Pencarian

Samurai Pengembara 7 1

Shugyosa Samurai Pengembara 7 Bagian 1


SHUGYOSA (Samurai Pengembara)
Buku Ketujuh oleh Salandra Cover oleh Tony G.
Desain sampul oleh M. Soetrisno
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit Alam Budaya, Jakarta, 1994
Buku Ketujuh SEBUAH ANCAMAN BULAN DESEMBER, menjelang Januari, musim hujan
mulai menginjakkan kaki. Hari-hari sering berjalan hanya separoh, yang separoh
terkena guyur hujan.
Kadang disertai angin kencang, membuat para petani berdebaran. Sepanjang pantai
Okehazama masih banyak rumah beratap daun tebu. Tak jarang atap semacam itu
terseret angin hingga berpuluh meter.
Namun keresahan itu tak cukup menakutkan, kare-
na hari-hari di musim penghujan seruling pabrik men-dengking, sebagai tanda
musim tanam tebu. Tak pedu-li lelaki-perempuan, setiap pagi memasuki hamparan
sawah untuk bekerja.
Kuli mulai menggali parit sedalam setengah meter.
Kemudian gerobak mulai hilir-mudik mengangkut bibit tebu. Mandor kebun yang
mengawasi penanaman muncul dengan menunggang kuda. Wajahnya menatap ta-
jam ke seluruh pelosok perkebunan, membuat wajah
kuli-kuli tertunduk dalam-dalam.
Wajah kuli yang patuh, sering memancarkan sinar
mata dendam tersembunyi. Dari sini dapat dirasakan, hawa penindasan dari
kehidupan di sekitar gula. Lebih-lebih kalau para pemilik perkebunan muncul ke
tengah ladang, tak satu pun wajah terangkat. Semua berjongkok menanti sumpah-
serapah atau perintah.
Sepuluh tahun silam, Okehazama belum sekeras itu.
Kemudian Oda Nobunaga mulai berkuasa. Sesekali
ia tampak menunggang kereta, turut menginspeksi perkebunan. Akechi masih berumur
enam tahun, masih
suka mencari gelagah tebu.
Dan sekarang, Tuan Muda sudah besar, tak bisa di-
sangka ia bakal melawan ayahnya. Usianya kini 21 tahun, usia cukup dewasa untuk
menentukan pilihan.
Dan pilihan itu adalah - melawan ayahnya! Sinar mata Tuan Muda seakan
menyembunyikan dendam. Ini sukar diketahui.
Sesudah Yukigumi didirikan di Jepang pada tahun 1598, sebagai perjuangan kaum
petani untuk mendapat hak sama dengan kaum samurai, di mana-mana
memang timbul hasrat untuk mengubah nasib. Dan
dari catatannya, Tuan Muda Akechi merupakan salah satu pengikut Yukigumi, haluan
politik yang memperjuangkan perbaikan kehidupan petani. Tetapi kebencian yang
berlebih-lebihan pada ayahnya, membuat
Mayumi kurang percaya perbedaan itu penyebabnya.
Tentu ada yang lain, namun Mayumi tidak mampu me-
raba. Tinggal misteri.
Berlari-lari di sepanjang galangan, merupakan ke-
nangan indah di masa kanak-kanak. Nah, Mayumi se-
karang sedang berlari-lari menyusuri galangan. Seperti biasa, setiap jam sepuluh
Mayumi mengantar ma-kanan untuk ayahnya. Ada hal-hal yang tak ia sukai dalam
saat seperti ini, yaitu mata para mandor yang liar memperhatikan dirinya.
Dulu ayahnya memang juru tulis, tapi sejak ada ju-ru tulis baru, ayahnya sering
mendapat tugas men-
catat buruh yang bekerja di desa. Bahkan merangkap sebagai pengawas perkebunan.
Baru saja Mayumi belok menuju rumah, darahnya
tersirap, sahabat Akechi duduk di depan rumah me-nunggunya.
"Hai, Mayumi," sapanya sambil beranjak menjabat
tangannya. "Bagaimana kabarmu" Baik?"
Mayumi mengangguk. Entah kenapa setiap bertemu
dia, Mayumi merasa memiliki pegangan.
"Engkau tampak lebih kurus, kenapa" Sakit ya" Pa-
ra petani biasanya tidak mudah sakit."
Setelah menyilakan dia duduk, Mayumi membuat-
kan minuman. "Bagaimana kabar Tuan Muda?" Mayumi bertanya.
"Baik-baik saja. Tinggal tangan kirinya yang belum sembuh benar. Dia menitipkan
salam untukmu."
"Kulihat Tuan Muda ditangkap," Mayumi berterus
terang. Lelaki itu terperanjat. "Ketika itu Tuan Muda sedang berbincang-bincang
dengan Anda dan istri Nobunaga di rumah sakit, bukan?"
"Bagaimana engkau tahu" Astaga!"
Mayumi tergagap. Matanya beralih dari pandangan
yang satu ke yang lain.
"Peristiwa itu terjadi tiga minggu yang lalu, bagaimana kau dapat mengetahui
secara persis?" tanya lelaki itu heran. "Apakah engkau berada di sana?"
Mayumi menggeleng.
"Lantas bagaimana kau bisa mengetahui?"
Setelah berpikir sejurus, Mayumi menceritakan keajaiban-keajaiban yang sering ia
alami. Laki-laki itu ternganga. Untuk beberapa saat ia diam.
"Aku tak bisa memahami dengan akal," katanya ke-
mudian. "Tetapi aku mempercayai semua yang kauce-
ritakan. Negeri ini sering membuat keanehan-kea-
nehan. Benar-benar luar biasa, Mayumi. Kalau ini ku-tuliskan bakal membuat geger
seluruh negeri ini."
"Tetapi apa maksud kedatangan, Tuan?" Mayumi
mengalihkan pembicaraan. Takut ditanya macam-ma-
cam tentang keajaiban itu.
"Oh ya, aku mau mengambil beberapa buku ber-
sampul coklat milik Akechi."
"Oh."
"Buku itu diletakkan di antara tumpukan buku
lainnya. Kau pernah melihat?"
"Tetapi buku-buku Tuan Muda sekarang tidak ber-
ada di sini," kata Mayumi menguatkan hati. Ia menceritakan alasannya. "Sekarang
semua kutitipkan di ru-
mah saudara saya di Mino."
"Kita berangkat sekarang," kata lelaki itu tegas.
Mereka berangkat menggunakan kereta milik lelaki
itu. Anak-anak kecil berlarian mengejar sambil ber-sorak kegirangan. Mayumi
bangga karenanya. Seperti anak panah melesat, kereta melaju lewat Okehazama.
Setengah jam kemudian mereka sampai di Mino.
Mayumi mendapati Yukio Kogasaki baru menanam pi-
sang. Pemuda itu beranjak, dan kaget sewaktu melihat kereta berhenti di
pekarangan rumahnya. Sebentar ia ternganga. Kemudian mempersilakan masuk.
Mayumi mengemukakan maksud kedatangannya.
Wajah Yukio Kogasaki mendadak sepucat kertas.
"Begini, Mayumi," ujarnya lirih. "Buku-buku itu kemarin kuserahkan pada Tuan Oda
Nobunaga."
"Apa?" pekik Mayumi dan sahabat Akechi serentak.
"Aku tidak mau mengambil resiko menyimpannya,"
kata Yukio Kogasaki. "Kukuatirkan penggeledahan itu bakal merembet kemari."
"Kenapa kau dulu sanggup kutitipi?"
"Karena... karena... karena aku tidak mengetahui isinya."
"Dusta! Sebelum kutinggal di sini aku sudah men-
ceritakan isinya. Kau memang sengaja mengkhianati kami."
"Bukan begitu, Mayumi."
Mayumi tak bisa menahan marah. Akhirnya ia me-
nangis terisak. Yukio Kogasaki menunduk.
"Engkau sudah mengkhianati kami," kata sahabat
Akechi menahan marah. "Itu berarti engkau mengkhianati kaummu sendiri. Karena
dalam bungkusan itu
tersimpan dokumen-dokumen yang bakal digunakan
memperjuangkan nasib petani."
"Tetapi... tetapi...."
"Sudah, tidak perlu penyesalan semacam itu," po-
tong lelaki itu dingin. "Semua sudah telanjur terjadi.
Satu soal yang perlu engkau ketahui, dengan tinda-kanmu sebagai pengkhianat,
sudah dengan sendirinya engkau menjerumuskan beberapa orang dalam kesulitan.
Salah kalau engkau hanya menganggap hanya
Akechi yang bakal mengalami kesukaran, tetapi semua pejuang. Termasuk Mayumi dan
ayahnya." Pucat seketika wajah Yukio Kogasaki. Ia berkata gagap berusaha melempar tanggung
jawab, "Tetapi, saya hanya mengikuti petunjuk ayah. Dia yang menyuruh...."
"Tidak ada pengaruhnya," tukas lelaki itu lagi. "Sa-ma saja. Setiap
pengkhianatan terjadi, kesukaran pasti datang bagi pejuang," sesudah berkata
begitu ia membimbing Mayumi meninggalkan rumah. "Dan perlu
engkau ingat, kalau semua petani bertindak seperti yang engkau lakukan, tidak
ada saatnya keadilan akan tercapai."
