Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 22

05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja Bagian 22


"Belum lama. Pagi ini baru mereka datang," berkata salah seorang anak muda yang kebetulan ada diwarung itu juga.
Pengikut Sabungsari yang mendengar berita itu, rasa-rasanya hatinya telah tersentuh oleh dinginnya air embun. Ternyata tidak terlalu sulit untuk mencari Agung Sedayu. Mereka mengira bahwa mereka akan menempuh perjalanan berhari-hari. Ternyata dihari pertama setelah semalam suntuk mereka berjalan, mereka telah mendengar kabar tentang orang yang dicarinya.
Karena itu, setelah selesai makan, dan setelah ia minta dibungkuskan beberapa macam makanan, maka iapun dengan tergesa-gesa telah menemui kawan-kawannya yang menunggu.
"Makanlah," berkata orang itu.
"Bukan itu yang penting. Apakah kau mendengar berita tentang Agung Sedayu?"
"Makanlah. Baru kau dengar ceriteraku."
"Katakan lebih dahulu," kawannya membentak.
Orang itu tersenyum. Katanya, "Jangan cepat marah. Kau akan lekas menjadi tua."
"Tetapi kau membuat jantungku berdebar-debar." Kawan-kawannya yang lainpun tiba-tiba saja telah memandanginya dengan sorot mata kegelisahan. Bahkan seorang yang matanya redup berkata bersungguh-sungguh, "Bukan waktunya untuk bergurau."
Akhirnya yang tertua diantara mereka berkata, "Katakanlah. Jangan membuat kami yang dalam ketegangan ini kehilangan pengamatan diri."
Orang yang telah mendengar keterangan tentang Agung Sedayu itu tidak berani bermain-main lagi. Karena itu maka katanya kemudian. "Agung Sedayu sekarang ada dirumah Ki Gede. Setiap orang di Tanah Perdikan ini telah mengetahuinya, meskipun ia belum lama berada disini."
Kawan-kawannya memandanginya dengan curiga. Bahkan orang yang tertua diantara mereka bertanya, "Apakah kau berkata sebenarnya, atau kau benar-benar ingin bergurau dalam suasana seperti ini?"
"Tidak. Aku tidak bergurau," jawab orang itu, "aku berkata sebenarnya. Agung Sedayu telah datang ke Tanah Perdikan Menoreh pagi tadi."
"Pagi tadi" " seorang kawannya mengulang.
"Ya. Menurut keterangan beberapa orang disebuah warung, ia datang pagi tadi."
"Kalau begitu, mereka pasti bermalam dijalan meskipun jaraknya sudah dekat dengan rumah Ki Gede Menoreh," berkata yang lain.
"Kenapa mereka harus bermalam" " tiba-tiba seseorang diantara mereka bertanya.
Pertanyaan itu ternyata telah menimbulkan berbagai macam dugaan. Namun akhirnya orang tertua diantara mereka berkata, "Apapun alasan mereka, namun kita telah menemukannya. Salah seorang dari kita akan kembali ke Kademangan Jati Anom dan mengabarkan tentang Agung Sedayu. Kami menunggu perintah, apakah yang harus kami lakukan atas anak itu. Apakah kami harus menangkapnya atau sekedar mengamati kemana ia pergi."
"Jangan sombong," berkata salah seorang kawannya, "jika perintah itu berbunyi, "tangkap Agung Sedayu," berarti kita harus bunuh diri. Agung Sedayu kini berada dirumah Ki Gede Menoreh. Dirumah itu ada pula Ki Waskita dan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh."
"Jangan terlalu bodoh," jawab orang tertua itu, "kita tidak akan memasukkan jari tangan kita ke lubang seekor ular bandotan. Kita harus memancingnya keluar dan kemudian menjeratnya."
Kawannya tidak menjawab lagi. Tetapi iapun mengerti, bahwa jika benar mereka harus menangkap Agung Sedayu, maka mereka harus mempergunaan akal.
Yang mereka bicarakan kemudian adalah siapakah diantara mereka yang harus kembali ke Jati Anom. Kemudian siapa yang harus mengamati Agung Sedayu yang menurut perhitungan mereka, masih akan pergi ke rumah Ki Waskita.
"Mungkin Ki Waskita akan kembali kerumahnya seorang diri," berkata salah seorang dari mereka.
"Jika kita melihat Ki Waskita dalam perjalanan seorang diri, maka kita mengambil kesimpulan, bahwa Agung Sedayu masih berada dirumah Ki Gede dan tidak meneruskan perjalanan singgah dirumah orang itu. Dengan demikian kita harus mencari akal memancingnya keluar jika ada perintah untuk menangkapnya."
Orang-orang itupun segera mengatur diri. Salah seorang dari mereka segera berkemas-kemas berpacu ke Jati Anom, sementara yang lain akan mengawasi jalan dibulak panjang bergantian.
Keputusan Agung Sedayu dan Ki Waskita untuk bermalam semalam di Tanah Perdikan Menoreh atas permintaan Ki Gede, ternyata telah memberi kesempatan kepada orang-orang yang mencarinya untuk menentukan sikap.
Dalam pada itu. seekor kuda telah berpacu menuju ke Kademangan Jati Anom. Karena perjalanan itu ditempuh dengan kecepatan penuh dan tidak banyak berhenti untuk beristirahat maka rasa-rasanya perjalanan itu menjadi jauh lebih cepat.
Tengah malam orang itu sudah berada di Sangkal Putung. Dengan hati-hati ia berusaha menemui Sabungsari dibaraknya. Kepada petugas dibarak itu ia mengaku saudara Sabungsari yang datang dari jauh.
"Apakah kau yakin bahwa berita itu benar?" bertanya Sabungsari.
"Aku yakin. Setiap orang di Tanah Perdikan Menoreh ternyata mengenal Agung Sedayu."
Sabungsari merenung sejenak, ia mencoba melihat beberapa kemungkinan yang dapat terjadi. Mula-mula ia ingin langsung bertemu dengan Agung Sedayu dalam perang tanding sebelum ia benar-benar kehilangan anak muda itu. Namun ia masih tetap ragu-ragu. bahwa ia sama sekali belum berhasil menjajagi kemampuannya.
Karena itu, maka ia mengurungkan niatnya. Ia sedang memikirkan jalan yang paling baik untuk dapat mengukur kemampuan anak muda itu.
Namun tiba-tiba saja Sabungsari tersenyum. Ia telah menemukan jalan yang akan dapat dipergunakannya untuk menjajagi ilmu anak muda itu.
Katanya kemudian kepada pengikutnya, "Kembalilah. Kau harus dapat membawa Agung Sedayu kepadaku. Tetapi ingat, kau harus membawanya hidup-hidup. Kau berlima bukannya anak-anak kecil. Kau tentu akan dapat mencari jalan untuk menangkapnya hidup-hidup."
"Apakah kami harus mencegatnya dan menyerangnya?" bertanya pengikutnya.
Sabungsari tersenyum. Jawabnya, "Jangan bodoh. Hindarilah pertempuran jika anak muda itu masih bersama Ki Waskita. Kau berlima tidak akan dapat melawan Agung Sedayu bersama-sama Ki Waskita sekaligus."
"Jadi?" "Aku kira Agung Sedayu tidak akan terlalu lama berada dirumah Ki Waskita, seandainya ia pergi kesana. Jika ternyata bahwa Agung Sedayu tidak pernah singgah kerumah orang tua itu, dan tinggal dirumah Ki Gede Menoreh, maka iapun tidak akan lama pula. Tunggulah Agung Sedayu diperjalanan kembali ke Jati Anom atau ke Sangkal Putung. Karena itu, maka kau harus mengamat-amatinya setiap hari." Sabungsari berhenti sejenak, lalu. "tetapi jika kau angap terlalu lama, maka kau dapat mencari akal untuk melakukan tugas ini. Tetapi ingat. Jangan sebut namaku dan perguruanku. Ingat, agar aku tidak perlu membunuh kalian semuanya. Jika kalian sudah berhasil, bahwa Agung Sedayu kehutan kecil dilereng Gunung Merapi, dan beritahukan kepadaku agar aku dapat menentukan sikap lebih lanjut."
"Bagaimana dengan Glagah Putih" " orang itu bertanya.
"Aku tidak memerlukannya. Terserah. Kau bunuh-pun tidak ada persoalan apapun juga bagiku," jawab Sabungsari.
Orang itu mengangguk-angguk.
"Pergilah. Kau dapat beristirahat sampa esok pagi. Kemudian susul kawan-kawanmu ke Tanah Perdikan Menoreh atau kerumah Ki Waskita."
Pengikut Sabungsari itupun kemudian meninggalkan barak prajurit Pajang di Jati Anom, kembali ketempat seorang kenalannya. Ia masih sempat beristirahat sejenak, sebelum fajar menyingsing. Namun ternyata bahwa ia tidak dapat memejamkan matanya sama sekali. Masih selalu terngiang, perintah Sabungsari untuk menangkap Agung Sedayu hidup-hidup.
"Aneh," berkata pengikut Sabungsari itu didalam hatinya, "kenapa Sabungsari tidak langsung saja menyusulnya ke Tanah Perdikan Menoreh dan mencari kesempatan berperang tanding."
Tetapi orang itu mencoba mencari jawabnya, "mungkin ia masih segan untuk minta ijin kepada Untara untuk meninggalkan tugasnya sebagai seorang prajurit barang tiga empat hari."
Ketika fajar menyingsing, maka orang itupun segera mempersiapkan diri. Setelah berbenah dan makan beberapa kerat ketela pohon, maka iapun segera berpacu meninggalkan Jati Anom kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.
Sabungsari sempat menjumpai pengikutnya diujung Kademangan. Ia masih memberikan beberapa pesan. Sekali lagi ia menegaskan, "Jangan sebut perguruanmu."
Orang itu mengangguk. Kemudian ia minta diri untuk melanjutkan perjalanan.
Sejenak Sabungsari termangu-mangu. Dipandanginya debu tipis yang mengepul dibelakang kaki kuda. Namun yang segera lenyap dihembus angin pagi yang lembut.
Jika Agung Sedayu berhasil ditangkap hidup-hidup, maka kemampuannya masih belum mendebarkan jantung. Jika ia berhasil mengalahkan ke lima orang pengikutku, maka ia benar-benar seorang yang luar biasa. Tetapi aku harus melihat, apa yang terjadi, sehingga aku akan dapat menjajagi kemampuan ilmunya.
Karena itulah, maka Sabungsaripun kemudian menghadap Untara untuk minta ijin barang dua tiga hari, karena alasan yang mapan.
"Semalam pamanku telah datang Ki Untara. Ia memberitahukan kepadaku, bahwa ibuku sakit keras. Aku sudah tidak mempunyai ayah. Sehingga karena itu, maka ibuku mengharap aku dapat menungguinya barang dua tiga hari."
Untara mengerutkan keningnya. Meskipun ia seorang prajurit yang nampaknya terlalu teguh memegang kendali kepemimpinan dalam tugas-tugasnya, namun ia tersentuh juga perasaannya.
"Apakah sakit ibumu parah?" bertanya Untara.
"Menurut paman, kadang-kadang ibu telah kehilangan kesadarannya. Jika kesadaran itu datang, maka ia selalu menyebut namaku."
Untara mengangguk-angguk. Seorang perwira muda dapat memberikan kesaksian, bahwa semalam Sabungsari memang menerima seorang tamu yang nampak tergesa-gesa.
"Baiklah," berkata Untara, "aku beri kau waktu lima hari dengan perjalananmu. Jika pada waktunya kau belum sempat kembali karena keadaan ibumu, maka kau harus berusaha untuk memberikan laporan kepadaku. Mungkin pamanmu, mungkin orang lain dapat kau suruh datang kepadaku."
"Tentu Ki Untara. Aku tidak akan melalaikan segala kewajiban yang memang harus dibebankan kepadaku," jawab Sabungari.
Namun ketika Sabungsari telah meninggalkan Senapati muda itu, ia menggeram, "Persetan. Jika kau banyak tingkah, aku bunuh kau lebih dahulu dari Agung Sedayu."
Sabungsaripun kemudian berkemas dibaraknya. Kepada kawan-kawannya ia minta diri untuk menengok ibunya yang sedang sakit, sementara tidak ada orang lain yang disebutnya, kecuali Sabungsari.
Lewat tengah hari Sabungsari baru berangkat. Ia memang tidak ingin maiemui pengikut-pengikutnya. Ia akan mencari jalan sendiri untuk mengetahui dimana Agung Sedayu sedang berada. Kemudian mengamatinya sehingga pada suatu saat, anak muda itu akan disergap oleh pengikut-pengikutnya.
Jika aku berhasil menyaksikan perkelahian itu, maka aku akan dapat mengetahui, tingkat kemampuan Agung Sedayu. Melawan lima orang ia tentu akan mengerahkan segenap kemampuannya.
Karena itu, maka Sabungsari itupun tidak tergesa-gesa. Ia tidak perlu berpacu seperti pengikutnya. Tetapi iapun tidak Ingin menyesal bahwa ia datang terlambat atau kehilangan jejak, karena Agung Sedayu ternyata menempuh sebuah perjalanan yang tidak diduganya.
Pada saat Sabungsari berkuda melintasi jalan persawahan, maka Agung Sedayu, Ki Waskita dan Glagah Putihpun baru meninggalkan rumah Ki Gede Menoreh. Mereka tidak dapat berangkat dipagi hari. karena Ki Gede masih menahannya. Baru setelah makan siang, maka dilepaskannya Ki Waskita bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh.
Glagah Putih telah pernah bertemu dengan Prastawa sebelumnya. Tetapi ia tidak sempat berbicara dan berbincang cukup lama. Baru ketika ia berada di Tanah Perdikan Menoreh, ia mulai mengenal Prastawa lebih dalam.
Diperjalanan menuju kerumah Ki Waskita, Glagah Putih sempat bertanya kepada Agung Sedayu, "Kakang, aku tidak begitu mengerti sikap Prastawa terhadap kunjungan kita. Apakah ia senang menerima kita, atau justru sebaliknya."
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Kenapa kau bertanya begitu" Bukankah ia cukup ramah. Nampaknya kau banyak berbicara dan berbincang dengan kemanakan Ki Gede itu."
"Justru karena aku banyak berbicara dengan Prastawa aku menjadi bertanya-tanya didalam hati. Kadang-kadang ia bersikap manis. Namun kadang-kadang senyumnya menjadi kecut dan yang aku tidak mengerti, apakah ia mengucapkan kata-kata sindiran, atau sekedar bergurau."
Agung Sedayu tertawa. Ki Waskita yang mendengar pertanyaan itupun tertawa pula.
"Kau salah paham Glagah Putih. Prastawa memang senang bergurau. Yang belum terbiasa, kadang-kadang memang merasa seolah-olah ia menyindir, atau bahkan mengumpati. Tetapi ia tidak bermaksud demikian," jawab Agung Sedayu.
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Ia tidak begitu sesuai dengan pendapat Agung Sedayu. Tetapi ia tidak membantah.
