Api Di Bukit Menoreh 14
05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja Bagian 14
"Persetan," geram Prastawa, "kau tidak usah ikut campur. Justru kau dan kawan-kawanmulah yang aku harapkan akan dapat menjadi saksi sekarang ini. Apakah benar bahwa Agung Sedayu memiliki ilmu seperti yang disangka orang, yang mampu melampaui kemampuan orang-orang terpenting dalam pasukan orang-orang yang mengaku dirinya pewaris kerajaan Majapahit itu."
Anak muda itupun menarik nafas dalam-dalam. Anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh itupun menyadari, bahwa ternyata Prastawa merasa kurang yakin bahwa Agung Sedayu benar-benar telah berhasil mengejutkan para pengawal bahkan para pemimpin dari Tanah Perdikan Menoreh, dari Mataram dan dari Sangkal Putung.
Namun dalam pada itu. Agung Sedayu mengeluh didalam hati. Bahkan ia berdesah didalam dadanya, "Apakah jika aku sampai di Sangkal Putung, Swandarupun akan memperlakukan aku seperti ini ?"
Namun dengan suara yang berat mendatar ia berkata kepada anak anak muda Tanah Perdikan Menoreh, "Prastawa telah salah paham. Aku sudah mengatakan, bahwa aku bukan apa-apa. Jika ada orang-orang yang terbunuh dipeperangan, tentu bukan aku sendirilah yang membunuhnya, karena aku bertempur didalam kelompok-kelompok yang padat. Selebihnya, aku telah bertekat untuk tidak berbuat apa-apa, meskipun akan mengalami perlakuan yang bagaimanapun juga."
"Pengecut," teriak Prastawa. Sedangkan jawab Agung Sedayu benar diluar dugaannya, "Benar Prastawa. Mungkin aku memang seorang pengecut."
Rasa-rasanya dada Prastawa akan meledak. Tetapi dalam keadaan yang demikian, dihadapan saksi-saksi, ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Ia tidak dapat menyerang dan apalagi menyakiti Agung Sedayu yang sudah mengatakan, tidak akan melawan. Bahkan iapun tidak menolak ketika Prastawa berusaha membuatnya marah dan mengatakannya sebagai seorang pengecut.
Karena itu, yang dapat dilakukan Prastawa hanyalah mengumpat tidak habis-habisnya. Sekali-sekali ia masih melontarkan hinaan untuk membakar hati Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu tetap tabah. Ia selalu berusaha untuk menguasai dirinya seperti saat-saat ia mengalami perlakuan yang hampir sama dari Raden Sutawijaya.
Dalam pada itu, Prastawa yang merasa tidak berhasil memaksa Agung Sedayu untuk bertempur, menggeram, "Mudah-mudahan tidak kau ajarkan kepada anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh sifat-sifat pengecutmu itu."
Agung Sedayu tidak menjawab.
"Tetapi pada suatu saat, aku akan membuktikan, bahwa kau bukan orang yang pantas disanjung-sanjung. Sekarang kau masih dapat mempertahankan namamu dengan menghindarkan diri dari pembuktian bahwa sebenarnya kau tidak lebih dari aku dan anak-anak Tanah Perdikan Menoreh yang lain. Bahkan kau berhasil memberikan kesan yang lebih tinggi lagi pada dirimu sendiri, seolah-olah kau adalah orang yang mumpuni tetapi rendah hati. Sebenarnyalah bahwa kau memang sedang menyembunyikan kekurangan-kekuranganmu." geram Prastawa.
Agung Sedayu tetap tidak menjawab. Ia benar-benar berusaha menghindarkan diri dari kemungkinan yang sama sekali tidak diingininya itu.
Karena Agung Sedayu tetap tidak menanggapinya, maka akhirnya Prastawa itu berkata dengan nada kasar, "Jika demikian, sebaiknya kau tidak terlalu lama berada disini Agung Sedayu. Kau hanya akan mengotori Tanah Perdikan Menoreh dengan sifat-sifat licik dan pengecut. Jika kau masih saja berada disini, mungkin pada suatu saat aku benar-benar kehilangan kesabaran dan memaksamu untuk bukan saja sekedar berlatih, tetapi benar-benar berkelahi, karena jangan kau kira bahwa dengan sikap besarmu yang pura-pura itu aku menjadi segan kepadamu."
Rasa-rasanya jantung Agung Sedayu berdentang lebih keras. Betapapun juga, darahnya adalah darah muda. Namun ia masih tetap bertekad untuk tidak melayani Prastawa, apapun yang akan diperbuatnya.
Dalam kepepatan, Prastawapun kemudian menghentakkan tinjunya. Namun iapun kemudian melangkah cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu. Dipandanginya anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang masih tetap tinggal bersamanya.
Meskipun demikian, rasa-rasanya memang ada jarak antara dirinya dengan anak-anak muda itu justru karena sikap Prastawa. Anak-anak muda itu pada saat-saat selanjutnya akan tetap berada dibawah pimpinan Prastawa. Jika kehadirannya akan dapat memberikan kesan yang lain terhadap Prastawa, atau jika pada suatu saat Prastawa berhasil meyakinkan sikapnya kepada anak-anak muda itu, maka ia memang akan menjadi orang lain bagi Tanah Perdikan Menoreh.
Karena itu, maka selagi masih ada kesempatan, ia ingin meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh dengan baik dan tanpa kesan yang dapat menodai hubungannya dengan Tanah Perdikan Menoreh untuk seterusnya.
Ketika Prastawa telah tidak nampak lagi. maka Agung Sedayupun kemudian berkata, "Aku minta maaf, bahwa barangkali sikapku memang tidak menyenangkan."
Tetapi anak muda yang umurnya paling tua itupun berkata, "Tidak Agung Sedayu. Kau tidak bersalah."
Meskipun demikian. Agung Sedayu tidak berani menanggapinya. Jika ia menyebut kekurangan Prastawa, maka mungkin ia akan justru terjebak dalam keadaan yang sulit. Jika anak itu pada suatu saat menemukan kecocokan dengan Prastawa, maka semuanya tentu akan disampaikannya kepada anak muda yang tinggi hati itu.
Itulah sebabnya, maka Agung Sedayu tetap berhati-hati. Bahkan kemudian dengan hati yang berdebar-debar ia berkata, "Kawan-kawan, agaknya aku memang harus meninggalkan. Tanah Perdikan ini dengan segera."
"Tetapi kau berjanji untuk tinggal di sini tiga hari lagi," sahut anak muda yang lain.
"tiga hari itu saja. Tetapi agaknya keadaanku tidak sebaik yang aku sangka. Pada suatu saat mungkin akan dapat timbul persoalan-persoalan yang tidak kita kehendaki bersama." Agung Sedayu termangu-magu sejenak. Namun kemudian ia melanjutkan, "Karena itu. apa yang sudah aku sampaikan kepada kalian akan dapat kalian kembangkan sendiri."
Besok pagi-pagi benar, aku akan meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh, kembali ke Sangkal Putung, untuk seterusnya kepadepokan kecilku. Adikku tentu sudah lama menunggu. Apalagi jika ia mengetahui bahwa guru sudah lebih duhulu kembali."
Anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh sebenarnya masih ingin menahannya. Tetapi merekapun menyadari, bahwa hubungan antara Agung Sedayu dan Prastawa yang masih sangat muda itu agaknya kurang baik. Meskipun mereka tidak tahu sebabnya dengan pasti. Ada diantara mereka yang meraba-raba. bahwa hubungan itu sudah terlalu buruk sejak ayah Prastawa masih bersikap menentang kekuasaan Ki Gede Menoreh. Tetapi ada pula yang berpendapat, bahwa Prastawa menjadi iri hati atas keberhasilan Agung Sedayu.
Karena itulah, maka anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh tidak berusaha lagi untuk menahan Agung Sedayu. Betapapun keinginan mereka untuk mendapat sekedar tambahan petunjuk-petunjuk tentang kanuragan dan gelar perang, namun mereka tidak dapat mengesampingkan sikap Prastawa, sehingga Agung Sedayu harus menahan hati.
Meskipun demikian ada juga diantara mereka yang justru menjadi cemas, apakah Prastawa justru tidak mempergunakan kesempatan perjalanan Agung Sedayu yang seorang diri kembali kepadepokan kecilnya. Jika hati Prastawa masih tetap panas, maka ia akan dapat berbuat diluar sadarnya disaat Agung Sedayu diperjalanan.
Buku 112 DEMIKIANLAH. maka Agung Sedayupun kemudian menghadap Ki Gede Menoreh ketika ia berada kembali di rumah Ki Gede itu. Rasa-rasanya ia tidak dapat bertahan lebih lama lagi, meskipun hanya semalam.
Hatinya menjadi berdebar-debar ketika Prastawapun kemudian hadir pula menemuinya dipendapa. Sekaligus Agung Sedayu sempat memandang wajah anakmuda yang buram itu.
Tetapi Agung Sedayu sama sekali tidak ingin mengatakan kepada Ki Gede Menoreh, bahwa sikap Prastawalah yang telah memaksanya mempercepat meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh.
Semula Ki Gede Menoreh berusaha untuk menahannya. Seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu sendiri, ia masih akan tinggal untuk dua tiga hari lagi. Namun tiba-tiba saja ia telah merubah keputusannya dan kembali ke Kademangan Sangkal Putung.
Tetapi Agung Sedayu tidak lagi merubah niatnya. Dengan nada datar ia berkata, "Guru tentu sudah menunggu aku. Bahkan mungkin guru menjadi gelisah. Sedangkan dipadepokan kecil yang akan bangun bersama guru, adikku telah menunggu aku pula. Akulah yang menbawanya kepadepokan kecil itu. sehingga jika aku terlalu lama pergi, mungkin ia akan merasa jemu tinggal dipadepokan itu."
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, "Kerinduan memang kadang-kadang bagaikan memanggil kita untuk segera datang. Apalagi kerinduan rangkap seperti angger Agung Sedayu. Adiknya memang sudah lama menunggu. Tetapi selain adiknya, tentu masih ada lagi yang menunggunya."
Anak-anak muda yang ada dipendapa itupun tersenyum. Namun berbeda dengan mereka, wajah Prastawa menjadi merah. Terasa sesuatu bagaikan melonjak didalam dadanya.
Tiba-tiba saja wajah Sekar Mirah telah membayang didalam angan-angannya. Ia sadar sepenuhnya, bahwa antara Sekar Mirah dan Agung Sedayu telah terjalin suatu ikatan batin. Namun rasa-rasanya ia tidak ikhlas mendengar kedua-duanya itu dihubung-hubungkan dalam keadaan yang bagaimanapun juga.
Tetapi Prastawa masih dapat menahan hatinya, ia berusaha untuk melenyapkan kesan itu dari wajahnya. Bagaimanapun juga ia masih tetap sadar bahwa ia tidak akan dapat berdiri diantara kedua nama yang sudah bertaut itu.
Demiklanlah, maka Ki Gede tidak dapat menahan lagi agar Agung Sedayu tetap tinggal di Tanah Perdikan Menoreh meskipun hanya untuk dua tiga hari lagi. Karena itulah maka iapun kemudian hanya dapat mengucapkan terima kasih atas kehadirannya di Tanah Perdikan menoreh dan berada didalam pasukan para pengawal Tanah Perdikan itu saat-saat mereka berada dilembah yang gawat antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.
Selebihnya Agung sedayu telah manberikan banyak petunjuk bagi para pengawal baik secara pribadi maupun sebagai kelomnok dalam gelar perang.
Malam menjelang keberangkatan Agung Sedayu, anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh berkumpul dipendapa rumah Kepala Tanah Perdikannya. Mereka ingin mengucapkan terima kasih kepada Agung Sedayu atas segalanya yang pernah ia berikan bagi Tanah Perdikan itu.
Hampir semalam suntuk Agung Sedayu justru tidak dapat tidur. Sampai menjelang fajar. masih ada anak-anakmuda yang duduk dipendapa. Namun Ki Gedelah yang kemudian mempersilahkan Agung Sedayu untuk beristirahat, meskipun hanya sebentar.
Prastawa yang melihat sambutan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh kepada Agung Sedayu merasa jantungnya semakin bergejolak. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa, Ki Gede Menoreh seakan-akan memberikan tempat yang amat baik bagi Agung Sedayu di Tanah Perdikan itu, sehingga hampir-hampir melupakannya.
Meskipun Ki Gede sudah nampak memberikan kepercayaan kepadanya terutama saat pasukan Tanah Perdikan Menoreh berada dilemhah antara Gunung Merapi dan Merbabu, namun Ki Gede menjadi sangat berbangga kepada Agung Sedayu.
"Secara kebetulan Agung Sedayulah yang telah menjumpai orang-orang tua yang tidak memiliki kelebihan apapun juga itu, sehingga karena itulah maka orang-orang Tanah Perdikan Menoreh menganggap bahwa Agung Sedayu adalah anak muda yang perkasa," geram Prastawa didalam hatinya.
Ketika Matahari kemudian terbit di Timur, maka Agung Sedayupun telah berkemas. Ia masih sempat tidur meskipun hanya sejenak, sehingga tubuhnya terasa men jadi segar.
"Aku akan singgah barang sejenak di Mataram," berkata Agung Sedayu kepada Ki Gede ketika ia sudah siap untuk berangkat.
"Salamku buat Senapati Ing Ngalaga, serta Ki Juru Martani dan para pemimpin di Mataram," berkata Ki Gede M enoreh.
"Baiklah Ki Gede. Aku akan menyampaikannya," Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu sekali lagi minta diri kepada Ki Gede dan para bebahu di Tanah Perdikan Menoreh. Anak-anak mudapun banyak pula yang hadir dihalaman rumah Ki Gede untuk melepas Agung Sedayu meninggalkan Tanah Perdikan itu.
Betapapun geramnya hati Prastawa, namun ia berada juga diantara anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh dan melepas Agung Sedayu sampai keregol halaman.
"Dua orang pengawal akan mengawaninya sampai ketepi sungai Praga," berkata Ki Gede.
"Ah. terima kasih Ki Gede, Agaknya hanya akan merepotkan mereka saja. Biarlah aku berjalan sendiri."
"Bukan untuk mengawal," berkata Ki Gede, "mereka tidak ada gunanya bagimu. Tetapi sekedar menjadi kawan berbincang disepanjang jalan sampai ketepi Sungai."
Agung Sedayu tidak dapat menolak. Karena itu, maka diperjalanannya ia disertai dua orang pengawal yang dapat menjadi kawan bercakap-cakap disepanjang jalan sampai ketepi Kali Praga.
Sebenarnya terasa berat juga hati Agung Sedayu meninggalkan Tanah Perdikan itu. Ada sesuatu yang rasa-rasanya mengikatnya diatas Tanah Perdikan itu, meskipun sebenarnya ia tidak mempunyai banyak sangkut paut dengan Tanah itu. Ia orang lain bagi Tanah Perdikan Menoreh meskipun ia sudah mengenalnya dengan baik seperti ia mengenal tempat tinggalnya sendiri.
Telah menjadi keputusan Agung Sedayu, bahwa ia akan singgah di Mataram meskipun hanya sejenak. Ia ingin bertemu dengan Raden Sutawijaya dan melihat perkembangan keadaan setelah beberapa hari mereka menyelesaikan tugas mereka dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.
Dalam pada itu, disepanjang jalan, para pengawal yang mengantarkan Agung Sedayu masih memanfaatkan pertemuan mereka yang hanya tinggal sejenak itu. Mereka bertanya tentang berbagai hal mengenai bentuk-bentuk gelar dimedan dan mengenai jenis-jenis senjata dan penggunaannya.
Agung Sedayu mencoba untuk menjawab semua pertanyaan mereka, meskipun kadang-kadang ia sendiri terpaksa menggelengkan kepalanya sambil berkata, "Maaf, aku tidak mengerti. Aku belum pernah melihat jenis senjata yang kau tanyakan."
Perjalanan Agung Sedayu ternyata tidak terlampau panjang ketika kemudian ia mencapai tepi Kali Praga. Dengan hati yang berat maka iapun kemudian minta diri kepada kedua pengawalnya untuk turun ke getek yang akan membawanya menyeberang.
"Selamat jalan Agung Sedayu. Mudah-mudahan kau tidak lama lagi sudah berada di Tanah Perdikan Menoreh pula," berkata salah seorang pengawal yang menemuinya.
Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, "Mudah-mudahan. Aku memang ingin kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Aku ingin membawa adik sepupuku berjalan-jalan menyusur jalan yang agak panjang agar ia dapat mengenal lingkungannya."
"Benar " Bawalah adikmu ke Tanah Perdikan Menoreh. Ki Gede tentu akan senang sekali menerimanya."
Agung Sedayu tersenyum. Namun katanya kemudian, "Sudahlah. Selamat tinggal."
"Kedua pengawal itupun melepaskan Agung Sedayu menyeberang diatas sebuah rakit bambu. Sejenak keduanya masih berdiri ditepian sambil melambaikan tangan.
Agung Sedayupun melambaikan tangannya pula. Anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh itu seolah olah sudah menjadi saudara-saudaranya yang dekat.
Namun akhirnya kedua pengawal itupun meninggalkan tepian. dan berkuda kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.
"Aku tidak dapat mengerti sikap Prastawa," desis salah seorang dari mereka.
"Mungkin ia meragukan keunggulan Agung Sedayu," jawab yang lain.
"Jika ia hanya meragukan, itu masih lebih baik daripada jika sebenarnya ia merasa iri atas keberhasilan Agung Sedayu," desis kawannya.
Yang lain tidak menjawab. Namun nada umumnya memang ada kesan yang kurang baik terhadap anak muda itu. Anak muda yang sebenarnya mempunyai beberapa kelebihan dari kawan-kawannya.
Tetapi sikapnya dan tingkah lakunya telah menumbuhkan kegelisahan diantara anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh.
Bahkan bukan saja anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh, karena akhirnya yang terjadi itu sampai juga ketelinga Ki Gede. Beberapa orang anak muda tidak dapat menahan hatinya, dan disaat Prastawa tidak menghadap Ki Gede, anak-anak muda itu telah menanyakan apakah sebabnya Prastawa bersikap demikian.
Tetapi senerti anak-anak muda itu, Ki Gede Menorehpun hanya dapat meraba-raba. karena iapun tidak tahu pasti apa yang terkandung didalam hati anak muda itu.
Namun demikian Ki Gede Menoreh sama sekali tidak ingin bertanya kepada Prastawa. karena ia tidak ingin melihat pertentangan itu meluas diantara anak-anak muda di Tanah Perdikan itu sendiri. Jika Prastawa mengetahui bahwa ada satu dua orang yang menyampaikan persoalannya itu kepada Ki Gede. maka Prastawa tentu akan marah dan dengan curiga akan mencari siapakah yang telah mengatakannya kepada Ki Gede Menoreh.
Tetapi Ki Gede sudah bertekad untuk menjajagi hati anak muda itu dengan hati-hati dan tidak menimbulkan goncangan perasaan padanya.
Sementara itu. Agung Sedayu yang telah menyeberangi Kali Praga telah melanjutkan perjalanannya ke Mataram. Diperjalanan ia sama sekali tidak mengalami gangguan apapun. Agaknya jalan ke Mataram benar-benar merupakan jalan yang tenang.
Demikian pula saat Agung Sedayu mendekati Kota Mataram. Kota yang sedang tumbuh itu nampak tenang dan hidup. Sawah yang luas nampak hijau dan basah, sedangkan di jalan-jalan dan bulak-bulak panjang nampak beberapa buah pedati berjalan perlahan-lahan memuat hasil-hasil sawah yang melimpah pulang kerumah masing-masing.
"Mataram memang suatu negeri yang sedang tumbuh dan akan menjadi besar," gumam Agung Sedayu. Lalu. "Agaknya wahyu keraton memang mungkin sekali berpindah dari Pajang ke Mataram. Pajang yang semakin suram akan menjadi silam melihat perkembangan Mataram. Apalagi di Pajang sendiri terdapat benih-benih yang akan dapat melumpuhkan kekuasaan Pajang itu sendiri."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam jika ia mengenangkan sikap Raden Sutawijaya yang berkeras tidak mau menghadap ke Pajang. Bahkan kemudian timbul pula suatu pertanyaan, "Apakah Raden Sutawijaya justru telah membuat perhitungan-perhitungan tertentu yang dapat melampaui perjalanan waktu, sehingga Raden Sutawijaya telah berani mengambil sikap terhadap Pajang sejak sekarang ?"
Tetapi pengamatan atas perkembangan Pajang memang tidak menggembirakan. Memang beberapa Adipati dipesisir dan di bagian Timur dari daerah Pajang masih tetap merupakan kekuatan yang harus diperhitungkan. Tetapi rasa-rasanya ikatan diantara mereka sudah menjadi semakin kendor. Apalagi Pajang tidak lagi berusaha meneruskan langkah Sultan Trenggana di Demak yang terbunuh di medan saat ia berjuang untuk mempererat ikatan kesatuan Demak di tataran terakhir.
Dan kini. Pajang justru menjadi semakin suram.
Angan -angan Agung Sedayu terputus ketika ia mendekati gerbang kota Mataram. Dilihatnya seorang pengawal berdiri bersandar dinding batu tanpa menghiraukan orang-orang yang melewati pintu gerbang.
Namun hal itu bagi Agung Sedayu merupakan pertanda, bahwa Mataram benar-benar dalam keadaan tenang.
Meskipun demikian, Agung Sedayu berdesis didalam hatinya, "Baru saja pertempuran dilembah itu berakhir. Tidak semua orang dipasukan lawan dapat ditangkap. Bahkan mungkin mereka dapat berhubungan dengan pihak-pihak tertentu untuk melepaskan dendamnya, mengacaukan Mataram meskipun mereka yakin tidak akan dapat berbuat lebih dari pada itu."
Tetapi Agung Sedayu tidak berbuat sesuatu. Ia lewat melalui pintu gerbang, seperti orang-orang lain lewat.
Namun ternyata Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Nalurinya yang tajam telah menangkap isyarat, bahwa ternyata beberapa orang yang berada disepanjang jalan, yang seolah-olah sekedar berjalan-jalan tanpa tujuan, adalah petugas-petugas sandi dari Mataram.
Apalagi ketika tiba-tiba saja ia melihat seseorang yang duduk dibawah sebatang pohon sambil terkantuk-kantuk. Ditangannya tergenggam sebatang tongkat yang panjang.
Agung Sedayu tidak dapat dikelabui oleh pakaian yang sederhana dan sikap yang malas. Karena itu, maka iapun kemudian menghentikan kudanya, dan menuntun mendekati orang itu. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, maka Agung Sedayu langsung duduk disebelah orang itu sambil memegangi kendali kudanya.
Orang itu memandang Agung Sedayu dengan heran. Bahkan kemudian ia bergeser sambil bertanya, "Siapa kau anak muda?"
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tersenyum sambil menjawab, "Namaku Ki Banaran."
Orang yang berpakaian sederhana dan bermalas-malas dipinggir jalan itu menatap Agung Sedayu dengan tajamnya. Namun kemudian desisnya, "Pandangmu tajam sekali anak muda. Aku kira kau tidak mengenal aku lagi."
Agung Sedayu tertawa. Katanya, "Meskipun kau memakai samaran apapun juga, aku tidak akan dapat kau kelabui. Hidungmu mempunyai ciri tersendiri. Tatapan matamu seperti tatapan mata burung hantu. Sedangkan gelang sulur waringin tunggal dikakimu semakin meyakinkan aku, bahwa aku berhadapan derigan Ki Banaran."
Orang yang disebut Ki Banaran itu akhirnya tersenyum. Katanya, "Luar biasa. Hanya anak muda yang luar biasa sajalah yang dapat mengenalku. Baiklah. Aku tidak dapat ingkar lagi."
"He. apakah masih ada niatmu untuk ingkar?" bertanya Agung Sedayu.
"Jangan terlalu keras. Bukankah kau tahu, bahwa aku sedang bertugas ?"
"Ya. Tetapi apakah yang sedang kau cari disini ?"
Ki Banaran mengerutkan keningnya. Namun katanya kemudian, "Kau akan menghadap Senapati Ing Ngalaga ?"
"Ya. Aku baru datang dari Tanah Perdikan Menoreh."
"Sejak pertempuran di lembah"," bertanya Ki Banaran.
"Ya. Bukankah baru beberapa hari?"
Ki Banaran mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk.
"Apa kerjamu disini?" bertanya Agung Sedayu kemudian.
Ki Banaran menjadi ragu-ragu. Sejenak ia memandang Agung Sedayu, seakan-akan ia sedang meyakinkan apakah ia dibenarkan untuk mengatakan sesuatu kepada anak muda itu.
"Kau curiga kepadaku" Atau barangkali kau benar-benar tidak yakin bahwa aku Agung Sedayu?"
Ki Banaran menarik nafas panjang. Katanya kemudian, "Aku mengerti. Tetapi rasa-rasanya ragu-ragu juga untuk mengatakan."
Agung Sedayu tersenyum, dan Ki Banaran berkata, "Sebenarnya tugasku sekarang sudah tidak berarti. Tetapi sekedar sikap hati-hati. Apa petugas sandi dari Pajang yang berada di Mataram. Tetapi petugas itu sudah kembali ke Pajang. Meskipun demikian, mungkin ada petugas-petugas lain yang datang kemudian diluar pengetahuan kita."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, "Itulah sebabnya ada beberapa petugas sandi yang tersebar."
"Tidak diseluruh kota. Hanya di pintu-pintu gerbang. Disini ada tiga orang petugas sandi untuk mengawasi orang-orang yang keluar masuk pintu gerbang. Mungkin ada yang mencurigakan seperti kau."
Agung Sedayu tersenyum pula. Katanya, "Ada tiga orang disetiap pintu gerbang. Agaknya sudah cukup. Tetapi apakah kau pernah melihat orang-orang yang pantas dianggap sebagai petugas sandi dari Pajang atau dari manapun juga?"
"Pernah. Kau." Agung Sedayu tertawa. Katanya, "Kau tidak pantas menjadi petugas sandi. Tetapi baiklah aku melanjutkan perjalanan. Apakah ada keterangan lain?"
"Bertanyalah kepada Senapati Ing Ngalaga. Pajang menganggap kita sudah bersiap untuk bertempur dan memberontak. Itulah sebabnya maka mereka mengirimkan petugas sandinya kemari untuk melihat persiapan itu."
Wajah Agung Sedayu menjadi tegang. Dengan sungguh-sungguh ia bertanya, "Dan petugas sandi itu melihat pasukan yang datang dari lembah" Pasukan Mataram dan Sangkal Putung?"
Ki Banaran menggeleng. Katanya, "Pergilah menghadap Senapati. Kau akan mendapat banyak keterangan. Tetapi tidak disini. Batang-batang kayu itu mungkin bertelinga."
"Sementara kau sendiri tidak," desis Agung Sedayu.
Ki Banaran mengerutkan keningnya. Namun sambil tersenyum iapun kemudian berkata, "Sudahlah. Pergilah. Jika kau ingin singgah di warung-warung, mungkin masih ada satu dua yang dapat melayanimu."
Agung Sedayu kemudian bangkit berdiri sambil berkata, "Selamat tinggal. Duduklah disitu sampai matahari terbenam. Itu adalah tugasmu."
Ki Banaran mengerutkan keningnya. Namun Agung Sedayu tersenyum. Ia senang melihat Agung Sedayu. Anak muda yang ramah namun memiliki kemampuan yang luar biasa, meskipun pada saat-saat tertentu anak muda itu dapat kehilangan kemampuan untuk mengambil sikap yang menentukan.
Ki Banaran melambaikan tangannya ketika Agung Sedayu meloncat kepunggung kudanya dan berderap meninggalkannya.
Sepeninggal Agung Sedayu, Ki Banaran kembali duduk pada sikapnya. Malas dan seolah-olah tidak acuh terhadap orang-orang yang lewat. Ternyata selain Agung Sedayu. tidak seorangpun yang dapat mengenalnya karena penyamarannya, karena orang-orang Mataram tidak mengira, bahwa Ki Banaran seorang dari para pemimpin pasukan pengawal Mataram berpakaian sangat sederhana dan duduk bermalas-malas dipinggir jalan, seperti tingkah laku orang-orang malas yang menghabiskan waktunya tanpa arti.
Sementara itu Agung Sedayu telah memacu kudanya meskipun tidak terlalu cenat, karena ia sudah berada didalam kota. Ia ingin segera menghadap Raden Sutawijaya untuk mendengarkan keterangannya tentang petugas-petugas sandi dari Pajang dan sikap Pajang terhadap Mataram pada saat saat-saat terakhir.
Kedatangan Agung Sedayu di rumah Raden Sutawijaya ternyata telah mendapat sambutan yang baik sekali. Raden Sutawijaya menjadi sangat gembira karena kedatangannya. Bahkan orang-orang tua di Matarampun telah memerlukan menerima kedatangannya. Ki Juru Martani. Ki Lurah Branjangan. Ki Lurah Dipayana dan beberapa orang pemimpin lainnya telah berkumpul untuk menyambut kedatangan Agung Sedayu.
Sejenak mereka saling menanyakan keselamatan masing-masing seperti yang selalu dilakukan oleh mereka yang bertemu kembali setelah terpisah beberapa saat.
Setelah Agung Sedayu disuguhi sekedar minum dan beberapa potong makanan, maka mulailah mereka berbicara tentang berbagai macam persoalan yang merambat kepada persoalan yang dihadapi disaat terakhir oleh Mataram.
"Aku bertemu dengan Ki Banaran," berkata Agung Sedayu.
Ki Juru Martani mengerutkan keningnya. Dengan nada dalam ia bertanya, "Dimana angger menjumpainya?"
"Dipintu gerbang." jawab Agung Sedayu.
