Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 25

05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja Bagian 25


"Gila. Apakah aku memang sudah gila," geram Sabungsari.
Tetapi Agung Sedayu sama sekali tidak menceriterakan perjalanannya.
Ternyata Agung Sedayu memang sudah mendapat pesan dari gurunya. Untuk sementara ia dan Glagah Putih tidak dibenarkan untuk menceriterakan pengalamannya yang pahit di Pesisir Selatan. Kiai Gringsing melihat peristiwa itu bukannya peristiwa yang berdiri sendjri tanpa hubungan dengan keadaan di Jati Anom. Usaha orang-orang yang mencegatnya untuk menangkapnya hidup-hidup mengingatkannya kepada dendam Carang Waja dari Pesisir Endut.
"Mungkin ada orang lain yang mendendammu pula Agung Sedayu. Karena itu, jangan menceriterakan pengalamanmu itu kepada siapapun juga untuk sementara."
Glagah Putih dan para penghuni padepokan yang sudah terlanjur mendengar ceritera itupun telah mendapat pesan serupa agar mereka tidak mendapat perlakuan yang tidak diharapkannya.
Pertemuannya dengan Agung Sedayu, telah membuat Sabungsari benar-benar bagaikan orang gila. Apalagi sikap Agung Sedayu dan Glagah Putih yang seolah-olah tidak pernah mengalami sesuatu apapun diperjalanan.
Ada keinginan Sabungsari untuk memancing agar Agung Sedayu menceriterakan seluruh pengalamannya di perjalanan. Namun ternyata yang dikatakan oleh Agung Sedayu adalah perjalanan yang menyenangkan dan seolah-olah perjalanan tamasya setelah berhari-hari bekerja berat.
Akhirnya Sabungsari memutuskan untuk meninggalkan Agung Sedayu dan Glagah Putih. Ia masih ingin menunggu orang-orangnya sehari itu. Jika mereka tidak datang, maka ia akan mengambil sikap lain. Mungkin mereka telah dibunuh oleh Agung Sedayu yang tentu akan mampu melakukannya, apabila ia dapat memisahkan Glagah Putih dari arena perkelahian. Atau Agung Sedayu memang sudah tahu, bahwa orang-orang itu adalah pengikut-pengikutnya sehingga ia tidak mengatakan sesuatu tentang mereka.
"Kau tidak singgah dipadepokan?" bertanya Agung Sedayu tanpa prasangka apapun.
Glagah Putihpun menambahkannya, "Aku membawa oleh-oleh buatmu dari daerah disekitar Kali Praga itu."
Sabungsari memaksa dirinya untuk tersenyum. Jawabnya, "Lain kali Agung Sedayu. Aku masih mempunyai tugas hari ini. Mungkin besok, mungkin malam nanti jika tugas-tugasku telah selesai dan aku mendapat waktu yang cukup, aku akan datang kepadepokanmu."
"Dan sekarang, apakah sebenarnya yang akan kau lakukan?" bertanya Glagah Putih.
Sabungsari menjadi bingung. Namun kemudian ia tertawa sambil menjawab, "Tidak ada. Aku hanya kesepian saja. Seperti yang sering aku katakan, aku sering merasa jemu hidup didalam barak itu."
Sambil berjalan kembali kebaraknya Sabungsari mengumpat-umpat didalam hati. Ia tidak mengerti, keadaan yang bagaimanakah yang dihadapinya. Kadang-kadang ia merasa seperti mimpi. Namun kadang-kadang ia menduga, apakah yang dilihatnya itu bukannya Agung Sedayu yang sebenarnya. Atau barangkali ia memang sudah gila dan tidak mengerti lagi apa yang dilihat dan dialaminya.
Ketika ia sampai di baraknya maka iapun langsung pergi kedalam biliknya. Dibaringkannya dirinya dipembaringan sambil berangan-angan.
"He, apakah kau sakit?" bertanya seorang kawannya yang menjengukkan kepalanya kedalam biliknya.
Sabungsari mengangkat kepalanya. Namun sambil meletakkannya kembali ia menjawab, "Tidak. Aku tidak sakit. Tetapi rasa-rasanyia aku letih sekali."
"Hatimulah yang sakit. Kau harus banyak berbuat sesuatu agar peristiwa yang tidak menyenangkan itu segera kau lupakan. Jangan banyak berangan-angan."
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak menjawab. Tetapi ia mengumpat-umpat tidak ada habisnya. Seolah-olah ia adalah orang yang paling malang didunia. Semua orang berbelas kasihan kepadanya.
Hari itu Sabungsari mengisi waktunya dengan tidur sejauh-jauh dapat dilakukan. Ketika matahari turun, ia keluar dari biliknya untuk mandi ke sungai. Untuk beberapa saat lamanya ia duduk diatas sebuah batu sambil mengamati ikan-ikan yang berenang menentang arus sungai. Beriring-iringan. Ada yang kecil, sekecil kelingking. Tetapi ada yang agak besar.
Sabungsari baru bangkit ketika matahari telah terbenam dibalik Gunung. Sekali ia menggeliat. Kemudian perlaan-lahan ia melangkah diatas pasir tepian dan berjalan mendaki tebing. Ketika ia berpaling, dilihatnya arus air yang tidak bergitu besar yang menyusup diantara bebatuan yang berserakkan.
"Mampuslah semuanya," geram Sabungsari.
Sambil menggerelakkan giginya iapun kemudian bergegas kembali kebaraknya.
Langit telah menjadi buram dan satu-satu bintang mulai nampak diantara awan yang mengalir perlahan-lahan. Dari kejauhan Sabungsari melihat, obor diregol sudah dinyalakan.
Langkahnya tertegun ketika ia melihat seseorang berjalan tergesa-gesa mendekati regol. Ia tidak salah lagi, orang itu adalah salah seorang pengikutnya.
Karena itu, maka iapun kemudian berlari-lari kecil. Sebelum pengikutnya itu sampai keregol, Sabungsari telah menyusulnya dan menggamitnya.
"He, kau akan kemana?" bertanya Sabungsari.
Orang itu terkejut. Ketika ia berpaling, dilihatnya Sabungsari berdiri tegak sambil memandanginya dengan tajam.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk hormat. Katanya, "Aku akan mencari Ki Lurah."
"Gila. Kalian sudah gila. Kenapa baru sekarang" Kenapa?" bertanya Sabungsari.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Jika Ki Lurah berkenan, marilah. Kawan-kawan menunggu dibawah pohon itu. Banyak masalah yang akan kami laporkan."
Sabungsari mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, "Marilah. Tetapi kalian jangan mencoba mengelakkan tanggung jawab agar kalian tidak aku cekik sampai mati."
Orang itu tidak menjawab. Namun kemudian dibawanya Sabungsari kepada kawannya yang menunggunya ditempat yang sepi dan terlindung.
Ketika Sabungsari sudah duduk diantara mereka, maka nampak wajahnya menjadi tegang. Gumamnya, "Jumlah kalian kurang seorang."
"Itulah yang akan kami laporkan," desis salah seorang pengikutnya.
"Laporkan seluruhnya apa yang telah terjadi," geram Sabungsari.
Keempat orang pengikutnya itu saling berpandangan sejenak. Kemudian yang tertua diantara merekapun beringsut setapak sambil berkata, "Mungkin laporan kami tidak begitu menyenangkan."
"Persetan. Katakan, dimana Agung Sedayu sekarang he" Apakah kalian tidak berhasil menangkapnya?"
Pengikutnya itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Aku akan mulai sejak permulaan sekali."
"Cepat katakan," bentak Sabungsari, "jangan berputar-putar tanpa ujung dan pangkal. Aku sudah jemu menunggu. Kalian pergi terlalu lama sehingga aku hampir menjadi gila karenanya. Sekarang katakan, dimana Agung Sedayu kalian sembunyikan."
Ke empat orang pengikutnya itupun menjadi berdebar-debar. Mereka sadar, jika mereka mengatakan bahwa Agung Sedayu tidak berhasil mereka bawa dalam keadaan terikat, maka Sabungsari tentu akan marah sekali. Tetapi mereka tidak akan dapat mengatakan laporan yang lain, meskipun mereka belum mengetahui bahwa sebenarnya Sabungsari telah bertemu dengan Agung Sedayu.
Tetapi bagaimanapun juga, jantung mereka rasa-rasanya berdegup semakin cepat. Bahkan diluar sadarnya, salah seorang dari mereka telah meraba hulu pedangnya. Untunglah bahwa Sabungsari kebetulan tidak sedang memperhatikannya.
Dalam pada itu, orang yang tertua diantara merekapun kemudian berkata, "Ki Lurah Sabungsari. Meskipun aku ingin menyembunyikannya, namun adalah suatu kenyataan bahwa hal itu telah terjadi."
"Cepat." Orang itupun kemudian dengan singlcat menceriterakan apa yang telah dialaminya meskipun ceritera itu sebenarnya tidak menarik lagi bagi Sabungsari yang ikut menyaksikan sebagian dari semua peristiwa yang mereka alami.
"Semula kami sudah berhasil menangkapnya," desis orang itu.
Adalah diluar dugaan, bahwa tiba-tiba saja Sabungsari lelah menarik nafas dalam-dalam. Didalam hati anak muda itu berkata, "Bukan aku yang sudah menjadi gila. Peristiwa itu benar-benar terjadi. Agung Sedayu memang sudah tertangkap, tetapi ia berhasil melepaskan diri."
Para pengikutnya menjadi termangu-mangu. Namun mereka terkejut ketika tiba-tiba saja Sabungsari membentak, "Jadi Agung Sedayu itu sekarang terlepas dari tangan kalian?"
"Ya Ki Lurah. Bahkan seorang kawan kami telah terbunuh."
"Apakah kalian bertempur lagi melawan Agung Sedayu?" bertanya Sabungsari.
"Tidak. Agung Sedayu tidak kembali lagi. Nampaknya ia sudah menjadi jera."
"Bohong. Agung Sedayu sama sekali tidak kalian kalahkan dengan pertempuran. Bukankah kau mengatakan bahwa kalian dapat menangkap Agung Sedayu karena kalian lebih dahulu menguasai Glagah Putih" Dengan demikian, seandainya Agung Sedayu menyembunyikan Glagah Putih, kemudian kembali kepada kalian, maka kalian akan ditumpasnya habis."
Keempat orang itu menundukkan kepalanya. Tetapi didalam hati merekapun mengakui, bahwa mereka berlima sebenarnya memang tidak dapat mengalahkan Agung Sedayu.
"Nah. jadi siapa yang membunuh seorang diantara kalian," bertanya Sabungsari kemudian.
Pengikutnya itupun menceriterakan pengalamannya lebih lanjut. Dikatakannya, bahwa mereka telah berjumpa dengan orang-orang dari Pasisir endut. sehingga kemudian terjadi perselisihan dan perkelahian.
"Jadi. seorang dari kalian telah dibunuh oleh tikus-tikus dari Pesisir Endut he?" geram Sabungsari.
"Ya Ki Lurah. Tetapi kami telah berhasil membunuh dua orang diantara mereka."
"Persetan. Yang penting bukan berapa orang kau membunuh. Tetapi kalian telah kehilangan seorang kawan," bentak Sabungsari. Untunglah bahwa iapun segera menyadari, jika ia berteriak terlalu keras, maka suaranya dapat didengar oleh satu dua orang jika kebetulan mereka berada disawah.
Para pengikutnya hanya menundukkan kepalanya. Namun jantung mereka bagaikan mekar ketika mereka mendengar Sabungsari berkata, "Dendamku telah dinyalakan pula oleh orang-orang Pesisir Endut. Setelah aku membunuh Agung Sedayu, maka aku akan membuat perhitungan dengan tikus-tikus yang sudah kehilangan pimpinannya itu."
Para pengikutnya hanya dapat mengangguk-angguk kecil. Sementara Sabungsari berkata seterusnya, "Jadi kalian telah kehilangan Agung Sedayu dan seorang kawan."
"Ya Ki Lurah," berkata orang tertua diantara mereka.
Sabungsari menggeram. Katanya kemudian, "Untunglah, aku telah menemukan Agung Sedayu. Jika tidak, muka kalianlah yang akan mati sebagai penggantinya."
Tidak seorangpun yang menyahut.
Dalam pada itu, Sabungsaripun telah bertanya mengenai perincian peristiwa yang mereka alami. Ia juga bertanya dalam beberapa hal, kenapa tiba-tiba saja orang yang berkuda dibelakang Glagah Putih disaat Agung Sedayu sudah mereka kuasai, telah terpelanting dari kudanya.
"Itulah yang tidak kami ketahui Ki Lurah."
"Tidak. Kau tentu mengantuk. Kemudian terjatuh dari punggung kuda dalam keadaan yang tidak mapan sehingga tulang punggungmu terkilir."
Orang yang mengalami hal itu termangu-mangu sejenak. Ia mencoba mengingat-ingat. Namun rasa-rasanya ia tidak sedang mengantuk.
Tetapi Sabungsari berkata terus, "Mungkin kau bermimpi mengalami sesuatu saat matamu terpejam sekejap. Lalu kau terjatuh. Untunglah kepalamu tidak terinjak kaki kudamu yang terkejut."
Orang itu tidak menjawab.
"Dengarlah," geram Sabungsari kemudian, "kalian masih tetap dalam tugas mengawasi Agung Sedayu. Aku benar-benar tidak mau kehilangan anak itu. Awasilah, agar ia tidak meninggalkan padepokan tanpa aku ketahui arahnya."
Para pengikutnya saling berpandangan. Namun kemudian mereka tidak dapat berbuat lain kecuali mengangguk-anggukkan kepala mereka.
"Kali ini aku tidak memberikan hukuman apapun bagi kalian. Kehilangan seorang kawan memang pahit. Tetapi datang saatnya aku akan menjadikan Pesisir Endut itu karang abang," geram Sabungsari.
Pengikutnya masih terdiam.
"Pergilah. Aku akan menentukan saat yang tepat untuk membuat perhitungan dengan Agung Sedayu lebih dahulu, sebelum aku akan pergi ke sarang tikus di Pantai Selatan itu."
Keempat orang pengikut Sabungsari itu tiba-tiba lelah menarik nafas dalam sambil bangkit berdiri dan meninggalkan tempatnya.
Sepeninggal para pengikutnya, Sabungsari masih duduk sejenak dibawah sebatang pohon sukun, dalam gelapnya malam yang menjadi semakin dalam.
Diluar sadarnya, ia mulai menilai Agung Sedayu. Bukan saja kemampuannya, tetapi juga sifat dan wataknya.
"Anak itu memang aneh. Ia sadar sepenuhnya bahwa kelima orang itu benar-benar akan menangkapnya, bahkan mungkin akan membunuhnya dengan cara yang bengis. Namun Agung Sedayu seolah-olah memaafkannya. Jika ia berniat, maka kelima orang itu tentu akan dapat dibunuhnya. Beberapa orang sudah terluka. Dengan menyembunyikan Glagah Putih, maka ia tidak lagi dibebani pekerjaan yang baginya justru terlalu berat. Melindungi anak itu disamping mempertahankan hidupnya sendiri melawan lima orang yang kasar dan garang."
Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Tanpa dikehendakinya sendiri, telah terbersit kekagumannya terhadap Agung Sedayu. Bukan saja dalam olah kanuragan, tetapi juga sifat dan wataknya. Meskipun ia memiliki ilmu yang tinggi, bahkan hampir diluar jangkauan nalar, tetapi ia adalah anak muda yang rendah hati. Sabungsari tidak pernah berhasil memancing Agung Sedayu untuk memamerkan meskipun hanya sebagian kecil dari kemampuannya.
"Tentu ia bukan seorang pembunuh," desisnya, "jika ia membunuh seseorang, tentu karena alasan yang sangat kuat. Bahkan mungkin untuk mempertahankan hidupnya sendiri."
Sabungsari menjirik nafas dalam-dalam. Ketika ia menengadahkan wajahnya, dilihatnya bintang-bintang bergayutan dilangit.
Namun tiba-tiba seperti orang yang terbangun dari mimpinya ia bangkit sambil menghentakkan tangannya, "Tidak. Aku bukan seorang yang cengeng. Aku harus membunuhnya karena ia sudah membunuh ayahku. Jika ia nampak sebagai seorang anak muda yang ramah dan rendah hati itu tentu hanya sekedar selubung untuk menyelimuti kejahatannya."
Dengan langkah yang panjang Sabungsari meninggalkan tempatnya. Dengan loncatan-loncatan yang tangkas ia melampaui pematang dan parit yang melintang.
Tetapi ia tidak segera dapat membunuh penilaiannya terhadap Agung Sedayu. Justru karena itu, maka iapun menjadi sangat gelisah.
Tiba-tiba saja Sabungsari itu menggeram sambil bergumam, "Aku akan menemuinya sekarang."
Dengan tergesa-gesa Sabungsaripun kemudian pergi kepadepokan kecil yang terpisah dari padukuhan Jati anom, diantara pepohonan pategalan yang jarang.
Kedatangannya telah mengejutkan penghuni padepokan itu. Seorang anak muda yang berada di tangga pendapa menghirup sejuknya udara malam, terkejut melihat kedatangan Sabungsari. Meskipun hari masih belum terlalu malam, tetapi kunjungannya memang menimbulkan pertanyaan.
Agung Sedayu yang berada didalam rumah, mendengar pembicaraan dipendapa. Ia langsung dapat mengenal suara Sabungsari, sehingga iapun tergesa-gesa keluar diikuti oleh Glagah Putih.
Sabungsari menegang ketika ia mendengar pintu pringgitan terbuka. Apalagi ketika ia melihat, Agung Sedayu muncul dari balik pintu diikuti oleh Glagah Putih.
Namun kekerasan hatinya bagaikan luluh ketika ia melihat Agung Sedayu tersenyum. Dibawah cahaya lampu minyak ia melihat senyum yang jujur dan ikhlas, sehingga hatinyapun menjadi kacau oleh ketidakpastian. Bayangan-bayangan yang nampak disaat ia merenungi anak muda itu dibawah pohon sukun mulai nampak kembali.
"Marilah Sabungsari," Agung Sedayu mempersilahkan dengan ramah, "duduklah."
Seperti dicengkam oleh pesona yang tidak dimengertinya, maka Sabungsaripun kemudian duduk diatas tikar yang sudah terbentang dipendapa padepokan kecil itu.
"Malam-malam begini kau datang kepadepokan ini Sabungsari?" bertanya Agung Sedayu.
Sabungsari menjadi agak bingung. Namun kemudian jawabnya seperti yang selalu diucapkannya, "Aku kepanasan dibarak. Betapa jemunya melihat tombak bersandar didinding, melihat pedang tergolek hampir disetiap pembaringan."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun Glagah Putihlah yang bertanya, "Bukankah kau telah memilih sendiri jalan hidupmu untuk mengabdi sebagai seorang prajurit?"
"Ya." Sabungsari mengangguk, "tetapi terasa betapa tenangnya tinggal dipadepokan ini."
.Agung Sedayu tertawa kecil. Katanya, "Apakah kau tinggal saja dipadepokan ini?"
"Tentu tidak mungkin," jawab Sabungsari, "aku seorang prajurit yang terikat oleh beberapa ketentuan."
"Jika demikian, sering sajalah datang kepadepokan ini," sahut Glagah Putih.
Sabungsari menarik nafas daiam-dalam. Diluar sadarnya, ia mengangguk-angguk sambil menjawab, "Aku akan berbuat demikian. Dalam waktu-waktu senggang, aku akan berada dipadepokan ini."
"Kami akan menerimamu dengan senang hati," sambung Agung Sedayu.
Sabungsari mengangguk-angguk. Sekilas dipandanginya wajah Agung Sedayu yang cerah dan wajah Glagah Putih yang tulus. Tidak ada perasaan permusuhan sedikitpun juga pada sorot mata mereka.
"Karena mereka tidak tahu, bahwa aku terlibat dalam permusuhannya dengan kelima orang yang bertempur melawannya di Pesisir Selatan itu," berkata Sabungsari didalam hatinya, "jika saja ia mengetahui, mungkin ia akan bersikap lain."
Tetapi ternyata bahwa dalam setiap pembicaraan dengan Agung Sedayu, Sabungsari tidak mendengar rasa dengki dan apalagi dendam. Ia jarang sekali menyebut seseorang sebagai lawan. Jika terpaksa dikatakannya demikian, maka permusuhan telah terhenti saat perkelahian telah terhenti pula.
Berbagai macam tanggapannya atas Agung Sedayu itu justru menjadikan semakin gelisah. Keringat dinginnya mulai mengalir membasahi kulitnya.
Ada semacam keragu-raguan yang menyusup didalam hatinya, bahwa ia harus melakukan pembunuhan terhadap seseorang yang sama sekali tidak memusuhinya.
"Jika ia tahu, bahwa aku anak Ki Gede Telengan, mungkin anak muda itu akan bersikap lain," geram Sabungsari didalam hatinya.
Tiba-tiba saja semuanya telah bergejolak didalam hatinya semakin lama semakin dahsyat, sehingga rasa-rasanya jantungnya berdentangan semakin cepat pula didalam dadanya.
"Segalanya harus menjadi jelas. Sekarang juga aku akan menyelesaikan persoalan ini," geram Sabungsari didalam hatinya.
Karena itu, ketika Glagah Putih sedang pergi keruang dalam ia berkata kepada Agung Sedayu, "Agung Sedayu. Dalam saat-saat terakhir aku mengalami tekanan jiwa. Sebenarnya aku ingin membebaskan diri dari himpitan itu. Tetapi aku tidak dapat. Karena itu, aku ingin kau memberi beberapa petunjuk sehingga dapat sedikit meringankan beban perasaanku itu."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya dengan ragu-ragu, "Apakah yang dapat aku lakukan untukmu Sabungsari?"
"Aku akan mengatakan sesuatu kepadamu. Aku tidak tahu, apakah tanggapanmu terhadap hal itu. Mungkin kau akan menaruh belas kasihan kepadaku. Tetapi mungkin kau akan mencibirkan bibirmu sambil menghinaku. Terserahlah kepadamu," berkata Sabungsari dengan nada dalam.
"Katakan Sabungsari. Mungkin aku dapat membantumu. Setidak-tidaknya, jika kesulitan itu kau katakan kepada seseorang, beban dihatimu sudah akan berkurang."
Sabungsari mengangguk kecil. Tetapi katanya kemudian, "Agung Sedayu. Kita belum terlalu lama berkenalan. Tetapi aku mempunyai kepercayaan yang sangat besar kepadamu. Meskipun demikian, persoalanku bukannya persoalan anak-anak yang masih terlalu muda. Persoalanku dalah persoalan anak muda yang dewasa seperti kita."
"Ya," sahut Agung Sedayu, "katakanlah."
Sabungsari termangu-mangu sejenak. Ketika Glagah Putih kemudian muncul dari balik pintu, dengan tergesa-gesa Sabungsari berkata, "Aku tidak ingin Glagah Putih mendengarnya."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa Sabungsari ingin mengatakan hal itu kepadanya seorang diri.
"Jadi, apa yang baik menurut pendapatmu," desis Agung Sedayu.
Glagah Putih telah duduk disebelah Agung Sedayu, sehingga Sabungsari menjadi gelisah. Tetapi iapun kemudian berkata, "Apakah kau tidak ingin pergi berjalan-jalan Agung Sedayu?"
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Tetapi iapun mengerti, bahwa dengan demikian, ia akan dapat berjalan berdua saja tanpa Glagah Putih.
"Tetapi bagaimana jika anak itu memaksa untuk ikut serta," bertanya Agung Sedayu kepada diri sendiri.
Dalam pada itu Glagah Putih telah menyahut, "Jika kakang pergi berjalan-jalan aku akan ikut."
Agung Sedayu memandang adik sepupunya itu sejenak. Kemudian katanya, "Glagah Putih, ada sesuatu yang akan kami bicarakan. Sebaiknya kau tinggal saja dipadepokan mengawani guru. Apalagi kau masih harus banyak beristirahat."
"Aku sudah beristirahat semalam suntuk dan sehari ini aku sudah berada disawah bersama kakang Agung Sedayu," jawab Glagah Putih.
"Kita belum beristirahat dalam arti sebenarnya," sahut Agung Sedayu. "Sejak kita datang semalam kita harus menjawab pertanyaan tanpa henti-hentinya. Siang tadi kita sudah berada disawah. Nah, barangkali kau dapat tidur sekarang."
Glagah Putih memandang Agung Sedayu dengan tatapan mata yang aneh. Bahkan dengan ragu-ragu ia bertanya, "Apakah kakang Agung Sedayu sendiri sudah beristirahat sebaik-baiknya?"
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Aku sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Lalu katanya, "marilah, aku akan menghadap Kiai Gringsing untuk minta diri. Apakah kau melihat, dimana guru sekarang" Apakah guru sudah tidur, atau sedang membaca kidung?"
"Kiai Gringsing ada diruang belakang membaca kidung."
Agung Sedayupun kemudian mengajak Glagah Putih menghadap gurunya untuk minta diri dan menyerahkan Glagah Putih agar ia tidak memaksa untuk ikut bersamanya. Nampaknya Sabungsari benar-benar segan mengatakan persoalannya dihadapan seorang anak yang masih sangat muda.
Kiai Gringsing sedang duduk diamben sambil menghadapi sebuah kitab yang besar diatas sebuah lambaran kayu. Sebuah lampu minyak menerangi huruf-huruf yang tersusun dalam gatra demi gatra.
Demikian asyiknya membaca, sehingga kedatangan Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak diperhatikannya. Baru ketika keduanya duduk dibibir amben itu, maka ia berhenti membaca dan berpaling, "Apakah kalian mempunyai keperluan?"
Agung Sedayu bergeser setapak. Kemudian dikatakannya maksudnya untuk berjalan-jalan dengan Sabungsari. Iapun tidak dapat menyembunyikan permintaan Sabungsari untuk pergi hanya berdua, karena ia segan untuk mengatakan persoalannya dihadapan Glagah Putih."
Tiba-tiba saja Kia Gringsing nampak gelisah. Namun hanya sekilas. Katanya kemudian, "Dan kau akan pergi sekarang?"
"Ya guru. Hanya sebentar. Dan aku tidak akan pergi jauh dari padepokan ini."
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Glagah Putih yang menunduk. Lalu katanya, "Kau sebaiknya tinggal bersamaku disini Glagah Putih. Dengarlah, aku akan membaca kitab ini. Barangkali kau akan senang mendengarnya. Aku akan membacanya keras-keras. Meskipun suaraku tidak baik. tetapi aku akan mengucapkannya dalam tembang macapat."
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Nampak bahwa ia menjadi kecewa. Tetapi ia mengerti, bahwa sebaiknya ia memang tidak ikut pergi bersama kakak sepupunya.
Namun dalam pada itu. Kiai Gringsing berkata kepada Agung Sedayu, "Apakah kau tidak mengetahui, persoalan apakah yang akan dikatakannya kepadamu?"
"Menurut keterangannya adalah masalah anak-anak yang meningkat dewasa."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Sejenak ia termangu-mangu. Dipandanginya Agung Sedayu yang sama sekali tidak berprasangka apapun tentang Sabungsari yang ingin mengatakan sesuatu kepadanya tanpa didengar orang lain.
Agak berbeda dengan Agung Sedayu, maka Kiai Gringsing agak menjadi cemas melihat sikap Sabungsari. Baru saja Agung Salayu dan Glagah Putih kembali dari perjalanan yang melelahkan. Bahkan yang hampir saja merenggut jiwa mereka. Kedua anak muda itu masih belum beristirahat, yang sebenarnya beristirahat.
Sebenarnya, malam itu jika Glagah Putih telah tidur dibiliknya. Agung Sedayu akan diajaknya berbicara tentang berbagai masalah yang penting. Ia akan bertanya dengan sungguh-sungguh hasil perjalanan Agung Sedayu. Bukan laporan sekilas seperti yang sudah dikatakannya semalam.
Agung Sedayu melihat kegelisahan di sorot mata gurunya. Perlahan-lahan kepalanya tertunduk dalam-dalam. Nampaknya gurunya mempunyai prasangka tentang anak muda yang bernama Sabungsari itu.
"Kau tidak lama Agung Sedayu?" bertanya Kiai Gringsing kemudian.
"Tidak guru," jawab Agung Sedayu dengan ragu-ragu.
"Setelah kau beristirahat sehari ini, sebenarnya aku ingin berbicara panjang denganmu," desis gurunya.
Agung Sedayu menundukkan kepalanya lebih dalam. Memang ada yang akan disampaikannya kepada gurunya malam itu. Iapun sebenarnya sedang menunggu Glagah Putih tidur nyenyak, agar ia dapat berbicara panjang dengan gurunya menyangkut masalah masalah lahir dan batin. Beberapa pesan Ki Waskitapun harus disampaikannya kepada gurunya. Bukan saja tentang rontal yang dikirimkannya, tetapi juga, tentang kitab rontal yang disebut-sebut sebagai milik gurunya.
Tetapi rasa-rasanya ia tidak dapat menolak permintaan Sabungsari. Namun dengan demikian, meskipun gurunya tidak berpesan, ia merasa bahwa ia harus berhati-hati.
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayupun minta diri. Gurunya dan Glagah Putih mengantarkannya ke pendapa, untuk melepaskannya pergi bersama Sabungsari.
"Persetan dengan orang tua itu," geram Sabungsari, "aku tidak berkeberatan jika ia mengetahui bahwa akulah yang telah membunuh Agung Sedayu. Jika ia menuntut kematian muridnya, maka akupun akan membinasakannya pula seperti Agung Sedayu."
Namun yang diucapkan oleh Sabungsari adalah kata-kata yang ramah dan sopan. Sambil mengangguk dalam-dalam ia minta diri kepada Kiai Gringsing untuk berjalan-jalan bersama Agung Sedayu.
"Hanya sekedar mencari udara sejuk disawah Kiai," berkata Sabungsari.
"Silahkan ngger. Tetapi cepat pulang. Kau tidak boleh terlalu lama meninggalkan barakmu," pesan Kiai Gringsing sambil tersenyum.
