarman. Bila melihat kelelahan di wajah mereka, jelas sekali keduanya habis
melakukan pcrjalanan jauh.
Segera Panah Iblis Dari Utara mendekat.
"Hhh! Bila kau tidak mau mengatakan di mana Prabu Adiwarman, itu urusanmu.
Sekarang, jawab pertanyaanku.
Dari mana kau"!" tanya Songko, menggeram kasar.
Meskipun penderitaan yang dialami sangat pahit dan pedih, Mureksa tidak pernah
berniat untuk membayangkan menjadi seorang pengkhianat.
"Kalian lebih baik mampus, Manusia-manusia Rendah!" sahut Mureksa, menggeram dan
menahan rasa sakit!
"Ha... ha.. ha. .!"
Songko terbahak-bahak.
"Apakah kau tidak mendengar apa yang dikatakannya tadi, Surti?" kata Songko,
seraya memandang si Kayu Seribu Laksa.
"Hhh! Lebih baik dia mampus saja!"
"Itu urusanmu! Silakan!"
"Sekali lagi kutanya. Di mana Prabu Adiwarman berada"! Dan, dari mana kau?"
desak Songko dengan tatapan semakin nyalang.
Mureksa tidak lagi merasakan sakitnya. Ia tetap
bertekad tidak akan membuka mulut. Sekalipun harus disiksa teramat pedih.
"Manusia-manusia rendah.... Tempat yang pantas untuk kalian hanyalah neraka!"
Habis sudah kesabaran Nyai Surti. Kakinya langsung menekan lebih kuat lagi.
Sementara kayunya pun terangkat siap mengepruk pecah kepala Mureksa.
"Kau memang harus mampus!"
Namun sedikit lagi tongkat kayu itu menghantam,
berkelebat satu bayangan hijau yang langsung menuju si Kayu Seribu Laksa.
Dan.... Desss.. ! "Aaakh...!"
Tubuh Nyai Surti kontan terlontar ke belakang. Tahu-tahu saja terasa ada sesuatu
yang mengenai dadanya dengan keras. Sementara kakinya yang menginjak dada
Mureksa sudah terangkat.
Ketika Nyai Surti sudah berada dalam keseimbangannya kembali, tampak seorang pemuda
tampan berpakaian warna hijau dengan secarik kain lebar bercorak catur yang
tersampir di bahunya, sedang memanggul tubuh Mureksa yang jatuh pingsan.
Melihat hal itu, Nyai Surti terkejut. Begitu pula Songko.
"Rupanya Pendekar Slebor memang mempunyai nyali besar untuk muncul juga!" kata
Nyai Surti. "He he he.... Sejak tadi kalian mencari-cariku, ya"
Memang, aku terlambat datang! Tetapi, masih pantas dan memiliki waktu yang
panjang untuk menghajar adat kalian berdua!" sahut sosok pemuda yang tak lain
Andika sambil nyengir.
Pendekar Slebor memang terlambat datang, karena


Pendekar Slebor 20 Raja Akherat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sari ingin ikut dengannya. Padahal Andika lebih yakin dengan dirinya sendiri.
Dan bila Sari ikut tanpa si Belang, mungkin Andika akan mengizinkan pergi
bersama-sama. Namun gadis itu tetap ngotot untuk mengajak si Belang.
Karena, ia memang tidak ingin jauh-jauh dari binatang peliharaannya. Dan menurut
perkiraan Andika, bagaimana bila si Belang ikut serta, sementara mereka harus
mengintai" Karena, menurut firasat Pendekar Slebor, orang-orang Raja Akherat
pasti masih akan mencari mereka.
Maka Pendekar Slebor pun mencari akal untuk
mengelabui Sari. Andika pura-pura mendadak sakit perut, sekaligus buang hajat.
Tentu saja gadis ini dengan berat hati mengizinkan.
Dan kesempatan itu digunakan
Pendekar Slebor untuk kabur dari Sari. Dan Andika menduga, gadis itu pasti akan
segera menyusulnya.
Sementara ketika mendengar kata-kata Andika
barusan, wajah Nyai S urti dan Songko memerah menahan marah. Apalagi teringat
kalau Pendekar Sleborlah yang menjadi momok bagi Raja Akherat.
Tangkap dan bunuh pemuda keparat itu!" teriak Songko, memerintah puluhan pemuda
berlelanjang dada.
Serentak dua puluh pemuda mengurung Andika
dengan senjata di tangan.
"Kalau kalian jeri melawanku, katakan saja.... Tidak perlu menyuruh para pemuda
ini"!" ejek Andika.
"Kau terlalu banyak omong, Pendekar Slebor!"bentak Nyai Surti dengan wajah
memerah geram. "Karena aku punya mulut!" sahut Andika, santai.
"Bangsat! Bunuh pemuda itu!" Serentak para pemuda itu menerjang Pendekar Slebor.
Andika yang mengerti kalau mereka terpaksa menerima perintah, berkelebat ke sana
kemari dengan masih memanggul tubuh Mureksa yang pingsan. Sambil berkelebat,
sebelah tangan dan kedua kakinya bergerak cepat.
Plak! Des! Dug!
"Aaakh...! Aaa...! Auhh...!"
Gerakan Pendekar Slebor yang sangat cepat mem-
buat para pemuda itu kontan pingsan terkena sambaran tangan dan kakinya. Dan
hanya sebentar saja, para pemuda itu tak ada yang bisa bangun lagi.
"Nah! Siapa lagi yang harus kalian suruh" Apakah kalian masih punya nyali untuk
menghadapi aku"! Kalau tidak..., ya lebih baik pulang saja dan menetek pada
kambing!" ejek Pendekar Slebor, kurang ajar.
Kemarahan kedua tokoh sesat itu pun sudah singgah di ubun-ubun. Wajah mereka
merah padam. "Kau memang harus dibungkam hari ini juga,
Pendekar Slebor!" dengus Nyai Surti.
"He he he.... Apakah tidak salah" Ih! Mengapa sih, kau selalu memilih aku
menjadi lawan" Karena aku
ganteng, ya" Tetapi..., cih! Tak sudi aku bersentuhan denganmu!"
Namun belum lagi Nyai Surti
atau Songko menyerang.... "Hauummmm...!"
Mendadak terdengar auman yang sangat keras. Lalu muncul seekor harimau besar
dari balik semak. Sementara penunggangnya telah melenting, dan mendarat di
sebelah Pendekar Slebor.
"Heit! Kaget aku!" kata Andika sambil menepuk-nepuk dadanya.
"Mengapa kau tidak mengajakku bermain-main
dengan mereka, Kang Andika?" kata Sari sambil menatap tajam ke arah Nyai Surti
dan Songko. Di tangannya sudah tergenggam sebilah pedang tipis namun sangat
tajam. Pedang itu dicabut sambil melompat tadi.