"Apakah yang dilakukannya"," bertanya Ki Juru kemudian.
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya dengan tersenyum, "Ia sedang bertugas."
Ki Lurah Branjangan memotong, "Dan kau dengan mudah dapat mengenalnya sebagai Ki Banaran, atau Ki Banaran yang telah menegurmu?"
Agung Sedayu termangu-mangu. Tetapi ia sudah terlanjut berbicara tentang Ki Banaran. Baru kemudian ia sadar, bahwa seharusnya tidak semudah itu untuk dapat mengenalnya, akan dengan mudah dapat mengetahui, bahwa Mataram mengadakan pengawasan yang ketat.
Tetapi sebelum Agung Sedayu menjawab Ki Juru Martani telah mendahului, "Jangan heran jika angger Agung Sedayu mampu mengenalnya. Ia mempunyai ketajaman pengenalan lebih dari orang kebanyakan."
"Ah," desah Agung Sedayu, "bukan karena itu Ki Juru. Tetapi ada ciri yang aku kenal baik. karena sebelumnya aku pernah mempercakapkan dengan Ki Banaran sendiri."
"Apa"," bertanya Ki Lurah Branjangan.
"Gelang sulur wringin tunggul dikakinya. Bukankah jarang orang yang bergelang dikakinya bagi seorang laki-laki?" jawab Agung Sedayu.
Orang-orang yang mendengarnya mengangguk-angguk. Jawaban Agung Sedayu memang masuk akal. Tetapi bahwa seseorang langsung dapat melihat gelang dikaki orang lain adalah sesuatu yang sangat kebetulan.
Meskipun demikian, orang-orang yang berkumpul menemui Agung Sedayu itu tidak bertanya lebih jauh.
Yang kemudian mereka bicarakan adalah sikap Pajang yang penuh curiga, meskipun pada umumnya para pemimpin di Mataram menyadari, bahwa ada orang-orang tertentu yang telah menghasut dan memanaskan keadaan.
Agaknya pembicaraan mereka jadi berkepanjangan. Agung Sedayu memang berminat untuk bermalam di Mataram, agar ia dapat mendengar banyak keterangan yang barangkali sangat diperlukan.
Dari Raden Sutawijaya sendiri. Agung Sedayu mendengar usaha para petugas sandi dari Pajang yang telah datang ke Mataram tepat pada saat pasukan Mataram dan Sangkal Putung datang dari medan perang.
Agung Sedayu mendengarkan keterangan Raden Sutawijaya itu dengan saksama. Ketajaman nalarnya segera dapat menangkap peristiwa yang terjadi sebagai latar belakang dari usaha para petugas sandi untuk melihat Mataram dalam kesiagaan perang.
Untunglah bahwa kesalah pahaman yang semakin jauh masih dapat dihindari. Pasukan Mataram dan Sangkal Putung masih dapat disamarkan sehingga petugas sandi dari Pajang tidak sempat melihat mereka. Dan beruntunglah bahwa di Pajang masih ada seorang tua yang bernama Kiai Kendil Wesi.
Tetapi lebih dari itu, maka kesempatan yang memang telah diberikan oleh Sultan sendiri kepada Mataram, merupakan sikap yang sangat menguntungkan. Bukan saja bagi Mataram, tetapi juga bagi Pajang sendiri. Bagi pihak yang tidak ingin melihat benturan antara Pajang dan Mataram terjadi.
"Selanjutnya kita masih harus berhadi-hati," berkata Raden Sutawijaya, "kami di Mataram selalu berusaha memelihara hubungan dengan Kiai Kendil Wesi. Tetapi Kiai Kendil Wesi sudah terlalu tua."
"Apakah tidak ada orang lain yang dapat dipercaya"," bertanya Acung Sedayu.
"Kita masih sedang menjajagi keadaan. Tetapi bahwa orang tua itu sangat dekat dengan ayahanda Sultan, adalah suatu kesempatan yang jarang didapat oleh orang lain. Apalagi dengan sadar ayahanda Sultan telah mempergunakan orang itu untuk memberikan keterangan yang kami perlukan di Mataram."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat keadaan yang aneh dalam hubungan antara Pajang dan Mataram Sultan Hadiwijaya sendiri seolah-olah telah berpihak kepada Mataram yang sedang berkembang itu.
Namun dengan demikian, nampak jelas, bahwa kekuasaan Sultan Hadiwijaya di Pajang benar-benar telah dibatasi oleh orang-orang yang ada disekitamya. sehingga wibawanyapun telah jauh berkurang. Ia tidak dapat menentukan sikap seperti yang diinginkannya. Bahkan ia harus melakukan hubungan yang dirahasiakan dengan Mataram.
Tetapi tidak kalah anehnya adalah sikap Raden Sutawijaya sendiri. Ayahanda angkatnya ternyata sangat memperhatikannya. Ia lebih percaya kepada anak angkatnya yang telah memisahkan diri daripadanya itu daripada kepada setiap orang disekitamya.
"Sultan Hadiwijaya telah hidup dalam keterasingan yang mewah di istana Pajang," berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri.
Ki Juru Martani melihat gejolak didalam hati Agung Sedayu. Tetapi ia tidak mengerti, apa yang sedang dipikirkan oleh anak muda itu. Namun Ki Juru tidak menanyakannya, karena Agung Sedayu tentu tidak akan mengatakannya.
Sementara itu. pembicaraan diantara mereka masih berlangsung beberapa lama Namun kemudian. Ki Juru Martani mempersilahkan Agung Sedayu untuk beristirahat.
Agung Sedayu yang memang berniat bermalam di Mataram itupun kemudian dipersilahkan kedalam bilik yang telah disediakan kepadanya. Setelah membersihkan diri dan menunaikan kewajibannya, maka iapun beristirahat sejenak didalam biliknya sambil berangan-angan.
Setiap kali perasaannya selalu diganggu oleh hubungan yang aneh antara Pajang dan Mataram. Seharusnya Raden Sutawijaya dapat mengambil sikap lain sehingga kekalutan yang diam-diam di Pajang tidak berkepanjangan.
Namun agaknya Raden Sutawijaya memang sudah tidak berminat lagi untuk mempertahankan kehadiran Pajang, sehingga ia telah mengambil suatu sikap yang telah diyakini kebenarannya.
Bahkan Agung Sedayu kemudian sampai pada suatu kesimpulan, bahwa Raden Sutawijaya telah tidak dapat lagi mempercayai siapapun di dalam lingkungan istana Pajang, sehingga ia lebih baik mulai dari yang baru sama sekali, meskipun ada juga terbersit keinginannya untuk berdiri pada namanya sendiri. Bahkan Raden Sutawijayalah yang telah mendirikan Mataram.
Dalam kekalutan itu, terbayang didalam angan-angannya, kakaknya Untara. Seorang Senapati yang berpegang teguh pada dasar-dasar keprajuritannya. Namun karena ia berada diluar istana Pajang, maka ia agaknya tidak banyak mengikuti persoalan-persoalan yang berkembang didalam istana. Bahkan mungkin beberapa orang perwira yang lebih tua, baik umurnya maupun kedudukannya, dengan sengaja memisahkan Untara dari peristiwa-peristiwa yang sebenarnya bergejolak didalam istana Pajang.
Sesaat terbersit didalam hati Agung Sedayu pertanyaan, apakah tidak ada baiknya jika Untara dapat langsung berhubungan dengan Sultan Hadiwijaya. Mungkin Untara mempunyai kemampuan untuk bertindak sesuatu. Sudah barang tentu ia memerlukan beberapa orang kawan.
Namun Agung Sedayu tidak dapat membayangkan, apakah jadinya jika hal itu dapat diketahui oleh pihak-pihak yang berbeda pendapat. Maka dengan demikian, pertengkaran didalam istana itu akan semakin cepat meledak. Masing-masing pihak dengan pengikutnya akan segera terlibat dalam pertempuran yang akan dapat menghancurkan Pajang sama sekali, sebelum seseorang bangkit untuk mengambil alih kedudukan Sultan Hadiwijaya.
"Ya. Orang itu memang harus ada," tiba-tiba saja terbersit didalam hati AgungSedayu.
Dan Agung Sedayu tidak melihat orang lain kecuali Raden Sutawijaya meskipun Sultan Hadiwijaya sendiri mempunyai seorang putera. Tetapi Pangeran Benawa seperti yang pernah dianggap oleh Agung Sedayu. sama sekali tak tertarik pada tata pemerintahan meskipun sebagai seorang anak muda ia memiliki ilmu yang tidak kalah dari Sutawijaya.
Selagi Agung Sedayu merenungi angan-angannya, ia terperanjat ketika seseorang berdiri dimuka pintu. Ketika ia mengangkat wajahnya, maka dilihatnya Ki Juru Martani memandanginya sambil tersenyum.
"Apakah yang sedang kau renungkan ngger"," bertanya Ki Juru.
Agung Sedayupun mencoba untuk tersenyum.
"Apakah kau tidak ingin berjalan-jalan di halaman"," bertanya Ki Juru Martani.
.Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk sambil berdiri "Baiklah Ki Juru. Aku memang ingin menghirup udara sejuk diluar."
Keduanyapun kemudian meninggalkan bilik itu. Beberapa orang telah menyalakan lampu minyak di ruang-ruang dalam dan kemudian lampu-lampu minyak didalam bilik-bilik.
Ketika Agung Sedayu dan Ki Juru Martani melintas dihalaman dan berdiri diregol, beberapa orang pengawal mengangguk hormat.
"Kami akan berjalan-jalan," desis Ki Juru, "angger Agung Sedayu ingin melihat kota ini menjelang malam."
Pemimpin pengawal diregol itu mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia bertanya sesuatu, Ki Juru sudah mendahuluinya, "Kami akan berjalan-jalan berdua saja. Kami tidak usah mendapat pengawalan, karena kami tidak akan berjalan jauh. Apalagi angger Agung Sedayu telah menempuh perjalanan dari Tanah Perdikan Menoreh juga tanpa pengawalan."
Pemimpin pengawal diregol itu termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian tersenyum. Sambil mengangguk hormat ia berkata, "Silahkan Ki Juru."
Ki Jurupun tersenyum pula. Sambil menggamit Agung Sedayu ia berkata, "Marilah. Kita berjalan-jalan."
Agung Sedayupun kemudian mengikuti Ki Juru melangkah di jalur jalan induk Kota Mataram.
Dari pintu pintu rumah yang masih terbuka, cahaya lampu meloncat keluar menerangi daun-daun pepohonan. Dibeberapa buah regol. lampu-lampu obor menerangi jalan dengan sinarnya yang samar.
Ki Juru Martani. dan Agung Sedayu berjalan perlahan-lahan. Di.saat matahari baru saja terbenam, masih nampak beberapa orang berjalan tergesa-gesa. Tetapi ada juga yang berjalan-jalan lambat membimbing anaknya untuk mengunjungi sanak kadang atau tetangga.
Dalam samarnya ujung malam, orang-orang yang lewat dan berpapasan berseberangan jalan tidak segera dapat mengenal yang satu dengan yang lain, kecuali mereka yang hampir setiap saat bergaul. Itulah sebabnya, maka tidak seorangpun yang mengenal, bahwa dua orang yang berjalan-jalan perlahan-lahan disepanjang jalan kota itu adalah Ki Juru Martani dan Agung Sedayu.
Meskipun Kota Mataram sudah menjadi semakin ramai, tetapi dimalam hari. jalan-jalan menjadi lengang. Tidak banyak orang yang berkepentingan dan turun kejalan dalam gelap.
"Jalan-jalan di Mataram masih sunyi di malam hari," berkata Ki Juru Martani, "tidak ada kesibukan apapun juga dimalam hari. Mungkin ada juga satu dua banjar yang ramai oleh anak-anak muda. Tetapi tidak terlalu banyak. Meskipun demikian, sebentar lagi. sebelum tengah malam, gardu-gardu akan menjadi penuh."
"Penuh dengan pengawal"," bertanya Agung Sedayu.
"Bukan. Tetapi anak-anak muda mulai turun. Ada diantara mereka yang memang selalu tidur di gardu-gardu sekaligus ikut serta mengamati keamanan."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ada juga keinginannya untuk melihat banjar-banjar padukuhan yang ramai, karena kebetulan ada kegiatan tertentu dipadukuhan itu.
Ketika lamat-lamat terdengar bunyi gamelan, maka Ki Jurupun berkata, "Suara itu tentu berasal dari salah satu banjar. Mungkin anak-anak muda sedang berlatih menari untuk kepentingan tertentu bagi padukuhan itu."
"Menarik sekali," desis Agung Sedayu.
"Kau akan menyaksikan"," bertanya Ki Juru.
"Jika Ki Juru tidak berkeberatan"," jawab Agung Sedayu.
Keduanyanun kemudian berjalan menuju kearah bunyi gamelan yang semakin lama terdengar menjadi semakin nyaring.
Meskipun kaki Agung Sedayu melangkah terus, namun ia sudah merasa, bahwa Ki Juru Martani tentu bukannya tanpa maksud dengan membawanya berjalan-jalan. Namun Agung Sedayu tidak ingin menanyakannya. Biarlah pada saatnya Ki Jurulah yang akan mulai dengan sebuah pembicaraan yang tentu dianggapnya penting.
Perasaan Agung Sedayu tersentuh ketika ia melihat langit yang semakin cerah. Ternyata bahwa bulan mulai tersembul dari cakrawala dengan cahayanya yang kuning.
Padukuhan-padukuhan yang semula terasa lengang itupun mulai berubah. Beberapa orang anak-anak mulai menyembulkan kepalanya di sela-sela pintu rumahnya. Kemudian satu-satu mereka turun kehalaman.
Dengan isyarat-isyarat yang khusus dibuat oleh anak-anak kecil, maka mulailah mereka berlari-lari menuju ke halaman-halaman yang luas, setelah mereka mendapat ijin dari orang tua mereka.
Terang bulan adalah saat-saat yang sangat menyenangkan. Anak-anak itu dapat bermain sembunyi-sembunyian atau berkejar-kejaran sepuas-puasnya. Saat-saat mereka bermain, maka anak-anak kecil itu seolah-olah tidak mengenal perasaan takut meskipun kadang-kadang mereka harus bersembunyi dibawah pohon-pohon yang biasanya dianggan pohon-pohon yang keramat, atau di semak-semak yang mungkin dihuni oleh berjenis-jenis ular.
Jika anak-anak laki-laki bermain kejar-kejaran. maka anak-anak perempuan mempunyai jenis permainannya sendiri. Mereka bermain dakon atau gateng degan kerikil. Tetapi ada pula diantara mereka yang bermain jirak kemiri.
Mataram yang lengang itu tiba-tiba menjadi ramai oleh suara anak-anak yang sedang bermain-main. Yang bermain nini towong, kadang-kadang berteriak sambil berlari-lari menghindari kejaran nini towong yang dianggapnya telah kerasukan.
Agung Sedayu tiba-tiba saja menjadi semakin dalam dicengkam oleh kerinduannya kepada adik sepupunya. Glagah Putih tentu tertarik juga oleh sinar bulan yang kekuning-kuningan. Tetapi sudah barang tentu ia tidak dapat bermain seriang anak-anak dipadukuhan. karena dipadepokan itu tidak terdapat anak-anak muda yang dapat diajaknya bermain. Karena yang ada dipadepokan hanyalah anak-anak muda yang lebih terikat kepada air di parit yang mengaliri sawah daripada bermain dibawah cahaya bulan yang cerah.
Oleh angan-angannya, maka seolah-olah Agung Sedayu tidak ingat lagi bahwa ia berjalan bersama Ki Juru Martani sehingga Ki Juru itupun kemudian bertanya, "Apa yang kau pikirkan Agung Sedayu?"
Agung Sedayu tergagap. Diluar sadarnya ia berkata, "Alangkah riangnya anak-anak itu bermain Ki Juru."
Ki Juru tersenyum. Katanya, "Aku sudah menduga. Mungkin kau sedang memikirkan masa kecilmu."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia tersenyum.
"Kita sudah semakin dekat dengan suara gamelan itu. Agaknya banjar itu salah satu dari banjar dipinggir kota. sehingga kita memang harus berjalan agak panjang," berkata Ki Juru.
"Ya. Ki Juru.," jawab Agung Sedayu pendek.
Ki Juru menarik nafas panjang. Namun kemudian katanya, "Sambil berjalan, mungkin ada baiknya kita berbicara serba sedikit tentang perkembangan Mataram, Agung Sedayu."
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ia sudah menyangka bahwa pada suatu saat. Ki Juru akan mengemukakan hal yang dapat dianggapnya penting.
Karena itu. maka Agung Sedayupun berkata, "Apakah ada yang ingin Ki Juru pesankan kepadaku, atau kepada orang lain lewat aku?"
Ki Juru mengangguk-angguk sambil menjawab, "Tidak terlalu penting Agung Sedayu. Aku kira daripada masalahnya tidak aku sampaikan maka ada baiknya jika kau mendengarnya. Hanya sekedar mendengar suatu keinginan saja."
Agung Sedayu memandang Ki Juru sejenak. Namun kemudian iapun melontarkan pandangan matanya ke kuningnya sinar bulan didedaunan.
Untuk beberapa saat keduanya justru saling berdiam diri. Mereka melangkah dengan langkah-langkah lamban disepanjang jalan. Di simpang-simpang jalan mereka melihat satu dua orangyang berjalan memasuki jalan itu pula, kemudian melangkah seiring dihadapan mereka.
"Mereka akan melihat kesibukan dibanjar itu pula," berkata Ki Juru.
Agung Sedayu tergagap. Sambil mengangguk kecil ia menyahut, "Banyak juga perhatian orang terhadap latihan-latihan seperti yang diselenggarakan itu."
"Cukup banyak," berkata Ki Juru, "aku sendiri sering melihat kesibukan-kesibukan dibanjar dengan diam-diam. Bahkan angger Sutawijayapun sering melakukannya tanpa diketahui orang lain."
Agung Sedayu mengangguk-angguk.
"Kita sudah tidak jauh lagi," berkata Ki Juru, "namun aku masih ingin menyampaikan pesan itu. Barangkali dapat kau pertimbangkan."
Langkah Agung Sedayu tiba-tiba saja menjadi semakin lambat. Ia mencoba memperhatikan dengan saksama ketika Ki Juru kemudian berkata, "Angger Agung Sedayu. Seperti yang angger ketahui. Pajang justru tidak menghendaki hubungan baik antara Sultan Hadiwijaya dengan putera angkatnya Raden Sutawijaya."
Dada Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Meskipun ia sudah menduga bahwa persoalannya tentu akan merembet sampai persoalan itu pula.
"Sebenarnya, Raden Sutawijaya sendiri juga bersalah dalam hal ini. Tetapi aku sudah tidak dapat lagi memaksanya untuk memasuki kembali istana Pajang, ia termasuk anak muda yang keras kepala."
Agung Sedayu mengangguk-angguk.
"Karena itu Agung Sedayu," berkata Ki Juru lebih lanjut, "kita harus menghadapi perkembangan keadaan dengan keadaan dan kedudukan kita sekarang ini."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dan Ki Juru meneruskan, "Kita harus menyesuaikan diri dengan sikap beberapa orang perwira di Pajang, yang seperti sudah kita lihat sendiri, bahwa mereka telah menggerakkan pasukan yang kuat untuk menghancurkan Pajang dan sudah barang tentu Mataram. Berkumpulnya kekuatan di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu tentu bukannya persoalan yang berdiri sendiri. Dan apakah kau kira bahwa dengan hancurnya pasukan dilemhah itu. kekuatan mereka benar-benar sudah punah?"
Agung Sedayu berpaling. Ia merasakan pertanyaan itu bukannya sekedar pertanyaan. Dan sebenarnyalah Ki Juru meneruskan, "Bahwa masih adanya seseorang diantara para pemimpin mereka yang hidup, berarti bahwa kekuatan mereka akan segera tersusun kembali."
Terasa jantung Agung Sedayu berdentang semakin cepat. Ia sadar, bahwa memang ada salah seorang dari para pemimpin mereka yang tetap hidup. Dan itu adalah karena sikapnya yang ragu-ragu. Ia tidak bersikap sebagai seorang prajurit dipeperangan. Seandainya ia tidak membunuh, maka orang itu harus dapat ditangkapnya hidup-hidup.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat ingkar bahwa hal itu memang sudah terjadi. Dan orang yang terluka parah di peperangan itu berhasil diselamatkan oleh anak buahnya. Berbeda dengan Kiai Kelasa Sawit yang ternyata kemudian terbunuh oleh Swandaru.
Dalam cengkaman debar jantungnya. Agung Sedayu mendengar Ki Juru melanjutkan, "Tetapi jangan kau sesali dirimu. Kau sudah berbuat terlalu banyak. Justru lebih banyak dari yang dilakukan oleh Danang Sutawijaya sendiri."
"Ah," Agung Sedayu berdesah, "Ki Juru terlalu memuji."
"Tidak Agung Sedayu. Aku berkata sebenarnya. Kau dapat mempertimbangkan sendiri, apa yang telah kau lakukan, dan apa yang dilakukan oleh Raden Sutawijaya."
"Seperti yang sedang terjadi Ki Juru. Bukan saja dipeperangan. Tetapi juga didalam banyak hal, maka kesempatan merupakan sesuatu yang kadang-kadang ikut menentukan. Dan kesempatan itu datang dengan tidak dapat diperhitungkan lebih dahulu."
Ki Juru tertawa. Katanya, "Kau tidak sedang menghadapi hitungan-hitungan diperjudian. Kesempatan memang menentukan. Tetapi dipeperangan keadaannya agak berbeda meskipun yang kau maksud dengan kesempatan itu memang kadang-kadang terjadi. Namun seandainya kau tidak memiliki ilmu yang matang. apakah kau dapat mempergunakan yang kau sebut kesempatan itu sebaik-baiknya?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
"Tetapi baiklah. Kita bicara soal lain. Bukan soal apa yang telah terjadi dipeperangan. Meskipun masih juga akan selalu menyangkut hal itu," Ki Juru berhenti sejenak, lalu. "Agung Sedayu. Aku berkata sebenarnya, bahwa kemampuanmu didalam olah kanuragan sekarang tentu sudah tidak kalah dibandingkan dengan Untara."
Dada Agung Sedayu tiba-tiba saja bergetar. Tetapi ia tidak segera menjawab.
"Bukan maksudku untuk membuat perbandingan yang menyimpan arti yang kurang baik. Tetapi aku ingin mengatakan kepadamu, bahwa jika kau mau memenuhi nasehat kakakmu, maka kau akan dapat menjadi seorang prajurit yang mumpuni."
Wajah Agung Sedayu menegang sejenak. Tetapi ia masih tetap berdiam diri.
"Maksudku Agung Sedayu, jika kau dapat memantapkan suatu sikap yang barangkali dapat kau mengerti, kau akan dapat ikut menentukan hubungan antara Pajang dan Mataram untuk selanjutnya."
"Apakah yang dapat aku lakukan Ki Juru"," bertanya Agung Sedayu.
"Aku juga tidak tahu, apakah usaha ini akan dapat berhasil. Tetapi menurut perhitunganku, dengan kemampuanmu yang sukar ada bandingnya itu kau akan dapat dengan cepat meningkat ke jenjang yang tinggi di dalam tata keprajuritan Pajang dibawah pengaruh nama Untara."
Agung Sedayu menarik nafas. Sejenak ia merenung. Namun kemudian katanya, "Jalan yang jauh sekali Ki Juru. Tetapi yang harus Ki Juru ketahui, namaku sudah dikenal di Pajang."
Jawaban Agung Sedayu itu membuat Ki Juru menjadi termangu-mangu. Bahkan sejenak ia berdiam diri. Namun kemudian ia bertanya, "Apakah begitu" Bukankah kau tidak pernah berada di Pajang?"
Agung Sedayu termangu-mangu pula. Namun kemudian katanya, "Beberapa orang perwira kawan kakang Untara telah mengenal aku. Jika ada satu saja diantara mereka berpihak kepada orang-orang yang mengaku dirinya pewaris kerajaan Maiapahit. maka mereka akan segera berhati-hati terhadap diriku, seperti mereka berhati-hati terhadap kakang Untara. Apalagi jika salah seorang dari mereka yang berada di lembah itu berhasil menyusup kembali kedalam lingkungan keprajuritan di Pajang. Maka kedudukanku akan segera mereka ketahui, karena yang seorang itu tentu akan segera menyebarkan ceritera tentang diriku."
Ki Juru menarik nafas panjang sekali. Katanya, "Memang kita dapat melihat setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Tetapi jika kau dapat menempatkan dirimu, maka kau akan dapat mereka anggap seperti juga Untara, seorang prajurit yang berdiri diatas kedudukan dan kewajibannya."
"Jika demikian, lalu apakah yang dapat aku lakukan?" bertanya Agung Sedayu.
Ki Juru tidak segera menjawab. Ia sadar, bahwa yang dikatakan oleh Agung Sedayu itu memang dapat terjadi. Kedudukan Agung Sedayu akan segera di potong oleh orang-orang yang mencurigainya dan bahkan berusaha meayingkirkannya. karena ada diantara para perwira yang pernah melihatnya berpihak kepada Mataram.
Tetapi jika ia dapat menembus segala kecurigaan itu dengan pengaruh nama Untara. Mungkin ia akan mendapatkan tempat yang dapat dipakainya sebagai alas untuk isut serta menentukan sikap prajurit-prajurit Pajang yang memang sudah terpecah itu.
"Agung Sedayu," berkata Ki Juru kemudian, "mungkin akan ada perebutan pengaruh antara beberapa pihak yang berada di lingkungan keprajuritan di Pajang. Tetapi jika kau dapat menunjukkan sesuatu yang melampaui tataran para perwira, maka kau tentu akan mendapat tempat yang baik. Dan kau bukan seorang yang bodoh dan tidak dapat mempergunakan akal dan nalarmu untuk ikut serta menentukan sikap diantara para prajurit itu. Dengan melihat kenyataan, kau tentu akan mempunyai sikap yang lain dari kakakmu Untara yang benar-benar berdiri diatas satu sikap."
Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu. Ia dapat mengerti, bahwa dengan demikian, ia telah turun kedalam satu usaha yang gawat, tetapi mungkin akan banyak gunanya. Jika ia berhasil, maka ia akan dapat menjadi salah seorang perwira yang mempunyai sikap tertentu terhadap Mataram. Dan iapun sadar, bahwa jika demikian, ia tidak akan dapat berbuat lain. kecuali berpihak pada salah satu sisi diantara pihak-pihak yang berseberangan.
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Seandainya ia dapat mencapai satu kedudukan di Pajang yang dapat dijadikannya pancatan untuk melakukan pesan Ki Juru, tetapi tidak sesuai dengan jalan pikiran kakaknya Untara, maka persoalannya tentu akan menjadi semakin berat baginya.
Dan Agung Sedayu yang sadar akan dirinya itu tahu benar, bahwa ia akan menjadi semakin bimbang dan tidak tahu apakah yang akan dilakukannya.
Ki Jurupun melihat, bahwa kebimbangan itu sudah mulai sejak saat itu. Karena itu. maka Ki Jurupun kemudian berkata, "Agung Sedayu. Persoalannya bukan persoalan yang harus diputuskan dengan tergesa-gesa. Karena itu pikirkanlah sebaik-baiknya. Akupun tahu seperti kau juga menyadari, bahwa kau memerlukan waktu yang cukup untuk mengambil sesuatu keputusan. Karena itu. baiklah. Aku sudah menyampaikan pesan itu, yang sudah disepakati sepenuhnya oleh Raden Sutawijaya. Keputusanmu dapat saja kau ambil satu atau dua pekan kemudian. Karena jalan yang kau tempuhpun akan merupakan jalan yang panjang. Sementara itu. permulaan yang betapapun lambatnya akan lebih baik daripada tidak dimulai sama sekali."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan kepala tunduk ia berkata, "Baiklah Ki Juru. Aku akan memikirkanmya. meskipun hal itu akan merupakan persoalan yang sangat berat bagiku."
"Sudah barang tentu kau harus berbicara dengan gurumu. Kemudian kau sampaikan niatmu itu kepada kakakmu jika Kiai Gringsing menyetujui. Untuk sementara kau masih harus menyembunyikan latar belakang sikapmu itu kepada kakakmu Untara, karena kita tahu sikap dan pendirian Untara sebagai seorang prajurit."
Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, "Aku akan mencoba memikirkannya dengan sunguh-sungguh Ki Juru. meskipun sebenarnyalah bahwa aku sama sekali tidak dapat membayangkan, keputusan apakah yang dapat saya ambil kemudian."
"Baiklah. Nah, marilah kita sekarang mengisarkan perhatian kita. Padukuhan yang nampak samar-samar itulah yang sedang mempersiapkan sebuah pertunjukkan. Suara gamelan itu sudah dekat sekali," berkata Ki Juru Martani.
Agung Sedayu tidak menjawab. Dipandanginya padukuhan dalam samarnya sinar bulan. Dan suara gamelan itu terdengar dekat sekali dihadapan mereka. Sementara itu beberapa orang nampak berjalan dengan tergesa-gesa, karena mereka merasa sudah jauh terlambat untuk melihat latihan pertunjukan di banjar padukuhan dihadapan mereka.
05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ki Juru dan Agung Sedayu tidak berbicara lagi tentang kemungkinan yang membingungkan itu. Mereka mulai berbicara tentang latihan pertunjukkan yang dapat mereka lihat dibanjar padukuhan itu.
Tetapi ketika mereka mendekati banjar, Ki Juru berkata, "Kita mencari tempat yang terlindung saja."
Agung Sedayu mengerti, bahwa tentu Ki Juru tidak ingin diketahui oleh orang-orang padukuhan itu. karena dengan demikian kehadirannya akan sangat menarik perhatian, sehingga bahkan akan melampaui perhatian para penonton terhadap latihan yang sedang diadakan itu.
