Pencarian

Samurai Pengembara 7 2

Shugyosa Samurai Pengembara 7 Bagian 2


ucapan lawannya.
"Sayang, Nobunaga. Engkau terlalu serakah," lanjut lelaki itu dingin. "Umpama
kauhancurkan karierku, barangkali aku tak akan mengejarmu sampai di sini.
Tetapi kaurebut tunanganku, padahal saat itu Misako sudah mengandung dua bulan.
Dua orang sekaligus
kaurebut dari tanganku, sedang yang lain kaubunuh."
"Cukup! Jangan teruskan!" bentak Nobunaga meng-
geram. "Aku hanya mengingatkan dirimu," kata lelaki itu
tanpa tekanan. "Ketika aku bebas, kuketahui kau sudah dikirim ke Owari. Aku
mengejarmu kemari. Karena pemerintah tak mau memberiku pekerjaan akibat fit-
nahan yang kaulontarkan, aku bekerja apa saja. Dan sangat beruntung pada
akhirnya, Tuan Hanbei bersedia menerimaku. Kukatakan beruntung, karena aku bisa
mengawasi setiap gerak-gerikmu, dan mencari kesempatan membuka kedokmu. Di sini
kuketahui, anak-ku kauberi nama Akechi, seorang pemuda yang terlalu tampan untuk
menjadi anakmu."
"Sudahlah, jangan kaulanjutkan! Katakan saja apa
maumu. Katakan!"
"Aku gembira sekali ketika engkau menyekolahkan
Akechi di Mino, karena dengan demikian membuka ja-lanku: Aku yang menyuruh
Akechi mencuri pedangmu, pedang yang dua puluh tahun lalu kaupakai memfit-
nahku. Bukankah ini pedangnya, Nobunaga?"
Lelaki itu mengeluarkan pedang. Tindakan ini
membuat Nobunaga beringsut ke sudut. Lelaki yang
tadi garang itu sekarang seperti babi hutan di tengah kepungan pemburu. Hanya
bisa mendengus-dengus.
"Kemudian Akechi kusuruh mencuri buku harian-
mu, ternyata dalam hal ini kau bersikap jujur. Kautu-liskan juga pengkhianatanmu
padaku, sehingga Akechi maupun Misako mau menerimaku kembali. Dan akhirnya kau
pun mengetahui, Misako menikah denganmu
hanya karena ingin menitipkan hidupnya serta anaknya. Selain itu tidak. Lama dia
mengetahui akal bu-sukmu, sehingga diam-diam melakukan pengebirian
diri agar tidak melahirkan anakmu. Dia telah menghukum dirinya untuk membuktikan
kesetiaannya pada-
ku. Nobunaga, kau telah mendapatkan sebagian huku-manmu."
"Tidak! Kau dusta! Pembohong!" pekik Nobunaga
berulang-ulang. Dan dengan kebencian luar biasa, ia meloncat ke tempat tombak
yang tergantung di dekat meja. Tetapi baru tangannya menyentuh tombak, pedang di
tangan Hasegawa menebas lengannya. Nobu-
naga menjerit ketika lengannya terkoyak. Darah segar mengucur dari lengannya.
Kini dengan tombak di tangannya, Nobunaga menerjang Hasegawa. Terjadi
pertarungan dahsyat. Sebagai seorang samurai, Nobunaga menikam dan mencercah
lawan dengan bengis, sementara Hasegawa menangkis dan menebaskan pedang-
nya. Suara gemerincing terdengar, jendela-jendela ber-derak terbuka. Dari lantai
dua, pertarungan bergeser ke lantai bawah, semakin lama semakin seru.
Nobunaga menerjang dengan luapan kemarahan,
sementara Hasegawa melayani dengan cerdik. Tebasan pedangnya, meskipun tidak
mematikan, namun sangat efektif. Beberapa kali ia berhasil melukai musuhnya.
Ini menambah kemarahan lawannya.
Nobunaga menikam ke arah dada Hasegawa, la-
wannya segera menghindar, kemudian dengan tebasan pedang ia melukai daimyo itu.
Darah mengalir dari da-da Nobunaga. Kemudian dengan sekali terjang, lelaki
gendut itu terlempar ke dinding. Dalam sedetik beri-kutnya, Hasegawa telah
menempelkan pedang di leher Nobunaga.
"Engkau mati, Nobunaga," kata Hasegawa penuh
tekanan. "Tetapi aku sekarang tidak akan membunuh-mu. Terlalu mudah untukmu. Aku
akan menyeretmu
ke pengadilan, dan memintakan hukuman lima puluh
tahun untuk kejahatanmu. Kau akan tua dan mati di penjara."
"Bunuhlah aku."
"Tidak. Kau akan menghadapi hukuman yang se-
timpal dengan kejahatanmu." Lelaki misterius itu berdiri diam, ia menatap tubuh
Nobunaga yang gemetar, kemudian ia berbalik mendekati Mayumi.
"Mari kuantarkan pulang, Mayumi," kata lelaki misterius itu. "Di bawah ada
pasukan Yoshiaki yang akan mengurusnya."
Tapi Hasegawa telah membuat kesalahan. Dalam
hitungan detik, Nobunaga telah melemparkan tombak sekuat tenaga, Mayumi menjerit
ngeri ketika melihat tombak itu menembus punggung Hasegawa. Darah
menyembur dari lukanya. Kemudian seperti keseta-
nan, Nobunaga mencabut pedang di samping ranjang-
nya, lalu mulai menebas tubuh musuhnya.
Mayumi hanya bisa menjerit. Lalu pingsan.
*** BENIH DENDAM KEMATIAN Hasegawa sangat menggemparkan. Saat
penguburan banyak petani yang datang. Akechi diberi kesempatan menghadiri
pemakaman itu. Ia tampak
kurus, wajahnya pucat. Dengan diam, ia berdiri ber-dampingan dengan ibunya. Di
belakang mereka empat orang samurai berdiri mengawasi dengan waspada.
Usai pemakaman, Akechi meminta Mayumi agar
bersedia menemani Misako di rumahnya. Meski masih dibayangi kengerian, Mayumi
akhirnya menyanggupi.
Setelah selesai makan siang, Akechi berangkat kembali ke Mino. Kali ini
tujuannya: penjara. Ia bakal dihadapkan ke pengadilan dengan tuduhan melakukan
pemberontakan. "Kita harus menunggu," kata Misako ketika duduk
berhadapan dengan Mayumi seusai pemakaman. "Ake-
chi sering menceritakan tentang dirimu. Ia mencintaimu."
Mayumi terperanjat, "Apa?"
"Setelah bebas Akechi ingin meminangmu."
Seminggu sesudah pemakaman Hasegawa, persida-
ngan yang ditekan oleh Nobunaga menjatuhkan hu-
kuman mati pada Akechi. Meskipun Akechi berusaha
membongkar kejahatan Nobunaga, namun kematian
Hasegawa telah menghapus kesaksian yang sangat di-butuhkan. Di persidangan,
Akechi tak dapat membuktikan apa-apa. Akhirnya di suatu pagi yang dingin, Akechi
dipenggal kepalanya.
Ayah Mayumi juga dituduh terlibat dalam perse-
kongkolan dengan Hasegawa. Tanpa persidangan, ia
pun dipenggal kepalanya.
Sehari sesudah kematian Akechi, Misako melaku-
kan seppuku. Mayumi menghilang dari Okehazama, bersembunyi
di pegunungan Iga, menjadi ninja. Bertahun-tahun ia menyimpan dendam untuk
membunuh Nobunaga.
*** "Itulah Mayumi," kata Konishita mengakhiri cerita.
Saburo Mishima diam membeku. Beragam pikiran
mengoyak perasaannya. Tak terasa matanya berkaca-
kaca. Tak terbayangkan sama sekali ia bakal mendengarkan cerita demikian
memilukan. Dan semua ber-
poros pada Oda Nobunaga.
Dalam benak Saburo, kini terbayang jelas siapa Nobunaga sebenarnya. Lelaki itu
terbukti brutal sejak muda, dan jahat sejak dari dalam hati. Perjalanannya untuk
meraih kekuasaan sebagai shogun, rupanya
berlumur darah. Bahkan ketika ia masih merintis jabatan sebagai daimyo,
pembunuhan seakan telah menja-di jalan hidupnya.
Korban telah berjatuhan. Kisah tentang Mayumi
membuat Saburo teringat pada kehidupannya sendiri.
Istrinya yang menjadi korban kebiadaban Nobunaga, dan juga anaknya yang kini
entah di mana. Kenangan itu membuat Saburo gemetar.