Diluar sadar, maka perjalanan ketiga orang itu ternyata diketahui oleh para pengikut Sabungsari. Dugaan terkuat dari mereka ternyata benar. Bahwa Agung Sedayu dan Glagah Putih tentu akan singgah dirumah Ki Waskita, sehingga satu diantara mereka telah dengan sungguh-sungguh mengawasi jalan itu.
Dengan tergesa-gesa pengikut itu mencari kawannya yang mempunyai tugas mereka masing-masing untuk mengawasi jalan dibeberapa arah.
Tetapi kawan-kawannya tidak berani mengambil sikap. Ia masih menunggu kawannya yang kembali ke Jati Anom untuk menunggu perintah Sabungsari.
"Tetapi arah perjalanannya sudah jelas. Kita akan mengamati padukuhan tempat tinggal Ki Waskita," berkata salah seorang dari mereka.
"Ternyata tugas kita tidak terlalu berat," sahut yang lain.
"Tetapi, jika Sabungsari memerintahkan kita membunuh Agung Sedayu?"
"Kita harus mencari akal memisahkan Agung Sedayu dari Ki Waskita."
Mereka memang bersepakat, bahwa mereka tidak akan berbuat sesuatu, jika kedua orang itu sedang berkumpul. Sementara Glagah Pulih seolah-olah sama sekali tidak termasuk perhitungan mereka.
Pengikut Sabungsari yang berpacu dari Jati Anom, menjelang sore hari telah datang ketempat yang sudah ditentukan. Dari kawan-kawannya ia mendengar bahwa Agung Sedayu telah berangkat kerumah Ki Waskita.
"Tidak banyak bedanya," berkata kawannya yang baru datang, "kami harus menangkapnya hidup-hidup dan membawanya kepada Sabungsari."
"Menangkap hidup-hidup" " hampir berbareng kawan-kawannya bertanya.
"Ya. Sabungsari ingin membunuhnya sendiri dengan sikap seorang laki-laki."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun tergores diwajahnya kecemasan dan ketegangan. Perintah itu memang merupakan tugas yang sangat berat.
Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, "Aku mempunyai akal."
"Apa?" bertanya yang lain.
"Kita tidak usah bertempur. Kita akan menemui Agung Sedayu dan menyampaikan tantangan Sabungsari kepadanya, ia tentu akan merasa tersinggung dan akan datang dengan sendirinya menemui Sabungsari tanpa dipaksa. Harga dirinya tentu bergejolak jika ia mendengar tantangan itu."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Seorang yang baru datang itu berkata, "Mungkin kau benar. Hal itu akan dapat kita lakukan jika Agung Sedayu benar-benar seorang laki-laki jantan. Tetapi jika Agung Sedayu merasa segan dan apalagi ketakutan untuk menerima tantangan itu, apa yang akan kita lakukan" Selebihnya kita memang tidak boleh berterus terang. Siagakah kita sebenarnya."
Kawan-kawannya merenungi pertanyaan itu. Seorang diantara mereka bergumam, "Itu adalah pertanda bahwa Agung Sedayu bukan seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Jika benar Ki Gede Telengan terbunuh dipeperangan, tentu bukan karena Agung Sedayu seorang diri. Mungkin ada orang lain yang membantunya. Sehingga karena itu, maka kita berlima tentu akan dapat mengalahkannya. Mengikatnya dan kemudian membawanya ke Jati Anom dengan diam-diam. Jika perlu, kita akan menempuh perjalanan dimalam hari."
"Kita serahkan Agung Sedayu kepada Sabungsari, sementara kita akan melihat perang tanding yang akan terjadi dengan dahsyatnya antara kedua anak muda itu," sahut yang lain.
"Kau keliru. Agung Sedayu bukan lawan Sabungsari. Dua atau tiga Agung Sedayu, baru ia akan dapat sejajar dengan Sabungsari."
"Apakah itu berarti bahwa yang terjadi adalah sekedar sebuah pembantaian" Bukan perang tanding, karena kekuatan ilmu mereka tidak seimbang?"
"Kira-kira yang akan terjadi adalah demikian."
Kelima orang itu kemudian merenungi peristiwa yang bakal terjadi. Mereka sibuk dengan angan-angan yang masih sangat meragukan,
Namun yang mereka sepakat, mereka akan membiarkan Agung Sedayu sampai kerumah Ki Waskita sambil mempersiapkan rencana mereka semasak-masaknya. Jika Agung Sedayu tidak segera kembali ke Jati Anom. maka mereka harus memancingnya keluar dari pengamalan Ki Waskita.
"Yang perlu kita lakukan adalan mengawasi anak itu agar kita tidak kehilangan jejak. Kemungkinan terbesar Agung Sedayu tentu tidak akan lama dan tidak akan menempuh perjalanan lebih jauh lagi, karena ia membawa Glagah Putih," berkata orang tertua diantara para pengikut Sabungsari.
Karena itulah, maka merekapun segera mengatur jaring-jaring pengawasan yang sebaik-baiknya.
Perjalanan dari Tanah Perdikan Menoreh kerumah Ki Waskita memang tidak terlalu jauh. Mereka menempuh perjalanan untuk waktu yang tidak terlalu panjang. Menjelang gelap malam, mereka sudah memasuki padukuhan tempat tinggal Ki Waskita.
Kedatangan mereka telah disambut dengan gembira oleh seisi rumah. Rudita ternyata memenuhi pesan ayahnya. Ia sama sekali tidak meninggalkan ibunya untuk waktu yang lama. Memang kadang-kadang sehari atau dua hari ia pergi. Tetapi ia segera kembali.
Kedatangan Agung Sedayu itu telah membuat Rudita sangat bergembira, apalagi karena Agung Sedayu membawa saudara sepupunya, Glagah Putih.
"Tinggallah disini seperti dirumah sendiri Glagah Putih," berkata Rudita, "disinipun banyak anak-anak muda sebaya dengan kau. Apakah kau mempunyai kegemaran tertentu?"
Glagah Putih justru merasa kaku. Namun ia selalu mencoba tersenyum sambil mengangguk-angguk. Katanya perlahan-lahan, "Senang sekali tinggal disini."
Dihari pertama, ternyata Rudita benar-benar nampak gembira sekali. Ia banyak berceritera tentang padukuhannya, tentang sawah dan tentang air. Tentang musim yang berubah dari kebiasaannya dan tentang anak-anak muda yang bermain-main dengan gembira di sawah yang baru saja dipetik hasilnya.
Glagah Putih hanya mengangguk-angguk saja. Seolah-olah ia mengiakan. Namun sekali-sekali ia mengerutkan keningnya mendengar ceritera Rudita itu.
Tetapi dimalam hari, ketika Glagah Pulih berada didalam bilik yang disediakan untuknya bersama Agung Sedayu, dengan ragu-ragu ia bertanya kepada saudara sepupunya itu, "Kakang, aku mendapat kesan yang aneh pada Rudita."
"Apa?" bertanya Agung Sedayu.
"Mungkin karena aku sama sekali tidak berpengalaman menghadapi banyak orang dengan sikapnya masing-masing. Di Tanah Perdikan Menoreh aka merasa heran melihat sikap Prastawa. Disini aku juga diperankan oleh sikap Rudita."
"Apakah sikap Rudita menurut penilaianmu sama dengan sikap Prastawa?"
"Tidak kakang. Sama sekali tidak. Sikap Prastawa menumbuhkan perasaan yang buram, meskipun mungkin ia seorang yang senang bergurau menuruti caranya. Sementara Rudita mempunyai sikap yang memberikan kesan tersendiri. Rudita demikian akrabnya dengan alam, dengan hijaunya dedaunan, dengan kicau burung dan bahkan dengan tangis anak-anak disaat-saat matahari sepenggalah. Rudita menyatu dengan suasana pedukuhannya. Lengking paron pandai besi dan suara lesung penumbuk padi."
"Kesan apakah yang kau dapat dari sikap Rudita?" bertanya Agung Sedayu.
"Rudila memandang alam sekitarnya sebagai sahabat nya yang sejati. Sikapnya menumbuhkan perasaan damai dengan tenteram."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Itulah Rudita. Ia adalah seorang anak muda yang memiliki kekuatan Jiwani yang tiada taranya menurut penilaianku atas semus orang yang pernah aku kenal."
"Kakang," Glagah Putih hampir berbisik, "tetapi ada satu yang tidak aku mengerti. Ayah Rudita adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi Rudita sama sekali tidak pernah menyinggung tentang ilmu yang barangkali pernah diwarisi."
"Rudita juga mempunyai ilmu yang tinggi."
"Tetapi nampaknya ia asing sekali."
"Ia asing dengan ilmu kanuragan. Tetapi ia memiliki ilmu Kajiwan yang tidak kalah taranya dengan ilmu ayahnya dalam olah kanuragan."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Jika setiap kali ia melihat kebanggaan dan bahkan kesombongan seseorang karena memiliki ilmu kanuragan, maka dihadapan suasana yang berbeda sama sekali.
"Tetapi jangan kau paksakan dirimu untuk dalam waktu satu dua hari mengungkapkan segala tanggapanmu atas anak muda itu Glagah Putih. Kau akan menjadi bingung."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Biasanya ia cepat mengerti dan menjawab, "Tidak ada kesulitan." Namun saat itu ia sama sekali tidak memberikan tanggapan apapun juga, karena ia memang melihat sesuatu yang tidak dapat segera dimengertinya.
Pembicaraan itu terputus, ketika mereka mendengar langkah mendekat.
"Apakah kau belum tidur" " terdengar seseorang bertanya.
Agung Sedayu bangkit dan melangkah kepintu. Ia tahu bahwa diluar pintu berdiri Ki Waskita.
Perlahan-lahan Agung Sedayu menarik pintu lereg agar tidak menumbuhkan derit yang terlalu keras. Apalagi dimalam yang telah menjadi semakin sepi.
Ki Waskita mengerutkan keningnya ketika ia melihat Glagah Putih berdiri termangu-mangu dibelakang Agung Sedayu. Ternyata bahwa pada sorot matanya, memancar kekecewaan karena seolah-olah Glagah Putih mengetahui, bahwa Ki Waskita hanya memerlukan kakak sepupunya saja.
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Sambil tersenyum ia berkata, "Maaf ngger. Mungkin aku sudah mengganggumu. Aku memang memerlukan angger Agung Sedayu untuk sebuah pembicaraan yang penting."
Glagah Putih memandang Agung Sedayu sejenak. Namun iapun menyadari, bahwa ia tidak akan dapat merengek-rengek seperti anak-anak.
Karena itu, maka jawabnya, "Silahkan paman. Aku akan menunggunya disini."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, "terima kasih. Tetapi aku mohon agar kau tidak meninggalkan bilik ini."
"Ya paman," Glagah Pulih mengangguk pula.
Dengan demikian, maka Agung Sedayupun meninggalkan Glagah Pulih didalam biliknya. Bersama Ki Waskita iapun kemudian turun kehalaman dan berjalan keregol.
"Kita berjalan-jalan keujung padukuhan ngger," berkata Ki Waskita.
Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, "Marilah. Aku akan mengikuti saja kemana Ki Waskita akan pergi."
Ki Waskita tersenyum. Agung Sedayu pasti sudah dapat menebak, bahwa ia akan berbicara tentang sesuatu yang penting dan tidak perlu di ketahui oleh orang lain.
Beberapa langkah mereka menyusuri jalan padukuhan. Kemudian mereka melalui jalan induk pergi keujung padukuhan Ketika mereka melalui sebuah gardu perondan, maka anak-anak muda yang ada digardu itupun tidak bertanya sesuatu selain mempersilahkan mereka lewat, karena anak-anak muda dipadukuhan itu mengenal, bahwa Ki Waskita adalah seorang yang agak lain dari orang-orang kebanyakan.
Ketika mereka sudah dibulak, barulah Ki Waskita mulai dengan persoalannya. Dengan suara yang lirih orang tua itu berkata, "Angger, ternyata ada sesuatu yang terlupakan saat aku mengajak angger kemari."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia tidak segera menangkap maksud Ki Waskita. Ia tidak mengerti apakah yang disebutnya sesuatu yang terlupakan itu.
Karena itu, maka diberanikannya dirinya untuk bertanya, "Apakah yang Ki Waskita maksudkan" Apakah ada sesuatu barang yang tertinggal di Jati Anom, atau Suatu sikap dan pesan yang terlupakan belum Ki Waskita nyatakankepada Kiai Gringsing atau paman Widura?"
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Dipandangnya wajah langit yang bersih digantungi oleh bintang gemintang yang berkerdipan.
Dalam pada itu Agung Sedayu menjadi termangu-mangu. Ia tidak berani mendesak lagi. Yang dapat dilakukannya hanyalah menunggu, apa yang akan dikatakan oleh Ki Waskita.
Baru sejenak kemudian Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, "Angger Agung Sedayu. Sebenarnya aku mengajak kau datang kerumahku, karena aku ingin menitipkan sekedar pengetahuan kanuragan yang tidak berarti. Juga sejenis ilmu yang hanya dapat dipergunakan untuk bermain-main dengan anak-anak yang sedang merengek dengan mempertunjukkan bayangan-bayangan yang mungkin dapat memberikan sedikit kesenangan. Mungkin juga suatu cara untuk melapisi diri terhadap ilmu-ilmu sejenis sehingga kau tidak mudah dibayangi oleh penglihatan dan pengamatan dengan jenis indera yang manapun juga oleh ujud-ujud dan peristiwa-peristiwa semu. Selebihnya mungkin kau perlu juga memiliki sebuah perisai sehingga 'kau tidak mudah dipengeruhi oleh sejenis ilmu sirep, gendam dan ampak-ampak, sehingga kau menjadi lemah dan kehilangan kesadaran dalam tidur yang sangat nyenyak, atau kau tiba-tiba saja telah terpesona oleh sesuatu diluar kehendakmu atau tiba-tiba saja dunia menjadi gelap, seolah-olah kau menjadi buta."
Ki Waskita berhenti sejenak. Tetapi Agung Sedayu tidak memotongnya. Ia masih tetap menunggu Ki Waskita melanjutkan kata-katanya, "Angger Agung Sedayu. Di Sangkal Putung angger telah berhasil melawan ilmu sirep yang tajam karena keteguhan hati dan kepercayaan angger atas kesadaran diri. Tetapi untuk itu kau harus mengerahkan banyak tenaga dan pemusatan inderamu. Hal itu tidak perlu kau lakukan jika kau memiliki perisai yang dapat membentengi perasaanmu, sehingga kau tidak akan kehilangan banyak kekuatan didalam dirimu."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia sudah menduga, bahwa maksud Ki Waskita membawanya adalah karena keinginan Ki Waskita untuk membantunya melindungi diri dari bahaya yang dalang bertubi-tubi, seolah-olah setiap orang didunia ini telah mendendamnya, salah atau tidak salah.
Tetapi Agung Sedayupun menjadi berdebar-debar, bahwa Ki Waskita telah menyatakan, bahwa sebenarnya hal itu yang akan dilakukannya.
"Lalu, apakah yang telah terjadi, dan apakah yang akan dilakukannya?" bertanya Agung Sedayu kepada diri sendiri.
Sementara itu Ki Waskita berkata seterusnya, "Angger Agung Sedayu. Itulah yang aku maksudkan. Tetapi seperti yang aku katakan, ada sesuatu yang telah aku lupakan."
