Api Di Bukit Menoreh 17
05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja Bagian 17
"Ya," jawab yang lain, "tetapi ia sudah berbuat sesuatu yang sangat mengejutkan. Benar-benar diluar nalar. Seolah-olah ia bukan manusia biasa."
Kawannya tertawa pendek. Ketika Glagah Pulih mengerling kepada mereka, ia melihat orang yang tertawa itu memandang kesekitarnya, kepada orang-orang yang berdiri di sebelah menyebelah bertolakan dinding batu yang rendah. Orang itu berkata, "Kau nampaknya cemas benar."
"Kau dengar apa yang terjadi di Mataram?"
Yang lain masih tertawa. Katanya, "Aku dengar. Tetapi mereka yang telah digilasnya itu bukan aku dan kau."
"Ah, sombong kau. Apa kelebihan kita dari Wanakerti?"
"Sst," desis kawannya, "kau mulai menyebut nama. Hati-hatilah sedikit. Pepohonan itu mempunyai telinga."
"Lebih pasti orang-orang disekitar kita itu mempunyai telinga."
"Tetapi telinga mereka tidak untuk mendengarkan pembicaraan kita."
Sejenak keduanya terdiam. Sementara itu mereka yang melakukan upacara pemakamanpun berjalan terus. Glagah Putih tidak melihat ketika jenazah Ki Sumangkar diturunkan. Kemudian setelah upacara selesai, maka makam itupun mulai ditimbun dengan tanah.
Dalam pada itu, Pandan Wangi yang berdiri disisi Sekar Mirah menjadi berdebar-debar. Setiap kali ia memandang wajah gadis yang muram itu. Namun agaknya Sekar Mirah berusaha sungguh-sungguh untuk tidak kehilangan nalar dan tenggelam dalam arus perasaannya.
Sementara itu, beberapa orang telah melakukan seperti kebiasaan mereka dalam upacara pemakaman. Segenggam-segenggam mereka melontarkan tanah kemakam yang sedang ditimbun itu.
"Kau?" desis Pandan Wangi.
Sekar Mirah berpaling. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian iapun melangkah maju. Beberapa orang yang tahu bahwa ia adalah satu-satunya murid Ki Sumangkar telah menyibak dan memberikan kesempatan kepada Sekar Mirah untuk juga melontarkan segenggam tanah.
"Itu adalah Sekar Mirah," tiba-tiba saja Glagah Putih mendengar orang itu berbicara lagi, sehingga ia mengurungkan niatnya untuk ikut melontarkan tanah kemakam.
"Ya aku tahu. Gadis itu adalah bakal isteri Agung Sedayu," jawab yang lain.
"Tetapi iapun seperti seekor macan betina. Jika ia berdiri dengan tongkatnya, ia akan berubah sama sekali."
Kawannya tidak menjawab. Untuk sesaat Glagah Putih tidak mendengar keduanya berbicara. Yang didengarnya adalah geremang orang-orang yang ada diluar dinding itu. Karena pemakaman sudah selesai, maka merekapun mulai berdesakkan meninggalkan makam.
Namun sejenak kemudian terdengar salah seorang itu berbicara, "Lihat. Siapa saja yang berada di makam itu. Ada berapa puluh orang sakti disini. Mereka datang dari segala penjuru. Jika saat ini diadakan sayembara untuk memilih yang paling sakti, maka akan ada pertunjukan yang paling menarik ditahun ini."
"Dan kau akan ikut serta?" bertanya yang lain.
"Tentu tidak." "Tetapi kau katakan, bahwa kau bukan orang-orang yang terbunuh di Mataram. Menurut pengertianku, kau merasa memiliki kemampuan melampaui mereka."
"Itu bodoh sekali. Kebodohan semacam itulah yang telah banyak membunuh orang-orang sakti. Untuk membinasakan Agung Sedayu harus dipergunakan akal. Bukan sekedar membenturkan ilmu."
Yang lain tertawa kecil. Namun kemudian katanya, "Orang-orang telah pergi. Kitapun akan pergi. Kita tidak perlu cemas melihat orang-orang sakti itu berkumpul disini. Mereka datang dari segala penjuru dengan segala pendirian masing-masing. Mereka tidak akan berbincang dan menentukan sikap apapun juga. Apalagi disini ada Untara. Ia adalah seorang prajurit yang lurus dalam sikap dan pendirian."
Dengan hati-hati Glagah Putih mencoba melihat mereka, ketika ia mendengar salah seorang berkata, "Marilah. Apa lagi yang kita tunggui."
Kedua orang itu mulai bergerak. Tetapi tiba-tiba salah seorang berkata, "Anak itu memperhatikan kita."
Yang lain mengerutkan keningnya dan bertanya, "Yang mana?"
Dengan pandangannya yang seorang menunjuk Glagah Putih yang berdebar-debar.
"Anak kecil itu?"
"Ia bukan lagi anak kecil, ia mulai meningkat remaja."
Yang lain tertawa. Katanya, "Ia tidak mendengar pembicaraan kita."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun ia sempat memperhatikan wajah keduanya. Meskipun demikian. iapun mulai mengerti tentang dirinya sendiri. Bahkan latihan pendengaran yang selalu dilakukannya memberikan keuntungan baginya. Pendengarannya ternyata menjadi semakin tajam, melampaui kebanyakan orang, sehingga kedua orang itu menganggapnya tidak mendengar pembicaraan mereka.
"Aku dapat mendengarnya meskipun lamat-lamat," katanya kepada diri sendiri, "tetapi aku mengerti apa yang mereka percakapkan."
Meskipun demikian Glagah Putih menjadi gelisah pula. Jika kedua orang itu memutuskan untuk berbuat sesuatu atasnya karena ia dianggap memperhatikan percakapan mereka, maka ia akan mengalami kesulitan, setidak-tidaknya saat ia berada di Sangkal Putung.
Karena perhatian Glagah Putih tertumpah seluruhnya kepada kedua orang itu, maka tiba-tiba saja ia merasa bahwa pemakaman itu sudah selesai. Beberapa orang telah beringsut dari tempatnya dan berjalan meninggalkan gundukan tanah merah yang ditaburi dengan bunga.
Perlahan-lahan Glagah Putih mendekat. Ia melihat Sekar Mirah masih berdiri disisi makam yang baru itu. Disampingnya Pandan Wangi memegangi tangannya, sementara Agung Sedayu berdiri dibelakangnya bersama Swandaru.
"Marilah Mirah," desis Pandan Wangi.
Sekar Mirah mengangguk. Ia bertahan untuk tidak menangis, meskipun matanya nampak merah.
Disamping regol makam, Kiai Gringsing berdiri termangu-mangu. Disebelahnya Ki Waskita dan Ki Demang bercakap perlahan-lahan. Sementara di sebelah lain nampak Untara sedang berbicara pula dengan Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani. diantara para pengawal mereka.
"Mereka menunggu kita," desis Swandaru.
Sekali lagi Sekar Mirah mengangguk.
Sejenak Sekar Mirah masih memandangi tanah yang merah itu. Kemudian iapun melangkah meninggalkannya. Betapa dadanya bagaikan retak, tetapi Sekar Mirah tidak menangis. Setitik air matanya meleleh dipipi. Namun jari-jarinya segera mengusapnya.
Ketika langkahnya sampai dihadapan Untara dan Raden Sutawijaya, ia berhenti. Dengan isyarat ia mempersilahkan keduanya berjalan lebih dahulu.
Untara dan Raden Sutawijaya ragu-ragu. Namun Kiai Gringsinglah yang kemudian beikata, "Silahkan anak mas berdua berjalan didepan bersama Ki Juru Martani."
Meskipun masih juga nampak ragu-ragu, tetapi merekapun kemudian berjalan mendahului Sekar Mirah dan Pandan Wangi yang kemudian mengikut dibelakang. Sementara itu, dibelakang mereka, para pemimpin dan para Senapati yang datang dari segala penjuru itupun mengikutinya pula.
Glagah Putih yang kemudian berlari-lari kecil menyusul Agung Sedayu. menggamitnya sambil berbisik, "Ada sesuatu yang penting aku sampaikan kakang."
"Apa itu?" bertanya Agung Sedayu.
"Kau sempat mendengarnya sekarang, mumpung belum terlambat?"
Agung Sedayu memandanginya sejenak. Namun kemudian sambil mengusap kepala anak itu ia berkata, "Nanti saja di rumah Glagah Putih."
"Tetapi penting. Jika tidak kau tentu tidak akan mengatakannya. Tetapi tidak perlu sekarang. Kita sedang dalam perjalanan kembali."
Glagah Putih menjadi gelisah. Dapat saja terjadi sesuatu disetiap saat. Sementara itu Agung Sedayu masih belum mengerti persoalannya.
"Kakang," ia berjalan disisi kakang sepupunya, "bagaimana jika terlambat."
"Apa yang terlambat" Jangan cemas Glagah Putih Sebentar lagi kita akan sampai. Sekarang sebaiknya kau simpan ceriteramu itu."
Glagah Putih, menjadi jengkel. Tetapi ia tidak dapat memaksa Agung Sedayu untuk mendengarkan ceriteranya. Apalagi Agung Sedayu berjalan dalam iring-iringan. Jika ia memaksa untuk berceritera, maka ia harus berbicara keras-keras sehingga mungkin akan ada orang yang mendengarnya.
Karena itu Glagah Putih tidak lagi mengikuti Agung Sedayu. Ia berjalan sendiri di antara orang-orang yang meninggalkan makam. Sekilas dilihatnya ayahnya berjalan bersama Ki Demang dan Ki Waskita. Namun kemudian bergeser mendekati Kiai Gringsing dan Ki Gede Menoreh.
Glagah Putih tidak mempedulikan mereka. Ia berjalan saja searah dengan mereka. Sementara orang-orang yang berjalanpun tidak menghiraukannya pula.
"Uh," desahnya, "aku sudah berusaha. Tetapi kakang Agung Sedayu menganggap persoalan yang akan aku katakan itu tidak perting. Mudah mudahan tidak terjadi sesuatu disepanjang jalan kembali ke Kademangan."
Namun kemudian dijawabnya sendiri, "Tentu tidak akan ada apa-apa. Ia berjalan diantara banyak orang. Nampaknya semua orang berilmu tinggi. Tentu dalam keadaan seperti ini tidak ada orang yang berani mengganggunya. Bahkan tidak ada sekelompok orang yang berani mengganggu iring-iringan ini. Disini ada kiai Gringsing, ada Ki Waskita, ada kakang Untara, kakang Agung Sedayu dan kakang Swandaru. Ada Pandan Wangi, Sekar Mirah. Ki Gede Menoreh, ada lagi Raden Sutawijaya, Ki Juru Martani, para perwira dari Pajang dan para Senapati dari Mataram, beberapa orang Adipati dengan para pengawalnya."
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Diluar sadarnya ia berguman perlahan-lahan, "Jika ada pasukan sekuat iring-iringan ini, maka negara diseluruh dunia tentu akan takluk. Masing-masing tentu membawa pasukan segelar sepapan. Dengan rontek dan umbul-umbul. Alangkah dahsyatnya. Sepasukan yang panjang dibawah para Senapati yang tidak terkalahkan."
Glagah Putih menjadi tegang oleh angan-angannya. Dipandanginya orang-orang yang berjalan disebelahnya. Nampaknya semua memang orang penting dan memiliki ilmu yang tinggi.
Namun diluar sadarnya, dua orang terus mengamatinya. Salah seorang berkata, "He kau lihat anak kecil itu mendekati Agung Sedayu."
"Tetapi Agung Sedayu tidak menghiraukannya," desis yang lain.
"Ia belum sempat. Tetapi mungkin sekali anak kecil itu mendengar percakapan kita. Dan ia ingin memberitahukannya kepada Agung Sedayu," berkata yang pertama.
"Itu tentu berbahaya bagi kita. Tetapi nampaknya ia belum sempat."
"Aku sudah menduga, bahwa anak itu berbahaya. Tetapi kau tidak mendengarkannya. Kau anggap ia anak kecil dan tidak mendengar percakapan kita."
"Aku kira memang begitu. Kita saja yang cepat menjadi cemas. Mungkin ia akan menceritakan apa saja kepada Agung Sedayu yang tidak ada sangkut pautnya denga pembicaraan kita."
"Kau selalu mencoba mengelakkan persoalan yang sebenarnya."
"Lalu apa yang sebaiknya kita lakukan."
Yang lain termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Lihat, anak itu memisahkan diri. Ia berjalan sendiri."
"Sendiri" Kau kira yang lain itu bukan orang?"
"Maksudku, ia berjalan sendiri diantara sekian banyak orang."
"Apa yang dapat kita lakukan?"
"Kita giring anak itu keluar dari iring-iringan."
"Lalu?" "Kita bungkam untuk selama-lamanya."
"He?" "Tidak ada jalan lain, mumpung ia belum sempat mengatakannya kepada Agung Sedayu atau kepada orang lain."
Yang seorang nampak termangu-mangu. Namun yang lain mendesak, "Apakah kita akan membiarkan usaha kita gagal karena Agung Sedayu sudah mengetahui bahwa ia selalu dibayangi oleh dendam?"
"Ia tentu selalu merasa dibayangi oleh dendam. Tetapi bagaimana anak itu?"
"Bunuh saja." yang lain menggeram, "sudah aku katakan. Membunuh Agung Sedayu harus dengan akal. Tidak dengan sekedar membanggakan ilmu yang tentu tidak akan dapat menyamainya. Cobalah jujur kepada diri sendiri. Apakah kira-kira empat atau lima orang seperti kita dapat membunuhnya?"
"Kita tidak harus membunuhnya dengan tangan kita berdua saja. Kita harus mengamat-amatinya dan kemudian menentukan sikap."
"Jika demikian, membinasakan anak itu termasuk tugas kita."
Keduanya terdiam. Mereka barjalan disebelah iring-iringan itu. Rasa-rasanya jalan memang menjadi pepat. Tetapi keduanya masih sempat melihat Glagah Putih berjalan seenaknya tanpa berprasangka, karena ia merasa bahwa ia berjalan diantara banyak orang yang berilmu."
"Kita mendahului," desis salah seorang dari kedua orang yang mengikuti Glagah Putih, "kita cegat di tikungan. Kita akan berusaha memisahkannya dari iring-iringan."
Kawannya tidak menjawab. Tetapi keduanyapun kemudian mencari jalan lain mendahului iring-iringan itu.
Dimulut sebuah lorong mereka menunggu. Jika Glagah Putih lewat mereka akan berusaha menarik perhatiannya dan memisahkannya dari iring-iringan itu.
Siapkan pisau belati kecil itu. Aku akan berdiri melekat tubuhnya sambil menekankan ujung pisau itu dibawah kain panjang."
"Mencurigakan. Kita panggil saja anak itu. Baru setelah ia mendekat, kita ancam ia dengan pisau."
"Apakah ia akan mendekat" Baiklah kita coba. Kita panggil anak itu. Nampaknya ia ingin mengetahui banyak hal. Karena itu agaknya ia akan tertarik oleh sikap-sikap yang justru mencurigakan baginya."
Demikian iring-iringan itu berjalan terus. Para perwira dan Senopati yang datang dari luar Sangkal Putung masih akan kembali ke rumah Ki Demang. Baru kemudian mereka akan minta diri untuk kembali ke tempat masing-masing.
Demikian pula Untara dan Raden Sutawijaya. Mereka berdua bersama pengawal masing-masing berjalan menuju ke Kademangan. Berbeda dengan saat mereka berangkat, yang hampir tidak berbicara sama sekali, maka dijalan pulang mereka nampak banyak berbincang tentang keadaan Ki Sumangkar menjelang saat-saat terakhir, meskipun Raden Sutawijaya masih sangat membatasi keterangannya tentang luka-luka yang diderita oleh Ki Sumangkar.
Namun bagi Untara, keterangan itu agaknya sangat penting. Meskipun demikian ia sadar, bahwa Raden Sutawijaya tentu bukan merupakan sumber yang dapat diharapkan.
Dengan demikian, maka mereka sekedar berbicara tentang keadaan yang sebenarnya telah mereka ketahui tentang saat-saat terakhir Ki Sumangkar itu.
Sekar Mirah yang dibimbing oleh Pandan Wangi berjalan diantara iring-iringan itu. Nampaknya Sekar Mirah berhasil mengatasi gejolak dihatinya sehingga ia tidak lagi kehilangan nalar. Ia berjalan kembali keinduk padepokan tanpa menitikkan air mata, meskipun setiap kali terdengar ia berdesah.
Dalam pada itu, Glagah Putih berjalan dibelakang. Semakin lama semakin jauh dari Agung Sedayu. Ia masih saja berangan-angan tentang para perwira dan Senapati. Tentang pasukan segelar sepapan yang tidak terhingga dibawa para pemimpin yang sekarang berkumpul.
"Sayang," anak yang masih sangat muda itu kemudian berdesah, "mereka bukan berasal dari satu kesatuan kekuatan. Bahkan nampaknya diantara mereka terdapat batas-batas sesuai dengan asal mereka masing-masing. Sehingga nampaknya mereka sulit dipersatukan dalam satu kekuatan." Glagah Putih mengerutkan dahinya. Kemudian gumamnya, "Jika saja. Jika saja mereka bersatu."
Namun diluar sadarnya, Glagah Putih telah berada diujung belakangan dari iring-iringan itu meskipun belum terpisah. Ia memang ingin melihat semua orang yang dianggapnya memiliki ilmu yang dahsyat. Karena itulah maka iapun kemudian berjalan diantara orang kebanyakan yang sedang dalam perjalanan kembali ke padukuhan induk.
Dua orang yang menunggunya ditikungan menjadi berdebar-debar. Namun semakin melihat, Glagah Putih tidak lagi berjalan diantara para perwira dan Senapati.
Beberapa langkah lagi Glagah Putih sudah akan sampai ditikungan. Ia sama sekali tidak mengira bahwa dua orang sudah siap menunggunya. Justru dua orang yang telah menarik perhatiannya di luar makam saat-saat pemakaman Ki Sumangkar.
Demikianlah, ketika langkahnya membawanya sampai ketikungan, dan orang yang berdiri menunggunya itupun telah bersiap. Mereka sama sekali tidak menarik perhatian, karena sikap mereka seperti sikap orang-orang yang melihat iring-iringan itu.
Namun demikian. Glagah Pulih lewat dihadapan mereka, salah seorang dari keduanya tertawa sambil berkata, "He anak muda."
Glagah Putih yang sedang menekuni angan-angannya terkejut. Ia sama sekali tidak menghiraukan orang-orang yang berdiri disebelah menyebelah jalan. Namun ketika ia mendengar orang memanggil dekat disebelahnya iapun mengangkat wajahnya. Yang dilihatnya adalah dua orang yang diperhatikannya di makam itu.
Namun dalam pada itu salah seorang dari keduanya telah berkata, "Ternyata dugaanmu salah."
Glagah Putih termangu-mangu.
"Ya anak muda, aku berbicara dengan kau."
Langkah Glagah Putihpun tertegun. Disebelahnya iring-iringan itu berjalan terus. Debu yang kelabu terhambur hambur diudara menyesakkan nafas.
"Kau berbicara dengan aku ?" Glagah Putih meyakinkan.
"Ya, kau. Tidak ada orang lain yang boleh mendengar selain kau," desis salah seorang dari keduanya.
Glagah Putih ragu-ragu. Tetapi rasa ingin tahunya telah mendorongnya mendekat.
"Aku tidak mengerti," berkata Glagah Putih.
"Bukankah kau yang duduk di makam disaat pemakaman Ki Sumangkar tadi?"
"Ya," jawab Glagah Putih.
"Nah, aku kira kau memang pantas untuk mendapat kepercayaan itu. Kau masih muda. tetapi agaknya kau cerdas."
"Aku tidak mengerti maksudmu," desis Glagah Putih kebingungan.
Kedua orang itu memang dengan sengaja membuat Glagah Putih kebingungan. Kemudian salah seorang dari keduanya berkata, "Dengarlah. Tetapi jangan didengar orang lain. Sangat penting artinya bagimu dan bagi Agung Sedayu."
Glagah Putih menjadi bingung, ia teringat apa yang dikatakan oleh kedua orang itu. sehingga kecurigaannyapun mulai timbul.
Namun ia tidak sempat mengelakkan diri dari bahaya yang segera mencengkamnya. Tiba-tiba saja salah seorang dari keduanya telah berdiri dekat dibelakangnya. Perlahan-lahan orang itu bergumam, "Jangan melawan anak muda. Pisauku dapat menghunjam di punggungmu."
Glagah Putih sadar, bahwa ia telah terjebak. Dalam saat yang gawat itu ia teringat sekilas usahanya yang gagal untuk memberitahukan Agung Sedayu apa yang dapat terjadi atasnya.
"Kakang Agung Sedayu terlalu mengabaikan aku," desisnya.
Tetapi yang terjadi justru agak berbeda. Ia sendirilah yang menjadi sasaran pertama-tama karena ia telah lengah. Sebab ia sendiri sudah merasa, bahwa ia akan terlibat justru karena ia mendengar pembicaraan kedua orang itu.
Beberapa orang masih berjalan di ekor iring-iringan itu. Tetapi mereka bukan para perwira dan Senapati yang datang dari luar Sangkal Putung.
Sementara itu. terasa dipunggung Glagah Putih ujung pisau menjadi semakin menekan.
"Kau tidak mempunyai pilihan," desis salah seorang dari kedua orang itu, "marilah. Ikuti kami."
Glagah Putih tidak dapat membantah lagi. Ketika pisau dipunggungnya terasa semakin menekan, maka iapun bergeser setapak.
"Jangan hanya bergeser," desis orang yang menekankan pisau dipunggungnya, "berjalanlah. Dan jangan menumbuhkan kecurigaan kami berdua. Kau tidak mempunyai kesempatan apapun juga. Aku adalah seorang yang mampu mengimbangi ilmu orang-orang yang paling sakti didunia ini. Sementara temanku itu adalah orang yang tidak terkalahkan dalam benturan ilmu sepanjang hidupnya. Karena itu. kau tidak akan dapat melawan kehendak kami."
Glagah Putih menjadi semakin berdebar-debar. Ia benar-benar tidak dapat berbuat lain daripada mengikuti perintah orang itu, karena setiap kali terasa ujung pisau yang tajam menekan kulitnya. Jika pisau itu benar-benar ditekan oleh orang yang mengancamnya itu. maka punggungnya tentu akan berlubang sampai kepusat jantung.
Karena itu maka Glagah Putihpun segera melangkah mengikuti perintah kedua orang itu. Mereka berjalan lewat jalan simpang menuju ketengah bulak yang panjang.
Orang-orang yang berjalan dalam iring-iringan menuju keinduk pedukuhan sama sekali tidak menghiraukannya. Mereka sama sekali tidak tahu, bahwa Glagah Putih telah diancam dengan sebilah pisau dan dibawa menjauhi induk padukuhan diluar pengawasan siapapun juga. Meskipun di Sangkal Putung itu ada ayahnya, Ki Widura. ada saudara-saudara sepupunya. Agung Sedayu dan Untara, namun mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa Glagah Putih telah terjebak kedalam tangan orang-orang yang sangat berbahaya.
Glagah Putih yang dipaksa untuk berjalan diantara kedua orang yang menjebaknya itu, menjadi semakin berdebar-debar. Ia sadar, bahwa ia akan dibawa ketempat yang sepi. Dan iapun sadar, bahwa justru karena ia telah memperhatikan keduanya, dan karena Agung Sedayu menolak mendengarkan keterangannya, maka kini ia berada dalam kesulitan.
Tetapi Glagah Pulih bukan seorang anak yang lekas berputus asa. Dipadepokan kecil ia telah mulai dengan menyadap ilmu kanuragan betapa dangkalnya.
Karena itu, maka ia tidak segera kehilangan harapan, ia mencoba untuk mencari akal. apakah yang sebaiknya dilakukan. Ia harus berbuat sesuatu, ia sadar, bahwa berbuat sesuatu itupun tentu ada akibatnya yang dapat mempercepat dekapan maut dilehernya. Tetapi itu lebih baik daripada tidak berbuat sesuatu, namun akhirnya maut itu akan memeluknya juga.
Namun untuk sementara Glagah Putih tidak berbuat sesuatu, ia mencoba untuk menduga, apakah kedua orang itu bebar-benar berilmu tinggi.
Tetapi tidak mudah baguiya untuk mengetahui, apakah kedua orang itu benar-benar orang-orang sakti atau sekedar hanya menakut nakutinya.
Semakin lama mereka justru menjadi semakin jauh terpisah dari iring-iringan yang kembali ke padukuhan induk. Bahkan jantung Glagah Pulih menjadi semakin berdebar-debar ketika salah seorang dari keduanya berkata, "Berhentilah sebentar anak muda."
Glagah Putihpun kemudian berhenti. Dipandanginya orang berambut putih yang berdiri dihadapannya. Kemudian orang yang agak lebih muda yang berdiri disisinya.
"Siapakah kalian," bertanya Glagah Putih.
Orang berambut putih itu tertawa. Katanya, "Kau tentu sudah mendengar percakapanku di kuburan itu."
Glagah Pulih mengerutkan keningnya. Katanya, "Percakapan apa ?"
Yang seorangpun tertawa. Katanya, "Kau mendengar percakapan kami. Kemudian kau berusaha memberitahukan kepada Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu tidak menghiraukan."
Sejenak Glagah Pulih termangu-mangu. Ia sadar, bahwa kedua orang itu tentu memperhatikannya ketika ia berlari-lari kecil mendekati Agung Sedayu. namun kemudian degan kecewa ia harus menjauhinya karena Agung Sedayu sama sekali tidak mau mendengarkan kata-katanya.
"Jangan menyesal anak muda," berkata salah seorang dari keduanya, "nasibmulah yang terlalu buruk. Mungkin kau sama sekali tidak sengaja mendengarkan percakapan kami. Tetapi ternyata bahwa karena itu, kau terlibat dalam kesulitan."
Glagah Putih masih termangu-mangu.
"Tetapi adalah mengherankan, bahwa dari jarak yang tidak terlalu dekat, kau dapat mendengar percakapan kami. Kami menduga bahwa kau tentu tidak mendengarnya. Ternyata kau mendengarkan dan mengerti percakapan kami, karena kau dengan tergasa-gesa mendekati Agung Sedayu."
"Aku tidak mengerti apa yang kalian percakapkan," berkata Glagah Putih kemudian.
"Adalah wajar jika kau berusaha untuk menyelamatkan diri. Tetapi agaknya kaupun bukan anak kebanyakan. Jika kau mendengar percakapan kami, tentu kau memiliki sesuatu yang membuatmu lebih baik dari anak-anak muda sebayamu."
"Aku tidak mengerti yang kalian katakan. Aku tidak tahu apa-apa."
"Jika kau tidak mendengar percakapan kami, apa yang akan kau katakan kepada Agung Sedayu pada saat kau berlari-larian kecil menyusulnya ?"
"Aku ingin mengatakan, bahwa aku belum sempat melontarkan segenggam tanah kekubur Ki Sumangkar."
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Namun yang berambut putih itu tertawa, "Kau cerdik. Kau ingin membohongi kami. Namun karena itu kami semakin yakin, bahwa kau bukan anak-anak kebanyakan yang hanya sekedar ikut-ikutan mengantarkan jenazah Ki Sumangkar kemakam."
Glagah Putih mulai menjadi bingung. Ia tidak mempunyai alasan lagi yang dapat dipergunakannya, untuk mengelak. Apalagi ketika orang berambut putih itu berkata. "Marilah. Ikut kami. Kami akan menengok makam Ki Sumangkar. Dan kau akan dapat melontarkan tanah tidak hanya segenggam. Tetapi sepuluh atau dua puluh onggok tanah, aku akan menggali lubang disamping makam Ki Sumangkar. Bukankah suatu kehormatan bagi seseorang yang dimakamkan disisi seorang pahlawan seperti Sumangkar."
Terasa jantung Glagah Putih berdentangan. Seolah-olah sudah diberitahu oleh orang-orang itu, apakah yang akan terjadi atasnya.
Sejenak Glagah Putih termangu-mangu. Namun ia berusaha untuk tetap menyadari keadaannya. Bahkan akhirnya ia telah menentukan pilihan, bahwa lebih baik mati membela diri dari pada dengan suka rela berbaring dilubang kubur, kemudian ditimbun dengan tanah merah selagi nafasnya masih tersengal-sengal.
"Marilah," orang berambut putih itu berkata lagi, "lebih baik mengikuti perintah kami daripada kau akan mendapat perlakuan yang lebih buruk lagi. Aku mempunyai banyak cara untuk membunuh seseorang. Mati cepat dan tidak tersiksa, atau mengalami penderitaan yang tiada taranya untuk waktu yang bertahun-tahun. Jika kau cacat berat, maka nasibmu akan sangat buruk. Kau masih muda dan kau akan kehilangan masa depan, karena masa depanmu akan gelap segelap malam, sedangkan tangan dan kakimu tidak akan dapat kau pergunakan lagi sepanjang sisa hidupmu. Demikian pula telinga dan mulutmu."
Terasa kulit diseluruh tubuh Glagah Putih meremang. Cacat yang demikian tentu merupakan penderitaan yang tiada taranya. Tetapi mati dengan berbaring sendiri dilubang kubur, kemudian demikian saja ditimbun tanahpun merupakan peristiwa yang mengerikan.
Karena itu, maka memang tidak ada pilihan lain. Glagah Putih bukan seekor kelinci yang lumpuh melihat seekor serigala yang mengejarnya. Betapapun lemahnya, tetapi ia harus berusaha berbuat sesuatu.
Sejenak Glagah Putih berdiri tegak. Ia tidak mau memberikan kesan bahwa ia akan melawan. Ia ingin berbuat dengan tiba-tiba agar ia mendapat kesempatan mendahului lawannya disaat lawannya itu belum bersiap.
