Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 24

05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja Bagian 24


Tetapi ternyata bahwa lawan-lawannyapun telah-membuat perhitungan yang cermat. Pada saat yang demikian itulah, maka lawannya yang seorang lagi telah mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Dengan serta merta ia menyerang Glagah Putih. Ayunan pedangnya yang dilambari dengan segenap kemampuannya telah membuat anak muda itu berdebar-debar. Demikian cepatnya lawannya mempergunakan kesempatan yang ada sehingga Glagah Pulih tidak sempat meloncat untuk mengelakkan diri. Karena itu yang dapat dilakukannya adalah menangkis serangan itu dengan senjatanya pula.
Tetapi demikian kerasnya benturan yang terjadi, maka Glagah Putih tidak berhasil mempertahankan pedangnya, sehingga pedangnya itupun telah terlempar jauh.
Saat itulah yang diperlukan oleh lawannya. Dengan cepatnya ia meloncat maju mendekati Glagah Pulih. Ujung pedangnya langsung mengarah kedadanya. Glagah Putih mencoba untuk menghindarkan diri dari ujung pedang itu. Namun ternyata bahwa lawannya telah mengayunkan kakinya mendatar, memotong gerak Glagah Putih.
Terdengar anak muda itu mengeluh pendek, karena kaki lawannya lelah mengenai lambungnya. Belum lagi ia sempat memperbaiki keadaannya, tiba-tiba saja terasa tangan lawannya melingkar dilehernya dan ujung pedangnya menekan punggung.
Pada saat yang bersamaan, terdengar dua orang lawan agung Sedayu terpekik. Seorang terlempar berguling-guling sambil memegang lambungnya, sementara yang lain terdorong beberapa surut dan terjatuh diatas lututnya.
Ketika Agung Sedayu siap melumpuhkan lawannya yang seorang lainnya, terdengar orang yang mengancam Glagah Putih itu berteriak, "Agung Sedayu. Lihat, adikmu siap untuk aku bantai disini."
Agung Sedayu terkejut. Ketika ia berpaling, dilihatnya Glagah Putih benar-benar telah dikuasai oleh lawannya.
Terasa jantung Agung Sedayu terguncang. Sesaat ia telah hanyut dalam arus perasaannya untuk menghalau lawan-lawannya. Namun salah seorang dari mereka sempat menyusup disela-sela pertahanannya dan menguasai Glagah Putih.
Dengan ragu-ragu Agung Sedayu kemudian berdiri tegak. Dua orang lawannya telah dilukainya dengan cambuknya. Yang seorang lambungnya telah terluka menyilang sedang yang seorang lagi, kakinya bagaikan disayat, tetapi yang seorang lagi, masih sempat menghindar dan menyelamatkan diri dari senjata Agung Sedayu-Justru pada saat-saat yang gawat, kawannya telah berhasil menguasai Glagah Putih yang menggeram menahan kemarahan yang meledak didadanya.
"Agung Sedayu," terdengar suara lawannya yang menguasai Glagah Putih, "kau dapat membunuh kawan-kawanku, tetapi adikmu akan mati pula diujung senjataku, aku dapat menekan ujung pedangku dan membunuhnya disini."
"Tetapi kau akan mati juga," geram Agung Sedayu.
"Akibat yang sudah aku perhitungkan. Tetapi aku sudah puas karena aku sudah membunuh Glagah Putih."
Jantung Agung Sedayu bagaikan berdentangan didalam dadanya. Untuk sesaat ia berdiri merenungi adik sepupunya yang tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Tekanan ujung senjata dipunggungnya serasa semakin keras, seolah-olah mulai melubangi kulitnya.
Kawan-kawan yang telah berhasil menguasai Glagah Putih itupun kemudian mulai membenahi diri. Yang terluka mencoba untuk menahan darah yang mengalir, sementara yang seorang lagi masih menggenggam pedang ditangannya pula.
"Lepaskan senjatamu agung sedayu," geram orang yang menguasai Glagah Putih itu.
Agung Sedayu masih berdiri termangu-mangu.
"Lepaskan Agung Sedayu," ulang lawannya yang lain. "Dosamu sudah terlalu besar untuk dibiarkan berkembang terus. Pada saatnya kau memang harus dihadapkan pada suatu pengadilan yang akan memperhitungkan segenap dosa dan kesalahanmu."
Agung Sedayu masih berdiri diam.
"Cepat lepaskan senjatamu, atau anak ini akan terkapar mati." bentak orang yang menguasai Glagah Putih.
Tetapi diluar dugaan. Glagah Putih menggeram, "jangan hiraukan aku kakang. Bunuh mereka semuanya. Tanpa aku, kau tentu akan segera dapat melakukannya."
Jawaban Glagah Putih itu membuat para pengikut Sabungsari itu menjadi berdebar-debar, mereka sadar, jika Agung Sedayu tidak menghiraukan adik sepupunya, maka ia tentu akan dapat membunuh kelima orang itu.
Tetapi orang-orang itu berkeyakinan, bahwa Agung Sedayu tidak akan membiarkan adiknya itu terbunuh.
"Kakang," teriak Glagah Putih, "apapun yang terjadi, jangan lepaskan senjatamu. Jika kakang melakukannya, akhirnya aku akan dibunuhnya juga. Bahkan kemudian kakang Agung Sedayu. Karena itu, biarkan aku. Bunuh mereka berlima, mumpung senjata kakang masih ada ditangan."
"Tutup mulutmu," bentak orang yang menekankan pedangnya dipunggung Glagah Putih, "jika kau membuka mulutmu sekali lagi, punggungmu akan koyak oleh pedang ini."
"Aku tidak peduli," Glagah Putih masih berteriak.
Namun ternyata Agung Sedayu mempunyai pertimbangan lain. Ia mulai menjadi ragu-ragu dan bingung. Apakah yang sebaiknya dilakukan menghadapi saat-saat yang sulit seperti itu.
"Cepat," teriak lawannya, "lepaskan senjatamu dan minggir dari arena ini. Kau harus menurut segala perintahku. Jika tidak, maka anak ini akan mati."
Agung Sedayu masih berdiri termangu-mangu. Namun sekali lagi ia mendengar lawannya membentak, "Cepat."
Tidak ada yang dapat dilakukan oleh Agung Sedayu.
Sesaat ia memperhatikan lawan-lawannya. Yang seorang sudah berada dipunggung kudanya. Yang empat orang berdiri tegak disekitarnya, sementara seorang diantaranya telah mengancam Glagah Putih dengan pedang dipunggungnya.
"Apa yang dapat aku lakukan sekarang," keluh Agung Sedayu didalam hatinya.
Sementara itu dikejauhan Sabungsari melihat semuanya yang terjadi. Sekilas nampak ia tersenyum. Namun dahinya mulai berkerut ketika ia mulai membuat pertimbangan-pertimbangan.
Akhirnya Sabungsaripun menjadi ragu-ragu. Ada keinginannya untuk membuat penyelesaian pada saat itu juga. Orang-orangnya akan dapat tetap menahan Glagah Putih, sementara ia berperang tanding dengan Agung Sedayu.
"Aku tentu akan dapat membunuhnya," berkata Sabungsari didalam hatinya.
Namun tiba-tiba saja ia mengerutkan keningnya. Ia melihat Agung Sedayu kemudian melepaskan senjatanya dan melangkah surut.
Sabungsari menjadi berdebar-debar. Jika orang-orangnya tidak dapat mengendalikan diri, maka Agung Sedayu akan mengalami nasib yang buruk sebelum ia sempat berbuat sesuatu untuk melepaskan dendamnya.
"Cepat," salah seorang dari para pengikut Sabungsari itu membentak.
Agung Sedayu melangkah lagi beberapa langkah, sementara Glagah Putih berteriak, "Jangan kakang. Jangan."
Tetapi suara Glagah Putih bagaikan lenyap ditelan ombak. Agung Sedayu masih tetap melangkah beberapa langkah menjauhi cambuknya yang tergolek di pasir.
"Kau harus menyerah Agung Sedayu," berkata orang yang menguasai Glagah Putih, "seorang kawanku akan mengikat tanganmu dan membawamu kembali ke Jati Anom."
"Tetapi aku minta kesanggupanmu. Glagah Putih akan kalian lepaskan," jawab Agung Sedayu.
"Kami akan melepaskannya, selelah tanganmu terikat dan kau tidak akan melawan lagi."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Yang terdengar adalah teriakan Glagah Putih, "Jangan hiraukan aku."
Tetapi Agung Sedayu tidak dapat berbuat demikian. Ia tidak dapat mengorbankan Glagah Putih. Disaat mereka berangkat, maka pamannya telah menyerahkan Glagah Putih kepadanya.
Karena itu, maka akhirnya ia berkata, "Aku akan menyerah, tetapi dengan janji bahwa Glagah Putih tidak akan kalian apa-apakan. Kalian akan melepaskan anak itu kembali ke padepokannya dengan selamat."
"Menyerahlah. Kami berjanji."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil mengulurkan kedua tangannya ia berkata, "Aku menyerah."
Sejenak keempat lawannya menjadi ragu-ragu. Namun kemudian salah seorang berkata, "Kita ikat tangannya. Kita akan membawanya ke Jati Anom seperti yang seharusnya kami lakukan."
Dengan ragu-ragu ketiga orang lawannya pun mendekat. Kemudian salah seorang berteriak, "Tanganmu dibelakang."
Agung Sedayu tidak dapat berbuat lain. Disilangkannya tangannya dibelakang. Dan iapun hanya dapat menggerelakkan giginya ketika lawannya mengikat tangannya, justru dengan juntai cambuknya.
"Aku tahu, cambukmu adalah cambuk yang luar biasa. Dengan tampar yang biasa kau mungkin akan dapat menghentakkannya sampai putus oleh kekuatanmu yang luar biasa. Tetapi aku yakin, bahwa kau tidak akan mampu memutuskan juntai cambukmu."
Terasa pergelangan tangan Agung Sedayu menjadi sakit. Ia merasakan betapa kuatnya juntai cambuknya. Jika semula ia masih berharap untuk dapat memutuskan tali pengikat tangannya, maka kemudian ia telah kehilangan harapan. Bagaimanapun juga, ia merasa bahwa ia tidak akan dapat memutuskan juntai cambuknya, meskipun ia mengerahkan segenap kekuatan cadangannya.
"Tidak ada kekuatan yang dapat memutuskan janget cambuk itu," berkata agung Sedayu didalam hatinya.
"He. apakah kau sudah mengikatnya kuat-kuat?" teriak orang yang menguasai Glagah Putih.
"Sudah," teriak kawannya.
"Bawa kuda itu kemari. Kita akan berangkat sekarang membawa dua orang tawanan ini."
Giagah Putih mengumpat. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Apalagi ketika Agung Sedayu sudah terikat tangannya justru dengan ujung cambuknya sendiri.
Sejenak kemudian, maka pengikut Sabungsari itu sudah menyiapkan kuda-kuda mereka serta kuda Agung Sedayu dan Glagah Putih. Tanpa dapat membantah, maka Agung Sedayu dan Glagah Putihpun didorong keatas punggung kuda masing-masing.
"Jangan berbuat sesuatu yang dapat mencelakakan dirimu sendiri," ancam salah seorang dari kelima orang pengikut Sabungsari itu, "jika Glagah Putih mencoba melarikan diri, maka Agung Sedayu akan mati seketika. Tetapi jika Agung Sedayu yang mencoba melarikan diri, maka Glagah Putih akan kami cincang menjadi sembilan."
Agung Sedayu tidak menyahut. Yang terdengar adalah Glagah Putih menggeram.
Sejenak kemudian, maka terdengar salah seorang dari mereka meneriakkan perintah, "Kita berangkat sekarang. Kita akan berhenti jika matahari terbit. Sebaiknya dihutan yang tersembunyi. Sehari penuh kita akan menunggu. Baru jika matahari terbenam, kita akan melanjutkan perjalanan sampai ketlatah Jati Anom. Kita tidak akan langsung pergi ke Kademangan Jati Anom atau ke padepokan kecil itu atau kerumah Untara. Kita akan menunggu di tengah-tengah hutan sebelah Utara Lemah Cengkar. Kau memang akan kami korbankan sebagai makanan Harimau Putih di hutan itu."
Agung Sedayu tetap tidak menjawab. Sementara Glagah Putih menjadi semakin marah.
"Marilah. Kau berada ditengah anak bengal," perintah salah seorang dari mereka.
Glagah Putih tidak dapat mengelak. Ia berkuda dipaling depan diikuti oleh seorang lawannya. Dibelakang orang itu adalah AgungSedayu yang terikat. Sementara keempat orang yang lain. berada dibelakangnya dengan senjata ditangan. Pedang-pedang yang terlempar di rawa-rawa tidak dapat dipungut lagi, sehingga ada diantara mereka yang hanya menggenggam pisau belati.
Agak jauh dibelakang mereka, Sabungsari telah bersiap-siap pula. Tetapi ia tidak tergesa-gesa. Ia tidak perlu lagi mengikuti orang-orangnya, karena mereka akan langsung pergi ke Jati Anom. meskipun mereka masih akan berhenti lagi disiang hari besok.
"Aku harus mendahului mereka. Jika mereka mencari aku di Jati anom, aku harus sudah berada ditempat," berkata Sabungsari kepada diri sendiri.
Karena itulah, maka ia justru membiarkan orang-orangnya berlalu. Ia akan menempuh jalan lain yang lebih baik. Ia tidak perlu mengikuti jejak pengikut-pengikutnya yang telah berhasil membawa Agung Sedayu dan Glagah Putih.
"Akhirnya anak itu dapat juga dikuasai oleh orang-orangku," berkata Sabungsari didalam hatinya.
Namun ketika ia sudah berada dipunggung kudanya, maka ia mulai menilai keadaan Agung Sedayu. Agung Sedayu dapat dikuasai oleh kelima kawannya bukan karena ia tidak dapat mengimbangi kemampuan kelima lawannya itu. Tetapi justru karena kelengahan Glagah Putih. Dengan mengancam Glagah Putih, maka baru Agung Sedayu dapat mereka langkap dan mereka ikat tangannya.
Bahkan kemudian Sabungsari tidak dapat ingkar akan kemampuan bertempur Agung Sedayu. Anak muda itu ternyata mempunyai kekuatan yang luar biasa. Dengan cambuknya yang membelit pedang lawannya, ia berhasil melontarkan pedang itu jauh-jauh. Bahkan diluar nalar. Pedang yang besar itu meluncur seperti anak panah yang lepas dari busurnya.
"Tentu kekuatan raksasa," geram Sabungsari.
Selain kekuatan raksasa itu, maka kecepatan bergerak Agung sedayu benar-benar menakjubkan. Jika ia tidak terpancing menjauhi Glagah Pulih , maka mungkin kelima orang lawannya akan dapat dibunuhnya.
Namun tiba-tiba Sabungsari mengerutkan keningnya. Ia menjadi ragu-ragu, apakah Agung Sedayu benar-benar akan melakukanya demikian.