"Nah, Nenek Genit! Kini kau boleh melawan dia"
Sekali-kali kan tidak apa-apa! Aku juga mau muntah bila bersentuhan denganmu!"
seru Andika mengejek.
Kali ini Nyai Surti sudah tidak bisa menahan
geramnya lagi. Langsung diterjangnya Andika dengan ganas.Andika cepat melempar
tubuh Mureksa yang masih pingsan pada Sari.
"Sari! Suruh si Belang menyembunyikan Mureksa dan menjaganya!" ujar Pendekar
Slebor sambil menghindari serangan Nyai Surti yang ganas. "Heit! Sabar dikit,
Nek! Kalau kau bernafsu denganku, bilang saja! Tetapi, maaf ya... Aku tidak akan
pernah terangsang olehmu!"
Sari yang dengan sigap menangkap tubuh Mureksapun segera meletakkan tubuh pengawal itu ke punggung Belang. Dan harimau
itu segera melesat mencari tempat persembunyian yang aman.
Sementara, Sari sendiri langsung melenting ketika melihat Songko mencuri
kesempatan dengan melepaskan anak panahnya ke arahnya! Set! Set!
"Jangan kau kira dapat membokongku, Manusia
Rendah!" seru Sari garang, ketika anak panah itu telah lewat di bawah kakinya.
Dan ketika gadis itu meluruk sambil membabatkan
pedang. Maka pertarungan pun berlangsung dengan seru.
*** Di Keraton Pakuan mendadak saja Raja Akherat
terkejut setengah mati. Baru saja dia berada di pintu utama keraton, terlihat
puluhan orang berpakaian prajurit menerobos mas uk ke halaman. Begitu mendekat,
tiga orang penunggang kuda langsung turun dan berdiri gagah di depan Raja
Akherat Serentak Dua Kembar Kepalan Batu bersiaga.
mentara para pemuda bertelanjang dada pun sudah
menghunuskan tombak, siap menunggu perintah. Mata Raja Akherat menyipit. "Ha...
ha.. ha...! Rupanya... orang-orang Kerajaan Labuan ingin membantu Kerajaan
Pakuan! Hanya sayang, kalian mencari mampus saja!" kata Raja Akherat sombong. Agaknya
Raja Akherat mengenali
mereka dari pakaian'prajurit yang dikenakan.
Memang, yang datang itu adalah para prajurit
Kerajaan Labuan. Mereka diperintahkan Prabu Srigiwarman untuk langsung menyerang ke Kerajaan Pakuan. Sementara, kclompok
lain akan menemui Prabu Adiwarman untuk membicarakan rencana selanjutnya.
Tiga orang gagah yang telah berdiri gagah menatap tajam pada Raja Akherat. Di
punggung mereka terdapat sebilah pedang. Pakaian mereka sama, berwarna putih.
Hanya yang membedakan, warna ikat pinggang yang
dikenakan. Rambut mereka digelung ke atas. Rupanya, mereka adalah para pengawal
pilihan. "Raja Akherat! Lebih baik tinggalkan Kerajaan Pakuan sebelum darahmu tumpah di
sini!" kata prajurit yang mengenakan ikat pinggang biru.
"Ha... ha.. ha. !"
Kata-kata itu disambut tawa Raja Akherat yang keras.
"Apakah tidak salah pendengaranku, hah"!" lanjut Raja Akherat, membentak.
Yang mengenakan ikat pinggang biru, berwajah cukup tampan. Cambang bauk tampak
menghiasi wajahnya.
Prabu Adiwarman mengenal pengawal yang sering
berkunjung ke tempat ini namanya Wenapati. Dia me-nyipitkan matanya, bertanda
marah mendengar kata-kata Raja Akherat.
"Aku hanya mengatakan itu sekali saja, sebelum semuanya terlambat!" ancam
Wenapati Raja Akherat kembali terbahak-bahak. Dia merasa
lucu mendengar kata-kata Wenapati. Lalu....
"Hancurkan mereka!" teriak Raja Akherat, memerintah para pengawalnya yang sudah
mengurung pula.
Serentak lima belas pemuda bertelanjang dada me-
nyerang dengan ganas. Sudah tentu para prajurit Kerajaan Labuan pun segera
mengangkat senjata. Trang! Trang!
"Hiaaa...!" "Serang...!"
Seketika terdengar suara bunyi beradunya senjata yang keras dan teriakan-
teriakan pertempuran.
Sementara Dua Kembar Kepalan Batu sudah
menyerang pula. Yang bernama Srigandi menyerang
pengawal yang mengenakan ikat pinggang kuning.
Namanya Karnapati. Tubuhnya gagah dengan wajah
kelimis tanpa bulu. Sementara Srigunda menyerang yang mengenakan ikat pinggang
hijau. Namanya, Tiropati. Wajahnya persegi dan cukup tampan. Apalagi dihiasi
kumis tipis. Sementara Wenapati menggeram ke arah Raja Akherat.
"Kali ini, kau akan menyesali perbuatanmu seumur hidupi" seru Wenapati.
Tetapi kata-kata yang bernada ancaman itu hanya
disambut tawa saja oleh Raja Akherat.
"Ha... ha.. ha...! Biasanya, orangyang hendak mencari mampus memang banyak
lagak!" Mendadak saja, Raja Akherat mengibaskan tangannya ke depan.
Wesss. .! Wenapati yakin, kibasan tangan itu telah dialiri tenaga dalam
tinggi. Maka tubuhnya segera melompat menghindari. "Ha... ha.. ha. .! Bagus, bagus sekali!"
"Kini, terimalah ajalmu, Raja Akherat!"
Wenapati pun menyerbu dengan lengkingan suara
yang tinggi. Pedang di tangannya berkelebat, siap mencabik-cabik tubuh Raja
Akherat Sementara Raja Akherat tidak bergeser sedikit pun ketika Wenapati menyerang
dengan pedangnya. Namun begitu serangan dekat, tangannya dikibaskan ke depan.
Wesss. .! "Hup...!"
Sekali lagi Wenapati harus menarik pulang serangannya, dan cepat melenting ke belakang. Sementara Raja Akherat terbahak-
bahak. Kini sadarlah Wenapati, kalau lawannya sangat
tangguh. Tetapi sebagai orang pilihan dari Kerajaan Labuan, sudah tentu memiliki
bekal yang cukup dan keberanian tinggi. Maka tanpa gentar diserangnya kembali
Raja Akherat. "Heaaa...!"
Sementara itu pertarungan antara lima belas pemuda bertelanjang dada melawan
tiga puluh orang prajurit Kerajaan Labuan, jelas tidak seimbang. Dalam waktu
singkat saja, lima belas pemuda itu telah tewas menjadi mayat.