Sabungsari mengangguk sambil menjawab, "Ya Kiai. Aku tidak akan terlalu lama." Namun didalam hati ia menggeram, "Perduli apa dengan peraturan keprajuritan. Jika Agung Sedayu sudah mati, aku tidak memerlukan barak itu lagi. Jika perlu, Untarapun dapat aku bunuh seperti Agung Sedayu dan orang tua itu pula."
Demikianlah maka kedua anak muda itupun kemudian meninggalkan padepokan kecil itu berjalan-jalan menyusuri jalan-jalan bulak. Disepanjang langkah mereka, percakapan mereka berkisar dari satu soal kesoal lain yang nampaknya tidak penting sama sekali. Namun ketika mereka sudah agak jauh dari padepokan dan berada di tengah-tengah pategalan yang sepi, maka Sabungsari mulai menjadi gelisah.
Berbagai macam tanggapannya atas Agung Sedayu mulai menggelegak didalam hatinya. Ada kebencian yang tidak dapat disingkirkan dari dasar hatinya. Tetapi ada perasaan lain yang terasa semakin mengganggunya.
Agung Sedayu merasakan kegelisahan yang mencengkam Sabungsari. Karena itu, maka dengan ragu-ragu Agung Sedayupun kemudian bertanya, "Sabungsari, apakah sebenarnya yang ingin kau katakan?"
Sabungsari termangu-mangu. Sejenak ia merenung. Namun kemudian katanya, "Marilah. Kita dapat duduk seenaknya jika kita turun kesungai disebelah."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Terasa juga sesuatu didalam hatinya. Seperti yang dirasakan gurunya, maka iapun menyadari, bahwa ia memang harus berhati-hati.
Tetapi Agung Sedayu tidak menolak. Ia melangkah disamping Sabungsari menuju ketebing sungai yang memang tidak begitu jauh dari pategalan.
"Kita akan duduk ditepian itu Agung Sedayu," berkata Sabungsari.
Agung Sedayupun tidak menolak, meskipun ia menjadi semakin berhati-hati. Tepian sungai itu penuh dengan batu-batu besar yang berserakan, yang agaknya pada masa-masa yang lampau telah dilemparkan dari mulut Gunung Merapi. Dibalik batu-batu itu dapat bersembunyi bukan saja seseorang, tetapi seekor kerbaupun akan dapat memilih sebuah batu yang besar untuk bersembunyi.
"Nampaknya persoalanmu sangat penting Sabungsari?" bertanya Agung Sedayu.
Terasa keringat mulai mengalir dipunggung Sabungsari. Namun akhirnya ia menggeretakkan giginya untuk melandasi perasaannya yang gelisah.
"Agung Sedayu," berkata Sabungsari kemudian, "ada beberapa pertanyaan yang akan aku berikan kepadamu. Mungkin kau heran, bahwa pertanyaanku akan menyangkut perjalanan yang baru saja kau lakukan."
"Perjalananku kerumah Ki Waskita?" bertanya Agung Sedaya dengan dahi berkerut.
"Ya. Perjalananmu dari seberang Kali Praga lewat Pesisir Selatan," desis Sabungsari.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Apakah aku pernah menceriterakan kepadamu tentang perjalananku itu, sehingga kau mengetahui bahwa aku kembali lewat pesisir Selatan?"
"Dan bukankah kau telah dicegat oleh lima orang yang tidak kau kenal" " Sabungsari menyambung tanpa menjawab pertanyaan Agung Sedayu.
Agung Sedayu menjadi semakin heran karenanya. Menurut ingatannya ia tidak pernah mengatakan perjalanannya sampai perincian yang kecil, apalagi tentang orang-orang yang telah mencegatnya diperjalanan. Karena itu, maka iapun bertanya, "Sabungsari, siapakah yang pernah menceriterakan hal itu kepadamu" Glagah Putih atau anak-anak padepokan yang lain, yang pernah mendengar ceriteraku?"
"Nah, jadi dengan demikian kau telah membenarkan kata-kataku," desis Sabungsari.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya, dan Sabungsari berkata seterusnya, "Bukankah kau pernah menceriterakannya kepada anak-anak muda dipadepokanmu?"
Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya, "Ya. Aku memang sudah menceriterakan peristiwa yang kau katakan. Tetapi katakan, siapakah yang menceriterakannya kepadamu."
"Agung Sedayu," berkata Sabungsari, "aku mendengar dari seseorang yang tidak perlu aku sebut namanya. Tetapi orang itu adalah salah seorang dari kelima orang yang telah mencegatmu diperjalanan. Mereka datang kepadaku tidak lagi berlima, tetapi hanya berempat. Seorang dari mereka telah terbunuh."
"Terbunuh" Siapakah yang telah membunuhnya" Aku tidak membunuh seorangpun diantara mereka," desis Agung Sedayu.
Namun Agung Sedayu mulai ragu-ragu. Apakah sentuhan tatapan matanya terhadap orang yang berkuda dibelakang Glagah Putih itu telah membunuhnya.
Tetapi dalam pada itu Sabungsari berkata, "Yang membunuh salah seorang dari mereka adalah orang-orang dari Pesisir Endut."
Wajah Agung Sedayu menegang. Dengan berdebar-debar ia bertanya, "Apakah kau berkata sebenarnya Sabungsari" Dan siapakah sebenarnya mereka berlima itu?"
Sabungsari diam sejenak. Wajahnya benar-benar menjadi tegang. Keringat dinginnya mengalir diseluruh tubuhnya. Ada sesuatu yang asing baginya menghadapi anak muda yang bernama Agung Sedayu itu. Seolah-olah ia menghadapi seseorang dalam wajah yang berbeda-beda. Rasa-rasanya Agung Sedayu adalah seorang lawan yang dibencinya dengan api dendam tiada taranya. Tetapi rasa-rasanya Agung Sedayu adalah seorang sahabat yang tulus dan jujur.
Tetapi Sabungsari itupun menggeretakkan giginya sambil menggeram, "Agung Sedayu. Mereka adalah pengikut Ki Gede Telengan."
"Ki Gede Telengan" " Agung Sedayu mengulang.
"Ya. Tetapi katakan Agung Sedayu. Kenapa kau tidak membunuh mereka semuanya" Apakah karena kau tidak mengerti bahwa mereka adalah pengikut Ki Gede Telengan?"
Agung Sedayu termangu-mangu. Namun katanya, "Apakah gunanya aku membunuh mereka Sabungsari. Bahkan seandainya aku ingin, apakah aku akan mampu melakukannya?"
"Tentu kau mampu melakukannya. Kau dapat menyembunyikan Glagah Putih yang menghambat perlawananmu. Kemudian kau sendiri terjun menghadapi kelima orang itu, maka mereka akan dapat kau bunuh dengan ilmumu yang sangat dahsyat."
Agung Sedayu menjadi semakin heran, seolah-olah Sabungsari mengetahui semuanya yang telah terjadi di Pesisir Selatan itu.
"Sabungsari," jawab Agung Sedayu, "kau keliru. Aku tidak akan mampu melakukannya. Aku hanya dapat melarikan diri dari tangan mereka. Bahkan seandainya aku mampu melakukannya, apakah artinya pembunuhan itu" Jika mereka mendendam aku karena kematian Ki Gede Telengan, apakah itu akan dapat aku selesaikan dengan membunuh mereka pula?"
Sabungsari menjadi semakin bingung menghadapi kenyataan itu. Namun sambil menggeretakkan giginya ia menggeram, "Tetapi kenapa kau bunuh Ki Gede Telengan?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak tahu pasti, siapakah sebenarnya yang dihadapinya. Namun kemudian ia menjawab, "Aku sama sekali tidak membunuhnya karena dendam dan kebencian. Kematian Ki Gede Telengan terjadi karena kelemahanku. Aku adalah suatu contoh yang baik bagi seseorang yang mementingkan dirinya sendiri. Aku lebih cinta diriku sendiri daripada kepada orang lain. Aku membunuh Ki Gede Telengan karena aku tidak mau mati dipeperangan. Aku ulangi Sabungsari, semuanya itu terjadi dipeperangan. Dipeperangan aku berhadapan dengan orang-orang yang tidak aku kenal sebelumnya. Dan dipeperangan aku harus berpijak pada sikap yang mementingkan diriku sendiri. Sehingga aku terpaksa membunuh karena aku tidak mau dibunuh. Tanpa dendam dan tanpa kebencian, karena sebelumnya aku tidak pernah mengenal Ki Gede Telengan."
"Bohong," tiba-tiba saja Sabungsari berteriak.
"Kenapa kau berteriak?" bertanya Agung Sedayu.
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya lirih, "Maaf Agung Sedayu. Maksudku, aku tidak sependapat, bahwa kau membunuh lawan dipeperangan tanpa dendam dan kebencian. Jika demikian, apakah bekalmu maju kemedan perang?"
Agung Sedayu menjadi termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, "Sabungsari, Mataram datang kelembah itu dengan satu niat, mengambil kembali haknya yang dirampas oleh orang-orang yang tidak berhak memilikinya. Termasuk Ki Gede Telengan. Seandainya milik orang-orang Mataram itu diserahkan sebelum terjadi peperangan, aku kira peperangan itu memang tidak perlu."
"Yang dilanggar haknya adalah orang-orang Mataram. Bukan kau dan bukan pula gurumu," bantah Sabungsari.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Kemudian tiba-tiba saja ia bertanya, "Apakah sebenarnya kepentinganmu dengan peristiwa itu Sabungsari" Apakah kau kecewa seperti kakang Untara kecewa, bahwa prajurit Pajang telah didahului oleh Mataram" Atau kau mempunyai latar belakang tersendiri dari peristiwa ini sehingga kau ingin membuat perhitungan tersendiri pula."
Wajah Sabungsari menjadi merah padam. Gejolak hatinya terasa menjadi semakin dahsyat. Agung Sedayu telah menjadi orang berwajah rangkap. Wajah iblis yang menakutkan. Tetapi juga wajah kanak-kanak yang bersih tanpa cacat.
Untuk sesaat Sabungsari menjadi bimbang. Dadanya bagaikan bergemuruh oleh keragu-raguannya. Sekali ia melangkah maju. namun kemudian ia melangkah surut pula.
Agung Sedayu benar-benar menjadi heran melihat sikap Sabungsari. Ia sama sekali tidak mengerti, apakah sebenarnya yang dikehendakinya. Karena itu dengan ragu-ragu ia bertanya pula, "Sabungsari. Coba katakan, apakah sebenarnya yang kau kehendaki" Seandainya kau mempunyai kepentingan tersendiri, apakah kepentinganmu dengan semua peristiwa yang pernah terjadi itu."
Sabungsari mengangkat wajahnya menengadah kelangit. Dilihatnya bintang-bintang berkeredipan. Namun tiba-tiba saja Sabungsari itu berdiri tegak sambil berkata masih sambil menatap langit, "Aku adalah anak Ki Gede Telengan. Aku adalah anaknya dan sekaligus muridnya."
Agung Sedayu terkejut sekali mendengar pengakuan yang tiba-tiba itu, sehingga iapun terloncat berdiri. Sejenak ia termangu-mangu. Dipandanginya Sabungsari yang masih berdiri tegak tanpa berpaling kepadanya.
"Sabungsari, apakah pendengaranku benar, bahwa kau anak dan sekaligus murid Ki Gede Telengan?" bertanya Agung Sedayu.
"Ya. Akulah yang memerintahkan kelima orang itu menangkapmu dan membawa kembali ke Jati Anom secepatnya. Aku akan membuat perhitungan denganmu. Aku memang melarang mereka beramai-ramai membunuhmu karena aku akan membunuhmu dengan ilmuku yang tidak ada duanya dimuka bumi ini," suara Sabungsari menghentak-hentak seolah-olah sendat dikerongkongannya.
Sejenak Agung Sedayu menjadi bingung. Ia tidak mengerti, bagaimana ia harus bersikap terhadap seseorang yang mendendamnya dengan hati yang menyala.
Sekilas terbayang kembali apa yang telah terjadi di Pasisir Selatan. Lima orang telah mencegatnya dan memaksanya untuk membela diri. Karena Glagah Putih telah dikuasai oleh kelima orang itulah maka ia menyerahkan dirinya.
Tetapi dalam pada itu, ia sama sekali tidak mengira bahwa kelima orang itu adalah para pengikut Sabungsari dan menerima perintah daripadanya pula. Menurut pengenalannya Sabungsari adalah seorang prajurit muda yang baik, ramah dan semanak. Namun dibelakang sifatnya itu ternyata tersimpan dendam tiada taranya.
Kini ia berada berdua saja dengan Sabungsari ditempat yang sepi dan jauh dari padepokannya. Dengan demikian, maka Agung Sedayu dapat membayangkan, apa yang akan dilakukan oleh Sabungsari atasnya.
Sejenak Agung Sedayu masih berdiri termangu-mangu. Ia lebih banyak menunggu perkembangan keadaan. Apakah yang akan dilakukan kemudian oleh Sabungsari yang kehilangan ayah dan sekaligus gurunya itu.
Untuk beberapa saat keduanya justru saling berdiam diri. Agung Sedayu lebih banyak menunggu, sementara Sabungsari masih saja dicengkam oleh kebimbangan, bahkan kebingungan menghadapi Agung Sedayu.
Semula Sabungsari menganggap bahwa Agung Sedayu adalah seorang anak muda yang kasar dan garang, meskipun ia berpura-pura luruh dan rendah hati. Namun ketika ia telah, melihat sendiri, apa yang dilakukannya atas kelima pengikutnya, maka anggapan itupun menjadi kabur, meskipun ia berusaha untuk mempertahankan anggapannya. Tetapi ia tidak selalu dapat membohongi dirinya sendiri.
Namun demikian ia tidak mau api dendamnya menjadi padam dan dibiarkannya kematian ayahnya tanpa menuntut balas. Apalagi ia merasa bahwa ia telah dibekali kekuatan dan ilmu yang tiada taranya.
"Tetapi, apakah aku akan membunuh Agung Sedayu dengan sorot mataku," kebimbangan itu terasa mencengkam hati Sabungsari.
Tetapi tiba-tiba saja Sabungsari menggeretakkan giginya sambil menggeram, "Agung Sedayu. Aku bukan perempuan cengeng yang hanya pantas merajuk. Tetapi aku adalah anak Ki Gede Telengan yang pantas menuntut balas," lalu tiba-tiba saja ia berteriak, "Agung Sedayu. Bukankah kau seorang laki-laki jantan yang tidak ingkar akan tanggung jawab" Berbuatlah sesuatu menurut kemampuanmu, karena aku akan segera membunuhmu dengan caraku."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia memang sudah menduga, bahwa pada akhirnya Sabungsari akan berkata demikian.
Tetapi Agung Sedayupun melihat keragu-raguan dihati Sabungsari. Sehingga karena itu, ia masih ingin mencoba untuk mencegah kekerasan yang akan dilakukannya.