Terasa dada Agung Sedayu bergejolak, ia tidak dapat menahan diri lagi untuk bertanya, "Apakah yang Ki Waskita lupakan?"
"Rudita ngger."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Segera ia menangkap maksud Ki Waskita. Bagi Ki Waskita Rudita adalah anak yang sangat dikasihinya, sehingga sudah barang tentu ia tidak akan dapat menyakiti hati anaknya dengan menurunkan ilmu kanuragan kepada Agung Sedayu didepan matanya. Bahkan seandainya Ki Waskita mengajaknya menyingkir ketempat yang jauh disetiap malam. Namun Rudita tentu akan mengetahui bahwa kepergian mereka adalah dalam rangka mewariskan ilmu.
Sementara itu. Rudita sendiri sebagai anak laki-laki Ki Waskita telah menentukan sikapnya. Ia menjauhi segala sikap dan tindak kekarasan. Rudita menjadi sangat bersedih jika ia melihat akibat dari peristiwa kekerasan. Sehingga karena itulah, maka Rudita seakan-akan telah terlempar pada suatu jarak yang tidak dapat dipertemukan dengan ayahnya sendiri.
Meskipun dalam hidup sehari-hari Rudita tetap merupakan seorang anak yang dekat dengan ayah dan ibunya, namun batas yang lebar dan dalam telah menganga diantara mereka didalam sikap jiwani.
Ki Waskita membiarkan Agung Sedayu merenung. Ki Waskitapun mengetahui, bahwa agaknya Agung Sedayu telah menangkap maksudnya. Karena itu, maka Ki Waskita tidak merasa perlu untuk menjelaskan.
Sejenak keduanya saling berdiam diri. Namun sementara itu dada Agung Sedayu terasa menjadi pepat. Secercah kekecewaan telah memercik dihatinya. Ia merasa bahwa ia telah kehilangan suatu kesempatan yang sangat berharga baginya. Mungkin yang akan disadap dari Ki Waskita akan lebih berarti dari yang telah diketemukannya didalam goa saat ia seakan-akan mengasingkan diri.
Namun sesaat kemudian. Agung Sedayu merasa gembira. Dengan demikian ia sudah dibatasi oleh kemampuan yang sudah ada padanya. Dengan kemampuan yang ada, ia sudah banyak melakukan kesalahan. Ia sudah terlalu sering berbuat dosa. Membunuh dan melukai orang-orang yang barang kali tidak bermaksud jahat kepadanya, atau barangkali karena sekedar menjalankan perintah orang lain.
Dosa itu rasa-rasanya selalu mengikutinya dalam ujud yang berbeda-beda. Kadang-kadang ia menjadi gelisah didalam tidur. Kadang-kadang ia menjadi bingung menghadapi peristiwa-peristiwa yang tiba-tiba saja harus diatasi. Dan kadang-kadang ia merasa selalu dibayangi oleh dendam dan kebencian.
"Jika ilmuku bertambah-tambah lagi, maka dosa yang akan aku lakukan tentu akan semakin besar. Aku akan semakin banyak membunuh dan dendam pun akan semakin tinggi menyala membakar langit."
Dengan demikian, maka keragu-raguannyapun bagaikan menghentak-hentak didadanya. Ia merasa berdiri dijalan simpang yang sulit untuk menentukan, apakah ia harus mengikuti jalan kekanan atau kekiri.
Namun tiba-tiba ia berdesah didalam hati, "Aku memang sangat bodoh. Ki Waskita tidak menyuruh aku untuk memilih. Tetapi yang dikatakannya itu adalah suatu kepastian sikapnya, bahwa ia tidak akan dapat mewariskan ilmunya, meskipun hanya sebagian kecil kepadaku karena alasan yang sudah dikatakan. Ia tidak ingin menyakiti hati anaknya. Sudah tentu anaknya akan lebih berharga dari aku. Jauh lebih berharga meskipun ada perbedaan sikap dan pandangan terhadap hidup dan putarannya.
Agung Sedayu masih berdiam diri ketika langkah mereka menjadi semakin jauh Namun tiba-tiba Ki Waskita berhenti dan berkata, "Marilah kita pulang ngger."
"O," Agung Sedayu tergagap. Namun kemudian ia sempat menjawab, "Marilah Ki Waskita."
Ki Waskita menangkap kekecewaan yang tersirat pada nada kata-kata Agung Sedayu, namun iapun menangkap keragu-raguan yang membara didalam hati anak muda itu.
Tetapi Ki Waskita tetap berdiam diri. Seakan-akan ia sengaja membiarkan Agung Sedayu berbantah dengan dirinya sendiri.
Langkah-langkah mereka dimalam yang gelap itu, terdengar gemerisik. Angin malam bertiup menghembuskan udara yang lembab dingin.
Dalam pada itu. tiba-tiba saja Ki Waskita menarik nafas dalam dalam. Diluar sadarnya ia memandang wajah Agung Sedayu. Betapapun gelapnya malam, namun karena ketajaman tatapan mata Ki Waskita, nampak olehnya ketegangan yang tersirat diwajah itu.
"Kau merasakan sesuatu?" bertanya Ki Waskita.
Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, "Aku mendengar sesuatu dibalik perdu itu."
Ki Waskita memalingkan wajahnya. Dipandanginya segerumbul perdu dipinggir jalan. Bahkan ia masih melihat sesosok tubuh yang bergeser dan hilang dibalik bayang-bayang dedaunan yang rimbun.
Agung Sedayu tertegun sejenak. Katanya, "Ada seseorang yang mengintai kita."
"Aku kira bukan hanya seorang," sahut Ki Waskita. Tetapi kemudian katanya, "Biarkan saja ngger. Mereka tentu tidak berbahaya bagi kita."
Agung Sedayu mengangguk-angguk.
"Gerak dan sikap mereka telah menunjukkan bahwa mereka bukan orang yang memiliki ilmu yang sempurna. Meskipun demikian, hal ini merupakan peringatan bahwa kita harus berhati-hati," berkata Ki Waskita pula.
Agung Sedayu tidak menjawab. Merekapun kemudian, melanjutkan langkah mereka kembali kepadukuhan.
Ternyata orang-orang yang berada dibalik gerumbul itu tidak menyusul mereka. Agaknya orang-orang itu hanya sekedar mengawasi saja. Mereka bukan orang-orang yang seharusnya bertindak langsung terhadap Agung Sedayu atau Ki Waskita atau kedua-duanya.
"Satu kesalahan telah mereka lakukan," berkata Agung Sedayu didalam hatinya, "mereka berada terlalu dekat dengan jalan yang kami lalui."
Namun demikian, kegelisahan Agung Sedayu telah bertambah lagi. Ia sadar, bahwa kemungkinan yang paling besar, bahwa orang-orang itu telah mengikutinya sejak ia meninggalkan Jati Anom. Bagi Agung Sedayu orang-orang itu merupakan salah satu bayangan dendam yang menyala dimana-mana.
*** Buku 119 "KI WASKITA," berkata Agung Sedayu kemudian, " apakah dengan membiarkan mereka, persoalan ini telah dapat kita anggap selesai?"
"Tentu tidak Agung Sedayu. Tetapi kita tidak perlu menghiraukannya."
"Ki Waskita, bagaimana jika kita berusaha menemui dan berbicara dengan mereka?"
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ia merenung sejenak. Namun kemudian katanya, " Kita akan menunggu ngger. Mudah-mudahan tidak ada persoalan yang menjadi gawat. Pada suatu saat mungkin kita akan mendapat kesempatan untuk berbicara dengan mereka."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi kepalanya terangguk-angguk kecil.
Untuk sesaat keduanya telah berdiam diri. Masing-masing sedang merenungi kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.
Namun sejenak kemudian Ki Waskitapun berkata, " Angger Agung Sedayu, sebenarnya masih ada yang ingin aku katakan. Mungkin dapat menjadi bahan pembicaraan kita disepanjang jalan pulang."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya Dengan nada dalam ia bertanya, " Tentang orang-orang itu?"
Ki Waskira menggeleng. Katanya, " Tentang angger Agung Sedayu. Agar kedatangan angger Agung Sedayu kerumahku tidak sia-sia, maka aku ingin mencari cara bagaimana aku dapat membantu angger menyempurnakan ilmu yang telah angger miliki, sekaligus aku ingin menitipkan ilmu dari cabang perguruanku agar tidak menjadi punah, dan dengan serta merta dilupakan orang. Seperti angger ketahui, aku tidak akan dapat mewariskannya kepada Rudita."
Sesuatu terasa bergejolak dihati Agung Sedyu. Pertentangan didalam dirinya kembali menyala.
"Angger," berkata Ki Waskita, " aku mengenal angger Agung Sedayu dengan baik. Karena itu akupun mengetahui bahwa angger menjadi ragu-ragu. Angger berdiri diantara dua sikap yang berbeda," Ki Waskita berhenti sejenak, lalu. " tetapi sebaiknya angger dapat melihat kembali sikap angger sejak angger masih sangat muda. Apakah ilmu yang kemudian angger miliki itu dapat angger manlaalkan bagi sesama atau sebaliknya, meskipun akibatnya justru menggelisahkan angger sendiri."
Agung Sedayu tidak menjawab. Telapi sekilas seolah-olah ia melihat perjalanan hidupnya, sejak ia masih dibayangi oleh ketakutan melihat gendruwo bermata satu pada sebatang pohon randu alas dipinggir jalan antara Jati Anom dan Sangkal Putung. Bagaimana ia menjadi ketakutan, dan gemetar mendengar seseorang menyebut harimau putih di Lemah Cengkar.
Namun kemudian, ketika ia memiliki ilmu kanuragan, maka ia merasa mempunyai tanggung jawab bagi keselamatan sesama. Meskipun hanya setitik, ia pernah memberikan perlindungan bagi sesamanya.
"Angger Agung Sedayu," berkata Ki Waskita kemudian, " adalah suatu bentuk pengorbanan, jika angger kemudian selalu merasa dibayangi oleh dendam dan kebencian. Yang telah angger berikan tentu sangat berharga bagi mereka yang merasa dirinya bebas dari bahaya dan mungkin justru cengkaman maut."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia masih tetap dibayangi oleh keragu-raguan. Namun yang dikatakan oleh Ki Waskita itu berhasil menyusup ke dalam hati.
"Bukankah angger telah bersedia datang ketempat ini" " tiba-tiba saja Ki Waskita bertanya.
Agung Sedayu termangu-mangu. Keterangan Ki Waskita tentang Ruditalah yang telah menumbuhkan kebimbangan dan keragu-raguan dihatinya. Namun tiba-tiba Ki Waskita memberikan kemungkinan lain. Sehingga dengan demikian Agung Sedayu menjadi bingung menanggapi sikap orang tua itu disamping keragu-raguannya sendiri.
Ki Waskitapun mengerti, bahwa sikapnya telah membuat Agung Sedayu menjadi bingung, sehingga anak muda itu tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya.
"Angger Agung Sedayu," berkata Ki Waskita, "baiklah aku berterus terang agar tidak menumbuhkan keragu-raguan yang semakin dalam di hati angger Agung Sedayu. Sebenarnyalah aku ingin memberikan sedikit pengetahuan yang barangkali perlu bagi angger. Tetapi aku tidak dapat menurunkannya langsung, justru karena dirumah ada Rudita."
Agung Sedayu termangu-mangu. Kemudian hampir diluar sadarnya ia bertanya, "Jadi maksud Kiai, kita akan pergi ketempat lain?"
Tetapi ternyata Ki Waskita menggeleng. Jawabnya, "Tidak ngger. Kita tidak akan pergi kemanapun."
"Jadi bagamana hal itu dapat terjadi?" bertanya Agung Sedayu.
"Itulah yang akan aku katakan sekarang," Ki Waskita berhenti sejenak, lalu katanya, "aku rasa, tidak ada orang lain disekitar kita. Aku berharap bahwa tidak ada telinga yang mendengar keterangan selain angger sendiri."
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Diluar sadarnya ia memperhatikan keadaan disekitarnya. Ternyata iapun tidak mendengar apapun juga selain gemrisiknya angin yang lembut.
"Tidak ada gerumbul dipinggir jalan ditempat ini," berkata Ki Waskita.
"Ya," sahut Agung Sedayu dengan serta merta.
Tiba-tiba langkah Ki Waskita terhenti, sehingga Agung Sedayupun berhenti pula. Keningnya mejadi berkerut ketika ia melihat wajah Ki Waskita yang nampak menjadi bersungguh-sungguh.
"Angger Agung Sedayu," Ki Waskita berkata perlahan-lahan, "aku memang tidak akan dapat menyakiti hati Rudita dengan memperlihatkan caraku menurunkan ilmu kepada angger. Aku tidak dapat dengan semata-mata mewariskan ilmu kanuragan yang tidak dapat dimengertinya, bahwa ilmu itupun dapat berguna bagi sesama apabila kita dapat mempergunakannya dengan tepat."
Agung Sedayu termangu-mangu. Tetapi ia tidak membantah, meskipun ia tahu bahwa yang dikatakan oleh Ki Waskita tentang anaknya itu tidak tepat.
"Karena itu ngger, maka aku telah menentukan cara yang lain," Ki Waskita berkata selanjutnya, "aku mempunyai sebuah kitab rontal yang barangkali berguna bagi angger Agung Sedayu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Barulah ia menyadari, apa yang harus dilakukannya.
"Jadi, Ki Waskita ingin memberikan atau meminjamkan kitab itu kepadaku ?"
Agung Sedayu menjadi heran ketika ia melihat Ki Waskita menggeleng. "Maaf ngger. Kitab itu adalah kitab yang sangat berharga bagiku. Karena itu, aku saat ini belum dapat meminjamkan, apalagi memberikan kepada orang lain. Apalagi kita mengetahui, bahwa banyak mata memandang kearah angger Agung Sedayu dan banyak telinga yang mendengarkan tentang angger Agung Sedayu."
Kembali Agung Sedayu menjadi bingung. Tetapi ia tidak bertanya. Ia menunggu penjelasan yang tentu akan diberikan oleh Ki Waskita.
"Angger, jika angger membawa kitab itu, maka angger tentu akan terancam. Bahkan kemungkinan kitab itu akan jatuh ketangan orang lain yang tidak seharusnya memilikinya."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia masih tetap bingung.
"Maksudku ngger," Ki Waskita ternyata benar-benar memberikan penjelasan, "aku ingin memberikan kesempatan angger Agung Sedayu membaca dan mempelajari isinya. Tentu tidak seluruhnya, karena ada beberapa bagian yang sudah kau kuasai meskipun dari sudut pendekatan yang berbeda."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Hampir diluar kehendaknya ia bergumam, "Jadi itu berarti bahwa aku harus tinggal di rumah Ki Waskita untuk waktu yang sangat lama."
"Aku tidak berkeberatan jika kau tinggal dirumahku untuk satu atau dua tahun. Tetapi tentu tidak mungkin. Kiai Gringsing tentu akan menjadi gelisah dan cemas. Karena itu, maka angger cukup tinggal dirumahku barang empat atau lima hari saja."