Para prajurit Kerajaan Labuan pun kini siap
menunggu perintah, bersiaga sambil memperhatikan pertarungan yang terjadi.
Ketiga prajurit pilihan Kerajaan Labuan itu memang menunjukkan kemampuannya
sebagai orang pilihan.
Terutama, Wenapati yang memperlihatkan kelincahannya menghindari serangan Raja
Akherat. Memang, sekali pun prajurit ini belum sempat membalas serangan. Namun
biar begitu. Raja Akherat pun belum dapat menyentuh
tubuhnya. *** 10 Andika yang bertarung melawan si Kayu Seribu Laksa, mencoba membuat wanita tua
itu kerepotan sendiri. Ketika Nyai Surti menyerang gencar dengan tongkat
kayunya, Andika cepat bergerak. Diputarinya tubuh perempuan tua itu sambil
sekali-kali mengirimkan serangan telak.
Nyai Surti menjadi geram. Lalu....
"Tongkat Kayu Merenggut Sukma!" teriak si Kayu Seribu Laksa.
Dan tiba-tiba saja Nyai Surti memutar tongkat
kayunya, sehingga mengikuti putaran tubuh Pendekar Slebor. Bahkan lebih cepat!
Andika sendiri cukup terkejut melihat perubahan
serangan Nyai Surti. Cepat serangannya dihentikan.
Namun belum lagi membuka serangan berikut, Nyai Surti sudah mencecar dengan
ganas. Tongkat kayu di tangannya itu kini bagai mempunyai mata saja. Karena, ke
mana Andika menghindar, tongkat itu terus memburu.
"Edan! Jurus yang aneh sekali!" dengus Andika dalam hati. Segera Pendekar Slebor
mempergunakan kelincahannya untuk menghindari serangan yang ganas dan berbahaya.
Sementara Sari masih terus berusaha menangkis
serangan anak panah yang dilepaskan Panah Iblis Dari Utara. Sambil menangkis,
dicobanya mem perpendek jarak serangan. Gadis ini tahu. kalau jarak semakin
Iebar, maka kemudahan akan didapatkan Songko. Jadi, jalan satu-satunya untuk
mematikan langkah lawannya, memang harus memperpendek jarak.
Tetapi hal itu bukanlah suatu yang mudah untuk dilakukan. Karena Panah Iblis
Dari Utara dengan gencar terus memburu. Sehingga gadis itu harus mengeluarkan
kelincahannya memainkan pedang.
"Hayo! Habiskan seluruh anak panahmu, biar kepalamu mudah kupenggal!" seru Sari
mengejek. Songko sendiri sudah mempergunakan anak panah-
anak panah rahasianya. Dicabutnya sebuah anak panah yang lebih pendek daripada
yang sering dilepaskan. Karena perbedaan bentukitulah Sariyakin, kalau anak
panah yang akan
dilepaskan lawannya tidak bisa dianggap sembarangan. Kali ini gadis itu sendiri tidak berani menangkisnya, dan
hanya menghindari saja. Namun yang mengejutkannya, anak panah itu seperti mempunyai mata.
Bisa berbelok dan mengejamya!
Set.. ! "Gila!" dengus Sari.
Kali ini mencoba menangkis dengan pedangnya.
Tak! Namun begitu terpental, anak panah itu kembali
menerjang ke arah Sari.
Songko terbahak-bahak melihat lawannya yang
kelimpungan. "Ha ha ha.... Ada pertunjukan cuma-cuma yang sangat menarik!" ejek Panah Iblis
Dari Utara.

Pendekar Slebor 20 Raja Akherat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sari menjadi geram. Sungguh tidak dimengerti
mengapa anak panah itu bagaikan memiliki mata dan terus mengejarnya. Berkali-
kali pedangnya berhasil menyampok anak panah yang mengejarnya. Namun berkali-
kali pula anak panah itu kembali menerjang.
"Ha ha ha...!"
Songko makin terbahak-bahak. Bahkan segera
mencabut sebatang anak panah yang hentuknya sama seperti yang dilepaskan tadi.
"Aku akan membuat pertunjukan semakin lebih semarak!" seru Panah Iblis Dari
Utara. Twang! Set! Songko kembali melepaskan anak panah ke arah
Sari. Sementara gadis itu harus menangkis kembali. Dan seperti anak panah
pertama tadi, anak panah itu pun bagaikan memiliki mata. Mencecarnya dengan
cepat. Sari semakin kewalahan saja. Dan kini gadis itu harus menyelamatkan diri dari
dua serangan anak panah aneh itu. Sementara itu Pendekar Slebor yang sedang
menghindari serangan dari Nyai Surti sempat melihat keadaan Sari.
"Kau bisa mati kalau hanya mengurusi kedua anak panah itu, Sari! Kedua anak
panah itu dikendalikan tenaga dalam Songko! Coba serang dia!" teriak Pendekar
Slebor. Sari kini baru sadar. Maka begitu kedua anak panah menyerangnya, cepat pedangnya
berkelebat menyampok.
Tak! Tak! Begitu berhasil menyampok, dengan cepat Sari
menerjang ke arah Songko yang tidak percaya kalau jurus anak panah rahasianya
dapat dipecahkan Pendekar
Slebor! Panah Iblis Dari Utara menggeram kesal sambil
melompat menghindari serangan pedang di tangan Sari.
Sari pun bermaksud menyampok kembali kedua anak
panah yang disangka akan menyerangnya lagi. Tetapi begitu Songko menghindari
tadi, seketika kendali tenaga jarak jauh yang dialirkan kepada dua anak panah
langsung hilang. Maka seketika kedua anak panah itu pun jatuh tak berdaya,
seperti anak panah lainnya saja.
Menyadari hal itu. Sari segera mencecar Songko
dengan ganas. Kalau tadi gadis ini dipermainkan, maka kini ganti Songko yang
dipermainkannya.
Pedang gadis ini berkelebat ke sana kemari dengan cepatnya, membuat Songko harus
menghindari berkali-kali Tetapi Sari tidak ingin bertindak lamban lagi Mendadak
saja tubuhnya melompat lurus ke atas dengan gerakan berputar. Lalu tubuhnya
langsung meluruk ke arah Songko yang seketika menjadi pias wajahnya. Tanpa anak
panah laki-laki itu bukanlah apa-apa.
Sebisanya Songko menghindari serangan.
Dan mendadak saja tali busurnya ditarik, dan mengarahkannya pada Sari yang siap
menancapkan pedangnya ke ubun-
ubun Songko. Tweeeng! "Aaakh...!"