"Sabungsari," berkata Agung Sedayu, "aku tidak ingkar. Dan akupun akan berbuat seperti yang kau kehendaki. Tetapi seperti yang aku katakan, aku tidak membunuh Ki Gede Telengan karena kebencian. Yang terjadi dipeperangan itu begitu saja berlangsung. Aku tidak tahu, siapa yang bakal aku hadapi."
"Jangan mencoba memperkecil arti perguruan Ki Gede Telengan. Kematian ayahku bukan karena ilmumu lebih tinggi daripadanya. Ayah tentu sedang lengah atau karena sebab-sebab yang lain. Tetapi aku sekarang yang mewarisi ilmunya akan membuktikan, bahwa kau tidak dapat mengalahkan ayahku yang ilmunya tercermin pada kemampuanku."
"Apakah hal itu kau anggap perlu Sabungsari."
"Jangan merengek. Aku perlu membalas dendam. Aku akan membunuhmu. Aku akan membunuhmu, kau dengar."
Sebelum Agung Sedayu menjawab. Tiba-tiba saja Sabungari telah meloncat keatas sebuah batu besar. Sambil berdiri bertolak pinggang, ia berkata lantang, "Marilah Agung Sedayu. Kita adalah anak-anak muda yang dibebani tanggung jawab. Bersiaplah, aku akan membunuhmu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak segera berbuat sesuatu.
"Cepat," teriak Sabungsari, "sifat-sifatmu membuat aku menjadi gila. Berbuatlah sesuatu. Berdiri tegak sambil menengadahkan wajahmu yang merah karena marah. Marahlah dan mengumpatlah. Kita akan bertempur sampai kemampuan kita yang terakhir."
Tetapi Agung Sedayu masih belum menunjukkan sikap untuk melawan Sabungsari dengan kekerasan. Bahkan kemudian ia masih meneoba untuk melunakkan hati anak muda itu.
"Sabungsari," berkata Agung Sedayu kemudian, "kita adalah anak-anak muda yang akan mewarisi masa depan. Apakah kita akan membiarkan hati kita direnggut oleh perasaan dendam dan kebencian tanpa menilai peristiwa yang sudah berlalu. Apakah dengan demikian berarti bahwa daya tangkap dan daya nilai kita terhadap peristiwa-peristiwa itu sangat kerdil" Jika kita, yang masih muda ini, membiarkan hati kita dibakar oleh dendam tanpa arti dari setiap peristiwa, maka berarti bahwa kita adalah budak nafsu kemarahan tanpa mengenal maknanya."
Sabungsari menggeretakkan giginya. Namun ia menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Agung Sedayu. Kau benar-benar membuat aku bingung. Tetapi kau jangan mencegah niatku untuk menunjukkan baktiku kepada orang tuaku. Hanya dengan menebus kematian ayahku dengan kematianmu sajalah, maka aku akan tetap diakui sebagai anak Ki Gede Telengan. Aku berangkat dari padepokan dengan janji kepada setiap orang. Bahkan kepada diriku sendiri. Bahwa aku akan membunuh orang yang telah membunuh ayahku. Dan sekarang aku sudah menemukannya. Meskipun setelah aku mengenalmu, sifat dan watakmu, hatiku menjadi bingung dan bimbang. Namun janjiku sudah aku ucapkan."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Sekilas terbayang olehnya Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga. Iapun telah dibelenggu oleh sumpahnya, bahwa ia tidak akan menginjakkan kakinya di balai penghadapan istana Pajang, sebelum ia berhasil membangun Mataram menjadi sebuah kota yang ramai seramai Pajang. Dan ternyata Raden Sutawijaya tidak dapat memecahkan ikatan yang telah membelenggunya itu.
Karena itu, maka Agung Sedayupun seolah-olah telah kehilangan harapan untuk mencegah niat Sabungsari meskipun agaknya Sabungsari sendiri menjadi ragu-ragu.
Sejenak keduanya termangu-mangu. Sabungsari bagaikan orang yang kehilangan dirinya sendiri. Bahkan kemudian ia menggeretakkan giginya untuk mengusir keragu-raguannya. Dengan menghentakkan kakinya ia berkata, "Cepat. Bersiaplah. Darahku telah mendidih didalam jantung. Aku tidak mempunyai cara lain untuk menunjukkan baktiku kepada orang tuaku, selain membunuhmu betapapun juga hatiku dicengkam keragu-raguan."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia benar-benar telah disudutkan kepada suatu keadaan yang tidak dikehendakinya. Seperti yang pernah terjadi, ia harus berhadapan dengan seseorang yang mendendamnya dan memaksanya untuk berperang tanding. Namun ia melihat sedikit perbedaan pada Sabungsari dan Carang Waja yang datang dari Pesisir Endut. Carang Waja telah berusaha membunuhnya dengan dendam dan kebencian yang tiada taranya. Namun Sabungsari mulai dijalari oleh keragu-raguan.
Meskipun demikian, kedua-duanya merupakan bahaya yang gawat bagi Agung Sedayu. Apalagi menilik kepercayaan Sabungsari terhadap dirinya sendiri. Ia memerintahkan kelima orang pengikutnya untuk sekedar menangkapnya dan tidak membunuhnya, agar ia sempat berperang tanding dan membunuhnya dengan tangannya sendiri.
Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu. Anak muda itu nampaknya tidak membawa senjata. Tetapi mungkin ia memiliki senjata rahasia yang dapat dipergunakannya tanpa diduga-duga.
Agung Sedayu terkejut ketika ia mendengar Sabungsari membentaknya, "Cepat, bersiaplah. Jika kau ingin mempergunakan cambukmu yang terkenal itu pergunakan. Untunglah bahwa pengikutku mempergunakan juntai cambukmu sendiri untuk mengikat tanganmu, sehingga cambukmu itu masih tetap kau miliki."
Sejenak Agung Sedayu bagaikan membeku. Ia memang membawa cambuk dibawah bajunya membelit lambung. Tetapi selama lawannya tidak mempergunakan senjata, maka Agung Sedayupun segan pula mempergunakan senjata.
Akhirnya keduanya tidak dapat menghindarkan diri dan kemungkinan yang sudah lama direncanakan oleh Sabungsari, namun yang pada saat saat terakhir justru telah membuatnya ragu-ragu.
"Bersiaplah Agung Sedayu. Aku akan mulai. Aku akan menunjukkan kepadamu, bagaimana aku berbakti kepada orang tuaku tanpa memandang arti kehidupannya. Siapapun ayahku, ia adalah ayahku. Dan aku akan berbakti kepadanya."
Agung Sedayupun bergeser. Ia melihat Sabungsari benar-benar mempersiapkan diri. Dan iapun merasa masih terlalu muda untuk mati. Sehingga dengan demikian, maka iapun akan berusaha untuk mempertahankan diri.
Meskipun demikian, ia masih berkata, "Terserahlah kepadamu Sabungsari. Mungkin kau berhasil membunuhku, sehingga besok orang-orang dipadepokan kecil itu akan menguburkan tubuhku. Tetapi apakah dengan demikian kau benar-benar telah menunjukkan baktimu kepada orang tuamu" Bagiku sama sekali tidak. Kau justru semakin menodai nama keluargamu karena tingkah lakumu. Jika kau benar-benar berbakti kepada orang tuamu yang sesat, maka kau akan mempergunakan ilmumu untuk menjunjung nama baik ayahmu yang sudah ternoda itu. Pengabdianmu kepada kemanusiaan adalah cara yang paling baik untuk mencuci noda nama orang tuamu, bukan justru kau menjerumuskannya semakin dalam kedalam lumpur yang paling kotor."
"Diam. Diam. Aku akan membunuhmu," teriak Sabungsari.
"Aku melihat wajahmu yang kabur antara kesetiaanmu yang membutakan dan kesadaranmu tentang buruk dan baik. Tetapi jika kau memilih jalan yang kasar ini Sabungsari, aku akan mencoba mempertahankan diriku, karena akupun masih semuda kau, bahkan mungkin lebih muda daripadamu."
Sejenak Sabungsari terdiam. Perlahan-lahan wajahnya menunduk. Dipandanginya secercah air dibawah batu yang diinjaknya. Dalam gelapnya malam ia melihat putihnya buih yang seolah-olah bekejaran.
Namun tiba-tiba ia menengadahkan kepalanya sambil menggeram, "Aku akan membunuhmu. Aku akan membunuhmu."
Sabungsari menggeretakkan giginya. Suaranya bergema menelusuri tebing sungai yang panjang, seolah-olah kata-katanya diulang sepuluh kali.
Sementara itu Agung Sedayu tidak dapat berbuat lain kecuali mengimbangi perasaan Sabungsari yang bergejolak. Ketika kemudian Sabungsari meloncat turun dari atas batu, maka Agung Sedayupun bergeser ketempat yang lebih luas ditepian.
Keduanya berhadapan dengan wajah yang tegang. Keduanya masih muda dan memiliki ilmu yang tinggi.
Sekilas terbayang kecurigaan gurunya terhadap Sabungsari. Ternyata bahwa firasat gurunya sangat tajam menilai keadaan. Untunglah bahwa iapun sudah mulai berhati-hati disaat-saat mereka meninggalkan padepokan kecilnya.
"Tetapi nampaknya anak muda itu cukup jantan," berkata Agung Sedayu didalam hatinya, "sehingga ia tidak akan menyerang dari belakang tanpa memberitahukan terlebih dahulu."
Namun Agung Sedayu tidak dapat berangan-angan terlalu lama. Sejenak kemudian Sabungsari telah mulai bergeser. Sikapnya sudah pasti, bahwa sesaat kemudian ia tentu akan meloncat menyerang.
Perhitungan Agung Sedayu tidak meleset. Sesaat kemudian. Sabungsari memang sudah siap. Dengan gerakan pendek ia mulai memancing perkelahian.
Ketika tangan Sabungsari terayun kewajahnya, maka Agung Sedayu bergeser setapak. Dengan tangan kirinya ia mencoba untuk menyentuh tangan Sabungsari yang terjulur. Tetapi tangan itu cepat ditariknya, sehingga Agung Sedayu tidak mengenainya. Bahkan iapun harus meloncat selangkah, karena kaki Sabungsari terayun dengan derasnya menyerang perutnya.
Dengan demikian, maka perkelahian sudah tidak dapat dihindari lagi. Sabungsari menyerang Agung Sedayu seperti badai. Tetapi Agung Sedayu telah siap menghadapi segala kemungkinan sehingga betapapun dahsyatnya serangan Sabungsari, namun serangan itu sama sekali tidak ada yang menyentuhnya.
Bahkan ketika keringat mulai mengembun ditubuhnya. Agung Sedayupun telah menilai keadaan yang dihadapinya, sehingga iapun bukan saja sekedar menghindari serangan lawannya dengan meloncat, bergeser, berputar dan menggeliat, namun iapun mulai mengurangi tekanan lawannya dengan menyerangnya pula.
Sejenak kemudian, maka pertempuran itupun menjadi semakin dahsyat. Keduanya mampu bergerak secepat tatit dan keduanya memiliki kekuatan sebesar dorongan gunung yang runtuh.


05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena itu, maka sejenak kemudian, pertempuran itupun telah menjadi pertempuran yang sangat dahsyat.
Namun betapapun juga, masih ada secercah keragu-raguan pada kedua hati yang sedang bersabung itu. Sabungsari masih dipengaruhi oleh tanggapan rangkapnya terhadap Agung Sedayu, sementara Agung Sedayu masih berusaha mengekang dirinya agar ia tidak kehilangan akal dan terbenam kedalam arus perasaannya.
Tetapi ketika nafas mereka menjadi semakin memburu, dan darah mereka mengalir semakin cepat, maka pertempuran itupun telah meningkat pula menjadi semakin dahsyat. Sedikit demi sedikit, tenaga merekapun semakin bertambah-tambah. Tenaga cadangan yang tersalur lewat ilmu merekapun semakin lama menjadi semakin meningkat pula.
Diluar sadar, maka ketika darah mereka semakin panas, kedua anak-anak muda itu telah mengerahkan tenaga cadangan mereka, sehingga kekuatan merekapun bagaikan telah berlipat.
Pada saat-saat kekuatan mereka berbenturan, maka masing-masing dengan jantung yang berdegup semakin keras, menilai kemampuan lawannya yang luar biasa.
Sabungsari telah melihat Agung Sedayu mempertahankan dirinya terhadap kelima orang pengikutnya. Betapa besar tenaga dan kecepatan geraknya. Dan kini, ia telah membuktikan, bahwa Agung Sedayu memang seorang anak muda yang luar biasa.
Sementara itu. Agung Sedayupun tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa lawannya memang seorang yang pilih tanding. Ternyata Sabungsari yang mengaku anak Ki Gede Telengan itu benar-benar seorang anak muda yang memiliki bekal ilmu yang jarang dicari tandingannya.
Betapapun juga, akhirnya keduanya telah mengerahkan segenap kemampuan dan kekuatannya. Betapapun juga, akhirnya keduanya telah mengerahkan segenap kemampuan dan kekuatan cadangan mereka, sehingga di tepian itu seolah-olah telah terjadi dua ekor gajah yang sedang berlaga.
Hentakan kaki mereka yang tidak mengenai sasaran telah melemparkan batu-batu tepian kesegenap arah, bagaikan percikan air. Sementara tangan mereka yang lepas dari arahnya telah memecahkan batu-batu padas ditebing, sehingga berguguran diatas pasir. Semakin lama pertempuran itupun menjadi semakin dahsyat. Dengan gerak yang cepat dan kadang-kadang diluar perhitungan lawannya, maka akhirnya satu demi satu serangan yang datang silih berganti itu dapat juga menembus pertahanan lawan. Perasaan sakit dan nyeri yang menyengat tubuh mereka, semakin lama semakin mengaburkan keragu-raguan mereka sehingga semakin lama mereka tidak lagi dapat mengekang diri.
Dengan dahsyatnya, Sabungsari yang darahnya bagaikan mendidih itu berhasil menghantam, tangan Agung Sedayu yang terjulur, sehingga anak muda itu tergeser. Belum lagi Agung Sedayu sempat memperbaiki keadaannya, secepat kilat, kaki Sabungsari telah menghantam lambungnya, sehingga terdengar Agung Sedayu berdesah tertahan. Dalam pada itu Sabungsari tidak mau melepaskan setiap kesempatan. Selagi Agung Sedayu terputar, maka anak muda itu telah meloncat menyerangnya pula dengan tangannya menghantam kening.
Tetapi Agung Sedayu sempat mengelakkan kepalanya. Demikian tangan Sabungsari terjulur, dengan gerak yang hampir tidak nampak, Agung Sedayu sempat menangkap tangan itu, menariknya dengan hentakan yang kuat, sementara lututnya terangkat menghantam perut. Sabungsari berdesis sambil terbungkuk. Agung Sedayu tidak melepaskan kesempatan itu. Dengan sepenuh tenaga, ia telah menekan kepala lawannya sambil sekali lagi mengangkat lututnya.
Meskipun perut Sabungsari menjadi mual, tetapi ia masih tetap sadar, bahwa kepalanya terayun deras sekali. Wajahnya akan segera terantuk lutut Agung Sedayu apabila ia tidak berbuat sesuatu.