"Apakah jika pertempuran itu berlangsung terus tanpa Glagah Pulih. Agung Sedayu akan membunuh kelima orang lawannya," bertanya Sabungsari didalam hatinya.
Agung Sedayu memang mampu bergerak cepat. Ujung cambuknya telah berhasil melemparkan beberapa pedang lawannya. Bahkan melukai lawannya sehingga mereka berdarah. Tetapi apakah benar-benar ujung cambuk Agung Sedayu langsung menggapai nyawa lawannya"
Pertanyaan itu ternyata menumbuhkan keragu-raguan Sabungsari. Jika benar seperti yang didengarnya, bahwa Agung Sedayu adalah seorang pembunuh yang paling buas dipeperangan, maka apakah ia tidak mempunyai cara bertempur yang lain yang lebih garang dan kasar"
Namun Sabungsari menggerelakkan giginya sambil menggeram, "Kelengahannya terletak pada Glagah Putih. Tanpa Glagah Putih ia akan menajdi iblis yang paling kasar dan buas."
Sabungsari mencoba membuang segala kesan keragu-raguannya terhadap Agung Sedayu. Bagaimanapun juga Agung Sedayu harus dibunuhnya, ia mempunyai cara tersendiri untuk mengalahkan Agung Sedayu yang bagaimanapun tinggi kemampuannya.
Karena itu, maka Sabungsari pun kemudian melanjutkan perjalanannya. Tetapi ia tidak mengikuti jalan yang ditempuh oleh para pengikutnya. Ia mencari jalan sendiri yang paling baik menurut perhitungannya, sehingga ia akan lebih cepat sampai ke Jati Anom.
Dengan demikian, maka Sabungsari meninggalkan pantai berpasir. Ia mencoba mencari jalan yang lebih keras, semakin lama semakin jauh dari gelora ombak yang menghentak-hentak.
Dibawah cahaya bulan sepotong, Sabungsari menemukan jalan setapak yang membawanya kejalan yang lebih besar melalui padukuhan-padukuhan kecil yang tersebar disebelah padang ilalang yang luas.
Sementara itu. Agung Sedayu dan Glagah Putih harus mengikuti jalan yang dipilih oleh kelima orang yang menawan mereka. Agaknya mereka masih harus menyusuri pantai beberapa saat lamanya, kemudian mereka akan menuju kebutan perdu disebelah bukit-bukit yang menjorok.
"Kita akan memasuki hutan perdu dan beristirahat sehari penuh. Agar tidak seorangpun yang melihat keadaan kita yang aneh ini."
Agung Sedayu sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun. Dipandanginya Glagah Putih dalam keremangan cahaya bulan. Dibelakang Glagah Putih seorang lawannya berkuda dengan senjata terhunus. Sedang agung Sedayupun sadar, bahwa keempat orang lainnya berkuda dibelakangnya.
Meskipun nampaknya Agung Sedayu hanya menundukkan kepalanya saja, dan hanya sekali-sekali memandang kedepan, namun sebenarnya ia sedang berpikir keras. Sudah barang tentu ia tidak akan menyerahkan dirinya apalagi Glagah Putih untuk mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan. Terlebih-lebih jika Glagah Putih akan mengalami bencana atau bahkan kematian.
Tetapi tidak mudah bagi Agung Sedayu untuk mencari jalan melepaskan diri dari ikatan juntai cambuknya sendiri. Bahkan rasa-rasanya pergelangan tangannya menjadi sakit. Juntai cambuknya tidak terlalu lemas dan bahkan seakan-akan telah mengelupas kulitnya.
Agung Sedayu sama sekali tidak berniat untuk berusaha memutuskan ujung cambuknya, karena ia menyadari , bahwa hal itu hampir tidak mungkin dilakukannya. Namun Agung Sedayu harus menemukan cara yang lain sebelum ia sendiri dan Glagah Putih dibantai oleh orang-orang yang tidak dikenalnya.
Sejenak Agung Sedayu mencoba memperhitungkan kekuatan kelima orang lawannya. Tiga orang sudah dilukainya. Yang luka dilambung dan tersayat kakinya tentu menjadi semakin lemah oleh darahnya yang mengalir. Tetapi Agung Sedayupun menyadari, bahwa mereka tentu mempunyai obat yang untuk sementara dapat menolong mereka, memampatkan darah dari luka itu.
Dalam pada itu, mereka yang berkuda beriringan itupun mulai menjauhi pantai berpasir. Mereka memasuki daerah yang berumput ilalang. Semakin lama semakin lebat. Dan akhirnya mereka mendekati sebuah hutan yang cukup luas.
"Kita akan berhenti diujung hutan perdu itu," berkata orang yang berada dibelakang Glagah Putih, "kalian berdua akan kami ikat pada sebatang pohon yang cukup kuat. Tentu ada beberapa pohon yang cukup besar untuk mengikat kalian. Seandainya Agung Sedayu mempunyai kekuatan seekor gajahpun. ia tidak akan dapat melepaskan diri sama sekali. Apalagi taruhan dari usaha melepaskan diri itu adalah adiknya."
Agung Sedayu masih tetap berdiam diri. Namun pikirannya berjalan terus. Berputar-putar dari satu pertimbangan kepertimbangun yang lain. Ia tidak begitu saja percaya, bahwa Glagah Putih benar-benar akan dilepaskan.
Angin malam yang basah bertiup semakin kencang. Seolah-olah titik air telah hanyut dari permukaan laut. Sehingga malampun menjadi semakin dingin karenanya.
Ketika iring-iringan itu mulai memasuki hutan perdu, maka dada Agung Sedayu pun menjadi semakin berdebar-debar. Mungkin seperti yang dikatakan oleh orang bersenjata dibelakang Glagah Putih bahwa mereka akan menunggu sehari sampai matahari terbenam diesok hari. Tetapi mungkin mereka berdua. Agung Sedayu dan Glagah Putih, akan dibantai dihutan perdu dan mayatnya akan dibiarkan menjadi makanan burung gagak.
Ketika Agung Sedayu kemudian menengadahkan wajahnya, maka dilihatnya bintang-bintang dilangit telah bergeser ke barat. Bintang Gubug Penceng diujung Selatan telah condong jauh ke Barat, sehingga dengan demikian Agung Sedayu mengerti, bahwa sebentar lagi langit akan menjadi merah oleh fajar.
Sekilas dipandangnya bulan sepotong yang kemerah-merahan tergantung dilangit. Selembar awan yang hanyut dipermukaannya mengalir ke Utara.
Agung Sedayu menjadi gelisah. Bahkan ia berkata didalam hatinya, "Aku harus menemukan jalan. Apapun yang akan terjadi dengan mereka, adalah akibat yang barangkali tidak aku kehendaki. Tetapi aku tidak dapat membiarkan diriku sendiri dan Glagah Putih menjadi korban keganasan mereka.
Sambil menggeram Agung Sedayu memandang punggung orang yang berkuda dihadapannya mengikuti Glagah Putih. Dipandangnya punggung itu sejenak.
Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar ketika ia mendengar orang itu berteriak, "Jangan berbuat gila apapun juga Glagah Putih Aku dapat membunuhmu dengan caraku."
Agung Sedayu menggerelakkan giginya. Ia menjadi semakin tidak percaya bahwa orang-orang itu akan memberikan kesempatan kepada Glagah Putih untuk kembali kepadepokannya.
Karena itu, maka iapun semakin yakin akan niatnya untuk melepaskan diri dari kekuasaan kelima orang itu. Tetapi ia masih belum menemukan caranya.
Tiba-tiba Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ia melihat suatu kemungkinan yang dapat dilakukannya. Tetapi mungkin ia harus mengorbankan lawannya dan dendampun menjadi semakin menyala
"Tetapi itu lebih baik daripada Glagah Putih lah yang akan menjadi korban," geram Agung Sedayu.
Akhirnya, setelah dipertimbangkannya berulang kali, maka iapun menggeram didalam dadanya, "Apaboleh buat."
Agung Sedayu menarik napas dalam-dalam. Dipandanginya orang yang berkuda didepannya. Kemudian iapun berpaling melihat keempat orang yang mengikutinya.
Ternyata bahwa keempat orang yang ada dibelakangnyapun berurutan pada jarak yang tidak terlalu dekat. Mereka yang sudah terluka nampaknya menjadi terlalu lemah dan tidak lagi mempunyai gairah diperjalanan.
"Meskipun demikian, jika hidupnya terancam, mereka masih dapat berbuat dengan liar dan buas. Bahkan orang-orang terluka itulah yang akan kehilangan pertimbangan dan membunuh dengan semena-mena," berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri.
Dalam pada itu. Agung Sedayu telah bertekad bahwa ia harus melepaskan diri bersama Glagah Putih sebelum fajar menyingsing. Sebelum lawannya menentukan sikap lebih jauh dihutan perdu dihadapan mereka.
"Mumpung masih dalam iring-iringan ini," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Sesaat kemudian Agung Sedayupun beringsut, seolah-olah ia menempatkan diri sebaik-baiknya diatas punggung kudanya. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia bergumam kepada diri sendiri, "Apaboleh buat."
Sekali lagi Agung Sedayu berpaling. Dilihatnya orang-orang yang dibelakangnya terkantuk-kantuk diatas punggung kudanya. Silirnya angin malam dan redupnya cahaya bulan sepotong, membuat hati orang-orang itu meremang pula.
Sejenak kemudian Agung Sedayupun mempersiapkan diri. Dipusatkannya segenap kekuatan lahir dan batinnya. Dipandanginya punggung orang berkuda dihadapannya.
Tiba-tiba saja sepinya sisa malam itu telah dikoyakkan oleh suara jerit yang melengking. Orang berkuda dibelakang Glagah Putih itupun meronta dan bagaikan dilemparkan ia terpelanting jatuh dari kudanya.
Peristiwa itu benar-benar telah mengejutkan. Glagah Putih yang berada dipaling depan cepat berpaling. Dilihatnya orang berkuda dibelekangnya telah terpelanting jatuh.
Sejenak Glagah Putih termangu-mangu. Ia masih melihat orang itu menggeliat sambil mengaduh diatas pasir yang basah dan ditumbuhi oleh ilalang dan rumput yang berbentuk bola.
Peristiwa itu telah menarik perhatian keempat kawannya. Seorang yang masih belum terluka dengan serta merta mendekatinya. Dengan tergesa-gesa ia meloncat dari punggung kudanya dan berjongkok disamping kawannya yang kesakitan.
"Kenapa kau he ?" ia mengguncang tubuh kawannya yang terbaring sambil merintih.
Kawannya yang terbaring tidak sempat menjawab. Setiap kali terdengar ia berdesis dan mengaduh.
Beberapa langkah dari orang itu. Agung Sedayu duduk diatas punggung kudanya. Dengan cemas ia melihat perkembangan keadaan lawannya. Ia telah mempergunakan kekuatan tatapan matanya untuk menghantam punggung lawannya.
Namun Agung Sedayu telah berusaha, bahwa yang dilepaskannya bukanlah sepenuh kekuatan yang ada padanya. Ia berharap bahwa dengan demikian, lawannya yang memiliki ilmu dan daya tahan pula. akan dapat bertahan dan tidak mati karenanya.
Dalam pada itu, keempat kawannya telah turun dari kuda masing-masing dengan tergesa-gesa. seolah-olah mereka telah melupakan Agung Sedayu dan Glagah Putih. Mereka sibuk berusaha menolong kawannya yang tidak diketahui sebabnya telah terpelanting jatuh dan hampir tidak sadarkan diri.
"Cari air," desis yang seorang.
"Kemana ?" bertanya yang lain, "tentu tidak dapat dengan air laut."
"Kerawa-rawa. Mungkin masih terdapat air tawar dirawa-tawa."
"Rawa-rawa itu sudah jauh."
Sejenak mereka termangu-mangu. Namun keadaan orang yang terbaring itu menjadi semakin gawat.
"Cepat, cari air kemana saja," desis yang seorang.
Orang yang masih belum mengalami cidera ditubuhnya itupun kemudian berdiri sambil berkata, "Aku akan mencoba mencari air. Awasi orang-orang itu. Jangan sampai mereka terlepas dari tangan kalian."
"Cepatlah," sahut seorang kawannya.
Orang itupun kemudian meloncat kepunggung kudanya dan berpacu menuju kerawa-rawa untuk mendapatkan air.
"Bagaimana ia akan membawa setitik air itu ?" desis salah seorang kawannya.
"Tentu ada selembar daun talas atau daun apapun."
Ketiga orang yang menunggui kawannya yang terluka itupun kemudian kembali merenunginya. Sekali-sekali diantara mereka berpaling dan menggeram, "Jangan gila. Jika kalian berbuat sesuatu yang mencurigakan kalian akan dikubur disini."
Agung Sedayu tidak menyahut. Tetapi ia memberikan isyarat kepada Glagah Putih agar mendekat.
Agaknya ketiga lawannya tidak berkeberatan melihat Glagah Putih mendekati Agung Sedayu yang terikat tangannya. Selain kebingungan yang tiba-tiba karena keadaan kawannya itu. mereka menganggap bahwa Agung Sedayu sudah menjadi lumpuh dan tidak dapat berbuat apapun juga.
"Kita mencoba melarikan diri," bisik Agung Sedayu, "pegangi tali kudaku dan bawa lari."
"Mereka akan menyusul kita," desis Glagah Putih.
"Kau lihat kuda mereka tidak terikat" Kita mengejutkannya, sehingga kuda-kuda itu berlarian. Sementara itu kita melarikan diri. Biarlah mereka menyusul jika mereka menghendaki dan berhasil menangkap kuda mereka kembali. Aku hanya memerlukan waktu agar kau dapat melepaskan ikatan tanganku."
Glagah Putih bukannya anak yang dungu. Karena itu, maka iapun segera dapat mengerti apa yang dimaksud oleh Agung Sedayu, justru pada saat seorang diantara lawannya mencari air.
Sejenak Glagah Putih memperhatikan ketiga orang lawannya yang kebingungan. Seorang kawannya terbaring diatas pasir sambil merintih kesakitan. Punggungnya bagaikan patah dan kulitnya bagaikan terbakar. Perasaan sakit yang tiada taranya telah meremas isi dadanya.
Pada saat yang tepat, maka Glagah Putihpun segera memegang tali dileher kuda Agung Sedayu. Sambil menghentak kudanya sendiri dengan kakinya, maka iapun menuntun kuda Agung Sedayu.
Dengan tiba-tiba kedua ekor kuda itupun berlari. Seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, maka Glagah Putih menuntun kuda Agung Sedayu sambil menghentak mengejutkan kuda-kuda lainnya yang tidak terikat.
Yang terjadi itu demikian cepatnya, sehingga orang-orang yang sedang berjongkok disekitar kawannya yang terbaring itu, terlambat mengambil sikap. Ketika mereka berloncatan berdiri, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih telah berada beberapa langkah dari mereka, sementara kuda-kuda merekapun telah berlari-larian oleh kejutan Glagah Putih.