"Apakah artinya empat atau lima hari itu bagi mendalami ilmu yang pelik itu Ki Waskita."
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku tahu, angger Agung Sedayu adalah seorang yang sangat cerdik dan cerdas. Tatapan mata angger Agung Sedayu tidak ubahnya seperti tatapan mata seekor ular bandotan."
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar.
"Bukan dalam arti buruk ngger. Angger sudah dapat memusatkan ilmu yang angger miliki pada kekuatan sorot mata yang mempunyai sentuhan wadag. Bahkan lebih dari itu. Pada suatu saat kekuatan sorot mata angger bukannya sekedar merupakan tekanan dan lontaran panasnya bara pemusatan indera, tetapi pada suatu saat sorot mata angger akan mempunyai daya dorong dan pegangan melampaui kekuatan tangan raksasa. Kekuatan mata angger akan dapat meremas, menggenggam dan melontarkan gunung anakan."
"Ah," desah Agung Sedayu, "itu sangat berlebih-lebihan."
"Mungkin memang berlebih-lebihan ngger, tetapi aku memang ingin mengatakan, betapa kekuatan itu telah mulai angger rintis dan mulai angger ketemukan. Tetapi seperti seorang yang memasuki sebuah goa yang gelap, angger hanya tahu, bahwa angger sudah ada didalam karena pintunya tebuka. Tetapi angger belum tahu, bagaimanakah seharusnya angger membuka pintunya."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Semakin dalam ia mempelajari ilmu, maka semakin banyak yang terasa belum dikenalnya.
"Tetapi ngger, aku kira ada yang penting yang angger miliki. Angger adalah seseorang yang mempunyai kenangan yang sangat kuat. Mungkin angger melupakan kamus ikat pinggang yang baru saja angger letakkan, telapi aku yakin, bahwa angger tidak akan melupakan sesuatu yang angger anggap penting. Seperti seekor ular yang tidak akan pernah kehilangan bayangan dikepalanya tentang sesuatu yang pernah dilihatnya, seolah-olah bayangan penglihatannya tercetak didinding kepalanya."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia mencoba untuk mengerti isi dari kata-kata Ki Waskita. Karena itulah maka ia mencoba untuk menilai kemampuan ingatannya sendiri. Apakah benar bahwa ingatannya atas sesuatu yang pernah dilihatnya dan menarik perhatiannya memang sangat tajam.
Sekilas terbayang masa masa lampaunya yang tidak seperti dikatakan oleh Ki Waskita. Ia tidak dapat mengingat semua yang pernah dialaminya.
"Tidak ada bedanya dengan orang lain," berkata Agung Sedayu didalam hatinya, "setiap orang tentu dapat mengingat sebagian dari peristiwa yang pernah dialaminya. Sedangkan sebagian yang lain terlupakan.
"Anak mas," berkata Ki Waskita kemudian, "cobalah kau menilai dirimu sendiri."
"Ki Waskita," jawab Agung Sedayu, "Aku kira, tidak ada yang berbeda dengan orang lain. Aku tidak dapat mengingat seluruh peristiwa dalam hidupku."
Ki Waskita tensenyum. Katanya, "Memang tidak Agung Sedayu. Kau tentu tidak akan menaruh perhatian yang sama terhadap setiap peristiwa didalam hidupmu. Tetapi pada suatu saat kau tentu pernah melihat sesuatu yang telah mencengkam segenap perhatianmu. Cobalah kau ingat apakah ada sesuatu yang membekas dalam ingatanmu, seperti saat kau mengalaminya."
Agung Sedayu merenung sejenak. Tiba-tiba saja ia mencoba mengenang kembali apa yang pernah dilakukannya disaat yang penting selama ia memperdalam ilmunya.
"Goa itu," Agung Sedayu berkata didalam hatinya. Hampir ia terlonjak. Seolah-olah ia masih berada didalam goa itu. Seakan-akan ia melihat jelas, lukisan dan petunjuk-petunjuk yang terpahat didinding goa. Suatu urut-urutan tataran yang harus dipelajari dan dikuasai untuk mencapai tingkat ilmu yang sempurna dalam cabang perguruan Ki Sadewa.
"Aku melihatnya kembali didalam angan-angan," gumam Agung Sedayu.
"Apa ?" bertanya Ki Waskita.
"Lukisan yang terpahat didinding goa itu."
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku sudah mengira, bahwa kau memiliki kurnia alam itu. Ketajaman ilmu bidikmu, kemampuan sentuhan tatapan matamu seperti sentuhan wadag yang sangat perkasa, dan sifat-sifatmu yang lain, menunjukkan bahwa kau memang seorang yang memiliki kekuatan alami yang tidak lain adalah kurnia dari Yang Maha Agung kepadamu. Ternyata bahwa kau memiliki daya tangkap yang sangat tajam pula, sehingga sesuatu yang menarik perhatianmu, akan-terpahat didalam ingatanmu seutuhnya seperti saat kau menyaksikannya."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dalam waktu yang singkat, ia masih meyakinkan, apakah benar kata-kata yang diucapkan oleh Ki Waskita itu.
Ternyata bahwa seperti gambar yang terpancang dihadapannya yang nampak jelas berurutan, seolah-olah ia sedang menghadapi pertunjukkan wayang beber yang dibawakan oleh seorang dalang yang dikenalnya baik-baik, yaitu dirinya sendiri, yang membawakan ceritera tentang seorang lakon yang dikenalnya sebaik dalangnya, dirinya sendiri pula.
Agung Sedayu melihat, dari satu saat kesaat berikutnya pada bagian-bagian yang penting dari seluruh hidupnya. Yang dianggapnya tidak berbeda dengan orang lain, bahwa ada yang dapat diingat dan ada yang dilupakannya, ternyata mempunyai beberapa perbedaan. Iapun kemudian sadar, bahwa pada saat-saat peristiwa yang terjadi itu memberikan kesan yang dalam dihatinya, maka semakin jelas ingatan itu terpaleri diangan angannya. Sehingga Agung Sedayupun berkesimpulan, perhatiannya atas sesuatu yang terjadi, seperti pahatan yang dibuatnya pada sebuah batu padas. Semakin dalam ia menghunjamkan pahatnya, maka bekasnya akan menjadi semakin jelas dan tidak mudah terhapus oleh peristiwa-peristiwa berikutnya.
"Apakah kau sudah menemukan kemampuan yang ada pada dirimu sendiri ngger?" bertanya Ki Waskita kemudian.
Agung Sedayu mengangguk-angguk.
"Nah, jika demikian, maka baiklah aku berterus terang tentang rencanaku. Aku ingin meminjamkan kitab itu kepadamu. Bacalah dan perhatikan dengan saksama. Goreskan setiap garis yang ada pada rontal itu didinding ingatanmu dalam-dalam, sehingga tidak akan mudah terhapus. Tentu kau tidak akan dapat memahami isinya dalam waktu singkat. Tetapi itu memang tidak perlu. Yang perlu kau lakukan adalah mengingat apa yang tertulis dan terlukis. Baru kemudian, disaat yang panjang kau dapat mempelajari dan mencari makna dari isi kitab itu. Sehingga pada suatu saat, kau akan menguasai isi dari buku itu dengan sempurna, bukan saja sekedar ingatan tentang bunyi yang tertulis dan sikap serta gerak yang terlukis, tetapi kau benar-benar seorang yang memiliki ilmu itu dengan segenap sifat dan wataknya, menguasainya seperti kau menguasai batang tubuhmu sendiri."
Agung Sedayu tidak segera menjawab. Terasa sesuatu bagaikan mengguncang isi dadanya.
Ternyata bahwa Ki Waskita telah benar-benar melimpahkan kepercayaan kepadanya, ia diperkenankan melihat isi kitab yang merupakan sumber ilmu dari perguruan yang dianut oleh Ki Waskita dalam olah kanuragan dan kajiwan. Meskipun Agung Sedayu mengerti, bahwa dalam mempelajari ilmu kanuragan dan kajiwan itu menyangkut keserasian hubungan timbal balik antara ilmu dan pribadi, namun seseorang akan mempunyai kesempatan yang luas dengan kesempatan yang diterimanya. Mungkin ia tidak akan dapat memiliki kemampuan untuk mengetahui isyarat pada penglihatan dimasa mendatang seperti yang dimiliki Ki Waskita, karena didalam dirinya tidak ada wadah yang sesuai dengan penyadapan ilmu itu. Namun ia akan dapat mengetahui bagimana hal itu dapat terjadi. Demikian pula bagian yang lain yang termuat didalam kitab itu.
Ki Waskita mengerti, bahwa ada guncangan yang terjadi didalam diri anak muda itu. Kesempatan itu merupakan kesempatan yang besar sekali artinya bagi masa depannya. Tetapi kesempatan itu juga merupakan suatu hentakkan yang harus dapat tembus dari batas keragu-raguannya.
Sejenak keduanya saling berdiam diri. Tetapi kaki mereka masih melangkah perlahan-lahan diatas jalan persawahan. Beberapa puluh langkah lagi mereka akan memasuki padukuhan yang tidak begitu besar, tetapi juga bukan padukuhan yang kecil. Padukuhan tempat tinggal Ki Waskita yang banyak dikenal orang sebagai seorang yang mengetahui apa yang terjadi, meskipun Ki Waskita sendiri tidak merasa demikian. Ki Waskita hanya merasa menerima karunia untuk melihat isyarat-isyarat yang dapat diuraikannya. Tetapi tidak sejelas melihat peristiwa-peristiwa itu terjadi.
Beberapa saat kemudian barulah Agung Sedayu berkata," Ki Waskita. Aku tidak dapat mengatakan, betapa besar terima kasihku atas kepercayaan yang Ki Waskita limpahkan kepadaku dengan memberikan kesempatan yang sangat luas itu."
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Akupun berterima kasih kepadamu ngger. Dengan demikian aku telah mendapat kesempatan untuk menitipkan kelanggengan ilmu itu kepada angger Agung Sedayu. Aku tidak dapat berbuat demikian bagi anakku, karena ia telah menemukan sikap yang berbeda, yang karena keyakinannya tidak akan dapat dirubah lagi, meskipun aku mengakui bahwa sikapnya adalah sikap yang lebih luhur dari sikapku dan sikap kita semuanya yang masih mempercayakan diri dan beramal dengan sikap-sikap yang disebut kekerasan."
Agung Sedayu menundukkan kepalanya, sementara Ki Waskita melanjutkan, "Aku tidak tahu, apakah yang akan aku lakukan dengan kitab itu kelak, karena aku sadar, bahwa umurku pada suatu saat akan mencapai batasnya."
Agung Sedayu masih tetap berdiam diri.


05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nah," berkata Ki Waskita kemudian ketika mereka sampai dimulut lorong memasuki regol padukuhan, "kita sudah selesai dengan pembicaraan kita. Aku akan memberikan kitab itu nanti menjelang pagi. Terserah kepadamu, saat-saat yang manakah yang akan angger pilih untuk melihat isinya dan memahatnya didinding hati angger Agung Sedayu. Aku yakin bahwa dengan demikian isi kitab itu akan tetap terpateri untuk selama-lamanya. Sementara dari satu saat kesaat berikutnya, kau dapat membacanya dan mempelajarinya langsung dari pahatan yang tergores dihatimu tanpa memerlukan kitab itu lagi."
"Terima kasih Kiai." Suara Agung Sedayu menjadi semakin dalam.
"Tetapi aku mohon, bahwa yang angger lakukan itu janganlah mengusik ketenangan hati Rudita."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti maksud Ki Waskita. Rudita jangan mengetahui apa yang dilakukannya dengan kitab itu.
Betapa berat hati Agung Sedayu karena ia harus berbuat sesuatu dengan diam-diam dan seolah-olah bersembunyi dari penglihatan Rudita, namun iapun mengangguk sambil menjawab, "Aku akan berusaha Ki Waskita."
"Terima kasih ngger. Ia tidak akan mengira bahwa dalam waktu yang sangat singkat, isi kitab itu sudah kau miliki meskipun belum kau temukan maknanya."
"Aku akan selalu mengingatnya Ki Waskita." jawab Agung Sedayu.
Ki Waskita tidak menyahut. Keduanya telah memasuki regol padukuhan. Digardu nampak beberapa orang peronda duduk dibibir gardu, sementara yang lain telah tidur mendekur.
"Selamat malam Ki Waskita," desis salah seorang peronda itu.
Ki Waskita tersenyum. Ia mendekati gardu itu sambil melihat anak-anak muda yang tidur nyenyak.
"Siapa saja?" bertanya Ki Waskita.
"Anak-anak malas," jawab peronda yang duduk dibibir gardu.
Ki Waskita tertawa. Sambil melangkah pergi ia berkata, "Tentu mereka terlalu kenyang makan disore hari."
Yang lain tertawa pula. Salah seorang berkata, "Mereka baru saja pulang sambatan dan menghabiskan semua yang disuguhkan kepada mereka."
Suara tertawa meledak. Ki Waskitapun tertawa pula sambil melangkah pergi.
Tidak banyak lagi yang dibicarakan antara Ki Waskita dan Agung Sedayu. Mereka tidak mau pembicaraan mereka didengar oleh orang lain. Bahkan oleh keluarga mereka sendiri, atau oleh Glagah Putih.
Sampai dirumah Ki Waskitapun mereka tidak lagi menyebut tentang kitab itu. Glagah Putih yang belum tidur, menyongsong Agung Sedayu dipintu bilik sambil bertanya, "Apa yang penting kakang?"
Agung Sedayu mengibaskan kain panjangnya sambil berkata, "Kainku basah. Ketika aku mencuci kaki dipakiwan, ujung kainku tercelup di jambangan."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa Agung Sedayu tidak mau menjawab pertanyaannya, sehingga iapun mengerti, bahwa yang dibicarakan dengan Ki Waskita tentu sesuatu yang bersifat rahasia.
"Aku lelah Glagah Putih," berkata Agung Sedayu kemudian, "apakah kau masih belum ingin tidur?"
Glagah Putih menarik nafas panjang. Terasa ada semacam kekecewaan yang tergores dihatinya. Tetapi Agung Sedayu tidak dapat berbuat sesuatu. Ia tidak dapat mengatakan, apa yang baru saja dibicarakannya dengan Ki Waskita. Karena itulah maka ia berpura-pura saja tidak mengetahui, bahwa ada sesuatu yang bergejolak dihati adik sepupunya.
Glagah Putihpun kemudian berbaring dengan gelisah. Agung Sedayu yang berbaring disisinya telah memejamkan matanya. Nafasnya telah berjalan teratur. Dan sejenak kemudian, Agung Sedayu itupun telah tertidur.
Betapapun gelisahnya, namun akhirnya Glagah Putihpun kemudian tertidur pula. Kegelisahannya ternyata telah dibawanya didalam mimpi, sehingga kadang-kadang ia berdesah pelahan-lahan.
Agung Sedayu yang sebenarnya masih belum tidur, telah membuka matanya. Perlahan-lahan ia bangkit. Dipandanginya wajah adiknya yang buram dengan iba hati. Tetapi ia terikat pada suatu keharusan untuk tetap berdiam diri.