Demikianlah, ketika salah seorang dari kedua orang itu akan berbicara lagi, tiba-tiba saja Glagah Putih melenting menyerang orang berambut putih itu dengan kakinya.
Orang itu benar-benar tidak menyangka. Karena itu, maka ia terkejut bukan buatan. Namun ternyata bahwa usaha Glagah Putih untuk memperoleh kesempatan yang pertama telah gagal. Orang berambut pulih itu sempat meloncat kesamping, sehingga serangan Glagah Putih tidak menyentuh sasarannya.
Betapa kecewa dan marah mencengkam hatinya. Apalagi ketika ia kemudian meloncat berputar dan siap untuk menyerang lagi, kedua orang itu memandanginya sambil tertawa.
"Luar biasa," desis orang berambut putih, "kau benar-benar anak muda yang luar biasa. Kau memiliki ilmu yang pantas menjadi kebanggaan bagi anak-anak sebayamu."
Glagah Putih memandang keduanya dengan tegang. Tubuhnya bergetar karena marah.
"Jangan banyak tingkah anak muda. Matilah dengan tenang."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Diluar sadarnya ia memandang kesekelilingnya. Sebuah bulak yang panjang dan sepi.
"Ha," berkata orang yang lebih muda, "kau sedang mencari jalan untuk mendapatkan pertolongan. Tidak ada gunanya. Sawah-sawah menjadi sepi. karena semua orang pergi kemakam Ki Sumangkar. Kini mereka berkumpul di Kademangan karena mereka ingin melihat orang-orang yang bernama Sutawijaya.Untara, dan para perwira serta Senapati yang sedang berkumpul disana. Hanya kaulah yang berada disini menghadapi maut. Tetapi orang-orang di Kademangan tidak akan tahu dimana kau akan bersembunyi, karena tidak seorangpun yang akan melihat kau terbaring di lubang kubur disisi Ki Sumangkar. Bahkan mungkin besok atau lusa, Kademangan ini akan gempar, bahwa tiba-tiba saja kubur itu telah pecah menjadi dua."
Kedua orang itu tertawa. Wajah Glagah Putih menjadi merah. Namun ia sudah bertekad untuk tidak menyerah. Apapun yang akan terjadi, ia akan melawan.
"Marilah," berkata orang berambut putih.
Glagah Putih bergeser setapak. Ia sudah bersiap untuk meloncat dan menghantam lawannya.
"Jangan menjadi buas dan gila seperti itu."
Glagah Putih tidak menghiraukan. Ketika salah seorang dari keduanya mendekat, Glagah Putih menyerang dengan garangnya.
Tetapi sekali lagi serangannya gagal.
"Kami masih bersabar," berkata orang berambut putih yang disambung oleh kawannya, "tetapi kesabaran kami sangat terbatas."
"Aku tidak peduli," teriak Glagah Putih, "Jika kalian akan membunuh aku, bunuhlah. Kau sangka aku takut mati?"
Kedua orang itu mengerutkan keningnya. Salah seorang berdesis, "Kau memang anak muda yang luar biasa. Kau memiliki keberanian dan bekal yang cukup untuk menjadi seorang anak muda yang perkasa. Sayang, umurmu tidak akan panjang."
"Persetan. Jika kalian mau membunuh lakukanlah! Apa yang akan kalian tunggu?"
"Maksud kami, berjalanlah sendiri kekuburan, agar kami tidak perlu mengangkat dan mendukungmu. Kuburan itu masih agak jauh disebelah. Atau, jika terpaksa mayatmu akan kami tinggalkan disini meskipun akan menjadi makanan anjing liar yang datang dari hutan sebelah."
"Jangan mengigau. Aku sudah siap," sekali lagi Glagah Putih berteriak.
Kedua orang itu menjadi heran. Ternyata Glagah Putih sama sekali tidak menjadi gentar meskipun anak itu mengetahui bahwa ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Bahkan kedua orang itu terpaksa mengelak ketika Glagah Pulih menyerang mereka dengan membabi buta.
"Anak gila," geram orang yang berambut putih itu, "kau membuat aku marah. Sebenarnya aku masih menaruh belas kasihan karena kau terpaksa kami singkirkan. Itu adalah salahmu, karena kau ingin persoalan orang lain. Tetapi kami akan mempergunakan cara yang baik bagimu tanpa menumbuhkan kengerian. Namun agaknya kau keras kepala, membuat aku marah dan mendorong aku untuk melakukan dengan cara-cara yang paling aku gemari."
Glagah Putih seolah-olah tidak mendengarnya, ia masih saja menyerang dengan garangnya.
"Anak setan," tiba-tiba orang yang lebih muda kehabisan kesabaran.
Dengan sekali ayun, maka Glagah Putih telah terlempar dan jatuh disawah yang berlumpur.
Anak muda itu berguling diatas batang-batang padi. Kemudian dengan tangkasnya ia melanting berdiri siap untuk berkelahi, tanpa mengenal takut sama sekali meskipun ia menyadari akibat yang dapat terjadi atasnya.
"Kau benar-benar anak iblis," geram orang itu, "tetapi kau telah membangkitkan nafsuku untuk membunuhmu dengan cara yang paling baik. Aku akan menelungkupkan kau didalam lumpur dengan, mengikat tangan dan kakimu. Jika ada orang pergi kesawah menjelang matahari senja, maka mereka akan menemukan kau sudah tidak bernyawa lagi. Tetapi kau masih mempunyai waktu untuk menikmati kengerian sampai matahari turun ke Barat dan hilang dibalik gunung."
Diluar sadarnya Glagah Putih memandang Gunung Merapi yang nampaknya kebiru-biruan menjulang ke langit yang hampir sewarna. Sekilas terbayang padepokan kecilnya di Jati Anom, yang terletak dikaki Gunung Merapi itu.
"Nikmatilah alam disekitarmu. Kenanglah ayah ibumu untuk yang terakhir kali." geram orang berambut putih.
Namun tiba-tiba saja perhatian Glagah Putih tertuju kepada batang pohon rindang yang tumbuh ditepi parit, tak terlalu jauh dari tempatnya, ia melihat sesuatu yang bergerak-gerak dibalik semak-semak dibawah pohon itu.
Ternyata bahwa pandangan matanya diikuti pula oleh kedua orang lawannya. Sejenak mereka tertegun. Namun kemudian salah seorang berguman, "Gila. Ada orang disitu."
"Tidak peduli, bunuh saja. Orang itu tidak akan mengenal kita. Biarlah ia berceritera, bahwa dua orang telah membunuhnya. Dan tidak seorangpun yang mengetahui kenapa ia dibunuh. Menurut pengamatanku, ia belum sempat berbicara kepada Agung Sedayu. meskipun kematiannya akan menumbuhkan kecurigaan pula, dan Agung Sedayu akan dapat menelusuri sikap anak itu terhadapnya menjelang saat kematiannya."
Sejenak Glagah Putih termangu-mangu. Sekilas dilihatnya seseorang yang berada dibalik gerumbul itu bergeser. Ketika kepalanya kemudian tersembul maka dengan suara gemetar ia berkata, "Jangan bunuh aku."
"Persetan," geram orang yang berambut putih, "kemarilah."
Orang itupun kemudian berdiri, ia memakai pakaian petani yang sedang bekerja disawah. Celana hitam, dengan kain panjang yang membelit lambung. Sama sekali orang itu memakai baju. Tetapi selembar ikat kepala tersangkut dilehernya. Tidak dipakainya diatas kepalanya.
"Siapa kau?" bertanya kawan orang berambut putih.
"Aku, aku seorang petani tuan. Petani dari Sangkal Putung."
"Setan," geram yang berambut putih, "apa kerjamu disini?"
"Sebenarnya aku sedang beristirahat dibawah pohon itu. Aku sedang menyiangi tanamanku," jawab petani yang masih muda itu.
"Kau tidak pergi ke makam Ki Sumangkar dikuburkan?"
"Aku tidak dapat meninggalkan pekerjaanku meskipun sebenarnya aku ingin."
Orang berambut putih itu termangu-mangu sejenak. Kemudian dengan suara berat ia bertanya, "Kau mengenal anak ini?"
Jawabnya benar-benar mengejutkan. Seolah-olah diluar sadarnya orang itu berkata, "Ya Tuan. Aku mengenalnya. Anak itu adalah Glagah Putih, adik sepupu Agung Sedayu dan Untara."
"He ?" wajah orang itu menjadi tegang. Sementara itu orang itu melanjutkan katanya, "ayahnya adalah Ki Widura, seorang Senapati yang telah meninggalkan lapangan keprajuritan karena ia lebih senang tinggal di padepokan. Tetapi meskipun demikian ia masih tetap seorang berilmu tinggi. Ia pernah berada di Sangkal Putung saat Sangkal Putung selalu diganggu oleh Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan sebelum hadirnya Untara sendiri."
"Cukup, aku sudah tahu," bentak orang berambut putih.
"Maaf. Aku hanya ingin meyakinkan kepada tuan, bahwa aku benar-benar orang Sangkal Putung. Bahkan aku tahu pula bahwa tuan berdua adalah dua orang saudara yang datang dari daerah yang terkenal dengan sebutan Pesisir Endut dipantai Selatan."
"Gila. Darimana kau tahu he?"
"Bukankah tuan berdua mendapat tugas dari orang tak dikenal di Pajang untuk membunuh Agung Sedayu," berkata orang berpakaian petani itu, "tetapi ternyata bahwa kau berniat untuk membunuh anak itu pula."
"Iblis alasan. Darimana kau tahu he, dari mana?" orang berambut putih itu berteriak.
"Aku mendengar percakapan tuan dengan perwira dari Pajang itu. Dan aku mendengar percakapan tuan di pinggir kuburan."
Keduanyapun kemudian sadar, bahwa yang dihadapinya bukanlah seorang petani yang baru menyiangi sawahnya dan beristirahat dibawah sebatang pohon yang rindang.
Justru karena itu, maka keduanyapun segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Sekilas dipandanginya Glagah Putih yang berdiri termangu-mangu dengan tubuh yang kotor oleh lumpur.
Tetapi bagi keduanya Glagah Putih bukan lagi penting untuk mendapat perhatian terlalu banyak. Petani yang masih muda itu justru akan dapat merusak segala rencananya.
"Ki Sanak," berkata orang berambut putih itu, "kau tidak usah banyak bicara lagi. Aku tahu bahwa kau tentu bukan petani dari Sangkal Putung. Kau tentu bukan orang yang sekedar sedang berteduh dibawah pohon yang rindang itu."
Dan jawab orang muda itu semakin mengejutkan, "Memang bukan. Aku hanya pura-pura, biar orang kebanyakan menyangka aku petani. Dan dengan pakaian dan sikapku ternyata Dua Hantu bersaudara dari Pesisir Endut dipantai Selatan tidak tahu bahwa aku mengikutinya, mendengar segala percakapannya dan bahkan melihat bagaimana mereka menakut-nakuti anak-anak. Tetapi ternyata anak itu sama sekali tidak takut. Jika ia ketakutan dan menggigil, maka ia tentu bukan anak Widura, dan bukan saudara sepupu Agung Sedayu dan Untara."
"Gila," geram orang berambut putih, "siapa kau?"
"Itu tidak penting. Tetapi aku memang bukan petani. Aku orang yang barangkali memang tidak penting. Meskipun demikian aku berhak untuk mencegah tingkah lakumu yang aneh dan tidak masuk akal itu." sahut orang muda yang berpakaian petani itu.
"Sebut namamu sebelum kau mati," teriak orang yang lebih muda dari yang berambut putih.
"Namaku dapat saja kau sebut Sarik atau Gempol atau Condrokusuma atau Suryaadiwaskita atau siapa saja. Itu tidak ada bedanya. Yang penting aku akan mencegah kejahatan yang sudah siap kau lakukan. Untung aku tidak terlambat."
Kedua orang itu menjadi semakin marah. Orang berambut putih itupun berkata, "Bunuh anak iblis itu. Aku akan memhinuh Setan Alasan ini."
Tetapi tiba-tiba saja terdengar suara tertawa orang muda itu berkumandang di bulak yang luas. Katanya, "Jangan sombong tuan. Tuan berdua akan membagi diri" Apakah tuan merasa diri mumpuni segala macam ilmu agal-alus kanuragan dan kajiwan" Persetan dengan sikap tuan. Tetapi jangan mencoba memperkecil arti kehadiranku disini. Kalian berdua seharusnya masih mencari kawan," orang itu berhenti sebentar lalu, "maaf. Akupun telah menyombongkan diri."
"Kau tidak bermaksud sombong," berkata orang berambut putih, "jangan kau kira aku bodoh sekali. Kau sengaja memancing agar kami berdua melawanmu. Itu sekedar cara yang jantan untuk menyelamatkan anak yang malang itu. Tetapi aku tidak peduli. Seorang dari kami akan membunuh iblis kecil itu dan yang seorang membunuhmu."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Jika demikian, kalian akan menyesal. Anak itu tidak akan mudah kau bunuh."
Kedua orang itu tidak menunggu lebih lama lagi. Mereka tidak mau kehilangan waktu, karena perkelahian yang timbul mungkin akan dapat mengundang orang-orang yang melihatnya dari kejauhan. Adalah celaka jika orang yang melihatnya itu kemudian melaporkannya ke Kademangan.
Karena itu, maka keduanyapun segera meloncat menyerang. Yang seorang menyerang petani muda itu, sedang yang lain berniat untuk segera membunuh Glagah Putih.
Glagah Putih menyadari keadaan itu sehingga iapun telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Tetapi iapun menyadari bahwa orang-orang itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Namun yang terjadi benar-benar telah mengejutkan kedua orang itu dan bahkan Glagah Putih. Petani muda itu dengan tangkasnya menghindari serangan pada dirinya. Namun kemudian dengan cepatnya pula ia telah menyerang orang yang sedang meluncur menyerang Glagah Putih.
Keduanya telah berbenturan. Orang yang menyerang Glagah Putih tidak sempat menghindar. Selagi ia sedang menyerang maka serangan yang tidak disangka-sangka itu telah datang.
Benturan itu benar-benar telah berakibat dahsyat sekali. Orang yang berpakaian petani itu terdorong selangkah surut. Namun lawannya telah terlempar beberapa langkah dan jatuh berguling.
Seorang yang lain, yang melihat kawannya jatuh berguling diluar sadarnya berdesah. Namun orang yang terguling itu sempat berteriak, "Gila. Kau curang."
Orang yang berpakaian petani itu tidak menjawab. Tetapi ia berkata kepada Glagah Putih. Cobalah menyesuaikan dirimu. Kau tidak perlu melawan. Hindarilah dengan menempatkan diri pada garis lindunganku. Keduanya memang sangat berbahaya."
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia meloncat mendekati orang yang berpakaian petani itu.
"Kau cukup lincah. Berusahalah untuk tidak mati. Aku akan bertempur untukmu."
Glagah Putih tetap berdiam diri. Tetapi ia melakukan perintah orang yang akan melindunginya itu.
Kedua orang yang datang dari Pasisir Endut dipantai Selatan itu menjadi sangat marah. Mereka seakan-akan telah kehilangan buruan mereka karena kehadiran orang yang menyebut dirinya petani itu.
Sejenak keduanya mempersiapkan diri. Kemudian dengan garangnya keduanya menyerang seperti badai yang dahsyat menyambar ujung pepohonan.
Tetapi orang yang berpakaian petani itupun ternyata orang luar biasa. Ia mampu mempertahankan diri sekaligus melindungi Glagah Putih yang berusaha menyesuaikan dirinya. Seperti pesan orang berpakaian petani itu, ia sama sekali tidak berbuat lain kecuali, menyesuaikan diri.
Dalam pada itu, perkelahian itupun semakin lama menjadi semakin sengit. Ternyata orang berpakaian petani itu benar-benar seorang yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan. Ia mampu melawan kedua orang lawannya sambil melindungi Glagah Putih. Untunglah bahwa Glagah Putihpun bukan orang yang sekedar ingin menyerah dan berputus asa karena ia memang memiliki kemauan untuk berusaha, juga berusaha menyelamatkan diri.
Orang berambut putih dan seorang lagi yang, ternyata adalah adiknya dan keduanya berasal dari Pesisir Endut itu menjadi semakin marah. Mereka bertempur semakin garang dan kasar. Bahkan semakin lama menjadi semakin buas dan liar.
Namun bagaimanapim juga orang yang berpakaian petani itu sama sekali tidak terpengaruh. Ia tetap bertempur dengan wajar. Tetapi nampak betapa ia benar-benar menguasai ilmunya dengan matang.
Dua orang bersaudara dari Pesisir Endut itu berusaha untuk menyerang orang yang berpakaian petani itu dari dua arah, sekaligus berusaha untuk memisahkan Glagah Putih dari padanya. Namun usaha mereka selalu gagal. Orang berpakaian petani itu mampu meloncat bagaikan kijang dan mampu menghantam lawannya seperti seekor banteng.
Kedua orang dari Pesisir Endut itu berusaha dengan segenap kemampuan mereka. Bahkan, ketika keduanya merasa tidak mungkin lagi untuk melawan orang berpakaian petani itu dengan tangannya maka keduanyapun telah menarik senjata masing-masing.
Yang berambut putih telah menarik pedangnya yang besar. Pedang bermata dua. Tajamnya berada disebelah menyebelah, sementara ujungnya runcing seperti duri, tetapi pedang itu tidak terlalu panjang.
Sementara itu yang lain telah menggenggam senjatanya pula. Ia lebih senang mempergunakan pedang rangkap dikedua tangannya. Pedang yang lebih pendek, tetapi nampaknya lebih berat dan kuat.
Orang berpakaian petani itu termangu-mangu. Memang pertempuran berikutnya akan sangat berbahaya bagi Glagah Putih. Karena itu. ia harus memberi kesempatan Glagah Putih meninggalkan gelanggang.
Sejenak orang berpakaian petani itu merenung. Senjata-senjata itu memang tidak terlalu berbahaya baginya. Tetapi bagi Glagah Putih akan lain akibatnya.
Karena itu, maka orang berpakaian petani itupun tiba-tiba telah membuka ikat pinggang kulitnya yang tebal. Dengan ikat pinggang kulit yang tebal itu ia mempersiapkan diri untuk melawan.
"Kau akan segera mati," geram orang berambut putih.
"Aku akan berusaha untuk menghindari kematian itu," jawab orang berpakaian petani itu.
"Kau tidak akan dapat melawan senjata kami."
Orang berpakaian petani itu tersenyum. Katanya, "Yang kau bawa adalah sekedar mainan anak-anak. Senjata yang kau sembunyikan dibawah bajumu itu tidak akan berarti apa-apa. Pedang atau sabut belati-belati itu atau golok atau nama lain dari senjata yang kalian bawa. tidak akan dapat memutuskan ikat pinggangku."
"Persetan," geram orang berambut putih. Dan sebelum mulutnya terkatup ia sudah menyerang dengan garangnya. Pedangnya terayun langsung mengarah kedahi lawannya, seakan-akan ia ingin membelah kepala itu dengan sekali ayunan.
05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun yang terjadi sangat mengejutkan. Orang berpakaian petani itu dengan cepatnya merentangkan ikat pinggangnya yang besar untuk melindungi kepalanya. Kemudian mengendorkannya sedikit. Ketika ia menghentakkan ikat pinggangnya. Maka senjata lawannya seolah-olah telah dihentak pula oleh kekuatan yang dahsyat, sehingga pedang itu terdorong dengan kuatnya.
Hampir saja pedang itu terlempar. Namun orang berambut putih itu masih mampu menahannya, sehingga pedang itu tidak terlepas dari tangannya.
Namun dalam pada itu, kedua orang itu menyadari, bahwa orang berpakaian pelani itu benar-benar orang yang tidak dapat diabaikan. Bahkan orang itu benar-benar merupakan bahaya yang cukup gawat. Dengan demikian, maka perkelahian bersenjata itupun menjadi semakin dahsyat. Orang berpakaian petani itu bergerak semakin cepat, meskipun tidak menunjukkan kekasaran seperti kedua lawannya. Sementara itu Glagah Putih masih bersembunyi dibalik perlindungan orang berpakaian petani itu. Namun tiba-tiba saja ia mendengar orang yang melindunginya itu berbisik, "Carilah kesempatan untuk lari."
Glagah Putih seperti terbangun dari mimpinya yang sangat buruk. Sejenak ia memperhatikan keadaan. Namun kemudian iapun memutuskan untuk melarikan diri pada saat yang tepat.
Ternyata orang berpakaian petani itupun berusaha mendesak kedua lawannya untuk memberi kesempatan kepada Glagah Putih. Ikat pinggangnya ternyata tidak hanya dapat dipergunakan sebagai perisai, tetapi tiba-tiba saja ikat pinggang itupun dapat mematuk bagaikan sekeping besi baja yang kuat dan berat.
Kedua orang dari Pasisir Endut itu benar-benar telah tenggelam dalam perlawanannya terhadap orang berpakaian petani itu, sehingga keduanya agak kurang memperhatikan Glagah Putih. Apalagi serangan orang itu bagaikan kuku-kuku burung rajawali yang berterbangan mengitarinya.
Dengan demikian, maka kedua orang itu tidak lagi mendapat kesempatan untuk memperhatikan anak yang hampir dibunuhnya. Jika salah seorang dari keduanya meninggalkan gelanggang untuk membunuh Glagah Putih, itu berarti bahwa yang lainpun akan terbunuh pula. Sehingga dengan demikian maka keduanya lebih baik bertempur berpasangan dan untuk sementara melepaskan perhatian mereka kepada anak itu.
Kesempatan itu nampaknya mulai terbuka. Meskipun demikian Glagah Putih cukup berhati-hati. Jika ia melepaskan diri dari perlindungan orang berpakaian petani itu dan berlari menyeberangi bulak, maka bayak kemungkinan yang dapat terjadi.
Dengan cermat Glagah Putih memperhatikan pertempuran itu. Orang berpakaian petani itu nampaknya berusaha untuk menekan lawannya sehingga keduanya tidak dapat berbuat lain kecuali bertahan berpasangan.
Ternyata pengamatan Glagah Putih cukup tajam. Ia melihat kesempatan yang benar-benar telah terbuka ketika orang berpakaian petani itu berhasil mendesak kedua lawannya justru menjauhinya.
Saat yang baik itu tidak disia-siakan. Dengan serta merta Glagah Putih meloncat berlari meninggalkan bulak yang hampir saja menelan nyawanya.
Kedua orang yang datang dari Pesisir Endut itu melihat Glagah Putih berlari. Tetapi pada saat itu keadaan mereka sendiri sudah terlalu sulit. Serangan orang berpakaian petani yang bersenjata ikat pinggangnya yang lebar dan tebal itu seolah-olah tidak dapat dihindarinya lagi.
Sementara itu Glagah Putih berlari-lari sekencang-kencangnya menuju kepadukuhan induk Kademangan Sangkal Putung. Meskipun ia melihat orang berpakaian petani itu berhasil mendesak lawannya, tetapi jika nasib malang datang menimpanya, maka ia akan mengalami kesulitan.
Karena itu Glagah Putih menganggap bahwa hal itu perlu diberitahukannya kepada Agung Sedayu, agar anak muda itu dapat menolongnya apabila orang yang berpakaian petani itu pada suatu saat mengalami kesulitan.
Dengan sekencang-kencangnya Glagah Putih berlari menyusur pematang. Dengan lincahnya ia meloncati parit dan kadang-kadang jalan-jalan kecil yang melintang langsung menuju kepadukuhan induk.
Ketika Glagah Putih memasuki padukuhan induk, ia masih melihat beberapa orang yang berjalan hilir mudik. Agar ia tidak menumbuhkan kecurigaan bagi beberapa orang dan kemudian menumbuhkan keributan, ia berusaha menahan diri dan berjalan menyusur jalan-jalan yang memintas langsung menuju ke rumah Ki Demang Sangkal Putung.
Seperti yang diduganya, maka orang-orang yang semula mengantarkan jenasah Ki Sumangkar kepemakaman, telah berada di pendapa. Beberapa orang anak muda sedang mempersiapkan minuman dan makanan bagi mereka.
Sejenak Glagah Putih termangu-mangu. Namun kemudian ia segera pergi kebelakang. Menurut dugaanya. Agung Sedayu tentu berada diantara anak-anak muda yang sedang sibuk mengatur jamuan itu.
Dugaannya ternyata tepat. Agung Sedayu sedang sibuk dibelakang bersama anak-anak muda sebayanya menyiapkan minuman dan makanan bagi tamu-tamu yang sedang berkumpul di Sangkal Putung.
"Kakang," desis Glagah Putih sambil menarik u jung baju Agung Sedayu.
Agung Sedayu berpaling. Dilihatnya Glagah Putih dengan wajah yang kemerah-merahan dibakar terik dan kegelisahan.
"Minumlah. He, kau nampak terengah-engah."
"Kakang. Dengarlah. Ada hal yang penting yang perlu segera kauketahui."
Agung Sedayu memandanginya sejenak. Diletakannya mangkuk yang ada ditangannya. Kemudian sambil tersenyum ia berkata, "Kau masih saja ingin berceritera. Duduklah dan minumlah. Kau tentu haus sekali."
Glagah Putih menjadi jengkel. Karena itu, maka iapun berbisik ditelinga Agung Sedayu, "Kakang, aku hampir mati dicekik orang."
"He?" kata-kata itu benar-benar mengejutkan Agung Sedayu.
Glagah Putih yang melihat Agung Sedayu mulai tertarik kepada ceriteranya segera melanjutkan kata-katanya meskipun masih sambil berbisik, "Ada dua orang yang berusaha membunuh aku."
Agung Sedayu menjadi semakin tertarik. Digandengnya Glagah Putih menjauhi anak-anak muda yang sedang sibuk. Dibawah sebatang pohon yang rindang keduanya duduk diatas sepotong kayu yang melintang.
"Katakan," desis Agung Sedayu.
Glagah Putihpun kemudian mulai berceritera dengan singkat apa yang diketahuinya. Sejenak ia berada dimakam, kemudian usaha kedua orang itu memisahkannya dari iring-iringan dan akhirnya mencoba membinasakannya.
"Jadi apa yang terjadi kemudian?"
"Mereka masih bertempur. Meskipun aku melihat yang seorang itu mendesak lawannya, tetapi aku belum yakin bahwa ia akan dapat menang dari kedua orang lawannya itu," berkata Glagah Putih dengan gelisah.
Agung Sedayu menjadi tegang, ia bukan seorang yang lekas dibakar oleh niat untuk membenturkan kekerasan dengan siapapun juga. Tetapi yang terjadi adalah tindak yang melampaui batas karena keduanya telah berusaha membunuh Glagah Putih yang masih terlalu muda dan tidak mengetahui persoalan apapun yang terjadi dalam kemelut yang menyuramkan hubungan Pajang dengan Mataram. Apalagi jika orang yang telah menolong Glagah Putih itu kemudian mengalami kesulitan yang gawat. Maka adalah kuwajibannya pula untuk membantunya, setidak-tidaknya untuk membebaskannya dari keadaan yang paling pahit, maut.
Karena itu, maka iapun dengan tergesa-gesa menemui seorang kawannya yang sedang menuang minuman kedalam mangkuk. Ditelinganya ia berbisik, "Aku akan pergi sebentar."
"Kemana?" bertanya kawannya, "kau nampak tergesa-gesa sekali."
Sekali lagi Agung Sedayu menempelkan mulutnya ketelinga kawannya itu, "Aku akan kesungai. Perutku tidak dapat bertahan lagi."
Kawannya tertawa. Agung Sedayupun mencoba untuk tertawa pula, sementara Glagah Putih menjadi heran, kenapa keduanya justru tertawa, karena ia tidak mendengar kata-kata Agung Sedayu.
Agung Sedayu memang tidak ingin menumbuhkan keresahan, karena dengan demikian, orang-orang yang ada di pendapa itu tentu akan menjadi hiruk pikuk.
Tetapi lebih dari itu, Agung Sedayu memperhitungkan, bahwa mereka nampaknya ada yang terlibat pula pada persoalan itu.
Lebih parah lagi jika mereka yang ada dipendapa itu ada yang berdiri pada pihak yang berseberangan. Jika ada prajurit Pajang yang terlihat, sementara yang lain menentangnya, maka akan timbul persoalan yang parah, justru saat mereka berada di Sangkal Putung.
Karena itulah maka Agung Sedayu berniat untuk menyelesaikan masalah itu tanpa menumbuhkan keonaran.
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu telah mengikuti Glagah Putih yang berjalan tergesa-gesa. Mereka menghindari orang-orang yang mungkin akan tertarik perhatiannya.
Karena itu, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih telah menyusuri jalan turun kesungai. Kemudian mereka berdua berlari-lari menuju kebulak panjang tempat kedua orang dari Pasisir Endut itu bertempur melawan seorang yang berpakaian petani.
Ternyata pertempuran itu telah berlangsung dengan dahsyatnya. Ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih mendekati arena, mereka masih terlihat dalam pertempuran yang sengit.
Namun ketika Agung Sedayu melihat pertempuran itu dengan saksama, maka ia menarik nafas dalam-dalam. Ia yakin, bahwa orang berpakaian petani itu akan dapat menyelesaikan pertempuran itu menurut kehendaknya. Ia tidak banyak mengalamai kesulitan yang berarti, sehingga sebenarnyalah bahwa ia tidak memerlukan bantuan siapapun juga.
"Aku sudah menduga bahwa kau akan datang Agung Sedayu," berkata anak muda yang berpakaian petani itu.
"Dari mana kau tahu" " bertanya Agung Sedayu.
"Glagah Putih itu sepupumu. Dan ia tentu tidak akan memberitahukan hal ini kepada Untara. Tetapi kepadamu."
