Samurai Pengembara 9 1
Shugyosa Samurai Pengembara 9 Bagian 1
SHUGYOSA (Samurai Pengembara)
Buku Kesembilan
oleh Salandra Cover oleh Tony G.
Desain sampul oleh M. Soetrisno
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit Alam Budaya, Jakarta, 1994
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Buku Kesembilan
KEMENANGAN DAN KEHILANGAN
NAGASI menebas leher Saburo dengan kekuatan pe-
nuh. Bila sedetik saja Saburo terlambat menghindar, pasti kepalanya terpenggal.
Dalam waktu sepersekian detik, Saburo masih sempat menarik kepalanya sehingga
pedang Nagasi hanya mendesis satu inci dari lehernya. Serangan ini diulang
kembali. Sambil berpegangan pada tali, Nagasi berayun-ayun sembari mengirimkan
ayunan serta tebasan pedangnya.
Saburo juga berayun sambil berpegangan pada tali,
menghindari serangan musuh. Posisi mereka demikian sulit. Jembatan bambu itu
sudah miring sehingga setiap saat mereka dapat jatuh ke sungai yang mengalir
deras di bawahnya. Selain itu semakin lama, tali jembatan tersebut rantus, mau
putus. Saburo berpikir, sa-tu-satunya cara adalah mempercepat kemenangan un-
tuk membebaskan diri dari ancaman maut Sungai
Amagi. "Akan kupastikan bahwa aku dapat memenggal ke-
palamu!" kata Nagasi sambil memiringkan badan sam-
bil menebas tubuh Saburo.
Tebasan itu meleset, tetapi mata pedangnya menge-
nai tali yang dijadikan pegangan oleh Saburo.
Nagasi kini berayun-ayun untuk mendekati musuh-
nya, demikian pula Saburo. Mereka seperti dua manusia haus darah yang dikuasai
nafsu membunuh. Sese-
kali pedang mereka beradu, sehingga jembatan itu bergetar hebat. Sambil terus
berayun, Nagasi maupun Saburo saling menebas dan menikam. Karena posisi masing-
masing terayun-ayun di atas sungai, pedang me-
reka sering tak dapat ditangkis maupun dielakkan sehingga baik Nagasi maupun
Saburo mengalami luka di tubuhnya.
Matahari semakin tinggi, cahayanya sesekali berki-
lauan menerpa bilah pedang mereka. Tiba-tiba Saburo menyadari, Nagasi selalu
memejamkan mata setiap
kali menerjang dirinya karena mata samurai itu silau oleh sinar matahari. Pada
jarak dua meter saat ayunan terjadi, murid Yagyu itu pasti memejamkan mata, baru
sesudah melewati lintasan cahaya matahari, ia akan membuka mata dan mengayunkan
tebasan pedangnya.
Ini adalah sebuah peluang, kata Saburo mulai memikirkan jalan keluar. Sinar
matahari memberiku ruang untuk melakukan serangan.
Benak Saburo terus berputar. Ia tahu kesempatan
untuk menyerang hanya sepersekian detik, tetapi itu merupakan satu-satunya
pilihan. Diam-diam Saburo
mulai mempersiapkan diri.
Nagasi mempererat genggaman pedangnya, kemu-
dian dengan mengayun tali di mana ia bergantung, lelaki itu mulai mengirimkan
serangan. Tepat saat Nagasi melintas di sinar matahari, Saburo menyongsong
dengan lemparan pedangnya. Kejadian itu terjadi demikian cepat. Hanya sedetik
Nagasi memejamkan mata,
namun ketika ia membuka matanya kembali, pedang
Saburo telah menembus dadanya. Pedang itu masuk
dari dada, menembus punggungnya. Darah memancar
seperti semprotan warna merah pada lukisan. Nagasi hanya mendesis, kedua
tangannya tiba-tiba lunglai, sinar matahari seakan berputar di atas kepalanya.
"Engkau menang," kata Nagasi dalam suara desisan
yang berat dan mengerikan.
Lalu genggaman tangannya terbuka, tubuhnya me-
layang ke arah Sungai Amagi.
Di seberang jembatan terdengar sorak-sorai me-
nyambut kemenangan Saburo Mishima. Orang-orang
yang menang taruhan segera menarik uang dari orang yang kalah.
"Apa aku bilang, murid Yagyu itu pasti kalah!"
"Sejak awal sudah dapat diperkirakan. Kemenangan
pasti di pihak Saburo!"
"Benar! Aku tadi sudah menduga akan begini ak-
hirnya!" Di ujung jembatan yang lain, Yoshioka bersorak
gembira. Ia berlari ke tengah jembatan untuk men-
dekati Saburo. Tetapi karena jembatan itu miring, ia tidak dapat ke tengah.
"Paman Saburo!" teriak Yoshioka lantang.
Saburo mendengar teriakan itu. Ia berusaha naik.
Usahanya berat karena tali yang digunakan menggan-
tung semakin rantas.
"Paman Saburo, ayo naik!"
Saburo berteriak, "Minggir cepat! Jembatan ini bisa putus sewaktu-waktu!"
"Paman cepat naik!"
Saburo menghela napas panjang. Ia memegang tali
jembatan dengan kencang, lalu dengan sekali henta-
kan ia menarik tubuhnya ke atas.
Yoshioka bersorak ketika melihat Saburo bisa naik.
"Ayo terus! Jangan berhenti!"
Saburo kembali menghela napas. Angin yang men-
deru di bawah jembatan membuat jantungnya berde-
bar. Sekali lagi ia menarik tubuhnya ke atas.
"Terus, Paman Saburo! Jangan putus asa!"
Dengan sekuat tenaga Saburo menarik dirinya ke
atas. Ia berhasil. Kini tangannya mulai menggapai-
gapai untuk mendapatkan pegangan lain.
"Sekali lagi, Paman Saburo, kau akan berhasil!"
Saburo menahan napas, lalu menghentak kembali.
Tali itu putus dan tubuh Saburo melayang jatuh ke
sungai. Yoshioka hanya bisa menjerit ketika melihat tubuh
Saburo seperti sehelai daun kering melayang ke air sungai yang deras. Hanya
sekejap Saburo tercebur, se-
telah itu tubuhnya lenyap.
"Paman Saburo!"
Yoshioka mencoba menunggu, namun sia-sia. Tu-
buh Saburo Mishima seakan ditelan arus deras Sungai Amagi. Seperti juga tubuh
Nagasi, Saburo tidak muncul lagi.
Apakah Paman Saburo meninggal"
Yoshioka diam sejurus. Kemudian tanpa berpikir
panjang ia berlari melintasi jembatan, kemudian terus berlari menuruni dinding
terjal sungai itu. Beberapa kali terjatuh, namun ia tak peduli. Napasnya
terengah-engah, kulit wajahnya memerah, tetapi dengan sema-
ngat menggebu-gebu, anak itu terus berlari turun ke arah Saburo jatuh.
"Paman Saburoooo!"
Tidak terdengar sahutan apa pun. Hanya air sungai
yang menggelegak menerjang batu-batu dan pepoho-
nan di tepi sungai.
"Paman Saburrooo!"
Yoshioka terus berteriak memanggil, namun tidak
ada jawaban sama sekali. Saburo seakan tertelan bumi.
*** Mayumi tiba-tiba tersentak bangun. Matanya terbuka
lebar. Dalam penglihatannya, tampak Saburo melun-
cur dari jembatan Sungai Amagi, lalu lenyap.
Yoshioka terlihat berlari menuruni lereng bukit sambil memanggil-manggil nama
Saburo. Di tengah gelegak arus sungai yang deras, tampak
beberapa kali Saburo muncul di permukaan. Tangan-
nya menggapai-gapai mencoba menangkap apa saja
yang berada di sampingnya. Wajahnya pucat, tampak
keletihan telah menyita seluruh tenaganya. Beberapa kali mulutnya menyemburkan
air. Ia berusaha mengambil napas setiap kali tubuhnya keluar dari dalam
air. Penglihatan itu tiba-tiba hilang ketika Takeshi yang tak lain Konishita,
muncul di dekatnya. Mayumi me-ngeluh panjang. Wajahnya berkeringat.
"Kau melihat sesuatu?" Takeshi bertanya.
"Ya."
"Apa?"
"Saburo baru saja menyelamatkan Yoshioka. Dia
bertarung dengan sepuluh prajurit Nobunaga."
"Dia menang?"
"Ya."
"Lantas?"
"Dia tercebur ke sungai. Tertelan arus sungai yang deras."
"Apakah dia tewas?"
"Saya tidak tahu. Tampaknya dia masih hidup dan
berusaha berenang."
"Dia pasti dapat bertahan."
"Ya, mudah-mudahan."
Takeshi membuka kertas di tangannya.
"Aku baru saja mendapat berita dari Kamakura, ka-
tanya saat ini Oda Nobunaga akan segera bergerak
menuju Suruga dengan pasukan sebesar delapan ribu
orang." "Dia akan memukul Suruga."
"Benar. Tetapi ini juga merupakan kesempatan ter-
baik untuk kita menyusup ke Kamakura."
"Kalau begitu kita berangkat secepatnya."
"Ya, sore ini juga kita menyusup ke Kamakura."
*** KEBERANGKATAN RIBUAN pasukan telah berbaris di depan Istana Ka-
makura. Semua berpakaian lengkap. Kali ini Nobunaga tampak mengerahkan seluruh
pasukannya. Di halaman istana itu kini berkumpul lima ratus tentara panah, lima
ratus tentara tombak, tiga ratus pembawa perbekalan, dua ratus pasukan perintis
jalan, dua ratus pasukan berkuda, dan sekitar tiga ribu samurai prajurit.
Semua prajurit tampak telah siap bertempur. Wajah
mereka memancarkan semangat berapi-api. Ribuan
keluarga mereka mengantar dengan isak tangis. Me-
reka berpelukan sambil memberikan hiburan bagi yang ditinggalkan. Suasana
mengharukan menyebar di ma-na-mana. Semua orang menyadari, mungkin perte-
muan kali ini merupakan yang terakhir bagi mereka.
Para prajurit akan menyongsong kematian, dan mung-
kin sekali tidak akan kembali. Para orang tua men-
dekap anaknya sambil bercucuran air mata, sementara sang anak memeluk orang
tuanya untuk merasakan
kasih sayang mereka. Dalam dekapan yang erat itu, terasa ada yang menyayat hati,
namun semua justru
mengobarkan semangat berperang.
Ketika matahari sudah sepenggalah tingginya, di-
kawal oleh empat orang murid Yagyu, Oda Nobunaga
muncul dari istana. Dia telah mengenakan pakaian perang yang menutup seluruh
tubuhnya. Bilah-bilah besi yang dikenakannya terdengar gemerincing ketika dia
melangkahkan kaki. Perawakannya yang gemuk me-nampakkan penampilan yang aneh,
mirip patung- patung pahlawan zaman dulu.
Ketika Nobunaga melangkah menuju kudanya, em-
pat ribu prajurit itu seketika memberikan hormat dengan berjongkok. Nobunaga
menaiki kudanya. Wajah-
nya memancarkan semangat dan kewibawaan yang
menggetarkan. Naoko yang terlihat mengantar kepergian Nobunaga,
berdiri membisu di samping kuda lelaki itu. Di belakangnya tampak Koyama dan
kedua dayang-da-
yangnya. "Hari ini kita akan membuat sejarah," Nobunaga
berkata lantang kepada seluruh prajuritnya. "Kita
akan mengubah propinsi Owari menjadi salah satu
propinsi terkuat dan terluas di negeri ini. Kita akan menaklukkan wilayah-
wilayah di sekitar kita dengan semangat jibagutai, kita tidak akan mundur
sebelum tujuan kita tercapai. Hanya kematian yang bisa menghentikan langkah kita
untuk berkuasa!"
Semua prajurit mendengarkan pidato Nobunaga de-
ngan diam membisu. Patuh dan setia.
"Sesudah kita melangkahkan kaki, pantang kita
kembali sebelum tujuan terlaksana. Karena itu saya peringatkan, bagi yang
bimbang atau ragu, tinggalkan barisan sekarang juga. Tak ada gunanya saya
berperang dengan para pengecut!"
Tak seorang pun beranjak dari tempatnya.
"Baiklah, kalau kalian memang bersedia mati un-
tukku, mari kita berangkat. Kita torehkan tinta emas yang tidak akan pernah
terhapus dalam sejarah."
Secara serempak semua prajurit mengucapkan sum-
pah setia. Suaranya menggetarkan dan terdengar hing-ga ke pelosok kota Kamakura.
Nobunaga menoleh pada Naoko.
"Naoko-san, aku berangkat."
Naoko membungkukkan badan dengan penuh hor-
mat. "Kemarilah," kata Nobunaga. "Biarkan aku men-
ciummu." "Naoko mendekat, membiarkan Nobunaga mencium
bibirnya. Semua orang menundukkan kepala. Tak ingin menyaksikan ciuman itu.
Kecuali Kojiro. Dia menatap orang berciuman itu dengan pandangan bengong.
Apa enaknya"
"Koyama," tiba-tiba Nobunaga memanggil.
Koyama membungkukkan badan. "Ya, Yang Mulia."
"Jaga junjunganmu dengan baik."
"Baik, Yang Mulia."
"Hiburlah supaya hatinya senang. Jangan kau mem-
buatnya sedih."
"Tentu, Yang Mulia."
Sesaat kemudian Nobunaga menggebrak kudanya.
Dia meninggalkan istana dengan gagah. Pandangannya tengadah, sementara
pakaiannya memantulkan sinar
matahari sehingga berkerjap-kerjap. Di belakangnya empat ribu prajurit bergerak
mengikutinya dengan penuh semangat. Iring-iringan itu menjadi pemandangan yang
menakjubkan. Seluruh kota Kamakura seakan
bergetar seiring dengan langkah kaki mereka.
Di sepanjang jalan, orang-orang berdiri untuk men-
gelu-elukan arak-arakan itu. Wajah mereka meman-
carkan kegembiraan sekaligus kecemasan. Gembira
karena peperangan itu mungkin akan melahirkan pe-
rubahan kehidupan, cemas karena kemungkinan me-
reka kehilangan sanak dan keluarga.
Nobunaga melambaikan tangan pada anak-anak
yang bersorak-sorak kagum padanya.
"Suatu saat mereka akan menjadi prajurit-prajurit
yang tangguh," kata Nobunaga pada salah seorang murid Yagyu.
"Benar, Yang Mulia."
"Kita harus memberikan kebanggaan pada anak-
Shugyosa Samurai Pengembara 9 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anak itu."
*** Naoko kembali ke istana. Ia masuk ke kamarnya, ke-
mudian bertepuk tangan tiga kali. Sesaat kemudian
muncul ninja merah dari bilik tersembunyi. Koyama
melihat kehadiran ninja itu sambi! mengerutkan kening. Sudah berkali-kali ia
melihat ninja itu menjumpai junjungannya, tetapi ia tak mengerti apa yang mereka
bicarakan. "Sekarang, Yang Mulia Nobunaga sudah berangkat.
Kukira kita dapat mengatur persiapan lebih matang,"
kala Naoko dalam nada perintah. "Kita tidak boleh terlambat."
"Apakah saat ini juga saya harus kembali?"
"Ya, persiapkan segala sesuatunya. Kuharap tujuh
hari sesudah hari ini semua kekuatan kita sudah berada di sini."
"Baik."
"Kecuali itu terus sebarkan mata-mata ke medan
tempur. Aku ingin mengetahui jalannya pertempuran."
"Baik."
"Kalau begitu berangkatlah."
*** DISELAMATKAN ARUS Sungai Amagi cukup deras. Di beberapa tempat
menjadi arung jeram yang mengerikan. Selain banyak batu-batu terjal, arus itu
bergerak seperti sedotan raksasa yang menghisap apa saja yang berada di atasnya.
Meskipun airnya jernih dan merupakan pemandangan
indah, namun Sungai Amagi dapat berati maut.
Sejak jatuh dari jembatan, Saburo Mishima sudah
mencoba bertahan. Dengan kemampuannya yang sea-
danya, ia menggapai-gapai untuk berenang, tetapi arus sungai tersebut menyedot
tubuhnya hingga lelaki ter-
sebut tak berdaya. Sesekali Saburo berhasil menaikkan kepala ke permukaan sungai
untuk menarik na-
pas, namun setelah itu, ia kembali tenggelam. Tubuhnya yang mulai letih timbul
tenggelam seperti gabus di atas air jeram.
Akhirnya ketika kekuatan dirinya terus melemah,
Saburo melepaskan keinginannya untuk melawan
arus. Ia biarkan tubuhnya terbawa arus, meluncur ke mana air sungai itu
mengalir. Berkali-kali Saburo minum air sungai, sampai akhirnya terjadi sesuatu
yang tak ia bayangkan, tubuhnya meluncur di arung jeram, kemudian kepalanya
membentur batu yang cukup besar. Terdengar suara berdetak, lalu Saburo pingsan.
Samar-samar terdengar suara berkata, "Menilik pa-
kaiannya, dia pasti seorang shugyosa."
Yang lain menyahut, "Benar."
