Api Di Bukit Menoreh 21
05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja Bagian 21
"He, kau akan membunuh aku sekarang?" bertanya prajurit muda itu.
Prajurit yang berada dipunggung kuda menggeram. Katanya, "Jika tidak sekarang, maka segera aku akan membunuhmu. Menyeretmu ketempat yang sepi, kemudian menguburmu tanpa diketahui orang lain."
Prajurit muda itu terlawa sedang yang dipunggung kuda berkata terus. "Sebenarnya bagiku tidak terlalu sulit untuk mencari siapakah yang berkhianat jika terjadi sesuatu atasku, aku dapat melaporkan kepada kawan-kawanku, jika terjadi sesuatu dengan aku atau salah seorang kawanku, maka kau akan menjadi sasaran pembalasan."
"Kau masih mengancam terus. Ketahuilah, bahwa aku tidak akan pernah takut akan ancaman yang bagaimanapun juga. Seandainya terpaksa aku harus berkelahi melawanmu, aku juga tidak takut. Jika kau ingin memfitnah aku, akupun mempunyai tangkisan yang kuat dari sudut pandangan yang manapun."
Prajurit diatas punggung kuda itupun kemudian menggeram, "Apakah sebenarnya yang kau kehendaki?"
"Nah, pertanyaan itulah yang seharusnya kita bicarakan."
"Aku sudah bertanya seperti itu tadi."
"Baiklah. Dengarlah. Kau adalah salah seorang pengikut dari mereka yang menyebut dirinya pewaris kerajaan Majapahit itu. Kau tentu ingin Agung Sedayu mati terbunuh." ia berhenti sejenak, lalu. "tetapi pesanku, jangan mendahului aku. Maksudku, serahkan saja kepadaku, akulah yang akan menentukan saat-saat kematian Agung Sedayu. Aku adalah orang yang paling mendendam kepada Agung Sedayu."
"Kenapa?" "Ia telah membunuh ayahku."
Praiurit diatas punggung kuda itu terkejut. Diluar sadarnya ia telah meloncat turun. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Siapa ayahmu itu, dan kenapa ia dibunuh oleh Agung Sedayu?"
Prajurit muda itu tertawa. Katanya, "Umurku tentu hampir sebaya dengan Agung Sedayu. Mungkin aku lebih tua satu dua tahun."
"Aku bertanya siapa ayahmu," potong prajurit itu.
"Ayahku adalah Kiai Sabungsanga yang juga dikenal dengan gelar Candramawa. Tetapi banyak orang yang mengenalnya dengan nama Ki Gede Telengan."
"Telengan," prajurit itupun berdesis, "jadi kau anak Telengan?"
"Ya. Aku adalah anak Telengan yang mewarisi segala ilmunya. Karena itu jangan mengancam lagi agar kau tidak mati terbakar oleh api yang menyala dari mataku," berkata prajurit muda itu.
Lawannya berbincang itupun menjadi tegang. Ia termangu-mangu ketika prajurit muda itu tertawa. Namun tiba-tiba ia membentak, "Jangan menakut-nakuti aku." Tetapi suaranya terdengar hambar dan ragu-ragu.
"Baiklah. Aku tidak menakut-nakutimu. Aku hanya minta, berilah aku kesempatan melepaskan dendam ayahku. Aku harus membunuh Agung Sedayu. Itulah sebabnya, aku menjadi prajurit meskipun yang paling rendah, sengaja untuk mencari kesempatan berada di Jati Anom. Akupun tahu segala persoalan tentang pewarisan Kerajaan Majapahit. Aku menyesal bahwa aku tidak ikut berada dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu saat itu."
"Siapa kau sebenarnya."
"Sudah aku katakan."
"Maksudku, siapa namamu sebenarnya."
Prajurit muda itu tersenyum. Jawabnya, "Panggil aku seperti kau menyebut namaku sehari-hari. Sabungsari. Itu memang namaku. Tetapi orang-orang dari perguruan Telengan menyebutku Ontang-anting, karena aku adalah anak tunggal Ki Gede Sabungsanga."
Prajurit yang telah turun dari kudanya itu menjadi berdebar-debar, namun ia masih ragu-ragu, apakah benar yang dihadapinya, itu anak muda yang mempunyai kemampuan melampui prajurit kebanyakan.
Agaknya anak muda yang bernama Sabungsari itu menyadari, bahwa prajurit itu masih tetap ragu-ragu. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berkata, "He, kau lihat kambing terikat dipohon jarak itu."
Prajurit itu ragu-ragu. Namun sebelum ia menyahut, maka ia melihat Sabungsari memusatkan inderanya memandang kambing yang terikat itu. Yang terdengar kambing itu memekik, kemudian jatuh terguling ditanah. Mati.
"Aku hanya bermain-main," berkata Sabungsari, "jika aku bersungguh-sungguh, maka kekuatanku melampaui kekuatan pandangan mata ayahku yang telah terbunuh oleh Agung Sedayu. Ada kekhilafan ayah pada waktu itu. Ayah melupakan landasan jasmaniahnya. Dilembah antara Gunung Merbabu dan Gunung Merapi ternyata tidak banyak terdapat kunir yang menjadi makanan pokok ayah dan aku sekarang ini."
Prajurit yang sudah turun dari kuda itu termangu-mangu. Ia melihat suatu kenyataan yang diluar jangkauan nalarnya. Yang terjadi adalah suatu yang menggetarkan dadanya.
Namun demikian prajurit itu berkata, "Aku tidak yakin bahwa yang aku lihat itu benar-benar seperti yang terjadi. Mungkin kau adalah seorang yang dapat mengelabui mataku, sehingga seolah-olah aku melihat kambing itu mati."
"Memang mungkin. Tetapi jika kau ingin meyakinkan, maka kaulah yang akan menjadi sasaran. Kau akan percaya sebelum nyawamu lepas dari tubuhmu."
Prajurit itu menjadi tegang. Wajahnya merah sekilas. Namun ia tidak berani berbuat apa-apa. Nampaknya anak muda itu benar-benar meyakini kata-katanya.
"Sekarang, pergilah. Katakan kepada kawan-kawanmu, jangan mengganggu Agung Sedayu. Membunuh Agung Sedayu bagi kalian adalah tugas yang besar. Tetapi bagiku selain tugas juga merupakan tanda bakti seorang anak laki-laki yang sudah diwarisi ilmu kenuragan oleh ayahnya. Aku yakin bahwa bagi kalian, siapapun yang membunuh tidak menjadi soal. Bahkan kalian telah minta tikus-tikus kecil dari Pesisir Endut itu untuk membunuhnya. Tetapi dua orang diantara mereka telah dibunuh oleh Pangeran Benawa yang lemah hati itu."
"Kau tahu segala-galanya."
"Aku berusaha untuk mengetahui dan aku mempunyai mata dan telinga yang berkeliaran meskipun aku disini."
"Tetapi, aku sama sekali tidak yakin akan kata-katamu bahwa kau mempunyai makanan pokok sebangsa empon-empon. Aku melihat setiap hari kau makan rangsum seperti kami. Nasi dengan segala lauk pauknya."
Sabungsari tertawa. Katanya, "Aku makan seperti kalian makan. Tetapi disamping itu aku makan sebangsa empon-empon, terutama jenis kunir. Aku juga makan jenis yang lain. Tetapi aku tidak pernah makan daun kangkung dan daun lumbu wungu."
Prajurit yang baru saja melapor itu termangu-mangu sejenak. Namun iapun tersentak ketika Sabungsari berkata, "Pergilah. Ingat-ingatlah kata-kataku Anggaplah aku akan membantumu daripada kau menunggu orang-orang Pasisir Endut atau orang-orang dari perguruan Carang Waja yang tidak berarti itu."
"Aku akan menyampaikan kepada Ki Pringgajaya."
Sabungsari tertawa. Katanya, "Pringgajaya memang harus diberi tahu. Hanya diberitahu, bukan minta ijin daripadanya. Juga Untara akan dengan mudah dapat aku bunuh, karena sebenarnya Untara tidak akan dapat mengimbangi kemampuan adiknya. Mungkin dalam ilmu keprajuritan Untara mempunyai pengetahuan yang lebih luas. Tetapi secara pribadi dalam olah kanuragan Agung Sedayu jelas lebih baik dari kakaknya."
Lawannya berbicara tidak menjawab lagi. Iapun kemudian meloncat kepunggung kudanya.
"Aku akan melaporkannya."
Sabungsari mundur selangkah. Kemudian sambil bertolak pinggang ia melihat prajurit yang sudah berada dipunggung kuda itu siap untuk berpacu.
"Aku juga akan pergi," berkata Sabungsari, "jika gembala yang mengikat kambing dipohon jarak itu datang dan melihat kambingnya mati, ia akan menangis meraung-raung. Aku tidak akan sampai hati melihatnya, karena aku adalah seseorang yang penuh dengan rasa iba dan belas kasihan."
Prajurit diatas punggung kuda itu tidak menyahut. Tiba-tiba saja ujung kendali kuda itu telah bergetar menyentuh tengkuk, sehingga kuda itu meloncat dan berlari kencang.
Prajurit muda itu tertawa. Ia sadar, bahwa prajurit berkuda itu merasa cemas, bahwa tiba-tiba saja ia telah menyerang dengan ilmunya yang aneh itu.
"Bertahun-tahun aku mempelajarinya," gumam Sabungsari, "sayang, aku harus melepas ayah pergi untuk selama-lamanya. Tetapi aku yakin bahwa ilmuku tidak kalah lagi dari ilmunya."
Prajurit berkuda itu menjadi semakin jauh. Sabungsari pun kemudian melangkah pergi. Ia pasti, bahwa prajurit itu dan kawan-kawannya, termasuk Pringgajaya tidak akan mengatakan kepada siapapun tentang dirinya. Dan iapun pasti, bahwa mereka akan bersenang hati jika ia berhasil membunuh Agung Sedayu.
"Dendam itu harus aku lepaskan." akhirnya ia menggeram.
Dalam pada itu, prajurit berkuda itupun telah memacu kudanya. Ia harus menemui kawan-kawannya ditempat yang sudah ditentukan. Dipinggir kali disebelah pategalan yang luas, di luar Kademangan Jati Anom.
"Aku bertemu dengan seseorang yang sama sekali tidak kita duga memiliki kemampuan setan," berkata prajurit itu.
Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Salah seorang dari mereka berkata, "Ceriterakan, apakah kau telah bertemu dengan Ki Pringgajayakan, apa yang telah terjadi setelah ia bertemu dengan Ki Pringgajaya.
"Ki Pringgajaya menganggap kita sangat bodoh dan telah melakukan kesalahan, justru karena aku datang ke barak disaat aku sedang bertugas. Tetapi kawan-kawan yang lain agaknya tidak menghiraukan. Ada saja yang pernah singgah sejenak di barak saat sedang meronda. Dan akupun berbuat seperti mereka itu. Namun, prajurit baru yang masih muda yang bernama Sabungsari itulah yang gila."
Prajurit itu menceriterakan apa yang dikehendaki, dan bagaimana ia telah membunuh seekor kambing.
"Kau tidak disihirnya ?"
"Tidak. Kambing itu benar-benar mati. Aku kira ia dapat membunuh seseorang dengan cara yang sama. Dan Agung Sedayu akan mati jika ia pada suatu saat bertempur dengan Sabungsari yang juga dipangil Ontang-anting."
"Kita akan menyampaikannya kepada Ki Pringgajaya."
"Ia tentu tidak akan berkeberatan," desis yang seorang.
Tetapi yang lain menggeleng. Katanya belum yakin.
Sejenak ketiga orang itu termangu-mangu. Nampaknya mereka sedang merenungi peristiwa yang baru saja disaksikan oleh salah seorang dari mereka.
Nanti malam, setelah tugas kita selesai dan digantikan oleh orang lain, kita akan berbicara dengan Ki Pringgajaya. Kita ingin tahu dengan pasti sikapnya, agar kita tidak salah langkah," berkata salah seorang dari mereka.
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Kemudian yang lain berkata, "Sekarang kita lanjutkan perjalanan kita. Kita masih harus memutari empat padukuhan lagi."
Ketiga orang itupun kemudian meneruskan tugas mereka meronda. Pada saatnya merekapun segera kembali ke induk pasukan peronda yang sedang bertugas, bertempat dibagian samping halaman rumah Ki Untara, disebelah sebuah gardu yang agak besar dihalaman itu, yang memang dibuat khusus setelah rumah itu dipergunakan oleh prajurit Pajang.
Tidak banyak yang mereka percakapkan selama mereka bertugas. Mereka tidak mengetahui dengan pasti, siapa sajakah yang mempunyai landasan berpijak sesuai dengan tugas mereka.
Menjelang malam, mereka mendapat kesempatan untuk beristirahat. Tetapi mereka masih harus kembali kehalaman rumah Ki Untara, karena mereka masih harus bertugas dimalam hari.
Dengan ijin pimpinan mereka, maka ketiga orang itupun meninggalkan halaman itu untuk menemui Ki Pringgajaya dibaraknya yang tidak terlalu jauh dari rumah Ki Uniara.
"Jangan terlalu lama. Menjelang tengah malam satu kelompok diantara kita akan nganglang. Saat itu kalian harus sudah berada di halaman ini kembali."
"Kami hanya sebentar Ki Lurah. Mandi kesungai, dan menghirup angin."
Demikian mereka keluar halaman, maka langkah mereka menjadi cepat. Mereka tidak mau kehilangan waktu agar mereka dapat berbicara agak panjang dengan Ki Pringgajaya.
"Masuklah kedalam barak. Jika kita bertiga bersama-sama, maka tentu akan menarik perhatian, karena kita bertiga bersama-sama sedang bertugas," berkata salah seorang dari mereka.
Karena itulah, maka yang kemudian masuk kedalam barak hanyalah seorang saja diantara mereka, sehingga kawan-kawannya yang melihat tidak menghiraukannya.
"Kami bertiga," berkata prajurit itu setelah ia bertemu dengan Ki Pringgajaya.
"Kalian memang gila, bodoh dan tidak mempunyai perhitungan."
"Hanya akulah yang masuk kedalam barak. Yang lain berada diluar, kami sudah mendapat ijin dari Ki Lurah yang bertugas saat ini untuk pergi ke sungai dan berjalan-jalan sebentar."
Ki Pringgajaya merenung sejenak. Kemudian katanya, "Pergilah. Aku akan menyusul kalian."
"Kami menunggu di pinggir kali, dibawah pohon sukun disudut pategalan itu," berkata prajurit yang datang menemuinya.
Demikianlah meka sejenak kemudian, Ki Pringgajaya dan ketiga orang prajurit yang menunggunya, telah duduk melingkar dibawah sebatang pohon sukun yang besar. Malam yang semakin gelap telah menyelubungi mereka, sehingga seakan-akan mereka telah menyatu dengan hitamnya kekelaman.
"Katakan, apa yang kau lihat."
Salah seorang dari ketiga prajurit itupun segera menceriterakan, bahwa mereka telah melihat Agung Sedayu bersama gurunya dan Ki Widura telah memasuki padepokannya kembali.
Pringgajaya mengangguk-angguk. Katanya, "Kita harus mengatur langkah-langkah selanjutnya."
"Tetapi masih ada persoalan yang harus dipertimbangkan," berkata prajurit itu pula.
"Semuanya harus dipertimbangkan sebaik baiknya."
"Maksudku, ada pihak ketiga yang ikut campur dengan persoalan Agung Sedayu."
"Siapa" " Pringgajaya menggeram.
Prajurit yang telah bertemu dengan Sabungsari itupun segera menceriterakan tentang prajurit muda itu.
"Sabungsari, prajurit muda yang baru diangkat itu?" bertanya Pringgajaya.
"Ya. Ternyata bahwa ia berada didalam lingkungan keprajuritan hanyalah sekedar dipakainya sebagai selubung. Ia mempunyai maksud tertentu dan tugas tersendiri."
Ki Pringgajaya mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Kita mempunyai masalah yang lebih luas dari sekedar membalas dendam. Sebenarnya yang penting bagi kita, tersingkirnya Agung Sedayu, siapapun yang melakukannya." Pringgajaya berhenti sejenak, lalu. "tetapi sudah barang tentu. Agung Sedayu bukannya tujuan dari perjuangan kita. Ia hanya salah satu unsur yang harus disingkirkan. Agung Sedayu, Kiai Gringsing dan sudah barang tentu orang-orang yang menurut perhitungan akan menguntungkan Mataram. Pada suatu saat, kitapun harus menyapu kekuatan Sangkal Putung."
Ketiga orang prajurit yang mendengarkannya hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi ia melihat perbedaan kepentingan antara Ki Pringgajaya dengan prajurit muda yang bernama Sabungsari itu.
"Karena itu," berkata Pringgajaya selanjutnya, "jika memang Sabungsari ingin melakukan balas dendam itu, biarlah ia melakukan. Tugas kita adalah melanjutkan apa yang telah dilakukannya. Kiai Gringsing itupun akan dapat membahayakan kedudukan kita. Bahkan jika perlu Widurapun harus kita singkirkan, jika kita mendapat bukti bahwa ia akan condong kepada Mataram. Untuk menghancurkan Sangkal Putung, kita harus membuat perhitungan tersendiri, karena Sangkal Putungpun mempunyai pengawal yang kuat, yang dapat digerakkan setiap saat, sementara Swandaru selalu berada didalam lingkungan mereka."
Prajurit itu mengangguk-angguk. Sementara Ki Pringgajaya meneruskan, "Jika kita berhasil membunuh mereka dan melumpuhkan Sangkal Putung dengan alasan apapun, maka kita sudah mengurangi kekuatan Mataram. Karena itu, jalan ke Mataram menjadi semakin luas."
Ketiga prajurit itu hanya mengangguk-angguk saja. Ternyata bagi Pringgajaya, Sabungsari justru akan dapat memberikan sumbangan pada tugasnya, seperti yang dikatakan oleh Sabungsari sendiri.
Dalam pada itu Pringgajayapun meneruskan, "karena itu, jangan berbuat apa-apa atas Sabungsari. Kau hanya perlu mengawasinya. Apapun yang dilakukan, biarlah menjadi tanggung jawabnya. Kita masih harus mempersiapkan banyak tugas. Kita yakin bahwa pada suatu saat Pajang dan Mataram tentu akan lenyap bersama. Kitalah yang akan segera berkuasa. Mungkin kakang Panji masih harus mengadakan penertiban kedalam. Orang-orang yang hanya bernafsu untuk mendapatkan upah dan kalenggahan akan disapu bersih seperti Pajang dan Mataram itu sendiri. Oleh karena itu, siapkan diri kalian dalam pengabdian."
Ketiga prajurit itu mengangguk-angguk.
"Sekarang kembalilah. Kita akan segera mendengar berita, apakah Agung Sedayu atau justru Sabungsari yang terbunuh. Bagi kita tidak banyak bedanya. Isi padepokan kecil itu pada suatu hari harus bersih. Untara harus mendapat kesan bahwa kematian adiknya adalah karena kesalahan dan tanggung jawab Mataram yang telah melibatkan anak muda itu kedalam suatu persoalan diluar kepentingannya."
Ketiga prajurit itupun kemudian minta diri untuk kembali ke halaman rumah Agung Sedayu. Mereka masih harus bertugas semalam lagi. Besok mereka mendapat istirahat sehari penuh.
Sementara itu. Agung Sedayu yang telah berada dipadepokannya kembali, rasa-rasanya tidak sabar lagi menunggu besok atau lusa. Bersama anak muda yang menunggui padepokannya, iapun pergi kesawah untuk melihat tamannya yang sudah agak lama ditinggalkannya. Ada semacam kerinduan yang menggeliliknya untuk segera dapat berada di tengah tengah sawah dan ladangnya kembali.
"Aku ikut," minta Glagah Putih.
"Besok sajalah," berkata Agung Sedayu, "aku hanya ingin melihatnya sejenak. Mungkin dimalam hari, air parit itu akan mengalir lebih banyak dibandingkan dengan siang hari, karena dibagian lain tidak banyak dipergunakan orang."
Tetapi Glagah Pulih tetap memaksa untuk ikut serta. Karena itu maka Agung Sedayu tidak dapat menolaknya. Katanya, "Mintalah ijin kepada ayahmu."
Buku 118 "AYAH tentu memperbolehkan jika kakang tidak berkeberatan."
"Aku tidak berkeberatan jika paman Widura mengijinkan."
"Itu namanya berputar-putar," Glagah Putih bersungut-sungut, "tetapi aku akan ikut kakang melihat sawah dan pategalan."
"Hanya sawah diujung lorong itu," potong Agung Sedayu.
"Ya. Sawah diujung lorong."
Glagah Putih tetap pada pendiriannya. Agaknya Ki Widura memang tidak melarangnya, sehingga Glagah Putihpun kemudian ikut bersama dengan Agung Sedayu dan seorang anak muda penunggu padepokannya.
Sudah agak lama Agung Sedayu meninggalkan sawah dan ladangnya. Tetapi nampaknya anak-anak muda yang ditinggalkannya adalah anak-anak muda yang rajin. Ternyata bahwa sawah dan ladang mereka nampak terpelihara rapi, seperti halaman dan kebun padepokannya yang nampak bersih dan terawat.
Udara yang segar rasa-rasanya seakan-akan menyusup lubang kulit sampai ketulang sungsum. Daun padi yang subur disentuh angin malam, bagaikan ombak lembut yang mengalir dari ujung sampai keujung bulak yang tidak terlalu panjang.
"Kau tidak lelah Agung Sedayu," bertanya kawannya yang mengikutinya kesawah.
"Aku sudah cukup lama beristirahat. Sore tadi aku sempat berbaring sebentar sebelum mandi," jawab Agung Sedayu.
"Aku sama sekali tidak lelah," berkata Glagah Putih, "bukankah aku tinggal duduk saja" Kudanyalah yang mungkin lelah."
Agung Sedayu menepuk bahu adik sepupunya. Sambil tersenyum ia berkata, "Kudanyapun tidak lelah. Kuda terbiasa menempuh jarak yang jauh."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Apakah manusia tidak dapat berlatih berjalan seperti seekor kuda" Cepat dan jauh?"
Agung Sedayu tertawa. Jawabnya, "Perbedaan itu sudah ada pada kodratnya. Yang dapat dilakukan oleh manusia adalah berusaha untuk meningkatkan segala yang ada padanya menurut batas yang memang sudah tidak akan dapat dilampauinya lagi. Karena itu, yang dapat kita capai dengan segala macam latihan dan penemuan diri adalah memanfaatkan yang ada pada kita setinggi-tingginya. Bukan saja kemampuan jasmaniah, tetapi yang terutama justru akal budi. Dengan akal kita mampu menimbuni segala macam kekurangan dan kelemahan. Tenaga manusia wajarnya jauh dibawah tenaga seekor lembu jantan. Tetapi justru manusia dapat memanfaatkan lembu bagi keuntungannya. Manusia dapat mempergunakan akalnya dalam banyak segi perbedaan. Tetapi manusia juga dikendalikan oleh budinya. Akal yang terlepas dari kendali budinya, justru akan sangat berbahaya bagi manusia itu sendiri."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ia mencoba untuk mengerti kata-kata Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu menepuk bahunya sambil berkata, "Jangan risaukan. Pada saatnya kau akan mengerti."
"Aku sudah mengerti," jawab Glagah Putih.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, "Jika demikian kau memang cerdas. Aku memerlukan waktu untuk memikirkan nasehat itu. Tetapi agaknya kau dapat langsung menangkap maksudnya."
Glagah Putih mengangguk. Katanya, "Tidak sulit."
Agung Sedayu tertawa. Katanya, "Baiklah. Kita sekarang sudah sampai diujung lorong. Didepan kita adalah sawah kita yang terakhir kita buka, namun nampaknya air didaerah inipun cukup banyak."
"Tidak ada bedanya dengan kotak-kotak sawah yang lain," jawab anak muda yang memelihara sawah dan padepokan Agung Sedayu.
Agung Sedayupun kemudian berjalan menyusuri pematang diantara tanaman yang hijau subur disawahnya. Rasa-rasanya ia telah menemukan ketenangan dan ketenteraman setelah beberapa saat lamanya ia dibayangi oleh kegelisahan dendam orang orang lain terhadapnya. Dendam karena peristiwa-peristiwa yang susul menyusul diluar kehendaknya.
Ternyata Glagah Putihpun senang berada disawah yang terbentang luas. Kunang-kunang yang tidak terhitung jumlahnya berterbangan dari daun kedaun. Sementara bunyi bilalang berderik-derik memecah sepinya malam.
Namun dalam pada itu, ketenangan Agung Sedayupun segera terganggu ketika ia melihat bayangan seseorang dilorong yang melintasi daerah persawahan itu. Bahkan bayangan itupun kemudian berhenti tidak terlalu jauh diujung pematang.
Glagah Putihpun melihat bayangan dikeremangan malam itu. Karena itu maka iapun berdesis, "Siapakah orang itu kakang?"
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja hatinya menjadi berdebar-debar. Apakah di padukuhan terpencil itu ia masih saja selalu dibayangi oleh dendam dan kebencian"
Tetapi Agung Sedayu tidak dapat membiarkan orang itu berdiri saja mematung tanpa menyapanya. Bahkan kemudian katanya didalam hati, "Mungkin justru akulah yang terlalu berprasangka."
Agung Sedayupun kemudian melangkah dipematang mendekati orang yang berdiri tegak itu. Beberapa langkah lagi daripadanya, ia mendengar orang itu berdesis, "Apakah aku berhadapan dengan Agung Sedayu?"
Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar.
Jawabnya, "Ya, aku Agung Sedayu."
Orang itu tertawa kecil. Katanya, "Sokurlah. Sebenarnya aku ingin menjumpai kepintu gerbangmu, aku melihat kau keluar dan menyusuri jalan ini. Aku ikuti saja kau dari kejauhan. Dan sekarang aku sudah bertemu denganmu."
Agung Sedayu menjadi semakin ragu-ragu. Tetapi ia melangkah mendekatinya sambil bertanya, "Apakah kau mempunyai suatu kepentingan?"
Orang itu tertawa. Jawabnya, "sebenarnya tidak. Aku hanya tahu bahwa kau adalah adik kakang Untara."
"Ya. Aku adalah adik kakang Untara. Siapa kau?"
"Namaku Sabungsari. Aku adalah seorang prajurit. Aku belum lama mendapat tugas di Jati Anom."
"O," Agung Sedayu mengangguk-angguk.
"Ternyata aku tidak begitu sesuai menjadi jemu berada didalam barak. Setiap hari aku bergaul dengan orang-orang yang sama dan melakukan pekerjaan yang serupa saja."
Agung Sedayu masih mengangguk-angguk.
"Aku ingin mengenal dan bergaul dengan orang yang berbeda. Aku tahu bahwa kau baru saja kembali dari Sangkal Putung. Karena itu aku sengaja datang kepadepokanmu. Sebenarnyalah aku tidak mempunyai kepentingan apapun selain mencari suasana baru. Aku benar-benar sudah jemu berada di dalam barak."
Agung Sedayu termangu-mangu. Ia tidak segera menjawab. Dicobanya untuk mengerti maksud yang sebenarnya dari prajurit muda yang menyebut dirinya bernama Sabungsari itu.
Dalam pada itu. Glagah Putih telah mendekatinya pula sambil bertanya, "Apakah kau termasuk anak buah kakang Untara?"
"Ya. Aku adalah anak buah Ki Untara," jawab Sabungsari, "tetapi siapakah kau?"
"Glagah Putih. Aku adalah saudara sepupu kakang Agung Sedayu."
"Kalau begitu kau juga sepupu dengan Ki Untara."
"Ya." Sabungsari mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Aku ingin mendapat kesempatan untuk datang kepadepokanmu."
"Datanglah," jawab Agung Sedayu, "Sudah tentu aku tidak berkeberatan."
"Terima kasih," desis Sabungsari, "besok, jika aku mendapat hari istirahat setelah bertugas, aku datang kepadepokanmu. Aku ingin mendapat tempat untuk menemukan suasana yang lain dari pada sebuah barak prajurit."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tanpa prasangka apapun ia berkata, "Aku menunggu. Aku senang jika kau sudi datang kepadepokan kecil itu."
Sabungsari tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "sekarang aku minta diri. Aku tidak banyak mempunyai kesempatan malam ini. Sebentar lagi aku akan bertugas nganglang di Kademangan Jati Anom dan sekitarnya."
Agung Sedayu melangkah semakin dekat terasa dadanya berdebar-debar ketika ia melihat dalam kegelapan sekilas mata anak muda itu bagaikan bercahaya.
Tetapi Sabungsari tetap tersenyum. Tidak ada tanda-tanda niatnya yang kurang baik, sehingga Agung Sedayupun kemudian berkata, "Baiklah. Datanglah kapan saja kau kehendaki."
Sabungsaripun kemudian minta diri. Ia akan datang disiang hari kepadepokan Agung Sedayu.
"Mungkin aku datang bersama satu dua orang kawanku," berkata Sabungsari ketika ia melangkah pergi.
"Datanglah," sahut Agung Sedayu, "aku senang menerima mereka."
Kepergian Sabungsari meninggalkan kegembiraan dihati Agung Sedayu. Ia merasa akan mendapat kawan-kawan baru dari lingkungan keprajuritan yang umurnya tidak terpaut banyak daripadanya.
"Apakah ia benar-benar akan datang?" bertanya Glagah Putih.
"Aku kira ia benar-benar akan datang."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia sama sekali tidak memikirkannya lagi. Bahkan iapun kemudian turun kedalam parit sambil mengayunkan cangkulnya, membuka pintu pematang untuk mengalirkan air kedalam sawah seperti yang sering dilakukan sebelumnya.
Agung Sedayu memandanginya saja sambil mengangguk-angguk. Glagah Putih termasuk seorang anak muda yang rajin, tetapi juga berkemauan keras.