Mayumi telah kehilangan orang-orang yang dicintai.
Demikian pula Saburo. Perasaan kehilangan ini dapat menyatukan perasaan mereka.
Bila hal ini dapat dija-dikan dasar hubungan mereka, sesungguhnya mereka
dapat berhubungan seperti lem perekat. Erat seerat-eratnya. Ketat seketat-
ketatnya. Apakah benih dendam terhadap Oda Nobunaga yang mendasarinya, Saburo
tidak terlalu memusingkan, yang jelas ia merasa bahwa Mayumi pantas dilindungi.
"Kau masih memikirkannya?" tiba-tiba Konishita
bertanya. Saburo menjawab sekenanya, "Ya." Lalu dilanjut-
kan, "Dia seorang ninja?"
Konishita menjawab, "Ya."
"Siapa gurunya?"
"Iga-ryu, Takamatsu."
"Kau juga ninja?"
"Ya."
"Sejak kapan?"
"Sejak Nobunaga mengalahkan kita."
"Apa yang sebenarnya kalian rencanakan ketika
masuk ke Kamakura?"
"Kami sebenarnya tengah merencanakan menggem-
pur Kamakura. Tetapi semua jadi berantakan karena ternyata Nobunaga punya
rencana membunuh Imagawa, Mayeda punya rencana menggulingkan Imagawa,
engkau juga berencana menyerang Nobunaga, semua
orang punya rencana... aku jadi bingung."
"Kalau begitu jangan bingung, mari kita minum
sake untuk melupakan kesulitan hidup."
Konishita tersenyum tulus. Lalu sambungnya, "Sam-
bil memikirkan kecantikan Mayumi. Bukankah begi-
tu?" Saburo tertawa.
*** NILAI SEBUAH KEBIMBANGAN
BERDIRI di atas benteng, Mayeda Toyotomi dapat memandang wilayah Suruga. Gunung
Fuji berada di ke-
jauhan, hijau samar-samar dengan salju menutupi
puncaknya. Tanah datar di sebelah utara kelihatan menguning. Biji padi rupanya
sudah mulai bernasi.
Kuil Hidotomi berada di sebelah barat, enam pagoda yang menghiasi kuil itu mirip
sayap kelelawar yang terkembang. Di sebelah selatan, terlihat samar-samar, Puri
Tazumi. Saat menatap puri itu, terbayang di mata
Mayeda, sesosok wanita setengah baya yang selalu
mengingatkan dirinya terhadap ibunya. Seorang wa-
nita yang memberinya kasih sayang, sekaligus nafsu birahi. Betapa berartinya
wanita itu bagi Mayeda, bahkan jauh lebih berarti dibanding wanita-wanita muda
yang mendekatinya.
Mayeda berjalan di tepi dinding istana, menikmati kesejukan udara sore hari.
Baru sekarang ia dapat menikmati keindahan Suruga. Dulu, ketika Imagawa
masih berada di istana, setiap kali Mayeda mengun-junginya, ia harus bersujud.
Sikap hormat selalu me-lenyapkan kesempatan Mayeda untuk menikmati kein-
dahan istana. Tetapi kini, ia merasa bebas leluasa. Lebih-lebih setelah
kemenangannya terhadap pasukan
Konishiwa, ia merasa benar-benar berhak menduduki istana. Tak seorang pun dapat
menghalangi keinginannya.
Begitu kemenangan berhasil diraih, Mayeda segera
kembali ke Suruga, dan mengumumkan pengambil-
alihan kekuasaan. Dengan tegas Mayeda mengatakan, sikap tersebut terpaksa
diambil karena shogun Imagawa tewas dalam perangkap Nobunaga. Para samurai
pengawal Imagawa mempercayai kata-kata itu, sehing-ga mereka tidak melawan
kemauan Mayeda. Soalnya,
hingga kini, Imagawa belum mempunyai seorang anak pun yang dapat
menggantikannya.
"Saya sangat memuliakan Yang Mulia Imagawa," ka-
tanya lantang di depan seluruh komandan pasukan
dan para pelayan istana. "Pengkhianatan yang dilakukan Oda Nobunaga sungguh
melukai perasaanku. Dia
memasang perangkap dan membunuh junjungan kita
tanpa rasa hormat. Karena itu, aku bersumpah untuk mempertahankan istana ini
sampai mati. Karena Yang Mulia Imagawa tidak memiliki putra, maka kekuasaan
kuambil alih untuk sementara, sebelum ada orang
yang masih memiliki darah Imagawa mampu meme-
gangnya." Semua orang diam mendengarkan dengan berbagai
perasaan. "Dengan jujur aku katakan kepada kalian, aku tak
mungkin menjalankan pemerintahan sendirian. Kare-
na itu, aku minta kesediaan kalian mendukungku agar Suruga menjadi kuat dan
berwibawa. Percayalah padaku, apabila Oda Nobunaga berhasil menaklukkan Su-
ruga, ia akan menindas, memeras, dan menumpas ke-
luarga kita sebagaimana ia lakukan terhadap junjungan kita. Karena itu janganlah
berkecil hati, marilah ki-ta galang persatuan, dan bertekad membela Suruga
sampai titik darah terakhir."
Sesudah mengumumkan pengambil-alihan itu, Ma-
yeda segera membentuk dewan perang yang terdiri dari orang-orangnya. Ia ingin
mengamankan secara sempurna seluruh rencananya. Esoknya, ia mengirim kurir ke
istana Tazumi, untuk memberitahukan perihal kemenangannya, sekaligus mengabarkan
tentang renca- na perkawinan mereka. Tazumi menyambut gembira
rencana itu. Wanita tersebut segera memerintahkan seluruh dayang-dayangnya untuk
membuat persiapan
apabila sewaktu-waktu mereka harus pindah ke istana Suruga.
Tazumi tidak membayangkan, semua akan terjadi
dengan begitu mudah. Tindakan Nobunaga justru
mempermudah pelaksanaan seluruh rencananya.
Mayeda masih berjalan-jalan di balkon istana ketika Eiji Kitajima muncul di
depannya. Laki-laki itu sujud di depannya.
"Tuanku, ada berita dari Kamakura."
"Katakanlah."
"Pada saat ini, Oda Nobunaga tengah menghimpun
kekuatan sebesar sepuluh ribu orang untuk menggem-
pur kita. Saya telah mengamati selama beberapa hari, mereka dengan penuh
semangat melakukan latihan
perang setiap hari. Kali ini pasukan mereka dipimpin oleh panglima Hosokawa."
"Tahukah engkau kapan mereka akan mulai me-
nyerbu?" "Sebelum akhir minggu ini mereka sudah diperin-
tahkan menyerang."
"Aku sudah menduganya. Mereka memang harus
melakukan serangan itu apabila Nobunaga tak ingin kehilangan muka. Kekalahan
yang lalu membuat dia
harus menyerang secara besar-besaran."
"Apa yang sekarang akan kita lakukan?"
"Tangkis serangan mereka."
"Kita tidak memiliki pasukan sebanyak mereka."
"Minggu lalu kita juga berperang dengan pasukan
lebih kecil dibanding mereka, namun kita berhasil menang. Sekarang pun demikian.
Kuminta kau segera
membuat seruan untuk semua samurai yang berada di Suruga supaya bergabung dengan
pasukan kita. Akan kita sambut kedatangan tentara Kamakura dengan
liang kubur menganga."
"Baik, saya akan melaksanakannya."
"Kitajima," panggil Mayeda sambil mendekati samu-
rai itu. "Kau harus tetap menempatkan mata-mata di Kamakura, aku ingin tahu
secara persis perkembangan yang terjadi di sana. Jangan sampai perubahan yang
terjadi di Kamakura tidak kita ketahui. Sebab dalam peperangan ini kita hanya
mengandalkan mata-
mata." "Saya mengerti."
"Nah, sekarang, pergilah."


Shugyosa Samurai Pengembara 7 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kitajima pergi. Mayeda diam merenung. Benaknya
terus berpikir tentang perang yang bakal ia hadapi. Bi-la benar Oda Nobunaga
mengerahkan sepuluh ribu
prajurit, berarti lelaki itu tidak setengah-setengah untuk menggempurnya. Satu-
satunya cara bagi Mayeda
untuk menandinginya, adalah dengan menunggu. Dia
akan mengerahkan lima ribu prajurit untuk membuat pagar betis di sekeliling
perbatasan. Mereka akan diperintahkan menunggu kedatangan pasukan Nobuna-
ga, kemudian memporakporandakan dengan serbuan
mendadak. Cara itu yang ia gunakan menghancurkan
pasukan Konishiwa, dan sekarang akan ia gunakan
menghancurkan pasukan Hosokawa.