Anak-anak yang mengerumuni kereta serentak me-
nyingkir saat mereka datang. Ketika kereta keluar dari pekarangan, terlihat ayah
Yukio Kogasaki muncul. Segera Mayumi berpaling. Kebenciannya rasanya akan
meledakkan kepala.
"Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya,"
kata lelaki di sampingnya lunak. Mereka sudah di atas kereta. "Yang jelas sebuah
kesulitan yang tak kita bayangkan. Dan orang yang pasti terkena, pertama
Akechi, kedua engkau dan ayahmu."
"Aku akan menghadapi," kata Mayumi mencoba me-
nguasai diri. "Itu modal terbaik," lanjutnya. "Tetapi semua ini bukan keinginan kami. Sungguh
tak ada maksud menje-
rumuskan kalian ke dalam masalah ini."
"Ya, karena kami petani, sedang Tuan Muda Akechi
putra daimyo!" kata Mayumi. Tetapi hanya dalam hati.
Ingatan itu memperkuat kenangannya pada Tuan
Muda. Mendadak tangannya gemetar, kemudian ba-
hunya. Mata jadi terbuka, dan terpampang di depannya pemandangan baru; Akechi
membuang senyum-
nya yang khas, dan dua orang polisi membuka pintu penjara. Suara gembok beradu
dengan anak kunci terdengar gemerincing. Di luar samurai yang dulu pernah ia
lihat menjabat tangannya. Kemudian Akechi ber-lenggang ke luar.
Mayumi menjerit girang, "Tuan Muda sudah dibe-
baskan!" "Apa?"
"Baru saja aku melihat dia dibebaskan."
"Benarkah?"
Tiba-tiba terdengar ledakan keras. Kereta berjalan oleng. Sahabat Akechi itu
segera menghentikannya di pinggir jalan.
"Ada apa?" Mayumi bertanya.
"Ada deruji roda yang patah. Kita harus memper-
baikinya sebentar."
Betul. Deruji roda sebelah kiri patah. Lelaki itu mengeluarkan roda serep. Lalu
mulai bekerja. Selama itu ia berdiam diri. Sambil mencopot roda ia bertanya,
"Engkau tadi mengatakan Akechi dibebaskan?"
"Ya."
"Bagaimana kau mengetahuinya?"
"Begitu saja aku melihatnya."
"Ini benar-benar sesuatu yang luar biasa," komentar lelaki itu penasaran.
"Beberapa kali kau mengatakan hal-hal yang tak masuk akal, tetapi semua
terbukti. Kau jadi mengingatkan aku pada Tuanku Hanbei Sa-
saki." "Siapa Hanbei Sasaki?"
"Nanti kuceritakan di dalam kereta. Mari berang-
kat." Di dalam kereta lelaki itu mulai bercerita, "Tuan Hanbei Sasaki adalah orang
yang memiliki kemampuan seperti dirimu. Bisa melihat dari jarak jauh, bahkan dia
mampu melihat kejadian di negeri yang berbeda. Ketika kecil dia hampir saja
meninggal, akibat kolera, tetapi setelah dewasa dia mengejutkan negeri ini
dengan keajaibannya. Orang-orang seperti Tuan Hanbei dan dirimu adalah
paranormal. Bakat khusus ini sangat mengagumkan. Banyak orang memberi sebutan
mata dewa, mereka beranggapan orang seperti dirimu mempunyai kelebihan kekuatan
pancaindera," ia berhenti sejenak. "Aku tak menyangka petani juga memiliki
paranormal yang sangat muda seperti engkau."
"Tetapi... tetapi yang terlihat oleh saya hanya keadaan-keadaan Tuan Muda."
"Kurasa itu baru permulaan, Mayumi. Karena mung-
kin ada persoalan khusus antara engkau dengannya, sehingga membangkitkan
kekuatan dalam dirimu, dan kau dapat melihat segala sesuatu yang terjadi
dengannya."
"Kenapa yang lain tidak bisa?"
"Belum. Engkau harus melatih dirimu untuk men-
cintai segala sesuatu, sehingga kekuatanmu bisa untuk melihat segala yang kau
inginkan."
"Apakah berarti Tuan mengatakan saya mencintai
Tuan Muda?"
"Ah, aku tidak mengatakan demikian. Tetapi bia-
sanya kekuatan semacam itu berkembang lebih dulu
pada orang-orang yang sedang kau pikirkan."
Mayumi menundukkan muka. Wajahnya tentu me-
merah. "Cobalah kau belajar memusatkan pikiran pada se-
suatu hal, tentu akan kau alami sesuatu hal yang luar biasa," kata lelaki itu
memberi dorongan. "Tuan Hanbei belajar mengembangkan diri dengan usaha melihat
isi almari, kemudian peti besi, dan sekarang pandangannya tak bisa dibatasi oleh
laut atau perbedaan negara.
Pernah ada satu kejadian di Cina, pembunuhan seo-
rang perempuan. Polisi di negeri itu tak mampu menemukan, baru setelah Tuan
Hanbei menunjukkan
tempat kejadian, pembunuhan itu bisa dibongkar. Kau tahu, Mayumi. Kejadian itu
sudah lewat empat tahun, dan Tuan Hanbei melihatnya dari Kiyoto."
"Luar biasa," puji Mayumi jujur.
"Kau pun mampu melakukan, asal mau melatih di-
ri. Aku benar-benar kagum mengetahui kemampuan-
mu." Lelaki itu menurunkan Mayumi di depan rumah.
Tidak bersedia mampir. Sebelum dia pergi Mayumi bertanya:
"Apakah Anda... Tuan?"
Lelaki tersebut hanya tersenyum. "Panggil saja aku Hasegawa."
"Tuan Hasegawa?"
"Hanya... Hasegawa."
Mayumi mengangguk. Dan Hasegawa menjalankan
kereta. *** Baru saja Mayumi memasuki rumah, ayahnya seperti
hendak mengerkah berkata kasar:
"Kamu mau jadi gundik orang itu?"
Mayumi berpaling seketika. Ia lihat sorot mata
ayahnya bernyala-nyala. "Apa maksud, Ayah?"
"Dari mana kamu dengan orang itu?"
"Dari Mino. Dia disuruh Tuan Muda Akechi untuk
mengambil buku-bukunya."
"Kau tak pernah berpikir dengan kedatanganmu
bersama orang itu sama saja dengan menghancurkan
hati Yukio Kogasaki?"
"Apa peduliku."
"Apa kau bilang" Dia calon suamimu!"


Shugyosa Samurai Pengembara 7 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak!" jawab Mayumi tegas. Sekali ini Mayumi
memompa keberanian untuk membuatnya tak punya
rasa takut. "Hari ini aku mengatakan pada Ayah, Yukio Kogasaki sudah
mengkhianatiku, dia menyerahkan
buku-buku yang kutitipkan padanya ke rumah Tuan
Oda Nobunaga. Dan ini bukan saja membahayakan
Tuan Muda, tetapi juga aku, bahkan ayah akan ter-
sangkut sebagai pelakunya."
"Pelaku apa?"
"Pelaku dalam rentetan kejadian ini," sambung
Mayumi cepat. "Kita belum mengetahui apa isi buku-buku Tuan Akechi, tetapi yang
jelas catatannya selama menyelidiki kehidupan kuli pabrik gula. Pendiriannya
kuketahui betul, dia akan melawan kebijaksanaan
ayahnya." "Astaga," keluh ayahnya letih. "Aku tak pernah
membayangkan sejauh itu."
"Tetapi semua sudah terjadi, dan semua disebabkan pengkhianatan Yukio Kogasaki."
Ayah Mayumi diam. Ia memukul-mukul dahinya.
Mayumi bisa merasakan perasaan lelaki itu. Satu-
satunya harapan telah dihancurkan. Ia kelihatan lebih tua dari tadi, sebelum
mengalami perlawanan anaknya.
Dengan tangan di belakang, ayah Mayumi berjalan
hilir mudik di ruangan. Seperti kehilangan akal.
"Kita akan segera berangkat ke Mino," tiba-tiba ia berkata mantap. "Untuk
sementara kita akan tinggal di sana, dan kalau perlu perkawinanmu dengan Yukio
Kogasaki dilaksanakan di sana."
"Tidak!" potong Mayumi ketus. "Aku tidak akan me-
nikah dengan seorang penjilat!"
"Penjilat katamu?"
"Ya. Apa gunanya Yukio Kogasaki menyerahkan bu-
ku-buku itu pada Tuan Oda Nobunaga kalau bukan
karena hendak mengambil hatinya" Dia pasti meng-
harap jasa Tuan Nobunaga pada proses pengangka-
tannya sebagai pegawai pemerintah di sini. Maafkan saya. Saya betul-betul tidak
sanggup menjalani perkawinan dengannya."
"Dan engkau akan jadi gundik orang itu?" kata ayah Mayumi menyengat.
"Lebih baik jadi gundik orang yang baik itu daripada jadi istri seorang
pengkhianat!" kata Mayumi lebih tak peduli.