Dalam pada itu, selagi anak-anak muda bekerja disawah, maka dipadepokan kecil itu Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Ki Widura sedang berbincang mengenai keadaan terakhir yang dialami oleh Agung Sedayu. Solah-olah Agung Sedayu telah menjadi pusat kisaran peristiwa yang menyangkut masalah Mataram dalam hubungannya dengan Pajang dan orang-orang yang menyebut dirinya pewaris Kerajaan Agung Majapahit.
"Aku kira tidak begitu Kiai," berkata Widura kemudian, "kita mungkin menganggap demikian karena kita dekat dengan Agung Sedayu. Kita tidak tahu pasti, peristiwa-peristiwa apa yang menyangkut Raden Sutawijaya, yang menyangkut Sultan Pajang sendiri dan mungkin orang-orang lain yang tidak kita kenal. Mungkin mereka mengalami persoalan-persoalan yang serupa dengan Agung Sedayu atau justru lebih parah lagi. Bahkan mungkin satu dua orang telah jatuh menjadi korban."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Mungkin demikian. Tetapi bagaimanapun juga, kita tidak akan dapat membiarkan kesulitan itu dialami oleh Agung Sedayu meskipun seandainya orang-orang lainpun mengalaminya."
Ki Waskita justru tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Sudah tentu Kiai. Dan kita akan bersama-sama berusaha."
Kiai Gringsing memandang Ki Waskita sejenak. Lalu katanya, "Aku justru khawatir bahwa pada suatu saat, Agung Sedayu tidak dapat mengelak lagi dari kesulitan yang menerkamnya. Mungkin dari depan dengan beradu dada. Tetapi mungkin dari belakang langsung menghantam punggung."
Ki Waskita dan Ki Widura mengetahui yang dimaksud oleh orang tua itu. Sebagai seorang guru maka kekhawatirannya itu dapat dimengerti.
Apalagi ketika Kiai Gringsing berkata, "Ketika terakhir kali ia mengalami serangan dari saudara tua orang-orang Pasisir Endut itu, sebenarnyalah ia telah mengalami kesulitan. Carang Waja telah mempergunakan ilmu yang langsung menyerang perasaan Agung Sedayu, sehingga seolah-olah keseimbangannya telah terganggu dengan goncangan-goncangan bumi."
Ki Widura mengangguk-angguk. Jawabnya, "Ia telah berhasil membebaskan diri dari pengaruh sirep. Tetapi pengaruh yang lain dari kekuatan Carang Waja, hampir saja mencelakainya. Untunglah, bahwa ia langsung menusuk sumber pancaran ilmu itu dengan rabaan pandangan matanya yang mempunyai nilai raba wadag itu."
"Itulah sebabnya," berkata Kiai Gringsing, "aku mulai memikirkan kelanjutan ilmu bagi Agung Sedayu. Ia sudah menemukan sendiri betapa besarnya kekuatan yang dapat dipancarkan dari pemusatan indera lewat tatapan matanya. Namun agaknya sudah sampai pula waktunya ia memiliki dasar-dasar ilmu yang langsung dapat mempengaruhi perasaan orang lain lewat getaran indera yang tidak kasat mata, disamping ilmu-ilmu kanuragan yang telah dimilikinya. Ia sudah waktunya mengetahui bagaimana seseorang dapat melepaskan ilmu sirep, ilmu gendam dan ilmu yang akan dapat menjadi perisai dari pengaruh ilmu semacam itu pula, meskipun sekedar bersifat melindungi diri sendiri.. Bukan sebagai alat untuk menyerang."
Ki Waskita dan Ki Widura mengangguk-angguk.
Mereka mengakui bahwa meskipun Agung Sedayu memiliki kemampuan yang tinggi dalam olah kanuragan, tetapi jika ia masih dapat ditembus oleh kegelisahan karena sentuhan langsung pada perasaannya dengan peristiwa-peristiwa semu. maka Agung Sedayu masih memiliki kelemahan yang dapat berakibat gawat bagi dirinya. Ilmu yang dimiliki oleh Ki Waskita, dengan ujud-ujud semu masih akan dapat memberikan pengaruh bagi ketahanan perasaan Agung Sedayu meskipun ia menyadari keadaan sepenuhnya, karena ia masih belum dapat dengan pasti membedakan, yang manakah yang sebenarnya dihadapinya, dan yang manakah yang sebenarnya hanya sekedar ujud semu. Iapun masih dibingungkan oleh peristiwa semu yang seolah-olah bumi telah berguncang dan langit akan runtuh oleh getaran suara tertawa dan teriakan. Mungkin rasa-rasanya telinganya akan pecah dan dadanya retak mendengar ilmu yang disebut Gelap Ngampar atau Gelap Sayuta, yang sebenarnya tidak ada yang akan berpengaruh bagi wadagnya.
Tetapi setiap orang akan dapat melihat, bahwa pengaruh perasaan bagi seseorang, mempunyai akibat yang tidak kalah dahsyatnya dengan pengaruh pada wadagnya. Kelumpuhan wadag sebagian dapat terjadi karena kelumpuhan perasaan. Dan mereka yang kehilangan pegangan justru akan menjadi korban yang pahit dari peristiwa-peristiwa yang sebenarnya tidak terlalu sulit untuk diatasi.
"Ki Waskita," berkata Kiai Gringsing, "aku adalah guru Agung Sedayu dalam olah kanuragan. Aku dapat mengajarinya mempergunakan cambuk sebaik-baiknya. Aku juga dapat mengajarinya ilmu pedang dan senjata-senjata yang lain disamping senjata yang khusus. Aku dapat menuntunnya mempergunakan tenaga cadangan dengan dasar penyaluran nafas dan pemusatan Indera serta membulatkan tekad dalam kedudukannya sebagai kesatuan alam kecil didalam keutuhan alam semesta. Namun aku tidak dapat meletakkan dasar-dasar ilmu yang mengutamakan sentuhan-sentuhan pada perasaan seseorang secara khusus dan mendalam, meskipun sebagai pribadi aku dapat berlindung dibalik kesadaranku menghadapi segalanya itu."
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia merasakan pula segi kelemahan pada diri Agung Sedayu seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing. Saat-saat ia menghadapi Panembahan Agung, dan Agung Sedayu sendiri menghadapi Ki Gede Telengan dan terakhir adalah Carang Waja, maka nampak sekali keuletan yang dapat membahayakan dirinya. Untunglah bahwa Agung Sedayu memiliki unsur sentuhan wadag pada tatapan matanya. Namun pada suatu saat ia akan dapat dibingungkan oleh kelemahan pada perasaannya menghadapi bayangan-bayangan semu dan peristiwa-peristiwa semu.
Sebelum Kiai Gringsing mengatakan sesuatu kepadanya, maka sudah terasa pada Ki Waskita, bahwa Kiai Gringsing menginginkan. untuk memberikan warna pada kemampuan Agung Sedayu, pada segi yang agak berbeda dari ilmu yang sudah diberikan oleh Kiai Gringsing kepada anak muda itu.
Namun demikian, terkilas di hati Ki Waskita, bagaimanakah murid Kiai Gringsing yang seorang lagi. Jika ia hanya memberikan pengetahuan itu kepada salah satu dari murid Kiai Gringsing, apakah itu dapat disebut adil.
Meskipun demikian. Ki Waskita tidak bertanya sesuatu. Apalagi Kiai Gringsing masih belum mengatakan kepadanya. Sehingga karena itu maka merekapun terdiam untuk beberapa saat.
Namun ternyata bahwa Kiai Gringsing memang tidak mengatakannya. Kiai Gringsing tidak menyerahkan muridnya untuk mendapatkan petunjuk dari Ki Waskita.
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Agaknya adalah suatu kebijaksanaan yang telah ditempuh oleh Kiai Gringsing. Jika ia menyerahkan Agung Sedayu kepadanya, maka iapun harus berbuat sama terhadap Swandaru, karena kedua-duanya adalah muridnya yang dibinanya bersama.
Tetapi agaknya Kiai Gringsing telah diganggu oleh sikap dan tingkah laku Swandaru pada saat-saat terakhir, sehingga ia kurang berani untuk mempertanggung jawabkan akibat dari kemampuan yang sangat tinggi pada muridnya yang seorang itu.
Ki Waskita sendiri ternyata telah melihat bayangan yang buram pada anak muda yang gemuk itu dihari kemudian. Meskipun ia juga melihat mendung dihari depan Agung Sedayu, namun arena yang sama-sama kelabu itu mempunyai jiwa yang berbeda.
Apalagi menilik perkembangan ilmu dari kedua murid Kiai Gringsing itupun nampak berbeda pula. Swandaru lebih banyak memperkembangkan kemampuan jasmaniahnya meskipun ia juga menelusuri tenaga cadangannya serta mempelajari ilmu pernafasan sebagai alas menyalurkan segenap kekuatannya. Namun dalam pada itu. Agung Sedayu lebih banyak melihat unsur-unsur kekuatan yang termuat didalam dirinya dalam hubungannya sebagai kesatuan dengan alam yang besar. Dengan matanya Agung Sedayu sudah berhasil menembus kesatuan tempat, sehingga tatapan matanya itupun mempunyai sentuhan wadag. Sementara itu cara Agung Sedayu mesu diri, menukik kedalam inti dari kekuatan yang tersimpan didalam dirinya yang bahkan hampir saja menenggelamkan dirinya kedalam kesulitan jasmaniah.
Karena itu, didalam wawasan Ki Waskita, Agung Sedayu akan lebih mudah mempelajari ilmu seperti yang dimaksud gurunya, yang kebetulan sebagian ada padanya. Meskipun ilmu itu tidak banyak berarti bagi mereka yang memiliki kemantapan kepercayaan kepada diri sendiri dan ketahanan jasmaniah yang tinggi. Namun ilmu itu pada waktunya akan dapat berguna pula untuk menghadapi saat-saat yang khusus, seperti yang pernah dialami oleh Agung Sedayu. Carang Waja adalah salah seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga ia seakan-akan dapat mengguncang bumi dan menghancurkan isi dada.
Tetapi Kiai Gringsing tidak berkata kepadanya tentang muridnya. Itu adalah pertanda bahwa Kiai Gringsing tidak bertindak sesuatu bagi ilmu murid-muridnya.
Namun Ki Waskita dapat menangkap hubungan peristiwa yang diharapkan terjadi oleh Kiai Gringsing. Ki Waskitalah yang sebaiknya atas kehendak sendiri memberikan petunjuk kepada Agung Sedayu. Dengan demikian, tidak ada kewajiban Ki Waskita untuk bertindak adil bagi kedua murid Kiai Gringsing, sedangkan Kiai Gringsing-pun tidak pula harus memberikan kemungkinan yang sama bagi kedua muridnya, karena yang terjadi adalah diluar permintaannya.
Ki Widura yang duduk merenungi pembicaraan mereka yang seolah-olah terputus itupun mengerti pula. Karena itu, maka ia sama sekali tidak menyambung pembicaraan itu. Ia lebih baik berdiam diri sambil menunggu, apakah yang akan dibicarakan oleh Ki Waskita dan Kiai Gringsing selanjutnya.
Ketiganya saling berdiam diri sampai malam menjadi semakin larut. Nampaknya mereka masing-masing telah terlibat kedalam persoalan dihati sendiri, sehingga mereka melupakan bahwa mereka duduk bersama.
Baru ketika mereka mendengar seorang penghuni padepokan itu berjalan melintas. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam.
"Malam telah larut," katanya.
Ki Waskita mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Agung Sedayu belum kembali."
Ki Widura mengerutkan keningnya. Agung Sedayu pergi bersama Glagah Putih. Bagaimanapun juga ia tidak dapat melepaskan dari kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi atas Agung Sedayu dan anaknya seperti yang telah terjadi di Sangkal Putung.
Tetapi mereka tidak perlu menunggu terlalu lama, karena sebentar kemudian Agung Sedayupun telah datang bersama Glagah Putih dan seorang kawannya, anak muda yang ikut menghuni padepokan itu.
Agung Sedayupun untuk beberapa saat ikut pula duduk bersama orang-orang tua itu. sementara Glagah Putih yang sudah mengantuk segera pergi ke pembaringan setelah mencuci kakinya.
Namun pembicaraan berikutnya tidak berlangsung terlalu lama. Merekapun segera meninggalkan ruangan itu kembali kedalam bilik masing-masing untuk beristirahat.
Ketika matahari kemudian bangkit dihari berikutnya, terasa pagi yang cerah itu memberikan kesegaran lahir dan batin. Rasa-rasanya padepokan kecil itu merupakan dunia tersendiri yang penuh ketenangan dan kedamaian. Tidak ada persoalan yang menegangkan. Nampaknya semua yang diam dan yang bergerak bersama-sama menikmati lahirnya hari baru.
Yang ada kemudian adalah kerja yang menyenangkan dipadepokan kecil itu. Suara sapu lidi dan senggot timba, seolah-olah telah membangunkan irama hidup yang segar dan tenang.
Agung Sedayu terkejut ketika dipagi hari itu, seorang anak muda muncul diregol padepokannya. Yang nampak pertama-tama diwajahnya adalah senyum yang cerah, secerah pagi itu.
"Apakah kau lupa kepadaku Agung Sedayu?" bertanya anak muda itu.
Agung Sedayupun tersenyum. Jawabnya, "Meskipun aku bertemu denganmu dimalam hari, tetapi aku tidak lupa. Kaulah yang semalam datang kesawah."
Anak muda itu tertawa. Katanya, "Aku memenuhi kata-katamu. Aku ingin mendapatkan suasana baru. Apakah kau keberatan."
"Sudah aku katakan Sabungsari," jawab Agung Sedayu, "aku senang kau datang. Silahkan. Aku akan mencuci tangan lebih dahulu."
"Jangan kau tinggalkan pekerjaanmu," potong Sabungsari.
Agung Sedayu yang sudah melangkah kepakiwan tertegun. Sementara Sabungsari berkata seterusnya, "Teruskan. Kau tinggal menyelesaikan sedikit lagi. Halaman padepokan ini akan nampak bersih dan gilar-gilar."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian sambil tersenyum ia barkata, "Sebaiknya aku menipersilahkan tamuku duduk dahulu."
"Tidak. Aku bukan tamu. Aku adalah kawan bermain. Anggap saja demikian. Kedatanganku memang tanpa keperluan apapun. Aku datang untuk mencari kesegaran. Jika kau menerima aku seperti kau menerima seorang tamu, maka aku akan jatuh lagi kedalam suasana yang kaku," sahut Sabungsari.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Jika demikian, terserahlah kepadamu. Aku akan menyelesaikan kerjaku. Duduklah lebih dahulu dipendapa."
"Tidak dipendapa. Aku akan duduk disini," jawab Sabungsari sambil duduk di babatur dinding halaman.
"Terserahlah," jawab Agung Sedayu, "jika kau ingin demikian, maka silahkan melihat-lihat padepokan kecilku ini."
Sabungsaripun mengangguk-angguk sambil menjawab, "Terima kasih. Selesaikan kerjamu lebih dahulu."
Sementara Agung Sedayu melanjutkan menyapu sudut halaman yang tersisa, maka Glagah Putih yang melihat kedatangan Sabungsaripun mendekat pula sambil berkata, "Tentu Ki Sanak yang datang semalam."
Sabungsari tersenyum. Jawabnya, "Tepat. Ternyata kau adalah anak muda yang cermat. Kau mengenal aku didalam gelap malam."
"Apa sulitnya?" bertanya Glagah Putih, "kau semalam juga memakai pakaian yang kau pakai sekarang."
Sabungsari tertawa, sementara Agung Sedayu berdesis, "Sst, kenapa kau sebut juga tentang pakaian?"
"Menarik sekali," berkata Sabungsari sambil tertawa, "adik sepupumu memiliki pengamatan yang luar biasa Agung Sedayu."
Agung Sedayupun tertawa juga, sementara Glagah Putih berkata, "Ah. jangan memuji. Aku menjadi malu sekali, seolah-olah aku benar-benar memiliki kelebihan."
"Kau memang mempunyai banyak kelebihan," sahut Sabungsari.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sambil mendekati Agung Sedayu ia berkata, "Kakang berikan sapu itu kepadaku. Biarlah aku yang menyelesaikan sudut yang sedikit itu."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak, namun kemudian diberikannya sapu itu kepada Glagah Putih sambil berkata, "Baiklah Glagah Putih. Selesaikan sudut yang tersisa itu."
"Tetapi aku tidak telaten menyapu halaman seperti kakang Agung Sedayu. Tanpa tapak kaki. Aku menyapu dengan cara yang biasa. Tidak mundur seperti undur-undur."
Sabungsari tertatik kepada kata-kata Glagah Putih itu. Tiba-tiba saja ia memperhatikan bekas sapu lidi Agung Sedayu. Katanya, "Luar biasa. Kau menyapu seluruh halaman ini tanpa telapak kaki. Aku tidak begitu memperhatikan. Jika Glagah Putih tidak mengatakan, aku tidak melihat perbedaan cara Agung Sedayu menyapu halaman ini."
Agung Sedayu tertawa. Katanya, "Aku hanya sekedar bergurau dengan diriku sendiri."
"Nampaknya demikian. Tetapi untuk melakukan seperti yang kau lakukan itu memerlukan ketahanan niat tersendiri. Kau melatih ketahanan dan ketekunan. Yang kau lakukan sungguh-sungguh mengagumkan."
Agung Sedayu masih tertawa. Kemudian katanya, "Marilah. Biarlah Glagah Putih menyelesaikannya. Marilah bertemu dengan Kiai Gringsing yang sudah aku anggap orang tuaku sendiri bersama dua orang kawan dekatnya."
"Jangan mengganggu mereka. Biarlah mereka melakukan kewajibannya. Aku akan berjalan-jalan mengelilingi padepokan ini jika kau tidak berkeberatan," sahut Sabungsari.
"Tentu aku tidak berkeberatan," jawab Agung Sedayu.
Keduanyapun kemudian berjalan menyusuri halaman samping padepokan kecil itu. Sabungsari tidak bersedia untuk dengan tergesa-gesa diperkenalkan dengan orang-orang tua yang berada di padepokan itu.
"Nanti saja, jika mereka sudah beristirahat," katanya.
Dalam pada itu. Kiai Gringsingpun sedang membersihkan ruang dalam pedepokannya, sementara Ki Waskita sedang mengisi jambangan dipakiwan. Ki Widurapun sedang sibuk dengan cangkulnya, mengatur air yang mengalir disebatang parit kecil di kebun mengaliri beberapa buah kolam yang ada di padepokan itu.
"Padepokan kecil ini memang luar biasa," desis Sabungsari yang sedang melihat-lihat padepokan itu. "berapa lama umur pedepokanmu?" tiba-tiba saja ia bertanya.
"Kenapa?" bertanya Agung Sedayu pula.
"Aku dengar padepokanmu ini belum terlalu lama kau bangun. Tetapi disini terdapat beberapa batang pohon buah-buahan yang sudah berbuah."
"O," Agung Sedayu mengangguk-angguk, "tanah ini adalah bekas tanah pategalan. Ditanah pategalan itu memang sudah terdapat beberapa batang pohon buah-buahan. Karena itulah, maka pohon itu kini sudah berbuah.Tegasnya, pohon buah-buahan itu ada disitu sebelum tempat ini menjadi sebuah pedepokan."
"O," Sabungsari mengangguk-angguk. Wajahnya nampak cerah. Nampaknya padepokan itu sangat menarik perhatiannya. "Sayang, aku seorang prajurit." gumannya.
"Kenapa kalau kau seorang prajurit?" sekali lagi Agung Sedayu bertanya.
"Aku tidak dapat sebebas kau menikmati ketnangan dalam padepokan kecil ini. Aku terikat pada suatu tata kerja yang teratur dalam ketertiban kewajiban."
"Jangan berkata begitu," jawab Agung Sedayu, "setiap lapangan mempunyai bentuk dan coraknya sendiri."
"Benar. Dan agaknya aku sudah terperosok kedalam lingkungan yang salah. Yang tidak sesuai dengan sifat dan pembawaanku."
Agung Sedayu memandang anak muda itu sekilas. Tetapi ia tidak menemukan kesan yang khusus diwajahnya yang tunduk.
Untuk sesaat keduanya saling berdiam diri. Mereka berjalan menyusuri halaman belakang padepokan bekas tanah pategalan itu.
Langkah mereka tertegun ketika mereka melihat seseorang sibuk membelokkan arus air sebuah parit kecil di kebun padepokan yang nampak hijau segar itu.
"Itulah Ki Widura, ayah Glagah Pulih," desis Agung Seayu.
Ternyata Widura mendengar kata-kata Agung Sedayu, sehingga iapun berpaling. Keningnya berkerut ketika ia melihat seorang anak muda dalam pakaian seorang prajurit berjalan bersama Agung Sedayu.
"Paman," berkata Agung Sedayu, "anak muda ini adalah seorang prajurit dibawah kakang Untara."
"Jauh dibawah," Sabungsari menyahut, "aku adalah prajurit ditataran paling bawah."
Ki Widura memandang Sabungsari itu sejenak. Kemudian diletakkannya cangkulnya. Sambil tersenyum ia berkata, "Aku mengenalmu dari pakaian yang kau kenakan anak muda."
"Namanya Sabungsari," Agung Sedayu memperkenalkan namanya.
Widura mengangguk-angguk. Katanya, "Sepagi ini kau sudah berada disini anakmas. Apakah kau hari ini tidak mempunyai tugas?"
"Aku mendapat istirahat hari ini Ki Widura. Aku baru turun dari tugas semalam suntuk meronda Jati Anom dan sekitarnya."
"Kau tidak mempergunakan saat-saat ini untuk beristirahat?" bertanya Ki Widura.
"Sebentar lagi. Pagi ini aku ingin singgah dipadepokan Agung Sedayu yang tenang ini."
"Tetapi sejak kapan kalian berkenalan?" tiba-tiba saja Widura bertanya.
05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sabungsari termangu-mangu. Tetapi Agung Sedayulah yang menjawab seperti adanya, "Semalam paman. Semalam Sabungsari menemui aku disawah untuk memperkenalkan diri."
Ki Widura mengangguk-angguk. Dan iapun tersenyum ketika Sabungsari menjelaskan niatnya seperti yang sudah dikatakannya kepada Agung Sedayu.
"Ya." Widura mengangguk-angguk, "mungkin kau menemukan udara baru dipadepokan ini. Silahkan. Bukankah kau baru melihat-lihat" Barangkali Agung Sedayu dapat menjamumu dengan buah-buahan meskipun agaknya masih terlalu pagi."
Sabungsari tertawa sambil mengangguk-angguk. Katanya, "Terima kasih. Terima kasih Ki Widura."
Keduanyapun meneruskan langkah mereka. Mula mula mereka menyusuri kolam yang jernih. Mereka melihat beberapa kelompok ikan gurami berenang melingkar-lingkar.
"Senang sekali," gumam Sabungsari, "kau tinggal memetik padi disawah, kemudian menangkap beberapa ekor gurami di kolam. Sehabis makan kau dapat memetik buah-buahan didahan yang segar."
Agung Sedayu tersenyum. Jawabnya, "Menyenangkan bagi yang tidak mengalaminya sehari-hari. Tetapi bagi kami, hal itu sudah terlalu biasa, sehingga memang itulah warna hidup kami sehari-hari."
Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, "Hari ini aku mendapat istirahat sehari penuh."
"Apakah kau akan berada di padepokan ini sehari penuh pula?" bertanya Agung Sedayu.
"Apakah kau tidak berkeberatan?"
"Kenapa aku berkeberatan?"
Sabungsari merenung sejenak. Lalu katanya, "Terima kasih. Aku akan berada disini sehari penuh."
Demikianlah seperti yang dikatakannya, Sabungsari berada di padepokan itu sehari penuh. Seperti anak-anak muda yang bebas dari segala kewajiban, Sabungsari menikmati hari istirahatnya bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih. Demikian mereka selesai makan siang, maka merekapun segera pergi kekebun belakang memetik buah-buahan. Rasa-rasanya Sabungsari ingin memetik semua buah jambu air yang berwarna kemerah-merahan beruntai bergayutan disetiap ranting.
Sambil berbaring di sehelai ketepe yang dianyam dari daun nyiur mereka berteduh dibawah rimbunnya sebatang pohon jambu air yang berbuah lebat sekali.
Dengan asyiknya mereka berceritera tentang bermacam-macam persoalan yang mereka jumpai sehari-hari dalam hidup mereka. Sabungsari berceritera tentang kejemuannya hidup dibawah bersama prajurit-prajurit yang lain. sementara Glagah Putih berceritera tentang padepokannya yang semakin subur.
"Sebentar lagi kuweni itu akan berbuah," berkata Glagah Putih, "sekarang daun-daunnya sudah mulai bersemi kemerah-merahan. Dari ujung daun-daun muda itu akan tumbuh bunga-bunganya yang putih. Kemudian akan bergayutan buah kuweni selebat daunnya. He, kau pernah makan kuweni?"
Sabungsari tertawa. Jawabnya, "Tetanggaku mempunyai pohon kuweni pula dipedukuhanku. Jika kuweni itu berbuah lebat, maka banyak yang berjatuhan dihalaman rumahku. Bukankah kuweni biasanya dibiarkan tua didahan?"
"Ya. Kami juga membiarkan kuweni itu berjatuhan. Barulah kuweni itu terasa enak sekali dimakan."
Sabungsari mengangguk-angguk. Dipandanginya daun kuweni yang mulai bersemi. Daun-daun mudanya yang berwarna kemerah-merahan memberikan kesegaran tersendiri diantara hijau daunnya yang rimbun.
Namun dalam pada itu, sekilas membayang rencananya yang akan dilakukannya untuk melepaskan dendam yang bersarang dihatinya. Ia tidak melupakan kematian ayahnya. Kini ia sudah berhadapan dengan orang yang telah membunuh ayahnya itu.
"Tetapi aku ingin menjajagi sampai dimanakah kemampuan ilmu Agung Sedayu sebelum aku menantangnya untuk berperang tanding," berkata Sabungsari didalam hatinya.
Tetapi Sabungsari tidak tergesa-gesa. Ia mempunyai banyak waktu untuk melakukannya. Ia sudah berhasil berkenalan dengan Agung Sedayu yang dicarinya dengan tekun untuk melepaskan dendamnya. Supaya ia tidak tergelincir seperti orang-orang yang mendahuluinya, maka ia ingin mengenal Agung Sedayu lebih banyak."
Karena itulah, maka Sabungsari tidak berbuat sesuatu. Ia benar-benar berlaku sebagai seorang kawan yang baik bagi Agung Sedayu, seperti yang dikatakan, bahwa dipadepokan itu ia telah menemukan suasana yang baru.
Dengan demikian, maka Agung Sedayu merasa bahwa ia telah mendapatkan seorang kawan baru yang sesuai dengan umurnya. Prajurit itu nampaknya seorang yang ramah dan berterus terang.
Menjelang senja, maka Sabungsari itu minta diri. Dengan hormat ia membungkuk dihadapan Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Ki Widura.
"Aku akan sering datang kemari," berkata Sabungsari.
"Kami akan menerima dengan senang hati ngger," sahut Kiai Gringsing, "datanglah di hari-hari istirahatmu kepadepokan ini."
Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, "padepokan ini merupakan tempat yang paling menyenangkan yang pernah aku kenal."
Kiai Gringsing hanya tersenyum saja. Kemudian dilepaskannya Sabungsari meninggalkan padepokan itu sampai keregol halaman padepokan bersama Ki Waskita dan Ki Widura.
"Anak yang baik," berkata Kiai Gringsing, "nampaknya ia seorang prajurit yang tangguh. Tetapi juga seorang anak muda yang merindukan sesuatu. Nampaknya ia pernah kehilangan dan kini ia sedang mencari isi dari kekosongan itu."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Namun wajahnya membayangkan sesuatu yang agak buram.
"Apakah yang Ki Waskita lihat?" bertanya Kiai Gringsing.
Ki Waskita termenung sejenak. Dipandanginya anak muda yang semakin lama menjadi semakin jauh itu.
"Apakah kau baru mengenalnya semalam Agung Sedayu?" bertanya Ki Waskita.
"Ya Ki Waskita," jawab Agung Sedayu, "semalam ia menyusul kami di sawah ketika kami menengok air yang mengalir tidak begitu lancar diparit yang menyilang jalan kecil itu."
Ki Waskita masih mengangguk-angguk. Gumamnya seolah-olah kepada diri sendiri, "Anak itu memang baik. Tetapi aku melihat sesuatu yang mungkin keliru dipenglihatanku."
"Apakah yang kau lihat?" bertanya Ki Widura.
"Aku melihat noda yang melekat di senyumnya yang cerah itu."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Katanya, "Rasa-rasanya ia seorang yang baik. Hatinya terbuka dan agaknya ia memang seseorang yang memerlukan orang lain didalam hidupnya."
"Ya. Nampaknya didalam sikap dan kata-katanya. Tetapi aku melihat jauh lebih dalam lagi. " Ki Waskita berhenti sejenak, lalu. "tetapi isyarat itupun kurang dapat aku pahami."
Agung Sedayupun mengangguk-angguk. Seandainya Ki Waskita tidak melihat isyarat apapun, maka kecurigaannya memang wajar. Adalah terlalu berlebih-lebihan bahwa anak muda itu menyusulnya kesawah. Kemudian pagi-pagi benar ia sudah berada dipadepokan. Sehari penuh ia berada dipadepokan itu untuk melihat-lihat dan mengenal setiap sudut-sudutnya, seolah-olah tidak ada sejengkal tanahpun yang dilampauinya.
"Tetapi bagiku," berkata Agung Sedayu didalam hatinya, "sikap itu adalah justru sikap yang tulus, tanpa dibuat-buat dan jujur."
Namun Agung Sedayu tidak mengatakannya. Ia menahannya didalam hati. Namun ia mengharap bahwa akhirnya Ki Waskita akan mengakui kebenaran dugaannya itu.
