Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 16

05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja Bagian 16


Tetapi ketika ia melihat Sekar Mirah terisak, maka seolah-olah ia melihat gadis itu sebenarnyalah seorang gadis. Saat-saat Sekar Mirah menangis, nampaknya ia lebih luruh daripada saat-saat ia mengangkat wajahnya sambil memegang hulu pedang dilambungnya, atau terlebih-lebih lagi saat ia menggenggam tongkat baja putih dengan kepala tengkorak yang berwarna kekuning-kuningan.
Namun Untara tidak mengatakan sesuatu lagi. Iapun kemudian melangkah pula kekudanya, yang sudah disiapkan oleh pengawalnya.
Sejenak kemudian, maka Untara dan para pengawalnya telah siap untuk meninggalkan Kademangan Sangkal Putung. Ketika ia mengangkat wajahnya memandang kelangit, maka bintang masih nampak gemerlapan tersebar diseluruh bentangan yang bagaikan menyelubungi seluruh bumi.
"Kami mohon diri," sekali lagi Untara berkata kepada Ki Demang.
Tetapi sebelum Ki Demang menjawab, orang-orang yang berdiri diregol itu terkejut. Lamat-lamat terdengar derap kaki kuda. Semakin lama menjadi semakin dekat.
"Sekelompok orang-orang berkuda," berkata Untara.
"Ya," sahut Agung Sedayu.
"Siapakah mereka itu kira-kira?" bertanya Untara.
Agung Sedayu tidak menjawab, tetapi iapun agak bimbang. Apakah mereka termasuk orang-orang yang sedang mencarinya. Sementara dendam mereka semakin menyala karena beberapa orang kawannya telah terbunuh di Mataram. Dengan pasukannya mereka telah mengejarnya sampai ke Sangkal Putung.
Tetapi jika benar demikian, mereka akan mengalami nasib yang sangat buruk. Disini ada kakang Untara dan beberapa orang pengawal terpilihnya. Prajurit-prajurit Pajang dapat dibanggakan. Sementara ada beberapa orang tua yang disegani dan para pengawal dari Kademangan Sangkal Putung sendiri," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Namun justru karena itu, maka kegelisahanyapun bertambah-tambah. Kematian-kematian berikutnya akan saling menyusul oleh dendam yang tumbuh dengan suburnya disetiap hati.
Dalam keragu-raguan itu, terdengar Kiai Gringsing bertanya, "Apakah kau mempunyai dugaan-dugaan tentang mereka" Kau berceritera tentang orang-orang yang mencarimu di Mataram. Atau barangkali kau mempunyai pertimbangan lain?"
Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Aku tidak tahu guru. Tetapi ada beberapa kemungkinan dapat terjadi. Mungkin beberapa orang yang ingin mengunjungi Ki Sumangkar yang mereka dengar sakit keras. Tetapi mungkin pula pihak-pihak lain yang tidak kuketahui.
"Aku akan menunggu mereka," geram Untara kemudian.
Di malam yang sepi terdengar derap kaki-kaki kuda yang mendekati regol itu menjadi semakin jelas. Beberapa orang yang berada diregol itupun menjadi semakin tegang pula. Bahkan beberapa orang diantara para pengawal Kademangan Sangkal Putung telah bergeser keseberang jalan. Sementara yang lain menjauh beberapa langkah di halaman.
Untara yang sudah berada'diregol masih tetap ditempatnya. Beberapa orang pengawalnyapun berdiri tegak dengan kesiagaan sepenuhnya
Beberapa saat kemudian, maka derap kuda itupun menjadi semakin dekat. Sekelompok orang-orang berkuda itu nampaknya langsung menuju ke Kademangan dalam iring-iringan sepenuhnya.
Tetapi dengan demikian, maka kecurigaan orang-orang yang berada diregol itupun menjadi semakin mencair. Jika mereka orang-orang bermaksud buruk, maka mereka tidak akan berkuda langsung menuju ke Kademangan dalam iring-iringan lewat jalan induk seperti orang yang sedang bertamasya.
Karena itu, maka dugaan merekapun segera bergeser. Orang-orang berkuda itu tentu sekelompok orang yang telah mendengar keadaan Ki Sumangkar dan akan datang mengunjunginya.
"Tetapi siapa" " pertanyaan itulah yang tumbuh disetiap hati.
Sejenak kemudian, maka orang-orang yang berdiri diregol itu mulai melihat bayangan orang-orang berkuda yang mendekai. Semakin lama semakin jelas. Ketika obor diregol itu mulai menyentuh wajah orang yang berkuda dipaling depan, maka terdengar desis hampir setiap orang yang pernah mengenalnya, "Senapati Ing Ngalaga di Mataram."
Beberapa orangpun tiba-tiba saja telah menyibak. Dengan tergesa-gesa mereka memberikan jalan kepada iring-iringan itu. Bahkan Kiai Gringsing pun maju beberapa langkah menyongsongnya diikuti oleh Agung Sedayu.
Ternyata Raden Sutawijaya telah datang bersama Ki Juru Martani dan sekelompok pengawal yang kuat.
Namun dalam pada itu Untara masih tetap berdiri ditempatnya. Ia sama sekali tidak bergeser. Ketika beberapa orang menyongsongnya. Ia bahkan menyerahkan kendali kuda yang telah diterimanya kepada pengawalnya.
Kiai Gringsing yang menyongsong Raden Sutawijayapun segera memberikan salam kepadanya. Anak muda itupun dengan tergesa-gesa telah meloncat turun diikuti oleh Ki Juru Martani dan para pengawalnya.
Setelah menyerahkan kendali kudanya kepada pengawalnya, maka Raden Sutawijayapun dengan nada yang cemas bertanya, "Bagaimana keadaan Ki Sumangkar?"
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian tanpa menjawab pertanyaan itu, "Marilah Raden. Silahkan."
Raden Sutawijaya memandang beberapa orang lain yang menyongsongnya. Diantara mereka adalah Ki Demang Sangkal Putung dan Swandaru.
Tetapi ketika Raden Sutawijaya maju beberapa langkah, dadanya berdesir. Dimuka regol ia melihat seorang anak muda yang sebaya dengan umurnya berdiri tegak bagaikan sebatang tonggak yang terhunjam dalam-dalam ditanah tempat ia berdiri.
Sejenak keduanya saling berpandangan. Pertemuan yang tidak disangka sebelumnya, nampaknya telah mengejutkan keduanya, sehingga untuk beberapa saat mereka saling berdiam diri.
Namun dalam pada itu, Widura yang berdiri dekat Untara segera memecahkan ketegangan itu. Katanya, "Kami mengucapkan selamat atas kehadiran Raden Sutawijaya beserta para pengiring di Kademangan Sangkal Putung ini."
Raden Sutawijaya masih termangu-mangu. Ki Juru Martanilah yang menjawab sambil tersenyum, "Ki Widura. Kami semuanya selamat diperjalanan!. Setelah lama tidak bertemu, nampaknya Ki Widura justru menjadi semakin muda."
Ki Widurapun tersenyum pula. Sambil berpaling kepada kemanakannya ia berkata, "Kunjungan Raden Sutawijaya benar-benar tidak kita duga. Meskipun kemungkinan itu besar sekali, tetapi menurut perhitungan kami barulah besok siang atau bahkan lusa."
Untara menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba mengatasi ketegangan didalam dadanya. Baru kemudian iapun mengangguk sambil berkata, "Kami persilahkan Raden."
Raden Sutawijayapun mulai menguasai dirinya. Bahkan ia mulai bertanya didalam hati, kenapa tiba-tiba saja ia merasa tegang ketika ia berhadapan dengan Untara, Senapati Pajang yang berkuasa didaerah yang langsung bertentangan wajah dengan Mataram.
Karena itu, maka iapun kemudian menjawab, "Terima kasih. Apakah kau sudah lama berada disini?"
"Aku datang lewat tengah malam. Kini aku justru sudah akan kembali ke Jati Anom," jawab Untara.
"Begitu cepat?"
"Ya. Kami mempunyai banyak tugas akhir-akhir ini. Kami harus mempergunakan waktu sebaik-baiknya."
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Dengan nada dalam ia bertanya, "Bukankah keadaan di Jati Anom dan sekitarnya tetap baik?"
"Ya Raden. Tetapi akhir-akhir ini kami harus berbuat banyak untuk mengatasi kesulitan-kesulitaan kecil yang timbul karena tingkah laku beberapa orang yang nampaknya lepas dari kepungan pasukan Mataram dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu."
Kata-kata itu ternyata telah menggetarkan dada Raden Sutawijaya. Dengan demikian Raden Sutawijaya sadar, bahwa yang dilakukannya itu sebagian telah diketahui oleh Untara, Senapati Pajang yang terpercaya.
Namun Senapati nampaknya harus membiarkan Ki Juru Martani menjawab sambil tertawa, "Penjahat-penjahat kecil itu memang sangat mengganggu, itulah maka kami harus berusaha mengunjungi sarangnya. Tapi yang kami ketemukan sama sekali tidak berarti apa-apa."
Untara memandang Ki Juru sejenak. Lalu katanya, "Mungkin memang tidak banyak berarti. Dan agaknya yang terjadi itu tidak banyak menarik perhatian orang-orang Pajang. Tetapi bagi Jati Anom peristiwa itu mempunyai arti tersendiri."
Untara menarik nafas dalam-dalam. Untunglah bahwa cahaya obor agak terlalu lemah untuk menerangi wajah-wajah yang tegang. Wajah Raden Sutawijaya yang merah tertutup oleh bayangan Ki Juru Martani, sehingga menjadi semakin samar.
Meskipun Raden Sutawijaya masih dipanasi oleh kemudaannya, tetapi ternyata sikap kepemimpinannya masih mampu menahan gejolak didadanya. Ia masih sempat berpikir panjang dan mencoba mengerti, bahwa yang telah terjadi dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu agaknya benar-benar telah menyinggung perasaan Untara sebagai seorang Senapati Pajang.
Itulah sebabnya, maka ia berusaha untuk menahan gejolak darahnya yang mendidih didalam dadanya.
Sementara itu, Widura yang berdiri disisi Untara berkata, "Aku menjunjung tinggi pendapat Ki Juru Martani. Kita bukan anak-anak yang takut kehilangan barang mainan yang jatuh di halaman, sehingga akan dipungut oleh orang lain. Kita masih mempunyai junjungan yang bijaksana, yang akan mengatur segalanya tanpa menumbuhkan geseran-geseran yang dapat membuat diri kita terluka."
Untara memandang pamannya sejenak. Namun ia tidak menjawab ketika Widura berkata, "Jika sebelum fajar, kau harus sudah berada di Jati Anom, pergilah sekarang. Aku akan tinggal disini untuk satu dua hari."
Untara mengangguk lemah. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Aku akan mohon diri." Kemudian katanya kepada Raden Sutawijaya, "Silahkan Raden. Ki Sumangkar akan sangat bergembira menerima kunjungan Raden. Mungkin akan dapat memperingan penderitaannya, atau justru mempercepat pemulihan kesehatannya."
"Terima kasih," jawab Raden Sutawijaya singkat.
Untarapun kemudian sekali lagi mohon diri kepada Ki Demang, kepada Kiai Gringsing, kepada adiknya, kepada Sekar Mirah, Swandaru dan Pandan Wangi yang berdiri agak jauh.
Sepeninggal Untara, maka dengan tergesa-gesa Ki Demangpun mempersilahkan Raden Sutawijaya memasuki halaman dan langsung naik kependapa.
"Aku mohon maaf atas sikap kemanakanku Raden," berkata Ki Widura.
Tetapi yang menjawab adalah Ki Juru, "Ia adalah seorang prajurit pilihan. Ia bertanggung jawab atas daerah ini. Juga daerah yang menurut pengamatannya telah terjadi benturan kekuatan antara para penjahat kecil itu dengan beberapa orang pengawal dari Mataram. Karena itu agaknya ia agak tersinggung."
Ki Widura mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian, "Mungkin telah terjadi pertempuran kecil-kecilan. Tetapi Untara mendapat keterangan lain. Pertempuran itu telah melibatkan banyak pihak dengan pasukan segelar sepapan," tetapi cepat-cepat ia menyambung, "namun bukan maksud kami untuk membicarakannya. Raden adalah tamu Ki Demang Sangkal Putung sekarang ini."
Raden Sutawijaya menjadi tegang. Sekilas ditatapnya wajah Ki Juru Martani. Namun nampaknya Ki Juru masih tetap tersenyum sambil berkata, "Kami minta maaf anakmas Untara bahwa mungkin yang kami lakukan masih kurang rapi, sehingga justru menimbulkan persoalan tersendiri bagi Jati Anom. Tetapi mungkin itu adalah pertanda bahwa Mataram masih harus banyak belajar, terutama dalam gerakan pasukan seperti yang baru saja dilakukan. Selain memang pasukan pengawal Mataram masih sangat kecil dan lemah." Jawaban itu ternyata telah menyentuh perasaan Untara. Ia merasa bahwa sikap rendah hati dari orang tua itu sepantasnya dihormati. Namun iapun menyadari, bahwa dengan demikian Ki Juru justru menyatakan kebanggaannya atas pasukan pengawal Mataram.
Karena itu, maka Untarapun kemudian berkata, "Baiklah. Mungkin masalah orang-orang yang bersarang dilembah itu akan merupakan bahan pembicaraan dikesempatan lain. Aku berkepentingan, karena aku adalah Senapati Pajang didaerah ini. Sementara Raden Sutawijayapun telah mendapat pengangkatan resmi sebagai Senapati Ing Ngalaga yang berkedudukan di Mataram, meskipun daerah wewenangnya masih belum jelas."
"Aku adalah Senapati Ing Ngalaga, putera Sultan Hadiwijaya. Sebagai seorang prajurit, maka kedudukanku jelas. Aku Senapati tertinggi dalam wilayah kekuasaan ayahanda Sultan. Aku adalah Panglima yang akan menerima wewenang pelimpahan kekuasaan keprajuritan dari ayahanda Sultan Pajang."
"Tetapi gelar Senapati Ing Ngalaga belum menyebutkan daerah wewenang dan jenjang kepangkatan dalam keprajuritan Pajang. Berbeda dengan ayahanda Raden. Ki Gede Pemanahan, yang menjabat sebagi Panglima tertinggi prajurit Pajang, yang justru jabatan itu telah diletakkannya karena Ki Gede Pemanahan lebih senang membuka hutan Mentaok."
Wajah Raden Sutawijaya menjadi tegang. Bahkan semua orang yang berada dihalaman itu menjadi tegang. Pertemuan yang tidak disangka-sangka itu ternyata telahmenimbulkan persoalan tersendiri.