Agung Sedayu tidak menyahut. Sambil mengerutkan keningnya ia melihat senjata anak muda yang aneh itu berputaran. Hampir seperti cara Agung Sedayu sendiri menggerakkan cambuknya.
"Ada beberapa unsur yang mirip," desis Agung Sedayu didalam hatinya.
Ternyata kehadiran Agung Sedayu telah membuat kedua orang dari Pasisir Endut itu menjadi semakin garang. Mereka berbuat apa saja untuk dapat membela diri dan sekali-sekali menyerang lawannya. Namun agaknya anak muda berpakaian petani itu benar-benar seorang anak muda yang mumpuni. Betapa kasar dan liarnya kedua orang dari Pesisir Endut itu. namun mereka tidak berdaya melawan anak muda berpakaian petani itu.
"Agung Sedayu," berkata anak muda itu, "aku memang menunggumu. Aku ingin memperlihatkan kepadamu, bagaimana aku membunuh kedua orang yang hampir saja merenggut nyawa adik sepupumu yang masih kecil dan tidak tahu apa-apa itu."
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Ia berkeberatan disebut masih kecil oleh anak muda berpakaian petani itu. Tetapi ia tidak mengatakannya.
Agung Sedayu sementara itu termangu-mangu. Ia memperhatikan pertempuran itu dengan saksama. Namun pengamatannya yang tajam, semakin meyakinkannya bahwa anak muda berpakaian petani itu benar-benar akan dapat mengalahkan kedua lawannya.
"Agung Sedayu," berkata anak muda itu," aku tak tahu bahwa kau termasuk seseorang yang tidak suka melihat pembunuhan-pembunuhan. Akupun sebenarnya bukan jenis seorang pembunuh yang tidak berperikemanusiaan. Tetapi karena kedua orang dari Pesisir Endut itu benar-benar orang yang berbahaya, maka aku akan membunuh keduanya."
"Persetan," orang berambut putih itu menggeram.
Sementara itu. Agung Sedayu yang termangu-mangu bergeser setapak menjauh diluar sadarnya, seakan-akan ia adalah orang yang asing sama sekali dari olah kanuragan, dan ketakutan melihat akibat yang bakal terjadi.
"Jangan seperti perempuan cengeng Agung Sedayu," berkata anak muda itu, "lihatlah, bagaimana ikat pinggangku mengakhiri perlawanan mereka. Jika aku tidak menunggu kedatanganmu, maka keduanya tentu sudah aku bunuh jauh sebelum saat ini."
Kedua orang dari Pesisir Endut itu menggeram. Mereka menyadari bahwa kedua anak muda itu benar-benar akan mencoba membunuh mereka. Sehingga karena itu, maka merekapun segera mengerahkan segenap sisa kemampuan yang ada pada mereka.
Betapapun juga kasar dan liarnya, tetapi mereka benar-benar telah dikuasai oleh anak muda itu. Sambil melihat lawannya dengan ikat pinggangnya anak muda itu berkata, "Kau memang orang aneh Agung Sedayu. Tetapi matamu seperti seorang yang kagum melihat perkelahian yang tidak berarti ini. Ketahuilah, bahwa kedua orang ini sama sekali tidak dapat menyamai, bahkan mendekati kemampuan Tumenggung Wanakerti, sehingga kemampuankupun tentu berada jauh dibawah kemampuanmu yang sebenarnya."
"Tidak," tiba-tiba saja Agung Sedayu menjawab, "aku melihat kau mempunyai kelebihan. Bahkan dari orang-orang yang pernah aku kenal."
"Ah, bohong," orang muda itu tertawa sambil bertempur sehingga kedua lawannya semakin merasa terhina, "orang-orang yang kau kenal adalah terutama gurumu, Raden Sutawijaya dari Mataram, Untara kakakmu dari Jati Anom dan masih banyak lagi. Tentu aku bukan orang yang dapat diperbandingkan dengan mereka."
Agung Sedayu tidak segera menyahut. Ia melihat anak muda itu menekan lawannya semakin tajam, meskipun ia masih juga berbicara dengan lantang, "Jangan membohongi dirimu sendiri. Kaulah yang melampaui setiap orang yang pernah kau kenal termasuk aku."
Agung Sedayu menggeleng. Namun tiba-tiba orang muda itu berteriak, "Bukan waktunya untuk merendahkan diri. Lihat, bagaimana aku membunuh dua orang yang paling kejam dimuka bumi."
Agung Sedayu tidak sempat menjawab. Anak muda berpakaian petani itu seolah-olah melenting tinggi. Kemudian ikat pinggangnyapun segera berputar dengan dasyatnya.
Kedua orang dari Pesisir Endut itu menjadi semakin bingung.
Bagaimanapun juga ternyata bahwa mereka tidak akan dapat melepaskan diri dari kegarangan ikat pinggang anak muda berpakaian petani itu, sehingga mereka mengumpat-umpat didalam hati, bahwa anak muda itu telah melihat apa yang telah dilakukannya.
Ternyata bahwa yang dikatakan oleh anak muda itu benar-benar dilakukan. Senjatanya yang aneh itu semakin lama semakin cepat berputar dan kadang-kadang terayun seperti pedang dan mematuk seperti tombak.
Sejenak kemudian, terdengar orang berambut putih itu mengeluh pendek. Segores luka telah menyobek dadanya melintang, sehingga darah yang merah telah memercik dari lukanya.
Terdengar anak muda berpakaian petani itu tertawa. Kemudian dengan lantangnya ia berkata, "Aku akan membunuh kalian didalam suatu arena pertempuran. Aku masih menghormati kalian sebagai laki-laki jantan. Dengan demikian maka aku masih berbuat lebih baik dari rencanamu. Menyuruh anak itu berbaring dilubang kubur, kemudian akan kau timbun hidup-hidup."
Terasa kulit tubuh Agung Sedayu meremang mendengar kata-kata itu. Jika benar demikian terjadi atas Glagah Putih. maka alangkah mengerikan.
Namun demilkian, rasa-rasanya hati Agung Sedayu-pun berdebar-debar pula melihat anak muda berpakaian petani itu. Ketika sekali lagi ia melenting sambil mengayunkan ikat pinggangnya, maka lawannya yang mudapun telah terlempar beberapa langkah.
Dengan susah payah ia berusaha untuk tetap berdiri tegak, namun kakinya terasa menjadi sungut lemah.
Kedua orang dari Pesisir Endut itu sama sekali sudah tidak berdaya. Meskipun keduanya masih berdiri, tetapi mereka sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Bahkan merekapun sama sekali tidak dapat menghindar ketika anak muda berpakaian petani itu menyambar mereka dengan ayunan ikat pinggangnya.
"Cukup," teriak Agung Sedayu.
Tetapi ia terlambat. Ikat pinggang anak muda berpakaian petani itu telah menyambar kedua lawannya, sehingga keduanyapun telah terlempar jatuh.
Sejenak keduanya masih mengerang. Namun kemudian suara mereka terputus. Keduanya ternyata telah mati.
Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Ditatapnya anak muda yang bersenjata ikat pinggang itu. Kemudian katanya, "Kau membunuh keduanya Ki Sanak."
"Ya. Aku membunuh keduanya. Hal yang tidak akan kau lakukan."
"Tetapi kita memerlukan keduanya. Mungkin keduanya akan dapat memberikan keterangan tentang diri mereka berdua."
"Aku tahu apa yang mereka ketahui. Keterangan itu tidak perlu sama sekali bagiku."
"Tetapi pembunuhan itu tidak perlu sama sekali. Ketika mereka sudah tidak mampu melawan, maka mereka akan dapat ditangkap dengan mudah."
Anak muda itu tertawa. Katanya, "Itulah yang penting bagimu. Mengampuni orang itu. Bukan mencari keterangan dari mereka."
Agung Sedayu memandang anak muda berpakaian petani itu dengan heran. Sikapnya dan tatapan matanya nampak asing dan aneh. Setiap kali ia tertawa dan sekali-sekali tertawanya terdengar nyaring.
"Nah Agung Sedayu," katanya kemudian, "aku telah menyelamatkan saudara sepupumu."
"Siapakah kau sebenarnya" " tiba tiba saja Agung Sedayu bertanya.
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba wajahnya menjadi tegang. Kalanya, "He. mereka yang mengantar Ki Sumangkar ke makam dan kembali kepadukuhan kini telah turun kebulak. Lihat ada beberapa petani menyusuri parit."
Agung Sedayu berpaling. Nampaknya memang beberapa orang Sangkal Putung sedang kembali kesawah mereka untuk melanjutkan kerja setelah terputus beberapa lama.
"Marilah kita pergi kerumah Ki Demang," ajak Agung Sedayu.
Anak muda itu tertawa. Katanya, "aku tidak perlu. Aku akan pergi. Pembunuhan ini terpaksa aku lakukan, karena jika keduanya tetap hidup, akibatnya akan parah bagimu dan Glagah Putih."
"Kenapa?" bertanya Agung Sedayu.
"Keduanya adalah orang-orang yang cukup memiliki ilmu. Tetapi mereka tidak berdiri sendiri.Kedua bersaudara dari Pesisir Endut itu telah terlibat dalam persekutuan dengan orang-orang yang menyebut dirinya keturunan Majapahit. He, bukankah kau mengetahui hal itu" Bertanyalah kepada gurumu, kenapa gurumu justru tetap berdiam diri tentang keturunan itu, seolah-olah ia tidak memiliki hak untuk berbuat demikian. Bukan maksudku agar Kiai Gringsing ikut berain-main berebutan warisan kerajaan Majapahit. Tetapi dengan pengaruh namanya ia akan dapat meredakan suasana. Namun mungkin juga sebaliknya. Rebutan itu akan bertambah ramai."
"Jika mereka masih hidup, akan dapat ditelusur dari manakah sumber dari kericuhan itu."
Anak muda itu tertawa. Sambil menggeleng ia menjawab, "Tidak mungkin. Jalur-jalur itu bertingkat banyak dan tentu akan terputus di tengah jalur." ia berhenti sejenak, lalu. "Nah, sekarang aku minta diri."
"Tunggu," sahut Agung Sedayu, "kau harus mempertimbangkan bagaimana dengan kedua orang yang mati itu."
"Biar sajalah ia disitu. Nanti orang-orang padukuhan tentu akan menguburkannya."
"Tetapi tinggalah disini. Petani-petani itu semakin dekat. Kau akan menjadi saksi apa yang sudah terjadi disini dengan Glagah Putih."
Dan tidak akan ada orang yang menuduh aku membunuh mereka berdua karena diluar kehendakku sendiri aku sudah terlalu banyak membunuh."
Anak muda itu tertawa semakin keras. Katanya, "Kau seorang yang mumpuni. Tetapi kau menjadi ketakutan untuk dituduh membunuh dua orang tikus dari Pasisir Endut itu" Aku kira itu lebih baik daripada keduanya masih tetap hidup dan memberikan banyak keterangan tentang Agung Sedayu. Sengaja atau tidak sengaja, kau memang sudah terlibat semakin jauh, bahkan kau akan dianggap musuh yang paling utama setelah kau membunuh dan melumpuhkan banyak orang-orang penting dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu."
"Kau tahu tentang pertempuran itu?"
"Aku adalah seorang petualang atau katakan seorang pengembara yang menjelajahi gunung dan ngarai. Aku tahu apa saja yang terjadi dalam hubungan Pajang dan Mataram serta orang-orang yang merasa dirinya pewaris kerajaan Majapahit."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba diluar sadarnya ia bertanya, "Kau kenal Rudita?"
Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Kemudian ia menggelengkan kepalanya sambil menjawab, "Aku belum mengenalnya. Apakah ia orang mumpuni seperti kau?"
"Ia seorang yang mumpuni dan meyakini sikap dan pandangan hidupnya. Tetapi bukan seorang diantara kita yang tangannya berbau darah."
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian, "Orang orang itu menjadi semakin dekat. Ada dua orang yang berjalan kearah ini. Karena itu, aku akan pergi."
"Jangan pergi dahulu," Agung Sedayu mencegahnya, "kau harus bertanggung jawab terhadap pembunuhan ini ?"
"Bertanggung jawab terhadap siapa?" bertanya anak muda itu dengan heran.
"Kepada orang-orang Sangkal Putung," jawab Agung Sedayu, "daerah ini adalah daerah Kademangan Sangkal Putung. Peristiwa-peristiwa yang terjadi disini harus dipertanggung jawabkan kepada Ki Jagabaya dan Ki Demang."
Anak muda itu tertawa. Jawabnya, "Aku bukan orang Sangkal Putung. Kedua orang itupun bukan orang Sangkal Putung."
"Tetapi peristiwa itu terjadi di Sangkal Putung," desak Agung Sedayu.
"Aku tidak peduli. Aku akan pergi. Biarlah keduanya diurus oleh orang-orang Sangkal Putung. Aku tidak berkepentingan dengan mereka berdua, dan akupun tidak berkepentingan dengan orang-orang Sangkal Putung."
"Kau berkepentingan dengan kedua sosok mayat itu. Kaulah yang telah membunuhnya."
"O, jadi menurut pendapatmu, aku sebaiknya tidak usah mencampuri persoalan kedua orang itu" Atau menurut pertimbanganmu sebaiknya aku membiarkan keduanya membunuh Glagah Putih."
"Tidak. Bukan maksudku. Bahkan aku hampir lupa mengucapkan terima kasih terhadapmu. Tetapi tunggulah sebentar. Kau harus mengatakan kepada petani yang lewat itu bahwa kaulah yang telah membunuh keduanya, dan bukan aku."
Tetapi anak muda itu menggeleng. Jawabnya, "Itu tidak perlu. Kau sudah mempunyai saksi. Glagah Putih."
"Aku minta kau tetap disini," berkata Agung Sedaya kemudian.
Anak muda itu memperhatikan Agung Sedayu sebentar. Kemudian dengan ragu-ragu ia bertanya, "Apakah kau akan memaksa aku?"
"Sebenarnya aku tidak perlu memaksa. Tetapi kau dengan kehendakmu sendiri akan berada ditempat ini sebentar lagi saja."
"Sayang, aku tidak melihat gunanya. Petani-petani Sangkal Putung itu tentu tidak mengenal aku juga. Biarlah. Aku minta diri."
Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Katanya, "Tunggulah."
"Aku tidak mau."
Wajah Agung Sedayu menjadi tegang. Ketika anak muda itu beringsut, diluar sadarnya Agung Sedayupun beringsut pula. Bahkan seolah-olah ia mengancam, "Kau harus tetap disini. Kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu kepada Ki Jagabaya dan Ki Demang Sangkal Putung."
"Aku tidak mau."
Agung Sedayu melangkah maju. Namun tiba-tiba saja langkahnya tertegun ketika ia mendengar anak muda itu berkata, "Aku menyesal bahwa aku sudah menolong sepupumu. Jika aku membiarkannya, maka aku tidak akan mendapat tekanan seperti ini."
Sejenak Agung Sedayu berdiam diri sambil termangu-mangu. Anak muda itu berkata, "sebenarnya. Jika ia tidak mencampuri persoalan Glagah Putih dengan kedua orang itu, maka tidak akan ada orang yang akan menahannya dan menuntutnya untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya."
Selagi Agung Sedayu termangu-mangu maka anak muda itu berkata, "Agung Sedayu, jika kau memaksa aku untuk tetap tinggal disini, maka kau tentu dapat."
Aku akan dapat melawan kehendakmu jika kau memang berniat memaksakan kehendakmu itu, karena kau adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi mengertilah, bahwa aku tidak ingin terlibat kedalam persoalan yang semakin jauh. Aku hanya ingin menolong Glagah Pulih. Selebihnya aku tidak mau mencampurinya."
"Tetapi kau mengetahui banyak hal tentang Pajang, tentang Malaram dan bahkan tentang aku."
Semua orang mengetahui tentang kau, tentang Untara. tentang Raden Sutawijaya. tentang Kiai Gringsing, tentang Ki Juru Martani dan tentang persoalan-persoalan yang dihadapinya. Karena itu maka akupun mengerti serba sedikit tentang kau, tentang Pajang dan tentang pertempuran dilembah itu."
Agung Sedayu termangu-mangu ketika ia memandang kejalan panjang, ditengah-tengah bulak itu, ia melihat kedua orang petani Sangkal Pulung itu menjadi semakin dekat.
Tetapi agaknya anak muda itu benar-benar tidak mau menunggu. Iapun mulai melangkah dan berkata, "Jika kau memaksaku untuk menunggu mereka, aku tentu akan dapat melakukannya karena aku tidak akan dapat melawanmu. Tetapi dengan demikian maka aku akan menyesal sepanjang umurku, bahwa aku telah menolong Galgah Putih hari ini."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi terasa Glagah Putih menggamitnya sambil berbisik, "Kakang, ia benar-benar telah menyelamatkan aku."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Baiklah Glagah Putih, aku tidak akan menahannya."
Anak muda yang menolong Glagah Putih itu berhenti sejenak. Katanya, "Yang aku lakukan bukanlah apa-apa."
Tetapi Ki Widura, ayah Glagah Putih tentu akan menyesal bahwa ia tidak sempat mengucapkan terima kasih kepadamu."
Anak muda itu tertawa. Katanya, "Itu tidak perlu. Aku sama sekali tidak mengharapkan terima kasih dari siapapun juga."
Agung Sedayu tidak menyahut lagi. Dibiarkannya anak muda berpakaian petani itu meninggalkannya yang berdiri termangu-mangu.
Sementara itu, petani dari Sangkal Putung yang berjalan menyusuri jalan bulak itu menjadi semakin dekat. Dari kejauhan mereka sudah melihat Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Sedangkan orang yang sedang berbicara dengan anak muda itu kemudian pergi meninggalkannya. Namun petani-petani Sangkal Putung itu masih belum melihat bahwa dihadapan mereka terdapat dua sosok mayat yang tergolek ditanah.
Agung Sedayu dan Glalah Putih menjadi berdebar-debar. Namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa sementara orang-orang itu mendekatinya.
Betapa terkejut mereka, ketika para petani itu melihat tubuh yang terbujur membeku ditanah. Dengan mata terbelalak mereka memandang mayat itu.
Agung Sedayu yang gelisah itupun segera mencoba memberikan keterangan, "Dua orang yang mati dibunuh oleh anak muda yang baru saja meninggalkan aku."
"O, anak muda itu," desis salah seorang petani sambil memandang keujung jalan yang panjang. Anak muda itu masih kelihatan, berjalan menyusuri jalan bulak itu semakin lama semakin jauh.
"Kenapa" " petani itu bertanya.
Agung Sedayu termangu-mangu. Ia tidak ingin menceritakan kepada mereka apa yang sesungguhnya telah terjadi agar mereka tidak menjadi gelisah dan cemas.
Karena itu, maka jawabnya, "Mereka berselisih. Akhirnya perkelahian tidak dapat dihindarkan."
"Apakah yang mereka persoalkan?"
Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya, "Aku tidak tahu."
Dan yang dicemaskan Agung Sedayu itupun terloncat dari mulut salah seorang petani itu, "Dan kau biarkan saja mereka pergi."
Agung Sedayu termenung sejenak. Tetapi kemudian ia menjawab, "Aku tidak dapat mencegahnya. Persoalan yang terjadi antara merekapun aku tidak jelas. Tidak agaknya anak muda itu berbuat demikian dengan maksud baik. Mungkin Glagah Putih dapat menjelaskan kemudian."
Orang itu menjadi bingung. Namun kemudian katanya, "Tetapi pembunuhan itu terjadi di tlatah Sangkal Putung."
"Ya, aku mengerti. Aku tidak dapat mencegahnya. la pergi begitu saja."
"Kau dapat menahannya. Kau mempunyai kemampan untuk mencegah agar ia tidak pergi dan menghadap Ki Demang Sangkal Putung."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, "Persoalannya tentu akan berkembang. Pertentangan itu akan merambat antara aku dan orang itu."
Petani-petani itu termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja salah seorang dari mereka berdesis, "Agung Sedayu, apakah kau tidak menutupi kenyataan yang terjadi" Apakah bukan kau yang telah membunuh kedua orang itu karena mereka justru telah mengancam nyawamu?"
"Aku?" bertanya Agung Sedayu. Debar jantungnya menjadi semakin cepat.
"Bukan," Glagah Putihlah yang menyahut, "bukan kakang Agung Sedayu. Tetapi anak muda itulah yang telah membunuh keduanya dengan cara yang aneh sekali."
Petani-petani itu saling berpandangan. Namun kemudian salah seorang dari mereka berkata, "Kita wajib memberitahukan kepada Ki Jagabaya dan Ki Demang."
Agung Sedayu tidak dapat mencegah mereka. Karena itu. ia berdiri saja termangu-mangu ketika para petani itu kemudian dengan tergesa-gesa pergi meninggalkannya.
"Kademangan tentu akan menjadi ribut," desis Agung Sedayu, "jika tamu-tamu yang berdatangan dari tempat-tempat lain itu masih ada, maka mereka tentu akan beriringan datang untuk melihat, apa yang telah terjadi."
"Apakah yang harus kita katakan kepada mereka kakang?"
"Kita tidak dapat berbohong terlalu banyak. Kau harus mengatakan bahwa mereka akan membunuhmu, kemudian seorang anak muda berpakaian petani telah menolongmu."
"Bagaimana jika seseorang bertanya kepadaku, kenapa mereka akan membunuhku?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak ingin persoalannya berkembang semakin jauh. Karena itu, maka katanya, "Katakan saja bahwa kau tidak tahu apa apa. Mereka tentu akan mencari sendiri sebabnya."
Glagah Putih termenung sejenak. Dan Agung Sedayupun berkata lebih lanjut. "Ketahuilah Glagah Putih, yang ada di Sangkal Putung sekarang adalah orang-orang yang tidak kita ketahui dengan pasti sikap dan tanggapannya terhadap keadaan sekarang ini."
Buku 115 DALAM pada itu, para petani yang meninggalkan Agung Sedayu itupun telah memasuki halaman Kademangan. Dengan wajah yang merah padam mereka memaksa para pengawal yang menahan mereka, untuk dapat bertemu dengan Ki Demang.
"Ada persoalan apa?" bertanya para pengawal.
"Persoalan penting. Persoalan yang akan kami laporkan langsung kepada Ki Demang."
"Tetapi masih banyak tamu dipendapa."
"Persoalan ini harus segera diketahui oleh Ki Demang."
Para pengawal itu menjadi termangu-mangu. Namun kemudian pemimpin para pengawal itu berkata, "Duduk sajalah disini. Aku akan mengundang Ki Demang untuk datang kemari."
Para petani itu menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian salah seorang berkata, "Baiklah. Katakan kepada Ki Demang."
Pemimpin pengawal itupun kemudian pergi kependapa. Dengan hati-hati ia memberikan isyarat kepada Ki Demang, agar Ki Demang datang kepadanya.
Ketika seorang perwira yang masih berada dipendapa sambil menghirup minuman hangat melihat pula pemimpin pengawal itu, maka iapun bertanya, "Ada apa?"
Pemimpin pengawal itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian jawabnya, "Tidak apa-apa tuan. Sekedar soal air di sawah sebelah padukuhan induk ini."
Perwira itu tidak menghiraukannya lagi. Demikian pula orang-orang lain yang semula tertarik pula kepada pemimpin pengawal itu.
Ki Demang yang segan itupun turun kehalaman mendekati pengawal itu. Dengan segan pula ia bertanya, "Ada apa?"
"Beberapa orang ingin bertemu dengan Ki Demang," bisik pemimpin pengawal itu.
"Ya, ada apa?" Ki Demang yang merasa terganggu mendesak.
"Silahkan menemui mereka Ki Demang. Mereka ada digardu."
Ki Demangpun kemudian pergi ke gardu untuk menjumpai para petani yang tidak dapat menahan diri lagi. Berebut mereka menceritakan apa yang mereka lihat dibulak itu.
Ki Demang yang melihat kemungkinan yang dapat menumbuhkan keributan dari peristiwa itu mencoba untuk menahan agar para petani itu tidak berbicara terlalu keras. Tetapi usahanya tidak berhasil. Dan beberapa orang yang duduk dipendapa, ternyata telah tertarik pula melihat cara para petani itu bercerita, sehingga satu dua diantara mereka telah turun dan mendekat.
Hal itu tidak lagi dapat disembunyikan. Sejenak kemudian berita tentang peristiwa dibulak panjang itu telah tersebar diseluruh pendapa sehingga Raden Sutawijaya dan Untara telah mendengarnya.
Seperti yang diduga oleh Ki Demang, maka pendapa itupun menjadi ribut. Beberapa orang tidak dapat menahan diri lagi dan dengan tergesa-gesa mendekat sambil bertanya berebut dahulu, "Siapa yang terbunuh di bulak panjang?"
Tidak seorangpun yang dapat memberikan penjelasan. Tetapi mereka dapat mengatakan, bahwa dibulak panjang itu terdapat Agung Sedayu.
"Apakah Agung Sedayu sudah membunuh lagi" " diluar sadarnya Kiai Gringsing berdesis.
Seperti yang diperhitungkan oleh Agung Sedayu, maka kemudian para tamu yang masih ada di Sangkal Pulung itu dengan tergesa-gesa telah pergi beriringan ke tengah bulak.
Mereka menjumpai Agung Sedayu dan Glagah Putih masih berada ditempatnya. Mereka sengaja menunggu orang-orang yang menurut mereka pasti akan datang, untuk mendapatkan keterangan tentang apa yang telah terjadi.
Ketika orang-orang itu kemudian berdiri melingkar sambil berdesakkan disekitar kedua sosok mayat dan Agung Sedayu serta GlagahPutih, maka mulailah Agung Sedayu mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi.
"Kau melihat bagaimana orang itu membunuh?" bertanya Kiai Gringsing.
"Ya guru. Dengan ikat pinggangnya. Ia dapat mempergunakan ikat pinggangnya dengan hampir sempurna sehingga ikat pinggang itu mematuk seperti ujung tombak, tetapi dapat menebas seperti pedang."
"Orang itu masih muda?" bertanya Untara, "semuda Raden Sutawijaya?"
Agung Sedayu mengangguk. "Dan ia tidak meninggalkan pesan apa-apa?" bertanya Raden Sutawijaya.
"Tidak Raden. Ia pergi begitu saja dan aku tidak dapat menahannya betapapun aku ingin. Tetapi aku tidak mau terlibat dalam persoalan jika aku memaksanya untuk tinggal."
Raden Sutawijayapun kemudian berjongkok memeriksa bekas luka-luka pada tubuh mayat itu. Ketika ia mengangkat wajahnya, dilihatnya Ki Juru menarik nafas dalam-dalam.
"Tidak usah disembunyikan Raden," seorang perwira berkumis lebat mendesak maju, "kita semuanya tahu, siapakah yang telah melakukannya."
Agung Sedayu memandang perwira berkumis lebat itu dengan dada yang berdebar-debar. Sejenak ia berdiri tegak tanpa bergerak, sedangkan Glagah Putih menjadi cemas melihat wajah yang keras itu.
"Kakang Tumenggung Brajaketi," berkata Raden Sutawijaya, "tidak ada maksud menyembunyikan sesuatu. Apalagi jika memang sudah diketahui bersama. Yang sedang kita lakukan adalah meyakinkan dugaan kita, apakah benar bahwa yang telah terjadi seperti yang kita sangka."
"Apakah masih ada keragu-raguan" Bekas tangannya tidak ada duanya. Ia adalah orang yang paling pantas ditakuti. Bagiku, ia adalah orang satu-satunya yang memiliki wibawa sekarang ini."
Wajah Raden Sutawijaya menjadi tegang. Dipandanginya perwira berkumis lebat yang kemudian berjongkok pula diseberang mayat yang terbaring dihadapannya, dan yang kemudian beringsut pada mayat yang seorang lagi.
"Jelas sekali. Ia adalah orang besar di masa kini. Harapan setiap orang Pajang, bahwa ia akan tampil untuk menegakkan kegoyahan tahta dan menghancurkan setiap orang yang menentang keputusannya," geram Tumenggung Brajaketi.
"Jika benar, maka Pajang tentu akan menemukan dirinya kembali," jawab Raden Sutawijaya.
Jawaban itu mengejutkan Tumenggung Brajaketi. Wajahnya menjadi merah sejenak. Namun kemudian ia menundukkan wajahnya memandangi mayat yang terbaring dihadapannya.
"Ia memang putera satu-satunya," sahut Ki Juru Martani, "ia memang harapan setiap orang. Jika saja ia tidak menolak untuk menjadi Putera Mahkota."
"Ia tidak akan menolak," bantah Tumenggung Brajaketi.
"Jangan kau katakan kepadaku. Katakan kepada Sultan Pajang," sahut Ki Juru Martani.
Ki Tumenggung menegang. Namun Untara kemudian berkata, "Ia adalah orang yang berbuat sesuai dengan keinginan yang melonjak-lonjak didalam hati. Ia akan membunuh jika ia ingin membunuh. Ia akan pergi jika ia ingin pergi. Kenapa kalian mempersoalkannya disini?"
Raden Sutawijaya berdiri tegak memandang berkeliling. Kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, "Yang melakukan adalah adimas Pangeran Benawa, Agung Sedayu. Mungkin kau memang belum mengenal secara pribadi. Tetapi kau tentu sudah mengenal namanya. Ia adalah anak muda yang kecewa. Yang tidak mau terlibat dalam kemelutnya pemerintahan ayahandanya."
"Ada orang yang dengan sengaja mengkesampingkan," potong Ki Tumenggung Brajaketi.
"Ada beberapa pihak," geram Untara, "kakang Tumenggung Brajaketi. Jangan menutup kenyataan, bahwa ada orang yang sedang mengipasi api yang sedang menyala."
"Adimas Untara," sahut Tumenggung Brajaketi, "kau adalah Senapati pinunjul. Tetapi pengetahuanmu tentang istana ternyata terlalu sempit. Kau lebih banyak berada dimedan yang kurang kau pahami."