Plar! Tamparan tangan ayahnya membuat Mayumi
mendekap muka. Wajahnya panas. Belum pernah se-
belumnya lelaki itu menampar wajahnya dengan ke-
marahan seperti saat sekarang. Karena tidak tahan menyimpan galau di dadanya,
Mayumi berlari masuk
kamar. Ia lempar tubuh ke ranjang, kemudian me-
nangis. Ia mendengar langkah hilir-mudik ayahnya. Selang
seperempat jam pintu depan terbuka. Lamat-lamat
langkah ayahnya menjauh. Mayumi tetap membenam-
kan muka di bantal. Setelah capai menangis, ia terti-dur.
Tepat jam setengah sepuluh rambutnya terasa lebih hangat. Namanya beberapa kali
disebut. Rupanya ayahnya membangunkannya. Mereka duduk saling berha-
dapan. Dan lelaki tua itu memulai pembicaraan.
"Mayumi," ujarnya lunak. Kemarahannya telah re-
da. "Engkau mengetahui Ayah selama ini hidup sen-
diri. Setelah kematian ibumu sebelas tahun yang lalu, ayah tidak lagi beristri.
Engkau tahu kenapa" Karena ayah ingin sekali memberikan kebahagiaan untukmu.
Padahal kalau mau, dalam jabatan yang sekarang,
ayah bisa mencari istri dua atau tiga orang. Tetapi ti-
dak. Itu tidak akan kulakukan sebelum engkau men-
dapatkan seorang suami yang dapat menjamin keba-
hagiaanmu," lelaki itu diam sesaat. Ia memandang ma-ta Mayumi. "Akhirnya ayah
mengetahui Yukio Kogasa-ki adalah seorang calon suami yang pantas untukmu.
Dia saudaramu, dan bakal memperoleh pangkat. Siapa tahu dua tahun atau empat
tahun mendatang dia bakal diangkat menjadi mandor pabrik" Semua itu sudah ada di
benakku. Tetapi semua angan-angan yang ber-tahun-tahun kuidam-idamkan, tiba-tiba
sekarang kau campakkan. Betapa hancur hatiku. Semua telah ku-pertaruhkan dan
kuperjuangkan untukmu, tetapi engkau begitu tega meludahi muka ayahmu."
"Bukan begitu maksudku," Mayumi berkata hampir
menangis. "Aku sudah mengerti semua kehendakmu. Kau ter-
pikat oleh orang itu," lanjut ayahnya murung. "Dari sorot matamu, aku memahami
bahwa engkau terlalu
mengagung-agungkan orang itu. Kurasa ini sangat ber-bahaya, Mayumi. Akibat
pergaulanmu dengan Tuan
Muda, pikiranmu menjadi ngelantur, bahkan sekarang berani melawan ayahmu...."
"Bukan maksudku untuk melawan Ayah," potong
Mayumi gemetar. "Tetapi Mayumi sungguh-sungguh
tak bisa menjalani perkawinan dengan Yukio Kogasaki.
Maafkan saya. Saya mengetahui Ayah sangat mencin-
tai Mayumi, tetapi berat rasanya menjalankan harapan Ayah yang satu itu."
"Sampai saat ini keluarga kita belum ada yang
punya sifat seburuk engkau. Bergaul terlalu rapat dengan orang putra daimyo.
Bahkan nenek-moyangmu
pernah melawan mereka, apa katanya kalau mengeta-
hui cucu-buyutnya justru menjalin pergaulan dengan musuhnya?"
"Zaman sudah berubah," bujuk Mayumi lunak. "Se-
karang banyak orang dari kalangan daimyo yang berhati mulia, dan memperjuangkan
kehidupan petani."
"Itu tipu muslihat, Mayumi," kata ayahnya tegas.
Mayumi kaget. "Mereka memperjuangkan, tetapi tak
pernah berhasil. Kita hanya diberi harapan, tetapi bukan kenyataan. Yang
dirasakan petani hanyalah nasib buruk."
"Belum tentu."
"Sudah banyak buktinya. Sejak pejuang kita di za-
man dulu, semua ditaklukkan dengan tipu muslihat
yang keji. Dan engkau tentu belum mendengar, Michi-ko pun sudah dihancurkan
dengan tipu muslihat."
"Maksud Ayah?"
"Baru kemarin ayahnya pulang dari Osaki, dan
mendengar kabar dari gubernur, bahwa Michiko mengurungkan niatnya pergi ke Cina.
Entah apa yang terjadi tetapi beberapa hari yang lalu ia bepergian dengan Tuan
Eiko Okada ke Kiyoto."
"Benarkah itu?"
"Ayah tidak pernah berdusta."
"Bagaimana mungkin Michiko mengurungkan niat
yang sudah sepuluh tahun ia cita-citakan?"
"Itulah, Mayumi," kata ayahnya lunak membujuk.
"Tidak pantas seorang perempuan bersekolah tinggi."
Mayumi termenung beberapa ketika. Daya perta-
hanannya seakan lenyap oleh kabar tak pernah ia
bayangkan. Semangat Michiko yang selama ini menjadi pegangannya telah sirna. Dan
Mayumi kehilangan ke-seimbangan untuk mempertahankan prinsipnya. Da-
lam kegoncangan itu ayahnya berkata: "Kau harus
mencontoh Michiko. Jangan berkhayal terlalu muluk.
Tak ada artinya. Lebih baik sekarang engkau berpikir bagaimana cara terbaik
meladeni seorang suami. Kurasa Yukio Kogasaki akan sangat bangga memiliki istri
dirimu." Mayumi mengusap pelupuk mata. Basah. Air mata
berlinang menjadi parit di pipinya.
Yukio Kogasaki! Yukio Kogasaki! Hanya nama itu
rupanya yang ada di kepala ayahnya. Entah bagai-
mana caranya menghapus. Bila tak terhapus, terpaksa Mayumi menyerahkan hidup
sebagai istrinya. Ini benar-benar terkutuk! Laknat!
*** Osaki, suatu hari.
Matahari seperti tembikar. Merah membara. Udara
menyengat bagai hamparan cahaya surya. Tanah ke-
ring. Rumput dan semak belukar layu. Angin lautan membawa bau sampah ke daratan.
Di belakang penjara terdapat tanah luas dilengkapi para-para, tempat untuk
menjemur daun tembakau
sebelum dibuat cerutu, cerutu nomor satu buatan
Owari, yang sangat terkenal aroma dan rasanya. Sejak lima tahun lalu, pemerintah
Owari telah meman-faatkan tenaga para narapidana untuk membuat ceru-tu. Setiap
pagi, ribuan narapidana dipekerjakan, dan malamnya mereka kembali ke dalam sel -
atau menjalani hukuman mati.
Tak seorang pun membayangkan, produksi cerutu
yang demikian besar di Osaki, sebenarnya dihasilkan oleh para narapidana yang
diperas tenaganya tanpa di-bayar.
Hasegawa siang itu berdiri di tengah para-para,
menjemur tembakau. Kulitnya telah menjadi hitam karena terbakar matahari.
Kulitnya kering dan tubuhnya sekurus keledai tua. Ia telah menjalani hukuman
selama tiga tahun. Selama itu ia terus mencoba berbagai cara untuk mengetahui
orang di belakang pembunuhan kedua orang tua tunangannya.
Seorang sipir yang menjadi pengawas di tempat itu
berdiri di samping. Ia menyalakan korek api, kemudian menyulut sebatang cerutu
di mulutnya. "Malam ini engkau akan mendapat teman," kata si-
pir itu tanpa tekanan. Hasegawa tetap diam. Terus bekerja. Ia tak begitu
memperhatikan ucapan sipir tersebut. "Engkau tidak senang?" sipir itu sekarang
bertanya langsung.
Hasegawa berpaling, "Engkau bicara denganku?"
"Ya."
"Ada apa?"
"Kukatakan, malam ini engkau akan memperoleh
teman." "Siapa?"
"Kau pasti sudah tahu."
Hasegawa diam. Selama tiga tahun, ia telah berganti teman satu sel sebanyak tiga
kali. Teman-temannya yang dijebloskan ke sel, seorang pencuri yang dihukum tujuh
bulan. Seorang perampok yang dihukum dua tahun. Dan seorang pencopet berusia
enam belas tahun yang diganjar hukuman selama enam bulan. Mereka
datang, lalu pergi, tak ada yang dirasakan istimewa bagi Hasegawa. Karena itu
ketika sipir itu membicarakan tentang teman satu selnya, ia tak begitu tertarik.
Kali ini Hasegawa keliru. Menjelang matahari terbenam, seorang anak lelaki
didorong masuk ke selnya.
Dalam keremangan cahaya lampu di kejauhan, Hase-
gawa melihat samar-samar wajah Asada.
"Tuan!" seru lelaki itu terperanjat. "Oh, Tuhan, be-narkah Anda Tuan Hasegawa?"
"Ya, Morales. Kenapa kau dipenjara?"
"Saya tertangkap karena mencuri."
"Kau mencuri?"
"Ya, Tuan."
"Apa yang terjadi sampai kau jadi pencuri?"
Asada bercerita, sesudah Hasegawa dipenjara, ia te-
lah bekerja di beberapa tempat sebagai pemelihara ku-da. Tetapi pekerjaan itu
sangat tidak menyenangkan.