Beberapa saat lamanya kedua orang itu berdiri dibawah bayangan dedaunan sehingga mereka terlindung dari cahaya bulan. Dari dalam kegelapan mereka dapat menyaksikan latihan yang berlangsung dipendapa banjar. Bahkan dari kegelapan mereka dapat melihat beberapa orang yang dengan asyik menyaksikan latihan itu pula.
Sejenak keduanya saling berdiam diri. seakan-akan mereka benar-benar tertarik kepada latihan yang sedang berlangsung. Latihan adegan perang dari ceritera Raden Panji Asmarabangun yang ditarikan dengan mempergunakan topeng bagi setiap pelakunya.
Agung Sedayu berpaling ketika ia mendengar Ki Juru berkata, "Ternyata mereka pandai juga menari."
"Ya," desis Agung Sedayu.
"Kau dapat juga menari"," bertanya Ki Juru.
Agung Sedayu tersenyum. Jawabnya, "Hanya sedikit. Aku tidak sempat mempelajarinya dengan baik. Apalagi sejak ayahku meninggal."
"Tetapi kau mengenal dasar-dasar tari?"
"Ya." Ki Juru bergeser mendekat. Kemudian sambil menunjuk salah seorang penari ia berkata, "Kau melihat penari yang bertubuh kekar itu?"
"Ya," sahut Agung Sedayu.
"Apakah kau dapat menilai tata gerak tarinya?"
"Ya. Mungkin ia adalah penari yang paling baik."
Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ia terlalu baik bagi seorang penari dari padukuhan ini."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia sempat menjawab, Ki Juru telah bergeser mendekati dua orang yang berdiri tidak jauh dari padanya.
"Apakah Ki Sanak dari padukuhan ini"," bertanya Ki Juru.
Orang itu megerutkan keningnya. Namun ketika ia berpaling. ia sama sekali tidak dapat mengenali Ki Juru yang mempergunakan ikat kepalanya terlalu rendah dan dengan cara yang berbeda dari biasanya. Bajunya agak terbuka dan kainnya tersingsing agak tinggi, seperti kebanyakan para petani yang pergi kesawah.
"Aku memang orang padukuhan ini," jawab orang itu, "siapakah Ki sanak?"
"Aku dari padukuhan sebelah bulak. Mula-mula aku berjalan-jalan saja menyeberangi bulak. Tetapi ketika aku mendengar suara gamelan, akupun telah tertarik."
"Aku mengenal setiap orang dipadukuhan sebelah bulak," sahut orang itu.
"Maksudku, aku tamu dipadukuhan sebelah bulak. Aku mengunjungi saudaraku yang tinggal disana. Aku sendiri datang dari luar kota Mataram."
Orang yang ditanya itu masih akan berbicara. Tetapi Ki Juru mendahuluinya, "Maksudku, aku ingin bertanya, apakah penari yang bertubuh kekar itu tinggal dipadukuhan ini pula ?"
Orang itu mengerutkan keningnya, Ia lupa bahwa ia masih akan bertanya kepada Ki Juru. siapakah saudara yang disebutkannya, karena justru ia harus menjawab pertanyaan Ki Juru.
"Ki Sanak," berkata orang itu, "penari yang seorang itu memang bukan orang padukuhan ini. Sebenarnya ia tidak termasuk dalam susunan pemain. Tetapi ketika ia mengetahui latihan itu di banjar ini. maka iapun segera tampil. Ternyata ia justru menjadi penari yang paling baik. Dan ialah sebenarnya pengatur laku dari ceritera itu untuk seterusnya. Ialah yang memberikan petunjuk-petunjuk dan perbaikan-perbaikan pada latihan-latihan berikutnya sampai saat ini."
Ki Juru mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Aku sudah menduga. Ia memiliki banyak kelebihan dari kawan-kawannya. Tetapi siapakah orang itu sebenarnya?"
"Aku kurang jelas. Semula ia datang untuk berjual beli benda-benda berharga. Wesi aji dan juga permata. Tetapi oleh latihan-latihan yang sangat menarik perhatiannya, ia justru berada di padukuhan ini. Ia telah menyatakan kesediaannya tinggal disini barang dua pekan sampai saatnya pertunjukan yang sebenarnya diselenggarakan."
"Apakah kau tahu. dari manakah asalnya"," bertanya Ki Juru.
Orang itu menggeleng. Katanya, "Tidak jelas. Mungkin dari Jipang atau justru dari Demak. Entahlah."
Ki Juru tidak bertanya lagi. Sambil mengucapkan terima kasih ia minta diri.
Ketika Ki Juru meninggalkan tempat itu. Agung Sedayupun mengikutinya. Belum lagi mereka berada jauh diluar banjar, K i Juru sudah bertanya, "Bagaimanakah tanggapanmu tentang yang seorang itu?"
Agung Sedayu menarik nafas panjang. Sekilas teringat olehnya Rudita, jika pertanyaan itu ditujukan kepada anak muda itu, maka ia tentu akan menjawab, "Kita adalah mahluk yang selalu dibayangi oleh kecurigaan terhadap sesama."
Namun Agung Sedayu menyadari, bahwa Ki Juru telah mencurigai orang yang berada didalam lingkungan penari di padukuhan itu. Orang itu memang perlu mendapat perhatian lebih banyak lagi.
"Apakah kau tidak melihat sesuatu padanya," bertanya Ki Juru kemudian, karena Agung Sedayu tidak segera menjawab.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Pendatang itu memang menyimpan kemungkinan-kemungkinan yang pantas dicurigai. Karena itu maka jawabnya, "Ki Juru. Aku tidak dapat menyebut dengan pasti. Tetapi kita memang dapat mencurigai setiap orang. Juga orang itu. Mungkin ia dengan sengaja datang untuk mengamati Mataram dengan saksama. Dan ia mendapat kesempatan untuk tinggal lebih lama lagi di padukuhan itu."
Ki Juru mengangguk-angguk. Namun Agung Sedayu meneruskan, "Tetapi apakah perlu kita mencurigai setiap orang?"
Ki Juru tersenyum. Wajah Agung Sedayu menjadi panas ketika Ki Juru menjawab dengan sebuah pertanyaan, "Apakah pengaruh Rudita sudah mencengkam perasaanmu?"
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi kepalanya ditundukkan dalam-dalam.
"Agung Sedayu," berkata Ki Juru, "kadang-kadang ada juga gunanya kita mencurigai seseorang. Meskipun itu sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh sikap berhati-hati. Bukannya sikap memusuhi."
Agung Sedayu tidak menjawab. Iapun dapat mengerti, bahwa mencurigai seseorang itu dapat juga berarti sekedar sikap hati-hati. karena kadang-kadang seseorang memang dapat melakukan sesuatu yang dapat merugikan pihak lain.
"Aku tidak dapat ingkar akan kenyataan itu," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Namun lebih dari itu. Agung Sedayu mulai menilai keadaan dalam keseluruhan. Ki Juru telah menyampaikan pesannya kepadanya, yang tentu sudah sependapat dengan Senapati Ing Ngalaga.
Dengan ketajaman uraian perasaannya. Agung Sedayu mulai melihat kepentingan-kepentingan yang bergulat didalam peristiwa yang sangkut menyangkut. Pesan Ki Juru yang tentu sudah disepakati oleh Sutawijaya itu adalah suatu dorongan bagi kepentingan Mataram.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga, setiap orang akan terpancang kepada kepentingan diri. Dan Mataram menganggap, bahwa sebaiknya Agung Sedayu berada didalam lingkungan koprajuritan. Sebab dengan demikian, maka Agung Sedayu akan dapat memberikan keuntungan kepada Mataram.
"Ah," desah Agung Sedayu didalam hatinya, "akupun sudah mulai berprasangka terlalu jauh. Seharusnya aku menganggap bahwa usaha Ki Juru adalah sekedar usaha untuk mencegah timbulnya benturan antara Pajang dan Mataram."
Namun pertimbangan-pertimbangan yang bertolak dari kepentingan yang berbeda selalu saja berputaran didalam hati Agung Sedayu.
Dalam pada itu, keduanya berjalan semakin jauh dari banjar padukuhan. Suara gamelan yang mengiringi latihan-latihan di banjar itupun menjadi semakin samar.
"Menyenangkan sekali, berjalan-jalan diterang bulan," berkata Ki Juru, "apakah kau sudah lelah?"
"Belum Ki Juru," sahut Agung Sedayu.
"Jika demikian, kita berjalan-jalan mengelilingi kota."
Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, "Baiklah Ki Juru. Rasa-rasanya senang juga mendengar bocah berdendang sambil bermain diterangnya bulan."
Ki Juru tersenyum. Mereka masih berjalan menyusuri jalan-jalan kota. Tanpa tujuan mereka berjalan sekedar ingin melihat-lihat dan mengisi waktu diujung malam.
Namun pembicaraan kemudian tidak banyak menarik lagi. Setiap kali angan-angan Agung Sedayu selalu jatuh kepada bayangan-bayangan yang buram tentang pesan Ki Juru Martani.
"Mana mungkin aku dapat menjadi seorang prajurit." pikiran itulah yang selalu mengganggunya, "aku tidak mempunyai dasar sifat yang cukup."
Tetapi Agung Sedayu tidak mengatakannya.
Ki Jurupun agaknya merasakan perasaan Agung Sedayu yang tidak lagi dapat menangkap kesegaran di sepanjang jalan. Meskipun kadang-kadang Agung Sedayu memperhatikan juga suara anak-anak yang menjerit-jerit melagukan kidung dolanan. Namun Agung Sedayu lebih banyak berbicara kepada dirinya sendiri.
Karena itu. maka Ki Jurupun kemudian mengajak Agung Sedayu kembali kerumah Raden Sutawijaya menjelang tengah malam. setelah keduanya berjalan berputar-putar didalam kota.
Ketika mereka naik kependapa setelah mencuci kaki. maka Raden Sutawijaya sama sekali tidak menampakkan diri. Ki Jurupun kemudian mempersilahkan Agung Sedayu memasuki biliknya di gandok.
Namun sebelum Ki Juru meninggalkan gandok, terdengar ia berkata, "Orang itu memang menarik perhatian ngger. Siapapun orang itu, namun ia bukan orang Mataram."
Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, "Mungkin Ki Juru perlu mengetahui siapakah orang itu. Tetapi sayang, bahwa waktuku di Mataram sangat pendek, sehingga aku tidak dapat ikut serta mengetahui latar belakang kehadirannya."
Ki Juru mengerutkan keningnya. Namun iapun mengangguk-angguk sambil berkata, "Beristirahatlah. Bukankahkau akan melanjutkan perjalanan besok?"
"Ya Ki Juru." "Baiklah. Tetapi coba renungkan. Mungkin yang aku katakan kepadamu agak bertentangan dengan sikapmu selama ini. Meskipun demikian kau dapat mengingat kembali apa yang pernah dikatakan Untara kepadamu tentang sifat-sifat seorang prajurit. Dan jika kau berada didalam lingkungan keprajuritan, maka tugas yang kau pikul akan menjadi rangkap. Sebagai prajurit yang baik dan sekaligus berusaha untuk tetap memelihara ketenangan, khususnya hubungan antara Pajang dan Mataram yang kini banyak diracuni oleh perwira-perwira Pajang sendiri yang terlampau mementingkan kepentingan diri sendiri. Sementara Senapati Ing Ngalaga selalu terikat kepada harga dirinya yang berlebih-lebihan tanpa menghiraukan keadaan yang lebih luas dari kelangsungan hidup Pajang."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Keterangan Ki Juru tentang Raden Sutawijaya terasa menyentuh hatinya. Agaknya ada kepentingan-kepentingan yang lebih jujur dari dugaannya yang lebih banyak dipengaruhi oleh prasangka.
"Baiklah Ki Juru," berkata Agung Sedayu kemudian, "aku akan memikirkannya. Tetapi aku sama sekali tidak dapat menyebutkan sekarang, apakah yang akan aku lakukan."
"Tentu. Dan kau masih mempunyai kesempatan yang panjang. Tetapi sekali-sekali bertemulah dengan Untara. Namun demikian, segalanya terserah kepadamu. Kiai Gringsing akan banyak memberikan petunjuk-petunjuk yang sangat berguna bagimu, karena sebenarnyalah ia adalah salah seorang yang justru merupakan keturunan langsung dari para penguasa di Majapahit. Ia termasuk salah seorang yang sebenarnya berhak atas warisan-warisan dari kerajaan itu. Telapi Kiai Gringsing agaknya berpandangan jauh lebih luas dari orang-orang yang hanya mengaku-aku saja sebagai pewaris dan keturunan dari Majapahit."
Agung Sedayu mengangguk kecil. Sementara Ki Juru melangkah meninggalkan sambil berkata, "Tidurlah. Sebentar lagi tengah malam akan tiba."
Agung Sedayu tidak menjawab. Dipandanginya saja Ki Juru yang menyeberangi pendapa dan hilang di longkangan menuju kegandok yang lain.
Agung Sedayu menarik nafas. Iapun kemudian membaringkan dirinya dipembaringan. Namun matanya tidak segera dapat terpejam. Pesan Ki Juru Martani seolah-olah berputar-putar saja ditelinganya.
"Sekali-kali bertemulah dengan Untara," kata-kata Ki Juru itu bagaikan selalu terngiang. Ia mengerti, bahwa hal itu tentu akan mendekatkannya dengan kemungkinan untuk menjadi seorang prajurit.
"Tetapi kepentingan kakang Untara dan Ki Juru tentu berlainan. Kakang Untara ingin melihat aku sebagai seorang prajurit yang teguh timbul dan disegani, sementara Ki Juru mempunyai kepentingan lain apapun yang disebutkannya. Untuk kepentingan Pajang dan Mataram, atau kepentingan-kepentingan lain yang pada dasarnya menengahi sikap para perwira yang sudah ada."
Agung Sedayupun membayangkan, untuk dapat mencapai tujuan sesuai dengan keinginan Ki Juru Martani. ia harus sedikit menyombongkan diri dengan, memamerkan kelebihan-kelebihannya. sehingga ia akan segera mendapat tempat yang baik didalam lingkungan keprajuritan. Mungkin ia akan dapat menjadi seorang perwira atau Senopati yang memiliki kekuasaan yang khusus, yang dengan pengaruh yang ada dapat membantu menjernihkan hubungan antara Pajang dan Mataram, menyudutkan pengaruh para perwira yang dikuasai oleh nafsu pribadi dengan pamrih yang berlebih-lebihan untuk membangun kembali suatu kekuasaan yang disebut sebagai warisan kekuasaan Majapahit.
Namun akhirnya angan-angan Agung Sedayai itupun menjadi semakin samar. Akhirnya, matanyapun terpejam sesaat setelah ayam jantan berkokok ditengah malam.
Namun ternyata Agung Sedayu tidak dapat tidur nyenyak. Ia terbangun ketika dikejauhan terdengar suara kentongan yang bersahut-sahutan. Bahkan iapun segera bangkit ketika ia sadar, bahkan isyarat kentongan itu mempergunakan irama titir.
"Apakah yang sudah terjadi ?" bertanya Agung Sedayu kepada diri sendiri. Namun Agung Sedayu tidak bergeser dari tempatnya. Ia masih menunggu perkembangan keadaan.
Dadanya menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar beberapa orang telah berada di pendapa. Langkah mereka yang terdengar sibuk menanggapi suara titir dikejauhan.
Akhirnya Agung Sedayu tidak dapat berdiam diri didalam biliknya. Iapun kemudian melangkah kepintu. Perlahan-lahan ia mendorong pintu biliknya digandok.
Dari sela-sela daun pintu ia melihat beberapa orang sudah berada di pendapa. Mereka tidak sempat duduk di atas tikar. Namun mereka hanya berdiri dan berbincang dengan sungguh-sungguh.
Dengan ragu-ragu Agung Sedayu melangkah keluar. Ia masih bimbang, apakah ia diperkenankan naik kependapa dan ikut dalam pembicaraan itu. karena ia bukan termasuk salah seorang pemimpin di Mataram.
Namun ternyata Ki Juru Martani yang melihatnya segera memanggilnya, katanya, "Kemarilah ngger. Kita sedang membicarakan suara titir itu."
Agung Sedayupun kemudian mendekat. Ia melihat Raden Sutawijaya sudah berada diantara mereka.
"Menurut pendengaranku, isyarat itu bersumber dari arah suara gamelan di banjar yang kita lihat bersama," berkata Ki Juru kepada Agung Sedayu.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ketika suara tititr itu mulai terdengar, agaknya ia masih tertidur. Tetapi ketika ia terbangun rasa-rasanya suara titir itu masih belum merata seperti saat-saat ia keluar dari dalam gandok. Dan arah dari suara itu memang seperti yang disebut oleh Ki Juru meskipun barangkali tidak tepat benar.
Karena itu. dengan ragu-ragu Agung Sedayupun mengangguk. Katanya, "Mungkin pendengaran Ki Juru sesuai. Tetapi aku tertidur saat-saat suara titir itu mulai terdengar."
"Paman," berkata Raden Sutawijaya, "betapapun juga kita harus bersiaga. Kita tidak dapat menunggu disini tanpa berbuat apa-apa."
"Tetapi sebaiknya kau menunggu laporan untuk menentukan apakah yang sebaiknya akan kita lakukan," sahut Ki Juru.
Belum lagi Raden Sutawijaya menjawab, seekor kuda berlari mendekati regol. Karena penunggangnya telah dikenal oleh para penjaga regol, maka kuda itupun mereka biarkan masuk.
Dengan tangkasnya penunggangnyapun kemudian meloncat dari punggung kudanya dan mengikat kuda itu pada sebuah patok yang sudah disediakan di pinggir halaman.
Berlari-lari kecil penunggang kuda itu menuju ketangga dan kemudian naik kependapa.
"Katakan," desis Raden Sutawijaya, "aku tahu. kau membawa laporan tentang suara titir itu."
"Ya Raden," jawab orang itu, "ternyata yang dikatakan oleh Ki Juru benar."
Ki Juru menarik nafas panjang. Sekilas dipandangnya wajah Agung Sedayu dan tegang. Namun anak muda itupun segera mengerti apa yang telah terjadi. Agaknya Ki Juru yang meninggalkan biliknya, telah memerintahkan petugas-petugas sandi untuk membayangi orang yang dicurigainya dibanjar itu.
"Apa yang sudah kaulihat"," bertanya Ki Juru kemudian.
"Ketika orang itu kembali dari banjar tempat latihan itu, ada tiga orang yang telah menunggunya. Mereka berbicara ditempat yang sepi dan tersendiri."
"Kau tidak berusaha mendengar pembicaraan itu?"
"Itulah yang terjadi. Aku mencoba untuk mendekat. Aku hanya mendengar salah seorang dari ketiga orang itu memberikan perintah, agar orang itu tetap berada di Mataram untuk waktu yang tidak ditentukan. Agung Sedayu telah meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Menurut perhitungan mereka. Agung Sedayu akan berada di Mataram meskipun hanya satu dua hari."
Dada Agung Sedayu bergetar mendengar keterangan orang itu. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa ia masih tetap menjadi sorotan orang-orang yang merasa sakit hati kepadanya.
Tetapi Agung Sedayu tidak dapat ingkar. Ia telah melakukan beberapa pembunuhan di medan perang dilemhah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, sehingga masih ada diantara mereka yang mendendam. Mungkin orang-orang yang kehilangan sahabatnya. Mungkin orang-orang yang kehilangan pemimpinnya.
Sekilas terbayang orang-orang yang telah dibunuhnya itu memandanginya dengan sorot mata yang membara, memancarkan dendam yang tidak ada habisnya.
Dalam pada itu. petugas sandi itupun meneruskan, "Tetapi agaknya orang-orang itu benar-benar orang yang memiliki ilmu yang tinggi, ternyata kehadiranku dapat diketahuinya, sehingga mereka segera mengejarku."
"Kau tidak berbuat sesuatu untuk menangkap mereka ?" bertanya Ki Juru.
"Kemudian kita bertempur untuk beberapa lamanya. Kedua kawanku sama sekali tidak dapat mengimbangi mereka. Untunglah bahwa para peronda di gardu segera datang membantu."
"Tetapi orang-orang itu tidak dapat kalian tangkap ?" potong Raden Sutawijaya yang tidak telaten.
"Ya Raden. Kami yang kemudian berjumlah lebih dari sepuluh orang, dibantu oleh beberapa orang anak muda sama sekali tidak berdaya. Bahkan mula-mula akan terjadi salah paham. Penari itulah yang meneriakkan kami seolah-olah kami adalah orang-orang jahat yang harus ditangkap. Untunglah, beberapa orang telah kami kenal, dan kami dapat mengatasi kesalah pahaman itu. Namun demikian, keempat orang itu tidak berhasil kami tangkap."
Raden Sutawijaya menjadi tegang. Tiba-tiba saja ia berteriak, "Cepat, siapkan kudaku. Aku akan mencarinya diseluruh kota."
Raden Sutawijaya tidak mau mendengar keterangan-keterangan lebih panjang lagi. Ketika kudanya telah siap. maka iapun dengan tergesa-gesa meloncat naik diikuti oleh beberapa orang pengawal yang telah menyiapkan diri.
"Tunggu," minta Agung Sedayu, "mereka mencari aku. Biarlah aku ikut bersama Raden."
"Tinggallah dirumah ini Agung Sedayu. Aku akan mencarinya. Ia telah mengacaukan daerah kekuasaanku. Apalagi mereka berani mengganggu ketenangan kota yang tidak seberapa luas ini."
"Jika aku telah mereka jumpai, maka ia tidak akan mengganggu kota ini."
"Kau tamuku sekarang. Aku bertanggung jawab atas semua tamu-tamuku, meskipun aku tahu, bahwa kau akan mampu mempertanggung jawabkan dirimu sendiri." jawab Raden Sutawijaya.
Agung Sedayu tidak sempat berbicara lagi. Kuda Raden Sutawijaya itupun segera berderap dan hilang diregol halaman. Yang nampak kemudian hanyalah debu yang mengepul di cahaya bulan yang kekuning-kuningan.
Sejanak Agung Sedayu termangu-mangu. Ia masih melihat beberapa orang meninggalkan halaman. Mereka adalah para pengawal yang akan ikut meronda disekeliling kota.
"Tinggal sajalah disini bersama aku," berkata Ki Juru, "biarlah Danang Sutawijaya mengurusi kotanya."
"Tetapi persoalannya justru berkisar padaku," sahut Agung Sedayu.
"Persoalan apapun juga, tetapi mereka berada di wilayah kekuasaan Raden Sutawijaya," jawab Ki Juru.
Agung Sedayu terdiam. Ia tidak dapat menolak sikap itu, karena sebenarnyalah Mataram adalah daerah kekuasaan Raden Sutawijaya. Namun demikian, iapun kemudian berkata, "Ki Juru. Menurut pertimbanganku, agaknya orang-orang itu tidak ingin membuat persoalan dan kegaduhan di kota ini. Apalagi mereka hanya berempat. Yang mereka lakukan tentu hanya sekedar pengawasan. Jika mereka melihat aku lewat, maka mereka tentu akan melakukan sesuatu justru saat aku berada di perjalanan. Agaknya di Tanah Perdikan Menoreh mereka berhasil mendapatkan keterangan, dengan cara apapun, bahwa aku dalam perjalanan menuju ke Sangkal Putung seorang diri."
"Mungkin sekali Agung Sedayu. Karena itu, sudahlah. Sekarang beristirahatlah, meskipun sudah tentu sebaiknya kau menunda perjalanmu kembali ke Sangkal Putung."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia masih mendengar suara titir hampir diseluruh kota. Dan Agung Sedayupun membayangkan, bahwa semua pintu gerbang tentu sudah ditutup dan dijaga dengan kuat, sehingga tidak seorangpun akan dapat lolos lewat pintu gerbang.
"Tetapi orang-orang berilmu akan dapat meloncati dinding kota," berkata Agung Sedayu didalam hatinya, meskipun ia membayangkan juga bahwa para peronda tentu sudah mengawasi setiap jengkal dinding yang membatasi kota Mataram yang sedang tumbuh.
Sementara itu. Kuda Raden Sutawijaya berderap di jalan-jalan kota menuju ketempat yang menjadi sumber isyarat. Namun yang dijumpainya hanyalah beberapa orang yang berjaga-jaga. dan bahkan terdapat tiga orang pengawal dan dua orang anak muda yang terluka.
"Yang seorang agak parah," lapor pemimpin pengawal yang ada ditempat itu.
"Kalian tidak berusaha mengejarnya"," bertanya Raden Sutawijaya.
"Beberapa orang pengawal mengejarnya. Mereka tiba-tiba saja berpencar dan seakan-akan telah hilang. Tetapi disetiap sudut jalan terdapat para pengawal dan anak-anak muda dari setiap padukuhan. Kita sedang mencari keempat orang yang pantas dicurigai itu," jawab pemimpin pengawal itu.
Raden Sutawijaya termangu-mangu. Sudah tentu ia tidak akan dapat mencari sambil berpacu melingkari kota. Karena itu. maka iapun justru menyusuri jalan dengan lambat dan sekali-kali berhenti di muka gardu-gardu yang ditunggui oleh para pengawal.
Seperti yang diduga oleh Agung Sedayu maka ketika Raden Sutawijaya melewati pintu gerbang, maka pintu gerbang itu tertutup rapat.
Raden Sutawijaya berhenti sejenak di hadapan para penjaga yang meyongsongnya. Dengan nada datar ia bertanya, "Apakah kalian tidak melihat orang-orang yang mencurigakan melalui pintu gerbangmu sebelum kau tutup?"
"Tidak Raden," jawab pemimpin pengawal itu, "tidak seorangpun yang pantas aku curigai memasuki pintu gerbang ini.
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Diantara para pengawal ia melihat beberapa orang petugas sandi. Namun agaknya mereka benar-benar tidak melihat orang-orang yang pantas dicurigai sebelum orang-orang itu melakukan sesuatu yang menarik perhatian.
"Baiklah," pesan Raden Sutawijaya, "berhati-hatilah. Jangan ada seorangpun yang dapat lolos dari dalam kota."
"Ya Raden. Para perondapun selalu mengelilingi dinding kota. sehingga kemungkinan bagi seseorang untuk meloncatpun agaknya sangat tipis. Digardu-gardu di simpang tiga dan tikungan-tikungan yang menghadap dinding, anak-anak mudapun selalu berjaga-jaga."
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk pula. Iapun kemudian meneruskan perjalanannya menyusuri jalan-jalan kota. Namun ia tidak menjumpai orang-orang yang dicarinya.
Sementara itu para pengawal, para bebahu padukuhan dan anak-anak mudapun masih sibuk mencari orang-orang yang mereka curigai itu. Apalagi anak-anak muda yang bersama-sama berlatih menari. Mereka semula sama sekali tidak mencurigai pedagang wesi aji dan batu-batu permata itu. Bahkan orang itu mendapat kehormatan selayaknya sebagai seorang yang memberikan tuntunan tari dan lagu bagi pertunjukan yang sedang mereka siapkan.
Namun ternyata orang itu adalah petugas sandi dari pihak yang tidak senang melihat perkembangan Mataram.
Tetapi agaknya ke empat orang itu bagaikan hilang ditelan gelap. Sementara dari para pengawal menyangka, bahwa orang-orang itu telah berhasil meloncat dan hilang dari kota.
"Betapapun ketatnya pengawasan, namun kemungkinan itu besar sekali dapat terjadi. Disaat-saat kita sibuk membunyikan isyarat dan berlari-larian kian kemari, maka ke empat orang itu telah meloncat keluar dan hilang di dalam gelap," berkata salah seorang pengawal.
"Tetapi orang yang tinggal dipadukuhan dan memberikan tuntunan tari itu membawa seekor kuda," sahut yang lain.
"Kau memang dungu. Apakah artinya seekor kuda bagi keselamatan jiwanya?"
Kawannya tidak menyahut lagi. Tetapi kepalanya sajalah yang terangguk-angguk.
Meskipun demikian, namun para pengawal masih tetap berjaga-jaga. Raden Sutawijaya masih berkeliling untuk melihat-lihat kemungkinan bahwa keempat orang atau satu diantaranya masih berada didalam kota.
Dalam pada itu rumah Raden Sutawijaya telah menjadi sepi. Yang tinggal hanya dua orang pengawal di gardu yang menghadap regol halaman, sedang dua orang yang lain berkeliling di halaman dan memasuki longkangan sampai ke kebun belakang. Sementara dua orang yang lain berada di pendapa.
Namun selain mereka, di dalam rumah itu masih ada Ki Juru Martani yang merupakan tumpuan kekuatan bagi para pengawal rumah yang menjadi pusat pemerintahan Mataram.
Tetapi selain mereka, masih ada satu lagi orang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Seorang tamu yang singgah di Mataram dalam perjalanan dari Tanah Perdikan Menoreh menuju ke Sangkal Putung.
Didalam biliknya Agung Sedayu mencoba untuk berbaring dan melepaskan angan-angannya dari keadaan yang sedang terjadi di Mataram. Ia mencoba menyerahkan segala sesuatunya kepada Raden Sutawijaya yang bertanggung jawab tentang segalanya di Mataram.
Tetapi setiap kali ia selalu disentuh oleh perasaan gelisah, karena justru ialah yang menjadi pusat perhatian orang-orang yang mencurigakan itu.
Sejenak Agung Sedayu mencoba untuk menilai keadaan yang sedang terjadi itu dengan keterangan yang didengarnya, bahwa Pajang telah mengirimkan pengawas sandinya untuk menilai kekuatan Mataram yang dianggap siap untuk melawan Pajang.