Terdengar suara keras. Akibatnya sungguh di luar dugaan. Tubuh Sari kontan
terpental ke belakang disertai keluhan tertahan. Begitu jatuh di tanah, gadis
itu langsung muntah darah.
"Ha... ha... ha.. ! Ketahuilah, Manis.... Itu adalah rahasia dari busur
kesayanganku ini...," ejek Panah Iblis Dari Utara.
Dengan punggung tangannya Sari mengelap darah
yang keluar dari mulutnya. Matanya menatap nyalang.
"Perlihatkan lagi kehebatan dari busurmu itu, Manusia Rendah!" bentak gadis ini
"Hiaaa...!"
Dengan melipatgandakan tenaga dalamnya. Sari
menerjang kembali. Namun lagi-lagi Songko menjepretkan tali busurnya.
Twang! "Aaakh...!"
Kembali gadis itu terpental, dan jatuh di tanah.
Sementara dalam keadaan bertarung, Andika masih
juga sempat melihat kalau Sari sudah berada di ambang maut. Padahal pada saat
yang sama, Songko sudah pula kembali akan menjepretkan tali busumya.
"Hiaaa...!"
Disertai teriakan membahana, Pendekar Slebor
melenting menjauhi lawannya yang sama sekali tak menduga. Dan begitu mendarat di
tanah, kedua tangannya cepat menghentak ke arah Panah Iblis Dari Utara.
Wesss. .! Serangkum angin serangan meluncur dari telapak
tangan Andika. Lalu.... Prak! "Heh"!"
Betapa terkejutnya Songko melihat busur panahnya patah. Dan dia sama sekali
memang tak menduga adanya serangan itu.
"Bangsat! Surti! Bunuh pemuda konyol itu!" bentak Songko marah.
Lalu, kemarahan itu dilampiskan Songko pada Sari yang masih menahan rasa sakit.
Tubuhnya cepat meluruk, hendak melepaskan tendangan.
Andika sendiri bermaksud untuk menyelamatkan Sari.
Namun niatnya cepat diurungkan, karena Nyai Surti meluruk kembali dengan
serangan berhawa maut.
"Sari..., bangunlah! Kau bisa mampus!" teriak Pendekar Slebor, seraya berkelebat
dengan kelincahannya.
Sebisanya Sari berusaha bangun. Namun tenaganya
sudah hilang sama sekali. Padahal, maut sudah di ambang pintu ketika kaki Songko
yang penuh tenaga dalam siap menggasak kepalanya.
Namun sebelum Songko berhasil melaksanakan
maksudnya.... "Hauuummm...!"
Dengan gerungan membahana, satu sosok berkaki
empat muncul dari balik semak dan langsung menerjang Panah Iblis Dari Utara.
Rupanya si Belang yang sedang menjaga Mureksa
telah kembali ke tempat itu. Hewan itu memang luar biasa, naluri dan
penciumannya bisa merasakan kalau tuannya berada dalam bahaya. Memang Ki
Wirayuda tak perc uma bertahun-tahun melatihnya.
Bret! "Aaakh...!"
Songko yang tidak menyangka kalau binatang itu
akan muncul dan menyerangnya, harus merelakan
tubuhnya terkena cakaran. Dia berteriak merasakan perih yang bukan main.
Sementara Sari yang semula sudah pasrah, kontan
terkejut melihat kehadiran si Belang. Wajahnya langsung berubah gembira.
"Belang! Bunuh dia! Bunuh!" teriak Sari, kalap.
Mendengar perintah. si Belang pun semakin kalap.
Aumannya sangat keras dan memekakkan telinga.
Binatang itu terus menerjang Songko yang kini harus ber-hati-hati. Padahal, kini
tenaganya sudah melemah setelah
bertarung berpuluh-puluh jurus.
Pada satu kesempatan, si Belang menerjang sekali lagi dengan kuku-kuku terbuka.
Songko yang sudah kebingungan, melangkah ke belakang. Namun kakinya ter antuk
batu. Dan.... Bruk! Songko terjatuh. Dan saat itulah si Belang dengan ganas menerjang. Langsung
dicabik-cabiknya tubuh Panah Iblis Dari Utara.
Bret! Bret! "Aaa...!"
Songko menjerit keras ketika daging tubuhnya
terobek-robek. Lalu jeritannya pun
melemah, dan nyawanya pergi meninggalkan jasadnya selama-lamanya.
"Sudah, Belang! Cukup! Jangan kotori cakar dan taringmu dengan darahnya yang
busuk!" ujar Sari.
Binatang buas itu berbalik, lalu menghampiri Sari yang langsung menerima jilatan
Iidah si Belang.
"Kau memang sahabatku yang setia, Belang...," kata Sari, sambil mengelus-elus.
Sementara itu Pendekar Slebor
masih terus menghindari serangan-serangan ganas dari Nyai Surti.
Tongkat kayu di tangan perempuan tua itu menjelma begitu banyak, mencecarnya ke
mana Andika hinggap.
"Hei it! Sabar, Nek! Nanti kau kehabisan tenaga!"
seloroh Pendekar Slebor sambil berkelit lincah.
Andika sendiri tidak
ingin berlama-Iama lagi,
meskipun harus mencari sela untuk menjatuhkan Nyai Surti. Dan ketika si Kayu
Seribu Laksa menyerang, Pendekar Slebor melesat disertai pengerahan tenaga
warisan Pendekar Lembah Kutukan.
"Yeaaa!"
Melihat pemuda itu menyongsong serangan, Nyai
Surti pun memperkuat kemposan kakinya. Sementata tenaga dalamnya dialirkan lebih
banyak ke tongkat kayunya.
"Heaaa...!"
Hantaman tongkat kayu Nyai Surti, ditahan Pendekar Slebor dengan tangannya. Tap!
Dan mendadak Pendekar Slebor yang cepat bagai
kilat masuk menerjang, melepas pukulan tangan kanan.
Desss.. ! "Aaakh...!"
Telak sekali dada Nyai Surti terhantam pukulan
Pendekar Slebor. Perempuan tua itu kontan terjajar ke belakang disertai jerit
kesakitan. Andika yang melihat lawannya sudah goyah, cepat
melepaskan pukulan ' Guntur Selaksa'. Tangannya seketika mengibas.
"Heaaa...!"
Wuttt...! Namun meskipun baru saja terkena hantaman
Andika, si Kayu Seribu Laksa nampaknya memang sudah ingin
mengadu nyawa. Sambil menggeram keras,
perempuan tua itu kembali menyambut disertai hantaman tongkat kayunya.
"Hiaaa...!"
Prak...! Terjadi benturan yang keras, diiringi suara nyaring.
Dan ternyata tongkat kayu yang telah dialiri tenaga dalam oleh Nyai Surti, harus
pecah berantakan terhantam ajian
'Guntur Selaksa'. Perempuan tua itu sendiri terkejut melihat kenyataan ini.