Sejak saat itu, maka Sabungsari terlalu sering datang kepadepokan kecil itu. Bahkan hampir setiap waktu terluangnya, meskipun hanya beberapa saat, ia memerlukan datang. Kadang-kadang ia datang berkuda masih dalam pakaian keprajuritannya yang lengkap. Ia hanya berteriak saja didepan regol. Jika Agung Sedayu atau Glagah Putih telah menjenguknya, maka sambil melambaikan tangannya ia berpacu meninggalkan regol itu.
Bagi Agung Sedayu. Sabungsari merupakan kawan yang baik. Sekali-sekali keduanya pergi bersama mengelilingi Jati Anom. Kadang-kadang Glagah Pulih ikut bersama mereka. Tetapi kadang-kadang tidak seorangpun serta.
Jika keduanya berkuda di bulak panjang yang sepi, terbersit keinginan Sabungsari untuk menyelesaikan tugas yang terasa selalu bergejolak didalam dadanya. Ia ingin segera dapat melepaskan dendam yang sudah lama tersimpan. Tetapi Sabungsari tidak mau mengorbankan harga dirinya sebagai seorang anak muda yang memiliki ilmu yang tinggi dengan membunuh lawannya dari belakang. Ia harus menyatakan maksudnya kepada Agung Sedayu, kemudian menyelesaikan persoalannya dengan cara seorang laki-laki, perang tanding.
Namun setiap kali Sabungsari masih dibayangi oleh keragu-raguan. Ia belum berhasil menjajagi kemampuan Agung Sedayu, sehingga setiap kali ia masih saja menahan hati.
"Aku harus dapat mengetahui dengan melihat sendiri, apa yang dapat dilakukan oleh anak ini," berkata Sabungsari didalam hatinya. Karena selama itu. ia baru mendengar kata orang, bahwa Agung Sedayu adalah seorang anak muda yang memiliki kemampuan tidak terlawan.
"Omong kosong," kadang-kadang Sabungsari menggeram. Namun pendengarannya itu selalu membayanginya dengan keragu-raguan.
"Aku akan mengajaknya bermain-main dengan ilmu," katanya didalam hati, "dengan demikian, aku akan dapat melihat, apakah yang telah dilakukannya."
Dengan demikian, maka Sabungsari selalu mencari kesempatan untuk dapat melihat, apa yang dapat dilakukan oleh Agung Sedayu. Dengan berbagai cara ia mencoba untuk menyudutkan Agung Sedayu kedalam keadaan yang memungkinkannya menunjukkan kemampuannya.
"Agung Sedayu," katanya pada saat ia berkunjung di padepokan kecil itu, "setiap orang mengatakan, bahwa kau adalah orang yang tidak terlawan saat ini. Dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, kau berhasil membunuh beberapa orang terpenting dari mereka yang menyebut dirinya pewaris kerajaan Majapahit. Sebenarnyalah, aku sebagai seorang prajurit, kadang kadang merasa iri. Umurmu dan umurku tidak terpaut banyak. Mungkin aku lebih tua sedikit, sebaya dengan Ki Untara. Namun aku tidak pernah dapat membayangkan, apa yang pernah kau lakukan itu."
Pertanyaan itu mengejutkan Agung Sedayu. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Dari siapa kau mendengar peristiwa yang terjadi di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu?"
Sabungsari memandang Agung Sedayu dengan heran. Katanya, "Setiap mulut mengatakannya demikian. Setiap prajurit di Jati Anom mengetahui bahwa adik Untara telah melakukan sesuatu yang tidak masuk akal. Tetapi hal itu telah terjadi."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Sama sekali tidak benar. Aku tidak berbuat apa-apa. Aku bertempur diantara para pengawal dari Mataram, dari Tanah Perdikan Menoreh dan dari Sangkal Putung. Aku tidak mempunyai kelebihan apapun dari mereka. Apalagi dengan para pemimpin pengawal itu."
Sabungsari memandang Agung Sedayu dengan kecewa. Katanya, "Aku tahu, bahwa kau bukan seorang anak muda yang sombong, yang senang dipuji, apalagi sesongaran menunjukkan kelebihannya. Tetapi aku sekedar menuruti gejolak hati yang tidak dapat aku tahan lagi. Sebagai seorang prajurit yang ingin aku ketahui adalah olah kanuragan."
Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Katanya, "Tidak ada yang dapat aku tunjukkan kepadamu dan kepada siapapun. Yang terjadi seperti yang kebanyakan terjadi dipeperangan. Dan aku hanyalah satu dari sekian banyak orang."
Sabungsari tersenyum, betapapun kecutnya. Katanya, "Aku sudah mengira. Tetapi bagaimana kau dapat membunuh Ki Gede Telengan, Ki Tumenggung yang memegang kendali pertempuran dari mereka yang berada dilembah itu, Samparsada dan Kelasa Sawit, jika kau hanya satu diantara yang sekian banyaknya."
"Aku tidak membunuh mereka. Bagaimana mungkin kau dapat menuduhku membunuh mereka itu?"
"Agung Sedayu," desis Sabungsari, "mungkin kau benar. Tetapi kau adalah sebab terakhir kematian merereka."
"Kelasa Sawit?" bertanya Agung Sedayu. Namun kemudian Katanya, " Sudahlah. Aku ingin melupakan semuanya. Yang terjadi merupakan bayangan yang kelam didalam hidupku. Aku mohon jangan kau sebut lagi."
Sejenak Sabungsari termangu-mangu. Namun katanya kemudian, "Maaf Agung Sedayu. Jika aku menyebutnya, bukan karena aku ingin mengingatkan kau apa yang telah terjadi. Tetapi sebenarnyalah bahwa aku sebagai seorang prajurit ingin melihat, bagaimana kau mengetrapkan ilmu yang tiada taranya itu. Menurut pendengaranku, kau mempunyai kemampuan yang seolah-olah tidak terbatas."
"Ah," desah Agung Sedayu.
"Jangan menyelubungi kemampuan yang sudah diketahui oleh setiap orang itu Agung Sedayu."
"Itu omong kosong," desis Agung Sedayu, "sudahlah. Marilah kita berbicara tentang pohon buah-buahan, tentang burung yang berkicau dan tentang air parit yang bening."
"Tetapi aku seorang prajurit Agung Sedayu. Aku tentu akan lebih banyak berbicara tentang olah kanuragan dan olah senjata jenis apapun juga," jawab Sabungsari.
"Dan aku" Aku seorang petani dipadepokan kecil. Aku lebih tertarik kepada pohon buah-buahan dan tanaman yang hijau disawah. Dan memang sebenarnyalah aku hanya pandai menyiangi padi yang tumbuh subur serta menghalau burung pipit menjelang padi dituai."
Sabungsari sudah menduga, bahwa ia tidak akan mudah memaksa Agung Sedayu memamerkan kemampuannya, apapun alasannya. Sifat-sifat Agung Sedayu yang mulai dikenalnya sejak ia bergaul dengan anak muda itu, memberikan beberapa petunjuk, bahwa ia akan mengalami kesulitan untuk menjajagi ilmu anak muda yang seolah-olah tertutup rapat diruang perbendaharaan berlapis tujuh.
"Gila," Sabungsari bergumam didalam hatinya, "aku harus berhasil mengetahui tingkat ilmunya sebelum aku terjerumus kedalam kesalahan seperti yang pernah terjadi. Jika aku tidak yakin dapat membunuhnya. maka aku akan menunda sampai saatnya aku menyempurnakan ilmuku barang enam atau sepuluh bulan dengan tekun berdasarkan ilmu yang sudah aku kuasai. Meskipun aku merasa bahwa yang aku miliki sekarang ini sudah lebih selapis, atau setidak-tidaknya setingkat dengan ilmu ayahku, namun ada kemungkinan bahwa Agung Sedayupun telah meningkat pula."
Karena itu, Sabungsari masih harus bersabar. Ia bukan seorang yang bodoh dan tergesa-gesa. Tetapi ia ingin menyelesaikan persoalannya dengan sikap seorang laki-laki dalam perang tanding. Bukan seorang pembunuh yang licik yang menikam lawannya dari punggung.
Karena itu, maka yang dilakukan kemudian dan dihari berikutnya, sama sekali tidak mengesankan rencananya yang sudah tersusun rapi. Ia masih merupakan kawan yang baik bagi Agung Sedayu, bahkan bagi Glagah Putih. Baginya Glagah Putih bukannya persoalan yang perlu mendapat perhatian tersendiri. Ia tahu bahwa Glagah Putih dengan tekun melatih diri dibawah tuntunan Agung Sedayu dan ayahnya, Ki Widura dalam cabang ilmu Ki Sadewa yang agak berbeda dari ilmu yang diwarisi oleh Agung Sedayu dari Kiai Gringsing. Namun ternyata bahwa Agung Sedayupun nampaknya menguasai benar-benar setiap unsur gerak dari ilmu ayahnya yang telah meninggal itu.
Tetapi tingkat ilmu Glagah Putih barulah pada tataran dasar, meskipun meningkat dengan pesatnya.
Meskipun demikian, isi padepokan kecil itu selalu berlaku hati-hati dan sesuai dengan kebiasaan didalam setiap perguruan yang sebenarnya. Latihan-latihan khusus selalu dilakukan dalam ruang tertutup bagi orang lain. Bahkan bagi anak-anak muda yang tinggal dipadepokan itu.
"Aku harus mendapat akal," berkata Sabungsari kepada dirinya setiap kali ia digelisahkan oleh rencananya yang masih belum maju setapakpun baginya, sehingga ia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk mengintip kedalamnya.
Sementara itu Ki Waskita masih tetap berada dipadepokan kecil itu. Sudah ada niatnya untuk pulang. Tetapi ketika ia melihat isyarat yang buram pada anak muda yang bernama Sabungsari, ia menjadi ragu-ragu.
Namun akhirnya Ki Waskita ragu-ragu terhadap dirinya sendiri. Ternyata sudah beberapa lamanya Sabungsari berkenalan dengan Agung Sedayu, sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa ia bertindak tidak jujur. Keduanya seperti sahabat yang saling mempercayai dalam banyak hal.
"Aku mulai tua," berkata Ki Waskita kepada diri sendiri, "banyak yang nampak kabur dimata hatiku. Tetapi itu tidak perlu aku sesali."
Dengan demikian, maka niat Ki Waskita itupun kemudian disampaikannya kepada Kiai Gringsing, bahwa ia sudah lewat waktunya untuk pulang ke rumahnya.
"Aku mengatakan kepada keluargaku, bahwa aku tidak lama berada di Sangkal Putung. Mereka tentu menunggu. Meskipun aku sudah terbiasa pergi, namun semakin tua istriku menjadi semakin cemas melepaskan aku."
Kiai Gringsing tertawa. Tetapi ia tidak dapat menahan Ki Waskita lebih lama. Adalah wajar sekali, sebagai seorang yang berkeluarga, maka ikatan keluarga itu jauh lebih penting dari ikatan persahabatan yang manapun juga.
Meskipun demikian. Kiai Gringsing masih juga bertanya, "Ki Waskita, bagaimanakah pendapat Ki Waskita tentang Agung Sedayu?"
Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mengerti Kiai. Ternyata kini ia banyak mendapat cobaan. Ia kini harus menghadapi berbagal macam ilmu. Di Sangkal Putung, ia harus berhadapan dengan ilmu sirep yang tajam. Juga ilmu yang langsung menyentuh angan-angan dan pertimbangannya. Melawan saudara tua kedua kakak beradik dari Pesisir Endut, maka selain bertempur melawan orang itu dalam olah kanuragan, iapun harus memerangi kegelisahannya karena baginya, seolah-olah bumi telah terguncang."
"Ya Ki Waskita. Aku tidak mempunyai dasar pengetahuan mendalam tentang hal itu. Aku hanya dapal menangkis berdasar pada keyakinanku atas diri sendiri. Tetapi tidak karena aku memahami ilmunya secara mendasar."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Ia mengerti yang dimaksudkan oleh Kiai Gringsing. Iapun menyadari bahwa sebagai dua orang yang berbeda perguruan dan warisan ilmu yang pernah mereka pelajari, maka Kiai Gringsing dan Ki Waskita mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing, pada segi yang berbeda-beda.
Ki Waskitapun sadar, bahwa Kiai Gringsing memerlukannya bukan bagi dirinya sendiri. Sebenarnya juga bukan bagi Agung Sedayu itu sendiri. Tetapi dalam tugas yang diemban oleh Agung Sedayu, kadang-kadang ia menemukan kesulitan karena jenis-jenis ilmu yang tidak terhitung jumlahnya yang tersebar dimuka bumi. Yang satu mempunyai kelebihan dari yang lain. Tetapi tidak ada ilmu yang tidak terkalahkan, betapapun dahsyatnya.
Kiai Gringsingpun tidak akan menyerahkan Agung Sedayu dalam bimbingan orang lain sebagaimana seorang guru menyerahkan muridnya untuk mendapatkan bimbingan khusus, karena murid Kiai Gringsing tidak hanya seorang saja.
Karena itu, maka seolah-olah diluar sadarnya, maka Ki Waskitapun berkata, "Kiai, apakah Kiai mengijinkan Agung Sedayu pergi bersamaku barang satu dua pekan?"
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Iapun mengerti sikap Ki Waskita. Karena itu, maka iapun menjawab, "Jika Ki Waskita menghendaki anak itu untuk mengikuti perjalanan Ki Waskita kembali, aku tidak berkeberatan."
"Baiklah Kiai. Aku akan bertanya langsung kepadanya," berkata Ki Waskita kemudian.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia menyadari sepenuhnya, bahwa ia sudah berbuat sesuatu yang tidak seimbang bagi murid-muridnya. Meskipun ia tidak dengan resmi berkata kepada Ki Waskita, menyerahkan Agung Sedayu untuk mendapatkan tambahan ilmu yang mempunyai sifat dan watak yang berbeda dengan ilmu yang telah dikuasai oleh anak itu, namun ia telah membuka jalan bagi Agung Sedayu. Tetapi tidak bagi Swandaru. Kepada orang lain ia dapat berkata, bahwa niat itu tumbuh dari hati Ki Waskita sendiri yang sudah lama bergaul dengan Agung Sedayu. Juga kepada Swandaru ia dapat berkata seperti itu. Tetapi ia tidak dapat mengatakannya kepada dirinya sendiri.
"Apa boleh buat," katanya kepada diri sendiri, "aku tidak mempunyai niat buruk. Swandaru menunjukkan gejala sifat yang kurang dapat aku pahami, sedang Agung Sedayu bagiku mempunyai sikap dan pandangan hidup yang lebih sesuai dengan ketinggian ilmu yang bakal dimiliki dan dikembangkannya."
Namun Kiai Gringsingpun menyadari, bahwa Agung Sedayupun mempunyai cacat jiwani. Keragu-raguan dan ketidak pastiannya akan dapat mengganggunya, tetapi yang ada padanya, masih jauh lebih cerah dari yang nampak pada Swandaru.
Ketika Agung Sedayu menunggu senja, duduk diserambi gandok padepokan kecilnya, maka Ki Waskitapun mendekatinya. Sejenak mereka berbincang mengenai sawah dan ladang. Namun percakapan itupun kemudian semakin menjurus pada maksud Ki Waskita.
"Aku akan mengajakmu barang satu dua pekan," berkata Ki Waskita.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Katanya, "Apakah guru akan mengijinkan?"
"Aku sudah berbicara dengan gurumu," jawab Ki Waskita, "aku bermaksud menunjukkan kepadamu sesuatu yang barangkali penting bagimu. Bagi bekal hidupmu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Waskita berkata selanjutnya, "Ternyata bahwa duniamu untuk sementara memang menjadi buram karena dendam dan kebencian. Yang terjadi adalah diluar kehendakmu dan diluar kuasamu untuk menolak."
"Ya Ki Waskita," Agung Sedayu menundukkan kepalanya.
"Dendam itu selalu membayangimu, sebagaimana membayangi Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa." Ki Waskita berhenti sejenak, lalu. "namun mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang pilih tanding."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia menyadari bahwa Ki Waskita bukannya tidak mempunyai maksud tertentu dengan kata-katanya itu. Sebagai seorang perasa Agung Sedayupun segera menangkap, bahwa Ki Waskita bermaksud mengatakan kepadanya, agar ia mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan dengan memperdalam ilmunya, sehingga setidak-tidaknya tidak terpaut terlalu banyak dari kedua orang anak muda itu.
Sebenarnya bahwa Agung Sedayu tidak dapat menjajagi. betapa tingginya ilmu Raden Sutawijaya. Ia adalah seorang anak muda yang terlalu sering mesu diri. menempa ilmunya sehingga melampaui kebanyakan orang.
Sedangkan Pangeran Benawa adalah seorang anak muda yang ajaib. Yang terlempar dari dunianya oleh kekecewaan yang mendalam. Namun ia adalah seorang anak muda yang memiliki ilmu tiada taranya. Agung Sedayu sendiri telah menyaksikan, bagaimana Pangeran Benawa pernah membunuh dua bersaudara dari Pesisir Endut.
Diluar sadarnya Agung Sedayu telah melihat ke dirinya sendiri. Yang terakhir ia telah bertempur melawan saudara dari kedua kakak beradik dari Pesisir Endut yang telah dibunuh oleh Pangeran Benawa.
"Apakah dengan demikian, aku sudah pantas menyejajarkan diri disamping kedua anak muda itu" " pertanyaan itu tiba-tiba saja telah tumbuh dihatinya.
Sebuah kebanggaan memang membersit dihatinya. Bagaimanapun juga Agung Sedayu adalah seorang yang dikehendaki atau tidak, telah sering terlibat dalam pertempuran melawan orang-orang berilmu tinggi. Karena itulah, maka kemampuan dan tingkat ilmu kanuragan masih juga merupakan kebanggaan baginya.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja terkilas wajah Rudita. Wajah yang jernih dan cerah. Secerah wajah-wajah anak-anak yang sama sekali tidak tersentuh noda-noda hitamnya kehidupan.
"Ah," tiba-tiba saja Agung Sedayu berdesah. Namun ia telah terperosok jauh kedalam lingkaran dendam kebencian yang seakan-akan tidak berujung dan berpangkal seperti sebuah lingkaran.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam ketika Ki Waskita bertanya, "Apakah kau siap untuk berangkat dalam waktu dekat?"
Sejenak Agung Sedayu berpikir. Jawabnya kemudian, "Aku siap Ki Waskita. Tetapi bagaimana dengan Glagah Putih, aku kira ia ingin sekali untuk ikut serta dalam perjalanan ini. Setiap kali ia selalu minta agar ia diijinkan untuk ikut dalam setiap perjalanan."
Ki Waskita mengangguk-angguk, "Bagaimana dengan kau" Jika kau tidak berkeberatan, akupun tidak berkeberatan. Selebihnya, bagaimana dengan Ki Widura.
Agung Sedayu termenung sejenak. Memang ada keinginannya untuk mengajak adik sepupunya itu. Perjalanan yang agak panjang akan membuatnya mengenal lingkungan yang lebih luas. Namun dengan demikian, ia mempunyai pertanggungan jawab yang lebih berat. Glagah Putih sendiri adalah seorang anak muda yang baru dalam olah kanuragan. Meskipun ia memiliki dasar yang baik, tetapi yang sudah diserapnya masih belum terlalu banyak.
"Aku akan minta pertimbangan guru dan parnan Widura," berkata Agung Sedayu kemudian, "jika keduanya tidak mengijinkan, maka aku tidak akan membawanya meskipun ia minta."
"Baiklah, mintalah petunjuk-petunjuk mereka. Kita akan berangkat besok pagi."
"Besok pagi," Agung Sedayu mengulangi, "begitu cepat?"
"Aku sudah terlalu lama disini."
"Baiklah Ki Waskita. Aku juga akan minta diri kepada Sabungsari agar ia tidak kecewa bahwa ia tidak dapat menjumpai aku jika ia datang kemari. Apalagi jika aku pergi bersama Glagah Putih."
Tiba-tiba saja wajah Ki Waskita menjadi buram. Sekilas terbayang kembali isyarat yang pernah dilihatnya tentang anak muda yang bernama Sabungsari itu. Namun yang akhirnya diragukannya sendiri.
Meskipun demikian, Ki Waskita itupun berkata, "Aku kira tidak perlu Agung Sedayu. Biarlah Kiai Gringsing atau Ki Widura mengatakan kepadanya, bahwa kau sedang menempuh suatu perjalanan. Akupun tidak sependapat jika mereka yang tinggal akan memberitahukan, kemana kau pergi untuk satu dua pekan mendatang."
"Kenapa" " Agung Sedayu menjadi heran, "ia sering datang ke padepokan ini. Sikapnya selama ini baik kepadaku dan kepada Glagah Putih."
"Agung Sedayu," berkata Ki Waskita bersungguh-sungguh, "jika aku ingin mengajakmu pergi untuk satu dua pekan itu tentu aku mempunyai maksud tertentu. Aku kira kau sudah mengerti. Karena itu. maka kepergianmu sebaiknya tidak perlu diketahui oleh orang-orang yang tidak berkepentingan meskipun ia sahabat baik bagimu."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia tidak mengerti maksud Ki Waskita.
Karena itu, maka Ki Waskita yang melihat keragu-raguan diwajah Agung Sedayu mencoba menjelaskan, "Agung Sedayu. Biarlah kepergianmu kali ini merupakan persoalan perguruanmu, bahkan lebih sempit lagi, karena aku dan juga Kiai Gringsing tidak menyertakan saudara seperguruanmu sendiri. Bahkan aku berniat untuk tidak memberitahukan hal ini kepada siapapun juga selain kau sendiri dan jika dikehendaki dan diijinkan, Glagah Putih."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sebenarnya ia merasa kecewa bahwa ia tidak diperbolehkan untuk minta diri kepada sahabatnya yang dianggapnya seorang anak muda yang baik, yang memerlukan seseorang untuk mengisi kekosongan hidupnya, karena ia telah menjadi jemu kepada lingkungannya.
Namun Agung Sedayupun tidak dapat melanggar pesan Ki Waskita. Ia sadar, bahwa niat Ki Waskita membawanya tentu ada hubungannya dengan perkembangan terakhir yang terjadi atas dirinya.
"Nah, mulailah mempersiapkan diri. Katakan kepada gurumu, kepada pamanmu dan kepada Glagah Putih. Jangan kau ajak anak itu jika ia tidak menyatakan atas kehendaknya sendiri. Baru kemudian ia harus minta diri kepada ayahnya dan persetujuan Kiai Gringsing."
Agung Sedayupun kemudian bangkit dan melangkah mencari gurunya untuk minta pertimbangannya.
Tidak banyak persoalan yang dihadapi Agung Sedayu dari gurunya, karena ternyata Kiai Gringsing telah mengetahui segala-galanya. Kiai Gringsing hanya memberikan beberapa pesan, bahwa perjalanannya itu bukan perjalanan tamasya.
Ketika Agung Sedayu menyinggung Glagah Putih, maka Kiai Gringsing berkata, "Kau harus minta ijin pamanmu Widura. Tetapi jika anak itu tidak berkeras untuk ikut, biarlah ia tinggal bersama kami dipadepokan ini."
Agung Sedayu mengangguk. Ia menjadi ragu-ragu menghadapi Glagah Putih. Sebenarnya ia ingin juga seorang kawan diperjalanan pulang untuk kawan berbincang. Namun jika Glagah Putih ikut bersamanya, maka ia akan berada dibawah tanggung jawabnya.
"Aku kira tidak akan banyak rintangan disepanjang jalan," berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri. Namun ketika teringat olehnya dendam yang sudah dinyalakannya dimana-mana, maka ia menjadi bimbang.
Hampir diluar sadarnya ketika Agung Sedayu justru menyampaikan niatnya untuk pergi bersama Ki Waskita lebih dahulu kepada Glagah Putih sebelum ia bertemu dengan pamannya, Ki Widura.
Seperti yang diduganya, dengan serta merta Glagah Putih berkata, "Aku ikut dengan kakang. Kali ini harus."
"Siapa yang mengharuskan Glagah Putih?" bertanya Agung Sedayu.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Jawabnya, "Aku. Aku yang mengharuskan aku sendiri untuk ikut."
"Jika aku berkeberatan."
"Terserah kepada kakang Agung Sedayu. Tetapi aku akan mengikuti kemana saja kakang pergi. Aku ingin sekali melihat-lihat daerah yang agak jauh."
Agung Sedayu memandangi wajah adiknya yang nampak bersungguh-sungguh. Anak itu tentu akan sangat kecewa jika kali ini ia tidak diijinkan untuk ikut pergi bersamanya.
Karena itu, maka Agung Sedayu berkata, "Glagah Putih. Semuanya tergantung kepada paman Widura. Jika paman mengijinkan, akupun tidak berkeberatan. Tetapi kau harus menyadari, bahwa mungkin perjalanan yang nampaknya akan menyenangkan itu akan menjadi perjalanan yang berat. Diperjalanan pulang, kita hanya akan berdua saja. Kau harus menyadari, apa yang pernah terjadi atas kita. Terutama atas aku sendiri."
Glagah Pulih mengangguk-angguk. Katanya, "Dimanapun akan sama saja bahayanya. Jika orang-orang berniat buruk, maka ia dapat menyergap kita bukan saja diperjalanan, tetapi dapat dilakukan di sawah, di ladang atau di pategalan. Saat-saat kita menunggui sawah atau saat-saat kita memetik buah-buahan."
Agung Sedayu mengangguk-angguk pula. Apalagi ketika Glagah Putih berkata, "Justru di padepokan ini mereka akan dapat segera menemukan kita. Agak berbeda dengan diperjalanan, karena kita dalam keadaan bergerak."
"Baiklah," berkata Agung Sedayu, "aku akan menemui paman Widura. Semuanya terserah kepada paman."
"Aku ikut menemui ayah. agar aku dapat menjelaskan kepada ayah, bahwa aku bukan kanak-kanak lagi."
Agung Sedayu tidak dapat menolak. Berdua mereka mencari Ki Widura untuk menyampaikan maksudnya.
Ketika Ki Widura mendengar rencana kepergian Agung Sedayu yang akan diikuti oleh Glagah Putih, maka Ki Widura hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti kepentingan kepergian Agung Sedayu. Namun nampaknya Glagah Putih benar-benar ingin ikut bersamanya.
"Perjalanan itu bukannya perjalanan untuk sekedar menengok sanak kadang," berkata Ki Widura, "seandainya demikianpun, maka kau harus mengetahui Glagah Putih, bahwa banyak hal yang dapat terjadi diperjalanan."
"Aku mengerti ayah. Banyak orang yang tidak senang terhadap kakang Agung Sedayu, karena kakang Agung Sedayu mereka anggap selalu merintangi maksud-maksud buruk mereka. Tetapi akupun tahu, bahwa dimanapun juga, bahaya itu akan dapat menerkam kita."
Ki Widura ternyata tidak dapat mencegah Glagah Putih. Setiap usahanya untuk menahan agar Glagah Putih tetap tinggal dipadepokan, ada saja dalih yang dapat diberikan oleh anak itu.
"Glagah Putih," berkata Ki Widura kemudian, "jika kau memang sudah menyadari bahwa perjalanan itu merupakan perjalanan yang berat, maka terserahlah kepadamu untuk menentukan."
"Aku akan pergi ayah," berkata Glagah Putih dengan pasti.
Ki Widura hanya dapat mengangguk-angguk sambil berkata, "Tetapi berhati-hatilah diperjalanan. Perjalanan kalian adalah perjalanan yang banyak mengandung kemungkinan. Saat kalian berangkat, maka kalian akan bersama dengan Ki Waskita. Tetapi diperjalanan kembali kepadepokan ini, kalian hanya akan berdua saja."
"Tidak apa-apa ayah," jawab Glagah Putih dengan serta merta.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti maksud Ki Widura yang memperingatkannya, bahwa banyak persoalan yang sedang dihadapi oleh Agung Sedayu. Sekilas terbayang orang dari Pesisir Endut yang menuntut kematian kedua saudaranya, bukan kepada Pangeran Benawa, tetapi justru kepadanya. Teringat pula oleh Agung Sedayu, beberapa orang yang mencarinya dan menyusulnya sampai ke Mataram.
Karena itu, maka agaknya benar pesan Ki Waskita, untuk tidak mengatakan kepada siapapun, kemana ia akan pergi. Juga kepada Siabungsari, karena mungkin sekali Sabungsari akan menceriterakan kepada orang-orang lain yang akhirnya sampai ketelinga orang-orang yang mendendamnya.
Agaknya setelah Ki Widura tidak dapat menahan Glagah Putih, tidak ada lagi yang akan dibicarakannya. Yang dilakukan oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih kemudian adalah mempersiapkan diri untuk satu perjalanan yang cukup panjang bagi Glagah Pulih, namun cukup mengandung banyak kemungkinan bagi Agung Sedayu.
Dimalam hari menjelang keberangkatan Ki Waskita bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih, orang-orang tua di padepokan kecil itu masih sempat untuk berbicara tentang beberapa hal. Tentang masa depan dan tentang perkembangan keadaan.
Ketika malam itu Sabungsari datang berkunjung kepadepokan kecil itu. Agung Sedayu sama sekali tidak mengatakan bahwa besok pagi-pagi ia akan pergi bersama Ki Waskita. Glagah Putihpun telah dipesannya pula untuk tidak mengatakan apapun juga tentang rencana kepergian mereka.
Karena itu, maka Sabungsari sama sekali tidak mengira, bahwa Agung Sedayu akan meninggalkan padepokan itu untuk beberapa hari lamanya.
Demikianlah ketika matahari terbit di pagi hari berikutnya, maka tiga ekor kuda telah siap menempuh perjalanan. Mereka membawa sedikit bekal diperjalanan. Meskipun perjalanan itu bukannya perjalanan yang sangat panjang, tetapi bagi Glagah Putih akan merupakan pengalaman baru disaat-saat umurnya menjelang dewasa.
Kiai Gringsing dan Ki Widura mengantar mereka sampai keregol halaman. Kemudian melepas mereka pergi dengan berat hati. Terutama karena Glagah Putih ikut bersama mereka.