Ternyata bahwa Sabungsaripun tangkas berpikir. Ia tidak membiarkan wajahnya dihantam oleh lutut lawannya, sehingga tulang hidungnya akan dapat pecah.
Karena itu, demikian kepalanya terayun, maka iapun justru telah membenturkan kepalanya pada perut Agung Sedayu, sehingga Agung Sedayu terdorong dengan kuatnya justru saat Agung Sedayu mengangkat satu kakinya.
Dengan demikian, maka Agung Sedayupun telah kehilangan keseimbangannya sehingga iapun jatuh diatas pasir tepian.
Tetapi dalam pada itu, tangannya tidak melepaskan kepala Sabungsari sehingga anak muda itupun ikut pula jatuh terguling.
Sejenak keduanya bergumul diatas pasir. Ternyata bahwa kekuatan mereka benar-benar kekuatan raksasa. Tangan mereka bagaikan batang-batang besi, sementara tangkapan jari-jari tangan mereka bagaikan himpitan mati sebatang pohon raksasa yang tumbang.
Namun daya tahan keduanyapun luar biasa. Mereka masih sempat menghentakkan diri dan melepaskan tangkapan jari-jari lawannya. Bahkan keduanyapun kemudian masih sempat melenting berdiri dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Adalah diluar kehendak masing-masing, bahwa kemudian mereka benar-benar telah sampai kepada puncak kekuatan mereka. Hentakkan kekuatan mereka menjadi berlipat ganda. Kecepatan mereka bergerakpun melampaui kecepatan loncatan tatit diudara.
Dengan demikian maka perang tanding itupun menjadi semakin dahsyat. Masing-masing telah menunjukkan betapa mereka merupakan anak-anak muda yang luar biasa.
Namun demikian, ternyata bahwa lambat laun, terasa oleh kedua anak-anak muda yang sedang bertempur itu, bahwa Agung Sedayu mempunyai beberapa kelebihan, yang bahkan baru dikenal oleh Agung Sedayu sendiri sejak ia berkelahi di Pasisir Kidul melawan kelima orang pengikut Sabungsari.
Rasa-rasanya kakinya menjadi semakin ringan, dan geraknyapun menjadi semakin cepat. Pada saat-saat ia memusatkan segenap daya kekuatan jiwani, maka mulai nampak pengaruh yang didapatkannya selama ia berada di padukuhan Ki Waskita seperti yang pernah diyakinkannya dengan penglihatan, pendengaran dan kekuatan sentuhan sorot matanya.
Ketika tubuh Agung Sedayu telah basah oleh keringat dan disaat-saat Agung Sedayu mengerahkan segenap kekuatan lahir dan batinnya, maka mulai terasa, bahwa kemampuan Agung Sedayu memang melampaui kemampuan lawannya.
Itulah sebabnya, maka dalam perang tanding berikutnya, benturan yang terjadi telah mengejutkan Sabungsari. Ia merasa seolah-olah ada sesuatu yang asing pada lawannya. Seolah-olah kekuatannya bagaikan tumbuh dan berkembang tanpa batas.
"Apakah anak ini mempunyai ilmu iblis" " ia bertanya kepada diri sendiri.
Namun adalah suatu kenyataan bahwa kekuatan dan kecepatan bergerak Agung Sedayu yang disangkanya sudah sampai kepuncak itu masih berkembang terus perlahan-lahan.
Apakah kekuatannya akan bertambah-tambati sehingga akhirnya anak itu akan dapat mengangkat gunung anakan?" bertanya Sabungsari didalam hatinya.
Namun Sabungsari adalah anak muda yang keras hati. Iapun menghentakkan kekuatan yang ada padanya untuk mengimbangi kekuatan Agung Sedayu. Tetapi bagaimanapun juga, akhirnya Sabungsari harus melihat kenyataan.
Ketika Sabungsari menyerang dada Agung Sedayu dengan tiba-tiba dan tidak terduga, maka Agung Sedayu melindungi dadanya dengan tangannya yang bersilang sehingga benturan kekuatan tidak dapat dihindari lagi. Kekuatan Sabungsari yang dihentakkan sepenuh kemampuan yang ada padanya, telah membentur lengan Agung Sedayu yang berusaha melindungi dadanya dan sekaligus mendorong kekuatan hentakkan serangan lawannya.
Yang terjadi adalah diluar dugaan. Sabungsari telah terdorong beberapa langkah, seolah-olah ia telah terlempar oleh kekuatannya sendiri yang membentur dinding yang tidak tertembus.
Sabungsari terlempar jatuh. Namun dengan cepatnya pula ia meloncat bangkit, meskipun sambil menyeringai menahan sakit. Betapapun juga ia memaksa diri untuk bersiap apabila Agung Sedayu memburunya dan melontarkan serangan berikutnya.
Tetapi Agung Sedayu tidak menyerangnya. Ia berdiri tegak untuk melihat akibat dari dorongan tangannya ketika terjadi benturan dengan serangan Sabungsari.
Dengan demikian Agung Sedayu menjadi semakin yakin, bahwa ada sesuatu yang telah mempengaruhi dirinya kasar dan halusnya. Lahir dan batinnya.
Namun dalam pada itu, Sabungsari mulai menjadi ragu-ragu atas kemampuannya sendiri, jika mereka bertempur terus dengan kekuatan dan kemampuan wadag mereka meskipun dengan dorongan kekuatan cadangan. Benturan-benturan yang terjadi, rasa-rasanya telah membuat tubuhnya yang memiliki daya tahan luar biasa itu menjadi sakit, pedih dan kadang-kadang bagaikan retak tulang-tulangnya.
Karena itu, maka Sabungsari mulai mempertimbangkan untuk mempergunakan ilmunya yang lain. Ilmu yang sulit dicari tandingnya. Ilmu yang dilontarkan lewat sorot matanya.
Ketika kemudian Sabungsari terdesak dan tidak lagi mampu menahan serangan Agung Sedayu yang datang bagaikan dahsyatnya badai musim pancaroba, maka Sabungsari memutuskan untuk mengakhiri pertempuran itu dengan cara yang lain.
"Anak iblis ini harus dibinasakan untuk menunjukkan bahwa aku memang anak Telengan yang setia," geramnya didalam hati.
Karena itu, ketika ia mendapat kesempatan, maka iapun telah meloncat surut beberapa langkah.
Agung Sedayu terkejut. Tetapi ia tidak memburu. Ia menyangka bahwa Sabungsari akan mempergunakan senjata yang belum diketahuinya.
Karena itu, maka Agung Sedayupun mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.
Namun yang dilihatnya, Sabungsari berdiri tegak nampak dalam kegelapan menghadap langsung ketubuh Agung Sedayu, sehingga anak muda itu menjadi berdebar-debar.
Pada saat yang demikian, tiba-tiba saja terasa dadanya bagaikan diremas. Jantungnya seakan-akan berhenti berdenyut oleh himpitan kekuatan yang tidak dapat dilihat dengan matanya.
"Ini adalah warisan ilmu yang luar biasa itu," dengan serta merta Agung Sedayu dapat menebak. Ilmu apakah yang telah dilontarkan oleh Sabungsari yang marah itu.
Karena itu, maka Agung Sedayupun segera mengambil sikap untuk mengatasi keadaan itu. Ia masih sempat berpikir, bahwa ia tidak ingin perang tanding itu menelan maut. Sehingga dengan demikian, maka Agung Sedayupun segera meloncat dan menjatuhkan diri dibalik sebuah batu yang besar.
Namun hatinya berdesir ketika ternyata Sabungsari mencoba mengikuti geraknya dengan tatapan matanya. Ketika tatapan matanya itu menghantam batu tempat Agung Sedayu berlindung, maka sepercik pecahan batu itu jatuh berhamburan diatas pasir.
"Kau tidak akan dapat menyelamatkan dirimu Agung Sedayu," geram Sabungsari, "kau sangka aku tidak dapat mengejarmu."
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Tetapi ia masih mencoba untuk mengatasi perasaannya yang bergejolak. Meskipun darahnya bagaikan mendidih oleh gejolak kemudaannya, namun Agung Sedayu adalah orang yang dalam setiap langkahnya dibebani oleh berbagai macam pertimbangan. Yang dengan demikian maka Agung Sedayu seolah-olah selalu dibayangi oleh kebimbangan dan keragu-raguan.
"Anak ini tidak ingin memusuhi aku," berkata Agung Sedayu didalam hatinya, "tetapi ia hanya sekedar ingin menunjukkan baktinya kepada orang tuanya, meskipun dengan cara yang salah. Ia dibutakan oleh pengertian seolah-olah dendamnya merupakan beban kesetiaannya."
Dalam pada itu, ia mendengar suara Sabungsari lebih keras lagi, "Kau licik Agung Sedayu. Marilah kita berhadapan secara jantan."
Tetapi Agung Sedayu tetap berdiam diri. Ia bergeser ketika ia mendengar suara langkah Sabungsari mendekati.
Di tepian itu terdapat banyak batu-batu besar yang akan dapat dipergunakan oleh Agung Sedayu untuk berlindung. Tetapi apakah ia hanya akan berlari-lari dan berloncatan mencari perlindungan diantara batu-batu itu.
Dengan pendengarannya yang tajam. Agung Sedayu dapat mendengar dan mengetahui, dimanakah Sabungsari berada. Karena itu, maka ketika langkah Sabungsari menjadi semakin dekat, maka Agung Sedayupun segera meloncat berlari kebalik batu yang lain.
Sabungsari yang sudah siap melontarkan ilmunya, telah mengejar Agung Sedayu dengan tatapan matanya. Terasa betapa hentakkan yang berat telah menyentuh pundak Agung Sedayu. Namun ia segera berhasil berlindung dibalik batu yang lain.
Terjadilah, seperti yang telah terjadi. Segumpal pecahan batu yang disentuh oleh tatapan mata Sabungsari itupun runtuh dipasir tepian.
"Agung Sedayu," teriak Sabungsari, "jangan licik."
"Anak gila," geram Agung Sedayu kepada diri sendiri, "ia telah kehilangan pertimbangan. Jika semula ia menjadi ragu-ragu, maka perkelahian itu telah menggelapkan hatinya."
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu menjadi semakin cemas akan akhir dari perkelahian ini. Ia tidak akan dapat memilih dua kemungkinan yang ada. Ia tidak ingin mati muda. Tetapi iapun tidak ingin membunuh anak yang dibakar oleh dendam yang membuta.
Meskipun demikian, jika Agung Sedayu dipaksa untuk memilih, maka ia akan memilih menyelamatkan dirinya sendiri.
Tetapi Agung Sedayu tidak segera kehilangan akal. Iapun kemudian mengurai cambuknya yang membelit lambung. Dengan hati-hati ia menghadapi kemungkinan yang dapat terjadi selanjutnya.
Agung Sedayu mendengar desir langkah Sabungsari yang mencarinya. Dengan hati-hati ia mencoba menjenguk lawannya. Ketika terlintas ujung kepalanya diantara batu-batu, maka Agung Sedayupun segera bergeser kebalik batu berikutnya.
Tetapi Agung Sedayu tidak melarikan diri. Ia justru melingkar mendekati Sabungsari. Ia tersembunyi dari balik batu yang satu kebalik batu yang lain.
Namun kadang-kadang ia tidak dapat melepaskan diri dari sambaran mata Sabungsari. Setiap kali terasa tubuhnya tersentuh oleh kekuatan mata lawannya. Dan setiap kali ia mendengar hentakkan batu yang pecah segumpal-segumpal.
Hanya karena daya tahan tubuh Agung Sedayu melampaui daya tahan orang kebanyakan, maka setiap kali sentuhan perasaan sakit yang hanya sekejap itupun segera dapat dilenyapkannya. Bahkan seperti yang pernah terjadi, tubuhnya rasa-rasanya menjadi semakin lama semakin ringan, sehingga mampu bergerak semakin cepat.
Akhirnya, Agung Sedayu berhasil mendekati Sabungsari. Betapapun tajamnya pendengaran Sabungsari, tetapi kemarahan yang memuncak dan suara teriakan-teriakannya sendiri, anak muda itu tidak mendengar bahwa Agung Sedayu telah berada dibalik sebuah batu besar di belakangnya.
Saat itulah yang ditunggu oleh Agung Sedayu. Dengan serta merta ia menghentakkan cambuknya sekuat tenaganya beberapa jengkal dibelakang Sabungsari. Bukan saja dengan kekuatan jasmaniah wajarnya, tetapi cambuk itu telah menghentak dan meledak seperti ledakkan guruh didalam telinga.
Sabungsari terkejut mendengar ledakan yang tiba-tiba dan begitu dekat dibelakangnya. Meskipun ujung cambuk itu tidak menyentuhnya namun suara itu benar-benar telah merampas pemusatan ilmunya, sehingga untuk sekejap, Sabungsari menjadi bingung.
Saat itu tidak dilepaskan oleh Agung Sedayu. Dengan serta merta ia menyerang dengan dahsyatnya. Tidak dengan cambuknya, tetapi dengan sepenuh tenaga kakinya telah terjulur lurus, menghantam Sabungsari yang termangu-mangu.
Serangan itu merupakan serangan yang menentukan. Betapapun besar daya tahan Sabungsari, tetapi serangan Agung Sedayu dengan kekuatan yang seakan-akan tidak berbatas itu telah melemparkan Sabungsari beberapa langkah. Kemudian anak muda itu tidak dapat lagi mempertahankan keseimbangannya sehingga ia jatuh berguling diatas pasir tepian. Hampir saja kepalanya membentur sebuah batu yang besar yang berserakan ditepian itu.
Hentakan serangan itu telah menghentakkan kemarahan dijantung Sabungsari pula. Karena itulah, iapun mengerahkan sisa tenaga yang ada, sehingga ia sempat melenting berdiri.
Agung Sedayu sudah memperhitungkannya. Ia tidak memberi kesempatan kepada lawannya untuk mempergunakan serangan dari sorot matanya seperti yang pernah dilakukan oleh ayahnya. Karena itu. Agung Sedayu tidak mau membiarkan ada jarak yang mengantarainya dengan Sabungsari. Demikian Sabungsari itu meloncat berdiri, maka serangan Agung Sedayu yang tanpa ampunpun telah datang. Sambil meloncat mendekat ia menjulurkan tangannya yang mengepal menghantam dada lawannya yang tertatih-tatih mempersiapkan dirinya.
Serangan itu bagaikan runtuhnya bebatuan dari tebing gunung menghantam dadanya. Terdengar keluhan tertahan. Nafasnyapun bagaikan terputus.
Agung Sedayu melihat kesempatan itu. Sekali lagi ia melontarkan satu kakinya kedepan dan tangan kirinya terjulur pula menghantam dada Sabungsari sekali lagi.
Sabungsari tidak lagi mampu bertahan. Sekali lagi ia terhuyung-huyung. Ketika serangan Agung Sedayu datang sekali lagi menghantam keningnya, maka mata Sabungsari menjadi berkunang-kunang. Gelap malam rasa-rasanya bagaikan bertambah kelam.
Betapa kepalanya menjadi pening. Sejenak ia mencoba bertahan, namun kemudian semuanya bagaikan menjadi hitam.