Namun agaknya Ki Juru masih tetap tersenyum. Katanya, "Kau benar Untara. Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga masih belum mempunyai kedudukan, daerah wewenang dan jenjang kepangkatan yang tegas. Yang pasti Senapati Ing Ngalaga adalah gelai bagi Raden Sutawijaya sebagai putera Sultan Hadiwijaya yang mendapat pengesahan kedudukan di Mataram, dan mendapat anugerah beberapa buah pusaka tertinggi di Pajang. Sedangkan angger Untara adalah jelas Senapati yang mendapat wewenang memimpin semua kekuatan pasukan Pajang di daerah Selatan serta pelimpahan kekuasaan mempergunakan setiap prajurit yang ada dalam tugas keprajuritan. Tetapi hal itu tidak perlu menjadi persoalan yang dapat menumbuhkan ketegangan. Yang masih kurang jelas akan segera dijelaskan, yang masih belum ada akan mendapat perhatian yang lebih banyak dari Sultan Hadiwijaya yang bijaksana."
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Widura adalah bekas seorang perwira Pajang pula yang bertugas di Sangkal Putung. Meskipun sekilas, namun masih juga nampak sifatnya sebagai seorang prajurit.
Agaknya Untara memang benar-benar telah tersinggung oleh peperangan yang telah terjadi dilembah. Sebagai seorang Senapati ia merasa Raden Sutawijaya telah melangkahi kuwajibandan tanggung jawabnya.
Bahkan Widura yang sudah tidak lagi menjadi seorang perwira prajurit Pajang, nampaknya masih juga merasa, bahwa yang dilakukan oleh Mataram telah menyinggung perasaan prajurit Pajang di daerah Selatan.
Tetapi Raden Sutawijaya sengaja untuk menghalau perasaannya yang juga bergejolak. Iapun sebenarnya tidak senang mendapat perlakuan yang kurang manis itu. Tetapi ia berusaha untuk menahan diri. Ia datang ke Sangkal Putung karena ia mendengar bahwa Ki Sumangkar yang sedang sakit berada dalam keadaan yang gawat.
Dengan demikian, maka Raden Sutawijayapun kemudian mencoba untuk menghapus segala kekecewaannya. Ia menanggapi sikap Ki Demang dengan wajah yang cerah. Sejenak ia menjawab pertanyaan-pertanyaan Ki Demang tentang keselamatannya bersama para pengawalnya, seperti kebiasaan yang berlaku.
"Kedatangan Raden memang mengejutkan kami," berkata Ki Demang, "agaknya kami semuanya tidak menyangka bahwa Raden akan datang malam ini."
Raden Sutawijaya tersenyum. Katanya, "Menurut kedua orang pengawal dari Sangkal Putung yang datang ke Mataram, keadaan Ki Sumangkar benar-benar sudah gawat. Sebenarnya akupun yakin bahwa Kiai Gringsing akan dapat berbuat banyak untuk kesehatan Ki Sumangkar. Namun rasa-rasanya kami tidak dapat menunda keberangkatan kami barang sekejappun. Jika terjadi sesuatu dengan Ki Sumangkar sebelum kami sempat bertemu, maka kami akan menyesal untuk seterusnya."
Kiai Gringsingpun menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Segala usaha sudah aku lakukan. Tetapi aku benar-benar seorang manusia yang picik dan terbatas, sehingga sampai saat ini aku masih belum dapat melawan keadaan Ki Sumangkar."
Ki Juru Martanipun mengangguk-angguk. Teringat olehnya Ki Gede Pemanahan yang telah menghadap Yang Maha Kuasa pula. Tidak kurang usaha yang telah dilakukan untuk melawan penyakit yang mencengkamnya. Tetapi yang dilakukan oleh seseorang adalah sekedar usaha. Akhir dari segalanya memang berada di tangan Yang Maha Kuasa.
"Ngger," berkata Ki Juru kemudian kepada Raden Sutawijaya, "jika diperkenankan, apakah kita akan menengok Ki Sumangkar sekarang?"
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Sambil memandang kepada Kiai Gringsing ia bertanya, "Apakah hal itu dapat kami lakukan?"
Biarlah Agung Sedayu melihat keadaannya," berkata Kiai Gringsing. "Jika Ki Sumangkar tidak sedang tidur nyenyak, maka Raden akan dapat menengoknya sekarang."
Agung Sedayupun kemudian pergi ke bilik Ki Sumangkar. Dengan hati-hati ia memasuki pintu bilik yang selalu tidak diselarak.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya ketika ia mendengar Ki Sumangkar bertanya, "Kau belum tidur Agung Sedayu."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian sambil melangkah mendekat ia menjawab, "Belum Kiai."
"Apakah kakakmu masih disini?"
"Kakang Untara sudah kembali ke Jati Anom. Tetapi paman Widura masih berada disini dengan Glagah Putih."
Ki Sumangkar berdesis lembut. Dan Agung Sedayupun melanjutkannya, "Yang kini datang di Sangkal Putung adalah Raden Sutawijaya."
"Raden Sutawijaya" " Ki Sumangkar mengulang dengan suaranya yang dalam.
"Ya. Ya Kiai." "Aku sudah mencegah utusan yang dikirim ke Mataram untuk memberitahukan bahwa aku sedang sakit. Aku juga tidak ingin kau menjadi gelisah dan tergesa-gesa. Tetapi agaknya utusan itu sudah berangkat dan bahkan kini Raden Sutawijaya sudah datang di Sangkal Putung."
"Ya Kiai." "Dan kau sekarang melihat apakah aku sedang tidur atau tidak?"
"Ya Kiai." Ki Sumangkar tersenyum. Katanya, "Aku memang sempat tidur sekejap, sehingga Pandan Wangi yang menungguiku mengira bahwa aku tentu tertidur nyenyak dan kemudian pergi meninggalkan aku. Tetapi ternyata aku hanya tidur sebentar sekali."
"Jika Kiai masih akan beristirahat, biarlah aku sampaikan kepada Raden Sutawijaya agar iapun beristirahat saja dahulu sebelum menemui Kiai."
Ki Sumangkar masih tersenyum. Katanya, "Bawalah anak muda itu kemari. Keadaanku cukup baik untuk menerimanya sekarang."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia tahu benar, bahwa keadaan Ki Sumangkar benar benar gawat. Wajahnya seakan-akan menjadi semakin pucat, sedangkan nafasnya rasa-rasanya menjadi semakin sendat.
Tetapi Agung Sedayu tidak mengatakan sesuatu. Ia masih melihat wajah Ki Sumangkar yang dihiasi dengan senyum sambil memandanginya. Sehingga karena itulah, maka iapun kemudian melangkah meninggalkan orang tua itu untuk pergi kependapa.
Diluar pintu langkahnya tertegun. Ia melihat Sekat Mirah dan Pandan Wangi yang berdiri termangu-mangu.
"Ki Sumangkar tidak sedang tidur," desis Agung Sedayu, "ia sudah aku beritahu bahwa Raden Sutawijaya ada disini sekarang dan ingin menengoknya."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Pandan Wangi kemudian membimbingnya menjauhi pintu bilik itu sambil berkata, "Biarlah Raden Sutawijaya dan beberapa orang mengawani Ki Sumangkar. Pergilah beristirahat dahulu Mirah."
Sekar Mirah tidak menjawab. Iapun tidak menolak ketika Pandan Wangi membimbingnya masuk ke ruang dalam.
Sementara itu, Agung Sedayupun segera pergi ke pendapa dan memberitahukan bahwa Ki Sumangkar yang sedang tidur itu sudah mengetahui kehadiran Raden Sutawijaya dari padanya, dan justru merasa gembira untuk menerimanya.
Raden Sutawijaya dan Ki Jurupun kemudian diantar oleh Ki Demang memasuki bilik Ki Sumangkar. Kiai Gringsing berdiri dimulut pintu bersama Agung Sedayu dan Swandaru agar udara didalam bilik tidak menjadi terlalu panas.
Secerah kegembiraan nampak diwajah Ki Sumangkar melihat kedatangan Raden Sutawijaya. Namun sebaliknya, wajah Raden Sutawijayalah yang kemudian menjadi muram melihat Ki Sumangkar yang perkasa itu terbaring dengan wajah yang pucat dan tubuh yang nampaknya sangat lemah.
Bagaimanapun juga Raden Sutawijaya harus melihat sebab dari keadaan Ki Sumangkar itu. Disaat terakhir Ki Sumangkar bertempur di lembah antara Gunung Merapi dan Merbabu itu bagi kepentingan Mataram. Dengan demikian, maka ia tidak akan dapat menghindarkan diri dari beban perasaan bahwa Ki Sumangkar mengalami keadaan yang gawat itu karena membela kepentingan Mataram.
Raden Sutawijaya yang kemudian duduk disebuah dingklik kayu disebelah pembaringan Ki Sumangkar itupun menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara yang dalam ia bertanya, "Bagaimana keadaan Kiai saat ini?"
Ki Sumangkar masih tersenyum. Ia justru bertanya tentang keselamatan perjalanan Raden Sutawijaya, Ki Juru Martani dan pengiringnya.
"Perjalanan kami tidak menjumipai kesulitan apapun Kiai," jawab Raden Sutawijaya.
"Baru saja anakmas Untara berada didalam bilik ini pula." desis Ki Sumangkar.
"Aku bertemu dengan Untara diregol halaman Kademangan ini."
"O," Ki Sumangkar mengangguk kecil.
Ki Juru yang duduk di dingklik kayu pula meraba tangan Ki Sumangkar yang lemah itu. Terasa tangan itu sangat dingin dan lemah. Bahkan rasa-rasanya tubuh Ki Sumangkar tinggal kulit yang membalut tulang.
Namun Ki Sumangkar nampaknya benar-benar orang yang tabah. Meskipun keadaannya nampak sangat gawat, tetapi ia masih saja tersenyum. Seperti ketabahannya dimedan perang.
Untuk beberapa saat lamanya Raden Sutawijaya masih berbincang dengan Ki Sumangkar dan sekali-sekali Ki Juru mencoba untuk memberikan dorongan dan harapan baginya. Tetapi setiap kali Ki Sumangkar hanya tersenyum saja. Dan Ki Jurupun memakluminya. bahwa ia tidak dapat memperlakukan Ki Sumangkar seperti kebanyakan orang yang dapat dihiburnya dengan kata-kata yang penuh harapan. Tetapi yang dihadapinya adalah seorang yang memiliki pengetahuan tentang sangkan paraning dumadi. Memiliki kesadaran asal dan arah hidupnya didalam bayangan kekuasaan Yang Maha Kuasa.
Sementara Sutawijaya dan Ki Juru berada disamping Ki Sumangkar yang terbaring. Agung Sedayu yang berdiri di muka pintu di luar bilik bersama Kiai Gringsing dan Swandaru untuk beberapa saat termangu-mangu. Agung Sedayu nampak gelisah dan ragu-ragu. Setiap kali ia memandang gurunya yang berdiri bersandar uger-uger. Namun kemudian sambil menarik nafas ia berpaling memandangi kegelapan.
Namun akhirnya ia bergeser mendekat sambil berkata dengan suara yang dalam tersendat-sendat, "Guru, apakah tanggapan guru terhadap sikap kakang Untara tentang pertempuran dilembah itu?"
Kiai Gringsing memandang Agung Sedayu sejenak. Namun kemudian iapun menarik nafas dalam-dalam.
Swandaru yang juga mendengar pertanyaan itupun kemudian berdesis, "Kenapa kita harus memikirkannya" Jika ia bertanya, kita akan menjelaskan seperti apa yang terjadi. Ia tidak akan berbuat apa-apa."
"Sst," desis Kiai Gringsing, "jangan terlalu keras. Aku ingin pembicaraan ini tidak mengganggu kunjungan Raden Sutawijaya."
Swandaru mengerutkan keningnya, namun iapun kemudian berdesis, "Raden Sutawijaya berhak berbuat sesuatu bagi kesejahteraan Mataram. Termasuk menemukan kembali pusaka-pusaka yang hilang itu."
"Benar Swandaru," sahut gurunya, "tetapi kita sebaiknya ikut menjaga ketenangan hubungan yang tegang antara Pajang dan Mataram. Apa salahnya jika kita berhati-hati dalam sikap dan ucapan."
Swandaru mengangguk-angguk kecil meskipun sebenarnya ia tidak menganggap begitu penting untuk berhati-hati seperti yang dimaksud oleh gurunya. Jika Untara sudah mendapatkan keterangan tentang pertempuran itu, maka apa lagi yang perlu disembunyikan.
Dalam pada itu Kiai Gringsing berkata, "Untara mungkin memang sudah mengetahui peristiwa di lembah itu. Tetapi ia tentu belum mengetahui alasan yang sebenarnya, karena pertempuran itu terjadi. Sudah barang tentu kita tidak akan berceritera tentang pusaka-pusaka yang hilang dari Mataram itu, dan barangkali juga tidak perlu menyebut adanya beberapa orang perwira dan prajurit Pajang yang berada di lembah itu, apalagi menyebut nama Ki Tumenggung Wanakerti. Jika kelak Untara mengetahui juga hal itu lewat jalur lain, lewat beberapa orang petugas keprajuritan Pajang, itu terserah saja."
"Tetapi mungkin justru keterangan tentang hal itu sudah diputar balik kebenarannya guru." desis Swandaru.
"Memang mungkin sekali. Banyak kemungkinan yang dapat terjadi. Aku kira, kita akan memperbincangkannya lebih dalam. Untunglah bahwa Raden Sutawijaya kini berada disini. Kita akan sempat berbicara tentang hal itu, sebelum pada suatu saat Agung Sedayu dipanggil oleh Untara untuk memberikan keterangan mengenai pertempuran dilembah itu."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia memang sudah membayangkan, bahwa ia akan mengalami kesulitan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan Untara yang tentu akan ditujukan pertama-tama kepadanya. Agaknya kakaknyapun sudah mengetahui, bahwa ia telah membunuh dan melukai beberapa orang dalam pertempuran itu.
Namun bagaimanapun juga terasa kegelisahan hati Agung Sedayu selalu mengganggunya. Bahkan kadang-kadang terbersit juga penyesalan bahwa ia sudah terlibat kedalam persoalan-persoalan yang tidak dikehendakinya. Pembunuhan demi pembunuhan terjadi diluar kehendaknya sendiri seakan-akan ia didorong saja masuk kedalam mulut lorong yang penuh dengan genangan darah.
Dalam pada itu. Raden Sutawijaya. Ki Juru Martani yang ditunggui oleh Ki Demang masih berbicara didalam bilik. Bahkan kemudian Ki Juru telah memanggil Kiai Gringsing untuk ikut serta berbicara bersama mereka.
Meskipun keadaan Ki Sumangkar nampak parah, tetapi wajahnya yang pucat itu selalu nampak tersenyum. Seakan-akan ia tidak merasakan betapa berat penanggungan sakitnya. Bahkan sekali-kali ia masih juga sempat berkelakar dan tertawa. Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani menyadari bahwa Ki Sumangkar seharusnya banyak beristirahat. Karena itu merekalah yang berusaha membatasi pembicaraan. Namun ketika mereka minta diri untuk keluar dari dalam bilik itu, Ki Sumangkarlah yang menjadi kecewa.
"Aku tidak akan segera kembali malam ini," berkata Raden Sutawijaya, "besok siang aku masih akan memasuki bilik ini."
Ki Sumangkar mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja ia bertanya, "Apakah fajar masih jauh?"