Seperti yang telah dijanjikan, ketika malam menjadi semakin dalam dan sepi, terdengar desir langkah halus mendekati biliknya. Dikejauhan terdengar kokok ayam yang bersahut-sahutan.
Agung Sedayupun bangkit dan membuka pintu biliknya perlahan-lahan. Ia melihat Ki Waskita berdiri dengan sebuah kitab ditangannya.
Sejenak Ki Waskita termangu-mangu. Seolah-olah masih ada sesuatu yang meragukannya untuk memberikan kitab rontal itu.
Namun kemudian ia berkata, "Terimalah anakmas. Inilah kitab yang aku katakan. Ada beberapa bagian yang tercantum didalam kitab itu, yang tentu semuanya tidak dapat angger anggap sesuai dengan pribadi angger. Terserahlah, yang manakah yang angger anggap sesuai, tentu angger yang lebih tahu dari orang lain."
Agung Sedayu menjadi tegang. Namun kemudian ia mengangkat tangannya sambil berkata, "Terima kasih Ki Waskita. Aku akan berusaha sejauh dapat aku lakukan untuk menerima kemurahan hati Ki Waskita."
Ketika Agung Sedayu menerima kitab itu. terasa tangannya gemetar secepat getar jantungnya. Dengan menerima kitab itu, satu kewajiban yang berat dan mendebarkan harus dilakukannya. Ia harus berusaha tidak mengecewakan orang yang telah memberikan kepercayaan kepadanya itu.
Ki Waskita tidak memberikan pesan lebih banyak lagi. Ketika kitab itu sudah berada ditangan Agung Sedayu, maka katanya, "Terserahlah kepadamu. Setelah kau selesai, kembalikan kitab itu kepadaku. Aku tahu, bahwa kau tentu belum mendapatkan banyak manfaat dari kitab itu kecuali mengingat isinya. Baru kemudian kau akan mendapat kesempatan untuk mendalami tanpa memerlukan kitab ini lagi."
Agung Sedayu mengangguk sambil bergumam, "Terima kasih Ki Waskita."
Ki Waskita pun kemudian meninggalkan Agung Sedayu yang termangu-mangu. Namun Agung Sedayu pun segera menyadari dirinya, bahwa ia telah memegang sesuatu yang sangat berharga. Kitab itu akan dapat mempunyai arti yang berlawanan apabila jatuh di tangan yang berbeda sikap, pendirian dan pandangan hidupnya. Isi dari kitab itu akan bermanfaat bagi kemanusiaan dan beradaban, tetapi dapat pula menjadi guncangan yang gawat bagi tata kehidupan manusia.
Agung Sedayupun kemudian kembali masuk kedalam biliknya. Perlahan-lahan ia menutup dan menyelarak pintunya.
Sejenak ia berdiri disisi pembaringan. Dipandanginya Glagah Putih yang masih tertidur nyenyak.
Ada sesuatu yang mendorongnya untuk membuka kitab itu. Perasaan ingin tahunya tidak dapat dikekangnya lagi. Sehingga karena itu, maka iapun kemudian duduk menghadapi bancik lampu minyak didalam bilik itu.
Perlahan-lahan kitab itu dibukanya. Tangannya yang gemetar menjadi semakin gemetar. Ia sadar, bahwa ia harus mempunyai ingatan yang urut terhadap kitab itu.
Karena itulah, maka ia tidak mau membuka asal saja membuka kitab rontal itu. Ia membuka sejak halaman yang pertama dan satu demi satu halaman itu ditatapnya dengan tajamnya. Kata demi kata dibacanya, dan lukisan demi lukisan dipahatkannya didinding kenangannya.
Tetapi Agung Sedayu tidak perlu tergesa-gesa. Ketika Glagah Putih menggeliat, maka iapun menutup kitab yang baru dibacanya dua helai itu, yang sama sekali masih belum menyinggung isinya, karena yang dua helai itu baru merupakan pendahuluan dan sekedar mempekenalkan kepada pembacanya, siapakah yang menyusun kitab itu.
Ternyata Glagah Putih tidak terbangun. Meskipun demikian. Agung Sedayu telah menyimpan kitabnya ditempat yang tidak akan dapat diketahui oleh siapapun didalam bilik itu.
Sambil duduk dibibir pembaringan Agung Sedayu mencoba, apakah benar yang dikatakan oleh Ki Waskita, bahwa yang telah dilihatnya pada rontal itu seolah-olah telah terpahat didinding hatinya.
Dengan pemusatan pikiran, maka Agung Sedayu ternyata telah berhasil melihat kembali helai-helai rontal itu seperti ia masih menggenggamnya. Ia melihat kalimat demi kalimat. Huruf demi huruf dan garis demi garis. Ia dapat melihat segores luka pada rontal itu. Dan iapun melihat setitik noda disudut.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia benar-benar dapat menyadap dari penglihatannya seutuhnya apa yang pernah dilihatnya dengan penuh minat dan pemusatan pikiran.
Lebih daripada itu, maka isi helai-helai pertama dari kitab itu telah menarik perhatiannya, yang membawa sebuah nama yang tercantum pada kata pengantar kitab itu.
Bahwa saat bintang yang cahayanya seperti seribu obor yang menyala dilangit, seorang pertapa yang telah menjauhkan diri dari libatan pengaruh duniawi, dan yang telah mendekatkan diri pada sangkan paraning dumadi, yang diberi pertanda oleh Yang Maha Sakti dengan gelar Empu Pahari, telah menerima wisik didalam mimpi menjelang fajar menyingsing, bahwa tangannya akan menjadi lantaran turunnya ilmu yang akan diwarisi oleh para sakti yang mendapat anugerah sejati, untuk diamalkan sesuai dengan tetesan hati yang bening dalam kasih. Dan mereka yang mewarisi diatas alas kebenaran akan menjadi pelita yang dapat menerangi kegelapan disekitamya. Akan terdengar sorak sorai kegembiraan dihati sesama yang dilindunginya dan akan terdengar gemeretak gigi dan tangis kehancuran bagi mereka yang terkena azabnya karena langkah yang sesat. Terpujilah Yang Maha Benar.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
Dari pengantar itu ia mengetahui sebuah nama dijaman yang telah jauh lampau. Empu Pahari, yang telah menyusun kitab itu. Yang telah mencoba menuangkan ilmu kedalam sebuah kitab rontal yang turun temurun sampai kepada Ki Waskita.
Ternyata Agung Sedayu telah terlarik untuk membaca seluruh isi kitab itu, dan memahatkannya didinding hatinya. Meskipun kemudian kitab itu tidak berada ditangannya lagi, namun itu sama sekali tidak akan berpengaruh lagi atasnya, karena la akan tetap dapat melihat seluruh isinya untuk diketemukan maknanya dan kemudian seperti yang diharapkan oleh penyusun kitab itu, adalah penganmalannya.
Agung Sedayu telah mengangguk-angguk diluar sadarnya, seolah-olah ia baru saja menemukan sesuatu yang paling sesuai baginya disepanjang perjalanan hidupnya.
Agung Sedayu sadar dari angan-angannya ketika ia melihat Glagah Putih sekali lagi menggeliat. Tetapi anak itu benar-benar telah terbangun dan membuka matanya.
"Kau sudah bangun kakang?" bertanya Glaguh Putih.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ternyata Glagah Putih telah terbangun sebelum ia sendiri sempat tidur barang sejenak.
Tetapi Agung Sedayu menjawab, "Ya Glagah Putih. Aku sudah terbiasa bangun pagi-pagi sekali. Bukankah begitu?"
"Apakah aku bangun terlalu siang kali ini?"
"Tidak," cepat-cepat Agung Sedayu menggeleng, "hari masih sangat pagi. Akupun baru saja terbangun."
Glagah Putihpun kemudian duduk pula. Tetapi ia menjadi gelisah ketika ia mendengar senggot timba berderit.
"Aku bangun kesiangan," katanya, "sudah ada orang menimba air dibelakang."
"Tetapi kita sekarang adalah tamu," desis Agung Sedayu.
"Apa salahnya aku mengisi jambangan di pakiwan?"
Agung Sedayu tersenyum. Adik sepupunya memang seorang yang rajin. Ia senang melakukan pekerjaan apapun juga yang dapat dikerjakannya.
Disiang hari, Agung Sedayu sama sekali tidak berbuat sesuatu. Nampaknya ia benar-benar sedang beristirahat. Kerjanya ikut serta Rudita pergi kesawah. Duduk di gubug kecil sambil ikut makan kiriman ditengah hari.
Tetapi dimalam hari, jika Glagah Putih telah tertidur, dan seisi rumah telah nyenyak pula, maka mulailah ia mengamati isi kitab rontal yang diberikan oleh Ki Waskita kepadanya. Dengan tekun ia membaca dan memahatkan isinya dihatinya. Dengan memusatkan inderanya, maka seolah-olah ia telah memuidahkan setiap huruf yang tertulis didalam kitab itu kedalam rangkuman ingatannya untuk selama-lamanya.
Kitab yang diberikan oleh Ki Waskita bukannya kitab yang tebal. Isinya tidak terlalu banyak, menurut jumlah hurufnya. Tetapi maknanya tiada terkirakan luasnya. Seluas lautan yang menampung setiap arus air dari daratan. Seperti langit yang menyimpan angin yang bergeser lembut, tetapi juga prahara yang mengguncang gunung.
Dada Agung Sedayu bagaikan terhimpit oleh sepasang batu sebesar belahan bumi. Pepat dan bagaikan remuk karena hubungan kalimat-kalimat yang terdapat didalam kitab itu.
Namun Agung Sedayu menghindarkan diri dari setiap sentuhan makna isi kitab itu. Seperti pesan Ki Waskita, ia hanya melihat huruf-hurufnya, menghafal bunyi kata-katanya. Ia tidak ingin dadanya pecah sebelum ia mempersiapkan diri untuk mulai mengamati makna isi kitab rontal itu.
Meskipun demikian, kadang-kadang jantungnya telah tergetar bagaikan akan meledak.
Untuk menyelesaikan seluruh kitab itu, Agung Sedayu tidak memerlukan waktu yang lama. Ia membaca sejak malam menjadi sepi. Dan ia baru berhenti ketika Glagah Putih mulai menggeliat bangun.
Dengan demikian, maka Agung Sedayu setiap malam sama sekali tidak tidur sekejappun.
Namun dengan demikian ia cepat menyelesaikan tugasnya. Pada hari yang ke empat, maka badannya mulai nampak lemah. Bukan saja karena ia sama sekali tidak tidur empat malam berturut-turut. Daya tahan tubuhnya cukup kuat meskipun ia harus berjaga-jaga sepekan atau dua pekan sekalipun. Tetapi pemusatan inderanyalah yang membuatnya nampak letih sekali.
"Kau sakit kakang?" bertanya Glagah Putih dengan cemas.
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Aku tidak apa-apa."
"Tetapi kakang nampak pucat dan lemah sekali."
"Aku tidak apa-apa Glagah Putih. Mungkin udara terasa terlalu panas sehingga rasa-rasanya aku malas untuk keluar."
"Kau makan sedikit sekali hari ini."
Agung Sedayu tertawa sambil mengusap kepala adik sepupunya. Katanya, "Kau aneh. Aku tidak apa-apa."
Glagah Putih tidak bertanya lagi meskipun ia tetap mencemaskan kesehatan kakak sepupunya.
Pada hari kelima, Agung Sedayu bertambah lemah. Ia tidak pergi ke sawah bersama Rudita. Bahkan yang tidak terbiasa dilakukan oleh Agung Sedayu, menjelang tengah hari, ia berbaring dipembaringannya.
Glagah Putih yang ikut bersama Rudita kesawah bertanya dengan cemas, "Rudita, apakah kau mengetahui, apakah sebabnya kakang Agung Sedayu menjadi nampak letih sekali" Matanya menjadi kemerah-merahan, sedangkan wajahnya menjadi pucat."
Rudita tersenyum. Tetapi ia menggeleng. Jawabnya, "Aku tidak mengerti Glagah Putih. Mungkin kakangmu kurang enak badan. Udara di Tanah Perdikan Menoreh tentu jauh lebih panas dari lereng Gunung Merapi yang sejuk."
Glagah Putih mencoba mengingat-ingat, apakah benar Jati Anom udaranya lebih sejuk dari Tanah Perdikan Menoreh. Namun yang diketahuinya, di Tanah Perdikan Menoreh terdapat juga bukit-bukit, meskipun tidak setinggi Gunung Merapi. Sore hari terasa lebih panjang di Tanah Perdikan Menoreh, karena matahari tidak segera bersembunyi dibalik puncak Gunung.
"Apa yang kau renungkan?" bertanya Rudita.
"Aku tidak merasakan, bahwa udara di Jati Anom terasa lebih sejuk dari ditempat ini," berkata Glagah Putih.
Rudita tertawa. Katanya, "Jangan hiraukan kakakmu. Ia tidak apa-apa. Ia mungkin memang letih. Tetapi ia tidak sakit."
"Darimana kau tahu?"
"Aku hanya menduga. Bukankah kakakmu seorang yang memiliki daya tahan jasmaniah yang luar biasa?"
"Karena itu, seharusnya ia tidak mengalami keletihan seperti itu."
Rudita menggeleng. Katanya, "Aku tidak tahu, dan aku tidak dapat bertanya kepadanya. Tetapi aku kira ia tidak apa-apa."
Glagah Putih tidak bertanya lagi. Seperti biasa ia ikut duduk di gubug menunggui padi yang mulai mekar. Ketika seseorang mengirim makan dan minuman, iapun ikut serta menghabiskannya.
Sementara itu, selagi keduanya sibuk mengunyah makanan sambil mengamati burung yang berterbangan mengintari persawahan yang mengombak kekuning-kuningan ditiup angin, seseorang telah berjalan menyusur pematang mendekati mereka.
Rudita dan Glagah Putih saling berpandangan sejenak. Dengan ragu-ragu GLagah Putih berbisik, "Siapa?"
Rudita menggeleng. Tetapi ia tidak menjawab karena orang itu sudah menjadi semakin dekat.
Seleret senyum membayang diwajah orang yang nampaknya sangat ramah itu. Dengan nada yang ramah pula ia bertanya, "Apakah aku boleh ikut duduk bersama kalian?"
"Silahkan," Rudita beringsut setapak untuk memberi tempat kepada orang itu duduk digubugnya pula.
"Siapakah Ki Sanak itu" " tiba-tiba saja Glagah Putih bertanya, "apakah kau juga orang padukuhan ini?"
Orang itu tersenyum. Dipandanginya Rudita sambil menyahut, "Nampaknya anak muda belum mengenal aku. Aku memang bukan orang padukuhan ini. Karena itu, maka Ruditapun belum mengenal aku pula."
"Kau mengenal namaku?" bertanya Rudita.
"Dari petani-petani yang berada disawah aku mengenal kalian berdua. Rudita dan Glagah Putih. Tetapi aku menjadi heran, dimanakah Agung Sedayu" Biasanya kalian selalu bertiga. Menunggui burung bertiga. Ke pategalan bertiga, menyusuri air di parit bertiga. Aku tahu bahwa Agung Sedayu dan Glagah Putih bukan anak padukuhan ini pula."