"Aku tahu yang kau maksud," potong Untara, "apakah kau termasuk orang-orang yang sedang meniup api sekarang ini" Atau semacam kebencian yang tidak berdasar atas tumbuhnya Mataram" Aku menyadari persoalan itu. Tetapi kita tidak akan membicarakannya disetiap kesempatan."
Wajah Brajaketi menjadi merah padam. Tiba-tiba iapun berdiri sambil berkata, "Aku adalah Tumenggung yang sadar akan tanggung jawabku terhadap keselamatan Pajang. Aku akan berbuat apa saja untuk menyelamatkan Pajang dari setiap pemberontakan, siapapun yang akan menentang Sultan Hadiwijaya maupun Pangeran Benawa yang berhak menjadi Putera Mahkota, maka ia akan berhadapan dengan aku. Tumenggung Brajaketi."
Namun tiba-tiba ketegangan itu bagaikan koyak oleh suara seseorang diantara mereka yang berkerumun diseputar mereka, "Ki Tumenggung benar. Setiap orang tentu akan mendukung sikap itu. He, apakah Ki Tumenggung melihat gejala dari seseorang yang akan memberontak" Atau barangkali yang dimaksud oleh Ki Tumenggung adalah orang-orang yang menyebut dirinya pewaris kerajaan Majapahit?"
Wajah Ki Tumenggung Brajaketi menjadi panas seperti tersentuh api. Ketika terpandang olehnya orang yang berbicara itu, jantungnya bagaikan akan meledak.
"Kiai Gringsing," ia bergumam, "kau memang tidak tahu apa-apa tentang sikap orang-orang besar di Pajang sekarang ini."
"Ya. Aku memang tidak tahu apa-apa. Karena itu aku bertanya kepadamu."
"Pertanyaan itu mengundang persoalan," Untaralah yang memotong, "kenapa kita ributkan persoalan itu sekarang" Pertanyaanku sekarang aku tujukan kepada setiap orang, apakah kalian memang ingin melihat api yang menyala dan membakar Pajang" Aku adalah Panglima yang berkuasa di daerah ini. Terlebih-lebih aku sedang membawa lambang pribadi Sultan Hadiwijaya. Jika kalian masih ingin mempersoalkannya, marilah, persoalkan dengan aku. Aku akan mengambil sikap untuk menyelesaikannya dengan caraku sebagai seorang Senapati, siapapun yang sedang aku hadapi."
Dada Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Sekilas dipandanginya gurunya. Tetapi Kiai Gringsing justru tersenyum sambil berkata, "Aku hormati sikapmu anakmas. Aku menarik diri dari setiap pembicaraan. Marilah Agung Sedayu, marilah Glagah Putih, biarlah mayat itu dimakamkan sebagaimana seharusnya. Tetapi kita kini tahu, bahwa Pangeran Benawa adalah orang yang tidak ada duanya di daerah Pajang." Kiai Gringsing melangkah selangkah. Namun iapun berhenti sambil berpaling. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "He, Agung Sedayu. Apakah kau tidak tahu, siapakah kedua orang yang terbunuh ini?"
Agung Sedayu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian katanya, "Menurut anak muda yang berpakaian petani, yang ternyata adalah Pangeran Benawa, kedua orang ini adalah kakak beradik dari Pesisir Endut."
"He," beberapa orang saling berpandangan. Seorang perwira yang berwajah tenang berdesis, "orang-orang yang luar biasa. Pangeran Benawa benar-benar telah membuktikan, bahwa ia adalah seorang laki-laki."
Yang lain mengangguk-angguk kecil, sementara Raden Sutawijayapun berkata, "Untara, bagaimanakah jika kau perintahkan saja mengubur mayat-mayat itu?"
"Aku memang akan memerintahkan," jawab Untara itu, "sudah menjadi kewajibanku. Dan Ki Demang Sangkal Pulung tentu akan memberikan bantuan kepadaku. Karena itu, aku akan mempersilahkan semuanya meninggalkan tempat ini."
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Untara sejenak, namun kemudian iapun berkata, "Aku akan kembali kerumah Ki Demang di Sangkal Putung. Nampaknya keperluanku disinipun sudah selesai, sehingga aku akan segera dapat minta diri."
Raden Sutawijaya tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun kemudian meninggalkan tempat itu, diikuti oleh pengawal-pengawalnya yang terpercaya.
Selain Raden Sutawijaya, maka beberapa orang yang lainpun meninggalkan tempat itu pula. Ki Tumenggung Brajaketipun kemudian melangkah pergi. Ketika ia lewat disisi Untara, maka iapun berkata, "Tidak ada orang lain yang sanggup melakukannya. Apalagi kedua orang itu ternyata kakak beradik dari pesisir Endut."
Untara memandang wajah Tumenggung itu sejenak. Hampir diluar sadarnya ia berkata, "Apakah Ki Tumenggung juga tidak sanggup seandainya Ki Tumenggung mendapat kesempatan yang sama?"
Wajah Tumenggung Brajaketi menjadi merah padam. Namun ia tidak menjawab pertanyaan Untara. Dengan langkah panjang ia meninggalkan tempat itu bersama beberapa orang perwira yang lain.
Yang kemudian tinggal adalah Ki Demang Sangkal Putung, Kiai Gringsing dan Agung Sedayu. Sejenak kemudian Ki Waskitapun mendekatinya pula sementara beberapa langkah dari mereka berdiri Ki Argapati dan Swandaru Geni, yang kemudian mendekat pula. Sedangkan Ki Widurapun menghampiri Glagah Putih yang masih berdiri kebingungan.
"'Mereka adalah orang-orang aneh," desis Kiai Gringsing, "hampir saja aku kehilangan pengamatan diri."
Ki Waskita tersenyum. Katanya, "Tetapi apakah dengan demikian Kiai dapat menggolongkan beberapa orang yang hadir itu kedalam lingkungan masing-masing" "
"Masih belum Ki Waskita, tetapi setidak-tidaknya aku melihat, bahwa orang-orang tertentu di Pajang kini seakan-akan mempunyai jalannya sendiri. Tetapi lebih parah lagi jika mereka masing-masing berusaha untuk memaksakan keinginan mereka dengan cara apapun juga."
Ki Argapati yang mengangguk-angguk kemudian berkata, "Mudah-mudahan bukan kesengajaan untuk mengipasi api yang memang sudah dapat menyala sekarang ini seperti yang dikatakan Untara."
"Siapa tahu," desis Ki Widura, "tetapi kita masih mengharap masing-masing pihak dapat menahan diri sehingga tidak akan timbul benturan kekuatan. Mudah-mudahan pada suatu saat tumbuh orang kuat yang dapat diterima oleh banyak pihak, sehingga ikatan atas kesatuan Pajang tidak akan koyak berserakan."
Agung Sedayu sama sekali tidak menyahut. Iapun kemudian membantu orang-orang yang dipimpin oleh Ki Demang menyelenggarakan kedua sosok mayat yang tergolek itu sebagaimana seharusnya.
Ketika orang-orang Sangkal Putung akan membawa mayat itu kepekuburan, maka beberapa orang diantara merekapun dipersilahkan untuk kembali ke Kademangan termasuk Glagah Putih.
"Pergilah bersama orang-orang yang dapat kau minta perlindungannya jika perlu," berkata Agung Sedayu, "Aku akan ikut kekubur."
Kiai Gringsing memandanginya sejenak. Meskipun ia belum mendengar ceritera yang sebenarnya tentang Glagah Putih dan kedua orang yang terbunuh itu, namun rasa-rasanya ia dapat menghubungkannya hal itu dengan Agung Sedayu.
Agung Sedayu tidak mengelakannya, bahkan katanya kemudian, "Biarlah aku mengawasi anak-anak muda yang pergi kekuburan guru."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk kecil. Namun iapun kemudian bersama yang lain dan Ki Demang Sangkal Putung kembali ke Kademangan. Apa lagi mengingat tamu-tamu mereka masih tinggal di Kademangan meskipun mereka sudah bersiap siap untuk kembali.
Tetapi diantara mereka, Ki Waskita nampaknya menjadi ragu ragu. Katanya kemudian kepada Kiai Gringsing, "Biarlah aku tinggal bersama Agung Sedayu Kiai. Silahkan Kiai mendahului. Beberapa orang di Kademangan itu tentu menunggu kehadiran Kiai. Sementara aku akan membantu Agung Sedayu dan anak-anak muda Sangkal Putung."
Kiai Gringsing tersenyum ia sadar, bahwa jika ia tidak nampak di pendapa Kademangan, tentu ada beberapa orang yang bertanya-tanya. Berbeda dengan Ki Waskita yang tidak banyak dikenal oleh para tamu dipendapa Kademangan Sangkal Putung.
Karena itu, yang tinggal kemudian adalah Agung Sedayu dan Ki Waskita diantara anak-anak muda Sangkal Putung dan orang-orang yang akan mengubur kedua sosok mayat itu. Agung Sedayu tidak sampai hati melepaskan mereka, karena bagaimanapun juga, namanya tersangkut pada peristiwa pembunuhan yang baru saja dilakukan oleh anak muda yang ternyata adalah Pangeran Benawa itu.
Sepanjang jalan ke kuburan. Agung Sedayu sempat menceriterakan apa yang sebenarnya telah terjadi kepada Ki Waskita, yang mendengarkannya dengan saksama. Agung Sedayu sempat mengatakan, menurut pendengaran Glagah Putih, bahwa masih saja ada orang yang membayang-bayanginya.
"Kenapa justru akulah yang selalu dibayangi oleh dendam itu Ki Waskita?" bertanya Agung Sedayu dengan nada yang dalam.
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Seseorang kadang-kadang memang harus terjerumus kedalam suatu keadaan yang sama sekali tidak dikehendakinya sendiri, Agung Sedayu. Aku tahu bahwa kau sama sekali tidak ingin melakukan pembunuhan demi pembunuhan. Namun ternyata itulah yang terjadi, sehingga kau kini selalu dibayangi oleh dendam yang tidak ada habis-habisnya. Bahkan rasa-rasanya semakin lama menjadi semakin dalam."
"Apakah bayangan itu akan selalu mengikutiku sepanjang umurku Ki Waskita?" bertanya Agung Sedayu pula.
"Aku kira tidak, Agung Sedayu. Pada suatu saat kau tentu akan menemukan jalan, melepaskan diri dari lingkungan dendam yang bagimu tentu sangat menggelisahkan. Mungkin kau sendiri akan dapat melepaskan diri. Tetapi akibatnya, kau telah melakukan sesuatu yang membuat bayangan dendam itu semakin kelam."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Diwajahnya membayang kegelisahan perasaannya menghadapi keadaan yang sama sekali tidak dikehendakinya itu, namun yang telah membelitnya seperti sulur-sulur beringin yang mencengkam batu-batu karang.
05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Berbeda dengan saat-saat pemakaman Ki Sumangkar, maka penguburan itu rasa-rasanya sama sekali tidak ada perhatian dari orang-orang yang berada di Sangkal Putung. Kecuali mereka yang bertugas menguburkannya, hanyalah Agung Sedayu dan Ki Waskita sajalah yang menungguinya. Ada satu dua orang memandang dari kejauhan, namun mereka sama sekali tidak tertarik untuk mendekat, karena berita tentang pembunuhan itu telah tersebar keseluruh Kademangan, sehingga selain orang-orang itu tidak berkepentingan, maka merekapun tidak mau tersentuh oleh peristiwa yang mendebarkan itu.
Setelah penguburan itu selesai, maka anak-anak muda yang menguburkan mayat itupun dengan tergesa-gesa meninggalkan kuburan itu. Mereka merasa tidak tenang, karena diantara mereka terdapat Agung Sedayu dan Ki Waskita, karena sebagian dari mereka mengetahui, bahwa kedua orang itu memiliki kemampuan yang akan dapat melindungi mereka jika ada pihak yang ingin melibatkan mereka kedalam kesulitan.
Dijalan pulang. Agung Sedayu dan Ki Waskita masih asyik berbicara tentang peristiwa yang baru saja terjadi, sehingga mereka agak tertinggal oleh anak-anak muda dan orang-orang Sangkal Putung yang baru saja menguburkan kedua mayat yang terbunuh itu.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja langkah mereka tertegun. Dengan dada yang berdebar-debar. Agung Sedayu menggamit Ki Waskita ketika ia melihat seseorang duduk dibawah sebatang pohon tidak jauh dari jalur jalan yang mereka lewati.
"Itulah anak muda itu," desis Agung Sedayu.
"Pangeran Benawa?" bertanya Ki Waskita.
"Menurut beberapa orang, ia adalah Pangeran Benawa. Agaknya pantas juga jika ia disebut Pangeran meskipun ia berpakaian seorang petani."
Ki Waskita termangu-mangu. Nampaknya anak muda itu sama sekali tidak menghiraukannya meskipun Agung Sedayu memperhatikannya dengan saksama.
"Ya. Aku tidak salah lagi. Kita akan menghadap," berkata Agung Sedayu.
Ki Waskita sama sekali tidak berkeberatan. Karena itulah, maka merekapun seolah-olah telah mempercepat langkah mereka mendekati anak muda yang duduk termenung tanpa menghiraukan keadaan disekitarnya.
Tetapi ia menengadahkan wajahnya pula ketika Agung Sedayu dan Ki Waskita dengan ragu-ragu mendekatinya. Bahkan dengan suara ragu Agung Sedayu berdesis, "Apakah benar aku berhadapan dengan Pengeran Benawa?"
Anak muda berpakaian petani itu memandanginya. Kemudian katanya, "Silahkan duduk Agung Sedayu. Dan, apakah aku boleh mengenalmu Ki Sanak?" katanya pula kepada Ki Waskita.
Agung Sedayu dan Ki Waskitapun duduk disebelah anak muda itu. Dengan nada dalam Ki Waskita berkata, "Aku dipanggil Ki Waskita, Pangeran."
"O, jadi kalian sudah yakin, bahwa akulah Benawa itu?" bertanya anak muda itu.
"Semua orang yang mengamati kedua mayat itu sependapat, bahwa kematiannya tentu karena bekas tangan Pangeran Benawa. Aku kurang tahu, apakah yang menandai kematian itu, selain luka-luka yang memang agak berbeda dari bekas senjata kebanyakan. Dan agaknya karena luka-luka itu bukan karena tusukan tombak, bukan pula karena goresan pedang, maka mereka tahu, bahwa senjata yang dipergunakan adalah senjata yang aneh. yang sebenarnya tidak biasa dipergunakan orang."
Pangeran Benawa mengangguk. Namun kemudian katanya, "Mereka benar, bahwa yang telah membunuh kedua orang itu adalah Benawa. Tetapi jika seseorang kurang yakin, maka aku tentu menandai dahi setiap orang yang aku bunuh. He, apakah kau tidak memperhatikan tanda itu?"
Agung Sedayu menggeleng, sementara Ki Waskitapun mengerutkan keningnya.
"Mereka yang sudah mengenal aku melihat tanda didahi itu. Tidak dengan senjata apapun juga, tetapi dengan ibu jariku."
"O," Agung Sedayu mengangguk-angguk.
"Bekas ibu jari itu akan memberikan ciri dan pertanggungan jawabku atas kematian yang terjadi karena aku."
Agung Sedayu menarik nafas. Sekilas terbayang bekas yang kebiru-biruan didahi orang itu. Namun sangat samar-samar dan tidak menarik perhatiannya. Tetapi agaknya orang-orang yang telah mengenal Pangeran Benawa telah memperhatikan noda yang berwarna biru didahi orang itu.
"Nah, sekarang apakah kalian mempunyai persoalan dengan aku" " pertanyaan itu mengejutkan Agung Sedayu dan Ki Waskita. Namun hampir berbareng keduanya menggelengkan kepalanya, sementara Ki Waskita menjawab, "Tidak Pangeran. Kami tidak mempunyai persoalan apapun. Jika kami berhenti dan duduk pula disini, sebenarnya kami hanya ingin meyakinkan, apakah benar, bahwa anak muda berpakaian petani ini adalah Pengeran Benawa."
"Kakangmas Senapati Ing Ngalaga tidak akan salah menilai, ia tahu benar bahwa aku ada disini sekarang."
"Apakah Pangeran tidak sebaiknya singgah di Kademangan?"
Tiba-tiba saja Pangeran Benawa tertawa. Katanya, "Agung Sedayu dan Ki Waskita, apakah kalian tidak tahu bahwa disana sekarang sedang berkumpul serigala, harimau, anjing hutan, ular yang paling berbisa dan segala macam binatang buas yang lain?"
Jawaban Pangeran Benawa itu benar-benar mengejutkan, sehingga Agung Sedayu tergeser setapak. Dengan wajah yang tegang dipandanginya Ki Waskita yang ternyata juga menjadi berdebar-debar mendengar jawaban itu.
Namun ternyata suara tertawa Pangeran Benawa masih terdengar. Dengan nada tinggi disela-sela tertawanya ia berkata, "Apakah kalian terkejut " Seharusnya kalian mengerti bahwa demikianlah adanya."
"Pangeran," berkata Ki Waskita kemudian, "mungkin aku dapat menangkap maksud Pangeran. Mungkin Pangeran ingin mengatakan bahwa di pendapa Kademangan itu. Sekarang berkumpul orang-orang yang dibayangi oleh nafsu yang menyala bagi kepentingan diri pribadi. Tentu ada diantara mereka orang-orang yang menyebut dirinya pewaris kerajaan Majapahit. Tentu ada para pembesar dan perwira yang tetap ingin mempertahankan Pajang dengan segala akibatnya. Dan ada diantara mereka yang ingin membangun suatu pusat pemerintahan yang baru disamping Pajang. Sudah barang tentu bahwa ada diantara mereka yang dengan jujur serta keyakinan yang mendasar dihati berjuang untuk mencapai maksudnya, tetapi tentu ada diantara mereka orang-orang yang seperti Pangeran maksudkan seperti binatang-binatang buas yang akan saling menerkam. Siapa yang kuat, maka ialah yang akan tampil diatas bangkai-bangkai yang lain."
Pangeran Benawa memandang Ki Waskita dengan wajah yang tegang. Namun kemudian katanya, Ki Waskita adalah seseorang yang jauh lebih tua dari aku. Itulah sebabnya Ki Waskita dapat melihat keadaan itu dengan pandangan yang lebih jernih. Ki Waskita masih dapat membedakan bahwa diantara mereka ada yang berjuang karena keyakinan akan kebenaran cita-citanya." Pangeran Benawa berhenti sejenak, lalu. "tetapi agaknya pandangan mataku memang agak buram. Bagiku semuanya adalah orang-orang yang telah dibakar oleh nafsu bagaimanapun bentuknya dan untuk tujuan apapun."
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba Agung Sedayulah yang bertanya seolah-olah begitu saja meloncat dari ketulusan hatinya, "Apakah Pangeran menganggap bahwa Raden Sutawijaya, Ki Juru Martani, Kakang Untara, guruku Kiai Gringsing dan beberapa orang lain juga termasuk kedalamnya ?"
Pertanyaan itu agaknya telah mengejutkan Pangeran Benawa. Namun sejenak kemudian ia telah tertawa. Katanya, "Kau masih muda seperti aku. Pertanyaanmu wajar sekali. Dan aku menjadi bingung untuk menjawabnya."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Tetapi ia masih menunggu jawaban Pangeran Benawa.
"Agung Sedayu," berkata Pangeran Benawa kemudian, "maaf. Sebenarnyalah aku berpendapat demikian. Tetapi aku masih berbaik hati untuk menilai kebuasan mereka pada tingkat-tingkat yang tidak sama. Itulah kegoyahan pendapat tentang mereka. Kau tahu, kenapa kakangmas Sutawijaya meninggalkan Pajang " Bukankah karena pamanda Pemanahan bernafsu untuk menuntut janji ayahanda Sultan atas Tanah Mentaok yang kemudian dibukanya menjadi sebuah negeri " Dan kau tahu, kenapa beberapa orang Adipati bernafsu untuk menghancurkan Mataram dan sejalan dengan niat itu, beberapa orang perwira Prajurit Pajang telah membumbuinya dengan segala macam dalih " Bagi para Adipati yang ingin berkuasa sendiri, keruntuhan Pajang merupakan pertanda baik. Tetapi lahirnya kekuasaan di Mataram akan menyuramkan harapan mereka untuk berebut kuasa, karena cahaya kebesaran Mataram tentu akan menyilaukan mereka. Tetapi agaknya orang-orang yang merasa dirinya pewaris kerajaan Majapahitpun ingin memperebutkan harta karun yang akan memberikan kepuasan sekejap kepada mereka tanpa menghiraukan kehancuran kesatuan yang sudah lama dipupuk itu. Sementara itu, bukankah Ki Gede Menoreh, Kiai Gringsing dan Ki Waskita langsung atau tidak langsung sudah tersangkut pada putaran perebutan kekuasaan itu " Namun seperti yang aku katakan, bahwa aku masih mempunyai kesempatan untuk menilai lain serta bertingkat. Ada yang pada tingkat yang samar-samar, ada yang karena dorongan harga diri. ada yang menyangkut kepentingan perkembangan pribadi, tetapi ada yang benar-benar karena nafsu ketamakan untuk mendapatkan kepuasan sebesar-besarnya bagi diri pribadi. Untuk sekejap atau untuk waktu yang agak lama."
"Dan Pangeran ?" tiba-tiba saja Agung Sedayu bertanya.
"Aku adalah orang asing di rumahku sendiri. Aku asing dari ayah bunda. Aku asing dari para Senapati. Aku asing dari para inang pengasuhku. Dan kadang-kadang aku merasa asing pula dari diriku sendiri." jawab Pangeran Benawa.
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat kekecewaan yang dalam memancar di mata anak muda itu. Apalagi ketika Pangeran Benawa berkata seterusnya, "Ki Waskita. Sebagai seorang anak, aku harus berbakti kepada orang tua. Dan aku sudah mencobanya. Tetapi aku tidak dapat menghapus kekecewaan yang sudah melekat dihati disaat-saat aku melihat berapa puluh perempuan muda yang tersimpan di istana ayahanda. Mereka telah membayangi cinta kasih ayahanda terhadap ibunda dan aku. Sementara ibunda tidak mau menyadari keadaannya dan memaksa aku untuk menelan kepahitan perasaan itu tanpa berbuat sesuatu."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, "Pangeran. Bukankah itu berarti bahwa Pangeran telah dikecewakan sebagai seorang putera laki-laki karena tingkah laku seorang ayah. Tetapi apakah Pangeran sudah mencoba mendudukkan diri sebagai seorang Putera Mahkota yang bertanggung jawab terhadap ayahanda Sultan di Pajang yang sedang memerintah?"
"Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang paling aku benci. Kau tentu akan mengatakan, bahwa akupun orang yang sekedar mementingkan diri sendiri. Mendambakan harga diri dan kemanjaan seorang ayah terhadap anak laki lakinya. Gila. Itu pertanyaan gila."
Ki Waskita dan Agung Sedayu menjadi berdebar-debar melihat akibat pertanyaan yang agaknya tidak disenangi oleh Pangeran Benawa. Bahkan kemudian Pangeran yang muda itu tiba-tiba saja berdiri tegak dengan wajah yang tegang.
Namun seperti berjanji, Ki Waskita dan Agung Sedayu tetap duduk ditempatnya. Bahkan keduanyapun kemudian menundukkan kepalanya seolah-olah mereka benar-benar berhadapan dengan seorang putera Mahkota dalam kedudukannya.
Tetapi sejenak kemudian agaknya hati Pangeran Benawa menjadi tenang. Perlahan-lahan ia duduk kembali sambil berdesah, "Aku memang seorang yang mementingkan diriku sendiri. Kekecewaanku sebagai seorang anak telah mencengkam jantungku terlalu dalam. Aku terlalu dungu untuk dapat membedakan antara seorang anak yang kecewa melihat cinta kasih ibunya terhadap ayahnya dibayangi oleh wajah-wajah perempuan cantik yang tak terhitung jumlahnya, dengan seorang Putera Mahkota yang asing dinegerinya sendiri. Tidak, Aku bukan Putera Mahkota. Aku Benawa, seorang yang bebas untuk melakukan apa saja sesuai dengan nuraninya. Dan aku sudah melakukannya."
"Apa yang sudah Pangeran lakukan?" bertanya Ki Waskita.
"Membunuh. Aku membunuh setiap orang yang tidak aku sukai. Aku melindungi setiap orang yang aku anggap harus mendapat perlindungan seperti Glagah Putih. Aku bertualang diseluruh negeri. Tetapi aku juga menjadi seorang anak muda yang pendiam dan tidak meninggalkan bilik tidurku untuk berhari-hari."
Ki Waskita menarik nafas dalam dalam, ia mulai mengenal Pangeran Benawa sebagai seorang anak laki-laki yang terluka hatinya. Agaknya tidak ada seorangpun yang dapat menyembuhkannya.
"Aku sudah cukup banyak berbicara," berkata Pangeran Benawa kemudian, "aku tidak pernah merahasiakan sikapku terhadap siapapun. Ayahandapun mengerti pula. Karena itu ayahanda tidak pernah mempersoalkan kedudukanku sebagai seseorang yang berhak atas tahta Pajang jika aku menghendaki."
"Dan Pangeran tidak pernah mencoba menilai sikap Pangeran itu lagi?"
"Tidak ada gunanya. Aku sudah mengatakan kepada ayahanda, bahwa yang paling pantas untuk kemudian memerintah Pajang adalah kakangmas Sutawijaya. Meskipun ia anak angkat ayahanda, tetapi ia sudah seperti anak sendiri. Dan aku mengakui haknya atas Pajang."
Ki Waskita termangu-mangu. Dipandanginya wajah Pangeran Benawa sejenak. Dari sorot, matanya memancar pertanyaan yang bergejolak didalam dadanya.
Pangeran Benawa tersenyum melihat sorot mata Ki Waskita. Katanya, "Kakangmas Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga adalah binatang buas yang paling bertanggung jawab, ia menyimpan nafsu didalam dadanya. Ia berjuang untuk mencapai cita citanya. Ia menyingkirkan orang-orang yang menghalanginya. Namun ia adalah orang yang berjuang untuk masa depan yang menurut keyakinannya, akan dapat menjadi tumpuan harapan bagi tanah ini. Ia berbuat sesuatu atas dasar keyakinannya seperti seekor harimau yang berjuang didalam buasnya hutan belantara, diantara binatang-binatang buas yang lain, yang siap untuk membinasakannya."
Ki Waskita hanya dapat menarik nafas. Tidak ada lagi yang dapat dikatakannya, karena agaknya hati Pangeran Benawa telah membatu.
"Aku akan pergi," berkata Pangeran Benawa kemudian, "jika kau terlalu lama disini, maka orang-orang dipendapa itu akan menjadi cemas. Mereka menyangka sesuatu telah terjadi, sehingga mereka akan berlari-larian mencarimu, meskipun dengan gejolak hati yang berbeda-beda, bahkan saling bertentangan."
Pangeran Benawa itupun kemudian bangkit berdiri. Dengan nada yang dalam ia berkata, "Aku minta diri. Aku tahu bahwa kalian berdua adalah orang-orang yang jarang dicari bandingnya. Tetapi dua saudara dari Pesisir Endut itu tidak berdiri sendiri. Mereka mempunyai hubungan dengan orang-orang yang mendendammu Agung Sedayu. Bukan karena cita-cita dan kesamaan sikap, tetapi semata-mata karena orang-orang yang mendendammu menyebarkan janji dan harapan. Bahkan mereka telah mulai menyebarkan uang dan benda-benda berharga. Nyawamu termasuk salah satu yang akan mereka beli dengan apapun yang mereka dapatkan. Selain nyawamu, masih ada nyawa-nyawa yang lain termasuk Senapati Ing Ngalaga yang menjadi pusat sasaran mereka bersama Mataramnya."
Agung Sedayu dan Ki Waskitapun kemudian berdiri. Ketika Pangeran Benawa kemudian melangkahkan kakinya, maka keduanya bagaikan terpesona melihat sikap dan langkahnya.
"Berhati-hatilah," Pangeran Benawa masih berpesan.
"Sekarang Pangeran akan pergi kemana?" bertanya Agung Sedayu.
Pangeran Benawa mengerutkan keningnya. Langkahnya tertegun. Dan jawabnya kemudian, "Aku tidak pernah memikirkan, kemana aku pergi kecuali jika aku sudah rindu kepada ibunda. Barulah aku berpikir tentang arah. Pulang kembali. Tetapi akupun akan segera menjadi kecewa. Karena itu, ada dua pilihan yang selalu aku lakukan. Bersembunyi didalam bilik, atau pergi kemana saja."
Ki Waskita menarik nafas panjang. Sementara Pangeran Benawapun segera melanjutkan langkahnya, berjalan menyusuri jalan panjang yang rasa-rasanya tidak berujung.
Ketika Pangeran Benawa menjadi semakin jauh, maka Ki Waskitapun menggamit Agung Sedayu sambil berkata, "Seorang Pangeran yang kehilangan pegangan hidupnya meskipun ia seorang yang tidak ada taranya."
"Apakah kira-kira yang akan dilakukannya kemudian paman. Nampaknya ia masih mempunyai kepercayaan kepada seseorang. Raden Sutawijaya."
Ki Waskita memandang Pangeran Benawa yang nampaknya menjadi semakin kecil. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Ia akan bertualang. Sebenarnya bertualang disepanjang jalan tapi jika badannya terkurung didalam bilik tidurnya, ia akan bertualang didalam angan-angannya tanpa batas. Tetapi ia masih tetap memiliki nurani seorang kesatria yang melindungi kelamahan dan menghancurkan kejahatan, meskipun caranya adalah cara menurut seleranya."