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Kemudian dengan suara yang dalam ia menjawab, "Ayam jantan sudah berkokok lewat tengah malam. Sebentar lagi kita akan sampai keujung malam ini."
Ki Sumangkar tersenyum. Terdengar suaranya tensendat, "Rasa-rasanya malam ini terlalu panjang. Betapa cerahnya matahari terbit diesok pagi."
"Kita sudah jauh melewati tengah malam. Kita sudah berada diawal hari yang baru. Tetapi matahari belum menampakkan cahayanya."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Nampak sepercik ketegangan diwajahnya. Perlahan-lahan ia mendekati Ki Sumangkar. Seolah-olah diluar sadarnya ia merasa pergelangan kaki orang tua yang terbaring lemah itu.
"Kaki ini masih cukup hangat," berkata Kiai Gringsing didalam hatinya. "Nampaknya segalanya masih berjalan wajar. Seandainya keadaan Ki Sumangkar bertambah gawat, namun masih dapat menguasai segalanya."
Meskipun demikian, sepercik kecemasan telah melonjak dihati Kiai Gringsing. Ia tidak tahu. apakah sebenarnya yang akan terjadi. Tetapi rasa-rasanya perasaannya telah terguncang oleh kegelisahan.
Pada saat yang sama, Ki Waskita yang berada dirumahnya, telah terkejut dan terlonjak dari tidurnya. Sejenak ia duduk tepekur sambil mengusap keringatnya yang dingin ditengkuknya. Isterinya yang terbangun pula dari tidurnya dengan cemas bertanya, "Ada apa Kakang?"
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Pengenalnya atas keadaan disekelilingnya kadang-kadang membuatnya gelisah. Ia harus ikut memikirkan persoalan-persoalan orang lain yang kadang-kadang tidak bersangkut paut sama sekali dengan keluarganya dan tidak ada hubungannya dengan jalan hidupnya sekeluarga.
Dan kegelisahan yang serupa itu tiba-tiba telah membangunkannya dari tidurnya.
Meskipun isterinya sudah sering melihat kegelisahan yang tiba-tiba membayang diwajah suaminya, namun setiap kali ia masih selalu bertanya apakah yang sedang dilihat dalam pandangan mata jiwanya.
Ki Waskitapun kemudian duduk sambil menyilangkan tangannya. Ia mencoba menjelajahi setiap sudut pandangan jiwanya didalam bayang-bayang isyarat yang kadang-kadang samar-samar dan kabur.
Namun wajahnya yang kemudian menegang, menjadi basah oleh keringat dinginnya yang mengalir dengan derasnya.
"Ki Sumangkar," desisnya.
"Kenapa dengan Ki Sumangkar?" bertanya isterinya.
Ki Waskita menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Aku tidak jelas melihat keadaannya. Tetapi ia dalam keadaan yang gawat."
"Apakah ia mengalami kesulitan?"
"Ia terluka parah ketika terjadi benturan kekuatan di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Anakmas Agung Sedayu telah berhasil menyelamatkannya. Tetapi luka-lukanya cukup gawat. Menurut perhitunganku, luka-lukanya itu tidak akan cepat sembuh. Dan dalam penglihatanku, keadaan Ki Sumangkar sangat mencemaskan."
"Jadi?" bertanya isterinya.
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Sebenarnya aku tidak ingin segera pergi lagi."
"Jika kau perlu menengoknya, pergilah. Tetapi jangan terlalu lama," berkata isterinya, "dan pesanlah agar Rudita tidak pergi kemanapun lagi sebelum kau kembali."
Ki Waskita mengangguk kecil. Katanya kemudian, "Besok pagi-pagi benar aku akan berangkat. Aku akan singgah sebentar di Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh. Malam hari aku sudah berada di Sangkal Putung."
Dikelanjutan malam itu. Ki Waskita sama sekali tidak dapat memejamkan matanya lagi. Dalam kegelisahan iapun kemudian justru keluar rumah dan menengadahkan kepalanya kelangit, memandang bintang-bintang yang masih gemerlapan dilangit.
Namun nampaknya sebentar lagi fajar akan segera menyingsing.
Dalam pada itu di Sangkal Putungpun seakan-akan tidak ada lagi orang yang sempat tidur. Sekar Mirah yang dibimbing masuk oleh Pandan Wangi mencoba berbaring dipembaringannya. Tetapi matanya sama sekali tidak dapat dipejamkan. Ki Sumangkar adalah gurunya. Dan ia adalah satu-satunya muridnya. Itulah sebabnya, maka seakan-akan ia merasa berkewajiban sepenuhnya.
Ketika langit menjadi merah oleh cahaya fajar dan ayam berkokok yang terakhir kalinya malam itu, Ki Sumangkar mengerutkan keningnya. Yang menungguinya saat itu adalah Agung Sedayu yang gelisah, yang duduk di atas dingklik kayu di sudut ruangan.
"Agung Sedayu," desis Ki Sumangkar, "kau dengar ayam jantan berkokok?"
"Ya Kiai," jawab Agung Sedayu sambil bergeser mendekat.
"Itu pertanda bahwa hari baru akan datang."
"Ya Kiai." "Dan umurku masih akan bertambah dengan sehari lagi."
"Ah," desis Agung Sedayu, "Kiai masih akan melihat saat-saat matahari terbit dihari-hari berikutnya.
Ki Sumangkar tertawa. Katanya, "Agung Sedayu. Aku sama sekali tidak cemas melihat kenyataanku sekarang ini. Justru aku sadar, betapa kecilnya seseorang dihadapan Yang Maha Kuasa. Dan akupun pasrah, kapan aku harus menghadap-Nya."
Agung Sedayu termangu-mangu. Tetapi ketika ia akan berbicara Ki Sumangkar mendahuluinya, "Mungkin orang lain perlu kata-kata penghibur, seolah-olah maut masih akan menjauhinya. Tetapi maut bagiku bukan sesuatu yang mencemaskan. Karena aku tahu, jika saatnya datang, tidak seorangpun akan dapat menghindar. Apakah ia orang tua seperti aku. Apakah ia anak muda yang perkasa. Apakah ia seorang perantau atau seorang Maharaja yang bijaksana."
Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
"Agung Sedayu," berkata Sumangkar kemudian, "bukalah pintu bilik ini. Aku ingin melihat, apakah cahaya fajar hari ini cukup cerah."
Seolah-olah diluar sadar Agung Sedayupun kemudian berdiri dan membuka pintu. Udara yang dingin memercik diwajahnya dan menyusup kedalam bilik itu.
"Segarnya udara pagi," berkata Ki Sumangkar.
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi untuk beberapa saat iapun tiba-tiba telah terpukau oleh warna-warna merah yang membayang di langit. Ketika ia melangkah kepinggir serambi gandok, maka iapun melihat bintang-bintang yang menjadi semakin suram.
Pada saat itu, seekor kuda berderap dengan lajunya menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Ki Waskita yang gelisah berpacu meninggalkan rumahnya setelah ia berpesan kepada anaknya, agar ia tidak meninggalkan ibunya.
"Kau memang sudah cukup dewasa untuk menentukan jalan hidupmu sendiri," berkata Ki Waskita sebelum ia berangkat, "jika aku menahanmu agar kau tetap dirumah. bukan berarti aku mencoba membatasi tingkah laku yang kau yakini itu. Tetapi semata-mata untuk kepentingan ibumu."
Rudita mengangguk. Jawabnya, "Aku akan tinggal dirumah ayah."
Dan karena itulah, maka Ki Waskitapun menjadi agak tenang ketika ia meninggalkan keluarga kecilnya.
Disaat Ki Waskita berpacu diantara bulak-bulak panjang menuju ke Tanah Perdikan Menoreh, maka Kiai Gringsing yang datang menengok Ki Sumangkar menjadi semakin cemas. Meskipun orang tua itu masih saja tersenyum dan tidak menunjukkan kecemasan sama sekali, namun wajah yang semakin pucat dan detak jantung yang tidak ajeg membuat Kiai Gringsing harus berbuat lebih banyak lagi. Ia mencoba berbagai macam obat yang diramunya. Bahkan obat yang diharapkannya dapat memperingan keadaan Ki Sumangkar.
Namun ternyata bahwa keadaan Ki Sumangkar tidak bertambah baik.
Meskipun demikian ketenangan hati Ki Sumangkar sendiri ternyata banyak sekali membantunya. Meskipun sakitnya gawat, tetapi ia tidak mengalami penderitaan yang menyiksa tubuh dan jiwanya. Ia menjalani segalanya itu dengan tabah, senang hati dan pasrah.
Raden Sutawijaya yang berada di Sangkal Putung, mendengar keadaan Ki Sumangkar itu dengan cemas. Namun ia masih percaya kepada kemampuan Kiai Gringsing. Karena nampaknya Kiai Gringsing belum menghentikan usahanya untuk memperingan keadaan Ki Sumangkar.
Pandan Wangilah yang selain diganggu oleh kegelisahannya sendiri, ia masih harus menjaga agar Sekar Mirah tetap tenang. Dengan segala cara ia mencoba untuk memberikan sandaran jiwani kepada gadis itu. Sehingga Sekar Mirah tidak merasa dirinya dikesampingkan oleh kasih Yang Maha Kuasa karena keadaan gurunya yang gawat itu.
Pada saat-saat yang menegang di Sangkal Putung, Ki Waskita dengan tergesa-gesa memasuki regol rumah Ki Gede Menoreh. Ia ingin menyampaikan berita kegelisahannya itu meskipun ia tidak tahu pasti, apakah yang sebenarnya terjadi.
Tetapi ia terkejut ketika ia melihat dua orang berkuda yang telah siap untuk meninggalkan halaman. Apalagi kemudian ia mengetahui bahwa kedua orang itu justru akan pergi kerumahnya.
"Ketika Ki Gede berangkat bersama Prastawa dan beberapa orang pengawal, Ki Gede memerintahkan kami untuk memberitahuan hal ini kepada Ki Waskita. Ki Gede masih belum mengetahui bahwa sudah ada orang yang datang kepada Ki Waskita sebelumnya."
Ki Waskita mengerutkan keningnya. Namun kemudian jawabnya, "Ya sudah ada yang memberitahukan hal itu kepadaku, tetapi siapakah yang telah datang kemari?"
"Dua orang penghubung dari Mataram. Mereka datang dimalam hari. Dan baru pagi ini Ki Gede sempat berangkat setelah menyerahkan beberapa persoalan kepada Ki Argajaya sementara Ki Gede tidak ada."
Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Namun dengan demikian iapun mengetahui bahwa Mataram justru telah tahu lebih dahulu tentang keadaan Ki Sumangkar.
Karena itulah maka Ki Waskitapun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Tidak lagi lewat Mataram, tetapi ia akan mengambil jalan memintas. Meskipun perbedaan jaraknya tidak terlalu jauh, namun dengan demikian ia akan menempuh perjalanan yang lebih dekat.
Ternyata bahwa keadaan Ki Sumangkar telah memanggil beberapa orang tua yang pernah berbenturan dengannya dalam berbagai hal berkumpul di Sangkal Putung. Berturut-turut mereka datang dengan tergesa-gesa, seakan-akan mereka takut kehilangan Ki Sumangkar sebelum mereka sempat bertemu untuk yang terahir kalinya.
Ki Waskita, yang berpacu seorang diri melalui bulak-bulak panjang, rasa-rasanya tidak sabar lagi dengan derap kaki kudanya. Kudanya yang berlari sekencang angin, rasa-rasanya terlalu lamban dan malas.
Setiap kali terlintas di penglihatan jiwanja, keadaan Ki Sumangkar yang gawat. Karena Ki Waskita mengetahui keadaan Ki Sumangkar di pertempuran yang terjadi dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, sesuai dengan isyarat dipenglihatan jiwanya, maka Ki Waskita dapat rnemperhitungkan, bahwa agaknya Kiai Gringsing mengalami kesulitan untuk menolong Ki Sumangkar yang sudah sangat parah itu.
Sementara itu di Sangkal Putung setiap orang telah dicengkam oleh ketegangan. Ternyata bahwa keadaan Ki Sumangkar tidak berangsur baik meskipun dengan rajin ia minum obat yang diberikan kepadanya.
"Aku akan tinggal di Kademangan ini sampai ketegangan ini mereda," berkata Raden Sutawijaya.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Memang sulit untuk menyebut batasan waktu yang tepat. Tetapi bahwa Raden Sutawijaya menyebut saat ketegangan mereda, nampaknya memang mengandung dua pengertian. Sakit Ki Sumangkar itu berkurang, atau batas umurnya tidak terlampau lagi.
Berganti-ganti mereka menunggui Ki Sumangkar di dalam biliknya. Menjelang sore hari, maka Ki Argapati dari Tanah Perdikan Menoreh bersama Prastawa telah halir pula. Kemudian disusul oleh kehadiran Ki Waskita menjelang gelap.
Kehadiran orang-orang tua itu nampakya membuat Ki Sumangkar menjadi gembira seperti kehadirian tamu-tamunya sebelumnya. Berganti-ganti mereka memasuki biliknya dan berbicara beberapa patah kata.
"Rasa-rasanya seperti orang penting saja," guman Ki Smangkar sambil tersenyum, "disaat begini beberapa orang terkemuka telah berkumpul disini."
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Bukankah wajar bahwa kita saling berkunjung dalam keadaan apapun juga?"
Ki Sumangkar tertawa. Dipandanginya Ki Waskita yang duduk dengan pandangan mata yang buram meskipun sekali-kali ia mencoba tersenyum.
"Ki Waskita mendengar keadaanku begitu cepat." berkata Ki Sumangkar lambat.
"Kebetulan aku mengunjungi Tanah Perdikan Menoreh, Ki Sumangka. Kebetulan saja utusan Ki Gede sudah siap untuk berangkat kepadukuhanku. Karena itu. maka aku cepat menyusulnya."
Ki Sumangkar tersenyum. Seperti yang selalu nampak dibibirnya, meskipun wajahnya masih tetap pucat.
Seperti malam sebelumnya, maka malam itupun keadaan di Sangkal Putung masih tetap tidak berubah. Semua orang tidak sempat memejamkan matanya. Bahkan nampak keadaan Ki Sumangkar justru menjadi semakin buruk.
Sementara itu, Untara yang telah selesai dengan tugasnya tidak dapat menahan lagi keinginannya untuk melihat keadaan Ki Sumangkar. Bagaimanapun juga orang tua itu adalah orang tua yang pantas dihormati. Sebagai lawan disaat-saat pertentangan antara Pajang dan Jipang. Ki Sumangkar menunjukkan sifat-sifat yang lain dari para pemimpin di Jipang. Ia tidak saja melihat dari sudut harga diri dan pandangan yang sempit, tetapi ia melihat dengan perhitungan yang luas dan pertimbangan dari segala segi.
Namun dalam pada itu. selagi Untara sudah bersiap untuk pergi ke Sangkal Putung menjelang dinihari, maka para penjaga regol rumahnya telah dikejutkan oleh derap dua ekor kuda yang datang dengan tergesa-gesa.