Beda dengan ketika ia bekerja di rumah Hasegawa. Selain penghasilannya tidak
cukup, ia tak memperoleh gaji yang memadai. Akhirnya ia terpaksa mencuri untuk
mencukupi kebutuhan keluarganya.
"Saya benar-benar putus asa," kata Asada lirih.
"Saya selalu membayangkan Anda akan dibebaskan
sehingga saya dapat bekerja kembali pada Anda, Tuan Hasegawa."
Hasegawa hanya tersenyum kecut. "Kita harus ber-
sabar," katanya tanpa tekanan. "Suatu saat aku pasti keluar. Kita dapat
membangun kembali kehidupan seperti dulu."
"Saya sangat mengharapkan Anda segera dibebas-
kan." "Masih tiga belas tahun lagi."
Asada menghela napas panjang. Wajahnya tampak
putus asa. "Apakah engkau pernah mendengar tentang Misa-
ko?" "Apakah Anda tidak pernah mendengar berita ten-
tang tunangan Anda?"
"Tidak pernah. Bagaimana kabarnya?"
"Dia telah menikah."
"Menikah?"
"Ya."
"Cukup! Kita tak usah membicarakan dia lagi."
Asada sesungguhnya ingin memberitahu tentang
Misako. Tetapi ketika melihat sinar mata yang redup, akhirnya ia memutuskan
untuk tak bercerita banyak.
Kabar tentang Misako pasti hanya akan melukai perasaan Hasegawa.
Kurasa, akan ada saatnya aku menceritakan yang sesungguhnya. Tapi tidak
sekarang. *** PERLAWANAN MAYUMI
AWAL tahun 1608 sudah lewat, bersamaan dengan le-
nyapnya harapan Mayumi berganti keputus-asaan. Ji-wa Mayumi lunglai bagai daun
sirih dijerang matahari.
Tenaganya juga hilang, semuanya hilang! Sekarang
tinggal perasaan kumuh menghadapi kehidupan. Satu-satunya pegangan telah hilang,
kemudian menghadang desakan ayahnya mengenai perkawinannya dengan
Yukio Kogasaki. Sudah cukup sempurna keputus-asaan ini. Hari-hari berjalan
seperti siput. Lambat melangkah.
Sedangkan mentari mengelilingi bumi dengan merang-kak. Semua ia lewatkan dengan
kemurungan yang
tuntas. Mayumi tidak pernah membuat keramik, juga tidak memikirkan sesuatu pun.
Setiap hari duduk di ranjang untuk menangis, mengenangkan nasib buruk.
Mayumi hanya mengangkat muka, ketika mende-
ngar ayahnya masuk rumah sambil bergegas. Lelaki
itu membuka pintu kamar.
"Celaka! Celaka!" rutuknya cemas. "Tuan Oda Nobu-
naga memanggilmu."
"Untuk Apa?"
"Entahlah, entahlah. Berdoa saja bahwa dia tidak
ingin mengambilmu sebagai gundiknya."
"Ya," jawab Mayumi lemah.
"Tetapi ingat," ayahnya memberi peringatan. "Ber-
buatlah sopan. Bagaimanapun jiwamu dan jiwaku berada di genggamannya. Jangan
sekali-kali berusaha melawan."
Mayumi mengangguk. Kereta sudah menunggu.
Sampai di rumah Tuan Oda Nobunaga ia lirik ayahnya gemetar. Wajah lelaki itu
pucat. Padahal Mayumi tidak
sama sekali. Keputus-asaan sudah membuatnya pa-
srah dengan nasib buruk apa pun bentuknya. Bukan
tidak ia ketahui: bila Tuan Oda Nobunaga menghenda-ki anak perempuan, biasanya
bakal diambil sebagai gundiknya! Tetapi itu ia tumpas sendiri. Mayumi merasa
sudah terbiasa dengan kekecewaan.
Selang sepuluh menit Oda Nobunaga keluar dari ka-
mar. Tanpa senyum tanpa keramahan lelaki itu berka-ta, "Kenapa kau kemari, Pak
Tua?" "Saya... saya mengantar anak saya, Tuan Nobu-
naga." "Tetapi aku tidak memanggilmu."
"Benar, Tuan."
"Pergi kamu, biarkan anakmu di sini."
Wajah ayah Mayumi sepucat kapas. Dengan lutut
gemetar ia pergi. Mayumi tetap duduk di lantai, se-dangkan Oda Nobunaga duduk di
kursi di depannya.


Shugyosa Samurai Pengembara 7 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Namamu siapa?" lelaki itu bertanya datar.
"Mayumi, Tuan Nobunaga."
"Umurmu berapa?"
"Tujuh belas."
"Pernah sekolah?"
"Benar."
"Di mana?"
"Sekolah rendah."
Lelaki itu diam. Matanya liar mengamati wajah
Mayumi seakan tak mempercayai yang ia ucapkan.
"Kau tahu kupanggil kemari?"
"Tidak, Tuan."
"Kau tahu di mana anakku berada?"
"Maafkan saya, Tuan. Saya tidak tahu."
"Bohong! Kau pasti tahu di mana anak durhaka itu
berada." "Sama sekali, Tuan. Saya tidak mengetahui di mana Tuan Muda berada."
"Bohong! Aku mengetahui kau bersekongkol dengan
dia untuk mendongkel kewibawaanku. Kamu mau be-
rontak"!"
"Aduuh, maafkan saya, Tuan. Saya tak tahu-me-
nahu soal itu."
"Kau yang menyimpan buku-buku Akechi, bukan?"
"Benar, Tuan."
"Dan kau sudah membaca seluruh isi buku milik
Akechi?" "Belum, Tuan. Saya tidak pernah menyentuh buku-
buku Tuan Muda."
"Bohong! Kau pasti turut dalam rencana pemberon-
takan di Mino. Kau sudah bersekongkol dengan penjahat untuk membakar perkebunan
tebu, hayo meng-
aku!" "Aduuh, maafkan saya, Tuan. Saya tak tahu mena-
hu soal itu."
"Aku panggilkan samurai agar menyeretmu ke pen-
jara kalau tidak mengaku!" bentaknya menggeledek.
Kepala Mayumi langsung pening mendengar getar suaranya. "Atau kau minta aku
bertindak sendiri" Ayah-mu bisa kupecat dari pekerjaan dan kau kulaporkan pada
Yang Mulia Yoshiaki kalau tidak mengaku, di
mana gerombolan pemberontak itu berkumpul. Di ma-
na"!"
"Hamba tidak tahu...."
Dan tanpa diketahui kapan lelaki itu mengambil
cambuk, tiba-tiba Mayumi merasakan lecutan cambuk ke pipinya. Ia menjerit. Ada
jalur biru sebesar kelingk-ing di pipinya. Rasanya pedih tak terkira.
"Engkau harus mengaku di mana gerombolan Ake-
chi menyembunyikan diri, dan bagaimana rencana mereka, kapan rencananya bakal
dilaksanakan, bicara!"
"Saya tidak...."
Cambuk itu menghantam pelipis Mayumi. Teli-
nganya berdenging, dunia seakan berputar. Di sini ri-wayatnya habis. Pernah ia
saksikan seorang kuli tebu yang dicambuk dua puluh kali, esoknya meninggal
dunia. Dua kali untuk Mayumi rasanya ia sudah mau pingsan.
Oda Nobunaga menghentikan kesenangannya. Lela-
ki dengan wajah bulat penuh lemak dan perut gendut mirip badak itu duduk kembali
di kursi. Tetapi matanya tak lepas memperhatikan diri Mayumi. Mayumi sendiri
sudah hampir pingsan.
"Aku masih punya kesabaran," kata lelaki itu di-
ngin. "Kalau kau tetap bungkam, maka kucambuk
sampai mati. Dan besok ayahmu sudah kupecat. Te-
tapi kalau kau mau mengatakan, ayahmu bakal ku-
naikkan pangkatnya."
"Tetapi benar, Tuan, saya tidak tahu."
Baru selesai Mayumi menutup bibir, cambuk itu su-
dah melecut di wajahnya. Bibir rasanya tersobek, perih. Darah mulai meleleh di
wajahnya. Satu kali lagi!
Satu kali lagi! Dan pada lecutan ke tujuh, kepala Mayumi berdenging, tak kuat
menahan putaran ruangan. Kesadarannya tinggal sejengkal ketika di matanya
terlihat Tuan Muda turun dari kuda. Antara percaya dan tidak kesadarannya pulih.
Ia menggigit bibir berusaha menahan siksaan.
Ia lihat Oda Nobunaga sedang memutar cambuk
untuk membuat lecutan baru ketika terdengar suara di pintu:
"Biadab!"
Dan Akechi sudah berdiri di ambang pintu. Pemuda
itu mendekati Mayumi dan memeriksa luka di wajah
gadis itu. "Hanya orang biadab yang memperlakukan perem-
puan seperti ini," kata Akechi sambil berdiri. "Saya tidak tahu apa yang
menyebabkan dia diperlakukan se-
perti binatang. Karena hanya orang Barbar yang berlaku demikian. Tidak pantas
orang beradab bersikap Barbar!"