Tetapi mereka tidak dapat menganggap Glagah Putih sebagai kanak-kanak untuk seterusnya dan membiarkannya selalu berada di dalam pengawasan orang tua. Pada suatu saat ia harus merintis jalan bagi kedewasaannya. Bukan saja umurnya, tetapi juga sikap dan pandangan hidupnya.
Karena itu, maka betapapun beratnya. Glagah Putih dilepaskannya pula pergi bersama Agung Sedayu dan Ki Waskita, meskipun Ki Widura sadar, bahwa saat mereka kembali, maka Glagah Putih hanya akan dikawani oleh Agung Sedayu saja.
Demikianlah, maka sejenak kemudian ketiga ekor kuda itupun telah berderap menyusuri jalan-jalan bulak yang panjang. Dalam cahaya matahari pagi, udara merasa segar menyusup sampai ketulang.
Diperjalanan itu Glagah Putih nampak gembira sekali. Kudanya kadang-kadang berlari mendahului Agung Sedayu dan Ki Waskita. Namun kemudian di tengah-tengah bulak ia berhenti untuk menunggu.
Tidak ada hambatan apapun pada saat mereka berangkat. Agar perjalanan mereka merupakan perjalanan yang terasa panjang, maka sengaja mereka tidak singgah di Mataram.
Ki Waskita dan Agung Sedayu ternyata dengan sengaja memberikan kesan perjalanan yang sebenarnya. Karena itu, maka mereka telah merencanakan untuk bermalam diperjalanan. Bermalam diperjalanan akan merupakan suatu pengalaman tersendiri meskipun jalan menuju ke Menoreh merupakan jalan yang ramai.
Tetapi Ki Waskita dan Agung Sedayu sengaja memilih tempat bermalam yang agak asing. Bukan di banjar-banjar Kademangan atau ditempat sanak-kadang yang dilalui disepanjang perjalanan, tetapi Ki Waskita telah membawa Glagah Putih lewat jalan setapak yang melewati tepi hutan dilereng Gunung Merapi.
Jalan memang bertambah panjang. Tetapi hal itu dilakukan dengan sengaja oleh Ki Waskita dan Agung Sedayu. Mereka menempuh jalan yang semakin sulit dan bahkan kadang-kadang kuda mereka seakan-akan hanya merangkak lambat seperti seekor siput.
"Kita terpaksa bermalam diperjalanan," berkata Ki Waskita.
Dengan seria merta Glagah Putih menyahut. "Menyenangkan sekali."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat Glagah Putih jauh berbeda dari dirinya sendiri pada umur yang sama. Pada saat ia masih sangat muda, maka Agung Sedayu tidak lebih dari seorang penakut yang menggigil melihat daun bergerak ditempuh angin digelap-nya malam. Bahkan suara cengkerik didengarnya seolah-olah suara hantu yang sedang meringkik mentertawakannya.
Tetapi Glagah Putih adalah seorang anak muda yang lain. Sejak masih kanak-kanak seolah-olah tidak ada yang ditakutinya. Ia memiliki kemauan yang keras dan ketekunan atas sesuatu minat.
Bagi Glagah Putih, bermalam dimanapun bukan merupakan persoalan yang perlu dicemaskan. Ia tidak takut kepada hantu. Tidak takut kepada binatang buas dan tidak takut orang-orang yang ingin merampok sekalipun.
Dalam pada itu, ketika gelap malam mulai turun, sementara mereka yang sedang dalam perjalanan itu mempersiapkan tempat untuk bermalam, maka dipadepokan yang ditingalkan telah terjadi sedikit keributan.
Sabungsari yang datang mencari Agung Sedayu dan Glagah Putih telah mendapat jawaban yang sangat tidak masuk akal. Beberapa anak muda yang ada dipadepokan itu mengatakan, bahwa mereka tidak tahu, kemana Agung Sedayu dan Glagah Putih pergi.
"Apakah perjalanan mereka merupakan perjalanan rahasia?" bertanya Sabungsari.
"Kami tidak tahu Sabungsari. Benar-benar tidak tahu. Kami hanya melihat mereka berangkat. Hanya itu. Ketika hal itu kami tanyakan kepada Kiai Gringsing dan Ki Widura merekapun menggelengkan kepala sambil menjawab, "Kami tidak tahu tujuan mereka. Perjalanan yang akan mereka tempuh adalah sekedar perjalanan untuk mengetahui keadaan diluar pedepokan tanpa tujuan tertentu."
"Mustahil. Aku akan menjumpai Kiai Gringsing." geram Sabungsari.
Tetapi jawaban Kiai Gringsingpun tidak memuaskan mereka. Kiai Gringsing tidak mau menunjukkan, kemana ketiga orang itu pergi.
Seperti yang dikatakan oleh anak-anak muda yang tinggal dipadepokan itu, maka jawab Kiai Gringsing, "Sebuah perjalanan tamasya. Glagah Putih dan Agung Sedayu merasa terlalu letih saat mereka berada di Sangkal Putung. Karena itu, mereka akan mencari udara baru barang satu dua hari."
Sabungsari sama sekali tidak percaya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap Kiai Gringsing. Guru Agung Sedayu yang tentu tidak akan mudah dipaksanya untuk mengatakan sesuatu yang tidak ingin dikatakannya.
Karena itu, maka ketika kembali dari padepokan kecil itu, Sabungsari tidak langsung pergi ke baraknya, ia pergi ketempat beberapa orang pengikutnya yang tinggal pada seorang kenalan dari salah seorang pengikutnya itu.
"Aku tidak mau kehilangan Agung Sedayu," Sabungsari membentak-bentak. Lalu, "Cari anak itu sampai ketemu."
Para pengikutnya termangu-mangu. Sejenak mereka hanya dapat saling berpandangan.
"He, apakah salah seorang dari kalian tidak ada yang melihat anak itu pergi?" Sabungsari bertanya sambil berjalan mengelilingi ruangan, sementara para pengikutnya duduk sambil menundukkan kepalanya.
"Kita semuanya adalah orang-orang yang dungu. Sekian lamanya aku menunggu kesempatan itu. Dan kini aku telah melepaskan kesempatan yang sudah ada ditangan."
"Sabungsari," salah seorang pengikutnya mencoba memberanikan diri untuk memberikan keterangan, "kau sama sekali tidak memberikan gambaran ataupun petunjuk, bahwa ada kemungkinan Agung Sedayu meninggalkan padepokannya, sehingga kami telah melepaskan pengawasan atasnya. Kami mengira, bahwa akan ada persoalan lagi yang harus kami lakukan, setelah kau berhasil berkenalan dan kemudian menempatan diri sebagai sahabatnya."
"Itulah kedunguan kita. Aku kira Agung Sedayulah yang dungu, karena ia tidak mencurigai aku. Tetapi ternyata dengan diam-diam ia berhasil lepas dari pengawasanku. Jika aku mengira, ia telah lengah karena ia menerima aku, maka sebenarnyalah aku yang lengah, karena menganggap anak muda itu lengah." geram Sabungsari.
"Jika kehendakmu, kami harus mencarinya, maka kami akan mencari," berkata pengikutnya itu.
"Tentu. Aku harus menemukannya."
"Hidup atau mati" " bertanya pengikutnya.
"Kau gila. Kau kira bahwa kau dapat menangkapnya hidup atau mati"," geram Sabungsari, "jika Agung Sedayu menyadari kalian mengikutinya seandainya kalian telah menemukannya, maka kalianlah yang harus menerima nasib kalian. Jika Agung Sedayu mempunyai belas kasihan, maka kalian akan hidup. Jika kebetulan hatinya sedang panas, maka kalian semuanya akan mati hancur tersayat ujung cambuknya."
Para pengikut Sabungsari itupun terdiam. Mereka mengerti, betapa dahsyatnya anak muda dari Jati Anom itu. Dan merekapun menyadari bahwa kemampuan mereka sangat meragukan untuk menangkap Agung Sedayu.
Namun salah seorang dari mereka berkata didalam hati, "Kami akan dibunuhnya jika kami hanya seorang diri atau dua orang saja. Tetapi berlima kami mempunyai kekuatan yang cukup."
Meskipun demikian pengikut Sabungsari itu tidak mengatakannya.
"Nah, berangkatlah malam ini. Kalian harus menemukannya. Tugas kalian adalah sekedar mengikuti dan mengawasi kemana anak itu pergi. Besok seorang dari kalian harus menemui aku untuk memberikan laporan. Seorang dihari berikutnya sementara orang pertama harus menyusul kawan-kawannya. Orang ketiga dihari berikutnya lagi, sehingga dengan demikian aku akan dapat selalu mengatahui, dimana kalian berada."
Tidak seorangpun yang menyahut. Jika Sabungsari sudah menjatuhkan perintah, mereka hanya dapat melakukan, meskipun mereka harus menggerutu didalam hati.
Tugas yang harus mereka lakukan itupun merupakah tugas yang berat. Mencari Agung Sedayu yang pergi tanpa diketahui arahnya. Mereka harus mencari keterangan dari orang-orang tanpa menimbulkan kecurigaan mereka.
"Berangkatlah malam ini," berkata Sabungsari kemudian, "jangan kehilangan waktu terlalu banyak."
Pengikut-pengikutnya menjadi berdebar-debar. Salah seorang dari mereka mencoba memberanikan diri untuk berkata. "Jika kita berangkat malam ini, maka arah perjalanan kita benar-benar tanpa perhitungan. Tetapi jika kita menunggu siang hari, mungkin kita dapat bertanya kepada satu dua orang anak-anak muda Jati Anom dengan tidak menimbulkan kecuriagaan, barangkali ada diantara mereka melihat arah perjalanan Agung Sedayu dan Glagah Putih."
"Gila. Mereka tentu menuju ke Tanah Perdikan Menoreh, karena mereka pergi bersama Ki Waskita. Mungkin mereka menempuh jalan terdekat. Mungkin mereka melewati Mataram. Tetapi mungkin mereka mencari jalan lain yang jejaknya sulit untuk diikuti."
"Dan kami harus menempuh jalan yang mana."
"Gila. Cari sampai ketemu. Kalian dapat langsung menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Kalian dapat menunggu di daerah itu. Kalian harus mencari jalur jalan menuju ke padukuhan Ki Waskita yang terpisah dari Tanah Perdikan Menoreh itu sendiri."
"Apakah pasti Agung Sedayu akan pergi kesana?"
"Pertanyaan yang bodoh sekali. Mereka pergi bersama Ki Waskita. Jika sampai dua hari kalian tidak menemukan Agung Sedayu diperjalanan menuju rumah Ki Waskita, kalian cari saja rumahnya. Jika kalian tidak menemukan mereka dirumah itu, maka kalian harus menyusuri jalan kerumah Ki Gede Menoreh dan ke Mataram. Mungkin mereka singgah disana. Baru jika pada hari kelima kalian tidak menemukan, maka aku sendiri akan mencari. Aku akan minta ijin beberapa hari dari Untara. Jika Untara tidak mengijinkan, maka ialah yang akan aku bunuh sebagai pengganti Agung Sedayu. Membunuh Untara agaknya lebih mudah dari membunuh Agung Sedayu yang masih ditunggui gurunya itu."
Tidak seorangpun yang bertanya lagi. Mereka hanya tinggal melaksanakan perintah itu. Dapat atau tidak dapat.
Karena itu, maka ketika mereka masih belum beringsut, Sabungsari membentak, "He, kalian menunggu apa lagi" Kalian belum makan, atau kalian ketakutan?"
Pengikut-pengikutnya itupun segera berdiri. Mereka meninggalkan ruangan itu. menuju ke gedogan kuda; setelah mereka membenahi diri dan mengemasi barang-barang yang akan mereka bawa serta, termasuk senjata-senjata mereka.
Kepada penghuni rumah itu. para pengikut Sabungsari itu membisikkan tugas yang harus mereka lakukan, dengan pesan, "Pegang rahasia ini baik-baik, agar kau tidak terlibat dalam kesulitan."
Sejenak kemudian, maka beberapa ekor kuda telah meninggalkan halaman rumah itu. Mereka harus berhati-hati dan tidak menimbulkan kecurigaan. Mereka tidak serentak melewati gerbang pedukuhan. Dua orang lewat gerbang yang satu. seorang yang lain dan dua orang lewat lorong yang lain lagi.
Dalam pada itu, Sabungsari menjadi sangat gelisah. Ia benar-benar merasa kehilangan. Sudah sepantasnya ia melepaskan dendamnya atas Agung Sedayu. Ia tidak rela Agung Sedayu dibunuh oleh pihak yang manapun juga yang juga mendendamnya. Ia sendiri ingin membunuh dengan tangannya untuk menunjukkan bahwa perguruan Telengan tidak kalah dari perguruan Dukun Tua itu.
Tetapi tiba-tiba saja Agung Sedayu pergi meninggalkan padepokannya tanpa diketahuinya.
"Mungkin ia mengerti bahwa aku bermaksud membunuhnya, sehingga ia melarikan diri," geram Sabungsari.
Teringat olehnya prajurit Pajang yang pernah diancamnya agar ia mendapat kesempatan pertama untuk membunuh Agung Sedayu.
"Apakah orang itu yang memberitahukan rahasia ini" " guman Sabungsari, "tetapi tentu tidak. Barangkali mereka justru berterima kasih kepadaku jika aku berhasil membunuh Agung Sedayu."
Dengan gejolak perasaan yang bagaikan meretakkan dadanya. Sabungsari kembali kebaraknya. Tidak seperti biasanya, bahwa ia termasuk seorang prajurit muda yang ramah dan mudah bergaul, maka iapun langsung menuju kepembaringannya.
"He, Sabungsari," bertanya seorang kawannya, "nampaknya kau sangat lesu."
Sabungsari mengangkat wajahnya. Kemudian ia mencoba tersenyum sambil menjawab, "Tidak apa-apa. Aku hanya lelah."
Kawannya duduk dibibir pembaringannya. Hampir berbisik ia bertanya, "He, apakah gadis itu tidak ada dirumah. atau sedang pergi dengan laki-laki lain."
"Gila," Sabungsari membalikkan tubuhnya dan menyembunyikan wajahnya ditangannya yang bersilang, "aku tidak mau datang lagi kerumahnya. Aku lihat, ada beberapa anak muda yang datang bergilir."
Kawannya tertawa. Sabungsaripun tertawa pula. Namun ketika kawannya itu telah berdiri dan melangkah pergi, ia mengumpat dengan kasarnya meskipun hanya dapat didengarnya sendiri.
Semantara itu, para pengikutnya telah berada dalam perjalanan. Mereka telah berkumpul kembali diluar Kademangan Jati Anom.
"Pekerjaan gila," geram salah seorang dari mereka
"jika kita berangkat disiang hari, kita akan dapat bertanya kepada seseorang di padukuhan-padukuhan sebelah, kearah mana anak itu pergi. Dengan demikian kita mendapat petunjuk, setidak-tidaknya arah perjalanan mereka.
"Kita dapat bertanya kepada anak-anak muda yang berada di gardu-gardu desis yang seorang.
"Mereka akan mencurigai kita, dan beramai-ramai menangkap kita."
"He, kau takut melawan anak-anak Kademangan?"
"Jangan berpura-pura tidak tahu. Mereka adalah pengawal-pengawal yang terlatih. Meskipun mungkin aku seorang diri dapat melawan dua atau tiga orang pengawal, tetapi dengan isyarat titir, maka jumlah mereka akan menjadi ratusan dalam sekejap. Nah, apakah kau mampu melawan mereka seluruhnya?"
Kawannya tidak menjawab. Tetapi ia dapat membayangkan, apakah yang akan terjadi, seandainya terdengar suara titir. Apalagi jika kemudian prajurit Pajang yang sedang meronda di tlatah Jati Anom dan sekitarnya mendengar dan datang pula.
Jika diantara mereka terdapat Sabungsari, maka ialah yang akan membunuh kita pada saat itu juga," geram salah seorang dari kelima orang pengikut Sabungsari itu.
Merekapun kemudian terdiam. Mereka macam tidak mungkin bertanya kapada anak-anak muda itu di gardu-gardu.
"Kita akan pegi ke Tanah Perdikan Menoreh. Hampir setiap orang mengenal Agung Sedayu di Tanah Perdikan Menoreh. Kita akan bertanya kepada anak-anak muda disana apakah mereka melihat kedatangan Agung Sedayu," berkata salah seorang dari mereka.
"Apakah anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh tidak mencurigai kita yang belum pernah mereka kenal" " bertanya kawannya yang lain.
"Tentu kita akan berhati-hati. Kita tak akan berlima berbondong-bondong mendalangi anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi satu atau dua orang saja mendatangi anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Yang lain menunggu ditempat yang sudah ditentukan."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk, Itu adalah jalan yang paling baik yang dapat mereka lakukan dengan kemungkinan pahit yang paling kecil.
Karena itu, maka mereka tidak menunggu lagi. Merekapun segera memacu kuda mereka menuju ke Tanah Perdikan Menoreh.
"Kita tidak akan melalui Mataram," berkata seorang yang paling tua diantara mereka, "kita akan menempuh jalan memintas meskipun melalui jalan-jalan sempit dan pinggir-pinggir hutan."
Demikianlah meskipun malam menjadi semakin gelap, namun mereka meneruskan perjalanan lewat bulak-bulak panjang dan padukuhan-padukuhan. Namun mereka tetap berhati-hati. Mereka tidak berkuda bersama-sama. Mereka membagi dirinya menjadi dua kelompok yang berjarak beberapa puluh langkah.
Meskipun hal itu agaknya masih akan menarik perhatian juga, tetapi kemungkinannya telah banyak dikurangi.
Sementara itu, Agung Sedayu, Ki Waskita dan Glagah Putih ternyata mendapat tempat beristirahat yang baik meskipun merupakan suatu pengalaman baru bagi Glagah Putih. Mereka bergantian tidur barang sekejap. Sementara mereka menyalakan perapian yang tidak begitu besar untuk mengusir nyamuk dan menghangatkan tubuh.
Ternyata Glagah Putih benar-benar seorang anak muda yang memiliki sifat dan watak yang berbeda dengan Agung Sedayu dimasa lampaunya. Glagah Putih sama sekali tidak dapat digetarkan oleh gelapnya malam dihutan yang belum pernah dikenalnya. Disaat ia harus berjaga-jaga, maka ia duduk dengan tenang disebelah perapian. Sekali-kali ia berdiri dan berjalan mondar-mandir tanpa perasaan gentar.
Namun demikian, ternyata pada saat Glagah Putih yang mendapat giliran. Agung Sedayu dan Ki Waskita tidak sampai hati melepaskannya. Meskipun mereka nampaknya memejamkan matanya, namun sebenarnya mereka tidak tertidur. Hanya pada saat Agung Sedayu bertugas, Ki Waskita sempat tidur dan sebaliknya.
Akhirnya malam yang gelap dan dingin itupun berlalu. Ketika matahari mulai membayang dengan warna-warna merah di Timur, ketiga orang yang bermalam di pinggir hutan itupun mulai mengemasi diri. Mereka mencari sumber air untuk mencuci muka sebelum mereka siap untuk berangkat.
"Paman," bertanya Glagah Putih kepada Ki Waskita, "apakah jarak ke Tanah Perdikan Menoreh masih jauh" Jalan ini terasa asing sekali. Bahkan mungkin tidak banyak orang yang mengenalnya."
Ki Waskita tertawa. Katanya, "bertanyalah kepada kakakmu."
Glagah Putih memandang Agung Sedayu sejenak. Namun sebelum ia bertanya, Agung Sedayu menyahut, "Aku juga belum pernah melalui jalan ini Glagah Putih. Aku sudah beberapa kali pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi jalan ini baru sekali ini aku kenal."
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Kembali ia memandang Ki Waskita sambil bertanya, "Apakah paman juga belum pernah melihat dan melalui jalan ini?"
Ki Waskita tersenyum. Katanya, "Aku tentu sudah."
"Jadi?" "Kita sudah mendekati Kali Praga. Sebentar lagi kita menyeberang. Dan kita sudah berada di Tanah Perdikan Menoreh."
"Sudah dekat sekali?"
05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya." "Jadi kenapa kita harus bermalam" Dan rasa-rasanya perjalanan kita dihari pertama sangat lamban. Jika kemarin kita berjalan agak cepat, maka aku kira kita tidak perlu bermalam diperjalanan yang tidak terlalu jauh ini."
"Tetapi bukankah bermalam diperjalanan, apalagi dipinggir hutan, sangat menyenangkan" Kita memang dapat singgah di sebuah padukuhan dan minta ijin kepada Ki Demang agar kita diperbolehkan bermalam di banjar padukuhan. Namun kau tidak akan pernah mengalami dikerumuni nyamuk semalam suntuk dipinggir hutan."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa Ki Waskita dan Agung Sedayu sengaja mengajaknya bermalam dipinggir hutan yang sepi dan lembab itu.
"Matikan sisa-sisa perapianmu," berkata Ki Waskita.
"Biarkan saja paman. Nanti akan mati juga."
Tetapi Ki Waskita menggeleng. Katanya, "Jangan Glagah Putih. Jika satu dua helai daun kering terbang kedalam api, kemudian ditimbuni oleh daun-daun kering yang lain, maka apimu yang nampaknya sudah mati itu akan dapat menumbuhkan bencana. Jika hutan mulai terbakar, maka akan sangat sulit untuk menguasainya, sehingga mungkin sekali akan makan waktu berpekan-pekan dan menelan hutan yang cukup luas."
Glagah Putih mengangguk-angguk sambil melangkah keperapian yang nampaknya memang sudah padam. Tetapi untuk meyakinkannya, maka perapian itupun segera ditimbuninya dengan tanah yang basah oleh embun.
Sejenak kemudian ketiganya telah siap. Ki Waskita menuntun kudanya disamping Glagah Putih sambil berkata, "Kita akan menyusuri Kali Progo."
Glagah Putih mengerutkan keningnya, sementara Ki Waskita menjelaskan, "Kita akan mencari tempat penyeberangan. Mungkin tepian yang akan kami capai disebelah tidak mempunyai getek yang dapat membawa kita keseberang."
"Bagaimana jika kita berenang saja?" bertanya Glagah Putih.
Ki Waskita dan Agung Sedayu yang mendengar pertanyaan itu pula tertawa. Sambil menepuk kudanya Ki Waskita berkata, "Bagaimana dengan kuda kita" Seandainya kita tanpa membawa seekor kudapun, kita belum tentu dapat menyeberangi Kali Praga dengan berenang, karena arusnya yang deras. Jika Kali Praga itu sebuah belumbang yang luas, kita akan dengan senang hati menyeberang sambil berenang, meskipun kita harus menghindarkan diri dari kemungkinan adanya binatang buas didalam air."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Ia mulai membayangkan seekor buaya yang ganas di tepian yang basah dan berumput ilalang setinggi tubuh. Atau seekor ular sanca sebesar pohon kelapa dengan lidah terjulur.
Sejenak kemudian mereka bertiga telah berada dipunggung kuda yang berjalan tidak terlalu cepat. Mereka menyusuri jalan kecil yang semakin basah, karena mereka telah berada dekat sekali dengan Kali Praga.
Dalam pada itu, maka tiba-tiba saja Ki Waskita bertanya kepada Agung Sedayu, "Apakah kita akan singgah barang setengah hari di Tanah Perdikan Menoreh?"
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Jawabnya, "Terserah kepada Ki Waskita. Jika Ki Waskita menghendaki, aku tidak berkeberatan."
"Aku kira lebih baik kita singgah meskipun hanya sebentar. Kau sudah terbiasa pergi kerumah Ki Gede jika kau berada di Tanah Perdikan. Jika kali ini kau lewati Tanah Perdikan Menoreh tanpa singgah meskipun hanya sejenak, akan dapat menimbulkan berbagai pertanyaan di hati Ki Gede yang sudah semakin tua dan kesepian. Orang tua kadang-kadang suka mengurai persoalan tanpa landasan. Meskipun kau tidak pernah memikirkan apapun juga tentang Ki Gede, tetapi jika kau tidak singgah, maka akan timbul berbagai macam prasangka yang barangkali tidak beralasan sama sekali."
Agung Sedayu sama sekali memang tidak berkeberatan meskipun sekilas nampak wajah Prastawa yang gelap. Namun karena ia tidak merasa ada sesuatu persoalan, maka ia sama sekali tidak merasa segan untuk bertemu.
Dengan demikian, maka perjalanan merekapun bukan saja melalui Tanah Perdikan Menoreh, tetapi mereka akan singgah barang sebentar dirumah Ki Gede.
Perjalanan mereka memang sudah tidak terlalu lama lagi. Ketika mereka sudah menyeberangi Kali Praga, maka mereka sudah berada di bulak-bulak persawahan Tanah Perdikan Menoreh yang subur, sesubur Kademangan Sangkal Putung, meskipun disaat terakhir Sangkal Putung nampak menjadi lebih hidup karena Swandaru yang bekerja keras untuk memperbaiki tataran kehidupan Kademangannya.
Sementara itu, Ki Gede Menoreh nampaknya justru menjadi semakin lesu. Ia merasa sepi dirumahnya. Prastawa memang dapat memberikan suasana rumahnya lebih segar jika kebetulan ia berada dirumah Ki Gede. Namun agaknya ada yang tidak sesuai bagi Ki Gede Menoreh pada sikap Prastawa. Prastawa memang nampak penuh gairah menghadapi masa masa mudanya. Namun ia mempunyai sifat-sifat yang kurang disenangi oleh Ki Gede Menoreh. Prastawa kadang-kadang nampak deksura dan kasar. Kekerasan hatinya sering menumbuhkan akibat yang kurang menyenangkan bagi anak anak muda Tanah Perdikan Menoreh, meskipun kadang-kadang mereka tidak mengucapkan. Namun apabila satu dua orang diantara mereka berkumpul di gardu gardu atau duduk-duduk diujung padukuhan, diluar sadar telah terucapkan penyesalan mereka terhadap sikap Prastawa.
Bahkan tanpa sengaja, satu dua orang diantara mereka masih sering menyebut nama Agung Sedayu dan Swandaru. Mereka yang ikut bersama Ki Gede ke Sangkal Putung disaat Ki Sumangkar meninggal, sempat berceritera tentang apa yang telah terjadi di Sangkal Putung kepada kawan kawan mereka.
"Swandaru berhasil membuat Kademangannya bertambah subur," desis salah seorang dari mereka.
Agaknya anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh menyadari bahwa perkembangan Kademangan Sangkal Putung agaknya telah meloncat lebih maju dari Tanah Perdikan Menoreh.
Sementara itu. Agung Sedayu, Glagah Putih dan Ki Waskita telah menjadi semakin dekat. Beberapa orang anak muda lelah melihat mereka sehingga berlari-lari mereka menyongsong dan memberikan ucapan selamat.
"Kakang Agung Sedayu banyak dikenal orang disini," desis Glagah Putih.
"Ya, seperti terhadap anak muda tanah ini sendiri," sahut Ki Waskita.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Bahkan iapun rasa-rasanya ikut berbangga, bahwa sambutan terhadap Agung Sedayu nampaknya sangat menyenangkan.
Ki Gede Menoreh terkejut ketika seseorang memberitahukan kepadanya bahwa Agung Sedayu, Ki Waskita bersama seorang anak muda yang lain telah mendekati pintu gerbang.
"Swandaru ?" bertanya Ki Gede.
"Bukan," jawab orang itu.
Ki Gede tidak bertanya lagi, karena Agung Sedayu, Ki Waskita dan Glagah Putih telah memasuki halaman.
Ki Gede nampak gembira sekali karena kedatangan mereka. Seperti kanak-kanak yang merindukan sanak kadangnya, maka dengan tergopoh-gopoh Ki Gede menyongsong mereka turun kehalaman.
Tetapi alangkah kecewa Ki Gede Menoreh, ketika ia mengetahui bahwa mereka bertiga hanya akan singgah untuk waktu yang sangat pendek.
"Kedatangan kalian hanya menumbuhkan kekecewaan saja," berkata Ki Gede Menoreh.
"Tetapi bukankah itu lebih baik daripada Ki Gede hanya mendengar berita bahwa Agung Sedayu telah menempuh perjalanan melewati Tanah Perdikan Menoreh tanpa singgah," sahut Ki Waskita.
Tetapi Ki Gede berkata pula, "Bagaimanapun juga, aku akan menahan kalian sedikit-dikitnya satu malam."
Agung Sedayu dan Ki Waskita saling berpandangan. Namun akhirnya Ki Waskita berkata, "Jika Ki Gede berkeras, baiklah, besok kita meneruskan perjalanan yang tidak begitu jauh lagi."
Ki Gede tersenyum. Katanya, "Terima kasih. Aku gembira sekali. Hari ini aku merasa bahwa umurku akan menjadi bertambah panjang."
Berbeda dengan Ki Gede. maka wajah Prastawa yang kebetulan berada di rumah pamannya, nampak menjadi buram. Meskipun ia mencoba juga untuk tersenyum, namun senyumnya terasa betapa pahitnya.
Sementara itu, berita tentang kedatangan Agung Sedayu itu telah tersebar di seluruh Tanah Perdikan. Hampir setiap orang telah mengetahui, bahwa Ki Gede telah menerima tiga orang tamu. Agung Sedayu, saudara, sepupunya yang bernama Glagah Putih dan Ki Waskita.
Dengan demikian, maka tugas orang-orang yang dikirim oleh Sabungsari menjadi tidak terlampau sulit. Setelah semalam suntuk mereka menyusuri jalan ke Tanah Perdikan Menoreh dan hanya beristirahat sejenak, setelah mereka menyeberangi sungai, maka lewat tengah hari, salah seorang dari mereka telah berusaha mencari berita tentang Agung Sedayu, sementara kawan-kawannya menunggu dipinggir hutan.
Disebuah warung kecil, orang itu telah mendapat keterangan, bahwa benar ada tiga orang tamu dirumah Ki Gede.