Namun keterkejutannya tidak bertahan
lama, karena Pendekar Slebor kembali berkelebat sambil mengibaskan tangan yang satu lagi.
Lalu....Dess.. !
"Aaa...!"
Si Kayu Seribu Laksa melolong setinggi langit, ketika dadanya terhantam ajian
'Guntur Selaksa' milik Pendekar Slebor. Tubuhnya terjajar ke belakang,
sempoyongan. Andika cepat melenting ke belakang. Dan mendarat tiga tombak dari tubuh perempuan tua itu. Brukkk...!
Si Kayu Seribu Laksa ambruk dengan dada pecah
bagian dalam. Darah segar kontan berhamburan dari
mulutnya. Sebelum ajalnya, perempuan tua itu masih menatap Pendekar Slebor
dengan membiaskan rasa
dendam, marah, dan penasaran. Begitu tubuhnya kaku.
matanya masih mendelik.
Andika bergidik melihatnya.
"Ihhh! Sudah menjadi mayat pun kau masih jahat saja, Nenek Peot!" desis Pendekar
Slebor bergidik.
Lalu Andika mendekati Sari yang masih mengelus-
elus si Belang.
"Sari, aku harus memeriksa luka-lukamu," ujar Andika.
"Tidak perlu!" sahut Sari, tanpa menoleh.
"Hei! Kau kelihatan Iuka bagian dalam tubuhmu...."
Sari menoleh dan menatap sewot.
"Lalu kau berharap untuk melihat tubuhku, hah"!"
bentak gadis ini.
Andika menutup mulutnya, agar tidak tertawa.
Sungguh hal itu tidak terpikirkan oleh otaknya. Tetapi bukan Andika kalau tidak
bisa meledek. "Apakah kau rela memperlihatkannya sendiri?"
"Andika!"
Andika hanya terbahak-bahak saja.
"Sudahlah.... Bersemadilah dulu untuk memulihkan tenagamu. Aku pinjam si Belang
untuk mengetahui, di mana Mureksa disembunyikan. Karena, kita harus bertindak
cepat untuk mengetahui apakah Prabu Srigiwarman dari Kerajaan Labuan bersedia
membantu atau tidak," kata Andika.
Sari membenarkan kata-kata Andika. Lalu diperintahkannya si Belang untuk mengantarkan Andika ke tempat Mureksa
disembunyikan tadi. Meskipun kelihatan enggan meninggalkan majikannya, si Belang
hanya menurut. Andika tertawa.
*** Di halaman Keraton Pakuan,
darah semakin membanjir. Suasana semakin pahit dan menyedihkan.
Para prajurit Kerajaan Labuan kini seluruhnya telah terkapar menjadi mayat.
Perlawanan Wenapati, Karnapati, Tiro-pati, serta para prajurit lain agaknya
hanya sia-sia. Walaupun lebih banyak, tapi dibanding kesaktian Raja Akherat. Srigandi dan
Srigunda, mereka tak berarti apa-apa. Dan akhimya mereka harus merelakan nyawa,
walaupun sudah gigih untuk melawan.
Raja Akherat terbahak-bahak.
"Tak seorangpun yang mampu menghadapiku! Kini aku menjadi orang nomor satu di
Kerajaan Pakuan! Dan sebentar lagi, rimba persilatan akan kukuasai!"
*** 11 Mureksa sudah sadar, setelah Pendekar Slebor
mengalirkan hawa murni ke dalam tubuhnya. Selang beberapa waktu, dia kemudian
menceritakan tentang perjalanannya ke Kerajaan Labuan. Dan ternyata, Prabu
Srigiwarman bersedia mengirimkan dua kelompok prajurit.
Andika mendesah pendek.
"Aku khawatir, kelompok pertama yang langsung menyerbu ke Keraton Pakuan sudah
hancur lebur semuanya...," ungkap Pendekar Slebor.
Mureksa menganggukkan kepala.
"Tuan Pendekar.... Lebih baik kita kembali ke gua sebelah sana. Karena aku
khawatir kelompok yang kedua sudah tiba...," usul Mureksa.
"Kau sudah kuat?" tanya Andika.
"Berkat pertolongan, Tuan Pendekar...."
Bersama si Belang mereka segera kembali ke tempat semula. Memang persembunyian
Mureksa tak begitu jauh.
Sehingga sebentar saja mereka telah sampai.
Yang diperkirakan Mureksa memang benar. Dua


Pendekar Slebor 20 Raja Akherat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

puluh lima prajurit Kerajaan Labuan sudah berada di sana.
Mereka dipimpin tiga orang laki-laki gagah berpangkat senapati menunggang kuda
hitam. Salah seorang sedang bercakap-cakap dengan Sari.
"Itu dia orangnya!" tunjuk Sari, begitu melihat kemunculan Andika, Mureksa, dan
si Belang. Yang bercakap-cakap dengan Sari tadi seorang laki-laki tegap dengan wajah
tampan. Pakaian seragam prajurit berpangkat senapati. Rambutnya digelung ke
atas. Di pinggangnya
tersampir sebilah golok besar. Ikat pinggangnya berwarna putih.
"Tuan Pendekar...," sebut senapati itu.
Agaknya laki-laki tegap ini sudah diceritakan Mureksa, kalau Pendekar Slebor
berada di pihak Prabu Adiwarman.
Dan melihat ciri-cirinya, pastilah pemuda yang baru saja muncul bersamaan
seorang prajurit Kerajaan Pakuan yang
nampak lemah adalah Pendekar Slebor. Hanya saja
sungguh tidak disangka, pemuda yang telah menggemparkan dunia persilatan dan menjadi momok orang-orang golongan hitam
sedemikian mudanya!
"A-ha!" sergah Andika.
"Tuan Pendekar" Namaku Andika...."
"Tuan Pendekar.... Aku Monoseta. Dan kami adalah utusan Kerajaan Labuan...,"
kata senapati itu sambil menjura.
Andika menggerutu dalam hati Tuan pendekar lagi!
Terus terang, dia sebal dengan sebutan semacam itu.
Tetapi saat ini, Andika merasa tidak perlu mempersoalkannya. Karena yang dikhawatirkan, adalah kelompok pertama utusan dari
Kerajaan Labuan yang langsung menyerang ke Kerajaan Pakuan.
Pendekar Slebor pun mengatakan soal itu pada
senapati bernama Monoseta.