"Dan Engkau, apa kamu mengaku sudah beradab,
berkomplot dengan pemberontak untuk membakar ke-
bun tebu?" sergah Oda Nobunaga berang.
"Justru saya ingin mengatakan; saya malu dikata-
kan anak orang beradab kalau perangainya ayah saya seperti binatang!"
"Bangsat!" rutuk Oda Nobunaga, langsung dia mele-
cut anaknya. Tetapi dengan cekatan Akechi menang-
kap cambuk itu.
"Engkau tidak pantas saya panggil... ayah," kata
Akechi dengan berani. Mata lelaki itu menantang ayahnya. "Terus terang saya
katakan: Benar, saya memang berpihak pada kuli-kuli tebu, saya berpihak pada
petani, setelah mengetahui betapa menderitanya mereka akibat perlakuan kita. Dan
sampai hari ini, sesudah membalas budi menjadi anjuran pemerintah, engkau
masih saja memperlakukan kuli-kuli perkebunan se-
perti pekerja paksa! Tidak! Saya tidak rela sejarah le-luhur saya kelak hanya
diwarnai bau darah petani. Itu alasannya kenapa saya melawanmu."
"Pendusta!" bentak Oda Nobunaga menggelegar da-
lam ruangan. "Itu sebabnya kau mencuri bukuku?"
"Itu lain soal," jawab Akechi tenang.
"Tanpa seizinku kau telah mengambil bukuku yang
kusimpan di almari, sungguh tidak tahu sopan! Baru sekarang kusaksikan putra
seorang daimyo yang tak mengerti sopan santun!"
"Tidak mengerti sopan santun bukan berarti keja-
hatan," jawab Akechi sinis. "Tetapi engkau sudah melakukan kejahatan yang paling
menjijikkan! Saya tidak bakal mendapatkan kalimat lain kecuali kata biadab!"
Kemarahan Oda Nobunaga sudah tidak dapat ter-
bendung lagi, dengan seluruh kekuatan lelaki itu mencoba merebut cambuk, tetapi
Akechi mempertahan-
kan. Keduanya saling menarik, sehingga untuk beberapa saat terjadi adegan tarik
menarik. Terakhir tanpa diduga Akechi melepaskan pegangan, sehingga ayahnya
terpelanting menghantam kursi dan terjungkal di lantai. Akechi tersenyum sinis.
"Ketika kecil saya benar-benar bangga menjadi pu-
tra daimyo, karena semua petani mengagung-agung-
kannya. Tetapi sekarang rasa malu dan rasa jijik yang saya miliki," kata Akechi
sambil menghindari cambu-kan ayahnya. "Kalau saya tidak merasa berhutang bu-di,
saya tidak tahu apa yang bakal terjadi di rumah ini.
Pembalasan dendam, ya kukira itu sudah layak terjadi.
Tetapi sampai sekarang, saya masih bersabar, namun tak ada orang bisa menahan
kesabaran menghadapi
kebiadaban yang terus menerus. Untuk itu saya mem-peringatkan Anda, jangan
bertindak ceroboh!"
Selesai mengucapkan kata-kata itu, dengan gesit
Akechi menangkap cambuk, kemudian menarik sekuat
tenaga sehingga terlepas dari tangan ayahnya. Lelaki itu terlempar ke pojok
ruangan. Tanpa berkata sepatah pun Akechi mengangkat tu-
buh Mayumi, kemudian meninggalkan ruangan. Mayu-
mi dinaikkan ke atas pelana kuda. Kemudian Akechi meloncat di belakangnya.
Dari dalam rumah masih terdengar Oda Nobunaga
menghujat anaknya. Suaranya parau karena marah.
"Dia bukan ayahku!" kata Akechi sambil memu-
kulkan kakinya ke perut kuda.
*** Di rumah, Akechi memapah Mayumi memasuki rua-
ngan. Ayahnya yang sedari tadi termangu tergopoh-
gopoh membopong tubuhnya, dan membaringkannya
di ranjang. "Saya minta maaf agak terlambat datang," kata Akechi pada ayah Mayumi. "Mayumi
terpaksa mengalami
sesuatu yang buruk."
Ayah Mayumi tidak menjawab, melainkan lari ke
dapur mencari air bersih. Dengan sapu tangannya
Akechi membersihkan luka di wajah Mayumi.
"Tolong ambilkan tas saya," kata Akechi datar.
"Di mana?"
"Di samping pelana."
Ayah Mayumi berlari. Kembali sambil membawa se-
buah tas kulit berwarna coklat. Akechi mengambil bo-tol dari dalamnya.
"Untuk sementara pakai ini," katanya sambil meng-
obati luka Mayumi dengan cairan warna merah. "Minta minum."
Ayah Mayumi mengambilkan.
"Minumlah ini, Mayumi."
"Apa itu, Tuan Muda?"
"Untuk mengurangi rasa nyeri. Hanya itu yang da-
pat saya lakukan."
Akechi membangunkan Mayumi, kemudian menyu-
ruh minum tablet berwarna putih. Mayumi meminum-
nya. "Maafkan saya," kata Akechi pada Matsuhide. "Eng-
kau dengan Mayumi jadi terlibat dalam kesusahan.
Apakah engkau dipecat dari pabrik?"
Matsuhide mengangguk. Mayumi terperanjat. "Tadi
Tuan Hisamatsu memberikan nota Tuan Nobunaga
bahwa saya telah dipecat. Saya tidak tahu apa yang mesti saya lakukan."
"Jangan kuatir, aku akan mencarikan pekerjaan
untukmu." "Betul, Tuan Muda?"
"Ya."
Kemudian Akechi mengeluarkan seikat uang, dan
memberikan pada ayah Mayumi beberapa lembar.
"Tinggalkan rumah ini selekasnya, dan pakai dulu
uang ini untuk hidup sebelum mendapatkan peker-
jaan. Jangan kembali kemari dulu sebelum keadaan
benar-benar aman. Sebentar lagi di sini akan ada kerusuhan."
"Kerusuhan?"
"Ya."
"Kerusuhan apa?"
Tanpa menerangkan kerusuhan apa, Akechi pergi.
Mayumi dan ayahnya berpandangan tak mengerti.
*** Yukio Hasegawa sedang menjemur cerutu di atas para.
Tiba-tiba seorang narapidana berlari ke arahnya.
"Tuan Hasegawa! Asada terbunuh!"
Hasegawa kaget. "Apa?"
"Asada tewas ditikam orang-orang yang memusu-
hinya." "Di mana?"
"Di kamar mandi."
Yukio Hasegawa segera berlari ke sana. Ia mendapa-ti Asada terkapar di kamar
mandi berlumur darah. Lelaki itu mendekap perutnya yang robek. Genangan air di
sekitarnya telah berwarna merah. Beberapa narapidana yang berdiri di tempat itu
hanya berdiri me-
natapnya tanpa berani menolong.
Hasegawa segera mendekap Asada.
"Siapa yang membunuhmu?"
Asada mencoba bicara, tetapi justru darah segar
mengalir dari mulutnya. Ia sudah benar-benar sekarat.
Matanya menatap Hasegawa dengan nanar. Semangat
hidupnya seakan telah lenyap dari badannya.
"Tuan...," kata Asada dengan susah payah. Untuk
mengucapkan sepatah kata pun harus ia lakukan de-
ngan sekuat tenaga.
"Bertahanlah," kata Hasegawa. "Kau harus berta-
han!" "Terlambat... saya pasti mati," kata Asada dalam
desah napas berat. "Saya ingin mengatakan pada Anda tentang pencurian pedang di
rumah Anda...."
"Pencurian pedang?"
"Ya."
"Maksudmu?"
Asada menghela napas panjang. Rupanya ia tengah
mengumpulkan segenap tenaganya untuk bicara.
"Saya... yang mencurinya...."
Yukio Hasegawa kaget. Tapi ia mencoba menguasai
diri. "Engkau?"
"Benar...."
"Siapa yang menyuruh?"
Asada menarik napas, ia memberi isyarat agar Yu-
kio Hasegawa mendekat. Kemudian dengan sekuat te-
naga, Asada menjawab di telinga Hasegawa. Setelah itu, ia merosot, lalu
menghembuskan napas terakhir.
Yukio Hasegawa termangu. Bisikan Asada terngiang
di telinganya. Ia yakin Asada tidak berdusta.
Aku akan membuktikannya. Kalau Asada benar, aku bersumpah untuk membalas dendam.
*** SEBUAH PENCARIAN
AKHIRNYA Mayumi tinggal di Gofu.
Di sini Mayumi tinggal di rumah kakeknya, seorang lelaki berumur 80 tahun yang
masih perkasa. Sungguh, Mayumi tidak melebih-lebihkan pujian. Kakeknya benar-
benar lelaki perkasa. Meskipun umurnya sudah
di ambang senja, namun tenaganya tetap muda. Setiap pagi ia mencari rumput untuk
empat ekor sapi, kemudian menggiring sapi kenyang itu ke ladang. Di sana
terdapat penggilingan gula secara sederhana. Caranya; sapi-sapi itu diikat pada
kayu yang menjorok, yang di-hubungkan dengan batu penggiling tebu. Kalau sapi-
sapi itu berjalan berputar, tebu akan tergilas, dan mengalir air ke dalam ember.