Atheis 1 Pedang Siluman Darah 11 Utusan Iblis Tiga Naga Sakti 17
"He, kau akan membunuh aku sekarang?" bertanya prajurit muda itu.
Prajurit yang berada dipunggung kuda menggeram. Katanya, "Jika tidak sekarang, maka segera aku akan membunuhmu. Menyeretmu ketempat yang sepi, kemudian menguburmu tanpa diketahui orang lain."
Prajurit muda itu terlawa sedang yang dipunggung kuda berkata terus. "Sebenarnya bagiku tidak terlalu sulit untuk mencari siapakah yang berkhianat jika terjadi sesuatu atasku, aku dapat melaporkan kepada kawan-kawanku, jika terjadi sesuatu dengan aku atau salah seorang kawanku, maka kau akan menjadi sasaran pembalasan."
"Kau masih mengancam terus. Ketahuilah, bahwa aku tidak akan pernah takut akan ancaman yang bagaimanapun juga. Seandainya terpaksa aku harus berkelahi melawanmu, aku juga tidak takut. Jika kau ingin memfitnah aku, akupun mempunyai tangkisan yang kuat dari sudut pandangan yang manapun."
Prajurit diatas punggung kuda itupun kemudian menggeram, "Apakah sebenarnya yang kau kehendaki?"
"Nah, pertanyaan itulah yang seharusnya kita bicarakan."
"Aku sudah bertanya seperti itu tadi."
"Baiklah. Dengarlah. Kau adalah salah seorang pengikut dari mereka yang menyebut dirinya pewaris kerajaan Majapahit itu. Kau tentu ingin Agung Sedayu mati terbunuh." ia berhenti sejenak, lalu. "tetapi pesanku, jangan mendahului aku. Maksudku, serahkan saja kepadaku, akulah yang akan menentukan saat-saat kematian Agung Sedayu. Aku adalah orang yang paling mendendam kepada Agung Sedayu."
"Kenapa?" "Ia telah membunuh ayahku."
Praiurit diatas punggung kuda itu terkejut. Diluar sadarnya ia telah meloncat turun. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Siapa ayahmu itu, dan kenapa ia dibunuh oleh Agung Sedayu?"
Prajurit muda itu tertawa. Katanya, "Umurku tentu hampir sebaya dengan Agung Sedayu. Mungkin aku lebih tua satu dua tahun."
"Aku bertanya siapa ayahmu," potong prajurit itu.
"Ayahku adalah Kiai Sabungsanga yang juga dikenal dengan gelar Candramawa. Tetapi banyak orang yang mengenalnya dengan nama Ki Gede Telengan."
"Telengan," prajurit itupun berdesis, "jadi kau anak Telengan?"
"Ya. Aku adalah anak Telengan yang mewarisi segala ilmunya. Karena itu jangan mengancam lagi agar kau tidak mati terbakar oleh api yang menyala dari mataku," berkata prajurit muda itu.
Lawannya berbincang itupun menjadi tegang. Ia termangu-mangu ketika prajurit muda itu tertawa. Namun tiba-tiba ia membentak, "Jangan menakut-nakuti aku." Tetapi suaranya terdengar hambar dan ragu-ragu.
"Baiklah. Aku tidak menakut-nakutimu. Aku hanya minta, berilah aku kesempatan melepaskan dendam ayahku. Aku harus membunuh Agung Sedayu. Itulah sebabnya, aku menjadi prajurit meskipun yang paling rendah, sengaja untuk mencari kesempatan berada di Jati Anom. Akupun tahu segala persoalan tentang pewarisan Kerajaan Majapahit. Aku menyesal bahwa aku tidak ikut berada dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu saat itu."
"Siapa kau sebenarnya."
"Sudah aku katakan."
"Maksudku, siapa namamu sebenarnya."
Prajurit muda itu tersenyum. Jawabnya, "Panggil aku seperti kau menyebut namaku sehari-hari. Sabungsari. Itu memang namaku. Tetapi orang-orang dari perguruan Telengan menyebutku Ontang-anting, karena aku adalah anak tunggal Ki Gede Sabungsanga."
Prajurit yang telah turun dari kudanya itu menjadi berdebar-debar, namun ia masih ragu-ragu, apakah benar yang dihadapinya, itu anak muda yang mempunyai kemampuan melampui prajurit kebanyakan.
Agaknya anak muda yang bernama Sabungsari itu menyadari, bahwa prajurit itu masih tetap ragu-ragu. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berkata, "He, kau lihat kambing terikat dipohon jarak itu."
Prajurit itu ragu-ragu. Namun sebelum ia menyahut, maka ia melihat Sabungsari memusatkan inderanya memandang kambing yang terikat itu. Yang terdengar kambing itu memekik, kemudian jatuh terguling ditanah. Mati.
"Aku hanya bermain-main," berkata Sabungsari, "jika aku bersungguh-sungguh, maka kekuatanku melampaui kekuatan pandangan mata ayahku yang telah terbunuh oleh Agung Sedayu. Ada kekhilafan ayah pada waktu itu. Ayah melupakan landasan jasmaniahnya. Dilembah antara Gunung Merbabu dan Gunung Merapi ternyata tidak banyak terdapat kunir yang menjadi makanan pokok ayah dan aku sekarang ini."
Prajurit yang sudah turun dari kuda itu termangu-mangu. Ia melihat suatu kenyataan yang diluar jangkauan nalarnya. Yang terjadi adalah suatu yang menggetarkan dadanya.
Namun demikian prajurit itu berkata, "Aku tidak yakin bahwa yang aku lihat itu benar-benar seperti yang terjadi. Mungkin kau adalah seorang yang dapat mengelabui mataku, sehingga seolah-olah aku melihat kambing itu mati."
"Memang mungkin. Tetapi jika kau ingin meyakinkan, maka kaulah yang akan menjadi sasaran. Kau akan percaya sebelum nyawamu lepas dari tubuhmu."
Prajurit itu menjadi tegang. Wajahnya merah sekilas. Namun ia tidak berani berbuat apa-apa. Nampaknya anak muda itu benar-benar meyakini kata-katanya.
"Sekarang, pergilah. Katakan kepada kawan-kawanmu, jangan mengganggu Agung Sedayu. Membunuh Agung Sedayu bagi kalian adalah tugas yang besar. Tetapi bagiku selain tugas juga merupakan tanda bakti seorang anak laki-laki yang sudah diwarisi ilmu kenuragan oleh ayahnya. Aku yakin bahwa bagi kalian, siapapun yang membunuh tidak menjadi soal. Bahkan kalian telah minta tikus-tikus kecil dari Pesisir Endut itu untuk membunuhnya. Tetapi dua orang diantara mereka telah dibunuh oleh Pangeran Benawa yang lemah hati itu."
"Kau tahu segala-galanya."
"Aku berusaha untuk mengetahui dan aku mempunyai mata dan telinga yang berkeliaran meskipun aku disini."
"Tetapi, aku sama sekali tidak yakin akan kata-katamu bahwa kau mempunyai makanan pokok sebangsa empon-empon. Aku melihat setiap hari kau makan rangsum seperti kami. Nasi dengan segala lauk pauknya."
Sabungsari tertawa. Katanya, "Aku makan seperti kalian makan. Tetapi disamping itu aku makan sebangsa empon-empon, terutama jenis kunir. Aku juga makan jenis yang lain. Tetapi aku tidak pernah makan daun kangkung dan daun lumbu wungu."
Prajurit yang baru saja melapor itu termangu-mangu sejenak. Namun iapun tersentak ketika Sabungsari berkata, "Pergilah. Ingat-ingatlah kata-kataku Anggaplah aku akan membantumu daripada kau menunggu orang-orang Pasisir Endut atau orang-orang dari perguruan Carang Waja yang tidak berarti itu."
"Aku akan menyampaikan kepada Ki Pringgajaya."
Sabungsari tertawa. Katanya, "Pringgajaya memang harus diberi tahu. Hanya diberitahu, bukan minta ijin daripadanya. Juga Untara akan dengan mudah dapat aku bunuh, karena sebenarnya Untara tidak akan dapat mengimbangi kemampuan adiknya. Mungkin dalam ilmu keprajuritan Untara mempunyai pengetahuan yang lebih luas. Tetapi secara pribadi dalam olah kanuragan Agung Sedayu jelas lebih baik dari kakaknya."
Lawannya berbicara tidak menjawab lagi. Iapun kemudian meloncat kepunggung kudanya.
"Aku akan melaporkannya."
Sabungsari mundur selangkah. Kemudian sambil bertolak pinggang ia melihat prajurit yang sudah berada dipunggung kuda itu siap untuk berpacu.
"Aku juga akan pergi," berkata Sabungsari, "jika gembala yang mengikat kambing dipohon jarak itu datang dan melihat kambingnya mati, ia akan menangis meraung-raung. Aku tidak akan sampai hati melihatnya, karena aku adalah seseorang yang penuh dengan rasa iba dan belas kasihan."
Prajurit diatas punggung kuda itu tidak menyahut. Tiba-tiba saja ujung kendali kuda itu telah bergetar menyentuh tengkuk, sehingga kuda itu meloncat dan berlari kencang.
Prajurit muda itu tertawa. Ia sadar, bahwa prajurit berkuda itu merasa cemas, bahwa tiba-tiba saja ia telah menyerang dengan ilmunya yang aneh itu.
"Bertahun-tahun aku mempelajarinya," gumam Sabungsari, "sayang, aku harus melepas ayah pergi untuk selama-lamanya. Tetapi aku yakin bahwa ilmuku tidak kalah lagi dari ilmunya."
Prajurit berkuda itu menjadi semakin jauh. Sabungsari pun kemudian melangkah pergi. Ia pasti, bahwa prajurit itu dan kawan-kawannya, termasuk Pringgajaya tidak akan mengatakan kepada siapapun tentang dirinya. Dan iapun pasti, bahwa mereka akan bersenang hati jika ia berhasil membunuh Agung Sedayu.
"Dendam itu harus aku lepaskan." akhirnya ia menggeram.
Dalam pada itu, prajurit berkuda itupun telah memacu kudanya. Ia harus menemui kawan-kawannya ditempat yang sudah ditentukan. Dipinggir kali disebelah pategalan yang luas, di luar Kademangan Jati Anom.
"Aku bertemu dengan seseorang yang sama sekali tidak kita duga memiliki kemampuan setan," berkata prajurit itu.
Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Salah seorang dari mereka berkata, "Ceriterakan, apakah kau telah bertemu dengan Ki Pringgajayakan, apa yang telah terjadi setelah ia bertemu dengan Ki Pringgajaya.
"Ki Pringgajaya menganggap kita sangat bodoh dan telah melakukan kesalahan, justru karena aku datang ke barak disaat aku sedang bertugas. Tetapi kawan-kawan yang lain agaknya tidak menghiraukan. Ada saja yang pernah singgah sejenak di barak saat sedang meronda. Dan akupun berbuat seperti mereka itu. Namun, prajurit baru yang masih muda yang bernama Sabungsari itulah yang gila."
Prajurit itu menceriterakan apa yang dikehendaki, dan bagaimana ia telah membunuh seekor kambing.
"Kau tidak disihirnya ?"
"Tidak. Kambing itu benar-benar mati. Aku kira ia dapat membunuh seseorang dengan cara yang sama. Dan Agung Sedayu akan mati jika ia pada suatu saat bertempur dengan Sabungsari yang juga dipangil Ontang-anting."
"Kita akan menyampaikannya kepada Ki Pringgajaya."
"Ia tentu tidak akan berkeberatan," desis yang seorang.
Tetapi yang lain menggeleng. Katanya belum yakin.
Sejenak ketiga orang itu termangu-mangu. Nampaknya mereka sedang merenungi peristiwa yang baru saja disaksikan oleh salah seorang dari mereka.
Nanti malam, setelah tugas kita selesai dan digantikan oleh orang lain, kita akan berbicara dengan Ki Pringgajaya. Kita ingin tahu dengan pasti sikapnya, agar kita tidak salah langkah," berkata salah seorang dari mereka.
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Kemudian yang lain berkata, "Sekarang kita lanjutkan perjalanan kita. Kita masih harus memutari empat padukuhan lagi."
Ketiga orang itupun kemudian meneruskan tugas mereka meronda. Pada saatnya merekapun segera kembali ke induk pasukan peronda yang sedang bertugas, bertempat dibagian samping halaman rumah Ki Untara, disebelah sebuah gardu yang agak besar dihalaman itu, yang memang dibuat khusus setelah rumah itu dipergunakan oleh prajurit Pajang.
Tidak banyak yang mereka percakapkan selama mereka bertugas. Mereka tidak mengetahui dengan pasti, siapa sajakah yang mempunyai landasan berpijak sesuai dengan tugas mereka.
Menjelang malam, mereka mendapat kesempatan untuk beristirahat. Tetapi mereka masih harus kembali kehalaman rumah Ki Untara, karena mereka masih harus bertugas dimalam hari.
Dengan ijin pimpinan mereka, maka ketiga orang itupun meninggalkan halaman itu untuk menemui Ki Pringgajaya dibaraknya yang tidak terlalu jauh dari rumah Ki Uniara.
"Jangan terlalu lama. Menjelang tengah malam satu kelompok diantara kita akan nganglang. Saat itu kalian harus sudah berada di halaman ini kembali."
"Kami hanya sebentar Ki Lurah. Mandi kesungai, dan menghirup angin."
Demikian mereka keluar halaman, maka langkah mereka menjadi cepat. Mereka tidak mau kehilangan waktu agar mereka dapat berbicara agak panjang dengan Ki Pringgajaya.
"Masuklah kedalam barak. Jika kita bertiga bersama-sama, maka tentu akan menarik perhatian, karena kita bertiga bersama-sama sedang bertugas," berkata salah seorang dari mereka.
Karena itulah, maka yang kemudian masuk kedalam barak hanyalah seorang saja diantara mereka, sehingga kawan-kawannya yang melihat tidak menghiraukannya.
"Kami bertiga," berkata prajurit itu setelah ia bertemu dengan Ki Pringgajaya.
"Kalian memang gila, bodoh dan tidak mempunyai perhitungan."
"Hanya akulah yang masuk kedalam barak. Yang lain berada diluar, kami sudah mendapat ijin dari Ki Lurah yang bertugas saat ini untuk pergi ke sungai dan berjalan-jalan sebentar."
Ki Pringgajaya merenung sejenak. Kemudian katanya, "Pergilah. Aku akan menyusul kalian."
"Kami menunggu di pinggir kali, dibawah pohon sukun disudut pategalan itu," berkata prajurit yang datang menemuinya.
Demikianlah meka sejenak kemudian, Ki Pringgajaya dan ketiga orang prajurit yang menunggunya, telah duduk melingkar dibawah sebatang pohon sukun yang besar. Malam yang semakin gelap telah menyelubungi mereka, sehingga seakan-akan mereka telah menyatu dengan hitamnya kekelaman.
"Katakan, apa yang kau lihat."
Salah seorang dari ketiga prajurit itupun segera menceriterakan, bahwa mereka telah melihat Agung Sedayu bersama gurunya dan Ki Widura telah memasuki padepokannya kembali.
Pringgajaya mengangguk-angguk. Katanya, "Kita harus mengatur langkah-langkah selanjutnya."
"Tetapi masih ada persoalan yang harus dipertimbangkan," berkata prajurit itu pula.
"Semuanya harus dipertimbangkan sebaik baiknya."
"Maksudku, ada pihak ketiga yang ikut campur dengan persoalan Agung Sedayu."
"Siapa" " Pringgajaya menggeram.
Prajurit yang telah bertemu dengan Sabungsari itupun segera menceriterakan tentang prajurit muda itu.
"Sabungsari, prajurit muda yang baru diangkat itu?" bertanya Pringgajaya.
"Ya. Ternyata bahwa ia berada didalam lingkungan keprajuritan hanyalah sekedar dipakainya sebagai selubung. Ia mempunyai maksud tertentu dan tugas tersendiri."
Ki Pringgajaya mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Kita mempunyai masalah yang lebih luas dari sekedar membalas dendam. Sebenarnya yang penting bagi kita, tersingkirnya Agung Sedayu, siapapun yang melakukannya." Pringgajaya berhenti sejenak, lalu. "tetapi sudah barang tentu. Agung Sedayu bukannya tujuan dari perjuangan kita. Ia hanya salah satu unsur yang harus disingkirkan. Agung Sedayu, Kiai Gringsing dan sudah barang tentu orang-orang yang menurut perhitungan akan menguntungkan Mataram. Pada suatu saat, kitapun harus menyapu kekuatan Sangkal Putung."
Ketiga orang prajurit yang mendengarkannya hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi ia melihat perbedaan kepentingan antara Ki Pringgajaya dengan prajurit muda yang bernama Sabungsari itu.
"Karena itu," berkata Pringgajaya selanjutnya, "jika memang Sabungsari ingin melakukan balas dendam itu, biarlah ia melakukan. Tugas kita adalah melanjutkan apa yang telah dilakukannya. Kiai Gringsing itupun akan dapat membahayakan kedudukan kita. Bahkan jika perlu Widurapun harus kita singkirkan, jika kita mendapat bukti bahwa ia akan condong kepada Mataram. Untuk menghancurkan Sangkal Putung, kita harus membuat perhitungan tersendiri, karena Sangkal Putungpun mempunyai pengawal yang kuat, yang dapat digerakkan setiap saat, sementara Swandaru selalu berada didalam lingkungan mereka."
Prajurit itu mengangguk-angguk. Sementara Ki Pringgajaya meneruskan, "Jika kita berhasil membunuh mereka dan melumpuhkan Sangkal Putung dengan alasan apapun, maka kita sudah mengurangi kekuatan Mataram. Karena itu, jalan ke Mataram menjadi semakin luas."
Ketiga prajurit itu hanya mengangguk-angguk saja. Ternyata bagi Pringgajaya, Sabungsari justru akan dapat memberikan sumbangan pada tugasnya, seperti yang dikatakan oleh Sabungsari sendiri.
Dalam pada itu Pringgajayapun meneruskan, "karena itu, jangan berbuat apa-apa atas Sabungsari. Kau hanya perlu mengawasinya. Apapun yang dilakukan, biarlah menjadi tanggung jawabnya. Kita masih harus mempersiapkan banyak tugas. Kita yakin bahwa pada suatu saat Pajang dan Mataram tentu akan lenyap bersama. Kitalah yang akan segera berkuasa. Mungkin kakang Panji masih harus mengadakan penertiban kedalam. Orang-orang yang hanya bernafsu untuk mendapatkan upah dan kalenggahan akan disapu bersih seperti Pajang dan Mataram itu sendiri. Oleh karena itu, siapkan diri kalian dalam pengabdian."
Ketiga prajurit itu mengangguk-angguk.
"Sekarang kembalilah. Kita akan segera mendengar berita, apakah Agung Sedayu atau justru Sabungsari yang terbunuh. Bagi kita tidak banyak bedanya. Isi padepokan kecil itu pada suatu hari harus bersih. Untara harus mendapat kesan bahwa kematian adiknya adalah karena kesalahan dan tanggung jawab Mataram yang telah melibatkan anak muda itu kedalam suatu persoalan diluar kepentingannya."
Ketiga prajurit itupun kemudian minta diri untuk kembali ke halaman rumah Agung Sedayu. Mereka masih harus bertugas semalam lagi. Besok mereka mendapat istirahat sehari penuh.
Sementara itu. Agung Sedayu yang telah berada dipadepokannya kembali, rasa-rasanya tidak sabar lagi menunggu besok atau lusa. Bersama anak muda yang menunggui padepokannya, iapun pergi kesawah untuk melihat tamannya yang sudah agak lama ditinggalkannya. Ada semacam kerinduan yang menggeliliknya untuk segera dapat berada di tengah tengah sawah dan ladangnya kembali.
"Aku ikut," minta Glagah Putih.
"Besok sajalah," berkata Agung Sedayu, "aku hanya ingin melihatnya sejenak. Mungkin dimalam hari, air parit itu akan mengalir lebih banyak dibandingkan dengan siang hari, karena dibagian lain tidak banyak dipergunakan orang."
Tetapi Glagah Pulih tetap memaksa untuk ikut serta. Karena itu maka Agung Sedayu tidak dapat menolaknya. Katanya, "Mintalah ijin kepada ayahmu."
Buku 118 "AYAH tentu memperbolehkan jika kakang tidak berkeberatan."
"Aku tidak berkeberatan jika paman Widura mengijinkan."
"Itu namanya berputar-putar," Glagah Putih bersungut-sungut, "tetapi aku akan ikut kakang melihat sawah dan pategalan."
"Hanya sawah diujung lorong itu," potong Agung Sedayu.
"Ya. Sawah diujung lorong."
Glagah Putih tetap pada pendiriannya. Agaknya Ki Widura memang tidak melarangnya, sehingga Glagah Putihpun kemudian ikut bersama dengan Agung Sedayu dan seorang anak muda penunggu padepokannya.
Sudah agak lama Agung Sedayu meninggalkan sawah dan ladangnya. Tetapi nampaknya anak-anak muda yang ditinggalkannya adalah anak-anak muda yang rajin. Ternyata bahwa sawah dan ladang mereka nampak terpelihara rapi, seperti halaman dan kebun padepokannya yang nampak bersih dan terawat.
Udara yang segar rasa-rasanya seakan-akan menyusup lubang kulit sampai ketulang sungsum. Daun padi yang subur disentuh angin malam, bagaikan ombak lembut yang mengalir dari ujung sampai keujung bulak yang tidak terlalu panjang.
"Kau tidak lelah Agung Sedayu," bertanya kawannya yang mengikutinya kesawah.
"Aku sudah cukup lama beristirahat. Sore tadi aku sempat berbaring sebentar sebelum mandi," jawab Agung Sedayu.
"Aku sama sekali tidak lelah," berkata Glagah Putih, "bukankah aku tinggal duduk saja" Kudanyalah yang mungkin lelah."
Agung Sedayu menepuk bahu adik sepupunya. Sambil tersenyum ia berkata, "Kudanyapun tidak lelah. Kuda terbiasa menempuh jarak yang jauh."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Apakah manusia tidak dapat berlatih berjalan seperti seekor kuda" Cepat dan jauh?"
Agung Sedayu tertawa. Jawabnya, "Perbedaan itu sudah ada pada kodratnya. Yang dapat dilakukan oleh manusia adalah berusaha untuk meningkatkan segala yang ada padanya menurut batas yang memang sudah tidak akan dapat dilampauinya lagi. Karena itu, yang dapat kita capai dengan segala macam latihan dan penemuan diri adalah memanfaatkan yang ada pada kita setinggi-tingginya. Bukan saja kemampuan jasmaniah, tetapi yang terutama justru akal budi. Dengan akal kita mampu menimbuni segala macam kekurangan dan kelemahan. Tenaga manusia wajarnya jauh dibawah tenaga seekor lembu jantan. Tetapi justru manusia dapat memanfaatkan lembu bagi keuntungannya. Manusia dapat mempergunakan akalnya dalam banyak segi perbedaan. Tetapi manusia juga dikendalikan oleh budinya. Akal yang terlepas dari kendali budinya, justru akan sangat berbahaya bagi manusia itu sendiri."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ia mencoba untuk mengerti kata-kata Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu menepuk bahunya sambil berkata, "Jangan risaukan. Pada saatnya kau akan mengerti."
"Aku sudah mengerti," jawab Glagah Putih.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, "Jika demikian kau memang cerdas. Aku memerlukan waktu untuk memikirkan nasehat itu. Tetapi agaknya kau dapat langsung menangkap maksudnya."
Glagah Putih mengangguk. Katanya, "Tidak sulit."
Agung Sedayu tertawa. Katanya, "Baiklah. Kita sekarang sudah sampai diujung lorong. Didepan kita adalah sawah kita yang terakhir kita buka, namun nampaknya air didaerah inipun cukup banyak."
"Tidak ada bedanya dengan kotak-kotak sawah yang lain," jawab anak muda yang memelihara sawah dan padepokan Agung Sedayu.
Agung Sedayupun kemudian berjalan menyusuri pematang diantara tanaman yang hijau subur disawahnya. Rasa-rasanya ia telah menemukan ketenangan dan ketenteraman setelah beberapa saat lamanya ia dibayangi oleh kegelisahan dendam orang orang lain terhadapnya. Dendam karena peristiwa-peristiwa yang susul menyusul diluar kehendaknya.
Ternyata Glagah Putihpun senang berada disawah yang terbentang luas. Kunang-kunang yang tidak terhitung jumlahnya berterbangan dari daun kedaun. Sementara bunyi bilalang berderik-derik memecah sepinya malam.
Namun dalam pada itu, ketenangan Agung Sedayupun segera terganggu ketika ia melihat bayangan seseorang dilorong yang melintasi daerah persawahan itu. Bahkan bayangan itupun kemudian berhenti tidak terlalu jauh diujung pematang.
Glagah Putihpun melihat bayangan dikeremangan malam itu. Karena itu maka iapun berdesis, "Siapakah orang itu kakang?"
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja hatinya menjadi berdebar-debar. Apakah di padukuhan terpencil itu ia masih saja selalu dibayangi oleh dendam dan kebencian"
Tetapi Agung Sedayu tidak dapat membiarkan orang itu berdiri saja mematung tanpa menyapanya. Bahkan kemudian katanya didalam hati, "Mungkin justru akulah yang terlalu berprasangka."
Agung Sedayupun kemudian melangkah dipematang mendekati orang yang berdiri tegak itu. Beberapa langkah lagi daripadanya, ia mendengar orang itu berdesis, "Apakah aku berhadapan dengan Agung Sedayu?"
Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar.
Jawabnya, "Ya, aku Agung Sedayu."
Orang itu tertawa kecil. Katanya, "Sokurlah. Sebenarnya aku ingin menjumpai kepintu gerbangmu, aku melihat kau keluar dan menyusuri jalan ini. Aku ikuti saja kau dari kejauhan. Dan sekarang aku sudah bertemu denganmu."
Agung Sedayu menjadi semakin ragu-ragu. Tetapi ia melangkah mendekatinya sambil bertanya, "Apakah kau mempunyai suatu kepentingan?"
Orang itu tertawa. Jawabnya, "sebenarnya tidak. Aku hanya tahu bahwa kau adalah adik kakang Untara."
"Ya. Aku adalah adik kakang Untara. Siapa kau?"
"Namaku Sabungsari. Aku adalah seorang prajurit. Aku belum lama mendapat tugas di Jati Anom."
"O," Agung Sedayu mengangguk-angguk.
"Ternyata aku tidak begitu sesuai menjadi jemu berada didalam barak. Setiap hari aku bergaul dengan orang-orang yang sama dan melakukan pekerjaan yang serupa saja."
Agung Sedayu masih mengangguk-angguk.
"Aku ingin mengenal dan bergaul dengan orang yang berbeda. Aku tahu bahwa kau baru saja kembali dari Sangkal Putung. Karena itu aku sengaja datang kepadepokanmu. Sebenarnyalah aku tidak mempunyai kepentingan apapun selain mencari suasana baru. Aku benar-benar sudah jemu berada di dalam barak."
Agung Sedayu termangu-mangu. Ia tidak segera menjawab. Dicobanya untuk mengerti maksud yang sebenarnya dari prajurit muda yang menyebut dirinya bernama Sabungsari itu.
Dalam pada itu. Glagah Putih telah mendekatinya pula sambil bertanya, "Apakah kau termasuk anak buah kakang Untara?"
"Ya. Aku adalah anak buah Ki Untara," jawab Sabungsari, "tetapi siapakah kau?"
"Glagah Putih. Aku adalah saudara sepupu kakang Agung Sedayu."
"Kalau begitu kau juga sepupu dengan Ki Untara."
"Ya." Sabungsari mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Aku ingin mendapat kesempatan untuk datang kepadepokanmu."
"Datanglah," jawab Agung Sedayu, "Sudah tentu aku tidak berkeberatan."
"Terima kasih," desis Sabungsari, "besok, jika aku mendapat hari istirahat setelah bertugas, aku datang kepadepokanmu. Aku ingin mendapat tempat untuk menemukan suasana yang lain dari pada sebuah barak prajurit."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tanpa prasangka apapun ia berkata, "Aku menunggu. Aku senang jika kau sudi datang kepadepokan kecil itu."
Sabungsari tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "sekarang aku minta diri. Aku tidak banyak mempunyai kesempatan malam ini. Sebentar lagi aku akan bertugas nganglang di Kademangan Jati Anom dan sekitarnya."
Agung Sedayu melangkah semakin dekat terasa dadanya berdebar-debar ketika ia melihat dalam kegelapan sekilas mata anak muda itu bagaikan bercahaya.
Tetapi Sabungsari tetap tersenyum. Tidak ada tanda-tanda niatnya yang kurang baik, sehingga Agung Sedayupun kemudian berkata, "Baiklah. Datanglah kapan saja kau kehendaki."
Sabungsaripun kemudian minta diri. Ia akan datang disiang hari kepadepokan Agung Sedayu.
"Mungkin aku datang bersama satu dua orang kawanku," berkata Sabungsari ketika ia melangkah pergi.
"Datanglah," sahut Agung Sedayu, "aku senang menerima mereka."
Kepergian Sabungsari meninggalkan kegembiraan dihati Agung Sedayu. Ia merasa akan mendapat kawan-kawan baru dari lingkungan keprajuritan yang umurnya tidak terpaut banyak daripadanya.
"Apakah ia benar-benar akan datang?" bertanya Glagah Putih.
"Aku kira ia benar-benar akan datang."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia sama sekali tidak memikirkannya lagi. Bahkan iapun kemudian turun kedalam parit sambil mengayunkan cangkulnya, membuka pintu pematang untuk mengalirkan air kedalam sawah seperti yang sering dilakukan sebelumnya.
Agung Sedayu memandanginya saja sambil mengangguk-angguk. Glagah Putih termasuk seorang anak muda yang rajin, tetapi juga berkemauan keras.