"Tampaknya dia baru saja melakukan pertarungan."
"Dengan siapa?"
"Entahlah."
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Angkat dia. Kita harus menyelamatkannya."
"Bagaimana kalau dia penjahat?"
"Penjahat atau bukan, tidak menjadi masalah. Tu-
gas kita adalah menolong...."
Suara-suara itu timbul tenggelam dalam benak Sa-
buro. Pada mulanya ia mengira suara malaikat yang
siap mencabut nyawanya, ternyata bukan. Pikirannya yang jernih mengatakan suara-
suara itu pasti milik orang-orang yang menemukan dirinya. Saburo mencoba melawan
keletihannya, namun tubuhnya benar-
benar tak berdaya. Akhirnya ia pingsan lagi.
Saburo terbangun ketika sinar matahari menerpa
wajahnya. Ia mengerjap-ngerjapkan mata, kemudian
saat pandangannya menjadi terang, rasa terkejut me-nyelimuti dirinya.
Pandangannya membentur wajah-
wajah asing di atasnya.
Seorang gadis cantik berkata, "Dia sudah siuman."
Bidadarikah"
Gadis itu pergi sambil berseru, "Dia sudah siuman, Bapa!"
Bapa Lao yang sedang duduk di teras rumah segera
beranjak ke dalam. Lelaki itu mendekati tempat Sabu-ro, lalu memegang dahi dan
urat nadi Saburo. Bapa
Lao tersenyum ketika mengetahui nadi lelaki tersebut berdetak kencang.
"Syukurlah," kata Bapa Lao datar. "Masa kritis su-
dah terlewati. Anda selamat."
Saburo berusaha sekuat tenaga untuk bicara, "Di
mana saya?"
Bapa Lao menjawab, "Jangan cemas. Anda disela-
matkan penduduk yang kebetulan sedang mencari
ikan di sungai."
"Di wilayah apa desa ini?"
"Owari."
Saburo mendengus. Ia berusaha bangkit.
"Saya harus pergi...."
Tetapi ia meringis ketika merasakan rasa sakit luar biasa di perutnya.
"Anda harus beristirahat untuk beberapa waktu,"
kata Bapa Lao sambil membaringkan kembali Saburo.
"Tulang rusuk Anda ada yang patah."
Saburo hanya mendengus.
"Sebaiknya Anda berbaring di sini. Biarkan kami
merawat Anda."
"Tetapi...."
"Jangan khawatir. Kami mengetahui siapa Anda.
Tak usah cemas, Anda berada di tengah orang-orang
yang berpihak pada Yang Mulia Ashikaga."
"Benarkah?"
"Saya seorang pendeta, pantang berdusta."
"Bagaimana engkau tahu tentang diriku?"
"Seorang shugyosa biasa tidak akan memakai lam-
bang Ashikaga di bagian dalam kimononya."
Saburo menghela napas panjang.
"Terima kasih," desis Saburo. Lalu pingsan lagi.
*** Keadaan desa di tepi Sungai Amagi itu tetap tenang
seperti biasa. Setiap pagi, para petani pergi ke sawah seperti biasa. Mereka
menyusuri jalan sambil menarik kerbau untuk membajak. Para wanita pergi ke tepi
sungai untuk mencari daun pandan untuk dibuat tikar.
Beberapa penduduk yang hidup berdagang pergi ke
pasar untuk menjual hasil pertanian mereka.
Meskipun mencoba dirahasiakan, namun keber-
adaan Saburo di desa itu akhirnya tersebar juga dari mulut ke mulut. Bahkan pada
malam hari menjadi bahan pembicaraan mereka. Ada pihak yang tidak setuju
membiarkan Saburo tetap berada di desa itu, tetapi sebagian lainnya tidak
keberatan. "Dia dapat membahayakan kita," kata salah seorang
penduduk. "Kalau prajurit Oda Nobunaga tahu dia berada di sini, kita semua dapat
celaka." "Tetapi dia adalah panglima Ashikaga," kata yang
lainnya. "Kekuasaan Ashikaga telah runtuh, tak mungkin
bangkit kembali. Kurasa kita harus menyadari kenyataan ini. Laki-laki itu telah
menjadi buronan sejak Ashikaga jatuh, bahkan hingga sekarang Yang Mulia
Nobunaga masih menyediakan hadiah besar untuk ke-
palanya. Dia adalah musuh negara. Jadi bagaimana
mungkin kita melindunginya?"
"Kita tidak melindunginya," potong yang lain. "Kita hanya menyelamatkannya. Ini
adalah soal kemanu-siaan biasa. Nanti kalau dia sudah sembuh, dia pun
akan pergi dari sini."
"Bagaimana kalau sebelum dia sembuh prajurit No-
bunaga sudah mengetahuinya?"
Semua orang saling berpandangan. Orang-orang itu
bimbang menjawab.
Akhirnya Bapa Lao ikut bicara, "Kita harus mema-
hami semua yang kita lakukan. Menyelamatkan nyawa
orang merupakan kewajiban semua orang. Bahkan
Tuhan pun akan menyetujui tindakan itu. Cuma ma-
salahnya, sekarang kita menyelamatkan musuh nega-
ra. Kita telah melakukan sesuatu yang dapat memba-
hayakan desa ini. Karena itu, apabila kita mau bersikap bijaksana, biarkan dia
di sini sampai sembuh, lalu menyuruhnya pergi jika dia telah kuat. Dan selama
itu, kita tutup mulut supaya berita tentang keberadaannya di sini tak diketahui
orang luar. Bila hal itu kita lakukan, rasanya tak ada yang dirugikan."
Akhirnya orang-orang setuju. Mereka diam dan
membiarkan Bapa Lao merawat Saburo.
Sepanjang hari, Bapa Lao mengobati Saburo dengan
daun-daunan. Pendeta itu menggunakan resep kuno
untuk menyembuhkan Saburo. Selain obat luar, dia
juga memberikan obat dari akar-akaran yang harus di-minum Saburo setiap hari.
Pada malam harinya, mereka sering duduk sambil
berbincang-bincang.
"Jadi sekarang Nobunaga sudah meninggalkan Ka-
makura?" Saburo bertanya.
Bapa Lao menjawab, "Benar. Seluruh kekuatan di-
kerahkan untuk menaklukkan Suruga."
"Bagaimana dengan pengawalan istana?"
"Lemah. Meskipun Naoko membentengi istana de-
ngan ninja, namun itu bukan suatu kekuatan yang
sukar ditembus."
"Ninja" Naoko menggunakan ninja?"
"Benar. Rupanya tanpa sepengetahuan Oda Nobu-
naga, perempuan itu memiliki rencana rahasia."
"Maksud Bapa?"
"Dia sesungguhnya ingin menjadi penguasa tunggal
di Istana Kamakura."
"Bagaimana Bapa tahu?"
"Saya memiliki mata-mata. Dialah yang menjadi
sumber beritaku selama ini. Jadi mengenai semua kejadian di istana, aku dapat
mengetahui secara pasti dan terperinci."
"Dia bekerja di sana?"
"Ya."
"Sebagai apa?"
"Pembawa sandal Naoko."
"Oh, ya?"
"Ya. Dan kau akan terkejut kalau mengetahui siapa
dia sebenarnya."
"Siapa, Bapa?"
"Putra Ashikaga."
"Siapa?"
"Yoshioka."
Saburo terperanjat mendengarnya. Ia tak menduga
sama sekali akan mendengar jawaban itu. Ingatannya langsung melayang ke
peristiwa di jembatan Amagi.
Sebelum pertarungan terjadi, ia masih melihat Yoshioka. Benar-benar Yoshioka!
Jadi Yoshioka yang mana yang menjadi mata-mata di istana"
Kojiro! kata Saburo dalam hati.
Akhirnya dengan caranya sendiri, Saburo meman-
cing Bapa Lao agar mau menceritakan tentang mata-
mata itu. Diawali ketika pendeta tersebut menyelamatkannya dari perburuan
prajurit Nobunaga, sampai
saat mereka melakukan latihan bersama di kuil, hing-ga akhirnya kisah kerbau
mengamuk yang memberi
kesempatan Koyama mengabdi di istana.
Tak salah lagi, desis Saburo dalam hati. Dia pasti Kojiro.
Sewaktu mendengar cerita itu, Saburo serasa tak
kuat menahan gemuruh hatinya. Ingin rasanya ia bersujud di kaki pendeta Bapa Lao
untuk mengucapkan
terima kasih. Di mata Saburo, pendeta itu adalah malaikat yang diturunkan Tuhan
untuk menyelamatkan
anaknya. Tetapi ketika akal sehatnya bekerja, Saburo membatalkan rencana itu, ia
tak ingin membuka rahasia pertukaran nama antara Kojiro dan Yoshioka.
Bila hingga saat ini, Bapa Lao saja tidak mengetahui bahwa anak yang diasuhnya
bukan Yoshioka - tetapi
Kojiro, berarti Kojiro telah melakukan kewajibannya dengan baik. Anak itu
bersikukuh mengaku sebagai
Yoshioka. Dia telah mempertaruhkan nyawanya untuk
melaksanakan tugas itu. Saburo tak ingin menodai kesetiaan Kojiro terhadap
perintahnya. Karena itu dia memilih diam. Menyembunyikan gemuruh hatinya.
Saat mereka berbincang-bincang, tiba-tiba seorang
penduduk muncul dengan wajah pucat pasi.
"Bapa Lao, Bapa Lao...," katanya terengah-engah.
"Ada seseorang mengkhianati kita."
"Ada apa?"
"Ada pasukan Oda Nobunaga kemari. Mereka telah
berada di tapal batas desa."
"Celaka," kata Bapa Lao gusar. "Kalau begitu kita
harus menyembunyikan Saburo Mishima."
Kegaduhan pun terjadi. Dengan terburu-buru Bapa
Lao mengumpulkan orang-orang untuk menyembunyi-
kan Saburo. Satu jam kemudian pasukan Nobunaga datang. Se-
luruh penduduk disuruh berkumpul. Pimpinan pasu-
kan itu, seorang laki-laki bertubuh pipih seperti ikan salem, tegak di atas
kudanya dengan pandangan kejam.
"Kalian semua dengarkan!" teriaknya lantang. "Saya sedang mencari buronan.
Seorang laki-laki Ashikaga yang jatuh ke sungai. Hingga saat ini mayatnya belum
diketemukan, kemungkinan dia diselamatkan desa-desa di tepi Sungai Amagi. Karena
itu apabila dia kalian selamatkan, kuminta sekarang juga kalian tun-
jukkan tempatnya!"
Tidak seorang pun berani menjawab.
"Saya ingin jawaban kalian," kata pimpinan pasu-
kan itu geram. "Apa kalian bisu semua?"
Bapa Lao maju ke depan. "Saya pikir orang yang
Anda cari tidak ada di sini."
"Hei, siapa kamu?"
"Saya seorang pendeta yang kebetulan lewat di sini."
"Sudah berapa lama kamu berada di sini?"
"Dua bulan."
"Apakah pendeta diperbolehkan berdusta?"
"Itu pantangan. Karena itu sebaiknya Anda tanya
pada saya untuk sebuah kebenaran."
"Jadi buronan itu tidak berada di sini?"
"Tidak."
Pimpinan itu memandang pada anak buahnya, "Ka-
lau begitu geledah semua tempat ini!"
Mereka segera melakukan penggeledahan. Dengan
kasar dan beringas, para prajurit itu mengobrak-abrik tempat-tempat yang mereka
curigai. Setiap kamar, lorong, kandang kerbau, dan semua tempat yang
kelihatannya dapat dipakai bersembunyi diperiksa dengan
teliti. Tetapi tak seorang pun menemukan Saburo Mishima. Akhirnya dengan kesal
pasukan itu meninggalkan desa tersebut. Orang-orang menjadi lega.
Bapa Lao tersenyum, "Berdusta untuk suatu keba-
jikan diperkenankan oleh Tuhan," katanya datar, lalu menuju sumur tempat
persembunyian Saburo Mishima.
***
Shugyosa Samurai Pengembara 9 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
SEBUAH AWAL UDARA cerah. Langit berwarna biru dengan arak-arak-an awan putih yang memanjang
dari utara ke selatan.
Burung-burung beterbangan dari ranting ke ranting, suaranya terdengar riuh. Di
Istana Suruga, beberapa dayang-dayang terlihat tekun merawat tanaman. Mereka
bekerja dengan diam. Tak seorang pun membuka
percakapan. Imagawa kelihatan tenggelam dalam kesibukannya.
Ia tengah memangkas ranting-ranting kering dari sebuah bonsai yang tampak sangat
indah. Batang pohon itu berwarna coklat tua, sementara daunnya berwarna hijau
muda. Bila dipandang dari jauh, bonsai itu seperti pohon raksasa dalam bentuk
miniatur. Dengan sebuah gunting kecil, Imagawa membersih-
kan bonsai tersebut dari debu serta kotoran.
Sejak kembali ke istana, Imagawa memang lebih ba-
nyak mengurus tanaman kesayangannya. Hampir se-
panjang hari lelaki itu menenggelamkan diri di tengah taman istana. Dengan
kesungguhan hati, ia membe-nahi lagi taman Zen yang menjadi kebanggaannya. Ia
menaburkan pasir serta kerikil dengan warna putih
dan kelabu. Kemudian dengan penuh kecintaan ia me-
rawat bonsai. Sejak kepulangannya, Imagawa jarang berada di is-
tana. Bahkan ia tak pernah membicarakan tentang kemungkinan perang yang bakal
meletus antara Owari
dan Suruga. Seluruh perhatiannya seakan tercurah
penuh ke taman serta tanamannya. Hanya sesekali sa-ja ia memanggil orang-orang
kepercayaannya untuk
meminta laporan tentang keadaan di perbatasan.
Meskipun diam, tetapi sekarang orang tak berani
meremehkannya. Tindakan Imagawa terhadap Putri
Tazumi menjadi suatu bukti bahwa di dalam dirinya, lelaki itu juga memiliki
keberanian serta kekejaman sekaligus. Buah pikirannya tak dapat ditebak, namun
orang dapat memperkirakan bahwa lelaki itu memiliki taktik serta strategi
tersendiri dalam menghadapi lawan-lawannya.
Imagawa tengah memotong daun kering pada bon-
sai kesayangannya ketika tiga orang kepercayaannya menghadap. Ketiga orang itu
berjongkok di belakangnya sambil menyebutkan nama masing-masing.
Imagawa menghentikan kerjanya, lalu menoleh,
"Apa yang kalian ingin laporkan?"
"Hamba mendengar saat ini pasukan Oda Nobunaga
sudah mendekati perbatasan."
"Berapa kekuatan mereka?"
"Katanya, delapan ribu prajurit, tetapi menurut per-kiraan hamba tak lebih dari
empat ribu orang."
"Siapakah yang memimpin pasukan itu?"
"Oda Nobunaga sendiri."
"Benarkah?"
"Benar, Yang Mulia. Hamba melihat dengan mata
kepala sendiri."
"Apakah untuk menaklukkan propinsi kecil seperti
Suruga, Yang Mulia Nobunaga harus turun tangan
sendiri?" "Itulah kenyataannya."
"Kurasa dia terlalu cepat ingin meraih kemena-
ngan." "Mungkin memang demikian."
Imagawa diam. Matanya menatap gunting di ta-
ngannya. "Bagaimana dengan Saburo Mishima?" Imagawa
akhirnya bertanya.
"Belum ada kabar," jawab orang kedua. "Semenjak
terjadinya pertarungan di atas jembatan Sungai Amagi, tidak lagi terdengar kabar
beritanya. Hamba sendiri sudah menyusuri sungai tersebut selama beberapa ha-ri,
namun tak sepotong berita pun hamba dengar."
"Mungkinkah dia tewas?"
"Hamba tidak berani memastikan, karena hingga
saat ini mayatnya pun belum diketemukan."
"Dia orang yang tangguh. Dia pasti selamat."
"Hamba juga berharap demikian."
"Kalau dia masih hidup, cepat atau lambat pasti
akan ada berita tentang dirinya. Jadi sebaiknya kita tunggu saja perkembangan
selanjutnya."
"Baik, Yang Mulia."
Imagawa menoleh pada orang ketiga. "Bagaimana
denganmu?"
"Istana Kamakura sekarang kosong. Hampir semua
pasukan mengikuti Yang Mulia Nobunaga, tetapi ham-
ba menangkap keanehan, di istana kini banyak ninja."
"Ninja?"
"Benar, Yang Mulia."
"Apakah mereka persekutuan Mayumi?"
"Tampaknya bukan. Para ninja yang terdapat di
Kamakura kelihatannya mengawal sesuatu. Bahkan
hamba dengar mereka sebenarnya adalah kekuatan
Putri Naoko."
"Putri Naoko, apa maksudnya?"
"Dia ingin menguasai Istana Kamakura."
"Astaga! Benarkah itu?"
"Demikianlah menurut desas-desus yang hamba de-
ngar." "Celaka! Kalau kaum wanita sudah dijangkiti kese-
rakahan dan nafsu kekuasaan, kita akan sukar sekali mencapai kedamaian. Mereka
sesungguhnya dilahir-kan untuk menjaga peradaban, rumah tangga, dan ka-
sih sayang sesama. Bukan sebaliknya justru mengejar kekuasaan. Sesudah Putri
Tazumi kini Putri Naoko.