"Agaknya orang ini berbeda tujuan dengan petugas-petugas sandi itu meskipun mungkin ia berasal dari kesatuan prajurit Pajang pula," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Dalam pada itu. selagi ia sedang digelisahkan oleh keadaan yang terjadi, diluar halaman, dua orang sedang berjalan-jalan tersuruk-suruk mendekati regol. Sejenak mereka tertegun ketika mereka melihat orang-orang yang berada didalam gardu.
"Sst," desis yang seorang sambil menunjuk orang-orang digardu itu.
Yang lain tidak menyahut. Namun digamitnya kawannya untuk melangkah dengan hati-hati mendekati gardu itu.
Dengan jari-jarinya ia memberikan isyarat bahwa yang ada digardu itu hanyalah dua orang saja. Yang seorang justru telah heran dan kemudian berdiri disisi regol dengan tombak ditangan, sementara yang lain masih tetap duduk sambil membelai hulu pedangnya
Kedua orang yang sedang merunduk itu saling berpandangan. Namun yang seorangpun kemudian memberikan isyarat ketika ia melihat dua orang pengawal yang lain berjalan dari halaman menuju ke regol itu pula.
Sejenak mereka termangu-mangu. Namun kemudian merekapun surut beberapa langkah dan menghilang dibalik gerumbul-gerumbul liar di halaman sebelah.
Ternyata keduanya telah memberikan laporan tentang para pengawal yang ada di regol yang hanya berjumlah empat orang.
"Aku sudah menduga, bahwa justru rumah ini akan menjadi kosong," desis salah seorang dari mereka.
"Tetapi kita tidak akan dapat berbuat apa-apa." sahut yang lain.
"Kita akan memasuki rumah ini. Meskipun tidak termasuk dalam rencana, tetapi kita akan mengambil semua pusaka yang ada. Aku yakin bahwa Sutawijayapun tentu sedang keluar oleh suara titir."
Sejenak empat orang itu termangu-mangu. Namun salah seorang dari mereka kemudian berkata, "Kita harus meyakinkan bahwa Raden Sutawijaya tidak berada di rumahnya. Dan penjagaan dirumah ini justru menjadi susut karena suara titir itu."
"Apakah yang dapat kita perbuat"," bertanya salah seorang dari mereka.
"Aku akan bertanya kepada para pengawal. Lindungi aku jika caraku gagal," berkata yang lain.
"Apa yang akan kau lakukan?"
"Lihat sajalah."
Keempat orang itupun segera bersiap-siap. Yang seorang dari mereka tiba-tiba saja telah membuka bajunya dan mengurai ikat kepalanya, sehingga nampaknya ia benar-benar seperti orang yang sedang dalam keadaan yang sulit. Rambutnya nampak kusut dan langkahnya tiba-tiba menjadi gontai.
Kawan-kawannya memperhatikan dari balik persembunyiannya. Mereka melihat dibawah cahaya bulan yang samar, kawannya yang seorang itu berlari-lari dengan tertatih-tatih mendekati para pengawal.
"He. siapa kau" " tiba-tiba salah seorang pengawal menyapanya sambil mengacukan tombaknya.
"O. ampun tuan. Aku telah dikejar seseorang. Mula-mula akulah yang mengejarnya, karena orang itu pantas dicurigai. Tetapi ternyata ia melawan. Kami berempat, dan orang itu hanya sendiri. Tetapi tiga kawan kami agaknya terluka entah terbunuh." ia berhenti sejenak lalu. "aku akan menghadap Raden Sutawijaya. Raden Senapati Ing Ngalaga membunuhnya. Orang itu luar biasa. Sebentar lagi ia tentu akan sampai kemari."
Keempat penjaga regol itu menjadi tegang. Hampir diluar sadar, salah seorang dari mereka menyahut, "Raden Sutawijaya sedang nganglang. Tetapi biarlah. Jika ia datang kemari, aku akan membunuhnya."
"Jika tidak" Apakah tidak sebaiknya kalian mengejarnya," berkata orang yang gontai itu.
"Kami bertugas disini. Kami tidak dapat meninggalkan tugas kami."
"Tetapi disini tentu banyak petugas yang lain orang yang berpura-pura itu tertegun sejenak. Hanya enam orang. Jika demikian, maka pengamanan rumah itu benar benar sangat ringkih."
Karena itu. tiba-tiba saja diluar dugaan, orang itu meloncat menyerang pengawal yang memegang tombak itu. Sambil menyambar tangkai tombak itu dan menariknya sekuat tenaganya, kakinya telah menghantam lambung pengawal itu. sehingga pengawal itu terpelanting jatuh.
Para pengawal yang lainpun terkejut bukan buatan. Tetapi mereka tidak sempat berbuat banyak. Demikian mereka menyadari keadaan, maka tiga orang lain telah berloncatan dari dalam gerumbul.
Serangan yang tiba-tiba itu telah melumpuhkan keempat orang itu sekaligus. Mereka sama sekali tidak sempat memberikan isyarat kepada siapapun juga.
Yang terjadi itu hanyalah beberapa saat yang pendek. Dua orang pengawal yang berada dipendapa sama sekali tidak mengetahui, bahwa diluar regol keempat kawannya telah dilumpuhkan.
Karena itulah, keduanya yang berada dipendapa masih saja duduk sambil bercakap-cakap untuk menghalau perasaan kantuk!
"Agaknya orang-orang yang dicari itu sudah berhasil melarikan diri," desis yang seorang.
"Mereka tentu sudah meloncat dinding," sahut yang lain.
"Tetapi, kenapa Raden Sutawijaya masih belum kembali" Atau pengawal-pengawal yang lain yang sebenarnya tidak perlu ikut berkejar-kejaran di sudut-sudut kota ?"
Kawannya tidak menyahut. Dipandanginya regol halaman dalam keremangan sinar bulan. Tetapi ia tidak melihat apapun juga.
"Mungkin masih dilakukan pencaharian terus sampai pagi," desis yang seorang pula.
Kawannya tetap tidak menjawab, ia mengerutkan keningnya ketika ia melihat seseorang melintasi regol. Kemudian berjalan kembali. Hilir mudik seperti yang dilakukan oleh para pengawal.
Namun sejenak kemudian, dua orang diantara mereka memasuki halaman dan berjalan melintas.
Kedua orang yang berpura-pura sebagai para pengawal itu telah memberanikan diri melihat-lihat keadaan didalam. Seperti dua orang yang mereka lihat melintas dan mendatangi gardu diregol itu, maka kedua orang itupun melakukan yang sebaliknya.
Dua orang pengawal yang berada dipendapa memandang kedua orang yang melintas itu. Mereka masih menyangka bahwa keduanya adalah para pengawal yang bertugas di gardu.
Tetapi sejenak kemudian, mereka melihat kedua orang lainnya memasuki regol pula menyusul kedua onang yang terdahulu.
"Kenapa mereka semuanya memasuki halaman" " salah seorang dari kedua penjaga di pendapa itu bertanya.
Yang lain termangu-mangu. Namun kemudian tanpa menjawab pertanyaan kawannya ia berdiri dan berjalan ketangga pendapa sambil bertanya, "He. kenapa regol itu kalian tinggalkan?"
Keempat orang itu tertegun. Dalam samarnya cahaya obor mereka melihat dua orang berada dipendapa.
"Empat orang sudah tidak berdaya," desis yang seorang, disini ada dua orang penjaga. Jika yang dua ini kita selesaikan, maka rumah ini tentu sudah kosong."
"Tetapi apakah tidak ada orang didalam"," bertanya yang lain
"Hanya pelayan-nelayan. Bukan prajurit-prajurit."
"Jika pelayan-pelayan dirumah ini juga prajurit?"
"Kita bertempur."
Karena orang-orang itu tidak segera menjawab, bahkan saling berbisik maka kedua pengawal dipendapa itu bertanya pula, "He kenapa kalian tinggalkan regol itu?"
Tiba-tiba terdengar jawaban, "Keadaan sudah aman."
Jawaban itu benar-benar mengejutkan. Seorang pengawal tidak akan berpendapat demikian. Betapapun keadaan aman. namun mereka tidak boleh meninggalkan tugas mereka. Apalagi baru saja terdengar suara titir diseluruh kota. bahkan Raden Sutawijaya sendiri masih belum kembali.
Kecurigaan timbul pada kedua orang pengawal itu. Karena itulah maka merekapun mencoba mengenali keempat orang itu dengan saksama.
Namun agaknya keempat orang itu telah merasa bahwa kedua orang itu tentu akan segera mengenalnya. Karena itulah, maka tiba-tiba saja keempat orang itupun telah meloncat menyerang dengan garangnya.
Namun karena kecurigaannya, maka kedua orang itupun ternyata telah bersiap-siap. Maka demikian mereka melihat keempat orang itu meloncat menyerang, maka keduanyapun segera menarik pedangnya sambil berkata satu sama lain hampir bersamaan, "Berhati-hatilah"
Kedua pengawal itu dalam saat yang pendek, segera dapat menduga bahwa para penjaga regol tentu sudah tidak berdaya, sehingga keempat orang itu dapat masuk dengan leluasa.
Sejenak kemudian telah timbul pertempuran diantara keempat orang pendatang itu melawan kedua pengawal. Ternyata bahwa kedua pengawal itu sama sekali tidak mampu berbuat banyak. Selain jumlah keempat orang itu lebih banyak, bahkan berlipat. namun ternyata bahwa seorang saja diantara keempat orang itu akan dengan mudah mengalahkan kedua orang lawannya.
Itulah sebabnya, maka sejenak kemudian kedua pengawal itu sudah tidak berdaya. Mereka terkapar di pendapa dengan senjata masih ditangan.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang"," bertanya salah seorang.
"Mengambil pusaka-pusaka itu." Sahut salah seorang yang paling berpengaruh diantara keempat orang itu.
"Mungkin kita dapat mengambilnya. Tetapi bagaimana kita akan membawa keluar. Seluruh kota sudah dijaga. Setiap tikungan, simpang tiga dan simpang empat."
Orang itu termenung sejenak. Namun kemudian katanya, "Kau memang bodoh. Dengan pusaka-pusaka itu ditangan, tidak akan ada seorangpun yang berani menghalangi perjalanan kita."
"Kenapa" Apakah pusaka itu mampu melawan orang seluruh tanah Mataram?"
"Kau memang dungu. Kita akan membawa kangjeng Kiai Pleret yang sudah kembali keperbendaharaan pusaka di rumah ini. Juga Kiai Mendung dan pusaka-pusaka yang lain. Jika para pengawal Mataram mencoba menghalangi kita, atau bahkan menangkap kita, maka kita harus siap menghancurkan pusaka-pusaka itu."
Kawan-kawannya terkejut. Dengan tegang salah seorang dari mereka bertanya, "Apakah kita mampu" Kita akan kena kutuknya. Bahkan sebelum kita dapat menghancurkan pusaka itu. kita sudah membeku karenanya."
Tetapi kawannya justru tertawa. Katanya, "Kau benar-benar seorang yang tidak berakal. Kita tidak akan benar-benar menghancurkan pusaka itu. Kita hanya menakut-nakuti orang Mataram. Mereka tentu akan mundur dan memberi jalan kepada kita. karena mereka tidak akan dapat melihat pusaka-pusaka itu kita rusakkan. Kita harus berbuat seolah-olah benar-benar kita akan menatahkan ujung tombak Kiai Pleret. atau menghancurkan sonsong Kiai Mendung. Seolah-olah benar-benar akan kita lakukan."
Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Namun merekapun kemudian mengangguk-angguk. Katanya, "Kau memang cerdik."
"Marilah. Kita harus cepat memasuki perbendaharaan pusaka. Kita akan mencarinya. Mungkin ada satu dua abdi yang ada didalam. Kita tidak mempunyai pilihan lain daripada melumpuhkan mereka."
Keempat orang itupun kemudian bergegas naik kepandapa. Mereka langsung menuju kepintu. Jika pintu itu diselarak dari dalam. maka tidak ada jalan lain kecuali memecahkannya.
Tetapi keempat orang itu tertegun, ketika pintu itu justru terbuka. Dengan dada yang berdebar-debar mereka melihat seorang tua melangkah keluar dan berdiri tegak dimuka pintu.
Wajah orang itu menegang sejenak. Namun kemudian terdengar suaranya lirih, "Siapakah kalian?"
Salah seorang dari keempat orang itu terhenyak ditempatnya. Sambil menggamit kawannya yang terdekat ia berbisik, "Ki Juru Martani."
Tetapi kawannya yang berdiri disebelahnya tiba-tiba saja menggeram, "Ki Juru. Mungkin kau tidak mengenal kami. Kawanku yang seorang tiba-tiba saja menjadi ketakutan melihat wajahmu. Tetapi maaf, aku datang dengan sengaja untuk menjumpaimu. Mungkin kau dapat menahan aku untuk beberapa saat. sementara kawan-kawanku mengambil pusaka-pusaka dari gudang penyimpanannya."
Ki Juru termangu-mangu. Ia benar-benar menjadi cemas melihat keempat orang itu. Apalagi menilik salah seorang diantara mereka tentu termasuk orang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Jika benar-benar orang itu mampu menahannaya untuk bertempur, maka yang lain tentu akan berhasil mengambil pusaka-pusaka di tempat penyimpanannya.
"Nah Ki Juru," berkata orang itu, "daripada perlawanan Ki Juru sia-sia. maka lebih baik Ki Juru menyerahkan saja pusaka-pusaka itu."
Tetapi Ki Juru menggeleng. Jawabnya, "Aku akan bertempur. Aku tahu bahwa pengawal yang sedikit, justru karena terpancing keluar rumah dan halaman ini. telah kalian pergunakan sebaik-baiknya. tetapi disini masih ada aku. Masih ada beberapa orang pelayan yang memiliki kemampuan sebagai seorang pengawal, meskipun tidak setingkat dengan kalian. Tetapi jumlah mereka yang lebih dari empat orang. akan dapat mengganggu kalian sampai saatnya Raden Sutawijaya kembali."
"Persetan. Kami akan membunuh semua orang, termasuk kau Ki Juru."
Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tidak mudah membunuh sesama. Meskipun kemampuanmu berlipat, namun hidup dan mati seseorang berada dibawah kuasa Yang Maha Esa."
"Persetan. Jangan biarkan ia mengulur waktu menunggu Sutawijaya kembali. Kita bunuh saja orang tua itu. Kemudian yang lain."
Ki Juru masih akan menjawab, tetapi keempat orang itu. sudah siap menyerangnya dengan senjata teracu.
Ki Juru yang tua itu tidak dapat berbuat lain. Ia surut selangkah sehingga ia berdiri di pintu. Dengan demikian, ia berusaha mengurangi kemungkinan serangan dari arah yang berlawanan.
Keempat orang itupun kemudian maju mendekatinya. Salah seorang dari mereka tiba-tiba saja berkata, "Serahkan orang tua itu kepadaku. Aku tahu. seberapa tinggi tingkat ilmunya. Ia adalah saudara tua seperguruan dengan Ki Gede Pemanahan. Namun karena Ki Gede Pemanahan adalah seorang Panglima, maka tingkat kemampuannya tentu lebih tinggi dari Ki Juru Martani. justru karena Ki Gede ditempa oleh pengalaman."
Ki Juru Matani termangu-mangu. Orang itu ternyata dapat menjajagi ilmunya dan memperbandingkannya dengan Ki Gede Pemanahan dengan tepat. Karena itu, maka iapun menjadi berdebar-debar. Jika orang itu berhasil mengikatnya dalam perkelahian, maka ketiga kawannya akan dapat berbuat seperti yang dikatakannya. Merampas pusaka-pusaka yang tersimpan dibilik penyimpanan pasaka. karena para pelayan rumah itu tentu tidak akan mampu melawannya.
"Tinggalkan orang tua itu," berkata orang yang agaknya pemimpin dari keempat orang itu, "carilah pusaka-pusaka itu."
Ki Juru memandang orang itu sejejak. Namun ia menjadi semakin gelisah ketika ketiga orang lainnya ternyata surut selangkah.
"Persetan," geram orang yang berhadapan dengan Ki Juru Martani, "seandainya kau dapat menangkap angin, namun jika kau tidak lenyap dari tatapan mataku, maka kau akan binasa."
Ki Juru tidak menjawab. Tetapi iapun telah menggemgam pedang. Meskipun ia sudah tua. tetapi ia masih memiliki kemampuannya sebagai seorang yang berilmu tinggi.
Namun dalam pada itu. selagi ketiga orang yang datang itu beringsut surut, terdengarlah suara dari gandok, "Biarlah ketiga orang itu akulah yang menemani."
Semua orang berpaling kepada suara itu. Ki Juru mengerutkan keningnya. Sebenarnya ia memang mengharap Agung Sedayu keluar dari biliknya. Tetapi ia tidak dapat mempersilahkannya. Ia adalah seorang tamu, apalagi ia mendengar, bahwa orang-orang itu memang mencari Agung Sedayu.
"Siapa kau" " salah seorang dari keempat orang itu bertanya.
"Aku kira. kalian memang mencari aku," jawab Agung Sedayu. "ternyata kalian memang cerdik. Kalian memancing para pengawal keluar. Dan kini kalian benar-benar dapat bertemu dengan aku."
"Persetan," geram orang yang sudah berhadapan dengan Ki Juru, "jadi kau Agung Sedayu?"
"Apakah kau belum mengenal aku" Jika demikian, apakah kau dapat menjalankan tugasmu jika kalian bertemu aku diperjalanan ke Sangkal Putung" Aku kira kalian memang mengikuti jejakku dan akan menjebabku disepanjang jalan menuju ke Kademangan Sangkal Putung itu."
Keempat orang itu termangu-mangu. Mereka memandang Agung Sedayu seperti memandang hantu. Debar dadanya terasa semakin keras ketika mereka melihat Agung Sedayu melangkah mendekat.
"Aku harus menjebaknya dan bersama-sama membunuhnya," berkata orang yang memimpin keempat orang itu didalam hatinya, "tetapi jika disini hadir juga Ki Juru. maka keadaannya akan menjadi gawat."
Sementara itu Agung Sedayu yang menjadi semakin dekat kemudian berkata, "Ki Sanak. Agaknya kalian memang tidak perlu mencari aku yang kalian sangka akan tinggal dan bermalam di Mataram satu atau dua hari. Setelah menurut pengamatan kalian aku telah meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Kita sudah bertemu sekarang. Dan marilah, silahkan duduk. Mungkin kalian membawa pesan untuk aku."
Keempat orang itu menjadi tegang. Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka, yang justru sudah siap bertempur melawan Ki Juru itupun berkata, "Gila. Kau berada diluar perhitungan kami saat kami memasuki rumah ini. Tetapi sekarang kita sudah bertemu. Apa boleh buat. Kau pun harus mati seperti Ki Juru Martani."
"Jangan berbicara tentang mati. seolah-olah tidak ada persoalan lain yang dapat kita perbincangkan. Bukankah kita dapat berbicara sebaik-baiknya tentang parit yang mengalir deras, tentang padi yang mulai menguning, tentang pedati yang berjalan lamban di bulak panjang atau tentang hubungan yang akrab antara sesama manusia tanpa permusuhan."
"Cukup," bentak orang yang siap melawan Ki Juru, "kau jangan mencoba mempengaruhi kami dengan kata-kata yang tidak bernilai bagi kami, orang jantan. Sekarang kalian berdua berhenti sejenak, lalu katanya kepada ketiga orang kawannya, bunuh anak itu lebih dahulu. Setelah itu, ambillah pusaka-pusaka yang ada diperbendaan pusaka."
"Tunggulah," potong Agung Sedayu, "jangan tergesa-gesa. Aku akan memberikan sedikit keterangan. Jika sekiranya kau memaksakan pertempuran, maka kita akan bertempur. Aku dan Ki Juru akan memperpanjang waktu perlawanan kami. Jika ada satu dua orang pelayan terbangun, mereka akan memukul isyarat dan sepuluh atau duapuluh orang akan memasuki halaman itu. Mereka akan melihat korban yang telah kau lumpuhkan, sebelum mereka melakukan apapun juga. Nah. kau tahu. apa yang akan terjadi atasmu."
"Cukup. Cepat, bunuh anak itu. Jika ada seorang pelayan-pun yang terbangun dan berusaha membunyikan isyarat, ia akan mati paling cepat."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Agaknya keempat orang itu memang bukan orang kebanyakan. Mereka telah mendapat kepercayaan untuk melakukan tugas yang berat.
Sebenarnyalah keempat orang itupun telah siap menghadapi segala kemungkinan. Mereka memang orang-orang terpilih. Mereka tahu pasti, apa yang telah dilakukan oleh Agung Sedayu di medan pertempuran di lembah Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.
Karena itu. maka ketiga orang yang sudah siap untuk mengambil pusaka itupun segera mendekati Agung Sedayu. sementara pemimpinnya berkata, "Salah seorang dari kalian harus siap bertindak atas para pelayan yang menyaksikan peristiwa ini. Lumpuhkan mereka seperti para pengawal yang melawan, agar mereka tidak sempat membunyikan tanda atau isyarat."
Ketiga orang itu tidak menjawab. Namun mereka melangkah semakin mendekati Agung Sedayu.
05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia dihadapkan pada suatu keadaan yang tanpa pilihan. Ia harus mempertahankan dirinya. Dan ia tidak menpunyai cara lain kecuali dengan kekerasan.
"Aku tidak mungkin menghindarkan diri dengan melarikan diri pada saat seperti sekarang ini," berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri. Dan bagaimanapun juga, ia masih belum sampai pada cara yang satu itu.
Karena itulah maka Agung Sedayupun kemudian mempersiapkan dirinya untuk menghadapi ketiga orang itu, sementara Ki Juru harus berhadapan dengan pemimpin mereka.
"Maaf ngger," tiba-tiba saja terdengar suara Ki Juru, "jika Danang Sutawijaya mempersilahkan angger tinggal, maksudnya agar angger sempat beristirahat. Tetapi justru anggerlah yang kini berkewajiban untuk melawan ketiga orang yang tidak tahu diri itu."
Agung Sedayu tidak menjawab. Perhatiannya sudah terpusat kepada ketiga orang itu, karena anak muda itupun sadar, bahwa ketiga orang itu tentu memiliki bekal untuk melakukan tugasnya.
Sejenak kemudian, maka masing-masingpun telah bersiap-siap menghadapi setiap kemungkinan. Wajah Agung Sedayu nampak buram oleh kegelisahannya. Bukan karena ia cemas menghadapi lawan-lawannya. Tetapi bahwa ialah yang diluar kehendaknya sendiri, harus menghadapi orang-orang itu di dalam lingkungan kekuasaan Raden Sutawijaya di Mataram.
Ki Juru yang tinggal menghadapi seorang lawan, mereka tidak perlu lagi bertempur dipintu pringgitan. Iapun justru keluar maju dengan pedang teracu.
"Marilah kakek tua," berkata lawannya, "aku beri kesempatan kau bertempur di tempat yang luas. Mungkin pernafasanmu masih cukup baik. sehingga kau akan mampu mengimbangi tata gerakku."
Ki Juru tidak menjawab. Ia sadar, bahwa lawannya akan mempergunakan cara yang sesuai dengan keadaannya. Lawannya tentu mengira bahwa nafasnya tidak lagi sepanjang nafas anak-anak muda.
Sejenak kemudian, lawan Ki Juru Martani itupun telah mulai menggerakkan tombaknya. Dengan lincahnya ujung tombak itu bergeser dari satu arah, kemudian berubah dari arah yang lain oleh loncatan kakinya yang cekatan.
Orang itu tertawa. Katanya, "Tombak ini adalah tombak para pengawal diregol. Aku tidak biasa mempergunakannya, karena akupun terbiasa bersenjatakan sebuah kelewang yang besar. Tetapi aku akan mencoba mempergunakan ujung tombak ini untuk menembus dada Ki Juru Martani yang namanya dikenal oleh setiap orang di seluruh wilayah Pajang dan bahkan wilayah Majapahit lama, karena sebenarnya ialah yang telah berbuat terlalu banyak lagi perkembangan Mataram."
Ki Juru tidak menjawab. Ia memperhatikan tangan dan tombak yang bergerak-gerak itu. Namun Ki Juru masih belum berbuat sesuatu. Ia masih memegang senjatanya menyilang didadanya. Hanya kakinya sajalah yang bergeser memutar tubuhnya menghadap lawannya yang dengan tangkas berloncatan.
"Kau cerdik Ki Juru," berkata lawannya. "Kau mampu menahan perasaanmu yang bergejolak untuk mempertahankan pernafasanmu yang tentu sudah terlampau pendek bagi sebuah perang tanding. Tetapi jangan cemas. Perang tanding ini tidak akan berlangsung lama. Sebentar lagi Agung Sedayu akan mati. Dan kaupun segera tertelungkup di pendapa ini. Kau akan menyesal. karena kau tidak sempat melihat Mataram berkembang lebih besar. Kau tidak dapat melihat Sutawijaya berhasil membunuh ayahanda angkatnya dan merebut tahtanya."
"Cukup," bentak Ki Juru, "sebenamya aku lebih baik diam. Tetapi kata-katamu benar-benar menyakitkan hati. Tidak seorangpun yang akan memberontak melawan Sultan Pajang selain kau dan orang-orang yang menyebut dirinya pewaris kerajaan Majapahit. Termasuk beberapa orang perwira yang berada di istana Pajang sekarang ini. Mungkin kau datang dari pihak yang lain. yang digerakkan oleh dendam semata-mata. Mungkin kau termasuk salah seorang anak buah orang-orang yang terbunuh di medan oleh Agung Sedayu. Tetapi mungkin juga kau anak buah Ki Tumenggung Wanakerti. Adalah ciri orang-orang yang berpikiran licik, bahwa kematian dimedan perang masih juga menimbulkan dendam yang berkepanjangan."
"Kau pintar juga kakek tua. Baiklah. Aku tidak berkeberatan untuk mengaku sebelum aku dapat membunuhmu," geram orang itu sambil menyerang.
Ki Juru berusaha menghindar. Dengan gerak yang sederhana ia berhasil menghindarkan dirinya dari pagutan ujung tombak lawannya. Ketika kemudian ujung tombak itu sekali lagi mematuk, maka dengan pedangnya Ki Juru menyentuhnya, sehingga ujungnya bergeser sejengkal dari tubuhnya.
Lawan Ki Juru itu masih sempat tertawa. Katanya, "Kau masih tangkas juga Ki Juru. Baiklah, kita akan segera melihat, apakah kau benar-benar masih tetap memiliki namamu yang besar itu."
Ki Juru tidak menjawab. Tetapi ia mengerutkan keningnya ketika ia melihat lawannya melemparkan tombak panjangnya dan kemudian menarik sebuah kelewang yang besar seperti yang dikatakannya.
"Tombak itu sama sekali tidakberarti bagiku," geramnya.
Ki Juru mempersiapkan dirinya. Ia sadar, bahwa ia harus mulai dengan pertempuran yang sebenarnya melawan orang yang kurang dikenalnya itu.
Dengan wajah yang tegang orang itu melangkah mendekati lawannya. Sorot matanya seolah-olah telah berubah menjadi buas dan liar. Ketika ia mengayunkan kelewangnya, maka terasa angin yang tergeser menyentuh tubuh Ki Juru.
"Hem," Ki Juru menarik nafas panjang, "orang ini agaknya memang orang luar biasa. Tenaganya melampaui tenaga orang kebanyakan. Dan sudah barang tentu, ia termasuk orang pilihan," katanya didalam hati.
Ternyata sejenak kemudian, Ki Juru benar-benar harus bertempur melawan orang bersenjata kelewang itu. Ternyata ia benar-benar seorang yang mampu bergerak diluar dugaan. Kakinya berloncatan seolah-olah tidak berjejak diatas tanah. Sementara kelewangnya berputar seperti baling-baling disekitar tubuh lawannya.
Seperti yang diperhitungkan lawannya, Ki Juru berusaha membatasi geraknya, agar ia tidak kehabisan nafas.
Tetapi lawannyapun cukup cerdik. Ia selalu memancing, agar Ki Juru terpaksa meloncat dengan loncatan-loncatan panjang dan dengan cepat mengikuti arah serangan-serangannya.
Sementara itu. Agung Sedayupun telah terlihat dalam perkelahian. Agaknya Agung Sedayu masih ingin menyelesaikan persoalan itu tanpa mengganggu orang lain, sehingga ia masih belum bernafsu untuk mempergunakan cambuknya.
"Cambukku dapat mengundang sekelompok pengawal," katanya didalam hati, "dengan demikian akan berarti keempat orang ini akan habis dicincang jika para pengawal mengetahui nasib kawan-kawannya meskipun mungkin mereka hanya pingsan dan tidak mati."
Karena itulah, maka ketika orang yang bertempur melawan Ki Juru itu melemparkan tombaknya. Agung Sedayu meloncat dengan kecepatan yang tidak diduga, apalagi yang dilakukan itu sama sekali tidak diperhitungkan oleh lawannya. berhasil menggapai tangkai tombak itu, dan kemudian mempergunakannya.
"Agung Sedayu," salah seorang lawannya menggeram, "aku dengar kau adalah seorang kesatria yang bersenjatakan cambuk seperti gurumu. Dimana cambukmu he" Jika cambukmu ketinggalan dibilikmu, aku beri kesempatan kau untuk mengambilnya."
Agung Sedayu tidak menjawab. Namun tiba-tiba orang yang berbicara itu terkejut. Ujung tombak Agung Sedayu tiba-tiba saja telah menyambar mulutnya. Untunglah ia masih sempat mengelak, sehingga bibirnya tidak robek karenanya.