Sabungsari adalah seorang anak muda yang luar biasa, yang mempunyai kekuatan dan daya tahan jauh melampaui anak-anak muda kebanyakan. Namun saat itu ia mendapat seorang lawan yang luar biasa pula. Kekuatannya seolah-olah tidak terbatas, sehingga melampaui kemampuan daya tahan tubuh Sabungsari.
Serangan yang datang bertubi-tubi itu ternyata telah membuat Sabungsari menjadi pingsan.
Beberapa saat lamanya Agung Sedayu merenungi anak muda itu. Didalam dadanya sendiri telah mengamuk keragu-raguan yang dahsyat, ia sadar, bahwa Sabungsari merupakan bahaya yang tiada taranya baginya dihari mendatang. Jika anak muda itu tetap hidup, maka pada saat-saat ia lengah, maka serangan yang tiba-tiba akan dapat mencelakainya.
Tetapi untuk membunuh anak muda yang terbaring itupun ia tidak memiliki kemampuan. Apalagi jika teringat olehnya dihari-hari Sabungsari datang kepadepokannya. Berbincang dan bergurau.
Meskipun kemudian Agung Sedayu sadar, bahwa hal itu dilakukan oleh Sabungsari sekedar dalam kepura-puraan, namun rasa-rasanya ia pernah bersahabat dengan anak muda yang bernama Sabungsari itu.
Untuk beberapa saat lamanya, Agung Sedayu bagaikan mematung menunggui anak muda yang pingsan itu. Dalam keremangan malam, ia melihat Sabungsari terbaring bagaikan sedang tidur nyenyak.
Tetapi akhirnya Agung Sedayu menggeleng. Ia tidak dapat berbuat kejam dengan membunuh orang yang sedang pingsan. Jika ia tidak dibayangi oleh keragu-raguan, ia tidak akan bersembunyi dibalik bebatuan dan menyerang Sabungsari dengan tiba-tiba. Ia dapat saja menyerang anak muda itu dengan ujung cambuknya dan merobek perutnya. Bukan sekedar mengejutkannya dan menyerangnya tanpa melukainya.
Dalam pada itu, selagi Agung Sedayu duduk termangu-mangu, maka silirnya angin malam telah mengusap tubuh yang terbaring diam itu. Sejuknya pasir dan segarnya angin yang basah perlahan-lahan telah membangunkan Sabungsari yang terbaring itu.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya ketika ia melihat Sabungsari mulai bergerak. Bahkan kemudian ia melihat anak muda itu mulai memandanginya dan memahami kembali apa yang telah terjadi.
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar melihat Sabungsari tiba-tiba saja telah menyilangkan tangannya sambil berbaring. Ia sadar, bahwa Sabungsari sedang-mencoba memusatkan segenap kemampuannya untuk menyerang Agung Sedayu dengan sorot matanya.
"Jangan kau coba Sabungsari," berkata Agung Sedayu, "jangan memaksa aku untuk berbuat lebih banyak lagi. Aku telah mengendalikan diri, tidak membunuhmu saat-saat kau tidak berdaya. Aku mencari penyelesaian yang lebih baik daripada saling membunuh."
Sabungsari menggeretakkan giginya. Tetapi ia telah diragukan oleh keterangan Agung Sedayu itu. Iapun sadar, bahwa ia baru saja sadar dari pingsan. Dan iapun sadar, bahwa jika Agung Sedayu menghendaki, tentu ia akan dapat membunuhnya dengan mudah.
Tetapi ia masih tetap hidup. Seperti kelima pengikutnya yang masih tetap hidup, meskipun yang seorang kemudian dibunuh oleh pihak lain.
Selagi Sabungsari termangu-mangu, maka Agung Sedayu berkata, "Kita dapat saja meneruskan perkelahian yang tidak akan berarti apa-apa bagiku dan juga bagimu. Kau hanya diburu oleh kesetiaanmu yang tanpa nalar. Yang sebenarnya dapat kau lakukan dengan cara yang lain, yang barangkali akan berakibat jauh lebih baik dari yang kau lakukan sekarang.
Sabungsari masih tetap diam. Tetapi perlahan-lahan ia bangkit dan duduk diatas pasir. Tetapi ia tidak lagi mempersiapkan diri untuk menyerang Agung Sedayu dengan sorot matanya.
"Sabungsari," berkata Agung Sedayu, "bukan maksudku untuk menyombongkan diri. Juga bukan maksudku aku berbuat seperti seorang pengecut yang merundukmu dan menyerang dengan tiba-tiba. Tetapi aku mempunyai pertimbangan lain."
"Kau takut mati?" bertanya Sabungsari.
"Jika aku takut mati, aku sudah mempunyai jalan yang baik untuk menghindari kematian. Dengan membunuhmu disaat kau pingsan, aku sudah membebaskan diri dari kemungkinan mati itu."
"Jadi, kenapa kau tidak membunuhku?" bertanya Sabungsari.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Sabungsari yang duduk bersandar sebuah batu yang besar.
"Apakah tidak ada penyelesaian yang lebih baik dari saling membunuh?" bertanya Agung Sedayu.
"Bagiku tidak ada, karena kematian adalah batas akhir dari kesetiaanku. Jika aku mati, aku adalah anak yang tahu diri. Aku mati dalam perjuangan membela nama ayahku. Sedangkan kalau aku dapat membunuhmu, maka aku telah melakukan sesuatu yang pantas bagi seorang ayah yang mati karena terbunuh oleh seseorang."
"Aku berpendapat lain," berkata Agung Sedayu, "karena itu, aku tidak membunuhmu."
"Kau tidak dikejar oleh kesetiaan terhadap orang tuamu. Jika kau merasakan, betapa sakitnya hati seorang anak laki-laki yang berhati jantan, mendengar berita kematian ayahnya karena pembunuhan," geram Sabungsari.
"Tetapi sebaiknya kau menelusur lebih jauh. Pembunuhan terhadap ayahmu bukannya sebab yang pertama. Ayahmu terlaunuh dalam suatu libatan akibat dari sebab yang telah dilakukannya. Dengan istilah yang kasar, barangkah dapat disebut, ayahmu terlibat dalam pencurian pusaka dari yang tersimpan dalam gedung perbendaharaan pusaka di Mataram."
"Siapapun ayahku, ia adalah ayahku. Sudah aku katakan kepadamu, aku tidak peduli apa yang telah dilakukannya."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Itulah yang aku tidak sependapat."
"Aku tidak memerlukan pendapatmu," geram Sabungsari. Namun demikian, ia masih tetap duduk bersandar batu yang besar.
Dalam pada itu, Agung Sedayu menjadi ragu-ragu. Apakah Sabungsari benar-benar dicengkam oleh keragu-raguan, atau sebenarnya ia bersikap pura-pura seperti sikapnya selain ini. Jika kekuatannya telah pulih kembali, maka dengan serta merta ia akan menyerangnya.
Karena itu, Agung Sedayupun telah bersiaga. Dalam keadaan yang tiba-tiba ia akan dapat mengatasi kesulitan itu.
Dalam pada itu, Sabungsari justru memejamkan matanya. Ia mencoba mengatur pernafasannya. Perlahan-lahan, namun ia agaknya berhasil menguasai dirinya sehingga kekuatannyapun seakan-akan perlahan-lahan tumbuh kembali. Segarnya angin malam membantunya, mempercepat pulihnya kekuatan dan kemampuannya.
Tetapi sebenarnyalah bahwa Sabungsari telah dicengkam oleh keragu-raguan. Ia menjadi bingung, bahwa Agung Sedayu merupakan orang yang aneh baginya. Ternyata anak muda itu lain sekali dengan bayangan dikepalanya, disaat ia belum mengenal anak muda itu dengan baik. Ternyata sikapnya bukan sikap pura-pura. Agung Sedayu benar-benar seorang anak muda yang tidak mudah dibakar oleh kebencian.
"Kenapa anak muda itu dapat disebut sebagai seorang pembunuh yang tidak berhati dan tidak berjantung" " pertanyaan itu tumbuh semakin mekar dihatinya, "di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu ia merupakan pembunuh yang paling kejam. Tidak seorangpun diantara para prajurit dan Senapati, juga laskar dari pihak manapun juga yang telah melakukan pembunuhan sekejam itu. Tetapi kelika aku mengenal hatinya, maka alangkah jauh bedanya."
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam, tetapi ia masih tetap duduk diam.
Namun dalam pada itu, ketika mulai terbayang wajah ayahnya yang seolah memandanginya dengan kerut merut dikening, tiba-tiba saja darahnya menjadi panas kembali. Sekilas dipandanginya Agung Sedayu yang telah duduk pula diatas sebuah batu beberapa langkah dari padanya.
"Aku akan membunuhnya dengan ilmu yang tidak ada bandingnya. Aku akan meremas dadanya, dan menghancurkan jantungnya. Ia akan mati terkapar diatas pasir tepian. Jika tidak seorangpun yang menemukan mayatnya, maka mayat itu akan disayat-sayat oleh burung gagak atau anjing-anjing liar," geramnya.
Sambil menggeretakkan giginya ia mencoba mengusir keragu-raguannya. Dengan tenaga dan kemampuannya yang telah tumbuh kembali, maka ia mulai memusatkan ilmunya pada ketajaman sorot matanya.
Namun Agung Sedayu yang duduk diatas batu itupun mengerti apa yang dilakukannya. Karena itu, iapun telah mempersiapkan diri pula. Ia tidak ingin permusuhan itu menjadi berkepanjangan, sehingga karena itu, iapun harus sampai pada suatu sikap yang dapat meyakinkan lawannya, bahwa ia benar-benar mampu mengimbangi ilmu puncaknya. Dengan demikian ia berharap, bahwa Sabungsari benar-benar menyadari kedudukannya.
Dengan hati-hati Agung Sedayu mengikuti setiap gerak Sabungsari. Ia memperhatikan bagaimana anak muda itu mulai menghimpun kekuatannya kembali. Kemudian ia melihat, bahwa pada suatu saat, nampaknya Sabungsari telah siap dengan ilmu puncaknya.
Tetapi pada saat itu, Agung Sedayu telah siap pula.
Karena itu, ketika Sabungsari kemudian meloncat berdiri sambil berteriak nyaring. Agung Sedayupun berkisar mengikutinya. Demikian Sabungsari berdiri tegak dengan kaki renggang, maka Agung Sedayu telah siap melontarkan serangan dengan sorot matanya pula.
Ternyata Agung Sedayu yang telah siap lebih dahulu itu dapat mendahului lawannya sekejap. Sebuah hentakan telah menghantam dada Sabungsari. Meskipun Agung Sedayu belum mempergunakan segenap kekuatan yang ada padanya, namun hentakkan itu bagaikan meretakkan dada Sabungsari, sehingga tiba-tiba saja, pemusatan ilmunya telah terganggu. Tangannya yang digerakkan oleh nalurinya telah menekan dadanya, seolah-olah menjaga agar dadanya tidak rontok karenanya.
Tetapi lebih daripada perasaan sakit dan nyeri, maka kemarahannyapun telah melonjak sampai keubun-ubun. Iapun sadar sepenuhnya, bahwa ternyata Agung Sedayu juga mampu melakukan apa yang telah dilakukannya.
"Bukan sekedar dongeng," desis Sabungsari, "tetapi kenapa ia baru saat ini mempergunakannya?"
Namun dalam pada itu, Sabungsari tidak sempat lagi untuk menyerang Agung Sedayu. Ketika ia berkeras hati hendak mengadu ilmunya membentur ilmu Agung Sedayu, maka terdengar Agung Sedayu berkata, "Sabungsari. Apakah kau benar-benar ingin bertempur antara hidup dan mati?"
Pertanyaan itu membingungkan Sabungsari. Namun ia menjawab tegas, "Aku akan bertempur sampai salah seorang dari kita mati."
"Baiklah. Jika tidak ada pilihan lain. Tetapi sebelum itu, marilah kita melihat, siapakah diantara kita yang memiliki ilmu yang lebih baik. Kau atau aku," berkata Agung Sedayu.
Sabungsari menjadi bingung.
"Maksudku, sebelum salah seorang dari kita mati, marilah kita melihat kenyataan. Biarlah kita puas dengan pengenalan kita atas perbandingan ilmu yang ada padaku dan padamu dari ilmu yang jarang ada bandingnya, yang kebetulan kita berdua memilikinya." sambung Agung Sedayu.
"Bagus," Sabungsari hampir berteriak, "kita akan duduk berhadapan. Kita akan membenturkan kekuatan ilmu kita. Siapa yang lemah, ia akan kehilangan kesempatan untuk tetap hidup, karena kelemahannya akan membakar jantungnya sendiri."
Tetapi Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Katanya, "Tidak. Kita tidak akan berdiri atau duduk berhadapan. Tetapi kita akan duduk menghadap kearah yang sama. Kita akan memandang sebuah batu yang sama besar. Dan kita akan berlomba, siapakah yang berhasil melumatkan batu itu terlebih dahulu."
Sabungsari terdiam sejenak. Ia menjadi berdebar-debar mendengar tantangan Agung Sedayu itu. Sementara Agung Sedayu melanjutkan, "Jika ternyata hal itu tidak dapat memberikan kepuasan kepada kita, nah, maka kaulah yang akan menentukan, cara apakah yang akan kita lakukan kemudian."
Sejenak Sabungsari termangu-mangu. Namun sekali lagi ia dijalari oleh keragu-raguan. Cara yang akan ditempuh oleh Agung Sedayu itu adalah cara yang memberikan warna kepada watak dan sifat-sifatnya. Dengan demikian, maka penyelesaian itu akan menghindarkan kematian dari salah satu pihak.
Apakah ia takut, sementara ia menjajagi Ilmuku dengan cara itu, atau memang ia benar benar tidak menginginkan kemiatian" " pertanyaan itu bagaikan bergulung dihati Sabungsari.
"Sabungsari," berkata Agung Sedayu kemudian, "jika kau tidak berkeberatan, marilah kita mempersiapkan pertandingan ini."
Sejenak Sabungsari termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Apakah yang akan kita persiapkan?"
"Dua buah batu yang sama besar," jawab Agung Sedayu.
"Kita akan menghancurkan batu-batu itu dengan tatapan mata kita?" bertanya Sabungsari pula.
"Ya." "Batu yang manakah yang kau maksud" Apakah kita akan mencari sasaran dua buah batu yang sama, dan kita akan mengukur jarak yang sama pula" Kemudian kita masing masing akan menghancurkan batu itu dengan perhitungan waktu yang sama. Begitu?"
"Ya," sahut Agung Sedayu.
"Salah seorang dari kita akan apat berbuat curang. Dengan demikian, kita akan berada pada jarak yang berjauhan atau bahkan saling membelakangi. Mungkin salah seorang dari kita akan menyerang dengan tiba-tiba, bukan sasaran yang ditentukan, tetapi menyerang lawan masing-masing dengan curang."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Katanya, "Apakah kita bukan lagi seorang laki-laki jantan" Tetapi jika demikian, biarlah kita menempatkan dua buah batu itu berjajar diatas sebuah batu yang besar. Kita akan duduk berdampingan, sehingga sulitlah jika diantara kita akan berbuat curang."