Rudita termangu-mangu. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Kau mengenal kami bertiga dengan baik."
"Ya. Sudah tentu, karena aku mengagumi kalian. Kalian adalah anak-anak muda yang luar biasa. Terutama Agung Sedayu. Apakah ia sudah kembali ke Jati Anom?"
Pertanyaan itu mencurigakan sekali. Meskipun Glagah Putih masih sangat muda, namun ia mulai merasa bahwa ada sesuatu yang nampaknya kurang wajar pada orang yang sangat ramah itu.
Namun selagi Glagah Putih masih menimbang-nimbang, Rudita telah menjawab tanpa prasangka sama sekali, "Agung Sedayu masih berada disini. Hari ini ia tidak ikut serta bersama kami. Nampaknya ia letih sekali."
Orang itu mengerutkan keningnya. Dengan sungguh-sungguh ia bertanya, "Apakah ia sedang sakit?"
Rudita menggeleng. Jawabnya, "Tidak. Ia tidak sakit."
"Apakah yang dilakukannya, sehingga ia menjadi letih sekali" Apakah ia berlatih olah kanuragan siang dan malam?"
Rudita termangu-mengu sejenak. Sementara itu Glagah Putihlah yang menjawab. "Aku tidak pernah melihat ia berlatih apapun juga. Mungkin ia sedang sakit."
Orang itu mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja ia bangkit sambil berkata, "Sudahlah. Sebenarnya aku ingin bertemu barang sebentar. Tetapi ia tidak ada diantara kalian sekarang."
"Siapakah kau" " sekali lagi Glagah Putih bertanya.
Orang itu menggeleng sambil tersenyum. Katanya, "Tidak ada gunanya kau mengetahui siapa aku. Sampaikan salamku kepada Agung Sedayu. Aku adalah sahabatnya yang sudah lama tidak bertemu."
Tanpa menunggu lagi, orang itupun segera meninggalkan kedua anak muda itu didalam gubugnya sambil termangu-mangu. Dengan cepat ia meloncat-loncat dipematang. Semakin lama semakin jauh.
Namun ketika ia meloncati parit sampai kejalan bulak, ternyata seseorang yang lain telah menunggunya. Keduanya berjalan dengan tergesa-gesa menjauh menyusuri bulak yang panjang.
Sepeninggal keduanya, maka Glagah Putih benar-benar telah dibayangi kecemasan. Dengan nada yang dalam ia berkata, "Mereka nampaknya mempunyai maksud tertentu terhadap kakang Agung Sedayu."
Rudita tersenyum sambil menjawab, "Kenapa kau berprasangka" Keduanya adalah sahabat Agung Sedayu."
"Aku tidak yakin. Orang itu tentu berbohong. Banyak orang yang mendendam kakang Agung Sedayu. Termasuk orang itu."
Rudita bahkan tertawa. Katanya, "Glagah Putih. Kau masih sangat muda. Jangan mudah berprasangka."
"Aku hanya berhati-hati. Mungkin keduanya bermaksud baik. Tetapi ada firasat yang mengatakan, bahwa keduanya bukan sahabat kakang Agung Sedayu."
Rudita menggeleng. Katanya, "Jangan mudah berprasangka. Sebaiknya kita mempercayainya. Kau nampaknya dibayangi oleh kecemasan dan kegelisahan."
Glagah Pulih menjadi heran. Namun ia mencoba menjelaskan, "Rudita. Banyak orang yang tiba-tiba saja menyerang kakang Agung Sedayu. Mungkin karena kakang Agung Sedayu terlibat dalam pertempuran dibanyak tempat dan setiap kali ia telah membunuh lawannya, dikehendaki atau tidak. Sanak keluarga dan saudara saudara seperguruan orang-orang itu ingin membalas kematian mereka yang terbunuh oleh kakang Agung Sedayu dengan membunuh pula."
Rudita mengerutkan keningnya. Ia melihat kejujuran dimata Glagah Putih. Yang dikatakannya itu tentu bukan sekedar prasangka.
"Kekerasan memang bukan jalan yang paling baik untuk menyelesaikan persoalan," berkata Rudita kemudian. Namun iapun mengerti bahwa ia tidak akan dapat banyak berbicara dengan anak yang mesih terlalu muda itu, karena didalam dadanya telah mulai tersimpan pengetahuan dan ilmu dasar tentang olah kanuragan.
"Jika Glagah Putih masih belum mulai," berkata Rudita didalam hatinya, "dalam keadaan seperti keadaannya sekarang, maka harus banyak penjelasan yang diberikan kepadanya kenapa bukan kekerasan yang paling baik dilakukan dalam hubungan antara sesama."
Glagah Putih termangu-mangu. Memang banyak hal yang tidak dimengertinya. Rudita bagi Glagah Putih adalah seorang yang aneh, seaneh Prastawa. Namun dalam keadaan yang jauh berbeda, bahkan berlawanan. Meskipun banyak yang tidak dimengertinya, namun sikap Rudita terasa sejuk dan semanak tanpa dibuat-buat. Baginya Prastawa adalah secercah padang yang tandus dan gersang, sedang Rudita adalah bayangan sejuknya dedaunan yang hijau rimbun.
Tetapi Glagah Putih tidak bertanya lebih lanjut. Sekali-sekali memandang kekejauhan, kearah kedua orang yang mengaku sahabat Agung Sedayu itu menghilang.
"Sudahlah," berkata Rudita, "jangan hiraukan lagi. Kita masih mempunyai pekerjaan. Burung-burung itu masih saja berputaran. Jika kila lengah, maka mereka akan menukik dan mengambil padi kita yang sudah mulai menguning."
Glagah Putihpun kemudian kembali memperhatikan burung gelatik diudara. Sekali-sekali ia menarik tali-tali yang menggerakkan orang-orangan di tengah-tengah tanaman padi yang menguning.
Dalam pada itu, dua orang yang mengaku sahabat Agung Sedayu itupun berjalan semakin jauh dari gubug ditengah sawah itu. Dengan nada datar salah seorang dari keduanya berkata, "Kita belum kehilangan Agung Sedayu."
"Tetapi terlalu lama," sahut yang lain, "apakah Sabungsari telaten menunggu lebih dari sepekan?"
"Ia tahu siapa Agung Sedayu. Kita tidak dapat tergesa-gesa. Kita akan menunggu sepekan lagi. Jika ia masih belum menuju ke Jati Anom kembali, atau meneruskan perjalanan ketempat lain, kita akan mengambil sikap."
"Apakah kita akan membiarkannya pergi ketempat lain?"
"Tentu tidak. Kita akan menggiringnya kembali ke Jati Anom. Jika perlu dengan kekerasan."
Keduanya terdiam. Tetapi keduanya sadar, bahwa jika mereka harus mempergunakan kekerasan, maka mereka harus benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkinan, karena mereka sudah dapat mengukur, betapa tinggi ilmu Agung Sedayu.
"Kita tidak akan dapat melakukannya jika ia berada bersama Ki Waskita," berkata salah seorang dari mereka.
"Ya," sahut yang lain," Ki Waskita dan Agung Sedayu mempunyai kemampuan yang luar biasa. Jika mereka berdua, maka kita tidak akan dapat berbuat apa-apa. Jika kita memaksakan diri, maka itu berarti bahwa kila telah membunuh diri."
Yang lain tidak menyahut lagi. Tetapi keduanya menyadari, betapa berbahayanya Agung Sedayu disamping Ki Waskita bagi mereka sekelompok kecil pengikut Sabungsari.
Adalah diluar dugaan mereka, bahwa sebenarnya Sabungsari selalu mengawasi mereka dan Agung Sedayu. Sabungsari menunggu, benturan yang akan terjadi antara orang-orangnya dengan Agung Sedayu. Dengan demikian ia akan dapat menjajagi, betapa jauhnya Agung Sedayu menguasai ilmu yang jarang ada bandingnya. Sabungsaripun pernah mendengar, bahwa tatapan mata Agung Sedayu memiliki kemampuan sentuhan wadag pula. Namun Sabungsari belum dapat mengukur, tingkat sentuhan wadag yang terpancar dari mata anak muda itu. Sedangkan jenisnyapun masih belum diketahuinya dengan pasti pula. Apakah tatapan mata Agung Sedayu itu mampu merontokkan isi dada dengan hentakkan dan goncangan yang tidak terlawan, atau sorot mata Agung Sedayu itu mempunyai kekuatan remas dan himpitan seperti tangan raksasa, atau sorot mata itu memancarkan panasnya bara seperti lontaran lahar dari mulut gunung berapi.
Sementara itu Agung Sedayu sendiri masih berbaring dipembaringannya. Sekali-kali ia pergi berjalan-jalan keluar. Namun rasa-rasanya tubuhnya memang menjadi sangat lemah. Pemusatan inderanya bagaikan menghisap seluruh tenaganya.
"Tetapi aku harus menyelesaikannya," berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri. Batapapun lungkrah badannya dan letih jiwanya, namun ia tidak akan berhenti sebelum ia sampai pada huruf yang terakhir.
"Satu malam lagi aku akan selesai," gumannya. Agung Sedayu yang letih itupun kemudian berjalan keluar biliknya dengan langkah yang lemah. Sendiri ia duduk diserambi merenungi dirinya sendiri. Ia masih saja menghindarkan diri dari penelaahan makna dari ilmu yang telah dibacanya.
"Aku tidak mau hancur sama sekali dengan memaksa diri mengungkap makna dari kalimat-kalimat didalam kitab itu," berkata Agung Sedayu.
Agung Sedayu berpaling ketika mendengar desir langkah mendekat. "Ki Waskita," desis Agung Sedayu.
"Duduk sajalah ngger," berkata Ki Waskita.
Ki Waskitapun kemudian duduk disebelahnya. Sambil menepuk bahu Agung Sedayu ia berkata, "Kau nampak letih sekali. Aku mengerti, bahwa kau benar-benar telah memeras tenaga dan pemusatan indera untuk menangkap kalimat-kalimat yang tertera didalam kitab itu."
Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab, "Ya paman. Aku telah menyadap isinya dan memahatkannya didinding ingatanku. Aku berhasil mengingat huruf demi huruf dari kalimat-kalimat yang sudah aku baca."
"Apakah masih banyak yang belum terbaca?" bertanya Ki Waskita.
"Tidak paman. Dugaan paman hampir tepat. Aku memerlukan waktu semalam lebih panjang dari yang paman perhitungkan."
"Enam malam?" "Ya. Malam nanti aku akan menyelesaikannya."
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tetapi jangan memaksa diri ngger. Kau dapat beristirahat barang satu dua hari. Kemudian kau mulai lagi dengan bagian terakhir itu."
"Aku akan menyelesaikannya sama sekali paman."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, "Kau tentu menyadari tingkat kemampuan dan daya tahan angger sendiri. Tetapi aku tidak berkeberatan seandainya angger menundanya barang dua tiga hari, bahkan sepekan sekalipun. Aku dan keluargaku senang sekali jika angger masih bersedia tinggal lebih lama disini. Dengan demikian, keadaan anggerpun tentu tidak akan menjadi terlalu letih."
"Aku akan menyelesaikannya dengan segera Ki Waskita."
Ki Waskita tidak dapat melarangnya. Di pengasingan. Agung Sedayupun telah mengerahkan segenap daya tahan jasmaniahnya untuk menyelesaikan tataran ilmu yang sedang dipelajarinya, sehingga ia hampir melupakan keadaan wadagnya. Namun meskipun nampaknya yang dilakukan dirumahnya itu lebih ringan, tetapi ternyata bahwa akibatnya tidak kalah berat bagi wadag dan jiwanya.
Ketika Ki Waskita kemudian meninggalkan Agung Sedayu duduk seorang diri, maka anak muda itupun kemudian bangkit pula dan melangkah perlahan-lahan kebiliknya, langsung membaringkan dirinya dipembaringan. Rasa-rasanya tubuhnya bagaikan tidak berbobot lagi dan terombang-ambing oleh sentuhan angin yang betapapun lembutnya.
Ketika Glagah Putih kembali dari sawah, dan memasuki bilik itu pula setelah ia mencuci kakinya, ia menjadi semakin cemas. Nampaknya Agung Sedayu benar-benar seperti orang yang sedang sakit.
"Kau nampaknya benar-benar sakit kakang ?" bertanya Glagah Putih.
Agung Sedayu mencoba tersenyum. Tetapi ia lebih baik mengiakannya dari pada Glagah Putih selalu mengejarnya dengan bermacam-macam pertanyaan.
"Badanku memang terasa tidak enak Glagah Pulih. Tetapi tidak apa-apa. Agaknya kadang-kadang aku memang diganggu oleh perasaan pening untuk satu atau dua hari. Setelah itu, maka aku akan segera sembuh dan sehat kembali."
Glagah Putih termangu-mangu. Sementara itu Agung Sedayu melanjutkan, "Aku sudah mengatakan keadaanku kepada Ki Waskita. Aku sudah mendapat obat yang akan segera memulihkan kesehatanku."
Seperti yang diharapkan oleh Agung Sedayu, maka Glagah Putihpun mengangguk-angguk. Ia tidak bertanya lebih banyak lagi. Jika memang Agung Sedayu sakit, maka ia harus beristirahat dan berobat.
Namun Glagah Putih sama sekali tidak menyadari, apa yang sebenarnya terjadi dengan Agung Sedayu. Ketika malam tiba, dan Glagah Putih mulai mengantuk, Agung Sedayu mulai mempersiapkan diri. Demikian Glagah Putih tertidur, dengan tubuh yang lemah Agung Sedayu bangkit dan mengambil kitab rontal dari tempatnya.
Agung Sedayu masih memaksa diri untuk menyelenggarakan kalimat-kalimat yang sudah tidak begitu banyak lagi. Dikerahkannya sisa tenaga yang ada padanya. Kemampuannya, daya pikir dan daya tangkapnya, daya ingat dan segala kegiatan jiwani serta jasmani.
Kata demi kata dipahatkannya didinding hatinya. Kalimat demi kalimat serta rangkaian-rangkaian pengertian meskipun tanpa ditelaah maknanya. Karena Agung Sedayu sadar, bahwa ia tidak akan mampu memahami maknanya sekaligus disaat-saat tubuhnya sudah menjadi sangat lemah.
Dibagian terakhir dari kitab itu, nafasnya bagaikan mengalir semakin lamban. Matanya menjadi kabur dan daya tangkapnyapun menyusut. Namun ia masih sempat melihat kalimat terakhir sampai pada huruf yang terakhir pula.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi, ternyata bahwa tubuhnya menjadi sangat lemah. Namun ia masih ingat dan menyadari, bahwa kitab itu tidak boleh terletak disembarang tempat.
Tertatih-tatih Agung Sedayu berdiri. Disembunyikannya kitab rontal itu ditempatnya dengan susah payah.
Ketika ia kembali duduk disisi pembaringan, maka ia harus bertumpu pada tangannya yang berpegangan ander planggrangan didalam bilik itu.
Dalam keadaan yang sangat lemah dan tubuh gemetar Agung Serayu masih memaksa diri untuk duduk tepekur, menghubungkan diri dengan Panciptanya. Betapa besar rasa terima kasihnya, bahwa ia sudah diperkenankan menyelesaikan pekerjaan yang berat, dan mendapat kurnia untuk dapat memahatkannya didalam hatinya.