Son Of Neptune 2 Pendekar Naga Putih 85 Setan Pantai Timur Pedang Kiri Pedang Kanan 8
"Persetan," geram Prastawa, "kau tidak usah ikut campur. Justru kau dan kawan-kawanmulah yang aku harapkan akan dapat menjadi saksi sekarang ini. Apakah benar bahwa Agung Sedayu memiliki ilmu seperti yang disangka orang, yang mampu melampaui kemampuan orang-orang terpenting dalam pasukan orang-orang yang mengaku dirinya pewaris kerajaan Majapahit itu."
Anak muda itupun menarik nafas dalam-dalam. Anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh itupun menyadari, bahwa ternyata Prastawa merasa kurang yakin bahwa Agung Sedayu benar-benar telah berhasil mengejutkan para pengawal bahkan para pemimpin dari Tanah Perdikan Menoreh, dari Mataram dan dari Sangkal Putung.
Namun dalam pada itu. Agung Sedayu mengeluh didalam hati. Bahkan ia berdesah didalam dadanya, "Apakah jika aku sampai di Sangkal Putung, Swandarupun akan memperlakukan aku seperti ini ?"
Namun dengan suara yang berat mendatar ia berkata kepada anak anak muda Tanah Perdikan Menoreh, "Prastawa telah salah paham. Aku sudah mengatakan, bahwa aku bukan apa-apa. Jika ada orang-orang yang terbunuh dipeperangan, tentu bukan aku sendirilah yang membunuhnya, karena aku bertempur didalam kelompok-kelompok yang padat. Selebihnya, aku telah bertekat untuk tidak berbuat apa-apa, meskipun akan mengalami perlakuan yang bagaimanapun juga."
"Pengecut," teriak Prastawa. Sedangkan jawab Agung Sedayu benar diluar dugaannya, "Benar Prastawa. Mungkin aku memang seorang pengecut."
Rasa-rasanya dada Prastawa akan meledak. Tetapi dalam keadaan yang demikian, dihadapan saksi-saksi, ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Ia tidak dapat menyerang dan apalagi menyakiti Agung Sedayu yang sudah mengatakan, tidak akan melawan. Bahkan iapun tidak menolak ketika Prastawa berusaha membuatnya marah dan mengatakannya sebagai seorang pengecut.
Karena itu, yang dapat dilakukan Prastawa hanyalah mengumpat tidak habis-habisnya. Sekali-sekali ia masih melontarkan hinaan untuk membakar hati Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu tetap tabah. Ia selalu berusaha untuk menguasai dirinya seperti saat-saat ia mengalami perlakuan yang hampir sama dari Raden Sutawijaya.
Dalam pada itu, Prastawa yang merasa tidak berhasil memaksa Agung Sedayu untuk bertempur, menggeram, "Mudah-mudahan tidak kau ajarkan kepada anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh sifat-sifat pengecutmu itu."
Agung Sedayu tidak menjawab.
"Tetapi pada suatu saat, aku akan membuktikan, bahwa kau bukan orang yang pantas disanjung-sanjung. Sekarang kau masih dapat mempertahankan namamu dengan menghindarkan diri dari pembuktian bahwa sebenarnya kau tidak lebih dari aku dan anak-anak Tanah Perdikan Menoreh yang lain. Bahkan kau berhasil memberikan kesan yang lebih tinggi lagi pada dirimu sendiri, seolah-olah kau adalah orang yang mumpuni tetapi rendah hati. Sebenarnyalah bahwa kau memang sedang menyembunyikan kekurangan-kekuranganmu." geram Prastawa.
Agung Sedayu tetap tidak menjawab. Ia benar-benar berusaha menghindarkan diri dari kemungkinan yang sama sekali tidak diingininya itu.
Karena Agung Sedayu tetap tidak menanggapinya, maka akhirnya Prastawa itu berkata dengan nada kasar, "Jika demikian, sebaiknya kau tidak terlalu lama berada disini Agung Sedayu. Kau hanya akan mengotori Tanah Perdikan Menoreh dengan sifat-sifat licik dan pengecut. Jika kau masih saja berada disini, mungkin pada suatu saat aku benar-benar kehilangan kesabaran dan memaksamu untuk bukan saja sekedar berlatih, tetapi benar-benar berkelahi, karena jangan kau kira bahwa dengan sikap besarmu yang pura-pura itu aku menjadi segan kepadamu."
Rasa-rasanya jantung Agung Sedayu berdentang lebih keras. Betapapun juga, darahnya adalah darah muda. Namun ia masih tetap bertekad untuk tidak melayani Prastawa, apapun yang akan diperbuatnya.
Dalam kepepatan, Prastawapun kemudian menghentakkan tinjunya. Namun iapun kemudian melangkah cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu. Dipandanginya anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang masih tetap tinggal bersamanya.
Meskipun demikian, rasa-rasanya memang ada jarak antara dirinya dengan anak-anak muda itu justru karena sikap Prastawa. Anak-anak muda itu pada saat-saat selanjutnya akan tetap berada dibawah pimpinan Prastawa. Jika kehadirannya akan dapat memberikan kesan yang lain terhadap Prastawa, atau jika pada suatu saat Prastawa berhasil meyakinkan sikapnya kepada anak-anak muda itu, maka ia memang akan menjadi orang lain bagi Tanah Perdikan Menoreh.
Karena itu, maka selagi masih ada kesempatan, ia ingin meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh dengan baik dan tanpa kesan yang dapat menodai hubungannya dengan Tanah Perdikan Menoreh untuk seterusnya.
Ketika Prastawa telah tidak nampak lagi. maka Agung Sedayupun kemudian berkata, "Aku minta maaf, bahwa barangkali sikapku memang tidak menyenangkan."
Tetapi anak muda yang umurnya paling tua itupun berkata, "Tidak Agung Sedayu. Kau tidak bersalah."
Meskipun demikian. Agung Sedayu tidak berani menanggapinya. Jika ia menyebut kekurangan Prastawa, maka mungkin ia akan justru terjebak dalam keadaan yang sulit. Jika anak itu pada suatu saat menemukan kecocokan dengan Prastawa, maka semuanya tentu akan disampaikannya kepada anak muda yang tinggi hati itu.
Itulah sebabnya, maka Agung Sedayu tetap berhati-hati. Bahkan kemudian dengan hati yang berdebar-debar ia berkata, "Kawan-kawan, agaknya aku memang harus meninggalkan. Tanah Perdikan ini dengan segera."
"Tetapi kau berjanji untuk tinggal di sini tiga hari lagi," sahut anak muda yang lain.
"tiga hari itu saja. Tetapi agaknya keadaanku tidak sebaik yang aku sangka. Pada suatu saat mungkin akan dapat timbul persoalan-persoalan yang tidak kita kehendaki bersama." Agung Sedayu termangu-magu sejenak. Namun kemudian ia melanjutkan, "Karena itu. apa yang sudah aku sampaikan kepada kalian akan dapat kalian kembangkan sendiri."
Besok pagi-pagi benar, aku akan meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh, kembali ke Sangkal Putung, untuk seterusnya kepadepokan kecilku. Adikku tentu sudah lama menunggu. Apalagi jika ia mengetahui bahwa guru sudah lebih duhulu kembali."
Anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh sebenarnya masih ingin menahannya. Tetapi merekapun menyadari, bahwa hubungan antara Agung Sedayu dan Prastawa yang masih sangat muda itu agaknya kurang baik. Meskipun mereka tidak tahu sebabnya dengan pasti. Ada diantara mereka yang meraba-raba. bahwa hubungan itu sudah terlalu buruk sejak ayah Prastawa masih bersikap menentang kekuasaan Ki Gede Menoreh. Tetapi ada pula yang berpendapat, bahwa Prastawa menjadi iri hati atas keberhasilan Agung Sedayu.
Karena itulah, maka anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh tidak berusaha lagi untuk menahan Agung Sedayu. Betapapun keinginan mereka untuk mendapat sekedar tambahan petunjuk-petunjuk tentang kanuragan dan gelar perang, namun mereka tidak dapat mengesampingkan sikap Prastawa, sehingga Agung Sedayu harus menahan hati.
Meskipun demikian ada juga diantara mereka yang justru menjadi cemas, apakah Prastawa justru tidak mempergunakan kesempatan perjalanan Agung Sedayu yang seorang diri kembali kepadepokan kecilnya. Jika hati Prastawa masih tetap panas, maka ia akan dapat berbuat diluar sadarnya disaat Agung Sedayu diperjalanan.
Buku 112 DEMIKIANLAH. maka Agung Sedayupun kemudian menghadap Ki Gede Menoreh ketika ia berada kembali di rumah Ki Gede itu. Rasa-rasanya ia tidak dapat bertahan lebih lama lagi, meskipun hanya semalam.
Hatinya menjadi berdebar-debar ketika Prastawapun kemudian hadir pula menemuinya dipendapa. Sekaligus Agung Sedayu sempat memandang wajah anakmuda yang buram itu.
Tetapi Agung Sedayu sama sekali tidak ingin mengatakan kepada Ki Gede Menoreh, bahwa sikap Prastawalah yang telah memaksanya mempercepat meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh.
Semula Ki Gede Menoreh berusaha untuk menahannya. Seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu sendiri, ia masih akan tinggal untuk dua tiga hari lagi. Namun tiba-tiba saja ia telah merubah keputusannya dan kembali ke Kademangan Sangkal Putung.
Tetapi Agung Sedayu tidak lagi merubah niatnya. Dengan nada datar ia berkata, "Guru tentu sudah menunggu aku. Bahkan mungkin guru menjadi gelisah. Sedangkan dipadepokan kecil yang akan bangun bersama guru, adikku telah menunggu aku pula. Akulah yang menbawanya kepadepokan kecil itu. sehingga jika aku terlalu lama pergi, mungkin ia akan merasa jemu tinggal dipadepokan itu."
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, "Kerinduan memang kadang-kadang bagaikan memanggil kita untuk segera datang. Apalagi kerinduan rangkap seperti angger Agung Sedayu. Adiknya memang sudah lama menunggu. Tetapi selain adiknya, tentu masih ada lagi yang menunggunya."
Anak-anak muda yang ada dipendapa itupun tersenyum. Namun berbeda dengan mereka, wajah Prastawa menjadi merah. Terasa sesuatu bagaikan melonjak didalam dadanya.
Tiba-tiba saja wajah Sekar Mirah telah membayang didalam angan-angannya. Ia sadar sepenuhnya, bahwa antara Sekar Mirah dan Agung Sedayu telah terjalin suatu ikatan batin. Namun rasa-rasanya ia tidak ikhlas mendengar kedua-duanya itu dihubung-hubungkan dalam keadaan yang bagaimanapun juga.
Tetapi Prastawa masih dapat menahan hatinya, ia berusaha untuk melenyapkan kesan itu dari wajahnya. Bagaimanapun juga ia masih tetap sadar bahwa ia tidak akan dapat berdiri diantara kedua nama yang sudah bertaut itu.
Demiklanlah, maka Ki Gede tidak dapat menahan lagi agar Agung Sedayu tetap tinggal di Tanah Perdikan Menoreh meskipun hanya untuk dua tiga hari lagi. Karena itulah maka iapun kemudian hanya dapat mengucapkan terima kasih atas kehadirannya di Tanah Perdikan menoreh dan berada didalam pasukan para pengawal Tanah Perdikan itu saat-saat mereka berada dilembah yang gawat antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.
Selebihnya Agung sedayu telah manberikan banyak petunjuk bagi para pengawal baik secara pribadi maupun sebagai kelomnok dalam gelar perang.
Malam menjelang keberangkatan Agung Sedayu, anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh berkumpul dipendapa rumah Kepala Tanah Perdikannya. Mereka ingin mengucapkan terima kasih kepada Agung Sedayu atas segalanya yang pernah ia berikan bagi Tanah Perdikan itu.
Hampir semalam suntuk Agung Sedayu justru tidak dapat tidur. Sampai menjelang fajar. masih ada anak-anakmuda yang duduk dipendapa. Namun Ki Gedelah yang kemudian mempersilahkan Agung Sedayu untuk beristirahat, meskipun hanya sebentar.
Prastawa yang melihat sambutan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh kepada Agung Sedayu merasa jantungnya semakin bergejolak. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa, Ki Gede Menoreh seakan-akan memberikan tempat yang amat baik bagi Agung Sedayu di Tanah Perdikan itu, sehingga hampir-hampir melupakannya.
Meskipun Ki Gede sudah nampak memberikan kepercayaan kepadanya terutama saat pasukan Tanah Perdikan Menoreh berada dilemhah antara Gunung Merapi dan Merbabu, namun Ki Gede menjadi sangat berbangga kepada Agung Sedayu.
"Secara kebetulan Agung Sedayulah yang telah menjumpai orang-orang tua yang tidak memiliki kelebihan apapun juga itu, sehingga karena itulah maka orang-orang Tanah Perdikan Menoreh menganggap bahwa Agung Sedayu adalah anak muda yang perkasa," geram Prastawa didalam hatinya.
Ketika Matahari kemudian terbit di Timur, maka Agung Sedayupun telah berkemas. Ia masih sempat tidur meskipun hanya sejenak, sehingga tubuhnya terasa men jadi segar.
"Aku akan singgah barang sejenak di Mataram," berkata Agung Sedayu kepada Ki Gede ketika ia sudah siap untuk berangkat.
"Salamku buat Senapati Ing Ngalaga, serta Ki Juru Martani dan para pemimpin di Mataram," berkata Ki Gede M enoreh.
"Baiklah Ki Gede. Aku akan menyampaikannya," Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu sekali lagi minta diri kepada Ki Gede dan para bebahu di Tanah Perdikan Menoreh. Anak-anak mudapun banyak pula yang hadir dihalaman rumah Ki Gede untuk melepas Agung Sedayu meninggalkan Tanah Perdikan itu.
Betapapun geramnya hati Prastawa, namun ia berada juga diantara anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh dan melepas Agung Sedayu sampai keregol halaman.
"Dua orang pengawal akan mengawaninya sampai ketepi sungai Praga," berkata Ki Gede.
"Ah. terima kasih Ki Gede, Agaknya hanya akan merepotkan mereka saja. Biarlah aku berjalan sendiri."
"Bukan untuk mengawal," berkata Ki Gede, "mereka tidak ada gunanya bagimu. Tetapi sekedar menjadi kawan berbincang disepanjang jalan sampai ketepi Sungai."
Agung Sedayu tidak dapat menolak. Karena itu, maka diperjalanannya ia disertai dua orang pengawal yang dapat menjadi kawan bercakap-cakap disepanjang jalan sampai ketepi Kali Praga.
Sebenarnya terasa berat juga hati Agung Sedayu meninggalkan Tanah Perdikan itu. Ada sesuatu yang rasa-rasanya mengikatnya diatas Tanah Perdikan itu, meskipun sebenarnya ia tidak mempunyai banyak sangkut paut dengan Tanah itu. Ia orang lain bagi Tanah Perdikan Menoreh meskipun ia sudah mengenalnya dengan baik seperti ia mengenal tempat tinggalnya sendiri.
Telah menjadi keputusan Agung Sedayu, bahwa ia akan singgah di Mataram meskipun hanya sejenak. Ia ingin bertemu dengan Raden Sutawijaya dan melihat perkembangan keadaan setelah beberapa hari mereka menyelesaikan tugas mereka dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.
Dalam pada itu, disepanjang jalan, para pengawal yang mengantarkan Agung Sedayu masih memanfaatkan pertemuan mereka yang hanya tinggal sejenak itu. Mereka bertanya tentang berbagai hal mengenai bentuk-bentuk gelar dimedan dan mengenai jenis-jenis senjata dan penggunaannya.
Agung Sedayu mencoba untuk menjawab semua pertanyaan mereka, meskipun kadang-kadang ia sendiri terpaksa menggelengkan kepalanya sambil berkata, "Maaf, aku tidak mengerti. Aku belum pernah melihat jenis senjata yang kau tanyakan."
Perjalanan Agung Sedayu ternyata tidak terlampau panjang ketika kemudian ia mencapai tepi Kali Praga. Dengan hati yang berat maka iapun kemudian minta diri kepada kedua pengawalnya untuk turun ke getek yang akan membawanya menyeberang.
"Selamat jalan Agung Sedayu. Mudah-mudahan kau tidak lama lagi sudah berada di Tanah Perdikan Menoreh pula," berkata salah seorang pengawal yang menemuinya.
Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, "Mudah-mudahan. Aku memang ingin kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Aku ingin membawa adik sepupuku berjalan-jalan menyusur jalan yang agak panjang agar ia dapat mengenal lingkungannya."
"Benar " Bawalah adikmu ke Tanah Perdikan Menoreh. Ki Gede tentu akan senang sekali menerimanya."
Agung Sedayu tersenyum. Namun katanya kemudian, "Sudahlah. Selamat tinggal."
"Kedua pengawal itupun melepaskan Agung Sedayu menyeberang diatas sebuah rakit bambu. Sejenak keduanya masih berdiri ditepian sambil melambaikan tangan.
Agung Sedayupun melambaikan tangannya pula. Anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh itu seolah olah sudah menjadi saudara-saudaranya yang dekat.
Namun akhirnya kedua pengawal itupun meninggalkan tepian. dan berkuda kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.
"Aku tidak dapat mengerti sikap Prastawa," desis salah seorang dari mereka.
"Mungkin ia meragukan keunggulan Agung Sedayu," jawab yang lain.
"Jika ia hanya meragukan, itu masih lebih baik daripada jika sebenarnya ia merasa iri atas keberhasilan Agung Sedayu," desis kawannya.
Yang lain tidak menjawab. Namun nada umumnya memang ada kesan yang kurang baik terhadap anak muda itu. Anak muda yang sebenarnya mempunyai beberapa kelebihan dari kawan-kawannya.
Tetapi sikapnya dan tingkah lakunya telah menumbuhkan kegelisahan diantara anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh.
Bahkan bukan saja anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh, karena akhirnya yang terjadi itu sampai juga ketelinga Ki Gede. Beberapa orang anak muda tidak dapat menahan hatinya, dan disaat Prastawa tidak menghadap Ki Gede, anak-anak muda itu telah menanyakan apakah sebabnya Prastawa bersikap demikian.
Tetapi senerti anak-anak muda itu, Ki Gede Menorehpun hanya dapat meraba-raba. karena iapun tidak tahu pasti apa yang terkandung didalam hati anak muda itu.
Namun demikian Ki Gede Menoreh sama sekali tidak ingin bertanya kepada Prastawa. karena ia tidak ingin melihat pertentangan itu meluas diantara anak-anak muda di Tanah Perdikan itu sendiri. Jika Prastawa mengetahui bahwa ada satu dua orang yang menyampaikan persoalannya itu kepada Ki Gede. maka Prastawa tentu akan marah dan dengan curiga akan mencari siapakah yang telah mengatakannya kepada Ki Gede Menoreh.
Tetapi Ki Gede sudah bertekad untuk menjajagi hati anak muda itu dengan hati-hati dan tidak menimbulkan goncangan perasaan padanya.
Sementara itu. Agung Sedayu yang telah menyeberangi Kali Praga telah melanjutkan perjalanannya ke Mataram. Diperjalanan ia sama sekali tidak mengalami gangguan apapun. Agaknya jalan ke Mataram benar-benar merupakan jalan yang tenang.
Demikian pula saat Agung Sedayu mendekati Kota Mataram. Kota yang sedang tumbuh itu nampak tenang dan hidup. Sawah yang luas nampak hijau dan basah, sedangkan di jalan-jalan dan bulak-bulak panjang nampak beberapa buah pedati berjalan perlahan-lahan memuat hasil-hasil sawah yang melimpah pulang kerumah masing-masing.
"Mataram memang suatu negeri yang sedang tumbuh dan akan menjadi besar," gumam Agung Sedayu. Lalu. "Agaknya wahyu keraton memang mungkin sekali berpindah dari Pajang ke Mataram. Pajang yang semakin suram akan menjadi silam melihat perkembangan Mataram. Apalagi di Pajang sendiri terdapat benih-benih yang akan dapat melumpuhkan kekuasaan Pajang itu sendiri."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam jika ia mengenangkan sikap Raden Sutawijaya yang berkeras tidak mau menghadap ke Pajang. Bahkan kemudian timbul pula suatu pertanyaan, "Apakah Raden Sutawijaya justru telah membuat perhitungan-perhitungan tertentu yang dapat melampaui perjalanan waktu, sehingga Raden Sutawijaya telah berani mengambil sikap terhadap Pajang sejak sekarang ?"
Tetapi pengamatan atas perkembangan Pajang memang tidak menggembirakan. Memang beberapa Adipati dipesisir dan di bagian Timur dari daerah Pajang masih tetap merupakan kekuatan yang harus diperhitungkan. Tetapi rasa-rasanya ikatan diantara mereka sudah menjadi semakin kendor. Apalagi Pajang tidak lagi berusaha meneruskan langkah Sultan Trenggana di Demak yang terbunuh di medan saat ia berjuang untuk mempererat ikatan kesatuan Demak di tataran terakhir.
Dan kini. Pajang justru menjadi semakin suram.
Angan -angan Agung Sedayu terputus ketika ia mendekati gerbang kota Mataram. Dilihatnya seorang pengawal berdiri bersandar dinding batu tanpa menghiraukan orang-orang yang melewati pintu gerbang.
Namun hal itu bagi Agung Sedayu merupakan pertanda, bahwa Mataram benar-benar dalam keadaan tenang.
Meskipun demikian, Agung Sedayu berdesis didalam hatinya, "Baru saja pertempuran dilembah itu berakhir. Tidak semua orang dipasukan lawan dapat ditangkap. Bahkan mungkin mereka dapat berhubungan dengan pihak-pihak tertentu untuk melepaskan dendamnya, mengacaukan Mataram meskipun mereka yakin tidak akan dapat berbuat lebih dari pada itu."
Tetapi Agung Sedayu tidak berbuat sesuatu. Ia lewat melalui pintu gerbang, seperti orang-orang lain lewat.
Namun ternyata Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Nalurinya yang tajam telah menangkap isyarat, bahwa ternyata beberapa orang yang berada disepanjang jalan, yang seolah-olah sekedar berjalan-jalan tanpa tujuan, adalah petugas-petugas sandi dari Mataram.
Apalagi ketika tiba-tiba saja ia melihat seseorang yang duduk dibawah sebatang pohon sambil terkantuk-kantuk. Ditangannya tergenggam sebatang tongkat yang panjang.
Agung Sedayu tidak dapat dikelabui oleh pakaian yang sederhana dan sikap yang malas. Karena itu, maka iapun kemudian menghentikan kudanya, dan menuntun mendekati orang itu. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, maka Agung Sedayu langsung duduk disebelah orang itu sambil memegangi kendali kudanya.
Orang itu memandang Agung Sedayu dengan heran. Bahkan kemudian ia bergeser sambil bertanya, "Siapa kau anak muda?"
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tersenyum sambil menjawab, "Namaku Ki Banaran."
Orang yang berpakaian sederhana dan bermalas-malas dipinggir jalan itu menatap Agung Sedayu dengan tajamnya. Namun kemudian desisnya, "Pandangmu tajam sekali anak muda. Aku kira kau tidak mengenal aku lagi."
Agung Sedayu tertawa. Katanya, "Meskipun kau memakai samaran apapun juga, aku tidak akan dapat kau kelabui. Hidungmu mempunyai ciri tersendiri. Tatapan matamu seperti tatapan mata burung hantu. Sedangkan gelang sulur waringin tunggal dikakimu semakin meyakinkan aku, bahwa aku berhadapan derigan Ki Banaran."
Orang yang disebut Ki Banaran itu akhirnya tersenyum. Katanya, "Luar biasa. Hanya anak muda yang luar biasa sajalah yang dapat mengenalku. Baiklah. Aku tidak dapat ingkar lagi."
"He. apakah masih ada niatmu untuk ingkar?" bertanya Agung Sedayu.
"Jangan terlalu keras. Bukankah kau tahu, bahwa aku sedang bertugas ?"
"Ya. Tetapi apakah yang sedang kau cari disini ?"
Ki Banaran mengerutkan keningnya. Namun katanya kemudian, "Kau akan menghadap Senapati Ing Ngalaga ?"
"Ya. Aku baru datang dari Tanah Perdikan Menoreh."
"Sejak pertempuran di lembah"," bertanya Ki Banaran.
"Ya. Bukankah baru beberapa hari?"
Ki Banaran mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk.
"Apa kerjamu disini?" bertanya Agung Sedayu kemudian.
Ki Banaran menjadi ragu-ragu. Sejenak ia memandang Agung Sedayu, seakan-akan ia sedang meyakinkan apakah ia dibenarkan untuk mengatakan sesuatu kepada anak muda itu.
"Kau curiga kepadaku" Atau barangkali kau benar-benar tidak yakin bahwa aku Agung Sedayu?"
Ki Banaran menarik nafas panjang. Katanya kemudian, "Aku mengerti. Tetapi rasa-rasanya ragu-ragu juga untuk mengatakan."
Agung Sedayu tersenyum, dan Ki Banaran berkata, "Sebenarnya tugasku sekarang sudah tidak berarti. Tetapi sekedar sikap hati-hati. Apa petugas sandi dari Pajang yang berada di Mataram. Tetapi petugas itu sudah kembali ke Pajang. Meskipun demikian, mungkin ada petugas-petugas lain yang datang kemudian diluar pengetahuan kita."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, "Itulah sebabnya ada beberapa petugas sandi yang tersebar."
"Tidak diseluruh kota. Hanya di pintu-pintu gerbang. Disini ada tiga orang petugas sandi untuk mengawasi orang-orang yang keluar masuk pintu gerbang. Mungkin ada yang mencurigakan seperti kau."
Agung Sedayu tersenyum pula. Katanya, "Ada tiga orang disetiap pintu gerbang. Agaknya sudah cukup. Tetapi apakah kau pernah melihat orang-orang yang pantas dianggap sebagai petugas sandi dari Pajang atau dari manapun juga?"
"Pernah. Kau." Agung Sedayu tertawa. Katanya, "Kau tidak pantas menjadi petugas sandi. Tetapi baiklah aku melanjutkan perjalanan. Apakah ada keterangan lain?"
"Bertanyalah kepada Senapati Ing Ngalaga. Pajang menganggap kita sudah bersiap untuk bertempur dan memberontak. Itulah sebabnya maka mereka mengirimkan petugas sandinya kemari untuk melihat persiapan itu."
Wajah Agung Sedayu menjadi tegang. Dengan sungguh-sungguh ia bertanya, "Dan petugas sandi itu melihat pasukan yang datang dari lembah" Pasukan Mataram dan Sangkal Putung?"
Ki Banaran menggeleng. Katanya, "Pergilah menghadap Senapati. Kau akan mendapat banyak keterangan. Tetapi tidak disini. Batang-batang kayu itu mungkin bertelinga."
"Sementara kau sendiri tidak," desis Agung Sedayu.
Ki Banaran mengerutkan keningnya. Namun sambil tersenyum iapun kemudian berkata, "Sudahlah. Pergilah. Jika kau ingin singgah di warung-warung, mungkin masih ada satu dua yang dapat melayanimu."
Agung Sedayu kemudian bangkit berdiri sambil berkata, "Selamat tinggal. Duduklah disitu sampai matahari terbenam. Itu adalah tugasmu."
Ki Banaran mengerutkan keningnya. Namun Agung Sedayu tersenyum. Ia senang melihat Agung Sedayu. Anak muda yang ramah namun memiliki kemampuan yang luar biasa, meskipun pada saat-saat tertentu anak muda itu dapat kehilangan kemampuan untuk mengambil sikap yang menentukan.
Ki Banaran melambaikan tangannya ketika Agung Sedayu meloncat kepunggung kudanya dan berderap meninggalkannya.
Sepeninggal Agung Sedayu, Ki Banaran kembali duduk pada sikapnya. Malas dan seolah-olah tidak acuh terhadap orang-orang yang lewat. Ternyata selain Agung Sedayu. tidak seorangpun yang dapat mengenalnya karena penyamarannya, karena orang-orang Mataram tidak mengira, bahwa Ki Banaran seorang dari para pemimpin pasukan pengawal Mataram berpakaian sangat sederhana dan duduk bermalas-malas dipinggir jalan, seperti tingkah laku orang-orang malas yang menghabiskan waktunya tanpa arti.
Sementara itu Agung Sedayu telah memacu kudanya meskipun tidak terlalu cenat, karena ia sudah berada didalam kota. Ia ingin segera menghadap Raden Sutawijaya untuk mendengarkan keterangannya tentang petugas-petugas sandi dari Pajang dan sikap Pajang terhadap Mataram pada saat saat-saat terakhir.
Kedatangan Agung Sedayu di rumah Raden Sutawijaya ternyata telah mendapat sambutan yang baik sekali. Raden Sutawijaya menjadi sangat gembira karena kedatangannya. Bahkan orang-orang tua di Matarampun telah memerlukan menerima kedatangannya. Ki Juru Martani. Ki Lurah Branjangan. Ki Lurah Dipayana dan beberapa orang pemimpin lainnya telah berkumpul untuk menyambut kedatangan Agung Sedayu.
Sejenak mereka saling menanyakan keselamatan masing-masing seperti yang selalu dilakukan oleh mereka yang bertemu kembali setelah terpisah beberapa saat.
Setelah Agung Sedayu disuguhi sekedar minum dan beberapa potong makanan, maka mulailah mereka berbicara tentang berbagai macam persoalan yang merambat kepada persoalan yang dihadapi disaat terakhir oleh Mataram.
"Aku bertemu dengan Ki Banaran," berkata Agung Sedayu.
Ki Juru Martani mengerutkan keningnya. Dengan nada dalam ia bertanya, "Dimana angger menjumpainya?"
"Dipintu gerbang." jawab Agung Sedayu.