Air tebu itulah nantinya yang dibuat gula.
Ada pun tebu yang digiling, diperoleh dari hasil mencuri pada perkebunan pabrik
gula malam harinya. Du-lu pernah Mayumi menanyakan soal ini. "Mereka juga
mencuri milik kita," jawab kakeknya kalem. "Bahkan dengan cara-cara yang keji.
Kakek pernah mengalami kerja paksa, dan sekarang tanah kakek diambil untuk
perkebunan tanpa persetujuan. Tidak saja mencuri, tetapi mereka telah merampok
dan merampas kekayaan
kita." "Tetapi Kakek pernah bilang bahwa mencuri itu ber-dosa."
"Dosa adalah bila niat kita untuk berbuat jahat,"
jawab kakeknya tenang, tanpa ekspresi. "Tetapi Kakek melakukan bukan untuk
menjahati, melainkan untuk
menghukum penjahat yang tidak memahami asas."
"Maksud Kakek?"


Shugyosa Samurai Pengembara 7 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau ingat ini, Mayumi. Setiap orang harus mem-
perlakukan asas secara benar. Kalau asas kemanusia-an kita dilanggar berarti
kita dijahati. Dan engkau mengerti, semenjak para daimyo menindas rakyat, me-
reka telah melakukan kejahatan yang besar. Sedang saat ini, kalau Kakek
mengambil tebu mereka, tak ada artinya dalam hitungan kejahatan mereka."
"Tetapi juga dosa, bukan?"
"Dosa kecil akan ditebus dengan kebaikan yang be-
sar," sambung kakeknya tersenyum. "Banyak pahla-
wan pernah melakukan kejahatan untuk mendapatkan
harkat kemanusiaannya. Pemberontakan tidak selamanya buruk, Mayumi. Tinggal
siapa yang memandang-
nya." Dan sekarang, di tengah ladang, sambil memper-
hatikan sapi menggiling tebu Mayumi mengajukan pertanyaan, "Apakah dosa bisa
ditimpakan pada seluruh keluarga?"
"Tidak. Dosa adalah beban setiap orang kepada Tu-
han. Tidak bisa ditebus oleh orang lain."
"Kalau begitu apakah Kakek beranggapan semua
keluarga daimyo selalu jahat?"
Kakek menggelengkan kepala. "Tidak, Cucuku. Ti-
dak semua orang daimyo jahat. Sama dengan tidak
semua bangsa petani baik. Dalam setiap sejarah, selalu ada pahlawan dan
pengkhianat. Bahkan di dalam
keluarga, Cucuku. Contohnya, sesudah Minamoto me-
ninggal, putranya justru mengabdi kepada Taira. Padahal ayahnya gigih memerangi
puak Taira."
Mayumi terdiam. Ingatannya melayang pada Oda
Nobunaga dan Akechi.
"Engkau tampaknya punya persoalan, Mayumi?" ta-
nya kakeknya seakan mengerti perasaan cucunya.
"Ya," jawab Mayumi datar.
"Coba ceritakan padaku."
Sejenak Mayumi merenungkan untung ruginya. Ka-
keknya mengganti ember tempat air tebu, kemudian
kembali duduk di sampingnya. Ia mengulangi permintaannya.
"Apakah Kakek percaya akan maksud baik?"
"Ya."
"Meskipun itu datang dari putra seorang daimyo?"
"Ya. Seperti Kakek katakan, pahlawan tidak diten-
tukan oleh keluarganya. Tetapi lahir dari maksud baik seseorang. Dan itu tidak
peduli daimyo atau petani."
"Terima kasih. Kakek sudah membangkitkan kem-
bali semangat saya."
"Engkau tampaknya membawa kesusahan, Cucuku.
Cobalah katakan, Kakek ingin mendengar sehingga dapat membantumu."
Karena percaya kakeknya akan memahami perasa-
annya, Mayumi menceritakannya semua kejadian yang ia alami di Okehazama.
Pertemuannya dengan Akechi, soal catatan perjalanannya, kedatangan Yukio
Hasegawa, dan kejadian demi kejadian yang membuatnya
harus menyingkir ke rumah kakeknya. Lelaki itu diam beberapa saat. Kemudian
sambil menatap mata
Mayumi tajam-tajam, ia berkata: "Di dunia ini, tidak ada yang kekal. Tetapi
bersahabatlah dengan maksud baik, karena maksud baik bakal membuat kita mengerti
siapa kawan siapa lawan. Tiada yang lebih mulia dari maksud baik, betapa pun
sederhananya."
Kata-kata itu meresap di hati Mayumi. Sorenya ia
menulis dalam sebuah kertas. Ia mengira kakeknya
sudah mengatakan pendiriannya, bahwa ia tak mela-
rang hubungan dengan Akechi. Kegembiraan ini demikian meluap, sehingga tanpa
sengaja seluruh pikiran ia pusatkan pada Akechi. Hal ini membuat tangannya
bergetar, kemudian bahunya, sesudah itu mata
Mayumi seperti diganjal - menjadi terbuka lebar. Kemudian muncul gambar Akechi
bersama serombongan
kuli tebu. Arak-arakan itu menuju perkebunan. Tak lama Akechi kelihatan mengatur
kuli-kuli itu, dan mulai terlihat obor-obor yang puluhan jumlahnya. Kuli-kuli
tebu itu membakar perkebunan! Api segera menjilat, suara gemeretak gelagah, dan
asap membubung ke langit. Senja yang hitam jadi terang benderang.
Tiba-tiba terdengar suara teriakan para samurai
pengikut daimyo. Rombongan itu lari tunggang langgang. Tetapi sesuatu yang tidak
terduga terjadi, dari
balik rimbunan tebu bermunculan samurai dengan pedang terhunus. Mereka mengepung
pemberontak itu.
Dari arah lain sepuluh ekor kuda menderap. Dari pa-kaiannya bisa diketahui para
penunggang kuda itu
adalah samurai pengikut Nobunaga. Satu persatu kuli diringkus, diikat dengan
tambang. Ada seorang yang melawan, tanpa ampun pedang menikam lambungnya,
lelaki itu menjerit kemudian menggelepar di tanah.
Akechi meloncat, kemudian memukul polisi yang
menikam kuli itu. Tetapi sepuluh samurai segera me-ringkusnya. Baru saja Akechi
bisa dijinakkan, Oda Nobunaga sudah berdiri di hadapannya. Dengan gagang cambuk
ia memukul muka anaknya. Darah muncrat
dari bibir Akechi. Dan dengan kekejian seorang penjahat, Oda Nobunaga mengayun
cambuk berulang-ulang, Mayumi menjerit.
Kakeknya muncul di pintu kamar.
"Apa yang terjadi, Mayumi?" ia bertanya cemas.
Mayumi mendekap muka. Dan ia tempurukkan wa-
jahnya di dada kakeknya. Lelaki itu membimbing
Mayumi ke ranjang, lalu mengambilkan secangkir air putih. Setelah Mayumi minum,
kakeknya mengulang
pertanyaannya. Mayumi segera menceritakan pengliha-tannya pada lelaki itu.
Kakeknya jadi termangu.
"Engkau benar melihatnya?"
"Ya."
"Dengan hanya di sini engkau dapat melihat keja-
dian di Okehazama?"
"Ya."
Kakek Mayumi mendekapnya. Sambil merenggang-
kan dekapan ia berkata: "Hanya Tuan Hanbei yang
mampu melihat dari kejauhan. Engkau mewarisi muk-
jizatnya," ia memeluk lagi. Kemudian melepas lagi.
"Buat orang lain barangkali ini kebohongan, namun kakek mempercayaimu. Banyak
orang pintar memiliki
mukjizat seperti ini. Oh, Mayumi, bersyukurlah kepada Dewa."
"Tetapi bagaimana dengan Tuan Muda?"
"Pengadilan akan membebaskannya," jawab kakek-
nya tanpa menyimpan kekuatiran. "Bila benar ia seorang pemberontak, pengadilan
akan menghukumnya
selama setengah tahun, sesudah itu ia akan dibe-
baskan." "Setengah tahun?"
"Ya. Namun itu pun bukan sesuatu yang pasti. Pengadilan sering membuat hal-hal
penuh misteri. Justru yang menyedihkan adalah kuli-kuli tebu yang tertangkap,
mereka pasti mengalami nasib buruk. Mereka
akan berhadapan dengan Hukum Siksa."
"Kerusuhan selalu meminta korban."
"Ya, karena kerusuhan pada hakekatnya adalah pe-
perangan," jawab kakeknya menjernihkan pengertian Mayumi. "Kakek selamanya akan
melawan daimyo, tetapi seorang diri. Kakek tidak menyukai kerusuhan, karena
korban yang jatuh bukan kakek sendiri. Bakal terlibat orang lain yang tak
mengerti arti kerusuhan itu sendiri."
*** Osaki, tahun 1614.
Yukio Hasegawa berjalan menuju ke gerbang penja-
ra. Beberapa kali ia menoleh, kemudian melambaikan tangan pada teman-temannya.
Enam belas tahun ia telah menghuni penjara itu, lebih dari separuh kehidupannya
telah ia habiskan di balik dinding itu. Saat keluar, ada perasaan bergetar,
seakan sebagian dari hidupnya telah terpenggal.