Ketika seluruh pikirannya sudah menjadi jernih,
Mayeda memanggil pelayannya - Daisuke Togakure.
Pelayan itu muncul, kemudian bersujud.
"Tuan memanggil hamba?"
"Daisuke, siapkan kudaku. Aku akan pergi ke Puri
Tazumi." "Apakah hamba harus menyertai Tuanku?"
"Ya, bawakan aku sandal dan sake."
"Baik, Tuanku. Hamba akan laksanakan seluruh
perintah Tuanku."
Seperempat jam kemudian tampak Mayeda diiringi
dua belas pengawal serta dua pelayan memacu kuda
menuju Puri Tazumi.
Tazumi telah melakukan persiapan sebaik-baiknya.
Seluruh dayang-dayangnya diperintahkan menyambut
kedatangan Mayeda Toyotomi sebagaimana layaknya
menyambut seorang shogun. Kecuali seluruh penghuni puri berdiri berjajar di
depan pintu gerbang untuk mengelu-elukan kedatangan Mayeda, permadani merah
sepanjang empat puluh meter diletakkan persis di depan anak tangga.
Ketika Mayeda datang, seorang pelayan segera mengambil tali kekang kuda. Tazumi
sendiri menyambut kedatangan kekasihnya dengan senyum ceria serta pelukan mesra.
Mereka berjalan di atas permadani menuju
kamar. Tazumi tidak memberikan kesempatan pada Ma-
yeda untuk bicara sepatah pun, wanita itu langsung mencumbunya dengan penuh
nafsu. Satu hal yang di-pelajari Tazumi sejak lama, laki-laki selalu takluk
apabila diberi rangsangan birahi. Cara ini hampir tidak pernah gagal.
Mayeda hanya mendesah-desah ketika Tazumi meng-
gumulinya. Mereka bergumul di atas permadani sambil melepas pakaian satu per
satu. Keletihan setelah berperang dengan Konishiwa membuat Mayeda membu-
tuhkan belaian lembut dan kata-kata mesra. Karena itu sikap Tazumi membuatnya
demikian bahagia. Dengan keperkasaan seorang panglima perang, Mayeda
merengkuh wanita itu dalam dekapan, dan mulai
menggaulinya. Cara-cara bercinta Tazumi yang liar, seperti wanita binal, justru
membuat Mayeda tambah tergila-gila. Ketika Mayeda menggaulinya, Tazumi menjerit-
jerit dengan keras seakan Mayeda menikamnya dengan tombak. Jeritan Tazumi
membuat Mayeda tertawa dan semakin bergairah.
"Engkau membuatku tergila-gila," kata Mayeda sam-
bil menciumi telinga kekasihnya.
"Aku pun hampir gila memikirkan dirimu."
"Kita memang sama-sama gila."
Mereka tertawa, lalu bergerak bersama dalam irama mengayun yang melahirkan rasa
nikmat tiada tara.
"Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa diri-
mu," kata Mayeda merayu. "Engkau telah menjadi pendorong semangat dalam
hidupku." "Kita adalah pasangan terbaik," sahut Tazumi pula.
"Bukan hanya pasangan di atas ranjang, tetapi juga dalam merancang kekuasaan."
"Sebelumnya aku tak pernah membayangkan ada
wanita yang memiliki ambisi kekuasaan seperti diri-
mu." "Itulah sebabnya, aku membutuhkan seorang lelaki
perkasa seperti dirimu. Ambisi tidak akan menjadi kenyataan tanpa dukungan
kekuatan. Dan engkau ada-
lah kekuatanku. Aku benar-benar beruntung menda-
patkan dirimu."
"Aku pun demikian. Kukira bila aku tidak bertemu
denganmu, aku tak akan pernah mencapai kedudukan
setinggi saat ini. Kau telah membuatku kuat."
Tazumi semakin menggila mencumbui kekasihnya.
Ia mencakar dan menggigit sehingga tubuh Mayeda
berdarah. Lalu seperti seekor macan betina lapar, ia menjilati darah yang
mengalir dari tubuh kekasihnya.
Rasa sakit telah mengobarkan nafsu Mayeda lebih hebat dari biasa. Mereka terus
bercinta dengan liar.
Mayeda merasakan seluruh tubuhnya meregang,
rangsangan kenikmatan itu membuat ia mendesis panjang. Mengejang. Sesekali
melenguh ketika Tazumi
mempermainkan irama ayunannya. Akhirnya dalam
desis panjang seperti orang sekarat, Mayeda meledak, mencapai puncak
kenikmatannya. Setengah jam sesudah mereka berhasil mencapai
puncak kenikmatan bersama-sama, keduanya berba-
ring di atas lantai sambil berpelukan mesra.
"Apa rencana kita selanjutnya?" Tazumi bertanya.
"Menghadapi Oda Nobunaga."
"Kudengar dia mengerahkan sepuluh ribu prajurit
untuk menggempur kita?"
"Ya."
"Bisakah kita mengalahkannya?"
"Tentu saja. Hanya dengan mengalahkannya kita
dapat mengukuhkan kekuasaan kita di Suruga. Kita
akan ciptakan kesan bahwa Nobunaga adalah penjahat keji yang tega membunuh Yang
Mulia Imagawa dalam
suatu pembantaian kejam. Kesan itu akan menjadikan
rakyat Suruga berpihak pada kita."
"Itu pikiran terbaik yang pernah kudengar hingga
saat ini."
"Semua ini kulakukan untukmu."
"Aku sangat menghargainya."
Tazumi merayap di dada Mayeda. Ia menciumi dada
lelaki itu sembari membelai-belai bulu dadanya. Mayeda membelai rambut Tazumi
dengan mesra. Ia mem-
bayangkan sedang membelai ibunya.
"Kapan engkau akan mengajakku ke istana?"
"Apabila peperangan ini telah usai."
"Bagaimana kalau Nobunaga menyerang lagi?"
"Akan kita kalahkan lagi."
"Sampai kapan?"
"Sampai dia tidak berdaya."
"Tetapi kita semua tahu bagaimana keras kepalanya Oda Nobunaga, kekalahan tidak
akan membuatnya
berhenti. Dia akan menghimpun kekuatan lebih besar dan kembali menyerbu kemari.
Bila hal itu terjadi, aku akan menjalani penantian yang sangat lama. Aku merasa
tidak sanggup."
Mayeda menghela napas panjang. Ia membelai ram-
but Tazumi dengan penuh kemesraan.
"Hal itu tidak akan terjadi," katanya lembut. "Apabila aku berhasil memukul
mundur pasukannya nanti,
akan kuteruskan menyerbu Kamakura. Nobunaga ti-
dak akan kuberi kesempatan menyerbuku lagi. Aku
akan langsung memenggal kepalanya. Sesudah itu,
aku akan segera membawamu ke istana."
"Aku senang mendengarnya."
Mayeda tersenyum, ia mengangkat dagu Tazumi
hingga wajah itu berada tepat di atas wajahnya.
"Aku mencintaimu."
Tazumi menjawab, "Aku pun demikian."
Kemudian mereka berpagutan dengan mesra. Lalu
kembali bercinta lebih hangat. Lebih menggebu-gebu.
*** DESAS-DESUS YANG DISEBARKAN
IMAGAWA berdiri di atas bukit sambil memandang panorama di kejauhan. Langit
terlihat diselimuti mendung tebal. Awan yang berwarna hitam menggantung
di atas Kamakura.
Saburo Mishima berdiri di samping Imagawa tanpa
membuka percakapan. Mereka baru saja menerima la-
poran dari mata-mata tentang kegiatan yang terjadi di Kamakura. Persiapan yang
dilakukan Nobunaga membuat Imagawa gundah. Seusai mendengar laporan ma-
ta-mata tersebut, Imagawa mengajak Saburo mendaki bukit. Mereka berjalan sambil
membisu. Saburo dapat merasakan kegundahan lelaki di
sampingnya, karena itu ia tak mau mengusiknya.
"Sepuluh ribu pasukan bukan jumlah yang sedikit,"
tiba-tiba Imagawa berkata seakan pada diri sendiri.
"Jumlah prajurit sebesar itu dapat menghancurkan
apa saja yang mereka jumpai. Kurasa Mayeda Toyo-
tomi telah melakukan kekeliruan dengan memancing
kemarahan Nobunaga. Dia kini akan menghadapi ke-
sulitan besar."