Dalam pada itu, selagi anak-anak muda bekerja disawah, maka dipadepokan kecil itu Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Ki Widura sedang berbincang mengenai keadaan terakhir yang dialami oleh Agung Sedayu. Solah-olah Agung Sedayu telah menjadi pusat kisaran peristiwa yang menyangkut masalah Mataram dalam hubungannya dengan Pajang dan orang-orang yang menyebut dirinya pewaris Kerajaan Agung Majapahit.
"Aku kira tidak begitu Kiai," berkata Widura kemudian, "kita mungkin menganggap demikian karena kita dekat dengan Agung Sedayu. Kita tidak tahu pasti, peristiwa-peristiwa apa yang menyangkut Raden Sutawijaya, yang menyangkut Sultan Pajang sendiri dan mungkin orang-orang lain yang tidak kita kenal. Mungkin mereka mengalami persoalan-persoalan yang serupa dengan Agung Sedayu atau justru lebih parah lagi. Bahkan mungkin satu dua orang telah jatuh menjadi korban."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Mungkin demikian. Tetapi bagaimanapun juga, kita tidak akan dapat membiarkan kesulitan itu dialami oleh Agung Sedayu meskipun seandainya orang-orang lainpun mengalaminya."
Ki Waskita justru tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Sudah tentu Kiai. Dan kita akan bersama-sama berusaha."
Kiai Gringsing memandang Ki Waskita sejenak. Lalu katanya, "Aku justru khawatir bahwa pada suatu saat, Agung Sedayu tidak dapat mengelak lagi dari kesulitan yang menerkamnya. Mungkin dari depan dengan beradu dada. Tetapi mungkin dari belakang langsung menghantam punggung."
Ki Waskita dan Ki Widura mengetahui yang dimaksud oleh orang tua itu. Sebagai seorang guru maka kekhawatirannya itu dapat dimengerti.
Apalagi ketika Kiai Gringsing berkata, "Ketika terakhir kali ia mengalami serangan dari saudara tua orang-orang Pasisir Endut itu, sebenarnyalah ia telah mengalami kesulitan. Carang Waja telah mempergunakan ilmu yang langsung menyerang perasaan Agung Sedayu, sehingga seolah-olah keseimbangannya telah terganggu dengan goncangan-goncangan bumi."
Ki Widura mengangguk-angguk. Jawabnya, "Ia telah berhasil membebaskan diri dari pengaruh sirep. Tetapi pengaruh yang lain dari kekuatan Carang Waja, hampir saja mencelakainya. Untunglah, bahwa ia langsung menusuk sumber pancaran ilmu itu dengan rabaan pandangan matanya yang mempunyai nilai raba wadag itu."
"Itulah sebabnya," berkata Kiai Gringsing, "aku mulai memikirkan kelanjutan ilmu bagi Agung Sedayu. Ia sudah menemukan sendiri betapa besarnya kekuatan yang dapat dipancarkan dari pemusatan indera lewat tatapan matanya. Namun agaknya sudah sampai pula waktunya ia memiliki dasar-dasar ilmu yang langsung dapat mempengaruhi perasaan orang lain lewat getaran indera yang tidak kasat mata, disamping ilmu-ilmu kanuragan yang telah dimilikinya. Ia sudah waktunya mengetahui bagaimana seseorang dapat melepaskan ilmu sirep, ilmu gendam dan ilmu yang akan dapat menjadi perisai dari pengaruh ilmu semacam itu pula, meskipun sekedar bersifat melindungi diri sendiri.. Bukan sebagai alat untuk menyerang."
Ki Waskita dan Ki Widura mengangguk-angguk.
Mereka mengakui bahwa meskipun Agung Sedayu memiliki kemampuan yang tinggi dalam olah kanuragan, tetapi jika ia masih dapat ditembus oleh kegelisahan karena sentuhan langsung pada perasaannya dengan peristiwa-peristiwa semu. maka Agung Sedayu masih memiliki kelemahan yang dapat berakibat gawat bagi dirinya. Ilmu yang dimiliki oleh Ki Waskita, dengan ujud-ujud semu masih akan dapat memberikan pengaruh bagi ketahanan perasaan Agung Sedayu meskipun ia menyadari keadaan sepenuhnya, karena ia masih belum dapat dengan pasti membedakan, yang manakah yang sebenarnya dihadapinya, dan yang manakah yang sebenarnya hanya sekedar ujud semu. Iapun masih dibingungkan oleh peristiwa semu yang seolah-olah bumi telah berguncang dan langit akan runtuh oleh getaran suara tertawa dan teriakan. Mungkin rasa-rasanya telinganya akan pecah dan dadanya retak mendengar ilmu yang disebut Gelap Ngampar atau Gelap Sayuta, yang sebenarnya tidak ada yang akan berpengaruh bagi wadagnya.
Tetapi setiap orang akan dapat melihat, bahwa pengaruh perasaan bagi seseorang, mempunyai akibat yang tidak kalah dahsyatnya dengan pengaruh pada wadagnya. Kelumpuhan wadag sebagian dapat terjadi karena kelumpuhan perasaan. Dan mereka yang kehilangan pegangan justru akan menjadi korban yang pahit dari peristiwa-peristiwa yang sebenarnya tidak terlalu sulit untuk diatasi.
"Ki Waskita," berkata Kiai Gringsing, "aku adalah guru Agung Sedayu dalam olah kanuragan. Aku dapat mengajarinya mempergunakan cambuk sebaik-baiknya. Aku juga dapat mengajarinya ilmu pedang dan senjata-senjata yang lain disamping senjata yang khusus. Aku dapat menuntunnya mempergunakan tenaga cadangan dengan dasar penyaluran nafas dan pemusatan Indera serta membulatkan tekad dalam kedudukannya sebagai kesatuan alam kecil didalam keutuhan alam semesta. Namun aku tidak dapat meletakkan dasar-dasar ilmu yang mengutamakan sentuhan-sentuhan pada perasaan seseorang secara khusus dan mendalam, meskipun sebagai pribadi aku dapat berlindung dibalik kesadaranku menghadapi segalanya itu."
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia merasakan pula segi kelemahan pada diri Agung Sedayu seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing. Saat-saat ia menghadapi Panembahan Agung, dan Agung Sedayu sendiri menghadapi Ki Gede Telengan dan terakhir adalah Carang Waja, maka nampak sekali keuletan yang dapat membahayakan dirinya. Untunglah bahwa Agung Sedayu memiliki unsur sentuhan wadag pada tatapan matanya. Namun pada suatu saat ia akan dapat dibingungkan oleh kelemahan pada perasaannya menghadapi bayangan-bayangan semu dan peristiwa-peristiwa semu.
Sebelum Kiai Gringsing mengatakan sesuatu kepadanya, maka sudah terasa pada Ki Waskita, bahwa Kiai Gringsing menginginkan. untuk memberikan warna pada kemampuan Agung Sedayu, pada segi yang agak berbeda dari ilmu yang sudah diberikan oleh Kiai Gringsing kepada anak muda itu.
Namun demikian, terkilas di hati Ki Waskita, bagaimanakah murid Kiai Gringsing yang seorang lagi. Jika ia hanya memberikan pengetahuan itu kepada salah satu dari murid Kiai Gringsing, apakah itu dapat disebut adil.
Meskipun demikian. Ki Waskita tidak bertanya sesuatu. Apalagi Kiai Gringsing masih belum mengatakan kepadanya. Sehingga karena itu maka merekapun terdiam untuk beberapa saat.
Namun ternyata bahwa Kiai Gringsing memang tidak mengatakannya. Kiai Gringsing tidak menyerahkan muridnya untuk mendapatkan petunjuk dari Ki Waskita.
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Agaknya adalah suatu kebijaksanaan yang telah ditempuh oleh Kiai Gringsing. Jika ia menyerahkan Agung Sedayu kepadanya, maka iapun harus berbuat sama terhadap Swandaru, karena kedua-duanya adalah muridnya yang dibinanya bersama.
Tetapi agaknya Kiai Gringsing telah diganggu oleh sikap dan tingkah laku Swandaru pada saat-saat terakhir, sehingga ia kurang berani untuk mempertanggung jawabkan akibat dari kemampuan yang sangat tinggi pada muridnya yang seorang itu.
Ki Waskita sendiri ternyata telah melihat bayangan yang buram pada anak muda yang gemuk itu dihari kemudian. Meskipun ia juga melihat mendung dihari depan Agung Sedayu, namun arena yang sama-sama kelabu itu mempunyai jiwa yang berbeda.
Apalagi menilik perkembangan ilmu dari kedua murid Kiai Gringsing itupun nampak berbeda pula. Swandaru lebih banyak memperkembangkan kemampuan jasmaniahnya meskipun ia juga menelusuri tenaga cadangannya serta mempelajari ilmu pernafasan sebagai alas menyalurkan segenap kekuatannya. Namun dalam pada itu. Agung Sedayu lebih banyak melihat unsur-unsur kekuatan yang termuat didalam dirinya dalam hubungannya sebagai kesatuan dengan alam yang besar. Dengan matanya Agung Sedayu sudah berhasil menembus kesatuan tempat, sehingga tatapan matanya itupun mempunyai sentuhan wadag. Sementara itu cara Agung Sedayu mesu diri, menukik kedalam inti dari kekuatan yang tersimpan didalam dirinya yang bahkan hampir saja menenggelamkan dirinya kedalam kesulitan jasmaniah.
Karena itu, didalam wawasan Ki Waskita, Agung Sedayu akan lebih mudah mempelajari ilmu seperti yang dimaksud gurunya, yang kebetulan sebagian ada padanya. Meskipun ilmu itu tidak banyak berarti bagi mereka yang memiliki kemantapan kepercayaan kepada diri sendiri dan ketahanan jasmaniah yang tinggi. Namun ilmu itu pada waktunya akan dapat berguna pula untuk menghadapi saat-saat yang khusus, seperti yang pernah dialami oleh Agung Sedayu. Carang Waja adalah salah seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga ia seakan-akan dapat mengguncang bumi dan menghancurkan isi dada.
Tetapi Kiai Gringsing tidak berkata kepadanya tentang muridnya. Itu adalah pertanda bahwa Kiai Gringsing tidak bertindak sesuatu bagi ilmu murid-muridnya.
Namun Ki Waskita dapat menangkap hubungan peristiwa yang diharapkan terjadi oleh Kiai Gringsing. Ki Waskitalah yang sebaiknya atas kehendak sendiri memberikan petunjuk kepada Agung Sedayu. Dengan demikian, tidak ada kewajiban Ki Waskita untuk bertindak adil bagi kedua murid Kiai Gringsing, sedangkan Kiai Gringsing-pun tidak pula harus memberikan kemungkinan yang sama bagi kedua muridnya, karena yang terjadi adalah diluar permintaannya.
Ki Widura yang duduk merenungi pembicaraan mereka yang seolah-olah terputus itupun mengerti pula. Karena itu, maka ia sama sekali tidak menyambung pembicaraan itu. Ia lebih baik berdiam diri sambil menunggu, apakah yang akan dibicarakan oleh Ki Waskita dan Kiai Gringsing selanjutnya.
Ketiganya saling berdiam diri sampai malam menjadi semakin larut. Nampaknya mereka masing-masing telah terlibat kedalam persoalan dihati sendiri, sehingga mereka melupakan bahwa mereka duduk bersama.
Baru ketika mereka mendengar seorang penghuni padepokan itu berjalan melintas. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam.
"Malam telah larut," katanya.
Ki Waskita mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Agung Sedayu belum kembali."
Ki Widura mengerutkan keningnya. Agung Sedayu pergi bersama Glagah Putih. Bagaimanapun juga ia tidak dapat melepaskan dari kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi atas Agung Sedayu dan anaknya seperti yang telah terjadi di Sangkal Putung.
Tetapi mereka tidak perlu menunggu terlalu lama, karena sebentar kemudian Agung Sedayupun telah datang bersama Glagah Putih dan seorang kawannya, anak muda yang ikut menghuni padepokan itu.
Agung Sedayupun untuk beberapa saat ikut pula duduk bersama orang-orang tua itu. sementara Glagah Putih yang sudah mengantuk segera pergi ke pembaringan setelah mencuci kakinya.
Namun pembicaraan berikutnya tidak berlangsung terlalu lama. Merekapun segera meninggalkan ruangan itu kembali kedalam bilik masing-masing untuk beristirahat.
Ketika matahari kemudian bangkit dihari berikutnya, terasa pagi yang cerah itu memberikan kesegaran lahir dan batin. Rasa-rasanya padepokan kecil itu merupakan dunia tersendiri yang penuh ketenangan dan kedamaian. Tidak ada persoalan yang menegangkan. Nampaknya semua yang diam dan yang bergerak bersama-sama menikmati lahirnya hari baru.
Yang ada kemudian adalah kerja yang menyenangkan dipadepokan kecil itu. Suara sapu lidi dan senggot timba, seolah-olah telah membangunkan irama hidup yang segar dan tenang.
Agung Sedayu terkejut ketika dipagi hari itu, seorang anak muda muncul diregol padepokannya. Yang nampak pertama-tama diwajahnya adalah senyum yang cerah, secerah pagi itu.
"Apakah kau lupa kepadaku Agung Sedayu?" bertanya anak muda itu.
Agung Sedayupun tersenyum. Jawabnya, "Meskipun aku bertemu denganmu dimalam hari, tetapi aku tidak lupa. Kaulah yang semalam datang kesawah."
Anak muda itu tertawa. Katanya, "Aku memenuhi kata-katamu. Aku ingin mendapatkan suasana baru. Apakah kau keberatan."
"Sudah aku katakan Sabungsari," jawab Agung Sedayu, "aku senang kau datang. Silahkan. Aku akan mencuci tangan lebih dahulu."
"Jangan kau tinggalkan pekerjaanmu," potong Sabungsari.
Agung Sedayu yang sudah melangkah kepakiwan tertegun. Sementara Sabungsari berkata seterusnya, "Teruskan. Kau tinggal menyelesaikan sedikit lagi. Halaman padepokan ini akan nampak bersih dan gilar-gilar."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian sambil tersenyum ia barkata, "Sebaiknya aku menipersilahkan tamuku duduk dahulu."
"Tidak. Aku bukan tamu. Aku adalah kawan bermain. Anggap saja demikian. Kedatanganku memang tanpa keperluan apapun. Aku datang untuk mencari kesegaran. Jika kau menerima aku seperti kau menerima seorang tamu, maka aku akan jatuh lagi kedalam suasana yang kaku," sahut Sabungsari.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Jika demikian, terserahlah kepadamu. Aku akan menyelesaikan kerjaku. Duduklah lebih dahulu dipendapa."
"Tidak dipendapa. Aku akan duduk disini," jawab Sabungsari sambil duduk di babatur dinding halaman.
"Terserahlah," jawab Agung Sedayu, "jika kau ingin demikian, maka silahkan melihat-lihat padepokan kecilku ini."
Sabungsaripun mengangguk-angguk sambil menjawab, "Terima kasih. Selesaikan kerjamu lebih dahulu."
Sementara Agung Sedayu melanjutkan menyapu sudut halaman yang tersisa, maka Glagah Putih yang melihat kedatangan Sabungsaripun mendekat pula sambil berkata, "Tentu Ki Sanak yang datang semalam."
Sabungsari tersenyum. Jawabnya, "Tepat. Ternyata kau adalah anak muda yang cermat. Kau mengenal aku didalam gelap malam."
"Apa sulitnya?" bertanya Glagah Putih, "kau semalam juga memakai pakaian yang kau pakai sekarang."
Sabungsari tertawa, sementara Agung Sedayu berdesis, "Sst, kenapa kau sebut juga tentang pakaian?"
"Menarik sekali," berkata Sabungsari sambil tertawa, "adik sepupumu memiliki pengamatan yang luar biasa Agung Sedayu."
Agung Sedayupun tertawa juga, sementara Glagah Putih berkata, "Ah. jangan memuji. Aku menjadi malu sekali, seolah-olah aku benar-benar memiliki kelebihan."
"Kau memang mempunyai banyak kelebihan," sahut Sabungsari.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sambil mendekati Agung Sedayu ia berkata, "Kakang berikan sapu itu kepadaku. Biarlah aku yang menyelesaikan sudut yang sedikit itu."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak, namun kemudian diberikannya sapu itu kepada Glagah Putih sambil berkata, "Baiklah Glagah Putih. Selesaikan sudut yang tersisa itu."
"Tetapi aku tidak telaten menyapu halaman seperti kakang Agung Sedayu. Tanpa tapak kaki. Aku menyapu dengan cara yang biasa. Tidak mundur seperti undur-undur."
Sabungsari tertatik kepada kata-kata Glagah Putih itu. Tiba-tiba saja ia memperhatikan bekas sapu lidi Agung Sedayu. Katanya, "Luar biasa. Kau menyapu seluruh halaman ini tanpa telapak kaki. Aku tidak begitu memperhatikan. Jika Glagah Putih tidak mengatakan, aku tidak melihat perbedaan cara Agung Sedayu menyapu halaman ini."
Agung Sedayu tertawa. Katanya, "Aku hanya sekedar bergurau dengan diriku sendiri."
"Nampaknya demikian. Tetapi untuk melakukan seperti yang kau lakukan itu memerlukan ketahanan niat tersendiri. Kau melatih ketahanan dan ketekunan. Yang kau lakukan sungguh-sungguh mengagumkan."
Agung Sedayu masih tertawa. Kemudian katanya, "Marilah. Biarlah Glagah Putih menyelesaikannya. Marilah bertemu dengan Kiai Gringsing yang sudah aku anggap orang tuaku sendiri bersama dua orang kawan dekatnya."
"Jangan mengganggu mereka. Biarlah mereka melakukan kewajibannya. Aku akan berjalan-jalan mengelilingi padepokan ini jika kau tidak berkeberatan," sahut Sabungsari.
"Tentu aku tidak berkeberatan," jawab Agung Sedayu.
Keduanyapun kemudian berjalan menyusuri halaman samping padepokan kecil itu. Sabungsari tidak bersedia untuk dengan tergesa-gesa diperkenalkan dengan orang-orang tua yang berada di padepokan itu.
"Nanti saja, jika mereka sudah beristirahat," katanya.
Dalam pada itu. Kiai Gringsingpun sedang membersihkan ruang dalam pedepokannya, sementara Ki Waskita sedang mengisi jambangan dipakiwan. Ki Widurapun sedang sibuk dengan cangkulnya, mengatur air yang mengalir disebatang parit kecil di kebun mengaliri beberapa buah kolam yang ada di padepokan itu.
"Padepokan kecil ini memang luar biasa," desis Sabungsari yang sedang melihat-lihat padepokan itu. "berapa lama umur pedepokanmu?" tiba-tiba saja ia bertanya.
"Kenapa?" bertanya Agung Sedayu pula.
"Aku dengar padepokanmu ini belum terlalu lama kau bangun. Tetapi disini terdapat beberapa batang pohon buah-buahan yang sudah berbuah."
"O," Agung Sedayu mengangguk-angguk, "tanah ini adalah bekas tanah pategalan. Ditanah pategalan itu memang sudah terdapat beberapa batang pohon buah-buahan. Karena itulah, maka pohon itu kini sudah berbuah.Tegasnya, pohon buah-buahan itu ada disitu sebelum tempat ini menjadi sebuah pedepokan."
"O," Sabungsari mengangguk-angguk. Wajahnya nampak cerah. Nampaknya padepokan itu sangat menarik perhatiannya. "Sayang, aku seorang prajurit." gumannya.
"Kenapa kalau kau seorang prajurit?" sekali lagi Agung Sedayu bertanya.
"Aku tidak dapat sebebas kau menikmati ketnangan dalam padepokan kecil ini. Aku terikat pada suatu tata kerja yang teratur dalam ketertiban kewajiban."
"Jangan berkata begitu," jawab Agung Sedayu, "setiap lapangan mempunyai bentuk dan coraknya sendiri."
"Benar. Dan agaknya aku sudah terperosok kedalam lingkungan yang salah. Yang tidak sesuai dengan sifat dan pembawaanku."
Agung Sedayu memandang anak muda itu sekilas. Tetapi ia tidak menemukan kesan yang khusus diwajahnya yang tunduk.
Untuk sesaat keduanya saling berdiam diri. Mereka berjalan menyusuri halaman belakang padepokan bekas tanah pategalan itu.
Langkah mereka tertegun ketika mereka melihat seseorang sibuk membelokkan arus air sebuah parit kecil di kebun padepokan yang nampak hijau segar itu.
"Itulah Ki Widura, ayah Glagah Pulih," desis Agung Seayu.
Ternyata Widura mendengar kata-kata Agung Sedayu, sehingga iapun berpaling. Keningnya berkerut ketika ia melihat seorang anak muda dalam pakaian seorang prajurit berjalan bersama Agung Sedayu.
"Paman," berkata Agung Sedayu, "anak muda ini adalah seorang prajurit dibawah kakang Untara."
"Jauh dibawah," Sabungsari menyahut, "aku adalah prajurit ditataran paling bawah."
Ki Widura memandang Sabungsari itu sejenak. Kemudian diletakkannya cangkulnya. Sambil tersenyum ia berkata, "Aku mengenalmu dari pakaian yang kau kenakan anak muda."
"Namanya Sabungsari," Agung Sedayu memperkenalkan namanya.
Widura mengangguk-angguk. Katanya, "Sepagi ini kau sudah berada disini anakmas. Apakah kau hari ini tidak mempunyai tugas?"
"Aku mendapat istirahat hari ini Ki Widura. Aku baru turun dari tugas semalam suntuk meronda Jati Anom dan sekitarnya."
"Kau tidak mempergunakan saat-saat ini untuk beristirahat?" bertanya Ki Widura.
"Sebentar lagi. Pagi ini aku ingin singgah dipadepokan Agung Sedayu yang tenang ini."
"Tetapi sejak kapan kalian berkenalan?" tiba-tiba saja Widura bertanya.
05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sabungsari termangu-mangu. Tetapi Agung Sedayulah yang menjawab seperti adanya, "Semalam paman. Semalam Sabungsari menemui aku disawah untuk memperkenalkan diri."
Ki Widura mengangguk-angguk. Dan iapun tersenyum ketika Sabungsari menjelaskan niatnya seperti yang sudah dikatakannya kepada Agung Sedayu.
"Ya." Widura mengangguk-angguk, "mungkin kau menemukan udara baru dipadepokan ini. Silahkan. Bukankah kau baru melihat-lihat" Barangkali Agung Sedayu dapat menjamumu dengan buah-buahan meskipun agaknya masih terlalu pagi."
Sabungsari tertawa sambil mengangguk-angguk. Katanya, "Terima kasih. Terima kasih Ki Widura."
Keduanyapun meneruskan langkah mereka. Mula mula mereka menyusuri kolam yang jernih. Mereka melihat beberapa kelompok ikan gurami berenang melingkar-lingkar.
"Senang sekali," gumam Sabungsari, "kau tinggal memetik padi disawah, kemudian menangkap beberapa ekor gurami di kolam. Sehabis makan kau dapat memetik buah-buahan didahan yang segar."
Agung Sedayu tersenyum. Jawabnya, "Menyenangkan bagi yang tidak mengalaminya sehari-hari. Tetapi bagi kami, hal itu sudah terlalu biasa, sehingga memang itulah warna hidup kami sehari-hari."
Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, "Hari ini aku mendapat istirahat sehari penuh."
"Apakah kau akan berada di padepokan ini sehari penuh pula?" bertanya Agung Sedayu.
"Apakah kau tidak berkeberatan?"
"Kenapa aku berkeberatan?"
Sabungsari merenung sejenak. Lalu katanya, "Terima kasih. Aku akan berada disini sehari penuh."
Demikianlah seperti yang dikatakannya, Sabungsari berada di padepokan itu sehari penuh. Seperti anak-anak muda yang bebas dari segala kewajiban, Sabungsari menikmati hari istirahatnya bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih. Demikian mereka selesai makan siang, maka merekapun segera pergi kekebun belakang memetik buah-buahan. Rasa-rasanya Sabungsari ingin memetik semua buah jambu air yang berwarna kemerah-merahan beruntai bergayutan disetiap ranting.
Sambil berbaring di sehelai ketepe yang dianyam dari daun nyiur mereka berteduh dibawah rimbunnya sebatang pohon jambu air yang berbuah lebat sekali.
Dengan asyiknya mereka berceritera tentang bermacam-macam persoalan yang mereka jumpai sehari-hari dalam hidup mereka. Sabungsari berceritera tentang kejemuannya hidup dibawah bersama prajurit-prajurit yang lain. sementara Glagah Putih berceritera tentang padepokannya yang semakin subur.
"Sebentar lagi kuweni itu akan berbuah," berkata Glagah Putih, "sekarang daun-daunnya sudah mulai bersemi kemerah-merahan. Dari ujung daun-daun muda itu akan tumbuh bunga-bunganya yang putih. Kemudian akan bergayutan buah kuweni selebat daunnya. He, kau pernah makan kuweni?"
Sabungsari tertawa. Jawabnya, "Tetanggaku mempunyai pohon kuweni pula dipedukuhanku. Jika kuweni itu berbuah lebat, maka banyak yang berjatuhan dihalaman rumahku. Bukankah kuweni biasanya dibiarkan tua didahan?"
"Ya. Kami juga membiarkan kuweni itu berjatuhan. Barulah kuweni itu terasa enak sekali dimakan."
Sabungsari mengangguk-angguk. Dipandanginya daun kuweni yang mulai bersemi. Daun-daun mudanya yang berwarna kemerah-merahan memberikan kesegaran tersendiri diantara hijau daunnya yang rimbun.
Namun dalam pada itu, sekilas membayang rencananya yang akan dilakukannya untuk melepaskan dendam yang bersarang dihatinya. Ia tidak melupakan kematian ayahnya. Kini ia sudah berhadapan dengan orang yang telah membunuh ayahnya itu.
"Tetapi aku ingin menjajagi sampai dimanakah kemampuan ilmu Agung Sedayu sebelum aku menantangnya untuk berperang tanding," berkata Sabungsari didalam hatinya.
Tetapi Sabungsari tidak tergesa-gesa. Ia mempunyai banyak waktu untuk melakukannya. Ia sudah berhasil berkenalan dengan Agung Sedayu yang dicarinya dengan tekun untuk melepaskan dendamnya. Supaya ia tidak tergelincir seperti orang-orang yang mendahuluinya, maka ia ingin mengenal Agung Sedayu lebih banyak."
Karena itulah, maka Sabungsari tidak berbuat sesuatu. Ia benar-benar berlaku sebagai seorang kawan yang baik bagi Agung Sedayu, seperti yang dikatakan, bahwa dipadepokan itu ia telah menemukan suasana yang baru.
Dengan demikian, maka Agung Sedayu merasa bahwa ia telah mendapatkan seorang kawan baru yang sesuai dengan umurnya. Prajurit itu nampaknya seorang yang ramah dan berterus terang.
Menjelang senja, maka Sabungsari itu minta diri. Dengan hormat ia membungkuk dihadapan Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Ki Widura.
"Aku akan sering datang kemari," berkata Sabungsari.
"Kami akan menerima dengan senang hati ngger," sahut Kiai Gringsing, "datanglah di hari-hari istirahatmu kepadepokan ini."
Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, "padepokan ini merupakan tempat yang paling menyenangkan yang pernah aku kenal."
Kiai Gringsing hanya tersenyum saja. Kemudian dilepaskannya Sabungsari meninggalkan padepokan itu sampai keregol halaman padepokan bersama Ki Waskita dan Ki Widura.
"Anak yang baik," berkata Kiai Gringsing, "nampaknya ia seorang prajurit yang tangguh. Tetapi juga seorang anak muda yang merindukan sesuatu. Nampaknya ia pernah kehilangan dan kini ia sedang mencari isi dari kekosongan itu."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Namun wajahnya membayangkan sesuatu yang agak buram.
"Apakah yang Ki Waskita lihat?" bertanya Kiai Gringsing.
Ki Waskita termenung sejenak. Dipandanginya anak muda yang semakin lama menjadi semakin jauh itu.
"Apakah kau baru mengenalnya semalam Agung Sedayu?" bertanya Ki Waskita.
"Ya Ki Waskita," jawab Agung Sedayu, "semalam ia menyusul kami di sawah ketika kami menengok air yang mengalir tidak begitu lancar diparit yang menyilang jalan kecil itu."
Ki Waskita masih mengangguk-angguk. Gumamnya seolah-olah kepada diri sendiri, "Anak itu memang baik. Tetapi aku melihat sesuatu yang mungkin keliru dipenglihatanku."
"Apakah yang kau lihat?" bertanya Ki Widura.
"Aku melihat noda yang melekat di senyumnya yang cerah itu."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Katanya, "Rasa-rasanya ia seorang yang baik. Hatinya terbuka dan agaknya ia memang seseorang yang memerlukan orang lain didalam hidupnya."
"Ya. Nampaknya didalam sikap dan kata-katanya. Tetapi aku melihat jauh lebih dalam lagi. " Ki Waskita berhenti sejenak, lalu. "tetapi isyarat itupun kurang dapat aku pahami."
Agung Sedayupun mengangguk-angguk. Seandainya Ki Waskita tidak melihat isyarat apapun, maka kecurigaannya memang wajar. Adalah terlalu berlebih-lebihan bahwa anak muda itu menyusulnya kesawah. Kemudian pagi-pagi benar ia sudah berada dipadepokan. Sehari penuh ia berada dipadepokan itu untuk melihat-lihat dan mengenal setiap sudut-sudutnya, seolah-olah tidak ada sejengkal tanahpun yang dilampauinya.
"Tetapi bagiku," berkata Agung Sedayu didalam hatinya, "sikap itu adalah justru sikap yang tulus, tanpa dibuat-buat dan jujur."
Namun Agung Sedayu tidak mengatakannya. Ia menahannya didalam hati. Namun ia mengharap bahwa akhirnya Ki Waskita akan mengakui kebenaran dugaannya itu.