Sebagai seorang prajurit, maka Untarapun segera dijalari oleh ketegangan. Apalagi ketika ia mengetahui, bahwa yang datang itu adalah dua orang prajurit penghubung dari Pajang.
"Marilah," Untara mempersilahkan kedua tamunya untuk masuk keruang dalam.
"Aku minta maaf, bahwa aku datang jauh lewat tengah malam," berkata salah seorang dari padanya.
"Tentu ada tugas yang penting," sahut Untara.
Keduanya mengangguk. Salah seorang dari mereka berkata, "Besok pagi-pagi akan ada sidang yang penting di Pajang. Beberapa perwira mengusulkan agar diadakan penelitian yang saksama atas Sangkal Putung."
"Kenapa" Sangkal Putung adalah wilayah pengawasanku. Ada apa dengan Sangkal Putung?" bertanya Untara.
"Ada laporan bahwa beberapa orang penting telah mengadakan pertemuan di Sangkal Putung. Ada dugaan, bahwa mereka sedang membuat pertimbangan-pertimbangan yang dapat melibatkan Pajang kedalam kesulitan. Menjelang malam, datang lagi laporan bahwa Ki Argapati, dari Tanah Perdikan Menoreh telah datang pula setelah Senapati Ing Ngalaga dari Mataram datang sehari sebelumnya. Bahkan Widurapun telah berada di Sangkal Putung pula, disusul oleh kehadiran seorang berkuda yang kurang dikenal, tetapi nampaknya seorang yang penting didalam hubungan pertemuan di Sangkal Putung itu."
"Gila," tiba-tiba saja Untara berteriak, "siapakah yang memberikan laporan itu" Akulah, yang paling berhak memberikan laporan kepada Sultan di Pajang. Jika orang lain mengetahui hal itu, maka mereka harus melaporkannya dahulu kepadaku."
"Itu adalah pertimbangan urutan jenjang kewajiban," jawab salah seorang penghubung itu, "tetapi lepas dari kesalahan yang terjadi, bagaimanakah jika yang disebutkan itu benar."
Wajah Untara menjadi tegang. Dipandanginya kedua orang petugas itu dengan tajamnya. Dengan suara geram ia kemudian menjawab, "Aku tidak percaya kepada laporan itu."
"Katakan kepada mereka didalam sidang besok pagi. Tetapi jika yang terjadi itu benar seperti yang dilaporkan, maka kau harus mempertanggung jawabkan."
"Persetan," Untara menggeretakkan giginya, "aku akan pergi ke Pajang. Aku akan mengatakan disidang yang manapun juga, bahwa keterangan itu tidak benar."
Kedua prajurit penghubung itu tidak menjawab. Merekapun kemudian meninggalkan Untara dan bergabung dengan para penjaga di gardu setelah mengikat kuda mereka disudut halaman.
Untara yang sebenarnya sudah siap untuk pergi ke Sangkal Putung itu telah membatalkan maksudnya. Ia akan pergi ke Pajang untuk menjelaskan apa jang sebenarnya terjadi di Sangkal Putung. Ia sadar, bahwa tentu ada orang-orang yang ingin mengeruhkan suasana seperti yang pernah terjadi. Mungkin orang yang tidak senang melihat kehadiran Mataram. Tetapi mungkin orang yang memang dengan sengaja mengaburkan kedudukannya, seolah-olah Untara tidak menguasai keadaan di wilayah yang diserahkan kepadanya.
Ketika matahari mulai membayang, maka Untarapun segera berpacu meninggalkan Jati Anom, langsung menuju ke Pajang. Ia ingin segera menjelaskan bahwa di Sangkal Putung Ki Sumangkar sedang sakit keras. Orang-orang yang datang ke Sangkal Putung itu adalah orang-orang yang ingin melihat keadaan Ki Sumangkar. Bukan orang-orang yang seperti dituduhkan oleh beberapa orang, seolah-olah mereka sedang membicarakan masalah yang gawat pada hubungan antara Pajang dan Mataram.
Ketika Untara sampai di Pajang, matahari sudah menjadi agak tinggi. Beberapa orang sudah berada di paseban dalam. Agaknya benar-benar akan ada pertemuan meskipun hanya beberapa orang penting saja di Pajang sendiri. Bukan hari penghadapan bagi para Adipati dan Bupati diluar Kota Raja.
Untara datang tepat pada waktunya. Ia tidak sempat berbicara apapun karena sesaat kemudian Sultanpun telah memasuki balai persidangan di paseban dalam.
Sejenak Untara termangu-mangu. Namun iapun kemudian menundukkan kepalanya seperti setiap orang yang berada didalam ruangan itu.
Namun Untarapun sadar, bahwa diantara orang-orang yang duduk dengan menunduk dalam-dalam itu terdapat orang-orang yang dengan hati yang bergolak, berusaha membakar keadaan sehingga mereka dapat memanfaatkan kekeruhan itu.
Setelah melewati upacara yang lajim pada setiap sidang di paseban, maka mulailah Sultan dengan persoalan pokok pada persidangan itu. Nampaknya Sultan yang sakit-sakitan itu tidak ingin berputar-putar menanggapi masalah yang sedang dihadapinya. Dengan sikap yang kaku, maka iapun memandang kepada seorang Tumenggung yang duduk tepekur sehingga wajahnya hampir menyentuh tanah.
"Ulangi laporanmu Tumenggung Dirjapati." perintah Sultan.
Tumenggung Dirjapati menyembah sambil mengangkat wajahnya. Namun wajah itupun kembali menunduk. Terdengar ia kemudian berkata, "Tuanku. Laporan hamba agaknya sudah cukup jelas."
"Aku sudak mendengar. Dan aku memang menganggap bahwa laporanmu cukup jelas. Tetapi beberapa orang yang ada dipaseban dalam ini perlu mendengarnya. Bahkan jika perlu aku akan memanggil para Bupati dan Adipati untuk mengadakan paseban agung."
Tumenggung Dirjapati menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya. "Baiklah tuanku, jika hamba harus mengulangi laporan yang sampai pada hamba. Agaknya hal ini perlu didengar oleh Senapati Untara yang besar itu."
Dada Untara terasa menjadi berdebar-debar. Tetapi ia masih tetap berdiam diri saja.
Ternyata Sultanlah yang menjawab, "Itulah sebabnya aku telah memanggil dan memperkenankan Untara ikut didalam pembicaraan khusus ini."
Ki Tumenggung Dirjapati termenung sejenak. Kemudian katanya, "Ampun tuanku. Bahwa sebenarnyalah telah terjadi pertemuan besar di Sangkal Putung antara beberapa kekuatan yang mendukung berdirinya Mataram."
Untara mencoba menangkap keadaan dipaseban itu. Ia mendengar desis beberapa orang dan nampaknya beberapa orang telah tergeser setapak sambil mengerutkan kening.
"Kau dengar Untara," berkata Sultan, "seharusnya aku mendengar laporan semacam ini dari mulutmu. Bukan orang lain."
Untaralah yang kemudian menyembah. Katanya, "Ampun tuanku. Sepanjang pengetahuan hamba, maka di Sangkal Putung memang terjadi pertemuan seperti yangi dilaporkan itu. Tetapi ada alasan kenapa mereka berkumpul di Sangkal Putung."
"Apapun alasannya, tetapi benar-benar hal itu telah terjadi," sahut Sultan.
"Tetapi dengan makna yang sedikit berbeda tuanku," Untara mencoba menjelaskan. Iapun kemudian menceriterakan apa yang telah dialami oleh Ki Sumangkar meskipun tidak seluruhnya, karena ia masih belum dapat memberikan laporan yang lengkap tentang perstiwa yang terjadi dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, sehingga sebagian dari peristiwaitu justru tidak disebut-sebutnya. Tetapi yang penting baginya untuk diketahui oleh orang-orang yang ada di paseban itu, bahwa Sumangkar sedang sakit. Dan mereka yang datang adalah orang-orang yang pernah berhubungan dengan Ki Sumangkar.
"Hamba sendiripun telah datang pula di Sangkal Putung untuk melihat keadaan Ki Sumangkar," berkata Untara kemudian.
Beberapa orang saling berpandangan. Namun diluar dugaan, salah seorang berdesis, "Ampun tuanku. Apakah Untara masih dapat dipercaya?"
Dada Untara bagaikan terbentur oleh reruntuhan Gunung Merapi mendengar pertanyaan itu. Namun ia masih dapat menahan diri, dan menunggu apakah Sultan Hadiwijaya akan menjawab pertanyaan itu.
Ternyata pertanyaan itu telah membuat wajah Sultan menjadi berkerut. Nampaknya ia tidak begitu senang. Tetapi Sultanpun berusaha untuk menahan diri. Dengan tenang ia menjawab dengan sebuah pertanyaan, "Siapakah yang dapat memberikan keberatan bahwa Untara masih akan tetap memangku jabatannya dengan bukti-bukti yang cukup meyakinkan?"
Pertanyaan itu benar-benar tidak terduga pula seperti pertanyaan yang pertama. Karena itu, maka orang-orang yang ada didalam ruangan itupun bagaikan membeku dan berdebar-debar. Mereka menunggu sesaat, apakah ada diantara mereka yang menjawab.
Untara sendiri menjadi tegang. Tetapi ia merasa bahwa pertanyaan Sultan itu merupakan tumpuan kedudukannya yang kuat.
Karena tidak seorangpun yang menjawab, maka Sultanpun kemudian berkata, "Jika demikian, maka kita masih tetap menganggap Untara adakah seorang Senapati yang tepat pada kedudukannya. Karena itu. aku percaya kepada semua keterangannya tentang Ki Sumangkar dan kenapa orang-orang yang kalian sebut-sebut itu berkumpul di Sangkal Putung."
Beberapa orang menjadi gelisah. Salah seorang dari mereka bergeser sejengkal. Nampaknya ada yang akan dikatakannya. Tetapi kata-kata yang sudah ada ditenggorokan itupun ditelannya kembali.
"Sidang hari ini terutama adalah untuk membicarakan masalah yang terjadi di Sangkal Putung. Karena itu aku memanggil Untara untuk memberikan penjelasan."
"Ampun tuanku," berkata Untara kemudian, "sampai saat ini hamba mencoba untuk melakukan tugas hamba sebaik-baiknya. Jika terjadi sesuatu seperti yang diperkirakan oleh beberapa orang sehingga hamba datang menghadap atas perintah tuanku, maka seharusnya hambalah yang akan mengetahui untuk pertama sekali. Karena itu, maka yang terjadi kali ini adalah merupakan suatu yang mengejutkan hamba. Tanpa berbicara dan berhubungan dengan hamba terlebih dahulu, maka seseorang telah langsung menyampaikan laporan yang ternyata menurut penilaian hamba sangat keliru dan akan dapat mengeruhkan hubungan antara Pajang dan Mataram."
Sultan menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sebenarnyalah bahwa Sultan cukup dalam mengenali keadaan, iapun sadar, bahwa memang ada orang yang dengan sengaja telah mengeruhkan keadaan itu. Karena itulah maka ia memanggil Untara yang menurut penilaiannya akan berkata jujur dan berterus terang sebagai seorang prajurit.
Sikap Untara dan Sultan Hadiwijaya ternyata telah memutuskan semua pembicaraan. Ketegasan Untara menyebut keadaan yang sebenarnya dan kepercayaan Sultan yang terlimpah kepadanya telah menutup kemungkin bagi beberapa orang yang dengan sengaja ingin mengeruhkan keadaan untuk mengangkat kecurigaan yang diharapkan akan dapat memperuncing hubungan Pajang dengan Mataram.
Meskipun demikian ada juga kecemasan yang terselip dihati Untara. Jika peristiwa dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu terdengar oleh beberapa orang perwira di Pajang yang dengan sengaja mencari persoalan dan kelemahan-kelemahannya, maka ia masih belum siap untuk memberikan laporan terperinci.
Namun agaknya yang dicemaskan itu memang terjadi. Tiba-tiba saja seseorang telah meberanikan diri untuk bertanya, "Ampun tuanku. Bukannya hamba ingin memberikan bukti atas keyakinan hamba bahwa Untara telah melakukan suatu kekhilafan, tetapi semata-mata bahwa hamba ingin bertanya, apakah yang telah terjadi di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu beberapa saat yang telah lampau. Dan apakah Untara telah memberikan laporan tentang peristiwa itu, atau Senapati besar itu dengan sengaja telah menutupi kenyataan yang terjadi di wilayah pengamatannya."
Terasa debar jantung Untara bagaikan semakin cepat memukul dinding dadanya. Namun iapun masih tetap menunggu, apakah yang akan dikatakan oleh Sultan.
Sejenak Sultan Hadiwijaya termangu-mangu. Dipandanginya Untara yang duduk dengan kepala tunduk.
"Untara," berkata Sultan Hadiwijaya kemudian, "kau memang belum mengatakan sesuatu tentang peristiwa itu. Aku memang mendengar laporan dari pihak lain. Dan agaknya fihak lain itupun belum berhubungan pula dengan kau."
Untara menarik nafas dalam dalam. Kemudian katanya, "Tuanku. Peristiwa itu memang terjadi di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Tetapi peristiwa itu adalah peristiwa kejahatan semata-mata. Kejahatan yang memang menjadi tanggung jawab hamba didalam tugas hamba sehari-hari."
"Tetapi bukan Senapati Untaralah yang melakukannya tuanku," tiba-tiba saja orang lain telah memotong laporannya.
Sultan mengerutkan keningnya. Katanya, "Biarlah Untara selesai bicara."
Orang itu menyembah sambil menundukkan kepalanya.


05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tuanku," berkata Untara kemudian, "Mataram berhak melindungi dirinya sendiri. Dan Mataram telah melacak beberapa kelompok penjahat yang melakukan kejahatan di Mataram. Hamba sudah menegur putera tuanku, Raden Sutawijaya. bahwa Mataram telah melakukannya tanpa sepengetahuan hamba. Tetapi hambapun mengerti, bahwa jika Mataram menunggu hamba, maka penjahat-penjahat itu tentu telah lenyap.
Padahal Mataram sendiri memiliki pasukan pengawal yang cukup untuk menangkap beberapa orang perampok yang bersarang dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Namun apakah diantara para penjahat itu terdapat orang-orang yang justru seharusnya menjadi pelindung sesamanya itulah yang harus hamba selidiki. Hamba baru menghubungi beberapa orang Mataram yang terlibat. Dan hamba akan memberikan laporan kemudian, karena hal ini adalah hal yang kecil saja bagi hamba."
Terasa gejolak yang gemuruh didalam dada beberapa orang perwira yang ada didalam paseban. Bahkan beberapa orang justru menjadi khawatir, apabila persoalan itu diungkap semakin jauh, maka Untaralah yang akan memberikan bukti-bukti pengkhiatanan beberapa orang perwira Pajang. Meskipun jalur nama-nama mereka yang berada dilembah itu telah diputus oleh kematian-kematian namun tentu masih ada jalur yang akan dapat menghubungkan nama-nama itu dengan nama-nama mereka sendiri.