Namun pada kalimat-kalimat terakhir yang diucapkannya didalam hati, tubuh Agung Sedayu benar-benar telah menjadi lemah. Ia tidak dapat bertahan duduk lebih lama lagi. Diluar sadarnya, maka perlahan-lahan ia terhuyung-huyung dan jatuh dikaki pembaringannya.
Tetapi Agung Sedayu tidak mengerti apa yang telah terjadi, karena ia telah menjadi pingsan.
Ia tidak tahu, berapa lamanya ia pingsan dibawah bibir pembaringannya, ia sadar ketika terasa tubuhnya bagaikan terbang. Per-lahan-lahan tubuhnya turun dan kemudian terbaring dipembaringan.
Matanya yang gelap perlahan-lahan menjadi semakin terang. Meskipun masih kabur, ia melihat beberapa orang mengerumuninya.
"Kakang, kakang," ia mendengar suara Glagah Putih. Karena itu, seolah-olah kekuatannya telah merayapi tubuhnya kembali. Meskipun masih sangat lemah, ia sempat membuka mulutnya dan menggerakkan bibirnya.
"Glagah Putih," desisnya.
Glagah Putihpun kemudian menempelkan telinganya dimulut Agung Sedayu untuk mendengarkan kata-katanya yang lirih, "Aku tidak apa-apa."
Tetapi wajah Glagah Putih masih tegang. Bagaimana ia dapat percaya bahwa kakak sepupunya itu tidak apa-apa.
Beberapa orang menjadi sibuk. Digosoknya tubuh Agung Sedayu yang dingin dengan minyak adas. Yang lain memijit-mijit kakinya. Yang lain lagi menyediakan air panas baginya.
Berbeda dengan orang-orang yang gelisah itu. Ki Waskita berdiri dengan tangan bersilang didada. Ia tidak cemas seperti orang-orang itu meskipun ia menjadi berdebar-debar pula. Ia tahu sepenuhnya bahwa yang terjadi itu adalah akibat Agung Sedayu yang telah memaksakan diri untuk menyelesaikan pekerjaannya, membaca kitab yang diberikannya sampai kata yang terakhir.
Yang dicemaskan oleh Ki Waskita adalah justru kitabnya. Ia tidak melihat kitab itu ditangan atau didekat Agung Sedayu terbaring di kaki pembaringannya.
Karena itu, ketika ada kesempatan sekejap. Ki Waskita berbisik, "Dimanakah kitab itu ngger?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian bibirnya nampak tersenyum. Jawabnya lirih, "Sudah aku simpan baik-baik Ki Waskita."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Desisnya, "Sukurlah, terima kasih. Aku tahu, bahwa keadaan angger tidak berbahaya. Meskipun demikian kau harus beristirahat sebaik-baiknya dan berusaha memulihkan keadaan jasmaniah dan rohaniah angger yang kelelahan."
Agung Sedayu menarik nafas panjang. Ketika seseorang meletakan mangkuk berisi air jahe dibibirnya maka iapun telah meminumnya seteguk. Tubuhnyapun terasa menjadi semakin segar.
"Minumlah," berkata Ki Waskita.
Agung Sedayu mengangguk. Sambil tersenyum ia berkata, "Sudah hampir separo kuhisap. Air jahe itu segar sekali."
Ki Waskita tersenyum pula. Katanya kemudian, "berbaringlah sebaik-baiknya. Kau harus tidur dan beristirahat."
Agung Sedayu mengangguk. Ketika ia melihat sekeliling ruangan, ia melihat Rudita memandangnya dengan tatapan mata yang redup. Tetapi Agung Sedayu tidak mengetahui apa yang tersirat dihatinya.
Karena keadaan Agung Sedayu sudah berangsur baik, maka ruangan itu pun menjadi semakin lengang. Satu-satu orang-orang yang berkerumun telah meninggalkan bilik itu meskipun mereka masih selalu dibebani oleh pertanyaan, kenapa Agung Sedayu tiba-tiba telah pingsan.
Yang kemudian tinggal diruangan itu adalah Ki Waskita, Glagah Putih dan Rudita. Sejenak Rudita termangu-mangu. Namun kemudian ia mendekati Agung Sedayu sambil berkata, "beristirahat sebaik-baiknya adalah obat yang paling baik bagimu Agung Sedayu."
"Terima kasih Rudita. Aku akan tidur." Ruditapun kemudian minta diri dan meninggalkan ruangan itu pula. Sementara Ki Waskita masih menungguinya sambil duduk dibibir pembaringan.
"Jika kau mengantuk, tidurlah," berkata Ki Waskita kepada Glagah Putih.
Galgah Putih tersenyum sambil menggeleng. Jawabnya, "Tidak Ki Waskita. Aku tidak merasa kantuk lagi."
Ki Waskita mengangguk-angguk Sementara Agung Sedayupun kemudian bertanya, "Ki Waskita. Apakah yang sudah terjadi atasku."
Ki Waskita memandang Glagah Putih sejenak katanya, "bertanyalah kepada adikmu."
Agung Sedayu mengerutkan keningya. Kemudian iapun bertanya, "Apa yang kau ketahui tentang peristiwa ini Glagah Putih."
"Tidak seluruhnya. Ketika aku terbangun oleh goncangan pada pembaringan ini, aku melihat kakang sudah terbaring dilantai. Karena aku menjadi bingung, maka akupun memanggil Ki Waskita. Dengan demikian maka seisi rumah ini menjadi bingung."
Agung Sedayu mencoba mengingat apa yang terjadi. Ia masih ingat betapa ia kehilangan keseimbangan. Matanya menjadi gelap, dan ia bagaikan tidak mempunyai tenaga lagi untuk mempertahankan keseimbangan, sehingga iapun terjatuh.
"Aku menjadi pingsan," katanya didalam hati.
Dalam pada itu, Ki Waskitapun berkata, "Sudahlah Agung Sedayu. Tidurlah. Masih ada sisa waktu malam ini, meskipun tinggal sepotong. Sebentar lagi fajar akan menyingsing, dan kita semuanya akan memasuki hari baru."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk ia berkata, "Terima kasih Ki Waskita. Aku akan mencoba untuk tidur. Mungkin aku tidak akan bangun pagi-pagi. Mungkin aku akan bangun ketika matahari sudah tinggi."
"Tidak ada salahnya," jawab Ki Waskita, "mungkin itu lebih baik bagimu."
Agung Sedayu mengangguk kecil. Iapun menyadari keadaan dirinya yang sangat lemah dan memerlukan banyak istirahat.
Ki Waskitapun kemudian meninggalkan ruangan itu. Ia tidak lagi digelisahkan oleh kitabnya. Tetapi ia masih belum merasa perlu untuk dengan tergesa-gesa minta kitab yang telah disimpan oleh Agung Sedayu itu.
Sejenak Agung Sedayu masih menelusuri peristiwa yang baru saja terjadi, sementara Glagah Putih duduk terpekur disisinya.
"Tidurlah. Masih ada waktu," berkata Agung Sedayu.
"Sebentar lagi fajar akan menyinsing. Sebaiknya kau sajalah yang tidur kakang."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia menganggukkan kepalanya.
Oleh keletihan yang sangat, maka akhirnya Agung Sedayupun tertidur pula. Seperti saat ia pingsan maka iapun tidak mengetahui, berapa lamanya ia tertidur.
Tetapi ketika ia membuka matanya, Glagah Putih sudah tidak berada desisinya. Agaknya ia sudah pergi kebelakang. Seperti biasanya anak itu rajin menimba air, mengisi jambangan dipakiwan.
Hari itu ternyata Rudita dan Glagah Putih tidak pergi kesawah. Diserahkannya pekerjaan mereka kepada pembantunya, menunggui burung disawah.
Karena badan Agung Sedayu sangat lemah, maka ia lebih banyak berada dipembaringannya. Sekali-kali Glagah Putih menungguinya. Namun kadang-kadang ia berada diserambi bersama Rudita.
Meskipun demikian, ada kalanya Rudita sendirilah yang menunggui Agung Sedayu. Ketika Glagah Putih sedang pergi kesungai, maka Rudita memerlukan menunggui Agung Sedayu sambil berbicara tentang bermacam-macam persoalan. Dari air parit yang bening, sampai ke burung gelatik yang berterbangan dilangit.
Namun akhirnya Rudita bertanya, "Apakah sebenarnya sakitmu payah Agung Sedayu?"
Pertanyaan itu terdengar aneh ditelinga Agung Sedayu. Namun demikian ia menjawab, "Tidak Rudita. Sakitku bukan apa-apa. Mungkin hanya karena kelelahan atau kelainan yang kurang aku pahami."
Rudita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku tidak menyalahkan kau Agung Sedayu. Karena kau sudah memilih sikap dalam perjalanan hidupmu. Aku mengerti, apakah yang menyebabkan kau mejadi letih dan bahkan seperti benar-benar sakit."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Wajahnya nampak menegang sejenak. Namun Rudita tersenyum sambil berkata, "Aku tidak pernah menganggap kau bersalah. Atau ayah bersalah. Atau orang-orang yang lebih senang menekuni kekerasan. Itu sudah aku yakini dan kau pilih menjadi sikap hidupmu."
"Apa maksudmu Rudita?" bertanya Agung Sedayu.
"Kau memaksa dirimu untuk membaca dan menyelesaikan kitab yang dipinjamkan oleh ayah kepadamu."
Terasa wajah Agung Sedayu menjadi panas. Namun ia melihat Rudita tersenyum sambil berkata, "Itu bukan suatu kesalahan."
Sejenak Agung Sedayu justru diam mematung. Dipandanginya wajah Rudita yang seperti air telaga yang jernih sehingga nampak batu-batu kerikil yang tergolek didasarnya.
"Rudita," bertanya Agung Sedayu, "apakah kau bermaksud mengatakan bahwa aku telah membaca kitab Ki Waskita sehingga aku menjadi sangat letih?"
Rudita tersenyum. Jawabnya, "Benar Agung Sedayu. Kau telah membaca kitab ayah. Kau ingin menyelesaikannya secepatnya, sehingga kau memaksa diri untuk membacanya hingga semalam suntuk. Jika kau membaca kidung tentang hilangnya Arjuna yang ternyata sedang bertapa menjadi seorang Wiku yang sakti, mungkin kau akan dapat menemukan kesegaran rohani dan mendapatkan beberapa pesan dari isi kidung itu yang dapat dipetik bagi kehidupan sehari-hari. Tetapi kitab ayah adalah sangal berlainan isi dan manfaatnya. Yang pertama-tama nampak akibatnya adalah keletihan jasmani dan rohani. Apalagi dengan cara yang kau tempuh sekarang ini. Kau selesaikan seluruh isi kitab itu dalam waktu yang sangat singkat."
"Rudita," suara Agung Sedayu bergetar, "darimana kau tahu, bahwa aku telah membaca kitab Ki Waskita" Apakah Ki Waskita mengatakannya kepadamu?"
"Tentu tidak Agung Sedayu. Ayah tidak akan mengatakan kepadaku, karena ayah tahu, bahwa aku lebih senang melihat kitab itu tidak pernah disentuh oleh siapapun. Bahkan seandainya kitab itu dimusnakan, maka itu berarti salah satu usaha penjernihan dari lingkungan hidup manusia yang semakin lama menjadi semakin keruh ini."
"Jadi dari siapa kau mengetahuinya?"
"Aku hanya mencoba meraba dengan naluriku." Rudita termangu-mangu sejenak. Lalu, "Ketahuilah Agung Sedayu. Akupun pernah mengalami keadaan yang hampir serupa dengan yang kau alami. Tetapi agaknya kau mempunyai banyak kelebihan dari aku didalam penyadapan ilmu dari kitab ayah. Kau dapat mempergunakan ketajaman ingatanmu yang jarang dimiliki deh seseorang. Dengan memandang sesuatu dan melukiskan didinding ingatan, maka yang pernah kau lihat, tidak akan pernah kau lupakan, meskipun peristiwa-peristiwa sehari-hari yang tidak penting dan tidak sengaja kau catat pada lembaran-lembaran ingatanmu akan terlupakan seperti yang terjadi pada banyak orang."
Wajah Agung Sedayu menjadi tegang. Hampir tidak percaya ia mendengar kata-kata Rudita. Hampir diluar sadarnya ia bertanya, "Rudita, apakah benar pendengaranku, bahwa kau pernah juga mempelajari isi kitab Itu?"
Rudita tersenyum sambil mengangguk. Katanya, "Itulah wajahku yang sebenarnya Agung Sedayu. Aku tidak jujur terhadap diriku sendiri. Aku ingin melihat kitab itu tidak disentuh tangan siapapun. tapi aku sendiri pernah membacanya. Aku membaca dari huruf pertama sampai huruf terakhir. Tetapi karena aku hanya sekedar membaca tanpa mencoba mengingat isinya maka aku tak dipengaruhi apapun juga oleh bacaan itu. Tetapi ketika aku memetik satu bab kecil dari isi buku itu, dan mengutipnya diatas rontal yang lain, maka aku mengalami keadaan yang serupa dengan keadaanmu. Bedanya Agung sedayu, kau mengutip dengan tatapan matamu dan pahatan didinding ingatanmu, sedang aku mengutip dengan arti yang sebenarnya. Menulis dan melukis diatas rontal huruf demi huruf dan garis demi garis. Aku hampir mati juga ketika aku menggoreskan huruf terakhir. Hanya dari satu bab kecil."
Agung Sedayu masih kebingungan mendengar keterangan Rudita, seolah-olah ia tidak percaya tentang isi keterangan itu.
"Agung Sedayu," berkata Rudita, "isi bab kecil yang aku kutip itu kemudian aku bawa menyingkir dan mencoba memahami isinya. Mempelajari dengan sikap dan laku seperti yang disebut didalam kitab itu sehingga akhirnya aku menemukan maknanya. Aku membebaskan diri dari akibat sentuhan wadag pada wadagku. Kau heran?" Rudita berdiri sambil berjalan mondar-mandir, "itulah kepalsuanku dihadapan keyakinanku sendiri. Tetapi benar benar hanyaitu Agung Sedayu. Aku memetik satu bab yang paling lemah dari seluruh isi kitab itu. Aku memberikan perlindungan pada diriku sendiri sehingga dengan demikian maka sebenarnya akulah manusia yang paling berprasangka kepada sesama."
Agung Sedayu mendengarkan keterangan Rudita itu dengan saksama. Sementara itu Rudita meneruskan. "Tetapi aku mencoba berlindung dari satu anggapan, bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Yang sempurna hanyalah yang sempurna adanya. Yang memberikan segalanya tanpa prasangka seutuhnya dalam cinta kasih sampai pada balas maut." Rudita menundukkan kepalanya, "telapi aku adalah seorang pengecut yang ketakutan melihat bayangan maut itu, meskipun maut dalam batas arti kewadagan."
"Kau telah menyadap bab yang memberikan kekebalan?"