Benar-benar tidak dapat dipercaya."
"Itulah yang dapat hamba laporkan."
"Baiklah. Tidakkah engkau mendengar tentang pu-
tra Ashikaga?"
"Yoshioka-san?"
"Benar."
"Hamba mendengar ketika Saburo bertarung de-
ngan Nagasi, beberapa orang melihat seorang anak kecil memanggil-manggil Saburo.
Banyak orang mendu-
ga, anak tersebut adalah putra Ashikaga. Sesaat setelah Saburo jatuh ke sungai,
anak itu lari menuruni lereng bukit untuk mengejar Saburo, sejak itu tak seorang
pun mengetahuinya."
"Aku ingin engkau kembali ke Kamakura, coba di-
susuri jejak anak itu. Dia akan berguna bagi kita suatu saat."
"Baik, Yang Mulia."
"Kalian boleh pergi."
*** Malamnya utusan dari Mayeda Toyotomi datang. Im-
agawa menerima dengan penuh harapan.
"Hamba diutus Tuanku Mayeda Toyotomi untuk
memberitahukan tekad beliau saat ini," kata utusan itu sambil bersujud. "Tuanku
Mayeda memohon maaf
karena selama ini telah memiliki niat buruk terhadap Yang Mulia. Tetapi kini
niat itu sudah punah, dan Tuanku ingin memberikan sisa umurnya kepada Yang
Mulia. Apabila diperkenankan, beliau sekarang akan menyerang pasukan Nobunaga
untuk mempertahankan Suruga."
"Berapa kekuatan yang dia miliki?"
"Empat ribu prajurit."
"Tidakkah hanya akan bunuh diri bila dengan ke-
kuatan itu menyerang Nobunaga?"
"Empat ribu prajurit dengan semangat meluap-luap
sama dengan kekuatan delapan ribu orang."
"Tetapi bukankah kalian tidak mengetahui persis
bagaimana kekuatan musuh?"
"Setiap hari ada mata-mata yang melaporkan kea-
daan lawan, Yang Mulia."
"Itu saja tidak cukup. Harus ada suatu penggala-
ngan kekuatan yang baik untuk mulai menyerang."
"Maksud Yang Mulia?"
"Mayeda Toyotomi suruh menunggu perintahku un-
tuk menyerang. Dia tidak boleh tergesa-gesa sehingga mengalami kekalahan.
Kemenangan yang lalu tidak
dapat dijadikan pegangan untuk kemenangan yang
akan datang."
"Demikiankah perintah Yang Mulia?"
"Ya. Katakan kepadanya."
Sesudah utusan Mayeda pergi, Imagawa memanggil
orang kepercayaannya.
"Berapakah kekuatan bersenjata kita apabila kita
menggerakkan rakyat?"
"Delapan belas ribu, Yang Mulia."
"Kalau begitu siapkan pasukan kita, besok pagi aku akan mengadakan perjalanan."
"Ke mana, Yang Mulia?"
"Nanti engkau akan kuberitahu. Sementara biar
aku sendiri yang mengetahuinya.
*** PERSIAPAN MAYEDA
LATIHAN perang itu dilangsungkan di pinggir hutan.
Hampir semua pasukan Mayeda Toyotomi menjalan-
kan latihan ketat. Meskipun mereka tidak tahu kapan akan berangkat berperang,
tetapi Mayeda memerintahkan pasukannya untuk selalu berlatih. Ia tak ingin
keadaan menunggu yang berlarut-larut menyebabkan
kebosanan dan kejemuan, sehingga semangat pasu-
kannya merosot.
Mayeda tahu, Hosokawa melakukan penekanan di
perbatasan Suruga, semata-mata untuk menghancur-
kan semangat pasukannya. Pasukan mana pun apabi-
la selama berhari-hari, atau bahkan berbulan-bulan menunggu, pasti akan
mengalami kejemuan. Inilah
rupanya yang diincar Hosokawa. Karena itu Mayeda
mencoba melawan kejemuan dengan latihan yang te-
rus-menerus. Sore itu Mayeda sedang berdiri di depan tendanya
untuk menyaksikan jalannya latihan.
Pasukan pedang sedang berlatih dengan penuh se-
mangat. Mereka seakan musuh yang tengah bertarung.
Dengan semangat menggebu mereka mengayunkan pe-
dang, menikam, dan menebas dengan sepenuh tenaga.
Suara pedang dan perisai beradu, suaranya gemerin-
cing dengan mengeluarkan pijar api.
Di sebelah tenggara, pasukan tombak tengah berla-
tih dengan bersemangat. Mereka dibagi menjadi dua
kelompok. Satu kelompok menjadi penyerang, kelom-
pok lainnya menjadi pihak bertahan. Seorang instruk-tur memberikan pengarahan
dengan berteriak lantang.
"Tikaaam!"
Kelompok penyerang segera melakukan tikaman.
Tetapi dengan gesit kelompok bertahan menangkis tikaman itu. Teriakan-teriakan
terdengar lantang, membuat suasana sore menjadi terasa beringas.
Di tempat lain, pasukan panah tengah berlatih me-
manah sasaran yang diletakkan dua ratus meter di lereng bukit. Suara panah
terdengar mendesing menuju
sasaran. Mayeda menatap dengan rasa puas. Ia bangga pada
diri sendiri, karena dapat mempertahankan moral pasukannya sehingga mereka tak
kehilangan semangat.
Derap kaki kuda terdengar menuju ke tenda Maye-
da. Utusannya datang dari Istana Suruga. Utusan itu turun dari kuda, lalu
berjongkok hormat di depan
Mayeda. "Bagaimana hasil kunjunganmu?"
"Tuanku diminta menunggu perintah Yang Mulia
Imagawa sebelum menyerang."
"Menunggu" Apa maksudmu?"
"Itulah yang dikatakan Yang Mulia Imagawa. Pada
mulanya beliau menanyakan berapa besar kekuatan
kita, dan berapa besar kekuatan lawan. Sesudah ham-ba beritahu, beliau
memutuskan agar Tuanku me-
nunggu." "Menunggu" Benar-benar membosankan. Saya se-
benarnya hanya mengharapkan persetujuan beliau un-
tuk menyerang, sesudah itu semua resiko akan saya
tanggungkan. Tidak seperti sekarang, saya harus menunggu... menunggu... entah
sampai kapan."
"Itulah yang dapat hamba laporkan."
"Terima kasih. Sekarang kau beristirahatlah."
Kemudian Mayeda memanggil orang kepercayaan-
nya. "Kalian tahu, beberapa hari lalu aku mengirim orang untuk meminta persetujuan
pada Yang Mulia Imagawa
untuk menyerang pasukan Nobunaga. Sesungguhnya
aku ingin menguji seberapa besar kepercayaan Yang
Mulia kepadaku, ternyata hari ini aku memperoleh kabar bahwa permohonanku
ditolak. Yang Mulia memin-
taku untuk menunggu perintahnya...."
Keempat orang kepercayaannya saling berpanda-
ngan, namun mereka ragu-ragu untuk bicara.
"Penolakan ini sungguh tak kumengerti," lanjut Ma-
yeda dengan suara bergetar. "Apakah dia mengetahui keadaan yang kita hadapi"
Bahwa delapan ribu pasukan Nobunaga sudah berada di batas wilayah Suruga.
Bila saja mereka menyerbu lebih dulu kita akan mengalami kesulitan untuk keluar
dari pengepungan."
"Apakah Tuanku akan mematuhi perintahnya?" sa-
lah seorang kepercayaannya bertanya.
"Bagaimana menurut pendapatmu?"
"Kalau saya, tidak akan mematuhinya. Ketika kita
berangkat kemari, kita berada di luar perintahnya. Kenapa sekarang kita harus
mematuhi perintahnya" Se-
lain itu, kita mengetahui secara persis bagaimana kekuatan musuh kita. Bila
penundaan ini terjadi berlarut-larut, kita akan semakin terjepit oleh kekuatan
Nobunaga."
"Apakah begitu pula pendapat kalian semua?"
Ketiga orang kepercayaannya menjawab serentak,
"Benar, Tuanku."
"Kalau begitu beri aku waktu semalam untuk berpi-
kir, kemudian memutuskan. Sementara itu, kalian
persiapkan seluruh pasukan agar setiap saat mereka siap diberangkatkan."
"Baik, Tuanku."
*** Malam diselimuti kabut. Udara dingin membuat tu-
buh-tubuh menggigil. Suara anjing hutan terdengar
melolong memanjang di atas bukit membangkitkan ke-
ngerian dari jauh.
Mayeda Toyotomi berjalan menyusuri lereng bukit
itu menuju ke kuil, pemakaman Putri Tazumi.
Shugyosa Samurai Pengembara 9 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika Mayeda menerima kiriman kepala Putri Ta-
zumi, darahnya memang menggelora. Seluruh relung
dadanya dipenuhi amarah yang meluap-luap, gelora
api dendam yang tak tergambarkan. Selama seminggu
ia mengurung diri di tenda, mencoba merenungkan kematian Putri Tazumi sehubungan
dengan takdir diri-
nya. Di dalam perenungan itulah ia mulai menyadari ke-
keliruan yang ia perbuat, serta akibat-akibat yang harus dia tanggungkan.
Akhirnya setelah renungannya
selesai, dia memerintahkan prajuritnya untuk membangun kuil di lereng bukit,
lalu mengubur kepala kekasihnya di tempat itu.
Hampir setiap hari Mayeda mengunjungi kuil itu. Ia ingin melampiaskan
kerinduannya pada Putri Tazumi, sekaligus mendoakan arwahnya agar diterima Tuhan
di surga. Setiap kali berdiri di depan makamnya, selalu terbayang kenangan lama
ketika mereka mengalami
masa-masa indah bersama. Terbayang bagaimana wa-
nita itu mencumbunya, serta membakar dirinya agar
meruntuhkan kekuasaan Imagawa. Semua terbayang
sehingga membuat Mayeda dibakar api penyesalan ser-ta kepedihan.
Mayeda tahu penyesalan dan kepedihan tidak akan
membuatnya bertambah dewasa, tetapi ia tak peduli.
Ia ingin menghukum dirinya dengan menghayati pe-
nyesalan serta kepedihan itu. Ia ingin menikmati ke-hancuran hatinya.
Berhari-hari ia merasakan hatinya dirobek-robek,
jantungnya seakan disayat dengan pisau berkarat. Ia merasakan bukan saja
kepedihan, tetapi juga kehan-curan kehormatan yang selama bertahun-tahun ia mi-
liki. Kepala Putri Tazumi seakan menyadarkan dirinya tentang arti semangat
bushido. Aku telah berkhianat.
Mayeda sampai menangis terisak-isak, seluruh tu-
buhnya bergetaran karena tak sanggup menahan ke-
pedihan. Ingin rasanya melakukan seppuku, namun
itu pun tidak akan menebus seluruh dosanya. Tidak.
Akhirnya dengan menyimpan kepedihan serta penyesa-
lan, Mayeda ingin menjalani takdirnya dengan caranya sendiri: bertempur sampai
mati! Sekarang Mayeda berdiri di depan makam Putri Ta-
zumi, menatap nisan yang dibuat dengan tangannya
sendiri. "Mungkin, ini adalah kali terakhir aku datang," kata Mayeda dengan suara
bergetar. "Besok bila matahari bersinar, aku akan berada di perjalanan untuk
berperang, menebus dosa masa silamku. Siapa tahu dalam
pertempuran itu aku tewas, aku tak akan dapat me-
ngunjungimu lagi. Aku akan menantang takdirku, dan berharap dapat bertemu dirimu
di surga."
Mayeda berbalik, lalu kembali ke tendanya.
*** PIKIRAN WARAS SABURO terbangun karena mendengar suara ayam
berkokok. Seperti biasa, ia segera berlari ke tepi Sungai Amagi. Sudah berhari-
hari kegiatan seperti itu ia lakukan. Sebelum matahari terbit hingga matahari
sudah sepenggalah tingginya, Saburo berendam di su-
ngai. Pada mulanya ketika Bapa Lao menyarankan dia melakukan hal itu, Saburo
merasa sangsi, benarkah
cara itu dapat mempercepat penyembuhan dirinya"
Ternyata benar. Arus Sungai Amagi yang menghantam
tubuhnya, secara tidak disadari memperkuat otot-ototnya. Rasa sakit yang dulu
menikam rusuknya, kini telah hilang. Demikian juga rasa sakit pada lengan serta
persendiannya. Semua hilang dengan sendirinya.
Saburo melepas kimononya, kemudian mulai beren-
dam. "Engkau kesiangan," tiba-tiba terdengar suara Bapa Lao.
Saburo menoleh, ia melihat pendeta itu telah berendam di dekat sebuah batu
terjal. "Ya, Bapa," jawab Saburo sopan. "Saya tidur sangat nyenyak."
"Syukurlah. Itu berarti engkau telah sembuh."
"Belum pernah saya dapat tidur senyenyak tadi ma-
lam." "Padahal ada hujan dan guntur."
"Ya."
Saburo mulai merasakan air dingin yang mem-
bekukan kulit menerjang dirinya. Tubuhnya gemetar, namun sekuat tenaga ia
mencoba bertahan. Pelan-pelan ia memasang kuda-kuda, menahan gelombang
yang terus menerpa dirinya.
Bapa Lao sendiri memejamkan mata, berusaha me-
lepaskan perasaannya.
Saburo mengambil pedangnya, lalu mulai melatih
ilmu pedang yang ia miliki. Ia bersilat dengan hampir sepertiga tubuh terendam
di air. Cara ini sebenarnya membutuhkan tenaga yang lebih besar, karena selain
harus melakukan tebasan, sekaligus ia harus melawan arus air yang deras. Ayunan
pedangnya membuat air
bertemperasan ke udara, sementara Saburo memain-
kan pedang bagai putaran baling-baling yang menyi-
laukan. Kian lama kian cepat, sehingga menimbulkan suara mendesis yang
mengerikan. Putaran Saburo
kian lama kian cepat, sehingga bilah pedang itu akhirnya tak tampak dari
pandangan mata. Saking cepat-
nya, air yang mengalir ke arahnya seakan berhenti lalu menyebar sejengkal dari
tubuhnya. Mendengar suara desis itu, Bapa Lao membuka ma-
ta. Dengan penuh minat ia memperhatikan permainan
pedang Saburo. Mata pendeta itu bersinar-sinar ka-
gum. Ketika Saburo berhenti memainkan pedangnya, Ba-
pa Lao bertepuk tangan.
"Sebuah permainan pedang yang hebat," katanya
memuji. "Permainan pedang di dalam arus air seperti itulah sesungguhnya yang
menjadi kebanggaan Yagyu.
Tak terbayangkan, engkau dapat menguasainya."
"Saya masih dalam tahap awal."
"Dengan kecepatan seperti itu, tak seorang pun
akan menduga bahwa engkau baru memulainya."
"Bapa terlalu memuji."
"Itulah yang sesungguhnya terjadi. Jangan terlalu
rendah hati."
Saburo kembali berlatih. Pedangnya bagai bayangan
perak menyambar-nyambar. Seluruh ototnya mene-
gang, ia mengerahkan seluruh kekuatan dalam diri-
nya. Saat matahari mulai naik ke puncak dedaunan, Sa-
buro maupun Bapa Lao naik ke tepi sungai. Mereka
duduk di atas rumput di bawah rumpun bambu. Sa-
buro bersila, ia membiarkan air menetes ke tanah dari seluruh tubuhnya.
Bapa Lao berkata, "Karena engkau sudah sembuh,
aku ingin mengatakan sesuatu padamu."
Saburo menoleh, "Soal apa?"
"Soal dendam serta pembalasan."
"Kenapa?"
"Tahukah dirimu kenapa engkau bisa menjadi pang-
lima perang Ashikaga?"
Saburo menoleh. Pertanyaan itu ia anggap aneh.
Tak biasanya pendeta Budha tersebut mengajukan
pertanyaan seperti itu.
"Apakah engkau mengetahui sebabnya?" Bapa Lao
mengulang bertanya.
"Karena kesetiaan saya pada Yang Mulia Ashikaga."
"Banyak orang setia padanya, tetapi mereka tak pernah menjadi panglima perang.
Bahkan untuk menjadi
pimpinan pasukan pun mereka tak mampu."
"Karena saya pandai bermain pedang."
"Itu pun keliru. Demikian banyak pemain pedang
yang hebat, namun mereka tetap sebagai pemain pe-
dang hingga akhir hayatnya."
"Saya tidak tahu."
"Kenapa tidak tahu?"
"Kurasa Bapa telah memiliki jawabannya."
"Karena engkau memiliki kematangan."
"Maksud Bapa?"
"Kecuali keberanian, kesetiaan, kepandaian berma-
in pedang, kau memiliki pikiran yang waras. Seorang panglima perang membutuhkan
pikiran waras untuk
menyerang atau bertahan. Bukankah begitu?"