Sejak saat itu, maka Sabungsari terlalu sering datang kepadepokan kecil itu. Bahkan hampir setiap waktu terluangnya, meskipun hanya beberapa saat, ia memerlukan datang. Kadang-kadang ia datang berkuda masih dalam pakaian keprajuritannya yang lengkap. Ia hanya berteriak saja didepan regol. Jika Agung Sedayu atau Glagah Putih telah menjenguknya, maka sambil melambaikan tangannya ia berpacu meninggalkan regol itu.
Bagi Agung Sedayu. Sabungsari merupakan kawan yang baik. Sekali-sekali keduanya pergi bersama mengelilingi Jati Anom. Kadang-kadang Glagah Pulih ikut bersama mereka. Tetapi kadang-kadang tidak seorangpun serta.
Jika keduanya berkuda di bulak panjang yang sepi, terbersit keinginan Sabungsari untuk menyelesaikan tugas yang terasa selalu bergejolak didalam dadanya. Ia ingin segera dapat melepaskan dendam yang sudah lama tersimpan. Tetapi Sabungsari tidak mau mengorbankan harga dirinya sebagai seorang anak muda yang memiliki ilmu yang tinggi dengan membunuh lawannya dari belakang. Ia harus menyatakan maksudnya kepada Agung Sedayu, kemudian menyelesaikan persoalannya dengan cara seorang laki-laki, perang tanding.
Namun setiap kali Sabungsari masih dibayangi oleh keragu-raguan. Ia belum berhasil menjajagi kemampuan Agung Sedayu, sehingga setiap kali ia masih saja menahan hati.
"Aku harus dapat mengetahui dengan melihat sendiri, apa yang dapat dilakukan oleh anak ini," berkata Sabungsari didalam hatinya. Karena selama itu. ia baru mendengar kata orang, bahwa Agung Sedayu adalah seorang anak muda yang memiliki kemampuan tidak terlawan.
"Omong kosong," kadang-kadang Sabungsari menggeram. Namun pendengarannya itu selalu membayanginya dengan keragu-raguan.
"Aku akan mengajaknya bermain-main dengan ilmu," katanya didalam hati, "dengan demikian, aku akan dapat melihat, apakah yang telah dilakukannya."
Dengan demikian, maka Sabungsari selalu mencari kesempatan untuk dapat melihat, apa yang dapat dilakukan oleh Agung Sedayu. Dengan berbagai cara ia mencoba untuk menyudutkan Agung Sedayu kedalam keadaan yang memungkinkannya menunjukkan kemampuannya.
"Agung Sedayu," katanya pada saat ia berkunjung di padepokan kecil itu, "setiap orang mengatakan, bahwa kau adalah orang yang tidak terlawan saat ini. Dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, kau berhasil membunuh beberapa orang terpenting dari mereka yang menyebut dirinya pewaris kerajaan Majapahit. Sebenarnyalah, aku sebagai seorang prajurit, kadang kadang merasa iri. Umurmu dan umurku tidak terpaut banyak. Mungkin aku lebih tua sedikit, sebaya dengan Ki Untara. Namun aku tidak pernah dapat membayangkan, apa yang pernah kau lakukan itu."
Pertanyaan itu mengejutkan Agung Sedayu. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Dari siapa kau mendengar peristiwa yang terjadi di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu?"
Sabungsari memandang Agung Sedayu dengan heran. Katanya, "Setiap mulut mengatakannya demikian. Setiap prajurit di Jati Anom mengetahui bahwa adik Untara telah melakukan sesuatu yang tidak masuk akal. Tetapi hal itu telah terjadi."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Sama sekali tidak benar. Aku tidak berbuat apa-apa. Aku bertempur diantara para pengawal dari Mataram, dari Tanah Perdikan Menoreh dan dari Sangkal Putung. Aku tidak mempunyai kelebihan apapun dari mereka. Apalagi dengan para pemimpin pengawal itu."
Sabungsari memandang Agung Sedayu dengan kecewa. Katanya, "Aku tahu, bahwa kau bukan seorang anak muda yang sombong, yang senang dipuji, apalagi sesongaran menunjukkan kelebihannya. Tetapi aku sekedar menuruti gejolak hati yang tidak dapat aku tahan lagi. Sebagai seorang prajurit yang ingin aku ketahui adalah olah kanuragan."
Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Katanya, "Tidak ada yang dapat aku tunjukkan kepadamu dan kepada siapapun. Yang terjadi seperti yang kebanyakan terjadi dipeperangan. Dan aku hanyalah satu dari sekian banyak orang."
Sabungsari tersenyum, betapapun kecutnya. Katanya, "Aku sudah mengira. Tetapi bagaimana kau dapat membunuh Ki Gede Telengan, Ki Tumenggung yang memegang kendali pertempuran dari mereka yang berada dilembah itu, Samparsada dan Kelasa Sawit, jika kau hanya satu diantara yang sekian banyaknya."
"Aku tidak membunuh mereka. Bagaimana mungkin kau dapat menuduhku membunuh mereka itu?"
"Agung Sedayu," desis Sabungsari, "mungkin kau benar. Tetapi kau adalah sebab terakhir kematian merereka."
"Kelasa Sawit?" bertanya Agung Sedayu. Namun kemudian Katanya, " Sudahlah. Aku ingin melupakan semuanya. Yang terjadi merupakan bayangan yang kelam didalam hidupku. Aku mohon jangan kau sebut lagi."
Sejenak Sabungsari termangu-mangu. Namun katanya kemudian, "Maaf Agung Sedayu. Jika aku menyebutnya, bukan karena aku ingin mengingatkan kau apa yang telah terjadi. Tetapi sebenarnyalah bahwa aku sebagai seorang prajurit ingin melihat, bagaimana kau mengetrapkan ilmu yang tiada taranya itu. Menurut pendengaranku, kau mempunyai kemampuan yang seolah-olah tidak terbatas."
"Ah," desah Agung Sedayu.
"Jangan menyelubungi kemampuan yang sudah diketahui oleh setiap orang itu Agung Sedayu."
"Itu omong kosong," desis Agung Sedayu, "sudahlah. Marilah kita berbicara tentang pohon buah-buahan, tentang burung yang berkicau dan tentang air parit yang bening."
"Tetapi aku seorang prajurit Agung Sedayu. Aku tentu akan lebih banyak berbicara tentang olah kanuragan dan olah senjata jenis apapun juga," jawab Sabungsari.
"Dan aku" Aku seorang petani dipadepokan kecil. Aku lebih tertarik kepada pohon buah-buahan dan tanaman yang hijau disawah. Dan memang sebenarnyalah aku hanya pandai menyiangi padi yang tumbuh subur serta menghalau burung pipit menjelang padi dituai."
Sabungsari sudah menduga, bahwa ia tidak akan mudah memaksa Agung Sedayu memamerkan kemampuannya, apapun alasannya. Sifat-sifat Agung Sedayu yang mulai dikenalnya sejak ia bergaul dengan anak muda itu, memberikan beberapa petunjuk, bahwa ia akan mengalami kesulitan untuk menjajagi ilmu anak muda yang seolah-olah tertutup rapat diruang perbendaharaan berlapis tujuh.
"Gila," Sabungsari bergumam didalam hatinya, "aku harus berhasil mengetahui tingkat ilmunya sebelum aku terjerumus kedalam kesalahan seperti yang pernah terjadi. Jika aku tidak yakin dapat membunuhnya. maka aku akan menunda sampai saatnya aku menyempurnakan ilmuku barang enam atau sepuluh bulan dengan tekun berdasarkan ilmu yang sudah aku kuasai. Meskipun aku merasa bahwa yang aku miliki sekarang ini sudah lebih selapis, atau setidak-tidaknya setingkat dengan ilmu ayahku, namun ada kemungkinan bahwa Agung Sedayupun telah meningkat pula."
Karena itu, Sabungsari masih harus bersabar. Ia bukan seorang yang bodoh dan tergesa-gesa. Tetapi ia ingin menyelesaikan persoalannya dengan sikap seorang laki-laki dalam perang tanding. Bukan seorang pembunuh yang licik yang menikam lawannya dari punggung.
Karena itu, maka yang dilakukan kemudian dan dihari berikutnya, sama sekali tidak mengesankan rencananya yang sudah tersusun rapi. Ia masih merupakan kawan yang baik bagi Agung Sedayu, bahkan bagi Glagah Putih. Baginya Glagah Putih bukannya persoalan yang perlu mendapat perhatian tersendiri. Ia tahu bahwa Glagah Putih dengan tekun melatih diri dibawah tuntunan Agung Sedayu dan ayahnya, Ki Widura dalam cabang ilmu Ki Sadewa yang agak berbeda dari ilmu yang diwarisi oleh Agung Sedayu dari Kiai Gringsing. Namun ternyata bahwa Agung Sedayupun nampaknya menguasai benar-benar setiap unsur gerak dari ilmu ayahnya yang telah meninggal itu.
Tetapi tingkat ilmu Glagah Putih barulah pada tataran dasar, meskipun meningkat dengan pesatnya.
Meskipun demikian, isi padepokan kecil itu selalu berlaku hati-hati dan sesuai dengan kebiasaan didalam setiap perguruan yang sebenarnya. Latihan-latihan khusus selalu dilakukan dalam ruang tertutup bagi orang lain. Bahkan bagi anak-anak muda yang tinggal dipadepokan itu.
"Aku harus mendapat akal," berkata Sabungsari kepada dirinya setiap kali ia digelisahkan oleh rencananya yang masih belum maju setapakpun baginya, sehingga ia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk mengintip kedalamnya.
Sementara itu Ki Waskita masih tetap berada dipadepokan kecil itu. Sudah ada niatnya untuk pulang. Tetapi ketika ia melihat isyarat yang buram pada anak muda yang bernama Sabungsari, ia menjadi ragu-ragu.
Namun akhirnya Ki Waskita ragu-ragu terhadap dirinya sendiri. Ternyata sudah beberapa lamanya Sabungsari berkenalan dengan Agung Sedayu, sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa ia bertindak tidak jujur. Keduanya seperti sahabat yang saling mempercayai dalam banyak hal.
"Aku mulai tua," berkata Ki Waskita kepada diri sendiri, "banyak yang nampak kabur dimata hatiku. Tetapi itu tidak perlu aku sesali."
Dengan demikian, maka niat Ki Waskita itupun kemudian disampaikannya kepada Kiai Gringsing, bahwa ia sudah lewat waktunya untuk pulang ke rumahnya.
"Aku mengatakan kepada keluargaku, bahwa aku tidak lama berada di Sangkal Putung. Mereka tentu menunggu. Meskipun aku sudah terbiasa pergi, namun semakin tua istriku menjadi semakin cemas melepaskan aku."
Kiai Gringsing tertawa. Tetapi ia tidak dapat menahan Ki Waskita lebih lama. Adalah wajar sekali, sebagai seorang yang berkeluarga, maka ikatan keluarga itu jauh lebih penting dari ikatan persahabatan yang manapun juga.
Meskipun demikian. Kiai Gringsing masih juga bertanya, "Ki Waskita, bagaimanakah pendapat Ki Waskita tentang Agung Sedayu?"
Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mengerti Kiai. Ternyata kini ia banyak mendapat cobaan. Ia kini harus menghadapi berbagal macam ilmu. Di Sangkal Putung, ia harus berhadapan dengan ilmu sirep yang tajam. Juga ilmu yang langsung menyentuh angan-angan dan pertimbangannya. Melawan saudara tua kedua kakak beradik dari Pesisir Endut, maka selain bertempur melawan orang itu dalam olah kanuragan, iapun harus memerangi kegelisahannya karena baginya, seolah-olah bumi telah terguncang."
"Ya Ki Waskita. Aku tidak mempunyai dasar pengetahuan mendalam tentang hal itu. Aku hanya dapal menangkis berdasar pada keyakinanku atas diri sendiri. Tetapi tidak karena aku memahami ilmunya secara mendasar."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Ia mengerti yang dimaksudkan oleh Kiai Gringsing. Iapun menyadari bahwa sebagai dua orang yang berbeda perguruan dan warisan ilmu yang pernah mereka pelajari, maka Kiai Gringsing dan Ki Waskita mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing, pada segi yang berbeda-beda.
Ki Waskitapun sadar, bahwa Kiai Gringsing memerlukannya bukan bagi dirinya sendiri. Sebenarnya juga bukan bagi Agung Sedayu itu sendiri. Tetapi dalam tugas yang diemban oleh Agung Sedayu, kadang-kadang ia menemukan kesulitan karena jenis-jenis ilmu yang tidak terhitung jumlahnya yang tersebar dimuka bumi. Yang satu mempunyai kelebihan dari yang lain. Tetapi tidak ada ilmu yang tidak terkalahkan, betapapun dahsyatnya.
Kiai Gringsingpun tidak akan menyerahkan Agung Sedayu dalam bimbingan orang lain sebagaimana seorang guru menyerahkan muridnya untuk mendapatkan bimbingan khusus, karena murid Kiai Gringsing tidak hanya seorang saja.
Karena itu, maka seolah-olah diluar sadarnya, maka Ki Waskitapun berkata, "Kiai, apakah Kiai mengijinkan Agung Sedayu pergi bersamaku barang satu dua pekan?"
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Iapun mengerti sikap Ki Waskita. Karena itu, maka iapun menjawab, "Jika Ki Waskita menghendaki anak itu untuk mengikuti perjalanan Ki Waskita kembali, aku tidak berkeberatan."
"Baiklah Kiai. Aku akan bertanya langsung kepadanya," berkata Ki Waskita kemudian.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia menyadari sepenuhnya, bahwa ia sudah berbuat sesuatu yang tidak seimbang bagi murid-muridnya. Meskipun ia tidak dengan resmi berkata kepada Ki Waskita, menyerahkan Agung Sedayu untuk mendapatkan tambahan ilmu yang mempunyai sifat dan watak yang berbeda dengan ilmu yang telah dikuasai oleh anak itu, namun ia telah membuka jalan bagi Agung Sedayu. Tetapi tidak bagi Swandaru. Kepada orang lain ia dapat berkata, bahwa niat itu tumbuh dari hati Ki Waskita sendiri yang sudah lama bergaul dengan Agung Sedayu. Juga kepada Swandaru ia dapat berkata seperti itu. Tetapi ia tidak dapat mengatakannya kepada dirinya sendiri.
"Apa boleh buat," katanya kepada diri sendiri, "aku tidak mempunyai niat buruk. Swandaru menunjukkan gejala sifat yang kurang dapat aku pahami, sedang Agung Sedayu bagiku mempunyai sikap dan pandangan hidup yang lebih sesuai dengan ketinggian ilmu yang bakal dimiliki dan dikembangkannya."
Namun Kiai Gringsingpun menyadari, bahwa Agung Sedayupun mempunyai cacat jiwani. Keragu-raguan dan ketidak pastiannya akan dapat mengganggunya, tetapi yang ada padanya, masih jauh lebih cerah dari yang nampak pada Swandaru.
Ketika Agung Sedayu menunggu senja, duduk diserambi gandok padepokan kecilnya, maka Ki Waskitapun mendekatinya. Sejenak mereka berbincang mengenai sawah dan ladang. Namun percakapan itupun kemudian semakin menjurus pada maksud Ki Waskita.
"Aku akan mengajakmu barang satu dua pekan," berkata Ki Waskita.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Katanya, "Apakah guru akan mengijinkan?"
"Aku sudah berbicara dengan gurumu," jawab Ki Waskita, "aku bermaksud menunjukkan kepadamu sesuatu yang barangkali penting bagimu. Bagi bekal hidupmu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Waskita berkata selanjutnya, "Ternyata bahwa duniamu untuk sementara memang menjadi buram karena dendam dan kebencian. Yang terjadi adalah diluar kehendakmu dan diluar kuasamu untuk menolak."
"Ya Ki Waskita," Agung Sedayu menundukkan kepalanya.
"Dendam itu selalu membayangimu, sebagaimana membayangi Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa." Ki Waskita berhenti sejenak, lalu. "namun mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang pilih tanding."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia menyadari bahwa Ki Waskita bukannya tidak mempunyai maksud tertentu dengan kata-katanya itu. Sebagai seorang perasa Agung Sedayupun segera menangkap, bahwa Ki Waskita bermaksud mengatakan kepadanya, agar ia mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan dengan memperdalam ilmunya, sehingga setidak-tidaknya tidak terpaut terlalu banyak dari kedua orang anak muda itu.
Sebenarnya bahwa Agung Sedayu tidak dapat menjajagi. betapa tingginya ilmu Raden Sutawijaya. Ia adalah seorang anak muda yang terlalu sering mesu diri. menempa ilmunya sehingga melampaui kebanyakan orang.
Sedangkan Pangeran Benawa adalah seorang anak muda yang ajaib. Yang terlempar dari dunianya oleh kekecewaan yang mendalam. Namun ia adalah seorang anak muda yang memiliki ilmu tiada taranya. Agung Sedayu sendiri telah menyaksikan, bagaimana Pangeran Benawa pernah membunuh dua bersaudara dari Pesisir Endut.
Diluar sadarnya Agung Sedayu telah melihat ke dirinya sendiri. Yang terakhir ia telah bertempur melawan saudara dari kedua kakak beradik dari Pesisir Endut yang telah dibunuh oleh Pangeran Benawa.
"Apakah dengan demikian, aku sudah pantas menyejajarkan diri disamping kedua anak muda itu" " pertanyaan itu tiba-tiba saja telah tumbuh dihatinya.
Sebuah kebanggaan memang membersit dihatinya. Bagaimanapun juga Agung Sedayu adalah seorang yang dikehendaki atau tidak, telah sering terlibat dalam pertempuran melawan orang-orang berilmu tinggi. Karena itulah, maka kemampuan dan tingkat ilmu kanuragan masih juga merupakan kebanggaan baginya.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja terkilas wajah Rudita. Wajah yang jernih dan cerah. Secerah wajah-wajah anak-anak yang sama sekali tidak tersentuh noda-noda hitamnya kehidupan.
"Ah," tiba-tiba saja Agung Sedayu berdesah. Namun ia telah terperosok jauh kedalam lingkaran dendam kebencian yang seakan-akan tidak berujung dan berpangkal seperti sebuah lingkaran.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam ketika Ki Waskita bertanya, "Apakah kau siap untuk berangkat dalam waktu dekat?"
Sejenak Agung Sedayu berpikir. Jawabnya kemudian, "Aku siap Ki Waskita. Tetapi bagaimana dengan Glagah Putih, aku kira ia ingin sekali untuk ikut serta dalam perjalanan ini. Setiap kali ia selalu minta agar ia diijinkan untuk ikut dalam setiap perjalanan."
Ki Waskita mengangguk-angguk, "Bagaimana dengan kau" Jika kau tidak berkeberatan, akupun tidak berkeberatan. Selebihnya, bagaimana dengan Ki Widura.
Agung Sedayu termenung sejenak. Memang ada keinginannya untuk mengajak adik sepupunya itu. Perjalanan yang agak panjang akan membuatnya mengenal lingkungan yang lebih luas. Namun dengan demikian, ia mempunyai pertanggungan jawab yang lebih berat. Glagah Putih sendiri adalah seorang anak muda yang baru dalam olah kanuragan. Meskipun ia memiliki dasar yang baik, tetapi yang sudah diserapnya masih belum terlalu banyak.
"Aku akan minta pertimbangan guru dan parnan Widura," berkata Agung Sedayu kemudian, "jika keduanya tidak mengijinkan, maka aku tidak akan membawanya meskipun ia minta."
"Baiklah, mintalah petunjuk-petunjuk mereka. Kita akan berangkat besok pagi."
"Besok pagi," Agung Sedayu mengulangi, "begitu cepat?"
"Aku sudah terlalu lama disini."
"Baiklah Ki Waskita. Aku juga akan minta diri kepada Sabungsari agar ia tidak kecewa bahwa ia tidak dapat menjumpai aku jika ia datang kemari. Apalagi jika aku pergi bersama Glagah Putih."
Tiba-tiba saja wajah Ki Waskita menjadi buram. Sekilas terbayang kembali isyarat yang pernah dilihatnya tentang anak muda yang bernama Sabungsari itu. Namun yang akhirnya diragukannya sendiri.
Meskipun demikian, Ki Waskita itupun berkata, "Aku kira tidak perlu Agung Sedayu. Biarlah Kiai Gringsing atau Ki Widura mengatakan kepadanya, bahwa kau sedang menempuh suatu perjalanan. Akupun tidak sependapat jika mereka yang tinggal akan memberitahukan, kemana kau pergi untuk satu dua pekan mendatang."
"Kenapa" " Agung Sedayu menjadi heran, "ia sering datang ke padepokan ini. Sikapnya selama ini baik kepadaku dan kepada Glagah Putih."
"Agung Sedayu," berkata Ki Waskita bersungguh-sungguh, "jika aku ingin mengajakmu pergi untuk satu dua pekan itu tentu aku mempunyai maksud tertentu. Aku kira kau sudah mengerti. Karena itu. maka kepergianmu sebaiknya tidak perlu diketahui oleh orang-orang yang tidak berkepentingan meskipun ia sahabat baik bagimu."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia tidak mengerti maksud Ki Waskita.
Karena itu, maka Ki Waskita yang melihat keragu-raguan diwajah Agung Sedayu mencoba menjelaskan, "Agung Sedayu. Biarlah kepergianmu kali ini merupakan persoalan perguruanmu, bahkan lebih sempit lagi, karena aku dan juga Kiai Gringsing tidak menyertakan saudara seperguruanmu sendiri. Bahkan aku berniat untuk tidak memberitahukan hal ini kepada siapapun juga selain kau sendiri dan jika dikehendaki dan diijinkan, Glagah Putih."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sebenarnya ia merasa kecewa bahwa ia tidak diperbolehkan untuk minta diri kepada sahabatnya yang dianggapnya seorang anak muda yang baik, yang memerlukan seseorang untuk mengisi kekosongan hidupnya, karena ia telah menjadi jemu kepada lingkungannya.
Namun Agung Sedayupun tidak dapat melanggar pesan Ki Waskita. Ia sadar, bahwa niat Ki Waskita membawanya tentu ada hubungannya dengan perkembangan terakhir yang terjadi atas dirinya.
"Nah, mulailah mempersiapkan diri. Katakan kepada gurumu, kepada pamanmu dan kepada Glagah Putih. Jangan kau ajak anak itu jika ia tidak menyatakan atas kehendaknya sendiri. Baru kemudian ia harus minta diri kepada ayahnya dan persetujuan Kiai Gringsing."
Agung Sedayupun kemudian bangkit dan melangkah mencari gurunya untuk minta pertimbangannya.
Tidak banyak persoalan yang dihadapi Agung Sedayu dari gurunya, karena ternyata Kiai Gringsing telah mengetahui segala-galanya. Kiai Gringsing hanya memberikan beberapa pesan, bahwa perjalanannya itu bukan perjalanan tamasya.
Ketika Agung Sedayu menyinggung Glagah Putih, maka Kiai Gringsing berkata, "Kau harus minta ijin pamanmu Widura. Tetapi jika anak itu tidak berkeras untuk ikut, biarlah ia tinggal bersama kami dipadepokan ini."
Agung Sedayu mengangguk. Ia menjadi ragu-ragu menghadapi Glagah Putih. Sebenarnya ia ingin juga seorang kawan diperjalanan pulang untuk kawan berbincang. Namun jika Glagah Putih ikut bersamanya, maka ia akan berada dibawah tanggung jawabnya.
"Aku kira tidak akan banyak rintangan disepanjang jalan," berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri. Namun ketika teringat olehnya dendam yang sudah dinyalakannya dimana-mana, maka ia menjadi bimbang.
Hampir diluar sadarnya ketika Agung Sedayu justru menyampaikan niatnya untuk pergi bersama Ki Waskita lebih dahulu kepada Glagah Putih sebelum ia bertemu dengan pamannya, Ki Widura.
Seperti yang diduganya, dengan serta merta Glagah Putih berkata, "Aku ikut dengan kakang. Kali ini harus."
"Siapa yang mengharuskan Glagah Putih?" bertanya Agung Sedayu.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Jawabnya, "Aku. Aku yang mengharuskan aku sendiri untuk ikut."
"Jika aku berkeberatan."
"Terserah kepada kakang Agung Sedayu. Tetapi aku akan mengikuti kemana saja kakang pergi. Aku ingin sekali melihat-lihat daerah yang agak jauh."
Agung Sedayu memandangi wajah adiknya yang nampak bersungguh-sungguh. Anak itu tentu akan sangat kecewa jika kali ini ia tidak diijinkan untuk ikut pergi bersamanya.
Karena itu, maka Agung Sedayu berkata, "Glagah Putih. Semuanya tergantung kepada paman Widura. Jika paman mengijinkan, akupun tidak berkeberatan. Tetapi kau harus menyadari, bahwa mungkin perjalanan yang nampaknya akan menyenangkan itu akan menjadi perjalanan yang berat. Diperjalanan pulang, kita hanya akan berdua saja. Kau harus menyadari, apa yang pernah terjadi atas kita. Terutama atas aku sendiri."
Glagah Pulih mengangguk-angguk. Katanya, "Dimanapun akan sama saja bahayanya. Jika orang-orang berniat buruk, maka ia dapat menyergap kita bukan saja diperjalanan, tetapi dapat dilakukan di sawah, di ladang atau di pategalan. Saat-saat kita menunggui sawah atau saat-saat kita memetik buah-buahan."
Agung Sedayu mengangguk-angguk pula. Apalagi ketika Glagah Putih berkata, "Justru di padepokan ini mereka akan dapat segera menemukan kita. Agak berbeda dengan diperjalanan, karena kita dalam keadaan bergerak."
"Baiklah," berkata Agung Sedayu, "aku akan menemui paman Widura. Semuanya terserah kepada paman."
"Aku ikut menemui ayah. agar aku dapat menjelaskan kepada ayah, bahwa aku bukan kanak-kanak lagi."
Agung Sedayu tidak dapat menolak. Berdua mereka mencari Ki Widura untuk menyampaikan maksudnya.
Ketika Ki Widura mendengar rencana kepergian Agung Sedayu yang akan diikuti oleh Glagah Putih, maka Ki Widura hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti kepentingan kepergian Agung Sedayu. Namun nampaknya Glagah Putih benar-benar ingin ikut bersamanya.
"Perjalanan itu bukannya perjalanan untuk sekedar menengok sanak kadang," berkata Ki Widura, "seandainya demikianpun, maka kau harus mengetahui Glagah Putih, bahwa banyak hal yang dapat terjadi diperjalanan."
"Aku mengerti ayah. Banyak orang yang tidak senang terhadap kakang Agung Sedayu, karena kakang Agung Sedayu mereka anggap selalu merintangi maksud-maksud buruk mereka. Tetapi akupun tahu, bahwa dimanapun juga, bahaya itu akan dapat menerkam kita."
Ki Widura ternyata tidak dapat mencegah Glagah Putih. Setiap usahanya untuk menahan agar Glagah Putih tetap tinggal dipadepokan, ada saja dalih yang dapat diberikan oleh anak itu.
"Glagah Putih," berkata Ki Widura kemudian, "jika kau memang sudah menyadari bahwa perjalanan itu merupakan perjalanan yang berat, maka terserahlah kepadamu untuk menentukan."
"Aku akan pergi ayah," berkata Glagah Putih dengan pasti.
Ki Widura hanya dapat mengangguk-angguk sambil berkata, "Tetapi berhati-hatilah diperjalanan. Perjalanan kalian adalah perjalanan yang banyak mengandung kemungkinan. Saat kalian berangkat, maka kalian akan bersama dengan Ki Waskita. Tetapi diperjalanan kembali kepadepokan ini, kalian hanya akan berdua saja."
"Tidak apa-apa ayah," jawab Glagah Putih dengan serta merta.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti maksud Ki Widura yang memperingatkannya, bahwa banyak persoalan yang sedang dihadapi oleh Agung Sedayu. Sekilas terbayang orang dari Pesisir Endut yang menuntut kematian kedua saudaranya, bukan kepada Pangeran Benawa, tetapi justru kepadanya. Teringat pula oleh Agung Sedayu, beberapa orang yang mencarinya dan menyusulnya sampai ke Mataram.
Karena itu, maka agaknya benar pesan Ki Waskita, untuk tidak mengatakan kepada siapapun, kemana ia akan pergi. Juga kepada Siabungsari, karena mungkin sekali Sabungsari akan menceriterakan kepada orang-orang lain yang akhirnya sampai ketelinga orang-orang yang mendendamnya.
Agaknya setelah Ki Widura tidak dapat menahan Glagah Putih, tidak ada lagi yang akan dibicarakannya. Yang dilakukan oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih kemudian adalah mempersiapkan diri untuk satu perjalanan yang cukup panjang bagi Glagah Pulih, namun cukup mengandung banyak kemungkinan bagi Agung Sedayu.
Dimalam hari menjelang keberangkatan Ki Waskita bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih, orang-orang tua di padepokan kecil itu masih sempat untuk berbicara tentang beberapa hal. Tentang masa depan dan tentang perkembangan keadaan.
Ketika malam itu Sabungsari datang berkunjung kepadepokan kecil itu. Agung Sedayu sama sekali tidak mengatakan bahwa besok pagi-pagi ia akan pergi bersama Ki Waskita. Glagah Putihpun telah dipesannya pula untuk tidak mengatakan apapun juga tentang rencana kepergian mereka.
Karena itu, maka Sabungsari sama sekali tidak mengira, bahwa Agung Sedayu akan meninggalkan padepokan itu untuk beberapa hari lamanya.
Demikianlah ketika matahari terbit di pagi hari berikutnya, maka tiga ekor kuda telah siap menempuh perjalanan. Mereka membawa sedikit bekal diperjalanan. Meskipun perjalanan itu bukannya perjalanan yang sangat panjang, tetapi bagi Glagah Putih akan merupakan pengalaman baru disaat-saat umurnya menjelang dewasa.
Kiai Gringsing dan Ki Widura mengantar mereka sampai keregol halaman. Kemudian melepas mereka pergi dengan berat hati. Terutama karena Glagah Putih ikut bersama mereka.