"Mayeda tentu sudah memperhitungkannya."
"Dia seorang panglima perang, tetapi bukan seorang negarawan," kata Imagawa
tanpa tekanan. Tatapannya lurus ke kejauhan, ke puncak Gunung Fuji yang berada
di wilayah Suruga. "Seorang panglima perang hanya memikirkan kemenangan di dalam
peperangan. Mereka tidak memikirkan betapa besar kerugian yang ditimbulkan akibat keputusan
itu. Mereka akan mengerahkan berapa pun besar prajurit untuk meraih
kemenangan, meskipun akibat dari keputusannya me-
nyebabkan kehancuran negerinya. Kemenangan di da-
lam peperangan merupakan mahkota bagi seorang
panglima. Berbeda dengan seorang negarawan, dia
akan memikirkan akibat dari keputusan yang diambil pada rakyat dan negerinya.
Kalau dapat ia menghindari peperangan. Jalan damai merupakan pilihan utama.
Bagi seorang negarawan, tidak ada gunanya meme-
nangkan perang tetapi menghancurkan negara serta
kehidupan rakyatnya."
Saburo diam. Ucapan Imagawa secara tidak lang-
sung mengenai dirinya juga.
"Tetapi sulitnya," Imagawa melanjutkan kata-kata-
nya. "Negeri ini dikuasai oleh para panglima perang yang gagah berani. Karena
itu sejak beratus-ratus tahun lalu, sejak zaman puak Taira maupun Minamoto,
Jepang selalu dihantui peperangan. Perang tidak pernah berhenti. Akibatnya, kita
tidak pernah berpaling dari kepandaian memainkan senjata ke peradaban
yang luhur. Negeri ini memiliki lebih banyak prajurit dibanding negarawan."
Saburo merenungkan ucapan Imagawa. Dan ia me-
nyadari sesungguhnya lelaki di sebelahnya berbeda dengan anggapan orang selama
ini terhadapnya. Imaga-wa tidak lemah. Ia memiliki wawasan yang luas tentang
masalah kenegaraan. Orang-orang menganggap-
nya lemah, karena memandangnya dari sisi pemikiran prajurit. Padahal, Imagawa
telah meninggalkan sikap keprajuritannya dan meningkatkan kemampuannya
sebagai negarawan.
Pilihan hidupnya yang membuat Imagawa bersikap
tenang meskipun berada di tengah ancaman. Tiba-tiba Saburo menyadari kekurangan
dirinya. Selama ini ia selalu memusatkan pikirannya pada jalan pedang, tidak
pernah menoleh ke jalan damai untuk mengatasi setiap ancaman.
Ia menjadi malu ketika mengenang sikapnya yang
kurang terhormat terhadap musuh. Secara brutal ia telah mengirimkan kepala
Fukumi, Hiromi, Yaeko, dan Jenko semata-mata untuk mengacaukan pikiran lawan.
Saburo merasa dirinya terlalu ugal-ugalan dengan kemenangannya. Ia kini
menyadari perlu banyak belajar pada lelaki muda di depannya.
Semua orang telah salah menduga terhadap Imaga-wa. Semua orang salah menduga.
"Kita harus melakukan sesuatu," kata Imagawa sam-
bil mengagumi bunga anggrek yang tergantung di pe-pohonan. "Apakah engkau
memiliki pemikiran, Saburo Mishima?"
Saburo tak menduga bakal mendapat pertanyaan
itu, ia jadi gugup.
"Saya... saya belum memikirkannya."
"Engkau seorang panglima perang, tentu sudah me-
mikirkan bagaimana menghadapi keadaan ini."
"Barangkali berbeda dengan pikiran Anda."
"Tidak apa-apa. Aku justru ingin mengetahui piki-
ranmu untuk mematangkan pikiranku. Apa pun ala-
sannya, aku tidak memiliki banyak pengalaman di me-dan perang, sehingga
kehadiran seorang panglima perang menjadi salah satu kekuatanku."
"Sejujurnya saya mengatakan, serbuan Oda Nobu-
naga akan saya sambut dengan perang besar di Suru-ga. Apa pun resikonya."
"Persis! Kukira demikian pula pikiran Mayeda."
"Itu adalah pikiran seorang prajurit."
"Benar. Tetapi bagaimana mungkin menghadapi se-
puluh ribu tentara dengan kekuatan yang tidak ada separuhnya?"
Saburo terdiam. Ia mencoba berpikir keras.
"Engkau kuberitahu, pada saat ini Suruga hanya
memiliki sekitar empat ribu tentara. Itu pun apabila
semua bersedia mati demi Mayeda. Dapatkah engkau
membayangkan pembantaian yang bakal terjadi?"
"Saya akan membagi kekuatan sedemikian rupa se-
hingga pasukan Nobunaga terpecah-pecah. Dengan demikian kekuatannya tidak
terkumpul."
"Pikiranmu sangat baik sekali. Tetapi bagaimana
kalau Oda Nobunaga juga memikirkan hal itu, sehing-ga ia tak terpancing oleh
taktik tersebut?"
Saburo diam. Ia mencoba mendapatkan jalan ke-
luar, namun tak menemukan kecuali menghadapi mu-
suh secara habis-habisan.
"Selain itu," lanjut Imagawa. "Bagaimana dengan
kehancuran yang akan dihadapi rakyat dan desa-desa di wilayah Suruga" Bukankah
sepuluh ribu prajurit dapat menghancurkan apa saja?"
"Sebagai seorang prajurit saya akan mengatakan
hal tersebut menjadi resiko yang harus dihadapi."
"Itulah tentu yang dipikirkan Mayeda. Dia akan
menghadapi serbuan Nobunaga dengan gagah berani."
Saburo sekarang bertanya, "Apakah Tuanku memi-
liki pikiran yang berbeda?"
Imagawa menghela napas panjang. Ia masih me-
ngagumi bunga anggrek di dahan pohon itu. Dua ekor kupu yang beterbangan di
dekatnya tidak mengganggu perhatiannya.
Melihat keasyikan Imagawa, Saburo berpikir, ba-
gaimana mungkin lelaki yang menyukai bunga dan
kupu-kupu dapat mengalahkan musuh"
"Persis seperti pemikiranmu," berkata Imagawa sambil tetap asyik mengamati bunga
anggrek tersebut, seakan ia tengah membicarakan sesuatu yang tidak penting.
"Kita harus memecah kekuatan Nobunaga, tetapi sebelum pasukannya bergerak menuju
Suruga." "Maksud Anda?"
"Mari kita renungkan," lanjut Imagawa lagi. "Kalau
prajurit Nobunaga sampai di Suruga, kehancuran pasti terjadi di segala sisi.
Tetapi kalau tentara itu kita pecah sebelum memasuki wilayah Suruga, kita akan
dapat mengurangi kehancuran yang mungkin terjadi. Di satu sisi kita mengurangi


Shugyosa Samurai Pengembara 7 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kekuatan Nobunaga, di sisi lain kita menyelamatkan kehidupan rakyat dan negara."
Seperti orang bodoh, Saburo bertanya, "Tetapi bagaimana caranya?"
"Kita sebarkan desas-desus di Kamakura, bahwa
saat ini prajurit Suruga telah berangkat ke Kamakura untuk melakukan serbuan.
Bila desas-desus ini ter-makan oleh Nobunaga, dia akan membatalkan pengi-
riman sepuluh ribu tentaranya. Paling tidak dia akan membagi kekuatan menjadi
dua, sebagian menyerbu
ke Suruga, sebagian bertahan di Kamakura."
Saburo terdiam. Tiba-tiba ia merasa bodoh, sekaligus mengagumi sikap Imagawa.
Terlepas dari berhasil atau tidaknya rencana itu, namun Imagawa telah
menunjukkan diri sebagai negarawan, sekaligus panglima perang yang jempolan.
*** Desas-desus itu seperti wabah yang menjalar dari mu-
lut ke mulut di Kamakura. Konishita dan Mayumi telah menyebar berita di warung-
warung, di pasar, di pojok kota, tentang rencana Mayeda Toyotomi menyerbu ke
Kamakura. Seperti umumnya desas-desus, berita itu cepat berkembang melebihi
keadaan sebenarnya.
"Lima ribu tentara Suruga akan menyerbu kemari,"
kata seorang penduduk dengan gelisah. "Mereka telah berangkat dari Suruga pagi
tadi." "Perang pasti akan terjadi di sini."