"Bapa benar."
"Pikiran waras itulah yang sesungguhnya menjadi
pemandu seseorang dalam melangkah. Tanpa bantuan
pikiran waras, seseorang akan kehilangan kontrol diri, dan bisa menjadi gila."
Saburo diam. Ia tahu Bapa Lao ingin mengungkap-
kan sesuatu. Karena itu ia diam menunggu.
"Kemarahan, dendam, atau hasrat pembalasan den-
dam dapat merusak pikiran waras seseorang. Dia kehilangan kontrol, dan dikuasai
oleh hasrat meluap-luap untuk melakukan pembalasan. Keadaan seperti itu
sesungguhnya tidak menguntungkan, karena dapat men-
celakakan dirinya."
Saburo diam. "Bukankah ilmu pedang yang tertinggi adalah ilmu
menghindari perkelahian?"
Saburo kini menjawab, "Benar."
"Pertarungan tidak akan mendatangkan keuntung-
an, kecuali mempertebal kesombongan seseorang ka-
rena bisa meraih kemenangan."
"Kurasa Bapa ingin mengatakan sesuatu kepada-
ku." Bapa Lao tersenyum. "Memang benar."
"Kalau begitu katakan saja tanpa berbelit-belit."
"Aku ingin mempersiapkan dirimu agar engkau ti-
dak kaget."
"Aku tidak akan kaget."
"Ingat Ishida Mitsunari?"
Saburo mengangkat kepala karena kaget.
"Jangan mudah kaget," kata Bapa Lao datar.
"Bapa mengenalnya?"
"Ya."
"Di mana dia sekarang?"
"Di sekitar sini."
Saburo kaget lagi, tanpa sadar, ia meraih pedang-
nya. "Jangan mudah kaget dan jangan mudah terpan-
cing," kata Bapa Lao tanpa tekanan. "Aku ingin membicarakan tentang Ishida
Mitsunari."
"Tentang apa?"
"Tentang keinginannya menghapus dendam serta
kemarahan yang ada dalam dirinya. Semenjak ia eng-
kau kalahkan dan dia dibuang oleh Oda Nobunaga,
ada dendam kesumat untuk membunuhmu. Dia be-
ranggapan semua penderitaan yang ia alami adalah
akibat tindakanmu. Dendam itu demikian kuat sehing-ga melenyapkan pikiran
warasnya. Ia bergentayangan ke seluruh penjuru Owari untuk menemukan dirimu.
Sifatnya menjadi liar dan beringas. Bahkan beberapa orang yang tak bersalah
telah ia bunuh, semata-mata untuk melampiaskan hasrat pembalasan dendamnya."
Saburo diam mendengarkan.
"Pada suatu hari dia bertemu denganku dan Yoshi-
oka di atas bukit. Karena lapar dia kuberi ubi bakar
dan kami berbincang-bincang hingga larut malam. Aku bicara dengannya, persis
seperti aku berbicara denganmu saat ini. Kami membicarakan pikiran waras. Bah-
kan satu-satunya karunia paling berharga di dunia ini adalah pikiran waras. Bila
orang disuruh memilih kegi-laan dan pikiran waras, aku pastikan mereka akan
memilih pikiran waras. Bukankah begitu?"
Saburo menjawab pendek, "Ya."
"Tetapi seseorang memiliki pikiran waras harus me-
menuhi syarat-syarat tertentu. Dia harus punya kete-nangan jiwa. Tanpa kemampuan
mengontrol dirinya,
orang tak akan pernah memiliki kejernihan pikiran."
"Lalu kenapa dengan Ishida?"
"Sesudah bicara denganku, dia menyadari kekeli-
ruannya. Dia merasa malu terhadap dirinya sendiri, kenapa bisa berkhianat pada
Ashikaga."
"Lantas?"
"Dia ingin menebus semua kekeliruannya dengan
bertempur di pihakmu."
"Aku tidak percaya."
"Engkau harus percaya. Seseorang yang telah kehi-
langan kepercayaan harus dipulihkan jiwanya dengan memberinya kepercayaan
padanya. Tanpa itu, orang
tersebut akan mengalami kebimbangan dan bisa ber-
bahaya." "Maksud Bapa?"
"Terimalah dia di pihakmu."
"Semudah itu?"
"Ya. Itulah tanda kebesaran jiwa."
"Kalau aku menolak?"
"Dia akan mengejarmu terus sepanjang hidup un-
tuk melakukan pembalasan dendam."
"Kalau aku menerima?"
"Ada syaratnya."
"Apa?"
"Kau harus bertarung dengannya. Hanya sekali."
*** PERTARUNGAN PERDAMAIAN
LEMBAH Kriptomeria terletak di sebelah tenggara desa tempat Saburo diselamatkan.
Lembah tersebut tampak subur dengan pohon kriptomeria. Daunnya yang hijau
menaungi lembah tersebut sehingga dari jauh terlihat seperti kain sutera
direntangkan. Binatang-binatang berkeliaran dengan bebas; rusa, kelinci liar,
dan burung serta unggas liar. Keadaan tersebut memberikan kesan betapa Lembah
Kriptomeria merupakan tempat
yang nyaman untuk tempat tinggal.
Saburo berjalan mengikuti Bapa Lao tanpa membu-
ka suara. Ia melangkah mengikuti ke mana pendeta
tersebut menuju. Mereka menuruni lembah sambil
membungkam. Namun berbagai kecamuk pikiran meng-
gasak Saburo. Ia tak mengerti, kenapa dirinya seperti seekor kerbau yang dicocok
hidungnya. Tak ada hasrat melawan keinginan Bapa Lao. Padahal ia tahu keinginan
pendeta tersebut bisa berakhir dengan maut.
Pada mulanya, Saburo memikirkan hal itu disebab-
kan ia merasa berhutang nyawa dengan Bapa Lao. Te-
tapi sesudah ia renungkan, ternyata tidak. Ia cen-
derung memenuhi kemauan pendeta itu karena me-
reka satu pemikiran.
Bagaimanapun dendam harus dihapus dengan piki-
ran waras!
Shugyosa Samurai Pengembara 9 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mereka kini menuruni jalan setapak yang di sisi kanan dan kirinya ditumbuhi
rumput ilalang. Angin dari arah utara membuat ilalang berayun dengan
meninggalkan suara gemerisik. Dari jauh terlihat sebuah gubuk di bawah pohon
kriptomeria yang tinggi menju-
lang. Asap tipis terlihat keluar dari gubuk tersebut.
"Itu rumahnya," kata Bapa Lao datar. "Dia telah
tinggal di situ selama dua bulan untuk menunggu kedatanganmu."
"Bagaimana kalau saya tidak datang?"
"Dia akan terus menunggu."
"Kalau saya tetap tak datang?"
"Dia akan memenggal kepalaku."
"Kenapa?"
"Saya telah menjanjikan padanya untuk memba-
wamu dalam waktu enam bulan. Bila selama enam bu-
lan saya gagal membawamu, dia berhak memenggal
kepalaku."
"Padahal Bapa tidak pernah tahu di mana diriku
pada waktu itu."
"Ya..., tetapi itulah resiko yang harus kuhadapi. Untuk menyadarkan seseorang,
aku harus mempertaruh-
kan nyawaku sendiri. Tetapi jangan lupa, begitu banyak missionaris yang datang
ke negeri ini berakhir di tiang gantungan. Sama saja, bukan?"
Saburo diam. Memang benar, sejumlah missionaris
telah datang ke Jepang, tetapi banyak dari mereka tewas dalam pertentangan
dengan penguasa setempat.
Mengenang hal itu, diam-diam Saburo mengagumi Ba-
pa Lao. Dia telah mempertaruhkan kepalanya dalam
suatu permainan yang mengerikan. Saburo yakin,
Ishida Mitsunari tak akan bimbang sedikit pun untuk memenggal kepala Bapa Lao
bila janjinya tak terpenu-hi. Gubuk di lembah itu sangat sederhana. Seluruh
dindingnya terbuat dari bambu, sementara atapnya
dari jerami. Di depan rumahnya terdapat halaman luas yang dikelilingi pagar
bambu. Menilik dari tiang-tiang bambu yang berada di halaman itu, dapat
dipastikan selama ini Mitsunari tidak pernah berhenti melatih il-
mu pedangnya. Bambu-bambu itu terpangkas tajam,
pasti dalam sekali ayunan. Melihat dari tebasan itu, Saburo merinding, merasakan
kemungkinan ayunan
pedang tersebut menebas lehernya.
"Engkau tunggu di sini," kata Bapa Lao pada Sa-
buro. "Biar aku bicara dengannya."
Saburo berdiri di dekat pagar. Pandangannya mena-
tap pintu gubuk yang bergerak-gerak dihempas angin.
"Ishida!" teriak Bapa Lao. "Ini aku datang."
Tidak terdengar sahutan apa pun.
"Ishida! Aku datang bersama Saburo Mishima se-
perti janjiku padamu!"
Pintu tiba-tiba berderit terbuka. Dari dalam muncul Ishida Mitsunari melangkah
tertatih-tatih. Matanya menatap Saburo dengan liar, mulutnya menyungging-kan
senyum tipis yang kejam.
"Aku memenuhi janjiku," kata Bapa Lao tanpa te-
kanan. "Kubawa Saburo kemari untuk memenuhi tan-
tanganmu. Dia akan melawanmu agar terlampiaskan
seluruh dendammu. Tetapi seperti janjimu, kalau engkau kalah, engkau akan
mengabdi padanya."
"Itukah yang dikatakan dia padamu, Saburo?"
"Ya."
"Dan karena janjinya itukah engkau mau meme-
nuhi tantanganku?"
"Ya."
"Bagaimana kalau aku mengingkarinya?"
"Aku tidak peduli. Kedatanganku kemari untuk me-
menuhi janjiku pada Bapa Lao, jadi aku tak pernah
memikirkan apa engkau memenuhi janjimu atau ti-
dak." Ishida Mitsunari tersenyum tipis. Ia berjalan men-
dekati Saburo. Dari sinar matanya terlihat keper-
cayaan dirinya yang demikian besar untuk memenang-
kan pertarungan yang akan dilakukannya. Ia terlihat
meremehkan kekuatan Saburo.
"Sudah sangat lama, Saburo," kata Mitsunari penuh
tekanan. "Sejak kekalahanku aku selalu menantikan
saat seperti ini. Dalam tidurku, aku selalu memimpi-kan dirimu. Rupanya
keinginanku baru bisa terwujud melewati Bapa Lao. Kurasa tidak apa-apa. Buatku
sa-ma saja, toh akhirnya aku akan bisa memenggal le-
hermu." Saburo diam membeku.
"Apakah pertarungan akan segera dimulai?" Bapa
Lao bertanya. "Ya, kenapa tidak?" jawab Mitsunari.
"Apakah engkau sudah siap, Saburo?"
"Ya, saya siap."
"Kau siap, Ishida?"
"Saya siap."
"Pertarungan boleh kalian lakukan dengan cara
atau gaya apa pun sampai salah seorang di antara kalian menyerah. Bila seseorang
menyerah, pemenang
harus menghentikan serangan. Pertarungan harus di-
akhiri. Engkau setuju, Saburo?"
"Setuju."
"Kau, Ishida?"
"Setuju."
Bapa Lao berjalan ke pinggir halaman. Ia kemudian
duduk santai di pagar bambu.
Mitsunari dan Saburo sama-sama mempersiapkan
diri. Mereka melangkah berputar sambil mencabut pedang masing-masing. Mata
mereka menatap lurus ke
mata musuh. Sinar matahari memantul dari bilah pe-
dang yang berkilat berkilauan. Udara seakan membe-
ku, dipenuhi ketegangan yang bertubi-tubi.
Tiba-tiba dengan raungan yang menggetarkan, Mi-
tsunari mulai melancarkan serangan. Tebasan pedangnya menyambar leher Saburo.
Dengan gesit Saburo
menarik diri ke belakang, kemudian sambil berputar ia mengayunkan pedang ke arah
lengan musuh. Ishida
segera menangkis dengan penyangga kakinya.
Saburo terperanjat, ia tidak menduga penyangga
kaki itu dapat menjadi senjata ampuh lawannya.
"Kelihatannya kau kaget, Saburo."
Saburo hanya diam. Ia telah mempersiapkan diri
dengan serangan balasan. Saat-saat berikutnya terjadi pertarungan yang dahsyat.
Keduanya mengeluarkan
seluruh jurus serta kepandaiannya. Mereka bergerak seperti bayangan diiringi
desingan pedang serta gemerincing ketika pedang mereka beradu. Saburo mirip
seekor banteng yang melakukan serangan dengan se-
luruh kekuatan, sementara Ishida melayaninya dengan kekuatan yang tak
terbayangkan. Pedang, penyangga
kaki, dan besi penyambung kakinya bergerak sama cepat dan sama berbahayanya.
Saburo seakan mengha-
dapi tiga orang yang masing-masing menggunakan
senjata yang sangat berbahaya. Beberapa kali Saburo terdesak sehingga ia harus
menghindar dengan bergu-lingan di tanah.
"Luar biasa," desis Saburo sambil memasang kuda-
kuda. "Ilmu pedangmu maju demikian pesat."
"Aku melatihnya untuk menghadapimu."
"Aku tak menduganya."
Ishida tersenyum tipis, kemudian mulai merangsak
lagi. Saburo meloncat, tetapi sebelum kakinya menyentuh tanah, musuh telah
menikam dengan kaki bun-
tungnya. Saburo menggunakan kekuatan tangannya
untuk menangkis kaki itu, kemudian melenting ke
atap rumah. Tetapi seperti tak ingin memberi kesempatan pada lawan, Ishida
menebas tiang bambu pe-
nyangga atap itu. Seketika atap jerami tersebut miring, Saburo terjatuh, dan di
bawah Ishida telah mengha-dangnya dengan tebasan pedang ke arah dadanya. Sa-
buro hanya bisa menangkis, kemudian berlari meng-
hindar. Satu-satunya cara menghindari serangannya hanya dengan berlari, Ishida tidak
akan dapat mengejar karena kakinya pincang. Tetapi sampai kapan aku harus
bermain kucing-kucingan dengannya"
Angin serta debu bertebaran diterpa angin. Mata-
hari mulai merambat ke puncak kulminasi, namun
pertarungan itu terus terjadi. Baik Saburo maupun
Ishida kini telah basah kuyup. Baju mereka lengket karena keringat yang
mengalir. Wajah mereka jadi berkilauan. Tetapi semangat untuk bertempur masih
saja terus berkobar.
Bapa Lao sampai tertidur bersandar pagar bambu
karena tak dapat menahan kantuk.
Saburo menerjang dengan tikaman panjang, Ishida
berkelit ke kanan, kemudian tanpa diduga ia menikam dengan kakinya. Saburo
menjerit sambil mendekap pa-hanya. Kaki Ishida telah meninggalkan luka yang
cukup dalam. Bapa Lao kaget mendengar jeritan itu, ia membuka mata sesaat, lalu
tidur lagi. Udara yang panas, pada sore hari berubah menjadi
kelabu. Awan mendung berlapis-lapis melayang di atas Lembah Kriptomeria.
Kemudian disusul hujan lebat.
Bapa Lao kaget ketika seluruh tubuhnya telah basah kuyup, ia segera berlari
berteduh di gubuk Ishida.
Pertarungan itu telah terjadi sepanjang hari, namun kedua belah pihak belum ada
yang berniat menghenti-kannya. Ishida maupun Saburo telah basah kuyup,
sementara pandangan mereka terhalang tirai hujan
yang turun dengan deras. Sesekali halilintar mencam-buk langit.
"Hei, kalian mau istirahat atau tidak?" Bapa Lao
berteriak. "Hujan ini tidak baik untuk bertarung."
"Jangan ikut campur!" sergah Ishida lantang. "Aku
akan segera mengakhirinya."
"Bisakah?"
"Kenapa tidak?"
Selesai berkata begitu, Ishida menerjang Saburo dengan dua senjatanya sekaligus.
Tetapi Saburo segera menghindar ke belakang. Dalam kecepatan sepersekian detik,
Saburo tanpa sengaja melihat Ishida goyah karena kaki besinya menghunjam terlalu
dalam di tanah. Kenyataan itu tiba-tiba memberikan gagasan di benaknya. Meskipun
gagasan itu masih samar-samar,
namun Saburo tahu itulah gagasan paling baik untuk menghadapi Ishida.
Sambil sesekali menerjang, Saburo mencoba me-
mancing Ishida ke lereng bukit. Akibat hujan deras, tanah di sekitar tempat itu
menjadi lunak dan berlumpur. Ishida tidak menyadari sama sekali taktik Saburo
ini. Dengan bernafsu ia masih terus menyerang Saburo. Meskipun langkah kakinya
jadi terseok-seok, karena kaki besi dan penyangga kakinya terhunjam ke
tanah berlumpur, tetapi ia tak peduli. Laki-laki itu terus memburu Saburo.
Kini saatnya memberi dia pelajaran kedua.