Itulah sebabnya, maka tidak seorangpun yang bertanya lebih lanjut. Mereka yakin bahwa Untara tentu mempunyai bahan-bahan yang cukup. Tetapi ia masih akan mencari penjelasan.
Dengan demikian orang-orang itu justru menjadi cemas. Jika Untara sampai pada satu jalur tertentu, maka ia akan dapat membongkar kejahatan yang bersarang di
Iistana Pajang sendiri. Seorang perwira yang merasa dirinya terlibat dalam persoalan itu mengggeram didalam hatinya, "Untara memang harus disingkirkan."
Tetapi perwira itu tidak dapat menutup kenyataan, bahwa Untara adalah seorang Senapati yang memiliki kemampuan yang tinggi. Selebihnya ia disuyudi oleh para prajuritnya. Orang-orang yang semula tidak sependapat dengan Untara. namun kemudian ditempatkan dibawah pimpinannya, lambat laun akan dapat mengerti dan mengikuti jalan pikirannya.
Dengan demikian, maka Untara bagi mereka merupakan persoalan tersendiri. Justru karena Untara adalah seorang prajurit yang memandang setiap persoalan dengan mengesampingkan kepentingan siapapun, kecuali jejering seorang prajurit.
Dalam pada itu, paseban itupun menjadi hening. Orang-orang yang ada didalamnya duduk tepekur dengan debar jantung yang terasa semakin menggelora. Mereka tidak mempersoalkan apapun lagi, kecuali menunggu titah Sultan Hadiwijaya.
Sementara itu Sultan yang duduk termangu-mangu memandang orang-orang yang menundukkan kepalanya, seolah-olah ingin mengetahui apa yang tersimpan didalam kepala yang tunduk itu.
Namun Sultanpun sadar sepenuhnya, bahwa didalam kepala yang tunduk itu, sebagian telah bergejolak api yang ingin membakar Pajang yang menjadi semakin dalam terbenam kedalam kelelahan.
Tetapi Sultan seolah-olah sudah tidak mempunyai kekuatan untuk menghembuskan nafas yang basah untuk memadamkannya. Ia hanya dapat memandang peristiwa demi peristiwa dengan menekan dadanya. Meskipun ia masih mempunyai tenaga untuk duduk diatas singgasananya, namun tenaga itu sudah terlalu lemah untuk menguasai dan memancarkan kewibawaannya disaat ia mulai duduk diatas tahta itu.
Karena itu. maka Sultan tidak dapat mengambil sikap apa-apa. Ia cukup tajam menerawang setiap hati. Tetapi ia tidak mempunyai pisau yang cukup tajam untuk memotong bintik-bintik yang dilihatnya itu.
Dalam pada itu, selagi paseban itu dicengkam oleh keheningan, tiba-tiba saja seorang pengawal telah beringsut dan duduk didepan pintu paseban sambil menundukkan kepalanya.
Sultan Hadiwijaya melihat orang itu. Karena itu, maka pengawal itupun kemudian dipanggilnya, "Kau diperkenankan menghadap."
Pengawal itupun kemudian berjalan sambil berjongkok maju beterapa langkah. Dibelakang para Pemimpin dan para Senapati ia duduk sambil menunduk pula.
"Apakah ada yang akan kau sampaikan?" bertanya Sultan.
"Ampun Tuanku. Jika tuanku berkenan, ada utusan dari Sangkal Putung ingin menghadap."
"Dari Sangkal Putung," Untaralah yang mula mula mengulanginya diluar sadarnya.
Namun kemudian iapun menyembah sambil berguman, "Hamba mohon ampun tuanku."
Wajah Sultanpun menegang. Ia sudah mendengar dari Untara apa yang terjadi di Sangkal Putung. Karena itu, maka iapun kemudian berkata, "Bawalah ia masuk."
Buku 114 PENGAWAL itupun bergeser surut. Sejenak ia hilang diluar pintu paseban dalam. Namun kemudian ia nampak kembali bersama seorang anak muda. Agung Sedayu.
Wajah Untara benar-benar menjadi tegang. Ketika Agung Sedayu bergeser sambil berjongkok setapak demi setapak, rasa-rasanya anak itu menjadi sangat lamban. Hampir saja ia berteriak agar adiknya itu bersikap sedikit cepat.
Ketika Agung Sedayu sudah duduk bersila dan menyembah, kemudian duduk sambil menunduk menunggu pertanyaan Sultan Hadiwijaya, dada Untara rasa-rasanya bagaikan pecah.
"Kau siapa?" bertanya Sultan Hadiwijaya.
"Hamba Agung Sedayu tuanku."
Sultan Hadiwjaya mengerutkan keningnya. Ia pernah mendengar nama itu. Karena itu. maka iapun kemudian berdesis, "Kau adik Untara?"
"Hamba tuanku."
Sultan mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara beberapa orang perwira tiba-tiba saja tidak dapat menahan diri untuk berpaling. Bahkan beberapa orang diantara mereka dengan wajah yang berkerut merut memandanginya sambil berkata didalam hati. "Jadi anak inilah yang memiliki cambuk bernafas maut itu seperti gurunya. Kiai Gringsing."
Sementara itu Sultan mengangguk-angguk kecil. Dipandangnya Agung Sedayu yang menunduk. Seakan-akan ia ingin memperbandingkan anak itu dengan Untara.
Namun Untaralah yang tidak sabar. Jika Agung Sedayu menghadap ke Pajang, tentu ada persoalan yang penting yang dibawanya. Tetapi ternyata Sultan Hadiwijaya tidak segera bertanya.
"Agung Sedayu," akhirnya Sultanpun bertanya, "apakah kau datang untuk menyusul kakakmu yang telah datang terlebih dahulu kemari?"
Agung Sedayu termangu-mangu. Sekilas dipandanginya kakaknya yang duduk dengan gelisah. Kemudian diluar sadarnya, iapun melihat beberapa orang yang dengan ragu-ragu memandanginya sekilas-sekilas. Namun agaknya mereka terikat oleh kehadiran mereka di paseban. sehingga merekapun segera menundukkan kepala mereka kembali.
Namun kesan yang sekilas itu membuat dada Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Seolah-olah ia melihat sejumlah orang dengan sejumlah sikap yang berbeda-beda. Bahkan iapun ragu-ragu. apakah kakaknya membenarkan kehadirannya dipaseban itu. meskipun ia hanya sekedar utusan.
Sebenarnyalah Agung Sedayu adalah seorang anak muda yang hidup didalam lingkungan yang jauh dari adat dan tata kehidupan istana meskipun ia adik seorang Senapati yang dihormati. Namun Kiai Gringsing telah memberikan banyak petunjuk, sebagaimana ia harus menghadap seorang raja dan tata unggah-ungguh didalam paseban, khususnya unggah-ungguh di istana Pajang.
Karena itu, maka sikap Agung Sedayupun tidak banyak menimbulkan persoalan dan kesulitan bagi dirinya.
Karena Agung Sedayu masih saja dicengkam oleh keragu-raguan, maka sekali lagi Sultan bertanya, "Apakah kau mempunyai kepentingan yang lain ?"
"Ampun tuanku," jawab Agung Sedayu, "sebenarnyalah hamba tidak menyusul kakang Untara, karena hamba tidak tahu bahwa kakang Untara telah berada di paseban."
"O," Sultan mengerutkan keningnya, "jadi"
Untarapun menjadi gelisah. Dan rasa-rasanya Agung Sedayu memang terlalu lamban menjawab. Rasa-rasanya ingin Untara membentaknya untuk segera berbicara.
"Ampun tuanku," Agung Sedayu berkata selanjutnya, "sebenarnyalah bahwa hamba datang dari Sangkal Putung untuk menyampaikan berita yang barangkali kurang menyenangkan. Menurut pertimbangan guru hamba dan Ki Widura, maka sebaiknyalah bahwa hamba menyampaikan juga berita itu kepada tuanku, karena tuanku telah mengenal pula seseorang yang bernama Ki Sumangkar. yang pernah mempunyi kedudukan penting pada saat Jipang masih berdiri."
"Ya. ya. Aku kenal Ki Sumangkar dengan baik. Dan akupun telah mendengar bahwa ia sekarang dalam keadaan sakit yang gawat. Apakah kau membawa berita tentang orang tua yang baik itu ?"
"Hamba tuanku. Agaknya Yang Maha Kuasa telah berkenan memanggil hambanya yang bernama Ki Sumangkar."
"He," wajah Sultan Hadiwijaya menegang sejenak.
Untara yang mendengar berita itupun terkejut pula. Setapak ia bergeser sambil berpaling kearah Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu hanya dapat menganggukkan kepalanya saja.
Sementara itu. beberapa orang perwira yang berada di ruang itupun menunduk pula dalam-dalam. Sebagian dari mereka yang tidak mengetahui peristiwa yang sebenarnya terjadi di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu menganggap bahwa Ki Sumangkar telah dihinggapi oleh penyakit yang sewajarnya. Tetapi sebagian yang lain. yang mempunyai hubungan langsung dengan apa yang terjadi dilembah itu, menganggap bahwa kematian Sumangkar itu sudah tidak dapat dihindari lagi. Mereka telah mendengar bahwa luka-lukanya dipeperangan itu benar-benar tidak akan mungkin tertolong lagi, betapapun juga ia mendapat pengobatan dan pertolongan.
"Sisa kekuatan Jipang itu kini telah lenyap pula," berkata seorang perwira didalam hatinya.
Sementara itu Sultan Hadiwijaya justru termenung sejenak. Dipandanginya Agung Sedayu yang duduk dengan kepala tunduk. Baru kemudian ia berkata, Agaknya saatnya memang sudah tiba. Ki Sumangkar memang sudah tua meskipun belum tua sekali. Tetapi jika saat itu datang, tidak seorangpun yang akan dapat mengingkari. Betapapun tinggi ilmu seseorang, betapapun pandainya seseorang dalam ilmu pengobatan, dan betapapun seseorang berusaha, namun saat-saat kematian memang tidak berada didalam genggaman tangan manusia. Kematian hadir disaat Yang Maha Kuasa menentukan untuk memanggil seorang hambanya seperti saat Yang Maha Kuasa menghadirkannya didunia ini."
Paseban itu menjadi senyap. Berbagai tanggapan telah bergejolak disetiap dada.
"Agung Sedayu," berkata Sultan Hadiwijaya, "baiklah. Aku terima pemberitahuan itu. Sebagai seorang sahabat aku memang wajib datang untuk memberikan penghormatan terakhir. Tetapi karena keadaannya sendiri, maka aku akan mengirimkan utusan untuk melihat, untuk menyampaikan rasa persahabatanku kepadanya untuk yang penghabisan kali."
Agung Sedayupun kemudian menyembah. Sekali lagi ia memandang sekilas kepada kakaknya. Tetapi Untara masih saja menunduk.
Sebenarnyalah telah melonjak penyesalan dihati Untara. Ia tidak sempat datang lagi ke Sangkal Putung menengok Ki Sumangkar. Sebenarnya ia sudah berkeras untuk pergi ke Sangkal Putung. Namun tiba-tiba saja ia harus datang menghadap ke Pajang, sehingga ia tidak sempat bertemu lagi dengan Ki Sumangkar.
Sebelum Agung Sedayu meninggalkan paseban, ia masih menyampaikan pesan, saat-saat Ki Sumangkar akan dimakamkan, menjelang matahari dipuncak langit dikeesokan harinya.
Sejenak kemudian maka Agung Sedayupun mohon diri. Ketika ia sudah berada di luar regol istana, maka dijumpainya dua orang pengawal yang datang bersamanya, dan bertiga merekapun segera berpacu kembali ke Sangkal Putung. Apakah mungkin mereka ingin untuk masih sempat ikut memandikan jenazah Ki Sumangkar.
"Tetapi agaknya kita sudah terlambat," berkata Agung Sedayu, "meskipun demikian, kita akan berusaha."
Namun sebenarnyalah, pada saat itu. orang-orang di Sangkal Putung justru telah sibuk menyediakan air untuk memandikan jenazah Ki Sumangkar yang ternyata memang sudah saatnya menghadap Tuhannya kembali.
Sepeninggal Agung Sedayu maka suasana dipasebanpun telah berubah. Kedatangan Agung Sedayu ke Pajang seolah-olah merupakan jawaban atas persoalan yang dibicarakan didalam paseban itu, bahwa orang-orang yang berkumpul di Sangkal Putung itu memang beralasan, karena justru mereka menunggui saat-saat terakhir dari Ki Sumangkar.
Meskipun demikian, seorang perwira yang berusia mendekati setengah abad memberanikan diri untuk bertanya, "Tuanku. Peristiwa kematian Ki Sumangkar memang merupakan peristiwa yang penting. Tetapi tidak bagi Pajang. Peristiwa itu penting bagi Jipang dan bekas-bekas pengikut Adipadi Jipang. Dengan demikian, apakah perlu bahwa kematiannya dibawa kepaseban di Pajang, dan mendapat perhatian dari tuanku ?"
Sultan Pajang mengerutkan keningnya. Ia melihat beberapa orang perwira yang lain justru mengangguk-angguk, seolah-olah mereka membenarkan pertanyaan kawannya itu.
Karena itu. maka ia menganggap perlu untuk memberikan keterangan, "Para pemimpin prajurit Pajang tentu masih ingat jelas, siapakah Sumangkar itu. Dan setiap pemimpin prajurit di Pajangpun tentu mengetahui, bahwa sampai saat-saat terakhir perlawanan Tohpati di sekitar Sangkal Putung, Ki Sumangkar masih ada didalam pasukan Macan Kepatihan itu. Namun pada suatu saat ia telah berhasil dihubungi dan ditangkap. Kemudian dibawa ke Pajang di saat Tohpati tidak dapat mempertahankan diri lagi. Tetapi aku telah memberikan pengampunan, atas persetujuan kakang Pemanahan yang pada waktu itu masih memegang kendali pimpinan prajurit di Pajang. Nah. bukankah dengan demikian, sewajarnya jika kematiannya diberitahukan kepadaku" Agar aku tidak merasa kehilangan dan mempunyai prasangka buruk terhadap orang yang sebenarnya telah meninggal?"
Para perwira menundukkan kepalanya. Mereka yang semula mengangguk-angguk mendengar pertanyaan tentang orang tua itu, maka merekapun telah mengangguk-angguk pula mendengar jawaban Sultan Hadiwijaya.
Sementara itu Sultan berkata selanjutnya, "Dalam hal ini agaknya Untaralah yang paling mengetahui, karena nilai yang berhadapan langsung dengan pasukan Tohpati di Sangkal Putung bersama pamannya Ki Widura."
Untara masih saja menundukkan kepalanya.
"Karena itu," berkata Sultan kemudian, "sekarang aku akan mengutus Untara pergi ke Sangkal Putung sebagai pertanda aku ikut berduka cita atas kematian itu. Aku sendiri sebenarnya ingin dalang.Tetapi kesehatan ku tidak memungkinkan."
Beberapa orang perwira mengerutkan dahinya. Demikian besar perhatian Sultan terhadap Ki Sumangkar yang pernah menentangnya itu, sehingga ia telah mengutus Untara untuk datang ke Sangkal Putung atas namanya.