"Mereka telah sampai di perbatasan Mikawa."
"Paling lama dua hari lagi mereka akan memasuki
wilayah Owari."
Konishita kemudian membakar sebuah dojo yang
berada di pusat kota Kamakura. Dojo itu biasanya dipakai berlatih main pedang
pasukan Nobunaga. Kebakaran tersebut membuat beberapa orang tambah gelisah.
"Pasti dilakukan orang-orang Suruga!"
"Mereka telah masuk kemari!"
"Kalau begitu kita harus bersiap-siap keluar dari si-ni." "Benar. Lebih baik
menyelamatkan diri!"
Kabar kedatangan pasukan Suruga sampai di teli-
nga Nobunaga, ia segera memanggil Hosokawa dan pa-ra komandan perangnya.
"Kita sebaiknya membagi kekuatan," kata Nobunaga
sambil menatap para komandan perangnya. "Meskipun berita itu belum tentu benar,
tetapi lebih baik kita berjaga-jaga. Betapa pun Kamakura harus tetap
dipertahankan. Aku tidak ingin kita menang di Suruga, tetapi hancur di rumah
sendiri." "Tetapi menurut mata-mata yang baru kembali dari
Suruga, tidak ada prajurit Suruga yang menuju kema-ri." "Itu sebabnya kukatakan
kita harus berjaga-jaga,"
kata Nobunaga tanpa tekanan. "Selain itu apa penda-patmu tentang kebakaran yang
terjadi di dojo" Apakah kaupikir kebakaran itu akibat sengatan matahari?"
"Mungkin memang dilakukan orang Suruga."
"Mungkin juga mereka saat ini tengah menuju ke-
mari," potong Nobunaga tak sabar. "Karena itu kita akan menghadapi mereka secara
serentak."
"Tetapi apakah tidak sebaiknya kita gempur Suruga dengan seluruh kekuatan?"
"Itulah keinginanku, tetapi keadaan tidak memung-
kinkannya. Kita harus membagi kekuatan sama besar.
Hosokawa akan memimpin lima ribu prajurit menyer-
bu Suruga, dan di sini Yuko Haga akan menyambut
kedatangan musuh. Kita akan hancurkan kekuatan
Mayeda sekaligus."
"Dengan meninggalkan lima ribu prajurit, kita akan kehilangan daya pukul di
Suruga. Selain itu, kita sama sekali tidak mengetahui berapa kekuatan mereka
sebenarnya. Betapa pun, apa yang dialami Konishiwa-
san harus tetap menjadi pertimbangan kita...."
"Hosokawa-san!"
"Ya, Yang Mulia."
"Apa engkau gentar menghadapi musuh?"
"Tentu saja tidak."
"Kalau begitu jalankan rencanaku."
Hosokawa sebenarnya tidak menyetujui pikiran itu, namun ia tahu persis watak
Nobunaga. Laki-laki tersebut mudah kalap. Karena itu ia diam.
*** Perubahan segera terjadi di lapangan. Para prajurit
yang masih berkemah di Sekigahara, kini dibagi menjadi dua kekuatan yang sama
kuat. Hosokawa memim-
pin lima ribu prajurit untuk menyerbu Suruga. Yuko Haga, komandan prajurit dari
Osaki, bakal membuat pertahanan di perbatasan Owari. Suasana di Kamakura semakin
panas dengan desas-desus yang menyebar bagai kolera.
Bapa Lao mengamati keadaan itu dengan tenang. Ia
tahu sesuatu sedang terjadi, namun untuk memasti-
kan, ia tak berani.
"Rupanya musuh tidak sebodoh yang diperkirakan,"
kata Bapa Lao pada Kojiro ketika mereka melihat gerobak-gerobak artileri
digerakkan menuju Suruga. "Mereka berhasil menjalankan perang di dalam pikiran."
"Perang di dalam pikiran?" Kojiro heran.
"Ya, inilah perang tanpa tentara. Tetapi hasilnya sering tak terduga. Siapa pun
orangnya di belakang taktik ini, dia pasti seorang panglima perang yang hebat."
"Benarkah akan ada penyerbuan kemari?"
"Mungkin ya, mungkin tidak."
"Jadi apa yang akan kita lakukan?"
"Menonton orang-orang bodoh menemui ajal."
"Bapa?"
Bapa Lao bersikap acuh tak acuh. "Kita lebih baik mencari sesuap nasi untuk
mengiri perut. Sebelum perang benar-benar terjadi."
*** PEMECAHBELAHAN PAGI itu sesuatu yang tidak terduga terjadi. Koroku ti-ba-tiba muncul di istana
Suruga. Mayeda Toyotomi
menerima kedatangannya dengan rasa heran. Menurut berita yang sampai di
telinganya, semua pengawal Imagawa tewas dalam kebakaran itu, tiba-tiba sekarang
Koroku muncul seperti iblis di pagi buta.
Dengan panjang lebar Koroku menceritakan keber-
hasilan Saburo Mishima menyelamatkan Imagawa. Ju-
ga diceritakan mengenai persembunyian Imagawa di
perbatasan Owari dan Mikawa. Secara terus terang, Koroku menceritakan bagaimana
Imagawa menyadar-kannya dari rencana pengkhianatan, kemudian meng-
ampuni semua orang yang terlibat dalam pengkhia-
natan itu. Mayeda Toyotomi duduk di atas zabuton dengan ji-
wa mendidih. Berbagai perasaan bergolak di dadanya.
Ketika Koroku menceritakan bagaimana penyelamatan diri Imagawa terjadi, Mayeda
merasa sangat geram. Ia menyesali kenapa Nobunaga gagal membinasakan jun-
jungannya. Kemudian sewaktu utusan tersebut mengi-sahkan bagaimana Imagawa
menaklukkan hati para
pengkhianat serta mengampuninya, penyesalan itu berubah menjadi kemarahan yang
meluap-luap. Ia me-
nyadari telah kehilangan sejumlah pengikut setia yang sudah ditaklukkan Imagawa.
Api kemarahan itu mendidih seperti lava.
Bagi Mayeda, betapa pun, kehadiran Imagawa tetap
menjadi duri kehidupannya. Selama ini ia sudah melupakan lelaki itu, lalu
memusatkan pikiran untuk menggempur Nobunaga. Tetapi kini, pikiran itu terpaksa
diubah. Di satu sisi ia tak dapat mengabaikan serbuan Nobunaga, di sisi lain ia
pun tak dapat mere-mehkan kehadiran Imagawa.
Satu hal lagi, bila benar Saburo Mishima berada di belakang Imagawa, ia bakal
menghadapi kesulitan.
Sudah lama ia mengenal Saburo. Mereka pernah be-
kerja sama memerangi musuh sewaktu panglima Ashi-
kaga itu memberi bantuan terhadap Imagawa Yoshimo-to. Pada saat itu Mayeda
mengetahui bagaimana ke-
hebatan Saburo Mishima. Lelaki itu bukan hanya pemain pedang yang hebat, tetapi
juga pengatur strategi yang unggul. Memikirkan hal ini tiba-tiba hati Mayeda
bergetar. "Yang Mulia Imagawa juga telah mengetahui selu-
ruh rencana Anda," kata Koroku sambil bersujud. "Tetapi dengan bijaksana, beliau
mengharapkan kesedia-an Anda mengubah pikiran. Dengan sejujurnya pula, Yang
Mulia Imagawa akan memaafkan rencana
pengkhianatan itu, malah beliau akan menaikkan gaji Anda, dan tetap akan
mempertahankan Anda sebagai
panglima perang."
"Dia mengatakan begitu?"
"Benar, Tuanku."
"Lalu kenapa dia tidak segera kembali ke Suruga?"
"Beliau menantikan jawaban Anda sebelum memu-
tuskan kembali ke istana."
"Apakah semudah itu?" tanya Mayeda seakan ditu-
jukan pada diri sendiri. "Dia mengetahui pengkhiana-tanku, lalu memaafkan tanpa
syarat. Tidakkah ini
hanya suatu muslihat untuk menangkapku?"
"Menurut pikiran hamba, tidak demikian," kata Ko-
roku tanpa tekanan. "Yang Mulia Imagawa mengang-
gap pembelotan yang Tuanku lakukan merupakan ke-
salahannya juga. Beliau menyadari, mungkin selama ini telah mengecewakan Anda.
Karena itu beliau ber-janji akan memperbaiki kekurangan beliau selama
memerintah, dan akan lebih memperhatikan keinginan
rakyat." "Bagaimana dengan Saburo Mishima?"