"Berhenti, berhenti he orang-orang gila," terdengar salah seorang dari ketiga orang itu berteriak, "aku bunuh kau."
Tetapi Agung Sedayu dan Glagah Putih tak menghiraukannya. Mereka berlari tanpa menghiraukan arah, asal mereka sempat menjauhi ketiga orang lawannya.
Dalam pada itu, kuda-kuda mereka yang berlari itupun tidak berlari terus sehingga menjadi terlalu jauh. Ketika salah seorang dari ketiga orang lawan Agung Sedayu itu bersuit nyaring, sehingga kuda itupun berhenti.
"Tangkap kuda itu," desisnya.
"Ya tangkap. Kita akan mengejar kedua orang gila itu."
Tetapi ketiga orang itu tidak segera meloncat berlari. Sejenak mereka berdiri termangu-mangu. Barulah mereka menyadari, bahwa tubuh mereka sudah terlalu lemah. Meskipun dengan reramuan obat yang mereka bawa, luka-luka mereka tidak lagi mengalirkan darah, tetapi rasa-rasanya mereka sudah tidak mampu lagi untuk berlari dipesisir yang berpasir mengejar kuda mereka. Bahkan ketika kuda mereka sudah berhenti agak jauh dari mereka.
"Apakah kita tidak berbuat sesuatu" " bertanya salah seorang dari ketiga orang itu.
Tidak seorangpun yang menjawab. Seekor kuda milik orang yang terbaring kesakitan itu justru tidak terlalu jauh dari mereka. Tetapi tidak seorangpun dari ketiga orang itu yang bernafsu untuk berlari dan meloncat kepunggung kuda itu untuk mengejar Agung Sedayu, karena merekapun mengerti, bahwa Agung Sedayu bukannya anak muda kebanyakan.
"Jika aku mengejarnya, maka aku akan segera menjadi bangkai," berkata salah seorang dari mereka didalam hatinya.
Karena itu, maka ketiga orang itupun hanya termangu-mangu dan mengumpat-umpat. Ketika mereka mendengar kawannya yang tiba-tiba saja terpelanting dari kudanya itu merintih, maka merekapun mendekatinya.
"Bagaimana?" bertanya salah seorang dari mereka.
Orang yang terbaring itu masih mengaduh. Tetapi ia sudah dapat mengucapkan beberapa patah kata, "Punggungku, punggungku."
"Kenapa punggungmu?" bertanya kawannya.
"Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja bagaikan terbakar. Jantungku bagaikan remuk diremas oleh kekuatan yang tidak aku ketahui."
Kawan-kawannya terdiam. Ketika terdengar ombak menggelepar, maka salah seorang dari mereka berdesis, "Kita sudah berbuat sesuatu yang tidak dikehendaki oleh penguasa ditempat ini."
Kawan-kawannya tidak menjawab. Tetapi kulit mereka terasa meremang. Sementara kawannya berkata selanjutnya, "Sementara kita tidak dapat melawan kuasanya."
Kawan-kawannya menjadi semakin berdebar-debar. Rasa-rasanya jantung mereka berdentang semakin cepat.
Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah menyingkir agak jauh dari lawan-lawannya. Karena itu, maka Agung Sedayupun berkata, "Glagah Putih, cepat, lepaskan ikatan tanganku. Rasa-rasanya pergelangan tanganku akan patah. Jika mereka menyusul kita, hendaknya tanganku sudah tidak terikat lagi justru oleh cambukku sendiri."
Glagah Putihpun kemudian berhenti. Dengan tergesa-gesa ia mulai mencoba melepaskan ikatan tangan Agung Sedayu.
"Sulit sekali kakang," berkata Glagah Putih.
"Tetapi kau tentu dapat melakukannya. Juntai cambukku tidak terlalu lemas, sehingga ikatannyapun tentu tidak akan mati."
Dengan susah payah, akhirnya terasa ikatan itu mengendor, dan bahkan kemudian cambuk itupun akhirnya dapat dilepas oleh Glagah Putih.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Diterimanya cambuknya yang telah mengikat tangannya bagaikan akan patah dengan hati yang berdebar-debar. Rasa-rasanya Agung Sedayu telah menerima senjatanya yang hampir saja hilang dan justru menjadi alat untuk mencelakainya!
"Terima kasih Glagah Putih," gumamAgung Sedayu.
Namun dalam pada itu, Glagah Putih justru menundukkan kepalanya. Disela-sela suara angin malam dan gelegar ombak yang semakin jauh, terdengar ia berkata, "Aku mohon maaf kakang, bahwa hampir saja aku menjadi penyebab kesulitan yang gawat pada kakang."
Agung Sedayu menepuk pundak Glagah Putih. Katanya, "Lupakan. Kita bersama-sama telah melakukan kesalahan. Tetapi ini merupakan pengalaman yang baik bagimu. Kau benar-benar telah menghadapi bahaya yang sullit."
Glagah Putih mengangguk kecil. "Apakah kakang akan kembali menemui perampok-perampok itu?"
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ditatapnya wajah Glagah Putih yang kadang-kadang ditundukannya dalam-dalam.
"Jika kakang akan kembali kepada mereka, biarlah aku menunggu disini, agar aku tidak mengganggu kakang mengalahkan mereka."
Tetapi Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Bersama atau tidak bersama aku, daerah ini tetap merupakan daerah yang gawat bagimu Glagah Putih. Karena itu, sebaiknya aku tidak kembali lagi kepada mereka. Marilah kita meneruskan perjalanan. Kecuali jika mereka mengejar dan berhasil menyusul kita, maka aku akan berbuat sesuatu untuk membela diri."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa telah menjadi rintangan perjuangan Agung Sedayu. Jika ia dapat melindungi dirinya sendiri, maka setidak-tidaknya Agung Sedayu akan dapat menangkap salah seorang lawannya sehingga dari padanya akan dapat didengar keterangan siapakah sebenarnya mereka. Tetapi justru karena Agung Sedayu bersamanya, maka kehadirannya itu menjadi perhitungan kakak sepupunya.
"Marilah Glagah Putih," berkata Agung Sedayu, "lebih baik kita menghindar. Mereka sangat licik dan dapat berbuat sesuatu diluar dugaan."
Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi terasa dirinya semakin kecil dihadapan Agung Sedayu. Kehadirannya bukannya menjadi seorang kawan yang dapat membantu melawan lima orang yang mengeroyoknya, namun justru ialah yang menjadi sebab, bahwa hampir saja Agung Sedayu mengalami kesulitan.
Glagah Putih mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Agung Sedayu berkata, "Marilah. Kita akan meneruskan perjalanan."
Glagah Putih mengangguk. Disentuhnya punggung kudanya dengan telapak tangannya, serta digerakkannya kendali kudanya, sehingga kudanyapun perlahan-lahan mulai bergerak.
"Kau didepan Glagah Putih," berkata Agung Sedayu kemudian, "kita berada disebuah hutan perdu."
Glagah Putih tidak menyahut. Iapun kemudian berkuda didepan dan Agung Sedayu dibelakang. Mereka menyusuri sebuah hutan perdu yang belum mereka kenal. Agung Sedayu mengenal arah dari petunjuk letak bintang yang berkeredip dilangit.
"Kita menuju ke Utara," desisnya, "nanti jika fajar menyingsing kita akan mengetahui, dimana kita sedang berada, dan barangkali kita akan dapat menentuksm arah lebih lanjut."
Glagah Putih mengangguk kecil.
Sejenak kemudian maka merekapun telah berada dihutan perdu yang menjadi semakin lebat. Pasir dibawah kaki mereka telah menjadi semakin tipis dan bahkan kemudian telah hampir tidak terdapat lagi. Jenis tumbuh-tumbuhan dihutan perdupun menjadi semakin banyak dan semakin rimbun.
"Kita sudah mendekati sungai opak," gumam Agung Sedayu.
"Darimana kakang tahu ?"
"Menurut perhitungan dan menurut arah. Aku kira sebentar lagi kita akan sampai kepinggir sungai apabila kita menuju ke Timur."
Glagah Putih mengangguk-angguk, sementara Agung Sedayu melanjutkan, "Marilah, kita akan mendekati tanggul sungai. Mungkin kita akan menemukan jalan yang menuju kepadukuhan."
Glagah Putihpun kemudian berbelok ke kanan. Menurut petunjuk bintang, mereka menuju kearah Timur. Sementara langitpun menjadi semakin menyala oleh warna fajar.
Bintang Gubug Penceng diujung Selatanpun menjadi semakin redup. Yang nampak dilangit adalah warna merah yang semakin cerah. Ketika dikejauhan terdengar suara ayam berkokok, maka Agung Sedayupun berkata, "Kita tidak terlalu jauh lagi dari padukuhan."
"Ya," sahut Glagah Putih, "aku juga mendengar ayam berkokok."
"Kita akan turun kesungai," berkata Agung Sedayu, "kita akan mandi dan membersihkan diri, agar kita tidak terlalu dicurigai oleh orang-orang yang akan berpapasan diperjalanan."
Ketika langit menjadi terang, maka seperti yang diperhitungkan oleh Agung Sedayu, merekapun telah mendekati sungai opak. Dari kejauhan nampak beberapa jenis pepohonan yang rimbun membujur disepanjang tanggul. Jenis tumbuh-tumbuhan yang lebih besar dari tumbuh-tumbuhan di hutan perdu.
Bukit yang berjayar dihadapan merekapun nampak menjadi semakin hijau oleh tumbuh-tumbuhan dilereng yang berjalur-jalur hitam. Semakin tinggi hutan dilereng itupun menjadi semakin tipis. Pada beberapa puncak bukit yang berjajar itu, terdapat dataran-dataran padas yang gundul.
"Kita akan mandi," desis Agung Sedayu.
Tetapi wajah Glagah Putih nampak membayang kecemasan hatinya, sehingga Agung Sedayupun berkata pula Kita mencuci muka dan bagian tubuh kita yang kotor."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Bahkan kemudian iapun menundukkan wajahnya, seolah-olah ia ingin menyembunyikan perasaannya yang dapat ditebak oleh Agung Sedayu.
Sementara itu, diatas seonggok pasir, lima orang lawan Agung Sedayu yang ditinggalkannya, duduk dengan wajah yang kusut. Orang yang tiba tiba saja terpelanting dari kudanya telah merasa tubuhnya menjadi semakin baik, sementara kawannya yang mencari air telah kembali diantara mereka dengan beberapa tetes air didaun talas. Tetapi yang beberapa tetes itu telah membuat kawannya menjadi segar.
"Kita telah kehilangan Agung Sedayu dan Glagah Putih," berkata salah seorang dari mereka.
"Ternyata ia memang anak iblis. Iblis itulah yang telah datang membantunya, melemparkan aku dari punggung kuda. Rasa rasanya punggungku telah dipukul dengan sepotong besi yang membara," desis kawannya yang terpelanting dari punggung kudanya.
"Sst," yang lain berdesis, "jangan sebut lagi. Sekarang kau sudah berangsur baik. Apa lagi yang akan kita lakukan sekarang. Kuda kita masih utuh. Kita telah berhasil menangkap kuda-kuda itu seluruhnya."
Orang yang telah mendapatkan air itu berpikir sejenak. Ia adalah satu-satunya orang yang tidak mengalami sesuatu diantara kelima orang sekelompok kecilnya.
"Kita akan mencari jejaknya," desisnya tiba-tiba.
"Untuk apa ?" bertanya yang lain.
"Kita akan mencari jalan untuk menangkapnya kembali. Kita akan memancing perkelahian dan sekali lagi memperalat Glagah Putih untuk menangkapnya."
"Agung Sedayu tidak akan melakukan kesalahan yang sama. Ia tentu akan menjadi semakin garang dan cambuknya akan menjadi semakin buas," desis yang lain.
Kawan-kawannya tidak menyahut. Tetapi merekapun tidak dapat ingkar akan kenyataan mereka masing-masing. Empat diantara kelima orang itu telah terluka. Meskipun keadaan mereka sudah menjadi semakin baik, namun mereka masih harus berpikir sepuluh kali lagi, apakah mereka akan mengikuti jejak Agung Sedayu dan berusaha untuk menyusulnya.
Karena itu, maka mereka masih saja duduk diatas pasir. Rasa-rasanya sangat malas untuk berdiri dan meneruskan perjalanan. Apalagi keempat orang yang telah terluka.
"Apakah yang akan kita katakan kepada Sabungsari," tiba-tiba salah seorang dari mereka berdesis.
Kawan-kawannya tidak segera dapat menjawab. Mereka sedang mencoba melihat banyak kemungkinan yang dapat terjadi.
Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, "Bukankah yang dikehendaki Sabungsari adalah, bahwa Agung Sedayu dan Glagah Putih kembali ke Jati Anom " Selanjutnya persoalannya akan langsung di tangani oleh Sabungsari sendiri yang ingin membalas dendam dengan tangannya ?"
Kawan-kawannya termenung sejenak. Seorang diantara mereka bergumam, "Ya, kau benar."
"Jika sekiranya Agung Sedayu kemudian memang kembali ke Jati Anom, apakah kita perlu berbuat sesuatu lagi atasnya?"
Yang lain termangu-mangu. Salah seorang dari mereka tiba-tiba saja bertanya, "Jika demikian, apakah artinya semuanya yang telah kita lakukan " Apakah yang kita lakukan itu sama artinya dengan jika kita tidak berbuat apa-apa ?"
"Tentu berbeda," sahut yang lain, "tentu akan lebih baik jika kita membawa Agung Sedayu dalam ikatan. Sabungsari akan segera dapat berbuat apa saja yang dikehendakinya dihutan tereng Gunung Merapi, atau dihutan disebelah Lemah Cengkar yang dihuni oleh macan putih itu. Tetapi jika Agung Sedayu kembali seperti ia kembali dari bepergian, maka masih diperlukan cara untuk menggiringnya dalam perang tanding."
Tetapi seorang yang lain menyahut, "Tetapi bedanya tidak terlalu banyak. Biarlah kita mengatakan apa yang sebenarnya terjadi kepada Sabungsari."
"Apakah itu perlu " Kita dapat juga mengatakan, bahwa kita memang membiarkan Agung Sedayu dan Glagah Putih kembali kepadepokannya. Baru kemudian kita memancingnya melepaskannya dari penghuni padepokan yang lain," berkata yang lain.
Tetapi orang yang sama sekali belum terluka itu akhirnya berkata, "Biarlah kita mengatakan apa adanya. Terserah kepada penilaian Sabungsari. Jika kita masih dianggap bersalah, dan Sabungsari bermaksud menghukum kita, biarlah ia menghukum dengan caranya. Tetapi sebuah pertanyaan harus kita jawab. Apakah kita akan membiarkan diri kita dihukum setelah kita mengalami keadaan seperti ini."