Tanpa diduga, saat Ishida menerjang, Saburo kali
Selendang Mayat 2 Dewa Linglung 4 Mengganasnya Siluman Gila Guling Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 11
SHUGYOSA (Samurai Pengembara)
Buku Kesembilan
oleh Salandra Cover oleh Tony G.
Desain sampul oleh M. Soetrisno
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit Alam Budaya, Jakarta, 1994
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Buku Kesembilan
KEMENANGAN DAN KEHILANGAN
NAGASI menebas leher Saburo dengan kekuatan pe-
nuh. Bila sedetik saja Saburo terlambat menghindar, pasti kepalanya terpenggal.
Dalam waktu sepersekian detik, Saburo masih sempat menarik kepalanya sehingga
pedang Nagasi hanya mendesis satu inci dari lehernya. Serangan ini diulang
kembali. Sambil berpegangan pada tali, Nagasi berayun-ayun sembari mengirimkan
ayunan serta tebasan pedangnya.
Saburo juga berayun sambil berpegangan pada tali,
menghindari serangan musuh. Posisi mereka demikian sulit. Jembatan bambu itu
sudah miring sehingga setiap saat mereka dapat jatuh ke sungai yang mengalir
deras di bawahnya. Selain itu semakin lama, tali jembatan tersebut rantus, mau
putus. Saburo berpikir, sa-tu-satunya cara adalah mempercepat kemenangan un-
tuk membebaskan diri dari ancaman maut Sungai
Amagi. "Akan kupastikan bahwa aku dapat memenggal ke-
palamu!" kata Nagasi sambil memiringkan badan sam-
bil menebas tubuh Saburo.
Tebasan itu meleset, tetapi mata pedangnya menge-
nai tali yang dijadikan pegangan oleh Saburo.
Nagasi kini berayun-ayun untuk mendekati musuh-
nya, demikian pula Saburo. Mereka seperti dua manusia haus darah yang dikuasai
nafsu membunuh. Sese-
kali pedang mereka beradu, sehingga jembatan itu bergetar hebat. Sambil terus
berayun, Nagasi maupun Saburo saling menebas dan menikam. Karena posisi masing-
masing terayun-ayun di atas sungai, pedang me-
reka sering tak dapat ditangkis maupun dielakkan sehingga baik Nagasi maupun
Saburo mengalami luka di tubuhnya.
Matahari semakin tinggi, cahayanya sesekali berki-
lauan menerpa bilah pedang mereka. Tiba-tiba Saburo menyadari, Nagasi selalu
memejamkan mata setiap
kali menerjang dirinya karena mata samurai itu silau oleh sinar matahari. Pada
jarak dua meter saat ayunan terjadi, murid Yagyu itu pasti memejamkan mata, baru
sesudah melewati lintasan cahaya matahari, ia akan membuka mata dan mengayunkan
tebasan pedangnya.
Ini adalah sebuah peluang, kata Saburo mulai memikirkan jalan keluar. Sinar
matahari memberiku ruang untuk melakukan serangan.
Benak Saburo terus berputar. Ia tahu kesempatan
untuk menyerang hanya sepersekian detik, tetapi itu merupakan satu-satunya
pilihan. Diam-diam Saburo
mulai mempersiapkan diri.
Nagasi mempererat genggaman pedangnya, kemu-
dian dengan mengayun tali di mana ia bergantung, lelaki itu mulai mengirimkan
serangan. Tepat saat Nagasi melintas di sinar matahari, Saburo menyongsong
dengan lemparan pedangnya. Kejadian itu terjadi demikian cepat. Hanya sedetik
Nagasi memejamkan mata,
namun ketika ia membuka matanya kembali, pedang
Saburo telah menembus dadanya. Pedang itu masuk
dari dada, menembus punggungnya. Darah memancar
seperti semprotan warna merah pada lukisan. Nagasi hanya mendesis, kedua
tangannya tiba-tiba lunglai, sinar matahari seakan berputar di atas kepalanya.
"Engkau menang," kata Nagasi dalam suara desisan
yang berat dan mengerikan.
Lalu genggaman tangannya terbuka, tubuhnya me-
layang ke arah Sungai Amagi.
Di seberang jembatan terdengar sorak-sorai me-
nyambut kemenangan Saburo Mishima. Orang-orang
yang menang taruhan segera menarik uang dari orang yang kalah.
"Apa aku bilang, murid Yagyu itu pasti kalah!"
"Sejak awal sudah dapat diperkirakan. Kemenangan
pasti di pihak Saburo!"
"Benar! Aku tadi sudah menduga akan begini ak-
hirnya!" Di ujung jembatan yang lain, Yoshioka bersorak
gembira. Ia berlari ke tengah jembatan untuk men-
dekati Saburo. Tetapi karena jembatan itu miring, ia tidak dapat ke tengah.
"Paman Saburo!" teriak Yoshioka lantang.
Saburo mendengar teriakan itu. Ia berusaha naik.
Usahanya berat karena tali yang digunakan menggan-
tung semakin rantas.
"Paman Saburo, ayo naik!"
Saburo berteriak, "Minggir cepat! Jembatan ini bisa putus sewaktu-waktu!"
"Paman cepat naik!"
Saburo menghela napas panjang. Ia memegang tali
jembatan dengan kencang, lalu dengan sekali henta-
kan ia menarik tubuhnya ke atas.
Yoshioka bersorak ketika melihat Saburo bisa naik.
"Ayo terus! Jangan berhenti!"
Saburo kembali menghela napas. Angin yang men-
deru di bawah jembatan membuat jantungnya berde-
bar. Sekali lagi ia menarik tubuhnya ke atas.
"Terus, Paman Saburo! Jangan putus asa!"
Dengan sekuat tenaga Saburo menarik dirinya ke
atas. Ia berhasil. Kini tangannya mulai menggapai-
gapai untuk mendapatkan pegangan lain.
"Sekali lagi, Paman Saburo, kau akan berhasil!"
Saburo menahan napas, lalu menghentak kembali.
Tali itu putus dan tubuh Saburo melayang jatuh ke
sungai. Yoshioka hanya bisa menjerit ketika melihat tubuh
Saburo seperti sehelai daun kering melayang ke air sungai yang deras. Hanya
sekejap Saburo tercebur, se-
telah itu tubuhnya lenyap.
"Paman Saburo!"
Yoshioka mencoba menunggu, namun sia-sia. Tu-
buh Saburo Mishima seakan ditelan arus deras Sungai Amagi. Seperti juga tubuh
Nagasi, Saburo tidak muncul lagi.
Apakah Paman Saburo meninggal"
Yoshioka diam sejurus. Kemudian tanpa berpikir
panjang ia berlari melintasi jembatan, kemudian terus berlari menuruni dinding
terjal sungai itu. Beberapa kali terjatuh, namun ia tak peduli. Napasnya
terengah-engah, kulit wajahnya memerah, tetapi dengan sema-
ngat menggebu-gebu, anak itu terus berlari turun ke arah Saburo jatuh.
"Paman Saburoooo!"
Tidak terdengar sahutan apa pun. Hanya air sungai
yang menggelegak menerjang batu-batu dan pepoho-
nan di tepi sungai.
"Paman Saburrooo!"
Yoshioka terus berteriak memanggil, namun tidak
ada jawaban sama sekali. Saburo seakan tertelan bumi.
*** Mayumi tiba-tiba tersentak bangun. Matanya terbuka
lebar. Dalam penglihatannya, tampak Saburo melun-
cur dari jembatan Sungai Amagi, lalu lenyap.
Yoshioka terlihat berlari menuruni lereng bukit sambil memanggil-manggil nama
Saburo. Di tengah gelegak arus sungai yang deras, tampak
beberapa kali Saburo muncul di permukaan. Tangan-
nya menggapai-gapai mencoba menangkap apa saja
yang berada di sampingnya. Wajahnya pucat, tampak
keletihan telah menyita seluruh tenaganya. Beberapa kali mulutnya menyemburkan
air. Ia berusaha mengambil napas setiap kali tubuhnya keluar dari dalam
air. Penglihatan itu tiba-tiba hilang ketika Takeshi yang tak lain Konishita,
muncul di dekatnya. Mayumi me-ngeluh panjang. Wajahnya berkeringat.
"Kau melihat sesuatu?" Takeshi bertanya.
"Ya."
"Apa?"
"Saburo baru saja menyelamatkan Yoshioka. Dia
bertarung dengan sepuluh prajurit Nobunaga."
"Dia menang?"
"Ya."
"Lantas?"
"Dia tercebur ke sungai. Tertelan arus sungai yang deras."
"Apakah dia tewas?"
"Saya tidak tahu. Tampaknya dia masih hidup dan
berusaha berenang."
"Dia pasti dapat bertahan."
"Ya, mudah-mudahan."
Takeshi membuka kertas di tangannya.
"Aku baru saja mendapat berita dari Kamakura, ka-
tanya saat ini Oda Nobunaga akan segera bergerak
menuju Suruga dengan pasukan sebesar delapan ribu
orang." "Dia akan memukul Suruga."
"Benar. Tetapi ini juga merupakan kesempatan ter-
baik untuk kita menyusup ke Kamakura."
"Kalau begitu kita berangkat secepatnya."
"Ya, sore ini juga kita menyusup ke Kamakura."
*** KEBERANGKATAN RIBUAN pasukan telah berbaris di depan Istana Ka-
makura. Semua berpakaian lengkap. Kali ini Nobunaga tampak mengerahkan seluruh
pasukannya. Di halaman istana itu kini berkumpul lima ratus tentara panah, lima
ratus tentara tombak, tiga ratus pembawa perbekalan, dua ratus pasukan perintis
jalan, dua ratus pasukan berkuda, dan sekitar tiga ribu samurai prajurit.
Semua prajurit tampak telah siap bertempur. Wajah
mereka memancarkan semangat berapi-api. Ribuan
keluarga mereka mengantar dengan isak tangis. Me-
reka berpelukan sambil memberikan hiburan bagi yang ditinggalkan. Suasana
mengharukan menyebar di ma-na-mana. Semua orang menyadari, mungkin perte-
muan kali ini merupakan yang terakhir bagi mereka.
Para prajurit akan menyongsong kematian, dan mung-
kin sekali tidak akan kembali. Para orang tua men-
dekap anaknya sambil bercucuran air mata, sementara sang anak memeluk orang
tuanya untuk merasakan
kasih sayang mereka. Dalam dekapan yang erat itu, terasa ada yang menyayat hati,
namun semua justru
mengobarkan semangat berperang.
Ketika matahari sudah sepenggalah tingginya, di-
kawal oleh empat orang murid Yagyu, Oda Nobunaga
muncul dari istana. Dia telah mengenakan pakaian perang yang menutup seluruh
tubuhnya. Bilah-bilah besi yang dikenakannya terdengar gemerincing ketika dia
melangkahkan kaki. Perawakannya yang gemuk me-nampakkan penampilan yang aneh,
mirip patung- patung pahlawan zaman dulu.
Ketika Nobunaga melangkah menuju kudanya, em-
pat ribu prajurit itu seketika memberikan hormat dengan berjongkok. Nobunaga
menaiki kudanya. Wajah-
nya memancarkan semangat dan kewibawaan yang
menggetarkan. Naoko yang terlihat mengantar kepergian Nobunaga,
berdiri membisu di samping kuda lelaki itu. Di belakangnya tampak Koyama dan
kedua dayang-da-
yangnya. "Hari ini kita akan membuat sejarah," Nobunaga
berkata lantang kepada seluruh prajuritnya. "Kita
akan mengubah propinsi Owari menjadi salah satu
propinsi terkuat dan terluas di negeri ini. Kita akan menaklukkan wilayah-
wilayah di sekitar kita dengan semangat jibagutai, kita tidak akan mundur
sebelum tujuan kita tercapai. Hanya kematian yang bisa menghentikan langkah kita
untuk berkuasa!"
Semua prajurit mendengarkan pidato Nobunaga de-
ngan diam membisu. Patuh dan setia.
"Sesudah kita melangkahkan kaki, pantang kita
kembali sebelum tujuan terlaksana. Karena itu saya peringatkan, bagi yang
bimbang atau ragu, tinggalkan barisan sekarang juga. Tak ada gunanya saya
berperang dengan para pengecut!"
Tak seorang pun beranjak dari tempatnya.
"Baiklah, kalau kalian memang bersedia mati un-
tukku, mari kita berangkat. Kita torehkan tinta emas yang tidak akan pernah
terhapus dalam sejarah."
Secara serempak semua prajurit mengucapkan sum-
pah setia. Suaranya menggetarkan dan terdengar hing-ga ke pelosok kota Kamakura.
Nobunaga menoleh pada Naoko.
"Naoko-san, aku berangkat."
Naoko membungkukkan badan dengan penuh hor-
mat. "Kemarilah," kata Nobunaga. "Biarkan aku men-
ciummu." "Naoko mendekat, membiarkan Nobunaga mencium
bibirnya. Semua orang menundukkan kepala. Tak ingin menyaksikan ciuman itu.
Kecuali Kojiro. Dia menatap orang berciuman itu dengan pandangan bengong.
Apa enaknya"
"Koyama," tiba-tiba Nobunaga memanggil.
Koyama membungkukkan badan. "Ya, Yang Mulia."
"Jaga junjunganmu dengan baik."
"Baik, Yang Mulia."
"Hiburlah supaya hatinya senang. Jangan kau mem-
buatnya sedih."
"Tentu, Yang Mulia."
Sesaat kemudian Nobunaga menggebrak kudanya.
Dia meninggalkan istana dengan gagah. Pandangannya tengadah, sementara
pakaiannya memantulkan sinar
matahari sehingga berkerjap-kerjap. Di belakangnya empat ribu prajurit bergerak
mengikutinya dengan penuh semangat. Iring-iringan itu menjadi pemandangan yang
menakjubkan. Seluruh kota Kamakura seakan
bergetar seiring dengan langkah kaki mereka.
Di sepanjang jalan, orang-orang berdiri untuk men-
gelu-elukan arak-arakan itu. Wajah mereka meman-
carkan kegembiraan sekaligus kecemasan. Gembira
karena peperangan itu mungkin akan melahirkan pe-
rubahan kehidupan, cemas karena kemungkinan me-
reka kehilangan sanak dan keluarga.
Nobunaga melambaikan tangan pada anak-anak
yang bersorak-sorak kagum padanya.
"Suatu saat mereka akan menjadi prajurit-prajurit
yang tangguh," kata Nobunaga pada salah seorang murid Yagyu.
"Benar, Yang Mulia."
"Kita harus memberikan kebanggaan pada anak-
Shugyosa Samurai Pengembara 9 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anak itu."
*** Naoko kembali ke istana. Ia masuk ke kamarnya, ke-
mudian bertepuk tangan tiga kali. Sesaat kemudian
muncul ninja merah dari bilik tersembunyi. Koyama
melihat kehadiran ninja itu sambi! mengerutkan kening. Sudah berkali-kali ia
melihat ninja itu menjumpai junjungannya, tetapi ia tak mengerti apa yang mereka
bicarakan. "Sekarang, Yang Mulia Nobunaga sudah berangkat.
Kukira kita dapat mengatur persiapan lebih matang,"
kala Naoko dalam nada perintah. "Kita tidak boleh terlambat."
"Apakah saat ini juga saya harus kembali?"
"Ya, persiapkan segala sesuatunya. Kuharap tujuh
hari sesudah hari ini semua kekuatan kita sudah berada di sini."
"Baik."
"Kecuali itu terus sebarkan mata-mata ke medan
tempur. Aku ingin mengetahui jalannya pertempuran."
"Baik."
"Kalau begitu berangkatlah."
*** DISELAMATKAN ARUS Sungai Amagi cukup deras. Di beberapa tempat
menjadi arung jeram yang mengerikan. Selain banyak batu-batu terjal, arus itu
bergerak seperti sedotan raksasa yang menghisap apa saja yang berada di atasnya.
Meskipun airnya jernih dan merupakan pemandangan
indah, namun Sungai Amagi dapat berati maut.
Sejak jatuh dari jembatan, Saburo Mishima sudah
mencoba bertahan. Dengan kemampuannya yang sea-
danya, ia menggapai-gapai untuk berenang, tetapi arus sungai tersebut menyedot
tubuhnya hingga lelaki ter-
sebut tak berdaya. Sesekali Saburo berhasil menaikkan kepala ke permukaan sungai
untuk menarik na-
pas, namun setelah itu, ia kembali tenggelam. Tubuhnya yang mulai letih timbul
tenggelam seperti gabus di atas air jeram.
Akhirnya ketika kekuatan dirinya terus melemah,
Saburo melepaskan keinginannya untuk melawan
arus. Ia biarkan tubuhnya terbawa arus, meluncur ke mana air sungai itu
mengalir. Berkali-kali Saburo minum air sungai, sampai akhirnya terjadi sesuatu
yang tak ia bayangkan, tubuhnya meluncur di arung jeram, kemudian kepalanya
membentur batu yang cukup besar. Terdengar suara berdetak, lalu Saburo pingsan.
Samar-samar terdengar suara berkata, "Menilik pa-
kaiannya, dia pasti seorang shugyosa."
Yang lain menyahut, "Benar."
"Tampaknya dia baru saja melakukan pertarungan."