"Sesungguhnya tidak ada persoalan dengannya, ka-
rena seperti pengakuan Saburo sendiri, penyelamatan itu semata-mata karena ia
memikirkan persahabatan Ashikaga dengan Imagawa. Sesudah Imagawa kembali
ke Suruga, dia pun akan kembali ke Owari."
"Tidakkah itu hanya tipu daya agar dia dapat me-
lumpuhkan diriku?"
"Hamba mempertaruhkan kepala hamba untuk hal
itu." "Tidakkah ada syarat yang harus kupenuhi untuk
pengampunan itu?"
Koroku bersujud hingga kepalanya menyentuh lan-
tai. Ia kemudian bicara dengan hati-hati, "Sesungguhnya ada, Tuanku."
"Apa" Katakan?"
Sekali lagi Koroku bersujud, "Dengan jujur hamba
hanya menyampaikan pesan Yang Mulia Imagawa."
"Katakanlah."
"Tuanku diminta menghukum putri Tazumi."
"Menghukum putri Tazumi. Apa maksudnya?"
"Yang Mulia Imagawa sudah mengetahui bahwa se-
sungguhnya orang yang mendorong Tuanku melepas
kesetiaan pada beliau adalah putri Tazumi. Karena itu beliau mengharap Tuanku
membuktikan kesetiaan dengan menyerahkan kepala putri Tazumi...."
Belum selesai Koroku bicara, Mayeda telah berdiri dengan raut wajah diselimuti
api kemarahan yang menjilat-jilat.
"Tangkap jahanam itu!" seru Mayeda sambil me-
nunjuk Koroku. "Ikat tubuhnya di depan gerbang istana, agar semua orang tahu
resiko mengkhianatiku.
Pancangkan dia di sana selama tiga hari, lalu penggal kepalanya dan kirimkan
pada Imagawa!"
*** Siang itu, di saat matahari terik menyengat, Koroku
dipancangkan di tiang salib. Ia diikat ketat. Kedua matanya diganjal lidi,
sehingga tetap terbuka. Hukuman itu dilakukan persis di depan gerbang istana,
sehingga semua orang dapat menyaksikan penderitaannya.
Orang-orang yang lewat di jalan itu dapat merasakan betapa sakitnya siksaan
tersebut. Tiga orang samurai menjaga di bawah, mencegah kemungkinan ada orang
yang ingin membebaskan Koroku.
Tetapi siksaan yang ditimpakan pada Koroku, tidak dapat mencegah beredarnya
desas-desus tentang Imagawa. Secara cerdik, Imagawa telah menyebar orang ke
Suruga untuk memberitahukan bahwa dirinya masih hidup. Kasak-kusuk tersebar,
bahwa Koroku dihukum karena membawa berita tentang junjungan me-
reka. "Kini Yang Mulia Imagawa sedang dalam perjalanan
kembali kemari," kata seorang penduduk. "Dia telah diselamatkan oleh dewa dari
pembakaran keji Nobunaga."
"Selama beberapa minggu ia bertahan di gunung
untuk menghimpun kekuatan."
"Ia akan segera kembali untuk menghadapi serbuan
Nobunaga."
"Saya dengar panglima Ashikaga telah bergabung
dengan pasukannya."
"Sekarang dia sudah memiliki tiga ribu prajurit."
Desas-desus telah menyebar ke seluruh wilayah Su-
ruga. Hal ini menumbuhkan gambaran yang mengeri-
kan bagi penduduk. Bila kabar tersebut menjadi kenyataan, terbayang di pelupuk
mata mereka, perang berdarah yang akan menghancurkan seluruh kehidupan di
Suruga. Betapa tidak, Mayeda Toyotomi akan menghadapi sepuluh ribu prajurit
Nobunaga, sekaligus tiga ribu prajurit Imagawa. Delapan ribu prajurit akan
mengepung dari segenap penjuru. Dapat dibayangkan kehancuran macam apa yang
bakal terjadi. Desas-desus itu membuat rakyat gelisah. Para pra-
jurit yang selama ini patuh pada Mayeda, kini agak ra-gu-ragu. Keyakinan mereka
digerogoti kebimbangan.
Selain itu, sesungguhnya masih banyak prajurit yang setia pada Imagawa.
Kenyataan bahwa junjungan mereka masih hidup membuat mereka setengah hati
mendukung Mayeda. Sebagian lagi justru secara diam-
diam mulai memusuhi Mayeda, karena tersiar kabar, perebutan kekuasaan itu memang
telah direncanakan sebelumnya. Bagi kelompok ini, Mayeda Toyotomi bukan samurai
sejati. Dia telah kehilangan kesetiaan de-mi ambisi pribadi. Lebih buruk lagi,
Mayeda kehilangan kesetiaan, karena hasutan perempuan.
Ketika Mayeda mengunjungi Tazumi, perempuan itu
berkata tegas, "Keadaan ini harus segera diatasi. Jangan menunda lebih lama
lagi, penggal kepala Koroku, lalu kirimkan pada Imagawa. Hanya cara itu yang
dapat meredakan gejolak massa."
"Aku telah mengirimkan mata-mata untuk menye-
lidiki kebenaran laporannya."
"Tindakan itu tidak cukup. Saat ini kita harus melakukan tindakan yang keras
untuk memadamkan
kemungkinan timbulnya pemberontakan. Bila desas-
desus itu menjadi kenyataan, pasukanmu dapat berbalik melawanmu. Saat ini mereka
setia kepadamu se-
mata-mata karena mereka percaya bahwa Imagawa te-
lah tewas. Tetapi bila mereka melihat kenyataan yang berbeda, sikap mereka pun
tak dapat ditebak. Karena itu kita harus bertindak cepat. Jangan membiarkan
tumbuh kebimbangan dalam diri mereka."
"Ini memang menjengkelkan!" rutuk Mayeda geram.
"Kabar itu datang justru di saat kita tinggal selangkah merebut kekuasaan."
"Kita memang jengkel," kata Tazumi berusaha tetap mengendalikan diri. "Tetapi
kita tidak boleh kehilangan kewarasan. Dengan melaksanakan hukuman mati bagi
Koroku, engkau telah menunjukkan kekuasaanmu. Kau akan berhasil mengembalikan
kepercayaan prajurit
yang bimbang untuk kembali setia kepadamu. Sesu-
dah itu kita pikirkan langkah selanjutnya."
"Bagaimana dengan pasukan Nobunaga?"
"Kau harus tetap menghadapinya. Jangan gentar.
Saat ini Nobunaga belum mengetahui keadaan kita.
Biarkan mereka tetap membayangkan kekuatan kita
masih seperti dulu."
"Menurut Koroku, saat ini Yang Mulia Imagawa te-
lah berhasil menghimpun tiga ribu...."


Shugyosa Samurai Pengembara 7 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tazumi menukas tajam, "Itu sebabnya kau harus
memenggal kepala Koroku agar dia tak dapat mengo-
ceh!" Mayeda berbalik, kemudian meninggalkan puri Ta-
zumi. Sepuluh menit sesudah Mayeda pergi, Daisuke To-
gakure muncul menemui Tazumi.
"Aku ingin engkau mengikuti terus gerak-gerik Ma-
yeda," kata Tazumi datar. "Bila dia berubah pikiran, bunuhlah segera."
*** LANGKAH-LANGKAH AWAL
BERITA telah sampai di tempat persembunyian Im-
agawa. Selain keberhasilan mereka memecah kekuatan Nobunaga, juga perlawanan
Mayeda. Mata-mata yang
kembali ke hutan memberitahukan rencana hukuman
mati terhadap Koroku yang akan dilakukan esok pagi.
Imagawa segera mengumpulkan para pengikutnya.
Saburo Mishima duduk di samping Imagawa. Seratus
dua puluh orang berkumpul di dataran rendah itu.
"Kukira ada perkembangan baik dan perkembangan
buruk yang hari ini harus kita bicarakan," kata Imagawa tanpa tekanan. Suaranya
tetap lembut, sehing-ga semua pengikutnya harus memperhatikan dengan
sungguh-sungguh agar tidak kehilangan ucapannya.
"Perkembangan baiknya, saat ini Nobunaga telah membagi kekuatan menjadi dua
bagian. Artinya, dia akan kehilangan lebih dari separoh kekuatannya. Ini akan
menguntungkan Mayeda. Perkembangan buruknya,
besok pagi Koroku akan dipenggal kepalanya."
Semua pengikutnya diam. Mereka dapat merasakan
bagaimana ujung pedang memenggal leher mereka.