"Apakah yang dilakukannya"," bertanya Ki Juru kemudian.
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya dengan tersenyum, "Ia sedang bertugas."
Ki Lurah Branjangan memotong, "Dan kau dengan mudah dapat mengenalnya sebagai Ki Banaran, atau Ki Banaran yang telah menegurmu?"
Agung Sedayu termangu-mangu. Tetapi ia sudah terlanjut berbicara tentang Ki Banaran. Baru kemudian ia sadar, bahwa seharusnya tidak semudah itu untuk dapat mengenalnya, akan dengan mudah dapat mengetahui, bahwa Mataram mengadakan pengawasan yang ketat.
Tetapi sebelum Agung Sedayu menjawab Ki Juru Martani telah mendahului, "Jangan heran jika angger Agung Sedayu mampu mengenalnya. Ia mempunyai ketajaman pengenalan lebih dari orang kebanyakan."
"Ah," desah Agung Sedayu, "bukan karena itu Ki Juru. Tetapi ada ciri yang aku kenal baik. karena sebelumnya aku pernah mempercakapkan dengan Ki Banaran sendiri."
"Apa"," bertanya Ki Lurah Branjangan.
"Gelang sulur wringin tunggul dikakinya. Bukankah jarang orang yang bergelang dikakinya bagi seorang laki-laki?" jawab Agung Sedayu.
Orang-orang yang mendengarnya mengangguk-angguk. Jawaban Agung Sedayu memang masuk akal. Tetapi bahwa seseorang langsung dapat melihat gelang dikaki orang lain adalah sesuatu yang sangat kebetulan.
Meskipun demikian, orang-orang yang berkumpul menemui Agung Sedayu itu tidak bertanya lebih jauh.
Yang kemudian mereka bicarakan adalah sikap Pajang yang penuh curiga, meskipun pada umumnya para pemimpin di Mataram menyadari, bahwa ada orang-orang tertentu yang telah menghasut dan memanaskan keadaan.
Agaknya pembicaraan mereka jadi berkepanjangan. Agung Sedayu memang berminat untuk bermalam di Mataram, agar ia dapat mendengar banyak keterangan yang barangkali sangat diperlukan.
Dari Raden Sutawijaya sendiri. Agung Sedayu mendengar usaha para petugas sandi dari Pajang yang telah datang ke Mataram tepat pada saat pasukan Mataram dan Sangkal Putung datang dari medan perang.
Agung Sedayu mendengarkan keterangan Raden Sutawijaya itu dengan saksama. Ketajaman nalarnya segera dapat menangkap peristiwa yang terjadi sebagai latar belakang dari usaha para petugas sandi untuk melihat Mataram dalam kesiagaan perang.
Untunglah bahwa kesalah pahaman yang semakin jauh masih dapat dihindari. Pasukan Mataram dan Sangkal Putung masih dapat disamarkan sehingga petugas sandi dari Pajang tidak sempat melihat mereka. Dan beruntunglah bahwa di Pajang masih ada seorang tua yang bernama Kiai Kendil Wesi.
Tetapi lebih dari itu, maka kesempatan yang memang telah diberikan oleh Sultan sendiri kepada Mataram, merupakan sikap yang sangat menguntungkan. Bukan saja bagi Mataram, tetapi juga bagi Pajang sendiri. Bagi pihak yang tidak ingin melihat benturan antara Pajang dan Mataram terjadi.
"Selanjutnya kita masih harus berhadi-hati," berkata Raden Sutawijaya, "kami di Mataram selalu berusaha memelihara hubungan dengan Kiai Kendil Wesi. Tetapi Kiai Kendil Wesi sudah terlalu tua."
"Apakah tidak ada orang lain yang dapat dipercaya"," bertanya Acung Sedayu.
"Kita masih sedang menjajagi keadaan. Tetapi bahwa orang tua itu sangat dekat dengan ayahanda Sultan, adalah suatu kesempatan yang jarang didapat oleh orang lain. Apalagi dengan sadar ayahanda Sultan telah mempergunakan orang itu untuk memberikan keterangan yang kami perlukan di Mataram."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat keadaan yang aneh dalam hubungan antara Pajang dan Mataram Sultan Hadiwijaya sendiri seolah-olah telah berpihak kepada Mataram yang sedang berkembang itu.
Namun dengan demikian, nampak jelas, bahwa kekuasaan Sultan Hadiwijaya di Pajang benar-benar telah dibatasi oleh orang-orang yang ada disekitamya. sehingga wibawanyapun telah jauh berkurang. Ia tidak dapat menentukan sikap seperti yang diinginkannya. Bahkan ia harus melakukan hubungan yang dirahasiakan dengan Mataram.
Tetapi tidak kalah anehnya adalah sikap Raden Sutawijaya sendiri. Ayahanda angkatnya ternyata sangat memperhatikannya. Ia lebih percaya kepada anak angkatnya yang telah memisahkan diri daripadanya itu daripada kepada setiap orang disekitamya.
"Sultan Hadiwijaya telah hidup dalam keterasingan yang mewah di istana Pajang," berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri.
Ki Juru Martani melihat gejolak didalam hati Agung Sedayu. Tetapi ia tidak mengerti, apa yang sedang dipikirkan oleh anak muda itu. Namun Ki Juru tidak menanyakannya, karena Agung Sedayu tentu tidak akan mengatakannya.
Sementara itu. pembicaraan diantara mereka masih berlangsung beberapa lama Namun kemudian. Ki Juru Martani mempersilahkan Agung Sedayu untuk beristirahat.
Agung Sedayu yang memang berniat bermalam di Mataram itupun kemudian dipersilahkan kedalam bilik yang telah disediakan kepadanya. Setelah membersihkan diri dan menunaikan kewajibannya, maka iapun beristirahat sejenak didalam biliknya sambil berangan-angan.
Setiap kali perasaannya selalu diganggu oleh hubungan yang aneh antara Pajang dan Mataram. Seharusnya Raden Sutawijaya dapat mengambil sikap lain sehingga kekalutan yang diam-diam di Pajang tidak berkepanjangan.
Namun agaknya Raden Sutawijaya memang sudah tidak berminat lagi untuk mempertahankan kehadiran Pajang, sehingga ia telah mengambil suatu sikap yang telah diyakini kebenarannya.
Bahkan Agung Sedayu kemudian sampai pada suatu kesimpulan, bahwa Raden Sutawijaya telah tidak dapat lagi mempercayai siapapun di dalam lingkungan istana Pajang, sehingga ia lebih baik mulai dari yang baru sama sekali, meskipun ada juga terbersit keinginannya untuk berdiri pada namanya sendiri. Bahkan Raden Sutawijayalah yang telah mendirikan Mataram.
Dalam kekalutan itu, terbayang didalam angan-angannya, kakaknya Untara. Seorang Senapati yang berpegang teguh pada dasar-dasar keprajuritannya. Namun karena ia berada diluar istana Pajang, maka ia agaknya tidak banyak mengikuti persoalan-persoalan yang berkembang didalam istana. Bahkan mungkin beberapa orang perwira yang lebih tua, baik umurnya maupun kedudukannya, dengan sengaja memisahkan Untara dari peristiwa-peristiwa yang sebenarnya bergejolak didalam istana Pajang.
Sesaat terbersit didalam hati Agung Sedayu pertanyaan, apakah tidak ada baiknya jika Untara dapat langsung berhubungan dengan Sultan Hadiwijaya. Mungkin Untara mempunyai kemampuan untuk bertindak sesuatu. Sudah barang tentu ia memerlukan beberapa orang kawan.
Namun Agung Sedayu tidak dapat membayangkan, apakah jadinya jika hal itu dapat diketahui oleh pihak-pihak yang berbeda pendapat. Maka dengan demikian, pertengkaran didalam istana itu akan semakin cepat meledak. Masing-masing pihak dengan pengikutnya akan segera terlibat dalam pertempuran yang akan dapat menghancurkan Pajang sama sekali, sebelum seseorang bangkit untuk mengambil alih kedudukan Sultan Hadiwijaya.
"Ya. Orang itu memang harus ada," tiba-tiba saja terbersit didalam hati AgungSedayu.
Dan Agung Sedayu tidak melihat orang lain kecuali Raden Sutawijaya meskipun Sultan Hadiwijaya sendiri mempunyai seorang putera. Tetapi Pangeran Benawa seperti yang pernah dianggap oleh Agung Sedayu. sama sekali tak tertarik pada tata pemerintahan meskipun sebagai seorang anak muda ia memiliki ilmu yang tidak kalah dari Sutawijaya.
Selagi Agung Sedayu merenungi angan-angannya, ia terperanjat ketika seseorang berdiri dimuka pintu. Ketika ia mengangkat wajahnya, maka dilihatnya Ki Juru Martani memandanginya sambil tersenyum.
"Apakah yang sedang kau renungkan ngger"," bertanya Ki Juru.
Agung Sedayupun mencoba untuk tersenyum.
"Apakah kau tidak ingin berjalan-jalan di halaman"," bertanya Ki Juru Martani.
.Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk sambil berdiri "Baiklah Ki Juru. Aku memang ingin menghirup udara sejuk diluar."
Keduanyapun kemudian meninggalkan bilik itu. Beberapa orang telah menyalakan lampu minyak di ruang-ruang dalam dan kemudian lampu-lampu minyak didalam bilik-bilik.
Ketika Agung Sedayu dan Ki Juru Martani melintas dihalaman dan berdiri diregol, beberapa orang pengawal mengangguk hormat.
"Kami akan berjalan-jalan," desis Ki Juru, "angger Agung Sedayu ingin melihat kota ini menjelang malam."
Pemimpin pengawal diregol itu mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia bertanya sesuatu, Ki Juru sudah mendahuluinya, "Kami akan berjalan-jalan berdua saja. Kami tidak usah mendapat pengawalan, karena kami tidak akan berjalan jauh. Apalagi angger Agung Sedayu telah menempuh perjalanan dari Tanah Perdikan Menoreh juga tanpa pengawalan."
Pemimpin pengawal diregol itu termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian tersenyum. Sambil mengangguk hormat ia berkata, "Silahkan Ki Juru."
Ki Jurupun tersenyum pula. Sambil menggamit Agung Sedayu ia berkata, "Marilah. Kita berjalan-jalan."
Agung Sedayupun kemudian mengikuti Ki Juru melangkah di jalur jalan induk Kota Mataram.
Dari pintu pintu rumah yang masih terbuka, cahaya lampu meloncat keluar menerangi daun-daun pepohonan. Dibeberapa buah regol. lampu-lampu obor menerangi jalan dengan sinarnya yang samar.
Ki Juru Martani. dan Agung Sedayu berjalan perlahan-lahan. Di.saat matahari baru saja terbenam, masih nampak beberapa orang berjalan tergesa-gesa. Tetapi ada juga yang berjalan-jalan lambat membimbing anaknya untuk mengunjungi sanak kadang atau tetangga.
Dalam samarnya ujung malam, orang-orang yang lewat dan berpapasan berseberangan jalan tidak segera dapat mengenal yang satu dengan yang lain, kecuali mereka yang hampir setiap saat bergaul. Itulah sebabnya, maka tidak seorangpun yang mengenal, bahwa dua orang yang berjalan-jalan perlahan-lahan disepanjang jalan kota itu adalah Ki Juru Martani dan Agung Sedayu.
Meskipun Kota Mataram sudah menjadi semakin ramai, tetapi dimalam hari. jalan-jalan menjadi lengang. Tidak banyak orang yang berkepentingan dan turun kejalan dalam gelap.
"Jalan-jalan di Mataram masih sunyi di malam hari," berkata Ki Juru Martani, "tidak ada kesibukan apapun juga dimalam hari. Mungkin ada juga satu dua banjar yang ramai oleh anak-anak muda. Tetapi tidak terlalu banyak. Meskipun demikian, sebentar lagi. sebelum tengah malam, gardu-gardu akan menjadi penuh."
"Penuh dengan pengawal"," bertanya Agung Sedayu.
"Bukan. Tetapi anak-anak muda mulai turun. Ada diantara mereka yang memang selalu tidur di gardu-gardu sekaligus ikut serta mengamati keamanan."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ada juga keinginannya untuk melihat banjar-banjar padukuhan yang ramai, karena kebetulan ada kegiatan tertentu dipadukuhan itu.
Ketika lamat-lamat terdengar bunyi gamelan, maka Ki Jurupun berkata, "Suara itu tentu berasal dari salah satu banjar. Mungkin anak-anak muda sedang berlatih menari untuk kepentingan tertentu bagi padukuhan itu."
"Menarik sekali," desis Agung Sedayu.
"Kau akan menyaksikan"," bertanya Ki Juru.
"Jika Ki Juru tidak berkeberatan"," jawab Agung Sedayu.
Keduanyanun kemudian berjalan menuju kearah bunyi gamelan yang semakin lama terdengar menjadi semakin nyaring.
Meskipun kaki Agung Sedayu melangkah terus, namun ia sudah merasa, bahwa Ki Juru Martani tentu bukannya tanpa maksud dengan membawanya berjalan-jalan. Namun Agung Sedayu tidak ingin menanyakannya. Biarlah pada saatnya Ki Jurulah yang akan mulai dengan sebuah pembicaraan yang tentu dianggapnya penting.
Perasaan Agung Sedayu tersentuh ketika ia melihat langit yang semakin cerah. Ternyata bahwa bulan mulai tersembul dari cakrawala dengan cahayanya yang kuning.
Padukuhan-padukuhan yang semula terasa lengang itupun mulai berubah. Beberapa orang anak-anak mulai menyembulkan kepalanya di sela-sela pintu rumahnya. Kemudian satu-satu mereka turun kehalaman.
Dengan isyarat-isyarat yang khusus dibuat oleh anak-anak kecil, maka mulailah mereka berlari-lari menuju ke halaman-halaman yang luas, setelah mereka mendapat ijin dari orang tua mereka.
Terang bulan adalah saat-saat yang sangat menyenangkan. Anak-anak itu dapat bermain sembunyi-sembunyian atau berkejar-kejaran sepuas-puasnya. Saat-saat mereka bermain, maka anak-anak kecil itu seolah-olah tidak mengenal perasaan takut meskipun kadang-kadang mereka harus bersembunyi dibawah pohon-pohon yang biasanya dianggan pohon-pohon yang keramat, atau di semak-semak yang mungkin dihuni oleh berjenis-jenis ular.
Jika anak-anak laki-laki bermain kejar-kejaran. maka anak-anak perempuan mempunyai jenis permainannya sendiri. Mereka bermain dakon atau gateng degan kerikil. Tetapi ada pula diantara mereka yang bermain jirak kemiri.
Mataram yang lengang itu tiba-tiba menjadi ramai oleh suara anak-anak yang sedang bermain-main. Yang bermain nini towong, kadang-kadang berteriak sambil berlari-lari menghindari kejaran nini towong yang dianggapnya telah kerasukan.
Agung Sedayu tiba-tiba saja menjadi semakin dalam dicengkam oleh kerinduannya kepada adik sepupunya. Glagah Putih tentu tertarik juga oleh sinar bulan yang kekuning-kuningan. Tetapi sudah barang tentu ia tidak dapat bermain seriang anak-anak dipadukuhan. karena dipadepokan itu tidak terdapat anak-anak muda yang dapat diajaknya bermain. Karena yang ada dipadepokan hanyalah anak-anak muda yang lebih terikat kepada air di parit yang mengaliri sawah daripada bermain dibawah cahaya bulan yang cerah.
Oleh angan-angannya, maka seolah-olah Agung Sedayu tidak ingat lagi bahwa ia berjalan bersama Ki Juru Martani sehingga Ki Juru itupun kemudian bertanya, "Apa yang kau pikirkan Agung Sedayu?"
Agung Sedayu tergagap. Diluar sadarnya ia berkata, "Alangkah riangnya anak-anak itu bermain Ki Juru."
Ki Juru tersenyum. Katanya, "Aku sudah menduga. Mungkin kau sedang memikirkan masa kecilmu."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia tersenyum.
"Kita sudah semakin dekat dengan suara gamelan itu. Agaknya banjar itu salah satu dari banjar dipinggir kota. sehingga kita memang harus berjalan agak panjang," berkata Ki Juru.
"Ya. Ki Juru.," jawab Agung Sedayu pendek.
Ki Juru menarik nafas panjang. Namun kemudian katanya, "Sambil berjalan, mungkin ada baiknya kita berbicara serba sedikit tentang perkembangan Mataram, Agung Sedayu."
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ia sudah menyangka bahwa pada suatu saat. Ki Juru akan mengemukakan hal yang dapat dianggapnya penting.
Karena itu. maka Agung Sedayupun berkata, "Apakah ada yang ingin Ki Juru pesankan kepadaku, atau kepada orang lain lewat aku?"
Ki Juru mengangguk-angguk sambil menjawab, "Tidak terlalu penting Agung Sedayu. Aku kira daripada masalahnya tidak aku sampaikan maka ada baiknya jika kau mendengarnya. Hanya sekedar mendengar suatu keinginan saja."
Agung Sedayu memandang Ki Juru sejenak. Namun kemudian iapun melontarkan pandangan matanya ke kuningnya sinar bulan didedaunan.
Untuk beberapa saat keduanya justru saling berdiam diri. Mereka melangkah dengan langkah-langkah lamban disepanjang jalan. Di simpang-simpang jalan mereka melihat satu dua orangyang berjalan memasuki jalan itu pula, kemudian melangkah seiring dihadapan mereka.
"Mereka akan melihat kesibukan dibanjar itu pula," berkata Ki Juru.
Agung Sedayu tergagap. Sambil mengangguk kecil ia menyahut, "Banyak juga perhatian orang terhadap latihan-latihan seperti yang diselenggarakan itu."
"Cukup banyak," berkata Ki Juru, "aku sendiri sering melihat kesibukan-kesibukan dibanjar dengan diam-diam. Bahkan angger Sutawijayapun sering melakukannya tanpa diketahui orang lain."
Agung Sedayu mengangguk-angguk.
"Kita sudah tidak jauh lagi," berkata Ki Juru, "namun aku masih ingin menyampaikan pesan itu. Barangkali dapat kau pertimbangkan."
Langkah Agung Sedayu tiba-tiba saja menjadi semakin lambat. Ia mencoba memperhatikan dengan saksama ketika Ki Juru kemudian berkata, "Angger Agung Sedayu. Seperti yang angger ketahui. Pajang justru tidak menghendaki hubungan baik antara Sultan Hadiwijaya dengan putera angkatnya Raden Sutawijaya."
Dada Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Meskipun ia sudah menduga bahwa persoalannya tentu akan merembet sampai persoalan itu pula.
"Sebenarnya, Raden Sutawijaya sendiri juga bersalah dalam hal ini. Tetapi aku sudah tidak dapat lagi memaksanya untuk memasuki kembali istana Pajang, ia termasuk anak muda yang keras kepala."
Agung Sedayu mengangguk-angguk.
"Karena itu Agung Sedayu," berkata Ki Juru lebih lanjut, "kita harus menghadapi perkembangan keadaan dengan keadaan dan kedudukan kita sekarang ini."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dan Ki Juru meneruskan, "Kita harus menyesuaikan diri dengan sikap beberapa orang perwira di Pajang, yang seperti sudah kita lihat sendiri, bahwa mereka telah menggerakkan pasukan yang kuat untuk menghancurkan Pajang dan sudah barang tentu Mataram. Berkumpulnya kekuatan di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu tentu bukannya persoalan yang berdiri sendiri. Dan apakah kau kira bahwa dengan hancurnya pasukan dilemhah itu. kekuatan mereka benar-benar sudah punah?"
Agung Sedayu berpaling. Ia merasakan pertanyaan itu bukannya sekedar pertanyaan. Dan sebenarnyalah Ki Juru meneruskan, "Bahwa masih adanya seseorang diantara para pemimpin mereka yang hidup, berarti bahwa kekuatan mereka akan segera tersusun kembali."
Terasa jantung Agung Sedayu berdentang semakin cepat. Ia sadar, bahwa memang ada salah seorang dari para pemimpin mereka yang tetap hidup. Dan itu adalah karena sikapnya yang ragu-ragu. Ia tidak bersikap sebagai seorang prajurit dipeperangan. Seandainya ia tidak membunuh, maka orang itu harus dapat ditangkapnya hidup-hidup.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat ingkar bahwa hal itu memang sudah terjadi. Dan orang yang terluka parah di peperangan itu berhasil diselamatkan oleh anak buahnya. Berbeda dengan Kiai Kelasa Sawit yang ternyata kemudian terbunuh oleh Swandaru.
Dalam cengkaman debar jantungnya. Agung Sedayu mendengar Ki Juru melanjutkan, "Tetapi jangan kau sesali dirimu. Kau sudah berbuat terlalu banyak. Justru lebih banyak dari yang dilakukan oleh Danang Sutawijaya sendiri."
"Ah," Agung Sedayu berdesah, "Ki Juru terlalu memuji."
"Tidak Agung Sedayu. Aku berkata sebenarnya. Kau dapat mempertimbangkan sendiri, apa yang telah kau lakukan, dan apa yang dilakukan oleh Raden Sutawijaya."
"Seperti yang sedang terjadi Ki Juru. Bukan saja dipeperangan. Tetapi juga didalam banyak hal, maka kesempatan merupakan sesuatu yang kadang-kadang ikut menentukan. Dan kesempatan itu datang dengan tidak dapat diperhitungkan lebih dahulu."
Ki Juru tertawa. Katanya, "Kau tidak sedang menghadapi hitungan-hitungan diperjudian. Kesempatan memang menentukan. Tetapi dipeperangan keadaannya agak berbeda meskipun yang kau maksud dengan kesempatan itu memang kadang-kadang terjadi. Namun seandainya kau tidak memiliki ilmu yang matang. apakah kau dapat mempergunakan yang kau sebut kesempatan itu sebaik-baiknya?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
"Tetapi baiklah. Kita bicara soal lain. Bukan soal apa yang telah terjadi dipeperangan. Meskipun masih juga akan selalu menyangkut hal itu," Ki Juru berhenti sejenak, lalu. "Agung Sedayu. Aku berkata sebenarnya, bahwa kemampuanmu didalam olah kanuragan sekarang tentu sudah tidak kalah dibandingkan dengan Untara."
Dada Agung Sedayu tiba-tiba saja bergetar. Tetapi ia tidak segera menjawab.
"Bukan maksudku untuk membuat perbandingan yang menyimpan arti yang kurang baik. Tetapi aku ingin mengatakan kepadamu, bahwa jika kau mau memenuhi nasehat kakakmu, maka kau akan dapat menjadi seorang prajurit yang mumpuni."
Wajah Agung Sedayu menegang sejenak. Tetapi ia masih tetap berdiam diri.
"Maksudku Agung Sedayu, jika kau dapat memantapkan suatu sikap yang barangkali dapat kau mengerti, kau akan dapat ikut menentukan hubungan antara Pajang dan Mataram untuk selanjutnya."
"Apakah yang dapat aku lakukan Ki Juru"," bertanya Agung Sedayu.
"Aku juga tidak tahu, apakah usaha ini akan dapat berhasil. Tetapi menurut perhitunganku, dengan kemampuanmu yang sukar ada bandingnya itu kau akan dapat dengan cepat meningkat ke jenjang yang tinggi di dalam tata keprajuritan Pajang dibawah pengaruh nama Untara."
Agung Sedayu menarik nafas. Sejenak ia merenung. Namun kemudian katanya, "Jalan yang jauh sekali Ki Juru. Tetapi yang harus Ki Juru ketahui, namaku sudah dikenal di Pajang."
Jawaban Agung Sedayu itu membuat Ki Juru menjadi termangu-mangu. Bahkan sejenak ia berdiam diri. Namun kemudian ia bertanya, "Apakah begitu" Bukankah kau tidak pernah berada di Pajang?"
Agung Sedayu termangu-mangu pula. Namun kemudian katanya, "Beberapa orang perwira kawan kakang Untara telah mengenal aku. Jika ada satu saja diantara mereka berpihak kepada orang-orang yang mengaku dirinya pewaris kerajaan Maiapahit. maka mereka akan segera berhati-hati terhadap diriku, seperti mereka berhati-hati terhadap kakang Untara. Apalagi jika salah seorang dari mereka yang berada di lembah itu berhasil menyusup kembali kedalam lingkungan keprajuritan di Pajang. Maka kedudukanku akan segera mereka ketahui, karena yang seorang itu tentu akan segera menyebarkan ceritera tentang diriku."
Ki Juru menarik nafas panjang sekali. Katanya, "Memang kita dapat melihat setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Tetapi jika kau dapat menempatkan dirimu, maka kau akan dapat mereka anggap seperti juga Untara, seorang prajurit yang berdiri diatas kedudukan dan kewajibannya."
"Jika demikian, lalu apakah yang dapat aku lakukan?" bertanya Agung Sedayu.
Ki Juru tidak segera menjawab. Ia sadar, bahwa yang dikatakan oleh Agung Sedayu itu memang dapat terjadi. Kedudukan Agung Sedayu akan segera di potong oleh orang-orang yang mencurigainya dan bahkan berusaha meayingkirkannya. karena ada diantara para perwira yang pernah melihatnya berpihak kepada Mataram.
Tetapi jika ia dapat menembus segala kecurigaan itu dengan pengaruh nama Untara. Mungkin ia akan mendapatkan tempat yang dapat dipakainya sebagai alas untuk isut serta menentukan sikap prajurit-prajurit Pajang yang memang sudah terpecah itu.
"Agung Sedayu," berkata Ki Juru kemudian, "mungkin akan ada perebutan pengaruh antara beberapa pihak yang berada di lingkungan keprajuritan di Pajang. Tetapi jika kau dapat menunjukkan sesuatu yang melampaui tataran para perwira, maka kau tentu akan mendapat tempat yang baik. Dan kau bukan seorang yang bodoh dan tidak dapat mempergunakan akal dan nalarmu untuk ikut serta menentukan sikap diantara para prajurit itu. Dengan melihat kenyataan, kau tentu akan mempunyai sikap yang lain dari kakakmu Untara yang benar-benar berdiri diatas satu sikap."
Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu. Ia dapat mengerti, bahwa dengan demikian, ia telah turun kedalam satu usaha yang gawat, tetapi mungkin akan banyak gunanya. Jika ia berhasil, maka ia akan dapat menjadi salah seorang perwira yang mempunyai sikap tertentu terhadap Mataram. Dan iapun sadar, bahwa jika demikian, ia tidak akan dapat berbuat lain. kecuali berpihak pada salah satu sisi diantara pihak-pihak yang berseberangan.
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Seandainya ia dapat mencapai satu kedudukan di Pajang yang dapat dijadikannya pancatan untuk melakukan pesan Ki Juru, tetapi tidak sesuai dengan jalan pikiran kakaknya Untara, maka persoalannya tentu akan menjadi semakin berat baginya.
Dan Agung Sedayu yang sadar akan dirinya itu tahu benar, bahwa ia akan menjadi semakin bimbang dan tidak tahu apakah yang akan dilakukannya.
Ki Jurupun melihat, bahwa kebimbangan itu sudah mulai sejak saat itu. Karena itu. maka Ki Jurupun kemudian berkata, "Agung Sedayu. Persoalannya bukan persoalan yang harus diputuskan dengan tergesa-gesa. Karena itu pikirkanlah sebaik-baiknya. Akupun tahu seperti kau juga menyadari, bahwa kau memerlukan waktu yang cukup untuk mengambil sesuatu keputusan. Karena itu. baiklah. Aku sudah menyampaikan pesan itu, yang sudah disepakati sepenuhnya oleh Raden Sutawijaya. Keputusanmu dapat saja kau ambil satu atau dua pekan kemudian. Karena jalan yang kau tempuhpun akan merupakan jalan yang panjang. Sementara itu. permulaan yang betapapun lambatnya akan lebih baik daripada tidak dimulai sama sekali."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan kepala tunduk ia berkata, "Baiklah Ki Juru. Aku akan memikirkanmya. meskipun hal itu akan merupakan persoalan yang sangat berat bagiku."
"Sudah barang tentu kau harus berbicara dengan gurumu. Kemudian kau sampaikan niatmu itu kepada kakakmu jika Kiai Gringsing menyetujui. Untuk sementara kau masih harus menyembunyikan latar belakang sikapmu itu kepada kakakmu Untara, karena kita tahu sikap dan pendirian Untara sebagai seorang prajurit."
Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, "Aku akan mencoba memikirkannya dengan sunguh-sungguh Ki Juru. meskipun sebenarnyalah bahwa aku sama sekali tidak dapat membayangkan, keputusan apakah yang dapat saya ambil kemudian."
"Baiklah. Nah, marilah kita sekarang mengisarkan perhatian kita. Padukuhan yang nampak samar-samar itulah yang sedang mempersiapkan sebuah pertunjukkan. Suara gamelan itu sudah dekat sekali," berkata Ki Juru Martani.
Agung Sedayu tidak menjawab. Dipandanginya padukuhan dalam samarnya sinar bulan. Dan suara gamelan itu terdengar dekat sekali dihadapan mereka. Sementara itu beberapa orang nampak berjalan dengan tergesa-gesa, karena mereka merasa sudah jauh terlambat untuk melihat latihan pertunjukan di banjar padukuhan dihadapan mereka.
05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ki Juru dan Agung Sedayu tidak berbicara lagi tentang kemungkinan yang membingungkan itu. Mereka mulai berbicara tentang latihan pertunjukkan yang dapat mereka lihat dibanjar padukuhan itu.
Tetapi ketika mereka mendekati banjar, Ki Juru berkata, "Kita mencari tempat yang terlindung saja."
Agung Sedayu mengerti, bahwa tentu Ki Juru tidak ingin diketahui oleh orang-orang padukuhan itu. karena dengan demikian kehadirannya akan sangat menarik perhatian, sehingga bahkan akan melampaui perhatian para penonton terhadap latihan yang sedang diadakan itu.