Monoseta menganggukkan kepala, lalu berkata pada dua orang kawannya yang sama-
sama mengenakan
pakaiansenapati Lagi-lagi yangmembedakan ketiganya adalah ikat pinggang yang
dikenakannya. Walaupun sama-sama berpangkat senapati, namun warna ikat
pingganglah yang
membedakan. Rupanya Prabu Srigiwarman mengambil beberapa orang senapati yang di-bagi beberapa kelompok. Tiap kelompok
berisi tiga orang senapati yang masing-masing dibedakan dengan warna ikat
pinggang. "Ardiseta.... Kau ikut denganku ke Kerajaan Pakuan,"
kata Monoseta pada yang mengenakan ikat pinggang hijau.
"Sementara kau,
Tiroseta.... Temuilah Prabu
Adiwarman dan Putri Permata Delima di Jurang Setan....
Bawa sepuluh prajurit bersamamu."
Senapati Tiroseta yang mengenakan ikat pinggang
warna kuning langsung menganggukkan kepala.
"Tetapi, siapa yang mengantar Kakang Tiroseta?"
tanya Sari. Andika tersenyum-senyum.
"Kalau aku, akan ikut ke Keraton Pakuan. Karena,
aku akan menyusup masuk melalui jalan rahasia yang dikatakan Prabu Adiwarman.
Hanya kita berdua yang ta. hu jalan menuju Jurang Setan. Nah..., bagaimana kalau
kau saja?"Andika menyangka kalau Sari akan marah-marah dan menolak. Tetapi gadis
itu malah tersenyum.
"Kau lupa, Andika. Si Belang pun tahu jalan ke sana."
Andika menepuk jidatnya.
"Ah! Kenapa aku lupa, ya" Tetapi rasanya..., lebih baik kau saja yang pergi
mengantar Tiroseta dan sepuluh prajurit Kerajaan Labuan!"
"Kau memang jahat padaku, Andika!" cibirSari.
"He he he.... Masa' sama gadis cantik aku jahat"
Jadi..." "Tidak bisa!" potong Sari cepat.
"Biar si Belang yang mengantar mereka! Kakang Tiroseta..., si Belang tahu ke
mana harus mengantarmu."
Lalu Sari merunduk pada binatang peliharaannya.
"Belang..., antarlah Kakang T iroseta dan sepuluh prajurit. Jangan membuang-
buang waktu. Kau hafal jalannya, bukan?"
Seperti mengerti, si Belang mengaum.
Sari berdiri tegak kembali.
"Nah, beres s udah! Kita bisa segera berangkat ke Keraton Pakuan!"
Andika hanya menggaruk-garuk kepala yang tidak
gatal. Memang sulit menghadapi gadis ini. Tetapi mau apa lagi" Tenaganya mungkin
memang dibutuhkan.
Setelah persiapan dilakukan, Andika akan menyusup masuk melalui jalan rahasia.
Sementara Sari bersa-ma rombongan dari Kerajaan Labuan akan masuk melalui jalan
depan. Dan mereka pun segera berangkat.
Sementara si Belang mengantarkan Tiroseta dan
sepuluh prajurit menuju Jurang Setan.
*** Seperti yang sudah direncanakan, Pendekar Slebor dan rombongannya tiba di
Keraton Pakuan ketika senja semakin turun. Andika segera menemukan dua buah
pohon trembesi sebagai tanda jalan rahasia untukmasuk ke keraton. Dia kini
berdiri di antara kedua pohon itu.
Diraba-rabanya permukaan tanah yang ada di sana. Dan memang, Andika menemukan
sebuah tangkai besi.
Seketika dihentakkan tangkai itu dengan tenaga sakti warisan Pendekar Lembah
Kutukan. Trakkk! Terdengar suara berderak. Sementara beberapa
pohon merambat yang tumbuh di sana tercabut begitu saja. Terbukalah sebuah
lubang kecil. Namun untuk masuk ke sana, harus berjalan merangkak.
"Kalian segera masuk sekarang juga. Berhati-hatilah, karena aku yakin...,
rombongan pertama pasti sudah dihabisi Raja Akherat," ujar Pendekar Slebor,
sebelum masuk. Mendengar kata-kata itu, wajah Monoseta dan
Ardiseta berubah menjadi geram. Kalau memang yang diduga Pendekar Slebor benar,
mereka akan menuntut balas!Sementara Sari hanya diam saja. Entah mengapa,
sebenarnya ia ingin ikut bersama Andika. Tetapi sudah tentu ia malu untuk
mengatakannya. Kepala Andika pun kini menghilang di balik tanah yang gelap. Pendekar Slebor
terus menerobos masuk lorong yang sempit dan hanya bisa dilalui dengan
merangkak. Bau tanah lembab menerpa hidungnya. Andika memang sengaja memilih
jalan ini Karena,
yang dikuatirkan hanya satu. Yakni, bila Raja Akherat mempergunakan ilmu 'Melayang
Dua'nya. Bila memang tokoh itu mempergunakan ilmunya, maka Andika bermaksud
hendak membokong dari belakang.
"Gila! Bila aku penghuni alam sunyi ini..., kalau keluar dari sini, bisa-bisa
tubuhku menjadi bongkok!" gerutu Pendekar Slebor.
Pendekar Slebor membuka matanya lebar-lebar.
Langkahnya terus menerobos jalan rahasia, yang ternyata panjang dan semakin
panjang. *** Monoseta segera memimpin rombongannya untuk
masuk ke Keraton Pakuan.
Sebenarnya mereka heran, karena pintu keraton tidak dikunci dan dapat dibuka
dengan mudah. Pemandangan pertama yang menerpa mata adalah mayat-mayat dari
prajurit Kerajaan Labuan yang bergeletakan. Juga, tiga orang laki-laki
berpakaian putih yang telah menjadi mayat.
"Raja Akherat! Keluarlah. Kau harus bertanggung jawab atas semua perbuatanmu!"
teriak Monoseta menggeram.
Tak ada suara. Angin senja berhembus dingin. Hawa kematian merebak.
Monoseta mengangkat tangan, lalu mengibaskannya
ke depan. Wesss. .! Serangkum pukulan jarak jauh yang dilepaskan
senapati ini menghantam pintu masuk ke Keraton Pakuan.
Duarrr! Pintu itu hancur berantakan.
"Raja Akherat! Keluar kau!" teriak Monoseta Belum juga hilang gema suara itu,
mendadak Desss.. desss. . desss.. ! "Aaa... aaa... aaa...!"
Tiba-tiba terdengar teriakan menyayat yang meng-
isyaratkan kematian. Begitu Monoseta menoleh, hatinya mencelat.
Tampak prajurit Kerajaan Labuan yang tengah sedih melihat saudara-saudara mereka
telah menjadi mayat, beterbangan. Begitu jatuh ke bumi, mereka sudah menjadi
mayat. Seketika Monoseta menjadi pias. Rupanya, lawan
sudah membokong dari satu tempat yang tersembunyi.