Tanpa terasa mereka menelan ludah. Betapa pun bagi seorang samurai kematian
adalah jalan menuju ke
surga, tetapi kabar tersebut menyentak jiwa mereka.
"Karena perkembangan itu, hari ini kita harus bergerak," lanjut Imagawa. "Kita
harus membagi kekuatan untuk melakukan tiga kegiatan sekaligus. Pertama,
saya menginginkan satu kelompok pasukan untuk
membebaskan Koroku. Pembebasan itu harus dilaku-
kan malam ini agar Koroku tidak kehilangan kepala.
Kelompok kedua, akan berangkat denganku menuju
Puri Tazumi. Aku ingin mencoba berdamai dengan putri Tazumi. Kelompok ketiga,
harus secepatnya memin-dahkan persembunyian kita ke arah pedalaman bukit Amagi.
Karena menurut dugaanku, saat ini Mayeda telah mengirimkan prajurit untuk
menyerang kemari. Ki-ta akan bergerak cepat dan bersama-sama. Harus kukatakan
pada kalian, tiga langkah ini akan menentukan masa depan kita. Satu saja gagal,
akan mempen-garuhi kekuatan kita di masa mendatang. Karena itu saya minta,
curahkan seluruh tenaga kalian untuk
melaksanakannya."
Pembagian kemudian dilakukan. Atas usul Saburo
Mishima kelompok yang akan membebaskan Koroku
dipimpin oleh Konishita dan para penari, termasuk Mayumi.
Pada awalnya Imagawa heran dengan usulan ini,
bagaimana mungkin menyerahkan penyergapan pada
kelompok penari Izu"
Saburo berbisik pada Imagawa, "Yang Mulai tidak
usah meragukan mereka. Saya yakin mereka sanggup
melakukannya."
Imagawa juga bertanya berbisik, "Engkau yakin me-
reka sanggup melakukannya?"
"Tentu."
"Apa alasanmu kalau aku boleh mengetahuinya?"
"Mereka ninja."
Imagawa mengerutkan dahi, tetapi kemudian me-
nyetujuinya. Kelompok kedua akan dipimpin langsung oleh Im-
agawa didampingi Saburo Mishima.
Saburo berbisik pada Imagawa, "Apakah tindakan
ini tidak membahayakan keselamatan Yang Mulia" Tidak cukupkah saya yang
melakukannya?"
Imagawa juga bicara berbisik, "Engkau tidak yakin aku sanggup melakukannya?"
"Tentu saja yakin, tetapi apa perlunya?"
"Aku tahu apa yang kaupikirkan, tetapi percayalah, Tazumi harus aku sendiri yang
menghadapinya."
Kelompok ketiga dipimpin oleh Watanabe, salah se-
orang pengikut setia Imagawa.
Ketika pertemuan selesai, persiapan-persiapan sege-ra dilakukan. Saburo Mishima
justru mencoba memi-
kirkan seluruh tindakan Imagawa. Selama ia mendampingi lelaki itu, banyak sekali
yang dapat diserap dari-nya. Langkah-langkah yang dilakukan Imagawa, sering
sukar dipahami, tetapi selalu tepat. Kenyataan ini membuat Saburo lebih kagum
dan menghormatinya.
Sesungguhnya Saburo merasa heran kenapa Im-
agawa bertekad membebaskan Koroku, padahal lelaki itu pernah mengkhianatinya.
Selain itu, bagi Koroku, mati di tangan Mayeda ketika menjalankan tugas jun-
jungannya adalah terhormat. Bahkan suci.
Lalu keberangkatan Imagawa ke puri Tazumi, ini
pun sukar dipahami, karena kecuali mengandung re-
siko yang sangat besar, juga terasa berlebihan. Sesungguhnya Imagawa cukup
memerintahkan Saburo
untuk menemui Tazumi. Tetapi kenyataannya, lelaki itu meyakinkan Saburo bahwa
dia sendiri yang harus menemui biang keladi pengkhianatan itu.
Persiapan-persiapan segera dilakukan pada siang
hari. Kemudian tiga kelompok yang masing-masing terdiri dari delapan orang
segera bergegas pergi. Mereka berangkat untuk menjalankan suatu misi menyongsong
kematian. *** Di puri Tazumi, Mayeda berdiri tegak, sementara Daisuke Togakure memakaikan
pakaian perangnya.
Daisuke memulai dengan memakaikan cawat khu-
sus yang bentuknya memanjang hingga dada. Cawat
tersebut terbuat dari kain linen yang halus. Lapisan tersebut digunakan sebagai
bantalan bagi pakaian besi yang akan dikenakan.
Sesudah pemakaian cawat, Daisuke memakaikan
kimono brokat yang diikat kencang, kemudian mema-
kaikan celana menggelembung yang menjadikan ka-
kinya leluasa bergerak. Di pergelangan kakinya, Daisuke memasangkan keping-
keping besi sebagai pelindung tulang kering. Lalu pelindung paha dari besi yang
mudah dilepas, sehingga tetap membuat Mayeda bebas bergerak. Lengan baju yang
berselubung logam dipakai untuk melindungi lengan dari tebasan lawan.
"Sarung torso," kata Mayeda.
Daisuke mengambilkan sarung torso yang terbuat
dari sisik besi. Pakaian itu melindungi seluruh tubuh Mayeda hingga ke paha.
Demikian pula bahunya.
"Cakin!"
Daisuke menyodorkan pelindung leher, untuk me-
lindungi dari ancaman pemenggalan kepala dari arah belakang. Satu per satu
pakaian dikenakan sampai
akhirnya hampir seluruh tubuh Mayeda tertutup besi.
Sesudah selesai, lelaki itu mendekati Tazumi yang sejak tadi memperhatikan
pemakaian pakaian tersebut.
"Aku akan berangkat," kata Mayeda sambil mende-
kati wanita itu. "Bila perang ini usai, aku akan segera membawa dirimu memasuki
istana. Kita akan mengendalikan pemerintahan bersama."
"Aku akan berdoa pada para dewa agar engkau
memperoleh kemenangan."
"Jangan cemas. Aku merasakan kemenangan ada di
tanganku. Nobunaga akan menyadari kebodohannya.
Lima ribu prajurit Suruga akan menyongsongnya de-
ngan perang habis-habisan."
"Berangkatlah. Kurasa prajuritmu telah menunggu."
Mayeda menghela napas panjang, lalu mencium bi-
bir Tazumi dengan bernafsu. Tangannya merayap di
tubuh wanita itu. Tazumi mendesah nikmat, tetapi
menghentikan tangan Mayeda.
"Jangan," kata Tazumi. "Kau telah mengenakan pa-
kaian perangmu, jangan mengotori kesucian sema-
ngatmu." "Bila berdekatan denganmu, api birahiku selalu ber-kobar lebih hebat dibanding
apa pun juga."
"Bila peperanganmu telah selesai, aku akan me-
nunggumu di sini agar kita dapat bercinta."
"Aku sudah tak sabar menunggu saat itu tiba."
"Bersabarlah. Kemenanganmu atas pasukan Nobu-
naga akan menjadikan diriku milikmu sepenuhnya."
Mayeda tersenyum. Sekali lagi ia mencium bibir kekasihnya. Lalu berkata, "Aku
berangkat."
"Selamat jalan."
*** PENYERGAPAN MALAM semakin larut. Udara dingin seperti membekukan kulit. Angin kencang
membawa kristal-kristal es dari Gunung Fujiyama. Tiga samurai yang bertugas
mengawal Koroku mulai mengantuk. Mereka telah melu-
masi kulit kaki dan leher dengan minyak babi agar nyamuk tidak menggigit, tetapi
seperti sepasukan iblis, nyamuk-nyamuk tetap saja menggigiti mereka.
"Malam ini benar-benar brengsek!" rutuk seorang samurai uring-uringan. "Banyak
sekali nyamuk di sini."
Temannya menjawab sambil menahan kantuk, "Lu-
pakanlah. Ini malam terakhir. Besok pagi lelaki celaka itu sudah akan dipenggal
kepalanya."
Sahabatnya yang lain mendesis, "Sttt, jangan be-
risik. Aku mau tidur."
"Kalau mau tidurlah barang sebentar, nanti gantian.
Biar aku sekarang yang jaga."
Pada malam itu, Koroku sudah tak sadarkan diri.
Seluruh tubuhnya yang telanjang masih terpancang di tiang. Penderitaan yang
dialami sudah membuatnya
pingsan. Selama disalib, Mayeda melarang Koroku diberi makan atau minum,
sehingga rasa lapar ditambah sengatan matahari membuat lelaki itu tak sadar.