"Kau kini melihat Agung Sedayu, bahwa akupun berprasangka justru pada permulaannya. Tetapi untuk seterusnya, aku berusaha untuk melihat dengan pandangan yang jernih bagi sesama." Ia berhenti sejenak. Dipandanginya wajah Agung Sedayu yang pucat. Katanya kemudian, "Aku tahu apa yang kau lakukan, karena aku pernah mengalami meskipun dalam arti dan batas yang agak berbeda. Kau telah memahatkan semuanya didinding hatimu. Sehingga pada suatu saat, kau akan mengalami masa-masa penghayatan dan penemuan maknanya. Kau akan mengalami keadaan yang lebih berat dari yang kau alami sekarang ini. Tetapi karena kau akan mempunyai waktu yang jauh lebih panjang, maka aku kira kau dapat mengukur kemampuanmu untuk menangkap dan memahami maknanya sesuai dengan keadaanmu, jasmaniah dan rohaniah."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam Tetapi ia masih bertanya, "Darimana pula kau mengetahui bahwa aku akan dapat selalu mengingat isi kitab itu seutuhnya?"
"Kau tidak akan melakukan suatu kebodohan yang paling dungu dalam hidupmu. Jika kau tidak dapat melakukannya, maka kau tidak akan memaksa diri untuk menyelesaikan isi kitab itu dalam waktu hanya enam hari. Kau tentu akan mempelajarinya sekaligus mencari maknanya serta kemampuan ungkapannya untuk waktu-waktu yang lama. Satu dua tahun atau lebih. Itupun baru dasarnya."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Rudita adalah seorang anak muda yang luar biasa. Ia mempunyai ketajaman pandangan berdasarkan firasat dan nalurinya, dengan mengurainya dan memperhitungkan hubungan timbal balik, maka ia dapat menerka dengan tepat apa yang telah dilakukan oleh Agung Sedayu.
Karena itu, maka Agung Sedayu kemudian tidak dapat ingkar lagi. Dengan nada yang dalam ia berkata, "Sebenarnyalah aku memang telah membaca isi kitab Ki Waskita dan memahatkannya didinding ingatanku. Aku ingat setiap huruf yang terdapat pada kitab itu, dan aku akan dapat membacanya kembali. Seperti yang kau katakan, baru kemudian aku akan memahaminya sebagai satu ilmu yang memiliki banyak segi yang nampaknya berdiri sendiri. Dan kau telah memetik salah satu bab dari padanya."
Rudita mengangguk-angguk. Katanya, "Satu bab yang paling lemah. Dan satu bab itu telah membuktikan warna hatiku yang sebenarnya. Prasangka, cemas, dan kemunafikan."
"Tetapi sangat terbatas. Kau telah memberikan warna yang lebih tajam dari warna yang buram itu sepanjang hidupmu. Kau telah memilih sikap yang mapan, yang bagiku merupakan tantangan yang tidak terkalahkan, karena aku tidak mempunyai keberanian cukup untuk melakukannya."
"Kau sudah memilih jalan sendiri."
"Ya, aku sudah memilih jalan sendiri. Mudah-mudahan aku tetap pada jalan yang paling baik yang dapat aku lalui. Paling baik dari pilihan yang sangat buruk."
Rudita menarik nafas dalam-dalam, namun kemudian ia berdiri sambil berkata. Kesadaranmu telah menolongmu. Tetapi adalah pasti bahwa kau akan tetap berada di jalanmu, karena kausadar telah' memilih yang paling baik dari yang buruk sekali, tetapi sekali lagi aku katakan, aku tidak dapat menyalahkanmu, tidak dapat menyalahkan ayah dan Kiai Gringsing, tidak dapat menyalahkan orang-orang yang menyebut dirinya pewaris Kerajaan Majapahit, tidak dapat menyalahkan orang-orang yang harus menebus pilihannya dengan kematian."
"Aku berdiri ditempat yang berbeda dengan mereka," sahut Agung Siedayu. "Yang kau sebut terakhir itu."
"Ya. sudah aku pastikan. Kau beradu ditempat yang berbeda, tetapi pada bagian yang sama. Semua adalah yang sangat buruk. Dan kau berada ditempat yang paling baik dari yang sangat buruk itu. Sementara aku memilih, aku ulangi, aku memilih bukan berarti bahwa aku telah mendapatkan yang aku pilih itu sesuai dengan pilihanku, bahwa aku akan berdiri meskipun ditempat yang paling buruk dari yang baik."
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil, ia menyadari sepenuhnya apa yang dimaksud oleh Rudita. Dan iapun melihat, bahwa yang dikatakan itu tidak sisip. Sehingga dengan demikian, seolah-olah nampak di angan-angannya, sebuah padang yang sangat luas, yang dibagi oleh sebuah jurang yang sangat dalam. Batapa kecilnya dirinya berdiri dibagian yang tandus berbatu-batu. Tetapi ia masih dapat menghindari ujung-ujung karang yang runcing, kawah gunung berapi yang membara, rawa-rawa yang bagaikan mendidih dan gerumbul-gerumbul yang menjadi sarang ular bandotan. Sementara itu diseberang jurang yang dalam, terdapat taman yang sejuk oleh pohon-pohon bunga. Nampak sekecil dirinya Rudita berdiri dipinggir jurang, direrumputan yang kekuning-kuningan. Namun masih juga terdapat beberapa helai bunga yang memberikan kesegaran yang damai.
Ketika matahari menjadi terik, maka padang disebelah bagaikan terbakar, sedang disebelah yang lain, menjadi terasa segar dicerahnya matahari. Bayangan-bayangan pepohonan yang rimbun menghembuskan kidung kedamaian hati.
Agung Sedayu berdesah. Tetapi ia sudah berada ditempat yang dikatakan paling baik dari yang sangat buruk itu tanpa dapat melarikan diri, jika ia tidak dapat meloncat jurang yang sangat lebar dan dalam.
"Sudahlah Agung Sedayu," berkata Rudita kemudian, "jangan hiraukan kata-kataku. Anggaplah aku seorang yang sangat lemah, yang tidak berani menghadapi kenyataan hidup yang sangat pahit."
Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, "Baiklah Rudita. Namun kata-katamu menjadi susunan kalimat yang juga terpahat dihatiku tanpa dapat aku lupakan lagi. Setiap kali aku akan dapat membacanya. Meskipun barangkali hanya dapat aku kenali maksudnya dan tidak dapat aku hayati maknanya."
Rudita tersenyum. Jawabnya, "Itu sudah cukup baik. Meskipun kau berdiri diseberang, tetapi kau sanggup memandang kearah yang lebih baik."
Agung Sedayu terkejut. Seolah-olah Rudita dapat melihat apa yang hanya nampak di angan-angannya. Sehingga hampir diluar sadarnya ia bertanya, "Apakah yang kau lihat Rudita. Jurang yang membentang di antara kita?"
"Bukan diantara kita. Telapi diantara sikap dan pandangan hidup kila masing-masing."


05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Ruditapun melihat bayangan seperti bayangan yang nampak olehnya. Padang luas dengan warna-warna merah gersang dibakar oleh terik matahari tanpa lindungan bayangan apapun juga, sementara diseberang membentang taman yang hijau rimbun terlindung dari sengatan terik matahari dilangit yang bersih dan kebiru-biruan.
Agung Sedayu tidak mengatakannya. Ia memandangi Rudita yang kemudian minta diri. melangkah keluar biliknya dan hilang dibalik pintu lereg.
Sejenak Agung Sedayu berbaring seorang diri. Namun kemudian ia mendengar pintu berderit. Glagah Putih sambil tersenyum cerah melangkah masuk sambil bertanya, "Kau berangsur baik kakang?"
Agung Sedayu memaksa diri tersenyum, ia sadar, bahwa anak muda itu akan berdiri bersamanya ditandusnya padang batu padas yang merah membara. meskipun ia dapat menyeretnya kebagian yang paling baik dari yang sangat buruk itu.
Glagah Putih kemudian duduk dibibir pembaringannya sambil meraba kaki Agung Sedayu. Katanya, "Kakimu sangat dingin kakang."
Agung Sedayu menggerakkan kakinya. Dipandangnya wajah Glagah Putih yang cerah bersih tanpa pulasan apapun juga.
"Ia berada dilempatnya dengan mantap. Ia tidak dibayangi oleh sikap Rudita yang dapat membuatnya bingung atas pilihannya," desis Agung Sedayu didalam hatinya.
Namun demikian, ia tidak dapat melepaskan diri dari suatu pengakuan, bahwa sikap dan pandangan hidup Rudita memiliki nilai yang lebih tinggi dari padanya.
Dalam pada itu Glagah Putih masih saja memijit-mijit kaki Agung Sedayu. Dibasahinya jari-jarinya dengan minyak yang terdapat dimangkuk kecil dekat pembaringan itu dan mengusapkannya dikaki Agung Sedayu yang dingin.
"Badanku sudah terasa jauh lebih baik Glagah Putih," berkata Agung Sedayu kemudian.
"Tapi kakimu masili sangat dingin."
Tetapi aku sudah dapat makan lebih banyak. Badanku sudah tidak terlalu lemah. Jika aku masih berbaring, aku ingin tubuhku segera pulih kembali," Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu. "mudah-mudahan besok aku sudah dapat pergi kesawah."
Glagah Pulih memandang wajah Agung Sedayu yang memang sudah menjadi lebih segar. Ia tidak lagi sangat pucat seperti orang yang sudah terlalu lama sakit.
Dalam pada itu, berita tentang sakitnya Agung Sedayu itupun telah diketahui oleh hampir setiap orang sampai di Tanah Perdikan Menoreh. Anak-anak muda yang berada disawah, di gardu-gardu dan mereka yang bertugas sebagai pengawal. Tidak seorangpun yang dapat mengatakan, apakah sakit Agung Sedayu. Yang mereka ketahui, Agung Sedayu tiba-tiba saja pingsan ditengah malam.
"Agung Sedayu adalah orang yang luar biasa. Ia memiliki ketahanan tubuh melampaui kebanyakan orang. Tetapi ia pada suatu saat dapat menjadi sakit pula," berkata salah seorang dari anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh ketika ia sedang berada disebuah kedai dipinggir pasar.
Kata-katanya itupun segera disambut oleh beberapa orang kawannya yang kebetulan ada didalam kedai itu juga.
Dalam pada itu, seorang yang tidak dikenal oleh anak-anak muda itu mendengar pembicaraan mereka dengan saksama. Nampaknya ia seorang yang sedang menempuh perjalanan, atau seorang tamu dari salah seorang penghuni Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi anak-anak muda itu tidak begitu menghiraukannya. Mereka berbicara saja dengan asyiknya sambil menyumbati mulut mereka dengan sepotong makanan.
Namun tiba-tiba orang itu bertanya, "Ki Sanak, siapakah yang kalian katakan sedang sakit itu?"
"Agung Sedayu," jawab salah seorang dari anak-anak muda itu.
Orang itu termangu-mangu. Kemudian iapun bertanya pula, "Jadi anakmas agung Sedayu masih berada disini ?"
"Ya. Ia sedang sakit. Penyakitnya sangat aneh. Tetapi ia sudah berangsur sembuh. Ki Waskita telah mengobatinya."
"Apakah Ki Waskita ada disini?"
"Dirumahnya. Agung Sedayu berada dirumah Ki Waskita," jawab anak muda itu.
Orang itu mengangguk-angguk. Sementara anak muda itu berkata lebih lanjut, "Ki Gede Menoreh telah mendengar pula berita tentang agung Sedayu. Jika dalam waktu satu dua hari ini Agung Sedayu belum berangsur sembuh. Ki Gede akun menengoknya kerumah Ki Waskita."
Orang itu hanya mengangguk-angguk saja. tetapi ia tidak bertanya lebih jauh lagi.
Dalam pada itu, ketika orang itu sudah cukup makan dan minum, dan telah membayar harganya pula, maka iapun meninggalkan warung itu. Demikian ia lepas dari pengamatan anak-anak muda yang berada didalam warung itu, maka iapun dengan tergesa-gesa berbelok dan melintasi pategalan. ternyata orang itu menyimpan seekor kuda dibalik gerumbul-gerumbul disebuah pategalan yang sepi, ditunggui oleh seorang kawannya.
"Apa kau mendapat kabar tentang Agung sedayu?" bertanya kawannya.
"Ya. Ia memang sakit dirumah Ki Waskita. Ia tidak datang ke Tanah Perdikan Menoreh meskipun orang-orang Tanah Perdikan Menoreh sudah mengetahui bahwa ia sedang sakit."
Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku sudah cemas, bahwa kita akan kehilangan jejak. Syukurlah bahwa ia belum terlepas dari pengawasan kita. Jika demikian, kita akan kembali kepada kawan-kawan dan melakukan pengawasan yang lebih baik dipadukuhan Ki Waskita. Sejak ia tidak nampak disawah lagi, aku menjadi cemas, bahwa ia dengan diam-diam meninggalkan rumah Ki Waskita, karena ia sudah mencium usaha kita mengawasinya."
"Ternyata ia masih berada dirumah Ki waskita," desis kawannya, "kitalah yang mudah menjadi cemas dan gelisah."
"Tetapi kau mendapat keterangan yang sebenarnya?"
"Aku berbicara dengan beberapa orang anak muda didalam sebuah kedai. Mereka semuanya mengatakan bahwa Agung Sedayu sedang sakit. Balikan mereka mengatakan, jika sakit Agung Sedayu tidak segera sembuh, Ki Gede akan pergi kerumah Ki Waskita."
Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah, Kita kembali kepinggir hutan itu. Tetapi Sabungsari tentu sudah gelisah menunggu. Kita sudah berada disini lebih dari sepekan."
"Apa boleh buat. Ia sedang sakit. Kita tidak dapat berbuat apa-apa. Kita tidak akan dapat memancingnya dan memisahkannya dari Ki Waskita dan orang-orangnya jika ada. Bahkan jika ternyata Ki Gede benar-benar datang menengoknya."
"Kita dihadapkan pada keadaan yang tidak dapat kita atasi. Kita akan menunggu satu dua hari lagi. Jika benar Agung sedayu sakit keras sehingga Ki Gede Menoreh justru datang kepadanya, salah seorang dari kita harus melaporkannya kepada Sabungsari."
Kawannya tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk kecil.
Keduanyapun kemudian meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh kembali ketempat persembunyian mereka. Dugaan mereka, bahwa agung Sedayu dengan diam-diam pergi ke Menoreh, ternyata tidak benar.
Dengan demikian, maka orang-orang yang telah dikirim oleh Sabungsari itupun mengadakan pengawasan yang lebih seksama lagi atas rumah Ki Waskita. Mereka tidak mau kehilangan Agung Sedayu. Mereka sadar, jika Agung Sedayu terlepas dari pengawasan mereka, maka mereka akan mendapat hukuman yang berat dari Sabungsari.
Dalam pada itu, keadaan Agung Sedayupun manjadi berangsur baik. Karena sebenarnya ia tidak sakit, maka dengan istirahat, penenangan dan mengatur pernafasan, maka dengan cepat ia dapat memulihkan keadaan badannya. Apalagi ketika ia sudah mau makan seperti sewajarnya.
Kuda Besi 2 Pembunuhan Terpendam Sleeping Murder Karya Agatha Christie Wajah Kuning 1
^