"Dengan siapa?"
"Entahlah."
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Angkat dia. Kita harus menyelamatkannya."
"Bagaimana kalau dia penjahat?"
"Penjahat atau bukan, tidak menjadi masalah. Tu-
gas kita adalah menolong...."
Suara-suara itu timbul tenggelam dalam benak Sa-
buro. Pada mulanya ia mengira suara malaikat yang
siap mencabut nyawanya, ternyata bukan. Pikirannya yang jernih mengatakan suara-
suara itu pasti milik orang-orang yang menemukan dirinya. Saburo mencoba melawan
keletihannya, namun tubuhnya benar-
benar tak berdaya. Akhirnya ia pingsan lagi.
Saburo terbangun ketika sinar matahari menerpa
wajahnya. Ia mengerjap-ngerjapkan mata, kemudian
saat pandangannya menjadi terang, rasa terkejut me-nyelimuti dirinya.
Pandangannya membentur wajah-
wajah asing di atasnya.
Seorang gadis cantik berkata, "Dia sudah siuman."
Bidadarikah"
Gadis itu pergi sambil berseru, "Dia sudah siuman, Bapa!"
Bapa Lao yang sedang duduk di teras rumah segera
beranjak ke dalam. Lelaki itu mendekati tempat Sabu-ro, lalu memegang dahi dan
urat nadi Saburo. Bapa
Lao tersenyum ketika mengetahui nadi lelaki tersebut berdetak kencang.
"Syukurlah," kata Bapa Lao datar. "Masa kritis su-
dah terlewati. Anda selamat."
Saburo berusaha sekuat tenaga untuk bicara, "Di
mana saya?"
Bapa Lao menjawab, "Jangan cemas. Anda disela-
matkan penduduk yang kebetulan sedang mencari
ikan di sungai."
"Di wilayah apa desa ini?"
"Owari."
Saburo mendengus. Ia berusaha bangkit.
"Saya harus pergi...."
Tetapi ia meringis ketika merasakan rasa sakit luar biasa di perutnya.
"Anda harus beristirahat untuk beberapa waktu,"
kata Bapa Lao sambil membaringkan kembali Saburo.
"Tulang rusuk Anda ada yang patah."
Saburo hanya mendengus.
"Sebaiknya Anda berbaring di sini. Biarkan kami
merawat Anda."
"Tetapi...."
"Jangan khawatir. Kami mengetahui siapa Anda.
Tak usah cemas, Anda berada di tengah orang-orang
yang berpihak pada Yang Mulia Ashikaga."
"Benarkah?"
"Saya seorang pendeta, pantang berdusta."
"Bagaimana engkau tahu tentang diriku?"
"Seorang shugyosa biasa tidak akan memakai lam-
bang Ashikaga di bagian dalam kimononya."
Saburo menghela napas panjang.
"Terima kasih," desis Saburo. Lalu pingsan lagi.
*** Keadaan desa di tepi Sungai Amagi itu tetap tenang
seperti biasa. Setiap pagi, para petani pergi ke sawah seperti biasa. Mereka
menyusuri jalan sambil menarik kerbau untuk membajak. Para wanita pergi ke tepi
sungai untuk mencari daun pandan untuk dibuat tikar.
Beberapa penduduk yang hidup berdagang pergi ke
pasar untuk menjual hasil pertanian mereka.
Meskipun mencoba dirahasiakan, namun keber-
adaan Saburo di desa itu akhirnya tersebar juga dari mulut ke mulut. Bahkan pada
malam hari menjadi bahan pembicaraan mereka. Ada pihak yang tidak setuju
membiarkan Saburo tetap berada di desa itu, tetapi sebagian lainnya tidak
keberatan. "Dia dapat membahayakan kita," kata salah seorang
penduduk. "Kalau prajurit Oda Nobunaga tahu dia berada di sini, kita semua dapat
celaka." "Tetapi dia adalah panglima Ashikaga," kata yang
lainnya. "Kekuasaan Ashikaga telah runtuh, tak mungkin
bangkit kembali. Kurasa kita harus menyadari kenyataan ini. Laki-laki itu telah
menjadi buronan sejak Ashikaga jatuh, bahkan hingga sekarang Yang Mulia
Nobunaga masih menyediakan hadiah besar untuk ke-
palanya. Dia adalah musuh negara. Jadi bagaimana
mungkin kita melindunginya?"
"Kita tidak melindunginya," potong yang lain. "Kita hanya menyelamatkannya. Ini
adalah soal kemanu-siaan biasa. Nanti kalau dia sudah sembuh, dia pun
akan pergi dari sini."
"Bagaimana kalau sebelum dia sembuh prajurit No-
bunaga sudah mengetahuinya?"
Semua orang saling berpandangan. Orang-orang itu
bimbang menjawab.
Akhirnya Bapa Lao ikut bicara, "Kita harus mema-
hami semua yang kita lakukan. Menyelamatkan nyawa
orang merupakan kewajiban semua orang. Bahkan
Tuhan pun akan menyetujui tindakan itu. Cuma ma-
salahnya, sekarang kita menyelamatkan musuh nega-
ra. Kita telah melakukan sesuatu yang dapat memba-
hayakan desa ini. Karena itu, apabila kita mau bersikap bijaksana, biarkan dia
di sini sampai sembuh, lalu menyuruhnya pergi jika dia telah kuat. Dan selama
itu, kita tutup mulut supaya berita tentang keberadaannya di sini tak diketahui
orang luar. Bila hal itu kita lakukan, rasanya tak ada yang dirugikan."
Akhirnya orang-orang setuju. Mereka diam dan
membiarkan Bapa Lao merawat Saburo.
Sepanjang hari, Bapa Lao mengobati Saburo dengan
daun-daunan. Pendeta itu menggunakan resep kuno
untuk menyembuhkan Saburo. Selain obat luar, dia
juga memberikan obat dari akar-akaran yang harus di-minum Saburo setiap hari.
Pada malam harinya, mereka sering duduk sambil
berbincang-bincang.
"Jadi sekarang Nobunaga sudah meninggalkan Ka-
makura?" Saburo bertanya.
Bapa Lao menjawab, "Benar. Seluruh kekuatan di-
kerahkan untuk menaklukkan Suruga."
"Bagaimana dengan pengawalan istana?"
"Lemah. Meskipun Naoko membentengi istana de-
ngan ninja, namun itu bukan suatu kekuatan yang
sukar ditembus."
"Ninja" Naoko menggunakan ninja?"
"Benar. Rupanya tanpa sepengetahuan Oda Nobu-
naga, perempuan itu memiliki rencana rahasia."
"Maksud Bapa?"
"Dia sesungguhnya ingin menjadi penguasa tunggal
di Istana Kamakura."
"Bagaimana Bapa tahu?"
"Saya memiliki mata-mata. Dialah yang menjadi
sumber beritaku selama ini. Jadi mengenai semua kejadian di istana, aku dapat
mengetahui secara pasti dan terperinci."
"Dia bekerja di sana?"
"Ya."
"Sebagai apa?"
"Pembawa sandal Naoko."
"Oh, ya?"
"Ya. Dan kau akan terkejut kalau mengetahui siapa
dia sebenarnya."
"Siapa, Bapa?"
"Putra Ashikaga."
"Siapa?"
"Yoshioka."
Saburo terperanjat mendengarnya. Ia tak menduga
sama sekali akan mendengar jawaban itu. Ingatannya langsung melayang ke
peristiwa di jembatan Amagi.
Sebelum pertarungan terjadi, ia masih melihat Yoshioka. Benar-benar Yoshioka!
Jadi Yoshioka yang mana yang menjadi mata-mata di istana"
Kojiro! kata Saburo dalam hati.
Akhirnya dengan caranya sendiri, Saburo meman-
cing Bapa Lao agar mau menceritakan tentang mata-
mata itu. Diawali ketika pendeta tersebut menyelamatkannya dari perburuan
prajurit Nobunaga, sampai
saat mereka melakukan latihan bersama di kuil, hing-ga akhirnya kisah kerbau
mengamuk yang memberi
kesempatan Koyama mengabdi di istana.
Tak salah lagi, desis Saburo dalam hati. Dia pasti Kojiro.
Sewaktu mendengar cerita itu, Saburo serasa tak
kuat menahan gemuruh hatinya. Ingin rasanya ia bersujud di kaki pendeta Bapa Lao
untuk mengucapkan
terima kasih. Di mata Saburo, pendeta itu adalah malaikat yang diturunkan Tuhan
untuk menyelamatkan
anaknya. Tetapi ketika akal sehatnya bekerja, Saburo membatalkan rencana itu, ia
tak ingin membuka rahasia pertukaran nama antara Kojiro dan Yoshioka.
Bila hingga saat ini, Bapa Lao saja tidak mengetahui bahwa anak yang diasuhnya
bukan Yoshioka - tetapi
Kojiro, berarti Kojiro telah melakukan kewajibannya dengan baik. Anak itu
bersikukuh mengaku sebagai
Yoshioka. Dia telah mempertaruhkan nyawanya untuk
melaksanakan tugas itu. Saburo tak ingin menodai kesetiaan Kojiro terhadap
perintahnya. Karena itu dia memilih diam. Menyembunyikan gemuruh hatinya.
Saat mereka berbincang-bincang, tiba-tiba seorang
penduduk muncul dengan wajah pucat pasi.
"Bapa Lao, Bapa Lao...," katanya terengah-engah.
"Ada seseorang mengkhianati kita."
"Ada apa?"
"Ada pasukan Oda Nobunaga kemari. Mereka telah
berada di tapal batas desa."
"Celaka," kata Bapa Lao gusar. "Kalau begitu kita
harus menyembunyikan Saburo Mishima."
Kegaduhan pun terjadi. Dengan terburu-buru Bapa
Lao mengumpulkan orang-orang untuk menyembunyi-
kan Saburo. Satu jam kemudian pasukan Nobunaga datang. Se-
luruh penduduk disuruh berkumpul. Pimpinan pasu-
kan itu, seorang laki-laki bertubuh pipih seperti ikan salem, tegak di atas
kudanya dengan pandangan kejam.
"Kalian semua dengarkan!" teriaknya lantang. "Saya sedang mencari buronan.
Seorang laki-laki Ashikaga yang jatuh ke sungai. Hingga saat ini mayatnya belum
diketemukan, kemungkinan dia diselamatkan desa-desa di tepi Sungai Amagi. Karena
itu apabila dia kalian selamatkan, kuminta sekarang juga kalian tun-
jukkan tempatnya!"
Tidak seorang pun berani menjawab.
"Saya ingin jawaban kalian," kata pimpinan pasu-
kan itu geram. "Apa kalian bisu semua?"
Bapa Lao maju ke depan. "Saya pikir orang yang
Anda cari tidak ada di sini."
"Hei, siapa kamu?"
"Saya seorang pendeta yang kebetulan lewat di sini."
"Sudah berapa lama kamu berada di sini?"
"Dua bulan."
"Apakah pendeta diperbolehkan berdusta?"
"Itu pantangan. Karena itu sebaiknya Anda tanya
pada saya untuk sebuah kebenaran."
"Jadi buronan itu tidak berada di sini?"
"Tidak."
Pimpinan itu memandang pada anak buahnya, "Ka-
lau begitu geledah semua tempat ini!"
Mereka segera melakukan penggeledahan. Dengan
kasar dan beringas, para prajurit itu mengobrak-abrik tempat-tempat yang mereka
curigai. Setiap kamar, lorong, kandang kerbau, dan semua tempat yang
kelihatannya dapat dipakai bersembunyi diperiksa dengan
teliti. Tetapi tak seorang pun menemukan Saburo Mishima. Akhirnya dengan kesal
pasukan itu meninggalkan desa tersebut. Orang-orang menjadi lega.
Bapa Lao tersenyum, "Berdusta untuk suatu keba-
jikan diperkenankan oleh Tuhan," katanya datar, lalu menuju sumur tempat
persembunyian Saburo Mishima.
***
Shugyosa Samurai Pengembara 9 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
SEBUAH AWAL UDARA cerah. Langit berwarna biru dengan arak-arak-an awan putih yang memanjang
dari utara ke selatan.
Burung-burung beterbangan dari ranting ke ranting, suaranya terdengar riuh. Di
Istana Suruga, beberapa dayang-dayang terlihat tekun merawat tanaman. Mereka
bekerja dengan diam. Tak seorang pun membuka
percakapan. Imagawa kelihatan tenggelam dalam kesibukannya.
Ia tengah memangkas ranting-ranting kering dari sebuah bonsai yang tampak sangat
indah. Batang pohon itu berwarna coklat tua, sementara daunnya berwarna hijau
muda. Bila dipandang dari jauh, bonsai itu seperti pohon raksasa dalam bentuk
miniatur. Dengan sebuah gunting kecil, Imagawa membersih-
kan bonsai tersebut dari debu serta kotoran.
Sejak kembali ke istana, Imagawa memang lebih ba-
nyak mengurus tanaman kesayangannya. Hampir se-
panjang hari lelaki itu menenggelamkan diri di tengah taman istana. Dengan
kesungguhan hati, ia membe-nahi lagi taman Zen yang menjadi kebanggaannya. Ia
menaburkan pasir serta kerikil dengan warna putih
dan kelabu. Kemudian dengan penuh kecintaan ia me-
rawat bonsai. Sejak kepulangannya, Imagawa jarang berada di is-
tana. Bahkan ia tak pernah membicarakan tentang kemungkinan perang yang bakal
meletus antara Owari
dan Suruga. Seluruh perhatiannya seakan tercurah
penuh ke taman serta tanamannya. Hanya sesekali sa-ja ia memanggil orang-orang
kepercayaannya untuk
meminta laporan tentang keadaan di perbatasan.
Meskipun diam, tetapi sekarang orang tak berani
meremehkannya. Tindakan Imagawa terhadap Putri
Tazumi menjadi suatu bukti bahwa di dalam dirinya, lelaki itu juga memiliki
keberanian serta kekejaman sekaligus. Buah pikirannya tak dapat ditebak, namun
orang dapat memperkirakan bahwa lelaki itu memiliki taktik serta strategi
tersendiri dalam menghadapi lawan-lawannya.
Imagawa tengah memotong daun kering pada bon-
sai kesayangannya ketika tiga orang kepercayaannya menghadap. Ketiga orang itu
berjongkok di belakangnya sambil menyebutkan nama masing-masing.
Imagawa menghentikan kerjanya, lalu menoleh,
"Apa yang kalian ingin laporkan?"
"Hamba mendengar saat ini pasukan Oda Nobunaga
sudah mendekati perbatasan."
"Berapa kekuatan mereka?"
"Katanya, delapan ribu prajurit, tetapi menurut per-kiraan hamba tak lebih dari
empat ribu orang."
"Siapakah yang memimpin pasukan itu?"
"Oda Nobunaga sendiri."
"Benarkah?"
"Benar, Yang Mulia. Hamba melihat dengan mata
kepala sendiri."
"Apakah untuk menaklukkan propinsi kecil seperti
Suruga, Yang Mulia Nobunaga harus turun tangan
sendiri?" "Itulah kenyataannya."
"Kurasa dia terlalu cepat ingin meraih kemena-
ngan." "Mungkin memang demikian."
Imagawa diam. Matanya menatap gunting di ta-
ngannya. "Bagaimana dengan Saburo Mishima?" Imagawa
akhirnya bertanya.
"Belum ada kabar," jawab orang kedua. "Semenjak
terjadinya pertarungan di atas jembatan Sungai Amagi, tidak lagi terdengar kabar
beritanya. Hamba sendiri sudah menyusuri sungai tersebut selama beberapa ha-ri,
namun tak sepotong berita pun hamba dengar."
"Mungkinkah dia tewas?"
"Hamba tidak berani memastikan, karena hingga
saat ini mayatnya pun belum diketemukan."
"Dia orang yang tangguh. Dia pasti selamat."
"Hamba juga berharap demikian."
"Kalau dia masih hidup, cepat atau lambat pasti
akan ada berita tentang dirinya. Jadi sebaiknya kita tunggu saja perkembangan
selanjutnya."
"Baik, Yang Mulia."
Imagawa menoleh pada orang ketiga. "Bagaimana
denganmu?"
"Istana Kamakura sekarang kosong. Hampir semua
pasukan mengikuti Yang Mulia Nobunaga, tetapi ham-
ba menangkap keanehan, di istana kini banyak ninja."
"Ninja?"
"Benar, Yang Mulia."
"Apakah mereka persekutuan Mayumi?"
"Tampaknya bukan. Para ninja yang terdapat di
Kamakura kelihatannya mengawal sesuatu. Bahkan
hamba dengar mereka sebenarnya adalah kekuatan
Putri Naoko."
"Putri Naoko, apa maksudnya?"
"Dia ingin menguasai Istana Kamakura."
"Astaga! Benarkah itu?"
"Demikianlah menurut desas-desus yang hamba de-
ngar." "Celaka! Kalau kaum wanita sudah dijangkiti kese-
rakahan dan nafsu kekuasaan, kita akan sukar sekali mencapai kedamaian. Mereka
sesungguhnya dilahir-kan untuk menjaga peradaban, rumah tangga, dan ka-
sih sayang sesama. Bukan sebaliknya justru mengejar kekuasaan. Sesudah Putri
Tazumi kini Putri Naoko.