Seorang sipir melakukan pemeriksaan pada isi tas
milik Hasegawa, termasuk catatan-catatan yang dibuat selama mendekam di bui.
Catatan itu tentang pembu-
nuhan kedua orang tua Misako.
"Kau seharusnya tidak menyimpan artikel-artikel
ini, Hasegawa," kata Kepala penjara datar. "Kau harus dapat melupakannya."
Yukio Hasegawa menjawab datar, "Saya tak mung-
kin melupakannya."
"Kau hanya menyakiti diri sendiri."
Hasegawa tersenyum.
Kepala penjara itu bertanya, "Kau sekarang akan ke mana?"
Hasegawa menjawab, "Okehazama."
"Okehazama?"
"Ya," jawab Hasegawa sembari tersenyum. "Saya
akan menemukan pembunuh kedua orang tua Misako
yang sesungguhnya."
Kepala penjara itu menatapnya tanpa berkedip. La-
lu berbalik pergi.
*** RAHASIA TERBUKA
LIMA BELAS hari sesudah Mayumi berada di Mino. Ia merasa menjadi anak kampung.
Berita-berita yang ia coba dengar, hanya bergema sayup-sayup.
Kabar yang dibawa burung mengatakan: Akechi No-
bunaga dibawa ke penjara Mino. Menunggu pengadi-
lan. Bersamanya ditangkap empat puluh kuli perkebunan, salah seorang meninggal
akibat tikaman pedang.
Di Okehazama diadakan penggeledahan, pemeriksaan
oleh samurai shogun. Kecurigaan bahwa pembakaran
tebu itu merupakan permulaan lahirnya kerusuhan
yang lebih besar. Hal ini mengakibatkan para daimyo mengetatkan aturan di
perkebunan. Eiko Okada memerintahkan agar pemberontakan itu benar-benar da-
pat dipadamkan. Kuli tebu bakal dihadapkan pada
pengadilan hukum siksa.
Saat di Okehazama terjadi kerusuhan, di Osaki ter-selenting kabar, setelah
Michiko mengurungkan niat belajar ke Cina, kini atas persetujuan kaisar, Michiko
akan mendirikan sekolah khusus untuk orang petani.
Kabar ini mengipas kembali semangat hidup Mayumi.
Ia mendapatkan kepastian bahwa kaum perempuan
petani berhak maju.
Namun semua ibarat suara katak dalam tempu-
rung, dapat didengar tetapi tak mampu dilihat. Tinggal di rumah kakeknya betapa
pun damai, tetap seperti dalam sekapan. Ia merindukan pulang ke Okehazama,
berkumpul dengan orang-orang yang siap memperjuangkan hak-hak petani.
Sesudah genap sebulan, baru ia dijemput ayahnya.
Mayumi memang kelihatan lebih hitam, namun kini
pancaran matanya kelihatan menyala-nyala.
Kereta kuda yang mereka tumpangi melewati jalan-
jalan terjal. Mereka terus memacu kuda di sepanjang tepi Sungai Kowasu.
"Mayumi," kata ayahnya menyadarkan Mayumi
bahwa ia tidak sendirian. "Engkau tahu kenapa kuajak pulang?"
Mayumi menggeleng.
"Ada sesuatu yang sangat penting untuk hidupmu,"
kata ayahnya tersenyum. "Ayah sekarang sudah diangkat kembali menjadi pegawai
pabrik gula. Semua ini atas kemurahan hati Tuan Oda Nobunaga. Dulu aku
pernah membencinya, tetapi sekarang kusadari, se-
sungguhnya dia orang baik, hanya saja penuh disiplin, sehingga tak menyukai
keteledoran."
"Orang baikkah yang tega menghajar anaknya de-
ngan gagang cambuk?"
Serentak wajah ayahnya memucat, namun lelaki itu
mencoba mengatasinya, "Karena anaknya tidak bisa
diatur. Tuan Muda menggerakkan pemberontakan
yang sangat merugikan pabrik. Akibat ulahnya, kebun tebu seluas enam hektar
terbakar habis. Saya benar-benar tidak mengetahui apa keinginannya."
"Untuk membela kepentingan kuli perkebunan tebu
tentu saja."
"Membela" Huh! Dia hanya menurutkan hawa naf-
su. Lihatkan sekarang apa akibat perbuatannya, empat puluh orang petani tersekap
di penjara harus
menghadapi hukum siksa. Dan bagaimana dengan ke-
luarganya yang tidak diberi izin lagi bekerja di perkebunan" Mereka terpaksa
makan jagung atau ubi. Tuan Muda Akechi sudah menjerumuskan orang-orang petani
ke penderitaan yang lebih hebat."
"Ayah justru berpihak pada Tuan Nobunaga?"
"Ya," jawab ayahnya tegas. "Buat apa aku berpihak pada pemberontak, mereka telah
menggali lubang ku-burnya sendiri. Sejak dulu, Mayumi, selalu kukatakan keluarga
daimyo sama saja. Mereka tak pernah memikirkan nasib petani."
"Tidak semuanya."
"Semuanya," potong ayahnya tegas. "Sekarang apa
hasilnya kerusuhan yang dikatakan Tuan Muda" Tak
lebih menjebloskan kuli-kuli tolol ke penjara."
Mayumi mengerutkan dahi. Terasa ada sesuatu
yang aneh dari pembicaraan ayahnya. Wajahnya se-
akan menyembunyikan rahasia serta kebencian pada
Akechi. Lelaki itu seperti sudah melupakan kebaikan budi Akechi kepadanya.
Mayumi diam. Ia ingin menunggu apa yang akan dikatakan ayahnya kemudian.
Ayahnya sesekali mencambuk kuda, sehingga lari
lebih cepat. Di Osaki kereta didahului kereta samurai Nobunaga. Segera saja ayah
Mayumi menganggukkan
kepala. Samurai itu hanya menatap mereka dengan
dingin. "Lihat, sekarang patroli semakin sering dilakukan.
Semua ini adalah berkat jasaku," kata ayah Mayumi senang.
"Jasa Ayah" Apa maksudnya?"
Ayah Mayumi menoleh ke arah belakang, ke kanan
ke kiri, baru kemudian berkata lirih, "Tetapi engkau tak boleh mengatakan pada
siapa pun. Ini rahasia," ia menyuruh anaknya mendekat. "Aku yang melaporkan
pada Tuan Nobunaga tentang rencana pemberontakan
itu." Seperti terhantam godam, Mayumi merasakan kepa-
lanya seketika pening. Rasanya ia mau pingsan. Pengakuan ayahnya membuatnya
seperti kehilangan harga diri. Ayahnya sudah mengkhianati bangsanya!
"Sejak Tuan Muda Akechi mengatakan akan ada ke-
rusuhan, aku setiap hari berkeliling dari kampung ke kampung untuk mendengarkan
rencananya. Akhirnya
kuketahui, mereka merencanakan membakar perkebu-
nan. Segera aku laporkan pada Tuan Nobunaga. Se-
mula dia tidak percaya, tetapi setelah saya yakinkan bahwa saya bersedia dihukum
kalau berdusta, Tuan
Nobunaga percaya. Itu adalah sebuah pertaruhan hidup dan matiku. Kalau aku
bohong bakal diganjar hukuman cambuk, tetapi kalau semua laporanku terbuk-ti,
aku dijanjikan bakal dipekerjakan lagi. Aku tak mau membuang kesempatan, setiap
hari kuli-kuli tebu ku-bujuk agar bergabung dengan Tuan Muda, dan mereka kudesak
agar pada saatnya segera bertindak. Padahal pada waktu itu laporanku sudah
sampai pada Tuan
Nobunaga."
Mayumi memejamkan mata rapat. Tak tahan men-
cegah air mata mengalir. Kalau ada kesedihan yang membuatnya ingin bunuh diri,
kesedihan inilah rupanya. Hasrat hidupnya membeku dalam kebusukan
yang tak pernah ia bayangkan.
Perjalanan jadi ingin selekasnya diselesaikan. Setelah itu ia menangis di kamar.
Terkutuk! Terkutuk! Terkutuk!
Tiga hari sesudah Mayumi berada di Okehazama, ia


Shugyosa Samurai Pengembara 7 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat ayahnya pulang dengan wajah berseri-seri.
"Mayumi, Tuan Nobunaga sudah mengangkatku
menjadi kasir," katanya sambil mengamat-amati reaksi anaknya. "Pengangkatan itu
benar-benar menyenangkan. Tiba-tiba saja Tuan Nobunaga memanggilku tadi pagi,
kukira aku bakal dimarahi, ternyata tidak. Dia justru berkata lemah lembut, dan
memberitahukan mengenai pengangkatanku sebagai kasir pabrik."
"Itu hasil pengkhianatan Ayah pada Tuan Muda
Akechi," tiba-tiba Mayumi berkata lantang.
"Apa" Pengkhianatan" Tidak! Kita harus berpihak
pada orang yang memberi hidup dan kehormatan."
"Kehormatan Ayah justru jatuh akibat pengkhia-
natan itu."