Seratus meter dari tempat hukuman Koroku, empat
orang mengendap-endap dengan pakaian serba hitam.
Mereka bergerak seperti angin. Tidak menimbulkan
suara sedikit pun. Mereka terus bergerak mendekat.
Konishita yang memimpin serangan itu sesekali memberikan isyarat dengan tangan.
Jarak mereka kian dekat, tetapi ketiga pengawal
tersebut tidak menyadari adanya bahaya. Mereka tetap sibuk menepuk nyamuk yang
menggigit tubuhnya.
Serangan dimulai dengan melesatnya shuriken yang berbentuk mirip bintang. Salah
seorang pengawal yang berdiri tiga meter dari salib Koroku mengeluarkan suara
tercekik ketika pisau itu menancap di lehernya. Sahabatnya membuka mata, pada
saat itu sebuah teba-
san melintang membuat darah menyembur dari urat
lehernya. Pengawal ketiga terbangun, tetapi terlambat, pedang Mayumi telah
menembus jantungnya.
Konishita meloncat ke tiang salib, lalu dengan kece-patan yang sukar dipercaya,
ia menebas ikatan-ikatan pada tangan dan kaki Koroku. Sesudah itu dengan cekatan
ia memanggul tubuh Koroku dan berlari ke arah kegelapan.
Pada saat itulah muncul empat samurai yang se-
dang melakukan patroli.
"Hei, siapa kamu?"
Mayumi berbalik, lalu melemparkan shuriken ke
arah keempat pengawal itu. Tetapi dengan gesit samurai tersebut menghindar, lalu
mencabut pedang.
"Ninja!" rutuk salah seorang samurai itu. "Mereka membebaskan Koroku!"
"Kejar!"
Konishita terus berlari. Dengan gesit ia menyelinap di antara rimbun pohon
menuju ke arah Sungai Kowasu.
Keempat samurai itu terus mengejar. Bilah pedang-
nya berkilauan diterpa sinar rembulan. Ketika mereka sampai di tepi sungai
Kowasu, tiba-tiba muncul tiga ninja menghadang. Salah seorang samurai menerjang,
tetapi dengan gesit ninja itu menghindar, lalu menggunakan kusari-fundo (rantai
pendek dengan pemberat yang digantungkan di satu sisi, dan pisau di sisi
lainnya). Leher samurai itu terjerat rantai tersebut. Ninja itu tak memberinya
kesempatan, ketika samurai itu mencoba membebaskan diri, sebuah tikaman
mengakhiri hidupnya. "Siapa kalian?" seru salah seorang samurai.
Tak ada sahutan.
"Katakan siapa dirimu, sehingga kami mengetahui
bagaimana menghormati kematianmu!"
Jawabannya adalah terjangan kusari-gama (tongkat yang berujung pisau) ke arah
tenggorokannya. Samurai itu menangkis dengan tebasan pedang, lalu membalas
serangan dengan tebasan melintang. Tetapi dengan loncatan yang indah, ninja itu
melenting hingga terhindar dari maut.
Pertarungan pun segera terjadi. Serangan dan tang-kisan silih berganti. Tetapi
sejak awal sudah terlihat kehebatan para ninja itu. Hampir tak pernah bersuara,
tetapi serangannya sangat mematikan. Ketiga samurai tersebut terdesak, namun
mereka pantang menyerah.
Semua berakhir secara serempak ketika para ninja
itu membuat loncatan yang tinggi sambil menebarkan pisau ke arah musuhnya.
Ketiga samurai itu meliuk, lalu ambruk ke tanah dengan pisau menghunjam jantung
mereka. Para ninja tersebut bersiaga menghadapi kemung-
kinan datangnya serangan lagi, tetapi tak ada. Tempat tersebut sunyi seperti
tidak terjadi pertempuran. Dengan gesit ninja itu meluncur ke tepi sungai
menyusul Konishita.
Koroku telah dibaringkan di atas rakit bambu, ke-
mudian secara serentak para ninja itu mendorong rakit menyeberangi Sungai
Kowasu. Malam menjelang pagi.
*** Fajar merekah. Pagi tiba. Delapan penunggang kuda
berhenti di gerbang Puri Tazumi. Imagawa turun dengan anggun. Ia melangkah ke
arah gerbang sambil
menggenggam pedangnya. Saburo Mishima segera men-
dampinginya. Pada saat itu lima samurai pengawal Tazumi keluar.
Melihat delapan penunggang kuda yang tak mereka
kenal, kelima samurai itu mencabut pedang.
"Siapa kamu?"
Imagawa menjawab, "Aku Imagawa."
Kelima samurai itu terperanjat. Dengan mata terbelalak mereka menatap lelaki di
depannya dengan pandangan tak percaya. Mereka mundur, namun tetap
bersikap waspada. Dari sikap mereka, Imagawa tahu samurai tersebut bimbang. Maka
sebelum mereka memperoleh keyakinan dirinya lagi, Imagawa berkata,
"Aku ingin berjumpa dengan Putri Tazumi. Tolong ka-
takan, aku ingin bertemu dengannya."
Kelima samurai itu mundur, tetapi masih dalam po-
sisi mengepung.
Saburo melangkah di samping Imagawa, siap meng-
hadapi pertarungan apabila kelima samurai tersebut mulai menyerang.
Imagawa kembali berkata, "Apakah engkau tidak


Shugyosa Samurai Pengembara 7 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

percaya bahwa diriku adalah Imagawa, penguasa Su-
ruga?" "Tetapi, Tuanku...."
"Cepat sampaikan pada putri Tazumi aku datang!"
Salah seorang samurai maju ke depan.
"Tuanku sebaiknya berhenti di sini. Saya akan me-
nyampaikan pada Putri Tazumi mengenai kedatangan
Tuanku. Bila dia berkenan, baru Tuanku saya izinkan masuk."
Saburo sudah tidak sabar untuk menebas leher sa-
murai itu, tetapi Imagawa berkata sabar, "Baiklah. Aku akan menunggu. Bicaralah
dengannya."
Samurai tadi segera berbalik, lalu lari ke dalam.
Keempat lainnya meski diliputi perasaan bimbang, mereka tetap bersikap waspada.
"Bukankah mereka pengikut yang setia?" kata Im-
agawa pada Saburo. "Coba apabila kita menggunakan kesetiaan mereka secara
bijaksana, bukankah kita
akan memiliki pasukan yang tangguh?"
"Benar, Yang Mulia."
"Sungguh sayang kalau kesetiaan yang begitu tulus digunakan untuk memenuhi
ambisi pribadi. Sungguh
sayang." Saburo diam. Ia sekarang melihat samurai yang tadi pergi muncul kembali. Ia
bersujud di depan Imagawa.
"Putri Tazumi menunggu Yang Mulia di ruang tem-
baga." "Terima kasih."
Imagawa berjalan cepat menuju ruang tembaga. Di
dalam ruangan itu tampak Tazumi duduk di atas za-
buton sutera, menunggu kedatangannya. Wajah wa-
nita itu tersenyum, giginya yang putih seperti mutiara tampak mempesona. Ia
mengenakan kimono bersulam
emas sehingga mempercantik wajahnya.
"Yang Mulia Imagawa," kata Tazumi sambil bersu-
jud di depan Imagawa. Saat wanita itu mengangkat kepala, Imagawa menebas
lehernya. Kepala Tazumi menggelinding di lantai. Darahnya
muncrat ke dinding dan menggenangi lantai.
Semua orang yang berada di ruangan itu terpe-
ranjat, tak seorang pun menduga akan kejadian itu.
Imagawa mengibaskan pedangnya, lalu berkata pa-
da Saburo, "Bungkus segera kepala itu, lalu kirimkan ke Mayeda."
(Bersambung ke buku kedelapan.)
*** Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
Document Outline
SEBUAH ANCAMAN ***
*** *** PERLAWANAN MAYUMI ***
*** *** SEBUAH PENCARIAN *** ***
RAHASIA TERBUKA *** ***
BENIH DENDAM *** ***
NILAI SEBUAH KEBIMBANGAN ***
DESAS-DESUS YANG DISEBARKAN ***
*** *** PEMECAHBELAHAN *** ***
LANGKAH-LANGKAH AWAL *** ***
PENYERGAPAN *** ***
Pendekar Aneh Naga Langit 35 Pendekar Pedang Matahari 1 Kelabang Ireng Senopati Pamungkas 31
^