Benar-benar tidak dapat dipercaya."
"Itulah yang dapat hamba laporkan."
"Baiklah. Tidakkah engkau mendengar tentang pu-
tra Ashikaga?"
"Yoshioka-san?"
"Benar."
"Hamba mendengar ketika Saburo bertarung de-
ngan Nagasi, beberapa orang melihat seorang anak kecil memanggil-manggil Saburo.
Banyak orang mendu-
ga, anak tersebut adalah putra Ashikaga. Sesaat setelah Saburo jatuh ke sungai,
anak itu lari menuruni lereng bukit untuk mengejar Saburo, sejak itu tak seorang
pun mengetahuinya."
"Aku ingin engkau kembali ke Kamakura, coba di-
susuri jejak anak itu. Dia akan berguna bagi kita suatu saat."
"Baik, Yang Mulia."
"Kalian boleh pergi."
*** Malamnya utusan dari Mayeda Toyotomi datang. Im-
agawa menerima dengan penuh harapan.
"Hamba diutus Tuanku Mayeda Toyotomi untuk
memberitahukan tekad beliau saat ini," kata utusan itu sambil bersujud. "Tuanku
Mayeda memohon maaf
karena selama ini telah memiliki niat buruk terhadap Yang Mulia. Tetapi kini
niat itu sudah punah, dan Tuanku ingin memberikan sisa umurnya kepada Yang
Mulia. Apabila diperkenankan, beliau sekarang akan menyerang pasukan Nobunaga
untuk mempertahankan Suruga."
"Berapa kekuatan yang dia miliki?"
"Empat ribu prajurit."
"Tidakkah hanya akan bunuh diri bila dengan ke-
kuatan itu menyerang Nobunaga?"
"Empat ribu prajurit dengan semangat meluap-luap
sama dengan kekuatan delapan ribu orang."
"Tetapi bukankah kalian tidak mengetahui persis
bagaimana kekuatan musuh?"
"Setiap hari ada mata-mata yang melaporkan kea-
daan lawan, Yang Mulia."
"Itu saja tidak cukup. Harus ada suatu penggala-
ngan kekuatan yang baik untuk mulai menyerang."
"Maksud Yang Mulia?"
"Mayeda Toyotomi suruh menunggu perintahku un-
tuk menyerang. Dia tidak boleh tergesa-gesa sehingga mengalami kekalahan.
Kemenangan yang lalu tidak
dapat dijadikan pegangan untuk kemenangan yang
akan datang."
"Demikiankah perintah Yang Mulia?"
"Ya. Katakan kepadanya."
Sesudah utusan Mayeda pergi, Imagawa memanggil
orang kepercayaannya.
"Berapakah kekuatan bersenjata kita apabila kita
menggerakkan rakyat?"
"Delapan belas ribu, Yang Mulia."
"Kalau begitu siapkan pasukan kita, besok pagi aku akan mengadakan perjalanan."
"Ke mana, Yang Mulia?"
"Nanti engkau akan kuberitahu. Sementara biar
aku sendiri yang mengetahuinya.
*** PERSIAPAN MAYEDA
LATIHAN perang itu dilangsungkan di pinggir hutan.
Hampir semua pasukan Mayeda Toyotomi menjalan-
kan latihan ketat. Meskipun mereka tidak tahu kapan akan berangkat berperang,
tetapi Mayeda memerintahkan pasukannya untuk selalu berlatih. Ia tak ingin
keadaan menunggu yang berlarut-larut menyebabkan
kebosanan dan kejemuan, sehingga semangat pasu-
kannya merosot.
Mayeda tahu, Hosokawa melakukan penekanan di
perbatasan Suruga, semata-mata untuk menghancur-
kan semangat pasukannya. Pasukan mana pun apabi-
la selama berhari-hari, atau bahkan berbulan-bulan menunggu, pasti akan
mengalami kejemuan. Inilah
rupanya yang diincar Hosokawa. Karena itu Mayeda
mencoba melawan kejemuan dengan latihan yang te-
rus-menerus. Sore itu Mayeda sedang berdiri di depan tendanya
untuk menyaksikan jalannya latihan.
Pasukan pedang sedang berlatih dengan penuh se-
mangat. Mereka seakan musuh yang tengah bertarung.
Dengan semangat menggebu mereka mengayunkan pe-
dang, menikam, dan menebas dengan sepenuh tenaga.
Suara pedang dan perisai beradu, suaranya gemerin-
cing dengan mengeluarkan pijar api.
Di sebelah tenggara, pasukan tombak tengah berla-
tih dengan bersemangat. Mereka dibagi menjadi dua
kelompok. Satu kelompok menjadi penyerang, kelom-
pok lainnya menjadi pihak bertahan. Seorang instruk-tur memberikan pengarahan
dengan berteriak lantang.
"Tikaaam!"
Kelompok penyerang segera melakukan tikaman.
Tetapi dengan gesit kelompok bertahan menangkis tikaman itu. Teriakan-teriakan
terdengar lantang, membuat suasana sore menjadi terasa beringas.
Di tempat lain, pasukan panah tengah berlatih me-
manah sasaran yang diletakkan dua ratus meter di lereng bukit. Suara panah
terdengar mendesing menuju
sasaran. Mayeda menatap dengan rasa puas. Ia bangga pada
diri sendiri, karena dapat mempertahankan moral pasukannya sehingga mereka tak
kehilangan semangat.
Derap kaki kuda terdengar menuju ke tenda Maye-
da. Utusannya datang dari Istana Suruga. Utusan itu turun dari kuda, lalu
berjongkok hormat di depan
Mayeda. "Bagaimana hasil kunjunganmu?"
"Tuanku diminta menunggu perintah Yang Mulia
Imagawa sebelum menyerang."
"Menunggu" Apa maksudmu?"
"Itulah yang dikatakan Yang Mulia Imagawa. Pada
mulanya beliau menanyakan berapa besar kekuatan
kita, dan berapa besar kekuatan lawan. Sesudah ham-ba beritahu, beliau
memutuskan agar Tuanku me-
nunggu." "Menunggu" Benar-benar membosankan. Saya se-
benarnya hanya mengharapkan persetujuan beliau un-
tuk menyerang, sesudah itu semua resiko akan saya
tanggungkan. Tidak seperti sekarang, saya harus menunggu... menunggu... entah
sampai kapan."
"Itulah yang dapat hamba laporkan."
"Terima kasih. Sekarang kau beristirahatlah."
Kemudian Mayeda memanggil orang kepercayaan-
nya. "Kalian tahu, beberapa hari lalu aku mengirim orang untuk meminta persetujuan
pada Yang Mulia Imagawa
untuk menyerang pasukan Nobunaga. Sesungguhnya
aku ingin menguji seberapa besar kepercayaan Yang
Mulia kepadaku, ternyata hari ini aku memperoleh kabar bahwa permohonanku
ditolak. Yang Mulia memin-
taku untuk menunggu perintahnya...."
Keempat orang kepercayaannya saling berpanda-
ngan, namun mereka ragu-ragu untuk bicara.
"Penolakan ini sungguh tak kumengerti," lanjut Ma-
yeda dengan suara bergetar. "Apakah dia mengetahui keadaan yang kita hadapi"
Bahwa delapan ribu pasukan Nobunaga sudah berada di batas wilayah Suruga.
Bila saja mereka menyerbu lebih dulu kita akan mengalami kesulitan untuk keluar
dari pengepungan."
"Apakah Tuanku akan mematuhi perintahnya?" sa-
lah seorang kepercayaannya bertanya.
"Bagaimana menurut pendapatmu?"
"Kalau saya, tidak akan mematuhinya. Ketika kita
berangkat kemari, kita berada di luar perintahnya. Kenapa sekarang kita harus
mematuhi perintahnya" Se-
lain itu, kita mengetahui secara persis bagaimana kekuatan musuh kita. Bila
penundaan ini terjadi berlarut-larut, kita akan semakin terjepit oleh kekuatan
Nobunaga."
"Apakah begitu pula pendapat kalian semua?"
Ketiga orang kepercayaannya menjawab serentak,
"Benar, Tuanku."
"Kalau begitu beri aku waktu semalam untuk berpi-
kir, kemudian memutuskan. Sementara itu, kalian
persiapkan seluruh pasukan agar setiap saat mereka siap diberangkatkan."
"Baik, Tuanku."
*** Malam diselimuti kabut. Udara dingin membuat tu-
buh-tubuh menggigil. Suara anjing hutan terdengar
melolong memanjang di atas bukit membangkitkan ke-
ngerian dari jauh.
Mayeda Toyotomi berjalan menyusuri lereng bukit
itu menuju ke kuil, pemakaman Putri Tazumi.
Shugyosa Samurai Pengembara 9 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika Mayeda menerima kiriman kepala Putri Ta-
zumi, darahnya memang menggelora. Seluruh relung
dadanya dipenuhi amarah yang meluap-luap, gelora
api dendam yang tak tergambarkan. Selama seminggu
ia mengurung diri di tenda, mencoba merenungkan kematian Putri Tazumi sehubungan
dengan takdir diri-
nya. Di dalam perenungan itulah ia mulai menyadari ke-
keliruan yang ia perbuat, serta akibat-akibat yang harus dia tanggungkan.
Akhirnya setelah renungannya
selesai, dia memerintahkan prajuritnya untuk membangun kuil di lereng bukit,
lalu mengubur kepala kekasihnya di tempat itu.
Hampir setiap hari Mayeda mengunjungi kuil itu. Ia ingin melampiaskan
kerinduannya pada Putri Tazumi, sekaligus mendoakan arwahnya agar diterima Tuhan
di surga. Setiap kali berdiri di depan makamnya, selalu terbayang kenangan lama
ketika mereka mengalami
masa-masa indah bersama. Terbayang bagaimana wa-
nita itu mencumbunya, serta membakar dirinya agar
meruntuhkan kekuasaan Imagawa. Semua terbayang
sehingga membuat Mayeda dibakar api penyesalan ser-ta kepedihan.
Mayeda tahu penyesalan dan kepedihan tidak akan
membuatnya bertambah dewasa, tetapi ia tak peduli.
Ia ingin menghukum dirinya dengan menghayati pe-
nyesalan serta kepedihan itu. Ia ingin menikmati ke-hancuran hatinya.
Berhari-hari ia merasakan hatinya dirobek-robek,
jantungnya seakan disayat dengan pisau berkarat. Ia merasakan bukan saja
kepedihan, tetapi juga kehan-curan kehormatan yang selama bertahun-tahun ia mi-
liki. Kepala Putri Tazumi seakan menyadarkan dirinya tentang arti semangat
bushido. Aku telah berkhianat.
Mayeda sampai menangis terisak-isak, seluruh tu-
buhnya bergetaran karena tak sanggup menahan ke-
pedihan. Ingin rasanya melakukan seppuku, namun
itu pun tidak akan menebus seluruh dosanya. Tidak.
Akhirnya dengan menyimpan kepedihan serta penyesa-
lan, Mayeda ingin menjalani takdirnya dengan caranya sendiri: bertempur sampai
mati! Sekarang Mayeda berdiri di depan makam Putri Ta-
zumi, menatap nisan yang dibuat dengan tangannya
sendiri. "Mungkin, ini adalah kali terakhir aku datang," kata Mayeda dengan suara
bergetar. "Besok bila matahari bersinar, aku akan berada di perjalanan untuk
berperang, menebus dosa masa silamku. Siapa tahu dalam
pertempuran itu aku tewas, aku tak akan dapat me-
ngunjungimu lagi. Aku akan menantang takdirku, dan berharap dapat bertemu dirimu
di surga."
Mayeda berbalik, lalu kembali ke tendanya.
*** PIKIRAN WARAS SABURO terbangun karena mendengar suara ayam
berkokok. Seperti biasa, ia segera berlari ke tepi Sungai Amagi. Sudah berhari-
hari kegiatan seperti itu ia lakukan. Sebelum matahari terbit hingga matahari
sudah sepenggalah tingginya, Saburo berendam di su-
ngai. Pada mulanya ketika Bapa Lao menyarankan dia melakukan hal itu, Saburo
merasa sangsi, benarkah
cara itu dapat mempercepat penyembuhan dirinya"
Ternyata benar. Arus Sungai Amagi yang menghantam
tubuhnya, secara tidak disadari memperkuat otot-ototnya. Rasa sakit yang dulu
menikam rusuknya, kini telah hilang. Demikian juga rasa sakit pada lengan serta
persendiannya. Semua hilang dengan sendirinya.
Saburo melepas kimononya, kemudian mulai beren-
dam. "Engkau kesiangan," tiba-tiba terdengar suara Bapa Lao.
Saburo menoleh, ia melihat pendeta itu telah berendam di dekat sebuah batu
terjal. "Ya, Bapa," jawab Saburo sopan. "Saya tidur sangat nyenyak."
"Syukurlah. Itu berarti engkau telah sembuh."
"Belum pernah saya dapat tidur senyenyak tadi ma-
lam." "Padahal ada hujan dan guntur."
"Ya."
Saburo mulai merasakan air dingin yang mem-
bekukan kulit menerjang dirinya. Tubuhnya gemetar, namun sekuat tenaga ia
mencoba bertahan. Pelan-pelan ia memasang kuda-kuda, menahan gelombang
yang terus menerpa dirinya.
Bapa Lao sendiri memejamkan mata, berusaha me-
lepaskan perasaannya.
Saburo mengambil pedangnya, lalu mulai melatih
ilmu pedang yang ia miliki. Ia bersilat dengan hampir sepertiga tubuh terendam
di air. Cara ini sebenarnya membutuhkan tenaga yang lebih besar, karena selain
harus melakukan tebasan, sekaligus ia harus melawan arus air yang deras. Ayunan
pedangnya membuat air
bertemperasan ke udara, sementara Saburo memain-
kan pedang bagai putaran baling-baling yang menyi-
laukan. Kian lama kian cepat, sehingga menimbulkan suara mendesis yang
mengerikan. Putaran Saburo
kian lama kian cepat, sehingga bilah pedang itu akhirnya tak tampak dari
pandangan mata. Saking cepat-
nya, air yang mengalir ke arahnya seakan berhenti lalu menyebar sejengkal dari
tubuhnya. Mendengar suara desis itu, Bapa Lao membuka ma-
ta. Dengan penuh minat ia memperhatikan permainan
pedang Saburo. Mata pendeta itu bersinar-sinar ka-
gum. Ketika Saburo berhenti memainkan pedangnya, Ba-
pa Lao bertepuk tangan.
"Sebuah permainan pedang yang hebat," katanya
memuji. "Permainan pedang di dalam arus air seperti itulah sesungguhnya yang
menjadi kebanggaan Yagyu.
Tak terbayangkan, engkau dapat menguasainya."
"Saya masih dalam tahap awal."
"Dengan kecepatan seperti itu, tak seorang pun
akan menduga bahwa engkau baru memulainya."
"Bapa terlalu memuji."
"Itulah yang sesungguhnya terjadi. Jangan terlalu
rendah hati."
Saburo kembali berlatih. Pedangnya bagai bayangan
perak menyambar-nyambar. Seluruh ototnya mene-
gang, ia mengerahkan seluruh kekuatan dalam diri-
nya. Saat matahari mulai naik ke puncak dedaunan, Sa-
buro maupun Bapa Lao naik ke tepi sungai. Mereka
duduk di atas rumput di bawah rumpun bambu. Sa-
buro bersila, ia membiarkan air menetes ke tanah dari seluruh tubuhnya.
Bapa Lao berkata, "Karena engkau sudah sembuh,
aku ingin mengatakan sesuatu padamu."
Saburo menoleh, "Soal apa?"
"Soal dendam serta pembalasan."
"Kenapa?"
"Tahukah dirimu kenapa engkau bisa menjadi pang-
lima perang Ashikaga?"
Saburo menoleh. Pertanyaan itu ia anggap aneh.
Tak biasanya pendeta Budha tersebut mengajukan
pertanyaan seperti itu.
"Apakah engkau mengetahui sebabnya?" Bapa Lao
mengulang bertanya.
"Karena kesetiaan saya pada Yang Mulia Ashikaga."
"Banyak orang setia padanya, tetapi mereka tak pernah menjadi panglima perang.
Bahkan untuk menjadi
pimpinan pasukan pun mereka tak mampu."
"Karena saya pandai bermain pedang."
"Itu pun keliru. Demikian banyak pemain pedang
yang hebat, namun mereka tetap sebagai pemain pe-
dang hingga akhir hayatnya."
"Saya tidak tahu."
"Kenapa tidak tahu?"
"Kurasa Bapa telah memiliki jawabannya."
"Karena engkau memiliki kematangan."
"Maksud Bapa?"
"Kecuali keberanian, kesetiaan, kepandaian berma-
in pedang, kau memiliki pikiran yang waras. Seorang panglima perang membutuhkan
pikiran waras untuk
menyerang atau bertahan. Bukankah begitu?"
"Bapa benar."