Beberapa saat lamanya kedua orang itu berdiri dibawah bayangan dedaunan sehingga mereka terlindung dari cahaya bulan. Dari dalam kegelapan mereka dapat menyaksikan latihan yang berlangsung dipendapa banjar. Bahkan dari kegelapan mereka dapat melihat beberapa orang yang dengan asyik menyaksikan latihan itu pula.
Sejenak keduanya saling berdiam diri. seakan-akan mereka benar-benar tertarik kepada latihan yang sedang berlangsung. Latihan adegan perang dari ceritera Raden Panji Asmarabangun yang ditarikan dengan mempergunakan topeng bagi setiap pelakunya.
Agung Sedayu berpaling ketika ia mendengar Ki Juru berkata, "Ternyata mereka pandai juga menari."
"Ya," desis Agung Sedayu.
"Kau dapat juga menari"," bertanya Ki Juru.
Agung Sedayu tersenyum. Jawabnya, "Hanya sedikit. Aku tidak sempat mempelajarinya dengan baik. Apalagi sejak ayahku meninggal."
"Tetapi kau mengenal dasar-dasar tari?"
"Ya." Ki Juru bergeser mendekat. Kemudian sambil menunjuk salah seorang penari ia berkata, "Kau melihat penari yang bertubuh kekar itu?"
"Ya," sahut Agung Sedayu.
"Apakah kau dapat menilai tata gerak tarinya?"
"Ya. Mungkin ia adalah penari yang paling baik."
Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ia terlalu baik bagi seorang penari dari padukuhan ini."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia sempat menjawab, Ki Juru telah bergeser mendekati dua orang yang berdiri tidak jauh dari padanya.
"Apakah Ki Sanak dari padukuhan ini"," bertanya Ki Juru.
Orang itu megerutkan keningnya. Namun ketika ia berpaling. ia sama sekali tidak dapat mengenali Ki Juru yang mempergunakan ikat kepalanya terlalu rendah dan dengan cara yang berbeda dari biasanya. Bajunya agak terbuka dan kainnya tersingsing agak tinggi, seperti kebanyakan para petani yang pergi kesawah.
"Aku memang orang padukuhan ini," jawab orang itu, "siapakah Ki sanak?"
"Aku dari padukuhan sebelah bulak. Mula-mula aku berjalan-jalan saja menyeberangi bulak. Tetapi ketika aku mendengar suara gamelan, akupun telah tertarik."
"Aku mengenal setiap orang dipadukuhan sebelah bulak," sahut orang itu.
"Maksudku, aku tamu dipadukuhan sebelah bulak. Aku mengunjungi saudaraku yang tinggal disana. Aku sendiri datang dari luar kota Mataram."
Orang yang ditanya itu masih akan berbicara. Tetapi Ki Juru mendahuluinya, "Maksudku, aku ingin bertanya, apakah penari yang bertubuh kekar itu tinggal dipadukuhan ini pula ?"
Orang itu mengerutkan keningnya, Ia lupa bahwa ia masih akan bertanya kepada Ki Juru. siapakah saudara yang disebutkannya, karena justru ia harus menjawab pertanyaan Ki Juru.
"Ki Sanak," berkata orang itu, "penari yang seorang itu memang bukan orang padukuhan ini. Sebenarnya ia tidak termasuk dalam susunan pemain. Tetapi ketika ia mengetahui latihan itu di banjar ini. maka iapun segera tampil. Ternyata ia justru menjadi penari yang paling baik. Dan ialah sebenarnya pengatur laku dari ceritera itu untuk seterusnya. Ialah yang memberikan petunjuk-petunjuk dan perbaikan-perbaikan pada latihan-latihan berikutnya sampai saat ini."
Ki Juru mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Aku sudah menduga. Ia memiliki banyak kelebihan dari kawan-kawannya. Tetapi siapakah orang itu sebenarnya?"
"Aku kurang jelas. Semula ia datang untuk berjual beli benda-benda berharga. Wesi aji dan juga permata. Tetapi oleh latihan-latihan yang sangat menarik perhatiannya, ia justru berada di padukuhan ini. Ia telah menyatakan kesediaannya tinggal disini barang dua pekan sampai saatnya pertunjukan yang sebenarnya diselenggarakan."
"Apakah kau tahu. dari manakah asalnya"," bertanya Ki Juru.
Orang itu menggeleng. Katanya, "Tidak jelas. Mungkin dari Jipang atau justru dari Demak. Entahlah."
Ki Juru tidak bertanya lagi. Sambil mengucapkan terima kasih ia minta diri.
Ketika Ki Juru meninggalkan tempat itu. Agung Sedayupun mengikutinya. Belum lagi mereka berada jauh diluar banjar, K i Juru sudah bertanya, "Bagaimanakah tanggapanmu tentang yang seorang itu?"
Agung Sedayu menarik nafas panjang. Sekilas teringat olehnya Rudita, jika pertanyaan itu ditujukan kepada anak muda itu, maka ia tentu akan menjawab, "Kita adalah mahluk yang selalu dibayangi oleh kecurigaan terhadap sesama."
Namun Agung Sedayu menyadari, bahwa Ki Juru telah mencurigai orang yang berada didalam lingkungan penari di padukuhan itu. Orang itu memang perlu mendapat perhatian lebih banyak lagi.
"Apakah kau tidak melihat sesuatu padanya," bertanya Ki Juru kemudian, karena Agung Sedayu tidak segera menjawab.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Pendatang itu memang menyimpan kemungkinan-kemungkinan yang pantas dicurigai. Karena itu maka jawabnya, "Ki Juru. Aku tidak dapat menyebut dengan pasti. Tetapi kita memang dapat mencurigai setiap orang. Juga orang itu. Mungkin ia dengan sengaja datang untuk mengamati Mataram dengan saksama. Dan ia mendapat kesempatan untuk tinggal lebih lama lagi di padukuhan itu."
Ki Juru mengangguk-angguk. Namun Agung Sedayu meneruskan, "Tetapi apakah perlu kita mencurigai setiap orang?"
Ki Juru tersenyum. Wajah Agung Sedayu menjadi panas ketika Ki Juru menjawab dengan sebuah pertanyaan, "Apakah pengaruh Rudita sudah mencengkam perasaanmu?"
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi kepalanya ditundukkan dalam-dalam.
"Agung Sedayu," berkata Ki Juru, "kadang-kadang ada juga gunanya kita mencurigai seseorang. Meskipun itu sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh sikap berhati-hati. Bukannya sikap memusuhi."
Agung Sedayu tidak menjawab. Iapun dapat mengerti, bahwa mencurigai seseorang itu dapat juga berarti sekedar sikap hati-hati. karena kadang-kadang seseorang memang dapat melakukan sesuatu yang dapat merugikan pihak lain.
"Aku tidak dapat ingkar akan kenyataan itu," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Namun lebih dari itu. Agung Sedayu mulai menilai keadaan dalam keseluruhan. Ki Juru telah menyampaikan pesannya kepadanya, yang tentu sudah sependapat dengan Senapati Ing Ngalaga.
Dengan ketajaman uraian perasaannya. Agung Sedayu mulai melihat kepentingan-kepentingan yang bergulat didalam peristiwa yang sangkut menyangkut. Pesan Ki Juru yang tentu sudah disepakati oleh Sutawijaya itu adalah suatu dorongan bagi kepentingan Mataram.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga, setiap orang akan terpancang kepada kepentingan diri. Dan Mataram menganggap, bahwa sebaiknya Agung Sedayu berada didalam lingkungan koprajuritan. Sebab dengan demikian, maka Agung Sedayu akan dapat memberikan keuntungan kepada Mataram.
"Ah," desah Agung Sedayu didalam hatinya, "akupun sudah mulai berprasangka terlalu jauh. Seharusnya aku menganggap bahwa usaha Ki Juru adalah sekedar usaha untuk mencegah timbulnya benturan antara Pajang dan Mataram."
Namun pertimbangan-pertimbangan yang bertolak dari kepentingan yang berbeda selalu saja berputaran didalam hati Agung Sedayu.
Dalam pada itu, keduanya berjalan semakin jauh dari banjar padukuhan. Suara gamelan yang mengiringi latihan-latihan di banjar itupun menjadi semakin samar.
"Menyenangkan sekali, berjalan-jalan diterang bulan," berkata Ki Juru, "apakah kau sudah lelah?"
"Belum Ki Juru," sahut Agung Sedayu.
"Jika demikian, kita berjalan-jalan mengelilingi kota."
Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, "Baiklah Ki Juru. Rasa-rasanya senang juga mendengar bocah berdendang sambil bermain diterangnya bulan."
Ki Juru tersenyum. Mereka masih berjalan menyusuri jalan-jalan kota. Tanpa tujuan mereka berjalan sekedar ingin melihat-lihat dan mengisi waktu diujung malam.
Namun pembicaraan kemudian tidak banyak menarik lagi. Setiap kali angan-angan Agung Sedayu selalu jatuh kepada bayangan-bayangan yang buram tentang pesan Ki Juru Martani.
"Mana mungkin aku dapat menjadi seorang prajurit." pikiran itulah yang selalu mengganggunya, "aku tidak mempunyai dasar sifat yang cukup."
Tetapi Agung Sedayu tidak mengatakannya.
Ki Jurupun agaknya merasakan perasaan Agung Sedayu yang tidak lagi dapat menangkap kesegaran di sepanjang jalan. Meskipun kadang-kadang Agung Sedayu memperhatikan juga suara anak-anak yang menjerit-jerit melagukan kidung dolanan. Namun Agung Sedayu lebih banyak berbicara kepada dirinya sendiri.
Karena itu. maka Ki Jurupun kemudian mengajak Agung Sedayu kembali kerumah Raden Sutawijaya menjelang tengah malam. setelah keduanya berjalan berputar-putar didalam kota.
Ketika mereka naik kependapa setelah mencuci kaki. maka Raden Sutawijaya sama sekali tidak menampakkan diri. Ki Jurupun kemudian mempersilahkan Agung Sedayu memasuki biliknya di gandok.
Namun sebelum Ki Juru meninggalkan gandok, terdengar ia berkata, "Orang itu memang menarik perhatian ngger. Siapapun orang itu, namun ia bukan orang Mataram."
Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, "Mungkin Ki Juru perlu mengetahui siapakah orang itu. Tetapi sayang, bahwa waktuku di Mataram sangat pendek, sehingga aku tidak dapat ikut serta mengetahui latar belakang kehadirannya."
Ki Juru mengerutkan keningnya. Namun iapun mengangguk-angguk sambil berkata, "Beristirahatlah. Bukankahkau akan melanjutkan perjalanan besok?"
"Ya Ki Juru." "Baiklah. Tetapi coba renungkan. Mungkin yang aku katakan kepadamu agak bertentangan dengan sikapmu selama ini. Meskipun demikian kau dapat mengingat kembali apa yang pernah dikatakan Untara kepadamu tentang sifat-sifat seorang prajurit. Dan jika kau berada didalam lingkungan keprajuritan, maka tugas yang kau pikul akan menjadi rangkap. Sebagai prajurit yang baik dan sekaligus berusaha untuk tetap memelihara ketenangan, khususnya hubungan antara Pajang dan Mataram yang kini banyak diracuni oleh perwira-perwira Pajang sendiri yang terlampau mementingkan kepentingan diri sendiri. Sementara Senapati Ing Ngalaga selalu terikat kepada harga dirinya yang berlebih-lebihan tanpa menghiraukan keadaan yang lebih luas dari kelangsungan hidup Pajang."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Keterangan Ki Juru tentang Raden Sutawijaya terasa menyentuh hatinya. Agaknya ada kepentingan-kepentingan yang lebih jujur dari dugaannya yang lebih banyak dipengaruhi oleh prasangka.
"Baiklah Ki Juru," berkata Agung Sedayu kemudian, "aku akan memikirkannya. Tetapi aku sama sekali tidak dapat menyebutkan sekarang, apakah yang akan aku lakukan."
"Tentu. Dan kau masih mempunyai kesempatan yang panjang. Tetapi sekali-sekali bertemulah dengan Untara. Namun demikian, segalanya terserah kepadamu. Kiai Gringsing akan banyak memberikan petunjuk-petunjuk yang sangat berguna bagimu, karena sebenarnyalah ia adalah salah seorang yang justru merupakan keturunan langsung dari para penguasa di Majapahit. Ia termasuk salah seorang yang sebenarnya berhak atas warisan-warisan dari kerajaan itu. Telapi Kiai Gringsing agaknya berpandangan jauh lebih luas dari orang-orang yang hanya mengaku-aku saja sebagai pewaris dan keturunan dari Majapahit."
Agung Sedayu mengangguk kecil. Sementara Ki Juru melangkah meninggalkan sambil berkata, "Tidurlah. Sebentar lagi tengah malam akan tiba."
Agung Sedayu tidak menjawab. Dipandanginya saja Ki Juru yang menyeberangi pendapa dan hilang di longkangan menuju kegandok yang lain.
Agung Sedayu menarik nafas. Iapun kemudian membaringkan dirinya dipembaringan. Namun matanya tidak segera dapat terpejam. Pesan Ki Juru Martani seolah-olah berputar-putar saja ditelinganya.
"Sekali-kali bertemulah dengan Untara," kata-kata Ki Juru itu bagaikan selalu terngiang. Ia mengerti, bahwa hal itu tentu akan mendekatkannya dengan kemungkinan untuk menjadi seorang prajurit.
"Tetapi kepentingan kakang Untara dan Ki Juru tentu berlainan. Kakang Untara ingin melihat aku sebagai seorang prajurit yang teguh timbul dan disegani, sementara Ki Juru mempunyai kepentingan lain apapun yang disebutkannya. Untuk kepentingan Pajang dan Mataram, atau kepentingan-kepentingan lain yang pada dasarnya menengahi sikap para perwira yang sudah ada."
Agung Sedayupun membayangkan, untuk dapat mencapai tujuan sesuai dengan keinginan Ki Juru Martani. ia harus sedikit menyombongkan diri dengan, memamerkan kelebihan-kelebihannya. sehingga ia akan segera mendapat tempat yang baik didalam lingkungan keprajuritan. Mungkin ia akan dapat menjadi seorang perwira atau Senopati yang memiliki kekuasaan yang khusus, yang dengan pengaruh yang ada dapat membantu menjernihkan hubungan antara Pajang dan Mataram, menyudutkan pengaruh para perwira yang dikuasai oleh nafsu pribadi dengan pamrih yang berlebih-lebihan untuk membangun kembali suatu kekuasaan yang disebut sebagai warisan kekuasaan Majapahit.
Namun akhirnya angan-angan Agung Sedayai itupun menjadi semakin samar. Akhirnya, matanyapun terpejam sesaat setelah ayam jantan berkokok ditengah malam.
Namun ternyata Agung Sedayu tidak dapat tidur nyenyak. Ia terbangun ketika dikejauhan terdengar suara kentongan yang bersahut-sahutan. Bahkan iapun segera bangkit ketika ia sadar, bahkan isyarat kentongan itu mempergunakan irama titir.
"Apakah yang sudah terjadi ?" bertanya Agung Sedayu kepada diri sendiri. Namun Agung Sedayu tidak bergeser dari tempatnya. Ia masih menunggu perkembangan keadaan.
Dadanya menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar beberapa orang telah berada di pendapa. Langkah mereka yang terdengar sibuk menanggapi suara titir dikejauhan.
Akhirnya Agung Sedayu tidak dapat berdiam diri didalam biliknya. Iapun kemudian melangkah kepintu. Perlahan-lahan ia mendorong pintu biliknya digandok.
Dari sela-sela daun pintu ia melihat beberapa orang sudah berada di pendapa. Mereka tidak sempat duduk di atas tikar. Namun mereka hanya berdiri dan berbincang dengan sungguh-sungguh.
Dengan ragu-ragu Agung Sedayu melangkah keluar. Ia masih bimbang, apakah ia diperkenankan naik kependapa dan ikut dalam pembicaraan itu. karena ia bukan termasuk salah seorang pemimpin di Mataram.
Namun ternyata Ki Juru Martani yang melihatnya segera memanggilnya, katanya, "Kemarilah ngger. Kita sedang membicarakan suara titir itu."
Agung Sedayupun kemudian mendekat. Ia melihat Raden Sutawijaya sudah berada diantara mereka.
"Menurut pendengaranku, isyarat itu bersumber dari arah suara gamelan di banjar yang kita lihat bersama," berkata Ki Juru kepada Agung Sedayu.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ketika suara tititr itu mulai terdengar, agaknya ia masih tertidur. Tetapi ketika ia terbangun rasa-rasanya suara titir itu masih belum merata seperti saat-saat ia keluar dari dalam gandok. Dan arah dari suara itu memang seperti yang disebut oleh Ki Juru meskipun barangkali tidak tepat benar.
Karena itu. dengan ragu-ragu Agung Sedayupun mengangguk. Katanya, "Mungkin pendengaran Ki Juru sesuai. Tetapi aku tertidur saat-saat suara titir itu mulai terdengar."
"Paman," berkata Raden Sutawijaya, "betapapun juga kita harus bersiaga. Kita tidak dapat menunggu disini tanpa berbuat apa-apa."
"Tetapi sebaiknya kau menunggu laporan untuk menentukan apakah yang sebaiknya akan kita lakukan," sahut Ki Juru.
Belum lagi Raden Sutawijaya menjawab, seekor kuda berlari mendekati regol. Karena penunggangnya telah dikenal oleh para penjaga regol, maka kuda itupun mereka biarkan masuk.
Dengan tangkasnya penunggangnyapun kemudian meloncat dari punggung kudanya dan mengikat kuda itu pada sebuah patok yang sudah disediakan di pinggir halaman.
Berlari-lari kecil penunggang kuda itu menuju ketangga dan kemudian naik kependapa.
"Katakan," desis Raden Sutawijaya, "aku tahu. kau membawa laporan tentang suara titir itu."
"Ya Raden," jawab orang itu, "ternyata yang dikatakan oleh Ki Juru benar."
Ki Juru menarik nafas panjang. Sekilas dipandangnya wajah Agung Sedayu dan tegang. Namun anak muda itupun segera mengerti apa yang telah terjadi. Agaknya Ki Juru yang meninggalkan biliknya, telah memerintahkan petugas-petugas sandi untuk membayangi orang yang dicurigainya dibanjar itu.
"Apa yang sudah kaulihat"," bertanya Ki Juru kemudian.
"Ketika orang itu kembali dari banjar tempat latihan itu, ada tiga orang yang telah menunggunya. Mereka berbicara ditempat yang sepi dan tersendiri."
"Kau tidak berusaha mendengar pembicaraan itu?"
"Itulah yang terjadi. Aku mencoba untuk mendekat. Aku hanya mendengar salah seorang dari ketiga orang itu memberikan perintah, agar orang itu tetap berada di Mataram untuk waktu yang tidak ditentukan. Agung Sedayu telah meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Menurut perhitungan mereka. Agung Sedayu akan berada di Mataram meskipun hanya satu dua hari."
Dada Agung Sedayu bergetar mendengar keterangan orang itu. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa ia masih tetap menjadi sorotan orang-orang yang merasa sakit hati kepadanya.
Tetapi Agung Sedayu tidak dapat ingkar. Ia telah melakukan beberapa pembunuhan di medan perang dilemhah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, sehingga masih ada diantara mereka yang mendendam. Mungkin orang-orang yang kehilangan sahabatnya. Mungkin orang-orang yang kehilangan pemimpinnya.
Sekilas terbayang orang-orang yang telah dibunuhnya itu memandanginya dengan sorot mata yang membara, memancarkan dendam yang tidak ada habisnya.
Dalam pada itu. petugas sandi itupun meneruskan, "Tetapi agaknya orang-orang itu benar-benar orang yang memiliki ilmu yang tinggi, ternyata kehadiranku dapat diketahuinya, sehingga mereka segera mengejarku."
"Kau tidak berbuat sesuatu untuk menangkap mereka ?" bertanya Ki Juru.
"Kemudian kita bertempur untuk beberapa lamanya. Kedua kawanku sama sekali tidak dapat mengimbangi mereka. Untunglah bahwa para peronda di gardu segera datang membantu."
"Tetapi orang-orang itu tidak dapat kalian tangkap ?" potong Raden Sutawijaya yang tidak telaten.
"Ya Raden. Kami yang kemudian berjumlah lebih dari sepuluh orang, dibantu oleh beberapa orang anak muda sama sekali tidak berdaya. Bahkan mula-mula akan terjadi salah paham. Penari itulah yang meneriakkan kami seolah-olah kami adalah orang-orang jahat yang harus ditangkap. Untunglah, beberapa orang telah kami kenal, dan kami dapat mengatasi kesalah pahaman itu. Namun demikian, keempat orang itu tidak berhasil kami tangkap."
Raden Sutawijaya menjadi tegang. Tiba-tiba saja ia berteriak, "Cepat, siapkan kudaku. Aku akan mencarinya diseluruh kota."
Raden Sutawijaya tidak mau mendengar keterangan-keterangan lebih panjang lagi. Ketika kudanya telah siap. maka iapun dengan tergesa-gesa meloncat naik diikuti oleh beberapa orang pengawal yang telah menyiapkan diri.
"Tunggu," minta Agung Sedayu, "mereka mencari aku. Biarlah aku ikut bersama Raden."
"Tinggallah dirumah ini Agung Sedayu. Aku akan mencarinya. Ia telah mengacaukan daerah kekuasaanku. Apalagi mereka berani mengganggu ketenangan kota yang tidak seberapa luas ini."
"Jika aku telah mereka jumpai, maka ia tidak akan mengganggu kota ini."
"Kau tamuku sekarang. Aku bertanggung jawab atas semua tamu-tamuku, meskipun aku tahu, bahwa kau akan mampu mempertanggung jawabkan dirimu sendiri." jawab Raden Sutawijaya.
Agung Sedayu tidak sempat berbicara lagi. Kuda Raden Sutawijaya itupun segera berderap dan hilang diregol halaman. Yang nampak kemudian hanyalah debu yang mengepul di cahaya bulan yang kekuning-kuningan.
Sejanak Agung Sedayu termangu-mangu. Ia masih melihat beberapa orang meninggalkan halaman. Mereka adalah para pengawal yang akan ikut meronda disekeliling kota.
"Tinggal sajalah disini bersama aku," berkata Ki Juru, "biarlah Danang Sutawijaya mengurusi kotanya."
"Tetapi persoalannya justru berkisar padaku," sahut Agung Sedayu.
"Persoalan apapun juga, tetapi mereka berada di wilayah kekuasaan Raden Sutawijaya," jawab Ki Juru.
Agung Sedayu terdiam. Ia tidak dapat menolak sikap itu, karena sebenarnyalah Mataram adalah daerah kekuasaan Raden Sutawijaya. Namun demikian, iapun kemudian berkata, "Ki Juru. Menurut pertimbanganku, agaknya orang-orang itu tidak ingin membuat persoalan dan kegaduhan di kota ini. Apalagi mereka hanya berempat. Yang mereka lakukan tentu hanya sekedar pengawasan. Jika mereka melihat aku lewat, maka mereka tentu akan melakukan sesuatu justru saat aku berada di perjalanan. Agaknya di Tanah Perdikan Menoreh mereka berhasil mendapatkan keterangan, dengan cara apapun, bahwa aku dalam perjalanan menuju ke Sangkal Putung seorang diri."
"Mungkin sekali Agung Sedayu. Karena itu, sudahlah. Sekarang beristirahatlah, meskipun sudah tentu sebaiknya kau menunda perjalanmu kembali ke Sangkal Putung."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia masih mendengar suara titir hampir diseluruh kota. Dan Agung Sedayupun membayangkan, bahwa semua pintu gerbang tentu sudah ditutup dan dijaga dengan kuat, sehingga tidak seorangpun akan dapat lolos lewat pintu gerbang.
"Tetapi orang-orang berilmu akan dapat meloncati dinding kota," berkata Agung Sedayu didalam hatinya, meskipun ia membayangkan juga bahwa para peronda tentu sudah mengawasi setiap jengkal dinding yang membatasi kota Mataram yang sedang tumbuh.
Sementara itu. Kuda Raden Sutawijaya berderap di jalan-jalan kota menuju ketempat yang menjadi sumber isyarat. Namun yang dijumpainya hanyalah beberapa orang yang berjaga-jaga. dan bahkan terdapat tiga orang pengawal dan dua orang anak muda yang terluka.
"Yang seorang agak parah," lapor pemimpin pengawal yang ada ditempat itu.
"Kalian tidak berusaha mengejarnya"," bertanya Raden Sutawijaya.
"Beberapa orang pengawal mengejarnya. Mereka tiba-tiba saja berpencar dan seakan-akan telah hilang. Tetapi disetiap sudut jalan terdapat para pengawal dan anak-anak muda dari setiap padukuhan. Kita sedang mencari keempat orang yang pantas dicurigai itu," jawab pemimpin pengawal itu.
Raden Sutawijaya termangu-mangu. Sudah tentu ia tidak akan dapat mencari sambil berpacu melingkari kota. Karena itu. maka iapun justru menyusuri jalan dengan lambat dan sekali-kali berhenti di muka gardu-gardu yang ditunggui oleh para pengawal.
Seperti yang diduga oleh Agung Sedayu maka ketika Raden Sutawijaya melewati pintu gerbang, maka pintu gerbang itu tertutup rapat.
Raden Sutawijaya berhenti sejenak di hadapan para penjaga yang meyongsongnya. Dengan nada datar ia bertanya, "Apakah kalian tidak melihat orang-orang yang mencurigakan melalui pintu gerbangmu sebelum kau tutup?"
"Tidak Raden," jawab pemimpin pengawal itu, "tidak seorangpun yang pantas aku curigai memasuki pintu gerbang ini.
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Diantara para pengawal ia melihat beberapa orang petugas sandi. Namun agaknya mereka benar-benar tidak melihat orang-orang yang pantas dicurigai sebelum orang-orang itu melakukan sesuatu yang menarik perhatian.
"Baiklah," pesan Raden Sutawijaya, "berhati-hatilah. Jangan ada seorangpun yang dapat lolos dari dalam kota."
"Ya Raden. Para perondapun selalu mengelilingi dinding kota. sehingga kemungkinan bagi seseorang untuk meloncatpun agaknya sangat tipis. Digardu-gardu di simpang tiga dan tikungan-tikungan yang menghadap dinding, anak-anak mudapun selalu berjaga-jaga."
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk pula. Iapun kemudian meneruskan perjalanannya menyusuri jalan-jalan kota. Namun ia tidak menjumpai orang-orang yang dicarinya.
Sementara itu para pengawal, para bebahu padukuhan dan anak-anak mudapun masih sibuk mencari orang-orang yang mereka curigai itu. Apalagi anak-anak muda yang bersama-sama berlatih menari. Mereka semula sama sekali tidak mencurigai pedagang wesi aji dan batu-batu permata itu. Bahkan orang itu mendapat kehormatan selayaknya sebagai seorang yang memberikan tuntunan tari dan lagu bagi pertunjukan yang sedang mereka siapkan.
Namun ternyata orang itu adalah petugas sandi dari pihak yang tidak senang melihat perkembangan Mataram.
Tetapi agaknya ke empat orang itu bagaikan hilang ditelan gelap. Sementara dari para pengawal menyangka, bahwa orang-orang itu telah berhasil meloncat dan hilang dari kota.
"Betapapun ketatnya pengawasan, namun kemungkinan itu besar sekali dapat terjadi. Disaat-saat kita sibuk membunyikan isyarat dan berlari-larian kian kemari, maka ke empat orang itu telah meloncat keluar dan hilang di dalam gelap," berkata salah seorang pengawal.
"Tetapi orang yang tinggal dipadukuhan dan memberikan tuntunan tari itu membawa seekor kuda," sahut yang lain.
"Kau memang dungu. Apakah artinya seekor kuda bagi keselamatan jiwanya?"
Kawannya tidak menyahut lagi. Tetapi kepalanya sajalah yang terangguk-angguk.
Meskipun demikian, namun para pengawal masih tetap berjaga-jaga. Raden Sutawijaya masih berkeliling untuk melihat-lihat kemungkinan bahwa keempat orang atau satu diantaranya masih berada didalam kota.
Dalam pada itu rumah Raden Sutawijaya telah menjadi sepi. Yang tinggal hanya dua orang pengawal di gardu yang menghadap regol halaman, sedang dua orang yang lain berkeliling di halaman dan memasuki longkangan sampai ke kebun belakang. Sementara dua orang yang lain berada di pendapa.
Namun selain mereka, di dalam rumah itu masih ada Ki Juru Martani yang merupakan tumpuan kekuatan bagi para pengawal rumah yang menjadi pusat pemerintahan Mataram.
Tetapi selain mereka, masih ada satu lagi orang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Seorang tamu yang singgah di Mataram dalam perjalanan dari Tanah Perdikan Menoreh menuju ke Sangkal Putung.
Didalam biliknya Agung Sedayu mencoba untuk berbaring dan melepaskan angan-angannya dari keadaan yang sedang terjadi di Mataram. Ia mencoba menyerahkan segala sesuatunya kepada Raden Sutawijaya yang bertanggung jawab tentang segalanya di Mataram.
Tetapi setiap kali ia selalu disentuh oleh perasaan gelisah, karena justru ialah yang menjadi pusat perhatian orang-orang yang mencurigakan itu.
Sejenak Agung Sedayu mencoba untuk menilai keadaan yang sedang terjadi itu dengan keterangan yang didengarnya, bahwa Pajang telah mengirimkan pengawas sandinya untuk menilai kekuatan Mataram yang dianggap siap untuk melawan Pajang.