Pengusung Jenazah 3 Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho Karya Tosaro Love Latte 2
"Ya," jawab yang lain, "tetapi ia sudah berbuat sesuatu yang sangat mengejutkan. Benar-benar diluar nalar. Seolah-olah ia bukan manusia biasa."
Kawannya tertawa pendek. Ketika Glagah Pulih mengerling kepada mereka, ia melihat orang yang tertawa itu memandang kesekitarnya, kepada orang-orang yang berdiri di sebelah menyebelah bertolakan dinding batu yang rendah. Orang itu berkata, "Kau nampaknya cemas benar."
"Kau dengar apa yang terjadi di Mataram?"
Yang lain masih tertawa. Katanya, "Aku dengar. Tetapi mereka yang telah digilasnya itu bukan aku dan kau."
"Ah, sombong kau. Apa kelebihan kita dari Wanakerti?"
"Sst," desis kawannya, "kau mulai menyebut nama. Hati-hatilah sedikit. Pepohonan itu mempunyai telinga."
"Lebih pasti orang-orang disekitar kita itu mempunyai telinga."
"Tetapi telinga mereka tidak untuk mendengarkan pembicaraan kita."
Sejenak keduanya terdiam. Sementara itu mereka yang melakukan upacara pemakamanpun berjalan terus. Glagah Putih tidak melihat ketika jenazah Ki Sumangkar diturunkan. Kemudian setelah upacara selesai, maka makam itupun mulai ditimbun dengan tanah.
Dalam pada itu, Pandan Wangi yang berdiri disisi Sekar Mirah menjadi berdebar-debar. Setiap kali ia memandang wajah gadis yang muram itu. Namun agaknya Sekar Mirah berusaha sungguh-sungguh untuk tidak kehilangan nalar dan tenggelam dalam arus perasaannya.
Sementara itu, beberapa orang telah melakukan seperti kebiasaan mereka dalam upacara pemakaman. Segenggam-segenggam mereka melontarkan tanah kemakam yang sedang ditimbun itu.
"Kau?" desis Pandan Wangi.
Sekar Mirah berpaling. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian iapun melangkah maju. Beberapa orang yang tahu bahwa ia adalah satu-satunya murid Ki Sumangkar telah menyibak dan memberikan kesempatan kepada Sekar Mirah untuk juga melontarkan segenggam tanah.
"Itu adalah Sekar Mirah," tiba-tiba saja Glagah Putih mendengar orang itu berbicara lagi, sehingga ia mengurungkan niatnya untuk ikut melontarkan tanah kemakam.
"Ya aku tahu. Gadis itu adalah bakal isteri Agung Sedayu," jawab yang lain.
"Tetapi iapun seperti seekor macan betina. Jika ia berdiri dengan tongkatnya, ia akan berubah sama sekali."
Kawannya tidak menjawab. Untuk sesaat Glagah Putih tidak mendengar keduanya berbicara. Yang didengarnya adalah geremang orang-orang yang ada diluar dinding itu. Karena pemakaman sudah selesai, maka merekapun mulai berdesakkan meninggalkan makam.
Namun sejenak kemudian terdengar salah seorang itu berbicara, "Lihat. Siapa saja yang berada di makam itu. Ada berapa puluh orang sakti disini. Mereka datang dari segala penjuru. Jika saat ini diadakan sayembara untuk memilih yang paling sakti, maka akan ada pertunjukan yang paling menarik ditahun ini."
"Dan kau akan ikut serta?" bertanya yang lain.
"Tentu tidak." "Tetapi kau katakan, bahwa kau bukan orang-orang yang terbunuh di Mataram. Menurut pengertianku, kau merasa memiliki kemampuan melampaui mereka."
"Itu bodoh sekali. Kebodohan semacam itulah yang telah banyak membunuh orang-orang sakti. Untuk membinasakan Agung Sedayu harus dipergunakan akal. Bukan sekedar membenturkan ilmu."
Yang lain tertawa kecil. Namun kemudian katanya, "Orang-orang telah pergi. Kitapun akan pergi. Kita tidak perlu cemas melihat orang-orang sakti itu berkumpul disini. Mereka datang dari segala penjuru dengan segala pendirian masing-masing. Mereka tidak akan berbincang dan menentukan sikap apapun juga. Apalagi disini ada Untara. Ia adalah seorang prajurit yang lurus dalam sikap dan pendirian."
Dengan hati-hati Glagah Putih mencoba melihat mereka, ketika ia mendengar salah seorang berkata, "Marilah. Apa lagi yang kita tunggui."
Kedua orang itu mulai bergerak. Tetapi tiba-tiba salah seorang berkata, "Anak itu memperhatikan kita."
Yang lain mengerutkan keningnya dan bertanya, "Yang mana?"
Dengan pandangannya yang seorang menunjuk Glagah Putih yang berdebar-debar.
"Anak kecil itu?"
"Ia bukan lagi anak kecil, ia mulai meningkat remaja."
Yang lain tertawa. Katanya, "Ia tidak mendengar pembicaraan kita."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun ia sempat memperhatikan wajah keduanya. Meskipun demikian. iapun mulai mengerti tentang dirinya sendiri. Bahkan latihan pendengaran yang selalu dilakukannya memberikan keuntungan baginya. Pendengarannya ternyata menjadi semakin tajam, melampaui kebanyakan orang, sehingga kedua orang itu menganggapnya tidak mendengar pembicaraan mereka.
"Aku dapat mendengarnya meskipun lamat-lamat," katanya kepada diri sendiri, "tetapi aku mengerti apa yang mereka percakapkan."
Meskipun demikian Glagah Putih menjadi gelisah pula. Jika kedua orang itu memutuskan untuk berbuat sesuatu atasnya karena ia dianggap memperhatikan percakapan mereka, maka ia akan mengalami kesulitan, setidak-tidaknya saat ia berada di Sangkal Putung.
Karena perhatian Glagah Putih tertumpah seluruhnya kepada kedua orang itu, maka tiba-tiba saja ia merasa bahwa pemakaman itu sudah selesai. Beberapa orang telah beringsut dari tempatnya dan berjalan meninggalkan gundukan tanah merah yang ditaburi dengan bunga.
Perlahan-lahan Glagah Putih mendekat. Ia melihat Sekar Mirah masih berdiri disisi makam yang baru itu. Disampingnya Pandan Wangi memegangi tangannya, sementara Agung Sedayu berdiri dibelakangnya bersama Swandaru.
"Marilah Mirah," desis Pandan Wangi.
Sekar Mirah mengangguk. Ia bertahan untuk tidak menangis, meskipun matanya nampak merah.
Disamping regol makam, Kiai Gringsing berdiri termangu-mangu. Disebelahnya Ki Waskita dan Ki Demang bercakap perlahan-lahan. Sementara di sebelah lain nampak Untara sedang berbicara pula dengan Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani. diantara para pengawal mereka.
"Mereka menunggu kita," desis Swandaru.
Sekali lagi Sekar Mirah mengangguk.
Sejenak Sekar Mirah masih memandangi tanah yang merah itu. Kemudian iapun melangkah meninggalkannya. Betapa dadanya bagaikan retak, tetapi Sekar Mirah tidak menangis. Setitik air matanya meleleh dipipi. Namun jari-jarinya segera mengusapnya.
Ketika langkahnya sampai dihadapan Untara dan Raden Sutawijaya, ia berhenti. Dengan isyarat ia mempersilahkan keduanya berjalan lebih dahulu.
Untara dan Raden Sutawijaya ragu-ragu. Namun Kiai Gringsinglah yang kemudian beikata, "Silahkan anak mas berdua berjalan didepan bersama Ki Juru Martani."
Meskipun masih juga nampak ragu-ragu, tetapi merekapun kemudian berjalan mendahului Sekar Mirah dan Pandan Wangi yang kemudian mengikut dibelakang. Sementara itu, dibelakang mereka, para pemimpin dan para Senapati yang datang dari segala penjuru itupun mengikutinya pula.
Glagah Putih yang kemudian berlari-lari kecil menyusul Agung Sedayu. menggamitnya sambil berbisik, "Ada sesuatu yang penting aku sampaikan kakang."
"Apa itu?" bertanya Agung Sedayu.
"Kau sempat mendengarnya sekarang, mumpung belum terlambat?"
Agung Sedayu memandanginya sejenak. Namun kemudian sambil mengusap kepala anak itu ia berkata, "Nanti saja di rumah Glagah Putih."
"Tetapi penting. Jika tidak kau tentu tidak akan mengatakannya. Tetapi tidak perlu sekarang. Kita sedang dalam perjalanan kembali."
Glagah Putih menjadi gelisah. Dapat saja terjadi sesuatu disetiap saat. Sementara itu Agung Sedayu masih belum mengerti persoalannya.
"Kakang," ia berjalan disisi kakang sepupunya, "bagaimana jika terlambat."
"Apa yang terlambat" Jangan cemas Glagah Putih Sebentar lagi kita akan sampai. Sekarang sebaiknya kau simpan ceriteramu itu."
Glagah Putih, menjadi jengkel. Tetapi ia tidak dapat memaksa Agung Sedayu untuk mendengarkan ceriteranya. Apalagi Agung Sedayu berjalan dalam iring-iringan. Jika ia memaksa untuk berceritera, maka ia harus berbicara keras-keras sehingga mungkin akan ada orang yang mendengarnya.
Karena itu Glagah Putih tidak lagi mengikuti Agung Sedayu. Ia berjalan sendiri di antara orang-orang yang meninggalkan makam. Sekilas dilihatnya ayahnya berjalan bersama Ki Demang dan Ki Waskita. Namun kemudian bergeser mendekati Kiai Gringsing dan Ki Gede Menoreh.
Glagah Putih tidak mempedulikan mereka. Ia berjalan saja searah dengan mereka. Sementara orang-orang yang berjalanpun tidak menghiraukannya pula.
"Uh," desahnya, "aku sudah berusaha. Tetapi kakang Agung Sedayu menganggap persoalan yang akan aku katakan itu tidak perting. Mudah mudahan tidak terjadi sesuatu disepanjang jalan kembali ke Kademangan."
Namun kemudian dijawabnya sendiri, "Tentu tidak akan ada apa-apa. Ia berjalan diantara banyak orang. Nampaknya semua orang berilmu tinggi. Tentu dalam keadaan seperti ini tidak ada orang yang berani mengganggunya. Bahkan tidak ada sekelompok orang yang berani mengganggu iring-iringan ini. Disini ada kiai Gringsing, ada Ki Waskita, ada kakang Untara, kakang Agung Sedayu dan kakang Swandaru. Ada Pandan Wangi, Sekar Mirah. Ki Gede Menoreh, ada lagi Raden Sutawijaya, Ki Juru Martani, para perwira dari Pajang dan para Senapati dari Mataram, beberapa orang Adipati dengan para pengawalnya."
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Diluar sadarnya ia berguman perlahan-lahan, "Jika ada pasukan sekuat iring-iringan ini, maka negara diseluruh dunia tentu akan takluk. Masing-masing tentu membawa pasukan segelar sepapan. Dengan rontek dan umbul-umbul. Alangkah dahsyatnya. Sepasukan yang panjang dibawah para Senapati yang tidak terkalahkan."
Glagah Putih menjadi tegang oleh angan-angannya. Dipandanginya orang-orang yang berjalan disebelahnya. Nampaknya semua memang orang penting dan memiliki ilmu yang tinggi.
Namun diluar sadarnya, dua orang terus mengamatinya. Salah seorang berkata, "He kau lihat anak kecil itu mendekati Agung Sedayu."
"Tetapi Agung Sedayu tidak menghiraukannya," desis yang lain.
"Ia belum sempat. Tetapi mungkin sekali anak kecil itu mendengar percakapan kita. Dan ia ingin memberitahukannya kepada Agung Sedayu," berkata yang pertama.
"Itu tentu berbahaya bagi kita. Tetapi nampaknya ia belum sempat."
"Aku sudah menduga, bahwa anak itu berbahaya. Tetapi kau tidak mendengarkannya. Kau anggap ia anak kecil dan tidak mendengar percakapan kita."
"Aku kira memang begitu. Kita saja yang cepat menjadi cemas. Mungkin ia akan menceritakan apa saja kepada Agung Sedayu yang tidak ada sangkut pautnya denga pembicaraan kita."
"Kau selalu mencoba mengelakkan persoalan yang sebenarnya."
"Lalu apa yang sebaiknya kita lakukan."
Yang lain termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Lihat, anak itu memisahkan diri. Ia berjalan sendiri."
"Sendiri" Kau kira yang lain itu bukan orang?"
"Maksudku, ia berjalan sendiri diantara sekian banyak orang."
"Apa yang dapat kita lakukan?"
"Kita giring anak itu keluar dari iring-iringan."
"Lalu?" "Kita bungkam untuk selama-lamanya."
"He?" "Tidak ada jalan lain, mumpung ia belum sempat mengatakannya kepada Agung Sedayu atau kepada orang lain."
Yang seorang nampak termangu-mangu. Namun yang lain mendesak, "Apakah kita akan membiarkan usaha kita gagal karena Agung Sedayu sudah mengetahui bahwa ia selalu dibayangi oleh dendam?"
"Ia tentu selalu merasa dibayangi oleh dendam. Tetapi bagaimana anak itu?"
"Bunuh saja." yang lain menggeram, "sudah aku katakan. Membunuh Agung Sedayu harus dengan akal. Tidak dengan sekedar membanggakan ilmu yang tentu tidak akan dapat menyamainya. Cobalah jujur kepada diri sendiri. Apakah kira-kira empat atau lima orang seperti kita dapat membunuhnya?"
"Kita tidak harus membunuhnya dengan tangan kita berdua saja. Kita harus mengamat-amatinya dan kemudian menentukan sikap."
"Jika demikian, membinasakan anak itu termasuk tugas kita."
Keduanya terdiam. Mereka barjalan disebelah iring-iringan itu. Rasa-rasanya jalan memang menjadi pepat. Tetapi keduanya masih sempat melihat Glagah Putih berjalan seenaknya tanpa berprasangka, karena ia merasa bahwa ia berjalan diantara banyak orang yang berilmu."
"Kita mendahului," desis salah seorang dari kedua orang yang mengikuti Glagah Putih, "kita cegat di tikungan. Kita akan berusaha memisahkannya dari iring-iringan."
Kawannya tidak menjawab. Tetapi keduanyapun kemudian mencari jalan lain mendahului iring-iringan itu.
Dimulut sebuah lorong mereka menunggu. Jika Glagah Putih lewat mereka akan berusaha menarik perhatiannya dan memisahkannya dari iring-iringan itu.
Siapkan pisau belati kecil itu. Aku akan berdiri melekat tubuhnya sambil menekankan ujung pisau itu dibawah kain panjang."
"Mencurigakan. Kita panggil saja anak itu. Baru setelah ia mendekat, kita ancam ia dengan pisau."
"Apakah ia akan mendekat" Baiklah kita coba. Kita panggil anak itu. Nampaknya ia ingin mengetahui banyak hal. Karena itu agaknya ia akan tertarik oleh sikap-sikap yang justru mencurigakan baginya."
Demikian iring-iringan itu berjalan terus. Para perwira dan Senopati yang datang dari luar Sangkal Putung masih akan kembali ke rumah Ki Demang. Baru kemudian mereka akan minta diri untuk kembali ke tempat masing-masing.
Demikian pula Untara dan Raden Sutawijaya. Mereka berdua bersama pengawal masing-masing berjalan menuju ke Kademangan. Berbeda dengan saat mereka berangkat, yang hampir tidak berbicara sama sekali, maka dijalan pulang mereka nampak banyak berbincang tentang keadaan Ki Sumangkar menjelang saat-saat terakhir, meskipun Raden Sutawijaya masih sangat membatasi keterangannya tentang luka-luka yang diderita oleh Ki Sumangkar.
Namun bagi Untara, keterangan itu agaknya sangat penting. Meskipun demikian ia sadar, bahwa Raden Sutawijaya tentu bukan merupakan sumber yang dapat diharapkan.
Dengan demikian, maka mereka sekedar berbicara tentang keadaan yang sebenarnya telah mereka ketahui tentang saat-saat terakhir Ki Sumangkar itu.
Sekar Mirah yang dibimbing oleh Pandan Wangi berjalan diantara iring-iringan itu. Nampaknya Sekar Mirah berhasil mengatasi gejolak dihatinya sehingga ia tidak lagi kehilangan nalar. Ia berjalan kembali keinduk padepokan tanpa menitikkan air mata, meskipun setiap kali terdengar ia berdesah.
Dalam pada itu, Glagah Putih berjalan dibelakang. Semakin lama semakin jauh dari Agung Sedayu. Ia masih saja berangan-angan tentang para perwira dan Senapati. Tentang pasukan segelar sepapan yang tidak terhingga dibawa para pemimpin yang sekarang berkumpul.
"Sayang," anak yang masih sangat muda itu kemudian berdesah, "mereka bukan berasal dari satu kesatuan kekuatan. Bahkan nampaknya diantara mereka terdapat batas-batas sesuai dengan asal mereka masing-masing. Sehingga nampaknya mereka sulit dipersatukan dalam satu kekuatan." Glagah Putih mengerutkan dahinya. Kemudian gumamnya, "Jika saja. Jika saja mereka bersatu."
Namun diluar sadarnya, Glagah Putih telah berada diujung belakangan dari iring-iringan itu meskipun belum terpisah. Ia memang ingin melihat semua orang yang dianggapnya memiliki ilmu yang dahsyat. Karena itulah maka iapun kemudian berjalan diantara orang kebanyakan yang sedang dalam perjalanan kembali ke padukuhan induk.
Dua orang yang menunggunya ditikungan menjadi berdebar-debar. Namun semakin melihat, Glagah Putih tidak lagi berjalan diantara para perwira dan Senapati.
Beberapa langkah lagi Glagah Putih sudah akan sampai ditikungan. Ia sama sekali tidak mengira bahwa dua orang sudah siap menunggunya. Justru dua orang yang telah menarik perhatiannya di luar makam saat-saat pemakaman Ki Sumangkar.
Demikianlah, ketika langkahnya membawanya sampai ketikungan, dan orang yang berdiri menunggunya itupun telah bersiap. Mereka sama sekali tidak menarik perhatian, karena sikap mereka seperti sikap orang-orang yang melihat iring-iringan itu.
Namun demikian. Glagah Pulih lewat dihadapan mereka, salah seorang dari keduanya tertawa sambil berkata, "He anak muda."
Glagah Putih yang sedang menekuni angan-angannya terkejut. Ia sama sekali tidak menghiraukan orang-orang yang berdiri disebelah menyebelah jalan. Namun ketika ia mendengar orang memanggil dekat disebelahnya iapun mengangkat wajahnya. Yang dilihatnya adalah dua orang yang diperhatikannya di makam itu.
Namun dalam pada itu salah seorang dari keduanya telah berkata, "Ternyata dugaanmu salah."
Glagah Putih termangu-mangu.
"Ya anak muda, aku berbicara dengan kau."
Langkah Glagah Putihpun tertegun. Disebelahnya iring-iringan itu berjalan terus. Debu yang kelabu terhambur hambur diudara menyesakkan nafas.
"Kau berbicara dengan aku ?" Glagah Putih meyakinkan.
"Ya, kau. Tidak ada orang lain yang boleh mendengar selain kau," desis salah seorang dari keduanya.
Glagah Putih ragu-ragu. Tetapi rasa ingin tahunya telah mendorongnya mendekat.
"Aku tidak mengerti," berkata Glagah Putih.
"Bukankah kau yang duduk di makam disaat pemakaman Ki Sumangkar tadi?"
"Ya," jawab Glagah Putih.
"Nah, aku kira kau memang pantas untuk mendapat kepercayaan itu. Kau masih muda. tetapi agaknya kau cerdas."
"Aku tidak mengerti maksudmu," desis Glagah Putih kebingungan.
Kedua orang itu memang dengan sengaja membuat Glagah Putih kebingungan. Kemudian salah seorang dari keduanya berkata, "Dengarlah. Tetapi jangan didengar orang lain. Sangat penting artinya bagimu dan bagi Agung Sedayu."
Glagah Putih menjadi bingung, ia teringat apa yang dikatakan oleh kedua orang itu. sehingga kecurigaannyapun mulai timbul.
Namun ia tidak sempat mengelakkan diri dari bahaya yang segera mencengkamnya. Tiba-tiba saja salah seorang dari keduanya telah berdiri dekat dibelakangnya. Perlahan-lahan orang itu bergumam, "Jangan melawan anak muda. Pisauku dapat menghunjam di punggungmu."
Glagah Putih sadar, bahwa ia telah terjebak. Dalam saat yang gawat itu ia teringat sekilas usahanya yang gagal untuk memberitahukan Agung Sedayu apa yang dapat terjadi atasnya.
"Kakang Agung Sedayu terlalu mengabaikan aku," desisnya.
Tetapi yang terjadi justru agak berbeda. Ia sendirilah yang menjadi sasaran pertama-tama karena ia telah lengah. Sebab ia sendiri sudah merasa, bahwa ia akan terlibat justru karena ia mendengar pembicaraan kedua orang itu.
Beberapa orang masih berjalan di ekor iring-iringan itu. Tetapi mereka bukan para perwira dan Senapati yang datang dari luar Sangkal Putung.
Sementara itu. terasa dipunggung Glagah Putih ujung pisau menjadi semakin menekan.
"Kau tidak mempunyai pilihan," desis salah seorang dari kedua orang itu, "marilah. Ikuti kami."
Glagah Putih tidak dapat membantah lagi. Ketika pisau dipunggungnya terasa semakin menekan, maka iapun bergeser setapak.
"Jangan hanya bergeser," desis orang yang menekankan pisau dipunggungnya, "berjalanlah. Dan jangan menumbuhkan kecurigaan kami berdua. Kau tidak mempunyai kesempatan apapun juga. Aku adalah seorang yang mampu mengimbangi ilmu orang-orang yang paling sakti didunia ini. Sementara temanku itu adalah orang yang tidak terkalahkan dalam benturan ilmu sepanjang hidupnya. Karena itu. kau tidak akan dapat melawan kehendak kami."
Glagah Putih menjadi semakin berdebar-debar. Ia benar-benar tidak dapat berbuat lain daripada mengikuti perintah orang itu, karena setiap kali terasa ujung pisau yang tajam menekan kulitnya. Jika pisau itu benar-benar ditekan oleh orang yang mengancamnya itu. maka punggungnya tentu akan berlubang sampai kepusat jantung.
Karena itu maka Glagah Putihpun segera melangkah mengikuti perintah kedua orang itu. Mereka berjalan lewat jalan simpang menuju ketengah bulak yang panjang.
Orang-orang yang berjalan dalam iring-iringan menuju keinduk pedukuhan sama sekali tidak menghiraukannya. Mereka sama sekali tidak tahu, bahwa Glagah Putih telah diancam dengan sebilah pisau dan dibawa menjauhi induk padukuhan diluar pengawasan siapapun juga. Meskipun di Sangkal Putung itu ada ayahnya, Ki Widura. ada saudara-saudara sepupunya. Agung Sedayu dan Untara, namun mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa Glagah Putih telah terjebak kedalam tangan orang-orang yang sangat berbahaya.
Glagah Putih yang dipaksa untuk berjalan diantara kedua orang yang menjebaknya itu, menjadi semakin berdebar-debar. Ia sadar, bahwa ia akan dibawa ketempat yang sepi. Dan iapun sadar, bahwa justru karena ia telah memperhatikan keduanya, dan karena Agung Sedayu menolak mendengarkan keterangannya, maka kini ia berada dalam kesulitan.
Tetapi Glagah Pulih bukan seorang anak yang lekas berputus asa. Dipadepokan kecil ia telah mulai dengan menyadap ilmu kanuragan betapa dangkalnya.
Karena itu, maka ia tidak segera kehilangan harapan, ia mencoba untuk mencari akal. apakah yang sebaiknya dilakukan. Ia harus berbuat sesuatu, ia sadar, bahwa berbuat sesuatu itupun tentu ada akibatnya yang dapat mempercepat dekapan maut dilehernya. Tetapi itu lebih baik daripada tidak berbuat sesuatu, namun akhirnya maut itu akan memeluknya juga.
Namun untuk sementara Glagah Putih tidak berbuat sesuatu, ia mencoba untuk menduga, apakah kedua orang itu bebar-benar berilmu tinggi.
Tetapi tidak mudah baguiya untuk mengetahui, apakah kedua orang itu benar-benar orang-orang sakti atau sekedar hanya menakut nakutinya.
Semakin lama mereka justru menjadi semakin jauh terpisah dari iring-iringan yang kembali ke padukuhan induk. Bahkan jantung Glagah Pulih menjadi semakin berdebar-debar ketika salah seorang dari keduanya berkata, "Berhentilah sebentar anak muda."
Glagah Putihpun kemudian berhenti. Dipandanginya orang berambut putih yang berdiri dihadapannya. Kemudian orang yang agak lebih muda yang berdiri disisinya.
"Siapakah kalian," bertanya Glagah Putih.
Orang berambut putih itu tertawa. Katanya, "Kau tentu sudah mendengar percakapanku di kuburan itu."
Glagah Pulih mengerutkan keningnya. Katanya, "Percakapan apa ?"
Yang seorangpun tertawa. Katanya, "Kau mendengar percakapan kami. Kemudian kau berusaha memberitahukan kepada Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu tidak menghiraukan."
Sejenak Glagah Pulih termangu-mangu. Ia sadar, bahwa kedua orang itu tentu memperhatikannya ketika ia berlari-lari kecil mendekati Agung Sedayu. namun kemudian degan kecewa ia harus menjauhinya karena Agung Sedayu sama sekali tidak mau mendengarkan kata-katanya.
"Jangan menyesal anak muda," berkata salah seorang dari keduanya, "nasibmulah yang terlalu buruk. Mungkin kau sama sekali tidak sengaja mendengarkan percakapan kami. Tetapi ternyata bahwa karena itu, kau terlibat dalam kesulitan."
Glagah Putih masih termangu-mangu.
"Tetapi adalah mengherankan, bahwa dari jarak yang tidak terlalu dekat, kau dapat mendengar percakapan kami. Kami menduga bahwa kau tentu tidak mendengarnya. Ternyata kau mendengarkan dan mengerti percakapan kami, karena kau dengan tergasa-gesa mendekati Agung Sedayu."
"Aku tidak mengerti apa yang kalian percakapkan," berkata Glagah Putih kemudian.
"Adalah wajar jika kau berusaha untuk menyelamatkan diri. Tetapi agaknya kaupun bukan anak kebanyakan. Jika kau mendengar percakapan kami, tentu kau memiliki sesuatu yang membuatmu lebih baik dari anak-anak muda sebayamu."
"Aku tidak mengerti yang kalian katakan. Aku tidak tahu apa-apa."
"Jika kau tidak mendengar percakapan kami, apa yang akan kau katakan kepada Agung Sedayu pada saat kau berlari-larian kecil menyusulnya ?"
"Aku ingin mengatakan, bahwa aku belum sempat melontarkan segenggam tanah kekubur Ki Sumangkar."
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Namun yang berambut putih itu tertawa, "Kau cerdik. Kau ingin membohongi kami. Namun karena itu kami semakin yakin, bahwa kau bukan anak-anak kebanyakan yang hanya sekedar ikut-ikutan mengantarkan jenazah Ki Sumangkar kemakam."
Glagah Putih mulai menjadi bingung. Ia tidak mempunyai alasan lagi yang dapat dipergunakannya, untuk mengelak. Apalagi ketika orang berambut putih itu berkata. "Marilah. Ikut kami. Kami akan menengok makam Ki Sumangkar. Dan kau akan dapat melontarkan tanah tidak hanya segenggam. Tetapi sepuluh atau dua puluh onggok tanah, aku akan menggali lubang disamping makam Ki Sumangkar. Bukankah suatu kehormatan bagi seseorang yang dimakamkan disisi seorang pahlawan seperti Sumangkar."
Terasa jantung Glagah Putih berdentangan. Seolah-olah sudah diberitahu oleh orang-orang itu, apakah yang akan terjadi atasnya.
Sejenak Glagah Putih termangu-mangu. Namun ia berusaha untuk tetap menyadari keadaannya. Bahkan akhirnya ia telah menentukan pilihan, bahwa lebih baik mati membela diri dari pada dengan suka rela berbaring dilubang kubur, kemudian ditimbun dengan tanah merah selagi nafasnya masih tersengal-sengal.
"Marilah," orang berambut putih itu berkata lagi, "lebih baik mengikuti perintah kami daripada kau akan mendapat perlakuan yang lebih buruk lagi. Aku mempunyai banyak cara untuk membunuh seseorang. Mati cepat dan tidak tersiksa, atau mengalami penderitaan yang tiada taranya untuk waktu yang bertahun-tahun. Jika kau cacat berat, maka nasibmu akan sangat buruk. Kau masih muda dan kau akan kehilangan masa depan, karena masa depanmu akan gelap segelap malam, sedangkan tangan dan kakimu tidak akan dapat kau pergunakan lagi sepanjang sisa hidupmu. Demikian pula telinga dan mulutmu."
Terasa kulit diseluruh tubuh Glagah Putih meremang. Cacat yang demikian tentu merupakan penderitaan yang tiada taranya. Tetapi mati dengan berbaring sendiri dilubang kubur, kemudian demikian saja ditimbun tanahpun merupakan peristiwa yang mengerikan.
Karena itu, maka memang tidak ada pilihan lain. Glagah Putih bukan seekor kelinci yang lumpuh melihat seekor serigala yang mengejarnya. Betapapun lemahnya, tetapi ia harus berusaha berbuat sesuatu.
Sejenak Glagah Putih berdiri tegak. Ia tidak mau memberikan kesan bahwa ia akan melawan. Ia ingin berbuat dengan tiba-tiba agar ia mendapat kesempatan mendahului lawannya disaat lawannya itu belum bersiap.