"Kita harus mengangkat batu-batu besar itu" Atau barangkali yang kau maksud adalah batu tidak lebih sebesar kepalan tangan?" bertanya Sabungsari.
"Tidak. Aku akan menempatkan dua buah batu sebesar kepala gajah diatas batu yang besar itu. Kita akan duduk dan berlomba, siapakah yang lebih dahulu melumatkan batu itu dari jarak yang sama," jawab AgungSedayu.
Sabungsari menjadi bingung. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Kau akan mengangkat batu-batu sebesar itu?"
"Ya." "Kau akan menunjukkan bahwa kau adalah seorang yang mempunyai kekuatan raksasa. Tetapi ingat, kita tidak akan bertempur dengan kekuatan wadag kita. Kekuatan wadag sewajarnya, atau dengan tenaga cadangan yang dapat kita salurkan lewat ilmu kita masing-masing."
"Aku mengerti. Kita akan mempergunakan tatapan mata kita."
"Ya." "Karena itu. Jangan hiraukan cara yang akan aku tempuh untuk mengangkat batu-batu itu dan meletakkannya diatas batu yang sangat besar itu."
Sabungsari terdiam sejenak, sementara Agung Sedayu berkata, "Lihatlah. Aku akan memindahkan dua buah batu yang sama besar itu."
* * * Buku 122 SABUNGSARI memandang dua buah batu yang memang hampir sama besar. Tetapi ia tidak tahu, bagaimanakah Agung Sedayu akan mengangkat batu yang besarnya sebesar kepala gajah itu.
Sabungsari menjadi semakin heran, ketika ia melihat Agung Sedayu kemudian duduk diatas sebuah batu yang lain. Menyilangkan tangannya sambil berkata, "Berilah aku waktu. Aku yakin, bahwa kita tidak akan berbuat curang. Kita masing-masing adalah laki-laki jantan."
Dengan heran Sabungsari melihat apa yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu. Karena itu, maka iapun kemudian berdiri saja mematung dengan hati yang berdebar-debar.
Dalam pada itu, maka Agung Sedayupun kemudian memusatkan inderanya pada getaran ilmunya. Tatapan matanya tidak saja mampu meremas dan menghancurkan. Tetapi ia dapat berbuat sesuatu yang lain.
Sejenak Agung Sedayu memandang batu yang tergolek diatas pasir, diantara beberapa batu yang lain. Dengan kekuatan tatapan matanya, maka iapun kemudian mengangkat batu itu perlahan-lahan.
Sabungsari bagaikan mematung, terpukau oleh kenyataan yang dihadapinya. Agung Sedayu dapat mengatur kemampuannya dan mengangkat batu yang besar itu perlahan-lahan, kemudian meletakannya diatas sebuah batu yang lebih besar lagi, sebesar seekor gajah yang sedang mendekam. Demikian pula dilakukannya atas batu yang sebuah lagi, sehingga kedua buah batu itu kemudian terletak berdampingan diatas sebuah batu yang besar sekali.
Setelah kedua batu itu terletak berdampingan, maka Agung Sedayupun menarik nafas dalam-dalam, seakan-akan ia ingin melepaskan ketegangan yang menyekat dadanya.
"Sabungsari," berkata Agung Sedayu kemudian, "marilah kita bermain-main. Daripada kita mempergunakan diri kita masing-masing sebagai sasaran, maka baiklah kita mempergunakan benda lain yang barangkali lebih baik dari diri kita. Dengan demikian, maka yang menang diantara kita akan dapat menunjukkan kemenangannya kepada yang kalah, karena yang kalah masih akan tetap hidup. Sedangkan yang kalah akan sempat melihat kekalahannya. Jika kita mempergunakan diri kita masing-masing sebagai sasaran, maka yang menang tidak akan mendapat kepuasan karena tidak dapat menunjukkan kemenangannya kepada lawannya, sementara yang kalahpun tidak akan sempat mengakui kekalahannya, karena ia harus mati dalam benturan ilmu yang dahsyat itu."
"Persetan," geram Sabungsari, "aku ingin salah seorang dari kita akan mati."
"Yang kalah akan menyerahkan nyawanya," sahut Agung Sedayu dengan serta merta.
Namun jawaban Agung Sedayu itu mendebarkan hati Sabungsari. Seakan-akan Agung Sedayu yakin, bahwa ia akan memenangkan dengan pasti permainan ilmu yang dahsyat itu.
"Nah, terserahlah kepadamu. Jika kau tidak takut menghadapi kenyataan yang manapun juga, kita akan mengadu kemampuan kita masing-masing dengan dada terbuka. Baru kemudian, jika kau memang haus akan kematian, maka yang kalah akan dapat memenuhi nafsu membunuhmu itu."
Sejenak Sabungsari termangu-mangu. Meskipun dalam keremangan malam, namun ia melihat wajah Agung Sedayu yang jernih. Seolah-olah ia tidak sedang berhadapan dengan lawan yang siap membunuhnya.
"Atau inilah ujud dari kesombongannya," berkata Sabungsari didalam hatinya, "ia menganggap aku sama sekali tidak berdaya, sehingga demikian yakinnya bahwa ia akan memenangkan pertandingan ini."
Terdorong oleh harga dirinya, tetapi juga sepeletik keragu-raguannya, maka Sabungsari berkata, "Aku terima tantanganmu yang penuh kesombongan itu Agung Sedayu. Jika aku dapat meremas batu itu lebih lumat dari yang dapat kau lakukan, maka kau akan terpaksa menyerahkan lehermu kepadaku. Aku akan memotong kepalamu dan membawa kembali kepadepokanku, sehingga semua pengikut Ki Gede Telengan melihat wajah pembunuh pemimpinnya."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, "Apakah ada niatmu untuk berbuat demikian" Apakah memang ada kekasaran itu didalam jiwamu.?"
Pertanyaan itu membuat Sabungsari berdebar-debar. Bahkan iapun mulai bertanya kepada diri sendiri, "Apakah memang aku berniat demikian?"
Namun sekali lagi, Sabungsari melihat goncangan perasaannya itu sebagai suatu kelemahan. Karena itu ia menghentak sambil menjawab, "Ya. Aku memang sudah merencanakan demikian."
"Baiklah," jawab Agmg Sedayu, "apapun yang akan kau lakukan, terserahlah jika kau memang memenangkan permainan ini."
Dada Sabungsari masih diguncang keragu-raguan. Namun ia menjawab lantang, "Marilah kita mulai. Kita tidak hanya dapat berbicara tanpa arti."
"Marilah," sahut Agung Sedayu, "kita akan duduk disini. Kita akan berlomba, siapakah yang dapat melumatkan batu-batu itu lebih cepat. Karena dengan demikian, seandainya kita membenturkan ilmu itu, maka yang lebih cepat itulah yang lebih kuat dan akan menang."
Sabungsaripun kemudian duduk diatas sebuah batu dua langkah dari Agung Sedayu. Dipandanginya dua buah batu yang terletak diatas batu yang sangat besar. Diluar sadarnya iapun kennudian memandangi batu-batu besar yang lain yang berserakan. Sentuhan matanya disaat-saat ia menyerang Agung Sedayu, berhasil memecahkan batu-batu itu meskipun hanya segumpal-segumpal. Namun jika ia berbuat demikian berulang-ulang dan tidak henti-hentinya, maka batu itu-pun tentu akan lumat.
"Aku akan menghitung sampai tiga," teriak Sabungsari, "kita akan segera mulai. Semakin cepat semakin baik, karena aku akan segera memenuhi janjiku kepada ayahku yang sudah tidak ada lagi karena kau bunuh dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu."
"Kau sangat tergesa-gesa," desis Agung Sedayu.
"Kau menunggu kesempatan untuk lolos" Kau tentu menunggu gurumu mencarimu karena kau terlalu lama pergi. Dengan demikian, kau berharap bahwa gurumu akan dapat menolong dan menyelamatkanmu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia melihat, bahwa keragu-raguan yang sangat telah mencengkam jantung anak muda itu.
"Baiklah," jawab Agung Sedayu, "aku menunggu kau mengucapkan aba-aba itu."
Sejenak malam menjadi hening. Hanya terdengar gemericik air sungai diantara batu-batu yang berserakkan.
Dalam pada itu, terdengar suara Sabungsari meneriakkan hitungan, "Satu - Dua " Tiga."
Kedua anak muda itu terdiam. Masing-masing telah melontarkan kemampuan ilmunya yang sukar dicari bandingnya. Dengan tatapan matanya, mereka berlomba untuk memecah lumatkan batu yang besar dihadapan mereka pada jarak beberapa langkah.
Sejenak kedua anak muda itu diam bagaikan patung. Namun dari sorot mata mereka telah memancar kekuatan yang tidak ada bandingnya. Dengan kekuatan tatapan mata mereka, maka keduanya berusaha untuk menghancurkan batu yang telah diletakkan berjajar oleh Agung Sedayu.
Dalam pada itu, ketika tatapan mata Sabungsari yang memiliki sentuhan wadag itu menghantam batu dihadapannya, maka seperti yang telah terjadi sebelumnya, maka segumpal batu telah pecah dan berserakan diatas pasir. Tetapi Sabungsari tidak terhenti pada pecahan pertama. Sekali lagi ia mengulang, dan sekali lagi. Berbongkah-bongkah batu itu pecah dan runtuh diatas batu besar alas sasaran yang pecah itu, selebihnya jatuh diatas pasir.
Karena Sabungsari melakukan terus menerus, maka akhirnya batu yang menjadi sasaran kekuatan matanya itupun telah pecah berbongkah-bongkah, sehingga akhirnya Sabungsari dengan hentakkan yang tersisa telah memecahkan bongkah yang terakhir.
Demikian bongkah yang terakhir dipecahkannya, maka iapun segera menarik nafas dalam-dalam, mengatur jalan pernafasannya yang menjadi terengah-engah karena ia telah mengerahkan segenap kekuatan ilmu yang ada padanya.
Ketika kemudian ia berpaling memandang batu sasaran tatapan mata Agung Sedayu, maka tiba-tiba saja ia melonjak berdiri. Meskipun pernafasannya belum pulih kembali, namun dengan tanpa menghiraukan keadaan dirinya ia berdiri diatas batu tempat ia duduk sambil berteriak, "Agung Sedayu. Apa yang dapat kau lakukan he" Batu sasaranmu masih tetap utuh."
Yang terdengar kemudian adalah tarikan nafas Agung Sedayu. Tetapi ia masih tetap duduk diatas batu.
"Ternyata kau tidak mampu berbuat sesuatu. Kau hanya mampu mengangkat batu itu. Tetapi kau tidak mempunyai kekuatan untuk meremasnya dan memecahkan batu itu."
Agung Sedayu tidak menjawab. Ia masih tetap duduk ditempatnya, sementara Sabungsaripun kemudian meloncat mendekati batu yang telah dipecahkannya.
Terdengar anak muda itu tertawa. Katanya disela-sela derai tertawanya, "Agung Sedayu. Kini kau harus mengakui kenyataan, bahwa aku memiliki ilmu yang lebih dahsyat dari ilmumu. Kau yang telah menantang aku dalam perlombaan ini. Tetapi agaknya karena kesombonganmu, kau tidak dapat melihat batas kemampuanmu."
Agung Sedayu masih tetap duduk diam.
"Sekarang, dendamku akan terpecahkan. Jika kau ingin ingkar dan masih ingin melawanku, aku masih memberimu kesempatan. Jika kau masih sayang melepaskan nyawamu tanpa perlawanan, maka marilah, kita akan duduk berhadapan dan kita akan membenturkan kekuatan mata kita. Tetapi jangan menyesal, bahwa jantungmu akan terbakar, dan kedua biji matamu akan hangus menjadi arang."
Agung Sedayu sekali lagi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih tetap duduk ditempatnya.
"Sabungsari," berkata Agung Sedayu kemudian, "apakah batu sasaranku itu retakpun tidak?"
Suara tertawa Sabungsari menggelegar bagaikan guruh dilangit. Dengan nada memelas ia berkata, "Kasihan kau anak manis. Ternyata bahwa kau tidak mampu berbuat sesuatu selain merajuk. Tetapi sayang bahwa aku tidak lagi mempunyai belas kasihan."
"Dan kau akan tetap membunuhku?"
Pertanyaan itu tiba-tiba saja telah mengguncang hati Sabungsari. Apakah benar ia akan membunuh Agung Sedayu"
Namun sekali lagi ia menghentakkan perasaannya sambil menggerelakkan giginya. Katanya lantang, "Aku akan memebunuhmu. Itu adalah tekadku sejak aku meninggalkan padepokanku. Itu adalah janjiku kepada diriku sendiri, karena aku adalah anak Ki Gede Telengan."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Cobalah kau lihat kedalam dirimu. Apakah benar kau masih tetap pada sikapmu seperti sejak kau berangkat?"
"Jangan merajuk. Jangan merengek dan minta dibelas kasihani," Sabungsari berteriak. Suaranya menggelegar bagaikan menggetarkan udara malam diseluruh tepian.
"Sabungsari," berkata Agung Sedayu lemah, "aku tahu, bahwa kau menjadi ragu-ragu. Aku tahu bahwa sebenarnya kau bukan seorang anak muda yang jahat seperti yang kau sangka sendiri. Kau sebenarnya bukan ingin melakukan kejahatan. Tetapi justru karena kau telah dituntut oleh kesttiaanmu. Tetapi cobalah kau pertimbangkan sekali lagi, apakah kesetiaanmu sudah benar."
"Jangan bicara lagi. Semakin banyak kau bicara, aku menjadi semakin muak kepadamu. Sekarang, kau boleh memilih. Menundukkan kepalamu dihadapanku agar aku dapat mematahkan lehermu, atau kau masih ingin membela diri dan membenturkan kekuatan tatapan mata kita."
"Apakah kau yakin bahwa kau akan menang?" bertanya Agung Sedayu tiba-tiba.
Pertanyaan itu telah mengguncang dada Sabungsari. Sekilas dipandanginya batu sasaran Agung Sedayu yang masih utuh. Karena itu, maka katanya, "He, apakah kau tidak melihat kenyataan ini" Aku sudah dapat memecahkan batu itu menjadi berkeping-keping. Tetapi kau sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa. Kulitnyapun sama sekali tidak terkelupas."
Perlahan-lahan Agung Sedayu berdiri. Dengan tenang ia melangkah mendekat. Kemudian terdengar suaranya lirih, "Kau masih harus meyakinkan, apakah kau memang menang kali ini."
"Gila, kau memang gila Agung Sedayu," teriak Sabungsari semakin keras, "lihat, batu ini pecah berkeping-keping."
Dengan sigapnya Sabungsari meloncat dan menggenggam pecahan batu yang berserakkan diatas pasir tepian.
"Kau lihat ini" Kau lihat ini he?"
Sabungsari bagaikan menjadi gila ketika ia melihat Agung Sedayu masih tetap tenang saja. Bahkan katanya, "Kau memang luar biasa Sabungsari. Kau mampu memecahkan batu itu menjadi berkeping-keping. Tetapi itu belum merupakan pertanda kemenanganmu dan dengan demikian kau berhak untuk mendapat wewenang sebagaimana yang telah kita sepakati."