"Agaknya orang ini berbeda tujuan dengan petugas-petugas sandi itu meskipun mungkin ia berasal dari kesatuan prajurit Pajang pula," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Dalam pada itu. selagi ia sedang digelisahkan oleh keadaan yang terjadi, diluar halaman, dua orang sedang berjalan-jalan tersuruk-suruk mendekati regol. Sejenak mereka tertegun ketika mereka melihat orang-orang yang berada didalam gardu.
"Sst," desis yang seorang sambil menunjuk orang-orang digardu itu.
Yang lain tidak menyahut. Namun digamitnya kawannya untuk melangkah dengan hati-hati mendekati gardu itu.
Dengan jari-jarinya ia memberikan isyarat bahwa yang ada digardu itu hanyalah dua orang saja. Yang seorang justru telah heran dan kemudian berdiri disisi regol dengan tombak ditangan, sementara yang lain masih tetap duduk sambil membelai hulu pedangnya
Kedua orang yang sedang merunduk itu saling berpandangan. Namun yang seorangpun kemudian memberikan isyarat ketika ia melihat dua orang pengawal yang lain berjalan dari halaman menuju ke regol itu pula.
Sejenak mereka termangu-mangu. Namun kemudian merekapun surut beberapa langkah dan menghilang dibalik gerumbul-gerumbul liar di halaman sebelah.
Ternyata keduanya telah memberikan laporan tentang para pengawal yang ada di regol yang hanya berjumlah empat orang.
"Aku sudah menduga, bahwa justru rumah ini akan menjadi kosong," desis salah seorang dari mereka.
"Tetapi kita tidak akan dapat berbuat apa-apa." sahut yang lain.
"Kita akan memasuki rumah ini. Meskipun tidak termasuk dalam rencana, tetapi kita akan mengambil semua pusaka yang ada. Aku yakin bahwa Sutawijayapun tentu sedang keluar oleh suara titir."
Sejenak empat orang itu termangu-mangu. Namun salah seorang dari mereka kemudian berkata, "Kita harus meyakinkan bahwa Raden Sutawijaya tidak berada di rumahnya. Dan penjagaan dirumah ini justru menjadi susut karena suara titir itu."
"Apakah yang dapat kita perbuat"," bertanya salah seorang dari mereka.
"Aku akan bertanya kepada para pengawal. Lindungi aku jika caraku gagal," berkata yang lain.
"Apa yang akan kau lakukan?"
"Lihat sajalah."
Keempat orang itupun segera bersiap-siap. Yang seorang dari mereka tiba-tiba saja telah membuka bajunya dan mengurai ikat kepalanya, sehingga nampaknya ia benar-benar seperti orang yang sedang dalam keadaan yang sulit. Rambutnya nampak kusut dan langkahnya tiba-tiba menjadi gontai.
Kawan-kawannya memperhatikan dari balik persembunyiannya. Mereka melihat dibawah cahaya bulan yang samar, kawannya yang seorang itu berlari-lari dengan tertatih-tatih mendekati para pengawal.
"He. siapa kau" " tiba-tiba salah seorang pengawal menyapanya sambil mengacukan tombaknya.
"O. ampun tuan. Aku telah dikejar seseorang. Mula-mula akulah yang mengejarnya, karena orang itu pantas dicurigai. Tetapi ternyata ia melawan. Kami berempat, dan orang itu hanya sendiri. Tetapi tiga kawan kami agaknya terluka entah terbunuh." ia berhenti sejenak lalu. "aku akan menghadap Raden Sutawijaya. Raden Senapati Ing Ngalaga membunuhnya. Orang itu luar biasa. Sebentar lagi ia tentu akan sampai kemari."
Keempat penjaga regol itu menjadi tegang. Hampir diluar sadar, salah seorang dari mereka menyahut, "Raden Sutawijaya sedang nganglang. Tetapi biarlah. Jika ia datang kemari, aku akan membunuhnya."
"Jika tidak" Apakah tidak sebaiknya kalian mengejarnya," berkata orang yang gontai itu.
"Kami bertugas disini. Kami tidak dapat meninggalkan tugas kami."
"Tetapi disini tentu banyak petugas yang lain orang yang berpura-pura itu tertegun sejenak. Hanya enam orang. Jika demikian, maka pengamanan rumah itu benar benar sangat ringkih."
Karena itu. tiba-tiba saja diluar dugaan, orang itu meloncat menyerang pengawal yang memegang tombak itu. Sambil menyambar tangkai tombak itu dan menariknya sekuat tenaganya, kakinya telah menghantam lambung pengawal itu. sehingga pengawal itu terpelanting jatuh.
Para pengawal yang lainpun terkejut bukan buatan. Tetapi mereka tidak sempat berbuat banyak. Demikian mereka menyadari keadaan, maka tiga orang lain telah berloncatan dari dalam gerumbul.
Serangan yang tiba-tiba itu telah melumpuhkan keempat orang itu sekaligus. Mereka sama sekali tidak sempat memberikan isyarat kepada siapapun juga.
Yang terjadi itu hanyalah beberapa saat yang pendek. Dua orang pengawal yang berada dipendapa sama sekali tidak mengetahui, bahwa diluar regol keempat kawannya telah dilumpuhkan.
Karena itulah, keduanya yang berada dipendapa masih saja duduk sambil bercakap-cakap untuk menghalau perasaan kantuk!
"Agaknya orang-orang yang dicari itu sudah berhasil melarikan diri," desis yang seorang.
"Mereka tentu sudah meloncat dinding," sahut yang lain.
"Tetapi, kenapa Raden Sutawijaya masih belum kembali" Atau pengawal-pengawal yang lain yang sebenarnya tidak perlu ikut berkejar-kejaran di sudut-sudut kota ?"
Kawannya tidak menyahut. Dipandanginya regol halaman dalam keremangan sinar bulan. Tetapi ia tidak melihat apapun juga.
"Mungkin masih dilakukan pencaharian terus sampai pagi," desis yang seorang pula.
Kawannya tetap tidak menjawab, ia mengerutkan keningnya ketika ia melihat seseorang melintasi regol. Kemudian berjalan kembali. Hilir mudik seperti yang dilakukan oleh para pengawal.
Namun sejenak kemudian, dua orang diantara mereka memasuki halaman dan berjalan melintas.
Kedua orang yang berpura-pura sebagai para pengawal itu telah memberanikan diri melihat-lihat keadaan didalam. Seperti dua orang yang mereka lihat melintas dan mendatangi gardu diregol itu, maka kedua orang itupun melakukan yang sebaliknya.
Dua orang pengawal yang berada dipendapa memandang kedua orang yang melintas itu. Mereka masih menyangka bahwa keduanya adalah para pengawal yang bertugas di gardu.
Tetapi sejenak kemudian, mereka melihat kedua orang lainnya memasuki regol pula menyusul kedua onang yang terdahulu.
"Kenapa mereka semuanya memasuki halaman" " salah seorang dari kedua penjaga di pendapa itu bertanya.
Yang lain termangu-mangu. Namun kemudian tanpa menjawab pertanyaan kawannya ia berdiri dan berjalan ketangga pendapa sambil bertanya, "He. kenapa regol itu kalian tinggalkan?"
Keempat orang itu tertegun. Dalam samarnya cahaya obor mereka melihat dua orang berada dipendapa.
"Empat orang sudah tidak berdaya," desis yang seorang, disini ada dua orang penjaga. Jika yang dua ini kita selesaikan, maka rumah ini tentu sudah kosong."
"Tetapi apakah tidak ada orang didalam"," bertanya yang lain
"Hanya pelayan-nelayan. Bukan prajurit-prajurit."
"Jika pelayan-pelayan dirumah ini juga prajurit?"
"Kita bertempur."
Karena orang-orang itu tidak segera menjawab, bahkan saling berbisik maka kedua pengawal dipendapa itu bertanya pula, "He kenapa kalian tinggalkan regol itu?"
Tiba-tiba terdengar jawaban, "Keadaan sudah aman."
Jawaban itu benar-benar mengejutkan. Seorang pengawal tidak akan berpendapat demikian. Betapapun keadaan aman. namun mereka tidak boleh meninggalkan tugas mereka. Apalagi baru saja terdengar suara titir diseluruh kota. bahkan Raden Sutawijaya sendiri masih belum kembali.
Kecurigaan timbul pada kedua orang pengawal itu. Karena itulah maka merekapun mencoba mengenali keempat orang itu dengan saksama.
Namun agaknya keempat orang itu telah merasa bahwa kedua orang itu tentu akan segera mengenalnya. Karena itulah, maka tiba-tiba saja keempat orang itupun telah meloncat menyerang dengan garangnya.
Namun karena kecurigaannya, maka kedua orang itupun ternyata telah bersiap-siap. Maka demikian mereka melihat keempat orang itu meloncat menyerang, maka keduanyapun segera menarik pedangnya sambil berkata satu sama lain hampir bersamaan, "Berhati-hatilah"
Kedua pengawal itu dalam saat yang pendek, segera dapat menduga bahwa para penjaga regol tentu sudah tidak berdaya, sehingga keempat orang itu dapat masuk dengan leluasa.
Sejenak kemudian telah timbul pertempuran diantara keempat orang pendatang itu melawan kedua pengawal. Ternyata bahwa kedua pengawal itu sama sekali tidak mampu berbuat banyak. Selain jumlah keempat orang itu lebih banyak, bahkan berlipat. namun ternyata bahwa seorang saja diantara keempat orang itu akan dengan mudah mengalahkan kedua orang lawannya.
Itulah sebabnya, maka sejenak kemudian kedua pengawal itu sudah tidak berdaya. Mereka terkapar di pendapa dengan senjata masih ditangan.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang"," bertanya salah seorang.
"Mengambil pusaka-pusaka itu." Sahut salah seorang yang paling berpengaruh diantara keempat orang itu.
"Mungkin kita dapat mengambilnya. Tetapi bagaimana kita akan membawa keluar. Seluruh kota sudah dijaga. Setiap tikungan, simpang tiga dan simpang empat."
Orang itu termenung sejenak. Namun kemudian katanya, "Kau memang bodoh. Dengan pusaka-pusaka itu ditangan, tidak akan ada seorangpun yang berani menghalangi perjalanan kita."
"Kenapa" Apakah pusaka itu mampu melawan orang seluruh tanah Mataram?"
"Kau memang dungu. Kita akan membawa kangjeng Kiai Pleret yang sudah kembali keperbendaharaan pusaka di rumah ini. Juga Kiai Mendung dan pusaka-pusaka yang lain. Jika para pengawal Mataram mencoba menghalangi kita, atau bahkan menangkap kita, maka kita harus siap menghancurkan pusaka-pusaka itu."
Kawan-kawannya terkejut. Dengan tegang salah seorang dari mereka bertanya, "Apakah kita mampu" Kita akan kena kutuknya. Bahkan sebelum kita dapat menghancurkan pusaka itu. kita sudah membeku karenanya."
Tetapi kawannya justru tertawa. Katanya, "Kau benar-benar seorang yang tidak berakal. Kita tidak akan benar-benar menghancurkan pusaka itu. Kita hanya menakut-nakuti orang Mataram. Mereka tentu akan mundur dan memberi jalan kepada kita. karena mereka tidak akan dapat melihat pusaka-pusaka itu kita rusakkan. Kita harus berbuat seolah-olah benar-benar kita akan menatahkan ujung tombak Kiai Pleret. atau menghancurkan sonsong Kiai Mendung. Seolah-olah benar-benar akan kita lakukan."
Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Namun merekapun kemudian mengangguk-angguk. Katanya, "Kau memang cerdik."
"Marilah. Kita harus cepat memasuki perbendaharaan pusaka. Kita akan mencarinya. Mungkin ada satu dua abdi yang ada didalam. Kita tidak mempunyai pilihan lain daripada melumpuhkan mereka."
Keempat orang itupun kemudian bergegas naik kepandapa. Mereka langsung menuju kepintu. Jika pintu itu diselarak dari dalam. maka tidak ada jalan lain kecuali memecahkannya.
Tetapi keempat orang itu tertegun, ketika pintu itu justru terbuka. Dengan dada yang berdebar-debar mereka melihat seorang tua melangkah keluar dan berdiri tegak dimuka pintu.
Wajah orang itu menegang sejenak. Namun kemudian terdengar suaranya lirih, "Siapakah kalian?"
Salah seorang dari keempat orang itu terhenyak ditempatnya. Sambil menggamit kawannya yang terdekat ia berbisik, "Ki Juru Martani."
Tetapi kawannya yang berdiri disebelahnya tiba-tiba saja menggeram, "Ki Juru. Mungkin kau tidak mengenal kami. Kawanku yang seorang tiba-tiba saja menjadi ketakutan melihat wajahmu. Tetapi maaf, aku datang dengan sengaja untuk menjumpaimu. Mungkin kau dapat menahan aku untuk beberapa saat. sementara kawan-kawanku mengambil pusaka-pusaka dari gudang penyimpanannya."
Ki Juru termangu-mangu. Ia benar-benar menjadi cemas melihat keempat orang itu. Apalagi menilik salah seorang diantara mereka tentu termasuk orang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Jika benar-benar orang itu mampu menahannaya untuk bertempur, maka yang lain tentu akan berhasil mengambil pusaka-pusaka di tempat penyimpanannya.
"Nah Ki Juru," berkata orang itu, "daripada perlawanan Ki Juru sia-sia. maka lebih baik Ki Juru menyerahkan saja pusaka-pusaka itu."
Tetapi Ki Juru menggeleng. Jawabnya, "Aku akan bertempur. Aku tahu bahwa pengawal yang sedikit, justru karena terpancing keluar rumah dan halaman ini. telah kalian pergunakan sebaik-baiknya. tetapi disini masih ada aku. Masih ada beberapa orang pelayan yang memiliki kemampuan sebagai seorang pengawal, meskipun tidak setingkat dengan kalian. Tetapi jumlah mereka yang lebih dari empat orang. akan dapat mengganggu kalian sampai saatnya Raden Sutawijaya kembali."
"Persetan. Kami akan membunuh semua orang, termasuk kau Ki Juru."
Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tidak mudah membunuh sesama. Meskipun kemampuanmu berlipat, namun hidup dan mati seseorang berada dibawah kuasa Yang Maha Esa."
"Persetan. Jangan biarkan ia mengulur waktu menunggu Sutawijaya kembali. Kita bunuh saja orang tua itu. Kemudian yang lain."
Ki Juru masih akan menjawab, tetapi keempat orang itu. sudah siap menyerangnya dengan senjata teracu.
Ki Juru yang tua itu tidak dapat berbuat lain. Ia surut selangkah sehingga ia berdiri di pintu. Dengan demikian, ia berusaha mengurangi kemungkinan serangan dari arah yang berlawanan.
Keempat orang itupun kemudian maju mendekatinya. Salah seorang dari mereka tiba-tiba saja berkata, "Serahkan orang tua itu kepadaku. Aku tahu. seberapa tinggi tingkat ilmunya. Ia adalah saudara tua seperguruan dengan Ki Gede Pemanahan. Namun karena Ki Gede Pemanahan adalah seorang Panglima, maka tingkat kemampuannya tentu lebih tinggi dari Ki Juru Martani. justru karena Ki Gede ditempa oleh pengalaman."
Ki Juru Matani termangu-mangu. Orang itu ternyata dapat menjajagi ilmunya dan memperbandingkannya dengan Ki Gede Pemanahan dengan tepat. Karena itu, maka iapun menjadi berdebar-debar. Jika orang itu berhasil mengikatnya dalam perkelahian, maka ketiga kawannya akan dapat berbuat seperti yang dikatakannya. Merampas pusaka-pusaka yang tersimpan dibilik penyimpanan pasaka. karena para pelayan rumah itu tentu tidak akan mampu melawannya.
"Tinggalkan orang tua itu," berkata orang yang agaknya pemimpin dari keempat orang itu, "carilah pusaka-pusaka itu."
Ki Juru memandang orang itu sejejak. Namun ia menjadi semakin gelisah ketika ketiga orang lainnya ternyata surut selangkah.
"Persetan," geram orang yang berhadapan dengan Ki Juru Martani, "seandainya kau dapat menangkap angin, namun jika kau tidak lenyap dari tatapan mataku, maka kau akan binasa."
Ki Juru tidak menjawab. Tetapi iapun telah menggemgam pedang. Meskipun ia sudah tua. tetapi ia masih memiliki kemampuannya sebagai seorang yang berilmu tinggi.
Namun dalam pada itu. selagi ketiga orang yang datang itu beringsut surut, terdengarlah suara dari gandok, "Biarlah ketiga orang itu akulah yang menemani."
Semua orang berpaling kepada suara itu. Ki Juru mengerutkan keningnya. Sebenarnya ia memang mengharap Agung Sedayu keluar dari biliknya. Tetapi ia tidak dapat mempersilahkannya. Ia adalah seorang tamu, apalagi ia mendengar, bahwa orang-orang itu memang mencari Agung Sedayu.
"Siapa kau" " salah seorang dari keempat orang itu bertanya.
"Aku kira. kalian memang mencari aku," jawab Agung Sedayu. "ternyata kalian memang cerdik. Kalian memancing para pengawal keluar. Dan kini kalian benar-benar dapat bertemu dengan aku."
"Persetan," geram orang yang sudah berhadapan dengan Ki Juru, "jadi kau Agung Sedayu?"
"Apakah kau belum mengenal aku" Jika demikian, apakah kau dapat menjalankan tugasmu jika kalian bertemu aku diperjalanan ke Sangkal Putung" Aku kira kalian memang mengikuti jejakku dan akan menjebabku disepanjang jalan menuju ke Kademangan Sangkal Putung itu."
Keempat orang itu termangu-mangu. Mereka memandang Agung Sedayu seperti memandang hantu. Debar dadanya terasa semakin keras ketika mereka melihat Agung Sedayu melangkah mendekat.
"Aku harus menjebaknya dan bersama-sama membunuhnya," berkata orang yang memimpin keempat orang itu didalam hatinya, "tetapi jika disini hadir juga Ki Juru. maka keadaannya akan menjadi gawat."
Sementara itu Agung Sedayu yang menjadi semakin dekat kemudian berkata, "Ki Sanak. Agaknya kalian memang tidak perlu mencari aku yang kalian sangka akan tinggal dan bermalam di Mataram satu atau dua hari. Setelah menurut pengamatan kalian aku telah meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Kita sudah bertemu sekarang. Dan marilah, silahkan duduk. Mungkin kalian membawa pesan untuk aku."
Keempat orang itu menjadi tegang. Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka, yang justru sudah siap bertempur melawan Ki Juru itupun berkata, "Gila. Kau berada diluar perhitungan kami saat kami memasuki rumah ini. Tetapi sekarang kita sudah bertemu. Apa boleh buat. Kau pun harus mati seperti Ki Juru Martani."
"Jangan berbicara tentang mati. seolah-olah tidak ada persoalan lain yang dapat kita perbincangkan. Bukankah kita dapat berbicara sebaik-baiknya tentang parit yang mengalir deras, tentang padi yang mulai menguning, tentang pedati yang berjalan lamban di bulak panjang atau tentang hubungan yang akrab antara sesama manusia tanpa permusuhan."
"Cukup," bentak orang yang siap melawan Ki Juru, "kau jangan mencoba mempengaruhi kami dengan kata-kata yang tidak bernilai bagi kami, orang jantan. Sekarang kalian berdua berhenti sejenak, lalu katanya kepada ketiga orang kawannya, bunuh anak itu lebih dahulu. Setelah itu, ambillah pusaka-pusaka yang ada diperbendaan pusaka."
"Tunggulah," potong Agung Sedayu, "jangan tergesa-gesa. Aku akan memberikan sedikit keterangan. Jika sekiranya kau memaksakan pertempuran, maka kita akan bertempur. Aku dan Ki Juru akan memperpanjang waktu perlawanan kami. Jika ada satu dua orang pelayan terbangun, mereka akan memukul isyarat dan sepuluh atau duapuluh orang akan memasuki halaman itu. Mereka akan melihat korban yang telah kau lumpuhkan, sebelum mereka melakukan apapun juga. Nah. kau tahu. apa yang akan terjadi atasmu."
"Cukup. Cepat, bunuh anak itu. Jika ada seorang pelayan-pun yang terbangun dan berusaha membunyikan isyarat, ia akan mati paling cepat."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Agaknya keempat orang itu memang bukan orang kebanyakan. Mereka telah mendapat kepercayaan untuk melakukan tugas yang berat.
Sebenarnyalah keempat orang itupun telah siap menghadapi segala kemungkinan. Mereka memang orang-orang terpilih. Mereka tahu pasti, apa yang telah dilakukan oleh Agung Sedayu di medan pertempuran di lembah Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.
Karena itu. maka ketiga orang yang sudah siap untuk mengambil pusaka itupun segera mendekati Agung Sedayu. sementara pemimpinnya berkata, "Salah seorang dari kalian harus siap bertindak atas para pelayan yang menyaksikan peristiwa ini. Lumpuhkan mereka seperti para pengawal yang melawan, agar mereka tidak sempat membunyikan tanda atau isyarat."
Ketiga orang itu tidak menjawab. Namun mereka melangkah semakin mendekati Agung Sedayu.
05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia dihadapkan pada suatu keadaan yang tanpa pilihan. Ia harus mempertahankan dirinya. Dan ia tidak menpunyai cara lain kecuali dengan kekerasan.
"Aku tidak mungkin menghindarkan diri dengan melarikan diri pada saat seperti sekarang ini," berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri. Dan bagaimanapun juga, ia masih belum sampai pada cara yang satu itu.
Karena itulah maka Agung Sedayupun kemudian mempersiapkan dirinya untuk menghadapi ketiga orang itu, sementara Ki Juru harus berhadapan dengan pemimpin mereka.
"Maaf ngger," tiba-tiba saja terdengar suara Ki Juru, "jika Danang Sutawijaya mempersilahkan angger tinggal, maksudnya agar angger sempat beristirahat. Tetapi justru anggerlah yang kini berkewajiban untuk melawan ketiga orang yang tidak tahu diri itu."
Agung Sedayu tidak menjawab. Perhatiannya sudah terpusat kepada ketiga orang itu, karena anak muda itupun sadar, bahwa ketiga orang itu tentu memiliki bekal untuk melakukan tugasnya.
Sejenak kemudian, maka masing-masingpun telah bersiap-siap menghadapi setiap kemungkinan. Wajah Agung Sedayu nampak buram oleh kegelisahannya. Bukan karena ia cemas menghadapi lawan-lawannya. Tetapi bahwa ialah yang diluar kehendaknya sendiri, harus menghadapi orang-orang itu di dalam lingkungan kekuasaan Raden Sutawijaya di Mataram.
Ki Juru yang tinggal menghadapi seorang lawan, mereka tidak perlu lagi bertempur dipintu pringgitan. Iapun justru keluar maju dengan pedang teracu.
"Marilah kakek tua," berkata lawannya, "aku beri kesempatan kau bertempur di tempat yang luas. Mungkin pernafasanmu masih cukup baik. sehingga kau akan mampu mengimbangi tata gerakku."
Ki Juru tidak menjawab. Ia sadar, bahwa lawannya akan mempergunakan cara yang sesuai dengan keadaannya. Lawannya tentu mengira bahwa nafasnya tidak lagi sepanjang nafas anak-anak muda.
Sejenak kemudian, lawan Ki Juru Martani itupun telah mulai menggerakkan tombaknya. Dengan lincahnya ujung tombak itu bergeser dari satu arah, kemudian berubah dari arah yang lain oleh loncatan kakinya yang cekatan.
Orang itu tertawa. Katanya, "Tombak ini adalah tombak para pengawal diregol. Aku tidak biasa mempergunakannya, karena akupun terbiasa bersenjatakan sebuah kelewang yang besar. Tetapi aku akan mencoba mempergunakan ujung tombak ini untuk menembus dada Ki Juru Martani yang namanya dikenal oleh setiap orang di seluruh wilayah Pajang dan bahkan wilayah Majapahit lama, karena sebenarnya ialah yang telah berbuat terlalu banyak lagi perkembangan Mataram."
Ki Juru tidak menjawab. Ia memperhatikan tangan dan tombak yang bergerak-gerak itu. Namun Ki Juru masih belum berbuat sesuatu. Ia masih memegang senjatanya menyilang didadanya. Hanya kakinya sajalah yang bergeser memutar tubuhnya menghadap lawannya yang dengan tangkas berloncatan.
"Kau cerdik Ki Juru," berkata lawannya. "Kau mampu menahan perasaanmu yang bergejolak untuk mempertahankan pernafasanmu yang tentu sudah terlampau pendek bagi sebuah perang tanding. Tetapi jangan cemas. Perang tanding ini tidak akan berlangsung lama. Sebentar lagi Agung Sedayu akan mati. Dan kaupun segera tertelungkup di pendapa ini. Kau akan menyesal. karena kau tidak sempat melihat Mataram berkembang lebih besar. Kau tidak dapat melihat Sutawijaya berhasil membunuh ayahanda angkatnya dan merebut tahtanya."
"Cukup," bentak Ki Juru, "sebenamya aku lebih baik diam. Tetapi kata-katamu benar-benar menyakitkan hati. Tidak seorangpun yang akan memberontak melawan Sultan Pajang selain kau dan orang-orang yang menyebut dirinya pewaris kerajaan Majapahit. Termasuk beberapa orang perwira yang berada di istana Pajang sekarang ini. Mungkin kau datang dari pihak yang lain. yang digerakkan oleh dendam semata-mata. Mungkin kau termasuk salah seorang anak buah orang-orang yang terbunuh di medan oleh Agung Sedayu. Tetapi mungkin juga kau anak buah Ki Tumenggung Wanakerti. Adalah ciri orang-orang yang berpikiran licik, bahwa kematian dimedan perang masih juga menimbulkan dendam yang berkepanjangan."
"Kau pintar juga kakek tua. Baiklah. Aku tidak berkeberatan untuk mengaku sebelum aku dapat membunuhmu," geram orang itu sambil menyerang.
Ki Juru berusaha menghindar. Dengan gerak yang sederhana ia berhasil menghindarkan dirinya dari pagutan ujung tombak lawannya. Ketika kemudian ujung tombak itu sekali lagi mematuk, maka dengan pedangnya Ki Juru menyentuhnya, sehingga ujungnya bergeser sejengkal dari tubuhnya.
Lawan Ki Juru itu masih sempat tertawa. Katanya, "Kau masih tangkas juga Ki Juru. Baiklah, kita akan segera melihat, apakah kau benar-benar masih tetap memiliki namamu yang besar itu."
Ki Juru tidak menjawab. Tetapi ia mengerutkan keningnya ketika ia melihat lawannya melemparkan tombak panjangnya dan kemudian menarik sebuah kelewang yang besar seperti yang dikatakannya.
"Tombak itu sama sekali tidakberarti bagiku," geramnya.
Ki Juru mempersiapkan dirinya. Ia sadar, bahwa ia harus mulai dengan pertempuran yang sebenarnya melawan orang yang kurang dikenalnya itu.
Dengan wajah yang tegang orang itu melangkah mendekati lawannya. Sorot matanya seolah-olah telah berubah menjadi buas dan liar. Ketika ia mengayunkan kelewangnya, maka terasa angin yang tergeser menyentuh tubuh Ki Juru.
"Hem," Ki Juru menarik nafas panjang, "orang ini agaknya memang orang luar biasa. Tenaganya melampaui tenaga orang kebanyakan. Dan sudah barang tentu, ia termasuk orang pilihan," katanya didalam hati.
Ternyata sejenak kemudian, Ki Juru benar-benar harus bertempur melawan orang bersenjata kelewang itu. Ternyata ia benar-benar seorang yang mampu bergerak diluar dugaan. Kakinya berloncatan seolah-olah tidak berjejak diatas tanah. Sementara kelewangnya berputar seperti baling-baling disekitar tubuh lawannya.
Seperti yang diperhitungkan lawannya, Ki Juru berusaha membatasi geraknya, agar ia tidak kehabisan nafas.
Tetapi lawannyapun cukup cerdik. Ia selalu memancing, agar Ki Juru terpaksa meloncat dengan loncatan-loncatan panjang dan dengan cepat mengikuti arah serangan-serangannya.
Sementara itu. Agung Sedayupun telah terlihat dalam perkelahian. Agaknya Agung Sedayu masih ingin menyelesaikan persoalan itu tanpa mengganggu orang lain, sehingga ia masih belum bernafsu untuk mempergunakan cambuknya.
"Cambukku dapat mengundang sekelompok pengawal," katanya didalam hati, "dengan demikian akan berarti keempat orang ini akan habis dicincang jika para pengawal mengetahui nasib kawan-kawannya meskipun mungkin mereka hanya pingsan dan tidak mati."
Karena itulah, maka ketika orang yang bertempur melawan Ki Juru itu melemparkan tombaknya. Agung Sedayu meloncat dengan kecepatan yang tidak diduga, apalagi yang dilakukan itu sama sekali tidak diperhitungkan oleh lawannya. berhasil menggapai tangkai tombak itu, dan kemudian mempergunakannya.
"Agung Sedayu," salah seorang lawannya menggeram, "aku dengar kau adalah seorang kesatria yang bersenjatakan cambuk seperti gurumu. Dimana cambukmu he" Jika cambukmu ketinggalan dibilikmu, aku beri kesempatan kau untuk mengambilnya."
Agung Sedayu tidak menjawab. Namun tiba-tiba orang yang berbicara itu terkejut. Ujung tombak Agung Sedayu tiba-tiba saja telah menyambar mulutnya. Untunglah ia masih sempat mengelak, sehingga bibirnya tidak robek karenanya.
Son Of Neptune 2 Pendekar Naga Putih 85 Setan Pantai Timur Pedang Kiri Pedang Kanan 8