Demikianlah, ketika salah seorang dari kedua orang itu akan berbicara lagi, tiba-tiba saja Glagah Putih melenting menyerang orang berambut putih itu dengan kakinya.
Orang itu benar-benar tidak menyangka. Karena itu, maka ia terkejut bukan buatan. Namun ternyata bahwa usaha Glagah Putih untuk memperoleh kesempatan yang pertama telah gagal. Orang berambut pulih itu sempat meloncat kesamping, sehingga serangan Glagah Putih tidak menyentuh sasarannya.
Betapa kecewa dan marah mencengkam hatinya. Apalagi ketika ia kemudian meloncat berputar dan siap untuk menyerang lagi, kedua orang itu memandanginya sambil tertawa.
"Luar biasa," desis orang berambut putih, "kau benar-benar anak muda yang luar biasa. Kau memiliki ilmu yang pantas menjadi kebanggaan bagi anak-anak sebayamu."
Glagah Putih memandang keduanya dengan tegang. Tubuhnya bergetar karena marah.
"Jangan banyak tingkah anak muda. Matilah dengan tenang."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Diluar sadarnya ia memandang kesekelilingnya. Sebuah bulak yang panjang dan sepi.
"Ha," berkata orang yang lebih muda, "kau sedang mencari jalan untuk mendapatkan pertolongan. Tidak ada gunanya. Sawah-sawah menjadi sepi. karena semua orang pergi kemakam Ki Sumangkar. Kini mereka berkumpul di Kademangan karena mereka ingin melihat orang-orang yang bernama Sutawijaya.Untara, dan para perwira serta Senapati yang sedang berkumpul disana. Hanya kaulah yang berada disini menghadapi maut. Tetapi orang-orang di Kademangan tidak akan tahu dimana kau akan bersembunyi, karena tidak seorangpun yang akan melihat kau terbaring di lubang kubur disisi Ki Sumangkar. Bahkan mungkin besok atau lusa, Kademangan ini akan gempar, bahwa tiba-tiba saja kubur itu telah pecah menjadi dua."
Kedua orang itu tertawa. Wajah Glagah Putih menjadi merah. Namun ia sudah bertekad untuk tidak menyerah. Apapun yang akan terjadi, ia akan melawan.
"Marilah," berkata orang berambut putih.
Glagah Putih bergeser setapak. Ia sudah bersiap untuk meloncat dan menghantam lawannya.
"Jangan menjadi buas dan gila seperti itu."
Glagah Putih tidak menghiraukan. Ketika salah seorang dari keduanya mendekat, Glagah Putih menyerang dengan garangnya.
Tetapi sekali lagi serangannya gagal.
"Kami masih bersabar," berkata orang berambut putih yang disambung oleh kawannya, "tetapi kesabaran kami sangat terbatas."
"Aku tidak peduli," teriak Glagah Putih, "Jika kalian akan membunuh aku, bunuhlah. Kau sangka aku takut mati?"
Kedua orang itu mengerutkan keningnya. Salah seorang berdesis, "Kau memang anak muda yang luar biasa. Kau memiliki keberanian dan bekal yang cukup untuk menjadi seorang anak muda yang perkasa. Sayang, umurmu tidak akan panjang."
"Persetan. Jika kalian mau membunuh lakukanlah! Apa yang akan kalian tunggu?"
"Maksud kami, berjalanlah sendiri kekuburan, agar kami tidak perlu mengangkat dan mendukungmu. Kuburan itu masih agak jauh disebelah. Atau, jika terpaksa mayatmu akan kami tinggalkan disini meskipun akan menjadi makanan anjing liar yang datang dari hutan sebelah."
"Jangan mengigau. Aku sudah siap," sekali lagi Glagah Putih berteriak.
Kedua orang itu menjadi heran. Ternyata Glagah Putih sama sekali tidak menjadi gentar meskipun anak itu mengetahui bahwa ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Bahkan kedua orang itu terpaksa mengelak ketika Glagah Pulih menyerang mereka dengan membabi buta.
"Anak gila," geram orang yang berambut putih itu, "kau membuat aku marah. Sebenarnya aku masih menaruh belas kasihan karena kau terpaksa kami singkirkan. Itu adalah salahmu, karena kau ingin persoalan orang lain. Tetapi kami akan mempergunakan cara yang baik bagimu tanpa menumbuhkan kengerian. Namun agaknya kau keras kepala, membuat aku marah dan mendorong aku untuk melakukan dengan cara-cara yang paling aku gemari."
Glagah Putih seolah-olah tidak mendengarnya, ia masih saja menyerang dengan garangnya.
"Anak setan," tiba-tiba orang yang lebih muda kehabisan kesabaran.
Dengan sekali ayun, maka Glagah Putih telah terlempar dan jatuh disawah yang berlumpur.
Anak muda itu berguling diatas batang-batang padi. Kemudian dengan tangkasnya ia melanting berdiri siap untuk berkelahi, tanpa mengenal takut sama sekali meskipun ia menyadari akibat yang dapat terjadi atasnya.
"Kau benar-benar anak iblis," geram orang itu, "tetapi kau telah membangkitkan nafsuku untuk membunuhmu dengan cara yang paling baik. Aku akan menelungkupkan kau didalam lumpur dengan, mengikat tangan dan kakimu. Jika ada orang pergi kesawah menjelang matahari senja, maka mereka akan menemukan kau sudah tidak bernyawa lagi. Tetapi kau masih mempunyai waktu untuk menikmati kengerian sampai matahari turun ke Barat dan hilang dibalik gunung."
Diluar sadarnya Glagah Putih memandang Gunung Merapi yang nampaknya kebiru-biruan menjulang ke langit yang hampir sewarna. Sekilas terbayang padepokan kecilnya di Jati Anom, yang terletak dikaki Gunung Merapi itu.
"Nikmatilah alam disekitarmu. Kenanglah ayah ibumu untuk yang terakhir kali." geram orang berambut putih.
Namun tiba-tiba saja perhatian Glagah Putih tertuju kepada batang pohon rindang yang tumbuh ditepi parit, tak terlalu jauh dari tempatnya, ia melihat sesuatu yang bergerak-gerak dibalik semak-semak dibawah pohon itu.
Ternyata bahwa pandangan matanya diikuti pula oleh kedua orang lawannya. Sejenak mereka tertegun. Namun kemudian salah seorang berguman, "Gila. Ada orang disitu."
"Tidak peduli, bunuh saja. Orang itu tidak akan mengenal kita. Biarlah ia berceritera, bahwa dua orang telah membunuhnya. Dan tidak seorangpun yang mengetahui kenapa ia dibunuh. Menurut pengamatanku, ia belum sempat berbicara kepada Agung Sedayu. meskipun kematiannya akan menumbuhkan kecurigaan pula, dan Agung Sedayu akan dapat menelusuri sikap anak itu terhadapnya menjelang saat kematiannya."
Sejenak Glagah Putih termangu-mangu. Sekilas dilihatnya seseorang yang berada dibalik gerumbul itu bergeser. Ketika kepalanya kemudian tersembul maka dengan suara gemetar ia berkata, "Jangan bunuh aku."
"Persetan," geram orang yang berambut putih, "kemarilah."
Orang itupun kemudian berdiri, ia memakai pakaian petani yang sedang bekerja disawah. Celana hitam, dengan kain panjang yang membelit lambung. Sama sekali orang itu memakai baju. Tetapi selembar ikat kepala tersangkut dilehernya. Tidak dipakainya diatas kepalanya.
"Siapa kau?" bertanya kawan orang berambut putih.
"Aku, aku seorang petani tuan. Petani dari Sangkal Putung."
"Setan," geram yang berambut putih, "apa kerjamu disini?"
"Sebenarnya aku sedang beristirahat dibawah pohon itu. Aku sedang menyiangi tanamanku," jawab petani yang masih muda itu.
"Kau tidak pergi ke makam Ki Sumangkar dikuburkan?"
"Aku tidak dapat meninggalkan pekerjaanku meskipun sebenarnya aku ingin."
Orang berambut putih itu termangu-mangu sejenak. Kemudian dengan suara berat ia bertanya, "Kau mengenal anak ini?"
Jawabnya benar-benar mengejutkan. Seolah-olah diluar sadarnya orang itu berkata, "Ya Tuan. Aku mengenalnya. Anak itu adalah Glagah Putih, adik sepupu Agung Sedayu dan Untara."
"He ?" wajah orang itu menjadi tegang. Sementara itu orang itu melanjutkan katanya, "ayahnya adalah Ki Widura, seorang Senapati yang telah meninggalkan lapangan keprajuritan karena ia lebih senang tinggal di padepokan. Tetapi meskipun demikian ia masih tetap seorang berilmu tinggi. Ia pernah berada di Sangkal Putung saat Sangkal Putung selalu diganggu oleh Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan sebelum hadirnya Untara sendiri."
"Cukup, aku sudah tahu," bentak orang berambut putih.
"Maaf. Aku hanya ingin meyakinkan kepada tuan, bahwa aku benar-benar orang Sangkal Putung. Bahkan aku tahu pula bahwa tuan berdua adalah dua orang saudara yang datang dari daerah yang terkenal dengan sebutan Pesisir Endut dipantai Selatan."
"Gila. Darimana kau tahu he?"
"Bukankah tuan berdua mendapat tugas dari orang tak dikenal di Pajang untuk membunuh Agung Sedayu," berkata orang berpakaian petani itu, "tetapi ternyata bahwa kau berniat untuk membunuh anak itu pula."
"Iblis alasan. Darimana kau tahu he, dari mana?" orang berambut putih itu berteriak.
"Aku mendengar percakapan tuan dengan perwira dari Pajang itu. Dan aku mendengar percakapan tuan di pinggir kuburan."
Keduanyapun kemudian sadar, bahwa yang dihadapinya bukanlah seorang petani yang baru menyiangi sawahnya dan beristirahat dibawah sebatang pohon yang rindang.
Justru karena itu, maka keduanyapun segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Sekilas dipandanginya Glagah Putih yang berdiri termangu-mangu dengan tubuh yang kotor oleh lumpur.
Tetapi bagi keduanya Glagah Putih bukan lagi penting untuk mendapat perhatian terlalu banyak. Petani yang masih muda itu justru akan dapat merusak segala rencananya.
"Ki Sanak," berkata orang berambut putih itu, "kau tidak usah banyak bicara lagi. Aku tahu bahwa kau tentu bukan petani dari Sangkal Putung. Kau tentu bukan orang yang sekedar sedang berteduh dibawah pohon yang rindang itu."
Dan jawab orang muda itu semakin mengejutkan, "Memang bukan. Aku hanya pura-pura, biar orang kebanyakan menyangka aku petani. Dan dengan pakaian dan sikapku ternyata Dua Hantu bersaudara dari Pesisir Endut dipantai Selatan tidak tahu bahwa aku mengikutinya, mendengar segala percakapannya dan bahkan melihat bagaimana mereka menakut-nakuti anak-anak. Tetapi ternyata anak itu sama sekali tidak takut. Jika ia ketakutan dan menggigil, maka ia tentu bukan anak Widura, dan bukan saudara sepupu Agung Sedayu dan Untara."
"Gila," geram orang berambut putih, "siapa kau?"
"Itu tidak penting. Tetapi aku memang bukan petani. Aku orang yang barangkali memang tidak penting. Meskipun demikian aku berhak untuk mencegah tingkah lakumu yang aneh dan tidak masuk akal itu." sahut orang muda yang berpakaian petani itu.
"Sebut namamu sebelum kau mati," teriak orang yang lebih muda dari yang berambut putih.
"Namaku dapat saja kau sebut Sarik atau Gempol atau Condrokusuma atau Suryaadiwaskita atau siapa saja. Itu tidak ada bedanya. Yang penting aku akan mencegah kejahatan yang sudah siap kau lakukan. Untung aku tidak terlambat."
Kedua orang itu menjadi semakin marah. Orang berambut putih itupun berkata, "Bunuh anak iblis itu. Aku akan memhinuh Setan Alasan ini."
Tetapi tiba-tiba saja terdengar suara tertawa orang muda itu berkumandang di bulak yang luas. Katanya, "Jangan sombong tuan. Tuan berdua akan membagi diri" Apakah tuan merasa diri mumpuni segala macam ilmu agal-alus kanuragan dan kajiwan" Persetan dengan sikap tuan. Tetapi jangan mencoba memperkecil arti kehadiranku disini. Kalian berdua seharusnya masih mencari kawan," orang itu berhenti sebentar lalu, "maaf. Akupun telah menyombongkan diri."
"Kau tidak bermaksud sombong," berkata orang berambut putih, "jangan kau kira aku bodoh sekali. Kau sengaja memancing agar kami berdua melawanmu. Itu sekedar cara yang jantan untuk menyelamatkan anak yang malang itu. Tetapi aku tidak peduli. Seorang dari kami akan membunuh iblis kecil itu dan yang seorang membunuhmu."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Jika demikian, kalian akan menyesal. Anak itu tidak akan mudah kau bunuh."
Kedua orang itu tidak menunggu lebih lama lagi. Mereka tidak mau kehilangan waktu, karena perkelahian yang timbul mungkin akan dapat mengundang orang-orang yang melihatnya dari kejauhan. Adalah celaka jika orang yang melihatnya itu kemudian melaporkannya ke Kademangan.
Karena itu, maka keduanyapun segera meloncat menyerang. Yang seorang menyerang petani muda itu, sedang yang lain berniat untuk segera membunuh Glagah Putih.
Glagah Putih menyadari keadaan itu sehingga iapun telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Tetapi iapun menyadari bahwa orang-orang itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Namun yang terjadi benar-benar telah mengejutkan kedua orang itu dan bahkan Glagah Putih. Petani muda itu dengan tangkasnya menghindari serangan pada dirinya. Namun kemudian dengan cepatnya pula ia telah menyerang orang yang sedang meluncur menyerang Glagah Putih.
Keduanya telah berbenturan. Orang yang menyerang Glagah Putih tidak sempat menghindar. Selagi ia sedang menyerang maka serangan yang tidak disangka-sangka itu telah datang.
Benturan itu benar-benar telah berakibat dahsyat sekali. Orang yang berpakaian petani itu terdorong selangkah surut. Namun lawannya telah terlempar beberapa langkah dan jatuh berguling.
Seorang yang lain, yang melihat kawannya jatuh berguling diluar sadarnya berdesah. Namun orang yang terguling itu sempat berteriak, "Gila. Kau curang."
Orang yang berpakaian petani itu tidak menjawab. Tetapi ia berkata kepada Glagah Putih. Cobalah menyesuaikan dirimu. Kau tidak perlu melawan. Hindarilah dengan menempatkan diri pada garis lindunganku. Keduanya memang sangat berbahaya."
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia meloncat mendekati orang yang berpakaian petani itu.
"Kau cukup lincah. Berusahalah untuk tidak mati. Aku akan bertempur untukmu."
Glagah Putih tetap berdiam diri. Tetapi ia melakukan perintah orang yang akan melindunginya itu.
Kedua orang yang datang dari Pasisir Endut dipantai Selatan itu menjadi sangat marah. Mereka seakan-akan telah kehilangan buruan mereka karena kehadiran orang yang menyebut dirinya petani itu.
Sejenak keduanya mempersiapkan diri. Kemudian dengan garangnya keduanya menyerang seperti badai yang dahsyat menyambar ujung pepohonan.
Tetapi orang yang berpakaian petani itupun ternyata orang luar biasa. Ia mampu mempertahankan diri sekaligus melindungi Glagah Putih yang berusaha menyesuaikan dirinya. Seperti pesan orang berpakaian petani itu, ia sama sekali tidak berbuat lain kecuali, menyesuaikan diri.
Dalam pada itu, perkelahian itupun semakin lama menjadi semakin sengit. Ternyata orang berpakaian petani itu benar-benar seorang yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan. Ia mampu melawan kedua orang lawannya sambil melindungi Glagah Putih. Untunglah bahwa Glagah Putihpun bukan orang yang sekedar ingin menyerah dan berputus asa karena ia memang memiliki kemauan untuk berusaha, juga berusaha menyelamatkan diri.
Orang berambut putih dan seorang lagi yang, ternyata adalah adiknya dan keduanya berasal dari Pesisir Endut itu menjadi semakin marah. Mereka bertempur semakin garang dan kasar. Bahkan semakin lama menjadi semakin buas dan liar.
Namun bagaimanapim juga orang yang berpakaian petani itu sama sekali tidak terpengaruh. Ia tetap bertempur dengan wajar. Tetapi nampak betapa ia benar-benar menguasai ilmunya dengan matang.
Dua orang bersaudara dari Pesisir Endut itu berusaha untuk menyerang orang yang berpakaian petani itu dari dua arah, sekaligus berusaha untuk memisahkan Glagah Putih dari padanya. Namun usaha mereka selalu gagal. Orang berpakaian petani itu mampu meloncat bagaikan kijang dan mampu menghantam lawannya seperti seekor banteng.
Kedua orang dari Pesisir Endut itu berusaha dengan segenap kemampuan mereka. Bahkan, ketika keduanya merasa tidak mungkin lagi untuk melawan orang berpakaian petani itu dengan tangannya maka keduanyapun telah menarik senjata masing-masing.
Yang berambut putih telah menarik pedangnya yang besar. Pedang bermata dua. Tajamnya berada disebelah menyebelah, sementara ujungnya runcing seperti duri, tetapi pedang itu tidak terlalu panjang.
Sementara itu yang lain telah menggenggam senjatanya pula. Ia lebih senang mempergunakan pedang rangkap dikedua tangannya. Pedang yang lebih pendek, tetapi nampaknya lebih berat dan kuat.
Orang berpakaian petani itu termangu-mangu. Memang pertempuran berikutnya akan sangat berbahaya bagi Glagah Putih. Karena itu. ia harus memberi kesempatan Glagah Putih meninggalkan gelanggang.
Sejenak orang berpakaian petani itu merenung. Senjata-senjata itu memang tidak terlalu berbahaya baginya. Tetapi bagi Glagah Putih akan lain akibatnya.
Karena itu, maka orang berpakaian petani itupun tiba-tiba telah membuka ikat pinggang kulitnya yang tebal. Dengan ikat pinggang kulit yang tebal itu ia mempersiapkan diri untuk melawan.
"Kau akan segera mati," geram orang berambut putih.
"Aku akan berusaha untuk menghindari kematian itu," jawab orang berpakaian petani itu.
"Kau tidak akan dapat melawan senjata kami."
Orang berpakaian petani itu tersenyum. Katanya, "Yang kau bawa adalah sekedar mainan anak-anak. Senjata yang kau sembunyikan dibawah bajumu itu tidak akan berarti apa-apa. Pedang atau sabut belati-belati itu atau golok atau nama lain dari senjata yang kalian bawa. tidak akan dapat memutuskan ikat pinggangku."
"Persetan," geram orang berambut putih. Dan sebelum mulutnya terkatup ia sudah menyerang dengan garangnya. Pedangnya terayun langsung mengarah kedahi lawannya, seakan-akan ia ingin membelah kepala itu dengan sekali ayunan.
05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun yang terjadi sangat mengejutkan. Orang berpakaian petani itu dengan cepatnya merentangkan ikat pinggangnya yang besar untuk melindungi kepalanya. Kemudian mengendorkannya sedikit. Ketika ia menghentakkan ikat pinggangnya. Maka senjata lawannya seolah-olah telah dihentak pula oleh kekuatan yang dahsyat, sehingga pedang itu terdorong dengan kuatnya.
Hampir saja pedang itu terlempar. Namun orang berambut putih itu masih mampu menahannya, sehingga pedang itu tidak terlepas dari tangannya.
Namun dalam pada itu, kedua orang itu menyadari, bahwa orang berpakaian pelani itu benar-benar orang yang tidak dapat diabaikan. Bahkan orang itu benar-benar merupakan bahaya yang cukup gawat. Dengan demikian, maka perkelahian bersenjata itupun menjadi semakin dahsyat. Orang berpakaian petani itu bergerak semakin cepat, meskipun tidak menunjukkan kekasaran seperti kedua lawannya. Sementara itu Glagah Putih masih bersembunyi dibalik perlindungan orang berpakaian petani itu. Namun tiba-tiba saja ia mendengar orang yang melindunginya itu berbisik, "Carilah kesempatan untuk lari."
Glagah Putih seperti terbangun dari mimpinya yang sangat buruk. Sejenak ia memperhatikan keadaan. Namun kemudian iapun memutuskan untuk melarikan diri pada saat yang tepat.
Ternyata orang berpakaian petani itupun berusaha mendesak kedua lawannya untuk memberi kesempatan kepada Glagah Putih. Ikat pinggangnya ternyata tidak hanya dapat dipergunakan sebagai perisai, tetapi tiba-tiba saja ikat pinggang itupun dapat mematuk bagaikan sekeping besi baja yang kuat dan berat.
Kedua orang dari Pasisir Endut itu benar-benar telah tenggelam dalam perlawanannya terhadap orang berpakaian petani itu, sehingga keduanya agak kurang memperhatikan Glagah Putih. Apalagi serangan orang itu bagaikan kuku-kuku burung rajawali yang berterbangan mengitarinya.
Dengan demikian, maka kedua orang itu tidak lagi mendapat kesempatan untuk memperhatikan anak yang hampir dibunuhnya. Jika salah seorang dari keduanya meninggalkan gelanggang untuk membunuh Glagah Putih, itu berarti bahwa yang lainpun akan terbunuh pula. Sehingga dengan demikian maka keduanya lebih baik bertempur berpasangan dan untuk sementara melepaskan perhatian mereka kepada anak itu.
Kesempatan itu nampaknya mulai terbuka. Meskipun demikian Glagah Putih cukup berhati-hati. Jika ia melepaskan diri dari perlindungan orang berpakaian petani itu dan berlari menyeberangi bulak, maka bayak kemungkinan yang dapat terjadi.
Dengan cermat Glagah Putih memperhatikan pertempuran itu. Orang berpakaian petani itu nampaknya berusaha untuk menekan lawannya sehingga keduanya tidak dapat berbuat lain kecuali bertahan berpasangan.
Ternyata pengamatan Glagah Putih cukup tajam. Ia melihat kesempatan yang benar-benar telah terbuka ketika orang berpakaian petani itu berhasil mendesak kedua lawannya justru menjauhinya.
Saat yang baik itu tidak disia-siakan. Dengan serta merta Glagah Putih meloncat berlari meninggalkan bulak yang hampir saja menelan nyawanya.
Kedua orang yang datang dari Pesisir Endut itu melihat Glagah Putih berlari. Tetapi pada saat itu keadaan mereka sendiri sudah terlalu sulit. Serangan orang berpakaian petani yang bersenjata ikat pinggangnya yang lebar dan tebal itu seolah-olah tidak dapat dihindarinya lagi.
Sementara itu Glagah Putih berlari-lari sekencang-kencangnya menuju kepadukuhan induk Kademangan Sangkal Putung. Meskipun ia melihat orang berpakaian petani itu berhasil mendesak lawannya, tetapi jika nasib malang datang menimpanya, maka ia akan mengalami kesulitan.
Karena itu Glagah Putih menganggap bahwa hal itu perlu diberitahukannya kepada Agung Sedayu, agar anak muda itu dapat menolongnya apabila orang yang berpakaian petani itu pada suatu saat mengalami kesulitan.
Dengan sekencang-kencangnya Glagah Putih berlari menyusur pematang. Dengan lincahnya ia meloncati parit dan kadang-kadang jalan-jalan kecil yang melintang langsung menuju kepadukuhan induk.
Ketika Glagah Putih memasuki padukuhan induk, ia masih melihat beberapa orang yang berjalan hilir mudik. Agar ia tidak menumbuhkan kecurigaan bagi beberapa orang dan kemudian menumbuhkan keributan, ia berusaha menahan diri dan berjalan menyusur jalan-jalan yang memintas langsung menuju ke rumah Ki Demang Sangkal Putung.
Seperti yang diduganya, maka orang-orang yang semula mengantarkan jenasah Ki Sumangkar kepemakaman, telah berada di pendapa. Beberapa orang anak muda sedang mempersiapkan minuman dan makanan bagi mereka.
Sejenak Glagah Putih termangu-mangu. Namun kemudian ia segera pergi kebelakang. Menurut dugaanya. Agung Sedayu tentu berada diantara anak-anak muda yang sedang sibuk mengatur jamuan itu.
Dugaannya ternyata tepat. Agung Sedayu sedang sibuk dibelakang bersama anak-anak muda sebayanya menyiapkan minuman dan makanan bagi tamu-tamu yang sedang berkumpul di Sangkal Putung.
"Kakang," desis Glagah Putih sambil menarik u jung baju Agung Sedayu.
Agung Sedayu berpaling. Dilihatnya Glagah Putih dengan wajah yang kemerah-merahan dibakar terik dan kegelisahan.
"Minumlah. He, kau nampak terengah-engah."
"Kakang. Dengarlah. Ada hal yang penting yang perlu segera kauketahui."
Agung Sedayu memandanginya sejenak. Diletakannya mangkuk yang ada ditangannya. Kemudian sambil tersenyum ia berkata, "Kau masih saja ingin berceritera. Duduklah dan minumlah. Kau tentu haus sekali."
Glagah Putih menjadi jengkel. Karena itu, maka iapun berbisik ditelinga Agung Sedayu, "Kakang, aku hampir mati dicekik orang."
"He?" kata-kata itu benar-benar mengejutkan Agung Sedayu.
Glagah Putih yang melihat Agung Sedayu mulai tertarik kepada ceriteranya segera melanjutkan kata-katanya meskipun masih sambil berbisik, "Ada dua orang yang berusaha membunuh aku."
Agung Sedayu menjadi semakin tertarik. Digandengnya Glagah Putih menjauhi anak-anak muda yang sedang sibuk. Dibawah sebatang pohon yang rindang keduanya duduk diatas sepotong kayu yang melintang.
"Katakan," desis Agung Sedayu.
Glagah Putihpun kemudian mulai berceritera dengan singkat apa yang diketahuinya. Sejenak ia berada dimakam, kemudian usaha kedua orang itu memisahkannya dari iring-iringan dan akhirnya mencoba membinasakannya.
"Jadi apa yang terjadi kemudian?"
"Mereka masih bertempur. Meskipun aku melihat yang seorang itu mendesak lawannya, tetapi aku belum yakin bahwa ia akan dapat menang dari kedua orang lawannya itu," berkata Glagah Putih dengan gelisah.
Agung Sedayu menjadi tegang, ia bukan seorang yang lekas dibakar oleh niat untuk membenturkan kekerasan dengan siapapun juga. Tetapi yang terjadi adalah tindak yang melampaui batas karena keduanya telah berusaha membunuh Glagah Putih yang masih terlalu muda dan tidak mengetahui persoalan apapun yang terjadi dalam kemelut yang menyuramkan hubungan Pajang dengan Mataram. Apalagi jika orang yang telah menolong Glagah Putih itu kemudian mengalami kesulitan yang gawat. Maka adalah kuwajibannya pula untuk membantunya, setidak-tidaknya untuk membebaskannya dari keadaan yang paling pahit, maut.
Karena itu, maka iapun dengan tergesa-gesa menemui seorang kawannya yang sedang menuang minuman kedalam mangkuk. Ditelinganya ia berbisik, "Aku akan pergi sebentar."
"Kemana?" bertanya kawannya, "kau nampak tergesa-gesa sekali."
Sekali lagi Agung Sedayu menempelkan mulutnya ketelinga kawannya itu, "Aku akan kesungai. Perutku tidak dapat bertahan lagi."
Kawannya tertawa. Agung Sedayupun mencoba untuk tertawa pula, sementara Glagah Putih menjadi heran, kenapa keduanya justru tertawa, karena ia tidak mendengar kata-kata Agung Sedayu.
Agung Sedayu memang tidak ingin menumbuhkan keresahan, karena dengan demikian, orang-orang yang ada di pendapa itu tentu akan menjadi hiruk pikuk.
Tetapi lebih dari itu, Agung Sedayu memperhitungkan, bahwa mereka nampaknya ada yang terlibat pula pada persoalan itu.
Lebih parah lagi jika mereka yang ada dipendapa itu ada yang berdiri pada pihak yang berseberangan. Jika ada prajurit Pajang yang terlihat, sementara yang lain menentangnya, maka akan timbul persoalan yang parah, justru saat mereka berada di Sangkal Putung.
Karena itulah maka Agung Sedayu berniat untuk menyelesaikan masalah itu tanpa menumbuhkan keonaran.
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu telah mengikuti Glagah Putih yang berjalan tergesa-gesa. Mereka menghindari orang-orang yang mungkin akan tertarik perhatiannya.
Karena itu, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih telah menyusuri jalan turun kesungai. Kemudian mereka berdua berlari-lari menuju kebulak panjang tempat kedua orang dari Pasisir Endut itu bertempur melawan seorang yang berpakaian petani.
Ternyata pertempuran itu telah berlangsung dengan dahsyatnya. Ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih mendekati arena, mereka masih terlihat dalam pertempuran yang sengit.
Namun ketika Agung Sedayu melihat pertempuran itu dengan saksama, maka ia menarik nafas dalam-dalam. Ia yakin, bahwa orang berpakaian petani itu akan dapat menyelesaikan pertempuran itu menurut kehendaknya. Ia tidak banyak mengalamai kesulitan yang berarti, sehingga sebenarnyalah bahwa ia tidak memerlukan bantuan siapapun juga.
"Aku sudah menduga bahwa kau akan datang Agung Sedayu," berkata anak muda yang berpakaian petani itu.
"Dari mana kau tahu" " bertanya Agung Sedayu.
"Glagah Putih itu sepupumu. Dan ia tentu tidak akan memberitahukan hal ini kepada Untara. Tetapi kepadamu."