Bahkan mereka terkejut bukan buatan ketika tiba-tiba saja Sultan Hadiwijaya berkata, "Untara. Supaya pasti bahwa kedatanganmu adalah seperti kehadiranku sendiri, maka bawalah pertanda kebesaran yang meyakinkan."
Untara sendiri justru menjadi termangu-mangu. Apalagi ketika Sultan Hadiwijaya kemudian mengambil keris masih dalam wrangkanya dari punggungnya dan menyerahkannya kepada Untara, "Untara. Bawalah serta Kanjeng Kiai Crubuk."
Rasa-rasanya setiap dada dari mereka yang ada dipaseban itu tergetar. Seolah-olah mereka tidak percaya penglihatan mereka, bahwa Sultan Hadiwijaya telah memberikan pusaka pribadinya yang paling terpercaya itu kepada Untara sebagai pertanda kehadirannya di Sangkal Putung disaat Ki Sumangkar meninggal. Apalagi mereka yang mengetahui dengan pasti apa yang telah terjadi dengan Ki Sumangkar dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu."
Tetapi sebenarnyalah bahwa Sultan Hadiwijaya dari Pajang itu telah menyerahkan kerisnya Kangjeng Kiai Crubuk kepada Untara yang menerimanya dengan penuh keragu-raguan. Untara sendiri tidak mengerti, kenapa Sultan berkenan memberikan pertanda dengan menyerahkan Kangjeng Kiai Crubuk. Sebenarnya masih ada pertanda lain yang tidak kalah jelas dan pasti yang nilainya tidak setinggi Kangjeng Kiai Crubuk. Kangjeng Sultan dapat memberikan pertanda dengan sebuah panji-panji dengan tunggul kebesaran, atau pertanda yang lain. Namun Untarapun tidak dapat menolak ketika ia harus menerima Kangjeng Kiai Crubuk untuk dibawanya ke Sangkal Putung. Keris yang dipergunakan oleh Hadiwijaya yang saat itu masih seorang Adipati Pajang, untuk mengimbangi kedasyatan keris Adipati Jipang, yang bernama Kangjeng Kiai Setan Kober. Untunglah bahwa perang tanding yang hampir saja meledak diantara kedua Adipati itu masih dapat dilerai, meskipun akhirnya perang antara Jipang dan Pajang tidak dapat dihindarkan lagi.
Dengan hati yang berdebar-debar maka Untarapun kemudian mohon diri sambil membawa Keris Kangjeng Kiai Crubuk ditangannya. Ia sama sekali tidak berani menyelipkan pusaka Pajang itu dipunggungnya seperti ia membawa kerisnya sendiri.
Betapapun anehnya, namun tidak seorangpun yang berani mencegah niat Sultan Hadiwijaya itu. Para perwira dan pemimpin Pajang yang hadir hanya dapat melihat Untara yang meninggalkan paseban sambil membawa pusaka yang sangat dihormati itu. Bahkan merekapun melihat bahwa agaknya Untara sendiri menjadi ragu-ragu dan kurang yakin akan kepercayaan Kangjeng Sultan itu.
Sepeninggal Untara, maka pertemuan di paseban itu tidak ada lagi kepentingannya. Maka Sultanpun kemudian memerintahkan mereka yang hadir untuk meninggalkan paseban setelah Sultan sendiri masuk keruang dalam istana Pajang.
Yang baru saja terjadi di paseban, ternyata telah menjadi bahan pembicaraan yang ramai. Para perwira dan pemimpin pemerintahan telah memberikan tafsiran yang berbeda-beda. Ada yang menganggap bahwa Sultan dengan sengaja menunjukkan kepercayaannya kepada Untara. Tetapi ada yang berpendapat lain justru karena keris itu adalah perlambang pertentangan antara Pajang dan Jipang.
Dalam pada itu. Agung Sedayu yang telah mendahului kakaknya meninggalkan Pajang berusaha untuk segera dapat sampai ke Sangkal Putung. Namun merekapun menyadari, bahwa mereka tidak akan sempat ikut memandikan janazah Ki Sumangkar, karena agaknya perjalanan mereka rasa-rasanya menjadi terlalu lama.
Ketika Agung Sedayu dan dua orang pengawal dari Sangkal Putung memasuki padukuhan induk Kademangan, mereka melihat kesibukan yang semakin meningkat. Ternyata bahwa orang-orang Sangkal Putung berusaha untuk ikut membantu sesuai dengan kemampuan masing-masing untuk menyelenggarakan jenazah Ki Sumangkar.
Di rumah Ki Demang Sangkal Putung, kesibukan itu semakin terasa. Pada saat Agung Sedayu dan kedua pengawal Kademangan itu memasuki regol halaman, maka mereka langsung menyerahkan kuda mereka untuk diikat ditonggak disudut halaman. Dengan tergesa-gesa merekapun menuju kependapa.
Ki Demang Sangkal Putung, Ki Widura dan Kiai Gringsing yang melihat kedatangannya segera menyongsongnya dan dengan tidak sabar mereka bertanya apakah ia berhasil menghadap Sultan Hadiwijaya.
"Aku mendapat kesempatan itu guru," berkata Agung Sedayu kemudian, "malahan di Pajang sedang berlangsung sidang di paseban dalam. Aku diperkenankan masuk dan memberikan laporan tentang Ki Sumangkar yang didengar oleh para pemimpin dan para perwira yang hadir saat itu, termasuk kakang Untara."
"O," Ki Widura mengerutkan keningnya, jadi Untara ada di Pajang?"
"Ya. Semula Sultan menyangka bahwa aku datang untuk menyusul kakang Untara. Tetapi ternyata bahwa keteranganku tentang Ki Sumangkar telah mengejutkan seisi paseban."
Ki Widura, Kiai Gringsing dan Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-angguk. Merekapun kemudian membawa Agung Sedayu naik kependapa. Mereka duduk disisi jenazah yang sudah dimandikan dan dibaringkan diatas amben bambu ditengah-tengah pendapa.
Raden Sutawijaya ternyata masih tetap berada di Sangkal Putung bersama Ki Juru Martani. Mereka merasa wajib untuk ikut menunggui Ki Sumangkar, karena mereka mengerti sepenuhnya, apakah yang dilakukan orang tua itu di saat-saat terakhir.
Agung Sedayupun kemudian memberikan keterangan tentang perjalanannya kepada mereka yang berada dipendapa. Saat-saat ia berada di Pajang dan kesempatannya menghadap Sultan.
Raden Sutawijayan mendengarkan keterangan itu sambil termangu-mangu. Sekilas terbayang ruang paseban yang sudah lama sekali tidak dilihatnya. Bahkan rasa-rasanya ruangan itu tidak akan pernah di ambahnya lagi, sejak ia meninggalkan istana mengikuti jejak ayahandanya, Ki Gede Pemanahan yang bertekad untuk membuka Alas Mentaok.
"Jadi Sultan akan mengirimkan utusan?" bertanya Kiai Gringsing.
"Demikianlah keterangan yang aku dengar dari Sultan sendiri," jawab Agung Sedayu.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya tubuh yang terbujur diam itu sambil berguman, "Bagaimanapun juga, kau masih mendapat perhatian dari Sultan di Pajang, karena sebenarnyalah bahwa kau adalah seorang yang seharusnya berada didalam lingkungan istana."
Raden Sutawijaya yang mendengar guman Kiai Gringsing itu mengangguk-angguk. Iapun mengakui, bahwa Ki Sumangkar adalah keluarga dari lingkungan istana Pajang. Hanya karena kerendahan hatinya ia berada disegala lingkungan dan meninggal dirumah seorang Demang di Sangkal Putung dalam keadaan sederhana.
Semantara itu, didalam rumah Ki Demang, Sekar Mirah setiap kali masih saja menangis tersedu-sedu. Ia benar-benar merasa kehilangan atas meninggalnya Ki Sumangkar. Apalagi ia merasa bahwa ia adalah satu-satunya murid Ki Sumangkar yang wajib menunjukkan baktinya sebagai seorang murid.
Meskipun Ki Sumangkar sudah memberikan segala pokok-pokok ilmu yang ada namun Sekar Mirah merasa bahwa ia masih memerlukan bimbingannya untuk mengembangkannya sehingga ilmunya menjadi mapan dan masak.
Tetapi yang terjadi adalah diluar kehendak manusia. Betapapun juga. jika saat itu datang, maka ia akan datang dengan segala keperkasaannya melampaui segala macam ilmu, kemampuan, dan kekuasaan duniawi.
Dalan pada itu. Agung Sedayu masih memberikan beberapa keterangan tentang sikap Sultan Hadiwijaya yang bijaksana dan penuh wibawa.
"Mengherankan sekali," berkata Agung Sedayu didalam hatinya, "bahwa dalam pengaruh kewibawaan itu ada juga orang-orang yang ingin menghancurkannya."
Namun Agung Sedayu tidak mengetahui lebih banyak tentang Sultan Hadiwijaya.
Dalam pada itu, segala persiapannya telah dilakukan dengan cermat. Jenazah itu masih akan bermalam satu malam. Menjelang matahari mencapai puncak diesok hari, jenazah itu baru akan dikebumikan.
Sehari penuh maka berdatanganlah orang-orang yang ingin memberikan penghormatan terakhir bagi Ki Sumangkar. Bukan saja orang-orang Sangkal Putung dan beberapa orang pemimpin Mataram yang datang menyusul setelah mereka mendengar bahwa Ki Sumangkar telah meninggal. Tetapi berita itupun telah disampaikan pula kepada orang-orang Jipang yang pernah mengenal Ki Sumangkar dengan baik.
Dengan demikian maka Sangkal Putung seakan-akan telah menjadi sangat ramai. Beberapa buah rumah disekitar rumah Ki Demang telah disiapkan untuk menginap tamu-tamunya yang berdatangan dari luar Sangkal Putung.
Meskipun berada ditempat yang jauh dari istana Pajang dan Jipang, namun ternyata bahwa nama Ki Sumangkar masih sanggup mengundang demikian banyak orang disaat terakhirnya.
Dalam pada itu, ternyata Untara yang meninggalkan istana Pajang tidak langsung menuju ke Sangkal Putung. Ia memerlukan kembali lebih dahulu ke Jati Anom, agar para prajurit yang ditinggalkannya tidak menjadi gelisah.
Baru menjelang malam Untara bersama beberapa orang perwira dan pengawal telah datang ke Sangkal Putung mewakili Sultan Hadiwijaya memberikan penghormatan terakhir bagi Ki Sumangkar.
Kedatangan Untara telah mengejutkan para tamu. Apalagi karena Untara membawa pusaka yang tentu merupakan suatu pertanda dari seseorang yang memiliki kekuasaan.
Ketika beberapa orang menyambutnya di tangga pendapa Kademangan, maka Untara menjelaskan kehadirannya, "Atas nama Kangjeng Sultan Hadiwijaya dari Pajang, yang pada saat ini berhalangan untuk datang memberikan penghormatan terakhir, maka aku telah datang dengan membawa pertanda pribadinya, Kangjeng Kiai Crubuk."
Kata-kata itu memberikan ketegangan sejenak. Namun sambil menundukkan kepalanya. Kiai Gringsing-pun kemudian menyahut, "Kehadiran pertanda pribadi Sultan Hadiwijaya sangat membesarkan hati kami. Silahkan anakmas Untara, anakmas saat ini mewakili Kangjeng Sultan dari Pajang."
Untara termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun melihat Raden Sutawijaya yang dengan segera berdiri dan menghormatinya sambil berkata, "Kangjeng Kiai Crubuk memberikan arti tersendiri kepadamu Untara. Silahkan. Kau mempunyai kedudukan khusus sekarang."
Untaia masih ragu-ragu. Namun Raden Sutawijaya yang mempercayai pusaka ditangan Untara itupun segera mempersilahkan. Sementara Ki Juru dan orang-orang yang lainpun memberikan tempat kepada Senapati Besar itu. terlebih-lebih karena ia membawa pertanda kebesaran Pajang.
Malam itu, pendapa Kademangan Sangkal Putung telah penuh dengan para Tamu. Mereka berbincang dalam kelompok-kelompok diantara mereka. Sekelompok berbicara tentang sebab-sebab kematian Ki Sumangkar yang tidak banyak dimengerti selain sakit yang parah untuk beberapa saat lamanya. Sementara yang lain membicarakan pusaka Sultan Pajang yang dibawa oleh Untara sebagai wakil pribadinya memberikan penghormatan terakhir kepada Ki Sumangkar.
Dalam pada itu, Untara sendiri bertanya kepada Kiai Gringsing, "Apakah sudah tidak ada lagi obat yang terlampaui Kiai?"
"Semua yang aku kenal telah aku usahakan, tetapi agaknya Tuhan memang sudah menghendaki sehingga kemampuan yang terbatas itu sama sekali tidak dapat menolongnya," jawab Kiai Gringsing.
Untara mengangguk-angguk. Iapun menyadari, bahwa batas waktu bagi seseorang tidak akan dapat lagi digeser dengan cara apapun juga.
Sementara itu Kiai Gringsing masih sempat menceriterakan, bagaimana ia berusaha. Segala macam tumbuh-tumbuhan yang diduganya akan dapat memberikan pertolongan telah dicobanya. Tetapi hasilnya sama sekali tidak ada.
Hampir tidak seorangpun yang berada dipendapa Kademangan Sangkal Putung itu sempat tidur semalam suntuk. Namun karena mereka adalah para Senapati, prajurit dan pemimpin pemerintahan serta beberapa orang pemimpin pengawal dari Mataram, maka mereka sudah terbiasa untuk tidak tidur semalam suntuk. Apalagi mereka mempunyai kawan berbincang tanpa ketegangan, menghadapi minuman panas dan sekedar makanan.
Untara yang membawa pusaka Pajang itupun duduk ditempatnya tanpa bergeser. Ia benar-benar memberikan penghormatan terakhir atas nama Sultan Hadiwijaya dari Pajang, sehingga karena itu, maka Raden Sutawijaya telah memberikan tempat khusus kepadanya, justru karena pertanda kebesaran yang dibawanya.
Di ruang dalam, Pandan Wangi sibuk menenangkan Sekar Mirah. Beberapa orang perempuan yang lainpun ikut pula menungguinya. Olah kelelahan yang mencengkam, maka akhirnya Sekar Mirahpun jatuh tertidur sambil terisak. Namun perlahan-lahan ia nampak menjadi agak tenang, sehingga Pandan Wangi sempat meninggalkannya untuk membersihkan diri.
Di pintu dalam Pandan Wangi berpapasan dengan Swandaru yang gelisah karena keadaan adiknya. Dengan nada dalam ia bertanya, "Bagaimana dengan Sekar Mirah?"
"Ia mulai tidur meskipun semula karena kelelahan. Tetapi mudah-mudahan dengan demikian ia dapat menjadi tenang," sahut Pandan Wangi.
Swandaru mengangguk-anggguk. Katanya, "Kaupun perlu beristirahat. Meskipun kau tidak segelisah Sekar Mirah, tetapi nampaknya kaupun menjadi tegang, justru karena keadaan Sekar Mirah."