Tetapi mereka tidak dapat menganggap Glagah Putih sebagai kanak-kanak untuk seterusnya dan membiarkannya selalu berada di dalam pengawasan orang tua. Pada suatu saat ia harus merintis jalan bagi kedewasaannya. Bukan saja umurnya, tetapi juga sikap dan pandangan hidupnya.
Karena itu, maka betapapun beratnya. Glagah Putih dilepaskannya pula pergi bersama Agung Sedayu dan Ki Waskita, meskipun Ki Widura sadar, bahwa saat mereka kembali, maka Glagah Putih hanya akan dikawani oleh Agung Sedayu saja.
Demikianlah, maka sejenak kemudian ketiga ekor kuda itupun telah berderap menyusuri jalan-jalan bulak yang panjang. Dalam cahaya matahari pagi, udara merasa segar menyusup sampai ketulang.
Diperjalanan itu Glagah Putih nampak gembira sekali. Kudanya kadang-kadang berlari mendahului Agung Sedayu dan Ki Waskita. Namun kemudian di tengah-tengah bulak ia berhenti untuk menunggu.
Tidak ada hambatan apapun pada saat mereka berangkat. Agar perjalanan mereka merupakan perjalanan yang terasa panjang, maka sengaja mereka tidak singgah di Mataram.
Ki Waskita dan Agung Sedayu ternyata dengan sengaja memberikan kesan perjalanan yang sebenarnya. Karena itu, maka mereka telah merencanakan untuk bermalam diperjalanan. Bermalam diperjalanan akan merupakan suatu pengalaman tersendiri meskipun jalan menuju ke Menoreh merupakan jalan yang ramai.
Tetapi Ki Waskita dan Agung Sedayu sengaja memilih tempat bermalam yang agak asing. Bukan di banjar-banjar Kademangan atau ditempat sanak-kadang yang dilalui disepanjang perjalanan, tetapi Ki Waskita telah membawa Glagah Putih lewat jalan setapak yang melewati tepi hutan dilereng Gunung Merapi.
Jalan memang bertambah panjang. Tetapi hal itu dilakukan dengan sengaja oleh Ki Waskita dan Agung Sedayu. Mereka menempuh jalan yang semakin sulit dan bahkan kadang-kadang kuda mereka seakan-akan hanya merangkak lambat seperti seekor siput.
"Kita terpaksa bermalam diperjalanan," berkata Ki Waskita.
Dengan seria merta Glagah Putih menyahut. "Menyenangkan sekali."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat Glagah Putih jauh berbeda dari dirinya sendiri pada umur yang sama. Pada saat ia masih sangat muda, maka Agung Sedayu tidak lebih dari seorang penakut yang menggigil melihat daun bergerak ditempuh angin digelap-nya malam. Bahkan suara cengkerik didengarnya seolah-olah suara hantu yang sedang meringkik mentertawakannya.
Tetapi Glagah Putih adalah seorang anak muda yang lain. Sejak masih kanak-kanak seolah-olah tidak ada yang ditakutinya. Ia memiliki kemauan yang keras dan ketekunan atas sesuatu minat.
Bagi Glagah Putih, bermalam dimanapun bukan merupakan persoalan yang perlu dicemaskan. Ia tidak takut kepada hantu. Tidak takut kepada binatang buas dan tidak takut orang-orang yang ingin merampok sekalipun.
Dalam pada itu, ketika gelap malam mulai turun, sementara mereka yang sedang dalam perjalanan itu mempersiapkan tempat untuk bermalam, maka dipadepokan yang ditingalkan telah terjadi sedikit keributan.
Sabungsari yang datang mencari Agung Sedayu dan Glagah Putih telah mendapat jawaban yang sangat tidak masuk akal. Beberapa anak muda yang ada dipadepokan itu mengatakan, bahwa mereka tidak tahu, kemana Agung Sedayu dan Glagah Putih pergi.
"Apakah perjalanan mereka merupakan perjalanan rahasia?" bertanya Sabungsari.
"Kami tidak tahu Sabungsari. Benar-benar tidak tahu. Kami hanya melihat mereka berangkat. Hanya itu. Ketika hal itu kami tanyakan kepada Kiai Gringsing dan Ki Widura merekapun menggelengkan kepala sambil menjawab, "Kami tidak tahu tujuan mereka. Perjalanan yang akan mereka tempuh adalah sekedar perjalanan untuk mengetahui keadaan diluar pedepokan tanpa tujuan tertentu."
"Mustahil. Aku akan menjumpai Kiai Gringsing." geram Sabungsari.
Tetapi jawaban Kiai Gringsingpun tidak memuaskan mereka. Kiai Gringsing tidak mau menunjukkan, kemana ketiga orang itu pergi.
Seperti yang dikatakan oleh anak-anak muda yang tinggal dipadepokan itu, maka jawab Kiai Gringsing, "Sebuah perjalanan tamasya. Glagah Putih dan Agung Sedayu merasa terlalu letih saat mereka berada di Sangkal Putung. Karena itu, mereka akan mencari udara baru barang satu dua hari."
Sabungsari sama sekali tidak percaya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap Kiai Gringsing. Guru Agung Sedayu yang tentu tidak akan mudah dipaksanya untuk mengatakan sesuatu yang tidak ingin dikatakannya.
Karena itu, maka ketika kembali dari padepokan kecil itu, Sabungsari tidak langsung pergi ke baraknya, ia pergi ketempat beberapa orang pengikutnya yang tinggal pada seorang kenalan dari salah seorang pengikutnya itu.
"Aku tidak mau kehilangan Agung Sedayu," Sabungsari membentak-bentak. Lalu, "Cari anak itu sampai ketemu."
Para pengikutnya termangu-mangu. Sejenak mereka hanya dapat saling berpandangan.
"He, apakah salah seorang dari kalian tidak ada yang melihat anak itu pergi?" Sabungsari bertanya sambil berjalan mengelilingi ruangan, sementara para pengikutnya duduk sambil menundukkan kepalanya.
"Kita semuanya adalah orang-orang yang dungu. Sekian lamanya aku menunggu kesempatan itu. Dan kini aku telah melepaskan kesempatan yang sudah ada ditangan."
"Sabungsari," salah seorang pengikutnya mencoba memberanikan diri untuk memberikan keterangan, "kau sama sekali tidak memberikan gambaran ataupun petunjuk, bahwa ada kemungkinan Agung Sedayu meninggalkan padepokannya, sehingga kami telah melepaskan pengawasan atasnya. Kami mengira, bahwa akan ada persoalan lagi yang harus kami lakukan, setelah kau berhasil berkenalan dan kemudian menempatan diri sebagai sahabatnya."
"Itulah kedunguan kita. Aku kira Agung Sedayulah yang dungu, karena ia tidak mencurigai aku. Tetapi ternyata dengan diam-diam ia berhasil lepas dari pengawasanku. Jika aku mengira, ia telah lengah karena ia menerima aku, maka sebenarnyalah aku yang lengah, karena menganggap anak muda itu lengah." geram Sabungsari.
"Jika kehendakmu, kami harus mencarinya, maka kami akan mencari," berkata pengikutnya itu.
"Tentu. Aku harus menemukannya."
"Hidup atau mati" " bertanya pengikutnya.
"Kau gila. Kau kira bahwa kau dapat menangkapnya hidup atau mati"," geram Sabungsari, "jika Agung Sedayu menyadari kalian mengikutinya seandainya kalian telah menemukannya, maka kalianlah yang harus menerima nasib kalian. Jika Agung Sedayu mempunyai belas kasihan, maka kalian akan hidup. Jika kebetulan hatinya sedang panas, maka kalian semuanya akan mati hancur tersayat ujung cambuknya."
Para pengikut Sabungsari itupun terdiam. Mereka mengerti, betapa dahsyatnya anak muda dari Jati Anom itu. Dan merekapun menyadari bahwa kemampuan mereka sangat meragukan untuk menangkap Agung Sedayu.
Namun salah seorang dari mereka berkata didalam hati, "Kami akan dibunuhnya jika kami hanya seorang diri atau dua orang saja. Tetapi berlima kami mempunyai kekuatan yang cukup."
Meskipun demikian pengikut Sabungsari itu tidak mengatakannya.
"Nah, berangkatlah malam ini. Kalian harus menemukannya. Tugas kalian adalah sekedar mengikuti dan mengawasi kemana anak itu pergi. Besok seorang dari kalian harus menemui aku untuk memberikan laporan. Seorang dihari berikutnya sementara orang pertama harus menyusul kawan-kawannya. Orang ketiga dihari berikutnya lagi, sehingga dengan demikian aku akan dapat selalu mengatahui, dimana kalian berada."
Tidak seorangpun yang menyahut. Jika Sabungsari sudah menjatuhkan perintah, mereka hanya dapat melakukan, meskipun mereka harus menggerutu didalam hati.
Tugas yang harus mereka lakukan itupun merupakah tugas yang berat. Mencari Agung Sedayu yang pergi tanpa diketahui arahnya. Mereka harus mencari keterangan dari orang-orang tanpa menimbulkan kecurigaan mereka.
"Berangkatlah malam ini," berkata Sabungsari kemudian, "jangan kehilangan waktu terlalu banyak."
Pengikut-pengikutnya menjadi berdebar-debar. Salah seorang dari mereka mencoba memberanikan diri untuk berkata. "Jika kita berangkat malam ini, maka arah perjalanan kita benar-benar tanpa perhitungan. Tetapi jika kita menunggu siang hari, mungkin kita dapat bertanya kepada satu dua orang anak-anak muda Jati Anom dengan tidak menimbulkan kecuriagaan, barangkali ada diantara mereka melihat arah perjalanan Agung Sedayu dan Glagah Putih."
"Gila. Mereka tentu menuju ke Tanah Perdikan Menoreh, karena mereka pergi bersama Ki Waskita. Mungkin mereka menempuh jalan terdekat. Mungkin mereka melewati Mataram. Tetapi mungkin mereka mencari jalan lain yang jejaknya sulit untuk diikuti."
"Dan kami harus menempuh jalan yang mana."
"Gila. Cari sampai ketemu. Kalian dapat langsung menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Kalian dapat menunggu di daerah itu. Kalian harus mencari jalur jalan menuju ke padukuhan Ki Waskita yang terpisah dari Tanah Perdikan Menoreh itu sendiri."
"Apakah pasti Agung Sedayu akan pergi kesana?"
"Pertanyaan yang bodoh sekali. Mereka pergi bersama Ki Waskita. Jika sampai dua hari kalian tidak menemukan Agung Sedayu diperjalanan menuju rumah Ki Waskita, kalian cari saja rumahnya. Jika kalian tidak menemukan mereka dirumah itu, maka kalian harus menyusuri jalan kerumah Ki Gede Menoreh dan ke Mataram. Mungkin mereka singgah disana. Baru jika pada hari kelima kalian tidak menemukan, maka aku sendiri akan mencari. Aku akan minta ijin beberapa hari dari Untara. Jika Untara tidak mengijinkan, maka ialah yang akan aku bunuh sebagai pengganti Agung Sedayu. Membunuh Untara agaknya lebih mudah dari membunuh Agung Sedayu yang masih ditunggui gurunya itu."
Tidak seorangpun yang bertanya lagi. Mereka hanya tinggal melaksanakan perintah itu. Dapat atau tidak dapat.
Karena itu, maka ketika mereka masih belum beringsut, Sabungsari membentak, "He, kalian menunggu apa lagi" Kalian belum makan, atau kalian ketakutan?"
Pengikut-pengikutnya itupun segera berdiri. Mereka meninggalkan ruangan itu. menuju ke gedogan kuda; setelah mereka membenahi diri dan mengemasi barang-barang yang akan mereka bawa serta, termasuk senjata-senjata mereka.
Kepada penghuni rumah itu. para pengikut Sabungsari itu membisikkan tugas yang harus mereka lakukan, dengan pesan, "Pegang rahasia ini baik-baik, agar kau tidak terlibat dalam kesulitan."
Sejenak kemudian, maka beberapa ekor kuda telah meninggalkan halaman rumah itu. Mereka harus berhati-hati dan tidak menimbulkan kecurigaan. Mereka tidak serentak melewati gerbang pedukuhan. Dua orang lewat gerbang yang satu. seorang yang lain dan dua orang lewat lorong yang lain lagi.
Dalam pada itu, Sabungsari menjadi sangat gelisah. Ia benar-benar merasa kehilangan. Sudah sepantasnya ia melepaskan dendamnya atas Agung Sedayu. Ia tidak rela Agung Sedayu dibunuh oleh pihak yang manapun juga yang juga mendendamnya. Ia sendiri ingin membunuh dengan tangannya untuk menunjukkan bahwa perguruan Telengan tidak kalah dari perguruan Dukun Tua itu.
Tetapi tiba-tiba saja Agung Sedayu pergi meninggalkan padepokannya tanpa diketahuinya.
"Mungkin ia mengerti bahwa aku bermaksud membunuhnya, sehingga ia melarikan diri," geram Sabungsari.
Teringat olehnya prajurit Pajang yang pernah diancamnya agar ia mendapat kesempatan pertama untuk membunuh Agung Sedayu.
"Apakah orang itu yang memberitahukan rahasia ini" " guman Sabungsari, "tetapi tentu tidak. Barangkali mereka justru berterima kasih kepadaku jika aku berhasil membunuh Agung Sedayu."
Dengan gejolak perasaan yang bagaikan meretakkan dadanya. Sabungsari kembali kebaraknya. Tidak seperti biasanya, bahwa ia termasuk seorang prajurit muda yang ramah dan mudah bergaul, maka iapun langsung menuju kepembaringannya.
"He, Sabungsari," bertanya seorang kawannya, "nampaknya kau sangat lesu."
Sabungsari mengangkat wajahnya. Kemudian ia mencoba tersenyum sambil menjawab, "Tidak apa-apa. Aku hanya lelah."
Kawannya duduk dibibir pembaringannya. Hampir berbisik ia bertanya, "He, apakah gadis itu tidak ada dirumah. atau sedang pergi dengan laki-laki lain."
"Gila," Sabungsari membalikkan tubuhnya dan menyembunyikan wajahnya ditangannya yang bersilang, "aku tidak mau datang lagi kerumahnya. Aku lihat, ada beberapa anak muda yang datang bergilir."
Kawannya tertawa. Sabungsaripun tertawa pula. Namun ketika kawannya itu telah berdiri dan melangkah pergi, ia mengumpat dengan kasarnya meskipun hanya dapat didengarnya sendiri.
Semantara itu, para pengikutnya telah berada dalam perjalanan. Mereka telah berkumpul kembali diluar Kademangan Jati Anom.
"Pekerjaan gila," geram salah seorang dari mereka
"jika kita berangkat disiang hari, kita akan dapat bertanya kepada seseorang di padukuhan-padukuhan sebelah, kearah mana anak itu pergi. Dengan demikian kita mendapat petunjuk, setidak-tidaknya arah perjalanan mereka.
"Kita dapat bertanya kepada anak-anak muda yang berada di gardu-gardu desis yang seorang.
"Mereka akan mencurigai kita, dan beramai-ramai menangkap kita."
"He, kau takut melawan anak-anak Kademangan?"
"Jangan berpura-pura tidak tahu. Mereka adalah pengawal-pengawal yang terlatih. Meskipun mungkin aku seorang diri dapat melawan dua atau tiga orang pengawal, tetapi dengan isyarat titir, maka jumlah mereka akan menjadi ratusan dalam sekejap. Nah, apakah kau mampu melawan mereka seluruhnya?"
Kawannya tidak menjawab. Tetapi ia dapat membayangkan, apakah yang akan terjadi, seandainya terdengar suara titir. Apalagi jika kemudian prajurit Pajang yang sedang meronda di tlatah Jati Anom dan sekitarnya mendengar dan datang pula.
Jika diantara mereka terdapat Sabungsari, maka ialah yang akan membunuh kita pada saat itu juga," geram salah seorang dari kelima orang pengikut Sabungsari itu.
Merekapun kemudian terdiam. Mereka macam tidak mungkin bertanya kapada anak-anak muda itu di gardu-gardu.
"Kita akan pegi ke Tanah Perdikan Menoreh. Hampir setiap orang mengenal Agung Sedayu di Tanah Perdikan Menoreh. Kita akan bertanya kepada anak-anak muda disana apakah mereka melihat kedatangan Agung Sedayu," berkata salah seorang dari mereka.
"Apakah anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh tidak mencurigai kita yang belum pernah mereka kenal" " bertanya kawannya yang lain.
"Tentu kita akan berhati-hati. Kita tak akan berlima berbondong-bondong mendalangi anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi satu atau dua orang saja mendatangi anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Yang lain menunggu ditempat yang sudah ditentukan."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk, Itu adalah jalan yang paling baik yang dapat mereka lakukan dengan kemungkinan pahit yang paling kecil.
Karena itu, maka mereka tidak menunggu lagi. Merekapun segera memacu kuda mereka menuju ke Tanah Perdikan Menoreh.
"Kita tidak akan melalui Mataram," berkata seorang yang paling tua diantara mereka, "kita akan menempuh jalan memintas meskipun melalui jalan-jalan sempit dan pinggir-pinggir hutan."
Demikianlah meskipun malam menjadi semakin gelap, namun mereka meneruskan perjalanan lewat bulak-bulak panjang dan padukuhan-padukuhan. Namun mereka tetap berhati-hati. Mereka tidak berkuda bersama-sama. Mereka membagi dirinya menjadi dua kelompok yang berjarak beberapa puluh langkah.
Meskipun hal itu agaknya masih akan menarik perhatian juga, tetapi kemungkinannya telah banyak dikurangi.
Sementara itu, Agung Sedayu, Ki Waskita dan Glagah Putih ternyata mendapat tempat beristirahat yang baik meskipun merupakan suatu pengalaman baru bagi Glagah Putih. Mereka bergantian tidur barang sekejap. Sementara mereka menyalakan perapian yang tidak begitu besar untuk mengusir nyamuk dan menghangatkan tubuh.
Ternyata Glagah Putih benar-benar seorang anak muda yang memiliki sifat dan watak yang berbeda dengan Agung Sedayu dimasa lampaunya. Glagah Putih sama sekali tidak dapat digetarkan oleh gelapnya malam dihutan yang belum pernah dikenalnya. Disaat ia harus berjaga-jaga, maka ia duduk dengan tenang disebelah perapian. Sekali-kali ia berdiri dan berjalan mondar-mandir tanpa perasaan gentar.
Namun demikian, ternyata pada saat Glagah Putih yang mendapat giliran. Agung Sedayu dan Ki Waskita tidak sampai hati melepaskannya. Meskipun mereka nampaknya memejamkan matanya, namun sebenarnya mereka tidak tertidur. Hanya pada saat Agung Sedayu bertugas, Ki Waskita sempat tidur dan sebaliknya.
Akhirnya malam yang gelap dan dingin itupun berlalu. Ketika matahari mulai membayang dengan warna-warna merah di Timur, ketiga orang yang bermalam di pinggir hutan itupun mulai mengemasi diri. Mereka mencari sumber air untuk mencuci muka sebelum mereka siap untuk berangkat.
"Paman," bertanya Glagah Putih kepada Ki Waskita, "apakah jarak ke Tanah Perdikan Menoreh masih jauh" Jalan ini terasa asing sekali. Bahkan mungkin tidak banyak orang yang mengenalnya."
Ki Waskita tertawa. Katanya, "bertanyalah kepada kakakmu."
Glagah Putih memandang Agung Sedayu sejenak. Namun sebelum ia bertanya, Agung Sedayu menyahut, "Aku juga belum pernah melalui jalan ini Glagah Putih. Aku sudah beberapa kali pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi jalan ini baru sekali ini aku kenal."
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Kembali ia memandang Ki Waskita sambil bertanya, "Apakah paman juga belum pernah melihat dan melalui jalan ini?"
Ki Waskita tersenyum. Katanya, "Aku tentu sudah."
"Jadi?" "Kita sudah mendekati Kali Praga. Sebentar lagi kita menyeberang. Dan kita sudah berada di Tanah Perdikan Menoreh."
"Sudah dekat sekali?"
05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya." "Jadi kenapa kita harus bermalam" Dan rasa-rasanya perjalanan kita dihari pertama sangat lamban. Jika kemarin kita berjalan agak cepat, maka aku kira kita tidak perlu bermalam diperjalanan yang tidak terlalu jauh ini."
"Tetapi bukankah bermalam diperjalanan, apalagi dipinggir hutan, sangat menyenangkan" Kita memang dapat singgah di sebuah padukuhan dan minta ijin kepada Ki Demang agar kita diperbolehkan bermalam di banjar padukuhan. Namun kau tidak akan pernah mengalami dikerumuni nyamuk semalam suntuk dipinggir hutan."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa Ki Waskita dan Agung Sedayu sengaja mengajaknya bermalam dipinggir hutan yang sepi dan lembab itu.
"Matikan sisa-sisa perapianmu," berkata Ki Waskita.
"Biarkan saja paman. Nanti akan mati juga."
Tetapi Ki Waskita menggeleng. Katanya, "Jangan Glagah Putih. Jika satu dua helai daun kering terbang kedalam api, kemudian ditimbuni oleh daun-daun kering yang lain, maka apimu yang nampaknya sudah mati itu akan dapat menumbuhkan bencana. Jika hutan mulai terbakar, maka akan sangat sulit untuk menguasainya, sehingga mungkin sekali akan makan waktu berpekan-pekan dan menelan hutan yang cukup luas."
Glagah Putih mengangguk-angguk sambil melangkah keperapian yang nampaknya memang sudah padam. Tetapi untuk meyakinkannya, maka perapian itupun segera ditimbuninya dengan tanah yang basah oleh embun.
Sejenak kemudian ketiganya telah siap. Ki Waskita menuntun kudanya disamping Glagah Putih sambil berkata, "Kita akan menyusuri Kali Progo."
Glagah Putih mengerutkan keningnya, sementara Ki Waskita menjelaskan, "Kita akan mencari tempat penyeberangan. Mungkin tepian yang akan kami capai disebelah tidak mempunyai getek yang dapat membawa kita keseberang."
"Bagaimana jika kita berenang saja?" bertanya Glagah Putih.
Ki Waskita dan Agung Sedayu yang mendengar pertanyaan itu pula tertawa. Sambil menepuk kudanya Ki Waskita berkata, "Bagaimana dengan kuda kita" Seandainya kita tanpa membawa seekor kudapun, kita belum tentu dapat menyeberangi Kali Praga dengan berenang, karena arusnya yang deras. Jika Kali Praga itu sebuah belumbang yang luas, kita akan dengan senang hati menyeberang sambil berenang, meskipun kita harus menghindarkan diri dari kemungkinan adanya binatang buas didalam air."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Ia mulai membayangkan seekor buaya yang ganas di tepian yang basah dan berumput ilalang setinggi tubuh. Atau seekor ular sanca sebesar pohon kelapa dengan lidah terjulur.
Sejenak kemudian mereka bertiga telah berada dipunggung kuda yang berjalan tidak terlalu cepat. Mereka menyusuri jalan kecil yang semakin basah, karena mereka telah berada dekat sekali dengan Kali Praga.
Dalam pada itu, maka tiba-tiba saja Ki Waskita bertanya kepada Agung Sedayu, "Apakah kita akan singgah barang setengah hari di Tanah Perdikan Menoreh?"
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Jawabnya, "Terserah kepada Ki Waskita. Jika Ki Waskita menghendaki, aku tidak berkeberatan."
"Aku kira lebih baik kita singgah meskipun hanya sebentar. Kau sudah terbiasa pergi kerumah Ki Gede jika kau berada di Tanah Perdikan. Jika kali ini kau lewati Tanah Perdikan Menoreh tanpa singgah meskipun hanya sejenak, akan dapat menimbulkan berbagai pertanyaan di hati Ki Gede yang sudah semakin tua dan kesepian. Orang tua kadang-kadang suka mengurai persoalan tanpa landasan. Meskipun kau tidak pernah memikirkan apapun juga tentang Ki Gede, tetapi jika kau tidak singgah, maka akan timbul berbagai macam prasangka yang barangkali tidak beralasan sama sekali."
Agung Sedayu sama sekali memang tidak berkeberatan meskipun sekilas nampak wajah Prastawa yang gelap. Namun karena ia tidak merasa ada sesuatu persoalan, maka ia sama sekali tidak merasa segan untuk bertemu.
Dengan demikian, maka perjalanan merekapun bukan saja melalui Tanah Perdikan Menoreh, tetapi mereka akan singgah barang sebentar dirumah Ki Gede.
Perjalanan mereka memang sudah tidak terlalu lama lagi. Ketika mereka sudah menyeberangi Kali Praga, maka mereka sudah berada di bulak-bulak persawahan Tanah Perdikan Menoreh yang subur, sesubur Kademangan Sangkal Putung, meskipun disaat terakhir Sangkal Putung nampak menjadi lebih hidup karena Swandaru yang bekerja keras untuk memperbaiki tataran kehidupan Kademangannya.
Sementara itu, Ki Gede Menoreh nampaknya justru menjadi semakin lesu. Ia merasa sepi dirumahnya. Prastawa memang dapat memberikan suasana rumahnya lebih segar jika kebetulan ia berada dirumah Ki Gede. Namun agaknya ada yang tidak sesuai bagi Ki Gede Menoreh pada sikap Prastawa. Prastawa memang nampak penuh gairah menghadapi masa masa mudanya. Namun ia mempunyai sifat-sifat yang kurang disenangi oleh Ki Gede Menoreh. Prastawa kadang-kadang nampak deksura dan kasar. Kekerasan hatinya sering menumbuhkan akibat yang kurang menyenangkan bagi anak anak muda Tanah Perdikan Menoreh, meskipun kadang-kadang mereka tidak mengucapkan. Namun apabila satu dua orang diantara mereka berkumpul di gardu gardu atau duduk-duduk diujung padukuhan, diluar sadar telah terucapkan penyesalan mereka terhadap sikap Prastawa.
Bahkan tanpa sengaja, satu dua orang diantara mereka masih sering menyebut nama Agung Sedayu dan Swandaru. Mereka yang ikut bersama Ki Gede ke Sangkal Putung disaat Ki Sumangkar meninggal, sempat berceritera tentang apa yang telah terjadi di Sangkal Putung kepada kawan kawan mereka.
"Swandaru berhasil membuat Kademangannya bertambah subur," desis salah seorang dari mereka.
Agaknya anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh menyadari bahwa perkembangan Kademangan Sangkal Putung agaknya telah meloncat lebih maju dari Tanah Perdikan Menoreh.
Sementara itu. Agung Sedayu, Glagah Putih dan Ki Waskita telah menjadi semakin dekat. Beberapa orang anak muda lelah melihat mereka sehingga berlari-lari mereka menyongsong dan memberikan ucapan selamat.
"Kakang Agung Sedayu banyak dikenal orang disini," desis Glagah Putih.
"Ya, seperti terhadap anak muda tanah ini sendiri," sahut Ki Waskita.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Bahkan iapun rasa-rasanya ikut berbangga, bahwa sambutan terhadap Agung Sedayu nampaknya sangat menyenangkan.
Ki Gede Menoreh terkejut ketika seseorang memberitahukan kepadanya bahwa Agung Sedayu, Ki Waskita bersama seorang anak muda yang lain telah mendekati pintu gerbang.
"Swandaru ?" bertanya Ki Gede.
"Bukan," jawab orang itu.
Ki Gede tidak bertanya lagi, karena Agung Sedayu, Ki Waskita dan Glagah Putih telah memasuki halaman.
Ki Gede nampak gembira sekali karena kedatangan mereka. Seperti kanak-kanak yang merindukan sanak kadangnya, maka dengan tergopoh-gopoh Ki Gede menyongsong mereka turun kehalaman.
Tetapi alangkah kecewa Ki Gede Menoreh, ketika ia mengetahui bahwa mereka bertiga hanya akan singgah untuk waktu yang sangat pendek.
"Kedatangan kalian hanya menumbuhkan kekecewaan saja," berkata Ki Gede Menoreh.
"Tetapi bukankah itu lebih baik daripada Ki Gede hanya mendengar berita bahwa Agung Sedayu telah menempuh perjalanan melewati Tanah Perdikan Menoreh tanpa singgah," sahut Ki Waskita.
Tetapi Ki Gede berkata pula, "Bagaimanapun juga, aku akan menahan kalian sedikit-dikitnya satu malam."
Agung Sedayu dan Ki Waskita saling berpandangan. Namun akhirnya Ki Waskita berkata, "Jika Ki Gede berkeras, baiklah, besok kita meneruskan perjalanan yang tidak begitu jauh lagi."
Ki Gede tersenyum. Katanya, "Terima kasih. Aku gembira sekali. Hari ini aku merasa bahwa umurku akan menjadi bertambah panjang."
Berbeda dengan Ki Gede. maka wajah Prastawa yang kebetulan berada di rumah pamannya, nampak menjadi buram. Meskipun ia mencoba juga untuk tersenyum, namun senyumnya terasa betapa pahitnya.
Sementara itu, berita tentang kedatangan Agung Sedayu itu telah tersebar di seluruh Tanah Perdikan. Hampir setiap orang telah mengetahui, bahwa Ki Gede telah menerima tiga orang tamu. Agung Sedayu, saudara, sepupunya yang bernama Glagah Putih dan Ki Waskita.
Dengan demikian, maka tugas orang-orang yang dikirim oleh Sabungsari menjadi tidak terlampau sulit. Setelah semalam suntuk mereka menyusuri jalan ke Tanah Perdikan Menoreh dan hanya beristirahat sejenak, setelah mereka menyeberangi sungai, maka lewat tengah hari, salah seorang dari mereka telah berusaha mencari berita tentang Agung Sedayu, sementara kawan-kawannya menunggu dipinggir hutan.
Disebuah warung kecil, orang itu telah mendapat keterangan, bahwa benar ada tiga orang tamu dirumah Ki Gede.
Atheis 1 Pedang Siluman Darah 11 Utusan Iblis Tiga Naga Sakti 17