Agung Sedayu tidak menyahut. Sambil mengerutkan keningnya ia melihat senjata anak muda yang aneh itu berputaran. Hampir seperti cara Agung Sedayu sendiri menggerakkan cambuknya.
"Ada beberapa unsur yang mirip," desis Agung Sedayu didalam hatinya.
Ternyata kehadiran Agung Sedayu telah membuat kedua orang dari Pasisir Endut itu menjadi semakin garang. Mereka berbuat apa saja untuk dapat membela diri dan sekali-sekali menyerang lawannya. Namun agaknya anak muda berpakaian petani itu benar-benar seorang anak muda yang mumpuni. Betapa kasar dan liarnya kedua orang dari Pesisir Endut itu. namun mereka tidak berdaya melawan anak muda berpakaian petani itu.
"Agung Sedayu," berkata anak muda itu, "aku memang menunggumu. Aku ingin memperlihatkan kepadamu, bagaimana aku membunuh kedua orang yang hampir saja merenggut nyawa adik sepupumu yang masih kecil dan tidak tahu apa-apa itu."
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Ia berkeberatan disebut masih kecil oleh anak muda berpakaian petani itu. Tetapi ia tidak mengatakannya.
Agung Sedayu sementara itu termangu-mangu. Ia memperhatikan pertempuran itu dengan saksama. Namun pengamatannya yang tajam, semakin meyakinkannya bahwa anak muda berpakaian petani itu benar-benar akan dapat mengalahkan kedua lawannya.
"Agung Sedayu," berkata anak muda itu," aku tak tahu bahwa kau termasuk seseorang yang tidak suka melihat pembunuhan-pembunuhan. Akupun sebenarnya bukan jenis seorang pembunuh yang tidak berperikemanusiaan. Tetapi karena kedua orang dari Pesisir Endut itu benar-benar orang yang berbahaya, maka aku akan membunuh keduanya."
"Persetan," orang berambut putih itu menggeram.
Sementara itu. Agung Sedayu yang termangu-mangu bergeser setapak menjauh diluar sadarnya, seakan-akan ia adalah orang yang asing sama sekali dari olah kanuragan, dan ketakutan melihat akibat yang bakal terjadi.
"Jangan seperti perempuan cengeng Agung Sedayu," berkata anak muda itu, "lihatlah, bagaimana ikat pinggangku mengakhiri perlawanan mereka. Jika aku tidak menunggu kedatanganmu, maka keduanya tentu sudah aku bunuh jauh sebelum saat ini."
Kedua orang dari Pesisir Endut itu menggeram. Mereka menyadari bahwa kedua anak muda itu benar-benar akan mencoba membunuh mereka. Sehingga karena itu, maka merekapun segera mengerahkan segenap sisa kemampuan yang ada pada mereka.
Betapapun juga kasar dan liarnya, tetapi mereka benar-benar telah dikuasai oleh anak muda itu. Sambil melihat lawannya dengan ikat pinggangnya anak muda itu berkata, "Kau memang orang aneh Agung Sedayu. Tetapi matamu seperti seorang yang kagum melihat perkelahian yang tidak berarti ini. Ketahuilah, bahwa kedua orang ini sama sekali tidak dapat menyamai, bahkan mendekati kemampuan Tumenggung Wanakerti, sehingga kemampuankupun tentu berada jauh dibawah kemampuanmu yang sebenarnya."
"Tidak," tiba-tiba saja Agung Sedayu menjawab, "aku melihat kau mempunyai kelebihan. Bahkan dari orang-orang yang pernah aku kenal."
"Ah, bohong," orang muda itu tertawa sambil bertempur sehingga kedua lawannya semakin merasa terhina, "orang-orang yang kau kenal adalah terutama gurumu, Raden Sutawijaya dari Mataram, Untara kakakmu dari Jati Anom dan masih banyak lagi. Tentu aku bukan orang yang dapat diperbandingkan dengan mereka."
Agung Sedayu tidak segera menyahut. Ia melihat anak muda itu menekan lawannya semakin tajam, meskipun ia masih juga berbicara dengan lantang, "Jangan membohongi dirimu sendiri. Kaulah yang melampaui setiap orang yang pernah kau kenal termasuk aku."
Agung Sedayu menggeleng. Namun tiba-tiba orang muda itu berteriak, "Bukan waktunya untuk merendahkan diri. Lihat, bagaimana aku membunuh dua orang yang paling kejam dimuka bumi."
Agung Sedayu tidak sempat menjawab. Anak muda berpakaian petani itu seolah-olah melenting tinggi. Kemudian ikat pinggangnyapun segera berputar dengan dasyatnya.
Kedua orang dari Pesisir Endut itu menjadi semakin bingung.
Bagaimanapun juga ternyata bahwa mereka tidak akan dapat melepaskan diri dari kegarangan ikat pinggang anak muda berpakaian petani itu, sehingga mereka mengumpat-umpat didalam hati, bahwa anak muda itu telah melihat apa yang telah dilakukannya.
Ternyata bahwa yang dikatakan oleh anak muda itu benar-benar dilakukan. Senjatanya yang aneh itu semakin lama semakin cepat berputar dan kadang-kadang terayun seperti pedang dan mematuk seperti tombak.
Sejenak kemudian, terdengar orang berambut putih itu mengeluh pendek. Segores luka telah menyobek dadanya melintang, sehingga darah yang merah telah memercik dari lukanya.
Terdengar anak muda berpakaian petani itu tertawa. Kemudian dengan lantangnya ia berkata, "Aku akan membunuh kalian didalam suatu arena pertempuran. Aku masih menghormati kalian sebagai laki-laki jantan. Dengan demikian maka aku masih berbuat lebih baik dari rencanamu. Menyuruh anak itu berbaring dilubang kubur, kemudian akan kau timbun hidup-hidup."
Terasa kulit tubuh Agung Sedayu meremang mendengar kata-kata itu. Jika benar demikian terjadi atas Glagah Putih. maka alangkah mengerikan.
Namun demilkian, rasa-rasanya hati Agung Sedayu-pun berdebar-debar pula melihat anak muda berpakaian petani itu. Ketika sekali lagi ia melenting sambil mengayunkan ikat pinggangnya, maka lawannya yang mudapun telah terlempar beberapa langkah.
Dengan susah payah ia berusaha untuk tetap berdiri tegak, namun kakinya terasa menjadi sungut lemah.
Kedua orang dari Pesisir Endut itu sama sekali sudah tidak berdaya. Meskipun keduanya masih berdiri, tetapi mereka sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Bahkan merekapun sama sekali tidak dapat menghindar ketika anak muda berpakaian petani itu menyambar mereka dengan ayunan ikat pinggangnya.
"Cukup," teriak Agung Sedayu.
Tetapi ia terlambat. Ikat pinggang anak muda berpakaian petani itu telah menyambar kedua lawannya, sehingga keduanyapun telah terlempar jatuh.
Sejenak keduanya masih mengerang. Namun kemudian suara mereka terputus. Keduanya ternyata telah mati.
Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Ditatapnya anak muda yang bersenjata ikat pinggang itu. Kemudian katanya, "Kau membunuh keduanya Ki Sanak."
"Ya. Aku membunuh keduanya. Hal yang tidak akan kau lakukan."
"Tetapi kita memerlukan keduanya. Mungkin keduanya akan dapat memberikan keterangan tentang diri mereka berdua."
"Aku tahu apa yang mereka ketahui. Keterangan itu tidak perlu sama sekali bagiku."
"Tetapi pembunuhan itu tidak perlu sama sekali. Ketika mereka sudah tidak mampu melawan, maka mereka akan dapat ditangkap dengan mudah."
Anak muda itu tertawa. Katanya, "Itulah yang penting bagimu. Mengampuni orang itu. Bukan mencari keterangan dari mereka."
Agung Sedayu memandang anak muda berpakaian petani itu dengan heran. Sikapnya dan tatapan matanya nampak asing dan aneh. Setiap kali ia tertawa dan sekali-sekali tertawanya terdengar nyaring.
"Nah Agung Sedayu," katanya kemudian, "aku telah menyelamatkan saudara sepupumu."
"Siapakah kau sebenarnya" " tiba tiba saja Agung Sedayu bertanya.
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba wajahnya menjadi tegang. Kalanya, "He. mereka yang mengantar Ki Sumangkar ke makam dan kembali kepadukuhan kini telah turun kebulak. Lihat ada beberapa petani menyusuri parit."
Agung Sedayu berpaling. Nampaknya memang beberapa orang Sangkal Putung sedang kembali kesawah mereka untuk melanjutkan kerja setelah terputus beberapa lama.
"Marilah kita pergi kerumah Ki Demang," ajak Agung Sedayu.
Anak muda itu tertawa. Katanya, "aku tidak perlu. Aku akan pergi. Pembunuhan ini terpaksa aku lakukan, karena jika keduanya tetap hidup, akibatnya akan parah bagimu dan Glagah Putih."
"Kenapa?" bertanya Agung Sedayu.
"Keduanya adalah orang-orang yang cukup memiliki ilmu. Tetapi mereka tidak berdiri sendiri.Kedua bersaudara dari Pesisir Endut itu telah terlibat dalam persekutuan dengan orang-orang yang menyebut dirinya keturunan Majapahit. He, bukankah kau mengetahui hal itu" Bertanyalah kepada gurumu, kenapa gurumu justru tetap berdiam diri tentang keturunan itu, seolah-olah ia tidak memiliki hak untuk berbuat demikian. Bukan maksudku agar Kiai Gringsing ikut berain-main berebutan warisan kerajaan Majapahit. Tetapi dengan pengaruh namanya ia akan dapat meredakan suasana. Namun mungkin juga sebaliknya. Rebutan itu akan bertambah ramai."
"Jika mereka masih hidup, akan dapat ditelusur dari manakah sumber dari kericuhan itu."
Anak muda itu tertawa. Sambil menggeleng ia menjawab, "Tidak mungkin. Jalur-jalur itu bertingkat banyak dan tentu akan terputus di tengah jalur." ia berhenti sejenak, lalu. "Nah, sekarang aku minta diri."
"Tunggu," sahut Agung Sedayu, "kau harus mempertimbangkan bagaimana dengan kedua orang yang mati itu."
"Biar sajalah ia disitu. Nanti orang-orang padukuhan tentu akan menguburkannya."
"Tetapi tinggalah disini. Petani-petani itu semakin dekat. Kau akan menjadi saksi apa yang sudah terjadi disini dengan Glagah Putih."
Dan tidak akan ada orang yang menuduh aku membunuh mereka berdua karena diluar kehendakku sendiri aku sudah terlalu banyak membunuh."
Anak muda itu tertawa semakin keras. Katanya, "Kau seorang yang mumpuni. Tetapi kau menjadi ketakutan untuk dituduh membunuh dua orang tikus dari Pasisir Endut itu" Aku kira itu lebih baik daripada keduanya masih tetap hidup dan memberikan banyak keterangan tentang Agung Sedayu. Sengaja atau tidak sengaja, kau memang sudah terlibat semakin jauh, bahkan kau akan dianggap musuh yang paling utama setelah kau membunuh dan melumpuhkan banyak orang-orang penting dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu."
"Kau tahu tentang pertempuran itu?"
"Aku adalah seorang petualang atau katakan seorang pengembara yang menjelajahi gunung dan ngarai. Aku tahu apa saja yang terjadi dalam hubungan Pajang dan Mataram serta orang-orang yang merasa dirinya pewaris kerajaan Majapahit."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba diluar sadarnya ia bertanya, "Kau kenal Rudita?"
Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Kemudian ia menggelengkan kepalanya sambil menjawab, "Aku belum mengenalnya. Apakah ia orang mumpuni seperti kau?"
"Ia seorang yang mumpuni dan meyakini sikap dan pandangan hidupnya. Tetapi bukan seorang diantara kita yang tangannya berbau darah."
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian, "Orang orang itu menjadi semakin dekat. Ada dua orang yang berjalan kearah ini. Karena itu, aku akan pergi."
"Jangan pergi dahulu," Agung Sedayu mencegahnya, "kau harus bertanggung jawab terhadap pembunuhan ini ?"
"Bertanggung jawab terhadap siapa?" bertanya anak muda itu dengan heran.
"Kepada orang-orang Sangkal Putung," jawab Agung Sedayu, "daerah ini adalah daerah Kademangan Sangkal Putung. Peristiwa-peristiwa yang terjadi disini harus dipertanggung jawabkan kepada Ki Jagabaya dan Ki Demang."
Anak muda itu tertawa. Jawabnya, "Aku bukan orang Sangkal Putung. Kedua orang itupun bukan orang Sangkal Putung."
"Tetapi peristiwa itu terjadi di Sangkal Putung," desak Agung Sedayu.
"Aku tidak peduli. Aku akan pergi. Biarlah keduanya diurus oleh orang-orang Sangkal Putung. Aku tidak berkepentingan dengan mereka berdua, dan akupun tidak berkepentingan dengan orang-orang Sangkal Putung."
"Kau berkepentingan dengan kedua sosok mayat itu. Kaulah yang telah membunuhnya."
"O, jadi menurut pendapatmu, aku sebaiknya tidak usah mencampuri persoalan kedua orang itu" Atau menurut pertimbanganmu sebaiknya aku membiarkan keduanya membunuh Glagah Putih."
"Tidak. Bukan maksudku. Bahkan aku hampir lupa mengucapkan terima kasih terhadapmu. Tetapi tunggulah sebentar. Kau harus mengatakan kepada petani yang lewat itu bahwa kaulah yang telah membunuh keduanya, dan bukan aku."
Tetapi anak muda itu menggeleng. Jawabnya, "Itu tidak perlu. Kau sudah mempunyai saksi. Glagah Putih."
"Aku minta kau tetap disini," berkata Agung Sedaya kemudian.
Anak muda itu memperhatikan Agung Sedayu sebentar. Kemudian dengan ragu-ragu ia bertanya, "Apakah kau akan memaksa aku?"
"Sebenarnya aku tidak perlu memaksa. Tetapi kau dengan kehendakmu sendiri akan berada ditempat ini sebentar lagi saja."
"Sayang, aku tidak melihat gunanya. Petani-petani Sangkal Putung itu tentu tidak mengenal aku juga. Biarlah. Aku minta diri."
Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Katanya, "Tunggulah."
"Aku tidak mau."
Wajah Agung Sedayu menjadi tegang. Ketika anak muda itu beringsut, diluar sadarnya Agung Sedayupun beringsut pula. Bahkan seolah-olah ia mengancam, "Kau harus tetap disini. Kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu kepada Ki Jagabaya dan Ki Demang Sangkal Putung."
"Aku tidak mau."
Agung Sedayu melangkah maju. Namun tiba-tiba saja langkahnya tertegun ketika ia mendengar anak muda itu berkata, "Aku menyesal bahwa aku sudah menolong sepupumu. Jika aku membiarkannya, maka aku tidak akan mendapat tekanan seperti ini."
Sejenak Agung Sedayu berdiam diri sambil termangu-mangu. Anak muda itu berkata, "sebenarnya. Jika ia tidak mencampuri persoalan Glagah Putih dengan kedua orang itu, maka tidak akan ada orang yang akan menahannya dan menuntutnya untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya."
Selagi Agung Sedayu termangu-mangu maka anak muda itu berkata, "Agung Sedayu, jika kau memaksa aku untuk tetap tinggal disini, maka kau tentu dapat."
Aku akan dapat melawan kehendakmu jika kau memang berniat memaksakan kehendakmu itu, karena kau adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi mengertilah, bahwa aku tidak ingin terlibat kedalam persoalan yang semakin jauh. Aku hanya ingin menolong Glagah Pulih. Selebihnya aku tidak mau mencampurinya."
"Tetapi kau mengetahui banyak hal tentang Pajang, tentang Malaram dan bahkan tentang aku."
Semua orang mengetahui tentang kau, tentang Untara. tentang Raden Sutawijaya. tentang Kiai Gringsing, tentang Ki Juru Martani dan tentang persoalan-persoalan yang dihadapinya. Karena itu maka akupun mengerti serba sedikit tentang kau, tentang Pajang dan tentang pertempuran dilembah itu."
Agung Sedayu termangu-mangu ketika ia memandang kejalan panjang, ditengah-tengah bulak itu, ia melihat kedua orang petani Sangkal Pulung itu menjadi semakin dekat.
Tetapi agaknya anak muda itu benar-benar tidak mau menunggu. Iapun mulai melangkah dan berkata, "Jika kau memaksaku untuk menunggu mereka, aku tentu akan dapat melakukannya karena aku tidak akan dapat melawanmu. Tetapi dengan demikian maka aku akan menyesal sepanjang umurku, bahwa aku telah menolong Galgah Putih hari ini."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi terasa Glagah Putih menggamitnya sambil berbisik, "Kakang, ia benar-benar telah menyelamatkan aku."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Baiklah Glagah Putih, aku tidak akan menahannya."
Anak muda yang menolong Glagah Putih itu berhenti sejenak. Katanya, "Yang aku lakukan bukanlah apa-apa."
Tetapi Ki Widura, ayah Glagah Putih tentu akan menyesal bahwa ia tidak sempat mengucapkan terima kasih kepadamu."
Anak muda itu tertawa. Katanya, "Itu tidak perlu. Aku sama sekali tidak mengharapkan terima kasih dari siapapun juga."
Agung Sedayu tidak menyahut lagi. Dibiarkannya anak muda berpakaian petani itu meninggalkannya yang berdiri termangu-mangu.
Sementara itu, petani dari Sangkal Putung yang berjalan menyusuri jalan bulak itu menjadi semakin dekat. Dari kejauhan mereka sudah melihat Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Sedangkan orang yang sedang berbicara dengan anak muda itu kemudian pergi meninggalkannya. Namun petani-petani Sangkal Putung itu masih belum melihat bahwa dihadapan mereka terdapat dua sosok mayat yang tergolek ditanah.
Agung Sedayu dan Glalah Putih menjadi berdebar-debar. Namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa sementara orang-orang itu mendekatinya.
Betapa terkejut mereka, ketika para petani itu melihat tubuh yang terbujur membeku ditanah. Dengan mata terbelalak mereka memandang mayat itu.
Agung Sedayu yang gelisah itupun segera mencoba memberikan keterangan, "Dua orang yang mati dibunuh oleh anak muda yang baru saja meninggalkan aku."
"O, anak muda itu," desis salah seorang petani sambil memandang keujung jalan yang panjang. Anak muda itu masih kelihatan, berjalan menyusuri jalan bulak itu semakin lama semakin jauh.
"Kenapa" " petani itu bertanya.
Agung Sedayu termangu-mangu. Ia tidak ingin menceritakan kepada mereka apa yang sesungguhnya telah terjadi agar mereka tidak menjadi gelisah dan cemas.
Karena itu, maka jawabnya, "Mereka berselisih. Akhirnya perkelahian tidak dapat dihindarkan."
"Apakah yang mereka persoalkan?"
Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya, "Aku tidak tahu."
Dan yang dicemaskan Agung Sedayu itupun terloncat dari mulut salah seorang petani itu, "Dan kau biarkan saja mereka pergi."
Agung Sedayu termenung sejenak. Tetapi kemudian ia menjawab, "Aku tidak dapat mencegahnya. Persoalan yang terjadi antara merekapun aku tidak jelas. Tidak agaknya anak muda itu berbuat demikian dengan maksud baik. Mungkin Glagah Putih dapat menjelaskan kemudian."
Orang itu menjadi bingung. Namun kemudian katanya, "Tetapi pembunuhan itu terjadi di tlatah Sangkal Putung."
"Ya, aku mengerti. Aku tidak dapat mencegahnya. la pergi begitu saja."
"Kau dapat menahannya. Kau mempunyai kemampan untuk mencegah agar ia tidak pergi dan menghadap Ki Demang Sangkal Putung."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, "Persoalannya tentu akan berkembang. Pertentangan itu akan merambat antara aku dan orang itu."
Petani-petani itu termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja salah seorang dari mereka berdesis, "Agung Sedayu, apakah kau tidak menutupi kenyataan yang terjadi" Apakah bukan kau yang telah membunuh kedua orang itu karena mereka justru telah mengancam nyawamu?"
"Aku?" bertanya Agung Sedayu. Debar jantungnya menjadi semakin cepat.
"Bukan," Glagah Putihlah yang menyahut, "bukan kakang Agung Sedayu. Tetapi anak muda itulah yang telah membunuh keduanya dengan cara yang aneh sekali."
Petani-petani itu saling berpandangan. Namun kemudian salah seorang dari mereka berkata, "Kita wajib memberitahukan kepada Ki Jagabaya dan Ki Demang."
Agung Sedayu tidak dapat mencegah mereka. Karena itu. ia berdiri saja termangu-mangu ketika para petani itu kemudian dengan tergesa-gesa pergi meninggalkannya.
"Kademangan tentu akan menjadi ribut," desis Agung Sedayu, "jika tamu-tamu yang berdatangan dari tempat-tempat lain itu masih ada, maka mereka tentu akan beriringan datang untuk melihat, apa yang telah terjadi."
"Apakah yang harus kita katakan kepada mereka kakang?"
"Kita tidak dapat berbohong terlalu banyak. Kau harus mengatakan bahwa mereka akan membunuhmu, kemudian seorang anak muda berpakaian petani telah menolongmu."
"Bagaimana jika seseorang bertanya kepadaku, kenapa mereka akan membunuhku?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak ingin persoalannya berkembang semakin jauh. Karena itu, maka katanya, "Katakan saja bahwa kau tidak tahu apa apa. Mereka tentu akan mencari sendiri sebabnya."
Glagah Putih termenung sejenak. Dan Agung Sedayupun berkata lebih lanjut. "Ketahuilah Glagah Putih, yang ada di Sangkal Putung sekarang adalah orang-orang yang tidak kita ketahui dengan pasti sikap dan tanggapannya terhadap keadaan sekarang ini."
Buku 115 DALAM pada itu, para petani yang meninggalkan Agung Sedayu itupun telah memasuki halaman Kademangan. Dengan wajah yang merah padam mereka memaksa para pengawal yang menahan mereka, untuk dapat bertemu dengan Ki Demang.
"Ada persoalan apa?" bertanya para pengawal.
"Persoalan penting. Persoalan yang akan kami laporkan langsung kepada Ki Demang."
"Tetapi masih banyak tamu dipendapa."
"Persoalan ini harus segera diketahui oleh Ki Demang."
Para pengawal itu menjadi termangu-mangu. Namun kemudian pemimpin para pengawal itu berkata, "Duduk sajalah disini. Aku akan mengundang Ki Demang untuk datang kemari."
Para petani itu menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian salah seorang berkata, "Baiklah. Katakan kepada Ki Demang."
Pemimpin pengawal itupun kemudian pergi kependapa. Dengan hati-hati ia memberikan isyarat kepada Ki Demang, agar Ki Demang datang kepadanya.
Ketika seorang perwira yang masih berada dipendapa sambil menghirup minuman hangat melihat pula pemimpin pengawal itu, maka iapun bertanya, "Ada apa?"
Pemimpin pengawal itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian jawabnya, "Tidak apa-apa tuan. Sekedar soal air di sawah sebelah padukuhan induk ini."
Perwira itu tidak menghiraukannya lagi. Demikian pula orang-orang lain yang semula tertarik pula kepada pemimpin pengawal itu.
Ki Demang yang segan itupun turun kehalaman mendekati pengawal itu. Dengan segan pula ia bertanya, "Ada apa?"
"Beberapa orang ingin bertemu dengan Ki Demang," bisik pemimpin pengawal itu.
"Ya, ada apa?" Ki Demang yang merasa terganggu mendesak.
"Silahkan menemui mereka Ki Demang. Mereka ada digardu."
Ki Demangpun kemudian pergi ke gardu untuk menjumpai para petani yang tidak dapat menahan diri lagi. Berebut mereka menceritakan apa yang mereka lihat dibulak itu.
Ki Demang yang melihat kemungkinan yang dapat menumbuhkan keributan dari peristiwa itu mencoba untuk menahan agar para petani itu tidak berbicara terlalu keras. Tetapi usahanya tidak berhasil. Dan beberapa orang yang duduk dipendapa, ternyata telah tertarik pula melihat cara para petani itu bercerita, sehingga satu dua diantara mereka telah turun dan mendekat.
Hal itu tidak lagi dapat disembunyikan. Sejenak kemudian berita tentang peristiwa dibulak panjang itu telah tersebar diseluruh pendapa sehingga Raden Sutawijaya dan Untara telah mendengarnya.
Seperti yang diduga oleh Ki Demang, maka pendapa itupun menjadi ribut. Beberapa orang tidak dapat menahan diri lagi dan dengan tergesa-gesa mendekat sambil bertanya berebut dahulu, "Siapa yang terbunuh di bulak panjang?"
Tidak seorangpun yang dapat memberikan penjelasan. Tetapi mereka dapat mengatakan, bahwa dibulak panjang itu terdapat Agung Sedayu.
"Apakah Agung Sedayu sudah membunuh lagi" " diluar sadarnya Kiai Gringsing berdesis.
Seperti yang diperhitungkan oleh Agung Sedayu, maka kemudian para tamu yang masih ada di Sangkal Pulung itu dengan tergesa-gesa telah pergi beriringan ke tengah bulak.
Mereka menjumpai Agung Sedayu dan Glagah Putih masih berada ditempatnya. Mereka sengaja menunggu orang-orang yang menurut mereka pasti akan datang, untuk mendapatkan keterangan tentang apa yang telah terjadi.
Ketika orang-orang itu kemudian berdiri melingkar sambil berdesakkan disekitar kedua sosok mayat dan Agung Sedayu serta GlagahPutih, maka mulailah Agung Sedayu mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi.
"Kau melihat bagaimana orang itu membunuh?" bertanya Kiai Gringsing.
"Ya guru. Dengan ikat pinggangnya. Ia dapat mempergunakan ikat pinggangnya dengan hampir sempurna sehingga ikat pinggang itu mematuk seperti ujung tombak, tetapi dapat menebas seperti pedang."
"Orang itu masih muda?" bertanya Untara, "semuda Raden Sutawijaya?"
Agung Sedayu mengangguk. "Dan ia tidak meninggalkan pesan apa-apa?" bertanya Raden Sutawijaya.
"Tidak Raden. Ia pergi begitu saja dan aku tidak dapat menahannya betapapun aku ingin. Tetapi aku tidak mau terlibat dalam persoalan jika aku memaksanya untuk tinggal."
Raden Sutawijayapun kemudian berjongkok memeriksa bekas luka-luka pada tubuh mayat itu. Ketika ia mengangkat wajahnya, dilihatnya Ki Juru menarik nafas dalam-dalam.
"Tidak usah disembunyikan Raden," seorang perwira berkumis lebat mendesak maju, "kita semuanya tahu, siapakah yang telah melakukannya."
Agung Sedayu memandang perwira berkumis lebat itu dengan dada yang berdebar-debar. Sejenak ia berdiri tegak tanpa bergerak, sedangkan Glagah Putih menjadi cemas melihat wajah yang keras itu.
"Kakang Tumenggung Brajaketi," berkata Raden Sutawijaya, "tidak ada maksud menyembunyikan sesuatu. Apalagi jika memang sudah diketahui bersama. Yang sedang kita lakukan adalah meyakinkan dugaan kita, apakah benar bahwa yang telah terjadi seperti yang kita sangka."
"Apakah masih ada keragu-raguan" Bekas tangannya tidak ada duanya. Ia adalah orang yang paling pantas ditakuti. Bagiku, ia adalah orang satu-satunya yang memiliki wibawa sekarang ini."
Wajah Raden Sutawijaya menjadi tegang. Dipandanginya perwira berkumis lebat yang kemudian berjongkok pula diseberang mayat yang terbaring dihadapannya, dan yang kemudian beringsut pada mayat yang seorang lagi.
"Jelas sekali. Ia adalah orang besar di masa kini. Harapan setiap orang Pajang, bahwa ia akan tampil untuk menegakkan kegoyahan tahta dan menghancurkan setiap orang yang menentang keputusannya," geram Tumenggung Brajaketi.
"Jika benar, maka Pajang tentu akan menemukan dirinya kembali," jawab Raden Sutawijaya.
Jawaban itu mengejutkan Tumenggung Brajaketi. Wajahnya menjadi merah sejenak. Namun kemudian ia menundukkan wajahnya memandangi mayat yang terbaring dihadapannya.
"Ia memang putera satu-satunya," sahut Ki Juru Martani, "ia memang harapan setiap orang. Jika saja ia tidak menolak untuk menjadi Putera Mahkota."
"Ia tidak akan menolak," bantah Tumenggung Brajaketi.
"Jangan kau katakan kepadaku. Katakan kepada Sultan Pajang," sahut Ki Juru Martani.
Ki Tumenggung menegang. Namun Untara kemudian berkata, "Ia adalah orang yang berbuat sesuai dengan keinginan yang melonjak-lonjak didalam hati. Ia akan membunuh jika ia ingin membunuh. Ia akan pergi jika ia ingin pergi. Kenapa kalian mempersoalkannya disini?"
Raden Sutawijaya berdiri tegak memandang berkeliling. Kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, "Yang melakukan adalah adimas Pangeran Benawa, Agung Sedayu. Mungkin kau memang belum mengenal secara pribadi. Tetapi kau tentu sudah mengenal namanya. Ia adalah anak muda yang kecewa. Yang tidak mau terlibat dalam kemelutnya pemerintahan ayahandanya."
"Ada orang yang dengan sengaja mengkesampingkan," potong Ki Tumenggung Brajaketi.
"Ada beberapa pihak," geram Untara, "kakang Tumenggung Brajaketi. Jangan menutup kenyataan, bahwa ada orang yang sedang mengipasi api yang sedang menyala."
"Adimas Untara," sahut Tumenggung Brajaketi, "kau adalah Senapati pinunjul. Tetapi pengetahuanmu tentang istana ternyata terlalu sempit. Kau lebih banyak berada dimedan yang kurang kau pahami."