"Maksudmu ?" bertanya salah seorang kawannya, "apakah kita akan melawan ?"
"Entahlah," jawabnya, "tetapi rasa-rasanya kita sudah berbuat sebaik-baiknya, sehingga kita tidak seharusnya disalahkan lagi."
Kawan-kawannya tidak menjawab. Tetapi jika benar mereka harus melawan Sabungsari, sementara keadaan tubuh mereka yang lemah itu, maka keadaan mereka tentu akan menjadi semakin buruk.
Tetapi yang seorang itu seolah-olah mengetahui apa yang tersirat dihati kawan-kawannya. Maka katanya, "Dalam perjalanan kembali ke Jati Anom kita akan dapat memulihkan tenaga kita. Dengan demikian, kita berlima akan mempunyai kemampuan yang utuh, yang akan dapat kita pergunakan dimana perlu."
Yang lain tidak menyahut. Tetapi nampak bahwa mereka masih tetap ragu-ragu. Bahkan akhirnya mereka tidak mau memikirkannya lagi.
"Entahlah, apa yang akan terjadi kemudian," desis salah seorang dari mereka, "tetapi aku cenderung untuk mengatakan apa yang telah terjadi sebenarnya."
Namun demikian, mereka berlima tidak segera meninggalkan tempat itu. Rasa-rasanya masih malas bagi mereka untuk berdiri dan melanjutkan perjalanan. Apalagi mereka yang sudah terluka.
Tetapi ketika matahari kemudian mulai memanjat langit, maka mereka dengan segan berdiri dan mengibaskan pakaian mereka yang kotor oleh pasir dan darah.
"Marilah," berkata orang yang masih belum terluka sama sekali, "kita akan maju perlahan-lahan. Tanpa Agung Sedayupun kita akan menunggu dan berhenti dipinggir Kali Opak, karena keadaan kita. Jika kita meneruskan perjalanan, maka orang-orang yang berpapasan dengan kita akan heran dan mungkin diantara mereka ada juga yang mencurigai kita."
Kawan-kawannya tidak menyahut. Dengan segan mereka berdiri dan melangkah menuju kekuda mereka masing-masing. Sejenak kemudian mereka telah berada dipunggung kuda dan mulai dengan perjalanan yang terasa sangat menjemukan.
Tanpa mereka kehendaki, maka merekapun mengikuti jejak kuda Agung Sedayu yang masih nampak jelas diatas pasir, diantara semak-semak dihutan perdu. Tetapi sama sekali tidak ada niat mereka untuk menyusulnya.
Kelima orang itu menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat jejak kuda Agung Sedayu dan Glagah Putih juga menuju kearah Sungai Opak, maka hati mereka menjadi berdebar-debar.
"Keduanya tentu sudah meninggalkan sungai itu," berkata salah seorang dari mereka, "kita akan mandi sepuas-puasnya tanpa takut diganggunya lagi."
Meskipun diantara mereka masih ada yang ragu-ragu, tetapi kelima orang itu tetap mengikuti jejak kuda Agung Sedayu menuju ke Kali Opak. Namun seperti yang mereka duga, tidak ada seorangpun lagi dipinggir sungai itu. Bahkan mereka telah melihat jejak kuda Agung Sedayu dan Glagah Putih meneruskan perjalanan menuju ke Utara.
"Mereka menyusuri Kali Opak," desis salah seorang dari mereka.
"Ya. Agaknya mereka tidak akan berhenti dan menunggu jalan-jalan mejadi sepi. Mereka nampaknya dapat membenahi diri dan tidak menimbulkan kecurigaan apapun juga," sahut yang lain.
"Aku masih membawa selembar baju yang lain dipelana kudaku," berkata salah seorang dari mereka.
"Persetan," geram yang lain, "tetapi keadaan kita cukup menarik perhatian disiang hari. Jika kita melintas jalan yang ramai, maka mereka akan menyangka kita sekelompok orang yang pulang dari perampokan atau menyamun di jalan-jalan sepi."
Yang lain tidak menyahut. Tetapi mereka segera turun dari kuda mereka dan menambatkannya pada pohon-pohon yang tumbuh ditanggul Kali Opak.
"Alangkah segarnya untuk mandi. Mudah-mudahan kekuatanku dapat pulih kembali," desis salah seorang dari mereka.
Kelima orang itupun kemudian turun kedalam segarnya air Kali Opak. Beberapa saat lamanya mereka membenamkan diri kedalam air. Terasa seakan-akan kekuatan mereka merayap kembali kedalam tubuh mereka yang menjadi segar.
Mereka yang terluka oleh cambuk Agung Sedayu merasa pedih sesaat. Tetapi justru sekaligus mereka mencuci luka itu dan kemudian ketika mereka selesai mandi, mengobatinya dengan obat yang selalu mereka bawa sebagai bekal.
Ketika mereka selesai berpakaian, maka orang yang punggungnya telah dibakar oleh kekuatan tatapan mata Agung Sedayu berkata, "Aku telah pulih kembali. Seandainya aku kini bertemu dengan Agung Sedayu, maka aku tidak segan lagi untuk mengulangi pertempuran."
"Tanpa anak yang tinggi kekurus-kurusan itu ?" bertanya kawannya.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam tanpa menjawab sepatah katapun.
Namun seperti orang itu pula, maka kelima orang pengikut Sabungsari itu memang merasa tubuh mereka menjadi segar kembali. Tetapi tidak ada niat mereka untuk menyusul dan kemudian menangkap Agung Sedayu. Apalagi diantara mereka, yang bersenjata tinggal dua orang. Yang lain tidak lagi memiliki pedang dilambung. Bahkan pisau-pisau belati merekapun telah mereka lontarkan ketika mereka berusaha memancing perhatian Agung Sedayu sehingga mereka berhasil menguasai Glagah Pulih.
"Jika kita bertemu dengan bahaya, aku sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa," desis salah seorang dari mereka yang tidak bersenjata.
"Lalu, apakah yang dapat kita lakukan ?" bertanya kawannya.
"Aku akan memotong sebatang kayu metir. Kayu itu akan dapat aku pergunakan sebagai senjata."
"Bagus," berkata kawannya yang lain, yang juga telah kehilangan senjata dengan kayu metir setinggi tubuh kita, maka kita akan dapat mempersenjatai diri melawan pedang yang paling tajam sekalipun."
Kawan-kawannya yang berpedang ternyata tidak berkeberatan. Merekapun kemudian memotong beberapa batang metir yang tumbuh diatas tepian Kali Opak sepanjang tubuh mereka, sehingga mereka akan dapat mempergunakan tongkat itu sebagai senjata yang akan dapat melawan senjata apapun juga.
"Kayu metir sebesar pergelangan tangan ini tidak akan dapat putus dengan sekali babat betapapun tajamnya pedang. Bahkan pedang itu akan dapat melekat pada tongkat ini dan sulit untuk ditarik kembali," berkata salah seorang dari mereka.
Dengan senjata tongkat kayu metir itulah maka para pengikut Sabungsari itu siap untuk meneruskan perjalanan. Namun mereka tetap pada pendirian mereka untuk menunggu sampai petang. Barulah mereka akan melintasi jalan-jalan yang agak ramai menuju ke Jati Anom.


05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun ketika mereka mulai melepas tali-tali kuda mereka, mereka terkejut, karena mereka mendengar suara seseorang yang sedang berbicara meskipun masih agak jauh. Kemudian suara yang lain menyahut. Bahkan masih terdengar suara yang lain lagi.
"Aku mendengar beberapa orang berbicara," desis salah seorang dari kelima orang pengikut Sabungsari itu.
"Apakah Agung Sedayu dan Glagah Putih datang lagi ketempat ini ?" bertanya salah seorang dari mereka.
"Bukan. Aku kira jumlah mereka lebih dari tiga orang."
Sejenak mereka termangu-mangu. Namun kelima orang itu tidak sempat mengambil sikap, karena tiba-tiba saja dari tikungan tebing sungai muncul -empat orang yang agaknya berjalan menyusuri sungai.
Bukan saja kelima orang itu yang menjadi tegang, namun keempat orang jang tiba-tiba saja melihat lima orang berkuda itupun terkejut pula, sehingga langkah merekapun terhenti.
Sejenak kedua kelonnpok itu saling memandang. Nampaknya kerut merut diwajah masing-masing. Seolah-olah mereka telah berdiri dimuka sebuah cermin yang besar dan melihat diri masing-masing berhadapan dengan bayangannya.
Hampir setiap orang didalam kedua kelompok itu melihat wajah-wajah yang kasar seperti wajah mereka sendiri. Melihat sikap yang garang dan mata yang memancarkan kecurigaan.
Salah seorang pengikut Sabungsari itupun tiba-tiba berdesis, "Siapakah mereka ?"
Kawannya agaknya tidak sabar lagi. Kudanya yang telah dilepas ikatannya, telah ditambatkannya kembali. Kemudian selangkah ia maju dan berdiri dibibir tebing Kali Opak. Sambil memandang orang-orang yang menelusuri Kali Opak itu ia bertanya lantang, "He, siapakah kalian Ki Sanak ?"
Orang-orang yang berada di pasir tepian itupun memandanginya dengan heran. Seorang yang berkumis lebat dan berdada bidang melangkah maju pula sambil menjawab, "Kami pulang dari mencari makan. Siapakah kalian ?"
Para pengikut Sabungsari itupun segera mengerti. Seolah-olah istilah itu memang merupakan istilah yang telah mereka sepakati untuk dipergunakan. Sekelompok penjahat yang baru pulang dari melakukan kejahatan akan mengatakan, bahwa mereka baru pulang dari mencari makan.
Para pengikut Sabungsari itu menarik nafas dalam-dalam. Mereka memang sudah mengira. Dan merekapun sadar, bahwa orang-orang ditepian itupun tentu mengira bahwa mereka berlima tentu juga baru pulang dari mencari makan.
Justru karena itu, maka pengikut Sabungsari itu tidak ingin berurusan lebih lama lagi. Katanya, "Silahkan kalian meneruskan perjalanan. Kami sedang digelisahkan oleh buruan kami."
"He " " orang berkumis di atas pasir tepian itu menjadi heran.
"Kami sedang memburu Agung Sedayu," berkata orang diatas tebing itu acuh tidak acuh.
Tetapi ketika ia akan melangkah surut, ia terkejut karena orang berkumis itu berteriak, "Apa katamu " Kau memburu Agung Sedayu ?"
"Ya. Kenapa " " orang itu bertanya.
Sejenak orang-orang yang berada di tepian itu saling berpaling. Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, "Apakah Agung Sedayu lewat di padang perdu itu?"
Pertanyaan itu ternyata telah menarik perhatian kelima orang pengikut Sabungsari. Mereka serentak melangkah kebibir tebing sambil memandang keempat orang itu dengan tajamnya.
"Kenapa kau bertanya tentang Agung Sedayu " Apakah kau pernah mengenal Agung Sedayu?" bertanya salah seorang dari mereka.
Orang berkumis itu tertegun sejenak. Namun kawannya yang membawa sebuah bungkusan kecil menyahut, "Ya, kami tahu pasti. Siapakah Agung Sedayu. Katakan, apakah hubungan kalian dengan Agung Sedayu."
Orang-orang yang berdiri di atas tebing itu termangu-mangu. Orang yang masih mempunyai pedang dilambungnya itu berkata, "Kami mempunyai persoalan dengan anak itu. Jika kalian juga mempunyai persoalan, katakan. Apakah yang akan kau lakukan atas anak itu."
Orang berkumis itulah yang kemudian berteriak, "Kami akan membunuhnya."
Jawaban itu telah mendebarkan jantung kelima orang yang berada diatas tebing. Salah seorang dari mereka berkata, "Benar kalian akan membunuh Agung Sedayu" Siapakah kalian, dan apakah kalian mempunyai kemampuan yang cukup ?"
"Kalian belum pernah mendengar nama kami atau kalian memang tidak pernah mengira bahwa kalian akan bertemu dengan orang-orang dari Pesisir Endut " " jawab orang berkumis itu.
Sejenak orang-orang yang ada diatas tebing itu termangu-mangu. Sementara itu orang-orang yang berada dipasir tepian memandang mereka dengan dada tengadah. Mereka menyangka bahwa pengakuan mereka akan mengejutkan orang-orang yang berada di tepian itu.
Tetapi merekalah yang justru terkejut. Ternyata kelima orang itu justru tertawa. Salah seorang dari mereka berkata, "Jadi kalian inilah orang-orang dari Pesisir Endut itu " Kalianlah yang telah kehilangan dua orang pemimpin kalian yang dibunuh oleh Pangeran Benawa itu."
Orang-orang ditepian itu termangu-mangu sejenak. Kemudian orang berkumis itulah yang berteriak, "Jadi kalian pernah mendengar nama kami " Perguruan Pesisir Endut ?"
"Nama perguruanmu memang telah dikenal sampai keujung bumi. Tetapi kami menjadi kecewa karena dua orang bersaudara yang terkenal dari Pesisir endut itu sama sekali tidak berdaya menghadapi Pangeran Benawa seorang diri. He, apakah yang dapat kalian lakukan sekarang tanpa pemimpinmu itu ?"
Orang bekumis itu menjadi merah padam. Dengan suara bergetar ia ganti bertanya, "Siapakah kalian yang telah berani menghina perguruan Pesisir Endut " Kau sangka kalian memiliki kemampuan melampaui Pangeran Benawa " Bahkan seandainya Pangeran Benawa sekarang ini ada disini, kami berempat akan dapat membunuhnya tanpa mengalami kesulitan."
Kelima orang itu menjadi tegang. Seolah-olah keempat orang itu demikian yakin akan diri mereka. Mereka merasa bahwa mereka akan dapat mengalahkan Pangeran Benawa.
Tetapi orang yang berpedang diatas tebing itu berkata, "Jangan sesumbar disini. Kau berteriak-teriak karena justru kau tahu, bahwa Pangeran Benawa tidak ada disini sekarang. Seandainya tiba-tiba saja Pangeran Benawa sekarang ini hadir, maka kalian akan menjadi pingsan."
"Persetan. Siapakah kalian sebenarnya ?" bertanya orang berkumis itu.
Orang berpedang itu tertawa kecil. Katanya, "Baiklah, karena kalian telah mengaku bahwa kalian datang dari Pesisir Endut, maka kamipun akan mengatakan siapakah kami sebenarnya. Kami adalah orang-orang yang mendendam Agung Sedayu seperti orang-orang Pesisir Endut. Justru kalianlah yang agaknya lebih dahulu bertindak. Tetapi kalian tidak pernah berhasil. Bahkan menurut pendengaran kami, orang yang lebih tinggi tingkat ilmunya dari kedua kakak beradik dari Pesisir Endut itupun tidak berhasil berbuat sesuatu atas Agung Sedayu."
"Kedua kakak beradik itu dibunuh oleh Pangeran Benawa. Bukan oleh Agung Sedayu," potong orang berkumis itu.