"Kau gila. Kau gila. Kau sudah melihat bahwa batu ini pecah berkeping-keping. Apalagi yang akan kau tuntut he" " Sabungsari menghentakkan kakinya.
Namun nampaknya dadanya telah bergelora demikian dahsyatnya, sehingga tiba-tiba saja ia telah meloncat keatas batu besar, tempat batu sasarannya semula terletak.
Sentuhan kaki Sabungsari telah mengguncang batu itu. Apalagi ketika ia berteriak sambil menghentak, "Aku memenangkan pertandingan ini."
Namun tiba-tiba saja kata-katanya terputus. Oleh hentakan kakinya, maka batu besar itu telah bergetar. Getaran yang lemah sekali, karena Sabungsari tidak sengaja mengguncang batu itu. Tetapi getaran yang lemah itu ternyata telah mengguncang dada Sabungsari sehingga rasa-rasanya menjadi retak. Jantungnya rasa-rasanya berhenti berdetak, dan darahnya seolah-olah telah berhenti mengalir.
Dengan mata terbelalak ia melihat kenyataan yang sama sekali tidak diduganya.
Ternyata bahwa getaran lemah yang mengguncang batu besar itu telah mengguncang batu sasaran pandangan mata Agung Sedayu. Ternyata bahwa getaran yang lemah itu telah menggetarkan batu yang nampaknya masih utuh itu. Namun tiba-tiba saja batu itu telah pecah remuk menjadi butiran-butiran lembut yang menghambur diatas batu besar yang menjadi alasnya dan diatas pasir tepian.
Sejenak Sabungsari bagaikan dicengkam oleh hentakkan perasaan yang meremas jantungnya. Ia berdiri mematung dengan mata yang terbelalak. Seolah-olah ia tidak percaya kepada penglihatannya, bahwa batu itu benar-benar telah remuk berhamburan.
Agung Sedayu masih tetap berdiri ditempatnya.
Dipandanginya sikap Sabungsari yang kebingungan. Bahkan kemudian iapun meloncat selangkah. Sambil berjongkok ia menggenggam butiran-butiran lembut yang berhamburan, seolah-olah ia ingin meyakinkan, apakah rabaan tangannya seperti juga penglihatan matanya, bahwa batu itu memang telah remuk bagaikan menjadi debu.
Tetapi agaknya memang suatu kenyataan. Batu itu benar-benar telah lumat. Bukan sekedar pecah berkeping-keping.
Ternyata bahwa sorot mata Agung Sedayu, seolah-olah memancarkan ruji-ruji lembut yang langsung menusuk menembus batu yang dijadikan sasaran kemampuan ilmunya. Ruji-ruji itu lelah menghunjam disetiap lubang-lubang yang paling kecil sekalipun menusuk sampai tembus, dalam jumlah yang tidak terhitung oleh bilangan yang manapun juga. Demikian tajam dan kuatnya tusukan ilmunya, sehingga batu yang telah pecah remuk menjadi debu itu, masih tetap dalam ujudnya. Namun oleh sentuhan getaran dan goncangan yang betapapun lemahnya, maka yang masih tetap bergumpal itupun segera terurai dan tersebar berhamburan.
Sabungsari masih berjongkok sambil meremas debu ditangannya. Untuk sejenak ia masih ingin meyakinkan, apakah ia tidak sedang bermimpi atau sedang dalam libatan ilmu yang langsung mempengaruhi perasaannya, sehingga seolah-olah ia melihat apa yang terjadi, tetapi yang hanya sekedar peristiwa semu saja.
Tetapi akhirnya Sabungsari mempercayai kenyataan itu. Perlahan-lahan ia bangkit dan meloncat turun dari atas batu yang besar itu. Dengan nada yang dalam dan datar ia berkata, "Kau menang Agung Sedayu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara Sabungsari berkata seterusnya, "Terserah kepadamu, apa yang akan kau lakukan. Jika kau akan membunuh aku, lakukanlah. Akupun akan mendapat kepuasan tersendiri, karena aku mati selagi aku mempertahankan harga diri padepokan dan perguruan Telengan."
Agung Sedayu memandang Sabungsari yang menundukkan kepalanya. Nampaknya perasaan anak muda itupun telah pecah berkeping-keping seperti batu yang telah dihancurkannya dengan tatapan matanya.
"Sabungsari," berkata Agung Sedayu, "kau memang harus dibunuh."
Sabungsari mengangkat wajahnya. Nampak kerut merut dikeningnya. Katanya, "Lakukanlah. Aku sudah siap."
"Kau memang harus mati." berkata Agung Sedayu, "tetapi tidak perlu wadagmu."
Sabungsari terkejut. Dipandanginya Agung Sedayu dengan penuh pertanyaan yang membayang diwajahnya.
"Aku tidak tahu maksudmu," desis Sabungsari.
"Kau memang harus mati. Seperti aku katakan, tidak perlu wadagmu. Tetapi Sabungsari yang lama harus dibunuh, dan kemudian akan lahir Sabungsari yang baru, dengan sifat-sifat dan watak yang baru pula," sahut Agung Sedayu.
"Persetan," geram anak muda itu, "kau jangan sesorah. Itu adalah impian orang-orang yang tidak melihat kenyataan duniawi. Kau kira bahwa aku dapat membunuh masa lampauku dan memutuskan segala hubungan wadag dan jiwani dengan hari kemarin" Kau kira dengan peristiwa ini, aku bukan lagi anak laki-laki Ki Gede Telengan" Ia tetap ayahku bagaimanapun keadaanku."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Katanya, "Bukan itulah yang dimaksud Sabungsari. Dalam hubungan dengan masa lampau, kau tidak dapat ingkar. Yang harus lahir dalam ujud manusia yang baru bukannya sesambunganmu dengan masa lampu, tetapi sikapmu menyongsong hari besok."
Sabungsari termangu-mangu. Namun kemudiann iapun terhenyak duduk diatas sebuah batu sambil berdesah, "Aku kurang mengerti maksudmu."
"Sabungsari," berkata Agung Sedayu, "sudah tentu kau tidak akan dapat menghapus masa lampaumu. Tetapi kau wajib mengerti, bahwa sikap dan tingkah lakumu itu tidak benar menurut pertimbangan nalar yang bening. Karena itu, maka kau harus berani membunuh sikap dan tingkah lakumu, termasuk janji kesetiaanmu yang tidak mapan itu. Kau dapat menyesali segala kesalahan yang pernah kau lakukan dan berjanji kepada diri sendiri dan kepada Yang Maha Tahu, bahwa kau tidak akan pernah mengulangi lagi. Selanjutnya, kau akan mulai dengan lembaran-lembaran baru yang lebih baik dari masa lampau itu."
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Apakah itu bukan hanya sekedar impian. Adakah orang yang tak pernah melakukan kesalahan disepanjang hidup" Kau sendiri misalnya" Apakah benar bahwa kau selalu hidup dalam kebenaran?"
Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya, "Tentu tidak Sabungsari. Yang namanya manusia, pasti masih akan melakukan kesalahan-kesalahan yang kecil maupun yang besar. Tetapi manusia yang tidak mau mengetahui sikap dan tingkah lakunya sendiri dan tidak berani menilainya dengan jujur, ia akan tersesat semakin jauh. Sementara orang yang berani menilai diri sendiri dan mengakui dengan jujur, maka ia akan menuju kejalan yang lebih baik."
Sabungsari menundukkan kepalanya. Meskipun ia lidak dapat menelan seluruhnya setiap kata yang diucapkan oleh Agung Sedayu, namun sebagian dapat menyentuh hatinya pula. Apalagi ia memang tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa Agung Sedayu adalah seseorang yang seolah-olah mempunyai kemampuan tidak terbatas.
Bagaimanapun juga ia masih ragu-ragu akan setiap kata Agung Sedayu, namun satu kenyataan bahwa ia masih tetap hidup. Beberapa kali Agung Sedayu mempunyai kesempatan untuk membunuhnya. Jika ia memang seorang pembunuh, maka ia tentu sudah mati.
"Tanpa mempergunakan kemampuan ilmunya yang luar biasa itu, ia sudah dapat membunuhku saat aku pingsan," berkata Sabungsari didalam hatinya, "tetapi ternyata Agung Sedayu tidak melakukannya. Aku masih tetap hidup, dan berkesempatan untuk bertanding ilmu dengan taruhan nyawa. Tetapi ia tidak juga mau membunuhku apapun alasannya."
Sadar akan keadaannya, maka Sabungsari tidak dapat berbuat lain kecuali menerima segala kenyataan.
"Sabungsari," terdengar Agung Sedayu berkata dengan nada dalam, "apakah kau dapat mengerti yang aku maksudkan?"
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku akan mencoba mengerti Agung Sedayu. Tetapi yang aku tidak mengerti, sikap jujur dalam menilai diri sendiri."
"Kenapa?" bertanya Agung Sedayu.
"Jika aku jujur kepada diri sendiri, maka aku tentu masih akan tetap dalam niatku. Jika aku kemudian mengurungkannya itu, adalah karena aku kalah darimu. Bukan karena hal-hal yang lain. Aku tidak dapat mengatakan, bahwa tidak membunuhmu itu adalah karena aku tidak lagi bermaksud demikian. Tetapi karena aku tidak dapat berbuat demikian."
"Itulah yang aku maksudkan dengan membunuh masa lampau itu dan memandang masa depan dengan sikap yang baru. Sebenarnya kau sudah mulai mengerti bahwa yang kau lakukan itu tidak benar. Kau mulai ragu-ragu, tetapi kau tidak jujur menghadapi keragu-raguanmu itu. Kau telah didorong oleh harga dirimu sebagai seorang anak yang kau anggap harus berbakti terhadap orang tua dengan cara yang salah itu." suara Agung Sedayu datar, "kau bukannya seseorang yang tidak mengerti baik dan buruk. Tetapi kau tidak berani mengembangkannya didalam hatimu."
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam.
"Sudahlah Sabungsari," berkata Agung Sedayu kemudian, "tentu kita tidak akan dapat berbicara dengan tuntas. Mungkin yang aku katakan itupun mengandung pengertian yang tidak tepat. Tetapi kita masih mempunyai waktu untuk menelusurinya. Kita masih mempunyai waktu untuk berbicara tentang baik dan buruk dan tentang salah dan benar. Meskipun tidak ada kebenaran yang mutlak selain kebenaran Yang Maha Benar, namun kita dapat menekuninya sejauh kemampuan kita berpikir dan merasakan."
"Kau membuat aku bingung. Tetapi aku ingin untuk mengertinya. Mungkin besok atau lusa aku dapat melihat lebih jauh dari keadaanku sekarang. Aku benar-benar tidak dapat berpikir, apakah yang sebaiknya aku lakukan," jawab Sabungsari.
"Marilah, kita kembali kepadepokan." ajak Agung Sedayu.
"Untuk apa aku harus kembali kepadepokanmu" Apakah kau ingin mengatakan kepada gurumu dan kepada adik sepupumu, bahwa kau telah memenangkan perang tanding dengan cara apapun juga?"
"Aku menganggap bahwa hal itu tidak perlu aku lakukan. Kesombongan yang kau lihat, bagaimana aku mengalahkanmu, menurut pertimbanganku adalah cara yang lebih baik aku tempuh daripada aku harus membunuh sekali lagi."
"Itupun sikap yang sangat sombong," potong Sabungsari.
"Sudah aku katakan. Aku mencoba mengambil jalan yang paling baik," sahut Agung Sedayu, "karena itu, marilah. Kau menampakkan diri sebelum kita pergi. Kau-pun wajib minta diri kepada guru tidak ada kesan yang kurang baik."


05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sabungsari termangu-mangu sejenak. Tetapi ia melihat dalam keremangan malam sorot mata Agung Sedayu yang tulus. Meskipun dari mata itu dapat memancarkan nafas maut, tetapi dari mata itu pula terasa betapa lembut hati anak muda itu.
Karena itu, maka Sabungsaripun berdesah sambil berkata, "Baiklah. Aku akan ikut pergi kepadepokanmu. Sekarang aku adalah telukanmu. Kau dapat memerintah apa saja kepadaku."
"Aku tidak bermaksud demikian. Hubunganku dengan kau masih tetap seperti beberapa saat yang lampau," sahut Agung Sedayu.
Sabungsari termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian bangkit sambil berkata, "Marilah."
Keduanyapun kemudian membenahi diri. Pakaian mereka yang kotor mereka kibaskan, meskipun mereka tidak dapat menghapus sama sekali bekas perkelahian yang telah terjadi.
"Gurumu akan tetap mencurigai keadaan kita," berkata Sabungsari.
"Meskipun ia mengerti, tetapi ia tidak akan berbuat apa-apa," sahut Agung Sedayu.
Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, "Apakah gurumu juga bersikap seperti kau, atau kau bersikap seperti gurumu?"
"Ya," jawab Agung Sedayu pendek.
Sabungsari tidak bertanya lagi. ia berjalan sambil menundukkan kepalanya. Seakan-akan yang baru saja terjadi telah nampak kembali diangan-angannya. Seolah-olah ia melihat dirinya sendiri pingsan, sementara Agung Sedayu berdiri disisinya dengan kaki renggang dan tangan dipinggang.
"Tetapi ia tidak berbuat apa-apa. Dibiarkannya aku tetap hidup dan sadar kembali." berkata Sabungsari didalam hatinya.
Untuk beberapa saat ia mencoba menilai sikap Agung Sedayu. Apakah Agung Sedayu tidak berpura-pura, atau justru dengan sikap itu ia ingin menunjukkan kepadanya bahwa ia telah memenangkan perang tanding itu dengan mutlak.
Tetapi Sabungsari menggelengkan kepalanya. Didalam hati ia berkata, "Tentu tidak. Ia juga tidak membunuh kelima pengikutku. Jika ia tidak berbuat dengan jujur, maka ia tentu telah membunuh kelima orang yang mencegatnya dipesisir itu. Tetapi ternyata mereka tetap hidup."
Untuk beberapa saat, Sabungsari masih dicengkam oleh ketidak pastian sikapnya. Juga terhadap dirinya sendiri.
Agung Sedayu yang berjalan disampingnya, juga tidak banyak berbicara. Ternyata iapun sekali-sekali masih juga memikirkan apa yang telah terjadi dipinggir sungai itu.
Namun didalam hati, ia sempat bersukur, bahwa ia mendapat kesempatan untuk menyelesaikan perselisihan itu tanpa pembunuhan. Dengan demikian, maka ia telah mengurangi dendam yang menyala dihati orang-orang yang telah disakiti hatinya, sengaja atau tidak sengaja.
Ketika keduanya mendekati regol padepokan. Sabungsari menjadi berdebar-debar. Bukan karena ia menjadi curiga bahwa ia akan diperlakukan dengan buruk dipadepokan itu. Tetapi justru karena ia mendapat perlakuan yang tidak disangka-sangkanya.
Kemelut Di Majapahit 8 Girls Of Riyadh Karya Rajaa Alsanea Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 13
^