"Aku tahu yang kau maksud," potong Untara, "apakah kau termasuk orang-orang yang sedang meniup api sekarang ini" Atau semacam kebencian yang tidak berdasar atas tumbuhnya Mataram" Aku menyadari persoalan itu. Tetapi kita tidak akan membicarakannya disetiap kesempatan."
Wajah Brajaketi menjadi merah padam. Tiba-tiba iapun berdiri sambil berkata, "Aku adalah Tumenggung yang sadar akan tanggung jawabku terhadap keselamatan Pajang. Aku akan berbuat apa saja untuk menyelamatkan Pajang dari setiap pemberontakan, siapapun yang akan menentang Sultan Hadiwijaya maupun Pangeran Benawa yang berhak menjadi Putera Mahkota, maka ia akan berhadapan dengan aku. Tumenggung Brajaketi."
Namun tiba-tiba ketegangan itu bagaikan koyak oleh suara seseorang diantara mereka yang berkerumun diseputar mereka, "Ki Tumenggung benar. Setiap orang tentu akan mendukung sikap itu. He, apakah Ki Tumenggung melihat gejala dari seseorang yang akan memberontak" Atau barangkali yang dimaksud oleh Ki Tumenggung adalah orang-orang yang menyebut dirinya pewaris kerajaan Majapahit?"
Wajah Ki Tumenggung Brajaketi menjadi panas seperti tersentuh api. Ketika terpandang olehnya orang yang berbicara itu, jantungnya bagaikan akan meledak.
"Kiai Gringsing," ia bergumam, "kau memang tidak tahu apa-apa tentang sikap orang-orang besar di Pajang sekarang ini."
"Ya. Aku memang tidak tahu apa-apa. Karena itu aku bertanya kepadamu."
"Pertanyaan itu mengundang persoalan," Untaralah yang memotong, "kenapa kita ributkan persoalan itu sekarang" Pertanyaanku sekarang aku tujukan kepada setiap orang, apakah kalian memang ingin melihat api yang menyala dan membakar Pajang" Aku adalah Panglima yang berkuasa di daerah ini. Terlebih-lebih aku sedang membawa lambang pribadi Sultan Hadiwijaya. Jika kalian masih ingin mempersoalkannya, marilah, persoalkan dengan aku. Aku akan mengambil sikap untuk menyelesaikannya dengan caraku sebagai seorang Senapati, siapapun yang sedang aku hadapi."
Dada Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Sekilas dipandanginya gurunya. Tetapi Kiai Gringsing justru tersenyum sambil berkata, "Aku hormati sikapmu anakmas. Aku menarik diri dari setiap pembicaraan. Marilah Agung Sedayu, marilah Glagah Putih, biarlah mayat itu dimakamkan sebagaimana seharusnya. Tetapi kita kini tahu, bahwa Pangeran Benawa adalah orang yang tidak ada duanya di daerah Pajang." Kiai Gringsing melangkah selangkah. Namun iapun berhenti sambil berpaling. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "He, Agung Sedayu. Apakah kau tidak tahu, siapakah kedua orang yang terbunuh ini?"
Agung Sedayu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian katanya, "Menurut anak muda yang berpakaian petani, yang ternyata adalah Pangeran Benawa, kedua orang ini adalah kakak beradik dari Pesisir Endut."
"He," beberapa orang saling berpandangan. Seorang perwira yang berwajah tenang berdesis, "orang-orang yang luar biasa. Pangeran Benawa benar-benar telah membuktikan, bahwa ia adalah seorang laki-laki."
Yang lain mengangguk-angguk kecil, sementara Raden Sutawijayapun berkata, "Untara, bagaimanakah jika kau perintahkan saja mengubur mayat-mayat itu?"
"Aku memang akan memerintahkan," jawab Untara itu, "sudah menjadi kewajibanku. Dan Ki Demang Sangkal Pulung tentu akan memberikan bantuan kepadaku. Karena itu, aku akan mempersilahkan semuanya meninggalkan tempat ini."
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Untara sejenak, namun kemudian iapun berkata, "Aku akan kembali kerumah Ki Demang di Sangkal Putung. Nampaknya keperluanku disinipun sudah selesai, sehingga aku akan segera dapat minta diri."
Raden Sutawijaya tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun kemudian meninggalkan tempat itu, diikuti oleh pengawal-pengawalnya yang terpercaya.
Selain Raden Sutawijaya, maka beberapa orang yang lainpun meninggalkan tempat itu pula. Ki Tumenggung Brajaketipun kemudian melangkah pergi. Ketika ia lewat disisi Untara, maka iapun berkata, "Tidak ada orang lain yang sanggup melakukannya. Apalagi kedua orang itu ternyata kakak beradik dari pesisir Endut."
Untara memandang wajah Tumenggung itu sejenak. Hampir diluar sadarnya ia berkata, "Apakah Ki Tumenggung juga tidak sanggup seandainya Ki Tumenggung mendapat kesempatan yang sama?"
Wajah Tumenggung Brajaketi menjadi merah padam. Namun ia tidak menjawab pertanyaan Untara. Dengan langkah panjang ia meninggalkan tempat itu bersama beberapa orang perwira yang lain.
Yang kemudian tinggal adalah Ki Demang Sangkal Putung, Kiai Gringsing dan Agung Sedayu. Sejenak kemudian Ki Waskitapun mendekatinya pula sementara beberapa langkah dari mereka berdiri Ki Argapati dan Swandaru Geni, yang kemudian mendekat pula. Sedangkan Ki Widurapun menghampiri Glagah Putih yang masih berdiri kebingungan.
"'Mereka adalah orang-orang aneh," desis Kiai Gringsing, "hampir saja aku kehilangan pengamatan diri."
Ki Waskita tersenyum. Katanya, "Tetapi apakah dengan demikian Kiai dapat menggolongkan beberapa orang yang hadir itu kedalam lingkungan masing-masing" "
"Masih belum Ki Waskita, tetapi setidak-tidaknya aku melihat, bahwa orang-orang tertentu di Pajang kini seakan-akan mempunyai jalannya sendiri. Tetapi lebih parah lagi jika mereka masing-masing berusaha untuk memaksakan keinginan mereka dengan cara apapun juga."
Ki Argapati yang mengangguk-angguk kemudian berkata, "Mudah-mudahan bukan kesengajaan untuk mengipasi api yang memang sudah dapat menyala sekarang ini seperti yang dikatakan Untara."
"Siapa tahu," desis Ki Widura, "tetapi kita masih mengharap masing-masing pihak dapat menahan diri sehingga tidak akan timbul benturan kekuatan. Mudah-mudahan pada suatu saat tumbuh orang kuat yang dapat diterima oleh banyak pihak, sehingga ikatan atas kesatuan Pajang tidak akan koyak berserakan."
Agung Sedayu sama sekali tidak menyahut. Iapun kemudian membantu orang-orang yang dipimpin oleh Ki Demang menyelenggarakan kedua sosok mayat yang tergolek itu sebagaimana seharusnya.
Ketika orang-orang Sangkal Putung akan membawa mayat itu kepekuburan, maka beberapa orang diantara merekapun dipersilahkan untuk kembali ke Kademangan termasuk Glagah Putih.
"Pergilah bersama orang-orang yang dapat kau minta perlindungannya jika perlu," berkata Agung Sedayu, "Aku akan ikut kekubur."
Kiai Gringsing memandanginya sejenak. Meskipun ia belum mendengar ceritera yang sebenarnya tentang Glagah Putih dan kedua orang yang terbunuh itu, namun rasa-rasanya ia dapat menghubungkannya hal itu dengan Agung Sedayu.
Agung Sedayu tidak mengelakannya, bahkan katanya kemudian, "Biarlah aku mengawasi anak-anak muda yang pergi kekuburan guru."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk kecil. Namun iapun kemudian bersama yang lain dan Ki Demang Sangkal Putung kembali ke Kademangan. Apa lagi mengingat tamu-tamu mereka masih tinggal di Kademangan meskipun mereka sudah bersiap siap untuk kembali.
Tetapi diantara mereka, Ki Waskita nampaknya menjadi ragu ragu. Katanya kemudian kepada Kiai Gringsing, "Biarlah aku tinggal bersama Agung Sedayu Kiai. Silahkan Kiai mendahului. Beberapa orang di Kademangan itu tentu menunggu kehadiran Kiai. Sementara aku akan membantu Agung Sedayu dan anak-anak muda Sangkal Putung."
Kiai Gringsing tersenyum ia sadar, bahwa jika ia tidak nampak di pendapa Kademangan, tentu ada beberapa orang yang bertanya-tanya. Berbeda dengan Ki Waskita yang tidak banyak dikenal oleh para tamu dipendapa Kademangan Sangkal Putung.
Karena itu, yang tinggal kemudian adalah Agung Sedayu dan Ki Waskita diantara anak-anak muda Sangkal Putung dan orang-orang yang akan mengubur kedua sosok mayat itu. Agung Sedayu tidak sampai hati melepaskan mereka, karena bagaimanapun juga, namanya tersangkut pada peristiwa pembunuhan yang baru saja dilakukan oleh anak muda yang ternyata adalah Pangeran Benawa itu.
Sepanjang jalan ke kuburan. Agung Sedayu sempat menceriterakan apa yang sebenarnya telah terjadi kepada Ki Waskita, yang mendengarkannya dengan saksama. Agung Sedayu sempat mengatakan, menurut pendengaran Glagah Putih, bahwa masih saja ada orang yang membayang-bayanginya.
"Kenapa justru akulah yang selalu dibayangi oleh dendam itu Ki Waskita?" bertanya Agung Sedayu dengan nada yang dalam.
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Seseorang kadang-kadang memang harus terjerumus kedalam suatu keadaan yang sama sekali tidak dikehendakinya sendiri, Agung Sedayu. Aku tahu bahwa kau sama sekali tidak ingin melakukan pembunuhan demi pembunuhan. Namun ternyata itulah yang terjadi, sehingga kau kini selalu dibayangi oleh dendam yang tidak ada habis-habisnya. Bahkan rasa-rasanya semakin lama menjadi semakin dalam."
"Apakah bayangan itu akan selalu mengikutiku sepanjang umurku Ki Waskita?" bertanya Agung Sedayu pula.
"Aku kira tidak, Agung Sedayu. Pada suatu saat kau tentu akan menemukan jalan, melepaskan diri dari lingkungan dendam yang bagimu tentu sangat menggelisahkan. Mungkin kau sendiri akan dapat melepaskan diri. Tetapi akibatnya, kau telah melakukan sesuatu yang membuat bayangan dendam itu semakin kelam."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Diwajahnya membayang kegelisahan perasaannya menghadapi keadaan yang sama sekali tidak dikehendakinya itu, namun yang telah membelitnya seperti sulur-sulur beringin yang mencengkam batu-batu karang.
05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Berbeda dengan saat-saat pemakaman Ki Sumangkar, maka penguburan itu rasa-rasanya sama sekali tidak ada perhatian dari orang-orang yang berada di Sangkal Putung. Kecuali mereka yang bertugas menguburkannya, hanyalah Agung Sedayu dan Ki Waskita sajalah yang menungguinya. Ada satu dua orang memandang dari kejauhan, namun mereka sama sekali tidak tertarik untuk mendekat, karena berita tentang pembunuhan itu telah tersebar keseluruh Kademangan, sehingga selain orang-orang itu tidak berkepentingan, maka merekapun tidak mau tersentuh oleh peristiwa yang mendebarkan itu.
Setelah penguburan itu selesai, maka anak-anak muda yang menguburkan mayat itupun dengan tergesa-gesa meninggalkan kuburan itu. Mereka merasa tidak tenang, karena diantara mereka terdapat Agung Sedayu dan Ki Waskita, karena sebagian dari mereka mengetahui, bahwa kedua orang itu memiliki kemampuan yang akan dapat melindungi mereka jika ada pihak yang ingin melibatkan mereka kedalam kesulitan.
Dijalan pulang. Agung Sedayu dan Ki Waskita masih asyik berbicara tentang peristiwa yang baru saja terjadi, sehingga mereka agak tertinggal oleh anak-anak muda dan orang-orang Sangkal Putung yang baru saja menguburkan kedua mayat yang terbunuh itu.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja langkah mereka tertegun. Dengan dada yang berdebar-debar. Agung Sedayu menggamit Ki Waskita ketika ia melihat seseorang duduk dibawah sebatang pohon tidak jauh dari jalur jalan yang mereka lewati.
"Itulah anak muda itu," desis Agung Sedayu.
"Pangeran Benawa?" bertanya Ki Waskita.
"Menurut beberapa orang, ia adalah Pangeran Benawa. Agaknya pantas juga jika ia disebut Pangeran meskipun ia berpakaian seorang petani."
Ki Waskita termangu-mangu. Nampaknya anak muda itu sama sekali tidak menghiraukannya meskipun Agung Sedayu memperhatikannya dengan saksama.
"Ya. Aku tidak salah lagi. Kita akan menghadap," berkata Agung Sedayu.
Ki Waskita sama sekali tidak berkeberatan. Karena itulah, maka merekapun seolah-olah telah mempercepat langkah mereka mendekati anak muda yang duduk termenung tanpa menghiraukan keadaan disekitarnya.
Tetapi ia menengadahkan wajahnya pula ketika Agung Sedayu dan Ki Waskita dengan ragu-ragu mendekatinya. Bahkan dengan suara ragu Agung Sedayu berdesis, "Apakah benar aku berhadapan dengan Pengeran Benawa?"
Anak muda berpakaian petani itu memandanginya. Kemudian katanya, "Silahkan duduk Agung Sedayu. Dan, apakah aku boleh mengenalmu Ki Sanak?" katanya pula kepada Ki Waskita.
Agung Sedayu dan Ki Waskitapun duduk disebelah anak muda itu. Dengan nada dalam Ki Waskita berkata, "Aku dipanggil Ki Waskita, Pangeran."
"O, jadi kalian sudah yakin, bahwa akulah Benawa itu?" bertanya anak muda itu.
"Semua orang yang mengamati kedua mayat itu sependapat, bahwa kematiannya tentu karena bekas tangan Pangeran Benawa. Aku kurang tahu, apakah yang menandai kematian itu, selain luka-luka yang memang agak berbeda dari bekas senjata kebanyakan. Dan agaknya karena luka-luka itu bukan karena tusukan tombak, bukan pula karena goresan pedang, maka mereka tahu, bahwa senjata yang dipergunakan adalah senjata yang aneh. yang sebenarnya tidak biasa dipergunakan orang."
Pangeran Benawa mengangguk. Namun kemudian katanya, "Mereka benar, bahwa yang telah membunuh kedua orang itu adalah Benawa. Tetapi jika seseorang kurang yakin, maka aku tentu menandai dahi setiap orang yang aku bunuh. He, apakah kau tidak memperhatikan tanda itu?"
Agung Sedayu menggeleng, sementara Ki Waskitapun mengerutkan keningnya.
"Mereka yang sudah mengenal aku melihat tanda didahi itu. Tidak dengan senjata apapun juga, tetapi dengan ibu jariku."
"O," Agung Sedayu mengangguk-angguk.
"Bekas ibu jari itu akan memberikan ciri dan pertanggungan jawabku atas kematian yang terjadi karena aku."
Agung Sedayu menarik nafas. Sekilas terbayang bekas yang kebiru-biruan didahi orang itu. Namun sangat samar-samar dan tidak menarik perhatiannya. Tetapi agaknya orang-orang yang telah mengenal Pangeran Benawa telah memperhatikan noda yang berwarna biru didahi orang itu.
"Nah, sekarang apakah kalian mempunyai persoalan dengan aku" " pertanyaan itu mengejutkan Agung Sedayu dan Ki Waskita. Namun hampir berbareng keduanya menggelengkan kepalanya, sementara Ki Waskita menjawab, "Tidak Pangeran. Kami tidak mempunyai persoalan apapun. Jika kami berhenti dan duduk pula disini, sebenarnya kami hanya ingin meyakinkan, apakah benar, bahwa anak muda berpakaian petani ini adalah Pengeran Benawa."
"Kakangmas Senapati Ing Ngalaga tidak akan salah menilai, ia tahu benar bahwa aku ada disini sekarang."
"Apakah Pangeran tidak sebaiknya singgah di Kademangan?"
Tiba-tiba saja Pangeran Benawa tertawa. Katanya, "Agung Sedayu dan Ki Waskita, apakah kalian tidak tahu bahwa disana sekarang sedang berkumpul serigala, harimau, anjing hutan, ular yang paling berbisa dan segala macam binatang buas yang lain?"
Jawaban Pangeran Benawa itu benar-benar mengejutkan, sehingga Agung Sedayu tergeser setapak. Dengan wajah yang tegang dipandanginya Ki Waskita yang ternyata juga menjadi berdebar-debar mendengar jawaban itu.
Namun ternyata suara tertawa Pangeran Benawa masih terdengar. Dengan nada tinggi disela-sela tertawanya ia berkata, "Apakah kalian terkejut " Seharusnya kalian mengerti bahwa demikianlah adanya."
"Pangeran," berkata Ki Waskita kemudian, "mungkin aku dapat menangkap maksud Pangeran. Mungkin Pangeran ingin mengatakan bahwa di pendapa Kademangan itu. Sekarang berkumpul orang-orang yang dibayangi oleh nafsu yang menyala bagi kepentingan diri pribadi. Tentu ada diantara mereka orang-orang yang menyebut dirinya pewaris kerajaan Majapahit. Tentu ada para pembesar dan perwira yang tetap ingin mempertahankan Pajang dengan segala akibatnya. Dan ada diantara mereka yang ingin membangun suatu pusat pemerintahan yang baru disamping Pajang. Sudah barang tentu bahwa ada diantara mereka yang dengan jujur serta keyakinan yang mendasar dihati berjuang untuk mencapai maksudnya, tetapi tentu ada diantara mereka orang-orang yang seperti Pangeran maksudkan seperti binatang-binatang buas yang akan saling menerkam. Siapa yang kuat, maka ialah yang akan tampil diatas bangkai-bangkai yang lain."
Pangeran Benawa memandang Ki Waskita dengan wajah yang tegang. Namun kemudian katanya, Ki Waskita adalah seseorang yang jauh lebih tua dari aku. Itulah sebabnya Ki Waskita dapat melihat keadaan itu dengan pandangan yang lebih jernih. Ki Waskita masih dapat membedakan bahwa diantara mereka ada yang berjuang karena keyakinan akan kebenaran cita-citanya." Pangeran Benawa berhenti sejenak, lalu. "tetapi agaknya pandangan mataku memang agak buram. Bagiku semuanya adalah orang-orang yang telah dibakar oleh nafsu bagaimanapun bentuknya dan untuk tujuan apapun."
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba Agung Sedayulah yang bertanya seolah-olah begitu saja meloncat dari ketulusan hatinya, "Apakah Pangeran menganggap bahwa Raden Sutawijaya, Ki Juru Martani, Kakang Untara, guruku Kiai Gringsing dan beberapa orang lain juga termasuk kedalamnya ?"
Pertanyaan itu agaknya telah mengejutkan Pangeran Benawa. Namun sejenak kemudian ia telah tertawa. Katanya, "Kau masih muda seperti aku. Pertanyaanmu wajar sekali. Dan aku menjadi bingung untuk menjawabnya."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Tetapi ia masih menunggu jawaban Pangeran Benawa.
"Agung Sedayu," berkata Pangeran Benawa kemudian, "maaf. Sebenarnyalah aku berpendapat demikian. Tetapi aku masih berbaik hati untuk menilai kebuasan mereka pada tingkat-tingkat yang tidak sama. Itulah kegoyahan pendapat tentang mereka. Kau tahu, kenapa kakangmas Sutawijaya meninggalkan Pajang " Bukankah karena pamanda Pemanahan bernafsu untuk menuntut janji ayahanda Sultan atas Tanah Mentaok yang kemudian dibukanya menjadi sebuah negeri " Dan kau tahu, kenapa beberapa orang Adipati bernafsu untuk menghancurkan Mataram dan sejalan dengan niat itu, beberapa orang perwira Prajurit Pajang telah membumbuinya dengan segala macam dalih " Bagi para Adipati yang ingin berkuasa sendiri, keruntuhan Pajang merupakan pertanda baik. Tetapi lahirnya kekuasaan di Mataram akan menyuramkan harapan mereka untuk berebut kuasa, karena cahaya kebesaran Mataram tentu akan menyilaukan mereka. Tetapi agaknya orang-orang yang merasa dirinya pewaris kerajaan Majapahitpun ingin memperebutkan harta karun yang akan memberikan kepuasan sekejap kepada mereka tanpa menghiraukan kehancuran kesatuan yang sudah lama dipupuk itu. Sementara itu, bukankah Ki Gede Menoreh, Kiai Gringsing dan Ki Waskita langsung atau tidak langsung sudah tersangkut pada putaran perebutan kekuasaan itu " Namun seperti yang aku katakan, bahwa aku masih mempunyai kesempatan untuk menilai lain serta bertingkat. Ada yang pada tingkat yang samar-samar, ada yang karena dorongan harga diri. ada yang menyangkut kepentingan perkembangan pribadi, tetapi ada yang benar-benar karena nafsu ketamakan untuk mendapatkan kepuasan sebesar-besarnya bagi diri pribadi. Untuk sekejap atau untuk waktu yang agak lama."
"Dan Pangeran ?" tiba-tiba saja Agung Sedayu bertanya.
"Aku adalah orang asing di rumahku sendiri. Aku asing dari ayah bunda. Aku asing dari para Senapati. Aku asing dari para inang pengasuhku. Dan kadang-kadang aku merasa asing pula dari diriku sendiri." jawab Pangeran Benawa.
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat kekecewaan yang dalam memancar di mata anak muda itu. Apalagi ketika Pangeran Benawa berkata seterusnya, "Ki Waskita. Sebagai seorang anak, aku harus berbakti kepada orang tua. Dan aku sudah mencobanya. Tetapi aku tidak dapat menghapus kekecewaan yang sudah melekat dihati disaat-saat aku melihat berapa puluh perempuan muda yang tersimpan di istana ayahanda. Mereka telah membayangi cinta kasih ayahanda terhadap ibunda dan aku. Sementara ibunda tidak mau menyadari keadaannya dan memaksa aku untuk menelan kepahitan perasaan itu tanpa berbuat sesuatu."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, "Pangeran. Bukankah itu berarti bahwa Pangeran telah dikecewakan sebagai seorang putera laki-laki karena tingkah laku seorang ayah. Tetapi apakah Pangeran sudah mencoba mendudukkan diri sebagai seorang Putera Mahkota yang bertanggung jawab terhadap ayahanda Sultan di Pajang yang sedang memerintah?"
"Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang paling aku benci. Kau tentu akan mengatakan, bahwa akupun orang yang sekedar mementingkan diri sendiri. Mendambakan harga diri dan kemanjaan seorang ayah terhadap anak laki lakinya. Gila. Itu pertanyaan gila."
Ki Waskita dan Agung Sedayu menjadi berdebar-debar melihat akibat pertanyaan yang agaknya tidak disenangi oleh Pangeran Benawa. Bahkan kemudian Pangeran yang muda itu tiba-tiba saja berdiri tegak dengan wajah yang tegang.
Namun seperti berjanji, Ki Waskita dan Agung Sedayu tetap duduk ditempatnya. Bahkan keduanyapun kemudian menundukkan kepalanya seolah-olah mereka benar-benar berhadapan dengan seorang putera Mahkota dalam kedudukannya.
Tetapi sejenak kemudian agaknya hati Pangeran Benawa menjadi tenang. Perlahan-lahan ia duduk kembali sambil berdesah, "Aku memang seorang yang mementingkan diriku sendiri. Kekecewaanku sebagai seorang anak telah mencengkam jantungku terlalu dalam. Aku terlalu dungu untuk dapat membedakan antara seorang anak yang kecewa melihat cinta kasih ibunya terhadap ayahnya dibayangi oleh wajah-wajah perempuan cantik yang tak terhitung jumlahnya, dengan seorang Putera Mahkota yang asing dinegerinya sendiri. Tidak, Aku bukan Putera Mahkota. Aku Benawa, seorang yang bebas untuk melakukan apa saja sesuai dengan nuraninya. Dan aku sudah melakukannya."
"Apa yang sudah Pangeran lakukan?" bertanya Ki Waskita.
"Membunuh. Aku membunuh setiap orang yang tidak aku sukai. Aku melindungi setiap orang yang aku anggap harus mendapat perlindungan seperti Glagah Putih. Aku bertualang diseluruh negeri. Tetapi aku juga menjadi seorang anak muda yang pendiam dan tidak meninggalkan bilik tidurku untuk berhari-hari."
Ki Waskita menarik nafas dalam dalam, ia mulai mengenal Pangeran Benawa sebagai seorang anak laki-laki yang terluka hatinya. Agaknya tidak ada seorangpun yang dapat menyembuhkannya.
"Aku sudah cukup banyak berbicara," berkata Pangeran Benawa kemudian, "aku tidak pernah merahasiakan sikapku terhadap siapapun. Ayahandapun mengerti pula. Karena itu ayahanda tidak pernah mempersoalkan kedudukanku sebagai seseorang yang berhak atas tahta Pajang jika aku menghendaki."
"Dan Pangeran tidak pernah mencoba menilai sikap Pangeran itu lagi?"
"Tidak ada gunanya. Aku sudah mengatakan kepada ayahanda, bahwa yang paling pantas untuk kemudian memerintah Pajang adalah kakangmas Sutawijaya. Meskipun ia anak angkat ayahanda, tetapi ia sudah seperti anak sendiri. Dan aku mengakui haknya atas Pajang."
Ki Waskita termangu-mangu. Dipandanginya wajah Pangeran Benawa sejenak. Dari sorot, matanya memancar pertanyaan yang bergejolak didalam dadanya.
Pangeran Benawa tersenyum melihat sorot mata Ki Waskita. Katanya, "Kakangmas Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga adalah binatang buas yang paling bertanggung jawab, ia menyimpan nafsu didalam dadanya. Ia berjuang untuk mencapai cita citanya. Ia menyingkirkan orang-orang yang menghalanginya. Namun ia adalah orang yang berjuang untuk masa depan yang menurut keyakinannya, akan dapat menjadi tumpuan harapan bagi tanah ini. Ia berbuat sesuatu atas dasar keyakinannya seperti seekor harimau yang berjuang didalam buasnya hutan belantara, diantara binatang-binatang buas yang lain, yang siap untuk membinasakannya."
Ki Waskita hanya dapat menarik nafas. Tidak ada lagi yang dapat dikatakannya, karena agaknya hati Pangeran Benawa telah membatu.
"Aku akan pergi," berkata Pangeran Benawa kemudian, "jika kau terlalu lama disini, maka orang-orang dipendapa itu akan menjadi cemas. Mereka menyangka sesuatu telah terjadi, sehingga mereka akan berlari-larian mencarimu, meskipun dengan gejolak hati yang berbeda-beda, bahkan saling bertentangan."
Pangeran Benawa itupun kemudian bangkit berdiri. Dengan nada yang dalam ia berkata, "Aku minta diri. Aku tahu bahwa kalian berdua adalah orang-orang yang jarang dicari bandingnya. Tetapi dua saudara dari Pesisir Endut itu tidak berdiri sendiri. Mereka mempunyai hubungan dengan orang-orang yang mendendammu Agung Sedayu. Bukan karena cita-cita dan kesamaan sikap, tetapi semata-mata karena orang-orang yang mendendammu menyebarkan janji dan harapan. Bahkan mereka telah mulai menyebarkan uang dan benda-benda berharga. Nyawamu termasuk salah satu yang akan mereka beli dengan apapun yang mereka dapatkan. Selain nyawamu, masih ada nyawa-nyawa yang lain termasuk Senapati Ing Ngalaga yang menjadi pusat sasaran mereka bersama Mataramnya."
Agung Sedayu dan Ki Waskitapun kemudian berdiri. Ketika Pangeran Benawa kemudian melangkahkan kakinya, maka keduanya bagaikan terpesona melihat sikap dan langkahnya.
"Berhati-hatilah," Pangeran Benawa masih berpesan.
"Sekarang Pangeran akan pergi kemana?" bertanya Agung Sedayu.
Pangeran Benawa mengerutkan keningnya. Langkahnya tertegun. Dan jawabnya kemudian, "Aku tidak pernah memikirkan, kemana aku pergi kecuali jika aku sudah rindu kepada ibunda. Barulah aku berpikir tentang arah. Pulang kembali. Tetapi akupun akan segera menjadi kecewa. Karena itu, ada dua pilihan yang selalu aku lakukan. Bersembunyi didalam bilik, atau pergi kemana saja."
Ki Waskita menarik nafas panjang. Sementara Pangeran Benawapun segera melanjutkan langkahnya, berjalan menyusuri jalan panjang yang rasa-rasanya tidak berujung.
Ketika Pangeran Benawa menjadi semakin jauh, maka Ki Waskitapun menggamit Agung Sedayu sambil berkata, "Seorang Pangeran yang kehilangan pegangan hidupnya meskipun ia seorang yang tidak ada taranya."
"Apakah kira-kira yang akan dilakukannya kemudian paman. Nampaknya ia masih mempunyai kepercayaan kepada seseorang. Raden Sutawijaya."
Ki Waskita memandang Pangeran Benawa yang nampaknya menjadi semakin kecil. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Ia akan bertualang. Sebenarnya bertualang disepanjang jalan tapi jika badannya terkurung didalam bilik tidurnya, ia akan bertualang didalam angan-angannya tanpa batas. Tetapi ia masih tetap memiliki nurani seorang kesatria yang melindungi kelamahan dan menghancurkan kejahatan, meskipun caranya adalah cara menurut seleranya."
Pengusung Jenazah 3 Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho Karya Tosaro Love Latte 2