"Pikiran waras itulah yang sesungguhnya menjadi
pemandu seseorang dalam melangkah. Tanpa bantuan
pikiran waras, seseorang akan kehilangan kontrol diri, dan bisa menjadi gila."
Saburo diam. Ia tahu Bapa Lao ingin mengungkap-
kan sesuatu. Karena itu ia diam menunggu.
"Kemarahan, dendam, atau hasrat pembalasan den-
dam dapat merusak pikiran waras seseorang. Dia kehilangan kontrol, dan dikuasai
oleh hasrat meluap-luap untuk melakukan pembalasan. Keadaan seperti itu
sesungguhnya tidak menguntungkan, karena dapat men-
celakakan dirinya."
Saburo diam. "Bukankah ilmu pedang yang tertinggi adalah ilmu
menghindari perkelahian?"
Saburo kini menjawab, "Benar."
"Pertarungan tidak akan mendatangkan keuntung-
an, kecuali mempertebal kesombongan seseorang ka-
rena bisa meraih kemenangan."
"Kurasa Bapa ingin mengatakan sesuatu kepada-
ku." Bapa Lao tersenyum. "Memang benar."
"Kalau begitu katakan saja tanpa berbelit-belit."
"Aku ingin mempersiapkan dirimu agar engkau ti-
dak kaget."
"Aku tidak akan kaget."
"Ingat Ishida Mitsunari?"
Saburo mengangkat kepala karena kaget.
"Jangan mudah kaget," kata Bapa Lao datar.
"Bapa mengenalnya?"
"Ya."
"Di mana dia sekarang?"
"Di sekitar sini."
Saburo kaget lagi, tanpa sadar, ia meraih pedang-
nya. "Jangan mudah kaget dan jangan mudah terpan-
cing," kata Bapa Lao tanpa tekanan. "Aku ingin membicarakan tentang Ishida
Mitsunari."
"Tentang apa?"
"Tentang keinginannya menghapus dendam serta
kemarahan yang ada dalam dirinya. Semenjak ia eng-
kau kalahkan dan dia dibuang oleh Oda Nobunaga,
ada dendam kesumat untuk membunuhmu. Dia be-
ranggapan semua penderitaan yang ia alami adalah
akibat tindakanmu. Dendam itu demikian kuat sehing-ga melenyapkan pikiran
warasnya. Ia bergentayangan ke seluruh penjuru Owari untuk menemukan dirimu.
Sifatnya menjadi liar dan beringas. Bahkan beberapa orang yang tak bersalah
telah ia bunuh, semata-mata untuk melampiaskan hasrat pembalasan dendamnya."
Saburo diam mendengarkan.
"Pada suatu hari dia bertemu denganku dan Yoshi-
oka di atas bukit. Karena lapar dia kuberi ubi bakar
dan kami berbincang-bincang hingga larut malam. Aku bicara dengannya, persis
seperti aku berbicara denganmu saat ini. Kami membicarakan pikiran waras. Bah-
kan satu-satunya karunia paling berharga di dunia ini adalah pikiran waras. Bila
orang disuruh memilih kegi-laan dan pikiran waras, aku pastikan mereka akan
memilih pikiran waras. Bukankah begitu?"
Saburo menjawab pendek, "Ya."
"Tetapi seseorang memiliki pikiran waras harus me-
menuhi syarat-syarat tertentu. Dia harus punya kete-nangan jiwa. Tanpa kemampuan
mengontrol dirinya,
orang tak akan pernah memiliki kejernihan pikiran."
"Lalu kenapa dengan Ishida?"
"Sesudah bicara denganku, dia menyadari kekeli-
ruannya. Dia merasa malu terhadap dirinya sendiri, kenapa bisa berkhianat pada
Ashikaga."
"Lantas?"
"Dia ingin menebus semua kekeliruannya dengan
bertempur di pihakmu."
"Aku tidak percaya."
"Engkau harus percaya. Seseorang yang telah kehi-
langan kepercayaan harus dipulihkan jiwanya dengan memberinya kepercayaan
padanya. Tanpa itu, orang
tersebut akan mengalami kebimbangan dan bisa ber-
bahaya." "Maksud Bapa?"
"Terimalah dia di pihakmu."
"Semudah itu?"
"Ya. Itulah tanda kebesaran jiwa."
"Kalau aku menolak?"
"Dia akan mengejarmu terus sepanjang hidup un-
tuk melakukan pembalasan dendam."
"Kalau aku menerima?"
"Ada syaratnya."
"Apa?"
"Kau harus bertarung dengannya. Hanya sekali."
*** PERTARUNGAN PERDAMAIAN
LEMBAH Kriptomeria terletak di sebelah tenggara desa tempat Saburo diselamatkan.
Lembah tersebut tampak subur dengan pohon kriptomeria. Daunnya yang hijau
menaungi lembah tersebut sehingga dari jauh terlihat seperti kain sutera
direntangkan. Binatang-binatang berkeliaran dengan bebas; rusa, kelinci liar,
dan burung serta unggas liar. Keadaan tersebut memberikan kesan betapa Lembah
Kriptomeria merupakan tempat
yang nyaman untuk tempat tinggal.
Saburo berjalan mengikuti Bapa Lao tanpa membu-
ka suara. Ia melangkah mengikuti ke mana pendeta
tersebut menuju. Mereka menuruni lembah sambil
membungkam. Namun berbagai kecamuk pikiran meng-
gasak Saburo. Ia tak mengerti, kenapa dirinya seperti seekor kerbau yang dicocok
hidungnya. Tak ada hasrat melawan keinginan Bapa Lao. Padahal ia tahu keinginan
pendeta tersebut bisa berakhir dengan maut.
Pada mulanya, Saburo memikirkan hal itu disebab-
kan ia merasa berhutang nyawa dengan Bapa Lao. Te-
tapi sesudah ia renungkan, ternyata tidak. Ia cen-
derung memenuhi kemauan pendeta itu karena me-
reka satu pemikiran.
Bagaimanapun dendam harus dihapus dengan piki-
ran waras!
Shugyosa Samurai Pengembara 9 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mereka kini menuruni jalan setapak yang di sisi kanan dan kirinya ditumbuhi
rumput ilalang. Angin dari arah utara membuat ilalang berayun dengan
meninggalkan suara gemerisik. Dari jauh terlihat sebuah gubuk di bawah pohon
kriptomeria yang tinggi menju-
lang. Asap tipis terlihat keluar dari gubuk tersebut.
"Itu rumahnya," kata Bapa Lao datar. "Dia telah
tinggal di situ selama dua bulan untuk menunggu kedatanganmu."
"Bagaimana kalau saya tidak datang?"
"Dia akan terus menunggu."
"Kalau saya tetap tak datang?"
"Dia akan memenggal kepalaku."
"Kenapa?"
"Saya telah menjanjikan padanya untuk memba-
wamu dalam waktu enam bulan. Bila selama enam bu-
lan saya gagal membawamu, dia berhak memenggal
kepalaku."
"Padahal Bapa tidak pernah tahu di mana diriku
pada waktu itu."
"Ya..., tetapi itulah resiko yang harus kuhadapi. Untuk menyadarkan seseorang,
aku harus mempertaruh-
kan nyawaku sendiri. Tetapi jangan lupa, begitu banyak missionaris yang datang
ke negeri ini berakhir di tiang gantungan. Sama saja, bukan?"
Saburo diam. Memang benar, sejumlah missionaris
telah datang ke Jepang, tetapi banyak dari mereka tewas dalam pertentangan
dengan penguasa setempat.
Mengenang hal itu, diam-diam Saburo mengagumi Ba-
pa Lao. Dia telah mempertaruhkan kepalanya dalam
suatu permainan yang mengerikan. Saburo yakin,
Ishida Mitsunari tak akan bimbang sedikit pun untuk memenggal kepala Bapa Lao
bila janjinya tak terpenu-hi. Gubuk di lembah itu sangat sederhana. Seluruh
dindingnya terbuat dari bambu, sementara atapnya
dari jerami. Di depan rumahnya terdapat halaman luas yang dikelilingi pagar
bambu. Menilik dari tiang-tiang bambu yang berada di halaman itu, dapat
dipastikan selama ini Mitsunari tidak pernah berhenti melatih il-
mu pedangnya. Bambu-bambu itu terpangkas tajam,
pasti dalam sekali ayunan. Melihat dari tebasan itu, Saburo merinding, merasakan
kemungkinan ayunan
pedang tersebut menebas lehernya.
"Engkau tunggu di sini," kata Bapa Lao pada Sa-
buro. "Biar aku bicara dengannya."
Saburo berdiri di dekat pagar. Pandangannya mena-
tap pintu gubuk yang bergerak-gerak dihempas angin.
"Ishida!" teriak Bapa Lao. "Ini aku datang."
Tidak terdengar sahutan apa pun.
"Ishida! Aku datang bersama Saburo Mishima se-
perti janjiku padamu!"
Pintu tiba-tiba berderit terbuka. Dari dalam muncul Ishida Mitsunari melangkah
tertatih-tatih. Matanya menatap Saburo dengan liar, mulutnya menyungging-kan
senyum tipis yang kejam.
"Aku memenuhi janjiku," kata Bapa Lao tanpa te-
kanan. "Kubawa Saburo kemari untuk memenuhi tan-
tanganmu. Dia akan melawanmu agar terlampiaskan
seluruh dendammu. Tetapi seperti janjimu, kalau engkau kalah, engkau akan
mengabdi padanya."
"Itukah yang dikatakan dia padamu, Saburo?"
"Ya."
"Dan karena janjinya itukah engkau mau meme-
nuhi tantanganku?"
"Ya."
"Bagaimana kalau aku mengingkarinya?"
"Aku tidak peduli. Kedatanganku kemari untuk me-
menuhi janjiku pada Bapa Lao, jadi aku tak pernah
memikirkan apa engkau memenuhi janjimu atau ti-
dak." Ishida Mitsunari tersenyum tipis. Ia berjalan men-
dekati Saburo. Dari sinar matanya terlihat keper-
cayaan dirinya yang demikian besar untuk memenang-
kan pertarungan yang akan dilakukannya. Ia terlihat
meremehkan kekuatan Saburo.
"Sudah sangat lama, Saburo," kata Mitsunari penuh
tekanan. "Sejak kekalahanku aku selalu menantikan
saat seperti ini. Dalam tidurku, aku selalu memimpi-kan dirimu. Rupanya
keinginanku baru bisa terwujud melewati Bapa Lao. Kurasa tidak apa-apa. Buatku
sa-ma saja, toh akhirnya aku akan bisa memenggal le-
hermu." Saburo diam membeku.
"Apakah pertarungan akan segera dimulai?" Bapa
Lao bertanya. "Ya, kenapa tidak?" jawab Mitsunari.
"Apakah engkau sudah siap, Saburo?"
"Ya, saya siap."
"Kau siap, Ishida?"
"Saya siap."
"Pertarungan boleh kalian lakukan dengan cara
atau gaya apa pun sampai salah seorang di antara kalian menyerah. Bila seseorang
menyerah, pemenang
harus menghentikan serangan. Pertarungan harus di-
akhiri. Engkau setuju, Saburo?"
"Setuju."
"Kau, Ishida?"
"Setuju."
Bapa Lao berjalan ke pinggir halaman. Ia kemudian
duduk santai di pagar bambu.
Mitsunari dan Saburo sama-sama mempersiapkan
diri. Mereka melangkah berputar sambil mencabut pedang masing-masing. Mata
mereka menatap lurus ke
mata musuh. Sinar matahari memantul dari bilah pe-
dang yang berkilat berkilauan. Udara seakan membe-
ku, dipenuhi ketegangan yang bertubi-tubi.
Tiba-tiba dengan raungan yang menggetarkan, Mi-
tsunari mulai melancarkan serangan. Tebasan pedangnya menyambar leher Saburo.
Dengan gesit Saburo
menarik diri ke belakang, kemudian sambil berputar ia mengayunkan pedang ke arah
lengan musuh. Ishida
segera menangkis dengan penyangga kakinya.
Saburo terperanjat, ia tidak menduga penyangga
kaki itu dapat menjadi senjata ampuh lawannya.
"Kelihatannya kau kaget, Saburo."
Saburo hanya diam. Ia telah mempersiapkan diri
dengan serangan balasan. Saat-saat berikutnya terjadi pertarungan yang dahsyat.
Keduanya mengeluarkan
seluruh jurus serta kepandaiannya. Mereka bergerak seperti bayangan diiringi
desingan pedang serta gemerincing ketika pedang mereka beradu. Saburo mirip
seekor banteng yang melakukan serangan dengan se-
luruh kekuatan, sementara Ishida melayaninya dengan kekuatan yang tak
terbayangkan. Pedang, penyangga
kaki, dan besi penyambung kakinya bergerak sama cepat dan sama berbahayanya.
Saburo seakan mengha-
dapi tiga orang yang masing-masing menggunakan
senjata yang sangat berbahaya. Beberapa kali Saburo terdesak sehingga ia harus
menghindar dengan bergu-lingan di tanah.
"Luar biasa," desis Saburo sambil memasang kuda-
kuda. "Ilmu pedangmu maju demikian pesat."
"Aku melatihnya untuk menghadapimu."
"Aku tak menduganya."
Ishida tersenyum tipis, kemudian mulai merangsak
lagi. Saburo meloncat, tetapi sebelum kakinya menyentuh tanah, musuh telah
menikam dengan kaki bun-
tungnya. Saburo menggunakan kekuatan tangannya
untuk menangkis kaki itu, kemudian melenting ke
atap rumah. Tetapi seperti tak ingin memberi kesempatan pada lawan, Ishida
menebas tiang bambu pe-
nyangga atap itu. Seketika atap jerami tersebut miring, Saburo terjatuh, dan di
bawah Ishida telah mengha-dangnya dengan tebasan pedang ke arah dadanya. Sa-
buro hanya bisa menangkis, kemudian berlari meng-
hindar. Satu-satunya cara menghindari serangannya hanya dengan berlari, Ishida tidak
akan dapat mengejar karena kakinya pincang. Tetapi sampai kapan aku harus
bermain kucing-kucingan dengannya"
Angin serta debu bertebaran diterpa angin. Mata-
hari mulai merambat ke puncak kulminasi, namun
pertarungan itu terus terjadi. Baik Saburo maupun
Ishida kini telah basah kuyup. Baju mereka lengket karena keringat yang
mengalir. Wajah mereka jadi berkilauan. Tetapi semangat untuk bertempur masih
saja terus berkobar.
Bapa Lao sampai tertidur bersandar pagar bambu
karena tak dapat menahan kantuk.
Saburo menerjang dengan tikaman panjang, Ishida
berkelit ke kanan, kemudian tanpa diduga ia menikam dengan kakinya. Saburo
menjerit sambil mendekap pa-hanya. Kaki Ishida telah meninggalkan luka yang
cukup dalam. Bapa Lao kaget mendengar jeritan itu, ia membuka mata sesaat, lalu
tidur lagi. Udara yang panas, pada sore hari berubah menjadi
kelabu. Awan mendung berlapis-lapis melayang di atas Lembah Kriptomeria.
Kemudian disusul hujan lebat.
Bapa Lao kaget ketika seluruh tubuhnya telah basah kuyup, ia segera berlari
berteduh di gubuk Ishida.
Pertarungan itu telah terjadi sepanjang hari, namun kedua belah pihak belum ada
yang berniat menghenti-kannya. Ishida maupun Saburo telah basah kuyup,
sementara pandangan mereka terhalang tirai hujan
yang turun dengan deras. Sesekali halilintar mencam-buk langit.
"Hei, kalian mau istirahat atau tidak?" Bapa Lao
berteriak. "Hujan ini tidak baik untuk bertarung."
"Jangan ikut campur!" sergah Ishida lantang. "Aku
akan segera mengakhirinya."
"Bisakah?"
"Kenapa tidak?"
Selesai berkata begitu, Ishida menerjang Saburo dengan dua senjatanya sekaligus.
Tetapi Saburo segera menghindar ke belakang. Dalam kecepatan sepersekian detik,
Saburo tanpa sengaja melihat Ishida goyah karena kaki besinya menghunjam terlalu
dalam di tanah. Kenyataan itu tiba-tiba memberikan gagasan di benaknya. Meskipun
gagasan itu masih samar-samar,
namun Saburo tahu itulah gagasan paling baik untuk menghadapi Ishida.
Sambil sesekali menerjang, Saburo mencoba me-
mancing Ishida ke lereng bukit. Akibat hujan deras, tanah di sekitar tempat itu
menjadi lunak dan berlumpur. Ishida tidak menyadari sama sekali taktik Saburo
ini. Dengan bernafsu ia masih terus menyerang Saburo. Meskipun langkah kakinya
jadi terseok-seok, karena kaki besi dan penyangga kakinya terhunjam ke
tanah berlumpur, tetapi ia tak peduli. Laki-laki itu terus memburu Saburo.
Kini saatnya memberi dia pelajaran kedua.
Tanpa diduga, saat Ishida menerjang, Saburo kali
Selendang Mayat 2 Dewa Linglung 4 Mengganasnya Siluman Gila Guling Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 11