"Tidak jauh bedanya. Tidak seorangpun yang mengetahui dengan pasti, siapakah yang lebih kuat antara Agung Sedayu dan Pangeran Benawa. Telapi yang jelas perguruan dari Pesisir Endut itu tak berhasil berbuat sesuatu," ia berhenti sejenak, lalu. "Nah, sekarang datang giliran kami. Kami datang dari pihak yang lain, yang juga menyimpan dendam seperti kalian. Kami adalah murid murid dari perguruan Ki Gede Telengan."
Keempat orang itu tercenung sejenak. Orang berkumis itu berkata, "Kami sudah mendengar orang yang bernama Ki Gede Telengan yang terbunuh juga oleh Agung Sedayu. He, apakah kalian tidak menyadari akan hal itu " Bahkan guru kalianpun telah mati ?"
Tetapi orang berpedang itu tertawa. Katanya, "Kami tidak tergantung kepada Ki Gede Telengan. Orang terkuat diperguruan kami bukannya Ki Gede Telengan. Tetapi anak laki-lakinya. Ia mewarisi semua ilmu ayahnya. Tetapi ilmu itu sudah disempurnakan sesuai dengan jiwanya yang hidup karena kemudaannya. Ia mempunyai perincian kesalahan ayahnya, kenapa ia terbunuh oleh Agung Sedayu. Dan ia tidak akan mengulangi kesalahan ayahnya jika ia berhadapan dengan Agung Sedayu nanti."
"Siapakah anak Ki Gede Telengan diantara kalian " " bertanya orang berkumis itu.
"Tidak ada dianlara kami. Kami memang sedang menggiring Agung Sedayu kearah yang dikehendaki, sehingga pada suatu saat keduanya akan bertemu. Keduanya adalah anak-anak muda, dan keduanya akan berhadapan dalam perang tanding yang tiada taranya."
Orang-orang dari Pesisir Endut itu tertegun sejenak. Salah seorang dari mereka berbisik ditelinga orang berkumis itu, "Kita harus cepat membawa kabar ini pulang."
"Tetapi orang-orang itu sangat sombong," berkata orang berkumis itu, "nampaknya mereka memang ingin dihajar sampai jera."
"Apa yang akan kita lakukan ?" bertanya yang lain.
"Kita naik ketebing dan merebut kuda-kuda itu. Alangkah senangnya kita kembali dengan naik kuda."
Kawannya termangu-mangu. Sejenak ia memandang orang-orang yang berada di atas tebing. Namun tiba-tiba saja jantungnya rasa-rasanya menjadi berdebaran. Katanya, "Apakah kau pasti bahwa kita akan berhasil ?"
"Kenapa tidak. Mungkin kita memerlukan waktu sejenak untuk mengusir mereka. Tetapi kemudian kita akan berkuda sampai kepadepokan Pesisir Endut."
Kawan-kawannya yang lainpun menjadi ragu-ragu. Bahkan seorang yang lain berkata, "Apakah kita akan sempat memiliki kuda mereka."
"Pengecut. Aku akan naik. Aku akan memaksa mereka meninggalkan kuda mereka."
Orang berkumis itu tidak menunggu jawaban kawan-kawannya lagi. Iapun kemudian melangkah maju mendekati tebing sambil berkata," Ki Sanak. Aku memerlukan kalian. Aku ingin berbicara lebih panjang. Karena itu aku akan naik."
Para pengikut Sabungsari menjadi berdebar-debar. Orang berpedang yang masih belum terluka saja sekali itu berbisik, "berhati-hatilah. Nampaknya mereka akan naik. Tentu ada sesuatu yang akan mereka lakukan atas kita."
Kawannya yang juga masih menggenggam pedang berdesis, "Biarlah mereka naik. Apapun yang akan mereka lakukan, akan kita hadapi. Badanku sudah pulih kembali meskipun dipesisir itu punggungku rasa-rasanya akan retak dan berpatahan."
Orang yang masih belum terluka sama sekali itu memandang kawan-kawannya yang lain. Diantara mereka ada yang terluka kulitnya oleh sentuhan ujung cambuk Agung Sedayu. Namun orang yang terluka kakinya itu berkata, "Lukaku tidak seberapa. Memang pedih. Tetapi seandainya aku harus bertempur, aku sudah siap meskipun aku hanya bersenjata tongkat kayu."
Orang berpedang itu justru masih mempunyai sebilah pisau belati. Sambil bergeser ia berkata, "Jika kau perlukan, kau dapat mempergunakan pisauku disamping tongkatmu."
"Tongkatku cukup kuat untuk menghadapi pedang. Kecuali lebih panjang, maka aku percaya akan kekuatan kayu metir meskipun agak berat."
Kawan-kawannya yang bertongkatpun mengangguk-angguk. Salah seorang berdesis, "Aku merasa kuat. Pedang mereka tidak akan dapat mematahkan tongkat kayuku asal aku tidak membenturkan menyilang."
Sejenak orang-orang diatas tebing itu menjadi tegang. Mereka menunggu keempat orang itu perlahan-lahan naik keatas.
Sejenak kemudian, maka keempat orang itu sudah berdiri diatas tebing pula. Mereka masih berusaha mengatur pernafasan mereka, ketika mereka telah berdiri berhadapan.
"Aneh," desis orang berkumis, "beberapa diantara kalian membawa tongkat kayu."
"Ini memang senjataku," desis orang yang bertongkat kayu.
Tetapi orang berkumis itu tertawa. Katanya, "Jika kau tidak membawa sarung pedang yang kosong, aku tentu percaya. Apalagi tongkat itu adalah kayu metir yang masih basah."
Orang-orang yang bersenjata tongkat itu termangu-mangu sejenak. Namun salah seorang dari mereka telah tertawa pula. Katanya, "Kau benar. Sarung pedangku telah kosong. Ini suatu kesalahan bahwa aku tidak membuangnya saja. Tetapi hal itu memang suatu akibat, bahwa aku kehabisan uang diperjalanan. Aku telah menjual pedangku disebuah warung dan menukarkannya dengan nasi lima bungkus. Nah, bukankah jelas bagi kalian ?"
Jawaban itu rasa-rasanya memang menyakitkan hati. Tetapi orang berkumis itu tidak segera marah. Bahkan ia masih bertanya, "Apakah kuda-kuda yang terikat itu kuda kalian ?"
"Apakah kau masih perlu bertanya begitu " " orang berpedang itu justru bertanya pula.
"Pertanyaan yangi bagus," sahut orang berkumis, "nah. jika demikian aku pasti, bahwa kuda-kuda itu memang milik kalian. Entah kalian memang membawanya sejak kalian berangkat, atau kalian dapatkan diperjalanan dengan mencuri misalnya."
Para pengikut Sabungsari itu serentak beringsut. Namun mereka masih menahan diri dan mendengarkan orang berkumis itu berkata selanjutnya, "Ki Sanak. Sebaiknya kita bergantian saja. Sekarang, kamilah yang akan berkuda kembali kepadepokan Pesisir Endut. Jika kemudian perguruanmu membutuhkan, ambil sajalah ke Pesisir Endut dengan anak muda yang kau sebut anak Ki Telengan."
Wajah orang berpedang itu menjadi merah. Tetapi ia tidak mau dibakar oleh perasaannya sehingga kehilangan pengamatan diri. Karena itu ia masih tetap menyadari keadaannya. Katanya kemudian, "Aku tahu. Kau ingin merampas kudaku. Aku tahu pula, bahwa kau menganggap perguruan Ki Telengan sudah tidak berarti lagi sepeninggal Ki Gede seperti juga perguruan Pesisir Endut sepeninggal kakak beradik itu. Tetapi seandainya demikian, namun agaknya kami masih lebih berarti dari kalian. Kami masih menahan diri untuk tidak melakukan perampokan-perampokan kecil-kecilan, atau menyamun pedagang yang akan pergi kepasar."
"Persetan," orang berkumis itulah yang menggeram, "apapun yang kau katakan. Tinggalkan kuda-kuda kalian. Jika aku tidak mengingat bahwa nasib kita hampir bersamaan, aku tidak usah memberimu peringatan. Kami langsung membunuh kalian tanpa persoalan. Tetapi karena kita sama-sama mendendam pada orang yang sama, maka marilah kita saling berbaik hati. Serahkan kuda kalian, lalu kalian dapat pergi dengan tanpa kami ganggu."
"Jangan omong saja. Kau tentu sudah tahu jawabku. Dan kaupun tentu tidak akan mundur. Karena itu, aku kira tidak ada kemungkinan lain yang terjadi, selain kita harus bertempur disini. Terserah pada keadaan berikutnya, apakah kita akan saling membunuh atau akan terjadi penyelesaian lain."
Orang berkuda itu tidak sabar lagi. Karena itu, maka katanya kepada kawan-kawannya, "Sudah jelas, mereka mempertahankan kuda mereka."
Orang-orang Pasisir Endut itu ternyata lebih kasar dari para pengikut Sabungsari. Meskipun tiga orang yang lain semula masih ragu-ragu, namun kemudian merekapun berteriak dengan kasar sambil mencabut senjata mereka.
"Jumlah kami lebih banyak," berkata salah seorang pengikut Sabungsari itu, "dalam perhitungan kasar, maka kami akan menang."
"Perhitungan kasar dan gila. Aku mempunyai perhitungan lain," jawab orang berkumis, "kami bersenjata lengkap. Tiga diantara kalian hanya bersenjata sepotong kayu. Apalagi nampaknya kalian bukan orang yang memiliki ilmu kanuragan yang pantas diperhitungkan."
Pengikut Sabungsari yang sama sekali belum terluka itu tertawa sambil berkata, "Kita akan menghadapi orang-orang kasar yang dungu. Marilah. Jangan ragu-ragu."
Kawan-kawannya mulai bergeser. Meskipun diantara mereka sudah terluka, tetapi air sungai dibawah tebing itu telah membuat tubuh mereka pulih kembali. Rasa-rasanya mereka tidak pernah mengalami cidera apapun juga sebelumnya.
Keempat orang dari Pesisir Endut itupun telah memencar pula. Mereka mengacukan senjata mereka sambil menggeram. Yang berkumis itu masih berbicara lantang, "Untuk yang terakhir kalinya, tepuklah dadamu dengan wajah tengadah. He, orang-orang dungu. Sebentar lagi kepalamu akan terpisah dari tubuhmu. Dan kuda-kuda yang tegar itu akan menjadi milik kami."
Pengikut Sabungsari itu tidak menjawab lagi. Mereka sudah siap sepenuhnya menghadapi setiap kemungkinan. Mereka yang berpedang berdiri pada jarak yang terjauh, sementara tiga orang yang lain berdiri dalam satu kelompok kecil yang nampaknya ingin bertempur dalam satu lingkaran.
Orang berkumis itupun mulai mendekati lawannya. Orang yang nampaknya paling berpengaruh diantara kelima orang pengikut Sabungsari itu agaknya orang yang bersenjata pedang dan banyak berbicara itu. Karena itu, maka iapun maju selangkah demi selangkah mendekatinya sambil berteriak, "Bunuh saja mereka semuanya agar pekerjaan kita rampung tanpa ada persoalan lagi yang dapat timbul kemudian."
"Jumlah kalian hanya empat," sekali lagi salah seorang pengikut Sabungsari itu menghitung jumlah, "bagaimanapun juga kalian akan kalah. Seandainya kita masing-masing memiliki kemampuan yang sama, maka kelebihan jumlah ini akan sangat berpengaruh."
"Kami baru saja membunuh dan melukai tujuh orang sekaligus," geram orang berkumis, "kami ketemukan mereka di bulak panjang. Mereka kami bantai semuanya karena mereka mencoba melawan kami. Menurut pengakuan mereka, ketujuh orang itu adalah orang-orang terkuat dari Kademangan Watu Gede. Mereka berkata sambil menengadahkan kepala, bahwa mereka akan menangkap aku dan mengikat tanganku dibelakang punggungku. Tetapi akhirnya mereka terbaring dijalan tanpa dapat bangun lagi untuk selama-lamanya. Agaknya akan terjadi pula atas kalian yang mengaku orang-orang tanpa tanding. Tetapi kalian sebentar lagi akan terbaring dipadang perdu ini."
Orang berpedang diantara para pengikut Sabungsari itupun berkata lantang, "Kita tidak akan berbicara berkepanjangan. Marilah, yang akan mati biarlah segera mati."
Orang berkumis itu menggeram. Namun tiba-tiba lawannya yang bersenjata pedang itu pula mengacukan pedangnya yang bergetar.
Sejenak kemudian, orang-orang itupun telah terlibat dalam perkelahian. Tiga orang yang bersenjata tongkat, telah bertempur dalam kelompok kecil menghadapi dua orang lawan. Sementara kawannya yang berpedang-masing-masing telah menghadapi seorang lawan.
(Bersambung ke Jilid 121"..)
Api Di Bukit Menoreh Karya : SH Mintarja (Buku 121 ~ 130) ________________________________________
Buku 121 ORANG berkumis itu telah menyerang lawannya dengan garang. Ternyata perguruan Pesisir Endut telah membentuknya menjadi seorang yang memiliki kekuatan yang besar dan kecepatan bergerak yang mengagumkan. Apalagi mereka tidak lagi mempunyai perasaan belas kasihan sedikitpun juga. seperti juga kedua kakak beradik yang dengan garangnya telah berusaha membunuh Glagah Putih tanpa belas kasihan.
Para pengikut Sabungsari itupun segera merasakan kekerasan sikap orang-orang dan Pasisir Endut itu. Sambil berteriak nyaring, orang berkumis itu menggerakkan senjatanya dengan kekuatan raksasa.
Tetapi para pengikut Sabungsari ternyata adalah orang-orang yang berpengalaman menghadapi medan yang betapapun garangnya. Bahkan dalam keadaan yang tidak terelakkan lagi, merekapun termasuk orang-orang kasar dan bahkan buas. Apalagi mereka yang telah terluka oleh senjata Agung Sedayu, seolah-olah mereka mendapat sasaran untuk melepaskan kemarahan mereka.
Pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin sengit. Meskipun tiga orang diantara para pengikut Sabungsari bersenjata tongkat, namun ternyata tongkat kayu metir itu merupakan senjata yang berbahaya bagi lawan-lawannya. Tongkat-tongkat itu bagaikan tangkai tombak yang menyambar-nyambar, terayun, memukul dan kadang-kadang mematuk lurus mengarah kedada.
Ternyata bahwa yang terjadi kemudian benar-benar diluar dugaan orang dari Pasisir Endut itu. Orang berkumis itupun mulai merasakan tekanan yang berat dari lawannya. Orang perpedang yang melawan dengan garangnya, justru memiliki kelebihan dari orang berkumis yang mempunyai kekuatan raksasa itu.
"Kami bukan tujuh orang pengawal Kademangan," teriak salah seorang pengikut Sabungsari, "jangan menyesal bahwa kalianlah yang akan terbaring diam di padang perdu ini. Sekelompok burung gagak akan segera menyayat tubuh kalian sehingga tinggal tulang-tulang sajalah yang akan berkubur diantara dedaunan kering."