"Tidak bisa!" potongnya cepat. "Kita akan menjadi orang petani terkaya di
Okehazama. Kita mendapatkan kebaikan Tuan Nobunaga, kita tidak akan melarat.
Mana mungkin kehormatan kita jatuh."
"Semua orang akan bilang... Ayah seorang peng-
khianat!" Sebuah tamparan mendarat di wajah Mayumi. Ia
menangis. Meski ia mencoba melawan kelemahan itu, namun gagal.
Mayumi menangis terisak-isak.
"Semua ini kulakukan demi kebahagiaanmu,
Mayumi. Aku hanya memikirkan dirimu...."
"Ayah sudah memikirkan dengan cara yang keliru."
"Tidak. Ayah tidak keliru. Engkau justru yang keli-ru. Percayalah."
*** Jam enam sore Matsuhide kembali. Tak seperti ketika
terakhir bertemu Mayumi, ia menekuk wajah. Senyumnya tak bersisa. Tanpa minum
lebih dulu, lelaki itu memanggil anaknya.
"Kemasi barang-barangmu, kita ke rumah Tuan No-
bunaga." Mayumi terperanjat. "Untuk apa?"
"Engkau tahu, Mayumi, Tuan Nobunaga ditinggal-
kan istri dan anaknya. Ia dalam keadaan sedih, dan tidak ada yang memasak di
sana." "Bukankah dia mempunyai pelayan?"
"Pelayannya baru tadi pagi minta izin pulang, ka-
tanya ayahnya meninggal."
Mayumi terdiam. Tetapi ketakutan menyengatnya
sampai ke hati. Keringat dingin mengalir di leher. Dan tercetus pertanyaan yang
membuat ayahnya pucat sekaligus gemetar.
"Ayah tidak bermaksud menyuruhku menjadi gun-
diknya, bukan?"
"Tidak. Tidak," jawab Matsuhide gemetar. "Jangan
berpikir yang bukan-bukan. Kurasa engkau hanya sehari atau dua hari di sana.
Sampai pelayannya kembali." Saat kereta memasuki halaman rumah Oda No-
bunaga, dada Mayumi mendadak berdebar-debar. Na-
lurinya mengingatkan pada bahaya yang ia hadapi.
Namun semua ketakutan tidak mampu menggerakkan
kaki untuk lari meninggalkan tempat itu. Dalam seketika, jiwanya sudah lumpuh.
Ia kehilangan kekuatan.
"Engkau, Matsuhide?" suara Oda Nobunaga meng-
guntur. "Benar, Tuan."
"Itu anakmu?"
"Benar, Tuan."
"Baik. Antarkan anakmu ke kamar Nene, suruh
mandi yang bersih, suruh berdandan, dan nanti jam tujuh menghadapku kemari,"
kata lelaki itu tanpa tekanan. "Kau boleh pulang," lanjutnya pada Matsuhide.
Di kamar mandi, Mayumi menggigil. Rasanya roh-
nya sudah meninggalkan badan. Ucapan Oda Nobuna-
ga mengisyaratkan suatu bahaya mengancam dirinya.
Ia mengutuk ayahnya. Mayumi tahu sekarang, ayah-
nya sudah menukarkan dirinya dengan pangkat yang
sekarang ia miliki. Kebaikan Oda Nobunaga ketika
mengangkatnya menjadi kasir tak lebih jebakan untuk menggundik anaknya.
Ya, Tuhan. Menjadi gundik daimyo! Belum pernah seinci pun hal itu terpikirkan
olehku. Sekarang aku ter-perangkap, rasanya tak mungkin menghindar.
Terbayang oleh Mayumi perut Oda Nobunaga yang
besar seperti perut babi. Kumisnya yang sebesar genggaman, dan suaranya yang
mengguntur. Semua mem-
buat lutut Mayumi gemetar. Ia betul-betul menangis.
Tak seorang pun dapat menolongku!
Saat Mayumi muncul pada sore harinya, Oda No-
bunaga memanggil Mayumi ke kamarnya di tingkat
atas. Mayumi menaiki anak tangga dengan lutut menggigil. Rasanya tak akan kuat
melangkah, namun akhirnya sampai juga. Ia disuruh duduk dekat kaca besar,
sementara Oda Nobunaga duduk menghadap jendela.
Ia tengah memandang panorama di luar.
"Engkau sekarang tinggal di sini," suaranya ter-
dengar tanpa tekanan. "Kau harus meladeni seluruh keperluanku. Besok kuajak ke
Mino untuk membeli
pakaian yang bagus-bagus dan perhiasan untuk kau-
kenakan. Kurasa kau sudah pantas mengenakan per-
hiasan." Mayumi diam. Gigilan di kakinya semakin hebat.
"Engkau senang tinggal di sini?"
Mulutnya terkunci, namun ia paksakan untuk men-
jawab, "Se-senang, Tuan."
"Sudah bisa memasak?"
"Betul, Tuan."
"Bagus. Siapa namamu?"
"Mayumi, Tuan."
"Ya, ya, Mayumi. Kemarin ayahmu sudah mengata-
kan. Dia juga bilang engkau pintar memijit. Mari kemari, aku kau pijit...."
Berkata begitu lelaki itu membaringkan badan di
tempat tidur. Ia mengenakan piyama, sehingga ketika berbaring, piyama itu
terbuka, dan memperlihatkan perutnya yang mirip perut babi... kemerahan serta
berbulu lebat. Mayumi lama ragu-ragu, sampai akhirnya lelaki itu mengulang permintaannya.
Dengan menggigil Mayumi
naik ke tempat tidur. Dengan tangan gemetar ia mulai memijit.
Hampir saja Mayumi terpekik ketika tangan Oda
Nobunaga yang besar dan berbulu lebat merabai tu-
buhnya. Gerakan tangan Mayumi tak teratur, karena ketakutan yang menggemuruh tak
terkendali. Dan pe-kikannya benar-benar keluar, karena tiba-tiba Oda Nobunaga
mendekapnya. Napas lelaki itu mendengus
sambil terus menciumi Mayumi. Gadis itu memejam-
kan mata rapat-rapat, tak tega melihat binatang itu memperkosa dirinya.
Ketakutan yang dahsyat membuat seluruh tubuhnya lumpuh. Tak berdaya.
Dalam keadaan mengerikan, tiba-tiba ia merasakan
badannya terangkat, kemudian sebuah suara berde-
bam. Mayumi membuka mata, ia melihat Oda Nobuna-
ga terkapar di lantai.
"Bangsat!" umpatnya. "Siapa kamu?"
Laki-laki yang melemparkannya ke lantai berdiri di
depan tempat tidur. Lampu remang-remang di kamar
membuat Mayumi tak bisa mengenali malaikat peno-
long itu. "Engkau sudah lupa padaku, Nobunaga," kata ma-
laikat itu tenang. "Kurasa engkau telah berusaha melupakan. Tetapi aku tidak.
Tak bisa kulupakan
pengkhianatanmu yang keji di Okehazama dua puluh
dua tahun lalu."
"Bangsat! Aku tidak mengenal kamu!"
"Tentu saja, karena hidupmu sudah tertimbun gula, sehingga ingatanmu menjadi
tumpul," berkata demikian lelaki ini melempar topinya. Namun karena ia berdiri
persis di depan Mayumi, tetap wajahnya tersembunyi dalam keremangan. "Bila kau
tidak mendus-tai pandanganmu, hatimu akan terkoyak melihat wa-
jahku. Aku tak perlu menyebutkan namaku, karena
sekalipun kita berada di tempat yang berbeda, kau tak bisa melupakan
pengkhianatan pada seorang kawan.
Dan kemudian merebut tunangannya untuk kauper-
istri." Oda Nobunaga terbelalak matanya dan mulutnya
ternganga. Dia mundur beberapa langkah sampai pung-gungnya bersandar pada
dinding. Dia bergeser selangkah demi selangkah dengan mata penuh kemarahan.
"Kalau ingatanmu demikian buruk, baiklah ku-
ingatkan," kata lelaki itu dingin, penuh api kebencian.
"Dua puluh dua tahun yang lalu, kau telah meminja-miku sebuah pedang. Waktu itu
kebetulan aku akan
berangkat ke Kiyushu, namun urung karena kapal telah berangkat. Dan malamnya, di
saat aku tidur, engkau mencuri pedang yang kupinjam, kemudian kau-
gunakan untuk membunuh orang tua Misako. Kau
meninggalkan pedang itu di rumahnya, lengkap de-
ngan kaos tangan yang biasa kupergunakan. Akibat
fitnah keji itu kau mendapatkan berbagai keuntungan,
bisa menikahi tunanganku Misako, dan mendapatkan
jabatan sebagai daimyo di Osaki, jabatan yang seharusnya diperuntukkan untukku.
Aku terpaksa kehi-
langan segalanya. Ibuku yang sangat kucintai meninggal karena sedih, karierku
berantakan, dan lebih dari itu aku meringkuk di penjara selama enam belas
tahun." Dengan sikap yang sudah tidak lagi seperti manu-
sia, Oda Nobunaga memegang kursi agar tak jatuh. Ia tampak sangat terpukul oleh
Ikat Pinggang Kemala 10 Pendekar Rajawali Sakti 108 Harga Sebuah Kepala Sepasang Manusia Serigala 2
^