"Aku tidak apa-apa," jawab Pandan Wangi " aku akan kepakiwan. Jika serapat, akupun akan tidur barang sejenak."
Swandaru mengangguk sambil melangkah masuk kedalam bilik adiknya dengan hati-hati. Ketika dilihatnya Sekar Mirah yang tertidur, maka iapun kemudian meninggalkannya dan pergi ke pendapa.
Ketika Pandan Wangi kembali kepintu belakang setelah ia menyegarkan diri di pakiwan, ia tertegun melihat Agung Sedayu yang berada diantara anak-anak muda yang sibuk menyediakan minum bagi para tamu yang seakan-akan bergantian mengalir seperti arus air sungai. Diluar sadarnya iapun mendekatinya sambil bertanya, "Kau disini kakang Agung Sedayu?"
Agung Sedayu memandanginya sejenak. Kemudian sambil mengangguk ia menjawab, "Ya. Aku membantu menyiapkan minuman."
"Kenapa kau tidak duduk dipendapa?"
Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya, "Sama saja bagiku. Barangkali aku lebih bermanfaat disini daripada duduk dipendapa."
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Sambil melangkah memasuki pintu belakang ia merenungi sikap Agung Sedayu. Ia selalu berendah hati dan berada diantara mereka yang seolah-olah tersembunyi tanpa berusaha menampakkan diri dalam kesibukan-kesibukan yang lebih berarti.
Namun dalam pada itu. ternyata bahwa sejenak kemudian Ki Waskitapun menyusul Agung Sedayu diantara anak-anak muda yang sibuk menyiapkan minuman itu.
"Kenapa paman tidak duduk dipendapa ?" Agung Sedayulah yang bertanya.
Ki Waskita menggeleng. Katanya, "Dipendapa duduk para pemimpin dan perwira dari Mataram dan Pajang. Selebihnya adalah sanak keluarga Ki Sumangkar dari Jipang. Agaknya aku lebih baik berada disini. Kecuali aku tidak merasa asing, akupun dapat membantu kalian membuat minuman."
Agung Sedayu tidak mencegahnya. Ia merasakan betapa gelisah duduk terasing diantara para tamu yang riuh berbicara diantara mereka.
Ketika malam menjelang fajar, maka Ki Demang-pun mempersilahkan tamu-tamunya yang akan beristirahat untuk pergi kerumah tetangga-tetangganya yang sudah dipersiapkan. Meskipun kurang memadai, namun tempat-tempat itu telah memberikan kesempatan bagi tamu-tamunya untuk sekedar beristirahat setelah hampir semalam suntuk mereka duduk dipendapa.
Untara yang membawa pertanda pribadi Sultan Hadiwijaya dipersilahkan beristirahat di gandok kanan Ki Demang Sangkal Putung dengan pengawal kepercayaannya. Sementara Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani berada digandok sebelah kiri. Agung Sedayu, gurunya dan Ki Waskita telah dipindahkan kebilik dibelakang karena mereka telah dianggap sebagai keluarga sendiri.
Ketika para tamu sempat berbaring sejenak, maka Agung Sdayu dan Ki Waskitalah yang duduk dipendapa menunggui jenazah Ki Sumangkar. Sejenak kemudian Kiai Gringsing yang baru saja kepakiwan telah datang pula bersamaan dengan Pandan Wangi yang muncul dari pintu pringgitan.
Ki Demang Sangkal Putung yang ingin beristirahat, diruang dalam berkata kepada Swandaru yang telah duduk didepan bilik Sekar Mirah yang masih tertidur, "Jika kau tidak ingin tidur, duduklah dipendapa."
Swandaru mengangguk. Iapun segera bangkit menengok adiknya. Ketika ia melihat Sekar Mirah masih nyenyak, maka iapun kembali ke pendapa seperti yang dipesankan ayahnya.
Prastawa yang datang bersama Ki Argapati, agaknya tidak ingin beristirahat pula. Ketika Ki Argapati telah ditempatkan dirumah sebelah dan mencoba untuk berbaring, maka Prastawapun kemudian meninggalkannya. Agaknya ia lebih tertarik duduk dipendapa bersamaan Swandaru daripada berada didalam bilik dirumah sebelah bersama Ki Gede Menoreh.
Namun anak muda itu mengerutkan keningnya ketika ia melihat Agung sedayu duduk tepekur disisi amben tempat jenazah Ki Sumangkar terbaring.
"Kau tidak beristirahat Prastawa ?" bertanya Pandan Wangi yang menemuhi adik sepupunya.
Prastawa menggeleng. Katanya, "Aku sama sekali tidak merasa lelah atau mengantuk."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut.
Namun sementara itu Prastawalah yang agaknya sedang menunggu seseorang. Setiap kali ia memandang pintu pringgitan. Kemudian mengedarkan pandangan matanya kesekitarnya.
Tetapi ia tidak melihat orang yang dicarinya.
"Dimanakah Sekar Mirah itu ?" ia selalu bertanya kepada diri sendiri. Tetapi ia segan untuk menanyakan kepada Pandan Wangi, rasa-rasanya ia tidak berhak untuk bertanya tentang gadis itu, meskipun betapa keinginannya untuk bertemu seolah-olah sangat mendesaknya. Namun Prastawa masih tetap menyadari keadaannya.
Namun akibatnya ia menemukan akal juga. Iapun kemudian bergeser mendekati Swandaru dan bertanya beberapa hal tentang Ki Sumangkar.
Swandaru selalu menjawabnya seperti yang diketahuinya tentang Ki Sumangkar. Ia sama sekali tidak mengetahui arah pertanyaan Prastawa yang sebenarnya.
Namun kemudian ternyata bahan Prastawa sampai pada pertanyaan yang mulai menjurus, "Swandaru, bukanlah Ki Sumangkar memiliki senjata yang tidak kalah dahsyatnya dengan senjata Tohpati yang bergelar macan Kepatihan itu?"
Swandaru mengangguk. Jawabnya, "Ya. Meskipun ukurannya agak berbeda. Senjata Ki Sumangkar itu agak lebih kecil. Tetapi perbedaannya hampir tidak nampak."
"Senjata yang sangat mengerikan. Tentu satu-satunya muridnya yang akan memiliki senjata itu."
"Sudah lama senjata itu diberikan kepada Sekar Mirah."
Prastawa mengangguk-angguk. Lalu iapun bertanya pula, "Apakah yang dilakukan Sekar Mirah sekarang " Ia tentu merasa kehilangan."
"Ya. Ia merasa dirinya menjadi sebatang kara. Yang dikerjakan sekarang adalah menangis sepanjang hari. Kemudian tertidur oleh kelelahan."
Prastawa termenung sejenak. Namun iapun mengetahui bahwa Sekar Mirah tentu berada didalam biliknya sepanjang hari. Ketika Ki Sumangkar masih belum meninggal dunia. Sekar Mirah masih nampak sekali-sekali dibilik gurunya meskipun seakan-akan tidak ada orang lain yang diperhatikannya selain Ki Sumangkar yang sedang sakit. Namun kemudian gadis itu bagaikan hilang dari antara keluarga Ki Demang Sangkal Putung.
Diluar sadarnya Prastawa memandang Agung Sedayu. Tetapi agaknya Agung Sedayu sama sekali tidak menghiraukannya. Karena itu, maka Prastawapun kemudian sambil mengangguk-angguk berkata, "Tetapi harus ada orang yang dapat menenangkannya. Ia harus menyadari, bahwa yang pergi itu tidak akan dapat kembali."
"Pandan Wangi selalu ada didekatnya," jawab Swandaru, "karena sekarang ia sedang tidur. maka Pandan Wangi dapat hadir disini."
Prastawa masih mengangguk-angguk. Karena Sekar Mirah sedang tidur, maka sudah barang tentu gadis itu tidak akan keluar dari biliknya.
Dengan demikian, maka tiba-tiba saja Prastawa merasa lelah dan kantuk. Rasa-rasanya ia lebih senang berbaring didekat Ki Argapati dirumah sebelah daripada duduk dipendapa itu. Apalagi jenazah Ki Sumangkar telah ditunggui oleh beberapa orang, sehingga kehadirannya agaknya tidak diperlukan lagi.
Karena itu, maka Prastawapun kemudian minta diri kepada Swandaru untuk beristirahat barang sejenak.
"Mungkin aku masih sempat tidur barang sekejap menjelang pagi," berkata Prastawa.
"Silahkan, kau memang perlu beristirahat," sahut Swandaru.
Tanpa minta diri kepada orang-orang lain yang berada dipendapa itu, maka Prastawapun kemudian bergeser dan turun dari pendapa. Perlahan-lahan ia berjalan melintasi halaman pergi kerumah sebelah.
Dipendapa beberapa orang masih bercakap-cakap tentang Ki Sumangkar. Ki Waskita yang juga berada dipendapa bergumam, "Nampaknya Ki Sumangkar sendiri sudah tidak berusaha untuk membantu Kiai."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, "Ki Sumangkar tidak pernah menolak obat apapun yang aku berikan."
"Benar Kiai. Tetapi tidak ada gejolak dari dalam dirinya untuk membantu penyembuhannya. Namun memang segalanya berada di dalam Kuasa Yang Maha Agung."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Nampaknya Ki Sumangkar sendiri merasa bahwa ia sudah terlalu lelah melakukan tugas-tugasnya selama ini. Ia merasa bahwa ilmunya sudah seluruhnya diturunkan kepada murid satu-satunya. Ia berharap bahwa Sekar Mirah dengan bantuan orang-orang disekitarnya akan dapat mengembangkan ilmunya sehingga mencapai tataran tertinggi seperti Ki Sumangkar sendiri."
"Apakah Ki Sumangkar tidak merasa wajib untuk menuntun muridnya sehingga ilmunya sampai kepuncak?" bertanya Ki Waskita.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tidak seorangpun yang mengetahui isi hati seseorang. Juga kita tidak tahu apa yang sebenarnya dikandung dihati orang yang baik itu."
Ki Waskita termangu-mangu ketika ia melihat Kiai Gringsing mengedarkan tatapan matanya. Kemudian bergeser mendekatinya. Seolah-olah sambil berbisik ia berkata, "Agaknya Ki Sumangkar terlalu yakin, bahwa Agung Sedayu yang sudah mampu mengembangkan ilmunya sampai ketingkat tertinggi itu akan dapat membantu Sekar Mirah. Tetapi lebih dari pada itu, ada sepercik kekecewaan dihati Ki Sumangkar."
Meskipun Kiai Gringsing tidak menyebutkannya, tetapi rasa-rasanya Ki Waskita sudah dapat menangkap seluruhnya. Ki Sumangkar tentu kecewa melihat sikap Sekar Mirah menghadapi Agung Sedayu. Bahkan juga sikap Sekar Mirah terhadap keadaan disekelilingnya. Agaknya kekecewaannya itu pula yang membuat Ki Sumangkar ragu-ragu untuk mengembangkan ilmu Sekar Mirah sampai pada tingkat tertinggi. Agaknya Ki Sumangkar tidak yakin, bahwa ilmunya akan dipergunakan dalam jalan kebenaran sepenuhnya. Jika nafsu apapun mulai berbicara dalam ilmu yang sudah mencapai tingkat tertinggi, maka akibatnya akan sangat menyulitkan peradaban sesamanya.
Ki Waskita yang mengangguk-angguk itu masih saja mengangguk-angguk. Meskipun Kiai Gringsing telah diam, tetapi ditelinganya seolah-olah terdengar Kiai Gringsing itu berceritera panjang lebar mengenai Ki Sumangkar dan sikap serta pandangannya terhadap kehidupan disekitarnya disaat-saat terakhir.
Dalam pada itu maka langitpun menjadi semakin merah. Beberapa orang pengawal yang telah sempat beristirahat mendekati mereka yang duduk dipendapa dan mempersilahkan mereka bergantian beristirahat.
Meskipun Waskita kemudian meninggalkan pendapa itu juga bersama Kiai Gringsing. tetapi keduanya sama sekali tidak dapat tidur barang sekejappun. Keduanya berbaring saja dipembaringan sambil sepatah-sepatah berbicara tentang Ki Sumangkar.
Dalam pada itu Swandaru yang masuk kedalam biliknya masih sempat memejamkan matanya sejenak. Demikian juga Pandan Wangi yang berbaring diantara beberapa orang perempuan yang membentangkan tikar disamping pembaringan Sekar Mirah.
Namun Agung Sedayu sama sekali tidak dapat tertidur sekejappun. Seperti semula ia kembali ketempat anak-anak muda merebus air dan menyiapkan minuman. Ia berbaring juga di atas sebuah lincak bambu di serambi. Namun matanya sama sekali tidak dapat terpejam. Apalagi disekitarnya beberapa orang anak muda masih saja sibuk menyiapkan minuman panas bagi mereka yang terbangun dari tidurnya dan bergantian berjaga-jaga. Baik dipendapa, maupun di regol-regol dan gardu-gardu disekitar Kademangan.
"Kenapa kau berbaring disitu?" bertanya seorang anak muda.
"Hangat," jawab Agung Sedayu pendek, "dekat perapian."
"Tetapi kau akan selalu dikejutkan oleh mereka yang sibuk disini apabila kau memejamkan mata," sahut yang lain.
Tetapi Agung Sedayu tidak beringsut dari tempatnya. Ia tetap berbaring saja sambil menatap atap serambi yang sempit. Kemudian bergeser memandang bayang-bayang kegelapan yang mulai diwarnai oleh merahnya fajar.
Ternyata bahwa sejenak kemudian, orang-orang yang tertidur didapur telah mulai bangun. Beberapa orang perempuan mulai mencuci beras dan menyiapkan perapian, sementara yang lain pergi ketempat anak-anak muda menyiapkan mmuman sambil memesan beberapa mangkuk minuman panas.
Sebentar kemudian, maka fajarpun menjadi semakin terang. Orang-orang yang berada di Kademangan itupun mulai terbangun dan menjalankan kuwajiban masing-masing. Ada yang membersihkan halaman, ada yang menimba air mengisi jambangan pakiwan, dan kerja sehari-hari mereka masing masing. Namun dalam pada itu, para tamu yang menginap dirumah sebelah menyebelahpun telah mulai bangun pula.
Ketika kemudian matahari mulai naik, sibuklah Kademangan Sangkal Putung dengan persiapan penguburan jenazah Ki Sumangkar. Orang-orang penting dari Pajang, dari Mataram, dari Jipang dan bahkan dari Demak telah siap pula untuk melakukan upacara. Untara yang membawa pertanda pribadi Sultan Pajang, menjadi pusat segala perhatian. Namun selain Untara, meskipun tidak dalam kedudukannya sebagai seorang priyagung dari Pajang, namun Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga, merupakan seorang tamu yang juga menarik perhatian.
Jika Untara dalam kedudukannya serta karena pertanda pribadi Sultan Pajang, maka Raden Sutawijaya adalah putera angkat terkasih dari Sultan Pajang itu sendiri. Namun yang kemudian seolah-olah telah memisahkan diri dan mendirikan suatu negeri baru yang disebutnya Mataram diatas Alas Mentaok yang telah dibukanya.