Tetapi orang berkumis itu berteriak, "Jangan sebut kami anak-anak Pesisir Endut jika kami tidak dapat mencincang kalian."
Yang terdengar adalah suara tertawa. Tetapi kemudian angin padang yang kering telah melontarkan dedaunan kering yang berserakkan.
Para pengikut Sabungsari yang masih diwarnai oleh kemarahan mereka karena Agung Sedayu telah terlepas dari tangan mereka, telah bertempur dengan garangnya. Sementara orang-orang Pesisir Endut masih berbau darah, karena mereka telah membunuh dan melukai tujuh orang yang telah mereka rampok diperjalanan.
Nampaknya sepeninggal kakak beradik yang memimpin padepokan Pesisir Endut, orang-orang di padepokan itu menjadi bertambah liar dan garang.
Tetapi kelika mereka bertemu dengan anak buah Sabungsari, mereka baru merasakan bahwa di daerah kuasanya, ternyata telah hadir lima orang yang tidak dapat segera mereka kuasai.
Dua orang dari Pesisir Endut itu telah bertempur melawan tiga orang pengikut Sabungsari yang bersenyata tongkat. Namun ternyata bahwa tongkat mereka yang panjang itu berhasil mereka pergunakan sebagai senjata untuk mengimbangi pedang lawan.
Namun demikian, karena mereka telah terluka, maka lambat laun terasa, luka-luka mereka mulai mengganggu. Meskipun ketika mereka selesai mandi, tubuh mereka menjadi segar seolah-olah kekuatan mereka telah pulih kembali. Namun ketika keringat mulai menitik terasa luka-luka itu menjadi pedih.
"Gila," geram orang yang luka kakinya.
Apalagi ketika ternyata lawannya melihat kelemahan-kelemahan itu. Yang luka lambungnyapun mulai menyeringai, sedang yang lainpun telah mulai kehilangan lagi sebagian dari kecepatannya bergerak.
Meskipun demikian tiga orang bersenjata tongkat itu masih tetap merupakan kekuatan yang berbahaya bagi dua orang lawannya.
Dengan demikian, maka pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin dahsyat. Dua orang Pesisir Endut yang melihat kelemahan lawannya, segera berusaha menekan dengan segenap kemampuannya. Bahkan salah seorang dari mereka berteriak, "Lihat, keseimbangan mereka mulai terganggu. Agaknya mereka telah terluka dan kehilangan senjatanya. Sekarang kita tinggal membunuhnya seperti membunuh seekor tikus kecil."
Tetapi kata-kata itu telah membakar hati ketiga orang pengikut Sabungsari. Dengan serta merta mereka menyerang dengan dahsyatnya sehingga kedua orang lawannya terdesak beberapa langkah surut.
Meskipun ketiganya sudah terluka, tetapi mereka masih tetap berbahaya. Mereka telah memencar dan menyerang dari arah yang berbeda. Bahkan mereka sempat membuat kedua lawannya menjadi bingung.
Tetapi lawannya yang mengetahui kelemahannya itupun berusaha untuk memanfaatkan kelemahan itu. Dengan dahsyatnya salah seorang dari mereka telah menyerang lawannya yang terluka dilambung. Seorang kawannya yang lain, mencoba mencegah kedua orang lawannya untuk membantu kawannya yang semakin terdesak.
Meskipun tongkat kayu metir pengikut Sabungsari lebih panjang dari pedang, tetapi ternyata pedang dapat digerakkan lebih lincah dan lebih cepat. Karena itulah, maka pengikut Sabungsari yang bersenjata tongkat itu telah terdesak, sehingga usaha lawannya memisahkannya dari kedua orang kawannya telah berhasil.
Agaknya saat yang demikian itulah yang diinginkannya. Apalagi karena orang bertongkat itu sudah terluka, sehingga lukanya terasa semakin mengganggunya.
Ketika serangan lawannya datang begaikan gempuran badai, maka kemampuan geraknya benar-benar menjadi sangat terbatas. Perasaan sakit pada lukanya telah membuatnya menjadi kehilangan keseimbangan. Pada saat pedang lawannya terjulur, dengan tergesa-gesa ia berusaha untuk menangkis dengan memukul pedang itu kesamping. Namun lawannya dengan serta merta telah menarik pedangnya dan mengayunkannya tegak mengarah kedahinya.
Pengikut Sabungsari itu masih sempat mengangkat tongkatnya, betapapun perasaan takut telah meremas luka di lambungnya. Bahkan ia merasa, darahnya mulai menitik lagi dari luka itu.
Namun ketika lawannya memutar pedangnya dan menggerakkannya mendatar, maka ia benar-benar telah tidak mampu lagi mengikuti kecepatan geraknya. Meskipun ia berusaha meloncat kesamping, namun ujung pedang lawannya telah menyentuh lengannya pula.
Yang terdengar adalah keluhan tertahan. Selangkah pengikut Sabungsari itu surut. Tetapi ujung pedang lawannya telah mengejarnya. Ketika lawannya meloncat dengan pedang terjulur, maka ia tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa ujung pedang itu telah menghunjam kedadanya.
Pengikut Sabungsari itu tidak sempat mengelak. Ia memandang lawannya sejenak. Namun kemudian sambil menyeringai ia memejamkan matanya untuk selama-lamanya.
Namun dalam pada itu, kawannya yang bertongkat pula tidak mau membiarkan peristiwa itu terjadi begitu saja. Tiba-tiba saja iapun meloncat meninggalkan lawannya. Sementara lawannya yang seorang lagi telah menyerangnya dengan sisa kemampuannya.
Yang terjadi adalah demikian cepatnya. Ketika orang Pesisir Endut yang berhasil menghunjamkan pedangnya itu berusaha untuk menarik pedangnya dari dada lawan, maka tanpa dapat mengelak lagi, terasa tongkat lawannya telah membentur bagian belakang kepalanya. Demikian kerasnya, sehingga tiba-tiba saja matanya menjadi gelap dan ingatannyapun lenyap bersama nyawanya, karena tulang kepalanya telah pecah karenanya.
Meskipun ia masih serapat menyaksikan lawannya jatuh terjerembab, namun ia sadar sepenuhnya akan kawannya yang seorang lagi. Karena itu, maka iapun segera meloncat kearena pertempuran antara kawannya yang bersenjata tongkat dengan seorang lawan dari Pesisir Endut yang sedang dibakar oleh kemarahan. Hampir saja orang bertongkat itu kehilangan keseimbangan. Untunglah kawannya yang meskipun telah terluka, tetapi sempat membantunya.
Kematian-kematian itu telah membuat jantung kedua belah pihak menjadi semakin panas. Mereka bertempur semakin kasar dan liar. Tidak ada lagi pengekangan diri sama sekali. Apapun telah mereka lakukan untuk memenangkan perkelahian yang dahsyat itu.
Dalam pada itu, pengikut Sabungsari yang meskipun masih berpedang tetapi yang pernah dilukai oleh Agung Sedayu dengan tatapan matanya, mulai diganggu oleh perasaan sakit dibagian dalam tubuhnya, ia tidak dapat bergerak secepat saat ia mulai dengan perkelahian itu. Tangannya kadang-kadang terasa menjadi berat, dan tulang-tulangnya bagaikan menjadi lemah.
Namun sementara itu, dua orang yang bersenjata tongkat itupun telah berhasil mendesak lawannya. Meskipun keduanya tidak memiliki kemampuannya sepenuhnya, tetapi keduanya masih dapat membuat lawannya terdesak.
Ketika kedua ujung tongkat itu menyerang bersama-sama, maka lawannya tidak sempat mengelak lagi oleh dorongan serangan itu. Diluar sadarnya ia meloncat surut, namun ia tidak mendapat tempat lagi. Satu kakinya tiba-tiba saja telah terperosok tebing sehingga yang terdengar kemudian adalah jeritnya yang panjang.
Kedua lawannya sempat memandang orang itu berguling. Namun kemudian disaat jerit itu terhenti, mereka melihat bahwa orang yang terguling itu masih sempat meloncat berdiri. Justru karena ia jatuh diatas pasir tepian, maka ia tidak mengalami kesulitan yang berarti, kecuali beberapa bagian kulitnya bagaikan terkelupas.
Pada saat itulah kedua orang kawannya yang lain merasa, bahwa mereka tidak akan dapat berbuat banyak. Meskipun yang seorang diantara mereka telah berhasil mendesak lawannya yang dibagian dalam tubuhnya merasa semakin sakit. Bahkan urat-uratnya seolah-olah menjadi kejang. Namun dua orang bertongkat kayu yang telah kehilangan lawannya itu akan dapat membantunya, sementara orang yang meluncur tebing itu belum sempat memanjat naik.
Karena itu, maka terasa bagi kedua orang Pesisir Endut itu, bahwa mereka telah salah langkah. Orang-orang berkuda itu ternyata memang bukan orang-orang seperti yang pernah dirampas barangnya dan dibunuh dengan semena-mena.
Pada saat yang demikian itulah, maka terdengar isyarat dari mulut orang berkumis itu. Demikian tiba-tiba dan berlangsung dengan cepatnya pula, sehingga para pengikut Sabungsari itu harus dengan cepat mengambil sikap pula.
Tetapi mereka tidak dapat berbuat banyak terhadap orang berkumis itu. Demikian ia melepaskan isyaratnya, iapun telah meloncat menjauhi lawannya dan dengan serta merta meluncur tebing itu pula tanpa menghiraukan perasaan pedih yang menggigit kulitnya.
Namun seorang kawannya yang justru sedang mendesak lawannya yang telah terluka dibagian dalam itu, ternyata bernasib sangat buruk. Ketika ia meloncat berlari, salah seorang yang bersenjata tongkat kayu sempat melontarkan tongkatnya, menyilang kaki orang itu, sehingga iapun tidak dapat menghindarkan diri lagi, dan jatuh terjerembab.
Orang-orang yang sedang marah itu tidak sempat berpikir lagi. Mereka sama sekali tidak berpikir untuk menangkap lawannya hidup-bidup atau mengambil sikap lain, kecuali membunuhnya.
Karena itulah, maka selagi orang yang terjerembab itu belum sempat bangun, maka hampir bersamaan sebilah pedang menusuk punggungnya dan sebatang tongkat memukul kepalanya.
Tidak terdengar orang itu mengeluh. Tetapi orang itu segera mati tanpa sempat menggeliat lagi.
Dua orang kawannya yang telah berada dipasir tepian, segera meloncat berlari tanpa menengok lagi. Orang berkumis yang meluncur tebing dan kawannya yang telah terguling lebih dahulu itupun tidak 1 sempat merasakan pedihnya kulit mereka yang terkelupas oleh batu padas.
Sejenak orang-orang yang berdiri diatas tebing termangu-mangu. Namun tidak seorangpun diantara mereka yang berniat untuk mengejar. Selain mereka menjadi letih oleh perkelahian itu, maka sebagian dari mereka telah hampir kehabisan tenaga. Pada umumnya mereka telah terluka oleh Agung Sedayu, sehingga mereka tidak mampu lagi untuk berbuat lebih banyak.
Untuk sesaat mereka berdiri dibibir tebing dengan nafas yang tersengal-sengal. Baru kemudian mereka menyadari, seorang kawan mereka telah terbunuh.
"Gila," geram orang berpedang yang masih belum terluka.
Dengan wajah yang tegang ia melangkah mendekati kawannya yang terbunuh. Justru pada saat mereka telah kehilangan Agung Sedayu.
Ketiga kawannya yang lainpun mengikutinya. Mereka berdiri dengan wajah yang muram memandangi kawannya yang terbujur tanpa dapat bergerak lagi.
"Kita akan menguburnya. Tetapi kita akan membiarkan kedua iblis itu dimakan burung gagak," geram orang berpedang itu.
Dengan demikian maka keempat orang itu tidak segera dapat meninggalkan tempatnya. Mereka masih mengubur seorang kawannya yang terbunuh oleh orang-orang Pesisir Endut. Meskipun dua orang Pesisir Endut telah terbunuh pula, tetapi dendam telah dinyalakan dihati mereka dan sulit untuk dapat dipadamkan lagi.
Ketika mereka selesai, maka tanpa menghiraukan kedua sosok mayat lawannya, merekapun meninggalkan tebing. Salah seorang dari mereka telah menuntun seekor kuda yang tidak berpenumpang lagi.
"Kita akan menunggu diujung padang perdu ini sampai senja. Baru kita akan melanjutkan perjalanan didalam gelap," desis salah seorang dari mereka.
Salah seorang dari mereka akan pergi kepadukuhan mencari warung atau pasar atau apapun untuk mencari bahan makan bagi mereka dihari itu. Bahkan orang itu sudah bertekad untuk mencuri saja disawah atau pategalan apabila tidak dapat diketemukan warung atau pasar.
Sementara itu, orang-orang dari Pesisir Endut yang telah melarikan diri itupun telah dibakar oleh dendam tiada taranya. Mereka bersumpah didalam hati, bahwa mereka pada suatu saat harus dapat membalas kekalahan yang sangat memalukan itu.
"Dua orang kita terbunuh," geram orang berkumis itu.
Kawannya tidak segera menyahut. Tetapi semula ia termasuk orang yang ragu-ragu untuk membuka pertempuran melawan orang-orang yang menyebut dirinya murid Ki Gede Telengan itu.
"Kita akan memberitahukan hal ini kepada semua murid-murid diperguruan Pesisir Endut. Bahkan kita akan menghadap Kiai Carang Waja, untuk memberitahukan bahwa orang-orang dari perguruan Telengan telah menghina kita," geram orang berkumis itu.
Namun kawannya justru berkata, "Yang penting, kita akan memberitahukan, bahwa orang-orang dari perguruan Telengan juga akan memburu Agung Sedayu. Bukankah Kiai Carang Waja sedang mesu diri untuk menyempurnakan ilmunya" Ialah yang dengan tangannya ingin membunuh Agung Sedayu, sehingga seharusnya bukan orang lain yang boleh melakukannya. Juga bukan orang-orang dari perguruan Ki Gede Telengan."
Orang berkumis itu termangu-mangu sehingga langkahnya justru terhenti. Dengan nada tinggi ia bertanya, "He, bukankah pendengaranku benar bahwa orang-orang itu sedang memburu Agung Sedayu?"
"Ya. Mereka sedang memburu Agung Sedayu."
"Jika demikian, Agung Sedayu sudah mulai berkeliaran didaerah ini."
"Mungkin sekali."
"Gila," orang berkumis itu mengumpat, "kehadirannya didaerah ini akan sangat membahayakan kita semuanya. Ia tentu sudah mendapat beberapa petunjuk mengenai Pesisir Endut dari orang-orang yang tertangkap itu. He, apakah kehadirannya itu justru untuk mencari padepokan kita?"