"Bangsat! Jangan hanya bisa membokong seperti banci, hah"!" bentak Monoseta
geram. Baru saja kata-kata Monoseta lenyap, berkelebat satu sosok bayangan. Dan tahu-
tahu satu sosok tinggi besar mendarat di hadapan mereka.
Sari yang mengenali sosok itu menggeram marah.
"Rupanya kau muncul juga, Raja Penyakitanl" bentak Sad
"Ha ha ha...!"
Raja Akherat terbahak-bahak. Lalu dari arah pintu masuk utama keraton muncul dua
sosok tubuh berkepala licin. Mereka tak lain Dua Kembar Kepalan Batu dengan
langkah lebar dan wajah sangar.
"Ha... ha... ha...! Rupanya orang-orang yang mau mampus berani menantangku,
hah"! Dan kau, Manis
Rupanya kau datang untuk menyodorkan diri menjadi pendampingku?" leceh Raja
Akherat. "Phuih...!"
Sari membuang ludahnya muak.
"Jangan terlalu gembira! Hari ini kau akan mampus berkalang tanah!" tandas Sari.
"Ha... ha... ha. .! Bagus sekali. Bagus! Aku suka mendengar kata-katamu yang
lembut menerpa telingaku!"
"Hiaaat...!"
Mendadak saja Sari menerjang dengan kelebatan
pedangnya tanpa mengenal takut: Melihat gadis itu menerjang, Monoseta dan
Ardiseta pun berbuat sama, dan segera disambut Dua Kembar Kepalan Batu.
Sementara, sisa prajurit Kerajaan Labuan segera
bergerak membantu Sari.
Pertarungan sengit pun terjadi. Para prajurit Kerajaan Labuan lagi-lagi harus
beterbangan tanpa nyawa, begitu Raja Akherat menggerakkan tangannya dengan
dahsyat. Sari merasa kalau mereka akan mcngorbankan
nyawa dengan percuma saja
"Lebih baik kalian minggir! Dia adalah raja kejam yang gemar membunuh!" teriak
gadis itu. "Ha... ha.. ha. .! Dan kau akan kubunuh, Manis!"
Raja Akherat bergerak dengan kedua tangan ke
depan, seolah ingin menangkap Sari. Ia memang ingin mempermainkan gadis itu.
Baik di pertarungan ini maupun di ranjang. Birahinya sudah bergejolak tidak
sabar untuk menggumuli.
Sementara Monoseta yang menghadapi Srigandi
harus terheran-heran melihat lawan yang terus saja menyerang. Padahal, pukulan
saktinya tepat mengenai dada."Gila! Rupanya dua gundul ini memiliki ajian 'Mati
Rasa'!" dengus Monoseta yang mengenali ajian itu.
Begitu mengenali ajian itu, Monoseta jadi teringat mendiang gurunya bernama
Eyang Kilir yang bermukim di Gunung Kalidera. Selama belajar ilmu kesaktian pada
beliau. Monoseta telah mendapatkan pelajaran silat dan ilmu pengetahuan yang
banyak sekali. Salah satunya pengetahuan lentang sebuah ilmu dahsyat yang
dimiliki musuh bebuyutan Eyang Kitir, Langdoro. Ajian itu bernama
'Mati Rasa'. Antara Eyang Kitir dengan Langdoro pernah bertarung pada tiga puluh
tahun yang lalu dengan hasil berimbang. Maka melihat ajian itu, Monoseta menduga
kalau dua orang gundul ini murid dari Ki Langdoro.
"Hm.... Aku harus menandinginya dengan ajian
'Pemunah Rasa'!" gumam Monoseta.
Kini yang ada di hati Monoseta adalah mcneruskan perjuangan gurunya, untuk
membunuh tokoh hitam sakti yang kini diambil alih oleh dua orang muridnya.
"Hhh! Ajian 'Mati Rasa' harus hancur dengan ajian
'Pemunah Rasa'! Terkutuklah kalian dua gundul murid Ki Langdoro manusia sesat
itu! Hiaaat..!"
Monoseta mendadak saja bersalto ke belakang.
Begitu mendarat, kedua tangannya disilangkan di depan dada dengan mulut komat-
kamit. Rupanya dia tengah merapal ajian 'Pemunah Rasa', yang diajarkan Eyang
Kitir untuk menghadapi ajian 'Mati Rasa' dari Ki Langdoro. Dan sebentar
saja, Monoseta telah meluruk kembali, menyerang Monoseta.
Srigandi tidak tahu kalau lawan telah merapal ajian penangkal dari ajian 'Mati
Rasa'. Maka terus saja di-songsongnya dengan pukulan keras. Sementara ajian
'Mati Rasa'telah dirangkum disekujur tubuhnya. Dan....
Plak! Des! "Aaakh...!"
Ajian 'Pemunah Rasa' milik Monoseta tepat mengenai dada Srigandi, yang kontan
berteriak merasakan sakit sangat luar biasa. Tubuhnya pun terhuyung ke belakang
dengan deras, lalu ambruk disertai muntahan da-rah.
"Srigandi!" seru Srigunda terkejut, sambil menyerang Ardiseta.
"Kakang..., hati-hati...! Manusia itu..., memiliki ajian penangkal ajian 'Mati
Rasa'.... Ia.. ia tentu murid Eyang Kitir... yang sering... diceritakan...
guru... aaakhhh!"
Salah seorang dari Dua Kembar Kepalan Batu itu pun tewas."Hiaaa...!"
Melihat adiknya tewas, Srigunda melompat ke arah Monoseta dengan maksud membalas
kematian adiknya.
Monoseta yang sudah mempersiapkan ajian 'Pemunah Rasa' segera menyambut.
"Ardiseta! Bantu Sari menghadapi Raja Akherat!"
teriak Monoseta, pada Ardiseta.
Ardiseta pun segera menerjang ke arah Raja Akherat yang sedang mempermainkan


Pendekar Slebor 20 Raja Akherat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sari dengan serangan-serangan ganas. Golok besar di tangan Ardiseta berkelebat
mengancam Raja Akherat yang harus berkelit menghindar.
"Bagus, bagus...! Aku pun ingin kau segera menyusul teman-temanmu ke neraka!"
sambut Raja Akherat.
Sementara itu, Monoseta terus mencecar Srigunda.
Dan kali ini Srigunda membenarkan kata-kata Srigandi, kalau lawan memiliki ajian
pemunah dari ajian 'Mati Rasa'.
Des! Des! "Aaakh...!"
Berkali-kali tubuh Srigunda terkena pukulan Monoseta. Namun tubuhnya yang kebal bukan lagi
disebabkan tidak merasakan kerasnya pukulan Monoseta, tapi karena kemarahannya
untuk membalas dendam atas kematian Srigandi.