Demikanlah, ketika saatnya telah tiba, maka jenazah Ki Sumangkar pun segera dipersiapkan.
Disepanjang jalan dari rumah Ki Demang Sangkal Putung sampai kepemakaman, orang-orang Sangkal Putung berdesak-desakan ingin memberi penghormatan yang terakhir. Meskipun Ki Sumangkar bukan orang Sangkal Putung, tetapi karena sudah lama berada dirumah Ki Demang, maka orang-orang Sangkal Putung telah mengenalnya dengan baik, seperti mereka mengenal Sekar Mirah sendiri.
Bahkan orang-orang dari Kademangan disekitarnya ada pula yang memerlukan datang untuk menyaksikan penguburan yang telah dikunjungi oleh orang-orang besar dari Pajang dan beberapa Kadipaten disekitarnya.
Dalam pada itu. Pandan Wangi selalu sibuk dengan Sekar Mirah. Agung Sedayu yang dipanggil oleh Swandaru mencoba untuk menenangkannya pula. Namun setiap kali Sekar Mirah masih saja menangis. Seakan akan ia telah kehilangan ayahnya sendiri
"Sadarilah keadaanmu Mirah," Agung Sedayu mencoba mengendapkan perasaan gadis itu, "kau adalah muridnya. Ki Sumangkar adalah titah dalam lingkup ciptaan Yang Maha Kuasa, ia datang karena kehendak-Nya. Dan ia pergi karena dipanggil-Nya. Jika kita bersedih itu adalah wajar sekali. Setiap perpisahan memang tidak menyenangkan bagi seseorang yang mempunyai ikataan khusus terutama. Tetapi perpisahan itu tidak dapat ditolak oleh siapapun juga. Justru penolakan itu, meskipun hanya didalam hati, akan menjadi titik-titik noda bagi utuhnya hubungan kita dengan Yang Maha Peneipta itu. Karena seakan-akan kita menolak keharusan yang telah ditetapkan-Nya dengan tuntutan didalam sikap hubungan kita dengan-Nya itu."
Sekar Mirah mencoba untuk menangkap isi kata-kata Agung Sedayu. Bagai manapun juga anak muda itu baginya menjadi tumpuan harapan dimasa datang. Meskipun kadang-kadang Agung Sedayu mengecewakannya di dalam sikap. tetapi kadang-kadang anak muda itu sangat mengagumkan dan menumbuhkan harapan.
Namun disela-sela isaknya ia berkata, "Kakang Agung Sedayu. Aku ingin ikut mengantar jenazah guru sampai ke makam."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dipandanginya Swandaru dan Pandan Wangi berganti-ganti, seolah-olah ia minta pertimbangan mereka.
Swandarupun menjadi bingung. Untuk sejenak ia terdiam.
"Jangan dilarang," minta Sekar Mirah.
"SekarMirah," berkata Agung Sedayu kemudian, "sebaiknya aku menyampaikannya kepada Ki Demang."
"Tetapi ayahpun jangan melarang."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Aku akan mengusahakannya Mirah. Tetapi berjanjilah kepada diri sendiri, bahwa kau tidak akan mengikuti dorongan perasaan sedihmu di pemakaman agar segalanya dapat berjalan seperti biasanya."
Sekar Mirah terdiam sesaat. Dan Agung Sedayu berkata seterusnya, "Kau memang akan menangis Mirah. Itu sudah wajar. Tetapi sadarilah, bahwa tangismu harus tetap dapat kau atasi dengan nalar. Kau harus tetap sadar, bahwa yang terjadi itu memang harus terjadi. Dan bahwa kau menangis itupun wajar sekali karena kau kehilangan. Tetapi kaupun harus sadar pula, bahwa itu adalah luapan kesedihanmu tanpa dapat menimbulkan perubahan apa-apa juga atas yang terjadi. Ki Sumangkar akan tetap pergi untuk selama-lamanya. Dan itu harus terjadi tanpa dapat dicegah lagi."
Sekar Mirah mengangguk. "Jika kau berjanji, aku akan menyampaikannya kepada Ki Demang. Mudah-mudahan Ki Demangpun tidak berkeberatan. Aku akan menjelaskan bahwa kau akan tetap sadar sepenuhnya akan keadaan yang kau hadapi di pemakaman."
Sekali lagi Sekar Mirah mengangguk.
"Jika demikian, bantulah ia membenahi diri Pandan Wangi," berkata Swandaru, "orang-orang diluar sudah mulai bersiap-siap."
Swandaru dan Agung Sedayupun kemudian meninggalkan bilik Sekar Mirah, membantu gadis itu membenahi rambut dan pakaiannya.
Dalam keadaan yang demikian kedua perempuan itu sama sekali tidak membayangkan kegarangan mereka dipeperangan. Namun agaknya sikap dan tingkah laku Sekar Mirah dapat membantunya meringankan beban perasaan. Ia mencoba mempergunakan nalarnya sebaik-baiknya seperti yang dipesankan Agung Sedayu, agar ia tidak terseret dalam duka yang tidak berbatas.
Namun dalam pada itu. selain para pemimpin dari berbagai penjuru datang memberikan penghormatan terakhir, maka ada juga diantara mereka yang datang untuk kepentingan yang lain. Seorang perwira prajurit Pajang dengan saksama memperhatikan setiap orang yang ada di Sangkal Putung sebaik-baiknya.
Perwira itu mencoba untuk mencari kemungkinan lain yang dapat terjadi di Sangkal Putung karena sedemikian banyak orang yang hadir.
Tetapi ia tidak melihat sesuatu selain orang-orang yang dengan tulus memberikan peghormatan terakhir pada pemakaman Ki Sumangkar.
Dengan tidak menumbuhkan kecurigaan maka perwira itupun kemudian ikut pula dalam kesibukan disaat keberangkatan jenazah. Namun ia masih sempat juga berdiri di regol untuk melihat-lihat orang-orang yang berdesakan untuk menyaksikan upacara pemakaman.
Sejenak perwira itu termangu-mangu, namun iapun kemudian mendekati seorang yang sudah berambut putih meskipun tubuhnya masih nampak kuat dan kekar.
"Sebentar lagi jenazah akan diberangkatkan," berkata perwira itu.
"Apakah ada bayang-bayang dibawah lentera?" bertanya orang berambut putih.
Perwira itu menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Tidak. Tidak ada apa-apa. Semuanya wajar."
Perwira itupun kemudian meninggalkan orang berambut putih itu. Beberapa orang mendengar percakapan itu. Tetapi mereka tidak mengerti dan sebagian besar sama sekali tidak menghiraukannya.
Namun berbeda dengan orang-orang yang tidak memperhatikan sikap dan pembicaraan perwira dengan yang berambut putih itu. maka seorang anak muda dalam pakaian seorang petani mengerutkan keningnya. Ia memperhatikan orang berambut putih itu dari antara orang-orang yang berdesakan.
Tetapi ia tidak berbuat apa-apa. Sejenak kemudian anak muda itu sudah memperhatikan kesibukan di halaman Kademangan Sangkal Putung.
Setelah saatnya tiba, serta segala persiapan dan upacara sudah dilakukan, maka jenazah Ki Sumangkar-pun segera diiring menuju ke makam. Para pemimpin dari Pajang, Mataram dan beberapa Kadipaten yang lain ikut pula mengantar jenazah itu dalam iring-iringan yang panjang.
Beberapa lapis dibelakang jenazah Sekar Mirah berjalan dibimbing oleh Pandan Wangi. Dengan sekuat tenaga ia bertahan untuk tidak menitikkan air mata. Ia mencoba untuk menahan gejolak perasaannya dengan nalarnya.
Swandaru dan Agung Sedayu berjalan dibelakang kedua perempuan itu. Mereka hampir tidak berbicara sama sekali. Hanya kadang-kadang Agung Sedayu berpaling, karena Glagah Putih mengikutinya dibelakangnya.
"Kau tidak tinggal di Kademangan saja?" bertanya Agung Sedayu.
"Semuanya ikut serta. Ayah, Kiai Gringsing dan kakang ikut pula. Aku sendiri di Kademangan." jawab Glagah Putih.
Agung Sedayu tidak bertanya lagi.
Namun dalam pada itu, di bagian lain dari iring-iringan itu, beberapa orang perwira yang merasa kedudukannya lebih tinggi dari Untara merasa canggung, bahwa Untaralah yang telah mendapat limpahan pertanda pribadi Sultan Pajang.
"Ia adalah Senapati yang kuasanya meliputi daerah Sangkal Putung," berkata seorang Tumenggung yang kumisnya tebal meskipun satu dua sudah nampak memutih. "apalagi saat laporan itu sampai kepada Sultan yang diberikan langsung oleh Agung Sedayu, Untara sedang berada di istana."
Kawannya, juga seorang Tumenggung yang umurnya sebaya dengan Tumenggung yang berkumis itu mengangguk. Jawabnya, "Mungkin demikian. Tetapi mungkin Sultan memang sudah pikun, sehingga tidak dapat berpikir panjang lagi."
Kawannya mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab lagi.
Demikianlah iring-iringan itu berjalan memanjang disepanjang jalan Kademangan. Disebelah menyebelah jalan, berjejal-jejal orang yang ingin menyaksikan iring-iringan itu.
Ketika perwira yang berbicara dengan orang berambut putih dimuka regol halaman Kademangan itu sampai ditikungan diluar padukuhan induk, sekali lagi ia bertemu dengan orang berambut putih itu. Ketika ia berjalan di depannya, maka perwira itu berkata, "Tak ada apa-apa."
Orang berambut putih itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab sama sekali.
Tetapi diluar sadar mereka, maka anak muda yang sejak semula memperhatikannya, masih juga berdiri tidak jauh dibelakangnya. Iapun mendengar kata-kata perwira itu. Tetapi iapun tidak berbuat apa-apa.
Selangkah demi selangah, maka iring-iringan itupun semakin jauh dari rumah Ki Demang Sangkal Putung dan mendekati pemakaman. Untuk menjaga segala kemungkinan, maka Swandaru telah memerintahkan beberapa orang pengawal mengawasi keadaan. Sekelompok pengawal telah mendahului berpencar di pemakaman. Sementara yang lain tetap berada di Kademangan. Yang lain lagi telah ikut dalam iring-iringan yang semakin panjang.
Sutawijaya yang berada diantara iring-iringan itu memperhatikan keadaan dengan saksama. Ia berjalan disamping Untara yang membawa pertanda pribadi Sultan Pajang. Namun keduanya seakan-akan tidak berbicara sepatah katapun sejak mereka berangkat dari Kademangan.
Dalam pada itu, ketika Sutawijaya melihat regol pemakaman, tiba-tiba saja ia teringat akan ayahandanya yang sudah tidak ada lagi. Ketika Ki Gede Pemanahan meninggal, maka iapun mendapat penghormatan yang besar seperti Ki Sumangkar. Bahkan penghormatan yang tercermin dari hadirnya pusaka Pajang yang telah dianugerahkan kepada Raden Sutawijaya berupa sebuah songsong merupakan penghormatan yang sangat tinggi.
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah kehilangan ayahandanya. Dan kini ia rasa-rasanya berdiri diseberang pagar dari ayahanda angkatnya, bukan karena ayahanda angkatnya itu sendiri. Tetapi ia sendirilah yang telah menjauhkan diri dari padanya.
Tetapi Raden Sutawijaya tidak sempat berangan-angan terlalu lama. Sebentar kemudaian, maka iring iringan itupun telah mendekati regol makam.
Beberapa orang telah mendahului. Mereka mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk pemakaman jenazah Ki Sumangkar itu. Diantara mereka yang mendahului adalah Swandaru dan Agung Sedayu. sementara Glagah Putih mengikuti mereka dibelakang.
Banyak orang yang ikut mengantarkan jenazah itu sampai kemakam. Tetapi para pengawal berusaha untuk menahan mereka agar mereka tidak memasuki makam, sebelum para pemimpin dan tamu yang datang dari jauh.
Dengan demikian, maka orang-orang itupun bagaikan berpencar diseputar makam. Mereka berusaha untuk mendapat tempat diluar dinding makam yang tidak terlalu tinggi, agar mereka dapat melihat kedalam. Tetapi ternyata bahwa orang-orang penting yang kemudian memasuki makam mengiringi jenazah itu telah melingkar menutup pandangan mereka.
"Seharusnya mereka menepi," desis seseorang diluar dinding makam.
"Menepi kemana?" bertanya orang disebelahnya, "Kekiri atau kekanan, asal mereka tidak menutup pandangan kami."
"Tetapi jika mereka kekiri atau kekanan. mereka akan tetap menutup pandangan orang lain," desis yang lain lagi.
Orang yang pertama tidak menjawab. Tetapi ia tetap bersungut-sungut.
Sementara orang-orang yang bertugas sedang mempersiapkan jenazah yang akan diturunkan kedalam makam, maka beberapa orang yang lain didalam makam itu telah berpencar pula. Bernaung dibawah pepohonan yang terdapat disela-sela batu-batu nisan.
Glagah Putih yang tidak ikut membantu Agung Sedayu dan Swandaru telah menepi pula. Ia duduk agak jauh diluar kerumunan orang-orang yang berada disekitar liang pemakaman.
Angin yang berhembus didedaunan rasa-rasanya telah menyegarkan badannya. Diluar sadarnya ia bergeser selangkah demi selangkah. sehinggga akhirnya ia telah berdiri terpisah dari orang-orang lain yang berada didalam dinding makam itu.
Glagah Putih yang kemudian duduk dibawah sebatang pohon rasa-rasanya bagaikan diayun dalam ayunan. Apalagi semalam iapun kurang tidur meskipun tidak terjaga semalam suntuk.
Tetapi tiba-tiba saja ia tertarik pada sebuah pembicaraan dari dua orang yang berdiri diluar dinding, dekat dibelakangnya. Karena itu maka iapun kemudian berusaha mendengarkan pembicaraan itu dengan saksama.
Meskipun tidak begitu jelas tetapi ia mendengar seorang dari mereka berkta, "Itulah Agung Sedayu."
"Yang mana?" "Agak terlindung. Tetapi kau tentu melihatnya, ia berdiri disamping saudara seperguruannya, Swandaru yang gemuk itu."
Sejenak kedua orang itu terdiam. Ketika dengan hati-hati Glagah Putih berpaling kepada mereka tanpa menarik perhatiannya, maka Glagah Putih melihat dua orang yang memperhatikan Agung Sedayu dengan saksama. Yang seorang sudah berambut putih, sedang yang lain agak lebih muda sedikit meskipun nampaknya umurnya tidak terpaut banyak.
Ketika keduanya mulai berbicara lagi, Glagah Putih berusaha pula untuk mendengar percakapan mereka. Salah seorang dari keduanya berkata, "Anak muda itu nampaknya tidak lebih dari penggali kubur."
Prahara Hutan Bandan 1 Roro Centil 01 Empat Iblis Kali Progo Dendam Empu Bharada 24
^