"Entahlah. Tetapi nampaknya orang-orang itu sudah bertemu dengan Agung Sedayu, tetapi justru merekalah yang melarikan diri. Beberapa orang diantara mereka telah kehilangan senjata mereka."
Orang berkumis itu termangu-mangu. Katanya, "Persetan. Kita memang harus segera melaporkan hal ini kepada Kiai Carang Waja. Jika ia sudah merasa cukup mematangkan ilmunya, maka ia tentu akan pergi ke Sangkal Putung. Kiai Carang Waja tentu tidak akan bersedia menyerahkan korbannya kepada orang lain."
Kawannya mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Baiklah, Marilah kita segera kembali kepadepokan dan membicarakan apa yang sebaiknya kita lakukan."
Kedua orang itupun dengan tergesa-gesa melanjutkan perjalanan mereka menyusuri tepian sungai tanpa berhenti lagi. Beberapa pejsoalan telah memenuhi kepala mereka, sehingga mereka menjadi sangat gelisah karenanya.
Ditempat lain yang terpisah jauh. Agung Sedayu dan Glagah Putih melanjutkan perjalanannya kembali ke Jati Anom. Jarak yang harus mereka tempuh masih cukup jauh, sehingga mereka harus berkuda agak cepat, meskipun tidak berpacu disepanjang jalan.
Ketika mereka telah meninggalkan padang perdu dan memasuki tlatah padukuhan dan melalui bulak-bulak panjang, maka keduanyapun tidak lagi berpacu terlalu cepat. Hanya di bulak-bulak yang benar-benar sepi sajalah keduanya mempercepat langkah kudanya.
Diperjalanan keduanya tidak banyak lagi berbicara. Glagah Putih lebih banyak merenungi peristiwa yang baru saja terjadi. Dalam keadaan yang sulit, diantara orang-orang yang berilmu tinggi, maka ia sama sekali tidak dapat membantu Agung Sedayu, justru ia merupakan salah satu hambatan dari perjuangan Agung Sedayu.
Peristiwa itu merupakan sualu pengalaman yang sangal berharga bagi Glagah Putih. Pengalaman itu merupakan dorongan yang sangat kuat baginya, agar ia bekerja lebih keras lagi untuk mempersiapkan dirinya menghadapi keadaan yang demikian.
Tidak ada lagi kesulitan diperjalanan. Ketika mereka melampaui beberapa padukuhan dan bulak, maka mereka menjadi semakin dekat dengan jalan menyilang yang pernah mereka tempuh jika mereka pergi ke Mataram lewat jalur jalan Selatan. Beberapa ratus patok lagi, maka mereka akan sampai kejalur jalan yang biasa mereka lalui, jalan yang di saat-saat terakhir menjadi semakin ramai dan menjadi pusat lalu lintas.
"Agaknya sebentar lagi kita akan sampai ke Prambanan," gumam Agung Sedayu.
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Dipandanginya seleret bukit diseberang sungai. Bukit yang nampak hijau.
Seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, maka sejenak kemudian, mereka telah sampai ke Prambanan. Mereka kemudian mengikuti jalan yang sudah sering mereka lalui. Sekali-sekali Agung Sedayu dan Glagah Putih masih mengamat-amati pakaiannya.
"Apakah pakaian ini tidak lagi menarik perhatian" " mereka masih bertanya kepada diri sendiri.
Tetapi ternyata tidak seorangpun yang memperhatikan. Mereka melalui jalan itu seperti orang-orang lain tanpa menarik kecurigaan. Beberapa orang berkuda telah berpapasan dengan Agung Sedayu dan Glagah Putih. Tetapi mereka hanya memandang sekilas, kemudian mereka meneruskan perjalanan tanpa curiga.
Ketika kuda Agung Sedayu dan Glagah Putih berlari, tidak ada seorangpun yang memperhatikan. Beberapa ekor kuda yang lainpun berlari pula diantara orang-orang yang berjalan kaki, dan beberapa buah pedati yang berjalan lamban seperti siput.
"Apakah kita akan singgah di Sangkal Putung," bertanya Glagah Putih.
Agung Sedayu menggeleng, jawabnya, "Tidak. Kita akan mengambil jalan memintas. Kita harus segera sampai kepadepokan. Kita sudah cukup lama pergi."
Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Glagah Putihpun telah menempuh jalan memintas ke Jati Anom. Namun jalan yang mereka lalui adalah jalan yang tidak terlalu sepi, meskipun dibeberapa bulak panjang, rasa-rasanya mereka hanya berdua saja didunia ini. Bahkan kadang-kadang mereka masih harus melalui jalan dipinggir hutan, meskipun bukan hutan yang terlalu lebat.
Namun akhirnya mereka selamat sampai di padepokan kecil mereka. Dengan dada yang berdebar-debar mereka memasuki regol padepokan. Seorang anak muda yang kebetulan melintasi halaman telah melihat kedatangan mereka. Berlari-lari anak muda itu menyambut Agung Sedayu dan Glagah Putih yang kemudian menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya mereka telah berada ditempat yang paling aman.
Kiai Gringsing dan penghuni padepokan itupun kemudian telah mengerumuninya. Setelah mencuci kaki dan tangannya, maka keduanyapun segera naik kependapa. Mereka tidak sempat masuk keruang dalam, karena anak-anak muda itupun segera menyiram mereka dengan pertanyaan tidak henti-hentinya.
Kiai Gringsing ikut mendengarkan pembicaraan yang riuh itu. Namun kemudian ia berkata, "berilah mereka minum. Tentu mereka haus."
Barulah mereka sadar, bahwa Agung Sedayu dan Glagah Putih tentu memerlukan beristirahat barang sejenak, sebelum mereka harus menjawab pertanyaan yang mengalir seperti pancuran dilereng bukit.
Namun dalam pada itu, rasa-rasanya masih ada yang kurang dipadepokan itu. Glagah Putih memandang setiap pintu dan bahkan seluruh halaman. Tetapi ia tidak melihat ayahnya naik kependapa.
Kiai Gringsing nampaknya dapat menangkap kegelisahan anak itu. Sambil tersenyum ia berkata, "Glagah Putih. Ayahmu baru menengok padukuhannya Banyu Asri. Jika ia mendengar bahwa kau sudah datang, maka ia akan segera datang pula. Biarlah salah seorang kawanmu besok memberitahukan kedatanganmu."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian ia tidak lagi digelisahkan oleh ayahnya yang tidak ada dipadepokan itu, karena persoalannya tidak mencemaskannya seperti apa yang dialaminya diperjalanan.
"Nampaknya ada sesuatu yang menarik diperjalanan," gumam gurunya, "tentu yang kau ceriterakan kepada kawan-kawanmu itu belum seluruhnya."
Glagah Putih memandang Agung Sedayu sejenak. Sementara Agung Sedayu beringsut setapak sambil menjawab, "Belum guru. Memang ada yang masih belum aku katakan. Aku bermaksud menceriterakan mula-mula kepada guru."
Kiai Gringsing tersenyum. "Baiklah," katanya, "aku akan menunggu setelah kau mandi dan beristirahat barang sebentar setelah kau makan."
Demikianlah, dibawah lampu minyak yang berguncang oleh angin yang menyusup kependapa, Agung Sedayu mulai menceriterakan seluruh perjalanannya ke padukuhan tempat tinggal Ki Waskita. Meskipun yang diceriterakannya hanyalah sekedar pengalamannya diperjalanan. Bukan pengalamannya yang khusus dirumah Ki Waskita.
Kiai Gringsingpun mengerti bahwa kehadiran Glagah Putih bersama mereka, agaknya telah menghalangi Agung Sedayu untuk menceriterakan seluruh pengalamannya.
Meskipun demikian, pengalaman diperjalanan itupun telah sangat menarik perhatiannya. Bahwa orang-orang yang dibakar dendam dihatinya masih saja memburu Agung Sedayu kemanapun ia pergi.
"Bersukurlah kepada Tuhan," berkata Kiai Gringsing, "karena perjalanan kalian telah mendapat perlindungannya."
Agung Sedayu dan Glagah Putih mengagguk-angguk. Bahkan kulit Glagah Putih rasa-rasanya telah meremang apabila ia mengingat apa yang telah terjadi. Rasa-rasanya hanya suatu keajaiban sajalah yang telah menolong mereka, karena tiba tiba saja salah seorang dari kelima orang itu telah dicengkam oleh kesakitan tanpa sebab.
"Jika tidak terjadi keajaiban itu, maka aku dan kakang Agung Sedayu tidak akan pernah kembali kepadepokan ini lagi," berkata Glagah Putih didalam hatinya.
Namun dalam pada itu. Agung Sedayupun telah mengucapkan sukur didalam hatinya pula. Tanpa kurnia kemampuan untuk membebaskan diri, maka tidak akan ada lagi hari esok baginya dan bagi Glagah Putih.
Meskipun demikian. Kiai Gringsing masih memberikan beberapa nasehat kepada kedua anak muda itu, agar selanjutnya, mereka tetap berhati-hati dan tidak lupa untuk selalu memohon perlindungan Yang Maha Pencipta.
"Sudahlah," berkata Kiai Gringsing, "beristirahatlah. Besok ceriteramu masih panjang jika kawan-kawanmu datang merubungimu. Siapkan sajalah sebuah ceritera yang sangat menarik. Sekarang, tidurlah."
Agung Sedayu dan Glagah Putih masuk kedalam biliknya. Namun ternyata Agung Sedayu tidak segera tertidur. Berbeda dengan Glagah Putih yang selain letih yang mencengkam seluruh tubuhnya, maka ia merasa dalam keadaan yang aman dipadepokannya, sehingga karena itu, maka iapun segera tertidur nyenyak.
Dalam kegelisahannya. Agung Sedayupun sadar, bahwa ia harus memberikan laporan yang lebih lenggkap kepada gurunya, ia harus memberitahukan apa yang pernah dialaminya dirumah Ki Waskita.
Karena itu, maka ketika Glagah Putih telah tertidur nyenyak. Agung Sedayupun bangkit perlahan-lahan.
Dengan hati-hati iapun kemudian beringsut dan justru pergi keluar dari biliknya.
Padepokannya memang sudah sepi. Seolah-olah tidak seorangpun yang masih terbangun, namun ketika ia menjengukkan kepalanya keruang dalam, ternyata gurunya masih duduk diatas tikar yang dibentangkannya disudut ruangan bersandar dinding sambil menyelimuti badannya dengan kain panjangnya. Ikat kepalanya tidak lagi dipakainya diatas kepala, tetapi tersangkut dilehernya.
"Kemarilah Agung Sedayu," berkata gurunya, "aku sudah mengira bahwa kau tentu tidak akan segera tidur seperti Glagah Putih. Tentu masih ada yang ingin kau ceriterakan kepadaku. Pengalaman yang berbeda dengan pengalamanmu diperjalanan."
Agung Sedayupun kemudian duduk didepan gurunya dengan kepala tunduk.
Sejenak Kiai Gringsing memandang muridnya. Tentu perjalanan itu tidak sia-sia, apalagi hampir saja merampas nyawanya bersama Glagali Putih.
"Katakan, apa yang telah kau lakukan," berkata gurunya.
Kepada Kiai Gringsing tidak ada satupun yang disembunyikan. Diceriterakannya apa yang telah dialaminya. Dan Agung Sedayupun mengatakan, bahwa semua yang telah dilihatnya dalam kitab itu seolah-olah telah terpahat didalam hatinya. Ia akan dapat menyebut, setiap huruf yang terdapat dalam kitab itu.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia mendengarkan ceritera Agung Sedayu dengan hati yang berdebar-debar. Dan iapun mengangguk-angguk dengan kerut-merut dikening ketika Agung Sedayu mengatakan bahwa meskipun ia belum mempelajari makna dari isi kitab itu, maka ia sudah terpengaruh karenanya. Seolah-olah semua ilmunya telah meningkat.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia melihat suatu masa yang cerah pada Agung Sedayu dari segi penguasaan ilmunya. Tetapi ia masih tetap melihat Agung Sedayu dalam ujud jiwani yang tidak berbeda dengan Agung Sedayu sebelumnya.
Meskipun demikian Kiai Gringsing berkata, "bersukurlah Agung Sedayu, bahwa kau telah mendapat kurnia yang tiada taranya. Kurnia kemampuan daya tangkapmu yang tidak terdapat pada setiap orang. Dan Kurnia bahwa kau mendapat kesempatan membaca kitab Ki Waskita. Namun selanjutnya terserah kepadamu, karena yang ada padamu itu akan dapat kau pergunakan untuk banyak kepentingan. Kepentingan yang baik tetapi juga kepentingan yang buruk."
Agung Sedayu menundukkan kepalanya.
"Justru karena kurnia itu, maka tanggung jawabmu menjadi bertambah besar. Tanggung jawabmu terhadap masa langgengmu."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Desisnya, "Ya guru. Aku menyadari semuanya itu."
"Sokurlah Agung Sedayu. Kau nampaknya telah memanjat semakin tinggi. Kau dapat melihat kewawasan yang lebih luas. Tetapi jika kau tergelincir, maka kau akan jatuh dari tempat yang lebih berbahaya pula."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia masih mengangguk-angguk kecil.
"Agung Sedayu," berkata gurunya, "kau dapat mengkhususkan waktu untuk mempelajari makna dari isi kitab itu. Tetapi jangan tergesa-gesa. Kau harus benar-benar mapan dan menyiapkan diri untuk melakukannya, karena yang akan kau alami adalah suatu gejolak didalam dirimu karena gelora ilmu yang seolah-olah mendapat arus baru yang sangat dahsyatnya."
Agung Sedayu mengangkat wajahnya sejenak. Namun kemudian wajahnya tertunduk lagi. Namun terdengar ia menjawab, "Ya. Aku akan selalu mendengarkan petunjuk guru dalam hal yang bagiku masih terasa asing ini."
"Berhati-hatilah menghadapi masa depanmu Agung Sedayu. Kau jangan lupa terhadap dirimu sendiri. Terhadap semuanya yang telah kau lakukan sampai saat ini," berkata gurunya kemudian.
Agung Sedayu mengangguk sambil berdesis, "Ya guru. Aku akan tetap berusaha agar aku selalu sadar akan diriku sendiri."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya dalam nada yang dalam, "Kau sudah tidak lagi berdiri dalam tataran yang setingkat dengan saudara seperguruanmu Agung Sedayu. Mungkin akan ada seseorang yang menyalahkan aku, karena aku memberikan kesempatan yang berbeda atas dua orang muridku. Aku memberimu kesempatan membaca kitab dan memahatkan isinya didalam batimu, sedangkan tidak demikian bagi Swandaru. Mungkin aku memang seorang guru yang kurang baik dan kurang bijaksana sehingga aku telah berbuat kurang adil. Namun semuanya itu tergantung juga kepada orang lain yang memiliki kitab itu. Agaknya Ki Waskita hanya memberi kesempatan kepadamu, tidak kepada Swandaru. Namun seandainya Swandaru mendapat kesempatan yang sama, ia tidak memiliki kemampuan menyimpan ingatan setajam kemampuan yang dikurniakan kepadamu."