"Hiaaa...!"
Srigunda berbuat nekat. Tubuhnya meluruk menyerang. Padahal, tindakannya hanya akan mengirimnya ke neraka saja.
Dengan mengegos ke kiri dan kanan, Monoseta
menghantam dada Srigunda dengan keras.
Desss! "Aaa...!"
Srigunda terjengkang disertai raung kesakitan.
Tubuhnya ambruk di tanah tak bangun-bangun lagi. Kalau Srigandi mati dengan
muntah darah, Srigunda tewas dengan dada jebol!
Monoseta menggeram puas. Lalu tubuhnya bergerak
membantu Ardiseta dan Sari yang sedang menerima
serangan Raja Akherat. Namun belum lagi bergerak....
"Heh"!"
Mendadak saja muncul satu sosok tubuh Raja
Akherat yang lain dari dalam keraton.
"Ha... ha... ha.. ! Biarkan mereka bermain-main dengannya! Kini, kau menghadapi
aku!" kata Raja Akherat yang baru datang, memandang tajam pada Monoseta.
Bukan hanya Monoseta saja yang terkejut melihat
sosok Raja Akherat yang tahu-tahu telah menjadi dua seperti itu. Juga Ardiseta
dan Sari yang kaget bukan alang kepalang.
Rupanya, Raja Akherat sudah kembali mempergunakan ilmu 'Melayang Dua' yang pernah
membuat Pendekar Slebor kewalahan.
Wesss. .! "Edan! Ilmu siluman!" desis Monoseta. Senapati ini harus jungkir balik ketika
Raja Akherat yang muncul di ambang pintu itu mengibaskan tangan ke arahnya.
"Bangsat!" dengus Monoseta. "Hiaaa...!" Dengan ajian
'Pemunah Rasa', Monoseta menerjang cepat Tetapi Raja Akherat tiba-tiba
mengibaskan tangannya lagi. Sehingga....
Desss..:! "Aaakh...!"
Senapati itu kontan terpental disertai teriakan
kesakitan. Sedangkan Ardiseta dan Sari yang menghadapi Raja Akherat yang satunya lagi, kali
ini harus menerima serangan-serangan sangat dahsyat dan mematikan.
Bahkan tubuh Ardiseta sudah berkali-kali harus
terpental ke belakang. Namun kegigihannya sebagai senapati pilihan membuatnya
kembali bangun.
Akan tetapi, kegigihannya itu tidak membawa hasil yang memuaskan. Baru saja
Ardiseta bangkit, Raja Akherat telah meluruk sambil melepaskan tepakan pada
dada. Plak! "Aaa...!"
Tubuh Ardiseta kontan terlontar deras ke belakang.
Ketika ambruk ke bumi, di dadanya tercetak lima jari tangan Raja Akherat.
Nyawanya pun melayang.
"Ha ha ha...! Tak ada gunanya kalian menyerangku!"
kata Raja Akherat pongah. "Nona Manis.... Lebih baik ikut denganku, menemaniku
di ranjang dan melayaniku.
Daripada harus mampus mengenaskan!"
"Justru aku hendak mengadu nyawa denganmu!"
balas Sari, gagah.
Raja Akherat kembali terbahak-bahak.
Tokoh sesat ini tidak ingin melukai gadis itu, dan tetap berkeinginan untuk
menguasainya, Tak sabar membayangkan hal itu, mendadak saja Raja Akherat
nenerjang ke depan dengan cepat. Tangannya bergerak cepat, menepak pedang di
tangan Sari. Plak! "Ihhh...!"
Pedang gadis ini terpental. Dan sebelum Sari berbuat apa-apa, Raja Akherat telah
berkelebat cepat sambil melepaskan totokan.
Tuk! "Ohhh...!"
"Ha... ha... ha...! Sudah kukatakan, aku akan mendapatkanmu, Manis...," leceh
Raja Akherat, melihat tubuh Sari melorot ambruk di tanah.
Sementara ilu Monoseta yang masih menghadapi
Raja Akherat satu lagi harus pula menghadapi Raja Akherat yang tadi menjadi
lawan Sari. Rupanya,
kedua Raja Akherat memiliki ilmu yang sama-sama tinggi.
Bahkan wajah, benluk tubuh, dan kekejamannya pun sama.
Monoseta sendiri merasa kalau tidak akan mampu
menghadapi kedua Raja Akherat. Hanya yang membuatnya tidak mengerti, mengapa
sampai saat ini Pendekar Slebor belum muncul juga" Seharusnya, Andika sudah tiba
di belakang keraton ini, dan bersiap membokong Raja Akherat. Mungkin karena
Pendekar Slebor tahu kalau Raja Akherat mampu membuat tubuhnya menjadi dua
seperti ini, maka harus masuk melalui jalan rahasia.
Tetapi mengapa Pendekar Slebor begitu lama sekali"
Dan belum muncul juga"
Pada saat seperti ini, sebenarnya tenaga Monoseta sudah merosot jauh. Bahkan
tidak akan mampu bertahan lebih lama lagi. Sementara, kesempatan untuk membalas
sudah tidak ada.
Apa yang diduga memang benar. Monoseta kini harus melompat menghindari pukulan
yuang mengandung
tenaga sakti yang kuat dari Raja Akherat. Namun pada saat yang sama. Raja
Akherat yang satu lagi melepas tendangan dahsyat. Dan....
Prakkk...! "Aaakh...!"
Seketika kepala Monoseta pecah terhantam tendangan Raja Akherat. Lalu tubuhnya ambruk ke bumi, jatuh berdebam.
Raja Akherat terbahak-bahak.
"Tak seorang pun yang mampu untuk menghadapiku'
Kini, rencanaku untuk menguasai dunia persilatan akan segera terwujud! Ha...
ha.. ha...! Rupanya Pendekar Slebor takut mengadu nyawa denganku!"
Raja Akherat melangkah, mendekati Raja Akherat
yang satu lagi. Dan perlahan-lahan, tubuh mereka bersatu.
Sebentar saja Raja Akherat memandang ke sekeliling, lalu melangkah mendekati
tubuh Sari yang dalam keadaan tertotok lemah. Dengan lembut dibopongnya gadis
itu. Perlahan-lahan Raja Akherat melangkah, masuk
kembali ke dalam keraton.
*** Sebenarnya, apa yang terjadi dengan Andika" Adakah
sesuatu penghalang di jalan rahasia itu" Dan, bagaimana dengan nasib Sari yang
sudah di ambang kehancuran"
Tunggu serial Pendekar Slebor selanjutnya:
NERAKA DI KERATON BARAT
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Arya Winata
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
Telapak Setan 10 Dewa Linglung 23 Buronan Dari Mataram Golok Bulan Sabit 3
^