Agung Sedayu masih menunduk. Kepalanya terangguk-angguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab.
"Sudahlah Agung Sedayu. Beristirahatlah. Yang ada padamu adalah peristiwa yang besar. Yang pada suatu saat nampak, baik kau sengaja atau tidak kau sengaja. Sekali lagi, terserah kepadamu, warna apakah yang akan kau lukiskan pada hari depanmu dengan ilmu raksasamu itu," gurunya berhenti sejenak, lalu. "tidak banyak anak muda yang mendapat kesempatan seperti yang kau dapatkan. Di Pajang dan Mataram, tentu akan dapat dihitung dengan jari tangan. Hanya Senapati Ing Ngalaga dan Pangeran Benawa sajalah yang tidak akan dapat diperbandingkan ilmunya, karena mereka memiliki sumber yang tiada taranya."
Dada Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia tetap tidak menjawab.
"Nah, tidurlah. Aku sudah dapat melihat gambaran tentang dirimu setelah kau menempuh perjalanan yang mendebarkan itu. Untunglah bahwa kau masih tetap mendapat perlindungan Yang Maha Agung, sehingga kau mendapat jalan untuk melepaskan diri dari cengkaman kesulitan yang gawat."
Agung Sedayupun kemudian minta diri kepada gurunya untuk kembali kedalam biliknya. Perlahan-lahan ia membaringkan dirinya disamping Glagah Putih yang masih tidur dengan nyenyaknya disebuah amben yang cukup lebar.
Masih ada satu hal yang belum di sampaikan kepada gurunya karena Agung Sedayu masih menunggu waktu yang lebih longgar. Surat rontal Ki Waskita buat Kiai Gringsing yang tentu akan menyangkut dirinya.
Sejenak Agung Sedayu masih digelut oleh sebuah angan-angan tentang dirinya dimasa mendatang. Namun semuanya menjadi semakin kabur. Akhirnya iapun tertidur dengan nyenyaknya pula seperti Glagah Putih.
Dalam pada itu, selagi Agung Sedayu dan Glagah Putih terlena dipembaringannya, maka Sabungsari dengan gelisah menunggu para pengikutnya. Ia memang memperhitungkan bahwa para pengikutnya akan melanjutkan perjalanan dimalam hari karena mereka membawa tawanan. Karena itulah, maka Sabungsari dengan hampir tidak sabar lagi menunggu salah seorang dari pengikutnya datang dan memberitahukan kepadanya, bahwa Agung Sedayu telah mereka simpan disebuah hutan yang sepi di tereng Gunung Merapi.
"Aku akan membunuhnya dan membuktikan bhaktiku kepada orang tuaku," geramnya.
Tetapi Sabungsari menjadi sangat gelisah ketika sampai lewat tengah malam tidak seorangpun yang datang kepadanya, memberitahukan kehadirannya sambil membawa Agung Sedayu. Bahkan, sampai menjelang dini hari, orang-orang yang ditunggunya tidak kunjung datang.
Sabungsari yang gelisah itupun kemudian bangkit dari pembaringannya dan keluar kehalaman baraknya. Kegelisahannya menjadi semakin mencengkamnya ketika langit telah menjadi merah.
"Gila," geram Sabungsari sambil berdiri diregol baraknya, "apakah mereka telah menjadi gila?"
Sabungsari terkejut ketika seorang penjaga regol mendekatinya sambil bertanya, "He, apakah yang kau cari di dini hari begini?"
Sabungsari tergagap. Namun kemudian jawabnya, "Udara segar sekali menjelang fajar. Aku akan berjalan-jalan."
Penjaga regol itu tidak menjawab lagi. Dibiarkannya Sabungsari meninggalkan regol dan berjalan menyusuri jalan menuju kebulak dihadapan padukuhan.
Namun kegelisahan Sabungsari benar-benar telah membakar jantung. Seharusnya salah seorang dari para pengikutnya sudah datang kepadanya untuk memberitahukan dimana Agung Sedayu mereka simpan.
"Aku cekik mereka sampai pingsan," geramnya.
Dengan hati yang gelisah Sabungsari berjalan disepanjang bulak. Tetapi ia tidak menjumpai seorangpun dari para pengikutnya. Yang ditemuinya adalah satu dua orang yang menunggui air disawahnya.
Ketika langit menjadi semakin terang, maka Sabungsaripun kembali ke baraknya. Hari itu sesuai dengan laporan kehadirannya kembali dan permohonannya sendiri, ia masih diijinkan untuk beristirahat. Para pemimpinnya menaruh belas kepadanya, karena Sabungsari mengatakan bahwa ia mengalami kesusahan di rumahnya.
Tetapi Sabungsari sendiri merasa jantungnya bagaikan meledak oleh kemarahannya kepada para pengikutnya. Hari itu seharusnya akan dipergunakannya untuk membuat perhitungan dengan Agung Sedayu yang dianggapnya masih belum melampaui kemampuannya.
"Mungkin mereka menunggu siang hari," berkata Sabungsari kepada diri sendiri, "mungkin mereka segan menjawab pertanyaan penjaga regol yang tentu akan mencurigainya jika salah seorang dari mereka datang dimalam hari."
Dengan demikian Sabungsari menjadi agak tenang sedikit. Namun bagaimanapun juga, ia tidak dapat mengusir kegelisahannya sama sekali, apalagi ketika kemudian ternyata, bahwa ketika matahari terbit, tidak seorangpun juga yang datang.
"Apakah ada yang kau tunggu?" bertanya seseorang yang melihat Sabungsari menjadi gelisah dan setiap kali melihat kejalan diluar regol."
Sabungsari mencoba tersenyum. Jawabnya, "Tidak. Tetapi aku memang sedang gelisah. Rasa-rasanya aku tidak tenang dimanapun juga berdiri atau duduk."
Kawannya mengangguk-angguk. Gumamnya, "Kau harus menenangkan dirimu. Cobalah dengan kesibukan-kesibukan kerja sehari-hari. Kau akan segera melupakan kesusahanmu."
Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan mencobanya."
Namun Sabungsari mengumpat umpat didalam hati. Ia memang tidak mempunyai alasan lain agar pada hari itu ia masih mendapat kesempatan menghindari tugas-tugasnya sehari-hari. Tetapi bahwa prajurit itu menaruh belas kasihan kepadanya adalah memuakkan sekali.
"Aku dapat mencekiknya sampai mati tanpa meraba tubuhmu," geram Sabungsari didalam hatinya.
Sementara itu, para pengikutnya sebenarnya memang sudah sampai di sekitar Jati Anom. Tetapi mereka ragu-ragu untuk segera menjumpai Sabungsari. Mereka masih harus membicarakan, alasan apakah yang dapat mereka katakan, bahwa Agung Sedayu ternyata telah berhasil melepaskan diri, sedangkan salah seorang dari kawan mereka justru telah dibunuh oleh orang-orang Pasisir Endut.
"Mungkin kita akan dibunuhnya," desis salah seorang dari mereka.
"Mungkin. Tetapi aku memilih mati dengan senjata ditangan. Meskipun aku akan berhadapan dengan Sabungsari."
"Matanya takan meremas jantungmu," desis yang lain.
"Mudah-mudahan kalian juga bersikap jantan. Ia tidak akan dapat mempergunakan ilmu iblis itu untuk melawan kita berempat. Kila akan menyerangnya dari empat penjuru. Ia tidak akan mendapat kesempatan untuk memusatkan tusukan ilmu yang terpancar dari matanya itu kepada salah seorang dari kita, karena dari segala arah kita akan menyerang."
Sejenak mereka terdiam. Memang tidak ada pilihan lain. Jika Sabungsari mengambil jalan kekerasan, maka mereka akan mempertahankan diri sampai kemungkinan terakhir, karena akhir dari segalanya adalah mati.
"Jika demikian, kita akan menemuinya sekarang," desis salah seorang dari mereka.
"Biarlah kekuatan kita pulih kembali. Kita akan datang dengan senjata dilambung. Karena itu, biarlah kita beristirahat sehari ini untuk memulihkan kekuatan kita. Sore nanti kita akan menemuinya."
Kawan-kawannyapun mengangguk-angguk. Mereka memang merasa perlu untuk beristirahat. Mereka memulihkan kekuatan mereka dengan makan dan minum. Yang terluka telah membubuhkan obat pada luka-lukanya. Sementara yang kehilangan senjatanya telah memperlengkapi dirinya dengan senjata lain yang memang mereka simpan sebagai cadangan.


05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika matahari menjadi semakin tinggi, kegelisahan Sabungsari tidak dapat ditahankannya lagi. Diluar sadarnya, maka iapun berjalan meninggalkan baraknya tanpa tujuan. Ia menyusuri bulak panjang sambil melihat tanaman yang hijau terbentang dari padukuhan sampai kepadukuhan yang lain.
Diluar sadarnya Sabungsari telah berjalan semakin jauh. Bahkan kemudian ia telah berada di pategalan yang digarap oleh orang-orang dipadepokan kecil yang dihuni pula oleh Kiai Gringsing dan muridnya.
Namun tiba-tiba saja dadanya bagaikan retak ketika ia melihat sekelompok kecil anak-anak muda yang sedang bekerja dipategalan. Diantara mereka ternyata terdapat Agung Sedayu.
Sejenak Sabungsari bagaikan mematung Ia tidak salah lihat. Anak muda itu adalah Agung Sedayu. Sedangkan disebelah lain terdapat seorang anak muda yang bertubuh tinggi. Glagah Putih.
"Setan," ia nmengumpat didalam hati, "bagaimana mungkin anak itu dapat membebaskan diri dari tangan orang-orangku. Apakah aku memang sudah gila sehingga penglihatanku tidak wajar lagi."
Sabungsari mencoba mengingat-ingat.
"Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa anak itu sudah terikat. Bahkan dengan cambuknya sendiri," geram Sabungsari, "tetapi kenapa kini tiba-tiba saja ia berada ditempat itu."
Sejenak Sabungsari menilai penglihatannya dipantai Selatan. Ia memang sudah melihat.
"Apakah yang aku lihat bukannya Agung Sedayu yang sebenarnya" Apakah aku sudah dipengaruhi oleh penglihatan-penglihatan semu atau bahkan mungkin oleh penghuni-penghuni laut Selatan, seolah-olah aku melihat Agung Sedayu telah tertangkap" Atau penglihatan-penglihatan lain yang bukan sebenarnya" Atau aku memang sudah gila?"
Beberapa saat Sabungsari masih berdiri membeku. Jantungnya bagaikan berdentangan didalam dadanya, sementara nafasnya tiba-tiba saja terasa memburu. Rasa-rasanya anak muda itu baru saja terbangun dari sebuah mimpi yang dahsyat, yang telah memberinya kepuasan atas tertangkapnya Agung Sedayu. Tetapi ternyata kini ia dihadapkan pada suatu kenyataan, Agung Sedayu masih bebas bekerja dipategalannya bersama Glagah Putih.
Darah Sabungsari serasa mendidih didalam tubuhnya. Sambil mengepalkan jari-jari tangannya ia menggeram, "Aku tidak mau menunggu lagi. Sekarang aku akan membunuhnya, seorang dari mereka akan berlari melaporkan kepada gurunya, tetapi aku tidak peduli."
Namun ketika kakinya sudah siap untuk melangkah, tiba-tiba saja sepercik pikiran yang lain telah meloncat dihatinya. Ia mulai mengurai peristiwa yang dihadapinya.
"Apakah ia berjasil melepaskan diri dan membunuh kelima orang yang telah menangkapnya?" Sabungsari mulai bertanya kepada diri sendiri.
Pertanyaan itu ternyata telah membualnya menjadi agak ragu untuk bertindak. Jika benar Agung Sedayu berhasil membunuh kelima orang pembantunya justru saat tangannya telah terikat, maka itu berarti bahwa Agung Sedayu memang memiliki ilmu yang luar biasa.
Sambil mengerutkan keningnya ia mulai membayangkan kembali, apakah yang sudah terjadi. Kelima orang pembantunya berhasil menangkap Agung Sedayu bukan karena mereka mampu melampaui kemampuan anak muda itu. Tetapi karena mereka dapat menangkap Glagah Putih lebih dahulu, yang dipergunakan untuk memaksa Agung Sedayu menyerah.
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Ia harus memperhitungkan semuanya itu. Tetapi itu bukan berarti bahwa maksudnya untuk membunuh Agung Sedayu harus diurungkannya. Menurut penglihatannya, saat Agung Sedayu bertempur melawan kelima orang pembantunya, meskipun anak muda itu benar-benar seorang anak muda yang berilmu tinggi, namun rasa-rasanya ia masih akan dapat menguasainya. Sabungsari akan dapat menyerang Agung Sedayu pada jarak yang tidak dapat dijangkaunya. Menurut perhitungannya. Agung Sedayu tentu akan dapat dikalahkannya dengan serangan yang dipancarkan lewat sorot matanya.
Namun Sabungsari tidak sempat berpikir lebih panjang lagi. Pada saat ia masih ragu-ragu, terdengar suara Glagah Putih memanggilnya, "Sabungsari."
Semua orang yang ada dipategalan itu mengangkat wajahnya. Mereka melihat seorang anak muda yang berdiri termangu-mangu.
Sabungsaripun kemudian melangkah mendekat. Ia memaksa dirinya untuk tersenyum. Dengan suara yang dibuat-buat ia kemudian bertanya, "He, kapan kalian datang?"
"Kemarin menjelang petang," jawab Agung Sedayu.
Sabungsaripun mendekat lagi. Ia memaksa bibirnya tersenyum semakin lebar. Katanya, "Kau tiba-tiba saja pergi."
Agung Sedayu melangkah mendekat pula. Jawabnya, "Ah, aku ingin melihat sesuatu yang agak berbeda dengan suasana padepokan kecilku."
"Kemana kau selama ini Agung Sedayu?" bertanya Sabungsari.
"Sekedar melihat-lihat. Aku diajak oleh Ki Waskita melihat padukuhannya."
Sabungsari mengangguk-angguk. Rasa-rasanya ia tidak sabar menahan hatinya untuk bertanya, apa saja yang dialaminya diperjalanan. Tetapi ia tidak mau dicurigai dengan pertanyaan-pertanyaannya.
Ternyata bahwa Agung Sedayu tidak mengatakan sesuatu tentang dirinya. Tentang pengalamannya yang pahit diperjalanan atau tentang orang-orang yang telah menangkapnya. Bahkan Agung Sedayu sama sekali tidak menceriterakan perjalanannya lewat Pesisir Selatan.
Sabungsari masih belum dapat memancing Agung Sedayu untuk berceritera lebih banyak. Anak muda itu ternyata lebih banyak berceritera tentang tanah pategalan yang sedang digarapnya itu.
Naga Naga Kecil 1 Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Bukan Impian Semusim 3
^